Bagian 4

Di lereng Gunung Heng-toan-san sebelah timur, di lembah Sungai Cin-sha, terdapat sebuah kelompok bangunan yang dilingkari tembok tinggi dan tebal, merupakan sebuah benteng yang kokoh kuat, megah dan juga menyeramkan karena siang malam selalu terjaga orang-orang yang kelihatan gagah sehingga tidak ada penduduk sekitar Pegunungan Heng-toan-san yang berani datang mendekat. Para penduduk dikaki pegunungan ini seringkali melihat orang-orang yang kelihatannya gagah menggiring kereta yang berisi peti-peti barang atau menggiring serombongan kuda yang juga penuh muatan bahkan adakalanya menggiring wanita-wanita cantik yang menangis disepanjang jalan. Biarpun semua barang dan tawanan itu digiring memasuki benteng dan semua penduduk dapat menduga bahwa perampokan-perampokan yang terjadi disekitar pegunungan ini tentu ada hubungannya dengan benteng besar itu, namun tak seorang pun berani mencampuri. Mereka hanya tahu bahwa benteng itu merupakan sarang dari perkumpulan Beng-kauw yang kini menjadi nama yang amat ditakuti, tidak seperti beberapa tahun yang lalu dimana Beng-kauw terkenal sebagai perkumpulan yang amat kuat berpengaruh menjadi tulang punggung Kerajaan Nan-cao dan juga menjadi penjamin ketenteraman karena tidak ada penjahat yang berani sembarangan bergerak dibawah kekuasaan Beng-kauw. Memang Beng-kauw kini telah berubah sama sekali semenjak dikuasai oleh Hoat Bhok Lama. Pendeta Lama dari Tibet yang berjubah merah ini adalah keturunan dari datuk kaum sesat Thai-lek Kauw-ong, maka biarpun dia berpakaian pendeta, namun pakaian ini hanya menjadi kedok belaka untuk menutupi keadaan yang sebenarnya karena Hoat Bhok Lama adalah seorang yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya, yang mengumbar nafsu tanpa pengekangan sedikitpun juga. Hidupnya telah dipersembahkan untuk menuruti segala kesenangan dunia yang dapat ia capai mengandalkan kepandaiannya yang tinggi. Dia gila kedudukan, gila kemewahan, gila perempuan dan karena hendak menuruti dorongan nafsu-nafsunya ini dirampasnya Beng-kauw agar dia memperoleh kedudukan ketua yang tinggi, memiliki ratusan orang anak buah yang taat, dihormati dan ditakuti banyak orang. Kemudian untuk memuaskan nafsunya akan kemewahan, dia menggunakan kepandaian dan kekuasaannya untuk menundukkan semua kaum sesat didaerah itu sehingga setiap pencurian, setiap perampokan yang berhasil, harus lebih dulu dibawa kebentengnya, kemudian dia memilih hasil-hasil rampokan itu, baru sisanya dikembalikan kepada mereka yang melakukannya! Bukan hanya benda-benda berharga dan indah, juga termasuk penculikan-penculikan wanita cantik! Karena inilah, maka keadaan di dalam benteng itu benar-benar mengagumkan orang, semua perabot serba mewah dan mahal, gudangnya penuh dengan emas dan perak, sedangkan didalam kamar-kamar yang berderet-deret dibelakang kamar ketua ini terdapat simpanan wanita cantik yang merupakan haremnya tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya, dan masih terus minta ditambah! Wanita-wanita ini dalam beberapa tahun saja sudah diganti-ganti dengan orang baru, karena watak Hoat Bhok Lama yang pembosan tidak memungkinkan seorang wanita tinggal lebih dari sebulan disitu. Setelah bosan, ia hadiahkan kepada pembantu-pembantu yang berjasa, kemudian dia menghendaki pengganti untuk memperlengkapi haremnya. Pihak pimpinan Beng-kauw yang aseli, sudah sejak dahulu berusaha membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, namun tiada seorang pun dapat menandingi kelihaian pendeta Lama ini. Bahkan orang-orang gagah didunia kang-ouw, yang mendengar akan kejahatan Beng-kauw baru ini, banyak yang datang untuk menentang. Namun mereka semua menjadi

korban dalam perjuangan mereka menentang kejahatan ini karena selain Hoat Bhok Lama amat sakti dan pembantu-pembantunya yang dia latih juga memiliki kepandaian tinggi, juga disekitar sarang mereka telah dipasangi tempat-tempat yang berbahaya, jebakan-jebakan dan alat-alat rahasia yang mampu menghancurkan setiap penyerbu sebelum mereka dapat memasuki benteng.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali kembali tampak sebuah kereta diiringkan oleh anak buah Beng-kauw yang menyeleweng memasuki pintu gerbang benteng itu. Didalam kereta terdapat tiga orang wanita muda yang menangis terisak-isak. Mereka adalah anggauta rombongan pedagang yang baru saja dirampok. Semua harta dirampas, kaum pria yang berada dikereta dibunuh termasuk para pengawal sedangkan tiga orang wanita muda yang cantik itu ditawan. Mereka adalah tiga orang enci adik, yang dua orang telah menikah dan baru saja suami mereka tewas dalam pertempuran melawan perampok, adapun yang termuda masih gadis berusia enam belas tahun. Biarpun kedua orang encinya telah menikah, namun karena usia mereka baru dua puluh tahun lebih dan cantik-cantik pula, maka tidak dibunuh dan dijadikan tawanan. Hoat Bhok Lama tercengang penuh kegirangan hati ketika melihat tiga orang wanita ini. Baru saja dua hari yang lalu ia menghadiahkan lima orang wanita haremnya dan ia haus akan wanita-wanita baru, maka kedatangan tiga orang wanita ini membuat pendeta Lama itu gembira sekali. Ia minum-minum sampai mabok kemudian sekaligus menyeret tiga orang tawanan itu yang meronta-ronta dan menangis, memasuki kamarnya. Terdengarlah jerit tangis tiga orang wanita itu yang terdengar sampai keluar kamar dan ditertawai anak buah Beng-kauw. Sudah terlalu sering terdengar rintih tangis dari dalam kamar yang merupakan kamar jagal dimana wanita-wanita muda seperti domba-domba yang disembelih tanpa ada yang membela mereka. Diantara rintih tangis ini terdengar suara ketawa Hoat Bhok Lama yang menyeramkan.

"Tok-tok-tok! Suhu....!" Terdengar ketukan dipintu kamar itu. "Setan! Siapa yang sudah bosan hidup berani menggangguku?" Hoat Bhok Lama membentak marah dari dalam kamar.

"Teecu hendak melapor, ada musuh datang!" Wanita muda yang kini berlutut diluar pintu kamar berkata. "Heh, keparat!" Hoat Bhok Lama meloncat, menyambar pakaian dan membuka daun pintu. Tangannya terkepal, siap memukul wanita muda yang menjadi muridnya, juga selirnya tentu saja karena muridnya cantik.

"Maaf, Suhu. Kalau tidak penting, teecu mana berani mengganggu kesenangan Suhu? Penjaga melapor bahwa dua orang kakak beradik she Kam itu naik lagi kebukit. Apa yang harus kami lakukan?"

"Apa? Dua orang keturunan Beng-kauw itu? Bagus, sekali ini dua keturunan terakhir itu harus dibasmi agar tidak selalu menimbulkan ke kacauan. Eh, kaujaga mereka bertiga itu, suruh mereka makan dan membersihkan diri dan jangan sampai mereka membunuh diri, aku masih belum selesai dengan mereka!" Setelah selesai berkata demikian, tergesa-gesa Hoat Bhok Lama meninggalkan kamar tanpa menengok lagi. Si Murid memasuki kamar dan melihat betapa tiga orang wanita muda itu saling peluk diatas ranjang sambil menangis mengguguk.

Hoat Bhok Lama berlari menaiki anak tangga menuju keatas tembok dimana terdapat gardu penjaga. Para pembantunya sudah menanti dan memberi hormat. "Dimana mereka? Dan berapa orang yang datang?"

"Hanya mereka berdua, Kauwcu (Ketua Agama)," jawab seorang pembantunya. "Enci adik Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui yang dulu juga."

"Hemm, mereka benar-benar sudah bosan hidup. Kalau saja masih muda, hemm, ada gunanya, akan tetapi biarpun cantik, mereka sudah terlalu tua. Kita bunuh saja mereka."

"Wah, sayang, Kauwcu. Mereka cantik-cantik sekali dan sebagai keturunan Beng-kauw yang masih ada hubungan darah dengan Suling Emas, tentu mereka hebat. Aihh, bagaimana kalau mereka itu diberikan kepada kami saja?"

"Boleh, akan tetapi selanjutnya harus dibunuh. Sebelum dibunuh, boleh kalian permainkan mereka sepuasnya. Kalau tidak dibunuh, mereka tentu akan selalu membikin kacau. Dimana mereka?"

"Mereka mendaki dari lereng sebelah utara."

"Aku tidak ingin mengorbankan anak buah sekali ini. Mereka cukup lihai dan sekarang aku sendiri akan keluar menangkap mereka." Tanpa menanti jawaban karena maklum bahwa ucapannya merupakan perintah yang tidak boleh dibantah, kakek berjubah merah ini lalu melompat turun seperti seekor burung berbulu merah yang besar dan dengan kaki ringan sekali dia turun keatas tanah diluar tembok. Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendaki lereng Pegunungan Heng-tuan dari utara dan tidak tahu bahwa pihak musuh telah tahu akan kedatangan mereka. Andaikata mereka tahu pun mereka tidak peduli dan tidak takut karena mereka

telah bertekad bulat untuk mengadu nyawa dengan pimpinan Beng-kauw yang menyeleweng itu. Mereka telah gagal mohon bantuan Siauw-lim-pai dan sebelum mengambil keputusan terakhir mengadu nyawa di Heng-tuan-san, mereka telah mencari bantuan namun hasilnya kosong. Para orang-orang gagah sudah mendengar akan kesaktian Hoat Bhok Lama, menjadi gentar dan tidak berani membantu. Partai-partai besar yang mengkhawatirkan kedudukan mereka segan untuk memusuhi Beng-kauw yang amat kuat itu. Dengan kecewa dan penasaran, akhirnya kedua orang enci adik itu mengambil keputusan terakhir, yaitu maju sendiri tanpa bantuan, mengadu nyawa dengan Ketua Beng-kauw yang sakti untuk membalas dendam kematian suami dan saudara-saudara mereka, dan untuk merampas kembali Beng-kauw. Mereka telah mempersiapkan diri dengan tekad bulat mempertaruhkan nyawa dan mempersenjatai diri dengan lengkap. Sebatang pedang ditangan kanan dan sebatang cambuk ditangan kiri. Pecut di tangan mereka yang berwarna hitam itu bukanlah senjata sembarangan, tidak kalah ampuhnya dengan pedang ditangan mereka. Pecut itu dahulunya adalah senjata dari paman kakek, juga guru mereka, Kauw Bian Cinjin. Pecut itu terbuat dari pintalan rambut monyet hitam raksasa yang hanya terdapat diPegunungan Himalaya dan senjata ini mengeluarkan pengaruh mujijat dan hawa panas. Pecut ini dahulu hanya sebuah, kemudian oleh Kauw Bian Cinjin dijadikan dua dan menjadi dua buah pecut kecil sebagai senjata kedua orang cucu keponakan, juga muridnya. "Moi-moi, hati-hati, kita sudah mendekati benteng. Kita belum pernah menyerbu dari utara akan tetapi aku menduga bahwa dibagian ini pun tentu banyak terdapat jebakan-jebakan dan alat rahasia. Siapkan senjatamu dan jangan sembrono melangkahkan kaki."

"Baik, Cici," jawab Siang Hui dan dia berjalan dibelakang cicinya karena Siang Kui lebih berpengalaman disamping lebih tinggi tingkat ilmunya. Mereka berhenti ditepi padang rumput yang membentang luas diantara mereka dan tembok benteng. Dikanan kiri mereka terdapat gunung-gunung batu karang. "Hemm, begini sunyinya dan tenang. Amat mencurigakan!" kata Siang Hui. "Benar, kita harus menyelidiki dulu, baru boleh melintasi padang rumput ini. Siapa tahu dibawahnya tersembunyi jebakan." Berkata demikian, Siang Kui mengambil sepotong batu untuk dilemparkan kearah rumput yang hijau segar disebelah depan. "Trakk!" Batu itu hancur berkeping-keping disambar sinar merah dari samping dan kepingannya jatuh keatas rumput tanpa menimbulkan reaksi apa-apa. Dua orang wanita perkasa itu cepat menengok kekiri dan mereka memandang dengan muka merah dan mata terbelalak penuh kemarahan kepada seorang kakek yang sudah berdiri disitu sambil tertawa bergelak. Hoat Bhok Lama, musuh besar yang mereka cari-cari, pembunuh Kauw Bian Cinjin, suami mereka dan para tokoh Beng-kauw yang lain! Inilah orang yang telah merampas nama Beng-kauw, menghancurkan Beng-kauw aseli yang didirikan oleh kakek mereka, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan dan kini mengangkat diri menjadi Ketua Beng-kauw, membawa anak buah Beng-kauw menyeleweng kearah jalan sesat!

"Ha-ha-ha, kalian berdua perempuan keras kepala, sudah berkali-kali kami beri ampun mengingat bahwa keturunan pendiri Beng-kauw hanya tinggal kalian berdua, mengapa masih belum bertobat dan datang mengantar nyawa? Bukankah lebih baik kalian yang menjadi janda, masih cantik, mencari suami-suami baru sebelum terlambat sehingga memiliki keturunan untuk menyambung keluarga?"

"Hoat Bhok Lama, engkau penjahat besar yang berkedok pendeta, manusia terkutuk yang berselimut jubah merah Lama, keparat busuk yang bersembunyi dibalik nama pendeta! Hari ini kami akan mengadu nyawa denganmu untuk membersihkan nama Beng-kauw dan membalas kematian tokoh-tokoh Bang-kauw!" Setelah mencaci marah, tubuh Kam Siang Kui bergerak cepat berubah menjadi bayangan hijau, pedangnya menusuk kearah perut lawan. "Crengggg....!" Siang Kui terhuyung kebelakang, tangan yang memegang pedang tergetar hebat. Hoat Bhok Lama tertawa bergelak, sepasang gembreng yang tahu-tahu telah berada dikedua tangannya dan tadi dipergunakan menangkis pedang itu berkilauan menyilaukan mata dan bunyi gembreng membuat telinga kedua orang wanita kakak beradik itu seperti tuli. Akan tetapi Siang Hui telah menggerakkan pecut hitam ditangannya.

"Tar-tar....!" Ujung cambuk hitam ini menyambar kearah kepala Hoat Bhok Lama yang menjadi kaget juga karena ia mengenal cambuk bulu kera yang ampuh ini. Cepat ia melempar tubuh kebelakang, kemudian berjungkir-balik dan tubuhnya meluncur kedepan, gembreng ditangan kiri menghantam kearah kepala Siang Hui.

"Cringgg....!" Seperti juga encinya, ketika pedangnya menangkis gembreng kuning itu, tubuhnya terhuyung dan tangan kanannya tergetar.

"Ha-ha-ha! Aku akan menangkap kalian hidup-hidup! Ha-ha!" Hoat Bhok Lama kini menerjang maju, sepasang gembrengnya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang lebar, menyambar-nyambar seperti dua bola api. "Sing-sing-sing, crenggg....!" Sepasang gembreng itu menyambar-nyambar dengan suara berdesing dan kadang-kadang diseling bunyi berdencreng kalau sepasang senjata

aneh itu saling bertemu sendiri atau beradu dengan pedang lawan. Hebat bukan main sepasang senjata ini. Dahulu, seorang diantara datuk kaum sesat yang bernama Thai-lek Kauw-ong merupakan orang yang amat sakti sehingga hanya pendekar-pendekar sakti seperti Suling Emas saja yang sanggup menandinginya, disamping tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat lain seperti mendiang Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, Siauw-bin Lo-mo dan Kam Sian Eng bibi kedua orang wanita ini yang telah mewarisi ilmu-ilmu aneh dari Liu Lu Sian, puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw. Dan Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung yang mewarisi ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong. Disamping senjata sepasang gembreng yang amat ampuh, bukan saja dapat dimainkan dengan dahsyat akan tetapi dapat pula mengeluarkan getaran suara yang menulikan telinga dan menggetarkan jantung, namun disamping ini dia memiliki Ilmu Silat Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sa kti Angin Puyuh) dan pukulan Thai-lek-kang yang mengandung sin-kang amat kuat.

"Wuuut-wuuut-wuuut, tar-tar-tar!" Kedua orang wanita Beng-kauw itu terpaksa menjaga diri dengan cambuk hitam mereka yang diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang membentuk benteng sinar kuat menyelimuti tubuh mereka sedangkan dari dalam gulungan sinar hitam itu, pedang mereka kadang-kadang meluncur kedepan secara tiba-tiba untuk membalas serangan lawan. Sebetulnya, tingkat kepandaian kedua orang wanita perkasa itu masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Hoat Bhok Lama, dan kalau kakek ini menghendaki, tentu saja dia dapat mengeluarkan ilmunya yang tinggi untuk merobohkan dan membunuh mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi, kedua orang wanita itu bertanding mati-matian, bermaksud mengadu nyawa dan rela mati asal dapat membunuh kakek itu. Hal ini membuat mereka seolah-olah berubah menjadi dua ekor naga betina yang ganas. Disamping ini, Hoat Bhok Lama juga ingin menangkap kedua lawannya hidup-hidup seperti yang ia janjikan kepada para pembantunya. Dua orang wanita ini telah banyak membikin pusing kepadanya, maka akan terlalu enak bagi mereka kalau dibunuh begitu saja. Kalau dia menawan mereka hidup-hidup, dia akan memperoleh dua keuntungan, pertama, ia dapat menyiksa musuh-musuh ini dan kedua ia akan dapat menyenangkan hati pembantu-pembantu dan anak

buahnya. Bagi dia sendiri, biarpun mata keranjang dan harus diakui bahwa kedua orang janda ini masih amat menarik, namun sudah terlalu tua dan dia dapat memperoleh gadis-gadis muda setiap saat yang dikehendakinya! Karena itulah maka pertandingan itu berlangsung lama dan amat hebat. Siang Kui dan Siang Hui maklum bahwa memang mereka datang mengantar nyawa. Mereka tahu bahwa lawan jauh lebih pandai dari mereka, karena itu mereka tadinya berusaha minta bantuan Ketua Siauw-lim-pai untuk membantu mereka. Namun semua usaha mereka gagal dan kini mereka datang dengan tekad bulat untuk membunuh lawan atau mengorbankan nyawa terbunuh olehnya!

"Cuit-cuit-tar-tar-tar!" Dua batang cambuk yang bergulung-gulung itu menyambar empat kali kearah empat jalan darah ditubuh Hoat Bhok Lama, disusul tusukan dua batang pedang dari kanan kiri.

"Aihhhh!" Hoat Bhok Lama terkejut sekali sepasang gembrengnya bergerak melindungi tubuhnya sehingga terdengarlah suara nyaring yang membuat dua orang wanita itu menjerit karena telinga mereka seperti ditusuk jarum dan jantung mereka tergetar, membuat mereka terhuyung kebelakang. Namun, sebatang ujung cambuk ditangan Siang Kui masih berhasil melecut dan menotok leher kanan Hoat Bhok Lama, mendatangkan rasa nyeri bukan main. Kalau lain orang yang terkena totokan ini tentu akan roboh, setidaknya menjadi lumpuh lengan kanannya. Namun, sin-kang kakek ini kuat sekali dan ia hanya merasa lehernya ngilu dan matanya berkunang. Bangkitlah kemarahan kakek ini dan ia mengeluarkan teriakan keras seperti seekor singa terluka, sepasang gembrengnya digerakkan cepat sekali dan tubuhnya berpusing seperti gasing!

Siang Kui dan Siang Hui terkejut bukan main. Pusingan tubuh kakek itu mengeluarkan angin seperti angin puyuh, membuat mereka berdua tidak dapat tetap pasangan kuda-kuda kaki mereka. Itulah Soan-hong Sin-ciang yang biasanya dilakukan dengan tangan kosong, akan tetapi kini lebih berbahaya lagi karena yang menyambar-nyambar dari bayangan yang berpusingan itu adalah sepasang gembreng! Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui melakukan perlawanan mati-matian, mengimbangi cengkeraman-cengkeraman maut yang berupa sepasang gembreng itu dengan serangan-serangan mereka yang tidak kalah dahsyatnya. Akan tetapi yang membuat keduanya merasa pening dan bingung adalah tubuh lawan yang berpusing ditambah suara gembreng beradu yang selain menulikan telinga juga menggetarkan jantung mereka. Untuk memusatkan sin-kang menghadapi lawan yang lihai ini, kedua orang kakak beradik itu memejamkan mata dan hanya mengandalkan pendengaran mereka yang sudah kacau oleh suara gembreng.

"Cuit-cuittt....!" Ketika Hoat Bhok Lama secara tiba-tiba menghentikan pusingan tubuhnya hanya untuk sejenak saja, dua orang wanita itu secepat kilat telah menyerang dengan cambuk mereka.

"Cret-crett!" Ujung cambuk bertemu sepasang gembreng, melekat dan melibat tak dapat ditarik kembali. Terdengar kakek itu terkekeh dan tiba-tiba ia melepaskan kedua gembrengnya, tubuhnya berjongkok dan ia memukul dengan kedua tangan terbuka dari bawah kearah perut kedua orang lawannya. Inilah pukulan Thai-lek-kang yang jaman dahulu membuat Thai-lek Kauw-ong menjadi seorang diantara datuk-datuk golongan hitam!

"Siuuut! Siuuutt!" Dua sinar kecil hitam menyambar kearah kedua pelipis Hoat Bhok Lama dari kanan kiri. Kakek ini terkejut sekali, terpaksa menarik kembali kedua tangannya dan tubuhnya kebelakang sehingga sambaran benda-benda itu lewat yang ternyata hanyalah dua buah batu kecil yang dilepas dengan tenaga dahsyat. Kakek ini meloncat keatas, mencengkeram kearah kepala dua orang wanita yang sudah terkena pukulan Thai-lek-kang sehingga terhuyung kebelakang. Ketika mereka membuang diri

kebelakang, cepat Hoat Bhok Lama sudah merampas kembali sepasang gembrengnya yang tadi terbelit oleh ujung kedua batang cambuk. Ketua Beng-kauw itu menoleh kekanan kiri dan melihat munculnya dua orang laki-laki muda. Yang muncul dari sebelah kirinya adalah seorang pemuda tampan sekali, dengan pakaian mewah indah dan di punggungnya tampak gagang pedang beronce merah, sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam. Yang muncul dari kanan adalah seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, memegang tongkat dan kedua kakinya telanjang. Ia maklum bahwa dua orang yang dapat melempar sebuah batu kerikil dengan tenaga lontaran seperti itu tentu memiliki tenaga besar dan kepandaian tinggi. Kalau tadi dia maju sendiri untuk menghadapi dua orang kakak beradik itu adalah karena dia sudah yakin akan dapat memenangkan pertandingan melawan mereka. Akan tetapi kini munculnya dua orang muda yang lihai membuat dia ragu-ragu untuk mengandalkan kepandaian sendiri, maka kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah melompat kebelakang, kearah padang rumput. "Manusia terkutuk, hendak lari kemana kau?" Siang Kui berseru dan meloncat pula mengejar, diikuti oleh Siang Hui.

"Kedua bibi jangan kejar dia!" Laki-laki tampan yang bukan lain adalah Suma Hoat si jai-hwa-sian berteriak memberi peringatan. Kalau saja yang muncul bukan Suma Hoat tentu enci adik Kam itu akan menurut, akan tetapi munculnya keponakan

yang dianggap sebagai seorang manusia cabul dan jahat, membuat hati mereka marah. Apalagi Siang Kui yang cerdik tidak mau melakukan hal yang lengah atau sembrono, mengejar begitu saja. Dia sudah curiga bahwa padang rumput itu mengandung jebakan, maka dia pun meloncat kearah bekas kaki Hoat Bhok Lama menginjak. Dan benar saja, ketika tubuhnya turun, dia menginjak tempat yang keras. "Moi-moi, ikuti jejak kakiku!" Dia berteriak kepada adiknya tanpa menoleh karena dia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melihat dan mengingat bekas injakan kaki orang yang dikejarnya. Tiga kali dia meloncat mengikuti Hoat Bhok Lama dan dia sudah berada ditengah padang rumput, dibelakang Hoat Bhok Lama, sedangkan Siang Hui juga sudah menyusul dan berada dibelakang encinya ketika tiba-tiba Hoat Bhok Lama tertawa bergelak dan tubuh Siang Kui bersama adiknya yang menginjak tepat dibekas kaki pendeta itu terjeblos dan roboh terguling kedalam air! Ternyata bahwa rumput hijau itu tumbuh diatas air yang tertutup tanah tipis. Tempat berpijak kaki Hoat Bhok Lama memang tepat diatas balok-balok yang dipasang dan disembunyikan dibawah rumput, akan tetapi balok-balok ini dipasangi kawat sehingga dapat diatur oleh anak buahnya yang bersembunyi sehingga ketika ia memberi isyarat, anak buahnya menggerakkan balok-balok itu sehingga tentu saja kaki Siang Kui dan Siang Hui tergelincir dan terjatuhlah mereka kedalam air. Dua orang wanita ini boleh jadi amat perkasa kalau mereka didarat, akan tetapi setelah mereka tercebur kedalam air yang ternyata dalam karena tempat ini sesungguhnya

merupakan telaga kecil yang oleh Hoat Bhok Lama diatur menjadi padang rumput sebagai jebakan, mereka tidak berdaya dan menjadi gelagapan. Empat orang anak buah Hoat Bhok Lama yang bertugas menjaga tempat ini segera muncul dari bawah rumput dimana mereka bersembunyi, lalu mereka berenang menghampiri Siang Kui dan Siang Hui. Mereka adalah ahli-ahli renang yang pandai, maka mereka dengan mudah dapat menarik kaki kedua orang wanita itu dari bawah dan dalam pergulatan ini kedua orang wanita perkasa itu kehilangan senjata pedang dan cambuk mereka, akan tetapi mereka berhasil membunuh dua orang pengeroyok. Biarpun demikian, mereka tidak mampu melepaskan pegangan tangan dua orang pada kaki mereka yang menarik mereka kebawah

sehingga terpaksa mereka gelagapan minum air telaga yang kotor!

"Cepat, kita harus menolong mereka!" teriak Im-yang Seng-cu yang tadi muncul bersama Suma Hoat. Orang aneh bertelanjang kaki ini sudah melontarkan tongkatnya, tubuhnya menyusul melayang seperti seekor burung terbang dan kakinya hinggap diatas tongkatnya yang melintang dan mengambang diatas rumput dekat tempat kedua orang wanita itu tenggelam. Juga Suma Hoat sudah melontarkan sepotong kayu yang didapatnya di situ, meniru perbuatan kawannya melompat. Sekali menggerakkan tangan mereka

sudah berhasil membunuh dua orang yang berusaha menenggelamkan dua orang wanita itu, kemudian mereka menarik tangan Siang Hui dan Siang Kui. Namun berat tubuh dua orang terlalu banyak untuk dapat ditahan oleh hanya sebatang tongkat dan kayu, maka sambil menarik mereka terus melontarkan tubuh Siang Kui dan Siang Hui kedepan, kearah tepi diseberang yang lebih dekat. Siang Kui dan Siang Hui yang sudah kehilangan senjata, meluncur kedepan dan mereka berjungkir-balik diudara untuk menambah tenaga luncuran sehingga mereka dapat turun ketepi seberang padang rumput dengan selamat. Dengan kemarahan meluap-luap mereka tidak sempat berterima kasih kepada keponakan mereka yang tadinya mereka benci itu, melainkan terus mengejar bayangan Hoat Bhok Lama yang berlari kedepan sambil tertawa-tawa. Kakek itu lari mendekati sebuah gunung batu karang disebelah depan. Melihat kenekatan kedua orang bibinya, Suma Hoat menjadi khawatir sekali. Dia dan Im-yang Seng-cu baru saja tiba ditempat itu dan hampir mereka terlambat menolong Siang Kui dan Siang Hui. "Monyet tua itu lihai dan licik sekali, kita harus membantu bibimu!" Im-yang Seng-cu berkata, "Aku harus membawa senjataku, lontarkan aku kesana!" Suma Hoat mengangguk, lalu ia memegang lengan kanannya dan mengerahkan sin-kang melemparkan tubuh kawan itu keseberang depan. Im-yang Seng-cu menjepit tongkatnya dengan jari kaki yang telanjang dan dia pun mengerahkan gin-kangnya untuk membantu tenaga lontaran Suma Hoat. Pemuda tampan ini sampai amblas kedua kakinya yang menginjak kayu ketika melontarkan tubuh kawannya, kemudian ia menggunakan kayu itu sebagai perahu untuk menyusup diantara rumput hijau menuju keseberang. Hoat Bhok Lama tadinya tertawa-tawa menanti dua orang wanita yang sudah tidak memegang senjata. Dia merasa yakin kini akan dapat menawan mereka, akan tetapi ketika ia melihat dua orang laki-laki muda yang lihai itu juga mengejar, cepat kakek ini mengeluarkan suara melengking panjang untuk memberi isyarat kepada anak buahnya. Pada saat Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat tiba diseberang padang rumput atau telaga yang tertutup rumput itu, dari atas puncak gunung karang tampak datang banyak orang anak buah Beng-kauw yang menjadi kaki tangan Hoat Bhok Lama. Melihat ini Suma Hoat berteriak, "Harap Bibi berdua hadapi tikus-tikus dari atas itu. Serahkan monyet tua ini kepada kami!"

Sekali ini Siang Kui dan Siang Hui tidak membantah. Diam-diam mereka merasa berbesar hati bahwa keponakan mereka itu agaknya telah insyaf dan kini datang bersama seorang bertelanjang kaki yang kelihatan juga lihai sekali untuk membantu mereka menghadapi pendeta Lama yang menyelewengkan Beng-kauw. Mereka juga tahu diri, maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi Hoat Bhok Lama, apalagi setelah mereka kehilangan senjata mereka. Maka mereka hanya mengangguk dengan pandang mata bersyukur, kemudian mereka lari naik menyambut rombongan anak buah Hoat Bhok Lama. Dengan beberapa kali loncatan Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu sudah berhadapan dengan Hoat Bhok Lama yang sudah menanti dengan sepasang gembreng ditangan dan sepasang mata yang memandang ringan, mulutnya menyeringai menyambut dua orang muda itu dengan ucapan memuji, "Wah, kepandaian kalian boleh juga! Siapakah kalian orang-orang muda yang berani menentang Ketua Beng-kauw?"

Suma Hoat tidak mau menjawab dan sudah akan menerjang maju, akan tetapi Im-yang Seng-cu tertawa menjawab, "Anak buah Beng-kauw yang kaupimpin adalah penyeleweng-penyeleweng dan engkau adalah seorang ketua palsu, Hoat Bhok Lama! Karena itu maka hari ini aku, Im-yang Seng-cu dan sahabat kentalku ini, Jai-hwa-sian sengaja datang untuk melenyapkan yang palsu membangun yang aseli. Bagaimana?"

Hoat Bhok La ma menjadi merah mukanya dan alisnya berkerut. "Hemmm, seingatku, nama julukan Jai-hwa-san dimiliki seorang yang rendah hati menggolongkan diri sebagai kaum sesat dan hitam, juga Im-yang Seng-cu kabarnya adalah seorang pelarian yang murtad dari Hoa-san-pai, jadi juga tidak tergolong kaum bersih. Mengapa kini berlagak seperti orang-orang bersih yang sombong dan hendak menentang golongan sendiri? Sebaiknya Ji-wi membantu kami dan Ji-wi akan menikmati hidup ini, apalagi Jai-hwa-sian, ingin mendapatkan gadis yang betapa cantik pun tidak usah repot-repot mencari sendiri. Bagaimana?"

Mereka saling pandang, kemudian Im-yang Seng-cu tertawa, "Ha-ha-ha-ha! Usulmu memang adil dan baik sekali. Kami bukan hendak mengaku-aku orang baik-baik dan orang suci! Memang kami akui bahwa Jai-hwa-sian dan Im-yang Seng-cu bukan manusia suci, namun kami tidak pernah menyembunyikan diri dibalik jubah pendeta merah dan dibawah kepala gundul! Diantara kami dengan engkau jelas terdapat perbedaan yang mencolok, Hoat Bhok Lama. Kami kotor akan tetapi tidaklah palsu seperti engkau! Kalau sekarang engkau suka berlutut minta ampun kepada dua orang keturunan Beng-kauw asli itu dan menyerahkan kembali anak buahmu yang sudah kaubawa menyeleweng, kemudian kau membiarkan aku mengetuk kepalamu yang gundul sampai benjol-benjol, kemudian kau membiarkan rambut kepalamu tumbuh dan mengganti baju pendetamu, nah, kalau begitu mungkin kami mau mengampunkan engkau!"

"Manusia sombong! Makanlah gembrengku seorang satu!" bentak Hoat Bhok Lama yang menjadi marah sekali dan menyerang kedepan, kedua gembrengnya sebelum menyerang saling beradu sehingga terdengar suara yang menggetarkan jantung menulikan telinga, kemudian tampak sinar kuning menyambar kearah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.

"Cringgg! Tranggg!" Pedang ditangan Suma Hoat dan tongkat di tangan Im-yang Seng-cu menangkis. Dua orang muda perkasa itu terdorong mundur tanda bahwa tenaga sin-kang kakek itu benar-benar amat hebat, mereka terkejut dan balas menyerang, maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan dalam sekejap mata saja lenyaplah bayangan mereka bertiga, terbungkus oleh sinar senjata masing-masing. Dua gulungan sinar kuning dari sepasang gembreng Hoat Bhok Lama saling belit dengan sinar putih pedang Suma Hoat dan sinar hijau tongkat Im-yang Seng-cu! Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung dari Thai-lek Kauw-ong yang mempunyai dua orang murid. Murid kedua adalah Pat-jiu Sin-kauw yang pernah bentrok dengan dua orang muda itu ketika mereka menyerbu tempat Coa-beng-cu, ketua perkumpulan hitam dipantai Po-hai dahulu. Namun dibandingkan dengan Hoat Bhok Lama kepandaian Pat-jiu Sin-kauw masih terlalu rendah karena murid pertama ini benar-benar telah mewarisi kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang hebat. Setelah kini bertanding mati-matian, tahulah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat bahwa tingkat mereka masih kalah oleh Ketua Beng-kauw palsu ini, maka mereka mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengimbangi gerakan sepasang gembreng yang benar-benar dahsyat sekali itu. Andaikata mereka berdua itu maju satu lawan satu pasti mereka akan kalah, akan tetapi karena mereka itu maju berdua dan diantara mereka terdapat kecocokan hati dan perasaan persahabatan yang mendalam sehingga gerakan mereka pun dapat saling melindungi, repot juga bagi Hoat Bhok Lama untuk dapat mendesak kedua orang pengeroyoknya yang jauh lebih muda. Apalagi selama ini Hoat Bhok Lama terlalu banyak membuang tenaga untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita muda yang menjadi tawanannya sehingga tenaga sin-kangnya banyak berkurang, juga daya tahan dan napasnya. Untung baginya bahwa Suma Hoat tidak dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu karena pemuda perkasa ini membagi perhatiannya kepada kedua orang bibinya yang sudah bertempur dikeroyok banyak orang anak buah Beng-kauw yang menyeleweng. Pertandingan di dekat puncak gunung karang itu lebih seru lagi. Dua puluh orang lebih pembantu-pembantu Hoat Bhok Lama yang memegang bermacam senjata mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui yang mengamuk seperti dua ekor singa betina yang marah. Biarpun tingkat kepandaian para pembantu ketua palsu itu tidak setinggi tingkat mereka, namun mereka berdua bertangan kosong dan mereka dikeroyok dan dikepung ketat. Siang Kui dan Siang Hui mengamuk, merobohkan enam orang, namun muncul pula beberapa orang lagi sehingga para pengeroyoknya tetap berjumlah dua puluh orang lebih. Sambil memutar pedang melindungi tubuh dari sambaran sinar kuning yang bergulung-gulung, Suma Hoat  seringkali melirik keatas. Dia melihat betapa kedua orang bibinya mengamuk dan kini para pengeroyok itu makin mundur menuju kepuncak gunung karang dikejar oleh kedua bibinya. Ia merasa tidak enak sekali, mengingat betapa licik mereka ini dan betapa berbahayanya tempat itu, penuh jebakan. "Bibi berdua, harap jangan mengejar mereka....!" Ia berteriak, akan tetapi teriakannya itu sia-sia belaka karena Siang Kui dan Siang Hui yang sudah berhasil merobohkan banyak musuh dan kini melihat anak buah Beng-kauw palsu itu mundur tentu saja tidak mau melepaskan mereka dan berniat untuk membasmi sampai keakar-akarnya. Apalagi karena mereka kini memperoleh kesempatan baik sekali selagi Hoat Bhok Lama yang amat lihai itu sibuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda perkasa. Enci adik ini mengejar terus dan merobohkan banyak anak buah musuh yang melarikan diri kepuncak gunung karang. Ketika sisa anak buah Beng-kauw itu tiba dibawah puncak, tiba-tiba mereka lenyap seperti ditelan jurang. Dua orang wanita perkasa itu melompat jauh dan setibanya dibawah puncak mereka memandang kekanan kiri, mencari-cari. "Bibi.... awaaasss....!" Masih terdengar teriakan Suma Hoat jauh di bawah dan tiba-tiba tanah batu yang mereka injak tergetar hebat! Siang Kui dan Siang Hui terkejut sekali. Getaran makin menghebat disertai suara bergemuruh seolah-olah gunung itu akan meletus!

"Moi-moi, turun....!" Siang Kui berseru keras. Hampir berbareng mereka membalik dan hendak meloncat turun melalui jalan mereka mengejar naik tadi. Akan tetapi mata mereka terbelalak dan tubuh mereka berdiri kaku memandang kedepan. Batu-batu besar yang mereka lalui tadi kini telah merekah pecah membentuk jurang menganga lebar dan kini puncak gunung batu itu runtuh kebawah! Mula-mula hanya batu-batu kecil lalu disusul batu-batu sebesar kerbau bahkan batu-batu sebesar rumah bergulingan kebawah. "Cici....!" Siang Hui menjerit. Mereka berusaha mengelak, akan tetapi mana mungkin menghindarkan diri dari hujan batu yang sedemikian banyaknya?

Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu menyaksikan malapetaka mengerikan itu. Suma Hoat menjadi nekat. Dengan gerengan seperti seekor singa dia menubruk maju, menerima gembreng kanan lawan dengan telapak tangan kiri sedangkan pedangnya membacok kearah kepala yang ditangkis oleh Hoat Bhok Lama dengan gembreng kiri. Saat itu, tongkat Im-yang Seng-cu bergerak dan memang inilah yang dihendaki Suma Hoat, yaitu membuat sepasang senjata lawan sibuk menghadapinya, agar temannya dapat turun tangan. "Desss!" Biarpun Hoat Bhok Lama dapat menyelamatkan kepala dan lehernya, namun tetap saja pundaknya kena hantaman tongkat Im-yang Seng-cu sehingga ia terlempar kebelakang dan terhuyung-huyung, akan tetapi Suma Hoat juga mengeluh dan roboh miring. Hoat Bhok Lama tertawa bergelak lalu berloncatan pergi menghilang. Im-yang Seng-cu tidak berani mengejar ketika melihat temannya terluka. Dia berlutut dan bertanya, "Bagaimana?"

Suma Hoat menyeringai dan menarik napas panjang. Tangan kirinya, dari telapak tangan sampai kesiku, berwarna biru karena tadi ketika ia menahan gembreng dia kalah tenaga sehingga hawa sin-kang lawan yang mendesaknya membuat lengannya terluka dan kemasukan hawa beracun. Akan tetapi Suma Hoat tidak mempedulikan diri sendiri, matanya memandang kearah puncak, kedua matanya berlinang air mata, kemudian dengan nekat ia meloncat bangun dan berlari mendaki pundak yang kini sudah tidak berguncang lagi. Batu-batu dari puncak telah menutup tempat dimana Siang Kui dan Siang Hui berdiri, ribuan bongkah batu besar yang membentuk puncak baru.

"Bibi....! Bibi....!" Suma Hoat sudah menyarungkan pedangnya dan tanpa mempedulikan lengan kirinya yang sudah biru itu dia mulai membongkar batu-batu besar seperti kelakuan seorang gila. "Sabar dan tenanglah, sahabatku. Bagaimana mungkin kita

membongkar batu-batu sebanyak dan sebesar ini?" Im-yang Seng-cu menghibur akan tetapi ia pun ikut membantu kawannya membongkar batu-batu. Suma Hoat tidak menjawab dan tidak mempedulikan kawannya, melainkan terus membongkar batu-batu itu sambil memanggil-manggil kedua orang bibinya.

"Bibi....! Tiba-tiba Suma Hoat melemparkan sebuah batu besar dan Im-yang Seng-cu juga memandang terbelalak ketika tampak pakaian orang di bawah batu itu. Suma Hoat mengulur tangan menangkap lengan orang itu. "Bi....!" Akan tetapi ia berhenti memanggil dan meloncat kebelakang ketika melihat bahwa orang dibawah batu itu sama sekali bukan bibinya, bahkan kini tampak bergerak-gerak dan muncullah sebuah kepala seorang kakek tua, kepala yang botak dan amat besar, dengan mata melotot dan mulut tersenyum-senyum!

Melihat kakek yang kepalanya besar ini, Im-yang Seng-cu segera mengayun tongkatnya tepat mengenai kepala yang rambutnya jarang itu dengan keras sekali. "Takkk!" Akan tetapi tongkatnya terpental dan Im-yang Seng-cu merasa betapa kedua telapak tangannya nyeri bukan main seolah-olah bukan kepala orang yang dihantamnya tadi melainkan kepala terbuat dari baja murni.

Kakek itu mengejapkan matanya, kemudian tubuhnya digoyang dan dia terlepas dari himpitan batu-batu, meloncat bangun. Kiranya kakek ini bertubuh pendek cebol, tubuh seperti anak kecil akan tetapi kepalanya lebih besar daripada kepala orang dewasa yang manapun juga! "Monyet, kau orangnya Hoat Bhok Lama, ya?" Tangannya terulur dan angin dorongan yang keras membuat Im-yang Seng-cu roboh terguling sungguhpun dia telah mengerahkan sin-kang menahan. Tentu saja dia terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil melintangkan tongkat didepan dada siap bertanding.  "Jangan, Locianpwe! Dia sahabatku, malah memusuhi Hoat Bhok Lama!" Suma Hoat yang dapat mengerti bahwa kakek itu amat sakti segera berkata.

"Heh-heh-heh, kalau aku tidak tahu, apakah dia dapat bangun lagi? Ha-ha-ha, Hoat Bhok Lama benar kurang ajar, dan kalau tidak ada kau orang muda yang membongkar batu, kiranya aku si tua bangka akan mampus." Kakek yang bertubuh kecil dan berkepala besar itu tertawa bergelak sampai keluar air matanya!

Tiba-tiba Im-yang Seng-cu menghampiri kakek itu dan menjura penuh hormat sambil berkata, "Mohon Locianpwe mengampuni boanpwe yang seperti buta tidak mengenal Locianpwe Bu-tek Lo-jin."

Mendengar disebutnya nama itu, Suma Hoat terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak. Didalam perantauannya, pernah ia mendengar akan nama orang-orang sakti seperti dewa yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah lenyap dari dunia ramai, orang-orang seperti Bu Kek Siansu dan kedua adalah Bu-tek Lo-jin. Teringatlah ia akan ciri-ciri orang aneh ini, bertubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar. Pantas saja pukulan tongkat Im-yang Seng-cu yang amat dahsyat pada kepala kakek ini seperti tidak terasa tadi, kiranya kakek ini adalah orang yang memiliki kesaktian yang kabarnya seperti dewa itu! Maka ia pun cepat memberi hormat didepan kakek itu. Kakek itu memang benar Bu-tek Lo-jin, seorang yang sudah amat tua usianya dan sudah puluhan tahun tidak pernah terdengar lagi muncul didunia ramai. Di dalam cerita "Mutiara Hitam" kakek yang sakti dan berwatak aneh ini muncul, bahkan menjadi guru pendekar Pek-kong-to Tang Hauw Lam, suami dari pendekar wanita Mutiara Hitam. Kakek Bu-tek Lo-jin ini pulalah yang mengunjungi Khitan dan mengadakan pelamaran atas diri Mutiara Hitam sebagai wali muridnya itu. Biarpun hanya beberapa bulan saja Tang Hauw Lam menerima petunjuk dari kakek ini, namun kakek itu telah menurunkan ilmu yang dahsyat-dahsyat dan membuat pendekar itu makin terkenal. Setelah Tang Hauw Lam menikah dengan Mutiara Hitam, kakek yang aneh watak dan bentuk tubuhnya ini lalu menghilang dan tidak pernah terdengar lagi sepak terjangnya yang aneh-aneh. Karena itu, dapat dibayangkan betapa keget dan heran hati

Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat ketika tanpa disangka-sangka mereka bertemu dengan kakek sakti ini secara demikian luar biasa! "Ha-ha-ho-ho-ho! Engkau sudah mengemplang kepalaku satu kali, akan tetapi engkau bermata tajam dapat mengenalku, berarti sudah lunas! Kulihat gerakanmu tadi seperti ilmu dari Hoa-san. Eh, bocah tak bersepatu seperti aku, siapakah sih engkau ini? Dan kau ini, bocah yang bertulang baik dan telah menyelamatkan aku dari himpitan batu-batu, kau siapa?"

Suma Hoat cepat menjawab, "Dia itu adalah sahabat saya yang terkenal dengan sebutan Im-yang Seng-cu, bekas tokoh Hoa-san-pai. Adapun saya sendiri.... saya bernama Suma Hoat...."

"Heh-heh-heh! Im-yang Seng-cu? Nama sebutan yang bagus. Dan kau she Suma? Hemm, kau berjodoh denganku. Eh, Suma Hoat, coba kauserang dengan seluruh kepandaian yang kaumiliki!"

Tentu saja Suma Hoat terbelalak heran. Dia teringat akan kedua bibinya, maka dia menjatuhkan diri berlutut didepan kakek itu dan berkata, "Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu. Sesungguhnya teecu ingin membongkar batu-batu ini untuk menolong kedua orang bibi teecu yang tertimbun batu." Setelah berkata demikian, kembali Suma Hoat membongkar batu-batu itu.

"Hayaaaa....! Jadi mereka itu tadi bibi-bibimu? Percuma, siapa dapat menyelamatkan dua orang wanita yang terhimpit batu-batu begini banyak? Mereka telah tewas dan mengapa masih harus mengganggu jenazah mereka yang sudah baik-baik terkubur seperti ini? Jarang ada orang mati dapat dikubur sehebat ini! Apakah engkau bersusah payah membongkar batu-batu ini hanya untuk menyaksikan tubuh mereka yang tentu sudah hancur?"

"Bu-tek Locianpwe benar sekali, sahabatku. Daripada membuang waktu membongkar batu yang tidak akan dapat menolong kedua orang bibimu, lebih baik kita mencari Hoat Bhok Lama dan membalas kematian kedua orang bibimu," kata Im-yang Seng-cu.

Ucapan ini menyadarkan Suma Hoat. Dia meloncat bangun, pandang matanya beringas. "Kau betul! Mari kita kejar dia!"

"Heitt, nanti dulu!" Bu-tek Lo-jin berseru dan tampak bayangan berkelebat, tahu-tahu tubuhnya yang kecil sudah berdiri didepan Suma Hoat. "Aku tadi sudah merasakan gebukan tongkat Si Kaki Telanjang akan tetapi aku belum melihat kepandaianmu. Dengan kepandaian seperti yang dimiliki Si Kaki Telanjang, bagaimana mungkin melawan Si Gundul Jubah Merah? Apalagi, setelah aku bebas, Si Gundul busuk itu dapat berlari kemanakah? Hayo Suma Hoat, kauseranglah aku!"

Suma Hoat kelihatan ragu-ragu, akan tetapi Im-yang Seng-cu cepat berkata, suaranya terdengar gembira, "Suma Hoat, mengapa kau begini bodoh dan tidak cepat-cepat mentaati perintah gurumu?"

Tentu saja Suma Hoat tidak bodoh, bahkan dia cerdik sekali. Kalau tadi dia kurang perhatian adalah karena hatinya berduka oleh kematian kedua bibinya, dan marah kepada Hoat Bhok Lama. Kini ia teringat betapa besar untungnya kalau dia bisa menjadi murid orang sakti ini, maka biarpun lengan kirinya terasa nyeri, dia memasang kuda-kuda dan berkata, "Baik, teecu mentaati perintah Locianpwe. Teccu menyerang!" Tubuhnya sudah menerjang maju, kedua kakinya melakukan gerakan aneh dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya, angin menyambar kearah leher dan pusar kakek itu.

"Cuss! Cusss!"

"Heiiihhh! Dari mana engkau memperoleh ilmu setan ini?" Bu-tek Lo-jin berteriak sambil membelalakkan kedua matanya, mengelus-elus leher dan perut yang tadi tercium ujung jari tangan Suma Hoat. Pemuda ini sendiri sudah terhuyung kesamping dengan kaget sekali. Ketika ia menotok tadi, jari tangannya seperti menotok air saja, bahkan tenaga sin-kangnya seperti terbanting membuat ia terpelanting ketika dari tubuh kakek itu timbul hawa mujijat yang melawannya. Maklum betapa saktinya kakek aneh ini, Suma Hoat menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu mohon petunjuk."

Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya yang tebal putih. "Didunia gila ini banyak sudah kulihat dan temui orang-orang gila yang memiliki kepandaian seperti setan. Biarpun mereka semua sekarang telah menjadi setan-setan, entah dineraka, entah dimana, akan tetapi mengenang kepandaian mereka, aku masih bergidik. Pek-kek Sin-ong dan Lam-kek Sin-ong memiliki ilmu kepandaian istimewa, tidak perlu bicara lagi tentang ilmu kepandaian Suling Emas dan keturunan-keturunannya. Dahulu, diempat penjuru dunia terdapat datuk-datuk golongan hitam yang seperti raja-raja kejahatan, mereka adalah Bu-tek Siu-lam dari barat, Thai-lek Kauw-ong dari timur, Jin-cam Khoa-ong dari utara, dan Siauw-bin Lo-mo dari selatan. Namun mereka semua itu masih tidak mampu menandingi kedahsyatan, kegilaan dan keseraman adik Suling Emas yang telah menjadi murid iblis-iblis sendiri, bernama Kam Sian Eng. Heh, orang muda, gerakan kakimu tadi bukankah dari Cap-sha Seng-keng, dan serangan tanganmu yang aneh tadi mirip Im-yang-tiam-hoat? Padahal dua ilmu itu dahulu milik Kam Sian Eng si wanita iblis!"

"Beliau adalah nenek teecu!" Suma Hoat berkata.

"Aihhhh! Pantas.... pantas....!" Kakek yang sudah tua sekali itu berloncatan seperti seorang anak kecil. "Dia memang mempunyai seorang putera Suma Kiat yang licik dan jahat sekali, jadi dia...."

"Dia adalah ayah teecu!" Suma Hoat berkata cepat, suaranya keras karena ia merasa mengkal sekali, sungguhpun ia tidak dapat membantah akan kebenaran kata-kata kakek ini.

"Ha-ha-ha-ha! Besar sekali untungku! Pernah aku mengambil murid calon suami Mutiara Hitam sekarang aku mengambil murid seorang keturunan keluarga Suling Emas, biarpun dari keluarga yang gila dan jahat. Eh Suma Hoat, didalam dirimu engkau condong kepada yang jahat atau yang baik?"

"Tentu saja yang baik, Locianpwe!"

Im-yang Seng-cu mendengarkan percakapan itu penuh perhatian dan diam-diam ia merasa terharu mendengar pengakuan sahabatnya. Dia pun percaya bahwa sebetulnya sahabatnya yang berjuluk jai-hwa-sian itu tidaklah memiliki dasar watak yang jahat, memiliki sebuah penyakit yang ditimbulkan oleh dendam kebencian terhadap wanita sehingga terciptalah dorongan nafsu birahi yang tidak wajar disamping kekejaman yang amat mengerikan terhadap kaum wanita. Bu-tek Lo-jin memandang dengan matanya yang tua dan mulut yang tak bergigi lagi. "Heh-heh, kalau engkau mengerti yang baik, coba terangkan, apakah kebaikan itu?"

Tanpa ragu-ragu Suma Hoat menjawab, "Apa yang baik menurut perasaan hati teecu, itulah baik bagi teecu!"

Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya dan menganggap betapa piciknya jawaban sahabatnya itu. Akan tetapi Bu-tek Lo-jin tertawa bergelak sampai keluar air matanya. "Huah-ha-ha-hah, berbahaya sekali! Perasaan hati dapat dikuasai nafsu sehingga bukanlah hati yang murni yang akan diturut, melainkan nafsu. Akan tetapi, setidaknya engkau jujur, muridku. Mengaku apa adanya, tanpa ditutupi kepalsuan. Bagiku, masih lebih kuhargai seorang penjahat yang mengaku dirinya jahat daripada seorang baik yang menyombongkan kebaikannya. Nah, mulai sekarang engkau menjadi muridku yang bungsu, murid terakhir sebelum aku lenyap ditelan maut. Engkau siap menerima warisan ilmu-ilmuku?"

"Teecu siap, Suhu."

"Nah, kalau begitu, mari kauikut aku pergi dari tempat ini!"

Kakek aneh itu bangkit dan Suma Hoat juga bangkit berdiri. "Heii, nanti dulu, Suma Hoat! Apakah kau lupa untuk membalaskan kematian kedua orang bibimu?" Im-yang Seng-cu menegur.

Suma Hoat memandang gurunya. "Suhu, teecu harus membunuh Hoat Bhok Lama dan membasmi Beng-kauw palsu yang mereka rampas dari tangan kedua bibi teecu yang telah tewas. Setelah itu baru teecu akan mengikuti Suhu"

Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya. "Mengapa kau hendak membunuhnya? Untuk membalas dendam kematian kedua bibimu?"

Suma Hoat yang cerdik itu ternyata sedikit banyak telah dapat menyelami dan mengenal watak gurunya yang amat aneh itu. Ia menggeleng kepala dan menjawab, "Sebagai murid, teecu harus mencontoh Suhu. Suhu sama sekali tidak mendendam kepada Hoat Bhok Lama padahal Suhu dicelakainya. Tidak, teecu bukan hendak membunuhnya karena dendam, melainkan karena teecu harus memberantas kejahatan yang dilakukan Hoat Bhok Lama dan anak buahnya. Teecu harus menolong dan melindungi orang-orang dari

ancaman perbuatan jahat mereka."

Kembali kakek itu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Pikiran keruh, pendapat yang kacau-balau. Siapakah engkau ini yang dapat memberantas kejahatan yang dilakukan orang-orang? Siapakah engkau ini yang dapat menolong dan melindungi orang-orang? Khayalan kosong melompong! Akan tetapi selama ucapan dan perbuatanmu sejalan dengan isi hatimu, engkau jujur dan tulen. Hayolah, aku pun ingin sekali mengetuk satu kali kepala Hoat Bhok Lama yang botak, ha-ha-ha!"

Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin yang masih tertawa-tawa itu menyambar lengan Suma Hoat, meloncat dan sekali berkelebat tubuhnya dan tubuh murid barunya lenyap dibalik tumpukan batu-batu yang longsor dari puncak tadi. Im-yang Seng-cu menarik napas panjang. Dia merasa senang sekali bahwa sahabatnya telah menjadi murid kakek aneh itu. Dia tidak merasa iri hati, karena dia sendiri tidak mempunyai keinginan menjadi murid siapapun juga, bahkan dia telah melepaskan diri dari ikatan Hoa-san-pai. Im-yang Seng-cu adalah seorang yang ingin bebas, tidak mau terikat oleh peraturan, tidak mau mencontoh guru yang sudah dicetak untuk murid, ingin hidup bebas lahir batin. Akan tetapi, didalam hatinya, terdapat rasa simpati yang besar terhadap Jai-hwa-sian Suma Hoat, perasaan yang timbul diluar kesadarannya. Dia merasa kasihan kepada Suma Hoat, maka kini merasa girang bahwa sahabatnya itu menjadi murid seorang pandai.

Dengan hati tegang Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan tempat itu, menyusul guru dan murid itu yang ia tahu tentulah mencari Hoat Bhok Lama disarangnya. Karena puncak gunung batu karang itu runtuh, perjalanan menuruni tempat itu sukar sekali. Terbentuk puncak-puncak tumpukan batu baru, dan goncangan tadi membuat banyak tanah batu merekah menjadi jurang-jurang yang amat curam. Im-yang Seng-cu berjalan hati-hati menuju kebangunan yang dikelillngl pagar tembok tinggi. Menjelang senja barulah ia sampai didepan pintu gerbang dan dia merasa heran bukan main menyaksikan keadaan markas Beng-kauw yang amat sunyi itu. Tidak nampak penjaga didepan pintu dan ketika ia melangkah maju dengan hati-hati karena maklum bahwa markas besar Beng-kauw ini mempunyai banyak alat-alat rahasia dan jebakan berbahaya, melongok kedalam, ia menjadi makin terheran. Biarpun terasa amat sunyi karena tidak ada suara, namun disebelah dalam benteng itu tampak kesibukan orang-orang.

Im-yang Seng-cu menggerakkan tubuhnya, melesat kedalam melalui pintu gerbang yang terbuka lebar. Kini tampaklah olehnya betapa orang-orang itu sibuk mengangkuti mayat-mayat manusia yang malang-melintang ditempat itu termasuk mayat Hoat Bhok Lama dan para pembantunya. Ketika melihat mayat Hoat Bhok Lama diangkat, Im-yang Seng-cu mendapat kenyataan bahwa mayat itu tidak kelihatan terluka, tidak mengeluarkan darah, hanya ada tanda biru diubun-ubun kepalanya yang gundul. Im-yang Seng-cu bergidik dan teringat suara Bu-tek Lo-jin yang ingin mengetuk satu kali kepala yang gundul itu!

Ketika orang-orang yang bekerja dengan sunyi itu melihat munculnya Im-yang Seng-cu, mereka memandang dengan khawatir, bahkan seorang diantara mereka yang agaknya memimpin pekerjaan mengurus mayat-mayat itu, seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, cepat menghampiri Im-yang Seng-cu, menjura dengan penuh hormat dan berkata, "Harap Taihiap tidak turun tangan mengganggu kami yang hanya menaati perintah Bu-tek Locianpwe dan Suma Taihiap."

Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk kagum, maklum betapa dalam waktu singkat sahabatnya dan gurunya yang luar biasa itu telah dapat membereskan Beng-kauw, membunuh Hoat Bhok Lama dan para pembantunya dan menundukkan anak buahnya.

"Apa yang telah terjadi?" tanyanya. Orang itu memandang tajam, agaknya terheran mendengar ucapan pendekar kaki telanjang ini. "Bukankah Taihiap sahabat baik Suma-taihiap dan datang bersama dia?"

"Benar, akan tetapi aku tertinggal disana. Harap kauceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, dan mengapa pula Bu-tek Locianpwe dapat muncul ditempat ini."

Orang itu menarik napas panjang, kemudian setelah memandang Im-yang Seng-cu beberapa lama, ia berkata, "Taihiap adalah Im-yang Seng-cu seperti yang dikatakan Suma-taihiap, sudah sepatutnya mendengar semua keadaan kami. Marilah kita bicara didalam dan saya akan menceritakan semuanya."

Im-yang Seng-cu mengikuti orang itu memasuki sebuah bangunan yang cukup mewah dan setelah duduk menghadapi meja dan diberi suguhan arak, dia mendengarkan penuturan Lauw Kian, orang itu yang dahulunya seorang anggota Beng-kauw tulen yang sudah memiliki kedudukan lumayan tingginya.

"Ketika Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya mula-mula menyerbu Beng-kauw, kami pihak Beng-kauw melakukan perlawanan mati-matian. Dalam perlawanan ini, satu demi satu gugurlah para pimpinan kami, bahkan tokoh tertua yang kami andalkan, Kauw Bian Cinjin, gugur pula ditangan Hoat Bhok Lama. Sampai habis semua pimpinan kami tingkat tinggi, dan hanya kedua orang Kam-toanio kakak beradik saja yang masih sempat meloloskan diri. Kami, termasuk saya yang sejak muda menjadi anggauta Beng-kauw yang setia, tadinya bertekad untuk melakukan perlawanan sampai mati. Akan tetapi, kemudian tertarik oleh bujukan-bujukan Hoat Bhok Lama, pelajaran-pelajaran ilmu silat tinggi dan kebatinan sehingga akhirnya kami sampai terpikat dan terbujuk pula. Antara lain, Hoat Bhok Lama mengatakan bahwa Agama Beng-kauw adalah Agama Terang yang semenjak dahulu memerangi Gelap dan bahwa keturunan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri Beng-kauw di Nan-cao, telah menyelewengkan pelajaran Beng-kauw yang sejati!"

"Hemm, agaknya Hoat Bhok Lama mengerti benar akan pelajaran Beng-kauw," kata Im-yang Seng-cu. "Apa saja yang dikatakannya mengenai penyelewengan itu?"

Lauw Kian lalu bercerita. Menurut pelajaran Hoat Bhok Lama yang disebarkan kepada semua bekas pengurus dan anggauta Beng-kauw, Agama Beng-kauw atau Agama Terang (Manichaeism) didirikan oleh Guru Besar Mani. Terang adalah lambang kebaikan dan Gelap adalah lambang kejahatan. Pelajarannya adalah untuk menyelamatkan Terang dari selubungan Kegelapan. Jadi menurut pelajaran agama ini, terdapat dua kerajaan dialam semesta ini, yaitu Kerajaan Terang dan Kerajaan Gelap yang saling berlawanan. Setan menjadi raja dari kegelapan. Manusia adalah ciptaan Setan, demikian menurut Hoat Bhok Lama, karena itu selalu diliputi kegelapan atau kejahatan. Dan Agama Beng-kauw merupakan pelajaran dari Sang Duta Terang, yaitu Guru Besar Mani, pendirinya. Dongeng yang menjadi pegangan para penganut Beng-kauw ini memang sama dengan yang dijelaskan oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Letak perbedaannya adalah bahwa kalau Liu Gan mengajarkan bahwa para penganutnya harus mengenyahkan kegelapan, mengenyahkan kejahatan dengan pantangan-pantangan, sebaliknya Hoat Bhok Lama tidak mengadakan pantangan, bahkan mengajarkan anak buahnya untuk memasuki kegelapan!

"Betapa mungkin kita dapat mengalahkan musuh tanpa menyelidiki keadaan musuh itu sendiri, tanpa mengetahui kekuatan-kekuatannya dan kelemahan-kelemahannya? Dan untuk dapat mengetahui keadaan musuh melalui penyelidikan, kita harus terjun kedalamnya! Kita lahir dari kegelapan, setelah kita sadar dan mendapat sinar terang untuk melawan kegelapan itu sendiri, kita harus benar-benar memahami apakah itu kegelapan, apakah itu kejahatan, apakah itu kekuasaan nafsu. Untuk menyelidiki kekuasaan nafsu, jalan satu-satunya hanyalah menuruti dorongan itu sendiri! Setelah kita mengenal betul sifat-sifat nafsu dalam diri kita, tidak akan sukar lagi untuk menundukkannya!"

Demikianlah bujukan dan pelajaran yang disebar oleh Hoat Bhok Lama, dan sudah lajimnya manusia yang lemah lebih suka menganut sesuatu yang menyenangkan hati dan badan daripada menganut pelajaran yang sukar dan tidak menyenangkan hati dan badan. Mengekang nafsu merupakan hal yang sukar dan tidak mendatangkan nikmat kepada tubuh, sebaliknya mengumbar nafsu mendatangkan nikmat jasmani. Tentu saja pelajaran macam itu segera mendapat minat yang besar sekali dari para bekas anggauta Beng-kauw sehingga banyak di antara mereka yang tunduk dan mengakui Hoat Bhok Lama sebagai seorang ketua baru yang jauh lebih "bijaksana" daripada para bekas pengurus lama. Apalagi disamping itu sudah menjadi kenyataan bahwa Hoat Bhok Lama memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga mereka makin tertarik untuk dapat mempelajari ilmu-ilmu tinggi dari pendeta Lama itu.

Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk mendengar penuturan itu dan diam-diam ia menarik napas panjang. Dia masih belum tua namun sudah banyak sekali mengalami hal-hal aneh didunia ini yang membuat pandangannya cukup luas. Dimana-mana ia melihat kegagalan usaha para tokoh agama apapun juga dalam perjuangan mereka mendatangkan damai dan bahagia bagi manusia seluruhnya. Kegagalan itu seluruhnya terletak kepada kelemahan manusia yang biarpun dengan akal budi dan pikirannya dapat menerima inti pelajaran untuk hidup sebagai manusia yang baik, namun jasmaninya terlalu kuat sedangkan hatinya terlalu lemah untuk menentang nafsu badani sendiri sehingga terjadilah pertentangan yang amat menyedihkan. Pertentangan antara hati nurani sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang terdorong oleh nafsu pribadi, yang biasanya sering kali dimenangkan oleh nafsu. Inilah sebabnya mengapa makin banyak orang mempelajari kebatinan, makin banyak pula terjadi pelanggaran dan dosa. Raja Kegelapan memiliki senjata yang amat ampuh untuk menundukkan manusia, yaitu senjata sayang diri atau iba diri yang menjadi dasar sehingga manusia dengan senang hati dan mudah melakukan hal-hal yang tidak baik. Lihatlah manusia-manusia kecil, kanak-kanak. Betapa mudahnya mereka itu, tanpa disuruh tanpa diajar, untuk membohong dalam membela diri. Sebaliknya, biarpun setiap hari diajar dan disuruh pantang membohong, disuruh jujur dan lain sifat-sifat baik, agaknya amat sukar bagi mereka. "Hem, dia memang cerdik, mungkin iblis sendiri yang mengajarinya," kata Im-yang Seng-cu. "Dan bagaimanakah kakek dewa Bu-tek Lo-jin dapat muncul ditempat ini?"

"Hal itu terjadi dua bulan yang lalu," kata Lauw Kian. Kemudian ia menceritakan tentang kakek aneh itu. Bu-tek Lo-jin pada dua bulan yang lalu datang ke Pegunungan Heng-toan, kemarkas Beng-kauw karena hendak mencari Kauw Bian Cinjin yang dikenalnya. Kakek ini tidak tahu bahwa Beng-kauw telah terjatuh ketangan Hoat Bhok Lama dengan paksa. Ketika mencari Kauw Bian Cinjin yang telah tewas, kakek ini kemudian mengunjungi Beng-kauw untuk bertanya tentang kematian sahabat yang dikenalnya itu. Hoat Bhok Lama tentu saja mengenal kakek sakti ini dan dengan amat cerdiknya, Hoat Bhok Lama membujuk agar

kakek sakti itu membantu Beng-kauw yang katanya hendak dikembangkannya sampai keseluruh daratan. Ketika tampak gejala penolakan dari Bu-tek Lo-jin, dan ada pula bahaya akan diketahui kakek itu bahwa dia merampas Beng-kauw dan membunuh semua pengurusnya, Hoat Bhok Lama lalu menipu Bu-tek Lo-jin memasuki guha dipuncak yang merupakan tempat jebakan yang amat berbahaya. Kakek yang sakti akan tetapi terlalu berani dan terlalu ingin tahu itu kena diakali dan jatuh terjerumus kedalam lubang jebakan yang terdapat diguha puncak gunung itu. "Hoat Bhok Lama menutup lubang dan guha itu, kami menganggap kakek itu telah tewas." Lauw Kian menutup ceritanya. "Siapa dapat menduga, tadi kakek yang luar biasa itu muncul bersama Suma-taihiap. Entah bagaimana dia dapat hidup selama dua bulan tertutup didalam sumur guha itu."

Im-yang Seng-cu kagum sekali. Hanya orang yang memiliki ilmu yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali saja yang akan dapat mempertahankan hidupnya setelah dua bulan tertutup didalam sumur dipuncak, bahkan ketika puncak itu longsor oleh gerakan alat-alat rahasia sehingga kakek itu terbawa runtuh pula kebawah, dia masih mampu menyelamatkan diri.

"Setelah kini kalian terlepas dari tangan orang-orang jahat yang menguasai Beng-kauw, apa yang akan kalian lakukan?" Im-yang Seng-cu bertanya. "Kami akan meninggalkan tempat ini, kembali ke Nan-cao dan kami akan berkumpul kembali dengan bekas para anggauta Beng-kauw, bersama-sama membangun kembali Beng-kauw," jawab Lauw Kian dengan wajah berduka, teringat akan para tokoh dan pimpinan Beng-kauw yang tewas sehingga kini perkumpulan mereka seolah-olah tidak mempunyai pimpinan lagi. Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk, "Perkumpulan kalian adalah perkumpulan agama yang semestinya mencurahkan segala perhatian khusus untuk agama, berarti untuk kerohanian. Kalau urusan kerohanian dicampur dengan urusan dunia, tentu akan timbul pertentangan-pertentangan karena diantara keduanya bersimpang jalan. Kuharap saja Beng-kauw akan dapat benar-benar menjadi Agama Terang yang akan mendatangkan penerangan bagi manusia yang telah kehilangan sinar rohaninya, digelapkan oleh awan-awan nafsu. Sebuah perkumpulan agama bukanlah sebuah perkumpulan tukang pukul, yang disebut kuat dalam perkumpulan kalian bukanlah kaki tangannya, melainkan batinnya, rohaninya, sehingga mamancarkan sinar terang membantu mereka yang kegelapan. Semoga kalian berhasil."

Im-yang Seng-cu meninggalkan Pegunungan Heng-toan, berjalan menyusuri sepanjang tepi Sungai Cin-sha, diam-diam ia memujikan semoga sahabatnya, Jai-hwa-sian Suma Hoat, selain memperoleh ilmu kepandaian tinggi dari Bu-tek Lo-jin, juga akan dapat sadar dan mengalahkan penyakitnya sendiri yang membuat pemuda itu mendapat julukan Dewa Pemetik Bunga!

***

"Aiihhh...., semua tempat kacau-balau oleh perang. Dalam keadaan sekacau ini, mana mungkin mencari orang? Ahhh, Suheng.... dimanakah engkau....?"

Siauw Bwee menghela napas berulang-ulang sambil duduk termenung menghadapi api unggun yang dinyalakannya ditengah hutan sunyi itu. Berbulan-bulan lamanya ia melakukan perjalanan tanpa arah tertentu dalam usahanya mencari dua orang dengan perasaan hati yang berlawanan. Yang seorang dicarinya dengan hati penuh rindu dan kasih, yang kedua dicarinya dengan dendam dan benci. Namun, sudah banyak kota dijelajahi, hutan-hutan dimasuki dan bukit-bukit didaki, sudah banyak ia menyaksikan perang dan kekacauan, belum juga dia dapat menemukan orang-orang yang dicarinya, yaitu Kam Han Ki suhengnya dan Suma Kiat musuh besarnya. Tersorot cahaya api unggun yang kemerahan itu, Siauw Bwee kelihatan amat cantik jelita. Rambutnya yang panjang dan mawut itu mengkilap, kedua pipinya kemerahan tersentuh sinar api, matanya yang merenung itu kadang-kadang berkilat. Dara jelita yang memiliki ilmu kesaktian tinggi itu duduk bertopang dagu. Kudanya menggerogoti rumput kurus tak jauh didepannya. Didalam perantauannya semenjak meninggalkan Pulau Es Siauw Bwee yang telah mengalami banyak hal hebat, telah pula mematangkan ilmu-ilmunya dan telah menerima ilmu-ilmu baru yang tinggi. Terutama sekali ilmu yang diterimanya dari kakek Lu Gak, yaitu gerakan kaki tangan kilat, benar-benar membuat Siauw Bwee menjadi seorang dara sakti yang akan sukar dikalahkan lawan. Namun, dara yang berilmu tinggi dan yang cantik jelita seperti bidadari ini ternyata tidak berbahagia seperti yang disangka semua orang yang melihatnya. Tidak sama sekali, dia kini duduk termenung penuh penasaran, kekecewaan dan kedukaan. Kewaspadaan seorang ahli silat tinggi setingkat Siauw Bwee amat luar biasa sehingga seolah-olah penglihatan, pendengaran dan perasaannya, menjadi satu dan selalu siap menjaga diri. Namun, segala kewaspadaan akan hilang apabila manusia dikuasai perasaan duka yang membuat semangat tenggelam. Siauw Bwee benar-benar sedang tenggelam dilautan duka sehingga perlahan-lahan matanya berkilau basah, berkumpul dipelupuk membentuk dua butir mutiara yang turun bergantung pada bulu matanya yang panjang lentik. Kalau ia teringat akan nasibnya, ayahnya sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia harus menerima kematian sebagai seorang pemberontak, ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan merana berduka, kemudian ia terpaksa harus berpisah dari sucinya Maya dengan kandungan dendam didalam hati, harus berpisah dari suhengnya dengan kandungan rindu dan kasih tak sampai dihatinya. Siapa yang takkan berduka? Sementara itu, semua ketidaksenangan hatinya yang hendak ia tumpahkan dalam pembalasan dendam terhadap diri Suma Kiat, tak juga dapat terlaksana karena dia belum berhasil menemukan musuh besarnya itu. Ada didengarnya bahwa Suma Kiat memimpin pasukan besar melakukan perang terhadap barisan Mancu, akan tetapi setiap kali ia mengejarnya, dia selalu kecelik atau tidak berkesempatan turun tangan. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk nekat menyerbu barisan yang laksaan orang banyaknya untuk mencari musuh besarnya itu. Hal ini akan berarti pemberontakan dan sebagai puteri tunggal Panglima Khu Tek San yang berjiwa pahlawan, dia tidak mau menambah cemar nama ayahnya dengan melawan pasukan pemerintah yang berarti pemberontakan! Biarpun ayahnya tewas ditangan para pengawal Sung, namun yang ia persalahkan dalam hal ini hanyalah Suma Kiat karena orang itulah yang menjadi biang keladinya. Dalam keadaan melamun tak berketentuan arah pikiran dan perasaan hati itu teringatlah Siauw Bwee akan bunyi sajak yang pernah dibacakan ayahnya, seorang ahli silat dan juga penggemar sastra. Sejak keluhan sastrawan yang kesunyian, seperti dirinya di saat itu.

".... kosong melengang...."

ikiran melayang

mengejar kenangan

dihimpit kesunyian....

seperti iblis mentertawakan

bunyi daun berkelisik

kerik jengkerik

kerok katak

kokok burung hartu

diluar bising....

namun betapa sunyi melengang

terasa didalam

seribu suara malam

menambah rasa kesepian...."

Teringat akan sajak ini, dua butir mutiara air mata menyusul dua yang pertama, menitik keatas pipi. Siauw Bwee menarik napas panjang dan memandang kudanya yang makan rumput kurus. Terhibur sedikit hatinya. Dia tidak sendirian sama sekali. Masih ada kudanya. Terdorong oleh perasaan senasib sependeritaan, Siauw Bwee bangkit berdiri, mendekati kuda itu dan mengelus bulu leher binatang itu. "Aihh, kudaku yang setia. Sesungguhnyalah, seperti dikatakan sastrawan yang kesepian itu, sunyi timbul dari dalam hati, bukan dari keadaan diluar tubuh. Kalau tidak begini besar rinduku kepada Suheng, dendamku kepada sikeparat Suma Kiat, kedukaanku karena kematian Ibu, agaknya malam ini akan terasa lain sekali, sama sekali tidak sunyi lagi. Aihhhh...."

Betapapun tinggi ilmu kepandaian silat yang dimiliki Siauw Bwee, namun dia hanyalah seorang dara remaja yang belum matang batinnya. Kepandaian yang dimilikinya hanyalah kepandaian lahiriah. Kalau setinggi itu pengertian batinnya, tentu dia akan tahu bahwa yang membuat orang merasa merana dalam kesunyian adalah karena dia belum dapat menyatukan diri dengan keadaan sekelilingnya. Melihat kudanya, dia menemukan hiburan karena ada rasa persatuan didalam hatinya terhadap binatang itu. Kalau dia memiliki perasaan persatuan yang sama terhadap sekelilingnya, terhadap suara binatang-binatang kecil yang tak tampak, terhadap berkelisiknya daun, terhadap angin, terhadap kegelapan malam, menyatukan diri dengan alam dan seisinya, tentu tidak ada lagi penderitaan batin yang merana karena kesepian itu. Hanya manusia yang dapat menyatukan diri dengan alam dan seisinya, baik yang tampak maupun yang tidak, dialah yang akan dapat merasakan betapa bahagia hidup ini, betapa kecil artinya hal-hal yang menimpa dirinya dan yang dianggapnya tidak menyenangkan. Persatuan dengan alam dan seisinya, termasuk manusia dan segala makhluk, membuka rasa kasih yang akan menerangi hidup dan akan musnah segala perbandingan, segala perbedaan, segala iri hati, segala dendam dan kebencian! Betapa sulitnya! Sulit? Tidak, sama sekali tidak bagi yang sadar dan yang sudah dapat mengenal diri pribadi, dapat menyaksikan dengan mata batinnya akan segala nafsu dan kekotoran yang menyelubungi dirinya. Karena manusia selalu menunjukkan pandangan matanya keluar, tidak pernah KEDALAM, maka dia tidak akan melihat semua itu dan tidak dapat menjadi sadar.

Perasaan sengsara yang menekan batin Siauw Bwee membuat dara ini lengah dan kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu bahwa semenjak tadi, ada sepasang mata yang mengintainya, sepasang mata seorang pemuda tampan yang duduk diatas cabang pohon tinggi. Pemuda itu telah berada diatas cabang pohon ketika Siauw Bwee datang ketempat itu dan membuat api unggun. Semenjak tadi, pemuda ini memandang dengan mata penuh kagum terpesona oleh kecantikan dara remaja itu.

Pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan ini adalah seorang pendekar muda yang belum lama keluar untuk merantau meluaskan pengalaman. Dia belum terkenal didunia kang-ouw, karena wataknya yang halus, sesuai dengan pendidikan ayah bundanya, membuat dia tidak pernah bentrok dengan orang lain, padahal pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia bernama Yu Goan. Ayahnya adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi bernama Yu Siang Ki, putera ketua perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang yang terkenal (baca cerita Mutiara Hita m). Adapun ibunya adalah seorang yang berilmu tinggi pula, tidak hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi terutama sekali dalam hal ilmu pengobatan karena ibunya itu puteri dari Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin (Kakek Gunung Ahli Obat)! Ayah dan bundanya kini membuka toko obat dan dari kedua orang tuanya, Yu Goan mewarisi ilmu silat aseli dari Khong-sim Kai-pang dan ilmu pengobatan dari raja obat Yok-san-jin Song Hai. Dengan bekal ilmu kepandaian yang tinggi ini orang tuanya, juga kakeknya, memperkenankan pemuda ini merantau untuk meluaskan pengalaman. Malam itu, kebetulan sekali Yu Goan bermalam didalam hutan itu, duduk diatas cabang pohon dengan aman sampai munculnya Siauw Bwee yang membuat ia bengong terlongong dan memandang penuh kagum. Hatinya ikut merasa terharu ketika melihat dara itu termenung dan berduka seorang diri. Menurutkan dorongan hatinya, ingin sekali ia meloncat turun dan berkenalan, namun pendidikannya sebagai seorang pemuda terpelajar dan sopan membuat ia menahan hatinya dan tidak berani turun, bahkan tidak berani berkutik, khwatir kalau-kalau ketahuan dan disangka seorang pengintai kurang ajar. Dia hanya berdoa dalam hatinya mudah-mudahan dara itu tidak melakukan hal yang tidak-tidak, misalnya berganti pakaian, melepas sepatu dan lain perbuatan yang akan membuat dia tersudut dan menjadi makin kurang ajar tampaknya.

Tiba-tiba pemuda itu terkejut dan matanya terbelalak memandang jauh. Apakah benda-benda mencorong yang muncul dibelakang gadis itu? Seperti mata harimau! Ada tiga pasang banyaknya! Otomatis tangan pemuda ini meraba kepinggang dimana disimpannya beberapa buah senjata rahasia, siap melindungi dara itu kalau betul ada tiga ekor harimau merunduknya!

Siauw Bwee tiba-tiba meloncat dan membalik. "Srattt!" Sinar kilat tampak ketika ia mencabut pedangnya. Yu Goan memandang makin kagum. Bukan main, pikirnya. Gerakan dara itu sedemikian gesit dan ringannya, dan cara mencabut pedang tadi pun menunjukkan gerakan seorang ahli! Karena terhibur oleh kehadiran kudanya, kewaspadaan Siauw Bwee timbul kembali dan telinganya dapat menangkap gerakan dibelakangnya. Ketika ia membalik dan melihat tiga pasang benda mencorong dibalik semak-semak, ia terkejut dan juga menduga bahwa tentulah itu tiga pasang mata binatang buas, entah harimau entah apa. Akan tetapi begitu ia membalik dan mencabut pedangnya, tiba-tiba tiga pasang benda mencorong itu pun lenyap, seolah-olah api yang ditiup padam. Dia menjadi penasaran. Tidak ada manusia atau binatang yang boleh mengintainya kemudian melenyapkan diri

begitu saja sebelum dia tahu benar apa dan siapa mereka itu! Tubuhnya berkelebat dan sekali melesat bayangannya lenyap dari pandang mata Yu Goan yang melongo terheran-heran penuh kekaguman.

Dengan gerakan kilat, gerakan yang kini jauh melebihi kecepatannya ketika sebelum ia mempelajari ilmu gerakan kaki tangan kilat, Siauw Bwee berloncatan kesana-sini, mencari-cari. Akan tetapi tidak menemukan seorangpun manusia atau seekorpun hewan! Terpaksa ia kembali kedekat api unggun memandang kekanan kiri dengan mata tajam dan diam-diam ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Apakah benda-benda mencorong yang dilihatnya tadi? Apakah pandang matanya keliru? Ah, tidak mungkin! Jelas ia melihat enam buah benda mencorong, tiga pasang dan melihat jaraknya tentulah merupakan tiga pasang mata. Akan tetapi, mata apa? Andaikata binatang, atau manusia, tentu dapat ia kejar. Akan tetapi benda-benda itu lenyap begitu saja tanpa meninggalkan suara apa-apa!

Seluruh urat saraf ditubuh Siauw Bwee menegang dan dia berdiri dengan sikap waspada, menanti munculnya benda-benda aneh itu, pedang masih ditangan. Hampir setengah jam ia berdiri tanpa bergerak seperti itu, tidak tahu bahwa ada dua buah mata, sepasang mata yang tidak mencorong, mata manusia, mengintainya jauh diatas dengan melongo penuh kagum.

Api unggun bergoyang-goyang mengecil dan hal ini menyadarkan Siauw Bwee bahwa tidak ada apa-apa yang mengancamnya. Apapun juga adanya tiga pasang benda mencorong tadi, yang pasti mereka itu tidak ada lagi sekarang. Ia menghampiri api tinggun, menambah kayu dan api unggun menyala lagi, apinya makan kayu kering dengan lahapnya. Kini Siauw Bwee sudah duduk lagi, akan tetapi bukan duduk melamun seperti tadi, melainkan duduk sambil menanti dengan penuh kesiap-siagaan. Kini semua ketajaman pendengarannya dipasang dan suara yang tidak wajar sedikit saja tentu akan dapat ditangkapnya. Dia mengambil keputusan untuk bergerak secepatnya dan tidak akan membiarkan mahluk itu sempat melenyapkan diri kalau berani muncul lagi.

Yu Goan yang berada diatas pohon dan tadi juga melihat tiga pasang benda mencorong itu, tidak kalah tegangnya. Tegangnya dua kali lipat, karena selain tegang memikirkan benda-benda aneh itu, juga tegang menyaksikan sikap dara jelita yang ternyata dapat bergerak seperti menghilang itu. Dia pun memasang mata penuh perhatian dan karena dia berada ditempat tinggi, dia lebih awas daripada Siauw Bwee yang pandangan matanya terhalang oleh pohon-pohon dan tetumbuhan lain. Tiba-tiba Yu Goan bergerak, hampir lupa dan hampir berseru ketika ia melihat lagi benda-benda mencorong, tidak lagi hanya tiga pasang, melainkan banyak sekali, muncul disekitar tempat itu! Untung baginya bahwa Siauw Bwee juga melihat sehingga gadis itu tidak mendengar gerakannya diatas dan kini tubuh Siauw Bwee telah lenyap ketika dara ini berkelebat meloncat dengan pedang ditangan. Siauw Bwee berseru heran karena tiba-tiba begitu ia bergerak, benda-benda mencorong itu "padam" dan lenyap, juga sekali ini dia tidak berhasil menemukan sesuatu biarpun dia sudah berloncatan kesana kemari disekeliling tempat itu. Kini Siauw Bwee kembali ketempatnya dengan muka penuh karingat. Hatinya ngeri sekali. Belum pernah ia merasa ngeri seperti saat ini. Dia bukanlah seorang penakut, sama sekali tidak. Akan tetapi apa yang dialaminya di hutan ini benar-benar amat menyeramkan. Tentu iblis-iblis penghuni hutan yang mengganggunya!

Dia tidak akan gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimanapun. Akan tetapi melawan iblis? Uhh, kalau saja malam tidak begitu gelap, kalau saja matahari telah muncul, tentu ia akan segera meninggalkan hutan berhantu ini! Siauw Bwee menghela napas, tak berdaya. Terpaksa ia harus melewatkan malam di tempat menyeramkan ini. Dia duduk kembali, perlahan-lahan dan tidak pernah mengalihkan perhatiannya dari keadaan disekelilingnya. Tiba-tiba Siauw Bwee yang baru menekuk lutut untuk duduk kembali itu menyambar segenggam tanah didekat kakinya dan tangannya terayun sambil tubuhnya diputar. Segenggam tanah itu mengeluarkan suara bercicitan ketika meluncur keatas kearah pemuda yang menjadi terkejut bukan main.

"Wuuuuttt! Trakkk!" Biarpun hanya segenggam tanah dan pasir, namun cabang pohon yang tadinya diduduki Yu Goan, menjadi patah terkena hantamannya. Pemuda itu sudah meloncat dengan gerakan ringan, melayang turun sambil berseru, "Heit, saya bukan musuh....! Harap Nona tidak salah sangka, saya bukanlah mahluk-mahluk mengerikan yang memiliki mata mencorong itu!"

Siauw Bwee memandang tajam kearah wajah pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu, tangannya meraba gagang pedang, jantungnya masih berdebar tegang karena tadi dia mengira bahwa tentu laki-laki diatas pohon itu yang mengganggunya. Dibawah sinar api unggun yang kemerahan, mereka saling pandang dan setelah kini berhadapan, Yu Goan menjadi makin terpesona. Kiranya dara itu setelah didekatinya, malah jauh lebih jelita daripada ketika ia melihat dari atas tadi, dan masih amat muda!

"Mudah saja membela diri. Sudah jelas engkau mengintai aku dari atas pohon, atau engkau pun hendak menyangkal lagi?" Siauw Bwee mencela, suaranya dingin. Yu Goan menggeleng kepala. "Saya tidak menyangkal telah melihatmu dari atas pohon, Nona, akan tetapi bukanlah salahku. Bukan niatku sengaja hendak mengintai, karena aku telah berada diatas pohon lama sebelum Nona datang dan membuat api unggun dibawah pohon ini."

Siauw Bwee memandang marah, teringat akan benda-benda mencorong yang menimbulkan rasa ngeri dihatinya, yang kini ia duga tentulah perbuatan pemuda ini. "Engkau membohong!"

Yu Goan menarik napas panjang. "Nona, membohong atau tidak bukan hal yang dapat dipersoalkan, karena seorang pembohong tentu saja tidak mau mengaku. Akan tetapi, andaikata Nona yang berada disini terlebih dulu, kemudian aku datang mengintai dari atas pohon, bagaimana mungkin sampai tidak tahu ada orang datang dan memanjat pohon? Aku bukan dewa, bukan pula iblis seperti makhluk-makhluk aneh tadi."

Siauw Bwee termenung dan akhirnya ia mengangguk-angguk. Dia dapat menangkap kebenaran ucapan itu karena biarpun dari gerakan pemuda ini ketika mengelak dan melompat turun tadi, terbukti bahwa pemuda ini bukan seorang lemah, namun kiranya masih tidak mungkin pemuda ini dapat datang dan meloncat keatas pohon itu tanpa dia ketahui sama sekali.

"Kalau begitu, mengapa engkau diam saja dan sengaja mengintaiku dari atas pohon?"

"Habis, apa yang harus kulakukan, Nona?"

"Mengapa engkau tidak menegurku sehingga aku tahu bahwa ada orang di atas pohon?"

"Ahh, mana aku berani, Nona? Andaikata engkau seorang pria, tentu saja aku akan langsung menegurmu dan berkenalan. Akan tetapi engkau seorang wanita muda, bagaimana aku berani menegur dan bersikap tidak sopan? Aihhhh, Nona, kalau saja engkau tahu betapa tersiksa hatiku diatas sana tadi, tak tahu harus berbuat apa, turun tidak berani diam saja bagaimana. Aihh, benar-benar tersiksa. Aku hanya mengkhawatirkan suatu hal...." Tiba-tiba pemuda itu berhenti dan mukanya yang tampan menjadi merah sekali, ia pun menunduk dan merasa telah terlanjur, menurutkan suara hatinya.

Siauw Bwee kini sudah hilang ke marahannya, bahkan diam-diam ia senang sekali melihat sikap yang halus, pandang mata yang penuh perhatian, tutur kata yang sopan dan tersusun rapi. Ia percaya bahwa pemuda seperti ini tidak mungkin seorang penjahat. Akan tetapi keraguan pemuda dalam kalimat terakhir tadi kembali membangkitkan kecurigaannya dan ia cepat berkata mendesak, "Apa yang kaukhawatirkan itu? Katakanlah agar aku tidak meragukan kebersihanmu!"

"Yang kukhawatirkan tadi.... eh, anu...., aku diam-diam berdoa kepada Tuhan agar engkau tidak melakukan hal yang bukan-bukan dibawah sini selagi aku berada diatas pohon, karena kalau engkau melakukannya, aku benar-benar akan celaka!"

"Eh, jangan bicara seperti teka-teki. Katakan, hal yang bukan-bukan itu apakah? Perbuatan apa yang kau khawatir aku lakukan?"

".... hem.... misalnya.... eh, kau merasa kakimu lelah dan membuka.... sepatu.... atau.... eh, berganti pakaian.... maaf...."

Tiba-tiba Siauw Bwee menahan ketawanya dan mukanya juga menjadi merah sekali. Memang tidak ada air disitu. Kalau ada, tentu dia akan mandi dan berganti pakaian dan memikir hal ini.... bertelanjang bulat disitu, dibawah pandang mata pemuda ini, ia merasa bulu tengkuknya berdiri! Akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya, "Andaikata benar demikian, mengapa kau khawatir dan kaukatakan akan celaka?"

"Tentu saja, Nona. Kalau terjadi hal itu, tentu dalam pandanganmu aku akan lebih kurang ajar lagi."

Siauw Bwee tersenyum dan memandang dengan mata bersinar. "Sungguh lega hatiku sambitanku tadi tidak mencelakakan engkau. Ternyata engkau bukan musuh, dan engkau seorang yang amat sopan dan jujur. Siapakah engkau?"

Pemuda itu menjura dengan hormat, wajahnya berseri karena dia senang sekali bahwa Nona yang dikaguminya itu tidak marah. "Saya she Yu bernama Goan, seorang perantau yang kemalaman disini maka bermalam diatas pohon. Dan Nona...."

"Eh, apakah engkau tadi melihat benda-benda mencorong yang aneh itu?" Siauw Bwee memotongnya. "Aku melihatnya, dan aku kagum sekali menyaksikan gerakan Nona yang amat cepat."

"Hemm, kalau gerakanmu demikian cepat tentu akan dapat menangkap mereka. Tahukah engkau, apakah benda-benda itu tadi?"

"Aku pun tidak tahu, Nona. Melihat jaraknya, seperti sepasang mata, akan tetapi kalau sampai Nona yang demikian cepat gerakannya tidak dapat menangkap mereka, aku bukan seorang yang percaya akan tahyul, hanya.... kiranya tak mungkin manusia memiliki mata seperti itu. Aihh, sampai sekarang pun aku masih merasa ngeri dan merasa seolah-olah saat ini banyak pasang mata yang memandang dan mengintai kita."

Siauw Bwee bergidik, hatinya ngeri, akan tetapi juga agak lega dan girang bahwa dia mendapatkan seorang kawan dalam hutan yang menyeramkan ini. Tanpa disengaja, matanya melirik kebawah dan memperhatikan kedua kaki pemuda itu. Pemuda yang tampan sekali dan sikapnya halus seperti itu jarang ia jumpai dan munculnya tidak wajar. Jangan-jangan penjelmaan iblis dan siluman, siapa tahu? Tiba-tiba pemuda itu tertawa geli. "Ampun, Nona. Harap jangan menyangka bahwa aku ini siluman! Sungguh mati, aku manusia biasa!"

Wajah Siauw Bwee menjadi merah dan ia pun tersenyum. "Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku menyangka engkau siluman?"

"Nona me mandang kearah kakiku untuk melihat apakah kedua kakiku menginjak tanah, bukan? Menurut dongeng, bangsa siluman kalau menjelma menjadi manusia dapat dikenal dari kakinya yang tidak menginjak tanah, melainkan berada sejengkal diatas tanah, dan kalau ada cermin, dia tidak mempunyai bayangan."

"Ihh, aku harus berhati-hati terhadapmu. Engkau sopan, jujur dan cerdik sekali. Dan hatiku masih panik oleh rasa ngeri memikirkan benda-benda mencorong itu."

Pemuda itu mengangguk. "Kalau tidak bertemu di sini, agaknya aku pun akan takut setengah mati. Untung kita saling bertemu dan sebaiknya malam ini kita bersikap waspada. Engkau mengasolah, Nona. Biar aku yang menjaga. Menurut dongeng, bangsa siluman takut akan api, maka api unggun ini harus selalu dijaga jangan sampai padam."

Siauw Bwee menggeleng kepala. "Setelah munculnya makhluk-makhluk aneh itu, mana aku dapat tidur? Engkau tidurlah, biar aku yang menjaga api. Kalau mereka itu betul makhluk hidup dan muncul lagi.... hemmm, ingin aku menggempur mereka!"

"Tidak, Nona. Engkau yang harus tidur dan aku yang menjaga."

"Tidak! Aku yang menjaga!"

Keduanya saling pandang dan melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kegelian hati, mau tidak mau Siauw Bwee tersenyum. Mereka baru saja bertemu, sudah berbantahan!

"Aku telah tahu bahwa ilmu kepandaian Nona hebat bukan main, mungkin sepuluh kali tingkat kepandaianku. Akan tetapi, betapapun juga, Nona adalah seorang wanita dan aku seorang pria. Mana mungkin seorang pria yang tahu akan susila dapat tidur pulas dan membiarkan seorang wanita melakukan penjagaan? Biarpun bodoh, aku tidaklah sekasar dan kurang ajar seperti itu, Nona."

Siauw Bwee tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku akan mengaso dulu. Akan tetapi begitu muncul lagi benda-benda mencorong seperti tadi, jangan ragu-ragu untuk membangunkan aku. Dan jangan lupa, kita bergilir. Kalau bulan secuwil diatas itu sudah lenyap, tibalah saatnya giliranku menjaga dan engkau mengaso."

Yu Goan mengangguk. "Baiklah."

"Akan tetapi awas, jangan kau terlalu sungkan dan membiarkan aku tidur terus sampai siang. Aku akan marah!"

Yu Goan tersenyum. Makin tertarik hatinya. Dara itu cantik jelita melebihi bidadari impian hatinya, berilmu tinggi sekali,

pemberani dan tabah sehingga seorang diri berani bermain didalam hutan, dirundung keprihatinan yang tadi memancing keluarnya mutiara air mata mendatangkan perasaan iba dihatinya, dan sekarang ternyata selain berwatak halus dan bersikap ramah, juga sikapnya terbuka, polos dan jujur! Seorang dara yang menonjol diantara laksaan orang gadis lain!

Siauw Bwee rebah miring membelakangi api unggun dan Si Pemuda. Biarpun dia merasa yakin akan sifat-sifat baik pemuda itu, namun hatinya masih penuh kengerian maka dia hanya akan merasa aman kalau tidur sambil menghadap kearah kegelapan dari mana tadi muncul benda-benda aneh. Hati Yu Goan merasa lega. Kalau gadis itu rebah miring menghadap kearahnya, tentu dia tidak akan berani menatap wajah gadis itu. Kini, gadis itu membelakanginya sehingga dia mendapat kebebasan untuk memandangnya, biarpun dia hanya dapat mengagumi lekuk-lengkung tubuh belakang dibalik pakaian sederhana, dan sedikit kulit tengkuk yang putih kuning yang membayang diantara dua kepang rambut yang hitam subur, anak-anak rambut yang melingkar indah diatas tengkuk, dan garis pipi kemerahan dilindungi sebuah telinga yang kecil panjang dan tipis. Semalam suntuk tidak terjadi sesuatu, tidak ada benda-benda mencorong atau makhluk aneh muncul. Yu Goan tenggelam dalam kekaguman sehingga dia tidak merasa betapa malam telah lewat. Dirasakannya sebentar saja dan tahu-tahu dia mendengar bunyi ayam hutan berkokok dan sinar keemasan membayang ditimur. Malam telah lewat dan pagi mulai menjenguk diambang timur!

Siauw Bwee mengulet enak sekali, membalikkan tubuh, menegangkan otot-otot dan mengembangkan kedua lengan keatas kepala, menguap kecil. Pemandangan ini sedemikian indah mengharukan bagi Yu Goan, membuatnya terpesona akan tetapi ketika hatinya mencela mata yang menikmati pemandangan itu, dia cepat mengalihkan pandang dari tubuh dan muka yang kini telentang itu, menunduk. Kokok ayam hutan memasuki pendengaran Siauw Bwee dan seketika dia meloncat bangun, membalik dan memandang kearah api unggun yang masih menyala dan kearah pemuda yang masih duduk dekat api unggun. Mata gadis itu bersinar marah dan ia membentak, "Terlalu sekali! Sudah pagi! Mengapa kau tidak membangunkan aku? Mengapa membiarkan aku tidur kesiangan dan tidak memberi kesempatan padaku untuk melakukan gilir berjaga? Apa maksudmu?"

Yu Goan bangkit berdiri dan menjawab halus, "Maaf, Nona. Hanya ada dua pilihan bagiku malam tadi. Pertama, aku harus melihat Nona terganggu dari tidur nyenyak kalau aku membangunkan Nona. Kedua, aku harus menghadapi kemarahan Nona kalau aku tidak membangunkan Nona. Dari dua pilihan itu, aku memilih yang kedua. Aku menerima salah dan siap menerima hukuman."

Bagaimana mungkin orang bisa marah menghadapi sikap yang menyerah seperti inl? Apalagi pemuda itu jelas bermaksud bahwa rela dimarahi daripada mengganggunya dari tidur nyenyak! Kalau dia toh marah terus, berarti dia yang keterlaluan! Seketika kejengkelan hati Siauw Bwee lenyap dan dara ini menurunkan kedua lengan yang tadi menegang, membanting kaki kiri dan berkata, "Aihhhh! Engkau membikin aku tidak enak saja. Kalau tahu begini, aku tidak mau tidur sedikitpun juga, apalagi tidur semalam suntuk dan membiarkan engkau melakukan penjagaan!"

"Tapi aku senang sekali melakukan penjagaan, Nona. Dan semalam tidak ada muncul peristiwa sesuatu. Agaknya iblis-iblis itu telah merasa takut mendengarkan ancamanmu."

Siauw Bwee teringat dan cepat ia menyambar pedangnya, digantungkan dipunggung. "Ahh, sekarang kita dapat mencari iblis-iblis itu! Kalau ada jejak kakinya, berarti bukan iblis!"

"Engkau benar, Nona. Mari kita mencari!"

Dua orang muda itu lalu mencari diantara rumput alang-alang dan tetumbuhan disekitar tempat itu, ditempat-tempat dimana semalam mereka melihat benda-benda mencorong dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat tapak kaki manusia!

"Bukan main! Manusia-manusia apakah mereka yang memiliki mata mencorong seperti mata harimau?" Yu Goan berseru.

"Hebatnya, bagaimana mereka dapat bergerak demikian cepatnya?" Siauw Bwee berkata lirih dan diam-diam ia terkejut sekali. Setelah ia memiliki ilmu sakti gerak kaki tangan kilat dari rombongan kaki buntung dan lengan buntung, gin-kangnya mencapai tingkat tinggi sekali. Akan tetapi mengapa semalam dia tidak mampu menangkap orang-orang aneh ini? Mungkinkah mereka memiliki kepandaian menghilang seperti setan?

"Jumlah mereka banyak dan tapak kaki mereka menuju kesatu jurusan. Kita dapat mengikuti mereka." Yu Goan berkata sambil meneliti tanah. "Hemm, aku merasa curiga sekali. Mari kita cari mereka!" Siauw Bwee berkata.

Kedua orang itu lalu berjalan mengikuti arah jejak tapak kaki yang menuju keselatan. Setelah berjalan dua jam lamanya, mereka berdua berhenti ditepi sebuah tebing yang amat curam. "Ah, tentu dibawah itu sarang mereka....!" kata Yu Goan menunjuk kebawah.

Tebing itu amat curam, kiranya tidak kurang dari dua ribu kaki. Dan jauh dibawah sana kelihatan kecil sekali seperti mainan kanak-kanak, tampak sebuah perkampungan kecil dengan beberapa buah rumah sederhana. Lembah dibawah itu kelihatan sunyi, seolah-olah perkampungan itu tidak ada penghuninya.

"Aneh sekali. Lembah dibawah itu dikelilingi tebing yang begini curam, seolah-olah terpisah dari dunia ramai. Siapakah gerangan yang tinggal dibawah sana?" Siauw Bwee berkata, termangu-mangu.

"Sebaiknya kita mencari jalan turun kesana untuk menyelidikinya, Nona."

"Memang begitu kehendakku. Akan tetapi, aku mendapat firasat dihati bahwa tempat itu amat berbahaya, dan agaknya orang-orang yang tinggal ditempat seperti itu tentulah orang-orang aneh yang berilmu tinggi. Aku tidak ingin melihat engkau menghadapi malapetaka disana, Yu-twako."

Yu Goan menoleh, mereka berpandangan dan pemuda itu tersenyum. "Engkau baik sekali, Nona. Jangan khawatir, aku dapat menjaga diri dengan pedangku."

Sejenak Siauw Bwee memandang pemuda itu. Akhirnya ia tersenyum dan mengangguk, "Baiklah, akupun percaya bahwa engkau bukanlah seorang yang mudah dikalahkan, Yu-twako. Mari kita mencari jalan turun!"

"Nanti dulu, Nona!"

Siauw Bwee membalikkan tubuh dan melihat pemuda itu memandangnya penuh perhatian, ia bertanya, "Ada apakah?" Pemuda itu kelihatan bingung dan ragu-ragu, agaknya sukar sekali membuka mulut menyatakan isi hatinya. "Harap Nona sudi memaafkan kalau aku bersikap kurang ajar, karena sungguh tidak sopan bagi seorang pemuda untuk mengajukan pertanyaan ini kepada seorang dara terhormat...."

"Aihhh, katakanlah. Apa yang ingin kaukatakan, Twako? Engkau terlalu sungkan."

"Aku terpaksa mengajukan pertanyaan ini, Nona, mengingat bahwa kita telah saling berkenalan dan kita bersama menghadapi hal yang belum kita ketahui bagaimana sifatnya, mungkin berbahaya."

Siauw Bwee mengangguk tak sabar. "Tanyalah!"

"Aku ingin mengetahui siapakah Nona? Dan siapakah nama Nona yang mulia?"

Siauw Bwee tertawa dan menggunakan tangan kiri menutupi mulut. "Hi-hi-hik! Engkau benar-benar lucu sekali, Twako! Engkau terlalu ditekan dan diselubungi kesopanan sehingga kelihatan lucu! Bertanya nama saja apa sih dosanya? Tentu saja kau boleh menanyakan namaku, bahkan aku yang lupa belum memperkenalkan diri, padahal aku telah mengetahui namamu. Mengapa kau ragu-ragu dan malu-malu, minta maaf segala? Dengarlah, namaku adalah Khu Siauw Bwee."

"Khu Siauw Bwee....?" Yu Goan mengingat-ingat, akan tetapi merasa belum pernah mendengar nama ini. Tiba-tiba ia mengangkat muka memandang. "Khu-lihiap (Pendekar Wanita she Khu), aku pernah mendengar nama besar murid dari pendekar sakti Kam Liong yang menjadi menteri, murid Menteri Kam Liong itu seorang pahlawan yang gagah perkasa, dan yang telah gugur bersama gurunya di kota raja karena fitnah. Namanya Khu Tek San, dan mengingat she itu...." Yu Goan berhenti bicara dan memandang terbelalak kewajah jelita yang berubah agak pucat. Dua butir air mata menitik turun dan bibir yang kecil merah itu bergerak-gerak lalu digigit.

"Khu-lihiap, maafkan aku. Apakah mendiang Khu Tek San itu...." Siauw Bwee mengangguk. "Dia adalah ayahku sendiri!" Yu Goan cepat mengangkat kedua tangan kedepan dada, membungkuk penuh hormat. "Ahhh, sudah kuduga bahwa Nona tentulah bukan orang sembarangan! Kiranya puteri mendiang Khu-ciangkun, murid yang setia dan gagah perkasa dari mendiang Menteri Kam yang terkenal diseluruh dunia! Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat, Lihiap!" Siauw Bwee menarik napas panjang. "Sudahlah, Twako. Sikapmu yang terlalu sungkan dan hormat itu bisa membuat orang salah mengerti, mengira bahwa engkau memiliki watak

penjilat. Bagimu mungkin aku puteri seorang pahlawan, akan tetapi banyak orang menganggap aku puteri seorang pemberontak! Aku tahu bahwa engkau seorang yang terpelajar dan berbudi halus, penuh kesopanan, dan aku suka bersahabat denganmu, Twako. Akan tetapi kalau engkau tidak membuang sikapmu yang sungkan dan sopan itu, aku akan benci padamu. Aku paling tidak suka melihat pria yang menunduk-nunduk seperti seorang penjilat!"

Wajah Yu Goan menjadi merah sekali. "Tidak ada seujung rambut pun didalam hatiku ingin menjilat kepadamu atau kepada siapa pun didunia ini, Nona. Sikapku tidak kubuat-buat dan sewajarnya, sesuai dengan pelajaran-pelajaran yang semenjak kecil kuterima dalam pendidikan. Karena itu maafkan aku, Lihiap."

"Twako, aku ingin sekali mengetahui bagaimana engkau bisa mengenal ayahku, dan mengenal nama Menteri Kam?"

"Ayah bundaku mengenal baik Menteri Kam yang sakti, Nona. Terutama sekali ayahku, dia banyak bercerita tentang pendekar-pendekar sakti keturunan Suling Emas. Ayah amat kagum terhadap keturunan Suling Emas, kekaguman yang tertanam pula didalam hatiku. Ah, betapa ayah dan ibu akan merasa bangga bahwa aku dapat bertemu dan bersahabat dengan puteri Khu-ciangkun yang terkenal, murid Menteri Kam! "

"Sudahlah, Twa ko. Aku menjadi pening mendengar pujian-pujian dan segala nama besar yang kosong itu! Lihat, dibawah itu mulai ada gerakan!" Siauw Bwee menuding dan ketika Yu Goan memandang kebawah, dia melihat pula manusia manusia bergerak kesana kemari akan tetapi karena jaraknya amat jauh sehingga manusia-manusia dibawah itu hanya kelihatan sebesar jari tangan, maka mereka tidak dapat melihat jelas.

Dengan hati-hati dari berindap-indap, Siauw Bwee dan Yu Goan mencari jalan turun kelembah dibawah yang penuh rahasia itu. Akan tetapi dengan kaget mereka mendapat kenyataan bahwa tebing yang amat curam itu tidak mungkin dapat dituruni. Mana mungkin turun melalui dinding karang yang ratusan kaki tingginya, licin dan tegak tidak ada tempat kaki berpijak atau tangan bergantung? Untuk menggunakan gin-kang meloncat kebawah? Lebih tak masuk akal lagi. Namun Siauw Bwee dan Yu Goan bukanlah orang-orang lemah yang muda berputus asa. Mereka terus mencari, meneliti setiap kemungkinan menuruni tebing dan memeriksa sekeliling tebing yang berada di situ sampai setengah hari mereka mencari jalan turun, namun hasilnya sia-sia. Lembah dibawah itu, perkampungan yang aneh, dikelilingi tebing terjal yang tidak mungkin dituruni atau didaki. Seekor monyet sekalipun kiranya tak mungkin menuruni tebing itu yang halus licin tanpa ada tempat menahan tubuh. Perkampungan dilembah bawah itu seolah-olah terputus sama sekali dari dunia luar daerah mereka. Mereka seperti hidup didalam sebuah mangkok, tidak mungkin dapat menjenguk keluar dari bibir mangkok yang merupakan tebing yang mengelilingi tempat tinggal mereka. Akhirnya Siauw Bwee dan Yu Goan terpaksa mengaku kalah. Mereka telah melakukan pemeriksaan mengitari sekeliling lembah sampai kembali ketempat mereka berangkat, tempat mereka mula-mula melakukan pemeriksaan. Keduanya duduk mengaso ditepi tebing sambil memandang kebawah dengan hati penasaran. Dari atas tampak manusia dibawah itu menuju kesuatu tempat ditengah perkampungan, kemudian tampak api bernyala, asap mengepul tinggi seolah-olah mereka yang berada di bawah itu membakar sesuatu. Terlalu tinggi tempat itu untuk dapat melihat jelas apa yang dikerjakan oleh manusia-manusia dilembah itu.

"Tanpa sayap seperti burung, mana mungkin menuruni tempat itu?" Yu Goan berkata sambil menghapus peluh dari lehernya.

"Memang tidak mungkin, kecuali kalau menggunakan alat." Siauw Bwee berkata memandang kebawah dengan alis berkerut. "Menggunakan kaitan besi atau tali untuk merayap kebawah."

"Akan tetapi terlalu berbahaya. Biarpun merayap kebawah tidak amat berbahaya, namun kalau orang-orang dibawah itu menyambut dengan sikap bermusuh, kita sedang merayap tak berdaya itu tentu merupakan sasaran yang lunak."

Siauw Bwee mengangguk-angguk. "Memang aneh sekali. Makin sukar tempat itu didatangi, makin tertarik hatiku untuk membongkar rahasia mereka itu. Yang mengherankan hati, kalau memang benar mereka dibawah sana itu yang malam tadi mengganggu kita, bagaimana cara mereka mendaki tebing?"

"Dan gerakan mereka begitu cepat seperti menghilang!" Yu Goan berkata.

"Yu-twako, awasss....!" Tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan tubuhnya yang tadinya duduk diatas rumput dekat pemuda itu, mencelat kebelakang, berjungkir-balik beberapa kali. Yu Goan terkejut pula, meloncat keatas dan ketika ia membalik, dengan kagum ia melihat dara jelita itu telah mendorong roboh dua orang laki-laki yang bertubuh tegap kuat dan berpakaian sederhana kasar seperti orang liar! Betapa cepatnya gadis itu mengetahui kedatangan musuh dan betapa cepatnya bergerak merobohkan lawan! Dari gerakan-gerakan itu mengertilah Yu Goan bahwa tingkat kepandaian dara ini jauh lebih tinggi daripada tingkatnya, bahkan dia dapat menduga bahwa dara itu lebih pandai daripada ibunya, atau ayahnya sekalipun!

Akan tetapi dia terkejut sekali ketika melihat bahwa yang datang mengurung tempat itu bukan hanya dua orang yang didorong roboh oleh Siauw Bwee tadi, melainkan banyak sekali. Sebagian sudah memperlihatkan diri, dan masih banyak pula yang menyelinap dibalik pohon-pohon dan tetumbuhan! Siauw Bwee tadi sengaja mendorong dua orang terdekat sampai terguling, akan tetapi betapa heran hatinya ketika melihat dua orang itu sudah meloncat bangun lagi! Ketika ia tadi berloncatan berjungkir balik lalu menyerang, dua orang itu membuat gerakan tangan yang baginya amat canggung dan tidak ada artinya sehingga mudah saja dia mendorong mereka dan menotok pundak mereka. Akan tetapi sungguh luar biasa. Kedua orang kasar itu bukan roboh tertotok, melainkan terguling karena tenaga dorongan dan begitu menyentuh tanah mereka sudah meloncat bangun kembali. Dan kini tampak belasan orang mengurung dia dan Yu Goan. "Tahan!" Siauw Bwee membentak ketika melihat orang-orang itu mulai bergerak hendak menyerang. Dia melihat orang-orang ini bukan seperti perampok-perampok, bahkan mereka seperti manusia-manusia liar dengan pakaian sederhana, muka yang membayangkan kebodohan, akan tetapi sepasang mata mereka mengeluarkan sinar berkilat! Ah, kiranya orang-orang inilah yang semalam mengintai. Mata mereka yang aneh seperti mata harimau itu mencorong karena sinar api unggun! Diam-diam Siauw Bwee terheran-heran karena menurut penuturan suhengnya, hanya orang-orang yang memiliki sin-kang tingkat tinggi saja yang dapat membuat matanya mencorong seperti mata harimau. Dia dan suci serta suhengnya pun dapat membuat matanya mencorong kalau dia kehendaki, akan tetapi tentu saja dia tidak mau melakukan itu karena hal demikian hanya akan membuat dia menjadi tontonan! Akan tetapi orang-orang kasar ini semua memiliki sinar mata yang mencorong!

"Siapakah kalian dan mengapa kalian mengurung kami berdua?" Siauw Bwee membentak. Orang-orang itu saling pandang, tidak ada yang menjawab. "Heii! Apakah kalian tuli, atau gagu?" Siauw Bwee membentak lagi.

"Mereka hanya melaksanakan perintah!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dari belakang sebatang pohon besar. Siauw Bwee dan Yu Goan menoleh dan mereka mengerutkan kening melihat bahwa orang itu tidak segolongan para pengepung tadi. Orang ini berpakaian biasa, bahkan pakaiannya bersih dari sutera mahal, bentuk pakaian seorang sastrawan, tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya biasa saja. Akan tetapi anehnya, juga pancaran pandang mata orang ini aneh, mencorong seperti semua orang liar itu. "Perintah siapa?" Siauw Bwee bertanya, maklum bahwa tentu sastrawan inilah yang menjadi komandan pasukan orang liar yang mengepung.

"Tentu saja perintah ketua kami. Kalian berdua memasuki daerah kami, daerah terlarang, karenanya kalian harus menyerah sebagai tawanan kami untuk kami bawa menghadap Ketua!"

"Hemm, kami berdua tidak salah apa-apa, mengapa akan dijadikan tawanan?" Yu Goan membantah. "Mau apa kalian menawan kami?"

Sastrawan itu memandang Yu Goan dan tersenyum mengejek. "Hanya ketua kami yang akan memutuskan."

"Aku tidak sudi menyerah!" Siauw Bwee membentak. "Pergilah kalian, jangan menggangguku. Kalian akan menyesal nanti!"

Sastrawan itu mengerutkan kening, memberi aba-aba dan menyerbulah belasan orang liar itu. Gerakan mereka kaku sekali, akan tetapi baik Siauw Bwee maupun Yu Goat terkejut sekali ketika dari gerakan tangan mereka itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat! "Hati-hati, Twako. Sin-kang mereka amat kuat!" Siauw Bwee berseru dan dara perkasa ini sengaja berkelebatan cepat mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, mempergunakan ilmu mujijat gerak kaki tangan kilat sehingga dalam sekejap mata saja dia sudah merobohkan delapan orang termnasuk Si Sastrawan! Akan tetapi, kembali dia terkejut karena seperti halnya dua orang yang pertama kali dia robohkan tadi, delapan orang ini pun meloncat bangun begitu tubuh mereka terbanting ketanah, sedikitpun tidak tampak tanda-tanda mereka itu menderita nyeri.

Yu Goan juga cepat mengerahkan gin-kangnya untuk mengelak kesana-sini, karena tanpa peringatan Siauw Bwee pun dia maklum betapa pukulan-pukulan para pengurung liar ini mendatangkan angin keras. Sambil mengelak, dia sudah menotok jalan darah dileher seorang pengeroyok, dan pada detik berikutnya, kakinya sudah menendang sambungan lutut seorang pengeroyok lain. Kedua orang itu terpelanting, akan tetapi mereka mencelat bangun lagi. Baik totokannya maupun tendangannya tidak hanya membuat kedua orang itu terpelanting, akan tetapi sama sekali tidak mengalahkan mereka.

Berkali-kali Siauw Bwee dan Yu Goan merobohkan para pengeroyok yang ternyata tidak memiliki ilmu silat tinggi. Bahkan Si Sastrawan itu hanya memiliki ilmu silat yang bagi Siauw Bwee biasa saja. Akan tetapi jelas terbukti bahwa segala macam pukulan, totokan, tendangan, tidak mampu merobohkan para pengeroyok yang agaknya memiliki kekebalan luar biasa, atau tubuh mereka seolah-olah dilindungi oleh semacam hawa mujijat.

Siauw Bwee merasa terheran-heran dan diam-diam ia mencurahkan perhatian untuk menyelidiki keadaan lawan. Ketika ia sengaja menerima pukulan dengan telapak tangannya, ia merasa ada hawa yang panas keluar dari kepalan orang itu, yang cepat dapat ia enyahkan dengan sin-kangnya. Akan tetapi pukulan kedua orang dari orang yang sama, mengandung hawa yang sejuk nyaman. Juga Im-kang yang aneh ini tentu saja dapat ia lawan dengan sin-kang yang amat tinggi dan kuat, yang ia latih di Pulau Es. Biarpun Siauw Bwee belum tahu dengan jelas, namun kini ia sudah dapat menduga bahwa para pengeroyoknya itu biarpun tidak memiliki ilmu silat tinggi, namun memiliki inti tenaga sin-kang yang amat kuat dan aneh, dan agaknya mereka yang masih rendah ilmu silatnya ini secara luar biasa telah dapat menggabungkan tenaga sakti Im dan Yang. "Twako, pergunakan senjatamu!" Tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan dia sendiri mencabut pedangnya. "Sing! Singgg!" Dua sinar berkelebat ketika dua orang muda itu mencabut pedang mereka dan benar saja seperti yang diduga Siauw Bwee, para pengeroyok itu, kecuali Si

Sastrawan, kelihatan jerih.

"Twako, robohkan akan tetapi jangan bunuh orang!" Kembali Siauw Bwee berseru dan diam-diam Yu Goan menjadi makin suka dan kagum kepada dara perkasa itu yang ternyata selain lihai, cantik jelita, juga hatinya lembut, tidak kejam. Orang-orang ini biarpun kelihatan jerih, namun mereka itu menyerbu dengan nekat. Yu Goan membacokkan pedangnya, mengarah bagian yang tidak berbahaya. Dua kali pedangnya berkelebat, menyambar pangkal lengan seorang dan paha orang kedua.

"Plak! Plak!" Pedangnya itu mengenai sasaran, akan tetapi telapak tangannya terasa panas karena dua kali pedangnya membalik seperti membacok karet yang ulet dan kuat. Dua orang itu terhuyung. Pangkal lengan dan paha yang terbacok itu terluka, akan tetapi lukanya hanya merupakan goresan pada kulit saja, sedangkan dagingnya tidak terluka sama sekali. Darah yang keluar hanya merupakan goresan merah pada kulit yang terbacok. Ternyata baju mereka lebih parah terobek pedang daripada kulit mereka. Demikian pula Siauw Bwee mengalami hal yang sama. Dia kaget dan makin kagum. Kekebalan yang hebat sekali dimiliki oleh orang kasar ini. Sungguh aneh sekali. Tentu mereka ini orang-orang yang kasar dan bodoh, telah menerima ilmu berlatih sin-kang yang amat mujijat! Apalagi ketika ia menyerang Si Sastrawan yang dianggapnya pimpinan orang-orang itu, dia lebih terkejut lagi. Pedangnya selalu mencong arahnya, menyeleweng ketika ujungnya mendekati tubuh Si Sastrawan, seolah-olah ada tenaga tak tampak yang mendorong senjatanya kesamping! Hal ini membuktikan sin-kang yang amat kuat, dan untung baginya bahwa sin-kang kuat yang dimiliki orang-orang ini, terutama Si Sastrawan, hanya mereka kuasai untuk melindungi tubuh saja. Kalau sin-kang yang sedemikian kuatnya itu dapat mereka pergunakan untuk menyerang, agaknya dia sendiri belum tentu akan mampu menandingi pengeroyokan orang-orang yang sehebat itu tenaga sin-kangnya!

"Tangkap mereka dengan jala!" Tiba-tiba Si Sastrawan mengeluarkan aba-aba.

"Wuuuuttt! Wuuuuutttt!" Para pengeroyok itu dengan cepat sekali telah mengeluarkan jala yang istimewa. Jala ini amat lebar dan ringan, namun demikian kuat sehingga dengan jala ini mereka biasanya menangkap binatang-binatang buas seperti harimau, biruang dan lain-lain! Juga agaknya mereka ahli mainkan jala-jala itu yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang, kemudian mereka mengayun dan menggerakkan jala-jala itu seperti orang bermain tari naga. Bagaikan dua ekor naga besar, kini dua buah jala yang dimainkan empat orang itu menyerang Siauw Bwee dan Yu Goan. Sedangkan para pengeroyok lain masih tetap mengeroyoknya, terutama Si Sastrawan yang melancarkan pukulan-pukulan berat kepada Yu Goan, sedangkan Siauw Bwee dikeroyok sisa-sisa orang liar itu.

Yu Goan menggerakkan pedangnya membacok sekuat tenaga untuk memutus jala yang melayang-layang ringan diatas kepalanya itu. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak mampu membikin putus tali jala. Kiranya jala itu terbuat dari pada benang-benang yang amat luar biasa, berwarna hitam mengkilap dan amat ringan, halus dan ulet sekali, dapat mulur sehingga bacokan senjata tajam itu sama sekali tidak berbekas. Yu Goan merasa seolah-olah senjatanya membacok asap saja!

Sementara itu, jala yang melayang-layang itu menyambar turun. Yu Goan cepat meloncat jauh kekiri untuk mengelak. Dua orang pengeroyok menubruknya dari kanan kiri dan dia berhasil membuat mereka terhuyung-huyung dengan pukulan tangan kiri dan sabetan pedang kearah kaki orang kedua. "Dukkk!" Pukulan Si Sastrawan menyerempet punggungnya. Yu Goan terhuyung, pandang matanya berkunang. Biarpun pukulan itu tidak tepat kenanya, namun karena mengandung tenaga sin-kang yang hebat, dia merasa tubuhnya tergetar dan cepat-cepat pemuda ini mengatur pernapasan. Pada saat itu, bayangan jala sudah melayang turun lagi menimpa kearah kepalanya! Yu Goan melempar tubuhnya kebawah dan berusaha mengelak dengan cara bergulingan keatas tanah. Akan tetapi, ternyata dua orang yang memegang jala itu adalah ahli-ahli yang cekatan sekali. Jala mereka sudah melayang dan kalau tadi bergulung-gulung kini jala itu terbuka dan terbentang selebarnya, langsung menutup tubuh Yu Goan yang tidak mungkin mengelak lagi Yu Goan makin kaget dan cepat ia mengerahkan gin-kangnya, meloncat bangun dan memutar pedangnya. Akan

tetapi, jala itu seperti hidup, bergerak menggulungnya dan makin keras ia meloncat, makin keras pula ia terbanting karena jala itu bersifat mulur seperti karet namun kuat melebihi baja. Tubuh Yu Goan tergulung jala dan pedangnya terlepas, jauh diluar jala. Ketika Yu Goan hendak mengambilnya, pedang itu sudah disambar oleh seorang pengeroyok. Kemudian jala itu terus diguling-gulingkan sehingga tubuh Yu Goan terbelit-belit ketat dan tak dapat berkutik pula!

Melihat ini, Siauw Bwee kaget dan marah sekali. Dengan sin-kangnya yang istimewa kuatnya itu pun Siauw Bwee tidak mampu membikin putus jala dengan pedangnya. Akan tetapi dengan gin-kangnya yang membuat dia bergerak seperti kilat itu membuat mereka yang menggunakan jala tidak mungkin dapat menangkapnya! Dara itu mencelat kesana sini, dikejar bayangan jala sehingga kelihatannya seperti dia bermain-main, diantara dua orang pemegang jala, bermain loncat-loncatan dengan gaya yang indah sekali! Kini keadaannya berubah. Melihat Yu Goan tertawan, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking nyaring, pedangnya bergerak kedepan dan robohlah seorang pemegang jala dengan kulit dada robek dari kiri ke kanan, lukanya cukup dalam karena dalam penyerangannya sekali ini Siauw Bwee menambah tenaganya. "Bebaskan dia, kalau tidak, aku akan membunuh kalian semua!" bentaknya dan bagaikan seekor burung garuda menyambar, tubuhnya sudah melayang ke arah Si Sastrawan, didahului sinar pedangnya yang menyambar. Sastrawan itu cepat mengelak, akan tetapi, "brettt!" kedua helai pita rambut sastrawan itu yang panjang terbabat putus!

"Kalau tidak kaulepaskan dia, lehermu yang akan putus!" Siauw Bwee yang sudah marah sekali itu membentak. Tiba-tiba sastrawan itu menggulingkan tubuhnya, bergulingan dan tahu-tahu ia sudah berada didekat Yu Goan yang sudah terbelenggu seluruh tubuhnya oleh jala dan tak dapat bergerak itu.

"Bergeraklah dan sahabatmu ini akan kubunuh lebih dulu!" Si Sastrawan berseru sambil menodongkan pedang Yu Goan kepunggung pemuda yang rebah miring itu. Siauw Bwee terkejut, terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa Si Sastrawan itu ternyata amat cerdik dan licik. Pada saat dia terkejut dan berdiri termangu itu, tiba-tiba sebuah jala melayang dari atas dan tahu-tahu tubuhnya sudah tertutup jala. Siauw Bwee kaget dan cepat ia mencelat keatas. Jala itu terbawa melayang keatas dan ketika kedua orang pemegangnya menggerakkan tangan, jala itu terputar-putar dengan tubuh Siauw Bwee didalamnya.

Akan tetapi tiba-tiba dara perkasa itu berseru keras dan tubuhnya dalam jala meluncur dengan kekuatan yang luar biasa sehingga dua orang pemegang jala dikanan kiri itu tidak dapat bertahan dan mereka ikut tertarik, roboh terseret kedepan!

Para pengeroyok, dan juga Si Sastrawan yang meninggalkan Yu Goan untuk membantu teman-temannya menundukkan dara yang amat lihai itu, datang menyerbu kearah tubuh Siauw Bwee yang sudah mulai tergulung jala. Akan tetapi, biarpun tubuhnya sudah dibelit-belit jala, Siauw Bwee masih memegang pedangnya dan begitu tubuhnya mencelat kedepan, robohlah tiga orang pengeroyok termasuk Si Sastrawan yang kena ditendang dadanya, seorang dipukul kepalanya dan seorang lagi hampir putus pahanya terkena pedang dara perkasa itu yang meluncur keluar dari dalam jala!

"Tahan....!" Tiba-tiba terdengar seruan halus dan mendengar seruan ini, para pengeroyok seketika menghentikan semua gerakan mereka dan menjatuhkan diri berlutut diatas tanah, kecuali Si Sastrawan yang berdiri dengan muka tunduk kearah kakek yang tiba-tiba muncul ditempat itu.

"Lepaskan mereka berdua! Buka jala-jala itu!" Kembali kakek itu berseru halus dan para pengeroyok tadi kini sibuk membuka jala dari kanan kiri dan melepaskan belitan-belitan yang amat kuat itu.

Yu Goan yang sudah terbebas dari dalam jala, menyambar pedang dan sarung pedangnya yang dilempar diatas tanah oleh Si Sastrawan, kemudian pemuda itu berdiri dekat Siauw Bwee yang sudah bebas lebih dulu. Mereka berdiri memandang kakek yang datang itu dan siap menghadapi segala kemungkinan tanpa mengeluarkan suara. Ketika mereka mengerling kiranya disitu sudah berkumpul banyak sekali orang-orang liar itu. Adapun kakek yang muncul itu agaknya adalah ketua mereka, melihat dari sikap hormat dan takut semua orang liar, kecuali Si Sastrawan yang kelihatannya bersikap takut hormat buatan, sikapnya palsu dan hal ini diam-diam tidak terlepas dari pandang mata Yu Goan dan Siauw Bwee. Kakek itu sudah tua sekali, jenggot dan rambutnya yang tidak terpelihara baik-baik itu sudah putih, matanya yang cekung dan tubuhnya yang jangkung itu amat kurus, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh, lebih mencorong daripada mata orang-orang liar itu! Pakaiannya juga sederhana sekali sehingga tampak jelas betapa bedanya dengan pakaian Si Sastrawan. "Jala-jala itu kubikin untuk menangkap binatang buas, untuk memenuhi kebutuhan perut kita. Mengapa sekarang kalian pergunakan untuk menangkap manusia-manusia? Bukankah aku sudah melarang kalian bertanding dengan orang luar?"

Para pengeroyok tadi tidak ada yang menjawab, hanya berlutut dan menundukkan muka, akan tetapi beberapa orang diantara mereka melirik kearah Si Sastrawan, seolah-olah menyerahkan jawabannya kepada sastrawan itu. Kakek itu dapat menangkap sikap anak buahnya ini, maka dia menoleh kearah sastrawan itu dan berkata, "Ang-siucai, engkau adalah tamu terhormat disini, mengapa membawa anak buah kami untuk mengeroyok dua orang muda ini?"

Sastrawan itu menjura dan menjawab dengan suara tenang, "Harap Pangcu (Ketua) suka memaafkan saya. Karena dua orang ini melanggar wilayah Pangcu dan sikap mereka mencurigakan, maka saya mengusulkan kepada kawan-kawan untuk menangkap mereka dan membawa mereka kedepan Pangcu untuk diadili. Akan tetapi, mereka berdua tidak mau menyerah, bahkan melawan sehingga terjadilah pertempuran."

Kakek itu mengerutkan keningnya. "Hemmm, tidak pernah aku memerintahkan untuk mengganggu orang yang lewat, asal mereka tidak mengganggu kami. Biarlah sekali ini aku tidak akan menghukum anak buahku. Dan kuharap Ang-siucai suka ingat agar tidak melakukan hal seperti ini pula, karena kalau demikian, terpaksa aku tidak akan dapat menganggap engkau sebagai tamu terhormat dan sahabat baik lagi. Nah, harap kalian semua kembali lebih dulu!"

Anak buah orang-orang liar itu bersama Si Sastrawan lalu bangkit dan pergi dari situ dengan kepala menunduk. Mereka itu semua kelihatan patuh dan sama sekali tidak memperlihatkan muka penasaran, akan tetapi dengan kerling matanya Siauw Bwee dapat menangkap ketidak-puasan membayang di wajah sastrawan itu, bahkan mulut sastrawan itu membayangkan senyum mengejek. Hemm, orang itu bukan seorang baik-baik, pikir Siauw Bwee, akan tetapi karena urusan orang-orang itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dia, maka dia pun diam saja dan hanya memandang kakek yang masih berdiri di depannya.

Kakek itu sejenak memandang kepada Yu Goan, kemudian memandang lebih lama dan penuh perhatian kepada Siauw Bwee, kemudian membungkuk dan berkata, "Harap Ji-wi suka memaafkan kekerasan anak buahku yang tidak berpendidikan. Melihat gerakan-gerakan Lihiap tadi, aku percaya bahwa Lihiap tentulah seorang pendekar muda yang menjadi murid seorang sakti."

Siauw Bwee tersenyum. Biarpun sederhana keadaannya, kakek ini tidaklah sebodoh orang-orang kasar tadi, maka dia pun mengangkat kedua tangan memberi horrnat seperti yang dilakukan Yu Goan lalu berkata, "Kami berdua hanya kebetulan lewat saja lewat di hutan sana akan tetapi malam tadi anak buahmu mengintai kami. Kami menjadi curiga dan mengikuti jejak mereka sampai disini dan tiba-tiba kami dikeroyok. Pangcu siapakah dan perkumpulan apakah yang Pangcu pimpin, dan dibawah tebing sana itu.... apakah ada hubungannya dengan Pangcu?"

Tiba-tiba wajah kakek itu berubah agak pucat dan ia cepat menggeleng kepala sambil berkata, "Harap Lihiap tidak bertanya-tanya lebih banyak lagi. Aku sudah mohon maaf atas kelancangan anak buahku. Sudahlah, aku minta dengan hormat sukalah Ji-wi meninggalkan tempat ini dan harap jangan menceritakan orang lain akan keadaan kami, dan jangan pula kembali ke tempat ini. Percayalah, aku seorang tua yang bicara demi kebaikan Ji-wi sendiri." Tiba-tiba kakek itu mengerutkan keningnya, menyentuh dahi dengan tangan kanan, mukanya berubah pucat membiru, matanya dipejamkan, mulutnya menyeringai dan seluruh tubuh tergetar menggigil seperti orang kedinginan hebat. Giginya saling beradu dan akhirnya kakek itu menjatuhkan diri diatas tanah, mengeluh dan mengerang kedinginan, mukanya makin membiru.

"Pangcu...."

"Sssttt....!" Yu Goan mencegah Siauw Bwee dan ketika nona ini memandang temannya, pemuda itu mendekati ketua itu dan memandang penuh perhatian dengan alis berkerut. Kini wajah kakek itu mulai putih kembali, dari biru menjadi putih dan tubuhnya tidak menggigil lagi. Dia dapat duduk bersila tenang dan wajahnya yang pucat itu mulai kemerahan. Akan tetapi betapa terkejut hati Siauw Bwee ketika melihat bahwa muka itu makin lama makin merah dan tubuh kakek itu seolah-olah mengeluarkan hawa panas yang sampai terasa olehnya. Kakek itu kembali tersiksa, kini seperti seekor cacing terkena abu panas, bergulingan diatas tanah!

"Pangcu...." Kembali Siauw Bwee melangkah maju.

"Jangan, biarkan saja. Dia sedang terancam jiwanya oleh penyakit yang amat berat, aku sedang mempelajari penyakitnya."

Seperti tadi Yu Goan mendekat dan memandang penuh perhatian. Siauw Bwee merasa heran dan juga kagum. Kiranya pemuda itu, yang sudah ia saksikan ilmu silatnya yang sungguh tak boleh dikatakan masih rendah tingkatnya, bahkan amat tinggi mutunya, memiliki pula ilmu kepandaian pengobatan! Pemuda yang aneh dan mengagumkan! Kurang lebih satu jam lamanya kakek itu menderita, akhirnya keadaannya tenang kembali. Dia membuka mata, mengeluh dan meloncat bangun, menghapus keringat dari dahi dan lehernya, memandang kepada dua orang muda itu dan berkata perlahan.

"Maafkan.... ah, aku telah membuat Ji-wi kaget saja. Sedikit gangguan kesehatanku...."

"Gangguan kesehatan? Aihh, Pangcu tidak tahukah pangcu bahwa yang Pangcu ceritakan ini bukan sekedar gangguan kesehatan, melainkan ancaman jiwa Pangcu? Pangcu telah menderita keracunan hebat sekali, racun yang menimbulkan hawa meresap kedalam pusar dan mempengaruhi seluruh tubuh Pangcu!"

Kakek itu menjadi pucat wajahnya. "Bagaimana Sicu bisa tahu?"

"Sedikit-sedikit aku tahu akan ilmu pengobatan, Pangcu. Bolehkah aku memeriksanya?"

Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian duduk bersila dan Yu Goan mempersilakan dia membuka bajunya. Dengan gerakan tangan tetap pemuda itu lalu memeriksa denyut nadi, kemudian menempelkan telapak tangan kepusar dan keatas kedua dada kakek itu. Keningnya berkerut tanda bahwa pemuda itu memusatkan pikiran, kemudian berkata, "Benar seperti dugaanku. Pangcu terkena racun yang amat hebat. Bukankah kadang-kadang hawa sin-kang ditubuh Pangcu tak dapat dikendalikan, dipusar terasa sakit seperti ditusuk, dada sesak dan kadang-kadang terasa amat dingin adakalanya amat panas hampir tak tertahankan? Pandangan mata menjadi berkunang telinga terdengar bunyi melengking?"

Kakek itu terbelalak. "Sicu benar! Ahh, kiranya Sicu seorang ahli yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru Sicu?"

"Aku mendapat ilmu pengobatan dari kakekku sendiri yang berjuluk Yok-sanjin."

"Ahh, kiranya Si Raja Obat Song Hai?" kakek itu berseru girang, lalu merangkap kedua tangannya. "Mohon pertolongan Sicu untuk mengobati dan menolong nyawaku."

"Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya yang menderita, Pangcu. Akan tetapi mengobati Pangcu tidaklah mudah, membutuhkan tenaga sin-kang yang amat besar dan pula bukan disini tempatnya."

"Ahh, aku berlaku kurang hormat. Marilah, silakan Ji-wi datang ketempat kami!" Yu Goan mengangguk dan Siauw Bwee memandang

kepadanya dengan penuh rasa kagum. Mereka berdua mengikuti kakek itu pergi meninggalkan tebing menuju kedalam hutan. Ditengah jalan Siauw Bwee berkata, "Wah, kiranya engkau seorang ahli pengobatan yang lihai, Yu-twako."

"Ahh, pengertianku hanya dangkal saja, Lihiap. Pula, aku merasa sangsi apakah aku akan cukup kuat untuk menyembuhkan orang tua ini."

"Harap Sicu jangan khawatir. Berhasil atau tidak bukanlah soal bagiku. Aku tetap berterima kasih kepada Sicu yang telah sudi melimpahkan budi dan berusaha menolong aku, padahal tadi anak buahku telah mengganggu Ji-wi. Bolehkah aku mengetahui Ji-wi yang gagah? Aku sendiri bernama Ouw Teng dan sudah belasan tahun menjadi ketua di sini."

Siauw Bwee dan Yu Goan menjura dan pemuda itu berkata, "Lihiap ini adalah Khu Siauw Bwee, dan aku bernama Yu Goan."

Biarpun kakek itu belum pernah mendengar nama dua orang muda itu, namun karena sudah lama dia tidak muncul didunia kang-ouw, dia percaya bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh muda murid orang pandai, maka ia bersikap menghormat sekali. Setelah melalul jalan berliku-liku, akhirnya tibalah mereka diperkampungan yang sederhana, ditengah hutan gelap akan tetapi tanah didaerah ini amat subur dan sebagian dari hutan itu telah berubah menjadi sawah dan kebun sayur.

"Daerah kami ini jarang didatangi orang luar dan kami hidup tenang di sini, tidak pernah kekurangan makan. Di dalam kesederhanaan kami, kami tidak membutuhkan apa-apa, karena itu kami hidup cukup bahagia," kata Ouw-pangcu sambil mempersilakan kedua orang muda itu memasuki pondok terbesar yang menjadi rumahnya. Orang-orang yang berpakaian sederhana seperti yang mengeroyok mereka tadi, nampak hilir mudik dan sibuk bekerja. Agaknya mereka semua telah mendengar tentang kedua orang muda itu, maka mereka memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani membuka suara karena kini dua orang muda itu datang bersama ketua mereka.

Diam-diam Yu Goan tersentuh oleh ucapan ketua itu. Terbukti kebenaran pelajaran yang pernah ia dengar dari kakeknya bahwa kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang tidak membutuhkan apa-apa! Bahkan tidak membutuhkan kebahagiaan itu sendiri! Keinginan timbul karena panca indera ditempeli pikiran yang membayangkan dan mengenang segala pengalaman kenikmatan jasmani dan kesenangan. Kalau keinginan sudah timbul, maka memuaskan keinginan itulah yang menciptakan kebutuhan. Ada kebutuhan disusul dengan usaha pencarian, yaitu mencari apa yang dibutuhkan. Sungguh berlika-liku dan sulit ditempuh, padahal setelah mencapai apa yang dicari, hanya mendatangkan kesenangan sesaat saja, kemudian dilupakan untuk disambung kebutuhan lainnya yang tak kunjung habis, tak kunjung henti karena kebutuhan itu diciptakannya sendiri tanpa sadar. Betapa mungkin manusia yang selalu dikejar-kejar kebutuhan yang diciptakan sendiri oleh kehausan dan kerakusan akan kenikmatan duniawi, dapat merasakan kebahagiaan? Kebahagiaan bukanlah senang bukan pula susah, bukan untung bukan pula rugi, karena itu tidak ada kebalikannya, tidak ada perbandingannya. Jika masih dapat dibandingkan, itu bukanlah bahagia!

Pondok tempat tinggal Ouw Pangcu cukup besar, akan tetapi amatlah sederhana. Dindingnya terbuat daripada bata bertumpuk-tumpuk secara kasar, daun pintunya dari kayu dengan bentuk bersahaja. Pembaringan kakek ini pun hanya merupakan sebuah dipan bambu! Belum pernah selama hidupnya dua orang muda itu melihat seorang ketua semiskin ini!

Mereka duduk berhadapan diatas dipan, Yu Goan dan Ouw-pangcu. Adapun Siauw Bwee duduk diatas bangku tak jauh dari situ mendengarkan percakapan dua orang itu. Dia sendiri tidak mengerti ilmu pengobatan maka dia hanya ingin menonton bagaimana sahabatnya itu mengobati Ouw-pangcu. "Bagaimanakah aku sampai keracunan? Aku sama sekali tidak pernah bertanding dengan orang lihai dan tidak pernah kena pukul," kata kakek itu, menyatakan keheranannya biarpun dia tidak meragukan keterangan Yu Goan yang cocok dengan penderitaannya. "Engkau tidak terluka oleh pukulan, Pangcu. Akan tetapi karena makanan atau minum sesuatu yang dicampuri racun. Dan racun ini mengacaukan hawa murni ditubuhmu. Karena engkau telah melatih diri dengan sin-kang yang tinggi dan aneh, yang agaknya telah dapat kau kuasai sedemikian rupa sehingga engkau mampu mempergunakan Im-kang dan Yang-kang yang amat kuat, maka kini kedua hawa yang sifatnya bertentangan itu saling menggempur tubuhmu sendiri."

Kakek itu membelalakkan matanya. "Betapa mungkin makanan atau minumanku diracuni orang? Akan tetapi.... keteranganmu tepat sekali, Sicu. Memang aku telah melatih diri dengan sin-kang yang.... yang...." Kakek itu kelihatan ragu-ragu.

"Hemm, bukankah engkau melatih Im-yang-sin-kang secara berbareng dan pandai menggunakan kedua sin-kang itu secara berbareng?" Tiba-tiba Siauw Bwee menyambung ketika melihat kakek itu agak ragu-ragu untuk memberi tahu. Kakek itu makin kaget dan memandang Siauw Bwee penuh kagum. "Engkau tahu akan hal itu, Nona? Bukan main! Agaknya di dunia ini penuh dengan orang-orang muda yang berilmu tinggi! Tidak salah, sesungguhnya ilmuku ini merupakan rahasia, akan tetapi heran sekali mengapa engkau dapat menduga begitu tepat, dan Sicu ini dapat pula memberi keterangan yang cocok."

"Hemm, apa anehnya Pangcu?" Siauw Bwee berkata. "Anak buahmu tidak pandai ilmu silat tinggi, namun mereka rata-rata memiliki sin-kang yang amat kuat. Dan juga sastrawan itu...."

Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat. "Aihh! Apakah bisa jadi....?"

"Apa yang hendak kaukatakan, Pangcu?" Yu Goan berkata. "Racun itu....! Anak buahku tidak mungkin meracuniku, akan tetapi dia.... Ang-siucai itu.... dia banyak mengajarkan ilmu masakan kepada para koki kami! Dan anggur yang dibuatnya itu....!" Tiba-tiba ia menarik napas panjang, kemudian melanjutkan dengan suara lirih hampir berbisik, "Ah, aku sudah membuka rahasia. Akan tetapi agaknya keadaan gawat, dan entah mengapa, timbul kepercayaan besar dihatiku terhadap Ji-wi. Biarlah kuceritakan keadaan kami sebelum engkau mencoba mengobatiku, Sicu."

Kakek ini dengan suara perlahan lalu menceritakan keadaan orang-orang disitu yang dipimpinnya. Dahulu ditempat itu tinggal sekelompok orang, kurang lebih dua ratus orang jumlahnya, yang hidupnya masih terbelakang dan jarang bertemu dengan orang luar. Mereka hidup sederhana, bahkan masih setengah liar. Kemudian muncullah seorang kakek sakti yang aneh dan berilmu seperti dewa. Melihat keadaan sekelompok manusia yang wajar dan sederhana ini, kakek itu lalu memimpin mereka dan mengajarkan ilmu kepandaian agar mereka itu dapat menjaga diri, dan dapat mengalahkan segala tantangan hidup dalam dunia yang masih liar itu.

"Karena pimpinan Locianpwe itulah maka kami memiliki sedikit ilmu kepandaian sehingga kami dapat menangkap binatang buas yang bagaimana kuatpun. Akan tetapi, sungguh celaka, nasib buruk menimpa kami. Tidak lama setelah Locianpwe itu berada disini dan beliau suka sekali hidup diantara orang-orang yang masih sederhana, wajar dan liar seperti kami, malapetaka menimpa kami, yaitu berupa penyakit yang menyeramkan."

"Penyakit apakah, Pangcu?" Siauw Bwee bertanya, hatinya tertarik sekali mendengar penuturan itu dan menduga-duga siapa gerangan kakek sakti itu.

"Penyakit kusta."

"Kusta....?" Yu Goan sebagai seorang ahli pengobatan tentu saja merasa ngeri mendengar penyakit yang belum pernah dapat diobati itu. "Lalu bagaimana, Pangcu?"

"Inilah sebetulnya rahasia besar kami yang sekarang kubuka kepada Ji-wi karena Ji-wi sudah kuanggap bukan orang lain. Mereka yang terkena penyakit itu terpaksa harus menjauhkan diri agar jangan sampai menular kepada orang lain. Hal ini diatur oleh Locianpwe itu dan mereka itu ditempatkan dilembah."

"Di bawah sana itu? Jadi orang-orang dibawah itu adalah penderita-penderita penyakit kusta?" tanya Siauw Bwee. "Benar, jadi diantara mereka dan kami sebenarnya masih ada hubungan erat, bahkan masih keluarga, dan lebih lagi, diantara mereka yang menderita itu terdapat ketua kami yang dahulu dipilih oleh Locianpwe itu sehingga sampai sekarang pun, tingkat mereka lebih tinggi dari pada kami orang-orang penghuni hutan dibukit ini. Karena penderitaan mereka itulah, Locianpwe menurunkan ilmu melatih sin-kang yang disebut Jit-goat-sin-kang (Hawa Sakti Matahari Bulan). Hanya mereka yang berada dilembah saja yang memperoleh ilmu itu, dan diatas sini hanya ketuanya, yaitu aku sendiri yang mendapatkan ilmu itu. Aku melatih sin-kang itu dengan mengambil tenaga sakti matahari dan bulan, kulatih bertahun-tahun. Siapa mengira, sekarang aku menjadi korban dari sin-kang itu sendiri."

"Kenapa engkau keracunan, Pangcu. Dan agaknya ada orang yang sengaja meracunimu," kata Yu Goan. "Tentu orang yang tahu akan Jit-goat-sin-kang, dan satu-satunya.... hemmm, hanya Ang-siucai yang kuberi tahu akan rahasia ilmu itu untuk membalas budinya. Setelah Locianpwe itu pergi beberapa tahun yang lalu, datanglah Ang-siucai sebagai utusan pemerintah yang bersikap baik sekali kepada kami, mengajarkan masak dan baca tulis. Mungkinkah dia....? Aihh, jangan-jangan sikap beberapa orang anak buahku yang berubah ini pun hasil perbuatannya! Celaka, dan aku terluka. Ah, Sicu, tolonglah aku agar aku dapat menyelidiki hal ini dan mencegah terjadinya hal yang lebih hebat lagi. Aku khawatir kalau-kalau akan terjadi pemberontakan disini. Dalam beberapa bulan ini aku sudah melihat gejala-gejala perlawanan dan sikap tidak mau menaati perintahku, termasuk penyerangan mereka kepada Ji-wi tadi."

"Baik, Pangcu. Akan kucoba. Silakan Pangcu duduk bersila dan aku akan membantumu membersihkan hawa beracun yang mengacaukan sin-kang ditubuhmu." kata Yu Goan. Pemuda ini lalu duduk bersila diatas dipan, dibelakang kakek itu, kemudian ia menempelkan kedua telapak tangannya diatas punggung yang telanjang itu, mengerahkan sin-kangnya. Tak lama kemudian, Yu Goan berteriak keras dan tubuhnya terpelanting jatuh dari atas dipan, mukanya pucat penuh keringat dan matanya terbelalak.

Siauw Bwee cepat menyambar lengan Yu Goan dan membantu pemuda itu berdiri. Kakek itu menoleh dan mengerutkan alisnya yang putih. "Bagaimana, Sicu?"

"Bagaimana, Twako? Kenapa kau jatuh?" Siauw Bwee juga bertanya. Yu Goan mengusap peluhnya dan menggeleng kepala. "Percuma. Agaknya Jit-goat-sin-kang yang kaumiliki itu luar biasa kuatnya, Pangcu. Aku tidak kuat menahan. Untuk mengobatimu membutuhkan orang yang memiliki sin-kang jauh lebih tinggi daripada kekuatanmu sendiri. Sin-kangmu yang dua macam saling berlawanan itu mana mungkin dilawan orang biasa seperti aku? Yang mengobati harus membagi tenaganya, sebagian untuk menahan penolakan Jit-goat-sin-kang yang berlawanan itu, sebagian untuk mengirim hawa murni kepusarmu dan membantumu menguasai kembali sin-kangmu dan bersama-sama mengusir hawa beracun. Tak mungkin aku melakukannya, bahkan seluruh sin-kangku masih tidak kuat menghadapl pergolakan Jit-goat-sin-kang yang saling berlawanan itu, apalagi untuk mengusir hawa beracun."

"Aihh, sudah nasibku. Untuk menghadapi maut, bagiku bukan apa-apa, karena aku pun sudah cukup tua. Akan tetapi kalau yang kukhawatirkan terjadi, kalau sampai timbul pemberontakan, celakalah anak buahku semua...." Kakek itu mengeluh dengan air muka berduka sekali.

"Pangcu, jangan khawatir. Aku akan membantumu mengobati penyakitmu. Twako, jelaskan apa yang harus kulakukan?"

"Khu-lihiap...., hal itu.... berbahaya sekali. Jit-goat-sin-kang ditubuhnya liar dan amat kuatnya. Salah-salah engkau akan terluka parah disebelah dalam tubuhmu!"

"Sicu benar, Lihiap. Harap jangan main-main dan mengorbankan diri sendiri untukku," Ouw-pangcu juga berkata dengan hati tulus.

Siauw Bwee tersenyum. "Kalau belum dicoba mana kita tahu, Twako? Biarlah aku mencobanya."

"Khu-lihiap, ini bukan main-main, mana boleh dicoba-coba? Aku tahu bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada tingkatku. Aku tidak hendak mengatakan bahwa sin-kangmu lebih lemah daripada sin-kangku, akan tetapi betapapun, tak mungkin dapat melawan Jit-goat-sin-kang yang liar ditubuh Ouw-pangcu."

Kembali Siauw Bwee tersenyum. "Ouw-pangcu, Locianpwe yang kausebutkan tadi, apakah dia seorang kakek bertubuh kecil seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar sekali dan namanya Bu-tek Lo-jin?"

Ouw-pangcu begitu kaget mendengar ini sampai dia meloncat turun dari dipan dan memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak. "Ini.... ini.... rahasia besar.... bagaimana Lihiap bisa tahu....?" tanyanya gugup dan Yu Goan juga terkejut. Dia pernah mendengar dari ayahnya akan nama Bu-tek Lo-jin itu, seorang manusia setengah dewa yang sakti dan aneh sekali, bahkan lebih terkenal daripada nama Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang kakek beradik yang tidak lumrah manusia itu dan hanya kalah kebesaran dan keanehannya oleh Bu Kek Siansu!

"Karena engkau telah mempercayakan rahasiamu kepadaku, Pangcu, dan karena aku sudah percaya penuh kepada Yu-twako, maka tidak perlu aku menyembunyikan rahasia diriku lagi. Aku mendengar nama besar Bu-tek Lo-jin dari suhengku ketika aku digemblengnya di Pulau Es."

"Pulau Es....?" Kini seruan itu keluar hampir berbareng dari mulut Yu Goan dan Ouw-pangcu.

"Khu-lihiap, jadi engkau.... murid penghuni Istana Pulau Es? Engkau murid manusia dewa Bu Kek Siansu....?" Yu Goan bertanya dengan mata terbelalak.

Siauw Bwee tersenyum, mengangguk. "Aku murid beliau, akan tetapi beliau tidak ikut bersama kami ke Pulau Es dan yang mengajarku adalah Suheng. Penghuni Pulau Es hanyalah kami bertiga, aku, suciku dan suhengku."

"Ah, aku bersikap kurang hormat....!" Ouw-pangcu cepat menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi baru setengahnya, tangan Siauw Bwee telah menangkap lengannya dan sekali tarik, tubuh kakek itu telah melayang keatas dipan! Kakek itu duduk bersila dan memejamkan mata sambil berkata, "Khu-lihiap penghuni Istana Pulau Es, aku menyerahkan nyawaku ketangan Lihiap!"

"Jangan terlalu sungkan, Ouw-pangcu. Aku pun belum dapat menentukan apakah aku akan dapat menyembuhkanmu. Twako, jangan banyak pujian dan sungkan-sungkan lagi, lekas terangkan bagaimana caranya mengobati luka Ouw-pangcu."

Dengan keheranan dan kekaguman masih menyelubungi hatinya, Yu Goan lalu memberi petunjuk. Tiba-tiba terdengar suara gaduh diluar, suara beradunya senjata dan teriakan anak buah Ouw-pangcu, "Pemberontak! Pengkhianat! Manusia palsu Ang Hok Ci!"

Ouw-pangcu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dengan tenang Siauw Bwee berkata, "Twako, kau menjaga dipintu, biar aku mengobatinya." Lalu dara perkasa ini menempelkan kedua telapak tangannya kepunggung kakek itu. Ouw-pangcu hendak melawan karena ingin dia menghadapi para pemberontak, akan tetapi sungguh aneh, tenaga Jit-goat-sin-kang ditubuhnya tiba-tiba bertemu dengan sin-kang yang amat kuat, juga sin-kang yang keluar dari kedua tangan dara itu merupakan dua macam sin-kang, panas dan dingin. Dia terheran-heran. Apakah dara ini pandai pula Jit-goat-sin-kang? Sebenarnya bukanlah demikian, Siauw Bwee tidak pernah melakukan ilmu sin-kang dari inti hawa sakti matahari dan bulan, akan tetapi dia berlatih di Pulau Es dibawah petunjuk Han Ki dan menurut kitab-kitab pelajaran Bu Kek Siansu tentu saja dia menguasai Yang-kang dan Im-yang dengan baiknya. Sementara itu, diluar pondok terjadi perang yang amat seru. Anak buah yang masih setia kepada Ouw-pangcu diserbu anak buah lain yang telah dipengaruhi Ang Hok Ci atau Ang-siucai. Kiranya diam-diam Ang-siucai selama setengah tahun berada disitu, telah menurunkan ilmu silat kepada para kawan yang dipengaruhinya sehingga dalam pertempuran itu, anak buah Ouw-pangcu banyak yang roboh dan tewas.

"Bunuh Ouw-pangcu!" terdengar teriakan Ang-siucai dan ternyata bahwa kini selain Ang-siucai dan para anak buah yang dapat dipengaruhinya, muncul pula beberapa orang kawan Ang-siucai yang datang dari luar dan pada saat itu sudah menyerbu masuk perkampungan itu untuk membantu pemberontakan yang dicetuskan oleh sastrawan itu! Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan Ang-siucai sendiri sekarang pun tidak pura-pura. Biasanya, dia menyembunyikan kepandaiannya maka ia selalu bergerak dengan kaku seperti orang-orang di situ, akan tetapi sekarang, disamping tenaga Jit-goat-sin-kang yang telah dimilikinya walaupun belum mencapai tingkat tinggi, dia juga menggunakan ilmu silatnya sendiri yang ternyata cukup hebat. Seorang demi seorang robohlah para pengikut Ouw-pangcu dan sebagian kini menyerbu kepondok tempat tinggal Ouw-pangcu! Daun pintu dibobol dari luar dan Yu Goan cepat menggerakkan pedangnya, merobohkan orang pertama yang menyerbu masuk. Pemuda itu maklum bahwa selagi Siauw Bwee mengobati Ouw-pangcu, kedua orang itu tidak berdaya untuk membantunya. Bahkan kalau mereka berdua diganggu, amat berbahaya bagi keselamatan mereka. Selain itu, cara pengobatan menggunakan sin-kang itu tidak dapat dihentikan ditengah jalan karena hal ini akan membahayakan yang diobati. Dia harus dapat bertahan seorang diri sampai Siauw Bwee selesai mengobati kakek itu.

Dua orang dengan gerakan liar menyerbu masuk dengan tangan memegang golok. Mereka menyerang berbareng kearah Yu Goan. Pemuda ini sudah melolos pedang dan sarung pedangnya karena dia maklum akan menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Melihat datangnya dua batang golok yang digerakkan dengan tenaga kuat itu, ia menangkis dengan pedang dan sarung pedangnya. Untung baginya bahwa dua orang itu hanya me miliki tenaga sin-kang yang amat kuat akan tetapi gerakan mereka sama sekali tidak berbahaya, maka begitu menangkis, pedangnya terus berkelebat kekanan kiri menusuk dada dan menyabet perut. Dua orang itu berteriak keras, akan tetapi benar-benar tubuh mereka kebal, karena tusukan kearah dada itu meleset dan hanya mendatangkan luka pada kulit, sedangkan sabetan pada perut hanya merobek baju dan kulit. Dua orang itu sambil berteriak kaget sudah menerjang lagi dengan buas, akan tetapi Yu Goan yang melihat betapa dibelakang dua orang itu menyerbu banyak sekali lawan, bergerak cepat sekali. Serangan orang disebelah kanannya ia elakkan sehingga orang itu terhuyung kebelakang, cepat pedangnya dibalik dan secara tiba-tiba pedangnya menusuk kebelakang dan tepat menancap pada punggung lawan ini yang menjerit dan muntahkan darah segar dari mulutnya lalu terjungkal. Adapun penyerangnya dari kiri ia sambut dengan totokan sarung pedang pada pergelangan tangan orang itu sehingga goloknya terlempar karena tangan itu menjadi lumpuh. Pedang Yu Goan menyambar, kini mengarah leher dan biarpun leher itu juga kebal, namun goresan mengenai jalan darah dileher sehingga tampak getar ketika bertemu dengan golok yang dipegang seorang berpakaian seperti orang Han, dahinya lebar sekali dan gerakan goloknya aneh dan tangkas. Bersama orang ini, menyerbu pula enam orang liar dan Yu Goan segera dikeroyok didepan pintu. Pemuda ini memutar pedang dan sarung pedangnya. Namun kepandaian orang Han yang menjadi kawan Ang-siucai itu benar-benar tak dapat dipandang ringan sehingga Yu Goan harus bersikap hati-hati sekali. Dia memutar pedang dan sarung pedang, berloncatan kesana-sini tanpa meninggalkan posisinya melindungi Siauw Bwee yang sedang mengobati Ouw-pangcu di sebelah belakangnya. Dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok pula, akan tetapi kini Ang-siucai sendiri bersama teman-temannya datang, dan Yu Goan terkurung oleh delapan orang termasuk Ang-siucai, dan dua orang Han yang lihai! Yu Goan bukanlah seorang pendekar muda biasa. Dia adalah putera tunggal pendekar besar Yu Siang Ki, keturunan langsung dari tokoh-tokoh besar Ketua Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis pendekar yang amat terkenal itu. Ayahnya sendiri yang telah menggemblengnya dalam ilmu silat, bahkan ayahnya yang menjadi seorang ahli ilmu tongkat keluarga Yu, telah mengubah ilmu pedang dari ilmu tongkatnya itu. Kini, Yu Goan mainkan pedang ditangan kanan dan sarung pedang ditangan kiri yang dipergunakan sebagai tongkat, dapat menangkis dan juga menotok jalan darah lawan!

Namun, jumlah pengeroyok terlalu banyak. Roboh dua maju empat orang dan sebentar saja banyak lawan menyerobot masuk sehingga Yu Goan menjadi sibuk dan bingung juga karena dia harus melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu. Andaikata dia tidak harus melindungi dua orang itu, tentu saja sejak tadi dia sudah meloncat keluar mencari tempat yang lebih luas agar enak dia mengamuk. Kini, ditempat sempit itu, dan separuh perhatiannya ia tujukan untuk melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu, tentu saja dia kurang menjaga diri sendiri sehingga beberapa kali dia terkena sambaran senjata yang bagaikan hujan datangnya. Pundaknya, pangkal lengan kirinya dan paha kanannya sudah terluka, namun Yu Goan tak pernah berhenti bergerak menahan musuh yang seolah-olah air bah mengancam Siauw Bwee dan Ouw-pangcu.

"Kurung dia rapat-rapat!" Ang-siucai berseru dan kini dua belas orang mengepung Yu Goan. Pemuda ini bingung sekali karena dia tidak dapat lagi melindungi Siauw Bwee. Baginya hanyalah Siauw Bwee yang penting maka kembali dia terkena tusukan ujung golok pada dada kanannya yang mengakibatkan luka lumayan dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena dia nekat meloncat keluar dari kepungan mendekati Siauw Bwee. Pada saat itu, dua orang liar telah dekat dibelakang Siauw Bwee, telah mengangkat golok hendak membacok wanita muda yang duduk bersila dan memejamkan mata, kedua telapak tangan menempel dipunggung Ouw-pangcu itu. "Trang-trang! Cepp! Cepp!" Dalam kemarahan dan kegelisahannya, Yu Goan menangkis golok dari belakang, kemudian dua kali pedangnya amblas memasuki lambung dua orang itu yang tidak sempat mengerahkan sin-kang karena serangan itu datangnya amat cepatnya. "Bukkk! " Tubuh Yu Goan terguling ketika pukulan tangan kiri Ang-siucai mengenai punggungnya. Belasan batang golok dan pedang menghunjam kebawah mengarah tubuh pemuda ini, akan tetapi dengan sikap seperti seekor burung terbang, tubuh Yu Goan sudah mencelat keatas dan terdengar bunyi nyaring ketika pedang dan sarung pedangnya menangkis sekian banyaknya senjata! Kesempatan ini dipergunakan oleh dua orang Han pembantu Ang-siucai untuk menerjang Siauw Bwee dari belakang. Mereka telah melihat Siauw Bwee dan diam-diam mereka ini tergila-gila, maka ketika mereka menerjang, mereka tidak ingin membunuh dara jelita itu, melainkan ingin menangkapnya. Dua orang ini menubruk dan karena tanpa berunding lebih dulu memang mereka mempunyai nafsu hati yang sama, seorang mencengkeram pundak kiri Siauw Bwee dan orang kedua mencengkeram pundak kanan. Niat hati mereka, dara itu akan ditangkap, dipeluk, dipondong dan dibawa lari!

"Auugghhh!"

"Aiiighhh!"

Dua orang itu begitu menyentuh pundak Siauw Bwee, terpelanting dan terbanting keatas lantai. Yang memegang pundak kiri seketika menjadi kejang, mula-mula menggigil lalu mati kaku dengan muka dan tubuh membiru karena darahnya telah membeku terserang Im-kang yang dahsyat. Adapun yang menyentuh pundak kanan tadi menjadi hitam seluruh tubuhnya dan mati seperti orang terbakar karena darahnya telah terbakar oleh Yang-kang!

"Ihhhh....!" Ang-siucai berteriak kaget dan memberi aba-aba kepada para kawannya agar tidak menyerang nona itu. Namun terlambat dua orang pembantunya, anak buah Ouw-pangcu yang memberontak telah menusukkan golok mereka kepunggung Siauw Bwee. Begitu ujung golok menyentuh punggung, keduanya memekik dan terjengkang kebelakang dan mati seketika! Pada saat itu Siauw Bwee sedang mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, dan tenaga itu bercampur dengan tenaga Jit-goat-sin-kang dari Ouw-pangcu, maka dahsyatnya bukan kepalang. Tenaga itu seolah-olah melindungi tubuh mereka berdua dan tentu saja penyerang

yang kurang kuat sin-kangnya akan mati seketika seperti yang dialami empat orang sembrono itu. Ang-siucai membawa teman-temannya keluar dan kini pertandingan dilanjutkan di luar. Pihak pengikut Ouw-pangcu terdesak hebat dan Yu Goan yang masih mengamuk dan terkurung dan terdesak karena pemuda perkasa ini sudah menderita banyak luka. Keadaannya berbahaya, sekali, namun Yu Goan sedikit pun tidak menjadi gentar dan, bertekad melawan sampai detik terakhir. Ouw-pangcu menghela napas panjang, tubuhnya bergerak dan ia berkata dengan suara nyaring, "Terima kasih, Lihiap. Budimu takkan kulupakan dan ternyata Lihiap tidak kecewa menjadi murid Bu Kek Siansu!"

"Tidak perlu berterima kasih, Pangcu. Lebih baik lekas kita membantu Yu-twako." Kedua orang ini meloncat keluar. Ouw-pangcu masih bertelanjang baju dan tangannya sudah menyambar goloknya yang tadi tergantung didinding, begitu tiba di luar, Siauw Bwee dan Ouw-pangcu mengamuk. Terutama sekali Ouw-pangcu yang masih menyaksikan Yu Goan menderita banyak luka dan orangnya banyak yang tewas. Ketua ini mengamuk seperti harimau terluka dan banyak kaum pemberontak roboh dan tewas diujung golok atau dibawah telapak tangan kirinya. Namun, ketika para pemberontak melemparkan senjata dan berlutut minta ampun, diantara mereka tidak terdapat Ang-siucai dan kawan-kawannya yang telah lebih dulu melarikan diri. Hanya dua orang Han yang  menyerang Siauw Bwee tadi yang tewas, selebihnya telah berhasil melarikan diri semua. Ouw-pangcu yang merasa penasaran, mengerahkan orang-orangnya untuk melakukan pengejaran, namun Ang-siucai dan teman-temannya lenyap seperti ditelan bumi. Dengan hati penuh penasaran dan duka Ouw-pangcu memimpin anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan, dan mengobati yang terluka. Yu Goan mencerita luka, namun tidak ada yang berbahaya sehingga setelah mengobati dirinya sendiri, pemuda perkasa ini masih sibuk mengobati anak buah Ouw-pangcu yang terluka.

Hati Ouw-pangcu menjadi terharu sekali. Dia menjatuhkan diri berlutut didepan Siauw Bwee dan Yu Goan. Ketika dua orang itu menolak dan membujuknya untuk berdiri, dia berkata, "Aku tidak mau berdiri kalau Ji-wi tidak suka menjadi anak-anak angkatku!"

Yu Goan dan Siauw Bwee saling pandang akhirnya keduanya mengangguk.

"Baiklah, Gihu!"

"Bangkitlah sekarang, Gihu!" kata pula Siauw Bwee yang mencontoh Yu Goan menyebut gihu (ayah angkat) kepada kakek itu. Ouw-pangcu melompat bangun, tertawa bergelak dan merangkul pundak kedua orang muda itu, memandang muka mereka saling berganti penuh kebanggaan. "Ha-ha-ha-ha! Mempunyai dua orang anak angkat seperti kalian, biar sekarang mati pun aku akan mati dengan senyum bahagia!"

Siauw Bwee dan Yu Goan menjadi terharu sekali dan diam-diam mereka tidak menyesal, bahkan bangga mempunyai seorang ayah angkat yang demikian gagah perkasa, jujur, dan hidup dalam keadaan wajar. "Marilah, anak-anakku. Marilah kuajarkan ilmu melatih sin-kang untuk memperoleh tenaga inti matahari dan bulan. Kebetulan bulan sedang purnama malam ini, kau bisa mulai."

Bagi Yu Goan tentu saja ilmu ini merupakan keuntungan besar bukan main dan dengan tekun ia mulai melatih diri. Bagi Siauw Bwee, sesungguhnya dia memiliki sin-kang yang lebih dahsyat daripada yang dimlilki Ouw-pangcu, akan tetapi ketika dia mempelajari teori pelajaran ini, dia mendapat kenyataan bahwa kalau orang dapat mencapai tingkat tertinggi dari ilmu ini, bukan saja akan memliki sin-kang yang dahsyat, pun akan dapat memetik hawa mujijat dari matahari dan bulan! Maka dia pun lalu mempelajari dengan teliti dan mulai berlatih bersama Yu Goan. Ouw Teng, ketua penghuni tebing dan hutan itu, bersikap amat baik kepada Yu Goan dan Siauw Bwee. Kakek ini tidak mempunyai isteri atau anak, dan rasa terima kasih membuat dia berusaha sedapatnya untuk menyenangkan hati kedua orang anak angkatnya. Dia menceritakan segala hal mengenai keadaan para penghuni disitu tanpa menyimpan rahasia. Anak buahnya, yaitu para penghuni tebing dan hutan, tadinya berjumlah seratus orang lebih. Mereka membentuk keluarga disitu dan beranak bini. Akan tetapi pemberontakan itu menewaskan belasan orang anak buahnya, sedangkan yang terbujuk oleh Ang-siucai dan tewas serta melarikan diri, ada tiga puluh orang.

Setelah tinggal ditempat itu selama dua bulan, Siauw Bwee dan Yu Goan mendapat kenyataan betapa orang-orang itu sesungguhnya hidup jauh lebih bahagia daripada orang-orang kota. Dan sesungguhnya mereka hidup dengan tenang, tenteram dan penuh damai. Tidak pernah ada percekcokan. Tidak pernah ada pencurian karena mereka tidak mengenal istilah mencuri. Semua benda yang terdapat disitu adalah milik mereka bersama dan siapa yang membutuhkan boleh mengambilnya. Tidak ada iri hati karena keadaan hidup mereka sama, bahkan Ouw-pangcu sendiri hidupnya tidak berbeda dengan mereka.

Melihat keadaan ini, Siauw Bwee diam-diam membenarkan Bu-tek Lo-jin yang menaruh kasihan dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Hidup secara liar seperti itu tentu saja lebih membutuhkan kekuatan untuk melawan ancaman binatang buas, penyakit yang timbul dari hawa udara dan lain ancaman lagi. Karena melihat bahwa mereka itu hanya memiliki kekebalan, Siauw Bwee lalu mengajarkan beberapa jurus ilmu pukulan dan ilmu meringankan tubuh. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ketika malam-malam mereka mengintai dia dan Yu Goan, mereka itu melenyapkan diri bukan karena memiliki gerakan cepat, melainkan karena mempunyai tempat persembunyian dihutan-hutan yang tentu saja sudah mereka kenal betul keadaannya. Pula, karena mata mereka mengeluarkan cahaya mencorong berkat sin-kang mereka, maka begitu mereka memejamkan mata dan mendekam ditempat gelap, Siauw Bwee tidak dapat melihat mereka. Bagi Siauw Bwee yang sudah mengalami banyak hal aneh, bahkan pernah tinggal ditempat Pulau Es yang sunyi, kini tinggal didalam hutan di antara orang-orang yang demikian sederhana hidupnya, ia merasakan ketenteraman hati yang amat menyenangkan. Ia merasa kerasan ditempat itu, hidup diantara pohon-pohon dan tanaman-tanaman liar, tidak pernah terlihat kemewahan kota, tidak pernah melihat kesibukan manusia mengejar uang, tidak pernah melihat percekcokan-percekcokan.

Juga Yu Goan, disamping tekun melatih diri dengan Ilmu Jit-goat-sin-kang, juga merasa amat senang tinggal disitu. Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Siauw Bwee, pemuda ini maklum bahwa jangankan tinggal ditempat yang tenang itu, biar tinggal didalam neraka sekalipun dia akan merasa senang kalau disitu terdapat Siauw Bwee disampingnya! Pemuda ini menyadari sedalamnya bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara jelita yang sakti itu. Jatuh bertekuk lutut, mencinta Khu Siauw Bwee bukan hanya dengan jiwa raganya, melainkan seluruh hidupnya seakan-akan kini ia tujukan demi cinta kasihnya kepada dara itu! Dia tidak berani mengeluarkan isi hatinya, akan tetapi setiap pandang matanya, suaranya, gerak-geriknya jelas membayangkan cintanya yang amat mendalam.

Siauw Bwee sendiri bukan tidak tahu akan perasaan pemuda itu, dan hal ini amat mengganggu hatinya. Dia suka kepadanya. Yu Goan yang ia tahu adalah seorang pemuda yang amat halus budi pekertinya, seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, bukan hanya dalam ilmu silat, juga dalam kesusastraan dan ilmu pengobatan, sopan-santun dan jujur, pendeknya seorang pemuda pilihan. Akan tetapi, hatinya yang sudah jatuh cinta kepada suhengnya Kam Han Ki, tidak mungkin mencinta pria lain. Dia merasa kasihan kepada Yu Goan, terharu kalau melihat betapa sinar mata pemuda itu memandangnya penuh kasih, dan ia mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaan pemuda itu dengan satu-satunya jalan yang ia ketahui, yaitu memisahkan diri dari pemuda itu.

Pagi itu mereka berdua berlatih di waktu matahari mulai naik tinggi, duduk bersila dan melatih sin-kang menerima cahaya matahari dan membiarkan sinar matahari yang mengandung inti hawa panas yang menjadi sumber segala hawa panas itu meresap kedalam tubuh mereka. Setelah mereka menghentikan latihan mereka dan tubuh mereka basah oleh peluh, mereka mengaso dibawah pohon yang teduh sambli menghapus peluh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Bwee untuk mengutarakan keinginan hatinya.

"Yu-twako, kurasa kita sudah cukup memahami cara melatih diri dengan Jit-goat-sin-kang. Kini yang penting hanya tinggal melatih diri yang dapat kita lakukan dimanapun juga. Sudah terlalu lama kita tinggal ditempat ini."

Yu Goan menoleh dan memandang dara itu dengan matanya yang lembut. Kemudian ia berkata, "Ucapanmu benar, Lihiap...."

"Aihh, sudah berapa kali aku minta agar engkau tidak menyebutku dengan lihiap, Twako. Bukankah sejak lama aku menyebutmu Twako?"

"Terima kasih, ....eh, Bwee-moi. Sesungguhnya engkau baik sekali dan aku merasa amat beruntung diperbolehkan menyebutmu adik. Akan tetapi, engkau adalah seorang pendekar wanita yang tiada keduanya didunia ini, dan aku.... aku merasa terlalu rendah untuk manyebutmu adik."

"Omongan apakah ini? Aku hanya seorang manusia biasa, Twako. Kalau kau tidak menyebutku adik, aku tidak mau menjawabnya."

"Baiklah, Bwee-moi. Maafkan aku. Apa yang kaukatakan tadi benar bahwa kita sudah memahami Jit-goat-sin-kang dan sudah terlalu lama tinggal disini mengganggu ayah angkat kita. Akan tetapi...., kita akan pergi kemanakah?" Inilah yang berat bagi Siauw Bwee dan semua tadi ia ucapkan hanya untuk dipergunakan sebagai alasan belaka. Maksudnya hanya untuk mencari jalan agar ia dapat memisahkan diri dari pemuda ini. "Aku akan melakukan perjalananku mencari suci dan suheng, Twako. Kita berpisah disini, aku melanjutkan perjalanan dan engkau pun melanjutkan perjalananmu sendiri."

Dengan hati perih Siauw Bwee melihat betapa wajah yang tampan itu menjadi pucat, mata itu memandangnya dengan sinar mata penuh permohonan. "Bwee-moi...., mengapa.... mengapa kita harus saling berpisah? Bukankah kita dapat melakukan perjalanan bersama? Aku akan membantumu mencari suheng dan sucimu sampai engkau dapat bertemu dengan mereka!"

Siauw Bwee menggeleng kepalanya. "Twako, engkau baik sekali dan percayalah bahwa aku selamanya tidak akan melupakan engkau sebagai seorang sahabat yang paling baik, bahkan sebagai saudara angkat karena setelah kita berdua menjadi anak-anak angkat Ouw-pangcu, kita pun menjadi saudara angkat. Akan tetapi, tidak baik kalau kita melakukan perjalanan bersama, apalagi aku tidak ingin menyusahkanmu. Urusan pribadiku masih amat banyak, dan engkau sendiri tentu mempunyai urusan pribadi. Biarlah kita berpisah disini dan tentu kelak kita masih akan dapat saling berjumpa kembali."

Yu Goan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya untuk menyembunyikan kedukaan yang membayang diwajahnya. "Ah, Bwee-moi.... aku mohon kepadamu, jangan aku harus berpisah darimu.... jangan kita saling berpisah lagi...." Siauw Bwee tentu saja sudah menduga akan isi hati pemuda ini, akan tetapi ia mengeraskan hati, memandang dengan alis berkerut dan bertanya dengan suara nyaring mendesak, "Twako! Apa maksudmu dengan kata-kata itu?"

Yu Goan menurunkan kedua tangannya dan memandang wajah dara itu dengan muka pucat namun sinar mata membayangkan isi hatinya tanpa disembunyikan lagi. Suaranya menggetar, namun ia memaksa diri untuk menggunakan saat itu mengeluarkan semua isi hatinya. "Bwee-moi, dengarlah. Semenjak saat pertama aku melihatmu, kemudian mendengar bahwa engkau adalah puteri dari mendiang pahlawan Khu Tek San, cucu murid Menteri Kam Liong, kemudian dilanjutkan melihat sepak terjangmu, menyaksikan kelihaian ilmu kepandaianmu dan watakmu yang amat mulia, aku telah jatuh cinta kepadamu! Tidak tahukah engkau, Bwee-moi? Aku cinta kepadamu, Bwee-moi, dan aku tidak akan dapat hidup kalau harus berpisah dari sampingmu. Engkau telah menjadi separuh nyawaku dan aku...."

"Cukup, Twako!" Siauw Bwee berkata keras, tidak marah, hanya sengaja memperkeras sikapnya untuk "mengobati" penyakit yang menyerang hati pemuda itu. "Aku bukan seorang buta yang tidak melihat tanda-tanda itu semua, dari sinar matamu, dari suara dan gerak-gerikmu. Aku tahu bahwa engkau sudah jatuh cinta kepadaku. Akan tetapi, karena aku tahu pula bahwa amat tidak mungkin bagiku untuk membalas perasaan hatimu itu, aku mengambil keputusan bahwa kita harus saling berpisah sebelum penyakitmu menjadi makin berat."

Yu Goan memandang dengan mata terbelalak kosong, sekosong hatinya yang mengalami pukulan hebat. Wajahnya yang pucat, matanya yang memandang kosong, mulutnya yang agak terbuka seolah-olah sukar mengeluarkan suara, merupakan ujung pedang yang menusuk hati Siauw Bwee. "Meng.... mengapa tidak mungkin...., Bwee-moi?" Suara ini lebih mirip rintihan yang membuat Siauw Bwee memejamkan mata sejenak. Ketika dibukanya kembali, dua titik air mata menetes turun. Sejenak dia memandang wajah Yu Goan yang pucat, rambutnya yang mawut, matanya yang sayu, mulutnya yang tertarik derita hatinya. Ahhh, betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, pikiran ini seperti kilat memasuki kepalanya. Akan tetapi disana ada Kam Han Ki dan dia tidak mau menukar suhengnya itu dengan pria lain yang manapun juga, betapa tampan dan baik pun! "Yu-twako, aku suka kepadamu, aku menganggap engkau sebagai sahabat terbaik, bahkan sebagai saudara, akan tetapi tidak mungkin aku membalas cintamu karena.... karena cinta kasihku telah dimiliki pria lain, Twako."

Yu Goan terbelalak, kemudian kedua lengannya bergerak keatas, yang kanan menjambak rambut sendiri, yang kiri menutupi muka, tubuhnya gemetar dan suaranya menggetar, "Ahhhh.... maafkan aku, Bwee-moi.... maafkan aku....!"

Siauw Bwee memegang kedua tangan Yu Goan dan menariknya turun. Ia memandang air mata yang menetes-netes turun diwajah yang pucat itu, menahan air matanya sendiri dan mengeraskan suaranya, "Twako! Begini lemahkan engkau? Seorang pemuda gagah perkasa, begini sajakah kekuatan batinmu?"

Yu Goan memandang dara itu, lalu memejamkan mata dan menundukkan mukanya. "Maafkan aku.... maafkan...." Siauw Bwee mengguncang kedua lengan pemuda itu. "Yu-twako! Engkau mengatakan bahwa engkau cinta kepadaku, akan tetapi kalau ternyata bahwa engkau menderita batin karena aku tidak bisa membalas cintamu, berarti bahwa engkau bukan mencinta aku melainkan mencinta dirimu sendiri!"

Yu Goan mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang terbelalak. "Apa maksudmu, Bwee-moi?"

"Dibalik cintamu itu tersembunyi nafsu mementingkan diri sendiri, tersembunyi keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, kau ingin dicinta, ingin memiliki, itu bukanlah cinta sejati, Twako, melainkan cinta diri yang bergelimang nafsu. Karena dibalik cintamu bersembunyi hal-hal itulah maka engkau menjadi berduka dengan merasa sengsara ketika mendengar bahwa aku tidak dapat membalas cintamu! Renungkanlah, Twa ko, siapakah yang kaucinta itu? Aku ataukah dirimu sendiri?"

Yu Goan termenung, tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian ia mengangguk. "Akan tetapi.... adakah cinta yang murni, tanpa keinginan untuk tidak berpisah lagi selamanya dari orang yang dicintanya?"

"Tentu saja ada, Twako. Cinta murni melupakan keinginan hati sendiri, hanya ingin melihat orang yang dicintanya bahagia. Karena kita yakin bahwa aku tidak mungkin membalas cinta kasihmu, robahlah cintamu itu, bersihkan daripada nafsu birahi. Lihatlah, aku memegang tanganmu, tanpa getaran nafsu, akan tetapi dengan rasa cinta sepenuhnya, cinta saudara. Dapatkah engkau merasakan itu, Twako?"

Yu Goan memandang tajam, kemudian menghela napas panjang dan mengangguk. Aku mengerti, Bwee-moi." Ia lalu meraih tubuh dara itu dan mencium dahinya, ciuman yang lembut dan bersih daripada nafsu, jauh daripada kemesraan kasih sayang lawan kelamin.

Siauw Bwee dapat melaksanakan pula hal ini, maka dia tidak kaget, tidak membantah, dan diam-diam ia merasa bersyukur dan kagum bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang memiliki budi pekerti yang bersih. Yu Goan menekan keharuannya dan melepaskan pelukannya. Mereka hanya duduk berhadapan, saling berpegang tangan. Kini terbayang senyum di bibir Yu Goan biarpun pada matanya yang biasanya tajam penuh kegembiraan itu kini berganti pandang sayu tanda bahwa hatinya terluka oleh ujung anak panah Dewa Cinta yang beracun.

"Bwee-moi, terima kasih. Aku memang bodoh sekali, bodoh karena mementingkan diri sendiri saja. Bwee-moi, kalau boleh aku bertanya, apakah cinta kasihmu terhadap pria yang berbahagia itu juga murni dan bersih daripada nafsu?"

Wajah Siauw Bwee tiba-tiba menjadi merah sekali dan ia menggenggam tangan Yu Goan ketika menjawab, "Aku.... aku juga bodoh seperti engkau, Twako. Aku.... aku mencinta dia seperti engkau mencintaku tadi. Ahhh.... sudah mengerti namun tetap tidak dapat mengalahkan perasaan sendiri, betapa lemah dan bodohnya aku, lebih bodoh dan lebih lemah daripada engkau, Twako." Tiba-tiba Siauw Bwee menangis, teringat akan Han Ki, teringat akan Maya, teringat akan cintanya yang masih berbelit-belit itu karena dia tidak tahu kepada siapakah sesungguhnya Han Ki mencinta, cinta seorang pria terhadap wanita, cinta yang tak dapat dibagi-bagi, kepada dia ataukah kepada Maya? Yu Goan menjadi terharu dan merasa kasihan sekali. Ia merangkul pundak  Siauw Bwee, menepuk-nepuk punggungnya perlahan sambil berkata, "Bwee-moi, kasihan engkau....! Engkau sedang menderita, ditambah oleh gangguan lagi. Tenanglah, Bwee-moi, aku berjanji takkan mengganggumu lagi dan aku akan bersembahyang setiap saat kepada Tuhan semoga engkau akan berbahagia dalam cinta kasihmu itu."

"Terima kasih, Yu-twako, engkau baik sekali." Tiba-tiba kedua orang ini tersentak kaget dan meloncat berdiri ketika pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk kentongan-kentongan bambu yang dipukul bertalu-talu. Tanpa bicara keduanya melesat meninggalkan tempat itu, kembali keperkampungan dan mereka melihat orang-orang lari tergopoh-gopoh berkumpul didepan pondok Ouw-pangcu. Ketika melihat dari jauh wajah Ouw-pangcu dan wajah anak buahnya kelihatan tegang, Siauw Bwee dan Yu Goan tidak mau mengganggu, hanya memandang bengong ketika melihat Ouw-pangcu memimpin anak buahnya, berbondong-bondong lari menuruni bukit memasuki hutan. Siauw Bwee dan Yu Goan saling berpandangan, kemudian mereka bergerak mengikuti rombongan itu dari belakang. Sudah lama Siauw Bwee dan Yu Goan mempunyai keinginan bertemu dengan penghuni lembah dibawah, atau setidaknya ketuanya karena mereka itu adalah orang-orang yang menerima pendidikan langsung dari Bu-tek Lo-jin. Biarpun mereka mendengar dari Ouw-pangcu bahwa Bu-tek Lo-jin sudah lama sekali meninggalkan daerah itu, namun menurut Ouw-pangcu, ilmu kepandaian para tokoh penderita kusta itu amat tinggi dan karena inilah maka Siauw Bwee dan Yu Goan ingin sekali bertemu dan menyaksikan sendiri keadaan mereka. Akan tetapi menurut penuturan Ouw-pangcu, tidak ada seorang manusia boleh turun ke lembah, pula tidak ada jalan menuruninya, kecuali jalan rahasia yang dikuasai oleh orang-orang lembah. Kini melihat kesibukan itu, dan ketegangan yang tampak pada wajah Ouw-pangcu dan anak buahnya, Siauw Bwee dan Yu Goan menduga-duga bahwa tentu ada urusan yang menyangkut orang-orang lembah yang penuh rahasia itu. Siauw Bwee dan Yu Goan yang mengikuti rombongan itu memasuki hutan yang belum pernah mereka datangi. Mereka menerobos kesana kemari, melalui hutan yang penuh pohon-pohon raksasa, kemudian melintasi padang rumput yang tinggi dan tebal, melalui tanaman-tanaman berduri yang agaknya sudah bertahun-tahun tidak dilalui manusia. Dari jauh terdengar suara melengking tinggi dan agaknya kearah suara itulah mereka menuju. Rombongan itu berhenti didalam sebuah hutan, tak jauh dari sebatang pohon raksasa yang amat besar dan tua. Dibawah pohon ini tampak sebuah batu besar yang dilihat dari jauh berbentuk sebuah kepala raksasa. Ouw-pangcu dan anak buahnya menjatuhkan diri berlutut dalam jarak lima meter dari pohon raksasa itu, berlutut tanpa berkutik seperti menanti sesuatu. Siauw Bwee dan Yu Goan bersembunyi dibalik pohon, mengintai dengan hati tegang karena mereka tidak mengerti apa artinya semua itu dan apa yang akan terjadi disitu.

Suara melengking yang terdengar dari pohon tua itu berhenti. Keadaan sunyi senyap, sunyi yang mendebarkan jantung penuh ketegangan. Tiba-tiba Siauw Bwee dan Yu Goan memandang terbelalak kearah batu besar itu. Batu itu bergerak perlahan, bergeser dari kanan kekiri. Dan tampaklah sebuah lubang dibawah batu itu, seperti sebuah sumur dan batu itu terus menggeser sampai lubang itu tampak semua, berbentuk bundar dan bergaris tengah satu meter. Tiba-tiba terdengar suara kelentingan ramai dari dalam lubang, seperti suara banyak kelenengan kecil dibunyikan berbareng. Keadaan makin tegang dan kalau Ouw-pangcu dan anak buahnya semua berlutut menundukkan muka tanpa berani memandang, Siauw Bwee dan Yu Goan terbelalak memandang kearah lubang sumur itu. Tiba-tiba di depan lubang itu telah berdiri seorang manusia yang amat menyeramkan! Demikian cepat gerakan orang itu, seolah-olah dia seorang iblis yang muncul dari alam lain, seperti pandai melenyapkan diri dan tiba-tiba kini menampakkan diri didepan lubang. Hanya pandang mata Siauw Bwee saja yang lebih tajam dan kuat dari pandang mata Yu Goan dapat melihat berkelebatnya sinar hitam dari dalam lubang, maka dara sakti ini maklum bahwa orang itu muncul dari dalam lubang dengan gerakan yang amat ringan dan cepat, tanda bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Akan tetapi ketika ia memandang orang itu, seperti juga Yu Goan, ia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri. Orang itu benar-benar amat menyeramkan dan keadaan tubuhnya amat mengerikan. Tubuhnya jangkung kurus, seperti tengkorak terbungkus kulit, badannya tertutup jubah hitam yang sudah butut, dekil kotor dan robek-robek dipinggir dan ujungnya. Jubah yang panjang sampai menutupi lutut, berlengan lebar panjang, namun karena robek-robek maka jubah itu tidak dapat menyembunyikan keadaan tubuh yang mengerikan. Tubuh yang tidak normal, penuh cacat-cacat seperti batang pohon yang dikerokoti kutu. Tangan kiri orang itu memegang tongkat, karena kelingking dan jari tengahnya sudah hilang, tinggal sisanya sedikit saja. Tangan kanannya sudah hilang sama sekali, tinggal lengan yang tulangnya menonjol halus merupakan ujungnya, keluar dari lengan baju amat mengerikan, jari-jari kakinya pun tidak utuh. Jari kaki kiri tinggal dua buah ibu jari dan jari tengah, sedangkan jari kaki kanannya tinggal tiga buah saja. Kulit yang membungkus kaki pun tidak utuh, sudah pecah-pecah disana-sini seperti digerogoti rayap. Ketika Siauw Bwee yang bergidik itu memandang kearah muka orang itu, ia merasa betapa seluruh bulu tubuhnya berdiri saking ngerinya! Kepala orang itu ditutup kain hitam yang menyembunyikan seluruh kepalanya dan bagian muka, yaitu dibagian atas sehingga yang tampak hanya mulai dari alis kebawah. Akan tetapi itu

pun sudah amat menakutkan! Kalau kulit kaki hanya sebagian yang lenyap, maka kulit muka itu boleh dibilang sudah hampir habis dimakan rayap! Tampak tulang-tulang pipi menonjol, dagunya menjadi runcing karena tidak ada kulitnya, putih mengerikan. Bibirnya habis pula sehingga tampak mulut ompong menonjol panjang. Separuh hidungnya hilang sehingga merupakan lubang hitam. Matanya seperti melotot terus karena pelupuknya tinggal separuh, tidak dapat dipejamkan. Benar-benar amat mengerikan dan melihat sebuah tengkorak tidak akan sengeri ini. Manusia yang berdiri didepan lubang itu tak patut disebut

manusia, akan tetapi juga tidak atau belum menjadi mayat! Disamping perasaan ngeri dan serem ini, timbul rasa iba yang besar dihati Siauw Bwee dan Yu Goan yang sebagai seorang ahli pengobatan maklum betul betapa menderita dan sengsaranya keadaan orang yang ia tahu menjadi korban penyakit kusta yang dahsyat itu. Kini muncul dua orang lain dari dalam lubang, keadaan mereka juga mengerikan seperti orang pertama. Akan tetapi kedua orang ini tidak meloncat seperti orang pertama tadi, melainkan berjalan terpincang-pincang keluar dari lubang dan berdiri dikanan kiri orang pertama yang sudah  marah-marah, mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh Siauw Bwee dan Yu Goan. Orang itu bicara tidak karuan dan karena tidak mempunyai bibir, giginya ompong-ompong dan lidahnya tinggal sepotong, bicaranya sukar dimengerti.

Akan tetapi agaknya Ouw-pangcu sudah biasa mendengar suara seperti itu, buktinya ketua ini lalu menjawab dan membela diri, menceritakan tentang peristiwa pemberontakan diperkampungan yang dipimpinnya. Dari jawaban Ouw-pangcu ini mengertilah Siauw Bwee dan Yu Goan bahwa agaknya Ouw-pangcu dipersalahkan oleh orang-orang lembah tentang peristiwa pertempuran diantara orang-orang tebing. "Harap para Locianpwe dari lembah mengetahui bahwa saya dan anak buah saya sama sekali tidak melakukan pelanggaran. Yang melakukan pelanggaran adalah mereka yang memberontak dan mereka telah diberi hukuman setimpal. Tolong disampaikan kepada Pangcu dibawah bahwa kami semua tidak pernah melanggar perintah."

Orang penderita kusta yang pertama itu kembali bicara ribut-ribut tidak karuan. Ouw-pangcu menjawab, mukanya memperlihatkan kekagetan dan ketakutan. Ia menggoyang tangan kiri yang diangkat keatas sambil berkata, "Tidak bisa, Locianpwe! Saya tidak bersalah, maka tentu saja menolak untuk dibawa turun menerima hukuman. Pula, siapa pun tidak boleh turun, kalau saya sudah turun, bukankah berarti saya melanggar? Saya tidak merasa bersalah, maka saya pun tidak mau ikut Locianpwe turun kebawah!"

Orang kedua yang berdiri disebelah kanan orang pertama, mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang terluka, kemudian tubuhnya meloncat maju dengan kecepatan kilat sehingga diam-diam Siauw Bwee kagum karena orang ini pun memiliki gin-kang yang amat luar biasa! Dengan tangan kirinya yang tinggal empat buah jarinya itu, orang sakit kusta ini mencengkeram pundak Ouw-pangcu. "Crottt!" Empat buah jari tangan itu menancap dipundak seperti empat buah pisau tajam, akan tetapi tiba-tiba orang itu terpental kebelakang karena Ouwpangcu telah mengerahkan Jit-goat-sin-kang. Ketika terpental, orang itu memandang tangan kirinya yang ternyata tertinggal dipundak Ouw-pangcu! Penyakit kusta membuat buku-buku dan ruas-ruas tangannya lemah dan rapuh, maka tentu saja tidak dapat melawan aliran sin-kang yang demikian kuatnya! Dua buah jari yang tertinggal dipundak Ouw-pangcu juga tercabut keluar terdorong oleh daya tolak sin-kang Ouw-pangcu. Anehnya, biarpun dua buah jari tangannya putus, orang itu tidak kelihatan menderita nyeri dan tangannya tidak berdarah. Seolah-olah hanya dua batang kayu saja yang potong! "Maaf, saya tidak sengaja menyusahkan para Locianpwe," kata Ouw-pangcu. Diam-diam dia merasa kasihan sekali karena maklum bahwa penyakit kusta yang hebat itu ternyata membuat orang-orang lembah ini tidak mungkin lagi dapat menyimpan tenaga Jit-goat-sin-kang ditubuh mereka. Hal ini pun dapat diduga oleh Siauw Bwee dan Yu Goan ketika menyaksikan serangan dan akibatnya tadi.

Si Lengan Buntung, orang pertama tadi, kini sudah mengeluarkan sebuah bendera kecil berwarna hitam dan menggerak-gerakkan bendera kecil itu diatas kepalanya. Melihat bendera kecil itu, Ouw-pangcu terkejut sekali, berlutut dan memberi hormat kearah bendera sambil berkata, "Teecu Ouw Teng telah berdosa. Kalau Locianpwe tadi mengatakan bahwa Pangcu memerintahkan saya turun kelembah dan mengeluarkan benda pusaka itu, tentu saya tidak berani banyak membantah."

Si Tangan Buntung itu bicara lagi. Ouw-pangcu bangkit berdiri, kemudian membalikkan tubuh berkata kepada anak buahnya yang masih berlutut ketakutan. "Kalian kembalilah dan bekerja seperti biasa. Aku dipanggil menghadap oleh Pangcu dilembah maka jangan kalian memikirkan aku lagi. Kalau sampai aku tidak kembali untuk selamanya, kalian boleh mengangkat seorang ketua baru. Tunggu sampai seratus hari, kalau aku tidak kembali berarti aku berhenti menjadi ketua. Nah, aku pergi. Marilah Sam-wi Locianpwe." Berkata demikian, Ouw-pangcu mengikuti tiga orang penderita kusta itu memasuki lubang sumur yang ternyata merupakan lorong di bawah tanah yang menuju kelembah jauh di bawah! Setelah empat orang itu memasuki sumur, batu besar itu tergeser kembali dan menutupi lubang. Keadaan menjadi sunyi senyap dan kini orang-orang liar anak buah Ouw-pangcu baru berani bergerak. Mereka bicara dengan muka penuh ketakutan dan kedukaan, akan tetapi tak seorang pun berani mencela tiga orang lembah tadi. Setelah anak buah Ouw-pangcu meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee dan Yu Goan muncul dari tempat sembunyi mereka.

"Setan-setan itu! Mengapa kau tadi mencegah aku turun tangan membela ayah angkat kita, Bwee-moi?"

"Gi-hu ikut dengan mereka secara sukarela, dan menurut ceritanya sendiri, orang-orang lembah itu memang mempunyai kekuatan lebih besar dan Gi-hu harus tunduk kepada ketua orang lembah. Kalau kita turun tangan tadi, berarti kita bertindak berlawanan dengan isi hati Gi-hu sendiri."

"Akan tetapi Gi-hu dibawa mereka. Apakah kita harus membiarkannya saja? Siapa tahu dia akan mengalami bencana di bawah sana?"

"Tidak, kita tidak akan membiarkan saja. Kita harus menyelidiki kebawah dan melihat apa yang terjadi."

"Bagus! Mari kita kejar mereka, biar kugeser batu ini!" Yu Goan meloncat akan tetapi baru saja ia menyentuh batu besar itu Siauw Bwee sudah melarangnya. "Jangan, Twako. Kalau kita masuk atau turun melalui jalan ini, tentu kita akan menghadapi perlawanan dan bahaya. Aku tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi membayangkan betapa aku harus bertanding dengan orang-orang seperti itu.... hiiiihhhh, aku bisa mati karena jijik! Pula, kalau kita turun melalui lorong ini, mungkin kita malah menambah kesalahan Gi-hu dalam pandangan mereka. Mereka itu menjijikkan, akan tetapi juga lihai sekali sehingga kita mungkin akan menemui kegagalan ditengah jalan sebelum sampai dilembah. Lorong yang merupakan jalan satu-satunya ini pasti terjaga kuat oleh mereka." Yu Goan mengangguk-angguk dan kagum sekali. "Habis, bagaimana kita bisa turun kembali kelembah?"

"Perkampungan mereka dibawah itu kelihatan dari atas tebing. Biarpun curam dan sukar, kalau kita menggunakan besi pengait, pedang dan tambang yang kuat, masa kita tidak dapat turun kebawah?"

Yu Goan setuju dan mereka segera mencari alat-alat yang mereka butuhkan itu. Kemudian mulailah kedua orang itu menuruni tebing yang amat curam. Namun dengan kepandaian mereka yang tinggi, dibantu alat-alat itu, dapat juga mereka merayap turun perlahan, menggunakan pedang ditancapkan pada dinding batu karang, melorot turun dengan bergantung kepada tambang. Biarpun sukar sekali, dan tidak dapat cepat karena mereka harus amat berhati-hati, sekali jatuh berarti nyawa melayang, mereka dapat merayap kebawah.

Akan tetapi ternyata oleh mereka bahwa jalan itu benar-benar tidak mudah sama sekali. Biarpun mereka mempergunakan alat-alat, terpaksa mereka harus mencari jalan memutar beberapa kali kalau menghadapi jalan buntu, dimana tebing itu berakhir dengan jurang yang tak mungkin dapat dilalui, batunya pecah dibagian bawah. Terpaksa mereka mencari jalan baru untuk turun dan adakalanya mereka terpaksa merayap keatas lagi untuk mencari jalan lain. Sampai malam tiba, mereka baru dapat mencapai sepertiganya saja dalam jarak dari puncak tebing kelembah dan terpaksa mereka harus melewatkan malam di dalam guha yang terdapat didinding batu karang yang licin! Pada keesokan harinya, setelah cuaca terang, barulah kedua orang muda itu berani melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mengambil jalan memutar keselatan, mereka melihat dataran ditengah-tengah antara puncak dan lembah. Dinding dibagian ini ternyata menembus kesebuah dataran yang merupakan dataran kedua dibawah puncak tebing, sungguh merupakan keadaan yang ajaib! Dataran yang berada diperut gunung, luasnya paling banyak seribu meter persegi, akan tetapi tanahnya penuh dengan tetumbuhan, seperti sebuah kampung kecil dipuncak, dikelilingi tebing curam, merupakan keadaan yang amat berlawanan dengan lembah itu yang dikelilingi tebing tinggi!

"Mari kita kesana, siapa tahu dari dataran itu terdapat jalan yang lebih mudah," kata Siauw Bwee. "Baik.... heiii, ada rumahnya disana!" Yu Goan yang merayap disebelah depan tiba-tiba menuding. Benar saja, dari lereng tebing itu mereka melihat dua pondok kecil sederhana didataran itu, tanda bahwa disana ada manusianya! Hal ini mendorong semangat mereka dan

mereka merayap kearah dataran itu, kemudian meloncat turun diatas tanah yang rata. Dengan hati-hati mereka berjalan ketengah menghampiri dua buah pondok sederhana yang modelnya sama dengan pondok-pondok tempat kediaman Ouw-pangcu dan anak buahnya, bahkan dua pondok itu lebih sederhana lagi.

Setelah dekat dan menghampiri pondok dari depan, tiba-tiba mereka berhenti dan cepat menyelinap dibalik pohon. Mereka melihat seorang laki-laki tua sedang keluar dari pondok membawa setumpuk tampah berisi benda-benda kecil seperti daun-daun kering, akar-akar dan buah-buahan kering. Laki-laki itu usianya sebaya dengan Ouw-pangcu, hanya rambut dan kumis jenggotnya masih banyak hitamnya. Bajunya ringkas dan sangat sederhana, tanpa lengan sehingga lengan dan sebagian pundaknya tampak. Celananya hitam dan digulung dibagian bawahnya, sampai kelutut. Tiba-tiba kake k itu berhenti didepan pondoknya, kemudian

dengan tangan kiri menyangga tumpukan tampah yang jumlahnya belasan buah itu, dia mengambil tampah teratas dengan tangan kanan dan sekaligus menggerakkan tangan, tampah itu terlempar keudara dan berputar-putar seperti hidup tanpa menumpahkan isinya sedikitpun! Tampah pertama masih melayang-layang ketika tampah kedua, ketiga dan keempat menyusul sehingga dalam beberapa detik saja belasan buah tampah melayang-layang diudara seperti sekumpulan burung-burung mencari tempat bertengger.

Kemudian tampah-tampah itu meluncur turun dan tiba diatas depan dipan yang dipasang didepan pondok sebagai tempat penjemuran, jatuh dengan lunak tanpa ada isinya yang terlempar keluar dan dalam keadaan berderet-deret rapi seperti diatur dan diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan! "Bukan main....!" Yu Goan berbisik dan Siauw Bwee diam-diam kagum sekali, dan maklum bahwa kakek itu memiliki tenaga sin-kang yang sudah dapat diatur sedemikian rupa sehingga tenaga loncatan tampah-tampah tadi pun di "kendalikan" oleh tenaga sin-kang! Dan dia pun menduga bahwa tentu kakek itu sudah tahu akan kedatangan mereka, karena demonstrasi tenaga sin-kang tadi, tentu dikeluarkan hanya dengan satu tujuan, yaitu sengaja diperlihatkan orang untuk menggertak. Kalau kakek itu tidak tahu bahwa mereka datang dan hendak menggertak orang asing yang datang, perlu apa main-main dengan tenaga sin-kang seperti itu? Maka ia bersikap waspada dan memandang kakek itu penuh perhatian. Kini ditangan kakek itu tinggal dua tampah lagi. Tiba-tiba kakek itu mengambil sebuah tampah, mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tampah itu "melayang" berputaran menuju kearah Siauw Bwee dan Yu Goan dengan kecepatan kilat seperti seekor burung garuda menyambar dua ekor domba!

"Celaka!" Yu Goan berseru dan pemuda itu sudah mencabut pedangnya, akan tetapi Siauw Bwee menyentuh lengan pemuda itu, kemudian dara sakti ini menggerakkan kedua lengan mendorongkan kedua telapak tangan keatas, kearah tampah yang meluncur turun. Dia tidak berani mempergunakan Jit-goat-sin-kang yang belum dilatih sempurna itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kang yang ia latih di Pulau Es sesuai dengan ajaran Bu Kek Siansu dan petunjuk suhengnya. Tampah yang sudah meluncur turun itu tiba-tiba terhenti, kemudian bergerak lagi, bukan kearah Siauw Bwee, melainkan berputaran turun dan hinggap dengan lunaknya keatas dipan yang masih kosong, persis seperti lontaran kakek itu tadi, hanya kini tampah itu agak tergetar karena ada dua tenaga sin-kang raksasa yang mengemudikannya dari arah berlawanan!

"Tahan dulu, Locianpwe!" Siauw Bwee sudah berseru dan melompat keluar dari tempat sembunyinya, lompatannya seperti kilat karena dia mempergunakan gerakan kaki kilat sehingga tahu-tahu tubuhnya sudah muncul didepan kakek itu dalam jarak enam meter terhalang dipan penjemur obat-obatan diatas tampah-tampah. Sejenak kakek itu memandang dengan alis berkerut, matanya terbelalak penuh keheranan dan agaknya dia masih tidak mau percaya bahwa yang tadi menahan tampahnya, yang memaksa tampahnya itu melayang turun, hanyalah seorang dara remaja.

"Bagus! Coba engkau tahan ini!" serunya dan tampah terakhir yang berada ditangannya itu ia lemparkan keudara, kini bukan dengan sebelah tangan, melainkan dengan kedua tangan. Kedua tangannya itu tetap terpentang karena dari kedua telapak tangannya meluncur hawa sin-kang yang "mengemudikan" tampah berisi bahan obat itu. Siauw Bwee maklum bahwa kakek itu kini mengerahkan tenaga sin-kang yang besar sekali karena tidak hanya tampah itu berputaran diudara, akan tetapi juga isinya ikut berputaran diatas tampah. Dan dengan menggunakan tampah menyerangnya, dia dapat menduga bahwa kakek itu menganggap dia dan Yu Goan sebagai orang luar yang lancang masuk, maka kini hendak mengujinya, bukan hendak menyerang dengan niat jahat, maka ia pun lalu mengerahkan kedua tangan diulur dan dikembangkan kedepan. Hawa sin-kang yang kuat meniup keluar dari kedua tangannya, membubung keatas menerima tampah itu. Tampah yang berpusing diudara itu tiba-tiba berhenti dan mengambang diudara seolah-olah terpegang tangan yang kuat lalu perlahan-lahan tampah itu melayang kembali kearah pelemparnya. Kakek itu terkejut sekali, lalu membusungkan dadanya, mengerahkan seluruh tenaga dan Siauw Bwee merasa betapa dari tubuh kakek itu keluar hawa yang panas sekali. Ia cepat mengerahkan Im-kang yang dingin untuk melawannya. Tiba-tiba hawa dari kakek itu berubah dingin pula, dan Siauw Bwee yang sengaja hendak menguji pula, segera merobah sin-kangnya menjadi Yang-kang.    Tampah itu seperti hidup. Sebentar bergerak kearah Siauw Bwee, akan tetapi hanya sebentar karena kembali terdorong kearah Si Kakek. Dorong-mendorong ini terjadi beberapa menit lamanya dan akhirnya tampah itu terus bergerak perlahan, sedikit demi sedikit menuju kearah Si Kakek yang makin terkejut dan memandang terbelalak. Akhirnya ia berseru keras melompat kekiri dan menurunkan kedua lengannya. Tampah itu jatuh kebawah, hancur dan isinya berantakan, akan tetapi seperti tampah yang hancur bagaikan diremas-remas itu, isinya juga remuk pecah-pecah dan ada yang gosong seperti terbakar!

"Hebat! Wanita muda, dari mana engkau me mpelajari Jit-goat-sin-kang?" Pertanyaan ini mengandung penasaran besar, seolah-olah menuduh Siauw Bwee mencuri ilmu itu. Siauw Bwee yang kini sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentu memiliki Ilmu Jit-goat-sin-kang seperti yang dimiliki Ouw-pangcu, malah lebih kuat, segera menjura dan menjawab, "Untuk menghadapi Jit-goat-sin-kangmu tadi, aku tidak menggunakan sin-kang yang sama, orang tua!"

"Tidak mungkin! Sin-kang biasa mana mampu menghadapi Jit-goat-sin-kang seperti itu?" Yu Goan kini sudah muncul dan meloncat dekat Siauw Bwee. Dia tadi menyaksikan adu tenaga sin-kang itu dan kekagumannya terhadap Siauw Bwee meningkat. Dengan sabar ia menjura dan mendahului Siauw Bwee. "Locianpwe, sesungguhnya kami pernah mempelajari Jit-goat-sin-kang dari Ouw-pangcu."

"Ahh, tidak mungkin! Selain Ouw-pangcu tidak akan berani lancang menurunkan ilmunya kepada orang luar, juga tidak mungkin kalau hanya murid-muridnya mampu mengalahkan kekuatanku. Dia sendiri masih jauh dibawahku, ataukah.... dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sehingga muridnya saja mampu mengalahkan aku? Betapapun juga, dia melanggar dan harus dihukum!"

Yu Goan terkejut dan cepat membela, "Locianpwe, harap jangan menyalahkan dia karena Ouw-pangcu adalah gi-hu kami. Tiada salahnya menurunkan ilmu kepada anak-anak angkatnya sendiri."

Wajah yang penasaran dan marah itu berubah. "Aihhhh! Dia menjadi ayah angkat kalian? Betapa anehnya! Akan tetapi.... tenaga sin-kang Nona muda ini amat luar biasa, betapa mungkin...."

"Harap Locianpwe tidak menjadi heran karena sesungguhnya, kepandaian Nona Khu ini amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada kepandaian gi-hu sendiri. Dan kalau benar Locianpwe adalah suheng dari gi-hu, harap kauketahui bahwa kami berdua sedang berusaha menyelamatkan gi-hu yang terancam bahaya besar dilembah dibawah sana."

"Apa? Apa yang terjadi? Orang muda, duduklah. Dan kau juga, Nona yang amat lihai. Duduklah dan ceritakan semua. Apa yang telah terjadi diatas tebing, dan dibawah lembah sana?"

Yu Goan dan Siauw Bwee duduk diatas dipan bambu, berhadapan dengan kakek itu lalu Yu Goan menceritakan semua pengalaman mereka sejak bertemu dengan Ouw-pangcu, mengobati luka ketua itu, dan tentang pemberontakan diatas tebing yang dipimpin oleh Ang-siucai. Setelah mendengar penuturan itu sampai habis, kakek tadi menarik napas panjang.

"Hemm, memang banyak resikonya menjadi ketua, tidak sebebas aku yang hidup seorang diri tanpa dibebani peraturan. Sute telah lancang menerima seorang asing seperti sastrawan she Ang itu, maka dia memetik buah dari tanamannya sendiri. Akan tetapi siapakah engkau orang muda yang pandai ilmu pengobatan? Aku sendiri senang dengan ilmu itu, maka kepandaianmu menarik hatiku, dan siapa pula Nona yang amat lihai ini? Sukakah kalian memperkenalkan diri setelah mengetahui bahwa aku adalah suheng dari gi-humu?"

Yu Goan tidak berani lancang, maka dia menoleh dan memandang Siauw Bwee. Bagi dia sendiri, dia tidak akan ragu memperkenalkan diri kepada siapapun juga. Akan tetapi Siauw Bwee adalah penghuni Istana Pulau Es, dan biarpun dara itu tidak pernah memperingatkannya, dia tahu bahwa gadis itu tentu akan merahasiakan Pulau Es dan keadaan dirinya. Akan tetapi Siauw Bwee tersenyum dan mengangguk, maka Yu Goan lalu berkata, "Karena Locianpwe adalah suheng dari gi-hu, maka sepatutnya kalau kami menyebut supek kepadamu. Harap Supek ketahui bahwa sahabatku ini bernama Khu Siauw Bwee dan sebelum dia menjadi anak angkat gi-hu dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi karena Bwee-moi ini adalah.... seorang diantara penghuni-penghuni Istana Pulau Es."

Seperti telah diduganya, kakek itu mencelat dari tempat duduknya, memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menjura, "Aihhh.... mataku seperti buta tidak mengetahui orang pandai. Maaf....!"

Siauw Bwee cepat berdiri membalas penghormatan itu dan berkata sederhana, "Supek, mengapa begini sungkan? Yu-twako hanya pandai memuji setinggi langit padahal aku hanyalah seorang muda yang masih perlu menerima bimbingan orang pandai seperti

Supek. Dalam melatih diri dengan Jit-goat-sin-kang saja, dibandingkan dengan tingkat Supek, aku belum ada persepuluhnya!"

"Aihhh! Sudah lihai masih pandai merendah pula. Sungguh menakjubkan! Nona Khu, tanpa Jit-goat-sin-kang sekalipun sin-kangmu sudah amat luar biasa dan aku tidak menjadi heran mengingat bahwa engkau adalah penghuni Istana Pulau Es, murid langsung dari Bu Kek Siansu. Hebat.... hebat....! Dan engkau sendiri, orang muda, siapakah engkau?"

"Aku bernama Yu Goan, ilmu silatku yang kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian Khu-siauwmoi kudapatkan dari ayahku sendiri yang bernama Yu Siang Ki, sedangkan sedikit ilmu pengobatan kudapatkan dari kakekku, Yok-san-jin Song Hai."

Kembali kakek itu mengangguk-angguk kagum. "Aku pernah mendengar nama besar ayahmu itu, bukankah dia putera Ketua Khong-sim Kai-pang? Dan Yok-san-jin....! Hemmm, siapa yang belum mendengar namanya? Ahh, sungguh menggembirakan sekali bertemu dengan orang-orang muda keturunan orang-orang pandai, lebih-lebih lagi menggembirakan mendengar bahwa kalian adalah anak-anak angkat suteku. Aihhhh, bukan main beruntungnya Ouw-sute!"

"Akan tetapi sekarang gi-hu terancam bahaya, Supek," kata Siauw Bwee. Kakek itu mengerutkan alisnya. "Aku heran sekali. Biasanya suheng kami, yaitu ketua lembah, adalah orang yang amat sabar. Ketahuilah bahwa dahulu, ketika Suhu Bu-tek Lo-jin

datang ketempat ini, dia mengangkat tiga orang murid. Pertama adalah Lie Soan Hu yang kini menjadi ketua orang lembah setelah dia terkena pula penyakit kusta yang mengerikan itu. Murid kedua adalah aku sendiri. Namaku adalah Coa Leng Bu, dan berbeda dengan suheng dan sute, aku lebih senang hidup bersunyi diri ditempat ini, mengumpulkan obat-obat untuk kuberikan kepada anak buah suheng dilembah dan anak buah sute diatas tebing. Murid ketiga adalah Ouw-sute sendiri. Setelah Lie-suheng menderita penyakit kusta, dia menjadi penyabar sekali, bahkan tidak pernah keluar dari lembah. Sungguhpun amat mengherankan

kalau sekarang dia menyuruh pembantu-pembantunya menangkap Ouw-sute. Apalagi semua itu dilakukan tanpa memberi tahu kepadaku. Hemm, benar-benar peristiwa itu mencurigakan sekali dan agaknya perlu kuselidiki sendiri. Kalian jangan khawatir. Biarlah aku menyertai kalian turun kelembah dan dari tempat ini memang ada jalan rahasia kelembah yang lebih mudah dilalui. Tentu saja dengan kepandaian yang kalian miliki, tanpa melalui jalan rahasia itu pun kalian akan dapat mencapai lembah, akan tetapi selain hal itu akan makan waktu lama dan perjalanan yang sukar sekali, juga berarti kalian akan menjadi seorang yang melanggar larangan. Mari kita pergi sekarang sebelum terlambat, karena aku menduga bahwa seperti halnya diatas tebing, dilembah sana terjadi sesuatu yang tidak wajar. Sudah terlalu lama aku tidak pernah datang kelembah atau ketebing,  obat-obat itu hanya diambil saja oleh anak buah yang disuruh Sute atau Suheng."

Girang sekali hati kedua orang muda itu. Mereka segera mengikuti Coa Leng Bu pergi meninggalkan pondok dan menuruni tebing melalui jalan turun yang bukan merupakan jalan, melainkan rangkaian akar-akar dan batu-batu yang sengaja dibuat untuk jalan naik turun. Karena "jalan" ini tertutup oleh tetumbuhan, maka kalau tidak bersama kakek itu, tentu Siauw Bwee dan Yu Goan tak mungkin akan dapat menemukannya. Jalan ini bukanlah jalan mudah bagi orang biasa, akan tetapi bagi mereka bertiga merupakan jalan yang amat mudah, bergantung sana-sini melompati sana-sini dan mereka dapat turun dengan cepat sekali. Dua orang muda itu merasa girang karena perjalanan kali ini jauh lebih mudah dan cepat daripada yang mereka lakukan kemarin. Tak lama kemudian mereka sudah mencapai lembah. Akan tetapi, begitu ketiganya melompat turun, mereka diserbu oleh belasan orang penderita kusta dan orang-orang penghuni tebing yang tadinya memberontak, juga tampak beberapa orang berpakaian Han yang ikut menyerbu. "Merekalah yang memberontak diatas tebing!" seru Yu Goan. Coa Leng Bu menjadi marah sekali. Ia melompat maju dan membentak, "Mundur semua! Apakah kalian tidak mengenal aku lagi?"

Akan tetapi orang-orang itu tidak menjawab dan terus menyerangnya! "Keparat! Setan busuk, mana Suheng? Suruh dia keluar sebelum aku membunuh kalian semua, keparat!"

Akan tetapi orang-orang itu telah menyerbunya dan Coa Leng Bu cepat menggerakkan kaki tangannya merobohkan dua orang penderita kusta. Akan tetapi mereka tidak mundur bahkan kini menerjang dengan senjata-senjata mereka. "Twako, kita berpencar, mencari Gi-hu!" Siauw Bwee berseru sambil melawan pengeroyokan orang yang menjijikkan itu. Karena tidak tahan harus bertanding melawan orang-orang yang begitu mengerikan, setelah mengelak kesana-sini, Siauw Bwee melesat jauh dan mulai mencari gi-hunya yang tertawan. Yu Goan mencabut pedangnya dan mengamuk bersama Coa Leng Bu. Betapapun juga, melihat bahwa tukang obat itu tidak mau menurunkan tangan membunuh orang-orang yang masih murid keponakannya sendiri, Yu Goan juga menggerakkan pedang secara hati-hati agar tidak sampai membunuh orang. Namun, tingkat kepandaian orang-orang lembah itu tinggi dan dia pun seperti Siauw Bwee, merasa jijik disamping rasa kasihan, maka kini melihat Siauw Bwee telah pergi, dia pun memutar pedang mencari jalan keluar dari kepungan lalu melarikan diri kedepan meninggalkan Coa Leng Bu yang masih dikeroyok murid-murid keponakannya sendiri.

Beberapa orang penderita penyakit kusta mengejarnya, termasuk seorang berpakaian Han yang menjadi kawan Ang-siucai. Yu Goan marah sekali terhadap orang ini karena dia tahu bahwa biang keladi semua keributan ditebing maupun dilembah ini tentulah Ang-siucai dan kawan-kawannya. Dia dapat menduga bahwa setelah gagal diatas tebing, Ang-siucai membawa kaki tangannya dan orang-orang tebing yang dipengaruhinya melarikan diri kelembah. Hanya dia merasa heran mengapa sastrawan itu dapat pula menguasai lembah! Karena marahnya, tiba-tiba dia membalik dan pedangnya menyambar kearah orang Han yang ikut mengejarnya. Orang itu menangkis akan tetapi tiba-tiba ia menjerit keras ketika tangan kiri Yu Goan berhasil menotoknya, kemudian mengempit lehernya. "Suruh mereka mundur sebelum kupatahkan batang lehermu!" Yu Goan mengancam dan memperkuat jepitan lengannya pada leher orang itu. Orang itu ternyata takut mati dan cepat membentak orang-orang penderita kusta untuk mundur. Disamping sifat pengecutnya, orang itu pun cerdik sekali. Agaknya semua kawan Ang-siucai cerdik-cerdik belaka. Orang ini maklum akan kelihaian Siauw Bwee dan Si Tukang Obat, maka dia ingin memancing agar mereka itu berpencar sehingga lebih mudah dikuasai kawannya. Setelah semua orang penderita kusta mundur dan mereka membantu pengeroyokan kawan-kawan mereka terhadap Coa Leng Bu dan sebagian mengejar dan mencari Siauw Bwee yang melarikan diri, orang itu berkata, "Ampunkan saya, Taihiap...."

"Hemm, manusia busuk! Karena engkau menuruti permintaanku, aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi kau harus memberi tahu kepadaku dimana Ouw-pangcu ditahan!"

Diam-diam orang itu menjadi girang. "Ahhh, kalau begitu cepat, Taihiap. Engkau bisa terlambat. Mereka.... mereka tadi sedang menggiring Ouw-pangcu ketempat pembakaran mayat, hendak membakarnya!"

"Apa?" Yu Goan terkejut sekali. "Dia.... dia.... sudah mati....?"

"Tida k, Taihiap. Belum, akan tetapi tentu akan mati kalau kau terlambat. Mereka hendak membakarnya hidup-hidup!"

"Keparat! Dimana tempat itu?"

"Mari kutunjukkan padamu."

"Awas kalau kau menjebakku, aku akan menyayat-nyayat tubuhmu menjadi lebih rusak daripada orang-orang yang dimakan kusta itu!" Yu Goan mengancam.

"Aku tidak menipumu, Taihiap."

 Yu Goan mengikuti tawanan itu sambil memegang lengannya. Mereka menuju kebagian belakang lembah dan tiba disebuah pintu dimana tampak anak tangga menurun kebawah. Orang tawanan itu menuruni anak tangga, terus diikuti oleh Yu Goan dari belakang. Ketika tiba disebuah tikungan, dengan kaget Yu Goan melihat pemandangan mengerikan dibawah anak tangga, belasan meter dibawah tempat itu berdiri, Ouw-pangcu berdiri bersandar tiang, kedua tangannya dibelenggu rantai baja yang panjang dan yang tergantung pada tiang itu. Kayu-kayu kering ditumpuk disekitar tubuhnya dan beberapa orang penderita kusta telah memegang obor, agaknya mereka sudah siap untuk membakar kayu-kayu kering itu, membakar Ouw-pangcu hidup-hidup! Cepat tangan Yu Goan bergerak dan tawanan itu berteriak, roboh dengan tulang pundak putus terbabat pedang. Yu Goan tidak mau melanggar janjinya. Dia tidak membunuh orang itu, hanya merobohkannya saja dengan mematahkan tulang pundaknya. Andaikata orang itu tidak menunjukkan tempat ini, dan andaikata tadi dia tidak berjanji tentu dia dan kawan-kawannya telah mendatangkan kekacauan ditempat yang tenteram seperti diatas tebing dan dilembah ini.

"Lepaskan Ouw-pangcu!" Dengan suara nyaring Yu Goan membentak sambil melangkah turun melalui anak tangga. Enam orang penderita kusta itu menengok dan menjadi kaget. Juga Ouw-pangcu menengok dan melihat Yu Goan, dia berteriak, "Yu-sicu.... pergilah tinggalkan tempat berbahaya ini. Jangan memikirkan diriku!"

"Tenanglah, Gi-hu. Aku dan Bwee-moi, juga Supek Coa Leng Bu telah turun kelembah untuk menolongmu dan menghajar pemberontak-pemberontak laknat ini!"

Mendengar bahwa suhengnya dan kedua orang anak angkatnya datang dan mereka telah tahu akan pemberontakan yang terjadi pula dilembah, wajah Ouw-pangcu menjadi girang sekali. Ia berteriak keras, kakinya bergerak dan tumpukan kayu bakar didepannya itu terlempar kekanan kiri. Tiga orang penderita kusta yang memegang obor ditangan menyerang Ouw-pangcu yang masih terbelenggu. Akan tetapi pada saat itu Yu Goan telah meloncat maju dan pedangnya berkelebat cepat membuat tiga orang itu

terpaksa meloncat mundur dan membatalkan niatnya menyerang Ouw-pangcu dengan api obor. Yu Goan kembali memutar pedangnya, mendesak orang-orang mengerikan itu mundur, kemudian secepat kilat pedangnya membacok rantai panjang yang membelenggu kedua tangan Ouw Teng. Terdengar suara nyaring dan belenggu itu putus, rantai panjang ini tergantung dari kedua tangan kakek itu yang segera meloncat kedepan dan membantu anak angkatnya menghadapi pengeroyokan enam orang penderita kusta, Kakek itu mengamuk dan memutar-mutar rantai yang tergantung dari kedua tangannya, sedangkan Yu Goan menggerakkan pedangnya menghadap enam orang yang bersenjata golok.

Biarpun enam orang penderita kusta itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya, namun mereka itu tidak dapat lagi mengerahkan sin-kang terlalu kuat karena tulang-tulang mereka sudah rusak dan rapuh. Maka amukan Ouw-pangcu dan Yu Goan membuat dua diantara mereka roboh, sedangkan empat orang lain terdesak hebat. "Gi-hu, kita harus cepat keluar dari sini membantu Supek dan Bwee-moi!"

"Baik, akan tetapi kita robohkan dulu empat orang pengkhianat ini. Mereka ini termasuk orang-orangnya Sastrawan Ang, yang berhasil mempengaruhi lembah dan mengobarkan pemberontakan," kata Ouw-pangcu. Akan tetapi sebelum mereka berhasil merobohkan empat orang itu, dari atas muncul belasan orang lain, terdiri dari penderita kusta, beberapa orang bekas anak buah Ouw-pangcu sendiri dan tiga orang Han. Mereka itu datang dengan cepat lalu langsung mengeroyok Yu Goan dan Ouw Teng.

Kakek ketua tebing itu menjadi marah sekali melihat bekas anak buahnya, sambil memaki-maki dia lalu mengarahkan dua potong rantai itu kearah bekas-bekas anak buahnya sehingga biarpun dia dikeroyok banyak lawan, dia berhasil merobohkan dua orang bekas anak buah dan juga muridnya itu dengan sambaran dua potong rantai baja, membikin pecah kepala mereka!

Namun pengeroyokan itu benar-benar membuat Yu Goan dan Ouw-pangcu terdesak hebat. Kepandaian orang-orang penderita kusta itu tinggi, gerakan mereka cepat, dan tiga orang Han itu pun lihai sekali ilmu pedangnya. Mereka berdua dikeroyok ditempat yang sempit oleh belasan orang dan betapapun mereka mengamuk, dan berhasil merobohkan tiga orang lain, namun Yu Goan terkena tusukan pedang dipaha kirinya sedangkan Ouw-pangcu juga terluka oleh bacokan pedang yang dilawan dengan sin-kangnya, namun tetap saja membuat kulit punggungnya terluka dan mengeluarkan darah. "Gi-hu, kita keluar!" Yu Goan berteriak sambil merobohkan seorang pengeroyok lagi dengan sebuah tendangan yang mengenai pusar.

"Tidak sudi lari sebelum membunuh iblis-iblis ini!" Ouw-pangcu menjawab dan mengamuk lebih hebat. "Bukan melarikan diri, melainkan mencari tempat luas!"

"Hemm, baiklah!" Sambil berkata demikian, Ouw-pangcu mencontoh perbuatan anak angkatnya, membuka jalan sambil memutar kedua rantai baja yang sudah berlepotan darah lawan, kemudian bersama Yu Goan dia lari menaiki anak tangga itu, dikejar oleh sebelas orang lawan, sisa para pengeroyok tadi. Akan tetapi, baru tiba ditengah-tengah, dari atas muncul pula banyak orang musuh! Kini mereka berada ditengah-tengah, dikepung dari atas dan bawah sehingga keadaan Ouw-pangcu dan Yu Goan menjadi repot!

Sementara itu, Siauw Bwee yang pergi lebih dulu mencari Ouw-pangcu, dimana-mana bertemu dengan orang-orang penderita kusta yang mengeroyoknya. Diam-diam Siauw Bwee terkejut juga karena tidak mengira bahwa hampir semua anggauta lembah itu agaknya telah dikuasai oleh Ang-siucai dan kawan-kawannya. Dia tidak tahu bahwa diantara mereka ada yang belum dapat dibujuk oleh Ang-siucai, akan tetapi mereka yang masih setia kepada ketuanya juga mengeroyoknya karena kedatangannya sebagai orang luar

ternyata merupakan pelanggaran bagi para penghuni tempat itu, pelanggaran yang harus dihukum dengan kematian.

Akhirnya Siauw Bwee yang selalu dapat menghindarkan para pengeroyok itu tiba di depan sebuah pondok terbesar. Dia menduga bahwa tentu itu pondok ketua orang lembah. Ia pikir lebih baik menemui ketuanya untuk bicara secara terbuka mengenai hal ini dan minta kepada Si Ketua untuk membebaskan Ouw-pangcu yang dia masih belum temukan ditawan dimana. Kalau ketua lembah menolak, dia akan memaksanya! Ia pikir bahwa jika dia dapat menawan ketua lembah, tentu dia akan memaksanya menghentikan

perlawanan anak buahnya, memaksanya membebaskan Ouw-pangcu.

Akan tetapi, ketika ia tiba didepan pondok, dia segera dikepung oleh belasan orang penderita kusta. Siauw Bwee merasa ngeri sekali dan jijik bukan main menyaksikan keadaan para pengeroyoknya. Juga dia tidak sampai hati kalau harus membunuh orang yang tidak karuan bentuk tubuhnya ini, maka dia hanya mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dan hanya kalau terpaksa saja dia menggunakan pedangnya mendesak mundur mereka. Dia takut kalau-kalau dia akan bersentuhan dengan mereka dan takut kalau ketularan!

Karena rasa jijik, rasa kasihan dan keraguannya ini maka Siauw Bwee tidak dapat segera membebaskan diri dari kepungan. Kiranya yang mengepungnya kali ini adalah pembantu-pembantu ketua yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada anggauta biasa. "Lihiap, tahan mereka!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dan kiranya Coa Leng Bu sudah muncul di tempat itu. Dia pun disambut serangan oleh empat orang penderita kusta. Seorang di antara mereka menggerakkan sebatang cambuk panjang. Cambuk itu mengeluarkan suara meledak, bagaikan seekor ular hitam yang panjang tahu-tahu telah melibat leher kakek itu. "Kalian manusia-manusia gila!" Coa Leng Bu membentak, menangkap cambuk dan mengerahkan tenaga membetot. Orang yang memegang cambuk berteriak kaget, tubuhnya terbawa oleh sentakan itu dan terbanting keatas tanah. Begitu terbanting, tulang-tulangnya yang rapuh tak dapat bertahan maka dengan mengeluarkan suara berkeretek mengerikan, lengan kanannya putus, sambungan pundaknya terlepas dan lengan itu terpisah dari tubuhnya, tangan kanannya masih mencengkeram gagang cambuk! Coa Leng Bu menendang lengan itu dan kini cambuk itu berada ditangannya. Dia memutar cambuk, merobohkan tiga pengeroyok lain lalu ia berlari memasuki pondok. Siauw Bwee merasa ngeri dan jijik sekali menyaksikan peristiwa itu. Ia lalu meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyoknya dan berlari cepat memasuki pondok mengejar Coa Leng Bu. Ketika dia dapat menyusul kakek tukang obat itu, mereka menuruni anak-anak tangga disebelah dalam pondok dan tampaklah oleh mereka pemandangan yang amat aneh. Ketua orang lembah berbaring diatas dipan, memegangi sebatang bambu berbentuk suling dengan tempat tembakau diujungnya. Kiranya kakek ketua lembah yang keadaannya mengerikan itu sedang menghisap madat! Bau yang tidak enak menyambut hidung Siauw Bwee, membuat dara ini berbangkis, muak dan hendak muntah. Ketua lembah itu sudah tua sekali, rambutnya jarang dan kepalanya botak, matanya cacat karena pelupuk matanya habis dimakan kusta. Hidungnya tidak berdaging lagi, hanya tampak dua lubang hitam, bibirnya pletat-pletot. Tubuhnya yang tidak berbaju, hanya bercelana hitam itu kelihatan kurus kering dan tangan kirinya yang membantu lengan kanan memegangi pipa madat itu hanya tinggal dua buah jarinya! Didekat dipan berdiri seorang laki-laki yang bukan lain adalah Si Sastrawan Ang Hok Ci! Ang-siucai yang menjadi biang keladi segala kekacauan diatas tebing dan dilembah itu. Ang Hok Ci memegang sebatang golok dan dia membalik cepat ketika mendengar suara Siauw Bwee berbangkis tadi. "Tarr....!" Cambuk ditangan Coa Leng Bu meledak dan cambuk itu meluncur kedepan, ujungnya membelit tangan Ang-siucai yang berteriak kaget dan goloknya terlepas dari pegangan.

"Keparat she Ang, mampuslah!" Coa Leng Bu membentak. "Sute, jangan kurang ajar!" Kakek yang mengisap madat itu berseru, mulutnya menyemburkan asap putih kearah muka Coa Leng Bu. Jarak antara dia berbaring dan tempat Coa Leng Bu berdiri cukup jauh, ada lima meter, akan tetapi asap itu bergulung-gulung cepat sekali menyambar muka Coa Leng Bu yang menjadi gelagapan dan terbatuk. Saat itu dipergunakan oleh Ang-siucai untuk menyambar goloknya karena tangannya yang terbelit ujung cambuk sudah terlepas ketika Coa Leng Bu diserang asap madat yang baunya memuakkan itu.

"Setan tua, kau melindungi pengacau?" Siauw Bwee marah sekali dan sudah akan meloncat maju menghadapi ketua lembah yang amat lihai itu.

"Lihiap, jangan!" Coa Leng Bu berseru sehingga Siauw Bwee menahan gerakan kakinya. "Dia.... Suheng.... telah terbujuk penjahat...." Ia lalu berpaling kepada suhengnya yang masih rebah diatas dipan. "Suheng, insyaflah. Dia ini bukan manusia baik-baik. Dia telah mengacau tebing, kini dia mengacau lembah bahkan tentu dia yang membujukmu untuk mengisap racun itu!"

"Coa Leng Bu, pergilah sebelum kubunuh engkau!" Kakek itu berseru. "Jangan kurang ajar terhadap tamu dan sahabat baikku. Hayo pergi!"

"Supek, kuhadapi manusia she Ang itu, biar aku yang menundukkan ketua lembah...." bisik Siauw Bwee. "Coa Leng Bu, tidak pergi juga engkau?" Kakek itu kini bangkit duduk dan tangannya memegang sebuah bendera hitam kecil, bendera yang dahulu dilihat oleh Siauw Bwee dipegang penderita kusta untuk menundukkan Ouw-pangcu. Melihat bendera itu, tiba-tiba Coa Leng Bu menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu tidak berani membantah....!"

Tiba-tiba Ang-siucai yang melihat kakek tukang obat itu berlutut dan sama sekali lenyap sikapnya melawan, menggerakkan goloknya membacok sambil melompat kedepan.

"Trangggg!" Pedang Siauw Bwee menangkis dan golok itu terpental, sedangkan tubuh siucai itu terhuyung. "Tolong, Lie-pangcu.... perempuan siluman itu lihai sekali!"

Ang-siucai berseru minta bantuan ketua lembah. Akan tetapi Siauw Bwee sudah menyambar lengan Coa Leng Bu dan dibawa lari keluar dari pondok itu. "Supek, mengapa kau selemah itu melihat bendera itu?"

"Bendera itu adalah peninggalan Suhu. Siapa yang memegangnya mempunyai kekuasaan seperti Suhu sendiri. Bagaimana aku berani melawan?"

"Hemm, kalau Twa-supek sudah terpengaruh racun dan bujukan manusia she Ang, sebaiknya kita lekas menolong Gi-hu dan keluar dari neraka ini."

"Usulmu baik sekali, Lihiap." Biarpun menjawab demikian, namun sikap kakek tukang obat itu jelas membayangkan kedukaan hebat. Ketika mereka tiba diluar pondok, kembali mereka dikepung oleh para penderita kusta dan kawan-kawan Ang-siucai. Mereka berdua melawan sambil melarikan diri untuk mencari Ouw-pangcu.

"Tentu dia ditahan dalam ruangan tahanan atau ditempat hukuman! Mari ikut aku!" Coa Leng Bu berkata sambil melawan para pengeroyok yang selalu menghadang, mereka mencari-cari diseluruh perkampungan lembah itu tanpa hasil. Banyak sudah pengeroyok mereka robohkan, namun diam-diam hati Siauw Bwee khawatir sekali karena selain tidak dapat menemukan gi-hunya, juga tidak kelihatan bayangan Yu Goan!

"Sute benar-benar kurang ajar. Aaahh, tidak kusangka dua orang suteku semua menentangku!" Ketua lembah yang sudah kekenyangan menghisap madat itu duduk sambil memijit-mijit kedua pelipisnya, tubuhnya bergoyang-goyang seperti orang mabok.

"Pangcu, orang-orang yang memberontak itu harus dihukum. Aku khawatir sekali kalau mereka berhasil mengacau kemudian merampas kitab-kitab yang amat penting itu. Pangcu berjanji untuk memperlihatkan kitab-kitab itu kepadaku. Bolehkah sekarang aku melihatnya?" Ang-siucai melangkah menuju kesebuah kamar yang daun pintunya tertutup.

"Nanti dulu, Sicu. Tidak boleh orang lain masuk kekamar itu kecuali aku!" Ketua lembah sudah bangkit berdiri dan berjalan terpincang-pincang kekamar itu, diikuti oleh Ang-siucai yang sudah memegang goloknya lagi. "Selain kitab-kitab kuno simpananku yang tidak begitu penting bagiku, disini kusimpan sebuah kitab yang amat penting dan yang kuanggap sebagai benda pusaka. Kitab itu adalah peninggalan Suhu kepada kami...."

"Kitab pelajaran Jit-goat-sin-kang?" tanya Ang-siucai dan matanya berapi-api penuh gairah. "Jit-goat-sin-kang termasuk ilmu yang berada didalam kitab itu. Masih ada ilmu-ilmu silat lain yang tidak dapat diturunkan kepada siapapun juga. Engkau amat baik kepadaku, Sicu. Maka aku tidak keberatan kalau engkau melihat kitab itu, akan tetapi tidak boleh dibaca atau dibawa pergi. Karena engkau seorang sastrawan, maka aku maklum bahwa engkau suka sekali melihat kitab-kitab kuno, mari masuk...."

Ketika memasuki kamar, ketua lembah itu terhuyung-huyung, kelihatannya lemas sekali. Diam-diam Ang-siucai menjadi girang karena dia tahu bahwa kakek ini telah mabok madat dan sebentar lagi, seperti biasanya, tentu akan tidak kuat menahan dan jatuh tertidur nyenyak!

"Yang manakah kitab peninggalan Locianpwe Bu-tek Lo-jin itu, Pangcu?"

Kakek itu kini sudah lenggat-lenggut dan beberapa kali menguap, kemudian ia hanya dapat menuding kearah sebuah kitab yang dibungkus kain kuning, terletak diatas meja disudut kamar, kemudian ia merebahkan tubuhnya begitu saja dilantai terus tidur mendengkur!

Ang-siucai girang sekali. Cepat ia menghampiri meja disudut itu, mengambil bungkusan kain kuning, membukanya dan setelah mendapat kenyataan bahwa kitab itulah yang dimaksudkan Lie-pangcu, dia cepat melangkah hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi ketika ia harus melangkahi tubuh Lie-pangcu yang tidur mendengkur diatas lantai, dia berhenti dan melirik dengan sinar mata tajam. Dia tahu bahwa kakek ini amat lihai, jauh lebih lihai daripada Ouw-pangcu, maka kalau nanti terbangun dan melihat lenyapnya kitab dan mengejarnya, berarti dia akan menambah seorang musuh yang amat berat. Dia sedang tidur, mengapa tak kubunuh saja? Setelah berpikir demikian, secepat kilat Ang Hok Ci melangkah mundur, memegang goloknya erat-erat lalu

mengayun goloknya itu kearah leher kakek yang tidur pulas. Saking gugupnya, bacokannya meleset dan mengenai pundak Lie Soan Hu, ketua lembah. "Crookk!" Pundak itu putus berikut lengan kanan Si Kakek yang pulas. Akan tetapi, mata Ang-siucai terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika ia melihat betapa luka dipundak itu tidak mengeluarkan darah dan Si Kakek masih

enak-enak tidur mendengkur! Hal ini tentu saja membuat dia terkejut dan ketakutan, disangkanya kakek itu mempermainkannya, maka segera ia meloncat keluar kamar dan memasuki pintu rahasia disebelah belakang pondok yang sudah dikenalnya, kemudian dia lari dari tempat itu, tidak mempedulikan lagi Siauw Bwee dan kakek obat yang masih mengamuk diluar. Pada saat itu, keadaan Yu Goan dan Ouw-pangcu sudah payah. Tubuh mereka sudah penuh luka dan mereka tahu bahwa dikeroyok dari atas dan bawah anak tangga, mereka tidak dapat melarikan diri lagi. Biarpun banyak pula pengeroyok yang mereka robohkan, namun karena jumlah mereka amat banyak, kedua orang yang sudah luka-luka ini mulai kehabisan tenaga.

"Jangan bunuh mereka, tangkap hidup-hidup!" Teriakan ini keluar dari mulut Ang-siucai yang sudah tiba ditempat itu. Dia tadi menyaksikan betapa Siauw Bwee dan Coa Leng Bu mengamuk dengan hebat, maka ia menjadi khawatir sekali. Kalau tadinya dia dapat mengharapkan bantuan kakek ketua lembah yang lihai, kini tidak mungkin lagi. Pula, benda yang dicarinya, yang membuat dia mengadakan pengacauan sampai berbulan-bulan ditebing dan lembah, kini telah tersimpan dibalik jubahnya. Tugasnya telah selesai, kini tinggal mencari jalan untuk keluar dengan selamat. Melihat Ouw-pangcu dan Yu Goan terkepung rapat, dia melihat jalan keluar itu, maka segera ia berseru agar menawan dua orang itu hidup-hidup.

Betapapun juga, seruan ini menyelamatkan nyawa Ouw-pangcu dan Yu Goan. Para pengeroyok menubruk dengan nekat dan akhirnya mereka ditangkap dan ditotok sehingga lumpuh. Ang Hok Ci lalu mengumpulkan kawan-kawannya, yaitu orang-orang Han yang datang bersamanya. Dia datang kedaerah itu dan diam-diam kemudian disusul oleh dua puluh orang temannya, akan tetapi sekarang teman-temannya itu hanya tinggal lima orang saja. Selebihnya sudah tewas, sebagaian besar tewas ditangan Siauw Bwee dan Coa Leng Bu.

Dengan cepat Ang-siucai mengempit tubuh Yu Goan dan seorang temannya membawa tubuh Ouw Teng, kemudian mereka berenam meninggalkan tempat itu melarikan diri melalui terowongan yang menembus dipuncak tebing didaerah orang-orang liar anak buah Ouw-pangcu.

Siauw Bwee dan Coa Leng Bu masih mengamuk, tidak tahu bahwa Ouw Teng dan Yu Goan sudah ditawan dan dibawa lari. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring, "Tahan semua senjata! Hentikan semua pertempuran!"

Mereka semua menoleh dan seketika pertandingan berhenti. Tak jauh dari mereka telah berdiri kakek Lie Soan Hu, ketua lembah yang buntung pundak kanannya. Dengan tangan kiri mengangkat bendera hitam tinggi-tinggi, kakek itu ternyata tidak kehilangan suaranya seperti para penderita lain, berkata, "Ang Hok Ci manusia jahat.... kitab peninggalan Suhu dirampas dan dilarikan....! Sute.... lekas kejar....!" Setelah berkata demikian, kakek itu roboh pingsan. Biarpun luka dipundaknya tidak mengeluarkan darah, akan tetapi tentu saja dia menderita hebat sekali.

Pucat wajah Si Tukang Obat mendengar itu. Dia tahu kitab apa yang dimaksudkan, maka cepat dia berteriak, "Hai, kalian orang-orang yang telah berdosa! Baru sekarang kalian tahu bahwa kalian telah ditipu oleh manusia she Ang itu! Siapa diantara kalian yang mengetahui dimana adanya bangsat itu?"

Beberapa orang penderita kusta menjawab sehingga terdengar suara gaduh tidak karuan yang tak dimengerti oleh Siauw Bwee. Akan tetapi dara ini melihat wajah Si Tukang Obat menjadi terkejut, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan kekhawatiran hebat. "Lekas kejar, Lihiap."

"Apa sih artinya keterangan mereka?"

"Si keparat itu telah merampas kitab peninggalan Suhu, telah menawan Ouw-sute dan Yu-sicu dan mereka melarikan diri melalui terowongan yang menembus keatas tebing."

"Celaka! Mari kita kejar!" Siauw Bwee berseru dan dia cepat meloncat mengikuti Coa Leng Bu yang sudah lari menuju keterowongan rahasia yang merupakan satu-satunya jalan yang menghubungkan daerah lembah terpencil ini kedunia luar melalui puncak tebing tempat tinggal Ouw-pangcu dan anak buahnya.

***

Siauw Bwee dan Coa Leng Bu terus melakukan pengejaran. Biarpun mereka berdua sudah tertinggal jauh, namun mereka dapat mengikuti jejak enam orang yang melarikan diri dan menawan Yu Goan dan Ouw Teng itu. Jejak mereka menuju kekota Sian-yang. Ketika mereka tiba diluar tembok kota Sian-yang, mereka melihat Yu Goan duduk termenung menghadapi sebuah kuburan baru!

"Yu-twako....!" Yu Goan melompat bangun dan memandang Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dengan girang. Akan tetapi segera wajahnya

menjadi muram ketika ia berkata, "Bwee-moi, Gi-hu telah meninggal dunia dan inilah kuburannya," ia menunjuk kearah kuburan baru. "Keparat! Mereka membunuhnya?" Siauw Bwee berteriak marah.

Yu Goan menggeleng kepala. "Tidak, Bwee-moi, Gi-hu tewas karena luka-lukanya, terutama sekali karena penyakitnya yang lama kambuh kembali."

"Dimana penjahat itu? Bagaimana engkau dapat lolos, Twako?"

"Bwee-moi, Supek, mereka itu ternyata bukanlah penjahat-penjahat, melainkan utusan-utusan rahasia dari pemerintah. Mereka membebaskan aku disini untuk mengurus jenazah Gi-hu, dan mereka tadinya menawan kami berdua hanya untuk dapat mempergunakan kami sebagai perisai ketika mereka keluar dari lembah. Mereka adalah orang-orang pemerintah dan aku sendiri telah melihat surat kuasa dan surat perintah mereka. Bahkan Ang Hok Ci itu adalah murid dari Bu Kok Tai, koksu negara yang sengaja mengutusnya kelembah untuk mengambil kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin."

"Siapa pun dia, jelas dia adalah seorang penipu, pencuri, pembunuh dan pengacau terkutuk!" kata Coa Leng Bu. "Yu-twako, dimana mereka?"

"Mereka memasuki kota Sian-yang untuk menghadap Bu-koksu yang kebetulan berada di kota itu. Aku ditinggalkan disini untuk mengurus jenazah Gi-hu. Bwee-moi, setelah kita ketahui bahwa mereka itu adalah utusan-utusan pemerintah, perlukah kita melibatkan diri?"

"Yu-twako! Aku tidak peduli mereka itu utusan pemerintah atau utusan raja sorga maupun raja neraka! Yang jelas, mereka adalah pengacau-pengacau busuk yang telah menimbulkan malapetaka diatas tebing dan dilembah, dan mereka telah menyebabkan kematian Gi-hu, bahkan telah mencuri kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin! Perbuatan mereka itu cukup bagiku untuk memusuhi mereka, tidak peduli mereka itu orang macam apa! Bagaimana dengan pendapatmu, Twako?"

Yu Goan mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang. "Bwee-moi, maafkan aku. Ayah bundaku dan kakekku telah memesan dengan sungguh-sungguh sebelum aku pergi merantau agar aku tidak melakukan perbuatan yang melawan dan menentang pemerintah, bahkan menganjurkan agar aku membantu pemerintah, menjadi pahlawan dan patriot demi kepentingan tanah air dan bangsa. Karena itu, mana mungkin aku menentang mereka yang ternyata tidak membunuhku, malah membebaskan aku dan memberi surat perkenalan kepada komandan pasukan di Sian-yang? Bwee-moi, harap engkau sadar bahwa mereka itu pun hanya petugas-petugas belaka, dan kalau kita memusuhi mereka sama artinya dengan memusuhi pemerintah. Mungkinkah kita memusuhi pemerintah yang berarti memusuhi bangsa sendiri?"

Siauw Bwee tersenyum pahit. "Twako, banyak orang yang tidak tahu bahwa pemerintah tidaklah sama dengan bangsa! Jalannya pemerintahan berada ditangan raja dan semua pembantunya, dan justeru pembantu-pembantunya yang menjadi pelaksana banyak sekali yang tidak benar dan jahat! Demikian jahat dan liciknya mereka ini sehingga orang-orang yang benar-benar berjiwa pahlawan dapat dianggap pengkhianat, sedangkan pengkhianat-pengkhianat dan penjahat-penjahat macam orang she Ang itu bisa saja dianggap pahlawan!"

"Aku akan mengejar ke Sian-yang, harus mendapatkan kembali kitab pusaka, dan membunuh orang she Ang. Apakah Ji-wi mau ikut?" Coa Leng Bu yang merasa tidak sabar mendengar perdebatan itu, berkata dan meloncat kedepan meninggalkan mereka.

"Aku ikut, Supek! Twako, apakah engkau mau pergi juga?" Yu Goan menggeleng kepala. "Maaf, Bwee-moi, aku tidak boleh melanggar pesan orang tuaku."

"Sayang sekali, Twako. Nah, selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Siauw Bwee telah lenyap dari situ, pergi menyusul Coa Leng Bu yang sudah lari menuju kepintu gerbang kota Sian-yang. Yu Goan duduk termenung dan berkali-kali menarik napas panjang. Ia merasa seolah-olah semangatnya terbawa terbang melayang bersama Siauw Bwee. Akan tetapi dia mengerahkan kekuatan batinnya dan akhirnya dia dapat melihat bahwa memang sebaiknyalah demikian. Dengan perbedaan paham ini, yaitu tentang pengabdian terhadap pemerintah maka tercipta jarak antara mereka yang akan meringankan penderitaan hatinya akibat cinta gagal. Seperginya Siauw Bwee, dia merasa hatinya kosong dan seperti dalam mimpi, Yu Goan mengeluarkan sebuah sampul surat yang ia terima dari Ang-siucai. Surat perkenalan untuk komandan pasukan pengawal kota Sian-yang, dimana dia akan bekerja dan mendapat kesempatan membuktikan dirinya untuk pemerintah seperti yang dianjurkan oleh orang tuanya. Dengan adanya pekerjaan itu, dia akan lebih sibuk setiap harinya sehingga akan terhibur dari luka hati karena berpisah dari Siauw Bwee. Setelah hari hampir gelap, barulah pemuda yang patah hati ini bangkit meninggalkan kuburan mendiang Ouw-pangcu dan melangkah perlahan-lahan menuju ketembok kota Sian-yang yang sudah tampak dari situ.

Kota Sian-yang adalah kota yang besar dan ramai, bukan saja merupakan kota dagang, akan tetapi juga menjadi kota pertahanan yang dikelilingi sebuah benteng yang amat kuat. Dalam keadaan negara kalut seperti pada waktu itu, musuh mengancam dari pelbagai jurusan, setiap kota besar menjadi benteng pasukan yang kuat dan Sian-yang tidak terkecuali. Bahkan Sian-yang dijadikan kota benteng yang menjadi pusat dari daerah disekitarnya, menjadi sebuah diantara benteng pertahanan jalan yang menuju kekota raja. Penduduk kota Sian-yang yang padat itu setiap hari masih melakukan pekerjaan seperti biasa, pasar-pasar tetap ramai, tontonan-tontonan masih terus mengadakan pertunjukan, restoran-restoran dan penginapan-penginapan selalu penuh. Pendeknya, seperti biasa, rakyat tidak mau memusingkan pikiran mengenai perang dan pertempuran. Kalau mereka itu tanpa dikehendaki terlanda perang, rakyat mawut seperti rombongan semut diusir, namun begitu mereka dapat menetap disuatu tempat dan perang telah lewat melalui atas kepala mereka yang terinjak-injak, rakyat kembali membiasakan diri dan hidup seperti biasa, tenang dan tenteram. Di kota ini banyak terdapat tentara pemerintah yang berkumpul didalam markas dekat tembok benteng yang mengelilingi kota. Setiap hari tampak perwira-perwira pasukan berkeliaran dikota, namun rakyat yang sudah biasa dengan pemandangan ini menganggap biasa saja dan bekerja terus. Karena ini, penghuni kota itu pun tidak merasa heran ketika dalam beberapa hari ini datang kereta-kereta yang terisi pembesar-pembesar militer dan sipil memasuki kota Sian-yang. Bahkan dikabarkan orang bahwa Koksu sendiri berkenan datang ke Sianyang untuk memeriksa keadaan dan memperkuat pertahanan, disamping beberapa orang jenderal yang memegang kedudukan penting. Biarpun kedatangan orang-orang besar itu tidak mengejutkan penduduk kota, namun seperti biasa, orang-orang suka melebih-lebihkan cerita mengenai jagoan-jagoan yang turut datang kekota. Maka ramailah orang membicarakan kehebatan Koksu Negara yang dikabarkan memiliki ilmu kepandaian seperti dewa berkepala tiga berlengan enam! Masih ada lagi beberapa orang jagoan negara yang kabarnya juga berkumpul dikota

itu, yang memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah manusia. Siauw Bwee dan Coa Leng Bu memasuki kota dan lenyap dalam arus manusia didalam kota. Mereka menyewa kamar disebuah rumah penginapan dan ketika pada sore hari itu mereka makan direstoran, mereka mendengar percakapan antara pelayan restoran dan beberapa orang tamu. Dari percakapan inilah Siauw Bwee dan supeknya mendengar bahwa Koksu telah tiba dikota itu membawa jago-jagonya yang berkepandaian tinggi, diantaranya yang dipuji-puji oleh pelayan itu adalah sepasang setan dampit yang kabarnya belum pernah terkalahkan oleh siapapun juga! Dan mereka mendengar bahwa pada malam hari itu didalam gedung kepala daerah akan diadakan pesta menyambut kedatangan Koksu dan para pembantunya. Setelah selesai makan dan kembali kekamar masing-masing, Siauw Bwee berkata kepada Coa Leng Bu, "Supek, amat sukarlah untuk mencari orang macam Ang Hok Ci itu didalam kota sebesar ini diantara puluhan ribu orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah murid Koksu seperti yang diceritakan oleh Yu-twako, maka setelah Koksu sendiri kini datang, tentu mereka akan menghadap Koksu dan si manusia she Ang tentu akan menyerahkan kitab itu kepada gurunya, karena itu, kurasa sebaiknya kalau kita pergi menyelidiki kegedung pertemuan itu. Kalau benar manusia she Ang itu berada disana, aku akan menyergapnya!"

Coa Leng Bu mengerutkan alisnya. "Lihiap, ilmu kepandaianmu amat tinggi dan aku percaya bahwa engkau akan kuat melawan siapapun juga. Akan tetapi, aku telah mendengar akan kelihaian Bu-koksu dan para pembantunya. Mereka adalah orang-orang selain berkedudukan tinggi, menguasai laksaan tentara, juga memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Karena itu, kita harus hati-hati sekali dan kuharap engkau suka menahan sabar, tidak melakukan tindakan sembrono. Kita mengintai dan mengikuti gerak-gerik Ang-siucai itu saja tanpa melibatkan diri dalam pertentangan melawan para pembesar pemerintah. Karena hal itu hanya akan mencelakakan diri saja."

"Baiklah, Supek. Memang tujuan kita ini hanya merampas kembali kitab dan membunuh manusia she Ang itu, bukan?" Malam hari ini dengan pakaian ringkas dan membawa pedang yang digantung dipunggung, Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu keluar dari rumah penginapan untuk pergi menyelidiki kegedung kepala daerah yang menjadi tempat pertemuan para pembesar pada malam hari itu. Seperti biasa, Coa Leng Bu yang berjiwa sederhana itu hanya mengenakan pakaian yang amat bersahaja, bahkan kedua kakinya tetap telanjang tak bersepatu!

Dengan gerakan ringan dan lincah bagaikan dua ekor burung, mereka setelah tiba di dekat gedung itu meloncat keatas genteng dan berindap-indap mendekati ruangan pertemuan yang terang benderang dan sekelilingnya terjaga oleh pasukan itu. Untung bahwa malam itu gelap sehingga Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dapat bergerak tanpa ada yang melihat mereka. Mereka merayap diatas genteng dengan hati-hati tanpa meninggalkan suara dan akhirnya tiba diatas ruangan itu, menggeser genteng dan mengintai kebawah. Siauw Bwee menyentuh lengan supeknya didalam gelap ketika ia melihat bahwa orang yang mereka cari-cari, Si Sastrawan she Ang yang telah berhasil menimbulkan pemberontakan dan kekacauan diatas tebing dan lembah, kemudian berhasil merampas kitab pusaka peninggalan Bu-tek Lo-jin, ternyata berada didalam ruangan itu, duduk berhadapan dengan seorang tinggi besar yang berpakaian panglima tinggi dan beberapa orang jenderal lain. Di ruangan itu terdapat belasan orang panglima dan pembesar setempat yang agaknya sedang merundingkan siasat-siasat pertahanan dan perang menghadapi musuh yang banyak. Disamping itu, mereka pun saling beramah tamah dan menyambut kedatangan Koksu dengan pesta yang meriah. Agak janggal memang kehadiran Ang-siucai dimeja pembesar tinggi itu. Akan tetapi Siauw Bwee mengangguk maklum ketika supeknya berbisik, "Didepannya itulah Bu-koksu...." Ah, kiranya sastrawan licik itu telah bertemu dengan gurunya dan tentu kitab itu telah diserahkan kepada koksu itu! Menurut kata hatinya, ingin Siauw Bwee segera meloncat turun membekuk siucai itu dan memaksanya menyerahkan kembali kitab yang dicurinya. Akan tetapi dia bukanlah seorang yang begitu bodoh dan lancang karena tanpa peringatan Coa Leng Bu yang pada saat itu menyentuh lengannva sekalipun, dia tidak akan sembrono melakukan hal itu. Siauw Bwee cukup maklum bahwa orang-orang dibawah itu tidak boleh dipandang ringan, apalagi mereka yang duduk diujung ruangan, yang tak salah lagi tentulah rombongan jago-jago dari Koksu. Yang amat menarik hatinya adalah sepasang laki-laki dampit yang duduk bersanding. Sepasang manusia dampit ini benar-benar menyeramkan, dan mereka kelihatan saling membenci, saling bersungut dan pandang mata yang saling mereka tujukan satu kepada yang lain memandang nafsu membunuh! Kalau apa yang ia dengar direstoran itu benar bahwa sepasang manusia dampit ini belum pernah terkalahkan, tentulah mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Karena inilah maka Siauw Bwee merasa gatal-gatal tangannya untuk mencoba sampai dimana gerangan kehebatan sepasang orang dampit yang tentu akan canggung gerakan mereka, saling merintangi itu. Manusia-manusia dampit itu tidak memakai pakaian militer, juga dua orang kakek yang duduk bersama mereka, akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar dan kelihatan seperti raksasa yang duduk dalam rombongan ini, mengenakan pakaian perang dari baja, membuat gerakan mereka tampak kaku dan berat. Tiba-tiba Koksu yang tadinya bercakap-cakap dengan Ang-siucai dengan wajah membayangkan kepuasan hati menoleh kekanan dan berkata, "Hemm, kau baru muncul? Benar-benar manusia malas!"

Siauw Bwee menoleh kearah pembesar itu memandang dan hampir saja ia mengeluarkan jerit kalau tidak cepat-cepat tangan kirinya menutup mulutnya sendiri. Ia membelalakkan mata, napasnya terengah dan setelah menggosok-gosok kedua mata dan berkejap-kejap beberapa kali, barulah ia merasa yakin bahwa orang yang yang tahu-tahu telah duduk dijendela dengan sikap sembarangan, lengan kiri menopang dagu dengan siku ditunjang paha kiri, kaki kanan menginjak lemari, duduk melamun seenaknya dilubang jendela, orang yang baru saja datang dan ditegur oleh Koksu, bukan lain adalah Kam Han Ki, suhengnya yang amat dirindukannya selama ini! Sejenak Siauw Bwee hampir tidak percaya akan pandang matanya dan menduga bahwa tentu ada orang lain yang mirip suhengnya, yaitu seorang diantara pengawal dan jagoan Koksu. Akan tetapi ia melihat sesuatu yang tidak wajar. Sikap orang ini benar-benar luar biasa. Kalau menjadi pengawal Koksu, mengapa sikapnya begitu kurang ajar? Dan bukan hanya Koksu, bahkan semua orang yang menyaksikan sikapnya duduk dijendela seperti itu, seenaknya seolah-olah disitu tidak ada manusia lainnya, agaknya tidak mempedulikan orang ini! Ketidakwajaran yang cocok dengan ketidakwajaran kalau Kam Han Ki sekarang membantu Koksu Negara! Kam Han Ki suhengnya itu adalah seorang pelarian, seorang buruan, mana mungkin sekarang menjadi pengawal Koksu dan pembantu pemerintah yang telah membunuh kakaknya, Menteri Kam Liong, dan yang telah mengejar-ngejarnya dahulu? Tidak salah lagi, orang itu tentulah Kam Han Ki, dan sikapnya yang luar biasa itu menunjukkan bahwa biarpun orangnya Kam Han Ki, akan tetapi pikirannya bukan! Agaknya telah terjadi sesuatu yang menimpa diri suhengnya itu sehingga kehilangan ingatannya!

"Kam-taihiap! Duduklah di sini!" Bu-koksu berkata dengan suara halus mempersilakan. Akan tetapi pemuda tampan yang duduk dijendela itu, acuh tak acuh menjawab, "Bu-loheng, engkau dan teman-temanmu enak saja duduk di sini sedangkan disana itu

terdapat dua orang mengintai kalian!"

Mendengar ini, semua orang terkejut, akan tetapi Siauw Bwee dan Coa Leng Bu lebih kaget lagi. "Lari....!" kata Coa Leng Bu yang merasa kaget bahwa pemuda aneh itu tahu akan kehadiran mereka. Akan tetapi, ia menjadi lebih kaget lagi ketika Siauw Bwee bukan hanya tidak menuruti kata-katanya, bahkan dara perkasa itu kini meloncat kedepan, tepat diatas ruangan itu sambil berseru, "Suheng....!"

Siauw Bwee menjadi gelisah sekali. Jelas bahwa orang itu adalah Kam Han Ki, dan Si Koksu menyebutnya juga Kam-taihiap, dan dia tidak heran kalau suhengnya yang lihai sekali itu dapat mengetahui kehadirannya bersama Coa Leng Bu, akan tetapi mengapa suhengnya tidak mengenalnya?

Pemuda itu masih bertopang dagu, hanya miringkan mukanya dan mengomel, "Siapa menyebutku suheng?"

"Suheng! Ini aku, Khu Siauw Bwee....!" Siauw Bwee berseru lagi dan semua orang yang berada diruangan itu terkejut sekali mendengar bahwa wanita yang suaranya terdengar diatas itu adalah adik seperguruan pemuda aneh yang mereka semua mengenalnya sebagai pengawal nomor satu dari Koksu!

"Tangkap pengacau itu!" Tiba-tiba Bu-koksu berseru sambil menoleh kepada para pengawalnya, yang duduk disudut ruangan. Seorang diantara dua pengawal tinggi besar seperti raksasa yang memakai pakaian perang meloncat bangun sambil mencabut goloknya, sebatang golok besar yang tajam mengkilap dan kelihatan berat sekali. Siauw Bwee yang menjadi makin gelisah melihat suhengnya masih duduk enak-enak dan sama sekali tidak memperhatikannya itu tak dapat menahan lagi hatinya. Dia meloncat turun dan berjungkir-balik, tubuhnya meluncur masuk keruangan itu melalui pintu belakang. Begitu kedua kakinya menyentuh lantai, pengawal raksasa itu sudah menerjang maju dan goloknya menyambar kearah pinggang Siauw Bwee. Dara perkasa ini menjadi marah sekali dan dia tidak ingat lagi akan bahaya. Dia merasa gelisah penasaran dan marah menyaksikan keadaan suhengnya, marah melihat Ang-siucai, dan kemarahannya memuncak ketika tiba-tiba saja ia disambut serangan. Bagaikan seekor

burung terbang, tubuhnya mencelat keatas sedemikian cepatnya sehingga sambaran golok itu kalah cepat dan golok menyambar disebelah bawah kakinya. Karena Siauw Bwee mempergunakan gerakan kilat, maka tubuhnya seolah-olah lenyap, demikian cepat gerakannya sehingga ketika pengawal raksasa itu luput menyerang dan cepat hendak membalikkan goloknya, tiba-tiba kaki Siauw Bwee yang berada diudara itu bergerak kedepan.

"Crot!"

Pengawal raksasa itu mengaduh dan terhuyung kebelakang, tangan kirinya mengusap darah yang muncrat keluar dari hidungnya yang pecah dicium telapak sepatu Siauw Bwee. Dia menjadi marah sekali, lalu menerjang seperti seekor badak terluka, membabi-buta, goloknya yang besar dan berat itu lenyap menjadi segulung sinar yang menyilaukan mata. Biarpun hatinya marah sekali bercampur gelisah, Siauw Bwee masih ingat bahwa dia berada diguha macan, bahkan keadaannya berbahaya sekali kalau sampai dia melakukan pembunuhan. Maka, mengingat bahwa seorang koksu yang suka menggunakan tenaga orang pandai tentu akan

menghargai ilmu silat tinggi, dia mengambil keputusan untuk mengalahkan para jagoan koksu itu, kemudian atas nama kegagahan yang dihargai oleh dunia kang-ouw, minta kembali kitab Bu-tek Lo-jin secara baik dan selanjutnya berurusan dengan suhengnya dan kalau mungkin, membunuh Ang-siucai. Keputusan hati ini membuat dia tidak mau mencabut pedangnya, melainkan melawan pengawal raksasa itu dengan kecepatan gerakan tubuhnya. Betapapun cepatnya sambaran sinar golok yang bergulung-gulung, gerakan tubuh dan kaki tangan Siauw Bwee lebih cepat lagi. Sambaran-sambaran golok itu seperti menyambar asap saja, jangankan mengenai tubuh Siauw Bwee, mencium ujung baju pun tidak pernah! Siauw Bwee seperti menari-nari diatas lantai, berputaran dan selalu sambaran golok mengenai tempat kosong. Indah dan aneh sekali gerakan kakinya karena memang dia mempergunakan ilmu gerak kaki kilat yang dimilikinya berkat ajaran Kakek Lu Gan. Dalam menghadapi serangan-serangan golok ini, Siauw Bwee masih sempat mengerling kearah suhengnya yang masih duduk dijendela, dan betapa gelisah dan mendongkol hatinya melihat suhengnya itu masih bertopang dagu dan menundukkan muka, sama sekali tidak tertarik dan tidak menonton seolah-olah tidak terjadi sesuatu didepan hidungnya!

Pertandingan itu membuat mereka yang hadir diruangan itu melongo. Pengawal raksasa itu adalah seorang yang terkenal amat kuat dan amat lihai ilmu goloknya, namun dalam segebrakan saja hidungnya telah pecah oleh tendangan Si Dara Perkasa, bahkan kini serangannya yang bertubi-tubi itu dihadapi dara itu seenaknya saja, selalu mengelak tanpa membalas namun belum pernah golok itu menyerempet sasarannya.

Bu-koksu tentu saja dapat mengenal orang pandai. Ia memandang dengan mata berkilat dan wajah berseri. Dia merasa beruntung sekali bisa mendapatkan seorang pembantu seperti Kam Han Ki, kalau kini gadis jelita yang mengaku adik seperguruan Kam Han Ki itu suka menjadi pembantunya, ahhh, betapa akan senang hatinya, betapa akan aman dirinya dikawal oleh kakak beradik selihai itu. Diam-diam ia memberi tanda dan pengawal raksasa kedua yang juga berpakaian perang itu meloncat maju sambil menyeret tombaknya, tombak gagang panjang yang beratnya tidak kurang dari seratus lima puluh kati! Begitu sampai ditempat pertempuran, pengawal ini sudah menggerakkan tombak panjangnya dengan lagak seperti Kwan Kong (tokoh sakti dalam cerita Samkok ) membantu kawannya menusuk kearah pusar Siauw Bwee. Dara itu tadi memang sengaja mempertontonkan kelincahannya, bukan hanya untuk menarik hati koksu agar dapat menghargai kepandaiannya, akan tetapi juga untuk menarik perhatian suhengnya yang ternyata disambut dengan sikap tak acuh itu. Dia menjadi marah, apalagi kini melihat pengawal kedua sudah maju. Dengan suara melengking panjang dia sudah mencelat tinggi dan tahu-tahu telah berada dibelakang pengawal kedua ini. Pengawal itu cepat menyodokkan gagang tombaknya kebelakang, menggunakan pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan tadi karena matanya kalah cepat, akan tetapi kembali Siauw Bwee sudah mencelat kekiri dan melihat golok menyambar, secepat kilat

tangannya mengejar punggung golok lawan dan mendorong punggung golok itu sehingga senjata ini menyeleweng kearah pengawal kedua yang memegang tombak panjang. "Tranggg! Heiii, lihat golokmu, jangan ngawur!" SiPengawal Bertombak mencela kawannya dan dia menggerakkan tombaknya menyerang Siauw Bwee setelah tadi menangkis golok kawannya. Kini Siauw Bwee tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi dengan main kelit dan mempertontonkan kelincahannya. Tusukan tombak itu yang menuju keulu hati, diterimanya begitu saja dan hanya setelah ujung tombak tinggal sejengkal dari dadanya ia mendoyongkan tubuh kekiri sehingga tombak itu menembus melalui celah-celah diantara dada dan lengan kanannya. Ia menurunkan lengan menjepit leher tombak, memegang gagang tombak dengan tangan kanan dan menarik sambil mengerahkan sin-kang. Pengawal itu terkejut sekali, khawatir kalau tombaknya terampas maka dengan kedua tangannya ia membetot gagang tombaknya. Tenaganya memang besar sekali, tenaga gwa-kang (luar) yang mengandalkan kekuatan otot. "Hekkk!" Tiba-tiba tubuhnya terjengkang karena Siauw Bwee mempergunakan kesempatan selagi lawan membetot tombak, dia membarengi mendorong dan gagang tombak yang tidak runcing itu tepat menotok dada pemiliknya sehingga seketika napasnya sesak dan perutnya mulas, terjengkang kebelakang dan bergulingan mengaduh-aduh.

Tanpa membalikkan tubuhnya, Siauw Bwee menggunakan tombak rampasan itu menangkis golok yang menerjangnya dari belakang.

"Trangggg!" Bunga api muncrat menyilaukan mata disusul jatuhnya golok yang terlepas dari tangan pengawal itu yang kini tubuhnya menggigil kedinginan. Ternyata Siauw Bwee ingin menyudahi pertandingan dengan cepat maka ketika ia menangkis tadi, ia membarengi dengan dorongan tenaga Im-kang yang ia latih di Pulau Es, tidak terlalu kuat karena dia tidak ingin membunuh lawan, namun cukup membuat lawan itu menggigil kedinginan dan lumpuh kaki tangannya sehingga goloknya terlepas dan orangnya pun terguling roboh! Setelah melempar tombak itu keatas lantai, Siauw Bwee memutar tubuh menghadapi Bu-koksu lalu berkata nyaring, "Koksu, aku mau bicara tentang suhengku Kam Han Ki!" Setelah berjumpa dengan Han Ki, lain urusan tidak ada artinya

lagi bagi Siauw Bwee sehingga ia sudah lupa akan maksud kedatangannya semula.

"Tidak! Kami datang pertama-tama untuk bicara tentang manusia she Ang yang curang!" Tiba-tiba Coa Leng Bu berteriak dan tubuhnya melayang turun disamping Siauw Bwee.

"Dia itulah Coa Leng Bu, sute ketua lembah, Suhu," bisik Ang Hok Ci kepada Koksu yang menjadi gurunya. "Biarpun tidak sesakti gadis ini, akan tetapi dia pun amat lihai!"

Koksu memberi isyarat dengan gerak kepala dan pandang mata kepada dua orang jagonya yang lain setelah melihat dua orang jagonya yang pertama keok dan kini dengan muka merah kembali kekursi masing-masing. Dua orang jagonya yang lebih tinggi tingkatnya itu adalah dua orang pendeta yang aneh. Yang seorang berpakaian jubah pendeta dengan rambut dipelihara panjang riap-riapan, jubahnya berwarna hitam dan sikapnya angkuh sekali, seolah-olah dia memandang semua orang dan keadaan disekitarnya itu kecil tiada arti. Usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih namun gerakannya ketika ia bangkit dari kursinya membayangkan kegesitan melebihi seorang muda. Adapun orang kedua, berjubah kuning seperti seorang tosu, mukanya kelihatan sabar dan sikapnya tenang, namun sinar matanya membayangkan kecerdikan, usianya sudah mendekati lima puluh tahun.

"Khu-lihiap, minggirlah. Mana ada aturan orang-orang gagah mengeroyok seorang wanita muda? Biarlah aku yang menghadapi orang-orang berjubah pendeta ini, tua sama tua!" Coa Leng Bu berseru dan melangkah maju. "Satu lawan satu!" terdengar Bu-koksu berteriak dan agaknya orang berpangkat tinggi itu mulai gembira sekali akan menyaksikan jago-jagonya bertanding. Mendengar perintah ini, tosu baju kuning berkata kepada kawannya, "Biarlah pinto menghadapi petani kotor itu!" Kawannya yang berambut panjang tertawa mengejek dan melangkah mundur, berdiri dipinggiran seperti halnya Siauw Bwee yang menuruti permintaan supeknya. Kini dua orang itu saling berhadapan tidak segera saling serang karena mereka saling pandang dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak mengukur tingkat lawan dengan pandang mata, dan hendak saling mengenal siapa yang menjadi lawannya.

"Majulah, petani busuk!" Tosu itu membentak dan sudah siap dengan pasangan kuda-kuda kakinya. Karena dia melihat lawannya yang berpakaian sederhana itu bertangan kosong, maka tosu ini pun tidak mau mengeluarkan senjatanya, namun diam-diam ia membuka gulungan ujung lengan bajunya sehingga menjadi longgar dan panjang karena kedua ujung lengan bajunya itu baginya merupakan senjata yang cukup ampuh.

"Taijin, kami datang bukan untuk bertanding, akan tetapi kalau Taijin memaksa dan menghendaki kami memperlihatkan kepandaian, apa boleh buat!" kata Coa Leng Bu dengan suara tenang.

"Tak perlu mencari muka, sambut tanganku!" Tosu itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang maju, kepalan tangan kirinya menampar muka lawan, disusul dengan tusukan jari tangan kiri kearah perut.

"Plak-plakk!" Coa Leng Bu menangkis dengan gerakan tangkas dan kuat sehingga kedua tangan lawan itu terpental, kemudian ia melangkahkan kaki telanjang ke depan, langsung menggunakan tangan kirinya yang menangkis tadi untuk balas memukul dada lawan dengan telapak tangan terbuka. Tosu itu tadi sudah terkejut sekali karena mendapat kenyataan betapa tangkisan lawan yang dipandang rendah sebagai petani busuk itu ternyata mengandung sin-kang yang amat hebat dan yang membuat kedua lengannya tergetar. Maka kini dia tidak berani memandang rendah, ketika dorongan telapak tangan lawan tiba, ia cepat mengelak dan balas menyerang mengandalkan kecepatan ilmu silatnya. Coa Leng Bu menghadapi lawan dengan sikap tenang karena ia maklum bahwa dia akan mampu mengalahkan lawan ini, hanya dia harus dapat menang tanpa membunuh lawan. Siauw Bwee yang merasa lega karena dalam beberapa gebrakan saja dia pun maklum bahwa supeknya itu tidak akan kalah, kini mencurahkan perhatiannya kepada Kam Han Ki yang masih duduk termenung di jendela. Dia terheran-heran dan hatinya gelisah bukan main. Tidak mungkin kalau suhengnya sengaja bersikap seperti itu! Dia sudah mengenal betul suhengnya, sudah bertahun-tahun tinggal bersama suhengnya di Pulau Es. Suhengnya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki sejati, seorang yang berhati mulia. Andaikata suhengnya itu marah kepadanya sekalipun karena dia melarikan diri dari Pulau Es, tidak mungkin sekarang suhengnya mengambil sikap seperti tidak kenal padanya. Ah, tidak mungkin! Pasti terjadi sesuatu yang amat hebat atas diri suhengnya dan agaknya hanya koksu itu saja yang mengetahuinya!

Dugaan yang dikhawatirkan Siauw Bwee memang benar. Laki-laki itu bukan lain adalah Kam Han Ki. Mengapa ia bersikap seperti itu dan seperti tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya dan hanya ada reaksi kalau ditegur oleh Koksu? Hal ini sebetulnya sudah terjadi sejak beberapa bulan yang lalu dan untuk mengetahui sebab-sebabnya marilah kita mengikuti pengalaman Kam Han Ki semenjak dia menderita siksa batin melihat bekas kekasihnya, Puteri Sung Hong Kwi, meninggal dunia dalam keadaan sengsara. Seperti telah diketahui, tekanan batin membuat Han Ki menjadi seperti gila dan dia mengamuk dan menyebar maut pada pasukan-pasukan Mancu yang dianggap sebagai biang keladi kematian bekas kekasihnya itu. Kemudian ia mengalami pukulan batin kedua ketika dalam pasukan Mancu itu dia berjumpa dengan dua orang murid Mutiara Hitam, bahkan makin hebat lagi pukulan batin ini ketika ia bertemu dengan sumoinya, Maya sebagai seorang Panglima Mancu! Hatinya berduka sekali karena dia tidak berhasil membujuk Maya untuk meninggalkan kedudukannya sebagai Panglima Mancu. Memang benar bahwa dia dapat menyelami isi hati Maya yang karena kematian orang tuanya, Raja dan Ratu Khitan, menaruh dendam yang hebat terhadap Kerajaan Yucen dan Kerajaan Sung, dan bahwa tindakannya menjadi Panglima Mancu semata-mata untuk dapat membalas dendam itu. Akan tetapi, sakit hatinya kalau dia memikirkan betapa sumoinya yang tadinya hidup tenang dan tenteram jauh daripada segala keruwetan dunia, apalagi perang besar, bersama dia dan Siauw Bwee di Istana Pulau Es, kini menjadi seorang panglima perang!

Harapan satu-satunya hanyalah Siauw Bwee. Kalau dia dapat bertemu dengan sumoinya yang kedua itu, agaknya mereka berdua akan mampu membujuk Maya. Dia pun masih bingung sekali mendengar jawaban Maya yang terang-terangan menyatakan cinta kasihnya kepadanya, tanpa mau dibagi dengan orang lain! Maya hanya suka ikut dengan dia kembali ke Istana Pulau Es, meninggalkan semua urusan duniawi, akan tetapi harus hanya mereka berdua, tanpa Siauw Bwee!

Betapa mungkin dia memenuhi permintaan itu? Betapa mungkin dia mendapatkan Maya dengan membuang Siauw Bwee? Dia mencinta kedua orang sumoinya itu, mencinta dengan kasih sayang besar, seperti seorang saudara tua, bahkan seperti pengganti guru dan orang tua! Memang, kadang-kadang dia merasa bahwa ada cinta kasih yang lain dari itu, seperti cinta kasihnya terhadap mendiang Sung Hong Kwi, cinta kasih yang membuat ia rindu akan kemesraan dengan wanita, akan tetapi dia sendiri tidak jatuh cinta kepada keduanya sebagai pengganti Sung Hong Kwi! Ah, dia tidak berani membayangkan hal ini yang dianggapnya terlalu jahat! Karena tidak dapat memenuhi permintaan Maya, maka sumoinya itu pergi membawa pasukannya dan dia sendiri tidak tahu harus mencari Siauw Bwee kemana? Kemudian timbul keinginan hatinya untuk mencari kedua orang encinya, kedua orang kakak kandungnya yang semenjak dia dibawa pergi gurunya, Bu Kek Siansu, belum pernah ia jumpai. Maka pergilah Han Ki kepegunungan Ta-liang-san, dimana ia dahulu mendengar bahwa kedua orang encinya itu belajar ilmu di bawah pimpinan paman kakek mereka sendiri, yaitu Kauw Bian Cinjin.

Dengan penuh harapan untuk dapat bertemu dengan kedua orang encinya, Han Ki melakukan perjalanan cepat ke Ta-liang-san, luka-lukanya yang ia derita ketika mengamuk barisan Mancu hanyalah luka luar yang biarpun banyak akan tetapi ringan saja, maka sambil melakukan perjalanan dia mengobati luka-lukanya dan ketika tiba di Ta-liang-san, ia sudah sembuh sama sekali, akan tetapi batinnya tetap tertindih penuh duka dan kecewa. Betapapun ia berusaha melupakannya, selalu wajah Hong Kwi yang telah meninggal dan wajah Maya yang tidak mau ikut dengannya menggodanya dan setiap kali teringat kepada Hong Kwi, Maya dan juga Siauw Bwee yang belum dapat ditemukannya itu, jantungnya seperti ditusuk karena duka dan kecewa. Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika di lereng pegunungan itu, seorang petani menjawab pertanyaannya tentang tokoh-tokoh Beng-kauw, "Dipuncak sana sudah tidak ada orang lagi, yang ada hanya kuburan-kuburan!"

Mendengar ini, Han Ki cepat berlari mendaki puncak dan tak lama kemudian ia berdiri termangu-mangu didepan pondok yang sudah rusak dan didepan sebaris kuburan yang tidak terawat lagi. Dengan hati kosong ia melihat nama tokoh-tokoh Beng-kauw disitu, dan diantaranya terdapat nama Kauw Bian Cinjin! Ia menjatuhkan diri berlutut didepan kuburan paman kakeknya dan membayangkan wajah paman kakek ini yang dulu pernah dilihatnya diwaktu ia masih kecil. Kemudian ia meneliti dan memeriksa dengan hati tidak karuan mencari kuburan kedua encinya. Akan tetapi harapannya timbul kembali ketika ia tidak melihat nama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui diantara mereka yang terkubur disitu. Kenyataan ini membesarkan hatinya karena berarti bahwa kedua orang encinya itu tidak ikut mati! Semua kuburan, dibawah nama masing-masing yang terkubur terdapat tulisan "Gugur dalam mempertahankan Beng-kauw". Dia makin bingung karena tidak tahu apakah yang telah terjadi dengan Beng-kauw? Ia teringat akan petani tadi, maka kini tanpa mempedulikan kelelahan tubuhnya ia lari lagi menuruni puncak untuk mencari petani tadi. "Paman, mohon tanya dimana adanya kedua orang wanita yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, yang dahulu

tinggal dipuncak bersama Kakek Kauw Bian Cinjin?"

Kakek petani itu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Kaumaksudkan Ji-wi Kam-kouwnio? Aihhhh.... sungguh kasihan mereka. Bagaimana aku tahu dimana mereka itu berada? Semenjak Beng-kauw jatuh ketangan orang lain, kedua orang kouwnio itu sajalah yang masih hidup, lalu mereka pergi entah kemana...." Suara orang itu penuh duka dan keharuan. "Aihh, mereka sungguh orang-orang yang amat mulia, sungguh aku heran sekali mengapa kadang-kadang Thian tidak memberkahi orang-orang yang baik hati?"

"Paman, siapakah yang telah menjatuhkan Beng-kauw? Dan dimana sekarang pusat Beng-kauw?" Kini petani memandang Han Ki penuh kecurigaan. "Engkau ini siapakah, orang muda? Aku mana tahu tentang Beng-kauw?"

Kam Han Ki yang maklum bahwa orang ini mencurigainya, cepat mengaku terus terang. "Namaku Kam Han Ki, adapun kedua orang Kam-kouwnio itu adalah enciku."

Tiba-tiba petani itu menjatuhkan diri berlutut didepan Han Ki dan menangis, Han Ki cepat membangunkan orang itu yang segera menyusut air matanya dan bercerita, "Saya dahulu juga seorang anggauta Beng-kauw. Ketika itu muncul seorang bernama Hoat Bhok Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dialah orangnya yang menjatuhkan Beng-kauw, merobohkan semua tokoh-tokohnya kecuali kedua Kam-kouwnio yang berhasil melarikan diri. Anak buah Beng-kauw dipaksa untuk menjadi pengikutnya, dan hanya beberapa orang saja termasuk saya sendiri yang dapat melarikan diri karena tidak sudi menjadi anggauta Beng-kauw baru yang dipimpin oleh pendeta Lama itu. Ji-wi Kam-kouwnio dan beberapa orang anggauta yang setia menguburkan semua jenazah di puncak itu, kemudian berkali-kali kami mencoba untuk membalas dendam dan merampas kembali Beng-kauw. Namun, pendeta Lama itu terlalu lihai sehingga makin banyak korban. Akhirnya Ji-wi Kouw-nio pergi entah kemana, mungkin mencari bala bantuan dan habislah riwayat Beng-kauw yang sejati. Beng-kauw yang sekarang berpusat di pegunungan Heng-toan-san adalah Beng-kauw palsu yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama."

Han Ki menjadi makin berduka, akan tetapi juga marah sekali. "Terima kasih, Paman. Sekarang juga aku akan mencari Hoat Bhok Lama dan menghancurkan kepala penjahat berkedok pendeta itu!" Sekali berkelebat Han Ki lenyap dari depan petani itu yang melongo dan mencari dengan pandang matanya. Ketika tidak dapat menemukan bayangan Han Ki, dia lalu berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas. "Terima kasih kepada Thian yang agaknya menurunkan cahaya terang untuk mengusir kegelapan ini. Semoga dia berhasil!"

Tanpa mempedulikan kelelahan, Han Ki terus langsung menuju ke Heng-toan-san, melakukan perjalanan cepat siang malam dengan hati penuh kemarahan. Ia mengambil keputusan untuk membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, membebaskan para anggauta Beng-kauw dan baru kemudian mencari kedua orang encinya yang tidak ada kabar beritanya lagi, biarpun disepanjang jalan ia bertanya-tanya orang. Agaknya penduduk disepanjang jalan sungkan untuk bicara sesuatu yang menyangkut Beng-kauw yang kini berubah menjadi perkumpulan agama yang ditakuti orang. Akan tetapi ketika Han Ki akhirnya tiba dipuncak Heng-toan-san, dilembah Sungai Cin-sha yang dahulu menjadi markas besar Beng-kauw yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama, kembali ia mendapatkan tempat yang amat sunyi, hanya tinggal bekas-bekasnya saja, yaitu bangunan-bangunan yang sudah tak terawat. Beberapa orang yang masih tinggal disitu hidup sebagai petani dan kepada mereka inilah Han Ki bertanya.

"Saudara sekalian, harap suka memberi keterangan kepadaku, dimana aku dapat bertemu dengan Hoat Bhok Lama?"

Begitu Han Ki mengucapkan kata-kata pertanyaan ini, enam orang petani itu langsung menyerangnya dengan cangkul mereka. Gerakan mereka gesit dan kuat, tanda bahwa mereka bukanlah petani-petani biasa, melainkan orang-orang yang pandai ilmu silat. Tentu saja Han Ki terkejut bukan main, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak cepat, enam orang itu semua terlempar kembali ketengah sawah dan terbanting kedalam lumpur! Untung bagi mereka bahwa Han Ki tidak menggunakan seluruh tenaga sin-kangnya karena Han Ki masih meragukan apakah mereka ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang dicarinya. Kalau dia sudah yakin bahwa mereka adalah kaki tangan pendeta Lama itu, tentu mereka berenam itu sekarang sudah tidak dapat bangkit lagi dan tewas seketika! "Hemm, mengapa kalian menyerangku? Apakah kalian ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang jahat?"

Mendengar ucapan itu, enam orang yang sudah bangkit kembali itu tiba-tiba merubah sikap. Mereka keluar dari lumpur dan melempar cangkul, kemudian menghadapi Han Ki sambil memandang penuh perhatian. Seorang diantara mereka bertanya.

"Maaf...., apakah Taihiap yang gagah perkasa ini bukan sahabat mendiang Hoat Bhok Lama?"

"Sahabatnya? Dan apa kaubilang? Mendiang? Jadi manusia iblis itu sudah mati?" Enam orang itu menarik napas lega. "Uihh, kiranya Taihiap bukan sahabatnya. Maafkanlah kami karena tadi kami menyangka bahwa Taihiap adalah seorang sahabatnya, maka kami segera menyerang. Memang dia sudah tewas, juga semua kaki tangannya, Taihiap. Kami bersyukur sekali, dan sebelum kami melanjutkan cerita, bolehkah kami mengetahui siapa Taihiap ini? Apakah masih sahabat Suma-taihiap, atau Im-yang Seng-cu, dan kenalkah Taihiap kepada Bu-tek Lo-jin?"

Han Ki sudah mendengat nama besar Im-yang Seng-cu tokoh Hoa-san-pai itu, dan nama besar Bu-tek Lo-jin tentu saja sudah didengarnya. Hanya sebutan Suma-taihiap itu membuat ia terkejut karena dia tidak tahu siapa sedangkan she-nya mengingatkan dia akan keluarga Suma yang jahat sekali. "Namaku Kam Han Ki, dan aku mencari kedua orang enciku, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui."

"Ahhhhh...., mengapa Taihiap datang terlambat....?" Enam orang itu mengeluh dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut didepan Han Ki dan menangis! Persis seperti yang dilakukan petani bekas anggauta Beng-kauw di Tai-hang-san itu.

"Bangkitlah, jangan seperti anak kecil. Kalau Hoat Bhok Lama sudah tewas, demikian pula kaki tangannya, bukankah kalian seharusnya bersuka, mengapa sekarang menangis?"

Orang tertua dari mereka berkata, "Kami adalah bekas anggauta-anggauta Beng-kauw yang dipaksa menjadi anak buah Hoat Bhok Lama. Setelah Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya dibasmi oleh Bu-tek Lo-jin dibantu oleh Suma-taihiap dan Im-yang Seng-cu, kami berenam tinggal di sini, sedangkan saudara-saudara lainnya kembali ke Nan-cao untuk membangun kembali Beng-kauw yang berantakan oleh perbuatan Hoat Bhok Lama. Akan tetapi.... ah.... Taihiap.... kedua orang kouwnio yang kami hormati dan cinta itu, mereka.... mereka telah menjadi korban dan tewas...."

Seketika pucat wajah Kan Ki, napasnya terasa sesak. Pukulan terakhir ini benar-benar amat hebat baginya, hampir saja dia roboh pingsan kalau dia tidak mengeraskan hatinya. Dengan bibir gemetar dia berkata singkat, "Ceritakan....!"

Orang tertua itu lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi disitu hampir dua bulan yang lalu. Han Ki mendengarkan dengan penuh perhatian dan ia berduka sekali ketika mendengar betapa kedua orang encinya terjebak dan terpendam dibawah tumpukan batu-batu gunung. "Di mana mereka terpendam? Lekas tunjukkan kepadaku!"

Enam orang itu lalu menuju kebukit dimana dahulu kedua orang wanita itu teruruk oleh batu-batu yang amat banyak. Ketika Han Ki tiba didepan gundukan batu seanak gunung itu, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. "Pergilah kalian, jangan ganggu aku!" bentaknya dan enam orang itu cepat menyingkir, saling pandang dan mereka kasihan sekali, ketika dari jauh mereka melihat Han Ki mulai membongkari batu-batu itu, mereka menggeleng-geleng kepala dan mengira bahwa orang itu menjadi gila saking duka. Akan tetapi maklum bahwa Han Ki amat lihai, mereka tidak berani mendekat, lalu kembali kesawah mereka dan melanjutkan pekerjaan mereka. Memang Han Ki seperti menjadi gila saking hebatnya penderitaan batin yang menghimpitnya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, membongkari batu-batu itu dan orang akan terbelalak kagum dan terheran-heran menyaksikan betapa ia melempar-lemparkan batu-batu besar kedalam jurang seolah-olah batu sebesar kerbau itu hanya merupakan sebongkah kapas yang ringan saja. Hal ini tidak mengherankan karena dalam duka dan marahnya Han Ki telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Saking tekunnya membongkar batu dan mengerahkan seluruh sin-kang, Han Ki tidak tahu betapa dari jauh terdapat

beberapa pasang mata memandang kearahnya dengan terbelalak dan penuh kekaguman. Juga ia tidak tahu betapa enam orang tadi kini telah menggeletak ditengah sawah dalam keadaan mati semua! Dia terus membongkar batu-batu yang merupakan tumpukan sebesar anak gunung itu dan menjelang senja, habislah batu-batu itu dibongkarnya, tenaganya hampir habis dan dengan tubuh lemas ia berlutut memandang dua buah kerangka manusia yang masih berpakaian. Jelas pakaian dua orang wanita, dua orang encinya!

"Aduh, Kui-cici...., Hui-cici....!" Ia menangis memeluk dua kerangka manusia itu, kemudian ia mengumpulkan kerangka itu, memondongnya dan membungkusnya dalam pakaian mereka, kemudian menggali lubang tak jauh dari situ dan mengubur dua kerangka itu menjadi dua gundukan tanah. Dengan pengerahan tenaga terakhir ia berhasil menggores-gores dua buah batu sebagai batu nisan, menuliskan nama kedua orang encinya dengan goresan jari, kemudian menancapkan batu nisan itu didepan dua kuburan dan ia menangis tersedu-sedu sampai akhirnya ia roboh terguling dalam keadaan pingsan!

"Cepat! Dia pingsan, kita dapat turun tangan sekarang! Jangan sampai dia keburu siuman!" Terdengar orang berkata dan muncullah beberapa orang yang sejak tadi mengintai setelah mereka mendengar penuturan enam orang bekas anggauta Beng-kauw kemudian membunuh mereka begitu saja. Orang-orang ini adalah Coa Sin Cu yaitu Coa-bengcu yang bermarkas diPantai Po-hai, isterinya yang cantik bernama Liem Cun, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin. Kedatangan mereka adalah atas usul Pat-jiu Sin-kauw yang masih terhitung adik seperguruan Hoat Bhok Lama, yaitu murid Thai-lek Kauw-ong. Pat-jiu Sin-kauw yang tahu bahwa suhengnya telah merampas Beng-kauw, mengusulkan kepada Coa Sin Cu untuk mengadakan hubungan dengan suhengnya agar kedudukan mereka menjadi makin kuat. Kunjungan kesitu selain disertai ketua Pantai Po-hai itu dan isterinya, juga turut pula Thian Ek Cinjin, tosu pembantu Coa Sin Cu. Untung sekali bahwa mereka tadi tidak berjumpa dengan Han Ki, melainkan dengan enam orang petani yang mengira bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Kam Han Ki, maka tanpa curiga mereka menceritakan keadaan Beng-kauw yang sudah hancur, tentang kematian Hoat Bhok Lama dan tentang kedatangan Han Ki membongkar batu segunung yang mengubur dua orang encinya. Mendengar nama Han Ki, mereka terkejut karena nama Han Ki sudah amat terkenal sebagai adik Menteri Kam yang sakti. Mereka lalu membunuh enam orang bekas anggauta Beng-kauw itu, kemudian diam-diam mereka mengintai dan menyaksikan dengan penuh takjub betapa pendekar itu membongkar batu-batu besar.

Ucapan Pat-jiu Sin-kauw tadi memang benar. Biarpun Han Ki hampir kehabisan tenaga membongkar batu-batu tadi, kalau saja dia tidak pingsan, belum tentu enam orang itu akan mampu menandinginya. Kini empat orang itu berlompatan mendekati tubuh Han Ki yang pingsan tak bergerak, kelihatan mereka masih takut-takut kemudian Pat-jiu Sin-kauw hendak menotok tubuh yang pingsan itu. "Jangan!" Tiba-tiba Liem Cun, isteri Coa Sin Cu, mencegah. "Orang dengan kesaktian seperti dia ini, siapa tahu tidak akan terpengaruh kalau ditotok. Aku mempunyai akal yang lebih aman bagi kita." Nyonya yang cantik dan cerdik, bekas murid Hoa-san-pai yang murtad itu mengeluarkan sebuah bungkusan merah, mengeluarkan seguci arak, kemudian menuangkan arak kedalam cawan. Setelah itu, bungkusan dibuka dan dia menjumput sedikit bubuk merah yang ia masukkan ke dalam cawan. "Buka mulutnya, paksa obat ini masuk keperutnya!" katanya.

Melihat Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin ragu-ragu, Coa Sin Cu tertawa. "Ha-ha, percayalah akan kemanjuran racun isteriku itu. Biar dia dewa sekalipun, kalau minum racun ini dalam waktu sehari semalam dia akan pingsan terus!"

Mulut Han Ki yang sedang pingsan itu dibuka dan arak itu dituangkan kedalam mulutnya. Karena masuknya arak ini keperut dan menyumbat tenggorokan, Han Ki siuman dari pingsannya. Ia meronta dan melompat bangun sehingga empat orang itu terlempar kekanan kiri, akan tetapi Han Ki terhuyung-huyung dan jatuh lagi, pingsan untuk kedua kalinya, akan tetapi kali ini karena pengaruh racun yang dipaksa memasuki perutnya.

"Hebat, dia lihai bukan main!" Pat-jiu Sin-kauw mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor karena dia tadi terlempar jatuh.  "Mengapa tidak dibunuh saja orang yang berbahaya ini?" Thian Ek Cinjin berkata sambil mengerutkan alisnya, merasa ngeri menyaksikan kesaktian pendekar itu. "Ah, dia tepat sekali bagi kita," kata Coa Sin Cu. "Dia inilah yang akan menjadi pembuka jalan, menjadi kunci kedalam gedung Bu-koksu. Kalau Pat-jiu Sin-kauw dan Totiang berdua datang menghadap Bu-koksu seperti yang kita rencanakan, menghadap begitu saja, aku masih khawatir kalau-kalau Koksu menjadi curiga dan tidak mau menerima bantuan kalian. Akan tetapi kalau kalian membawa Kam Han Ki sebagai tawanan, tentu dia percaya karena orang ini adalah seorang buruan, musuh pemerintah. Begitu muncul kalian membawa tangkapan yang penting ini, berarti telah membuat jasa besar. Tentu Bu-koksu akan menerima kalian sebagai pengawal dan kalau sudah begitu akan lancarlah usaha kita. Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen tentu akan girang sekali mendengar bahwa kalian sudah berhasil menyelundup kesana dan menduduki jabatan penting!"

Dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan berangkatlah mereka berdua membawa Han Ki yang pingsan, dan membawa pula bekal obat merah Liem Cun. Setiap sehari semalam, mereka mencekokkan obat merah dan arak kedalam perut Han Ki sehingga pendekar ini berada dalam keadaan pingsan terus-menerus selama sepuluh hari! Tepat seperti yang diperhitungkan oleh Coa Sin Cu, Bu Kok Tai, koksu negara itu menjadi girang sekali ketika menerima dua orang pendeta yang membawa Han Ki sebagai tangkapan itu. Otomatis keduanya diterima dan diangkat menjadi pengawal, akan tetapi koksu yang cerdik itu tidak membunuh Han Ki atau menyerahkan kepada pengadilan kota raja untuk diadili. Tidak, koksu ini terlalu cerdik untuk membunuh Han Ki begitu saja. Dia sudah mendengar akan kelihaian pendekar ini, bahkan sudah mendengar akan sepak terjang Han Ki ketika membasmi ribuan orang tentara Mancu, dan tahulah dia bahwa amat sukar mencari seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Kam Han Ki. Alangkah akan kuat kedudukannya, terjamin keamanannya, kalau dia dapat memiliki seorang pengawal seperti ini! Apalagi kalau dipikir bahwa dia dapat memetik ilmu-ilmu kesaktian dari pendekar ini. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin membujuk pendekar ini untuk menjadi pengawalnya. Bu Kok Tai tidak kekurangan akal. Dia, disamping ilmunya yang tinggi, juga sudah lama tinggal didaerah Himalaya dan dia mempunyai bubuk racun dari Hima laya, buatan seorang pendeta aliran hitam, yang disebut I-hun-tok-san. Bubuk beracun ini dapat dicampurkan dengan makanan atau minuman, dan siapa yang meminumnya akan kehilangan ingatannya dan seperti dalam keadaan dihypnotis, menurut segala perintah orang yang menguasainya pada pertama kali. Demikianlah, dengan menggunakan I-hun-tok-san ini, Bu-koksu memberi minuman racun ini kepada Han Ki, selama tiga hari berturut-turut. Ketika sadar, Han Ki mendapatkan dirinya disebuah kamar yang amat bagus dan didekat pembaringannya duduk Bu-koksu yang dengan ramah-ramah memberitahukan bahwa koksu itu menolongnya dari keadaan pingsan dan hampir mati. Han Ki adalah seorang yang memiliki dasar watak pendekar budiman. Seorang pendekar tidak pernah melepas budi, akan tetapi selalu ingat akan budi orang lain, maka biarpun ingatannya samar-samar dan ia sudah lupa mengapa dia pingsan dibukit dan hampir mati, kenyataannya bahwa dia berada disitu dan terawat baik membuat ia tidak meragukan lagi akan pertolongan orang lain, maka dia menghaturkan terima kasih. Demikianlah, dengan amat pandai Bu-koksu mengambil hati Han Ki yang kehilangan ingatannya, bahkan memanggil taihiap dan menganggapnya sebagai seorang adik sendiri. Han Ki disuruh menyebutnya Bu-loheng (Kakak Tua Bu), sebuah sebutan yang amat langka bagi orang lain dan semenjak itu, Han Ki menjadi pengawal Bu-koksu yang amat setia.

Namun, ada hal yang mengecewakan hati Bu-koksu. Biarpun Han Ki tidak kehilangan ilmu kepandaiannya yang sudah mendarah daging dan tidak membutuhkan ingatan lagi, namun pemuda itu sama sekali tidak dapat mengajarkan ilmu silat karena pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori ilmu silatnya! Sebetulnya, agak janggal menyebut Han Ki yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu sebagai pemuda, akan tetapi karena dia memang belum menikah dan wajahnya masih kelihatan seperti seorang berusia dua puluh lima tahun, dia masih patut disebut pemuda!

Hal lain lagi yang aneh adalah bahwa Han Ki dalam keadaan tidak sadar itu tidak pernah mau mempedulikan urusan lain, bahkan tidak tahu akan sopan-santun dan segala peraturan lain. Hanya ucapan Bu-koksu seoranglah yang ditaatinya dan biarpun tanpa diminta, kalau melihat koksu itu diganggu orang, tentu dia akan turun tangan melindungi. Seperti keadaan seekor anjing yang terlatih dan amat setia! Marilah kita kembali kedalam ruangan kepala daerah, yang tadinya menjadi tempat pesta pertemuan dan kini menjadi medan pertandingan menguji kepandaian itu. Han Ki melenggut diatas langkan jendela, tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Karena Koksu tidak memberi perintah apa-apa, dan juga tidak ada bahaya mengancam Koksu, maka Han Ki bertopang dagu lagi dengan pikiran kosong! Seperti telah diduga Siauw Bwee, pertandingan antara Coa Leng Bu melawan tosu yang bukan lain adalah Thian Ek Cinjin itu tidak berjalan terlalu lama dan kini supeknya telah dapat mendesak lawannya sehingga selalu mundur. Ketika tangan Thian Ek Cinjin terpental bertemu dengan tangan Coa Leng Bu dan kedudukan kakinya tergeser, Coa Leng Bu cepat menerjang dan melakukan tiga kali pukulan tangan kosong berturut-turut. Thian Ek Cinjin berusaha mengelak dan menangkis, namun kalah cepat dan pundak kirinya kena terpukul telapak tangan Coa Leng Bu. Ia terjengkang dan roboh, meringis kesakitan akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan kini tangan kanannya memegang sebatang pedang tipis. Coa Leng Bu adalah seorang tokoh yang sudah berpengalaman. Dia tidak khawatir menghadapi lawan yang bersenjata, akan tetapi karena dia tidak ingin kesalahan tangan melakukan pembunuhan, maka ia mendahului, selagi lawan meloncat bangun, cepat ia menggerakkan tangan memukul dengan sin-kang jarak jauh. Thian Ek Cinjin tiba-tiba merasa dadanya dingin sekali, tangannya menggigil dan ia tidak mampu mempertahankan lagi ketika pedangnya dirampas oleh lawannya!

"Kurasa sudah cukup Totiang!" kata Coa Leng Bu sambil melontarkan pedang itu kearah pemiliknya. Thian Ek Cinjin marah sekali, menyambar pedangnya dan hendak meloncat maju lagi. Betapa dia tidak marah kalau didepan Koksu dia dikalahkan orang seperti itu?

"Mundurlah, Cinjin, biar aku yang melawannya!" Bentakan ini keluar dari mulut Pat-jiu Sin-kauw yang juga marah melihat kawannya keok. Karena dia maklum bahwa petani tak bersepatu itu cukup lihai, maka begitu menyerang ia sudah mainkan Soan-hong-sin-ciang, tubuhnya berputar seperti gasing dan angin yang keras bertiup kearah Coa Leng Bu! Kakek ini terkejut sekali, terpaksa kini ia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Jit-goat-sin-kang. Kedua lengannya melindungi tubuh sendiri dan kadang-kadang tangannya mendorong ke depan.

"Ihhhh....! Pat-jiu Sin-kauw berteriak kaget ketika hawa pukulan yang amat panas menyambarnya dan membuat gerakan berputar menjadi agak kacau. Tahulah dia bahwa lawannya itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, maka ia menjadi marah sekali dan menghentikan gerakan tubuhnya berputaran, lalu kedua lengannya bergerak mendorong atau memukul dari bawah kearah lawan. Dari perutnya terdengar bunyi berkokok. Inilah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang mengandung tenaga sin-kang amat dahsyat!    Menghadapi pukulan-pukulan dahsyat ini, Coa Leng Bu terkejut dan cepat ia pun mengerahkan Jit-goat-sin-kang, karena hanya dengan tenaga sin-kang ini sajalah ia akan mampu menghadapi lawannya yang tangguh. Mulailah dua orang kakek itu bertanding secara hebat sekali, gerakan mereka tidak cepat sekali namun setiap gerakan tangan yang memukul atau menangkis mengandung tenaga sin-kang yang kuat sehingga angin menyambar-nyambar disekitar ruangan itu dan terdengar suara bersuitan. Siauw Bwee memandang kagum. Dia dapat mengukur Jit-goat-sin-kang yang dikuasai supeknya sekarang. Terasa betapa diruangan itu hawanya menjadi berubah-ubah, kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang sejuk dingin. Itulah pengaruh dari kekuatan Jit-goat-sin-kang. Akan tetapi ia pun dapat melihat bahwa supeknya bukanlah lawan Pat-jiu Sin-kauw yang lihai sekali. Biarpun dengan Jit-goat-sin-kang supeknya masih dapat menahan serangan-serangan Thai-lek-kang, namun ilmu silat supeknya masih kalah jauh dan begitu pendeta rambut panjang berjubah hitam itu mainkan Soan-hong Sin-ciang, supeknya terdesak hebat. Si Sastrawan Ang Hok Ci berbisik kepada gurunya, memberi tahu bahwa Coa Leng Bu mempergunakan Jit-goat-sin-kang. Mendengar ini Koksu berkata sambil tertawa! "Ha-ha-ha, jadi hanya begini sajakah Jit-goat-sin-kang yang terkenal ini? Kalau hanya begini, mengapa mesti susah payah mendapatkannya?"

Mendengar ini, tahulah Siauw Bwee bahwa sastrawan Ang itu hanya memenuhi perintah gurunya untuk mencari kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin untuk mempelajari Jit-goat-sin-kang. Kini mendengar koksu itu mengejek karena memang kepandaian dan kekuatan Coa Leng Bu masih kalah tingkatnya oleh Pat-jiu Sin-kauw, ia merasa mendongkol. Pula, dara perkasa ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, supeknya bisa terluka karena orang macam pendeta rambut panjang itu mana mempunyai pribadi baik dan dapat dipercaya? Salah-salah supeknya akan terbunuh!

Tiba-tiba terdengar bentakan Pat-jiu Sin-kauw, "Petani busuk, menggelindinglah engkau!" Ternyata setelah mendesak lawannya dengan hebat, pendeta jubah hitam itu tiba-tiba mengirim serangan hebat dengan Thai-lek-kang yang tak dapat dielakkan lagi oleh Coa Leng Bu sehingga terpaksa dia menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan Jit-goat-sin-kang. Biarpun tangan mereka tidak saling sentuh, namun terjadilah pertemuan tenaga sin-kang yang amat dahsyat dan tubuh Coa Leng Bu menggigil, namun dia tetap mempertahankan agar tidak sampai roboh karena dia maklum bahwa kalau dia mengalah dan sampai roboh ia akan celaka ditangan lawannya yang berhati kejam itu.

"Supek, mundur!" Tiba-tiba Siauw Bwee berseru nyaring, tubuhnya sudah mencelat keatas diantara kedua orang yang mengadu tenaga itu dan tiba-tiba dorongan tangannya dari atas memisahkan tenaga dua orang yang sedang saling dorong, bahkan tubuh mereka terjengkang kebelakang. Coa Leng Bu yang maklum bahwa dara sakti itu hendak menggantikannya, dan tahu bahwa dia bukanlah lawan pendeta jubah hitam, segera mundur sedangkan Siauw Bwee dengan sikap tenang menghadapi Pat-jiu Sin-kauw yang sudah meloncat lagi memperbaiki posisinya. Kakek ini memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak penuh kemarahan, lalu menegur, "Kawanmu belum kalah, engkau sudah datang mengeroyok. Aturan mana ini?"

Siauw Bwee tersenyum mengejek. "Biarpun belum kaurobohkan, Supek sudah mengaku kalah. Apakah kau belum puas kalau belum melukai atau membunuh? Anggap saja dia mengalah kepadamu dan marilah kita main-main sebentar kalau memang kau ingin memamerkan kepandaianmu!"

Pat-jiu Sin-kauw adalah seorang yang berilmu tinggi. Didepan orang banyak tentu saja dia merasa direndahkan kalau harus melawan seorang dara remaja, maka ia membentak nyaring, "Kalau supekmu saja sudah kalah olehku, apalagi engkau keponakan muridnya. Apakah engkau gila hendak melawanku?"

Siauw Bwee menoleh kearah Bu-koksu dan berkata nyaring, "Koksu, begini sajakah jago-jagomu? Kalau memang takut melawan aku, mengapa mesti berpura-pura segala? Jagomu ini tidak berani melawanku, harap Koksu suka mengeluarkan jago yang lebih berani!"

Ejekan ini benar-benar hebat, membuat muka Pat-jiu Sin-kauw menjadi marah. Sebenarnya dia tidak takut, hanya merasa segan dan direndahkan kalau harus melawan seorang gadis remaja. Mukanya menjadi makin merah lagi dan matanya terbelalak marah ketika terdengar suara Bu-koksu, "Pat-jiu Sin-kauw, apakah engkau takut menghadapi anak perempuan itu?" Ucapan koksu ini disambut suara kekeh tawa disana-sini.

"Bocah setan, engkau sudah bosan hidup! Sambutlah ini!" Dengan gerakan cepat sekali Pat-jiu Sin-kauw menggerakkan tangannya menampar kearah kepala Siauw Bwee. Dia memandang rendah sehingga tidak menggunakan Thai-lek-kang, hanya menampar dengan sembarangan saja, namun sambil mengerahkan sin-kang. "Plakkk!" Tangan yang besar itu tertangkis oleh tangan yang kecll mungil, dan akibatnya.... tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpelanting!

Semua orang berseru kaget, akan tetapi tidak lebih keras dari seruan Pat-jiu Sin-kauw sendiri. Ia cepat meloncat dan mukanya menjadi pucat saking marahnya, diam-diam ia menyalahkan diri sendiri yang memandang ringan dara ini. Sambil berteriak keras ia kini menyerang lagi dengan Ilmu Soan-hong-sin-ciang. Tubuhnya berputaran seperti gasing, membawa angin yang menyambar dan dari bayangan tubuh yang berputaran itu, kedua tangannya meluncur keluar dan memukul dengan pengerahan tenaga Thai-lek-kang! Inilah serangan yang amat hebat dan yang tadi membuat Coa Leng Bu kewalahan. Dengan mengeluarkan dua ilmu ini sekaligus berarti Pat-jiu Sin-kauw sudah marah sekali dan bermaksud membunuh dara itu. Semua orang memandang terbelalak, demikian pula Bu-koksu karena pembesar ini sudah mengenal kehebatan ilmu jagonya dan diam-diam ia khawatir kalau-kalau dara yang demikian cantik jelita itu akan celaka dan tewas. Maka ia memandang dengan mata penuh perhatian tanpa berkejap seperti juga semua orang yang berada di situ. Betapa heran hati mereka yang menonton ketika melihat dara itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, hanya berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, dan hanya kedua lengannya saja yang bergerak amat cepat sehingga dua lengan itu seperti berubah menjadi banyak sekali. Anehnya, semua pukulan yang dilakukan Pat-jiu Sin-kauw itu terpental, bahkan setiap kali kakek itu memukul dan tertangkis, tubuhnya terdesak mundur sampai dua tiga langkah! Tidak ada orang yang dapat mengikuti gerak tangannya, bahkan Koksu sendiri yang lihai juga tidak mengenal gerak tangan itu karena Siauw Bwee mainkan ilmu gerak tangan kilat dari kaum kaki buntung, dan sebagai dasar gerakan, tentu saja ia menggunakan sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es dahulu dan yang kini, berkat latihan-latihan dan ilmu lain yang dipelajarinya, telah menjadi makin kuat itu. Baik gerakan tangan ilmu silat maupun tenaga sin-kang Pat-jiu Sin-kauw tentu saja tidak mampu menandingi tingkat Siauw Bwee, maka biarpun dara itu hanya menangkis saja, semua serangan kakek itu membalik dan terpental kebelakang.

Pat-jiu Sin-kauw sendiri merasa terkejut dan heran sekali. Dia tidak tahu bagaimana caranya dara itu menghadapi serangan-serangannya karena dia pun tidak dapat mengikuti kecepatan gerak tangan lawan. Hanya kenyataannya, setiap kali dia memukul, tangannya terpental kembali dan tubuhnya terdorong oleh tenaga raksasa yang dahsyat. Ia merasa penasaran sekali dan marah, karena kalau dia tidak dapat mengalahkan seorang dara remaja seperti itu, tentu namanya akan jatuh dalam pandangan koksu! Maka sambil berseru keras ia menerjang lagi dengan pengerahan tenaga, siap untuk mengadu tenaga sampai mati! Akan tetapi tiba-tiba dara itu lenyap dari depannya. Cepat ia membalik dan mengayun tangan langsung menyerang setelah pendengarannya, menangkap gerakan lawan dibelakangnya, akan tetapi dia hanya melihat bayangan berkelebat-kelebat dan selalu lenyap dari pandang matanya. Pat-jiu Sin-kauw terkejut dan terus mengejar kemana saja bayangan berkelebat dengan pukulan-pukulannya, namun semua pukulannya luput dan makin lama bayangan Siauw Bwee menjadi makin banyak dan makin cepat gerakannya, membuat kepala Pat-jiu Sin-kauw menjadi pening. Bukan hanya Pat-jiu Sin-kauw yang pening kepala dan kabur pandangan matanya bahkan semua orang yang menonton pertandingan itu terbelalak memandang ke depan, berusaha mengerahkan pandang mata untuk dapat mengikuti gerakan kaki Siauw Bwee yang kini berkelebatan dan amat cepatnya seperti menghilang itu. Siauw Bwee telah mainkan ilmu gerak kaki kilat dari kaum lengan buntung, maka gerakannya benar-benar mujijat dan cepat sekali. Setelah menganggap cukup memberi pelajaran kepada kakek yang sombong itu, tangan kiri Siauw Bwee bergerak menepuk pundak, kaki kanan menyentuh lutut dan tanpa dapat dipertahankannya lagi, Pat-jiu Sin-kauw jatuh berlutut didepan Siauw Bwee!

"Aihh, engkau orang tua terlalu sungkan, mana mungkin aku yang muda berani menerima penghormatan ini?" Siauw Bwee berkata sambil melangkah mundur, seolah-olah dia sungkan menerima penghormatan Pat-jiu Sin-kauw yang berlutut di depannya.

Sejenak Pat-jiu Sin-kauw terbelalak, heran sendiri mengapa tahu-tahu dia jatuh berlutut. Ketika mendengar suara ketawa ditahan disana-sini, dia marah sekali dan meloncat berdiri, siap untuk menerjang mati-matian mengadu nyawa.

"Pat-jiu Sin-kauw, cukup! Mundurlah, Nona ini benar-benar lihai sekali, terlalu lihai untukmu. Agaknya hanya Kam-siauwte saja yang tepat menjadi lawannya. Kam-taihiap, harap maju dan kalahkan Nona itu untukku!"

Pat-jiu Sin-kauw tidak berani membantah dan mengundurkan diri, sedangkan Han Ki yang duduk dijendela, ketika mendengar perintah itu, mengangkat muka memandang kepada Koksu, kemudian menoleh dan memandang Siauw Bwee. Nona ini masih berdiri dan juga memandang kepadanya. Pandang mata mereka bertemu dan mulut Siauw Bwee berseru, "Suheng....!" Akan tetapi ia tahu bahwa sia-sia saja panggilannya ini karena Han Ki memandang kepadanya seperti pandang mata orang asing, bahkan alisnya berkerut sebagai tanda kalau hatinya tidak senang. Tiba-tiba tubuh Han Ki melesat dari jendela itu, melayang dan tiba di depan Siauw Bwee! Kembali mereka berpandangan, kini dari jarak dekat karena mereka berdiri saling berhadapan. Hati Siauw Bwee terharu sekali. Wajah suhengnya kini kelihatan muram ditindih duka, sinar matanya kosong, dan jelas tampak olehnya bahwa suhengnya itu sama sekali tidak bahagia. Akan tetapi dengan kaget ia pun dapat melihat bahwa suhengnya sudah siap untuk menerjangnya.

"Suheng.... jangan melawanku....!" Ia berkata dengan hati bingung. Han Ki memandangnya dengan sinar mata kosong, kemudian terdengar ia berkata, "Bu-loheng menyuruh aku mengalahkan engkau. Aku akan menangkapmu untuk Bu-loheng!"

"Suheng, ingatlah! Aku Khu Siauw Bwee....! Suheng....!" Siauw Bwee cepat menghindar ketika tangan kiri Han Ki meluncur dan mencengkeram pundaknya. "Eh, kau pandai juga!" Han Ki yang cengkeramannya luput itu telah membalikkan tangan dan menyambar kearah lengan Siauw Bwee untuk menangkap lengan itu. Akan tetapi kembali tangkapannya luput!

"Kam-siauwte, jangan sungkan-sungkan, pukul roboh dia!" Tiba-tiba Koksu berkata nyaring, "Dia datang mengacau!" Han Ki mengerutkan alisnya. "Baik, Loheng!" Dan kini dia menerjang maju memukul kearah lambung Siauw Bwee. Tentu saja pukulannya mantap dan kuat sekali sehingga Siauw Bwee yang maklum bahwa suhengnya ini tidak main-main cepat mengelak dan mengibaskan lengan menangkis. "Plakkk!" Tubuh Siauw Bwee terhuyung kesamping karena betapapun juga, tenaga sin-kangnya masih belum dapat menandingi tenaga Han Ki. Selagi terhuyung, Han Ki sudah mengejar dengan tendangan kebelakang lutut dan tumitnya, tendangan beruntun yang amat berbahaya. Namun tiba-tiba Siauw Bwee mencelat keatas dan bukan hanya dapat menghindarkan diri dari dua kali tendangan, bahkan dari atas dia kini membalas dengan tendangan pula kearah dada Han Ki! Dara itu kini merasa yakin bahwa suhengnya kehilangan ingatan, maka dia kini menyerang sungguh-sungguh dengan niat merobohkan Han Ki dari dapat melarikan suhengnya itu dari situ!

"Eh, kau lihai!" Kembali Han Ki berseru dan sambil menjengkangkan tubuh ke belakang, tangannya menyambar dan berusaha menangkap kaki Siauw Bwee yang menendang. "Plakk!" Sebelum tangan Han Ki dapat menangkap kaki yang menendang itu, kaki kedua dari dara itu telah menghantam tangannya dari samping sehingga kembali tangkapannya meleset. Akan tetapi pertemuan tenaga itu membuat tubuh Siauw Bwee terlempar lagi. Dara itu berjungkir balik dan dapat turun dengan tegak diatas lantai.   "Aihhh.... bagaimana kau bisa sehebat ini?" Han Ki mulai merasa heran dan kini dia menerjang dan mengirim serangkaian serangan pukulan yang mendatangkan angin dahsyat. Siauw Bwee tentu saja mengenal pukulan-pukulan ini dan cepat dia menghadapinya dengan elakan dan tangkisan. Diam-diam ia merasa terharu dan juga bingung sekali. Menghadapi suhengnya seperti ini, teringat ia akan keadaan mereka ketika berlatih di Pulau Es dahulu. Akan tetapi dia tahu bahwa saat ini suhengnya bukannya sedang berlatih, melainkan menyerangnya dengan sungguh-sungguh! "Hebat, engkau Nona! Sungguh menarik sekali dan menyenangkan dapat berlatih ilmu denganmu!" Ucapan Han Ki ini membuktikan akan dasar wataknya yang baik, dan bahwa dia tidak akan mempunyai niat kejam terhadap lawan, karena terpaksa oleh perintah Koksu maka dia berusaha merobohkan

dan menangkap Siauw Bwee. Akan tetapi ucapan yang tidak sengaja itu membuat Siauw Bwee makin terharu dan dua titik air mata menetes turun. "Wuuutttt!"

"Alhhh.... plakkk!" Hampir saja Siauw Bwee roboh oleh air matanya sendiri. Karena terharu dan matanya menjadi kabur oleh air mata, totokan tangan kiri Han Ki hampir mengenai sasarannya, yaitu dilambung kanan. Untung ia masih cepat dapat menggerakkan kakinya yang telah memiliki ilmu gerak kaki kilat dan dapat pula menangkis totokan ltu dengan tangan kanannya. Kemudian ia terhuyung dan kini Siauw Bwee terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, bahkan dia juga harus menggunakan ilmu gerak kaki tangan kilat untuk mempertahankan diri. Biarpun demikian, dia masih selalu terdesak dan tidak mampu balas menyerang, sungguhpun sampai sekian lamanya Han Ki belum dapat merobohkannya!

Coa Leng Bu memandang bingung. Mendengar disebutnya suheng oleh Siauw Bwee dia dapat menduga bahwa tentu laki-laki yang amat lihai itulah penghuni Istana Pulau Es, murid dari Bu Kek Siansu. Melihat jalannya pertempuran yang demikian hebatnya, ia maklum bahwa murid keponakannya itu takkan dapat menang, dan untuk membantu pun ia merasa bahwa kepandaiannya terlampau rendah. Gerakan dua orang itu amat hebat, amat indah, dan sukar dimengerti karena mengandung keanehan. Kalau sampai Siauw Bwee tertawan, dia akan mengamuk dan mengorbankan nyawa karena maklum bahwa kalau dara sakti itu saja masih kalah, apalagi dia! Pada saat itu, terdengar suara gaduh sekali diluar gedung. Mula-mula suara itu terdengar dari jauh, makin lama makin dekat. Terdengar teriakan-teriakan, bahkan tanda bahaya  dipukul gencar dan derap kaki kuda hilir-mudik disambut suara orang-orang berlari-lari bingung. Semua orang yang berada diruangan itu menoleh kearah pintu dengan heran, akan tetapi Han Ki dan Siauw Bwee tetap bertanding dengan hebat. Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siauw Bwee menghadapi peristiwa itu. Kalau saja Han Ki tidak dalam keadaan kehilangan ingatan seperti itu, kalau saja dalam keadaan wajar suhengnya itu menyerangnya, tentu dia akan menyerah dan tidak berani melawan. Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi. Suhengnya itu bergerak atas perintah lain orang, bergerak diluar kesadarannya dan seolah-olah bukan suhengnya yang menyerangnya, melainkan orang lain, seorang pengawal dari Koksu! Karena inilah maka Siauw Bwee melawan sekuatnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan kepandaiannya, bukan hanya untuk menjaga diri, melainkan juga kalau mungkin untuk merobohkan dan menawan suhengnya, untuk melarikannya. Akan tetapi ternyata olehnya bahwa biarpun Han Ki kehilangan ingatannya, namun sama sekali tidak kehilangan ilmu kepandaiannya! Dan baru sekarang setelah bertanding benar-benar, bukan main-main dan bukan latihan, Siauw Bwee mendapat kenyataan betapa hebat kepandaian suhengnya. Dia yang sudah merantau dan banyak mempelajari ilmu tambahan yang tinggi-tinggi tingkatnya, terutama ilmu gerakan kilat, kini berhadapan dengan suhengnya dia benar-benar tidak berdaya! Dia hanya mampu mempertahankan diri, mengelak dan menangkis, sama sekali tidak diberi kesempatan membalas, bahkan dia mengerti benar bahwa kalau suhengnya itu tidak memiliki dasar watak yang baik, kalau suhengnya kejam dan bermaksud membunuhnya, agaknya pertandingan itu tidak berjalan terlalu lama! Hanya karena suhengnya bermaksud menawan tanpa membunuhnya sajalah yang membuat dia masih dapat bertahan sampai ratusan jurus lamanya! Seorang perwira pengawal yang bermuka pucat bergegas memasuki ruangan itu menghadap Bu-koksu dan melapor dengan wajah serius penuh kegelisahan bahwa pada saat itu, Sian-yang telah kebobolan oleh penyelundup, yaitu mata-mata musuh yang berhasil menyelundup kedalam kota, bahkan telah berhasil menyamar sebagai tentara dan mempengaruh perajurit-perajurit penjaga di Sian-yang sehingga timbul pemberontakan dan kekacauan.

"Hemm, berapa jumlah mereka?" Koksu bertanya sambil mengerutkan alisnya.

"Menurut hasil penyelidikan, mereka itu hanya terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh dua orang mata-mata lihai, akan tetapi selain mereka itu terdiri dari orang-orang yang pandai, juga jumlah perajurit kita yang telah dipengaruhi cukup banyak, ada beberapa losin orang yang sekarang memperlihatkan sikap memberontak!"

"Ahhh, Si Keparat! Harus kuhajar sendiri!" Koksu lalu bangkit berdiri lalu menoleh kepada Han Ki yang masih bertanding dengan gadis perkasa itu. "Kam-siauwte, hentikan pertandingan, biar diwakili Si Dampit. Mari ikut aku keluar! Dampit, dan kau semua pengawal, tangkap dua orang itu!"

Mendengar ucapan ini, Han Ki mencelat kebelakang meninggalkan Siauw Bwee, kemudian mengikuti Koksu keluar dari dalam ruangan itu. Siauw Bwee hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba bayangan berkelebat dan empat buah lengan bergerak cepat dan dalam detik yang sama mencengkeram kearah tubuhnya dari kanan kiri! Siauw Bwee cepat mengelak dan ketika ia memandang, ternyata sepasang manusia dampit yang tadi enak-enak duduk, kini telah menyerangnya dan ternyata selain gerakan mereka itu cepat sekali, juga mengandung tenaga dahsyat. Kembali Si Dampit menyerang dan Siauw Bwee cepat mengelak lagi, menggunakan gerak kaki kilat. Pada saat itu, Coa Leng Bu juga sudah diserang oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin. Tentu saja Coa Leng Bu melawan mati-matian sungguhpun dalam beberapa jurus saja dia terdesak hebat. Betapapun ia berusaha mempertahankan diri, diserang oleh dua orang yang tingkat ilmu kepandaiannya tinggi itu, Coa Leng Bu masih terkena hantaman tangan kanan Pat-jiu Sin-kauw yang mengandung Thai-lek-kang, menyerempet pundaknya, membuat kakek ini terpelanting. Pengawal raksasa yang berpakaian perang telah menubruknya dengan tombak panjang ditangan, menusuk kearah dada Coa Leng Bu yang sedang terguling itu. Coa Leng Bu dapat mengelak dan menggulingkan tubuhnya, terus dikejar dengan tusukan bertubi-tubi. Mendengar teriakan Coa Leng Bu, Siauw Bwee menoleh dan tahu-tahu dua buah tangan telah menangkap leher dan pundaknya, dua tangan lagi bergerak menotoknya. Siauw Bwee mengerahkan sin-kangnya, maklum bahwa dalam keadaan lengah karena menoleh tadi dia telah tertangkap oleh Si Dampit. Dia menerima totokan kedua tangan itu, akan tetapi dia telah menutup jalan darahnya dan pada detik itu juga, kedua tangannya bergerak cepat. "Krakkk! Cusss!" Tangan kirinya dengan jari terbuka menghantam dada Si Dampit yang berada dikanannya, tepat mengenai iga dan mematahkan beberapa batang tulang iga, sedangkan tangan kanannya bergerak keatas menusuk dengan jari tangannya mengenai leher sehingga leher orang kedua itu tertusuk berlubang dua buah dan mengucurkan darah. Siauw Bwee meronta, pegangan kedua tangan itu terlepas dan ia mencelat mundur sambil menendang dengan kedua kakinya.

"Dess! Bukkk!" Tubuh Si Dampit terpelanting kebelakang dan terjadilah hal yang mengerikan. Mungkin saking nyerinya, kedua orang dampit yang sebetulnya saling membenci itu karena keadaan mereka membuat hidup mereka tidak leluasa dan tidak menyenangkan, kini saling menyalahkan dan kebencian mereka memuncak karena mereka menganggap bahwa kalau tubuh mereka tidak saling melekat, tentu mereka tidak sampai terluka seperti itu. Dengan kemarahan meluap, seorang diantara mereka yang terluka lehernya itu mencekik leher saudaranya sendiri. Orang yang tulang iganya patah tadi juga marah, berusaha melepaskan cekikan, akan tetap cekikan sepuluh jari tangan itu bagaikan cakar besi menghujam kulit leher dan makin lama makin dalam. Yang dicekik menjadi panik, matanya terbelalak dan dalam saat terakhir ia menghantam tangan kanannya sekuat tenaga tepat mengenal ubun-ubun kepala saudaranya.

"Krekkk!"

seketika pecah kepala itu dan matilah orangnya, namun kedua tangannya sudah mencengkeram terlalu dalam sampai masuk kedalam leher dan orang kedua ini pun terbawa roboh dan mati dengan mata mendelik! Sungguh mengerikan sekali kematian sepasang manusia dampit itu. Watak sepasang manusia dampit ini tidaklah aneh, karena memang demikianlah watak manusia-manusia yang belum sadar pada umumnya. Dalam keadaan terancam bahaya, manusia-manusia merasa senasib sependeritaan dan bersatu. Persatuan yang sesungguhnya hanya timbul dari sayang diri, merasa diri ada teman sependeritaan. Manusia yang belum sadar dan pandang mata batinnya diselubungi nafsu mementingkan diri pribadi sehingga lenyaplah rasa kasih terhadap apa dan siapapun juga kecuali terhadap tubuh sendiri, selalu akan merasa terhibur dari kesengsaraan kalau melihat orang lain sengsara! Sebaliknya, dia akan merasa iri hati kalau melihat orang lain bahagia. Kalau ada perkara timbul menimpa dirinya, selalu ia mencari sasaran kepada orang laln untuk menyalahkannya, sama sekali tidak pernah mau menyalahkan diri sendiri. Demikian pula dengan kedua orang dampit itu. Di waktu mereka menghadapi lawan, mereka dapat bekerja sama seolah-olah dua tubuh mereka dikendalikan oleh satu nyawa, dapat bekerja sama dengan amat baiknya. Akan tetapi kalau tidak ada bahaya mengancam mereka berdua, mereka itu saling menyalahkan sebagai biang keladi keadaan mereka yang tidak menyenangkan. Maka

ketika mereka berdua terluka, mereka saling membenci dan kemarahan membuat mereka seperti gila sehingga terjadilah saling bunuh! Betapa banyaknya didunia ini terjadi seperti halnya sepasang manusia dampit itu!

Perang terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang. Apakah sebabnya? Tiada lain karena manusia tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi, melainkan melontarkan sebab kesalahan kepada orang laln. Karena manusia selalu dipenuhi oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan, dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kenikmatan duniawi, akan kedudukan tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain sebagainya yang sudah dikenalnya dan didengung-dengungkan orang semenjak dia kecil! Dari kehendak-kehendak yang demikian banyaknya, yang dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul pertentangan karena masing-masing hendak mendapatkan apa yang dikehendakinya. Pertentangan inilah yang menimbulkan permusuhan, melahirkan kebencian, memperebutkan kebenaran masing-masing yang sesungguhnya hanyalah kebenaran palsu belaka, dan sebagai pelaksanaannya terjadilah perang! Betapa jahatnya manusia yang belum memillki kesadaran ini, semua manusia termasuk pengarang sendiri! Untuk kepentingan pribadi, kita melakukan hal-hal yang amat menjijikkan. Untuk kepentingan pemuasan nafsu badani, kita tidak segan-segan mengotori rohani. Dan semua ini masih dilakukan dengan cara yang memuakkan, yaitu dengan dalih muluk-muluk dan suci, seperti menutupi kotoran dengan kain putih! Biarpun didasar hati, biarpun jiwa kita yang kotor namun kita, makhluk yang mengaku terpandai diantara segala makhluk, mencari alasan-alasan yang bersih untuk menutupi perbuatan kita yang kotor. Di dalam perang, misalnya. Manusia sampai-sampai tidak segan untuk menarik TUHAN, untuk menggunakan nama-Nya sebagai alasan agar dianggap, sedikitnya oleh hatinya sendiri, bahwa perang yang dilakukannya adalah betul, karena telah diridhoi Tuhan! Dua bangsa yang berlawanan dan saling berperang, sebelum mengangkat senjata untuk membasmi musuh masing-masing, lebih dahulu mohon berkah dari Tuhan dan masing-masing berangkat perang dengan semangat bernyala untuk menyembelih sesama manusia karena merasa bahwa Tuhan akan melindunginya!

Mengutuk perang, mengusahakan perjanjian damai, melenyapkan senjata-senjata dan meniadakan pasukan-pasukan tentara tidak akan mungkin berhasil melenyapkan perang diantara manusia. Karena, perang hanyalah pencetusan daripada pertentangan antar kelompok manusia yang dihidupkan oleh pertentangan diantara manusia-manusia pribadi sendiri. Selama pertentangan antar manusia pribadi ini masih ada, maka pertentangan antar kelompok atau antar bangsa tak mungkin lenyap. Tidak ada perbedaan pokok antara perkelahian antar tetangga dengan peperangan antar negara. Satu-satunya perbedaannya hanyalah dalam bentuk, kecil dan besar. Namun bersumber satu, yaitu dari keinginan mementingkan diri pribadi yang dimiliki kedua pihak sehingga timbul pertentangan. Setelah menyaksikan kematian mengerikan karena saling bunuh dari Si Dampit, Siauw Bwee bergidik dan baru ia teringat akan supeknya. Ia menengok dan terkejut menyaksikan supeknya bergulingan dan diancam tusukan tombak bertubi-tubi oleh pengawal berpakaian perang dan kini kawan-kawannya juga mulai ikut mengejar tubuh yang bergulingan itu.

Karena maklum bahwa keselamatan supeknya terancam hebat, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking tinggi yang menggetarkan jantung para lawan yang berada disitu, kaki tangannya bergerak dan dalam sekejap mata saja, pengawal bertombak dan Thian Ek Cinjin terpelanting kekanan kiri dan tubuh Coa Leng Bu telah lenyap karena disambar Siauw Bwee dan dibawa melesat keluar dari ruangan itu melalui jendela! Gegerlah para pengawal dan perwira yang berada di ruangan itu. Mereka berteriak-teriak dan melakukan pengejaran, akan tetapi Siauw Bwee dan supeknya telah lenyap. Ketika semua orang tiba diluar gedung, perhatian mereka tertarik oleh hal yang lebih menggegerkan lagi. Kiranya kota Sian-yang telah menjadi kacau dan geger. Disana-sini terjadi pertempuran-pertempuran antara tentara yang memberontak dan yang hendak menindas pemberontakan. Pertempuran kacau-balau karena pihak pemberontak hanya ada kurang lebih seratus orang saja, maka tentu saja mereka kewalahan dan terdesak. Mereka mundur dan menyebar sehingga pertempuran menjadi kacau, berkembang diseluruh pelosok kota. Disana-sini bahkan terjadi kebakaran sebagai siasat para pemberontak yang mengundurkan diri dan bersembunyi diantara rumah-rumah penduduk yang padat. Tentu saja dengan adanya kebakaran-kebakaran itu keadaan menjadi makin kacau. Penduduk menjadi panik, mengira bahwa pihak musuh telah menyerbu masuk kota. Mereka berbondong-bondong pergi mengungsi, membawa buntalan pakaian dan perhiasan serta barang-barang berharga yang mudah dibawa, membawa anak-anak mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, mengungsi kelain tempat. Akan tetapi para pasukan penjaga melarang mereka dan secepat mungkin berusaha menenangkan mereka dengan keterangan bahwa tidak ada musuh menyerbu, hanya ada beberapa pemberontak yang dikejar-kejar.  Siauw Bwee dan Coa Leng Bu berhasil menyelinap diantara banyak orang yang berlari-larian hilir mudik tidak karuan itu sehingga para pengejar mereka kehilangan jejak mereka Siauw Bwee mengajak Coa Leng Bu untuk menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi. Akhirnya mereka mendapat keterangan bahwa yang membikin kacau adalah belasan orang mata-mata Mancu yang menyelundup kekota Sian-yang dan yang dapat mempengaruhi beberapa losin orang tentara sehingga memberontak. Dengan marah, Bu-koksu sendiri turun tangan mengatur pasukan-pasukan penjaga untuk melakukan pembersihan, menjaga tempat-tempat penting. Kemanapun dia bergerak, Han Ki selalu mengawalnya. Koksu bersama beberapa orang perwira pembantu, juga Han Ki, menunggang kuda dan berputaran didalam kota, mengatur pasukan-pasukan yang melakukan pembersihan. Namun, karena malam tiba dan para mata-mata itu melakukan taktik bersembunyi diantara rakyat, keluar masuk gang-gang dan rumah-rumah rakyat, memancing kekacauan dengan membakar sana-sini, maka Koksu sendiri dan anak buahnya menjadi kewalahan. Memang benar bahwa para serdadu yang memberontak telah ditundukkan, sebagian tewas dan sebagian lagi ditawan, selebihnya menyerahkan diri. Akan tetapi belasan orang mata-mata itu tetap saja tidak dapat ditemukan biarpun para penjaga telah melakukan penggeledahan diseluruh rumah penduduk kota. Hal ini adalah karena para mata-mata itu amat cerdik, selalu berpindah-pindah dan bersembunyi kedalam rumah-rumah yang telah digeledah, dengan mengancam penghuninya dan pura-pura menjadi anggauta keluarga penghuni rumah itu. Malam itu merupakan malam yang paling ribut di Sian-yang. Para tentara masih sibuk memeriksa dan mencari kesana kemari dan tingkah-polah para anggauta tentara yang mencari mata-mata ini menambah kekacauan penduduk. Mereka bersikap keras dan tidak segan-segan untuk memukuli rakyat yang dicurigai menyembunyikan para mata-mata musuh. Semalam suntuk terjadi kebakaran disana-sini dan para mata-mata Mancu yang terdidik itu tentu saja setelah melakukan pembakaran, berada ditempat yang jauh dari kebakaran dimana para tentara melakukan penggerebekan dan pemeriksaan ketat. Semalam suntuk, tidak ada seorang pun penduduk yang dapat tidur dan mereka menanti datangnya pagi dengan hati berdebar-debar penuh ketegangan. Berada didalam kota, amat menakutkan, akan mengungsi keluar dilarang oleh para penjaga pintu gerbang. Paginya, pagi-pagi sekali penduduk tersentak kaget mendengar lonceng tanda bahaya dibunyikan bertalu-talu dan diluar rumah, dijalan-jalan terdengar teriakan-teriakan para anggauta tentara yang berlarian menuju kebenteng. Lonceng itu merupakan tanda bahwa ada pasukan musuh menyerbu kekota Sian-yang! Para penduduk gemetar ketakutan dan tidak berani keluar rumah, anak-anak menangis dalam pelukan ibunya dan orang laki-laki sibuk mengumpulkan senjata untuk melindungi keluarga, menutupi pintu dan jendela kuat-kuat. Gegerlah seluruh kota Sian-yang. Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyelinap diantara rumah-rumah penduduk mendekati benteng, hendak menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka berhasil naik sebuah pohon besar yang tinggi didekat benteng dan dari tempat yang terlindung daun-daun lebat ini mereka mengintai keatas benteng dan keluar benteng. Kiranya dari jauh tampak barisan besar yang terpecah menjadi pasukan-pasukan yang bergerak mengepung kota Sian-yang! Setiap pasukan mempunyai bendera dan mereka itu dipelopori oleh pasukan berkuda yang gagah. Paling depan tampak beberapa orang perajurit berkuda membawa bendera-bendera, mengiringkan beberapa orang pangllma Mancu yang juga menunggang kuda. Dari tempat sembunyinya, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu melihat bahwa diantara para Panglima Mancu itu terdapat seorang panglima wanita. Jantung Siauw Bwae berdebar aneh. Dia menduga-duga dengan penuh keheranan siapa adanya panglima wanita Mancu yang demikian gagah itu, yang duduk diatas kuda dengan tegak dan majukan kudanya paling depan mendekati benteng, menuju keatas pintu gerbang dimana berdiri Koksu dan para panglimanya. Jaraknya terlalu jauh sehingga dia tidak dapat mengenal wajah panglima wanita itu, hanya melihat rambutnya dikuncir panjang hitam melambai-lambai tertiup angin. Pakaian para panglima itu gemerlapan ditimpa sinar matahari pagi, dan senjata-senjata tajam yang dipegang oleh anak buah pasukan itu menyilaukan mata. Dari tempat sembunyinya yang jauh itu Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyaksikan perang yang dimulai dengan tantangan pihak Mancu yang diajukan dengan bunyi terompet dan tambur, dan disusul majunya seorang panglima berkuda yang bertubuh tinggi besar dan dengan suara seperti geledek menyambar panglima itu memberi aba-aba kepada pasukannya yang bergerak maju pula, sebanyak kurang leblh seribu orang pasukan berkuda dan bergolok panjang dikempit dengan lengan kanan. Melihat ini, Koksu lalu memerintahkan seorang panglimanya untuk menyambut musuh membawa pasukannya. Panglima ini masih muda, bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning pucat, namun sepasang matanya tajam dan gerak-geriknya tangkas. Suaranya kecil namun melengking nyaring ketika dari atas benteng itu dia mengeluarkan aba-aba kepada perwira-perwira pembantunya kebawah. Pasukannya disiapkan, juga berjumlah seribu orang pasukan berkuda, pintu gerbang dibuka, jembatan gantung diturunkan dan pasukan keluar dari dalam benteng. Panglima muka kuning itu memberi perintah kepada pembantunya. Kudanya yang berbulu hitam disiapkan diluar benteng, dan dengan gerakan lincah sekali panglima muka kuning itu melayang turun dari atas benteng!  "Wah, hebat juga gin-kangnya....!" Coa Leng Bu memuji kagum menyaksikan panglima itu melayang turun dan tubuhnya tepat tiba diatas kuda hitamnya diluar benteng! Seorang pembantunya menyerahkan sebuah tombak panjang dan panglima ini lalu membedal kuda kedepan barisannya dengan sikap gagah. Memang perbuatannya meloncat dari atas tembok benteng itu bukan semata-mata untuk berlagak, melainkan terutama sekali dimaksudkan untuk mengangkat semangat pasukannya dan untuk membikin jerih pihak musuh. Panglima Mancu yang bertubuh tinggi besar itu mengeprak kudanya maju, menyeret golok panjangnya menyambut majunya Panglima Sung yang bermuka kuning. Begitu kuda mereka berhadapan, terdengar bunyi nyaring berkali-kali beradunya golok dan tombak panjang, trang-tring-trang-tring diiringi ringkik kuda dan sorakan pasukan kedua pihak.

Pertandingan itu berlangsung seru sekali dan ternyata bahwa kepandaian kedua orang panglima itu seimbang. Mungkin panglima muka kuning itu lebih gesit, akan tetapi jelas dia kalah tenaga sehingga hal ini membuat keadaan mereka berimbang dan pertandingan mati-matian itu berjalan makin seru. Sungguh tidak beruntung bagi panglima muka kuning, ketika lawannya menghantam sekuat tenaga dengan golok panjang dan dia menangkis dengan tombak, hantaman yang amat kuat itu membuat tombaknya hampir terlepas dari pegangan, kudanya meringkik kesakitan karena tertusuk tombak yang hampir terlepas dan kuda itu berjingkrak. Hal ini membuat panglima muka kuning kehilangan keseimbangan tubuhnya sehingga ketika golok lawan menyambar dan ia kembali menggerakkan tombak menangkis, tombaknya menjadi patah. Terpaksa ia mencabut pedang dan dengan senjata yang pendek ia terdesak hebat oleh lawannya yang bersenjata golok bergagang panjang. Sorak-sorai pasukan Mancu yang menyambut kemenangan panglimanya disambut serbuan tentara Sung dibawah pimpinan para perwira pembantu panglima muka kuning.

Tentu saja pasukan Mancu tidak tinggal diam dan menyambut serbuan ini dengan sorak-sorai makian. Terjadilah perang yang dahsyat antara dua ribu orang perajurlt itu, perang campuh diatas kuda yang menggiriskan hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Mereka berdua dapat melihat betapa dua ribu orang itu saling bunuh, darah muncrat-muncrat, mayat bergelimpangan terinjak-injak kuda, jerit-jerit kesakitan, teriakan-teriakan kemarahan, tawa dan tangis bercampur-aduk memenuhi udara bercampur debu yang mengebul tinggi!

Pasukan Mancu itu adalah pasukan yang terlatih baik menurut petunjuk Panglima Wanita Maya maka mereka bertanding dengan semangat tinggi, kuda mereka pilihan dan mereka mempunyai kerja sama yang lebih baik sehingga akhirnya pasukan dari benteng itu terdesak dan kewalahan. Panglima muka kuning itu tewas dan beberapa orang perwira pembantunya juga tewas, maka sisa pasukan yang kehilangan dua ratus orang lebih itu mundur melarikan diri kebenteng, dikejar oleh pasukan musuh. Koksu yang marah sekali melihat ini, memerintahkan serdadu-serdadu penjaga dibenteng menghujankan anak panah kearah musuh, kemudian dia menyuruh muridnya sendiri, Ang-siucai yang kini telah memakai pakaian panglima, memimpin dua ribu orang perajurit menyerbu keluar. Pasukan pengejar yang dihujani anak panah itu menghentikan pengejaran, kemudian merekalah yang mengundurkan diri karena ada aba-aba dari belakang agar mereka mundur. Panglima Wanita Maya melihat keluarnya pasukan baru yang jumlahnya dua ribu orang lalu memerintahkan Kwa-huciang, pembantu utamanya, menyambut serbuan musuh itu dengan membawa tiga ribu orang perajurit. Kini terjadilah perang yang lebih hebat lagi, sebagian berkuda, sebagian pasukan berjalan kaki dan makin banyaklah kini darah berhamburan, nyawa melayang dan debu mengebul makin tinggi.

Panglima Maya mempergunakan sisa pasukannya untuk menyerbu kebenteng dan dipihak Sung mengadakan perlawanan, menghujankan anak panah dari atas tembok yang dibawa oleh pihak penyerbu. Karena kalah banyak jumlahnya, akhirnya pihak musuh dapat menyerbu masuk dan Koksu yang dilindungi oleh Han Ki membuka jalan darah, melarikan diri dari belakang merobohkan pihak penyerbu yang mengurung kota itu dari belakang pula. Berkat kelihaian Han Ki, akhirnya Bu-koksu, beberapa orang panglima, Kepala Daerah Sian-yang, dapat melarikan diri menunggang kuda dan terus lari keselatan, menuju kekota Ta-tung dimana terdapat benteng lebih besar dan kuat lagi sebagai benteng pertahanan dekat kota raja. Pihak pasukan yang mempertahankan kota Sian-yang, sebagian pula ada yang berhasil menyelamatkan diri keselatan, akan tetapi lebih banyak yang roboh dan tewas

menjadi korban amukan tentara Mancu yang bergabung dengan pasukan tentara pemberontak. Penyerbuan kota itu menjadi mudah berhasil berkat pengacauan dari dalam yang dilakukan anak buah Panglima Maya. Dalam keributan ketika pasukan Mancu menyerbu, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu yang tadinya bersembunyi diatas pohon itu cepat meloncat turun dan terpaksa melarikan diri memasuki kota dan bersembunyi didalam sebuah kuil tua dimana ternyata sudah terdapat banyak orang bersembunyi pula.

Sudah menjadi lajimnya manusia-manusia didunia ini, perang antara manusia mendatangkan malapetaka hebat dimana perikemanusiaan sudah diinjak-injak, nyawa manusia tidak ada harganya, nafsu membunuh, merusak, menyiksa dan kebencian meluap-luap. Didalam perang biasanya yang menang seperti harimau haus darah, ingin membunuh sebanyak mungkin, ingin menyiksa sepuas hatinya karena selalu teringat olehnya bahwa kalau dia kalah, maka dialah yang akan tersiksa dan terbunuh. Soalnya hanya siapa yang lebih dulu membunuh, dia wenang! Kemudian akibat kemenangan ini membuat mereka yang haus darah menjadi kejam sekali, perampokan terjadi dimana-mana, pembunuhan, penyiksaan dan perkosaan! Dengan dalih "pembersihan", bala tentara Mancu memasuki setiap rumah penduduk dan membunuh siapa saja yang dicurigai, mengambil barang-barang berharga, dan wanita-wanita muda diganggunya, diperkosa atau dibunuhnya kalau melawan! Jerit tangis membubung tinggi di angkasa, rintihan mohon pengadilan dan perlindungan. Namun, dalam perang, siapakah yang akan mengadili dan melindungi? Semua hak mutlak berada ditangan yang menang. Andaikata keadaannya terbalik, pihak yang kalah itu yang menjadi penyerbu dan pemenang, keadaannya takkan berbeda banyak. Memang sudah menjadi sifat manusia pada umumnya. Jika kalah dan menderita minta-minta ampun dan mohon perlindungan Tuhan dan semua dewa, kemudian mengandung dendam kebencian yang hebat. Kalau sedang menang dan jaya lupa akan perikemanusiaan, berbuat sewenang-wenang, lupa akan kekuasaan Tuhan dan mabok kemenangan. Siauw Bwee dan Coa Leng Bu mencari jalan keluar dari kota itu, namun sia-sia. Pihak Mancu, atas perintah Panglima Maya yang cerdik, begitu berhasil merampas dan menduduki kota, lalu mengatur penjagaan ketat, menjadikan benteng rampasan itu menjadi benteng  pertahanan, tidak memperbolehkan orang keluar masuk tanpa ijin khusus. Kemudian Panglima Maya dan Pangeran Bharigan yang memimpin langsung penyerbuan itu, menjatuhkan perintah kepada semua perajurit, melarang mereka melanjutkan perbuatannya merampok, membunuh dan memperkosa. Kalau ada yang dicurigai supaya ditangkap dan akan diperiksa. Pelanggaran larangan ini akan dijatuhi hukuman berat. Maya memang cerdik. Pengalamannya ketika ia lari dari Khitan, menyaksikan akibat perang melihat hal-hal mengerikan sebagai akibat perang membuat dia mengerti bahwa pada saat pasukannya berhasil menyerbu kota yang dilakukan dengan taruhan nyawa, maka pesta-pora mereka yang kejam itu hanya untuk melampiaskan nafsu yang berkobar-kobar. Tidaklah bijaksana kalau begitu berhasil lalu menjatuhkan larangan, hal ini akan mengecewakan hati pasukan dan menimbulkan rasa tidak senang sehingga mudah memberontak. Akan tetapi, juga tidak baik kalau dibiarkan berlarut-larut. Maka setelah membiarkan pasukannya berbuat sesukanya itu, dua hari kemudian, dia mengumumkan perintah ini.

Pengumuman ini membuat rakyat yang tadinya ketakutan setengah mati menjadi tenang kembali. Penghuni kota diperkenankan bekerja seperti biasa dengan jaminan akan dilindungi oleh pemerintah baru. Betapapun juga, pemerasan dan perampokan halus-halusan masih terjadi disana-sini sungguhpun perajurit-perajurit itu tidak lagi berani membunuh orang. Pukulan dan hinaan tentu saja masih ada. Terutama sekali perkosaan yang dilakukan sembunyi-sembunyi dengan ancaman. Siauw Bwee dan Coa Leng Bu terpaksa meninggalkan kuil ketika kuil itu diserbu belasan orang perajurit Mancu yang galak-galak. Para pengungsi didalam kuil terdiri dari dua puluh orang lebih dan mereka menggigil ketakutan ketika terdengar suara gaduh masuknya belasan orang perajurit itu. Waktu itu, pengumuman dari Panglima Mancu belum ada, maka para perajurit itu segera menyerbu, menendangi orang dan merampas buntalan-buntalan. Beberapa orang wanita yang sudah tua dan ikut mengungsi kesitu, ditendang roboh dan dirampas buntalan mereka. Buntalan dibuka dan isinya dibuang kesana-sini, hanya yang berharga saja yang diambil. Ketika ada diantara para pengungsi itu hendak mempertahankan barangnya, mereka dibacok roboh. Seorang wanita tua lehernya sampai hampir putus ketika wanita itu mencakar muka seorang para perajurit yang merampas buntalannya. Yang lain-lain menjerit dan berusaha lari, akan tetapi mereka roboh oleh sabetan golok atau tendangan kaki. Siauw Bwee menjadi merah mukanya dan ia sudah hendak meloncat dan memberi hajaran, akan tetapi lengannya dipegang Coa Leng Bu yang berbisik, "Jangan mencari bahaya. Mereka bukan lawan kita...."

Kemudian Coa Leng Bu menarik tangan Siauw Bwee diajak keluar dari kuil tua yang kini menjadi tempat penyembelihan manusia dan menjadi tempat perbuatan sewenang-wenang itu. Akan tetapi mereka melihat Siauw Bwee dan segera terdengar seruan-seruan girang. "Aduhhhh! Ada yang sejelita ini sembunyi disini! Wah, untung besar kita.... ha-ha-ha!"

Seorang perwira Mancu yang agaknya menjadi kepala pasukan kecil ini sudah meloncat menubruk, matanya bernyala penuh gairah nafsu, mukanya beringas. Coa Leng Bu maklum bahwa kalau perwira itu sampai mendekati Siauw Bwee, tentu gadis itu takkan membiarkannya dan menerjang kedepan, menyambut perwira itu dengan tendangan yang membuatnya terjengkang!

Melihat betapa supeknya jelas dengan sengaja tidak mau membunuh orang, Siauw Bwee menjadi sadar. Dia maklum bahwa kota yang sudah diduduki bala tentara Mancu itu merupakan tempat yang amat berbahaya. Mereka tidak dapat lolos keluar dan kalau sampai mereka membunuh tentara lalu dikeroyok, benar-benar merupakan hal yang amat berbahaya bagi mereka. Maka sambil menahan kemarahan, ia pun lalu berkelebat merobohkan para perajurit Mancu yang kini datang mengeroyok mereka berdua. Dalam waktu singkat saja dia dan supeknya telah berhasil meloloskan diri dari mereka dan cepat melarikan diri, menyelinap diantara banyak orang dan mencari tempat persembunyian baru. Tiba-tiba terdengar jerit wanita dan Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu cepat menuju ketempat itu, dibalik sebuah jalan tikungan dimana tampak orang-orang melarikan diri dan perajurit-perajurit Mancu hilir mudik tertawa-tawa, dan ada yang mabok. Ketika Siauw Bwee dan supeknya melihat sebuah kereta dikurung belasan orang serdadu yang tertawa-tawa dan dari dalam kereta itu terdengar jerit wanita-wanita tadi, dara sakti ini tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Tanpa mempedulikan pencegahan supeknya, dia telah menerjang maju, membuat empat orang perajurit terpelanting kekanan kiri dan ia cepat membuka tirai yang menutupi kereta. Kiranya ada empat orang perajurit didalam kereta, sedang tertawa-tawa dan hendak memperkosa dua orang wanita, yang seorang masih dara remaja dan seorang pula adalah ibu dara itu, seorang nyonya setengah tua yang cantik dan berpakaian seperti seorang wanita bangsawan. Siauw Bwee mereggerakkan tangan empat kali dan tubuh empat orang perajurit itu terlempar keluar dari kereta dengan kepala pecah! Melihat ini, Coa Leng Bu terkejut sekali. Akan tetapi, Siauw Bwee telah menyambar tubuh ibu dan anak itu, meloncat keluar dari dalam kereta sambil berseru, "Supek, kita harus selamatkan mareka!"

"Celaka...., hayo cepat lari!" Coa Leng Bu mengomel, akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan Siauw Bwee karena menyaksikan peristiwa seperti itu, tentu saja dara sakti itu tak mungkin tinggal diam. Wanita bangsawan itu berkata, "Nona penolong, bawa kami pergi keujung selatan kota disana ada tinggal seorang adikku, membuka toko obat."

"Supek, mari kita kesana!" kata Siauw Bwee dan dengan cepat mereka itu lenyap menyelinap diantara banyak pengungsi dan akhirnya mereka berhasil tiba ditoko obat dan cepat-cepat mereka disembunyikan diruangan belakang. Kiranya nyonya itu adalah isteri seorang pembesar dikota itu. Rumahnya sudah habis dirampok dan suaminya mati terbunuh, bahkan sekeluarga mereka, hanya nyonya itu dan anak gadisnya yang berhasil melarikan diri melalui pintu belakang, ditolong oleh kusir mereka yang setia. Akan tetapi sial bagi mereka, ditengah jalan mereka dihentikan oleh pasukan tadi, kusir mereka dibunuh dan hampir saja mereka menjadi korban kebuasan perajurit-perajurit Mancu kalau saja tidak tertolong oleh Siauw Bwee. Nyonya bangsawan itu bersama puterinya berlutut menghaturkan terima kasih kepada Siauw Bwee, akan tetapi dara perkasa ini membangunkan mereka sambil berkata, "Dalam keadaan seperti ini, tidak ada tolong-menolong dan sudah semestinya kalau klta yang senasib saling melindungi. Sekarangpun aku dan supekku minta perlindungan kalian, agar kami diperbolehkan bersembunyi dirumah ini sampai malam. Menjelang tengah malam, kami akan berusaha menyelundup keluar kota."

"Lihiap telah menolong keluarga kami, tentu saja Lihiap boleh sembunyi disini," kata adik nyonya bangsawan pemilik toko obat itu. Coa Leng Bu dan Siauw Bwee mendapatkan dua buah kamar diruangan paling belakang dan setelah mengisi perut dengan hidangan yang hangat, mereka berdua mengaso dan bercakap-cakap. "Kita baru dapat keluar kalau keadaan sudah gelap sekali.

Kita harus dapat melewati tembok kota dan sebaiknya kalau aku yang lebih dulu mencari jalan keluar. Tembok kota raja luar terkurung air dan kurasa penjagaan amat ketat. Engkau akan menimbulkan banyak perhatian apalagi para serdadu itu seperti serigala kelaparan kalau melihat wanita muda. Kau tunggu saja di sini, aku akan menyamar sebagai seorang pengungsi yang mencari keluarganya yang tercerai dalam keributan dan akan kucari bagian yang paling lemah untuk diterobos. Kau menanti disini dan beristirahatiah."

Siauw Bwee tak dapat membantah. Biarpun dia jauh lebih lihai daripada supeknya, akan tetapi dia adalah seorang wanita muda yang tentu akan menimbulkan banyak kesukaran dalam usaha itu.

"Baiklah, Coa-supek. Akan tetapi harap Supek berhati-hati. Pihak Mancu mempunyai banyak orang pandai sehingga Koksu sendiri yang dibantu orang-orang sakti sampai dapat dikalahkan dan kota ini diduduki. Memang aku harus keluar dari sini untuk mengejar Kam-suheng."

Mendengar ini Coa Leng Bu mengerutkan alisnya dan ia teringat akan pemuda tampan yang lihainya bukan main itu, lalu ia menghela napas. "Telah kuperhatikan ketika mendengar engkau menyebut suheng kepada pemuda sakti itu. Sungguh beruntung sekali mataku dapat memandang murid Locianpwe Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es! Akan tetapi, menurut penglihatanku berdasarkan pengalaman, suhengmu itu berada dalam keadaan yang tidak wajar, Khu-lihiap."

"Itulah yang membingungkan hatiku, Supek. Dia tidak mengenalku, bahkan melawanku! Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi? Apakah dia berpura-pura dan terpaksa bersikap seaneh itu?"

Coa Leng Bu menggeleng kepala. "Tidak, Lihiap. Kalau aku tidak salah duga suhengmu itu tentu telah diracuni dengan semacam I-hun-san (bubuk perampas ingatan) sehingga dia lupa akan segala hal yang lalu dan dijadikan pengawal boneka oleh Bu-koksu."

"I-hun-san....?" Siauw Bwee memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran. "Akan tetapi, suhengku memiliki ilmu kepandaian yang hebat, bagaimana mungkin dia sampai terkena racun....?"

Kakek itu menghela hapas. "Boleh jadi dia lihai sekali. Menyakslkan sepak terjangnya ketika melawanmu, harus kuakui bahwa selama hidupku belum pernah aku melihat orang sehebat dia. Akan tetapi dia masih muda, Lihiap, dan mungkin ilmu silat yang demikian tinggi cukup untuk melindungi diri daripada serangan yang kasar, namun untuk dapat melindungi dari tipu muslihat halus, benar-benar membutuhkan pengalaman. Sudahlah, kita akan menyelidikinya kelak, akan tetapi kita harus dapat keluar lebih dulu dari kota yang menjadi neraka ini. Kemudian kita akan menyusulnya, tentu dia menyelamatkan rombongan Koksu keluar dari kota ini. Sekarang aku akan melakukan penyelidikan dan mencari jalan untuk keluar dari tembok kota."

Siauw Bwee mengangguk dan supeknya itu lalu meninggalkan rumah tempat persembunyian mereka melalui jalan atas meloncat keatas genteng dan mulailah dia melakukan penyelidikan dan mencari jalan yang memungkinkan mereka dapat melarikan diri dengan selamat. Malam itu Siauw Bwee tak dapat tidur, gelisah diatas pembaringannya. Dia sama sekali tidak mengkhawatirkan diri sendiri yang terkurung didalam kota itu, akan tetapi dia bingung dan gelisah memikirkan Kam Han Ki, suhengnya. Memikirkan suhengnya yang dicintanya itu, selain gelisah, hatinya juga panas dan kemarahan membuat dia jengkel sekali. Dia tahu bahwa suhengnya, seperti juga dia, adalah keturunan pendekar-pendekar yang berjiwa pahlawan, dan andaikata tidak terjadi hal-hal yang membuat mereka seolah-olah dimusuhi negara, dianggap orang-orang pelarian, tentu mereka akan menyumbangkan tenaga untuk kepentingan mereka. Suhengnya adalah keturunan keluarga Suling Emas, akan tetapi kini dianggap sebagai pengkhianat negara dan pemberontak, hanya karena peristiwa hubungan asmara yang tiada sangkut-pautnya dengan kepentingan negara. Dan sekarang, tenaga suhengnya dipergunakan oleh negara secara pengecut dan keji! Marahlah hati dara ini dan andaikata saat itu ia berhadapan dengan Bu-koksu, tentu akan diserangnya pembesar tinggi itu.

"Eiiggghhhh....! Toloooongggg....!" Jeritan suara wanita itu terhenti tiba-tiba seolah-olah mulut yang berteriak itu didekap. Siauw Bwee tersentak kaget, mencelat turun dari pembaringannya karena jeritan itu terdengar dekat sekali, dari sebelah depan rumah. Tanpa membuang waktu lagi dia meloncat keluar kamar dan lari kedepan. Dapat dibayangkan betapa marahnya ketika ia melihat tiga orang serdadu Mancu sambil tertawa-tawa membacoki keluarga tuan rumah yang semua sudah menggeletak tewas diatas lantai, termasuk nyonya bangsawan yang ditolongnya. "Iblis....!" Ia membentak dan menerjang maju. Tiga orang serdadu itu terbelalak, kagum memandang dara yang muncul ini. Betapa cantik jelitanya! Akan tetapi, bagaikan seekor burung menyambar, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat kedepan, kaki kirinya bergerak, tangan kanannya meraih dan tubuh serdadu yang memegang pedang terpental, pedangnya terampas oleh dara perkasa itu. Sebelum mereka bertiga dapat bergerak, pedang ditangan Siauw Bwee telah menyambar seperti kilat dan mereka itu roboh dengan tubuh terbabat putus menjadi dua!

Dari bawah sinar lampu, Siauw Bwee melihat bahwa seluruh keluarga telah tewas, kecuali gadis cantik puteri nyonya bangsawan. Mengertilah dia bahwa dara itu tadi yang menjerit, tentu dilarikan serdadu. Dia terus mengejar kedepan dan memasuki sebuah warung kosong dimana ia mendengar suara serdadu tertawa. Dengan pedang ditangan kanan, ia menerjang masuk melalui pintu dan apa yang dilihatnya membuat Siauw Bwee seperti hendak meledak dadanya. Matanya mendelik penuh amarah! Dua orang serdadu sedang memaksa gadis puteri bangsawan itu diatas meja. Baju atas gadis itu telah terbuka sama sekali dan sekarang, sambil tertawa-tawa, seorang serdadu hendak merenggut lepas pakaian bawah, sedangkan serdadu kedua sambil memegang lengan gadis itu, menampari mulut gadis disuruh diam! "Anjing busuk!" Siauw Bwee memaki, pedangnya berkelebat.

"Singgg....! Crotttt!" Punggung serdadu yang hendak menelanjangi gadis itu terbelah dari atas kebawah. Dia tidak sempat berteriak, hanya matanya saja yang memandang heran, lalu ia roboh mandi darahnya sendiri. Serdadu kedua terkejut, mencabut pedangnya, namun kembali sinar kilat berkelebat dan serdadu itu pun roboh dengan leher putus!

Tiba-tiba dari luar warung itu datang belasan orang serdadu berlari-lari. Mereka adalah pasukan-pasukan yang menjaga daerah ini dan tadi mereka melihat mayat kawan mereka didalam rumah obat, lalu mereka mendengar keributan di warung itu.

Melihat munculnya dua belas orang serdadu ini, Siauw Bwee yang sudah marah sekali cepat menyambar dengan terjangan pedang rampasannya. Gerakan pedang ditangan Siauw Bwee seperti kilat menyambar-nyambar. Terdengar suara nyaring berturut-turut, pedang dan golok beterbangan disusul robohnya enam orang serdadu Mancu! Yang lain-lain menjadi terkejut dan marah, mereka berteriak-teriak dan Siauw Bwee terus menerjang maju, dalam sekejap mata merobohkan dua orang serdadu lagi sehingga dengan mudah ia meloncat keluar. Akan tetapi, diluar warung telah berkumpul puluhan orang tentara Mancu yang dipimpin oleh empat orang perwira Mancu yang lihai. Begitu perwira Mancu ini menggerakkan senjata mereka, tahulah Siauw Bwee bahwa empat orang ini lihai, maka dia pun cepat menggerakkan senjatanya yang berkelebat seperti sinar kilat, membuat keempat orang itu cepat-cepat menangkis dan mengelak kaget. Mereka segera mengurung dan memberi aba-aba  kepada anak buah mereka. Siauw Bwee dikeroyok dan dikurung ketat, namun dara ini yang sudah marah sekali mengamuk terus, lupa bahwa dia telah mengamuk di kandang harimau dan akan menghadapi bala tentara musuh yang jumlahnya ribuan orang!

Sepak terjang Siauw Bwee menggiriskan hati pasukan Mancu dan dalam pertandingan mati-matian itu kembali Siauw Bwee telah merobohkan belasan orang. Hanya empat orang perwira itu saja yang masih dapat bertahan, dibantu oleh anak buah mereka yang mengurung dari jarak jauh dan dengan sikap jerih. Betapapun juga, dikeroyok oleh empat orang perwira Mancu yang dibantu oleh pasukan yang kini makin banyak karena bala bantuan datang, Siauw Bwee menjadi lelah dan dia maklum bahwa sukarlah baginya untuk dapat keluar dari kepungan itu.

"Aku akan mengadu nyawa dengan kalian anjing-anjing Mancu!" bentaknya dan pedangnya bergerak makin cepat, diikuti tubuhnya yang mencelat kesana kemari sukar diikuti pandang mata para pengeroyoknya. Namun, kemana juga tubuh Siauw Bwee berkelebat, dia selalu dihadapi oleh puluhan orang tentara dan disebelah luar, kepungan masih ada ratusan orang musuh yang bersiap-siap dan berteriak-teriak mengepungnya. Tiba-tiba kepungan itu agak kacau, terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya orang-orang yang mengepung Siauw Bwee. Tadinya dara ini mengira bahwa Coa Leng Bu yang datang membantunya, akan tetapi betapa herannya ketika ia melihat seorang pe muda tampan yang sama sekali tidak dikenalnya. Dibawah sinar penerangan lampu-lampu didepan rumah dan obor-obor yang dibawa oleh para pasukan, dia melihat bahwa pemuda itu tersenyum-senyum, wajahnya tampan pandang matanya tajam, akan tetapi gerakan kedua tangan pemuda itu lihai bukan main. Yang membuat dia terheran-heran adalah gerakan yang dikenalnya baik-baik karena itulah ilmu silat yang dia pelajari dari mendiang Ouw-pangcu, yaitu Ouw Teng ketua kaum liar, dan dia mengenal pula pukulan Jit-goat-sin-kang yang dipergunakan pemuda itu, pukulan-pukulan yang mengeluarkan hawa panas dan kadang-kadang dingin!

"Nona, harap lekas lari melalui pintu gerbang selatan. Cepat, biar aku yang menahan mereka!" Pemuda tampan itu kini sudah bergerak mendekati Siauw Bwee, berdiri saling membelakangi dengan dara ini dan menuding keselatan. Biarpun dia tidak mengenal pemuda itu, namun melihat pemuda itu mengamuk dengan gerakan lihai sekali, dia percaya bahwa pemuda ini tentu bermaksud baik, maka dia hanya berkata, "Terima kasih!" dan tubuhnya cepat meloncat dan menerobos melalui kepungan di sebelah selatan yang sudah terbuka karena dikacau oleh pemuda itu. Ketika dia lari melewati tubuh pemuda itu, dia merasakan getaran hawa pukulan Jit-goat-sin-kang, dan diam-diam merasa kagum sekali. Hawa pukulan pemuda ini tidak disebelah bawah tingkat Coa Leng Bu maupun mendiang Ouw Teng sendiri! Dan kini pemuda itu telah merampas sebatang tombak, mainkan tombak itu dengan gerakan yang amat lincah seolah-olah seekor naga yang mengamuk diantara awan-awan angkasa. Dalam amukannya ini, pemuda itu masih dapat tersenyum memandang Siauw Bwee, bahkan mengejapkan mata kirinya dengan lucu akan tetapi juga menarik sekali!

Kalau saja pemuda itu tidak terbukti telah membantunya keluar dari kepungan tentu Siauw Bwee akan marah dan menganggapnya kurang ajar. Dia cepat mengerahkan gin-kangnya dan meloncat jauh kedepan, merobohkan tiga orang serdadu yang menghadapinya. Karena kini empat orang perwira itu dihadapi Si Pemuda yang sengaja mencegah mereka mengejar Siauw Bwee, maka dara perkasa ini tentu saja dengan mudah dapat menerobos keluar karena hanya dihadang dan dihalangi oleh pasukan yang dapat dibabatnya dengan mudah. Dia lalu berlari cepat keselatan, dikejar oleh pasukan yang berteriak-teriak. Ketika tiba dipintu gerbang sebelah selatan, disitu sedang terjadi keributan pula dan dilihatnya supeknya, Coa Leng Bu sedang mengamuk, dikeroyok para penjaga pintu gerbang. Melihat ini, Siauw Bwee menjadi girang dan dia terjun kedalam medan pertempuran sehingga para pengeroyok Coa Leng Bu menjadi kocar-kacir setelah dalam beberapa gebrakan saja belasan orang di antara mereka roboh oleh pedang rampasan Siauw Bwee. Coa Leng Bu juga mengamuk dengan hebat. Kedua tangannya menyambari tubuh-tubuh para pengeroyok dan melempar-lemparkannya kearah serdadu lain. Disekeliling tempat itu sudah penuh dengan tubuh korban yang malang-melintang. Coa Leng Bu juga girang sekali melihat munculnya Siauw Bwee yang memang sudah dinanti-nantinya, maka dia cepat berkata, "Syukur engkau tidak terlambat datang. Lekas ikut aku, cepat!"

Siauw Bwee maklum bahwa kalau mereka terus mengamuk di situ, para pasukan musuh tentu akan datang membanjiri dan kalau pintu gerbang sudah tertutup dan mereka dikurung oleh ratusan orang serdadu, tidak ada harapan lagi untuk keluar dari kota itu. Apalagi kalau sampai para panglima Mancu keluar. Baru empat orang perwira saja yang mengeroyoknya tadi, sudah memiliki kepandaian yang lihai, apalagi kalau para panglima seperti yang ia saksikan ketika mereka berperang tanding melawan para Panglima Sung!

Kini mereka berdua menerobos kepungan dan berhasil keluar dari pintu gerbang selatan yang terkurung oleh air yang cukup lebar. Dan jembatan gantung diluar pintu itu tentu saja terangkat naik sehingga tidak ada jalan keluar lagi meninggalkan tempat itu. "Bagaimana, Supek?" Siauw Bwee bertanya bingung, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengejar terdekat.

"Aku sudah siap dengan alat penyeberang disana. Itu, mari! " Kakek ahli obat ini menuding kekanan. Siauw Bwee memandang ditempat gelap itu, terkena cahaya penerangan dari atas benteng, dia melihat sebatang kayu balok yang panjangnya ada tiga meter. Kiranya supeknya selain telah mendapatkan jalan juga telah siap dengan sebatang balok untuk menyeberang! Biarpun tidak sebaik sebuah perahu, namun cukup untuk menyeberangkan mereka. Maka dia lalu mengikuti supeknya. Kemudian keduanya meloncat keatas balok itu dan dengan tenaga tekanan kaki mereka, balok itu meluncur ke tengah!

Baru saja balok yang mereka injak dan mereka dorong dengan tekanan tenaga kaki itu bergerak, berserabutan muncul melalui pintu gerbang itu para serdadu sambil berteriak-teriak dan mengacungkan obor, kemudian mereka berlari mendekati tepi sungai dan mengacung-acungkan senjata. "Serang dengan anak panah!" terdengar teriakan seorang perwira yang baru datang dan tak lama kemudian datanglah hujan anak panah dari tepi sungai dan dari atas benteng! Coa Leng Bu yang tidak memegang senjata, sudah menanggalkan bajunya dan dengan baju ini, dia menangkis semua anak panah yang datang menyerang, memutar bajunya sehingga seluruh tubuhnya tertutup. Siauw Bwee memutar pedang dan sinar pedangnya bergulung-gulung menjadi perisai tubuhnya. Semua anak panah gagal mengenai sasaran dan kini balok itu telah tiba ditengah sungai, penuh dengan anak panah yang menancap disitu. "Awas perahu-perahu musuh!" Coa Leng Bu berbisik. Dari kanan kiri meluncurlah perahu-perahu yang ditumpangi oleh serdadu Mancu. Semua ada enam buah perahu, tiga dari kanan dan tiga dari kiri, setiap perahu dipimpin oleh seorang perwira yang kelihatan lihai. "Supek, cepat dorong balok keseberang, biar aku yang menahan mereka," kata Siauw Bwee. Dia menyelipkan pedang rampasannya dipinggang, kemudian kedua tangannya sibuk mencabuti anak-anak panah yang menancap diatas balok, ada puluhan batang banyaknya. Coa Leng Bu mengerti bahwa murid keponakannya ini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripadanya, maka dia mengangguk dan cepat mengerahkan tenaga sin-kang kekaki mendorong balok itu dengan tekanan kuat, kemudian malah berjongkok dan membantu dengan kedua tangannya yang dipergunakan sebagai dayung. Balok itu meluncur cepat sekali menuju keseberang yang hanya tampak gelap menghitam dimalam itu.

"Wir-wir-wirrr....!" Siauw Bwee kini melontarkan anak-anak panah itu dengan kedua tangannya, menyerang kearah perahu-perahu musuh yang meluncur dari kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan dari atas perahu-perahu itu ketika anak-anak panah yang dilontarkan namun kecepatannya tidak kalah oleh luncuran anak panah yang terlepas dari gendewa itu membuat beberapa orang tentara Mancu terjungkal. Tiba-tiba dari atas sebuah perahu yang datang dari kanan, terdengar suara berdesing nyaring. Siauw Bwee terkejut melihat menyambarnya beberapa batang anak panah. Ia maklum bahwa anak-anak panah itu dilepaskan oleh orang yang memiliki tenaga kuat, maka ia berseru,  "Coa-supek, awas anak panah!"

Dengan pedangnya dia sudah menangkis, akan tetapi sebatang anak panah melesat dan kalau saja Coa Leng Bu tidak cepat miringkan tubuh, tentu punggungnya sudah menjadi sasaran. Betapapun juga, anak panah yang amat cepat dan kuat luncurannya itu masih mengenai pundak kanannya, menancap dibawah tulang pundak dari belakang  sampai menembus kedepan! Coa Leng Bu tidak mengaduh, hanya menggigit bibir dan melanjutkan pekerjaannya menyeberangkan balok. Siauw Bwee marah sekali. Tangan kirinya yang menggenggam lima batang anak panah, dia gerakkan dan lima batang anak panah itu melayang kearah perahu dari mana datangnya anak-anak panah yang cepat tadi.

"Trak-trakk!" Siauw Bwee melihat betapa lima batang anak panahnya runtuh dan lenyap kedalam air. Tak lama kemudian dari atas perahu yang sudah mendekat itu, tampak berkelebat bayangan yang meloncat kearah balok. Karena keadaan gelap, Siauw Bwee hanya melihat tubuh yang langsing dari orang itu. Seorang wanita, pikirnya heran dan kagum. Gerakan wanita itu benar-benar hebat, seperti seekor burung terbang saja, akan tetapi yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah pedang di tangan orang itu karena pedang ini mengeluarkan cahaya kilat yang hebat, juga membawa hawa yang mengerikan hati. Tentu seorang Panglima Mancu, pikir Siauw Bwee dengan kaget dan heran karena tidak diduganya bahwa yang melepas anak panah tadi dan yang kini melayang kearah mereka adalah seorang wanita. Namun dia tidak sempat terheran terlalu lama karena tubuh orang yang menyambar dari perahu itu telah berjungkir-balik diudara dan kini menyerangnya dengan pedang yang bersinar kilat dengan tusukan kearah lehernya! Siauw Bwee maklum bahwa selain pedang itu amat ampuh, juga tenaga yang mendorong gerakan pedang itu tentu kuat sekali, maka dia tidak berani memandang ringan, lalu mengerahkan sin-kangnya yang disalurkan melalui pedang rampasannya, dan berbareng dia menghantam dengan telapak tangan kirinya, mengerahkan sin-kang dan menggunakan pukulan Jit-goat-sin-kang!

"Trakkk....! Aiiihhh....!"

Jeritan ini keluar dari mulut dua orang wanita, yaitu Siauw Bwee dan wanita yang menyerangnya, karena keduanya terkejut bukan main akan akibat bentrokan pertama ini. Pedang Siauw Bwee patah menjadi dua ketika bertemu dengan pedang yang bersinar kilat itu, akan tetapi wanita itu pun terkejut setengah mati ketika pedangnya bertemu dengan pedang lawan, tangan kanannya tergetar, apalagi ketika ada pukulan yang amat dingin menghantam dadanya. Cepat wanita itu mencelat dengan jalan berjungkir-balik diudara, turun ke ujung balok dibelakang Siauw Bwee dan ketika Siauw Bwee cepat membalik dan mendorongkan kedua tangannya, kini dengan pengerahan sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es, wanita lawannya yang berpedang kilat itu telah mengenjotkan kakinya pada balok dan tubuhnya sudah melayang kembali keatas perahu! Seorang lawan yang hebat, pikir Siauw Bwee. Namun dia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menanti dengan pandang mata tajam ditujukan kearah perahu itu. Akan tetapi, agaknya wanita yang berpedang kilat itu pun terkejut dan ragu-ragu untuk menyerang lagi, apalagi kini balok itu telah tiba diseberang, sedangkan perahu-perahu yang besar itu tidak dapat mepet ditepi sungai yang dangkal.

Siauw Bwee tentu saja tidak pernah menduga bahwa wanita yang menyerangnya tadi adalah Ok Yan Hwa, murid Mutiara Hitam! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, dan pedang itu tentu saja amat ampuh karena yang dipegangnya adalah sebatang diantara Sepasang Pedang Iblis! Seperti telah diceritakan dibagian yang lalu, tadinya kedua orang murid Mutiara Hitam, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, setelah bertemu dan dikalahkan oleh Kam Han Ki, menaati pesan Han Ki dan meninggalkan tentara Mancu. Akan tetapi, didalam perjalanan, mereka ini selalu berselisih karena selain kehidupan yang mewah dan terhormat didalam barisan Mancu membuat mereka merasa sengsara setelah berkelana lagi, juga mereka kurang gembira karena tidak dapat mengamuk dan berlumba membunuh musuh dengan pedang mereka! Karena itulah ketika mendengar betapa pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin Maya maju terus, mereka kembali lagi dan membantu Panglima Maya menyerbu dan menaklukkan kota Sian-yang.

Hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menjadi lega ketika mereka meloncat kedarat. Untung bahwa malam itu gelap dan agaknya panglima wanita musuh yang lihai itu menjadi ragu-ragu setelah menyaksikan kelihaian Siauw Bwee, maka tidak mengejar lagi. Dan memang dugaan Siauw Bwee betul. Ok Yan Hwa adalah seorang wanita gagah perkasa yang berilmu tinggi. Akan tetapi dia pun bukan seorang bodoh yang nekat. Ketika tadi bergebrak dengan Siauw Bwee, hatinya penuh keheranan karena dia tahu bahwa tenaga sin-kangnya jauh dibawah wanita muda itu! Apalagi ketika menghadapi pukulan dorongan tangan kiri Siauw Bwee, Yan Hwa benar-benar kaget setengah mati, tidak pernah menyangka bahwa disamping Maya, masih ada lagi gadis muda yang lebih lihai daripada dia! Karena suhengnya tidak bersamanya, dan diantara pasukan tidak ada yang dapat diandalkan untuk membantu, maka didalam kegelapan malam itu dia tidak berani nekat melakukan pengejaran seorang diri saja, apalagi dua orang yang melarikan diri itu selain lihai juga berada diluar kota. Baru menghadapi wanita itu saja, belum tentu dia akan menang, apalagi harus menghadapi dua orang lawan yang sakti. Dia tidak tahu bahwa sebatang diantara anak panahnya telah berhasil melukai pundak Coa Leng Bu, dan tentu saja dia pun tidak tahu bahwa kakek itu, yang menurut pendengaran para pasukan, adalah supek Si Nona Lihai, sebetulnya jauh kalah kalau dibandingkan dengan murid keponakannya.

Setelah melihat bahwa pihak pasukan musuh tidak melakukan pengejaran, Siauw Bwee mengajak paman gurunya berhenti, kemudian dengan hati-hati dia mencabut anak panah yang menancap dipundak Coa Leng Bu. Sebagai seorang ahli pengobatan, tentu saja Leng Bu dapat mengobati luka dipundaknya yang untung sekali tidak merupakan luka parah karena anak panah itu hanya menembus daging tidak merusak tulang atau urat besar. Setelah diobati dan dibalut, mereka melanjutkan perjalanan menuju keselatan. Biarpun pundaknya terluka, Leng Bu mengajak Siauw Bwee berjalan cepat terus keselatan semalam itu, dan baru pada pagi harinya, mereka memasuki dusun dan berhenti kedalam sebuah warung untuk makan dan beristirahat. Disepanjang jalan malam itu, mereka melewati banyak rombongan orang yang mengungsi, yaitu penduduk dusun-dusun disekitar kota Sian-yang yang telah direbut pasukan Mancu. Ketika mereka tiba didusun itu pun sebagian besar penduduk telah berkemas dan bersiap untuk lari mengungsi keselatan. Hanya mereka yang tidak mampu saja, dan mereka yang enggan meninggalkan usaha mereka, seperti tukang

warung itu, yang masih berada didusun dan tidak tergesa-gesa lari mengungsi. Warung itu penuh dengan para pengungsi yang ingin beristirahat sambil mengisi perut, dan kedua orang itu diam-diam mendengarkan percakapan para pengungsi tentang jatuhnya kota Sian-yang. Tiba-tiba Siauw Bwee yang sedang makan bubur, menelan ludah dan hampir saja tersedak. Coa Leng Bu memandang heran, akan tetapi ketika melihat gadis itu mengerutkan alis dan melirik kekiri dimana terdapat beberapa orang tamu pria sedang bercakap-cakap. Leng Bu juga mendengarkan dan melanjutkan makan bubur dengan sikap tenang.

"Benarkah keteranganmu itu bahwa bala tentara musuh dipelopori oleh Pasukan Maut?" Terdengar orang kedua bertanya sambil berbisik. "Tida k salah lagi. Keponakanku adalah seorang anggauta pasukan pengawal di Sian-yang. Dialah yang menganjurkan kami sekeluarga meninggalkan kota setelah dia ketahui betapa kuatnya pasukan-pasukan musuh," bisik orang pertama.     "Aihhh, pantas saja Sian-yang tak dapat dipertahankan, biarpun Koksu sendiri kebetulan berada disana!" kata orang ketiga. "Aku telah mendengar pula akan kehebatan Pasukan Maut yang kabarnya beranggautakan tentara yang seperti iblis, tidak takut mati dan berkepandaian tinggi, dipimpin oleh orang-orang sakti. Apalagi Panglima Pasukan Maut, kabarnya Panglima Wanita Maya itu memiliki kepandaian seperti iblis dari belum pernah ada yang mampu mengalahkannya!"

"He mmm, diantara panglima musuh muncul seorang panglima wanita seperti itu, mengingatkan aku akan ramalan seorang tosu di Kun-lun-san puluhan tahun yang lalu bahwa banyak kerajaan runtuh oleh wanita, bukan hanya oleh kecantikan mereka, akan tetapi juga oleh kelihaian mereka. Apakah Kerajaan Sung yang kini makin terpecah dan mundur keselatan akan roboh pula karena wanita?"

"Stttt, Twako, jangan bicara seperti itu....!" terdengar suara memperingatkan. Yang mengejut kan hati Siauw Bwee adalah disebutnya nama Panglima Wanita Maya tadi. Apakah sucinya yang menjadi Panglima Mancu? Ataukah hanya kebetulan ada persamaan nama belaka? Akan tetapi, melihat kelihaian panglima wanita itu, tidak akan mengherankan kalau wanita itu adalah sucinya, apalagi kalau diingat betapa wanita dari perahu Mancu malam tadi pun amat lihai, sungguhpun tidak selihai sucinya. Pula, sucinya adalah puteri dari Kerajaan Khitan, sedikitpun masih mempunyai hubungan darah dengan bangsa Mancu, dan dia tahu betapa sucinya amat membenci Kerajaan Sung karena kerajaan itu dianggap telah menjadi sebab kesengsaraan dan kemusnahan keturunan keluarga Suling Emas.

Hati Siauw Bwee ingin sekali menjumpai sucinya, akan tetapi dia telah menimbulkan kekacauan di Sian-yang, bukankah hal ini akan membuat sucinya makin benci kepadanya? Pula, apa perlunya menjumpai sucinya yang telah menjadi Panglima Mancu? Dia tidak ada hasrat bertemu dengan sucinya itu sebaliknya dia ingin sekali segera pergi menyusul suhengnya yang sekarang amat aneh sikapnya dan menurut dugaan Coa Leng Bu, menjadi korban racun perampas semangat dan ingatan. Keadaan suhengnya amat mengkhawatirkan dan suhengnya perlu sekali mendapatkan pertolongannya.

"Supek, mari kita melanjutkan perjalanan," katanya lirih kepada Coa Leng Bu. Kakek itu mengangguk, akan tetapi tiba-tiba dia melihat Siauw Bwee memandang keluar dengan mata terbelalak kaget, kemudian dara itu memberi isyarat kepadanya untuk duduk kembali. Coa Leng Bu melirik keluar dan melihat serombongan orang memasuki warung. Mereka terdiri dari sebelas orang, dan yang menjadi pembuka jalan kewarung itu adalah seorang pendek gemuk yang berkepala botak. Melihat orang ini pemilik warung cepat-cepat menyambut dengan membongkok-bongkok penuh penghormatan.

"Selamat datang, Koan-taihiap.... sungguh menyesal sekali warungku penuh tamu sehingga saya tidak dapat menyambut dengan sepatutnya."

Orang yang disebut pendekar besar Koan itu menggerakkan matanya yang lebar memandang kesekeliling, alisnya berkerut dan dia berkata, "Harus kausediakan tempat. Tamu-tamuku adalah orang-orang yang lebih penting daripada siapapun juga disini, dan aku sudah terlanjur memuji warungmu yang dapat menyuguhkan makanan enak."

Tukang warung menjadi bingung dan terpaksa dengan kata-kata halus dia mengusir beberapa orang pengungsi yang sudah lama duduk disitu dan yang sudah selesai makan pula. Dengan muka bersungut-sungut namun tidak berani membantah, beberapa orang meninggalkan warung itu dan meja bangku bekas mereka dibersihkan oleh tukang warung dan pelayan-pelayannya. Kemudian orang she Koan itu bersama rombongannya yang masih menanti diluar warung, dipersilakan masuk. Orang she Koan dengan sikap amat ramah, hormat bahkan menjilat, mempersilakan seorang kakek tua yang agaknya menjadi pimpinan rombongan itu untuk duduk dibangku kepala. Dapat dibayangkan betapa jaget rasa hati Siauw Bwee ketika mengenal kakek ini dan dia melirik dengan penuh

perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun usianya, rambutnya sudah putih semua, panjang seperti juga jenggotnya, namun matanya masih berkilat-kilat jernih seperti mata anak kecil dan kulit mukanya masih merah segar seperti orang muda, pakaiannya seperti seorang sastrawan dan tangannya menggerak-gerakkan sebatang kipas sutera yang terlukis indah. Dia tersenyum-senyum lebar ketika memasuki warung itu. Biarpun sudah bertahun-tahun tak pernah berjumpa, namun Siauw Bwee segera mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen yang amat sakti! Juga ia dapat menduga bahwa dengan adanya Koksu Yucen disitu, tentulah rombongan itu terdiri dari orang-orang penting dari bangsa Yucen. Dugaannya memang tidak salah karena rombongan itu adalah tokoh-tokoh pengawal dan Panglima Kerajaan Yucen, bahkan diantara mereka terdapat Panglima Dailuba yang terkenal, Panglima Besar Yucen yang pandai sekali akan ilmu perang dan ilmu silat, bertubuh tinggi besar, bermuka lebar dan mukanya brewok, usianya sudah enam puluh tahun namun masih kelihatan tangkas dan kuat. Coa Leng Bu sudah bertahun-tahun mengasingkan diri sehingga dia tidak mengenal rombongan itu, akan tetapi pandang matanya yang tajam dapat mengenal orang pandai. Sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa biarpun disebut pendekar besar, orang she Koan itu hanyalah ahli silat biasa saja, akan tetapi kakek berambut putih dan rombongannya itu adalah orang-orang yang sakti, maka dia bersikap waspada dan memperhatikan wajah murid keponakannya yang jelas kelihatan berubah. Pek-mau Seng-jin sendiri sekali pandang sudah dapat menduga bahwa wanita muda yang cantik jelita dan seorang kakek berpakaian sederhana yang duduk menyendiri disudut itu tentulah bukan orang-orang sembarangan, dan bukanlah pengungsi-pengungsi biasa. Koksu ini adalah seorang yang sakti dan cerdik. Pada waktu itu, bangsa Yucen mulai berkembang kemajuannya dan melihat penyerbuan-penyerbuan bangsa Mancu terhadap Kerajaan Sung Selatan, Koksu Yucen sengaja menahan pasukan-pasukannya dan membiarkan mereka berperang. Hal ini menguntungkan Yucen karena dapat menyusun kekuatan yang kelak dapat dipergunakan memukul kedua bangsa yang tentu menjadi lemah oleh perang. Kini bangsa Yucen hanya menjadi penonton, menanti saat baik untuk mengalahkan semua musuh yang sudah lelah karena bertanding sendiri. Kedatangannya di tempat itu selain hendak melihat-lihat keadaan dengan mata kepala sendiri, juga untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan golongan-golongan yang kuat untuk membantu gerakan bangsa Yucen kalau waktunya sudah tiba.

Kini melihat Siauw Bwee yang sudah tidak dikenalnya lagi karena telah menjadi seorang dara dewasa yang amat cantik jelita, dan melihat Coa Leng Bu yang juga tidak dikenalnya, namun yang ia dapat duga tentu merupakan dua orang yang berilmu tinggi, diam-diam dia memperhatikan dan timbul keinginan hatinya menarik kedua orang itu menjadi pembantunya, atau kalau ternyata kedua orang itu berada dipihak musuh, membasminya disaat itu juga sebelum kelak mereka merupakan penghalang dan pembantu-pembantu musuh yang lihai. Karena dia hanya menduga saja kelihaian dua orang itu dari sikap dan kedudukan tubuh mereka, maka dia ingin menguji. Di atas meja didepannya terdapat taplak meja dari kain. Jari-jari tangan kirinya merobek ujung taplak, lalu dipelintirnya menjadi dua butir kecil dan dengan telunjuknya, ia menyentil kedua butir kain itu kearah Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Dua butir kain itu melesat dengan cepat luar biasa, tidak tampak oleh pandang mata yang lain,

kecuali oleh para panglima yang lihai yang maklum akan niat atasan mereka dan hanya memandang sambil tersenyum. Sambaran dua butir gulungan kain itu mendatangkan desir angin yang cukup untuk ditangkap oleh pendengaran kedua orang itu. Coa Leng Bu terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia menyambar kearah lehernya. Cepat dia menjatuhkan sumpitnya dari atas meja dan membungkuk untuk mengambil sumpit itu, padahal gerakan ini adalah gerakan mengelak sehingga benda kecil itu menyambar lewat. Tentu saja Siauw Bwee yang jauh lebih lihai daripada Leng Bu, maklum pula bahwa Pek-mau Seng-jin menyerangnya. Dia mengibaskan tangannya mengusir beberapa ekor lalat dari atas meja sambil me ngomel, "Ihhh, banyak benar lalat disini!"

Bagi orang lain, hanya kelihatan dara jelita itu mengusir lalat, akan tetapi lalat-lalat itu terbang ketakutan, sedangkan

diantara jari tangannya terjepit benda kecil yang tadi menyambar kearah lehernya! Tadinya Siauw Bwee terkejut dan mengira bahwa Koksu Negara Yucen itu agaknya mengenalnya dan menyerang, akan tetapi ketika ia menangkap senjata rahasia itu dan mendapat kenyataan bahwa benda itu hanyalah segumpal kecil kain, dan yang diserang tadi hanyalah jalan darah yang tidak berbahaya dan hanya akan mendatangkan kelumpuhan tanpa membahayakan keselamatannya, maka tahulah dia bahwa kakek berambut putih itu hanya mengujinya, ingin membuktikan bahwa dia dan supeknya adalah orang-orang yang lihai. Maka menyesallah Siauw Bwee. Kalau tahu demikian, tentu dia akan membiarkan saja gumpalan kain itu mengenai lehernya agar jangan menimbulkan kecurigaan. Kini telah terlanjur, maka dia bahkan menjadi mengkal, menoleh kearah meja rombongan itu dan diam-diam meremas hancur gumpalan kain menjadi debu, kemudian dia meniup tangan kirinya dan.... debu itu melayang kearah meja rombongan Pek-mau Seng-jin. Para Panglima Yucen terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa dara jelita itu ternyata benar-benar sakti, dan diam-diam mereka pun kagum akan ketajaman pandang mata Pek-mau Seng-jin. Kalau tidak menduga bahwa dara itu lihai, tentu koksu itu tidak sudi sembarangan main-main dengan orang! Pek-mau Seng-jin tersenyum puas. Tak salah dugaannya. Petani sederhana dan dara jelita itu benar-benar bukan orang sembarangan. Biarpun petani itu hanya pura-pura mengambil sumpit yang jatuh, tidak seperti gadis itu yang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, namun jelas bahwa petani sederhana itu bukan ahli silat biasa. Sambitannya tadi tidak mengandung tenaga yang mematikan, namun telah disambitkan dengan kecepatan sentilan jari tangan dan meluncur cepat sekali, tak tampak oleh mata dan karena kecil ringan maka desir anginnya lirih sekali. Namun telah dapat disambut oleh mereka dengan cara mengagumkan! Orang she Koan yang sebetulnya hanyalah seorang di antara kaki tangan bangsa Yucen untuk daerah itu dan yang kini bertugas sebagai penunjuk jalan, tidak melihat apa yang baru terjadi. Kini dia disuruh mendekat, dibisiki oleh Pek-mau Seng-jin. Orang itu mengangguk-angguk dan memandang kearah Siauw Bwee dengan alis berkerut dan sinar mata heran. Bayangkan saja, pikirnya. Koksu minta dia mempersilakan dua orang itu untuk makan bersama sebagai tamu terhormat yang diundang!

Koan Tek, demikian nama orang ini, adalah seorang jago silat yang terkenal didaerah itu, maka dihormati oleh pemilik warung makan. Dia berwatak kasar dan memandang rendah orang lain dan tentu saja orang yang suka memandang orang yang dianggap berada dibawahnya, selalu menjilat kepada orang-orang atasannya. Mendengar Koksu mengundang dua orang itu yang dianggapnya hanya seorang petani miskin dan seorang gadis cantik, dia merasa penasaran sekali. Sepanjang pengetahuannya, Koksu Yucen dan para panglimanya adalah orang-orang peperangan yang gagah perkasa, tak pernah terdengar mereka itu suka mempermainkan wanita cantik. Apakah sebabnya kini Koksu mengundang kedua orang ini? Akan tetapi, dia tidak berani membantah dan dengan langkah lebar ia menghampiri meja Siauw Bwee. Karena kedua orang itu merupakan orang yang diundang Koksu, maka dia menjura dengan sikap hormat paksaan sambil berkata, "Ji-wi diundang untuk makan bersama dengan rombongan kami."

Coa Leng Bu yang maklum akan kekerasan hati Siauw Bwee, cepat mendahului murid keponakannva itu dan dia berdiri sambil membalas penghormatan Koan Tek. "Terima kasih atas undangan Sicu. Kami berdua telah makan dan sudah hendak melanjutkan perjalanan. Harap maafkan kami." Dia memberi kedipan mata kepada Siauw Bwee untuk berdiri dan meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, penolakan yang tak disangka-sangka oleh Koan Tek ini membuat dia mendongkol dan marah. Boleh jadi kedua orang ini tidak mengenal rombongan Koksu dari Yucen, akan tetapi dia yang mengundangnya, mengapa mereka tidak memandang mata kepadanya?

"Loheng, mungkin karena Ji-wi belum mengenal saya, tidak suka menerima undangan kami," katanya dengan nada agak keras. "Perkenalkanlah, saya Koan Tek, disini dikenal sebagai Koan-taihiap dan orang-orang yang kami undang bukanlah orang-orang sembarangan, berarti bahwa kami telah menjunjung tinggi kehormatan Ji-wi. Maka saya ulangi, harap Ji-wi tidak menolak undangan kami untuk berkenalan dan makan bersama!"

Biarpun kata-kata itu bersifat undangan, namun nadanya yang keras itu mengandung tekanan, paksaan dan membayangkan ancaman. Hal ini membuat Siauw Bwee makin marah. Hati dara muda ini memang sudah mengkal dan marah ketika ia melihat Pek-mau Seng-jin yang mengingatkan dia akan perbuatan koksu itu yang dahulu pernah menawan dia dan Maya kemudian menyerahkan dia dan Maya sebagai hadiah kepada Coa Sin Cu dipantai Po-hai. Mengingat akan hal ini saja sudah membuat tangannya gatal untuk membalas dendam, karena sekarang dia tidak gentar lagi menghadapi koksu yang lihai itu, kemudian kemarahannya tadi ditambah

dengan penyerangan Pek-mau Seng-jin, biarpun penyerangan itu merupakan ujian dan tidak mengandung niat jahat. Kini, ditambah oleh kata-kata dan sikap Koan Tek, tentu saja dia tidak mau menaati isyarat mata supeknya agar bersabar. Dia sudah bangkit berdiri dan memandang Koan Tek dengan mata berapi.

"Engkau ini mengundang ataukah hendak memaksa orang? Kalau mengundang bersikaplah sebagai pengundang yang sopan, setelah ditolak dengan alasan tepat segera mundur. Kalau mau memaksa, terus terang saja, tak usah bersembunyi dibalik sikap manis agar aku tidak usah ragu-ragu lagi memberi hajaran kepada orang yang hendak memaksaku! "

"Ehhh.... sudahlah.... sudahlah....!" Coa Leng Bu berkata khawatir. Kakek ini cepat berdiri dan menjura kepada Koan Tek. "Harap sicu suka maafkan, kami hendak pergi saja." Akan tetapi Koan Tek sudah marah sekali. Dengan mata melotot ia memandang kepada Siauw Bwee dan membentak, "Berani engkau kurang ajar kepada Koan-taihiap. Apakah kau sudah bosan hidup?"

Siauw Bwee menudingkan telunjuknya. "Jangankan baru engkau seorang, biar ada seratus orang macam engkau aku tidak takut! Supek, biarlah, orang macam dia ini kalau tidak dihajar tentu akan menghina orang lain saja!"

Koan Tek hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba ada orang menarik lengannya sehingga dia terhuyung kebelakang. Ketika dia menoleh ternyata yang menariknya adalah seorang kakek tinggi kurus, berpakaian sastrawan dan dia ini adalah seorang diantara para pembantu Koksu, maka dia segera melangkah mundur. Kakek itu dengan sikap sopan sekali menjura kepada Leng Bu dan Siauw Bwee sambil berkata, "Harap Ji-wi sudi memaafkan Koan-sicu yang bersikap kasar karena memang dia yang jujur selalu bicara kasar. Harap Ji-wi ketahui bahwa kami mengundang Ji-wi dengan niat bersih hendak berkenalan. Diantara kita terdapat nasib yang sama yaitu selagi negara kita diserbu bangsa Mancu, sebaiknya kalau orang-orang gagah seperti kita bersatu menghadapi musuh. Karena itulah maka pemimpin kami, Pek-mau Seng-jin, mengharap Ji-wi sudi datang berkenalan."

Leng Bu tidak pernah mendengar nama Pek-mau Seng-jin, akan tetapi Siauw Bwee yang tahu bahwa kakek rambut putih itu adalah Koksu Negara Yucen, segera menjawab, "Kami berdua tidak ada sangkut-pautnya dengan segala urusan perang! Apalagi harus bersekutu dengan pihak ketiga. Hemm, kami bukan pengkhianat, bukan pula penjilat, lebih baik kalian tidak mencari perkara dan membiarkan kami pergi!"

Setelah berkata demikian, Siauw Bwee memegang tangan supeknya dan diajak pergi. Akan tetapi baru saja mereka melangkah hendak keluar, terdengar bentakan harus, "Tahan!" Dan tampak berkelebat bayangan orang, tahu-tahu Pek-mau Seng-jin sendiri telah berdiri menghadang mereka sambil tersenyum-senyum. Tadi ketika mendengar ucapan Siauw Bwee yang menyinggung "pihak ketiga", Koksu itu menjadi kaget sekali dan ia maklum bahwa dara itu telah mengetahui keadaannya sebagai pihak ketiga, yaitu bukan golongan Mancu dan bukan pula golongan Sung. Maka dia menjadi khawatir kalau-kalau gadis itu akan membuka rahasianya yang akan menyukarkan penyamaran dan penyelidikannya, juga dia menjadi curiga. "Nona, siapakah engkau? Dan digolongan manakah engkau berdiri?"

Ingin sekali Siauw Bwee memperkenalkan diri dan menyerang Koksu itu, akan tetapi dia masih menahan diri karena maklum bahwa Koksu ini disertai rombongan orang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja dia tidak takut, hanya dia khawatir akan keselamatan supeknya yang telah terluka pundaknya.

"Aku dan Supek adalah orang-orang perantauan yang tak perlu berkenalan dengan siapapun juga, tidak mempunyai urusan dengan kalian dan tidak mencari perkara. Sudahlah, harap kau orang tua suka minggir dan membiarkan kami lewat!"

"Ha-ha-ha, benar-benar lantang suaranya! Nona, aku kagum sekali menyaksikan keberanian dan kelihaianmu. Orang-orang didunia kang-ouw berkata bahwa sebelum bertanding tidak akan dapat saling menghargai dan berkenalan, oleh karena itu, setelah kebetulan sekali kita saling bertemu disini, aku menantang Ji-wi untuk saling menguji kepandaian."

Panaslah hati Siauw Bwee. Betapapun dia ingin menghindari pertempuran, akan tetapi kalau ditantang terang-terangan seperti itu, mana mungkin dia mundur lagi?

"Hemm, kalian mengandalkan banyak orang untuk menghina?" tanyanya sambil memandang kearah rombongan itu, tersenyum mengejek. Memang Siauw Bwee memiliki wajah yang arnat cantik jelita, maka biarpun dia tersenyum mengejek wajahnya tampak manis dan menarik sekali. "Ha-ha-ha! Selain tabah dan pandai bicara, juga cerdik sekali. Nona muda, aku akan merasa malu mengeroyok seorang yang patut menjadi cucuku. Tidak sama sekali, kami bukanlah rombongan pengecut yang main keroyok, melainkan orang-orang yang dapat menghargai kepandaian orang lain dan melalui kepandaian itu kami ingin berkenalan dan bersahabat. Bagaimana, Nona? Aku berjanji tidak akan mengeroyok melainkan menguji kepandaian satu lawan satu!"

"Siapa takut? Majulah!" Siauw Bwee diam-diam merasa girang karena kini dia memperoleh kesempatan untuk menghajar musuh yang pernah menawannya ini dan tidak takut akan pengeroyokan karena ucapan yang keluar dari mulut seorang Koksu tentu saja dapat dipercaya.

Pek-mau Seng-jin kembali tertawa. "Hebat! Sebegitu muda sudah memiliki keberanian besar, mengingatkan aku akan kegagahan mendiang pendekar sakti wanita Mutiara Hitam! Tidak, Nona. Dunia kang-ouw akan mentertawakan Pek-mau Seng-jin kalau aku melayani seorang muda seperti engkau. Biarlah aku diwakili oleh...."

"Perkenankanlah hamba menghadapinya!" Tiba-tiba Koan Tek berkata sambil meloncat maju. Dia merasa penasaran dan marah sekali kepada Siauw Bwee yang tadi memandang rendah serta menghinanya. Dia bukan seorang kejam yang suka membunuh orang akan tetapi karena nama besar dan kehormatannya tersinggung, dia ingin memberi hajaran kepada gadis ini.

Pek-mau Seng-jin tersenyum. Orang kasar macam Koan Tek ini perlu juga menerima hajaran, pikirnya, karena dia yakin bahwa Koan Tek bukanlah lawan kedua orang ini. "Mundurlah, biar aku yang maju lebih dulu! " Leng Bu berkata kepada Siauw Bwee. Dia maklum bahwa murid keponakannya itu hendak menyembunyikan nama dan keadaannya, maka dia tidak menyebut nama. Sebaliknya

Siauw Bwee pun maklum mengapa paman gurunya ini hendak maju biarpun pundaknya sudah terluka. Tentu paman gurunya ini hendak maju lebih dulu sehingga kalau sampai kalah, Siauw Bwee dapat menggantikannya. Kalau Siauw Bwee yang maju lebih dulu dan sampai kalah, tentu Leng Bu pun tidak akan berdaya lagi. Maka Siauw Bwee segera melangkah mundur dan berkata,

"Hati-hatilah, Supek. Pundakmu terluka, mengapa memaksa diri?" Dengan ucapan ini Siauw Bwee kembali menghina Koan Tek, seolah-olah dia hendak menonjolkan kenyataan bahwa biarpun pundaknya terluka, kakek petani itu masih berani maju menghadapi Koan Tek yang berarti memandang rendah.

"Petani tak tahu diri, kausambutlah seranganku!" Koan Tek berseru nyaring dan dia sudah maju menerjang dengan pukulan keras kearah dada Leng Bu.

Leng Bu tidak dapat terlalu menyalahkan Siauw Bwee yang menyambut tantangan sehingga terpaksa terjadi pertandingan. Dia sendiri tentu saja masih dapat bersabar dan mundur menghadapi tantangan, akan tetapi seorang muda seperti Siauw Bwee, tentu sukar untuk mengelakkan tantangan seperti itu. Maka dia mendahului Siauw Bwee menyambut lawan sehingga seandainya ia dapat menang dan mengatasi hal ini, tidak akan terjadi persoalan yang lebih hebat. Dia khawatir apabila Siauw Bwee yang maju, tangan dara yang ampuh itu akan terlalu keras dan terjadi pembunuhan. Selain itu, andaikata rombongan ini berniat buruk, kalau sampai dia kalah, masih ada Siauw Bwee yang jauh lebih lihai untuk menghadapi mereka. Pendeknya, biarpun pundaknya luka, dia hendak maju sebagai pengukur keadaan dan iktikad hati mereka ini. Jotosan tangan Koan Tek itu merupakan serangan yang cukup kuat dan cepat. Leng Bu mengenal juga serangan ini dan tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli gwa-kang yang memiliki tenaga kasar yang besar. Jurus itu adalah jurus Hek-houw-to-sim (Macan Hitam Menyambar Jantung), sebuah pukulan kearah dada kirinya dengan kepalan tangan diputar kekanan kiri ketika lengan itu meluncur dari pinggang. Pukulan semacam ini dapat menghancurkan batu! Coa Leng Bu yang memiliki tingkat lebih tinggi daripada Koan Tek yang kasar itu, hanya dengan melangkah kebelakang saja sudah cukup untuk menghindarkan pukulan itu. Akan tetapi Koan Tek sudah menyambung serangannya dengan jurus serangan berikutnya, yaitu lengan kirinya meluncur kedepan berbareng dengan kaki kiri, memasukkan dua jari tangan kiri kearah leher lawan. Itulah jurus Sian-jin-ci-lou (Dewa Menunjukkan Jalan), sebuah totokan kearah kerongkongan yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Saking cepatnya dan kuatnya gerakan ini terdengar angin bercuitan! Kini Leng Bu tidak mau mundur lagi, bahkan melangkah maju memapaki serangan ini! Dengan gerakan ringan sekali dia miringkan tubuh sehingga tusukan jari tangan itu meleset lewat dekat lehernya, berbareng dengan itu Leng Bu menggerakkan telapak tangan kirinya mendorong dada lawan. Koan Tek terkejut sekali dan berusaha menangkis dengan lengan kanan, namun tenaga dorongan itu biarpun tertangkis, tetap saja membuat tubuhnya terjengkang kebelakang. Koan Tek cukup lihai biarpun tubuhnya terjengkang, dia masih mengangkat kakinya menendang kearah bawah pusar! Kembali serangan yang dapat membawa maut. Leng Bu menjadi tak senang menyaksikan betapa lawannya berusaha untuk membunuhnya, cepat kakinya digeser dan ketika tendangan itu lewat, secepat kilat tangannya menyangga kaki itu dan sekali dia membentak dan mendorong tubuh Koan Tek terlempar kebelakang tanpa dapat dicegahnya lagi. Tubuhnya tentu akan terbanting keras kalau saja sebuah tangan yang kurus tidak cepat menyambar tengkuknya sehingga dia tidak jadi terbanting.

"Hebat....!" kata pemilik tangan kurus yang bukan lain adalah kakek sastrawan pembantu Koksu Yucen. Sementara itu, para tamu warung yang sebagian besar terdiri dari para pengungsi, berserabutan lari keluar dari warung, sedangkan pemilik warung bersama para pelayannya telah bersembunyi dibalik meja dan lemari dengan ketakutan.

"Sungguh mengagumkan sekali dan sepantasnya saya, Tiat-ciang-siucai (Sastrawan Tangan Besi) Lie Bok berkenalan dan ingin mengetahui siapakah nama Enghiong yang perkasa?" Si Kakek Sastrawan bertanya dengan muka tersenyum. Melihat sikap yang sopan ini, Coa Leng Bu merasa tidak enak dan dia cepat menjura. "Namaku yang rendah adalah Coa Leng Bu dan harap saja Locianpwe suka memaafkan kami dan membiarkan kami pergi karena sesungguhnya, saya dan keponakan saya tidak ingin bertanding dengan siapapun juga."

"Ha-ha, bukan bertanding melainkan menguji kepandaian untuk bahan perkenalan, Coa-enghiong. Marilah kita main-main sebentar!"

Leng Bu yang maklum bahwa lawannya sekali ini tentu tidak boleh disamakan dengan Koan Tek yang kasar, cepat menyapu dengan kakinya dan meja kursi disekeliling tempat itu terlempar kesudut, disambar hawa tendangan kakinya sehingga ruangan itu menjadi lega. Hal ini saja membuktikan betapa kuat tenaga sin-kang kakek ini sehingga orang yang berjuluk Tiat-ciang-siucai mengangguk-angguk kagum. "Bagus sekali! Engkau benar-benar amat berharga untuk menjadi teman berlatih. Nah, sambutlah, Coa-enghiong!" Setelah berkata demikian kakek sastrawan itu melangkah maju, tangan kirinya menampar kepala dan tangan kanannya dalam detik berikutnya mencengkeram kearah perut! Itulah jurus Pai-san-to-hai (Menolak Gunung Mengeduk Laut) yang dilakukan dengan tenaga lwee-kang (tenaga dalam) cukup kuat.

Leng Bu tidak tahu pukulan mana yang merupakan pukulan pancingan dan yang mana yang merupakan serangan sesungguhnya karena kedua tangan yang bergerak hampir berbareng itu memang dapat dipergunakan sesuka Si Penyerang, yang satu dipakai memancing, yang kedua baru merupakan pukulan sesungguhnya. Dia tidak mau terpancing, maka dia menggunakan kedua tangannya menangkis keatas dan kebawah. "Plakk! Dukkk!"

Tiat-ciang-siucai terdesak mundur dua langkah, sedangkan Leng Bu masih berada di tempatnya akan tetapi wajahnya berubah menyeringai karena pundaknya yang terluka tadi terasa nyeri. Jelas bahwa sin-kangnya lebih kuat, akan tetapi selisihnya hanya sedikit dan luka di pundaknya membuat dia menderita. Namun dia tidak mau mundur, bahkan membalas menyerang dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang! Terdengar angin menyambar dari kedua tangannya dan hawa di ruangan warung itu tiba-tiba menjadi panas seolah-olah ada sinar matahari sepenuhnya memasuki ruangan. Tiat-ciang-siucai berseru kaget dan cepat ia menggunakan kedua tangannya melindungi tubuh, menangkis bertubi-tubi sehingga dua pasang tangan itu saking cepat gerakannya berubah menjadi banyak. Namun kakek sastrawan itu terdesak mundur oleh hawa panas. Tiba-tiba Leng Bu yang ingin segera memperoleh kemenangan itu sudah mengubah gerakannya, ditujukan kebawah, menyerang tubuh bagian bawah dan tiba-tiba hawa yang panas itu berubah sejuk. Kembali kakek sastrawan terkejut, dan biarpun dia berhasil menangkis serangan yang seperti hujan datangnya, namun perubahan itu membuat dia bingung dan terhuyung kebelakang. "Heiii! Bukankah itu Jit-goat-sin-kang?" Tiba-tiba Pek-mau Seng-jin berseru kaget dan kagum. Mendengar ini, Coa Leng Bu terkejut. Tak disangkanya kakek berambut putih itu mengenal Jit-goat-sin-kang yang selama ini tersembunyi dari dunia kang-ouw. Akan tetapi karena sudah terlanjur dikeluarkan, dia lalu menerjang maju dan mengerahkan tenaganya. Dari dorongan telapak tangan

kanannya keluar hawa pukulan yang bercuitan kearah tubuh Tiat-ciang-siucai yang terhuyung. Siucai itu berusaha menahan dengan kedua tangannya, namun tetap saja dia terdorong dan roboh bergulingan. Leng Bu menghentikan serangannya, meloncat mundur dan menjura. "Harap maafkan kekasaran saya."

Tiat-ciang-siucai meloncat bangun, matanya terbelalak. "Luar biasa sekali! Saya mengaku kalah!" Menyaksikan sikap ini, agak lega hati Coa Leng Bu, karena sikap kakek sastrawan itu menunjukkan sikap seorang kang-ouw yang baik, gagah perkasa, dan jujur, berani menerima kekalahan dengan hati tulus.

Pek-mau Seng-jin girang sekali. Biarpun belum dapat dikatakan luar biasa, petani tua bertelanjang kaki itu dapat dijadikan seorang pembantunya yang lumayan. Maka dia memberi tanda dengan mata kepada Panglima Dailuba yang tinggi besar, bermata lebar dan bermuka penuh brewok. "Biarlah aku menguji kepandaianmu, Coa-enghiong!" katanya dengan suaranya yang nyaring besar mengejutkan. Panglima ini adalah seorang bangsa Yucen tulen, bertenaga besar dan berkepandaian tinggi. Apalagi setelah dia menjadi pembantu utama Pek-mau Seng-jin yang melatihnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi, panglima ini benar-benar merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Hal ini dapat diduga oleh Siauw Bwee, maka dia berkata, "Supek, biarkanlah saya yang maju karena Supek tentu lelah sekali."

Akan tetapi Coa Leng Bu menggeleng kepala. Sebelum dia kalah, lebih baik gadis itu jangan turun tangan yang tentu akan menimbulkan persoalan yang lebih berat lagi. Sekali gadis itu turun tangan, dia tidak berani tanggung apakah lawan masih dapat keluar dari pertandingan dengan hidup-hidup. Pula, agaknya yang merupakan lawan terberat hanyalah kakek yang bernama Pek-mau Seng-jin itu, maka biarlah kakek itu nanti bertanding melawan Siauw Bwee. "Tidak, aku masih belum kalah," jawabnya dan cepat ia maju sambil berkata, "Sahabat, siapakah nama besarmu?"

Dailuba tertawa bergelak. "Namaku sama sekali tidak terkenal, Coa-enghiong. Namaku adalah Thai Lu Bauw, seorang kasar yang hanya mempelajari sedikit ilmu. Mana bisa dibandingkan dengan engkau yang memiliki Jit-goat-sin-kang? Harap kau suka mulai."

Coa Leng Bu menggeleng kepala. "Bukan kami yang menghendaki pertandingan ini, Thai-sicu. Engkau majulah!"

"Lihat serangan!"

Gerakan Dailuba berbeda dengan gerakan Tiat-ciang-siucai Lie Bok tadi. Gerakan orang tinggi besar ini lambat sekali ketika tangan kanannya yang dibuka itu menyerang dengan dorongan kearah dada Leng Bu. Akan tetapi, Coa Leng Bu sebagai seorang yang sudah banyak mengalami pertandingan, tidak mau memandang rendah dan dugaannya ternyata tepat karena ketika ia menangkis pukulan itu, dia terdorong sampai dua langkah, sedangkan lawannya terus melangkah maju dan mengirim dorongan lanjutan dengan tangan kiri. Ternyata Si Tinggi Besar ini memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya! Terpaksa Coa Leng Bu menangkis dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang sehingga dua tenaga raksasa bertemu dan keduanya tergoyang. Ketika Leng Bu hendak menarik kembali lengannya, dia kaget bukan main karena lengannya itu lekat pada lengan lawan, seolah-olah tersedot dan tak dapat dilepas lagi dan pada saat itu tangan kanan Dailuba telah datang lagi menampar kearah kepalanya! Tahulah dia bahwa lawannya ini telah melatih sin-kangnya dengan tenaga menyedot dan menempel, maka dia cepat miringkan kepala dan mendahului dengan sodokan tangan kiri kearah perut lawan.

"Plakkk!"

Lengannya yang tertempel itu terlepas, akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Leng Bu ketika merasa betapa sodokannya keperut yang mengenai sasaran dengan tepat tadi seolah-olah tidak terasa oleh lawan, bahkan jari tangannya terasa nyeri. Dailuba menggerakkan kakinya yang panjang dan besar menyerang kaki lawan. Leng Bu cepat meloncat keatas, akan tetapi angin yang menyambar dari kaki Si Tinggi Besar membuat dia hampir terpelanting! Coa Leng Bu menjadi penasaran sekali, lalu dia menyerang dengan cepat, menggunakan jurus-jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Jit-goat-sin-kang. Namun, melihat betapa Dailuba dapat menahan serangannya dengan gerakan lambat dan seenaknya, kedua lengan besar yang digerakkan lambat itu telah menciptakan hawa yang merupakan perisai sehingga semua pukulan Leng Bu menyeleweng, maka tahulah Leng Bu bahwa tingkat kepandaian lawannya ini masih jauh lebih tinggi daripada tingkatnya. Maka dia merasa terkejut dan khawatir, bukan takut kalah, melainkan takut kalau-kalau Siauw Bwee sendiri tidak akan mampu menanggulangi mereka. Kalau sampai mereka kalah, tentu mereka terpaksa menerima undangan dan perkenalan mereka, padahal dia tahu bahwa Siauw Bwee tidak menghendaki hal itu terjadi. Maka dia lalu mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan Im-yang-sin-kang. Sebetulnya Im-yang-sin-kang masih kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Jit-goat-sin-kang yang merupakan latihan sin-kang dengan bantuan sinar sakti matahari dan bulan, akan tetapi karena dalam latihan ini Leng Bu belum mencapai puncaknya sedangkan Im-yang-sin-kang dia sudah mahir sekali, maka terpaksa dia menggunakan sin-kang yang baginya lebih kuat itu. Padahal, untuk menggunakan sin-kang ini mengandalkan seluruhnya dari tenaga dalamnya sendiri sedangkan pundaknya sudah terluka, maka hal ini merupakan bahaya baginya. Dia sekarang mempergunakannya dalam keinginannya untuk mencapai kemenangan. Ketika lawannya membalas serangannya dengan dorongan kedua telapak tangan, dengan pukulan semacam Thai-lek-sin-kang yang amat kuat, dia menghadapinya dengan Im-yang-sin-kang.

"Bressss!" Tubuh tinggi besar dari Dailuba terlempar kebelakang dan terguling akan tetapi Leng Bu sendiri terjengkang dan dia mengeluh, pundaknya nyeri bukan main.

"Supek....!" Siauw Bwee menghampiri, akan tetapi Leng Bu telah bangun kembali, wajahnya pucat menahan sakit dan dia memegangi pundaknya yang luka, sebelah lengannya menjadi lumpuh.

Dailuba juga bangkit berdiri, tampak darah dari ujung bibirnya dan dia menjura. "Hebat sekali engkau, Coa-enghiong. Biarpun engkau terluka, engkau masih mampu menahan pukulanku!"

"Ha-ha-ha, karena Coa-enghiong terluka, biarlah kita anggap pertandingan tadi berakhir dengan sama-sama dan mudah-mudahan menjadi jembatan perkenalan diantara kita!" kata Pek-mau Seng-jin.

"Tidak," Siauw Bwee menjawab lantang. "Kami tetap tidak berkeinginan untuk mengikat tali persahabatan. Kami hendak pergi dan siapa yang menghalangiku, berarti dia hendak memusuhiku!" Dia lalu memegang tangan supeknya dan berkata, "Marilah, Supek. Kita pergi dari sini dan jangan melayani mereka yang mabok kekerasan ini!"

"Ha-ha-ha, nanti dulu, Nona. Kalau kalian tidak memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada kami, mengapa begini angkuh? Kami hanya ingin berkenalan, kalau engkau menolak berarti engkau menghina kami," kata Pek-mau Seng-jin sambil menghadang didepan pintu keluar. "Kalau engkau menganggap aku menghina, habis kau mau apa?"

"Taijin, bocah ini lancang sekali. Biarlah hamba menundukkannya!" kata Dailuba yang tak dapat menahan kesabarannya lagi menyaksikan sikap Siauw Bwee demikian berani terhadap orang pertama sesudah Raja Yucen! Dia sudah melompat maju menghadapi Siauw Bwee. Dara ini maklum bahwa tanpa memperlihatkan kepandaian, mereka tidak akan mau mundur begitu saja, maka dia melepaskan tangan Leng Bu dan menghampiri Dailuba. "Kaukira aku takut kepadamu?" bentaknya. Dailuba tersenyum mengejek. Gadis ini hanyalah murid keponakan Leng Bu. Sedangkan Coa Leng Bu sendiri tidak mampu mengalahkannya, apalagi murid keponakannya yang hanya seorang dara muda?

"Nona, aku harus mengaku bahwa aku kagum sekali menyaksikan keberanianmu. Akan tetapi, engkau bukanlah lawan kami dan sesungguhnya aku sendiri merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang bocah perempuan seperti Nona. Sedangkan supekmu sendiri yang cukup lihai tidak mampu mengalahkan aku, bagaimana engkau berani menghadapi aku?"

"Tidak perlu banyak cerewet. Kalau kau berani, majulah!" Siauw Bwee menantang. Dailuba menjadi marah. Akan tetapi dia adalah seorang panglima besar, tentu saja dia dapat menahan diri dan tidak mau menuruti nafsu amarah. Maka sambil tersenyum dia berkata, "Baiklah kalau begitu. Seorang anak bandel seperti engkau ini tentu belum mau mengerti kalau belum mengenal kelihaianku. Nah, kaujagalah sentuhan ini!" Sambil berkata demikian, Dailuba menampar pundak Siauw Bwee dan hanya mempergunakan seperempat bagian tenaganya saja. Itu pun ia lakukan dengan hati-hati dan perlahan karena khawatir kalau-kalau tulang pundak nona ini akan remuk terkena tamparannya! Siauw Bwee menjadi makin marah. Dia tentu saja tahu bahwa lawannya ini tidak sungguh-sungguh menyerangnya, dan hal ini selain dianggap sebagai sikap memandang rendah, juga merupakan penghinaan! Cepat sekali tangannya bergerak dan tahu-tahu Dailuba berteriak kaget ketika kedua pundak dan kedua lututnya telah kena ditotok oleh jari tangan dan ujung sepatu nona itu sehingga kedua pasang kaki tangannya menjadi lumpuh dan disaat selanjutnya, tubuhnya sudah dilemparkan oleh dara itu dengan menyambar tengannya! Tembok warung itu bobol kena bentur tubuhnya akan tetapi tubuh yang kuat itu tidak terluka dan begitu dia terbanting, totokan-totokan itu telah punah dan Si Tinggi Besar telah meloncat bangun. Merah sekali mukanya dan matanya menjadi merah saking marah. Dia telah dihina didepan Koksu dan para rekannya!

"Keparat! Tak tahu orang mengalah!" bentaknya sambil menubruk maju. "Siapa minta kau mengalah! Keluarkan semua kepandaianmu!" Siauw Bwee tersenyum mengejek. Perasaan malu membuat Dailuba lupa diri dan memuncak kemarahannya. Belum pernah selamanya dia menerima penghinaan seperti itu, apalagi dilakukan oleh seorang gadis muda didepan Koksu! Dia adalah orang kepercayaan dan tangan kanan Koksu, dan semua panglima tunduk kepadanya! Mana mungkin dia menerima saja dipermainkan seorang gadis begitu saja? Maka begitu ia menubruk maju, dia memukul dengan pengerahan tenaga sekuatnya, tangan kiri menghantam ubun-ubun kepala dan tangan kanan menyodok kearah pusar. Kedua tangannya melancarkan pukulan maut dan jarang ada lawan tangguh yang mampu menghindarkan diri dari serangan ini. Bahkan Koksu sendiri menjadi terkejut dan menyesal mengapa panglimanya itu hendak membunuh gadis yang demikian lihai, namun dia dapat mengerti akan kemarahan Dailuba dan memandang penuh perhatian. "Ma mpuslah! Wuushhh.... siuuutt!" Bentakan Dailuba disusul angin sambaran kedua tangannya.   "Haaaiiittt.... yyaaaahhhh!"

Pek-mau Seng-jin sendiri sampai terbelalak kagum menyaksikan gerakan Siauw Bwee yang asing baginya. Kedua kaki dara itu bergerak dengan cepat dan aneh, indah sekali seolah-olah kedua kaki dara itu menjadi roda, bergeser kesana-sini dengan lincah dan ringan, namun tepat sekali sehingga dua pukulan maut itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Padahal dua pukulan itu sukar sekali dielakkan dan Koksu sendiri maklum bahwa jalan satu-satunya menghadapi dua pukulan maut itu hanya menangkis dengan pengerahan sin-kang. Betapa mungkin gadis itu dapat mengelak tanpa meloncat pergi, hanya mengegos kesana-sini seolah-olah pukulan itu merupakan pukulan biasa yang dipandang rendah saja? Juga panglima tinggi besar itu terkejut, namun rasa marah dan penasaran melampaui kekagetannya dan kemarahan membuat dia tidak mau melihat kenyataan, tidak menyadarkannya bahwa sesungguhnya dia menghadapi seorang lawan yang jauh lebih berbahaya daripada Coa Leng Bu, bahkan lebih berbahaya daripada semua lawan yang pernah ia hadapi sebelumnya! Kemarahan dan penasaran membuat dia menerjang lagi dengan gerakan cepat dan lebih kuat, menggerakkan kedua tangannya menyerang bertubi-tubi dan setiap pukulan, tamparan, atau totokan dia tujukan kearah bagian-bagian yang mematikan! Siauw Bwee bukan tidak tahu akan hal ini. Dia maklum bahwa lawannya sengaja mengirim pukulan-pukulan maut karena kemarahannya, dan hal ini membuat dia ingin menalukkan orang-orang itu dengan memperlihatkan kepandaiannya. Dia pun bukan seorang gadis bodoh yang hanya menuruti nafsu amarah. Dia mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai seorang Koksu Negara Yucen, dan sudah mendengar bahwa bangsa Yucen pada waktu itu merupakan bangsa yang besar dan kuat. Dia dapat menduga bahwa orang tinggi besar ini tentu bukan orang sembarangan pula, melainkan seorang yang berkedudukan tinggi di Kerajaan Yucen. Mengingat bahwa mereka yang tadi berhadapan dengan Coa Leng Bu bersikap gagah dan tidak bermaksud membunuh supeknya itu, maka kini dia pun hanya ingin mencari kemenangan dan segera pergi bersama supeknya melanjutkan perjalanan keselatan, terutama sekali untuk menyusul suhengnya, Kam Han Ki. Kini melihat betapa lawannya menerjang dengan hebat, Siauw Bwee terus menggunakan ilmu gerak langkah kilat yang ia pelajari dahulu dari kaum lengan buntung, mengelak kesana-sini sehingga tubuhnya berkelebatan kekanan kiri menyelinap diantara pukulan-pukulan itu. Makin lama, Dailuba menjadi makin penasaran dan memukul makin cepat. Tidak mungkin ada orang hanya main mengelak saja dari

hujan pukulannya, padahal baru sambaran angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Namun, pandang matanya sampai berkunang ketika lewat tiga puluh jurus dia menyerang, gadis itu hanya main elak saja dan tak sebuah pun dari pukulan-pukulannya dapat menyentuh ujung baju gadis itu, apalagi mengenai tubuhnya! Dan makin terheran-heran. Supek gadis ini tadi harus mengakui keunggulannya hanya dalam belasan jurus saja. Bagaimana kini gadis ini menghadapi serangan-serangannya sampai tiga puluh jurus lebih tanpa membalas sama sekali, mempermainkannya seperti seorang dewasa mempermainkan anak kecil? Kalau tidak ingat bahwa disitu ada Koksu dan para rekannya yang menjadi penonton, tentu panglima tinggi besar ini sudah mengeluarkan senjatanya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dia lakukan dibawah pengawasan Koksu dan para rekannya karena tentu hal itu akan membuat dia menjadi makin rendah dan malu. Maka kini ia hanya menggigit bibir dan melanjutkan serangan-serangannya dengan tenaga sin-kang Thai-lek-sin-kang!

Melihat pukulan-pukulan yang mengandung hawa sin-kang ini, Siauw Bwee maklum bahwa sudah cukup dia memperlihatkan kepandaiannya. Dia meloncat mundur, memasang kuda-kuda dan sengaja menyambut pukulan kedua tangan lawannya tadi. Melihat ini, Coa Leng Bu terkejut sekali. Dia tahu akan kehebatan ilmu silat murid keponakannya, akan tetapi menghadapi pukulan-pukulan orang yang bernama Thai Lu Bauw begitu saja, benar-benar amat berbahaya karena tenaga sin-kang Si Tinggi Besar itu amat kuat. Sebaliknya, Dailuba girang sekali melihat gadis itu berani menerima pukulannya tanpa menggunakan langkah-langkah aneh untuk mengelak seperti tadi, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam dorongan kedua lengannya itu. Siauw Bwee tidak berniat membunuh lawannya, akan tetapi kalau sampai dia tidak berani menerima pukulan sin-kang ini,

tentu orang-orang itu menyangka takut. Oleh karena itu, dia tidak mengelak, bahkan kini dia mendorongkan kedua lengannya kedepan menyambut datangnya pukulan jarak jauh yang amat dahsyat ini. Diam-diam dia menggunakan sin-kang yang dilatihnya bersama Kam Han Ki dan Maya di Pulau Es, sehingga dari kedua tangannya menyambar hawa dingin sekali yang menyambut hawa pukulan Dailuba.

"Wussshhhh.... desss!"

Mereka berdiri berhadapan dengan kedua tangan dilonjorkan, jarak antara kedua pasang tangan itu ada dua kaki, akan tetapi mereka merasa seolah-olah telapak tangan mereka bertemu. Tubuh Dailuba bergoyang-goyang, kemudian menggigil kedinginan dan tiba-tiba Siauw Bwee mencelat keatas sambil menarik kedua lengannya dan.... tubuh Dailuba terbawa oleh dorongannya sendiri ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya, jatuh menelungkup! Kalau Siauw Bwee menghendaki, disaat itu tentu saja dia dapat memukul kepala lawannya dari atas, akan tetapi untuk membuktikan kemenangannya, dia hanya merenggut penutup kepala lawannya dan meloncat turun dengan ringan dibelakang Dailuba. Panglima tinggi besar ini terengah-engah, tubuhnya masih terguncang dan menggigil, kemudian melompat bangun dan memutar tubuh, dengan mata terbelalak memandang Siauw Bwee yang tersenyum sambil memegangi topi yang tadi berada diatas kepalanya.

"Terimalah kembali penutup kepalamu!" Siauw Bwee berkata sambil melontarkan benda terbuat dari kain itu kearah Dailuba. Orang tinggi besar itu menyambar topi dengan tangannya, akan tetapi.... "wushhhh!" benda itu seperti berubah menjadi burung terbang, mengelak dari sambarannya, melayang keatas dan jatuh diatas kepalanya. "Hebat....! Ahhh, sungguh ajaib! Betapa mungkin kepandaian seorang murid keponakan jauh melampaui tingkat supeknya sendiri? Nona, aku kagum sekali dan marilah kita saling menguji kepandaian kita. Aku akan merasa gembira sekali berkenalan dengan Nona setelah kita saling mengenal kelihaian masing-masing!" Koksu berkata dan tubuhnya sudah mencelat kedepan Siauw Bwee. Hemm, biar akan menimbulkan geger, sekali ini dia akan memberi hajaran keras kepada orang yang telah pernah menawan dia bersama sucinya, Maya. Pikiran ini membuat Siauw Bwee menjawab lantang. "Pek-mau Seng-jin, biarpun aku masih muda, sudah banyak aku mendengar namamu yang besar."

"Apa? Engkau sudah mengenal namaku? Jadi engkau tahu siapa aku ini?" Kakek berambut putih itu bertanya, alisnya berkerut.

Siauw Bwee tersenyum mengejek sambil mengangguk. Alis putih itu makin berkerut. Celaka, pikir Pek-mau Seng-jin. Kalau gadis ini sudah mengenalnya, berarti tahu bahwa dia adalah Koksu dari Yucen, rahasia penyamaran dan perjalanannya telah terbuka! Gadis ini harus ditarik sebagai sekutunya, atau.... kalau tidak mau, harus dienyahkan sebagai musuh yang berbahaya! Namun, sikap kakek itu masih tenang saja dan dia bertanya, "Nona, engkau sudah mengenalku. Sudah sepatutnya kalau aku mengetahui siapakah engkau yang semuda ini telah memiliki kepandaian a mat tinggi."

"Aku seorang perantau. Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi, kalian memaksa kami untuk bertanding. Kami telah memenuhi permintaan kalian, hanya karena terpaksa, bukan sekali-kali untuk berkenalan. Nah, kita lanjutkan atau tidak?"

"Ha-ha-ha, pantas saja engkau angkuh dan tinggi hati, karena memang engkau lihai sekali. Biarlah, kita main-main sebentar dengan taruhan bahwa kalau engkau kalah, biarpun engkau tidak mau menjadi sahabat kami, engkau harus memperkenalkan namamu kepadaku. Bagaimana?"

"Aku tidak sudi berjanji apa-apa. Dengan pertandingan yang kaupaksakan ini, kalau aku kalah, terserah kepadamu mau berbuat apa. Akan tetapi kalau engkau kalah dan tewas ditanganku, jangan menyalahkan aku!"

"Aduh sombongnya! Baiklah, Nona. Sudah lama aku tidak ketemu lawan yang setanding. Melihat cara engkau mengalahkan pembantuku, ternyata engkau cukup berharga untuk menjadi kawanku. Bersiaplah engkau!"

"Majulah!" Siauw Bwee sudah memasang kuda-kuda dengan kedua kaki tegak, agak terbuka dan kedua tangannya tergantung lemas di kedua samping tubuhnya, matanya tajam mengawasi lawan dan seluruh urat syaraf ditubuhnya siap menghadapi serangan yang bagaimanapun juga. Melihat cara persiapan dan kedudukan tubuh dara itu, kembali Pek-mau Seng-jin kagum dan dia tidak berani

memandang rendah. Dara ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali sehingga dapat bersikap seperti itu, tanpa memasang kuda-kuda teguh seperti yang biasa dilakukan ahli-ahli silat.

"Sambutlah, Nona!"

Pek-mau Seng-jin mulai dengan serangan pertama. Tangan kirinya bergerak menyambar dari samping menuju kearah leher Siauw Bwee. Angin pukulan yang panas sekali menyambar, diikuti oleh lengan baju yang menampar muka, kemudian dalam detik berikutnya disusul pula oleh jari-jari tangan yang melakukan totokan-totokan kearah lima jalan darah dikedua pundak kanan kiri leher dan tenggorokan! Bukan main hebatnya serangan ini yang sekali gerak telah mengandung lima serangan. Baru angin pukulan itu saja sudah amat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan tamparan ujung lengan baju atau totokan-totokan itu sendiri yang merupakan inti serangan!

Namun Siauw Bwee tidak menjadi gentar. Tanpa menggeser kaki, tubuh atasnya melirik kebelakang dan lengan kanannya yang kecil menangkap dengan berani. "Plakk! Brettt....!"

 Pek-mau Seng-jin meloncat kebelakang dengan mata terbelalak heran. Dia tidak mengenal gerak tangan Siauw Bwee tadi yang amat cepat dan hal ini tidak aneh karena dara ini menggunakan ilmu gerak tangan kilat yang merupakan kepandaian khusus dari kaum kaki buntung! Dengan gerakan kilatnya, sambil menangkis serangan tadi, jarinya dapat digerakkan dengan pemutaran pergelangan tangan cepat sekali sehingga dari samping ia berhasil melubangi ujung dengan baju kakek berambut putih itu!

"Kau.... apakah engkau dara perkasa yang telah membunuh panglima dampit dari Kerajaan Sung?" Siauw Bwee terkejut dan kagum. Agaknya Koksu Yucen ini mempunyai banyak mata-mata yang telah menyelundup kedalam gedung pembesar Sian-yang sehingga mengetahui pula peristiwa itu.

"Kalau betul demikian, mengapa?" tanyanya dengan tenang. "Aihh....! Nona yang perkasa! Kita sepaham dan sehaluan! Marilah engkau bekerja sama dengan kami menghadapi bangsa Mancu yang biadab dan Kerajaan Sung yang sudah hampir roboh!"

"Pek-mau Seng-jin, aku tidak mau mencampuri urusan negara dan perang. Kalau kau tidak ingin melanjutkan pertandingan gila ini, biarkan aku dan Supek pergi."

"Engkau keras kepala! Apa kaukira akan mampu menandingi Pek-mau Sengjin? Jaga serangan!" Kini kakek itu mengeluarkan seruan keras dan nyaring sekali, seruan yang dikeluarkan dengan tenaga khi-kang sehingga melengking tinggi dan mengejutkan semua orang, bahkan para pembantunya hampir tidak kuat bertahan kalau tidak cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan lengking itu. Pemilik warung dan para pelayannya yang masih bersembunyi, seketika roboh pingsan! Namun Siauw Bwee tetap tenang dan melihat kini kakek itu menerjangnya dengan dahsyat, ia cepat mengelak dengan gerakan kakinya yang lincah sambil balas memukul dari samping dengan pengerahan sin-kang yang mengandung tenaga Im-kang kuat sekali. Pek-mau Seng-jin menangkis.

"Dukkk!" Keduanya terlempar kebelakang, akan tetapi kalau Siauw Bwee tidak merasakan sesuatu, hanya terpental saking kuatnya lawan, adalah Pek-mau Seng-jin menggoyang tubuhnya mengusir hawa dingin yang menyusup ketulang-tulangnya! Pada saat itu terdengar seruan nyaring. "Tahan! Diantara sahabat sendiri tidak boleh bertanding!" Tampak bayangan berkelebat dan Suma Hoat telah berdiri ditempat itu, memandang kepada Koksu dan Siauw Bwee, kemudian cepat menjura kepada Pek-mau Seng-jin sambil berkata, "Seng-jin, dia adalah Coa Leng Bu, suhengku sendiri. Harap jangan melanjutkan perkelahian!"

Pek-mau Seng-jin tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, kau salah sangka, Suma-sicu! Kami bukan berkelahi, melainkan saling menguji kepandaian dan Nona ini benar-benar luar biasa lihainya. Kiranya masih suhengmu sendiri Coa-sicu ini, dan Nona ini, apakah dia juga murid keponakanmu?"

"Murid keponakan....? Saya tidak mengenalnya, biarpun kami pernah saling berjumpa." Sementara itu Siauw Bwee terheran-heran melihat pemuda tampan yang pernah menolongnya lari dari Sian-yang. Jadi pemuda yang lihai dan mahir Ilmu Jit-goat-sin-kang itu adalah sute dari Coa Leng Bu? Dia mengerutkan alisnya dan makin tidak mengerti ketika mendengar pemuda itu disebut Suma-sicu oleh Pek-mau Seng-jin. Pemuda itu bernama keluarga Suma! Apa artinya ini? Ketika dia menoleh kepada Coa Leng Bu, kakek ini menarik napas panjang dan berkata, "Sute, sesungguhnya tidak ada perkelahian dan biarkan kami berdua pergi lebih dulu. Kalau engkau mengenal mereka ini, harap jelaskan bahwa kami bukanlah orang yang suka terlibat dalam urusan negara, sampai jumpa, Sute." Coa Leng Bu lalu mengajak Siauw Bwee pergi dari situ dan sekali ini rombongan Pek-mau Seng-jin tidak mencegah mereka. Setelah keluar dari dusun itu, Siauw Bwee tidak dapat menahan hatinya. "Supek, pemuda itu adalah orang yang menolongku keluar dari Sian-yang. Benarkah dia itu sutemu?"

"Memang begitulah. Tadinya Suhu Bu-tek Lo-jin hanya mempunyai tiga orang murid, yaitu Twa-suheng Lie Soan Hu yang menjadi ketua lembah memimpin orang-orang penderita kusta, kedua aku sendiri, dan ketiga adalah Sute Ouw Teng. Akan tetapi belum lama ini, Suhu mengangkat seorang murid baru yang biarpun paling muda, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Dia adalah Suma-sute tadi yang sebelum menerima ilmu Jit-goat-sin-kang dan lain-lain dari Suhu, telah memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripada kami bertiga. Sungguh tidak kuduga bahwa dia mengenal rombongan Pek-mau Seng-jin tadi, betapapun juga, kedatangannya menghentikan bahaya yang mengancam kita. Sekarang aku ingin sekali tahu, bagaimana engkau mengenal Pek-mau Seng-jin dan siapakah dia sebenarnya?"

"Dia itu bukan lain adalah Koksu Negara Yucen."

"Aihhhh....!" Wajah Coa Leng Bu berubah pucat.

"Pantas saja dia lihai bukan main. Dan Suma-sute agaknya mengenal balk mereka itu! Apa artinya ini?"

Siauw Bwee menarik napas panjang. "Agaknya aku dapat menduga apa artinya, Supek. Koksu Negara Yucen itu tentu melakukan penyelidikan dan mencari bantuan orang-orang pandai, mengingat akan pesatnya gerakan kerajaan itu menyerbu keselatan. Tadi dia mengajak aku membantunya ketika mendengar bahwa aku menewaskan Panglima Sung, tentu dia mengira aku memusuhi Sung dan Mancu. Dan melihat sikap sutemu tadi, aku tidak akan meragukan kalau dia termasuk diantara orang-orang gagah yang kena terbujuk untuk bersekutu dengannya."

Coa Leng Bu mengangguk-angguk. "Hemm, agaknya begitulah. Aku bertemu dengan dia di Sian-yang dan akulah yang minta dia mencarimu dan memberi tahu bahwa aku menanti dipintu gerbang selatan. Aku tidak mencampuri urusan pribadinya, namun aku sebagai suhengnya berhak untuk mengingatkannya bahwa tidaklah baik membantu bangsa asing memerangi bangsa sendiri."

Siauw Bwee teringat akan sucinya, Maya. Mengapa sucinya itu juga membantu pasukan Mancu? Maka dia lalu berkata, "Dalam keadaan negara kacau seperti ini, memang banyak orang merasa serba salah, Supek. Kerajaan Sung makin merosot pamornya, banyak pembesar yang buruk dan jahat. Timbullah Kerajaan bangsa Yucen dan bangsa Mancu, membuat banyak orang menjadi ragu-ragu dan timbul harapan baru untuk melihat munculnya kerajaan baru yang akan dapat mengamankan negara dan memakmurkan kehidupan rakyat. Betapapun juga, tentu saja aku tidak setuju kalau orang mengharapkan kemakmuran dari penjajahan bangsa asing!"

"Cocok, Khu-lihiap! Demikian pula pendapatku, maka kalau aku bertemu dengan dia, akan kuperingatkan dia."

"Supek, siapakah nama sutemu itu? Aku mendengar tadi disebut Suma-sicu oleh Koksu Yucen."

"Memang dia she Suma, namanya Hoat."

"Suma Hoat....?" Siauw Bwee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat karena dia seperti pernah mendengar nama itu.

"Apakah engkau sudah mengenal namanya pula?"

Siauw Bwee mengangguk. "Nama itu tidak asing bagiku.... akan tetapi aku lupa lagi...." Dia benar-benar tidak ingat lagi, akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda tampan itu masih ada hubungan dengan Panglima Suma Kiat, musuh besar yang telah menjadi biang keladi tewasnya ayahnya dan Menteri Kam Liong! Ketika hal ini terjadi, dia masih terlalu muda dan memang dia tidak pernah memperhatikan atau mendengar keadaan keluarga Suma Kiat sehingga dia tidak tahu bahwa pemuda berusia tiga puluh tahun yang telah menolongnya itu bukan lain adalah putera tunggal musuh besarnya itu!

Mereka melanjutkan perjalanan dan bermalam disebuah kota kecil. "Kita menanti Sute disini. Aku ingin sekali mendengar apakah betul dia menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen."

Siauw Bwee mengangguk setuju. Dia pun ingin sekali menyelidiki, apakah hubungan sute dari supeknya itu, yang mengingat akan kedudukannya terhitung masih susioknya (paman gurunya) sendiri, dengan musuh besarnya, Suma Kiat! Sementara itu, setelah menyadarkan pemilik warung dan mengganti semua kerusakan dengan hadiah banyak, rombongan Pek-mau Seng-jin mengajak Suma Hoat keluar dari dusun karena mereka tidak mau menarik perhatian penduduk yang sudah panik dengan adanya pertandingan di

dalam warung tadi. Di dalam hutan diluar dusun itu, mereka bercakap-cakap.

Memang benarlah dugaan Siauw Bwee, Suma Hoat telah menjadi kaki tangan Koksu dari Yucen. Seperti telah klta ketahui, pemuda yang merasa amat menyesal dan berduka karena dia telah membikin lumpuh Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau melawannya, kemudian makin menyesal karena dia telah menghina kedua orang bibinya sendiri, yaitu Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui, bersama Im-yang Seng-cu menyerbu markas besar Hoat Bhok Lama di Pegunungan Heng-toan-san di lembah Sungai Cin-sha. Dia melihat kedua orang wanita itu tewas dan dia bertemu dengan Bu-tek Lo-jin yang kemudian mengajaknya membunuh Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, kemudian mengangkatnya sebagai murid. Hati Dewa Pemetik Bunga ini penuh dengan penyesalan akan semua perbuatannya yang lalu, penyesalan yang timbul setelah dia membuat lumpuh kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Ti Hosiang. Penyesalan ini membuat dia mengasingkan diri dan tekun berlatih ilmu silat yang ia peroleh dari Bu-tek Lo-jin yang hanya beberapa bulan saja mengajarkan ilmu-ilmu silat dan Jit-goat-sin-kang kepadanya, kemudian kakek aneh itu pergi lagi meninggalkannya. Dengan tekun sekali Suma Hoat menggembleng diri dengan ilmu-ilmu itu sambil berusaha melupakan kesenangannya, yaitu bermain asmara dengan wanita-wanita cantik yang membuatnya dijuluki Jai-hwa-sian. Gurunya menceritakan kepadanya bahwa dia menipunyai tiga orang suheng yang tinggal ditebing Lembah Kaum Kusta. Ketika dia mengunjungi mereka kesana, dia hanya bertemu dengan Coa Leng Bu, suhengnya yang kedua, dan dia enggan menjumpai twa-suhengnya dan sam suhengnya ketika mendengar dari ji-suheng ini bahwa mereka itu menjadi ketua dari kaum liar dan kaum penderita kusta. Apalagi karena ia mendapat kenyataan bahwa biarpun disebut ji-suheng, kepandaian Coa Leng Bu tidaklah lebih tinggi daripadanya. Setelah meninggalkan ji-suhengnya, Suma Hoat lalu teringat kepada ayahnya. Benar bahwa dia telah disakiti hatinya, telah diusir tanpa salah, karena bukankah permainan asmara dengan Bu Ci Goat adalah karena rayuan ibu tirinya itu? Betapapun juga, dia adalah anak tunggal, dia harus menghadap ayahnya yang sudah tua. Dia harus membantu ayahnya setelah kini dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat akan ayahnya, Suma Hoat merasa dirinya makin berdosa dan semua ini adalah gara-gara wanita! Gara-gara Ciok Kim Hwa! Kalau dia tidak patah hati karena Ciok Kim Hwa membunuh diri, tentu dia tidak sampai bentrok dan diusir ayahnya sehingga kemudian dia membalas dendamnya kepada para wanita dan menjadi seorang pemerkosa dengan Julukan Jai-hwa-sian! Bahkan kemudian membuat dia melakukan hal yang amat keji, yaitu membuat Ketua Siauw-

lim-pai yang sakti dan berbudi mulia itu menjadi cacad, lumpuh kedua kakinya. Dia harus menebus semua dosanya itu, dengan jalan berbakti kepada ayahnya, berbakti kepada negara, dan berbakti kepada kemanusiaan.

Dengan pikiran inilah Suma Hoat mencari ayahnya, menahan nafsu birahinya yang kadang-kadang bergejolak setiap ia melihat wanita cantik, dan akhirnya dia berhasil bertemu dengan ayahnya, Suma Kiat dikota raja. Akan tetapi, biarpun dia girang sekali mendapat sambutan gembira dari ayahnya dan ibu tirinya, Bu Ci Goat, di dalam hatinya dia terkejut karena ayahnya segera memberi tahu bahwa ayahnya diam-diam telah membuat persekutuan dengan Kerajaan Yucen, dan membuat persiapan untuk membantun Kerajaan Yucen dari dalam untuk menjatuhkan pemerintah lama! Biarpun di dalam hatinya terasa panas dan tidak setuju, namun dia tidak mau mengecewakan ayahnya dan akhirnya dia menjalankan tugas yang diperintahkan ayahnya untuk menemui Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang sedang melakukan penyelidikan tentang gerakan tentara Mancu. Dengan membawa surat ayahnya, Suma Hoat berhasil bertemu dengan Pek-mau Seng-jin kemudian dia malah menerima tugas penyelundupan kedalam kota Sian-yang untuk menghubungi kaki tangan Pek-mau Seng-jin dan menyelidiki keadaan pasukan Mancu yang menduduki kota itu. Telah ada kata sepakat antara Suma Kiat dan Pek-mau Seng-jin untuk membiarkan pasukan-pasukan Sung berperang melawan pasukan-pasukan Mancu sehingga kedua pihak itu akhirnya menjadi lemah dan mudah dihancurkan oleh pasukan Yucen.

Demikianlah, ketika ia menyelundup ke Sian-yang, Suma Hoat bertemu dengan ji-suhengnya, Coa Leng Bu, dan ia disuruh membantu dan memberitahukan jalan keluar kepada nona yang menjadi murid keponakan ji-suhengnya. Suma Hoat berhasil membantu Siauw Bwee dan begitu bertemu dengan dara itu, jantung Suma Hoat berdebar keras, sekaligus dia tertarik seperti sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani! Ketangkasan dan kelihaian gadis itu, kecantikannya, bentuk tubuhnya, suaranya, segala-galanya membuat jantung Suma Hoat seperti akan dicopot. Dia telah banyak berjumpa dengan wanita cantik, telah banyak mempermainkan wanita, namun belum pernah dia mengalami getaran jantung seperti ketika bertemu dengan Siauw Bwee, padahal baru dia lihat sebentar saja dimalam itu, diantara sinar obor. Seolah-olah dia bertemu dengan Ciok Kim Hwa, bahkan lebih lagi karena dalam pandang matanya, Siauw Bwee jauh melampaui daya tarik Kim Hwa! Dia telah jatuh cinta, bukan cinta birahi seperti kalau dia bertemu wanita-wanita cantik yang dipermainkan dan diperkosanya, melainkan cinta kasih yang membuat dia ingin selamanya berdampingan dan hidup berdua dengan gadis itu, menghentikan semua petualangan asmaranya! Di dalam hutan kecil, Pek-mau Seng-jin dan kaki tangannya berunding. "Biarkan pasukan Mancu yang kuat itu menyerbu terus keselatan," antara lain Pek-mau Seng-jin berkata, "setelah pasukan-pasukan Mancu jauh meninggalkan induknya, dan tentara Sung mengalami pukulan hebat, baru kita mengerahkan bala bantuan untuk memotong jalan, menghancurkan tentara Mancu dan menyerbu terus kekota raja Sung Selatan. Suma-sicu, gadis tadi memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Sungguh aku merasa heran sekali mengapa murid keponakanmu dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebat. Siapakah dia sebenarnya?"

"Saya sendiri belum mengenalnya, Seng-jin," jawab Suma Hoat sejujurnya. "Ji-suheng hanya mengatakan bahwa gadis itu adalah anak angkat dari Sam-suheng karena itulah maka menyebut Ji-suheng sebagai supeknya."

"Hemm, kalau saja dia dapat kita tarik menjadi pembantu, akan menguntungkan sekali. Suma-sicu, dapatkah kau membujuknya untuk berpihak kepada kita?"

"Akan saya coba, Seng-jin."

"Baik, kalau begitu harap kau suka menyusulnya. Biarkan dia memilih, langsung membantuku atau membantu ayahmu. Dengan tenaga-tenaga lihai seperti dia, perjuangan kita akan makin berhasil. Kami akan kembali dan mempersiapkan pasukan untuk memberi pukulan-pukulan terakhir setelah Mancu dan Sung berhantam sendiri diselatan."

Mereka berpisah dan Suma Hoat cepat pergi mengejar Ji-suhengnya dan gadis jelita yang telah memikat hatinya. Mendengar betapa dara itu dipuji-puji Pek-mau Seng-jin, dia menjadi makin tertarik. Benar-benar seorang dara pilihan, pikirnya. Dahulu, dia tergila-gila kepada Ciok Kim Hwa, seorang gadis lemah. Sekarang dara yang datang bersama ji-suhengnya itu, selain memiliki daya tarik lebih hebat daripada Ciok Kim Hwa juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Pantas menjadi kawan hidupnya. Untuk mendapatkan gadis seperti itu sebagai isterinya, dia siap meninggalkan cara hidupnya yang lalu, yang penuh petualangan dan dosa! Demikianlah, dapat dibayangkan betapa girang hati Suma Hoat ketika dia bertemu dengan Coa Leng Bu dan Khu Siauw Bwee yang memang menantinya dikota kecil itu. Kedua orang itu sedang makan pagi disebuah warung ketika Suma Hoat

datang. "Ahhh, Ji-suheng! Untung sekali aku dapat menyusul kalian disini!" katanya sambil menatap wajah Siauw Bwee dengan

jantung berdebar. Bukan main! Pagi ini gadis itu tampak makin cantik mempesonakan. Biarpun mulut Suma Hoat mengeluarkan kata-kata gembira seperti itu, namun dia berdiri terpesona memandang Siauw Bwee, seolah-olah kedua kakinya tidak kuat menaiki anak tangga rumah makan itu! Menyaksikan sikap pemuda itu, Siauw Bwee mengerutkan alisnya dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah. Pandang mata pemuda itu dengan jelasnya memancarkan isi hatinya kepadanya! Siauw Bwee tidak mampu melawan pandang mata seperti itu lebih lama lagi dan ia menunduk. Sedangkan Coa Leng Bu yang melihat sikap sutenya ini lalu menegur, "Sute, mari duduklah. Kenapa berdiri saja di situ?"

Suma Hoat sadar, kedua pipinya menjadi merah, jantungnya berdenyut aneh dan ia merasa heran sekali. Dia yang sudah bermain cinta dengan banyak gadis cantik dari segala golongan, kenapa sekarang sama sekali tidak berdaya menghadapi gadis ini? Ia lalu menaiki anak tangga, dan duduk diatas bangku berhadapan dengan Siauw Bwee, disebelah kiri suhengnya.

"Ji-suheng, aku mendengar bahwa kau terluka pundakmu. Bagaimana lukamu? Apakah sudah sembuh?"

"Hanya luka daging, tidak berbahaya, Sute."

"suheng, Nona ini adalah yang kausuruh aku bantu di Sian-yang tempo hari. Siapakah dia? Harap Suheng memperkenalkan"

Siauw Bwee mengangkat muka dan kini dia menatap wajah orang muda itu penuh perhatian. Wajah yang tampan, pikirnya, dan sikap yang gagah sekali. Dia sudah hampir lupa lagi bagaimana wajah Panglima Suma Kiat, akan tetapi dia mendengar bahwa panglima tua itu pun dahulunya seorang yang tampan. Orang muda didepannya ini memiliki sikap yang gagah perkasa, agaknya tidak patut menjadi seorang jahat, akan tetapi pandang matanya begitu tajam, seolah-olah pandang mata itu menjenguk kedalam hatinya, bahkan seolah-olah pandang mata itu menelanjanginya! Diam-diam Siauw Bwee bergidik. Laki-laki yang jantan dan berbahaya sekali! Kalau saja cinta kasih dihatinya tidak sebulatnya tertuju kepada suhengnya, pria didepannya ini memiliki daya tarik luar biasa dan tidak anehlah kalau dia tertarik!

Mendengar ucapan sutenya, Coa Leng Bu tertawa, "Ahhh, aku sampai lupa memperkenalkan. Sute, Khu-lihiap ini adalah puteri angkat dari mendiang Ouw-sute, jadi masih terhitung murid keponakanmu sendiri. Khu-lihiap, ini adalah Suma-sute, masih susiokmu sendiri."

Siauw Bwee bangkit berdiri dan memberi hormat.

"Susiok....!" katanya perlahan dan sederhana. Suma Hoat cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan dara itu sambil berkata, "Aihh, Nona. Harap jangan menyebut Susiok kepadaku. Kepandaian Nona begitu tinggi, kalau menyebut Susiok kepadaku hanya membuat aku menjadi malu saja. Nona, namaku adalah Suma Hoat dan kuharap Nona tidak menyebut Susiok, sebut saja Twako

karena kita telah menjadi sahabat, bukan?" Ucapan dan sikap Suma Hoat demikian ramah dan wajar, sama sekali tidak memperlihatkan sikap kurang ajar sehingga Siauw Bwee tersenyum. Senyum yang membuat Suma Hoat hampir terjengkang saking kagum dan girangnya.

"Baiklah, Suma-twako."

Mereka duduk kembali dan Leng Bu cepat memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah hidangan dan minuman. "Nona, engkau she Khu akan tetapi belum memperkenalkan diri."

Sambil tersenyum memandang orang muda yang polos itu, Siauw Bwee menjawab, "Namaku Khu Siauw Bwee." Berkata demikian, ia memandang tajam untuk melihat apakah orang muda she Suma itu mengenal namanya. Kalau dia keluarga Suma Kiat, tentu akan mengenal bahwa dia adalah puteri mendiang Panglima Khu Tek San! Akan tetapi tidak tampak perubahan sesuatu pada wajah yang tampan itu dan memang sesungguhnya Suma Hoat tidak mengenal nama ini. Peristiwa yang menimpa Khu Tek San dan Menteri Kam Liong terjadi ketika dia sudah meninggalkan kota raja. Sambil makan minum mereka bercakap-cakap. Beberapa kali Suma Hoat memancing untuk mengetahui keadaan Khu Siauw Bwee, namun gadis itu seolah-olah hendak menyembunyikan keadaannya.

"Nona, kepandaianmu begitu hebat. Siapakah sebetulnya gurumu?" Akhirnya dia bertanya secara langsung. "Aku sendiri tidak tahu dan tidak dapat memberi tahu tentang itu, Suma-twako. Aku hanya belajar sedikit-sedikit disana-sini, dan mula-mula aku belajar dibawah bimbingan suheng dan suciku sendiri." Siauw Bwee tetap saja mengelak. "Ahh, kalau begitu, suheng dan sucimu tentu sakti bukan main! Bolehkah aku mengenal mereka?"

"Maaf, Twako. Suheng dan suci merahasiakan diri mereka sehingga aku tidak boleh menyebut nama mereka. Harap kau suka memaklumi watak orang-orang aneh seperti mereka itu."

Suma Hoat kecewa akan tetapi dia mengangguk. Heran sekali gadis ini sikapnya penuh rahasia, akan tetapi biarpun kecewa, dia tidak merasa menyesal! Padahal biasanya dia merasa paling benci kalau menghadapi gadis yang angkuh. "Aku mengerti, Nona, dan maafkan kelancanganku bertanya tadi. Bukan maksudku untuk mengetahui rahasia orang lain, akan tetapi.... aku kagum sekali kepadamu, maka timbul keinginanku untuk mengenalmu lebih baik dengan mengetahui riwayatmu. Maafkan aku."

"Tidak apa, Twako, akulah yang minta maaf," kata Siauw Bwee, tidak enak juga hatinya menyaksikan sikap yang amat ramah, sopan dan baik dari orang muda itu. "Sute, sekarang aku ingin sekali bertanya kepadamu. Sesungguhnya karena hal inilah maka aku menantimu disini. Bagaimana engkau dapat mengenal Koksu Negara Yucen dan rombongannya?"

Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini mengejutkan hati Suma Hoat. Tak disangkanya bahwa suhengnya tahu akan hal itu. Suhengnya sudah lama mengasingkan diri, tak mungkin mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai Koksu Kerajaan Yucen. Tak salah lagi, tentulah Khu Siauw Bwee yang mengenal kakek berambut putih itu, maka dia menjadi makin kagum dan heran. Dara ini selain berilmu tinggi, juga agaknya berpemandangan luas dan berpengalaman dalam dunia kang-ouw.

"Jadi Suheng sudah mengenal Koksu Yucen? Terus terang saja, Suheng. Aku bekerja sama dengan Kerajaan Yucen dan bersekutu dengan Pek-mau Seng-jin."

Diam-diam Coa Leng Bu kagum akan ketepatan pandangan Siauw Bwee. Dia melirik gadis itu yang bersikap tidak mengacuhkan, kemudian berkata, "Sute, aku tidak bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi selagi negara dalam keadaan terancam mengadakan persekutuan dengan bangsa lain, bukanlah hal itu dipantang oleh orang-orang gagah?"

Suma Hoat tersenyum. "Untuk memberi pandangan tentang perjuangan bangsa, harus lebih dulu mengetahui keadaan sesungguhnya. Suheng melihat sendiri betapa kerajaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu yang kuat sekali. Biarpun semua orang gagah membantu Kerajaan Sung, kiranya kerajaan itu takkan dapat dipertahankan lagi. Jalan satu-satunya yang tepat adalah mengharapkan bantuan bala tentara Yucen dengan maksud menghadapi Mancu, bukanlah hal itu demi keselamatan negara kita?"

Diam-diam Siauw Bwee dapat mengerti kebenaran ini, dan Coa Leng Bu hanya menarik napas panjang. "Aku tidak tahu tentang politik negara, Sute, hanya kuharap Sute tidak akan menyimpang daripada garis yang dilalui orang-orang gagah, jangan sampai kelak dikenal sebagai seorang pengkhianat bangsa."

"Tidak mungkin, Suheng. Sampai mati pun aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Kalau sekarang aku berbaik dengan Koksu Negara Yucen, hal itu semata-mata untuk menarik pihak Yucen menolong Kerajaan Sung yang terancam oleh pihak Mancu."

Keterangan ini memuaskan hati Leng Bu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Hoat untuk mengajak mereka mencontoh sikapnya. "Kuharap Suheng dan Nona Khu dapat melihat kenyataan itu dan marilah kalian ikut bersamaku membantu kerajaan dengan bekerja sama dengan Koksu Yucen. Dengan jalan ini kita akan dapat menyelamatkan negara dari ancaman Mancu."

"Aku tidak mempunyai hasrat untuk melibatkan diri dengan perang, Sute," jawab Leng Bu dengan suara dingin. "Dan bagaimana dengan pendapatmu, Nona?"

"Aku juga tidak suka mencampuri urusan negara, aku benci akan perang! Dan selain itu, aku mempunyai urusan pribadi yang lebih penting. Biarlah kita mengambil jalan kita masing-masing, Suma-twako. Supek, marilah kita melanjutkan perjalanan keselatan." Siauw Bwee ingin sekali segera dapat bertemu dengan Kam Han Ki dan Leng Bu yang maklum akan hal hati dara itu berkata, "Sebaiknya besok pagi-pagi saja kita berangkat. Kota Sian-tan merupakan benteng kuat dan menjadi pertahanan pasukan Sung, kurasa kesanalah kita harus menuju. Akan tetapi, mengingat akan peristiwa di Sian-yang, kita harus berhati-hati memasuki kota itu."

Siauw Bwee maklum bahwa setelah mereka berdua mengacau di Sian-yang sebelum pasukan Mancu tiba disana, tentu mereka akan dimusuhi oleh tentara Sung, dan akan ditangkap oleh Bu-koksu karena dia telah membunuh panglima dampit. Maka ia mengangguk dan menyatakan setuju.

"Suheng dan Nona Khu. Aku telah mendengar akan sepak terjang kalian di Sian-yang. Bukankah engkau yang telah membunuh panglima dampit dan menimbulkan kekacauan disana? Kalau benar demikian, amat berbahaya kalau kalian memasuki kota Siang-tan. Pula, bolehkah aku bertanya apa tujuan Nona pergi kesana?"

"Aku ingin mencari seseorang, urusan pribadi, Twa ko. Maaf, aku tidak dapat memberi penjelasan kepadamu." Suma Hoat mengangguk, kembali merasa kecewa akan tetapi tidak menyesal. Bahkan dia ingin sekali membantu Nona ini karena dia dapat merasa bahwa tentu ada rahasia yang mengganggu hati nona ini. Dia akan diam-diam menyelidiki dan kalau perlu melindungi dan membantu Nona yang telah menjatuhkan hatinya ini.

"Kalau begitu aku setuju dengan pendapat Ji-suheng. Lebih baik berangkat besok pagi, dan sedapat mungkin memasuki kota di waktu malam, menyelinap diantara kaum pengungsi sehingga tidak akan mudah dikenal."

Siauw Bwee makin suka kepada pemuda ini. Seorang yang jujur, ramah, sopan dan tahu diri sehingga tidak terus bertekad mengetahui rahasia orang bahkan dapat menghargai dan memaklumi rahasia orang. "Suma-twako, aku pernah mendengar nama besar seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat. Tidak tahu apakah persamaan she antara Twako dan dia berarti ada hubungan keluarga?"

Kembali Suma Hoat terkejut, akan tetapi dia dapat menekan hatinya dan tidak memperlihatkan pada wajahnya. Dia tersenyum dan berkata, "Kebetulan sekali aku adalah puteranya, Nona."

"Ohhh....!" Siauw Bwee tak dapat menyembunyikan kekagetannya. Untung dia dapat menahan kemarahannya dengan pendapat bahwa pemuda ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perbuatan Suma Kiat. Buktinya, pemuda ini tidak mengenalnya dan agaknya tidak tahu menahu tentang perbuatan jahat ayahnya yang telah mengakibatkan kematian Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Betapapun juga, sukar baginya untuk dapat duduk semeja lagi dengan putera musuh besarnya, maka ia lalu bangkit dan

berkata, "Supek, aku ingin mengaso dulu. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan." Kepada Suma Hoat dia hanya menjura   tanpa memandang wajahnya, kemudian meninggalkan mereka dan pergi memasuki kamarnya dimana dia duduk dan mengatur pernapasan untuk menekan hatinya yang menggelora karena marah. Dia dapat menyabarkan hatinya ketika mengingat betapa Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang baik, tidak seperti ayahnya. Dia tidak akan mencontoh sucinya, yang membawa-bawa dendam kepada seluruh keluarga, bahkan bangsa! Tidak, dendamnya hanya tertuju kepada Suma Kiat, dia tidak akan memusuhi Suma Hoat yang sedikit banyak telah menarik hatinya. Suma Hoat merasa heran akan sikap gadis itu, akan tetapi dia tidak menduga sama sekali akan isi hati Siauw Bwee. Dia melanjutkan bercakap-cakap dengan suhengnya, dan dipihak Coa Leng Bu, dia sama sekali tidak mengenal siapa adanya sutenya ini. Puluhan tahun dia menyembunyikan diri, mengasingkan diri dan tidak pernah tahu akan keadaan dunia ramai. Tentu saja dia tidak tahu akan sepak terjang Suma Kiat, bahkan dia tidak tahu bahwa sutenya ini adalah Jai-hwa-sian, karena nama Jai-hwa-sian pun belum pernah didengarnya. Dia hanya merasa kagum kepada sutenya yang selain memiliki kepandaian lebih tinggi daripadanya, juga ternyata putera seorang Panglima Sung! Dia malah merasa malu sendiri bahwa tadi dia telah menegur sutenya, siapa kira sutenya adalah putera panglima yang tentu saja lebih tahu akan keadaan negara. Karena Suma Hoat juga hendak melanjutkan perjalanan besok, maka pemuda ini menyewa kamar di rumah penginapan yang didiami Leng Bu dan Siauw Bwee. Melihat Siauw Bwee tidak pernah keluar lagi dari kamarnya, Suma Hoat juga siang-siang sudah memasuki kamar, berusaha melupakan Siauw Bwee namun tak berhasil. Makin dilupa, wajah gadis itu makin jelas kelihatan di depan mata. Setiap gerak-gerik gadis itu, lirikan mata, gerak bibirnya, kalau bicara, kejapan matanya, senyum dikulum, aihh, dia benar tergila-gila! Harus kunyatakan sekarang, pikirnya. Tidak akan ada kesempatan, lagi. Berhasil atau gagal, sekarang, malam ini!

***

Bersambung ke bagian 5 ...