Bagian 4

Sesudah dikeluarkan tujuh-delapan macam sayur, tiba-tiba terdengar teriakan: "Hok Thayswee tiba!"

Semua perwira, petugas dan pelayan dengan serentak berdiri tegak, diikuti oleh semua tetamu. Sesaat kemudian, dari luar terdengar suara sepatu dan beberapa orang masuk ke dalam.

"Memberi hormat kepada Hok Thayswee!" teriak semua perwira sambil membungkuk dan menekuk satu lututnya. Hok Kong An mengebas tangannya seraya ber-kata: "Sudah! Bangunlah!"

"Terima kasih, Hok Thayswee!" teriak pula para perwira itu. Melihat tata tertib yang angker dan rapih itu, Ouw Hui merasa kagum. "Hok Kong An benar-benar bukan sembarang orang," pikirnya. "Tak heran jika saban kali keluar berperang, ia selalu memperoleh kemenangan."

Melihat paras muka pembesar itu yang berseri-seri, Ouw Hui berkata pula di dalam hatinya: "Manusia tak punya isi perut! Dua anaknya hilang, tapi dia tidak memperdulikan."

Hok Kong An segera memerintahkan orang menuang arak. "Para Busu," katanya sambil mengangkat cawan.

"Dengan jalan ini aku memberi selamat datang kepada kalian. Keringkan cawan!"

Ia menceguk isi cawan diikuti oleh para hadirin, kecuali Ouw Hui yang hanya menempelkan pinggir cawan di bibirnya. Pemuda itu sungkan minum bersama-sama Thayswee yang sangat kejam itu.

"Pertemuan para Ciangbunjin telah diketahui juga oleh Bansweeya (kaisar)," kata pula pembesar itu.

"Barusan Hongsiang (kaisar) telah memanggil aku dan menghadiahkan dua puluh empat buah cangkir yang harus dibagikan kepada dua puluh empat Ciangbunjin." Ia mengangkat tangannya dan beberapa orang lantas saja menghampiri dengan membawa tiga kotak sulam. Seorang perwira segera menggelar sehelai taplak sutera sulam di atas meja dan dari dalam kotak, ia mengeluarkan cangkir-cangkir yang lalu ditaruh di atas meja itu.

Ternyata, dalam kotak pertama terisi delapan buah cangkir giok, dalam kotak kedua delapan cangkir emas, sedang dalam kotak ketiga delapan cangkir perak. Tiga rupa cangkir itu diatur jadi tiga baris di atas meja. Dengan sinarnya yang gilang-gemilang, semua cangkir diukir dengan gambar-gambar yang indah luar biasa. Dengan rasa kagum, semua orang mengawasi cangkir-cangkir itu, karya seniman-seniman pilihan dari istana kaisar.

"Cangkir giok dengan ukiran gambar naga diberi nama Giok-liong-pwee," kata pula Hok Kong An sesudah semua cangkir diatur beres. "Cangkir giok itu adalah yang paling berharga. Yang emas, dengan ukiran burung hong, diberi nama Kim-hong-pwee, sedang cangkir perak, dengan ukiran ikan gabus meletik, adalah Gin-lee-pwee."

Mendengar keterangan itu, semua orang jadi merasa kurang enak. Dalam ruangan tersebut terdapat seratus lebih Ciangbunjin, sedang jumlah cangkir hanya dua puluh empat buah. Siapa yang akan mendapat cangkir-cangkir itu? Di samping itu, cangkir-cangkir tersebut juga berbeda-beda. Cangkir giok tentu saja banyak lebih berharga daripada cangkir perak. Siapa yang akan memperoleh cangkir giok dan siapa yang akan memperoleh perak?

Sementara itu, Hok Kong An sudah mengambil empat buah cangkir giok dan ia sendiri lalu menyerahkannya kepada empat Ciangbunjin besar. "Kalian adalah pemimpin-pemimpin Rimba Persilatan dan setiap orang mendapat sebuah cangkir giok," katanya. Tay-tie Siansu dan ketiga Ciangbunjin lainnya lantas saja menerima hadiah itu sambil menghaturkan terima kasih.

"Sekarang masih ada dua puluh cangkir," kata pula Hok Kong An, "Aku ingin meminta supaya kalian memperlihatkan kepandaian dan empat orang yang ilmu silatnya paling tinggi akan dihadiahkan dengan empat buah cangkir giok. Mereka berempat akan mempunyai kedudukan yang berendeng dengan Ciangbunjin dari Siauw-lim, Bu-tong, Sam-cay-kiam dan Hek-liong-bun, sehingga dengan demikian, kedelapan Ciangbunjin itu dapat dinamakan sebagai Giok-liong Pat-bun (Delapan partai yang mendapat cangkir Giok-liong-pwee). Kedelapan partai tersebut akan dikenal sebagai partai-partai terbesar dan terkuat dalam Rimba Persilatan. Sesudah itu, berdasarkan kepandaian yang dimilikinya, delapan Ciangbunjin akan menerima cangkir emas dan mereka akan dikenal sebagai Kim-hong Pat-bun. Paling akhir, delapan orang lain, yang akan menjadi Gin-lee Pat-bun, akan menerima cangkir perak.

Sesudah ada penetapan tingkatan, maka di belakang hari dalam Rimba Persilatan boleh tidak usah terjadi pula sengketa-sengketa yang tidak diingini. Dalam pertemuan ini, aku mengangkat Tay-tie Siansu, Bu-ceng-cu, Tong Tayhiap dan Hay Som-leng sebagai juru pemimpin (juri) yang akan menetapkan tinggi rendah ilmu silat setiap orang. Apakah kalian setuju?"

Keterangan Hok Kong An itu disambut dengan rasa terkejut oleh sejumlah Ciangbunjin yang mempunyai pemandangan luas. Cara menteri besar itu tiada bedanya seperti mengadu domba orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Tapi di hadapan Hok Kong An, siapa yang berani mengeluarkan pendapat lain? Maka itu, biarpun di dalam hati sangat tidak setuju, mereka terpaksa ikut menepuk-nepuk tangan.

Sementara itu, begitu mendengar penjelasan Hok Kong An, Ouw Hui segera ingat keterangan Wan Cie Ie mengenai maksud tujuan pembesar itu dalam menghimpunkan pertemuan para Ciangbunjin. "Semula aku menduga, bahwa dengan mengumpulkan orang-orang gagah di kolong langit, ia bermaksud untuk menggunakan mereka guna kepentingannya sendiri." katanya di dalam hati. "Tapi dilihat begini, ia mengandung maksud yang sangat jahat. Ia ingin mengadu domba para ahli silat supaya mereka saling bunuh dalam perebutan nama kosong, agar mereka tidak mempunyai tenaga lagi untuk menentang pemerintahan Boan-ceng."

Memikir sampai di situ, ia lihat Leng So mencelup jari tangannya ke dalam cangkir teh dan menulis huruf "jie" (dua) serta "tho" (buah tho), di atas meja. Sesudah menulis, si nona lalu menghapus kedua huruf itu dengan tangannya.

Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya. "jie-moay sungguh pintar," pikirnya. "Ia sudah dapat menebak siasat busuk dari Hok Kong An yang menyerupai dengan tipu An Eng yang sudah membunuh tiga orang gagah dengan menggunakan dua buah tho." Dengan rasa duka, ia menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa sebagian besar jago-jago muda kelihatan bergembira sekali dan siap sedia untuk segera turun ke dalam gelanggang, tapi di antara para Ciang-bunjin yang berusia lebih tua banyak yang berparas lesu dan masgul, karena seperti juga Ouw Hui dan Leng So, mereka sudah melihat bencana yang tengah dihadapi oleh Rimba Persilatan.

Sementara itu, semua orang segera merundingkan keterangan Hok Thayswee, sehingga ruangan itu jadi ramai sekali dengan suara manusia. "Ong Loo-ya-cu," demikian terdengar suara seorang yang duduk di dekat meja Ouw Hui. "Ilmu silat Sin-kun-bun lihay bukan main dan Loo-ya-cu pasti akan dapat mengantongi sebuah cangkir Giok-liong."

"Cangkir Giok-liong aku tidak berani harapkan," kata orang yang dipanggil "Ong Loo-ya-cu" dengan suara merendahkan diri.

"Aku sudah merasa beruntung jika dapat memperlihatkan cangkir emas kepada anak-anakku."

Seorang lain tertawa dan berkata dengan suara perlahan: "Aku hanya khawatir, dia masih tak mampu merebut cangkir perak."

Mendengar ejekan itu, si orang she Ong jadi gusar bukan main dan mengawasi orang yang mengejeknya dengan mata melotot. Demikianlah, di setiap meja jago-jago itu ramai bicara, bisik-bisik atau tertawa-tawa.

Tiba-tiba seorang perwira yang berdiri di samping Hok Kong An, menepuk tangannya tiga kali dan berseru: "Tuan-tuan harap tenang sebentar, Hok Thayswee ingin bicara lagi."

Suara ramai itu perlahan-lahan mereda, tapi karena orang-orang itu tidak biasa dengan disiplin militer, maka untuk sementara, masih terdengar suara orang bicara. Sesudah lewat beberapa saat, barulah ruangan itu menjadi sunyi.

"Sekarang aku mengundang tuan-tuan bersantap dan sesudah makan minum, barulah kalian memperlihatkan kepandaian," kata Hok Kong An. "Mengenai peraturan pie-bu (adu silat), sebentar Ang Teetok akan memberi penjelasan."

Seorang perwira Boan yang berdiri di samping pembesar itu, lantas saja berkata: "Hayolah! Kalian boleh makan dan minum sepuas hati. Sehabis perjamuan, aku akan memberi penjelasan. Hayolah! Sekarang aku memberi hormat kepada kalian dengan secawan arak." Sambil berkata begitu, ia menuang arak ke sebuah cawan besar dan lalu menceguk kering isinya.

Sebagian besar jago-jago yang hadir di situ adalah "gentong-gentong" arak, tapi karena sedang menghadapi pertempuran, mereka tidak berani minum terlalu banyak. Sesudah perjamuan selesai, perwira yang tadi kembali menepuk tangan tiga kali. Sejumlah pelayan segera menaruh delapan kursi Thay-su-ie di ruangan tengah, delapan kursi di ruangan samping sebelah timur dan delapan kursi pula di ruangan samping sebelah barat. Pada kursi-kursi di ruangan tengah ditaruh alas dengan sulaman benang emas, pada kursi di ruangan timur ditaruh alas sutera merah, sedang pada kursi di ruangan barat ditaruh alas sutera hijau. Sesudah itu, tiga orang Wie-su masing-masing membawa Giok-liong-pwee, Kim-hong-pwee dan Gin-lee-pwee yang lalu ditaruh di atas meja teh di ruangan tengah, ruangan timur dan ruangan barat.

Sesudah cangkir-cangkir diatur beres, An Tee-tok segera berkata dengan suara nyaring: "Hari ini kita mengikat persahabatan dengan ilmu silat dan begitu lekas salah satu pihak kena dicolet, pertandingan harus segera dihentikan. Siapa pun jua tidak boleh mendendam sakit hati. Dalam pertandingan, sebaiknya jangan sampai melukai lawan. Akan tetapi, sebagaimana kalian tahu, di dalam setiap pertempuran selalu terdapat kemungkinan kesalahan tangan. Maka itu, Hok Thayswee telah menetapkan, bahwa orang yang mendapat luka enteng akan diberi uang obat sebanyak lima puluh tahil perak, yang luka berat diberi tiga ratus tahil perak, sedang kalau sampai ada yang meninggal dunia, keluaganya akan mendapat seribu tahil perak. Orang yang karena salah tangan, sudah melukai atau membinasakan lawannya, tidak akan dituntut."

Semua orang terkejut. Penjelasan itu terang-terangan menganjurkan supaya jago-jago itu bertempur mati-matian. Sesudah berdiam sejenak, perwira itu berkata pula: "Kami mengundang empat Ciangbunjin besar mengambil tempat duduknya."

Empat orang Wie-su lantas saja menghampiri dan mempersilahkan Taytie Siansu, Bu-ceng-cu, Tong Pay dan Hay Lan Pit maju ke tengah-tengah ruangan untuk duduk di empat kursi Thay-su-ie. Sesudah mereka berduduk, masih ada empat kursi kosong, dua di sebelah kiri dan dua lagi di sebelah kanan.

Perwira itu tersenyum dan berkata pula dengan suara nyaring: "Para Ciangbunjin sekarang boleh memperlihatkan kepandaiannya di hadapan Hok Thayswee. Mereka yang menganggap kepandaiannya cukup tinggi untuk memiliki cangkir Gin-lee-pwee boleh duduk di kursi di ruangan barat, sedang mereka yang menganggap kepandaiannya cukup tinggi untuk memperoleh Kim-hong-pwee, boleh duduk di kursi di ruangan timur. Dan mereka yang merasa dapat berendeng dengan empat Ciangbunjin besar, boleh duduk di kursi di ruangan tengah, bersama-sama keempat Ciangbunjin besar itu.

Sesudah dua puluh Ciangbunjin menduduki dua puluh kursi itu, siapa yang merasa tidak puas boleh menantang orang yang menduduki kursi. Yang kalah mundur, yang menang duduk di kursi itu. Pertandingan baru dihentikan sampai tidak ada orang yang menantang lagi. Bagaimana pendapat tuan-tuan?"

Pertanyaan itu disambut dengan teriakan "setuju!" oleh jago-jago muda yang berdarah panas dan yang menganggap, bahwa peraturan itu sesuai dengan kebiasaan pie-bu, siapa kuat siapa menang. Di lain pihak, orang-orang yang tidak setuju dengan cara mengadu domba itu, tentu saja tidak berani membuka suara.

Waktu itu, Hok Kong An sendiri duduk di sebelah kursi Thay-su-ie yang ditaruh di sebelah kiri ruangan itu, dengan diapit oleh delapan Wie-su pilihan, antaranya Ciu Tiat Ciauw dan Ong Kiam Eng.

Leng So menyentuh tangan kakaknya dengan jerijinya sambil monyongkan mulutnya ke atas. Ouw Hui dongak dan lihat sejumlah Busu berdiri berjejer di atas genteng dengan senjata terhunus, sedang di luar ruangan itu pun dikurung dengan sepasukan tentara pilihan. Pada saat itu, penjagaan di gedung Peng-po Siang-sie mungkin lebih hebat daripada di istana kaisar sendiri.

"Aku sudah merasa puas, bahwa hari ini aku bertemu dengan Hong Jin Eng," kata Ouw Hui di dalam hati. "Yang paling penting, rahasiaku tidak boleh bocor. Sebentar aku akan coba merebut sebuah cangkir perak supaya tidak menyia-nyiakan harapan Saudara Kie. Tapi sebaiknya aku turun belakangan, supaya tidak menarik terlalu banyak perhatian."

Di luar dugaan, niatan Ouw Hui untuk maju belakangan, juga dipunyai oleh jago-jago lainnya. Ouw Hui berniat begitu karena khawatir rahasianya bocor, tapi jago-jago yang lain menggenggam niatan itu, sebab ingin menarik keuntungan. Mereka ingin menunggu sampai orang lain letih dalam pertandingan-pertandingan pendahuluan. Maka itulah, sesudah perwira itu mengundang beberapa kali, tak seorang yang maju untuk menduduki dua puluh kursi itu. Mengenai ilmu silat terdapat sebuah pepatah yang tepat sekali, yaitu: "Bun-bu-tee-it, Bu-bu-tee-jie" (Ilmu surat tidak ada nomor satu, Ilmu silat tidak ada nomor dua). Kata-kata itu berarti, bahwa seorang sasterawan tidak pernah menganggap, bahwa karangannya atau syairnya adalah nomor satu di dalam dunia, sedang seorang ahli silat - kecuali beberapa gelintir pentolan yang sudah mengundurkan diri dari pergaulan biasanya sungkan duduk di bawah orang.

Harus diingat, bahwa tokoh-tokoh yang hadir dalam pertemuan itu adalah Ciangbunjin, atau pemimpin, dari sebuah partai atau cabang persilatan. Maka itu, walaupun ada sejumlah orang merasa tawar dalam hatinya, tapi mereka juga tidak mau menjatuhkan nama partai sendiri. Semua orang mengerti, bahwa sekali salah tangan, ratusan atau ribuan muridnya tak akan bisa mengangkat kepala lagi dalam dunia Kang-ouw dan kedudukannya sebagai Ciangbunjin juga sukar dapat dipertahankan lagi.

Pada saat itu, berdasarkan kebiasaan dalam Rimba Persilatan, dalam alam pikiran semua orang terdapat sebuah kesimpulan yang bersamaan, yaitu: Kalau mau turun, yang dituju adalah cangkir Giok-liong-pwee. Cangkir emas dan cangkir perak, yang berarti

kedudukan kedua dan ketiga, sama sekali tidak diperhatikan orang. Maka itu, semua mata ditujukan kepada ruangan tengah, sedang ruangan timur dan barat sama sekali tidak dilirik orang.

Sesudah lewat beberapa saat, sambil tertawa mengejek, perwira itu berkata: "Mengapa tuan-tuan berlaku begitu sungkan? Apa kalian ingin maju paling belakang, sesudah semua orang kecapaian? Jika benar begitu sikap itu tidaklah sesuai dengan sikapnya seorang gagah."

Benar saja sesudah diejek, dua orang segera maju dengan berbareng dan duduk di dua kursi yang kosong. Yang satu bertubuh tinggi besar seperti pagoda dan waktu ia duduk, kursi Thay-su-ie yang kekar kuat mengeluarkan suara "kretek-kretek". Yang satunya lagi berbadan sedang-sedang saja dan di bawah dagunya tumbuh jenggot yang berwarna kuning.

"Lao-hia," katanya seraya tertawa. "Kita menghadapi banyak sekali jago-jago dan cangkir Giok-liong belum tentu dapat direbut oleh kita. Maka itu, jangan kau merusakkan kursi itu." Si raksasa tidak menjawab, ia hanya mengeluarkan suara di hidung.

Seorang perwira yang memakai topi tingkatan keempat lantas saja maju ke depan dan berteriak sambil menunjuk si raksasa: "Tuan-tuan! Yang itu adalah Ciangbunjin dari partai Jie-long-kun, Oey Hie Kiat Oey Loosu." Kemudian ia menunjuk si jenggot kuning dan berkata pula: "Yang itu ialah Auwyang Kong Ceng, Auwyang Loosu, Ciangbunjin Yan-ceng-kun."

Seorang tua yang duduk di dekat meja Ouw Hui lantas saja berbisik: "Aha! Cian-lie Tok-heng-hiap Auwyang Kong Ceng juga ingin merebut cangkir!" (Pendekar yang berjalan sendirian dalam perjalanan ribuan li).

Mendengar itu, Ouw Hui agak terkejut. Gelar Cian-lie Tok-heng-hiap telah ditempelkan pada namanya oleh Auwyang Kong Ceng sendiri, seorang perampok tanpa kawan yang namanya tidak begitu harum dalam kalangan Rimba Persilatan, tapi harus diakui, ia memang mempunyai kepandaian tinggi.

Sesudah kedua orang itu, maju pula seorang imam, yaitu See-leng Toojin, Ciangbunjin dari Kun-lun-to. Ia sama sekali tidak membawa senjata dan duduk di kursi Thay-su-ie sambil tersenyum. Semua orang merasa heran, karena sebagai pemimpin Kun-lun-to, ia tidak membekal golok.

Seluruh ruangan berubah sunyi senyap dengan semua mata ditujukan kepada kursi terakhir yang masih kosong.

"Masih ada sebuah Giok-liong-pwee," kata pula perwira itu.

"Apa tidak ada yang mau?"

Pertanyaan itu disambut dengan teriakan seorang: "Baiklah! Tinggalkan cangkir itu untuk aku, si setan arak!"

Hampir berbareng, seorang pria yang bertubuh jangkung kurus bertindak ke luar dengan tindakan sempoyongan, dengan satu tangan mencekal poci arak dan lain tangan memegang cawan. Begitu tiba di tengah-tengah ruangan, ia membuat dua putaran seperti orang mabuk arak dan kemudian, ia terjengkang ke belakang dan jatuh duduk di kursi Thay-su-ie yang terakhir. Gerakan yang sangat lincah dan enteng itu memperlihatkan kepandaian yang tinggi, sehingga tanpa merasa beberapa hadirin berseru: "Bagus!" Orang itu adalah Ciangbunjin dari partai Cui-pat-sian, namanya Bun Cui Ong, bergelar Cian-pwee Kie-su (Tuan dari ribuan cawan arak).

"Aku menghaturkan selamat kepada keempat Loosu," kata An Teetok.

"Sekarang, siapa yang menganggap kepandaiannya melebihi keempat Loosu itu, boleh tampil ke muka dan mengajukan tantangan. Jika tidak ada yang menantang, maka Jie-Iong-kun, Yan-Ceng-kun, Kun-lun-to dan Cui-pat-sian akan termasuk dalam Giok-liong Pat-bun." Hampir berbareng, dari sebelah timur keluar seorang yang berjalan dengan tindakan lebar.

"Siauwjin bernama Ciu Liong," ia memperkenalkan diri.

"Aku ingin meminta pengajaran dari Cian-lie Tok-heng-hiap Auwyang Loosu." Orang itu bertubuh kate dengan otot-otot yang menonjol keluar, sehingga bentuk badannya menyerupai seekor kerbau.

Ouw Hui tidak banyak mengenal orang-orang Rimba Persilatan, tapi baik juga, si kakek yang duduk di dekat mejanya mempunyai pengalaman luas dan ialah yang tanpa diminta selalu menceritakan asal usul setiap orang yang tampil ke muka.

"Dia itu adalah Ciangbunjin dari Lo-cia-kun dan Cong-piauw-tauw Liong-hin Piauw-kiok di Tay-tong-hu, propinsi Shoasay," bisik si kakek kepada kawannya.

"Kudengar Auwyang Kong Ceng pernah merebut piauw yang dilindungi olehnya, sehingga ia menaruh dendam. Menurut pendapatku, ia turun ke gelanggang bukan untuk merebut cangkir Giok-liong."

"Ya, dalam Rimba Persilatan memang banyak tersembunyi dendam sakit hati," kata Ouw Hui dalam hatinya.

"Seperti aku, kedatanganku di sini terutama untuk menyelidiki tempat bersembunyinya Hong Jin Eng." Mengingat begitu, tanpa

merasa ia melirik orang she Hong itu yang sedang mengusap-usap Tiat-tannya dengan paras muka tenang. Sesudah dua malam berturut-turut terjadi keributan, Hong Jin Eng menganggap musuhnya sudah kabur ke lain tempat. Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa Ouw Hui justru berada dalam ruangan itu.

Sementara itu, sambil tertawa haha-hihi, Auwyang Kong Ceng sudah bangun dari kursinya seraya berkata: "Ciu Cong-piauw-tauw, selamat bertemu! Bagaimana dengan perusahaanmu? Aku percaya kau telah mendapat banyak keuntungan."

Mendengar ejekan itu, darah Ciu Liong meluap. Pada tahun yang lalu, karena perampokan yang dilakukan oleh Auwyang Kong Ceng, ia mesti mengganti piauw yang berharga lima laksa tahil perak, sehingga simpanan yang dikumpul olehnya selama puluhan tahun, habis seluruhnya. Maka itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia segera menyerang secara nekat. Dalam sekejap, mereka sudah mulai bertempur mati-matian. Ciu Liong bertenaga besar dan kedua kakinya mantap, sedang Auwyang Kong Ceng gesit gerakan-gerakannya. Dalam pertandingan itu, dengan mengandalkan tenaga dan latihannya, Ciu Liong tidak menghiraukan pukulan musuh dan walaupun dadanya sudah tertinju tiga kali beruntun, ia seperti juga tidak merasakan pukulan itu. Tiba-tiba sambil membentak keras, ia menghantam dengan pukulan Geng-hong-tah. Auwyang Kong Ceng berkelit seraya menendang dan tendangan itu mengena tepat di lutut musuhnya yang lantas saja rubuh terguling. Tapi, sesudah bergulingan beberapa kali, Cong-piauw-tauw yang kedot itu sudah lantas bangun berdiri lagi.

Sesudah bertanding kira-kira lima puluh jurus, belasan pukulan sudah mampir di tubuh Ciu Liong. Beberapa saat kemudian, waktu tidak berwaspada, tinju musuh mengenai tepat di hidungnya, yang lantas saja mengucurkan darah. "Ciu Loosu," kata Auwyang Kong Ceng dengan suara mengejek, "Aku hanya merampas piauwmu dan bukan merebut isterimu atau membunuh ayahmu. Sudahlah! Kita menyudahi saja permusuhan ini."

Ciu Liong yang sudah jadi kalap, terus menerjang bagaikan harimau edan. Dengan mengandalkan ilmu ringan badan, Auwyang Kong Ceng kelit serangan membabi buta itu sambil mengejek.

Selang beberapa jurus lagi, kempungan Ciu Liong kena ditendang, tapi sebaliknya daripada menyerah, sambil memegang kempungan dengan tangan kiri, ia melompat dan mengirim tinju dengan seantero tenaganya. Diserang secara begitu mendadak, Auwyang Kong Ceng yang sedang tergirang-girang melihat musuhnya sudah hampir rubuh, tidak keburu berkelit lagi. "Buk!" tinju Ciu Liong mengena tepat di dadanya, sehingga beberapa tulangnya patah! Tubuh perampok itu bergoyang-goyang dan mulutnya menyemburkan darah.

Ia mengerti, bahwa musuhnya yang mendendam sakit hati hebat, pasti akan menyerang pula. Maka itu, sambil meringis-ringis, ia mundur seraya berkata: "Kau... kau menang...."

Tapi Ciu Liong tidak mau mengerti dan terus lompat mengejar. Untung juga Tong Pay keburu mencegah: "Ciu Loosu, kau sudah memperoleh kemenangan dan tidak boleh turun tangan lagi. Duduklah di sini."

Ciu Liong tidak berani membantah dan seraya merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Siauwjin tidak berani merebut Giok-liong-pwee!" Ia memutar badan dan kembali pada tempat duduknya yang tadi.

Para hadirin yang mengenai asal usul Auwyang Kong Ceng merasa girang melihat robohnya perampok jahat itu. Dengan paras muka pucat karena sakit dan malu, orang she Auwyang itu tidak berani meninggalkan gedung Hok Kong An. Ia tahu, bahwa ia mempunyai terlalu banyak musuh dan dalam keadaan terluka berat, begitu keluar dari gedung itu, musuh-musuhnya pasti akan mengikutinya untuk membalas sakit hati. Maka itu, dengan tidak memperdulikan ejekan-ejekan, ia mengeluarkan obat luka dan menelannya dengan secawan arak, akan kemudian duduk di salah sebuah kursi, tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Diam-diam Ouw Hui memuji kepintaran Ciu Liong. Dengan kepandaiannya yang tidak seberapa tinggi, memang ia tak usah harap bisa memperoleh cangkir giok itu. Dengan mengundurkan diri secara suka rela, meskipun tidak dapat berdiri sebagai anggota Giok-liong Pat-bun, nama Lo-cia-kun sudah naik tinggi.

"Jika Ciu Loosu tidak ingin turut merebut cangkir giok, kami mempersilahkan lain sahabat maju ke mari," kata Tong Pay. Hampir berbareng dengan undangan itu, dua orang yang satu dari kiri dan yang lain dari kanan, dengan berbareng maju ke depan. Jarak antara mereka dan kursi Thay-su-ie kira-kira bersamaan dan siapa yang lebih cepat, dialah yang akan tiba lebih dulu. Apa mau, kedua orang itu maju dengan kecepatan bersamaan dan begitu tiba di depan kursi, pundak mereka beradu keras, sehingga kedua-duanya terpental. Pada detik itulah, sekonyong-konyong seorang lain melompat tinggi dan bagaikan seekor elang, tubuhnya melayang jatuh di atas kursi! Itulah suatu ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, sehingga para hadirin serentak ber-sorak-sorai.

Kedua orang yang berbenturan itu segera mengawasi orang yang merebut kursi. Tiba-tiba mereka berseru dengan berbareng: "Ah! Kau!" Begitu ber-teriak, begitu mereka menerjang. Tanpa bergerak dari kursi, orang itu menendang dengan kaki kirinya dan penyerang yang di sebelah kiri lantas saja jatuh terpelanting. Hampir berbareng, tangan kanannya menyambar leher baju penyerang yang di sebelah kanan dan lalu menyentaknya, sehingga orang itu pun rubuh di lantai.

Para hadirin bersorak-sorai. Mereka tak duga orang itu begitu lihay.

An Teetok yang tidak mengenal orang itu lantas saja menghampiri seraya bertanya: "Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia serta partai mana yang dipimpin tuan?"

Tapi sebelum orang itu keburu menjawab, kedua orang yang barusan rubuh sudah melompat bangun dan lalu menyerang pula sambil mencaci dengan perkataan-perkataan kotor. Dari cacian itu, ternyata waktu berada dalam perjalanan, mereka berdua telah dipermainkan oleh orang yang duduk di kursi.

Tapi ilmu silat orang yang duduk di kursi banyak lebih unggul daripada kedua lawannya dan dengan mudah, ia kembali berhasil merubuhkan mereka.

"Cee Loojie!" teriak orang yang di sebelah kiri. "Urusan kita ditunda saja sampai di lain hari. Hari ini, kita harus lebih dulu membereskan bangsat ini."

"Benar!" kata orang yang di sebelah kanan sambil mencabut sebilah pisau dari pinggangnya.

Si kakek yang duduk di dekat meja Ouw Hui, menghela napas dan berkata: "Semenjak Hoan-kang-houw (Belibis membalik sungai) meninggal dunia, murid-murid Ap-heng-bun (Partai gerakan bebek) benar-benar tidak berharga."

Karena sangat kepingin tahu, Ouw Hui lantas saja bangun dari kursinya dan menghampiri kakek itu. Sambil mengangkat kedua tangannya, ia berkata: "Aku mohon menanya, apakah kedua orang itu murid-murid dari Ap-heng-bun?"

Si tua tertawa seraya berkata: "Kalau tidak salah, kita belum pernah bertemu muka. Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama tuan yang besar?"

Sebelum Ouw Hui menjawab, Coa Wie yang sudah bangun berdiri, lantas mendului: "Biarlah aku yang memperkenalkan kalian. Yang ini adalah Ciangbunjin yang baru dari partai kami, Thia Leng Ouw, Thia Loosu. Loosu ini ialah Ciangbunjin Sian-thian-kun. Kwee Giok Tong, Kwee Loosu."

Si kakek mengenal Coa Wie dan juga tahu, bahwa Hoa-kun-bun adalah salah sebuah partai yang besar di Tiongkok Utara. Maka itu, ia lantas saja bangun berdiri dan mengundang Ouw Hui untuk duduk bersama-sama.

Sian-thian-kun adalah sebuah partai yang sudah berusia tua dan didirikan pada jaman kerajaan Tong. Dulu, partai itu mempunyai nama yang sangat cemerlang. Hanya sayang, setiap pemimpin partai tidak mau menurunkan seantero kepandaiannya kepada murid-muridnya dan selalu menyimpan satu dua pukulan untuk menjaga diri. Maka itulah, sesudah melalui jangka waktu berabad-abad, ilmu silat Sian-thian-kun tidak lagi menonjol ke depan. Pada waktu itu, yaitu jaman kerajaan Ceng, partai Siang-thian-kun hanya sebuah partai kecil yang tidak begitu dipandang orang. Kwee Giok Tong cukup tahu diri. Ia mengerti, bahwa kepandaiannya tidak cukup untuk turut merebut cangkir dan ia duduk di situ hanya untuk menikmati makanan dan minuman Hok Kong An yang luar biasa.

Mendengar pertanyaan Ouw Hui, ia lantas saja berkata: "Ilmu silat Ap-heng-kun agak aneh. Kuda-kudanya kate, kuat di bagian kaki dan terutama lihay dalam ilmu berenang. Pada waktu Hoan-kang-houw masih hidup, partai itu menjagoi di wilayah Ho-tauw. Ia meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang murid. Yang mencekal pisau adalah Cee Pek Cin, sedang yang memegang pusut bernama Tan Ko Po. Semenjak sepuluh tahun, mereka berdua berebut kedudukan Ciangbunjin dan sampai sekarang belum ada keberesannya. Dan sekarang, muka mereka cukup tebal untuk datang ke mari bersama-sama."

Ouw Hui tersenyum. Dalam Rimba Persilatan memang banyak terjadi kejadian yang aneh-aneh.

Sementara itu, dengan masing-masing mencekal senjata pendek, Cee Pek Cin dan Tan Ko Po menyerang dari kiri dan kanan. Tanpa berkisar dari kursinya, orang itu membentak: "Bocah goblok! Di Lan-ciu aku sudah memperingati supaya kamu jangan datang ke mari. Tapi kamu tetap tidak meladeni."

Semua mata lantas saja ditujukan kepada orang aneh itu, yang berusia kira-kira lima puluh tahun, memakai tutup mata hitam dan mengisap sebatang pipa, sedang di atas bibirnya terdapat kumis warna kuning seperti kumis tikus. Apa yang luar biasa adalah cara berkelahinya. Dengan sembarangan, ia menggerakkan kaki tangannya, tapi pukulan-pukulannya itu yang agaknya tidak bertenaga, selalu berhasil merubuhkan kedua lawannya.

"Kwee Loosu, siapa Cianpwee itu?" tanya Ouw Hui.

Kwee Giok Tong mengerutkan alisnya dan berkata: "Dia...dia...." Paras mukanya berubah merah, karena ia tak tahu siapa adanya orang aneh itu.

"Bocah kurang ajar!" bentak pula si tutup mata hitam.

"Kalau bukan memandang muka Hoan-kang-houw, aku pasti tak sudi campur-campur lagi urusanmu. Hoan-kang-houw adalah seorang gagah yang patut dihormati. Aku tak nyana, murid-muridnya sebangsa manusia rendah yang rakus. Eh! Kamu mau pulang atau tidak?"

"Suhu pasti tidak mempunyai sahabat bau seperti kau!" bentak Tan Ko Po.

"Aku berguru lima enam tahun, tapi belum pernah lihat muka bangkotanmu!"

"Anak celaka!" caci si tutup mata. "Hoan-kang-houw kawan mainku, kawan main lumpur dan menangkap kutu. Kau tahu?"

Tiba-tiba tangan kirinya menyambar dan "Plok!" mengena tepat di kuping Tan Ko Po. Sesaat itu, Cee Pek Cin menubruk dari sebelah kanan. Si tua mengangkat kakinya yang kena jitu di muka Pek Cin.

"Sesudah gurumu meninggal, biar aku yang menghajar kau!" bentaknya. Melihat pertunjukan yang lucu itu, semua orang tertawa geli. Tapi Cee Pek Cin dan Tan Ko Po benar-benar manusia tolol. Mereka sedikit pun tak bisa lihat, bahwa kepandaian mereka masih kalah terlalu jauh dari si tutup mata.

"Bocah, kau dengarlah!" bentak si tua lagi.

"Hok Thayswee mengundang kamu datang di sini, apa kau kira dia mempunyai maksud baik? Hm! Dia mau mengadu domba kamu semua! Huh! Huh! untuk mendapat cangkir yang tidak cukup untuk memuat kencing, kamu saling geragot dan saling bunuh!"

Mendengar perkataan itu, semua orang kaget bukan main. Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya dengan perasaan kagum akan ketabahan orang tua itu.

Sekarang An Teetok tidak dapat menahan sabar lagi. "Siapa kau?" bentaknya. "Kau mau mengacau di sini?" Karena masih memandang muka para orang gagah, sedapat-dapat ia menahan amarah dan tidak lantas turun tangan.

Si tutup mata tertawa dan berkata dengan suara tenang: "Aku sedang mengajar cucu-cucuku dan tidak ada sangkut pautnya dengan kau." Sehabis berkata begitu, bagaikan kilat pipanya berkelebat. Hampir berbareng pisau dan pusut yang dicekal Cee Pek Cin dan Tan Ko Po jatuh di lantai. Sesudah menyelipkan pipanya di pinggang, tangan kanannya menyambar ke kuping kiri Cee Pek Cin, sedang tangan kirinya menyambar ke kuping kanan Tan Ko Po. Ia bangun dan bertindak ke luar sambil menje-wer kuping kedua pemuda itu. Heran sungguh, tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan meringis seperti orang kesakitan, mereka mengikuti. Ternyata, sedang jempol dan telunjuk orang tua itu menjewer kuping, tiga jerijinya menekan jalan darah Kiang-kan-hiat dan Hong-hu-hiat yang terletak di belakang otak, sehingga kaki tangan kedua pemuda itu menjadi lemas dan tidak dapat melawan lagi.

Ouw Hui dan Leng So menyaksikan perbuatan si tua dengan rasa kagum dan menghormat.

"Binatang!" caci An Teetok. "Apa kau mau cari mampus...?" Kata-kata itu terhenti di tengah jalan, karena serupa benda bundar mendadak menyambar ke dalam mulutnya dan terus turun di tenggorokannya. Meskipun hidungnya mengendus bebauan daging dan lidahnya merasakan rasa daging, seperti juga benda yang masuk ke dalam perutnya adalah sebuah bakso, tapi ia tidak dapat menetapkan apakah benar, benda bundar itu bakso adanya. Di samping itu, ia juga tak tahu siapa yang sudah menimpuknya. Maka itu, dengan paras muka pucat, ia berdiri bengong seperti patung.

Tong Pay yang duduk di belakang An Teetok tidak dapat melihat kejadian itu. "Dalam dunia Kang-ouw memang terdapat banyak sekali orang-orang gagah yang hidup mengasingkan diri," katanya sesudah orang aneh itu berlalu.

"Karena Cianpwee yang tadi sungkan bergaul dengan manusia biasa, maka kita pun tidak dapat berbuat apa-apa. Sekarang Loosu manakah yang ingin mengisi kursi yang kosong ini?"

"Aku!" demikian terdengar satu suara. Orang heran, sebab ada suara, tiada orangnya. Beberapa saat kemudian, dari antara orang banyak barulah muncul seorang kate yang tinggi tubuhnya hanya tiga kaki lima enam dim, sedang mukanya yang berjenggot kelihatan angker sekali. Melihat si kate, beberapa jago muda tidak tahan untuk tidak tertawa. Tiba-tiba orang kate itu menengok dan mengawasi dengan sorot mata angker, sehingga orang-orang yang tertawa lantas saja bungkam.

Si kate berhenti di depan kursi Oey Hie Kiat dan mengawasi raksasa itu dari kepala sampai di kaki dan dari kaki sampai di kepala lagi. Melihat lagak orang yang aneh, Hie Kiat menegur: "Eh, lihat apa kau? Apa kau mau menjajal kepandaian denganku?"

Orang kate itu tidak menjawab, ia hanya mengeluarkan suara di hidung sambil berjalan ke belakang kursi. Karena khawatir dibokong, Hie Kiat memutar tubuhnya dan si kate kembali ke depan kursi, sedang matanya terus mengawasi muka orang.

"Loosu itu adalah Cong Hiong, Cong Loosu, Ciangbunjin dari Tee-tong-kun di propinsi Siam-say," kata An Teetok.

Sebab diawasi secara begitu, darah Hie Kiat lantas saja meluap dan ia bangun berdiri. "Cong Loosu!" bentaknya. "Aku ingin meminta pelajaran dari ilmu silat Tee-tong-kun."

Di luar dugaan, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Cong Hiong menotol lantai dengan kakinya dan badannya lantas saja melesat ke kursi yang kosong.

Oey Hie Kiat tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Jika kau tidak ingin bertempur denganku, baiklah!" Sehabis berkata begitu, ia duduk lagi di kursinya.

Tapi sungguh aneh, begitu lekas si raksasa duduk, si kate bangun dan berdiri pula di depan kursi Oey Hie Kiat sambil menatap wajah orang.

"Eh, lihat apa kau!" bentak Hie Kiat dengan suara gusar.

"Tadi, waktu minum arak, mengapa kau mengawasi aku sambil tertawa-tawa?" tanya Cong Hiong.

"Kau mentertawai badanku kate, bukan?"

"Badanmu kate, ada sangkut paut apakah denganku?" kata si raksasa seraya menyengir. Cong Hiong jadi gusar.

"Binatang! Kau menarik keuntungan secara tidak halal atas diriku!" teriaknya.

"Menarik keuntungan tidak halal?" menegas Hie Kiat dengan heran.

"Kau mengatakan, bahwa katenya badanku tiada sangkut pautnya denganmu," jawabnya.

"Huh-huh. Aku bertubuh kate memang hanya bersangkut paut dengan ayahku. Dan dengan mengatakan begitu, bukankah kau sengaja mengejek ayahku?"

Mendengar perkataan itu, semua orang tertawa besar - Hok Kong An menyemburkan teh yang baru masuk ke dalam mulutnya. Thia Leng So menengkurep di meja sambil memegang perut, sedang Ouw Hui sedapat mungkin menahan tertawa, sebab khawatir jenggot palsunya jatuh. Hie Kiat pun tertawa geli.

"Tidak berani, tidak berani aku mengejek ayah Cong Loosu," katanya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Cong Hiong segera meninju kempungan orang. Meskipun bertubuh tinggi besar, Oey Hie Kiat ternyata cukup gesit dan dengan sekali menekan lengan kursi, tubuhnya sudah melesat ke samping. Hampir berbareng terdengar suara gedubrakan dan kursi Thay-su-ie itu hancur jadi puluhan potong! Gelak tertawa terhenti serentak. Semua orang kaget, karena mereka tak duga, Cong Hiong yang berbadan kate kecil mempunyai tenaga yang sedemikian hebat. Begitu tinjunya melesat, Cong Hiong segera bergulingan di lantai dan menyerang bagian bawah dengan menggunakan ilmu silat Tee-tong-kun. Dengan beruntun-runtun. Oey Hie Kiat membela diri dengan tendangan Sauw-tong-tui. Tui-po-kwa-houw-sit. Tiauw-cian-po dan lain-lain, tapi ia masih tetap kewalahan. Ilmu silat Jie-long-kun mengutamakan pukulan tangan dan tidak begitu memperhatikan ilmu menendang. Jika bertemu dengan lawan biasa, dengan menggunakan Jie-long-tan-san-ciang, Kay-ma-sam-kun dan Iain-lain pukulan, ditambah lagi dengan tenaganya yang sangat besar, dengan mudah ia dapat merubuhkan lawan itu. Apa celaka, ia sekarang bertemu dengan si kate yang menyerang dengan bergulingan. Ilmu menendang yang dimilikinya adalah untuk menendang tubuh atau kepala musuh. Maka itu, dalam menghadapi Cong Hiong, bukan saja tinjunya tidak berguna, tapi kakinya pun selalu menendang ke tempat kosong.

Untuk membela diri, jalan satu-satunya ialah melompat kian ke mari. Sesudah bertempur puluhan jurus, Hie Kiat sudah kena beberapa tendangan dan sesaat kemudian, kedua kaki Cong Hiong mengena tepat di kedua lututnya, sehingga, tanpa ampun lagi, ia rubuh di atas lantai. Dengan girang, si kate lalu menubruk. Tapi di luar dugaan, biarpun sudah rubuh, Hie Kiat masih keburu mengirim tinju dengan sekuat tenaga. "Buk!" Cong Hiong terpental setombak lebih! Tapi begitu jatuh, begitu ia bangun dan terus menerjang pula. Sambil berlutut, Hie Kiat melayani musuhnya dan dalam kedudukan begitu, ia dapat melawan si kate yang menyerang dengan bergulingan.

Mereka berdua adalah bangsa kedot yang tahan sakit dan biarpun keduanya sudah kena pukulan-pukulan hebat, pergulatan masih dilangsungkan terus. Sesudah Iewat sekian jurus lagi, sekonyong-konyong Cong Hiong menghatam dada Hie Kiat dengan kedua tinjunya. Hie Kiat mengegos sambil menjambret leher si kate dan dengan sekali membalik tubuh, ia menindih badan lawan dengan badannya yang seperti raksasa. Si kate coba memberontak sekuat tenaga, tapi tidak bergeming, karena Hie Kiat yang sudah berada di atas angin, terus menindih dan memeluknya secara mati-matian. Beberapa saat kemudian, paras muka Cong Hiong berubah pucat dan tenaga memberontaknya semakin lemah.

Melihat perkelahian peluk banting itu yang tidak mirip-miripnya dengan pertandingan antar dua Ciangbunjin, para hadirin menggeleng-gelengkan kepala.

Mendadak, dari antara orang banyak melompat ke luar seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar dan yang, segera menghantam punggung Oey Hie Kiat.

"Mundur!" bentak An Teetok. "Tidak boleh mengerubuti!" Tapi orang itu tidak meladeni dan tinjunya mengena tepat di punggung si raksasa yang dalam kesakitannya terpaksa melepaskan cekalannya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik, Cong Hiong memberontak dengan seantero tenaganya dan melompat bangun.

Tiba-tiba seorang lelaki lain kembali melompat ke luar dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meninju lelaki yang bertubuh tinggi besar itu. Ternyata mereka itu adalah murid kepala Cong Hiong dan putera Oey Hie Kiat. Di lain saat, dalam gelanggang berlangsung perkelahian antara dua pasang musuh dan para tamu membantu keramaian itu dengan bersorak-sorai dan menepuk-nepuk tangan. Dengan demikian, apa yang tertampak lebih banyak menyerupai tontonan wayang daripada pie-bu antara pentolan-pentolan Rimba Persilatan.

Sesudah mendapat pengalaman getir, Cong Hiong tidak berani berlaku sembrono lagi dan ia berkelahi dengan hati-hati, sehingga pertempuran antara si kate dan si raksasa jadi berimbang. Di lain pihak, putera Oey Hie Kiat yang belum berpengalaman sudah terjungkal beberapa kali dan kemudian, dalam gusarnya, ia mencabut sebilah golok pendek yang disembunyikan di kaos kaki. Murid Cong Hiong kaget dan sebab tidak membekal senjata, buru-buru ia menjambret kursi Thay-su-ie yang kosong, yang lalu digunakan untuk menangkis sen-jata musuh. Semakin lama pie-bu itu jadi semakin kacau dan merosot martabatnya.

"Pie-bu apa ini? Semua mundur!" teriak An Teetok. Tapi keempat orang itu yang sedang meluap darahnya, tidak menggubris.

Sekonyong-konyong Hay Lan Pit bangun berdiri dan membentak: "Eh! Apa kamu tak dengar perkataan An Teetok?"

Sesaat itu, putera Oey Hie Kiat tengah membacok musuhnya yang dengan sekali berkelit, dapat menyelamatkan diri. Pada detik golok membacok tempat kosong, tangan Hay Lan Pit menyambar dan mencengkeram dada puteranya Hie Kiat yang lalu dilontarkan keluar gelanggang. Hampir berbareng, tangannya yang lain menjambret murid Cong Hiong yang juga lantas dilemparkan sampai di cimhee. Semua orang terkejut. Di lain saat, kedua tangan Hay Lan Pit sudah mencekal Hie Kiat dan Cong Hiong yang segera dilemparkan dengan berbareng. Apa yang lucu adalah keempat orang itu jatuh di satu tempat dengan bersusun tindih. Begitu jatuh, begilu mereka saling gebuk lagi dan perkelahian baru berhenti sesudah mereka dipisahkan oleh beberapa Wie-su.

Kepandaian yang diperlihatkan Hay Lan Pit mengejutkan semua orang. Biarpun Cong Hiong dan Oey Hie Kiat bukan ahli-ahli silat kelas utama, tapi mereka adalah jago-jago yang mempunyai nama dalam Rimba Persilatan. Bahwa mereka telah dilontarkan secara begitu rupa oleh perwira Boan itu, adalah kejadian di luar dugaan semua orang. Sesudah menghentikan perkelahian itu, Hay Lan Pit segera mendekati An Teetok dan bicara dalam bahasa Boan.

"Kepandaian Hay Tayjin benar-benar tinggi dan tidak dapat disusul oleh kami semua," memuji Tong Pay sesudah perwira itu kembali ke tempat duduknya. Terhadap pujian itu, Hay Lan Pit segera mengeluarkan kata-kata merendahkan diri.

Sesaat kemudian seorang pelayan keluar dengan membawa sebuah kursi Thay-su-ie untuk ditukar dengan kursi yang hancur.

Sementara itu, sesudah menyaksikan kepandaian Hay Lan Pit, See-leng Toojin, Ciangbunjin dari Kun-lun-to merasa tidak enak dalam hatinya, karena diam-diam ia mengakui, bahwa ilmu silatnya masih kalah jauh jika dibandingkan dengan perwira Boan itu. Tapi Bun Cui Ong, Ciangbunjin Cui-pat-sian, tetap tenang-tenang saja dengan kadang-kadang menceguk cawan arak.

Sesudah ketenangan pulih, An Teetok berkata pula sesudah batuk-batuk beberapa kali. "Hok Thayswee mengundang kalian datang ke mari adalah untuk menetapkan kepandaian masing-masing. Maka itu, aku mengharap, bahwa kejadian barusan yang sangat memalukan tidak terulang lagi. Di sini masih terdapat dua kursi kosong yang kuharap akan diisi oleh orang-orang gagah yang benar-benar mempunyai kepandaian tinggi."

"Hei! Jangan mengejek kau! Apa kau kira aku bukan orang gagah tulen?" mengomel Cong Hiong dengan suara gusar.

Tapi semua orang tidak memperdulikan lagi omelan si kate, karena mata mereka sudah ditujukan kepada dua kursi Thay-su-ie yang sekarang sudah terisi. Ternyata, di satu kursi sudah duduk seorang pendeta yang mengenakan jubah pertapaan warna putih dan yang diperkenalkan oleh An Teetok sebagai Hachi Taysu dari Mongolia, sedang di kursi yang satunya lagi duduk dua orang yang muka dan dandanannya tidak berbeda satu sama lain. Alis mereka turun, mata mereka seperti mata ayam jantan yang sedang berkelahi dengan biji mata yang terletak dekat dengan batang hidung dan dengan sekelebatan saja, orang lantas menduga, bahwa mereka adalah saudara kembar.

Sambil tersenyum-senyum, An Teetok berkata: "Dua orang gagah yang duduk di kursi itu adalah kedua Ciangbunjin dari Song-cu-bun di propinsi Kwiciu, yaitu Nie Put Toa dan Nie Put Siauw, Nie Loosu." (Nie Put Toa = Nie Tidak Besar. Nie Put Siauw = Nie Tidak Kecil).

Melihat dua saudara itu yang seakan-akan pinang dibelah dua, semua orang jadi merasa gembira dan mereka saling menduga-duga, bahkan ada yang bertaruh, yang mana kakak, yang mana adik. Bukan saja para tamu, malah Hok Kong An sendiri mengawasi kedua orang itu sambil tersenyum.

Selagi orang ramai bicara, tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan seorang wanita berdiri di tengah gelanggang. Nona itu yang berusia kira-kira dua puluh tahun dan mengenakan baju kuning dengan kun hijau, berparas sangat cantik.

"San Hui Hong, San Kouwnio, Ciangbunjin dari Ngo-ouw-bun di Hong-yang-hu!" seru An Teetok. Melihat turunnya seorang wanita cantik, para hadirin jadi lebih bersemangat.

"Murid-murid Ngo-ouw-bun biasanya mencari nafkah dalam dunia Kang-ouw dengan menjual silat dan obat-obatan," menerangkan Kwee Giok Tong kepada Ouw Hui.

"Menurut kebiasaan partai itu yang menjadi Ciangbunjin harus seorang wanita. Meskipun mempunyai kepandaian tinggi, seorang pria tidak dapat memimpin Ngo-ouw-bun. Tapi apa nona yang berusia begitu muda mempunyai kepandaian tinggi?"

Di lain saat, San Hui Hong sudah berada di hadapan kedua saudara Nie dan sambil menolak pinggang, ia menegur: "Bolehkah aku mendapat tahu, di antara kalian berdua, siapa kakak dan siapa adik?" Kedua orang itu tidak menjawab, mereka hanya menggelengkan kepala.

Nona San tersenyum dan berkata pula: "Walaupun kalian saudara kembar, tapi dalam persaudaraan kembar, ada yang terlahir lebih dulu, ada yang belakangan." Kedua saudara kembar itu tetap menggeleng-gelengkan kepala.

"Ah! Aku sungguh tak mengerti sikapmu," kata pula si nona. Sambil menunjuk kepada orang yang duduk di sebelah kiri, ia berkata lagi: "Apa kau yang lebih tua?' Orang itu menggelengkan kepala. Hui Hong menunjuk yang di sebelah kanan dan menanya pula: "Kalau begitu, kaulah yang lebih tua, bukan?" Dia pun menggoyang-goyangkan kepala. Hui Hong mengerutkan alisnya. "Loosu, sikapmu sungguh mengherankan," katanya dengan suara mendongkol.

"Kita, orang-orang Rimba Persilatan biasanya tidak pernah berdusta."

"Apa kau kata?" bentak yang duduk di sebelah kanan.

"Siapa berdusta? Aku bukan kakaknya dan dia pun bukan kakakku."

"Apakah kalian bukan saudara satu sama lain?" tanya si nona. Dengan berbareng, lagi-lagi mereka menggeleng-gelengkan kepala.

Semua orang heran bukan main. Dilihat dari rupa dan pakaian, terang-terangan mereka adalah saudara kembar. Tapi mengapa mereka bersikap begini aneh? San Hui Hong mengeluarkan suara di hidung.

"Dengan menggelengkan kepala, kalian sudah berdusta," katanya.

"Kalau orang mengatakan, bahwa kalian bukan saudara kembar, biarpun dipotong kepala, aku tak akan percaya. Hayolah! Yang mana Nie Put Toa Loosu."

"Aku Nie Put Toa," jawab yang di sebelah kiri.

"Bagus," kata si nona. "Siapa yang terlahir lebih dulu, apa kau, apa dia?" Nie Put Toa mengerutkan alisnya.

"Nona, mengapa kau begitu rewel?" tanyanya dengan suara mendongkol.

"Kau bukan ingin mengikat famili dengan kami berdua saudara, perlu apa kau begitu melit?" Hui Hong menepuk-nepuk tangan dan tertawa geli.

"Aha! Sekarang kau sudah mengaku, bahwa kalian berdua adalah saudara," katanya.

"Benar, memang benar kami bersaudara, tapi bukan saudara kembar," kata Nie Put Siauw.

"Aku tidak percaya," kata Hui Hong.

"Terserah," kata Nie Put Toa. Tapi si nona masih saja tidak merasa puas.

"Persaudaraan kembar sedikit pun tiada jeleknya. Mengapa kau terus menyangkalnya?" katanya.

Kedua saudara itu berdiam sejenak dan kemudian Nie Put Siauw berkata: "Kalau kau sangat ingin tahu hal ihwalnya kami, kami pun bersedia untuk memberitahukannya. Tapi kami mempunyai serupa peraturan. Siapa saja yang sudah mendengar rahasia kelahiran kami, dia harus menerima tiga pukulan dari aku dan saudaraku. Jika dia tidak mau dipukul, boleh juga ditukar dengan berlutut tiga kali di hadapan kami berdua."

Karena didorong dengan rasa heran yang sangat besar, si nona jadi nekat dan berkata seraya mengangguk. "Baiklah, kalian beritahukanlah kepadaku," katanya. Kedua saudara itu bangun berdiri dengan gerakan yang sangat bersamaan.

"Aha! Lihatlah!"seru Hui Hong.

"Setan pun tidak percaya, bahwa kalian bukan saudara kembar." Sekonyong-konyong kedua saudara itu mengeluarkan tangan mereka dari dalam tangan baju dan dengan serentak terlihat berkelebat-kelebatnya sinar emas. Ternyata, dua puluh jari mereka disarungkan dengan bidal-bidal emas yang panjang tajam dan dapat digunakan sebagai senjata untuk mencengkeram musuh. Mendadak, tangan mereka menyambar ke arah Hui Hong yang jadi kaget bukan main dan buru-buru melompat ke samping.

"Bikin apa kau?" membentak si nona. Semenjak dilahirkan, kedua saudara itu belum pernah berpisahan dan dalam ilmu silat, mereka dapat bekerjasama seerat-eratnya, yang satu membantu yang lain dalam pembelaan diri dan serangan-serangan yang sudah dilatih selama bertahun-tahun. Maka itu, tidaklah heran, dalam sekejap San Hui Hong sudah jatuh di bawah angin. Ia hanya dapat membela diri, tanpa mampu membuat serangan membalas. Para penonton lantas saja mulai berteriak-teriak.

"Tidak adil! Tak malu! Dua lelaki mengerubuti satu perempuan!" teriak seorang.

"Si nona tangan kosong. kau berdua menggunakan senjata. Ah! Lebih-Iebih tak tahu malu," seru yang lain.

"Saudara kecil! Bantulah nona itu. Mungkin ia akan sangat berterima kasih kepadamu. Ha-ha-ha!" teriak orang ketiga.

Tiba-tiba, sambil mengeluarkan seruan tertahan, kedua saudara itu melompat keluar dari gelanggang dan mereka mengawasi ke arah Hok Kong An, dengan sorot mata girang dan kagum. Semua orang lantas saja menengok ke jurusan yang diawasi mereka. Ternyata, dengan paras muka berseri-seri, Menteri Pertahanan itu sedang bicara bisik-bisik dengan dua bocah yang dicekal dengan kedua tangannya. Tak bisa salah lagi, kedua bocah itu, yang mukanya tampan dan mirip satu sama lainnya, adalah saudara kembar. Dengan demikian dalam ruangan itu terdapat dua pasang saudara kembar, yang sepasang tampan, yang lain jelek.

Melihat begitu, kecuali dua orang, para tamu jadi merasa gembira sekali. Dua orang yang tidak lurut bergembira bahkan kaget dan berkhawatir adalah Ouw Hui dan Leng So yang segera mengenali, bahwa kedua bocah itu bukan lain daripada putera-puteranya Ma It Hong! Mereka mengerti, bahwa dengan direbut pulangnya kedua anak itu, rahasia mereka sudah menjadi bocor.

Dengan lirikan mata Leng So memberi isyarai kepada kakaknya, supaya mereka segera mengangkat kaki. Ouw Hui manggut-manggutkan kepala sambil berkata dalam hatinya. "Jika rahasia sudah bocor, musuh tentu sudah siap sedia.

Jalan satu-satunya ialah bertindak dengan mengimbangi selatan."

Sementara itu, Nie Put Toa dan Nie Put Siauw mengawasi kedua bocah tersebut dengan mata terlongong-longong.

Nona San tertawa seraya berkata, "Kedua bocah itu manis sekali. Apa kalian mau mengambil mereka sebagai murid?" Pertanyaan itu kena betul di hati mereka. Dalam Rimba Persilatan, murid memilih guru, tapi gurupun memilih murid untuk mengangkat naik derajat rumah perguruan atau partai. Dalam kalangan Song-cu-bun, untuk mendapat hasil yang sebaik-baiknya, ilmu silat partai tersebut harus digunakan oleh dua orang yang dengan bekerja sama seerat-eratnya. Memang benar, seorang guru Song-cu-bun dapat memilih dua murid bukan saudara dan kemudian melatih mereka bersama-sama. Tapi sebaiknya jika bisa didapat dua saudara, apalagi dua saudara kembar yang jalan pikirannya hampir bersamaan, supaya dalam pertempuran kerja sama itu dapat tercapai sebaik-baiknya. Maka itulah, semenjak dulu, partai Song-cu-bun selalu mencari dua saudara kembar untuk dijadikan murid yang akan mewarisi dan memimpin partai tersebut. Demikianlah begitu melihat kedua putera Hok Kong An, yang berparas tampan dan menunjuk bakat luar biasa, Nie Put Toa dan Nie Put Siauw jadi seperti orang kesima dan sesaat itu juga, mereka segera mengambil keputusan untuk merebut kedua bocah itu guna dijadikan murid.

Di lain pihak, sambil tersenyum-senyum, Hok Kong An berbisik di kuping kedua puteranya: "Lihatlah kedua Suhu itu. Mereka pun saudara kembar. Lihatlah, muka mereka sangat bersamaan satu sama lain. Apa kau bisa menebak, yang mana kakak, yang mana adik?"

Sesudah berhasil merebut pulang kedua puteranya, Hok Kong An girang bukan main dan melihat kedua saudara Nie itu, dalam gembiranya, ia segera memerintahkan seorang Wie-su untuk mengajak kedua puteranya datang ke ruangan perjamuan, supaya mereka pun dapat menyaksikari macamnya kedua saudara Nie.

Mendengar pertanyaan sang ayah, sesudah mengawasi beberapa saat, kedua anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sekonyong-konyong, sambil membentak keras, kedua saudara Nie itu menerjang ke arah Hok Kong An dari kiri dan kanan. Hok Kong An terkesiap, sedang dua Wie-su yang berdiri di sampingnya segera melompat untuk menyambut musuh. Tapi gerakan kedua saudara itu aneh dan cepat luar biasa. Selagi lari menerjang, Nie Put Toa yang di sebelah kiri mendadak membelok ke sebelah kanan, sedang Nie Put Siauw yang di sebelah kanan membelok ke kiri. Dengan membelok begitu, kedua Wie-su yang coba menyambutnya jadi ketinggalan di belakang dan mereka terus menerjang Hok Kong An. Begitu berhadapan, dengan berbareng mereka menendang kaki kursi, sehingga menteri itu lantas saja jatuh terguling bersama-sama kursinya. Dalam sekejap keadaan jadi kacau. Para Wie-su kaget dan gugup - ada yang coba mencegat musuh, ada yang menubruk untuk membangunkan majikan mereka dan ada pula yang berdiri di depan Hok Kong An, siap sedia untuk menyambut lain serangan. Dalam keadaan yang kacau itu, cepat bagaikan kilat, kedua saudara Nie masing-masing memondong satu bocah dan lalu melompat untuk melarikan diri.

Keadaan dalam ruangan itu jadi semakin kacau balau. Dengan beruntun terdengar suara gedubrakan dan empat Wie-su yang coba mencegat telah ditendang rubuh oleh kedua saudara itu, yang sambil mendukung kedua bocah itu, berlari-lari ke arah pintu. Mendadak, dua bayangan berkelebat dan dua orang mengejar secepat kilat. Mereka itu bukan lain daripada Hay Lan Pit dan Tong Pay. Begitu menyusul, Hay Lan Pit menepuk leher Nie Put Siauw, sedang Tong Pay membabat pinggang Nie Put Toa dengan pukulan Bian-ciang yang mengandung tenaga "keras" dan "lembek". Mendengar sambaran angin dahsyat, kedua saudara itu segera menangkis. Berbareng dengan suara "buk!", badan Nie Put Siauw bergoyang-goyang, dukungannya terlepas dan sesudah terhuyung beberapa tindak, ia muntahkan darah. Nie Put Toa pun mengalami nasib yang hampir bersamaan dan putera Hok Kong An terlepas dari pelukannya.

Sesaat itu, Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw sudah menerjang dan merebut pulang kedua bocah itu.

Sesudah menenteramkan hatinya, dengan kegusaran meluap-luap Hok Kong An berteriak: "Binatang! Nyalimu sungguh besar. Bekuk mereka!"

Hay Lan Pit dan Tong Pay melompat dengan berbareng dan menyerang dengan ilmu Kin-na-chiu. Kedua saudara itu yang sudah mendapat luka di dalam, tak dapat melawan lagi.

Sesudah berhasil membekuk kedua orang itu, Hay Lan Pit dan Tong Pay segera memutar badan untuk menyeret tawanan itu ke hadapan Hok Kong An. Pada detik itulah, dari atas payon rumah mendadak melayang turun dua orang. Begitu lekas kaki mereka hinggap di lantai, lilin-lilin bergoyang-goyang dan semua orang bangun bulu romanya, seakan-akan mereka bertemu setan memedi di tengah hutan belukar.

Mengapa? Karena macamnya kedua orang itu, tiada bedanya seperti setan. Mereka bertubuh jangkung dan kurus luar biasa, dengan alis yang turun ke bawah dan muka kurus panjang, seolah-olah macamnya setan Bu-siang-kwie yang biasa mencabut nyawa manusia. Apa yang lebih mengherankan lagi, muka dan potongan badan mereka tiada bedanya satu sama lain, sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa mereka berdua juga saudara kembar.

Dengan gerakan secepat arus kilat, yang satu menyerang Hay Lan Pit, yang lain menghantam Tong Pay. Begitu empat lengan kebentrok, tubuh Hay Lan Pit dan Tong Pay bergoyang-goyang. Sesaat itu, keadaan yang barusan kalut berubah dengan mendadak dan ruangan itu menjadi sunyi senyap, karena semua mata ditujukan kepada dua orang aneh itu.

Tiba-tiba, kesunyian dipecahkan dengan teriakan Bun Cui Ong yang tajam dan menakutkan: "Hek-bu-siang...! Pek-bu-siang...?"

Dengan lengan mereka terus menempel dengan lengan Hay Lan Pit dan Tong Pay, kedua orang itu mengawasi Bun Cui Ong dengan mata setajam kilat. "Kedosaanmu sudah luber, apa hari ini kau masih mengharap bisa melarikan diri?" kata orang yang di sebelah kiri dengan suara dingin. Mendadak, dengan berbareng mereka mendorong keras, sehingga Hay Lan Pit dan Tong Pay terhuyung ke belakang beberapa tindak dan cekalannya terhadap kedua saudara Nie jadi terlepas.

Tong Pay dan Hay Lan Pit ingin menyerang pula, tapi kedua orang itu sudah menghadang di depan kedua saudara Nie dan orang yang berdiri di sebelah kanan berkata dengan suara nyaring: "Kami berdua sebenarnya tidak mempunyai sangkutan apa pun jua dengan kedua saudara ini, tapi mengingat sama-sama anak kembar, kami turun tangan untuk menolong mereka."

Hampir berbareng, orang yang berdiri di sebelah kiri mengangkat kedua tangannya seraya berseru: "Kakak beradik Siang Hek Cie dan Siang Pek Cie dari Ang-hoa-hwee memberi hormat kepada orang-orang gagah di kolong langit."

Hay Lan Pit dan Tong Pay sebenarnya ingin menyerang pula, tapi begitu lekas mendengar dua nama itu, mereka terkesiap dan lantas mengurungkan niatnya. Dilain saat, dengan sekali menotol lantai dengan kaki mereka, kedua saudara itu sudah melompat ke genteng sambil memondong Nie Put Toa dan Nie Put Siauw. Kaburnya mereka disusul dengan beberapa jeritan kesakitan di atap gedung dan semua orang tahu, bahwa jeritan itu keluar dari mulutnya para Wie-su yang telah dirubuhkan oleh kedua jago Ang-hoa-hwee itu.

Beberapa saat kemudian, Hay Lan Pit dan Tong Pay merasa telapak tangan mereka gatal-gatal sakit dan begitu melihat, mereka mengeluarkan seruan tertahan, karena telapak tangan mereka sudah berwarna ungu hitam. Dengan segera mereka ingat, bahwa pukulan Hek-see-ciang (Pukulan pasir hitam) dari See-coan Song-hiap (Dua pendekar dari Sec-coan barat) bukan main lihaynya. Nama Hek-bu-siang dan Pek-bu-siang sudah didengar mereka selama puluhan tahun, tapi baru sekarang mereka bertemu muka.

Dalam mengadakan pertemuan para Ciang-bunjin, salah satu tujuan Hok Kong An adalah untuk menghadapi orang-orang gagah dari Ang-hoa-hwee. Tapi di luar dugaan, Siang-sie Heng-tee sudah keluar masuk selama pertemuan masih dilangsungkan, seperti juga gedung Hok Kong An tidak ada manusianya. Maka itu, dapatlah dibayangkan rasa gusar dan kecewanya pembesar itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan mata melotot ia mengawasi orang-orang yang duduk di kursi Thay-su-ie. Tay-tie Siansu tetap duduk sambil menunduk dengan sikap tenang, Bu-ceng-cu juga tidak bergerak, sedang Bun Cui Ong berdiri tegak dengan mata

mengawasi ke tempat jauh. Dari parasnya yang pucat pias, dapat dilihat bahwa ia sedang berada dalam ketakutan yang sangat hebat.

Semua kejadian itu sudah disaksikan Ouw Hui dengan rasa syukur dan girang. Nama "Ang-hoa-hwee" sudah membuat jantungnya memukul lebih keras dan dengan rasa kagum, ia melihat cara bagaimana kedua saudara Siang itu malang melintang sesuka hati dalam ruangan pertemuan, sehingga tanpa merasa, ia berkata dengan suara perlahan: "Itulah baru orang gagah!"

San Hui Hong menonton peristiwa itu dengan berdiri di pinggiran. Sesudah kedua saudara Siang berlalu, dengan rasa heran ia mengawasi Bun Cui Ong yang masih berdiri seperti orang kesima. Ia merasa geli dan lalu mendekati. "Kau duduklah," katanya sambil tertawa dan mendorong orang she Boan itu. "Setan Bu-siang-kwie sudah kabur jauh!" Sungguh tak dinyana, begitu tersentuh, begitu tubuh Bun Cui Ong rubuh di lantai, tanpa bergerak lagi. Nona San terkesiap dan buru-buru berjongkok untuk menyelidiki. Dan hatinya mencelos, karena Bun Cui Ong ternyata sudah putus jiwa!

"Mati! Dia mati lantaran kaget!" teriaknya.

Karuan saja keadaan lantas berubah kalut dan semua orang bangun dari tempat duduknya untuk melihat "orang gagah" itu.

"Kwee Cianpwee, apakah Bun Cui Ong seorang jahat?" tanya Ouw Hui.

"Jahat, sangat jahat," jawabnya.

"Menipu, merampok, memperkosa wanita baik-baik dan lain-lain perbuatan terkutuk. Sebenarnya tak pantas aku bicara jelek tentang orang yang sudah meninggal dunia. Tapi bukti kejahatannya sudah terlalu banyak dan sedari dulu, aku memang sudah merasa, bahwa ia tak akan mati dengan baik-baik. Hanya tidak dinyana, dia mampus karena ketakutan. Ha-ha-ha!"

"Mungkin sekali kedua saudara Siang itu sudah mencari dia dalam tempo lama," menyelak seorang lain.

"Ya," kata si kakek. "Hampir boleh dipastikan orang she Bun itu dulu pernah dihajar oleh Siang-sie Heng-tee dan diampuni sesudah dia bersumpah. Dan hari ini mereka bertemu lagi."

Selagi mereka beromong-omong, sekonyong-konyong berjalan ke luar seorang tua yang pada pinggangnya tergantung sebuah kantong tembakau yang berwarna hitam. Ia menghampiri jenazah Bun Cui Ong dan berkata sambil menangis: "Bun Jie-tee, tidak dinyana hari ini kau binasa dalam tangannya sebangsa tikus."

Mendengar See-coan Song-hiap dinamakan sebagai "sebangsa tikus", Ouw Hui mendongkol dan berbisik: "Kwee Cianpwee, siapa orang itu?"

"Dia she Siangkoan bernama Tiat Seng, Ciang-bunjin partai Hian-cie-bun di Kay-hong-hu," jawab si kakek.

"Dia memberi gelar Yan-hee Sanjin kepada dirinya sendiri dan bersama Bun Cui Ong, mereka menggunakan gelar Yan-ciu Jie-sian (Dua dewa, tembakau dan arak)!" Ouw Hui mengawasi orang itu yang pakaiannya kotor dan pinggangnya terselip sebatang pipa panjang (huncwee) yang aneh buatannya dengan kepala pipa sebesar mangkok.

"Dewa apa?" kata Ouw Hui sambil tertawa.

"Lebih tepat jika dinamakan Setan tembakau." Sesudah menangis beberapa lama sambil memeluk jenazah Bun Cui Ong, Siangkoan Tiat Seng bangun berdiri dan mengawasi San Hui Hong dengan mata melotot.

"Mengapa kau binasakan Bun Jie-tee?" bentaknya. Si nona jadi gelagapan.

"Eh-eh! Mengapa kau kata begitu? Terang-terangan dia mati karena ketakutan."

"Omong kosong!" teriak si tua.

"Mana bisa orang segar bugar mati lantaran ketakutan. Huh-huh! Tak salah lagi, kaulah yang sudah turunkan tangan jahat terhadap adikku." Sebab musabab mengapa Siangkoan Tiat Seng sudah menuduh membuta tuli adalah karena jika sampai tersiar warta, bahwa Bun Cui Ong binasa lantaran ketakutan, partai Cui-pat-sian tidak dapat mengangkat kepala lagi dalam Rimba Persilatan. Di lain pihak, jika seseorang binasa dalam tangan lawan, kejadian itu sama sekali tidak menurunkan derajat partainya.

Hui Hong yang belum mempunyai banyak pengalaman, tidak mengerti latar belakang fitnahan itu dan dalam gusarnya, ia berteriak: "Aku dan dia sama sekali tidak mempunyai permusuhan apa pun jua. Ribuan mata dalam ruangan ini menjadi saksi, bahwa adikmu mati lantaran kaget atau ketakutan."

Baru habis si nona membela diri, Hachi Tay-su yang sedari tadi duduk di kursi Thay-su-ie tanpa mengeluarkan sepatah kata, tiba-tiba menyelak: "Tidak, nona itu memang tidak turunkan tangan jahat terhadap adikmu. Aku telah menyaksikan dengan mata sendiri. Begitu lekas kedua setan itu datang, aku dengar Bun-ya berteriak: 'Hek-bu-siang! Pek-bu-siang!"'

Ia bicara dengan suara luar biasa nyaring dan waktu mengucapkan perkataan 'Hek-bu-siang, Pek-bu-siang', suaranya seolah-olah menggetarkan seluruh ruangan. Semua orang tertegun dan kemudian tertawa terbahak-bahak.

Hachi yang tidak mengerti mengapa mereka tertawa, lantas saja berteriak: "Apa aku bicara salah? Roman kedua setan Bu-siang itu sangat menakutkan dan tidak heran jika ada orang mati karena kaget. Kalian tidak boleh menyalahkan nona itu."

"Nah! Dengarlah apa yang dikatakan oleh Tay-su itu," kata San Hui Hong.

"Dia mati sebab kaget dan sedikit pun tiada sangkut pautnya dengan aku." Sementara itu, Siangkoan Tiat Seng sudah mencabut sebatang huncwee (pipa panjang) dari pinggangnya, memasukkan tembakau di kepala pipa dan kemudian menyulutnya. Ia mengisapnya beberapa kali dan mendadak, mengepulkan asap tembakau ke arah nona San. "Perempuan hina!" bentaknya. "Terang-terang kau yang membunuh orang. Tapi kau masih tetap coba menyangkal." Si nona buru-buru melompat mundur, tapi hidungnya sudah mengendus sedikit asap dan kepalanya lantas saja pusing. Mendengar cacian "perempuan hina", ia tak dapat menahan sabar lagi.

"Setan tua!" bentaknya.

"Apa kau kira aku takut padamu? Kau menuduh aku yang membunuh dia. Baiklah. Aku akan mengambil juga jiwamu." Seraya berkata

begitu, sambil mengirim pukulan gertakan dengan tangan kirinya, ia menendang pinggang Siangkoan Tiat Seng.

"Tua bangka!" teriak Hachi Hweeshio.

"Jangan kau menuduh membuta tuli! Bun-ya mati karena kedua setan itu...." Mendengar pendeta itu, yang pada hakekatnya seorang jujur dan polos, tak hentinya menggunakan istilah "setan" untuk See-coan Song-hiap, Ouw Hui jadi mendongkol dan ingin sekali mendapat kesempatan untuk memberi sedikit ajaran kepadanya.

Tiba-tiba, selagi Ouw Hui mengasah otak, dari sebelah barat ruangan itu muncul seorang sasterawan muda yang langsung menuju ke arah Han-chi. Ia berusia kira-kira dua puluh lima tahun, badannya kurus kecil, dandanannya rapi dan tangan kanannya mencekal kipas. Begitu berhadapan dengan si pendeta, ia lantas saja berkata: "Toaweeshio, kau sudah membuat kesalahan dalam menggunakan satu perkataan dan kuharap kau suka mengubahnya."

"Salah apa?" tanyanya.

"Kedua orang tadi bukan 'setan', tapi dua saudara Siang yang dikenal sebagai See-coan Song-hiap," jawabnya.

"Walaupun berwajah aneh, mereka berkepandaian tinggi dan berhati mulia, sehingga mereka sangat dihormati orang dalam dunia Kang-ouw." Ouw Hui girang bukan main dan dalam hatinya lantas saja timbul ingatan untuk berkenalan dengan pemuda itu.

"Bukankah Bun-ya memanggil mereka sebagai 'Hek-bu-siang dan Pek-bu-siang'? tanya Hachi.

"Dan Hek-bu-siang serta Pek-bu-siang bukan lain dari-pada setan-setan jahat."

"Tidak, bukan begitu," membantah pemuda itu.

"Mereka she Siang dan dalam nama mereka terdapat huruf 'hek' dan huruf 'pek'. Maka itu, secara guyon-guyon beberapa Cianpwee

telah memanggil mereka sebagai Hek-bu-siang dan Pek-bu-siang. Sepanjang tahuku, kecuali beberapa Cianpwee yang jumlahnya sangat terbatas, orang lain tak berani menggunakan julukan itu untuk alamatnya See-coan Song-hiap."

Selagi mereka saling sahut, Siangkoan Tiat Seng dan San Hui Hong sudah mulai bertempur. Tadi, waktu melawan kedua saudara Nie, San Hui Hong agak keteter karena ilmu silat Song-cu-bun berdasarkan kerja sama antara dua orang memang lihay luar biasa. Tapi sekarang, dengan satu melawan satu, ia dapat melayani Siangkoan Tiat Seng dengan sempurna.

Di lain pihak, huncwee Siangkoan Tiat Seng terbuat daripada baja dan biasa digunakan sebagai senjata untuk menotok tiga puluh enam jalan darah. Tapi sebab gerakan Hui Hong sangat gesit, maka untuk sementara waktu, pipa panjang itu masih belum dapat menemui sasarannya. Sambil bertempur, Tiat Seng kadang-kadang menghisap pipanya dan menyemburkan asap tembakau dari mulutnya. Perlahan-lahan kepala pipa menjadi sangat panas dan berubah merah, sehingga lantas saja merupakan senjata yang sangat berbahaya. Sebelum tersentuh pipa, Hui Hong sudah merasakan hawa panas dan dalam kebingungan, silatnya mulai kalut. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, mendadak asap yang disemburkan Siangkoan Tiat Seng menyambar muka si nona dan di lain saat, badannya bergoyang-goyang, akan kemudian rubuh di lantai. Ternyata, dalam tembakau pipa tereampur bie-yo (obat lupa) dan Siangkoan Tiat Seng dapat menghisapnya tanpa kurang suatu apa, karena ia sudah biasa dan juga sebab di dalam mulut dan hidungnya sudah terdapat obat pemunah.

Si pemuda dan Hachi Hweeshio yang sedang mengadu lidah, tidak memperhatikan jalan pertempuran itu. Tiba-tiba, hidung pemuda itu mengendus bebauan wangi dan sebagai seorang yang berpengalaman, ia lantas saja mengerti, bahwa wangi itu adalah bie-yo yang biasa digunakan oleh kawanan perampok. Dengan gusar ia menengok ke gelanggang pertempuran. Sesaat itu, Siangkoan Tiat Seng tengah menotok lutut si nona dengan huncweenya. Hui Hong mengeluarkan teriakan kesakitan dan kunnya berlubang. Sekali lagi Siangkoan Tiat Seng mengangkat lagi pipanya untuk menotok pinggang nona San.

"Tahan!" bentak si sasterawan muda. Siangkoan Tiat Seng terkejut dan huncweenya berhenti di tengah jalan. Hampir berbareng, sambil membungkuk pemuda itu sudah mencopot kedua sepatu Hachi Hweeshio yang lalu digunakan untuk menjepit huncwee.

Dengan sekali menyentak, ia sudah merebut pipa panjang itu dan lalu mengebasnya ke lengan Siangkoan Tiat Seng, yang melompat sambil berteriak kesakitan dan tangan bajunya sudah menjadi hangus. Sesudah melemparkan kedua sepatu bersama huncwee, si sastrawan lalu menghampiri San Hui Hong yang rebah dengan mata meram.

Karena dilontarkan secara sembarangan, kedua sepatu itu jatuh di atas meja perjamuan sehingga beberapa mangkok sayur terbalik, sedang huncwee itu menyambar ke arah Kwee Giok Tong.

"Celaka!" seru si kakek seraya coba menyingkirkan diri. Tapi, ia tidak keburu bergerak lagi, sebab pipa itu menyambar dengan kecepatan luar biasa. Pada detik yang sangat berbahaya, bagaikan kilat Ouw Hui mengangkat sumpit dan menjepitnya. Semua kejadian itu, yang harus dituturkan agak panjang lebar, telah terjadi dalam sekejap mata. Para hadirin lebih dulu mengawasi dengan mulut ternganga dan kemudian bersorak-sorai.

Si sasterawan tertawa dan manggut-manggutkan kepalanya kepada Ouw Hui, sebagai pernyataan terima kasih, bahwa berkat pertolongannya, ia tak sampai mencelakakan orang yang tidak berdosa. Sesudah itu, ia mengawasi Hui Hong dengan alis berkerut, karena tak tahu bagaimana harus menolongnya.

Di lain saat, dengan sorot mata gusar ia menatap wajah Siangkoan Tiat Seng dan membentak: "Keluarkan obat pemunah! Di sini orang mengadu ilmu silat, bukan mengadu racun." Siangkoan Tiat Seng tahu, bahwa kepandaian pemuda itu banyak lebih tinggi daripadanya, sehingga ia tidak berani mengumbar nafsu.

"Siapa menggunakan racun?" ia berlagak pilon.

"Perempuan itu terlalu lemah. Baru berputaran beberapa kali, ia sudah mabuk. Kau tidak boleh menyalahkan aku."

Sekonyong-konyong, dari sebelah barat ruangan itu muncul seorang wanita setengah tua yang punggungnya bongkok dan tangan mencekal secawan arak. Sambil menghampiri ia menghirup arak dan begitu berhadapan dengan Hui Hong, ia menyemburkan arak itu ke muka si nona.

"Apa itu obat pemunah?" tanya si sasterawan. Tanpa menjawab, wanita itu menyembur pula. Waktu ia menyembur ketiga kali, nona San perlahan-lahan membuka kedua matanya.

"Aha! Coba kau lihat," seru Siangkoan Tiat Seng.

"Bukankah dia sudah tersadar? Kau tidak boleh menuduh orang secara membabi buta." Si sasterawan mengangkat tangannya dan menggaplok.

"Kau mesti dihajar!" bentaknya. Siangkoan Tiat Seng buru-buru menunduk dan gaplokan itu lewat di atas kepalanya. Sementara itu, seraya mengusap-usap mata, San Hui Hong melompat bangun.

"Bangsat! Kau menggunakan racun untuk mencelakakan nonamu!" teriaknya seraya menghantam dada Tiat Seng, yang dengan cepat lalu melompat ke belakang. Siangkoan Tiat Seng gusar dan heran, karena ia tidak mengerti, cara bagaimana wanita bongkok itu bisa mempunahkan bie-yonya yang sangat lihay. Sesudah gagal menghajar musuh, nona San mengawasi si sasterawan seraya manggutkan kepala beberapa kali, sebagai pernyataan terima kasih. Tapi si sasterawan sendiri lalu menunjuk wanita bongkok itu seraya berkata: "Yang menolong nona bukan aku, tapi Liehiap (pendekar wanita) itu."

"Aku tidak bisa menolong orang," kata wanita itu dengan suara tawar. Ia menghampiri meja Ouw Hui, mengambil sumpit yang dicekal pemuda itu dan lalu menjepit huncwee yang segera dipulangkan kepada Siangkoan Tiat Seng.

Semua orang jadi heran. Siapa wanita bongkok itu? Mengapa, sesudah menolong Hui Hong, ia mengembalikan huncwee Siangkoan Tiat Seng? Wanita itu yang rambutnya dauk, mukanya kisut dan badannya lemah, kelihatannya bukan seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Dilain saat, ia sudah kembali ke mejanya dan bicara bisik-bisik dengan Ouw Hui.

Wanita bongkok itu bukan lain dari pada Thia Leng So. Kalau bukan murid Tok-chiu Yo-ong, ia pasti tak akan dapat mempunahkan bie-yo Siangkoan Tiat Seng yang istimewa.

Di lain pihak, Hachi Tay-su yang tidak bersepatu berteriak-teriak: "Hei! Pulangkan sepatuku! Pulangkan sepatuku!"

"Toahweeshio, sepatumu sudah terbakar," kata si sasterawan sembil tertawa.

Dengan paras muka merah, Hachi turun dari kursi dan menghampiri meja di mana kedua sepatunya jatuh. Ternyata, sepatu itu sudah hangus separuh dan penuh kuah sayur. Karena tak ada jalan lain, apa boleh buat ia memakai juga sepatu itu dan kemudian coba mencari si sasterawan, tapi pemuda itu sudah tidak kelihatan mata hidungnya. Sementara itu, Siangkoan Tiat Seng dan San Hui Hong sudah mulai bertempur lagi. Sesudah gagal mencari si sasterawan, Hachi duduk kembali di kursi Thay-su-ie.

"Bangsat! Hari ini aku sungguh sial," ia mencaci.

"Sesudah bertemu dengan Bu-siang-kwie, aku diganggu oleh Siu-cay-kwie." Sambil menonton pertempuran, mulutnya mengomel panjang pendek. Sekonyong-konyong para hadirin tertawa terbahak-bahak. Hachi mengawasi ke seluruh ruangan. tapi ia tak melihat sesuatu yang menggelikan. Ia heran karena semua orang mengawasi dirinya. Ia meraba-raba pakaian, tapi kecuali kedua sepatunya yang basah, tak ada apa pun jua yang luar biasa.

"Hei! Mengapa kamu tertawa?" teriaknya. Suara tertawa jadi makin ramai.

"Kura-kura! Tertawa apa? Gila! Sudahlah! Aku tak usah perduli," teriaknya dengan mata melotot. Suara tertawa tetap tidak mereda, bahkan San Hui Hong, yang sedang berkelahi mati-matian, turut tertawa! Hachi jadi makin bingung.

Tiba-tiba nona San berseru: "Toahweeshio, coba menengok ke belakang!"

Dengan terkejut ia melompat turun dari kursi dan memutar badan. Ternyata si sasterawan nakal sedang duduk di belakang Thay-su-ie sambil menggerak-gerakkan kaki tangannya seperti seorang gagu.

"Siu-cay-kwie! Berani benar kau mengganggu aku!" bentaknya dengan gusar. Si sasterawan menggoyang-goyangkan kedua tangan.

"Tapi mengapa kau duduk di situ?"

"Si gagu" menunjuk delapan Giok-liong-pwee yang terletak di atas meja, seperti juga ingin mengatakan, bahwa ia ingin mengantongi cangkir-cangkir itu.

"Kau mau turut merebut cangkir?" tanya pula si pendeta. Pemuda itu mengangguk.

"Di sini masih ada kursi kosong, mengapa kau tak mau duduk di situ?" Si sasterawan membuat gerakan-gerakan yang memperlihatkan, bahwa ia takut dihajar orang.

"Kalau kau takut duduk di situ, mengapa kau berani duduk di belakang kursiku?" Si sasterawan menendang dengan kakinya, kemudian badannya merosot ke bawah dan ia lalu duduk di kursi Hachi. Ia ingin mengunjuk, bahwa ia tidak takut terhadap pendeta itu yang ingin ditendang olehnya dan direbut kursinya.

Suara tertawa jadi makin ramai, ditambah dengan tepukan tangan. Melihat pertemuan para Ciangbunjin yang begitu digembar-gemborkan berubah menjadi sebuah lelucon, bukan main mendongkolnya Hok Kong An. Ia segera memerintahkan Ong Kiam Eng dan Ong Kiam Kiat mengantar kedua puteranya ke ruangan dalam.

"Orang itu memiliki ilmu mengentengkan badan dan sangat tinggi," bisik Leng So di kuping kakaknya.

"Benar, aku belum pernah lihat gerakan yang segesit itu," kata Ouw Hui.

"Ia rupanya sengaja mengacau," kata pula nona Thia. Ouw Hui mengangguk. Sekarang, sejumlah orang juga sudah dapat melihat maksud sebenarnya dari sasterawan itu. Ia bukan semata-mata mau menggoda Hachi, tapi tujuan yang sesungguhnya ialah mengubah pertemuan para Ciangbunjin yang sangat angker menjadi serupa lelucon.

Sementara itu, si sasterawan mengacungkan kipasnya seraya berkata: "Hachi Hweeshio, kau tak boleh berlaku kurang ajar terhadapku. Lihatlah! Di atas kipasku ini terdapat leluhurmu."

Hachi mengawasi, tapi tak melihat sesuatu yang luar biasa. "Aku tak percaya omongan gilamu!" katanya dengan melotot.

Si sasterawan segera membuka kipasnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi "Kau tak percaya? Lihatlah!" teriaknya.

Suara tertawa gemuruh memenuhi seluruh ruangan. Beberapa orang terpingkal-pingkal seraya memegang perut. Ada apa di kipas itu? Tak lain dari pada gambar seekor kura-kura yang rebah telentang, sambil mengulur leher dalam usaha membalik badannya!

Sambil tertawa Ouw Hui melirik adiknya. Mereka tidak bersangsi lagi, bahwa pemuda itu memang sengaja datang untuk mengacau. Diam-diam mereka merasa kagum, karena tempat itu adalah seperti sarang harimau. Hachi gusar tak kepalang.

"Kau maki aku sebagai kura-kura?" teriaknya.

"Binatang! Benar-benar kau sudah bosan hidup!" Tapi pemuda itu tetap tenang.

"Apa jeleknya menjadi kura-kura?" katanya sembil tersenyum.

"Kura-kura panjang umurnya. Maksudku ialah untuk mendoakan supaya kau berumur panjang."

"Fui!" Hachi membuang ludah.

"Jangan kau berlagak pilon. Apa kau tak tahu, bahwa perem-puan yang mencuri lelaki barulah dinamakan kura-kura?"

"Aha! Maaf, maaf!" kata si sasterawan seraya menyoja.

"Kalau begitu, Toahweeshio juga boleh mempunyai istri?" Hachi tak dapat menahan sabar lagi. Bagaikan kilat tangannya menyambar punggung sasterawan nakal itu. Kali ini, si sasterawan tak keburu berkelit -- punggungnya dicengkeram dan ia dilemparkan di lantai. Hachi Taysu adalah seorang ahli dalam ilmu menyengkeram dan membanting di wilayah Mongolia, di mana ilmu itu terbagi jadi tiga partai, yaitu Toajiauw, Tiongjiauw dan Siauwjiauw. Pendeta itu adalah Ciangbunjin dari Tiongjiauwbun dan kekuatannya yang terutama terletak pada punggung dan lututnya. Dalam menyengkeram dada dan punggung musuh,

ia belum pernah mengalami kegagalan. Begitu si sasterawan dibanting, semua orang mengawasi dengan menahan napas. Mereka merasa pasti, pemuda itu, yang dibanting hebat, akan mendapat luka berat. Tapi di luar dugaan, badan si sasterawan bisa membal bagaikan karet, begitu tubuhnya menyentuh lantai, begitu ia melompat dan berdiri di atas kedua kakinya! Ia tertawa haha-hihi seraya berkata: "Toahweeshio, kau tak akan mampu merubuhkan aku."

"Sekali lagi," teriak Hachi.

"Boleh," jawabnya seraya menghampiri. Mendadak ia mengangsurkan kedua tangannya untuk menyengkeram dada pendeta itu.

Para hadirin heran bukan main. Si pendeta bertubuh tinggi besar, sedang ia sendiri kurus kecil. Hachi adalah ahli dalam ilmu menyengkeram dan membanting. Bagaimana ia berani menyerang musuh dengan cengkeraman?

Sambil menyeringai si sasterawan menyengkeram pundak lawan dan menubruk terus dan memeluk leher si pendeta, seraya menendang dengan kedua kaki. Tendangan itu mengenakan tepat pada jalanan darah di lutut dan tanpa ampun lagi, Hachi jatuh berlutut. Tapi sebagai jago, dalam kekalahan, ia tak bingung. Dengan cepat, ia membalik tangan, menyengkeram punggung pemuda itu yang lalu dibanting dan ditindih dengan tubuhnya yang seperti raksasa.

"Aduh! Aduh!" teriak si sasterawan sambil meleletkan lidah dan membuat muka yang lucu-lucu. Tong Pay, Hay Lan Pit dan yang lain-lain sekarang insyaf, bahwa pemuda itu adalah seorang ahli yang berkepandaian tinggi dan yang bertujuan untuk mengacau pertemuan Ciangbunjin.

Sementara itu, San Hui Hong terus melayani Siangkoan Tiat Seng dengan hebatnya. Sebagai pentolan Ngo-ouw-bun di

Hong-yang-hu, kepandaian San Hui Hong yang paling disegani adalah Thie-lian-kang (Ilmu teratai besi), yaitu ilmu menendang dengan sepatu yang berujung besi tajam. Dengan pengalaman puluhan tahun, Siangkoan Tiat Seng tahu kelihayan lawannya. Maka itu, setiap kali kaki nona San bergerak, buru-buru ia melompat mundur atau ke samping. Tapi, dalam pada itu, diam-diam ia merasa sangat malu, sebab, sebagai seorang kenamaan dalam dunia Kang-ouw, ia masih belum dapat merubuhkan seorang wanita muda, sesudah bertempur hampir seratus jurus. Di lain pihak, makin lama Hui Hong menendang makin gencar dan kakinya selalu ditujukan ke bagian-bagian tubuh lawan yang berbahaya. Tiat Seng jadi bingung dan segera mengambil keputusan untuk menggunakan pula huncweenya. Tiba-tiba ia melompat mundur dan tertawa berkakakan.

"Tendangan-tendanganmu sama sekali tiada harganya," katanya, mengejek, dan terus menghisap pipa. Hui Hong buru-buru melompat mundur.

Tiba-tiba, pada paras muka Tiat Seng terjadi perubahan aneh. Matanya mendelik dan ia mengawasi si nona dengan sorot mata seekor anjing gila. Sesaat kemudian, seraya berteriak keras, ia menyeruduk bagaikan kerbau edan. Melihat begitu, si nona jadi keder dan secepat kilat meloncat ke samping. Tiat Seng menyelonong terus, menerjang ke arah Hok Kong An. Can Tiat Yo yang berdiri di belakang pembesar itu, buru-buru melompat ke depan, menangkap tangan Tiat Seng dan mendorongnya, sehingga sesudah terhuyung, ia rubuh di lantai. Tapi dengan lekas ia bangun berdiri dan menyeruduk pula ke meja lain. Semua orang terkejut. Dilihat cara-caranya, ia ternyata gila mendadak.

Ouw Hui melirik adiknya sambil tersenyum. Ia mengerti, bahwa kejadian itu adalah pekerjaan Leng So. Tadi, waktu mengembalikan huncwee, diam-diam si nona menaruh semacam racun di kepala pipa, sehingga, begitu dihisap, racun itu lantas saja bekerja. Di lain saat, Siangkoan Tiat Seng bergulingan di lantai, menubruk dan memeluk satu kaki meja yang lalu digeragotinya, seperti caranya seekor anjing gila. Semua orang menyaksikan dengan mulut ternganga dan bulu mereka bangun semua.

sedang yang lain membungkam, Hachi seorang terus mencaci. "Binatang kecil! Siucay bangsat! Ini semua gara-garamu!" teriaknya.

"Kura-kura nyali kecil! Lebih baik kau tutup mulut," si sasterawan mengejek.

"Kalau aku mau maki kau, mau apa kau, Siucay bangsat!" teriak Hachi.

"Kau hanya berani terhadap aku, huh!" ejek si sasterawan.

"Apa kau berani terhadap Thayswee? Jika kau manusia bernyali, coba katakan, Thayswee bangsat."

Si pendeta yang sudah setengah kalap, lantas saja berteriak: "Thayswee bangsat!" Baru saja perkataan itu keluar dari mulutnya, ia terkesiap dan insyaf, bahwa lidahnya terpeleset.

"Aku... aku... sebenarnya mau mencaci kau," katanya, terputus-putus. Si sasterawan tertawa nyaring.

"Aku bukan Thayswee," katanya.

"Aku sudah kata, nyalimu nyali cecurut!" Dalam bingungnya karena khawatir mendapat hukuman, Hachi segera menubruk. Pemuda itu mengegos dan mendorongnya, sehingga ia rubuh terguling dan apa mau, ia jatuh menindih Siangkoan Tiat Seng yang sedang menggeragoti kaki meja.

Tiat Seng berbalik dan memeluknya, akan kemudian membuka mulut untuk menggigit kepalanya. Ia coba memberontak, tapi pelukan itu bagaikan lingkaran besi dan di lain saat, kepalanya sudah digigit sehingga berlumuran darah.

"Bagus! Bagus!" seru si sasterawan seraya menepuk-nepuk tangan. Perlahan-lahan ia mendekati meja Giok-liong-pwee dan mendadak tangannya menyambar dua buah cangkir. Ia menengok ke arah San Hui Hong, mengangsurkan sebuah cangkir dan berkata: "Cangkir sudah didapat, mari kita berlalu!" Si nona terkejut. Ia belum mengenal pemuda itu, tapi mengapa dia begitu manis terhadapnya? Tapi ia tak sempat memikir panjang-panjang. Ia mengangguk, menyambuti cangkir itu dan lalu mengikuti dari belakang. Enam Wie-su yang melindungi Hok Kong An, lantas saja berteriak-teriak: "Tangkap! Tangkap mata-mata! Tangkap pencuri cangkir!" Seraya berteriak-teriak, mereka mengejar.

Tadi, sesudah Siang Hek Cie dan Siang Pek Cie menolong kedua saudara Nie, jumlah Wie-su yang menjaga di luar pintu lantas saja ditambah. Sekarang, mendengar teriakan di dalam, mereka lantas saja menerjang masuk sambil menghunus senjata. Dipimpin oleh An Teetok, mereka segera mengurung si sastrawan dan San Hui Hong. Si sasterawan tersenyum.

"Kalau kamu maju setindak lagi, aku akan segera membanting cangkir ini," katanya seraya mengangkat tangannya yang memegang cangkir. Para Wie-su bersangsi dan serentak mereka menghentikan tindakan. Melihat bahaya besar, San Hui Hong mengeluh dan menyesalkan kebodohannya sendiri. Ia menghadiri Ciangbunjin Tayhwee hanyalah untuk melihat-lihat keramaian dan sama sekali tidak mempunyai maksud lain. Ia menyesal dan merasa tidak mengerti, mengapa ia mengikuti pemuda itu.

Ouw Hui khawatir sangat dan melirik adiknya. Leng So menggeleng-gelengkan kepala untuk melarang kakaknya bergerak. Memang juga, dalam menghadapi begitu banyak musuh, jika turun tangan, mereka hanya akan membuang jiwa secara cuma-cuma.

Sementara itu, Hay Lan Pit sudah bangun berdiri dan menghampiri dengan tindakan lebar. Semua orang mengawasi dengan hati berdebar-debar. Mereka yakin, bahwa sekali turun tangan, Hay Lan Pit akan dapat merubuhkan kedua orang muda itu.

"San Kouwnio, sekarang kita harus mengubah sikap," kata si sasterawan sambil tertawa.

"Jika cangkir ini dibanting, mungkin sekali, sebelum jatuh, sudah ada orang yang menyangganya. Begini saja: Aku akan meneriakkan satu, dua, tiga dan berbareng dengan perkataan 'tiga', kita meremukkan di dalam tangan."

Memang juga Hay Lan Pit ingin menangkap cangkir itu waktu dibanting dan oleh karenanya, begitu mendengar perkataan si sasterawan, ia segera menghentikan tindakannya. Melihat begitu, Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay tertawa terbahak-bahak dan lalu menghampiri.

"Saudara kecil," katanya sesudah berhadapan dengan si sasterawan, "Boleh aku mendapat tahu she dan namamu yang besar? Hari ini kau telah mendapat muka terang. Kau telah menggetarkan seluruh Rimba Persilatan. Maka itu, mana boleh kau tidak meninggalkan she dan nama?"

Pemuda itu tersenyum. "Tak perlu," jawabnya. "Pertama, kudatang bukan untuk merebut nama dan kedua, bukan untuk menarik keuntungan. Melihat cangkir giok yang indah itu, aku merasa suka dan ingin membawanya pulang untuk dibuat main. Sesudah merasa bosan, aku akan segera mengembalikannya."

Tong Pay tertawa. "Saudara kecil, ilmu silatmu sangat luar biasa," katanya pula.

"Sesudah memperhatikan beberapa lama, belum juga aku dapat menebak asal-usul ilmu silatmu dan siapa adanya gurumu. Mungkin sekali, antara kita masih terdapat ikatan erat. Saudara kecil, orang muda suka main-main adalah kejadian lumrah. Dengan memandang mukaku, Hok Thayswee pasti tidak akan merasa gusar. Saudara kecil, lebih baik kau masuk lagi dan makan minum pula sambil menonton keramaian." Ia berpaling ke arah para Wie-su seraya berkata: "Mundurlah! Saudara kecil ini sahabat kita. Ia hanya guyon-guyon dan tak perlu kalian menghunus senjata." Mendengar perkataan itu, semua wie-su lantas saja mundur.

"Orang she Tong, aku sungkan masuk dalam perangkapmu," kata si sasterawan sambil tersenyum.

"Kalau kau maju setindak lagi, aku akan segera meremukkan cangkir ini. Kalau benar kau laki-laki, pinjamkanlah cangkir ini

kepadaku. Aku akan membawanya pulang dan main-main tiga hari lamanya. Sesudah lewat tiga hari, aku akan mengembalikannya."

Dengan hati berdebar-debar, semua orang mengawasi Tong Pay. Kam-lim-hui-cit-seng tertawa terbahak-bahak.

"Urusan kecil," katanya.

"Tapi, saudara kecil, cangkir yang berada dalam tanganmu belum ada pemiliknya. Sebagaimana kau tahu, dengan baik hati Hok Thayswee telah menghadiahkan sebuah cangkir kepadaku. Begini saja: Aku akan meminjamkan cangkirku itu. Kau boleh bermain-main dalam tempo yang tidak terbatas dan nanti, sesudah bosan, barulah kau memulangkannya kepadaku. Bagaimana? Apa kau setuju?"

Sehabis berkata begitu, ia menghampiri meja cangkir, mengambil sehelai sutera sulam dan lalu menaruh cangkirnya sendiri di dalam sutera itu. Kemudian, dengan sikap hormat, ia mengangsurkannya kepada si sasterawan seraya berkata: "Saudara kecil, kau ambillah!"

Itulah kejadian yang tidak diduga-duga. Semua orang menganggap, bahwa Tong Pay tengah menggunakan siasat untuk merebut pulang kedua cangkir itu. Tapi di luar dugaan, ia ternyata tidak berdusta.

Bukan saja yang lain, tapi si sasterawan sendiri pun merasa heran. "Kau bergelar Kam-lim-hui-cit-seng, benar saja tanganmu sangat terbuka," katanya. "Cangkir-cangkir ini tiada bedanya, sehingga tidak perlu ditukar pergi-datang. Cangkir San Kouwnio, kita andaikan saja telah dipinjamkan oleh Hay Tay-jin. Tong Tayhiap, kau harus jadi penanggung. Hay Tayjin, kau tak usah khawatir. Selewatnya tiga hari, jika cangkirmu belum juga kembali, kau boleh me-intanya dari Tong Tayhiap."

"Baiklah," kata Tong Pay.

"Aku tanggungjawab segala-galanya. San Kouwnio, kau jangan menyukarkan aku." Sambil berkata begitu, ia bertindak mendekati Hui Hong. Si nona gugup. Ia melirik si sasterawan seraya berkata dengan suara terputus-putus: "Aku... aku...."

Tiba-tiba, tiba-tiba saja, Tong Pay menggentus pergelangan tangan Hui Hong dengan sikutnya. "Celaka!" seru nona San dan cangkir yang dicekalnya terbang ke atas. Hampir berbareng, tangan kanan Tong Pay menjemput cangkir yang berada di dalam sutera, sedang tangan kirinya mengebas sutera itu yang lantas saja menggulung tangan si sasterawan. Sesaat itu juga, telunjuk tangan kanannya menotok jalanan darah In-bun, Kie-tie dan Hap-kok, sedang tangan kirinya menyangga cangkir Hui Hong yang sedang melayang turun. Dengan sekali menendang, nona San dibuatnya rubuh di lantai. In-bun-hiat terletak di pundak, Kie-tie-hiat di sikut dan Hap-kok-hiat di antara jempol dan telunjuk. Begitu lekas ketiga jalanan darah itu tertotok, seluruh lengan dan tangan si sasterawan lemas dan ia tidak bertenaga lagi untuk meremukkan cangkir yang dicekalnya.

Semua kejadian itu terjadi dalam sekejap mata. Sebelum orang bisa melihat tegas, Hui Hong dan si sasterawan sudah rebah di lantai, sedang Tong Pay sendiri sudah menaruh tiga buah cangkir itu di atas meja, akan kemudian kembali ke kursi Thay-su-ie dengan sikap tenang.

Sesaat kemudian, ruangan itu seolah-olah tergetar karena tampik sorak yang gemuruh.

Kwee Giok Tong, yang duduk bersama-sama Ouw Hui, mengurut-urut jenggotnya seraya berkata dengan suara perlahan: "Benar-benar lihay! Tong Tayhiap bukan saja sudah merubuhkan kedua orang muda itu dalam tempo begitu pendek, tapi juga berhasil merebut cangkir dalam keadaan utuh. Salah sedikit saja, cangkir itu tentu akan hancur atau rusak. Tapi di samping kelihayan Tong Tayhiap, kita harus lebih mengagumi besarnya nyali kedua orang muda itu. Thia Lauwtee, bagaimana pendapatmu?"

Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya.

"Hebat, benar-benar hebat," katanya.

Sementara itu, beberapa Wie-su sudah mengikat Hui Hong dan si sasterawan yang lalu digusur ke hadapan Hok Kong An.

"Tahan saja dulu, kita boleh memeriksa mereka belakangan," kata pembesar itu.

"Kita tidak boleh memadamkan kegembiraan para tamu kita. An Teetok, mintalah mereka meneruskan pertandingan."

"Baiklah," kata An Teetok yang segera mengumumkan, bahwa pertandingan akan segera dilanjutkan.

Ouw Hui menonton pertandingan-pertandingan dengan pikiran kusut. Ia khawatir sangat akan keselamatan Ma It Hong, karena kedua anak itu sudah direbut pulang oleh ayahnya.

Mendadak, selagi pertandingan berlangsung, terdengar teriakan seorang Wie-su yang menjaga di luar: "Sengeie (firman kaisar) datang!"

Semua tetamu terkejut, tapi Hok Kong An dan para pembesar tidak jadi kaget, karena datangnya firman di tengah malam buta bukan kejadian luar biasa. Hioto (meja sembahyang) lantas saja dipasang dan Hok Kong An menerima firman sambil berlutut, diikuti oleh semua pembesar dan para orang gagah. Mau tak mau, Ouw Hui terpaksa turut berlutut.

Yang membawa firman adalah seorang Thay-kam tua. Lauw Cie Hie, yang dikenal Hok Kong An dan di belakang Thaykam itu mengikuti empat orang Sie-wie. Begitu tiba di depan pintu, Lauw Cie Hie menghentikan tindakannya, membuka firman dan lalu membacanya: "Ditujukan kepada Pengpo Siang sie Hok Kong An. Seorang penjahat lelaki dan seorang penjahat perempuan yang barusan ditawan, harus segera diserahkan untuk dibawa ke keraton. Firman kaisar."

Hok Kong An terkejut. "Apa bisa Hongsiang mendapat warta mengenai kejadian di sini secara begitu cepat?" tanyanya di dalam hati. "Perlu apa Hongsiang mengambil kedua penjahat itu?" Sesudah menghaturkan terima kasih, ia bangun berdiri dan mengawasi Thaykam itu. Hatinya jadi semakin curiga. Biji mata Lauw Cie Hie memain dan paras mukanya pucat. Di samping itu, ada sesuatu yang sangat luar biasa. Menurut peraturan, seorang Thaykam yang membawa firman harus membacanya di ruangan tengah dan menghadap ke selatan. Tapi kali ini ia membacanya di ambang pintu dan menghadap ke dalam rumah. Lauw Cie Hie adalah seorang Thaykam tua dan tidak mungkin ia tak tahu atau sengaja mau melanggar peraturan itu. Memikir begitu, Hok Kong An segera mengetahui, bahwa dalam hal itu terselip sesuatu yang luar biasa.

"Lauw Kongkong, masuklah dan minum teh," katanya sambil tersenyum.

"Kongkong boleh sekalian melihat-lihat pertandingan antara para orang gagah."

"Bagus! Bagus!" kata si Thaykam. Tapi di lain saat, alisnya berkerut dan ia berkata pula: "Terima kasih atas undangan Thayswee. Tapi aku tidak dapat berdiam lama-lama karena Hongsiang sedang menunggu."

Hok Kong An lantas saja mengerti, bahwa firman itu adalah firman palsu dan keempat Sie-wie yang berdiri di belakang Lauw Cie Hie juga palsu. Dengan paras muka tidak berubah, ia tersenyum dan berkata pula: "Lauw Kongkong, siapa adanya saudara-saudara Sie-wie yang mengiringi kau. Aku belum pernah melihat mereka."

Lauw Cie Hie tergugu. Sesaat kemudian barulah ia dapat menjawab: "Mereka... mereka... orang baru dari lain propinsi."

Sekarang Hok Kong An mendapat kepastian, bahwa keempat Sie-wie itu adalah Sie-wie palsu. Mengapa? Karena jabatan Sie-wie, yaitu pengawal pribadi kaisar Ceng, hanya diberikan kepada bangsa Boanciu atau orang-orang yang leluhurnya telah banyak berjasa kepada kerajaan Ceng. Ia mengerti, bahwa tindakan sekarang yang paling penting adalah memisahkan keempat orang itu dari Lauw Cie Hie. Maka itu, sambil menunjuk Hui Hong dan si sasterawan, ia berkata: "Kalau begitu, Sie-wie Toa-ko boleh membawa mereka!" Salah seorang Sie-wie lantas saja maju mendekati si sasterawan. Tiba-tiba Hok Kong An membentak: "Tunggu dulu! Boleh aku mendapat tahu she Sie-wie Toako itu yang mulia?"

Menurut kebiasaan memang Hok Kong An selalu berlaku hormat kepada Sie-wie keraton dan selalu memanggil mereka dengan panggilan "Sie-wie Toako". Tapi, oleh karena kedudukan Sie-wie jauh lebih rendah dari pada pembesar itu, maka menurut adat-istiadat, jika ditanya, ia haruslah menghampiri dan menjawabnya sambil membungkuk. Tapi Sie-wie itu hanya menjawab: "Aku she Thio!"

"Sudah berapa lama Thio Toako berada di keraton?" tanya pula pembesar itu.

"Mengapa kita belum pernah bertemu?" Sebelum dia keburu menjawab, mendadak seorang Sie-wie yang berbadan gemuk dan berdiri di belakang Lauw Cie Hie, mengayunkan tangannya dan serupa senjata rahasia yang bentuknya menyerupai alat-alat tenun dan sinarnya putih berkelebatan menyambar meja Giok-liong-pwee. Sambaran Gin-so (alat-alat tenun dari perak) hebat luar biasa, dan kalau kena, semua cangkir pasti akan hancur. Sambil mengeluarkan teriakan kaget, sejumlah Wie-su segera melepaskan senjata rahasia mereka. Hampir berbareng, Thie-lian-cie dan sebagainya, kira-kira tujuh-delapan senjata rahasia, menyambar ke arah Gin-so. Tapi Sie-wie gemuk itu pun segera mengayun kedua tangannya dan tujuh-delapan senjata rahasia terbang menyusul.

Di lain saat, terdengar suara "tring-trang-tring..." dan semua senjata rahasia para Wie-su terpukul jatuh oleh senjata rahasia si gemuk, sedang Gin-so sudah tiba di atas meja. Dan sungguh aneh, begitu menggaet salah sebuah cangkir, senjata rahasia itu terbang balik dan akhirnya kembali di tangan si Sie-wie gemuk!

Untuk sejenak seluruh ruangan sunyi senyap. Semua mata mengawasi pertunjukan menakjubkan itu dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Sekonyong-konyong kesunyian dipecahkan dengan teriakan: "Thio Samko!" Orang yang berteriak ialah Ouw Hui.

Ternyata, yang menyamar sebagai Sie-wie gemuk bukan lain dari pada Tio Poan San, sedang Sie-wie yang mau menolong si sasterawan juga seorang tokoh Ang-hoa-hwee, yaitu Kui-cian-ciu Cio Siang Eng. Sudah lama jago-jago Ang-hoa-hwee itu menanti di luar gedung Hok Kong An. Pada waktu si sasterawan tertangkap, Thaykam Lauw Cie Hie kebetulan lewat di depan gedung. Mereka lalu membekuknya dan menulis sebuah firman palsu. Hanya sayang, karena tidak mengerti peraturan keraton, maka begitu menjalankan siasat, rahasia mereka segera ketahuan. Melihat kecurigaan Hok Kong An, Tio Poan San segera mendahului melepaskan Hui-yan Gin-so berhasil merebut sebuah cangkir Giok-liong-pwee. Senjata rahasia itu yang berbentuk setengah lingkaran dan yang bisa terbang balik ke tangan yang melepaskannya, adalah senjata istimewa buatan Tio Poan San sendiri.

Hampir berbareng dengan direbutnya Giok-liong-pwee, Poan San mendengar seruan "Tio Sam-ko". Ia kaget, karena seruan itu bernada penuh kecintaan dan kegirangan. Dengan matanya yang sangat tajam, ia menyapu seluruh ruangan, tapi ia tidak bisa menebak siapa yang berteriak begitu. Sebagaimana diketahui, semenjak Ouw Hui berpisahan dengan Tio Poan San, banyak tahun telah berlalu sehingga roman dan potongan badan Ouw Hui sudah berubah banyak. Jangankan ia sekarang menyamar, sekalipun tidak, Tio Poan San tentu tak akan dapat mengenalinya.

Dalam keadaan berbahaya, Poan San tidak bisa membuang-buang tempo lagi untuk mencari orang yang menyebutkan namanya. Di lain saat, kedua tangannya bergerak-gerak, diiring dengan suara menyambarnya senjata-senjata rahasia. Setiap senjata rahasia memadamkan sebatang lilin dan dalam sekejap mata, ruangan itu sudah menjadi gelap gulita. "Hok Kong An, jaga piauw!" ia berteriak. Dua orang mengeluarkan teriakan kesakitan - rupanya mereka kena senjata rahasia. Sementara itu sudah terdengar suara bentrokan senjata, sebab seorang Wie-su yang berkepandaian tinggi mulai bertempur melawan Cio Siang Eng.

"Angkat kaki!" demikian terdengar pula seruan Tio Poan San. Ia mengerti, bahwa di tempat itu, di mana berkumpul banyak sekali kaki tangan Hok Kong An yang berkepandaian tinggi, ia dan kawan-kawannya tidak boleh berdiam terlalu lama. Kalau sampai dikurung, pihaknya bisa celaka.

Tapi pada saat itu, Cio Siang Eng sudah bertempur hebat dengan seorang Wie-su dan dua kawannya sudah turut menerjang. Pada waktu si sasterawan dibekuk oleh Tong Pay, Ouw Hui sebenarnya sudah berniat turun tangan. Tapi karena melihat banyaknya musuh dan salah seorang dari keempat Ciangbunjin besar itu saja belum tentu dapat dijatuhkan olehnya, maka ia sudah menahan hati. Tapi sekarang, sesudah munculnya Tio Poan San dan semua lilin padam, ia lantas melompat ke sastrawan itu. Waktu Tong Pay menotok, ia sudah lihat, bahwa yang ditotok adalah In-bun-hiat, Kie-tie-hiat dan Hap-kok-hiat. Maka itu, begitu berdekatan, ia segera menepuk Thian-cong-hiat, di pundak si sastrawan. Tepukan itu segera membuka In-bun-hiat yang tertotok. Sesudah itu, ia menekan Thian-tie-hiat si sasterawan. Mendadak, kesiuran angin telapak tangan menyambar.

Buru-buru Ouw Hui membalik tangan kirinya dan menyambut pukulan itu. Tiba-tiba ia terkesiap, karena tenaga lawan berat luar biasa dan waktu kedua telapak tangan kebentrok, badannya bergoyang dan ia terpaksa mundur setengah tindak. Dengan cepat ia mengempos semangat dan menahan tekanan tenaga lawan dengan Iweekangnya. Di lain saat, ia mengeluh, sebab tenaga lawan menyerang dengan saling susul bagaikan gelombang samudera. Ia mengerti, bahwa keadaannya berbahaya sekali, sebab, begitu lekas lilin-lilin dinyalakan lagi, ia pasti akan kena dibekuk.

Kejadian di atas, yang harus dituturkan agak panjang lebar, sebenarnya terjadi dalam sekejap mata.

Sekonyong-konyong terdengar suara si sasterawan: "Terima kasih atas pertolonganmu." Sambil berkata begitu, ia melompat.

Begitu si sasterawan melompat, Ouw Hui lantas saja tersadar akan kekeliruannya.

"Aku hanya membuka In-bun-hiat, sehingga Kie-tie dan Hap-kok-hiat tentu dibuka oleh orang yang sedang mengadu tenaga denganku," katanya di dalam hati.

"Dengan demikian, dia bukan lawan, tapi kawan." Di lain pihak, orang itu pun memikir sedemikian. Ia hanya membuka Kie-tie dan Hap-kok-hiat, sehingga In-bun-hiat pasti dibuka oleh Ouw Hui. Maka itu, seraya tersenyum, kedua-duanya lantas menarik pulang Iweekang mereka dan melompat mundur.

Si sasterawan segera mendukung San Hui Hong dan kemudian kabur secepat-cepatnya. "Hok Kong An sudah dibunuh olehku," teriaknya. "Orang-orang gagah dari Siauw-lim-pay, seranglah bagian timur! Orang-orang gagah Bu-tong-pay, seranglah bagian barat! Hayo, serang! Serang! Serang!" Di antara suara beradunya senjata, teriakan itu kedengarannya menyeramkan sekali.

Mendengar Hok Kong An dibinasakan, para Wie-su mengeluarkan keringat dingin. Di samping itu, teriakan si sasterawan juga mengejutkan banyak orang. Apa benar Siauw-lim-pay dan Bu-tong-pay memberontak?

Dalam keadaan kalut, tiba-tiba terdengar teriakan Tong Pay: "Hok Thayswee tidak kurang suatu apa! Jangan kena dikelabui kawanan penjahat!"

Waktu lilin-lilin sudah dinyalakan lagi, Tio Poan San, Cio Siang Eng, si sasterawan dan San Hui Hong sudah tak kelihatan mata hidungnya.

Hok Kong An kelihatan duduk tenang di kursinya dengan diapit oleh Tong Pay dan Hay Lan Pit, sedang di sekitarnya berdiri kurang lebih enam puluh Wie-su. Ciangbunjin Siauw-lim-pay, Tay-tie Siansu dan Ciangbunjin Bu-tong-pay, Bu-ceng-cu, juga masih duduk di kursi mereka.

Hok Kong An tersenyum seraya berkata: "Penjahat telah berdusta dan kuharap Siansu serta Too-tiang jangan jadi jengkel."

Sehabis Hok Kong An bicara, An Teetok menghampiri dan berkata seraya membungkuk: "Aku tak punya kemampuan, sehingga kawanan penjahat bisa kabur. Harap Thayswee suka memaafkan." Pembesar itu tertawa dan menggoyang-goyangkan tangannya.

"Bukan, itu bukan kesalahan kalian," katanya.

"Kutahu, bahwa karena ingin melindungi aku, maka kalian tidak memperdulikan lagi beberapa penjahat kecil itu." Ia merasa senang sekali, sebab ia telah membuktikan, bahwa semua pengawalnya cukup setia terhadap dirinya. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula: "Pengacauan beberapa bangsat kecil itu tidak berarti. Kehilangan sebuah cangkir... hm... juga tidak berarti banyak. Di hari kemudian, mungkin sekali ada seorang Ciang-bunjin yang dapat merebut pulang cangkir itu dan membekuk penjahatnya. Jika benar terjadi begitu, maka cangkir yang direbut pulang itu akan dihadiahkan kepadanya. Untuk merebut pulang, orang bukan saja harus mengadu ilmu silat, tapi juga harus mengadu kepintaran. Bukankah kejadian itu akan lebih menarik hati dari pada pertandingan yang dilangsungkan pada malam ini?"

Pernyataan pembesar itu disambut dengan sorak sorai oleh para hadirin. Hok Kong An benar-benar lihay. Ouw Hui meliriknya dan

diam-diam ia pun memuji kepintaran pembesar itu yang bisa segera menggunakan setiap kesempatan untuk keuntungan dirinya sendiri. dengan berkata begitu, Hok Kong An bukan saja sudah mengecilkan kedosaan akibat kehilangan cangkir, tapi juga melontarkan racun ke pihak Ang-hoa-hwee. Dalam Rimba Persilatan terdapat banyak sekali manusia-manusia yang haus akan harta dan pangkat. Mereka itu sudah pasti akan menggunakan segala rupa jalan untuk merebut cangkir Giok-liong-pwee dari tangan Ang-hoa-hwee dan dengan sendirinya, Ang-hoa-hwee harus menghadapi banyak lawan berat.

"Biarlah mereka melangsungkan pertandingan," kata pembesar itu kepada An Teetok.

"Baiklah," jawab An Teetok yang lalu bicara dengan suara nyaring.

"Hok Thayswee telah memerintahkan supaya pertandingan diteruskan untuk merebut ketiga Giok-liong-pwee." Mendengar itu, orang-orang yang ingin turut dalam pertandingan lantas saja siap sedia. Dengan hati berdebar-debar, sebagian mengawasi tujuh cangkir yang berdiri di atas meja dan sebagian pula melirik empat kursi Thay-su-ie yang masih kosong. Mereka mendapat kenyataan, bahwa Ciangbunjin Kun-kun-to, See-leng Toojin, sudah meninggalkan kursi Thay-su-ie yang tadi didudukinya. Rupanya, karena merasa tidak ungkulan menghadapi begitu banyak lawan tangguh, ia mengundurkan diri supaya tidak mendapat malu. Sementara itu, Ouw Hui merasa bingung karena di dalam hatinya muncul beberapa pertanyaan. Cara bagaimana kedua putera Hok Kong An direbut pulang? Ia menyamar sebagai Ciangbunjin Hoa-kun-bun. Apakah rahasianya terbuka? Apakah pihak lawan sudah memasang jebakan, sehingga sampai sekarang mereka masih belum turun tangan? Siapakah yang tadi mengadu tenaga Iweekang dengannya? Ia mengerti, bahwa makin lama dirinya jadi makin terancam. Akan tetapi, sebab pertama pertanyaan-pertanyaan itu belum mendapat jawaban, kedua, sebab Hong Jin Eng berada di situ dan ia merasa tidak rela kalau sampai manusia kejam itu bisa kabur lagi dan ketiga, lantaran ia sangat kepingin tahu siapa yang akan merebut ketiga cangkir giok itu, maka, biarpun sangat ingin berlalu, ia masih tetap duduk di situ.

Tapi sebab yang terutama ialah karena ia merasa, bahwa Wan Cie Ie pasti akan datang ke tempat itu. Itulah sebab yang sebenarnya, mengapa, meskipun menghadapi bahaya, ia masih tidak berkisar.

Sementara itu, dalam gelanggang sudah bertempur dua pasang Ciangbunjin yang semuanya menggunakan senjata. Dengan sekali melirik, Ouw Hui mengetahui, bahwa ilmu silat mereka banyak lebih tinggi dari pada orang-orang yang sudah turun ke gelanggang terlebih dahulu. Beberapa saat kemudian, seorang yang bersenjata Sam-ciat-kun kena dikalahkan. Pihak pemenang, seorang yang bersenjata Liu-seng-tui (bandering), ialah Tong Hway To dari Thay-goan-hu, yang bergelar Liu-seng Kan-goat (si Bandering mengejar bulan).

Ouw Hui lantas saja ingat, bahwa pada beberapa bulan yang lalu, ketika ia bertempur dengan Ciong-sie Sam-hiong, mereka pernah menyebut-nyebut "Liu-seng Kan-goat Tong Loosu". Bandering Tong Hway To benar lihay. Dalam belasan jurus saja, ia sudah menjatuhkan orang yang bersenjata Sam-ciat-kun. Sesudah itu, maju lagi dua orang, tapi mereka pun dapat dikalahkan dengan mudah sekali.

Dalam pertandingan antara jago-jago silat, kecuali kalau mereka sedang mengadu tenaga Iwee-kang, dalam satu-dua gebrakan saja, mereka sudah tahu, siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih lemah. Orang-orang yang sekarang bertanding kebanyakan belum pernah mengenal satu sama lain dan pada hakekatnya, mereka sungkan menanam bibit permusuhan. Maka itu, begitu lekas seseorang merasa kepandaiannya kalah, buru-buru ia mengundurkan diri. Orang-orang yang berkepandaian cetek diam-diam merasa kecewa, karena pertandingan-pertandingan yang sekarang berlangsung tidak sehebat pertempuran yang tadi terjadi di antara San Hui Hong, Auwyang Kong Ceng, Hachi Hweeshio dan lain-lain.

Akan tetapi, orang-orang yang berkepandaian tinggi mengetahui, bahwa makin lama jago-jago yang turun ke gelanggang makin tinggi kepandaiannya. Melihat begitu, beberapa Ciangbunjin yang semula ingin turut bertanding, jadi mundur dengan sendirinya.

Walaupun mereka semua berlaku hati-hati, tapi karena begitu turun ke gelanggang setiap orang berusaha untuk merebut kemenangan dan juga karena senjata tiada matanya, maka, sesudah pertandingan berlangsung beberapa lama, tiga Ciangbunjin binasa dan tujuh orang lain terluka berat. Hanya sebab orang merasa jeri terhadap Hok Kong An, maka murid-murid korban-korban itu tidak berani mengumbar nafsu.

Tapi dalam Rimba Persilatan pada jaman itu, soal sakit hati sangat diutamakan dan dalam sejarah persilatan, banyak sekali manusia menjadi korban sebab gara-gara sakit hati. Demikianlah, Ciangbunjin Thayswee yang diadakan oleh Hok Kong An telah membawa akibat yang sangat buruk dalam Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan.

Selama pemerintahan kaisar-kaisar Sun-tie, Kong-hie dan Yong-ceng, orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan berulang-ulang memberontak terhadap kekuasaan bangsa Boan-ciu. Seratus tahun lebih pemerintah Boan gagal dalam usaha untuk menindas mereka. Tapi sesudah kaisar Kian-liong, mereka saling bunuh membunuh dan tidak mempunyai semangat lagi untuk turut serta dalam gerakan merobohkan pemerintahan Boan. Dengan demikian, suatu penyakit hebat di dalam perut kaisar-kaisar Boan telah dapat disingkirkan.

Dari sini dapatlah dilihat, bahwa meskipun tujuan Ciangbunjin Tayhwee tidak berhasil seluruhnya, akan tetapi maksud terutama dari Hok Kong An yaitu mengadu domba jago-jago silat telah tercapai.

Belakangan sejumlah tokoh persilatan telah berdaya sekeras-kerasnya untuk mengakhiri permusuhan. Untung juga, berkat usaha mereka, permusuhan agak mereda, biarpun tidak habis seanteronya. Orang-orang yang tidak mengerti busuknya siasat Hok Kong An, hanya menganggap, bahwa permusuhan dalam Rimba Persilatan adalah karena bangsa Boan masih besar rejekinya dan mereka tinggal berpeluk tangan.

******

Sementara itu, Liu-seng Kan-goat Tong Hway To sudah merobohkan lima orang Ciangbunjin. Lain-lain orang yang tadinya ingin menyerbu, jadi jeri sendirinya.

"Dia sahabat Ciong-sie Sam-hiong, biarlah dia memperoleh sebuah cangkir," kata Ouw Hui di dalam hati.

Pada saat itu dari luar tiba-tiba berjalan masuk seorang perwira. Ia mendekati Hok Kong An dan bicara bisik-bisik Hok Kong An mengangguk beberapa kali dan perwira tersebut lantas saja berjalan ke luar lagi. Setibanya di depan pintu, ia berseru: "Hok Thayswee mengundang masuk Tian Loosu, Ciangbunjin Thian-liong-bun bagian Utara!" Seorang perwira lain yang menjaga di luar pintu, lantas saja mengulangi undangan itu.

Ouw Hui dan Leng So saling melirik. Di dalam hati, mereka agak terkejut. Beberapa saat kemudian, Tian Kui Long bertindak masuk. Ia mengenakan thungsha (jubah panjang) dan ma-kwa, paras mukanya tersenyum-senyum dan di belakangnya mengikuti delapan orang. Ia menghampiri Hok Kong An dan memberi hormat dengan membungkuk. Pembesar itu mengangkat kedua tangannya dan berkata sambil tertawa.

"Tian Loosu, kau duduklah!" Semua jago mengawasi Tian Kui Long, banyak antaranya dengan rasa mendongkol. Nama Thian-liong-bun telah menggetarkan Rimba Persilatan dan selama lebih dari seratus tahun, sedang keluarga Tian berdiri berendeng dengan tiga keluarga lain, yaitu Ouw, Biauw dan Hoan. Dalam setiap turunan, keempat keluarga itu selalu mempunyai jago-jago yang dimalui orang. Orang she Tian itu masuk ke dalam Ciangbunjin Tayhwee dengan lagak agung-agungan dan bahkan Hok Kong An sendiri memperlakukannya dengan segala kehormatan. Apakah ia benar-benar mempunyai "isi"?

Menurut surat undangan, setiap partai yang menghadiri pertemuan itu hanya boleh datang dengan empat orang. Tapi Tian Kui Long membawa delapan pengikut. Di samping itu, untuk memperlihatkan bahwa dia adalah lain dari yang lain, dia datang sangat terlambat. Itulah beberapa sebab yang menerbitkan rasa mendongkolnya banyak orang.

Sesudah memberi hormat kepada Hok Kong An, Tian Kui Long manggut-manggutkan kepalanya kepada Ciangbunjin Siauw-lim dan Bu-tong-pay. Rupanya mereka belum bersahabat. Tapi Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay menyambutnya dengan hangat sekali. Sambil menepuk-nepuk pundak Kui Long, Tong Pay berkata: "Hiantee, aku sangat memikirkan kau. Aku bingung karena kau belum juga datang. Jika kau terlambat dan tidak keburu mengantongi sebuah Giok-liong-pwee, mana enak aku membawa pulang cangkirku? Aku khawatir dikemudian hari kau akan meminta cangkirku. Kalau sampai kejadian begitu, aku hanya bisa menyerahkan kepada kau dengan kedua tangan." Sehabis berkata begitu, ia tertawa terbahak-bahak. Tian Kui Long turut tertawa.

"Mana bisa aku menandingi Toako?" katanya.

"Dengan memperoleh perlindungan Toako, aku sudah merasa sangat girang jika bisa membawa pulang sebuah cangkir perak."

Pembicaraan itu menambah rasa mendongkol dalam hatinya banyak orang. Meskipun kata-kata mereka sopan santun, tapi dalam kata-kata itu menggenggam arti, bahwa mereka menganggap, cangkir Giok-liong-pwee sudah berada di dalam saku. Hal ini dengan sendirinya merupakan sikap memandang rendah kepada lain-lain Ciangbunjin. Tong Pay biasa berlaku manis terhadap semua orang. Tapi sikapnya terhadap Tian Kui Long luar biasa manis, seolah-olah mereka berdua adalah saudara-saudara angkat.

Antara orang yang naik darahnya adalah Ouw Hui sendiri. Mengingat perbuatannya Tian Kui Long yang sangat rendah terhadap Biauw Jin Hong, ia segera mengambil keputusan, bahwa andaikata si orang she Tian bisa mengantongi cangkir giok, ia akan segera turun tangan.

Waktu Tian Kui Long masuk, pertandingan terhenti untuk sementara waktu, tapi sekarang sudah dimulai lagi. Tian Kui Long tidak lantas turun ke gelanggang tapi duduk menonton sambil minum arak. Ia mengambil sikap acuh tak acuh, kadang-kadang tersenyum dan kadang-kadang berbisik-bisik dengan Tong Pay. Tapi semua orang sudah bisa menebak akal liciknya. Di luar dia mengambil sikap seperti jago jempolan yang sungkan mengadu ilmu dengan orang biasa. Tapi maksud sebenarnya, dia mau menunggu sampai yang lain-lain lelah supaya bisa mengantongi kemenangannya dengan sekali pukul.

Sesudah menunggu beberapa lama di kursi Thay-su-ie dan belum ada orang yang menantang lagi, Liu-seng Kan-goat Tong Hway To sekonyong-konyong melompat bangun dan menghampiri Tian Kui Long. "Tian Loosu," katanya, "Aku si orang she Tong memohon pelajaran."

Semua orang terkejut. Menurut pantas, orang yang duduk di kursi Thay-su-ie yang ditantang. Tapi sekarang, ia berbalik menantang.

"Perlu apa terburu-buru?" kata Kui Long sambil tersenyum, sedang tangannya masih tetap mencekal cawan arak.

"Menurut pendapatku lebih cepat kita bertanding lebih baik lagi," kata Tong Hway To.

"Sekarang, mumpung masih bertenaga, aku memohon pelajaran dari Tian Loosu. Janganlah Loosu menunggu sampai aku sudah lelah sekali." Tong Hway To adalah seorang polos - segala apa yang dipikirnya lantas saja keluar dari mulutnya. Perkataannya itu,

yang melucuti topeng si orang she Tian, disambut dengan sorakan oleh sejumlah orang.

Sekarang Tian Kui Long tidak bisa menolak lagi. Ia tertawa terbahak-bahak dan berkata kepada Tong Pay: "Toako, sekarang aku terpaksa harus memperlihatkan kebodohanku."

"Aku memberi selamat kepada Hiantee dan kupercaya, begitu bergebrak, begitu kau merebut kemenangan," kata Tong Pay.

Tong Hway To menengok dan menatap wajah Tong Pay dengan mata mendelik.

"Tong Loosu!" katanya dengan suara kasar.

"Hok Thayswee telah menganggap kau sebagai seorang dari empat Ciang-bunjin besar dan mengundang kau datang ke sini sebagai wasit. Tapi kurasa, kenyataannya tidak sesuai dengan tugasmu."

Disemprot begitu, paras muka Tong Pay lantas saja berubah merah. Dengan memaksakan diri untuk tertawa, ia berkata: "Di bagian mana yang aku berlaku kurang benar? Kuharap Tong Loosu suka memberi petunjuk."

"Sebelum aku bertempur dengan Tian Loosu, sebagai seorang wasit kau sudah mengeluarkan perkataan yang miring sebelah," jawabnya.

"Orang gagah di kolong langit berkumpul di sini dan mereka semua mendengar apa yang diucapkan olehmu." Bukan main rasa malu dan gusarnya Tong Pay. Selama beberapa tahun, jago-jago Rimba Persilatan sangat menghormatinya dan selalu memanggilnya dengan panggilan "Tong Tayhiap". Tak dinyana, di hadapan orang banyak, ia telah disikat begitu pedas. Tapi ia seorang yang sangat cerdik. Biarpun gusar, ia masih bisa menahan sabar. Ia tersenyum seraya berkata: "Baiklah. Aku pun mendoakan agar Tong Loosu bisa memperoleh kemenangan."

Tian Kui Long melirik Tong Pay dengan sorot mata penuh arti, seolah-olah ia hendak mengatakan, bahwa ia pasti akan menghajar yang tak tahu adat itu. Perlahan-lahan ia bertindak masuk ke dalam gelanggang dan berkata: "Tong Loosu, hayolah!"

Melihat Kui Long tidak membuka pakaian luar dan juga tidak membawa senjata, Tong Hway To jadi gusar.

"Tian Loosu, apakah kau mau menyambut Liu-seng-tui dengan tangan kosong?" tanyanya. Tian Kui Long adalah seorang licik yang sangat berhati-hati. Tadi, ia merasa, bahwa jika ia bisa menjatuhkan lawannya dalam dua tiga gebrakan, maka namanya akan naik tinggi. Tapi sekarang, melihat tubuh Tong Hway To yang kekar kokoh dan tindakannya yang sangat mantap, ia agak bersangsi. Maka itu, buru-buru ia memutar haluan dan berkata sambil tertawa: "Tong Loosu adalah seorang kenamaan dalam Rimba

Persilatan. Di kalangan Kang-ouw, siapakah yang tidak mengenal ilmu Liu-seng Kan-goat. Meskipun menggunakan senjata, belum tentu aku bisa menandingi Loosu." Ia menggapai dan murid kepalanya, Co Hun Kie, segera menyerahkan sebatang pedang kepadanya.

Sambil mengibas dengan tangan kirinya, Kui Long berkata: "Hayolah!"

Melihat lawannya tidak menghunus pedang, Tong Hway To jadi makin mendongkol, tapi sekarang, tanpa memperdulikan lagi, ia segera menggerakkan kedua bandringnya. Begitu digerakkan dengan menggunakan Iweekang, rantai bandring lantas saja berdiri tegak, bagaikan toya. "Bagus!" banyak orang memuji sambil menepuk tangan.

Di lain saat, sedang bandring kiri masih berdiri tegak di tengah udara, bandring kanan sudah menyambar dada Tian Kui Long. Tapi, waktu terpisah hanya setengah kaki dari dada Kui Long, bandring itu mendadak berhenti, disusul dengan bandring kiri yang menyambar kempungan. Ternyata, serangan bandring pertama hanya gertakan dan serangan yang kedua barulah serangan sesungguhnya. Itulah salah satu jurus dari ilmu bandring Liu-seng Kan-goat.

Kui Long agak terkejut - sambil menggeser kaki, ia mengangkat pedang yang masih berada dalam sarungnya untuk menangkis. Tong Hway To jadi makin gusar, karena perbuatan itu terang-terang menghina padanya. Sambil mengerahkan Iweekang, ia memutar kedua bandringnya dan menyerang bagaikan hujan dan angin. Kedua bandring itu menyambar-nyambar tak hentinya yang satu perlahan, yang lain cepat, yang satu serangan gertakan, yang lain serangan sesungguhnya, yang cepat belum tentu "berisi", yang perlahan belum tentu "kosong", kosong-kosong berisi dan berisi-berisi kosong.

Tian Kui Long terus melayani dengan sarung pedang, dengan menggunakan pukulan-pukulan dari Thian-liong-kiam.

Sesudah bertempur tiga puluh jurus lebih, Tian Kui Long mulai dapat memahami ilmu bandring lawannya. Mendadak sarung pedangnya menyambar lutut Tong Hway To. Serangan itu bukan menggunakan ilmu pedang, tapi ilmu menotok lengan Poan-koan-pit. Tong Hway To kaget, buru-buru ia menarik kaki kirinya ke belakang. Kui Long segera melintangkan sarung pedang dan menyabet paha lawan. Kali ini ia menyerang dengan menggunakan ilmu silat gada. Dalam bingungnya Tong Hway To jadi nekat. Dengan  sekali mengedut, bandring kiri naik ke atas dan kemudian, dengan sekali mendorong dengan tangan kiri, bandring itu menyambar alis Tian Kui Long. Itulah pukulan nekat yang bertujuan, biarlah celaka bersama-sama. Tian Kui Long sedikit pun tidak menduga, bahwa lawan akan bertindak begitu. Sarung pedangnya sudah hampir mengena pada Tong Hway To, tapi bandring pun sudah dekat sekali dengan alisnya. Kalau sama-sama kena, Tong Hway To akan lumpuh satu kakinya, tapi ia sendiri akan binasa. Tapi dia sungguh lihay. Pada detik yang sangat berbahaya, ia masih keburu menyampok rantai bandring dengan sarung pedang. Sekarang, dari menyerang ia berbalik membela diri dan kedudukannya berubah jelek. Hampir berbareng Tong Hway To mengedut Liu-seng-tui dan rantainya lantas saja melibat di sarung pedang. Ia membetot dan bandring kanan digunakan untuk menghantam lawan.

Semua orang mengawasi sambil menahan napas. Dengan senjata sudah terlibat, jika Tian Kui Long ingin menyelamatkan jiwa, tidak boleh tidak ia harus melepaskan pedangnya dan melompat mundur.

Tiba-tiba terdengar suara "srt!" sesosok sinar hijau berkelebat dan pedang Tian Kui Long yang sudah keluar dari sarungnya. Sekali menyambar, pergelangan tangan kanan Tong Hway To sudah terluka. Ternyata, karena sarungnya dibetot, secara kebetulan pedang itu terhunus dan Tian Kui Long yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik, segera melukai lawannya. Ia maju dua tindak dan telunjuk tangan kirinya menotok tiga jalan darah di dada Tong Hway To, yang lantas saja tidak bisa bergerak lagi, sedang kedua bandringnya jatuh di lantai. Sambil tertawa Kui Long memasukkan pedangnya ke dalam sarung. "Tong Loosu sudah mengalah!" katanya.

Meskipun menang, tapi sebab kemenangan itu diperoleh lantaran kebetulan, maka kecuali Tong Pay dan beberapa orang lain, para hadirin tidak bersorak-sorai untuk memujinya.

Tanpa membuka jalan darah Tong Hway To, Kui Long segera duduk di kursi Thay-su-ie dan beromong-omong dengan Tong Pay sambil tertawa-tawa. Sedikit pun ia tidak menghiraukan bekas lawannya yang masih berdiri terus di tengah gelanggang bagaikan patung. Di antara para tamu terdapat banyak ahli Tiam-hiat. Mereka merasa mendongkol akan sikap si orang she Tian, tapi mereka tahu, bahwa jika menolong Tong Hway To, mereka akan bermusuhan dengan Tian Kui Long dan Tong Pay. Si orang she Tian masih tidak apa, tapi nama Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay terlalu besar untuk disentuh. Maka itulah, mereka tidak berani mencari urusan.

Sekonyong-konyong di bagian barat ruangan perjamuan berdiri seorang pria yang bertubuh tinggi besar. Ia mencekal sebatang toya baja yang panjang dan besar dan dengan tindakan lebar ia menghampiri Tian Kui Long.

"Orang she Tian!" bentaknya.

"Mengapa kau membiarkan dia berdiri terus di situ?"

"Siapakah kau, Tuan?" tanya Kui Long.

"Aku Lie Teng Pa," jawabnya.

"Hayo! Buka jalan darah Tong Loosu!" Suaranya keras dan nyaring luar biasa, sehingga seluruh ruangan seolah-olah tergetar.

Mendengar nama "Lie Teng Pa", semua orang agak heran. Lie Teng Pa adalah murid kepala dari Ciangbunjin partai Ngo-tay-pay. Ia membuka sebuah piauw-kiok di Yan-an, propinsi Siam-say, dan toyanya yang diberi nama Ngo-long-kun telah mendapat nama besar dalam Rimba Persilatan, sedang Ngo-long Piauw-kiok sangat terkenal di tujuh propinsi Tiongkok Utara. Semua orang merasa agak heran, bahwa sebagai cong-piauw-tauw yang namanya kesohor, ia ternyata seorang kasar dan sembrono.

Tian Kui Long tetap duduk di kursinya. Sebenarnya ia sudah mendengar nama Lie Teng Pa, tapi ia berlagak pilon.

"Tuan dari partai mana?" tanyanya dengan pura-pura heran. Lie Teng Pa jadi gusar.

"Apa kau belum pernah mendengar nama Ngo-tay-pay?" bentaknya. Kui Long menggelengkan kepala.

"Ngo-tay-pay?" ia menegas dengan nada mengejek.

"Bukan Cit-tay, bukan Pat-tay?"

"Orang she Tian," kata pula Lie Teng Pa.

"Kita sama-sama orang Rimba Persilatan. Bukalah jalan darah Tong Loosu."

"Apakah kau sahabat Tong Loosu?" tanyanya.

"Bukan," jawabnya.

"Aku belum pernah mengenalnya. Tapi karena kau mempermainkan orang, aku merasa tak tega untuk melihatnya." Kui Long mengerutkan alis.

"Aku hanya bisa Tamhiat, guruku tidak mengajar aku membuka jalan darah yang tertotok," katanya dengan suara menyesal.

"Aku tidak percaya!" teriak si sembrono. Sementara itu, Hok Kong An dan orang-orang sebawahannya menonton kejadian itu dengan tersenyum-senyum. Mereka tahu, bahwa Tian Kui Long sedang mempermainkan bekas lawannya, tapi sesudah menonton banyak pertempuran, lelucon itu merupakan selingan yang menarik hati. Melihat Hok Kong An tertawa-tawa, Kui Long jadi makin "mangkak". "Begini saja!" katanya.

"Kau tendanglah lututnya. Sekali ditendang, jalan darahnya akan terbuka."

"Apa benar?" tanya Lie Teng Pa.

"Itulah apa yang diajarkan oleh guruku, tapi aku sendiri belum pernah mencoba," jawabnya. Si sembrono segera menghampiri Tong Hway to dan menendang salah satu lututnya. Tendangan itu tidak keras, tapi Tong Hway To roboh terguling dengan tak bisa bangun berdiri. Lie Teng Pa baru tahu, bahwa ia sudah diakali. Hok Kong An tertawa terbahak-bahak, diturut oleh kaki tangannya. Beberapa orang gagah sebenarnya ingin menegur Tian Kui Long untuk leluconnya yang melewati batas, tapi melihat kegembiraan kawanan pembesar itu, mereka tidak berani membuka mulut.

Sekonyong-konyong, selagi suara tertawa belum mereda, terdengar suara "tring!" tiga cawan arak terbang ke atas, berbentrok satu sama lain dan jatuh hancur di lantai. Semua orang terkejut. Semua mata coba mencari-cari orang yang melemparkan cawan-cawan itu dan kemudian mengawasi hancuran cawan di lantai. Di lain saat Tong Hway To sudah bangun berdiri dengan satu tangan mencekal sebuah cawan.

"Sahabat dari mana yang sudah menolong aku secara diam-diam?" tanyanya.

"Tong Hway To tak akan melupakan budi yang besar itu." Ia memasukkan cawan itu, mengawasi Tian Kui Long dengan sorot mata gusar dan kemudian, dengan tindakan lebar ia meninggalkan ruangan perjamuan.

Sekarang semua orang mengerti, bahwa dilemparkannya ketiga cawan itu, adalah untuk menyimpangkan perhatian orang dan dengan berbareng, si penolong menimpuk dengan sebuah cawan lain untuk membuka jalan darah Tong Hway To.

Kecuali Tong Pay, semua orang kena dikelabui. Tanpa mengeluarkan sepatah kata Tong Pay menuang dua cawan arak dan dengan membawa kedua cawan itu, ia menghampiri meja Ouw Hui. "Saudara," katanya, "Aku belum pernah mengenal kau. Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama saudara yang mulia. Aku merasa sangat kagum akan ilmu Kay-hiatmu."

Ouw Hui agak terkejut. Barusan, ia memberi pertolongan karena mengingat, bahwa Tong Hway To sahabat Ciong-sie Sam-hiong. Tak dinyana, tindakannya itu tidak terlolos dari mata Tong Pay yang sangat tajam.

Karena sungkan menarik perhatian, ia segera menjawab: "Aku yang rendah dari Hoa-kun-bun. Aku she Thia, bernama Leng Ouw. Perkataan Tong Tayhiap yang menyebut-nyebut soal Kay-hiat sungguh tak dimengerti olehku." Tong Pay tertawa terbahak-bahak. "Janganlah saudara coba menyembunyikan diri," katanya.

"Kalau bukan saudara, mengapa jumlah cawan di meja ini berkurang dengan empat buah?" Ouw Hui sekarang mengetahui, bahwa dugaan Tong Pay berdasarkan berkurangnya jumlah cawan. Ia berpaling kepada Kwee Giok Tong seraya berkata: "Kwee Loosu, kalau begitu kaulah yang telah menolong Tong Loosu. Aku sungguh merasa kagum.

Kwee Giok Tong yang bernyali kecil buru-buru berkata: "Bukan, bukan aku! Kau jangan omong sembarangan."

Tong Pay sudah mengenal Kwee Giok Tong lama dan ia tahu, bahwa orang she Kwee itu tidak mempunyai kepandaian yang begitu tinggi. Coa Wie memiliki nama besar, tapi ia pun tak akan mampu berbuat begitu. Maka itu, sambil tersenyum, ia mengangsurkan secawan arak kepada Ouw Hui seraya berkata: "Thia-heng, aku merasa syukur, bahwa hari ini kita bisa berkenalan. Ijinkanlah aku memberi hormat kepadamu dengan secawan arak." Seraya berkata begitu, ia menyentuh cawan yang dipegangnya dengan cawan Ouw Hui.

"Tring!" cawan Ouw Hui jatuh hancur dan arak membasahi dadanya. Ternyata, untuk menjajal Ouw Hui, pada waktu membenturkan cawan, ia mengerahkan Iweekang. Tapi Ouw Hui yang cerdik sama sekali tidak melawan, sehingga Tong Pay menjadi bingung. "Maaf," katanya dan lalu kembali ke kursinya dengan perasaan sangsi. Sementara itu Tian Kui Long sudah bertempur dengan Lie Teng Pa. Sekarang ia tidak berani mengunjuk lagak seperti tadi - begitu bergerak, ia segera menggunakan pedang. Dengan bernafsu Lie Teng Pa menyerang dengan jurus-jurus Ngo-long Kun-hoat. Toya yang berat itu menyambar-nyambar bagaikan kilat, disertai dengan gerakan badannya yang gesit dan lincah. Semua orang menonton dengan rasa kagum. Nama Cong-piauw-tauw dari Ngo-long Piauw-kiok ternyata bukan nama kosong. Tapi walaupun begitu, apa mau Tian Kui Long merupakan lawan yang sangat berat. Thian-liong Kiam-hoat adalah salah satu ilmu pedang yang paling tersohor dalam Rimba Persilatan dan si orang she Tian pun memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Karena itu, sesudah bertempur puluhan jurus, perlahan-lahan Tian Kui Long berada di atas angin, tapi untuk menjatuhkan lawannya dalam tempo cepat bukan pekerjaan mudah.

Mendadak selagi berkelahi hebat, Kui Long meraba pinggangnya dan menghunus sebilah golok pendek.

Begitu kena sinar lilin, golok itu berkeredepan, tiada bedanya seperti kaca atau es. Tiba-tiba Lie Teng Pa menjabat tangan toyanya, dengan menggunakan pukulan To-hoan-kian-kun (Membalik la-ngit dan bumi). Kui Long mengibas dengan pedangnya dan Lie Teng Pa buru-buru menukar pukulan dan menyodok dengan jurus Ceng-liong-cut-tong (Naga hijau keluar dari gua). Pukulan itu adalah salah satu jurus terhebat dari Ngo-long Kun-hoat yang harus digunakan oleh seorang bertenaga besar. Tapi Tian Kui Long tidak melompat atau berkelit. Toya yang menyambar dipapaki olehnya dengan golok pendek. "Trang!" toya baja yang besar itu kutung dua! Hampir berbareng, dia mendesak dan pedangnya menggores pergelangan tangan lawan dan memutuskan urat-uratnya.

Sambil mengeluarkan teriakan keras, Lie Teng Pa melemparkan toyanya. Satu tangannya tak dapat digunakan lagi untuk selama-lamanya. Seumur hidupnya, ia hanya mempelajari ilmu silat toya Ngo-long-kun yang harus menggunakan kedua tangan. Rusaknya satu tangan berarti ia tidak bisa menggunakan lagi toya. Pada detik itu, ia ingat, bahwa nama besarnya yang telah didapat dengan susah payah sudah hancur dalam sekejap mata dan perusahaan piauw-kioknya harus segera ditutup. Dalam  tahun-tahun yang lalu, karena gampang mendapat uang, ia hidup royal dan tak punya simpanan. Sekarang, secara mendadak, keluarganya menghadapi bahaya kelaparan. Ia pun ingat, bahwa karena beradat berangasan. Tapi sekarang, bagaimana ia bisa menghadapi musuh-musuh itu?

Ia seorang jujur dan polos. Pada detik itu, ia merasa, bahwa kebinasaan ada lebih baik daripada hidup terus untuk menerima hinaan. Ia jadi nekat. Dengan tangan kirinya ia mengambil potongan toya dan lalu menghantam batok kepalanya sendiri sekuat-kuatnya. Demikianlah seorang gagah berpulang ke alam baka dalam keadaan yang menyedihkan.

Para hadirin mengeluarkan seruan tertahan dengan serentak mereka berbangkit. Barusan, ketika Lie Teng Pa mengambil potongan toya, semua orang menduga ia ingin bertempur lagi dengan mati-matian. Kenekatan Lie Teng Pa benar-benar di luar dugaan.

Sementara itu An Teetok segera memerintahkan orang menyingkirkan mayat Lie Teng Pa.

Perbuatan Tian Kui Long menggusarkan banyak orang. Jika Lie Teng Pa binasa dalam pertempuran, tak seorang pun yang bisa merasa kurang senang. Tapi kekejaman Tian Kui Long terhadap Tian Kui Long terhadap lawan yang sudah kalah, adalah perbuatan yang keterlaluan.

Tiba-tiba di sudut tenggara ruangan itu berdiri seorang. "Tian Loosu!" teriaknya.

"Sesudah memutuskan toya, kau sudah mendapat kemenangan. Mengapa kau memotong juga urat-urat pergelangan tangan Lie Loosu?"

"Senjata tak ada matanya," jawab Tian Kui Long dengan suara tawar.

"Kalau ilmu silatku kurang tinggi, bukankah aku pun bisa dihajar mampus dengan toyanya?" Orang itu mengeluarkan suara di hidung.

"Dengan lain perkataan, kau ingin mengatakan, bahwa ilmu silatmu tinggi sekali, bukan?" tanyanya.

"Bukan begitu," jawab Kui Long.

"Kalau saudara merasa kurang senang, aku bersedia melayani saudara dalam gelanggang."

"Baiklah," kata orang itu. Tanpa memperkenalkan diri, orang itu yang bersenjata pedang lantas saja menyerang dengan sengit. Tian Kui Long melayani dengan pedang dan golok mustika dan baru saja pertempuran berjalan tujuh delapan jurus, dengan satu suara "trang!" pedang orang itu terpapas putus dan dadanya terluka ditusuk pedang. Dengan beruntun beberapa orang lain, yang naik darah, menantang Tian Kui Long. Mereka bukan ingin merebut cangkir, tapi mau menghajar si orang she tian. Tapi, apa mau

dikata, golok mustika Kui Long terlalu hebat. Senjata apa pun jua, begitu tersentuh begitu putus. Beberapa senjata berat, seperti roda Ngo-heng-lun dan Tok Kak Tong-jin (anak-anakan tembaga kaki satu), tidak terkecuali.

"Tian Loosu," kata seorang.

"Ilmu silatmu biasa saja dan kau memperoleh kemenangan dengan hanya mengandalkan golok mustika. Enghiong apa kau? Jika kau mempunyai nyali, mari kita mengadu kepandaian dengan tangan kosong." Tapi Tian Kui Long tidak kena "dibakar". la tertawa seraya berkata: "Golok ini adalah mustika turunan dari Thian-liong-bun. Hari ini Hok Thay-swee mengadakan pertemuan antara para Ciang-bunjin untuk mengukur tinggi rendahnya kepandaian mereka. Sebagai ciangbunjin Thian-liong-bun, jika tidak menggunakan golok ini, senjata apa yang harus digunakan olehku?"

Makin diejek, ia makin telengas. Goloknya memutuskan senjata, pedangnya melukai belasan orang telah dirobohkan dengan mendapat luka berat. Sesudah itu, tak ada lagi yang berani maju, karena meskipun beberapa orang tidak takut akan ilmu silatnya, mereka merasa jeri terhadap golok yang luar biasa itu.

Melihat tak ada orang yang berani menantang lagi, Tong Pay tertawa terbahak-bahak.

"Hiantee," katanya.

"Hari ini kau telah mengangkat naik nama Thian-liong-bun dan sebagai kakak, aku turut merasa girang. Mari, mari, aku memberi

selamat dengan secawan arak."

Ouw Hui melirik Leng So yang segera memberi isyarat dengan menggelengkan kepala. Si nona juga merasa sangat mendongkol terhadap Tian Kui Long. Tapi sebab adanya beberapa pertimbangan, ia melarang kakaknya turun tangan. Pertama, mereka tidak dapat membuka rahasia sendiri. Tadi, pada waktu Ouw Hui menolong Tong Hway To, hampir-hampir topeng mereka terlucut. Kedua golok Tian Kui Long memang benar-benar lihay. Jika Ouw Hui turun tangan, sebelum mengadu kepandaian, dalam hal senjata, ia sudah jatuh di bawah angin. Sambil mengawasi orang she Tian, Ouw Hui berkata di dalam hati: "Hari itu waktu menyerang Biauw Jin Hong, mengapa dia tidak membawa golok mustika itu? Kalau dia menggunakan golok tersebut mungkin sekali jiwaku sudah melayang."

Sementara itu, dengan muka berseri-seri, Kui Long mengangkat cawan arak. Tapi sebelum cawan menempel pada bibirnya tiba-tiba terdengar suara "srt!" dan sebutir Tiat-poo-tee menyambar cawan itu.

Si orang she Tian bersikap acuh tak acuh cawan terus diangkat ke bibirnya.

"Suhu, hati-hati!" teriak Co Hun Kie. Pada detik senjata rahasia itu hampir menyentuh cawan bagaikan kilat dia menyentil dengan jari tangannya, sehingga Tiat-poo-tee terpental ke luar pintu. Melihat kelihayan itu, tanpa merasa beberapa orang berteriak. "Bagus!" Apa mau, dari luar bertindak masuk seorang dan senjata rahasia itu menyambar dadanya. Seraya menyentil dengan jari tangannya, orang itu berseru: "Hei! Apa ini caranya orang menyambut tamu?"

Sentilan itu mengejutkan semua orang, sebab Tiat-poo-tee menyambar balik ke arah Tian Kui Long dengan suara nyaring dan tajam - suatu bukti, bahwa kepandaian orang itu banyak lebih tinggi daripada kepandaian si orang she Tian.

Dalam kagetnya Tian Kui Long tidak berani menyambuti senjata rahasia itu dan lalu mengegos ke kanan. Apa lacur, di belakangnya berdiri seorang Wie-su, yang sebab sudah tidak keburu berkelit lagi, buru-buru mengangkat tangannya untuk menangkap senjata rahasia itu. Hampir berbareng dengan saura "tak", ia berteriak kesakitan, karena tulang pergelangan tangannya patah.

Semua orang terkesiap karena mematahkan tulang dengan sebutir Tiat-poo-tee yang begitu kecil adalah kepandaian yang sungguh hebat. Hampir berbareng semua mata mengawasi orang itu. Dia bertubuh jangkung kurus, di pundaknya tergantung sebuah kantong obat-obatan, jubah panjangnya yang berwarna hijau sudah banyak luntur sebab terlalu sering dicuci, sedang kedua kakinya menyeret sepasang sepatu kulit tua yang penuh lumpur. Dilihat dari dandanannya, ia menyerupai seorang tabib kelas rendah yang banyak terdapat di pasar-pasar. Apa yang luar biasa adalah sepasang matanya yang besar dan bersinar tajam, alisnya yang tebal, hidungnya yang besar, mulut dan kupingnya yang besar pula. Itulah muka, yang sekali lihat, tak dapat dilupakan lagi. Dengan rambut yang berwarna abu-abu, paling sedikit ia sudah berusia lima puluh tahun. Tapi kulit mukanya licin dan berisi,

seperti juga kulit seorang kanak-kanak. Di belakangnya mengikuti dua orang - mungkin murid atau pelayannya.

Ouw Hui dan Leng So juga turut mengawasi orang jangkung itu. Tapi yang mengejutkan mereka adalah kedua orang yang mengikuti di belakang si jangkung, karena yang satu - seorang sasterawan tua - bukan lain daripada Boh-yong Keng Gak, Toasuheng Leng So, sedang yang lain - seorang wanita bongkok yang kakinya pincang - adalah Sie Kiauw, Sam-suci nona Thia.

Dengan rasa heran Ouw Hui melirik adik angkatnya. "Mengapa kedua musuh besar itu datang bersama-sama?" tanyanya di dalam hati. "Ke mana perginya Kiang Tiat san, suami Sie Kiauw? Siapa orang jangkung itu?" Leng So pun tidak kurang herannya. Ia balas melirik kakaknya sambil menggelengkan kepala. Mendadak terdengar teriakan kesakitan yang menyayat hati dan Wie-su yang tulangnya patah bergulingan di lantai sambil mencekal tangannya. Semua orang merasa heran, sebab seorang Wie-su dari Hok Thayswee mestinya jago pilihan, sehingga tak bisa jadi ia berteriak-teriak begitu rupa hanya karena tulangnya patah. Di lain saat, mereka mendapat kenyataan bahwa tangan yang tulangnya patah itu berwarna hitam dan sekarang mereka mengerti, bahwa Wie-su tersebut sudah kena senjata beracun.

Wie-su itu orang sebawahan Ciu Tiat Ciauw yang tentu saja turut merasa malu. Sambil mengerutkan alis, ia membentak: "Bangun!"

"Baik, baik," jawab Wie-su itu dengan ketakutan. Ia berusaha untuk berbangkit, tapi mendadak ia terhuyung dan roboh dalam keadaan pingsan. Tiat Ciauw kaget dan lalu mengambil sepasang sumpit yang segera digunakan untuk mengambil senjata rahasia itu. Pada Tiat-poo-tee itu ternyata terukir satu huruf "Kwa" dan paras muka Tiat ciauw lantas saja berubah. "Kwa Cu Yong Kwa

Sam-ya dari Lan-ciu!" teriaknya dengan nyaring. "Makin lama kau maju makin pesat. Sekarang kau menaruh racun lihay pada Tiat-poo-teemu!"

Hampir berbareng, seorang pria yang bertubuh tinggi besar dan bermuka bopeng berbangkit dari salah sebuah meja. "Ciu Looya, janganlah kau menyembur orang dengan darah," katanya dengan suara mendongkol. "Tiat-poo-tee itu memang benar milikku. Aku hanya ingin menghancurkan cawan arak yang dipegang oleh manusia sombong. Dari satu turunan ke lain turunan, leluhur kami selalu melarang anak cucunya menggunakan senjata beracun. Biarpun bukan seorang berbakti, Kwa Cu Yong pasti tak berani melanggar peraturan leluhurku."

Cu Tiat Ciauw adalah seorang yang berpengalaman luas dan ia tahu, bahwa leluhur keluarga Kwa, yang tersohor dalam menggunakan tujuh macam senjata rahasia, selalu melarang anak cucunya menggunakan racun. Sesudah berpikir sejenak, ia berkata: "Sungguh mengherankan!"

"Coba aku periksa," kata Kwa Cu Yong yang lantas saja bertindak ke tengah ruangan dan mengambil Tiat-poo-tee yang menggeletak di lantai.

"Benar, memang benar senjata rahasiaku," katanya.

"Tapi mengapa ada racunnya...? Aduh...!" Sekonyong-konyong ia berteriak sambil melontarkan Tiat-poo-tee itu dan mengibas-ibaskan tangan kanannya, seperti juga tangan itu menyentuh bara. Paras mukanya berubah pucat dan ia mengangkat tangannya untuk mengisap jerijinya.

"Jangan!" teriak Tiat Ciauw seraya menghantam lengan Kwa Cu Yong. Sesaat itu, jempol dan telunjuk Kwa Cu Yong sudah bengkak dan warnanya hitam, sedang badannya bergemetaran dan keringat sebesar-besar kacang hijau keluar dari dahinya.

Selagi orang kebingungan, si jangkung menengok kepada Boh-yong Keng Gak dan berkata: "Obati mereka."

Keng Gak mengangguk dan mengeluarkan ko-yo yang lalu ditempelkan pada tangan Kwa Cu Yong dan Wie-su yang patah tulang. Sesaat kemudian, Kwa Cu Yong sudah tidak bergemetaran lagi, sedang si Wie-su pun lantas saja tersadar. Sekarang baru orang tahu, bahwa yang menaruh racun pada Tiat-poo-tee adalah si jangkung. Bahwa racun itu dapat ditaruh selagi dia menyentil Tiat-poo-tee, benar-benar merupakan serupa kepandaian yang luar biasa. Karena itu, dalam hati beberapa orang lantas saja muncul satu pertanyaan: "Apakah dia Tok-chiu Yo-ong, si raja racun?"

Sementara itu, Ciu Tiat Ciauw sudah menghampiri si jangkung dan bertanya sambil merangkap kedua tangannya: "Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia?" Dia tidak menjawab dan hanya tersenyum.

"Aku yang rendah Boh-yong Keng Gak," kata Keng Gak.

"Ini isteriku, Sie Kiauw." Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata pula: "Ini guru kami, Cio Sinshe, yang dalam kalangan Kang-ouw dijuluki sebagai Tok-chiu Yo-ong."

Semua orang terkejut. Sudah lama mereka mendengar, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah ahli racun pada jaman itu. Tapi yang paling kaget adalah Leng So dan Ouw Hui, lebih-lebih nona Thia yang kagetnya tercampur juga dengan rasa gusar.

Siapa adanya manusia itu yang berani menggunakan nama mendiang gurunya? Lebih celaka lagi, pengakuan itu diberikan oleh kakak seperguruannya sendiri. Lain halnya yang sangat mengherankan ialah soal Sie Kiauw. Samsuci itu adalah isteri Kian Tiat San, Jie-suhengnya dan dari pernikahan itu mereka mendapat seorang putera yang sekarang sudah dewasa. Mengapa Boh-yong Keng Gak memperkenalkan Sie Kiauw sebagai "isteriku"? Leng So adalah seorang cerdas yang sangat berhati-hati. Ia mengerti, bahwa peristiwa ini pasti mempunyai latar belakang yang luar biasa. Maka itu, ia tidak mengeluarkan sepatah kata dan hanya memperhatikan perkembangan yang selanjutnya.

Walaupun seorang jago, mendengar nama "Tok-chiu Yo-ong", paras muka Ciu Tiat Ciauw lantas saja berubah. Sambil membungkuk, ia berkata: "Sudah lama aku mendengar nama tuan yang besar."

Chio Sinshe tertawa, ia mengangsurkan tangannya seraya berkata: "Tuan she apa? Boleh aku mendapat tahu nama tuan yang besar?" Ciu Tiat Ciauw mundur setindak.

"Aku yang rendah Ciu Tiat Ciauw," jawabnya sambil merangkap kedua tangannya. Biarpun bernyali besar, ia tidak berani menjabat tangan Tok-chiu Yo-ong.

Cio Sinshe tertawa terbahak-bahak. Ia lalu menghampiri Hok Kong An dan menyoja seraya membungkuk. "Orang dari pegunungan menghadap kepada Thayswee," katanya.

Melihat lihaynya orang itu dan sesudah mengetahui asal-usul Tok-chiu Yo-ong dari seorang Wie-su, buru-buru Hok Kong An berbangkit dan membalas hormat, seraya berkata sambil tersenyum. "Cio Sinshe, duduklah."

Bersama Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw, dia segera duduk pada sebuah meja kosong. Begitu mereka duduk, jago-jago pada meja-meja di sekitarnya dan sambil berdiri di tempat yang jauhnya kira-kira lima kaki dari meja Cio Sinshe ia menjelaskan pertaruan pie-bu (adu silat) dan perebutan cangkir yang dihadiahkan kaisar. Begitu selesai memberi keterangan, cepat-cepat ia bertindak mundur.

"Boleh aku tanya she tuan yang mulia?" tanya Cio Sinshe.

"She Pa," jawabnya.

"Pa Looya," kata pula Cio Sinshe, "Mengapa kau begitu takut terhadapku? Loohu bergelar Tok-chiu Yo-ong dan di samping menggunakan racun, loohu juga pandai mengobati penyakit. Kulihat pada muka Pa Looya terdapat sinar hijau, suatu tanda, bahwa dalam perutmu mengeram beberapa ekor kelabang. Jika tidak cepat-cepat diobati, aku khawatir dalam tempo sepuluh hari Pa Looya akan berpulang ke alam baka." Perwira itu kaget tak kepalang.

"Mana bisa jadi?" katanya dengan suara sangsi.

"Apakah belakangan ini Pa Looya pernah berselisih atau bertempur?" tanya Cio Sinshe. Bahwa seorang perwira di kota raja sering bercekcok atau berkelahi, adalah kejadian yang sangat lumrah. Maka itu, ia lantas saja menjawab dengan suara kaget: "Benar...! Apa...apakah bangsat anjing itu yang sudah turunkan tangan jahat terhadapku?" Cio Sinshe segera mengeluarkan dua butir yo-wan hijau dari sakunya.

"Kalau Pa Looya percaya, telanlah pel ini," katanya. Perwira itu bangun bulu romanya dan sesaat itu juga ia merasa beberapa kelabang sedang bergerak-getak di dalam perutnya. Tanpa memikir panjang-panjang lagi, ia segera menyambuti kedua yo-wan itu yang lalu ditelan dengan bantuan arak. Selang beberapa saat, perutnya sakit, ulu hatinya mual dan ia muntah-muntah.

Cio Sinshe mendekati dan mengurut-urut dadanya.

"Muntahkan semua!" bentaknya. Perwira itu muntah lagi. Tiba-tiba ia melihat tiga ekor binatang kecil bergerak-gerak di antara sisa makanan. Binatang itu, yang kepalanya merah dan badannya hitam, memang bukan lain daripada kelabang! Dia terkesiap, hampir-hampir dia ping-san. Ia segera menekuk kedua lututnya dan menghaturkan terima kasih untuk pertolongan Tok-chiu Yo-ong.

Beberapa pelayan segera membersihkan bekas muntahan itu. Hampir semua orang merasa kagum, tapi ada juga yang tidak percaya, antaranya Ouw Hui sendiri.

"Jangankan kelabang yang kecil, sedang ular pun aku dapat mengeluarkan dari perutmu," bisik Leng So.

"Bagaimana?" tanya Ouw Hui. "Selagi memberikan pel muntah, aku sudah menyediakan binatang itu dalam tangan baju," jawabnya.

"Benar! Kau sungguh pintar," memuji sang kakak. Leng So tersenyum.

"Dia sengaja mengurut-urut dada penwira itu supaya orang percaya kepadanya," kata nona Thia.

"Tapi kepandaian orang itu memang sangat tinggi," kata Ouw Hui.

"Sebenarnya ia tak usah mengeluarkan permainan sulap itu."

"Toako," bisik Leng So dengan suara hampir tidak kedengaran, dalam ruangan ini, yang paling disegani olehku adalah orang itu. Kau harus sangat berhati-hati." Semenjak mengenal Leng So, Ouw Hui telah menyaksikan, bahwa nona itu pintar dan tabah dan belum pernah ia mendengar perkataan "takut" keluar dari mulutnya. Sekarang, dengan mengatakan begitu, si adik menunjukkan bahwa manusia yang menyamar sebagai Tok-chiu Yo-ong itu benar-benar tidak boleh dibuat gegabah.

Sementara itu, Cio Sinshe tertawa dan berkata: "Biarpun mempunyai beberapa murid, aku belum pernah mendirikan partai apa pun jua. Hari ini, dengan belajar dari para Cianpwee, biarlah aku membentuk sebuah partai yang diberi nama Yo-ong-bun. Jika bisa memperoleh sebuah cangkir perak, aku dan murid-muridku sudah merasa beruntung sekali."

Sedang mulutnya berkata begitu, kakinya menghampiri kursi Thay-su-ie dan ia lalu duduk di samping Tian Kui Long. Dengan demikian, terang-terang ia menunjukkan bahwa tujuannya bukan cangkir perak, tapi cangkir giok dan ia sendiri ingin berdiri di antara delapan Ciangbunjin yang terutama.

Dengan nama Tok-chiu Yo-ong yang sudah tersohor selama puluhan tahun dan dengan kepandaian yang tadi diperlihatkannya, tak seorang pun di antara para hadirin yang berani menantangnya.

Untuk beberapa saat, ruangan yang besar itu sunyi senyap. Tiba-tiba Tay-tie Siansu, Ciangbunjin Siauw-lim-pay, menengok seraya bertanya: "Cio Sinshe, pernah apa antara kau dengan Bu-tin Hwee"

"Bu-tin?" menegas Cio Sinshe. "Tidak, aku tidak mengenalnya." Tay-tie Siansu merangkap kedua tangannya dan memuji: "Omitohud!"

"Apa?" tanya Cio Sinshe.

"Omitohud!" kata pula Tay-tie. Semenjak ketiga orang itu masuk, setiap gerak-gerik mereka tidak terlepas dari incaran mata Leng So. Sesaat itu, Boh-yong Keng Gak perlahan-lahan memutar kepalanya dan saling mengawasi dengan Tian Kui Long. Paras muka mereka tidak menunjukkan perasaan apa pun juga dan mereka bersikap seperti belum pernah bertemu satu sama lain. Tapi Leng So lantas saja dapat menebak rahasia mereka. "Hm! Mereka berpura-pura, tapi sebenarnya mereka sudah mengenal satu sama lain," katanya di dalam hati.

"Tian Kui Long sudah tahu nama guruku. la sudah tahu, bahwa Bu-tin Taysu ialah Tok-chiu Yo-ong. Pendeta Siauw-lim itu juga rupanya sudah tahu hal tersebut." Tiba-tiba ia ingat serupa hal lain dan berkata pula di dalam hatinya: "Toan-chung-co yang digunakan Tian Kui Long untuk membutakan mata Biauw Jin Hong, tak salah lagi didapat dari Toasuko."

Sementara itu, di dalam gelanggang, pertempuran sudah dilangsungkan pula untuk merebut Giok-liong-pwee yang terakhir. Pertandingan berjalan tenang-tenang saja - yang satu roboh, yang lain menggantikan dan begitu seterusnya. Sesudah lewat beberapa lama, kentongan berbunyi empat kali, sebagai tanda, bahwa waktu itu sudah lewat tengah malam. Tadi, dalam gelanggang bertempur dua pasang lawan, tapi sekarang hanya ketinggalan dua orang saja yang kelihatannya merupakan lawan setimpal.

Mereka itu serang menyerang dengan menggunakan Iweekang yang sangat tinggi dan apa yang diperlihatkan adalah ilmu silat kelas satu. Tapi di mata Hok Kong An yang sudah lelah dan ngantuk, pertandingan yang berlarut-larut itu sangat menyebalkan. Sesudah berbangkis beberapa kali, ia berkata dengan suara perlahan: "Sungguh menyebalkan!"

Di luar dugaan perkataan itu yang diucapkan separuh berbisik, telah didengar oleh kedua orang yang sedang bertempur. Paras muka mereka lantas saja berubah dan dengan berbareng, mereka melompat mundur. "Kita bukan sedang mempertunjukkan lelucon kera dan kita tidak perlu dipuji orang, bukan?" kata yang satu.

"Benar! Lebih baik kita pulang dan menggendong anak," jawab yang lain. Mereka tertawa berkakakan dan sambil bergandengan tangan, mereka berjalan ke luar dari ruangan itu. Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya.

"Mereka berkepandaian sangat tinggi dan berpemandangan luas sekali," pikirnya.

"Hanya sayang, aku tidak tahu nama mereka." Ia menanya Kwee Giok Tong, tapi si orang she Kwee pun tidak mengenal mereka. "Pada waktu mereka datang, An Teetok telah menanyakan nama dan partai mereka, tapi mereka hanya menjawab dengan tertawa," menerangkan si tua. Ouw Hui menghela napas ia merasa kagum akan kedua orang itu, yang seperti naga, kelihatan kepalanya tak memperlihatkan buntutnya. Selagi ia bicara dengan Kwee Giok Tong, tiba-tiba Leng So menyentuh sikutnya. Ia mengangkat kepala dan segera mendengar seruan seorang perwira: "Inilah Hong Jin Eng Loosu, Ciangbunjin dari Ngo-houw-bun!"

Hampir berbareng, sambil mencekal sebatang toya tembaga, Hong Jin Eng menghampiri kursi Thay-su-ie yang masih kosong dan lalu mendudukinya. "Siapa yang ingin memberi pelajaran kepadaku?" ia menantang.

Ouw Hui jadi girang. Akhirnya, kesempatan yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Tapi ia merasa agak heran, karen! ia tahu bahwa ilmu silat si orang she Hong belum mencapai tingkat kelas satu. "Cara bagaimana dia berani coba-coba merebut Giok-liong-pwee?" tanyanya di dalam hati. Ia segera mengambil keputusan untuk lebih dulu mempermainkan musuhnya dan kemudian barulah mengambil jiwa manusia kejam itu. Dengan beruntun Hong Jin Eng sudah merobohkan tiga lawan. Kegirangannya meluap-luap paras mukanya berseri-seri. Di lain saat, lawan keempat yang bersenjatakan golok, maju menantang. Orang itu berkepandaian tinggi dan baru saja mereka bertempur tiga jurus, Ouw Hui sudah berkata: "Si orang she Hong bukan tandingannya."

Benar saja. baru saja lewat beberapa jurus lagi, sambil menggeram berulang-ulang. Hong Jin Eng berkelit kian ke mari untuk meloloskan diri dari serangan-serangan yang dahsyat. Tapi orang itu, tidak bermaksud jahat. Ia hanya mendesak supaya si orang she Hong menyerah kalah. Beberapa kali ia mendapat kesempatan baik, tapi ia tidak mengirim jurus yang membinasakan. Sekarang Hong Jin Eng menukar siasat. Ia main mundur dan tidak mau mengaku kalah. Tiba-tiba ia menyapu dengan toyanya dan lawannya segera menunduk, sehingga toya lewat di atas kepalanya. Baru saja orang yang bersenjata golok itu mau balas menyerang, sekonyong-konyong ia berteriak "aduh!" dan bergulingan di lantai. Dengan cepat ia melompat bangun, tapi begitu lekas menginjak lantai, kaki kanannya lemas dan ia roboh kembali. "Manusia tak mengenal malu! Kau menggunakan senjata rahasia!" bentaknya dengan gusar. Hong Jin Eng tertawa gelak.

"Dalam peraturan pertempuran sama sekali tidak dilarang orang menggunakan senjata rahasia," katanya.

"Sesudah masuk dalam gelanggang, orang masuk dalam gelanggang, orang boleh menggunakan senjata apa pun." Orang yang bersenjata golok itu segera menggulung kaki celananya dan melihat, bahwa di lututnya di jalan darah Tok-pit-hiat, tertancap sebatang jarum perak yang panjangnya kira-kira dua dim. Tok-pit-hiat terletak di sambungan antara tulang paha dan tulang betis, sehingga jika jalan darah itu terluka atau tertotok, kaki tidak dapat digunakan lagi. Semua orang merasa heran, sebab pada saat terlukanya orang itu, Hong Jin Eng yang sedang repot tdak akan bisa menggunakan senjata rahasia dan dia pun tidak pernah mengayun tangannya dalam gerakan melepaskan jarum perak itu. Cara bagaimana ia melepaskannya?

Sesudah orang yang bersenjata golok mundur, seorang lain yang bersenjata cambuk besi maju menantang. Begitu berhadapan, ia segera menyerang bagaikan hujan dan angin - jurus yang satu lebih hebat dari jurus yang lain dan sedikit pun ia tidak mau memberi kesempatan kepada si orang she Hong. Ia tahu, bahwa ilmu silat Hong Jin Eng tidak seberapa tinggi dan yang harus dijaga adalah jarum perak itu yang entah dari mana datangnya. Maka itu, ia menyerang sehebat-hebatnya supaya Hong Jin Eng tidak sempat melepaskan senjata rahasia. Tapi sungguh di luar dugaan, baru saja bertempur dua puluh jurus lebih, tiba-tiba ia mengeluarkan teriakan kesakitan dan lalu melompat mundur. Dari kempungannya ia mencabut sebatang jarum perak dan dari lubang luka mulai keluar darah.

Keheranan orang makin bertambah. Cara Hong Jin Eng melepaskan senjata rahasia belum pernah dilihat atau didengar mereka. Memang mungkin dan dibantu oleh seorang kawannya secara diam-diam. Tapi, jika begitu, di bawah sorotan begitu banyak mata dari ahli-ahli silat ternama, bantuan itu sudah pasti dilihat orang. Kenyataannya ialah: Tak seorang pun melihat dari mana datangnya senjata rahasia itu. Dari mana? Itulah pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh segenap hadirin.

Beberapa orang yang merasa sangat penasaran dengan beruntun turun ke dalam gelanggang. Salah seorang, yang terlalu memusatkan perhatiannya kepada jarum aneh itu, sudah terpukul toya Hong Jin Eng, sedang tiga orang lainnya dilukai dengan Bu-eng Gin-ciam (jarum perak yang tidak ada bayangannya).

Seluruh ruangan gempar. Semua orang saling mengutarakan pendapat yang berbeda-beda. Antara mereka, Ouw Huilah yang paling bingung. "Dari mana dia belajar ilmu yang luar biasa itu? Bagaimana aku dapat membereskannya?" tanyanya di dalam hati.

Ouw Hui dan Leng So adalah orang-orangyang berotak cerdas dan bermata sangat tajam, tapi biarpun mengawasi dengan sepenuh perhatian, mereka masih juga belum bisa memecahkan teka-teki itu. Tadi, Ouw Hui sudah menghitung-hitung untuk membinasakan manusia kejam itu pada waktu dia sedang tergirang-girang karena kemenangan-kemenangan. Tapi sekarang, ia bersangsi untuk turun tangan. Ia mengerti, bahwa jika gagal, bukan saja ia akan mendapat hinaan, tapi jiwanya pun akan turut melayang.

Leng So ternyata bersamaan pendapat. Sambil menggelengkan kepala, ia berkata: "Sudahlah. Biar kita lepaskan saja Giok-liong-pwee itu."

Ouw Hui menengok kepada Coa wie dan Kie Siauw Hong seraya berkata: "Ilmu silat Hong Loosu tidak seberapa tinggi, hanya...."

"Benar," memutus Kie Siauw Hong, "Jarum yang dilepaskannya aneh sekali, dia seperti menggunakan ilmu siluman."

"Ya," menyambung Coa Wie.

"Orang baru bisa melawan dia jika memakai topi tembaga dan mengenakan pakaian perang yang terbuat daripada besi."

Ia mengatakan begitu sebenarnya hanya untuk berguyon-guyon. Tapi di luar dugaan, di antara para perwira benar-benar ada seorang yang merasa sangat penasaran dan segera memerintahkan orang sebawahannya mengambil pakaian perang. Sesudah mengenakan pakaian itu, dengan tangan mencekal sebuah kapak besar, ia masuk ke dalam gelanggang dan lalu menantang Hong Jin Eng. Perwira itu yang bernama Bok Bun Cay adalah seorang panglima ternama dalam angkatan perang kerajaan Ceng dan pada waktu mengikut Hok Kong An menyerang Ceng-hay, ia telah membuat banyak pahala besar. Sekarang ia berdiri di tengah gelanggang dengan sikap angker dan mendapat tepukan tangan riuh rendah dari para hadirin. Untuk menambah semangatnya, Hok Kong An sendiri memberi selamat kepadanya dengan secawan arak.

Begitu bergebrak, bentrokan senjata mereka seolah-olah menggetarkan seluruh ruangan. Kedua senjata berat itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, sehingga lilin berkedip-kedip, sebentar terang, sebentar gelap. Karena mengenakan pakaian yang sangat berat, gerakan Bok Bun Cay tidak segesit Hong Jin Eng. Tapi Hong Jin Eng sendiri merasa jeri akan tenaga panglima itu yang besar luar biasa. Seiagi mereka bertempur, Ciu Tiateiauw, Can Tiat Yo, Ong Kiam Eng dan Ong Kiam Kiat berdiri di seputar Hok Kong An, sebab mereka khawatir kalau-kalau salah sebuah senjata terlepas dan melukai majikan mereka.

Sesudah bertempur dua puluh jurus lebih, tiba-tiba Hong Jin Eng menyabet kepala Bok Bun Cay dengan toyanya. Perwira itu menunduk dan balas menghantam kaki kanan lawannya. Mendadak terdengar satu suara "tak", disusul dengan seruan tertahan dari para hadirin. Di lain saat, kedua lawan itu melompat mundur dengan berbareng. Apa yang sudah terjadi?

Di atas lantai menggeletak sebuah bola merah yang terbuat daripada benang wol dan pada bola itu tertancap sebatang jarum perak-bola benang wol itu adalah perhiasan di atas topi tembaga Bok Bun Cay. Rupanya, Hong Jin Eng melepaskan jarum pada waktu panglima itu menyabet kakinya. Rasa kagum orang jadi semakin besar. Bola wol itu dilekatkan ke topi tembaga dengan menggunakan sebatang kawat halus. Bahwa Hong Jin Eng dapat memutuskan kawat itu, biarpun dari jarak yang sangat dekat, benar-benar merupakan kepandaian yang sangat langka dalam Rimba Persilatan.

Sesudah hilang kagetnya, Bok Bun Cay membungkuk sambil merangkap kedua tangannya. "Terima kasih atas belas kasihan Hong Loosu," katanya. Hong Jin Eng membalas hormat.

"Ilmu silat siauwjin (aku yang rendah) kalah jauh jika dibandingkan dengan kepandaian Bok Tayjin," katanya.

"Dalam medan perang, ilmu melepaskan senjata rahasia tiada gunanya. Kalau kita bertanding dengan menunggang kuda, siang-siang aku sudah binasa." Mendengar perkataan Hong Jin Eng yang sopan santun dan tidak bersikap sombong terhadap jendralnya yang telah dipecundangi, Hok Kong An merasa senang sekali.

"Hong Loosu memiliki kepandaian yang sangat tinggi," ia memuji dan sambil menyerahkan pit-yan-hu (pipa) yang terbuat daripada giok kepada Ciu Tiat Ciauw, ia berkata pula: Aku menghadiahkan ini kepada Hong Loosu." Hong Jin Eng girang tak kepalang dan ia menghaturkan terima kasih berulang-ulang. Sesudah Bok Bun Cay mengundurkan diri dan selagi para hadirin ramai membicarakan pertandingan-pertandingan yang terjadi barusan, tiba-tiba salah seorang berbangkit dan berkata dengan suara nyaring: "Hong Loosu memiliki kepandaian sangat tinggi dalam melepaskan senjata rahasia. Aku yang rendah ingin meminta pengajaran."

Orang itu yang mukanya bopeng, bukan lain daripada Kwa Cu Yong yang tadi melepaskan Tiat-poo-tee. Sesudah tangannya ditempelkan ko-yo, ia terbebas dari racun. "Tok-chiu Yo-ong."

Keluarga Kwa di Lan-ciu mempunyai nama besar dalam ilmu melepaskan tujuh macam senjata rahasia dan mereka dikenal sebagai Kwa-sie Cit-ceng-bun. Tujuh senjata rahasia itu ialah panah tangan, batu Hui-hong-sek, Tiat-poo-tee, Tiat-kie-lee, golok terbang, piauw baja dan paku Song-bun-teng. Semua itu senjata rahasia biasa, yang luar biasa ialah cara melepaskannya. Anggota keluarga Kwa bisa melepaskan golok bersama batu, paku bersama piauw dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga dapat melepaskan beberapa macam senjata di tengah udara, di mana senjata-senjata itu saling membentur dan menyambar musuh dari berbagai jurusan. Jika pertempuran dilakukan di lapangan terbuka, si musuh masih bisa melompat jauh kian ke mari. Tapi dalam sebuah gelanggang yang kecil dan tertutup, sambaran-sambaran tujuh macam senjata rahasia itu hampir tidak dapat dielakkan lagi.

Dengan sikap hormat Hong Jin Eng lebih dulu membungkus pit-ya-hu dengan sapu tangannya dan kemudian memasukkannya ke dalam saku. Sesudah itu, ia berkata dengan suara nyaring. "Aku merasa girang, bahwa Kwa Loosu ingin bertanding denganku dalam ilmu melepaskan senjata rahasia. Akan tetapi, dalam ruangan yang sempit ini, aku khawatir ada senjata yang menyasar dan mengenai para Tayjin." Ciu Tiat ciauw tertawa.

"Hong Loosu tak usah berkhawatir," katanya.

"Kau boleh mengeluarkan seantero kepandaianmu. Apakah Loosu kira para Wie-su makan gaji buta?"

"Maaf! Maaf!" kata Hong Jin Eng sambil tersenyum. Kwa Cu Yong segera membuka jubah luar dan terlihatlah pakaian dalamnya yang ringkas dan berwarna hitam. Pakaian itu sangat luar biasa, karena penuh dengan saku-saku yang berisi macam-macam senjata rahasia - saku-saku itu dipasang dari dada sampai di lutut, bahkan sampai di punggung. Hok Kong An tertawa terbahak-bahak. "Pakaian itu sungguh aneh," katanya.

Sesudah masuk ke dalam gelanggang, dari bawah bajunya Kwa cu Yong mencabut semacam senjata yang menyerupai gayung air. Gayung itu, yang mulutnya tajam bagaikan mata golok, adalah senjata turunan keluarga Kwa yang diberi nama Cio-sim Toa-hay (Batu tenggelam di lautan). Senjata itu dapat digunakan dalam dua cara: Pertama, seperti ilmu golok atau kampak yang mempunyai tiga puluh enam jurus dan kedua, untuk menangkap senjata dan bisa digunakan untuk balas menyerang. Cio-sim Toa-hay tidak termasuk dalam delapan belas rupa senjata yang lazimnya dikenal dalam Rimba Persilatan dan sebagian orang Kang-ouw menamakannya sebagai "Ciat-cian-siauw" (Gayung meminjam anak panah), dalam artian, bahwa senjata itu dapat digunakan untuk meminjam anak panah musuh.

Melihat Cio-sim Toa-hay yang tidak dikenal oleh sebagian hadirin, Hong Jin Eng tertawa. "Hari ini Kwa Loosu menambah pengalaman kami," katanya.

Melihat pakaian Kwa Cu Yong yang menyolok, banyak orang merasa sebal, antaranya Ouw Hui.

"Tio samko pun seorang ahli dalam menggunakan senjata rahasia, tapi ia sangat sederhana," pikirnya.

"Tidak pernah Samko memamerkan senjatanya. Jiwa orang she Kwa itu terlalu kecil." Sementara itu, Kwa Cu Yong sudah menyerang dengan gayungnya, tapi dalam gebrakan-gebrakan pertama, ia belum menggunakan senjata rahasianya. Sesudah bertempur belasan jurus, tiba-tiba ia berteriak: "Awas piauw!" Hong Jin Eng berkelit.

"Hui-hong-sek, panah tangan!" teriak pula Kwa Cu Yong. Kali ini dua senjata rahasia menyambar dengan berbareng, tapi Hong Jin Eng dapat menyelamatkan diri dengan mudah sekali.

"Tiat-kie-lee menghantam pundak kirimu! Golok terbang menghajar lutut kananmu!" teriaknya lagi. Karena sudah diperingatkan, serangan ketiga pun dapat dielakkan dengan gampang oleh Hong Jin Eng. Semua orang jadi heran. Mereka baru pernah mengalami, bahwa seorang penyerang lebih dulu memberitahukan serangannya. Tapi di luar dugaan. makin lama teriakan Kwa Cu Yong makin cepat dan menyambarnya senjata pun makin banyak. Sekarang teriakan dan menyambarnya senjata tidak cocok lagi. Misalnya, ia berteriak, bahwa panah tangan akan menghantam mata kiri, tapi ia menimpuk dada dengan Hui-hong-sek. Hong Jin Eng jadi bingung, ia harus berhati-hati sekali. Apa yang lebih hebat ialah tidak semua teriakan bertentangan dengan menyambarnya senjata. Dalam lima kali menimpuk, empat kali cocok dengan teriakannya dan hanya satu kali yang tidak cocok. Dengan demikian, serangan-serangan itu jadi lebih sukar dielakkannya.

"Senjata rahasia Kwa-sie Cit-seng-bun benar-benar lihay," kata Kwee Giok Tong.

"Kalau tidak salah, teriakan-teriakannya pun adalah hasil dari latihan yang lama."

"Tapi cara-caranya yang licik adalah sangat tidak bagus," kata Coa Wie. Sambil membuat main huncwee Yan-hee Sanjin, Leng So berkata: "Mengapa Hong Loosu belum melepaskan jarumnya? Kalau dia tidak segera turun tangan, mungkin sekali di dirobohkan oleh si orang she Kwa."

Tapi kuanggap si orang she Hong sudah mengatur siasatnya dengan sempurna sekali," menyelak Kiee Siauw Hong.

"Ia hanya melepaskan jarum pada saat yang tepat. Sebatang saja sudah cukup untuk menjatuhkan lawannya."

Selagi mereka beromong-omong, senjata rahasia terus menyambar-nyambar dalam ruangan itu. - Tiat Ciauw dan beberapa Wie-su kelas satu berdiri di sekitar Hok Kong An untuk menjaga keselamatan pembesar itu, sedang Iain-lain Wie-su mendampingi An Teetok serta pembesar-pembesar lain. Mereka bukan saja menjaga senjata rahasia Kwa Cu Yong, tapi juga memasang mata, kalau-kalau ada musuh gelap yang menyerang Hok Kong An dengan menggunakan kesempatan itu.

Tiba-tiba Leng So berkata: "Si orang she Kwa menyebalkan sekali. Biarlah aku main-main sedikit dengannya."

"Tiat-kie-lee menghantam pundak kirimu!" teriak Kwa Cu Yong.

"Bapauw daging menghantam mulutmu!" teriak Leng So dengan meniru suara Kwa Cu Yong. Hampir berbareng tangan kanannya menyentuh kepala pipa dan lalu melontarkan sebuah senjata rahasia, yang sangat enteng sebab menyambar tanpa bersuara, tapi mengeluarkan beberapa letikan api. Orang sering mengatakan, bahwa kalau "bapauw daging digunakan untuk menimpuk anjing, bapauw itu tak akan kembali". Maka itulah, mendengar teriakan Leng So - yang seolah-olah menganggap Cu Yong sebagai seekor anjing - banyak orang lantas saja tertawa.

Melihat menyambarnya senjata rahasia, Kwa Cu Yong segera menangkapnya dengan Ciat Cian-siauw. Sesudah itu, tangan kirinya merogoh mulut gayung untuk mengambil senjata rahasia itu guna dikirim balik kepada pemiliknya.

"Dak!" Semua orang terkesiap, sedang Kwa Cu Yong sendiri melompat tinggi. Di lain saat, kepingan-kepingan kertas terbang berhamburan dan ruangan itu penuh dengan batu belerang. Ternyata senjata rahasia itu hanyalah sebuah petasan. Semua orang tertegun, kemudian bersorak-sorai.

Meskipun gusar, Cu Yong yang sedang memusatkan seantero perhatiannya untuk menjaga-jaga Bu-eng Gin-ciam, tidak berani memecah kewaspadaannya untuk mencari orang yang melepaskan petasan dan ia hanya mencaci: "Binatang! Kalau kau mempunyai nyali, datanglah ke mari!"

Seraya tertawa haha-hihi, Leng So berjalan ke sebelah timur dan mengeluarkan pula sebutir petasan yang lalu disulutnya di kepala pipa panjang. "Batu besar menghantam Cit-cunmu!" teriaknya sambil melemparkan petasan itu. Dengan berteriak begitu, nona Thia menyamakan Cu Yong sebagai seekor ular. Bagian kematian seekor ular ialah "cit-cun" (tujuh dim), di sebelah bawah lehernya, sehingga orang sering mengatakan: "Kalau mau pukul ular, pukullah cit-cunnya." Seperti yang pertama, teriakan itu juga disambut dengan gelak tertawa.

Sesudah dikelabui satu kali, Kwa Cu Yong tidak menyambut lagi dengan Ciat-cian-siauw, tapi menimpuk dengan sebatang paku Song-bun-teng, sehingga petasan itu meledak di tengah udara. Untuk ketiga kalinya Leng So menimpuk dengan petasan.

"Batu hijau menghantam batokmu di punggung!" teriaknya. Kali ini ia menyamakan Cu Yong dengan seekor kura-kura. Si orang she Kwa menyambutnya lagi dengan Song-bun-teng dan petasan itu meledak pula di tengah udara. Sambil tertawa An Teetok membentak: "Hai! Orang yang sedang bertanding tidak boleh diganggu!" Melihat kedua petasan itu meledak di dekat meja Giok-liong-pwee, ia segera berkata kepada dua orang Wie-su yang berdiri di dekatnya.

"Jaga cangkir-cangkir itu. Jangan sampai pecah terlanggar senjata rahasia." Kedua pengawal itu mengangguk dan lalu berdiri di depan meja. Nona Thia tertawa geli dan segera kembali ke kursinya.

"Dia sangat licin, sesudah diakali sekali, dia tidak mau menyambut lagi petasanku," katanya. Diam-diam Ouw Hui merasa heran. "Jie-moay tahu, bahwa Hong Jin Eng adalah musuhku," katanya di dalam hati.

"Mengapa dia berbalik mempermainkan Kwa Cu Yong?" Sesudah dipermainkan dan ditertawakan orang, Kwa Cu Yong berusaha mengambil pulang kehormatannya dengan melepaskan senjata rahasia secepat-cepatnya, sehingga Hong Jin Eng jadi repot sekali. Sekonyong-konyong si orang she Hong menarik sesuatu di kepala toyanya. Cu Yong melompat mundur, sebab menduga bahwa musuhnya mau melepaskan jarum. Tapi ternyata, apa yang ditariknya adalah suatu benda, yang dengan sekali dikibaskan, lantas saja terpentang lebar seperti payung dan ternyata adalah sebuah tameng yang lemas tipis dan berwarna hitam, sedang di atasnya terlukis lima kepala harimau. Melihat itu, semua orang baru mengetahui, bahwa nama Ngo-houw-bu" (Partai lima harimau) didapat dari lukisan tersebut. Dengan toya dan tameng, Hong Jin Eng dapat menangkis semua senjata rahasia itu. Biarpun tipis, tak sebatang senjata yang dapat menembus tameng itu.

Sementara itu, Sesudah Hong Jin Eng mengeluarkan tamengnya, Ouw Hui baru tersadar. Sekarang ia mengerti, bahwa jarum perak orang itu disimpan di dalam toya yang diperlengkapi dengan alat rahasia. Begitu alatnya dipijit, jarum-jarum itu lantas menyambar musuh. Sesudah dapat mengungkap teka-teki itu, semangat Ouw Hui terbangun dan rasa jerinya terhadap Bu-eng Gin-ciam lantas saja lenyap.

Kini Hong Jin Eng melayani lawannya sambil mundur - ia mundur ke arah delapan kursi Thay-su-ie. Mendadak, tanpa diketahui sebabnya, Kwa Cu Yong mengeluarkan teriakan kesakitan, sedang si orang she Hong tertawa terbahak-bahak. Seraya memegang kempungannya, Cu Yong terhuyung beberapa tindak, kemudian jatuh berlutut. Dengan paras muka berseri-seri Hong Jin Eng duduk di kursi Thay-su-ie. Dua orang Wie-su segera menghampiri dan membangunkan Kwa Cu Yong. Sambil merapatkan gigi, ia mencabut sebatang jarum dari kempungannya. Meskipun jarum itu sangat kecil, tapi sebab yang tertusuk adalah jalan darah yang penting, maka lukanya tidak bisa dikatakan enteng. Dengan dipapah oleh kedua Wie-su itu, ia keluar dari gelanggang. Sekonyong-konyong Tong Pay mengeluarkan suara di hidung.

"Yang melukai orang dengan anak panah gelap, bukan seorang gagah," katanya. Hong Jin Eng menengok.

"Apakah Tong Tay-hiap maksudkan aku?" tanyanya.

"Aku mengatakan, bahwa seorang yang menggunakan anak panah gelap bukan orang gagah," jawabnya.

"Seorang laki-laki harus bertindak terang-terangan." Tiba-tiba Hong Jin Eng bangkit.

"Apakah aku bukan bertindak terang-terangan?" bentaknya.

"Dalam pertandingan tadi sudah dinyatakan terang-terangan, bahwa kami bertanding dalam ilmu melepaskan senjata rahasia. Apakah kurang terang?"

"Apakah Hong Loosu mau mencoba-coba dengan aku?" tanya Tong Pay dengan suara kaku.

"Nama Tong Tayhiap menggetarkan seluruh dunia, mana aku berani mencabut kumis harimau?" jawabnya.

"Apakah orang she Kwa itu sahabat Tong Tayhiap?"

"Benar," terdengar pula jawaban Tong Pay yang kaku, "Keluarga Kwa di Lan-ciu mempunyai sedikit hubungan denganku."

"Kalau begitu, biarlah aku menyerahkan jiwa untuk melayani Tong Tayhiap," kata Hong Jin Eng dengan gusar.

"Tong Tayhiap boleh memilih cara bertanding." Melihat kedua orang itu bertengkar makin hebat, Ouw Hui berkata dalam hatinya. "Biarpun dia berhubungan erat dengan pembesar negeri, ternyata Tong Pay bukan manusia jahat." Tapi sebelum kedua jago itu masuk ke dalam gelanggang, An Teetok sudah mendekati dan berkata sambil tertawa: "Hari ini Tong Tayhiap berlaku sebagai wasit dan ia tidak boleh turut bertanding. Beberapa hari lagi, siauwtee akan menjadi tuan rumah dan Tong Tayhiap dapat memperlihatkan kepandaiannya supaya kita semua bisa menambah pengalaman."

"Kalau begitu, lebih dahulu aku menghaturkan terima kasih kepada Teetok Tayjin," kata Tong Pay. Ia menengok dan mengawasi Hong Jin Eng dengan mata mendelik, akan kemudian mengangkat sebuah kursi Thay-su-ie dan mengetrukkannya di atas lantai. Sesudah itu, ia memindahkan kursinya supaya bisa duduk agak jauh dari Hong Jin Eng. Di lain saat, orang-orang yang duduk berdekatan melihat, bahwa di atas lantai terdapat empat lubang, akibat ketrukan tadi. Mereka mengerti, bahwa pertunjukan itu adalah hasil dari latihan Iweekang selama puluhan tahun dan tanpa merasa mereka bertepuk tangan. Orang-orang yang duduk di bagian belakang serentak bangkit untuk menyelidiki sebab musabab dari tepukan tangan itu. Hong Jin Eng tertawa dingin. "Kepandaian Tong Tayhiap memang Iihay," katanya dengan suara mengejek. "Biarpun berlatih dua puluh tahun lagi, aku pasti tak akan bisa menandingi Tayhiap. Tapi di luar langit masih ada langit dan di atas manusia masih ada manusia. Dalam kalangan ahli-ahli kelas satu, kepandaian itu hanya kepandaiannya biasa saja."

"Benar," sahut Tong Pay.

"Di mata pentolan-pentolan Rimba Persilatan, kepandaian itu memang tidak berharga sepeser buta. Tapi tak apa - asal bisa menang dari Hong Loosu, hatiku sudah merasa puas."

"Sudahlah! Kedua Loosu jangan bertengkar lagi," kata An Teetok sambil tersenyum.

"Fajar sudah menyingsing dan di antara tujuh buah cangkir giok, yang enam sudah ada pemiliknya. Sesudah Giok-liong-pwee selesai dibagi, besok malam kita akan membagi Kim-hong-pwee dan Gin-lee-pwee. Siapa lagi yang mau bertanding dengan Hong Loosu?" Sesudah berteriak tiga kali beruntun tanpa mendapat jawaban, ia berpaling kepada Hong Jin Eng seraya berkata:

"Aku memberi selamat kepada Hong Loosu. Cangkir giok sekarang sudah jadi milikmu!"

"Tahan!" sekonyong-konyong terdengar teriakan seorang.

"Aku ingin menjajal kepandaian Hong Jin Eng." Hampir berbareng dengan itu seorang berewokan yang bertangan kosong, melompat masuk ke dalam gelanggang. Perwira yang bertugas lantas saja berseru: "Ciangbunjin See-gak Hoa-kun-bun Thia Leng Ouw, Thia Loosu!" Hong Jin Eng segera berbangkit.

"Senjata apa yang ingin digunakan Thia Loosu?" tanyanya.

"Sukar dikatakan," jawab Ouw Hui.

"Senjata apa yang digunakan olehmu pada waktu kau membinasakan keluarga Ciong A-sie di kelenteng Hud-san-tin?" Hong Jin Eng terkesiap. Sambil mencekal toyanya erat-erat, ia bertanya: "Kau... kau...." Sebelum Hong Jin Eng dapat meneruskan perkataannya, bagaikan kilat Ouw Hui melompat ke hadapan Tian Kui Long, kedua jari tangannya dipentang dan disodokan ke mata si orang she Tian dengan gerakan Siang-liong-cio-cu. (Sepasang naga merebut mutiara).

Itulah kejadian yang tidak disangka-sangka. Dalam kagetnya, Tian Kui Long masih keburu mengangkat kedua tangannya untuk menangkis serangan itu. Kui Long cepat, tapi Ouw Hui lebih cepat lagi. Sekali bergerak, kedua tangannya sudah menyerupai sebuah lingkaran dan coba menotok kedua Tay-yang-hiat dengan gerakan Hwa-tiong-pou-goat (Mendukung rembulan di dada). Kui Long mengeluarkan keringat dingin. Ia tidak keburu bangkit untuk menyambut musuh dan jalan satu-satunya ialah mengibaskan kedua tangannya untuk menangkis kedua pukulan yang berbareng itu.

"Hway-tiong-pou-goat sebenarnya serangan gertakan!" teriak Ouw Hui.

"Dengan Hway-tiong-pou-goat sebenarnya serangan gertakan," di rumah Biauw Jin Hong, Ouw Hui pernah menghantam Tian Kui Long sehingga dia muntah darah. Demi mendengar kata-kata itu, si orang she Tian terkejut dan berseru: "Kau...! Kau...."

Ouw Hui memang tidak berdusta. Pukulan Hway-tiong-pou-goat hanyalah pukulan gertakan. Selagi Kui Long mengibaskan kedua tangannya, sehingga bagian iganya kosong, dengan sekali membalik tangan, Ouw Hui sudah menghunus golok mustika yang terselip di pinggang Tian Kui Long. Di lain detik, ia sudah memutar tubuh melompat dan membacok toya tembaga Hong Jin Eng.

"Trang...! Trang...! Trang!" Sebelum Hong Jin Eng tahu apa yang terjadi, toyanya sudah jadi empat potong, kedua tangannya masing-masing mencekal sepotong yang panjangnya hanya kira-kira satu kaki. Sekarang Hong Jin Eng sudah sadar, bahwa ia berhadapan dengan Ouw Hui. Dengan rasa kaget yang sukar dilukiskan, ia melompat beberapa tindak. Pada detik itu, mendadak saja Ong Tiat Gok yang berdiri di ambang pintu berseru: "Cong-ciang-bun dari tiga belas partai tiba!"

Ouw Hui terkejut. Ia mengangkat kepalanya dan mengawasi ke arah pintu. Seorang niekouw (pendeta wanita) yang mengenakan jubah pertapaan dan sepatu rumput, sedang sebelah tangannya menggenggam kebutan, kelihatan melangkah masuk. Ia bukan lain daripada Wan Cie Ie! Melihat kepala si nona yang gundul, mata Ouw Hui berkunang-kunang - ia tidak percaya pada kedua matanya sendiri. Ia melangkah maju untuk melihat lebih tegas. Tapi tak salah, pendeta itu ialah Wan Cie Ie. Ouw Hui merasa seolah-olah segala-gala berputar-putar, kepalanya puyeng. Dengan mata membelalak ia berkata dengan suara parau: "Kau... kau...!"

Bhiksuni itu merangkap kedua tangannya dan berkata: "Siauwnie (aku si pendeta kecil) Wan-seng."

Sekonyong-konyong, bagaikan seorang ling-lung, Ouw Hui merasa dua jalan darahnya - di punggungnya sakit bukan main. Badannya bergoyang-goyang dan ia roboh ke lantai.

"Tahan!" bentak Wan Cie Ie dengan suara gusar sambil melompat dan mengalingi tubuh Ouw Hui dengan badannya sendiri. Semua kejadian itu terjadi dalam sekejap mata. Melihat kakaknya terluka, Leng So melompat untuk memberikan pertolongan. Cie Ie sebenarnya sudah membungkuk untuk membangunkan Ouw Hui, tapi begitu melihat nona Thia, ia menarik pulang tangannya dan berbisik: "Bawalah ke pinggir!" Mendadak ia menyabet ke belakang dengan kebutannya, seperti hendak menangkis suatu serangan.

Dengan air mata berlinang-linang, nona Thia mendukung Ouw Hui, "Toako, bagaimana keadaanmu?" tanyanya.

Sang kakak tertawa getir. "Punggungku terkena senjata gelap, di jalan darah Sian-kie dan Beng-bun," jawabnya.

Tanpa menghiraukan perasaan malu lagi, Leng So segera membuka jubah luar dan baju Ouw Hui. Benar saja, di jalan darah Sian-kie dan Beng-bun terdapat dua lubang kecil yang mengeluarkan darah sedang jarumnya amblas ke dalam daging.

Cie Ie mendekati seraya berkata: "Jarum itu jarum perak, tidak beracun, kau tak usah khawatir." Ia menyingkap benang-benang kebutan dan mencabut sebatang jarum dari kebutan itu. Kemudian ia menempelkan kebutan itu di jalan darah Sian-kie dan Beng-bun di punggung Ouw Hui dan menariknya perlahan-lahan. Leng So girang bukan main karena kedua jarum perak itu telah tertarik keluar. Ia tahu, bahwa dalam kebutan itu disembunyikan sesuatu yang mempunyai daya tarik terhadap logam-logam mulia sangat kuat.

Ouw Hui mengawasi Cie Ie dengan sorot mata berduka dan berkata: "Wan Kouwnio... kau...."

"Aku memang sangat kurang ajar," bisik nona Wan.

"Aku mendustai kau." Sesudah berdiam sejenak ia berkata pula: "Sedari kecil aku sudah menjadi pendeta dengan menggunakan nama Wan-seng." Ouw Hui menatap wajah si nona dengan perasaan yang sukar diiukiskan. Sesaat kemudian, ia berkata: "Tapi... tapi mengapa kau mendustai aku?"

Wan-seng menunduk dan menjawab dengan suara perlahan: "Atas titah Suhu dengan seorang diri, dari Hweekiang aku datang ke Tionggoan. Jika aku mengenakan pakaian pertapaan, di tengah jalan aku mungkin bertemu dengan banyak rintangan. Maka, aku sudah menyamar sebagai orang biasa dan menggunakan rambut palsu. Tapi aku tetap tidak makan makanan berjiwa dan hal ini rupanya tidak diperhatikan olehmu." Mendengar keterangan itu, Ouw Hui menghela napas panjang.

Tiba-tiba An Teetok berteriak dengan nyaring: "Siapa lagi yang mau bertanding dengan Hong Loosu?"

Dalam kedukaannya Ouw Hui tidak menghiraukan teriakan pembesar itu. Sesudah berteriak tiga kali dan tak ada orang yang menjawabnya, An Teetok menghampiri Hok Kong An dan berkata: "Thayswee, apakah tujuh cangkir giok itu boleh diserahkan saja kepada ketujuh orang Loosu?"

"Baiklah," kata Hok Kong An. Malam sudah berganti dengan siang dan dari jendela sudah menyorot masuk sinar matahari pagi. Sesudah berkutat semalam suntuk, pemilik ketujuh Giok-liong-pwee sudah terpilih. Seluruh ruangan jadi ramai - semua orang

berbincang-bincang dan berlomba-lomba menyatakan pendapat mengenai pertandingan-pertandingan yang telah terjadi dan mengenai Wan-seng yang diperkenalkan sebagai Cong-ciang-bun dari tiga belas partai. Mereka merasa heran karena tidak mengenai siapa adanya pendeta wanita yang luar biasa itu.

Sementara itu, An Teetok sudah menghampiri meja Giok-liong-pwee dan mengangkat dulang cangkir. Ia bertindak masuk ke dalam gelanggang dan berkata dengan suara nyaring: "Giok-liong-pwee hadiah Sri Baginda Kaisar sekarang diserahkan kepada Tay-tie Siansu, Ciangbunjin Siauw-lim-pay, Bu-ceng-cu Toojin, Ciangbunjin Bu-tong-pay, Tong Pay, Ciangbunjin Sam-cay-kiam, Hay Lan Pit, Ciangbunjin Hek-liong-bun, tkl, Ciangbunjin Thian-liong-bun...." Ia berhenti, lalu mendekati Cio Sinshe dan berbisik: "Cio Sinshe, boleh aku mendapat tahu nama dan partai Sinshe yang mulia?" Cio Sinshe tersenyum. "Namaku Ban Tin," jawabnya.

"Mengenai partaiku, kau katakan saja partai Yo-ong-bun." An Teetok balik ke tengah gelanggang dan berkata pula: ".... Cio Ban Tin, Ciangbunjin Yo-ong-bun, dan Hong Jin Eng, Ciangbunjin Ngo-houw-bun. Terima kasih kepada Sri Baginda Kaisar."

Mendengar kata-kata "terima kasih kepada Sri Baginda Kaisar", Hok Kong An, para pembesar dan sejumlah orang gagah yang mengerti peraturan keraton serentak bangkit. Sejumlah orang masih tetap duduk sehingga dibentak oleh beberapa Wie-su: "Bangun semua!" Tay-tie Siansu dan Bu-ceng-cu segera menjalankan kehormatan menurut agama masing-masing sedang Tong Pay dan yang lain-lain menghaturkan terima kasih dengan berlutut.

Sesudah selesai upacara menghaturkan terima kasih kepada kaisar, An Teetok segera berkata: "Selamat! Aku menghaturkan selamat kepada kalian semua." Ia menghampiri ketujuh Ciangbunjin itu lalu mengangsurkan dulang cangkir. Tay-tie dan yang lain-lain lalu mengambil cangkir - seorang sebuah.

Mendadak, mendadak saja, terjadi sesuatu yang sungguh luar biasa. Memegang cangkir-cangkir itu, tangan ketujuh Ciangbunjin seperti juga mencekal bara! Tak tahan! Mereka tak tahan! Dan... Prang!" semua cangkir jatuh di lantai dan hancur lebur!

Seluruh ruangan seunyi senyap. Suara "prang!" itu bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Tangan ketujuh Ciangbunjin memegang cangkir, sudah bengkak dan mereka menyusut-nyusutnya di pakaian mereka. Hay Lan Pit yang merasa tak tahan sudah memasukkan lima jarinya ke dalam mulut. Sesaat kemudian, ia berteriak-teriak kesakitan sambil meleletkan lidah.

Ouw Hui melirik Leng So dan manggutkan kepalanya dengan perlahan. Sekarang baru ia tahu, bahwa dalam tiga butir petasan itu terisi racun bubuk kalajengking dan karena dua antaranya meledak di atas meja cangkir, maka semua cangkir telah keracunan. Tipu daya si adik sedemikian halus, sehingga kecuali oleh dia sendiri, tak dapat ditebak oleh siapa pun jua. Ia merasa kagum dan bangga.

Sementara itu, Leng So sudah mulai menghisap huncwee dan mengepul-ngepulkan asapnya. Setiap kali tembakau habis, ia lalu mengisi lagi. Parasnya tenang-tenang saja sedikit pun tidak berubah, tidak menunjukkan rasa girang karena siasatnya berhasil. Tangan kirinya mencekal empat butir yo-wan dan diam-diam ia memberikan dua butir kepada Ouw Hui dan dua butir pula kepada Wan-seng. "Telanlah!" bisiknya. Ouw Hui dan Wan-seng segera menelannya. Gerakan Leng So tidak dilihat oleh siapa pun jua, karena pada saat itu, semua orang sedang memperhatikan peristiwa hancurnya Giok-liong-pwee.

Sekonyong-konyong Wan-seng bertindak masuk ke tengah-tengah ruangan dan sambil menuding Tong Pay dengan kebutannya, ia membentak: "Tong Pay! Kau sungguh bernyali besar. Dengan tipu busuk, kau sudah menghancur leburkan cangkir-cangkir Giok-liong-pwee hadiah Sri Baginda Kaisar. Dengan bersekongkol dengan Ang-hoa-hwee, kau coba menggagalkan Ciangbunjin Tayhwee. Perbuatanmu itu tak dapat dibiarkan saja oleh segenap orang gagah." Ia mengucapkan tuduhan itu dengan suara nyaring dan tegas, sehingga Hok Kong An lantas saja menjadi gusar dan sekali ia mengibas tangan, Ong Kiam Eng, Ciu Tiat Ciauw dan lain-lain Wie-su yang berkepandaian tinggi lantas saja mengurung Tong Pay.

Meskipun Tong Pay sudah kenyang mengalami gelombang, paras mukanya berubah pucat pasi, badannya bergemetaran - ia kaget bercampur gusar.

"Pendeta siluman!" bentaknya.

"Pendusta besar! Jangan kau ngaco belo!" Wan-seng tertawa dingin.

"Apa benar aku pendusta besar?" tanyanya. Ia berpaling kepada Ong Kiam Eng seraya berkata: "Ong Loosu, Ciangbunjin Pat-kwa-bun." Kemudian ia menengok kepada Ciu Tiat Ciauw dan berkata pula: "Ciu Loosu, Ciangbunjin Eng-jiauw Gan-heng-bun. Kalian berdua sudah mengenal aku. Gelaran Cong-ciang-bun dari berbagai partai agak terlalu berat untuk diterima olehku. Tapi apakah aku seorang pendusta atau seorang yang bertanggung jawab atas segala perkataannya? Mengenai pertanyaan ini, aku mengharap pendapat kalian berdua."

Begitu Wan-seng tiba, Kiam Eng dan Tiat Ciauw lantas saja merasa tak tentram, karena mereka khawatir, kalau-kalau niekouw itu akan membuka rahasia, bahwa kedudukan Ciangbunjin mereka telah direbut olehnya. Mereka adalah orang kepercayaan Hok Kong An dan berkedudukan tinggi. Jika rahasia itu sampai diketahui umum bagaimana mereka bisa berdiam terus di kota raja? Tapi begitu mendengar perkataan Wan-seng, hati mereka lega. Pendeta itu bukan saja bicara dengan mereka dengan menggunakan istilah "Ciangbunjin", tapi juga mengatakan, bahwa "gelaran Cong-ciang-bun terlalu berat untuk diterima" olehnya, sehingga hal itu berarti, bahwa dengan suka rela Wan-seng mengembalikan kedudukan Ciangbunjin yang sudah direbut kepada mereka.

Selain begitu, Sesudah menyaksikan hancurnya Giok-liong-pwee dan mendengar tuduhan Wan-seng, mereka pun mencurigai Tong Pay.

Maka itulah, sambil membungkuk Ong Kiam Eng segera menjawab: "Loo-jin-kee memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan aku merasa sangat takluk. Di samping itu, Loo-jin-kee pun mempunyai jiwa besar dan hati yang mulia. Loo-jin-kee adalah seorang yang jarang terdapat dalam Rimba Persilatan." (Loo-jin-kee ialah panggilan terhadap orang yang lebih tua atau yang sangat dihormati).

Sesudah dijatuhkan, Ciu Tiat Ciauw tentu saja merasa sakit hati terhadap Wan-seng. Tapi karena takut rahasianya dibuka, ia pun lantas saja berkata: "Aku percaya, bahwa setiap perkataan Loo-jin-kee adalah hal yang sebenarnya. Sebegitu jauh Loo-jin-kee selalu bersetia kawan terhadap sesama orang Rimba Persilatan dan kalau bukan terlalu terpaksa, Loo-jin-kee pasti tak akan membuka rahasia orang."

Dalam jawabannya itu, Ciu Tiat Ciauw sebenarnya bicara untuk kepentingannya sendiri. Ia bermaksud untuk mengatakan, bahwa sebagai seorang bersetia kawan terhadap sesama orang Rimba Persilatan, Wan-seng pasti tak akan membuka rahasianya.

Mendengar keterangan kedua orang kepercayaannya yang bahkan sudah memanggil pendeta wanita itu dengan menggunakan istilah "Loo-jin-kee", Hok Kong An tidak bersangsi lagi. "Tangkap padanya!" ia membentak dengan suara keras.

Ong Kiam Eng, Ciu Tiat Ciauw dan Hay Lan Pit lantas saja bergerak. Sambil mengerahkan Iwee-kang dan mendorong ketiga orang itu, Tong Pay berteriak: "Tahan!" Ia berpaling kepada Hok Kong An dan berkata pula: "Hok Thayswee, siauwjin memohon supaya dipadu dengan dia. Kalau dia bisa memberi bukti-bukti yang kuat, siauwjin rela untuk menerima hukuman yang paling berat. Tapi jika siauwjin dihukum karena tuduhan membuta-tuli, siauwjin akan merasa sangat penasaran."

Pembesar itu yang mengenal Tong Pay sebagai seorang yang mempunyai nama besar, lantas saja berkata: "Baiklah."

Tong Pay mengawasi Wan-seng dengan mata mendelik.

"Aku belum pernah mengenal kau, tapi mengapa kau sudah menuduh aku secara serampangan?" katanya dengan suara gusar.

"Siapa kau?"

"Benar," jawab Wan-seng, "Aku tidak mengenal kau dan juga tidak mempunyai permusuhan dengan kau. Aku memang tidak berurusan dengan kau. Tapi oleh karena aku bermusuhan dengan Ang-hoa-hwee dan kau sudah bersekutu dengan perkumpulan itu untuk mengacau Ciangbunjin Tayhwee, maka aku tidak bisa tidak melucuti topengmu. Bahwa kau mempunyai banyak sahabat dan kenalan, sama sekali tidak ada sangkut pautnya denganku. Tapi jika kau berserikat dengan Ang-hoa-hwee, aku tidak bisa berpeluk tangan."

Ouw Hui jadi heran sekali. Ia tahu, bahwa Wan-seng mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Ang-hoa-hwee dan ia pun tahu, bahwa hancurnya Giok-liong-pwee adalah "kerjaan" Leng So. Tapi mengapa ia memfitnah Tong Pay? Sudah memikir beberapa saat, tiba-tiba ia ingat, Wan-seng pernah memberitahukan, bahwa ibunya diusir dari Kwitang oleh Hong Jin Eng, orang tua itu pernah meneduh di rumah Tong Pay. Apakah kematian ibu Wan-seng ada sangkut pautnya dengan Tong Pay? Beberapa pertanyaan keluar dalam otaknya, tapi karena sedang berduka, ia tidak bisa memikir secara tenang.

Hok Kong An mempunyai sakit hati hebat terhadap Ang-hoa-hwee karena ia pernah ditawan oleh orang-orang gagah perkumpulan itu. Maksud terutama dari Ciangbunjin Tayhwee adalah untuk menghadapi Ang-hoa-hwee. Mengingat, bahwa Tong Pay adalah seorang tokoh Rimba Persilatan yang mempunyai hubungan sangat luas, ia merasa, bahwa tuduhan Wan-seng bukan hal yang mengherankan.

Sementara itu, Tong Pay sudah berkata pula: "Kau menuduh, bahwa aku telah berhubungan dengan penjahat Ang-hoa-hwee. Siapa saksinya? Mana buktinya?"

Wan-seng berpaling kepada An Teetok dan berkata: "Teetok Tayjin, aku tahu adanya sepucuk surat yang dapat dijadikan bukti. Apakah Tayjin menyimpan surat Tong Pay yang dapat dicocokkan dengan surat itu?"

"Ada, ada!" jawab An Teetok yang lalu bicara beberapa patah dengan seorang sebawahannya. Orang itu segera menghampiri sebuah meja persegi, membuka-buka setumpukan surat dan mengambil beberapa di antaranya yaitu surat-surat Tong Pay kepada An Teetok untuk menerima baik undangan dan tugas menjadi wasit dalam Ciangbunjin Tayhwee.

Tapi Tong Pay tidak jadi keder, parasnya tenang-tenang saja. Ia adalah seorang yang berhati-hati dan ia tidak mempunyai hubungan dengan Ang-hoa-hwee. Maka itu, menurut anggapannya, andaikata Wan-seng mengeluarkan surat palsu, kepalsuannya akan segera terlihat jika dicocokannya suratnya sendiri.

"Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay, Tong tayhiap, apa yang disembunyikan di dalam kopiahmu?" tanya Wan-seng dengan suara dingin.

Tong Pay kaget. "Apa?" menegasnya. "Kopiahku?" Ia membuka kopiahnya, membolak-baliknya dan kemudian menyerahkannya kepada Hay Lan Pit, yang sesudah membolak-balik beberapa kali, lalu mengoperkannya kepada An Teetok. Untuk beberapa saat pembesar itu meneliti kopiah tersebut dan kemudian berkata: "Tidak ada jalan luar biasa...."

"Coba Tayjin buka jahitannya," kata Wan-seng. Pada jaman kerajaan Ceng, dalam setiap perjamuan besar selalu disediakan daging babi rebus yang diiris dengan pisau oleh orang yang hendak memakannya. Maka itu pada setiap perangkat piring mangkok selalu terdapat sebilah pisau untuk maksud tersebut. Mendengar perkataan Wan-seng, An Teetok segera mengambil pisau dari atas meja dan memotong jahitan kopiah. Benar saja, di antara lapisan kain dan kapas terselip sepucuk surat.

"Aha...!" seru pembesar itu sambil mencabutnya. Paras muka Tong Pay lantas saja berubah pucat dan berkata dengan suara terputus-putus.

"Itu... itu...." Ia mendekati An Teetok untuk melihat surat itu, tapi "srt!" Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw serentak menghunus golok dan menghadang di depannya. An Teetok membuka surat itu lalu membaca dengan suara nyaring:

"Aku yang rendah Tong Pay mempersembahkan surat ini kepada Tan Congtocu. Aku akan menunaikan tugas sebaik-baiknya guna membalas budi yang sangat besar. Di dalam pertemuan para Ciangbunjin sudah pasti akan diadakan penjagaan yang sangat keras. Jika gagal, aku pasti akan mengorbankan jiwa di kota raja, secara kebetulan aku telah mendapat tahu...."

Membaca sampai di situ, An Teetok merandek lalu menyerahkan surat itu kepada Hok Kong An.

Hok Kong An segera membaca tanpa bersuara ".... mendapat tahu segala rahasianya. Jika kita bisa bertemu muka, aku akan menceritakan sejelas-jelasnya. Ah! Kapan kita bisa mengurung dia lagi di puncak pagoda Liok-hoa-tah dan menawan dia pula dalam kota terlarang. Kalau kejadian itu bisa terulang pula, bukankah kita akan merasa gembira sekali?"

Makin membaca, paras muka Hok Kong An jadi makin tak enak dilihatnya. Kegusarannya meluap-luap dan ia merasa dadanya seperti mau meledak. Mengapa?

Pada belasan tahun berselang, waktu pesiar di kota Hanciu dengan menyamar sebagai rakyat jelata, Kaisar Kian-liong pernah ditawan oleh jago-jago Ang-hoa-hwee dan dikurung di puncak pagoda Liok-ho-tah. Belakangan Hok Kong An pun kena ditawan oleh Ang-hoa-hwee di dalam kota Pakkhia sendiri. Kedua peristiwa itu adalah kejadian yang paling memalukan dalam riwayat hidup Kian-liong dan Hok Kong An. Untuk membendung penyiaran warta, pembesar-pembesar dan pengawal-pengawal yang tahu kejadian yang paling memalukan dalam riwayat hidup Kian-liong dan Hok Kong An. Untuk membendung penyiaran warta, pembesar-pembesar dan pengawal-pengawal yang tahu kejadian itu satu persatu sudah dibunuh Kian-liong. Oleh karena peristiwa tersebut mempunyai sangkut paut dengan pertalian riwayat hidup antara Kian-liong dan Tan Kee Lok (Pemimpin umum Ang-hoa-hwee), maka malah pihak Ang-hoa-hwee sendiri tidak pernah menyiarkan kejadian itu. Jumlah orang Kang-ouw yang tahu sangat sedikit dan dalam belasan tahun, sakit hati Hok Kong An pun sudah agak mereda. Di luar dugaan, surat Tong Pay telah menyentuh borok yang lama.

Membaca, "... secara kebetulan aku telah mendapat tahu segala rahasianya," mata Hok Kong An berkunang-kunang bahna gusarnya. Sebagaimana diketahui, dia sebenarnya putera Kaisar Kian-liong dan "segala rahasianya" mempunyai arti yang luas sekali.

Dengan tangan bergemetar Hok Kong An menyambuti surat Tong Pay yang dialamatkan kepada An Teetok. Waktu dicocokkan, gaya tulisan antara kedua surat itu ternyata tidak berbeda.

Sementara itu, Tong Pay sudah menggigil. Ia mengerti, bahwa ia sudah "dikerjakan" oleh Wan-seng, tapi ia tidak berdaya, ia dapat menebak, bahwa kopiah dan surat itu telah disiapkan oleh Wan-seng yang kemudian menyuap salah seorang pelayan rumah penginapan untuk menukarnya dengan kopiahnya sendiri. Tapi mana bisa ia membela diri? Waktu An Teetok berhenti membaca dan menyerahkan surat itu kepada Hok Kong An, ia jadi makin ketakutan. Ia tahu, bahwa dalam surat itu tentulah juga ditulis kata-kata yang sangat hebat. Tapi dia memang jago yang berakal budi. Dalam keadaan terjepit, ia masih dapat menggunakan otaknya. "Jalan satu-satunya untuk membela diri ialah menyelidiki asal usul perempuan bangsat itu," pikirnya. Sesudah mengawasi Wan-seng beberapa saat, tiba-tiba ia terkejut. "Ah! Mukanya seperti tidak asing lagi," katanya di dalam hati.

"Aku pernah bertemu dengannya. Tapi... kedosaan apa yang telah diperbuat olehku? Aku merasa pasti, dahulu ia bukan seorang pendeta." Ia mengawasi pula dan sekonyong-konyong ia berteriak: "Kau...! Apa kau bukan anaknya Gin Kouw!"

Wan-seng tertawa dingin. "Akhirnya kau mengenali juga," jawabnya.

"Hok Thayswee!" teriak pula Tong Pay. "Nie-kouw itu adalah musuh besar siauwjin. Dia telah mengatur tipu untuk mencelakakan siauwjin. Thayswee tidak boleh percaya segala pengaduannya."

"Benar," kata Wan-seng, "Aku adalah musuh besarmu. Dalam keadaan terlunta-lunta, ibuku telah kesasar ke rumahmu. Kau manusia bertopeng, lagakmu seperti seorang mulia, hatimu bagaikan hati binatang buas. Melihat kecantikan ibuku, kau coba melanggar kehormatannya, sehingga ibuku mati menggantung diri. Coba kau jawab: Apakah tuduhanku tuduhan yang tidak-tidak?"

Tong Pay jadi serba salah. Kalau ia mengaku, hancurlah nama baiknya. Tapi ia sekarang sedang menghadapi mati atau hidup dan Sesudah memikir sejenak, di antara kedua jalan itu, ia memilih jalan hidup. Ia menghitung, bahwa jika ia mengaku, kepercayaan Hok Kong An atas dirinya akan pulih kembali. Pembesar itu akan percaya, bahwa karena bermusuhan, Wan-seng sudah mengatur tipu untuk mencelakakan dirinya. Maka itu, ia lantas saja mengangguk seraya menjawab: "Benar. Memang benar sudah terjadi kejadian itu."

Semua orang terkejut. Ruangan itu lantas saja jadi ramai dengan suara orang yang berlomba-lomba mengutarakan pendapat - ada yang menamakan dia sebagai "kuncu tetiron", ada yang mengejeknya sebagai "manusia berhati binatang" sebagainya.

Sesudah suara bicara mereda, Wan-seng berkata: "Aku sungguh ingin mencabut jiwa binatangmu untuk membalas sakit hati ibuku, hanya sayang, karena ilmu silatmu terlalu tinggi, aku tak bisa mengalahkan kau. Maka itu, apa yang bisa diperbuat olehku ialah siang-malam bersembunyi di bawah jendelamu untuk mengamat-amati setiap gerak-gerikmu. Ternyata Tuhan menaruh belas kasihan atas diriku. Secara kebetulan aku mendengar pembicaraanmu dengan Tio Poan San, dengan dua saudara Siang, dengan Cio Siang Eng dan lain-lain penjahat dari Ang-hoa-hwee. Barusan si sasterawan muda yang coba merebut Giok-liong-pwee bukan lain daripada Sim Hie, kacung Tan Kee Lok, Cong-tocu dari Ang-hoa-hwee. Bukankah dia Sim Hie? Jawab kau!"

Mendengar disebutnya nama Sim Hie, Hok Kong An seperti orang baru mendusin dari tidurnya. "Benar, benar dia Sim Hie," katanya di dalam hati. "Dia sungguh berani mati. Apa dia tak takut aku akan mengenalinya?"

"Tidak aku tidak kenal dia!" bentak Tong Pay.

"Kalau benar aku bersekutu dengan Ang-hoa-hwee, aku pasti tidak akan membekuk dia." Wan-seng tertawa dingin.

"Kau memang sangat pintar dan mengatur setiap siasat secara licin sekali," katanya.

"Kalau tidak kebetulan mendengar perundingan rahasia antara kau dan penjahat-penjahat Ang-hoa-hwee, aku pun pasti akan kena dikelabui. Sekarang dengarlah keteranganku. Semua orang tahu, bahwa Tong Tayhiap memiliki ilmu Tiam-hiat yang sangat istimewa. Seseorang yang jalan darahnya ditotok olehmu tak akan bisa ditolong oleh orang lain. Tadi, dengan Tiam-hiat yang luar biasa, kau sudah menotok jalan darah penjahat Ang-hoa-hwee itu. Sekarang jawablah pertanyaanku: Mengapa, selagi semua lilin padam, jalan darah penjahat itu terbuka dengan tiba-tiba dan dia bisa melarikan diri? Mengapa? Jawab kau!"

Tong Pay tergugu. Sesaat kemudian, barulah ia bisa menjawab: "Itu... itu... mungkin dia ditolong orang lain."

"Jangan menyangkal kau!" bentak Wan-seng.

"Di dalam dunia, kecuali Tong Pay, Tong Tayhiap, tidak ada orang lain yang bisa menolongnya." Ouw Hui kagum bukan main. "Lidahnya sungguh tajam, biarpun Tong Pay mempunyai seratus mulut, dia tak akan bisa melawan," pikirnya.

"Jalan darah sasterawan itu terang-terang dibuka olehku. Tapi aku hanya membuka separuh, entah siapa yang membuka yang separuhnya lagi. Tapi orang itu pasti bukan Tong Pay."

Sementara itu, Wan-seng sudah berkata pula: "Hok Thayswee, Tong Pay dan penjahat-penjahat Ang-hoa-hwee sudah menentukan tipu daya yang sangat bagus. Pertama, sasterawan itu berlagak tertawan, supaya dia bisa ditempatkan di dekat Thayswee. Sesudah itu, rombongan penjahat yang lain memadamkan lilin, supaya, di dalam kekalutan, si sasterawan dapat membunuh kau. Tapi rejeki Thayswee sangat besar, sehingga bahaya itu berubah menjadi keselamatan. Semua Wie-su telah menunjukkan kesetiaannya dan begitu lekas lilin padam, mereka berkumpul di sekitar Thayswee untuk melindungi, sehingga kawanan penjahat tidak bisa mencapai maksudnya yang busuk."

"Bohong! Dusta besar!" teriak Tong Pay bagaikan kalap. Di depan mata Hok Kong An terbayang kejadian tadi dan tanpa merasa, ia berkata: "Sungguh berbahaya!" Sambil mengawasi Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw, ia berkata pula: "Kamu berjasa besar dan aku akan menaikkan pangkatmu."

Wan-seng tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu. "Ong Tayjin, Ciu Tayjin, bukankah tipu busuk kawanan penjahat begitu adanya?" tanyanya.

Karena pertanyaan itu adalah untuk kebaikan mereka, maka Ong Kiam Eng lantas saja menjawab: "Sasterawan bangsat itu memang coba menerjang Thayswee, tapi untung juga percobaannya telah digagalkan oleh kami."

"Di dalam kegelapan kami diserang oleh seorang yang berkepandaian sangat tinggi," menyambungi Ciu Tiat Ciauw.

"Kami terpaksa melawan mati-matian... kami tak pernah menduga, bahwa musuh itu Tong Pay adanya. Sungguh berbahaya!" Tong Pay merasa dadanya seperti mau meledak dan matanya berkunang-kunang. Otaknya yang cerdas tidak dapat bekerja lagi dan ia hanya berkata dengan suara terputus-putus: "Kau... kau... dusta! Tadi kau tidak berada di sini... bagaimana kau tahu?"

Wan-seng tidak meladeni. Sekarang ia mengawasi Hong Jin Eng, dari kepala sampai di kaki. Hong Jin Eng adalah ayahnya sendiri, tapi dia sudah mencelakakan ibunya, sehingga akhirnya sang ibu binasa menggantung diri. Ia pernah bersumpah, bahwa sesudah tiga kali memberi pertolongan, untuk menunaikan tugas seorang anak kepada ayah-andanya, ia akan mengambil jiwa Hong Jin Eng. Sekarang, sesudah memfitnah Tong Pay, ia sebenarnya bisa menyeret juga Hong Jin Eng. Akan tetapi, Sesudah mengawasi

sejenak, ia merasa tak tega dan bersangsi.

Tong Pay adalah seorang dorna besar yang sangat licin. Begitu melihat kesangsian Wan-seng, di dalam otaknya lantas saja berkelebat serupa ingatan dan ia menarik kesimpulan, bahwa fitnahan pendeta itu adalah "kerjaan" Hong Jin Eng.

"Hong Jin Eng!" teriaknya.

"Sekarang baru kutahu, ini semua kerjaanmu! Kau minta bantuanku supaya kau bisa merebut sebuah Giok-liong-pwee, tapi tidak dinyana, kau juga menyuruh anakmu memfitnah aku." Jin Eng terkejut. Dengan suara bergemetar ia menanya: "Anakku? Dia... anakku?"

"Kau tak usah berlagak pilon," kata Tong Pay seraya tertawa dingin.

"Lihatlah muka pendeta bangsat itu! Lihat mukanya! Ada apa bendanya dengan muka Gin-kouw?" Dengan mata membelalak, si orang she Hong menatap wajah Wan-seng. Segera juga ia mendapat kenyataan, bahwa ia seperti berhadapan dengan Gin Kouw dalam pakaian pendeta. Dulu, dengan membawa puterinya dari Hud-san-tin Gin Kouw lari ke Ouw-pak di mana ia bekerja di rumah Tong Pay sebagai pembantu rumah tangga. Tong Pay adalah seorang manusia busuk yang pandai berpura-pura - di luar dia kelihatan alim mulia, diam-diam dia sering melakukan perbuatan menyeleweng. Melihat Gin Kouw yang cantik, ia memaksa nyonya itu menyerahkan kehormatannya, sehingga dalam malu dan gusar, Gin Kouw menghabiskan jiwanya sendiri dengan menggantung diri. Secara kebetulan kejadian itu diketahui oleh seorang niekouw dari Go-bie-pay yang mempunyai kedudukan sangat tinggi. Ia menolong Wan-seng yang lalu dibawanya ke gunung Thian-san. Semenjak kecil Wan-seng telah dicukur rambutnya dan diajar ilmu silat. Tempat tinggal pendeta tersebut tidak berjauhan dengan tempat tinggal Thian-tie Koay-hiap Wan Su Siauw dan orang-orang gagah Ang-hoa-hwee. Wan-seng sangat berbakat dan cerdas otaknya. Di bawah pimpinan seorang guru yang berkepandaian tinggi, ia memperoleh kemajuan pesat. Di samping itu, ia juga sering datang kepada Wan Su Siauw dan minta diajari sejurus dua jurus. Dalam pergaulannya dengan jago-jago Ang-hoa-hwee, ia pun telah memperoleh pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang sangat berharga. Tan Kee Lok, Hok Ceng Tong dan yang lain-lain rata-rata telah memberikan ilmu-ilmu istimewa kepadanya, sehingga akhirnya ia dapat menggabung intisari daripada macam-macam ilmu silat berbagai partai dan menambal kekurangan tenaga dengan kecerdasan otaknya. Kalau bukan Iwee-kangnya masih cetek sebab usianya masih sangat muda, ia sudah boleh berendeng dengan ahli-ahli silat kelas satu pada jaman itu.

Tahun itu Wan-seng meminta permisi dari gurunya untuk pergi ke Tionggoan guna membalas sakit hati mendiang ibunya. Waktu mau berangkat, Lok Peng menyerahkan kuda putih kepadanya dengan permintaan supaya kuda jempolan itu diserahkan kepada Ouw Hui. Tapi Tio Poan San telah membuat sedikit kesalahan - ia memberi pujian terlalu tinggi kepada Ouw Hui, sehingga si nona merasa sangat penasaran dan mengambil keputusan untuk menjajal kepandaian pemuda itu. Di luar dugaan, begitu bertemu, mereka saling

tertarik satu sama lain dan belakangan di dalam hati mereka mulai bersemi perasaan cinta. Waktu tersadar, Wan-seng mendapat kenyataan, bahwa dirinya sudah terikat erat dengan tali asmara. Maka itu, dengan hati pedih, ia membatasi diri dan tidak berani terlalu sering bertemu muka dengan pemuda itu. Tapi diam-diam ia mengikuti dari belakang. Tak lama kemudian Ouw Hui bertemu dan bersahabat dengan Leng So. Hatinya sangat terluka, tapi sebagai seorang manusia yang berhati mulia dan mencintai Ouw Hui dengan setulus hati, ia bahkan merasa syukur, bahwa pemuda itu telah bertemu dengan nona Thia. Tapi tanpa diketahui orang, ia telah mengucurkan banyak air mata.

Dalam usahanya untuk membalas sakit hati, ia sebenarnya bisa membinasakan atau meracuni Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay. Tapi ia merasa, bahwa manusia itu yang selalu berpura-pura sebagai seorang mulia harus dilucuti topengnya di hadapan orang banyak. Jika ia bisa berbuat begitu, ia akan merasa lebih senang daripada membunuhnya secara diam-diam.

Kesempatan datang sendirinya. Hok Kong An ingin mengadakan Ciangbunjin Tayhwee dan telah mengirim surat undangan ke berbagai tempat. Wan-seng mengerti maksud-maksud pembesar itu. Ia tahu, bahwa pertama, Ciangbunjin Tayhwee ingin digunakan untuk mengumpulkan orang-orang gagah guna menghadapi Ang-hoa-hwee dan kedua, untuk memecah belah orang-orang Rimba Persilatan supaya tenaga untuk melawan pemerintah Boan-ciu menjadi hancur atau sedikitnya menjadi lebih lemah. Bagi Wan-seng, pertemuan Ciangbunjin itu merupakan kesempatan yang sangat baik untuk membuka topeng Tong Pay di hadapan segenap orang gagah.

Begitu tiba di Pakkhia, ia segera menyelidiki keadaan Tong Pay. Di Ouw-pak, dalam gedungnya sendiri, Tong Pay mempunyai banyak kaki tangan, sehingga tidaklah gampang untuk mengintip di gedung itu. Tapi di kota raja, dia hanya mengambil sebuah kamar di salah satu rumah penginapan kelas satu. Dengan menyamar sebagai seorang lelaki, Wan-seng bisa keluar masuk di rumah penginapan tersebut tanpa dicurigai oleh siapa pun jua. Dari pembicaraan-pembicaraan Tong Pay, ia mendapat tahu, bahwa manusia busuk itu ingin mengabdi kepada Hok Kong An untuk memanjat tangga kepangkatan dan kemewahan. Dengan cermat dan hati-hati, ia segera bekerja. Ia membuat surat palsu, menukar kopiah dan kejadian-kejadian selanjutnya adalah sedemikian kebetulan, sehingga sekarang, biarpun mempunyai seratus mulut, Tong Pay tak akan bisa membela diri dari tuduhan yang hebat itu. Sebenarnya, ia sudah menghitung untuk menyeret juga Hong Jin Eng. Akan tetapi, antara ayah dan anak memang terdapat semacam ikatan yang sukar diputuskan dengan begitu saja. Biarpun manusia she Hong itu sangat jahat dan dia belum pernah melimpahkan rasa cintanya terhadap si anak, tapi perkataannya yang sudah berada di bibir Wan-seng sukar diucapkan.

Keadaan Tong Pay pada saat itu adalah seperti seorang yang sedang kelelap di dalam sungai. Apa saja, biarpun selembar rumput, akan dijambretnya dan dicekalnya erat-erat. Demikianlah sambil menuding, dia segera berteriak: "Hong Jin Eng! Jawab pertanyaanku: Apa dia anakmu atau bukan?"

Hong Jin Eng mengangkat kepala dan lalu mengawasi Wan-seng dengan mata tidak berkedip.

"Hok Thayswee!" teriak pula Tong Pay.

"Bapak dan anak itu telah mengatur tipu untuk mencelakakan siauwjin."

"Perlu apa aku mencelakakana kau?" tanya si orang she Hong dengan gusar.

"Karena perbuatanku, sehingga isterimu binasa," jawabnya. Hong Jin Eng tertawa dingin.

"Huh-huh...!" ia mengeluarkan suara di hidung.

"Siapa kata perempuan itu isteriku? Begitu kudapat, aku melemparkannya lagi...." Tiba-tiba ia menggigil dan tidak dapat meneruskan perkataannya, karena kedua mata Wan-seng yang bersinar dingin dan tajam bagaikan pisau, menatap wajahnya.

"Baiklah," kata Tong Pay.

"Keadaan sudah jadi sedemikian rupa, sehingga aku pun tidak perlu melindungi kau lagi. Sekarang jawablah pertanyaanku: Siapa yang melepaskan Bu-eng Gin-ciam, kau atau aku? Jika kau mampu melepaskannya, cobalah! Timpuklah aku dengan jarum itu!"

Pembukaan rahasia itu disambut dengan suara ramai dari para hadirin. Baru sekarang mereka tahu, bahwa jarum aneh itu sebenarnya dilepaskan oleh Tong Pay.

Sesudah punggungnya kena jarum, Ouw Hui tahu, bahwa yang melepaskannya bukan Hong Jin Eng, karena waktu itu ia berhadapan dengan lawannya. Tapi ia sedikit pun tidak menduga Tong Pay, lantaran tadi si orang she Tong telah bertengkar dengan Hong Jin Eng. Yang diduga olehnya adalah Hay Lan Pit.

Latar belakang dari muslihat licik itu adalah begini: Waktu kabur dari Hud-san-tin dan lewat di Ouw-pak, Hong Jin Eng menginap beberapa malam di rumah Tong Pay. Secara kebetulan, ia mendengar pembicaraan antara dua orang pembantu rumah tangga yang berbincang-bincang mengenai keadaan di Hud-san-tin. Waktu Hong Jin Eng mendekati dan menanya ini itu, mereka memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Sebagai orang buronan, Hong Jin Eng selalu ketakutan dan berwaspada. Dengan menghadiahkan seorang lima puluh tahil perak, ia mendapat tahu peristiwa yang terjadi atas diri Gin Kouw. Tapi ia tidak menjadi gusar, karena Gin Kouw dianggapnya sebagai barang mainan belaka. Ia pun tidak menanyakan hal itu kepada Tong Pay.

Setibanya di Pakkhia, dengan mengeluarkan sejumlah besar uang, ia meminta bantuan Ciu Tiat Ciauw dan kawan-kawannya untuk mendamaikan sengketanya dengan Ouw Hui. Tapi pemuda itu ternyata laki-laki sejati yang tidak memandang segala harta dunia.

Ia ketakutan setengah mati. Ia mengerti, bahwa sebegitu lama Ouw Hui masih belum disingkirkan, ia tak akan bisa hidup tentram di dalam dunia. Ia segera berdamai dengan Tong Pay. Ia sengaja mengatakan, bahwa Ouw Hui pasti akan menghadiri Ciangbunjin Tayhwee untuk mengacau. Tapi Tong Pay tidak mudah dibujuk. Akhirnya ia menyebutkan persoalan Gin Kouw. Dengan kata-kata halus, ia memberi isyarat, bahwa jika Tong Pay tidak mau menolong, ia akan membuka rahasia. Tapi jika jago itu bisa membinasakan Ouw Hui, sesudah kembali di Hud-san-tin, setiap tahun ia akan memberi selaksa tahil perak kepadanya.

Dalam pergaulannya yang sangat luas, Tong Pay memerlukan banyak uang. Untuk mempertahankan "nama harumnya", ia tidak bisa bersepak terjang seperti Hong Jin Eng, misalnya membuka tempat judi, menguasai pelabuhan dan lain-lain. Mendengar janji itu, hatinya tergerak juga. Dengan didorong oleh kekhawatiran mengenai rahasianya sendiri, ia segera menyanggupi. Tong Pay berotak sangat lihay. Ia segera membuat alat rahasia untuk melepaskan jarum dan memasang alat tersebut di dalam sepatunya. Selagi berjalan tumit sepatunya tidak menyentuh tanah, sebab begitu lekas, tumit itu tertekan, jarum perak lantas saja keluar menyambar. Muslihat itu memperoleh hasil luar biasa, sehingga orang-orang seperti Ouw Hui dan Leng So masih kena dikelabui.

Tapi siapa yang menyebar angin akan mendapat taufan. Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa puteri Gin Kouw bakal muncul di dalam Ciang-bunjin Tayhwee. Dalam bingungnya, mendadak ia dapat meraba, bahwa Wan-seng adalah puteri Hong Jin Eng dan ia segera membuka rahasia. Dalam pembukaan rahasia itu, ia pun mempunyai perhitungan sendiri. Ia menganggap, bahwa kedosaan mencelakakan seorang wanita dan main gila dalam pertandingan Ciangbunjin Tayhwee, banyak lebih enteng daripada kedosaan bersekutu dengan Ang-hoa-hwee, sehingga ia bisa mengharap untuk terlolos dari hukuman mati.

Tapi Hong Jin Eng pun bukan manusia tolol. Begitu diserang, ia segera mengerti maksud lawannya. "Binatang! Kau sungguh manusia busuk," teriaknya. "Sesudah aku tahu rahasiamu, rahasia persekutuanmu dengan Ang-hoa-hwee, kau sudah berusaha untuk membeli aku dengan memberi bantuan dalam pertandingan. Tapi Hong Jin Eng bukan seorang pengkhianat. Mana bisa kau membeli... aduh...!" Tiba-tiba ia berteriak kesakitan dan roboh di lantai. Ternyata, dalam gusarnya, Tong Pay menjejak kedua tumit sepatunya dan empat batang jarum menyambar ke-empat jalan darah si orang she Hong.

Wan-seng melompat dan berseru: "Ayah...!" Sambil menangis Wan-seng mengangkat tubuh ayahnya dan meraba dadanya. Segera juga ia mendapat kenyataan, bahwa sang ayah sudah menghembuskan napasnya yang penghabisan.

Keadaan dalam ruangan itu lantas saja berubah kacau. Selagi orang berlomba-lomba bicara, Hok Kong An berpikir: "Tong Pay pasti mempunyai kawan dan niekouw itu pasti sudah tahu bunyinya surat, sehingga dia bisa membocorkan rahasia. Tak dapat aku membiarkan dia hidup terus." Memikir begitu, ia lantas saja berkata dengan suara perlahan kepada An Teetok: "Tutup semua pintu. Tak seorang pun boleh keluar." Ouw Hui yang bermata sangat awas segera mengetahui, bahwa keadaan sudah sangat berbahaya. Ia melompat mendekati Wan-seng dan berbisik: "Kita harus kabur selekasnya, kalau terlambat kita bisa celaka." Wan-seng mengangguk dan mereka lalu mendekati Leng So. Sekonyong-konyong tangan Wan-seng berkelebat dan jerijinya menotok jalan darah Coa Wie yang lantas saja terjungkal.

Ouw Hui terkejut dan mengawasi Wan-seng dengan sorot mata menanya: "Ouw Toako," kata Wan-seng. "Dialah yang telah membocorkan rahasia dan diam-diam mengantar pulang kedua anaknya Hok Kong An."

"Ah! Betul-betul kurang ajar!" kata Ouw Hui dengan gusar dan lalu mengirim tendangan hebat. Tubuh Coa Wie terpental dan meskipun tidak menjadi mati, dia terluka berat dan ilmu silatnya musnah. Dalam kekalutan, dihajarnya Coa Wie tidak diperhatikan orang. Tiba-tiba terdengar teriakan An Teetok: "Tuan-tuan! Duduklah! Jangan ribut!"

Sementara itu, Leng So sudah menghisap hunwee dan mengepul-ngepulkan asapnya. Ia pergi ke tengah ruangan, ke kiri dan kanan sambil mengepulkan asap.

Sekonyong-konyong terdengar teriakan seorang: "Aduh...! Aduh!" Ia berteriak sambil memegang perut. Teriakan itu disusul dengan teriakan seorang lain dan sesaat kemudian, ruangan itu seolah-olah digetarkan oleh teriakan-teriakan "perut sakit" dan semua orang memegang perutnya. Seraya memberi isyarat dengan lirikan mata, Leng So pun turut berteriak, diturut oleh Ouw Hui dan Wan-seng. Orang yang mengaku sebagai "Tok-chiu Yo-ong" juga tidak terluput dan sambil membungkuk karena menahan sakit, ia mengeluarkan seikat rumput dari sakunya dan lalu membakarnya. Ia mengerti, bahwa itu adalah akibat racun dan dengan rumput itu, ia berusaha untuk memunahkannya.

Melihat begitu, Leng So lantas berteriak: "Celaka! Tok-chiu Yo-ong melepaskan racun! Lihat! Dia melepaskan racun!"

"Lekas! Tahan dia! Dia mau meracuni Hok Thayswee," menyambungi Ouw Hui. Dalam bingungnya, para Wie-su tentu saja tak tahu dari mana datangnya racun. Tapi, karena Cio Ban Tin sudah dikenal sebagai si raja racun dan juga sebab dia sedang membakar rumput, maka mereka lantas saja percaya teriakan Ouw Hui. Di lain saat, puluhan senjata rahasia sudah menyambar ke arah Tok-chiu Yo-ong tetiron itu. Tapi Cio Ban Tin memang bukan sembarang orang. Dalam bahaya, ia tak jadi bingung. Sekali membungkuk, ia mengangkat sebuah meja yang lalu digunakan sebagai tameng, sehingga semua senjata rahasia menancap di papan meja. "Hei! Jangan kamu menuduh buta-tuli," teriaknya. "Ada orang menaruh racun di air teh dan arak."

Di antara para hadirin ada banyak juga yang merasa curiga terhadap Hok Kong An, kalau-kalau Ciangbunjin Tayhwee mau digunakan untuk membasmi orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Semenjak dahulu, banyak raja atau menteri besar coba membasmi para sasterawan atau orang-orang gagah, jika mereka tidak bisa mendapat bantuan kaum sasterawan atau orang gagah itu. Di Tiongkok terdapat sebuah pepatah yang mengatakan begini. "Dengan ilmu surat, seorang sasterawan dapat mengacaukan ketentraman dan dengan ilmu silat, seorang gagah bisa mengacaukan keamanan." Jika sasterawan atau orang gagah tidak bisa ditaklukkan, mereka bisa mengacau, sehingga oleh karenanya, mereka harus dibasmi. Demikianlah kecurigaan yang dikandung oleh

sebagian orang yang menghadiri Ciangbunjin Tayhwee itu.

Maka itulah, begitu mendengar teriakan Tok-chiu Yo-ong, bahwa, "ada orang menaruh racun di air teh dan arak", banyak orang jadi ketakutan. Mereka tentu saja tak tahu, bahwa Hok Kong An dan para Wie-su sendiri sedang sakit perutnya. Kekalutan makin menjadi-jadi.

"Lekas lari! Hok Thayswee mau meracuni kita!"

"Yang masih kepingin hidup lekas lari!"

"Mari!" Berbareng dengan teriakan-teriakan itu, semua orang mulai bergerak ke arah pintu. Sementara itu, Tong Pay dan Wan-seng sudah bertempur mati-matian. Yang satu coba meloloskan diri, yang lain bertekad untuk membalas sakit hati. Dalam pertempuran itu, Wan-seng berada di atas angin sebab, sesudah makan pel yang diberikan Leng So, ia terbebas dari sakit perut. Tapi biarpun bersenjatakan kebutan yang dapat menyedot jarum perak, ia masih merasa jeri terhadap Bu-eng Gin-ciam.

Maka itu, ia tidak berani terlalu mendesak dan menghantam dengan cambuknya dari sebelah kejauhan.

Sementara itu, dengan dilindungi oleh para Wie-su, Hok Kong An sudah masuk ke ruangan dalam dan segera mengeluarkan perintah untuk menutup semua pintu dan melarang keluarnya siapa pun jua. Kemudian ia memanggil tabib untuk mengobati perutnya.

Begitu melihat para Wie-su bergerak untuk menutup pintu, makin keras dugaan para hadirin, bahwa Hok Kong An menggenggam maksud tidak baik. Untuk menolong jiwa, sekarang mereka tidak memperdulikan lagi kedosaan "memberontak".

Dengan serentak mereka menerjang ke pintu. Dari ruangan pertandingan ke pintu luar terdapat tiga buah pintu. Di lain saat, di ruangan-ruangan itu sudah terjadi pertempuran hebat antara rombongan para Ciangbunjin dan kaki tangan Hok Kong An.

Dalam kekalutan, An Teetok buru-buru menghampiri kedelapan Ciangbunjin besar dan berkata: "Orang jahat sudah mengacau dan kuharap kalian tenang-tenang saja. Hok Thayswee sangat menghormati orang-orang pandai dan kalian jangan mempunyai kecurigaan apa pun jua."

"Kepala penjahat adalah Tong Pay dan kita harus lebih dulu membekuknya," kata Hay Lan Pit sambil mencabut kedua tongkatnya. Ia segera bertindak untuk bantu mengepung Tong Pay. Melihat Wan-seng belum juga bisa menjatuhkan musuhnya, Ouw Hui segera menghunus golok dan menerjang.

"Sambut jarumku!" teriak Tong Pay. Ouw Hui, Wan-seng dan Hay Lan Pit terkejut dan mereka melompat mundur. Dengan menggunakan kesempatan itu, tiba-tiba Tong Pay menjejak kedua kakinya dan badannya melesat ke luar dari jendela. Ouw Hui dan Wan-seng

mengejar, tapi mereka dipapaki dengan sejumlah jarum. Dengan berjumpalitan Ouw Hui menolong diri, sedang Wan-seng menyambut senjata rahasia itu dengan kebutannya. Karena kelambatan itu, Tong Pay keburu kabur.

Di lain saat terdengar suara teriakan kesakitan dan tiga orang Wie-su jatuh dari atas genteng. Mereka ternyata sudah dirobohkan oleh Tong Pay.

"Hei!" teriak Leng So. "Mengapa kamu tidak mengejar penjahat yang sudah membinasakan Hok Thayswee dengan racun?" Semua Wie-su terkesiap. Apa benar Hok Thayswee binasa? Selagi orang kaget, Leng So menarik tangan Wan-seng dan Ouw Hui seraya berbisik: "Hayolah!" Waktu mau melangkah pintu, Wan-seng menengok ke belakang dan untuk penghabisan kali, melihat wajah mendiang ayahnya. "Kau sudah mencelakakan ibu, tapi, biar bagaimanapun juga, kau adalah ayahku," katanya di dalam hati.

Di ambang pintu, mereka dicegat oleh tiga orang Wie-su. Wan-seng merobohkan satu antaranya dengan menggunakan cambuk, sedang Ouw Hui menghajar yang dua dengan tinju dan tendangan.

Ketika itu, langit sudah terang benderang dan bala bantuan dengan beruntun sudah tiba di luar gedung Hok Kong An. Dengan cepat Ouw Hui bertiga mencari jalan keluar dan kemudian kabur dengan melalui lorong-lorong kecil.  

"Apa yang sudah terjadi atas diri Ma Kouwnio?" tanya Ouw Hui.

"Si tua she Coa telah memerintahkan kaki tangannya untuk mengantarkan Ma Kouwnio dan kedua puteranya ke gedung Hok Kong An," menerangkan Wan-seng. "Hal itu secara kebetulan telah diketahui olehku dan aku lalu mencegat mereka. Tapi sungguh menyesal, aku hanya berhasil menolong Ma Kouwnio seorang."

"Di mana kau menyembunyikannya?" tanya pula Ouw Hui.

"Dalam sebuah kelenteng rusak, di luar pintu kota barat," jawabnya.

"Oleh karena itu, aku datang terlambat, sehingga bangsat she Tong itu bisa melarikan diri." Kata-kata yang paling belakang itu diucapkannya dengan suara mendongkol.

"Tapi untuk sementara, kau harus merasa puas," membujuk Ouw Hui.

"Penjahat itu sudah hancur namanya. Nona... sebagian dari sakit hatimu sudah dapat dibalas. Kita akan mencari dia dan kupercaya dia tak akan bisa terlolos." Wan-seng tidak mengatakan suatu apa, tapi di dalam hati ia sangat berduka, karena ia tidak dapat berkumpul dengan Ouw Hui lebih lama lagi.

"Sesudah terjadi peristiwa hebat di gedung Hok Kong An, pintu-pintu kota pasti akan segera ditutup," kata Leng So.

"Kita tidak boleh berayal." Ouw Hui dan Wan-seng membenarkan perkataan Leng So dan dengan cepat mereka bertiga menuju ke pintu kota Soan-bu-bun. Untung juga penjaga pintu belum menerima perintah, sehingga mereka bisa keluar dengan selamat. Mereka kembali ke rumah Ouw Hui, berkemas secepat mungkin dan bersiap untuk berangkat dengan membawa si putih, hadiah Lok Peng.

"Ouw Toako," kata Leng So sambil tertawa, "gedung ini, yang telah kau peroleh dengan berjudi, lebih baik dikembalikan saja kepada Ciu Tayjin." Ouw Hui turut tertawa. "Dia telah membantu banyak kepada kita dan adalah sepantasnya saja, jawab dia mendapat kembali gedung ini," katanya. Biarpun ia bicara sambil tertawa-tawa, tapi ia tidak berani berbentrok mata dengan Wan-seng.

Dengan Wan-seng sebagai penunjuk jalan, mereka menuju ke kelenteng rusak itu, yang terpisah jauh dari jalan raya. Patung malaikat yang dipuja dalam kelenteng itu bermuka hijau, dengan pinggang terlibat oyot pohon dan tangan menggenggam rumput yang ditempelkan pada mulutnya, seperti sedang mencicipi rumput itu. Malaikat itu ialah Sin Liong Sie, seorang leluhur ilmu ketabiban di Tiongkok.

"Thia Moay-moay," kata Wan-seng, "kau seperti pulang ke rumah sendiri. Kelenteng ini ialah kelenteng Yo-ong." Mereka segera pergi ke kamar samping, di mana Ma It Hong sedang rebah di atas rumput kering. Napasnya sudah lemah sekali, ia tidak mengenali Ouw Hui dan mulutnya mengacau: "Anakku... mana anakku!" Suaranya hampir tidak kedengaran.

Leng So memegang nadi si sakit dan membuka kelopak matanya. Sesudah itu, mereka keluar dari kamar tersebut. Nona Thia menggelengkan kepala dan berkata: "Tak bisa ditolong lagi. Pukulan-pukulan itu terlampau berat untuknya. Andaikata Suhu hidup kembali, ia pun tak akan bisa berbuat apa-apa."

Tanpa diberitahu, Ouw Hui pun tahu, bahwa keadaan Ma It Hong sudah tidak memberi harapan lagi. Di depan matanya kembali terbayang kejadian yang sudah lampau, kejadian di Siang-kee-po, dimana ia bertemu dengan It Hong untuk pertama kalinya. Ia berduka bukan main dan air matanya mengucur deras.

Sedari bertemu pula dengan Wan Cie Ie, yang sudah berubah menjadi pendeta, hatinya memang sudah sangat sedih, tapi sebisa-bisa ia menguatkan hatinya. Sekarang, begitu air matanya mengalir keluar, ia tak dapat menahannya lagi dan lantas saja ia menangis terisak-isak. Leng So dan Wan-seng adalah orang-orang yang sangat pintar dan mereka lantas saja dapat menebak sebab musabab dari kedukaan Ouw Hui.

"Aku ingin menengok lagi Ma Kouwnio," kata Leng So sambil berlalu. Sesudah nona Thia berlalu, dengan mata merah Wan-seng berkata: "Ouw Toako, terima kasih untuk... untuk...." Ia tak dapat meneruskan perkataannya.

Dengan air mata berlinang-linang, Ouw Hui mengangkat kepalanya seraya berkata dengan suara terputus-putus: "Apakah... apakah kau tidak bisa kembali ke dunia pergaulan umum? Sesudah membinasakan manusia she Tong itu dan membalas sakit hati ibumu, kau jangan jadi pendeta lagi."

Wan-seng menggelengkan kepala. "Janganlah kau mengeluarkan perkataan begitu," katanya. "Dahulu, aku telah bersumpah di hadapan Suhu untuk mengabdi kepada Sang Buddha. Kalau sekarang aku berubah pikiran, aku berdosa... apalagi... apalagi...." Ia menghela napas panjang-panjang dan menundukkan kepala.

Banyak sekali yang ingin diucapkan oleh kedua orang muda itu, tapi tak sepatah kata keluar dari mulut mereka. Untuk beberapa lama mereka membungkam. "Thia Kouwnio seorang baik," kata Wan-seng akhirnya, "kau harus memperlakukannya baik-baik. Mulai dari sekarang, kau jangan mengingat-ingat aku lagi dan aku pun tak akan ingat kau lagi."

Hati Ouw Hui pedih, bagaikan disayat pisau. "Tidak," katanya, "selama masih bernapas aku tak akan bisa melupakan kau... tak bisa melupakan kau."

"Guna apa?" kata Wan-seng. "Kau hanya akan lebih menderita." Sehabis berkata begitu, sambil menggigit bibir, ia memutar badan dan bertindak ke luar dari ruangan sembahyang.

"Kau mau ke mana?" tanya Ouw Hui dengan suara parau.

"Tak usah perdulikan aku," jawabnya.

"Mulai saat ini, kita harus kembali pada satu tahun berselang, di waktu kau belum mengenal aku dan aku pun belum mengenalmu." Ouw Hui berdiri bagaikan patung. Dengan mata membelalak, ia mengawasi bayangan Wan-seng yang berjalan terus tanpa menengok lagi. Entah berapa lama ia berdiri di situ. Tiba-tiba ia terkejut karena kupingnya menangkap suara tindakan kuda.

"Apakah dia kembali?" tanyanya di dalam hati. Tapi ia segera sadar, bahwa itu hanya harapan kosong, karena Wan-seng tidak menunggang kuda, apa pula, didengar dari suaranya, yang datang itu bukan hanya seekor kuda. Beberapa saat kemudian, ia melihat delapan-sembilan penunggang kuda muncul dari sebuah jalan kecil. Mendadak jantungnya berdebar keras, sebab orang yang terdepan, yang mukanya tampan dan berusia belum cukup empat puluh tahun, bukan lain dari pada Hok Kong An!

Darah Ouw Hui lantas saja meluap. "Manusia kejam itu mempunyai kekuasaan besar dan kedudukannya hanya setingkat lebih rendah dari pada Kian-liong sendiri," pikirnya.

"Dia menjadi kepala dalam penindasan terhadap bangsa Han dan perbuatannya terhadap Ma Kouwnio kejam luar biasa. Hm...! sungguh kebetulan aku bertemu dengan dia di tempat yang begini sepi. Biarpun dia dilindungi oleh tukang-tukang pukul kelas satu dan walaupun aku hanya dibantu oleh Jie-moay, aku mesti menurunkan keangkerannya." Berpikir begitu, sambil menolak pinggang ia segera menghadang di tengah jalan.

Melihat Ouw Hui, sembilan penunggang kuda itu dengan serentak menahan tunggangan mereka. Orang yang berparas tampan itu mengangkat kedua tangannya seraya berkata: "Tuan, selamat bertemu."

"Bagus sekali perbuatanmu!" bentak Ouw Hui.

"Apakah kau masih ingat akan Ma It Hong?" Paras Hok Kong An tampak bingung.

"Ma It Hong?" ia menegas. "Siapa dia?" Ouw Hui tertawa dingin.

"Huh-huh, bangsat kau!" cacinya.

"Dari Ma It Hong, kau sudah mendapat dua orang anak. Kau tak ingat? Kau memerintahkan tukang-tukang pukulmu membunuh Cie Ceng, suami Ma It Hong. Tak ingat? Bersama-sama ibumu, kau sudah meracuni Ma It Hong. Ini pun tak diingat lagi olehmu? Benar-benar kau penjahat besar yang pandai berpura-pura. Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Mungkin sekali tuan salah mengenali," katanya. Seorang toosu (imam) berlengan satu yang berada di sampingnya tiba-tiba tertawa bergelak-gelak dan berkata dengan suara nyaring: "Dia orang gila yang lagi datang gilanya!"

Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Ouw Hui melompat dan telapak tangan kirinya menghantam muka Hok Kong An. Pukulan tangan kiri itu hanya pukulan gertakan dan dengan berbareng, lima jari tangan kanannya, yang dipentang seperti kuku harimau, coba menyengkeram dada musuh. Ia mengerti, bahwa jika serangannya yang pertama gagal, para Wie-su tentu akan segera turun tangan. Maka itu pukulan tersebut -- Houw-jiauw Kin-na (Cengkeraman harimau) -- hebat luar biasa, cepat bagaikan kilat dan disertai dengan Iweekang yang sangat tinggi, sehingga, dalam perhitungannya, Hok Kong An tak akan bisa terlolos lagi.

"Ih!" Hok Kong An mengeluarkan seruan tertahan. Tanpa memperdulikan tinju kiri Ouw Hui, ia mementang telunjuk dan jari tengah tangan kanannya dan coba menotok jalan darah Hwee-cong-hiat dan Yang-yu-hiat di pergelangan tangan kanan Ouw Hui. Kecepatan gerakan itu belum pernah dialami Ouw Hui yang jadi sangat kaget, karena, pada detik itu, kedua jari tangan lawan hanya terpisah kira-kira dua dim dari pergelangan tangannya. Tapi dalam bahaya, ia tak menjadi bingung. Secepat kilat, ia mengubah gerakan tangannya dan coba menyengkeram kedua jeriji musuh dan kalau kena, jeriji itu pasti akan patah. Tapi di luar dugaan, Hok Kong An benar-benar berkepandaian tinggi. Sebaliknya daripada menarik pulang tangannya, ia mementang pula tiga jari tangannya yang lain, sehingga pukulannya yang tadi, pukulan menotok, berubah menjadi pukulan telapak tangan dan tanpa menggerakkan lengan, tenaga pukulan itu sudah menyambar ke luar.

Menurut kebiasaan, seseorang yang ingin mengirim pukulan telapak tangan, harus lebih dulu menarik mundur lengannya, kemudian barulah mendorongnya ke luar. Dengan cara demikian, tenaga pukulan baru bisa "dimuntahkan". Tapi sungguh heran, Hok Kong An dapat "memuntahkan" tenaganya tanpa mengubah kedudukan lengannya yang sudah diulur ke luar.

Bukan main kagetnya Ouw Hui. Ketika itu tubuhnya sedang berada di tengah udara dan ia tidak bisa meminjam tenaga.

Karena sudah kesusu, ia terpaksa menghantam dengan telapak tangan kirinya dan "plak!", dua tangan itu beradu. Ia merasa dadanya menyesak dan darahnya meluap ke atas. Tapi dengan meminjam bentrokan tenaga itu, badannya melesat dua tombak lebih dan selagi masih berada di tengah udara, ia menarik napas dalam-dalam, sehingga pada waktu kedua kakinya hinggap di tanah, jalan pernapasannya sudah tenteram kembali.

"Bagus!" delapan-sembilan orang itu memuji. Di lain pihak, sebagai akibat dari bentrokan tangan itu, tubuh Hok Kong An pun bergoyang sedikit, tapi sesaat kemudian, ia sudah bisa duduk lagi dengan tetap di atas tunggangannya. Pada paras mukanya kembali terlihat perasaan heran. Peristiwa barusan itu sudah terjadi dalam sekejap mata. Tapi dalam tempo sependek itu, kedua belah pihak sudah saling menjajal kepandaian dengan menggunakan beberapa macam pukulan yang tertinggi dan tersulit dalam dunia persilatan. Dan dari hasilnya, ternyatalah, bahwa Ouw Hui masih kalah setingkat.

Ouw Hui tak pernah mimpi, bahwa Hok Kong An memiliki ilmu silat yang sedemikian tinggi. Ia heran bercampur kagum, tapi kedua perasaan itu tidak dapat menghapus amarahnya.

"Anak tolol!" kata si imam yang berlengan satu.

"Apakah sekarang kau mengakui, bahwa kau sudah salah mengenali orang? Ayo, lekas berlutut untuk minta maaf!" Ouw Hui mengawasi lawannya. Tak bisa salah! Orang itu memang Hok Kong An. Muka orang itu penuh debu dan pakaiannya agak kotor, tapi muka itu, bukan saja muka Hok Kong An, tapi juga mempunyai sinar keangkeran seperti Hok Kong An. Muka bisa sama, tapi sinar muka tak bisa sama. Untuk sejenak, Ouw Hui berdiri bengong.

"Ah! Dengan membawa tukang-tukang pukul lain dan berlagak gila, bangsat Hok Kong An pasti sedang menjalankan siasat busuk," pikirnya.

"Aku tidak boleh terjebak." Begitulah, ia lantas saja berteriak: "Hok Kong An, kau memiliki kepandaian tinggi dan aku tidak bisa menandingi kau. Tapi kau terlalu jahat. Biarpun aku kalah, aku tidak bisa melepaskan kau dengan begitu saja."

"Saudara kecil," kata orang itu, "kau pun memiliki kepandaian tinggi. Aku bukan Hok Kong An. Bolehkah aku mengetahui she dan namamu yang mulia?"

"Jangan berlagak gila kau!" bentak Ouw Hui.

"Saudara, sikapmu pantas untuk menjadi seorang gagah dan aku merasa sangat takluk," menyelak salah seorang yang berdiri di dekat Hok Kong An. Ouw Hui melirik orang itu, yang bertubuh tinggi besar dan berusia kira-kira empat puluh tahun. Yang luar biasa adalah sinar kedua matanya yang tajam dan berkilat, sehingga dia pasti seorang yang berkepandaian tinggi.

"Tuan memiliki kepandaian tinggi, hanya sayang Tuan rela menjadi anjing bangsa Boan," kata Ouw Hui dengan suara menyesal.

Orang itu tersenyum seraya berkata: "Kau sungguh berani. Di wilayah kota Pakkhia kau sudah berani mengeluarkan perkataan itu. Apakah kau tak takut dihukum mati?"

"Sesudah terjadi apa yang terjadi hari ini, kalau kamu mau membunuh aku, cobalah," jawabnya. Ouw Hui sebenarnya bukan seorang sembrono. bahkan dapat dikatakan ia seorang yang berhati-hati. Tapi biar bagaimanapun jua, ia seorang muda yang masih berdarah panas. Sesudah menyaksikan penderitaan Ma It Hong, darahnya meluap dan otaknya yang dingin telah tertutup hawa amarahnya. Di samping itu, soal Wan-seng pun menambah sedih hatinya, sehingga ia tidak dapat berpikir lagi dengan tenang. Sambil menggenggam golok, ia mengawasi kesembilan orang itu dengan sorot mata gusar. Tiba-tiba toojin yang berlengan satu itu melompat turun dari tunggangannya dan tahu-tahu tangannya sudah mencekal sebatang pedang yang mengeluarkan sinar hijau. Sekali lagi Ouw Hui terkesiap, karena kecepatan. menghunus senjata itu belum pernah disaksikannya.

"Bagaimana Hok Kong An bisa mempunyai begitu banyak orang pandai?" tanyanya di dalam hati.

"Mengapa orang itu tidak muncul dalam Ciangbunjin Tayhwee?" Karena khawatir diserang secara membokong, ia mundur setindak dan memasang kuda-kuda.

"Jagalah!" seru si toojin sambil melompat. "Trang...! trang...! trang...!" Ia mengirim delapan serangan dengan beruntun. Dengan kecepatan yang luar biasa, gerakan serangan-serangan itu hampir tak bisa dilihat dengan mata. Tapi ilmu golok Ouw-kee To-hoat yang dimiliki Ouw Hui juga bukan ilmu golok sembarangan. Sambil mengempos semangat, ia menangkis dan berhasil mempunahkan delapan serangan lawan. Dalam bentrokan senjata yang ke sembilan kali, ia menggunakan seluruh Iweekangnya dan kedua senjata itu lantas saja saling menempel dengan keras.

"Bagus!" teriak delapan orang dari pihak lawan.

"Kiam-hoat yang indah dan To-hoat yang tidak kurang indahnya!"

"Tootiang, sudahlah!" kata Hok Kong An.

"Mari kita berangkat." Imam itu tidak berani membantah, dan segera menarik pedangnya sambil mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata heran. Setelah bertemu dengan tandingan setimpal, agaknya ia merasa berat untuk mundur dengan begitu saja.

"Anak muda, kau memiliki ilmu golok yang sangat tinggi," ia memuji.

"Toojin, kau pun mempunyai ilmu pedang yang sangat tinggi," balas Ouw Hui. Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula sambil tertawa dingin: "Hanya sayang, sungguh sayang!"

"Sayang apa!" bentak si toojin dengan mata mendelik.

"Apakah kiam-hoatku ada cacadnya?"

"Bukan, ilmu pedangnya, tapi manusianya," jawab Ouw Hui.

"Aku merasa sayang, bahwa seorang pentolan Rimba Persilatan rela menjadi budak bangsa Boan." Si imam mendongak dan tertawa terbahak-bahak.

"Anak muda, sedap sungguh cacianmu!" katanya dengan suara yang bernada girang.

"Anak muda. apakah kau berani bertanding lagi denganku?"

"Mengapa tidak?" jawab Ouw Hui.

"Baiklah, sebentar, tengah malam, aku akan tunggu kau di samping To-jian-teng," kata si imam.

"Kalau kau jeri, kau boleh tak usah datang."

"Seorang laki-laki tulen hanya takut terhadap seorang kuncu," kata Ouw Hui dengan suara nyaring.

"Dia tak nanti gentar terhadap kawanan budak!" Orang-orang itu mengacungkan jempol.

"Bagus!" kata mereka sambil mengeprak kuda dan cepat-cepat pergi. Selagi Ouw Hui bertempur dengan toojin itu. Leng So sudah keluar dari kelenteng. Melihat Hok Kong An, ia kaget dan heran.

"Toako, apa bisa jadi Hok Kong An datang kemari?" tanyanya.

"Apakah malam ini kau mau pergi ke To-jian-teng?" Ouw Hui mengerutkan alis.

"Mungkinkah dia bukan Hok Kong An?" katanya dengan suara perlahan.

"Kurasa tak mungkin. Tapi... tapi, ketika aku mencaci para Wie-su itu sebagai budak-budak bangsa Boan, mengapa sebaliknya dari bergusar. mereka memuji aku?"

"Tapi apakah Toako mau pergi juga ke To-jian-teng?" tanya pula si adik.

"Tentu," jawabnya. "Jie-moay, kau berdiam saja di sini untuk merawat Ma Kouwnio."

"Ma Kouwnio sudah tak usah dirawat lagi," Kata Leng So.

"Menurut penglihatanku, ia tak bisa bertahan sampai besok pagi. Sedang kau menghadapi lawan berat, bagaimana aku bisa tidak mengikut?"

"Tapi aku tidak setuju," kata sang kakak.

"Kau sudah menggagalkan Ciangbunjin Tayhwee dan sekarang mereka tentu sudah tahu siapa yang telah menggagalkannya. Jawab kau mengikut, apakah tidak terlalu berbahaya?"

"Aku tetap ingin mengikut sebab aku sangat khawatir jika Toako pergi sendirian," kata nona Thia. Melihat adiknya sudah tidak dapat dibujuk lagi, Ouw Hui mengangguk seraya berkata: "Baiklah." Waktu mereka masuk pula ke kamar samping untuk menengok Ma It Hong, nyonya itu sedang berteriak-teriak dengan suara lemah: "Anakku...! Mana anakku...? Hok Kongcu...! Hok Kongcu... sebelum mati, aku ingin bertemu muka lagi dengan kau...." Bukan main terharunya Ouw Hui.

"Inilah yang dinamakan cinta buta," katanya di dalam hati.

"Hok Kong An telah memperlakukannya secara begitu kejam, tapi sampai pada detik mau melepaskan napas pernghabisan, ia masih tak dapat melupakan manusia itu." Sesudah berdiri beberapa lama, sambil menghela napas mereka keluar dari kamar itu untuk mencari makanan. Tak jauh dari kelenteng itu terdapat sebuah rumah petani, di mana mereka bisa membeli nasi dan sayur yang sederhana. Sesudah makan kenyang, mereka kembali ke kelenteng Sin Long itu. Sesudah berdamai, mereka mengambil keputusan untuk berangkat sebelum tengah malam. Mereka merasa, bahwa dalam pertandingan kali ini, para Wie-su Hok Kong An pasti mengandung maksud jahat dan mungkin sekali mereka mengatur siasat busuk. Maka itu, mereka ingin tiba di To-jian-teng lebih siang untuk mengamat-amati persiapan pihak lawan.

To-jian-teng, atau Pendopo Bahagia, adalah sebuah biara pendeta wanita yang diberi nama Cu-pie-am (Biara Welas asih). Di sekitar biara itu tumbuh alang-alang yang setiap kali tertiup angin. menari-nari dan mengeluarkan suara gemerisik sedih di tengah malam yang sunyi itu. Tiba-tiba terdengar suara "a-a-a!", seekor burung gan dari utara terbang ke selatan.

"Burung itu terpisah dari rombongannya. dan meskipun tengah malam dia terbang juga untuk mencari kawan-kawannya," kata Leng So dengan suara perlahan. Mendadak, dari antara alang-alang terdengar suara manusia: "Tak salah, tak salah. Di dunia. alang-alang berombak-ombak karena tertiup angin. di angkasa, burung gan lebih enteng dari pada manusia. Kalian sungguh boleh

dipercaya dan siang-siang sudah datang untuk menepati janji."

Ouw Hui dan Leng So terkejut. Mereka datang lebih siang untuk mengamat-amati gerakan lawan, tapi sang lawan ternyata sudah datang terlebih dulu. "Didengar dari perkataannya, sekali membuka mulut menggubah sajak, dia kelihatannya bukan sembarang orang," kata Ouw Hui dalam hatinya. Sambil mundur setindak, ia lantas saja berkata: "Sesudah menerima tantangan, aku memang sengaja datang lebih siang."

Hampir berbareng dengan jawaban Ouw Hui, seorang lelaki yang bertubuh kate kurus muncul dan berkata: "Selamat bertemu. Aku mohon kalian suka menunggu karena saudara-saudaraku sedang bersembahyang."

Ouw Hui heran. Di kuburan siapa Hok Kong An bersembahyang? Mengapa dia datang di tengah malam buta? Tiba-tiba kupingnya menangkap suara seseorang yang berkata-kata dengan suara parau:

"Di dunia yang luas,

Nyanyian berakhir,

Rembulan somplak,

Dalam kota indah. (Kota indah = Kuburan)

Terdapat darah ksatria.

Batu giok bisa hancur,

Darah bisa kering,

Tapi roh nan harum hidup abadi.

Bukankah begitu? Bukankah begitu?

Akhirnya berubah menjadi kupu-kupu."

Waktu mengucapkan kata-kata yang terakhir, orang itu menangis segak-seguk dan di antara tangisnya itu, Ouw Hui juga mendengar hela napas atau tangisan perlahan dari belasan orang. Apa yang lebih mengherankan lagi, ia juga mendapat kenyataan, bahwa di antara orang-orang itu terdapat beberapa wanita.

Mendengar sajak itu, Ouw Hui turut merasa terharu. Ia tahu, bahwa orang-orang itu sedang bersembahyang di kuburan seorang wanita dan dengan disebutkannya "darah ksatria" (Pek-hiat), wanita itu tentulah juga sudah mati bukan secara wajar. Di tengah malam yang sunyi, sajak dan tangisan itu sangat menyayat hati.

Selang beberapa lama, suara tangisan mereda dan berhenti. Sesaat kemudian, Ouw Hui melihat munculnya belasan orang yang mendaki segundukan tanah tinggi.

"Tootiang!" seru si kate.

"Sahabat yang membuat janji dengan kau sudah tiba di sini."

"Bagus!" kata imam berlengan satu itu.

"Mari kita main-main tiga ratus jurus."

Seraya berkata begitu, ia berlari turun dari tanah tinggi itu dan begitu berhadapan dengan Ouw Hui, ia menyerang sambil melompat tinggi. Selagi tubuhnya berada di udara, ia menghunus pedang dengan kecepatan yang sukar dilukiskan. Melihat begitu, semangat Ouw Hui terbangun dan ia pun lalu melompat tinggi sambil mencabut golok. Sehingga sebelum kaki mereka hinggap dibumi. kedua senjata itu sudah kebentrok dua kali. Mereka menginjak tanah dengan berbareng dan suatu pertempuran yang sangat dahsyat lantas saja berlangsung. Begitu bergebrak, si imam lantas saja memperlihatkan kecepatannya - Ouw Hui menyerang satu kali, ia membalas dengan empat-lima kali serangan.

"Kau menggunakan kecepatan, apa kau kira aku tak mampu?" kata Ouw Hui di dalam hati dan ia segera mengeluarkan ilmu golok Ouw-kee Kway-to. Dengan cepat melawan cepat, gerakan mereka sukar dilihat nyata lagi dan orang hanya bisa mendengar suara "trang... trang... trang...." yang tak habis-habisnya. Sambil bertempur, si imam berteriak-teriak dengan gembira: "Sungguh menyenangkan! Sungguh menggembirakan!" Ouw Hui kaget bercampur kagum. Seumur hidupnya, belum pernah ia bertemu dengan lawan yang begitu lihay. Ia lantas saja mengeluarkan semua ilmu golok yang telah dipelajarinya. Diam-diam ia merasa heran bagaimana ia sekarang bisa bersilat begitu cepat, karena dalam latihan-latihan, belum pernah ia mampu berlatih dengan kecepatan itu.

Pada hakekatnya, ia sendiri belum dapat menyelami Ouw-kee To-hoat (Ilmu golok keluarga Ouw) sampai di dasarnya. Ilmu golok itu mempunyai banyak keluarbiasaan. Seorang lawan yang kepandaiannya biasa saja sudah dapat dijatuhkan dengan jurus-jurus yang biasa pula. Tapi sekarang, dalam menghadapi si imam yang luar biasa, keluarbiasaan Ouw-kee To-hoat lantas saja muncul dengan sendirinya.

Si imam sendiri juga tercengang dan kagum. Dalam menjelajah dunia Kang-ouw, entah sudah berapa kali ia berhadapan dengan lawan yang berat. Tapi belum pernah ia bertemu dengan lawan yang selihay Ouw Hui. Sambil mengempos semangat dan memusatkan seluruh perhatiannya, ia coba mencari kelemahan Ouw Hui. Tapi Ouw-kee To-hoat teguh dan kokoh, menyerang dan membela diri dengan berbareng dan setiap gerakan mengandung perubahan yang tidak diduga-duga. Sesudah bertempur beberapa lama, ia belum juga melihat kelemahan dalam ilmu golok itu.

Kalau diukur dalam Iweekang, tenaga dalam si imam sebenarnya banyak lebih tinggi daripada Ouw Hui, sehingga jika dalam pertandingan itu mereka mengadu tenaga dalam, siang-siang si imam sudah memperoleh kemenangan. Tapi sebab yang diadu adalah kecepatan dan Ouw Hui melayani dengan Ouw-kee To-hoat yang sangat luar biasa, maka jalan pertandingan lantas saja berimbang.

Bagian Kwa-to (ilmu golok yang mengutamakan kecepatan) dari Ouw-kee To-hoat digubah oleh Hui-thian Ho-lie (si Rase Terbang), seorang pendekar yang hidup pada akhir kerajaan Beng. Waktu ilmu tersebut turun kepada Ouw It To, ayah Ouw Hui, banyak perubahan yang aneh-aneh telah ditambahkan oleh Ouw It To. Dan dalam kepandaiannya. Apa yang masih kurang hanyalah Iweekang.

Baru saja kira-kira seminuman teh, kedua lawan itu sudah bertempur lima ratus jurus lebih. Dalam jangka waktu yang begitu pendek, selebar muka si imam sudah mengeluarkan keringat, sedang badan Ouw Hui pun sudah basah dengan keringat. Makin lama bertempur, rasa hormat menghormati di antara mereka jadi makin besar.

Selagi mereka bertempur dengan dahsyatnya. sekonyong-konyong terdengar siulan nyaring, disusul dengan suara beradunya senjata di tempat yang agak jauh. Sambil tertawa si imam melompat ke luar dari gelanggang dan berkata. "Tahan! Saudara kecil, ilmu golokmu sangat tinggi, tapi kita mesti berhenti dulu, karena musuh sudah datang."

Ouw Hui terkejut. Di lain saat, ia melihat bergeraknya bayangan-bayangan manusia di sebelah timur laut dan tenggara. Enam-tujuh orang kelihatan mendatangi sambil berlari-lari dan mereka semua memegang senjata, karena di antara kegelapan terlihat kilat golok. Hampir berbareng, di sebelah belakang juga terdengar bentakan-bentakan. Ouw Hui memutar badan dan melihat, bahwa dari sebelah barat laut dan barat daya juga sedang mendatangi sejumlah orang. Dihitung sepintas lalu, jumlah mereka paling sedikit ada dua puluh orang.

"Cit-tee, mundur kau!" seru si imam lengan satu.

"Biar Jie-ko saja yang melayani mereka." Orang yang dipanggil "Cit-tee" adalah si kate kurus yang tadi bersembunyi di alang-alang dan paling dulu menemui Ouw Hui. Ia bersenjata golok dan tongkat besi dan sudah bergerak untuk mencegat musuh yang datang dari jurusan barat laut. mendengar teriakan si imam, ia segera menjawab: "Baiklah!" Sehabis berkata begitu, ia mendaki gundukan tanah tinggi sambil berlari-lari dan kemudian berdiri berendeng dengan kawan-kawannya.

Di bawah sinar rembulan. Ouw Hui melihat legas, bahwa Hok Kong An berdiri di atas tanah tinggi itu dengan dikitari oleh belasan orang, antaranya terdapat tiga-empat wanita. Ia girang dan berkata dalam hatinya: "Orang gagah dari mana yang datang untuk menghajar Hok Kong An? Dilihat dari ilmu ringan badan mereka, mereka pasti memiliki ilmu silat yang tinggi. Biarlah aku membantu mereka untuk membekuk penjahat kejam itu." Tapi di lain saat, ia mendapat pikiran lain: "Aku tak nyana Hok Kong An memiliki kepandaian begitu tinggi dan kaki tangannya pun jago-jago pilihan. Dilihat dari sikap mereka yang tenang-tenang saja, apakah tak bisa jadi mereka sudah mengatur jebakan?"

Selagi ia bersangsi, orang-orang itu yang menyerbu dari empat penjuru, sudah datang dekat. Begitu melihat tegas, ia kaget bukan main, karena di antara dua puluh lebih orang itu, sebagian mengenakan jubah merah dari pendeta Lhama dan yang lainnya memakai seragam pengawal dari keraton kaisar Boan. "Jie-moay," bisiknya, "Benar-benar kita masuk ke dalam jaring. Apa kita akan bisa menerjang ke luar?"

Sebelum si adik keburu menjawab, seorang Sie-wi yang bertubuh tinggi besar dan berkumis hitam sudah melompat dan membentak: "Apa kau Bu-tim Toojin? Sudah lama kudengar, bahwa ilmu pedangmu yang diberi nama Tui-hui Tok-beng Kiam-hoat (ilmu pedang mengejar roh dan membetot nyawa) tiada tandingannya di dalam dunia. Malam ini kita bertemu dan aku ingin belajar kenal dengan ilmu pedang yang tersohor itu."

"Kau sungguh bernyali besar," kata si imam sambil tertawa dingin.

"Sesudah mengenal aku, kau masih berani menantang. Siapa kau?" Mendengar disebutkannya nama "Bu-tim To-jin," Ouw Hui terkejut dan tanpa merasa ia berseru: Apa Bu-tim Tootiang?"

"Benar!" jawabnya sambil tersenyum. "Tio Sam-ice telah memuji kau sebagai seorang gagah dan benar saja pujian itu bukan pujian kosong." Ouw Hui heran tak kepalang. Dengan mata membelalak, ia berkata: "Tapi... tapi... itu.... Hok Kong An.... Di mana adanya Tio Samko?" Selagi Ouw Hui terheran-heran, Sie-wie itu menjawab pertanyaan Bu-tim.

"Namaku Teh-pu."

"Aha! Kalau begitu kau Teh-pu," kata Bu-tim.

"Di Hweekiang aku pernah mendengar cerita orang. bahwa kaisar telah mendapat seekor anjing yang kukunya tajam, bahwa anjing itu bernama Teh-pu, bahwa dia dikatakan sebagai "Jago Boan nomor satu" dan bahwa dia menjadi kepala dari pasukan Sie-wie yang bersenjata golok. Kalau begitu kau yang dinamakan Teh-pu?"

"Benar!" bentak Teh-pu dengan gusar.

"Kau sungguh bernyali besar. Sesudah mengenal aku. Kau masih berani main gila di daerah kota raja...." Ia tak dapat meneruskan perkataannya, karena Bu-tim sudah menikam. Sambil mengerahkan Iweekang. ia mengangkat pedangnya dan "Trang!" kedua senjata kebentrok keras.

"Bagus!" memuji si imam sambil mencecar lawannya dengan serangan-serangan kilat yang dikirim saling susul. Gerakan Teh-pu tidak secepat Bu-tim, tapi dia dapat membela diri dengan bagus sekali dan tempo-tempo mengirim serangan membalas yang sangat hebat.

Sementara itu. Ouw Hui mengawasi si imam dengan rasa kagum. Ia ingat, bahwa dahulu Tio Poan San pernah memuji tinggi sekali ilmu pedang Bu-tim Toojin yang dikatakan tiada tandingannya dalam dunia ini. Ia tak nyana, bahwa malam ini ia sudah bisa melayani imam itu lebih dari lima ratus jurus. Ia jadi girang dan berkata dalam hatinya: Baik juga tadi aku belum tahu, bahwa ia adalah Bu-tim Tootiang. Kalau aku tahu, mungkin sekali aku jadi keder dan tak mampu melayaninya begitu lama."

Selagi Ouw Hui menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian, dua Sie-wie mendekatinya dan membentak: "Lemparkan senjatamu!"

"Apa?" menegas Ouw Hui.

"Kau berani melawan?" bentak salah seorang.

"Kalau aku melawan, mau apa kau?" Ouw Hui balas membentak.

"Bangsat!" teriak Sie-wie itu yang lantas saja membacok dengan goloknya. Ouw Hui berkelit dan balas membacok. Sie-wie yang satunya lagi, yang mencekal martil besar, tiba-tiba menyerang dari samping, sehingga golok Ouw Hui beradu dengan martil itu. "Trang!" golok terlepas dan terpental ke tengah udara. Ternyata Sie-wie itu bertenaga sangat besar dan menggunakan senjata berat. Dilain pihak, sesudah bertempur mati-matian melawan Bu-tim, tenaga Ouw Hui sudah berkurang banyak dan oleh sebab itu, ia tak dapat bertahan terhadap pukulan Sie-wie itu.

Tapi meskipun senjatanya terlepas, pemuda itu bersikap tenang-tenang saja. Sekali mengegos, ia menyelamatkan diri dari hajaran martil dan dengan berbareng, ia menyikut pinggang lawannya. "Aduh!" teriak Sie-wie itu, martilnya hampir-hampir terlepas.

Dua Sie-wie lain lantas saja menerjang, yang satu bersenjata cambuk, yang satunya lagi memegang tombak pendek.

"Toako, mari kubantu!" seru Leng So seraya menghunus golok Liu-yap-to.

"Tak usah," kata sang kakak.

"Jie-moay, kau lihatlah cara bagaimana kakakmu melayani mereka dengan Kong-chiu Jip-pek-to" (dengan tangan kosong masuk ke dalam rimba golok)." Mendengar penolakan itu, si nona lantas saja membatalkan niatnya. Ia mendapat kenyataan. bahwa meskipun dikepung oleh empat musuh, sang kakak tetap bersikap adem dan setiap serangan dapat dielakkannya dengan mudah sekali.

Ouw Hui melayani keempat lawannya dengan menggunakan ilmu Su-siang Po-hoat (Tindakan empat penjuru) yang telah dipelajarinya di waktu masih kecil. Dengan maju mundur setengah tindak.. ia mengegos bacokan tikaman sabetan empat jago keraton itu. Senjata-senjata menyambar-nyambar dari berbagai jurusan bagaikan kilat cepatnya. Tapi dengan menggunakan ilmu luar biasa itu, semua senjata lewat di pinggir badannya dalam jarak hanva satu dua dim dan ia sendiri bersikap acuh tak acuh. Dalam gebrakan-gebrakan pertama. Leng So masih sangat berkhawatir. Tapi makin ia memperhatikan jalan pertempuran, hatinya jadi makin lega.

Keempat Sie-wie itu bukan sembarang orang Mereka adalah orang-orang Boan dan sebelum bekerja di keraton kaisar, dalam dunia Kang-ouw. mereka dikenal sebagai "Liao-tong Sukiat" (Empat jago Liao-tong). Dalam Rimba Persilatan, mereka boleh dikatakan sudah masuk dalam kalangan ahli silat kelas satu.

Dalam melayani lawannya dengan Su-siang Po hoat. setiap kali mendapat kesempatan, Ouw Hui mengirim serangan-serangan membalas. Tapi pukulan-pukulannya tidak bisa keluar menurut keinginannya. Sesudah memikir sejenak, ia mengerti sebab musababnya. Ia tahu, bahwa setelah menghabiskan tenaga dalam pertempuran melawan Bu-tim, Iweekangnya belum pulih, sehingga pukulan-pukulannya tidak bisa mengeluarkan hasil yang memuaskan. Maka itu, ia lantas saja mengubah siasat. Ia sekarang hanya membela diri, tanpa menyerang, dan sambii mengegos ke sana sini, ia mengatur jalan pernapasannya.

Di lain pihak, Sesudah mencecar lawannya dengan puluhan serangan hebat, Bu-tim belum juga mendapat hasil, sehingga ia jadi jengkel dan berkata dalam hatinya "Apakah sesudah sepuluh tahun tidak datang di Tionggoan, kepandaianku sudah banyak mundur? Apakah aku sudah terlalu tua dan tidak berguna lagi?" Ia tak tahu, bahwa sedang ia merasa tidak sabaran, lawannya lagi kebingungan, sebab hampir tidak dapat mempertahankan diri lagi dari serangan yang menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin. Dalam kalangan pemerintahan Boan, Teh-pu mempunyai nama besar dan kedudukan tinggi. Ia mempunyai baju Ma-kwa kuning hadiah kaisar, ia berkedudukan sebagai Cong-koan, atau pemimpin, dari delapan belas jago utama istana kaisar dan ia pun dikenal sebagai orang gagah bangsa Boan yang nomor satu. Kalau ia sampai dijatuhkan oleh si imam, di mana ia mau menaruh muka? Memikir begitu, jantungnya berdebar keras dan keringat dingin mengucur dari dahinya.

Makin lama Bu-tim jadi makin jengkel. Ia melihat, bahwa dengan bertangan kosong Ouw Hui dapat meladeni empat lawannya, tapi ia sendiri masih belum memperoleh kemenangan dalam pertandingan satu lawan satu. Ia adalah seorang yang beradat tak mau kalah terhadap siapa pun juga.

Makin tua adat itu makin menjadi-jadi. Dalam jengkelnya, sambil menggigit gigi ia mengempos semangat dan memutar pedangnya bagaikan kitiran, sehingga bagian-bagian tubuhnya yang lemah tertutup dengan sinar pedang yang kadang-kadang menyambar ke arah lawan dengan dahsyatnya.

Pakaian Teh-pu sudah basah dengan keringat. Berulang kali ia niat berteriak "serbu ramai-ramai", tapi ia selalu mengurungkan niat itu karena merasa malu. Sebisa-bisanya ia coba mempertahankan diri untuk menunggu lelahnya Bu-tim. Ia menganggap, bahwa sebagai seorang yang sudah lanjut usianya, imam itu tentu kalah ulet dari dia sendiri.

Para Sie-wie menyaksikan pertempuran itu dengan mata membelalak. Sinar pedang berkelebat-kelebat sedemikian cepatnya, sehingga mereka tak tahu lagi, siapa yang menyerang dan siapa yang membela diri. Orang-orang yang berkumpul di atas tanah tinggi juga menonton tanpa mengeluarkan sepatah kata. Dengan girang mereka mendapat kenyalaan, bahwa Bu-tim sudah berada di atas angin. Mereka merasa kagum akan orang tua itu yang sampai sekarang masih tetap gagah seperti di waktu muda.

Tiba-tiba Bu-tim berteriak "Kena!" Secepat kilat, pedangnya menikam dada Teh pu Tapi... "Tak!" pedang itu patah dua. Ternyata, di dada Teh-pu dipasang lembaran baja tipis, sehingga biarpun tertikam, bukan saja ia sendiri tidak terluka, malah senjata lawan yang menjadi rusak. Bu-tim terkesiap. Pada detik itu, Teh-pu menikam dan ujung pedang mengenai tepat di pundak Bu-tim.

Orang-orang yang berkumpul di tanah tinggi kaget bukan main, dua antaranya segera berlari-lari untuk memberi pertolongan.

"Hidung kerbau! Sambut tempulingku!" bentak Bu-tim sambil menimpuk dengan potongan pedang yang mampir jitu di tenggorokan Teh-pu. Sambil berteriak keras, jago bangsa Boan itu roboh terguling.

Bu-tim tertawa terbahak-bahak. "Apa kau yang menang atau aku yang menang?" serunya.

"Kau yang menang," jawabnya dengan suara perlahan.

"Kau sudah bisa melayani aku begitu lama dan juga sudah dapat melukai pundakku," kata Bu-tim seraya tertawa.

"Itulah bukannya gampang. Baiklah. Dengan mengingat tikamanmu yang berhasil, aku mengampuni jiwamu!" Dua orang Sie-wie menghampiri dan mengangkat pemimpin mereka.

Bu-tim merasa girang sekali. Meskipun lukanya tidak enteng, ia tidak memperdulikan dan lalu mendaki tanah tinggi dengan tindakan pelahan. Beberapa orang lantas saja membuka bajunya dan membalut lukanya.

Sementara itu, sesudah menjalankan pernapasannya beberapa saat, tenaga Ouw Hui sudah pulih kembali. Sehabis menyedot napas dalam-dalam, tiba-tiba ia balas menyerang dengan dahsyatnya. Dalam sekejap, empat macam senjata golok, martil pecut dan tombak - terbang ke tengah udara, diiringi dengan teriakan-teriakan kesakitan. Di lain saat dua orang Sie-wie sudah roboh tertendang, yang ketiga pingsan karena kena tinju, sedang yang keempat muntah darah akibat pukulan telapak tangan.

Orang-orang yang berkumpul di tanah tinggi bersorak sorai. "Ouw Hui kecil!" teriak Bu-tim. "Kau sungguh lihay!"

Belum habis orang bersorak sorai, lima orang Sie-wie sudah menghampiri Ouw Hui. "Marilah! Tangan kosong melawan tangan kosong," kata salah seorang.

"Baiklah," kata Ouw Hui. Baru saja perkataan "baiklah" keluar dari mulutnya, mendadak kedua kakinya dipeluk, sedang seorang lain, yang menubruk dari belakang, memeluk lehernya. Hampir berbareng, orang ketiga memeluk pinggang dan dua orang menarik kedua tangannya.

Dalam usaha untuk menangkap orang, Teh-pu membawa "delapan belas jago utama dari istana kaisar". Kedelapan belas jago itu terdiri dari empat orang Boan, lima orang Mongol dan sembilan pendeta Lhama dari Tibet. Sesudah mendapat pelajaran pahit dari Ang-hoa-hwee, Kaisar Kian-liong tidak percaya lagi orang Han dan sebagai pengawal pribadinya, ia belakangan hanya menggunakan orang-orang Boan, Mongol dan Tibet. Yang sekarang menyerang Ouw Hui adalah kelima Sie-wie Mongol yang sangat pandai dalam ilmu gulat.

Ketika baru dipeluk, Ouw Hui kaget, tapi ia lantas saja merasa girang, karena ilmu Kin-na Chiu-hoat (ilmu menangkap dan membanting, semacam Yudo merupakan salah satu andalan dalam ilmu silat keluarga Ouw. Dengan cepat ia melenggakkan kepala dan badannya ke belakang, seperti orang mau jatuh, dan berbareng, sambil mengerahkan Iweekang, ia membetot dan merangkap kedua tangannya. Dibetot begitu, kedua Sie-wie yang menarik tangan Ouw Hui lantas saja terhuyung dan kepala mereka terbentur keras satu sama lain, sehingga tanpa ampun lagi, mereka roboh dalam keadaan pingsan.

Begitu lekas kedua tangannya terbebas, Ouw Hui mencengkeram tangan musuh yang memeluk batang lehernya. "Krekkk!" tulang pergelangan tangan orang itu telah menjadi patah. Sesudah itu, bagaikan kilat ia mematahkan tulang lengan dari Sie-wie yang memeluk pinggangnya.

Kelima jago gulat itu sangat terkenal namanya dan di seluruh Tiongkok mereka jarang menemui tandingan. Menurut peraturan gulat, orang hanya boleh membanting dan menindih musuh, tapi tidak boleh mematahkan tulang. Maka itu, kedua orang yang tulangnya patah merasa sangat gusar dan berteriak: "Bangsat! Kau melanggar peraturan." Ouw Hui tertawa.

"Melanggar peraturan?" ia menegas.

"Dalam perkelahian, mana orang memperlihatkan peraturan lagi? Kamu berlima membokong dan mengerubuti aku. Apa itu tidak melanggar peraturan?" Dijawab begitu, kedua Sie wie itu tidak bisa bicara lagi.

Sementara itu, Sie-wie yang memeluk masih terus berusaha untuk menggulingkan pemuda itu. "Mau lepas tidak?" bentak Ouw Hui.

"Tidak," jawabnya. Melihat kebandelannya, Ouw Hui segera menotok jalan darah toa-tui-hiat di punggung orang itu, yang badannya lantas saja tidak bisa beikutik lagi. Sesudah itu, ia mengangkat tubuh pecundangnya dan sambil mengerahkan Iweekang, ia melontarkannya. Tubuh orang itu "terbang" beberapa tombak jauhnya dan "byur!" dia jatuh di sebuah kobakan yang penuh alang-alang. Dengan kepala pusing dan badan penuh lumpur, dia berteriak-teriak mencaci Ouw Hui.

Kemenangan Ouw Hui yang didapat dalam tempo sangat pendek dan ditutup dengan peristiwa menggelikan itu, sudah mengakibatkan gelak tertawa dari orang-orang yang berkumpul di atas tanah tinggi.

Tiba-tiba, sebelum suara tertawa mereda, di tengah udara berkelebat-kelebat sinar merah dan sembilan pendeta Lhama yang mengenakan jubah merah sudah mengurung Ouw Hui.

Mereka memegang macam-macam senjata, golok, tongkat dan lain-lain, beberapa antaranya senjata aneh. Mereka tidak mengeluarkan sepatah kata, tapi dilihat dari gerakan dan cara berdirinya, Ouw Hui tahu, bahwa ia sedang dikurung oleh semacam tin (barisan).

Karena tidak bersenjata, Ouw Hui merasa bingung juga. Dalam otaknya lantas saja berkelebat niat untuk meminta senjata dari Leng So, tapi sebelum ia membuka mulut, salah seorang yang berdiri di tanah tinggi sudah melontarkan sebilah golok sambil berteriak: "Saudara kecil, sambutlah!"

Golok itu terbang dengan mengeluarkan suara nyaring - suatu tanda, bahwa orang yang melemparkannya memiliki Iweekang yang sangat tinggi. Ouw Hui kagum dan berkata dalam hatinya: "Sahabat-sahabat Tio Samko sungguh-sungguh lihay. Melemparkan golok seperti itu tak akan dapat dilakukan olehku."

Dua Lhama yang berdiri paling depan tidak berani menyambut golok itu dengan senjata mereka dan dengan berbareng, mereka melompat ke samping.

Pada detik itu, mendadak saja Ouw Hui mendapat satu ingatan "Aku tidak tahu cara memecahkan barisan ini yang mungkin lihay sekali. Inilah kesempatan baik. Biarlah aku mengacau barisan mereka." Sesaat itu, golok sudah tiba di hadapannya. Dengan cepat ia mengerahkan Iweekang dan mementil gagang golok itu, yang lantas saja terpental ke atas. Kesembilan pendeta Lhama itu merasa sangat heran dan tanpa merasa, mereka mendongak dan mengawasi golok tersebut yang meluncur ke atas dengan kecepatan kilat.

Itulah saat yang ditunggu Ouw Hui! Sekali melompat ia sudah berhasil merebut sebilah golok dan dengan ilmu Ouw-kee Kway-to, dalam kecepatan yang sukar dilukiskan ia membacok dan membabat. Dalam sekejap mata, sembilan musuh itu sudah terluka semua ada yang terbacok dadanya, ada yang putus lengannya, putus kakinya dan sebagainya. Mereka sebenarnya ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi, tapi karena lengah, mereka kena dirobohkan secara begitu mengecewakan. Bagi Ouw Hui, itulah kemenangan gilang-gemilang!

Tepat, sesudah semua musuhnya roboh, golok yang tadi terbang ke atas sudah turun kembali. Ouw Hui segera melemparkan golok si pendeta Lhama dan lalu menyambuti senjata yang turun dari atas itu. Golok itu ternyata sangat berat, banyak lebih berat daripada senjata biasa. Dengan bantuan sinar rembulan, ia dapat membaca tiga huruf yang terukir di gagang golok: "Pun-lui-chiu." (Si tangan geledek). Kegirangan Ouw Hui meluap-luap. "Terima kasih atas bantuan Bun Sie-ya!" teriaknya.

Sekonyong-konyong, hampir berbareng dengan teriakan itu, di belakangnya terdengar bentakan seorang tua: "Sambutlah pedangku!" Dari sambaran angin, ia tahu bahwa si penyerang lihay luar biasa. Tanpa memutar badan, ia mengibaskan golok ke belakang, tapi ia menangkis angin, karena pedang sudah ditarik pulang. Di lain saat, pedang tersebut kembali menikam dan Ouw Hui menangkis pula, tapi untuk kedua kalinya, ia menangkis tempat kosong.

Ia berusaha untuk memutar badan supaya bisa berhadapan dengan pembokong itu tapi tak berhasil karena terus dicecar dengan tikaman-tikaman kilat.

Ouw Hui terkesiap. Dengan menjejak tanah, ia melompat setombak lebih dan selagi kaki kirinya hinggap di tanah, ia coba memutar badan. Tapi penyerang itu terus mengikuti seperti bayangan dan sebelum ia sempat mewujudkan niatnya, punggungnya sudah ditikam lima kali beruntun dan lima kali pula goloknya menangkis angin.

Tapi Ouw Hui adalah seorang yang bisa berpikir dengan cepat sekali. Dalam menghadapi bahaya, ia bisa bertindak dengan mengimbangi selatan. Demikianlah, ketika pedang menyambar lagi, ia tidak coba menangkis, tapi melompat ke depan dan menggulingkan badan di tanah. Begitu lekas ia telentang menghadapi langit, goloknya menyambar dan menangkis tikaman lawan.

"Bagus!" memuji sang lawan yang segera merangsek dan menepuk dada Ouw Hui dengan telapak tangan. Ouw Hui menangkis dengan tangan kirinya dan begitu kedua tangan kebentrok, ia merasakan benturan tenaga lunak, tapi dalam kelunakan itu mengandung "isi" yang sangat hebat. Tiba-tiba saja ia ingat suatu kejadian dan ia berteriak: "Kalau begitu kau!"

"Kalau begitu kau!" sang lawan berteriak dengan berbareng. Ternyata pada waktu beradu tangan, kedua belah pihak mengetahui, bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah menolong Sim Hie dalam gedung Hok Kong An. Sehabis berteriak, dengan berbareng mereka melompat mundur. Dengan mata membelalak Ouw Hui mengawasi orang tua itu yang jenggotnya putih, mukanya aneh dan memegang pedang panjang, karena ia bukan lain daripada Bu-ceng-cu, Ciangbunjin Bu-tong-pay. Ia bingung sebab tak tahu, apakah si kakek seorang kawan atau lawan.

Bu-tim Toojin tertawa. "Saudara Hui Ceng," katanya, "Bagaimana pendapatmu? Bukankab ilmu silat saudara kecil itu sangat lihay?"

Si kakek turut tertawa dan menjawab: "Dalam dunia yang lebar ini, hanya beberapa orang saja yang bisa melayani Bu-tim Toojin dalam lima ratus jurus. Pengetahuanku sungguh cetek, tak tahu, bahwa dalam Rimba Persilatan muncul seorang pemuda yang begitu gagah." Sehabis berkata begitu ia memasukkan pedangnya ke dalam sarung dan menarik tangan Ouw Hui dengan ramah tamah. Sikap dan gerak-geriknya berbeda jauh dengan apa yang diperlihatkannya dalam Ciangbunjin Tayhwee. Ia sekarang angker dan gagah, tidak seperti di dalam gedung Hok Kong An, di mana ia membawa lagak seperti manusia penyakitan.

"Saudara kecil," kata Bu-tim, "Pada sebelum menjadi imam, si hidung kerbau ini bernama Liok Hui Ceng, yang bergelar Bian-lie-ciam (Jarum di dalam kapas). Kau panggil saja 'Liok Toako' kepadanya."

Ouw Hui terkejut. Sudah lama ia mendengar nama "Bian-lie-ciam Liok Hui Ceng," yang pada beberapa puluh tahun berselang, sudah menggetarkan Rimba Persilatan. Dengan tersipu-sipu, ia menekuk kedua lututnya seraya berkata: "Boanpwee Ouw Hui memberi hormat kepada Tootiang."

"Menurut tingkat, kau memang seorang boanpwee (seorang yang tingkalannya lebih rendah)," Mendadak terdengar suara seorang di belakangnya.

"Tapi, saudara Ouw, ia juga salah seorang saudara angkatku." Ouw Hui bangun sambil melompat dan memutar badan. Di belakangnya berdiri seorang gemuk yang mengenakan baju ma-kwa dan orang itu bukan lain daripada Cian-pie Jie-lay Tio Poan San! Bertahun-tahun Ouw Hui rindu kepada kakak angkatnya itu. Ia melompat dan memeluknya. "Aduh Samko!" teriaknya.

"Siawtee kangen sungguh akan kau." Sambil mengawasi muka si adik, Poan San berkata: "Dik kau sekarang sudah besar. Malam ini bukan main rasa bangga kakakmu, karena dengan mata sendiri, aku dapat menyaksikan bagaimana kau merobohkan delapan belas jago utama dari istana kaisar." Ouw Hui segera menarik tangan Leng So dan lalu memperkenalkannya dengan Bu-tim, Poan San dan lain-lain.

"Mari aku perkenalkan kalian dengan Cong-tocu kami," kata Poan San. Ouw Hui terkejut.

"Tan Cong-tocu? Apa beliau juga datang di sini?" tanyanya. Bu-tim tersenyum.

"Begitu tiba di Pakkhia, ia telah dicaci habis-habisan olehmu," katanya.

"Ha-ha...! Selama hidupnya, mungkin Tan Cong-tocu belum pernah dimaki begitu hebat." Ouw Hui kaget tak kepalang. Dengan mata membelalak ia berkata: "Ia... ia.... Hok Kong An...?"

"Wajah Cong-tocu sangat mirip dengan Hok Kong An," Liok Hui Ceng menerangkan sambil tertawa.

"Jangankan kau, sedang orang-orang yang sudah mengenalnya pun masih bisa salah mata." Bu-tim mengangguk dan menyambungi: "Ya, misalnya dahulu waktu kami menolong Bun Sietee, Cong-tocu telah menyamar sebagai Hok Kong An dan kami telah berhasil

menawan Ong Wie Yang...."

"Samko," kata Ouw Hui dengan hati berdebaran, "Hayolah antar aku kepada Tan Cong-tocu untuk meminta maaf."

Sambil menggandeng tangan adiknya, perlahan-lahan Poan San mendaki tanah tinggi itu.

"Sesudah membentur tanganmu, Cong-tocu memuji tinggi silatmu," kata Poan San, "Ia pun mengatakan, bahwa kau seorang ksatria dan ia telah memberi pujian tinggi sekali kepadamu." Melihat kedatangan Poan San dan Ouw Hui, dengan mengajak saudara-saudara angkatnya, Tan Kee Lok bergegas turun dari tanah tinggi itu. Begitu berhadapan, Ouw Hui segera berlutut dan berkata: "Mata siauwjin tak ada bijinya dan siauwjin berdosa besar terhadap Cong-tocu Siauwjin harap...."

Sebelum Ouw Hui selesai bicara, Kee Lok sudah membangunkannya dan berkata dengan lemah lembut: "Seorang laki-laki tulen hanya terhadap seorang kuncu, dia tak nanti gentar terhadap kawanan budak. Hari ini, begitu tiba di Pakkhia aku mendengar kata-kata itu. Saudara kecil, perkataanmu itu saja sudah membuat perjalananku ke mari tidak cuma-cuma."

Tio Poan San segera memperkenalkan adiknya kepada semua jago Ang-hoa-hwee. Sudah lama sekali Ouw Hui mendengar nama besar mereka dan bahwa malam ini ia bisa bertemu dengan orang-orang gagah itu sungguh-sungguh menggirangkan hatinya. Kepada Bun Tay Lay yang melontarkan golok dan kepada Lok Peng yang menghadiahkan si putih, ia menghaturkan banyak terima kasih. Di lain pihak, Sim Hie menghaturkan terima kasih kepadanya untuk bantuan yang diberikan dalam gedung Hok Kong An.

Antara begitu banyak orang, Bu-timlah yang paling bergembira. Tidak habis-habisnya ia menceritakan pertempurannya melawan Ouw Hui dan Teh-pu. Ia mengatakan bahwa selama hidupnya jarang sekali ia bertemu dengan tandingan yang begitu setimpal.

Selagi semua orang beromong-omong dengan gembira, adalah Leng So yang terpencil sendiri. Tiba-tiba Liok Hui Ceng berkata sambil tertawa.

"Tootiang, mengenai ilmu silat, saudara kecil memang sangat lihay. Tapi selain ia, masih ada seorang gagah lain yang terlebih lihay lagi. Kita semua tak akan dapat menandinginya."

Bu-tim girang bercampur penasaran. "Siapa? Siapa?" tanyanya dengan tergesa-gesa. "Di mana adanya orang itu?"

Hui Ceng menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau tak akan menang," katanya. "Lebih baik kau jangan coba cari padanya."

"Fui!" bentak Bu-tim. "Bertahun-tabun kita tidak pernah bertemu muka. Begitu bertemu, kau lantas saja main gila kepadaku. Tidak! Aku tidak percaya, bahwa di dalam dunia ada manusia yang selihay itu."

"Semalam, dalam gedung Hok Kong An berkumpul para Ciangbunjin dari beberapa partai yang masing-masing memiliki kepandaian istimewa," kata Liok Hui Ceng.

"Apakah kau setuju dengan pengutaraanku ini?"

"Ya, habis bagaimana?" kata Bu-tim. "Dalam usahanya untuk mengacau, Sim Hie Lautee telah tertangkap," kata Hui Ceng.

"Tio Sam-tee yang begitu lihay hanya dapat merebut sebuah cangkir giok. Seecoan Sianghiap, kedua pendekar saudara Siang, hanya dapat menolong dua orang. Tapi apa yang telah dilakukan oleh orang gagah itu jauh lebih hebat daripada yang diperbuat oleh saudara-saudara kita, Dalam sekejap mata, ia telah dapat merampas seluruh cangkir dari tangan tujuh ahli silat kelas utama dan menghancurkan semua cangkir itu. Dengan beberapa kepulan asap saja, ia sudah menghancurkan seluruh Ciangbunjin Tay-hwee. Bu-tim Tootiang, sekarang katakanlah dengan sejujurnya: Apakah kalian dapat menandingi orang gagah itu?"

Leng So mengerti, bahwa yang sedang dibicarakan si kakek adalah dirinya sendiri. Paras mukanya lantas saja berubah merah dan ia bersembunyi di belakang Ouw Hui. Tapi semua orang tidak memperhatikannya, karena mereka tengah memusatkan perhatian kepada Liok Hui Ceng.

"Suhu," kata seorang nyonya muda, "Aku telah mendengar, Ciangbunjin Tayhwee dikacau orang, tapi tak tahu bagaimana kejadiannya. Hayolah, beritahukanlah lekas-lekas!" Nyonya itu adalah Lie Goan Cie, isteri Kim-tiok Siucay Ie Hie Tong.

Liok Hui Ceng segera menceritakan sepak terjang "orang gagah" itu. Ia menceritakan bagaimana enghiong tersebut menghancurkan tujuh cangkir giok, bagaimana ia mengepulkan asap beracun sehingga semua hadirin sakit perut dan bagaimana seluruh Ciangbunjin Tayhwee menjadi gagal dan berakhir dengan suatu kekacauan hebat. Mendengar penuturan yang sangat menarik itu, semua merasa sangat kagum.

"Liok-heng," kata Bu-tim dengan tidak sabar, "Kau sudah bicara banyak sekali, tapi kau belum memberitahukan kami, siapa adanya orang gagah itu."

Hui Ceng tersenyum. "Kalau dikata jauh, ia berada di ujung langit, kalau dikata dekat, ia berdiri di hadapan kita," katanya.

"Orang gagah itu bukan lain daripada Thia Kouwnio." Semua orang mengeluarkan seruan tertahan dan serentak mereka berpaling ke arah Leng So. Mereka hampir tak percaya, bahwa seorang wanita yang kelihatannya begitu lemah sudah bisa menggagalkan usaha Hok Kong An. Tapi Liok Hui Ceng adalah seorang tua yang terpandang tinggi dan pasti tak akan berdusta, sehingga perkataannya boleh tak usah disangsikan lagi.

Liok Hui Ceng adalah salah seorang pentolan partai Bu-tong-pay. Kira-kira sepuluh tahun berselang, partai tersebut tengah gelap bintangnya. Ma Giok, kakak seperguruan Hui Ceng, dan Thio Tiauw Tiong, adik seperguruannya, dengan beruntun telah menemui ajalnya secara menyedihkan. Lantaran terpaksa, akhirnya ia setuju untuk memegang tampuk pimpinan dari Bu-tong-pay. Karena khawatir mendapat gangguan pemerintah Boan, maka ia segera menjadi toosu dan menggunakan nama Bu-ceng-cu. Selama sepuluh tahun ia bersembunyi dan bebas dari kecurigaan.

Waktu akan mengadakan Ciangbunjin Tay-hwee, karena mengingat bahwa Bu-tong-pay adalah salah satu partai persilatan terbesar yang namanya berendeng dengan Siauw-lim-sie dan mengingat pula jaga-jaga Thio Tiauw Tiong untuk kerajaan Ceng, maka Hok Kong An mengundang Bu-ceng-cu dan meminta supaya orang tua itu suka menjadi wasit dalam kedudukannya sebagai salah seorang "Ciangbunjin besar" dalam pertemuan itu. Ia tentu saja tak tahu siapa sebenarnya Bu-ceng-cu.

Liok Hui Ceng sendiri, biarpun sudah berusia lanjut, masih mempunyai semangat muda. Ia mengerti, bahwa Ciangbunjin Tayhwee pasti mempunyai maksud yang tidak baik bagi seluruh Rimba Persilatan. Kalau ia menolak Hok Kong An pasti akan bercuriga. Karena itu, ia segera menerima baik undangan tersebut dan datang di kota raja seorang diri. Ia telah mengambil keputusan untuk menyelidiki maksud pertemuan itu dan akan bertindak dengan mengimbangi keadaan, Pada waktu Sim Hie ditawan Tong Pay, dengan diam-diam ia sudah memberikan pertolongan.

Kedatangan Tan Kee Lok, Hok Ceng Tong dan jago-jago lain dari Ang-hoa-hwee di Pakkhia adalah untuk bersembahyang di kuburan Hiang-hiang Kongcu berhubung dengan ulang tahun ke sepuluh dari meninggalnya Puteri Harum itu. Hok Kong An bukan manusia tolol. Begitu melihat munculnya orang-orang An-hoa-hwee dalam Ciangbunjin Tayhwee, ia segera dapat menebak maksud kedatangan

mereka di Pakkhia. Tapi ia tidak tahu di mana letaknya kuburan puteri itu. Ia segera memerintahkan delapan belas pengawal utama dari istana kaisar, yang dipimpin oleh Teh-pu, untuk meronda di luar kota dan membekuk segala orang yang mencurigakan. Tak dinyana, sebelum Tan Kee Lok bergerak, delapan belas jago itu sudah dirobohkan.

Sesudah semua kaki tangan Hok Kong An kabur, Tan Kee Lok dan saudara-saudaranya yang mengenal baik kebiasaan dalam kalangan pembesar Ceng bersikap tenang-tenang saja dan terus beromong-omong tanpa khawatir diserang lagi. Mereka tahu, bahwa sebegitu lama mereka belum menyatroni dan mengacau istana kaisar, para Sie-wie yang keok itu pasti tak akan memberi laporan yang sebenarnya, bahwa telah dihajar kucar kacir di To-jian-teng.

Selagi mereka beromong-omong, tiba-tiba terdengar dua tepukan tangan di tempat yang agak jauh. Sesaat kemudian, pula tiga tepukan. Si kate kurus - yaitu Bu-cu-kat Cie Thian Hong - segera menjawab dengan tiga tepukan dan sejenak kemudian, ia mengulanginya lagi dua kali beruntun.

"Ngotee dan Lioktee sudah datang," kata Bu-tim. Tak lama kemudian terlihat berkelebatnya dua bayangan manusia yang bertubuh jangkung kurus dan setelah datang dekat, muka mereka kelihatannya menakutkan sekali. Ouw Hui lantas saja mengenali, bahwa mereka bukan lain daripada Seecoan Siang-hiap, Siang Pek Cie dan Siang Hek Cie, yang pernah dilihatnya dalam gedung Hok Kong An. Di belakang mereka mengikuti dua orang lain yang masing-masing mendukung seorang anak kecil. Ouw Hui dan Leng So kaget.

Kedua orang itu ialah Nie Put Toa dan Nie Put Siauw sedang kedua anak kecil yang didukung mereka adalah putera Ma It Hong.

Sebagaimana diketahui dalam Ciangbunjin Tay-hwee kedua saudara kembar Nie itu coba merebut kedua bocah tersebut dari tangan Hok Kong An dan hampir-hampir mereka kehilangan jiwa, jika tidak keburu ditolong oleh Siang-sie Hengtee. Sesudah terlolos dari bahaya, kepada kedua saudara Siang mereka menyatakan hasrat mereka yang sukar tertahan untuk mendapatkan kedua bocah itu. Siang-sie Hengtee pun saudara kembar dan hati mereka lantas saja tergerak. Tak lama kemudian Ciangbunjin Tayhwee kacau balau dan para Wie-su repot bertempur atau mencari obat untuk memunahkan racun. Dengan menggunakan kesempatan tersebut, dua pasang saudara kembar itu lantas saja menerjang masuk pula ke gedung Hok Kong An. Dengan kepandaian yang sangat tinggi, dalam sekejap Siang-sie Hengtee sudah merobohkan tujuh-delapan Wie-su yang melindungi kedua putera Hok Kong An yang lalu direbutnya.

Begitu melihat kedua anak itu, Ouw Hui lantas saja ingat Ma It Hong yang ketika itu sudah hampir meninggal dunia. Tanpa merasa, air matanya keluar - ia girang bercampur sedih. Mendadak saja dalam otaknya berkelebat suatu ingatan. Sambil menjura kepada Tan Kee Lok ia berkata: "Tan Cong-tocu, aku yang rendah mendapat satu ingatan yang bukan-bukan dan ingin mengajukan permohonan yang tidak-tidak."

"Saudara Ouw, kau boleh bicara tanpa sangsi-sangsi," kata Kee Lok sambil tersenyum.

"Biarpun kita baru bertemu muka, pendirian dan cita-cita kita adalah cocok satu sama lain. Asal saja permintaanmu itu dapat dilakukan olehku, aku pasti akan melakukannya." Beberapa saat Ouw Hui membungkam. Ia kelihatannya merasa tidak enak untuk mengucapkan kata-kata yang mau diucapkannya. "Aku mendapat suatu pikiran yang aneh dan tidak pantas," katanya akhirnya.

"Aku khawatir kalian akan tertawa, jika aku mengutarakan pikiran itu." Kee Lok tersenyum.

"Saudara Ouw," katanya dengan suara halus.

"Di mata orang lain, setiap perbuatan orang-orang sebangsa kita selalu aneh dan tidak pantas kelihatannya. Katakanlah. Kau tak usaha merasa sangsi."

"Jika Cong-tocu tidak menjadi gusar... baiklah," kata Ouw Hui, Sambil menunjuk kedua bocah itu, ia berkata pula: "Kedua anak itu adalah putera Hok Kong An dan pada saat ini, ibu mereka sedang menghadapi maut." Sehabis berkata begitu, dengan ringkas ia lalu menuturkan segala kejadian mengenai Ma It Hong - sedari ia bertemu dengan nyonya itu di Siang-kee-po sampai kejadian pada malam itu, dan kini Ma It Hong sedang menunggu ajalnya. Mendengar cerita itu, semua jago Ang-hoa-hwee jadi gusar tak kepalang. Jika kemauan Bu-tim diluluskan, malam itu juga ia ingin balik ke dalam kota untuk mengambil jiwa Hok Kong An.

"Sesudah terjadi kekacauan dalam Ciangbunjin Tayhwee, kita tidak boleh masuk lagi ke dalam kota," kata Cie Thian Hong.

"Kalau kita menerjang bahaya, mungkin sekali sebaliknya dari berhasil membunuh Hok Kong An, kitalah yang menjadi korban."

Tan Kee Lok manggutkan kepalanya. "Aku merasa pasti, bahwa waktu ini gedung Hok Kong An dijaga keras luar biasa," katanya. "Bagaimana kita bisa turun tangan? Jangankan menyatroni gedung itu untuk masuk ke dalam kota pun sudah tidak gampang. Apalagi maksud kedatangan kita sekali ini ialah hanya untuk bersembahyang. Maka kita tidak boleh mengorbankan jiwa saudara-saudara kita hanya untuk melampiaskan nafsu amarah. Saudara Ouw, permintaan apa yang ingin diajukan olehmu?"

"Cong-tocu dari tempat berlaksa li jauhnya, kau datang ke mari untuk bersembahyang di kuburan seorang wanita," kata Ouw Hui dengan suara perlahan. "Rasa cinta dan pribudi itu sangat langka dalam dunia ini. Dahulu, di waktu masih kecil, aku pernah menerima budi Ma Kouwnio. Hatiku merasa sangat tidak enak, karena aku tidak dapat membalas budi itu. Sekarang ia sedang menghadapi kematian dan di dalam hatinya terdapat dua harapan, yang jika belum dipenuhi, ia tidak bisa mati dengan mata meram. Harapan pertama ialah ia ingin sekali bertemu dengan kedua puteranya. Atas belas kasihan Tuhan, Siang-sie Siang-hiap sudah berhasil merebut pulang kedua bocah itu. Harapan kedua ialah ia ingin sekali bertemu muka dengan bangsat Hok Kong An. Bahwa sehingga pada detik penghabisan ia masih juga belum tersadar, adalah suatu kejadian lucu yang menyedihkan. Untuk itu, ia harus dikasihani. Akan tetapi, cinta adalah...." Ia tak dapat meneruskan perkataannya dan dengan air mata berlinang-linang ia mengawasi Tan Kee Lok.

"Aku mengerti!" kata Kee Lok dengan suara perlahan. "Kau tentu ingin aku menyamar sebagai Hok Kong An yang kejam untuk menghibur nyonya itu supaya ia bisa berpulang ke alam baka dengan hati puas. Bukankah begitu?"

"Benar," jawabnya sambil menunduk. Semua orang gagah agak terkejut. Permintaan pemuda itu memang juga permintaan yang tidak-tidak. Tapi mereka turut merasakan, bahwa permintaan itu diajukan atas dorongan rasa ksatria yang sangat luhur. Keadaan sunyi senyap, tak seorang pun membuka mulut.

Untuk beberapa saat Tan Kee Lok mengawasi ke tempat jauh dan paras mukanya diliputi kedukaan. "Kalau waktu mau berpulang ke alam baka, ia bisa bertemu denganku, ia tentu akan merasa girang sekali," katanya dengan suara parau.

Sesaat kemudian, ia menengok ke arah Ouw Hui seraya berkata: "Baiklah! Aku akan pergi menemui Ma Kouwnio." Sehabis berkata begitu, ia segera turun dari tanah tinggi, diikuti oleh semua orang.

Bukan main rasa terima kasih Ouw Hui. Tan Kee Lok adalah seorang pemimpin besar dalam kalangan Rimba Persilatan, sedang ia sendiri hanyalah seorang boanpwee yang tidak dikenal. Dalam pertemuan pertama, ia sudah mengajukan permintaan yang gila-gila itu. Tapi, tanpa ragu-ragu sedikit pun jua, Kee Lok sudah segera meluluskan. Bagi Ouw Hui, budi itu adalah budi yang tak mungkin dapat dibalas. Diam-diam ia berjanji dalam hatinya, bahwa jika di kemudian hari, Tan Kee Lok memerlukan bantuannya, biarpun mesti menerjang lautan api, ia tak akan menolak.

Dengan Ouw Hui sebagai penunjuk jalan, rom-bongan Ang-hoa-hwee menuju ke Yo-ong-bio. Menjelang fajar, mereka tiba di situ.

Sambil menuntun kedua putera Ma It Hong, Ouw Hui mengajak Kee Lok masuk ke dalam kelenteng. Mereka pergi ke kamar samping, di mana terdapat sebuah pelita yang apinya sebesar kacang dan minyaknya sudah hampir kering. Bersama kedua bocah itu, Ouw Hui segera bertindak masuk. Nyonya muda itu, yang rebah di atas pembaringan batu, ternyata masih bernapas. Sekonyong-konyong kedua anak itu melompat seraya berteriak. "Ibu...! Ibu...!"

Ma It Hong membuka kedua matanya. Begitu melihat puteranya, semangatnya pulih dan entah dari mana, tenaganya pun kembali lagi. Ia memeluk anaknya erat-erat dan berkata dengan suara lemah: "Nak...! Ibumu sangat memikirkan kamu...."

Lama juga mereka berpelukan. Tiba-tiba It Hong melihat Ouw Hui dan ia lantas saja berkata: "Anak, mulai dari sekarang kamu harus mengikut Ouw Siok-siok dan kamu harus dengar kata. Kamu... kamu... harus mengangkat Ouw Siok-siok sebagai... sebagai... ayah...."

"Baiklah," kata Ouw Hui. "Aku menerima mereka sebagai anak angkat. Ma Kouwnio, legakanlah hatimu!" Nyonya itu tersenyum. "Lekas... lekaslah berlutut," katanya sambil mendorong kedua puteranya. Kedua bocah itu lantas saja berlutut di hadapan Ouw Hui yang membiarkan mereka berlutut sampai empat kali. Sesudah itu, sambil mengangkat mereka, ia berkata dengan suara perlahan: "Ma Kouwnio, pesan apa lagi yang ingin diberikan olehmu?"

"Sesudah aku mati, aku harap kau suka menguburkan mayatku di samping... di samping... suamiku.... Cie Ceng," jawabnya. "Kasihan dia! Sedari kecil dia sudah mencintai aku, tapi... tapi aku sendiri tidak... mencintainya."

"Baiklah, aku akan memenuhi keinginanmu," kata Ouw Hui. Ia tak nyana, bahwa pada saat penghabisan, Ma It Hong ingat kepada suaminya. Ia sangat membenci Hok Kong An dan bahwa nyonya itu tidak menyebut-nyebut lagi lelaki keparat itu, sangat menyenangkan hatinya. Tapi di luar dugaan, tiba-tiba It Hong menghela napas dan berkata dengan suara hampir tidak kedengaran: "Hok Kongcu.... Hok Kongcu... aku sungguh ingin bertemu muka denganmu...."

Ketika itu, Tan Kee Lok berdiri di luar pintu, sehingga It Hong belum melihatnya. Ouw Hui menggeleng-gelengkan kepala dan sambil mendukung kedua bocah itu, ia bertindak ke luar. Dengan tindakan perlahan, Kee Lok Lalu masuk ke kamar itu.

Baru berjalan belasan tindak, Ouw Hui sudah mendengar teriakan, "Ah!" yang keluar dari mulut Ma It Hong. Teriakan itu penuh dengan nada bahagia, girang dan penuh cinta. Akhirnya, ia bertemu juga dengan orang yang dicintai....

Sesudah berada di luar kelenteng, tiba-tiba Ouw Hui mendengar merayunya suara seruling yang ditiup oleh Kim-tiok Siu-cay Ie Hie Tong sambil duduk di bawah pohon. Jantung Ouw Hui berdebar keras. Ia segera ingat, bahwa banyak tahun berselang, waktu berada di Siang-kee-po, ia telah mendengar suara seruling yang semerdu itu. Suara seruling itu yang ditiup oleh Hok Kong An dalam taman bunga untuk memancing Ma It Hong sudah berakhir dengan peristiwa yang sangat mengenaskan.

Bagaikan terpaku, semua orang mendengarkan suara seruling itu yang merayu di antara kesunyian dan yang seolah-olah sedang menuturkan sebuah cerita percintaan yang penuh dengan kehangatan, kedukaan dan penderitaan. Setiap orang ingat akan pengalamannya sendiri di masa yang sudah silam. Bahkan Bu-tim Tootiang juga ingat pengalamannya pada beberapa puluh tahun berselang dengan seorang nona she Kwan dan percintaan itu berakhir dengan kegagalan, sehingga ia memutuskan satu lengannya dan ia sendiri menjadi toosu....

Beberapa lama kemudian, di antara suara seruling yang mengalun dengan perlahan, Tan Kee Lok bertindak ke luar dengan paras sedih dan begitu melihat Ouw Hui, ia manggutkan kepalanya. Pemuda itu mengerti, bahwa anggukan kepala itu berarti Ma It Hong sudah berpulang ke alam abadi dengan hati terhibur, karena ia sudah bisa berjumpa dengan kedua putera dan "kecintaannya". Kecuali Tan Kee Lok tiada seorang pun tahu apa yang dikatakan oleh nyonya muda itu. Apa yang semua orang tahu ialah Tan Kee Lok dan Ouw Hui sudah berbuat apa yang seorang manusia bisa lakukan untuk meringankan penderitaan sesama manusia yang hampir meninggalkan dunia yang fana ini.

Karena masih mempunyai tugas untuk mengubur jenazah Ma It Hong, Ouw Hui tidak bisa mengikut rombongan Ang-hoa-hwee pulang ke wilayah Hwee. Maka itu, ia meminta pertolongan kedua saudara Siang dan saudara Nie untuk membawa dan merawat kedua putera Ma It Hong. Ia berjanji, bahwa begitu lekas penguburan selesai, ia akan segera menyusul mereka ke Hweekiang.

Demikianlah, dengan rasa berat, para orang gagah Ang-hoa-hwee lalu berpamit kepada Ouw Hui dan Leng So, kemudian lantas berangkat be-ramai-ramai.

Dalam pertemuan dengan rombongan Ang-hoa-hwee ada suatu hal yang mengherankan Ouw Hui, yaitu baik Tio Poan San, maupun Lok Peng atau yang lain-lain tak pernah menyebut-nyebut Wan-seng. Apakah Wan-seng sudah menemui mereka dan meminta supaya mereka jangan menyebut-nyebut namanya lagi? Sesudah kawan-kawan Ang-hoa-hwee tak kelihatan bayang-bayangannya lagi, Ouw Hui dan Leng So lalu masuk kembali ke dalam kelenteng. Jenazah Ma It Hong rebah di atas pembaringan dengan bibir tersungging senyuman dan paras yang mencerminkan rasa bahagia. "Jie-moay," kata Ouw Hui dengan air mata berlinang-linang.

"Dia minta kita mengubur jenazahnya di samping kuburan suaminya, tapi diwaktu sekarang, permintaan itu sukar dilakukan karena kaki tangan Hok Kong An tentu sedang mencari kita. Jika kita membawa peti mati dalam perjalanan yang begitu jauh, kita akan menimbulkan kecurigaan orang. Menurut pendapatku, paling baik kita membakar saja jenazahnya dan membawa abunya untuk dikuburkan."

"Benar," kata Leng So sambil mengangguk. Ouw Hui segera membungkuk untuk memondong jenazah Ma It Hong. Mendadak Leng So menjambret dan menarik lengannya. "Tahan!" bisiknya dengan suara memburu. Ouw Hui terkesiap. Dengan cepat ia menarik pulang

tangannya dan mundur setindak. "Ada apa?" tanyanya. Sebelum nona Thia menjawab, kupingnya sudah dapat menangkap suara napas manusia. Ia memutar badan dan mengawasi ke arah suara itu. Ternyata, di belakang pintu bersembunyi dua orang, yang satu perempuan bongkok, yang lain lelaki jangkung, dan mereka itu adalah Sie Kiauw dan Boh-yong Keng Gak, Samsuci dan Toasuheng seperguruan perempuan yang ketiga. (Toasuheng = kakak seperguruan lelaki paling tua).

Sesaat itu, Leng So mengayun tangannya dan melepaskan bubuk kalajengking merah ke kolong ranjang.

"Di kolong ranjang pasti bersembunyi musuh lihay," kata Ouw Hui dalam hatinya.

Selagi Leng So menimpuk, Sie Kiauw mendorong daun pintu dan coba melompat ke luar. Tapi Ouw Hui mendului dengan kegesitan luar biasa. Setelah memeluk pinggang adiknya dengan lengan kanan, sekali melompat saja ia sudah berada di luar pintu. Hampir berbareng, kakinya menendang daun pintu yang lantas saja menjeblak ke belakang, sehingga kedua orang itu terpukul dan tergencet di antara daun pintu dan tembok. Boh-yong Keng Gak masih tak apa, tapi Sie Kiauw harus merasakan kesakitan hebat sebab punggungnya yang melengkung terpukul keras sekali.

Baru saja kedua kaki Ouw Hui hinggap di lantai, dari kolong ranjang menghembus ke luar serupa uap merah, suatu tanda, bahwa tepung kalajengking telah dipukul kembali oleh orang yang bersembunyi di situ. Sesaat kemudian dari kolong ranjang muncul tubuh manusia yang segera melompat dan menghantam kepala Ouw Hui dengan tongkatnya. Ouw Hui segera mengenali, bahwa orang itu adalah Cio Ban Tin yang mengaku sebagai "Tok-chiu Yo-ong".

"Jangan menyentuh badan dan senjatanya!" teriak Leng So. Sambil melompat ke samping, Ouw Hui menghunus goloknya dan menyabet dengan pukulan Lian-ko-hwi-kiam. Karena pukulan itu cepat luar biasa dan tidak keburu dikelit lagi, Cio Ban Tin lalu menangkis dengan tongkatnya, "Trang!" berbareng mereka melompat ke belakang dengan badan terhuyung. Sementara itu Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw sudah keluar dari kamar dan berdiri di belakang Cio Ban Tin.

Sesudah menjajal tenaga dan merasakan lihaynya Ouw Hui, sehingga lengannya kesemutan, si orang she Cio tidak menyerang lagi. Ia mengawasi pemuda itu dengan rasa heran. Di lain pihak, Ouw Hui pun tak kurang herannya. Ia mendapat kenyataan, bahwa lawannya bukan saja pandai menggunakan racun, tapi juga memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.

"Thia Sumoay, mengapa kau tidak berlutut di hadapan Susiok (paman guru)?" kata Boh-yong Keng Gak.

"Susiok dari mana?" tanya nona Thia dengan suara dingin.

"Apakah kau belum pernah mendengar nama Tok-chiu Sin-siauw (Si kokok belok malaikat)?" tanya Cio Ban Tin dengan mendongkol. "Apakah gurumu belum pernah menyebut nama itu?" Nona Thia terkejut.

"Tok-chiu Sin-siauw?" ia menegas.

"Ya! Suhu memang pernah mengatakan, bahwa dahulu ia mempunyai seorang sutee. Tapi karena perbuatan adik seperguruan itu menyeleweng dan banyak membinasakan manusia yang tidak berdosa, maka Suhu sudah mengusir dia. Cio Cian-pwee, apa kau Tok-chiu Sin-siauw?" Cio Ban Tin tersenyum tawar.

"Hm!" ia mengeluarkan suara di hidung.

"Golongan kita mempelajari penggunaan racun dan sesudah main-main dengan racun, perlu apa kita berlagak sebagai orang baik? Aku si orang she Cio, biarpun dicaci sebagai manusia rendah, sungkan mengikuti jejak gurumu yang berpura-pura menjadi manusia baik." Leng So naik darahnya.

"Kapankah guruku pernah mencelakakan manusia yang tidak berdosa?" bentaknya.

"Apakah gurumu tidak membinasakan banyak sekali manusia?" Cio Ban Tin balas tanya.

"Dia mengatakan, bahwa yang dibinasakannya adalah manusia-manusia jahat yang pantas mendapat hukuman mati. Tapi di mata orang lain, alasan itu belum tentu dapat diterima baik. Keluarga orang yang dibinasakan belum tentu menyetujui pikiran gurumu yang mulia." Ouw Hui kaget. Ia merasa, bahwa perkataan si tua ada juga benarnya.

"Benar!" kata Leng So, "Guruku juga merasa menyesal, bahwa ia telah mencelakakan terlalu banyak manusia dan itulah sebabnya, mengapa belakangan beliau mencukur rambut dan menjadi pendeta. Beliau telah memesan kami berempat saudara seperguruan, supaya kalau bukan terlalu terpaksa, kami tidak boleh sembarangan melukai orang. Selama hidup, boanpwee belum pernah membinasakan manusia." Cio Ban Tin tertawa dingin.

"Hm! Apa gunanya berpura-pura menjadi orang mulia?" katanya dengan nada mengejek.

"Kulihat kau adalah seorang pandai dalam kalangan kita. Sepak terjangmu dalam Ciangbunjin Tayhwee bagus sekali, sehingga aku sendiri yang menjadi Susiokmu hampir-hampir kena disengkilit."

"Kau sungguh berani mati," kata Leng So.

"Kau menggunakan nama Tok-chiu Yo-ong dan menamakan diri sendiri sebagai Susiok. Seorang Tok-chiu Yo-ong yang tulen mana bisa kena dikelabui olehku? Begitu lekas tangannya memegang Giok-liong-pwee, ia pasti sudah mengetahui, bahwa pada cangkir itu terdapat racun Cek-kiat-hun. Seorang Tok-chiu Yo-ong mana boleh tak tahu waktu aku mengepulkan asap Sam-go Ngo-mo-yan." (Sam-go Ngo-mo-yan = Asap beracun dari tiga macam kelabang dan lima macam kodok buduk).

Disemprot begitu, muka Cio Ban Tin lantas saja berubah merah. Untuk beberapa saat ia mengawasi nona Thia dengan rasa gusar dan malu, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Dahulu, di waktu masih muda, Cio Ban Tin belajar bersama-sama Bu-tin Taysu yang dijuluki orang sebagai Tok-chiu Yo-ong. Karena ia sering menggunakan racun secara serampangan dan banyak mengambil jiwa manusia yang tidak berdosa, ia diusir oleh gurunya. Selama beberapa puluh tahun, beberapa kali ia menyatroni dan bertempur melawan Bu-tin. Tapi setiap kali ia selalu jatuh di bawah angin. Kalau Bu-tin tak ingat sumpahnya di hadapan Sang Buddha, bahwa ia tak akan mengambil lagi jiwa manusia, ia tentu sudah membinasakan saudara seperguruan itu. Biarpun begitu dalam pertempuran yang paling belakang, kedua mata Ban Tin telah menjadi buta sebab rumput Toan-chung-co. Dia kabur ke Gunung Orang Hutan di Birma dan dengan menggunakan benang lawa-lawa Perak perlahan-lahan dia berhasil menarik ke luar racun rumput itu, sehingga akhirnya dia bisa melihat lagi. Tapi biarpun tertolong, matanya tetap lamur. Maka itu, tepung kalajengking merah yang melekat di cangkir giok tak dapat dilihat olehnya dan warna asap beracun yang dikepulkan Leng So juga tak dapat dibedakannya.

Di samping itu, Leng So sudah berhasil menanam pohon Cit-sim Hay-tong, raja dari semua tumbuh-tumbuhan yang mengandung racun. Dengan mencampur Cek-kiat-hun dan Sam-go Ngo-mo-yan dengan tepung daun Cit-sim Hay-tong, kedua racun itu jadi hilang baunya dan bertambah besar kekuatannya.

Sesudah berdiam sepuluh tahun di Gunung Orang Hutan barulah Cio Ban Tin berhasil menyembuhkan kedua matanya. Sepulangnya di Tiong-goan ia mendengar tentang meninggalnya Bu-tin Taysu. Ia merasa girang, karena menurut anggapannya ia sekarang sudah bisa menjagoi dalam lapangan penggunaan racun. Tapi di luar perhitungannya, sang Suheng mempunyai seorang "murid penutup" (murid yang diterima paling belakang) yang sedemikian lihay. Maka itu, dengan menyamar sebagai seorang nenek, Leng So mengepulkan asap pipa. Mimpi pun ia tak pernah mimpi bahwa asap pipa itu akan merobohkannya. Melihat si tua membungkam Boh-yong Keng Gak segera berkata: "Sumoay, kau sungguh bernyali besar. Sesudah berdosa terhadap Susiok, kau tidak buru-buru berlutut untuk memohon ampun. Jika beliau marah, kau akan mati tanpa mempunyai kuburan. Aku dan Sie Sumoay sekarang sudah menjadi muridnya. Kalau sekarang kau menyerahkan Yo-ong Sin-pian mungkin sekali dalam girangnya beliau sudi menerima kau sebagai murid."

Nona Thia gusar bukan main. Dalam Rimba Persilatan, mengkhianati partai sendiri dan masuk ke partai lain merupakan suatu dosa besar dan hukumannya adalah hukuman mati. Tapi biarpun darahnya meluap, muka si nona sedikit pun tidak berubah.

"Kalau begitu kalian sudah menjadi murid Cio Cianpwee," katanya.

"Dengan lain perkataan, jika Cio Cianpwee tak suka menerima siauwmoay sebagai murid maka siauwmoay tidak berhak memanggil kalian sebagai Suheng dan Suci. Ke mana Kiang Suko? Apakah ia juga sudah menjadi murid Cio Cian-pwee?"

"Kiang Sutee tidak mengerti urusan dan tak mau menerima nasihat baik," jawab Boh-yong Keng Gak.

"Dia sudah dihukum mati oleh guru kami."

Hati Leng So mencelos, hampir-hampir ia mengucurkan air mata. Kiang Tiat San adalah seorang yang jujur dan di antara ketiga saudara seperguruan, ialah yang paling baik. Tak dinyana, saudara seperguruan itu telah dibinasakan oleh Cio Ban Tin.

"Sie Samei, di mana adanya puteramu, Siauw Tiat?" tanya pula Leng So.

"Apa ia baik?"

"Sudah mati," jawabnya dengan dingin.

"Mati karena penyakit apa?" tanya pula nona Thia.

"Dia anakku, tak usah kau campur-campur," kata Sie Kiauw dengan suara aseran.

"Benar, memang benar siauwmoay tak berhak untuk mencampuri urusan puteramu," kata Leng So.

"Aha! Kulupa memberi selamat kepada kalian. Lagi kapan Boh-yong Toako menikah dengan Sam-suci? Kalian sungguh keterlaluan.

Mengapakah tidak mengundang siauwmoay untuk turut minum arak kegirangan?"

Hubungan antara Boh-yong Keng Gak, Kiang Tiat San dan Sie Kiauw adalah hebat dan menyeramkan. Semula, Sie Kiauw mencintai Boh-yong Keng Gak, tapi Boh-yong Keng Gak menikah dengan wanita lain. Dalam gusarnya, dia meracuni saingan itu sehingga mati. Boh-yong Keng Gak lantas saja bertindak untuk membalas sakit hati isterinya. Dengan menggunakan racun, dia merusak muka dan badan Sie Kiauw, sehingga ia itu menjadi perempuan bongkok yang bermuka jelek.

Di lain pihak, sudah lama Kiang Tiat San jatuh cinta kepada sumoaynya. Biarpun Sie Kiauw sudah menjadi perempuan bongkok, rasa cintanya tidak berubah dan ia lalu mengambilnya sebagai isterinya.

Di luar dugaan, sesudah Kiang Tiat San dan Sie Kiauw menikah dan mempunyai seorang putera, rasa cinta Boh-yong Keng Gak terhadap Sie Kiauw tiba-tiba timbul. Dia ingat kebaikan-kebaikan su-moay itu pada jaman yang lampau. Dengan timbulnya rasa cinta, tak henti-hentinya dia coba mengganggu Sie Kiauw, sehingga dia bermusuhan dengan Kiang Tiat San.

Untuk mencegah serangan Toasuheng mereka, Kiang Tiat San dan Sie Kiauw pernah membuat sebuah rumah besi yang dikitari pohon-pohon beracun Hiat-ay-lie. Siapa nyana, akhirnya Kiang Tiat San telah dibinasakan oleh Cio Ban Tin dan Boh-yong Keng Gak sendiri menikah dengan Sie Kiauw.

Leng So mengetahui, bahwa dalam peristiwa itu terdapat latar belakang yang berliku-Iiku. Ia menduga, bahwa dibinasakannya Kiang Tian San oleh Cio Ban Tin adalah karena Jiesuko itu menolak untuk mengkhianati guru sendiri. Tapi dalam hal itu, mungkin sekali Boh-yong Keng Gaklah yang menjadi gara-gara dan secara licik menjalankan tipu busuknya. Karena Sie Kiauw sudah menikah dengan Toasuko itu, maka bukan tak bisa jadi, si bongkok juga turut berdosa dalam kematian suaminya. (Jiesuko = kakak seperguruan lelaki yang kedua).

Memikir begitu, Leng So lantas saja menghela napas dan berkata: "Waktu Siauw Tiat keracunan, siauwmoay telah berusaha sedapat mungkin untuk menolongnya. Siapa sangka ia akhirnya mati juga karena Tho-hoa-ciang (racun bunga tho). Ya! Mungkin memang sudah nasibnya harus mati karena racun."

Paras Boh-yong Keng Gak lantas saja berubah pucat dan ia berkata dengan suara terputus-putus: "Kau... bagaimana... kau tahu...." Ia tidak meneruskan perkataannya dan hanya mengawasi Sie Kiauw.

"Siauwmoay sebenarnya tak tahu, hanya menduga-duga saja," kata Leng So. Nona Thia sudah sengaja menyebutkan "Tho-hoa-ciang",

karena ia tahu, bahwa Toasuheng itu mempunyai racun tersebut yang paling diandalkannya. Boh-yong Keng Gak mendapatkan Tho-hoa-ciang di daerah perbatasan antara Inlam dan Kwi-ciu: kemudian, dengan menggunakan itu, dia membuat peluru beracun yang sangat hebat. Sesudah bertahun-tahun bermusuh dengan Toa suheng mereka, Kiang Tiat San dan Sie Kiauw berhasil membuat semacam obat untuk memunahkannya.

Karena pikirannya sedang kusut dan perkataan Leng So diucapkan secara di luar dugaan, maka Boh-yong Keng Gak lantas saja terjebak dan mengakui kedosaannya. Leng So jadi makin gusar.

"Samsuci benar-benar kejam," pikirnya.

"Jiesuko telah memperlakukannya begitu baik, tapi dia tega bersekutu dengan Toasuko, sehingga Jiesuko dan puteranya jadi binasa." Nona Thia berpikir begitu, sebab ia tahu, bahwa Sie Kiauw mempunyai obat pemunah yang bisa digunakan untuk menolong Siauw Tiat yang keracunan Tho-hoa-ciang. Terhadap puteranya sendiri dia sudah begitu tega, maka Leng So menarik kesimpulan, bahwa meskipun Sie Kia uw tidak turun tangan sendiri, dia turut berdosa dalam persekutuan mengambil jiwa ayah dan anak itu.

Dari sini dapatlah dibayangkan betapa pintarnya nona Thia. Dari beberapa perkataan yang terlepas dari mulut Boh-yong Keng Gak, ia sudah bisa melihat latar belakang dari pembunuhan kejam itu. Biar bagaimanapun jua, Sie Kiauw merasa jengah karena ingat perbuatannya yang terkutuk. Buru-buru ia coba membelokkan pembicaraan dengan berkata: "Sumoay, guruku menaruh belas kasihan dan bersedia untuk menerimamu sebagai murid. Inilah nasibmu yang baik. Mengapa kau tidak lantas berlutut?"

"Jika aku tidak mengangkat dia sebagai guru, bukankah aku akan bernasib seperti Jiesuko?" tanya Leng So.

"Bukan begitu," kata Boh-yong Keng Gak.

"Kalau kau menolak rejeki, orang lain tentu tak dapat memaksanya. Tapi sekarang menurut pantas kau harus segera menyerahkan Yo-ong Sin-pian. Guruku adalah seorang yang mulia. Jika kau menyerahkan kitab itu, dosamu terhadap beliau dalam Ciangbunjin Tayhwee boleh tak usah diperhitungkan lagi." Nona Thia manggut-manggutkan kepalanya.

"Tak salah perkataan Toasuko," katanya.

"Tapi Yo-ong Sin-pian adalah sejilid kitab yang ditulis sendiri oleh Bu-tin Taysu. Manakala kita bertiga saudara seperguruan sudah mengangkat Cio Cianpwee sebagai guru, kita harus membuang semua pelajaran Siansu (mendiang guru yaitu Bu-tin Taysu) dan harus mempelajari ilmu Cio Cianpwee. Kuyakin ilmu Cio Cianpwee berbeda dengan ilmu Siansu dan meskipun belum tentu bisa mengalahkan ilmu Siansu, masing-masing mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Kalau Cio Cianpwee tidak punya ilmu istimewa, kalian berdua sudah pasti tak akan mengangkat beliau sebagai guru. Di samping itu, Toasuko pun telah menyebut-nyebut hal 'rejeki' yang kata-nya, kalau ditolak olehku, orang lain tentu tidak dapat memaksanya. Dengan demikian, Yo-ong Sin-pian sudah tidak berguna lagi dan Siauwmoay lebih baik membakarnya." Seraya berkata begitu, ia mengeluarkan sejilid kitab yang kertasnya sudah berwarna kuning. Ia menyalakan bahan api yang kemudian lalu digunakan untuk membakar kitab itu.

Waktu baru mendengar perkataan Leng So, Cio Ban Tin tertawa dalam hatinya. Yo-ong Sin-pian ditulis oleh Bu-tin Taysu sendiri. Mana bisa jadi Leng So membakarnya? Sesudah nona Thia menyalakannya dia masih tersenyum-senyum, sebab menduga, bahwa yang dibakar itu adalah kitab palsu. Setelah kitab tersebut terbuka lembarannya, sebab kena hawa panas, dan dia mengenali huruf-hurufnya sebagai tulisan tangan Bu-tin Taysu, barulah dia cegat.

"Celaka! Budak itu tentu sudah menghafal isinya dan hilangnya kitab itu tidak menjadi soal baginya," pikirnya. Karenanya ia lantas saja berteriak: "Tahan!" Ia mengirim pukulan dan angin pukulan itu dalam sekejap sudah memadamkan api.

"Eh-eh, aku benar-benar tidak mengerti," kata Leng So.

"Kalau ilmu Cio Cianpwee lebih unggul daripada guruku, perlu apa ia membaca kitab Siansu. Jika ilmu Cio Cianpwee lebih rendah daripada Siansu, mengapa beliau berani menerima aku sebagai murid?"

"Ilmu Suhu mamang tidak berada di sebelah bawah Siansu," kata Boh-yong Keng Gak.

"Tapi Yo-ong Sin-pian adalah hasil jerih payah Siansu selama bertahun-tahun. Ada baiknyajuga jika Suhu membacanya sambil lalu, supaya beliau bisa menunjukkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan dalam kitab itu." Leng So manggut-manggutkan kepalanya.

"Toasuko, makin lama pengetahuanmu jadi makin tinggi," katanya dengan nada mengejek.

"Ha-ha! Dua orang bersembunyi di belakang pintu, yang ketiga di kolong ranjang, untuk membokong Ouw Toako dan aku. Cio Cianpwee, boanpwee ingin minta penjelasanmu mengenai suatu hal. Jika Cianpwee bisa memberikan keterangan yang memuaskan, maka dengan kedua tangan boanpwee akan menyerahkan Yo-ong Sin-pian. Selain itu, boanpwee pun akan memohon supaya Cian pwee sudi menerima boanpwee sebagai murid." Cio Ban Tin terkejut. Ia tahu, bahwa pertanyaan yang akan diajukan itu pasti pertanyaan sulit yang belum tentu dapat dijawabnya. Tapi karena melihat Yo-ong Sin-pian berada dalam tangan Leng So yang bisa segera memusnahkannya, maka ia tak mau menggunakan kekerasan yang dapat menggusarkan nona itu.

"Soal apa yang mau diajukan olehmu?" tanyanya. Nona Thia tersenyum dan berkata: "Di antara suku Biauw di propinsi Kwiciu terdapat serupa racun yang dinamakan Pek-cam Tok-kouw...." (Pek-cam Tok-kouw = Kupu-kupu beracun dari ulat sutera hijau).

Mendengar "Pek-cam Tok-kouw", paras Cio Ban Tin lantas saja berubah.

Sementara itu, Leng So meneruskan perkataannya: "Dengan menggilas telur kupu-kupu itu, sehingga menjadi tepung, suku Biauw membuat semacam racun yang sangat hebat. Jika racun itu disebar di pakaian atau di perabot makan, maka orang yang menyentuhnya akan segera keracunan. Racun itu adalah salah satu dari tiga macam racun terhebat dari suku Biauw. Cio Cianpwee, bukankah begitu?"

"Benar," jawabnya sambil mengangguk. "Budak kecil, kau mempunyai pengetahuan yang agak luas."

******

Sekembalinya di Tionggoan dari Gunung Orang Hutan, Cio Ban Tin segera mendengar, bahwa Bu-tin Taysu sudah meninggal dunia. karena belum dapat membalas sakit hati, maka ia lalu mencari murid-murid Bu-tin untuk melampiaskan nafsu amarahnya.

Apa mau, yang ditemuinya paling dulu adalah Boh-yong Keng Gak, manusia berjiwa kecil yang bersifat licik. Begitu dijatuhkan, si orang she Boh-yong lalu meminta-minta. ampun dan mengatakan, bahwa mendiang gurunya meninggalkan sejilid ki-tab Yo-ong Sin-pian yang jatuh ke dalam tangan Leng So. Ia menyatakan bersedia untuk mengangkat Cio Ban Tin sebagai guru dan berjanji akan berlaku sebagai penunjuk jalan untuk mencari Leng So dan merampas kitab tersebut.

Cio Ban Tin sangat membenci suhengnya, tapi ia pun jeri terhadap kelihayan kakak seperguruan itu. Mendengar Bu-tin meninggalkan sejilid kitab, ia merasa pasti, bahwa kitab itu berisi pelajaran yang luar biasa. Oleh sebab itu, ia lantas saja menerima Boh-yong Kong Gak sebagai murid.

Belakangan atas anjuran murid baru itu, ia menyerang rumah besi Kiang Tiat San dan membunuhnya sekalian. Sie Kiauw menakluk kepadanya dan dia juga diterima sebagai murid.

Sebelum Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw menakluk serta Kiang Tiat San dibunuh, Cio Ban Tin pernah bertempur dengan ketiga murid Bu-tin itu. Ia merasa, bahwa ilmu silat ketiga orang itu tidak seberapa tinggi, sedang ilmu mereka dalam menggunakan racun juga kalah jauh dari Bu-tin Taysu. Ia mendengar bahwa murid Bu-tin yang keempat, yaitu Thia Leng So, adalah seorang wanita yang baru berusia delapan belas atau sembilan belas tahun. Dengan mengukur kepandaian ketiga murid Bu-tin yang lain, ia sedikit pun tidak memandang kepandaian nona Thia. Ia menganggap, bahwa sekali ia menggerakkan tangan, nona itu akan segera bisa dibekuk.

Tapi dalam Ciangbunjin Tayhwee, ia dijatuhkan oleh nona Thia. Ia gusar dan merasa penasaran. Ia menganggap, bahwa kekalahannya adalah karena lamurnya, sehingga ia tidak dapat melihat racun Cek-kiat-hun dan Sam-go Ngo-mo-yan. Tapi ia jeri terhadap Ouw Hui yang tinggi ilmu silatnya. Karena itu, ia hanya berani menguntit dengan diam-diam. Ketika Ouw Hui dan Leng So pergi ke To-jian-teng untuk menemui Bu-tim Tootiang, bersama kedua muridnya, ia bersembunyi dalam kelenteng Sin-long-bio itu. Tujuan mereka yang terutama adalah merebut Yo-ong Sin-pian.

Melihat banyaknya orang-orang Ang-hoa-hwee, mereka terus bersembunyi di ruangan belakang dan tak berani muncul. Waktu rombongan Tan Kee Lok berangkat pulang dan berpamit dari Ouw Hui dan Leng So di luar kelenteng, mereka lantas masuk dan bersembunyi dalam kamar Ma It Hong. Sesudah menyebar racun, mereka menunggu Ouw Hui dan Leng So yang mau dijadikan korban. Tapi di luar dugaan, nona Thia sangat lihay dan pada detik yang sangat berbahaya, ia dapat mengendus jebakan yang dipasang.

******

Mendengar "Pek-cam Tok-kouw", Cio Ban Tin kaget dan heran. Ia tak pernah menduga, bahwa nona itu sedemikian luas pengetahuannya. Ia segera mengawasi Leng So dengan penuh kewaspadaan dan menunggu pertanyaan yang akan diajukan dengan jantung berdebar keras-keras.

Leng So berkata pula: "Kalau tepung telur Pek-cam Tok-kouw disebar di perabot makan atau barang-barang lain, maka racun itu tidak memperlihatkan warna dan juga tidak mengeluarkan bau, sehingga sukar diketahui oleh calon korban. Tapi, untuk bisa membunuh manusia, racun itu harus masuk ke dalam badan lewat darah dan daging. Dalam dunia ini tiada yang sempurna. Begitu menyentuh daging, racun tersebut lantas saja memperlihatkan warna hijau.

"Cio Cianpwee, jika kau hanya menyebar racun Pek-cam Tok-kouw di pakaian jenazah Ma Kouw-nio, siapa pun jua tak akan mengetahuinya. Tapi kau ingin bekerja lebih sempurna dan sudah menyebarnya juga di muka dan tangannya." Mendengar itu, Ouw Hui baru mengerti. Siasat itu sungguh busuk dan kejam. Kalau mata si adik tidak cukup jeli, ia pasti sudah keracunan, sebab tepat dengan perhitungan Cio Ban Tin, ia mesti memondong jenazah Ma It Hong untuk menguburkannya.

"Bangsat tua!" ia mencaci.

"Kau mau mencelakakan orang, tapi mungkin kau sendiri yang akan celaka." Si tua tidak menggubris cacian Ouw Hui. Sambil mengibaskan tongkatnya, ia berkata: "Budak kecil! Matamu lihay. Kau sudah bisa mengenali Pek-cam Tok-kow. Di antara orang Han, hanya aku dan kau yang mengenal itu. Bagus! Kau sungguh lihay! Semua saudara seperguruanmu tak ada yang bisa menandingi kau."

"Cianpwee memuji terlalu tinggi," kata Leng So seraya membungkuk.

"Mana bisa boanpwee menandingi Suheng dan Suci? Dalam hal racun Pek-cam Tok-kouw, ada sesuatu yang boanpwee masih kurang paham. Dalam Yo-ong Sin-pian disebutkan, bahwa sebenarnya tidak sukar untuk menghilangkan warna hijau racun itu di kulit manusia. Aku tak mengerti, mengapa Cianpwee tidak menggunakan cara itu?"

Cio Ban Tin mendelik. "Omong kosong!" bentaknya.

"Suku Biauw adalah leluhur Pek-cam Tok-kouw, tapi mereka sendiri belum mampu menghilangkan warna racun di kulit manusia. Gurumu belum pernah datang di daerah suku Biauw. Tahu apa dia?"

"Kalau Cianpwee mengatakan begitu, boan-pwee tentu tidak bisa tidak percaya," kata Leng So. Tapi dalam buku yang ditulis Siansu memang terdapat petunjuk mengenai itu. Ku tak tahu siapa yang benar, apa Cianpwee atau guruku."

"Bagaimana caranya?" tanya si tua.

"Coba beritahukan kepadaku."

"Jika boanpwee hanya memberitahukan dengan mulut, Cianpwee belum tentu percaya," jawabnya. Tapi kalau dijajal, benar tidaknya segera bisa terbukti."

"Bagaimana menjajalnya?" tanya pula Cio Ban Tin.

"Cianpwee boleh menaruh sedikit Pek-cam Tok-kouw di tangan seseorang dan boanpwee sendiri sesuai dengan petunjuk Siansu, akan menaruh obat di tangan itu," jawab Leng So.

"Kita nanti lihat, apa benar warna hijau di tangan orang itu bisa menghilang." Si tua sangat bersangsi, ia setengah percaya, setengah tidak. Sesudah berdiam sejenak, karena didorong dengan keinginan mendapat tahu benar tidaknya keterangan Leng So, ia lantas saja bertanya pula: "Tapi tangan siapa yang harus digunakan untuk menjajalnya?"

"Terserah kepada Cianpwee," jawabnya. Sekali lagi Cio Ban Tin bersangsi.

"Kalau ditaruh di tanganmu, kau tentu akan menolak," pikirnya.

"Jika ditaruh di tangan pemuda yang galak itu, lebih-lebih tak bisa kejadian." Sesudah memikir beberapa saat, ia berpaling kepada Boh-yong Keng Gak seraya berkata: "Keluarkan tangan kirimu!" Murid itu melompat bahna kagetnya. Dengan mata terbuka lebar, ia berkata: "Ini... ini Suhu... jangan kena diakali oleh perempuan busuk itu!" Sang guru lantas saja gusar. "Keluarkan tangan kirimu!" bentaknya.

Melihat kegusaran gurunya Boh-yong Keng Gak tidak berani membantah lagi. Dengan bergemetaran ia mengangsurkan tangan kirinya. Tapi segera ia ingat, bahwa meskipun belum tentu mati, ia pasti bakal mengalami penderitaan hebat dan mengingat begitu, tanpa merasa ia menarik pulang lagi tangannya.

"Baiklah!" kata Cio Ban Tin sambil tertawa dingin.

"Kalau kau tidak menurut perintah guru, terserah!" Mendengar perkataan itu, paras muka Boh-yong Keng Gak berubah pucat pasi. Pada waktu mau mengangkat guru, ia telah bersumpah, bahwa ia akan menurut segala perintah Cio Ban Tin dan manakala ia tidak menurut perintah, ia rela menerima hukuman. Kata-kata "menerima hukuman" kedengarannya sederhana sekali, tapi sebagai orang-orang yang biasa menggunakan racun, perkataan itu mengandung arti yang sangat hebat, sehingga oleh karenanya, Boh-yong

Keng Gak lantas saja menggigil sekujur badannya. Baru saja ia mau mengangsurkan lagi tangannya, tiba-tiba Sie Kiauw berkata: "Suhu, biar aku saja yang mencoba-coba." Seraya berkata begitu, dengan tenang ia melonjorkan tangan kirinya.

"Tidak! Aku tak perlu kau," bentak sang guru.

"Aku mau lihat apa sebagai lelaki dia punya nyali atau tidak."

"Suhu aku bukan takut," Boh-yong Keng Gak coba membela diri.

"Tapi karena kutahu sumoay itu banyak akalnya dan dia tentu tidak mengandung maksud baik, maka kita harus berhati-hati, jangan sampai terjebak.

"Toasuko memang lihay," kata Leng So sambil manggut-manggutkan kepalanya.

"Dulu, Siansu pun kadang-kadang naik darah sebab sepak terjangmu. Sekarang, sesudah mempunyai guru baru, kau mengulangi lakon murid lebih pintar daripada guru." Cio Ban Tin mengerti, bahwa Leng So coba merenggangkan perhubungan antara guru dan murid. Tapi sebab Boh-yong Keng Gak memang benar sudah membantah perintahnya, maka dengan sorot mata mendongkol ia terus mengawasi murid itu, yang dengan ketakutan perlahan-lahan mengangsurkan pula tangannya. Dari sakunya si tua lalu mengeluarkan sebuah kotak emas, yang ketika dibuka, di dalamnya ternyata berisi tiga ulat sutera warna hijau yang bergerak-gerak tak hentinya. Dengan menggunakan satu sendok kecil, yang terbuat daripada emas, ia menyendok sedikit bubuk hijau yang lalu ditaruh di telapak tangan muridnya. Lengan kiri Boh-yong Keng Gak bergemetaran makin keras, paras mukanya menunjukkan perasaan takut, gusar dan membenci, sedang matanya mengeluarkan sinar mata binatang buas, yang seolah-olah mau menerkam korbannya.

"Biar bagaimanapun jua, tindakan Jie-moay ini sudah menanam bibit permusuhan hebat antara guru dan murid itu," kata Ouw Hui di dalam hati.

"Kalau ada kesempatan, Boh-yong Keng Gak pasti akan membalas sakit hati ini." Dalam sekejap, bubuk hijau itu meresap masuk ke dalam daging dan di atas kulit telapak tangan terlihat sedikit warna hijau.

"Bocah! Sekarang kau boleh coba menghilangkan warna hijau itu," kata Cio Ban Tin. Leng So tidak meladeni. Ia menengok kepada Ouw Hui dan berkata: "Toako, waktu kita baru bertemu di kelenteng Pek-ma-sie, di tepi telaga Tong-teng, aku telah ajukan tiga permintaan kepadamu. Apa sekarang kau masih ingat tiga syarat itu?"

"Ingat," jawabnya. Ia ingat, bahwa si adik telah minta supaya ia tidak bicara, tidak bertempur dan tidak terpisah dari Leng So lebih tiga tindak.

"Baguslah jika Toako masih ingat," kata Leng So.

"Hari ini kau harus memperhatikan ketiga syarat itu." Ouw Hui lantas saja mengangguk.

"Cio Cianpwee," kata Leng So, "Antara lain-lain racun, kau pasti membawa juga Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan. Jika kedua racun itu digunakan bersama-sama Pek-cam Tok Kouw, maka warna hijau yang terdapat di kulit Toasuko akan menghilang, karena ketiga racun itu saling menentang (Ho-teng-hong = Bagian merah di atas burung Ho, Kong-ciak-tan = Nyali burung merak). Menurut kepercayaan kedua-duanya dapat diolah menjadi racun dan juga saling membantu. Jika Cianpwee tidak percaya bacalah lebih dulu apa yang tertulis dalam Yo-ong Sin-pian." Seraya berkata begitu, ia membuka halaman kitab itu dan lalu mengangsurkannya kepada Cio Ban Tin. Si tua lantas saja membaca sebaris huruf yang berbunyi: "Jika Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan digunakan bersama-sama telur Pek-cam, maka warna dan baunya lantas saja hilang, hanya bekerjanya terlebih perlahan." Ia mau membaca terus, tapi nona Thia sudah menutupnya.

"Bangsat Bu-tin benar-benar luas pengetahuannya," caci Cio Ban Tin dalam hatinya.

"Hal ini harus dijajal olehku. Kalau terbukti kebenarannya, maka Yo-ong Sin-pian itu bukan kitab palsu." Selama hidupnya Cio Ban Tin mempelajari soal racun dan hampir dua puluh tahun ia membuat penyelidikan dan percobaan secara mati-matian, dalam usaha untuk mengalahkan kakak seperguruannya. Ia jadi keranjingan racun. Sekarang, dengan timbulnya dugaan, bahwa kitab yang diperlihatkan Leng So bukan kitab palsu, maka baginya, kitab itu adalah lebih berharga daripada harta apa-pun juga di dalam dunia. Di samping sifatnya yang kejam, antara dia dan Bo-yong Keng Gak sama sekali tak ada kecintaan guru dan murid. Selain itu, ia pun mengerti, bahwa sesudah menyebar Pek-cam Tok-kouw di tangan murid itu, jika mendapat kesempatan, Boh- yong Keng Gak tentu akan memberontak terhadapnya. Maka itu, ia segera mengambil keputusan untuk menjajal ketiga macam racun itu di badan Boh-yong Keng Gak.

Dengan sekali mementil kuku telunjuk tangan kanannya, semacam uap merah lantas saja masuk ke telapak tangan Boh-yong Keng Gak. Hampir berbareng, ia mementil jari tengah dan kali ini yang masuk ke tangan muridnya adalah uap yang berwarna hitam.

Melihat si tua bisa menyebar racun dengan hanya mementil kuku, Leng So jadi kagum bukan main. Tapi dengan memperhatikan gerak-gerik si tua, ia segera bisa menebak rahasianya. Ia mendapat kenyataan, bahwa ikat pinggang Cio Ban Tin dijahit begitu rupa, sehingga terbagi jadi kotakan-kotakan dan pada ikat pinggang itu terdapat kira-kira tujuh puluh atau delapan puluh kotakan. Ia menduga, bahwa di dalam setiap kotakan tersimpan serupa racun. Dengan latihan yang seksama, sekali tangannya bergerak, tanpa diketahui manusia, ia sudah mengambil sedikit racun yang diinginkannya dengan kukunya.

Demikianlah, tahu-tahu kedua racun itu sudah masuk ke dalam telapak tangan Boh-yong Keng Gak. Sebenarnya, sesudah mendengar pembicaraan antara Cio Ban Tin dan Leng So, dia segera mengambil keputusan untuk melawan. Ia lebih suka menakluk kepada Leng So dan mereka bertiga bersatu padu untuk melawan guru kejam itu, daripada menderita penderitaan yang lebih hebat. Tapi di luar dugaan, sebelum bergerak, Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan sudah masuk ke tangannya.

Benar saja, begitu lekas uap merah dan hitam itu meresap masuk, warna hijau yang tadi melekat di telapak tangan lantas saja menghilang.

"Bagus!" seru si tua dengan suara girang dan tangannya menjambret Yo-ong Sin-pian yang dicekal Leng So. Nona Thia tidak menarik pulang tangannya, ia hanya tersenyum simpul. Tapi, sebelum lima jarinya menyentuh kitab itu, dalam otak si tua mendadak berkelebat serupa ingatan. "Celaka! Apa bisa jadi di kitab itu tidak tersembunyi sesuatu yang hebat?" pikirnya. Cepat bagaikan kilat, ia menarik pulang tangannya.

"Cio Ban Tin, Cio Ban Tin!" ia mengeluh dalam hatinya.

"Jika kau memandang rendah bocah itu, biarpun kau punya sepuluh jiwa, kau akan mampus dalam tangannya." Sementara itu,

telapak tangan Boh-yong Keng Gak sudah mulai baal dan gatal. Rasa gatal menusuk sampai di jantung, seolah-olah berlaksa semut menggigit isi perutnya.

"Siauwsumoay," katanya dengan suara bergemetar.

"Lekas keluarkan obat pemunah."

"E-eh, Toasuko, apakah kau lupa pesan Siansu?" tanya Leng So.

"Apa adanya sembilan macam racun yang tidak boleh digunakan, sebab tidak ada obat pemunahnya?" Boh-yong Keng Gak mengeluarkan keringat dingin. "Ho-teng-hong dan Kong.... Kong-ciak-tan juga... juga termasuk dalam sembilan macam racun itu," katanya.

"Sumoay, mengapa... mengapa kau meracuni aku dengan kedua racun itu? Bukankah kau melanggar pesan Suhu?"

"Toasuko, bahwa kau masih ingat Suhu dan masih ingat pula pesan Suhu sungguh-sungguh diluar dugaanku," kata nona Thia dengan suara tawar.

"Adakah Pek-cam Tok-kouw disebar olehku? apakah Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan ditaruh olehku di badanmu? Siansu telah memesan, bahwa orang-orang dari golongan kita, biarpun sedang menghadapi bahaya mati hidup, sekali-kali tidak boleh menggunakan racun yang tak ada obat pemunahnya. Inilah larangan terutama dari partai kita. Cio Cianpwee, Toasuko dan Samsuci yang sudah keluar dari partai kita, tentu saja boleh tak usah memperhatikan larangan itu. Tapi Siauwmoay sendiri tak boleh melupakannya."

Selama Leng So bicara, dengan tangan kanan Boh-yong Keng Gak menekan nadi kirinya untuk menahan naiknya racun. Muka dan badannya mengeluarkan keringat dan ia tidak dapat mengeluarkan sepatah kata lagi.

Sie Kiauw buru-buru mencabut golok pendek dan membuat goresan tapak jalak di telapak tangan suaminya, supaya sebagian racun bisa mengalir keluar bersama-sama darah. Ia mengerti, bahwa goresan itu tidak dapat menolong jiwa, tapi sedikitnya bisa mengurangi kehebatan racun.

"Siauwsumoay apa yang ditulis dalam kitab Suhu?" tanyanya.

"Sesudah menyebutkan cara menggunakan tiga macam racun itu, beliau tentulah juga menulis tentang cara memunahkannya."

"Suhu yang mana?" tanya Leng So.

"Apakah Suhu Siauwmoay yang bernama Bu-tin Taysu, ataukah Suhu kalian yaitu, Cio Cianpwee?" Mendengar ejekan itu, Sie Kiauw sangat gusar, tapi demi kepentingan suaminya, sebisa-bisa ia menekan hawa amarahnya.

"Kami berdua memang pantas mendapat hukuman mati," katanya dengan suara gemetar.

"Tapi, aku mengharap, dengan mengingat kecintaan dahulu hari dan dengan memandang muka siansu, Siauwsumoay sudi menolong selembar jiwanya. Leng So segera membalik-balik lembaran Yo-ong Sin-pian dan sambil menunjuk dua baris huruf, ia berkata: "Sucie, lihatlah sendiri. Dalam hal ini, kau tidak dapat menyalahkan aku." Sie Kiauw mengawasi yang ditunjuk Leng So dan membaca huruf-huruf yang berbunyi begini: Kalau Pek-cam Tok-kouw, Ho-teng-hong dan Kong-clak-tan digunakan bersama-sama maka tak ada obat yang dapat memunahkannya. Racun itu tidak boleh digunakan, tidak boleh digunakan." Sie Kiauw marah besar. Ia menengok kepada Cio Ban Tin dan berkata dengan suara keras. "Suhu! Dalam kitab itu ditulis terang-terang, bahwa ketiga racun itu tak ada obat pemunahnya. Mengapa kau masih menjajalnya di badan Keng Gak?" Ia masih memanggil "Suhu," tapi suaranya kaku dan matanya berapi-api. Dua baris huruf itu sebenarnya tidak dapat dibaca oleh Cio Ban Tin, tapi andaikata dia membacanya, dia pun tak akan bersangsi untuk menyebar racunnya di telapak tangan Boh-yong Keng Gak. Mendengar teguran muridnya, tentu saja ia sungkan mengaku salah.

"Berikan buku itu kepadaku," katanya.

"Aku mau lihat ada keanehan apa lagi yang ditulis di situ." Sie Kiauw gusar tak kepalang. Ia mengerti, bahwa jika ia bersangsi-sangsi, jiwa suaminya tak akan bisa ditolong lagi. Dengan cepat ia mengayun golok dan mengutungkan lengan Boh-yong Keng Gak sebatas pundak. Ketiga racun itu bukan main hebatnya, tapi karena digunakan bersama-sama maka bekerjanya agak perlahan. Selain begitu, karena masuk dari telapak tangan yang tak terluka, maka racun tidak masuk ke dalam pembuluh darah, sehingga dengan kutungan lengannya, jiwa Boh-yong Keng Gak dapat ditolong.

Sebagai murid Bu-tin Taysu, Sie Kiauw mempunyai kepandaian tinggi dalam mengobati luka. Dengan cepat dan secara ahli, ia menaruh obat dan membalut luka suaminya. Sesudah luka Boh-yong Keng Gak selesai dibalut, dengan paras sungguh-sungguh Leng So berkata: "Toasuko, Samsuci, aku bukan sengaja ingin mencelakakan kau. Kamu berdua berdosa besar. Dengan mengkhianati partai sendiri dan mengangkat seorang musuh guru kita sebagai guru, kamu berdua sudah pantas untuk mendapat hukuman mati. Di

samping itu, kamu juga sudah membinasakan Jiesuko dan puteranya. Itulah perbuatan yang sangat terkutuk, sehingga bukan saja manusia, tapi malaikat pun mengutuk kamu. Siauwmoay adalah ahli waris dari partai kita. Jika aku tidak menghukum kamu, apakah aku boleh membiarkan nama besarnya Siansu dirusak oleh musuhnya dan muridnya sendiri? Sesudah Jiesuko dan puteranya binasa dalam keadaan yang mengenaskan, jika Siauwmoay tidak menghukum kamu, apakah Siauwmoay boleh membiarkan roh Jiesuko dan puteranya terus-menerus merasa penasaran di dunia baka?"

Leng So adalah seorang wanita yang lemah dan kurus badannya, sedang usianya pun masih sangat muda. Tapi waktu mengucapkan perkataan itu, suaranya berpengaruh dan sikapnya angker sekali. Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya dan berkata dalam hatinya: "Memang, mereka memang pantas dihukum mati."

Sesudah berdiam sejenak, nona Thia berkata pula dengan suara lebih halus: "Akan tetapi, biarpun kalian sudah mengkhianati partai, kalian adalah kakak seperguruanku. Seumur hidup Siauwmoay belum pernah membunuh orang dan Siauwmoay tak ega untuk membinasakan saudara seperguruan sendiri. Biarpun lengan Toasuko sudah dikutungkan, tapi sebab racun itu sudah naik ke jantung, maka di dalam tempo sebulan, racun akan mengamuk dan tidak dapat diobati lagi. Sekarang aku ingin memberikan tiga butir Seng-seng Cauw-hoa-tan kepada Toasuko. Pel ini adalah hasil jerih payah Siansu selama beberapa tahun. Dengan memberanikan hati, Siauwmoay mewakili Siansu untuk menghadiahkan ketiga pel itu kepada Toasuko. Setiap butir dapat memperpanjang umur selama tiga tahun. Sesudah menelannya kuharap kau ingat budi Siansu yang sangat besar. Kuharap juga kau akan menanya diri sendiri: Siapa yang memperlakukan kau terlebih baik, apa guru lama atau guru baru?" Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan tiga butir pel merah dari sakunya.

Selagi Sie Kiauw mau menyambuti, Cio Ban Tin tertawa dingin dan berkata: "Lengan sudah kutung, mana bisa racun menyerang jantung? Kalau pel pembetot jiwa itu ditelan, barulah racun menyerang jantung."

"Kalau kalian percaya omongan guru yang baru, pel ini boleh tak usah digunakan," kata Leng So. Tangannya bergerak untuk memasukkannya ke dalam saku.

"Tidak...! Tidak!" teriak Boh-yong Keng Gak tergesa-gesa.

"Sumoay, berikanlah kepadaku." Sie Kiauw mendekati sumoaynya dan seraya mengambil ketiga pel itu, ia berkata: "Terima kasih atas kebaikan Sumoay. Mulai dari sekarang, kami berdua akan mengambil jalan yang lurus." Sekonyong-konyong tubuh Sie Kiauw bergoyang-goyang dan berteriak dengan suara gusar: "Cio Ban Tin...! Kau sungguh kejam...!" Hampir berbareng dengan teriakannya, ia roboh terguling. Leng So dan Ouw Hui kaget. Mereka tak lihat gerakan Cio Ban Tin. Bagaimana dia menyebar racunnya? Leng So membungkuk dan coba membalikkan si bongkok untuk memeriksa apa dia masih bisa ditolong. Mendadak, di luar dugaan, pergelangan tangan kanannya dicengkeram Sie Kiauw. Leng So terkesiap - ia tahu, bahwa ia sudah terjebak. Ia mau menghantam kepala manusia curang itu, tapi badannya sudah lemas dan ia tak bisa bergerak lagi.

Sambil menempelkan ujung golok di dada nona Thia, Sie Kiauw membentak: "Serahkan Yo-ong Sin-pian!"

Leng So sangat berduka. Karena baik hati, ia celaka. Dengan apa boleh buat, ia melemparkan kitab itu di tanah. Ouw Hui mau menerjang, tapi ia tak berani sebab ujung golok menempel di dada adiknya, sehingga kalau ia bergerak, si adik pasti akan binasa terlebih dahulu. Sambil mencekal tangan nona Thia erat-erat, Sie Kiauw berkata: "Suhu, teecu bantu kau merebut Yo-ong Sin-pian. Coba Suhu menaruh Pek-cam Tok-kouw, Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan di tangan perempuan hina ini. Aku mau lihat apa dia tak akan menolong jiwanya sendiri."

Cio Ban Tin tertawa girang. "Murid yang baik, siasatmu sungguh bagus," ia memuji. Ia mengeluarkan kotak emas dan mengambil sedikit tepung Pek-cam Tok-kouw dan lalu bergerak untuk menyebarnya di tangan LengSo. Ho-teng-hongdan Kong-ciak-tan sudah berada dalam kukunya.

Itulah detik yang sangat, berbahaya bagi jiwanya Leng So! Ketika itu, Boh-yong Keng Gak sedang menderita kesakitan hebat. Ia tahu, bahwa detik itu sangat penting bagi jiwanya. Sesudah kena racun, jika memiliki obat pemunah, Leng So tentu akan segera mengeluarkan obat tersebut. Dia mengambil keputusan untuk merebut obat itu dari tangan nona Thia. Andaikata Leng So benar tak punya obat pemunah, ia boleh merasa puas juga, sebab hal itu berarti pembalasan sakit hati. Memikir begitu, sambil menahan sakit ia menghampiri dan menghadang di depan Ouw Hui untuk mencegah pertolongan pemuda itu.

Tapi Ouw Hui sudah mata gelap. Bagaikan kilat, tinjunya menyambar dan menghantam muka Boh-yong Keng Gak. Dia coba menangkis, tapi dalam nekatnya, mana Ouw Hui mau memberi kesempatan kepadanya. Tinjunya berkelebat dan mampir tepat di dada Boh-yong Keng Gak yang lantas saja terpental dan menubruk Sie Kiauw. Ditubruk begitu, Sie Kiauw terguling, tapi tangannya masih tetap mencekal pergelangan tangan Leng So. Ouw Hui melompat dan menendang punggung Sie Kiauw yang bongkok, sehingga sambil mengeluarkan teriakan hebat, dia melepaskan cekalannya. Kejadian itu sudah terjadi dalam sekejapan mata saja.

Hampir berbareng tangan Cio Ban Tin sudah menyambar. Sebab khawatir tangan si tua yang tentu sudah menggenggam racun menyentuh tubuh adiknya. Buru-buru Ouw Hui mendorong pundaknya. Cio Ban Tin membalik tangannya dan coba mencengkeram tangan kanan Ouw Hui.

"Mundur!" teriak Leng So. Kalau Ouw Hui menyambut dengan menggunakan Kin-na-chiu, ia bisa mematahkan tangan si tua. Tapi mana ia berani? Ia tahu, bahwa di kuku manusia itu tersimpan racun hebat. Buru-buru ia melompat ke belakang.

Melihat cengkeramannya gagal, Cio Ban Tin segera menimpuk dengan sendok emasnya yang berisi racun Pek-cam Tok-kouw dan berbareng, ia mementil kukunya. Bagaikan nap, bubuk-bubuk racun itu menyambar belakang tangan Ouw Hui.

Pemuda itu, yang masih tak tahu bahwa dirinya sudah kena racun, lantas saja membasmi ketiga manusia jahat itu. Ia menyerang bagaikan harimau edan dan tidak main sungkan-sungkan lagi. Cio Ban Tin coba melawan dengan tongkatnya. Tiba-tiba ia mengeluarkan teriakan tertahan, ia merasakan kesakitan hebat dan darah menyembur dari tangannya sebab tiga jerijinya kena dibabat putus. Hatinya mencelos dan sekali lagi ia mementil kukunya yang lantas saja mengeluarkan semacam uap.

"Toako mundur!" teriak pula Leng So.

Ouw Hui berdiri di depan adiknya dan mengawasi ketiga manusia itu yang kabur secepat-cepatnya. Sesaat kemudian, dengan hati seperti disayat ribuan pisau, Leng So mencekal tangan kakaknya. Ia sendiri terlolos dari kebinasaan, tapi sang kakak dalam usaha untuk menolong jiwanya, sudah kena racun. Ia tahu, bahwa belakang tangan Ouw Hui sudah kena Pek-cam Tok-kouw, Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan yang tidak dapat dipunahkan dengan obat apa pun jua. Apakah ia harus mengikuti contoh Sie Kiauw mengutungkan lengan sang kakak - dan kemudian memberikannya beberapa Seng-seng Tiauw-hoa-tan, supaya jiwanya bisa disambung dengan beberapa tahun? Apa ia harus berbuat begitu?

Dalam dunia yang lebar ini, Ouw Hui adalah manusia satu-satunya yang dicintainya dengan segenap jiwa raga. Sesudah berkumpul beberapa lama, ia sudah menaruh kepentingan Ouw Hui di atas kepentingannya sendiri. Apakah manusia yang sedemikian mulia hanya akan hidup di dunia beberapa tahun lagi - sembilan tahun lagi, dengan pertolongan tiga butir Seng-seng Tiauw-hoa-tan?

Leng So tak perlu memikirkan panjang-panjang. Dalam sekejap ia sudah mengambil keputusan apa yang harus dilakukannya.

Ia mengeluarkan sebutir pel warna putih dan sambil menaruhnya di mulut sang kakak, ia berkata dengan suara gemetar: "Telanlah!"

Ouw Hui segera menelannya. Mengingat pengalaman tadi, ia berkata: "Sungguh berbahaya! Jie-moay, sungguh berbahaya!" Sambil mengawasi Yo-ong Sin-pian yang menggeletak di tanah dan yang beberapa lembarannya bergoyang-goyang karena ditiup angin musim rontok, ia berkata pula: "Jie-moay, sungguh sayang mereka terlolos, tapi untung juga buku itu tidak kena dirampas mereka. Jie-moay, kalau kau kena tiga racun, celakalah!" Leng So merasa seolah-olah ususnya dipotong-potong. Ia mau menangis, ia mau sesambat, tapi air matanya kering, mulutnya tidak bisa mengeluarkan sepatah kata.

Melihat muka adiknva pucat pasi, Ouw Hui berkata dengan suara lemah lembut: "Jie-moay, kau capai. Mengasolah!"

Si nona jadi terlebih duka lagi dan berkata: "Aku... aku...." Tiba-tiba Ouw Hui merasa belakang tangan kanannya agak baal dan gatai. Selagi ia mau menggaruknya, Leng So mencekal tangan kirinya dan berkata dengan suara gemetar: "Jangan!"

"Jie-moay mengapa kau?" tanya Ouw Hui dengan rasa heran sebab merasa tangan adiknya dingin bagaikan es. Baru saja ia berkata begitu, sekonyong-konyong matanya gelap dan ia roboh terjengkang.

Biarpun tidak bisa berkutik, otak Ouw Hui tetap lerang. Ia merasa belakang tangan kanannya makin baal dan gatal dan ia kaget bukan main. "Apa aku kena racun...?" tanyanya.

Air mata Leng So mengucur deras dan jatuh menetes di pakaian kakaknya. Perlahan-lahan tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia manggut manggutkan kepalanya. Melihat kesedihan adiknya, Ouw Hui mengerti, bahwa racun yang berada dalam tubuhnya tak dapat dipunahkan lagi. Sesaat itu, di depan matanya terbayang pula kejadian-kejadian pada masa yang sudah silam - pertemuannya dengan Tio Poan San di Siang-kee-poyang berakhir dengan angkat saudara, peristiwa mengenaskan di kelenteng Pak-tee-bio di Hud-san-tin, pertemuan dengan Wan Cie Ie, pertemuan dengan Leng So, Ciang-bunjin Tayhwee, rombongan Ang-hoa-hwee, Cio Ban Tin... semua berkelebat-kelebat di depan matanya.

Sesaat kemudian. badannya mulai kaku, sedang ujung tangan dan ujung kaki mulai dingin. "Jie-moay, hidup atau mati adalah takdir dan kau tak usah terlalu berduka," katanya dengan perlahan. "Aku hanya menyesal. bahwa kau akan hidup sendiri di dalam dunia dan sebagai kakak, aku tak dapat melihat-lihat kau lagi. Meskipun Kim-bian-hud Biauw Jin Hong seorang musuhku yang telah membunuh ayahku, tapi menurut pendapatku, ia seorang gagah yang jujur dan bersih. Sesudah aku mati, kau harus pergi kepadanya untuk melindungi diri...." Berkata sampai di situ, lidahnya kaku dan ia tak dapat bicara terus.

Sambil berlutut di samping kakaknya, si nona berkata: "Toako, kau jangan takut. Kau kena tiga macam racun yang sangat hebat, tapi aku masih mempunyai daya untuk memunahkannya. Bahwa kau tak bisa bergerak dan tak bisa bicara adalah akibat pel putih yang tadi diberikan olehku."

Mendengar perkataan si adik, Ouw Hui jadi girang. Leng So segera mengeluarkan sebatang jarum emas yang lalu digunakan untuk menusuk pembuluh darah di belakang tangan kakaknya. Sesudah itu tanpa merasa sangsi sedikit pun jua, ia menghisapnya.

Ouw Hui terkesiap. "Dengan menghisap darah beracun, bukankah kau sendiri akan kena racun juga?" katanya di dalam hati. Ia ingin memberontak, tapi tak bisa berkutik, sedang hawa dingin perlahan-lahan naik ke atas. Nona Thia menghisap dan membuang darah beracun di lantai. Sesudah mengulangi kira-kira empat puluh kali, darah yang dihisap sudah berwarna merah dan hatinya baru menjadi lega. Ia membuang nafas dan berkata dengan suara halus.

"Toako, kau dan aku sama-sama harus dikasihani. Kau mencintai Wan Kouwnio, tapi ia mencukur rambut, sedang aku... aku...."

Sambil mengawasi Ouw Hui dengan sinar mata penuh kecintaan, perlahan-lahan ia bangun berdiri dan mengeluarkan dua rupa obat bubuk yang lalu diusapkan di belakang tangan kakaknya. Sesudah itu ia mengambil sebutir pel warna kuning dan memasukkannya ke dalam mulut Ouw Hui. "Toako," bisiknya, "Suhu mengatakan, bahwa orang yang kena tiga rupa racun itu, tak bisa ditolong lagi. Beliau mengatakan begitu karena di dalam dunia tak ada tabib yang rela mengorbankan jiwa sendiri untuk menolong si sakit. Toako, beliau tak tahu, bahwa aku... aku bisa berkorban untukmu...."

Sehabis berkata begitu, si nona lalu membuka buntalannya dan mengeluarkan Giok-hong (burung-burungan hong yang terbuat daripada batu giok) yang telah diberikan kepadanya oleh Wan-seng.

Sesudah mengawasi perhiasan itu dengan sorot mata duka, ia membungkusnya dengan sapu tangan dan kemudian memasukkannya ke dalam saku Ouw Hui.

Ia mengeluarkan sebatang lilin yang lalu ditancapkan di ciak-tay yang berada di atas meja sembahyang. Di lain saat, ia kelihatannya mendapat lain ingatan. Ia mengeluarkan bahan api dan menyulut lilin itu dan kemudian, sesudah lilin tersebut terbakar sebagian, ia membawa balik, menaruh ciak-tay di atas meja sembahyang dan mencabut lilin itu yang lalu diletakkan di samping ciak-tay.

Akhirnya ia mengeluarkan lilin baru dan menancapkannya di ciak-tay. Dengan rasa heran Ouw Hui menyaksikan tindakan adiknya. Ia tak tahu apa maksudnya itu semua.

"Toako," kata Leng So.

"Ada sesuatu yang sebenarnya aku sungkan menyebut-nyebut karena khawatir kau berduka. Tapi pada saat kita hampir berpisahan, tak dapat tidak aku mesti membuka mulut. Waktu Susiokku yang jahat bertemu dengan Lian Kui Long dalam Ciangbunjin Tayhwee, apakah Toako melihat sesuatu yang mencurigakan? Dari sikap mereka, aku merasa pasti, bahwa mereka kenalan lama. Aku menduga,

bahwa Toan-chung-co vang digunakan Tian Kui Long untuk membutakan mata Biauw Jin Hong adalah pemberian Cio Ban Tin. Aku juga menaksir, bahwa racun yang dikenakan kepada kedua orang tuamu, adalah racun dari Cio Ban Tin." Ouw Hui terkesiap.

"Benar!" teriaknya di dalam hati.

"Pada waktu ayah dan ibumu meninggal dunia, siauwmoay belum dilahirkan," kata pula Leng So. Beberapa saudara seperguruanku pun belum belajar pada Siansu. Pada waktu itu, manusia yang pandai menggunakan racun hanyalah Siansu dan Cio Ban Tin sendiri. Biauw Tayhiap menduga, bahwa racun itu diberikan oleh guruku dan oleh karena adanya dugaan itu, ia bertempur dengan Siansu. Tapi kalau guruku mengatakan 'tidak' tentulah tidak. Sudah lama aku menaruh kecurigaan atas diri Susiok itu, tapi aku tidak mempunyai bukti. Sebenarnya, perlahan-lahan aku ingin menyelidiki dan kalau benar, aku akan berusaha untuk membalas sakit hatimu. Tapi sekarang, sesudah keadaan menjadi begini, biar bagaimanapun jua, aku harus membinasakan dia...." Tiba-tiba racun yang mengeram dalam badannya mengamuk, badannya bergoyang-goyang dan ia roboh di samping Ouw Hui.

Dengan hati seperti disayat ribuan pisau, Ouw Hui melihat adiknya pelan-pelan menutup mata dan dari mulutnya keluar sedikit darah. "Jie-moay! Jie-moay!" ia sesambat di dalam hati.

Jenazah Leng So dan Ouw Hui rebah berendeng di lantai, dari pagi sampai sore dan dari sore sampai magrib. Tiga rupa racun itu memang hebat luar biasa. Biarpun Leng So sudah menghisap dan mengeluarkan darah yang beracun, tapi sebab racun itu sudah masuk ke dalam badan, maka tubuh Ouw Hui akan terus kaku selama satu hari dan satu malam. Betapa hebat penderitaan dan kedukaan pemuda itu sukar dilukiskan.

Cuaca mulai gelap. Ouw Hui coba melihat jenazah adiknya, tapi kepalanya tak bisa bergerak. Selang beberapa jam, di sebelah kejauhan sekonyong-konyong terdengar suara burung kokok beluk yang sangat menyeramkan. Beberapa lama kemudian, kupingnya menangkap suara tindakan beberapa orang, yang dengan indap-indap mendekati kelenteng itu.

"Sie Kiauw, coba kau masuk lebih dulu," tiba-tiba terdengar suara seseorang, yang bukan lain daripada Cio Ban Tin.

Hati Ouw Hui mencelos, "Sudahlah!" pikirnya. "Aku tak bisa bergerak, aku harus menerima nasib. Jie-moay! Jie-moay!" Untukku kau telah mengorbankan jiwa. Tapi kau telah memberi obat yang terlalu keras, sehingga, sedang musuh sudah datang, aku masih belum bisa bergerak. Sekarang tak bisa lain daripada mengikut kau ke alam baka. Aku bukan takut mati, hanya aku merasa menyesal, sakit hati ini tidak bisa dibalas lagi." Ia tak tahu bahwa tenaga obat yang diberikan Leng So sudah habis dan kaku tubuhnya disebabkan oleh tiga rupa racun itu.

Perlahan-lahan Sie Kiauw masuk ke halaman kelenteng. Ia bersembunyi di belakang pintu dan mengawasi ke dalam. Ruangan itu gelap gulita, tapi ia tidak berani menyalakan api. Ia memasang kuping, tapi tak dengar suara apa pun juga. Ia keluar lagi dan lalu memberi laporan kepada gurunya.

Cio Ban Tin manggut-manggutkan kepalanya. "Bocah she Ouw itu sudah kena tiga rupa racun yang sangat hebat," katanya.

"Kalau dia tidak mampus, lengannya tentu sudah dikutungkan. Sekarang hanya ketinggalan perempuan hina itu dan kita boleh tak usah merasa khawatir." Biarpun bicaranya cukup gagah, hatinya masih keder. Sambil melintangkan tongkat di depan dadanya, indap-indap ia bertindak masuk. Waktu tiba di ruangan sembahyang, lapat-lapat ia melihat dua sosok tubuh yang menggeletak di lantai. Ia tidak berani mendekati, lalu mengambil sebutir batu dan menimpuknya. Dua orang itu tidak bergerak. Hatinya jadi lebih besar dan lalu menyalakan bahan api. Segera juga ia mendapat kenyataan, bahwa kedua sosok tubuh itu adalah jenazah Ouw Hui dan Leng So yang kaku.

Si tua girang tak kepalang. Jenazah Leng So sudah dingin dan waktu ia memeriksa Ouw Hui, pemuda itu menahan napas. Cio Ban Tin ternyata cukup berhati-hati. Untuk mendapat kepastian, ia mengeluarkan sebatang jarum emas dan menusuk telapak tangan Leng So dan Ouw Hui. Leng So memang sudah mati, sedang Ouw Hui biarpun masih hidup, kaku otot-ototnya, sehingga meskipun ia sendiri merasakan kesakitan hebat, otot-ototnya tidak memberi reaksi apa pun jua.

Boh-yong Keng Gak mengeluarkan suara di hidung. "Perempuan hina itu telah menghisap darah beracun dari kecintaannya," katanya dengan suara membenci. "Tapi dia bukan saja tidak berhasil menolong kecintaannya, malah ia sendiri turut mengantarkan jiwa."

Dengan menggunakan segulung kertas yang menyala Cio Ban Tin berusaha mencari Yo-ong Sin-pian.

Sesudah mencari beberapa lama, gulungan kertas itu sudah hampir terbakar habis, maka ia segera menghampiri ciak-tay untuk menyulut lilin. Tapi sebelum api menyentuh sumbu, ia menarik pulang tangannya dan berkata dalam hatinya: "Ah! Lilin ini lilin baru, mungkin sekali bukan lilin wajar." Tiba-tiba ia melihat sebatang lilin yang sudah terbakar sebagian, di bawah ciak-tay.

"Nah, lilin ini, yang sudah digunakan, pasti bukan lilin beracun," pikirnya. Ia lantas saja mencabut lilin baru dan mengambil lilin bekas itu yang sesudah ditancapkan di ciak-tay, lalu disulut.

Ruangan sembahyang lantas saja berubah terang benderang dan mereka segera melihat, bahwa Yo-ohg Sin-pian mengggeletak di lantai. Cio Ban Tin lalu merobek tangan bajunya dan dengan tangan di atas robekan itu, ia mengambil kitab tersebut. Di bawah sinar lilin, ia membalik-balik lembarannya dan membacanya sepintas lalu. Ternyata, kitab itu memang kitab tulen, tapi di dalamnya sebagian besar terisi dengan cara-cara mengobati berbagai penyakit dan keterangan mengenai sifatnya macam-macam obat. Mengenai racun hanya terdapat keterangan singkat tentang cara mengobatinya. Keterangan tentang cara menggunakan racun menanam rumput beracun dan memiara binatang beracun, sangat ringkas dan pendek.

Pada waktu menulis kitab itu, di dalam hati Bu-tin Taysu penuh dengan rasa menyesal, bahwa dengan racun, ia telah mencelakakan terlalu banyak manusia, sehingga dalam dunia Kang-ouw, ia di-juluki sebagai "Tok-chiu Yo-ong". Maka itu, di dalam kitab Yo-ong Sin-pian yang hendak diturunkan kepada muridnya, ia sengaja menulis ilmu pengobatan untuk menolong sesama manusia.

Dalam usaha untuk merebut Yo-ong Sin-pian, Cio Ban Tin, Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw membayang-bayangkan, bahwa kitab itu adalah sejilid Tok-keng (kitab mengenai racun) yang lengkap dan luar biasa. Sekarang, begitu mengetahui, bahwa Yo-ong Sin-pian adalah kitab ilmu ketabiban, Cio Ban Tin merasa sangat kecewa, karena biarpun isinya merupakan ilmu pengobatan yang sangat tinggi, bukan itu yang dicarinya dan baginya, kitab tersebut dapat dikatakan tiada faedahnya.

Sesudah berdiam beberapa saat, ia menengok kepada Sie Kiauw seraya berkata: "Coba kau periksa sakunya. Bisa jadi masih ada lain buku. Buku ini hanya berisi ilmu ketabiban yang tidak begitu berguna." Sambil berkata begitu, ia melemparkan Yo-ong Sian-pian di atas meja.

Sie Kiauw segera menggeledah semua saku Leng So, tapi ia tidak menemukan lain buku. "Tak ada," lapornya.

Mendadak, Boh-yong Keng Gak ingat sesuatu dan ia segera berkata: "Suhu bisa menulis huruf-huruf yang bersembunyi apa tak bisa jadi...." Ia tidak meneruskan perkataannya, karena baru mengatakan begitu, ia sudah merasa sangat menyesal.

"Celaka!" ia mengeluh di dalam hati. "Mengapa aku begitu tolol? Mengapa aku tidak membiarkan dia menganggap buku itu tidak berguna? Alangkah baiknya jika aku bisa membawa pulang kitab itu dan memeriksanya seorang diri. Benar-benar aku goblok." Tapi Cio Ban Tin bukan seorang bodoh. Ia lantas saja tersadar dan berkata: "Kau benar." Sambil berkata begitu, ia mengambil lagi Yo-ong Sin-pian dari atas meja.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw merasa badan mereka lemas luar biasa. Di lain saat, perlahan-lahan lutut mereka menekuk, muka mereka seperti orang sedang tertawa, tapi bukan tertawa, dan paras muka mereka kelihatannya sangat aneh.

Cio Ban Tin mencelos hatinya. "Mengapa?" tanyanya dengan mata membelalak. "Celaka! Ah! Cit-sim Hay-tong? Cit-sim Hay-tong? Apa perempuan hina itu sudah berhasil menanam Cit-sim Hay-tong? Lilin...! Lilin itu...!"

Bagaikan kilat, dalam otaknya berkelebat satu kejadian pada masa yang lampau. Pada suatu malam, waktu ia masih muda dan berguru bersama-sama Bu-tin Taysu, guru mereka telah memberi keterangan tentang semacam racun yang dikenal sebagai rajanya semua racun. Sang guru mengatakan, bahwa Ho-teng-hong, Kong-ciak-tan, liur ular berbisa dan lain-lain racun hebat tak bisa menandingi raja racun itu, yang dinamakan Cit-sim Hay-tong. Karena tak berwarna dan tak berbau, maka orang yang sangat berhati-hati pun dapat dirobohkan dengan mudah saja. Pada paras muka korban Cit-sim Hay-tong selalu terlukis senyuman, seolah-olah ia mati dengan rasa bahagia. Dari seberang lautan, guru mereka pernah membawa bibit pohon racun itu. Tapi sesudah dicoba dengan berbagai cara, bibit itu tak juga tumbuh. Pada malam itu, sang Suheng dan ia sendiri masing-masing minta sembilan biji-biji bibit Cit-sim Hay-tong untuk ditanam. Sambil menyerahkan bibit itu, sang guru berkata: "Baik juga Cit-sim Hay-tong sukar tumbuh. Kalau bukan begitu, manusia di dalam dunia tentu tak bisa hidup tentram."

Melihat paras muka Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw yang tersungging dengan senyuman, Cio Ban Tin lantas saja ingat kejadian pada malam itu. Cepat-cepat ia menahan napas dan menekap hidung. Baru saja ia ingin menyelidiki dari mana datangnya racun, mendadak kedua matanya gelap, tak bisa melihat apa pun jua. Semula ia masih menduga, bahwa kegelapan itu adalah akibat padamnya lilin. Tapi di lain saat ia mengerti, bahwa matanya sudah menjadi buta.

Ia tahu, bahwa jiwanya terlolos dari kebinasaan, karena sebelum masuk ke dalam kelenteng, ia sudah menelan pel untuk memunahkan racun, sehingga racun Cit-sim Hay-tong tidak bisa masuk ke dalam isi perutnya. Tapi kedua matanya ternyata tidak dapat bertahan terhadap racun yang sangat hebat itu.

Ouw Hui, yang sudah lebih dulu diberikan obat pemunah oleh adiknya, dapat menyaksikan segala kejadian. Bermula ia lihat robohnya Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw, kemudian ia lihat Cio Ban Tin memukul-mukul udara dengan kedua tangannya, kemudian kabur sambil berteriak-teriak: "Cit-sim Hay-tong...!" Di tengah malam buta jeritan itu kedengaran sangat menyeramkan. Makin lama suara itu makin jauh dan sesaat kemudian menghilang dari pendengaran.

Api lilin berkedip-kedip, sebentar gelap, sebentar terang, menurut tiupannya angin. Ouw Hui sekarang berada di antara tiga jenazah, yang satu orang yang tercinta, yang dua adalah orang-orang yang hidup tersesat dan mengalami nasib buruk.

Dengan hati tertindih kedukaan hebat, ia rebah di situ....

Akhirnya, lilin terbakar habis. Tiba-tiba terang-benderang dan "pesss!" semua gelap.

"Jie-moay adalah seperti sebatang lilin," kata Ouw Hui di dalam hati.

"Sesudah terbakar habis, sesudah memancarkan sinar terang, dia padam dengan mendadak. Jie-moay sungguh pintar. Ia sudah menghitung segala apa secara jitu. Ia tahu, bahwa ketiga manusia itu bakal datang lagi. Ia tahu, bahwa sebagai seorang yang sangat berhati-hati, Cio Ban Tin pasti tak akan berani menyulut lilin yang baru, sehingga, untuk menjebaknya, ia lebih dulu membakar sebagian lilin Cit-sim Hay-tong yang lalu ditaruh di bawah ciak-tay. Ya! Selama hidup, Jie-moay belum pernah mengambil jiwa manusia. Sesudah mati, barulah ia membersihkan rumah perguruannya dan membalas sakit hatinya.

Jie-moay sangat mencintai aku, sangat memperhatikan aku. Apakah kebaikanku? Dan akhirnya ia mengorbankan jiwa sendiri untuk menolong jiwaku. Hai! Sebenarnya, ia tak usah berbuat begitu. Ia boleh mengutungkan lenganku dan dengan menelan pel dari gurunya, aku masih bisa hidup selama sembilan tahun. Bukankah, selama sembilan tahun itu, kita bisa hidup bersama-sama dengan bahagia?

"Tapi... bahagia? Apa benar aku bisa hidup bahagia dengannya selama sembilan tahun? Jie-moay tahu, bahwa aku mencintai Wan Kouwnio dan meskipun aku sudah tahu dia seorang pendeta, rasa cintaku masih belum berubah. Apakah... apakah... hari ini ia sengaja mengorbankan jiwa, karena itu?"

Dalam kegelapan, rupa-rupa pikiran mengamuk dalam otak Ouw Hui. Banyak sekali yang diingatnya. Setiap gerak-gerik Leng So yang tidak diperhatikannya, sekarang diingatnya pula. Baru sekarang, ia bisa melihat, bahwa setiap gerak-gerik itu mengandung rasa cinta yang tiada batasnya. Baru sekarang ia mengerti....

Fajar menyingsing... tak lama kemudian, matahari musim rontok mulai memancarkan sinarnya yang gilang gemilang.

Dunia mulai hangat, tapi hati Ouw Hui dingin bagaikan es.

Akhirnya, otot-ototnya mulai lemas lagi. Perlahan-lahan ia dapat menggerakkan kaki tangannya. Perlahan-lahan ia merangkak bangun. Dengan mata yang berwarna merah, ia mengawasi jenazah si adik. Lama sekali ia berdiri terpaku. Tiba-tiba darah dalam dadanya bergolak-golak. "Sudahlah!" katanya di dalam hati. "Perlu apa aku hidup lebih lama lagi di dalam dunia? Jie-moay mencintai aku begitu sangat, tapi aku sendiri memperlakukannya secara tidak berbudi. Sudahlah! Paling baik aku menyusul Jie-moay ke dunia lain!"

Tapi di lain saat, ia melihat jenazah Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw dan pada saat itu juga, ia mendapat pikiran lain. "Sakit hati kedua orang tuaku masih belum terbalas," pikirnya. "Cio Ban Tin, yang mencelakakan Jie-moay, masih hidup. Jika aku mati sekarang, apakah jalan itu jalan yang diambil oleh laki-laki yang bertanggung jawab?"

Memang, memang jarang ada manusia sepintar Leng So. Perubahan dalam pikiran Ouw Hui juga adalah berkat tindakannya yang sudah diperhitungkan secara sangat tepat. Ia sudah menduga, bahwa sebelum masuk ke dalam kelenteng, Cio Ban Tin pasti akan menelan dulu obat penjagaan. Tapi obat itu tidak berguna jika menggunakan lilin istimewa. Maka itu, ia hanya menggunakan lilin yang racunnya tidak begitu keras, supaya Cio Ban Tin tidak sampai binasa. Ia sudah menghitung, bahwa sebegitu lama musuh itu belum binasa, Ouw Hui pasti tak akan membunuh diri. Ia juga tahu, bahwa sesudah paman guru itu buta, Ouw Hui boleh tak usah merasa jeri lagi terhadapnya.

Sebelum meninggal dunia, nona Thia sudah sengaja mengatakan, bahwa racun yang mencelakakan kedua orang tuanya Ouw Hui, mungkin sekali diberikan oleh Cio Ban Tin. Dugaan itu bisa jadi benar, bisa jadi juga hanya tebakan belaka. Tapi dengan mengatakan begitu, Leng So mengingatkannya pula sakit hati kedua orang tuanya, sehingga dengan demikian, ia tentu tak akan gampang-gampang membunuh diri sendiri.

Thia Leng So bisa menghitung segala apa. Hanya satu saja yang tak dapat diperhitungkan olehnya, yaitu: Pada detik berbahaya, Ouw Hui melanggar janji dan menyerang musuh. Sebagaimana diketahui, Ouw Hui telah berjanji untuk tidak bicara, tidak bertempur dan tidak berpisah jauh dari adiknya. Dan karena melanggar janji, ia sudah kena racun.

Tapi mungkin sekali, bahkan hal itu juga sudah diperhitungkan oleh nona Thia. Ia tahu bahwa Ouw Hui tidak mencintai dia seperti dia mencintainya. Maka itu, bukankah lebih baik mati secara begitu? Mati dengan mengorbankan diri, dengan menghisap racun dari badan sang kecintaan. Memang benar, kejadian itu adalah kejadian yang sangat mendukakan. Tapi, bukankah lebih baik mati secara begitu? Kalau benar hal itu sudah diperhitungkan Leng So, sungguh-sungguh tak kecewa dia menjadi murid Tok-chiu Yo-ong. Sungguh-sungguh tidak kecewa dia menjadi majikan Cit-sim Hay-tong, raja dari semua racun!

Hati wanita memang sukar ditebak. Hati wanita seperti Leng So lebih-lebih sukar ditebak.

******

Sesaat itu, barulah Ouw Hui mengerti, mengapa Tan Cong-to-cu mengucurkan air mata di To-jian teng. Pada malam itu, dalam hati kecilnya ia mencela Tan KeeLok yang dianggapnya seperti seorang nenek atau bocah yang masih suka menangis. Tapi sekarang. sekarang ia mengerti, betapa pedihnya ditinggal oleh seseorang yang dicintai untuk selama-lamanya.

Sesudah kenyang memeras air mata, ia segera memondong jenazah Leng So dan Ma It Hong ke pekarangan belakang, mengumpulkan kayu-kayu kering dan menumpuknya di dua tempat dan lalu membakar kedua jenazah itu. Dengan hati kosong melompong, ia mengawasi api yang berkobar-kobar, seolah-olah badannya sendiri akan turut dibakar menjadi abu. Lama ia berdiri terpaku, seperti orang hilang ingatan. Kemudian, sesudah mengucurkan lagi banyak air mata, ia menggali sebuah lubang yang besar dan mengubur jenazah Boh-yong Keng Gak dan isterinya.

Biarpun sudah tak makan sehari dan semalam, perutnya tetap kenyang. Pada waktu matahari mendoyong ke barat, kedua jenazah sudah menjadi abu. Ouw Hui lalu mencari dua buyung dan mengisinya dengan abu dan tulang.

"Aku akan menanam abu Jie-moay di samping kuburan kedua orang tuaku," pikirnya. "Biarpun ia bukan adik kandung, tapi kecintaannya melebihi kecintaan saudara kandung sendiri. Sesudah itu, aku harus pergi ke Kongsui, propinsi Ouwpak. untuk menanam abu Ma Kouwnio di dekat kuburan suaminya."

Ia balik ke kamar samping dan melihat buntalan Leng So, sekali lagi ia menangis segak-seguk. Selang beberapa lama barulah ia membuka buntalan itu dan melihat alat-alat penyamaran, ia berkata dalam hatinya: "Jika aku berjalan tanpa menyamar, belum sehari mungkin aku sudah dicegat oleh kaki tangan Hok Kong An. Biarpun belum tentu aku merasa takut, tapi kalau diganggu terus-menerus, aku bakal berabe sekali." Memikir begitu, ia lantas saja menggunakan obat untuk mengubah warna dan memasang jenggot palsu. Sesudah selesai berdandan, sambil menggendong kedua buyung yang berisi abu dan tulang, ia segera meninggalkan

kelenteng itu.

Dengan penuh kedukaan, Ouw Hui berjalan ke jurusan selatan. Tengah hari itu ia tiba di Tin-koan-tun dan karena perutnya lapar, ia mampir di sebuah rumah makan. Baru saja ia duduk, di luar terdengar suara tindakan sepatu dan di lain saat, empat orang perwira kerajaan Ceng bertindak masuk. Yang paling dulu seorang yang bertubuh tinggi besar dan Ouw Hui segera mengenali, bahwa ia bukan lain daripada Can Tiat Yo, tokoh Eng-jiauw Gan-heng-bun. Ouw Hui kaget, buru-buru ia miringkan kepalanya.

Walaupun sudah menyamar, ia khawatir si orang she Can masih mengenalinya. Para pelayan lantas saja repot melayani keempat tamu itu.

"Mungkin sekali perjalanan mereka bersangkut paut denganku," kata Ouw Hui di dalam hati.

"Cobalah aku mendengari pembicaraan mereka." Tapi sesudah memasang kuping beberapa lama, ia tidak mendengar hal yang penting, sehingga ia merasa sebal dan berniat segera berlalu. Tapi sebelum ia berbangkit, sekonyong-konyong terdengar suara ketukan tongkat di sepanjang jalan, yang menandakan, bahwa seorang buta sedang mendatangi.

Begitu lekas orang itu masuk, jantung Ouw Hui memukul keras, karena dia adalah Cio Ban Tin yang sedang dicarinya. Pakaian musuh itu compang-camping, mukanya pucat, sedang tangannya mencekal tongkat yang biasa dibawa oleh seorang tabib keliling.

Dengan meraba-raba, Cio Ban Tin menemukan sebuah kursi yang perlahan-lahan lalu didudukinya.

"Pelayan, berikan aku sebotol arak," serunya. Melihat pakaiannya yang seperti pengemis, seorang pelayan merasa sangsi dan bertanya: "Apa kau punya uang?" Cio Ban Tin merogoh saku dan mengeluarkan sepotong perak yang lalu ditaruh di atas meja.

"Baiklah, tunggu sebentar," kata si pelayan sambil tersenyum. Begitu lekas Cio Ban Tin masuk, Can Tiat Yo dan kawan-kawannya saling memberi isyarat untuk membekuknya. Sebagaimana diketahui, karena perbuatan Leng So, Ciangbunjin Tayhwee menjadi kacau dan semua orang sakit perut.

Para orang gagah menduga, bahwa sakit perut itu disebabkan racun yang disebar oleh Hok Kong An, sedang pihak Hok Kong An sendiri menaksir, bahwa kejadian itu adalah karena perbuatan "Tok-chiu Yo-ong". Maka itulah, pembesar tersebut kemudian mengirim sejumlah perwira dan Wie-su ke Tiongkok Selatan untuk menjalankan tiga tugas: Tugas pertama yang paling penting, ialah menangkap orang-orang Ang-hoa-hwee, Ouw Hui, Thia Leng So dan Ma It Hong serta merebut pulang kedua puteranya. Tugas ke dua menangkap Cio Ban Tin yang dianggap sudah mengacau dan membubarkan Ciangbunjin Tayhwee dalam keadaan kalang kabut. Tugas ke tiga ialah menangkap Tong Pay dan Wan-seng yang sudah mengetahui rahasia Hok Kong An. Melihat Cio Ban Tin sudah menjadi buta, Can Tiat Yo jadi sangat girang. Sebab khawatir "Tok-i hiu Yo-ong" berpura-pura, ia lantas saja berbangkit dan berkata: "Pelayan, mengapa meja kursi begitu sedikit? Di mana aku bisa duduk?" Sambil berkata begitu, ia memberi isyarat supaya si pelayan jangan membantah.

"Thio Ciangkui, selamat bertemu!" menyambungi seorang perwira.

"Dagang apa kau sekarang? Ada urusan apa kau datang di Tin-koan-tun?" (Ciangkui = Kuasa Toko).

"Aha! Lie Ciangkui bagaimana kau?" kata Can Tiat Yo.

"Banyak untung? Aku sekarang berdagang berat."

"Untung apa?" kata perwira itu.

"Cukup saja untuk melewati hari."

Sesudah omong kosong beberapa saat, Can Tiat Yo berkata: "Semua meja penuh. Biarlah kita duduk bersama-sama Tayhu (tabib)." Sehabis berkata begitu ia menarik kursi lalu duduk pada meja Cio Ban Tin.

Melihat Cio Ban Tin berdiam saja, hati Can Tiat Yo dan rekan-rekannya jadi makin besar. Sekarang terbukti, bahwa si tua benar-benar buta. Sambil menggapai kedua kawannya, Can Tiat Yo berkata: "Tio Ciangkui, Ong Ciangkui, mari duduk di sini! Kali ini siauwtee menjadi tuan rumah."

"Baik, baiklah," jawab mereka yang lalu menghampiri dan duduk di dekat Cio Ban Tin. Meskipun matanya buta, kecerdasan si tua tidak berkurang. Dari nada suara keempat orang itu, ia tahu, bahwa mereka adalah penduduk Pakkhia.

Dari pembicaraan mereka ia sudah bisa menebak siapa adanya mereka itu. Ia lantas saja berbangkit dan berkata: "Pelayan perutku mendadak sakit. Sudahlah! Tak jadi aku makan minum."

Ia segera berbangkit, tapi Can Tiat Yo menekan pundaknya seraya berkata sambil tertawa: "Tayhu, jangan pergi dulu. Sesudah minum, baru kau boleh pergi."

Si tua tahu, bahwa ia tak bisa meloloskan diri lagi. Sambil tertawa dingin, ia lalu duduk lagi. Beberapa saat kemudian, pelayan pelayan mengantarkan sayur-sayur dan arak. Sesudah menuang secawan arak, Can Tiat Yo berkata: "Tayhu, mari kita minum."

"Bagus, bagus!" kata si tua yang lalu menceguk kering cawan yang diangsurkan kepadanya. "Aku pun ingin mengajak kalian minum," katanya seraya mengangkat poci arak dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya meraba-raba cawan keempat perwira itu. Selagi menuang arak, ia mementiki kukunya dan racun lantas saja turun masuk ke dalam cawan. Gerakan tangannya cepat dan wajar, sehingga tak dapat dilihat oleh manusia biasa.

Tapi, sesudah menyaksikan kelihayan "Tok-chiu Yo-ong", Can Tiat Yo dan rekan-rekannya tentu saja tak berani minum arak yang disuguhkan oleh si tua. Perlahan-lahan Can Tiat Yo mengangkat cawannya dan menukarnya dengan cawan si tua. Perbuatan itu dilihat oleh semua orang, kecuali Cio Ban Tin sendiri.

Ouw Hui menghela napas dan berkata dalam hatinya: "Sesudah buta, kau masih juga mau mencelakakan manusia. Sekarang aku tak perlu turun tangan lagi." Ia segera berbangkit dan membayar uang makanan.

"Hayolah, keringkan cawan!" mengajak Can Tiat Yo sambil tertawa.

"Hayolah!" menyambungi ketiga kawannya, tapi tangan mereka tidak menyentuh cawan. Cio Ban Tin, yang tidak menyangka jelek, lantas saja mengangkat cawan yang berisi racun dan lalu menceguknya sehingga kering. Sesudah minum, pada kedua bibirnya tersungging senyuman menyeramkan karena ia merasa pasti, bahwa sebentar lagi keempat orang itu akan menjadi mayat.

Melihat begitu, Ouw Hui berduka. Pada detik penghabisan, ia merasa kasihan terhadap orang tua yang jahat itu, tapi yang bernasib sangat buruk. Dengan tindakan lebar ia segera bertindak ke luar.

******

Beberapa hari kemudian, tibalah Ouw Hui di Cong-ciu, di mana kedua orang tuanya dikuburkan. Di waktu masih kecil, beberapa tahun sekali Peng Sie-siok mengajaknya ke situ untuk berziarah. Pada tiga tahun berselang, ia pun datang ke situ.

Setiap kali berkunjung, untuk beberapa hari, berjam-jam ia berdiri terpaku di depan kuburan, dengan pikiran melayang-layang.

Betapa beruntungnya jika sekarang kedua orang tuanya masih hidup... jika kedua orang tua itu bisa menunggu sampai dia besar... jika mereka bisa menyaksikan ilmu silatnya yang sudah begitu tinggi.

Hari itu, waktu ia tiba di kuburan, cuaca sudah mulai gelap. Dari sebelah kejauhan ia melihat seorang wanita yang mengenakan pakaian warna hijau muda, berdiri di samping kuburan. Karena di sekitar itu tidak terdapat kuburan lain, maka wanita tersebut sudah pasti datang untuk berziarah di kuburan kedua orang tuanya. "Apa dia sanak ayah ibuku?" tanyanya di dalam hati. Dengan rasa heran, perlahan-lahan ia mendekati.

Ternyata wanita itu seorang setengah tua yang berparas sangat cantik. Mukanya potongan kwaci, hanya sayang, muka yang seayu itu kelihatannya sangat pucat, seolah-olah tidak ada darahnya. Melihat Ouw Hui, ia pun kaget dan sambil mendongak, ia mengawasi pemuda itu.

Tiongciu terpisah jauh dari Pakkhia dan sebab tak khawatir pengejaran, Ouw Hui sudah tidak mengenakan alat penyamaran lagi.

Tapi sesudah melalui perjalanan jauh, pakaiannya sangat kotor dan mukanya berdebu. Melihat seorang pemuda yang tak dikenal, wanita itu tidak memperdulikan lagi dan lalu memutar kepalanya. Ouw Hui terkesiap. Ia segera mengenali, bahwa dia bukan lain daripada isteri Biauw Jin Hong yang lari mengikuti Tian Kui Long. Banyak tahun berselang, di Siang-kee-po, ia turut menyaksikan peristiwa yang menyayat hati. Ia telah menyaksikan cara bagaimana puteri Biauw Jin Hong berteriak-teriak memanggil-manggil "ibu" dan minta digendong, tapi wanita itu tidak meladeni dan lalu memutar kepalanya. Cara dia memutar kepala yang tak dapat dilupakan Ouw Hui. "Biauw Hujin, bikin apa kau di sini seorang diri?" tanyanya dengan suara dingin.

Mendengar perkataan "Biauw Hujin", nyonya itu menggigil. Dengan paras muka terlebih pucat, ia memutar badan dan berkata dengan suara gemetar: "Kau...! Bagaimana kau tahu...." Ia menunduk dan tak dapat meneruskan perkataannya.

"Baru saja aku terlahir tiga hari, ayah dan ibuku sudah mengaso di sini untuk selama-lamanya." kata Ouw Hui dengan suara parau. "Seumur hidup aku tak mengenal kecintaan orang tua, tapi biarpun begitu... meskipun begitu, aku banyak lebih beruntung daripada puterimu. Hari itu, di Siang-kee-po, aku telah menyaksikan kerasnya hatimu. Kau cukup tega untuk menolak permintaan puterimu yang berteriak-teriak minta didukung.... Benar! Aku banyak lebih beruntung daripada puterimu."

Tubuh Lam Lan bergoyang-goyang, seakan-akan ia mau jatuh terjungkal. "Kau... siapa kau?" tanyanya.

Sambil menunjuk kuburan, Ouw Hui menja-wab: "Aku datang di sini untuk memanggil 'ayah! ibu!' Tapi mereka tak dapat bicara denganku, tak bisa mendukung aku."

"Apakah kau... putera Tayhiap Ouw It To?" tanya pula nyonya itu.

"Benar," jawabnya. "Aku she Ouw bernama Hui. Aku pernah bertemu dengan Kim-bian-hud Biauw Tayhiap. Aku juga pernah bertemu dengan puterimu."

"Apa mereka... mereka baik?" tanya Lam Lan dengan suara hampir tidak kedengaran.

"Tidak!" jawabnya. Lam Lan mundur setindak.

"Kenapa mereka?" tanyanya.

"Ouw Siangkong, kumohon... kumohon kau sudi memberitahukan kepadaku."

"Biauw Tayhiap telah dicelakakan oleh manusia busuk, sehingga kedua matanya buta," katanya dengan suara mendongkol.

"Biauw Kouwnio hidup tanpa rawatan." Lam Lan terkejut dan berkata dengan mata membelalak: "Ilmu silatnya begitu tinggi.... Bagaimana ia bisa...." Ouw Hui naik darahnya.

"Di hadapanku kau masih coba berpura-pura!" bentaknya.

"Tipu keji yang dijalankan oleh Tian Kui Long apa bukan keluar dari otakmu? Sungguh mujur kau berada di depan kuburan kedua orang tuaku. Kalau bukan begitu, dengan sekali tebas, aku akan mengambil jiwamu! Pergilah!"

"Dengan sebenar-benarnya aku tak tahu," kata Lam Lan.

"Ouw Siangkong, apa matanya dapat disembuhkan?" Melihat paras muka nyonya itu yang penuh kedukaan tercampur dengan sorot mohon dikasihani, hati Ouw Hui jadi lemas. Tapi di lain saat ia ingat, bahwa perempuan semacam Lam Lan pandai sekali berpura-pura dan mengingat begitu, sesudah mengeluarkan suara di hidung, ia segera memutar badan dan berjalan pergi.

"Ouw Siangkong...!" Lam Lan sesambat.

"Matanya buta....Bagaimana dengan Lanjie...! Lan-jie...! Kau sungguh tak beruntung...." Tiba-tiba kedua matanya gelap dan ia roboh tanpa ingat orang lagi. Mendengar suara gedubrakan, Ouw Hui kaget dan menengok. Ia bersangsi sejenak, tapi akhirnya ia kembali dan memegang nadi nyonya itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa Lam Lan bukan berlagak pingsan. Ketukan nadi sangat lemah dan jika tidak ditolong, ia bisa segera binasa. Itulah kejadian yang tidak disangka-sangka.

Buru-buru Ouw Hui menekan bibir Lam Lan dan mengurut iganya. Selang beberapa lama, barulah dia tersadar. "Ouw Siang-kong," katanya dengan suara lemah, "Mati hidupku tak menjadi soal. Aku hanya ingin memohon supaya kau sudi memberitahukan sebenar-benarnya, apa yang sudah terjadi atas dirinya dan atas diri Lanjie."

"Apa benar kau masih memikir mereka?" tanya Ouw Hui.

"Pengakuanku mungkin tak dipercaya olehmu," jawabnya.

"Tapi selama beberapa tahun, siang dan malam aku selalu ingat mereka. Aku tahu, bahwa aku tidak bisa hidup lama lagi di dalam dunia ini. Aku hanya mengharap, supaya pada sebelum menutup mata, aku bisa bertemu lagi dengan mereka. Tapi, mana aku punya muka untuk pergi menemui mereka? Hari ini aku datang ke mari, sebab dulu, waktu baru menikah, Biauw Tayhiap telah mengajak aku berziarah di kuburan ini, untuk bersembahyang di hadapan mendiang ayah dan ibumu. Biauw Toako mengatakan, bahwa selama hidupnya, orang yang dikaguminya hanya Ouw tayhiap berdua isterinya. Dulu, waktu berada di sini, dia telah bicara banyak sekali denganku...."

Sekarang Ouw Hui yakin, bahwa Lam Lan tidak berpura-pura. Sebagai seorang mulia yang hatinya lembek, rasa kasihannya lantas saja muncul. "Baiklah," katanya, "Aku akan meneceritakan apa yang terjadi atas diri Biauw Tayhiap dan puterinya." Ia segera menuturkan cara bagaimana kedua mata Biauw Jin Hong kena racun, cara bagaimana musuh-musuhnya dipukul mundur dan sebagainya. Mengenai perannya yang sudah menolong pendekar itu, ia hanya memberitahukan sepintas lalu.

Sehabis ia bercerita, Lam Lan segera menghujani dengan rupa-rupa pertanyaan. Bagaimana makan pakainnya ayah dan anak itu? Lan-jie mengenakan pakaian apa? Apa sutera, apa kain kasar? Apa pakaian itu dibeli dari toko atau dibuat oleh penjahit? Ouw Hui menghela napas.

"Mana aku tahu?" katanya.

"Jika kau begitu memikiri mereka, mengapa...." Ia lantas saja berbangkit dan berkata: "Sekarang aku mau cari rumah penginapan. Hari ini sebenarnya aku ingin mengubur abu dan tulang Jie-moayku. Tapi karena sudah magrib, biarlah besok saja aku datang lagi."

"Baiklah, besok aku pun akan datang lagi ke mari," kata nyonya itu.

"Jangan," Ouw Hui mencegah, "Tak ada apa-apa lagi yang bisa diberitahukan kepadamu." Ia berdiam sejenak seperti orang berpikir dan kemudian bertanya: "Biauw Hujin, apakah kedua orang tuaku binasa dalam tangan Biauw Jin Hong?"

Lam Lan mengangguk. "Dia pernah memberitahukan hal itu kepadaku..." katanya.

Sesaat itu tiba-tiba terdengar teriakan orang: A-lan...! A-lan...! Di mana kau?" paras muka Ouw Hui lantas saja berubah, karena orang yang berteriak adalah Tian Kui Long.

"Dia cari aku!" kata Lam Lan. "Besok lohor harap kau datang ke mari. Aku akan menceritakan hal kedua orang tuamu!"

"Baiklah, besok lohor kita bertemu lagi di sini," kata Ouw Hui Karena sungkan bertemu dengan si orang she Tian, ia segera menyembunyikan diri di belakang kuburan.

"Besok aku akan menyelidiki sebab musabab kematian ayah dan ibu," katanya di dalam hati.

"Jika Tian Kui Long turut tersangkut, aku pasti tak akan mengampuni dia. Mungkin Biauw Hujin akan coba melindunginya. Tapi dengan penyelidikan seksama, kupercaya aku akan bisa mengorek rahasia. Apa perlunya Tian Kui Long datang di Congciu?"

Sementara itu, Lam Lan sudah berjalan pergi, tapi tindakannya tidak ditujukan ke arah Tian Kui Long, yang masih terus memanggil-manggil. Sesudah berjalan beberapa puluh tombak, barulah ia menjawab: "Di sini!"

"Ah!" demikian terdengar suara si orang she Tian yang lalu menghampiri Lam Lan dengan berlari-lari.

"Jalan-jalan saja tidak boleh," kata Biauw Hujin.

"Mengapa kau menilik aku begitu keras?"

"Siapa yang menilik kau?" demikian sayup-sayup terdengar suara Tian Kui Long.

"Karena, Sesudah menunggu lama, kau masih juga belum muncul, aku memikir keselamatanmu. Tempat ini sangat sepi..." Mereka berjalan pergi dan pembicaraan mereka tidak kedengaran lagi.

"Ah, lebih baik aku menemani ayah dan ibu semalaman," pikir Ouw Hui.

"Kalau menginap di kota, mungkin aku bertemu dengan manusia she Tian itu." Ia segera membuka buntalannya dan mengambil makanan kering untuk menangsal perut. Sambil memeluk lutut, ia duduk di samping kuburan dengan pikiran melayang-layang.

Angin musim rontok meniup dengan kerasnya, sehingga ia merasa sangat dingin dan daun-daun kuning jatuh menimpa tubuhnya sesudah menari-nari di tengah udara.

Tak lama kemudian, sang rembulan muncul dan ia lalu merebahkan badan di pinggir kuburan.

Kira-kira tengah malam, tiba-tiba ia disadarkan oleh suara kaki kuda yang mendatangi dari tempat jauh. "Siapa yang datang di tengah malam buta?" tanyanya di dalam hati. Kuda itu dikaburkan dengan kecepatan luar biasa, tapi sesudah berada dalam jarak dua tiga li, suara tindakannya berubah lambat, menghampiri kuburan setindak-setindak. Mungkin sekali si penunggang kuda sudah turun dari tunggangannya dan sedang mencari sesuatu sambil menuntun binatang itu.

Karena suara tindakan menuju ke arahnya, maka Ouw Hui segera menyembunyikan diri di antara alang-alang. Tak lama kemudian, dengan bantuan sinar bulan sisir, ia melihat bayangan manusia yang bertubuh langsing kecil, yang mendatangi sambil menuntun kuda.

Waktu orang itu berada dalam jarak belasan tombak, mendadak jantung Ouw Hui memukul keras, karena orang yang mengenakan jubah pertapaan itu bukan lain daripada Wan-seng.

Dengan hati berdebaran, ia mengawasi si nona. Ia ingin memanggilnya, tapi lidahnya seperti terkancing. "Perlu apa ia datang ke sini?" tanyanya di dalam hati. "Apa ia tahu aku berada di sini? Apa ia datang untuk mencari aku?"

Beberapa saat kemudian, Wan-seng berdiri tegak di depan kuburan dan dengan suara perlahan ia membaca huruf-huruf di atas batu nisan: "Kuburan Liao-tong Tayhiap Ouw It To bersama isteri". Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula: "Di depan kuburan tidak terdapat abu kertas. Kalau begitu ia belum datang di sini...." Mendadak ia batuk-batuk, batuknya keras dan tak henti-hentinya. Ouw Hui terkejut, "Dia sakit. Sakit berat," katanya di dalam hati.

Sesudah batuk itu mereda dan kemudian berhenti, Wan-seng menghela napas berulang-ulang dan berkata dengan suara perlahan: "Kalau dulu aku tidak bersumpah di hadapan Suhu, selama hidup aku bisa mengikuti kau, bersama-sama mengelilingi dunia untuk menolong sesama manusia. Ah! Kalau bisa kejadian begitu, sungguh beruntung diriku ini. Ouw Toako, kau menderita, tapi kau tak tahu, bahwa penderitaanku, sepuluh kali lebih hebat daripada kau."

Dalam beberapa kali pertemuan dengan Ouw Hui, Wan-seng selalu memperlihatkan sikap yang sukar ditebak. Kalau bukan berada di tempat yang sepi itu di tengah malam buta, si nona pasti tak akan mengeluarkan rahasia hatinya. Sesudah berkata begitu, ia batuk-batuk lagi dan coba mempertahankan diri dengan memegang batu nisan.

Sampai di sini Ouw Hui tak dapat menahan sabar lagi. Ia melompat ke luar dari tempat sembunyi dan berkata dengan suara halus: "Mengapa kau datang ke sini? Kau harus bisa menjaga diri."

Wan-seng kaget tak kepalang. Ia mundur setindak, kedua telapak tangannya dilintangkan di depan dada. Begitu melihat pemuda itu, paras mukanya lantas saja berubah merah. "Kau...!" bentaknya dengan suara gusar. "Berani sungguh kau bersembunyi dan mendengari pembicaraan orang!"

Dengan rasa cinta yang meluap-luap, Ouw Hui jadi nekat dan ia segera berkata dengan suara nyaring: "Wan Kouwnio, bahwa aku mencintai kau dengan segenap jiwa dan raga, adalah hal yang sudah diketahui olehmu. Perlu apa kau menderita sendirian? Marilah kita bersama-sama pergi menemui gurumu dan menceritakan segala apa kepada beliau, supaya kau bisa kembali lagi ke dunia biasa. Dengan demikian, kita akan bisa hidup bersama-sama sampai di hari tua. Apakah kau setuju?"

Sekali lagi Wan-seng batuk-batuk, lebih keras daripada tadi. Ia membungkuk sampai memegang batu nisan. Bukan main rasa kasihannya Ouw Hui.

Ia mendekati dan berkata dengan suara lemah lembut: "Sudahlah! Kau jangan bersusah hati...." Mendadak, diiring dengan batuk, si nona muntahkan darah! Ouw Hui terkesiap. "Kau terluka?" tanyanya.

"Dilukai oleh bangsat Tong Pay," jawabnya.

"Di mana dia sekarang?" tanya pula Ouw Hui.

"Sekarang juga aku akan cari padanya."

"Dia sudah dibinasakan olehku," kata Wan-seng. Pemuda itu girang.

"Aku memberi selamat, bahwa kau sudah dapat membalas sakit hati," katanya. Sejenak kemudian, ia bertanya lagi: "Di bagian mana kau terluka? Mengasolah."

Sesudah Wan-seng duduk, Ouw Hui berkata pula: "Sesudah terluka, sepantasnya kau harus banyak mengaso. Mengapa di tengah malam buta kau datang ke mari dengan menunggang kuda?"

Wan-seng memutar kepala dan mengawasi pemuda itu. Di dalam hati ia berkata: "Aku memang perlu mengaso. Kedatanganku ke mari adalah untuk kepentinganmu." Sesudah mengawasi dengan mata tajam, tiba-tiba ia bertanya: "Mana adik Thia? Mengapa ia tidak bersama-sama kau?" Air mata Ouw Hui lantas saja mengucur.

"Dia... dia;.. sudah meninggal dunia," jawabnya terputus-putus. Wan-seng kaget tak kepalang. Sambil bangkit, ia menegas:

"Meninggal dunia? Bagaimana... bisa begitu?" Dengan suara parau Ouw Hui menuturkan segala kejadian, cara bagaimana Leng So sudah mengorbankan, jiwa untuk menolong dirinya, mendengar cerita itu, air mata si nona mengalir turun dari kedua pipinya yang pucat. Lama mereka berdiri terpaku tanpa mengeluarkan sepatah kata. Dalam otak mereka berkelebat-kelebat pula kejadian-kejadian di masa lampau, mereka ingat pula sepak terjang nona Thia yang penuh dengan jiwa seorang ksatria.

Makin lama hawa jadi makin dingin. Waktu angin meniup keras, Wan-seng menggigil. Ouw Hui segera membuka jubah luarnya dan menyelimuti punggung si nona. "Kau tidurlah," bisiknya.

"Tidak," kata Wan-seng, "Sesudah bicara, aku... aku akan segera berlalu."

"Kau mau pergi ke mana?" tanya Ouw Hui dengan suara kaget. Sambil menatap wajah pemuda itu, si nona berkata: "Ouw Toako, kita tidak boleh berdiam lama-lama di sini. Di tengah jalan aku mendapat warta dan buru-buru kudatang ke mari."

"Warta apa?" tanya Ouw Hui.

"Waktu Tong Pay kabur dari Ciangbunjin Tay-hwee, aku lalu mengejarnya," ia menerangkan.

"Bangsat itu sangat lihay, aku tak berhasil menyusulnya. Aku ingat, bahwa sesudah digusari Hok Kong An, dia tentu akan buru-buru pulang ke rumahnya di Ouwpak untuk menyuruh keluarganya kabur ke tempat lain."

"Bagus, kau bisa memikir tepat sekali," memuji Ouw Hui. Wan-seng tersenyum dan berkata pula: "Sebagai seorang yang bergelar Kam-lim-hui-cit-seng, dia tentu mempunyai banyak sekali kenalan. Tapi kuanggap, karena pada hakekatnya dia manusia licik, belum tentu dia mempunyai sahabat sejati. Dalam bahaya, belum tentu ada orang yang berani menolongnya. Maka itu, menurut pendapatku, dia sendiri mesti pulang untuk menyampaikan warta kepada keluarganya dan mengatur segala sesuatu. Demikian aku lalu mengejar ke jurusan barat daya. Tiga hari kemudian, di Ceng-hong-tiam aku berhasil menyusul dia. Kita bertempur di sawah kaoliang dan aku telah dapat membinasakannya, tapi aku sendiri terluka." Ouw Hui menghela napas.

Sesudah berdiam sejenak, si nona melanjutkan penuturannya: "Beberapa hari aku mengaso di sebuah rumah penginapan untuk mengobati luka. Apa mau, aku bertemu dengan beberapa busu Hok Kong An yang juga kebetulan menginap di situ dan diantara mereka terdapat Ciu Tiat Jiauw. Aku segera menegurnya dan menjanjikan satu tempat untuk bicara dengannya."

"Kau terluka, apa kau takut?" tanya Ouw Hui sambil tersenyum.

"Aku menghadiahkannya dengan sebuah jasa yang sangat besar." jawab si nona.

"Andaikata ia masih membenci aku, dengan diberikannya hadiah itu, kebenciannya akan segera menghilang. Aku memberitahukan kuburan Tong Pay kepadanya. Dengan memenggal kepala si orang she Tong dan membawanya kepada Hok Kong An, bukankah dia membuat sebuah jasa besar? Benar saja ia merasa sangat berterima kasih. Kata aku: 'Ciu Toaya, jika kau menangkap aku, kau memang akan mendapat pahala. Tapi Ouw Toako pasti tak akan berpeluk tangan dan segala rahasiamu akan pecah.'

"Dia benar-benar seorang pintar. Aku merasa takluk terhadap Ouw Toako," katanya.

"Sudan pasti aku tak akan berani membuat kedosaan terhadapnya. Kuharap kau suka memberitahukan Ouw Toako, bahwa bersama tiga puluh lebih jagoan istana, Tian Kui Long akan datang di Ciongcu untuk coba menangkapnya di kuburan kedua orang tuanya, Sesudah begitu, ia lantas berlalu." Ouw Hui kaget bukan main.

"Mereka mau coba menangkap aku di sini?" ia menegas. Si nona mengangguk.

"Benar," katanya.

"Aku merasa bingung karena khawatir tidak keburu memberitahukan kau. Hai! Atas berkah Tuhan, akhirnya aku bertemu dengan kau di sini...." Sambil mengawasi muka Wan-seng yang kurus dan pucat, Ouw Hui berkata dalam hatinya: "Untuk menolong jiwaku, entah berapa hari dan malam ia tak tidur."

"Bagaimana Tian Kui Long tahu kuburan kedua orang tuamu berada di sini?" tanya Wan-seng.

"Juga, bagaimana dia tahu bahwa kau bakal datang ke mari. Ouw Toako, seorang gagah tak dapat melawan musuh yang berjumlah terlalu besar. Maka itu, untuk sekarang sebaiknya kau menyingkir dulu."

"Siang tadi aku bertemu dengan Biauw Hujin dan aku telah berjanji untuk bertemu pula besok lohor," kata Ouw Hui.

"Siapa Biauw Hujin?" tanya si nona. Dengan ringkas Ouw Hui segera menceritakan riwayat Lam Lan.

"Ouw Toako, perempuan itu tak boleh dipercaya," kata Wan-seng dengan suara khawatir.

"Suami dan puterinya sendiri, ia tak perdulikan. Kau harus menyingkir secepat mungkin." Ouw Hui segera memberitahukan, bahwa menurut pendapatnya, Lam Lan tidak main gila. Di samping itu, ia pun sangat ingin tahu sebab musabab dari kebinasaan kedua orang tuanya. Karena itu, demikian katanya, ia ingin bertemu lagi dengan nyonya itu.

"Ouw Toako, Tian Kui Long sudah berada di sekitar tempat ini, sehingga mungkinkah Biauw Hujin tidak memberitahukannya tentang pertemuan antara dia dan kau," kata Wan-seng dengan suara jengkel.

"Ouw Toako, mengapa kau tak mau dengar perkataanku. Malam-malam aku datang di sini. Apakah kau tidak memandang aku, sedikit pun jua?" Ouw Hui kaget dan buru-buru ia berkata: "Kau benar. Akulah yang salah."

"Aku bukan ingin kau mengaku bersalah," kata si nona. Ouw Hui segera menghampiri tunggangan Wan seng dan sambil mencekal les, ia berkata: "Baiklah. Kau naiklah. Kita pergi ke jurusan barat."

Sebelum Wan-seng melompat ke punggung kuda, tiba-tiba di empat penjuru terdengar suara teriakan dan sorak-sorak. Sudah kasep! Musuh ternyata sudah mengurung kuburan itu.

"Perempuan itu ternyata sudah menjual aku," kata Ouw Hui dengan gusar.

"Mari kita menerjang ke barat." Di dalam hati ia merasa bingung, sebab didengar dari suara teriakan-teriakan itu, jumlah musuh pasti bukan keciL Jika Wan-seng tidak terluka, dengan mudah mereka akan dapat meloloskan diri. Tapi sekarang ia merasa keder.

"Ouw Toako, kau menerjang saja ke arah barat, tak usah perdulikan aku," kata si nona.

"Aku sendiri mempunyai akal untuk meloloskan diri." Darah Ouw-Hui bergolak.

"Jangan rewel!" bentaknya.

"Mati atau hidup kita bersama-sama. Ikut aku!" Dibentak begitu si nona malah merasa beruntung. Karena tak kuat menggunakan senjata pecutnya, maka ia lantas saja mengedut les dan mengikuti pemuda itu dari belakang. Baru saja mereka lari beberapa tombak, di sebelah depan sudah menghadang lima musuh.

"Kalau mau selamat, aku tidak boleh sungkan-sungkan lagi," kata Ouw Hui di dalam hati. Dengan waspada dan tangan mencekal golok, ia maju terus. Di lain saat, dua orang busu dari gedung Hok Kong An, yang satu bersenjata pecut besi, yang lain Kwie-tauw-to (golok kepala setan), menerjang dari kiri dan kanan. Begitu melihat gerakan mereka, Ouw Hui tahu, bahwa mereka bukan lawan enteng dan kalau sampai bertempur, paling sedikit ia harus melayani dalam delapan jurus.

Biarpun menang, mereka tentu sudah dikurung oleh lebih banyak musuh dan sukar meloloskan diri lagi. Maka itu, sambil melompat tinggi, ia membacok musuh yang berdiri di ujung kiri. Busu itu, yang bersenjata pedang, lantas saja mengangkat senjatanya untuk menangkis.

Selagi badannya masih berada di tengah udara, Ouw Hui mengerahkan Iwee-kang ke badan golok dan berbareng, bagaikan kilat ia menendang dada busu yang keempat, yang begitu kena, lantas saja terpental dan muntahkan darah. Busu yang bersenjata pedang begitu lekas pedangnya kebentrok dengan golok Ouw Hui - tiba-tiba merasakan tekanan semacam tenaga yang sangat hebat, dari lengan terus ke jantungnya, seolah-olah disodok toya besi, sehingga tanpa mengeluarkan suara, ia roboh pingsan. Melihat lihaynya pemuda itu, semua busu jadi kagum dan keder.

"Ouw Toaya!" bentak busu yang bersenjata golok Kwie-tauw-to.

"Aku, Sutouw Lui, meminta pengajaran."

"Cia Put Tong juga memohon petunjuk dari Ouw Toaya," menyambungi kawannya yang bersenjata pecut besi.

"Bagus!" kata Ouw Hui sambil memutar goloknya dan mengirim tiga serangan dengan beruntun-runtun. Kedua musuh itu tidak berani menangkis, mereka menyelamatkan diri dengan berkelit dan melompat mundur.

"Ouw Toaya!" teriak busu yang ketiga.

"Aku Koan...." Ia tak dapat meneruskan perkataannya, karena belakang golok Ouw Hui sudah keburu mampir di batok kepalanya yang jadi remuk dan dia roboh tanpa berkutik lagi.

Sutouw Lui dan Cia Put Tong melompat mundur beberapa kali, tapi mereka tetap menghadang di depan Ouw Hui. Di lain saat, dengan diiring teriakan-teriakan, empat busu lainnya sudah berdiri di belakang Sutouw Lui dan Cia Put Tong. Sejenak kemudian, jumlah musuh bertambah lebih besar. Ouw Hui mengeluh.

Dengan jurus Ya-cian Pat-hong Cong-to-sit, yaitu dengan menggunakan kaki kiri sebagai as, sambil memutar golok, ia memutar badan beberapa kali.

Dengan beberapa putaran itu, ia sudah menghitung jumlah musuh: Di sebelah barat, enam orang, sebelah timur tiga orang, sebelah selatan dan utara masing-masing lima orang, sehingga semuanya sembilan belas orang.

Sekonyong-konyong terdengar tertawa yang panjang dan nyaring, diikuti dengan suara seorang: "Saudara Ouw, selamat bertemu! Makin lama kepandaianmu makin tinggi. Tak salah kata orang, kalau mau cari jago, carilah di antara orang-orang muda!" Orang yang bicara itu bukan lain daripada Tian Kui Long. Biarpun hatinya panas, Ouw Hui tidak meladeni. Dengan mata tajam, ia mengawasi enam musuh yang berdiri di sebelah barat. Empat orang lantas saja memperkenalkan diri: "Aku yang rendah Thio Leng!"

"Touw Bun Houw meminta pengajaran!"

"Ouw Toaya, untuk kedua kalinya Teng Bun Cim bertemu denganmu!"

"Huh-huh! Loohu Tan Keng Thian!" Cepat bagaikan kilat, Ouw Hui menerjang. Sebelum berhadapan dengan keenam musuh itu, mendadak ia membelok ke utara. Dengan jeriji tangan kiri, ia menotok dada busu kedua yang berdiri di sebelah utara.

Orang yang bersenjata Poan-koan-pit itu adalah ahli tiam-hiat (ilmu menotok jalan darah). Melihat sambaran jari tangan, ia mendahului menotok jalan darah Coat-pee-hiat, di bahu kanan Ouw Hui, dengan Poan-koan-pit yang dicekal dalam tangan kanannya.

Itulah jurus lihay, membela diri dengan menyerang. Ouw Hui menyerang lebih dulu, tapi karena Poan-koan-pit lebih panjang, maka senjata itu sudah mendahului menotok bahunya.

Di luar dugaan, pada saat ujung pit baru menyentuh kulit, sekonyong-konyong Ouw Hui membalik tangannya dan mencengkeram badan pit yang lalu disodokkan ke depan. Dengan mengeluarkan suara "huh!" senjata makan tuan, pit itu amblas di tenggorokan majikannya. Hampir berbareng di belakang Ouw Hui terdengar suara dua orang yang memperkenalkan diri.

"Aku Oey Ciauw!"

"Ngo Kong Coan minta pelajaran!" Angin menyambar dan dua batang golok meluncur ke punggung Ouw Hui. Dengan cepat pemuda itu melompat ke depan, sehingga kedua senjata itu membacok angin. Sambil memutar badan, Ouw Hui membabat, dari bawah ke atas, untuk memutuskan pergelangan tangan Oey Ciauw.

Babatan itu adalah salah satu jurus terlihay dari Ouw-kee To-hoat dan sukar dapat dielakkan biarpun oleh seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi.

Apa mau, Oey Ciauw adalah ahli dalam ilmu Toa-kin-na-chiu (ilmu menangkap dan mencengkeram). Di samping itu, ia mempunyai mata yang sangat jeli dan otaknya bisa berpikir cepat. Demikianlah, begitu melihat sambaran golok ke arah pergelangan tangannya, dalam keadaan kesusu, ia segera melemparkan goloknya, membalik tangannya dan mencengkeram belakang golok Ouw Hui.

Muka Oey Ciauw tak karuan macam - kumisnya seperti kumis tikus, kepalanya kecil, matanya sipit.

Tapi si muka jelek sangat lihay, gerakannya malah lebih cepat dari gerakan Ouw Hui.

Sebelum Ouw Hui tahu apa yang terjadi, belakang goloknya sudah dicengkeram dengan lima jeriji yang seperti cakar ayam. Dengan mengandalkan tenaganya yang besar, ia membacok terus. Tapi tenaga Oey Ciauw tak kurang besarnya. Bukan main kagetnya Ouw Hui, karena goloknya tidak bergerak. Bahna kagetnya, untuk sejenak pemuda itu berdiri terpaku. Dalam tempo yang sependek itu, tiga musuh sudah menyerang dari belakang.

Pada saat yang sangat berbahaya, Ouw Hui menghitung-hitung apa yang harus diperbuatnya.

Sebelum ketiga musuh yang menyerang dari belakang bisa melukai dirinya, ia masih mempunyai tempo sedetik dua detik. Ia masih mempunyai tempo "membereskan" Oey Ciauw. Ia mengerti, bahwa dirinya sedang menghadapi bahaya besar, dikurung oleh banyak orang. Musuh yang berada di depannya yaitu Oey Ciauw, adalah musuh berat. Kalau ia dapat merobohkannya, tekanan atas dirinya jadi banyak berkurang. Memikir begitu, ia lantas saja melepaskan goloknya yang  dicengkeram dan menghantam dada musuh dengan kedua telapak tangannya.

"Buk!" tubuh Oey Ciauw bergoyang-goyang, tapi ia tak sampai jatuh, hanya golok terlepas dari cengkeramannya.

Dengan cepat Ouw Hui menangkap gagang golok, memutar tubuh dan menangkis tiga senjata yang sudah menyambar punggungnya.

Ketiga busu itu ialah Ngo Kong Coan, Tan Keng Thian dan seorang lagi yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata toya lembaga, yang beratnya empat puluh kali lebih. Begitu goloknya kebentrok dengan tiga senjata musuh, Ouw Hui merasa dadanya menyesak dan baru saja ia mau melompat ke samping, dari kiri kanan sudah menerjang dua musuh lain. Dalam kerepotan mengurung Ouw Hui, para busu tidak memperhatikan Wan-seng yang menunggang kuda. Dengan hati berdebar-debar Wan-seng memperhatikan jalannya pertempuran. Begitu melihat keadaan Ouw Hui yang sangat berbahaya, ia segera mengedut les dan selagi tunggangannya lompat menerjang, ia mengayun cambuk dan menghantam leher seorang busu. Musuh itu justru sedang menyerang sambil memperkenalkan dirinya: "Aku Him It Lek minta...." Ia tidak bisa meneruskan perkataannya, sebab lehernya keburu dilibat cambuk. Biarpun bertenaga besar, tapi karena napasnya menyesak dan tak dapat menahan terjangan kuda, ia segera roboh terjengkang dan diinjak tunggangan Wan-seng. Thio Leng yang berada di dekatnya juga turut terpelanting.

Sesudah dua musuh roboh, Ouw Hui menyerang hebat dan dengan beruntun ia menjatuhkan Touw Bun Houw dan Teng Bun Cim. Baru saja ia mau melompat untuk menyerang lain musuh, sekonyong-konyong di belakangnya menyambar kesiuran angin yang sangat hebat. Tanpa memutar badan, ia menangkis dengan goloknya dengan jurus Go-houw Koay-bong Hoan-sin (Harimau dan ular besar membalik badan). "Trang!" ia merasa senjatanya berubah enteng - kena dibabat putus dengan senjata musuh yang seketika itu sudah membacok lagi! Ia terkesiap, kaki kirinya menotol bumi dan tubuhnya lantas saja melesat setombak lebih jauhnya. Tapi meskipun begitu, pundak kirinya sakit dan ia tahu bahwa senjata musuh sudah menggores badannya.

Begitu lekas kaki kanannya hinggap di bumi, tangan kirinya menepuk, tangan kanannya menggaet dan ia sudah berhasil merebut sebilah golok dari tangan seorang busu. ltulah gerakan dari ilmu Kong-chiu Jip-pek-to (Dengan tangan kosong masuk dalam rimba golok) yang dijalankan dengan kecepatan luar biasa. Sedikit saja ia terlambat, punggungnya tentu sudah kena dibacok dengan golok mustika Tian Kui Long yang terus mengejar dari belakang. Di lain detik, ia sudah memutar badan untuk menghadapi

manusia busuk itu.

Tentu saja ia tidak berani mengadu senjata dengan golok mustika si orang she Tian yang dikenal sebagai mustika partai Thian-liong-bun. Sambil melompat ke sana sini dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, ia melayani jago Thian-liong-bun itu. Baru saja bertempur tujuh delapan jurus, belasan musuh sudah meluruk dan mengepungnya, sedang tiga musuh lainnya menyerang Wan-seng. Karena memikiri keselamatan si nona. perhatian Ouw Hui jadi terpecah dan "Trang!" golok yang dicekalnya kembali terbabat putus. Si orang she Tian jadi girang sekali. Dengan tekad untuk mengambil jiwa pemuda itu, ia menyerang makin hebat, dibantu oleh kaki tangan Hok Kong An.

Ouw Hui berkelahi mati-matian tapi keadaannya makin lama jadi makin jelek. "Cres!" pundak kirinya kembali digores pedang seorang busu.

"Orang she Ouw lekas menakluk!" teriak seorang.

"Kau seorang gagah perlu apa kau mengorbankan jiwa secara cuma-cuma?" menyambungi yang lain. Beberapa busu lain, yang rupanya merasa sayang akan kegagahan Ouw Hui, juga coba membujuk. Tapi Tian Kui Long sendiri terus menyerang sehebat-hebatnya tanpa mengeluarkan sepatah kata. Semangat Ouw Hui mulai runtuh. Ia merasa, bahwa ajalnya sudah tiba.

Mendadak, mendadak saja, dari sebelah kejauhan terdengar seruan seorang wanita: "Tian Toako, jangan binasakan jiwa pemuda itu!" Ouw Hui mengertak gigi karena ia segera mengenali, bahwa orang yang berteriak itu adalah Lam Lan.

"Tak perlu kau berlagak mulia!" bentaknya. Hampir berbareng, karena lengah, pinggangnya kena ditendang. Ia gusar tak kepalang, tangan kanannya menyambar bagaikan kilat dan menangkap kaki musuh yang menendang itu. Dengan gemas ia memutar badan musuh yang digunakan sebagai senjata, sehingga kawan-kawannya tidak berani terlalu mendesak. Orang itu adalah Thio I eng, yang sebab dibulang-balingkan, sudah tak ingat orang lagi.

Sementara itu, Wan-seng pun berada dalam bahaya besar. Ia menerjang kian ke mari dan kudanya yang sudah kena beberapa bacokan meringkik tak henti-hentinya. Sambil menenteng Thio Leng, Ouw Hui menerjang dan mendekati si nona.

"Ikut aku," katanya. Wan-seng melompat turun dari tunggangannya dan mereka lari ke kuburan Ouw It To.

Di samping kuburan terdapat sebuah pohon pek yang sudah tua dan dengan membelakangi pohon itu, mereka mempertahankan diri. Untuk sementara musuh tidak bisa berbuat banyak.

Sambil mengangkat tubuh Thio Leng tinggi-tinggi, Ouw Hui membentak: "Hei! Kamu mau kawanmu ini mampus atau hidup? Katakan saja!"

Selagi para busu bersangsi, si orang she Tian berteriak: "Siapa yang dapat membinasakan pengkhianat Ouw Hui akan mendapat hadiah besar dari Hok Thayswee!" Dengan berkata begitu, ia ingin menunjukkan, bahwa mati hidupnya Thio Leng tidak menjadi soal. Tapi busu-busu itu yang sedikitnya masih mempunyai rasa setia kawan, tetap bersangsi untuk segera menyerang. Melihat begitu, sambil memutar goloknya Tian Kui Long mulai membuka serangan.

Ouw Hui terkejut. Ancamannya sudah tidak berguna lagi. Ia tahu, bahwa jalan satu-satunya untuk meloloskan diri ialah coba menangkap Biauw Hujin untuk dijadikan semacam "barang tanggungan". Tapi nyonya itu berdiri jauh, terpisah belasan tombak dari tempat berdirinya. Melihat kedatangan Tian Kui Long, ia segera meraba-raba tubuh Thio Leng untuk mencari senjata. Tiba-tiba tangannya menyentuh kanlong piauw. Dengan tangan kiri ia menotok jalan darah busu itu, sedang tangan kanannya mencopot kantong piauw. Ia mengambil sebatang piauw dan sambil mengerahkan Iweekang ia menimpuk kempungan si orang she Tian

sekeras-kerasnya.

Senjata rahasia itu menyambar dengan kecepatan luar biasa dan waktu Kui Long tahu dirinya diserang, piauw sudah berada dalam jarak setengah kaki dari kempungannya. Secepat kilat ia menyampok dengan goloknya dan piauw itu terbabat putus jadi dua potong. Tapi potongan piauw menyambar terus dan menggores betis kanannya. Sesaat itu terdengar teriakan menyayat hati dan seorang busu terjengkang dengan sebatang piauw menancap di lehernya.

"Bangsat kecil!" caci Kui Long dengan gusar.

"Aku mau lihat apa hari ini kau masih bisa meloloskan diri." Tapi biarpun begitu, untuk sementara ia tidak berani terlalu mendesak dan hanya memerintahkan supaya semua busu mengurung dari sebelah kejauhan.

Busu yang dikirim oieh Hok Kong An untuk membinasakan Ouw Hui semuanya berjumlah dua puluh dua orang. Dalam pertempuran tadi yang sangat dahsyat, sembilan antaranya sudah mati atau terluka, sedang Ouw Hui sendiri pun terluka berat. Sampai pada saat itu, yang mengurung Ouw Hui dan Wan-seng adalah tiga belas busu. Di antara mereka ada beberapa yang merasa sayang akan kegagahan pemuda itu dan beberapa kali mereka menganjurkan supaya Ouw Hui menakluk.

Dalam keadaan putus asa, Ouw Hui mencekal tangan Wan-seng dan berkata: "Wan Kouwnio, biarlah kita binasa bersama-sama di samping kuburan kedua orang tuaku."

Perlahan-lahan Wan-seng menarik tangannya. "Aku... aku... seorang pertapaan," katanya terputus-putus. "Jangan memanggil aku Wan Kouwnio. Aku bukan she Wan. Pemuda itu sangat berduka. Ia merasa, bahwa nona yang dicintainya itu terlalu keras kepala. Pada detik menghadapi kebinasaan, ia masih bersikap begitu keras. Sementara itu, sambil memutar golok bagaikan kitiran, seorang busu maju mendekati. Ouw Hui menjumput sebutir batu dan menimpuk sinar putih yang berkelebat-kelebat. Busu itu menangkis batu dengan goloknya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik, Ouw Hui mengayun tangannya dan sebatang piauw menancap tepat di dada busu itu. Tian Kui Long jadi lebih gusar.

"Kawan-kawan bangsat kecil itu terlalu kurang ajar!" teriaknya.

"Mari kita serbu bersama-sama dengan berbareng. Aku mau lihat apa dia mempunyai tiga kepala enam lengan."

"Inilah saatnya!" mengeluh Ouw Hui. Ia mendongak dan mengawasi bintang-bintang di langit. Ia merasa, bahwa di lain saat, ia akan bertempur untuk penghabisan kali, ia akan membinasakan tiga atau empat orang dan sesudah itu.... Oh, bintang-bintang! Selamat tinggal!

Dengan serentak di bawah pimpinan Tian Kui Long, para busu bergerak. Tapi, sebelum mereka menerjang, mendadak, mendadak saja Biauw Hujin maju sambil berteriak: "Tian Toako, tahan! Ada beberapa perkataan yang kuingin sampaikan kepada pemuda itu."

Kui Long mengerutkan alisnya.

"A-lan, mundur!" katanya.

"Bangsat kecil itu sudah gila. Kau bisa celaka dalam tangannya." Tapi Biauw Hujin sangat kukuh.

"Dia bakal lantas mati," katanya.

"Halangan apa jika aku bicara beberapa patah dengannya?" Kui Long tak bisa membantah lagi.

"Baiklah," katanya.

"Katakanlah apa yang ingin dikatakan olehmu."

"Ouw Siangkong," kata Lam Lan.

"Apakah kau rela mati sebelum mengubur abu dalam guci itu?"

"Jangan campur urusanku!" bentak Ouw Hui.

"Aku tak bisa mencaci seorang wanita. Pergilah!" Tapi Lam Lan sangat bandel.

"Aku sudah berjanji untuk memberitahukan persoalan ayahmu," katanya pula.

"Apakah kau masih mau mendengarnya, sebelum mati?"

"A-lan, jangan rewel!" bentak si orang she Tian.

"Tahu apa kau?" Tapi Lam Lan tidak meladeni.

"Aku hanya akan bicara tiga patah perkataan," katanya lagi.

"Perkataan-perkataan itu ada sangkut pautnya dengan ayahmu. Apa kau mau dengar?"

"Ya," jawab Ouw Hui.

"Memang, aku tidak boleh binasa sebelum mengetahui teka-teki itu. Katakanlah!"

"Aku hanya bisa memberitahukan kepada kau seorang, lain orang tidak boleh mendengarnya," kata Lam Lan.

"Tapi kau tidak boleh menggunakan kesempatan untuk menawan aku dan menjadikan aku sebagai barang tanggungan. Apakah kau suka berjanji? Kalau kau tidak memberi janji, aku tak akan memberitahukan hal itu kepadamu."

"Bahwa kau sudah sudi untuk membuka teka-teki itu pada sebelum aku mati, aku sudah merasa sangat berterima kasih," kata Ouw Hui.

"Mana bisa aku berbalik mencelakakanmu? Di dalam dunia masih terdapat banyak laki-laki. Apakah kau kira semua manusia sama busuknya seperti Tian Kui Long.?" Paras muka Kui Long jadi lebih tak enak kelihatannya. Ia tak tahu apa yang mau dikatakan oleh Lam Lan, tapi ia sudah tidak dapat mencegahnya.

"Tak perduli apa yang bakal dikatakannya, pasti tak baik bagi diriku," pikirnya.

"Memang lebih baik jika tidak didengar oleh orang lain." Sementara itu Lam Lan sudah mendekati Ouw Hui dan lalu bicara bisik-bisik di dekat kupingnya: "Tanamlah guci itu dalam jarak tiga kaki di belakang batu nisan. Galilah tanahnya dalam-dalam. Kau akan menemukan sebatang golok mustika." Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu dan sambil berjalan, ia berkata pula dengan suara nyaring; "Hal itu hanya bersangkut paut dengan Kim-bian-hud Biauw Jin Hong. Sesudah kau mengetahui rahasia itu, kau bisa mati tanpa penyesalan. Tanamlah guci itu, supaya yang sudah mati bisa mengaso dengan tenteram. Dan kau sendiri, sesudah mewujudkan niatanmu, bisa mati dengan hati senang." Ouw Hui jadi bingung.

Ia tak mengerti apa maksudnya bisikan Lam Lan. Tapi ia merasa, bahwa nyonya itu tidak main gila. "Tak perduli bagaimanapun jua, paling benar aku mengubur dulu abunya Jie-moay," pikirnya. Memikir begitu, dengan menggunakan tangan, ia segera menggali tanah sesuai dengan petunjuk Biauw Hujin, yaitu dalam jarak tiga kaki di belakang batu nisan.

Tian Kui Long mengawasi Ouw Hui sambil tersenyum-senyum. Ia menduga, bahwa dengan bisikan itu, Lam Lan memberitahukan, bahwa ayahnya pemuda itu telah dibinasakan oleh Biauw Jin Hong. Selagi Ouw Hui menggali, enam belas busu mengawasi sambil mencekal senjata erat-erat. Begitu lekas Ouw Hui selesai menanam guci, mereka akan segera menerjang.

Sementara itu, sambil membaca doa dan merangkap kedua tangannya, Wan-seng berlutut di samping Ouw Hui dengan menghadapi lubang yang sedang digali. Sambil menahan sakit, Ouw Hui terus menggali dengan kedua tangannya. Melihat Wan-seng berlutut sambil membaca doa, tiba-tiba ia tersadar. "Sesudah ia rela mengabdi kepada Sang Buddha secara mutlak, mana bisa aku memaksanya untuk kembali menjadi orang biasa?" katanya di dalam hati.

"Untung juga ia menolak. Jika tidak, dalam menghadapi kebinasaan, hati kita berdua bisa kurang tenteram."

Mendadak, kedua tangannya menyentuh sesuatu yang keras dingin dan dalam otaknya lantas saja berkelebat perkataan Lam Lan: "Golok mustika".

Dengan paras tak berubah. ia meraba-raba. Benar! Sebilah golok di dalam sarung. Ia segera mencekal gagangnya dan menarik kira-kira satu dim. Golok itu ternyata tidak berkarat. "Biauw Hujin mengatakan, bahwa hal ini bersangkut paut dengan Biauw Jin Hong," katanya di dalam hati. Apakah golok ini ditanam oleh Biauw Tayhiap, sebagai peringatan untuk mendiang ayahku?"

Ouw Hui tidak menebak salah. Tapi ia tak tahu, bahwa Biauw Jin Hong dan Biauw Hujin telah menikah karena golok itu. Ia pun tak tahu, bahwa terpecah belahnya suami isteri itu juga karena gara-gara golok tersebut.

Ditanamnya golok itu di kuburan Ouw It To hanya diketahui oleh Lam Lan seorang. Dalam dunia ini, tak ada orang lain yang mengetahuinya.

Sambil mencekal gagang golok, Ouw Hui mengawasi Biauw Hujin. Nyonya itu menghela napas dan berkata seorang diri: "Tidak mudah untuk dapat menyelami hati orang lain!" Seraya berkata begitu, ia berjalan terus dengan tindakan perlahan.

"A-lan!" teriak Tian Kui Long.

"Tunggu aku di rumah penginapan. Sesudah aku membunuh bangsat kecil itu, ramai-ramai kita makan minum." Lam Lan tidak menyahut, ia berjalan terus tanpa meladeni manusia busuk itu. Tian Kui Long menengok kepada Ouw Hui dan membentak: "Bangsat kecil! Lekas tanam gucimu! Kami tidak bisa menunggu terlalu lama!"

"Baiklah, aku pun tidak dapat menunggu terlalu lama!" jawabnya. Mendadak, mendadak saja sehelai sinar hijau berkelebat dan dalam tangan pemuda itu sudah bertambah sebilah golok! Kagetnya Tian Kui Long dan para busu bagaikan disambar petir. Ouw Hui sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik. Selagi semua orang tertegun, ia menerjang bagaikan kilat.

"Trang! Trang! Trang...." tiga senjata tersebut putus dan dua orang busu terluka. Tian Kui Long mengangkat goloknya dan membacok. Kali ini, sambil mengerahkan Iweekang. Ouw Hui menampik golok itu dengan senjatanya.

"Trang...!" suara bentrokan golok nyaring luar biasa dan kedua lawan melompat mundur dengan berbareng. Dengan bantuan sinar rembulan, mereka memeriksa senjata sendiri. Ternyata kedua-duanya tetap utuh - golok mustika bertemu dengan golok mustika.

Semangat Ouw Hui terbangun. Sekarang ia tak usah takuti lagi senjata musuh. Bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayap, ia segera menyerang dengan menggunakan Ouw-kee To-hoat dan dalam sekejap, ia sudah melukai tiga busu lagi. Dilain saat, ia sudah bertempur dengan Tian Kui Long. Biarpun senjata si orang she Tian tidak kalah dari senjata Ouw Hui, tapi ilmu silat goloknya kalah jauh dari Ouw-kee To-hoat.

Andaikata ia menggunakan pedang mustika, ia masih belum bisa menandingi pemuda itu. Apalagi sekarang, ia menggunakan golok yang tidak biasa digunakannya, sedang Ouw Hui sendiri menggunakan senjata yang cocok bagi dirinya. Demikianlah baru saja bertempur beberapa jurus, lengan dan betis si orang she Tian sudah digores golok dan kalau tidak dilindungi oleh para busu, siang-siang ia sudah binasa dalam tangan pemuda itu yang menyerang seperti harimau edan.

Sesudah bertempur beberapa lama, jumlah busu yang masih bisa berkelahi sudah tidak seberapa lagi, antaranya beberapa orang sudah tidak bersenjata lagi. Karena sungkan melukai terlalu banyak orang, Ouw Hui berseru: "Tuan-tuan adalah orang-orang gagah dari Rimba Persilatan. Perlu apa kalian mengantarkan jiwa dengan cuma-cuma?"

Melihat gelagat kurang baik, Tian Kui Long yang licik buru-buru kabur, diikuti oleh kawan-kawannya. Sesudah berada di tempat yang selamat, tak satu pun yang tahu, dari mana Ouw Hui mendapat golok mustika itu. Mulai dari waktu itu, di dalam dunia Rimba Persilatan Ouw Hui mendapat julukan "Hui-ho" (si Rase Terbang), sebagai pujian untuk pemuda itu yang lihay luar biasa dan tidak dapat ditaksir gerak-geriknya.

Sesudah musuh tak kelihatan mata hidungnya lagi, dengan rasa terima kasih yang sangat besar, Ouw Hui memasukkan golok mustika ke dalam sarungnya dan kemudian menguburkannya iagi, supaya senjata tersebut terus mengawani kedua orang tuanya.

Sesudah itu, dengan air mata berlinang-linang, ia mengubur guci yang berisi abunya Leng So. Selagi ia mengangkat guci sambil merangkap kedua tangannya, Wan-seng membaca doa: "Budi dan kecintaan membuat pertemuan. Dalam dunia tak ada yang abadi, Dalam penghidupan banyak kekhawatiran. Jiwa manusia bagaikan setetes embun pagi. Cinta menimbulkan kejengkelan, Cinta menyebabkan ketakutan, Dengan meninggalkan cinta, Terbebaslah dari kejengkelan dan ketakutan."

Sehabis mendoa, tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia segera melompat ke atas punggung tunggangannya yang lalu dilarikan ke jurusan barat. Ouw Hui berdiri terpaku. Dengan mata mengembang air, ia mengawasi bayangan Wan-seng yang makin lama jadi jauh. Ia mengawasi bagaikan orang hilang ingatan, sedang dalam kupingnya terus berkumandang doa yang barusan diucapkan oleh si jiwa hati.

TAMAT