Bagian 4
Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi dan Hwee Li, dua orang wanita muda yang tertawan di dalam lembah dan sama sekali tidak berdaya untuk meloloskan diri itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, yang bersama-sama dengan Ceng Ceng pergi menuju ke kota Pao-ting. Seperti yang diceritakan oleh Ceng Ceng kepada ayah mertuanya, dia sudah berjanji untuk bertemu di Pao-ting bersama suaminya setelah dia dan suaminya berpisah dan melakukan penyelidikan untuk mencari putera mereka secara berpencar.
Mereka tiba di kota Pao-ting pada waktu senja. Menurut perjanjian antara suami isteri itu, pertemuan di antara mereka di kota ini akan dilakukan esok hari. Karena itu, Ceng Ceng lalu mengajak ayah, mertua dan adik-adik iparnya untuk mencari rumah penginapan. Akan tetapi, tiba-tiba seorang anak kecil, anak laki-laki yang usianya kurang lebih dua belas tahun, seorang anak yang berpakaian pengemis, menghampiri mereka yang sedang berjalan perlahan di atas jalan raya itu dan berbisik kepada Ceng Ceng. Ceng Ceng dan rombongannya mengira bahwa anak itu tentu hendak mengemis, akan tetapi betapa kaget hati Ceng Ceng ketika
mendengar anak itu berbisik, "Apakah Toanio mengenal Topeng Setan?"
Tentu saja Ceng Ceng kaget karena Topeng Setan adalah nama julukan suaminya dahulu ketika suaminya belum menikah dengan dia dan suka menggunakan topeng buruk menutupi wajahnya yang tampan (baca Kisah Sepasang Rajawali). "Anak baik, kau membawa berita apa dari Topeng Setan?" tanyanya, berbisik dan membungkuk.
"Saya disuruh menyerahkan surat ini," jawab anak itu, mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya yang butut.
"Ah, terima kasih!" Ceng Ceng berseru, menerima surat itu dan mengeluarkan beberapa potong uang kecil. "Ini hadiah untukmu"
"Tidak, Toanio. Saya sudah menerima hadiah cukup dari pengirim surat ini."
Setelah berkata demikian, bocah itu lari meninggalkan Ceng Ceng dan rombongannya. Ceng Ceng lalu menoleh kepada ayah mertuanya dan berkata, "Ayah, lihatlah, seorang anak jembel pun mempunyai kejujuran."
Jenderal Kao Liang mengangguk dan menarik napas panjang. "Justeru kejujuran biasanya ditemukan pada orang-orang bodoh dan miskin, sebaliknya orang-orang yang mengaku dirinya terpelajar dan pandai, agaknya tidak mengenal lagi kejujuran yang mereka anggap semacam kebodohan."
Ceng Ceng membuka sampul surat dari suaminya itu dan melihat tulisan suaminya di atas kertas, tulisan yang amat dikenalnya.
"Isteriku, harap ajak ayah dan adik-adik ke kuil kosong di sudut barat kota."
Ceng Ceng memperlihatkan surat itu kepada ayah mertuanya. Hati bekas jenderal ini girang bukan main dan diam-diam dia kagum kepada putera sulungnya itu yang ternyata telah dapat mengetahui bahwa dia dan dua orang puteranya datang bersama mantunya. Dia membenarkan sikap putera sulungnya yang berhati-hati dan tidak menghendaki pertemuan di tempat terbuka.
"Mari kita pergi ke sana," katanya kepada Ceng Ceng dan mereka berempat lalu menuju ke barat. Malam telah tiba dan mereka menghampiri kuil yang tua, kosong dan gelap itu.
"Ayah....!" Kao Kok Cu menyambut kedatangan ayahnya dengan memberi hormat sambil berlutut di atas lantai ruangan kuil itu. Ruangan itu luas dan sebagian dindingnya sudah runtuh, atapnya juga sebagian banyak terbuka. Di atas meja butut terdapat dua batang lilin yang dinyalakan oleh pendekar itu dan lantainya dibersihkan.
Bekas jenderal itu mengangkat bangun putera sulungnya dan memandang dengan penuh perhatian dan penuh selidik. Kao Kok Cu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian sederhana. Tubuhnya tinggi dan padat, dan kelihatan agak kurus. Wajahnya yang tampan itu kelihatan agak muram. Lengan kirinya yang buntung tertutup lengan baju yang tergantung lepas. Inilah dia Naga Sakti dari Gurun Pasir, pendekar sakti yang berilmu tinggi, akan tetapi yang kini bersama isterinya merana dan berduka, mencari putera mereka yang hilang.
"Saya melihat Ceng Ceng muncul bersama Ayah dan adik-adik, maka saya menyuruh anak pengemis mengirim surat," katanya setelah bangkit berdiri, memandang ayahnya yang kelihatan demikian muram dan berduka, bahkan sepasang mata kakek itu basah. Melihat ini, Kao Kok Cu bertanya khawatir, "Ada apakah Ayah? Apa yang terjadi?"
"Twako....!" Dua orang adiknya berseru dan kini dua orang muda itu menangis sambil merangkul kakak mereka.
"Eh, eh, Adik Tiong dan Han! Ada apakah?" Kok Cu bertanya, makin kaget dan khawatir. "Mari kita duduk di lantai dan bicara!"
Mereka berlima duduk di atas lantai membentuk lingkaran dan berceritalah Jenderal Kao Liang tentang semua peristiwa yang terjadi, tentang malapetaka yang menimpa keluarganya. Semua dia ceritakan dengan jelas, melewati hal-hal yang dianggapnya kurang penting. Sebagai penutup, dia menghela napas panjang dan berkata, suaranya gemetar, "Kami bertiga masih bingung dan tertekan oleh peristiwa hebat itu dan engkau dapat membayangkan betapa gelisah hatiku. Akan tetapi, kemudian kami bertemu dengan isterimu dan mendengar bahwa cucuku juga hilang! Aihhh, Kok Cu, apa yang dapat kita lakukan sekarang?" Ayah itu mengusap ke arah bawah matanya untuk menghapus dua tetes air matanya.
Si Naga Sakti dari Gurun Pasir tidak menjawab, tangan kanannya dikepal, sepasang matanya mencorong seperti mengeluarkan api, seperti mata naga ketika tertimpa sinar dua batang lilin yang lemah. Mendengar betapa ibunya, iparnya, bibinya, keponakan-keponakannya diculik orang, betapa keluarga ayahnya, tertimpa malapetaka yang hebat itu, dia menjadi marah bukan main. Anaknya sendiri lenyap dan kini ibunya dan semua keluarganya diculik orang.
Melihat keadaan pendekar itu, ayahnya dan dua orang adiknya memandang dengan kaget dan gentar juga. Memang hebat sekali melihat sepasang mata yang mencorong itu. Menakutkan! Mereka hanya menanti ketika melihat Kok Cu diam saja, wajahnya seperti topeng, keras dan kaku, hanya matanya yang mencorong itulah yang hidup, bergerak seperti mata naga mencari mustikanya. Melihat ini, mengertilah Ceng Ceng bahwa suaminya menderita himpitan batin yang hebat dan betapa suaminya sedang mengerahkan sinkang untuk menghadapi penderitaan itu. Tahulah dia betapa suaminya marah dan andaikata orang-orang yang menyebabkan malapetaka itu berada di situ, berapapun banyaknya, betapapun kuatnya, tentu akan mengalami saat kiamat di tangan suaminya!
"Suamiku, kemarahan adalah sia-sia, hanya melemahkan batin dan mengeruhkan plkiran," katanya dengan suara halus, tangannya meraba lengan suaminya. Kata-kata itu adalah kata-kata suaminya sendiri yang sekarang dia pergunakan untuk membantu suaminya sadar akan keadaan dirinya.
Perlahan-lahan wajah yang kaku itu bergerak dan hidup kembali. Kok Cu menghela napas panjang dan matanya, biarpun masih mencorong, namun tidak liar seperti tadi ketika dia menoleh dan memandang isterinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi jari-jari tangannya memegang tangan isterinya, tergetar dan Ceng Ceng dapat menerima rasa syukur dan terima kasih yang terpancar melalui getaran jari-jari tangan dan pandang mata suaminya itu. Dia merasa terharu dan dua titik air mata membasahi kedua matanya. Dia menunduk dan dua titik air mata itu menetes turun.
"Ayah, tidak mungkin semua peristiwa ini terjadi secara kebetulan saja. Ayah dipecat tanpa kesalahan, kemudian perjalanan Ayah ke kampung diganggu, keluarga kita diculik dan harta yang dikumpulkan secara jujur, hasil pengabdian Ayah selama puluhan tahun, dicuri dan bukan itu saja, juga cucu Ayah diculik orang. Aku dan Ceng Ceng sudah melakukan penyelidikan, mencari-cari Cin Liong, dan kami sependapat bahwa Cin Liong bukan pergi dan tersesat begitu saja, melainkan tentu ada yang membawanya pergi. Semua ini kurasa ada hubungannya, saling kait-mengait. Bukankan menurut cerita Ayah tadi, di antara para penghadang yang kemudian saling bertempur sendiri, di antara mayat mereka terdapat pengawal-pengawal istana?"
Bekas jenderal itu mengangguk. "Aku sendiri memang sudah menduga demikian, Kok Cu. Akan tetapi, sungguh aneh sekali kalau begitu. Apa perlunya kaisar melakukan semua kekejian itu terhadap kita? Dan siapa yang melaksanakannya? Tadinya kami mengira keluarga Suma, akan tetapi ternyata bukan."
"Memang bukan. Aku sudah berjumpa dengan kedua orang Paman Suma, dan mereka itu sama sekali tidak tahu, bahkan mereka berjanji akan membantu kita untuk menyelidiki," kata Ceng Ceng yang percaya sepenuhnya kepada dua orang pamannya dari Pulau Es itu.
"Aku sendiri tidak akan percaya kalau keluarga Pulau Es mencampuri urusan yang keji ini, akan tetapi kita tidak bisa mengandalkan ocang lain. Kita harus menyelidiki sendiri. Karena awal peristiwa ini dimulai dengan pemecatan Ayah di kota raja, maka kurasa semua rahasia ini bisa didapatkan di kota raja. Aku bersama isteriku akan melakukan penyelidikan ke kota raja, Ayah. Sekali kita mengetahui rahasianya, kiranya tidak akan sukar mencari di mana mereka itu menyembunyikan keluarga kita dan anakku"
"Akan tetapi.... ahhh, bagaimana kalau sampai terlambat? Kalau sampai anakku Cin Liong.. ..?" Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan mukanya menjadi pucat.
"Tidak mungkin!" Tiba-tiba Kok Cu berseru nyaring sekali, mengejutkan Jenderal Kao dan dua orang puteranya. "Kalau terjadi apa-apa dengan anakku dan keluarga kita, mereka semua, siapapun adanya mereka itu, bahkan kaisar sendiri sekalipun, tidak akan dapat terlepas dari tanganku!" Hebat bukan main ancaman ini dan hati Jenderal Kao Liang yang semenjak nenek moyangnya amat setia kepada kaisar, seperti tertusuk. Akan tetapi ayah yang bijaksana ini tidak berkata sesuatu, karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dilanda oleh kegelisahan dan kemarahan, tidak baik kalau menentang putera sulungnya.
"Baiklah, Kok Cu. Engkau pergilah bersama isterimu menyelidiki ke kota raja. Engkau tentu mengerti bahwa tidak mungkin bagi ayahmu untuk kembali ke sana, setelah ayahmu dipecat. Kami bertiga akan melakukan penyelidikan dengan cermat sekali lagi di tempat peristiwa kehilangan itu terjadi. Siapa tahu kami akan bisa menemukan jejak."
Malam itu mereka tidak tidur, tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan bercakap-cakap saling menceritakan perjalanan mereka lebih jauh. Pertemuan yang amat mengharukan dari keluarga seorang jenderal yang pernah menjadi panglima besar, yang kini mengadakan pertemuan di kuil kosong, sunyi dan kotor. Biarpun keadaannya demikian, agaknya pertemuan itu tentu akan berlangsung penuh kegembiraan kalau saja tidak terjadi peristiwa-peristiwa hebat yang menimpa keluarga mereka. Kini, pertemuan itu menjadi pertemuan yang amat mengharukan dan menyedihkan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Kok Cu dan Ceng Ceng sudah berlutut di depan kaki Jenderal Kao Liang dan bermohon diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja di mana mereka akan menyelidiki rahasia malapetaka yang menimpa keluarga mereka. Jenderal Kao Liang mengelus kepala mereka seperti memberi berkah, kemudian Kok Cu merangkul kedua orang adiknya. Pergilah suami isteri pendekar ini meninggalkan kuil tua dalam cuaca yang masih gelap.
Jenderal Kao Liang sendiri bersama putera-puteranya lalu meninggalkan kota Pao-ting, menuju ke daerah lembah Huang-ho di mana keluarga mereka lenyap dan mereka pun hendak melakukan penyelidikan yang lebih cermat setelah kini mereka tahu bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka itu.
Pada suatu siang, tibalah mereka di tempat itu, di mana dahulu mereka meninggalkan keluarga mereka yang kemudian lenyap. Mereka berhenti di celah tebing di mana rombongan mereka diserang dan banyak yang mati keracunan oleh balok-balok yang menghadang jalan. Mereka termenung berdiri di situ. Peristiwa yang telah lalu itu seperti baru terjadi dan masih terbayang di mata mereka.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara derap kaki kuda. Mereka cepat menoleh dan dari belakang mereka datang sepasukan orang berkuda yang jumlahnya ada dua puluh orang lebih.
"Hati-hati, dan jangan sembarangan turun tangan," bisik Jenderal Kao Liang kepada dua orang puteranya. Mereka berdiri di tepi jalan dan memandang pasukan yang datang makin dekat itu. Mereka mengira bahwa rombongan yang ternyata bukan pasukan kerajaan, melainkan pasukan yang memakai pakaian aneh, bukan seperti tentara namun memakai seragam berwarna biru gelap, akan lewat. Akan tetapi, ternyata mereka itu menghentikan kuda mereka ketika tiba di situ dan kini mereka melihat sulaman gambar naga di dada baju orang-orang itu! Seorang di antara mereka, yang tinggi kurus, melompat turun dari atas kudanya dan berdiri di depan Jenderal Kao Liang sambil tersenyum lebar.
Ayah dan anak ini terkejut ketika mengenal orang ini. Inilah orang yang berjuluk Hoa-gu-ji (Kerbau Belang), seorang tokoh dari Kwi-liong-pang dan tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang Kwi-liong-pang, satu di antara gerombolan-gerombolan yang memperebutkan harta benda mereka! Jenderal Kao Liang maklum bahwa orang ini lihai, akan tetapi dia bersikap tenang, walaupun dia dan dua orang puteranya sudah siap untuk menghadapi perkelahian.
Akan tetapi, setelah tertawa, Hoa-gu-ji sama sekali tidak menyerang atau memberi isyarat untuk menyerang. Sebaliknya malah, dia memberi hormat dan menjura kepada Jenderal Kao Liang sambil berkata, "Kao-goanswe, maafkan kalau kami mengganggu. Kami sengaja menemui Kao-goanswe untuk menyerahkan bungkusan ini, harap kau suka menerima dan memeriksa isinya."
Hoa-gu-jii mengeluarkan sebuah bungkusan kecil berwarna kuning dan biarpun meragu, Jenderal Kao Liang menerimanya juga. "Siapa yang menyuruhmu?" tanyanya.
"Bukalah, dan engkau akan mengetahuinya sendiri, Kao-goanswe," jawab Hoa-gu-ji.
Jenderal Kao Liang membuka bungkusan itu, dengan hati-hati karena dia tentu saja tidak percaya kepada orang seperti tokoh Kwi-liong-pang ini. Akan tetapi, begitu isi bungkusan itu nampak, Kok Tiong yang bersama Kok Han ikut pula memperhatikan, berseru kaget.
"Ini tusuk konde isteriku!" teriaknya.
Jenderal Kao Liang mengangguk dan memeriksa sebuah cincin bermata biru, cincin milik isterinya! Ternyata orang telah mengirim dua buah benda itu yang cukup menjadi bukti bahwa keluarga Kao berada di tangan mereka!
"Keparat, kauapakan mereka? Di mana mereka?" Kok Tiong sudah mencabut pedang diikuti oleh Kok Han, akan tetapi Jenderal Kao Liang cepat mencegah mereka dan menyuruh mereka mundur dan menyimpan pedang mereka kembali. Sementara itu, Hoa-gu-ji yang akan diserang itu hanya memandang sambil tersenyum lebar saja.
Jenderal Kao Liang membuka sampul surat yang berada di dalam bungkusan bersama dua buah benda perhiasan wanita itu.
Jenderal Kao Liang,
Kalau engkau ingin bertemu dengan keluargamu, lkutlah bersama utusan kami dan taati semua perintahnya.
Surat itu tanpa tanda tangan, akan tetapi maksudnya sudah cukup dan jelas bagi Jenderal Kao Liang. Dengan adanya tusuk konde mantunya dan cincin isterinya, jelas bahwa keluarganya berada di dalam cengkeraman pengirim surat ini dan kalau dia menghendaki dapat bertemu kembali dengan mereka, bahkan demi keselamatan mereka, dia dan dua orang puteranya harus menyerah!
"Baiklah, kami akan ikut bersama kalian" kata Jenderal Kao, lalu kepada Kok Han dia berkata, "Kao Han, engkau susul twakomu ke kota raja."
"Baik, Ayah," kata Kok Han yang tadi juga sudah membaca surat itu. Dia menjura kepada ayahnya, memeluk kakaknya, lalu berlari pergi dengan cepat. Hoa-gu-ji tidak mencegahnya karena menurut perintah, dia hanya disuruh menangkap Jenderal Kao Liang saja. Dia lalu melucuti pedang Jenderal Kao dan Kok Tiong, kemudian mereka berdua dibelenggu dan disuruh naik ke atas punggung kuda, kemudian keduanya dibawa pergi dengan mata ditutup kain hitam. Ayah dan anak ini tak pernah melepaskan perhatian dalam perjalanan itu.
Akan tetapi, mereka tahu bahwa tidak mungkin mereka dapat melalui bukit-bukit dan hutan-hutan yang dapat mereka ketahui dari jalan yang naik turun dan dari hawa dan suara angin di antara banyak pohon, suara burung dan binatang hutan. Malam itu mata mereka dibuka ketika rombongan berhenti di dalam sebuah hutan yang gelap, dan mereka diberi makan yang cukup baik, diperlakukan dengan sikap yang hormat biarpun Hoa-gu-ji dan seluruh anggauta rombongan tidak pernah bicara.
Pada keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dan kembali mata mereka ditutup. Ketika hari telah panas, mereka berhenti, ayah dan anak ini lalu diturunkan dari punggung kuda, dibawa masuk ke dalam rumah yang luas dan ke dalam ruangan. Mata mereka dibuka dan mereka memandang silau. Ruangan itu luas dan di situ terdapat banyak pintu. Di tengah ruangan terdapat meja besar dan di belakang meja duduk beberapa orang. Ketika Jenderal Kao Liang mengenal Hek-tiauw Lo-mo yang duduk pula di dalam ruangan itu, dia terkejut, akan tetapi, dia diam saja, pura-pura tidak mengenalnya. Dengan adanya Hek-tiauw-Lo-mo di situ, tahulah dia bahwa dia terjatuh ke tangan gerombolan orang dari dunia hitam, orang-orang yang berniat memberontak terhadap kerajaan, karena Hek-tiauw Lo-mo dahulu juga bersekutu dengan pemberontak.
Diam-diam dia memperhatikan, demikian pula puteranya. Di antara semua orang yang berada di kursi-kursi belakang meja itu, yang paling menarik perhatiannya adalah seorang laki-laki muda yang kelihatan berwibawa, berkulit kehitaman dengan hidung melengkung dan mata cekung, gagah dan tampan namun juga aneh dan asing, rambutnya coklat dan pakaiannya indah dan mewah. Dia duduk di tengah-tengah dan di sebelah kanannya duduk seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun bertubuh seperti raksasa, kepalanya botak dan bermantel merah. Pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan kakek botak itulah yang agaknya menjadi orang-orang terpenting di situ, maka Jenderal Kao Liang menujukan pandang matanya kepada mereka.
Dugaannya benar. Pemuda itu lalu bangkit berdiri dan menyambutnya dengan mata bersinar dan mulut tersenyum lebar. "Ah, sungguh merupakan kebahagiaan besar dapat bertemu muka dengan Jenderal Kao Liang yang namanya pernah menggetarkan dunia! Haaii, Hoa-gu-ji, hayo cepat buka belenggu mereka!"
Hoa-gu-ji memberi hormat dan dibantu oleh beberapa orang, dia membuka belenggu tangan Jenderal Kao Liang dan puteranya. Mereka lalu mundur kembali dan kini pemuda berkulit kehitaman itu berkata lagi, "Jenderal Kao Liang, silakan kau duduk bersama puteramu dan menikmati hidangan kami sebagai penyambutan!"
Jenderal Kao Liang melangkah maju mendekati meja, menjura sebagai balasan penghormatan lalu berkata, "Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Aku dan puteraku bukanlah tamu undangan, melainkan tawanan. Oleh karena itu, harap segera memberi penjelasan. Apakah sebabnya engkau menawan keluarga kami dan siapakah engkau?"
"Ha-ha-ha, sungguh hebat dan tegas!" Tiba-tlba kakek botak itu berkata dan matanya memandang penuh kagum.
"Memang tepat menjadi seorang jenderal yang pandai!"
"Suhu, tidak percuma dia pernah menjadi panglima besar," kata pula orang muda itu, lalu dia berkata lagi kepada Jenderal Kao Liang. "Memang engkau benar, Jenderal Kao. Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Memang, kami yang telah menawan keluargamu. Akan tetapi kami tidak berniat buruk, melainkan hendak mengajak engkau untuk bekerja sama dengan kami."
Jantung Kao Liang berdebar tegang. Jadi, keluarganya masih hidup? Semua selamat? Akan tetapi, mendengar betapa orang muda asing ini mengajak dia bekerja sama, dia merasa curiga sekali. Kerja sama dalam hal apa? Betapapun juga, Kao Liang adalah bekas panglima besar dan sudah sering kali menghadapi urusan-urusan besar, sungguhpun belum pernah dia menghadapi ancaman hebat bagi seluruh keluarganya seperti sekarang ini yang membuat hatinya tegang luar biasa. Sebelum melanjutkan percakapan, dia harus melihat buktinya lebih dulu, bukti bahwa keluarganya dalam keadaan selamat semua.
Dengan sikap tenang dan air muka sama sekali tidak berubah, bekas jenderal itu lalu berkata dengan sikap hormat pula, "Soal kerja sama dan yang lain-lain baru bisa dibicarakan dengan hati terbuka kalau kami sudah diperbolehkan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa keluarga kami berada di sini dalam keadaan selamat. Sebelum itu, engkau tentu mengerti bahwa kami tidak mungkin dapat melakukan percakapan dengan hati terbuka."
Kembali Liong Bian Cu tertawa. "Benar sekali kata-katanya itu, bukan, Suhu?"
Ban Hwa Sengjin mengangguk. "Dia memang laki-laki sejati!"
"Suhu, harap suka membawa mereka melihat keluarga mereka. Akan tetapi hanya melihat saja karena belum tiba saatnya mereka diperkenankan bicara dan bertemu dengan keluarga mereka."
Ban Hwa Sengjin kembali mengangguk, lalu bangkit berdiri dan ditemani oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, dia lalu menghampiri Jenderal Kao Liang dan puteranya.
"Goanswe dan Sicu, mari silakan ikut bersama kami."
Dengan jantung berdebar tegang Kao Liang dan Kok Tiong mengikuti tiga orang kakek itu. Ban Hwa Sengjin berjalan di depan, diiringkan oleh Kao Liang dan Kok Tiong sedangkan dua orang kakek iblis itu mengikuti dari belakang. Mereka melalui lorong berlika-liku di dalam gedung besar itu dan akhirnya Ban Hwa Sengjin berhenti dan memberi isyarat kepada dua orang itu untuk berhenti. Mereka tiba di sebuah ruangan kecil dan tidak jauh di depan terdapat sebuah pintu yang lebar dan di depan pintu ini berdiri enam orang penjaga yang memegang senjata. Melihat kedatangan Ban Hwa Sengjin, mereka lalu cepat memberi hormat.
"Buka daun pintu kayu itu lebar-lebar agar kami dapat melihat mereka yang berada di dalam!" kata Ban Hwa Sengjin kepada kepala penjaga. Perintah ini cepat ditaati, rantai pintu itu dibuka dan pintu itu didorong ke samping. Ternyata di balik pintu kayu itu terdapat pula ruji-ruji besi seperti kerangkeng dan di belakang ruji-ruji ini terdapat sebuah kamar yang besar
sekali, dengan beberapa buah pembaringan, meja dan kursi-kursi. Dan di dalam kamar besar yang ditutup ruji dan dijaga ketat itu terdapat beberapa orang wanita dan anak-anak, ada yang sedang berbaring, ada yang duduk membaca, ada pula yang menyulam, ada yang sedang bercakap-cakap.
Melihat mereka itu, Kao Liang dan Kao Tiong memandang dengan mata terbelalak. Mereka itulah keluarga yang hilang! Dan tidak ada seorang pun yang kurang. Masih lengkap dan kelihatannya memang sehat, sungguhpun di antara mereka ada yang kelihatan pucat dan kurus. Dan biarpun tidak ada yang kelihatan gembira, namun harus diakui bahwa mereka itu selamat dan agaknya kamar besar itu cukup baik, mereka cukup terjamin.
"Ayah....!" Tiba-tiba seorang anak laki-laki berseru dan menuding ke arah Kok Tiong.
Semua orang dalam kamar itu menengok dan terjadilah pemandangan yang amat memilukan. Para wanita itu sejenak memandang dengan mata terbelalak ke arah Kao Liang dan Kao Tiong, seolah-olah tidak percaya, kemudian terdengarlah seruan-seruan mereka memanggil dan tangis mereka riuh-rendah. Mereka semua lari ke ruji besi, seperti tawanan-tawanan yang melihat keluarga datang berkunjung.
Ban Hwa Sengjin mengembangkan kedua lengannya ketika melihat Kao Liang dan Kok Tiong bergerak hendak maju, sambil berkata, "Cukup sudah untuk membuktikan bahwa keluargamu dalam keadaan selamat, Kao-goanswe." Lalu dia memerintahkan kepada para penjaga, "Tutup kembali pintunya!"
Kao Liang dan Kok Tiong berdiri tegak dengan muka pucat dan mata terbelalak, melihat betapa wajah-wajah orang yang mereka cinta itu lenyap kembali di pintu kayu dan tangis mereka masih terdengar lapat-lapat. Seperti ditusuk-tusuk rasa jantung Kok Tiong mendengar putera sulungnya yang baru berusia empat tahun itu memanggil-manggilnya dari balik daun pintu. Ingin dia memberontak dan memecahkan daun pintu itu, akan tetapi dia maklum bahwa itu bukanlah cara yang baik dan selamat, maka dia menekan perasaannya dan ketika tangan ayahnya menjamah lengannya, dia memutar tubuh dan bersama ayahnya mengikuti kakek botak kembali ke ruangan tadi di mana pemuda berkulit kehitaman itu masih menanti mereka sambil tersenyum-senyum.
Begitu tiba di ruangan itu, Kao Liang lalu menghadapi pemuda asing itu dan berkata dengan suara tegas, "Orang muda, apakah artinya semua ini? Lekas katakan, siapakah engkau dan kerja sama yang bagaimana yang kauminta dariku?"
"Kao-goanswe, dan Kao-sicu, duduklah kalian agar kita dapat bicara dengan baik," kata Liong Bian Cu sambil memberi isyarat kepada pelayan. Segera pelayan datang membawa cawan dan meletakkan cawan dan mangkok di depan ayah dan anak itu, kemudian hidangan dikeluarkan, hidangan yang masih panas.
Liong Bian Cu lalu menuangkan sendiri arak ke dalam dua cawan di depan ayah dan anak itu, mempersilakan mereka untuk minum.
"Maaf, orang muda. Sebelum kami mengenal siapa engkau dan mengetahui apa maksudmu menawan keluarga kami, bagaimana kita dapat minum dan makan seperti antara sahabat?" Kao Liang berkata lagi dan tidak menyentuh cawan arak itu. Juga Kok Tiong duduk tegak dengan mata menatap wajah pemuda berkulit kehitaman itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Liong Bian Cu tersenyum melihat penolakan ayah dan anak itu. Dia minum araknya dari cawan, lalu meletakkan cawan itu di atas meja dan berkatalah dia sambil menatap tajam wajah bekas jenderal itu, "Kao-goanswe, saya bernama Liong Bian Cu dan biarpun engkau belum pernah bertemu dengan saya dan belum mengenal saya, akan tetapi saya kira engkau tentu sudah mengenal baik mendiang ayah saya."
Kao Liang mengerutkan alisnya. "She Liong....?" dia berkata lirih dan mengingat-ingat karena setahunya, yang she Liong adalah pangeran-pangeran dari Kerajaan Ceng!
"Benar, Goanswe, mendiang ayah saya adalah Pangeran Liong Khi Ong!"
"Ahhh....!" Bukan main kagetnya Kao Liang mendengar ini, juga Kok Tiong terkejut dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya. Mendiang Liong Khi Ong adalah seorang pemberontak besar dan ayahnya adalah bekas panglima yang telah membasmi kaum pemberontak. Kenyataan ini saja sudah amat jelas berbicara mengapa keluarga Kao diculik dan ditawan!
"Antara mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan saya memang terdapat pertentangan" akhirnya Kao Liang berkata dengan suara berat, "Akan tetapi itu bukan merupakan permusuhan pribadi, melainkan dalam kedudukan saya sebagai panglima perang abdi negara. Maka saya tidak melihat dasar-dasar yang kuat mengapa Kongcu mengambil tindakan terhadap keluarga saya yang tidak tahu-menahu tentang pertentangan antara mendiang ayahmu dan saya itu."
Liong Bian Cu tersenyum lebar. "Tenanglah, Goanswe. Sudah kukatakan tadi bahwa kami menawan keluargamu sama sekali bukan dengan niat yang buruk! Dan saya sama sekali tidak menaruh dendam pribadi kepadamu. Saya bukanlah seperti orang biasa yang mabuk oleh dendam dan sakit hati pribadi. Saya adalah seorang pangeran, cucu dari raja besar di Nepal."
Kao Liang mengangguk-angguk dan mendengar bahwa putera Pangeran Liong Khi Ong ini juga merupakan cucu Raja Nepal, tahulah dia dan teringatlah dia bahwa Pangeran Liong Khi Ong memang mempunyai seorang selir, yaitu puteri Raja Nepal. Jadi pemuda inikah keturunannya dari puteri Nepal itu? Dia lalu memandang kepada kakek botak dan kedua kakek lain yaitu Hek-tiauw Lo-mo yang seperti raksasa menyeramkan, dan kakek muka tengkorak yang tidak kalah mengerikan itu.
"Dan saya memperkenalkan Locianpwe ini adalah guru saya, juga beliau adalah koksu dari Nepal, berjuluk Ban Hwa Sengjin," Liong Bian Cu berkata dan kakek botak itu bangkit berdiri.
Kao Liang makin kaget dan cepat dia bangkit berdiri memberi hormat yang dibalas oleh kakek botak itu. Kiranya Pangeran Nepal ini berada di situ bersama Koksu Nepal! Tentu ada apa-apa di balik ini semua, ada sesuatu yang amat penting! Akan tetapi dia menekan keheranannya dan tetap bersikap tenang.
"Mereka berdua ini adalah dua di antara pembantu-pembantu kami, Goanswe. Beliau ini adalah Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi dan Locianpwe ini adalah Hek-tiauw Lo-mo."
"Ha-ha-ha, Jenderal Kao Liang sudah mengenalku!" kata Hek-tiauw Lo-mo sambil tertawa dan minum araknya.
"Kiranya Kongcu adalah pangeran dari Nepal dan lengkap dengan para pembantu yang amat lihai. Akan tetapi apa hubungannya itu dengan keluarga saya? Kerja sama apa yang dapat saya lakukan untuk Kongcu?"
"Kami tahu bahwa Goanswe adalah seorang ahli dalam ilmu perang. Mungkin untuk seluruh Tiongkok pada waktu ini, Goanswe adalah orang yang paling pandai! Kami amat membutuhkan bantuanmu, Kao-goanswe. Kami ingin agar engkau suka memimpin orang-orang kami, menjadikan tempat ini, lembah ini sebagai benteng yang amat kuat. Terus terang saja, kami berniat untuk menentang kaisar, dan kami sudah menerima janji bantuan dari Gubernur Ho-nan dan banyak pula pembesar lain, baik sipil maupun militer."
Berubah wajah bekas jenderal itu. Keluarga Kao sejak turun-temurun adalah pahlawan-pahlawan yang setia! Kini, Pangeran Nepal ini mengajak dia bersekutu untuk memberontak terhadap kerajaan! Hampir saja Kao Liang menghantam meja di depannya saking marahnya, matanya mendelik dan kumisnya seolah-olah berdiri. Dia tidak mampu bicara saking marahnya.
"Engkau berjanji akan membantu kami, Kao-goanswe, dan kami pun akan berjanji untuk menjamin keselamatan jiwa raga keluargamu. Bukankah itu sudah adil sekali?" Liong Bian Cu kembali berkata dengan suaranya yang tenang dan halus.
"Tida k....! Tidak sudi aku....!" Tiba-tiba Jenderal Kao berteriak dan bangkit berdiri, mengepal tinjunya, mukanya merah dan matanya mendelik.
"Ayah....!" Kok Tiong berkata lirih penuh kegelisahan.
"Ayah, harap Ayah sudi menyelamatkan dua orang cucumu!" Muka dua orang muda ini pucat sekali karena dia maklum bahwa nyawa seluruh keluarga yang dikurung di sana tadi berada di telapak tangan ayahnya!
"Tidak....! Seribu kali lebih baik kita mati semua!", kembali Kao Liang berseru keras dan pada saat itu terdengar jerit tertahan dari balik sebuah pintu.
"Gihu (Ayah Angkat)....!" Dan munculiah Syanti Dewi bersama Hwee Li dari balik pintu itu. Syanti Dewi lari menghampiri Kao Liang. Bekas jenderal ini terkejut, menoleh dan segera memeluk Syanti Dewi yang sudah merangkulnya dan menangis di atas dadanya yang bidang.
"Kau....? Dewi....? Kau.... juga di sini?" bekas jenderal itu berkata heran dan juga bingung, penuh kekhawatiran.
"Gihu, saya menjadi.... tawanan perang di sini. Baru hari ini saya mendengar bahwa keluarga Gihu semua juga menjadi tawanan di sini.... harap Gihu tidak menggunakan kekerasan dan bersikap bijaksana untuk menyelamatkan keluarga Gihu....!"
"Syanti Dewi, biarpun kami memberi kebebasan kepadamu, akan tetapi perbuatanmu ini lancang sekali dan tidak tahu tata susila. Harap kau suka meninggalkan ruangan ini," kata Liong Bian Cu dengan sikap halus. Syanti Dewi melepaskan pelukan ayah angkatnya dan mundur dengan kedua pipi kemerahan.
"Semua ini tentu gara-gara Hwee Li!" Hek-tiauw Lo-mo membentak, lalu berkata kepada dara itu dengan nyaring, "Hwee Li, hayo kauajak Sang Puteri pergi dari ruangan ini!"
Dara cantik jelita yang datang bersama Puteri Bhutan itu berdiri tegak, bertolak pinggang menghadapi Hek-tiauw Lo-mo lalu berkata, "Memang benar aku yang mengajaknya ke sini! Habis, kau mau apa?" Sikapnya menantang sekali, mengherankan Kao Liang dan puteranya. Betapa berani sikap dara cantik jelita ini, dan anehnya, Hek-tiauw Lo-mo yang biasanya amat angkuh, kejam dan ganas, sekali ini tidak menjawab apa-apa atas tantangan itu!
Pangeran Liong Bian Cu cepat bangkit berdiri dan dengan suara yang amat ramah dan halus dia berkata kepada dara itu, "Hwee Li, kekasihku, harap engkau tidak membuat ribut di sini. Kami sedang membicarakan urusan besar, harap kau suka mengajak Syanti Dewi ke taman, Sayang"
Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran itu memperlihatkan sikap demikian ramah dan mesra kepadanya di depan banyak orang. Dia ingin marah, akan tetapi dia takut kalau-kalau pangeran itu akan makin bersikap mesra, maka dia lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajaknya pergi cepat-cepat dari ruangan itu. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum lebar, puas akan hasil dari kecerdikannya. Dia tahu benar harus bersikap bagaimana untuk mengalahkan dara yang dicintanya itu.
"Maaf atas gangguan tadi, Kao-goanswe. Sungguh saya tidak mengira bahwa Syanti Dewi adalah anak angkatmu. Dan gadis tadi adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, atau tunangan saya."
Diam-diam Kao Liang merasa heran dan juga terkejut. Dara cantik jelita tadi tunangan pangeran ini? Puteri Hek-tiauw Lo-mo? Kini dia mengerti mengapa Hek-tiauw Lo-mo membantu pangeran ini. Dan biarpun dia kagum akan kecantikan dan keberanian dara itu, namun diam-diam dia bergidik mengingat akan sikap dara itu terhadap ayahnya! Dasar ayahnya seorang laki-laki iblis, anaknya pun sikapnya demikian kurang ajar terhadap ayahnya sendiri! Akan tetapi, yang amat mengherankan hatinya, bagaimana Syanti Dewi yang memiliki watak mulia dan lemah lembut itu kelihatan begitu akrab dengan dara iblis tadi?
"Kao-goanswe," tiba-tiba Koksu Nepal berkata kepadanya dengan suaranya yang asing karena Ban Hwa Sengjin memang seorang aseli Nepal, sungguhpun dia telah mempelajari bahasa Han dengan baik dan dapat bicara dengan lancar. "Kita sama-sama adalah orang-orang yang tahu akan tata negara, tahu akan kebijaksanaan dan kesetiaan terhadap pemerintah. Seorang bijaksana akan setia kepada tanah air dan bangsa melalui kesetiaannya terhadap pemerintah. Akan tetapi, kalau melihat betapa pemerintah dipimpin oleh orang-orang yang lemah dan tidak bijaksana, benarkah kalau dia mengekor saja dan berarti menambah beban penderitaan rakyatnya? Tentu tidak, dan seorang bijaksana akan menentang pemerintah yang demikian, demi kebaktiannya kepada rakyat dan tanah airnya."
Kao Liang memandang wajah kakek botak itu dan sejenak mereka beradu pandang. Diam-diam bekas jenderal itu terkejut melihat sinar mata yang tajam bersinar-sinar dan penuh wibawa itu, maklumlah dia bahwa selain pandai, juga Koksu Nepal itu tentu bukan orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kemarahan hebat yang tadi membakar dadanya kini sudah mereda setelah munculnya Syanti Dewi yang tak disangka-sangkanya.
"Ban Hwa Sengjin, kemanakah tujuan kata-katamu itu?"
"Kao-goanswe, seperti yang dikatakan oleh Puteri Bhutan tadi, seorang bijaksana akan lebih dulu mengutamakan keselamatan keluarganya dan dalam hal ini, Goanswe adalah seorang yang akan menentukan mati hidupnya keluarga Goan-swe, termasuk pula Syanti Dewi."
"Hemmm, engkau hendak mengancam keselamatan mereka demi untuk memeras dan memaksaku, Koksu?" bekas jenderal itu mengejek.
"Bukan ancaman kosong, Kao-goanswe! Dengan sekali isyarat, saat ini pun aku sanggup menyuruh algojo memenggal leher keluargamu di depan matamu!" Pangeran Liong Bian Cu berkata tenang dan halus, namun isi kata-katanya itu penuh ancaman yang mengerikan sehingga pucatlah wajah Kok Tiong mendengar ini.
"Bukan sekedar mengancam untuk memaksa, Jenderal Kao Liang!" kata pula Ban Hwa Sengjin dengan sinar mata tajam.
"Sebagai seorang ahli perang engkau tentu dapat mengetahui kalau keadaanmu sudah tersudut dan kalah total. Engkau sudah kalah dan kami yang menang, karena itu kami menggunakan hak kami sebagai pemenang dan sudah selayaknya kalau engkau tahu diri. sebagai fihak yang kalah. Akan tetapi, selain kenyataan ini aku ingin membuka mata dan kesadaranmu akan kenyataan lain, yaitu bahwa engkau tidak mempunyai pilihan lain."
Kao Liang menegakkan kepalanya dan mengangkat dadanya. "Bagiku, tetap saja ada pilihan, Koksu, karena aku lebih menghargai kehormatan daripada nyawa. Ancamanmu terhadap keluargaku, sama sekali tidak akan membutakan mataku terhadap nilai kehormatan kami!"
Wajah koksu itu sudah menjadi merah karena dia marah sekali melihat kekerasan hati bekas jenderal ini. Akan tetapi Liong Bian Cu memberi isyarat kepadanya dan orang muda yang cerdik ini lalu berkata, "Jenderal Kao Liang, sikapmu yang tegas dan gagah itu amat mengagumkan hatiku. Akan tetapi engkau lupa bahwa setiap perbuatan itu tentu ada dasarnya. Setiap pemberontakan ada pula yang menjadi dasarnya. Ketika mendiang ayahku memberontak terhadap kaisar, apakah dasarnya? Karena kaisar terlalu lemah dan membiarkan para pembesar melakukan korupsi dan maksiat besarbesaran, memeras rakyat. Ayah memberontak dan gagal, hal itu sudah biasa dan tidak perlu disesalkan. Yang patut disesalkan adalah betapa kelaliman berlangsung terus. Engkau, yang ketika itu menjadi panglima, bahkan lalu diangkat menjadi panglima besar, kini dapat melihat bukti kebenaran dasar yang membuat ayahku memberontak, Jenderal Kao. Lihat betapa lalimnya kaisar! Betapa kaisar memberi hati kepada para thaikam dan pembesar-pembesar lalim dan jahat, sehingga banyak orang-orang yang benar-benar merupakan pahlawan seperti engkau, malah disingkirkan dan dipecat. Orang-orang yang penjilat dan pemeras rakyat, tukang korupsi besar malah dipakai dan memperoleh kekuasaan. Engkau yang dipecat dan diusir secara halus oleh kaisar membuktikan bahwa engkau bukan termasuk pembesar penjilat dan korup. Engkau tidak merasa sakit hati oleh tindakan lalim kaisar itu terhadapmu, itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pahlawan yang setia. Akan tetapi, sebaliknya, engkau membiarkan kaisar dan kaki tangannya melakukan kelaliman yang menyengsarakan rakyat, hal itu berarti bahwa engkau pun membantu kelaliman mereka. Bukankah orang yang tahu kejahatan dan tinggal memeluk tangan saja berarti membantu kejahatan itu pula?"
Kata-kata Liong Bian Cu merupakan ujung pedang tajam yang menusuk-nusuk hati bekas jenderal itu, membuat dia menundukkan kepalanya dan mukanya menjadi agak pucat. Harus diakui bahwa di dalam kata-kata itu terkandung kebenaran yang sukar untuk disangkal. Memang kaisar amat lemah, kaisar yang sudah terlalu tua dan sakit-sakitan itu seakan-akan menyerahkan kendali pemerintahan kepada para thaikam yang korup dan lalim, dan memang kelaliman akan terus terjadi dan berlangsung tanpa ada yang berani menentang.
"Saya.... saya tidak mungkin mau memberontak, lebih baik mati sekeluarga daripada memberontak...." Akhirnya dia berkata dengan lirih dan memejamkan matanya.
"Ayah....!" Kok Tiong berkata dengan suara penuh duka dan dua butir air mata jatuh ke atas pipinya. Membayangkan dia dan isterinya mati masih belum apa-apa, akan tetapi membayangkan ibunya dibunuh, dan dua orang anaknya, benar-benar membuat dia hampir tidak kuat menahan.
"Hemmm, lihat betapa lemahnya jenderal yang terkenal ini! Lihat betapa kejam hati bekas panglima yang disanjung-sanjung dan dipuji-puji sebagai pahlawan ini! Membiarkan keluarganya terancam kematian padahal dia dapat menyelamatkan mereka, membiarkan rakyat tertekan kesengsaraan padahal dia dapat pula berusaha untuk mengubah nasib mereka! Betapa lemahnya, dan hanya mementingkan diri sendiri, kehormatan dan namanya sendiri saja!" kata Liong Bian Cu berkata lagi.
"Brakkk!" Jenderal Kao menggebrak meja sampai tergetar dan cawan mangkok piring mencelat berkerontangan.
"Cukup!" bentaknya. "Baiklah, aku mau membantu kalian, akan tetapi hanya untuk memimpin lembah ini yang akan dibangun sebagai benteng. Aku mau memimpin dan mengatur agar benteng ini tidak dapat diduduki oleh musuh mana pun, akan tetapi hanya sekian saja, dan biar kalian mengancam bagaimanapun, jangan harap dapat memaksaku memimpin pasukan menyerbu kerajaan!"
Liong Bian Cu tersenyum dan cepat bangkit berdiri dan menjura. "Terima kasih, Goanswe. Siapa yang mengharapkan engkau menyerbu ke kota raja? Asal engkau dapat membuat lembah ini menjadi benteng yang kuat, sudah cukuplah. Berjanjilah bahwa engkau akan mempertahankan benteng ini dengan sekuat tenaga dan seluruh jiwa ragamu!"
"Hemmm, Liong-kongcu, lebih dulu berjanjilah demi nama nenek moyangmu bahwa engkau akan menjamin keselamatan keluargaku dan Puteri Bhutan!"
"Baik, aku berjanji akan menjamin keselamatan keluargamu dan Puteri Bhutan, demi nama nenek moyangku!" Liong Bian Cu berkata dengan sikap sungguhsungguh.
"Dan aku berjanji akan mempertahankan lembah ini dengan jiwa ragaku, demi nama keluarga Kao!" kata bekas jenderal itu.
Hidangan dan minuman ditambah dan mereka merayakan persekutuan itu. Untuk melupakan perasaannya yang tertindih, bekas jenderal itu minum arak tanpa batas sampai akhirnya dia mabuk dan diantar oleh pengawal memasuki kamar keluarganya, bersama Kok Tiong. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan hujan tangis terjadi.
Demikianlah, mulai hari itu, Kao Liang dengan sungguh hati lalu membangun lembah itu menjadi sebuah benteng yang kokoh kuat. Pelaksanaannya dibantu oleh tukang-tukang dan tenaga dari Gubernur Ho-nan dan semua rencana dan gambar yang dibuat oleh Jenderal Kao dilaksanakan sehingga tempat itu menjadi sebuah benteng yang sukar sekali ditembus musuh. Sungai yang mengelilingi lembah itu diperdalam dan diperlebar, ditambah air yang mengalir dari atas bukit ke dalam lembah. Di sekeliling lembah dibangun tembok benteng yang tebal dan kokoh, dan dibuat pula banyak tempat-tempat jebakan yang amat berbahaya.
Jenderal Kao dan seluruh keluarganya hidup bebas di tempat itu, bersama Hwee Li dan Puteri Syanti Dewi yang seperti telah bergabung menjadi anggauta keluarga jenderal itu. Akan tetapi biarpun mereka kelihatan bebas, sesungguhnya mereka sama sekali tidak bebas! Jenderal Kao dan Kok Tiong memang dapat pergi kemana saja, akan tetapi selalu di situ terdapat anggauta keluarga mereka menjadi sandera dan tidaklah mungkin untuk mencoba-coba meloloskan diri beserta seluruh keluarga yang terdiri dari wanita-wanita dan anak-anak itu! Dalam waktu beberapa pekan saja, rambut Jenderal Kao sudah berubah menjadi putih semua. Hal ini terjadi karena memang batinnya amat tertekan dan dia melakukan semua itu demi menyelamatkan keluarganya. Di dalam hatinya, dia merasa malu sekali kepada mendiang ayahnya, kakeknya dan nenek moyangnya yang turun-temurun merupakan panglima-panglima besar yang setia.
******
"Satu-satunya sumber yang baik dan dapat dipercaya adalah Pangeran Yung Hwa," kata Ceng Ceng kepada suaminya setelah mereka tiba di kota raja dan bermalam di sebuah rumah penginapan. "Kalau masih ada Puteri Milana yang terhitung bibi tiriku pula, tentu beliau dapat membantu. Akan tetapi kini Puteri Milana sudah tidak ada di kota raja, tidak berada di istana, telah pergi entah ke mana semenjak lima tahun yang lalu, maka satu-satunya orang di lingkungan istana yang dapat kupercaya adalah Pangeran Yung Hwa."
Kao Kok Cu menggunakan tangan kanan untuk meraba dagunya, kebiasaannya kalau dia sedang berpikir, matanya memandang kepada isterinya penuh selidik. "Akan tetapi, bukankah dahulu pernah dia jatuh cinta kepadamu seperti yang pernah kauceritakan kepadaku? Dan kau sekarang hendak menemuinya?"
Ceng Ceng tersenyum, mendekati dan merangkul leher suaminya, dengan sikap manja. "Ihhh! Jangan kau bilang bahwa engkau cemburu!"
Kao Kok Cu tertawa dan mecium isterinya. Semenjak putera mereka hilang, hanya kalau dia berada di dekat isterinya sajalah maka hatinya terhibur dan sejenak dia atau mereka, dapat melupakan kedukaan yang menindih hati.
"Engkau salah duga, isteriku. Kau tahu betapa aku mencintamu, betapa kita saling mencinta, dan cinta adalah kepercayaan. Seujung rambut pun tidak ada penyakit cemburu menyentuh hatiku, aku hanya bertanya karena agaknya tidak tepatlah kalau engkau mencari keterangan dari seorang pangeran yang telah patah hati terhadap dirimu. Pertemuan itu selain hanya akan menyakitkan hatinya, membuat luka kambuh, juga mana mungkin dia mau membantu kita?"
"Engkau belum mengenal siapa dia, suamiku. Pangeran Yung Hwa bukanlah sembarang pangeran yang mabuk kekuasaan dan rusak oleh keangkuhan seperti biasanya para muda bangsawan. Sama sekali bukan. Dia menuruni watak gagah, seperti juga Bibi Milana, hanya bedanya, pangeran itu tidak mempelajari ilmu silat." Ceng Ceng lalu menceritakan sifat-sifat dan watak pangeran yang pernah jatuh cinta kepadanya itu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Setelah mendengar penuturan Ceng Ceng, akhirnya Kok Cu percaya juga bahwa mungkin dari pangeran itu isterinya akan dapat menyelidiki rahasia dari semua malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya.
"Selain menyelidiki rahasia itu, juga aku ingin sekali menyampaikan rasa penyesalanku kepada kaisar melalui Pangeran Yung Hwa atas peristiwa dipecatnya ayahmu." Demikian Ceng Ceng berkata dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah mencari istana Pangeran Yung Hwa dan menghadap pangeran itu.
Pangeran Yung Hwa menyambut kedatangan Ceng Ceng yang mengunjunginya itu dengan perasaan heran dan gembira. Begitu melihat siapa wanita yang menghadap dan memberi hormat kepadanya, dia segera teringat kepada wanita perkasa itu.
"Ahhh.... engkau....?" serunya dan mempersilakan nyonya muda itu duduk di atas kursi di depannya. "Aku telah mendengar bahwa engkau menjadi mantu Jenderal Kao Liang! Bagaimana keadaanmu? Kuharap baik-baik saja dan berbahagia."
Melihat sikap pangeran itu yang ramah dan jujur, Ceng Ceng merasa terharu. "Terima kasih atas kebaikan dan perhatian Paduka, Pangeran. Sesungguhnya saya cukup berbahagia kalau saja tidak timbul peristiwa-peristiwa yang menimpa keluarga kami, merupakan bencana yang didatangkan dari istana."
Pangeran Yung Hwa mengerutkan alisnya. "Ehhh? Apa maksudmu? Istana mendatangkan bencana terhadap keluargamu?"
Ceng Ceng lalu menceritakan tentang dipecatnya ayah mertuanya secara halus oleh kaisar. Kemudian diceritakannya pula betapa ketika ayah mertuanya beserta seluruh keluarga melakukan perjalanan menuju kekampung halaman, di tengah jalan diganggu oleh berbagai golongan dan di antara gerombolan yang mengganggu itu terdapat pengawal-pengawal istana! Kemudian diceritakan pula akan hilangnya puteranya yang diduga ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa keluarga Jenderal Kao Liang.
"Coba Paduka pikir, siapa lagi yang menyuruh pengawal-pengawal itu menghadang dan mengganggu keluarga Kao? Bukankah semua itu amat mencurigakan sekali?"
Pangeran Yung Hwa meraba dahinya dan berpikir, lalu dia memandang wanita yang pernah dicintanya itu, bertanya, "Nyonya muda yang baik, apa maksudmu mengunjungi aku dan menceritakan semua ini kepadaku?"
Ceng Ceng membalas pandang mata itu dan berkata terus terang, "Saya dan suami saya menduga keras bahwa kunci semua peristiwa itu berada di istana, oleh karena itu kami datang ke kota raja untuk melakukan penyelidikan. Mengingat bahwa Padukalah satu-satunya orang yang saya percaya sebagai seorang keluarga istana yang adil dan bijaksana, maka saya sengaja menghadap untuk mohon pertolongan Paduka sehingga saya dapat mengetahui ke mana putera saya dibawa dan di mana pula adanya keluarga Kao yang terculik."
Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang. "Aihhhhh.... kalau saja aku tahu, tentu sekarang juga aku akan turun tangan membebaskan mereka dan mengembalikan puteramu. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku dapat menyelidikinya? Harus kuakui bahwa keadaan kaisar amat lemah, sudah tua dan tidak begitu memperhatikan keadaan para pembantunya yang banyak melakukan hal-hal yang tidak baik. Aku memang mendengar bahwa Jenderal Kao mengundurkan diri, akan tetapi kusangka tadinya bahwa hal itu terjadi secara wajar sebagaimana biasanya pembesar yang sudah tua dan mengundurkan diri. Kelemahan kaisar memang membuat para
pembesar yang tidak jujur untuk bergerak demi keuntungan diri pribadi sehingga terjadi banyak hal yang buruk. Biarpun aku tidak dapat membantumu secara langsung, akan tetapi munculmu di sini menggerakkan hatiku dan mendorongku untuk bertindak, Nyonya Kao. Hari ini juga aku akan menemui kakakku, Pangeran Mahkota, karena hanya beliau saja yang akan dapat turun tangan membersihkan segala kekotoran yang menodai istana. Mudah-mudahan saja dengan pembersihan yang pasti akan dilakukan oleh kakakku, Pangeran Yung Ceng, urusanmu itu akan terbongkar pula dan engkau dapat menemukan kembali puteramu dan keluarga Kao yang hilang. Hanya inilah yang dapat kulakukan."
Tentu saja Ceng Ceng tidak merasa sangat puas dengan hasil ini akan tetapi dia pun maklum bahwa Pangeran Yung Hwa tidak berdaya menolongnya karena memang tidak tahu di mana adanya puteranya atau keluarganya, tidak tahu pula siapa biang keladinya. Sudah jelas bahwa bukan kaisar yang melakukan tindakan itu, melainkan pembesar lalim yang amat banyak terdapat di waktu itu. Terpaksa dia lalu berpamit setelah menghaturkan terima kasih, pergi meninggalkan istana Pangeran Yung Hwa untuk menemui suaminya dan menceritakan semua hasil pertemuannya dengan pangeran itu.
Sementara itu, Pangeran Yung Hwa juga tidak lama kemudian meninggalkan istananya, dengan menyamar pangeran ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Kuil Siauw-lim-si untuk menemui kakaknya, yaitu Pangeran Yung Ceng. Hal ini tentu menimbulkan perasaan heran bagi yang belum mengetahuinya. Mengapa pangeran itu mencari kakaknya, Pangeran Yung Ceng atau Pangeran Mahkota, ke kuil Siauw-lim?
Tidaklah mengherankan kalau diketahui bahwa Pangeran Yung Ceng memang menjadi murid Siauw-lim-pai! Pangeran ini sejak kecil memang suka akan ilmu silat, apalagi setelah dia diangkat menjadi Pangeran Mahkota, dia makin tekun mempelajari ilmu silat karena dia berpendapat bahwa untuk dapat menjadi kaisar yang baik, selain harus ahli dalam soal-soal bun yang meliputi juga soal-soal tata negara, harus mahir pula dalam bu atau ilmu silat, juga ilmu perang. Maka dia lalu masuk ke Siauw-lim-si dan menjadi murid kuil yang juga menjadi partai persilatan yang amat besar dan telah terkenal sebagai sumber ilmu silat yang tinggi itu.
Pangeran Yung Hwa menjumpai kakaknya dan menceritakan akan segala yang terjadi selama kakaknya tenggelam dalam pelajaran ilmu silat di kuil itu, akan penyelewengan para pembesar. Pangeran Yung Hwa menceritakan tentang pemecatan-pemecatan yang dilakukan kaisar karena bujukan pembesar-pembesar penjilat, pemecatan yang dilakukan terhadap pemimpin-pemimpin yang setia, jujur dan pandai, bahkan menceritakan betapa Jenderal Kao Liang juga dipecat. Kemudian, Pangeran Yung Hwa menceritakan pengalamannya ketika dia hampir tewas di Ho-nan.
"Kenapa kau tidak adukan semua itu kepada kaisar?" Pangeran Yung Ceng menegur adiknya. "Gubernur Ho-nan yang memberontak itu harus ditindak!"
Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang. "Itulah sebabnya mengapa aku terpaksa menyusulmu ke sini. Kaisar sama sekali tidak mau mendengar laporanku, bahkan marah-marah dan kalau bukan aku yang melapor, agaknya tentu sudah dihukum. Betapa banyaknya pembesar jujur yang sudah mencoba untuk menyadarkan beliau, akan tetapi malah menerima hukuman. Pengaruh para thaikam (pembesar kebiri) amat besar dan kaisar amat lemah, seperti bersikap masa bodoh."
"Hemmm, sampai sekian jauhnya keadaan buruk itu?" tanya Pangeran Yung Ceng.
"Malah lebih lagi," kata Yung Hwa. "Semenjak kakak kita, Puteri Milana tidak ada, dan engkau sendiri pergi memperdalam ilmu silat di sini, tidak ada lagi orang kuat di dalam istana. Aku sendiri biarpun telah terbebas dari cengkeraman Gubernur Ho-nan dan berkali-kali tertolong oleh orang-orang gagah, akan tetapi tidak pernah terlepas dari pengawasan mereka. Bahkan aku percaya bahwa ketika aku menyamar dan datang ke sini ada orang-orang yang diam-diam membayangiku."
"Ahhh! Sampai begitu hebat?" Pangeran Yung Ceng mengepal tinjunya. "Yung Hwa, wajah kita mirip sekali seperti saudara kembar, maka biarlah aku memakai pakaianmu dan keluar lebih dulu dari kuil ini. Engkau boleh menyusul besok dan dikawal oleh murid-murid Siauw-lim-pai. Hendak kulihat sendiri sampai di mana keberanian pengkhianat-pengkhianat itu!"
Dengan marah sekali Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengenakan pakaian adiknya, setelah berpamit kepada para guru di kuil itu dan memesan agar besok adiknya dikawal ke kota raja, dia lalu meninggalkan kuil. Memang wajah Pangeran Yung Ceng mirip sekali dengan wajah Pangeran Yung Hwa. Tentu saja, kalau mereka berdua berbuka pakaian, nampak perbedaan yang menyolok karena kalau tubuh Pangeran Yung Hwa halus lemah lembut, sebaliknya tubuh Pangeran Yung Ceng yang sejak kecil gemar berolah raga itu kokoh dan kekar. Akan tetapi, kalau tubuh mereka disembunyikan dalam pakaian dari luar, nampak serupa, bertubuh sedang dan berwajah tampan.
Hari telah senja ketika Pangeran Yung Ceng memasuki kota Thian-cin di sebelah selatan kota raja. Karena menyamar sebagai adiknya, pangeran ini tidak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat dan dia sengaja melakukan perjalanan lambat untuk melihat-lihat keadaan. Banyak sudah dia mendengar percakapan di antara rakyat tentang penyelewengan para petugas, dan dia pun mendengar berita-berita tentang sikap memberontak dari para pembesar di Ho-nan yang tentu saja mencontoh sikap gubernur mereka. Dia juga tahu bahwa diam-diam dia selalu dibayangi orang seperti yang diceritakan oleh adiknya.
Ketika malam hari itu Pangeran Yung Ceng memasuki sebuah restoran di kota Thian-cin, dia tahu bahwa ada lima orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa mereka adalah jagoan-jagoan, diam-diam membayanginya dan mereka pun masuk pula di restoran itu, mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja pangeran itu. Restoran itu tidak begitu ramai dan banyak kursi yang kosong.
Ketika pangeran itu memesan masakan kepada seorang pelayan, tiba-tiba seorang di antara lima orang yang duduk di meja yang berdekatan itu bangkit berdiri dan menghampiri Pangeran Yung Ceng, menjura dan berkata, "Harap maafkan! Kalau tidak salah lihat, bukankah Kongcu datang dari kota raja?"
Yung Ceng memandang dengan sikap tak acuh, lalu menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Bukan, saya memang hendak pergi ke kota raja, akan tetapi saya bukan dari kota raja, saya orang dari selatan."
Orang itu berkata "maaf" sambil tersenyum, lalu kembali duduk di tempat teman-temannya. Percakapan pendek itu disaksikan oleh pelayan yang kini sudah pergi untuk mempersiapkan pesanan Pangeran Yung Ceng.
"Ha-ha, memang mirip, akan tetapi dia tentu bukan pangeran pengecut itu," tiba-tiba terdengar seorang di antara lima orang itu berkata, kata-katanya cukup keras sehingga terdengar oleh Pangeran Yung Ceng.
"Kalau dia Pangeran Yung Hwa, sudah kuhancurkan kepalanya sejak tadi," terdengar pula mereka bicara.
"Ha-ha, yang ini hanyalah seorang sastrawan lemah, tidak ada harganya untuk dipandang. Dan kita telah membayanginya sehari penuh. Sialan!"
"Karena gara-gara dia kita membuang tenaga sia-sia, sebaiknya kalau kita hajar kutu buku ini."
"Akan tetapi, bagaimana kalau dia benar Pangeran Yung Hwa....?" terdengar suara lain, berbisik dan kalau yang duduk di situ adalah Pangeran Yung Hwa, tentu tidak akan dapat mendengar bisikan itu. Akan tetapi, Pangeran Yung Ceng telah mempelajari ilmu yang tinggi. sehingga panca inderanya lebih peka dan tajam daripada orang biasa. Dia mampu mendengarkan bisikan ini.
"Lebih baik lagi kalau begitu! Dan kita tidak akan salah, karena bukankah dia menyangkal siapa dirinya? Pelayan itu menjadi saksi."
Kini maklumlah Pangeran Yung Ceng mengapa seorang di antara mereka tadi menegurnya. Kalau dia sudah menyangkal sebagai pangeran, maka andaikata mereka itu membunuhnya, mereka dapat menggunakan alasan bahwa mereka tidak mengenalnya sebagai pangeran, seperti disaksikan pula oleh pelayan tadi.
Pelayan tadi datang membawa masakan, langsung menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.
"Heeeii, itu pesanan kami!" teriak seorang di antara mereka sambil bangkit berdiri dan menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.
"Tidak, Sicu, ini adalah pesanan Kongcu ini!" bantah si pelayan.
"Setan! Kami juga memesan masakan seperti ini sejak tadi. Hayo berikan kepada kami. Apakah kau hendak menjilat kutu buku ini?"
Pangeran Yung Ceng maklum bahwa orang yang berkumis tebal, seorang di antara mereka itu yang kini bersikap kasar, memang sengaja hendak mencari keributan, maka dia berkata tenang, "Sobat, harap jangan membikin ribut!"
Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Si Kumis Tebal itu. Dengan mata melotot dia menghampiri Pangeran Yung Ceng, menghardik, "Kalau aku membikin ribut, engkau mau apa, cacing buku yang busuk?"
Akan tetapi, biarpun Yung Ceng juga seorang kutu buku atau cacing buku, yaitu sebutan mengejek bagi seorang sastrawan, dia bukanlah seorang yang lemah. Sama sekali bukan! Dia adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang tekun dan berbakat, bahkan telah diberi pelajaran istimewa oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai sehingga dia memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Tidak apa-apa," jawab Pangeran Yung Ceng tenang. "Hanya kalau kau tidak segera pergi dari sini, aku akan mencabuti kumismu!"
Sepasang mata itu terbelalak makin lebar, mulutnya ternganga seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Benarkah si kutu buku ini berani berkata demikian kepadanya?
"Keparat....!" teriaknya dan kepalan tangannya yang sebesar kepala anak kecil, yang keras dan terlatih karena sering kali dilatih memukuli batu sampai remuk, kini menyambar ke arah kepala Pangeran Yung Ceng.
Akan tetapi, dengan gerakan ringan dan tenang, pangeran itu miringkan kepalanya, membiarkan tangan yang memukul itu lewat, kemudian secepat kilat jari-jari tangannya menyambar dan membetot.
"Auuuwwwhhhhh....!" Si Kumis Tebal itu menjerit-jerit dan kedua tangannya menutupi bawah hidungnya yang berdarah karena kumisnya telah dicabut dengan paksa oleh Pangeran Yung Ceng.
"Manusia bosan hidup!" terdengar teriakan dan empat orang lainnya sudah berloncatan dari kursi mereka dan menerjang Pangeran Yung Ceng. Pelayan itu lari ketakutan dan kini pangeran itu bangkit berdiri wajahnya merah karena marah.
Empat orang itu menerjang dengan kepalan tangan mereka, dan dari gerakan mereka dapat diketahui bahwa mereka memang bukan orang-orang sembarangan, melainkan jagoan-jagoan yang pandai ilmu silat. Akan tetapi, yang mereka keroyok adalah murid Siauw-lim-pai yang sudah matang ilmu silatnya, maka terdengar suara mereka mengaduh dan meja kursi berserakan ketika pangeran itu membagi-bagi pukulan dan tendangan yang membuat mereka terlempar ke sana-sini.
Mengertilah lima orang itu sekarang bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah itu, yang mereka sangka adalah Pangeran Yung Hwa, ternyata adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak lemah, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Kemarahan, mereka memuncak dan mereka berlima termasuk Si Kumis Tebal yang kini berubah menjadi Si Kumis Buntung karena masih ada sisa kumisnya menempel di bawah hidung, segera mencabut senjata mereka berupa golok besar dan dengan teriakan-teriakan ganas mereka kini menerjang pemuda itu.
Yung Ceng meraba pinggangnya dan nampaklah cahaya berkelebat ketika pangeran ini sudah mencabut sebatang pedang pendek yang tadi disembunyikan di bawah baju sastrawannya. Pedang pendeknya itu digerakkan dengan hebat, nampak gulungan sinar menyambar-nyambar dan terjadilah pertempuran yang seru di dalam rumah makan itu. Para tamu sudah sejak tadi lari meninggalkan restoran itu, demikian pun para pelayan ada yang lari, ada pula yang sembunyi dengan tubuh menggigil.
Dengan marah sekali Pangeran Yung Ceng menggerakkan pedangnya dan berturut-turut terdengarlah pekik mengerikan disusul robohnya lima orang pengeroyok itu, ada yang lehernya terpancung hampir putus, ada yang perutnya robek dan dadanya berlubang. Pangeran Yung Ceng menyimpan pedangnya dan melihat bahwa seorang di antara mereka masih belum tewas, yaitu yang tadi sengaja dia lukai pahanya, dia cepat mencengkeram pundak orang itu, ditariknya naik dan dia membentak, "Kalian telah membayangi aku dan sekarang sengaja menyerang, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian!"
Orang itu meringis kesakitan, mukanya pucat dan dia ketakutan, menggelenggelengkan kepala. "Hayo mengaku! Kau tahu siapa aku? Aku adalah Pangeran Mahkota Yung Ceng!"
Orang itu terbelalak. "Am.... ampunkan hamba.... hamba hanya utusan.... dari.... dari....!"
Pada saat itu nampak sinar berkelebat menyambar. Pangeran Yung Ceng terkejut sekali karena sinar itu datangnya cepat bukan main, menyambar dari luar rumah makan. Karena tidak mungkin dapat mengelak lagi, pangeran itu cepat mengangkat tubuh orang yang dicengkeram pundaknya itu, dipakai sebagai perisai.
"Crottt....auggghhhhh....!"
Orang itu menjadi lemas dan melihat betapa tawanannya itu tewas, Pangeran Yung Ceng melemparkannya ke atas lantai dan dia cepat meloncat ke pintu. Akan tetapi dia hanya melihat bayangan penyerangnya itu berkelebat cepat dan sudah lenyap di antara banyak orang di jalan raya. Dia kembali lagi dan melihat bahwa punggung orang tadi tertusuk jarum berwarna kehijauan yang menancap sampai hanya kelihatan sedikit saja ujungnya, tahulah dia bahwa penyerangnya adalah seorang yang mahir menggunakan senjata rahasia jarum beracun. Dia merasa menyesal karena tawanan ini belum sempat mengaku siapa yang menyuruh mereka.
Ketika pembesar setempat mendengar bahwa pangeran mahkota diserang orang di kotanya, dia tergopoh-gopoh datang diiringkan oleh pasukan pengawal. Kiranya ketika Pangeran Yung Ceng tadi mengakui dirinya untuk memaksa tawanannya mengaku, ada beberapa orang yang mendengar dan cepat mereka itu melaporkan kepada para penjaga keamanan sehingga pembesar kepala daerah sendiri kini datang ke restoran itu.
Pangeran Yung Ceng menerima penghormatan mereka yang berlutut dan dengan singkat dia lalu memerintahkan untuk menyelidiki lima orang itu, kemudian dia minta seekor kuda dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat ke kota raja, menolak ketika hendak dikawal. Pangeran mahkota ini marah sekali karena kini dia mendapatkan bukti sendiri betapa memang terjadi kekacauan sehingga ada penjahat-penjahat yang menghendaki nyawa adiknya, yaitu Pangeran Yung Hwa. Dia dapat menduga bahwa lima orang itu tentulah orang-orang yang diutus oleh Gubernur Ho-nan yang memperlihatkan sikap memberontak itu.
Setelah tiba di kota raja, pangeran mahkota yang sedang marah itu langsung saja menghadap ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan pikun. Dengan tegas dia menceritakan keadaan yang amat kacau karena tingkah polah para pembesar yang menyeleweng itu kepada kaisair.
Kaisar Kang Hsi adalah seorang kaisar yang tadinya amat terkenal karena pandai mengatur pemerintahan, berwibawa dan juga bijaksana. Kerajaan Mancu berkembang dengan baiknya, dan harus diakui bahwa dialah yang berjasa dalam menaikkan nama Dinasti Kerajaan Cengtiauw. Akan tetapi, setelah dia menjadi tua dan pikun, dia menjadi tidak acuh dan malas. Kini, mendengar teguran puteranya yang telah dipilihnya untuk kelak menggantikan dia menjadi kaisar, Kaisar Kang Hsi mendengarkan dengan sabar dan dengan sikap tidak acuh, kemudian dia menggerakkan tangan dan berkata, "Puteraku yang baik, ayahmu ini sudah tua dan sudah malas untuk mengurus segala macam hal yang memusingkan belaka. Di dalam tahun-tahun terakhir dari usiaku ini, aku ingin hidup
tenteram dan enak, ingin menikmati hidup ini, dan yang kupentingkan adalah keuntungan bagi negeriku. Mengapa aku tidak boleh menikmati kehidupan di dalam usia setua ini? Engkau saja yang harus rajin dan mematangkan dirimu agar kelak kalau kau menggantikan aku, engkau sudah benar-benar cakap."
"Maafkan hamba, bukan maksud hamba untuk membantah. Akan tetapi lupakah Paduka akan Sri Baginda Raja, Liang Hwi Ong?"
Kaisar yang tua itu memandang puteranya sambil tersenyum. "Hemmm, maksudmu?"
Dengan tegas Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengingatkan kaisar akan pelajaran dalam kitab Beng Cu. Beng Cu adalah seorang murid Nabi Khong Cu yang amat bijaksana dan banyaklah contoh-contoh diambil dari Beng Cu ini sebagai pewaris pelajaran Nabi Khong Cu. Yang dimaksudkan oleh Pangeran Yung Ceng dengan Raja Liang Hwi Ong adalah pelajaran Beng Cu yang menuturkan tentang
pertemuan antara Raja Hwi Ong dari Negeri Liang dengan Beng Cu.
Raja Hwi Ong bertanya kepada Beng Cu, ajaran apakah yang dapat membawa keuntungan bagi negerinya di waktu itu. Mendengar pertanyaan ini, Beng Cu lalu menjawab. "Mengapa Baginda menanyakan keuntungan? Yang saya bawa hanyalah cinta kasih dan kebenaran. Apabila Paduka bertanya tentang keuntungan bagi negeri Paduka, para pembesar tentu akan bertanya tentang keuntungan bagi keluarga mereka, dan rakyat pun akan bertanya tentang keuntungan bagi diri sendiri. Apabila yang berkedudukan tinggi maupun yang rendah hanya memperebutkan atau menginginkan keuntungan saja, negara tentu akan berada dalam bahaya. Raja yang memiliki berlaksa kereta perang kalau sampai terbunuh tentu oleh pangeran yang memiliki ribuan kereta perang, dan pangeran itu kalau sampai terbunuh tentu oleh keluarga yang hanya memiliki seratus kereta perang. Apabila yang memiliki selaksa kereta perang mengambil yang seribu, tentu yang memiliki seribu mengambil yang seratus dan selanjutnya. Jumlah itu bukan kecil, akan tetapi apabila manusia membelakangi kebenaran dan mengutamakan keuntungan, pasti dia tidak puas sebelum memperoleh seluruhnya. Sebaliknya, belum pernah ada seorang manusia yang mempunyai cinta kasih menyia-nyiakan orang tuanya, dan belum pernah ada seorang manusia yang menjunjung kebenaran membelakangi rakyatnya. Seharusnya Paduka bertanya tentang cinta kasih dan kebenaran. Untuk apa bertanya tentang keuntungan?"
Demikianlah pelajaran dalam kitab Beng Cu yang kini dikemukakan oleh Pangeran Yung Ceng untuk menyadarkan ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi.
Kaisar Kang Hsi sudah amat tua dan sakit-sakitan tubuhnya, juga batinnya tidak sehat lagi semenjak dia berduka atas kematian saudara-saudaranya yang memberontak. "Sudahlah, Yung Ceng, jangan ganggu aku dengan segala isi kitab lama itu. Aku sudah lelah dan aku tidak ingin memusingkan keadaan di luar kamarku."
"Akan tetapi Paduka masih seorang kaisar, Paduka masih mempunyai tanggung jawab yang amat besar terhadap rakyat jelata. Apakah Paduka masih belum tahu akan segala peristiwa diluaran? Apakah Paduka tidak tahu betapa hampir saja Adik Yung Hwa terbunuh karena Gubernur Ho-nan hendak memberontak? Betapa pembesar-pembesar jahat sekarang ini sudah bersekongkol dengan penjahat-penjahat dari dunia hitam dan menanti saatnya saja untuk memberontak? Betapa para pembesar setia dan bijaksana Paduka pecat karena bujukan para pembesar palsu yang menjilat-jilat? Betapa kedudukan Paduka menjadi lemah karena kekuasaan secara diam-diam diambil alih oleh mereka yang berpengaruh di dalam istana?"
"Sudahlah  Yung Ceng. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang tua seperti aku yang sudah bosan dengan semua itu?"
"Paduka dapat turun tangan, Paduka dapat bertindak sekarang juga, dan pertama-tama Paduka seyogianya dapat membebaskan diri dari pengaruh para thaikam...."
Pada saat itu, thaikam kepala yang bernama Kong Tek Jin dan yang hadir pula di situ, tiba-tiba berkata, "Pangeran, harap jangan terlalu mendesak kepada Sri Baginda. Beliau sedang kurang sehat dan lelah.. .."
"Diam kau! Jangan mencampuri!" Yung Ceng membentak.
"Yung Ceng, tidak boleh kau bersikap begitu terhadap dia yang amat berjasa...." Kaisar mencela.
"Justeru dia inilah seorang di antara mereka yang jahat dan palsu, akan tetapi dia pandai menjilat!"
"Pangeran, tidak boleh Paduka berkata demikian...."
"Yung Ceng, Kong Tek Jin adalah seorang yang amat setia!"
Akan tetapi Yung Ceng sudah meloncat dan menyambar pundak thaikam itu, mengangkatnya dan membantingnya ke atas lantai.
"Brukkk....!" Thaikam yang gendut itu mengeluh dan ketika para pengawal dalam bergerak maju, Yung Ceng bertolak pinggang dan membentak, "Kalian mundur! Berani melawan Pangeran Mahkota?"
Tentu saja para pengawal itu meragu dan mereka memandang ke arah Sri Baginda. Kalau Sri Baginda memberi aba-aba atau isyarat, tentu tanpa ragu-ragu lagi mereka akan menerjang pangeran itu. Akan tetapi Sri Baginda diam saja, hanya memandang kepada puteranya dan kembali Yung Ceng membentak, "Kalian keluar dari sini, jaga di luar pintu kamar!" Kembali para pengawal memandang kepada kaisar. Sekali ini kaisar mengangguk dan menggerakkan tangan memberi isyarat agar mereka keluar.
Setelah para pengawal keluar, Yung Ceng berkata kepada ayahnya, "Sekarang hamba akan membuktikan siapa adanya manusia macam ini!"
Dia sudah mendekati Thaikam Kong Tek Jin, menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah tengkuk thaikam itu, lalu menghardik, "Hayo kau mengaku sebenarnya! Bukankah seluruh keluargamu telah kaudatangkan ke sini dan kauangkat menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi? Hayo jawab, kalau membohong akan kuhancurkan kepalamu sekarang juga?"
Sambil berkata demikian, Yung Ceng menggunakan tangannya mencengkeram jalan darah di tengkuk yang menimbulkan rasa nyeri yang amat hebat. Thaikam itu ketakutan karena dia tahu bahwa pangeran ini memang berilmu tinggi. Dia harus menyelamatkan diri dulu, baru kelak mencari jalan untuk melenyapkan pangeran ini. Sekarang, dia benar-benar tidak berdaya dan kalau dia membohong, tentu dia benar-benar akan dibunuh.
"Be.... benar, Pangeran. Akan tetapi apakah salahnya itu? Tentu saja hamba ingin menolong keluarga hamba...."
"Dan untuk itu kau memecat pejabat-pejabat lama? Dan engkau sudah menumpuk harta kekayaan berlimpah-limpah? Engkau sudah makan sogokan dari pembesar-pembesar bawahan agar engkau suka membujuk Kaisar demi keuntungan mereka, bukan?"
"Ini.... ini...."
"Hayo katakan yang benar! Bukankah Gubernur Ho-nan telah mengirimkan seribu tail emas dan dua buah kereta bertabur emas kepadamu baru-baru ini?" Yung Ceng mendengar ini semua dari Pangeran Yung Hwa. "Dan dengan pemecatan Jenderal Kao Liang, engkau memperolah hadiah sepeti permata dari Panglima Ciu yang diangkat menjadi panglima penggantinya? Dan engkau juga telah menyuruh orang-orang untuk membasmi keluarga Yauw, ketika pembesar Yauw bermaksud untuk membongkar kepalsuanmu di depan Kaisar? Hayo jawab, tidak benarkah semua itu?"
"Ti.... tidak.... tidak...."
Yung Ceng mencabut pedang pendeknya. "Crottt....!" Ujung pedang itu menusuk paha sampai beberapa senti dalamnya, dan dia mencengkeram otot di punggung sehingga thaikam itu memekik-mekik seperti seekor babi disembelih saking nyerinya. "Hayo kau menjawab, benarkah semua itu?"
"Ya.... ya.... benar....!" Thaikam Kong Tek Jin menangis, akan tetapi diam-diam dia bersumpah untuk membalas pangeran ini.
"Sekarang, katakan, bukankah engkau tahu pula bahwa Gubernur Ho-nan akan memberontak? Hayo jawab!"
Tubuh thaikam itu menggigil. "Hamba.... hamba tidak ikut-ikut...."
"Tapi engkau tahu?"
"Ya.... ya...."
Kaisar kini mengerutkan alisnya. "Kong Tek Jin! Engkau tahu ada gubernur hendak memberontak dan kau tidak melaporkan kepada kami?"
"Ha mba.... hamba tidak berani.. .. hamba...."
"Yung Ceng, kiranya benar pelaporanmu. Keadaan sudah demikian buruk, sama sekali tidak kusangka. Suruh bawa dia pergi!"
Yung Ceng memanggil pengawal. "Seret dia ke dalam tahanan!"
Kini kaisar memandang puteranya dengan kagum. Lalu dia mencabut pedangnya, pedang kerajaan yang merupakan lambang kekuasaan, menyerahkannya kepada pangeran itu. "Terimalah ini dan kauwakili aku melakukan pembersihan di dalam dan di luar istana. Aku sudah lelah, aku ingin beristirahat dan jangan ganggu aku dengan tugasmu itu. Harus kauselesaikan seluruhnya dan kalau sudah selesai saja melaporkan kepadaku."
Pangeran Yung Ceng menerima pedang pusaka itu sambil berlutut, menghaturkan terima kasih dan meninggalkan kamar ayahnya. Mulailah pangeran mahkota ini melakukan pembersihan. Tindakannya yang pertama adalah menangkapi para thaikam yang menjadi kaki tangan Thaikam Kong Tek Jin, menjatuhkan hukuman mati! Dan semua pembesar yang diangkat oleh para thaikam ini, para keluarga thaikam dan sobat-sobat mereka, yang memperoleh kedudukan dengan jalan menyogok, dipecat dari kedudukannya dan ada pula yang dijatuhi hukuman.
Kota raja geger! Para pembesar palsu yang kerjanya hanya korupsi dan menumpuk kekayaan pribadi tanpa menghiraukan tugas-tugasnya menggigil. Mereka tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan dalam keadaan seperti itu, sogok-menyogok makin menghebat karena mereka yang merasa terancam, kembali mencari perlindungan dengan cara sogok sana sogok sini. Kalau dunianya para koruptor itu geger, adalah para petugas yang setia dan jujur merasa bersyukur sekali. Mereka seolah-olah melihat cahaya terang, melihat matahari muncul kembali di tengah-tengah kegelapanan yang ditimbulkan oleh awan tebal yang sudah bertahun-tahun mengancam kerajaan.
Setelah pembersihan di dalam istana dilakukan, Yung Ceng melanjutkan tindakannya dengan melakukan pembersihan-pembersihan di luar istana atas nama kaisar. Gubernur Ho-pei cepat menghadap dan barulah sekarang dia berani melapor tentang sikap memberontak Gubernur Ho-nan. Sebelum ini, dia sama sekali tidak berani melaporkan kepada kaisar, karena maklumlah gubernur ini bahwa melaporkan akan percuma saja, sama sekali tidak akan diterima oleh kaisar, bahkan sebaliknya akan membahayakan dia sekeluarganya karena yang dihadapi bukan kaisar melainkan para thaikam yang berkuasa seolah-olah melebihi kaisar.
Ketika mendengar pelaporan Gubernur Ho-pei betapa fihak pemberontak, yaitu Gubernur Ho-nan diam-diam telah bersekutu dengan kerajaan Nepal, bahkan mendirikan benteng di perbatasan propinsi, di lembah Sungai Huang-ho, dia terkejut dan marah sekali. Dia maklum akan bahayanya perang saudara, maka pangeran mahkota ini lalu teringat akan Puteri Milana. Dia segera menyebar orang-orang untuk mencari Puteri Milana, karena dia tahu bahwa puteri itu adalah seorang yang paling boleh diandalkan untuk menanggulangi ancaman bahaya pemberontakan itu. Dia tidak mau sembrono mengirim pasukan, karena hal itu akan menimbulkan perang saudara yang akan membuat rakyat menderita sengsara.
Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Puteri Milana bersama Pendekar Sakti Gak Bun Beng, telah meninggalkan dunia ramai. Puteri Milana adalah puteri dari Pendekar Super Sakti Suma Han majikan Pulau Es. Ibunya adalah Puteri Nirahai. Seperti telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, Puteri Milana meninggalkan istana, minggat setelah suaminya, yaitu mendiang Panglima Han Wi Kong, membunuh Pangeran Liong Bin Ong. Selain untuk membunuh seorang pemberontak dan pengkhianat, pembunuhan atas diri pangeran ini dilakukan oleh Han Wi Kong sebagai cara untuk membunuh diri karena dia ingin memberi kebebasan kepada Puteri Milana yang menjadi isterinya hanya dalam nama saja. Dia tahu isterinya itu mencinta Gak Bun Beng, maka semenjak menikah, belum pernah dia mendekati isterinya dan belum pernah mereka tidur bersama.
Demikianlah, Puteri Milana akhirnya bertemu dan berkumpul juga dengan pria yang dicintanya, satu-satunya pria yang pernah dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Akan tetapi, atas permintaan Gak Bun Beng yang tidak ingin mendengar nama kekasihnya ini cemar dan tertimpa aib, sebagai janda bangsawan, seorang puteri istana, menikah lagi dengan dia, maka dia mengajak kekasihnya yang menjadi isterinya itu ke tempat sunyi, jauh dari dunia ramai. Mereka berdua meninggalkan segala kericuhan hidup di dunia ramai dan tinggal di sebuah puncak, satu di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san, yaitu puncak yang disebut puncak Telaga Mawar karena di situ terdapat sebuah telaga kecil yang penuh dengan pohon bunga mawar.
Suami isteri ini seolah-olah hendak menebus segala kerinduan mereka bertahun-tahun yang lalu, belasan tahun penuh kerinduan ketika mereka dahulu saling berpisah. Kini mereka itu seolah-olah tenggelam dan berenang di dalam lautan madu asmara, mencurahkan seluruh perasaan cinta kasih satu kepada yang lain di tempat sunyi di pondok mereka dekat telaga, di tengah-tengah suasana tenang dan hening yang diliputi keharuman bunga-bunga mawar. Dalam waktu satu tahun saja, Puteri Milana yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu melahirkan dua orang anak kembar, dua orang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Tentu saja mereka merasa bahagia sekali, akan tetapi Puteri Milana menjadi repot juga karena tiba-tiba saja dia harus mengurus dua orang anak! Padahal dia adalah seorang puteri istana yang lebih biasa bermain pedang daripada mengurus anak. Namun, karena Gak Bun Beng yang menjadi suaminya itu penuh kasih sayang kepadanya dan membantunya, maka kedua orang itu mengurus anak-anak mereka dengan baik, dengan cara gotong royong.
Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Dia memiliki bermacam-macam ilmu silat yang amat tinggi, di antaranya adalah ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai, ilmu-ilmu sinkang Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang dari Pulau Es. Ilmu Silat Sam-po Cin-keng yang mujijat, tenaga sakti Inti Bumi yang didapatnya dari gembong Pulau Neraka yaitu Butek Siauw-jin, dan dia bahkan pernah menerima ilmu mujijat dari Koai-lojin, yaitu Ilmu Lo-thian Kiam-sut yang sukar ditemukan tandingannya.
Akan tetapi Puteri Milana juga bukan orang sembarangan. Sebagai puteri dari Pendekar Super Sakti, tentu saja dia mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari ayahnya dan ibunya, bahkan dia memiliki kelebihan dari suaminya yang sakti itu dalam hal ilmu perang. Dia mewarisi ilmu perang dari ibunya, bahkan ilmu ini diperdalamnya ketika dia berada di istana, dan ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh dua orang pamannya, yaitu kedua orang Pangeran Liong, dia telah memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak-pemberontak di perbatasan utara itu (baca Kisah Sepasang Rajawali).
Memiliki ayah dan ibu seperti ini, sudah barang tentu kalau dua orang anak kembar itu semenjak kecil menerima gemblengan dari ayah bundanya sehingga mereka pun tumbuh menjadi anak-anak yang luar biasa. Selain menggembleng anak-anak mereka dengan dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga pendekar Gak Bun Beng dan Puteri Milana tidak lupa untuk memberi pelajaran "bun" (sastra) kepada dua orang anak itu agar mereka kelak tidak menjadi orang-orang buta huruf yang hanya akan mengandalkan kekuatan badan
dan menjadi orang-orang kasar.
Pondok mereka yang sederhana itu, bersama sebidang tanah yang kini telah mereka olah menjadi kebun sayur dan bunga, berada di puncak, di tepi telaga dan terkurung oleh jurang dan bukit-bukit. Tempat ini aman dan tenteram sekali, dan tidak mungkin didatangi orang dari jurusan lain kecuali melalui telaga. Hanya dengan menyeberangi telaga itulah orang dari jurusan atau tempat lain di seberang telaga dapat mengunjungi pondok suami isteri pendekar ini. Oleh karena itu, jarang sekali ada orang datang ke tempat itu, dan hanya setelah dua orang anak kembar mereka mulai besar dan mengerti, suami isteri ini kadang-kadang mengajak dua orang anak mereka untuk mengunjungi dusun-dusun di seberang telaga agar mereka jangan sampai terasing dari hubungan antara manusia. Para penghuni dusun-dusun di seberang telaga mengenal suami isteri dan dua orang anak kembarnya ini, yang mereka anggap sebagai orang-orang luar biasa yang mengasingkan diri.
Setelah Gak It Kong dan Gak Goat Kong, nama dua orang anak kembar itu, berusia enam tahun, mereka telah menjadi anak-anak luar biasa yang memiliki kepandaian jauh melebihi anak-anak biasa. Orang tua mereka memberi mereka nama dengan mengambil huruf Jit (Matahari) dan Goat (Bulan) untuk menunjukkan kekembaran mereka. Akan tetapi dua orang anak itu pun mulai mengerti keadaan dan mereka mulai merasa heran dan penasaran, juga tidak puas melihat betapa mereka hidup terasing di tempat itu, padahal di dusun-dusun di seberang telaga terdapat banyak manusia lain. Mereka telah pandai membaca dan dari kitab-kitab yang mereka baca, mereka tahu bahwa yang hidup mengasingkan diri hanyalah pertapa-pertapa atau orang-orang jahat yang menjadi buronan. Padahal ayah bunda mereka bukan pertapa. Apakah ayah bunda mereka buronan? Agaknya tidak mungkin.
Rasa penasaran ini membuat mereka pada suatu malam, sehabis makan malam, mengajukan pertanyaan kepada ayah bunda mereka.
"Ayah, mengapa kita hidup di tempat sunyi dan terasing ini? Mengapa kita tidak tinggal di tempat yang banyak ditinggali manusia lain seperti di dusun-dusun itu?" kata It Kong.
"Kenapa kita tidak pernah pergi melakukan perjalanan mengunjungi kota-kota besar dan kota raja seperti yang sering Ibu ceritakan? Katanya Ibu adalah cucu kaisar, kenapa sekarang tinggal di tempat sunyi begini?" Goat Kong menyambung. Karena It Kong lahir lebih dulu, maka Goat Kong ini terhitung adik, akan tetapi dia tidak pernah mau menyebut kakak kepada It Kong.
Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata ini Milana menyerahkan jawaban-jawaban itu kepada suaminya. Maka Gak Bun Beng lalu memegang tangan kedua orang puteranya, menarik mereka dan merangkul mereka, lalu berkata, "Ketahuilah, anak-anakku. Kita memang sengaja tinggal di tempat sunyi, jauh dari keramaian. Bukankah tempat ini indah sekali dan kita hidup bahagia? Di tempat-tempat ramai, terutama sekali di kota-kota besar, terdapat banyak keributan, terdapat banyak orang-orang jahat yang suka mengganggu orang lain."
"Akan tetapi kita tidak perlu takut!" Jit Kong berkata.
"Benar, perlu apa kita belajar silat kalau takut orang jahat!" Goat Kong menyambung.
Gak Bun Beng tersenyum dan diam-diam dia bangga melihat sifat gagah itu ada pada diri dua orang puteranya.
"Sama sekali kita tidak takut, anak-anakku. Akan tetapi perlu apakah kita mendekati tempat-tempat di mana orang-orang saling bermusuhan? Di sini kita hidup tenang dan damai."
"Akan tetapi aku ingin melihat banyak orang di kota besar!" kata Jit Kong.
"Dan aku ingin melihat kaisar!" kata Goat Kong.
Melihat suaminya kewalahan menghadapi desakan dua orang anaknya, Milana lalu turun tangan membantu dan berkata, "Jit Kong dan Goat Kong, kalian masih terlalu kecil untuk pergi ke tempat ramai dan bertemu dengan orang-orang jahat. Belajarlah baik-baik dan kalau kalian kelak sudah dewasa, sudah memiliki kepandaian tinggi, baru tiba saatnya kalian boleh mengunjungi tempat-tempat ramai itu. Aku sendiri yang akan membawa kalian ke kota raja dan menghadap kaisar."
"Benar, kata Ibumu," Bun Beng menyambung dengan hati lega. "Dan ingatlah, di dunia ini banyak berkeliaran manusia-manusia jahat. Oleh karena itu, kalian pun tidak boleh mengunjungi dusun-dusun di seberang tanpa ayah ibumu. Mengertikah kalian?"
Dua orang anak itu mengangguk, akan tetapi saling lirik karena hati mereka sesungguhnya tidak merasa puas. Betapapun juga, janji ibu mereka itu amat menarik hati dan mereka makin rajin berlatih ilmu silat sehingga ayah bunda itu merasa girang sekali.
Pada suatu pagi, seperti biasa, Jit Kong dan Goat Kong bermain-main di telaga, mendayung sebuah perahu kecil. Mereka harus mencari ikan, akan tetapi karena semenjak pagi tadi mereka memancing namun belum juga memperoleh hasil, mereka lalu bermain-main dan mandi di telaga. Mereka menanggalkan pakaian mereka di atas perahu dan dari perahu itu mereka terjun ke air yang jernih, berenang ke sana-sini sambil tertawa-tawa, berkejaran, menyelam dan saling siram dengan air.
"Hayo kita berlumba mengejar perahu!" Jit Kong berkata sambil tertawa-tawa dan mengusap air dari mukanya.
"Baik, yang kalah nanti harus mendayung perahu sampai ke pinggir ketika pulang!" jawab Goat Kong.
Mereka lalu berenang ke arah perahu mereka, lalu bersama-sama mereka mengerahkan tenaga menggunakan tangan mereka mendorong perahu yang meluncur cepat ke tengah telaga. Mereka lalu berenang secepatnya mengejar dan berlumba. Keduanya memang pandai renang, terlatih sejak masih kecil. Akan tetapi, sejak kecil Jit Kong memang memiliki dasar tenaga lebih besar, akan tetapi Goat Kong memiliki dasar gerakan yang lebih cepat, maka ketika berlumba mengejar perahu ini, gerakan Goat Kong lebih cepat
dan kakaknya tertinggal setengah badan ketika dia lebih dulu memegang perahu dan meloncat ke dalamnya sambil berpegang kepada bibir perahu.
"Aku menang....!" soraknya, mentertawai Jit Kong.
"Kau berenang seperti ikan saja!" Jit Kong kini juga meloncat ke dalam perahu. Mereka tertawa-tawa.
Akan tetapi, tiba-tiba Goat Kong memegang tangan kakaknya. "Jit Kong, lihat! Ada perahu.. ..!"
Jit Kong cepat memutar tubuh dan memandang. Benar saja. Ada sebuah perahu didayung cepat ke tengah telaga, datang dari seberang dan agaknya menuju ke tempat tinggal mereka.
"Wah, lihat pakaian mereka!" Jit Kong berbisik.
Dua orang anak ini mendekam di atas perahu mereka dan memandang. Perahu itu ditumpangi oleh dua orang yang berpakaian seperti tentara, bertubuh tinggi besar dan mereka mendayung perahu dengan kuat sehingga perahu itu meluncur cepat sekali.
"Pakaian mereka seperti gambar tentara...." bisik Goat Kong.
"Celaka, agaknya Ayah benar-benar seorang buruan dan mereka tentu datang hendak menangkap Ayah," kata Jit Kong. Dua orang anak itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat.
"Kita harus halangi mereka...." bisik Goat Kong. Kakaknya mengangguk dan bagaikan dua ekor ikan saja, dua orang anak yang masih telanjang itu lalu meluncur ke dalam air dan berenang cepat menghadang perahu yang meluncur dari depan itu. Ketika perahu meluncur dekat, keduanya cepat menyelam.
Dua orang yang berpakaian perwira itu mendayung perahu dan memandang ke arah perahu kecil itu dengan heran. Perahu kecil itu kosong, tidak ada orangnya dan di dalam perahu terdapat tumpukan pakaian!
"Eh, tadi seperti kulihat ada dua orang bocah di perahu itu," kata perwira yang tua, yang rambutnya sudah putih semua.
"Benar, Souw-ciangkun, saya tadi pun melihatnya. Entah di mana mereka sekarang," kata perwira yang lebih muda, yang bertubuh tinggi besar.
"Ehhh....!" "Heiiiii....!"
Mereka berdua berteriak dengan kaget karena tiba-tiba saja perahu mereka itu miring! Mereka berusaha untuk menekan perahu, akan tetapi percuma saja karena tiba-tiba perahu itu terbalik dan mereka ikut terjatuh ke dalam air.
"Tolooooonggg....!" Perwira tua yang disebut Souw-ciangkun tadi berteriak. Dia adalah seorang perwira yang gagah perkasa, akan tetapi di darat. Kalau di air, dia sama sekali tidak bisa apa-apa, karena berenang pun dia tidak mampu, maka tentu saja dia menjadi ketakutan dan gelagapan, kedua tangannya meraih-raih udara kosong dan mulutnya berteriak minta tolong sebelum kepalanya tenggelam.
Perwira tinggi besar itu dapat berenang, akan tetapi juga tidak ahli. Maka ketika dia berenang mendekati dan mencoba untuk menolong temannya, perwira tua itu menangkap lengannya dengan panik dan hal ini menghalangi temannya untuk berenang sehingga keduanya tenggelam!
Jit Kong dan Goat Kong yang sudah kembali ke perahu mereka, memandang ke arah dua orang yang sedang bergumul itu dengan mata terbelalak.
"Kita tidak boleh membunuh orang," kata Jit Kong.
"Ya, dan mereka itu tidak pandai renang," sambung Goat Kong.
"Kalau dibiarkan, tentu mereka akan mati."
"Karena itu, kita harus menolong mereka."
Kedua orang anak itu lalu terjun ke air, menyelam dan berenang ke arah dua orang perwira yang sudah mulai lemah gerakan-gerakan mereka itu, sebentar timbul sebentar tenggelam seperti dua ekor ayam terjatuh ke air. Ketika dua orang anak itu berhasil menjambak rambut mereka dan membawa mereka berenang ke perahu kecil itu, mereka berdua sudah tidak bergerak lagi, perut mereka agak kembung dan mereka tidak sadarkan diri.
Melihat mereka pingsan, Jit Kong dan Goat Kong terkejut dan ketakutan. "Celaka, mereka sudah mati!" teriak Jit Kong.
"Hayo cepat bawa pulang, biar diobati Ayah!" kata Goat Kong.
"Tapi.... tapi kita tentu akan mendapat marah. Kita telah membunuh orang!"
"Biarpun begitu, kita harus bertanggung jawab. Seorang gagah selalu akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya."
Semua ucapan yang keluar dari mulut dua orang anak itu adalah hasil ajaran orang tua mereka. Maka, biarpun mereka merasa sangat takut dan mengira bahwa dua orang itu telah mati sehingga mereka akan menerima kemarahan ayah mereka, namun mereka tidak ragu-ragu lagi untuk cepat mendayung perahu pulang dan setibanya di tepi telaga, Jit Kong sudah meloncat dan lari secepatnya menuju ke pondok, sedangkan Goat Kong menjaga perahu di mana dua orang perwira itu masih menggeletak tak bergerak dengan wajah pucat.
Tak lama kemudian Gak Bun Beng datang berlarian bersama Isterinya, mengikuti Jit Kong yang datang memberi tahu kepada mereka tentang dua orang perwira itu. Ketika melihat mereka menggeletak pingsan Bun Beng cepat menelungkupkan mereka dan memaksa air keluar dari dalam perut mereka, kemudian mengurut dada dan punggung sampai mereka siuman kembali.
Begitu mereka siuman dan perwira yang sudah berusia lanjut dan rambutnya putih semua itu melihat Milana, dia segera mengenalnya dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu. "Ah, sungguh beruntung sekali hamba, akhirnya dapat bertemu dengan Paduka Puteri!" Kakek ini memang merasa terkejut, terheran-heran dan juga girang bukan main karena sama sekali tidak disangkanya bahwa dia akan dapat bertemu dengan orang yang dicari-carinya itu! Mereka berdua adalah dua di antara para perwira yang diutus oleh Pangeran Yung Ceng untuk mencari Puteri Milana. Dari para penghuni dusun di seberang mereka mendengar bahwa di tempat itu tinggal dua orang suami isteri pertapa yang masih muda dan aneh, bersama dua orang anak mereka.
Mendengar betapa suami isteri "pertapa" ini mengasingkan diri selama beberapa tahun, dua orang utusan itu merasa heran dan mereka lalu menggunakan sebuah perahu untuk pergi menyelidiki. Akan tetapi mereka bertemu dengan Jit Kong dan Goat Kong sehingga hampir saja mereka mati tenggelam di telaga.
"Siapakah kalian?" Milana bertanya sambil mengerutkan alisnya, sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang akan mengenalnya sebagai puteri istana.
"Maaf, hamba telah berani datang mengganggu. Hamba adalah Souw Ciat, dan dia ini adalah Ciang Sim To," kata perwira tua sambil menunjuk kepada temannya yang juga sudah menjatuhkan diri berlutut ketika mendengar ucapan Souw Ciat. Baru sekarang dia juga mengenal Milana yang berpakaian sederhana seperti seorang wanita petani biasa itu.
"Hamba berdua adalah perwira-perwira pengawal dari istana, hamba diutus oleh sri baginda kaisar mencari Paduka Puteri Milana yang mulia."
Mendengar ini, Gak Bun Beng lalu berkata, "Sebaiknya mari kita ke pondok dan di sana kita dapat bicara dengan baik."
Dua orang perwira itu kini pun teringat kepada pendekar ini yang pernah menjadi tokoh terkenal di kota raja, maka Souw-ciangkun lalu menjura, diikuti oleh temannya, kepada pendekar itu sambil berkata, "Terima kasih atas kebaikan Taihiap."
Mereka berempat diikuti oleh dua orang anak kembar, segera menuju ke pondok di mana Jit Kong dan Goat Kong menyalakan perapian sehingga dua orang perwira itu dapat menghangatkan tubuh mereka dan mengeringkan pakaian mereka. Kemudian, dua orang anak kembar yang sudah biasa bekerja membantu ibu mereka itu menghidangkan arak kepada dua orang tamu itu yang memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata terheran-heran dan juga penuh curiga.
"Kalau tidak berkat pertolongan dua orang Kongcu ini, tentu kami telah tewas," kata Ciang Sim To kepada Bun Beng.
Pendekar itu menarik napas panjang. "Kami telah mendengar penuturan dua orang putera kami, Ji-wi Ciangkun, dan harap Ji-wi suka memaafkan mereka yang masih anak-anak sehingga belum dapat membedakan orang. Mereka mengira bahwa Ji-wi datang dengan niat buruk, maka mereka telah lancang menggulingkan perahu dan menangkap Ji-wi."
"Jit Kong, Goat Kong, hayo cepat minta maaf kepada kedua Ciangkun ini!" Milana berkata kepada kedua orang putera kembarnya.
Jit Kong dan Goat Kong cepat melangkah maju menghadap dua orang perwira itu, menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada, membungkuk dan berkata, "Harap Ji-wi Ciangkun sudi memaafkan kami berdua." Mereka mengeluarkan kata-kata yang sama dan hampir berbareng, tanda bahwa ucapan itu keluar dari hati mereka sendiri bukan saling mengikuti saja.
Souw-ciangkun dan temannya cepat membalas dan perwira tua ini berkata kagum, "Ah, sungguh hebat sekali! Ji-wi Kongcu ini masih begini muda, akan tetapi telah memiliki kepandaian hebat sehingga kami dua orang perwira bangkotan telah dibuat tidak berdaya! Haha-ha, betapa bahagianya hati hamba menyaksikan putera-putera Paduka yang begini tampan dan gagah perkasa!"
"Ji-wi Ciangkun, sekarang ceritakanlah tentang tugas Ji-wi mencari aku, dan mengapa pula kaisar mengutus Ji-wi," kata Milana.
Pangeran Yung Ceng demikian bersemangat untuk menemukan dan memanggil Puteri Milana sehingga setiap rombongan tentu dibawai surat untuk Sang Puteri. Juga Souw-ciangkun tidak ketinggalan membawa sepucuk surat. Untung bahwa surat itu disimpannya di dalam kantung kulit sehingga tidak basah ketika dia terjatuh ke air telaga tadi. Dengan sikap hormat dia menyerahkan surat itu kepada Milana yang segera, membuka dan membacanya. Tidak salah memang. Surat itu adalah surat dari pamannya, putera kaisar yang masih amat muda itu. Biarpun Yung Ceng dan Yung Hwa jauh lebih muda daripada Milana, namun dua orang pangeran muda ini termasuk pamannya, karena mereka adalah putera-putera kaisar, sedangkan dia sendiri adalah cucu kaisar. Di dalam surat itu, jelas Pangeran Yung Ceng mengharapkan kedatangannya di istana karena di istana timbul hal-hal yang membutuhkan bantuan Puteri Milana untuk ditanggulangi.
Milana mengerutkan alisnya. "Yang mengutus Ji-wi bukan sri baginda kaisar, melainkan putera mahkota," tegurnya.
"Harap Paduka maafkan hamba berdua," jawab Souw Ciat. "Oleh karena sri baginda kaisar telah menyerahkan pedang kekuasaan kepada pangeran mahkota, maka kekuasaan beliau tiada bedanya dengan kekuasaan sri baginda kaisar, maka hamba menganggap bahwa yang mengutus hamba juga dari baginda kaisar sendiri."
"Hemmm, apakah yang terjadi di istana maka kaisar menyerahkan pedang kekuasaan kepada Paman Pangeran Yung Ceng?"
Souw-ciangkun lalu menceritakan keadaan di kota raja dengan jelas. Sebagai seorang panglima pengawal yang setia dia ikut merasa lega dan gembira atas tindakan pangeran mahkota itu maka dia dapat bercerita dengan jelas tentang diberantasnya penyelewengan-penyelewengan oleh Pangeran Yung Ceng, betapa para thaikam ditangkapi dan dihukum, dan banyak pula pembesar korup yang dihukum.
"Ah, mengapa terjadi hal demikian? Apakah kesalahan para thaikam itu?" tanya Milana dengan heran.
"Mereka telah menguasai istana dan membujuk sri baginda kaisar melakukan pemecatan-pemecatan terhadap pembesar-pembesar yang setia. Bahkan Jenderal Kao Liang yang telah menjadi panglima besar itu pun dipecat."
"Ehhh....?" berita ini amat mengejutkan hati Milana dan Bun Beng. Mereka berdua mengenal siapa, adanya Jenderal Kao Liang, seorang yang amat setia dan tangguh, yang amat besar jasanya terhadap kerajaan yang telah berkali-kali menyelamatkan kerajaan dari ancaman pemberontakan-pemberontakan, bahkan yang terakhir, lima enam tahun yang lalu, juga menyelamatkan negara dari pemberontakan dua orang Pangeran Liong.
"Dia dipecat?" Milana menegaskan dengan hati penasaran.
"Bukan dipecat begitu saja, melainkan dipensiun dan diperkenankan mengundurkan diri dan pulang ke kampung halaman. Akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa hal itu merupakan pemecatan dan pengusiran secara halus." Souw-ciangkun memberi penjelasan.
"Kalau Paman Pangeran Mahkota sudah melakukan tindakan tegas itu dan para pembesar lalim telah dibasmi, perlu apalagi menyuruh Ji-wi mencari aku?" tanya Milana yang merasa enggan untuk pergi ke kota raja mencampuri urusan pemerintah.
Souw-ciangkun lalu menceritakan tentang ancaman pemberontakan yang agaknya akan dicetuskan oleh Gubernur Ho-nan. "Maafkan hamba, sesungguhnya hamba tidak tahu jelas akan persoalannya, dan tentu saja pangeran mahkota tidak menceritakan kepada hamba. Akan tetapi karena hamba melaksanakan tugas mencari Paduka, maka hamba memperlengkapi diri dengan pengetahuan akan hal-hal itu sehingga kalau Paduka bertanya hamba sudah dapat memberi penjelasan. Mengenai pemberontakan yang agaknya akan dilakukan oleh Gubernur Ho-nan, dimulai ketika Pangeran Yung Hwa menjadi utusan kaisar mengunjungi Propinsi Ho-nan." Souw-ciangkun lalu menceritakan segala yang telah didengarnya tentang peristiwa yang terjadi atas diri Pangeran Yung Hwa dan Gubernur Ho-pei. Milana dan Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Malah akhir-akhir ini terdapat berita bahwa Gubernur Ho-nan agaknya hendak bersekutu dengan mata-mata dari Nepal, dan mengumpulkan banyak orang pandai di lembah Sungai Huang-ho. Oleh karena itulah agaknya maka pangeran mahkota hendak minta bantuan Paduka."
Milana saling pandang dengan suaminya. Mereka maklum bahwa keadaan tentu amat gawat, maka sampai Pangeran Yung Ceng mencari Milana. Biarpun mereka sekeluarga telah menjauhkan diri dan tidak mau berurusan dengan persoalan dunia, akan tetapi mendengar adanya ancaman terhadap kerajaan, tergerak juga hati Milana.
"Baiklah, Souw-ciangkun. Kalian berdua telah berhasil menemukan aku dan telah menyampaikan surat Paman Pangeran Yung Ceng. Sekarang kembalilah kalian ke kota raja, dan permintaan dari istana itu akan kami pertimbangkan. Souw-ciangkun memandang dengan wajah berseri, lalu bertanya, "Apakah Paduka tidak menitipkan surat jawaban kepada pangeran mahkota melalui hamba?"
"Tidak usah. Sampaikan saja secara lisan bahwa aku telah menerima surat beliau dan bahwa permintaan itu akan kami pertimbangkan. Begitu saja. Sekarang, harap kalian suka pergi meninggalkan tempat ini dan jangan, memberitahukan kepada orang lain kecuali pangeran mahkota tentang kami dan tempat tinggal kami."
Dua orang perwira pengawal itu memberi hormat, minta diri dan mereka diantar oleh Bun Beng sendiri yang menggunakan perahunya karena perahu mereka tadi entah hanyut ke mana. Mereka diantar sampai ke seberang telaga, lalu pendekar itu kembali pulang dan segera dia memperbincangkan persoalan panggilan dari kota raja. Itu bersama isterinya. Akhirnya, karena Milana berkeras untuk membela kerajaan yang terancam bahaya sebagai puteri istana, diambiliah keputusan bahwa puteri itu akan berangkat sendiri ke kota raja melihat keadaan. Gak Bun Beng tinggal di rumah bersama putera mereka. Pada keesokan harinya, berangkatlah Milana yang berganti pakaian ringkas dan membawa pedangnya sehingga kini dia berubah dari seorang wanita petani menjadi seorang pendekar wanita yang cantik dan gagah.
"Ohhh.. .. hu-hu-huuuhhhhh....!"
Dia menangis menutupi matanya dengan kedua tangan, terisak-isak dan menjatuhkan dirinya di atas rumput tebal di bawah pohon dalam hutan sunyi itu. Dia masih mengenakan pakaian pria, pakaian seorang pemuda dan dengan pakaian itu dia telah menggunakan nama Kang Swi, memasuki sayembara dan berhasil menjadi perwira pengawal Gubernur Ho-nan. Akan tetapi, sungguh dia tidak sangka bahwa rahasianya terbuka secara demikian memalukan! Dalam keadaan pingsan, pemuda yang bernama Siauw Hong itu telah meraba dadanya! Dia tahu bahwa Siauw Hong telah menolongnya, telah menyembuhkannya dari luka berat. Akan tetapi dia tidak peduli. Pemuda itu telah meraba dadanya! Dia harapkan pukulannya itu akan membunuh Siauw Hong! Kalau tidak, percuma saja dia menyamar setelah rahasianya kini terbuka.
"Hu-hu-huuuhhhhh.... sialan....!" Pemuda yang ternyata adalah seorang dara itu kembali menangis. Akan tetapi, betapapun keras dia menangis, di tempat sunyi itu siapa yang akan mendengarnya atau menghiburnya?
Kita mengenal pemuda itu sebagai Kang Swi, pemuda royal yang melakukan perjalanan bersama Siluman Kecil atau Kian Bu dan Siauw Hong ke kota raja Ho-nan dan bersama Siauw Hong memasuki sayembara dan berhasil diangkat menjadi perwira pengawal Gubernur Ho-nan. Akan tetapi ketika dia bertemu dengan Kim Cui Yan yang menangkap Jenderal Kao Liang dan dia menolong jenderal itu, dia berkelahi melawan Kim Cui Yan yang amat lihai dan terkena pukulan Swat-im Sin-ciang sehingga roboh pingsan. Kemudian, ketika Siauw Hong menolong bekas sahabatnya itu, Siauw Hong mendapatkan kenyataan bahwa "pemuda" royal itu adalah seorang wanita muda!
Memang demikianlah sesungguhnya. Kang Swi hanyalah merupakan satu di antara penyamaran gadis yang selain pandai ilmu silatnya, juga ahli dalam hal ilmu menyamar dan "ilmu" mencuri itu! Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia (Si Nona Merah), julukan yang didapatnya karena dia suka berpakaian merah muda. Seperti telah kita ketahui, Ang-siocia yang cantik ini adalah murid dari Hek-sin Touw-ong yang terkenal sebagai raja pencuri yang tinggal di pantai Po-hai. Dan seperti telah kita ketahui pula, ketika Siluman Kecil atau Kian Bu bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin, untuk menebus kekalahannya lima tahun yang lalu dan akhirnya berhasil mengalahkan kakek itu, nona ini muncul dan mencuri barang-barang pusaka peninggalan Suling Emas yang ditinggalkan oleh Sin-siauw Seng-jin setelah dia mengakui kekalahannya terhadap Siluman Kecil.
Gadis ini bukan hanya merupakan murid yang tersayang dari Hek-sin Touw-ong, akan tetapi juga anak angkatnya yang amat dicinta oleh kakek raja maling itu. Oleh karena itu, maka hampir seluruh ilmu kepandaian kakek itu diajarkan kepada Ang-siocia yang bernama Kang Swi Hwa itu. Karena terlalu disayang ini agaknya, maka setelah digembleng sejak kecil, Swi Hwa menjadi seorang gadis yang manja, keras, bicaranya tajam, dan menonjolkan sifat kewanitaannya dengan berani sehingga kelihatannya agak genit. Namun dia cantik sekali dan amat cerdas otaknya sehingga semua pelajaran yang diterimanya dapat dia kuasai, terutama sekali ilmu mencuri dan menyamar. Setelah menguasai ilmu penyamaran itu, di dalam saku-saku bajunya tidak pernah tertinggal alat-alat menyamar sehingga dia dapat menyulap dirinya dalam waktu singkat menjadi orang yang dikehendakinya, bahkan dengan mudahnya dia dapat menyamar sebagai pria tanpa ada yang dapat menduganya.
Ketika dia mewakili ayahnya menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Hek-hwa Lo-kwi di lembah Sungai Huang-ho, kita telah mengenal kelihaian Kang Swi Hwa atau Ang-siocia ini. Biarpun belum selihai gurunya atau ayah angkatnya, namun ilmu Kiam-to Sin-ciang yang dikuasainya amat dahsyatnya. Dalam keadaannya itu, sebagai seorang dara yang berkepandaian tinggi, mempunyai seorang ayah angkat atau guru yang amat sayang dan memanjakannya, memberinya kebebasan seluasnya sehingga dia diperbolehkan pergi ke manapun, dan tidak pernah kekurangan karena sebagai raja maling tentu saja ayahnya mampu memberikan apa pun yang diinginkannya, dari perhiasan yang termahal sampai pakaian terindah atau barang apa pun yang ada di dunia ini. Apalagi setelah dia pandai, dia boleh mengandalkan kepandaiannya sendiri untuk memiliki barang apa saja yang diinginkannya, dengan jalan mencurinya, tentu saja!
Akan tetapi, betapapun juga Swi Hwa adalah seorang manusia biasa, seorang dara yang mulai dewasa. Maka pada suatu saat perasaan wanita dan kedewasaannya ini bergerak dan membuat dia bertekuk lutut! Saat itu adalah ketika dia melihat Kian Bu atau Siluman Kecil bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin. Melihat pemuda berambut putih itu, melihat sepak terjangnya ketika mengalahkan Sin-siauw Seng-jin yang demikian lihai, Swi Hwa atau Ang-siocia menjadi tertarik sekali dan dia sendiri tidak tahu apakah itu yang dinamakan cinta, akan tetapi yang jelas, dia merasa kagum dan tertarik dan ingin sekali dia berkenalan dengan Siluman Kecil, mendekatinya dan mengenal pemuda luar biasa itu dari dekat!
Inilah sesungguhnya yang menyebabkan gadis ini mendahului Siluman Kecil, mencuri barang-barang pusaka di dalam rumah Sin-siauw Seng-jin! Dan dia maklum bahwa dia tidak akan mungkin melawan Siluman Kecil, maka dia menggunakan nikouw tua itu untuk membuat Siluman Kecil tidak berdaya dan tidak berani menyerangnya. Dia lalu menantang agar Siluman Kecil datang ke tempatnya, yaitu tempat tinggal gurunya, di pantai Po-hai teluk sebelah utara. Maksudnya memancing Siluman Kecil ke sana adalah selain hendak menguji kepandaian pernuda itu melawan gurunya, juga dia ingin berkenalan dengan pemuda itu ber dua saja, tanpa ada banyak orang.
Akan tetapi, karena dia tidak melihat Siluman Kecil tergesa-gesa mengejarnya ke pantai Po-hai, hatinya kecewa dan dia menggunakan lain akal. Melihat Siluman Kecil atau Kian Bu melakukan perjalanan menuju ke Ho-nan dan membawa uang, hal yang tidak mungkin terlepas dari "mata malingnya" yang terlatih baik, dia lalu menyamar sebagai nenek penjual sepatu!
Ang-siocia inilah sesungguhnya nenek penjual sepatu rumput dahulu itu! Penyamarannya memang hebat sekali sehingga Kian Bu sama sekali tidak menyangka. Dan dengan ilmu mencurinya yang luar biasa, dia berhasil mencopet uang dari dalam bungkusan Kian Bu tanpa diketahui oleh pendekar yang memiliki kesaktian hebat dan berjuluk Siluman Kecil itu!
Kemudian, Ang-siocia atau Swi Hwa cepat mengubah penyamarannya dan sekali ini dia menyamar sebagai seorang kongcu yang royal dan ramah. Tidak sukar penyamaran ini, karena sesuai dengan sifatnya yang memang lincah dan ramah, pandai bicara dan jenaka. Dan giranglah hatinya bahwa dia berhasil menarik hati Siluman Kecil sehingga dapat melakukan perjalanan bersama dengan pendekar itu dan juga dengan Siauw Hong. Akan tetapi, hatinya merasa amat kecewa ketika dia bertemu dengan Siluman Kecil sebagai musuh pada waktu dia membantu fihak Gubernur Ho-nan memperebutkan Pangeran Yung Hwa. Dia memasuki sayembara lalu menjadi pengawal bukan sekali-kali karena dia memihak Gubernur Ho-nan, melainkan karena pertama dia hendak mencari pengalaman dalam petualangannya meninggalkan tempat tinggal gurunya, ke dua karena dia ingin menarik perhatian Siluman Kecil dengan memamerkan kepandaiannya.
Setelah keributan itu di mana dia berada di fihak yang bermusuhan dengan Siluman Kecil, dengan hati kecewa sekali dia lalu meninggalkan gubernuran, meninggalkan jabatannya tanpa pamit setelah dia melihat Siauw Hong, Siluman Kecil, bahkan si Gagu yang aneh itu semua pergi. Dan ketika dia mencari Kian Bu, dia bertemu dengan wanita baju hijau yang menawan Jenderal Kao Liang, kemudian dia dipukul pingsan dan rahasianya bahwa dia wanita diketahui oleh Siauw Hong!
Kini Ang-siocia atau Swi Hwa telah berhenti menangis dan duduk termenung di bawah pohon. Entah mengapa, semenjak dia ditolong oleh Siauw Hong dan "diraba" dadanya ketika pemuda itu menolongnya menyembuhkan lukanya dengan menyalurkan sinkang, terjadi keanehan di dalam hatinya terhadap Siauw Hong, pemuda yang tadinya selalu dia anggap sebagai seorang bocah yang masih hijau itu! Membayangkan wajah tampan pengemis muda itu, sikapnya yang sederhana dan pendiam, tubuhnya yang agak jangkung, dia kini merasa malu. Semenjak Siauw Hong meraba dadanya, seolah-olah pemuda itu telah berubah sama sekali dalam pandang matanya!
Sebetulnya, dara inilah yang dulu mencuri harta pusaka keluarga Jenderal Kao ketika terjadi perebutan. Ketika itu, dia melihat betapa ada tiga rombongan atau golongan orang yang seolah-olah memperebutkan pusaka itu dan menguasai keluarga Jenderal Kao, bahkan rombongan pertama yang terdiri dari pasukan kota raja yang menyamar, berusaha keras untuk membasmi dan membunuhi keluarga Kao. Akan tetapi di situ masih ada dua rombongan lain yang berebutan, dan bahkan seolah-olah bermusuhan sendiri, yaitu golongan dari Hek-eng-pang perkumpulan wanita-wanita liar dan Kwi-liong-pang. Di dalam pertempuran-pertempuran hebat itu di mana terjatuh banyak korban di kedua fihak, dia melihat pula serombongan orang yang dipimpin oleh orang asing menculik dan melarikan semua keluarga Jenderal Kao. Dia mengenal pemimpin rombongan itu sebagai orang Nepal kaki tangan Liong Bian Cu, Pangeran Nepal itu. Akan tetapi karena dia tidak mempunyai hubungan dengan semua itu, dia tidak mempedulikannya, dan dia hanya mempergunakan kepandaiannya untuk mencuri harta pusaka Jenderal Kao. Hal ini dilakukannya karena memang sebagai murid seorang "raja maling" tentu saja dia tidak mau mendiamkan harta pusaka dijadikan perebutan tanpa bertindak apa-apa, dan selain itu juga dia bermaksud untuk mengangkat nama. Memang dalam perebutan di antara gerombolan-gerombolan itu berarti mengangkat nama gurunya dan namanya sendiri.
Makin dikenang, makin berduka, kecewa dan penasaran rasa hati dara itu. Melihat Siluman Kecil yang telah menarik perhatiannya itu tidak mengejarnya langsung ke Po-hai, dia lalu berbalik membayangi pendekar aneh itu, berkali-kali menyamar dan berusaha menarik perhatiannya. Akan tetapi Siluman Kecil agaknya sama sekali tidak tertarik kepadanya, bahkan telah memukulnya dalam keributan itu sehingga dia terluka. Dan kemudian, bukan saja dia tidak menarik perhatian pendekar itu sama sekali, bahkan akhirnya "menarik" perhatian Siauw Hong yang mengetahui rahasianya! Yang menggemaskan, mengapa kini wajah Siauw Hong selalu terbayang di depan matanya? Setiap kali dia mencoba membayangkan wajah Siluman Kecil yang amat dipujanya, wajah aneh tampan dengan rambutnya yang putih dan matanya yang tajam bersinar-sinar itu, selalu saja wajah pendekar sakti ini berubah menjadi wajah Siauw Hong!
Dengan hati penasaran Ang-siocia lalu mengambil keputusan untuk pulang ke Po-hai saja karena dia pun sudah terlalu lama meninggalkan gurunya. Dia pulang membawa banyak hasil curiannya, antara lain harta pusaka Jenderal Kao Liang, pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas, dan sekantung uang milik Siluman Kecil. Bukan barang-barang biasa, melainkan milik orang-orang ternama dan tentu suhunya akan merasa gembira dan kagum serta bangga akan hasil karyanya itu!
******
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Ang Tek Hoat sehingga tentu banyak yang bertanya-tanya apa jadinya dengan tokoh yang hidupnya diombang-ambingkan oleh keadaan yang selalu berubah-ubah itu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ang Tek Hoat yang patah hati dan dirundung kecewa, penasaran dan berduka itu seolah-olah menjadi tidak peduli lagi akan hidupnya, tidak peduli lagi apakah yang dia lakukan dalam hidup selanjutnya itu benar atau salah. Dia dipaksa berpisah dari kekasihnya di Bhutan, kemudian kehancuran dan kepatahan hati ini ditambah lagi oleh pukulan amat hebat, yaitu kematian ibunya yang belum juga dapat dia ketahui siapa pembunuhnya. Rasa kecewa dan duka ini membuat dia mudah terseret ke dalam pergaulan yang tidak benar sehingga dia tidak ragu-ragu untuk membantu orang-orang dari golongan sesat, bahkan dia telah membantu Hek-eng-pangcu Yang-liu Nio-nio untuk menyerbu dan mencoba membasmi perkumpulan Kwi-Liong-pang yang menjadi musuh Hek-eng-pang. Dan dalam usaha inilah maka dia bertemu dan bekerja sama dengan guru ketua Hek-eng-pang ini, yaitu Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, Siluman Kucing yang amat lihai namun jahat seperti iblis betina di balik wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang menggairahkan biarpun usianya sudah mendekati empat puluh tahun. Tek Hoat tidak peduli lagi apa yang diperbuatnya itu, karena dia pun tidak mengenal Kwi-Liong-pang dan tidak mau tahu akan permusuhan antara dua perkumpulan itu. Kalau dia membantu Hek-eng-pang adalah karena dia mempunyai kepentingannya sendiri, yaitu hendak minta bantuan Hek-eng-pang yang terdiri dari perkumpulan wanita untuk merampas kembali Syanti Dewi yang dia dengar terjatuh ke tangan Liong-sim-pang di puncak Naga Api.
Seperti telah kita ketahui, usahanya yang dibantu oleh Hek-eng-pang itu gagal sama sekali. Syanti Dewi lenyap entah ke mana diculik oleh orang lain dari tangan Hwa-i-kongcu, ketua Liong-simpang. Ketika dia hendak meninggalkan Hek-eng-pang, dia terbujuk oleh Mauw Siauw Mo-li untuk mengadakan perjalanan bersama mencari Syanti Dewi. Karena Siluman Kucing itu mengatakan bahwa dia mungkin mengetahui jejak Syanti Dewi yang lenyap, terpaksa Tek Hoat mau melakukan perjalanan bersama wanita iblis yang cantik itu, tidak tahu bahwa wanita itu tentu saja bukan sekali-kali ingin membantunya mendapatkan kembali Syanti Dewi, melainkan karena merasa tertarik oleh ketampanannya, kemudaannya, dan kegagahannya!
Memang Siluman Kucing itu tidak membohong ketika dia mengatakan bahwa dia melihat wanita yang bertanya-tanya tentang seorang dara cantik yang dibawa dengan paksa oleh seseorang. Wanita muda yang bertanya-tanya itu adalah Siang In. Maka dia pun mengajak Tek Hoat untuk mengikuti jejak Siang In. Namun, penyelidikannya tidak berhasil dan hanya karena kecerdikan dan kepandaian Mauw Siauw Mo-li dalam pembicaraan saja maka Tek Hoat masih percaya kepadanya dan melanjutkan perjalanannya bersama wanita cantik ini. Akan tetapi, akhirnya dia mulai merasa curiga karena sampai berhari-hari mereka berdua melakukan perjalanan, belum juga mereka berdua berhasil menemukan jejak Syanti Dewi yang hilang. Yang jelas adalah sikap Mauw Siauw Mo-li yang selalu ingin menarik perhatiannya dan yang selalu membujuknya dengan sikap dan kata-katanya untuk bermain cinta! Pengalaman mereka dalam rumah makan melawan lima orang kasar itu pun jelas merupakan siasat Mauw Siauw Mo-li untuk menjebak Tek Hoat dalam umpan dan pancingannya agar pemuda itu bangkit berahinya dan mau melayani hasrat nafsunya untuk bermain cinta.
Akan tetapi sekali ini, Mauw Siauw Mo-li kecewa. Dahulu, lima enam tahun yang lalu, dia pernah berhasil memikat dan menjatuhkan hati seorang pendekar muda putera majikan Pulau Es, yaitu Suma Kian Bu. Hal itu terjadi bukan hanya karena Mauw Siauw Mo-li ketika itu masih belum tua benar dan lebih cantik menarik, melainkan semata-mata karena Kian Bu merupakan seorang pemuda yang berwatak romantis dan masih hijau dan bodoh sehingga dia seperti seekor lebah, terpikat dan melekat dalam perangkap penuh madu. Akan tetapi Tek Hoat lain lagi. Dia memang masih muda, akan tetapi pemuda ini pernah terjerumus ke dalam dunia sesat, sudah banyak pengalaman dalam hal permainan cinta dan semenjak dia jatuh hati kepada Syanti Dewi, pemuda ini tahu benar bahwa semua permainan cinta itu hanyalah pemuasan nafsu belaka yang makin dituruti makin haus dan menghendaki lebih. Dia dapat membedakan antara cinta kasihnya yang murni dan bersih terhadap Syanti Dewi dan "cinta" yang bergelimang nafsu berahi dengan wanita-wanita lain, maka dia pun segera mengenal cinta kasih macam itu yang terkandung dalam hati Mauw Siauw Mo-li terhadap dirinya. Oleh karena itu, dia selalu menghindarkan diri dan setiap kali darah mudanya bergelora oleh rayuan yang lihai dari wanita matang itu, dia menggunakan kekerasan hatinya untuk menekan nafsu berahinya.
Telah diceritakan betapa semenjak peristiwa di rumah makan itu, sikap Tek Hoat lebih hati-hati lagi dan dia mulai menaruh kecurigaan, akan tetapi karena dia sudah mendengar berita tentang Syanti Dewi, dia mempertahankan perasaannya dan bersama Lauw Hong Kui, yaitu si Siluman Kucing, berangkatlah dia menuju ke pantai Lautan Po-hai di timur.
Setelah tiba di pantai lautan itu pada suatu pagi, mereka berdiri di pantai yang sunyi dan memandang ke teluk yang amat luas itu. "Pantai Teluk Po-hai begini luas, ke mana kita harus mencari mereka?" kata Tek Hoat, nada suaranya penuh kegelisahan karena memang dia merasa gelisah sekali kalau memikirkan kekasihnya. Dia masih belum mengerti mengapa Syanti Dewi meninggalkan Bhutan dan terjatuh ke tangan ketua Liong-sim-pang dan mengapa pula sekarang diculik dan dilarikan orang. Gelisah dia memikirkan kekasihnya itu. Dia dapat menduga bahwa tentu kekasihnya itu melarikan diri dari Bhutan untuk mencarinya. Kalau teringat akan dugaan ini, hatinya menjadi terharu sekali dan cinta kasihnya terhadap Syanti Dewi makin mendalam, akan tetapi segera dia dihimpit oleh rasa gelisah yang hebat.
Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan menoleh kepadanya, menatap wajah yang tampan itu, lalu berkata, "Engkau tidak percuma melakukan perjalanan mencari puteri itu bersamaku, Tek Hoat." Sudah lama dia memanggil pemuda itu dan bicara dengan sikap ramah dan akrab, seolah-olah mereka telah menjadi sahabat karib. Dan Tek Hoat pun tidak peduli akan sikap ini.
"Apa maksudmu? Tahukah engkau ke mana kita harus mencari?"
Lauw Hong Kui memperlebar senyumnya dan mengangguk, lalu membereskan anak rambut di dahinya yang kusut dan melambai-lambai tertiup angin laut. Memang cantik sekali dia dan pandai dia menonjolkan kecantikannya di saat yang tepat. "Tentu saja aku tahu, atau setidaknya dapat menduga dengan tepat. Aku tidak asing di daerah ini, Tek Hoat. Kalau dugaanku tidak meleset, dan biasanya tidak, agaknya yang melakukan penculikan itu tentulah si Raja Maling!"
"Raja Maling?" Tek Hoat bertanya, memandang wajah yang cantik dan terias baik-baik itu penuh perhatian.
"Lihat, angin begini besar membuat rambutku kusut. Rambutku awut-awutan, ya?" tanyanya sambil mengatur rambut dengan jari-jari tangannya yang kecil panjang. Terpaksa Tek Hoat memandang rambut itu dan memang indah sekali rambut yang panjang halus itu melambai-lambai tertiup angin.
"Katakan, siapa dia dan di mana tempatnya?" Dia berkata setelah sejenak dia tertegun. Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui tersenyum manis sehingga deretan giginya yang putih dan kecil itu nampak berkilat.
"Engkau sungguh tidak menghargai kecantikan orang!" Dia menartk napas panjang. "Dia itu adalah Hek-sin Touw-ong, si Raja Maling Sakti Hitam, seorang kakek yang amat sakti dan yang bertapa di pantai Po-hai sebelah utara."
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa memang banyak terdapat manusia-manusia yang berilmu tinggi di dunia ini, maka biarpun dia sendiri belum pernah mendengar atau berjumpa dengan kakek raja maling itu, dia percaya bahwa tentu dia seorang yang amat lihai. Tidak sembarang orang akan dipuji kepandaiannya oleh Siluman Kucing ini, yang dia tahu juga lihai sekali.
"Bagaimana engkau dapat menyangka bahwa dia yang menculik Syanti Dewi?" dia mendesak, tidak mau percaya begitu saja.
Siluman Kucing itu bertolak pinggang dengan lagak dan gaya memikat sekali. Pinggangnya makin nampak ramping kalau dia bertolak pinggang seperti itu, apalagi angin yang nakal membuat bajunya tersingkap-singkap terbuka. "Tentu saja aku menduga demikian, pemuda yang tampan! Menurut jejak yang kita ikuti, puteri Bhutan itu dibawa lari seorang kakek dan larinya menuju ke pantai Po-hai, sampai di laut lenyaplah jejaknya dan tidak ada orang yang tahu biarpun kita sudah bertanya-tanya sampai mulut terasa lelah. Dan di pantai ini, hanya ada satu-satunya kakek yang berilmu tinggi, yaitu si Raja Maling. Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukan penculikan itu? Melarikan seorang puteri dari dalam benteng Liong-sim-pang yang amat kuat itu bukanlah hal mudah, bahkan engkau yang dibantu oleh muridku dan anak buah Hek-eng-pang pun gagal. Akan tetapi kakek itu seorang diri saja mampu mencuri dan menculiknya. Siapa lagi kalau bukan perbuatan si Raja Maling?"
Tek Hoat mengangguk-angguk, harapannya timbul kembali. "Kalau begitu, mari kita cepat mengejarnya ke sana, Mo-li! "
"Hi-hik, mengapa tergesa-gesa, Tek Hoat? Takkan lari gunung dikejar, perlu apa terburu-buru?"
"Mo-li, Raja Maling itu tentu bukan gunung, melainkan seorang maling yang dapat bergerak dan lari, dan aku khawatir kalau-kalau dia akan mengganggu Syanti Dewi!"
"Aihhh, Tek Hoat. Kau gelisah seolah-olah di dunia ini tidak ada wanita lain saja. Apakah aku bukan wanita pula dan apakah aku tidak cantik?" Mauw Siauw Mo-li sudah mendesak dan merangkulkan kedua lengannya yang panjang itu ke leher Tek Hoat. Kedua lengan itu melingkar-lingkar seperti seekor ular, merayap ke atas dan membelai rambut di tengkuk Tek Hoat, lalu menjambaknya perlahan dengan gemas.
"Mo-li, jangan begitu....!" Tek Hoat berkata dengan alis berkerut. Kalau dia tidak membutuhkan bantuan wanita ini untuk menemukan kembali kekasihnya, tentu dia sudah bersikap kasar dan mendorong wanita ini. Namun, Mauw Siauw Mo-li malah mendekapkan tubuhnya sehingga melekat ke tubuh Tek Hoat, menggoyang-goyang tubuhnya sehingga menggesek tubuh pemuda itu dengan gaya memikat sekali, mukanya didekatkan ke mulut Tek Hoat.
Harus diakui bahwa Lauw Hong Kui adalah seorang wanita cantik yang bertubuh menggairahkan sekali. Dia sudah matang dan pandai merayu pria. Dan biarpun Tek Hoat bukan seorang pemuda hijau seperti Suma Kian Bu lima tahun yang lalu, namun tetap saja dia adalah seorang yang masih muda dan berdarah panas dan biarpun dia tidak sudi membalas cinta seorang wanita seperti Siluman Kucing ini, namun dipeluk seperti itu dan merasakan gesekan dan geseran tubuh yang hangat dan padat itu jantungnya berdebar juga.
Sebagai seorang wanita yang sudah banyak pengalaman, debar jantung di dalam dada pemuda itu diketahui dan terasa oleh Hong Kui. Memang dia sengaja merapatkan dadanya ke dada pemuda itu untuk menangkap tanda ini. Begitu dadanya merasa denyut jantung yang mengencang itu, cepat dia meraih kepala pemuda itu, ditarik ke bawah karena Tek Hoat lebih tinggi daripada dia sehingga muka mereka bertemu dan Hong Kui lalu mencium mulut pemuda itu dengan bibirnya. Ciuman yang amat mesra, yang dilakukan dengan gelora nafsu berahi dan sepenuh perasaannya, ciuman yang panas dengan napas yang mendengus-dengus.
Tek Hoat terkejut sekali. Harus diakuinya bahwa wanita ini menyalakan sesuatu di dalam hatinya, akan tetapi dia teringat bahwa tidak semestinya dia melayani wanita ini dan tidak menuruti gelora berahinya yang dibangkitkan oleh Siluman Kucing yang amat pandai ini. Akan tetapi pada saat itu, mau tidak mau dia menikmati dan merasakan ciuman hangat itu, merasa betapa sepasang bibir yang lunak itu bergerak-gerak, kemudian dia mendengar suara merintih seperti suara seekor kucing, dan terasa betapa lidah yang lunak menjilat-jilat, seperti lidah seekor kucing yang manja!
Sejenak Tek Hoat terlena, akan tetapi ketika bayangan wajah Syanti Dewi berkelebat di depan matanya yang dipejamkan, tiba-tiba saja dia merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan. Dengan muka pucat dan mata terbelalak, napas agak terengah dia memandang wanita itu. Hong Kui juga memandangnya dengan mata setengah terpejam, mulut agak terbuka, mulut yang basah merah dengan gigi putih mengintai di antara ujung lidah meruncing, napasnya tersendat-sendat, senyumnya memikat, kedua lengan dibuka menantang.
"Tek Hoat.... Tek Hoat.... ke sinilah...." Suaranya tergetar dan penuh dengan daya tarik.
"Mo-li! Aku tidak sudi memenuhi kehendakmu yang gila ini!" Tiba-tiba Tek Hoat yang sudah sadar itu membentak marah.
Suara pemuda itu cukup untuk mengguncang Mauw Siauw Mo-li bahwa pemuda itu sudah tidak lagi dapat dikuasainya pada saat itu, maka dia pun tersadar dan dia memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam. "Tek Hoat, engkau sungguh tidak mengenal budi!" celanya. "Aku sudah payah membantumu mencari puteri itu, bahkan sekarang pun aku yang mengetahui tempat kakek itu, akan tetapi engkau sedikit pun tidak mau menyenangkan hatiku dan memberi air cinta untuk hatiku yang sedang dahaga. Engkau kejam! Dan kalau engkau menolak cintaku, aku pun tidak sudi lagi menunjukkan tempat Raja Maling itu padamu!"
Tiba-tiba sinar mata Tek Hoat menjadi keras dan mengancam sehingga Mauw Siauw Mo-li sendiri menjadi terkejut.
"Mauw Siauw Mo-li! Enak saja kau bicara. Kalau sekarang engkau tidak mau menunjukkan tempat itu, aku akan memaksamu!"
"Ehhh....?" Wanita itu membelalakkan mata. "Aku sudah membantumu dan kau sekarang hendak memaksa? Sungguh tidak tahu aturan engkau ini!"
"Mo-li, ingat. Siapa yang dulu membujuk aku untuk melakukan perjalanan bersamamu? Siapa yang berjanji akan menemukan kembali Syanti Dewi? Engkau sudah membawa aku sampai di sini, dan kalau engkau sekarang meninggalkan aku, berarti engkau telah menipuku! Dan aku bukan orang yang mudah saja ditipu tanpa membalas!"
"Kaukira aku takut!"
Tek Hoat tersenyum mengejek. "Tentu saja tidak. Aku tahu siapa adanya Mauw Siauw Mo-li. Akan tetapi, aku yakin akan dapat menghajarmu, Mo-li. Senjata rahasia peledakmu itu tidak menakutkan Si Jari Maut!"
Sikap yang gagah, pandang mata yang tajam penuh ancaman, ditambah nama julukan Jari Maut itu mengingatkan kepada Mauw Siauw Mo-li bahwa pemuda ini memang lihai bukan main, dan kalau sudah marah, kekejamannya amat mengerikan sehingga mendapat julukan Si Jari Maut. Memang dia tidak takut, akan tetapi dia melihat bahayanya kalau sampai memusuhi pemuda ini. Dan pula, dia masih belum putus asa. Tadi, bukankah jantung pemuda perkasa ini berdebar dan bukankah ketika mulut mereka bertemu tadi, terasa olehnya betapa bibir pemuda itu membalas kecupannya? Akan tiba saatnya pemuda yang keras hati ini akan bertekuk lutut dan menyerahkan diri dalam pelukannya, dan betapa akan manis dan nikmatnya penyerahan itu setelah berkali-kali ditolaknya. Maka dia pun tersenyum kembali dan sepasang matanya kehilangan sinar kemarahannya.
"Hemmm, kita sudah lama bersahabat, sudah jauh melakukan perjalanan bersama. Akan luculah kalau tiba-tiba kita berhadapan sebagai musuh. Baik, Tek Hoat, aku akan terus membantumu, dan kalau sampai aku membantumu berhasil mendapatkan kembali puteri itu, bagaimana sikapmu kepadamu?"
"Aku akan menganggapmu sebagai seorang sahabat baik dan aku akan berterima kasih kepadamu, Mo-li."
"Hanya itu saja? Apa yang akan kaulakukan untuk membuktikan terima kasihmu?"
"Heemmm.... aku tidak tahu. Mungkin aku akan membalasmu dan menolongmu kalau sewaktu-waktu kau membutuhkan bantuan."
"Aku hanya membutuhkan bantuanmu agar engkau suka bersikap manis kepadaku, Tek Hoat. Tak tahukah kau bahwa aku sangat suka kepadamu? Kalau sudah berhasil, kaubalas saja dengan sikap manis dan memenuhi hasrat cintaku, ya?"
Tek Hoat tidak sudi menjanjikan itu, akan tetapi dia tidak ingin banyak bicara tentang itu lagi, maka dia menjawab, "Kita lihat saja nanti, Mo-li. Yang penting sekarang, hayo kautunjukkan tempat tinggal Raja Maling yang menculik Syanti Dewi."
"Nanti dulu, Tek Hoat. Engkau masih muda dan engkau sembrono. Biarpun engkau memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal ini engkau sama sekali tidak boleh sembrono. Hek-sin Touw-ong adalah seorang tua yang amat lihai. Aku sendiri sudah pernah menandinginya dan dalam hal kesaktian dia agaknya tidak kalah olehmu. Bahkan dulu suhengku, Hek-tiauw Lo-mo, pernah bentrok dengan dia dan suheng selalu memperingatkan kepada anak buahnya agar jangan sampai bentrok dengan Raja Maling itu. Suheng sendiri merasa segan untuk bermusuhan dengan kakek sakti itu, maka dalam hal ini, kita tidak boleh sembrono menyerbu ke sana begitu saja karena hal itu mungkin sekali membuat kita celaka dan puteri itu tidak akan tertolong pula."
"Hemmm, aku tidak takut. Habis kalau kita tidak menyerbu ke sana, bagaimana kita dapat menolong Syanti Dewi?"
"Tentu kita tidak akan membiarkan saja, kita akan menyerbu ke sana. Akan tetapi tidak sekarang. Aku akan mencari kawan-kawanku di pantai ini. Mereka akan membantu kita dan dengan bantuan mereka, maka aku baru berani mengajakmu menyerbu. Bukankah ketika kau berusaha menolong puteri itu dari benteng Liong-sim-pang, engkau pun membutuhkan bantuan Hek-eng-pang?"
"Ketika itu lain lagi keadaannya, Mo-li. Liong-sim-pang adalah benteng dan selain kuat, juga mempunyai banyak anggauta, maka aku membutuhkan bantuan Hek-eng-pang. Akan tetapi sekarang, kita hanya menghadapi seorang kakek...."
"Hemmm, kau tidak tahu kakek macam apa yang kita hadapi. Kita harus menggunakan bantuan kawan-kawanku itu agar mereka memancingnya keluar dari sarangnya sehingga engkau akan mudah merampas kembali puteri itu."
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia tidak menyukai cara yang curang ini, akan tetapi yang terpenting baginya adalah menyelamatkan Syanti Dewi, maka dia tidak mau mengecewakan wanita iblis yang hendak membantunya ini, maka dia tidak membantah lagi.
"Mari kita mencari kawan-kawanku itu!"
"Siapakah mereka?"
"Siapakah mereka? Ha-ha-ha, mereka pun amat terkenal di wilayah ini, Tek Hoat, sungguhpun sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan Raja Maling. Mereka adalah raja-raja di perairan Teluk Po-hai! Marilah!"
Tek Hoat pergi mengikuti wanita itu menuju ke utara dan memasuki hutan di pantai Po-hai. Hutan itu sunyi sekali dan tidak nampak seorang pun manusia sehingga kelihatan menyeramkan sekali. Belum lama mereka memasuki hutan itu, tiba-tiba terdengar suitan-suitan nyaring di sana-sini. Suara-suara suitan itu susul- menyusul dan agaknya saling menjawab, makin lama makin dekat sehingga akhirnya terdengar di sekeliling mereka, dari depan, belakang, kanan dan kiri. Mereka telah dikepung oleh suara-suara itu. Tek Hoat bersikap waspada, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tertawa-tawa saja. "Lihat, betapa cepat mereka itu tahu akan kedatangan kita dan telah berkumpul mengurung. Bukankah berguna sekali bantuan -bantuan seperti mereka itu?"
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, "Berhenti kalian berdua yang berjalan dalam hutan! Kalian telah memasuki daerah kami tanpa ijin!"
Mauw Siauw Mo-li dan Tek Hoat berhenti, dan wanita itu berseru nyaring, "Lo Kwa, bukankah engkau yang bicara itu? Keluarlah, jangan main kucing-kucingan!"
Ucapan wanita ini diikuti suasana sunyi, agaknya semua orang yang mengurung tempat itu menjadi terkejut dan heran. Lalu terdengar seruan yang mengandung keheranan dan juga kegembiraan, "Lauw-lihiap....!"
Bermunculanlah kini belasan orang laki-laki dari empat penjuru, berloncatan keluar dari balik-balik pohon dan semak-semak. Mereka itu rata-rata adalah laki-laki kasar dan tinggi besar, nampaknya kuat dan keras. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang usianya antara tiga puluh lima tahun, bertubuh tegap dan berwajah tampan akan tetapi mukanya tertutup brewok.
"Lihiap....!" Pemimpin gerombolan ini melangkah maju dan menjura kepada Lauw Hang Kui sambil tersenyum lebar.
Diam-diam Tek Hoat terheran-heran melihat mereka itu menyebut lihiap (pendekar wanita) kepada Siluman Kucing ini. Dia tidak tahu bahwa julukan itu hanyalah julukan yang diberikan oleh mereka yang menganggap wanita ini sebagai iblis, akan tetapi gerombolan bajak laut dari Po-hai yang bersarang di dalam hutan ini merupakan sahabat-sahabatnya yang tentu saja menganggapnya sebagai seorang wanita perkasa yang patut disebut lihiap!
Lauw Hong Kui menghampiri laki-laki tampan itu dan mengangkat tangan kirinya mengusap dagu yang penuh jenggot itu. "Aihhh, Lo Kwa, hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi. Ihhh, aku baru mau bicara berdua denganmu kalau kau sudah membuang semua brewokmu yang menggelikan itu! katanya dengan sikap genit dan manja. Orang she Kwa yang disebut Lo Kwa (Kwa yang Tua) itu tertawa dan menangkap lengan Hong Kui, ditariknya dan hendak dipeluknya wanita itu. Akan tetapi sambil tersenyum manja Hong Kui melepaskan dirinya dan berkata, "Kaucukur dulu semua brewokmu!"
Orang she Kwa itu tertawa dan semua anak buahnya juga tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kedatanganmu mendatangkan cahaya kegembiraan di hutan yang gelap ini, Lauw-lihiap!" kata orang she Kwa itu.
"Akan tetapi aku adalah Siluman Kucing, apakah kalian tidak takut?" Lauw Hong Kui berkata sambil bertolak pinggang, senyumnya lebar dan dia kelihatan gembira sekali, merasa berada di antara teman-teman baiknya.
"Hidup Lauw-lihiap!"
"Selamat datang, Mauw Siauw Mo-li!"
"Biar besok pagi aku mampus, aku rela asal semalam suntuk boleh membelai kucing!"
"Aku pun bersedia!"
Riuh-rendah suara mereka dan pernyataan kagum mereka dinyatakan secara terang-terangan, bahkan ada yang mengeluarkan pernyataan kasar dan tidak sopan, akan tetapi semua itu agaknya sudah biasa diantara mereka dan Lauw Hong Kui juga menyambutnya dengan tersenyum saja. "Akan kulihat nanti siapa di antara kalian yang patut untuk menghiburku," katanya.
Tek Hoat merasa muak juga, dan diam-diam dia merasa malu juga, mengapa dia pernah merasa tertarik dan timbul berahinya terhadap wanita ini. Padahal, wanita ini benar-benar merupakan siluman yang tak tahu malu, seorang wanita yang biasa mempermainkan pria seperti kucing mempermainkan tikus lebih dulu sebelum diterkam dan dibunuhnya!.
"Lo Kwan, di mana para Ong-ya?"
Pertanyaan ini membuat Tek Hoat menjadi maklum bahwa orang she Kwa ini hanya seorang bawahan saja, dan kini iblis betina ini menanyakan para ong-ya, yaitu para raja bajak!
"Semua berada di sarang, Lihiap. Tentu mereka akan menjadi gembira sekali mendengar akan kedatanganmu. Marilah kita ke sana, ataukah kita berdua bersenang-senang dulu?" kata orang she Kwa itu sambil memandang dengan mata mengandung penuh gairah.
"Hushhh, brewokmu itu menggelikan. Dan mungkin kelak kalau ada waktu bagiku, boleh kita bersenang-senang. Mari antar aku kepada para Ong-ya."
"Tapi, dia ini....?" Orang she Kwa itu menuding ke arah Tek Hoat dengan pandang mata tidak senang dan penuh curiga. Diam-diam Tek Hoat merasa mendongkol juga. Sejak tadi sama sekali tidak diacuhkan dan kini dicurigai. Kalau tidak ingat akan kepentingannya, tentu sekali pukul dia sudah membunuh bajak-bajak ini.
Agaknya Hong Kui dapat mengerti akan kegemasan hati Tek Hoat dengan melihat wajah dan sinar matanya, maka dia lalu ber kata, "Dia ini adalah sahabatku yang akan menjadi tamu agung kalian. Jangan kau main-main, Lo Kwa, dialah yang berjuluk Si Jari Maut!"
"Ahhhhh....?" Agaknya orang she Kwa ini pernah mendengar julukan ini, maka dia memandang dengan mata terbelalak dan mukanya berubah pucat.
"Maaf, kami tidak tahu...." katanya.
"Sudahlah, mari kita jalan," kata Tek Hoat tidak sabar.
Di sepanjang perjalanan memasuki hutan itu, dengan ramahnya Hong Kui bercakap-cakap dengan orang she Kwa dan beberapa orang anak buah bajak yang muda-muda, beramah-tamah dan kadang-kadang mereka berkelakar dengan omongan-omongan yang kotor sehingga Tek Hoat merasa makin muak.
Tibalah mereka kini di tengah hutan yang berada di tepi tebing yang agak tinggi. Dari sini nampak Teluk Po-hai terbuka luas di depan. Memang tempat ini merupakan tempat yang paling indah dan juga paling tepat untuk dijadikan sarang para bajak laut itu karena dari tepi tebing mereka dapat melihat keadaan di seluruh Teluk Po-hai, melihat perahu-perahu yang seperti semut-semut kecil hitam di teluk itu. Dari sini mereka dapat melihat dan mengenal kapal-kapal besar yang patut mereka hadang dan mereka bajak, juga mereka dapat mengadakan pengawasan terhadap anak buah mereka. Tempat yang amat cocok untuk menjadi sarang bajak laut!
Bajak laut itu terdiri dari tiga puluh orang lebih, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang disebut twa-ong dan ji-ong sebagai ketua atau raja pertama dan ke dua. Mereka itu bernama Ma Khong dan Ma Ti Lok, dua orang kakak beradik yang bertubuh tinggi besar, kokoh kuat, dan memiliki ilmu golok yang cukup hebat sehingga mereka sejak belasan tahun telah terkenal sebagai kepala-kepala bajak yang ditakuti dan disegani. Kini mereka hanya mau membajak kapal-kapal asing, tidak mau mengganggu perahu-perahu nelayan dan pedagang pedalaman karena mereka tidak berani menghadapi hukuman pemerintah. Akan tetapi, hal ini malah menguntungkan mereka karena para pedagang dan nelayan tidak segan-segan untuk "membagi hasil keuntungan" kepada mereka asal para bajak itu tidak mengganggu pekerjaan mereka itu.
Ketika melihat munculnya Hong Kui, Ma Khong dan Ma Ti Lok menjadi gembira bukan main, demikian pula para anak buah mereka. Tek Hoat dapat mudah saja menduga bahwa di antara Hong Kui dan dua orang kakak beradik yang gagah dan cukup tampan itu tentu terdapat hubungan gelap, dan juga dengan banyak anak buah mereka termasuk orang she Kwa tadi.
Dugaan itu memang benar. Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang gila laki-laki, seorang wanita yang diperhamba oleh nafsu berahinya sehingga menjadi tidak normal lagi. Dia merasa tersiksa kalau terlalu lama tidak ditemani pria, maka ketika dia melakukan perjalanan bersama Tek Hoat yang tidak mau melayaninya, dia merasa amat tersiksa. Dan wanita yang seperti iblis betina ini memiliki kebiasaan yang mengerikan pula, yaitu dia akan membunuh setiap orang pria yang sudah memuaskannya semalam suntuk, yaitu pria yang asing baginya karena dia tidak mau kalau pria itu akan menceritakan semua pengalamannya dan membuat namanya sebagai seorang wanita tercemar. Akan tetapi, tentu saja dia tidak akan membunuh pria-pria yang menjadi sahabatnya, yang akan merahasiakan dan menjaga namanya seperti para bajak yang telah menjadi teman-temannya sejak belasan tahun yang lalu ini. Ada pula yang dibunuhnya secara tidak sengaja, yaitu kalau dia bertemu dengan seorang pria yang benar-benar memuaskan hatinya dan amat menyenangkannya sehingga dia akan terus merayu pria ini, dan memaksanya bermain cinta sampai pria itu tewas! Dan dengan ilmunya yang luar biasa, Siluman Kucing ini bisa saja memaksa pria melayani dan memuaskan nafsunya yang tak kunjung padam itu sampai pria itu mati.
Ketika Hong Kui memperkenalkan Ang Tek Hoat sebagai Si Jari Maut, dua orang kepala bajak itu bersikap hormat kepada pemuda ini. Mereka lalu mengadakan pesta perjamuan untuk menyambut kedatangan Hong Kui dan Tek Hoat. Mereka makan minum dengan gembira dan beberapa kali Tek Hoat memberi isyarat kepada Hong Kui untuk cepat menceritakan maksud kedatangan mereka. Akan tetapi Hong Kui akhirnya berbisik kepadanya, "Tidak perlu tergesa-gesa, nanti setelah makan minum selesai."
Tek Hoat merasa mendongkol, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat memaksa. Setelah ruangan itu dibersihkan dan mereka duduk mengobrol, barulah Hong Kui berkata kepada dua orang kepala bajak itu, "Twa-ong dan Ji-ong, sebetulnya kedatangan kami ini selain terdorong oleh rasa rindu hatiku terhadap semua teman di sini, juga kami bermaksud minta bantuanmu untuk urusan sahabatku Si Jari Maut ini, urusan yang amat penting."
Ma Khong dan Ma Ti Lok memandang kepada Tek Hoat penuh perhatian. Pemuda sakti ini pun balas memandang mereka. Ma Khong adalah seorang laki-laki yang tinggi besar dan agak pendek, usianya kurang lebih empat puluh tahun, matanya lebar dan kumisnya lebat. Adiknya, Ma Ti Lok, berusia tiga puluh lima tahun, tubuhnya kekar dan jangkung, mukanya bersih tidak ada brewoknya karena tercukur rapi, rambutnya panjang dan hitam dijalin menjadi kuncir besar. Seperti juga kakaknya, tubuhnya berotot dan nampaknya kuat sekali. Di lain fihak, dua orang kepala bajak itu memandang Tek Hoat dengan ragu-ragu, karena mereka merasa sukar untuk percaya apakah pemuda yang kelihatan amat muda dan lemah ini benar-benar Si Jari Maut yang demikian
menggemparkan? Tentu saja mereka bukan tidak percaya bahwa mungkin saja seorang pemuda yang kelihatan lemah memiliki kepandaian hebat, karena mereka tahu bahwa Lauw Hong Kui, seorang wanita yang cantik jelita itu pun kepandaiannya hebat bukan main, jauh melebihi kepandaian mereka sendiri.
"Urusan apakah itu, Lihiap?" tanya Ma Khong akhirnya sambil memandang wanita itu.
"Ketahuilah, Ang-taihiap ini mempunyai seorang sahabat baik, seorang wanita yang terculik dan karena penculiknya membawanya ke daerah Po-hai, maka kami minta bantuan kalian untuk merampas kembali sahabat Ang-taihiap ini."
Dua orang kepala bajak itu saling pandang, lalu tersenyum lebar dan berkatalah Ma Khong. "Ahhh, itu urusan kecil sekali, Lihiap. Tentu saja kami mau membantu. Siapakah penculik itu yang berani mati sekali, berani mengganggu sahabat Si Jari Maut, padahal ada Lihiap pula di samping Si Jari Maut?"
"Jangan bilang bahwa urusan ini kecil, Twa-ong, sebelum kalian mengetahui siapa penculik itu."
"Siapakah dia?" tiba-tiba Ma Ti Lok bertanya sambil memandang tajam penuh se lidik.
"Kalau orang biasa, agaknya kami tidak perlu minta bantuan kalian. Menurut dugaanku, penculik itu bukan laln adalah Hek-sin Touw-ong...."
"Ahhhhh....!" Dua orang Saudara Ma itu melonjak kaget dan bangkit berdiri dari bangku mereka dan muka mereka berubah pucat. "Tidak mungkin....!"
"Apanya yang tidak mungkin? Dia yang menculik ataukah kalian yang membantu kami?" tanya Lauw Hong Kui.
"Kedua-duanya....!" kata Ma Khong yang sudah duduk kembali dan dia belum pulih kembali ketenangannya karena dia bersama adiknya benar-benar terkejut mendengar disebutnya nama Hek-sin Touw-ong Itu. "Yang pertama, tidak mungkin Touw-ong sudi melakukan penculikan terhadap seorang wanita, dan ke duanya, andaikata benar dia yang melakukannya, tidak mungkin bagi kami untuk mencampurinya. Kami selamanya tidak pernah dan tidak akan mencampuri urusan Touw-ongya karena locianpwe itu pun tidak pernah mengganggu kami." Jelas bahwa Ma Khong kelihatan jerih sekali terhadap nama itu.
"Kalian tidak tahu siapa wanita yang diculiknya itu, Twa-ong dan Ji-ong. Dengarlah, wanita yang diculiknya itu, sahabat dari Ang-taihiap ini, adalah seorang puteri dari Kerajaan Bhutan, bukan sembarang wanita belaka. Baru-baru ini, puteri itu terjatuh ke tangan ketua Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Lu-liangsan, tempat yang amat kuat seperti benteng dan Liong-sim-pa mg dipimpin orang-orang pandai dan mempunyai banyak sekali anak buah. Namun, seorang kakek mampu menculiknya dari tempat itu dan jejaknya menuju ke pantai Po-hai. Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong yang melakukan penculikan itu?"
Mendengar ini, dua orang kepala bajak itu saling pandang dan mengerutkan alis, berpikir keras. "Agaknya tidak mungkin Touw-ong yang melakukan penculikan," kata Ma Ti Lok. "Biarpun Touw-ongya dan puterinya berilmu tinggi dan tentu saja bukan merupakan pantangan bagi mereka untuk mencuri apa saja yang mereka sukai, akan tetapi agaknya tidak masuk di akal kalau Touw-ongya menculik wanita, biarpun Wanita itu seorang puteri kerajaan sekalipun!"
"Benar," kata pula Ma Khong. "Agaknya bukan dia...."
"Habis siapa lagi kalau bukan dia? Hanya dia seorang saja kakek berilmu tinggi yang berada di pantai Po-hai," kata Hong Kui.
"Ah, bukan hanya dia," kata Ma Khong. "Ada seorang lagi dan kurasa dia inilah yang melakukan penculikan. Ya benar, tidak salah lagi. Tentu kakek aneh itu yang bertapa di tepi pantai sebelah ujung utara, di tempat yang sukar didatangi orang, yaitu di Gua Tengkorak."
"Hemm, siapa dia?" tanya Hong Kui.
"Seorang kakek tua renta yang kabarnya aneh dan lihai bukan main, bahkan orang-orang pernah melihat dia menghilang seperti setan, dan.... berjalan di atas air!"
"Bohong....!" kata Hong Kui.
"Mungkin bohong mereka itu, akan tetapi jelas bahwa kakek itu amat lihai, mungkin juga pandai bermain sihir, dan karena kami pun tidak mengenal benar siapa dia dan orang macam apa adanya dia, maka besar kemungkinan dialah yang melakukan penculikan," kata Ma Khong.
"Kalian berdua tentu suka membantu kami, bukan? Kumaksudkan, membantu aku!" tanya Hong Kui sambil mengerling tajam.
"Tentu.... tentu....!" Mereka berdua menjawab serentak.
"Kalau begitu, harap kalian membawa anak buah dan mengantar kami mencari kakek aneh di Gua Tengkorak itu untuk menyelidiki."
"Baik," jawab mereka.
"Dan kalau kemudian ternyata bahwa bukan kakek aneh itu yang menculik Puteri Bhutan, kalian harus mmebantu kami menyelidiki keadaan Hek-sin Touw-ong."
"Akan tetapi.... ini.... ini...." Ma Khong dan Ma Ti Lok menjawab penuh keraguan dan jelas membayangkan perasaan takut-takut.
"Kalian tidak mau membantu aku?" Hong Kui mendesak dan kini senyumnya menantang.
"Kami tentu saja mau membantu Lihiap!" tiba-tiba Ma Ti Lok ber kata.
"Benar, kami suka membantu Lihiap, dan harap Lihiap suka menghargai bantuan kami ini yang sesungguhnya kami lakukan dengan nekat demi rasa sayang kami kepada Lihiap. Sungquh kami tidak berani main-main terhadap Touw-ong, akan tetapi demi Lihiap.... kami mau melakukan segalanya, asal Lihiap tidak melupakan kami dan malam ini...."
Lauw Hong Kui tertawa. "Hi-hik, kalian sungguh bodoh! Pernahkah aku Lauw Hong Kui melupakan kebaikan orang? Kalian adalah sahabat-sahabatku yang baik, dan aku sudah rindu kepada kalian. Akan tetapi nanti kalau urusan ini sudah selesai dengan baik, tunggu saja dan lihatlah betapa aku adalah seorang yang tahu terima kasih, yang mengenal budi dan kutanggung kalian berdua tidak akan menyesal telah membantu aku. Akan tetapi nanti kalau sudah berhasil, karena malam ini.... hemmm, aku ingin dilayani oleh dia itu." Tiba-tiba Lauw Hong Kui menuding ke arah seorang pelayan pria yang sejak tadi memang menarik perhatiannya.
Tek Hoat ikut memandang bersama dua orang kepala bajak itu. Pria yang ditunjuk oleh Lauw Hong Kui itu adalah seorang pria muda, usianya paling banyak enam belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan wajahnya tidak tampan namun gagah dan membayangkan kejantanan. Dia berpakaian sederhana sebagai seorang pelayan, namun kesederhanaan pakaiannya itu tidak menyembunyikan tubuhnya yang mulai dewasa, kekar dan kuat. Sepasang matanya lembut dan sejak tadi dia memandang kepada Lauw Hong Kui penuh kekaguman karena sudah banyak dia mendengar dari kawan-kawannya di tempat itu tentang kehebatan wanita ini, hebat ilmu silatnya, hebat pula kepandaiannya merayu pria.
"Ah, si A-cun itu? Dia seorang yang baru di sini, baru belajar. Belum ada dua tahun dia ikut kami...., eh, dia masih bodoh dan hijau...."
"Hi-hik, justeru kebodohan dan kehijauannya itu menarik hatiku dan malam ini dia akan melayani aku. Adapun kalian berdua, tunggu sampai selesai urusan yang kalian bantu, tentu kalian akan mendapatkan bagian sepenuhnya." Wanita itu lalu bangkit berdiri, menoleh kepada Tek Hoat dan berkata, "Tek Hoat, kau bercakap-cakaplah dulu dengan mereka, aku akan pergi dan mengaso." Dia lalu menghampiri pemuda pelayan yang di sebut A-cun tadi, menggandeng tangannya dan berkata, "Marilah, kautunjukkan aku di mana bagian-bagian yang paling indah di daerah ini."
Pelayan muda itu memandang dengan mata terbelalak, kelihatan bingung dan gugup, akan tetapi dia tidak membantah ketika ditarik dan diajak pergi oleh Hong Kui, diikuti suara ketawa dua orang kepala bajak itu yang memandang dengan mata mengandung iri.
Malam itu, Tek Hoat rebah di atas pembaringan dalam kamar tamu dengan hati gelisah memikirkan Syanti Dewi. Benarkah kakek yang aneh seperti setan itu yang menculik kekasihnya? Ataukah si Raja Maling? Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya ketika dia membayangkan keadaan Syanti Dewi yang menderita bermacam kesengsaraan. Melakukan perjalanan jauh dari Bhutan, mungkin menyusulnya, dan tiba di tangan orang-orang jahat, bahkan hampir dikawin oleh Hwa-i-kongcu secara paksa dan kini entah berada di tangan siapa dan di mana dan bagaimana keadaannya. Semua ini terjadi karena ibunya yang muncul di Bhutan! Ah, dia tidak akan menyalahkan ibunya yang telah meninggal. Ibunya yang meninggal dalam keadaan demikian menyedihkan, terbunuh oleh orang dan sampai kini pun dia belum berhasil memecahkan rahasia pembunuhan terhadap ibunya itu. Dia terpaksa menunda penyelidikannya ketika muncul persoalan Syanti Dewi. Dia harus lebih dulu menyelamatkan kekasihnya itu, baru dia akan melanjutkan usahanya mencari pembunuh ibunya.
Malam itu sunyi sekali di hutan itu. Akan tetapi bagi para anggauta bajak yang beringas di malam hari itu dan mengadakan penjagaan di sekitar sarang mereka, kadang-kadang mereka itu mendengar suara yang aneh, suara seperti rintihan seekor kucing, yang terdengar jauh di luar hutan itu. Mereka hanya saling berbisik-bisik dan tertawa, akan tetapi tidak berani mendekati tempat dari mana suara itu terdengar, karena mereka maklum bahwa itulah suara Siluman Kucing yang sedang mempermainkan korbannya, yaitu A-cun yang masih muda remaja itu. Baru pada keesokan harinya, setelah mereka melihat Mauw Siauw Mo-li dengan wajah berseri dan segar, rambut kusut dan bibir tersenyum datang menggandeng A-cun, mereka para penjaga itu, atas isyarat wanita itu, menghampiri dan mereka memapah A-cun yang keadaannya payah, hampir pingsan, pucat dan seperti orang mabuk itu. Mereka cepat menggotong pemuda remaja itu ke kamarnya dan membiarkan pemuda remaja itu tidur setelah memaksa pemuda itu minum obat yang diberikan Mauw Siauw Mo-li. Tek Hoat yang mendengar akan hal ini sama sekali tidak mengambil peduli. Begitu dia terbangun dan membersihkan badan, dia lalu mencari dua orang kepala bajak itu dan bertanya tentang usaha mereka menyelidiki ke Gua Teng-korak. Ternyata Hong Kui sudah siap pula bersama dua orang kepala bajak. Biarpun semalam suntuk tidak tidur, wanita itu kelihatan segar dan wajahnya berseri, bibirnya tersenyum, dan hanya mukanya agak pucat. Dia telah memperoleh kepuasan setelah berhari-hari melakukan perjalanan bersama Tek Hoat, setelah banyak malam dilewatkan dengan gelisah sendirian
tanpa kawan, dan ternyata pemuda remaja anak buah bajak itu bukan hanya memenuhi harapannya, bahkan melampaui yang diharapkannya sehingga dia merasa gembira dan puas.
Mereka melakukan perjalanan berempat dan agar dapat melakukan perjalanan cepat, Ma Khong dan Ma Ti Lok mengajak mereka naik perahu dan menyusuri tepi pantai menuju ke utara. Ketika perahu itu melewati tebing yang amat tinggi, Ma Khong menuding ke atas tebing dan berkata, "Disanalah tempat tinggal Hek-sin Touw-ong. Tidak kelihatan dari sini, di atas tebing itu terdapat sebuah rumah gedung yang menjadi tempat tinggalnya. Terus terang saja, kami sendiri belum pernah pergi ke tempat itu. Siapa pula orangnya yang berani mendekati tempat tinggal Touw-ongya? Mudah-mudahan saja dugaan kami benar bahwa kakek aneh di ujung
pantai itu yang menculik Puteri Bhutan itu sehingga kita tidak perlu mendatangi Touw-ong."
Setelah hari menjadi sore, baru mereka mendarat di ujung utara dari pantai teluk itu dan mereka menuju ke daerah yang penuh dengan batu dan gua, daerah yang merupakan tebing dan pegunungan batu kapur. Tak lama kemudian, tibalah mereka di depan sebuah gua yang bentuknya memang seperti tengkorak manusia, gua yang menyeramkan. Akan tetapi sunyi saja di tempat itu dan ketika mereka memasukinya, mereka mendapatkan gua itu kosong. Memang ada tanda-tanda bahwa gua itu pernah ditinggali manusia, bahkan agaknya belum lama penghuninya meninggalkan tempat itu.
Mereka memeriksa Gua Tengkorak itu dan tiba-tiba Tek Hoat berdiri termenung di depan dinding gua sebelah kiri, memandang dan membaca tulisan yang diukir dengan indahnya di dinding batu itu.
Dia melihat guratan-guratan huruf kecil-kecil itu dengan teliti dan diam-diam dia merasa kagum karena dari bekasnya dia dapat menduga bahwa orang itu menggurat-guratkan jari tangannya untuk menuliskan huruf-huruf itu! Dia membaca dengan hati tertarik.
"Sayang, sungguh sayang belum pernah aku bertemu seseorang yang setelah melihat kesalahan sendiri! Lalu benar-benar menyesalkan kesalahannya itu dan benar-benar memperbaiki dirinya sendiri!"
Tek Hoat membaca tulisan itu berkali-kali dan termenung. Dia merasa seperti pernah mendengar kata-kata itu, akan tetapi karena pelajarannya tentang sastra memang tidak begitu mendalam, maka dia lupa lagi di mana dan bila mana.
"Hi-hik, orang tolol yang menuliskan itu. Mana di dunia ini ada orang yang mampu melihat kesalahan sendiri?"
Akan tetapi Tek Hoat tidak mempedulikan ejekan Mauw Siauw Mo-li itu dan dia termenung. Keluhan orang yang menuliskan kata-kata di dinding batu itu memang merupakan kenyataan. Adalah mudah melihat kesalahan sendiri akan tetapi sukarlah untuk memperbaiki diri sendiri sungguhpun dari penglihatan itu selalu timbul penyesalan.
Sesungguhnya, tulisan itu adalah petikan dari ujar-ujar dalam kitab Lun Gi bagian ke lima dan pasal ke dua puluh tujuh, ujar-ujar dari Nabi Khong Cu dan kata-kata itu berasal dari Nabi Khong Cu sendiri. Memang sudah menjadi kebiasaan kita untuk merasa menyesal setelah kita melihat kesalahan sendiri. Akan tetapi, biasanya penyesalan itu bukan datang karena benar-benar kita menyadari akan kesalahan sendiri, melainkan penyesalan yang timbul karena akibat buruk yang timbul karena kesalahan perbuatan kita itu! Jadi, sama sekali bukan penyesalan akan perbuatan kita yang salah, melainkan penyesalan karena kita dirugikan oleh perbuatan itu sebagai akibatnya. Misalnya, kita melakukan perbuatan yang salah, yaitu mencuri. Akibatnya, kita tertangkap dan dihukum. Menyesaliah kita, akan tetapi penyesalan ini timbul karena JATUHNYA HUKUMAN itulah atas diri kita. Oleh karena keadaan seperti inilah maka di lain kesempatan, kita dapat saja mengulangi perbuatan itu asal saja tidak terlihat ancaman hukumannya. Itulah sebabnya maka Nabi Khong Cu tidak pernah melihat orang yang melihat kesalahan sendiri lalu benar-benar menyesalkan perbuatannya dan benar-benar memperbaiki dirinya sendiri. Perbaikan diri sendiri yang dimaksudkan TIDAK MENGULANGI lagi perbuatannya yang salah itu.
Mempelajari atau menghafal ayat-ayat suci saja sesungguhnya tidak ada artinya sama sekali bagi jalannya kehidupan. Yang penting adalah menyelami sedalam-dalamnya segala hal yang berhubungan dengan kahidupan kita. Kalau kita melakukan suatu kesalahan tidak hanya cukup untuk disesalkan saja, melainkan kita hadapi secara menyeluruh, kita selidiki diri kita sendiri mengapa kita melakukan kesalahan itu, apa yang mendorongnya dan apa yang menimbulkan terjadinya hal itu. Kalau kita selalu waspada akan gerak-gerik diri sendiri setiap saat, maka akan timbul kesadaran yang menyeluruh, bukan kesadaran sepintas lalu yang didapat dari membaca ayat. Kesadaran membaca ayat hanya terbatas pada saat membaca ayat itu saja, untuk kemudian dilupakan lagi sehingga di waktu kita memikirkan atau melakukan sesuatu menurut pikiran, ayat-ayat itu sama sekali terpendam dan terlupa. Dan biasanya, ayat-ayat itu yang kesemuanya amat muluk-muluk dan baik, hanya teringat oleh kita kalau kita ingin menasihati orang lain saja, sebaliknya sama sekali terlupa kalau kita melakukan segala sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Ayat-ayat itu seperti nyanyian-nyanyian merdu yang hanya mampu menggerakkan hati nurani kita pada saat kita mendengarnya atau membacanya, dan apakah artinya itu bagi kehidupan kita kalau hanya dinikmati sepintas lalu saja tanpa adanya PENGHAYATAN DALAM HIDUP? Mengetrapkan ayat-ayat suci di dalam kehidupan sehari-hari pun hanya merupakan kepalsuan yang dipaksa-paksakan belaka, mungkin dengan tujuan agar kita dipuji, agar kita menjadi orang baik dan sebaiknya. Kebaikan tidak mungkin dilatih, karena kalau kebaikan itu muncul karena dilatih, maka dia bukan kebaikan lagi melainkan kepalsuan. Kebaikan adalah kewajaran, tidak dilatih tidak dibuat-buat, tidak mencontoh ini atau itu, melainkan keadaan bebas dari kekotoran. Kalau kebusukan-kebusukan sudah tidak ada maka muncullah kebaikan, seperti kalau awan-awan gelap sudah sirna maka nampaklah sinar matahari. Melatih kebaikan hanya akan menciptakan manusia -manusia munafik.
Yang penting, mengenal diri sendiri lahir batin, mengenal kekotoran-kekotoran dan kebusukan-kebusukan diri sendiri dengan mengamatinya setiap saat, dengan waspada setiap saat akan segala gerak-gerik lahir batin diri sendiri. Pengamatan seperti ini adalah tanpa pamrih sama sekali, tanpa pengejaran akan sesuatu, tanpa ingin menjadi baik, tanpa adanya aku yang berpamrih, tanpa adanya aku yang mengejar dan menginginkan apa pun. Yang ada hanya batin mengamati diri sendiri, gerak-geriknya setiap saat yang menimbulkan segala macam perbuatan, tanpa ada keinginan mengubah, memperbaiki, mengendalikan, dan keinginan-keinginan ini tentu tidak ada kalau YANG MENGAMATI tidak ada pula!.
Sampai lama mereka berempat memeriksa keadaan di dalam gua tengkorak, akan tetapi tetap saja mereka tidak menemukan sesuatu. Â Tidak ada bekas-bekas yang menunjukkan bahwa Syanti Dewi pernah berada di dalam gua itu.
"Jelas bahwa bukan penghuni gua ini yang menculiknya. Tentu Hek-sin Touw-ong!" kata Tek Hoat.
"Kalau begitu kita akan menyelidiki ke rumah Raja Maling itu," kata Mauw Siauw Mo-li.
Dua orang Saudara Ma itu kelihatan gentar. "Kalau begitu kita sebaiknya pulang dulu, kami akan mengerahkan anak buah kami."
"Tidak perlu," kata Tek Hoat sambil mengerutkan alisnya. "Kita berempat sudah cukup. Kalian hanya menunjukkan saja jalan menuju ke gedung itu, setelah bertemu dengan Hek-sin Touw-ong, serahkan saja kepadaku untuk menghadapinya."
"Tapi.... tapi dia amat sakti, dan puterinya juga amat lihai. Kami.... kami tidak berani. Kalau engkau gagal, Taihiap, kami
pun tentu akan celaka."
"Jangan takut, Twa-ong. Ang-taihiap cukup kuat untuk menghadapi Touw-ong, dan selain itu ada aku di sini, bukan?" kata Hong Kui. Karena takut kepada wanita itu, akhirnya dua orang itu terpaksa menurut. Malam itu mereka bermalam di dalam gua tengkorak.
Hong Kui tidak mempedulikan dua orang kepala bajak yang membuat api unggun di dalam gua itu. Dia mendekati Tek Hoat dan berusaha merayu pemuda ini. Akan tetapi Tek Hoat menjadi merah mukanya dan marah. Hampir saja dia memukul wanita tak tahu malu itu dan akhirnya dia keluar, lebih suka tidur diluar gua yang dingin daripada di dalam gua di mana dia harus menghadapi godaan Hong Kui yang amat mengganggunya. Tak lama kemudian dia mendengar suara dua orang kepala bajak itu tertawa-tawa, dan menjelang tengah malam, dia mendengar rintihan suara kucing itu yang amat memuakkan hatinya. Dia pergi menjauh dari gua, tidur di antara batu-batu karang, menerawang ke langit yang penuh bintang dan mengenangkan semua kehidupannya yang telah lalu. Timbul perasaan malu di dalam hatinya. Teringat akan tulisan di dinding batu, kini dia melihat betapa dia telah memenuhi kehidupan yang lalu dengan segala hal yang amat memalukan dan jahat. Betapa dia dapat mengubah itu semua setelah dia bertemu dengan Syanti Dewi, bahkan di Bhutan dia telah menjadi seorang terhormat, sebagai panglima dan calon suami Syanti Dewi. Cinta kasihnya terhadap Syanti Dewi selain membuat dia hidup bahagia, Juga membuat dia hidup bersih, Jauh dari pikiran kotor sama sekali. Bahkan dia mulai menganggap dirinya berharga dan patut menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es dan menjadi calon suami Syanti Dewi yang berbudi mulia.
Akan tetapi terjadi perubahan. Dia terusir dengan cara yang amat merendahkan dari Bhutan. Dia meninggalkan Syanti Dewi dan kebahagiaannya hancur, kehidupannya hancur dan hatinya juga remuk-rendam. Dia menjadi tidak peduli akan kehidupannya, apalagi setelah melihat ibunya terbunuh. Dia tidak peduli lagi apakah dia hidup melalui jalan kotor atau bersih. Dia tidak peduli!
Akan tetapi sekarang, kembali dia terombang-ambing antara kehancuran hidupnya dan pertemuannya kembali dengan Syanti Dewi. Bagaimana kalau bertemu kembali? Apakah dia masih berharga untuk puteri itu? Apakah puteri itu dapat mencintanya? Dia mulai merasa menyesal! Penyesalan yang timbul karena kekhawatirannya akan kehilangan Syanti Dewi lagi! Dia telah melalui jalan kotor dan sesat!
Dengan hati gelisah, akhirnya dia dapat pulas juga dan dapat-lapat seperti dalam mimpi dia mendengar rintihan suara kucing itu yang amat dibencinya. Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya diseret ke dalam lumpur kehinaan oleh Mauw Siauw Mo-li! Dia harus membuktikan bahwa dirinya masih berharga untuk mencinta Syanti Dewi!
******
"Suhu, lihat apa yang kudapatkan ini!" Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berkata bangga di depan kakek itu sambil membuka buntalan besar yang dibawanya masuk ke dalam gedung besar di tebing itu, buntalan yang tadi diseret masuk oleh dua orang pelayan yang menyambut kedatangannya bersama beberapa orang pelayan lain.
Rumah itu merupakan gedung besar dan sama sekali tidak pantas menjadi rumah seorang yang berjuluk Raja Maling! Rumah itu teratur rapi, biarpun tidak terlalu mewah namun amat menyenangkan dengan hiasan-hiasan dinding berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf indah. Pot-pot kembang kuno menghias di sudut-sudut ruangan, lantainya bersih dan kesemuanya menunjukkan bahwa rumah itu terpelihara dan penghuninya suka akan kebersihan.
Ada kurang lebih sepuluh orang pelayan bekerja di luar dan dalam rumah, kesemuanya biarpun berpakaian pelayan namun sebetulnya adalah anak buah Hek-sin Touw-ong dan mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan ilmu mencuri yang lihai. Akan tetapi tentu saja kini mereka tidak lagi mencuri, setelah menjadi anak buah dan pelayan dari Raja Maling itu.
Kakek yang berjuluk Hek-sin Touw-ong itu adalah seorang laki-laki tua berusia enam puluh tahun lebih. Mukanya hitam seperti dicat, sesuai dengan julukannya si Raja Maling Bermuka Hitam. Sebenarnya, sudah bertahun-tahun yang lalu kakek ini menjalankan pekerjaannya sebagai Raja Maling, yaitu ketika dia masih beroperasi di perbatasan Ho-nan dan Ho-pei. Namanya amat terkenal di daerah itu dan semua kaum pencuri tunduk kepadanya dan menganggapnya sebagai datuk atau raja. Karena kepandaiannya yang hebat, dan karena semua pencuri menganggapnya sebagai raja, kemudian karena mukanya hitam, maka dia memperoleh julukan Hek-sin Touw-ong. Akan tetapi sesungguhnya dia bukanlah maling sembarang maling! Dia hanya mau melakukan pencurian di dalam istana-istana saja! Dan biarpun mukanya hitam, ternyata hatinya tidaklah sehitam mukanya. Kakek yang terkenal dengan julukan Raja Maling ini terkenal dermawan dan suka menolong orang-orang yang menderita kekurangan dan kesengsaraan. Pernah dia mencuri satu peti besar terisi ratusan tail uang emas milik gubernur di Ho-nan dan menggunakan seluruh uang itu untuk membeli ratusan ton gandum untuk dibagikan kepada rakyat yang kelaparan di daerah lembah Huang-ho di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei ketika Sungai Huang-ho mengamuk dan membanjiri! Perbuatannya ini menimbulkan kegemparan dan selain dia dimusuhi oleh para pembesar, juga perbuatannya itu menimbulkan rasa kagum dalam hati para pendekar.
Ketika kakek itu mendengar akan kedatangan muridnya, dia cepat keluar menyambut di ruangan tengah dengan wajah berseri-seri. Kakek ini amat sayang kepada muridnya, bahkan murid itu juga sekaligus menjadi anak angkatnya, sungguhpun Swi Hwa masih belum dapat mengubah sebutan suhu kepadanya. Sudah berbulan-bulan muridnya pergi merantau, dan kini muridnya pulang dan membawa "oleh-oleh" yang demikian banyaknya. Ketika buntalan dibuka dan kakek itu melihat tumpukan perhiasan emas permata, uang dan juga kitab-kitab, dia terbelalak dan menatap wajah muridnya dengan alis berkerut.
"Swi Hwa, apa yang telah kaulakukan? Dari mana engkau memperoleh semua benda berharga ini?"
Biarpun dia berjuluk Raja Maling, akan tetapi kakek ini selalu melarang muridnya untuk melakukan pencurian, apalagi pencurian kecil-kecilan yang akan merendahkan nama mereka, sungguhpun muridnya sudah pandai sekali dalam hal ilmu mencuri dan ilmu menyamar.
Gadis itu tertawa. "Suhu, harap jangan mengira, bahwa aku sembarangan saja mencuri segala macam benda. Benda-benda ini bukan benda-benda sembarangan, juga bukan milik orang-orang sembarangan pula."
"Hemmm, kantung itu terisi uang tidak berapa banyak dan kau bilang bahwa itu bukan benda sembarangan?" Gurunya mencela dan menegur.
"Benar, Suhu. Hanya sekantung uang yang tidak berharga. Akan tetapi tahukah Suhu dari siapa aku mengambil kantung ini? Hemmm, Suhu tentu tidak akan pernah dapat menerkanya. Kantung ini kuambil dari buntalan yang dibawa oleh pendekar Siluman Kecil!"
"Wahhhhh....!" Suhunya terbelalak dan memandang kepada muridnya dengan heran. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama pendekar yang baru muncul dalam waktu beberapa tahun ini, yang namanya amat terkenal di antara para tokoh besar dunia hitam, bahkan amat disegani. Dia mendengar betapa ilmu kepandaian pendekar Siluman Kecil itu amat hebat dan kini muridnya berani mencopet kantung uangnya!
Melihat kekagetan, dan keheranan suhunya, Swi Hwa menjadi bangga dan senang, maka dia lalu menuding ke arah peti terbuka yang terisi barang-barang perhiasan emas permata.
"Dan Suhu lihat peti itu! Isinya adalah harta pusaka dari keluarga yang amat terkenal pula. Keluarga panglima besar kota raja, Jenderai Kao Liang!
"Ehhh....?" Sepasang mata Raja Maling itu makin terbelalak lebar ketika mendengar laporan itu. Nama Jenderal Kao malah lebih terkenal lagi daripada nama Siluman Kecil. Siapa yang tidak mengenal nama jenderal yang amat hebat itu? Baru mendengar namanya saja orang menjadi gentar dan segan, akan tetapi muridnya ini berani mencuri harta pusaka keluarga jenderal itu!
Hati Swi Hwa makin besar dan bangga. "Dan kitab-kitab ini, Suhu. Tentu Suhu tidak akan dapat menerka dari mana aku mencurinya. Kitab-kitab ini adalah milik si tua renta yang amat lihai itu, Sin-siauw Seng-jin...."
"Apa....?" Sekali ini kakek itu hampir berteriak dan mukanya berubah, lalu tiba-tiba dia tertawa bergelak dan membuka-buka kitab itu. "Ha-ha-ha-ha-ha! Lucu.. ..! Lucu sekali! Muridku, anakku, hayo cepat kauceritakan bagaimana engkau dapat melakukan semua itu, terutama sekali kitab-kitab palsu ini!"
"Palsu?" Swi Hwa mengerutkan alisnya. "Bagaimana Suhu tahu bahwa ini palsu? Aku mengambilnya dari rumah Sin-siauw Seng-jin sendiri setelah dia dikalahkan oleh Siluman Kecil."
Kembali kakek itu terkejut. "Sin-Siauw Seng-jin dikalahkan oleh Siluman Kecil? Bagaimana pula itu? Ah, Swi Hwa, ceritakan.... ceritakan....!"
Melihat kegembiraan gurunya, Swi Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya. Mula-mula dia menceritakan tentang keluarga Jenderal Kao Liang yang membawa keluarganya pulang ke kampung halamannya di selatan, kemudian betapa muncul beberapa kelompok gerombolan yang hendak membunuh dan hendak merampok keluarga itu. Dalam keributan ketika para kelompok gerombolan itu saling
bertempur sendiri, dia lalu menggunakan kesempatan itu untuk merampas peti terisi harta pusaka itu dan melarikannya. Kemudian dia menceritakan tentang penyamarannya sebagai tukang penjual sepatu dan berhasil mencopet kantung uang milik Siluman Kecil, dan akhirnya dia menceritakan bagaimana dia telah mencuri kitab-kitab pusaka milik Sin-siauw Seng-jin. Akan tetapi tentang dia masuk menjadi pengawal Gubernur Ho-nan dan tentang rahasianya yang terbuka oleh Siauw Hong, dia sama sekali tidak berani menceritakan kepada suhunya.
Kakek itu mendengarkan penuturan muridnya dan berkali-kali dia berseru kagum. Apalagi ketika dia mendengar tentang pertandingan antara Siluman Kecil dan Sin-siauw Seng-jin sampai kakek Suling Sakti itu kalah, berulang kali dia mengeluarkan suara heran dan memuji "Hebat.... hebat sekali orang muda yang berjuluk Siluman Kecil itu. Tadinya kukira bahwa Sin-siauw Seng-jin tidak ada lawannya. Kiranya dia kalah oleh seorang pemuda. Ha-ha-ha!" Kelihatan kakek ini girang sekali mendengar akan kekalahan Suling Sakti itu.
"Suhu, tadi Suhu mengatakan bahwa kitab-kitab ini palsu padahal Suhu belum memeriksanya dengan teliti. Benarkah itu?"
"Ha-ha, tentu saja, Swi Hwa. Aku sudah mengenal baik siapa kakek tua bangka itu! Kalau kitab-kitab peninggalan Suling Emas dapat dicuri orang begitu saja, tentu ilmu-ilmu itu tidak akan menjadi rahasia sampai sekarang. Kau boleh bakar kitab-kitab itu, karena semua itu palsu, apalagi kalau telah dia tinggalkan begitu saja."
"Betapapun juga, aku telah merampasnya dari dalam rumahnya, Suhu."
"Ha-ha-ha, itulah yang menggirangkan hatiku. Kalau saja dia mendengar bahwa rumahnya kemasukan maling dan maling itu adalah engkau, muridku, ha-ha-ha.... ingin aku melihat mukanya, ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa-tewa, akhirnya lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Muridku, anakku, apa yang telah kaulakukan ini benar-benar hebat dan mengagumkan hatiku. Aku girang dan puas mempunyai murid seperti engkau. Akan tetapi, engkau telah bermain-main dengan api, anakku. Kurasa perbuatanmu ini akan berekor dan siapa tahu akan ada orang-orang pandai yang mencarimu di sini untuk merampas kembali benda-benda ini. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita menyembunyian di tempat aman."
"Di gua rahasia di tebing?"
Kakek itu mengangguk dan mereka lalu membawa benda-benda itu ke tepi tebing, lalu mereka merayap turun melalui tebing yang amat curam itu dan menyembunyikan benda-benda itu di dalam sebuah gua di tebing yang tertutup oleh batu dan tumbuh-tumbuhan sehlngga kalau bukan mereka yang sudah mengenal tempat itu, kiranya tidak mungkin orang lain akan dapat mencari dan menemukan tempat itu.
Malam itu, di atas meja makan, Swi Hwa dengan hati-hati lalu menceritakan pengalamannya kepada gurunya. Tanpa menyinggung perasaan hatinya yang mula-mula tertarik terhadap Siluman Kecil, dia akhirnya menceritakan juga tentang petualangannya memasuki sayembara di Ho-nan.
"Eh, Swi Hwa, apa yang kaulakukan itu? Mau apa engkau memasuki sayembara untuk menjadi pengawal?" tegur gurunya. Swi Hwa memang amat dimanja oleh gurunya ini dan sejak kecil dia menganggap gurunya sebagai ayah sendiri. Oleh karena inilah, maka biarpun ketika datang tadi dia tidak berani bercerita tentang semua itu, namun akhirnya dia bercerita juga karena dia tidak dapat menahan semua itu di dalam hatinya dan dia tidak mempunyai orang lain untuk diajak bicara.
"Suhu, aku hanya ingin meluaskan pengalaman saja. Apalagi aku terbawa oleh orang-orang lain yang melakukan perjalanan bersamaku. Dan Siluman Kecil juga melakukan perjalanan bersama, maka aku pun ingin memperlihatkan kepandaian."
"Hemmm.... kau seorang wanita sungguh terlalu berani beraksi di depan umum." Lalu dia memandang tajam. "Apa sebabnya kau ingin agar orang-orang mengetahui kepandaianmu?"
"Suhu, tentu saja dengan maksud untuk mengangkat nama Suhu!"
"Eh, bocah lancang! Apa kau mengaku bahwa kau muridku?"
Ditegur begitu oleh gurunya, Swi Hwa terkejut. "Aku.... aku.... hanya mengaku sebagai wakil Suhu dalam pertemuan di lembah Huang-ho...."
"It memang atas kehendakku. Engkau kusuruh mewakili aku menghadiri pertemuan itu di sana. Akan tetapi tidak di tempat umum!"
"Suhu, maafkan, aku.... aku hanya mengakui nama dan nama Suhu di depan.... eh, Siluman Kecil ketika aku mengambil kitab-kitab Sin-siauw Sengjin."
Gurunya menarik napas panjang. "Engkau sungguh mencari penyakit. Nah, karena sudah terlanjur, bagaimana nanti sajalah, akibatnya kita hadapi bersama. Lanjutkan ceritamu."
Setelah mulai menuturkan tentang sayembara itu, Swi Hwa tentu saja tidak dapat menutupi apa-apa lagi dan kata-kata pun mulai lancar keluar dari mulutnya. Dibukanya segala peristiwa itu kepada suhunya. Betapa dia terlibat dalam urusan perebutan Pangeran Yung Hwa yang ditawan oleh Gubernur Ho-nan, betapa dia terpukul oleh Siluman Kecil.
"Ah, engkau benar-benar sembrono sekali, muridku. Untung engkau tidak sampai terpukul mati oleh pendekar itu," kata kakek itu dengan mata terbelalak, terheran-heran akan petualangan muridnya yang berani itu.
Swi Hwa lalu menceritakan bahwa perkelahian itu membuat dia tidak suka lagi tinggal di gubernuran, apalagi karena teman-temannya telah pergi, yaitu si gagu yang ternyata adalah kakak sendiri dari Siluman Kecil, Siauw Hong, Siluman Kecil dan seorang kakek gagah perkasa yang dia mendengar dari para pengawal adalah seorang tokoh bernama Sai-cu Kai-ong yang memimpin pasukan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa.
Mendengar nama ini, Hek-sin Touw-ong menjadi makin heran, matanya terbelalak dan dia berseru, "Sai-cu Kai-ong....?
Ahhh.... betapa aneh dan kebetulan....!
"Apa maksudmu, Suhu?"
Gurunya menarik napas panjang. "Tidak apa-apa, aku kenal dengan tua bangka itu, kelak engkau pun akan tahu sendiri. Teruskan, teruskan, ceritamu makin menarik"
"Setelah aku pergi meninggalkan gubernuran Ho-nan karena aku tidak ingin lagi melanjutkan sebagai pengawal gubernur, setelah terjadi peristiwa perebutan Pangeran Yung Hwa itu, aku bertemu dengan Jenderal Kao Liang yang sedang diserang oleh seorang wanita baju hijau yang lihai. Melihat jenderal yang sudah kudengar kegagahannya itu roboh, aku merasa kasihan dan aku lalu membantunya, kuserang wanita baju hijau yang lihai itu, Suhu."
Gurunya mengangguk-angguk. "Sekali ini kau benar, muridku. Pertama, karena engkau telah melakukan kesalahan terhadap jenderal itu dengan mencuri harta pusakanya, maka sudah selayaknya engkau menebusnya dengan membantunya, apalagi engkau belum mengenal wanita penyerangnya itu."
"Akan tetapi dia lihai bukan main, Suhu! Pukulan Kiam-to Sin-ciang yang kupergunakan tidak merobohkannya...."
"Ah, ilmumu belum cukup tinggi untuk menggunakan Kiam-to Sin-ciang dengan sempurna."
"Pada saat itu, muncul pula Siluman Kecil dan Siauw Hong. Mereka melerai, akan tetapi aku sudah terpukul oleh wanita baju hijau itu sehingga aku roboh pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi...."
"Ah, begitu hebat dia? Siapakah wanita itu?"
"Aku tidak tahu, Suhu. Usianya lebih tua dua tiga tahun daripada aku, pakaiannya serba hijau, wajahnya cantik dan sikapnya dingin. Pukulannya itu hebat bukan main, aku merasa betapa seluruh tubuhku seperti dimasuki salju yang dinginnya menyusup tulang sumsum dan menyerang rongga dada sehingga aku tidak kuat dan roboh tidak ingat apa-apa lagi."
Kakek itu mengerutkan alisnya. "Dingin....? Hemmm, tentu dia memiliki ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat kuat. Lalu bagaimana, Swi Hwa? Kemudian apa yang terjadi denganmu?"
Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah sekali. Dia sudah kepalang, sudah menceritakan segala-galanya kepada gurunya, maka sukarlah untuk menyembunyikan peristiwa yang terjadi atas dirinya, apa yang dilakukan oleh Siauw Hong itu. Teringat akan ini tiba-tiba saja gadis itu merasa amat malu dan terhina, lalu menangis!
Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi terkejut sekali. Dia memandang muridnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia bertanya, "Apakah yang menimpa dirimu, muridku? Mengapa kau menangis?" Suaranya mengandung kekhawatiran karena mendengar muridnya roboh pingsan lalu kini menangis itu, dia menyangka bahwa jangan-jangan terjadi hal yang buruk atas diri muridnya.
Swi Hwa menyusut air matanya dan setelah tangisnya mereda dan hatinya mulai tenang kembali, dia melanjutkan ceritanya, "Pukulan itu membuat aku pingsan, Suhu. Aku tidak tahu apa-apa lagi. Ketika aku siuman kembali, aku telah berada di bawah pohon, di atas rumput terlentang dan.... dan...."
"Ya? Bagaimana?" Gurunya bertanya dengan tangan terkepal karena hatinya tegang menanti lanjutan cerita muridnya itu.
"Ketika aku siuman kembali, aku melihat dia duduk di dekatku dan.... tangannya diletakkan di atas dadaku, Suhu...." Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
"Dia? Dia siapa?"
"Siauw Hong.. .."
"Keparat! Berani benar dia!" Kakek itu membentak marah.
"Suhu tentu mengerti betapa kaget dan malu rasanya hatiku. Tangannya itu meraba dadaku di balik bajuku.... maka aku lalu bangkit dan memukulnya sekuat tenaga sehingga dia terlempar dan mungkin dia mampus!"
"Bagus! Benar itu! Kalau dia belum mampus, biar aku yang akan mencarinya dan memukulnya sampai mampus benar-benar! Laki-laki keparat dia itu! Siapa sih Siauw Hong itu?"
"Dia adalah pemuda yang melakukan perjalanan bersama aku dan Siluman Kecil, yang juga memasuki sayembara dan diterima menjadi pengawal, akan tetapi ketika terjadi keributan perebutan Pangeran Yung Hwa, dia membantu Siluman Kecil.
"Hemmm, jadi dia memiliki kepandaian juga, ya? Orang macam apa dia berani berbuat kurang ajar seperti itu?"
"Dia.... dia masih muda, mungkin tidak lebih tua daripada aku, Suhu, dan dia dikenal sebagai pangeran pengemis...."
"Pengemis??" Gurunya makin penasaran. Anak angkatnya, muridnya yang tersayang itu diganggu oleh seorang pemuda pengemis?
"Ya, dia seorang pengemis aneh, dan ternyata kemudian bahwa dia adalah murid dari kakek pengemis aneh yang memimpin pasukan memperebutkan Pangeran Yung Hwa itu, Suhu."
"Siapa? Murid siapa?" Muka kakek itu berubah. Swi Hwa terkejut melihat perubahan muka gurunya. "Dia murid Sai-cu Kai-ong...."
"Ahhhhh....! Ya Tuhan....!"
"Ada apakah, Suhu? Mengapa Suhu demikian kaget?"
Kakek itu masih terbelalak, kemudian dia memegang lengan gadis itu dengan cepat sehingga gadis itu menjadi kaget dan takut kalau-kalau gurunya marah. Belum pernah gurunya marah kepadanya, akan tetapi sikapnya sekarang benar-benar mengagetkan hatinya.
"Hayo katakan, apakah dia melakukan hal itu, meraba dadamu, untuk berbuat kurang ajar dan melanggar susila? Apakah dia berusaha.... memperkosamu?"
Kini Swi Hwa yang memandang dengan mata terbelalak. "Memperkosa? Apa maksudmu, Suhu? Sama sekali tidak! Dia meraba dadaku untuk menyembuhkan aku, terasa olehku dia menyalurkan sinkang yang amat kuat dan mengusir hawa dingin akibat pukulan gadis pakaian hijau itu."
"Ahhh....!" Kakek itu tertegun dan melongo. "Jadi dia malah menolongmu? Kalau dia menyelamatkanmu dengan mengobati lukamu, mengapa kau menghantamnya sampai.... mungkin dia mati?"
Wajah Swi Hwa menjadi merah dan dia menunduk. "Habis.... habis dia.... meraba dadaku dan aku malu karena rahasiaku terbuka. Tadinya dia dan mereka semua mengira aku seorang pemuda sejati Suhu, aku selalu menyamar. Ketika aku melihat dia meraba dadaku, di balik baju, tentu saja aku merasa malu dan marah karena rahasiaku terbuka dan aku lalu memukulnya, kemudian aku melarikan diri, dan pulang ke sini.
Kakek itu menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. "Ah, aku menjadi bingung, Swi Hwa. Sebentar aku marah, sebentar aku khawatir, dan kemudian aku terheran dan bingung lagi. Jadi pemuda yang mengobatimu dan juga yang berani meraba dadamu itu adalah murid Sai-cu Ka i-ong?"
"Benar, Suhu."
Kakek itu menarik napas panjang. "Aaahhhhh.... kekuasaan Thian sungguh amat hebat dan luar biasa, penuh rahasia ajaib...."
"Maksud Suhu?"
"Swi Hwa, engkau adalah seorang gadis yang sudah cukup umur. Sudah menjadi kewajibanku sebagai guru dan ayah angkatmu untuk memikirkan perjodohanmu...."
"Ah, Suhu! Harap jangan bicara tentang itu!" Swi Hwa berseru dan mukanya menjadi merah sekali. Dia teringat kepada Siluman Kecil, pemuda yang amat dikagumi itu, akan tetapi hatinya kecewa dan tawar kembali melihat betapa Siluman Kecil sama sekali tidak memperhatikannya, bahkan memusuhinya!
"Swi Hwa, hanya ada tiga peristiwa dalam kehidupan manusia yang kuanggap penting, bahkan yang diakui kepentingannya oleh semua orang, menjadi pusat perhatian dan didatangi sanak keluarga dan handai-taulan. Pertama adalah kelahiran, ke dua adalah pernikahan dan ke tiga kematian. Usiamu sudah hampir sembilan belas tahun, sudah cukup untuk memikirkan tentang jodoh. Dan setelah kau menceritakan tentang pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu, hemmm.... timbul pikiranku untuk menyelidikinya lebih jauh dan melihat kalau-kalau dia berjodoh denganmu."
"Suhu....!"
"Swi Hwa, bagi seorang wanita terhormat dan bersusila, merupakan pantangan besar untuk membiarkan tubuhnya diraba oleh laki-laki, kecuali oleh suaminya tentu saja! Siapa berani merabanya berarti telah melakukan penghinaan dan hanya layak ditebus dengan nyawa. Oleh karena itu, pemuda bernama Siauw Hong yang telah meraba tubuhmu itu pun hanya mempunyai dua pilihan, pertama menjadi jodohmu atau ke dua dia harus dibunuh! "
"Tapi.... tapi.... dia telah menolongku, Suhu, dia telah mengobatiku."
"Nah, itulah sebabnya mengapa aku pun hendak menyelidiki dia. Aku pun lebih condong untuk menjodohkan dia denganmu, apalagi mengingat bahwa dia adalah murid seorang seperti Sai-cu Kai-ong yang biarpun berkepala besar dan berhati baja, namun kurasa tentu dapat memilih seorang murid yang baik."
"Akan tetapi, Suhu, aku belum....!"
"Ssshhhhh....!" gurunya memberi isyarat agar muridnya diam dan dia lalu meloncat keluar dari kamar itu, diikuti oleh Swi Hwa yang juga mendengar suara ribut-ribut di luar rumah itu.
Ketika mereka tiba di luar rumah, mereka terkejut bukan main melihat para pelayan mereka telah menggeletak di sana-sini dalam keadaan tertotok, pingsan atau terluka! Pelayan-pelayan mereka adalah orang-orang yang cukup lihai, akan tetapi bagaimana dalam waktu singkat saja mereka roboh semua?
Hek-sin Touw-ong yang baru muncul itu tiba-tiba meloncat ke samping ketika dia melihat bayangan orang berkelebat dan sinar hijau menyambarnya. Dia mengelak dan memandang. Ternyata yang menyerangnya adalah seorang wanita cantik yang pesolek, dari pakaiannya tersebar bau semerbak harum dan pedangnya yang bersinar hijau itu lihai sekali. Segera dia mengenal wanita ini dan dia berseru marah, "Mauw Siauw Mo-li, mau apa kau? Berani benar kau mengacau di tempatku?"
"Tek Hoat, cepat....!" Mauw Siauw Mo-li sudah berseru dan tanpa mempedulikan pertanyaan Hek-sin Touw-ong, dia sudah menerjang lagi dan mengirim serangan-serangan kilat kepada lawannya. Hek-sin Touw-ong adalah seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi karena dia maklum bahwa adik seperguruan Hek-tiauw Lo-mo ini adalah seorang yang amat lihai maka dia tidak berani sembrono menyambut serangan pedang itu, melainkan mengelak lagi dan mulai membalas dengan tendangan kilat yang dapat dielakkan pula oleh wanita itu.
Sementara itu, Tek Hoat yang datang bersama Mauw Siauw Mo-li, sudah berkelebat ke sebelah dalam rumah. Dia melihat bayangan merah berkelebat dan di dalam keadaan remang-remang itu dia mengira bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi. Bukan main girang rasa hatinya. "Syanti Dewi....!" Dia berseru dan meloncat menghampiri, hendak memeluk dara itu.
"Wuuuttttt.... wirrrrr....!"
Tek Hoat terkejut bukan main karena dara yang dikira Syanti Dewi itu mengelak dan cepat menghantamnya dengan tangan kiri yang mengandung hawa tajam dan kuat sekali. Dia cepat meloncat ke belakang dan memandang. Kiranya dara itu sama sekali bukanlah Syanti Dewi, sungguhpun harus diakuinya bahwa dara itu juga cantik jelita.
Dara itu adalah Ang-siocia atau Swi Hwa yang tentu saja menjadi marah sekali melihat pemuda ini datang-datang hendak memeluknya. Dari tempat itu dia melihat suhunya telah bertanding melawan seorang wanita cantik yang mainkan pedang bersinar hijau secara hebat sekali, dan dia dapat melihat pula para pelayan suhunya telah rebah di sana-sini. Tahulah dia bahwa ada orang-orang jahat menyerbu, maka dia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Tek Hoat dengan sengit dan dahsyat.
Tek Hoat terkejut dan kagum juga menyaksikan kehebatan ilmu pedang gadis cantik ini, akan tetapi karena dia sudah tidak sabar lagi ingin cepat-cepat menemukan kembali Syanti Dewi yang disangkanya diculik oleh Hek-sin Touw-ong dan disembunyikan di gedung itu, cepat mengerahkan kepandaiannya, memapaki serangan Swi Hwa dengan dorongan tangan kirinya yang mengandung tenaga sakti Inti Bumi. "Aihhh....!" Swi Hwa menjerit, ketika tubuhnya dilanda angin dahsyat yang amat kuat dan membuat dia terjengkang, dan sebelum dia sempat bergerak, pundaknya telah ditotok secara luar biasa sekali dan dia menjadi lemas, tak dapat berdaya lagi seperti kehilangan tenaganya.
"Hayo katakan, di mana adanya Syanti Dewi?" Tek Hoat menghardik. Akan tetapi gadis itu melotot kepadanya penuh kemarahan.
"Tidak tahu!" Gadis itu menjawab dengan keras pula. Dua bayangan berlari datang dan mereka itu adalah Ma Khong dan Ma Ti Lok. Dua orang ini tadinya gentar sekali ketika mendatangi rumah gedung milik Hek-sin Touw-ong itu, akan tetapi setelah mereka melihat bagaimana dengan amat mudahnya Ang Tek Hoat dan Lauw Hong Kui merobohkan para penjaga atau pengawal itu, kemudian melihat Lauw Hong Kui sudah bertempur dengan hebat lawan Hek-sin Touw-ong sedangkan Tek Hoat dengan amat mudahnya merobohkan
murid Raja Maling, hati mereka menjadi besar dan mereka lalu berlari memasuki gedung itu.
Melihat mereka, Tek Hoat lalu berkata, "Hayo bantu aku mencari ke dalam gedung. Geledah semua kamar sampai kalian mendapatkan puteri yang disembunyikan itu!" Setelah berkata demikian, dia sendiri sudah mendahului mereka lari memasuki gedung untuk mencari Syanti Dewi.
Banyak sudah kamar dimasukinya, akan tetapi dia tidak juga menemukan Syanti Dewi.
"Syanti Dewi....! Syanti....! Ini aku, Tek Hoat....!" Dia berteriak-teriak akan tetapi tidak pernah ada jawaban. Dia melihat pula dua orang Saudara Ma itu ikut mencari-cari, namun belum juga berhasil.
Tiba-tiba dia mendengar teriakan keras yang dikenalnya sebagai suara Hong Kui, "Tek Hoat...., tolonggggg....!"
Cepat Tek Hoat berloncatan dan lari keluar. Ternyata Hong Kui terdesak hebat oleh kakek bermuka hitam yang benar-benar amat lihai itu. Bahkan pedang wanita itu telah terlempar ke atas lantai dan kini Hong Kui terdesak mundur, setiap pukulan tangan kakek itu mengeluarkan bunyi mencicit nyaring dan biarpun Hong Kui sudah mengelak ke sana-sini dengan cepat, namun tetap saja lengan kiri dan pundak kanannya keserempet pukulan sakti itu sampai berdarah seperti terluka oleh pedang tajam. Itulah pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mujijat!
"Wuuuttttt....!" Tek Hoat sudah menghantam ketika dia tiba di tempat itu. Melihat ada sambaran angin dahsyat dari samping, kakek itu meninggalkan Hong Kui dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan lengannya sambil dikerahkannya tenaga Kiam-to Sin-ciang yang membuat kedua lengannya kuat dan mengandung hawa tajam seperti pedang atau golok itu.
"Plakkk!"
Benturan dua tenaga mujijat yang amat hebat itu membuat kakek itu terpelanting, akan tetapi Tek Hoat kaget melihat kulit lengannya lecet berdarah!
"Ahhh....!" Hek-sin Touw-ong terkejut setengah mati. Baru satu kali ini dia bertemu dengan seorang pemuda yang bukan hanya dapat menghadapi tenaga Kiam-to Sin-ciang tanpa membuat lengannya terluka hebat, akan tetapi juga mampu membuat dia terpelanting dan hampir roboh! Dengan marah dia lalu menerjang dan terjadilah perkelahian hebat antara Tek Hoat dan kakek muka hitam itu. Hong Kui yang tadi terdesak hebat, kini sudah mengambil kembali pedangnya dan dengan marah dia mengeroyok kakek itu untuk menebus kekalahannya dan membalas luka-luka yang dideritanya di lengan dan pundak. Kakek itu kini sudah kewalahan dan bingung menahan serangan yang mengandung tenaga Inti Bumi yang dahsyat itu apalagi ketika Tek Hoat mempergunakan Ilmu Toat-beng-ci, melakukan totokan-totokan dengan satu jari, dia terkejut bukan main dan teringat akan nama seorang muda yang menggemparkan dunia kang-ouw.
"Si Jari Maut....!" teriaknya.
Akan tetapi pada saat itu, pedang bersinar hijau di tangan Hong Kui sudah menyambar ganas ke arah lehernya. Cepat dia menghindarkan diri dengan mengelak dan merendahkan tubuhnya, akan tetapi karena pada saat itu Tek Hoat juga sudah menyerangnya, maka sebuah totokan mengenai punggungnya dan kakek itu mengeluh roboh terguling dalam keadaan tidak mampu bergerak lagi. Kalau orang lain yang terkena totokan Tek Hoat itu, tentu akan tewas seketika. Namun kakek itu cukup tangguh sehingga dia tidak tewas, hanya tertotok dan lumpuh.
"Hek-sin Touw-ong, hayo katakan di mana adanya Syanti Dewi!" Tek Hoat mengancam dengan jari tangan di atas ubun-ubun kepala kakek itu.
Hek-sin Touw-ong adalah seorang yang keras hati dan tidak takut mati. Dirobohkan oleh pemuda itu sudah merupakan hal yang amat memalukan, maka dia menjawab dengan jengkel, "Mau bunuh, lekas bunuh, tidak perlu banyak cakap!"
"Aku tidak akan membunuhmu, aku mencari Syanti Dewi. Kau tidak berhak menculiknya dan menyembunyikannya. Hayo katakan, di mana Syanti Dewi? Di mana? " Tek Hoat berteriak-teriak seperti orang gila.
"Aku tidak tahu!" jawab kakek itu dan membuang muka dengan gerakan lemah karena kedua kaki tangannya lumpuh.
Tek Hoat bangkit berdiri dan menarik napas panjang, memandang kepada Hong Kui. "Aku tidak melihat Syanti Dewi di dalam," katanya dengan hati kecewa bukan main.
"Hemmm, biarpun tidak ada Syanti Dewi, akan tetapi di dalam rumah maling ini tentu banyak barang berharga. Sebaliknya kubunuh saja dia!"
Hong Kui menggerakkan pedangnya membacok ke arah leher Hek-sin Touw-ong. Kakek itu membelalakkan mata, menanti datangnya maut dengan mata terbuka.
"Wuuuttttt.... tranggggg....! "Eh, Tek Hoat, mengapa kau?" Hong Kui meringis dan memegangi pergelangan tangan kanannya yang terasa nyeri karena tadi terpukul oleh pemuda itu sehingga pedangnya terlempar dan berkerontangan di atas lantai.
"Kau tidak boleh sembarangan membunuh, tidak boleh selagi aku di sini!" bentak Tek Hoat yang merasa mendongkol sekali karena ternyata petunjuk dari wanita itu tidak menghasilkan dia menemukan kembali Syanti Dewi. Dia merasa tertipu.
Pada saat itu, terdengar jerit wanita dari dalam. Mendengar ini, Tek Hoat cepat berlari masuk diikuti oleh Hong Kui yang sudah menyambar kembali pedangnya. Jantung pemuda itu berdebar tegang karena dia mengira bahwa itu adalah suara jeritan Syanti Dewi.
Akan tetapi betapa kaget dan kecewanya, juga marah sekali, ketika dia tiba di tempat di mana dia tadi meninggalkan Swi Hwa yang roboh tertotok, dia melihat Ma Khong dan Ma Ti Lok sedang hendak menggagahi dara itu dan mereka telah merobek pakaiannya sehingga gadis itu tadi menjerit.
Terasa pening kepala Tek Hoat saking marahnya. "Bedebah....!" Dia berseru dan tubuhnya meluncur ke depan. Dua kali jari tangannya bergerak dan dua tubuh Ma Khong dan Ma Ti Lok terpelanting, berkelojotan dan tewas seketika dengan dahi mereka ada tanda jari hitam!
"Tek Hoat, kau terlalu!" Hong Kui membentak marah. "Kau membunuh teman sendiri!"
"Mereka layak mampus! Engkau juga!" Tek Hoat menghardik dan memandang marah.
"Keparat kau, manusia tidak mengenal budi!" Hong Kui tak dapat menahan kemarahannya dan dia menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi, dengan cepat Tek Hoat mengelak dan mendorong dengan tangan kirinya. Angin kuat menyambar dan Hong Kui terhuyung ke belakang. Wanita ini makin marah dan meloncat ke luar dari dalam rumah.
"Keluarlah kau kalau jantan!" tantangnya.
Tek Hoat yang kecewa dan marah itu meloncat mengejar. Ketika tiba di luar, Hong Kui menggerakkan tangannya dan sebuah benda hitam menyambar ke arah Tek Hoat. Pemuda ini maklum bahwa itulah senjata rahasia yang paling ampuh dari Mauw Siauw Mo-li. Lawan yang kurang hati-hati dan berani menangkis senjata rahasia ini, tentu akan celaka, setidaknya tentu akan terluka. Maka dia mengelak dan membiarkan benda itu lewat.
"Darrr....!" Benda itu meledak ketika terbanting ke atas lantai dan dinding di dekatnya jebol.
Dua kali lagi Mauw Siauw Mo-li menyambitkan senjata-senjata rahasia peledaknya, namun semua dielakkan oleh Tek Hoat dan pemuda ini secepat kilat telah mengirim serangan dengan hantaman kedua tangannya dengan menggunakan tenaga dahsyat Inti Bumi. Mauw Siauw Mo-li berusaha mengelak, namun tetap saja dia terhuyung dan sebelum dia dapat menyelamatkan dirinya, sebuah tendangan kaki Tek Hoat mengenai pinggulnya.
"Bukkk! Aughhh!" Wanita itu menjerit dan tubuhnya terbanting ke atas lantai. Dia bangkit dan menggosok-gosok bukit pinggulnya yang terasa nyeri.
"Kau kejam sekali, Tek Hoat. Kubunuh kau kalau aku mendapat kesempatan!" teriaknya marah.
"Mo-li, kalau aku tidak ingat bahwa engkau telah membantuku selama ini, jangan harap kau dapat pergi dari sini dengan masih bernyawa. Sekarang, pergilah dan jangan berani memperlihatkan mukamu yang tak tahu malu itu kepadaku lagi!" Tek Hoat berkata.
"Uhhh....!" Bedebah, manusia sombong kau!" Mauw Siauw Mo-li memaki, memandang dengan mata mendelik, akan tetapi dia tidak berani bergerak menyerang, akhirnya dia membalikkan tubuhnya dan lari sambil berteriak melengking nyaring, makin lama suaranya makin jauh sampai hanya terdengar seperti suara kucing terpijak ekornya.
Semua ini terlihat oleh Hek-sin Touw-ong. Dia melihat pula betapa Tek Hoat lari menghampiri muridnya, menotok membebaskan gadis itu, kemudian Tek Hoat menghampiri dia dan membebaskan pula totokannya.
Hek-sin Touw-ong bangkit berdiri, mengurut kedua lengannya yang terasa kaku, kemudian dia memandang kepada pemuda itu dengan penuh keheranan.
"Kau.... kau Si Jari Maut?" tanyanya.
Tek Hoat mengangguk. "Maafkan kalau aku telah mengganggumu, Touw-ong. Akan tetapi, tadinya aku mengira bahwa engkau telah menculik Puteri Bhutan."
"Puteri Bhutan?" Kakek itu berkata dan mengerutkan alisnya. "Sungguh aneh, betapa banyak orang mencari Puteri Bhutan!"
"Apa maksudmu....?"
"Swi Hwa, jangan!" tiba-tiba kakek itu berteriak dan dengan tenang Tek Hoat miringkan tubuhnya, membiarkan pedang yang ditusukkan oleh Swi Hwa itu lewat di samping tubuhnya, kemudian dia menggunakan jari tangannya membabat ke bawah.
"Trakkk!" Pedang itu patah dan Swi Hwa menjerit karena tangannya terasa nyeri dan gagang pedang itu terlepas.
"Swi Hwa, jangan sembrono kau!" kembali Touw-ong membentak dan gadis itu meloncat ke samping gurunya sambil memegangi tangan kanannya dan memandang kepada Tek Hoat dengan mata berapi dan penuh kemarahan.
"Hek-sin Touw-ong, apa maksudmu mengatakan bahwa banyak orang mencari Puteri Bhutan?"
"Baru-baru ini, See-thian Hoat-su kakek ajaib penghuni Gua Tengkorak juga datang ke sini dan menanyakan apakah aku melihat Puteri Bhutan dilarikan orang. Ketika aku mengatakan bahwa aku tidak melihatnya, dia lalu pergi. Dan sekarang, engkau dan Mauw Siauw Mo-li datang mencari Puteri Bhutan pula."
Hati Tek Hoat kecewa sekali. "Aku telah dibohongi oleh wanita jalang itu. Jadi engkau benar tidak pernah melihat puteri itu, Touw-ong?"
"Guruku sudah bilang tidak melihatnya, mengapa banyak cerewet lagi?"
Tek Hoat menarik napas panjang. Dia maklum mengapa gadis ini marah- marah, karena betapapun juga, dua orang Saudara Ma itu tadinya datang bersama dia sebagai kawan-kawannya.
"Sudahlah, maafkan aku kalau kalian tidak tahu!" Berkata demikian, sekali berkelebat Tek Hoat sudah lenyap dari depan mereka.
"Jahat dia....!" Swi Hwa berkata.
"Sssttt....!" Gurunya memegang tangan muridnya agar jangan bergerak. Kemudian dia menoleh kepada mayat dua orang she Ma itu, menggeleng kepala dan berkata, "Sungguh hebat sekali kepandaian Si Jari Maut. Pantas saja dia terkenal sekali, kiranya memang dia amat hebat. Entah tenaga apa yang dia pergunakan tadi sehingga aku sendiri kewalahan menghadapinya. Sayang ada wanita iblis tadi yang ikut membantu, kalau tidak, aku ingin sekali bertanding dengan pemuda hebat itu."
"Siapa sih Puteri Bhutan yang dicarinya itu, Suhu?"
"Entah. Ah, sungguh aneh sekali peristiwa ini, Swi Hwa. Engkau mencuri barang-barang dari tiga orang sakti, akan tetapi yang datang bukannya Jenderal Kao, Siluman Kecil atau Sin-siauw Sengjin, melainkan Si Jari Maut dan Mauw Siauw Mo-li! Untung masih baik kesudahannya. Ah, peristiwa ini makin mendorong hatiku untuk cepat-cepat menjumpai Sai cu Kai-ong.. .."
Kakek itu lalu menolong para anak buahnya yang tertotok, pingsan dan ada yang terluka. Kemudian mereka mengurus mayat dua orang penyerbu itu. Beberapa hari kemudian, Hek-sin Touw-ong bersiap-siap untuk menghubungi Sai-cu Kai-ong, tokoh yang sebetulnya telah lama menjadi sahabatnya, akan tetapi yang selama belasan tahun ini tidak pernah lagi berhubungan dengan dia.
******
Kita kembali melihat keadaan di lembah Huang-ho, di markas besar perkumpulan Kui-liong-pang yang kini dipergunakan oleh Pangeran Liong Bian Cu sebagai benteng. Telah diceritakan di bagian depan betapa Jenderal Kao Liang sendiri telah berada di dalam cengkeraman Pangeran Liong Bian Cu, membuat jenderal gagah perkasa itu tidak berdaya karena seluruh keluarganya berada di dalam tangan Pangeran Nepal itu. Apalagi ketika jenderal ini melihat betapa Puteri Bhutan, anak angkatnya, juga menjadi tawanan di tempat itu. Terpaksa dia bekerja sungguh-sungguh dan membangun tempat itu menjadi sebuah benteng yang amat kuat. Dia sudah berjanji dan sebagai seorang gagah dia akan memegang janjinya, yaitu membuat tempat itu menjadi benteng yang tidak akan dapat dibobolkan musuh dan dia sendiri yang akan mengatur penjagaan mempertahankan benteng itu di saat yang perlu!
Ketika benteng itu masih belum selesai benar dibangun di bawah pimpinan Jenderal Kao, tempat itu telah mengalami serangan dan telah membuktikan kehebatan Jenderal Kao dalam mempertahankan tempat itu. Serangan ini datang di waktu malam hari, terdiri dari lima puluh orang yang dipimpin tiga orang kakek yang amat lihai. Peristiwa itu terjadi di malam terang bulan dan biarpun benteng itu belum selesai dibangun, namun tali-tali rahasia yang dipasang oleh Jenderal Kao telah menyembunyikan genta memberi tahu bahwa ada serombongan orang datang dari utara menuju ke lembah itu! Tali-tali rahasia itu menjadi satu dengan akar-akar dan ranting-ranting pohon sehingga ketika dilanggar oleh rombongan orang itu, menggerakkan genta di dalam benteng dan segera para penjaga bersiap dan melakukan penjagaan ketat, diatur sendiri oleh Jenderal Kao Liang yang sudah melatih anak buah Kui-liong-pang dan anak buah Pangeran Nepal itu menjadi pasukan yang tangkas dan hebat! Semua ini ditonton dengan kagum oleh Liong Bian Cu, Hek-hwa Lo-kwi, Hek-tiauw Lo-mo, Gitananda, dan Ban hwa Seng-jin yang lebih banyak tinggal di dalam gedung, bersikap tenang akan tetapi dia selalu menerima laporan dari Gitananda akan segala yang terjadi di luar kamarnya.
Siapakah para penyerbu itu? Mereka ini bukan lain adalah para anggauta Liong-sim-pang yang dipimpin sendiri oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, dibantu oleh tiga orang kakek lihai, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-swi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To. Seperti kita ketahui Hwa-i-kongcu Tang Hun merasa amat kecewa, penasaran dan marah sekali ketika Syanti Dewi yang akan menjadi isterinya itu tiba-tiba lenyap di tengah-tengah pesta pernikahannya! Dia merasa kecewa karena kehilangan calon isteri yang cantik jelita, akan tetapi yang lebih menyakitkan hatinya lagi, dia merasa malu. Dia telah mengundang banyak tamu, di antaranya banyak tokoh-tokoh kang-ouw dan banyak pembesar penting, dan ditengah pesta itu, pengantin wanitanya diculik orang begitu saja! Hal ini merupakan tamparan hebat bagi mukanya, kehormatannya, dan dia tidak akan berhenti sebelum bisa mendapatkan kembali pengantinnya. Oleh karena itu, dia mengerahkan seluruh anak buah Liong sim-pang untuk melakukan penyelidikan dan pencarian. Bahkan dia mengandalkan harta bendanya yang besar untuk disebarkan di antara orang-orang kang-ouw agar mereka suka membantunya dan tidak lupa dia menjanjikan hadiah yang akan dapat membuat orang mendadak menjadi kaya raya kalau bisa menemukan jejak puteri itu!
Karena usahanya yang mati-matian ini, maka boleh dibilang semua orang kang-ouw tahu belaka bahwa Hwa-ikongcu Tang Hun menjanjikan hadiah besar itu, maka semua orang memasang mata dan telinga untuk ikut mencari. Akan tetapi, ketika Syanti Dewi berada bersama See-thian Hoat-su, kemudian terampas oleh Gitananda dan disembunyikan di tempat rahasia, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya sehingga sia-sia saja Tang Hun mencari dan mengerahkan banyak orang. Setelah puteri itu oleh Gitananda dibawa ke lembah Huang-ho dan puteri itu kelihatan oleh semua anggauta Kui-liong-pang dan para anak buah Hek-tiauw Lo-mo dan Pangeran Nepal, ada saja yang membocorkan berita ini sehingga akhirnya sampai juga ke telinga Hwa-i-kongcu Tang Hun.
Tentu saja Tang Hun menjadi marah sekali dan juga girang karena akhirnya dia tahu di mana adanya pengantinnya itu. Mendengar bahwa Puteri Bhutan itu ditawan oleh perkumpulan Kui-liong-pang, dia lalu mengumpulkan semua anak buahnya, dibantu oleh tiga orang kakek lihai itu dia memimpin sendiri pasukannya menuju ke lembah Huang-ho dan malam itu dia menyerbu Kui-liong-pang. Sama sekali dia tidak tahu bahwa tempat itu kini sedang dibangun sebagai benteng yang kokoh kuat oleh bekas panglima besar Jenderal Kao, dan lebih lagi dia tidak menyangka bahwa kedatangan mereka telah diketahui dan Jenderal Kao yang merupakan seorang ahli perang amat pandai itu telah mempersiapkan sambutan hangat atas penyerbuannya!
Dengan hati-hati tiga orang kakek lihai yang membantu Tang Hun itu memimpin pasukan memasuki lembah dari utara. Hak Im Cu, kakek tosu, seorang di antara tiga pembantu itu, bertugas sebagai penunjuk jalan karena tosu ini pernah datang mengunjungi lembah ketika di situ diadakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw. Tentu saja Hak Im Cu tidak dapat mengambil jalan rahasia, seperti ketika dia mengunjungi tempat itu dahulu melainkan mengambil jalan liar yang telah diperhitungkan sebagai jalan paling aman untuk menyerbu lembah itu. Satu-satunya halangan adalah sungai yang mengurung lembah itu, sungai yang terjadi ketika lembah itu dibanjiri air ketika diadakan pertemuan dahulu. Akan tetapi mereka telah siap dengan alat-alat untuk berenang dan menyeberang.
Ketika mereka tiba di tepi sungai, giranglah hati mereka bahwa di situ tidak terdapat penjagaan sehingga mereka dapat menyeberang dengan mudah, menggunakan perahu-perahu darurat. Dan betapa girang hati mereka ketika melihat bahwa pagar tembok di seberang sungai itu ternyata masih baru dibangun dan belum selesai sehingga tempat itu terbuka. Yang lebih menggirangkan lagi, tidak ada penjagaan di situ sehingga setelah bersembunyi dan mengintai sampai lama, kemudian yakin bahwa tempat itu sunyi tidak ada penjaga, mereka lalu bergerak merayap dan memasuki daerah lembah. Atas pimpinan Tang Hun sendiri, mereka lalu berindap-indap dan memecah diri menjadi kelompok-kelompok terpisah menghampiri rumah besar yang mereka kira tentu menjadi bangunan pusat di mana berdiam ketua Kui-liong-pang dan di mana puteri itu dikeram!
Tang Hun telah mendengar bahwa ketua Kui-liong-pang adalah seorang kakek sakti berjuluk Hek-hwa Lo-kwi, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Akan tetapi, dengan adanya tiga orang kakek sakti yang membantunya, tentu saja dia tidak merasa takut. Apalagi setelah kini dia bersama pasukannya mampu mengepung rumah besar itu, mempersiapkan anak panah dan api yang mereka nyalakan secara serentak, merupakan obor-obor yang bernyala terang dan menerangi seluruh tempat itu, Tang Hun
merasa yakin bahwa dia akan dapat memaksa tuan rumah mengembalikan pengantinnya. Dengan sikap garang dia berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, diapit oleh tiga orang kakek dan para pengawalnya, menghadap ke pintu depan dari rumah besar itu lalu berteriak lantang, "Hek-hwa Lo-kwi, ketua Kui-liong-pang! Keluarlah dan mari kita bicara!"
Di antara cahaya obor yang amat banyak dan amat terang, semua mata ditujukan ke arah daun pintu besar itu dan tiba-tiba daun pintu terbuka dari dalam. Munculiah beberapa orang dari sebelah dalam pintu itu dan Tang Hun memandang dengan terheran-heran ketika melihat bahwa yang memimpin rombongan orang itu adalah seorang kakek botak berjubah merah yang bersikap penuh wibawa, berpakaian indah dan sikapnya seperti seorang bangsawan tinggi. Di kanan kiri kakek botak ini berjalan dua orang kakek lain yang keadaannya mengerikan dan menyeramkan. Yang di kiri adalah kakek tinggi kurus bermuka tengkorak yang dia duga tentulah Hek-hwa Lo-kwi karena dia sudah mendengar akan kakek yang berpakaian serba hitam, mukanya yang seperti tengkorak itu putih seperti kapur. Sedangkan yang berada di sebelah kanan kakek botak itu adalah seorang kakek raksasa yang amat buas kelihatanpya. Dia tidak tahu bahwa itulah Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi dia segera mengenal kakek berkulit hitam, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut, memegang sebatang tongkat itu. Itulah Gitananda, kakek Nepal yang dulu hadir pula di dalam pesta pernikahannya. Gitananda berjalan di belakang kakek botak itu!
Akan tetapi, Tang Hun tidak mempedulikan mereka semua itu dan dia hanya memandang kepada Hek-hwa Lo-kwi dan sambil mengangkat dada dia berkata, "Hek-hwa Lo-kwi, karena engkau adalah ketua dari tempat ini...."
"Hwa-i-kongcu, biarpun aku adalah ketua dari Kui-liong-pang, akan tetapi pada saat ini yang memimpin kami adalah Ban-hwa Seng-jin, koksu dari Nepal ini, yang mewakili Pangeran Liong Bian Cu. Kau boleh bicara dengan beliau!" kata Hek-hwa Lo-kwi sambil menunjuk ke arah kakek berkepala botak yang bersikap dingin dan tenang itu.
Tang Hun mengerutkan alisnya, merasa bahwa belum apa-apa dia sudah keliru dan salah duga. Akan tetapi mendengar itu, tentu saja perhatiannya kini beralih kepada kakek botak yang kini juga bertanya kepadanya, suaranya tenang dan jelas biarpun masih ada nada asing.
"Jadi engkau adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san? Selamat datang, Tang-kongcu, ada keperluan apakah engkau datang bersama pasukanmu di waktu malam begini tanpa memberi tahu lebih dulu kepada kami?"
Tang Hun merasa serba salah. Kiranya kakek ini adalah koksu dari Nepal! Nama ini mulai terkenal akhir-akhir ini, bahkan ketika dia mengadakan pesta pernikahan, dia mengirim undangan kepada koksu itu yang berada di gubernuran Ho-nan, dan koksu itu diwakili oleh kakek Gitananda. Juga ketika mendengar bahwa kakek ini adalah Ban-hwa Seng-jin koksu dari Nepal, tiga orang kakek yang mengiringkan Hwa-i-kongcu menjadi kaget bukan main. Akan tetapi, karena sudah terlanjur menyerbu dan kini sudah mengurung rumah itu, Hwa-i-kongcu Tang Hun yang ingin merampas kembali pengantinnya, tetap bersikap angkuh dan tidak mau kalah wibawa.
Dia menjura dengan sikap hormat. "Ah, kiranya Ban-hwa Seng-jin koksu dari Nepal yang memimpin tempat ini? Sungguh kebetulan sekali! Seng-jin tentu telah mengetahui akan peristiwa yang terjadi di tempat tinggal saya pada waktu pesta pernikahan saya, karena kalau tidak salah, wakil Seng-jin yang sekarang juga berdiri di belakang Seng-jin, yaitu Kakek Gitananda, pada waktu itu juga hadir. Terjadilah keributan pada waktu itu dan pengantin wanita diculik orang."
"Hemmm, kami sudah mendengar akan hal itu. Lalu mengapa?" tanya koksu itu dengan sikap tidak acuh. Sikap itu membuat Tang Hun merasa tidak enak. Kalau koksu ini sudah tahu, tentu tahu pula bahwa dia datang untuk menuntut dikembalikannya Syanti Dewi, akan tetapi koksu itu pura-pura tidak tahu saja!
"Maaf, Ban-hwa Seng-jin," katanya dan keangkuhannya mulai menurun karena dia benar-benar merasa gentar menghadapi koksu yang berwibawa ini dan tempat itu terlalu sunyi sehingga mencurigakan. "Karena saya mendengar bahwa pengantin saya berada di lembah ini, maka saya datang bersama teman-teman saya untuk menjemput calon isteri saya itu. Harap saja Seng-jin mengingat persahabatan antara kita dan suka menyerahkan pengantin saya kepada saya."
Ban-hwa Seng-jin mengangkat mukanya, sikapnya makin angkuh dan dia berkata dengan suara yang nadanya menantang, "Memang Puteri Bhutan berada di sini dan kami tidak bersedia menyerahkan dia kepadamu, Tang-kongcu. Sebaiknya Kongcu membawa pasukan Kongcu pergi dari tempat ini!"
Tang Hun mengerutkan alisnya. Jantungnya berdebar tegang. Kiranya benar pengantinnya berada di tempat ini! Hatinya girang akan tetapi juga tegang karena sikap Koksu Nepal ini agaknya hendak menentangnya!
"Ban-hwa Seng-jin! Puteri itu adalah calon isteri saya, pengantin saya. Sudah sepatutnya kalau dikembalikan kepada saya!"
"Kami tidak bersedia menyerahkan beliau kepadamu. Habis engkau mau apa?" Inilah tantangan! Hwa-i-kongcu yang mengandalkan bantuan tiga orang kakek sakti dan anak buahnya, tentu saja mulai menjadi marah. Biarpun kakek botak ini adalah Koksu Nepal yang kabarnya lihai dan berkuasa, akan tetapi pada saat itu dialah yang berada dalam kedudukan menang. Tempat itu telah dikurungnya! Dan dia pun masih mengandalkan gurunya yang biarpun tidak ikut di dalam pasukan itu, namun secara aneh dan diam-diam, gurunya tentu melindunginya pula!
"Ban-hwa Seng-jin, harap suka memikirkan baik-baik. Ketahuilah bahwa kalian semua telah terkepung. Lihat betapa pasukan kami telah siap dengan anak panah dan api, sekali saja saya memberi aba-aba, rumah ini akan dibakar dan kalian semua akan dihujani anak panah. Saya tidak menghendaki hal itu terjadi, maka sebaiknya supaya puteri itu cepat diserahkan kepada kami dan kami akan pergi sekarang juga."
"Benarkah itu? Apakah bukan engkau dan pasukanmu yang sudah berada dalam kepungan kami? Tang-kongcu, tengoklah di belakang kalian dan di atas." Kakek botak itu berkata sambil menudingkan jari telunjuknya ke belakang pasukan Tang Hun dan ke atas genteng rumah dan pohon-pohon.
Hwa-i-kongcu Tang Hun cepat menengok, demikian pula tiga orang kakek pembantunya dan mereka terkejut bukan main. Ternyata di belakang mereka terdapat pasukan yang lengkap dengan anak panah yang sudah ditodongkan ke arah mereka, dan selain pasukan itu, juga kini muncul banyak orang-orang di atas genteng dan di pohon-pohon sekitar tempat itu, semua mementang gendewa dan menodongkan anak panah ke arah mereka. Karena mereka membawa obor, maka mereka merupakan sasaran empuk sekali sedangkan fihak musuh yang bersembunyi itu memang amat sukar diserang!
Wajah Hwa-i-kongcu menjadi pucat sekali. "Bagaimana, Hwa-i-kongcu? Apakah masih akan dilanjutkan persiapan pertempuran ini? Kalau kami memberi aba-aba, sekali serbu saja akan habislah anak buahmu. Apakah tidak lebih baik kalau kita bicara sebagai sahabat?"
Hwa-i-kongcu memandang kepada tiga orang kakek pembantunya. Mereka pun kelihatan gentar sekali, maka tahulah pemuda ini bahwa dia benar-benar telah kalah sebelum perang!
"Sudahlah, mari kita bicara sebagai sahabat, Seng-jin!"
Mendengar ini, Hek-hwa Lo-kwi tertawa bergelak, dan Ban-hwa Seng-jin berkata ke arah tempat gelap, "Kao goanswe, fihak lawan telah menjadi kawan, sebaiknya tarik mundur pasukanmu!"
Dari tempat gelap itu muncul seorang laki-laki tua yang tinggi tegap dan gagah sekali. Dengan gerakan yang gagah dia mengangkat sebatang pedang ke atas dan tanpa bersuara, lenyaplah pasukan yang mengepung tempat itu tadi, juga mereka yang muncul di atas genteng dan di pohon-pohon juga lenyap dalam gelap. Diam-diam Hwa-i-kongcu terkejut bukan main. Kiranya fihak musuh sudah siap sedia dan dia bersama pasukannya benar-benar terjebak.
"Hwa-i-kongcu, kalau benar-benar kau datang sebagai sahabat, harap perintahkan anak buahmu untuk melemparkan senjata mereka," kata Ban-hwa Sengjin.
Hwa-i-kongcu Tang Hun tidak melihat jalan lain. Melawan berarti bunuh diri, karena mereka telah dikurung. Maka dia lalu mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru lantang, "Buang senjata kalian semua! Kita datang sebagai sahabat!"
Pasukannya tadi pun melihat bahwa merekalah yang terkepung, bukan mereka yang mengepung, maka mereka tadi sudah merasa gentar sekali. Kini mendengar perintah majikan mereka, semua orang membuang gendewa dan anak panah, bahkan banyak pula yang melolos pedang dan golok lalu melemparkannya ke atas tanah.
Melihat ini, Ban-hwa Seng-jin mengangguk-angguk puas. "Tang-kongcu, engkau sungguh dapat melihat gelagat. Tidak tahukah engkau bahwa engkau telah berada di tepi jurang maut? Engkau, belum mengenal tempat ini dan tidak mengetahui keadaan kami, maka berani memandang rendah. Ketahuilah bahwa pemimpin penjagaan benteng kami adalah Jenderal Kao Liang, bekas panglima besar kerajaan. Apakah kau belum mendengar nama besarnya?"
Tang Hun mengangguk-angguk, hampir tidak percaya. Benarkah Jenderal Kao Liang kini berkerja sama dengan mereka ini?
"Engkau sudah melihatnya namun masih belum percaya. Kaukira siapakah panglima yang menjebak dan mengurungmu tadi? Marilah, mari kita bicara di ruangan tamu, dan kami akan memberi penjelasan agar engkau tahu bahwa bersahabat dengan kami akan menguntungkan fihakmu." Lalu dia memandang. "Suruh pasukanmu beristirahat dan bermalam di dalam rumah ini. Mereka akan menerima hidangan sekedarnya."
Dengan perasaan yang makin terheran-heran Hwa-i-kongcu mendapatkan kenyataan bahwa rumah besar yang di kurungnya itu adalah rumah kosong! Sama sekali bukanlah bangunan induk, tempat tinggal para pimpinan tempat itu! Melainkan rumah besar yang berada di depan. Dengan mengiringkan rombongan tuan rumah, diterangi oleh obor-obor besar yang dipegang oleh barisan selosin orang, Hwa-i-kongcu dan tiga orang kakek pembantunya lalu meninggalkan pekarangan rumah besar itu setelah menyuruh semua anak buahnya menanti di situ. Dan mereka kini masuk ke dalam lembah, melalui tembok yang tebal dan terjaga kuat, kemudian melewati pagar-pagar tembok lain dan baru setelah melewati tujuh lapis pagar tembok yang semua terjaga dan memiliki liku-liku yang aneh dan tidak mudah dilalui orang luar yang belum mengenal rahasia tempat itu, mereka tiba di pusat lembah itu. Dan Tang Hun mengeluarkan seruan tertahan saking kagumnya. Di tengah-tengah itu, barulah terdapat bangunan-bangunan seperti istana dan keadaan di situ terang benderang karena banyaknya lampu penerangan yang dipasang di seluruh tempat.
Melalui barisan penjaga yang kelihatan gagah dan bertubuh tegap, mereka memasuki ruangan depan sebuah rumah besar. Seorang yang berpakaian perwira menyambut rombongan ini dan setelah memberi hormat kepada Ban-hwa Sengjin, dia berkata, "Pangeran menanti rombongan di ruangan tamu!"
Ban-hwa Seng-jin menoleh kepada Tang Hun. "Hemmm, pangeran berkenan menerima Kongcu, hal ini baik sekali! Silakan."
Makin terbelalak mata Hwa-i-kongcu Tang Hun ketika dia memasuki ruangan tamu. Dia sendiri adalah seorang kaya raya dan rumahnya seperti istana. Akan tetapi dibandingkan dengan keadaan rumah besar ini, dia merasa iri. Mewah sekali keadaan di rumah ini dan ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang besar, dia melihat seorang pemuda yang berpakaian indah telah duduk seorang diri di situ, di kepala sebuah meja besar. Dia tidak mengenal pemuda itu, akan tetapi melihat kulitnya dan wajahnya, dia menduga bahwa pemuda itu tentu seorang peranakan Nepal. Ketika dia melihat Ban-hwa Seng-jin memberi hormat dengan membungkuk, sedangkan Gitananda yang sejak tadi diam saja memberi hormat sambil berlutut, juga Hek-hwa Lo-kwi dan kakek raksasa yang lain itu semua memberi hormat, sedangkan para pengawal juga memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki kemudian mundur dengan tertib, dia menduga bahwa tentu pemuda ini bukan orang sembarangan dan agaknya dialah yang disebut pangeran oleh perwira tadi.
Hak Im Cu, tosu tinggi kurus, seorang di antara tiga pembantunya yang menjadi penunjuk jalan ke lembah itu karena dia pernah mengunjungi lembah ini ketika di situ diadakan pertemuan, berbisik di belakangnya, "Kongcu, beliau adalah Pangeran Liong Bian Cu, cucu Raja Nepal."
Ban-hwa Seng-jin mendengar bisikan itu, tersenyum dan berkata, "Benar, hendaknya Cu-wi ketahui bahwa beliau adalah Pangeran Liong Bian Cu, cucu Sri Baginda Raja Nepal."
Mendengar ini, Hwa-i-kongcu Tang Hun dan tiga orang pembantunya cepat maju memberi hormat dengan menjura sampai dalam. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum ramah dan mengangguk lalu menggerakkan lengan kanannya mempersilakan. "Duduklah, Tang-kongcu dan Sam-wi Lo-enghiong. Duduklah sebagai tamu terhormat dan mari kita bicara sebagai sahabat-sahabat!"
Tang Hun dan tiga orang pembantunya segera duduk. Tiga orang pembantu Tang Hun itu bukanlah sembarang orang. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi dan sudah mengalami banyak hal yang hebat. Namun keadaan di ruangan itu membuat mereka kagum dan juga berhati-hati, karena belum pernah mereka menjadi tamu pangeran dan koksu dari negara Nepal yang serba asing. Mereka memandang ke arah pangeran yang tampan namun aneh itu, dan kepada Ban-hwa Seng-jin yang duduk di sebelah kanan
pangeran. Gitananda yang matanya tajam seperti mata burung rajawali itu, dan amat cekung, berdiri di belakang Ban-hwa Seng-jin seperti pengawal dan memang sesungguhnya, Gitananda bertugas sebagai pembantu dan pengawal koksu itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi duduk di sebelah kiri Pangeran Liong Bian Cu, dan pada saat itu, dari luar datang seorang laki-laki tua yang melangkah lebar dengan gagah, setelah tiba di dekat meja, dia memberi hormat kepada Pangeran Liong dengan menjura dan menganggukkan kepala, pemberian hormat yang singkat dan tidak terlalu merendah, kemudian dia mengambil tempat duduk di kursi paling kiri, duduk diam seperti patung. Itulah lenderal Kao Liang dan Hwa-i-kongcu melihat dengan pandang mata kagum akan tetapi juga terheran-heran. Dia tentu saja sudah mendengar akan nama besar jenderal ini. Seorang panglima sejati yang sejak turun-temurun amat setia kepada kerajaan, gagah perkasa dan pandai, telah menghancurkan entah berapa banyak pemberontakan. Akan tetapi kini jenderal itu duduk semeja dengan seorang Pangeran Nepal dan agaknya bekerja kepada pangeran ini!
Sementara itu, Pangeran Liong Bian Cu yang sudah mendengar semua laporan tentang penyerbuan Tang Hun, kini sambil tersenyum memandangi empat orang tamunya satu demi satu. Dia melihat Tang Hun sebagai seorang pemuda yang berwajah tampan, pesolek dan cerdik.
Pemuda ini usianya sudah tiga puluh tahun namun masih kelihatan amat muda, bajunya kembang-kembang indah, sepasang matanya tajam berpengaruh. Rambut kepalanya terhias sebuah hiasan rambut seekor naga kecil dengan sepasang mata mutiara mencorong, juga di bajunya yang berkembang terhias mainan emas terukir berbentuk naga yang sama. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah, terhias emas dan permata, sarungnya ukir-ukiran burung hong dan liong, ronce-roncenya merah dari bulu halus. Seorang kongcu yang hebat, pikir pangeran ini. Kalau saja kepandaiannya sehebat keadaan lahiriahnya, dia dapat menjadi pembantu yang baik, pikirnya pula. Lalu dia melayangkan pandang matanya kepada tiga orang pembantu kongcu itu.
Tosu itu usianya kurang lebih enam puluh tahun. Wajahnya bengis tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya sederhana dan pedangnya tergantung di punggung, gagangnya menonjol di belakang pundak kanan. Kelihatannya sederhana saja, akan tetapi melihat sinar matanya dan gerak-gerik tubuhnya yang amat ringan, dapat diduga bahwa tosu ini tentu pandai sekali ilmu silatnya. Dugaan itu memang benar karena Hak Im Cu, tosu itu, memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ginkangnya yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang saking ringan dan cepatnya.
Orang ke dua adalah seorang kakek yang usianya juga sudah enam puluhan tahun, tinggi besar dengan muka kehitaman. Gerak-geriknya kasar namun tubuhnya membayangkan tenaga yang amat kuat, dan memang Ban-kin-kwi Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Setan Bertenaga Selaksa Kati, adalah seorang yang amat kuat dan mempunyai tenaga gajah. Dia pun seperti Hak Im Cu, menjadi pembantu Hwa-i-kongcu karena dia dapat bergelimang dalam kemewahaan dan kekayaan.
Adapun pembantu ke tiga adalah seorang kakek gundul pendek gemuk akan tetapi melihat pakaiannya, biarpun kepalanya gundul, dia bukanlah seorang hwesio. Kepalanya itu gundul karena penyakit kulit kepala, bukan digundul. Kakek yang usianya juga sudah enam puluh tahun lebih ini juga bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang ahli dalam ilmu bermain di air, dan selain itu, juga dia memiliki sinkang yang kuat, seorang ahli lweekeh yang tangguh.
Setelah puas memandangi empat orang tamunya, sementara itu pelayan datang menyuguhkan arak dan kue-kue. Atas isyarat Pangeran Nepal itu, seorang pelayan segera maju dan dengan sikap menghormat pelayan ini lalu menuangkan arak di dalam cawan-cawan di depan rombongan tuan rumah dan empat orang tamu itu.
"Silakan minum Tang-kongcu dan para Lo-enghiong!" kata Liong Bian Cu sambil mengangkat cawannya, diikuti oleh Koksu Nepal, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi dan Jenderal Kao Liang. Gitananda tidak pernah minum arak, pula dia adalah seorang pengawal pribadi koksu, maka dia tentu saja tidak ikut berpesta melainkan berdiri di belakang koksu itu dengan tenang dan sikap penuh kewaspadaan.
Setelah para tamunya minum arak, Pangeran Nepal itu lalu memandang kepada Hwa-i-kongcu dan bertanya, "Sekarang, harap Tang-kongcu suka mengatakan kepada kami dengan terus terang akan maksud kunjungan Kongcu yang amat mendadak ini."
Hwa-i-kongcu Tang Hun memandang kepada pangeran itu. Pangeran Nepal itu demikian ramah sikapnya, maka timbul kembali harapannya. Siapa tahu, pangeran yang ramah ini akan dapat memaklumi keadaannya, maka cepat dia menjawab dengan sikap amat menghormat, "Harap Paduka suka memberi maaf kepada kami bahwa kami berani datang berkunjung tanpa lebih dulu minta ijin Paduka. Sesungguhnya, telah beberapa lama saya kehilangan calon isteri saya, yang lenyap ketika sedang diadakan pesta pernikahan kami di tempat kediaman kami, yaitu di Naga Api. Kemudian kami mendengar bahwa isteri saya itu berada di sini, oleh karena itu saya datang dengan rombongan, bermaksud untuk menjemput pengantin saya." Setelah berkata demikian, wajah pemuda yang tampan pesolek itu memandang kepada Pangeran Nepal itu dengan penuh harapan.
Pangeran itu tersenyum dan bertanya, "Tang-kongcu, siapakah nama pengantinmu itu?"
"Namanya.... Syanti Dewi...."
Tiba-tiba pandang mata pangeran itu menjadi tajam sekali dan jantung Tang Hun berdebar. Pangeran ini memiliki sepasang mata yang aneh, tajam dan menyeramkan. Sorbannya yang besar itu tengahnya, di atas dahi, dihias dengan sebuah mutiara yang besar dan bercahaya, berkilau-kilauan agak kebiruan. Mutiara yang amat besar dan amat jarang terdapat. Akan tetapi agaknya, dari dua buah mata yang kehitaman itu mencorong sinar yang lebih menyilaukan daripada mutiara itu.
"Tang-kongcu," kini suara pangeran itu berbeda dengan tadi, tidak lagi ramah dan halus melainkan kaku dan dingin, "Tahukah engkau siapa adanya Syanti Dewi?"
Mendengar pertanyaan itu Tang Hun terkejut dan kini dia melihat betapa ada tiga pasang mata yang memandang dengan sinar mata tajam dan penuh ancaman, yaitu tiga pasang mata dari pangeran itu sendiri, Koksu Nepal dan kakek Gitananda! Dengan gugup dia menjawab, "Sa ya.... saya hanya mendengar dia dari Bhutan dan.. .."
"Dia adalah Puteri Syanti Dewi, puteri tunggal dari Raja Bhutan! Tahukah kau apa artinya ini? Berarti engkau hendak menghina Bhutan dan karena Bhutan serumpun dengan Nepal, maka engkau seolah-olah hendak menghina Nepal!"
"Tidak.... bukan begitu maksud saya," Tang Hun berkata cepat. "Sebetulnya saya tidak tertarik oleh kebangsaannya, melainkan oleh pribadinya, maka...."
"Cukup, Tang-kongcu!" Tiba-tiba terdengar suara Ban-hwa Seng-jin, Koksu Nepal itu. "Hendaknya Tang-kongcu membuang jauh-jauh pikiran itu kalau Kongcu ingin selamat. Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan Bhutan adalah menjadi tamu agung kami di sini, apakah Kongcu berani hendak menghina dan mengganggu beliau?"
Tang Hun terkejut bukan main. Tidak pernah terpikir olehnya sedemikian jauhnya. Dia memang mendengar bahwa Syanti Dewi berasal dari Bhutan dan kabarnya seorang puteri, akan tetapi hal itu tidak begitu penting baginya, apalagi karena bagi dia dan sebagian besar di antara bangsanya, bangsa-bangsa asing di barat hanyalah bangsa-bangsa yang derajatnya rendah! Baginya yang terpenting adalah kecantikan Syanti Dewi yang membuatnya tergila-gila. Dia tidak peduli apakah dara itu puteri raja ataukah puteri pengemis! Akan tetapi, ternyata persoalannya tidaklah sesederhana yang disangkanya dan dia kini dianggap melakukan penghinaan, terhadap bangsa Bhutan dan Nepal!
"Ah, maafkan saya...., saya tidak tahu sama sekali akan hal itu.... dan setelah mendengar penjelasan Paduka Pangeran dan Koksu, tentu saja saya tahu diri dan tidak akan melanjutkan keinginan saya."
"Bagus! Ternyata Tang-kongcu adalah seorang yang bijaksana dan dapat diajak bersahabat!" Pangeran Liong Bian Cu berseru girang. "Kami pun jauh-jauh datang dari barat sekali-kali bukan mencari kawan, melainkan mencari kawan untuk bersama-sama menghadapi Kerajaan Ceng. Bagaimana Tang-kongcu, dapatkah kami mengharapkan bantuan Kongcu dan Liong-sim-pang?"
Wajah Tang Hun yang tadinya agak muram karena lenyapnya harapan hatinya untuk dapat memperisteri Syanti Dewi, kini berseri. Dia melihat kesempatan yang baik sekali untuk mencari kedudukan dan tentu saja menambah besarnya kekayaannya. Sekarang, biarpun dia kaya raya namun dia tidak memiliki kedudukan, bukan bangsawan melainkan orang biasa. Agaknya hal inilah yang tidak memungkinkan dia menikah dengan seorang puteri! Berbeda tentu kalau dia memiliki kedudukan tinggi di samping harta kekayaan, kekuasaan dan kepandaiannya.
"Tentu saja saya merasa terhormat sekali dan suka membantu perjuangan Paduka Pangeran. Memang telah lama saya mendengar betapa kaisar yang tua amat lemah, kekacauan terjadi di mana-mana dan bahkan kabarnya Gubernur Ho-nan...." Tiba-tiba dia berhenti dan memandang kepada Jenderal Kao Liang yang duduk sambil menundukkan mukanya seolah-olah sama sekali tidak ingin mencampuri percakapan itu dan tidak ingin mendengarkan pula.
Melihat ini, Pangeran Nepal itu tertawa. "Lanjutkan, Tang-kongcu, dan jangan khawatir terhadap Jenderal Kao karena dia pun menjadi korban kelaliman kaisar yang menjadi boneka di bawah pengaruh pembesar-pembesar jahat."
Tang Hun menarik napas panjang. "Saya hanya mendengar desas-desus saja bahwa Gubernur Ho-nan juga memperlihatkan sikap menentang kaisar dan banyak komandan di perbatasan yang tidak merasa puas...."
"Berita itu memang benar, Kongcu. Bahkan kami telah mengadakan persekutuan dengan Gubernur Ho-nan.".
"Ah, bagus sekali....!"
"Kami hanya menanti saat yang tepat saja untuk mulai dengan gerakan kami, gerakan serentak dari segenap penjuru untuk menyerbu kota raja. Maka kalau engkau suka membantu, Tang-kongcu, kami akan menerima dengan kedua tangan terbuka."
"Tentu saja saya akan membantu, akan tetapi imbalannya kelak?" Tang Hun adalah seorang yang cerdik, maka melihat betapa pangeran ini sudah bersikap terbuka kepadanya, dia maklum bahwa dia tidak akan dapat melepaskan diri dari pengaruh pangeran ini. Setelah dipercaya mendengarkan pengakuan itu semua, tentu Pangeran Nepal itu tidak akan mau melepaskan dia begitu saja dalam keadaan hidup, kecuali kalau dia menyatakan kesanggupannya untuk membantu, akan tetapi dia pun bersikap terbuka dan lebih dulu menanyakan imbalan atau ganjarannya kelak!
Koksu Nepal mengangguk-angguk dan melirik ke arah Tang Hun. "Hemmm, Tang-kongcu memang seorang yang cerdik. Akan tetapi sekali lagi, jangan Kongcu mengharapkan diri Puteri Bhutan, karena ketahuilah bahwa di samping beliau menjadi tamu agung kami, juga Puteri Bhutan adalah seorang sandera yang tidak ternilai harganya. Melalui Sang Puteri itu kami bermaksud menundukkan Bhutan. Maka, siapapun yang mengganggu sandera kami itu, berarti menghalangi perjuangan kami."
"Ah, Koksu. Setelah mendengar penjelasan tadi, saya sudah membuang pikiran untuk mendapatkan Sang Puteri itu."
"Bagus, kalau begitu Tang-kongcu boleh melegakan hati. Kalau perjuangan kita bersama ini berhasil baik kelak, tentu kami tidak akan melupakan Kongcu dan andaikata Kongcu menghendaki kedudukan, Kongcu tinggal memilih saja!" kata Pangeran Liong Bian Cu dengan suara dan wajah serius.
Tang Hun menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih. Kemudian dia berkata, "Setelah saya menjadi pembantu pergerakan Pangeran, tentu semua anak buah Liong-sim-pang juga ikut pula membantu. Pangeran boleh mengandalkan mereka, karena mereka adalah orang-orang yang telah dilatih dan masing-masing perajurit mempunyai kepandaian silat yang lumayan. Akan tetapi tiga orang pembantu saya ini harap diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka."
Pangeran Nepal itu kini memandang kepada tiga orang kakek itu penuh selidik, lalu dia berkata dengan suara dingin, "Sebagai pembantu-pembantu pribadi, kami harus memilih orang yang benar-benar lihai seperti Tang-kongcu sendiri. Segala orang yang hanya berkepandaian biasa saja cukup bergabung dalam pasukan Liong-sim-pang sebagai komandan-komandan pasukan. Kami khawatir gagal kalau dibantu oleh sembarangan orang saja."
"Eh, harap Paduka jangan memandang rendah kepada mereka bertiga ini, Pangeran! Tingkat kepandaian mereka tidak lebih rendah daripada tingkat kemampuan saya sendiri!" Tang Hun berseru dengan khawatir karena dia mengenal tiga orang pembantunya itu orang-orang kang-ouw yang mempunyai keangkuhan sehingga ucapan Pangeran Nepal itu tentu saja amat merendahkan dan menghina.
Akan tetapi, tiga orang pembantunya itu juga bukan orang-orang bodoh. Mereka adalah orang-orang pengelana di dunia kang-ouw yang sudah makan asam garam dunia kang-ouw, sudah banyak pengalaman dan dapat menilai orang-orang pandai. Melihat keadaan Pangeran Nepal itu dan para pembantunya, mereka maklum bahwa mereka berada di gua naga dan biarpun mereka merasa dipandang rendah, namun mereka tidak menjadi marah karena mereka tahu bahwa sang pangeran ini belum mengenal mereka!
"Apa yang dikatakan oleh Pangeran sungguh tepat. Pinto hanyalah seorang tosu miskin yang tidak bisa apa-apa, hanya mengandalkan sebatang pedang untuk hidup, mana bisa diandalkan?" Setelah berkata demikian, Hak Im Cu, tosu berwatak bengis bertubuh tinggi kurus itu mencabut pedangnya. Melihat ini, Ban-hwa Seng-jin dan Gitananda memandang dengan mata memancarkan sinar aneh, akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo, dua orang kakek iblis dari dunia hitam itu, hanya memandang tak
acuh.
"Yaaah, pinto hanya dapat mengandalkan pedang untuk mencari sesuap nasi beserta lauk-pauknya!" Pada saat itu, baru saja pelayan-pelayan datang menghidangkan nasi dan sayur mayur memenuhi meja itu. Kini, begitu Hak Im Cu bangkit dan menggerakkan pedangnya, nampak sinar berkelebatan dan seolah-olah ada bayangan puluhan batang pedang menyambar-nyambar dan disusul dengan mulut tosu itu mengganyang semua masakan yang di "dipungut" oleh ujung pedangnya! Pedang-pedang itu dipergunakan seperti sebatang sumpit, ditusukkan ke dalam mangkok-mangkok dan piring-piring yang ada masakannya, demikian cepatnya sehingga pedang berubah menjadi bayangan puluhan batang dan biarpun mangkok yang berdiri di ujung, yang agaknya menurut ukuran tidak mungkin dapat dicapai pedang, dapat juga dijumput! Tiba-tiba tosu itu menghentikan gerakannya dan sudah duduk kembali, mulutnya masih mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya.
Ban-hwa Seng-jin mengangguk-angguk dan Pangeran Liong Bian Cu bertepuk tangan memuji. "Bagus, kepandaian Totiang hebat dan patutlah menjadi pembantu kami! " Memang demonstrasi tadi biarpun kelihatan sederhana namun sudah membuktikan bahwa tosu ini memiliki ilmu pedang yang hebat dan ginkang yang luar biasa. Hanya dengan ginkang luar biasa saja dia mampu bergerak sedemikian cepatnya sehingga seolah-olah dia tidak meninggalkan tempatnya ketika dia bangkit berdiri, padahal tanpa bergerak dari situ tidak akan mungkin dia dapat mengambil makanan di ujung meja yang agak jauh. Cara dia menusuk setiap makanan dengan ujung pedang, membawanya ke mulut, demikian cepat, dan tidak ada sedikit pun kuah yang tercecer!
"Pinto Hak Im Cu hanya seorang biasa dan terima kasih atas kepercayaan Paduka," Hak Im Cu berkata sambil mengangguk.
Pangeran Liong Bian Cu tentu saja girang sekali melihat bahwa para pembantu Tang Hun itu ternyata adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka dia menoleh kepada dua orang kakek lain yang duduk di jajaran tamu itu. "Hak Im Cu totiang  telah  memperlihatkan kepandaian dan mengagumkan sekali, harap Ji-wi Locianpwe jangan sungkan dan suka pula memperlihatkan kepandaian untuk menggembirakan pertemuan ini."
Ban-kin-kwi Kwan Ok yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam itu lalu bangkit berdiri dan menjura ke arah Pangeran Nepal itu. "Saya Kwan Ok hanyalah seorang kasar dan bodoh, hanya mengandalkan tenaga sehingga dijuluki orang Ban-kin-swi. Kalau Paduka memperkenankan, saya akan coba mengangkat arca singa di sudut itu."
Pangeran Liong Bian Cu memandang dengan mata terbelalak. Arca singa di sudut itu adalah arca yang sangat berat, dan untuk mengangkatnya dibutuhkan tenaga gabungan sedikitnya enam orang laki-laki dewasa yang kuat. Maka dia tersenyum sambil mengangguk dan kakek raksasa itu lalu menghampiri arca singa, diikuti pandang mata semua orang. Hanya Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo yang cuma melirik dan bersikap tidak peduli.
Setelah menghampiri arca, Ban-kin-swi Kwan Ok menyingsingkan dengan bajunya, kemudian membungkuk dan kedua tangannya memegang arca itu, digoyang-goyang seperti hendak menaksir beratnya. Kemudian tiba-tiba dia membentak keras dan hanya dengan tangan kanan memegang kaki belakang arca itu, dia mengangkat, arca itu naik ke atas kepalanya! Melihat ini, Pangeran Liong Bian Cu kagum dan tahulah dia bahwa Ban-kin-swi benar-benar seorang yang memiliki tenaga gajah! Kakek itu kini melempar-lemparkan arca itu ke atas, dilempar, disambut lagi dan mempermainkan benda berat itu seolah-olah baginya hanya merupakan sebuah bola yang ringan saja. Kemudian dia menurunkan arca itu di tempatnya dan menghampiri meja dengan napas dan muka biasa, hanya di dahinya terdapat sedikit peluh.
"Bagus....! Kini Pangeran Liong Bian Cu berseru memuji dan merasa gembira. Senang juga hatinya memperoleh pembantu-pembantu yang sehebat ini. "Kwan-lo enghiong patut pula menjadi pembantu kami." Pangeran ini lalu menoleh kepada kakek ke tiga, yaitu Hai-Liong-ong Ciok Gu To, kakek berkepala gundul botak, bertubuh gemuk pendek itu.
Kakek gundul yang suka tertawa ini tersenyum lebar, lalu memandang kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun. "Heh-heh-heh, saya hanya seorang tua bangka nelayan yang hanya pandai berenang. Karena tidak memiliki kepandaian apa-apa, saya mengandalkan nasib ke tangan Tang-kongcu. Oleh karena itu sekarang pun saya hanya turut kepada Tang-kongcu saja yang sudah menanam banyak budi kebaikan terhadap saya. Tang-kongcu, saya menyerahkan urusan dengan Pangeran Liong ini kepada Kongcu dan untuk itu, saya menghaturkan terima kasih dengan secawan arak!" Sambil berkata demikian, kakek gundul gemuk ini lalu bangkit berdiri, menyambar guci arak di atas meja dengan tangan kanan, menyambar cawan arak di depan Tang Hun dengan tangan kiri, kemudian dia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan.
Semua orang memandang dan Pangeran Liong terkejut melihat betapa arak di cawan sudah penuh, namun masih terus dituang sehingga arak itu menaik melebihi bibir cawan. Hebatnya, arak itu tidak sampai meluber tumpah! Kelebihan arak di atas bibir cawan itu membulat seperti telur, bergoyang-goyang namun tidak tumpah. Kini kakek itu menyerahkan cawan yang araknya terlalu penuh itu kepada Tang Hun.
"Ha-ha-ha, Hai-liong-ong Ciok Gu To lo-enghiong sungguh membikin saya merasa sungkan dan malu!" Tang Hun juga bangkit berdiri dan menerima cawan itu dengan tangan kanan. Semua orang memandang dengan tegang karena maklum bahwa Ciok Gu To telah mempergunakan sinkang yang amat kuat untuk "menahan" sehingga arak yang terlalu penuh itu tidak sampai meluber, maka kalau sampai cawan itu berganti tangan, tentu araknya akan meluber tumpah dan mengotori lengan baju Tang Hun.
Akan tetapi, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu. Kalau Tang Hun menerima cawan itu dan Ciok Gu To melepaskan tangannya, cawan itu berada tangan kanan Tang Hun dan araknya sama sekali tidak tumpah bahkan kini Tang Hun sengaja memiringkan cawan itu dan arak di dalam cawan tetap saja tidak tumpah! Padahal, arak itu sudah hampir keluar dari dalam cawan, seperti telur direbus lunak akan tetapi tertahan oleh sesuatu. Pertunjukan ini saja sudah membuktikan bahwa dalam hal tenaga sinkang, pemuda pesolek ini bahkan lebih kuat daripada Hai-liong-ong Ciok Gu To!
"Biarlah arak ini saya minum demi keselamatan Pangeran!" kata Tang Hun sambil mengacungkan cawan, kemudian sekali tenggak arak itu lenyap ke dalam perutnya.
Liong Bian Cu bertepuk tangan memuji. Hatinya girang bukan main dan dia merasa sudah puas dengan semua demonstrasi ringan itu, karena sebagai seorang ahli dia pun sudah dapat menilai bahwa empat orang itu benar-benar bukan orang-orang sembarangan dan akan merupakan pembantu-pembantu yang amat baik. Maka dia lalu mempersilakan mereka semua makan minum dalam suasana yang amat gembira.
Selagi mereka berpesta gembira, dan hanya Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo saja yang bersikap biasa dan sama sekali tidak menghormati tamu, juga Jenderal Kao Liang yang makan minum dengan sikap tidak peduli, muncullah kepala pengawal yang berlutut dan melapor kepada Pangeran Liong bahwa rombongan orang Bhutan yang dipimpin oleh Panglima Mohinta mohon menghadap.
Pangeran Liong Bian Cu mengerutkan alisnya, saling pandang dengan Ban-hwa Seng-jin, kemudian dia berkata kepada Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo.
"Harap Ji-wi Locianpwe suka menemani para tamu bersama Jenderal Kao Liang. Kami bersama Koksu ada kepentingan lain untuk menerima tamu."
Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lomo mengangguk. Jenderal Kao Liang diam saja dan Liong Bian Cu lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, didampingi koksu yang dikawal oleh Gitananda yang setia.
Panglima muda dari Bhutan, Mohinta itu, telah menanti di ruangan tamu bersama tujuh orang pengikutnya yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi dari Bhutan. Bagaimana tokoh Bhutan muda itu dapat tiba di tempat ini? Seperti kita ketahui, setelah Syanti Dewi berhasil melarikan diri dari Bhutan bersama Siang In, panglima muda yang mencinta Syanti Dewi dan mengharapkan puteri itu menjadi isterinya ini segera melakukan pengejaran dan dia menyebar banyak sekali penyelidik. Dia melakukan pengejaran dengan para penyelidiknya menuju ke timur dan dia selalu didampingi oleh tujuh orang pembantunya yang semuanya memiliki kepandaian cukup tinggi itu untuk mencari jejak Syanti Dewi. Seperti yang dituturkan oleh Cui Ma, bekas pelayan Ang Siok Bi ibu dari Ang Tek Hoat kepada Kian Bu dan Hwee Li, pelayan yang menjadi gila karena ketakutan dan karena duka itu, dalam pengejarannya mencari jejak Syanti Dewi, akhirnya Mohinta malah menemukan tempat sembunyi Ang Siok Bi. Mengingat bahwa Ang Siok Bi adalah ibu Ang Tek Hoat yang dibencinya, maka Mohinta lalu turun tangan membunuh wanita yang malang itu.
Dia terus melakukan penyelidikan, mendengar bahwa Syanti Dewi terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua Liong-sim-pang di Puncak Naga Api. Dia menyusul ke sana, akan tetapi terlambat karena mendengar bahwa puteri yang dicarinya itu telah diculik orang lagi dari tempat itu. Mohinta mencari terus, tanpa mengenal lelah. Dia bukan hanya mencinta puteri yang memang amat cantik jelita itu, akan tetapi di samping cintanya ini terdapat pula keinginan yang mendorong dia berusaha memperisteri Syanti Dewi, yaitu kalau dia dapat menjadi mantu raja, tentu kelak dia mempunyai harapan besar untuk menjadi Raja Bhutan! Ambisi inilah yang membuat dia tidak mengenal lelah mencari Syanti Dewi dan tidak akan berhenti sebelum puteri itu terdapat olehnya.
Setelah mencari-cari siang malam dan mengerahkan seluruh pembantunya yang banyak tersebar di daerah Ho-pei dan Ho-nan di mana untuk terakhir kalinya dia mendengar akan jejak Syanti Dewi, akhirnya dia mendengar bahwa puteri itu telah tertawan oleh Pangeran Bharuhendra dari Nepal! Berita ini mengejutkan hati Mohinta! Tertawannya Puteri Syanti Dewi oleh pangeran cucu Raja Nepal itu benar-benar amat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatinya. Dia maklum siapa adanya Pangeran Bharuhendra yang juga bernama Liong Bian Cu itu, seorang Pangeran Nepal yang berilmu tinggi dan berkuasa besar. Bahkan dia mendengar bahwa pangeran itu ditemani oleh guru negara, yaitu pendeta Lakshapadma yang juga disebut Ban-hwa Seng-jin, bahkan kabarnya Gitananda, pendeta yang amat lihai itu pun menemani Sang Pangeran Nepal. Hilanglah harapannya untuk merampas Syanti Dewi dengan menggunakan kekerasan. Akan tetapi Mohinta adalah seorang muda yang cerdik dan dia segera memperoleh akal yang amat baik, bukan hanya untuk mendapatkan kembali puteri cantik yang membuatnya tergila-gila itu, akan tetapi bahkan mendapatkan jalan untuk menguasai Bhutan mengandalkan bantuan Nepal yang selama ini menjadi musuh Bhutan!
Ketika Pangeran Bharuhendra yang kita kenal sebagai Liang Bian Cu itu muncul bersama pendeta Lakshapadma yaitu Banhwa Seng-jin, Koksu Nepal dan diikuti oleh Gitananda, Mohinta dan tujuh orang pengikutnya cepat menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Kemudian Mohinta bangkit sebagai seorang militer dan berkata, "Harap Paduka sudi memaafkan kalau hamba dan para pengikut berani mengganggu Paduka di tengah malam begini."
Pangeran Lian Bian Cu memandang dengan penuh perhatian, lalu berkata, "Duduklah dan ceritakan siapa engkau, apa pula yang menjadi maksudmu datang kepadaku. Harap bicara secara jujur dan terbuka karena kalau tidak demikian, saat ini juga kami akan menyuruh pengawal membunuh kalian."
Mohinta lalu menceritakan niatnya, yaitu bahwa dia disuruh oleh Raja Bhutan untuk mencari Syanti Dewi dan bahwa dia tahu di mana adanya puteri itu. Akan tetapi dia siap untuk membantu Pangeran Nepal untuk menguasai Bhutan dengan menggunakan Puteri Syanti Dewi sebagai sandera.
"Dengan adanya puteri itu di tangan kita, Paduka tidak perlu mengerahkan bala tentara untuk menyerbu Bhutan. Cukup hamba yang akan menggulingkan raja dengan bantuan Paduka dan selanjutnya, hamba yang tanggung bahwa Bhutan akan tunduk terhadap Nepal dan memenuhi segala tuntutan dan perintah dari Nepal." Demikian antara lain Mohinta berkata. Semua penuturannya didengarkan oleh Pangeran Liong Bian Cu dan Ban-hwa Seng-jin. Kemudian Koksu Nepal itu berkata dengan suara tenang, dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Mohinta karena ada persamaan bahasa antara mereka.
"Mohinta, engkau sudah bersiap untuk mengkhianati rajamu sendiri! Engkau sudah berniat hendak membantu kami yang selama ini dianggap musuh oleh Kerajaan Bhutan. Tentu ada pamrih tertentu tersembunyi di dalam pengkhianatanmu ini. Apakah pamrih itu? Apakah yang kauinginkan dalam persekutuan antara engkau dan kami?"
Wajah Mohinta menjadi merah, jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi dia maklum akan kelihaian dan kecerdikan Koksu Nepal itu, maka dia tahu pula bahwa membohongi terhadap mereka amatlah berbahaya. Menghadapi orang-orang Nepal yang amat kuat ini, jalan satu-satunya hanyalah mendekati, bukan memusuhi.
"Maaf, Koksu. Sudah tentu dalam setiap tindakan terdapat pamrih yang mendorongnya, dan benarlah wawasan Koksu bahwa ada pamrih dalam hati saya kalau saya menawarkan diri untuk membantu Nepal menggulingkan Raja Bhutan. Pertama, saya ingin memperoleh Puteri Syanti Dewi sebagai isteri saya kalau kita berhasil. Ke dua, saya mengharapkan kebijaksanaan dan ganjaran dari Raja Nepal agar saya dapat menggantikan kedudukan raja di Bhutan."
Pangeran Liong Bian Cu tersenyum. "Hemmm, besar sekali ambisimu, orang muda. Lalu, untuk semua anugerah yang kauharapkan itu, apa saja yang dapat kauberikan kepada kami?"
"Ayah hamba adalah kepala panglima di Bhutan. Biarpun ayah hamba tidak akan mencampuri urusan pemberontakan, bahkan mungkin menentang, akan tetapi hamba dapat menguasai sebagian besar dari bala tentara yang dipimpin oleh ayah. Dan hamba adalah seorang kepercayaan dari raja, maka kalau hamba yang berkuasa di Bhutan, tentu hamba dapat membantu Paduka untuk menghadapi Kaisar Ceng, Tibet, dan lain-lain."
Tiba-tiba Ban-hwa Seng-jin mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua untuk diam, lalu sekali berkelebat kakek ini telah meloncat ke jendela, membuka daun jendela. Akan tetapi tidak ada siapapun di balik jendela itu, maka dia lalu menutupkan lagi daun jendela dan kembali ke ruangan. "Aman," katanya, "Tadinya saya kira mendengar suara sesuatu yang mencurigakan."
Mereka lalu melanjutkan perundingan. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Hwee Li berbisik-bisik di dekat telinga Puteri Syanti Dewi di dalam kamar puteri itu dan Syanti Dewi mendengarkan dengan wajah pucat. Tadi memang Hwee Li yang mencuri dengar ketika Liong Bian Cu mengadakan perundingan dengan Mohinta, dan karena dara ini mengerti bahasa mereka, maka dia dapat mendengar kesanggupan Mohinta untuk menggulingkan Raja Bhutan dan bersekongkol dengan Pangeran Nepal itu. Mendengar penuturan yang dibisikkan oleh Hwee Li, Syanti Dewi terkejut dan marah sekali. Akan tetapi apa yang dapat dilakukannya terhadap Mohinta? Dia sendiri berada di situ sebagai seorang tawanan!
"Bibi Syanti Dewi, apakah kau ingin agar aku memukul remuk kepala Mohinta itu?" tanya Hwee Li ketika dia melihat wajah puteri itu pucat dan tubuhnya agak menggigil.
"Jangan, Hwee Li. Hal itu berbahaya sekali. Kau sendiri seorang tawanan."
"Aku yakin mudah saja bagiku untuk membunuh pengkhianat itu, Bibi. Dan kalau Liong Bian Cu marah kepadaku, biarlah, malah kebetulan, biar dia benci padaku dan mengurungkan niatnya yang gila untuk menikah dengan aku!"
Syanti Dewi merangkulnya, "Tenanglah, Hwee Li. Kita semua berada di dalam keadaan yang amat gawat. Lihat betapa Jenderal Kao Liang sendiri tidak berdaya, keluarganya masih ditawan di sini semua. Lihat betapa benteng ini dibuat amat kuatnya dan Liong Bian Cu mengumpulkan banyak orang pandai. Bahkan orang-orang Liong-sim-pang itu pun menjadi sahabat mereka! Akan ada peristiwa besar, kegegeran besar dan ancaman berbahaya bagi kerajaan bangsamu. Jangan pikirkan urusanku, urusan kecil saja. Baik sekali engkau telah mendengarkan tadi sehingga aku tahu akan isi perut pengkhianat Mohinta itu. Kalau tiba saatnya Bhutan terancam, aku dapat bertindak dengan tepat. Yang penting, kita harus dapat lolos dari sini, Hwee Lee, itulah yang penting, bukan membunuh orang rendah macam Mohinta itu."
Hwee Li mengangguk dan berbisik, "Ah, kalau tidak terjadi sesuatu yang mujijat, bagaimana mungkin kita dapat lolos? Penjagaan terlampau ketat, orang-orang sakti terlampau banyak di sini dan setelah benteng ini selesai dibangun oleh Jenderal Kao yang amat ahli dalam hal itu, lenyaplah harapan kita untuk dapat lolos dan keluar dari dalam benteng."
"Kita tidak boleh putus harapan. Banyak sekali teman-teman kita yang gagah perkasa di luar benteng. Aku yakin bahwa sewaktu-waktu mereka tentu akan muncul, seperti pada waktu yang sudah-sudah. Mereka tidak akan membiarkan kita celaka."
"Hemmm, mereka siapa?". tanya Hwee Li.
"Pertama-tama tentulah Siang In yang cantik dan cerdik, dan.... Tek Hoat...."
"Dan Siluman Kecil! Juga Suma Kian Lee! Ah, kenapa aku lupa bahwa mereka itu tentu tidak akan diam saja melihat kita ditawan orang-orang jahat?"
"Dan di sana masih ada pula adikku, Candra Dewi atau Ceng Ceng, dan suaminya yang amat sakti.. .."
"Ah, kenapa aku pun lupa kepada Subo dan Suhu? Hi-hik, betapa tolol aku. Tentu saja Subo dan Suhu akan dengan mudah mengobrak-obrik mereka semua ini!"
"Dan masih ada lagi Bibi Puteri Milana! Dan pendekar sakti Paman Gak Bun Beng, dan keluarga Pulau Es...."
"Wah-wah, kita mengharap terlampau jauh dan terlalu banyak, Bibi. Bagaimana kalau tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempedulikan kita dan tidak ada yang datang menolong?"
"Mustahil.. .. akan tetapi.... setidaknya harapan itu menghibur hati kita...." jawab Syanti Dewi sambil menarik napas panjang lalu duduk termenung, ditemani oleh Hwee Li yang di tempat itu menjadi temannya yang paling baik, paling akrab dan dapat saling menghibur.
Dan memang benar seperti yang dikatakan oleh dua orang dara itu. Setelah Liong-sim-pang bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu, pembangunan benteng itu menjadi makin lancar karena anak buah Liong-sim-pang dikerahkan untuk membantunya. Dan juga Hwa-i-kongcu Tang Hun tidak sayang-sayang atau segan-segan untuk membantu dengan keuangan, membeli bahan-bahan bangunan secara royal.
Mohinta dan para pengawalnya juga tinggal di benteng lembah itu, akan tetapi dia selalu bersembunyi dan tidak mau bertemu dengan Syanti Dewi karena dia menganggap belum waktunya untuk bicara. dengan puteri itu, sungguhpun hatinya merasa amat rindu terhadap dara yang dianggapnya pasti akan menjadi isterinya itu. Rencananya bersama Pangeran Nepal untuk memberontak dan menggulingkan Raja Bhutan, yaitu ayah dari Puteri Syanti Dewi, membuat dia merasa tidak enak untuk bertemu dan bicara dengan Syanti Dewi karena puteri yang menjadi tawanan itu tentu akan merasa heran dan akan mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawabnya, di antaranya mengapa dia berada di situ dan menjadi teman dari Pangeran Nepal dan yang menawan puteri
itu.
Hwee Li adalah seorang dara yang amat cerdik. Setelah usahanya yang gagal untuk membunuh Liong Bian Cu, dan melihat betapa pangeran itu tidak mendendam dan tetap mencintanya, dia tahu bahwa usahanya telah mencapai puncak dan jalan buntu. Dia tidak boleh mencoba lagi karena kalau sampai dia menimbulkan rasa benci dalam hati pangeran itu, dia tidak akan tertolong lagi. Kalau hanya dibunuh saja bukan apa-apa baginya, akan tetapi dia merasa ngeri kalau membayangkan betapa dengan kekuasaannya, pangeran itu bisa saja memaksanya dan memperkosanya. Dia kini mengandalkan cinta kasih pangeran itu untuk berada dalam keadaan aman dan tidak terancam keselamatannya. Dia yakin bahwa karena cintanya, pangeran itu tidak akan memaksanya menyerahkan diri sebelum menikah, dan sebagai seorang pangeran negara besar, tentu pangeran itu akan melaksanakan pernikahannya di negerinya, di Nepal. Maka, masih banyak waktu baginya dan masih banyak harapan untuk meloloskan diri, asal dia pandai membawa diri dan tidak memancing kebencian pangeran itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh bersikap terlalu manis karena kalau sampai pangeran itu memuncak rindu dan berahinya terhadap dia, bisa berabe dan berbahaya!
Karena sikap Hwee Li yang tidak memberontak lagi, juga Syanti Dewi bersikap tenang dan sabar, maka kini mereka diperbolehkan untuk mengunjungi keluarga Jenderal Kao Liang di dalam rumah tahanan mereka. Pertemuan yang amat akrab dan mengharukan dan kini pertemuan-pertemuan itu merupakan hiburan besar bagi kedua fihak. Kao Kok Tiong sering kali nampak termenung di rumah tahanan itu, diam-diam amat mengkhawatirkan keadaan ayahnya. Jenderal ini tidak boleh menemui keluarganya, hanya diperbolehkan melihat dari jauh bahwa keluarganya selamat dan diperlakukan dengan baik. Kok Tiong maklum betapa hati ayahnya tersiksa hebat. Ayahnya terpaksa membantu pemberontak! Demi keselamatan keluarganya!
Dia tahu bahwa andaikata ayahnya belum dipecat dan masih menjadi Panglima Kerajaan Ceng, sampai matipun ayahnya tidak akan tunduk kepada pemberontak. Biar andaikata seluruh keluarganya disiksa dan dibunuh di depan hidungnya, ayahnya pasti tidak akan sudi untuk membantu pemberontak. Dan sekarang, karena dia bukan Panglima Ceng lagi, dia terpaksa tunduk, untuk menyelamatkan keluarganya, akan tetapi tentu saja dengan batin tersiksa. Kok Tiong sendiri amat dicurigai oleh Pangeran Nepal sehingga dia dimasukkan dalam rumah tahanan keluarganya, tidak diperkenankan keluar dan bicara dengan ayahnya.
Keadaan seperti itu lewat sampai berbulan-bulan dan benteng besar yang dibangun atas petunjuk Jenderal Kao Liang itu, yang dikerjakan siang malam, mulai mendekati kesempurnaannya. Hati para tawanan itu makin gelisah, harapan mereka untuk memperoleh pertolongan dari luar makin menipis, sungguhpun belum habis sama sekali. Selama waktu-waktu itu, untuk menghibur diri, Syanti Dewi memperdalam ilmu silatnya dari Hwee Li, sebaliknya, Hwee Li mempelajari banyak hal dari sang puteri, dari menyulam, melukis, menari dan bernyanyi.
Pelayan rumah penginapan itu buruk sekali mukanya. Tek Hoat sendiri sampai merasa heran dan kasihan mengapa ada seorang pria demikian buruk mukanya, rusak oleh penyakit cacar. Selain muka itu hitam dan bopeng, berlubang-lubang seperti kulit pohon dimakan rayap, juga matanya besar sebelah, hidungnya berbentuk besar dan melengkung, bibirnya tebal sekali dan basah, dahinya sempit seperti dahi monyet. Pendeknya, muka yang sama sekali tidak ada manisnya, biarpun tidak menakutkan, namun sukar menimbulkan rasa suka di hati, apalagi karena sepasang mata itu mempunyai sinar yang liar seperti mata seekor anjing kelaparan.
Akan tetapi pelayan itu ternyata ramah sekali. Setelah Tek Hoat membayar uang sewa kamar di meja pengurus, peraturan yang harus ditaati semua tamu, yaitu pembayaran di muka, pelayan itu lalu mendapat tugas untuk mengantar Tek Hoat di kamar yang disewanya dan melayaninya. Setelah pelayan itu sambil menyeringai dan membungkuk-bungkuk mempersilakan dia mengikutinya, baru diketahui oleh Tek Hoat bahwa pelayan itu pincang kakinya dan ketika dia memperhatikan, ternyata kaki kirinya cacat, ada luka yang sudah mulai mengering di dekat tumit sehingga dia tidak dapat memakai sepatu, melainkan memakai sandal kayu yang mengeluarkan bunyi teklak-teklik ketika dia berjalan timpang.
"Heh-heh, di sinilah kamar Kongcu. Sunyi, karena kebetulan malam ini kurang tamu, Kongcu. Lihat, kamar di kanan kiri Kongcu juga kosong, jadi.... hehheh, aman deh!"
Tek Hoat yang memasuki kamar itu, sebuah kamar sederhana dengan sebuah pembaringan cukup besar untuk seorang saja, sebuah meja dan tempat air cuci muka, cepat menengok dan memandang muka buruk itu ketika mendengar ucapan itu.
"Cukup aman? Apa maksudmu?" tanyanya sambil menaksir usia orang. Sukar, menaksir usia wajah yang buruk itu. Mungkin tiga puluh, mungkin pula sudah lima puluh tahun lebih.
"Heh-heh-heh, aman, tidak akan ada yang mengganggu atau mendengar suara dari dalam kamar ini."
"Suara? Suara apa yang kaumaksudkan?" Tek Hoat bertanya lagi sambil mengeratkan alisnya.
Kembali orang itu menyeringai lalu mengambil baskom tempat air yang berwarna biru itu. Dia berjalan ke pintu membawa baskom itu, menoleh dan menyeringai sambil tertawa. "Tentu saja orang yang berpacaran mengeluarkan suara, bukan? Dan tentu akan merasa sungkan kalau di sebelah ada orang lain yang ikut mendengarkan."
Tek Hoat hendak membantah akan tetapi pelayan itu sudah keluar sambil berkata, "Saya akan mengambilkan air. hangat untuk Kongcu."
Tek Hoat menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan dan termenung. Hatinya masih terasa kesal dan mengkal karena sampai saat itu dia belum berhasil menemukan jejak kekasihnya, yaitu Syanti Dewi. Makin terasalah kini betapa dia amat mencinta Syanti Dewi, betapa sebetulnya dia hanya mempunyai semangat hidup karena puteri itulah.
"Heh-heh-heh....!" Suara ketawa yang jelek ini menggugahnya dari lamunan dan pelayan itu sudah masuk lagi ke kamarnya membawa sebaskom air yang masih mengepulkan uap. Melihat air ini, Tek Hoat segera menghampiri baskom yang telah diletakkan di atas bangku, mengeluarkan sebuah saputangan lebar dari buntalannya dan mencuci mukanya. Terasa segar sekali air hangat itu ketika dia menggosok-gosokkan air di muka dan lehernya. Lenyaplah semua kemuraman yang amat mengganggunya tadi.
"Heh-heh-heh, Kongcu tampan sekali, sungguh cocok kalau berpacaran...."
Tek Hoat mengusap mukanya dengan keras, menggosok-gosok kulit mukanya sampai berwarna merah sekali. Setelah pikirannya kosong, setelah semua kenangan tentang Syanti Dewi lenyap oleh air panas dan oleh gosokan keras pada mukanya, dia merasa betapa segala sesuatu yang dihadapinya menjadi lebih menarik. Dia biasanya tidak pedulian, tidak mengacuhkan segala hal dan orang lain. Akan tetapi baru dia merasa betapa pelayan ini amat menarik hatinya dan menimbulkan ingin tahunya.
"Paman pelayan, jangan kau bicara yang bukan-bukan tentang suara pacaran dan lain-lain itu. Aku berada di dalam kamar ini sendirian tanpa kawan."
"Heh-heh, karena itulah Kongcu, maka saya menganggap bahwa sayang sekali seorang pemuda tampan seperti Kongcu sendirian saja di kamar ini untuk melewatkan malam yang dingin."
"Hemmm, aku memang sendirian. Habis bagaimana?"
"Ah, si Teratai Emas itu tentu merupakan lawan dan kawan yang amat cocok bagi Kongcu! Cantik jelita dan harum dia!
Dan tidak sembarangan mau diajak orang, akan tetapi kalau Kongcu yang mengajaknya.... hemmm, tanggung puas!"
Sepasang mata Tek Hoat terbelalak. "Apa maksudmu?" Dia amat rindu kepada Syanti Dewi dan kini ditawari wanita untuk menemaninya! Padahal, bujukan dan rayuan seorang wanita cantik seperti Mauw Siauw Mo-li itu pun ditolaknya mentah-mentah!
"Maksud saya? Heh-heh, maksud saya.... Kongcu Muda dan tampan, malam ini di kamar sendiri, dan kamar-kamar di sekitar kamar ini kosong.... heh-heh, dan Teratai Emas itu sungguh cantik.... tentu akan mesra sekali...."
Tek Hoat kini mengerti dan dia cepat memberikan beberapa potong uang kepada pelayan itu. "Pergilah!" katanya singkat karena dia tidak ingin diganggu lagi. Dia tidak melihat betapa pelayan buruk rupa itu memandang ke arah tangan yang menerima uang itu dengan girang sekali, mengangguk-angguk lalu pergi dari situ. Tek Hoat lalu menutupkan daun pintunya. Tubuhnya terasa enak setelah dia mencuci muka, leher, kedua lengan dengan dengan air hangat. Dia sudah makan tadi, dan tubuhnya lelah. Kini terasa segar dan nyaman, membuat dia merasa mengantuk sekali. Direbahkannya tubuhnya di atas pembaringan, terlentang dan menerawang langit-langit kamar itu yang berwarna putih. Wajah Syanti Dewi membayang! Makin dipandang, makin rindulah hatinya. Cuaca mulai gelap karena matahari mulai tenggelam sehingga sinarnya tidak menerangi kamar itu melalui lubang jendela. Akan tetapi dia merasa malas untuk bangkit dan menyalakan lilin, membiarkan saja kamar itu menjadi makin remang-remang gelap.
"Tok! Tok! Tok!"
Tek Hoat tergugah lagi dari keadaan yang hampir pulas. Sialan, pikirnya, siapa lagi yang mengganggu?
"Siapa?" tanyanya, memandang ke arah daun pintu yang hampir tidak kelihatan karena kamar itu sudah mulai gelap.
"Saya, Kongcu...."
Si pelayan buruk rupa sialan lagi! "Ada apa lagi?"
"Ssssst, penting Kongcu. Sudah datang....!"
Tek Hoat yang masih setengah sadar setengah layap-layap itu tidak ingat apa-apa lagi tentang sore tadi. Dia merasa heran dan ingin tahu. "Masuklah, daun pintunya tidak terpalang, katanya.
Bunyi daun pintu berderit ketika dibuka dari luar. Nampak dua sosok tubuh sebagai bayangan memasuki kamar itu. Yang satu adalah bayangan tubuh pelayan muka buruk, dan yang satu lagi bayangan tubuh yang kecil ramping. Tek Hoat menjadi curiga dan biarpun dia masih rebah terlentang, namun dia siap siaga.
"Aih, begini gelapnya, Kongcu. Kenapa lilin yang tersedia di atas meja tidak dinyalakan? Biar saya nyalakan!" Pelayan itu menyalakan api dan lilin dinyalakan. Cuaca remang-remang mulai terusir dan dengan mata terbelalak Tek Hoat memandang dan melihat bahwa orang yang ke dua itu adalah seorang wanita muda yang amat cantik! Pantas saja ada bau harum ketika pintu kamarnya tadi dibuka.
"Kongcu, inilah dia, Kim Lian (Teratai Emas).... heh-heh!" Pelayan itu bergegas keluar dan menutupkan daun pintu dari luar.
Wanita itu mengambil tempat lilin, menaruhnya di sudut meja dekat pembaringan, lalu memutar tubuh menghadapi Tek Hoat. Begitu dia melihat wajah Tek Hoat, sepasang matanya yang indah itu terbelalak dan dia cepat menghampiri.
"Aihhhhh.... kiranya Kongcu benar-benar tampan sekali....! Girang hatiku mempercayai omongan A-khiu bahwa Kongcu amat tampan!" Wanita itu lalu duduk di tepi pembaringan, memandang wajah Tek Hoat, lalu tubuh atas pemuda itu telanjang, kemudian sambil tersenyum wanita itu menjatuhkan dirinya di atas dada Tek Hoat dan mendekatkan mulutnya hendak mencium bibir pemuda itu. Bau harum mendesak hidung pemuda itu.
Tek Hoat miringkan mukanya dan mendorong kedua pundak wanita itu sehingga hampir saja gadis itu terjengkang. "Perempuan tak tahu malu! Perempuan tak mengenal susila!" bentaknya marah sambil menyambar bajunya, terus dipakainya baju itu dan dia meloncat turun ke atas lantai, pandang matanya keras dan muak.
Gadis itu menundukkan mukanya. Seorang gadis yang cantik sekali, usianya paling banyak dua puluh tahun, rambutnya digelung indah mengkilap, terhias bunga teratai dari emas, tubuhnya ramping dan lemah gemulai gerak-geriknya, wajah dan tubuh yang terpelihara baik-baik, terbungkus pakaian dari sutera merah muda yang berkembang, menambah kecantikannya. Kemudian dia mengangkat mukanya yang menjadi merah.
"Kongcu, perlukah seorang wanita seperti saya untuk merasa malu? Haruskah seorang wanita seperti saya untuk mengenal susila?" tanyanya dengan suara halus bernada menegur sehingga Tek Hoat tertegun. Akan tetapi lalu pemuda ini dapat menduga keadaan wanita itu, maka dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil bersungut-sungut.
"Huh, kiranya seorang pelacur! Sampah masyarakat!" Sepasang mata yang bening indah itu mengeluarkan sinar dan tarikan muka yang manis itu membayangkan rasa penasaran seperti orang yang tersinggung kehormatannya, dan mulut yang bibirnya berbentuk indah itu berkata, suaranya halus namun dingin, "Kongcu, saya memang seorang pelacur, akan tetapi bukan sampah masyarakat."
Hati Tek Hoat mulai diserang kemurungan lagi dan dia menjadi kesal. Dengan kasar dia menoleh dan memandang wajah cantik itu, kecantikan yang makin membuat dia marah karena wajah cantik itu ternyata diobral kepada siapa saja yang mampu membayar! "Bukan sampah masyarakat? Huh, perbuatanmu sungguh kotor dan hina! Engkau perempuan perusak rumah tangga, perusak pria, penyebar penyakit, engkau perempuan terkutuk, lebih kotor daripada sampah!"
Sepasang mata itu masih terbelalak, akan tetapi perlahan-lahan tanpa berkedip, dari bawah mata itu menetes-netes turun beberapa butir air mata yang berkilauan tertimpa cahaya api lilin, menimpa sepasang pipi yang halus kemerahan dan mengalir ke bawah. Mata itu masih terbelalak menentang wajah Tek Hoat. "Kongcu.... engkau boleh tidak senang kepada saya.... akan tetapi.... mengapa engkau menghina saya? Apakah dosaku kepadamu? Apakah salahku kepada kaum pria? Hak apakah yang ada pada Kongcu untuk menghina saya seperti itu, untuk menusuk-nusuk perasaan hati saya dengan kata-kata keji itu?"
Tek Hoat menjadi bengong. Wajah yang cantik itu tetap halus, mengingatkan dia akan wajah lembut Syanti Dewi! Betapa miripnya dara ini dengan Syanti Dewi! Sama muda, sama cantik, dan apakah bedanya? Mungkin berbeda karena Syanti Dewi adalah puteri raja dan seorang wanita bangsawan, apalagi wanita yang dicintanya. Sedangkan wanita ini adalah seorang yang pekerjaannya sebagai pelacur. Namun keduanya juga wanita, juga perempuan. Ada perasaan malu dan menyesal mengapa dia tadi bersikap demikian menghina. Melihat wanita ini menangis tanpa dibuat-buat, sepasang mata yang terbelalak seperti mata seekor kelinci
yang tak berdaya itu, tiba-tiba saja Tek Hoat merasa kasihan sekali. Di depannya ini adalah seorang wanita! Sama dengan Syanti Dewi, sama dengan mendiang ibunya, seorang manusia!
"Ehhh.... hemmm.... maafkan aku...."
Pelacur itu mencoba untuk tersenyum sambil menghapus air matanya dengan sehelai saputangan, lalu dia berkata, "Tidak apa-apa, Kongcu. Aku sudah biasa dihina orang, dan agaknya aku dapat mengerti bahwa tentu Kongcu pernah dibikin sakit hati oleh wanita, oleh pelacur, maka sekarang menumpahkan kemarahan dan dendam Kongcu kepada diriku."
Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang, menunduk sebentar lalu mengangkat kembali mukanya, akan tetapi dia tidak memandang kepada wanita itu. Dia teringat akan Siluman Kucing dan agaknya iblis betina itulah yang membuat dia tadi marah dan menghina wanita ini. Iblis betina itu lebih jahat lagi daripada pelacur ini! Lalu dia memandang wanita itu yang juga memandangnya. Harus diakuinya bahwa wanita muda ini amat cantik, tidak kalah cantiknya kalau dibandingkan dengan Siluman Kucing.
"Namamu Kim Lian" akhirnya dia bertanya.
Wanita itu mengangguk. "Nama aseliku telah kupendam di antara kehinaan yang menguruk diriku, Kongcu. Karena aku suka memakai hiasan teratai emas ini, maka aku dipanggil Kim Lian oleh mereka." Lalu dia menunduk. Dagunya nampak meruncing halus kalau dia menunduk, manis sekali.
"Kim Lian, engkau menjadi pelacur tentu karena ingin memperoleh uang, bukan?"
"Satu di antaranya alasan itulah."
Tek Hoat mengeluarkan beberapa keping uang perak dari buntalannya, lalu melemparkan perak itu di atas pembaringan dekat pelacur itu. "Nah, ambiliah uang ini sebagai pembayaran biarpun aku tidak akan menyentuhmu."
Kim Lian kelihatan terkejut, menoleh kepada uang itu kemudian kepada Tek Hoat, lalu kepada uang itu lagi dan kepada Tek Hoat. Air matanya makin banyak bercucuran, akhirnya dia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu sambil menangis!
"Kongcu.... engkau menghancurkan hatiku dengan sikap ini.... lebih baik kaumaki saja aku...., Kongcu.... kaumaki dan pukul aku saja...."
Tek Hoat makin bengong. Dia merasa heran sekali mengapa hatinya tersentuh oleh sikap wanita ini. Seorang pelacur! Mungkin karena dia merasa yakin bahwa pelacur yang satu ini tidak berpura-pura dalam semua sikapnya! Ketika memuji ketampanannya tadi, ketika marah dan ketika berduka sekarang ini, semua adalah wajar dan tidak dibuat-buat. Itulah mungkin yang menggerakkan hatinya sehingga dia merasa kasihan sekali.
"Bangkitlah!" katanya sambil memegang kedua pundak pelacur itu, menariknya berdiri. Pelacur itu bangkit berdiri dan Tek Hoat juga berdiri. Pelacur itu hanya setinggi dagunya. Mereka saling pandang. Pelacur itu masih terisak ketika memandangnya.
"Sudah, jangan menangis, aku hanya ingin bertanya-tanya, dan kuharap engkau suka menjawabnya. Uang itu sebagai pembayaran jawaban-jawabanmu."
"Kongcu.... Kongcu tidak memandangku dengan hina lagi?" Wanita itu terisak.
Tek Hoat merasa makin tertusuk. Betapa tidak berdayanya wanita ini, berdiri sendiri di dunia yang kejam, tidak ada yang melindunginya dari penghinaan semua orang! Hatinya merasa terharu dan dia mendekatkan mukanya, mencium dahi perempuan itu, ciuman karena iba, bukan ciuman sayang, bukan pula ciuman berahi, lalu dia perlahan-lahan mendorong wanita itu sehingga terduduk kembali di atas pembaringan. Dia sendiri lalu duduk di atas bangku di depan pembaringan.
"Nah, Kim Lian, kita bicara sebagai dua orang sahabat. Aku kasihan kepadamu dan harap kau suka menjawab sejujurnya. Kenapa engkau menjadi pelacur? Siapa yang memaksamu menjadi seorang pelacur, melakukan pekerjaan yang rendah dan hina ini?"
Agaknya Kim Lian sudah dapat menguasai dirinya kembali dan ciuman pada dahinya tadi menyentuh hatinya, membuat dia percaya kepada pemuda aneh ini yang sikapnya amat luar biasa terhadap dirinya, sikap yang selama ini belum pernah dia lihat diantara para langganannya yang tak terhitung banyaknya itu. Maka dia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda luar biasa yang amat baik hatinya terhadap dirinya, dan dia mengambil keputusan untuk bersikap jujur dan untuk menumpahkan seluruh isi hatinya kepada pemuda ini.
"Kongcu, pertanyaan Kongcu itu banyak sekali jawabannya. Kenapa aku menjadi pelacur? Mungkin karena keadaan karena terpaksa atau juga karena kusengaja! Yang memaksaku adalah kaum pria dan mungkin juga diriku sendiri."
"Hemmm, jawabanmu merupakan teka-teki, Kim Lian."
"Bukan, Kongcu, melainkan jawaban sejujurnya. Adalah kaum pria yang mendorongku untuk menjadi pelacur ini dan untuk itu sebaiknya Kongcu mendengar riwayatku secara singkat. Aku adalah anak keluarga miskin. Ibu kandungku mati ketika aku masih kecil. Ayah kawin lagi dan dalam keadaan miskin itu, atas desakan ibu tiriku untuk menyelamatkan mereka dan anak-anak lain dari bahaya kelaparan, aku dijual kepada seorang kaya. Sejak kecil aku menjadi pelayan dalam rumah keluarga kaya itu sampai aku mulai dewasa dan majikanku, laki-laki tua itu, pada suatu malam memaksa aku, memperkosa aku dengan ancaman dan dengan ganjaran. Aku tidak berdaya. Sampai aku mengandung dan majikan perempuan marah-marah lalu menghadiahkan aku kepada seorang pegawai pria dari mereka. Aku menjadi isteri pegawai itu, akan tetapi sering kali majikan laki-laki tua itu masih datang untuk menikmati tubuhku setahu suamiku! Setelah aku melahirkan seorang anak yang mati ketika lahir, majikan laki-laki itu pun meninggal dunia dan suamiku mulai bersikap kasar kepadaku. Aku sering dipukul, dan aku dipaksa untuk melacurkan diri. Aku lari minggat meninggalkan dia. Kemudian aku terjatuh ke tangan beberapa orang pria yang pada pertemuan pertama kelihatan amat mencinta, akan tetapi setelah mereka puas menikmati tubuhku dan menjadi bosan, aku dicampakkan begitu saja! Entah berapa kali aku merasa sakit hati kepada pria, Kongcu. Akhirnya aku bertemu dengan seorang wanita tua bekas pelacur, aku mendapat nasihat dari padanya untuk membalas kaum pria, untuk menyerahkan badan bukan hati dan untuk menikmati hidup sambil memperoleh hasil yang mudah. Nah, mulai hari itu aku menjadi pelacur sampai sekarang, terkenal dengan nama Kim Lian."
Tek Hoat berdiam diri saja mendengarkan penuturan singkat itu. Dia merasa kasihan, dan setelah gadis pelacur itu mengakhiri penuturannya, dia menarik napas panjang dan berkata, "Kim Lian, di antara segala pekerjaan di dunia ini yang begitu banyak, mengapa engkau memilih pekerjaan pelacur?"
"Kongcu, pekerjaan apa lagi yang dapat dilakukan oleh seorang wanita lemah dan tidak terpelajar seperti aku ini? Yang kumiliki hanyalah kewanitaanku, kecantikan dan kemudaanku! Menjadi pelayan rumah tangga orang? Sudah kulakukan beberapa kali, akan tetapi hasilnya hanyalah gangguan dari majikan laki-laki, tua maupun muda! Dan dalam pekerjaan sebagai pelacur ini, aku memperoleh dua hal, pertama, uang yang banyak dan mudah. Ke dua, kebutuhan nafsu badan sebagai seorang wanita muda yang sehat dan normal."
Tek Hoat mengerutkan alisnya. "Apa artinya uang yang didapatkan dengan jalan hina? Dan untuk kebutuhan ke dua, mengapa engkau tidak berumah tangga saja, menikah dengan seorang pria dan hidup sebagai ibu rumah tangga yang terhormat?"
Sepasang, mata itu memandang dengan penasaran. "Kongcu, bagaimana mungkin seorang wanita berumah tangga dan menikah kalau tidak ada pria yang menghendakinya? Dan pria manakah yang sudi menikah dengan aku? Tidak mungkin wanita memilih pria lalu melamar sebagai suaminya, seperti yang mudah saja dilakukan oleh pria! Dunia ini memang berat sebelah dan tidak adil, Kongcu,
engkau pun tentu mengetahui akan hal itu!"
Makin lama dia bicara dengan pelacur muda ini, makin tertariklah hati Tek Hoat. Banyak kenyataan terbuka di depan matanya.
"Akan tetapi, pekerjaanmu ini merupakan dosa besar. Engkau berdosa karena engkau menggoda kaum pria, menyeret mereka ke dalam perbuatan hina, hubungan gelap yang membuat mereka mengkhianati kesetiaan suami isteri, dan engkau juga merusak orang muda yang belum beristeri.
Tiba-tiba gadis itu tertawa dan suara ketawanya membuat Tek Hoat merasa tertusuk jantungnya, karena sukar dibedakan apakah suara itu merupakan tawa ataukah tangis! Kemudian gadis itu berkata, suaranya lantang, "Kongcu yang baik, bicara tentang godaan, siapakah yang menggoda dalam hal ini? Priakah atau wanita semacam kami? Siapakah yang menyeret ke dalam perbuatan hina? Siapakah yang khianat-mengkhianati dalam hubungan antara kami dengan pria-pria itu? Kongcu, kami dan kaum pria sama-sama membutuhkan, akan tetapi kebutuhan kami lebih suci daripada kebutuhan mereka! Kami membutuhkan uang untuk hidup, membutuhkan kepuasan berahi sebagaimana patutnya. Berilah kami seorang suami yang baik dan uang untuk hidup, tidak akan ada
seorang wanita pun yang menjadi pelacur, kecuali kalau dia gila! Akan tetapi kaum pria itu, sudah mempunyai isteri, bahkkan sudah mempunyai selir-selir, masih saja melacur! Siapakah yang hina? Siapakah yang rendah? Mereka itu membutuhkan kami, membutuhkan hiburan yang ada pada diri kami, sedangkan kami membutuhkan kesenangan dan uang. Mereka membeli dan kami menjual. Coba tidak ada kaum pria yang mengejar-ngejar dan mencari-cari kami untuk membeli, mana mungkin kami menjual diri?"
"Tapi, Kim Lian, kenyataan dalam hidup adalah bahwa semua orang pria maupun wanita, memandang rendah dan hina kepada pekerjaanmu ini."
"Biarlah! Akan tetapi buktinya, kami kaum pelacur tidak pernah mengkhianati siapa-siapa, kami bebas bermain cinta dengan laki-laki manapun juga menghendaki kami tanpa paksaan, tanpa sembunyi-sembunyi karena kami tidak mengkhianati siapa-siapa. Merekalah kaum prialah, yang mengkhianati isteri-isteri mereka, yang mencari kami dengan sembunyi-sembunyi dan berani membayar berapa saja kalau sudah tergila-gila kepada kami." Gadis pelacur itu berhenti sebentar, lalu berkata lagi, "Seluruh pria tentu ingin melihat agar semua wanita di dunia ini, kecuali ibunya, isterinya, anak perempuannya dan keluarga perempuannya, menjadi pelacur semua! Agar semua wanita suka melayaninya di atas pembaringan, agar semua wanita bersedia memuaskan nafsu berahi mereka. Betapa palsu, licik dan munafiknya kaum pria!"
Tek Hoat melongo. Benarkah ini? Diapun seorang pria. Benarkah apa yang dikatakan oleh pelacur ini? Bahwa semua pria menghendaki bahwa semua wanita, kecuali orang-orang tertentu, yaitu keluarganya, bersikap seperti pelacur? Hatinya condong mengatakan "ya" kalau dia berani memandang diri sendiri, memandang sampai ke sudut tergelap dari batinnya. Akan tetapi dia merasa "ngeri" untuk mengaku ini.
"Kim Lian, kata-katamu terlalu keras, agaknya karena dendam sakit hati kepada kaum pria. Akan tetapi, bukankah pekerjaanmu melacur ini mencemarkan kaum wanita? Bukankah pekerjaanmu ini dikutuk oleh kaum wanita?"
Kembali Kim Lian tertawa, suara ketawa yang aneh, setengah menangis setengah ketawa, lalu dia berkata lagi, lebih halus suaranya penuh kepahitan, "Mungkin sekali, Kongcu. Dan biarlah mereka itu mengutuk dan mencemoohkan kami kaum pelacur. Kami tahu mengapa mereka mengutuk kami, dan kami kasihan kepada mereka."
"Eh, apa pula ini? Engkau kasihan kepada mereka yang mengutukmu dan kau tahu mengapa?"
"Memang ruwet lika-likunya, Kongcu. Akan tetapi aku, yang telah digembleng oleh hidup, yang telah direbus oleh api kepahitan, aku dapat melihatnya. Wanita-wanita itu mengutuk kami karena mereka merasa dirugikan...."
"Dirugikan?"
"Ya, dirugikan karena suami, anak mereka, keluarga mereka yang pria lari kepada kami dan menjauhi mereka. Karena kami dianggap mencemarkan dan memalukan mereka. Kemudian karena mereka merasa iri kepada kami"
"Iri?" Tek Hoat berseru kaget. "Kaum wanita baik-baik iri kepada pelacur? Apa maksudmu?"
"Benar, iri hati! Mungkin di bawah sadar mereka, akan tetapi jelas ada perasaan iri hati yang tidak mereka sadari sendiri itu. Lihatlah, wanita mana yang tidak suka bersolek, yang tidak suka mempercantik diri? Mereka mempercantik diri karena dua sebab, pertama agar dipuji oleh umum terutama sekali oleh kaum pria dan diirihatikan kaum wanita lainnya. Mereka itu, di luar sadarnya berusaha untuk menarik hati kaum pria sebanyaknya! Makin banyak pria yang kagum dan tergila-gila kepadanya, makin senanglah hatinya."
"Ah, masa....?"
"Keadaan membuktikan demikian dan mungkin itu sudah merupakan naluri wanita, Kongcu. Setiap mahluk betina selalu akan berlagak di depan jantan, tentu naluri untuk menarik perhatian. Karena itu, melihat betapa kami, kamu pelacur dapat menarik perhatian banyak pria, bahkan dapat menghibur mereka dalam permainan cinta, bahkan menerima perhatian pria yang rela memberi hadiah dan uang di samping perlakuan cinta, tanpa disadari mereka itu, kaum wanita merasa iri dan karena iri ini tidak dapat dinyatakan secara terbuka, maka perasaan iri itu berubah menjadi benci! Dan muncullah penghinaan mereka terhadap kami! Tentu saja selain itu, juga mereka mendendam karena kami dianggap merusak nama baik kaum wanita pada umumnya"
Tek Hoat memandang penuh perhatian dan makin terheran-heran. "Kim Lian, engkau seorang pelacur, engkau seorang yang buta huruf, akan tetapi heran sekali, kurasa jarang ada orang pandai yang dapat dan berani berpandangan seperti yang kaunyatakan itu. Sekarang ada satu hal lagi, Kim Lian. Sebagai pelacur, engkau dan kaummu dianggap sebagai penyebar penyakit kotor! Hal ini mau tidak mau harus kauakui dan tidak dapat kausangkal lagi!"
Gadis pelacur yang cantik itu menarik napas panjang. "Memang, hukum rimba mengatakan bahwa segala macam sebab kesalahan selalu ditimpakan kepada mereka yang lemah dan yang kalah! Kaum pria mau mencari enaknya sendiri saja, benarnya sendiri saja! Penyakit itu hanya merupakan akibat, Kongcu. Sebabnya adalah hubungan-hubungan gelap itu. Dan siapakah yang mulai dengan pelacuran? Sudah kukatakan tadi, kalau tidak ada pria yang hendak melacur, apakah di dunia ini ada pelacur? Dan tentang penyakit, siapakah yang menularkan dan siapa yang ditularkan? Dari siapakah pelacur terserang penyakit kalau tidak ketularan oleh seorang langganannya, yaitu seorang pria? Ahhh, Kongcu, persoalan penyakit ini sama saja dengan persoalan siapa yang keluar lebih dulu, telur ataukah ayamnya!"
Tek Hoat bungkam. Beberapa kali dia hendak berkata, akan tetapi tidak dapat keluar dan akhirnya dia hanya dapat me-nelan ludah. Baru sekarang ini dia mendengar hal-hal seperti itu. Sungguh berlainan dengan segala macam filsafat yang pernah dibacanya tentang susila, tentang kejahatan dan kebaikan dan lain-lain. Kini dia dihadapkan dengan keadaan yang telanjang, tanpa aling-aling lagi, tanpa pulasan dan dia melihat ketelanjangan yang murni, melihat baik buruknya. Dan dia terpesona, juga.... bingung! Dirogohnya buntalannya, diambilnya beberapa keping uang lagi dan ditambahkan pada uang di atas pembaringan.
"Ambiliah semua uang itu, Kim Lian. Dan pulanglah engkau. Terima kasih atas segala keteranganmu. Percakapan kita membuka mataku dan aku tidak berani lagi memandang rendah kepada kaum pelacur karena aku mulai melihat apakah diriku ini tidak lebih rendah daripada engkau, Kim Lian"
Kim Lian turun dari pembaringan, mengambil semua uang dari atas pembaringan, menghampiri Tek Hoat yang sudah berdiri dan meletakkan uang itu di atas meja. "Aku tidak bisa menerima uangmu, Kongcu. Bukan karena aku tidak melayanimu seperti mestinya di atas pembaringan. Biarpun tidak melayanimu, kalau engkau menghinaku, memandang rendah kepadaku, tentu akan kuperas kau sampai habis uangmu dengan Akal bagaimanapun juga. Akan tetapi, engkau begitu jujur, dan percakapan ini telah melegakan dadaku, aku telah menumpahkan segala beban hatiku kepadamu. Engkau telah memberi aku sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang ini ditambah sepuluh kali lipat, Kongcu. Aku akan pergi, Kongcu, hanya.... kalau boleh...., aku ingin menyatakan terima kasihku kepadamu dengan caraku sendiri."
Tek Hoat makin terharu. Benar-benar bukan gadis sembarangan dia ini, pikirnya, "Silakan, Kim Lian, sungguhpun yang patut berterima kasih adalah aku kepadamu."
Kim Lian menghampiri makin dekat, lalu merangkul leher Tek Hoat, menarik leher itu sehingga kepala Tek Hoat menunduk, lalu dia berdiri di atas ujung jari-jari kakinya dengan mengangkat tumitnya sehingga bibirnya bertemu dengan bibir Tek Hoat ketika dia mencium mulut pemuda itu. Ciuman yang amat mesra, yang dilakukan dengan sepenuh perasaannya, kecupan seorang wanita yang menyerahkan diri sebulatnya kepada seorang pria, ciuman yang selama hidupnya baru satu kali itu dilakukan oleh Kim Lian terhadap seorang pria! Terdengar suara isak naik dari dada Kim Lian, dia melepaskan ciumannya lalu berlari ke pintu, membuka daun pintu, lalu berhenti, menoleh dengan air mata membasahi pipi sambil berkata, "Pria seperti engkau inilah yang menjunjung tinggi martabat wanita, Kongcu, patut dibanggakan oleh ibumu, oleh semua wanita, patut menerima cinta kasih wanita. Aku selamanya tidak akan dapat melupakan wajahmu, Kongcu. Selamat tinggal." Dan daun pintu itu ditutup kembali, lalu terdengar langkah-langkah kaki yang diseret dan ringan dari pelacur itu yang pergi setengah berlari.
Tek Hoat menjatuhkan diri di atas bangku, duduk termenung. Dia pria seperti itu? Menjunjung tinggi martabat wanita? Patut dibanggakan oleh ibunya dan semua wanita? Dia? Terbayang kembali segala perbuatannya di waktu dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali), penyelewengannya, perjinaannya dengan isteri orang.
"Ahhh....!" Dia menutupi kedua matanya dengan tangannya, memejamkan mata dan telinganya terus-menerus, mendengar pujian Kim Lian.
"Tidak....!" Kini kedua tangan itu pindah ke telinganya. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya dan kalau saja hatinya tidak sudah membeku atau membaja, tentu Tek Hoat akan menangis menggerung-gerung di saat itu. Dia merasa dirinya kotor sekali, hina dan jauh lebih rendah daripada Kim Lian si pelacur!
"Kongcu.... heh-heh-heh...."
Tek Hoat tergugah dan dia menoleh. Wajah buruk pelayan itu menyeringai. "Kongcu, saya bertemu dengan Kim Lian, dia menangis dan tidak mau bicara. Ah, dan Kongcu duduk sendiri dengan pakaian lengkap. Apakah Kongcu tidak suka dengan dia? Begitu cantik manis, begitu menggairahkan, seperti buah apel yang sudah masak.... hemmmmm...." Dan si buruk rupa itu menjilat-jilat bibirnya seperti orang yang mengilar! "Kalau saya semuda dan setampan Kongcu, dan beruang, hemmm, kalau saya diberi kesempatan.... heh-heh...."
Tek Hoat melemparkan beberapa potong uang kepada pelayan itu. Uang itu jatuh ke atas lantai dan dipunguti oleh si pelayan. "Pergilah! Pergilah cepat, kalau tidak, kubunuh kau!"
Pelayan itu terkejut, memandang dengan muka ketakutan, lalu dia mengangguk dan lari keluar, lupa menutupkan pintu kamar itu saking kaget dan takutnya. Tek Hoat tidak peduli dan kembali duduk dengan kedua tangan menopang dahi di kanan kiri, matanya dipejamkan.
"Tek Hoat....!"
Pada saat itu, Tek Hoat sedang membayangkan wajah Syanti Dewi dan timbul keraguan di dalam hatinya apakah orang macam dia itu patut menjadi suami Puteri Bhutan itu. Maka begitu mendengar suara lembut ini, jantungnya seperti berhenti berdetak.
"Syanti....!" Dia berbisik dan mutar tubuhnya.
Seorang wanita berdiri di pintu kamarnya, wanita cantik yang bertubuh ramping. Akan tetapi bukan Syanti Dewi, melainkan.... Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, si Siluman Kucing! Dan anehnya, kedua mata Siluman Kucing itu merah dan basah oleh air mata!
"Mo-li....!" Tek Hoat berkata lirih dan dia agak terkejut melihat kehadiran siluman betina ini dalam saat yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Siluman Kucing menutupkan daun pintu lalu dia melangkah maju dan tiba-tiba dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Tek Hoat! Pemuda ini terbelalak dan siap siaga karena dia maklum akan kelihaian dan kelicikan siluman ini. Akan tetapi dia terheran-heran karena Lauw Hong Kui kini benar-benar menangis di depan kakinya!
"Tek Hoat.... maafkan aku.... ah, betapa aku kagum melihatmu, Tek Hoat. Gadis itu demikian cantik, akan tetapi engkau tidak mengganggunya dan memberi uang. Engkau benar-benar seorang pria yang jantan, Tek Hoat. Betapa aku rindu kepadamu. Setelah kau pergi meninggalkan aku, baru terasa olehku, dunia seperti kosong, sunyi.... ah, engkau boleh memukulku, Tek Hoat, engkau boleh membunuhku, akan tetapi jangan kau benci padaku, jangan kau tinggalkan aku.... aku haus akan cintamu, Tek Hoat, kau kasihanlah kepadaku...."
Tek Hoat menahan senyumnya. Perempuan memang mahluk yang aneh, pikirnya dan dia teringat akan semua percakapannya dengan Kim Lian tadi. Benarkah Mauw Siauw Mo-li haus akan cintanya? Benarkah seorang wanita seperti iblis ini mengenal apa artinya cinta? Ataukah hanya menjadi budak nafsu belaka? Ingin dia tertawa, mentertawakan Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi teringat akan kata-kata Kim Lian, dia merasa tidak tega. Biarpun iblis Mauw Siauw Mo-1i ini juga seorang wanita! Sama dengan Kim Lian! Seorang manusia yang berperasaan! Mungkin karena biasanya dapat menundukkan pria dengan mudah, maka setelah bertemu dengan dia dan justeru karena dia tidak dapat ditundukkannya, maka Mauw Siauw Mo-li menjadi tergila-gila dan jatuh cinta! Mungkin tersinggung perasaannya karena ucapan Kim Lian tadi, semua wanita ingin digilai laki-laki, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa wanita itu gila laki-laki. Akan tetapi ingin digilai, ingin dipuji, ingin dikagumi laki-laki manapun juga. Dan karena dia tidak tergila-gila kepada Mauw Siauw Mo-li, hal ini justeru malah membuat wanita ini tersinggung perasaannya dan merasa tidak puas, dan baru akan merasa senang kalau Tek Hoat yang kokoh kuat dan angkuh itu bertekuk lutut. Demikiankah?
"Mo-li, bangkitlah dan jangan seperti anak kecil. Mari kita duduk dan bicara. Aku maafkan segala kesalahfahaman antara kita. Betapapun juga, engkau sudah banyak membantuku dan kita sudah melakukan perjalanan bersama cukup lama sehingga boleh dibilang kita adalah sahabat."
"Ah, terima kasih, Tek Hoat!" Mauw Siauw Mo-li bangkit berdiri dan duduk di atas pembaringan, karena di situ hanya terdapat sebuah saja bangku yang diduduki Tek Hoat. Sejenak mereka berpandangan. Di bawah sinar api lilin yang kemerahan, memang harus diakui oleh Tek Hoat bahwa Mauw Siauw Mo-li memang cantik. Mungkin Kim Lian tadi lebih manis, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li lebih matang!
"Mo-li, kenapa engkau menyusulku sampai di sini?" Akhirnya Tek Hoat bertanya karena tidak tahan melihat sinar mata wanita itu yang seolah-olah akan membakarnya dengan nafsu membara, sepasang mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.
"Kenapa? Ahhh, engkau tidak tahu betapa aku hampir mati tersiksa hatiku setelah engkau pergi. Aku merasa kesepian dan dunia ini serasa hampa setelah kepergianmu, Tek Hoat. Tidak pernah aku menyangka bahwa aku akan tergila-gila kepadamu. Tidak pernah aku membayangkan betapa cinta dapat begini menyiksa. Apalagi ketika aku teringat betapa kita berpisah sebagai musuh. Ah, tidak, Tek Hoat, aku tidak tahan maka aku menyusulmu."
"Hemmm, Mo-li, siapa bisa percaya akan rayuanmu? Engkau terkenal sebagai seorang wanita yang bisa mendapatkan pria manapun yang kauinginkan. Seorang wanita seperti engkau ini, mana mungkin bisa jatuh cinta dengan sungguh-sungguh? Engkau hanyalah menjadi hamba nafsu berahimu sendiri...."
"Cukup, harap jangan lanjutkan, Tek Hoat. Aku mengaku bahwa memang hidupku yang lalu penuh dengan petualangan dan aku sudah biasa memandang rendah kaum pria yang kuanggap sebagai permainanku. Akan tetapi sekarang baru aku merasa bahwa aku sesungguhnya seorang manusia biasa, seorang wanita yang juga mempunyai hati dan perasaan. Aku cinta padamu, Tek Hoat, dan aku tersiksa ketika kita saling berpisah."
Tek Hoat tidak tahu apakah dia merasa terharu ataukah geli mendengar kata-kata wanita ini. Siluman Kucing yang biasa mempermainkan pria sampai pria itu tewas, entah sudah berapa banyaknya pria ini yang tewas olehnya, diajaknya bermain cinta dan sekaligus dibunuhnya, wanita yang seperti iblis betina cantik ini, jatuh cinta kepadanya? Sungguh menggelikan dan sukar untuk dipercaya. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita berkepandaian tinggi yang telah merupakan seorang tokoh di dunia kaum sesat sehingga memiliki keangkuhan besar, maka kiranya tidak mungkin mau merendahkan diri dengan pengakuan cinta dan kelemahannya itu kalau tidak ada kesungguhan di baliknya. Apalagi bahwa wanita ini sudah mengaku sendiri betapa biasanya dia menganggap kaum pria sebagai permainannya dan baru sekarang perasaan wanitanya membisikkan bahwa dia jatuh cinta!
"Mo-li, kita hanya sahabat biasa, bahkan itu pun bukan, hanya kenalan yang kebetulan bertemu di tempat Yang-liu Nio-nio, ketua Hek-eng-pang yang menjadi muridmu itu. Ada waktunya bertemu, berkumpul, tentu ada waktunya pula untuk berpisah. Kita hanya bersimpang jalan dan jalan hidup kita tidak sama."
Mauw Siauw Mo-li mengangguk, akan tetapi pandang matanya masih terus menatap wajah pemuda itu seolah-olah dia hendak menyihirnya. "Aku pun mengerti bahwa ada waktunya bertemu ada pula waktunya berpisah, Tek Hoat. Akan tetapi aku akan terus menderita kalau harus berpisah denganmu seperti itu, sebagai musuh!"
"Aku sudah memaafkan segala kesalahfahaman antara kita, Mo-li. Kita bukan musuh...."
"Akan tetapi aku ingin berpisah denganmu sebagai seorang kekasih, Tek Hoat." Dan wanita itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat, merangkul pinggang pemuda itu dan membenamkan mukanya di atas pangkuan Tek Hoat! Kembali dia menangis! "Tek Hoat, kasihanilah aku.... bersikaplah sedikit manis kepadaku untuk kujadikan kenangan selama hidupku...."
Sikap dan kata-kata wanita itu menyentuh perasaan Tek Hoat. Kedua lengan yang merangkul pinggangnya itu begitu mesra, mengusap punggungnya, dan wajah yang cantik yang tadi bersembunyi di atas pangkuannya itu kini diangkat tengadah, memandangnya dari bawah, dengan sepasang mata agak berair dan sayu mesra, cuping hidungnya agak kembang-kempis, bibirnya tergetar, rambutnya yang hitam panjang awut-awutan, sebagian anak rambut menutup dahi dan telinganya. Dari tubuhnya keluar bau khas wanita, bau betina yang merangsang dan di bagian tubuh yang tersentuh oleh tubuh wanita itu terasa panas dan tergetar. Seorang wanita yang cantik dan masak.
Tek Hoat menunduk, memandang wajah itu, nampak jelas rambut alis itu yang tumbuh dengan indahnya, seperti rumput yang teratur sekali, seperti lukisan yang amat tepat dan bagus. Mata itu, hidung itu, mulut itu!
"Engkau memang seorang wanita yang cantik sekali, Mo-li...." akhirnya dia berkata, ucapan yang bukan pujian kosong belaka melainkan pengakuan yang keluar dari lubuk hatinya.
Sepasang mata itu terbelalak seperti orang heran, kemudian bersinar-sinar dan wajah yang berkulit putih kemerahan dan halus itu berseri. "Aihhh.... benarkah itu? Tek Hoat, kuminta kepadamu, dalam saat seperti ini.... aku bersungguh-sungguh, jangan kaugoda aku, jangan kau-permainkan aku, benarkah kata-katamu itu?"
"Kau memang cantik sekali."
"Akan tetapi, orang menyebutku iblis betina....!
"Mungkin kau iblis betina, akan tetapi iblis betina yang cantik," Tek Hoat membelai rambut panjang yang sanggulnya terlepas itu, "Dan rambutmu amat halus mengkilap dan panjang."
Makin berseri wajah itu dan bibir yang memang bentuknya manis itu tersenyum. "Ahhh, Tek Hoat, jangan mempermainkan aku....! Aku lebih tua darimu, aku sudah tua sekali, sudah hampir nenek-nenek.. .."
Tek Hoat juga tersenyum. Dalam percakapan seperti ini, dia menemukan dalam diri Mauw Siauw Mo-li itu seorang manusia wanita biasa! Sama sekali bukan wanita iblis yang jahat dan keji, melainkan seorang wanita yang kalau dipuji oleh pria lalu menjadi bahagia hatinya, menjadi manja dan memancing pujian-pujian berikutnya!
"Usia tidak penting, yang nyata engkau adalah seorang wanita cantik yang kelihatannya tidak lebih dari dua puluh tahun usianya...."
Rangkulan kedua lengan itu mengetat di pinggang Tek Hoat. "Benarkah itu? Tek Hoat...., ah, benarkah bahwa akhirnya ada pula rasa sayang dalam hatimu terhadapku? Benarkah bahwa engkau juga.... cinta kepadaku, Tek Hoat? Ahhh, betapa hatiku menanti jawabanmu seperti rumput kering menantikan turunnya hujan...."
Tek Hoat tersenyum dalam hatinya. Teringat dia akan perasaan hatinya terhadap Syanti Dewi! Tiap kali dia berhadapan dengan kekasihnya itu dan bercakap-cakap, terus saja timbul sifat romantisnya, timbul pula keinginannya untuk bernyanyi, bersajak atau setidaknya mempergunakan kata-kata yang indah-indah! Kini Mauw Siauw Mo-li agaknya pun tidak terluput dari dorongan suasana hati itu. Kata-katanya mulai indah-indah dan muluk-muluk!
"Mo-li, terus terang saja, aku hanya mencinta seorang di dunia ini. Akan tetapi aku suka kepadamu, Mo-li, dan aku tidak berbohong ketika kukatakan bahwa engkau seorang wanita yang cantik sekali."
Tangan kanan wanita itu melepaskan rangkulan di pinggang dan kini mengusap dagu Tek Hoat dengan mesra dan manja. "Aku masih belum, percaya benar.... apanya yang cantik pada diriku yang tua ini....?" Jelas bahwa wanita ini yang sedang dibuai cinta memancing-mancing pujian lebih banyak lagi!
"Wajahmu, alismu, matamu, hidungmu, mulutmu dan.... hemmm, bentuk tubuhmu juga amat indah menggairahkan...."
"Hi-hik....!" Mauw Siauw Mo-li meloncat berdiri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari. "Engkau menduga-duga saja, untuk menyenangkan hatiku. Engkau kejam, Tek Hoat, engkau hanya mengejek dan mempermainkan aku yang benar-benar tergila-gila kepadamu, yang mencintamu seperti yang belum pernah kurasakan terhadap pria yang manapun!"
Dalam hatinya, Lauw Hong Kui merasa bahwa dia berbohong karena sebelum ini pernah dia merasakan cinta yang sama seperti ini, yaitu terhadap Suma Kian Bu (baca Kisah Sepasang Rajawali).
"Tidak, aku tidak mempermainkanmu ketika aku memuji kecantikanmu, Mo-li."
"Dan tubuhku?"
"Hemmm.... dan tubuhmu."
"Menggairahkan katamu?"
Wajah Tek Hoat menjadi merah, akan tetapi dia mengangguk. "Ya, menggairahkan."
Mauw Siauw Mo-li tertawa. Memang manis dia kalau tersenyum atau tertawa, memperlihatkan sekilas pandang giginya yang rata dan putih, akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, dengan suara tenggorokan yang ditahan. "Hi-hik! Engkau hanya menduga-duga saja. Engkau belum pernah melihat tubuhku, bagaimana bisa mengatakan bahwa bentuk tubuhku indah menggairahkan?"
Wajah Tek Hoat makin menjadi merah. "Mudah dilihat dan diduga...." Dia menjawab juga.
Mauw Siauw Mo-li melangkah maju dan memegang kedua tangan pemuda itu, menariknya perlahan sehingga Tek Hoat juga berdiri. Mauw Siauw Mo-li lalu merangkulkan kedua lengannya pada leher pemuda itu, mendekatkan mukanya sampai napasnya terasa oleh pipi Tek Hoat dan dia berbisik setelah mengeluarkan suara erangan kecil seperti kucing diusap kepalanya, "Tek Hoat, aku ingin kau tidak menduga-duga, melainkan melihatnya sendiri bentuk tubuhku. Kaubukalah...."
Akan tetapi Tek Hoat yang mulai terseret oleh rayuan dan suasana romantis yang ditimbulkan oleh sikap dan kata-kata Mauw Siauw Mo-li, menggeleng kepala sungguhpun dia masih tersenyum.
"Hi-hik, kau malu-malu? Engkau memang seorang pemuda hebat. Keras, angkuh, berkuasa, berwibawa, tidak mudah tunduk, mau menang selalu, dan kadang-kadang amat lembut seperti sekarang ini! Dan engkau tidak mudah terayu oleh wanita! Ah, betapa hebat dan kagum sekali hatiku, Tek Hoat. Baiklah, biar aku sendiri yang akan membuka pakaian ini, agar engkau tidak hanya menduga-duga saja dalam menilai tubuhku." Mauw Siauw Mo-li lalu mendorong tubuh pemuda itu dengan lembut sehingga Tek Hoat terduduk di atas pembaringan. Pemuda ini memandang dan jantungnya berdebar tegang.
Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita cantik yang sudah mahir sekali berlagak dan bergaya untuk memikat hati pria. Dia sudah mengenal betul sifat-sifat pria pada umumnya dan dengan mudah dia dapat pula menjajagi perasaan hati Tek Hoat. Dengan gerakan yang lemah gemulai, genit namun tidak menjemukan, mulailah wanita ini melepaskan kancing bajunya satu demi satu, gerakannya lambat, ragu-ragu, dengan jari-jari tangan gemetar buatan, dengan kerling mata dan senyum bibir malu-malu seperti seorang perawan yang baru pertama kalinya berhadapan dengan pria.
Tek Hoat benar-benar menghadapi rayuan maut yang amat hebat. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika dia melihat pakaian itu tanggal satu demi satu dengan cara penanggalannya demikian memikat, setiap potong pakaian diloloskan dari tubuh secara perlahan, sedikit demi sedikit sampai akhirnya Mauw Siauw Mo-li berdiri tanpa penutup tubuh sama sekali bermandikan sinar api lilin yang kemerahan dan bergoyang-goyang membentuk bayang-bayang aneh di dinding.
"Ihhh.... hi-hik, matamu seperti mengeluarkan api, Tek Hoat...." bisiknya halus dan wanita ini lalu mengangkat kedua lengannya ke atas, menggunakan jari-jari tangannya untuk membereskan rambut kepala yang awut-awutan. Gerakan ini benar-benar merupakan gerakan khas wanita di bagian manapun di dunia ini dan pengangkatan kedua lengan ke atas itu menonjolkan keindahan bentuk tubuh wanita, dadanya makin menonjol, kerampingannya makin nampak dan tubuhnya makin polos, dan terbuka.
Tek Hoat adalah seorang pemuda normal yang biasa saja. Menyaksikan semua pertunjukan ini, napasnya agak memburu dan mukanya merah sekali.
"Hi-hik, kau kenapa, Tek Hoat?" Mauw Siauw Mo-li lalu melangkah maju, langkahnya perlahan dan seperti orang menari, kemudian tahu-tahu dia telah duduk di atas pangkuan pemuda itu, merangkulkan kedua lengannya ke leher Tek Hoat dan tahu-tahu pula Tek Hoat merasa betapa mulutnya dicium oleh bibir yang panas dan lembut.
Belum pernah selama hidupnya dia dicium wanita seperti ini! Semua bagian mulut wanita itu hidup dan membelai mulutnya. Tek Hoat hanyut dan terseret oleh gelombang nafsu yang ditimbulkan oleh Mauw Siauw Mo-li secara hebat itu dan hampir Tek Hoat tenggelam. Seluruh perasaannya terpusat pada ciuman wanita itu dan belaian tangan Mauw Siauw Mo-li yang mulai menggerayangi tubuhnya dan jari-jari tangan wanita itu mulai menyentuh kancing-kancing bajunya. Ketika Tek Hoat mendengar suara aneh dari kerongkongan wanita itu, suara seperti seekor kucing mengerang-erang, dia merasa seperti disambar petir. Teringatlah dia bahwa yang memeluknya di atas pembaringan ini bukan Syanti Dewi! Dia tadi seperti dalam mimpi, seolah-olah Syanti Dewi yang
memeluk dan menciumnya, sungguhpun dia tadi merasa terheran-heran karena seingatnya, Syanti Dewi tidak pernah bersikap "menyerang" sehebat itu dalam pencurahan kasih sayang. Pernah dia mencium kekasihnya itu, namun sungguh berbeda sekali sikap dan gerak sambutan Puteri Bhutan itu dengan Mauw Siauw Mo-li. Syanti Dewi adalah lambang kesucian dan kehalusan, akan tetapi wanita ini amat ganas!
Erangan seperti suara kucing itu menyadarkan Tek Hoat dan kalau tadi dia menutupkan kedua matanya, kedua tangannya membalas pelukan dan dia membiarkan mulutnya diciumi secara luar biasa itu, kini dia membuka matanya dan ternyata bahwa lilin telah padam sehingga kamar itu menjadi gelap sekali. Kiranya dengan gerakan tangannya, Mauw Siauw Mo-li telah memadamkan lilin di atas meja.
Dengan susah payah akhirnya Tek Hoat dapat melepaskan bibirnya dari cengkeraman mulut Mauw Siauw Moli. Terdengar napas mendengus-dengus, napasnya sendiri dan napas wanita itu setelah ciuman dilepaskan. Rintihan Mauw Siauw Mo-li makin panas, tangannya merenggut lepas tiga buah kancing baju Tek Hoat sekali tarik.
"Nanti dulu.... Mo-li, nanti dulu...."
"Tek Hoat...." Mauw Siauw Mo-li menahan ketika Tek Hoat hendak bangkit duduk. Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena sudah mengerang lagi seperti seekor kucing. Bulu tengkuk Tek Hoat meremang mendengar suara ini.
"Nanti dulu, Mo-li. Dengar, aku hendak.... hendak ke belakang dulu...." katanya.
"Ehhh....? Hi-hik.... baiklah, tapi jangan lama-lama, kekasih...." Kedua tangannya melepaskan pelukan.
Tek Hoat bangkit duduk dan turun dari pembaringan, sudah setengah telanjang. Tidak ingat lagi dia kapan Mauw Siauw Mo-li telah hampir menelanjanginya itu. Akan tetapi sebelum dia melangkah, Mauw Siauw Mo-li mengerang. "Tek Hoat.... katakan dulu.... benarkah kau menganggap aku cantik menarik?"
"Ya, aku tidak berbohong."
"Dan kau suka kepadaku?"
"Aku suka sekali...."
"Kalau begitu, coba kaucium aku...."
Di dalam gelap, Tek Hoat tersenyum, lalu dia menghampiri pembaringan dan membungkuk, menggunakan tangannya meraba dan setelah dia menyentuh pundak wanita itu, dia lalu mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita yang panas itu dengan mesra. Dicium semesra itu, Mauw Siauw Mo-li mengerang dan merangkul, hendak menarik lagi Tek Hoat ke atas pembaringan.
"Nanti dulu, sebentar, aku takkan lama, Mo-li...." Tek Hoat melepaskan rangkulan dua tangan itu, meraba-raba di atas meja dan tak lama kemudian dia membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu, menuju ke belakang, ke kamar kecil!
Terlalu lama bagi Mauw Siauw Mo-li menanti di dalam kamar, akan tetapi membayangkan penyerahan diri pemuda yang membuatnya tergila-gila itu membuat dia bersabar menanti dengan tubuh panas semua karena api berahi telah membakarnya berkobar-kobar. Terdengar daun pintu terbuka, sesosok bayangan masuk dan daun pintu ditutup lagi.
"Ahhhhh.... kekasih.... pujaanku.... kesinilah.... cepat sini....!" Mauw Siauw Mo-li berbisik. Bayangan itu menghampiri pembaringan dan segera disambar oleh kedua tangan Mauw Siauw Mo-li, ditariknya ke atas pembaringan.
Di luar jendela kamar itu, Ang Tek Hoat berdiri dan tersenyum. Tangannya memegang segulungan pakaian, pakaian Mauw Siauw Mo-li yang diam-diam dibawanya keluar tadi. Ketika tadi dia dibelai dan dirayu oleh wanita itu, hampir saja dia terseret dan tenggelam. Akan tetapi, suara mengerang seperti kucing itu menyadarkannya bahwa dia berada dalam pelukan Siluman Kucing! Maka timbullah akalnya untuk mempermainkan wanita ini. Dia pura-pura hendak ke belakang, akan tetapi diam-diam dia menambah minyak dalam api berahi itu dengan bersikap manis dan memberi ciuman, dan disambarnya semua pakaian Mauw Siauw Mo-li, dibawa keluar. Setelah tiba di luar kamar, Tek Hoat mempergunakan kepandaiannya, mendatangi kamar pelayan berwajah bopeng dan buruk sekali itu. Pelayan ini masih belum tidur dan menjadi terkejut ketika tiba-tiba pintunya terbuka dan pemuda yang dilayaninya tadi berdiri di situ.
"Sssttttt.... Paman, cepat kau ikut aku!"
Pelayan itu mengenal Tek Hoat sebagai tamu yang royal dengan hadiah, akan tetapi juga galak, maka dia cepat turun dari pembaringan.
"Ada apa, Kongcu?"
"Kau mau.... eh, bermain dengan seorang wanita cantik? Lebih cantik dari Kim Lian tadi?"
"Aihhh, jangan main-main, Kongcu. Orang seperti saya mana ada uang untuk...."
"Tak usah bayar, aku sudah membayarnya. Aku lelah, dan kauwakili aku, tapi diam-diam saja jangan keluarkan suara, ya? Kau harus begini...." Tek Hoat berbisik-bisik di dekat telinga pelayan itu yang membelalakkan mata, terkekeh dan mengangguk-angguk.
Dengan tergesa-gesa, pelayan itu ditarik oleh Tek Hoat sampai ke depan pintu kamarnya, dalam keadaan tidak berpakaian sama sekali! Kemudian, setengah didorong, pelayan itu memasuki kamarnya yang gelap dan pelayan itu segera disambut oleh kedua lengan Mauw Siauw Mo-li yang mulus dan tubuhnya yang hangat. Mauw Siauw Mo-li sedang terbakar nafsu berahi, dalam gelap itu mana dapat membedakan orang? Apalagi, nafsu berahi, seperti nafsu lain, hanyalah merupakan permainan dari dirinya sendiri belaka. Jika nafsu berahi telah berkobar, bantuan dari luar untuk pemuasan nafsu tidaklah merupakan hal yang mutlak penting.
Apalagi semua indera dari Mauw Siauw Mo-li seolah-olah telah menjadi tumpul dan buta sehingga dia tidak lagi dapat membedakan orang dan di dalam gelap itu, dia segera menggelut pelayan bopeng yang merasa terkejut, heran, juga amat girang karena dia seolah-olah menjadi seperti seorang kelaparan yang diberi hidangan lezat dan banyak sehingga dia pun makanlah dengan lahap dan rakusnya! Dari luar jendela, Tek Hoat tersenyum mendengar erangan seperti kucing itu, dan bisikan-bisikan yang menyatakan kagum dan pujian terhadap dirinya oleh Mauw Siauw Mo-li. Maka dia lalu meloncat pergi sambil tersenyum lebar. Mudah-mudahan saja besok Mauw Siauw Mo-li akan sadar bahwa cinta tidak dapat dipaksa-paksakan, pikirnya. Kini ber kurang rasa bencinya terhadap Mauw Siauw Mo-li. Dia tahu bahwa wanita itu telah menjadi hamba dari nafsu berahinya, yang merupakan semacam penyakit yang mendalam sehingga selama hidupnya, wanita itu akan menjadi tersiksa oleh penyakit itu, hidupnya tidak akan dapat tenteram, nafsu berahinya seperti api yang berkobar dan makin lama makin berkobar, membara dan membakar segala-galanya tanpa pernah mengenal kepuasan. Dalam diri wanita itu seperti telah dicengkeram oleh racun yang amat dahsyat!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah kegelapan dalam kamar terusir oleh sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui lubang-lubang di atas jendela, terdengar teriakan panjang mengerikan dari dalam kamar Tek Hoat. Teriakan ini keluar dari mulut pelayan bopeng, disusul oleh suara maki-makian yang marah dari Mauw Siauw Mo-li. Ketika wanita ini terbangun dan mendapatkan dirinya dalam pelukan seorang laki-laki yang berwajah buruk sekali, dia menjerit dan melemparkan pelayan itu dengan sekali gerakan saja ke atas lantai! Pelayan itu terkejut dan berteriak, akan tetapi teriakkannya memanjang mengantar nyawanya ketika Mauw Siauw Mo-li sudah meloncat dan sekali tangannya terayun, pelayan itu roboh dengan kepala pecah! Mauw Siauw Mo-li mencari pakaiannya dan ketika melihat bahwa pakaiannya hilang, dia memaki-maki dengan kemarahan meluap-luap. Tahulah dia bahwa dia telah dipermainkan oleh Ang Tek Hoat! Dua titik air mata meloncat keluar dari matanya, akan tetapi kini kemarahannya mengatasi kekecewaannya dan dia memaki-maki dan menendang, membanting dan menghancurkan seisi kamar itu.
"Tek Hoat keparat! Jahanam besar kau! Kubunuh kau....!"
Tiba-tiba pintu kamar itu terketuk orang keras-keras dari luar dan terdengar suara ribut-ribut. Itu adalah suara para pelayan lain, dan para pengurus rumah penginapan dan para tamu yang mendengar teriakan mengerikan tadi. Mauw Siauw Mo-li terkejut dan bingung. Dia telanjang bulat!
"Braaaaakkkkk....!" Pintu dijebol banyak orang dari luar. Melihat ini, Mauw Siauw Mo-li terpaksa meloncat keluar dari jendela dalam keadaan telanjang bulat. Akan tetapi, ternyata di luar jendela telah banyak orang pula, bahkan ada petugas keamanan mengurung tempat itu. Tentu saja semua ini adalah perbuatan Tek Hoat yang memberi tahu orang-orang dan petugas itu bahwa di dalam kamarnya terdapat siluman yang suka membunuh orang!
Beberapa orang yang melihat wanita cantik jelita dan telanjang bulat itu menjadi terkejut, akan tetapi ketika melihat pelayan bopeng rebah di atas lantai berlumur darah mukanya dan telah tewas, mereka menjadi marah.
"Tangkap siluman!"
"Dia membunuh orang!"
"Bunuh saja dia! Awas, hadang dia, jangan sampai kabur!"
Banyak orang menyerbu ke dalam kamar, akan tetapi tentu saja dengan sekali gerakan Mauw Siauw Mo-li telah berhasil merobohkan beberapa orang, kemudian dia menerobos keluar jendela, menendang dan memukul roboh mereka yang berani menghalanginya dan dengan beberapakali lompatan di atas genteng-genteng rumah orang, lenyaplah wanita telanjang bulat yang cantik itu!
Tentu saja peristiwa itu menjadi "dongeng"' yang banyak diceritakan orang yang rnenganggap bahwa wanita cantik itu pasti benar-benar siluman! Kalau manusia, mana mungkin ada seorang wanita yang demikian cantiknya suka bermain cinta dengan seorang laki-laki yang demikian buruknya seperti pelayan itu, yang selain buruk, juga sudah setengah tua dan miskin? Dan pelayan itu dibunuhnya. Siapa lagi wanita itu kalau bukan siluman?
Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li menjadi marah dan sakit hati sekali terhadap Tek Hoat. Akan tetapi ke manakah dia harus mencari Tek Hoat? Pemuda itu sudah pergi jauh, dan selain itu, andaikata dia dapat bertemu dengan pemuda itu, apa yang dapat dia lakukan terhadapnya? Dia tahu bahwa Tek Hoat memiliki kepandaian yang amat tinggi dan dia tidak akan menang melawan pemuda itu. Ingin dia menangis kalau mengingat betapa dia gagal mendapatkan diri pemuda itu. Bagaikan sepotong daging, pemuda itu sudah berada di dalam mulutnya, tinggal menelannya saja, akan tetapi daging itu terloncat keluar dari dalam mulutnya dan dia bukan hanya gagal mendapatkannya, bahkan sebaliknya dia dipermainkan! Hatinya sakit sekali dan dalam keadaan seperti ini, Mauw Siauw Mo-li berjanji dalam hati sendiri untuk mencari jalan agar kelak dia dapat membalas penghinaan itu.
******
Lereng Bukit Tai-hang-san memiliki pemandangan alam yang amat indah. Terutama sekali di lereng gunung di mana berdiri Kuil Kwan-im-bio itu. Sungguh bagian lereng gunung ini merupakan tempat yang subur sekali tanahnya karena sumber air di dekat puncak mengalir melalui lereng ini. Segala macam tanaman rempah-rempah yang mengandung khasiat pengobatan dan racun ampuh dan bunga-bunga indah dan aneh-aneh yang tidak terdapat di daerah lain. Mungkin terpengaruh oleh cara hidup para nikouw (pendeta wanita) yang mendiami Kuil Kwan-im-bio itu, cara hidup penuh ketenteraman, ketenangan dan kedamaian, maka para penduduk di dusun-dusun sekitar daerah lereng ini pun hidup tenteram dan tenang. Bahkan binatang-binatang hutan yang terdapat di lereng itu, burung-burung yang berkembang biak dengan amannya, kelihatan jinak dan tidak takut kepada manusia karena manusia yang tinggal di sekitar daerah itu tidak pernah ada yang mengganggu mereka.
Kuil Kwan-im-bio yang berada di lereng itu dipimpin oleh Kim Sim Nikouw, seorang pendeta wanita yang lemah lembut dan manis budi, yang dikenal oleh seluruh penduduk pegunungan itu sebagai seorang pendeta yang suka menolong mereka yang sedang dilanda kesusahan, dikenal sebagai seorang ahli pengobatan dan juga seorang yang biarpun kelihatan lemah namun sesungguhnya merupakan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga tidak ada orang jahat pernah berani mencoba-coba untuk mengganggu daerah
itu. Akan tetapi, Kim Sim Nikouw tidak pernah mau memperlihatkan kepandaiannya, apalagi untuk berkelahi, bahkan dia selalu mengalah dan bersikap manis terhadap siapapun juga sehingga banyak orang jatuh olehnya bukan dengan kekerasan atau kepandaian silat, melainkan oleh sikapnya yang manis budi. Kejatuhan seperti ini bukan merupakan kejahatan yang mengandung dendam dan sakit hati, sebaliknya malah kejatuhan seperti ini mengandung daya tarik yang membangkitkan rasa sayang di dalam hati semua orang terhadap nikouw tua ini.
Usia Kim Sim Nikouw sudah mendekati enam puluh tahun namun wajahnya masih nampak berkulit halus dan kemerahan, tanda sehat dan segar, masih jelas nampak bekas kecantikan wajahnya. Memang nikouw ini dahulu adalah seorang wanita yang amat cantik dan tangkas. Dan ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali karena dia bukan lain adalah bekas suci dari Pendekar Super Sakti yang kini menjadi Majikan Pulau Es (baca cerita Pendekar Super Sakti). Biarpun nikouw ini kelihatan lemah dan manis budi, namun sesungguhnya di waktu mudanya dia pernah menjadi murid seorang datuk kaum sesat yang bertangan kejam sekali. Bahkan nikouw ini memiliki pula pukulan yang dinamakan Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), di samping tenaga dingin Swat-im Sin-kang yang amat mujijat. Akan tetapi, belum pernah ada orang yang menyaksikan nikouw itu mempergunakan pukulan mengerikan dan tenaga mujijat itu, kepandaian yang oleh nikouw itu sendiri tidak disukainya. Akan tetapi yang pernah nampak oleh orang lain adalah kepandaian berlari cepat dari nikouw ini. Kim Sim Nikouw selama puluhan tahun telah menciptakan ilmu meringankan tubuh yang amat hebat sehingga dia dapat berlari seperti terbang cepatnya dan kedua kakinya seolah-olah menginjak ujung rumput-rumput di atas tanah. Ilmu ciptaannya ini adalah Ilmu Jouw-sang-hui-eng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) dan ada pula gerakan-gerakan yang luar biasa cepatnya dan yang diberinya nama Ilmu Sin-ho Coan-in (Bangau Sakti Terjang Awan).
Sikap dan sifat Kim Sim Nikouw memang membuat dia pantas sekali menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio, karena dewi yang dipuja-puja di kuil itu sendiri, yaitu Kwan Im Pouwsat, adalah dewi lambang dari kebijaksanaan dan belas kasih, penolong dan pengampun. Murid-muridnya, yaitu para nikouw yang berada di kuil itu, semua tunduk kepadanya, taat bukan karena takut melainkan karena mencinta pendeta wanita ini. Dan para nikouw itu hanya menjadi muridnya dalam hal keagamaan saja. Satu-satunya nikouw yang menjadi muridnya dalam hal ilmu silat hanyalah seorang, yaitu Liang Wi Nikouw yang usianya malah lebih tua dari padanya! Liang Wi Nikouw telah berusia enam puluh lima tahun sedangkan Kim Sim Nikouw kurang lebih enam puluh tahun!
Akan tetapi, semenjak beberapa bulan ini, Kim Sim Nikouw membawa pulang seorang dara remaja yang usianya baru delapan belas tahun, seorang dara yang bersikap lemah lembut, berwajah cantik dan gerak-geriknya halus. Dara ini bukan lain adalah Phang Cui Lan, puteri mendiang kepala kampung Cian-li-cung di dekat Lok-yang, dara yatim piatu yang hidup sebatangkara dan yang pernah menjadi dayang atau pelayan dari keluarga Gubernur Ho-nan. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, dayang yang muda dan cantik ini, biarpun merupakan seorang wanita lemah, namun dia memiliki keberanian yang amat mengagumkan dan dengan cara luar biasa dia telah berhasil menyelamatkan Gubernur Ho-pei dari ancaman bahaya ketika Gubernur Ho-pei ini tertawan oleh Gubernur Ho-nan yang hendak memberontak. Dan telah dituturkan pula betapa Cui Lan diangkat anak oleh Gubernur Ho-pei dan diajak pulang ke Ho-pei. Akan tetapi di tengah jalan, Cui Lan bertemu kembali dengan satu-satunya, pria yang dipujanya dan yang diam-diam dicintanya, yaitu Siluman Kecil yang bertanding melawan kakek pembawa suling emas.
Sikap Siluman Kecil yang tidak mempedulikannya, membuat hati dara ini hancur dan terluka. Kembali terbukti betapa cinta kasih yang sesungguhnya bukan cinta kasih murni melainkan cinta kasih yang mengikat, yang mengandung pamrih, yang disebut cinta kasih akan tetapi sebenarnya hanya merupakan pengejaran kesenangan diri pribadi, selalu pasti mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan! Betapa banyak terjadi di dalam dunia ini cinta-cinta yang mendatangkan korban tak terhitung banyaknya dan bermacam-macam lika-likunya. Cinta seperti itu yang mendatangkan korban di antara manusia telah terjadi semenjak ribuan tahun, sedang terjadi pula sekarang ini dan mungkin akan terus terjadi selama manusia tidak menyadari betapa palsunya cinta kasih seperti itu. Betapa banyaknya kaum muda- mudi yang saling tertarik, bersumpah saling mencinta ketika mereka masih diombang-ambingkan oleh pengejaran untuk menyenangkan dirinya sendiri itu. Kemudian, setelah datang badai berupa sesuatu yang membuat hati mereka tidak senang, lunturlah cinta kasih itu, bahkan tidak jarang cinta mereka berubah menjadi kebencian! Cinta kasih macam itu tak dapat tiada tentu akan mendatangkan kepahitan, patah hati, kekecewaan, kebosanan, cemburu, dan sebagainya. Karena cinta kasih seperti itu isinya penuh dengan pamrih dan harapan, bayangan untuk kesenangan pribadi, maka apabila ternyata bahwa cinta kasih itu tidak mendatangkan kesenangan lagi, bahkan merugikan dan menyakitkan, cinta kasih itu berubah menjadi penderitaan dan kesengsaraan batin.
Demikian pula dengan Phang Cui Lan. Dia mencinta Siluman Kecil, cinta yang didorong oleh rasa kagumnya terhadap Siluman Kecil yang pernah menolongnya. Cintanya berselubung harapan agar dia menjadi milik pria itu, agar pria itu membalas cintanya, agar dia selalu dapat berdampingan dengan pria itu karena hal ini akan amat menyenangkan hatinya. Demikianlah gambaran yang diharap-harapkannya. Oleh karena itu, karena melihat kenyataan betapa pendekar yang dipujanya itu sama sekali tidak mempedulikannya, sama sekali tidak menerima apalagi membalas cintanya, Phang Cui Lan mengalami pukulan batin yang hebat dan yang membuatnya merana. Untung baginya bahwa dalam keadaan itu dia bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang menaruh kasihan kepadanya dan mengajak dara itu tinggal di kuilnya.
Kim Sim Nikouw merasa tertarik dan sayang kepada Cui Lan, karena dia melihat persamaan nasib antara dia dan dara itu. Dia sendiri di waktu mudanya juga mengalami patah hati yang amat membuatnya sengsara, yaitu ketika cintanya terhadap Pendekar Super Sakti tidak berhasil membuat dia berjodoh dengan pendekar itu. Dia pun pernah mengalami derita batin karena cinta gagal, maka kini menyaksikan keadaan Cui Lan, timbul rasa iba di dalam hatinya. Dara itu pun seorang yang yatim piatu seperti dia, dan gagal pula dalam cintanya. Dulu dia gagal dalam cintanya terhadap Pendekar Super Sakti dan kini Cui Lan gagal terhadap putera pendekar itu.
Hati Cui Lan banyak terhibur dan terobati setelah dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Bahkan dara ini yang telah mengalami banyak hal-hal pahit dan maklum bahwa sebagai seorang wanita muda yang lemah dia terancam oleh berbagai kejahatan di dunia ramai, kini mulai mempelajari ilmu silat dari ketua Kwan-im-bio itu di samping menerima wejangan-wejangan kebatinan yang dapat dia pergunakan untuk mengatasi penderitaan batinnya.
Akan tetapi, bukan hanya menjadi maksud hati Kim Sim Nikouw untuk sekedar mengobati luka di hati Cui Lan, agar dara itu dapat melupakan kedukaannya dan melupakan Kian Bu. Sama sekali tidak! Nikouw ini melihat kenyataan bahwa menghibur hati yang sengsara dengan cara memaksa diri menjadi nikouw bukanlah merupakan jalan yang baik, karena dia sendiri sudah merasakan betapa sampai sekarang pun hatinya kadang-kadang terluka dan perih kembali! Oleh karena itu, dia tidak ingin melihat Cui Lan mencontoh perbuatannya. Tidak, Cui Lan adalah seorang dayang amat cantik dan baik, hal ini sudah diketahuinya benar selama beberapa hari saja setelah dara itu ikut bersamanya. Dara ini baik sekali, cukup baik dan cukup berharga untuk menjadi mantu Pendekar Super Sakti! Karena itu, diam-diam dia akan turun tangan, dia yang akan menjadi wali dan wakil orang tua dara ini untuk menjodohkan Cui Lan dengan Kian Bu!
Cui Lan sendiri hanya dapat menduga-duga saja siapakah sebenarnya nikouw yang kini menjadi gurunya ini. Dia hanya tahu bahwa nikouw ini bersama Kim Sim Nikouw dan menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio, akan tetapi dia tidak tahu apa hubungan nikouw ini dengan Siluman Kecil. Dia mendengar ketika dia mengintai bersama Hwee Li betapa Siluman Kecil menyebut nikouw ini "ibu". Akan tetapi dia tidak berani menanyakan kepada subonya.
Pada suatu hari, setelah kurang lebih tiga bulan dia berguru kepada Kim Sim Nikouw, dan untuk ke sekian kalinya dia mengajukan permintaan agar diterima menjadi nikouw karena di dunia baru ini dia merasa seperti menemukan ketenteraman batin. Kim Sim Nikouw kembali menolaknya dan berkata kepada dara yang berlutut di depannya itu.
"Cui Lan, ketahuilah bahwa engkau tidak berjodoh untuk menjadi pendeta."
Cui Lan mengangkat mukanya yang tadi menunduk dan memandang kepada subonya dengan sinar mata penuh permohonan. "Akan tetapi, Subo. Teecu telah merasa tenteram dan senang hidup sebagai seorang pendeta. Apakah Subo hendak mengatakan bahwa teecu masih terlalu kotor untuk menjadi nikouw?"
"Omitohud....! Sama sekali tidak demikian muridku."
"Kalau begitu, kenapakah, Subo? Harap Subo suka memberi penerangan kepada teecu."
"Engkau ingin tahu mengapa aku melarangmu menjadi nikouw, Cui Lan? Karena.... karena pinni menyayangmu seperti anak sendiri, karena pinni tidak ingin engkau yang begini muda menyia-nyiakan hidupmu dan tidak menikmati hidupmu. Karena pinni tidak ingin engkau menjadi korban dari cinta gagal yang akan membuat hidupmu selalu merana dan sengsara, biarpun hal itu akan kau tutupi dengan jubah pendeta sekalipun!"
Wajah Cui Lan berubah, agak pucat ketika dia memandang kepada nikouw itu dengan sinar mata terbelalak. "Apa.... apa maksud Subo....?"
Nenek itu memandang kepada muridnya dengan sepasang matanya yang bersinar lembut namun tajam dan agaknya dapat menjenguk isi hati yang dipandangnya, "Cui Lan, engkau masih mencinta Siluman Kecil, bukan?"
Wajah Cui Lan berubah menjadi merah dan dia menunduk, akan tetapi lalu menarik napas panjang dan sampai lama baru menjawab, "Teecu.... cinta padanya dan selama hidup teecu akan tetap mencintanya, Subo. Akan tetapi apa artinya semua itu? Tidak ada gunanya dan karena itulah maka teecu mengambil keputusan untuk menggunduli kepala dan masuk menjadi nikouw saja. Harap Subo suka mengabulkan permintaan teecu ini...."
"Tahukah engkau siapa sebetulnya Siluman Kecil itu?" Cui Lan memandang gurunya. "Teecu tidak tahu, Subo. Dia.... dia diliputi penuh rahasia.... dan teecu pernah mendengar betapa dia menyebut Subo dengan sebutan ibu.... ah, bukan sekali-kali teecu bermaksud untuk menanyakan hal ini kepada Subo, teecu tidak berhak mengetahui...."
"Anak baik, engkau amat sopan dan baik. Akan tetapi jangan khawatir. Dia bukanlah puteraku sungguhpun dia kuanggap sebagai anakku sendiri dan dia pernah mempelajari beberapa macam ilmu dari pinni. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan itu, melainkan bahwa dia itu putera dari Majikan Pulau Es, putera dari Pendekar Super Sakti, dan namanya adalah Suma Kian Bu."
Cui Lan mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Dia sama sekali tidak pernah mengenal nama Pendekar Super Sakti atau Majikan Pulau Es, akan tetapi nama Suma Kian Bu tidak asing baginya, terutama she Suma itu. Kemudian dia teringat, "Ah, teecu pernah mengenal seorang pendekar perkasa yang amat berbudi dan bernama Suma Kian Lee...."
"Ehhh? Suma Kian Lee? Dia adalah kakak dari Suma Kian Bu atau Siluman Kecil!"
"Ohhhhh....!" Cui Lan terbelalak dan kini dia mengerti mengapa dia merasa kagum dan suka sekali kepada Suma Kian Lee, bukan hanya karena Kian Lee merupakan seorang pemuda tampan yang gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi sekarang dia melihat bahwa memang terdapat persamaan antara kedua orang pemuda itu! Banyak sekali persamaan malah. Memang wajah mereka agak berbeda, memiliki ketampanan masing-masing, akan tetapi kini nampak olehnya bahwa memang terdapat persamaan yang kuat sekali,
entah di dalam sinar matanya, atau dalam sikap mereka yang gagah.
"Dan ketahuilah bahwa pinni adalah sahabat baik dari ayah mereka. Pendekar Super Sakti. Bukan hanya sahabat baik sekali, Cui Lan, bahkan dia itu dahulu adalah suteku sendiri. Pinni menganggap Kian Bu sebagai anak sendiri dan pinni melihat engkau memang pantas menjadi jodohnya, Cui Lan...."
"Subo.. ..!" Cui Lan menjerit dan mukanya berubah makin merah. "Dia.... dia tidak suka kepada teecu....!"
"Ah, mana mungkin ada orang tidak suka kepadamu, Cui Lan? Dan anakku Kian Bu itu bukanlah pembenci orang."
"Akan tetapi dia.... dia.... agaknya tidak dapat menerima perasaan teecu, Subo." Dia berhenti sebentar. "Dia.... tidak mencinta teecu.... tidak mungkin dia sudi berjodoh dengan, teecu."
"Jangan khawatir, muridku. Aku cukup mengenal anakku Kian Bu. Bukannya dia tidak mencintamu, akan tetapi mungkin ada hal lain yang membuat dia agaknya sengaja menjauhimu. Akan tetapi, biarlah pinni yang akan menemuinya dan kalau perlu pinni yang akan membicarakan urusan perjodohan antara engkau dan Kian Bu dengan ayahnya, Pendekar Super Sakti. Kalau pinni yang bicara, pinni yakin akan ada perhatian dari keluarga mereka."
Tiba-tiba Cui Lan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya, air mata yang terdorong oleh bermacam perasaan. Ada kesedihan, ada keharuan, akan tetapi juga ada kegirangan yang timbul oleh harapan baru. Hampir dia tidak percaya bahwa dia kelak akan dapat menjadi jodoh Siluman Kecil. Akan tetapi siapa tahu? Nasibnya berada di tangan subonya. Dia lalu memberi hormat sampai dahinya menyentuh lantai. "Subo.. .. teecu menyerahkan mati hidup teecu di tangan Subo, dan teecu hanya akan mentaati segala perintah Subo...."
Kim Sim Nikouw menarik napas panjang dan menggerakkan tangannya, dengan lembut dia mengusap rambut kepala muridnya itu. Tak lama kemudian dia berkata, "Aihhh, betapa cinta kasih di dunia ini mendatangkan banyak korban di antara manusia! Pinni akan berusaha sungguh-sungguh, Cui Lan, karena pinni tidak menghendaki engkau mengalami nasib seperti wanita-wanita yang gagal dalam bercinta sehingga akhirnya hidup menderita selamanya. Pinni sendiri telah menemui kebahagiaan dalam penghambaan diri kepada Pouwsat, akan tetapi betapa banyaknya orang yang hanya menggunakan agama sebagai pelarian belaka? Apalagi kalau pinni teringat kepada sucimu Yan Hui.... hemmm, pinni merasa ngeri...." Wajah nikouw itu menjadi muram ketika menyebut nama Yan Hui itu.
Cui Lan yang telah mereda keharuannya dan telah mengusap air matanya itu memandang subonya, hatinya tertarik. "Subo, siapakah Suci (Kakak Seperguruan) yang bernama Yan Hui itu?" tanyanya.
Kembali Kim Sim Nikouw menarik napas panjang. "Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lalu, pinni belum mendidik Liang Wi Nikouw sucimu itu sebagai murid, pinni tadinya tidak berniat untuk menurunkan ilmu silat kepada siapapun karena pinni menganggap bahwa ilmu silat hanyalah ilmu yang dipergunakan orang untuk menunjukkan kekerasan belaka.
Akan tetapi pada suatu hari, pinni bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi dan dia pinni temui hampir membunuh diri di dalam kamar kuil ini ketika pada suatu malam dia bermalam di sini. Pinni mencegah dia membunuh diri dan memutuskan tali penggantung lehernya. Dara itu bernama Ouw Yan Hui, cantik jelita dan berilmu tinggi. Melihat betapa pinni menggagalkan maksudnya membunuh diri, setelah dia siuman kembali, dia menjadi marah dan menyerang pinni. Kami bertanding dan ternyata ilmunya memang hebat! Kalau saja pinni tidak memiliki ilmu ginkang yang telah pinni latih secara tekun sekali sehingga dalam hal kecepatan pinni dapat mengatasinya, agaknya pinni tidak akan menang menghadapinya." Sampai di
sini nikouw itu berhenti dan memejamkan mata mengingat-ingat.
"Akan tetapi pinni tidak mau melukai orang, apalagi membunuh orang. Maka perlahan-lahan pinni menasihatinya dengan pelajaran agama dan akhirnya dia sadar dan insyaf, lalu dia menangis dan berlutut mohon menjadi murid pinni. Seperti juga engkau, dia ingin menjadi nikouw, akan tetapi pinni yang melihat ada ganjalan hati yang membuatnya keras luar biasa, tidak mau menerimanya, hanya menerimanya sebagai murid. Pinni mengajarkan ginkang itu kepadanya dan ternyata dia berbakat sekali. Dalam waktu tiga tahun saja ginkangnya bahkan sudah melampaui tingkat pinni sendiri!"
"Ah, dia tentu hebat....!" Cui Lan berseru kagum.
"Memang dia hebat! Yan Hui seorang wanita yang hebat sekali. Akan tetapi dia pun menjadi rusak oleh patah hati karena cinta gagal!"
"Ohhh....!" Cui Lan berseru kaget dan kasihan.
"Sebetulnya dia sudah bersuami dan dia amat mencinta suaminya itu. Akan tetapi, selagi dia mengandung tua, suaminya itu menyeleweng dan dia menangkap basah suaminya yang berjina dengan seorang gadis tetangganya. Yan Hui tidak mampu menahan kemarahannya dan dia membunuh suaminya dan gadis itu, menjadi buronan dalam keadaan mengandung tua. Dengan sengsara dia melarikan diri, melahirkan anak seorang diri di dalam kuil tua dan anak itu mati ketika dilahirkan. Dia sendiri hampir saja mati, dan biarpun akhirnya dia dapat memulihkan kembali kesehatannya, namun hatinya telah terluka. Dalam keadaan seperti itulah pinni bertemu dengan dia, ketika dia hendak membunuh diri."
Cui Lan makin tertarik. "Sungguh kasihan sekali dia Subo, di mana sekarang adanya suci itu?"
Kim Sim Nikouw menghela napas panjang. "Dia tinggal di Pulau Ular Emas, di mana dia hidup sebagai seorang ratu yang amat mewah. Dia berhasil menemukan harta pusaka yang disimpan kaum bajak jaman dahulu di pulau itu. Aihhh.... sungguh menyedihkan. Dia menjadi seorang wanita yang mabuk oleh dendam, menjadi pembenci kaum pria.... menyedihkan sekali, dia berubah menjadi seorang yang kejam, seperti iblis. Pinni tidak berdaya, karena dengan ginkang yang sudah melebihi pinni tingkatnya, mana pinni mampu menghadapinya? Kiranya, hanya Kian Bu saja yang akan sanggup menghadapi sucimu itu.... ah, sudahlah, hati pinni merasa tidak enak kalau membicarakan sucimu Yan Hui itu karena pinni merasa betapa pinni telah menambah sayap pada seekor harimau betina yang haus darah! Karena itulah, Cui Lan, maka pinni tidak ingin melihat engkau menjadi seorang wanita yang putus asa karena cinta gagal. Pinni akan berusaha agar engkau dapat berjodoh dengan Kian Bu karena pinni yakin bahwa baik engkau maupun Kian Bu kelak akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia."
"Teecu merasa amat berterima kasih atas budi kecintaan Subo kepada teecu," jawab Cui Lan dan semenjak percakapan itu, dara ini berlatih makin tekun dan wajahnya mulai berseri karena timbul harapan baru dalam hatinya.
******
Gadis itu memang cantik bukan main. Bukan hanya wajahnya yang cantik jelita dengan raut muka yang sempurna, kulitnya berwarna putih kemerahan, terutama sekali di kedua pipinya dan dahinya yang halus seperti lilin diraut, akan tetapi juga tubuhnya yang tinggi ramping itu amat lemas dan memiliki kepadatan dan lekuk lengkung yang tidak dapat disembunyikan oleh pakaiannya yang serba indah. Aneh sekali melihat seorang dara cantik jelita berjalan seorang diri memasuki hutan itu, dengan tangan kiri memegang gagang payung yang terbuka dan yang melindunginya dari sengatan matahari yang terik itu. Setelah memasuki hutan yang penuh pohon dan teduh sekali, dia menurunkan payungnya, menutup payung itu dan mengempitnya di ketiak lengan kiri tanpa menunda langkahnya yang satu-satu dan yang membuat tubuhnya melenggang-lenggok dengan patutnya. Memang seorang dara yang cantik manis dan menggairahkan. Akan tetapi pada wajah yang manis itu terbayang kemurungan hati.
Memang hati Siang In, gadis itu, sedang murung. Sudah lama sekali dia berputar-putar mencari jejak Syanti Dewi tanpa hasil! Dia merasa bertanggung jawab atas hilangnya Puteri Bhutan itu, karena sesungguhnya dialah yang membantu puteri itu melarikan diri dari istana Kerajaan Bhutan. Akhir-akhir ini dia mendengar bahwa jejak puteri itu menuju ke pantai Po-hai, akan tetapi telah berhari-hari dia mencari-cari di seluruh pantai, tetap saja tidak ada hasilnya.
Dalam perantauannya mencari jejak Syanti Dewi yang kini lenyap seperti ditelan bumi itu, Siang In banyak mendengar tentang keributan dan pergolakan di tapal batas Propinsi Ho-nan. Dia mendengar pula tentang peristiwa yang menimpa diri Pangeran Yung Hwa, betapa pangeran itu tertolong dari Ho-nan oleh pendekar yang namanya dia dengar di mana-mana, yaitu Siluman Kecil. Ketika dia mendengar penuturan orang-orang kang-ouw di sepanjang perjalanan bahwa Siluman Kecil adalah seorang pemuda lihai sekali yang rambutnya sudah putih semua, dia teringat akan pemuda yang bertanding melawan kakek raksasa botak bermantel merah yang amat lihai itu. Teringat dia ketika dia membantu pemuda itu karena melihat betapa kakek raksasa itu mempergunakan ilmu sihir dalam pertandingan. Jadi pemuda itukah yang berjuluk Siluman Kecil dan yang namanya amat terkenal di seluruh tapal batas propinsi, bahkan, terdengar pula sampai ke tempat-tempat terpencil di pantai Po-hai? Dia merasa kagum. Memang, dia teringat betapa pertandingan itu membuktikan akan kelihaian pemuda rambut putih itu. Dan kini dia mengerti bahwa lawan pemuda itu adalah Ban Hwa Seng-jin, koksu dari Nepal!
Dunia begini kacau, pikirnya. Pembesar-pembesar melakukan pergolakan, pemberontakan. Tokoh-tokoh dunia hitam seperti iblis-iblis merayap keluar dari gua-gua tempat persembunyian mereka untuk mendatangkan kekacauan dan mengail di air keruh. Dalam keadaan sekacau ini, tentu saja makin sukarlah untuk mencari Syanti Dewi. Dia makin murung. Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia yang mengajak dan membantu puteri itu minggat dari Bhutan, tentu dia tidak akan peduli lagi, tidak mau melanjutkan penyelidikannya mencari Syanti Dewi. Karena Syanti Dewi, maka dia sampai mengesampingkan urusannya sendiri, yaitu mencari pemuda yang selama ini selalu merupakan gangguan dalam hatinya, dalam perasaannya, merupakan duri dalam daging. Pemuda yang kadang-kadang menimbulkan rasa gemas sampai benci, kadang-kadang menimbulkan rasa gembira, malu sampai terasa bahagia, pemuda yang pernah menciumnya! Suma Kian Bu! Dia terpaksa mengesampingkan pencariannya terhadap pemuda itu karena urusan Syanti Dewi.
Apalagi ketika dia yang sudah hafal akan keadaan pantai Po-hai itu mencari-cari tanpa hasil, kemudian malah mendapatkan Gua Tengkorak, tempat pertapaan gurunya di pantai Po-hai juga kosong dan tidak ada pesan apa pun dari gurunya, hatinya makin menjadi murung, sungguhpun pada wajah yang cantik jelita dan manis, itu tidak pernah kelihatan kegembiraan, sikapnya selalu lincah berseri, penuh kegembiraan, sikapnya selalu lincah jenaka, bibirnya selalu tersenyum sehingga sukarlah membayangkan wajah seperti ini berduka atau muram.
Satu-satunya yang membuktikan betapa murung hati dara ini adalah cara dia melakukan perjalanan itu. Sama sekali dia tidak mempedulikan kanan kiri, bahkan tidak lagi mempedulikan ke mana kakinya melangkah dan sama sekali dia tidak pernah berhenti melangkahkan kaki memasuki hutan itu. Sampai matahari telah jauh condong ke barat, sinarnya tidak lagi dapat menembus daun-daun pohon sehingga keadaan dalam hutan mulai gelap sampai kedua kakinya terasa amat lelah dan perutnya lapar, barulah dara ini merasa betapa sejak pagi tadi dia belum makan apa-apa!
"Uhhh....!" Dia melempar payungnya ke atas rumput di bawah pohon besar, diikuti oleh pinggulnya yang mendarat dengan lunaknya ke atas rumput tebal dan Siang In sudah merebahkan diri di atas rumput berbantal kedua lengannya, matanya menerawang daun-daun yang masih menguning tertimpa sinar matahari senja.
Perhatiannya segera tercurah kepada suara burung-burung yang bercuitan, burung-burung yang berkelompok datang beterbangan di atas pohon itu, hingga di ranting-ranting dan dahan-dahan, bersahutan-sahutan kemudian tiba-tiba mereka terbang pergi. Suara sayap mereka terdengar nyata dan sebentar saja mereka sudah jauh, hanya terdengar suara mencicit mereka lapat-lapat. Akan tetapi tak lama kemudian burung-burung itu datang lagi memenuhi pohon. Agaknya mereka masih sangsi dan terkejut melihat ada manusia di bawah pohon yang menjadi tempat mereka bermalam itu.
Tiba-tiba Siang In membuat gerakan cepat dan tubuhnya yang tadi rebah terlentang itu, tahu-tahu sudah meloncat dan bangkit duduk, alisnya berkerut dan pendengarannya dicurahkan kepada suara yang sayup sampai dihembus angin lalu. Demikian penuh perhatian dia akan suara itu sehingga andaikata dia seekor kelinci, tentu daun telinganya bergerak-gerak. Suara orang! Ada orang di tempat sunyi ini, di waktu matahari mulai terbenam! Tentu hal ini amat mencurigakan!
Dengan langkah-langkah ringan sekali. Siang In sudah melangkah berindap-indap ke arah datangnya suara, payungnya telah dipegang gagangnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Suara itu makin jelas, suara seorang saja yang membaca sajak! Sungguh mengherankan. Di tempat sunyi seperti itu, bukan suara harimau atau monyet atau binatang buas lain yang didengarnya, melainkan suara seorang laki-laki membaca sajak! Sungguh tidak umum, tidak lumrah! Orang gila agaknya. Akan tetapi kata-katanya jelas dan lantang, dan isi kata-kata itu amat menarik hatinya, membuatnya berdiri termangu-mangu dan biarpun dia belum melihat orangnya, dia telah mendengar semua isi sajak yang diucapkannya dengan suara lantang itu.
 "Bahagia, hanya sebuah kata!
  penuh daya tarik,
  penuh rahasia dikejar, dia lari
  dicari, dia sembunyi
  makin dibutuhkan makin manja
  bahagia, hanya sebuah kata!
  Harta benda bukanlah bahagia
  nafsu berahi bukan bahagia
  dia bukan pula kebesaran nama
  bukan pula kedudukan mulia
  tak mungkin didapat melalui pengejaran
  seperti halnya kesenangan!
  Yang mengejar bahagia selamanya takkan bahagia
  yang tidak butuh bahagia adalah orang yang benar-benar bahagia
  itulah hakekat bahagia hanya sebuah kata belaka!"
Siang In bengong terlongong mendengar ini. Mimpikah dia? Di tempat seperti ini bertemu dengan seorang manusia pun sudah merupakan suatu hal yang langka, suara hal yang aneh dan andaikata bertemu orang pun, pantasnya orang itu hanyalah seorang pencari kayu, seorang pemburu binatang buas atau paling hebat juga seorang perampok! Akan tetapi, dia mendengar orang membaca sajak tentang bahagia! Dan isi kata-kata yang dirangkai seperti sajak itu amat mengesankan hatinya. Mendengar itu, dia termenung, bahkan lalu duduk di atas batu besar di tempat itu dan tak pernah pikirannya dapat melepaskan isi sajak itu. Dia seperti terkena pesona, terkena sihir oleh kata-kata itu dan tanpa disadarinya sendiri, dia pun kini termenung-menung mencari arti dari kata aneh itu. BAHAGIA! Sesungguhnya, apakah bahagia itu? Semua orang di dunia ini seolah-olah berlumba untuk mencari kebahagiaan. Bahkan segala sesuatu ditujukan ke arah pencapaian kebahagiaan itu.
"Yang mengejar bahagia selamanya tidak akan bahagia!" Demikian bunyi baris antara sajak tadi. Benarkah ini? Kalau tidak dikejar, mana bisa dapat? Untuk mendapatkan sesuatu, tentu saja harus dilalui pengejaran, demikian suara hati Siang In membantah. Orang gilakah yang membaca sajak tadi? Dia sendiri pernah membaca banyak kitab kuno, akan tetapi dia tidak pernah mendengar sajak seperti itu. Sajak orang sinting, kata-kata yang dirangkai seperti teka-teki. Teringat dia akan kitab kuno yang menceritakan tentang aliran Agama Beng yang paling suka mempermainkan katakata sebagai jembatan untuk menyelami kehidupan dan filsafatnya, misalnya "kuda putih bukanlah kuda!" "anjing putih adalah hitam", dan sebagainya. Semua itu menyimpan maksud agar kita tidak terpengaruh oleh keadaan luar seperti warna, sikap, kedudukan, harta, kepintaran dan sebagainya yang kesemuanya itu hanyalah keadaan lahiriah belaka. Kuda putih, yang penting bukanlah putihnya, melainkan anjingnya. Keadaan lahiriah itu berubah selalu, dan tidak menentukan isinya! Agar faktor bendanya, dalam hal ini tentu saja manusianya, yang penting bukan segala keadaan lahiriahnya.
Apakah pembaca sajak itu seorang di antara sisa-sisa penganut kebatinan Beng itu? Akan tetapi kabarnya kini sudah tidak ada lagi sisa pengikut aliran itu yang sudah amat kuno, yang hidup di sekitar jaman Dinasti Cou (abad ke 4 sebelum Masehi). Ataukah dia seorang tosu? Mungkin, pikir Siang In. Pendeta beragama To memang banyak aneh, dan kadang-kadang pendeta agama ini suka mengambil filsafat-filsafat lain aliran ke dalam agamanya. Betapapun juga, siapapun adanya orang itu, sungguh amat aneh dan menarik hatinya. Akan tetapi, sebagai seorang kang-ouw, Siang In juga maklum bahwa orang yang membaca sajak di dalam hutan seperti itu tentu bukan orang sembarangan, maka dia pun bersikap hati-hati, dia tidak berani muncul begitu saja memperlihatkan diri, melainkan berindap-indap mengintai dari balik sebatang pohon yang besar, sepasang matanya mencoba untuk mencari orang yang tadi bersajak dengan suara cukup jelas itu, di dalam cuaca yang remang-remang dan telah mulai agak gelap itu dia tidak dapat melihat adanya seorang pun manusia di situ. Maka dia lalu bergerak maju pula, dengan pengerahan ginkangnya sehingga daun kering yang terpijak kakinya pun tidak mengeluarkan suara, seperti langkah seekor kucing saja layaknya.
Siang In terus mencari-cari, namun ternyata dia tidak dapat menemukan orang yang tadi membaca sajak itu. Sedangkan malam mulai tiba. Bulu tengkuknya mulai meremang. Setankah yang dia dengar membaca sajak tadi? Kalau manusia, tidak mungkin dapat bergerak secepat itu dan dapat menghilang begitu saja dari pencariannya. Padahal tadi jelas terdengar suaranya tidak jauh dari tempat dia bersembunyi. Kalau bukan setan, kalau manusia, tentu manusia itu memiliki kepandaian yang hebat bukan. Dia tidak lagi melanjutkan pencariannya, mengira bahwa tentu setan atau orang itu tadi hanya lewat saja di hutan itu dan kini telah pergi jauh. Mulailah dia teringat lagi akan perutnya yang lapar ketika perutnya berbunyi. Bunyi perutnya berkeruyuk itu sampai mengagetkan hatinya, karena pada saat itu dia sedang mengerahkan seluruh perhatian pada pendengarannya.
"Ihhh, tak tahu malu!" Siang In menepuk perutnya sendiri ketika dia terkejut mendengar bunyi berkeruyuk itu. Karena menganggap bahwa di hutan itu pasti tidak ada orang lain, karena kalau ada tentu dia sudah dapat menemukannya, maka Siang In lalu mulai mencari sesuatu untuk dapat dimakan. Akan tetapi, hutan itu penuh dengan pohon liar, sama sekali tidak terdapat sebatangpun pohon yang mengeluarkan buah yang dapat dimakan. Dia mencari-cari, selain buah juga mencari binatang hutan yang dapat ditangkap dan dimakan dagingnya, namun hasilnya sia-sia belaka karena malam telah tiba dan cuaca mulai gelap.
"Sialan!" Dia memaki. "Sialan setan yang bersajak tadi!" gerutunya karena dia terpaksa harus melewatkan malam dengan perut lapar dan dia menimpakan kesalahan kepada si pembaca sajak tadi. Kalau dia tidak mencari-cari orang itu, tentu dia dapat mencari makanan selagi cuaca masih belum gelap tadi, pikirnya dengan hati kesal. Siang In lalu mencari tempat yang kering di bawah pohon, duduk dan bersandar batang pohon melepaskan lelah. Dalam keadaan sendirian di tengah hutan yang gelap itu, dengan perut menderita gigitan rasa lapar, Siang In melamun dan terkenang akan keadaan dirinya. Tiba-tiba jantungnya seperti ditusuk rasanya, rasa sedih menyelimuti hatinya.
Teringatlah Siang In akan keadaannya yang sebatangkara itu. Semenjak dia masih kecil, orang tuanya telah meninggal dunia. Dia tadinya hidup berdua dengan encinya yang bernama Teng Siang Hwa, hidup berdua di Lembah Pek-thouw-san. Akan tetapi, encinya itu tewas ketika berhadapan dengan anak buah raja liar Tambolon sehingga dia menjadi sebatangkara sampai dia bertemu dengan See-thian Hoat-su yang mengambilnya sebagai murid. Dia tidak mempunyai siapapun di dunia ini, hanya gurunya itu. Akan tetapi kakek aneh yang menjadi gurunya itu pun tidak pernah mau tinggal diam, bahkan kini pun tidak berada di tempat pertapaannya,
di Gua Tengkorak di pantai Po-hai. Entah ke mana perginya gurunya itu. Hanya ada gurunya, kakek tua itu dan.... Siang In melihat bayangan wajah di depan mata hatinya. Wajah seorang pemuda yang tampan, gagah, lincah jenaka dan suka menggoda orang. Wajah yang selama ini sering kali dijumpainya dalam mimpi. Wajah pemuda yang selama ini dicari-carinya sampai dia bertemu dengan Syanti Dewi sehingga pencariannya itu tertunda karena urusan Syanti Dewi. Wajah Suma Kian Bu, pemuda yang pernah mencium bibirnya! Semua peristiwa itu terbayang di dalam benaknya (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali) dan membuatnya merasa amat kesepian. Dia menghela napas dan memejamkan kedua matanya, ingin mengusir semua kenangan itu, akan tetapi sinar mata tajam dan nakal, senyum yang menarik dari wajah pemuda itu malah terbayang makin jelas!
Tiba-tiba Siang In membuka mata dan bangkit duduk dengan tegak, cuping hidungnya kembang-kempis seperti cuping hidung seekor kelinci. Memang hidungnya mencium bau sesuatu, bau yang sedap dan gurih, bau daging panggang!
"Kruuuyuuuuukkk....!"
"Ihhh!" Siang In menepuk perutnya yang kecil dan kosong itu. Akan tetapi dia tidak dapat mencegah air liurnya membasahi mulut. Terpaksa dia menelan ludahnya karena seleranya timbul secara tiba-tiba.
Berindap-indap dia melangkah setelah menyambar buntalan dan payungnya, menghampiri tempat dari mana dia mencium bau sedap gurih itu. Dia harus berhati-hati sekali. Biarpun kini di langit nampak bulan yang sinarnya merah kehijauan di dalam hutan itu, namun keadaan masih gelap karena lebatnya hutan itu. Hanya bau sedap itu yang menjadi penunjuk jalan. Akhirnya dia keluar dari hutan itu dan ternyata di luar hutan itu terdapat sebuah padang rumput yang luas dan nampak indah sekali karena bermandikan cahaya bulan tanpa terganggu bayangan pohon. Dan agak jauh di tengah-tengah padang itu, dia melihat api unggun di antara semak-semak dan dari sanalah datangnya bau sedap gurih tadi.
Siang In mempergunakan kepandaiannya, menyusup di antara semak-semak dan menghampiri tempat itu. Setelah dekat, dia bersembunyi di balik semak-semak bunga dan mengintai. Sinar api unggun menambah terang tempat yang sudah disinari cahaya bulan itu. Di depan api unggun duduk seorang yang rambutnya riap-riapan. Tertimpa sinar api dan sinar bulan, rambut panjang riap-riapan itu mengkilap dan seperti benang-benang perak. Wajahnya agak menunduk, memandang kepada daging paha kijang yang sedang dipanggangnya. Kembali Siang In menelan ludah. Akan tetapi dia termangu dan tidak berani bergerak. Jantungnya berdebar
tegang. Bukankah orang itu Siluman Kecil? Melihat rambut panjang riap-riapan yang keputihan itu! Pernah dia melihat Siluman Kecil, ketika pendekar aneh itu bertanding melawan seorang kakek botak yang amat lihai. Ketika itu, dia turun tangan membantu Siluman Kecil karena dia melihat kakek botak mempergunakan sihir, dan dia hanya membuyarkan ilmu hitam itu. Akan tetapi, ketika itu, dia hanya melihat Siluman Kecil dari jarak jauh dan tidak dapat melihat wajah pendekar yang amat terkenal itu dengan jelas. Benarkah orang yang berjongkok dekat api unggun dan sedang memanggang dua buah paha kijang besar gemuk itu Siluman Kecil? Siapapun adanya orang itu, tidak lagi menarik perhatian Siang In benar karena dia lagi-lagi sudah tertarik oleh gumpalan-gumpalan daging yang sedang dipanggang itu. Bibirnya sudah bergerak, mulutnya sudah hampir dibuka untuk menegur orang itu, untuk minta kebaikan orang itu agar suka membagi sedikit daging kepadanya ketika cepat Siang In menutupkan mulutnya kembali dan menahan napas. Dia melihat munculnya seorang bayangan lain, kemunculan bayangan ini sedemikian cepatnya sehingga dia merasa bulu tengkuknya meremang. Seperti setan saja yang pandai menghilang dan kini tahu-tahu menampakkan diri, demikian cepatnya gerakan orang itu. Kini sinar api unggun dari bawah menyorot ke arah muka bayangan itu dan Siang In melihat
seraut wajah wanita yang amat cantik, kemerah-merahan tertimpa sinar api unggun itu. Bayangan wajah wanita yang sukar ditaksir berapa usianya. Saking cantiknya masih kelihatan muda, namun wajah itu sedemikian penuh kematangan sehingga sudah barang tentu juga tidak bisa dikatakan muda lagi. Pakaiannya amat mewah, seperti puteri istana saja, rambutnya digelung malang melintang penuh dengan hiasan emas dan ratna mutu manikam yang gemerlapan. Akan tetapi bajunya itu berlengan besar dan
longgar seperti jubah pendeta, dan juga tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu halus dan panjang, gagangnya terbuat dari benda putih berkilauan halus, entah terbuat dari gading gajah ataukah tulang ikan besar. Yang amat mengagumkan, akan tetapi sekaligus juga menyeramkan adalah sepasang mata wanita itu. Sepasang mata itu indah sekali memang, akan tetapi di dalam keindahan itu bersembunyi kebengisan dan kekejaman luar biasa, sinar mata yang tajam seperti menusuk ulu hati dan menjenguk segala isi hati orang!
"Hai! Kamu....!" Suara wanita itu halus merdu ketika menegur laki-laki berambut riap-riapan yang sedang memanggang daging. Lagaknya demikian tinggi hati dan angkuh, seolah-olah dia seorang ratu yang sedang menegur hambanya saja. "Apakah kamu melihat lima orang lelaki bersenjata golok besar keluar dari dalam hutan ini?"
Pria yang sedang memanggang paha kijang itu masih tetap menunduk, sama sekali tidak menjawab, apalagi menjawab, mengangkat muka memandangpun tidak. Dia hanya melanjutkan pekerjaannya dan membesarkan api unggun dengan menambah kayu kering sehingga sinar api unggun makin terang, apinya makin bernyala tinggi. Namun sebagian besar muka orang itu tertutup oleh rambut putihnya yang berjuntai ke bawah sehingga sukar dikenal.
Melihat orang yang ditanya itu diam saja, berkerut sepasang alis yang hitam kecil itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar berkilat. "Heiii, laki-laki jembel, apakah kau tuli? Apakah kau gagu? Hayo jawab!" Wanita itu membentak dan hudtim di tangan kanan itu digoyang-goyangnya. Terdengar suara bersuitan dan diam-diam Siang In terkejut bukan main. Tenaga sinkang dari wanita ini hebat sekali, baru menggoyangkan sedikit hudtim itu saja sudah mengeluarkan suara bersuitan seperti itu! Dengan hati penuh ketegangan Siang In mengintai dan ingin sekali tahu apa yang akan di jawab oleh laki-laki itu, yang disangkanya adalah pendekar sakti Siluman Kecil. Akan tetapi, laki-laki yang sedang memanggang paha kijang itu sama sekali tidak mengangkat muka apalagi menjawab, hanya membolak-bolik daging yang dipanggangnya agar tidak sampai hangus, dan kini terdengar dia bernyanyi atau membaca sajak dengan suara yang berirama!
  "Siapa bicara kasar menyakitkan hati orang akan memperoleh jawaban yang kasar pula kelakuan kasar menyakitkan hati hanya akan menimpa diri sendiri! Akan tetapi si bodoh dan tolol! berbuat jahat tanpa melihat akibat seperti si tolol api akhirnya membakar diri sendiri!"
Mendengar itu, Siang In teringat akan suara orang yang pernah didengarnya membaca sajak tentang bahagia tadi. Tahulah dia bahwa orang yang tadi membaca sajak tentang bahagia adalah si pemanggang daging ini. Dua buah sajak yang dinyanyikannya sekarang ini pun bukan sajak main-main. Dia mengenalnya sebagai ujar-ujar yang terdapat dalam kitab-kitab para hwesio, dalam kitab Agama Buddha, kalau dia tidak salah ingat, dalam kitab Dhammapada bagian Hukuman.
Wanita yang memegang hudtim itu pun agaknya terkejut dan agaknya mengenal pula sajak-sajak itu maka kini dia melangkah maju dan memandang wajah orang yang tersembunyi di balik rambut putihnya. Melihat rambut putih itu, tiba-tiba wanita itu berseru, "Ah, apakah engkau ini yang dijuluki orang Siluman Kecil?"
Pria itu memang bukan lain adalah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Siluman Kecil atau Suma Kian Bu. Bahkan di istana kuno milik Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek di puncak Bukit Nelayan itu, dia bertemu dengan Ceng Ceng yang terhitung adalah keponakannya sendiri, dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, bahkan dia melihat pula munculnya Sin-siauw Seng-jin yang mewarisi kepandaian Suling Emas. Dia mendengarkan percakapan mereka itu dari sebelah dalam, dan dia merasa enggan untuk keluar, karena dia segan bertemu dengan Sin-siauw Seng-jin yang pernah menjadi lawannya. Akan tetapi, ketika dia mendengar penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi yang diculik orang, Kian Bu terkejut bukan main dan dia sudah cepat meninggalkan tempat itu tanpa pamit, hanya meninggalkan surat untuk kakaknya dan dia sudah pergi untuk mencari dan menolong Syanti Dewi, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya dan masih dicintanya itu. Dia mencari jejak Syanti Dewi di sekitar pantai Po-hai, namun dia tidak dapat menemukan jejak itu dan pada senja hari itu, setelah merobohkan seekor kijang, dia sedang asyik memanggang paha kijang ketika dia melihat munculnya wanita cantik yang angkuh dan galak itu.
Ketika mendengar pertanyaan yang nadanya meremehkan itu, Kian Bu hanya miringkan mukanya dan melirik ke atas, lalu menjawab tak acuh, seperti melayani seorang anak-anak yang mengajukan pertanyaan yang tidak penting pula, "Kalau benar, kenapa sih?"
Wanita itu mendengus dan suaranya dingin sekali ketika berkata, "Semua laki-laki di dunia ini berhati palsu dan bicaranya mengandung racun seperti ular-ular belang! Akan tetapi selama ini yang kubunuh hanyalah cacing-cacing yang tidak ada gunanya. Orang macam engkau inilah baru seekor ular sendok yang berbahaya. Aku bosan juga membunuhi cacing-cacing kotor, sekarang bertemu dengan ular jahat dan berbahaya macammu, tidak boleh terlepas dari tanganku!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan hudtimnya dan sinar putih menyambar dengan cepat dan dahsyat sekali ke arah leher Kian Bu!
"Wuuuttt....!" Kian Bu sudah cepat mengelak dan tubuhnya tidak berada lagi di depan api unggun. Dan api unggun itu seketika padam tertiup hawa pukulan kebutan itu! Melihat ini, diam-diam Siang In memandang kagum bukan main dan jantungnya berdebar. Kiranya pria itu benar Siluman Kecil adanya! Dan gerakan Siluman Kecil tadi pun luar biasa, ketika kebutan menyambar dari jarak dekat. Tubuhnya seperti dapat menghilang saja.
"Huh, agaknya engkau telah menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan (Ilmu-ilmu Bangau Sakti). Hemmm, aku sudah mendengar bahwa engkau si ular jantan ini berhasil membujuk Kim Sim Nikouw sehingga engkau dapat mencuri ilmu-ilmu itu. Wanita itu hanya mengejek dan cepat menerjang lagi. Kian Bu merasa tidak enak. Dia masih ragu-ragu apakah benar wanita ini adalah orang she Ouw seperti
yang pernah dia dengar dari ibu angkatnya. Kalau benar demikian, dia menjadi serba salah. Mau mengeluarkan jurus maut, orang ini masih terhitung saudara seperguruan dengan dia. Kalau tidak, agaknya sukar baginya memperoleh kemenangan karena wanita ini benar-benar amat lihai sekali.
Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita, suara jeritan yang hanya terdengar lapat-lapat saja karena amat jauh. Namun bagi telinga Kian Bu dan wanita itu, suara ini terdengar amat jelas. Sedangkan Siang In yang mengintai itu hampir tidak mendengarnya sama sekali.
"Huh, mengingat Kim Sim Nikouw, biarlah kutitipkan dulu kepalamu di atas lehermu!" kata wanita itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar emas yahg amat cepat menyambar ke arah leher Kian Bu. Biarpun cuaca amat gelap dan hanya diterangi oleh bulan, namun melihat kehebatan serangan hudtim itu, disamping keheranannya mengapa wanita yang tak dikenalnya ini memusuhinya dan begitu bertemu ingin membunuhnya.
Akan tetapi, wanita itu hanya menjawab dengan kebutannya yang bergerak makin dahsyat, makin lama makin cepat sehingga kini bayangan wanita itu pun tergulung sinar putih dan tidak kelihatan lagi, dan dari dalam gulungan sinar itu terdengar suaranya mendengus penuh ejekan dan kebencian, "Huh!"
"Hemmm, kalau begitu engkau adalah seekor ular betina! Baik, kau ingin mengadu ilmu? Nah sambutlah!" Kian Bu kini tidak lagi mau mengalah dan cepat dia menggerakkan rantingnya, selain menangkis juga membalas serangan. Dalam satu gerakan saja, rantingnya telah mengirim totokan yang mengarah sedikitnya tujuh jalan darah di tubuh lawan, sedangkan tangan kirinya juga tidak mau menganggur, melainkan melancarkan dorongan dorongan yang mengandung hawa pukulan mujijat, berselang-selang dari pukulan pukulan sakti Pulau Es, yaitu Swat-im-sin-jiu dan Hwi-yang-sin-ciang. Maka menyambarkan hawa panas dan hawa dingin berganti-ganti ke arah wanita itu sehingga wanita itu berkali-kali mengeluarkan pekik kaget. Kian Bu yang tidak mengenal wanita ini tidak merasa bermusuh dengannya, masih tidak tega untuk mengeluarkan ilmu pukulannya yang paling ampuh, yaitu pukulan penggabungan sinkang yang bersifat Im dan Yang, pukulan yang hampir saja pernah menewaskan nyawa kakaknya sendiri itu.
Kian Bu segera mendapatkan kenyataan bahwa biarpun dalam hal ilmu pukulan dan tenaga sinkang, dia mempunyai kelebihan dari wanita itu, namun dia diam-diam harus mengakui bahwa dalam hal ginkang, dia masih kalah setingkat! Hal ini tentu saja membuat dia terkejut bukan main dan teringatlah dia akan cerita Kim Sim Nikouw yang menjadi ibu angkatnya.
"Tahan dulu! Bukankah engkau ini orang she Ouw?"
"Huhhh! Laki-laki palsu yang cerewet!"
"Sialan! Engkau harus mampus dua kali untuk itu!"
Kini wanita itu telah menerjang dengan hebat, hudtim di tangannya berubah menjadi gulungan sinar putih yang amat lebar dan terdengarlah bunyi bersuitan nyaring memekakkan telinga ketika sinar putih itu bergulung-gulung menyambar ke arah Siluman Kecil. Namun, Siluman Kecil sudah meninggalkan dua paha kijang tadi dan sebagai gantinya kini tangannya telah memegang sebatang ranting. Dengan kecepatan kilat, dia pun mengelak sambil balas menotok dengan rantingnya ke arah tengkuk lawan. Namun, wanita itu ternyata dapat bergerak dengan cepat luar biasa sehingga ketika Kian Bu menotoknya, sebelum totokan tiba, dia sudah melesat ke kanan dan kembali gulungan sinar putih itu menyambar dahsyat.
"Hei, siapakah engkau perempuan galak ini?" Kian Bu menghardik karena selain merasa terkejut menyaksikan gerakan wanita ini yang jelas menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan pula, dan juga pandang mata Kian Bu awas sekali. Dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa sinar emas yang menyerangnya itu adalah seekor ular yang kulitnya seperti emas berkilauan! Cepat dia mengelak dan rantingnya menyambar ke depan untuk memukul ular itu.
"Wuuuttttt.... syiiittttt....!"
Kian Bu tertegun. Ular itu dapat mengelak dan sabetannya luput! Padahal, sabetan rantingnya tadi belum tentu dapat dielakkan oleh seorang ahli silat umum saja! Dan kini, seperti dapat terbang saja, tubuh ular itu menggeliat dan ternyata dia sudah membalik dan menyerang lagi ke arah muka Kian Bu.
"Ehhh!" seru pemuda itu dan ketika ular itu lewat di dekat mukanya yang dia condongkan ke belakang untuk mengelak, dia mencium bau harum yang amis. Ular itu berbisa dan berbahaya sekali! Akan tetapi kini wanita tadi sudah menyambut kembali ularnya yang seperti burung bisa terbang itu, lalu kakinya meloncat dan dalam sekelebatan saja wanita itu telah lenyap dari tempat itu. Kian Bu merasa penasaran, juga dia cepat mempergunakan gerakan Sin-coan-in, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tahu-tahu sudah jauh sekali dan dia mengejar dengan Ilmu Jouw-sang-huiteng ke arah timur. Siang In memandang bengong. Dia hanya melihat dua orang itu berkelebat dan lenyap, kemudian di timur dia hanya melihat dua titik putih seperti bintang jatuh, lalu lenyap?
Siang In menarik napas panjang, penuh kekaguman. Dia tadi dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, akan tetapi dia tidak pernah dapat melihat wajah Siluman Kecil. Sudah dua kali dia bertemu dengan pendekar sakti yang terkenal sekali itu, namun kedua kalinya dia tidak berkesempatan untuk berkenalan, bahkan melihat wajahnya pun belum, atau sedikitnya tidak jelas sama sekali karena dilihatnya dari samping, itu pun masih tertutup sebagian oleh rambut putih.
Siang In muncul dari tempat sembunyinya dan menghampiri tempat bekas pertempuran tadi. Dilihatnya api unggun telah padam, akan tetapi dua paha kijang masih berada di situ, ditusuk bambu dan sudah matang. Melihat paha kijang, perutnya menjadi lapar lagi dan tanpa mempedulikan siapa yang memiliki daging paha kijang itu, dia lalu mengambil dua paha itu dan mulai menggerogotinya. Sedap sekali! Kiranya Siluman Kecil itu pandai memanggang paha kijang, pikirnya. Diberi bumbu pula dan diberi garam. Bukan main! Siang In cepat membawa dua buah paha kijang yang sudah matang itu kembali ke dalam hutan. Dengan lahap dia makan daging itu. Sudah habis sepotong, dia mulai dengan yang ke dua, akan tetapi kini kelahapannya berkurang. Daging paha itu besar dan menghabiskan sepotong pun sudah kenyang. Akhirnya dia tidak mampu menghabiskan paha ke dua dan melemparkannya ke samping. Perutnya kenyang dan tenaga pulih, akan tetapi rasa kenyang itu menimbulkan kantuk sehingga tak lama kemudian Siang In sudah tertidur pulas di bawah pohon!
Sementara itu, Kian Bu yang melakukan pengejaran, menjadi penasaran bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita itu amat hebat larinya, memiliki ginkang yang mencapai tingkat sempurna sehingga dia sendiri tertinggal jauh dan sebentar saja bayangan wanita itu sudah lenyap dan dia berdiri termangu-mangu karena tidak tahu ke arah mana larinya bayangan yang lenyap itu. Dia merasa menyesal sekali. Betapapun cepat larinya wanita itu, kalau dia mengejarnya di waktu siang, tentu dia akan tahu ke arah mana larinya. Kini, hanya sinar bulan remang-remang saja yang membantunya maka dia kehilangan jejak. Dia hanya ingin mendapat
kepastian dari wanita itu apakah benar wanita itu murid ibu angkatnya. Akan tetapi dia segera teringat. Bukankah wanita itu tadi meninggalkannya ketika mendengar jerit wanita dari jauh itu? Dan jerit itu datang dari arah lereng bukit di depan.
Teringat akan ini, Kian Bu melanjutkan larinya menuju ke bukit yang nampak remang-remang di depan.
Setelah tiba di lereng bukit itu, kembali Kian Bu menjadi bingung. Dia memperhatikan dan mendengar-dengarkan, namun tidak terdengar suara apa pun. Akhirnya, dengan untung-untungan dia memasuki sebuah hutan kecil. Bulan bersinar sepenuhnya tanpa terhalang mega sehingga sinarnya cukup terang juga. Tiba-tiba dia melihat tubuh lima orang berserakan di atas tanah, di depan sana. Dia teringat betapa wanita lihai tadi sedang mencari-cari lima orang laki-laki yang bergolok panjang. Jangan-jangan....! Dia cepat berlari menghampiri dengan penuh kewaspadaan. Ketika dia tiba di tempat itu, dia mengerutkan alisnya. Di situ nampak mayat seorang wanita muda yang cantik dan empat orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan kasar dan bengis wajah mereka. Akan tetapi empat orang laki-laki itu tewas dalam keadaan mengerikan. Mereka rebah dengan pakaian hancur dan tubuh penuh luka-luka berjalur-jalur merah, seolah-olah seluruh tubuh mereka disayat-sayat dengan pisau tajam! Kian Bu teringat akan hudtim yang mempunyai bulu-bulu putih halus itu dan dia merasa ngeri. Betapa kejamnya wanita itu, agaknya dalam kemarahan dan kebencian yang amat hebat, wanita itu telah mencambuki empat orang laki-laki ini dengan bulu-bulu kebutannya yang kalau digerakkan dengan tenaga sinkang hebat tentu berubah menjadi benda yang amat menyeramkan, dapat dipakai seperti puluhan buah pedang tajam yang menyayat-nyayat kulit daging!
Dengan perasaan muak Kian Bu lalu mendekati mayat wanita muda cantik yang agaknya masih utuh tubuhnya itu. Akan tetapi ketika dia mendekat, memandang jelas, dia lalu membuang muka dan mengutuk. Wanita itu setengah telanjang dan dari keadaan tubuhnya yang berlepotan darah, Kian Bu dapat menduga bahwa wanita muda ini tentu telah menjadi korban perkosaan yang amat keji dan buas!
Tiba-tiba, bagaikan seekor kijang melompat tubuh Kian Bu melesat ke kiri dan di lain saat dia telah menyambar tengkuk seorang laki-laki dan melemparkannya ke atas tanah, di dekat mayat-mayat itu. Kiranya tadi dia mendengar ada gerakan di kiri dan cepat dia menyambar, dan ternyata di tempat itu terdapat seorang laki-laki yang bersembunyi. Laki-laki ini tubuhnya juga sudah tersayat-sayat, pakainya robek-robek dan mukanya membayangkan ketakutan sampai bola matanya berputaran memandang ke kanan kiri, kemudian dia bangkit berlutut dan mengangguk-angguk ke depan kaki Kian Bu sambil mengeluarkan suara seperti orang menangis, ".... ampunnn.... ampunkan saya...." Tubuhnya menggigil.
"Siapa kau?" Kian Bu membentak dengan suara bengis.
"Saya.... saya.... bernama Giam Hok.... harap Taihiap sudi mengampuni saya...." orang itu meratap. "Harap Taihiap sudi menolong dan menyelamatkan saya.... nama Taihiap sudah terkenal di seluruh kang-ouw.... harap lindungi saya dari.... dari iblis betina itu.... hu-huuhhh...."
Kian Bu mengerutkan alisnya. Orang ini telah mengenalnya sebagai Siluman Kecil. Memang namanya banyak dikenal di kalangan dunia hitam! Dan dia melihat wajah orang ini mirip dengan wajah empat orang laki-laki yang sudah tewas di situ. Maka teringatlah dia akan lima orang saudara she Giam yang terkenal di wilayah selatan.
"Hemmm, apakah engkau dan empat orang ini adalah Ngo Giam-lo-ong dari selatan yang tersohor itu?"
Orang itu mengangguk-angguk. Lalu dia memandang ke arah mayat empat orang saudaranya itu dan menangis mengguguk. Kian Bu meraba dagunnya dan mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar akan nama Ngo Giam-lo-ong (Lima Dewa Maut) ini. Bukan tergolong manusia-manusia yang baik, bahkan sering kali mengandalkan kekerasan, memaksakan kehendak sendiri dan berlaku sewenang-wenang. Maka dia pun tertarik sekali. Siapakah pembunuh empat di antara mereka? Wanita cantik itukah? Dan mengapa?
"Siapa yang melakukan pembunuhan terhadap empat orang saudaramu?" tiba-tiba dia bertanya, suaranya bengis penuh wibawa sehingga orang yang sudah habis nyalinya karena takut terhadap orang yang membunuh saudara-saudaranya itu dan kini makin jerih setelah mengenal Siluman Kecil, menjadi makin ketakutan dan menggigil seluruh tubuhnya.
"Yang membunuh adalah.... dia.... Bu-eng-kui...." Kian Bu mengerutkan alisnya. Dia belum pernah mendengar nama julukan Bu-eng-kui (Setan Tanpa Bayangan) itu. Akan tetapi julukan itu memang tepat bagi wanita yang memiliki gerakan sedemikian gesitnya itu.
"Dia seorang wanita?"
"Begitulah.... yang saya dengar...."
Orang yang bernama Giam Hok itu menjawab ketakutan.
"Dan namanya Ouw Yan Hui?"
"Saya mendengar kabar bahwa dia she Ouw.... akan tetapi tidak tahu jelas...."
"Apa artinya kata-katamu ini?" Kian Bu membentak marah.
"Saudara-saudaramu ini jelas dibunuh orang, dan melihat keadaan tubuhmu, agaknya engkau pun nyaris tewas pula, dan sekarang kau bilang hanya mendengar kabar, apakah engkau tidak melihat pembunuh-pembunuh saudaramu ini?"
"Dia.... dia bergerak seperti setan hampir tak dapat saya lihat.... bayangan berkelebat kadang-kadang ada kadang kadang tidak dan yang terdengar hanya bunyi bersuitan sinar putih bergulung-gulung dan kami.... kami sudah disayat-sayat.... baiknya dia menyangka saya telah mati pula dan dia melesat pergi. Saya.... saya masih hidup dan cepat bersembunyi sampai Taihiap datang tadi...."
"Dan bagaimana kau dapat menduga bahwa dia itu yang berjuluk Bu-eng-kui dan she Ouw?" Kian Bu mendesak lagi.
"Kami.... saya.... telah lama mendengar akan Bu-eng-kui yang amat kejam dan mengerikan itu.... dan bahwa dia she Ouw.... hidup di Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Tapi saya belum pernah bertemu dengan dia...."
"Kau belum pernah bertemu dengan dia, dan tadi pun tidak dapat kau melihat wajahnya, akan tetapi bagaimana kau tahu dia itu Bu-eng-kui Ouw Yan Hui?"
"Karena.... sebelum berkelebat pergi, saya pura-pura menggeletak mati, dia mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata: Bu-eng-kui tidak dapat mengampuni segala cacing busuk!"
Kian Bu mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu wanita yang menyerang tadi itulah yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan ini. Bu-eng-kui Ouw Yan Hui, murid dari ibu angkatnya, berarti masih sucinya sendiri!
Hemmm, seorang pembenci pria yang amat kejam dan ganas!
"Mengapa kalian berlima diserangnya? Hayo katakan, mengapa?"
"Kami.... kami tidak melakukan kesalahan, kami tidak pernah bermusuhan dengan dia...., entah mengapa, dia datang-datang menyerang dengan ganas, seperti setan yang tidak kelihatan, kami tidak diberi kesempatan untuk bicara...."
"Jangan membohong! Atau aku akan menyempurnakan perbuatannya atas dirimu yang masih belum selesai itu! Hayo katakan, siapa mayat wanita muda itu?"
"Dia.... dia...."
"Hayo katakan, siapa dia dan bagaimana dia mati?" Kian Bu menghardik.
"Dia adalah tawanan kami...."
"Hemmm, jahanam-jahanam busuk kalian ini! Dan kalian telah memperkosanya sampai mati, ya?"
Orang itu mengangkat muka dan memandang kepada wajah yang tampan namun menyeramkan karena dikurung rambut putih itu, terutama sekali sepasang mata yang seperti mata naga itu amat menakutkan hatinya. Dia mendengar bahwa Siluman Kecil adalah seorang pendekar sakti yang suka mengampuni orang, bahkan banyak orang golongan hitam yang tunduk kepadanya. Mendengar nama julukan "siluman" itu, tentu pendekar sakti ini juga seorang dari golongan hitam, maka Giam Hok dengan terus terang mengakui, karena
menganggap bahwa hal itu tentu tidak aneh bagi pendengaran seorang tokoh kaum sesat seperti Siluman Kecil.
"Kami berlima memang sedang bersenang-senang dengan tawanan kami, sudah menjadi hak kami untuk menikmati gadis yang menjadi tawanan kami ketika dia datang dan.. .."
"Desssss....! Aughhh....!" Tubuh Giam Hok terpental dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Kian Bu berdiri dengan alis berkerut. Dia tadi menendang tubuh di depannya itu saking muak dan marahnya. "Jahanam busuk kau!" katanya dan cepat dia menghampiri mayat gadis itu, memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu, tidak mempedulikannya lagi Giam Hok yang mengaduh-aduh dan berkelojotan. Tendangan itu bukan dimaksudkan untuk membunuh dan orang ini tidak mati, akan tetapi karena dia telah terluka berat oleh sayatan kebutan Bu-eng-kui, kini ditambah dengan tendangan Kian Bu, tentu saja dia menjadi tiga perempat mati!
Setelah mengubur jenazah itu dengan sederhana di dalam hutan, Kian Bu lalu kembali ke tempat tadi untuk mencari paha kijang yang telah dipanggangnya. Akan tetapi, betapapun dia mencari, dua paha kijang itu telah lenyap! Dia menjadi heran sekali, juga penasaran dan bersungut-sungut. Perutnya lapar sekali dan paha-paha kijang tadi kelihatan amat enak! Apakah digondol binatang hutan? Agaknya tidak mungkin, karena binatang liar tentu tidak doyan makanan daging yang sudah dipanggang itu. Dia lalu memasuki hutan dengan maksud mencari kijang lain atau kelinci.
Tak lama kemudian, dia sudah berdiri memandangi gadis cantik yang tidur berbantalkan buntalan pakaian. Bukan hanya gadis cantik yang tidur nyenyak itu yang menarik perhatiannya, melainkan sepotong paha kijang yang tinggal separuh dan yang berada di atas rumput.
"Sialan.. ..!" Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya. Cuaca yang terlalu gelap membuat dia tidak mengenal wajah gadis yang tidur nyenyak itu, maka dia pun lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak mengganggu Siang In yang masih tidur nyenyak.
Sambil berjalan, dia teringat kepada gadis setengah telanjang yang telah mati karena diperkosa dan yang tadi mayatnya telah dia kubur. Dia teringat akan pakaian dalam gadis itu yang koyak-koyak dan kini teringatlah dia bahwa gadis itu bukanlah bangsan Han, setidaknya bukan pakaian gadis Han-lah yang dipakainya itu. Timbul keinginan tahunya. Dari manakah lima orang itu memperoleh gadis asing yang diperkosanya dan tewas tadi? Cepat dia kembali ke bukit yang ditinggalkan. Fajar telah menyingsing dan cuaca telah mulai terang ketika dia tiba di tempat tadi.
Dilihatnya Giam Hok sedang mengubur jenazah empat orang saudaranya dengan susah-payah dan sambil menangis. Diam-diam Kian Bu merasa kasihan juga. Betapapun jahatnya, orang ini telah menerima hukuman yang amat berat. Bayangkan saja! Tadinya dia berlima dengan saudaranya, terkenal di dunia kang-ouw sebagai Lima Dewa Maut dari selatan, dan kini dalam waktu semalam saja, empat orang saudaranya telah tewas semua dalam keadaan mengerikan, dia sendiri pun luka-luka dan kini dia mengubur jenazah empat orang saudaranya itu sambil menangis sedih!
Setelah Giam Hok selesai menguruk lubang kuburan empat orang saudaranya, Kian Bu muncul. Melihat Kian Bu, Giam Hok cepat bangkit berdiri dan kini timbul keberaniannya. Dia bertolak pinggang dan berkata, "Siluman Kecil adalah nama yang bergema di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti yang suka memberi kesempatan kepada para anggauta golongan hitam. Akan tetapi kalau sekarang telah berubah dan hendak membunuh aku, marilah, jangan kepalang. Memang aku pun tidak mempunyai harapan lagi, lebih baik menyusul saudara-saudaraku."
Kian Bu menarik napas panjang, lalu melangkah dekat. Jantung Giam Hok sudah berdebar keras. Dia maklum akan kelihaian iblis berambut putih ini, maka biarpun dia menantang maut, tidak urung jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi Kian Bu tidak menggerakkan tangan, melainkan menunduk, menutupi muka dengan rambut putihnya dan dari celah-celah rambut itu sepasang matanya yang mencorong tajam itu mengerling.
"Giam Hok loheng," katanya ramah. "Jangan mengira yang bukan-bukan. Biar pun engkau memang sudah layak dibunuh sepuluh kali, akan tetapi aku bukanlah seorang yang haus darah."
"Kalau begitu, mengapa Taihiap datang lagi menemui saya?" Sikap Giam Hok berubah. Ucapan seorang seperti pendekar ini tentu saja dapat dipercaya, maka timbul lagi harapannya untuk hidup.
"Aku datang hanya untuk bertanya kepadamu asal-usul wanita yang tewas tadi. Dari manakah engkau memperolehnya atau menawannya?"
Tiba-tiba sikap Giam Hok menjadi berubah lagi, dan dia kelihatan takut sekali. Dia menoleh ke kanan kiri dan seolah-olah ingin melarikan diri. Melihat ini, Kian Bu menjadi heran dan tertarik.
"Giam-loheng, jangan takut. Ceritakan sebenarnya. Dari mana kalian memperoleh dia? Kulihat dia bukan seperti orang sini." Dia berhenti sebentar dan menyambung, "Dia seperti orang dari.... Bhutan. Benarkah?"
Memang keadaan pakaian wanita itulah yang amat menarik perhatian Kian Bu. Pakaian itu mengingatkan dia kepada Puteri Syanti Dewi! Karena itulah maka dia sampai mau menemui lagi orang she Giam itu.
Akan tetapi Giam Hok menggeleng kepala. "Saya tidak tahu.... hanya dia.... dia itu sesungguhnya adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani ehhh...." Kembali Giam Hok berhenti dan memandang ke kanan kiri, ketakutan.
"Orang she Giam!" Kian Bu membentak tak sabar lagi.
"Selagi ada aku di sini, yang engkau takuti siapa lagikah?"
Giam Hok menjadi makin gugup, akan tetapi setelah menelan ludah beberapa kali, dia dapat berkata dengan muka pucat, "Dia adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal."
Kian Bu terkejut. Dia pernah bertemu dengan koksu dari Nepal, kakek botak yang amat lihai itu dan kini dia mendengar tentang Pangeran Nepal yang dayangnya tadi ditawan dan diperkosa sampai mati oleh lima orang iblis she Giam itu. Pantas saja pakaiannya mirip dengan pakaian Syanti Dewi, karena memang negera Nepal hampir sama dengan negara Bhutan, merupakan negeri-negeri tetangga di sebelah barat, di Pegunungan Himalaya.
"Hei, bagaimana kalian bisa memperoleh seorang dayang Pangeran Nepal?" tanyanya, tertarik.
Giam Hok menarik napas panjang dan berkata, "Itulah yang menjadi gara-gara sampai empat orang saudaraku tewas semua." Lalu dia bercerita dengan suara sedih, "Kami berlima mendengar bahwa Pangeran Nepal kini berada di lembah Huang-ho, di sarang Kui-liong-pang dan kami mendengar bahwa pangeran itu royal sekali terhadap orang-orang kang-ouw yang suka bersahabat dengan dia. Kami lalu mengunjungi lembah itu dan memang benar, Pangeran Liong itu mengumpulkan banyak orang pandai, bahkan kabarnya hendak membangun lembah itu menjadi benteng yang amat kuat. Akan tetapi sungguh menggemaskan, terhadap kami lima orang Giam-lo-ong dia memandang rendah dan kami diberi pekerjaan mengepalai orang-orang yang menggali parit untuk dibangun sebagai dasar dari tembok benteng. Kami merasa penasaran akan tetapi tidak berani membantah karena pangeran itu selain sakti juga dibantu oleh banyak orang-orang yang luar biasa tinggi kepandaiannya. Maka kami bersikap sabar, sampai kami mendapat kesempatan melarikan diri sambil membawa seorang dayang cantik dari pangeran itu yang kami anggap sebagai hadiah. Hemmm, dayang itu memang cantik jelita dan tubuhnya berbau sedap, sayang dia tidak kuat dan lebih celaka lagi, ketika kami sedang lari, kami berjumpa dangan Bu-eng-kui. Untung kami masih dapat melarikan diri ke dalam hutan, berlindung di kegelapan malam. Akan tetapi, ketika kami sedang menikmati hadiah kami itu, muncul si Setan Tanpa Bayangan sehingga akibatnya.... beginilah...."
Kian Bu tertarik sekali mendengar akan Pangeran Nepal yang berada di lembah Huang-ho, di sarang perkumpulan Kui-liong-pang itu. Mau apa seorang Pangeran Nepal main-main di tempat ini? Bahkan mau membangun sebuah benteng? Hadirnya Koksu Nepal yang lihai itu di istana Gubernur Ho-nan saja sudah amat mencurigakan hatinya, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa gubernur itu memang bermaksud buruk dan hendak membangkang terhadap kekuasaan kerajaan. Suma Kian Bu adalah putera Majikan Pulau Es, dia adalah putera dari Puteri Nirahai yang berdarah keluarga kaisar. Maka tentu saja di dalam batinnya terdapat perasaan setia terhadap kerajaan sehingga berita tentang pangeran asing itu menarik hatinya dan menimbulkan kecurigaannya.
Melihat wajah Siluman Kecil itu kelihatan tertarik sekali, maka Giam Hok lalu melanjutkan, "Memang aneh-aneh yang terjadi di lembah itu, Taihiap. Pangeran Nepal itu dibantu oleh banyak orang pandai dan luar biasa. Bahkan saya melihat kakek raksasa yang amat menyeramkan, yang kabarnya adalah kakek majikan Pulau Neraka yang kesaktiannya melebihi iblis sendiri, akan tetapi yang mempunyai seorang anak perempuan yang seperti bidadari.. .."
"Ahhh....!" Kian Bu benar-benar tertarik. Kiranya Hek-tiauw Lo-mo telah berada di sana pula, dan puterinya itu, Kim Hwee Li, juga diajak ke tempat itu. Apa maksudnya tokoh jahat itu berada di sana dan apa artinya semua itu? Jangan-jangan di sana menjadi sarang mereka yang merencanakan pemberontakan! Memang tempat itu baik sekali, di perbatasan antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei! Dia harus menyelidikinya!
"Taihiap.... ahhh....!" Giam Hok melongo karena pemuda yang tadinya masih berada di depannya itu tahu-tahu telah lenyap entah ke mana perginya!
******
Lembah Huang-ho yang menjadi benteng pertahanan Kui-liong-pang itu benar-benar amat hebat! Jenderal Kao Liang benar-benar telah memenuhi janjinya terhadap Pangeran Liong. Sebagai seorang gagah perkasa, Jenderal Kao memenuhi janjinya, membuatkan sebuah benteng yang kokoh kuat dan yang tidak akan mudah diserbu oleh musuh. Benteng itu terletak di Lembah sungai yang mengalir di belakang benteng dan amat sukarlah untuk menyerbu benteng melalui sungai karena sungai itu lebar sekali dan di bagian itu merupakan bagian yang mengandung banyak pusaran air. Selain berbahaya bagi perahu-perahu yang berani mendatangi benteng dari belakang, juga sebelum musuh dapat mendekati, tentu fihak penjaga benteng sudah dapat menghujankan anak panah ke perahu-perahu itu. Di kanan kiri benteng itu terlindung oleh tebing yang amat curam, juga dari kanan kiri ini sukar sekali musuh dapat menyerbu. Jalan satu-satunya adalah dari depan, akan tetapi tentu saja jalan ini diperketat penjagaannya sehingga dari jarak beberapa li sebelum tiba di benteng, musuh sudah akan nampak dan dapat dikepung karena jalan menuju ke benteng itu melalui jalan terusan yang di kanan kirinya terapit tebing curam. Pasukan musuh yang melalui terowongan atau jalan yang terapit tebing ini sama dengan membunuh diri, karena tentu saja penyerangan dari atas kedua tebing di kanan kiri itu akan sukar sekali mereka tangkis atau balas.
Akan tetapi, biarpun tidak dapat disangkal pula bahwa tempat itu merupakan tempat berbahaya dan sukar ditembus oleh pasukan, namun tidaklah merupakan tempat yang tak mungkin didatangi oleh seorang pendekar yang berkepandaian tinggi seperti Siluman Kecil, Suma Kian Bu yang datang sendirian saja! Menjaga penyelundupan pasukan besar tentu saja mudah, akan tetapi sama sekali tidak mudah bagi para penjaga untuk dapat melihat Kian Bu yang menyelinap masuk dengan pengerahan ilmunya meringankan tubuh. yang membuat dia dapat bergerak seperti burung terbang itu!
Kian Bu juga tidak kurang hati-hati. Dia maklum bahwa tempat itu amat berbahaya, apalagi karena di situ terdapat orang-orang yang amat sakti seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Koksu Nepal itu. Maka dia tidak berani muncul di siang hari dan menyelundup ke lembah itu, melainkan menanti sampai malam tiba. Bagaikan seekor burung saja ringannya, tubuh Kian Bu berloncatan, mula-mula melalui pohon, sampai ke puncak pohon dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke atas, berjungkir-balik beberapa kali, makin lama makin tinggi sampai dia mencapai puncak tembok benteng! Sukar membayangkan ada seorang manusia dapat berloncatan sampai setinggi itu. Orang lain, betapapun lihainya, tentu akan menggunakan tali untuk memanjat naik. Memang tingkat ginkang yang dimiliki atau dikuasai oleh Kian Bu sudah amat tinggi sehingga untuk waktu itu, jarang ada yang dapat menandinginya.
Akan tetapi, begitu kakinya menyentuh dasar puncak tembok, tiba-tiba saja terdengar suara kelenengan di tempat penjaga yang berada di setiap sudut tembok benteng. Kian Bu terkejut bukan main dan cepat memeriksa bawah kakinya. Kiranya, di atas tembok itu terbentang tali yang amat halus dan karena malam hari itu gelap, maka dia tidak melihat kawat halus itu. Apalagi di waktu malam, bahkan andaikata dia meloncat ke tempat itu di siang hari, belum tentu dia dapat melihat kawat halus yang warnanya sama dengan kawat tembok itu. Dan kakinya hanya menyentuh kawat itu sedikit saja, namun ternyata sudah cukup bagi alat rahasia ini untuk membunyikan kelenengan di pondok penjaga. Memang hebat sekali perlengkapan yang dipasang sebagai penjagaan keselamatan yang diatur oleh Jenderal Kao Liang.
Begitu ada suara kelenengan, maka segera terdengar suara suitan-suitan bersambung-sambung, tidak terlalu keras sehingga tidak akan meributkan penduduk di sebelah dalam benteng atau di lembah itu, namun cukup untuk memberitahu kepada seluruh penjaga yang bertugas di sekeliling benteng! Kian Bu menjadi bingung. Dia masih berada di atas tembok, dan kini dia sudah ketahuan oleh penjaga. Cepat dia lalu meloncat ke sebelah dalam tembok, hinggap di atas atap rumah penjaga dan mendekam di balik wuwungan tinggi, mengintai ke depan. Nampak olehnya betapa para penjaga menjadi sibuk dan banyak sekali pasukan-pasukan kecil hilir-mudik dengan obor-obor di tangan. Celaka, pikirnya, benteng ini benar-benar amat rapi penjagaannya dan melihat pakaian
seragam itu, agaknya benteng ini penuh dengan pasukan-pasukan terlatih! Padahal, tidak demikian sesungguhnya. Orang-orang yang membentuk pasukan-pasukan kecil dengan pakaian seragam itu hanyalah anak buah Kui-liong-pang yang mulai terdidik sebagai pasukan-pasukan penjaga. Belum ada rencana Gubernur Ho-nan untuk menempatkan barisan yang dikuasainya ke dalam benteng yang menjadi tempat tinggal Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu.
Dari tempat sembunyinya, Kian Bu melihat berkelebatnya bayangan orang orang. Dia makin terkejut. Ternyata banyak sekali orang pandai di dalam benteng ini. Ketika dia melihat Hek-tiauw Lo-mo berlompatan dari genteng ke genteng bangunan lain untuk ikut mencari penyelundup, dia diam saja dan tetap bersembunyi di tempat gelap. Dari arah lain dia melihat pula bayangan yang juga amat ringan, dan ternyata bahwa orang itu adalah seorang kakek tua yang wajahnya amat menyeramkan tertimpa sinar lampu dan obor, muka tengkorak yang menakutkan sekali, pakaiannya serba hitam, dan muka tengkorak yang putih seperti kapur itu kelihatan jelas sekali di atas pakaiannya yang hitam. Itulah Hek-hwa Lo-kwi! Kemudian datang pula seorang laki-laki tinggi besar yang kepalanya tertutup sorban dan jenggotnya sampai ke perut, memegang sebatang tongkat panjang kayu cendana. Kakek bersorban ini gerakannya juga amat hebat sehingga Kian Bu menjadi makin kaget. Yang kelihatan saja sudah ada tiga orang sakti di situ! Ternyata cerita Giam Hok itu benar juga! Tiga orang kakek itu berhenti tak jauh dari tempat dia bersembunyi, dan mereka bercakap-cakap, maka dia lalu mengerahkan pendengarannya untuk menangkap percakapan mereka.
"Jangan membolehkan para perjaga memukul tanda bahaya lebih dulu!" terdengar kakek bersorban berkata dengan suaranya yang kaku. "Jangan sampai mengagetkan pangeran kalau belum jelas persoalannya."
"Penjaga-penjaga tolol itu! Belum apa-apa sudah ribut sendiri. Hemmm, Lo-kwi, anak buahmu itu benar-benar tidak becus!" berkata Hek-tiauw Lo-mo.
Hek-hwa Lo-kwi memandang marah. "Yang tidak becus adalah Jenderal Kao itu! Alat rahasianya yang menimbulkan geger! Jangan-jangan hanya seekor kucing saja yang melanggarnya sehingga kelenengan berbunyi. Jangan lancang mengatakan anak buahku yang tidak becus, Lomo. Bahkan anak buahku memperlihatkan kesigapan sehingga ada tanda sedikit saja mereka sudah siap!"
"Ataukah panik karena ketakutan?" Hek-tiauw Lo-mo mengejek.
"Kau berani menghina anak buahku?" Hek-hwa Lo-kwi menghardik dengan alis berkerut.
Melihat dua orang kakek ini yang memang seringkali saling berbantahan dan saling tidak mau kalah, kakek Nepal bersorban itu cepat menengahi dan berkata, "Sudahlah, sesungguhnya tidak ada yang bersalah dalam hal ini. Andaikata benar hanya kucing yang melanggar, maka hal itu membuktikan bahwa hasil pekerjaan Jenderal Kao memang hebat sehingga tempat ini tidak mungkin didatangi musuh tanpa ketahuan. Dan anak buah Kui-liong-pang juga sudah membuktikan kesigapan mereka sehingga membuktikan pula baiknya disiplin yang ditanamkan oleh Jenderal Kao. Hanya jangan sampai hal ini didengar oleh pangeran. Kalau hanya masuknya kucing yang melanggar alat rahasia itu sampai mengagetkan pangeran, kita semua tentu akan menerima teguran keras."
"Kucing atau tikus yang melanggarnya, kita tidak boleh lengah. Andaikata ada orang pandai masuk, dia tentu hanya mempunyai tujuan untuk coba-coba melarikan tawanan." kata Hek-hwa Lo-kwi.
"Ah, sekali ini kau benar, Setan Tua! Sebaiknya kita membagi tugas. Aku mengawasi anakku, engkau mengawasi puteri dan biar Gitananda ini yang memperkuat penjagaan keluar Kao di sana," kata Hek-tiauw Lo-mo.
Kakek bersorban itu yang bukan lain adalah kakek Gitananda pembantu Koksu Nepal, mengangguk dan tiga orang itu lalu melayang, turun dalam tiga jurusan. Kian Bu termenung dan termangu-mangu. Kiranya di tempat ini terdapat tawanan-tawanan dan di antaranya adalah keluarga Jenderal Kao! Akan tetapi, menurut percakapan tadi, benteng ini adalah buatan Jenderal Kao, juga tali kawat halus berupa alat rahasia tanda bahaya yang terlanggar kakinya tadi. Apa artinya ini semua? Namun, dia segera melupakan semua itu karena perhatiannya sepenuhnya tertarik oleh ucapan Hek-tiauw Lo-mo yang menyebut-nyebut tentang "puteri" dan menyuruh Hek-hwa Lo-kwi untuk mengawasi sang puteri. Siapakah itu? Jantungnya berdebar tegang. Apakah yang dimaksudkan itu adalah Puteri Syanti Dewi?
"Besar kemungkinannya demikian," pikirnya. Menurut Ceng Ceng, Syanti Dewi telah meninggalkan Bhutan dan kini diculik dan dilarikan orang. Bukan tidak aneh kalau Syanti Dewi berada di sini, menjadi tawanan orang-orang Nepal!" Setelah berpikir demikian, dia lalu dengan hati-hati berlari menuju ke arah larinya Hek-hwa Lo-kwi untuk menyelidiki dan kalau memang benar Syanti Dewi yang menjadi tawanan di tempat ini, dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menolong puteri itu keluar dari benteng ini!
Akan tetapi, Kian Bu menjadi bingung karena dia sudah kehilangan bayangan Hek-hwa Lo-kwi dan dia mendekam di atas wuwungan sebuah bangunan terbesar karena dia mengira bahwa agaknya kakek itu tadi lenyap di tempat ini dan agaknya sudah meloncat turun. Dia bersembunyi di balik wuwungan dan melihat bahwa kini para pasukan sudah mulai tenang, agaknya mereka itu pun menganggap bahwa yang melanggar tanda bahaya tadi hanyalah seekor kucing saja. Akan tetapi jauh di bawah, dia melihat bayangan seorang tinggi besar yang dengan suara lantang berkata kepada para pasukan, "Malam ini tidak ada istirahat! Semua harus berjaga secara bergiliran sampai pagi! Baik kucing maupun apa saja yang melanggar alat tanda bahaya, kita harus tetap berjaga!"
Kian Bu terkejut ketika dia mengenal suara itu. Jenderal Kao Liang! Hampir dia tidak dapat menahan suaranya untuk memanggilnya. Akan tetapi dia cepat sadar, sungguhpun dia hampir tidak percaya. Jenderal Kao kini memimpin pasukan menjaga benteng itu? Dan Jenderal Kao ini sekarang menjadi pembantu atau kaki tangan seorang pangeran asing yang agaknya bersekutu dengan Gubernur Ho-nan yang akan memberontak? Sungguh tak masuk di akal dan sukar sekali untuk dapat dipercaya. Padahal nama Jenderal Kao telah terkenal sebagai seorang pahlawan yang amat setia kepada kerajaan!
Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan Hek-tiauw Lo-mo tadi yang menyinggung adanya keluarga Kao yang harus dijaga. Jelas bahwa keluarga Kao Liang yang dikabarkan lenyap diculik orang itu ternyata diculik oleh kaki tangan Pangeran Nepal dan berada di sini menjadi tawanan! Mengertilah dia, sungguhpun pengertian itu juga menimbulkan keheranan di dalam hatinya. Tentu keluarga jenderal itu ditawan dan dijadikan sandera untuk memaksa sang jenderal menuruti permintaan musuh agar jenderal itu suka membangun benteng dan mengatur penjagaan benteng itu. Yang mengherankan hatinya adalah mengapa jenderal itu suka melakukan perbuatan yang sifatnya mengkhianati negara ini hanya demi menyelamatkan keluarganya.
Diam-diam Kian Bu merasa khawatir sekali, Kalau keluarga jenderal itu menjadi tawanan, dan juga Syanti Dewi seperti yang diduganya, maka tidak akan mudahlah untuk menyelamatkan mereka dan meloloskan mereka dari tempat ini. harus diakuinya bahwa benteng ini amat kuat. Dia yang sudah memiliki ginkang istimewa saja masih mengalami kesukaran dan dapat diketahui kehadirannya. Mereka yang biarpun berkepandaian tinggi, kalau tidak memiliki ginkang istimewa, kiranya akan sukar memasuki benteng ini. Dan di dalam benteng masih terdapat begitu banyak orang pandai. Sekarang pun dia tahu bahwa dia tidak bisa mempergunakan kekerasan, karena mana mungkin dia akan berhasil kalau harus menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang pandai
yang masih dibantu oleh pasukan pula?
"Aku harus menolong Syanti Dewi," pikirnya dengan hati bulat. "Apapun yang terjadi, aku harus menyelamatkan dia." Jantungnya berdebar kalau dia teringat kepada puteri itu. Bayangan wajah yang cantik jelita dan lembut itu membangkitkan semangatnya dan Kian Bu lalu cepat bergerak menyelidiki bangunan besar di mana Hek-hwa Lo-kwi tadi menghilang. Dia memandang ke bawah. Sunyi di pekarangan belakang gedung itu, maka dia lalu melayang turun dengan maksud untuk menyelidiki tempat itu dari bawah. Dengan
gerakan yang amat cepat dan ringan, kedua kakinya sudah hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan yang amat mengejutkan hatinya.
"Hei, berhenti! Siapa di situ?"
Bukan main kagetnya hati Kian Bu mendengar bentakan ini. Tadi tidak kelihatan ada seorang pun manusia di bawah ini, mengapa begitu kakinya menyentuh tanah lalu ada orang yang menegurnya? Bayangan orang itu muncul dari balik sebuah pintu maka dia menduga bahwa tentu tempat itu ada alat rahasianya lagi. Akan tetapi, dia cepat mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas dengan kecepatan kilat. Dia mendekam di atas genteng, mendengar langkah kaki beberapa orang di bawah dan terdengar suara orang mengomel, "A-ban, siapa yang kautegur tadi? Tidak ada bayangan seorang pun di sini!"
"Ah, jelas kulihat tadi bayangannya. Kenapa dia bisa lenyap lagi?"
Kian Bu cepat berloncatan di atas genteng menuju ke samping gedung itu untuk turun dari bagian lain. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Maling hina, menyerahlah!" Dan sebuah lengan yang panjang besar, dengan tangan berbentuk cakar, dan kuku-kukunya yang panjang keluar bau amis dan gerakan tangan itu mengandung sambaran angin besar, telah meluncur hendak mencengkeram pundaknya dari belakang.
Kian Bu maklum bahwa tangan itu adalah tangan orang yang memiliki ilmu tinggi, dan juga kuku-kuku tangan itu mengandung racun berbahaya, maka dia mempergunakan kelincahannya, melesat ke belakang dan menyerong ke kanan sehingga cengkeraman itu luput. Dia tidak mau melayani dan terus lari ke depan.
Raksasa yang menyerangnya itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi. Ketika tadi dia mendengar teguran penjaga di belakang gedung, dia tahu bahwa ada orang di sekitar tempat itu, maka diam-diam dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dia langsung saja menerkam. Akan tetapi, Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main. Terkamannya itu dapat dielakkan sedemikian mudahnya oleh maling itu! Dan kini maling itu dapat berlari sedemikian cepatnya.
"Hendak lari kemana kau?" bentaknya dan dia pun mengejar dengan cepat.
Kian Bu cepat melarikan diri dan meloncat ke atas genteng rumah lain. Gerakannya memang cepat bukan main sehingga sebentar saja Hek-hwa Lo-kwi telah kehilangan jejaknya. Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak wuwungan sebuah bangunan lain, tiba-tiba terdengar suara berkerining di dalam bangunan itu, disusul bentakan kasar yang parau dan keras, sekali, "Anjing dari mana berani mengantar nyawa? Ha-haha!" Dan dari sebuah jendela, melayang keluar sesosok bayangan orang tinggi besar yang langsung naik ke atas genteng. Begitu melihat bayangan ini, Kian Bu mengenalnya. Orang itu bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, musuh lamanya!
Kian Bu hendak lari lagi, akan tetapi tiba-tiba ada sinar meluncur ke arah lambungnya. Cepat dia mengelak dan melihat bahwa sinar itu adalah sebatang tombak tulang ikan, senjata ampuh dari kakek raksasa itu, dia mengelak sambil menendang dengan ujung kakinya yang mengenai batang tombak. Tombak itu terpental, akan tetapi tidak sampai terlepas dari tangan kakek raksasa itu. Namun, terpentalnya tombak itu cukup bagi Kian Bu untuk menjejaknya kakinya dan tubuhnya sudah melesat dengan cepat sekali dari situ.
"Ha-ha-ha, kau hendak lari? Tak mungkin! Hek-tiauw Lo-mo mengejar sambil tertawa suara ketawa untuk menutupi rasa penasaran dan kagetnya karena maling itu ternyata mampu mengelak dari senjatanya yang ampuh, bahkan tendangan kaki orang itu hampir saja membuat tombaknya terlepas dari pegangannya!
Tentu saja Kian Bu tidak merasa jerih menghadapi dua orang kakek sakti itu, akan tetapi kedatangannya bukan untuk bertanding dengan mereka, melainkan untuk membebaskan Syanti Dewi. Kalau dia melayani mereka, tentu akan muncul yang lain dan akan sukarlah baginya untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi yang belum diketahuinya berada di mana itu, bahkan belum diketahuinya dengan pasti apakah benar Puteri Bhutan itu berada di tempat itu sebagai tawanan. Maka dia cepat berlari dan ketika dia melihat bayangan Hek-hwa Lo-kwi mendatangi dari depan sedangkan Hek-tiauw Lo-mo mengejar dari belakang, dia lalu melarikan diri ke kanan. Akan tetapi baru saja dia melompat ke atas genteng bangunan di sebelah kanan, tiba-tiba muncul belasan orang pasukan yang melepaskan anak panah ke arahnya. Kiranya tempat itu telah dijaga dengan barisan panah dan terpaksa dia lalu mempergunakan ginkangnya untuk mengelak ke sana-sini sambil menggerakkan kedua tangan menyampok anak panah yang tak dapat dielakkannya. Melihat bahwa di depan telah dihadang, dia lalu memba likkan diri lagi dan berlari ke jurusan kiri, tempat yang agak terang karena di situ terdapat sebuah bangunan yang amat megah, agaknya merupakan bangunan induk dan tempat itu terang sekali, bahkan di atas genteng juga terang karena ada lampu-lampu besar digantung di tingkat atas.
Celaka, belum juga dia tahu di mana adanya Syanti Dewi, kalau benar dara itu ditawan di situ, dia telah ketahuan. Lebih baik aku menyelamatkan diri lebih dulu, baru kemudian mencari akal untuk menyerbu tempat ini, kalau perlu minta bantuan kakaknya atau teman-teman lain! Berpikir demikian, melihat jalan kanan kiri, dan belakang sudah dihadang musuh, Kian Bu meloncat ke atas bangunan yang megah dan terang itu. Dia mengerahkan ginkangnya dan mempergunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng, kedua kakinya seolah-olah tidak menyentuh genteng dan tubuhnya melesat ke depan, kemudian jarak antara bangunan ini dan bangunan megah itu
diloncatinya dengan gerakan yang membubung ke atas, tubuhnya berjungkir-balik beberapa kali dan akhirnya dengan ringan kedua kakinya hinggap di atas wuwungan gedung megah yang terang benderang itu.
"Kraaakkkkk....!"
Tiba-tiba genteng yang diinjaknya itu, yang diinjak dengan ringan sekali, mengeluarkan suara keras dan terbuka, disusul menyambarnya puluhan batang amgi (senjata gelap) berupa jarum, paku, piauw, pisau dan sebagainya lagi! Kian Bu sejak tadi tidak pernah kehilangan kewaspadaannya, maka begitu genteng-genteng itu terbuka dan dari dalam menyambar sinar-sinar senjata gelap itu, dia sudah mendahuluinya meloncat turun dari atas genteng dan karena tidak ada tempat lain yang dapat diloncatinya, terpaksa dia melayang turun ke bawah, sebuah ruangan terbuka yang amat terang dan sunyi, tidak nampak seorang pun manusia.
"Pyarrrrr....!" Sebelum tubuhnya turun ke atas lantai ruangan terbuka itu, lebih dulu Kian Bu melemparkan sebuah genteng yang tadi disambarnya ketika dia meloncat. Genteng itu menimpa lantai dan pecah berantakan, namun tidak ada akibat apa-apa, maka barulah Kian Bu berani turun dan hinggap di dekat pecahan genteng itu. Ternyata ruangan yang lantainya dari batu ini tidak dipasangi alat rahasia, akan tetapi kesunyian tempat itu amat menyeramkan karena begitu kosong, begitu terang dan begitu sunyi!
Sebelum Kian Bu bergerak, telinganya mendengar sesuatu, mendengar gerakan-gerakan di sekeliling tempat itu dan kini bermuncullanlah orang-orang di sekeliling ruangan terang itu, makin lama makin banyak dan ternyata bahwa tempat itu telah terkepung! Tidak kurang dari lima puluh orang bersenjata lengkap mengepung tempat itu dan kini tempat itu telah tertutup oleh pagar manusia!
Kian Bu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lengannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, muka agak menunduk dan sebagian tertutup oleh rambutnya yang panjang riap-riapan dan berwarna putih. Dia kelihatan seperti sebuah arca saja karena tidak pernah bergerak, namun mendatangkan perasaan ngeri di dalam hati para pengepungnya. Hanya mata di balik tirai rambut putih itu saja yang bergerak memandang ke kanan kiri, sikapnya tenang namun jelas bahwa setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga. Melihat pemuda berambut putih ini, sekarang jelas sekali karena penerangan di situ menjadi makin terang dan semua mata ditujukan kepada Kian Bu.
"Siluman Kecil....!" Kian Bu mendengar bisikan-bisikan yang keluar di sana-sini di antara para pengepung itu. Tahulah dia bahwa para perajurit atau anak buah pasukan itu bukanlah orang-orang asing karena ternyata telah mengenalnya. Memang, para penjaga yang kini menjadi pasukan berseragam itu adalah anak buah Kui-liong-pang, maka tentu saja mereka mengenal Siluman Kecil karena biarpun jarang di antara mereka ada yang pernah melihatnya, setidaknya mereka telah mendengar nama pendekar itu dan keadaannya yang aneh menyeramkan.
"Aha, kiranya tempat kami mendapatkan kehormatan, dikunjungi oleh seorang tokoh besar yang namanya menggemparkan dunia persilatan. Sicu, benarkah engkau yang dijuluki orang Siluman Kecil?"
Kian Bu mengerling ke kiri dan melihat bahwa dari sebuah pintu muncul beberapa orang tinggi besar mengiringkan seorang pemuda tinggi tegap yang tampan. Pemuda itu memakai pakaian yang serba indah gemerlapan, kepalanya tertutup sorban yang dihiasi permata besar dan bulu burung dewata, tubuhnya tinggi tegap, kulitnya kecoklatan, matanya yang cekung itu mempunyai biji mata yang amat tajam seperti mata burung hantu, hidungnya panjang melengkung ke bawah seperti paruh betet, rambutnya hitam agak kemerahan, hampir menyamai kulitnya. Usia pemuda ini sekitar tiga puluh tahun dan pembawaannya ramah, namun juga penuh dengan
wibawa. Agaknya inilah Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal itu, pikirnya.
Kian Bu memperhatikan orang-orang yang berjalan di belakang pangeran ini. Pertama-tama dia mengenal Hek-tiauw Lo-mo, kakek yang menjadi majikan Pulau Neraka itu. Semenjak dia berusia belasan tahun, dia sudah mengenal kakek ini, bahkan dia bersama kakaknya, Kian Lee, pernah menjadi tawanan kakek itu di Pulau Neraka (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dan setelah dia dewasa, dalam peristiwa pemberontakan dua orang Pangeran Liong, dia pun pernah bertemu dengan lawan ini. Bukan itu saja, tadi pun dia telah bertanding segebrakan melawan kakek ini yang kini makin lihai saja. Namun, sebaliknya, kakek yang seperti raksasa itu agaknya tidak lagi mengenal Kian Bu, dan kini memandang dengan penuh perhatian karena hati kakek ini tertarik sekali ketika mendengar bahwa orang yang disangkanya maling dan yang tadi ternyata memiliki kepandaian amat tinggi itu ternyata adalah Siluman Kecil, nama tokoh yang dalam waktu beberapa tahun ini menggemparkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya yang hebat sehingga nama itu ditakuti oleh seluruh tokoh kaum sesat dan disegani oleh semua tokoh golongan putih pula.
Di samping Hek-tiauw Lo-mo berdiri Hek-hwa Lo-kwi, kakek bermuka tengkorak yang menjadi majikan lembah itu atau ketua dari Kui-liong-pang. Juga dia melihat kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut dan memegang tongkat kayu cendana. Selain tiga orang kakek ini, nampak pula banyak orang-orang yang kelihatannya berkepandaian dan yang tidak dikenalnya. Memang banyaklah yang datang mengepung "maling" itu, di antaranya terdapat Khiu Sek, atau yang oleh para anggauta Kui-liong-pang lebih dikenal dengan sebutan Khiu-pangcu, bekas ketua Huang-ho Kui-liong-pang sebelum Hek-hwa Lo-kwi muncul di situ. Juga  hadir pula Hoa-gu-ji, yang memegang senjata dayung panjang. Seperti juga Khiu-pangcu, Hoa-gu-ji yang tinggi kurus ini pun merupakan tokoh Kui-liong-pang. Masih ada lagi tiga orang kakek yang bukan orang-orang biasa, karena mereka itu adalah para pembantu Hwa-i-kongcu, tokoh-tokoh Liong-sim-pang yang kini bergabung dan bersekutu dengan Pangeran Nepal. Mereka bertiga itu adalah Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-Liong-ong Ciok Gu To. Di samping tiga orang tokoh Liong-sim-pang ini, masih terdapat pula beberapa orang yang berpakaian sebagai orang-orang Bhutan, dan mereka ini adalah para pembantu Mohinta, panglima muda dari Bhutan itu.
Kian Bu maklum bahwa dia kini dikepung oieh orang-orang pandai. Hanya Koksu Nepal saja yang tidak dilihatnya berada di situ, namun orang-orang ini sudah cukup tangguh kalau mereka maju semua untuk mengeroyoknya.
Mendengar pertanyaan yang diajukan oleh pangeran dari Nepal itu, yang bertanya dengan sikap ramah, Kian Bu yang cerdik maklum bahwa pangeran ini agaknya sedang mencari dan mengumpulkan tenaga yang kuat untuk membantunya! Dia teringat akan sikap dua orang Pangeran Liong yang dulu memberontak. Dua orang pangeran tua itu pun selalu berusaha mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk membantu mereka dalam usaha pemberontakan mereka. Kini, Pangeran Nepal ini agaknya juga bersikap ramah untuk berusaha menariknya agar suka menjadi kaki tangannya! Akan tetapi perhatiannya sebagian ditujukan ke arah sekelilingnya, untuk mencari kemungkinan meloloskan diri andaikata terpaksa harus menggunakan kekerasan. Hatinya merasa tidak enak sekali ketika dia melihat tubuh Jenderal Kao Liang yang tinggi besar itu berdiri di sudut, memimpin pasukan itu dan sikapnya gagah dan tidak peduli, seolah-olah tidak mengenalnya!
Dengan menggerakkan jari-jari kakinya, tanpa mengangkat kaki, Kian Bu telah memutar tubuhnya menghadapi pangeran itu. Sejenak mereka berdua saling pandang dan sang pangeran bergidik juga melihat sepasang mata dari balik tirai rambut putih itu menyambar dengan ketajaman yang menusuk perasaan.
Hebat orang ini, pikirnya, kalau saja aku dapat menaklukkannya!
"Tidak keliru dugaan itu. Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Bharuhendra dari Nepal?" tanya Kian Bu dengan suara lirih namun terdengar jelas sekali oleh semua yang hadir. Semua orang terkejut dan pangeran itu juga tercengang, akan tetapi dia tersenyum lebar dan wajahnya kehilangan kebengisannya kalau tersenyum. Memang dia cukup tampan, bahkan amat tampan bagi ukuran orang Nepal yang menyukai hidung melengkung.
"Ha-ha-ha, sungguh Sicu amat mengagumkan! Dugaan Sicu benar sekali, akan tetapi aku lebih dikenal di sini sebagai Pangeran Liong Bian Cu. Tentu Sicu dapat menduga bahwa ayahku adalah mendiang Pangeran Liong Khi Ong, ibuku seorang Puteri Nepal. Ha-ha-ha, sungguh girang sekali kami dapat berkenalan dengan Sicu dan merasa terhormat bahwa tempat kami ini mendapat kunjungan dari Sicu. Kami harap saja Sicu datang sebagai sahabat, karena memang sudah lama kami telah mendengar nama besar Sicu, hanya tidak tahu bagaimana kami dapat menghubungi Sicu. Silakan, Sicu, marilah kita bicara di dalam sebagai sahabat-sahabat."
Jelaslah bagi Kian Bu. Memang sudah diduganya demikian. Suruh dia membantu seorang anak pemberontak, seorang pangeran asing yang tak salah lagi tentu mempunyai niat yang tidak baik terhadap pemerintah? Tidak sudi! Dia bukan seorang pengkhianat, bukan pula seorang pemberontak. Dia mengerling ke arah Jenderal Kao Liang dan melihat betapa kebetulan sekali jenderal itu memandang kepadanya. Orang tua itu cepat menundukkan muka dan kelihatan berduka sekali.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk menegur jenderal yang dianggapnya pengecut dan pengkhianat itu. "Pangeran, saya datang bukan sebagai musuh, karena saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Pangeran, akan tetapi melihat betapa Koksu Nepal bersekutu dengan Gubernur Ho-nan, saya mendapatkan kesan kurang baik terhadap orang-orang Nepal. Maaf, Pangeran, bukan maksud saya untuk menyinggung Paduka, akan tetapi saya bukanlah seorang rendah dan hina yang dapat diajak bersahabat kalau yang mengajaknya itu termasuk golongan pemberontak."
"Uhhh...." Suara ini lirih saja, akan tetapi Kian Bu maklum bahwa suara itu keluar dari tenggorokan Jenderal Kao Liang. Ketika dia mengerling, jenderal itu sudah mundur dan menyelinap di antara para pasukan.
Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya terlalu marah demi mendengar ucapan Kian Bu itu sehingga mereka tidak mendengar suara yang keluar dari tenggorokan jenderal itu, karena dalam waktu yang bersamaan mereka pun sudah mengeluarkan suara menggereng marah. Namun, Pangeran Liong Bian Cu benar-benar amat cerdik. Dia dapat menekan kemarahannya, memberi isyarat dengan tangan kepada para pembantunya agar jangan turun tangan lebih dulu, kemudian dia merangkap kedua tangan di depan dada, menghadapi Kian Bu dan berkata sambil tersenyum, "Hebat sekali! Sicu masih muda, sudah mengangkat nama besar, dan ternyata memiliki jiwa pahlawan pula! Kalau Sicu berkeberatan untuk datang sebagai sahabat kami, lalu kami harus menganggap Sicu datang ini sebagai apakah?"
Diam-diam Kian Bu kagum juga atas ketenangan pangeran itu. Bahkan para pembantu pangeran itu sudah memandang kepadanya dengan marah, akan tetapi sang pangeran ini sendiri sama sekali tidak kelihatan marah! Dia pun balas menjura dengan hormat dan berkata halus.
"Maaf, Pangeran. Memang kedatanganku ini lancang dan untuk itu aku mohon maaf. Aku datang bukan sebagai musuh dan bukan pula sebagai sahabat, melainkan sebagai seorang yang mendengar adanya hal yang tidak semestinya dan karenanya terpaksa aku datang untuk minta kepada pangeran agar suka membereskan yang tidak semestinya itu."
"Hemmm, Sicu mendengar apakah?"
"Bahwa Pangeran telah menawan seorang wanita yang bernama Syanti Dewi, maka aku minta agar Pangeran suka membebaskan dia!" katanya dengan suara tegas.
"Ahhh....! terdengar suara bentakan marah dan sang pangeran menoleh. Yang membentak itu adalah Mohinta sendiri, putera panglima tua di Bhutan. Seperti kita ketahui, Mohinta dan para pembantunya telah tiba di dalam benteng itu dan menjadi sekutu Pangeran Nepal itu pula. Sang pangeran lalu tersenyum dan berkata kepada Kian Bu, "Sicu, perkenalkanlah, inilah dia Saudara Mohinta, panglima muda dari Bhutan yang bertanggung jawab atas keselamatan Puteri Syanti Dewi. Lebih baik dialah yang menjawab permintaanmu tadi, karena dia lebih berhak."
Mohinta lalu melangkah maju menghadapi Kian Bu yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian. "Siluman Kecil, tahukah engkau siapa adanya nama yang kausebutkan tadi?" tanya Mohinta dengan marah.
"Syanti Dewi? Dia adalah Puteri Bhutan...." jawab Kian Bu.
"Nah, dia adalah Puteri Bhutan dan junjungan kami! Pada saat ini, akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Puteri. Beliau berada di sini sebagai tamu agung, bagaimana engkau berani menuduh yang bukan-bukan? Hak apakah yang ada padamu untuk menguruskan diri beliau?"
Tentu saja Kian Bu merasa terdesak. Kalau benar orang ini adalah tokoh Bhutan, tentu saja dia tidak berhak mencampuri. Akan tetapi, dia tentu saja tidak mau mengalah secara mudah. "Aku adalah seorang sahabat baiknya. Bukan aku tidak percaya, akan tetapi aku baru yakin akan kebenaran ucapanmu itu kalau aku sudah dapat berhadapan dan bicara dengan dia sendiri. Persilakan dia keluar dan bicara sendiri denganku."
"Keparat! Kaukira dia wanita macam apa, mudah saja diajak bicara oleh segala macam orang sepertimu?" Mohinta mendamprat dan dia sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya untuk menghantam muka Siluman Kecil. Pemuda rambut putih ini diam saja, sama sekali tidak mengelak, akan tetapi ketika kepalan tangan Mohinta sudah dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis.
"Krekkk!"
"Aughhh....!" Mohinta terpelanting dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya! Para pembantunya maju dengan senjata terhunus, akan tetapi Pangeran Liong Bian Cu yang tersenyum menyaksikan semua itu mengangkat tangan membentak mereka agar mundur.
"Aku tahu orang macam apa adanya Puteri Syanti Dewi. Dia seorang wanita yang bijaksana agung dan berbudi mulia, tidak seperti engkau manusia rendah yang sombong!" Kian Bu membentak ke arah Mohinta yang sudah dibantu orang-orangnya untuk bangkit berdiri. "Mengingat bahwa engkau adalah orang Bhutan, maka aku memandang nama Puteri Syanti Dewi mengampuni nyawamu."
Gerakan Kian Bu tadi cepat bukan main, akan tetapi tidak mengejutkan para tokoh yang hadir karena mereka semua tahu bahwa kepandaian Mohinta masih jauh terlalu rendah untuk menyerang seorang tokoh seperti Siluman Kecil.
Pangeran Liong Bian Cu tertawa lagi. "Hebat sepak terjangmu, Sicu. Akan tetapi harus kauketahui bahwa urusan Puteri Bhutan tentu saja kita harus tunduk kepada peraturan Bhutan dan di sini, yang berkuasa mengenai hal itu adalah Panglima Mohinta. Selain itu, apakah masih ada keperluan lain yang mendorong kedatanganmu ini?"
"Selain menuntut agar Syanti Dewi dibebaskan, juga aku menuntut agar keluarga Kao yang ditawan di sini, dibebaskan semua!"
Kembali semua orang terkejut. Alangkah beraninya pemuda ini! Akan tetapi sang pangeran tersenyum saja, lalu berkata tidak acuh, "Engkau menduga yang bukan-bukan, Sicu. Puteri Syanti Dewi dari Bhutan merupakan tamu agung kami yang dikawal oleh Panglima Mohinta sendiri, sedangkan keluarga Kao juga merupakan keluarga yang menjadi tamu kami, bahkan minta perlindungan kami dari pengejaran pasukan istana yang memusuhi mereka."
"Hemmm, aku tidak percaya! Biar aku menemui mereka dan bertanya sendiri!"
"Sikapmu terlalu keras dan engkau terlalu tidak mempercayai orang, Sicu. Persoalan keluarga Kao sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kao-goanswe, maka biarlah dia saja yang menghadapimu dan menjawabmu."
Begitu mendengar ucapan sang pangeran, Jenderal Kao yang tadinya menyelinap di antara para pasukan, kini melangkah maju dua tindak dan berkata, suaranya lantang akan tetapi matanya memandang kosong, tidak menatap wajah Kian Bu, "Siluman Kecil, harap kau jangan mencampuri urusan kami sekeluarga Kao!" Setelah berkata demikian, dia mundur lagi dan berdiri di antara para perajurit dengan muka menunduk, kelihatan berduka sekali. Kian Bu merasa heran bukan main. Timbul keraguan apakah benar orang tua itu adalah jenderal gagah perkasa yang pernah dikenalnya itu? Ataukah hanya orang yang mirip mukanya? Sikapnya demikian aneh dan jelas bahwa orang itu bertindak bukan atas kemauan sendiri, melainkan terpaksa atau tertekan. Benar-benar hatinya merasa tidak puas sekali. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Betapapun juga, dia harus membenarkan bahwa Puteri Bhutan tidak bisa dijumpakan kepada seorang laki-laki asing, dan dalam hal itu tentu saja Panglima Butan yang mengawalnya mempunyai hak penuh untuk menolak permintaannya. Mengenai keluarga Kao, kalau Jenderal Kao Liang sendiri sudah mengatakan demikian, dia dapat berbuat apakah? Dia merasa ragu-ragu, bingung, memandang ke kanan kiri seperti hendak menanyakan pendapat orang lain,
kemudian dia mengangkat kedua bahunya dan berkata, "Ahhh.... kalau begitu, kehadiranku tidak dibutuhkan orang lagi. Biarlah aku pergi saja...."
Dia melangkah pergi, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu melangkah maju dan memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. "Sicu, setelah semua urusan beres, maka biarlah dalam kesempatan ini kami mengundang Sicu untuk duduk di dalam dan bercakap-cakap sebagai seorang tamu yang terhormat."
Kian Bu menahan langkah kakinya. Tentu saja di dalam hatinya dia merasa tidak sudi untuk bersahabat dengan pangeran asing yang mungkin bersekutu dengan fihak pemberontak ini, akan tetapi dia teringat akan Syanti Dewi. Hatinya bimbang ragu, ingin dia bertemu dengan puteri itu dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa puteri itu selamat, mendengar dengan telinganya keterangan dari mulut puteri itu sendiri bahwa sang puteri tidak terancam bahaya. Kalau dia menerima undangan Pangeran Nepal ini, mungkin saja dia memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan Syanti Dewi, akan tetapi kalau dia memenuhi undangan itu,
bukankah berarti bahwa dia telah menerima kebaikan dari seorang musuh negara?
Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara nyaring bening, "Tangkap dia....!"
"Eh, mau apa kau?" Terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo.
Kian Bu menoleh dan dia melihat seorang dara cantik jelita berpakaian sutera serba hitam, dipegangi lengan kirinya oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dara itu meronta dan menudingkan telunjuknya ke arah Kian Bu sambil berseru, "Tangkap dia! Pangeran, dia adalah mata-mata kerajaan! Dia adalah Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti, dia masih cucu dari kaisar sendiri! Karena itu, dia tentulah mata-mata kerajaan, maka harus ditangkap!"
Kian Bu tertegun mengenal dara itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo. Mendengar seruan puterinya ini, Hek-tiauw Lo-mo juga menjadi girang dan melepaskan pegangan tangannya. Dia sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang golok gergaji di tangan kanan. Kini Kian Bu menggerakkan kepala sehingga rambut putihnya semua terbang ke belakang kepalanya dan mukanya yang tampan nampak. Hek-tiauw Lo-mo segera mengenal wajah ini dan dia pun terkejut. Kiranya putera Pendekar Super Sakti yang dikenal orang sebagai pendekar aneh yang berjuluk Siluman Kecil!
"Benar-benar dia putera Majikan Pulau Es!" teriaknya sambil menerjang ke depan. "Tangkap mata-mata musuh!"
Mendengar ini, Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main. Kalau benar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, cucu kaisar sendiri, maka jelaslah bahwa kehadirannya ini berbahaya bukan main! "Tangkap dia!" perintahnya sambil melangkah mundur ke tempat aman.
Sementara itu, Hwee Li sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menghantam dada Kian Bu yang masih keheranan itu dengan tangan kanan. Pemuda ini tentu saja merasa amat heran melihat sikap Hwee Li. Gadis ini jelas  mencinta kakaknya dan ketika membantunya mencari obat, Hwee Li bersikap manis kepadanya. Kenapa sekarang gadis ini membuka rahasianya sehingga dia terancam bahaya? Dia cepat mengelak dan hendak balas mendorong, ketika dia mendengar bisikan gadis. itu, ".... kau tangkaplah aku....!"
"Wuuuttttt....!" Dorongannya diperlemah, namun tetap saja tubuh Hwee Li terdorong ke belakang dan tentu akan terjengkang dan terbanting kalau saja dia tidak berjungkir-balik ke belakang dengan amat lincahnya. Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo telah menyerang Kian Bu dengan golok gergajinya dari depan, sedangkan dari kiri Hek-hwa Lo-kwi telah menyerangnya dengan tangannya yang kini berubah hitam sampai ke siku, tanda bahwa tangan itu mengerahkan tenaga mujijat yang mengandung racun berbahaya sekali.
Namun Kian Bu cepat bergerak dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini, dengan mudahnya dia dapat menghindarkan diri dari dua serangan maut itu. Akan tetapi, ke manapun dia meloncat, dia selalu dipapaki serangan dari semua orang yang telah mengepungnya. Di sebelah dalam kepungan itu, dia dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda, Hwee Li, Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-liong-ong Ciok Gu To, tokoh-tokoh Kui-liong-pang dan para pembantu Mohinta, sedangkan di sebelah luarnya dia dikepung oleh puluhan orang anak buah pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang! Dengan demikian, betapapun dia melesat ke sana-sini, tetap saja dia tidak mampu lolos dari kepungan itu. Akan tetapi, yang membuat Kian Bu makin bingung dan ragu adalah sikap Hwee Li dan bisikan dara itu tadi! Dia tidak mengerti dan menjadi ragu-ragu apalagi melihat betapa dara
itu terus mendesaknya, bahkan menjadi penyerang terdepan seolah-olah dara itu amat benci kepadanya dan hendak mengadu nyawa! Akan tetapi, tentu saja dia tidak tega melukainya, maka gerakan Kian Bu menjadi kurang gesit dan ketika akhirnya dia berhasil merobohkan lima enam orang pengeroyoknya, tiba-tiba sinar hitam yang amat lebar menimpanya dan tahu-tahu dia telah tertangkap oleh jala hitam tipis yang dilepas oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kian Bu meronta, namun jala itu memang aneh sekali sifatnya. Amat lemas dan halus tipis sekali sehingga dapat dikepal dalam genggaman tangan, akan tetapi uletnya melebihi baja dan mempunyai sifat mengkerut sehingga kalau yang terperangkap itu meronta, malah makin ketat melibat!
Tiba-tiba Hwee Li menubruknya. "Mampuslah kau, mata-mata hina-dina!" bentaknya dan kini semua orang pengepung berteriak-teriak girang melihat pemuda itu telah tertawan. Dan di antara bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan ini, Kian Bu
mendengar suara Hwee Li yang halus sekali, ".... tolol, cepat tangkap aku, jadikan sandera....!"
Kini mengertilah pendekar muda yang sakti itu. Kiranya sejak tadi Hwee Li menunjukkan jalan keluar yang amat cerdik. Akan tetapi apa gunanya menangkap Hwee Li? Bukankah gadis itu sendiri agaknya tidak leluasa bergerak, buktinya tadi dicurigai ayahnya sendiri dan ditangkap lengannya? Dalam keadaan yang berbahaya itu, dia tidak mau banyak membantah, ketika melihat Hwee Li menghantam ke arah kepalanya dengan kepalan tangan kanan, menghantam sekuatnya, dia sengaja menerimanya dengan bahunya.
"Desss. ...!" Tubuh Kian Bu terguling-guling di dalam gulungan jala itu.
"Ha-ha-ha, bagus Hwee Li anakku, bagus! Hantam dia sampai mampus!" Hek-tiauw Lo-mo tertawa sambil memegangi ujung tali jala. Tadinya Hwee Li terkejut melihat betapa Kian Bu sengaja menerima hantamannya dengan bahu, akan tetapi dara ini memang cerdik sekali, maka dia segera mengerti akan maksud Kian Bu. Pemuda itu membiarkan dirinya terpukul agar tidak ada orang yang akan mencurigainya nanti. Maka cepat dia menubruk dan memukul lagi. Benar saja dugaannya, sekali ini Kian Bu mengulur tangannya dan menangkap pergelangan tangannya, terus secepat kilat jari tangan pemuda itu menotok jalan darah thian-hu-hiat dan seketika dia menjadi lemas.
"Ayah...., tolong...." Hwee Li berteriak lirih dengan tubuh lemas dan lengannya masih dipegang oleh Kian Bu.
"Keparat, lepaskan anakku!" Hek-tiauw Lo-mo mendekati dengan golok gergaji di tangan, juga Hek-hwa Lo-kwi dan lain-lain tokoh yang berkumpul di situ melangkah maju.
"Berhenti! Mundur semua atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!" Kian Bu menghardik dan jari tangannya telah terjulur keluar dari celah-celah jala itu, menempel di tengkuk Hwee Li. Hek-tiauw Lo-mo dan semua orang terkejut, maklum bahwa sekali menggerakkan jari tangannya, pemuda itu memang akan dapat menewaskan Hwee Li tanpa ada yang akan sanggup menolongnya karena jari tangan itu telah menempel di jalan darah yang mematikan. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia laiu menerjang maju dengan goloknya.
"Keparat! Kalau engkau berani membunuh anakku, maka aku akan menyiksamu dan akan mencincang tubuhmu!" Agaknya dia tidak peduli akan ancaman terhadap anaknya itu dan masih hendak melanjutkan serangannya. Tentu saja Kian Bu menjadi bingung sekali dan mulai menyesal akan akal yang digunakan oleh Hwee Li, yang ternyata, seperti telah disangsikannya tadi, telah gagal. Orang macam Hek-tiauw Lo-mo yang berwatak seperti iblis itu mana mempunyai rasa sayang kepada anak sendiri? Dia sudah berniat melepaskan Hwee Li dan sedapat mungkin mempertahankan nyawanya ketika tiba-tiba terdengar seruan berwibawa.
"Locianpwe, tahan dulu!"
Hek-tiauw Lo-mo menahan gerakan goloknya dan melangkah mundur. Baru teringat dia bahwa hampir saja dia membahayakan nyawa anaknya. Dia sendiri memang tidak peduli apakah Hwee Li akan mati atau hidup, akan tetapi dia lupa bahwa tentu saja ada orang yang amat mempedulikan hal itu, dan orang ini tentu saja adalah Pangeran Liong Bian Cu yang amat mencinta Hwee Li!
Kini pangeran itu muncul dan memandang kepada Kian Bu yang masih tertawan dalam jala dan yang memegang lengan Hwee Li yang tertotok lemas dan menempelkan jari tangannya di tengkuk dara itu. Dia memandang penuh kekhawatiran, lalu berkata dengan gagap, "Suma-sicu, harap kau suka melepaskan dia."
Hwee Li menoleh ke arah pangeran itu dan berkata lirih, "Lekas...., lekas.... Pangeran.... kenapa kau tidak cepat menolong tunanganmu ini....? Lekas.... ahhhhh...."
Mengertilah kini Kian Bu. Kiranya Hwee Li adalah tunangan pangeran berhidung betet ini! Hatinya menjadi girang. Memang Hwee Li merupakan seorang sandera yang amat berharga. Akan tetapi di samping kegirangan hatinya, juga timbul keheranan. Kalau Hwee Li menjadi tunangan pangeran itu, mengapa Hwee Li bersikap begini dan agaknya hendak menolongnya? Dia tidak mengerti, akan tetapi dia pun tidak mau banyak pusing menikirkan hal itu.
"Mudah saja melepaskan dia, Pangeran, akan tetapi aku pun berhak minta dibebaskan pula," katanya.
"Tentu saja! Kaulepaskanlah tunanganku itu, dan kami akan membebaskanmu."
"Hemmm, kedudukan kalian adalah jauh lebih kuat, maka sepatutnyalah kalau aku yang lebih dulu minta dibebaskan, baru kemudian aku akan membebaskan Nona ini."
"Kau.... kau tidak percaya kepada omonganku?" Pangeran Liong Bian Cu membentak marah, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang, dan berkata kepada Hek-tiauw Lo-mo, "Lacianpwe, harap kau suka melepaskan jalamu itu dan biarkan dia bebas."
Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, memandang kepada Kian Bu dengan mata lebar dan melotot penuh kemarahan, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan beberapa kali gerakan, jala yang menyelimuti tubuh Kian Bu itu ditariknya terlepas. Memang jala itu merupakan senjata yang amat aneh, tali pengikatnya berada di tangan kakek ini maka dia dapat menggerakkan jala itu sesuka hatinya.
Kian Bu bangkit berdiri dan masih memegang pergelangan tangan Hwee Li. Dia mengangguk kepada pangeran itu dan berkata, "Biarlah sekarang aku pergi saja dan nanti setelah tiba di luar daerah ini aku pasti akan membebaskan tunanganmu ini, Pangeran." Tanpa menanti jawaban, Kian Bu lalu memondong tubuh Hwee Li, kemudian meloncat dengan kecepatan seperti terbang saja keluar dari tempat itu. Hek-tiauw Lo-mo bergerak hendak mengejar, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi, akan tetapi pangeran itu mengangkat tangan mencegah mereka, lalu berkata lirih, "Jangan ceroboh, Adinda Hwee Li berada dalam kekuasaannya!"
"Ah, tapi siluman itu! Bagaimana kalau dia tidak membebaskan Hwee Li?" Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan alis berkerut.
"Kita harus membayangi dia!" Hek-hwa Lo-kwi juga mengangguk-angguk.
Sang pangeran menjadi bingung, dia berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan di belakang pinggulnya, wajahnya agak pucat. Dia amat mencinta Hwee Li dan kini kekasihnya itu terancam bahaya tanpa dia berani mengerahkan orang-orangnya karena kekasihnya itu berada dalam ancaman seorang musuh yang amat lihai.
"Kenapa tidak menggunakan garuda saja. ...?" Tiba-tiba Gitananda berkata.
"Ah, benar! Hanya dengan cara itu Ji-wi Locianpwe dapat membayanginya dan menjaga keselamatan Adinda Hwee Li!"
Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan wajahnya berseri. "Kenapa aku melupakan garuda itu?" Dia mencela diri sendiri. "Lo-kwi, hayo kaubantu aku menghadapi Siluman Kecil!"
Hek-hwa Lo-kwi sejak dahulu memang selalu tidak mau mengalah terhadap Hek-tiauw Lo-mo, maka kini mendengar ajakan itu, dia membuang muka. "Urusan anakmu sendiri, kenapa kau hendak merepotkan orang lain? Katakan saja engkau tidak berani menghadapi siluman itu sendirian saja!"
"Siapa tidak berani? Biar ditambah engkau sekalipun, aku tidak takut!" Hek-tiauw Lo-mo menghardik.
Melihat dua orang pembantunya yang kukoai (aneh wataknya) itu mulai cekcok sendiri, Pangeran Liong Bian Cu cepat berkata, "Harap Hek-hwa locianpwe suka membantu Hek-tiauw Locianpwe menyelamatkan Adinda Hwee Li."
Barulah dua orang kakek iblis itu tidak berani banyak ribut lagi dan tak lama kemudian mereka telah menunggang di atas punggung burung garuda besar itu yang mulai mengibaskan sayapnya dan terbang ke atas, memasuki udara yang gelap. Pangeran Liong Bian Cu lalu memerintahkan kakek Gitananda untuk memimpin sepasukan pengawal melakukan pengejaran jalan darat, dan Jenderal Kao mendapat tugas menjaga benteng dengan ketat agar jangan sampai dapat diselundupi musuh lagi.
Dengan pengerahan tenaga dan kepandaiannya, bagaikan terbang cepatnya Kian Bu melarikan diri keluar dari benteng melalui pintu gerbang tanpa ada yang mencoba untuk menghalanginya. Para penjaganya yang sudah menerima perintah itu hanya memandang dengan bengong melihat pemuda itu berlari cepat memondong tubuh dara tunangan pangeran itu keluar dari pintu gerbang dan menghilang di dalam gelap. Hwee Li sendiri memejamkan mata karena ngeri.
Dia sudah biasa menunggang garuda yang terbang tinggi di angkasa dan juga cepat sekali, akan tetapi kini berada dalam pondongan pemuda rambut putih ini yang berlari tidak lumrah cepatnya, dia merasa ngeri juga.
Setelah jauh meninggalkan lembah itu dan tiba di padang rumput yang sunyi, yang diterangi oleh sinar bulan sepotong dan dibantu oleh bintang-bintang di langit, barulah Kian Bu membebaskan totokan yang membuat tubuh Hwee Li lemas tadi, dan menurunkannya dari pondongan. Kemudian dia menjura kepada dara itu sambil berkata, "Nona, sekali lagi engkau telah menolongku, kalau dulu engkau menolongku mencarikan obat untuk kakakku, kini engkau malah menolong aku dan membebaskan aku dari cengkeraman maut. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas budimu yang besar itu."
"Siapa berterima kasih kepada siapa? Akulah yang harus berterima kasih kepadamu," kata Hwee Li.
"Tidak, engkau yang telah melepas budi besar kepadaku, Nona, dua kali malah, dan yang terakhir ini sungguh engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman maut. Aku berhutang nyawa kepadamu."
"Hi-hik, berhutang nyawa? Lalu kapan kau akan membayar hutangmu itu?"
Kian Bu gelagapan, akan tetapi memang pada dasarnya dia adalah seorang pemuda yang berwatak gembira, maka kini bertemu dengan seorang dara lincah seperti Hwee Li, kumat kembali wataknya itu. "Ah, biarlah aku akan selalu membayangimu dan menanti saat baik. Kalau engkau terancam bahaya maut, aku akan menolongmu sehingga dengan demikian aku akan dapat membayar hutangmu itu."
"Hemmm...." Hwee Li lalu duduk di atas rumput. Indah sekali suasana di padang rumput itu. Angin malam semilir menggerakkan ujung-ujung rumput yang seperti air laut sedang bergelombang lembut. Bau sedap harum rumput bercampur tanah mendatangkan rasa nyaman dan membuat orang ingin menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya. Sinar bulan lembut menyentuh mesra.
Semuanya nampak serba lembut, tidak ada kekerasan yang terbawa dalam sinar matahari siang. "Kau benar-benar ingin membalas budi kepadaku?"
"Benar! Sungguh, Nona, hanya aku tidak tahu dengan cara bagaimana aku harus membalas kebaikan hatimu dan budi yang telah berkali-kali kaulepaskan kepadaku itu."
"Kalau ada sebuah permintaanku, benar engkau mau memenuhinya?"
"Benar, pasti akan kupenuhi permintaanmu itu, asal dapat membalas budimu dengan itu."
"Nah, mulai sekarang, jangan lagi menyebut nona kepadaku."
"Ehhh....?" Kian Bu melongo. Masa hanya sedemikian sederhana permintaannya? Dan apa maksudnya? Apakah dia harus menyebut namanya saja? Namanya Hwee Li, nama yang indah dan enak diucapakan. "Lalu.... menyebut apa?" tanyanya, ragu.
"Kau harus menyebut aku enci (kakak perempuan)."
"Hehhh.. ..? Tapi.... tapi aku lebih tua daripada engkau....! Usiaku sudah dua puluh tahun lebih, dan engkau paling banyak delapan belas...."
"Tujuh belas!" potong Hwee Li dengan cepat. "Nah, baru tujuh belas malah!"
"Hemmm, baru permintaan sedemikian saja engkau sudah banyak cerewet. Katakan saja engkau tidak mau! Apalagi untuk membayar hutang nyawa segala....!" Hwee Li bersungut-sungut dan memalingkan muka dari pemuda itu.
"Ah, tentu saja aku mau. Enci Hwee Li, jangan marah. Aku akan menyebutmu enci, cici, kakak ataukah enso (kakak ipar)....?"
"Ihhh! Tak tahu malu!" Hwee Li membentak dan mukanya berubah merah sekali, akan tetapi karena sinar bulan juga mengandung warna kemerahan, maka perubahan warna muka ini tidak dapat kentara. Sebaliknya, Kian Bu termenung dan hatinya terharu, dia tidak mau menggoda lagi. Jelaslah bahwa permintaan dara ini membuktikan bahwa dara ini benar-benar mencinta kakaknya! Dia merasa girang dan terharu. Ah, derita batin kakaknya tentu akan terobati kalau kakaknya memperoleh dara cantik jelita dan lincah jenaka ini sebagai kekasih dan calon isteri!
"Maafkan aku, Enci Hwee Li, aku berjanji tidak akan menyebutmu so-so lagi...."
Hwee Li menoleh dan matanya yang indah itu melotot. "Berjanji tidak akan menyebut akan tetapi terus-menerus mengulang! Kau menantang, ya?"
"Eh, oh.... tidak...., maafkan. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti apa yang kaumaksudkan ketika mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih kepadaku. Engkau sudah berkali-kali menolongku, kalau sekarang mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih, bukankah itu artinya mengejekku?"
"Huh, kau tidak tahu. Apakah kaukira aku begitu ceroboh dan usil untuk mempertaruhkan nyawaku menolongmu kalau hal itu tidak penting bagiku?"
"Maksudmu....?"
"Bukan aku yang menolongmu, melainkan engkaulah yang telah membebaskan aku dari kurungan benteng itu. Aku adalah seorang tawanan pula di sana, mengertikah engkau?"
Tentu saja Kian Bu menjadi terkejut bukan main. Tadi dia mendengar bahwa dara jelita ini adalah tunangan dari Pangeran Nepal itu, dan sekarang mengaku sebagai tawanan. "Tawanan? Bukankah ayahmu juga berada di sana? Kalau Hek-tiauw Lo-mo menjadi pembantu pangeran itu, mana mungkin engkau menjadi tawanan?"
"Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahku, melainkan musuh besarku!"
"Ehhhhh....?" Kian Bu memandang dengan mata terbelalak.
"Dia.... dia bahkan musuh yang telah membunuh ibuku...." Hwee Li menunduk, hatinya berduka teringat akan riwayatnya itu.
"Ahhh....! Kalau begitu kionghi (selamat) kepadamu, Enci!" Dan Kian Bu benar-benar telah bangkit berdiri dan memberi selamat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk di depan dara itu.
Hwee Li meloncat berdiri. "Engkau.... engkau manusia kejam! Engkau siluman liar!" Dan tiba-tiba dara itu telah menerjang dan menyerang Kian Bu dengan hebatnya! Begitu menyerang, tangannya meluncur menotok ke arah jalan darah di leher Kian Bu, sedangkan kakinya yang kecil itu cepat sekali menyusul dengan tendangan yang juga merupakan totokan dengan ujung sepatu mengarah lambung!
"Eh.... plakkk! Ohhh.... plekkk!" Kian Bu terhuyung-huyung ke belakang karena dia menangkis tanpa mengerahkan sin-kangnya sehingga dia terdorong oleh tenaga totokan dan tendangan itu. Dengan penasaran dan marah karena serangannya yang tiba-tiba dan amat cepat itu dapat ditangkis, bahkan tangan dan kakinya terasa nyeri, Hwee Li telah menerjang lagi, seperti seekor naga mengamuk saja. Namun sekali ini Kian Bu telah siap, dan dengan mudah pemuda ini terus-menerus mengelak.
"Eh, nanti dulu.... wah, Enci.... eh, Ciciku yang baik.... tahan dulu....!" Melihat Hwee Li terus menyerang, tiba-tiba tubuh Kian Bu melesat jauh dan lenyap!
Hwee Li termangu-mangu, dan merasa heran, lalu bersungut-sungut, "Tak tahu aturan, adik macam apa dia itu! Orang menceritakan ibunya dibunuh orang malah memberi selamat!"
"Wah, engkau salah sangka, Enci Hwee Li...." Tiba-tiba Hwee Li membalikkan tubuhnya dan kiranya pemuda berambut putih itu telah berdiri di belakangnya! Kian Bu cepat mengangkat kedua tangan ke atas, tanda takluk dan tergesa-gesa menyambung ucapannya sebelum dara yang galak itu sampai menyerangnya lagi, "Dengarkan dulu! Aku memberi selamat kepadamu bukan untuk itu, melainkan mendengar bahwa engkau bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo! Sejak dahulu pun aku sudah tidak percaya, masa iblis jelek menakutkan macam Hek-tiauw Lomo bisa mempunyai seorang anak yang cantik molek dan manis jelita seperti engkau...."
"Wah, engkau memang seorang adik yang bejat moralnya!"
"Lhoh, kenapa lagi?"
"Engkau memuji-muji kecantikan cicimu, hemmm, ada maksud kotor apa di dalam hatimu?"
Kian Bu tersenyum. "Aihhh, segala yang kuucapkan ternyata kauanggap salah saja. Sudahlah aku minta maaf. Aku tadi memberi selamat saking girang hatiku mendengar bahwa engkau bukanlah puteri Hek-tiauw Lo-mo, maka aku memberi selamat dan saking girang hatiku sampai aku tadi lupa bahwa ibumu telah terbunuh oleh iblis itu! Hemmm, jangan khawatir, aku akan membantumu membalaskan dendam orang tuamu itu, Enci Hwee Li. Lalu...., siapakah orang tuamu, kalau aku boleh bertanya?"
Akan tetapi Hwee Li sudah duduk lagi dan tidak menjawab, hanya menunduk. Keadaan menjadi sunyi, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kian Bu memang merasa girang, karena kalau dara ini bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, berarti dara ini makin pantas menjadi jodoh kakaknya. Betapapun cantiknya dan baiknya, kalau dia ini puteri Hek-tiauw Lo-mo, wah, agak sukar juga karena setidaknya, orang tua mereka di Pulau Es tentu tidak akan sudi berbesan dengan iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, melihat Hwee Li tidak menjawab pertanyaannya tentang orang tuanya, dia pun tidak berani mendesak, karena dia mengira bahwa tentu dara itu masih merasa berduka atas kematian orang tuanya di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Di lain fihak, Hwee Li juga tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia menyuruh Kian Bu menyebutnya enci karena memang dia merasa bahwa pemuda ini adalah adik Kian Lee, maka sudah sepantasnya menyebut enci, bukan enso (kakak ipar) karena memang belum waktunya! Dan kini, sukar baginya untuk mengaku bahwa dia adalah keturunan mendiang Kim Bouw Sin, panglima di perbatasan yang pernah menjadi pemberontak itu! Bagaimanakah keluarga Suma akan memandangnya kalau mereka mendengar bahwa dia adalah keturunan pemberontak Kim Bouw Sin? Padahal, dia tahu bahwa keluarga Pulau Es adalah keluarga pahlawan, bahkan ibu Kian Bu Siluman Kecil ini adalah seorang puteri istana kaisar! Maka, dia tidak berani mengaku di depan Kian Bu siapa adanya orang tuanya yang sesungguhnya.
Melihat Hwee Li menunduk seperti orang berduka itu, Kian Bu mengira bahwa dara itu teringat akan orang tuanya, maka dia lalu mengalihkan percakapan. "Enci Hwee Li, jadi engkau telah ditahan secara paksa di dalam benteng itu? Akan tetapi aku mendengar bahwa engkau.... eh, engkau adalah tunangan pangeran itu!"
"Tidak sudi! Dia memaksa aku menjadi tunangannya, dia dan iblis tua bangka itu dan para pembantunya. Akan tetapi, siapa sudi menjadi isterinya?"
"Eh, kenapa? Bukankah pangeran itu gagah dan tampan, seorang pangeran kerajaan pula?"
"Tampan? Dia me.... memuakkan....!"
Hwee Li teringat betapa dia pernah diciumi oleh pangeran itu dalam keadaan tak dapat menghindar. "Terutama.... hidungnya! Dan matanya! Seperti burung hantu.... ihhh, menjijikkan!" Dan Hwee Li meludah karena dia teringat akan ciuman-ciuman dahulu itu.
Kian Bu tidak mau mengukur isi hati dara itu lagi. Hatinya girang karena selain dara ini ternyata bukan puteri dari iblis Pulau Neraka itu, juga ternyata Hwee Li bukanlah tunangan pangeran dari Nepal itu, melainkan dipaksa sebagai tunangannya. Sekarang tahulah dia mengapa Hwee Li menolongnya. Memang benar pengakuan dara ini tadi bahwa Hwee Li bukan semata-mata menolongnya, melainkan juga hendak menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri dari dalam benteng. Dan memang perhitungan dara itu amat cerdik. Karena "membiarkan" dirinya ditawan dan dijadikan sandera oleh Kian Bu, maka biarpun tokoh-tokoh lain tidak peduli, namun pangeran itu ternyata merasa khawatir akan keselamatan tunangannya dan membiarkan Kian Bu lolos membawa Hwee Li.
"Kalau begitu, Enci Hwee Li, apakah engkau tidak akan kembali ke sana setelah berhasil lolos bersamaku?" Akhirnya Kian Bu bertanya.
"Kembali ke sana? Apakah engkau gila? Terang aku tidak akan kembali ke sana, akan tetapi.... aku terpaksa harus kembali ke sana."
"Ehhh? Engkau memang aneh, Enci." Kian Bu memandang heran. "Setelah berhasil lolos, mengapa hendak kembali lagi ke sana? Katanya engkau membenci sang pangeran?"
"Hushhh, aku bukan hendak kembali untuk dia. Pertama-tama, aku harus berhasil membalaskan sakit hati ibuku terhadap iblis tua bangka dari Pulau Neraka itu."
"Hemmm, tidak mudah! Dia lihai sekai!."
"Takut apa? Dengan adanya engkau di sampingku yang membantuku, apakah kaukira aku tidak mampu membekuk batang lehernya?"
"Aku....? Ah, akan tetapi.... belum tentu aku akan kembali ke sana."
Hwee Li meloncat bangun, berdiri dan menghadapi Kian Bu dengan kedua tangan menekan pinggangnya yang ramping. Dia membanting kaki kanannya dua kali, tanda bahwa dia merasa kesal dan marah. "Engkau ini seorang adik macam apa? Engkau harus kembali ke sana bersamaku, membantu aku!"
Terlalu sekali bocah ini, pikirnya. Belum apa-apa saja lagaknya sudah begini memerintah dan memaksa. Bagaimana kalau kelak benar-benar menjadi kakak iparku? Wah, kakaknya, Kian Lee harus bekerja keras untuk menundukkan si liar ini!
"Bagaimana kalau aku tidak.... sanggup?" Dia tidak jadi mengatakan tidak mau, khawatir nona itu akah marah- marah dan menyerangnya lagi seperti tadi. Betapapun juga, dia tidak dapat lupa bahwa nona ini pernah menyelamatkan nyawa kakaknya ketika menolongnya mencarikan jamur mujijat itu, kemudian telah menyelamatkan nyawanya sendiri ketika dia tertawan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu tadi.
"Engkau harus sanggup dan engkau harus mau!" jawab Hwee Li. "Tanpa kuminta sekalipun engkau pasti akan kembali ke sana!"
"Eh, bagaimana engkau begitu pasti, Enci....?" Kian Bu terheran.
"Karena ketahuilah bahwa keluarga Jenderal Kao Liang juga menjadi tawanan di tempat itu. Dia sendiri, isterinya, puteranya, cucu-cucunya dan keluarganya. Aku tahu bahwa engkau tentu akan mencoba untuk menolong mereka."
Kian Bu menunduk dan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali kalau dia mengingat akan jenderal yang dulu amat dikagumi dan dihormatinya itu. Masih berkumandang di telinganya betapa jenderal itu sendiri menolak ketika dia menuntut pembebasan keluarga jenderal itu, apalagi melihat kenyataan kemudian betapa jenderal itu benar-benar telah menjadi pembantu pangeran dari Nepal, seorang musuh negara! Maka dia menggeleng kepalanya.
"Tidak, aku tidak akan mencampuri urusan Jenderal Kao.. .."
"Akan tetapi dia melakukan semua itu karena terpaksa, Kian Bu!" Hwee Li berkata dan kini dia telah duduk kembali.
"Jangan kau mengira bahwa Jenderal Kao telah menjadi seorang pengkhianat! Keluarganya ditawan dan semua diancam akan disiksa di depan matanya kalau dia tidak menurut, kalau dia tidak mau membangun benteng itu."
"Huh, laki-laki macam apa itu? Seorang gagah tidak akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Untuk menyelamatkan keluarga lalu menjual diri kepada musuh negara hanya dapat dilakukan oleh orang yang lemah dan pengecut."
"Akan tetapi dia tidak berkhianat! Dia hanya berjanji untuk membangun benteng dan memimpin pertahanan di benteng itu, dia tidak berjanji untuk menyerang kerajaan. Dia terpaksa, Kian Bu, siapa orangnya yang dapat bertahan melihat keluarganya terancam bahaya maut dan siksaan? Selain itu, di sana masih ada seorang lain yang ditahan dan yang pasti akan kaucoba selamatkan. Dia adalah Bibi Syanti Dewi!"
"Bibi....? Kau menyebutnya bibi?" Kian Bu bertanya heran.
"Tentu saja! Habis disuruh menyebut apa?"
"Dia usianya tidak berselisih banyak denganmu."
"Dasar kau yang tolol! Apakah sebutan orang itu tergantung dari usianya? Andaikata dia lebih muda daripada aku sekalipun, tetap saja aku menyebut bibi kepadanya. Dia adalah kakak angkat dari guruku, habis suruh aku menyebut apa kepadanya?"
Kian Bu makin terheran dan juga bingung. Bocah ini adalah murid dari Ceng Ceng, dan Ceng Ceng adalah seorang keponakannya, puteri dari mendiang kakak tirinya! Ceng Ceng sendiri menyebut paman kepadanya, jadi semestinya Hwee Li yang menjadi murid Ceng Ceng ini harus menyebutnya susiok-kong (paman kakek guru)! Akan tetapi, malah dia diharuskan menyebut enci kepada dara ini yang masih terhitung murid cucu keponakannya! Dan bagaimana kalau kakaknya sampai berjodoh dengan dara ini? Bukankah hal itu berarti menikah dengan cucu keponakan sendiri? Dan anak mereka kelak? Bukankah anak itu masih cucu buyut keponakan? Wah, dia menjadi bingung sendiri. Persetan segala macam sebutan-sebutan itu!
"Bagaimana, Kian Bu. Engkau tentu akan menyelamatkannya, bukan? Tadi engkau mati-matian datang seorang diri memasuki benteng untuk menolong Bibi Syanti...."
Kian Bu menggeleng kepala. "Sekarang tidak perlu lagi. Dia adalah Puteri Bhutan, dan di sana terdapat Panglima Bhutan yang tentu saja berhak untuk melindunginya. Dan kalau dia berada di sana sebagai tamu...."
"Wah, engkau ini berjuluk Siluman Kecil, namamu menggemparkan seluruh dunia, eh, kiranya hanya seorang bocah yang bodoh belaka! Siapa bilang Bibi Syanti menjadi tamu? Dia pun diculik oleh kakek Gitananda dan menjadi tawanan di sana. Memang si Mohinta yang tak tahu malu itu tadinya hendak minta dibebaskannya Bibi Syanti Dewi, akan tetapi pengkhianat hina-dina itu malah bersekutu dengan pangeran blo'on itu...."
"Eh, kok ada pangeran blo'on segala?"
"Maksudku, pangeran hidung kakatua itu. Mohinta bersekutu, menjadi kaki tangan Pangeran Nepal dan mereka berjanji untuk menggunakan Bibi Syanti sebagai sandera untuk menundukkan Kerajaan Bhutan! Dan kelak Mohinta dijanjikan akan dikawinkan dengan Bibi Syanti Dewi.... Coba, apa kau rela?"
"Ahhh....!" Kian Bu meloncat berdiri dan mengepal tinjunya, mukanya menjadi merah sekali tanda bahwa Siluman Kecil ini marah bukan main. Mereka berani mempermainkan Syanti Dewi? Berarti harus berhadapan dengan dia!
Melihat pemuda itu termenung dan mengepal tinju, kelihatan marah sekali, Hwee Li memandangnya dan tiba-tiba sepasang matanya memandang sayu. "Kian Bu.... dia.... dia.... Bibi Syanti Dewi...." Dia tidak melanjutkan kata-katanya ketika Kian Bu cepat menoleh kepadanya, lalu menunduk. Ketika berada di dalam benteng, antara dia dan Syanti Dewi terdapat hubungan yang amat akrab dan di dalam percakapan yang penuh kepercayaan, Syanti Dewi pernah menceritakan semua pengalamannya, betapa Kian Bu menderita karena terpaksa ditolak cintanya dan betapa puteri itu merasa kasihan dan berdosa terhadap pemuda Pulau Es yang amat baik itu, betapa sang puteri tidak dapat membalas cintanya karena sang puteri telah mencinta orang lain! Ketika Hwee Li bertanya siapa adanya orang lain itu, sang puteri tidak mau menjelaskan. Kini Hwee Li melihat sendiri betapa Kian Bu masih mencinta puteri yang menolak cintanya itu, dan dia merasa kasihan, tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
"Dia kenapa....?" Kian Bu mendesak bertanya, suaranya agak gemetar.
"Dia.... harus ditolong, kalau tidak, bukan hanya Bibi Syanti Dewi yang akan celaka, dipaksa menikah dengan Mohinta itu, bahkan kerajaan ayahnya tentu akan celaka akibat pemberontakan Mohinta yang dibantu oleh Pangeran Nepal."
"Ha-ha-ha-ha, lihat Lo-mo, anakmu itu sungguh tak tahu malu!" Tiba-tiba terdengar suara orang dari atas. Kian Bu cepat memandang ke atas, demikian pula Hwee Li dan di langit yang sudah mulai remang-remang menanti datangnya fajar itu nampak seekor burung garuda besar yang ditunggangi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi!
"Tutup mulutmu yang berbau busuk, Lo-kwi, atau kugampar kau sampai jatuh ke bawah!" Hek-tiauw Lo-mo membentak. Burung garuda itu menukik turun dan dengan cepat dua orang kakek itu sudah meloncat ke atas tanah di depan Kian Bu, sedangkan garuda itu sudah terbang lagi ke atas.
"Hemmm, begini sajakah Siluman Kecil yang terkenal hebat itu?" Hek-hwa Lo-kwi mengejek sambil menghadapi Kian Bu. "Ternyata, hanya seorang hina yang tidak dapat memegang janjinya sendiri!"
"Huh, manusia dari Pulau Es mana bisa dipercaya omongannya?" Hek-tiauw Lo-mo menyambung sambil menyeringai penuh kebencian. Bagi bekas tokoh Pulau Neraka ini, segala yang berbau Pulau Es amat dibencinya. Dan biarpun dia tahu bahwa putera Pendekar Super Sakti ini memiliki kepandaian hebat, bahkan telah berjuluk Siluman Kecil yang menggemparkan namanya di sepanjang lembah
Huang-ho, namun dia tidak merasa takut. Pernah dia menyaksikan kepandaian pemuda ini ketika jaman pemberontakan dua orang Pangeran Liong beberapa tahun yang lalu dan dia merasa masih sanggup menandinginya. Apalagi kini ada Hek-hwa Lo-kwi yang membantunya. Tentu saja dia belum tahu tentang kemajuan Kian Bu yang telah memperoleh ilmu mujijat itu.
"He, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua ekor anjing tua bangka tak tahu malu!" tiba-tiba Hwee Li membentak sehingga Kian Bu merasa tidak enak sendiri. Bocah ini memaki ayahnya dengan sebutan anjing tua bangka tak tahu malu. Biarpun Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya sendiri, biarpun mungkin saja telah membunuh orang tua Hwee Li, namun harus diakui bahwa semenjak kecil Hwee Li dirawat dan dididiknya, maka makian itu sungguh terlalu kasar dan tidak enak didengar. "Kalian jangan menuduh orang sembarangan saja, ya? Orang gagah seperti dia ini mana bisa disamakan dengan raksasa-raksasa biadab macam kalian yang mengingkari janji dan bersikap khianat? Dia telah memegang janjinya, dia telah membebaskan aku seperti yang dijanjikan kepada pangeran brengsek itu! Hanya akulah yang tidak mau kembali ke sana. Tahukah kalian?"
Dasar Hek-tiauw Lo-mo memang seorang kasar yang sama sekali tidak mempunyai perasaan halus, maka makian-makian yang dilontarkan oleh mulut Hwee Li kepadanya itu sama sekali tidak membekas. Dia hanya tertawa bergelak. Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi yang tidak pernah merasa suka kepada rekannya ini segera membentak, "Lo-mo, perlu apa banyak cerewet lagi? Hayo kita bunuh bocah siluman ini dan seret anakmu pulang ke benteng!" Setelah berkata demikian, Hek-hwa Lo-kwi sudah menggosok-gosok kedua tangannya dan aneh sekali, seketika seluruh tubuhnya menjadi putih seperti kapur. Itulah ilmunya yang baru, yang dilatihnya di Lembah bersama para pengikutnya, yaitu sisa-sisa anak buahnya yang masih hidup ketika dia dahulu menjadi ketua Lembah Bunga Hitam (baca Kisah Sepasang Rajawali). Ilmunya ini dia namakan Pek-hiat-hoat-lek (Ilmu Sihir Darah Putih), ilmu
pukulan yang mengandung hawa mujijat dan racun yang amat berbahaya. Selama berbulan-bulan dia menanam diri di dalam rumah tempurung, diikuti oleh para anak buah bekas perkumpulan Lembah Bunga Hitam yang sudah tinggi ilmunya. Akan tetapi tentu saja para anak buahnya itu tidak dapat mencapai tingkat tinggi yang dicapai oleh Hek-hwa Lo-kwi ini. "Biar kauhajar Siluman Kecil yang sombong itu Lo-kwi. Di benteng aku pernah menangkap dia, sekarang tunjukkanlah kepandaianmu, hendak kulihat apakah kau juga mampu menangkapnya, biar aku yang membekuk batang leher betina liar ini!"
Hek-tiauw Lo-mo memang licik sekali wataknya. Memang benar ketika Kian Bu berada di dalam benteng, dia berhasil menangkap pemuda itu menggunakan senjata jalanya yang istimewa, akan tetapi hal itu hanya dapat terjadi karena Kian Bu menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Kalau berhadapan satu lawan satu, jangan harap bekas ketua Pulau Neraka ini akan mampu menangkap Kian Bu! Kini, dia sengaja mengejek Hek-hwa Lo-kwi, dan dia sendiri sudah maju menubruk Hwee Li.
Di dalam lubuk hatinya, Hwee Li merasa amat membenci kakek yang pernah menjadi ayahnya ini. Orang ini adalah musuh besarnya, yang telah memperkosa ibu kandungnya sampai mati! Maka, kini melihat bahwa dia tidak mendapat jalan lain kecuali melawan, dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan diam-diam dia telah mempersiapkan dirinya. Selama beberapa tahun dia sedikit banyak telah menerima ilmu-ilmu tentang racun dari gurunya. Dia maklum bahwa kalau mempergunakan ilmu silat, tentu saja dia tidak akan mampu melawan bekas ayahnya ini. Ular-ularnya telah dirampas oleh mereka ketika dia menjadi tawanan di dalam benteng, juga semua senjata rahasia telah dirampas orang. Dia pun tidak memegang senjata apa-apa, maka begitu melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruk, dia cepat menghindarkan diri, meloncat jauh ke kiri dan tangannya menyambar tanah di bawah kakinya. Kini kedua tangannya mengepal segenggam tanah bercampur pasir dan dia telah mengerahkan sinkangnya. Di dalam kepalan tangannya, tanah dan pasir itu berubah menjadi hitam dan telah mengandung racun yang amat hebat! Itulah satu di antara ilmu racun yang  diterimanya dari gurunya. Gurunya adalah Ceng Ceng atau Nyonya Kao Kok Cu, murid mendiang Ban-tok Mo-li si Iblis Betina Selaksa Racun! Dan memang dia berguru kepada Ceng Ceng hanya untuk mempelajari tentang racun seperti telah dijanjikan oleh gurunya itu (baca Kisah Sepasang Rajawali).
Melihat tubrukannya dihindarkan oleh dara itu, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. Tugasnya jauh lebih ringan daripada tugas Hek-hwa Lo-kwi yang harus menghadapi Siluman Kecil seorang diri, maka dia pun tidak mau tergesa-gesa. Dia hendak membiarkan dulu Hek-hwa Lo-kwi setengah mati menghadapi lawan tangguh itu, dan dia akan seenaknya saja menangkap bekas anaknya ini yang dianggapnya merupakan pekerjaan mudah. Nanti kalau temannya yang dibencinya itu sudah benar-benar membutuhkan bantuan, barulah dia akan merobohkan Hwee Li dan membantunya. "Heh-heh, bocah kurang ajar, kaukira dapat melepaskan diri dariku? Kalau tidak mengingat pangeran, tentu aku sudah menelanjangimu dan mempermainkanmu seperti aku mempermainkan ibumu dahulu, baru kulobangi kepalamu! Ha-ha-ha!"
Hampir Hwee Li menjerit saking marah dan bencinya mendengar kata-kata itu, akan tetapi dia menahan kemarahannya, dia menggerakkan kaki berputar-putar dan mundur-mundur menjauhi lawan, akan tetapi sepasang matanya mengincar tajam, mencari kesempatan kalau lawan lengah akan diserangnya dengan "senjata" istimewa di dalam genggaman kedua tangannya itu.
Sementara itu, Hek-hwa Lo-kwi juga sudah mulai menyerang Kian Bu. Dengan suara melengking nyaring, dia telah bergerak ke depan, kedua tangannya mengeluarkan suara seperti angin puyuh mengamuk, dan dari kedua telapak tangannya itu menyambar bau wengur yang mengeluarkan sinar putih. Kian Bu terkejut. Hebat ilmu pukulan itu, pikirnya. Ada serangkum hawa yang amat tajam dan berbau wengur menyambar. Dia maklum bahwa bukan hanya hawa itu yang dapat melukai orang, akan tetapi juga bau itu dapat merobohkan lawan karena mengandung racun berbahaya. Namun, dia sudah cepat mengelak dan membalas dengan pukulan dari samping, dengan telapak tangan didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang. Tenaga berhawa panas membakar ini menyambar dari samping ke arah tubuh Hek-hwa Lo-kwi. Demikian cepat gerakan Kian Bu sehingga pukulan itu tidak mungkin dapat dielakkan lawan lagi. Satu-satunya jalan bagi lawan hanyalah menangkis dan hal ini pun dilakukan oleh Hek-hwa Lo-kwi tanpa ragu-ragu lagi. Dia membalik ke kiri menghadapi pemuda itu dan menggerakkan kedua tangannya ke depan untuk menyambut pukulan Kian Bu. Serangkum angin dahsyat menyambar dan segulung sinar putih nampak, bertemu dengan hawa pukulan Kian Bu yang tidak kelihatan itu.
"Nyesssss....!"
Kian Bu terkejut bukan main. Hawa pukulannya yang mengandung hawa panas itu seperti terjun ke dalam air dingin saja rasanya, seperti api yang disiram air dingin. Nampak asap hitam mengepul di antara mereka ketika kedua pukulan itu bertemu dan Kian Bu merasa betapa hawa pukulan Hwi-yang Sin-ciang itu membalik, seperti seekor naga yang kembali ke gua karena takut bertemu lawan yang kuat! Namun, pemuda ini sudah menguasai sinkang dari Pulau Es itu dengan sempurna, maka dia dapat menyimpan kembali hawa itu tanpa melukai dirinya sendiri. Dia melihat tubuh kakek bermuka tengkorak itu juga tergoyang, berarti bahwa hawa pukulan kakek itu pun membalik. Maka dia merasa penasaran. Siluman Kecil ini belum mau mempergunakan pukulan gabungan Im dan Yang dari Pulau Es yang dilatihnya atas petunjuk Kim Sim Nikouw, karena pukulannya itu dianggapnya terlalu berbahaya sehingga membahayakan nyawa lawan, padahal dia tidak mau membunuh lawan ini. Bahkan dia sekarang merasa ngeri sendiri mengingat betapa pukulan gabungannya yang amat hebat itu hampir saja menewaskan kakaknya sendiri, maka diam-diam dia berjanji di dalam hatinya bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak mau mengeluarkan pukulan gabungan itu. Kini, melihat betapa Hwi-yang Sin-ciang dapat ditangkis lawan dan tidak berhasil, dia lalu mengganti sinkangnya menjadi Swat-im Sin-kang dan dia lalu memukul lagi, sekali ini dengan pukulan hawa dingin, yaitu Swat-im Sin-ciang. Serangkum angin yang mengandung hawa dingin melebihi salju menyambar ke depan. Kakek itu memandang tajam.
"Bagus....!" Hek-hwa Lo-kwi berseru girang dan seperti juga tadi, dia telah menggerakkan kedua tangan mendorong ke depan. Serangkum angin dahsyat didahului sinar putih bergulung-gulung menyambar serangan Kian Bu itu. Kembali kakek itu menggunakan ilmu pukulannya yang sakti, yaitu Pek-hiat-hoat-lek.
Kembali dua macam hawa pukulan sakti bertemu di udara. "Cesssss....!" Dan sekali lagi nampak asap mengepul, akan tetapi asap itu tidak hitam seperti tadi, melainkan berupa uap putih. Seperti juga tadi, Kian Bu merasa betapa hawa sakti yang dipergunakannya membalik, membuat tubuh atasnya bergoyang. Akan tetapi dia melihat Hek-hwa Lo-kwi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Dia sudah merasa girang ketika dengan heran dia melihat kakek itu meloncat bangun sambil tertawa girang. Mendadak Kian Bu berteriak, "Celaka....!" dan dia pun terhuyung. Kepalanya terasa pening dan matanya berkunang, dadanya terasa gatal-gatal dan sesak! Tahulah dia bahwa dia telah terkena racun yang amat hebat.
Memang itulah kelihaian Pek-hiat-hoat-lek! Ketika tadi Kian Bu menggunakan Hwi-yang Sin-ciang untuk menyerang, kakek itu menangkis dengan ilmunya yang mujijat, yang mengandung racun amat hebat. Dia sudah merasa penasaran dan heran melihat pemuda itu tidak apa-apa, akan tetapi dia segera tahu bahwa pemuda itu tadi menggunakan inti tenaga panas, maka tentu hawa beracun dari pukulannya telah terbakar dan buyar oleh hawa panas itu. Ketika pemuda itu kini memukul kembali dengan penggunaan tenaga dingin, dia merasa girang dan menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dan sekali ini dia berhasil! Memang dalam hal
tenaga sinkang dia masih kalah setingkat oleh Kian Bu, akan tetapi pemuda Pulau Es ini tidak tahu bahwa ketika tangan saktinya membalik, tenaga itu sudah mengandung racun dari Pek-hiat-hoat-lek! Kalau tadi hawa beracun itu terbakar oleh panasnya Hwi-yang Sin-kang, kini hawa beracun itu malah menjadi kuat terbawa oleh Swat-im Sin-kang yang kembali dan otomatis tertarik ke dalam tubuh dan melukai dadanya! Hek-hwa Lo-kwi maklum bahwa pukulannya yang beracun itu telah melukai kawan, maka sambil tertawa dia lalu menubruk maju dengan pukulan-pukulan itu yang dilakukan dengan bertubi-tubi. Memang hebat sekali ilmu mujijat ini. Angin berpusing-pusing dan sinar putih bergulung-gulung mengejar Kian Bu. Akan tetapi pemuda itu pun sudah menjadi marah. Cepat tubuhnya berkelebatan dan dia sudah menggunakan Ilmu Sin-ho-coan-in yang membuat tubuhnya seperti kilat
menyambar-nyambar saja, mencelat ke sana-sini sampai tak dapat diikuti oleh pandang mata saking cepatnya. Hek-hwa Lo-kwi terkejut dan menjadi bingung, namun dia terus mengejar.
Kian Bu tidak mengerahkan lweekang untuk melakukan pukulan mautnya, yaitu penggabungan Yang-kang dan Im-kang itu, karena dadanya telah terluka dan terkena hawa beracun. Kalau dia mengerahkan lweekang terlalu kuat, maka tentu racun itu akan menjalar dan lukanya akan menjadi parah. Maka kini dia mengandalkan kecepatannya dan berusaha untuk menotok lawan. Namun, dia harus berlaku hati-hati dan gerakannya menjadi kurang gesit karenanya, tidak seperti biasa, sungguhpun kecepatan itu masih membuat Hek-hwa Lo-kwi menjadi bingung.
"Dia sudah terluka! Lo-mo, hayo cepat bantu aku. Sialan kau!" Hek-hwa Lo-kwi berteriak-teriak.
Hek-tiauw Lo-mo tentu saja melihat hal itu. Diam-diam dia juga merasa girang dan kagum terhadap kelihaian ilmu pukulan kawan yang tidak disukainya itu. Maka dia lalu menubruk Hwee Li yang sejak tadi hanya dikejar-kejar dan di desaknya itu. Hwee Li tidak dapat mengelak, lalu menyambut dengan tendangan dan pukulan.
"Dukkk! " Tendangan kakinya mengenai perut bekas ayahnya, akan tetapi tendangan itu membalik dan kakinya terasa nyeri. Cepat dia meloncat ke belakang, kedua tangannya diayun ke depan dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah muka dan dada Hek-tiauw Lo-mo. Itulah "senjata" tanah dan pasir yang telah berubah menjadi senjata beracun itu. Dia memang menanti saat baik dan kinilah saatnya. Bukan hanya karena dia telah terdesak, akan tetapi juga melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruknya sambil tertawa dan kelihatan lengah.
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya. Diserang secara mendadak seperti itu, dia tidak menjadi gugup, bahkan suara ketawanya tidak berhenti, dia hanya menggerakkan kedua lengan yang tadinya hendak menubruk itu, kini digerakkan cepat sehingga ujung kedua lengan bajunya yang lebar itu bergerak seperti bendera berkibar dari mana menyambar angin yang keras dan senjata rahasia hitam yang lembut terdiri dari tanah dan pasir itu tentu saja menjadi buyar dan tertiup ke kanan kiri. Sebelum Hwee Li dapat mengelak, dia telah kena ditendang lututnya dan jatuh terpelanting. Sebuah totokan kilat menyusul dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi, hanya memaki-maki kalang-kabut,
"Iblis tua bangka keparat! Anjing babi monyet tua mau mampus!"
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo hanya tertawa dan kini tiba-tiba dia menubruk ke samping, menyerang Kian Bu sambil mencabut keluar dua senjatanya yang hebat, yaitu golok gergaji di tangan kanan dan jala hitam itu dikepalnya di tangan kiri. Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher pemuda itu. Namun, tubuh Kian Bu berkelebat lenyap dan biarpun kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek yang amat lihai itu, namun mereka berdua tidak pernah dapat memukul atau membacoknya. Tubuhnya berkelebatan terlalu cepat, dan tempat itu luas sekali sehingga leluasalah bagi Kian Bu untuk memainkan ilmunya yang berdasarkan ginkang sempurna itu. Akan tetapi, setelah kini dikeroyok dua, tipislah harapannya untuk dapat merobohkan dua orang lawannya. Dia sama sekali tidak berani mengerahkan sinkang terlalu kuat, padahal kalau hanya mengandalkan ilmu silat biasa saja, sukarlah merobohkan dua orang raksasa ini. Dan rasa gatal dan sesak di dadanya makin menghebat, apalagi melihat betapa Hwee Li telah roboh tertotok, hatinya menjadi agak gelisah dan hal ini makin mengacaukan gerakannya! Hampir saja dia kena disabet golok Hek-tiauw Lo-mo ketika dia melirik Hwee Li, maka dia cepat melempar diri ke belakang dan kini dia tidak mau membagi perhatiannya. Sebetulnya, kalau dia mau pergi dan melarikan diri, dengan mengandalkan ilmu Sin-ho-coan-in, dengan mudah dia dapat meninggalkan dua orang kakek itu dan mereka tidak mungkin dapat mengejar larinya, biar mereka itu menunggang garuda sekalipun. Akan tetapi, dia tidak bisa meninggalkan Hwee Li. Maka kini Kian Bu mencari kesempatan untuk dapat menolong Hwee Li dan membawanya pergi dari situ secepatnya.
Akan tetapi, dua orang kakek itu adalah tokoh-tokoh besar yang selain lihai ilmu mereka, juga amat cerdik. "Ha-ha-ha, Lo-mo, dia sudah terluka, jangan sampai dia melarikan anakmu yang puthauw (tidak berbakti) itu!" kata Hek-hwa Lo-kwi dan setelah berkata demikian, dia menyerang lagi dengan pukulan beracunnya. Untuk ke sekian kalinya, Kian Bu tidak berani menangkis dan hanya mengelak. Hek-hwa Lo-kwi lalu mengeluarkan sebotol benda cair berwarna kuning dan menuangkan benda cair itu di sekeliling tubuh Hwee li yang rebah. Nampak asap mengepul dan tanah yang terkena benda cair itu mendidih!
Melihat ini, agaknya Hek-tiauw Lomo tidak mau kalah. Dia mengeluarkan segenggam paku berwarna hijau dari saku jubahnya yang lebar, lalu sekali tangannya bergerak, paku-paku itu menancap di sekeliling tempat Hwee Li rebah dan anehnya, paku-paku itu menancap berdiri dengan ujungnya yang runcing di atas sehingga siapapun yang akan menolong Hwee Li harus melalui asap beracun dan juga paku-paku beracun itu.
Kian Bu menjadi makin khawatir. Kalau tidak dihalangi oleh dua orang ini, tentu saja dia tidak merasa berat untuk mengeluarkan Hwee Li dari kurungan asap dan paku itu. Merobohkan mereka sementara ini tidak mungkin karena dia tidak dapat mengerahkan lweekangnya yang terlalu kuat. Melarikan diri tanpa membawa Hwee Li juga dia tidak mau melakukannya, maka dia menjadi serba salah!
Tiba-tiba terdengar suara parau, "Benarkah katamu bahwa dia itu Siluman Kecil?"
Pertanyaan parau ini dijawab oleh suara merdu seorang gadis, "Mana bisa keliru, Suhu? Teecu mengenalnya dengan baik."
Kian Bu yang sedang berloncatan ke sana-sini menghindarkan terjangan dua orang itu, cepat melirik. Dia melihat seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bermuka hitam dan berpakaian sederhana berwarna hitam pula, telah berdiri di situ bersama seorang gadis cantik yang pakaiannya serba merah muda, di punggungnya membawa sebatang pedang yang dihias ronce merah tua. Dia segera mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Ang-siocia, gadis maling yang pernah mencuri pusaka-pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin itu! Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak pernah mimpi bahwa gadis ini, yang dikenalnya sebagai Ang-siocia, sesungguhnya bukan lain adalah Kang Swi yang pernah menemaninya dalam perjalanan menuju ke Ho-nan, si kongcu royal itu, dan juga gadis inilah nenek penjual sepatu yang telah mencuri uangnya sekantung!
"Hemmm, aneh....!" kata kakek bermuka hitam itu yang bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling Sakti Hitam, guru dari Ang-siocia yang bernama Kang Swi Hwa itu. "Gerakannya demikian hebat dan lincah, dua orang iblis tua ini sama sekali tidak akan mampu memukulnya roboh. Hebat bukan main, akan tetapi mengapa dia tidak balas menyerang?" Setelah menonton pertempuran itu, Hek-sin Touw-ong berkata dengan heran. Dia melihat gerakan pemuda berambut putih itu memang luar biasa sekali. Dia sendiri yang di juluki Raja Maling dan memiliki ginkang yang cukup tinggi, menjadi silau menyaksikan gerakan yang secepat itu. Akan tetapi mengapa pemuda itu tidak balas menyerang, padahal kalau pemuda itu menggunakan lweekang dan balas menyerang, mengandalkan kecepatan gerakannya, dua orang kakek itu mana mampu mengelak atau menangkis? Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kian Bu telah menderita luka dan keracunan di dadanya, juga dia tidak tahu bahwa kecepatan Kian Bu itu belum sepenuhnya, baru tiga perempat bagian saja karena gerakannya sudah menjadi berkurang kecepatannya karena lukanya.
"Suhu, tentu ada sebabnya dia tidak dapat membalas. Dan lihat gadis itu.... ah, dia agaknya terluka, tidak mampu bergerak.... dan dia dikurung asap aneh dan paku-paku hijau." Kang Swi Hwa mendekati Hwee Li.
"Awas, Hwa-ji, jangan kau menyentuh paku atau terlalu dekat dengan asap itu!" gurunya memperingatkan karena dia merasa curiga.
Hwee Li juga melihat munculnya dua orang ini. Dia tidak mengenal mereka, akan tetapi dari sikap mereka, dia dapat menduga bahwa mereka, terutama kakek itu, tentu memiliki kepandaian. Dan melihat sikap mereka, agaknya mereka itu bukan orang-orang jahat dan bukan pula sekutu dua orang iblis tua itu.
"Heiii, kalian ini apakah orang-orang pengecut, ataukah orang-orang jahat yang menjadi kaki tangan dua orang kakek iblis jahanam ini?" tanya Hwee Li dengan suara lantang.
Kakek itu mengerutkan alisnya dan Swi Hwa yang juga berwatak galak lalu mendamprat, "Kau ini bocah bermulut lancang dan rusak! Rasakan saja sekarang, memang sudah pantas sekali kalau kau mengalami nasib seperti itu. Huh! Mengatakan orang pengecut dan jahat! Manusia seperti engkau ini yang agaknya jahat dan pengecut!"
"Swi Hwa, jangan sembrono dan jangan layani orang!" gurunya memperingatkan, karena dia masih kagum sekali terhadap gerakan orang muda yang telah lama dia kenal namanya sebagai Siluman Kecil itu.
"Kalau kalian bukan pengecut dan bukan orang jahat, mengapa tidak lekas membantu dia yang dikeroyok oleh dua orang iblis tua bangka itu? Mereka hendak memperkosa aku dan dia itu telah membelaku, kalau kalian diam saja berarti kalian membantu dua iblis jahat itu!" Hwee Li berkata lagi.
"Hemmm, kau bocah bermulut jahat ini memang sepatutnya mengalami nasib seperti itu! Aku malah ingin menontonnya!" Kang Swi Hwa balas membentak.
"Wah, kau perempuan cabul....!" Hwee Li memaki dan kehabisan akal. Lalu dia berkata kepada Hek-sin Touw-ong, "Orang tua yang baik, aku melihat engkau bukan orang lemah, apakah kau tidak berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu?"
"Apa? Mereka itu adalah...."
"Benar, Suhu. Kakek yang mukanya seperti tengkorak itu adalah ketua dari Kui-liong-pang di lembah. Dialah Hek-hwa Lo-kwi yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Nepal itu. Dan gadis berpakaian hitam galak itu bukan lain adalah puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka, maka jangan dipercaya omongannya. Mana mungkin Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi ayahnya sendiri itu hendak memperkosanya?" kata Kang Swi Hwa. Seperti kita ketahui, ketika diadakan pertemuan para tokoh kang-ouw, Swi Hwa atau Ang-siocia ini juga hadir mewakili gurunya yang tidak berkenan hadir. Dan di dalam pertemuan di lembah itu, dia juga bertemu dengan Hwee Li yang mewakili ayahnya yang juga tidak dapat hadir.
"Aihhh, kiranya engkau si maling betina itu? Wah, celaka, kiranya kalian ini maling-maling besar dan kecil, tentu cocok sekali dengan iblis-iblis itu! Mampuslah kalian dimakan api neraka!" Hwee Li memaki-maki dan putus harapan. Baru sekarang dia mengenal Ang-siocia. Kalau gadis itu datang bersama gurunya yang dikenalnya sebagai maling tua atau raja maling itu, dan yang dulu datang menghadiri pertemuan di lembah, tentu mereka ini juga menjadi anak buah dari pangeran pula!
Akan tetapi, Hek-sin Touw-ong sudah mencegah muridnya membuka mulut lagi. Dia merasa amat heran. Memang aneh yang dia hadapi ini. Muridnya tidak mungkin bisa keliru. Gadis itu jelas ditotok orang. Sepantasnya, kalau gadis itu benar puteri dari Hek-tiauw Lo-mo yang mainkan golok gergaji secara lihai itu, tidak mungkin gadis itu dirobohkan oleh ayahnya sendiri, apalagi hendak diperkosa seperti yang diceritakan oleh gadis baju hitam itu. Jadi, tentu pemuda rambut putih itulah yang telah menotoknya. Dan kalau pemuda rambut putih itu yang menotok dan hendak memperkosanya, barulah benar dan masuk di akal. Akan tetapi, dia mengenal nama Siluman Kecil sebagai seorang pendekar besar yang amat terkenal, masa sekarang ternyata hanyalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang rendah saja?
"Ha, apakah Lote ini Hek-sin Touw-ong?" Tiba-tiba Hek-hwa Lo-kwi yang merasa penasaran karena dia dan Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang belum juga mampu merobohkan Kian Bu, berkata.
"Kebetulan sekali, marilah bantu kami menangkap Siluman Kecil ini yang berani melarikan tunangan Pangeran Liong Bian Cu. Mari bantu kami merobohkan dia dan membawa kembali tunangan pangeran itu ke lembah!"
"Tunangan pangeran....?" Kang Swi Hwa berkata lirih penuh keheranan, lalu dia mengangguk-angguk. "Ahhh, kiranya dia telah diangkat menjadi tunangan pangeran. Cocok sekali!"
"Cocok hidungmu!" Hwee Li membentak dan matanya melotot. "Boleh kaugantikan saja kalau kau sudah ingin sekali menjadi kekasihnya. Kalau aku sih tidak sudi!"
Kang Swi Hwa tidak menjawab. Seperti juga gurunya, dia bingung menghadapi keadaan yang serba runyam dan bertentangan itu. Gadis itu tunangan pangeran, puteri Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi kini tertawan dan tertotok, dan gadis itu malah membantu Siluman Kecil agaknya.
Melihat betapa guru dan murid itu bengong saja, memandang kepadanya dan kepada pertempuran itu seperti orang-orang tolol, Hwee Li menjadi mendongkol sekali. Melihat betapa kakek bermuka hitam itu tidak melayani ajakan Hek-hwa Lo-kwi, timbul harapannya dan dia lalu berkata nyaring, "Hek-sin Touw-ong, biarpun julukanmu Raja Maling, kulihat engkau tidak sejahat muridmu itu. Ketahuilah bahwa aku dipaksa dan ditawan di lembah oleh pangeran brengsek dari Nepal itu yang dibantu oleh anjing-anjing tua termasuk Hek-tiauw Lo-mo ayah palsu dan bukan ayahku itu. Aku dapat diloloskan oleh Siluman Kecil, akan tetapi dikejar dan.... entah mengapa, dia agaknya belum juga mampu merobohkan dua ekor anjing tua bangka itu. Maka, kalau engkau masih mengaku sebagai orang tua yang gagah, yang pantas kusebut locianpwe, harap kau suka membantunya. Lekaslah,
Locianpwe!"
"Ha-ha, kita adalah orang segolongan, kalau membantu Pangeran Nepal tentu kelak kita akan memperoleh kedudukan besar. Mari bantu kami menangkap Siluman Kecil yang sombong ini, Hek-sin Toauw-ong!" kata pula Hek-hwa Lo-kwi.
"Swi Hwa, kaubebaskan totokannya, akan tetapi hati-hati, jangan menginjak paku dan jangan menyedot asap itu!" tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata dan dia lalu meloncat ke dalam gelanggang pertempuran, tangan kirinya mengirim serangan dengan tangan dimiringkan seperti pedang dan menyambar ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Si muka tengkorak ini terkejut dan marah sekali melihat si Raja Maling itu ternyata malah membantu Siluman Kecil. Dia cepat menggerakkan tangan untuk menangkis dan mengelak.
"Srattt!" Dan ujung lengan bajunya putus seperti terbabat pedang yang amat tajam!
"Ahhh....!" Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main. Kiranya maling tua ini memiliki ilmu pukulan yang demikian hebatnya. Teringatlah dia akan kepandaian murid raja maling ini, yang pernah mendemonstrasikan Ilmu Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok). Kalau murid perempuan itu memperlihatkan ilmu itu menggunakan pedang, kini si raja maling ini menggunakan tangan seperti pedang! Dia balas menyerang dan karena Hek-sin Touw-ong juga maklum akan kelihaian ketua Kui-liong-pang ini, maka dia pun cepat mengelak dan balas menyerang. Segera terjadi pertempuran hebat, saling menyerang antara dua orang kakek ini. Masuknya Hek-sin Touw-ong ke dalam pertempuran ini benar-benar amat menolong Kian Bu. Tentu saja dia tidak akan dapat dirobohkan oleh dua orang lawannya, akan tetapi dia pun sama sekali tidak mungkin dapat merobohkan mereka berdua tanpa mengerahkan sinkang. Kini, setelah Hek-hwa Lo-kwi meninggalkannya dan dia hanya menghadapi Hek-tiauw Lo-mo seorang, Kian Bu mempercepat gerakannya sehingga Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung. Dia seperti seekor biruang besar yang menghadapi seekor lebah, dia menyerang ke sekelilingnya dan lebah itu beterbangan mengelilinginya. Beberapa kali jala hitamnya menyambar di antara sinar goloknya yang bergulung-gulung, namun tak pernah berhasil karena gerakan Kian Bu terlalu cepat. Tiba-tiba Kian Bu yang mendapat kesempatan meloncat ke belakang tubuh kakek itu mengulurkan tangan dan menotok tengkuk Hek-tiauw Lo-mo.
"Dukkk....!" Tubuh Hek-tiauw Lomo terguling, akan tetapi karena Kian Bu tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga dalam totokannya tadi, kakek raksasa itu tidak lumpuh sama sekali, hanya sebagian saja dan dia masih berusaha memulihkan jalan darahnya. Kian Bu cepat menyusulkan sekali totokan lagi dan robohlah kakek itu dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi!
Sementara itu, Kang Swi Hwa sudah mendekati tempat Hwee Li rebah. Nona ini boleh jadi lihai dalam ilmu silat, terutama sekali dalam ilmu mencopet dan ilmu penyamaran, akan tetapi tentang racun, pengertiannya baru kelas nol. Maka dia menghampiri lingkaran asap dan barisan paku hijau itu dengan ragu-ragu. Jangan menginjak paku dan jangan menyedot asap itu, pesan gurunya. Dengan hati-hati sekali Swi Hwa menghampiri lingkaran itu. Melihat bahwa lingkaran asap dan paku-paku itu hanya memisahkan tempat dara pakaian hitam itu rebah dengan tempat dia berdiri sejauh kurang lebih tiga meter saja, maka dia lalu menggunakan ginkangnya dan melompat melewati lingkaran asap dan paku yang berjajar.
Hwee Li melihat itu semua dan tersenyum. Mampuslah, pikirnya! Akan tetapi dia, diam saja. Dara ini semenjak kecil dirawat dan dididik oleh seorang manusia ganas dan kejam macam Hek-tiauw Lo-mo, maka tentu saja dia pun mempunyai watak yang ganas dan tidak mengenal kasihan, sungguhpun sering pula timbul sifat-sifat baiknya yang banyak tertutup oleh pendidikan Hek-tiauw Lo-mo. Apalagi setelah dia ikut bersama gurunya yang baru, yaitu Ceng Ceng, sering kali dia menerima teguran-teguran dan petunjuk-petunjuk, juga dia melihat sifat-sifat dan watak-watak Ceng Ceng dan suaminya sebagai pendekar-pendekar besar yang gagah perkasa, maka banyak kegagahan yang menular pula kepadanya. Akan tetapi kadang-kadang, timbul keganasannya yang dia bawa dari Pulau Neraka, apalagi kalau dia sedang marah. Dan saat itu dia memang sedang marah. Dia ditotok orang, tak mampu bergerak, lalu muncul gadis baju merah yang menggemaskan hatinya.
Swi Hwa berhasil meloncat ke dekat Hwee Li. Dia mencium sesuatu yang aneh dan kepalanya merasa agak pening, akan tetapi dia tidak tahu sebabnya. "Bocah galak, akhirnya toh engkau membutuhkan pertolonganku...." kata Swi Hwa akan tetapi begitu dia bicara, rasa pening di kepalanya bertambah.
Hwee Li menjebikan bibirnya yang merah. "Huh, siapa membutuhkan pertolonganmu? Kaulihat saja, bukan aku yang membutuhkan pertolonganmu, melainkan engkaulah yang akan mampus kalau tidak ada aku yang menolongmu!"
Tentu saja Swi Hwa menjadi marah. Ingin dia menampar muka yang cantik itu. Akan tetapi gurunya telah memerintahkan dia untuk membebaskan totokan yang membuat gadis baju hitam ini tak dapat bergerak. Dia tidak berani membangkang terhadap perintah gurunya. Pula, dia kini tahu bahwa gadis ini ternyata bukanlah anak Hek-tiauw Lo-mo, bukan sekutu si pangeran bahkan dipaksa untuk menjadi isteri pangeran itu. Malah gadis ini ditolong oleh Siluman Kecil! Hal ini sedikit banyak membuat dia mengiri juga.
"Huh, manusia macam engkau ini mana pantas ditolong orang?" dia bersungut-sungut akan tetapi kembali kepalanya seperti dihantam orang rasanya kalau dia bicara. Maka dia tidak mau bicara lagi dan cepat dia menggerakkan tangan hendak membebaskan totokan yang melumpuhkan Hwee Li.
"Nanti dulu!" kata Hwee Li. "Totokan ini dilakukan oleh Hek-tiauw Lo-mo, orang macam engkau mana mampu membuyarkannya? Hayo kautotok jalan darah in-thai-hiat. Yang keras, karena ilmu totok iblis tua itu adalah Su-sat-jiu, tidak mudah dibuyarkan!"
Sikap dan kata-kata Hwee Li benar-benar membuat Swi Hwa menjadi mendongkol bukan main. Bocah ini benar-benar sombong, pikirnya. Akan tetapi karena dia tentu akan makin diejek dan makin dipermainkan kalau dia gagal membuyarkan totokannya, maka dia lalu menotok dengan pengerahan lweekangnya ke arah jalan darah in-thai-hiat di punggung Hwee Li.
"Dukkk....!" Totokan itu keras sekali, membuat punggung Hwee Li terasa sakit akan tetapi segera dapat bergerak lagi. Akan tetapi sebaliknya, Swi Hwa mengeluh dan roboh terguling dalam keadaan pingsan!
Hwee Li bangkit berdiri, mengurut-urut lengan dan kakinya yang terasa kaku sambil memandang kepada Swi Hwa dengan senyum mengejek. Tiba-tiba terdengar seruan Hek-sin Touw-ong, "Hei, apa yang terjadi dengan Swi Hwa?" Dia hendak melompati lingkaran asap itu, akan tetapi Hwee Li cepat mencegahnya dengan teriakan, "Touw-ong, jangan meloncat ke sini! Dia juga keracunan setelah meloncat ke sini, biar aku membawanya keluar!"
Kiranya Hek-hwa Lo-kwi juga sudah dapat dirobohkan dengan totokan. Ketika Kian Bu tadi berhasil merobohkan Hek-tiauw Lo-mo, dia melihat betapa pertempuran antara Hek-hwa Lo-kwi dan Raja Maling itu masih berlangsung dengan amat hebatnya. Si Raja Maling itu memang lihai sekali. Ilmu Kiam-to Sinciang membuat kedua tangannya seperti golok dan pedang, bahkan hawa pukulannya saja telah berubah menjadi seperti sinar pedang yang mampu merobohkan lawan tangguh. Sebaliknya, Hek-hwa Lo-kwi juga mengeluarkan ilmunya yang mujijat itu, Pek-hiat-hoat-lek yang telah berhasil membuat Kian Bu terluka dan keracunan. Kian Bu mengkhawatirkan keselamatan si Raja Maling, mengingat akan jahatnya Ilmu Pukulan Darah Putih itu, maka dia cepat meloncat dan mempergunakan kecepatannya untuk menotok jalan darah di tengkuk Hek-hwa Lo-kwi. Kakek itu mengeluh dan terpelanting, dan saat itu dipergunakan oleh Hek-sin Touw-ong untuk menyusulkan totokannya sendiri yang dilakukan dengan kekuatan penuh sehingga Hek-hwa Lo-kwi roboh dan pingsan.
Mendengar ucapan Hwee Li, Hek-sin Touw-ong terkejut dan ragu-ragu. "Harap turut saja kata-katanya, Locianpwe, dia memang ahli dalam hal racun," kata Kian Bu dan dia sendiri pun cepat duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya untuk mengumpulkan hawa murni dan melawan hawa beracun yang melukai dadanya.
Hwee Li mengempit tubuh Swi Hwa, menggunakan saputangan untuk menutupi mulut dan hidung gadis baju merah itu dengan mengikatkan saputangan di depan muka gadis itu, kemudian dia melompat keluar melalui atas lingkaran asap yang mulai mengecil dan padam itu. Akan tetapi, begitu dia melihat Kian Bu duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya, Hwee Li terkejut dan dia melepaskan tubuh Swi Hwa yang masih pingsan itu ke atas tanah dan tergopoh-gopoh dia menghampiri Kian Bu tanpa mempedulikan lagi kepada Swi Hwa. Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi bingung dan sibuk memeriksa dan mencoba membuat sadar muridnya yang pingsan itu. "Kian Bu, kau.... kau kenapa? Apakah kau terluka?" Hwee Li berlutut di dekat Kian Bu dan bertanya dengan penuh kekhawatiran.
Kian Bu membuka matanya, tersenyum. "Hek-hwa Lo-kwi mempunyai pukulan aneh, tanpa kuketahui lebih dulu terkena hawa beracun dari pukulannya...., akan tetapi perlahan-lahan dapat kuusir dengan sinkang...."
"Ahhh? Kau terkena Pek-hiat-hoat-lek! Aku tahu macam apa pukulan iblisnya itu! Dan kau bilang perlahan-lahan? Aku mempunyai obat penawar segala racun, buatan Subo yang amat ces-pleng (manjur) sekali!" Gadis itu segera mengeluarkan buntalan besar dari dalam saku bajunya dan membuka buntalan itu, memilih-milih obat. Kemudian dia mengeluarkan sebungkus obat pulung berbentuk bundar-bundar kecil seperti tahi kambing dan memberikan dua butir kepada Kian Bu. "Kautelan ini dan tentu hawa itu akan mudah terusir!" katanya.
Kian Bu maklum akan kelihaian dara ini tentang segala racun, maka dia percaya, menerima dua butir obat pulung seperti tahi kambing itu dan menelannya sekaligus. Rasanya agak pahit, akan tetapi mengandung manis dan baunya tidak seperti tahi kambing, melainkan agak harum. Begitu dua butir obat pulung itu memasuki perutnya, terdengar perutnya berkeruyuk dan ada hawa panas berkumpul di situ. Kian Bu kaget dan girang sekali. Tak disangkanya obat tahi kambing itu benar-benar hebat sekali, maka dia lalu menggunakan sinkangnya, perlahan-lahan mendorong hawa panas itu ke arah dadanya. Benar saja, hawa panas yang terdorong
sinkangnya itu seolah-olah seperti api yang membakar hawa beracun yang menyesakkan dadanya. Hawa beracun itu menjadi asap dan membubung naik melalui hidung dan mulutnya dan dia mencium bau yang amis bercampur bau harum obat tadi. Kian Bu adalah seorang pendekar muda yang sakti, memiliki sinkang yang amat hebat. Andaikata dia tidak diberi obat sekalipun dengan sinkangnya dia tentu akan mampu mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi hal itu akan memakan waktu agak lama karena dia harus berhati-hati mengerahkan sinkangnya. Kini, obat yang manjur itu membuat dia dalam waktu singkat dapat mengusir hawa beracun dari pukulan Pek-hiat-hoat-lek.
"Taihiap...., Lihiap...., harap Ji-wi (Anda berdua) sudi menolong muridku ini!" tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata sambil mendekati Kian Bu dan Hwee Li setelah dia melihat pemuda itu kini membuka mata dan tersenyum, mukanya juga tidak sepucat tadi tanda bahwa pemuda itu telah sehat kembali. Hek-sin Touw-ong adalah seorang tokoh kang-ouw yang pandai, akan tetapi tentang urusan racun dia pun tidak banyak tahu, maka melihat keadaan muridnya dia merasa khawatir bukan main. Sudah dicobanya dengan segala kekuatannya untuk menyadarkan muridnya, akan tetapi usahanya sia-sia belaka dan wajah Swi Hwa kini malah menjadi kebiruan, maka dia menjadi gelisah dan tanpa sungkan-sungkan dia lalu minta tolong kepada Siluman Kecil dan puteri Hek-tiauw Lo-mo itu. Hwee Li yang melihat Kian Bu telah sembuh, lalu bangkit berdiri dan menghampiri Swi Hwa.
"Touw-ong, muridmu ini mulutnya jahat sekali, maka sudah sepantasnya dia menerima hajaran ini, Kuharap saja lain kali engkau suka menjaga agar mulutnya jangan suka menghina orang!"
"Enci Hwee Li, jangan kurang ajar, harap lekas sembuhkan dia!" Kian Bu berkata dengan alis berkerut.
"Hemmm, baru saja kusembuhkan kau sudah lupa lagi, ya? Engkau ini adik macam apa berani bicara kasar kepada encinya!"
Dalam keadaan biasa, tentu Hek-sin Touw-ong akan merasa heran sekali mendengar ucapan mereka berdua itu, akan tetapi karena dia amat khawatir melihat muridnya, dia tidak mempedulikan hal lain dan cepat berkata kepada Hwee Li, "Nona yang baik, harap Nona sudi menolong muridku dan aku Hek-sin Touw-ong tidak akan melupakan kebaikanmu ini."
Wajah Hwee Li berseri-seri dan mulutnya yang manis itu tersenyum, matanya bersinar-sinar penuh kebanggaan. Biarpun hanya seorang maling, namun kakek ini adalah Raja Maling! Seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal, namanya menjulang tinggi di seluruh perbatasan Ho-nan dan Ho-pei, juga di seluruh pantai Po-hai. Dan kini raja ini, biarpun raja maling, telah minta tolong kepadanya dengan ucapan yang demikian halus dan menghormat! Tentu saja dia bangga sekali!
"Aku akan mengobatinya dan pasti cepat sembuh. Aku mengenal racun-racun itu. Racun yang membakar tanah itu adalah racun yang amat berbahaya, cairan itu kalau mengenai kulit akan membuat kulit daging dan tulang hancur sama sekali, kecuali rambut saja cairan itu tidak mampu menghancurkan. Dan baunya juga berbahaya, karena asap racun itu dapat memabukkan orang. Iblis tua muka tengkorak itu memang paling suka memakai racun cuka busuk seperti itu! Dan tentang paku yang digunakan oleh ayah.... eh, oleh
tua bangka Pulau Neraka itu hanyalah mainan kanak-kanak saja bagiku. Kaulihat!" Dia lalu menghampiri paku-paku itu setelah asap beracun itu kini padam, dan menggunakan kedua tangannya, sembarangan saja dia mencabuti paku-paku itu dan melempar-lemparkannya ke samping. Paku-paku itu mengeluarkan bunyi bercuitan, menancap pada batang dua pohon yang berdekatan. Dan seketika, pohon-pohon itu menjadi layu, daun-daunnya melayu dan rontok, menjadi gundul dan mati dalam waktu sebentar saja!
Wajah Hek-sin Touw-ong menjadi pucat. "Bukan main! Ah, Nona yang baik, tolonglah muridku ini...."
"Tapi dia tadi bicara kasar kepadaku...." Hwee Li berlagak jual mahal!
"Hwee.... eh, Enci Hwee Li! Cepat kauobati dia!" Kian Bu berkata dengan suara keras.
Hwee Li mengerling kepadanya. "Hem, agaknya engkau sudah jatuh tergila-gila kepada seorang gadis berpakaian merah muda, ya? Aihhh, siapa tahu Siluman Kecil kiranya paling suka pada pakaian merah, hemmm....!"
"Enci Hwee Li, jangan main-main begitu! Orang sedang terancam bahaya maut, mengapa kau main-main seperti itu? Ingat, kedatangan mereka berdua ini telah menyelamatkan kita. Engkau tidak membalas budi malah menggoda orang!"
Hwee Li bersungut-sungut ditegur oleh Kian Bu, dan makin segan saja untuk turun tangan mengobati Swi Hwa. Melihat ini, Hek-sin Touw-ong yang sudah berpengalaman itu segera dapat mengenal watak si gadis yang aneh, ganas dan manja ini, maka dia lalu berkata, "Nona, aku berjanji akan menegur muridku dan selanjutnya dia tidak akan berani lagi bersikap kasar terhadapmu." Kakek itu lalu menjura kepada si gadis galak dan berkata, "Kalau muridku telah berlaku salah, biarlah aku sebagai gurunya mintakan maaf kepadamu!"
Hwee Li memang seorang dara yang aneh. Dia memang dahulunya selalu dimanja oleh Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi pada dasarnya dia mempunyai watak yang baik dan ramah. Kini, melihat kakek itu begitu menghormat kepadanya, dia Cepat-cepat menjura dan berkata dengan muka merah sekali, "Aihhh, Touw-ong.... jangan begitu. Sebetulnya aku pun telah bersikap kasar, kaumaafkanlah aku yang muda. Biar kuobati muridmu sekarang juga."
Dia lalu berlari menghampiri Swi-Hwa yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan itu. Diambilnya obat bubuk dari bungkusannya, lalu diambilnya pula sebotol obat cair seperti arak. Dengan tutup guci arak yang berbentuk cangkir itu, dia menuangkan arak obat ke dalamnya, mencampurnya dengan obat bubuk itu. Nampa k cairan seperti arak itu mengeluarkan suara mendesis dan asap mengepul dari dalam cangkir tutup guci. Kemudian, Hwee Li membuka sebuah bungkusan lain dan menaburkan sedikit bubuk merah ke dalam hidung Swi Hwa, Semua gerakannya ini diikuti penuh perhatian oleh Hek-sin Touw-ong dan Kian Bu. Diam-diam pemuda berambut putih itu merasa kagum dan juga geli menyaksikan sikap Hwee-li yang benar-benar menjadi seorang tukang obat atau seorang yang hendak bermain sulap sebelum menjual obatnya! Jari-jari tangannya begitu cekatan dan sikapnya begitu pasti.
"Haaa.... cinggggg....!" Tiba-tiba Swi Hwa berbangkis dan dia menjadi setengah sadar. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwee Li untuk mengangkat kepala gadis itu dan mencekokkan obat dari cangkirnya. Terdengar suara clegak-cleguk karena Swi Hwa terpaksa menelan obat itu, kemudian Hwee Li merebahkan kembali kepala gadis itu dan bangkit berdiri, membereskan bungkusan obatnya dan menoleh kepara Hek-sin Touw-ong sambil tersenyum.
"Dia sudah sembuh, sudah terbebas dari cengkeraman maut racun itu," katanya seenaknya, lalu menoleh dan memandang kepada dua orang kakek yang masih rebah tak mampu bergerak karena tertotok jalan darah mereka.
"Eh, akan tetapi.... mengapa dia belum sadar, Nona?" Hek-sin Touw-ong bertanya dengan suara yang nadanya masih khawatir.
Hwee Li menoleh ke arah Swi Hwa dengan sikap tak acuh, lalu ber kata, "Dia belum kentut, sih!"
Eh, apa....?" Kakek itu bertanya sambil membelalakkan matanya, bingung dan tidak mengerti, mengira dara berpakaian hitam itu masih marah.
"Racun itu sudah buyar, akan tetapi kalau dia belum kentut, dia tidak akan sadar. Kalau dia sudah kentut, itu tandanya dia sembuh benar-benar dan sadar...." Sambil berkata demikian, Hwee Li kini melangkah menghampiri Hek-tiauw Lo-mo.
"Enci, benarkah kata-katamu itu?" tanya Kian Bu sambil mengikutinya, khawatir kalau gadis itu melakukan hal-hal yang tak dikehendakinya. Akan tetapi baru saja Kian Bu bertanya demikian, dari sebelah belakangnya terdengarlah suara itu. Â "Puiiittttt....!"
Suara kentut yang nyaring. Nyaring dan merdu! Hampir Kian Bu tertawa. Mengapa kentut seorang dara cantik juga cantik terdengarnya? Bisa merdu? Bukan main!
"Suhu....!"
"Ah, syukurlah, kau telah sembuh, Swi Hwa. Dengar, yang menyembuhkanmu adalah Nona berbaju hitam itu, maka jangan sekali-kali kau bersikap kasar kepadanya. Kalau tidak ada dia...." Selanjutnya Kian Bu tidak lagi mendengarkan kata-kata kakek Raja Maling itu kepada muridnya karena perhatiannya tertumpah kepada Hwee Li. Gadis ini menghampiri Hek-tiauw Lo-mo, berdiri dan memandang sebentar dengan sepasang mata terbelalak dan berapi-api, kemudian dia mengambil golok gergaji milik bekas ayahnya itu dan tanpa berkata apa pun dia lalu mengayun golok itu ke arah leher Hek-tiauw Lo-mo.
"Singgggg.... trakkk....!" Golok itu terpental oleh hantaman batu kecil yang dilontarkan oleh Kian Bu, sabetannya menceng dan hanya mengenai pundak Hek-tiauw Lo-mo sehingga pundak kiri kakek itu terluka dan mengeluarkan darah. Akan tetapi Hwee Li juga tidak mampu memegang gagang golok lebih lama lagi karena hantaman batu itu membuat tangannya tergetar hebat dan terpaksa dia melepaskan golok dan menoleh kepada Kian Bu dengan mata berapi karena marahnya.
"Kau.... kau malah membantu dia?" bentaknya marah, kedua tangannya siap dengan pasangan kuda-kuda, siap untuk bersilat dan menyerang Kian Bu! Kakinya memasang kuda-kuda dengan satu kaki kiri berdiri tegak, kaki kanan diangkat ke lutut seperti jurus Kim-ke-tok-lip, dan tangan kanan dengan telapak ke atas ditarik ke depan pusat, tangan kiri terbuka miring di depan dada. Dia telah memasang kuda-kuda jurus Jeng-pai-kwan-im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan Miring), dan menghadapi Kian Bu dengan sikap
marah!
Kian Bu sejak tadi sudah merasa curiga dan menduga bahwa tentu gadis itu akan melakukan serangan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kalau orang lain yang melakukan serangan dan membunuh kakek iblis itu, agaknya dia tidak akan mencampurinya dan akan membiarkan saja. Memang kakek iblis Pulau Neraka ini adalah seorang manusia yang berwatak iblis, sudah sepantasnya kalau dibunuh seratus kalipun! Akan tetapi, dia teringat bahwa Hwee Li adalah seorang yang sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakek itu, dan betapa kakek itu amat menyayangi Hwee Li. Maka, kalau dia membiarkan gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo, berarti dia membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia bong-im-pwe-gi (manusia yang tidak ingat budi orang lain). Padahal, dia merasa suka sekali kepada Hwee Li dan bahkan diam-diam mengharapkan agar gadis yang dia tahu mencinta kakaknya ini kelak akan menjadi jodoh kakaknya. Tentu saja dia tidak membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia durhaka dan dia telah menghalangi gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo.
"Enci Hwee Li, tidak sepantasnya kalau engkau membunuh dia!" Kian Bu menegur, suaranya tegas dan berwibawa.
Hwee Li membalikkan tubuhnya menghadap Hek-tiauw Lo-mo dengan mengubah kedudukan kakinya, sikapnya menyerang, akan tetapi dia mengerling ke arah Kian Bu, lalu menggeser lagi kakinya menghadapi pemuda itu, kembali memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang, semua gerakannya dilakukan dengan gerak silat sehingga nampak lucu sekali, akan tetapi wajahnya sungguh-sungguh dan matanya berapi-api.
"Kau tahu apa tentang pantas atau tidak?" Akhirnya dia berkata lantang. "Kau tahu apa tentang balas-membalas? Hutang luka dibayar luka, hutang nyawa dibayar nyawa, hutang kebaikan dibayar kebaikan! Dia telah membunuh ibu kandungku, maka aku harus membunuhnya! Apakah kau hendak menghalangiku?"
Kian Bu menarik napas panjang. "Sama sekali bukan hendak menghalangimu membunuhnya, melainkan menghalangimu menjadi seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi, dan yang namanya akan dikutuk manusia di seluruh dunia selama-lamanya!"
"Eihhh....?" Saking heran dan penasaran, Hwee Li lupa akan kuda-kuda silatnya dan kini dia melangkah biasa menghampiri Kian Bu, lalu berdiri di depan pemuda itu dengan kedua tangannya bertolak pinggang sehingga jari-jari kedua tangannya melingkari pinggangnya dan saling bertemu karena pinggangnya kecil ramping seperti pinggang lebah kemit (lebah hitam coklat yang pinggangnya kecil sekali).
"Aku hendak membunuh orang yang telah membunuh ibuku dan kau bilang aku seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi? Kian Bu, apa artinya ucapanmu itu?" tanyanya, lebih heran daripada marah karena dia tidak percaya bahwa pendekar sakti ini mau mempermainkannya.
"Enci, bukankah kau tadi mengatakan bahwa hutang luka dibayar luka, hutang nyawa bayar nyawa, dan hutang kebaikan...."
"Bayar kebaikan!" sambung Hwee Li melihat pemuda itu berhenti seolah-olah lupa lanjutannya.
"Nah, belasan tahun lamanya Hek-tiauw Lo-mo merawat dan mendidikmu dengan segala rasa kasih sayang, bukankah itu berarti bahwa engkau hutang kebaikan kepadanya? Engkau harus membayar hutang kebaikan itu dengan kebaikan, Enci. Sebaliknya engkau hendak membunuhnya, bukankah itu berarti bahwa Enci akan menjadi orang yang tidak ingat budi?"
Hwee Li tertegun dan melongo, bingung. Akhirnya dia berkata ragu, "Akan tetapi dia telah membunuh ibuku...."
"Heh, siapa membunuh ibumu? Dia mati sendiri, tidak kubunuh!" terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata. Dia adalah seorang manusia iblis, maka biarpun tadi nyaris tewas dan kini pundaknya terluka, dia tidak kelihatan gentar sedikit pun juga.
"Tutup mulutmu yang busuk!" Hwee Li memaki. "Engkau memaksa dia, biar pun tidak membunuh dengan tanganmu, akan tetapi engkau yang menyebabkan ibuku mati! Kian Bu, dia menyebabkan kematian ibu, kalau aku tidak membalas, bagaimana kelak aku dapat menghadapi arwah ibuku di alam baka?"
"Enci, sebaiknya engkau memenuhi semua peraturan balas-membalas itu. Engkau memang berhak membalas kematian ibumu, akan tetapi engkau pun harus membalas kebaikannya terhadap dirimu. Kalau sekarang kaubalas kematian ibumu dan kau membunuhnya, mana bisa engkau membalas kebaikannya terhadap dirimu selama belasan tahun itu? Sebaliknya, kalau engkau lebih dulu membalas kebaikannya, lalu kelak engkau membalas kematian ibumu dan membunuhnya, juga belum terlambat." Kian Bu menggunakan segala akalnya untuk mencegah gadis ini membunuh Hek-tiauw Lo-mo. Dia memang bisa saja menggunakan kepandaian untuk mencegah pembunuhan itu, namun hal itu tentu akan menjadi kurang baik. Sebaiknya kalau dia dapat menginsyafkan gadis ini dengan omongan saja.
"Benar sekali, Adik Hwee Li. Omongannya itu benar sekali! Tak mungkin seorang gadis gagah perkasa dan baik budi seperti engkau sampai tidak membalas budi kebaikan orang!" Tiba-tiba terdengar suara merdu dan ternyata yang bicara itu adalah Swi Hwa. Tadi gadis ini telah siuman dan benar saja, dia telah sembuh sama sekali. Dia mendengar penuturan gurunya bahwa yang menyelamatkan dia adalah Hwee Li. Kemudian dia mendengar percakapan antara Hwee Li dan Kian Bu atau yang dikenalnya sebagai Siluman Kecil. Dia ikut merasa terharu mendengar bahwa ibu gadis itu mati karena Hek-tiauw Lo-mo. Jadi terang bahwa gadis itu bukanlah anak iblis jahat itu. Juga mendengar bahwa Hwee Li disebut "enci" oleh Siluman Kecil, lenyap rasa iri dan tidak senangnya terhadap Hwee Li. Tadinya dia mengira bahwa gadis secantik jelita itu tidaklah mengherankan kalau menjadi pacar Siluman Kecil dan dia merasa iri karena memang dahulu pernah dia kagum sekali terhadap Siluman Kecil.
Hwee Li yang mendengar ucapan ramah itu lalu melirik ke arah Swi Hwa. Kemarahannya terhadap Swi Hwa sudah lenyap dan kini beralih kepada Kian Bu yang hendak menghalangi dia. Akan tetapi uraian Kian Bu yang diperkuat oleh Swi Hwa itu membuat dia menjadi bingung dan ragu-ragu. "Kalau begitu, apa kauminta agar aku membalas segala kebaikannya selama belasan tahun ini? Dia telah memondong dan menimangku, apakah aku pun harus menggendong dan menimang-nimangnya? Apakah aku harus merawatnya sampai
belasan tahun?" Dia makin penasaran.
Kian Bu tertawa. "Tidak usah sejauh itu, Enci Hwee Li. Cukup kalau engkau tidak membunuhnya sekarang, berarti engkau telah melepas kebaikan yang boleh menebus semua kebaikannya itu. Kalau kelak ada kesempatan dan engkau membunuhnya, bukankah berarti hari ini engkau telah menebus kebaikannya itu?"
"Waaahhhhh, terlalu enak buat dia!" Hwee Li berkata dengan alis berkerut. "Kalau begitu, apakah kita harus membebaskan dua orang monyet tua ini dan minta maaf dan menghaturkan selamat jalan kepada mereka, membekali uang untuk mereka sebagai bekal biaya perjalanan?" Karena jengkel Hwee Li mengeluarkan kata-kata yang berlebihan itu.
Swi Hwa adalah seorang yang terdidik. Dia tahu bahwa kejengkelan hati nona berpakaian hitam itu betapapun juga harus dipuaskan. Maka dia lalu maju dan berkata, "Adik Hwee Li, kalau aku boleh mengusulkan, mereka itu tidak perlu dibunuh agar engkau tidak dianggap tak kenal budi, akan tetapi perbuatan mereka pun harus dihukum. Mereka tertotok, bagaimana kalau mereka itu dikubur hidup-hidup di tempat ini?"
"Wah, cocok!" Hwee Li bersorak. Dia merasa mendapat teman untuk menentang Kian Bu, dan dia sudah mendekati Swi Hwa dan memegang lengannya. "Kau memang orang cerdik, Enci. Nah, Siluman Kecil, kau bisa bicara apa menghadapi dua orang dara yang cerdik seperti kami?"
Siluman Kecil memandang Swi Hwa dengan heran, akan tetapi dia melihat dara berpakaian merah itu berkedip kepadanya, maka dia mengangkat pundak dan berkata, "Terserah, asal kalian tidak membunuhnya."
"Adik Hwee Li, terang bahwa kau tidak bisa membunuhnya sebelum kau membalas kebaikannya. Nah, kau membebaskan dia dari kematian, itu berarti sudah membalas kebaikannya. Sekarang, mari kita kubur mereka, mengubur hidup-hidup asal jangan sampai mereka mati."
"Lhoh! Dikubur hidup-hidup mana bisa tidak mampus?" tanya Hwee Li bingung.
"Kita kubur tubuhnya saja biar kepalanya di atas tanah. Bukankah dengan demikian mereka akan tersiksa sekali? Mereka tertotok, kalau sudah tiba saatnya terbebas dari totokan, tentu orang-orang selihai mereka itu akan mampu membebaskan diri. Sementara itu, biar mereka tahu rasa. Dengan demikian engkau telah melaksanakan dua macam pembalasan budi, budi baik dibalas baik dan budi busuk dibalas busuk."
Hwee Li girang sekali dan bersorak, bertepuk tangan seperti anak kecil mendapatkan mainan baru yang menarik. "Bagus sekali, Enci. Hayo kita kerjakan, kaubantulah aku."
Dua orang dara yang sama cantik manisnya itu lalu mengerahkan tenaga mereka untuk menggali lubang di atas tanah. Mereka adalah gadis-gadis remaja yang cantik dan halus. Akan tetapi jangan kira bahwa tangan yang berkulit halus itu tidak mampu menggali lubang yang besar dengan cepat. Tangan-tangan halus itu mengandung tenaga Iweekang yang hebat sehingga sebentar saja mereka masing-masing telah menggali sebuah lubang. Kini keduanya menyeret tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi, melempar mereka ke dalam lubang lalu menutupi lubang itu sehingga dua orang kakek iblis itu dikubur sampai ke leher mereka!
Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah dan memaki-maki kalang-kabut. Mereka adalah dua orang kakek sakti dan kalau hanya ditanam seperti itu saja, mereka tidak merasa takut. Biar dikubur seluruh tubuh mereka pun mereka tidak merasa jerih dan tentu akan dapat mempertahankan nyawa. Akan tetapi yang membuat mereka marah besar adalah penghinaan itu!
Mereka dipermainkan oleh dua orang gadis remaja!
"Hi-hik, biar mereka digerayangi dan digigiti semut-semut dan cacing-cacing sebelum mereka dapat membebaskan diri!" kata Hwee Li bertepuk-tepuk tangan.
Kian Bu dan Hek-sin Touw-ong mendiamkan saja kedua orang gadis itu. Mereka maklum akan akal Swi Hwa untuk meredakan kemarahan Hwee Li. Setelah dua orang itu selesai mengubur dua orang kakek tadi, mereka kini duduk berhadapan di atas rumput. Swi Hwa merangkul Hwee Li dan berkata sambil tertawa, "Adik Hwee Li yang gagah dan cantik, aku berterima kasih sekali kepadamu atas pertolonganmu tadi dan harap kaumaafkan sikapku yang kasar karena aku belum mengenal siapa engkau."
Hwee Li memang seorang gadis aneh. Kalau dia diganggu, dia akan berubah menjadi iblis jahat. Kalau dia dijahati, dia akan lebih jahat lagi. Akan tetapi kalau dia dibaiki, dia akan lebih-lebih baik lagi. Maka kini dia mencium pipi halus dari Swi Hwa dan berkata, "Akulah yang telah bersikap kasar. Kaumaafkan aku, Enci yang baik, dan engkau pun tadi telah menolongku, maka akulah yang menghaturkan terima kasih kepadamu."
Sementara itu, matahari telah terbit dan Hwee Li menjauh dari mereka lalu bersuit panjang dan nyaring disusul suara melengking memanggil-manggil. Tak lama kemudian terdengar lengking panjang sebagai jawaban dan dari atas udara menyambar turun burung garuda tadi. Burung ini memang sudah biasa dengan Hwee Li, malah dia merasa girang karena dia lebih senang melayani Hwee Li yang selalu bersikap manis kepadanya, daripada melayani Hek-tiauw Lo-mo yang suka bersikap kasar dan kejam kepadanya. Hwee Li mengelus kepala burung itu dan berkata, "Paman garuda, kau baik saja bukan? Nah, kau boleh beristirahat dulu, nanti aku mungkin akan membutuhkan bantuanmu." Garuda itu mengeluarkan suara nguk-nguk seperti seekor anjing jinak, lalu terbang ke atas pohon. Hwee Li lalu kembali ke tempat tiga orang yang sedang bercakap-cakap itu.
Kian Bu, menceritakan bahwa dia baru saja keluar dari dalam benteng lembah, atas pertanyaan Hek-sin Touw-ong. "Sekarang, kami berdua harus kembali ke sana untuk mencoba menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan." Dia menutup ceritanya dengan singkat karena dia tidak mau banyak menyebut nama puteri itu. Setelah dia mendengar penuturan Hwee Li bahwa Syanti Dewi juga menjadi tawanan, maka hatinya telah bertekad bulat untuk menolong puteri itu, biarpun keadaan di dalam benteng itu amat berbahaya. Kalau perlu, dia siap mengorbankan nyawanya demi menolong puteri itu!
"Suhu, mari kita ikut membantu mereka ini!" Tiba-tiba Swi Hwa berkata kepada gurunya dan kakek itu pun mengangguk-angguk tanda setuju biarpun alisnya berkerut karena dia merasa sangsi apakah mereka berempat akan sanggup menembus benteng yang dihuni demikian banyaknya orang pandai dan di mana terdapat banyak pula anak buah Kui-liong-pang.
Akan tetapi sebelum kakek itu mengeluarkan suara, Kian Bu telah lebih dulu berkata dengan suara yang menyatakan ketidaksenangan hatinya, "Terima kasih atas kebaikan Nona hendak membantu kami, akan tetapi kami rasa tidak perlu kalian membantu kami, karena.... karena.... hemmm...." Kian Bu merasa tidak enak untuk melanjutkan kata-katanya. Dahulu Ang-siocia ini telah mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Seng-jin. Urusan itu pun belum diselesaikan, dan bukankah nona ini menantang dia untuk menyusul ke pantai Po-hai? Dengan demikian, antara mereka tidak ada hubungan persahabatan, bahkan ada urusan yang membuat mereka berdiri sebagai fihak yang bertentangan. Akan tetapi, melihat sikap guru dan murid yang baik itu tadi, dia merasa tidak enak kalau harus mengemukakan hal itu. Ang-siocia ini telah mencuri pusaka Sin-siauw Seng-jin, bukan pusakanya! Dan kalau Ang-siocia mencuri, hal itu tentu saja bukan merupakan suatu keanehan karena memang dia murid Raja Maling!
Sebetulnya hanya kecil saja sangkut-pautnya dengan dirinya, karena pencurian itu dilakukan sehabis dia memenangkan pertandingan melawan Sin-siauw Seng-jin. Urusan kecil itu mana dapat disamakan dengan perbuatan guru dan murid ini yang sekarang telah menolongnya, bahkan dapat dikatakan telah menyelamatkan Hwee Li pula?
"Aihhh, Kian Bu. Kenapa kau menolak? Enci ini.... eh, siapa namamu tadi, Enci?"
Bersambung ke Bagian 5 ...