Bagian 3
Pertentangan antara para pangeran yang dipelopori oleh dua Pangeran Tua Liong Bin Ong dan Liong Khi Ong di satu pihak dan Perdana Menteri Su yang setia kepada Kaisar, sungguhpun merupakan pertentangan yang tidak terang-terangan, namun telah mendatangkan keadaan yang panas dan kacau di kota raja. Namun, berkat ketrampilan dan kegagahan Puteri Milana dan pasukah-pasukan yang dipimpin olehnya sebagai bantuan terhadap tugas suaminya, yaitu Perwira Pengawal Han Wi Kong, keadaan di kota raja dapat dibikln tenteram dan aman. Kedua orang Pangeran Liong tidak berani membuat huru-hara di kota raja karena mereka tahu bahwa pihak Menteri Su dan Puteri Milana yang tentu saja bekerja sama itu hanya menanti sampai ada bukti-bukti pemberontakan mereka untuk dapat turun tangan menentang mereka secara terang-terangan.
Sebagai adik-adik dari Kaisar, tentu saja kedua orang Pangeran Liong ini mempunyai pengaruh yang cukup besar. Tanpa adanya bukti penyelewengan mereka, Kaisar sendiri tidak dapat mengambil tindakan secara begitu saja. Dan mereka cukup cerdik untuk menghapus semua bekas dan bukti pemberontakan mereka, karena mereka memiliki pembantu-pembantu yang amat pandai, orang-orang berilmu tinggi yang mewakili mereka melakukan hubungan dengan luar kota raja.
Pada hari itu, kota raja kelihatan ramai dan banyak pembesar keluar dari gedung masing-masing untuk mengunjungi Istana Pangeran Liong Bin Ong yang merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh! Diadakan perayaan besar-besaran di dalam istana pangeran tua ini dan tentu saja para bangsawan dan keluarga kerajaan datang semua memenuhi undangan ini. Bahkan Perdana Menteri Su dan Puteri Milana sendiri, merasa tidak enak kalau tidak menghadiri pesta itu, di mana mereka diundang dan termasuk tamu-tamu kehormatan! Bahkan Kaisar sendiri mengirim hadiah ulang tahun dan mewakilkan kehadirannya dan ucapan selamatnya kepada Perdana Menteri Su. Gedung istana yang besar dan megah itu dipajang meriah dan karena jumlah tamu amat banyak, maka yang datang terlambat terpaksa dipersilakan duduk di kursi-kursi yang diatur di luar ruangan depan, yaitu di dalam taman dan di samping kiri ruangan itu, taman yang sudah dihias dan dirubah menjadi ruangan tamu dengan penerangan cukup dan terlindung tenda-tenda besar.
Sejak siang tadi sampai malam, bunyi alat musik tidak pernah berhenti, dan bau arak wangi sampai dapat tercium oleh penduduk yang berdiri menonton pesta di luar pagar di tepi jalan raya depan istana pangeran itu. Karena pesta itu diadakan di waktu malam, maka para tamu datang berbondong-bondong mulai sore dan setelah keadaan menjadi gelap dan tempat pesta itu diterangi oleh banyak sekali lampu penerangan, tempat itu telah penuh dengan para tamu. Juga di luar pagar penuh dengan penduduk yang menonton, sebagian besar anak-anak. Mereka ini tidak hanya ingin mendengarkan musik dan menonton orang pesta, akan tetapi juga ingin sekali melihat orang-orang besar dan bangsawan-bangsawan istana yang pada malam hari itu berkumpul di situ, padahal biasanya amat sukar bagi rakyat untuk menyaksikan mereka. Mereka memperhatikan para penyambut tamu yang meneriakkan nama tamu yang terhormat sebagai laporan kepada pihak tuan rumah yang menyambut di ruangan agar pihak tuan rumah tahu siapa yang telah datang di pintu gerbang dan mempersiapkan sambutan sesuai dengan kedudukan para tamu terhormat itu.
Sejak tadi, pihak penyambut tamu di depan tiada hentinya meneriakkan nama-nama para bangsawan yang datang berbondong, dari pejabat militer yang tentu berkedudukan panglima sampai kepada pembesar yang merupakan orang-orang penting dalam pemerintahan. Setiap ada nama bangsawan disebut, orang-orang yang berkerumun di luar memanjangkan leher untuk melihat bagaimana bentuk orangnya, karena banyak yang sudah mereka dengar namanya namun belum pernah melihat orangnya.
"Yang terhormat Perwira Pengawal Han Wi Kong bersama isteri, Yang Mulia Puteri Milana....!"
Seruan ini disambut oleh suara gaduh dan bahkan ada suara tepuk tangan di antara para penonton di luar pagar. Siapakah yang tidak mengenal nama Puteri Milana? Bagi penghuni kota raja, besar kecil semua mengenal nama ini dan merasa kagum serta berterima kasih karena puteri inilah yang selalu menentang para pengacau dan puteri ini yang selalu siap melindungi rakyat apabila terjadi penindasan dari pihak pemerintah atau alat pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaannya.
"Hidup Yang Mulia Puteri Milana....!" Terdengar seruan diantara para penonton itu dan bahkan anak-anak yang berada di situ berebut tempat untuk dapat melihat dengan lebih jelas wajah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati itu. Diantara para penonton ini, terdapat dua orang pemuda yang juga memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri kepada puteri yang baru turun dari kereta bersama suaminya, seorang perwira yang tampan dan gagah itu.
Perwira itu adalah Han Wi Kong, seorang pria berusia hampir empat puluh tahun yang bertubuh sedang, berwajah tampan dan pendiam, berpakaian sebagai seorang perwira pengawal dengan sebatang pedang tergantung di pinggangnya. Dengan sikap menyayang dan menghormat dia membantu isterinya turun dari kereta. Begitu turun dan mendengar sambutan rakyat yang menonton, Puteri Milana menoleh keluar dan mengangkat tangan melambai sambil tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak dapat merubah wajahnya yang agak pucat dan dingin. Dia memang cantik jelita, biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih namun tubuhnya masih ramping seperti seorang dara belasan tahun, pakaiannya indah namun sederhana dan rambutnya tidak dihias dengan emas permata. Pakaiannya lebih menyerupai pakaian seorang pendekar wanita yang sering melakukan perjalanan jauh, ringkas dan sederhana daripada pakaian seorang puteri cucu kaisar dan isteri perwira. Sehelai mantel berwarna ungu yang lebar menutupi pakaiannya dan menyembunyikan sebatang pedang yang tergantung di pinggangnya. Warna ungu mantelnya itu cocok sekali dengan warna pakaiannya yang serba kuning dan dengan tenang dia melangkah di samping suaminya, mukanya diangkat dan matanya lurus memandang ke depan, sikapnya tenang sekali padahal semua orang dapat menduga dan dia sendiri tahu bahwa dia memasuki guha macan!
Pangeran Liong Bin Ong menyambut Puteri Milana dan suaminya dengan penuh kehormatan dan dengan wajah berseri dan mulut tersenyum lebar, lalu setelah mereka saling memberi hormat seperti yang semestinya karena pangeran itu masih terhitung paman kakeknya sendiri, Puteri Milana lalu diantar duduk di tempat kehormatan di mana telah duduk Perdana Menteri Su yang menyambut puteri itu dengan pandang mata penuh arti dan mulut tersenyum.
Setelah duduk di kursi yang disediakan untuknya, Milana memandang ke seluruh ruangan itu penuh perhatian. Dia memperoleh kenyataan bahwa pihak tuan rumah telah mengatur sedemikian rupa sehingga golongan yang memihak Kaisar berada di satu kelompok, adapun para bangsawan yang diragukan kesetiaannya duduk tersebar mengelilingi kelompok itu. Seolah-olah kelompok yang setia kepada Kaisar telah dikurung! Namun dia bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada hal yang perlu dirisaukan.
"Wah, Enci (Kakak) Milana hebat sekali, ya?" Seorang di antara dua pemuda yang berada diantara para penonton berkata sambil menyiku lengan pemuda ke dua.
"Memang hebat! Mengapa kita tidak menghadap dia, Bu-te?" kata Suma Kian Lee kepada Suma Kian Bu yang kelihatan girang dan bangga sekali melihat kakaknya. Dua orang pemuda Pulau Es itu baru saja tiba di kota raja siang tadi dan sebagai dua orang pemuda yang belum pernah melihat kota besar dan seindah itu, mereka menjadi kagum dan berkeliling kota, mengagumi segala keindahan yang amat luar biasa itu. Akhirnya mereka terbawa oleh arus orang yang menuju ke depan istana Pangeran Liong Bin Ong yang sedang mengadakan perayaan itu dan mereka ikut pula menonton.
"Lee-ko, Ibu telah berpesan kepadaku agar aku pandai membawa diri di kota raja, jangan bersikap liar dan tidak sopan, karena hal itu akan memalukan Enci Milana sebagai seorang puteri istana. Aku tidak berani memanggilnya di tempat ini, Koko."
"Kau benar, Bu-te. Memang tidak pantas, apalagi pakaian kita sudah kotor begini. Enci Milana dihormat sedemikian rupa dan dikagumi rakyat, kalau kita menegurnya dan semua orang mendengar bahwa kita adalah adik-adiknya, tentu akan menimbulkan keributan dan akan memalukan Enci Milana. Kita menonton saja di sini dan nanti kalau dia pulang, kita ikuti dan kita menghadap di tempat tinggalnya."
Kian Bu mengangguk dan kedua orang muda itu lalu menonton ke dalam, bercampur dengan anak-anak dan orang-orang lain. Tentu saja perhatian mereka selalu tertuju kepada Puteri Milana yang tempat duduk kelompoknya agak tinggi sehingga dapat terlihat dari luar.
Sementara itu, sambil kadang-kadang mengangkat cawan arak mengajak para tamunya minum, diam-diam Pangeran Liong Bin Ong tersenyum memandang ke arah kelompok yang duduk di bagian kehormatan. Mereka yang memusuhiku berada di situ, pikirnya melamun. Terutama sekali Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, musuh besarnya dan penghalang utamanya. Kalau pada saat itu dia mengerahkan kaki tangannya dan berhasil membunuh mereka, alangkah balknya! Akan tetapi tentu saja hal itu akan menimbulkan geger! Sebaiknya digunakan siasat seperti yang telah diaturnya dengan para pembantunya. Betapapun hatinya menyesal mengapa dia tidak dapat membunuh mereka semua itu selagi kesempatan terbuka begini lebar. Sekali dia mengerahkan para pengawal dan pembantunya, mereka yang kini terkurung itu tentu tidak akan mampu lolos!
Tiba-tiba seorang pengawalnya menghampiri pangeran tua ini, memberi hormat dan menyerahkan sepucuk surat tanpa berkata-kata. Pangeran Liong Bin Ong menerima surat itu dan memberi isyarat supaya pengawalnya mundur, kemudian sambil tersenyum dibacanya surat kecil itu. Mendadak mukanya berubah agak pucat ketika dia membaca surat laporan dari kepala pengawal yang disuruh melakukan penjagaan dan penyelidikan. Tulisan pengawalnya itu adalah seperti berikut:
Menurut hasil penyelidikan, orang-orangnya Puteri Milana telah menyelinap diantara para tamu, para penabuh musik, dan diantara para penonton. Bahkan pasukan istimewa Perwira Han Wi Kong melakukan baris pendam mengurung istana ini.
Pangeran Liong Bin Ong mengusap peluh dengan saputangannya. Untung bahwa semua rencananya membunuh kelompok di tempat kehormatan itu hanyalah merupakan lamunan kosong belaka. Kalau dilaksanakan, sebelum hal itu terjadi, tentu dia telah ditangkap dan istana itu diserbu! Bukan main cerdiknya Puteri Milana dan dia mengerling ke arah puteri itu dan suaminya dengan sinar mata penuh kebencian. Tentu saja para penjaganya tidak melihat baris pendam yang telah diatur oleh Han Wi Kong. Tentu para anggauta pasukan istimewa itu melakukan pengurungan dengan bersembunyi, hanya siap sewaktu-waktu untuk menyerbu dan melindungi junjungan mereka!
Pangeran Liong Bin Ong masih memandang kepada Milana dan suaminya dengan penuh kemarahan dan kebencian. Akan tetapi karena pada saat itu hidangan sedang dikeluarkan, dia menahan sabar dan bahkan dengan muka dimanis-maniskan dia berdiri dari kursinya, menghampiri para tamu terhormat sambil terbongkok-bongkok dan mempersilakan mereka menikmati hidangan yang dikeluarkan. Mulailah para tamu makan minum sambil bercakap-cakap dan di bagian para tamu yang kebagian tempat duduk di dalam taman, tampak Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ikut pula makan minum dengan lahapnya di sebuah meja!
Ternyata Suma Kian Bu tidak dapat menahan keinginan hatinya ketika dia melihat para tamu mulai makan minum. Bau arak wangi dan masakan yang masih mengepulkan uap, membuat perutnya yang sudah lapar itu menjadi makin lapar, maka dia menyentuh lengan kakaknya dan memberi isyarat dengan kepala, kemudian tanpa menanti jawaban Suma Kian Lee yang mengerutkan alisnya, Suma Kian Bu pergi keluar dari rombongan para penonton yang memandang orang makan sambil menelan air liur itu. Kian Bu mengajak Kian Lee ke bagian yang sunyi, kemudian mereka menggunakan waktu semua penonton memandang ke dalam, seperti dua ekor burung rajawali mereka meloncati pagar tembok dan menyusup melalui tempat gelap, akhirnya mereka dapat menyelinap masuk dan duduk di kursi paling belakang dari rombongan tamu yang kebagian tempat di taman! Mereka bersikap biasa saja ketika para pelayan datang membawa hidangan dan mengangguk dengan sikap angkuh seolah-olah mereka juga tamu-tamu kehormatan ketika para pelayan menaruh hidangan dan memandang hidangan-hidangan dan arak yang diatur di atas meja itu dengan sikap angkuh dan acuh tak acuh, dengan pandangan yang jelas menyatakan bahwa mereka telah "biasa" dengan hidangan seperti itu, seperti sikap orang-orang muda bangsawan dan kaya raya. Akan tetapi begitu para pelayan itu meninggalkan meja mereka untuk melayani para tamu lain, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu segera menyerbu hidangan-hidangan itu dan makan dengan lahapnya karena memang perut mereka sudah lapar dan selamanya mereka belum pernah makan hidangan mahal selezat itu.
Sementara itu, Pangeran Liong Bin Ong sudah memutar otaknya. Rencananya gagal total. Tadinya dia dan anak buahnya telah merencanakan siasat keji untuk membasmi musuh-musuhnya. Rencana ini adalah memancing keributan sehingga terjadi pertempuran seolah-olah pihak pemberontak mengacaukan pestanya dan di dalam kekacauan ini dia akan mengerahkan kaki tangannya yang lihai untuk membunuh Puteri Milana dan Perdana Menteri Su, sedangkan dia telah merencanakan untuk membiarkan dirinya "diculik" oleh
pengacau. Hal ini untuk membuktikan kebersihannya, sehingga selain musuh-musuh yang diseganinya, Perdana Menteri Su dan Puteri Milana dapat ditewaskan, juga Kaisar akan kehilangan kecurigaannya terhadap dirinya. Tentu saja yang "menculiknya" adalah kaki tangannya sendiri dan dia akan mencari akal untuk dapat lolos dari tawanan para penculik, kalau perlu dengan tuntutan penebusan kepada pihak istana. Akan tetapi, siapa kira, Panglima Han Wi Kong, atau lebih tepat lagi Puteri Milana karena dia menduga keras bahwa puteri itulah yang mengatur semua ini, agaknya telah mencium rahasia itu atau juga telah menduga akan terjadinya sesuatu yang tidak wajar sehingga istana itu dikepung oleh pasukan terpendam sehingga tentu saja rencananya gagal karena kalau dilanjutkan, tentu akan ketahuan bahwa dialah yang mengatur kekacauan itu.
Sambil bersungut-sungut Liong Bin Ong memberi isyarat kepada seorang yang berdiri sebagai penjaga di sudut ruangan. Orang ini sebetulnya adalah kepala pengawalnya yang sejak tadi memandang ke arah majikannya setelah dia menyuruh seorang pengawal menyerahkan laporan tertulisnya. Melihat kepala pengawal itu memandang kepadanya, Pangeran Liong Bin Ong lalu mengangkat tangan kanannya ke atas, menekuk semua jari tangannya kecuali jari tengah dan telunjuk. Ini merupakan isyarat rahasia bahwa dia menghendaki agar "siasat ke dua" dijalankan, karena siasat pertama gagal total. Memang, sebagai seorang ahli siasat,
Pangeran Liong Bin Ong dan anak buahnya telah mengatur rencana selengkapnya, yaitu telah direncanakan siasat cadangan untuk merubah rencana kalau yang pertama gagal.
Rencana ini akan mempergunakan siasat ke dua, tidak lagi untuk membunuh Perdana Menteri Su dan Puteri Milana. Tak mungkin lagi dilakukan rencana pembunuhan setelah Puteri Milana dengan cerdiknya mengatur barisan pendam mengurung istana, bahkan menyelundupkan pengawal-pengawalnya ke dalam para tamu, para penonton bahkan ahli-ahli musik yang sedang menghibur para tamu. Akan tetapi siasat ke dua dapat dijalankan, yaitu untuk membuat pihak Puteri Milana malu di depan para tamu bangsawan, yaitu dengan jalan mengadu kepandaian antara jago-jago yang telah dipersiapkan oleh Pangeran Liong Bin Ong sebelumnya, dan pihak tamu kehormatan yang akan ditantang dengan jalan halus.
Kalau sampai berhasil memancing kemarahan Puteri Milana dan puteri yang perkasa itu turun tangan sendiri, itulah yang diharapkan karena hal itu berarti bahwa siasat mereka berhasil. Kalau Sang Puteri maju, maka hanya ada dua kerugian di pihak Puteri Milana. Kalau Sang Puteri kalah, jelas hal ini yang dikehendaki Pangeran Liong Bin Ong, apalagi kalau dalam pertandingan itu Puteri Milana sampai dapat ditewaskan. Andaikata sebaliknya, karena puteri itu memang amat lihai, setidaknya puteri itu telah merendahkan diri melayani jagoan-jagoan, dan merendahkan derajatnya sebagai puteri cucu Kaisar dan tentu hal ini akan mudah dijadikan bahan menghasut Kaisar agar Kaisar yang tua itu membenci cucunya yang dianggap mencemarkan kehormatan keluarga kerajaan!
Setelah semua tamu selesai makan, Pangeran Liong Bin Ong diam-diam memberi isyarat. Tak lama kemudian, dari rombongan tamu yang berada di dalam taman, berdirilah dua orang, yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan kelihatan kasar dan kuat sekali, sedangkan orang ke dua tinggi kurus dengan muka kuning mata sipit, langkahnya gontai seperti orang lemah. Kedua orang ini seperti orang mabuk berjalan menuju ke tempat kehormatan, lalu menjatuhkan diri berlutut di atas lantai di tengah ruangan yang memang telah dipersiapkan untuk menjadi tempat gelanggang adu kepandaian di mana hanya terdapat meja besar tempat menyimpan semua hadiah dan sumbangan. Kedua orang itu menghadap kepada Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus yang berkata dengan suara melengking nyaring sehingga terdengar oleh semua yang hadir, terutama sekali oleh mereka yang duduk di panggung kehormatan karena kedua orang itu berlutut menghadap ke situ.
"Mohon paduka sudi mengampunkan kami berdua. Akan tetapi kami berdua menagih janji paduka untuk menguji kami di depan para tamu yang mulia agar dapat memutuskan apakah kami patut menjadi pengawal pribadi paduka yang dapat dipercaya."
Semua orang tentu saja memandang dan selain merasa heran juga berkhawatir melihat keberanian dua orang itu mengganggu pesta dan tentu Pangeran Liong Bin Ong akan marah sekali. Akan tetapi pangeran itu hanya memandang dengan tersenyum, sedangkan yang menjadi marah adalah Pangeran Liong Khi Ong yang tadi mendekati kakaknya, tak lama setelah pengawal mengantar surat. Pangeran Liong Khi Ong bangkit berdiri dari kursinya dan sambil menudingkan telunjuknya kepada kedua orang itu dia membentak, "Manusia-manusia kurang ajar! Berani kalian mengganggu pesta dengan bicara tentang pekerjaan?" Pangeran Liong Khi Ong sudah menoleh kepada pengawal untuk memberi perintah menangkap mereka, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong memegang lengan adiknya itu dan berkata nyaring sehingga semua tamu mendengar suaranya, "Jangan persalahkan mereka! Memang aku sudah berjanji
kepada mereka untuk menguji mereka dalam pesta ini!" Kemudian Pangeran Liong Bin Ong bangkit berdiri dan menghadapi para tamu di bagian kehormatan sambil berkata, "Cu-wi sekalian yang mulia. Di dalam keadaan terancam oleh pengacauan-pengacauan para pemberontak suku bangsa di luar tapal batas, kita perlu sekali menghimpun tenaga untuk menjadi pengawal-pengawal dan melindungl kita."
Puteri Mllana dan Perdana Menteri Su saling bertukar pandang dan Puteri Milana menahan senyum mengejek. Betapa tak tahu malu pangeran tua yang menjadi paman kakeknya itu. Sudah terang, biarpun belum ada bukti, bahwa kedua orang Pangeran Liong itulah yang mengandalkan semua pemberontak suku bangsa, sekarang masih berani bicara seperti itu!
"Dua orang saudara dari dunia kang-ouw ini mendengar bahwa kami sedang membutuhkan tenaga pengawal-pengawal yang sakti. Kemarin dulu mereka datang menghadap kami dan melamar pekerjaan menjadi pengawal pribadi. Karena kami sedang menghadapi perayaan, maka kami memutuskan untuk menguji mereka pada saat pesta ini, sekalian untuk memeriahkan suasana pesta. Karena kami mengerti bahwa pada saat inilah terkumpul semua tokoh gagah perkasa yang tentu akan sudi turun tangan membantu kami untuk menguji mereka berdua apakah benar mereka memiliki kepandaian dan patut menjadi pengawal pribadi kami. Yang tinggi besar bermuka hitam ini adalah Yauw Siu, seorang jagoan dari Pantai Po-hai!" Si Muka Hitam bangkit berdiri dan dengan mengerahkan tenaga membuat otot-otot lengan dan lehernya tampak menggembung, dia membungkuk dan memberi hormat ke empat penjuru.
"Yang tinggi kurus bermuka kuning adalah Sun Giam, jagoan dari pegunungan selatan," kata pula Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus juga memberi hormat ke empat penjuru.
"Silakan jika di antara Cu-wi ada yang suka membantu kami untuk menguji kedua orang calon pengawal ini!" Pangeran Liong Bin Ong menutup kata-katanya lalu duduk kembali. Suasana menjadi sunyi sekali. Biarpun terdengarnya seperti seorang yang minta bantuan menguji dan sekaligus memeriahkan suasana pesta, namun bagi mereka yang diam-diam menentang pangeran ini, jelas terasa bahwa pangeran itu mengajukan dua orang jagoannya untuk menantang! Betapapun, di antara para tamu kehormatan tidak ada yang sudi untuk memenuhi tantangan ini, karena mereka tidak sudi merendahkan diri melawan orang-orang yang dianggapnya rendah itu.
Kesunyian yang mencekam sekali dan tampak Puteri Milana menahan senyum, girang bahwa pancingan pangeran tua itu tidak berhasil. Dua orang jagoan yang kini masih berdiri itu memandang ke sekeliling, dan kelihatan blngung karena tidak ada yang menyambut tantangan Pangeran Liong Bin Ong. Timbullah kesombongan dalam hati Yauw Siu yang mengira bahwa diamnya para tamu ini adalah karena mereka gentar kepadanya! Maka sambil mengangkat dada dia berkata nyaring setelah tertawa, "Ha-ha-ha, harap para orang gagah yang hadir di sini tidak khawatir karena saya Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin Tiat-liong (Naga Besar Bermuka Hitam) tidak perlu membunuh dalam pi-bu (mengadu kepandaian)!"
Tiba-tiba tampak seorang pembesar bangkit dari kursinya, pembesar ini gemuk dan dia adalah seorang pembesar sastrawan yang berwenang memeriksa hasil ujian para calon sastrawan, seorang pembesar yang mata duitan dan tentu saja suka makan sogokan para calon sastrawan yang mengikuti ujian. Sambil tersenyum pembesar ini menjura ke arah Pangeran Liong Bin Ong dan berkata, "Harap paduka maafkan saya. Melihat bahwa tidak ada orang yang suka membantu paduka untuk menguji kedua orang calon pengawal itu, bagaimana kalau saya mengajukan lima orang pengawal pribadi saya? Kedua orang itu kelihatan gagah perkasa dan tentu lihai sekali, maka tidak tahu apakah mereka berani menghadapi lima orang pengawal saya."
Sebelum Pangeran Liong Bin Ong menjawab, Yauw Siu si Muka Hitam sudah cepat menjawab, "Boleh sekali! Silakan lima orang itu maju berbareng dan akan saya tandingi sendiri, tidak perlu Saudara Sun Giam turun tangan!"
Jawaban ini memancing suara berisik dari para tamu yang menganggap orang muka hitam itu sombong sekali. Akan tetapi Pangeran Liong Bin Ong melambaikan tangan dan mengangguk tanda setuju. Pembesar itu lalu menggapai ke belakang, maka muncullah lima orang pengawalnya yang berpakaian seragam biru, lima orang berusia tiga puluhan tahun dan kesemuanya bertubuh tegap dan gagah. Setelah menjura dengan penuh hormat kepada semua yang hadir, lima orang itu melangkah maju menghadapi Yauw Siu, sedangkan Sun Giam sambil menyeringai sudah mundur dan duduk di atas lantai di pinggiran.
Yauw Siu sudah menghadapi lima orang gagah itu sambil tersenyum lebar, kemudian terdengar dia bertanya, "Sebelum kita mulai, bolehkah saya bertanya Ngo-wi (Anda Berlima) ini murid-murid dari partai manakah?"
Pertanyaan itu sungguh terdengar menantang dan tinggi hati, akan tetapi seorang di antara lima orang pengawal itu menjawab, "Kami adalah murid-murid dari Gak-bukoan (Perguruan Silat Gak) di Seng-kun."
"Ahhh! Ha-ha-ha, jadi Ngo-wi adalah murid-murid dari Gak-kauwsu? Bagus sekali! Aku sudah mengenal baik guru kalian itu dan tahu bahwa guru kalian mengandalkan ilmu menghimpun tenaga yang amat kuat di kedua lengannya dan terkenal dengan Ilmu Pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Halilintar), bukan?"
Lima orang itu mengangguk dan Si Muka Hitam melanjutkan, "Kalau begitu, biarlah kalian menguji tenagaku dan sebaliknya aku akan menguji apakah benar-benar kalian telah mempelajari ilmu secara baik-baik dari Gak-kauwsu." Dia memberi isyarat kepada Sun Giam dan orang tinggi kurus ini melemparkan segulung tali yang besar dan kuat kepada temannya.
Yauw Siu lalu menyerahkan tali itu kepada lima orang pengawal sambil berkata, "Harap Ngo-wi suka mengikat kedua kaki dan tangan, juga pinggangku, kemudian Ngo-wi di satu pihak menarik dan aku di lain pihak mempertahankan. Dengan demikian kita mengadu tenaga satu lawan lima. Bukankah ini menarik sekali dan mengingat akan hubungan diantara kita, tidak perlu ada yang sampai roboh terluka atau tewas?" Si Muka Hitam yang sombong itu ternyata pandai bicara dan pandai pula berlagak sehingga menarik perhatian para tamu.
"Bagus! Itu adil sekali! Hayo kalian cepat lakukan!" dari tempat duduknya, pembesar sastrawan itu bertepuk tangan gembira. Tentu saja hatinya menjadi lega dan dia mengharapkan kemenangan lima orang pengawalnya karena pertandingan yang ditentukan oleh Si Muka Hitam sendiri itu menguntungkan pihaknya.
Lima orang itu cepat memenuhi permintaan Yauw Siu. Pergelanaan kaki dan tangan, juga pinggang Si Muka Hitam itu diikat dengan tali, kemudian mereka berlima memegang ujung tali di depan Si Muka Hitam. Semua tamu menonton dengan gembira, bahkan diantara para pembesar itu kini sibuk bertaruh sehingga keadaan menjadi berisik dan gembira. Dua orang pangeran tua saling pandang dan tersenyum-senyum, kadang-kadang mereka melirik ke arah Perdana Menteri Su dan Puteri Milana yang kelihatan masih tenang-tenang saja.
"Siap....! Tarik....!" Tiba-tiba Yauw Siu berteriak dan lima orang pengawal itu sudah mengerahkan tenaganya menarik tali yang mengikat tubuh Si Muka Hitam.
Yauw Siu berdiri dengan tegak, mengerahkan tenaganya sehingga mukanya berubah menjadi makin hitam, urat-urat yang tampak di lengan dan leher yang tidak tertutup pakaian itu menggembung besar, matanya melotot dan betapa pun lima orang lawannya membetot dan mengerahkan tenaga sekuatnya, tetap saja tubuh Si Tinggi Besar itu tidak bergoyang sedikit pun!
"Tahan....!" Yauw Siu memekik keras dan kedua tangannya digerakkan ke belakang. Dua orang pengawal yang memegang dua ujung tali yang mengikat tangannya itu terhuyung ke depan. Kembali Yauw Siu berseru dan kedua kakinya melangkah mundur, juga mengakibatkan dua orang pengawal lain terbawa dan terhuyung, kemudian dia mengeluarkan bentakan keras, tubuhnya meloncat ke
belakang dan lima orang itu jatuh tertelungkup dan terseret!
Tepuk tangan dan sorak memuji bergemuruh menyambut kemenangan Yauw Siu ini, yang sambil tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang besar dan kuat untuk memutus-mutuskan tali yang mengikat kedua kaki, tangan dan pinggangnya. Kembali demonstrasi tenaga yang amat kuat ini memancing tepuk tangan gemuruh. Yauw Siu mengangguk dan membungkuk ke empat penjuru menerima sambutan dan pujian itu.
Sun Giam meloncat ke depan dan memberi isyarat kepada temannya untuk mundur. Si Muka Hitam lalu mundur dan duduk di pinggiran, di atas lantai, sedangkan Sun Giam sendiri membantu lima orang itu berdiri, menggulung tali dan melemparnya kepada temannya. Kemudian Sun Giam berkata, ditujukan kepada pembesar sastrawan yang bersungut-sungut menyaksikan kekalahan lima orang pengawalnya.
"Apakah Taijin mengijinkan kalau saya menghadapi mereka ini dalam ilmu silat untuk menguji saya?"
Wajah pembesar itu berseri. Kini terbuka kesempatan untuk membersihkan dan menebus kekalahan tadi. Dia tahu bahwa lima orang pengawalnya adalah ahli-ahli ilmu silat, maka sambil mengangguk dia berkata, "Baik, kami setuju sekali!"
Sun Giam kini berkata, ditujukan kepada semua hadirin, "Tadi sahabat saya, Yauw Siu, telah memperlihatkan kekuatan tubuhnya yang dahsyat. Kalau hanya tenaga dua puluh lima oranq biasa saja kiranya dia masih akan mampu menandinginya. Akan tetapi, dia belum memperlihatkan ilmu silatnya dan karena dia telah mengeluarkan tenaga, biarlah saya yang akan menghadapi lima orang murid perguruan Gak-bukoan ini." Sambil menghadapi mereka, Si Muka Kuning ini berkata, "Harap Ngo-wi suka mendemonstrasikan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu yang telah terkenal itu dan sekaligus maju menyerang saya."
Lima orang yang sudah kalah dalam mengadu tenaga itu, kini mengepung Si Muka Kuning kemudian terdengar seorang diantara mereka mengeluarkan aba-aba dan serentak menyeranglah mereka dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan lemas dan lincah Si Tinggi Kurus itu dapat mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan kedua tangannya menyampok setiap pukulan yang tidak sempat dielakkannya. Tampaklah pemandangan yang mengagumkan dimana Sun Giam menggunakan kelincahannya dikeroyok lima orang itu. Jelas tampak oleh mata para ahli yang duduk di situ bahwa Si Tinggi Kurus ini memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya maka sengaja hanya mengelak dan menangkis, padahal jelas mudah dilihat betapa tingkatnya jauh lebih tinggi daripada para pengeroyoknya.
"Ngo-wi, awas....!" Tiba-tiba dia berkata halus, kaki tangannya bergerak dengan cepat sekali dan berturut-turut terdengar lima orang itu memekik disusul robohnya tubuh mereka di atas lantai karena totokan jari-jari tangan dan tendangan kaki Sun Giam.
Kembali terdengar sorak dan tepuk tangan memuji yang disambut oleh Sun Giam dengan membungkuk ke empat penjuru. Seperti dua orang yang sudah biasa berdemonstrasi dan menjual kepandaian di depan umum, kini Yauw Siu dan Sun Giam sudah berdiri mengangkat tangan ke atas, memberi kesempatan kepada lima orang pengawal itu mengundurkan diri dan setelah pujian agak mereda, terdengar Yauw Siu berkata dengan suaranya yang lantang, "Sahabatku Sun Giam telah memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi kami berdua masih belum puas karena apa yang kami perlihatkan tadi tidak ada harganya dan tentu belum memuaskan hati junjungan kami Pangeran Liong Bin Ong. Oleh karena itu kami mohon dengan hormat sudilah kiranya para tokoh besar yang hadir di sini suka turun tangan menguji kami. Lima orang pengawal tadi, biarpun kepandaiannya cukup hebat, namun masih jauh di bawah tingkat kami!"
Hening sampai lama setelah Si Muka Hitam ini bicara. Melihat bahwa tidak ada sambutan, Sun Giam membuka mulutnya, "Kami berdua mendengar sebelum memasuki kota raja bahwa kota raja menjadi pusat orang pandai, menjadi pusat para pengawal yang berilmu tinggi. Sungguh kami tidak percaya kalau sekarang tidak ada yang berani menghadapi kami!"
Ucapan ini mulai memanaskan hati para tamu yang merasa memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi ketika Han Wi Kong yang mukanya menjadi merah karena marah hendak bangkit. Puteri Milana, isterinya yang duduk di sampingnya, mencegah dengan pandangan matanya. Puteri ini masih kelihatan tenang-tenang saja karena dia sedang memutar otak mencari tahu atau menduga-duga apa gerangan yang tersembunyi di balik semua ini, yang dia yakin tentu diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong. Dia tidak mau sampai terpancing oleh pangeran yang cerdik itu, maka dia menyabarkan suaminya yang mulai marah melihat sikap dan mendengar kata-kata kedua orang jagoan Pangeran Liong Bin Ong itu.
Sebagian para pengawal yang hadir di tempat itu dalam melaksanakan tugas mengawal para pembesar militer dan sipil, biarpun merasa marah dan penasaran, namun mereka ini tidak berani lancang turun tangan di dalam perjamuan orang-orang besar seperti itu tanpa perintah dari junjungan masing-masing. Sedangkan para pembesar jarang pula yang berani memerintahkan pengawalnya untuk menghadapi dua orang jagoan itu. Mereka yang memang terpengaruh oleh Pangeran Liong Bin Ong tentu saja tidak suka menentang, sedangkan mereka yang berpihak Kaisar dan diam-diam tidak suka kepada pangeran ini, juga tidak berani menyuruh pengawal mereka karena mereka merasa segan untuk menentang pangeran ini secara terang-terangan, mengingat akan pengaruh kedua orang pangeran di situ setelah Sun Giam membuka mulutnya setengah menantang para pengawal kota raja.
Melihat betapa tidak ada sambutan sama sekali, Yauw Siu dan Sun Giam yang memang sudah menerima tugas dari Pangeran Liong Bin Ong untuk memanaskan suasana dan untuk menujukan tantangan kepada Puteri Milana secara halus, lalu saling pandang dan Yauw Siu bangkit berdiri, menghadap ruangan kehormatan dan berkata lantang, "Kami berdua belum lama meninggalkan tempat pertapaan, saya meninggalkan pantai laut dan Sahabat Sun Giam meninggalkan pegunungan. Namun, kami telah mendengar akan kehebatan ilmu kepandaian para tokoh di kota raja, maka kami sengaja datang ke kota raja untuk mencari pekerjaan agar kepandaian kami dapat dipergunakan demi kepentingan kerajaan! Apakah sekarang tidak ada orang gagah yang sudi menguji kami? Ataukah benar seperti dugaan Sahabat Sun Giam tadi bahwa orang-orang di kota raja agak.... penakut?"
"Manusia busuk....!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah bayangan orang, dan tahu-tahu di depan kedua orang jagoan itu telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, pakaiannya preman, jenggotnya panjang sekali dan wajahnya angker, mengandung wibawa.
"Di jaman kekacauan merajalela dan banyak manusia tak berbudi memberontak, muncul kalian yang bermulut besar! Kalau hanya menghadapi kalian berdua saja, tidak perlu orang-orang gagah di kota raja turun tangan. Aku Tan Siong Khi, cukuplah kiranya menghadapi orang-orang macam kalian yang bermulut besar!" Orang ini memang Tan Siong Khi, pengawal Kaisar yang gagah perkasa, yang telah kita kenal karena dialah yang memimpin rombongan penjemput Puteri Raja Bhutan!
Akan tetapi, sebelum dua orang jagoan itu sempat membuka mulut, tiba-tiba Pangeran Liong Khi Ong bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya kepada Tan Siong Khi sambil berkata, "Bukankah engkau Pengawal Tan Siong Khi yang telah gagal melaksanakan tugas mengawal Puteri Bhutan sehingga puteri itu lenyap tak diketahui ke mana perginya?"
"Keparat! Berani engkau muncul di sini setelah engkau melakukan dosa dan kelalaian besar itu? Kebodohan dan kelalaianmu menyebabkan Sang Puteri lenyap tidak diketahui masih hidup atau sudah mati. Dan kau berani malam ini datang ke sini dan berlagak menjadi jagoan? Kenapa kegagahanmu tidak kauperlihatkan ketika rombonganmu dihadang musuh? Mengapa Sang Puteri yang kaukawal sampai lenyap sedangkan kau masih hidup? Aku akan minta kepada Sri Baginda untuk menjatuhkan hukuman seberatnya kepadamu!"
Semua tamu memandang dengan hati tegang. Semua mengenal siapa adanya Tan Siong Khi, seorang pengawal kepercayaan Kaisar, bahkan menjadi pembantu dari Puteri Milana dalam mengamankan kota raja. Mereka semua telah mendengar pula akan kegagalan pengawal itu menjemput Puteri Bhutan, calon isteri Pangeran Liong Khi Ong. Maka sepantasnyalah kalau pangeran itu, yang urung menjadi pengantin, yang kehilangan calon isterinya marah-marah kepada pengawal ini.
"Mengapa kau berani datang ke sini? Hayo pergi....! Pergi kau....!"
Tan Siong Khi yang kelihatan tenang itu menoleh ke arah Perdana Menteri Su dan Putri Milana. Dia melihat kedua orang pembesar itu mengangguk kepadanya dan memberi isyarat agar supaya dia pergi. Sebetulnya munculnya Tan Siong Khi di tempat itu adalah karena dia ditugaskan oleh Kaisar untuk mengawal Perdana Menteri Su yang malam itu juga mewakili Kaisar, berarti dia menjadi pengawal utusan Kaisar. Akan tetapi, sebagai seorang pengawal setia yang telah berpengalaman dan berpemandangan luas, di tempat umum itu dia tidak mau membela diri dengan menyebut nama perdana menteri, karena dia tidak mau menjadi penyebab terjadinya keributan atau perasaan tidak enak. Setelah menerima isyarat, dia lalu menjura kepada Pangeran Liong Khi Ong dan berkata, "Baik, hamba dengan langkah lebar meninggalkan tempat pesta melalui pintu gerbang depan."
Keadaan menjadi sunyi sekali setelah pengawal itu pergi. Peristiwa tadi menimbulkan ketegangan. Tiba-tiba suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara tertawa dari Yauw Siu. Dia sudah bangkit berdiri dan berkata, "Sungguh menyesal sekali bahwa Pengawal Tan Siong Khi tadi kiranya seorang yang telah melakukan dosa dan kelalaian besar dan sepatutnya dia dihukum. Kalau tidak agaknya dia memiliki sedikit kepandaian untuk diperlihatkan agar kami berdua dapat diuji. Harap Cu-wi yang merasa memiliki ilmu kepandaian sudi maju sebagai penggantinya. Kami maklum bahwa diantara Cu-wi banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi jangan khawatir bahwa kami akan celaka. Kami takkan mengecewakan Cu-wi. Selama kami merantau, kami belum pernah dikalahkan orang. Bahkan kami tadinya merencanakan untuk mencari Pulau Es...."
Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun suara ini menembus semua kegaduhan dan memasuki telinga Yauw Siu seperti jarum-jarum menusuk. "Mau apa kalian mencari Pulau Es?"
Yauw Siu terkejut sekali dan cepat menoleh ke arah Puteri Milana yang telah mengajukan pertanyaan itu. Melihat sepasang mata yang amat tajam itu, diam-diam dia menjadi gentar juga. Tentu saja Yauw Siu dan Sun Giam maklum siapa adanya puteri cantik dan agung itu. Mereka maklum bahwa puteri itu adalah puteri dari Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, dan ibunya adalah bekas pangilma besar wanita Puteri Nirahai! Kalau saja mereka berdua tidak menjadi kaki tangan kedua orang Pangeran Liong, tentu mereka akan berpikir-pikir dulu untuk berani main-main di depan Puteri Milana. Akan tetapi, justru tugas mereka adalah untuk memancing puteri itu agar bangkit kemarahannya dan membuat puteri itu menjadi serba salah.
Maju menghadapi mereka berarti merendahkan derajatnya, kalau tidak berarti terhina karena ditantang tanpa menanggapi!
"Kami hendak mencari Pulau Es karena kami tidak pernah bertemu tanding! Kami mendengar bahwa Majikan Pulau Es adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!" jawab Sun Giam.
"Akan tetapi, sebelum melihat sendiri, bagaimana kami dapat percaya?" sambung Yauw Siu. "Hanya kabarnya, banyak pula muridnya berada di kota raja, maka apa salahnya kalau ada muridnya yang mau mencoba-coba dengan kami agar dari kepandaian muridnya kami dapat mengukur pula tingkat gurunya? Kami adalah dua orang baru yang tidak tahu apakah benar di kota raja ada murid Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es yang terkenal itu."
Tentu saja Yauw Siu cukup cerdik untuk melindungi diri mereka dengan dalih bahwa mereka tidak tahu menahu tentang Pendekar Super Sakti, tidak tahu bahwa puteri Pendekar Super Sakti berada di tempat perjamuan itu karena kalau demikian halnya, tentu Puteri Milana yang cerdik akan merasa curiga dan menduga akan adanya pancingan dan jebakan.
"Biar aku menghajar mereka!" Panglima Han Wi Kong berkata dan isterinya mengangguk. Tadi Puteri Milana telah menyaksikan gerakan kedua orang jagoan itu dan dia maklum bahwa mereka berdua itu hanyalah memiliki tingkat yang biasa saja sehingga dia merasa yakin bahwa suaminya akan dapat mengalahkan mereka. Mendengar dua orang jagoan kasar itu menyinggung nama ayahnya tanpa dia melakukan sesuatu, tentu akan mencemarkan nama dan kehormatannya. Akan tetapi kalau dia turun tangan sendiri juga merupakan hal yang tidak baik karena dia adalah seorang puteri cucu Kaisar dan puteri Pendekar Super Sakti, amat rendahlah untuk melayani dua orang jagoan kasar! Berbeda lagi kalau Han Wi Kong yang turun tangan karena suaminya itu juga bekas seorang pengawal kaisar yang kini turun tangan menghadapi mereka yang menantang-nantang semua orang gagah di kota raja!
"Manusia-manusia sombong! Biar akulah yang akan menghadapi kalian!" bentak Han Wi Kong yang sekali meloncat sudah berada di depan kedua orang itu.
Sun Giam dan Yauw Siu cepat menjura dengan hormat, kemudian Sun Giam menjura ke arah Pangeran Liong Bin Ong sambil berkata, "Harap Paduka Pangeran sudi mengampunkan permohonan hamba berdua. Hamba berdua tentu tidak berani sembarangan mengangkat tangan menghadapi para tamu yang terdiri dari para pembesar dan bangsawan agung. Oleh karena itu, kami baru berani mengangkat tangan kalau yang datang ke gelanggang ini menganggap diri sendiri sebagai seorang kang-ouw, seorang ahli silat tanpa membawa-bawa kedudukannya."
Sebelum Pangeran Liong Bin Ong atau Liong Khi Ong sempat menjawab, Han Wi Kong sudah membentak, "Aku tidak akan membawa kedudukanku karena aku pun bekas seorang pengawal! Aku maju karena ingin menyaksikan kepandaian kalian manusia sombong!" Han Wi Kong cukup mengerti untuk tidak membawa-bawa nama ayah mertuanya, yaitu Pendekar Super Sakti, maka dia mengaku bahwa dia maju sebagai seorang bekas pengawal, jadi atas namanya sendiri.
"Bolehkah kami mengetahui nama besar paduka?" Yauw Siu bertanya. Tentu saja dia tadinya sudah memperoleh keterangan bahwa laki-laki gagah ini adalah suami Puteri Milana, akan tetapi dia ingin memancing agar dari mulut laki-laki ini keluar sendiri pengakuannya. Akan tetapi Han Wi Kong sudah terlalu marah, dan menjawab dengan bentakan nyaring, "Tidak perlu aku memperkenalkan nama kepada kalian! Semua yang hadir sudah tahu siapa aku! Hayo majulah kalian berdua!"
Sun Giam berseru, "Ehh....! Maju berdua? Benarkah kami disuruh maju berdua?"
Han Wi Kong bukan seorang yang sombong atau sembrono. Kalau dia berani menantang agar mereka maju berdua secara berbareng adalah karena tadi dia sudah menyaksikan sepak-terjang mereka dan merasa yakin akan dapat mengalahkan mereka berdua, apalagi dia ingin cepat merobohkan mereka yang sombong ini, tidak usah mereka disuruh maju satu demi satu!
"Ya, majulah kalian berdua mengeroyokku. Aku ingin menguji kepandaian kalian yang sesungguhnya tidak patut menjadi pengawal seorang pangeran!"
"Bagus! Engkau yang menyuruh sendiri, Sobat. Kalau sampai kami kesalahan tangan membunuh, jangan persalahkan kami."
"Dalam pibu, membunuh atau terbunuh adalah soal biasa, mengapa kalian banyak cerewet lagi? Majulah!"
"Awas serangan. Hiaaaatttt....!" Sun Giam sudah menyerang.
"Haiiittt....!" Yauw Siu juga menyusul dengan pukulannya yang dahsyat.
"Hemmm....!" Han Wi Kong menggeram dan cepat dia mengelak sambil memutar tubuh dan menangkis dengan kedua lengannya.
"Dukkk! Dukkk!"
Tubuh Han Wi Kong tergetar akan tetapi pukulan kedua orang lawannya juga terpental. Diam-diam Han Wi Kong terkejut. Tak disangkanya sama sekali bahwa kedua orang ini ternyata me miliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Mengapa tadi mereka tidak memperlihatkan tenaga sin-kang ini? Di dalam otaknya segera dia mencari dan mengerti bahwa kedua orang ini telah menjebaknya! Tadi mereka sengaja berpura-pura sebagai ahli-ahli silat biasa saja dan menyembunyikan kepandaian asli mereka dan dia sudah terjebak! Dua orang ini ternyata bukan orang sembarangan dan segera dia memperoleh kenyataan akan hal itu karena kini mereka telah mainkan ilmu silat yang amat aneh, cepat, dan kuat sekali!
Wajah Puteri Milana juga berubah agak pucat. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia pun dapat melihat perubahan yang terjadi pada kedua orang jagoan itu. Dan gerakan-gerakan mereka sekarang ini, jelas tampak olehnya bahwa mereka bukanlah jagoan-jagoan kasar seperti semula setelah melihat sepak-terjang mereka tadi. Kiranya mereka adalah ahli-ahli yang tangguh, yang menyembunyikan kepandaian mereka di balik sikap kasar dan ugal-ugalan tadi. Tentu untuk memancing!
Puteri Milana menjadi serba salah. Memang, di dalam tahun-tahun pertama dari pernikahan mereka, dia telah menurunkan beberapa macam ilmu silat kepada suaminya dan ilmu kepandaian suaminya sudah meningkat dengan pesat kalau dibandingkan dengan dahulu sebelum menjadi suaminya. Namun, suaminya tidak memiliki dasar untuk menjadi seorang ahli ilmu silat tinggi dan tidak mungkin dapat melatih sin-kang dari Pulau Es. Maka kini bertemu dengan dua orang jagoan itu, suaminya berada dalam keadaan terancam!
Kalau maju seorang lawan seorang, mungkin suaminya masih dapat mengimbangi, akan tetapi dikeroyok dua!
Memang demikianlah sebenarnya! Dua orang itu bukanlah orang sembarangan dan tadi memang mereka berpura-pura, mengeluarkan ilmu-ilmu kasar untuk memancing dan menjebak. Sebenarnya mereka adalah ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah lama menjadi tangan-tangan kanan dari Raja Muda Tambolon, yaitu raja muda kaum pemberontak di perbatasan barat yang sedang merongrong Kerajaan Bhutan. Karena kedua orang ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw maka mereka sama sekali tidak terkenal dan memang hal inilah yang dikehendaki oleh Pangeran Liong Bin Ong. Tadinya, untuk keperluan memancing kemarahan Puteri Milana untuk menjatuhkan orangnya atau namanya ini, Pangeran Tua Liong Bin Ong hendak menggunakan tenaga Siang Lo-mo, sepasang kakek kembar yang amat lihai itu. Akan tetapi sungguh di luar dugaan dan perhitungannya bahwa Siang Lo-mo ketika tiba di kota raja telah bentrok dengan Milana di dalam rumah penginapan ketika Siang Lo-mo bertemu dengan Gak Bun Beng yang mereka kenal selama ini sebagai "orang sakit yang lihai". Karena peristiwa itu, maka Pangeran Liong Bin Ong tidak berani dan tidak jadi menggunakan kedua orang kakek itu, dan mencari penggantinya. Siang Lo-mo pula yang mengusulkan kepada Liong Bin Ong untuk mengundang Yauw Siu dan Sun Giam, dua orang diantara para pembantu Raja Tambolon.
Untuk menjaga nama keluarga isterinya, yaitu para penghuni Pulau Es, juga untuk menjaga nama isterinya dan dirinya sendiri, biarpun maklum bahwa kedua orang itu merupakan dua orang lawan yang terlalu tangguh baginya, namun Han Wi Kong tidak menjadi gentar dan dia sudah menerjang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh. Namun dua orang lawannya dapat mengelak dan menangkis dengan cepat, bahkan langsung membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang kembali membuat Han Wi Kong terhuyung ke belakang ketika terpaksa menangkis dua serangan dari depan itu. Segera berlangsunglah pertandingan yang seru sekali antara tiga orang itu, disaksikan oleh banyak pasang mata dengan tegang. Diam-diam suasana tegang itu ditimbulkan oleh perasaan bahwa di dalam pertandingan ini seolah-olah terjadi persaingan antara Pangeran Tua Liong Bin Ong dan pihak Milana serta Perdana Menteri Su! Semua tamu maklum belaka atau setidaknya sudah dapat menduga bahwa diantara kedua pihak itu memang terdapat permusuhan atau persaingan terpendam! Dan kini, seolah-olah kedua orang jagoan itu mewakili pihak Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Han Wi Kong tentu saja mewakili pihak isterinya, Puteri Milana dan Perdana Menteri Su.
Tentu saja yang merasa paling tegang dan gelisah adalah Puteri Milana sendiri! Diam-diam dia merasa menyesal mengapa tadi dia membiarkan suaminya turun tangan dan memasuki jebakan pihak Pangeran Liong Bin Ong sehingga kini suaminya terancam. Dia adalah seorang yang amat cerdas, maka setelah berpikir sejenak maklumlah dia bahwa sesungguhnya yang diserang adalah dia! Suaminya tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Liong Bin Ong yang menjadi paman kakek tirinya itu, akan tetapi dia tentu saja
dianggap musuh oleh pangeran tua itu. Maka pertandingan itu tentu dimaksudkan untuk memukul dia! Mulai merah kedua pipi puteri yang gagah perkasa ini dan setiap urat syaraf di tubuhnya menegang, siap untuk membela suaminya. Dia merasa kasihan sekali kepada suaminya, seorang pria yang amat baik dan gagah perkasa. Bertahun-tahun dia menjadi isteri Han Wi Kong hanya pada lahirnya saja, namun mereka sebetulnya hanyalah merupakan sahabat setelah keduanya maklum bahwa tidak ada cinta kasih antara pria dan wanita, antara suami dan isteri di dalam hati mereka, atau setidaknya, di dalam hati Milana. Han Wi Kong maklum akan hal ini, maka dia pun secara jantan dan bijaksana membebaskan isterinya dan hanya mengakui isterinya secara lahiriah saja untuk menjaga nama baik isterinya! Bukan isterinyalah yang menemaninya di dalam kamarnya, melainkan dua orang selir cantik yang setengah dipaksakan oleh Milana untuk melayani suaminya itu!
Biarpun tidak ada hubungan kasih di dalam hatinya terhadap Han Wi Kong, namun Milana menganggapnya sebagai seorang sahabat yang paling baik di dunia ini, maka tentu saja dia merasa gelisah dan khawatir sekali menyaksikan keadaan suaminya dan dia sudah mengambil keputusan untuk melindungi suaminya dari bahaya.
"Yaaahhh!" Tiba-tiba Han Wi Kong yang sudah terdesak terus-menerus itu mengeluarkan teriakan nyaring, tubuhnya menerjang dengan kecepatan kilat ke depan, kedua tangannya dikepal dan menghantam ke arah muka dan pusar Yauw Siu secara hebat sekali! Milana terkejut menyaksikan gerakan suaminya ini. Kalau suaminya terus memperkuat daya tahannya, biar terdesak kiranya masih tidak mudah bagi kedua orang pengeroyoknya untuk merobohkannya. Akan tetapi agaknya suaminya itu tidak mau didesak terus dan kini mengeluarkan jurus nekat yang ditujukan kepada seorang diantara dua orang pengeroyoknya. Agaknya Han Wi Kong sudah bertekad untuk merobohkan seorang lawan dengan resiko dia sendiri terpukul oleh lawan ke dua. Milana maklum akan isi hati suaminya, yaitu bahwa biarpun suaminya roboh, setidaknya telah dapat merobohkan seorang lawan pula, sehingga tidaklah akan terlalu memalukan.
"Heiiiittt....!" Yauw Siu berteriak, kaget juga menyaksikan serangan hebat ini, dia mencelat mundur dan ketika lawan terus mengejar, dia juga melonjorkan kedua lengannya dan bertemulah kedua tangannya dengan kepalan tangan Han Wi Kong.
"Desss.... bukkk....!"
Yauw Siu kalah tenaga karena memang sedang mundur, begitu kedua tangannya bertemu dengan tangan lawan, dia terlempar dan terjengkang, akan tetapi pada saat itu juga, Sun Giam sudah menerjang dari samping dan pukulannya yang amat keras dan ditujukan kepada leher Han Wi Kong, biarpun sudah dielakkan oleh Han Wi Kong dengan miringkan tubuh, tetap saja masih mengenai pundaknya, membuat bekas panglima pengawal ini roboh pula!
Yauw Siu dan Sun Giam kini melompat ke depan, agaknya hendak mengirim pukulan maut kepada lawan yang sudah rebah miring dan belum sampai bangun itu, apalagi Yauw Su yang menjadi marah karena tubuhnya masih tergetar oleh pertemuan kedua tangannya tadi, dan pinggulnya masih panas dan nyeri karena dia terjengkang dan terbanting.
"Plakk! Plakk!"
Dua orang jagoan itu terkejut sekali dan terhuyung-huyung ke belakang. Mereka terbelalak memandang puteri cantik yang sudah berdiri di depan mereka yang tadi menangkis kedua tangan mereka yang sudah diayun untuk menghantam Han Wi Kong, tangan halus sekali yang ketika menangkis terasa dingin seperti es dan membuat mereka menggigil dan terhuyung ke belakang.
"Bedebah! Kalian manusia curang, setelah mengeroyok masih hendak membunuh orang yang terluka? Tunggulah sebentar!" kata Puteri Milana dengan nada suara dingin sekali, lalu dia memapah suaminya kembali ke kursinya. Setelah melihat bahwa luka suaminya tidaklah berat, hanya mengalami patah tulang pundak, dia lalu membalikkan tubuh hendak menandingi dua orang jagoan itu. Akan tetapi betapa heran hatinya ketika di tengah tempat pibu itu kini telah muncul dua orang pemuda remaja yang menghadapi Yauw Siu dan Sun Giam sambil tersenyum mengejek! Dan banyak tamu yang berbisik-bisik dan ada yang bertepuk tangan memuji karena ketika Milana sedang memapah suaminya tadi, dari tempat duduk para tamu di samping melayang dua sosok bayangan dan tahu-tahu dua orang pemuda itu telah berdiri di depan Sun Giam dan Yauw Siu. Gerakan meloncat yang indah inilah yang menarik perhatian para tamu.
"Siapakah mereka?"
"Dari mana mereka datang?"
Pangeran Liong Bin Ong sendiri terkejut dan bingung, akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanyalah dua orang pemuda yang masih remaja, dia percaya bahwa dua orang jagoannya itu akan dapat mengatasi mereka.
Sun Giam yang tinggi kurus bermuka kuning itu sudah meloncat ke depan dan matanya yang sipit menjadi makin sipit seperti terpejam ketika dia membentak marah, "Bocah-bocah lancang mau apa kalian datang ke sini?"
Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Kian Bu yang setengah memaksa kakaknya untuk muncul di gelanggang itu, dengan mendahului meloncat dan disusul oleh kakaknya. Ketika tadi melihat Puteri Milana maju menyelamatkan laki-laki gagah yang maju menghadapi dua jagoan dan yang terkena pukulan, Kian Bu dan Kian Lee memandang penuh perhatian. Mereka berdua tidak tahu siapa adanya laki-laki itu. Mereka dahulu masih terlalu kecil ketika bertemu dengan Han Wi Kong sehingga mereka tidak ingat lagi. Akan tetapi tentu saja hati mereka berpihak kepada laki-laki ini ketika melihat betapa laki-laki gagah ini menghadapi dua orang jagoan yang menantang Pulau Es! Kalau tidak dicegah kakaknya, ketika mendengar tantangan tadi tentu dia sudah meloncat untuk menghajar Sun Giam dan Yauw Siu. Kini melihat kakaknya menolong laki-laki itu dan membawanya duduk kembali ke kursinya, Kian Bu berbisik kepada kakaknya, "Lee-ko, dia itu adalah Ci-hu (Kakak Ipar)!"
"Ah, benar....! Ci-hu telah terpukul oleh mereka!" kata Kian Lee.
"Dan Enci Milana akan maju sendiri, hayo kita dului!" Tanpa menanti jawaban Kian Lee, Kian Bu sudah meloncat dan terpaksa Kian Lee mengikuti adiknya sehingga mereka berdua kini berhadapan dengan Sun Giam dan Yauw Siu.
Kian Bu tahu bahwa dia tidak bisa mengandalkan kakaknya untuk bicara, kakaknya yang pendiam itu, maka dia cepat mendahului kakaknya menjawab bentakan Sun Giam tadi.
"Siapa adanya kami bukan hal yang patut diributkan, akan tetapi yang penting adalah siapa adanya kalian berdua! Kalian berdua mengaku hendak melamar pekerjaan pengawal, akan tetapi kami tahu bahwa kalian tidak patut menjadi pengawal, karena kalian hanyalah dua orang badut yang tidak lucu!"
Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya semua orang mendengar ucapan pemuda tampan yang suaranya lantang itu. Betapa beraninya bocah itu menghina dua orang jagoan yang demikian kosen, yang telah berhasil mengalahkan bekas Panglima Pengawal Han Wi Kong, suami Puteri Milana sendiri! Akan tetapi yang lebih heran dan juga amat marah adalah Sun Giam dan Yauw Siu. Yauw Siu melangkah maju.
"Setan cilik, apa kau sudah bosan hidup?"
"Setan gede, kalian yang sudah bosan hidup berani menjual lagak di sini. Apa kalian kira kami tidak tahu bahwa tadi kalian bermain curang. Kalau kalian tidak main curang, mana kalian mampu menang menghadapi orang gagah tadi? Manusia macam kalian ini, jangankan menjadi pengawal, menjadi jongos pun tidak patut," kata Kian Bu.
"Wah, pantasnya menjadi apa, Adikku?" Kian Lee bertanya membantu adiknya.
"Jadi apa, ya? Pantasnya mereka ini tukang-tukang pukul kampungan, atau pencopet-pencopet di pasar, menjadi penjahat besar pun tidak patut!"
Tentu saja makin bising keadaan di situ karena para tamu maklum bahwa dua orang pemuda yang masih remaja itu dengan sengaja hendak mencari perkara dan sengaja menghina dua orang jagoan tangguh itu. Hati mereka menjadi tegang dan bertanya-tanya siapa gerangan dua orang muda yang nekat itu.
Yang paling marah adalah Sun Giam dan Yauw Siu. Mereka adalah dua orang yang kasar dan tak mengenal takut karena bertahun-tahun lamanya mereka menjadi orang-orang yang memiliki kekuasaan diantara gerombolan liar di bawah pimpinan Raja Tambolon, maka kini dimaki dan dihina oleh dua orang pemuda tanggung itu, hati mereka seperti dibakar rasanya. Akan tetapi, di samping kekasaran mereka, dua orang ini pun cerdik dan mereka menahan kemarahan hati karena mengingat bahwa di tempat itu terdapat banyak orang pandai dan bahwa mereka berada di kota raja yang besar dan tidak boleh bertindak sembarangan. Kalau saja tidak berada di tempat itu, tentu mereka sudah sejak tadi turun tangan membunuh dua orang pemuda yang berani menghina mereka seperti itu. Mereka masih tidak tahu siapa dua orang pemuda ini. Siapa tahu, melihat sikap mereka yang begitu berani, dua orang pemuda ini adalah putera-putera pembesar yang berkedudukan tinggi di kota raja! Maka Sun Giam lalu memberi isyarat kepada kawannya agar menahan kemarahan, kemudian dia menoleh dan berlutut ke arah Pangeran Liong Bin Ong.
"Mohon paduka mengampuni hamba berdua!" katanya lantang. "Tanpa perkenan atau perintah paduka, hamba tidak berani turun tangan sembarangan. Akan tetapi, dua orang pemuda ini telah menghina hamba berdua dan karena hamba adalah calon pengawal paduka, maka penghinaan yang dilakukan di sini berarti menghina paduka pula. Maka hamba berdua mohon perkenan untuk menghajar dua orang pemuda ini dengan perkenan paduka!"
Tadinya Liong Bin Ong juga terkejut dan marah, dan memang diam-diam dia merasa girang bahwa kedua orang jagoannya itu ternyata boleh diandalkan, berhasil melukai suami Milana dan mungkin akan berhasil membikin malu puteri yang menjadi musuhnya itu. Dia menduga bahwa kedua orang pemuda itu jelas merupakan pendukung puteri itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mengangguk!
Tentu saja girang bukan main rasa hati Sun Giam dan Yauw Siu. Kalau tadi mereka masih terpaksa menelan kesabaran adalah karena mereka ragu-ragu karena tidak mengenal dua orang pemuda itu, takut kalau kesalahan tangan. Kini, setelah memperoleh perkenan Pangeran Liong Bin Ong, tentu saja hati mereka menjadi besar dan dengan muka beringas mereka menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu.
"Bocah-bocah lancang, hayo lekas beritahukan siapa kalian dan siapa orang tua kalian. Kami adalah orang-orang gagah yang tidak mau menghajar anak orang tanpa mengetahui siapa ayahnya!" kata Yauw Siu dengan lagak sombong karena dia kini tidak khawatir lagi terhadap ayah anak-anak ini setelah dilindungi oleh Pangeran Liong Bin Ong.
Semua tamu termasuk Milana yang sudah duduk kembali karena dia dapat melihat sifat luar biasa kedua orang anak itu, memandang dan mendengarkan dengan penuh perhatian karena dia pun ingin sekali mendengarkan siapa gerangan dua orang pemuda remaja yang sudah begitu berani mengacaukan pesta Pangeran Liong Bin Ong! Akan tetapi, diantara semua tamu yang hadir, hanya Milana seoranglah yang berani mempersiapkan diri untuk melindungi kedua orang pemuda remaja itu kalau-kalau terancam bahaya maut di tangan dua orang jagoan itu. Puteri ini tentu saja tidak tega membiarkan mereka tewas karena membela dia, atau membela nama
Pulau Es yang disebut-sebut dan ditantang oleh dua orang jagoan itu.
Sementara itu, melihat lagak sombong dari Yauw Siu, Kian Lee yang pendiam hanya memandang dengan matanya yang lebar terbelalak, akan tetapi adiknya, Kian Bu sudah tertawa riang dan mendahului kakaknya menjawab, "Kalian adalah she Yauw dan she Sun, dan ketahuilah bahwa kakakku ini namanya Ta-yauw-eng (Pendekar Pemukul Orang she Yauw) dan namaku adalah Ta-sun-eng (Pendekar Pemukul Orang she Sun)! Nah, kalian tidak lekas berlutut minta ampun?"
Jawaban yang tak disangka-sangka orang ini selain menimbulkan kemarahan hebat di dalam hati dua orang jagoan itu, juga membuat geli hati mereka yang berpihak kepada suami Puteri Milana yang terluka tadi. Namun kegelisahan hati mereka bercampur dengan kekhawatiran karena mereka maklum betapa marahnya dua orang tukang pukul yang sudah memperoleh perkenan dari Pangeran Liong Bin Ong untuk menghajar dua orang pemuda remaja itu dan tentu mereka tidak akan bertindak kepalang tanggung.
Mungkin akan dibunuhnya dua orang pemuda remaja yang tampan dan sedikit pun tidak mengenal takut itu.
"Bocah setan! Kau sudah bosan hidup!" Sun Giam dan Yauw Siu membentak dan keduanya menerjang dan menyerang Kian Bu.
"Heeiiitt....! Eiiittt....!" Kian Bu sudah berloncatan ke belakang dengan sikap mengejek dan mempermainkan, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka mereka bergantian. "Kiranya kalian ini benar-benar hanyalah tukang-tukang pukul kampungan yang beraninya mengeroyok orang! Tadi kalau tidak mengeroyok dan curang, tentu kalian telah roboh oleh orang gagah itu. Apa sekarang kau hendak mengeroyok aku pula?"
Wajah kedua orang jagoan itu menjadi merah. Sudah banyak mereka menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekarang mereka merasa dipermainkan oleh seorang anak-anak! "Kalian juga berdua, majulah!" teriak Sun Giam menahan kemarahannya karena dia pun malu kalau dikatakan mengeroyok seorang bocah!
"Eh-eh, nanti dulu!" Kian Bu mengangkat kedua tangan ke atas menahan mereka, juga sekaligus menahan kakaknya yang sudah bersiap hendak menerjang Yauw Siu. "Katanya kalian adalah orang-orang gagah, maka sekarang di depan begini banyak tamu agung, perlihatkanlah kegagahanmu. Kalian merupakan dua jago tua dan kami adalah dua orang jago muda, mari kita bertanding satu-satu agar lebih sedap ditonton dan lebih dapat dinikmati bagaimana kalian menghajar kami satu-satu! Betul tidak?"
"Betul....!" Otomatis Yauw Siu menjawab karena tertarik oleh cara Kian Bu bicara.
"Hushhh!" Sun Giam membentak dan barulah Yauw Siu sadar bahwa dia telah terseret oleh kata-kata bocah itu dan menanggapinya! Terdengar suara tertawa diantara para tamu menyaksikan sikap dua orang jagoan itu.
Yauw Siu yang menjadi malu sekali sudah melangkah maju. "Baik, mari kita bertanding satu lawan satu!" bentaknya sambil membusungkan dadanya yang bidang dan kekar.
"Nanti dulu, kau tidak sabar amat!" Kian Bu berkata sambil tersenyum. "Lawanmu adalah kakakku, ingat? Kakakku adalah Ta-yauw-eng, jadi harus dia yang memukul engkau! Sedangkan aku adalah Ta-sun-eng, biarlah sekarang aku menghadapi Sun Giam lebih dulu, baru engkau."
"Setan! Siapa pun diantara kalian boleh maju, kalau perlu boleh maju berdua kulawan sendiri!" teriak Yauw Siu yang hampir tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Heiit, sabar, sabar! Hanya mau mengalami hajaran saja mengapa tergesa-gesa amat? Hayo, engkau orang she Sun, kauhadapilah aku Tukang Pemukul Orang she Sun!"
Sun Giam lebih pendiam daripada kawannya, dan juga dia tidak kelihatan menyeramkan seperti Yauw Siu yang tinggi besar bermuka hitam itu. Akan tetapi, orang berusia empat puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus, bermuka kuning dan matanya sipit ini sebetulnya memiliki keahlian yang lebih berbahaya dibandingkan dengan Yauw Siu. Kalau Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin-tiat-liong (Naga Besi Bermuka Hitam) itu adalah seorang yang bertenaga raksasa dan seorang ahli gwa-kang (tenaga otot), sebaliknya Sun Giam adalah seorang ahli lwee-keh (tenaga dalam) yang tangguh. Hal ini diketahui dengan baik oleh Milana ketika wanita sakti ini tadi menangkis pukulan mereka berdua. Tentu saja untuk dia pribadi, kepandaian mereka berdua itu tidak ada artinya, akan tetapi kini melihat betapa Sun Giam berhadapan dengan pemuda remaja yang usianya paling banyak enam belas tahun itu, tidak urung hati Milana menjadi tegang juga.
Sun Giam orangnya pendiam, akan tetapi menyaksikan lagak dan mendengarkan ucapan pemuda tampan yang amat memandang rendah kepadanya itu, dia juga sudah tak dapat menahan kemarahannya. "Baik, bocah kurang ajar. Engkau yang menantang dan semua tamu agung yang hadir menjadi saksi. Kalau kau terpukul mampus nyawamu jangan penasaran dan menyalahkan aku!"
Setelah berkata demikian, Sun Giam sudah menggulung kedua lengan bajunya sehingga tampaklah kedua lengannya yang kurus kecil dan panjang. Melihat ini, Kian Bu tertawa, "He-he-he, kedua lenganmu kecil seperti kayu kering yang lapuk, perlu apa dipamerkan? Jangan-jangan untuk menyerangku menjadi patah-patah nanti!"
Kembali terdengar suara tertawa. Biarpun semua orang masih ragu-ragu apakah pemuda remaja yang tampan dan nakal jenaka itu dapat menandingi Sun Giam, namun setidaknya godaan-godaan itu cukup membuat hati mereka yang tidak suka kepada dua orang jagoan itu menjadi senang.
Akan tetapi suara ketawa itu terhenti dan semua mata memandang penuh ketegangan ketika mereka melihat Sun Giam menggerak-gerakkan kedua lengannya dengan jari tangan berbentuk cakar dan terdengarlah bunyi berkerotokan mengerikan dari tulang-tulang lengan dan tangannya! Juga tampak betapa kedua lengan itu berubah menjadi kehijauan dan mengeluarkan getaran hebat.
Milana menggenggam tangan kanannya. Dia mengenal ilmu yang dimiliki oleh Sun Giam itu, semacam tok-ciang (tangan beracun) yang mengandung sin-kang kuat dan berbahaya karena beracun! Dia mengerti bahwa hantaman kedua tangannya itu selain amat kuat, juga dapat menembus kulit daging dan meracuni tulang dan otot di tubuh lawan. Dugaannya memang tidak salah, Sun Giam telah melatih semacam pukulan beracun dan kedua tangannya itu mahir dengan Ilmu Cheng-tok-ciang (Tangan Beracun Hijau) yang dahsyat!
"Wah-wah, kiranya engkau pandai main sulap. Tentu kau dahulu adalah seorang penjual obat yang suka main di pasar-pasar, bukan? Sayang permainanmu kurang menarik dan tidak kebetulan aku tidak membawa uang kecil!" kata Kian Bu sambil menyeringai. Tentu saja, sebagai putera Pulau Es, dia pun mengenal kedua tangan itu, akan tetapi dia memandang rendah.
"Bocah sombong, terimalah pukulan mautku!"
Sun Giam sudah menghardik sambil bergerak maju. Gerakannya cepat sekali, kedua kakinya maju tanpa diangkat, hanya bergeser mengeluarkan suara "syet-syet!" dan kedua lengannya sudah bergerak-gerak, setelah dekat dengan Kian Bu dia membentak keras,
"Huiii....! Wut-wut-wut-wut!" Empat kali beruntun kedua tangannya menyambar dahsyat, dimulai dengan tangan kiri membacok dengan tangan terbuka ke leher, disusul tangan kanan mencengkeram iga, kemudian tangan kiri menusuk lambung dan diakhiri dengan tangan kanan mencengkeram ke arah bawah pusar. Setiap serangan merupakan cengkeraman maut yang dapat merenggut nyawa seketika.
"Aihh....! Wuusss.... plak-plak-plak....!" Dengan gerakan lincah sekali Kian Bu mengelak lalu menangkis tiga kali dengan tangannya, lagaknya seperti orang kerepotan akan tetapi semua tangkisannya tepat membuat kedua tangan lawan terpental.
"Sayang luput.... desss....!" Kembali dia menangkis hantaman ke arah mukanya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya menampar ke depan.
"Plakk....! Aughhh....!" Sun Giam terkejut setengah mati. Bukan hanya semua serangannya dapat dielakkan dan ditangkis, bahkan tahu-tahu pipi kirinya kena ditampar keras sekali sampai kepalanya mendadak menjadi puyeng dan matanya berkunang, pipi kirinya panas berdenyut-denyut! Dia terhuyung ke belakang sambil mengusap pipi kirinya.
"Wah, mukamu menjadi hitam sebelah!" Kian Bu menggoda. "Mari biar kutampar yang sebelah lagi agar tidak menjadi berat sebelah!"
Bisinglah keadaan para tamu ketika menyaksikan hal yang dianggapnya amat aneh ini. Pemuda nakal itu dalam segebrakan saja telah mampu menampar pipi Sun Giam! Dan dilakukan dengan cara semudah itu, seperti mempermainkan seorang anak kecil saja, malah diejek seolah-olah Sun Giam merupakan lawan yang sama sekali tidak mempunyai kepandaian apa-apa.
Sun Giam mengeluarkan suara melengking dari kerongkongannya, lalu tubuhnya mencelat lagi ke depan, kini menggunakan jurus yang amat hebat, kedua lengannya sampai kelihatan menjadi amat banyak saking cepatnya kedua tangan itu bergerak mengirim pukulan-pukulan maut yang amat gencar bertubi-tubi dan saling susul-menyusul.
"Wuuut-tak-tak-tak-syuuuttt.... aih, lagi-lagi kena angin belaka!" Kian Bu mengejek, tubuhnya berloncatan, berputaran, seperti menari-nari dan dengan gerakan aneh menyelinap ke sana-sini namun selalu dia dapat mengelak atau menangkis semua pukulan itu.
"Mampuslah!" Sun Giam yang terus menyerang itu tiba-tiba berteriak, dan kaki kanannya melayang ke arah bawah pusar Kian Bu. Kalau tendangan maut ini mengenai sasaran bagian tubuh yang paling lemah dari seorang pria itu, tentu sukar dapat menyelamatkan nyawa. Semua orang yang ahli dalam ilmu silat diam-diam menahan napas menyaksikan serangan maut ini, kecuali Milana yang tampak tenang saja akan tetapi kini matanya mengeluarkan sinar aneh memandang pemuda remaja itu, duduknya enak dan sama sekali tidak bersiap-siap lagi untuk membantu.
"Wirrr....!" Tendangan itu melayang dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Kian Bu seolah-olah tidak melihat ini, akan tetapi begitu kaki lawan mendekat, dia menggeser tubuh ke kiri, membiarkan kaki lewat di sebelah kanan tubuhnya, tangan kanannya menyambar dan merangkul pergelangan kaki, sedangkan tangan kirinya menyambar ke depan.
"Plakkk!"
Kembali Sun Giam terhuyung ke belakang dan mengeluh, otomatis tangan kanannya mengusap pipi kanannya yang kena ditampar.
"Nah, sekarang baru berimbang, mukamu menjadi kemerah-merahan seperti muka seorang dara cantik yang segar, he-he-heh!" Kian Bu berkata sambil bertepuk tangan. Para tamu yang berpihak kepadanya juga tertawa dan bahkan ada yang bertepuk tangan pula.
Sun Giam menjadi mata gelap saking marahnya. Dia tahu sekarang bahwa pemuda yang bengal ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang mujijat. Bukan hanya dapat menangkis tangan beracunnya tanpa terluka sedikit pun, juga pemuda itu memiliki gerakan yang kelihatannya seenaknya dan sembarangan saja, namun selalu dengan tepat dapat menangkis semua pukulannya, dan setiap kali pukulannya tertangkis, Sun Giam merasa betapa seluruh lengannya dari ujung jari sampai ke ketiaknya, terasa tergetar hebat sekali tanda bahwa pemuda itu memiliki sin-kang yang amat luar biasa! Dia maklum, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menyerah begitu saja. Dia tidak sudi menerima kenyataan bahwa dia kalah menghadapi seorang bocah bengal. Maka sambil mengeluarkan lengking dahsyat, kembali ia menubruk, dengan kedua lengan dikembangkan dan kedua tangan membentuk cakar harimau, lagaknya persis seekor harimau kelaparan yang menubruk kambing.
Kembali banyak orang terkejut karena melihat betapa pemuda itu enak-enak saja tertawa dan bertepuk tangan, seolah-olah terkaman itu tidak ada artinya sama sekali atau dia tidak tahu betapa dirinya terancam bahaya maut yang mengerikan. Dua lengan lawan itu bergerak-gerak dan sukar diduga ke arah mana akan menyerang dan sekali saja dirinya kena dicengkeram tentu akan hebat akibatnya. Namun tentu saja ini pendapat para penonton, tidak demikian dengan pendapat Kian Bu sendiri. Dia dapat melihat dengan jelas, dapat mengikuti gerakan kedua tangan lawan itu, maka dia enak-enak saja. Ketika jaraknya sudah dekat, tiba-tiba dia pun mengulur kedua lengannya dan kedua tangannya menyambut cengkeraman kedua tangan lawan dan berbareng dia
mengangkat lutut kirinya "memasuki" perut lawan.
"Ngekk....!" Biarpun Sun Giam sudah mengerahkan lwee-kangnya untuk membuat perutnya keras dan kebal, namun hantaman lutut yang dilakukan dengan kuat dan tiba-tiba itu tidak urung membuat perutnya mulas dan napasnya sesak, dan pada saat itu Kian Bu sudah menggerakkan tangan kanan yang saling berpegangan dengan tangan kiri lawan, menariknya tiba-tiba sehingga tubuh Sun Giam tertarik dan terbawa maju, lalu dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kian Bu menekuk lengan kanannya itu, sikunya menyambar ke depan.
"Croott....!" Siku itu mencium muka Sun Giam, tepat mengenai hidungnya. Bagian ini sukar untuk diisi tenaga lwee-kang sekuatnya, maka biarpun batang hidung itu tidak remuk, akan tetapi getaran pukulan siku itu membuat darahnya muncrat keluar dari dalam!
"Aughhh....!" Sun Giam mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Sibuklah kedua tangannya, yang satu mengelus perut yang mulas, yang satu lagi menutupi hidungnya yang berdarah.
"Bocah setan....!" Tiba-tiba Yauw Siu memaki dan langsung dia menubruk ke arah Kian Bu.
"Heiii....! Eh, uh, luput! Eh, kau adalah lawan kakakku!" Kian Bu mengelak ke sana ke mari dengan cekatan sekali sehingga setiap pukulan, setiap tubrukan mengenai tempat kosong. Namun Yauw Siu yang marah sekali menyaksikan betapa temannya tadi dipermainkan, saking marahnya terus menerjang seperti seekor harimau, kedua lengannya yang besar panjang itu bergerak-gerak dan kedua tangannya menyambar-nyambar ganas. Mukanya yang hitam menjadi makin hitam dan matanya me lotot lebar menyeramkan.
Melihat betapa calon lawannya itu mengamuk dan menyerang adiknya, Kian Lee hanya berdiri tersenyum. Tentu saja dia tahu bahwa orang kasar itu sama sekali bukan tandingan adiknya, biar ada sepuluh orang seperti itu belum tentu akan dapat mengalahkan adiknya, maka dia tenang-tenang saja dan membiarkan adiknya yang jenaka itu bergembira memborong semua lawan!
"Wah.... eiiittt.... Koko, bagaimana ini?" Kian Bu masih mengelak terus.
"Ambil saja untukmu, biar aku menonton saja!" jawab Kian Lee.
"Begitukah? Ha-ha, Yauw Siu, engkau masih untung! Kalau melawan kakakku, tentu kepalamu akan hancur. Aku masih mending, kau hanya akan mengalami benjut-benjut saja!"
"Keparat....!" Yauw Siu sudah menubruk lagi, kedua kaki dan tangannya dipentang lebar, agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi Kian Bu untuk mengelak. Dan pemuda ini pun sama sekali tidak mengelak lagi! Bahkan dia memapaki, menyambut terkaman itu, kedua tangannya didorongkan ke depan dan.... tubuh tinggi besar itu seperti daun ditiup angin, terlempar ke samping dan terbanting keras.
Yauw Siu terkejut bukan main. Dia tidak tahu bagaimana dia tadi terbanting roboh, yang dirasakannya hanyalah ada angin menyambar dahsyat, angin yang terasa amat dingin. Akan tetapi dia merasa penasaran, cepat dia meloncat berdiri dan menerjang lagi seperti angin puyuh, mengamuk membabi buta mengirim pukulan dan tendangan.
Kian Bu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan amat mudah dia mengelak dengan jalan meloncat ke belakang dan tahu-tahu lenyaplah dia dari depan Yauw Siu yang menjadi bingung dan terbelalak memandang, mencari ke kanan kiri. Terdengar gelak tawa para penonton karena mereka dapat melihat betapa tubuh pemuda lihai itu tadi mencelat dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata, tahu-tahu telah berada di belakang Yauw Siu sambil tersenyum-senyum. Mendengar suara ketawa para penonton, Yauw Siu menjadi makin bingung dan matanya memandang liar. Tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. Dia membalik dan.... "Plak-plak!" kedua pipinya kena ditampar dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Tepuk tangan menyambut "kemenangan" pemuda itu dan Pangeran Liong Bin Ong memandang pucat, memberi isyarat dengan pandang matanya kepada para pengawalnya.
Yauw Siu terkejut dan makin marah. Biarpun dia kini juga maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai, namun rasa malu dan marahnya membuat dia nekat.
"Srattt....!" Dia telah mencabut sebatang ruyung lemas yang bergigi, yang tadi melingkar di pinggangnya.
"Singg.... wir-wir-wirrr....!" Sun Giam kini juga sudah mengeluarkan senjatanya yang tadi melibat pinggangnya, yaitu sebuah senjata rantai baja dengan bola berduri di kedua ujungnya.
"Mundurlah, Bu-te!" Kian Lee berkata dengan marah melihat betapa dua orang jagoan itu benar-benar tak tahu diri. Betapapun juga, dia amat sayang kepada adiknya dan melihat kenekatan dua orang itu yang telah mengeluarkan senjata, dia cepat melompat maju.
Kian Bu meloncat ke belakang. "Celakalah kalian sekarang," katanya mengejek kepada dua orang jagoan itu. Akan tetapi dua orang jagoan yang sudah amat marah itu tidak mempedulikan ejekan Kian Bu. Melihat bahwa sekarang pemuda ke dua yang maju dengan tangan kosong saja, dengan sikap tenang sekali namun dengan wajah yang tampan itu membayangkan kemarahan dan mata yang tajam itu memandang tanpa berkedip, mereka sudah menerjang maju menggerakkan senjata masing-masing tanpa mempedulikan lagi teriakan-teriakan para tamu yang memaki mereka dan yang mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu.
Han Wi Kong yang pundaknya sudah dibalut dan sejak tadi memandang kagum, kini hendak bangkit dari tempat duduknya. "Si keparat tak tahu malu!" desisnya. Akan tetapi tiba-tiba tangan Milana menyentuh lengannya.
"Biarkan saja...."
"Apa....? Kedua orang anak muda itu terancam...."
Milana menggeleng kepala, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar, wajahnya berseri-seri. "Apakah kau tidak dapat menduga siapa mereka? Apakah kau tidak mengenal Sin-coa-kun, kemudian loncatan Soan-hong-lui-kun dan dorongan pukulan Swat-im Sin-ciang yang dilakukan Kian Bu tadi?"
"Kian Bu.... ahh dan yang satu itu....?"
"Kian Lee, siapa lagi?"
Han Wi Kong memandang terbelalak dan dengan penuh kekaguman dia melihat betapa Kian Lee menghadapi dua orang lawan bersenjata itu dengan sikap tenang sekali. Dua gulungan sinar senjata itu menyambar-nyambar ke depan. Kian Lee berkelebat mengelak diantara dua gulungan sinar senjata itu, gerakannya cepat sekali sehingga tidak dapat dilihat lagi bentuk tubuhnya, hanya bayangannya saja berkelebatan dan tiba-tiba terdengar dua kali teriakan keras, dua batang senjata itu terlempar dan dua orang jagoan itu terlempar dan roboh terbanting!
Kian Lee telah berdiri dengan sikap penuh wibawa, kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bersedakep dan dia menghardik, "Kalian masih berani menjual lagak lagi di sini?"
Dua orang jagoan itu merangkak bangun, muka mereka menjadi pucat sekali, lalu mereka saling pandang dan membalikkan tubuhnya.
"Tunggu....!" Kian Bu mencelat dari tempat dia berdiri, tahu-tahu telah berada di depan kedua orang itu. "Tadi kalian melukai orang, terlalu enak kalau kalian dibiarkan pergi begitu saja tanpa dihukum!" Kedua tangannya bergerak cepat menyambar ke depan. Kedua orang jagoan yang masih merasa nanar itu berusaha membela diri, akan tetapi mereka jauh kalah cepat.
"Krek-krek! Krek-krek!" Dua orang itu jatuh berlutut, kedua tulang pundak mereka telah dipatahkan oleh jari tangan Kian Bu yang hendak membalaskan orang gagah yang tadi patah tulang pundaknya. "Nah, pergilah kalian!" bentaknya.
Dua orang itu mengeluh, menggigit bibir, memandang dengan mata melotot, kemudian bangkit berdiri dan pergi cepat meninggalkan tempat itu melalui pintu gerbang dengan gerak langkah yang amat lucu. Kaki mereka melangkah cepat setengah berlari, akan tetapi kedua lengan mereka tidak dapat berlenggang, hanya tergantung lumpuh di kanan kiri tubuh.
"Tangkap dua orang pengacau itu....!" Tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong berteriak memerintah sambil menudingkan telunjuknya ke arah Kian Lee dan Kian Bu. Belasan orang pengawal bergerak maju mengepung dengan senjata di tangan.
"Eh, eh, kenapa kami hendak ditangkap?" Kian Bu berseru heran sambil berdiri dari tempat duduknya.
"Kaliah mengacau!" Pangeran itu membentak pula karena dia pun melihat betapa banyak diantara para tamu menggelengkan kepala tidak setuju kalau dua orang muda itu ditangkap.
"Ah! Ah! Jadi kami yang mengacau?" Kian Bu berteriak pula tanpa takut sedikit pun. "Dua orang jagoan kampungan tadi telah mengeluarkan tantangan dan penghinaan terhadap Pulau Es, dan siapa pun tahu bahwa Majikan Pulau Es adalah Pendekar Super Sakti! Pendekar itu adalah mantu dari Yang Mulia Kaisar dan ayah dari Puteri Milana yang hadir di sini sebagai tamu kehormatan! Kami berdua maju menghajar orang yang menghina mantu Kaisar malah dituduh pengacau! Kalau begini, siapa yang mengacau?"
Mendengar ucapan ini, Liong Bin Ong menjadi merah mukanya. Apa yang diucapkan dua orang pemuda remaja itu terdengar oleh semua orang dan hampir semua orang mengangguk-angguk membenarkan.
"Siapa kalian?" bentaknya.
"Sebagai putera-putera Pendekar Super Sakti, tentu saja kami tidak membiarkan orang-orang macam mereka itu menghina Pulau Es."
"Kian Bu....! Kian Lee....!" Milana tak dapat menahan lagi kegirangan hatinya. Dia sudah bangkit berdiri dan menghampiri dua orang pemuda itu yang serta merta berlutut di depan Milana.
"Enci Milana....!" Mereka berkata hampir berbareng.
Milana tertawa dan sekaligus mengusap air matanya, menyuruh bangun mereka dan memeluk mereka, menarik mereka ke ruangan tamu kehormatan dan memperkenalkan mereka kepada Pangeran Liong berdua dan para tamu.
"Mereka adalah adik-adikku Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dari Pulau Es!"
Melihat keluarga yang saling bertemu itu bergembira dan disambut oleh para tamu dengan girang, dua orang Pangeran Liong saling pandang dengan muka pucat. Tentu saja mereka tidak dapat berbuat sesuatu terhadap adik-adik Puteri Milana, yaitu cucu Kaisar sendiri, apalagi karena semua tamu tadi jelas menyaksikan betapa dua orang pemuda itu mengalahkan dua orang jagoan yang dianggap menghina Pulau Es. Berbondong para tamu datang dan menghaturkan selamat kepada Puteri Milana yang telah bertemu dengan dua orang adiknya yang gagah perkasa.
Dengan alasan kedatangan dua orang adiknya, Puteri Milana dan suaminya yang terluka pundaknya itu bergegas meninggalkan tempat pesta, pulang ke istana mereka sendiri. Setelah Han Wi Kong yang patah tulang pundaknya itu memperoleh perawatan dari seorang tabib dan mengundurkan diri untuk beristirahat di kamarnya sendiri, Milana mengajak dua orang adiknya bercakap-cakap sampai semalam suntuk. Tidak ada habis-habisnya mereka saling menceritakan keadaan masing-masing, dan terutama sekali dengan penuh kerinduan hati Milana ingin mendengarkan segala hal mengenai Pulau Es. Ketika dia mendengar tentang Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar yang pernah dilawannya di rumah penginapan itu ternyata pernah pula menyerbu Pulau Es dengan kawan-kawannya, puteri ini mengerutkan alisnya dan dengan penuh kekhawatiran dia dapat menduga bahwa Pangeran Liong ternyata dibantu oleh orang-orang pandai.
Beberapa hari kemudian, setelah membawa dua orang adiknya menghadap kepada Kaisar, Milana lalu memberi tugas kepada kedua orang adiknya yang dia tahu memiliki kepandaian yang cukup tinggi untuk menjaga diri dan untuk menunaikan tugas rahasia itu. Dia menyuruh Kian Lee dan Kian Bu pergi ke utara, menemui Jenderal Kao Liang dan menceritakan semua keadaan di kota raja, mengajak Jenderal Kao yang amat setia dan yang menguasai sebagian besar pasukan itu untuk mengerahkan pasukan menumpas pemberontak-pemberontak tanpa menanti perintah Kaisar lagi karena Kaisar tentu saja terpengaruh oleh para pangeran yang menjadi saudaranya sendiri itu, dan tidak percaya bahwa mereka merencanakan pemberontakan. Pendeknya Milana mengajak Jenderal Kao untuk mendahului gerakan pemberontakan dan sekaligus membasmi pemberontak yang belum sempat bergerak itu.
******
Tengah malam telah lewat. Udara amat dingin membuat para penjaga yang berkumpul di gardu benteng mengantuk dan mereka  berusaha untuk melawan dingin dengan api unggun besar. Perang antara dinginnya hawa udara dan panasnya api unggun mendatangkan kehangatan yang membuat orang cepat mengantuk, apalagi setelah bertugas menjaga dan meronda sehari semalam menanti penggantian giliran besok pagi. Banyak diantara para penjaga itu yang mendengkur tanpa dapat ditahan lagi, ada yang berbaring begitu saja di bawah gardu, ada yang tidur sambil bersandar gardu, dan yang belum tidur rata-rata sudah melenggut digoda kantuk yang berat. Mereka sudah malas meronda. Pula, perlu apa diadakan perondaan secara ketat? Benteng itu penuh pasukan tentara, siapa berani mengantar nyawa memasuki benteng?
Kelengahan para penjaga karena ngantuknya ini makin memudahkan dua orang yang bergerak seperti iblis saja di malam hari itu. Dengan gerakan ringan bukan main mereka meloncat ke atas pagar tembok, lalu melayang turun dan cepat menyelinap diantara bangunan-bangunan di dalam benteng, menghindarkan diri dari pertemuan dengan penjaga-penjaga yang bertugas di dalam.
Dua sosok bayangan orang itu berkelebatan kadang-kadang naik ke atas genteng dan berloncatan, kemudian melayang turun lagi dan menyelinap diantara bangunan-bangunan rumah asrama para pasukan tentara. Dari gerak-gerik mereka, jelas bahwa selain memiliki kepandaian tinggi, juga dua orang ini sudah hafal akan keadaan di situ.
Tentu saja demikian karena seorang diantara mereka ini adalah Jenderal Kao Liang dan yang seorang lagi adalah Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jenderal Kao Liang dibantu Gak Bun Beng pergi ke benteng yang dikuasai oleh Panglima Kim Bouw Sin, untuk menumpas para pemberontak. Menyetujui pendapat Bun Beng agar tidak mendatangkan perang saudara secara terbuka antara pasukan-pasukan sendiri, maka jenderal itu bersama Bun Beng memasuki benteng berdua saja secara diam-diam dan menggunakan waktu malam untuk menyelidik. Sudah tentu saja andaikata Jenderal Kao masuk dari pintu gerbang, para penjaga akan mengenalnya dan tidak akan ada yang berani melarangnya, akan tetapi kalau hal itu dilakukan dan Kim Bouw Sin mendengar akah kedatangannya, tentu panglima yang memberontak itu akan mengadakan persiapan untuk mencelakakannya. Maka mereka berdua memasuki benteng malam itu secara diam-diam, dan berkat pengetahuan jenderal itu tentang benteng di mana dahulu dia pernah menjadi komandannya, maka mereka berdua dapat dengan mudah menyelinap masuk dan langsung menuju ke tempat kediaman Panglima Kim Bouw Sin.
Akhirnya, Jenderal Kao dan Bun Beng sudah tiba di balik pintu ruangan besar di mana Panglima Kim Bouw Sin tampak sedang berunding dengan belasan orang, dan kelihatan panglima itu marah-marah.
"Kalian sungguh-sungguh tidak ada gunanya!" Agaknya entah sudah berapa puluh kali dia memaki seperti itu.
"Sekarang, semua gagal dan kita akan celaka."
"Kim-ciangkun, apakah tidak sebaiknya kalau kita mengirim pasukan yang lebih kuat dan diam-diam berusaha lagi untuk...."
"Jangan sembrono! Setelah kegagalan itu, tentu Kao Liang akan berjaga dengan teliti dan kuat. Lebih baik kita cepat melaporkan kepada Pangeran Liong dan kalian yang ikut membantu di sumur maut harus cepat menyembunyikan diri sehingga andaikata dia datang memeriksa, dia tidak akan menemukan bukti apa-apa di sini."
"Bagus sekali siasatmu, akan tetapi rahasiamu telah terbuka, Kim Bouw Sin! Pengkhianat hina, pemberontak busuk, menyerahlah kalian!"
Bentakan suara Jenderal Kao yang amat nyaring ini tentu saja amat mengejutkan semua orang yang berada di dalam ruangan itu. Mereka meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ke arah jendela yang tiba-tiba bobol dari luar diikuti melayangnya tubuh dua orang yang kini sudah berdiri di situ memandang mereka dengan sinar mata berapi. Kim Bouw Sin tidak mengenal siapa adanya laki-laki gagah berpakaian sederhana bercaping lebar yang berdiri di samping Jenderal Kao itu, akan tetapi mengerti bahwa rahasianya telah terbuka, dia cepat berseru, "Bunuh mereka!"
Sebelum menyerbu masuk, Jenderal Kao yang melihat betapa diantara belasan orang itu terdapat Kim Bouw Sin dan tiga orang panglima pembantunya, juga terdapat dua orang yang dia lihat ikut mengeroyoknya di sumur maut, telah membisiki Gak Bun Beng bahwa mereka berdua harus dapat menangkap hidup atau mati Kim Bouw Sin, tiga orang pembantunya, dan dua orang pengeroyok itu. Yang lain-lain hanyalah kaki tangan yang tidak begitu penting, akan tetapi tiga orang pembantu dan dua orang pengeroyok itu merupakan saksi penting sekali akan pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong seperti dapat dibuktikan dari perundingan mereka tadi. Gak Bun Beng mengangguk dan menyerbulah mereka ke dalam ruangan itu.
Aba-aba yang dikeluarkan oleh mulut Kim Bouw Sin tidak perlu diulang kembali karena semua yang hadir dalam perundingan itu mengenal belaka siapa adanya laki-laki berusia lima puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa dan berpakaian panglima itu. Sungguhpun kebanyakan diantara mereka tidak ada yang mengenal laki-laki yang lebih muda, berusia empat puluh tahunan berpakaian sederhana itu, namun mereka dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah kaki tangan Jenderal Kao. Hanya dua orang yang ikut menyerbu ke sumur maut mengenal Bun Beng dan mereka ini menjadi begitu kaget dan ketakutan sehingga ketika Kim Bouw Sin dan yang lain-lain mencabut senjata dan menyerbu, dua orang ini lari menyelinap dan berusaha pergi dari tempat berbahaya itu.
Pada saat itu, Jenderal Kao Liang sudah mencabut pedang panjangnya dan dengan gagah perkasa menghadapi serbuan lima enam orang, sedangkan Gak Bun Beng dengan tangan kosong sedang menghadapi hujan senjata para kaki tangan Kim Bouw Sin yang rata-rata terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi. Akan tetapi melihat dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao sedang berusaha menyelinap pergi, Bun Beng melepaskan topi caping lebarnya dan sekali tangannya bergerak, topi caping lebar itu meluncur, mengeluarkan suara berdesing, berputar-putar seperti gasing dan menyambar ke arah lutut kedua orang yang melarikan diri itu dari belakang.
"Crak-crakkk! "
Dua orang itu mengeluarkan suara menjerit dan roboh terjungkal karena kedua lutut kaki mereka seperti dibacok senjata tajam, membuat mereka berdua lumpuh tak dapat bangun kembali sedangkan mata mereka terbelalak memandang ke arah benda yang masih berputaran dan kini melayang kembali ke arah Gak Bun Beng. Caping itu memang dilemparkan dengan gerakan istimewa pergelangan tangan sehingga berputar amat cepatnya, maka ketika menyentuh lutut kedua orang itu, dalam keadaan terputar seperti golok tajamnya dan bersentuhan dengan lutut mereka itu membuat caping tadi yang masih berputar cepat itu berbalik arah dan melayang kembali ke arah pemiliknya. Memang hal ini telah diperhitungkan oleh Bun Beng melalui latihan-latihan yang tekun bertahun-tahun lamanya.
Dengan tenang Bun Beng menghadapi pengeroyokan orang banyak, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas ketika dia melihat capingnya melayang kembali dan menyambar benda itu, terus dipakai di atas kepalanya dan mulailah dia menggunakan kaki tangannya menghadapi pengeroyok.
Jenderal Kao yang dikeroyok oleh Kim Bouw Sin sendiri bersama kaki tangannya, mengamuk hebat. Pedangnya bergerak seperti seekor naga bermain-main di angkasa, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi segulungan sinar yang menyilaukan mata tertimpa cahaya lampu di ruangan itu dan dalam belasan jurus saja dia telah berhasil merobohkan dua diantara tiga panglima pembantu Kim Bouw Sin yang mengakibatkan seorang tewas dan yang seorang lagi setengah mati karena kaki kanannya buntung dan pundaknya terluka parah.
Gan Bun Beng yang sudah lama sekali, belasan tahun sudah, tidak pernah melukai orang apalagi membunuh, merasa ngeri juga maka dia mengambil keputusan untuk cepat mengakhiri pertempuran itu tanpa terlalu banyak membunuh orang. Tiba-tiba dari dalam perutnya, melalui kerongkongannya keluar pekik melengking yang luar biasa sekali, sedangkan kedua lengannya didorongkan ke depan. Menyambarlah angin-angin pukulan yang berhawa dingin, dan semua pengeroyoknya yang berjumlah delapan orang itu roboh semua, sebagian karena sudah lumpuh mendengar pekik melengking itu dan sebagian lagi roboh oleh dorongan angin pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa itu. Kemudian tubuhnya mencelat ke arah Jenderal Kao yang sedang mengamuk dan dengan beberapa kali menggerakkan tangan dan kakinya, robohlah seorang panglima pembantu dan dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao, yaitu dua orang yang pernah mengeroyok jenderal itu di sumur maut. Jenderal ini kagum dan juga girang sekali, pedangnya mendesak hebat kepada bekas pembantunya dan betapa pun Kim Bouw Sin mempertahankan dengan pedangnya, namun tidak sampai sepuluh jurus dia roboh, pedangnya terlepas dari pegangan dan lehernya sudah dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri Jenderal Kao!
Melihat robohnya para panglima itu, sisa para pengeroyok menjadi jerih dan cepat melarikan diri keluar dari ruangan sambil berteriak-teriak minta bantuan. Dari luar berbondong-bondong masuklah para pengawal dari penjaga yang bersenjata lengkap.
"Gak-taihiap, lekas bawa dua orang itu!" Bun Beng sendiri bingung menghadapi keadaan yang amat gawat itu. Kalau semua pasukan datang menyerbu, mereka berdua mana mungkin mampu melawan puluhan ribu orang tentara? Maka dia tidak banyak bertanya, cepat dia menyambar dua orang yang dirobohkannya tadi, menotok mereka lalu mengempit tubuh mereka, mengikuti Jenderal Kao yang sudah memanggul tubuh Kim Bouw Sin dan meloncat keluar dari ruangan itu melalui jendela.
Terdengar suara anak panah yang banyak sekali mengaung dan berdesir menyambar, namun Jenderal kao dapat meruntuhkannya dengan putaran pedangnya sedangkan Bun Beng sudah melesat ke atas dengan cepat sekali, diikuti oleh Jenderal Kao.
"Mari kauikuti aku!" Jenderal Kao berkata dan keduanya lalu berloncatan melalui atap rumah-rumah di dalam benteng itu menuju ke menara! Dengan kecepatan luar biasa keduanya dapat tiba di menara. Belasan orang penjaga menara ketika melihat bahwa yang muncul adalah Jenderal Kao yang mengempit Panglima Kim Bouw Sin dan seorang pria gagah yang membawa dua orang, menjadi terkejut, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Hai, para penjaga! Aku Jenderal Kao datang untuk membasmi pemberontakan dan pengkhianatan. Hayo kalian lekas bunyikan tanda agar seluruh perajurit berkumpul!" dengan suara yang nyaring dan penuh wibawa jenderal itu membentak, lalu menambahkan. "Ataukah kalian hendak ikut memberontak pula dan ingin kubunuh semua di sini?"
Para penjaga itu menjadi ketakutan, apalagi melihat bahwa panglima mereka telah tidak berdaya. Dua orang diantara mereka cepat meniup terompet dan memukul tambur tanda berkumpul bagi seluruh penghuni benteng itu. Sementara itu pagi sudah mulai tiba, biarpun cuaca masih remang-remang, namun tidaklah segelap tadi. Para perajurit yang sedang tidur lelap itu terbangun dan menjadi kaget sekali, cepat-cepat mereka berpakaian dan berlari-lari menuju ke lapangan terbuka di bawah menara. Dalam keadaan hiruk-pikuk itu, tentu saja berita tentang penyerbuan dua orang yang menggegerkan itu diterima dalam keadaan bingung dan simpang-siur oleh para perajurit sehingga mereka itu tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi dan menyangka bahwa tanda berkumpul itu tentu ada hubungannya dengan berita kekacauan itu.
Karena sudah terlatih, dalam waktu singkat saja semua perajurit telah berkumpul rapi di lapangan itu, menghadap ke menara dipimpin oleh perwira yang mengepalai pasukan masing-masing. Dari atas menara, Jenderal Kao melihat bahwa tidak ada seorang pun panglima yang hadir. Dari atas dia dapat melihat jelas karena para perajurit yang bertugas bagian penerangan telah memasang banyak lampu dan obor untuk menerangi tempat itu. Padahal Kim Bouw Sin mempunyai lima orang pembantu sebagai panglima-panglima di benteng itu. Tiga orang di antara yang lima itu ikut mengkhianati pemerintah dan telah dirobohkan, akan tetapi yang dua lagi, Panglima Kwa dan Panglima Coa, tidak nampak hadir. Apakah yang dua itu pun ikut memberontak dan dalam keadaan berbahaya itu telah melarikan diri?
Setelah semua perajurit telah berkumpul, Jenderal Kao membawa Panglima Kim Bouw Sin yang setengah pingsan itu ke depan menara sehingga tampak oleh semua perajurit karena di bagian depan menara itu telah dipasangi lampu oleh para penjaga yang menjadi bingung sekali melihat betapa panglima mereka ditawan oleh Jenderal Kao yang terkenal galak dan ditakuti juga disegani dan dihormati semua perajurit itu.
Melihat munculnya Jenderal Kao yang memegang tengkuk Panglima Kim Bouw Sin dan memaksa bekas komandan benteng itu berdiri di sampingnya, terkejutlah semua perajurit dan di bawah menjadi bising.
"Semua tenang....!" Suara Jenderal Kao bergema sampai jauh di bawah menara dan seketika keadaan menjadi hening, tidak ada seorang pun yang berani membuka suara. Hati jenderal itu menjadi lega menyaksikan ketaatan ini. Hal ini hanya berarti bahwa belum semua perajurit dipengaruhi oleh rencana pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong. Dan dia pun bersyukur sekali bahwa dia menyetujui rencana Gak Bun Beng untuk mengakhiri urusan ini secara menyelundup ke dalam benteng, dibantu oleh pendekar yang sakti itu. Kalau dia datang bersama sepasukan tentara, tentulah terjadi salah paham dan pasukan benteng itu akan dapat mudah dibujuk untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi sekarang, setelah semua panglima yang memimpin pemberontakan dirobohkan dan ditawan, mereka tidak sempat lagi membujuk dan para perajurit yang kebingungan baru bangun tidur itu tentu saja tidak berniat untuk memberontak karena yang muncul hanyalah seorang saja, yaitu Jenderal Kao Liang yang mereka takuti dan hormati.
Setelah melihat semua perajurit tenang dan suasana menjadi hening, jenderal itu bicara dan suaranya menggema dari atas menara, "Para perwira dan para perajurit yang gagah perkasa! Diantara kalian tentu ada yang sudah tahu, ada yang dapat menduga dan mungkin ada pula yang belum tahu bahwa Panglima Kim Bouw Sin juga menjadi komandan kalian, yang menjadi pembantuku yang kupercaya, ternyata telah berkhianat dan menyelewengkan kalian ke arah pemberontakan yang amat hina dan rendah!"
Jenderal itu berhenti sebentar dan melihat banyak mata memandang dengan ketakutan. Cepat dia menyambung, "Kalian tahu apa yang akan menimpa kalian kalau hal itu terlaksana? Kalian akan dibasmi, dihancurkan dan masing-masing akan menerima hukuman berat sekali, dicap sebagai pengkhianat dan pemberontak yang amat rendah sehingga sampai beberapa keturunan nama kalian menjadi busuk, bahkan nama nenek moyang terbawa-bawa ke dalam kehinaan! Untung bahwa aku mengetahui hal itu dan cepat malam ini aku turun tangan menangkap pengkhianat Kim Bouw Sin ini bersama kaki tangannya. Dan aku tahu bahwa kalian tidak berdosa, bahwa kalian hanya terbawa-bawa saja oleh atasan yang menyeleweng, oleh karena itu, kalau kalian mau insyaf dan mulai saat ini tunduk dan setia kepada pemerintah, aku Jenderal Kao Liang akan menanggung bahwa kalian tidak akan dihukum dan tidak dianggap berdosa. Bagaimana pendapat kalian?"
Hening sejenak, keheningan yang amat menegangkan hati Gak Bun Beng karena pendekar ini maklum bahwa kalau sampai jenderal itu gagal menguasai para perajurit ini sehingga mereka memberontak, tentu dia dan Jenderal Kao tidak dapat meloloskan diri lagi dari kepungan puluhan ribu orang perajurit itu!
"Hidup Jenderal Kao....!"
"Basmi pemberontak....!"
Gak Bun Beng bernapas lega dan diam-diam dia kagum sekali atas ketenangan dan kepribadian jenderal itu. Jenderal Kao mengangkat kedua tangannya dan semua kebisingan yang di bawah berhenti.
"Yang memimpin pemberontakan adalah Kim Bouw Sin dan tiga orang pembantunya, mereka sudah kurobohkan, dibantu pula oleh tenaga-tenaga dari luar benteng. Akan tetapi aku tidak melihat adanya Panglima Kwa dan Panglima Coa, ke manakah kedua orang itu?"
Terdengar jawaban dari bawah, dari mulut seorang perwira, "Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun telah ditangkap dan ditawan oleh Kim Bouw Sin!"
"Ahh!" Jenderal Kao Liang berseru. "Lekas bebaskan mereka dan hadapkan kepadaku!"
Dari bawah terdengar suara menyanggupi dan tampak beberapa orang perwira berlari ke dalam rumah tahanan dan tak lama kemudian mereka datang kembali membawa dua orang laki-laki bertubuh tegap yang pakaiannya kusut dan robek-robek, yang tubuhnya banyak luka-luka bekas cambukan. Mereka ini berlari ke depan, dan cepat menjatuhkan diri berlutut di bawah menara, menghadap ke arah Jenderal Kao.
"Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun, apa yang terjadi? Mengapa kalian ditangkap oleh Kim Bouw Sin?" Jenderal Kao bertanya.
"Kami berdua menentang pemberontakannya, tidak mau terbujuk, maka kami ditangkap dan kami disiksa untuk mau membantu, akan tetapi kami berdua lebih baik memilih mati daripada harus memberontak," jawab Kwa-ciangkun.
"Para perwira dan perajurit! Kalian sudah mendengar sendiri. Itulah baru suara seorang perajurit sejati! Maka, untuk sementara waktu ini, aku mengangkat Kwa-ciangkun sebagai komandan benteng ini yang baru dan Coa-ciangkun menjadi wakilnya!"
Kembali terdengar sambutan sorak-sorai, sebagian besar dari para perajurit yang merasa beruntung sekali bahwa mereka yang tadinya terbujuk untuk membantu Kim Bouw Sin, memperoleh pengampunan yang demikian mudahnya. Baru sekarang mereka melihat kenyataan betapa lemah kedudukan mereka, betapa lemah pemimpin mereka yang mengajak memberontak sehingga dengan munculnya dua orang saja, para pemimpin itu telah dibuat tidak berdaya sama sekali! Kalau mereka terlanjur memberontak, menghadapi pasukan pemerintah di bawah pimpinan seorang panglima seperti Jenderal Kao, tentu mereka akan dibasmi hancur!
Jenderal Kao lalu menyerahkan pimpinan kepada kedua orang panglimanya yang baru. Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun lalu menggunakan kesempatan itu untuk memberi "kuliah" kepada para perajurit sampai hari menjadi terang, sedangkan Jenderal Kao dan Gak Bun Beng menyerahkan para tawanan itu, Kim Bouw Sin dan dua orang kaki tangannya yang akan diajukan sebagai saksi, kepada para penjaga agar mereka itu ditawan dengan kaki tangan dibelenggu. Akan tetapi ketika mereka turun dari menara dan memasuki ruangan pertempuran tadi, ternyata tiga orang pembantu panglima yang menjadi kaki tangan Kim Bouw Sin telah tewas semua, membunuh diri!
"Ahhh.... saya yang ceroboh, Panglima!" Bun Beng berseru menyesal. "Semestinya mereka itu kutotok lumpuh sebelum kita tinggalkan tadi."
"Tidak mengapa, Taihiap. Mereka pun sudah sepatutnya mampus, manusia-manusia rendah yang hanya mengejar kesenangan tanpa mempedulikan lagi caranya itu sehingga mereka mau saja diperalat oleh Pangeran Liong untuk memberontak. Yang penting adalah Kim Bouw Sin sebagai tokoh utamanya dan dua orang pembantunya itu sebagai saksi karena mereka berdua ikut mengeroyokku di sumur maut." Jenderal Kao lalu mengajak dua orang komandan baru untuk berunding, kemudian dia bersama Gak Bun Beng kembali ke
bentengnya sendiri dikawal oleh sepasukan istimewa yang membawa Kim Bouw Sin dan dua orang pembantunya itu dalam kereta kerangkeng, karena Jenderal Kao menghendaki agar tiga orang tawanan itu dibawa ke bentengnya agar langsung berada di bawah penjagaannya sendiri menanti saatnya mereka dihadapkan ke kota raja. Dia pun sudah memerintahkan dengan tegas agar mereka bertiga tidak diberi kesempatan untuk membunuh diri, karena di dalam hatinya jenderal ini mengambil keputusan untuk menggunakan mereka bertiga itu untuk membongkar rahasia pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong.
Rasa persahabatan terhadap Bun Beng makin mendalam berakar di hati jenderal yang perkasa itu. Di sepanjang perjalanan kembali ke bentengnya, mereka yang duduk berkuda berdampingan, tiada hentinya bercakap-cakap dan di dalam percakapan ini Jenderal Kao Liang menceritakan tentang keadaannya. Di dalam pelaksanaan tugasnya yang penting, berbahaya, dan di perbatasan yang sunyi dan liar, dia tidak membawa keluarganya, meninggalkan isteri dan tiga orang anaknya di kota raja setelah terjadi hal menyedihkan ketika keluarganya dibawanya dahulu di perbatasan itu. Di waktu keluarganya ikut bersamanya di benteng perbatasan, puteranya yang sulung, ketika itu baru berusia sepuluh tahun, pada suatu hati telah lenyap ketika anak itu bermain-main di luar benteng seorang diri. Tentu saja Jenderal Kao sudah mengerahkan pasukan mencari-cari, dia sendiri pun sudah mencari, mengarungi padang pasir di utara, namun hasilnya sia-sia, puteranya pun tidak dapat diketemukan kembali bahkan mayatnyapun tidak! Setelah terjadi peristiwa menyedihkan itu, dia lalu mengirim kembali keluarganya ke kota raja dan peristiwa yang sudah terjadi selama belasan tahun yang lalu itu masih saja berbekas di dalam hatinya, kadang-kadang membuatnya termenung memandang padang pasir yang luas, teringat akan nasib puteranya yang dianggapnya tentu telah tewas tak tentu kuburnya itu. Adapun Gak Bun Beng juga merasa makin kagum terhadap pribadi jenderal ini, yang ternyata selain seorang yang amat setia kepada pemerintah, keturunan orang-orang besar dalam bidang kemiliteran, juga adalah seorang laki-laki gagah
perkasa yang berjiwa besar. Maka hatinya pun menjadi lega bahwa dia telah membawa Syanti Dewi kepada jenderal itu. Dan dia pun lalu menceritakan tentang diri Syanti Dewi selengkapnya, seperti yang diketahuinya.
"Saya merasa kasihan sekali terhadap Syanti Dewi. Dia seorang puteri raja, akan tetapi nasib membawanya mengalami banyak kesengsaraan lahir batin. Tidak hanya dia terpaksa mentaati kehendak orang tua untuk menikah dengan seorang pangeran tua yang sama sekali belum pernah dijumpainya, akan tetapi juga ternyata bahwa pangeran itu seorang berhati curang, bahkan mungkin sekali, karena hal ini belum dapat terbukti kuat, adalah seorang pengkhianat dan pemberontak. Lebih lagi setelah tiba di sini, dia mendengar akan kematian Candra Dewi atau Nona Lu Ceng, adik angkatnya."
Mendengar disebutnya nama Lu Ceng, Jenderal itu memejamkan matanya sebentar dan merasa betapa jantungnya seperti ditusuk. Nona yang telah mati karena menolongnya itu! Tak pernah dia akan dapat melupakan betapa nona itu benar-benar telah mengorbankan nyawa untuk menebus nyawanya sendiri, karena kalau bukan Ceng Ceng yang menendangnya keluar dari sumur, tentu bukan dara itu melainkan dia yang akan tewas!
"Memang kasihan sekali dia...." katanya, tidak tentu lagi siapa yang dimaksudkan dengan "dia", puteri itukah atau Ceng Ceng.
"Maka saya mengharapkan kebijaksanaan dan kemurahan hatimu, Kao-goanswe, untuk menerima gadis itu dan melindunginya. Saya hendak pergi melanjutkan perjalanan, dan saya menitipkan Syanti Dewi kepadamu agar kelak dapat kauantarkan dia kepada Puteri Milana...."
"Hemm, kenapa kepada Puteri Milana?" Jenderal itu menatap tajam wajah pendekar itu.
Bun Beng menahan getaran jantungnya dan bersikap tenang dan biasa saja. "Siapa lagi yang dapat melindunginya selain puteri yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang yang gagah perkasa dan budiman, puteri dari Pendekar Super Sakti itu? Kalau Syanti Dewi berada di bawah perlindungannya, barulah hatiku akan merasa tenang."
"Baiklah, Taihiap. Syanti Dewi akan kuanggap sebagai anakku sendiri. Anakku ada tiga orang, kesemuanya laki-laki, yang paling besar telah hilang, dan aku akan senang sekali menganggap dia sebagai anakku sendiri. Akan kulindungi dia sampai ada kesempatan bagiku untuk mengantarnya sendiri kepada Puteri Milana."
Gak Bun Beng seketika mengangkat kedua tangannya memberi hormat dengan wajah berseri-seri. "Budimu amat besar, dan aku tidak akan melupakannya, Goanswe!"
Jenderal Kao memandang wajah itu makin tajam penuh selidik, kemudian dia menarik napas dan berkata, "Gak-taihiap, engkau memutarbalikkan kenyataan dan demikian memang sifat pendekar-pendekar budiman. Engkaulah yang telah menyelamatkan nyawaku, kemudian membantuku membasmi pemberontak. Tanpa bantuanmu, takkan begitu mudah urusan ini dapat diatasi. Akan tetapi.... hemm, sungguh aneh sekali.... aneh sekali....!"
Gak Bun Beng yang duduk di atas kudanya di sebelah kiri jenderal itu, menengok dan bertanya heran, "Apakah yang aneh, Kao-goanswe?"
"Taihiap, pernahkah engkau mendengar Jit-hui-houw, tujuh jagoan dari kota Shen-bun?"
Bun Beng memandang penuh pertanyaan, tidak mengerti mengapa jenderal itu menanyakan ini, mengingat-ingat, kemudian menggeleng kepalanya.
"Dan kurang lebih dua tahun yang lalu, pernahkah Taihiap tinggal di kota Shen-yang?"
"Shen-yang dekat kota raja?"
Jenderal itu mengangguk.
"Tidak pernah, Goanswe. Belasan tahun saya mengembara di gunung-gunung dan dusun-dusun, tidak pernah tinggal di kota besar."
Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk. "Sudah kuduga demikian.... akan tetapi menurut berita, namanya juga Gak Bun Beng dan juga amat lihai, lebih terkenal dengan julukan Si Jari Maut...."
"Aiih, dahulu ketika pertama kali kita saling berjumpa, engkau pun menyebut Si Jari Maut. Siapakah dia dan apa sangkut-pautnya dengan saya, Kao-goanswe?"
"Saya sendiri tidak pernah bertemu dengannya, hanya menurut kabar, dia lihai sekali, lihai dan kejam. Namanya Gak Bun Beng, julukannya Si Jari Maut, kabarnya masih muda, akan tetapi engkau pun belum tua benar, Taihiap."
"Hemm, tentu dia orang lain. Apakah pekerjaannya?"
"Dia merampok, membunuh, memperkosa...."
"Ahhh....!" Bun Beng mengerutkan alisnya. "Kalau begitu, tentu hanya ada dua kemungkinan."
"Maksudmu, Taihiap?"
"Pertama, memang ada seorang penjahat keji yang lihai dan yang memiliki nama dan she yang sama dengan saya. Ke dua, dia adalah seorang musuh tersembunyi yang sengaja hendak merusak nama saya. Yang mana pun kenyataan dari kedua kemungkinan itu, saya harus pergi mencarinya, Kao-goanswe."
Jenderal itu mengangguk-angguk. "Saya lebih condong menyangka kemungkinan ke dua, Taihiap. Seorang yang lihai seperti Taihiap tentu dahulu sudah sering kali bentrok dengan golongan hitam dan kaum sesat, maka tidaklah aneh kalau ada yang mendendam dan kini membalas dengan cara memburukkan namamu."
Gak Bun Beng menggelengkan kepalanya perlahan. "Agaknya tidak mungkin, Goanswe. Sudah belasan tahun saya tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw. Betapa pun juga, saya akan melakukan penyelidikan."
"Berita itu mula-mula muncul dari Shen-yang, kemudian di sekitar daerah sebelah selatan kota raja. Ke sanalah kalau engkau hendak melakukan penyelidikan, Taihiap."
"Baik, hari ini juga saya akan berangkat setelah saya pamit kepada Puteri Syanti Dewi."
Setelah tiba di benteng, Gak Bun Beng segera menemui Syanti Dewi. Akan tetapi puteri itu tidak berada di dalam kamarnya dan menurut pelayan, puteri itu sejak Gak Bun Beng dan Jenderal Kao berangkat, semalam suntuk tidak memasuki kamarnya dan berada di dalam taman. Bahkan para pelayan yang hendak menemaninya disuruh pergi semua. Cepat Bun Beng memasuki taman dan dengan langkah perlahan dia menghampiri puteri yang sedang duduk menutupi muka dengan saputangan yang basah air mata. Agaknya puteri itu menangis. Bun Beng mengerutkan alisnya dan menduga-duga. Selama dalam perjalanan yang amat susah payah, puteri yang sebetulnya lemah itu telah memperlihatkan sikap yang amat tabah dan tahan uji, tahan menderita, dan baru sekarang dia melihat puteri itu berduka dan menangis, bahkan, katanya semalam suntuk tidak meninggalkan taman itu!
"Dewi....!"
Saputangan basah itu terlepas, muka yang agak pucat dengan mata merah itu tampak, menengok, lalu dia meloncat, lari menghampiri sambil mengeluh panjang, "Paman...., ahhh, Paman....!" Syanti Dewi menubruk dan merangkul leher Bun Beng, menangis di atas dada pendekar itu.
Bun Beng mengelus rambut kepala yang halus itu, berkali-kali menarik napas panjang dan memejamkan kedua matanya, kemudian baru ia berkata lirih, "Aih, Dewi, kau kenapakah? Semalam engkau berada di taman dan engkau.... menangis? Apa yang menyusahkan hatimu? Apakah engkau masih berduka karena kematian adikmu Candra Dewi?"
Syanti Dewi terisak-isak dan mempererat pelukannya, kemudian dia melepaskan rangkulannya, memandang wajah pendekar itu, berusaha tersenyum akan tetapi kelihatan makin mengharukan. "Maafkan aku, Paman....! Tentu saja aku masih berduka kalau teringat kepada Adik Candra, akan tetapi semalam aku.... aku cemas sekali memikirkan Paman...."
Bun Beng tersenyum dan kembali jantungnya seperti ditusuk. Betapa besar kasih sayang dara ini kepadanya! Mencemaskan keadaannya sampai tidak tidur semalam suntuk. Makin terasa olehnya betapa Puteri Bhutan ini mencintanya, makin tidak enaklah rasa hati Gak Bun Beng, apalagi dia juga merasakan betapa hatinya tertarik dan di situ terdapat kecondongan cinta kasih yang amat besar terhadap dara ini, seolah-olah pencurahan kasih sayangnya yang gagal dan terputus terhadap Milana kini dibelokkan ke arah Syanti Dewi!
Bun Beng memaksa senyum untuk menutupi perasaan hatinya. "Dewi, kau lucu sekali. Mengapa mengkhawatirkan aku?"
"Ada dua hal yang membuat aku merasa khawatir sekali dan yang membuat aku menangis, Paman. Sampai saat ini pun, biar Paman telah kembali dengan selamat, namun masih ada hal ke dua yang mencemaskan hatiku. Yang pertama, tadinya aku khawatir Paman akan celaka dan ternyata Paman telah kembali dengan selamat. Akan tetapi ada hal ke dua...." Kembali Syanti Dewi menundukkan muka menahan tangisnya.
"Ada apakah, Dewi? Katakanlah kepadaku."
"Aku.... aku khawatir.... bahwa Paman.... Paman akan meninggalkan aku...."
"Ah, Dewi, mengapa engkau mengkhawatirkan hal itu?"
Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu memegang kedua lengan pendekar itu, wajahnya berseri, matanya bersinar penuh harapan. "Jadi Paman tidak akan meninggalkan aku? Paman, berjanjilah bahwa Paman tidak akan pernah meninggalkan aku, bahwa kita tidak akan saling berpisah!"
Bun Beng menghela napas panjang. "Aihh, bukan begitu maksudku, Dewi. Mengapa engkau mengkhawatirkan perpisahan antara kita yang memang sudah semestinya? Biarpun engkau sudah kuanggap sebagai keponakan sendiri, akan tetapi kenyataannya adalah bahwa kita bukanlah sanak kadang, bukan keluarga. Antara kita tidak ada ikatan keluarga, dan memang aku akan melanjutkan perjalananku, meninggalkan engkau di sini bersama Jenderal Kao yang menganggap kau sebagai anak sendiri...."
"Tidak....! Aku ikut denganmu, Paman."
Bun Beng menggeleng kepala. "Aku seorang yang hidup sebatangkara, tidak tentu tempat tinggalku, tidak tentu makanku, mana mungkin engkau ikut?"
"Biar! Aku akan ikut ke mana pun engkau pergi!"
"Perjalanan hidupku hanyalah menghadapi kesengsaraan belaka...."
"Aku tidak takut! Aku bersedia menderita sengsara di sampingmu, Paman."
"Akan tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan, Dewi! Diantara kita tidak ada ikatan apa-apa, tidak ada hubungan keluarga dan...."
"Siapa bilang tidak ada ikatan apa-apa, Paman?"
"Maksudmu...."
"Tidak terasakah oleh Paman akan adanya ikatan yang amat erat diantara kita, ikatan batin yang amat kuat? Dan Paman masih mengatakan tidak ada ikatan apa-apa? Mengapa aku, seorang puteri yang biasanya hidup serba mewah dan mudah, dapat melakukan perjalanan yang sukar dan menderita dengan hati tetap bergembira dan berbahagia di samping Paman? Bukankah itu membuktikan adanya ikatan yang amat luar biasa diantara kita?"
"Maksudmu....?"
"Maksudku....?" Wajah itu pucat dan dari kedua matanya mengalir air mata di pipinya, akan tetapi pandang matanya bersinar-sinar. "Masih perlukah kujelaskan lagi? Mengapa aku gelisah kalau Paman pergi? Mengapa aku setengah mati kalau Paman sakit? Mengapa aku berbahagia kalau berada di samping Paman? Perlukah kujelaskan lagi, Paman? Perlukah....?" Syanti Dewi tersedu.
Wajah Bun Beng pucat. Inilah yang ditakutinya, yang dikhawatirkannya selama ini. Bibirnya bergetar, alisnya berkerut, seluruh tubuhnya terasa menggigil.
"Kau.... kau....?"
"Aku cinta padamu, Paman! Kurasa Paman tidak buta untuk melihat hal itu...."
"Aku tahu.... aihh, Dewi.... aku tahu.... tapi...."
"Paman....!" Syanti Dewi merangkul dan menangis di dada pria itu, dan Bun Beng juga memeluknya, mengelus rambutnya, mukanya ditengadahkan, menghadap ke angkasa seolah-olah dia mohon kekuatan dari atas, akan tetapi dia merasa ngeri untuk menyaksikan kenyataan ini sehingga kedua matanya terpejam. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling peluk sambil berdiri dan tak bergerak seperti telah berubah menjadi arca.
Ketika Syanti Dewi yang tadinya menangis di dada pria itu merasa betapa tubuh itu bergoyang-goyang, dia mengangkat mukanya dan betapa kaget hatinya melihat Bun Beng menitikkan air mata! Pendekar sakti itu menangis!
"Paman....!" Dia berseru kaget karena hal ini merupakan hal yang amat aneh dan luar biasa. Sukar dapat membayangkan betapa pendekar yang sakti itu, pria yang gagah perkasa, kuat dan budiman, dapat menangis!
Gak Bun Beng memejamkan kedua matanya, melepas pelukannya dan menghapus air mata di pipi dengan ujung lengan bajunya, kemudian terdengar suaranya agak parau, "Syanti Dewi, duduklah dan mari kita bicara baik-baik. Tenanglah dan jangan membiarkan perasaan mencengkeram hati kita."
Dengan pandang mata khawatir Syanti Dewi melepaskan pelukannya lalu duduk di atas bangku taman itu. Bun Beng juga duduk di sampingnya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian setelah berulang kali menarik napas panjang, Bun Beng berkata, suaranya sudah tenang dan biasa kembali, "Dewi, aku merasa berterima kasih dan terharu sekali bahwa engkau, seorang puteri kerajaan yang cantik jelita dan masih muda sudi memperhatikan dan menaruh hati kasih kepada seorang laki-laki seperti aku, miskin dan pengembara, sengsara dan sudah hampir tua...."
"Paman Gak Bun Beng! Apakah cinta kasih itu harus disertai usia dan kedudukan seseorang?"
"Tentu saja tidak, Dewi. Akan tetapi cinta kasih antara pria dan wanita yang menuju kepada perjodohan, sudah tentu harus memperhatikan hal itu, demi kebahagiaan dan kelangsungan perjodohan itu sampai selama hidupnya. Engkau masih muda, berdarah bangsawan, dan...."
"Cukup, Paman! Aku tidak mau mendengar hal itu lagi. Aku sekarang adalah seorang gadis yang tidak mempunyai apa-apa, yang sebatang kara pula seperti Paman.... dan aku.... aku tidak sanggup kalau harus hidup berpisah dari samping Paman."
"Dewi....! Pikirlah baik-baik, tidak mungkin keadaan kita ini dilanjutkan. Hari ini juga aku datang menemuimu untuk berpamit. Aku akan pergi melanjutkan perjalananku, melanjutkan hidupku yang merana, dan aku tidak akan begitu kejam untuk menyeretmu ke dalam kehidupanku yang penuh derita ini. Aku hendak pergi, dan aku sudah membicarakan tentang dirimu kepada Jenderal Kao. Dialah yang akan mengatur kesemuanya demi kebaikanmu, Dewi...."
Gak Bun Beng sudah bangkit berdiri, akan tetapi Syanti Dewi juga meloncat bangun dan menubruknya, memegangi lengannya sambil menangis. "Jangan, Paman.... Jangan tinggalkan aku.... ah, jangan tinggalkan aku, Paman.... aku tidak akan kuat menanggungnya...."
Bun Beng menjadi terharu sekali. Dia benar-benar merasa tidak tega dan berat melihat keadaan dara itu, dan dia hanya dapat mengelus rambut dara itu dengan hati seperti diremas-remas rasanya. Tidak, pikirnya, dia tidak boleh menurutkan kelemahan hatinya, dia harus ingat akan masa depan gadis ini!
"Jangan begitu, Dewi. Aku melakukan ini demi masa depanmu sendiri, aku harus pergi, sekarang juga. Jenderal Kao akan mengurus segala keperluanmu, tinggal engkau rundingkan dengan dia yang menganggap kau sebagai anaknya. Dia dapat mengantarmu kembali ke Bhutan atau kota raja menghadap Kaisar...."
"Paman.... Paman Gak.... apakah Paman tidak cinta kepadaku?"
"Demi Tuhan.... satu-satunya orang yang kusayang sepenuh hatiku pada saat ini adalah engkau seorang, Dewi. Akan tetapi, ngeri aku membayangkan untuk mencintamu dengan disertai keinginan memiliki dirimu lahir batin. Aku.... ah.... agaknya luka di hatiku masih belum sembuh, aku belum berani lagi mencinta wanita.... pengalaman yang lalu.... ah, kau mengerti, Dewi. Betapapun juga, kalau ada orang yang kusayang, kukasihi sepenuh hatiku, selain dia.... ah, kiranya orang itu hanya engkau, Dewi...." Gak Bun Beng memeluk erat-erat, seolah-olah dia tidak ingin lagi melepaskan dara itu, kemudian mencium dahi yang halus itu, lalu tiba-tiba dia melepaskan rangkulannya dan meloncat pergi, dalam sekejap mata saja lenyap dari pandangan Syanti Dewi, hanya suaranya saja yang terdengar, mengandung rintihan jiwa yang menggetar, "Selamat tinggal, Dewi....!"
"Paman Gak....!" Syanti Dewi menjerit dan lari ke sana ke mari mencari-cari, namun pendekar itu telah lenyap dan akhirnya dara ini menjatuhkan diri di atas tanah, berlutut sambil menangis sampai mengguguk. Sampai lama sekali dara itu menumpahkan kedukaan hatinya seperti itu, sampai lupa waktu.
"Syanti Dewi, anakku.... mengapa engkau berduka seperti ini?"
Syanti Dewi mengangkat mukanya yang basah air mata. Melihat Jenderal Kao Liang berdiri di situ, mendengar jenderal itu tidak lagi menyebutnya tuan puteri, bahkan menyebutnya "anakku", hatinya yang penuh kecewa dan duka itu menjadi terharu.
"Paman....!" Serunya sambil berlari ke depan lalu menjatuhkan diri berlutut di depan jenderal itu sambil menangis.
Jenderal Kao Liang mengangkatnya bangun dan membiarkan gadis itu menangis dengan muka di atas dadanya, sambil mengelus rambut itu dengan hati penuh kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.
"Tenanglah, anakku. Jangan meneruskan hati yang gelisah dan duka. Engkau tentu menangisi kepergian Gak-taihiap, bukan?"
Tanpa menjawab, Syanti Dewi mengangguk. Jenderal itu menghela napas panjang lalu berkata, "Dia memang seorang yang amat luar biasa, seorang pendekar besar yang patut dijunjung tinggi, patut dihormati, bahkan patut pula menerima kasih sayang dara seperti engkau. Aku mengerti, seorang gagah seperti dia tentu tidak mau mempergunakan kesempatan untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi jangan kau khawatir, Anakku. Jodoh tidak dapat dipaksakan, juga tidak dapat dipisahkan. Kalau memang sudah berjodoh, tentu kelak dapat berkumpul kembali."
Sambil menghibur, Jenderal Kao Liang mengajak puteri itu kembali ke dalam rumah sehingga akhirnya reda juga kedukaan hati puteri itu. Akan tetapi setelah dia tidak menangis lagi, Syanti Dewi lalu mengajukan permintaan kepada Jenderal Kao Liang untuk mengantarkannya ke kota raja, ke istana Puteri Milana!
"Apakah kau tidak ingin kembali saja ke istanamu di Bhutan?" Jenderal Kao Liang bertanya.
"Tidak, saya ingin bertemu dan bicara dengan Puteri Milana!" jawab Syanti Dewi dengan tegas. Dia tidak mengatakan kepada jenderal itu bahwa dia ingin bertemu dengan Puteri Milana bukanlah untuk keperluan dirinya sendiri, melainkan untuk menegur puteri itu yang telah membuat hidup Gak Bun Beng menjadi sengsara! Dia ingin menegur Puteri Milana!
"Baiklah, Syanti Dewi. Akan tetapi kau bersabarlah, karena tidak mungkin aku mengantarmu sekarang. Aku sudah menyusun pelaporan ke kota raja dan aku akan menunggu jawaban pelaporan tentang pemberontakan di sini dari Kaisar. Kalau jawaban itu tiba, tentu aku harus menghadap ke sana dan engkau sekalian akan kuantarkan kepada Puteri Milana."
Terpaksa Syanti Dewi menanti dengan sabar dan menekan kedukaan hatinya yang selalu mengenangkan Gak Bun Beng, pendekar sakti yang amat dikagumi dan yang telah menjatuhkan hatinya itu.
******
Kita tinggalkan dulu Puteri Syanti Dewi yang merana dan menderita kesengsaraan batin sebagai akibat cinta pertama itu dan kita mengikuti keadaan Candra Dewi atau Lu Ceng atau Ceng Ceng yang seolah-olah terkubur hidup-hidup di dalam dunia bawah tanah bersama nenek lumpuh Ban-tok Mo-li.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, melihat betapa Ceng Ceng membelanya ketika Siang Lo-mo datang menuntut diberikannya kitab catatan racun, timbul rasa sayang di dalam hati nenek lumpuh yang tidak waras lagi otaknya itu terhadap Ceng Ceng. Dengan penuh kesungguhan hati mulailah nenek itu menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ceng Ceng, terutama sekali ilmu menggunakan racun-racun berbahaya ke dalam tubuh sehingga dalam waktu beberapa bulan saja Ceng Ceng telah berubah menjadi seorang "gadis beracun" yang amat menyeramkan karena bukan saja dara ini dapat mengisi hawa, pukulan dan serangannya dengan hawa beracun, akan tetapi juga dapat menggunakan racun ke dalam seluruh anggauta tubuhnya sehingga setiap tamparan, jamahan tangan, kalau dikehendakinya, dapat membuat lawan roboh dan tewas. Bahkan dengan pengerahan istimewa, gadis ini dapat membuat ludahnya beracun pula! Dengan amat tekun Ceng Ceng melatih dirinya dengan semua ilmu kaum sesat yang mengerikan itu dan dalam waktu tiga bulan dia telah memperoleh kemajuan hebat sehingga jauhlah kalau dibandingkan dengan sebelum dia terjerumus ke dalam sumur maut. Memang nenek yang sudah putus asa untuk dapat membalas dendam sendiri kepada Siang Lo-mo, mewariskan ilmu-ilmunya kepada muridnya ini, dengan harapan agar kelak Ceng Ceng dapat membalaskan dendamnya kepada sepasang kakek kembar yang lihai itu. Bahkan catatan racun yang aslinya, tidak seperti yang diberikan kepada Siang Lo-mo yang mengandung kesalahan-kesalahan yang disengaja, telah diperlihatkan dan diserahkan kepada Ceng Ceng untuk dipelajarinya sehingga dara ini bukan saja menjadi ahli dalam ilmu silat beracun, juga ahli pula dalam soal segala macam racun sehingga dengan tuntunan kitab catatan kecil itu dia dapat menyembuhkan segala macam keracunan!
Selain memperoleh ilmu silat dan ilmu tentang racun, juga Ceng Ceng memperoleh sebatang pedang dari gurunya, sebatang pedang yang indah dan ampuh, akan tetapi sudah direndam racun yang bermacam-macam, lama, dan amat jahatnya. Pedang ini yang tadinya merupakan sebatang pedang pusaka ampuh, terbuat dari logam pilihan, oleh Ban-tok Mo-li telah diubah menjadi sebatang pedang iblis yang amat mengerikan dan oleh nenek itu diberi nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun).
Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan pada suatu senja, seperti biasa kalau sudah lelah berlatih, Ceng Ceng yang tidak ada bosan-bosannya itu memeriksa terowongan dan mencari-cari jalan rahasia dari mana datangnya Siang Lo-mo. Terutama sekali dia memeriksa terowongan di mana dahulu sepasang kakek kembar itu muncul karena dia yakin bahwa tentu di sekitar tempat inilah terdapat sebuah pintu rahasia. Dia sudah hampir setiap hari mengetuk, memukul, mendorong dan menarik batu-batu dinding terowongan itu tanpa hasil. Sekali ini ia melihat-lihat ke atas. Terowongan itu cukup tinggi, tidak kurang dari dua tombak tingginya, dan permukaan dindingnya agak kasar karena batu-batunya menonjol. Kalau pintu rahasia itu tidak berada di kanan kiri dinding terowongan itu, apakah terdapat di atas, di langit-langit terowongan, pikirnya. Dia lalu mengangkat kakinya menginjak batu menonjol, lalu mengenjot tubuhnya ke atas, berpegang kepada batu menonjol di langit-langit, kaki yang sebelah lagi menginjak batu menonjol yang lain, kemudian dengan kedua tangannya, mulailah dia mengetuk-ngetuk dan mendorong atau menarik batu-batu menonjol di sekitar langit-langit terowongan itu.
Tiba-tiba jantungnya berdebar tegang ketika sebuah batu menonjol yang dipegang tangan kirinya ketika dia dorong bergerak sedikit! Dia membenarkan letak kakinya mencari tempat berpijak yang kuat, kemudian mengerahkan tenaganya mendorong batu menonjol itu.
"Kraaakkkk....!" Terdengar suara batu bergeser dan tampaklah sebuah lubang yang bergaris tengah hampir satu meter terbuka di langit-langit terowongan itu! Ceng Ceng hampir bersorak girang. Tentu saja sampai bertahun-tahun Ban-tok Mo-li tidak dapat mene mukan pintu rahasia ini karena nenek yang bernasib malang itu telah lumpuh kedua belah kakinya dan tidak dapat mempergunakan lagi kakinya itu, sedangkan rahasia pintu terowongan di langit-langit itu hanya dapat ditemukan kalau orang menggunakan kedua kakinya untuk memanjat dan kedua tangan untuk menarik. Dan agaknya ini pula yang menjadi satu diantara sebab mengapa dua orang kakek kembar itu membikin lumpuh kaki Ban-tok Mo-li.
Dengan hati girang sekali Ceng Ceng lalu meloncat turun, mengambil kitab catatan racun dan pedang Ban-tok-kiam pemberian subonya, kemudian dia lari kembali ke bawah pintu rahasia itu. Akan tetapi baru saja kedua kakinya bergerak hendak meloncat ke atas memasuki lubang itu, tiba-tiba terdengar suara berkaok ular besar yang melingkar di batu menonjol tak jauh dari lubang rahasia itu, kemudian dengan kaget Ceng Ceng mendengar suara teguran subonya, "Ceng Ceng, kau hendak pergi kemana membawa-bawa pedang dan kitab?"
Ceng Ceng terkejut sekali. Dia maklum bahwa dia harus pergi meninggalkan gurunya, karena tidaklah mungkin baginya untuk pergi mengajak subonya yang cacad kedua kakinya itu. Tanpa menjawab dia menyelinap di ujung terowongan untuk bersembunyi. Akan tetapi tiba-tiba tampak tubuh subonya yang merangkak cepat sekali datang dari dalam.
"Heh-heh, aku tahu kau berada di situ, Ceng Ceng. Kau mencurigakan sekali, tentu engkau telah menemukan pintu rahasia itu, bukan? Heh-heh, jangan kautinggalkan tempat ini tanpa aku, muridku!"
"Tidak! Subo harus tinggal di sini, biar teecu yang keluar dan kelak teecu akan membalaskan dendam Subo terhadap Siang Lo-mo!"
"Heh-heh-heh, enak saja! Tidak, kau harus membawa aku atau kau tidak akan dapat pergi dalam keadaan hidup!"
Ceng Ceng maklum akan watak subonya yang amat kejam. Ancaman subonya itu tentu akan dilaksanakan kalau dia tidak mau menurut, akan tetapi dia pun tidak mau menyia-nyiakan jalan kebebasan ini. Dan keluar dari tempat itu bersama subonya bukanlah kebebasan namanya. Subonya lihai sekali dan sekali mereka keluar dari neraka di bawah tanah itu, dia akan dipaksa untuk memenuhi kehendak subonya di bawah ancaman maut.
"Tidak, Subo. Teecu akan pergi sendiri!" Ceng Ceng meloncat ke atas, ke arah lubang dan pada saat itu dia tidak lengah, melainkan dengan waspada dia memandang ke arah subonya.
"Kalau begitu mampuslah!" Ban-tok Mo-li menggerakkan tangan kanannya dan melayanglah sebuah benda bulat yang mengeluarkan sinar ke arah Ceng Ceng dengan kecepatan hebat.
Ceng Ceng terkejut. Dia maklum bahwa subonya memiliki senjata-senjata rahasia yang aneh-aneh dan dia belum sempat mempelajarinya. Dia tidak tahu senjata rahasia apakah yang dipergunakan subonya saat itu untuk menyerangnya, maka dia mengambil keputusan untuk mengelak dengan jalan meloncat turun kembali karena dia tidak berani menangkis atau menendang bola yang meluncur ke arahnya itu sebelum dia tahu benda macam apa yang dipergunakan untuk menyerangnya selagi tubuhnya melayang ke atas itu.
Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan meluncur dari atas menyambar ke arah bola yang melayang itu. Ceng Ceng sudah bergantung ke pinggir lubang sambil memandang ke bawah. Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang meluncur itu adalah ular besar yang dengan moncong terbuka lebar menyambar ke arah senjata rahasia berupa bola itu.
"Ular tolol! Jangan....!" Terdengar Ban-tok Mo-li yang sudah tiba di bawah tempat itu berteriak. Namun terlambat karena ular itu sudah mencaplok benda melayang itu dan terdengarlah bunyi ledakan keras dan tampak api bernyala besar membakar tubuh ular itu yang terpaksa melepaskan belitannya pada batu, jatuh ke bawah merupakan api berkobar-kobar.
Terdengar jerit melengking mengerikan dan Ceng Ceng terbelalak memandang, lalu dia meloncat turun sambil berteriak, "Subo....!"
Akan tetapi gadis ini hanya berdiri bingung dengan jari-jari tangan saling cengkeram, tidak tahu harus berbuat bagaimana melihat subonya yang tertimpa ular itu kini juga terbakar secara hebat! Melihat ular dan subonya bergulingan dan berkelojotan tanpa dia mampu menolong sedikit pun, Ceng Ceng memejamkan matanya, tidak tega menghadapi peristiwa yang amat mengerikan itu, kemudian dia meloncat lagi memasuki lubang terowongan, lalu merangkak dengan cepat melalui terowongan yang ternyata amat panjang dan gelap itu.
Terowongan yang gelap itu ternyata amat panjang, berlika-liku dan selalu naik. Dara itu tidak tahu sampai berapa jauhnya dia merangkak-rangkak, kaki dan tangannya sampai terasa lelah, namun mengenangkan gurunya dia merasa ngeri dan terus melanjutkan perjalanan yang sukar itu tanpa berhenti.
Setelah melalui perjalanan yang amat sukar dan lama, kadang-kadang terowongan itu sempit dan licin basah, kadang-kadang melalui lantai yang penuh batu tajam dan runcing, akhirnya dia berhenti karena jalan itu buntu. Selama menempuh perjalanan sukar sambil merangkak-rangkak itu, dia harus meraba-raba dengan kedua tangannya karena amat gelap. Kini pun dia meraba-raba dan mendapat kenyataan mengejutkan bahwa jalan itu berhenti dan buntu, di depannya adalah dinding batu. Ketika dia meraba-raba lantai yang penuh dengan benda-benda berserakan seperti batu-batu besar, tiba-tiba keadaan di situ menjadi agak terang dan dia cepat mengangkat muka memandang ke atas. Hampir dia berteriak saking kaget dan heran, juga girangnya, dan cepat dia bangkit berdiri. Betapa enaknya rasa tubuhnya berdiri seperti itu setelah berjam-jam merangkak terus! Kiranya tempat itu merupakan sebuah sumur yang cukup tinggi, biarpun tentu saja tidak setinggi sumur di padang pasir, sumur maut di mana dia terjungkal. Dan cuaca di dasar sumur itu menjadi makin terang, bahkan kini terdengar suara-suara orang di atas sumur! Ceng Ceng terkejut dan cepat menyelinap bersembunyi ke terowongan sambil mengintai ke atas. Tampaklah obor-obor dipegang tangan banyak orang, lalu tampak kepala-kepala orang yang kelihatannya aneh dan menyeramkan dari bawah itu. Keadaan menjadi makin terang dan ketika dia melihat lagi ke atas lantai sumur, hampir saja Ceng Ceng menjerit. Pantas saja sejak tadi dia mencium bau yang amat tidak enak, bau busuk, bau bangkai! Hanya karena dia sudah melatih diri dengan ilmu yang membuat tubuhnya beracun, maka tadi dia tidak begitu merasakan hal ini. Sekarang, setelah keadaan menjadi terang oleh sinar banyak
obor di atas sehingga dia dapat melihat bahwa benda-benda berserakan yang disangkanya batu-batu tadi ternyata adalah tumpukan tulang-tulang dan tengkorak manusia, barulah dia tahu bahwa tempat itu merupakan gudang tulang-tulang manusia, bahkan ada tulang-tulang yang masih belum bersih betul, masih ada sisa hancuran dan cairan bekas tubuh manusia yang tentu saja berbau busuk sekali!
Ceng Ceng memandang lagi ke atas. Agaknya terdapat kesibukan-kesibukan di atas sumur itu, akan tetapi suara orang-orang itu tidak terdengar jelas, karena campur aduk tidak karuan. Tiba-tiba tampak oleh Ceng Ceng betapa banyak tangan manusia mengangkat sesuatu kemudian melemparkan benda yang panjang ke dalam sumur itu! Dengan cepat Ceng Ceng merangkak mundur ke dalam terowongan dan merasa ngeri karena dia sudah menduga benda apakah itu yang dilempar ke bawah.
"Bukkk! " Benda itu terbanting keras dan betul dugaannya bahwa benda itu adalah mayat seorang manusia! Dia tidak sempat melihat apakah mayat itu laki-laki atau wanita, yang jelas bahwa mayat itu telanjang bulat dan jatuh menimpa tulang-tulang yang berserakan di tempat itu, karena agaknya orang-orang yang berada di atas itu mulai pergi meninggalkan sumur sehingga keadaan kembali menjadi gelap pekat.
Ceng Ceng terpaksa merangkak mundur sampai belasan meter dari dasar sumur itu. Dia akan menanti sampai terang. Kalau dia mengingat-ingat akan waktu yang dipergunakan untuk merangkak-rangkak tadi, dia dapat menduga bahwa saat itu tentu sudah lewat tengah malam dan kiranya pagi tidaklah lama lagi. Dia lalu rebah terlentang di dalam terowongan, beristirahat. Dia akan mencari jalan keluar kalau sudah pagi dan terang, dan untuk menanti datangnya pagi, dia memilih terowongan sempit ini daripada dasar sumur yang luas akan tetapi penuh dengan tulang dan mayat manusia. Tentu saja Ceng Ceng tak dapat tidur sekejap mata pun. Hatinya terlalu tegang dan dia ingin lekas-lekas dapat keluar dari tempat itu. Hatinya girang sekali ketika sinar matahari pagi mulai masuk ke dalam sumur itu. Ketika dia merangkak ke dasar sumur, hatinya jijik sekali melihat mayat telanjang seorang laki-laki tua yang dilempar dari atas semalam, dia menujukan perhatiannya ke atas tanpa banyak membiarkan pandang matanya melihat ke bawah. Tepat seperti diduganya malam tadi bahwa pasti ada jalan keluar karena terowongan rahasia ini adalah yang dilalui Siang Lo-mo, dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa biarpun sumur itu dalamnya tidak kurang dari lima belas meter, namun dia sanggup naik melalui dindingnya yang kasar dan penuh batu-batu dan injakan kaki. Tanpa membuang banyak waktu lagi, mulailah Ceng Ceng merayap atau mendaki naik dengan harap-harap cemas agar jangan sampai ada muncul orang yang mengganggunya setelah dia tiba di luar sumur.
Ketika akhirnya dia meloncat keluar, ternyata sumur itu berada di tengah hutan di lereng gunung! Bukan di tengah padang pasir lagi! Pantas saja kalau terowongan itu banyak mendaki, kiranya membawanya ke lereng bukit. Dan sumur itu adalah sebuah kuburan! Agaknya penduduk di sekitar daerah ini mempunyai cara penguburan yang aneh, yaitu melemparkan mayat-mayat dalam keadaan telanjang bulat ke dalam sumur ini! Dia dapat mengetahui hal ini karena di tepi sumur terdapat banyak papan-papan nama yang ditancapkan di atas tanah, dan di situ terdapat pula bekas-bekas hio, agaknya mereka menyembahyangi leluhur mereka di tepi sumur ini secara beramai-ramai. Sumur ini merupakan kuburan bersama! Pantas saja Siang Lo-mo dapat menggunakan sumur ini tanpa diketahui orang, karena orang lain tentu tidak ada yang berani memasuki sumur yang dijadikan kuburan ini, yang tentu merupakan sebuah tempat yang keramat!
Dengan perasaan yang mungkin hanya dapat dirasakan oleh seekor burung yang baru terlepas dari sangkarnya, atau seekor harimau yang baru terlepas dari kerangkeng, Ceng Ceng segera pergi dari tempat itu, menuruni lereng atau memilih jalan menurun untuk keluar dari dalam hutan yang cukup lebat itu. Biarpun semalam suntuk tak pernah tidur dan baru saja mengalami ketegangan yang cukup hebat, namun kelegaan dan kegembiraan hatinya dapat terbebas secara yang tak disangka-sangkanya itu membuat wajah Ceng Ceng berseri-seri, dan segala yang tampak di depan matanya, pohon-pohon dan batu-batu, bahkan rumput dan daun kering, kelihatan amat indah dan menyenangkan hatinya. Ingin dia tertawa-tawa, ingin dia bernyanyi-nyanyi, akan tetapi kadang-kadang dia berhenti dan termenung, alisnya berkerut kalau dia teringat kepada gurunya. Betapapun juga, harus ia akui bahwa Ban-tok Mo-li yang kejam dan mengerikan itu telah menyelamatkan nyawanya, bukan itu saja, bahkan nenek itu telah menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya. Kini nenek itu telah tewas.
"Subo, aku akan membalaskan sakit hatimu terhadap Siang Lo-mo!" bisiknya sambil mengepal tinju dan dia cepat mengusir bayangan subonya dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat karena dari atas dia melihat genteng-genteng rumah penduduk dusun di bawah sana.
Dia berhenti di luar dusun itu ketika melihat anak sungai yang airnya jernih sekali. Timbul keinginan hatinya untuk mandi dan minum. Atau setidaknya dia harus mencuci mukanya di air yang jernih itu, karena kalau mandi dia khawatir dilihat orang. Cepat dia menuruni anak sungai itu, akan tetapi baru saja kedua tangannya menyentuh air, tiba-tiba terdengar orang berseru penuh kekhawatiran, "Hei....! Nona...., jangan sentuh air itu...., lekas kau ke luar dari situ!"
Tentu saja Ceng Ceng merasa heran sekali. Kalau orang itu melarangnya, tentu dia akan marah. Akan tetapi orang itu jelas bukan melarang, melainkan memperingatkannya seolah-olah orang itu merasa ngeri dan takut akan sesuatu.
"Mengapa tidak boleh, Lopek?" tanyanya ketika laki-laki setengah tua itu sudah tiba dekat sambil berlarian.
"Aihh, Nona, harap cepat keluar. Air sungai itu beracun!"
"Hemm, beracun?" Ceng Ceng tertarik sekali dan memandang air itu, lalu membawa tangannya yang basah ke depan hidungnya, bahkan lalu menjilatnya. Memang beracun, pikirnya, akan tetapi hanya tipis dan lemah saja kekuatan racun itu, agaknya karena sudah tercampur air yang amat banyak itu. "Biarlah aku ingin mencuci muka dan minum!" jawabnya seenaknya dan dia lalu mencuci mukanya, bahkan menyendok air dengan kedua telapak tangan dan diminumnya. Hemmm, menyegarkan rasanya.
"Nona! Jangan.... ahhh, anakku pun sekarang hampir mati karena minum air ini, dan di kampung kami sudah ada enam orang yang tewas. Mengapa Nona begini nekat?"
Ceng Ceng makin tertarik dan dia lalu meloncat ke darat. Sekali loncat saja dia telah tiba di depan laki-laki tua itu yang memandang terbelalak kemudian menjatuhkan diri berlutut!
"Kiranya Nona adalah seorang pendekar wanita yang sakti....! Nona tidak takut racun dan Nona melompat seperti terbang....
kalau begitu, saya mohon dengan hormat, sudilah kiranya Nona menolong kami, mengobati puteraku dan beberapa orang lain yang belum tewas akan tetapi yang menderita sakit hebat karena air sungai ini."
Ceng Ceng mengangguk. "Baik, akan kucoba untuk menyembuhkan mereka. Mari!"
Kakek itu girang sekali dan cepat mengajak Ceng Ceng memasuki perkampungan itu langsung menuju ke sebuah rumah yang paling besar dan paling indah di dusun itu. Kiranya orang tua itu adalah hartawan yang paling kaya di dusun itu, dan dia lalu dengan singkat menceritakan kepada isterinya yang masih menangis bahwa nona muda ini hendak mengobati putera mereka. Ibu yang cemas ini cepat mengajak Ceng Ceng memasuki sebuah kamar dan di atas pembaringan rebahlah seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang membengkak mukanya dan panas badannya.
Ceng Ceng menghampiri, dan sebentar saja dia sudah tahu bahwa anak ini memang keracunan, racun yang sama dengan yang dia dapatkan di dalam anak sungai tadi. Racun yang sama sekali tidak berbahaya kalau saja orang tahu cara pengobatannya. Cepat dia menotok jalan darah di dada kiri anak itu dan menyuruh Sang Ibu mengambil abu dapur, merendam abu itu di dalam air, lalu memberikan air itu setelah abunya mengendap, untuk diminumkan anaknya.
Setelah ditotok dan minum obat sederhana ini, anak itu benar saja sembuh, bengkak pada mukanya mengempis dan napasnya tidak memburu lagi, panas tubuhnya pun menurun! Tentu saja hartawan itu menjadi girang sekali dan orang lain yang menderita keracunan yang sama lalu dibawa ke rumah gedung itu dan semua diobati oleh Ceng Ceng dan dapat diselamatkan nyawanya.
Rumah itu penuh dengan penduduk dan mereka semua berlutut menghaturkan terima kasih kepada Ceng Ceng dipimpin oleh kepala dusun itu yang masih adik kandung sendiri dan Si Hartawan tadi. Ceng Ceng berkata, "Harap Cu-wi sekalian bangkit dan jangan berlebihan. Aku hanya ingin tahu mengapa air sungai itu beracun, apakah biasanya tidak begitu?"
"Tentu saja tidak, Lihiap (Pendekar Wanita)," jawab Si Kepala Dusun setelah semua orang bangkit. "Sejak turun-temurun, anak sungai itu memiliki air yang jernih dan bersih dan yang menjadi air minum seluruh penduduk dusun. Akan tetapi sejak tiga hari yang lalu, tiba-tiba saja airnya mengandung racun yang jahat itu sehingga ada enam orang penduduk kami tewas, yang lain sakit dan tentu akan tewas pula kalau tidak ada pertolongan Lihiap."
"Hemm, sungguh aneh," kata Ceng Ceng. "Racun seperti itu adalah buatan orang dan tak mungkin dapat meracuni sungai kalau tidak sengaja dilakukan orang."
"Kami mendengar berita bahwa di selatan sana keadaan dusun-dusun lebih parah lagi karena mengamuknya racun yang entah datang dari mana. Kami tadinya tidak percaya sampai air sungai itu menjadi beracun," jawab Si Kepala Dusun. "Terpaksa kami menggunakan air dari sumber di atas bukit untuk keperluan kami."
"Dan Cu-wi tahu mengapa sebabnya semua itu?"
"Tidak, Lihiap, kami tidak tahu."
"Hemm, kalau begitu tentu ada apa-apa di selatan sana. Aku akan pergi ke sana menyelidikinya."
Mendengar ucapan ini, semua orang memandang dengan muka berubah. "Ada apakah di selatan?" Ceng Ceng bertanya melihat sikap mereka itu.
Si Kepala Kampung memandang ke kanan kiri seperti orang ketakutan, lalu berkata lirih, "Sebaiknya kalau Lihiap jangan mengambil jalan ke selatan. Kurang lebih lima puluh li dari tempat ini terdapat tempat yang dinamakan Lembah Bunga Hitam, dan tempat itu amat berbahaya...."
"Mengapa....?"
"Penghuni Lembah Bunga Hitam adalah golongan yang amat ditakuti di sekitar daerah ini...., dan sudah banyak yang menjadi korban keganasan mereka, namun tidak ada yang berani melawan karena mereka itu amat lihai...."
Ceng Ceng tersenyum. "Tak usah Cu-wi khawatir, aku mampu menjaga diriku."
Akan tetapi kepala kampung dan hartawan itu, juga para penduduk, menahan Ceng Ceng pergi seketika. Mereka lebih dulu ingin menjamu Ceng Ceng untuk menyatakan terima kasih mereka. Bahkan melihat betapa pakaian yang dipakai dara itu sudah amat lapuk, Si Hartawan sudah cepat menyiapkan pakaian baru untuk Ceng Ceng, dan setelah dara itu dipaksa untuk makan minum bersama mereka, lalu seekor kuda yang besar dihadiahkan pula kepada dara itu. Ceng Ceng juga tidak menolak pemberian itu, menerima dengan gembira dan berterima kasih. Dia memang amat membutuhkan pakaian bersih, dan kuda itu pun dapat berguna baginya.
Maka dengan diantar oleh para penduduk sampai di pintu dusun, dara ini berangkat melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan.
Akan tetapi baru kurang lebih sepuluh li kudanya dilarikan ke selatan, tiba-tiba di luar sebuah hutan dia melihat penduduk dusun berbondong-bondong pergi mengungsi ke utara. Keadaan mereka sungguh menyedihkan, kelihatan muka mereka pucat ketakutan, pakaian kumal dan penuh duka, ada yang menggendong anak ada pula yang menggandeng dua anak di kanan kiri, ada yang menggendong buntalan pakaian dan memikul barang-barang yang sempat mereka bawa lari ngungsi. Ceng Ceng meloncat turun dari kudanya dan memegang kendali kuda, memandang orang-orang itu yang agaknya tidak mempedulikannya, bahkan agaknya memandang kepadanya dengan penuh curiga dan penuh kebencian. Akhirnya dia bertanya kepada dua orang laki-laki setengah tua yang berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap, "Ji-wi Lopek (Paman Tua Berdua) agaknya kalian semua mengungsi dengan tergesa-gesa dan ketakutan, apakah yang terjadi di selatan?"
Dua orang laki-laki itu berhenti dan memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh keheranan. "Apakah Nona hendak maksudkan bahwa Nona belum tahu akan apa yang sedang dan telah terjadi, dan sekarang Nona hendak melakukan perjalanan ke selatan?" tanya yang berjenggot pendek.
"Benar, Lopek. Akan tetapi, apakah sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa Lopek sekalian melarikan diri dan pergi mengungsi?"
"Aihh, tadinya kami mengira tentu Nona adalah seorang di antara mereka! Kalau ternyata bukan, harap Nona cepat membalikkan kuda dan ikut melarikan diri bersama kami sebelum terlambat."
"Sebelum terlambat?"
"Ya, lihat. Kami adalah petani-petani akan tetapi sekarang terpaksa melarikan diri tanpa membawa seekor pun binatang peliharaan. Kuda Nona masih sehat, maka lekas-lekas Nona bawa pergi sejauhnya ke utara kalau ingin selamat."
Tentu saja Ceng Ceng menjadi makin tertarik. Jelas bahwa telah terjadi sesuatu yang amat hebat di selatan, yang akibatnya telah menggegerkan dusun di utara tadi di mana air sungai mendadak menjadi beracun.
"Lopek, tolong jelaskan. Apa yang sedang terjadi?"
"Geger hebat, dunia akan kiamat, Nona! Sejak tiga hari yang lalu, terjadi pertempuran hebat di Lembah Bunga Hitam, antara golongan penghuni Lembah dan musuh-musuh mereka. Pertandingan yang mengerikan, dan akibatnya bagi para penghuni dusun di sekitar lembah, lebih mengerikan lagi. Bayangkan saja, ternak-ternak kami mati, air pun keracunan, hawa udara pun beracun, semua tanaman layu dan agaknya tanah pun menjadi beracun. Dua golongan ahli-ahli racun perang menggunakan racun-racun mengerikan. Banyak diantara penduduk dusun sekitar tempat itu mati konyol, maka kami semua cepat melarikan diri mengungsi. Nah, sekarang sebaiknya Nona cepat memutar arah perjalanan Nona, atau kalau ada keperluan ke selatan, sebaiknya mengambil jalan memutari pegunungan di selatan itu agar tidak melewati Lembah Bunga Hitam."
Ceng Ceng menjadi tertarik sekali. Dia meloncat ke atas punggung kudanya dan berkata, "Terima kasih, Lopek. Saya akan meninjau keramaian itu!" Lalu dia membedal kudanya ke selatan.
"Ah, sayang kuda sebaik itu akan mati konyol!" terdengar seorang berkata.
"Nona itu lebih sayang lagi, begitu muda remaja dan cantik jelita!" kata orang ke dua. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa Ceng Ceng, murid yang telah mewarisi ilmu dari nenek yang menjadi datuk racun, Ban-tok Mo-li, tentu saja tertarik sekali mendengar bahwa ada dua golongan ahli-ahli racun sedang bertanding dan tentu saja dia tidak merasa takut sama sekali.
Makin banyak Ceng Ceng bertemu dengan para rombongan pengungsi. Setelah Lembah Bunga Hitam tinggal lima belas li lagi jauhnya, dia memberikan kudanya kepada rombongan pengungsi terakhir, karena dia maklum bahwa hawa udara yang mulai bau wangi-wangi aneh itu amat berbahaya bagi kudanya. Dia melanjutkan perjalanan menuju ke Lembah Bunga Hitam dengan berlari-lari.
Dusun-dusun sudah kosong dan makin dekat dengan Lembah Bunga Hitam, makin mengerikanlah keadaannya. Dusun-dusun itu ditinggalkan penghuninya yang masih hidup, meninggalkan banyak mayat manusia di mana-mana. Pohon-pohon layu dan daunnya rontok menjadi gundul mengerikan. Bangkai-bangkai berserakan di atas tanah, dari bangkai binatang buas yang galak dan kuat seperti biruang hutan sampai kijang dan kelinci, dari belalang dan jengkerik sampai segala macam kadal, coro, kecoa, dan semut. Juga anak-anak sungai dan selokan-selokan penuh dengan bangkai katak, ikan, yuyu, belut dan sebagainya. Semua bangkai mulai membusuk, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya bau di sepanjang jalan dan dusun-dusun itu. Merupakan daerah mati, daerah yang menyeramkan di mana maut memperlihatkan taring dan kukunya yang tajam meruncing.
Makin dekat dengan Lembah Bunga Hitam, makin mengerikan keadaannya, bahkan banyak tanah yang hangus seperti terbakar, ada tanah yang merekah retak-retak dan masih mengeluarkan asap, ada air hitam menetes-netes dari pohon seperti darah, air yang mengandung racun ganas! Di samping kengerian yang dihadapinya, Ceng Ceng juga merasa tertarik bukan main karena segala macam racun yang diajarkan oleh subonya selama ini, sekarang dapat dia melihatnya dalam bentuk aslinya, melihat kenyataannya. Dia mengenal dari bentuk, warna, dan baunya, dan untuk setiap racun yang terdapat di situ, Ceng Ceng mengenal pula cara menolaknya, bahkan tubuhnya yang sudah dilatih dan diisi dengan hawa beracun boleh dikatakan kebal terhadap segala macam racun.
Ketika Ceng Ceng memasuki perkampungan terakhir yang berada di luar Lembah Bunga Hitam, perkampungan yang tadinya dihuni oleh anak buah Lembah Bunga Hitam tingkat terendah, dusun ini juga sudah kosong sama sekali dan di sini jelas nampak bekas-bekas pertandingan yang mengerikan karena banyak berserakan mayat-mayat yang membusuk, bahkan ada pula yang sudah tinggal rangkanya saja, padahal pertandingan baru berjalan tiga hari yang lalu. Memang ada beberapa macam racun yang kalau mengenal tubuh orang lalu menggeroti kulit daging dengan cepatnya sehingga dalam waktu satu hari satu malam saja yang ada tinggal kerangkanya, karena yang lain-lainnya telah mencair dan habis. Selain mayat-mayat ini, tampak pula binatang-binatang berbisa yang juga kebal terhadap racun-racun lain. Tampak kelabang, kalajengking dan ular-ular berbisa segala jenis, berkeliaran dan makan bangkai-bangkai binatang laln, ada pula beberapa ular jenis ular merah hitam tampak memperebutkan daging membusuk tubuh seorang manusia! Ceng Ceng bergidik, apalagi ketika dia melihat seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun rebah miring di atas tanah kering. Hatinya merasa ngeri dan kasihan akan tetapi juga terheran-heran melihat betapa mayat anak kecil ini masih utuh, hanya agaknya tidak lama lagi utuhnya karena di sekelilingnya terdapat banyak sekali ular berbisa yang seolah-olah menanti saat baik untuk nanti memperebutkan daging yang masih lunak dan utuh itu.
Tidak, pikir Ceng Ceng. Aku tidak mungkin membiarkan mayat anak itu dimakan ular-ular jahanam itu! Harus kuselamatkan mayat itu, akan kukubur baik-baik. Dia menghampiri mayat itu dan tiba di luar lingkaran ular-ular yang mengerumuni mayat anak kecil itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang membuat bulu tengkuk Ceng Ceng bangun berdiri saking ngerinya karena suara ketawa itu keluar dari mulut mayat anak perempuan itu! Dan "mayat" itu kini bangkit duduk, wajahnya cantik mungil akan tetapi pucat sekali seperti mayat, dan sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya yang tertawa-tawa itu tiba-tiba kini berdesis-desis seperti suara ular. Suara mendesis ini disambut oleh suara mendesis dari empat penjuru, dan bukan hanya ular-ular yang tadi berkerumun di situ saja yang bergerak, juga dari arah lain berdatangan banyak ular besar kecil yang mendesis-desis dan merayap secepatnya ke tempat itu, seolah-olah memenuhi penggilan anak perempuan itu!
Tiba-tiba, desis yang keluar dari mulut anak perempuan itu berubah dan terkejutlah Ceng Ceng ketika dia melihat betapa semua ular itu kini membalik dan seperti marah menyerbu ke arahnya! Sebentar saja ular-ular besar kecil, semuanya beracun, dipimpin oleh tujuh ekor ular sendok yang "berdiri" dan dengan leher berkembang menyembur-nyembur, mengurungnya dan anak perempuan itu kini sudah bangkit berdiri dan menari-nari kegirangan sambil tertawa-tawa, seolah-olah seorang anak kecil yang memperoleh permainan menarik sekali.
Mengertilah Ceng Ceng bahwa dia berhadapan dengan seorang bocah yang luar biasa, tentu anak dari golongan sesat yang amat lihai. "Hemm....!" bentaknya dan dia melangkah maju ke arah tujuh ekor ular sendok yang paling galak. Tujuh ekor ular itu menyerangnya dengan berbareng, mematuknya. Ceng Ceng menggerakkan kedua lengannya setelah menyingsingkan lengan bajunya agar jangan tergigit robek. Tujuh ekor ular itu tentu saja tertarik dan kesemuanya lalu mematuk ke arah kedua lengan yang berkulit putih itu. Ketika Ceng Ceng mengangkat kedua lengannya, tujuh ekor ular cobra itu bergantungan pada lengannya dan kini Ceng Ceng menggerakkan tangannya, mencengkeram kepala ular-ular itu yang menggigit lengannya, lalu sekali mengerahkan tenaganya, kepala tujuh ekor ular itu hancur dan bangkai ular itu dia lemparkan ke bawah. Sementara itu, ular-ular yang lain sudah menyerbu, akan tetapi gigitan mereka sama sekali tidak mempengaruhi apa-apa pada tubuh dara itu, bahkan dia lalu menggerakkan kaki tangan dan menginjaki kepala ular, menangkapi dan membanting sehingga ular-ular itu menjadi morat-marit dan kacau balau, banyak yang mati, sisanya lalu ketakutan dan mulai menjauhkan diri.
Anak perempuan yang tadi menari-nari kegirangan, kini menghentikan tariannya, memandang dengan mata terbelalak, kemudian melangkah maju. "Kau.... kau.... Â dapat mengalahkan ular-ularku....?"
Ceng Ceng menangkap kepala seekor ular yang sebesar lengannya dan panjangnya lebih dari satu meter, menggerakkan bangkai ular itu ke arah anak perempuan tadi.
"Plak! Plak!" Biarpun anak perempuan itu berusaha mengelak, tetap saja ekor ular itu menyabet kedua pipinya. Anak itu menangis dan menutupi mukanya!
Dingin kembali hati Ceng Ceng yang tadinya panas. Dia menghampiri dan mengelus kepala anak luar biasa itu. "Kau siapa dan mengapa kau di sini seorang diri?" tanyanya dengan suara halus.
Anak itu mengangkat mukanya memandang. Cantik benar wajah anak ini, hanya sayang kepucatan wajahnya mengerikan, seolah-olah tidak ada darah mengalir di bawah kulit itu.
"Engkau.... engkau tidak akan membunuh aku?" tanya anak itu.
Ceng Ceng tersenyum. "Ihh, mengapa aku harus membunuhmu?"
"Enci, engkau orang aneh, tidak seperti yang lain. Ayah tentu akan senang sekali bertemu denganmu."
"Siapa ayahmu, dan engkau siapa?"
"Namaku Kim Hwee Li, dan ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo!" Berkata demikian, anak itu memandang dengan sikap bangga. Akan tetapi kembali dia terheran-heran dan kecewa karena agaknya wanita yang dapat mengalahkan ular-ularnya itu sama sekali tidak kelihatan kaget. Memang Ceng Ceng selama hidupnya belum pernah mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam) itu, tentu saja dia tidak menjadi kaget. Dia tidak tahu bahwa iblis tua itu bukan lain adalah raja atau Ketua Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian hebat bukan main!
"Dimanakah ayahmu? Mengapa kau ditinggalkan di sini seorang diri?"
"Ayahku baru sibuk perang dengan orang-orang Lembah Bunga Hitam, mengatur anak buahnya. Aku bosan melihat perang selama tiga hari, maka aku pergi sendiri bermain-main di sini. Sini sepi tidak ada orang hidup, tidak ada lagi orang bertempur. Enci, apa kau tidak takut kepada ayahku? Ayahku ditakuti semua orang. Baru mendengar namanya saja, orang sudah lari ketakutan, akan tetapi kenapa engkau tidak lari?"
"Aku tidak takut kepada siapapun juga."
"Bagus! Kiranya engkau di sini, Hwee Li. Dan kau bertemu dengan seorang bocah sombong! Ha-ha-ha, jangan ditiru sikap sombongnya itu, karena sikap itu hanya akan mencelakakan."
Ceng Ceng cepat membalikkan tubuhnya dan dia terkejut. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang manusia seperti ini, amat menyeramkan. Laki-laki itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan ketika tertawa tadi, mulutnya terbuka memperlihatkan dua buah gigi panjang meruncing seperti taring singa, kedua lengannya yang tidak tertutup karena bajunya berlengan pendek itu penuh bulu yang kaku seperti jarum hitam, matanya liar dan mengandung sinar kejam dan buas seperti mata singa sedang marah. Diam-diam Ceng Ceng merasa heran bukan main. Orang yang buruk seperti setan ini memiliki seorang anak perempuan yang demikian manis dan mungilnya! Sungguh tidak patut!
"Jadi engkau adalah ayah dari Hwe Li! Hemm, seorang anak kecil dibiarkan bermain-main sendiri di tempat seperti neraka ini. Sungguh ayah yang tidak dapat mendidik dan menjaga anak!" Ceng Ceng berkata untuk membalas ejekan kakek raksasa itu, sedikit pun tidak mengenal takut.
"Wah-wah, Nona muda. Apa anakku tidak mengatakan siapa adanya ayahnya?"
"Sudah, Ayah. Akan tetapi enci ini hebat, dia tidak takut kepada Hek-tiauw Lo-mo!" tiba-tiba Hwe Li berseru.
Muka kakek itu berubah merah dan kedua matanya melotot lebar ketika memandang Ceng Ceng. "Kau tidak tahu siapakah Hek-tiauw Lo-mo?"
"Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku sama sekali!"
"Keparat sombong! Engkau tentu orang pihak Lembah Bunga Hitam!"
"Aku tidak mengenal Lembah Bunga Hitam. Aku kebetulan lewat di sini dan melihat akibat perang yang kotor dan keji, melihat anak kecil yang tidak terdidik baik-baik menyerangku dengan ular-ular beracun."
"Ha-ha-ha, engkau nona muda yang cantik, mulutmu kecil akan tetapi suaramu besar. Kau tidak takut kepada Pulau Neraka?"
"Aku tidak peduli dan tidak kenal Pulau Neraka!"
"Ha-ha-ha! Dan kau juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam?"
"Persetan dengan Lembah Bunga Hitam!"
"Ha-ha-ha-ha!" Ketua Pulau Neraka itu tertawa bergelak dan menjadi makin tertarik. Kalau tadi dia mendengar bahwa Pulau Neraka tidak ditakuti, dia agak mendongkol, akan tetapi sekarang mendengar bahwa dara muda jelita ini juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam yang menjadi lawannya, dia tertawa girang. "Ingin aku melihat muka Si Tua Bangka Hek-hwa Lo-kwi (Setan Tua Bunga Hitam) kalau mendengar bahwa Lembah Bunga Hitam tidak ditakuti oleh seorang bocah perempuan. Ha-ha-ha!"
"Ayah, Enci ini tentu saja tidak takut. Dia lihai sekali. Ular-ularku banyak yang mati dan sama sekali tidak berdaya menghadapinya!" tiba-tiba Hwe Li berkata.
"Apa....?" Ketua Pulau Neraka menjadi terkejut dan gembira. "Kiranya seorang nona muda yang lihai juga, ya? Tempat ini menjadi gelanggang pertandingan mengadu racun dan kau masih berani datang ke sini, bahkan kau telah mengalahkan ular-ular berbisa itu? Hemm, agaknya kau tidak takut racun, ya?"
Ceng Ceng tersenyum mengejek, teringat akan mendiang subonya yang menjadi datuk ilmu racun! "Hemm, racun adalah makananku sehari-hari!" katanya, bukan semata-mata untuk bersombong karena memang selama berada di neraka bawah tanah bersama subonya, boleh dibilang setiap hari dia disuruh makan racun! Itulah cara subonya membuat dia kebal akan racun, dan tentu saja menelan racun itu disertai ramuan obat dan totokan-totokan pada jalan darah tertentu.
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo menerimanya sebagai suatu kesombongan besar. Dia adalah Ketua Pulau Neraka yang terkenal sebagai tempat racun, dan dia adalah seorang ahli, maka mendengar kesombongan ini dia menjadi marah. "Bagus, kalau begitu makanlah ini!" Tangannya bergerak dan uap hitam menyambar dari tangan itu ke arah muka Ceng Ceng.
Ceng Ceng dapat mencium bau uap beracun itu, maka dia tahu racun apa yang dipergunakan kakek itu untuk menyerangnya. Dia tetap tersenyum, hanya miringkan sedikit kepalanya agar tidak terkena hawa pukulan yang menyambar dari tangan itu, dan uap hitam menyelimuti mukanya. Terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Uap hitam itu saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan tangguh, roboh dan pingsan, dan dia pun merasa yakin bahwa dara muda ini akan roboh pingsan pula. Akan tetapi, suara ketawanya berhenti dan dia terbelalak kaget ketika melihat setelah asap me mbuyar, gadis itu tetap saja berdiri tegak,
mukanya tetap berseri, juga matanya masih bersinar-sinar, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan padahal gadis itu tidak menahan pernapasannya dan jelas telah menyedot uap hitam itu.
"Kau dapat bertahan? Makanlah ini!"
Kakek itu kembali membentak dan kini dia membanting sesuatu di depan Ceng Ceng. Benda bulat putih itu meledak dan muncratlah cairan hijau yang mengeluarkan bau memuakkan. Cairan ini muncrat dan ketika mengenai tanah mengeluarkan suara mendesis dan mengeluarkan asap seolah-olah tanah yang terkena benda cair ini terbakar!
Ceng Ceng mengelak agar pakaiannya tidak terkena benda itu, akan tetapi kedua tangannya menyampok benda cair yang muncrat. Kedua tangan itu berlepotan benda cair hijau itu. Kembali Hek-tiauw Lo-mo terbelalak kaget. Benda cair itu adalah racun yang amat jahat dan segala benda, apalagi kulit daging, akan hancur membusuk terkena benda ini, akan tetapi kedua tangan nona itu yang berlepotan benda cair ternyata tidak apa-apa. Bahkan Ceng Ceng lalu membentak, "Kaumakanlah sendiri!" Kedua tangan nona itu bergerak dan benda cair yang berlepotan di tangannya memercik ke arah muka Hek-tiauw Lo-mo!
"Uhhhh....!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak kaget sekali, akan tetapi dia pun dapat menghindarkan diri dari percikan cairan hijau itu. Diam-diam dia menjadi terkejut sekali. Dia sendiri kalau harus menghadapi racun hijau pencabut nyawa itu harus menggunakan obat penawar lebih dulu karena racun ini terlalu berbahaya. Akan tetapi gadis itu dapat menangkisnya begitu saja, dengan seenaknya seolah-olah racun hijau itu bukan apa-apa! Dia menjadi penasaran. Mungkinkah gadis ini memiliki keahlian tentang racun yang melebihi dia? Tak mungkin!
"Kau hebat akan tetapi cobalah ini!" Kini Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua telapak tangan mendorong ke depan dengan cepat sekali. Ceng Ceng maklum bahwa itu merupakan pukulan beracun, maka dia yang melihat betapa cepatnya gerakan kakek ini, cepat mendorongkan kedua tangannya pula memapaki. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. Gadis itu berani memapaki pukulannya yang mengandung lima racun inti, pukulan yang disebut Ngo-tok-toat-beng-ciang (Pukulan Tangan Lima Racun Pencabut
Nyawa)! Padahal pukulannya ini amatlah ampuhnya, dahsyat dan jarang, bahkan belum pernah ada yang mampu menerimanya kecuali Ketua Lembah Bunga Hitam tentunya.
"Ha-ha-ha, sekarang engkau mampus, bocah sombong!" teriaknya. Di samping hawa beracun yang amat ganas ini, juga dia mengandalkan kekuatan sin-kangnya yang mendorong hawa beracun itu sehingga daya serang racun itu tidak perlu disangsikan lagi kedahsyatannya.
"Plak! Plakk!"
"Aihhh....?" Hek-tiauw Lo-mo kini benar-benar kaget. Tidak saja gadis itu berani menerima pukulannya dan jelas bahwa Ngo-tok-toat-beng-ciang tidak berbekas apa-apa, juga gadis itu ternyata memiliki sin-kang yang cukup tinggi sehingga mampu menangkis pukulannya tadi. Lebih lagi, dia merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal tanda bahwa telapak tangan gadis itu mengandung racun yang luar biasa dan agaknya tak dapat ditahan oleh kulit telapak tangannya yang kebal karena terisi ilmu pukulan beracun tadi! Cepat dia memasukkan kedua tangan ke dalam sakunya di mana sudah terdapat batu-batu mustika penawar racun, agar kedua tangan itu tidak sampai keracunan hebat.
Ceng Ceng tersenyum mengejek, "Bagaimana, Hek-tiauw Lo-mo?" katanya.
"Bocah sombong, kiranya engkau setan cilik beracun pula! Akan tetapi jangan kira Hek-tiauw Lo-mo kalah olehmu dalam keahlian racun. Coba kaubebaskan dirimu dari lingkaran racun api ini kalau mampu!" Tiba-tiba kakek itu bergerak lari memutari tempat Ceng Ceng berdiri. Dara itu terkejut menyaksikan betapa cepatnya kakek itu bergerak. Tadi dia sudah merasakan kehebatan tenaga sin-kang kakek itu, kini dia menyaksikan gin-kang yang amat hebat sehingga diam-diam dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang benar-benar amat sakti. Namun dia tidak menjadi gentar. Kalau hanya diserang dengan segala macam racun saja dia tidak akan takut! Maka sambil berdiri dengan tenang dia memandang lawan yang sambil berlari cepat mengelilinginya itu ternyata telah menaburkan semacam bubuk putih di atas tanah di sekitarnya.
"Ha-ha-ha-ha! Hendak kulihat bagaimana kau menghadapi racun api yang mengelilingimu!" Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan masih terus melangkah di sekeliling Ceng Ceng, agaknya siap untuk menyerang apabila dara itu melompat keluar dari lingkaran itu.
Ceng Ceng memandang ke bawah. Dia tahu racun macam apa itu yang kini mulai membara dan perlahan-lahan api itu memakan tanah dan merayap mendekatinya sehingga dengan cepat lingkaran api itu menjadi makin menyempit. Sebentar lagi tentu lingkaran itu akan mencapai kakinya dan membakarnya!
Dari dalam neraka di bawah tanah, ketika dia pergi meninggalkan tempat itu, Ceng Ceng telah membawa semua persediaan racun-racun ampuh milik subonya. Maka kini dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hitam, menjumput obat itu dan menaburkan di sekeliling tubuhnya dengan sikap tenang.
Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan penuh perhatian, dan mukanya berubah ketika dia melihat betapa api dari racun yang ditaburkannya tadi, ketika tiba di tempat yang sudah ditaburi obat bubuk hitam oleh Ceng Ceng, menjadi padam seketika! Padahal obat bubuk putihnya tadi adalah racun yang dapat membakar apa saja!
"Hemm, sekarang menangislah engkau!" Hek-tiauw Lo-mo membentak, tidak menggunakan ilmu sihir karena dia hendak menonjolkan keahliannya menggunaan racun, melainkan melemparkan bubuk hitam seperti uap ke arah muka Ceng Ceng. Dara ini mengenal pula bubuk yang membuat orang dapat menangis itu, akan tetapi karena dia tahu bahwa dirinya sudah kebal terhadap racun ini yang termasuk golongan menengah, tidak berapa kuat, dia tidak mengelak, hanya memejamkan mata sambil menerjang ke depan dan kini dia membalas dengan meludah ke arah Hek-tiauw Lo-mo! Bukan meludah biasa, karena ludahnya itu memercik lebar seperti hujan menyerang lawan.
Hek-tiauw Lo-mo yang hanya menyangka bahwa nona itu karena marahnya meludah untuk menghinanya, mengelak akan tetapi ketika punggung tangannya terkena percikan ludah, dia berteriak kaget, "Aduhhh....! Ihhh, keparat, sampai ludah-ludahnya pun beracun!" teriaknya kaget, cepat dia menggosok punggung tangan kirinya dengan batu mustika pemunah racun. Namun, tetap saja kulitnya terdapat titik-titik hitam sebagai bekas racun ludah itu!
Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan mata terbelalak lebar. Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli racun yang benar-benar amat lihai, bahkan mungkin melebihi kehebatan ilmunya tentang racun!
"Hebat.... hebat.... siapa mengira bahwa di dunia terdapat seorang ahli racun yang masih begini muda dan hebat! Aihh, orang harus mengenal batas kemampuannya dan mengakui keunggulan seorang ahli. Agaknya pengetahuanmu dalam hal racun tidak kalah olehku, Nona. Akan tetapi ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu silatmu!" Setelah berkata demikian, kakek itu menerjang maju, kini menggunakan ilmu silatnya untuk menerjang Ceng Ceng.
Sekali ini Ceng Ceng menjadi kelabakan! Tentu saja dia menjadi repot sekali menghadapi serangan seorang ahli seperti Hek-tiauw Lo-mo yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi! Padahal Ceng Ceng hanyalah memiliki kepandaian yang belum berapa tinggi, hanya berkat latihan dari kakeknya, sedangkan di waktu dia menjadi murid Ban-tok Mo-li, dalam waktu hanya tiga bulan itu dia lebih banyak melatih diri dengan ilmu tentang racun dan pukulan-pukulan beracun serta kekebalan terhadap racun. Kalau dia diserang dengan racun dia dapat menghadapi dengan enak saja, kini diserang dengan ilmu silat tinggi, dia menjadi sibuk dan biarpun dia berusaha menghindarkan diri dengan elakan, tangkisan, bahkan sedapat mungkin membalas, namun dalam waktu dua puluh jurus saja dia sudah dapat dirobohkan dalam keadaan tertotok lemas dan lumpuh kaki tangannya!
"Ha-ha-ha-ha, kiranya ilmu silatmu tidak seberapa tinggi, tidak akan mampu menandingi seorang pembantuku di Pulau Neraka!" kata kakek itu. "Akan tetapi ilmu pengetahuanmu tentang racun hebat maka sayang kalau kau dibunuh. Hwee Li, bawa dia pulang, suruh para paman menjaga baik-baik agar dia tidak sampai lolos. Aku masih banyak urusan mengatur penyerbuan ke lembah!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah tubuh kakek raksasa itu sehingga Ceng Ceng menjadi terkejut dan kagum sekali. Dia tidak merasa penasaran dikalahkan oleh kakek tadi karena memang kepandaian kakek itu agaknya tidak kalah oleh tingkat kedua orang kakek kembar sekalipun!
Anak perempuan itu menghampiri Ceng Ceng yang masih rebah telentang dalam keadaan kaki tangannya lumpuh dan lemas, tersenyum manis dan matanya berseri-seri penuh sikap menggoda. "Wah, kau mengecewakan aku, Enci. Ketika kau mengalahkan semua ularku, kau hebat dan aku kagum, akan tetapi ternyata melawan Ayah, sebentar saja kau roboh seperti orang yang amat lemah."
Sejak kakek yang lihai tadi pergi, Ceng Ceng sudah memutar otaknya mencari akal. Tidak mungkin dia yang baru saja terbebas dari maut di dalam neraka bawah tanah, kini harus mandah saja terjatuh ke tangan kakek sakti itu. Dia harus mencari akal agar dapat lolos lagi dari bahaya maut. Sudah terlalu sering dia dicengkeram bahaya maut yang ganas sekali. Ketika bersama Syanti Dewi terkepung dan dikejar-kejar, ketika hanyut ke dalam sungai, kemudian ketika dia terjungkal ke dalam sumur maut, lalu jatuh ke tangan nenek gila Ban-tok Mo-Li, bahkan ketika dia hendak dibunuh oleh Siang Lo-mo. Semua bahaya itu dapat dihindarkannya, maka kini pun dia harus dapat membebaskan diri!
"Hwee Li, jadi engkau adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo?"
"Ya, aku puteri tunggalnya. Ayahku adalah Ketua Pulau Neraka. Hebat ya ilmu kepandaiannya?"
Ceng Ceng mencibirkan mulutnya, "Huh, hebat apa? Tidak lihatkah engkau tadi betapa dia kalah oleh aku dalam hal keahlian tentang racun?"
Anak perempuan itu mengangguk. "Ya, akan tetapi akhirnya engkau toh kalah dan dirobohkan, kau mengecewakan hatiku, Enci."
"Hwee Li, engkau suka akan kegagahan?"
"Tentu saja!"
"Ayahmu memang tinggi ilmu silatnya, akan tetapi dia belum lihai kepandaiannya tentang racun. Andaikata aku memiliki tingkat ilmu silat seperti dia, apakah dia tidak sudah tewas sekarang dan kalah olehku?"
Hwee Li agaknya seorang anak yang cerdas. Dia mengangguk dan berkata, "Akan tetapi ilmu silatmu amat rendah, Enci...."
"Memang harus kuakui itu. Akan tetapi keahlianku tentang racun jauh melebihi ayahmu. Hwee Li, apakah kau kelak ingin menjadi seorang yang terpandai di dunia, tanpa ada yang mengalahkanmu?"
"Tentu saja! Ayahku bilang, kalau aku berlatih dengan tekun dan kelak mewarisi semua ilmu ayahku, aku tentu akan menjadi seorang paling pandai nomor satu di dunia."
"Ayahmu bohong! Andaikata ayahmu memiliki ilmu silat nomor satu di dunia, tetap saja dia tidak dapat membikin kau menjadi ahli nomor satu kelak, karena kalau kau bertemu dengan ahli racun nomor satu di dunia, kau akan celaka. Kau baru benar-benar bisa menjadi orang paling pandai kalau selain mewarisi ilmu silat ayahmu engkau juga mewarisi ilmu tentang racun dariku!"
Anak itu mengerutkan alisnya dan mengangguk, "Omonganmu benar juga, Enci."
"Tentu saja benar. Kalau kau mau menjadi muridku kelak untuk mempelajari ilmu tentang racun, kau akan menjadi ahli racun nomor satu di dunia, tidak ada yang melawan lagi."
"Sebabnya?"
"Karena aku adalah murid dan pewaris ilmu-ilmu dari datuk ahli racun Ban-tok Mo-li...."
"Aihhhh....! Ayahku sudah lama menyebut-nyebut nama ini, mengatakan sayang bahwa wanita ahli racun nomor satu di dunia itu lenyap."
"Memang lenyap bagi dunia umum, akan tetapi tidak bagiku. Aku menjadi muridnya dan pewaris ilmu-ilmunya dan karena sekarang dia telah meninggal dunia, aku adalah ahli nomor satu di dunia, dan kelak engkau yang akan mewarisi kalau engkau suka menjadi muridku."
"Tentu saja aku suka sekali!" jawab Hwee Li dengan wajah girang.
"Kalau begitu, kau kuterima sebagai murid dan kelak setelah kau tamat belajar ilmu silat dari ayahmu, aku akan mulai mengajarmu tentang ilmu racun. Tapi lebih dulu harus bebaskan aku agar aku dapat menerima penghormatan sebagai muridku."
Hwee Li memang cerdik sekali. Dia memandang ragu. "Akan tetapi, bagaimana kalau kelak kau melanggar janji dan kaupergunakan janji ini hanya untuk menipu aku agar kau dapat bebas?"
Ceng Ceng memaki di dalam hatinya akan kecerdikan anak ini. "Bodoh!" bentaknya. "Apakah ayahmu sebagai ahli nomor satu dalam ilmu silat juga suka membohongi orang dan melanggar janji?"
"Tentu saja tidak."
"Nah, aku pun sebagai ahli racun nomor satu, mana sudi melanggar janji? Hayo cepat kaubebaskan aku, apakah kau bisa menotok?"
"Aku sudah belajar ilmu menotok dari Ayah, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana harus membebaskan totokan Ayah pada tubuhmu."
"Mudah saja, asal engkau sudah dapat menggunakan jari tanganmu untuk menotok. Kautotoklah jalan darah di bawah tengkukku, dengan dua jari."
Hwee Li mendorong tubuh Ceng Ceng menjadi miring, kemudian dia menotok tempat itu.
"Dukk!"
Ceng Ceng menyeringai kesakitan. "Kurang ke atas sedikit...." keluhnya.
Hwee Li kembali menotok, agak ke atas. Akan tetapi mula-mula totokannya tidak berhasil membebaskan Ceng Ceng, malah mendatangkan rasa nyeri. Akan tetapi setelah diulang-ulang sampai lima kali, akhirnya totokan itu ada hasilnya dan kedua lengan Ceng Ceng dapat digerakkan sedikit akan tetapi jalan darahnya belum mengalir dengan sempurna. Dia lalu mengerahkan sin-kangnya mendorong dari dalam dan berhasillah dia. Setelah kedua lengannya bebas, dia mengumpulkan tenaga lalu menotok bawah punggungnya sendiri untuk membebaskan kedua kakinya.
"Aihhh....!" Dia bangkit duduk sambil mengelus-elus tempat yang ditotok Hwee Li tadi.
"Sekarang aku menjadi muridmu, Enci."
"Ya, kaulakukanlah upacara pengangkatan guru, berlutut dan memberi hormat delapan kali!"
Hwee Li lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng yang sudah bangkit berdiri, memberi hormat sampai delapan kali sambil menyebut, "Subo....!"
Begitu selesai memberi hormat, anak itu cepat meloncat bangun dan berkata, "Subo, sekarang tiba giliranmu untuk mengucapkan janji kepadaku!"
Ceng Ceng tersenyum. Memang dia sudah merasa suka. kepada anak kecil ini dan andaikata kelak mereka dapat saling jumpa kembali, agaknya dia tidak akan keberatan untuk menurunkan ilmu kepada anak yang cerdas ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun berkata, "Aku berjanji...."
"Nama Subo siapa, harap sebutkan agar aku tidak lupa."
Ceng Ceng tersenyum dan memandang kagum. Anak ini kelak akan menjadi seorang yang hebat, pikirnya. "Aku Lu Ceng, berjanji bahwa kelak, kalau Kim Hwee Li telah mempelajari ilmu silat dari ayahnya, aku akan mengajarkan ilmu tentang racun kepadanya sebagai muridku yang baik."
Hwee Li tertawa girang. "Subo, mari sekarang kita pergi ke tempat yang dijadikan benteng ayahku dan para anak buah Pulau Neraka. Aku tanggung tidak akan ada yang berani mengganggumu setelah mereka tahu bahwa engkau adalah guruku."
"Tidak, Hwee Li. Aku harus pergi dulu, kelak kita akan bertemu kembali."
Anak itu menghela napas. "Akan tetapi ingatlah Subo. Kalau aku sudah tamat belajar dari Ayah dan Subo tidak datang mencariku, aku yang akan pergi mencarimu."
Ceng Ceng tersenyum, memegang dagu yang manis itu. "Engkau muridku yang baik, tentu kelak kita akan saling berjumpa. Percayalah. Nah, selamat tinggal, Hwee Li!" Ceng Ceng lalu cepat meloncat jauh dan berlari pergi dari situ, menuju ke selatan. Dia harus cepat pergi karena kalau sampai ayah anak itu datang kembali, belum tentu dia akan dapat menghindarkan diri dengan mudah dari kekuasaan kakek yang sakti itu.
Biarpun dia melakukan perjalanan cepat, namun Ceng Ceng selalu bersikap hati-hati sekali karena dia maklum bahwa dia makin mendekati daerah berbahaya, yaitu Lembah Bunga Hitam. Jalan mulai mendaki dan tidak tampak lagi ada dusun. Keadaan amat sunyi melengang, sunyi yang menegangkan karena di dalam kesunyian ini seolah-olah maut mengintai di mana-mana, di balik batu, di atas pohon, di dalam jurang. Dan memang maut mengintai di mana-mana berupa binatang berbisa, racun-racun yang tersebar dan tercecer di mana-mana, jebakan-jebakan yang berisi ular, paku-paku berkarat dan beracun yang dipasang orang di mana-mana di tempat yang tak tersangka-sangka. Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng dapat terhindar dari semua itu dan akhirnya tibalah dia di luar pintu gerbang sebuah dusun yang kelihatan amat sunyi melenggang, dimana pohon-pohonnya banyak yang rontok dan mengering, rumah-rumah tembok kokoh kuat tanpa penghuni. Dia memasuki pintu gerbang itu dan jantungnya berdebar tegang. Memang menyeramkan sekali keadaan di dusun itu. Inilah agaknya Lembah Bunga Hitam, karena mulai tampak olehnya rumpun tetanaman yang kembangnya hitam kecil-kecil yang mengeluarkan bau yang jelas mengandung racun yang amat berbahaya! Dengan hati-hati Ceng Ceng berjalan terus dan tiba-tiba dia meloncat, menyelinap di balik semak-semak karena dia melihat ada beberapa orang di depan. Dari tempat sembunyiannya dia mengintai dan betapa herannya melihat sebuah kerangkeng di mana terdapat seorang laki-laki yang kepalanya tersembul di luar kerangkeng, kaki tangannya terbelenggu dan laki-laki itu mukanya merah sekali.
Kerangkeng itu bentuknya seperti kerangkeng yang biasa dipakai untuk mengangkut seorang tawanan. Ada empat orang yang menjaga di dekat kerangkeng, seorang lagi berdiri agak jauh, mungkin orang ke lima ini menjaga kalau-kalau ada musuh yang muncul dari arah selatan.
Ceng Ceng merasa tertarik sekali, lalu dia menyelinap di balik pohon dan semak-semak, mendekati. Tak jauh dari tempat itu dia melihat sebuah sumur tua, dan tiba-tiba sekali, hampir tidak tampak olehnya kalau saja dia tidak sedang memperhatikan sumur itu, dia melihat bayangan berkelebat cepat sekali memasuki sumur itu! Keheranan dan kecurigaannya timbul. Mungkin dia salah lihat, pikirnya, akan tetapi sumur itu merupakan tempat yang tepat untuk mengintai dan bersembunyi, dan tidak ada jeleknya untuk memeriksa apakah benar bayangan tadi memasuki sumur. Dia menyelinap makin dekat dan akhirnya dia meloncat ke dalam sumur tua, berpegang pada bibir sumur yang terbuat dari batu-batu besar. Mudah saja baginya untuk bersembunyi di situ, karena dari jauh tadi pun sudah tampak betapa dinding sumur besar itu terbuat dari tumpukan batu-batu yang tidak rata.
Ketika dia menjenguk ke bawah, tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri karena kembali dia melihat bayangan orang berkelebat, sekarang di dasar sumur itu dan lenyap. Benarkah ada orangnya di bawah sana yang gelap dan hitam itu? Ataukah dia sudah salah lihat? Agaknya tidak mungkin ada orang di dalam sumur ini, pikirnya dan perhatiannya segera ditujukan lagi ke luar sumur, ke arah kerangkeng di mana seorang laki-laki terbelenggu itu. Kini nampak jelas wajah laki-laki yang tertawan itu. Wajah yang gagah bukan main, dan masih muda, akan tetapi kulit muka itu merah seperti terbakar dan matanya menyorotkan sesuatu yang amat aneh.
Tiba-tiba Ceng Ceng merasa jantungnya berdebar tegang. Pemuda tampan itu seperti pernah dijumpainya! Tampan dan gagah! Tak salah, pernah dia berjumpa dengan pemuda yang berada di dalam kerangkeng itu. Kalau tak salah...., ya, di dalam pasar kuda! Ketika dia menjual-belikan kuda, bersama Panglima Souw Kwee It, di dalam pasar itu terdapat dua orang pemuda yang menarik perhatiannya. Dua orang pemuda tampan. Tentu seorang di antara mereka itulah yang kini berada di dalam kerangkeng ini. Teringat akan sikap dua orang pemuda itu, yang memandang kagum kepadanya ketika di pasar dahulu, timbul keinginan hati Ceng Ceng untuk menolong pemuda di dalam kerangkeng ini.
Empat orang penjaga yang dekat dengan kereta itu bertubuh biasa saja, akan tetapi sinar mata mereka seram, membayangkan kekejaman hebat. Juga sikap mereka aneh, yang seorang malah tidak bersepatu, dan kadang-kadang mereka itu sama sekali tidak bergerak seperti arca. Tiga orang duduk di atas tanah, seorang berdiri dan seorang lagi berdiri jauh dari kerangkeng. Kalau aku serang mereka dan terjadi pertempuran, tentu kawan-kawan mereka akan berdatangan dan kalau banyak orang datang mengeroyok, akan gagallah usahaku menolong. Lebih baik dengan mendadak kubebaskan dia, agar dapat melarikan diri, pikir Ceng Ceng. Ceng Ceng lalu bergerak naik dan meloncat keluar dari dalam sumur dengan hati-hati sekali, lalu dia mengeluarkan gin-kangnya berloncatan ke arah kerangkeng itu. Dia terkejut karena melihat betapa lima orang penjaga itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah mereka itu benar-benar telah berubah menjadi arca betul! Akan tetapi dia tidak mau peduli lagi, cepat menghampiri kerangkeng.
"Eh.... oh.... mau apa kau....?" Pemuda di dalam kerangkeng melihat Ceng Ceng menghampirinya.
Mendongkol juga hati Ceng Ceng mendengar pertanyaan ini. "Tidak apa-apa," jawabnya dingin. "Hanya ingin membebaskan kau dari dalam kerangkeng ini, yaitu kalau kau mau."
"Tidak....! Tidak....! Jangan lakukan itu, lekas kau lari dari sini kalau kau sayang jiwamu!" Ceng Ceng menjadi makin mendongkol lagi. Wataknya memang keras dan suka melawan, makin dikeras dia makin berani dan nekat.
"Manusia tak mengenal budi! Aku nekat hendak menolong kau malah menolak. Aku tetap hendak menolongmu, hendak kulihat kau mau bisa menolak atau tidak!" Dia sudah menggerakkan tangan hendak membongkar kerangkeng itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan keras dan lima orang penjaga itu sudah datang berlari-lari lalu menyerangnya kalang kabut!
"Nona, siapapun adanya engkau, lekas larilah!" Kembali pemuda di dalam kerangkeng berteriak keras. Akan tetapi, andaikata tadinya Ceng Ceng berniat untuk lari, mendengar kata-kata ini saja sudah cukup baginya untuk merobah niatnya itu. Dia menghunus pedang Ban-tok-kiam, memutar pedang itu dan menangkis serangan lima orang yang menggunakan senjata golok dan pedang. Terdengar suara nyaring dan lima orang itu meloncat ke belakang, seorang di antara mereka terus roboh terkena hawa beracun dari Ban-tok-kiam.
"Pedang hebat....!" Empat orang yang lain memuji karena sebagai anggauta Lembah Bunga Hitam tentu saja mereka mengenal senjata beracun yang amat berbahaya itu.
"Baik, kalau kalian sudah mengenal pedangku agar tidak mati penasaran. Majulah!" Ceng Ceng memegang sambil mengerling ke arah pemuda dalam kerangkeng dengan senyum mengejek dan menantang. Kerling dan senyumnya seperti berkata, "Aku tetap hendak melawan, kau mau apa!"
Akan tetapi mendadak Ceng Ceng melongo karena dia melihat empat orang lawannya itu sama sekali tidak bergerak lagi, seperti tadi, seolah-olah berubah menjadi patung! Melihat ini, dia tidak membuang waktu lagi, cepat dia menghampiri kerangkeng untuk membebaskan pemuda itu.
"Jangan, Nona. Lekas kau pergi. Mereka itu terkena hawa beracun yang membuat mereka sebentar sadar sebentar tidak seperti itu. Lekas pergi, kalau sampai ketahuan ketua lembah, lari pun akan terlambat bagimu!"
Ceng Ceng memandang dengan cemberut. "Kau ini cerewet benar, sih! Kau tidak ingin keluar dari kerangkeng, akan tetapi aku justeru ingin membebaskanmu!"
"Jangan.... jangan.... aku.... aku keracunan.... pergilah saja, Nona!" pemuda itu kembali berkata, wajahnya makin merah dan matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.
"Uh, cerewet! Tranggg....!" Ceng Ceng terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi menggunakan pedangnya membacok pinggiran kerangkeng, akan tetapi kerangkeng itu tiba-tiba miring dan pedangnya bertemu dengan bagian yang dilapis baja. Pemuda di dalam kerangkeng itu ternyata telah menggerakkan dirinya sehingga kerangkeng itu miring dan selain pinggiran baja, juga dia telah menangkis pedang itu dengan belenggu!
"Manusia tak mengenal budi! Kau bersikap hendak mempertahankan diri supaya tidak bisa bebas, ya? Dan aku pun berkeras hendak menghancurkan kerangkeng ini!" Dia mendesak lagi.
"Trang-trang-trakk....!"
Ceng Ceng kaget. Pedangnya menembus bagian kayu dari kerangkeng itu, akan tetapi selalu bertemu dengan belenggu baja. Pemuda ini ternyata berkepandaian tinggi, kalau tidak, mana mungkin dalam keadaan terbelenggu, di dalam kerangkeng pula, dapat menangkis pedangnya? Pula, pedangnya adalah pedang Ban-tok-kiam, bagaimana pemuda itu mampu menangkis begitu saja dan setiap tangkisan membuat lengan kanannya tergetar hebat? Akan tetapi, hal ini malah menambah kemarahannya!
Tiba-tiba empat orang itu bergerak lagi dan berseru keras menerjang. Akan tetapi, tiba-tiba secara beruntun mereka roboh terjengkang dan tidak bergerak lagi, entah mengapa.
"Nona, lekas pergi... ketua lembah datang....!" Pemuda di dalam kerangkeng itu berseru, Ceng Ceng memandang dan melihat gerombolan orang yang jumlahnya paling sedikit ada dua puluh orang berlari-lari datang. Dia tidak takut, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan menang menghadapi begitu banyak orang, yang membuat dia mendongkol adalah bahwa kekalahannya itu membuat dia tidak akan berhasil membebaskan Si Pemuda! Memang terjadi perubahan aneh di dalam watak Ceng Ceng setelah dia menjadi murid Ban-tok Mo-li dan setelah kini tubuhnya mengandung racun! Perubahan yang membuat dia keras hati, keras kepala, dan aneh tidak lumrah. Dia bukan takut kalau dia kalah dan terluka atau tewas, melainkan khawatir kalau-kalau tidak berhasil membebaskan pemuda itu yang makin diinginkannya begitu pemuda itu menolaknya.
"Kau pergi bersamaku!" katanya dan dia lalu mendorong kerangkeng yang beroda itu secepatnya pergi dari tempat itu!
"Wah-wah-wah.... mana bisa melarikan diri kalau mendorong kereta? Kau bocah bandel, keras kepala! Lepaskan kerangkeng, dan larilah!" pemuda itu meronta-ronta sehingga terasa berat sekali kerangkeng itu. Namun, makin dimarahi, makin marah pulalah hati Ceng Ceng dan dia makin nekat mendorong kereta itu keluar dari dusun itu.
Ceng Ceng mendengar pemuda itu mengomel akan tetapi tidak meronta-ronta lagi. Dan dia pun merasa heran mengapa dua puluh lebih orang tadi tidak juga dapat menyusulnya padahal larinya dengan cara mendorong kerangkeng itu tidak dapat dikatakan cepat? Huh, kalau begitu Ketua Lembah Bunga Hitam hanya mempunyai nama kosong belaka, pikirnya. Akan tetapi dia mempercepat larinya, lalu membelokkan kerangkeng, memasuki daerah di mana pegunungan itu mempunyai banyak batu-batu besar dan banyak guha-guha. Akhirnya dia mendorong kerangkeng memasuki sebuah di antara guha-guha itu.
"Hemm, hendak kulihat siapa di antara kita yang menang. Aku yang akan membuka kerangkeng atau engkau yang hendak mempertahankan diri di dalam kerangkeng seperti binatang!" kata Ceng Ceng dan mulailah dia menggunakan pedangnya untuk membacok-bacok kerangkeng.
Pemuda itu kini mukanya makin merah, matanya melotot ketakutan, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata lagi, hanya sering kali dia mendengus dan mengeluh seolah-olah menderita sakit hebat. Ceng Ceng pun tahu bahwa pemuda ini keracunan, dan justeru karena itulah dia ingin membebaskannya, agar dia dapat memeriksanya dan memberinya obat. Sambil mendengus dan berusaha mengelakkan kerangkengnya dari sabetan pedang, pemuda itu memandang Ceng Ceng dengan mata berapi penuh kemarahan, kadang-kadang menggerakkan belenggunya untuk menangkis. Bahkan satu kali pemuda itu dapat menggerakkan kerangkengnya secara keras sekali sehingga tubuh Ceng Ceng terdorong dan roboh telentang! Tentu saja dara itu menjadi makin marah, menyimpan pedangnya, menubruk kerangkeng yang sudah patah-patah itu dan akhirnya dia berhasil merenggut dan kerangkeng itu cerai-berai, pemuda itu terguling keluar dan bebas dari kerangkeng, akan tetapi dengan kaki tangan terbelenggu yang disambung rantai panjang.
"Oughhhh....!" Pemuda itu mendengus keras, tubuhnya mencelat dan dengan gerakan luar biasa sekali dia telah meloncat bangun. Ceng Ceng memandang bengong dan penuh takjub dan kagum. Pemuda itu memiliki tubuh seperti seekor singa jantan yang amat kokoh kuat dan tegap, tinggi besar dan pakaiannya yang compang-camping itu memperlihatkan sebagian kulit tubuh yang putih dengan otot-otot yang kekar. Seorang jantan yang memiliki tubuh kuat dan mengagumkan. Belum pernah selama hidupnya Ceng Ceng melihat seorang pria seperti ini, maka dia terlongong kagum. Dan sekarang jelas baginya bahwa pemuda ini sama sekali bukan seorang di antara dua orang pemuda yang pernah dijumpainya di pasar kuda. Bukan, pemuda ini jauh lebih tua dari mereka. Pemuda ini tentu sudah lewat dua puluh tahun usianya, dan pada wajahnya nampak garis-garis tanda bahwa semasa mudanya pemuda ini mengalami banyak kesukaran hidup. Wajah yang tampan dan gagah namun tertutup oleh warna merah mengerikan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan kini memandang kepada Ceng Ceng dengan aneh.
"Oughhhh....!" Kembali dia mengeluh, tubuhnya gemetar, matanya dipaksa-paksa untuk dipejamkan, kedua tangan mengepal tinju dan belenggu di kaki tangannya berbunyi berkerincingan. Agaknya pemuda itu sedang menderita hebat, bahkan seperti terjadi pergulatan hebat di sebelah dalam dirinya.
Ceng Ceng yang sudah meloncat bangun dan memandang penuh perhatian itu, memandang penuh selidik dan biarpun dia belum memeriksa langsung, memandang keadaan pemuda itu dia sudah dapat menduga dan berseru, "Kau keracunan, racun yang membuat darahmu menjadi panas dan.... ehh.... haili....!" Ceng Ceng berteriak kaget karena tiba-tiba pemuda itu menubruknya!
"Gila kau....!" Ceng Ceng membentak sambil mengelak ke kiri. Akan tetapi begitu tubrukannya luput, pemuda itu sudah dapat membalik dan menubruk lagi dengan gerakan yang bukan main cepatnya. Ceng Ceng kembali mengelak, akan tetapi dia kalah cepat maka dia membarengi dengan tangkisannya pada kedua lengan tangan yang hendak menangkapnya itu.
"Dukkk.... ihhhh....!" Ceng Ceng terhuyung dan menjadi marah sekali. Dia telah mengerahkan sin-kangnya ketika menangkis tadi, namun dia masih saja terhuyung tanda bahwa pemuda itu selain memiliki gerakan cepat, juga memiliki tenaga yang amat kuat!
"Keparat!" Dia memaki, marah sekali. Orang yang telah ditolongnya dan dibebaskannya itu membalas dengan serangan. Dengan kemarahan memuncak, kini Ceng Ceng membalas dengan pukulan keras dan beruntun, cepat sekali kedua tangannya menyambar ke arah pelipis dan menurun ke lambung dari kanan kiri, dan selain cepat dan kuat, dia juga mengerahkan tenaga yang mengandung racun.
"Ouhhhh....!" Kembali laki-laki itu mengeluarkan suara keluhan dalam, akan tetapi dengan sigapnya, biarpun kaki tangannya dibelenggu, dia dapat mengelak dan menangkis semua pukulan serangan Ceng Ceng. Dara itu makin terkejut karena dia memperoleh kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini hebat bukan main, biarpun dibelenggu kaki tangannya namun agaknya tidak kalah oleh Hek-tiauw Lo-mo! Ketika dia menerjang lagi dan kedua tangannya memukul dada dan perut, pemuda itu tidak mengelak sama sekali.
"Dukkk! Desss!" Dada dan perut pemuda itu terkena pukulannya yang mengandung racun, akan tetapi ada hawa sin-kang kuat yang membuat kedua tangannya terpental kembali dan kedua lengannya seperti lumpuh seketika. Dan sebelum dia sempat bergerak lagi, tahu-tahu kaki pemuda itu telah menyambar kakinya sendiri dan sekali lagi Ceng Ceng roboh terguling!
"Keparat, kau sudah bosan hidup!" bentaknya sambil meloncat bangun dan dengan pedang Ban-tok-kiam di tangan dia menyerang lagi. Akan tetapi sebelum dia sempat menusuk, tiba-tiba pemuda itu sudah mendahuluinya, dengan gerakan aneh sekali kedua lengannya bergerak, rantai belenggu mengeluarkan bunyi berdencing nyaring menulikan telinga, lenyap bentuk rantainya dan berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dahsyat didahului oleh angin pukulan yang amat kuat ke arah kepala Ceng Ceng.
Tentu saja Ceng Ceng menjadi terkejut sekali melihat serangan maut yang amat dahsyat ini, secepatnya dia mengelak ke samping akan tetapi tiba-tiba lengan tangannya yang memegang pedang menjadi lemas, pedangnya terlepas dan jatuh ke lantai guha karena entah bagaimana caranya, pergelangan tangannya telah kena ditotok oleh jari tangan pemuda itu.
"Aihhh....!" Ceng Ceng menjerit akan tetapi kembali sinar hitam rantai belenggu menyambar ke bagian tubuhnya. Dia membuat gerakan mengelak ke belakang, namun tiba-tiba dia sudah roboh tertotok dalam keadaan lemas dan telentang di atas lantai. Dan pemuda itu dengan mata mengeluarkan sinar mengerikan lalu menubruknya, memeluk dan menciumi mukanya.
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati Ceng Ceng, bercampur dengan rasa malu yang membuat dia hampir pingsan. Dia tidak mampu melawan lagi, tubuhnya sudah lemas dan menjadi lebih lemas dan gemetar saking tegangnya ketika dia merasa betapa hidung dan bibir yang amat panas itu, yang mendengus-denguskan napas yang memburu, merayapi seluruh mukanya. Lehernya, telinganya, matanya, dahinya, hidungnya dan kemudian bibirnya diciumi oleh pemuda itu! Jerit tertahan mencekik leher Ceng Ceng. Selama hidupnya, belum pernah dia dicium pria, apalagi dicium bibirnya seperti itu, ciuman penuh nafsu yang seolah-olah
membetot semangat dari tubuhnya! Dalam keadaan setengah pingsan Ceng Ceng memejamkan matanya ketika bibir yang panas itu mencium mulutnya, kemudian mendadak muka orang itu terangkat dan menjauh.
Dia memaksa diri memicingkan mata dan melihat betapa pemuda itu berlutut, menutupi muka dan seperti orang menangis! Kemudian pemuda itu mendengus aneh dan meloncat berdiri, menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh duka, lalu sekali meloncat dia lenyap berberkelebat keluar guha!
Ceng Ceng mengeluarkan keluhan panjang dan air matanya bergerak menuruni kedua pipinya. Hatinya lega bukan main. Nyaris dia mengalami hal yang amat mengerikan dan yang hanya dapat dia bayangkan di dalam mimpi buruk saja. Ngeri dia membayangkan hal itu, dan kegelapan hatinya untuk sementara menghapus bayangan pengalaman tadi ketika dia diciumi oleh pemuda itu. Akan tetapi dia masih tidak berdaya, dia masih tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Dia tidak tahu apakah bahaya sudah tidak ada lagi. Baru saja dia terbebas dari bahaya yang leblh mengerikan daripada kematian, akan tetapi bagaimana kalau para pengejar, ketua lembah dan orang-orangnya secara tiba-tiba muncul di situ selagi dia masih belum mampu bergerak? Bagaimana kalau orang-orang lembah yang ganas dan kejam itu mengganggunya.
"Uhuuuhhh...." Ceng Ceng terisak penuh rasa takut. Selama hidupnya baru tadi ketika dia dipeluk dan diciumi dia merasa ngeri dan ketakutan yang lebih hebat lagi. Sukar untuk membayangkan dia diganggu oleh orang-orang lembah. Lebih hebat daripada tadi!
"Keparat kau.... keparat kau....!" Dia memaki-maki pemuda itu yang meninggalkan dia seperti itu. Dia telah menolong pemuda itu, kenapa pemuda itu berbalik memperlakukannya seperti itu? Dan kini meninggalkannya dalam keadaan tertotok dan sama sekali tidak berdaya?
"Hekkk....!" Napas Ceng Ceng terhenti dan matanya memandang terbelalak keluar guha. Tampak bayangan orang di luar guha, bayangan yang perlahan-lahan datang mendekat! Bayangan orang lembah? Makin dekat bayangan itu makin ngeri rasa hati Ceng Ceng. Dia berusaha mengerahkan sin-kangnya untuk membebaskan diri dari totokan, namun sia-sia belaka. Dia tidak berani bersuara bahkan napas pun ditahan agar jangan mengeluarkan bunyi. Akhirnya bayangan itu muncul di depan guha dan ternyata adalah pemuda tadi! Rambutnya awut-awutan, mukanya merah dan matanya kembali mengeluarkan sinar aneh yang berapi-api.
Dengan langkah satu-satu pemuda itu menghampiri Ceng Ceng, langkah yang seolah-olah terjadi di luar kehendaknya. "Jangan.... ah, jangan...." Ceng Ceng merintih perlahan sambil memandang dengan muka penuh ketakutan.
Pemuda itu kelihatan bingung, menjadi makin beringas dan sudah berlutut di dekat Ceng Ceng. Sampai hampir pecah rasa dada Ceng Ceng karena jantungnya berdebar keras penuh ketegangan. Pemuda itu menggerakkan tangannya sehingga rantai belenggu berdencingan, lalu jari-jari tangannya mengelus pipi Ceng Ceng. Dara ini mengeluh dan memejamkan matanya lagi, kemudian dikeraskan hatinya dan dia membuka mata lalu memaki, "Keparat laknat! Apa yang akan kaulakukan? Tidak malukah engkau? Aku telah berusaha menolongmu dan kau membalasnya dengan penghinaan seperti ini? Manusia macam apa engkau? Laki-laki macam apakah engkau ini?"
Kemarahan mengusir semua rasa takut dan ngeri dan kini Ceng Ceng memandang dengan mata bersinar-sinar. Pemuda itu seperti terpukul oleh dampratan itu, dia bangkit berdiri lagi, meragu dan tiba-tiba tangannya bergerak menampar kepalanya sendiri, lalu membalikkan tubuh dan terhuyung pergi ke pintu guha. Hati Ceng Ceng menjadi lega.
Tiba-tiba Ceng Ceng menjadi pucat. Sampai di pintu guha, pemuda itu berhenti, perlahan-lahan membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh gairah berahi, kemudian mengeluarkan suara keluhan dalam di kerongkongannya lalu.... meloncat seperti seekor harimau menerkam ke arah tubuh Ceng Ceng! Ceng Ceng menjerit akan tetapi mulutnya tersumbat ciuman dan ketika jari-jari tangan pemuda itu bekerja, Ceng Ceng merintih dan pingsan tidak ingat apa-apa lagi!
Apa bedanya manusia dengan binatang kalau kesadarannya lenyap? Kesadaran lenyap menghilangkan pengertian, dan yang tinggal hanyalah kekerasan berdasarkan dorongan kebutuhan jasmaniah belaka, seperti binatang. Naluri yang ada hanyalah naluri kebutuhan badan. Demikian pula dengan keadaan pemuda itu. Terpengaruh oleh racun yang amat hebat, yang bagi orang lain tentu mendatangkan akibat maut yang tak mungkin dapat dihindarkan lagi, pemuda ini kehilangan kesadarannya. Biarpun dia sudah berusaha melawannya dengan sedikit ingatan yang masih ada, namun hawa racun itu akhirnya menang, merampas seluruh kesadarannya dan membuat dia bertindak seperti binatang dan menurutkan dorongan kebutuhan jasmani yang pada saat itu dikuasai oleh nafsu berahi yang amat dahsyat sebagai akibat pengaruh racun yang memenuhi tubuhnya. Maka terjadilah hal yang tak mungkin dapat terelakkan lagi oleh Ceng Ceng dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi oleh pemuda itu.
Beberapa lama kemudian, tampak pemuda itu melangkah keluar dari guha, berkali-kali menampar kepalanya sendiri, dengan wajah muram namun tidak liar lagi, dan mulutnya mengeluarkan kata-kata berulang-ulang, "Terkutuk....! Terkutuk....!"
Jauh lebih lama kemudian, Ceng Ceng mengeluh dan siuman. Ternyata dia sudah dibebaskan dari totokan. tubuhnya terasa sakit-sakit dan ada sesuatu yang tidak wajar. Ceng Ceng teringat akan semua pengalamannya sebelum dia pingsan. Ingatan ini mengejutkan hatinya, apalagi, setelah dia melihat betapa pakaiannya terbuka dan terdapat noda darah di pahanya, tiba-tiba dia menjerit dan roboh pingsan lagi!
Perlahan-lahan dara yang tertimpa malapetaka itu siuman, merintih dan menangis dengan sedih sekali. Dia mencengkerami tanah dan batu, memukul-mukul tanah dan menangis makin sedih. Makin dikenang, makin dibayangkan, makin sakit rasa hatinya karena dia kini sudah merasa yakin bahwa dia telah diperkosa oleh pemuda itu. Tiba-tiba dia meloncat berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang terbuka, kedua tangannya dikepal, lalu disambarnya pedang Ban-tok-kiam yang masih berada di lantai guha. "Jahanam....! Keparat buruk....! Manusia laknat! Iblis keji, aku bersumpah akan membunuhmu! Aku akan menyiksamu, akan kusayat-sayat tubuhmu, kuhancurkan kepalamu, kuremuk semua tulang ditubuhmu!" Dia memaki-maki dengan air mata bercucuran, kemudian sambil menangis dia membetulkan pakaiannya dan lari keluar dari guha dengan pedang terhunus di tangannya. Timbul kebenciannya yang hebat kepada pemuda itu, kepada laki-laki pada khususnya, kepada manusia pada umumnya. Tanpa disadarinya, saat itu terjadilah perubahan hebat pada dirinya. Di lubuk hatinya tumbuh perasaan benci yang amat berat, yang meracuni seluruh darahnya, yang mengakibatkan watak yang kejam di dalam dirinya. Peristiwa hebat yang mengguncangkan seluruh batinnya itu menambah dengan hebatnya perubahan yang memang mulai terjadi di dalam dirinya akibat ilmu tentang racun yang sifatnya kejam semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-li.
Dengan semangat berapi-api untuk mencari pemuda itu dan mengadu nyawa dengannya, Ceng Ceng kembali memasuki dusun yang menjadi sarang Lembah Bunga Hitam. Dari jauh sudah tampak olehnya serombongan orang yang jumlahnya sembilan, dan orang-orang itu menjadi terkejut ketika melihat seorang gadis dengan pedang di tangan berlari cepat mendatangi dan langsung menyerang mereka dengan ganas!
Dengan kemarahan dan kebencian meluap di dalam hatinya, Ceng Ceng merobohkan dua orang, lalu menghadapi pengeroyokan tujuh orang anggauta lembah. Pedang Ban-tok-kiam merupakan senjata ampuh yang membuat jerih para pengeroyoknya. Seorang di antara mereka lalu bersiul-siul dan datanglah lebah-lebah beterbangan. Lebah putih yang beracun! Melihat ini, Ceng Ceng yang masih memutar pedangnya, cepat mengeluarkan bubuk hijau dan menanti sampai lebah-lebah itu datang mendekat. Disebarnya bubuk hijau itu di sekeliling dirinya dan lebah-lebah yang terkena serbuk hijau ini sebagian jatuh dan mati, sebagian lagi mabok dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh anggauta lembah yang bersiul-siul! Sebaliknya, Ceng Ceng lalu mengeluarkan serbuk merah, sambil menyerbu ke depan dan menaburkan serbuk merah ini ke udara, kemudian dengan gerakan pedangnya yang diputar-putar sehingga mendatangkan angin, dia berhasil membuat serbuk merah yang kini berubah menjadi semacam uap merah, menyambar ke arah para pengeroyoknya!
Orang-orang lembah yang kesemuanya adalah ahli-ahli racun, ternyata tidak mengenal uap merah ini. Mereka hanya menjauhkan diri lalu menghampiri Ceng Ceng dari arah lain agar tidak terkena serbuk merah. Akan tetapi mereka mencium bau tajam dan celaka bagi mereka yang terdekat, karena kelihaian racun serbuk merah ini adalah pada baunya. Begitu mencium bau keras ini, dua orang menjadi pening dan terhuyung-huyung, berseru, "Celaka!" lalu meninggalkan gelanggang pertempuran.
Sementara itu, Ceng Ceng sudah menerjang lagi, pedangnya berhasil merobohkan seorang lagi karena hawa beracun yang keluar dari pedang itu, dan ludahnya merobohkan dua orang lain!
"Mampuslah kalian, keparat! Mampuslah!" Berkali-kali mulutnya berkata demikian karena dia membayangkan para pengeroyok itu sebagai pemuda yang telah memperkosanya, atau setidaknya mereka itu dianggap wakil pemuda itu yang harus dibalasnya. Oleh karena itu, sepak terjangnya mengerikan, dan dia mengamuk seperti seekor harimau kelaparan.
Akan tetapi berbondong-bondong datanglah orang-orang lembah yang tadinya meninggalkan lembah itu untuk melakukan perang melawan orang-orang Pulau Neraka. Karena menyangka bahwa gadis itu tentulah seorang di antara orang orang Pulau Neraka, mereka menyerbu dan mengeroyok. Ceng Ceng tidak peduli dan sama sekali tidak gentar menghadapi pengeroyokan banyak orang ini. Dia mengamuk terus, menggerakkan pedangnya yang ampuh dan menyebar racun-racunnya, melakukan pukulan-pukulan beracun bahkan menyerang dengan ludahnya. Banyak di antara para pengeroyoknya roboh menjadi korban dan akhirnya terdengar bentakan keras, "Mundur semua!" dan Ceng Ceng berhadapan dengan seorang kakek tua yang amat mengerikan. Kakek ini usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tinggi kurus dan mukanya hanya kelihatan tengkorak terbungkus kulit belaka. Pakaiannya serba hitam dan matanya hampir hitam seluruhnya karena bagian putihnya juga gelap, kemerahan mengarah warna hitam sehingga kalau dia memandang orang, amatlah mengerikan.
"Nona, siapakah kau? Apakah kau seorang Pulau Neraka?"
"Banyak cerewet! Engkau tentu Ketua Lembah Bunga Hitam, bukan? Nah, majulah!" bentak Ceng Ceng yang sudah menerjang maju dengan pedangnya menyerang kakek itu. Kakek itu bertangan kosong, ketika dia menggerakkan kedua tangannya, terdengar suara, "Ccinggg....!" dan tangan kanan Ceng Ceng tergetar. Kiranya kakek itu telah menggunakan kuku jari tangannya menyentil dan sentilan ini saja sudah membuat pedangnya tergetar dan hampir terlepas dari pegangan! Hal ini cukup menjadi bukti bahwa kepandaian kakek ini hebat sekali, tenaga sin-kangnya juga jauh lebih tinggi dan kuat daripada tenaganya sendiri. Namun tidak ada sedikit pun rasa gentar di dalam hati dara yang sudah terbakar hangus oleh rasa dendam yang amat hebat itu. Mati baginya
bukan apa-apa lagi dan yang terasa hanyalah kebencian, kebencian yang bernyala makin besar dan membakar semua perasaan ini. Dengan kenekatan yang luar biasa dia menyerang kakek bermuka tengkorak itu dengan pedangnya. Ketua Lembah Bunga Hitam itu tertawa dan menghadapi Ceng Ceng dengan tangan kosong saja, akan tetapi biarpun demikian, segera dia membuat dara itu kalang-kabut karena memang kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi. Ceng Ceng kembali mengalami pertandingan seperti ketika dia melawan Ketua Pulau Neraka, dan merasa dipermainkan tanpa dapat mendesak lawan sama sekali.
Biarpun dia juga membantu pedangnya dengan pukulan beracun tangan kiri, dan bahkan menggunakan rambutnya dan ludahnya yang beracun, namun tetap saja dia dipermainkan dan didesak hebat.
"Ha-ha-ha, bocah lancang, ilmu kepandaianmu lumayan dan pengetahuanmu tentang racun hebat. Lekas kau berlutut dan menjadi muridku, dan aku akan mengampunkan kesalahanmu...."
"Mampuslah!" Ceng Ceng membentak dan menusukkan pedangnya dengan nekat dan dahsyat.
"Pedang baik....!" kakek itu mengelak. "Tapi kau keras kepala!"
Pada saat pedang meluncur lewat, kakek itu menggerakkan kakinya yang merupakan tendangan berputar, sama sekali tidak diduga oleh Ceng Ceng sehingga lambung dara ini terkena tendangan. Dia terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi sebelum kakek itu menyusul dengan serangan lain yang tentu akan merupakan bahaya bagi Ceng Ceng, tiba-tiba terdengar suara lembut yang datangnya dari arah sumur tua yang pernah dipakai oleh Ceng Ceng untuk bersembunyi mengintai ketika pemuda yang telah memperkosanya itu menjadi tawanan dalam kerangkeng!
"Thio Sek, apakah kau sudah melupakan Istana Gurun Pasir....?"
Ceng Ceng mendapat kesempatan untuk meloncat berdiri karena tiba-tiba, mendengar suara itu, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut setengah mati, mengeluarkan suara lirih dan berdiri bengong seperti orang melihat setan di tengah hari.
"Thio Sek, majikan kita menanti engkau datang menyerahkan kitab dan nyawa!" kembali suara aneh dan halus itu terdengar dari dalam sumur. Ketua lembah memandang ke arah sumur, mukanya pucat sekali sehingga dia makin mirip dengan mayat hidup, kemudian terdengar keluhan aneh dari dalam kerongkongannya dan dia membalikkan tubuhnya, mencelat jauh dan lari secepatnya, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari situ. Anak buahnya yang melihat keadaan ketua mereka ini, juga serentak lari pergi terbirit-birit dengan ketakutan.
Ceng Ceng masih berdiri dengan pedang Ban-tok-kiam di tangannya. Hatinya lega karena baru sekarang dia sadar bahwa dia telah terbebas dari ancaman bahaya maut, ditolong oleh suara dari sumur itu. Teringatlah dia ketika dia pernah melihat bayangan samar-samar di dasar sumur. Timbul keinginan-tahunya. Tentu ada seorang aneh di dalam sumur itu. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri sumur itu, menjenguk ke dalam. Akan tetapi tidak tampak apa-apa lagi, bahkan bayangannya pun tidak ada. Tentu orang itu sudah pergi, pikirnya. Betapa lihainya orang itu.
Suara sorak-sorai mengejutkannya. Dia cepat membalik dan melihat tujuh orang laki-laki memasuki pintu gerbang dusun itu sambil bersorak. Orang-orang ini semua memegang senjata di tangan kanan dan seekor ular berbisa di tangan kiri, sikap mereka buas dan seperti orang-orang yang gila. Apalagi ketika mereka melihat Ceng Ceng, mereka segera menyerbu dengan kata-kata yang membuat dada Ceng Ceng seperti dibakar, karena mereka mengeluarkan kata-kata kotor terhadap dirinya!
"Ha-ha, nona manis kesepian sendiri!"
"Engkau tentu sudah lama rindu kepada laki-laki!"
"Kami datang untuk menghiburmu, Nona!"
"Kalau kami bertujuh masih terlampau sedikit, teman-teman kami masih banyak di belakang!"
Ceng Ceng yang sedang berduka dan marah itu, tentu saja makin meledak kebenciannya terhadap pria. Sambil mengeluarkan seruan seperti lengking seekor binatang yang dahsyat, dia menyerbu, tangan kirinya sudah siap dengan segenggam bubuk putih yang tadi dia keluarkan dari saku bajunya, pedangnya diputar-putar di atas kepala. Tujuh orang itu tentu saja memandang rendah, sambil tertawa mereka menyambut dan mengurung.
"Yang memegang lebih dulu, mendapat giliran lebih dulu, ha-ha!" Akan tetapi suara ketawa mereka terhenti seketika karena selagi mereka menangkis pedang Ceng Ceng yang menyambar-nyambar, dara ini menyebar bubuk putih ke udara. Terdengar teriakan-teriakan kaget karena bubuk putih yang dipandang rendah itu begitu tampak oleh mereka, menimbulkan rasa pedas di mata mereka sehingga air mata mengalir keluar dan pandangan mata mereka menjadi kabur. Dalam keadaan seperti ini, mudah saja Ceng Ceng menggerakkan pedangnya dan empat orang roboh dan tewas seketika disambar Ban-tok-kiam!
Tiga orang lain terkejut bukan main. Mereka meloncat ke belakang, menggosok-gosok mata mereka. Celaka, makin digosok makin pedas dan gatal, bahkan kini mata mereka mulai membengkak! Seorang di antara mereka cepat mengeluarkan sebuah tanduk menjangan dan meniupnya sehingga terdengarlah suara mengaung. Adapun dua orang temannya sudah menerjang Ceng Ceng yang mengejar mereka. Ular di tangan kiri mereka mendesis-desis dan ketika mereka lontarkan, dua ekor ular itu menyambar Ceng Ceng. Gadis ini mengangkat lengan kirinya menangkis dan dua ekor ular itu dengan tepat menggigit dan bergantung kepada lengan kiri itu. Dua orang itu girang sekali karena menyangka bahwa tentu gadis yang sudah tergigit dua ekor ular mereka itu akan roboh. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat Ceng Ceng mengibaskan lengan kirinya dan dua ekor ular itu terbanting ke atas tanah dan.... berkelojotan! Agaknya bukan gadis itu yang keracunan, sebaliknya dua ekor ular itulah, karena hawa beracun yang dikerahkan gadis itu dari lengan yang tergigit membuat dua ekor ular itu seperti dibakar kepanasan. Selagi dua orang itu masih bengong, Ceng Ceng sudah meloncat, pedang Ban-tok-kiam menyambar. Mereka berusaha menangkis, namun terlambat, apalagi karena hawa beracun dari pedang itu sudah membuat mereka lemas. Robohlah dua orang ini dengan leher hampir buntung!
Orang terakhir itu masih meniup tanduk menjangan berkali-kali. Dalam ngeri dan takutnya menyaksikan kehebatan dara itu, dia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk meniup suling memanggil teman-temannya. Akan tetapi suara mengaung dari tanduk yang ditiup itu segera terhenti dan dia pun roboh di bawah tusukan pedang Ceng Ceng yang menembus perutnya!
Barulah agak puas hati Ceng Ceng setelah berhasil membunuh tujuh orang itu. Akan tetapi baru saja dia mencabut kembali pedang Ban-tok-kiam dari dalam perut lawan terakhir setelah dia membiarkan pedang itu "meminum darah" agak lama di dalam tubuh orang itu, terdengar suara hiruk-pikuk. Dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat seorang kakek perkasa dengan langkah lebar menghampiri tempat itu. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka, diikuti oleh belasan orang anak buahnya!" Keparat! Bocah setan, kau lagi! Kau berani membunuh tujuh orang anak buahku? Sekarang terpaksa aku tidak dapat mengampunimu lagi!" Kakek itu berseru marah bukan main setelah dia melihat mayat tujuh orang anak buahnya menggeletak di sekitar tempat itu. Baru sekarang Ceng Ceng tahu bahwa tujuh orang yang tadinya disangka adalah anak buah Lembah Bunga Hitam, ternyata adalah anak buah Pulau Neraka yang menjadi musuh Lembah Bunga Hitam! Akan tetapi dia tidak takut. Tanpa menjawab dia sudah menerjang ke depan, disambut oleh Hek-tiauw Lo-mo yang dalam kemarahannya telah mengeluarkan sebuah di antara senjata-senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah jala tipis yang digulung dan dikepal dalam tangannya. Dia ingin
menangkap gadis itu, sebelum dibunuh dia akan menyiksanya dan akan diperasnya agar gadis itu dapat menyerahkan ilmunya yang hebat tentang racun kepadanya.
Ceng Ceng yang menerjang ke depan hanya melihat bayangan hitam melebar seperti payung menerkamnya. Dia kaget dan memutar pedangnya menangkis. Terdengar suara berdencingan dan pedangnya bertemu dengan benda yang keras akan tetapi ulet dan bayangan itu terus menerkamnya, tidak terhalang oleh putaran pedangnya. Tahu-tahu dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah jala tipis yang lebar dan kemana pun dia bergerak, dia tidak dapat membebaskan diri dari dalam jala itu! Dia melihat kakek raksasa itu memegang tali jala dari tempat yang jauhnya ada tiga empat meter, sambil tertawa. Kemarahannya timbul dan dia menjadi nekat, biarpun berada di dalam jala, dia meloncat dengan maksud menerjang kakek itu dan menyerang dengan pedangnya dari balik jala. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu membetot dan Ceng Ceng yang merasa kakinya diangkat, kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terguling roboh di dalam jala. Dia mengamuk, meronta, memutar pedangnya, namun sia-sia belaka, seperti seekor ikan besar dalam jala, semua gerakannya terbatas dan hanya gerakan sia-sia belaka.
Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan belasan orang anak buahnya juga tertawa girang melihat gadis yang liar dan buas itu telah tertawan. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti ketika terdengar suara orang mengejek, "Aih, Lee-ko, orang-orang di sini sungguh tidak tahu malu, ya? Belasan orang laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, aturan mana yang dipakai ini? Sungguh curang, licik dan tidak tahu malu!"
Semua orang menengok dan Hek-tiauw Lo-mo terkejut sekali melihat dua orang pemuda tampan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Kalau sampai ada dua orang asing dapat muncul di tempat itu tanpa diketahui oleh dia sendiri dan anak buahnya, maka hal ini hanya membuktikan bahwa yang datang adalah orang-orang luar biasa! Akan tetapi, melihat bahwa mereka hanyalah dua orang pemuda remaja yang masih amat muda sekali, dia memandang rendah. Dengan tangan kiri memegang tali jala di mana Ceng Ceng tertawan, dia membentak, "Eh, dari mana datangnya dua bocah lancang ini dan siapakah kalian?"
Ceng Ceng juga sudah berhenti meronta dan dari dalam jala dia memandang ke luar. Matanya terbelalak lebar. Kini dia mengenal dua orang pemuda itu. Tidak salah lagi. Dua orang itu adalah dua orang pemuda yang pernah berjumpa dengan dia di pasar kuda! Dua orang pemuda yang tampan dan seorang di antaranya ceriwis, pandang matanya nakal dan mulutnya selalu tersenyum penuh gairah, sedangkan yang ke dua pendiam dengan sinar mata yang tajam dan tenang. Ceng Ceng sendiri memandang rendah. Kalian mencari mampus, pikirnya. Tentu dua orang pemuda ini akan tewas di tangan Ketua Pulau Neraka dan anak buahnya yang lihai. Akan tetapi dia tidak peduli. Biarlah mampus semua laki-laki di dunia ini, apalagi dua orang pemuda tampan ini mengingatkan dia akan pemuda laknat yang dicarinya dan dibencinya. Mampuslah kalian! Mampuslah kalian semua laki-laki di dunia!
Ceng Ceng memandang dan kini mereka telah mulai bertanding. Dua orang pemuda itu tadinya bersikap tenang saja. Akan tetapi pemuda yang lebih muda, yang tersenyum-senyum dan bermata nakal, memandang Ketua Pulau Neraka dan berkata, "Aih, kiranya Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya. Pantas saja tidak segan melakukan kecurangan, kiranya Ketua Pulau Neraka yang seperti iblis. Masih baik kita keburu datang untuk mencegah perbuatanmu yang buruk!"
Mendengar ini, Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya menjadi terkejut bukan main. Jarang ada orang yang mengenal Ketua Pulau Neraka, apalagi hanya dua orang pemuda remaja ini.
"Kalian siapa, bocah lancang?" bentaknya.
"Kami adalah orang-orang yang akan menghabiskan riwayatmu, Hek-tiauw Lo-mo. Kami adalah Sepasang Rajawali Putih!"
Mendengar julukan yang tak pernah didengar sebelumnya ini, Hek-tiauw Lo-mo mendongkol. Tentu bocah ini sengaja menggunakan julukan Rajawali Putih untuk mempermainkannya, karena dia sendiri berjuluk Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam).
"Keparat, bersiaplah untuk mampus!" bentaknya tanpa peduli lagi akan nama mereka dan dia sudah memberi isyarat kepada para anak buahnya. Belasan orang itu maju mengepung dua orang pemuda itu yang tetap bertangan kosong. Akan tetapi begitu mereka menyerbu ke depan, dua orang pemuda itu mengeluarkan suara melengking seperti dua ekor rajawali, dan Ketua Pulau Neraka menjadi bengong dan kaget melihat betapa dua orang pemuda itu kini bergerak secepat burung-burung rajawali. Mereka berkelebat ke sana-sini dan berturut-turut robohlah empat orang anak buah Pulau Neraka tanpa mereka itu tahu bagaimana mereka dirobohkan
karena cepatnya gerakan dua orang pemuda itu!
Ceng Ceng sendiri memandang kagum. Kini dia melihat Ketua Pulau Neraka melepaskan tali jala dan maju sendiri menyerbu, setelah melolos sebatang cambuk baja lemas yang tadinya membelit pinggangnya yang besar. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika cambuk itu menyambar-nyambar ganas mengikuti berkelebatnya bayangan dua orang pemuda itu. Hebat memang tenaga Hek-tiauw Lo-mo dan cambuk panjang itu dahsyat sekali. Namun dengan lincah, dua orang pemuda itu dapat mengelak dengan loncatan-loncatan yang tampaknya tubuh mereka itu meloncat ke sana-sini seperti kilat menyambar.
Ceng Ceng meronta setelah melihat tali jala tidak dipegang lagi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dari dalam jala, dia menarik tali yang mengikat jala dan perlahan-lahan dia dapat membebaskan diri, Setelah bebas, dengan pedang diputar ganas dia menyerbu dan menyebar racun di antara para anak buah Pulau Neraka.
Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo menjadi khawatir sekali. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan betapa dua orang pemuda itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Ketika dia menggunakan sin-kang sekuatnya di kanan kiri mendorong ke depan, pemuda yang lebih tua menyambut dorongan tangan itu dengan tangan kanannya.
"Dukkk! "
Hek-tiauw Lo-mo meloncat mundur dan mukanya menjadi pucat. Dia mengenal ilmu sin-kang Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang membuat dengan kirinya terasa dingin sekali.
"Pulau Es....!" Serunya dan kini matanya terbelalak lebar. Dia ingat akan dua orang putera Majikan Pulau Es yang pernah ditawannya dan dua orang anak itu berhasil melarikan diri dengan menunggang dua ekor burung rajawali putih.
"Kiranya kalian...."
Dua orang pemuda itu memang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Mereka hanya tersenyum dan kini Hek-tiauw Lo-mo maklum bahwa kalau sampai ayah atau ibu dua orang pemuda itu ikut datang, dia dan anak buahnya akan celaka. Maka dia bersuit nyaring lalu meloncat ke belakang, dan larilah Ketua Pulau Neraka ini diikuti oleh sisa anak buahnya.
Kian Lee dan Kian Bu tidak mengejar. Kian Bu berpaling memandang Ceng ceng yang masih berdiri dengan pedang di tangan.
"Syukur kau telah selamat, Nona," kata Kian Bu yang lebih berani menghadapi seorang wanita daripada kakaknya. "Dan selamat berjumpa untuk yang ke dua kalinya. Kita saling bertemu untuk pertama kali di pasar kuda itu. Ingat, bukan? Perkenalkan, namaku adalah Suma Kian Bu dan ini adalah kakakku, Suma Kian Lee. Bolehkah kami mengetahui namamu?"
Tiba-tiba Ceng Ceng menggerakkan pedangnya ke kiri. "Crekkk!" dan roboh kembalilah anggauta Pulau Neraka yang tadinya hendak bangkit duduk. Orang yang tadinya menderita luka itu, roboh dan tewas karena pedang Ban-tok-kiam membacok lehernya hampir putus! Melihat ini, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee terkejut sekali. Kian Lee mengerutkan alisnya sedangkan Kian Bu memandang bengong. Dan kagum akan kecantikan dan kegagahan dara ini, akan tetapi mengapa dara ini sekarang menjadi seorang manusia yang begini buas dan kejam, jauh sekali bedanya dengan dahulu ketika mereka jumpa di pasar kuda? Dahulu, dara itu berwajah cantik manis dan berseri, agaknya selalu riang dan sinar matanya menari-nari, bibirnya selalu tersenyum. Akan tetapi sekarang, biarpun cantiknya masih sama, bahkan bertambah karena kelihatannya kecantikannya makin matang, tubuhnya makin padat berisi, gerak-geriknya makin lincah, namun di balik wajah yang cantik jelita itu terbayang sifat yang dingin membeku, kebencian yang membayang dari pandang matanya, bibirnya ditarik seperti orang yang kesakitan dan menderita hebat, dan perbuatannya tadi amatlah kejam dan mengerikan. Membacok mati seorang bekas lawan yang sudah tidak berdaya seperti itu hanya dapat dilakukan oleh seorang yang berhati kejam dan penuh kebencian!
Segala macam kekacauan, kejahatan dan permusuhan di dunia ini bersumber kepada pikiran. Pikiran adalah si aku yang berkembang karena ingatan. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan menyusahkan ditumpuk di dalam ingatan dan menjadi pupuk bagi pikiran yang menciptakan si aku. Si aku yang ingin mengulang kembali kesenangan yang pernah dinikmatinya. Si aku yang ingin menghindari kesusahan yang pernah diderita. Maka muncullah rasa khawatir, rasa takut kalau-kalau akan mengalami lagi hal yang menyusahkan dan kalau-kalau tidak akan dapat mengalami hal yang menyenangkan. Rasa takut ini mendorong kita untuk melakukan segala macam kekerasan di dalam kehidupan, bersumber kepada si aku yang pandai sekali mencari-cari akal sebagai alasan untuk melindungi diri sendiri, untuk mempertahankan pendiriannya yang dianggap benar. Kalau si aku dirugikan, lahir maupun batin, maka aku akan menaruh benci dan dendam, dan menggunakan alasan bahwa yang merugikan aku itu adalah jahat dan perlu dibasmi! Kalau si aku diuntungkan, lahir maupun batin, maka aku akan mencintanya dan membaikinya, dengan menggunakan alasan bahwa yang menguntungkan aku itu adalah baik dan perlu didekati.
Kita memuja dan menyembah-nyembah para dewa, para nabi, bahkan Tuhan, karena kita yakin bahwa mereka itu menguntungkan kita, setidaknya menguntungkan batiniah dan menimbulkan harapan, menjadi pegangan, jelasnya mendatangkan harapan keuntungan lahir batin bagi kita, maka kita memuja dan menyembahnya. Sebaliknya, kita membenci dan mengutuk setan dan iblis, karena kita yakin pula, sungguhpun keyakinan ini hanya merupakan jiplakan dari tradisi belaka, bahwa setan dan iblis atau hantu itu merugikan kita, lahir maupun batin. Jelasnya, yang kita anggap baik, yaitu yang menguntungkan kita lahir maupun batin, akan kita puja-puja. Sebaliknya, yang kita anggap jahat, yaitu yang merugikan kita lahir atau batin, akan kita kutuk dan benci. Jelas, bahwa rasa suka atau benci kita bukan karena keadaan si benda di luar diri kita, melainkan diputuskan oleh pertimbangan kita  sendiri, yaitu merugikan atau menguntungkan. Rasa suka atau benci melahirkan anggapan kita tentang baik dan jahat, yang menguntungkan kita adalah baik dan yang merugikan kita adalah jahat.
Kenyataan ini sudah berlangsung ribuan tahun di dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai alat yang "lumrah". Kita tidak lagi melihat kejanggalan dan kepalsuannya. Si aku ini bisa melebar dan meluas, menjadi si kami, menjadi harta benda-ku, keluarga-ku, partai-ku, suku bangsa-ku, bangsa-ku, negara-ku, Tuhan-ku, agama-ku dan selanjutnya. Dan selama si aku ini menguasai, pertentangan dan kekacauan sudah pasti timbul, karena pertentangan muncul di antara si aku dan si kamu. Seorang manusia akan dianggap sebagai orang sejahat-jahatnya oleh pihak musuh akan tetapi manusia ini pula akan dianggap sebagai orang sebaik-baiknya oleh pihak lawan. Seseorang bisa dianggap sebagai "pahlawan" oleh negaranya, akan tetapi orang ini pula akan dianggap sebagai "penjahat" oleh negara lain yang bermusuhan. Jadi sebutan pahlawan atau penjahat itu bukan tergantung dari keadaan si orang itu sendiri, melainkan tergantung dari negara yang bersangkutan, dirugikan atau diuntungkankah negara itu.
Pertentangan di luar diri adalah pencerminan dari pertentangan yang terjadi di dalam diri sendiri. Di dalam diri sendiri terdapat kemarahan yang bertentangan dengan si aku yang ingin sabar, terdapat cemburu yang bertentangan dengan si aku yang ingin mencinta, terdapat keadaan apa adanya yang bertentangan dengan keadaan yang kukehendaki yang lain dari apa adanya. Keadaannya begini, aku ingin begitu. Si aku menjadi makin subur dipupuk oleh pikiran. Si aku adalah pikiran itu sendiri. Dan pikiran adalah masa lalu, pikiran adalah kenangan atau ingatan masa lalu. Bebas dari masa lalu, bebas dari pikiran, berarti bebas dari si aku tukang mengacau kehidupan ini. Pikiran hanya baik kalau dipergunakan di dalam tugasnya yang tak dapat dihindarkan lagi, untuk bekerja, bicara, dan segala pelaksanaan pekerjaan sehari-hari. Namun sekali pikiran bercampur tangan memasuki perhubungan antara manusia, akan rusaklah keadaannya.
Ceng Ceng telah diracuni oleh pikirannya sendiri karena dia selalu teringat akan peristiwa yang menimpa dirinya. Dirinya telah diperkosa, berarti telah dirugikan secara hebat oleh seseorang, maka kenangan akan hal ini mendatangkan kebencian yang amat hebat dan kebencian ini meracuni dirinya, membuat dia membenci semua manusia, terutama kaum pria!
Tentu saja dia mengerti bahwa dia telah diselamatkan oleh Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Andaikata dua orang yang menolongnya itu wanita, agaknya dia tidak akan segan-segan untuk menghaturkan terima kasihnya. Akan tetapi karena dua orang penolongnya adalah pria, masih muda-muda pula sehingga mengingatkan dia akan pemuda yang memperkosanya, kebenciannya terhadap kaum pria lebih besar daripada rasa terima kasihnya. Mendengar kata-kata Kian Bu dia malah menjadi gemas dan membacok mati anggauta Pulau Neraka yang belum tewas, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi kepada dua orang pemuda yang telah menyelamatkannya tadi!
"Heiii....! Eh, Nona....!" Kian Bu berteriak, akan tetapi Ceng Ceng tidak menjawab, menoleh pun tidak, bahkan kini dara ini
melarikan diri dengan cepat, seluruh perhatiannya telah dipusatkan ke depan untuk mencari pemuda laknat yang telah memperkosanya!
"Heiiii....!" Kian Bu berteriak lagi.
"Sudahlah, Bu-te. Orang tidak mau melayanimu, mengapa memaksa?" Kian Lee berkata, kemudian dengan alis berkerut pemuda ini berkata, "Aku melihat dia itu seperti orang yang menanggung penderitaan hebat. Sungguh kasihan dia...."
"Ehhh....? Gadis sombong dan angkuh seperti itu, yang telah kita tolong dan kita selamatkan nyawanya dari ancaman bahaya maut akan tetapi sepatah kata pun tidak sudi melayani kita bicara, engkau malah menaruh kasihan kepadanya?"
"Bu-te, jangan tergesa-gesa menjatuhkan pendapat akan seseorang yang belum kita kenal keadaannya. Gadis itu patut dikasihani...."
Kian Bu menghela napas. "Kau memang aneh, Lee-ko. Banyak dara lincah jenaka, yang wajahnya seperti bulan purnama selalu berseri, yang matanya seperti bintang pagi bersinar-sinar, yang mulutnya selalu tersenyum cerah seperti matahati pagi, engkau tidak pedulikan. Akan tetapi satu ini, yang kejam dan dingin seperti.... seperti...."
"Cukup, Bu-te! Mari kita lanjutkan perjalanan kita," Kian Lee berkata singkat lalu pergi dari situ. Kian Bu membelalakkan matanya, menggoyang pundak lalu terpaksa mengikuti kakaknya.
Bagaimana dua orang pemuda ini dapat berada di tempat itu sehingga secara kebetulan dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Seperti telah kita ketahui, Kian Lee dan Kian Bu berada di kota raja dan di dalam pesta yang diadakan oleh Pangeran Liong Bin Ong, dua orang pemuda Pulau Es ini telah bertemu dengan kakak mereka, Puteri Milana.
Mereka diajak pulang oleh Puteri Milana dan setelah kakak beradik itu bercakap-cakap penuh kegembiraan dan keharuan, akhirnya beberapa hari kemudian Milana mengambil keputusan untuk mengirim dua orang adiknya ini menjumpai Jenderal Kao Liang di utara. Puteri ini maklum betapa pihak pemberontak telah menyusun kekuatan. Tidak ada orang lain yang lebih dapat dipercaya daripada Kian Lee dan Kian Bu untuk membawa suratnya kepada Jenderal Kao yang dia tahu merupakan satu-satunya orang yang terkuat dan menguasai bala tentara besar, juga amat setia kepada kepada Kaisar. Dia lalu menulis surat untuk Jenderal Kao Liang, mengajak
jenderal itu untuk bersama-sama menumpas pemberontak, menggunakan pengaruh kedudukannya dan menggunakan kekuatan pasukannya. Demikianlah maka pada hari itu Kian Lee dan Kian Bu tiba di dekat Lembah Bunga Hitam, melihat keadaan dusun yang keracunan, mendengar dari para pengungsi akan malapetaka yang menimpa dusun mereka. Sebagai dua orang putera Pendekar Super Sakti, biarpun mereka bukan ahli-ahli menggunakan racun, namun dengan dasar sin-kang yang amat kuat dan bersih, kedua orang pemuda ini tidak takut menghadapi pengaruh racun dan mereka tertarik mendengar kabar tentang pertandingan antara ahli-ahli racun di Lembah Bunga Hitam, maka keduanya lalu memasuki lembah itu dan secara kebetulan dapat menolong Ceng Ceng.
Setelah mereka berdua mendapat kenyataan bahwa satu di antara dua pihak yang bertanding itu adalah gerombolan penghuni Pulau Neraka dipimpin sendiri oleh Hek-tiauw Lo-mo, keduanya tidak suka mencampuri lagi, apalagi melihat betapa Ceng Ceng yang mereka tolong itu tidak mempedulikan mereka. Mereka menganggap bahwa tempat itu adalah tempat orang-orang dari golongan sesat, juga gadis yang ditolongnya itu, maka mereka lalu meninggalkan Lembah Bunga Hitam untuk melanjutkan perjalanannya ke utara, ke perbatasan untuk mencari Jenderal Kao di bentengnya.
Yang tidak mengenalnya dan tidak mengetahui keadaannya, tentu akan mengira bahwa gadis cantik yang pakaiannya kusut rambutnya awut-awutan itu sedang menderita sakit jiwa. Akan tetapi yang tahu akan keadaan Ceng Ceng pada saat itu, tentu akan merasa kasihan sekali. Sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar penuh gairah hidup itu kini tampak merah dan agak membengkak, muka
yang biasanya berseri dengan kedua pipi kemerahan dan segar, seperti setangkai bunga yang sedang mekar, kini menjadi pucat dan layu. Bibir yang biasanya selalu kemerahan dan membasah itu, yang siap melontarkan senyum manis, bahkan selalu kelihatan mengarah senyum, kini kelihatan kering dan cemberut, kadang-kadang tergetar kalau tangis melanda hatinya. Air matanya sudah mengering, sumbernya sudah hampir kehabisan karena terlampau banyak dia menangis. Tiap kali dia teringat akan malapetaka yang
menimpanya di dalam guha itu, air matanya bercucuran dan dadanya terisak-isak sampai sukar untuk bernapas. Tiga hari sudah dia meninggalkan Lembah Bunga Hitam. Lupa makan lupa tidur, terus melakukan perjalanan ke selatan tanpa tujuan karena memang dia tidak tahu ke mana harus mencari pemuda laknat yang amat dibencinya itu, pemuda yang telah memperkosanya dan sekarang tujuan hidupnya hanya satu, yalah mencari dan mengadu nyawa dengan pemuda laknat itu! Sebetulnya tubuhnya lemas dan lunglai,
karena sudah tiga hari tiga malam dia tidak makan tidak tidur. Jalannya tersaruk-saruk dan kadang-kadang terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya.
Matahari telah naik tinggi dan panas terik menyengat kulit. Ceng Ceng berhenti di dalam bayangan batu karang dan menyeka keringatnya sambil mengeluh. Tubuhnya seperti merintih-rintih minta beristirahat, namun kekerasan hatinya melarang karena dia tidak akan berhenti sebelum bertemu dengan pemuda laknat itu!
"Nona, perlahan dulu...." Tiba-tiba terdengar suara halus ketika dia memaksa kedua kakinya melangkah maju lagi.
Suara itu sudah cukup untuk membuat darah Ceng Ceng seperti bergolak. Suara seorang laki-laki! Dan menahan langkahnya, tangan kiri dikepal dan tangan kanan meraba gagang Ban-tok-kiam, siap untuk membunuh orang! Langkah-langkah ringan dan halus menghampirinya dari belakang.
"Nona, hatiku ikut hancur menyaksikan keadaanmu...."
Ceng Ceng bergerak cepat, membalik dan tampak sinar terang berkelebat ketika Ban-tok-kiam telah dicabutnya. Ternyata yang berhadapan dengan dia adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana namun bersih, gerak-geriknya halus dan penuh hormat, sinar matanya lembut dan dia memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh perasaan iba.
"Mampuslah kau, keparat!" Ceng Ceng menjerit dan pedang Ban-tok-kiam sudah menyambar ke arah leher kakek itu.
"Hemmmm, sabarlah, Nona!" kakek itu mengelak dengan gerakan halus, namun tepat sehingga pedang Ban-tok-kiam lewat di samping tubuhnya. Ketika pedang itu menyambar lagi, tahu-tahu kakek ini, dengan gerakan aneh yang sama sekali tidak dikenal Ceng Ceng, telah memegang pergelangan tangan kanan Ceng Ceng sehingga dara ini merasakan lengan kanannya lumpuh dan untung pedangnya masih belum terlepas.
"Tenanglah, Nona. Aku tidak berniat buruk. Aku hanya akan menuturkan tentang pemuda yang telah kaukeluarkan dari kerangkeng itu."
"Aihhh....!" Ceng Ceng yang kini sudah dilepas tangannya, melompat mundur dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. "Kau mau bilang apa? Cepat katakan!" bentaknya.
Kakek itu menarik napas panjang. "Aku tidak menyalahkan sikapmu ini, Nona, sungguhpun sikap ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagimu, apalagi bagi lain orang. Kita harus berani menghadapi kenyataan, berani membuka mata melihat apa yang telah terjadi dan menimpa kita sehingga kita tidak menjadi mata gelap oleh dendam. Marilah kita duduk di bawah pohon itu, dan aku akan menceritakan siapa adanya pemuda yang kaubebaskan dari kerangkeng itu dan mengapa pula dia melakukan perbuatan terkutuk itu. Maukah Nona mendengarkan?"
Tentu saja Ceng Ceng ingin sekali mendengar. Dia tidak akan mungkin dapat mencari pemuda itu kalau tidak diketahuinya siapa. Dia lalu mengangguk, menyimpan pedangnya dan mengikuti kakek itu duduk di atas batu di bawah naungan pohon sehingga hawa di tempat itu agak sejuk dan nyaman.
"Perkenalkan, Nona. Namaku adalah Louw Ki Sun, dan aku adalah pelayan dari guru pemuda tinggi besar itu."
"Kakek, aku tidak mau berkenalan dengan kau. Kalau kau tahu tentang pemuda laknat itu, lekas beritahukan kepadaku siapa dia dan di mana aku dapat mencarinya!"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Baiklah, engkau akan mengetahui siapa adanya pemuda itu. Sudah kukatakan tadi, aku adalah pelayan dari suhunya, dan agar jelas bagimu dan juga jelas mengapa dia melakukan perbuatan itu, sebaiknya kalau engkau mendengarkan semua penuturanku dengan sabar." Kakek yang bernama Louw Ki Sun itu lalu bercerita.
Di tengah gurun pasir yang amat luas di utara terdapat sebuah istana yang amat aneh letaknya dan tidak ada orang yang dapat mendatangi tempat ini karena merupakan rahasia. Pula, siapa percaya bahwa di tengah gurun pasir terdapat sebuah istana yang megah? Istana ini di kalangan Bangsa Mongol terkenal dengan sebutan Istana Gurun Pasir, dan pada waktu itu tidak ada seorang pun bangsa Mongol yang berani mendekatinya karena istana itu dihuni oleh seorang tokoh yang luar biasa, aneh, dan juga amat sakti. Penghuni Istana Gurun Pasir itu tidak pernah meninggalkan istananya, maka tidak terkenal di dunia ramai, istana itu sendiri adalah sebuah istana kuno, yang pada ratusan tahun yang lalu dibangun oleh Raja Mongol untuk mengasingkan permaisurinya yang telah "dipensiun" karena dituduh berjina dengan seorang pelayan pria. Dibangun di tengah gurun pasir, akan tetapi anehnya, di tempat itu terdapat sumber air! Sumber air di tengah gurun pasir, benar-benar tidak masuk akal, namun kenyataannya demikianlah! Permaisuri yang malang ini tinggal bertahun-tahun di tempat itu bersama para pelayannya sampai dia mati, dan turun-temurun para pelayan itu tinggal di situ sampai lama-kelamaan jumlah mereka habis. Kini yang tinggal hanyalah Si Dewa Bongkok, yaitu tokoh aneh penghuni istana itu, seorang kakek yang tubuhnya besar dan pendek bongkok, bersama dua orang kakek pelayan yang bernama Thio Sek dan Louw Ki Sun.
Pada suatu hari, Si Dewa Bongkok yang sedang berlatih di tengah gurun pasir menemukan seorang anak laki-laki yang berada dalam keadaan hampir mati. Jelas bahwa anak itu telah tersesat dan menderita hebat sekali selama berhari-hari di padang pasir dan merupakan suatu hal ajaib, kalau anak itu masih dapat bertahan setelah mukanya bengkak-bengkak, matanya melotot merah dan lidahnya terjulur keluar, seluruh tubuhnya hitam dan kulitnya retak-retak! Si Dewa Bongkok cepat membawa anak itu ke istana dan berkat kepandaiannya yang tinggi, anak itu dapat diobatinya sampai sembuh. Melihat keadaan anak itu dan kenyataan bahwa anak itu berbakat baik sekali, Si Dewa Bongkok yang selamanya tidak pernah menerima murid itu lalu mengangkatnya sebagai muridnya, murid tunggal.
Seperti biasa, latihan-latihan yang diberikan oleh manusia sakti ini kepada muridnya amatlah beratnya. Pada suatu hari, Si Dewa Bongkok mengajak muridnya ke tengah gurun pasir bagian yang paling panas dan di situ dia melatih sin-kang kepada muridnya itu. Sampai tiga hari tiga malam dia melatih muridnya di tempat itu, tidak tahu bahwa terjadi geger di istananya.
"Ketika majikanku sedang melatih muridnya itu, yang menjaga istana hanya aku dan Thio Sek," Lauw Ki Sun menyambung ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ceng Ceng. "Tiba-tiba datanglah seorang yang lihai dan yang berusaha untuk mencuri kitab-kitab pusaka dari majikanku. Tentu saja aku melawannya. Akan tetapi celaka, kiranya orang itu yang memiliki kepandaian tinggi diam-diam telah bersekongkol dengan Thio Sek. Tentu saja menghadapi mereka berdua, aku kalah dan aku tidak berhasil mencegah mereka melarikan diri sambil membawa sebuah kitab pusaka tentang racun dalam pukulan, catatan dari majikanku. Mereka melarikan diri karena mereka takut kalau-kalau majikanku keburu datang, dan membawa pergi kitab itu." Kakek itu menarik napas panjang.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah pemuda laknat yang memperkosanya, maka hal-hal lain membuat dia hanya menjadi marah karena dia tidak peduli sama sekali. "Apa hubungannya dengan iblis laknat itu?" bentaknya.
"Sabarlah, Nona. Ketahuilah bahwa pencuri itu kini telah menjadi Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan rekanku pelayan itu adalah...."
"Ketua Lembah Bunga Hitam. Aku sudah menduganya, tapi tentang pemuda itu...."
"Benar, Thio Sek telah berjuluk Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hltam. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil. Sampai hari ini, secara tidak sengaja aku bertemu dengan mereka...."
"Pemuda laknat itu...." Ceng Ceng memotong.
"Pemuda itu adalah Kok Cu, murid majikanku yang ditemukan di gurun pasir itu. Dia terpengaruh hebat oleh penderitaan badai di lautan pasir, hanya teringat akan namanya saja, yaitu Kok Cu, tidak tahu siapa nama keluarganya. Setelah dia tamat belajar, dia diperkenankan meninggalkan istana untuk mencari orang tuanya, sekalian ditugaskan untuk mencari kitab yang tercuri. Karena aku merasa bertanggung jawab akan kehilangan kitab itu, maka diam-diam aku pun membayanginya untuk membantu. Kebetulan sekali, di Lembah Bunga Hitam ini terjadi pertempuran dan ternyata yang bertempur adalah dua orang pencuri itu. Agaknya, menurut penyelidikanku, mereka telah bertengkar dan memperebutkan kitab. Mereka sama kuat dan akhirnya mendapatkan masing-masing separuh dari kitab itu. Kini mereka saling bermusuhan untuk merampas kitab yang separuh lagi. Kok Cu biarpun telah memiliki kepandaian tinggi, lebih tinggi dari aku sendiri, namun dia kurang pengalaman sehingga dapat terjebak dan terkena racun-racun yang amat jahat. Biarpun dia telah memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga racun-racun itu tidak sampai menewaskannya, akan tetapi.... dia seperti mabok, dia tidak sadar.... dan ketika terjadi peristiwa di guha itu, dia.... dia sama sekali tidak mampu menguasai dirinya, Nona."
"Keparat! Kau tahu akan semua itu dan kau diam saja!" Ceng Ceng sudah meloncat dan mencabut lagi Ban-tok-kiam.
Kakek itu pun me loncat dan cepat mengangkat tangannya, "Sabarlah, Nona. Ketika aku tiba di Lembah Bunga Hitam, Kok Cu telah tertangkap dan dimasukkan kerangkeng dalam keadaan keracunan hebat. Aku berada di dasar sumur ketika engkau tiba, kemudian kau menolong dan melarikan kerangkeng itu dan kau dikejar oleh Ketua Lembah Bunga Hitam dan anak buahnya. Melihat ini, aku muncul dan menyambut mereka, mencegah mereka melakukan pengejaran terus kepadamu, karena aku hanya mengira bahwa Nona tentu sudah berhasil menyelamatkan Kok Cu. Siapa tahu bahwa di dalam guha telah terjadi hal yang amat hebat itu....! Aku baru tahu setelah Kok Cu lari dari dalam guha itu seperti orang gila saking menyesalnya...."
"Tak peduli! Di mana dia sekarang! Aku akan membunuhnya, mencincang hancur tubuhnya!"
"Mana aku tahu, Nona? Dia telah melarikan diri seperti orang gila, bahkan ketika aku menjumpainya, dia seperti tidak mengenalku atau tidak mau peduli, terus lari dengan cepat meninggalkan aku. Mungkin dia ke kota raja karena dia lari ke
selatan....!"
"Aku akan mengejarnya!" Ceng Ceng berteriak dan cepat dia lari meninggalkan kakek itu dengan pedang tetap di tangan. Louw Ki Sun menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang. Kemudian melangkah perlahan-lahan kembali ke utara untuk melaporkan kepada majikannya karena untuk bertindak sendiri terhadap Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, dia tidak mampu.
******
Kian Lee dan Kian Bu memasuki warung di dusun itu. Dari penduduk dusun yang mereka lalui sepanjang perjalanan mereka, benteng Jenderal Kao Liang tidak jauh lagi, berada di balik bukit yang melintang di depan, di sebelah utara dusun-dusun yang mereka tanyai tentang benteng itu, betapa Jenderal Kao amat terkenal dan dihormati serta dipuji oleh para penduduk dusun. Begitu mendengar bahwa dua orang pemuda ini mempunyai hubungan dengan Jenderal Kao, sikap mereka menjadi penuh hormat dan ramah tamah.
"Lee-ko, wajahmu kembali muram seperti matahari tertutup mendung. Kenapakah, Lee-ko?"
"Bu-te, harap jangan bergurau." Kian Lee menegur adiknya.
Kian Bu menghela napas, akan tetapi pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah kakaknya. Dia terlalu sayang kepada kakaknya ini sehingga setiap perubahan pada wajah kakaknya tampak jelas olehnya karena perhatiannya tak pernah lengah.
"Lee-ko, sekali ini aku tidak bersendau-gurau. Sudah beberapa hari aku melihat perubahan wajahmu, akan tetapi aku tidak menyinggungnya, khawatir kalau hal itu akan menambah kekeruhan pikiranmu. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau menyusahkan sesuatu. Alismu selalu berkerut, pandang matamu jauh dan kosong, dan engkau, bahkan tidak lagi dapat menghadapi sendau-gurauku. Dan semua ini terjadi semenjak kita berjumpa dengan Nona di Lembah Bunga Hitam itu."
"Bu-te....!"
"Sekali lagi aku tidak bergurau sekali ini, Koko. Aku melihat perubahan itu pada wajahmu."
Kian Lee menundukkan mukanya dan menarik napas panjang, kemudian berkata lirih, "Memang benar, Adikku. Aku selalu memikirkan dia karena aku merasa menyesal dan kasihan sekali kepadanya."
"Hemm, kita tidak kenal dia, Lee-ko. Pula, melihat bahwa dia hadir di tempat menyeramkan itu, melihat pula betapa dia membunuh orang tanpa berkedip mata, dia tentulah seorang di antara tokoh-tokoh dunia hitam, seorang wanita sesat yang berhati kejam...."
"Tidak, Bu-te. Apakah kau lupa ketika kita bertemu dengan dia di pasar kuda dahulu? Masih terbayang olehku betapa wajahnya cerah dan sama sekali tidak membayangkan sinar kejam. Akan tetapi di lembah itu.... ah, bagaikan bumi dengan langit bedanya. Inilah yang membuat aku menyesal dan kasihan, Adikku karena aku dapat menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang amat hebat dengan dia!"
Hening sejenak, tiba-tiba Kian Bu memegang lengan kakaknya di atas meja. "Lee-ko, engkau telah jatuh cinta!"
Kian Lee merenggut lengannya dan memandang dengan mata terbelalak. "Jangan main gila kau!" bentaknya lirih.
Kian Bu menggeleng kepalanya perlahan dan tersenyum. "Tidak, Lee-ko. Akan tetapi kaupikir saja sendiri. Engkau kenal pun belum dengan gadis itu, tahu namanya pun belum, akan tetapi engkau sudah menaruh perhatian sedemikian rupa sampai engkau melamun dan kelihatan muram. Engkau merasa sedih melihat keadaannya, apalagi namanya ini kalau bukan jatuh cinta?"
"Jangan engkau main-main, Bu-te. Terus terang saja aku memang amat tertarik kepada dia, merasa kasihan sekali kepadanya, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa aku jatuh cinta karena aku sendiri tidak tahu bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Sudahlah, jangan kau menggodaku dengan pembicaraan yang tidak ada gunanya ini."
Kian Bu masih tidak mau terima dan hendak membantah, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik dan tampak di luar pintu warung itu para penduduk dusun hilir mudik dan nampak sibuk sekali. Berbondong-bondong penduduk datang memasuki dusun itu, mungkin dari luar dusun dan wajah mereka rata-rata gembira seolah-olah mereka sedang menghadapi suatu peristiwa yang menggembirakan.
Ketika pelayan warung datang menghidangkan bakmi yang mereka pesan, Kian Bu bertanya, "Twako, apakah ribut-ribut itu? Dan mengapa semua orang keluar ke jalan raya?"
"Ada kabar gembira, Kongcu (Tuan Muda). Baru saja terdapat berita bahwa rombongan panglima akan lewat di dusun ini. Tentu saja semua penduduk di sini, bahkan penduduk dusun-dusun sekitar sini, keluar dari rumah semua untuk menyambut panglima yang kami cinta dan hormati!"
Dua orang kakak beradik itu merasa heran mengapa penduduk dusun begitu cinta kepada seorang panglima pasukan tentara. Biasanya, penduduk hanya mempunyai satu perasaan saja terhadap pasukan tentara, yaitu perasaan takut dan hormat yang timbul karena takut. Akan tetapi cinta?
"Apakah panglima itu baik sekali terhadap penduduk, Twako?" Kian Lee bertanya karena dia pun merasa heran sekali.
"Baik? Aih, Kongcu, beliau adalah pelindung kami, pelindung rakyat kecil di daerah utara ini. Kalau tidak ada beliau, entah apa jadinya dengan kami yang setiap hari selalu diganggu oleh suku bangsa liar dan bahkan oleh tentara sendiri yang bertugas di perbatasan, yaitu sebelum beliau berada di sini. Sekarang, kami hidup tenteram dan damai, semua berkat beliau yang bijaksana."
"Mengangumkan sekali!" Kian Lee berseru.
"Pernah dulu, di waktu kami di dusun-dusun kehabisan makanan karena musim kering terlalu panjang, beliau membagi-bagikan ransum pasukan kepada rakyat sehingga biarpun pasukannya agak mengurangi makan, namun rakyat tertolong dari bahaya kelaparan. Mengingat kebaikannya, di waktu panen yang berhasil baik, tanpa diminta rakyat sering mengirim hasil bumi ke benteng sehingga selalu terdapat hubungan baik antara rakyat dan tentara yang dipimpinnya.
Memang, di dunia ini kiranya hanya dapat dihitung dengan jari tangan pembesar sebaik Jenderal Kao Liang itu.
"Jenderal Kao....?" Kian Bu berseru amat kagetnya. Kiranya Jenderal Kao Liang yang dibicarakan pelayan ini! Dan mereka berdua sedang dalam perjalanan untuk menemui jenderal itu.
"Jadi dia kah yang akan disambut oleh rakyat ini?"
"Benar, kabarnya beliau hendak pergi ke kota raja dan lewat di sini." Pelayan itu menghentikan kata-katanya dan berlari keluar karena sudah terdengar suara riuh-rendah menandakan bahwa rombongan jenderal itu telah memasuki dusun!
"Ah, bagaimana ini, Lee-ko? Kita mengunjunginya, akan tetapi dia malah akan pergi ke kota raja!" Kian Bu berkata kepada kakaknya.
"Mari kita melihatnya, Bu-te, dan tentu saja kita harus memutar haluan pula, kembali ke kota raja karena kalau dia sudah pergi ke kota raja, surat ini tidak perlu lagi. Dia tentu akan bertemu pula dengan Enci Milana," kata Kian Lee tenang.
Keduanya lalu lari ke luar pula dari warung itu untuk menonton rombongan Jenderal Kao yang dielu-elukan oleh rakyat di sepanjang tepi jalan.
Ketika kedua orang kakak beradik ini keluar dan berdiri di tepi jalan bersama para penduduk dusun yang semua memandang sambil tersenyum ramah dan melambaikan tangah, ada yang memberi hormat, akan tetapi semua pandang mata menyinarkan kekaguman dan penghormatan, dengan mudah mereka berdua menduga siapakah di antara rombongan itu yang bernama Jenderai Kao Liang.
Jenderal yang tinggi besar, bertubuh tegap kuat seperti seekor singa tua, duduk di atas kudanya dengan tegak. Jenderal ini diapit oleh dua orang pengawal pribadinya. Hanya dua orang pengawal pribadi itulah anak buahnya, karena tidak ada pasukan pengiringnya yang terdiri dari anak buahnya sendiri. Di belakangnya tampak seorang pembesar gendut, utusan Kaisar yang ditemani oleh enam orang perwira pengawal Kaisar sendiri yang berpakaian gemerlapan indah. Setelah ini barulah berbaris pasukan pengawal Kaisar yang jumlahnya dua losin orang, semua berpakaian seragam dan naik kuda yang besar-besar.
Tampak sekali perbedaan pada wajah jenderal yang dicinta rakyat itu dengan wajah para perwira pengawal Kaisar. Pembesar utusan Kaisar itu bersama enam orang pengawal perwira, kelihatan berseri-seri wajahnya melihat sambutan penghuni dusun yang dilewati rombongan mereka. Dengan tersenyum-senyum, kadang-kadang mengerling penuh gaya kepada wanita-wanita muda yang ikut menyambut, mereka ini mengangkat dada, mengurut kumis dan menegakkan kepala, bangga bukan main hati mereka menyaksikan penyambutan itu. Mereka merasa diri mereka amat "penting" dan menjadi pusat perhatian dan penyambutan rakyat.
"Lee-ko, lihat, dia begitu muram...." bisik Kian Bu.
Memang benar demikian. Berbeda dengan utusan Kaisar dan para perwira pengawal istana yang menyambut dan membawanya ke kota raja untuk menghadap Kaisar yang memanggilnya, Jenderal Kao Liang kelihatan muram wajahnya, sama sekali tidak bergembira. Wajahnya yang gagah dan angker itu bahkan agak pucat, seolah-olah dia menghadapi hal yang amat tidak menyenangkan hatinya. Dia tidak kelihatan gembira dan bersemangat seperti biasanya, kini kelihatan lesu dan lemas di atas kudanya. Untuk sekedar  menerima penghormatan rakyat yang sebetulnya semua ditujukan kepadanya seorang, jenderal ini hanya melambaikan tangan ke kanan dan kiri.
Memang Jenderal Kao sedang merasa berduka. Hatinya sedang risau sekali. Dia sedang amat dibutuhkan di perbatasan untuk mengadakan pembersihan terhadap pengaruh pemberontak di dalam pasukan penjaga di perbatasan, dan semua itu harus dihadapinya sendiri secara langsung karena dia maklum akan bahayanya pengaruh itu. Dia harus yakin benar bahwa tidak ada kaki tangan
pemberontak Kim Bouw Sin yang menyelundup. Dan dia masih pula sedang merencanakan untuk membawa pemberontak itu ke kota raja agar diadili di sana di samping membuat laporan lengkap kepada pemerintah. Akan tetapi tiba-tiba Kaisar memerintahkan dia menghadap ke istana dengan segera dan dia tidak diperkenankan membawa pasukan pengawal, kecuali dua orang pengawal pribadinya yang juga bertugas sebagai pelayannya itu. Bahkan utusan Kaisar itu lalu menggunakan kekuasaannya untuk mengangkat seorang panglima di benteng itu untuk menjadi komandan sementara. Yang amat menggelisahkan hati Jenderal Kao sama sekali bukanlah keadaan dirinya sendiri, melainkan ada dua hal, yaitu pertama-tama Syanti Dewi yang terpaksa harus ditinggalkannya di benteng, dan kedua adalah Kim Bouw Sin, yang masih menjadi tahanan. Dia khawatir sekali kalau dia tidak berada di benteng itu, kaki tangan Kim Bouw Sin akan bergerak dan membebaskan bekas pemberontak itu.
Dia tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri sungguhpun dia merasa curiga akan peristiwa panggilan Kaisar ini. Betapapun juga, ada sedikit cahaya terang baginya kalau dia mengingat bahwa di kota raja terdapat Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, dua orang tokoh yang ia percaya adalah orang-orang yang setia kepada negara dan dapat diandalkan untuk menghadapi pihak pemberontak yang dia tahu secara rahasia dipimpin oleh dua orang Pangeran Tua Liong.
Kian Lee dan Kian Bu hendak meninggalkan warung itu setelah membayar akan tetapi ketika mereka berdua tiba di pintu warung hampir saja mereka bertabrakan dengan tiga orang yang baru turun dari atas kuda dan mereka bertiga itu memasuki warung dengan tergesa-gesa sehingga hampir menabrak dua orang kakak beradik itu. Akan tetapi, tiga orang itu dapat mengelak dengan gerakan yang gesit, kemudian tanpa mempedulikan Kian Lee dan Kian Bu, mereka terus memasuki warung. Gerakan mereka yang amat gesit itu tentu saja menarik perhatian dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka menengok dan memandang. Tentu saja mereka berdua terheran-heran melihat betapa tiga orang itu tidak duduk di atas bangku-bangku warung seperti lajimnya tamu yang hendak makan, melainkan terus menyelonong ke dalam melalui pintu tembusan kecil. Pelayan yang melihat mereka pun diam saja, seolah-olah hal itu tidak merupakan hal yang aneh.
Kian Lee dan Kian Bu saling berpandangan, merasa heran. Akan tetapi karena mereka tidak mengenal tiga orang itu, mereka tidak mengambil perhatian lagi lalu keluar dari dalam warung. Baru beberapa langkah mereka meninggalkan pintu warung, kembali ada dua orang yang sikapnya mencurigakan, dengan gesit telah menyelinap memasuki warung sambil menoleh ke kanan kiri. Ketika Kian Bu yang menaruh curiga itu memperhatikan, dua orang ini pun terus masuk ke bagian belakang warung itu seperti halnya tiga orang terdahulu!
"Eh, Lee-ko, dua orang itu pun masuk ke dalam!" Kian Bu berbisik sambll menyentuh lengan kakaknya.
"Biarkanlah, Bu-te. Kita tidak perlu mencampuri urusan orang. Yang penting kita harus membayangi rombongan Jenderal Kao," jawab Kian Lee yang biarpun tertarik nanun terpaksa menekan perasaannya karena ada tugas yang lebih penting bagi mereka, yaitu membayangi Jenderal Kao yang kelihatan berduka untuk melindungi sahabat baik dari kakak mereka itu.
Rombongan Jenderal Kao yang berkuda itu sudah lewat jauh dan hampir ke luar dari dusun itu, maka dua orang kakak beradik ini tergesa-gesa menyusul. Tentu saja karena di situ terdapat banyak orang, mereka tidak mau memperlihatkan kepandaian menggunakan ilmu berlari cepat, hanya berjalan biasa secepatnya agar tidak menarik perhatian orang.
"Awas, Bu-te....!" Tiba-tiba Kian Lee berseru ketika dari jalan simpangan, seorang penunggang kuda membalapkan kudanya.
Kuda itu besar dan baik sekali, penunggangnya seorang pemuda tampan yang sikapnya agak ugal-ugalan sehingga seolah-olah dia tidak peduli bahwa kudanya membalap dan akan menabrak dua orang pemuda yang sedang berjalan di depan itu.
Tentu saja mudah sekali bagi Kian Bu dan Kian Lee untuk bergerak ke samping dan menghindarkan diri ditabrak kuda. Terdengar suara ketawa dari pemuda yang menunggang kuda itu, yang ternyata pada saat itu pun sudah berhasil menyimpangkan kudanya dengan gerakan seorang ahli.
"Jahanam kau, manusia sombong!" Kian Bu membentak dan sudah mengepal kedua tinjunya untuk mengejar dan menyerang.
"Sssttt.... jangan layani dia, Bu-te....!" Kian Lee memegang lengan adiknya yang marah-marah itu. "Tugas kita lebih penting daripada urusan remeh itu."
Kian Bu bersungut-sungut, akan tetapi dia dan kakaknya menjadi makin terheran-heran melihat betapa pemuda penunggang kuda itu dengan sigapnya meloncat turun dari atas kudanya di depan warung, kemudian bergegas memasuki warung itu.
"Aihh, ini terlalu aneh. Pasti ada hubungannya dengan rombongan Jenderal Kao...." Kian Lee berbisik. "Sebaiknya kita selidiki, akan tetapi harap kau jangan menimbulkan gara-gara, Bu-te."
Mereka lalu menyelinap di antara banyak orang menghampiri warung itu secara diam-diam dari belakang. Sementara itu, hari pun mulai gelap. Dua orang kakak beradik menanti sampai keadaan menjadi sunyi, bersembunyi tidak jauh dari warung.
"Kita terpaksa menanti sampai gelap, Bu-te."
"Bagaimana kalau rombongan jenderal itu meninggalkan kita terlampau jauh?"
"Tidak, mereka tentu akan berhenti di dusun besar selatan yang telah kita lewati pagi tadi dan bermalam di sana. Malam ini kita bisa mengejar dan menyusul mereka di sana."
Setelah suasana menjadi sunyi dan cukup gelap, dua orang kakak beradik ini berindap-indap menghampiri warung dan akhirnya mereka berhasil mengintai dari balik jendela di ruangan belakang warung itu. Ternyata bahwa enam orang itu sedang bercakap-cakap dengan suara perlahan, duduk mengelilingi sebuah meja. Melihat sikap mereka, jelas bahwa pemuda berkuda yang hampir menabrak mereka tadi merupakan orang penting, dan agaknya dialah yang memimpin perundingan itu. Dengan amat hati-hati dan tidak mengeluarkan suara karena maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan, Kian Lee dan Kian Bu mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hati kedua orang kakak beradik ini ketika mendengar percakapan enam orang itu. Dari percakapan itu mereka mengerti bahwa enam orang ini adalah kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong dan mereka ini merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Kao Liang! Juga dari percakapan mereka, atas penjelasan pemuda tampan yang kudanya hampir menabrak mereka tadi, Kian Lee dan Kian Bu mendengar betapa panggilan Kaisar terhadap Jenderal Kao Liang juga diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong! Pangeran ini membujuk Kaisar untuk memanggil dan memeriksa Jenderal Kao, karena menurut Pangeran Liong Bin Ong, Jenderal Kao kini telah menguasai seluruh pasukan inti, maka menjadi amat berbahaya. Buktinya, jenderal itu seringkali mengambil langkah-langkah pengamanan tanpa melapor ke kota raja lebih dulu sehingga seluruh kekuasaan
atas semua pasukan boleh dibilang berada di tangannya. Kalau orang seperti itu sampai memberontak, tentu sukar untuk dibendung, demikian alasan Pangeran Liong kepada Kaisar sehingga Kaisar merasa khawatir juga, maka lalu mengutus pembesar memanggil Jenderal Kao ke kota raja. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pangeran Liong Bin Ong yang maklum akan kekuatan pasukan pengawal yang menjemput Jenderal Kao untuk menyiapkan enam orang itu sebagai penculik dan pembunuh!
"Akan tetapi, Ang-taihiap!" seorang di antara mereka membantah kepada pemuda tampan itu. "Dia dikawal oleh dua losin orang pengawal Kaisar, enam orang perwira pengawal, dan jenderal itu sendiri kabarnya memiliki kepandaian tinggi, belum lagi dua orang pengawal pribadinya...."
"Apakah engkau takut?" Tiba-tiba pemuda itu membentak dan Kian Lee bersama adiknya terkejut. Pemuda itu tadinya bersikap halus, akan tetapi ketika membentak, suaranya mengandung getaran yang amat kuat dan orang itu pun gemetar ketakutan.
"Tida k.... tidak, Taihiap.... hanya saya ingin berhati-hati agar jangan sampai gagal...."
"Hemm, kaukira kami begitu bodoh dan ceroboh? Selain kita berenam, masih ada Siang Lo-mo dan teman-temannya yang akan muncul di hutan itu. Mereka sudah menanti di sana. Tentang Jenderal Kao, serahkan saja kepadaku."
"Jadi kita besok pagi-pagi mengejar dan membayangi dari belakang, setibanya di hutan di lereng bukit di selatan itu kita serbu...."
"Kalian bantu Siang Lo-mo dan teman-temannya menghadapi yang lain, sedangkan Jenderal Kao aku sendiri yang akan Menghadapinya. Mengerti?" Pemuda yang disebut Ang-taihiap (Pendekar Besar she Ang) itu berkata lagi.
Kian Lee dan Kian Bu dengan hati-hati mundur menjauhkan diri dari rumah makan. Kian Lee sengaja mengajak adiknya pergi karena dia maklum akan watak adiknya yang keras. Tadi sudah dilihatnya wajah adiknya berubah merah. Setelah agak jauh, Kian Bu benar saja memprotes, "Lee-ko! Sudah jelas persekutuan busuk itu hendak berbuat jahat, mengapa tidak kita basmi sekarang saja?"
"Ssstt, Bu-te. Urusan ini bukanlah urusan pribadi, melainkan urusan kerajaan yang terancam pemberontakan. Mereka belum melakukan apa-apa, bagaimana kita bisa menentang mereka? Buktinya belum ada, maka sebaiknya kita sekarang menyusulrombongan Jenderal Kao dan melindunginya. Kalau besok di hutan itu mereka turun tangan, barulah kita menghadapi mereka."
Kian Bu mengangguk-angguk. "Kau benar, Lee-ko. Juga aku ingin bertemu lagi dengan Siang Lo-mo, musuh besar kita itu. Dulu, di Pulau Es, aku belum sempat menampar kepala botak mereka dan sekarang terbuka kesempatan baik!"
"Bu-te, kuharap engkau berhati-hati dan jangan memandang rendah lawan. Siang Lo-mo yang telah berani menyerbu Pulau Es bukanlah lawan ringan, dan kulihat pemuda yang she Ang itu pun bukan orang sembarangan. Engkau tentu mendengar kekuatan suaranya tadi."
Kian Bu mengangguk dan kelihatan gemas. "Orangnya muda, tampan dan gagah, akan tetapi sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Dan dia tadi hampir menubrukku dengan kuda. Awas dia, besok aku akan membikin perhitungan!"
Kakak beradik itu lalu meninggalkan dusun dan melakukan perjalanan cepat sekali mengejar rombongan Jenderal Kao Liang. Tepat seperti yang diduga oleh Kian Lee, rombongan itu bermalam di dusun besar, di tempat kepala dusun sendiri yang menyambut Jenderal Kao dengan penuh penghormatan.
Siapakah pemuda tampan berkuda yang hampir menubruk Kian Bu dan Kian Lee? Melihat shenya, tentu pembaca sudah dapat menduga siapa orangnya. Dia memang Ang Tek Hoat, pemuda yang menjadi amat lihai setelah dia mewarisi kitab-kitab dari para datuk Pulau Neraka yang dibawa oleh tokoh Pulau Neraka Kong To Tek. Seperti telah dituturkan di bagian depan, pemuda itu telah menghambakan diri kepada Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang mengusahakan pemberontakan tersembunyi terhadap Kaisar, bersama adiknya, Pangeran Liong Khi Ong. Telah kita ketahui bahwa Tek Hoat berhasil menyelamatkan Ceng Ceng dari perahu yang terguling dan dia tidak mau mengganggu dara itu karena maklum bahwa Ceng Ceng adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang diam-diam telah merampas hatinya! Tadinya dia mengharapkan akan dapat menemukan puteri itu melalui Ceng Ceng, akan tetapi kemudian mendongkollah hatinya ketika mendapatkan kenyataan bahwa dara itu pun sama sekali tidak tahu di mana adanya Syanti Dewi. Apalagi sikap Ceng Ceng amat mengganggunya. Maka, ketika dia mengadakan pertemuan dengan Pangeran Liong Khi Ong di sungai dalam hutan itu dan kembali ke tempat dia meninggalkan Ceng Ceng dia melihat bahwa dara itu telah lenyap, dia pun tidak begitu mempedulikan. Agaknya lebih baik kalau dia jauh dari dara yang galak dan berbahaya itu, pikirnya, dan dia pun lalu mulai mencari-cari Syanti Dewi, bukan hanya memenuhi perintah Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi juga untuk kepentingan
hatinya sendiri karena pemuda ini sudah jatuh hati kepada Puteri Bhutan yang lemah lembut itu!
Akan tetapi, usahanya telah gagal. Tak ada seorang pun tahu di mana adanya Syanti Dewi. Hanya dia memperoleh keterangan tentang adanya seorang pria setengah tua bersama seorang dara cantik dan asing melakukan perjalanan ke utara. Maka dia hendak menyusul dan mencari ke utara setelah lebih dulu dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong dan menceritakan semua hasil pekerjaannya.
Pangeran ini malah memberi tugas yang amat penting baginya, yaitu untuk memimpin rombongan kaki tangan pangeran itu menghadang, menculik atau membunuh Jenderal Kao Liang yang sedang menuju ke kota raja memenuhi panggilan Kaisar!
Demikianlah, pemuda berkuda yang mengadakan perundingan dengan lima orang kaki tangan pemberontak itu adalah Ang Tek Hoat. Sama sekali pemuda ini tidak menyangka bahwa gerak-geriknya sudah diketahui oleh dua orang pemuda laln, dua orang putera dari Pulau Es yang amat lihai!
******
Jenderal Kao Liang sudah merasa tidak enak hatinya semenjak dia meninggalkan kereta. Sebagai seorang panglima perang yang hidupnya selalu berhadapan dengan bahaya maut, agaknya di dalam dirinya sudah terdapat ketajaman perasaan apabila dia terancam bahaya. Maka di samping kekecewaannya dan penyesalannya akan peristiwa yang menimpa dirinya, dipanggil oleh Kaisar tanpa sebab dan secara tiba-tiba itu, diam-diam dia telah mempersiapkan diri untuk menjaga dirinya baik-baik, karena dia hampir merasa yakin bahwa di balik panggilan Kaisar ini tentu tersembunyi sesuatu yang mengancam keselamatan dirinya.
Pagi-pagi rombongan itu meninggalkan dusun, diantar dan ditonton oleh semua penduduk dusun itu, dan tentu saja, seperti kebiasaan di jaman itu, bahkan kebiasaan di jaman dahulu sampai sekarang, para pembesar setempat tidak melupakan "kewajiban" mereka untuk membekali apa-apa yang berharga untuk pembesar utusan Kaisar yang mulia berikut seluruh perwira dan pasukan pengawalnya, dengan harapan tentu saja bahwa jasa baik mereka ini akan memperoleh imbalan dari atasan atau setidaknya pujian yang akan memperkuat kedudukan mereka sebagai pemimpin dusun itu!
Akan tetapi, mereka itu sama sekali tidak berani memberi sesuatu kepada Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya, karena mereka sudah cukup mengenal akan watak jenderal ini yang pasti akan marah keras kalau ada pembesar setempat memberi apa-apa kepadanya secara tidak wajar dan tidak semestinya.
Dengan gembira, kecuali Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang maklum dan dapat merasakan kedukaan pemimpin mereka, rombongan itu meninggalkan dusun menuju ke bukit di depan. Setelah melewati bukit yang melintang di depan itu, mereka akan tiba di daerah yang makmur dan ramai, di mana banyak terdapat kota dan dusun yang akan menyambut mereka dengan penuh penghormatan dan perjalanan tidaklah begitu sukar lagi seperti di daerah padang pasir ini. Masih teringat oleh utusan Kaisar dan para penglkutnya betapa di kota-kota dan dusun-dusun di seberang perbukitan itu, ketika mereka berangkat ke utara, mereka
disambut dengan segala kehormatan dan keramahan. Dan masih terasa oleh mereka akan keramahan beberapa orang pembesar setempat, sedemikian ramahnya mereka sehingga selain hidangan makanan lezat dan bekal perak dan emas, juga di waktu bermalam mereka disuguhi wanita-wanita cantik untuk menemani dan menghibur mereka! Sungguh suatu pelayanan istimewa yang dipergunakan oleh para pembesar dalam menjamu tamu-tamu agungnya, pelayanan yang juga sudah ada semenjak jaman kuno sampai sekarang!
Hari itu panas sekali. Matahari memuntahkan cahayanya dengan bebas tanpa penghalang. Rombongan itu bersama kuda mereka mandi keringat mendaki perbukitan. Berkali-kali pembesar utusan Kaisar mengeluh panjang pendek. Baju-baju bulu tebal yang mereka terima sebagai hadiah kepala dusun dan yang indah dan mahal, yang tadi mereka pakai ketika meninggalkan dusun itu dengan penuh kebanggaan, kini mulai dirasakan mengganggu. Pembesar itu sudah menanggalkan baju bulunya, meletakkannya di atas pelana kuda di depannya, bahkan membukai kancing bajunya untuk mengurangi kegerahan. Demikian pula para perwira dan pasukan pengawal. Hanya Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang tetap saja tidak berubah. Mereka adalah perajurit-perajurit sejati yang sudah biasa akan segala penderitaan badan, sudah biasa akan serangan panas hebat dan dingin membeku. Biarpun muka dan leher mereka penuh keringat, namun mereka tidak pernah mengeluh, dan menganggap hal ini wajar saja.
"Setan keparat, panasnya!" Pembesar gendut utusan Kaisar mengeluh dan menyeka muka dan leher dengan saputangan sutera yang sudah basah kuyup. "Dimakan setan aku kalau pernah menderita kepanasan seperti ini. Keparat! Hayo kita mengaso di depan sana, di lapangan rumput yang teduh itu!" Dia menunjuk ke depan dan rombongan itu mempercepat jalannya kuda mereka menuju ke pohon besar sehingga tempat itu cukup teduh.
Akan tetapi baru saja mereka semua turun dari kuda di bawah pohon, tiba-tiba Jenderal Kao Liang meloncat bangun lagi dan berseru, "Awas....!"
Semua orang terkejut dan memandang. Ternyata tempat itu telah dikurung oleh belasan orang, dipimpin oleh seorang pemuda tampan dan dua orang kakek aneh, yang seorang berbaju bulu tebal bermuka putih, yang seorang lagi bertelanjang baju bermuka merah.
"Hei, kalian mau apa....?" Baru saja seorang pengawal membentak demikian, dia sudah roboh berkelojotan karena perutnya pecah disambar golok seorang di antara mereka! Tentu saja kejadian ini membuat semua orang terkejut. Para pengawal segera mencabut senjata masing-masing, enam orang perwira pengawal meneriakkan aba-aba dan pasukan itu cepat membentuk lingkaran melindungi pembesar gendut dan Jenderal Kao. Pembesar itu berdiri dengan muka pucat, lalu membusungkan dadanya dan berkata dengan lantang, "Heii, kalian orang-orang gagah, dengarlah baik-baik! Aku adalah seorang utusan istimewa dari Kaisar! Jangan kalian berani mengganggu rombongan kami karena hal itu berarti pemberontakan!"
Terdengar suara terkekeh-kekeh yang diikuti oleh suara ketawa semua orang yang mengurung tempat itu, kecuali Si Pemuda Tampan. Yang terkekeh itu adalah dua orang kakek aneh tadi. Kakek bermuka merah, bertubuh kurus kering dan bertubuh telanjang bagian atasnya sambil terkekeh meloncat dan tahu-tahu tubuhnya melayang melalui kepala para pengawal, dan turun di dekat pembesar utusan Kaisar.
"Memberontak? Heh-heh, memberontak!" katanya sambil mengeluarkan sebatang pecut baja yang tadinya melingkari pinggangnya.
"Pemberontak! Tangkap mereka!" Pembesar gendut itu berteriak, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara meledak, pecut itu menyambar dan pembesar gendut tadi menjerit dan roboh dengan kepala hampir remuk!
"Manusia jahat!" Jenderal Kao membentak, dia sudah mencabut pedang dan menerjang ke depan dengan pedangnya, menyerang kakek telanjang.
"Singg.... tarr.... cringgg....!" Jenderal Kao terkejut dan terhuyung ke belakang. Pertemuan senjata itu membuat lengannya tergetar hebat, tanda bahwa kakek itu memang lihai bukan main.
"Lam-thian Lo-mo, tinggalkan dia untukku!" teriak Si Pemuda Tampan dan tubuhnya sudah melayang ke atas. Sementara itu, pasukan pengawal sudah bergerak dan terjadilah perang kecil yang seru di antara para pengepung dan para pengawal. Enam perwira itu pun mengamuk dengan senjata mereka. Dua orang kakek kembar itu bukan lain adalah Siang Lo-mo yang amat lihai. Mendengar seruan pemuda tampan yang bukan lain adalah Tek Hoat itu, Lam-thian Lo-mo tertawa dan meninggalkan Jenderal Kao, lalu bersama saudaranya yang berbaju bulu mereka berdua mengamuk dan merobohkan para pasukan dengan mudahnya. Mereka segera dikurung oleh enam orang perwira pengawal.
Sementara itu, Tek Hoat telah meloncat tinggi ke arah Jenderal Kao sambil membentak, "Jenderal Kao, kau ikut bersamaku!"
Dari kanan kiri, dua orang pengawal pribadi jenderal itu menyambut dengan pedang mereka, menusuk dari kanan kiri ke arah tubuh pemuda tampan yang tidak bersenjata itu. Tek Hoat mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, dan dengan kedua tangan telanjang dia menyambut datangnya dua pedang dari kanan kiri, menangkap pedang tajam itu dan sekali dia mengerahkan tenaga, pedang-pedang itu patah! Dua orang pengawal terkejut sekali, akan tetapi tampak dua sinar terang menyambar dan dua orang itu menjerit dan roboh terjengkang, dada mereka tertembus oleh potongan pedang mereka sendiri yang disambitkan oleh Tek Hoat.
Bukan main kagetnya hati Jenderal Kao menyaksikan hal itu. Dua orang pengawal pribadinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun mereka dirobohkan secara demikian mudah dan aneh oleh pemuda ini.
"Siapa kau? Mengapa kau menyerang kami?" Jenderal Kao bertanya.
Pemuda itu hanya tersenyum, tidak menjawab, hanya melangkah maju menghampiri Jenderal Kao, sikapnya ini bahkan menimbulkan ancaman mengerikan. Tiba-tiba terdengar seruan halus, "Kao-goanswe, tenanglah, serahkan saja pemberontak she Ang ini kepada kami!"
Dua bayangan orang berkelebat menyambar. Yang seorang turun di depan Jenderal Kao melindungi, yang seorang lagi langsung menghantam dengan tangan kosong ke arah lambung Tek Hoat sambil berteriak, "Manusia sombong, rasakan perhitunganku ini!" Pemuda yang menyerang ini bukan lain adalah Suma Kian Bu, dan dia telah mengerahkan sin-kang memukul lambung lawan.
"Eihhh....! Desss....!"
Tangkisan Tek Hoat membuat keduanya terpental dan keduanya terkejut setengah mati. Kian Bu terkejut karena baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang demikian kuatnya, yang membuat pukulannya yang mengandung sin-kang Hwi-yang Sin-ciang tadi membalik karena bertemu dengan hawa pukulan yang amat kuat. Di lain pihak Tek Hoat juga terkejut karena tangkisannya tadi membuat lengannya tergetar dan terserang oleh hawa yang amat panas. Tahulah dia bahwa pemuda di depannya ini adalah seorang yang amat
lihai. Juga dia heran mengapa dua orang pemuda ini telah mengenal namanya. Akan tetapi karena pada saat itu dia menghadapi tugas amat penting, yaitu menculik Jenderal Kao, dia tidak mempedulikan hal ini.
"Siang Lo-mo, harap kalian hadapi bocah ini!" teriaknya.
Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo meloncat ke depan dan cambuk baja mereka meledak-ledak mengancam Kian Lee dan Kian Bu. Dua orang kakek kembar ini tadi dalam waktu singkat telah merobohkan enam orang perwira yang mengeroyoknya dengan amukan cambuk mereka!
"Bagus, dahulu kami tidak sempat membunuh kalian!" teriak Kian Bu yang cepat menerjang maju menghadapi cambuk di tangan Lam-thian Lo-mo.
"Tar-tar-tar.... wuuuuttt.... desss....!"
Lam-thian Lo-mo mengeluarkan seruan kaget. Sambaran cambuknya tadi dua kali dapat dielakkan pemuda itu dan yang ke tiga kalinya bahkan ditangkis oleh tangan kiri pemuda itu sedangkan tangan kanan pemuda itu memukulnya dengan dahsyat. Ketika dia menangkis dengan tangan kirinya, dia merasakan hawa yang amat dingin menyusup ke lengannya!
Juga Pak-thian Lo-mo berhadapan dengan Kian Lee yang langsung mengirim pukulannya yang paling ampuh, yaitu pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), ilmu khas dari Pulau Es. Pukulannya ini membuat cambuk Pak-thian Lo-mo terpental dan kakek ini terhuyung karena terdorong oleh hawa pukulan yang selain amat kuat juga mengandung hawa dingin sekali.
"Pulau Es....!" Siang Lo-mo berseru hampir berbareng.
"Dulu kalian menyerang pulau kami, sekarang kalian membantu pemberontak. Manusia-manusia jahat!" Kian Lee membentak dan dua orang kakak beradik ini kembali telah menyerang dengan hebatnya. Siang Lo-mo terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang pemuda Pulau Es itu, bahkan berteriak memanggil teman-temannya untuk membantu mereka.
Sementara itu, Tek Hoat sudah menerjang Jenderal Kao. Jenderal ini yang maklum akan kelihaian pemuda yang memimpin penyerbuan itu, cepat menggerakkan pedangnya menyambut dengan serangan dahsyat. Namun dengan amat mudahnya Tek Hoat mengelak beberapa kali, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan dan uap hitam menyambar. Jenderal Kao terkejut, sudah cepat mengelak, namun maslh ada bau uap hitam itu tersedot olehnya. Tiba-tiba dia merasa pening dan dia tidak dapat menghindarkan lagi ketika pergelangan tangannya tercium ujung sepatu Tek Hoat yang tadi menggunakan uap beracun. Pedang jenderal itu terlempar dan di lain saat dia telah roboh tertotok oleh Tek Hoat yang amat lihai. Andaikata pemuda ini tidak mempergunakan uap beracun yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Jenderal Kao, kiranya tidaklah begitu cepat dia dapat merobohkan jenderal yang perkasa ini. Namun Tek Hoat sudah merasa khawatir kalau-kalau tugasnya gagal ketika melihat munculnya dua orang pemuda yang amat lihai itu, maka dia mengeluarkan kelihaiannya menggunakan racun, atau pukulan beracun yang dapat mengeluarkan uap hitam, satu di antara ilmu-ilmu yang dia pelajari dari kitab-kitab para datuk Pulau Neraka. Cepat bagaikan seekor burung walet, Tek Hoat sudah menyambar tubuh jenderal itu dan biarpun jenderal itu bertubuh tinggi besar, namun dengan ringannya Tek Hoat dapat memanggulnya dan membawanya lari seperti kijang melompat.
Melihat hal ini, Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali. Mereka mendengar dari Milana bahwa Jenderal Kao memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan tadi pun mereka sudah melihat gerak-gerik jenderal itu memang cukup hebat, akan tetapi mereka sama sekali tidak menyangka bahwa dalam beberapa jurus saja jenderal itu telah dapat dirobohkan dan ditawan oleh pemuda yang amat lihai itu! Mereka tentu saja hendak mengejar dan menolong jenderal yang telah duculik, akan tetapi Siang Lo-mo dan beberapa orang pembantunya sudah mengepung dan menyerang mereka berdua dengan hebat. Kini Siang Lo-mo sudah ingat kepada dua orang pemuda ini. Beberapa tahun yang lalu, ketika mereka dan beberapa orang tokoh dunia persilatan golongan sesat menyerbu Pulau Es, dua orang pemuda ini juga membantu keluarga Pendekar Super Sakti sehingga mereka semua dipukul mundur dan terpaksa melarikan diri dari Pulau Es. Dari pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa, pukulan khas dari Pulau Es karena kiranya tidak ada tokoh dunia persilatan yang mampu mempergunakan pukulan seperti itu kecuali keluarga Pulau Es, mereka dapat mengenal Kian Lee dan Kian Bu. Maka Siang Lo-mo lalu menggerakkan seluruh kepandaian dan para pembantunya untuk mengepung dua orang pemuda berbahaya ini.
Kian Lee dan Kian Bu juga maklum bahwa tidak mungkin seorang di antara mereka meninggalkan gelanggang pertempuran untuk mengejar pemuda yang menculik Jenderal Kao. Pihak pengeroyok yang dipimpin oleh Siang Lo-mo ini cukup kuat dan berbahaya sehingga perlu dilayani oleh mereka berdua. Kalau seorang di antara mereka pergi mengejar penculik Jenderal Kao, berarti meninggalkan saudara terancam bahaya.
"Kalian memang pantas dibasmi habis!" Kian Bu berteriak marah sekali dan kini gerakannya seperti seekor burung rajawali mengamuk. Biarpun dia dan kakaknya tidak bersenjata, namun mereka memiliki gerakan yang amat tangkas dan cepat sekali, bahkan tidak kalah cepatnya oleh gerakan cambuk-cambuk baja di tangan Siang Lo-mo! Kian Lee dan Kian Bu mengamuk hebat dan dalam gebrakan selanjutnya, mereka telah merobohkan empat orang pengeroyok dan memaksa Siang Lo-mo untuk melangkah mundur sampai tiga tindak.
"Lee-ko, kita basmi mereka!" seru Kian Bu yang sudah marah.
"Tidak, Bu-te. Mari ikut aku, kita harus menolong Jenderal Kao!" Kian Lee berkata. Mereka menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mundur karena gentar menghadapi sepak terjang mereka, untuk meloncat cepat seperti sepasang rajawali sakti, meninggalkan lapangan pertandingan secara berbareng.
"Wir-wirrr....!"
"Sing-sing....!"
"Siuuut....!"
Senjata-senjata rahasia yang bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum dan peluru baja menyambar ke arah Kian Lee dan Kian Bu. Namun kedua orang muda itu tidak peduli, hanya melindungi tubuh mereka dengan sin-kang, sehingga ketika senjata-senjata kecil itu mengenai tubuh belakang mereka, senjata-senjata itu runtuh ke tanah seperti mengenai arca baja saja. Hal itu membuat para pembantu Siang Lo-mo memandang dengan bengong dan terbelalak kaget dan jerih.
"Hanya setan yang tahu bagaimana bisa muncul dua bocah Pulau Es di sini!"
Pak-thian Lo-mo mengomel. "Hayo kejar mereka!"
Semua pengawal kaisar telah roboh, termasuk pembesar utusan kaisar dan para perwira, juga dua orang pengawal pribadi Jenderal Kao. Akan tetapi pihak Siang Lo-mo juga tinggal enam orang lagi, delapan orang bersama mereka, dan kini mereka melakukan pengejaran. Akan tetapi enam orang pembantu mereka mengejar dengan muka pucat dan hati jerih, apalagi mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah orang-orang dari Pulau Es, nyali mereka sudah terbang sebagian. Hati Siang Lo-mo menjadi lega ketika melihat betapa dua orang muda itu mengejar ke arah jurusan yang keliru, bukan ke jurusan di mana Tek Hoat melarikan Jenderal
Kao seperti yang telah direncanakan semula. Maka dua orang  kakek ini bersama teman-temannya juga terus mengejar seenaknya, apalagi karena memang dalam hal ilmu berlari cepat, mereka kalah jauh oleh dua orang muda yang berlari seperti sepasang rajawali sedang terbang itu.
Kian Lee dan Kian Bu memang sudah kehilangan jejak Tek Hoat. Penculik Jenderal Kao itu tadi berlari juga amat cepatnya, sehingga ketika dua orang pemuda Pulau Es itu menghadapi pengeroyokan Siang Lo-mo dan teman-temannya, Tek Hoat telah lari jauh dan lenyap. Kian Lee dan Kian Bu mengejar tanpa arah, dan mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dibawa oleh penculiknya menghadap kepada pemberontak, dan mengingat akan percakapan mereka dengan Milana bahwa pemberontak secara diam-diam dipimpin oleh Pangeran Liong, mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dilarikan oleh penculik lihai itu ke kota raja. Karena ini, maka mereka pun melakukan pengejaran terus menuju ke kota raja. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa Tek Hoat membawa jenderal itu ke puncak pegunungan itu, di tempat tersembunyi di dalam hutan yang sunyi, dan akhirnya memasuki sebuah kuil tua di hutan lebat itu.
Kian Lee dan Kian Bu mempercepat larinya karena mereka mengambil keputusan bahwa apabila mereka tidak berhasil mengejar penculik Jenderal Kao, mereka akan segera melaporkan hal ini kepada enci mereka, Puteri Milana. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
******
Ceng Ceng merasa betapa tubuhnya lemas, hampir habis tenaga karena kelelahan dan juga amat laparnya. Dia memasuki hutan di dekat puncak pegunungan kecil itu dan melihat sebuah kuil tua di tengah hutan, dia lalu memasukinya dan menjatuhkan dirinya dengan lemas di atas lantai kuil yang tidak terpelihara dan penuh dengan lumut karena atap di atas tempat itu sudah berlubang sehingga air hujan dan sinar matahari dapat menerobos masuk dan menciptakan lumut. Dia mengeluh perlahan dan memejamkan matanya. Dia tidak mampu untuk menangis lagi. Sudah habis tangisnya, sudah terkuras kering air matanya. Teringat dia betapa sejak peristiwa hebat yang terjadi di dalam guha itu, sampai saat ini, dia tidak pernah makan atau minum!
Tubuhnya menggigil, gemetar dan perutnya mengeluarkan bunyi. Dia membiarkannya saja bahkan lalu merebahkan diri. Begitu lemas tubuhnya, pening kepalanya dan kosong perasaannya. Ketika dia memejamkan matanya, terasa tubuhnya seperti melayang-layang. Aku kelaparan, pikirnya, tubuhku lemas kepalaku pening. Akan tetapi betapa nikmatnya begini, betapa nikmatnya rebah untuk tidak bangkit kembali. Betapa enaknya mati, daripada hidup menanggung aib dan malu, menanggung derita yang amat hebat.
Tiba-tiba dia membuka matanya dan seperti ada kekuatan baru, dia meloncat dan berdiri, mengepal tinjunya, matanya bersinar-sinar dan muka yang pucat itu kini bersinar kemerahan seperti dibakar.
"Tida k....! Tidaaaakkk....!" Dia berteriak dan baru sadar bahwa dia berteriak-teriak ketika mendengar gema suaranya sendiri. Bibirnya bergerak-gerak, akan tetapi kini dia tidak berteriak lagi.
"Aku tidak boleh mati! Aku harus hidup, aku harus mencari dia, aku harus membunuh dia, baru aku boleh mati!"
Timbul kembali semangat dan gairahnya untuk hidup ketika di dalam himpitan kedukaan itu dia teringat akan sakit hatinya, seolah-olah di dalam kegelapan dia melihat titik terang. Apalagi sekarang dia memperoleh harapan baru untuk mencari pemuda laknat yang telah menghancurkan harapan hidupnya setelah dia mendengar cerita pelayan Si Dewa Bongkok. Pemuda itu katanya menuju ke kota raja! Jangankan hanya ke kota raja, biar pergi ke neraka sekalipun akan dikejar dan dicarinya.
Gairah baru yang timbul itu membuat Ceng Ceng berlari keluar dari kuil dan tak lama kemudian dia sudah kembali lagi membawa seekor bangkai kelinci dan beberapa macam buah yang dipetiknya di hutan. Kemudian dia memillh tempat yang bersih di dalam kuil tua, memanggang daging kelinci dan mengisi perutnya yang sudah amat lapar.
Setelah perutnya kenyang, tenaganya pulih maka mulailah dia mengantuk karena matanya pun sangat membutuhkan istirahat. Dia membersihkan kolong meja di belakang sebuah arca Jilaihud yang besarnya melebihi manusia itu, arca yang tidak terpelihara dan sudah berlumut karena tertimpa hujan dan cahaya matahari. Seperti seekor kucing malas, Ceng Ceng merebahkan diri di belakang arca dan melingkar, sebentar saja dia sudah tertidur.
Ceng Ceng tidak tahu sama sekali akan apa yang terjadi di luar kuil, tak lama kemudian dia tidur pulas. Dari dalam hutan, di luar kuil itu, muncullah Ang Tek Hoat yang masih mengempit tubuh Jenderal Kao Liang, diiringi oleh dua orang lain, yaitu seorang nenek yang berwajah kejam dan seorang laki-laki tua berkepala gundul berpakaian pendeta berwarna kuning yang sudah kumal. Hwesio tua bertubuh tegap itu memegang sebatang toya dan mereka berdua mengiringkan Tek Hoat dengan wajah yang serius. Mereka ini termasuk kaki tangan pemberontak yang diperbantukan kepada Tek Hoat di samping Siang Lo-mo yang amat lihai itu.
Setelah tiba di depan kuil, Tek Hoat melepaskan kempitan lengannya sehingga tubuh jenderal itu terjatuh ke atas tanah. Jenderal Kao tidak mampu melawan lagi karena kedua kakinya telah ditotok oleh pemuda lihai itu sehingga lumpuh dan dia hanya mampu menggerakkan tubuh dari pinggang ke atas.
"Uhhh....!" Dengan sukar jenderal itu berhasil bangkit duduk, memandang kepada Tek Hoat sambil tersenyum mengejek lalu berkata, "Orang muda, engkau lihai sekali, Sayang engkau menjadi kaki tangan pemberontak. Setelah kau berhasil menawanku, tidak lekas membunuh mau menanti apa lagi?"
Tek Hoat tidak menjawab, hanya memandang tajam, kemudian dia mengeluarkan dari balik jubahnya yang lebar itu sehelai kertas putih, pit dan bak, kemudian menyodorkan alat-alat tulis itu kepada Jenderal Kao sambil berkata, "Jenderal Kao, engkau sudah menjadi taklukan dan tawanan kami. Akan tetapi mati atau hidupmu adalah engkau sendiri yang menentukannya. Kami memberimu dua pilihan, yaitu engkau memilih hidup ataukah mati." Tek Hoat menghentikan sebentar kata-katanya dan Jenderal Kao mendengarkandengan sikap tidak peduli. Kemudian dia melanjutkan, "Kalau engkau memilih hidup, tulislah pengakuan di atas kertas ini bahwa engkau merencanakan pemberontakan dan bahwa Panglima Kim Bouw Sin telah berani menentang usaha pemberontakanmu maka kau lalu menangkapnya. Nah, pengakuanmu itu berarti hidup bagimu karena engkau akan kubebaskan. Kalau engkau menolak, berarti engkau memilih mati."
Tiba-tiba jenderal itu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh dan terdengar menyeramkan bagi Tek Hoat dan dua orang pembantunya. Dengan sinar mata berapi dan wajah membayangkan kegagahan, jenderal yang sudah tidak berdaya itu menjawab, "Orang muda, siapa pun adanya engkau dan betapa lihai pun engkau, jangan harap untuk dapat membujuk aku untuk melakukan perbuatan rendah itu dengan ancaman ke matian. Aku orang she Kao adalah seorang laki-laki sejati yang tidak gentar menghadapi
kematian. Bagiku, seribu kali lebih baik mati dalam kebenaran daripada hidup bergelimang kehinaan. Andaikata aku memiliki sepuluh nyawa sekalipun akan kurelakan semua daripada harus melakukan apa yang kauminta itu, apalagi nyawaku hanya satu. Kau hendak bunuh, bunuhlah. Dunia tidak akan berubah dengan matinya seorang manusia!"
Tek Hoat memandang kagum akan tetapi juga mendongkol. Tugasnya adalah memaksa jenderal ini membuat surat pengakuan itu, karena Pangeran Liong Bin Ong amat membutuhkan surat seperti itu untuk menyatakan kebersihan dirinya dan melemparkan kekotoran pemberontak kepada Jenderal Kao Liang sehingga dengan demikian dia akan dapat melanjutkan usaha kotornya dengan aman. Kini, menghadapi sikap jenderal yang benar-benar amat jantan, timbul rasa kagum di hati Tek Hoat. Akan tetapi dia teringat akan tugasnya sendiri, teringat akan cita-citanya sendiri untuk meraih kedudukan setinggi mungkin melalui engabdiannya kepada Pangeran Liong, maka dia lalu berkata dengan suara dingin, "Baiklah, engkau sendiri yang memilih mati dan jangan kau mengira akan dapat mati dengan mudah dan enak saja." Dia menoleh kepada hwesio dan nenek itu sambil berkata, "Bikin api unggun yang besar. Kita bakar dia hidup-hidup, hendak kulihat apakah dia masih begitu tenang menghadapi kematian!" Dengan sikap ini Tek Hoat masih ingin menakut-nakuti jenderal itu dengan harapan Jenderal Kao akan menurut. Akan tetapi jenderal itu bersikap tetap tenang, bahkan dia tersenyum melihat dua orang itu mulai membuat api unggun.
Melihat sikap jenderal itu, Tek Hoat menjadi makin kagum. Dia lalu duduk di atas anak tangga kuil tua, menghadapi jenderal yang duduk di atas tanah itu dan berkata, "Jenderal Kao, mengapa engkau mati-matian membela Kaisar? Engkau bahkan siap mengorbankan nyawamu! Betapa bodohnya engkau! Apakah kau tidak melihat bahwa engkau hanya diperbudak saja oleh Kaisar dan keluarganya, oleh mereka yang duduk di atas? Engkau diperas tenagamu, kesetiaanmu, engkau hidup di tempat terasing, setiap hari terancam bahaya, selalu berperang dan semua itu hanya untuk mengamankan dan menyenangkan kehidupan para atasan yang hanya tahu berfoya-foya belaka. Betapa bodoh untuk mengorbankan diri sendiri demi kesenangan dan kelangsungan hidup makmur orang-orang lain!"
Jenderal Kao memandang pemuda itu sejenak, sinar matanya tajam sekali. "Orang muda, aku tidak mengenalmu akan tetapi engkau adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sayang engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri sehingga engkau tidak lagi dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar, engkau tidak segan-segan melakukan perbuatan rendah hanya untuk memenuhi keinginan dirimu yang mongejar kesenangan belaka. Engkau tidak tahu dan tidak mengerti mengapa aku bersikap seperti ini. Sama sekali bukan karena ingin menyenangkan dan menjaga kelangsungan hidup makmur Kaisar dan keluarganya, melainkan demi kebenaran. Aku seorang jenderal, seorang komandan pasukan yang tahu akan tugas dan kewajibanku dan ini adalah benar, maka aku siap membela dengan jiwa ragaku, bukan sekali-kali demi Kaisar, sungguhpun beliau merupakan satu di antara manusia yang telah melepas budi kepadaku."
"Hemm, kau keras hati, Jenderal Kao. Sayang bahwa aku terpaksa akan membakarmu hidup-hidup. Betapa murahnya nyawamu, hanya seharga pengakuan di atas kertas."
"Terserah, aku siap untuk mati. Hanya kalau boleh, sebelum mati aku ingin menyatakan terima kasih dan penghormatanku yang terakhir kepada mereka yang telah melepas budi kepadaku ketika aku masih hidup."
Tek Hoat makin kagum. Jenderal ini selain gagah perkasa, juga ternyata merupakan seorang jantan yang tidak melupakan budi orang sampai saat terakhir. Berat baginya untuk menolak, maka dia mengangguk.
"Aku akan bersembahyang di depan arca Jilaihud dan menyembahyangi arwah mereka." Sambil merangkak, menggunakan kekuatan kedua lengannya saja jenderal itu naik anak tangga menghampiri meja besar, yaitu meja sembahyang yang sudah butut di depan arca Jilaihud. Tek Hoat mengikutinya dari belakang, siap dan waspada menjaga jangan sampai tawanannya ini meloloskan diri.
Dari dalam saku baju dalamnya, jenderal itu mengeluarkan beberapa helai gambar. Pertama-tama adalah gambar kaisar tua, yaitu ayah Kaisar sekarang yang dianggapnya sebagai orang pertama yang telah melimpahkan budi kepadanya dan kepada ayahnya dan kakeknya. Kemudian dia mengeluarkan gambar-gambar kakeknya, ayahnya, dan ibunya, dan yang terakhir sekali dia mengeluarkan sehelai gambar lain yang membuat Tek Hoat terheran-heran. Gambar ini adalah gambar wajah seorang wanita muda remaja yang cantik jelita. Gambar itu pun diletakkannya di atas meja, di sudut dan terpisah dari gambar-ga mbar yang lain.
Ceng Ceng sudah sadar dari tidurnya ketika mendengar suara ribut-ribut tadi. Dia mengintai dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat bahwa yang ribut-ribut itu adalah Jenderal Kao Liang yang menjadi tawanan dari pemuda yang amat dikenalnya, pemuda nakal yang pernah menolongnya dari dalam sungai, Ang Tek Hoat! Dia tidak mengenal dua orang yang lain, akan tetapi dapat menduga bahwa hwesio tua dan nenek berwajah bengis itu tentulah pembantu-pembantu Tek Hoat, berarti kaki tangan pemberontak! Tentu saja dia ingin sekali keluar dan menolong Jenderal Kao, akan tetapi melihat jenderal itu lumpuh kedua kakinya, dia menahan diri. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang cerdik sekali, maka dia tidak menurutkan hatinya menghadapi peristiwa itu. Dia maklum bahwa kalau dia muncul begitu saja, tidak akan ada gunanya karena pemuda itu lihai bukan main. Ingin menyelamatkan Jenderal Kao, jangan-jangan malah dia sendiri yang tertawan. Maka dia menanti kesempatan yang baik dan hanya mengintai ketika Jenderal Kao mendekati meja besar di depan arca untuk menyembahyangi leluhurnya.
Hampir saja dia menjerit ketika dia melihat dan mengenal gambar gadis di atas meja itu. Gambar itu adalah gambar wajahnya! Dialah yang disembahyangi oleh jenderal itu, di samping kaisar tua leluhurnya. Mengertilah kini Ceng Ceng. Tentu jenderal itu menganggap dia sudah mati dan mengingat betapa dahulu dia menolong jenderal itu sehingga tidak terjeblos ke dalam sumur maut, maka jenderal itu menganggapnya sebagai penolongnya dan selalu menyimpan gambarnya yang agaknya disuruh buat seorang ahli lukis yang pandai. Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Ceng Ceng. Dia merasa terharu sekali, keharuan yang membuat dia hampir nekat untuk menerjang keluar.
"Heiii....!" Tiba-tiba Tek Hoat berseru keras ketika pemuda ini juga mengenal gambar Ceng Ceng. "Kiranya gambar dia....?" Dan hal yang aneh sekali terjadi. Pemuda itu cepat membuang muka, membalikkan dirinya dan tidak berani memandang gambar Ceng Ceng! Hal ini adalah karena pada dasarnya, Tek Hoat adalah seorang laki-laki yang juga menjunjung tinggi kegagahan. Dia pernah bersumpah kepada Ceng Ceng bahwa setiap kali bertemu dengan gadis itu dia tidak akan memandangnya. Kini, begitu melihat gambar wajah gadis itu, otomatis dia terdorong oleh janji sumpah itu dan dia membuang muka.
Ceng Ceng yang bersembunyi di balik arca besar itu melihat keadaan Tek Hoat dan dia mengambil keputusan untuk menerjang keluar menolong Jenderal Kao yang sedang berlutut terhadap gambar-gambar itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan dinding di dekat jenderal jebol disusul masuknya sesosok tubuh seorang pemuda yang tinggi besar.
Ceng Ceng terbelalak memandang. Mukanya pucat seketika dan jantungnya berdebar tegang, matanya mengeluarkan sinar berapi dan bibirnya tertarik beringas, kedua tangan dikepal, napasnya agak terengah-engah. Tentu saja dia mengenal wajah pemuda tinggi besar ini. Pemuda laknat yang telah memperkosanya!
Melihat munculnya seorang pemuda tinggi besar yang asing, hwesio tua pembantu Tek Hoat yang tadi membuat api unggun cepat menerjang dengan tongkatnya karena dia menduga bahwa tentu pemuda ini datang untuk menolong Jenderal Kao. Serangannya dahsyat sekali, toya di tangannya mengeluarkan suara mengiuk ketika memecahkan angin dan menyambar ke arah kepala pemuda tinggi besar itu. Akan tetapi pemuda itu tidak mengelak, melainkan menggerakkan lengan kirinya menangkis.
"Dukkk....!"
"Ehhhh....!" Hwesio Itu terpental dan terhuyung sampai lima langkah, terpaksa menggunakan kedua tangan untuk memegangi toyanya yang hampir terlepas dari pegangannya! Pemuda tinggi besar itu menggerakkan kepala dengan sikap gagah sekali dan rambutnya yang amat panjang, gemuk dan hitam berputar melingkari lehernya dan dia siap berdiri melindungi Jenderal Kao yang masih berlutut dengan kedua tangan terkepal dan mata memandang tajam ke arah tiga orang lawan itu.
Tek Hoat terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, sambil bertolak pinggang kiri, telunjuk kanannya menuding dan dia membentak dengan suara nyaring, "Siapa kau berani mencampuri urusan kami?"
Akan tetapi pada saat itu, terdengar lengking nyaring dan dari balik arca besar meloncat sesosok tubuh manusia yang langsung menerjang dan menyerang pemuda tinggi besar itu dengan kedua tangan terbuka, kedua tangan yang melancarkan pukulan-pukulan beracun yang amat ampuh. Dari kuku-kuku jari tangan itu menyambar angin dahsyat dan tercium bau harum yang aneh, tanda bahwa kuku-kuku itu mengandung racun amat hebat.
"Wut-wut-plak-plak, bretttt....!"
Pemuda tinggi besar itu pun terkejut, maklum bahwa dia diserang orang dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman beracun yang amat berbahaya, maka dia sudah mengelak dan kemudian menangkis dengan lengannya, akan tetapi tetap saja ujung dengan bajunya yang digulung di bawah sikunya tercengkeram dan robek.
"Huh.... pemberontak hina....!" Pemuda tinggi besar itu menghardik, suaranya nyaring dan besar, matanya bernyala memandang wajah orang yang menyerangnya. Wajah yang hitam hanya tampak matanya saja yang bersinar-sinar penuh kebencian. Ceng Ceng telah melumuri mukanya dengan kotoran dan hangus hitam di belakang arca besar sebelum dia melompat keluar tadi. Dia melakukan hal ini karena tadinya dia ragu-ragu melihat betapa pemuda laknat itu ternyata datang untuk menolong Jenderal Kao! Kalau saja dia tidak merasa enggan dan malu terhadap Jenderal Kao, tentu dia tidak akan menyembunyikan mukanya. Akan tetapi, terjadi
perang di dalam hatinya. Sebagian dia harus bersyukur dan membantu pemuda yang datang menolong Jenderal Kao, akan tetapi sebagian lagi mengingat akan kebenciannya dia harus menyerang dan sedapat mungkin membunuh pemuda laknat itu! Maka ketika kebenciannya yang menang, dia menutupi mukanya agar tidak dikenal oleh Jenderal Kao.
"Mampuslah!" Ceng Ceng membentak, kemudian dia menubruk lagi ke depan dengan menggunakan seluruh sin-kang untuk mendorong semua racun di tubuhnya ke dalam kedua tangannya.
"Dukk! Dess..... Aahh....!" Pemuda itu mengeluh dengan kaget ketika merasakan lengan tangannya yang menangkis menjadi panas dan gatal, tanda bahwa dia terkena racun yang amat ampuh. Akan tetapi di lain pihak, Ceng Ceng tidak kuat menahan tangkisan pemuda yang luar biasa kuat tenaga sin-kangnya itu sehingga dia terbanting ke kiri dan roboh bergulingan. Ketika dia meloncat bangun lagi, pemuda tinggi besar itu telah memondong tubuh Jenderal Kao dengan lengan kiri.
"Hendak lari ke mana kau?" Nenek pembantu Tek Hoat meloncat ke depan dan nenek ini sudah menyerang dengan tangan kosong yang dibentuk seperti cengkeraman kuku garuda. Terdengar suara bersiutan ketika kedua cakar itu menyambar-nyambar, yang satu hendak meraih dan merampas Jenderal Kao, yang lain mencengkeram ke arah leher pemuda tinggi besar.
Namun, dengan gerakan indah dan gesit, pemuda itu mengelak, lalu menggunakan tangan kanannya menyambar ke depan, menangkap pergelangan tangan yang berbentuk cakar itu dan sekali sendal, tubuh nenek itu terjungkal dan terguling-guling sampal jauh!
"Wuuuutttt....! Singggg....!"
"Aihhh....!" Pemuda tinggi besar itu cepat meloncat dan mukanya agak berubah. Ternyata Tek Hoat telah menyerang dengan sebatang pedang yang mendatangkan hawa mengerikan. Itulah pedang Cui-beng-kiam yang amat hebat, pedang peninggalan dari Datuk Pulau Neraka yang amat sakti. Karena melihat betapa pemuda tinggi besar itu ternyata lihai sekali dan Jenderal Kao telah dipanggulnya, Tek Hoat yang tidak ingin melihat tugasnya gagal telah mengeluarkan pedang simpanannya dan menyerang pemuda itu.
Melihat betapa pemuda tinggi besar yang memanggul tubuh Jenderal Kao itu masih dapat mengelak dengan sigapnya, Tek Hoat menjadi amat penasaran. Tadinya pemuda ini menganggap dirinya sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tidak ada lawannya. Akan tetapi ternyata pemuda tinggi besar ini hebat sekali kepandaiannya dan kalau sampai jenderal itu dapat dirampasnya, Tek Hoat akan merasa malu dan kehilangan muka terhadap dua orang pembantunya itu. Bahkan Siang Lo-mo sendiri mengakui keunggulannya dan dua orang tokoh besar itu tidak keberatan ketika ditunjuk oleh Pangeran Liong Bin Ong untuk "membantu" dia karena mereka sudah mengenal kelihaian Tek Hoat. Kalau sampai kini seorang pemuda saja mampu merampas Jenderal Kao, benar-benar dia akan merasa malu sekali.
"Jahanam, jangan harap akan dapat lolos dari sini....!" Tek Hoat menghardik marah sekali dan tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke depan. Gerakannya amat ringan dan cepat.
Pemuda tinggi besar itu kembali terkejut. Tak disangkanya bahwa pemuda tampan yang menculik jenderal itu ternyata bukan main lihainya. Dia hanya melihat bayangan berkelebat didahului sinar pedang Cui-beng-kiam yang mendirikan bulu roma. Pemuda tinggi besar itu maklum bahwa serangan ini bukan main hebatnya, pedang meluncur menusuk lehernya, sedangkan tangan kiri pemuda itu meraih untuk merampas jenderal di pundaknya.
"Haiiittt....!" Pemuda tinggi besar itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking keras sekali menggetarkan hati Tek Hoat yang cepat mengerahkan khi-kangnya dan melanjutkan serangannya. Pemuda tinggi besar itu menggerakkan kepalanya dari rambutnya yang panjang dan yang tadi melingkar di lehernya itu mendadak mencuat ke depan menangkis pedang.
"Plakkk!" Ujung rambut itu terus membelit pedang seperti ekor ular yang hidup. Tek Hoat terkejut sekali, lalu merobah cengkeraman tangan kirinya menjadi pukulan yang disertai sin-kang kuat.
"Dessss....!" Lengan kanan pemuda tinggi besar itu menangkis dan akibatnya membuat keduanya terkejut dan terhuyung sampai lima langkah jauhnya! Pedang yang terlibat ujung rambut terlepas. Tek Hoat menjadi merah mukanya. Hatinya makin penasaran dan kembali dia meloncat ke depan dan menyerang pemuda tinggi besar yang masih memanggul tubuh Jenderal Kao dengan tangan kirinya itu. Pedang Cui-beng-kiam berkelebat dan kembali disambut oleh ujung rambut yang tebal dan panjang. Kini Tek Hoat menggunakan tangan kiri mendorong dengan telapak tangan terbuka dan hawa sin-kang yang amat dahsyat menyambar ke depan. Dia telah mengerahkan sin-kang yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu Tek Siauw-jin yang disebut Tenaga Inti Bumi. Dahsyatnya bukan kepalang dan debu mengepul tinggi ke arah pemuda tinggi besar itu.
"Hebat....!" Pemuda tinggi besar itu berseru kagum, kembali tangan kanannya menangkis dengan dorongan yang sama ke depan dan kini yang bertemu di udara hanyalah dua tenaga sakti yang tidak kelihatan, akan tetapi yang memiliki kekuatan dahsyat.
Pada saat itu, hwesio pembantu Tek Hoat sudah menyerang dengan toyanya, menghantam punggung pemuda tinggi besar. Tentu saja pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini tahu akan datangnya serangan toya, akan tetapi karena dia sedang bertanding sin-kang dengan lawannya yang amat tangguh dia terpaksa menerima gebukan itu.
"Bukkk....!" Pemuda tinggi besar itu mengeluh sedikit, tubuhnya tergetar lalu tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang lalu melarikan Jernderal Kao yang masih terpondong di pundak kirinya.
"Jangan lari.... ahh....!" Tek Hoat terkejut sekali karena tiba-tiba orang yang mukanya hitam itu telah menyerangnya dengan kedua tangan yang mengandung hawa beracun!
Tek Hoat mengelak dengan loncatan ke samping. Dia menjadi bingung. Jelas bahwa orang bermuka hitam ini tadi menyerang pemuda tinggi besar itu mati-matian, akan tetapi mengapa kini berbalik menyerangnya? "Apakah kau gila? Siapa kau?" bentaknya dan melihat orang itu tetap menyerangnya dengan ganas, Tek Hoat menjadi marah. Tentu saja dia tidak takut akan serangan orang itu dan untuk memperlihatkan kelihaiannya, dia menangkis dengan lengan kiri sambil mengerahkan tangannya.
"Desss....!" Untuk kedua kalinya, tubuh Ceng Ceng terlempar dan terbanting sampai bergulingan. Tubuhnya sakit-sakit rasanya, akan tetapi di lain pihak Tek Hoat terkejut merasakan lengannya panas dan gatal-gatal seperti habis menyentuh ular berbulu yang beracun!
"Keparat, kau berani menggunakan racun....?" Tek Hoat menghardik dan kini dia melangkah maju, pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan kanannya. Melihat ini, maklumlah Ceng Ceng bahwa dia tidak akan mampu menang menghadapi Tek Hoat yang amat lihai itu. Maka dia cepat menggosok kedua pipinya dan meloncat berdiri.
"Lihat, siapa aku? Berani kau melanggar sumpah memandang aku?"
Sejenak Tek Hoat terbelalak dan memandang bingung ketika mendapat kenyataan bahwa wajah yang tersembunyi di balik kotoran hangus itu adalah wajah seorang dara yang cantik. Akan tetapi ketika dia melihat sehelai saputangan dikeluarkan oleh gadis itu, teringatlah dia.
"Kau....?" Serunya kaget dan heran sekali, akan tetapi otomatis dia lalu membalikkan tubuhnya membuang muka!
Ceng Ceng mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat keluar dari kuil tua setelah dia menyebar tiga macam racun bubuk yang dulu dibawanya keluar dari dalam terowongan bawah tanah. Lalu dia menggunakan ilmunya berlari cepat, meninggalkan pemuda yang masih membelakanginya itu.
Tek Hoat adalah seorang yang amat lihai. Biarpun matanya tidak melihat, namun telinganya dapat menangkap gerakan Ceng Ceng dan dia tahu bahwa dara itu telah meloncat pergi. Cepat dia membalik dan merasa menyesal mengapa dia dahulu begitu mudah bersumpah sehingga kini dia mengalami kesukaran dari gadis liar itu.
"Lari kemana kau?" bentaknya karena dia mulai merasa marah, merasa tertipu dan dipermainkan oleh gadis itu yang mempergunakan sumpahnya sebagai senjata. Akan tetapi terkejutlah dia ketika mencium bau yang luar biasa kerasnya, dan melihat tanah di depannya mengeluarkan asap seperti terbakar! Tahulah dia bahwa gadis itu, entah bagaimana, kini telah menjadi seorang ahli racun yang amat berbahaya. Dia berseru keras menahan napas dan cepat meloncat tinggi melampaui tanah yang mengandung racun itu. Dia menoleh dan bergidik. Racun-racun itu amat hebat, selain dapat membuat batu-batu hancur, juga ada yang mengeluarkan bau keras mujijat yang memabokkan. Maka dia mengambil keputusan untuk membiarkan Ceng Ceng pergi dan dia lalu berlari cepat hendak mengejar pemuda tinggi besar yang telah melarikan Jenderal Kao dan yang tadi telah dikejar oleh dua orang pembantunya.
Kurang lebih satu li jauhnya, ketika dia berada di luar hutan, Tek Hoat berhenti tiba-tiba dan berdiri termenung memandang mayat dua orang yang menggelatak di atas tanah. Mayat hwesio dan nenek pembantunya tadi! Dia mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa pembantu-pe mbantunya begitu tidak becus, sedangkan orang-orang yang membantu Jenderal Kao adalah orang-orang pandai, seperti pemuda tinggi besar itu, dan dua orang pemuda tampan yang telah muncul secara tidak terduga-duga ketika dia dan para pembantunya menyerbu rombongan Jenderal Kao. Tak lama kemudian terdengar derap kaki banyak kuda dan ternyata yang muncul adalah rombongan Siang Lo-mo yang juga tidak berhasil merobohkan dua orang pemuda itu. Siang Lo-mo menyesal sekali mendengar bahwa Jenderal Kao yang telah berhasil diculik itu terampas musuh, maka bersama Tek Hoat mereka lalu menuju ke kota raja untuk melapor kepada Pangeran Liong Bin Ong akan kegagalan mereka.
Sementara itu, pemuda tinggi besar itu berlari cepat sekali, menyimpang dari jalan raya yang menuju ke kota raja dan menjelang senja dia berhasil membebaskan totokan di tubuh jenderal itu. "Dari sini ke pintu gerbang kota raja tidak jauh lagi. Engkau terluka, orang muda. Marilah ikut bersamaku ke kota raja," kata Jenderal Kao sambil memandang wajah yang gagah itu dengan rasa kagum dan suka.
Pemuda itu menggeleng kepala. "Silakan Tai-ciangkun pergi ke kota raja. Sekarang sudah aman. Kita harus berpisah di sini." Setelah berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
"Nanti dulu....!" Jenderal Kao memegang lengan pemuda itu, "Engkau terluka, perlu perawatan...."
Pemuda itu menoleh, menggeleng kepala. "Aku tidak apa-apa, Ciangkun, harap jangan khawatir. Yang perlu, Ciangkun harus cepat melarikan diri ke kota raja, dan biarlah aku yang menghadang mereka yang hendak mengejarmu." Setelah berkata demikian, pemuda itu melangkah pergi.
"Bagaimana kau dapat pergi begitu saja setelah menyelamatkan aku? Setidaknya beritahukan kepadaku siapa namamu!" Jenderal Kao berseru penasaran.
Pemuda itu berhenti, menoleh dan menjawab, "Saya mendengar dari para penghuni dusun bahwa Ciangkun adalah Jenderal Kao yang budiman, dan terkenal, sehingga siapa pun sudah sepatutnya membantu kalau Ciangkun berada dalam kesulitan. Adapun aku.... aku seorang kelana yang tidak punya nama. Selamat berpisah, Tai-ciangkun!" Pemuda itu berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon di dalam hutan.
Jenderal Kao termenung sejenak, menarik napas panjang lalu terpaksa melanjutkan perjalanan ke kota raja. Dia harus melaporkan semua pengalamannya, akan tetapi dia menyesal sekali mengapa pemuda yang amat dikaguminya, amat menarik hatinya itu tidak mau memperkenalkan diri. Juga dia masih terheran-heran melihat munculnya orang yang mukanya hitam, yang tadinya menyerang mati-matian kepada pemuda penolongnya, kemudian malah membalik dan melindunginya dari pengejaran para penculik. Benar-benar telah muncul banyak orang aneh yang berilmu tinggi, pikirnya. Juga ketika rombongannya diserbu kaki tangan pemberontak, muncul dua orang pemuda remaja yang amat lihai.
Mengapa tiba-tiba saja dunia penuh dengan orang-orang muda yang berkepandaian tinggi sekali dan berwatak aneh? Harus diakuinya pula bahwa pemuda yang menculiknya, yang masih amat muda, telah memiliki ilmu kepandaian yang mengejutkan dan mengerikan. Melihat adanya orang-orang seperti dua orang kakek aneh dan pemuda lihai itu berada di pihak pemberontak, tahulah dia bahwa keadaannya sudah berbahaya dan haruslah pihak Kaisar cepat-cepat turun tangan. Dia akan merundingkan hal ini dengan Puteri Milana, karena hanya puteri yang sakti itulah yang dia harapkan akan dapat memperingatkan Kaisar dan mengatur kekuatan dari dalam untuk menghancurkan pemberontak dan kaki tangannya. Sambil melanjutkan perjalanan secepatnya, jenderal yang gagah perkasa ini beberapa kali mengepal tinju. Sejak muda dia mengabdikan diri kepada kerajaan dan telah mengalami banyak hal. Dia hanya mengenal satu cara untuk mengamankan dunia, untuk mengamankan negara, yaitu dengan kekerasan, dengan tegas menghukum yang jahat dan dengan mati-matian membela yang benar. Maka kini hanya ada satu niat yang tercurah di dalam perhatian hati dan
pikirannya, yaitu menumpas pihak pemberontak dengan kekerasan, membasmi mereka tanpa mengenal ampun lagi, karena hanya jalan inilah yang dianggapnya paling tepat untuk mengamankan negara.
Betapa banyaknya orang berpendapat seperti Jenderal Kao, yaitu bahwa keamanan dan kedamaian hanya dapat dicapai melalui kekerasan dan dengan cara membasmi mereka yang menentang. Ada pula orang berpendapat bahwa kedamaian hanya dapat tercapai dengan jalan anti kekerasan dan mengajar orang-orang supaya hidup baik dan bajik.
Kedua pendapat yang kelihatannya berlawanan ini sebetulnya sama saja, yaitu ingin merubah keadaan kehidupan manusia di dunia yang semenjak ribuan tahun sampai sekarang selalu penuh dengan pertentangan, kekacauan, permusuhan dan kebencian ini. Yang pertama adalah ingin membentuk dunia yang damai dengan cara kekerasan, yang kedua ingin membentuk dunia yang damai dengan cara lain. Kita semua lupa agaknya bahwa dunia adalah masyarakat, dan masyarakat adalah hubungan antara manusia, yaitu kita-kita ini juga. Merubah dunia atau merubah masyarakat tidak akan mungkin apabila kita-kita ini, masing-masing manusia,
tidak berubah lebih dulu. Pemberontakan demi pemberontakan, revolusi demi revolusi, sepanjang sejarah berkembang, telah terjadi di seluruh pelosok dunia. Namun, pemberontakan itu disusul oleh pemberontakan lain, revolusi disusul oleh revolusi lain, pembaharuan disusul oleh pembaharuan yang lain. Setiap bentuk revolusi lahiriah hanya mendatangkan permusuhan dan pertumpahan darah, saling bunuh-membunuh dan akhirnya hanya menanam bibit kebencian pada pihak yang kalah, dan menanam bibit kekuasaan kepada pihak yang menang. Di bagian yang menang timbullah perpecahan-perpecahan lagi karena memperebutkan pahala atas jasa-jasa mereka di dalam perjuangan yang lalu. Tentu saja di dalam perebutan ini pun terdapat yang menang dan yang kalah. Yang menang akan menduduki puncak pimpinan, sedangkan yang kalah, yang tidak kebagian akan menjadi penasaran dan sakit hati, akan timbul keluhan dan tuntutan akan ketidak-adilan dan muncullah pemberontakan-pemberontakan baru dari mereka yang merasa dikesampingkan, mereka yang merasa berhak namun tidak memperoleh bagian.
Sumber segala kekacauan ini, segala perebutan ini, baik perebutan kekuasaan maupun perebutan harta benda, terletak pada diri pribadi masing-masing manusia sendiri. Maka tidak mungkin menyalahkan kepada masyarakat karena kita sendiri yang membentuk masyarakat. Dunia akan berubah, masyarakat akan berubah kalau diri kita masing-masing berubah! Segala macam pemberontakan, revolusi, pembaharuan sosial, akan gagal selama diri sendiri masing-masing tidak berubah lebih dulu. Kalau manusianya sudah
berubah, otomatis masyarakat dan dunia akan mempunyai wajah lain! Tidak sekacau dan sekejam ini dimana kebencian dan permusuhan tampak setiap saat dimanapun juga, dimana di satu pihak orang hidup berkelebihan di lain pihak ada yang kelaparan.
Segala macam tindakan dalam hidup akan menjadi palsu dan rusak apabila ditunggangi oleh si aku, karena tindakan itu tak lain tak bukan hanyalah merupakan cara bagi si aku untuk mencapai tujuannya! Dan si aku ini amatlah cerdik dan liciknya, amatlah lihainya seperti Kauw Cee Thian Si Raja Monyet yang terkenal di dalam cerita See-yu yang pandai berpian-hoa (berganti rupa) sampai menjadi tujuh puluh dua macam. Biasa saja si aku ini bersembunyi di balik istilah-istilah muluk seperti tanah air, negara dan bangsa, bendera pusaka, Tuhan, kemerdekaan, perdamaian, kebahagiaan, dan sebagainya yang muluk-muluk lagi. Namun kalau kita mau membuka mata melihat sesungguhnya apa yang berkecamuk di dalam batin dan pikiran kita, akan tampaklah oleh kita bahwa semua itu hanya dipergunakan oleh si aku untuk mencapai tujuan yang menguntungkan bagi si aku, baik keuntungan lahiriah maupun keuntungan batiniah. Maka segala istilah itu lalu dibubuhi kata-kata "ku", menjadi negaraku, bangsaku, Tuhanku, dan sebagainya yang merupakan bentuk lain dari pada si aku sendiri! Maka muncullah pertentangan yang tak dapat dihindarkan lagi antara negaraku dan negaramu, agamaku dan agamamu, kebenaranku dan kebenaranmu, Tuhanku dan Tuhanmu, dan  sebagainya.
Mungkin usaha seperti yang direncanakan oleh Jenderal Kao itu akan berhasil seperti yang dibuktikan dalam sejarah, namun hasil ini untuk sementara, dan seperti dibuktikan oleh sejarah pula, pemberontakan-pemberontakan timbul tenggelam di jaman Pemerintah Ceng seperti juga di jaman pemerintah-pemerintah terdahulu. Setiap pemberontakan menentang kekuasaan yang bercokol tentu diberi nama yang indah-indah dan gagah seperti perjuangan demi rakyat, demi bangsa, bahkan ada kalanya menarik nama Tuhan tanpa segan-segan lagi sampai pemberontakan itu berhasil menumbangkan kekuasaan yang ada. Akan tetapi setelah kekuasaan baru timbul, disusul oleh pemberontakan yang lain, yang lebih seru, dengan menggunakan rakyat, bangsa atau Tuhan sebagai topeng, namun pada hakekatnya sama saja sungguhpun mungkin istilah-istilahnya yang berbeda sesuai dengan jamannya.
******
Jenderal Kao Liang melanjutkan perjalanannya ke kota raja dengan hati-hati. Dia maklum bahwa pihak pemberontak tentu tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja dan tentu akan berusaha untuk menangkapnya kembali. Dia tidak takut akan bahaya yang mengancam dirinya, akan tetapi dia lebih mengkhawatirkan keadaan negara. Dia harus berusaha sekuat tenaga agar jangan sampai tertangkap pemberontak sebelum dia tiba di kota raja, sebelum dia menyampaikan semua pengalamannya kepada Kaisar atau setidaknya Puteri Milana. Mengertilah jenderal ini bahwa kalau sampai dia tertawan atau terbunuh, tentu pihak pemberontak akan memutarbalikkan kenyataan, melaporkan kepada Kaisar bahwa dialah yang akan memberontak dan dengan demikian kedudukan para pimpinan pemberontak di kota raja menjadi aman dan mereka dapat menyusun kekuatan. Tidak, dia tidak boleh tertangkap kembali. Maka jenderal ini hanya melakukan perjalanan di waktu malam, kalau siang dia bersembunyi dan pakaian perangnya pun sudah dibuangnya dan dia hanya memakai pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa.
Dengan cara demikian, setelah lewat dua malam, akhirnya sampailah jenderal ini di kota raja pagi-pagi sekali, menumpang pada seorang pedagang sayur-sayuran yang mengangkut dagangannya dengan gerobak. Setelah masuk di kota raja, jenderal ini tidak banyak membuang waktu lagi, langsung saja dia menuju ke istana Puteri Milana dan kepada para pengawal yang menjaga di depan dia minta berjumpa dengan puteri itu.
Para pengawal yang mengenal jenderal ini cepat melapor kepada majikan mereka dan tidak lama kemudian, Jenderal Kao Liang yang disuruh menunggu di kamar tamu disambut oleh Puteri Milana, Panglima Han Wi Kong suami puteri itu, dan dua orang pemuda tampan yang segera dikenal oleh jenderal itu. Melihat dua orang pemuda ini, Jenderal Kao cepat berseru, "Bukankah Ji-wi yang telah datang menolong ketika rombongan kami diserang pemberontak?"
"Sayang kami tidak berhasil menyelamatkanmu, Goanswe," kata Kian Lee.
"Siang Lo-mo dan para pembantunya dapat kami pukul mundur, akan tetapi Goanswe telah dilarikan orang," kata Kian Bu.
"Sudahlah, kita harus bergembira bahwa ternyata Kao-goanswe dapat menyelamatkan diri dan tiba di sini. Kao-goanswe, mereka ini adalah adik-adikku, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu dari Pulau Es," kata Milana.
"Ahhh.... pantas.... kiranya putera-putera dari Pendekar Super Sakti!" jenderal itu berseru kaget, heran dan kagum sekali.
"Goanswe, silakan duduk." Han Wi Kong mempersilakan jenderal itu dan mereka lalu duduk mengitari meja. Jenderal Kao menceritakan semua pengalamannya, didengarkan oleh mereka berempat dan Puteri Milana mengerutkan alisnya. Setelah jenderal itu selesai bercerita, Milana mengangguk-angguk.
"Sudah pasti sekali bahwa tentu Pangeran Tua yang menjadi biang keladi ini semua. Agaknya dia berhasil membujuk Kaisar untuk memanggilmu, Goanswe, dan sementara itu dia telah menaruh kaki tangannya di tengah jalan. Untung bahwa kau bisa lolos berkat pertolongan pemuda tak terkenal itu."
"Nanti saya akan menghadap Kaisar untuk membuka rahasia mereka itu!" Jenderal Kao berkata penuh rasa penasaran.
"Sebaiknya jangan begitu. Masih belum waktunya untuk menentang mereka secara terbuka karena kita belum memperoleh bukti pemberontakannya. Biarkan saya saja yang menyampaikan semua ini kepada Kaisar, sedangkan Goanswe sebaiknya dengan diam-diam kembali ke utara, biar dikawal dan ditemani dua orang adikku ini. Yang penting adalah agar supaya Kim Bouw Sin si panglima pemberontak itu jangan sampai lolos. Dia merupakan saksi dan bukti yang amat kuat untuk membongkar pemberontakan Pangeran itu. Kao-goanswe sendiri maklum betapa kuat kedudukan dua orang Pangeran Liong, pengaruh mereka besar dan tentu saja Kaisar
merasa segan untuk menentang adik-adiknya itu. Tanpa bukti dan saksi yang cukup, berbahayalah menentang mereka secara terbuka."
"Akan tetapi kalau dibiarkan saja, makin lama kedudukan mereka makin kuat dan amat berbahayalah bagi negara." Jenderal itu membantah.
"Karena itu, tugas kita adalah dua. Pertama, dengan kekuatan pasukan yang dipimpin oleh Goanswe, kita harus menindas pemberontakan di manapun, dan aku akan membantu dari dalam untuk membersihkan mereka dari kota raja. Ke dua, kita harus mengumpulkan bukti dan saksi sebanyaknya dan sekuatnya untuk disampaikan kepada Kaisar agar pembersihan dapat dilakukan dengan sah. Maka kalau Goanswe terlalu lama di sini dan meninggalkan pasukan, saya khawatir kalau-kalau pasukan yang di utara dapat dipengaruhi dan dikuasai pemberontak."
Jenderal Kao menepuk meja. "Bagus sekali! Memang apa yang Paduka kemukakan itu tepat semua dan harus dilaksanakan. Baiklah, hari ini juga saya akan kembali ke utara setelah saya menjumpai keluarga saya. Memang, yang terpenting adalah agar manusia rendah Kim Bouw Sin itu tidak sampai lolos!"
"Kedua adik saya Kian Lee dan Kian Bu akan mengawal dan menemani Goanswe," kata Milana sambil mempersilakan Jenderal itu minum teh panas yang dihidangkan oleh pelayannya.
"Hati saya akan menjadi tenang kalau begitu," kata Sang Jenderal karena dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian dua orang muda ini, apalagi setelah sekarang dia tahu bahwa mereka adalah putera-putera Pendekar Super Sakti!
"Kami akan menemani Goanswe dan sehidup semati dalam perjalanan sampai ke benteng di utara," kata Kian Lee.
"Akan tetapi sebaiknya kita berangkat meninggalkan kota raja malam nanti...." kata Kian Bu.
"Eh, mengapa harus menanti sampai malam?" Kian Lee berkata.
Kian Bu mengejap-ngejapkan matanya kepada kakaknya itu, akan tetapi Kian Lee tetap tidak mengerti. "Mengapa? Katakan saja, mengapa harus malam nanti baru berangkat? Tidak usah pakai bahasa rahasia, kita di sini berada diantara orang sendiri," kata Kian Lee.
"Aihh, masa Lee-ko tidak mengerti? Tidak enak kalau harus kukatakan begitu saja."
"Adik Kian Bu, jangan membikin kami penasaran karena ingin tahu. Mengapa kau mengusulkan demikian?" Panglima Han Wi Kong ikut bicara.
"Waah, kalau begitu terpaksa saya bicara akan tetapi harap Kao-goanswe lebih dulu maafkan saya," Kian Bu berkata.
"Eh, tentu saja.... katakanlah apa yang terkandung di hatimu, Siauw-sicu (Orang Muda Gagah)," jenderal itu berkata sambil tersenyum.
"Kao-goanswe baru saja tiba dari utara, baru saja terbebas dari ancaman bahaya maut, dan baru saja hendak menjumpai dan berkumpul dengan keluarganya di kota raja. Bagaimana kami berdua tega untuk mendesak-desaknya agar cepat-cepat meninggalkan mereka? Maka sebaiknya malam nanti kita berangkat."
Milana tersenyum, Kian Lee menjadi merah mukanya karena marah kepada kelancangan adiknya, Han Wi Kong mengangguk-angguk dan Jenderal Kao tertawa bergelak sambil memegang pundak Kian Bu. "Siauw-sicu, engkau jujur dan memperhatikan kepentingan orang lain. Sungguh bagus sekali!"
"Bu-te, kau memang nakal!" Milana menegur akan tetapi sambil tersenyum. Sedangkan Kian Lee memandang adiknya itu dengan mata penuh teguran.
Jenderal Kao berkata, "Memang saya setuju dengan usul itu, bukan sekali-kali karena saya ingin terlalu lama melepas rindu terhadap keluarga. Saya sudah tua, dan berpisah dengan keluarga sudah merupakan hal yang tidak asing lagi bagi saya. Akan tetapi memang sebaiknya kalau malam nanti baru kita berangkat agar tidak menarik perhatian pihak pemberontak. Biarlah mereka menyangka bahwa saya masih menjadi buronan dan sebaiknya kalau tahu-tahu saya telah berada kembali di benteng agar mereka tidak sempat lagi mengusahakan lolosnya Kim Bouw Sin."
"Memang tepat sekali, Kao-goanswe. Kim Bouw Sin merupakan saksi yang penting sekali," Milana berkata.
"Akan tetapi adalagi orang yang lebih penting dan yang amat membutuhkan perlindungan saya, yang terpaksa saya tinggalkan ketika utusan Kaisar datang." Jenderal itu berkata. "Dia itu adalah Puteri Bhutan, Syanti Dewi."
"Ehhh....?" Milana berseru kaget dan heran sekali.
"Bagaimana dia yang dikabarkan hilang itu bisa berada di utara? Menurut para penyelidikku, Syanti Dewi berhasil lolos dari kepungan pemberontak, dikawal oleh seorang gadis perkasa, akan tetapi lalu hilang, dan kabarnya ditolong oleh seorang nelayan tua ketika Syanti Dewi dan pengawalnya itu hanyut di sungai."
"Memang demikianlah," jawab jenderal itu. "Dan nelayan tua itu adalah Gak Bun Beng taihiap yang mengantarnya ke benteng saya."
"Ah....?" Seruan yang keluar dari mulut Milana agak tergetar, namun dia sudah dapat menguasai hatinya yang berdebar keras, sedangkan suaminya, Panglima Han Wi Kong, diam saja pura-pura tidak melihat keadaan isterinya ketika mendengar disebutnya nama Gak Bun Beng.
"Sedangkan gadis perkasa yang mengawalnya itu adalah adik angkat Sang Puteri sendiri, yang juga telah mendahului datang ke benteng utara akan tetapi.... dia tewas ketika menyelamatkan saya. Gak-taihiap meninggalkan Puteri Syanti Dewi kepada saya dengan harapan untuk melindunginya dan kalau waktunya tiba mengantarnya ke kota raja atau kembali ke Bhutan. Akan tetapi terpaksa dia saya tinggalkan ketika utusan Kaisar tiba. Saya amat mengkhawatirkan keadaan puteri yang sudah saya anggap seperti anak saya sendiri itu. Nah, sekarang saya harus singgah ke rumah dulu menjenguk keluarga, kemudian saya akan cepat kembali ke utara dan saya bergembira sekali ditemani oleh Ji-wi Siauw-sicu yang lihai ini."
Semua orang mengangguk setuju dan tak lama kemudian, dengan kereta milik Milana sendiri sehingga tidak akan ada yang berani mengganggunya. Jenderal Kao bersembunyi di dalam kereta yang membawanya ke gedung tempat tinggal keluarganya, di ujung kota raja sebelah timur. Kian Lee dan Kian Bu mengawal di belakang kereta dengan menunggang kuda sehingga orang-orang yang telah mendengar bahwa mereka adalah adik-adik dari Puteri Milana, jadi juga masih cucu dari Kaisar, menduga bahwa yang berada di dalam kereta tentulah Puteri Milana yang mereka kagumi.
Kereta itu memasuki halaman gedung keluarga Jenderal Kao dan setelah jenderal itu turun dan menyelinap masuk diikuti oleh Kian Lee dan Kian Bu yang disambut dan dipersilakan menunggu di ruangan tamu, kereta itu kembali ke istana Puteri Milana. Tentu saja terjadi pertemuan yang amat mengharukan dan penuh dengan kegembiraan dan pelepasan rindu antara Jenderal Kao dan keluarganya.
Sementara itu Kian Lee dan Kian Bu kembali dulu ke istana kakak mereka untuk membuat persiapan sebagai bekal di perjalanan. Menjelang senja, barulah mereka berdua datang ke gedung keluarga Jenderal Kao dan untuk menanti datangnya malam kedua orang muda ini asyik bermain siang-ki (catur) di ruangan tamu yang luas.
Jenderal Kao keluar sebentar menemui mereka dan mengatakan bahwa mereka akan berangkat setelah malam menjadi gelap dan keadaan di luar menjadi sunyi. Dia sudah mengatur dengan kepala penjaga malam itu sehingga mereka akan dapat keluar dari pintu gerbang utara tanpa banyak halangan dan dengan diam-diam. Dua orang kakak beradik itu menyetujui, kemudian melanjutkan permainan catur mereka.
Setelah malam mulai sunyi, tampak sesosok bayangan manusia berkelebat cepat sekali naik ke atas genteng gedung itu dari arah kiri. Gerakannya lincah, ringan dan cekatan dan dia berindap-indap mengintai ke bawah gedung dari atas genteng. Bayangan hitam ini bukan lain adalah Ceng Ceng! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara ini telah berhasil lolos dari kuil setelah dia membikin Tek Hoat tidak berdaya dengan saputangan dan sumpah pemuda itu, kemudian melarikan diri sambil menyebar racun sehingga Tek Hoat tidak mengejarnya. Ceng Ceng lalu menuju ke kota raja dengan hanya satu tujuan, yaitu mencari pemuda laknat itu. Di tengah perjalanan inilah dia melihat Jenderal Kao Liang. Hatinya girang sekali karena pemuda laknat yang menjadi musuh besarnya itu tentu mempunyai hubungan dengan jenderal ini, bahkan yang terakhir dia melihat pemuda itu menolong Jenderal Kao. Akan tetapi, untuk keluar begitu saja menemui jenderal ini, dia tidak sanggup. Pertama, dia masih teringat akan kebaikan jenderal ini kepadanya, bahkan melihat betapa dalam menghadapi kematian, jenderal ini masih teringat kepadanya dan bersembahyang kepada arwahnya! Kedua, dia kini merasa tidak seperti dulu lagi, selalu timbul rasa rendah diri dan malu bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya dahulu sebagai sahabat-sahabat baik. Ke tiga, setelah pemuda itu menolong Jenderal Kao, tentu pemuda itu menjadi sekutu jenderal ini. Bagaimana dia dapat menjumpai jenderal ini dan menanyakan pemuda yang hendak dibunuhnya itu? Tidak, sebaiknya dia membayangi jenderal ini yang tentu akhirnya akan membawanya bertemu dengan pemuda laknat itu!
Demikianlah, dengan hati-hati, Ceng Ceng membayangi Jenderal Kao dari jauh, sampai jenderal itu memasuki kota raja. Ketika jenderal itu memasuki istana Puteri Milana, dia tidak berani ikut masuk karena malam telah terganti pagi dan istana itu dijaga ketat. Apalagi setelah dia memperoleh keterangan bahwa istana itu milik Puteri Milana, dia makin tidak berani masuk! Kakeknya dahulu telah berpesan kepadanya untuk membawa Syanti Dewi kepada Puteri Milana. Sekarang, tanpa Syanti Dewi, bahkan dengan diri yang sudah "kotor", bagaimana dia berani berhadapan dengan Puteri Milana yang dipuji-puji dan dijunjung tinggi namanya oleh mendiang kakeknya? Maka dia menanti sambil bersembunyi di luar dan ketika dia melihat kereta yang dikawal oleh dua orang pemuda tampan yang juga telah dikenalnya, diam-diam dia membayangi pula. Girang hatinya ketika dia dapat melihat Jenderal Kao turun dari kereta itu memasuki gedung. Apalagi ketika dia mencari keterangan dan mendengar bahwa gedung itu adalah tempat tinggal keluarga Jenderal Kao Liang, dia segera menanti dan mengintai sampai datangnya malam.
Kini Ceng Ceng sudah meloncat naik ke atas genteng gedung itu. Kini timbul tekad di hatinya bahwa kalau dia tidak bisa menemukan pemuda laknat itu di dalam gedung Jenderal Kao, dia akan menampakkan diri dengan menutupi sebagian mukanya dengan saputangan, kemudian menanyakan kepada jenderal itu tentang si pemuda tinggi besar.
Akan tetapi, Ceng Ceng sama sekali tidak menyangka bahwa gerak-geriknya telah sejak tadi diikuti oleh dua pasang mata yang memandang dengan penuh keheranan, kecurigaan juga kegelian. Yang memandang ini adalah Kian Lee dan Kian Bu. Mereka berdua tadi masih asyik bermain catur di ruangan tamu dan tentu saja pendengaran mereka yang sudah terlatih secara hebat itu segera dapat menangkap suara tidak wajar dari atas genteng. Keduanya saling pandang, mengangguk dan di lain saat mereka telah mengintai dari balik wuwungan, mengawasi gerak-gerik Ceng Ceng dengan heran. Kedua orang pemuda ini tidak turun tangan karena mereka terheran-heran mengenal wajah Ceng Ceng ketika ada sinar lampu dari bawah menyorot ke atas tepat menimpa wajah cantik itu.
"Dia....!" Kian Lee berbisik dan jantungnya berdebar. Sejak bertemu dengan Ceng Ceng di pasar kuda, hatinya sudah tertarik sekali oleh kecantikan dara ini dan sekarang, gadis yang seringkali dikenangnya itu berada di atas gedung Jenderal Kao dengan gerak-gerik mencurigakan sekali.
"Sssttt...." Kian Bu menegur.
"Bu-te, jangan.... jangan tergesa-gesa turun tangan.... jangan sampai keliru, kita membayanginya saja...." bisik Kian Lee.
Kian Bu menahan senyumnya. Rasakanlah, pikirnya. Setiap menghadapi wanita cantik, sikap kakaknya ini selalu dingin. Baru sekarang kakaknya kelihatan gugup dan tegang melihat seorang gadis cantik! Akan tetapi dia mengangguk setuju karena dia pun tidak ingin salah tangan sebelum tahu apa maksud kedatangan gadis yang aneh itu.
Kini Ceng Ceng yang sama sekali tidak pernah mengira bahwa dirinya dibayangi oleh dua orang pemuda yang amat lihai, berlutut di atas genteng dan mengintai ke bawah, lalu melayang turun dengan amat ringannya, berindap-indap menghampiri jendela dan mengintai dari balik jendela dengan melubangi kertas jendela. Dari lubang kecil itu dia melihat Jenderal Kao duduk menghadapi meja bersama seorang wanita setengah tua yang masih cantik dan lemah lembut, dan dua orang anak laki-laki, bercakap-cakap dalam suasana yang mesra. Ceng Ceng dapat menduga bahwa tentu jenderal itu bercakap-cakap dengan isteri dan putera-puteranya. Dia melirik ke sana-sini, namun tidak tampak pemuda laknat yang dicarinya. Hatinya kecewa sekali.
Dia sudah terlanjur masuk, penasaran kalau sampai tidak menemukan orang yang dicarinya. Diambilnya segulung kertas, kertas yang telah direndam obat yang dapat menimbulkan asap beracun yang membius orang. Dia ingin membius mereka yang berada di dalam kamar itu agar tertidur semua baru dia akan menggeledah dan mencari. Kalau tidak berhasil menemukan pemuda itu, baru dia akan memakai topeng dan memaksa Jenderal Kao memberitahukan di mana adanya si laknat itu.
Akan tetapi, baru saja dia hendak membakar kertas itu pada lampu yang tergantung di situ, tiba-tiba terdengar bentakan Kian Lee, "Nona, apa yang hendak kaulakukan itu?"
Melihat menyambarnya dua sosok bayangan orang yang bagaikan sepasang burung rajawali melayang dari luar itu, Ceng Ceng terkejut bukan main. Tidak ada jalan keluar baginya untuk lari karena dua orang pemuda lihai itu melayang dari luar, maka cepat dia mendorong daun jendela dan terpaksa dia meloncat ke dalam di mana Jenderal Kao dan anak isterinya berada! Saking gugupnya, lupalah dia untuk menutupi mukanya dengan saputangan dan baru dia teringat setelah dia telah berada di dalam kamar itu dan Jenderal Kao sudah memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka pucat, tanda bahwa jenderal itu telah mengenalnya!
Maka cepat dia mengeluarkan bubukan putih dari sakunya, meremas-remasnya dengan tangan kanan dan tampaklah asap putih tebal mengebul dan menyelimuti dirinya. "Kau.... kau.... Nona Ceng...." Jenderal Kao hanya dapat berkata demikian karena hatinya tergoncang hebat.
Ceng Ceng cepat menggunakan asap tebal sebagai selimut dan melompat lari melalui jendela di seberang lain dari kamar itu.
"Bangsat, hendak lari kemana kau?" Dua orang putera Jenderal Kao yang berada di situ hendak meloncat mengejar.
"Jangan.... mengganggunya....! Biarkan dia pergi....!" Jenderal Kao membentak dan dua orang pemuda yang usianya belasan tahun itu dengan kaget menahan gerakan mereka.
Dari jendela dari mana Ceng Ceng masuk tadi berkelebat dua sosok bayangan dan Kian Lee bersama Kian Bu sudah berada di dalam kamar itu. Lega hati mereka melihat bahwa keluarga Jenderal Kao selamat, maka cepat mereka berlari ke arah jendela di seberang yang sudah terbuka.
"Ji-wi Siauw-sicu (Kedua Orang Gagah Muda), harap jangan mengejar dia....!" kembali Jenderal Kao berseru keras kepada dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka kaget dan heran, lalu membalik dan memandang kepada jenderal itu.
"Dia.... dia tadi...., dia bukan manusia melainkan arwah! Aihhh, sungguh kasihan Nona Ceng....!" Jenderal itu lalu menoleh kepada dua orang puteranya. "Lekas kausuruh pelayan mempersiapkan meja sembahyang. Aku harus menyembahyangi rohnya agar tidak penasaran dan dapat tenang...."
Dua orang putera Jenderal Kao itu, yang bernama Kao Kok Tiong berusia enam belas tahun dan Kao Kok Han berusia tiga belas tahun, mengangguk dan meninggalkan kamar untuk melakukan perintah ayah mereka. Kedua orang pemuda ini, seperti juga ayah mereka, sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat dan ilmu perang, mereka memiliki kepandaian yang lumayan dan amat taat serta tunduk kepada ayah mereka, sikap perajurit-perajurit yang amat baik!
"Kao-goanswe, dia bukan arwah, dia manusia biasa," Kian Bu berkata.
Jenderal itu menggeleng kepala dan memandang dua orang pemuda itu, wajahnya masih pucat sekali dan pandang matanya sayu. "Aku belum menceritakan tentang dia secara panjang lebar kepada kalian dan kepada Puteri Milana. Akan tetapi kalau tidak ada Nona Lu Ceng atau Candra Dewi itu, sekarang aku tentu sudah menjadi setan penasaran di dalam sumur maut."
Ketika dua orang puteranya kembali bersama pelayan yang membawa meja dan segala keperluan sembahyang, jenderal itu menceritakan tentang usaha pemberontak menjebaknya di sumur maut dan betapa Lu Ceng telah menyelamatkan nyawanya dengan pengorbanan dirinya.
"Akan tetapi, kami berdua pernah berjumpa dengan dia, Goanswe! Bahkan kami membantu dia menghadapi segerombolan orang liar yang merupakan ahli-ahli tentang racun di Lembah Bunga Hitam!" Kian Bu kembali membantah. "Dan memang dia amat berubah dibandingkan dengan dahulu, dia menjadi liar dan ganas, akan tetapi...." Dia tidak melanjutkan karena di ujung bibirnya sudah terdapat kata-kata pujian terhadap gadis itu.
"Yang kalian jumpai tentulah orang lain, Siauw-sicu. Tidak mungkin dia, karena aku melihat dengan mata sendiri betapa dia terjerumus ke dalam sumur maut, bahkan Gak-taihiap yang mencoba untuk menyelidikinya, sudah pingsan ketika baru tiba di tengah sumur."
"Akan tetapi dia tadi...." Kian Bu mencoba membantah.
"Yang muncul tadi jelas adalah arwahnya. Sungguh gadis yang amat baik.... sampai mati pun masih berusaha menemui dan melindungiku. Dia menghilang bersama asap putih, dia.... dia arwah Nona Ceng.... akan terus berkeliaran dan penasaran kalau tidak kusembahyangi."
"Tapi...."
Kian Lee menyentuh tangan adiknya sehingga Kian Bu tidak banyak bicara lagi. Dengan hati tidak karuan rasanya, bingung dan juga penasaran, Kian Lee melihat betapa jenderal itu mengeluarkan sehelai gambar nona yang telah menarik hatinya itu, memasang gambar itu pada meja sembahyang, kemudian dia menyalakan lilin dan berkata kepada isteri dan kedua orang puteranya, "Kalian lihat baik-baik wajah itu. Dialah yang telah menyelamatkan nyawaku dengan mengorbankan diri dan nyawanya sendiri. Dialah mendiang Nona Lu Ceng atau Nona Candra Dewi dari Bhutan."
Sebelum jenderal itu mengajak isteri dan dua orang puteranya bersembahyang, tiba-tiba muncul seorang penjaga yang memberi hormat kepada jenderal itu dan melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang berkeras menyatakan hendak bertemu dengan keluarga Jenderal Kao Liang. Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan sepasang matanya memandang penjaga itu dengan marah, "Engkau mengatakan bahwa aku berada di sini?"
Penjaga itu cepat memberi hormat dengan berlutut. "Tentu saja tidak, Taijin. Saya telah menegurnya bahwa malam seperti ini bukan waktunya orang bertemu, dan saya malah mengatakan bahwa tuan rumah, yaitu Jenderal Kao Liang, bertugas di benteng utara. Akan tetapi dia berkeras minta bertemu dengan keluarga jenderal, katanya ada urusan yang amat penting. Sikap orang itu mencurigakan dan andaikata paduka tidak ada di sini, tentu saya akan mengerahkan teman-teman untuk mengusirnya dengan kekerasan. Akan tetapi karena paduka berada di sini, saya tidak berani lancang dan terpaksa melapor...."
Wajah yang tadinya marah itu kini berseri. "Bagus! Kau melakukan tugasmu dengan baik. Kalau begitu, antarkan dia masuk!"
"Ayah....!" Kao Kok Tiong berseru khawatir. "Biarkan aku yang menemuinya."
Ayahnya menggeleng. "Orang yang datang malam-malam begini tentu hanya mempunyai dua maksud, yaitu kalau baik tentu dia membawa kabar yang amat penting bagiku, sebaliknya kalau buruk tentu dia berbahaya sekali. Maka biar dia langsung ke sini dan kuhadapi sendiri."
Kian Lee dan Kian Bu mengangguk setuju dan menganggap sikap jenderal ini amat bijaksana. Mereka berdua pun merasa curiga sekali karena orang yang datang bertamu malam hari begitu, apalagi dalam keadaan yang penuh ketegangan karena kehadiran Jenderal Kao di sini adalah suatu rahasia, memang merupakan kejadian yang aneh dan amat mencurigakan. Mereka berdua sudah siap menghadapi segala kemungkinan, karena mereka menduga bahwa orang yang datang itu lebih banyak membawa bahaya daripada membawa kebaikan.
Tak lama kemudian terdengar derap langkah dua orang menuju ke kamar itu. Semua orang memandang ke pintu dengan hati tegang. Penjaga itu muncul, memberi hormat dan melapor, "Tamu telah datang menghadap!" Jenderal Kao memberi isyarat supaya penjaga itu mundur. Penjaga itu melangkah keluar dan muncullah tamu yang dinanti-nanti itu.
"Aha, kiranya engkau yang datang, orang muda yang gagah?" Jenderal Kao berseru girang sekali ketika melihat bahwa tamu yang muncul itu bukan lain adalah pemuda tinggi besar yang pernah menolongnya dari tangan penculiknya ketika dia hendak dibakar hidup-hidup di dalam kuil tua. Sambil memegang lengan pemuda tinggi besar itu, Jenderal Kao menoleh kepada kedua orang pemuda Pulau Es dan kepada anak-anak dan isterinya, "Inilah dia pemuda gagah perkasa yang telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi yang sama sekali tidak mau menyebutkan namanya! Mari masuk, dan duduklah."
Pemuda tinggi besar itu kelihatan canggung dan sungkan. Dia menjura kepada jenderal itu dan semua orang, kemudian berkata kepada Jenderal Kao, "Harap Tai-ciangkun sudi memaafkan kedatanganku yang mengganggu ini. Sebetulnya, terpaksa sekali aku datang mengganggu...."
"Aihhh! Engkau adalah seorang pemuda perkasa, penolongku yang budiman, bagaimana bisa mengucapkan kata-kata mengganggu?"
"Sungguh, kalau tidak terpaksa saya tidak akan datang ke sini, Tai-ciangkun. Kedatanganku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa yang lalu diantara kita. Akan tetapi karena aku mendengar bahwa Tai-ciangkun adalah komandan di utara, maka aku datang untuk minta keterangan tentang diri seorang perwira yang belasan tahun yang lalu bertugas di sana, dan tentu dia adalah anak buah Tai-ciangkun. Aku sedang mencari-cari orang itu, maka harap Tai-ciangkun berbaik hati untuk memberitahu kepadaku di mana adanya orang itu."
Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan mengangguk. "Tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin untuk membantumu, orang muda. Siapakah adanya orang yang kaucari itu?"
"Iiihhh...." Jerit tertahan dari isteri jenderal ini membuat semua orang memandang kepadanya. Wanita ini sedang memandang pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Kenapa kau?" Jenderal itu membentak heran. Isterinya hanya menggeleng kepala lalu menutupi mukanya. "Nah, orang muda, katakan siapa orang yang kaucari itu?"
"Aku.... aku tidak tahu namanya...." Pemuda itu menjawab gagap dan kelihatan bingung. Memang dia bingung sekali. Ketika dia masih kecil dan tersesat di gurun pasir, dia mengalami penderitaan yang amat mengerikan, seolah-olah melihat maut mendekati dirinya sedikit demi sedikit sehingga berkali-kali dia pingsan dan siuman kembali, batinnya mengalami tekanan yang amat hebat dan berat. Ketika dia ditemukan oleh suhunya, Si Dewa Bongkok, yang diingat hanyalah namanya sendiri, bahkan she-nya (nama
keluarga)nyapun dia sudah lupa, apalagi nama ayahnya. Akan tetapi samar-samar dia masih ingat bahwa ayahnya adalah seorang perwira dan mengingat bahwa dia tersesat di gurun pasir utara, maka tentu ayahnya itu seorang perwira di benteng utara.
Kao Liang memandang tajam dengan alis berkerut, penuh iba dan penasaran.
"Orang muda yang baik, bagaimana aku bisa membantumu kalau kau tidak tahu nama orang yang kaucari itu? Apakah dia musuhmu?"
"Dia.... dia adalah ayahku.... akan tetapi aku tidak tahu namanya.... hanya kuingat bahwa dia adalah seorang perwira...."
Tiba-tiba Nyonya Kao bangkit dari tempat duduknya, wajahnya masih pucat dan dia menghampiri pemuda tinggi besar itu, langsung bertanya dengan bibir gemetar, "Kau.... kau.... siapa namamu....?"
Tentu saja sikap dan perbuatan nyonya ini mengherankan semua orang. Pemuda tinggi besar itu memandang Nyonya Kao dengan ragu-ragu, kemudian menjawab lirih, "Nama saya Kok Cu...."
"Kok Cu....?" Teriakan ini keluar dari mulut empat orang, yaitu Jenderal Kao sendiri, isterinya, dan dua orang puteranya.
"Kok Cu anakku....!" Nyonya Kao sudah menubruk dan merangkul leher pemuda tinggi besar itu sambil menangis.
"Kok Cu, ya Tuhan.... engkau ini....?" Jenderal Kao juga sudah mencengkeram pundak pemuda tinggi besar itu, mukanya pucat matanya terbelalak dan bibirnya bergetar menahan keharuan hatinya.
"Twako....!" Kao Kok Tiong memegang lengan kakak sulungnya.
"Twako...!" Kok Han juga mendekat.
Tentu saja Kok Cu, pemuda tinggi besar yang berambut panjang terurai itu, terkejut setengah mati dan sejenak dia terlalu bingung. Kenyataan yang dihadapinya terlalu mengejutkan dan sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Siapa menyangka bahwa pembesar gagah perkasa yang ditolongnya di tengah perjalanan itu, yang kemudian dia ketahui Jenderal Kao yang dijunjung tinggi seluruh rakyat di daerah utara, ternyata adalah ayah kandungnya sendiri! Sukar untuk menerima dan mempercayai kenyataan yang amat mengejutkan ini.
"Ayah dan ibuku....? Ah, bagaimana....?" Dia dipeluki empat orang yang sudah menangis saking bahagia dan terharu itu. Â Â Jenderal Kao melihat kebingungan pemuda itu. "Mari kita semua duduk. Kok Cu, dengarlah baik-baik. Ketika engkau dan ibumu kubawa ke utara, pada suatu hari engkau lenyap ketika sedang bermain-main di luar benteng. Pada waktu itu terjadi badai yang amat besar, maka kami semua mengira bahwa engkau tentu telah terseret badai dan terkubur di dalam gurun pasir karena berhari-hari kami mengerahkan pasukan mencarimu tanpa hasil. Ketika itu engkau baru berusia sepuluh tahun. Adikmu Kao Kok Tiong ini baru berusia setahun, dan adikmu yang bungsu Kao Kok Han belum terlahir. Memang ketika itu aku belum menjadi jenderal, akan tetapi sudah menjadi komandan dari benteng kecil di utara." Jenderal itu lalu menuturkan dengan jelas sehingga Kok Cu baru tahu bahwa dia adalah bermarga keluarga Kao.
"Ayah...., Ibu....!" Akhirnya dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang tuanya itu. Ibunya memeluknya dan Jenderal Kao tertawa bergelak, menenggak araknya sambil menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu.
"Ha-ha-ha-ha, susah dan senang memang sudah menjadi pakaian manusia hidup! Suka dan duka bersilih ganti menjadi bumbu manis dan pahit dalam hidup! Ji-wi Siauw-sicu, di dalam keprihatinan yang hebat bertemu dengan anak yang hilang, bukankah ini merupakan hiburan yang amat menggembirakan?"
"Kao-goanswe, kami berdua menghaturkan kionghi (selamat) kepadamu!" Kian Lee berkata sambil membungkuk bersama adiknya.
"Terima kasih, terima kasih....!"
"Mengapa kalian begitu bodoh?" Nyonya Kao yang masih merangkul puteranya itu berkata. "Apakah kalian tidak melihat betapa miripnya dia dengan ayahnya? Lihat saja, bentuk badannya, mulutnya, hidungnya! Begitu melihatnya, aku sudah menduganya.... aihh, Kok Cu, kedatanganmu menambah umur ibumu...." Wanita itu tertawa dengan air mata bercucuran.
"Ayah...." Sebutan yang amat asing ini keluar dari bibir pemuda tinggi besar itu dengan kaku. "Siapakah dua orang sahabat yang gagah ini?"
"Hayo kuperkenalkan! Mereka ini adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, dua orang pemuda sakti putera dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, adik-adik dari Puteri Milana, cucu dari Kaisar...."
"Cukuplah semua kementerengan itu, Kao-goanswe!" Kian Bu berteriak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Saudara Kao Kok Cu, terimalah ucapan selamat kami!" Kian Lee berkata.
Kok Cu balas memberi hormat dan ketika ayahnya menceritakan akan pertolongan kedua orang pemuda itu ketika ayahnya terancam bahaya, dia pun menghaturkan terima kasihnya. Pemuda tinggi besar ini sikapnya tenang, agak kasar karena tidak biasa berbasa-basi, bahkan hampir buta huruf, akan tetapi memiliki pribadi yang menarik, jujur, terbuka, dan tidak berpura-pura, sungguhpun terlalu dalam untuk diukur, seakan-akan menyimpan rahasia yang gelap dengan sikap diamnya.
"Ibu, saya melihat persiapan sembahyang.... siapakah...."
"Hai, Kok Cu, ayahmu telah terlalu banyak menerima budi kebaikan orang!" Jenderal Kao berkata sambil memegang tangan puteranya dan menariknya ke depan meja sembahyang. "Kami sekeluarga sedang menyembahyangi arwah seorang penolong yang budiman. Engkau sebagai putera sulungku, harus mengetahui mereka yang telah melepas budi kepada kita, agar kelak kalau ayahmu tidak mampu membalas budi mereka, engkau sebagai anak sulungku akan selalu mengingatnya."
Jenderal ini bersama isterinya dan tiga orang puteranya kini mulai bersembahyang, mengacungkan hio (dupa biting) dengan penuh hormat kepada gambar yang dipasang di meja sembahyang.
Melihat betapa gambar gadis yang amat menarik hatinya itu disembahyangi seperti telah mati, Kian Lee merasa jantungnya seperti ditusuk dan dia memejamkan matanya. Ketika tangan Kian Bu menyentuh lengannya, dia sadar dan membuka mata.
"Mereka itu salah duga...." Kian Bu berbisik. "Dia belum mati."
Kian Lee mengangguk dan menghela napas panjang. "Akan tetapi tidak perlu kita menyangkal dan berdebat dengan mereka...."
"Ahhh....!"
Semua orang terkejut melihat pemuda tinggi besar, Kok Cu, yang tadinya ikut bersembahyang meloncat ke belakang seperti diserang ular kakinya, mukanya pucat dan dia memandang kepada gambar di atas meja sembahyang.
"Hei, kau kenapa, Kok Cu?" Jenderal Kao menegur. Mereka telah selesai bersembahyang dan tentu saja mereka terkejut menyaksikan sikap pemuda itu.
"Ayah, siapa.... siapa yang kita sembahyangi ini? Gambar siapa itu?" Dia menunjuk ke arah gambar Ceng Ceng di atas meja.
"Aku belum menceritakan tentang dia kepadamu, Kok Cu. Mari duduk, akan kuceritakan padamu. Dia bernama Lu Ceng, seorang gadis perkasa yang telah tewas mengorbankan diri dalam usahanya menyelamatkan nyawa ayahmu. Kalau tidak ada dia ini, kiranya hari ini engkau tidak akan dapat bertemu dengan ayah kandungmu." Lalu Jenderal Kao menceritakan semua peristiwa yang terjadi di sumur maut. Setelah dia selesai bercerita, dia bertanya, "Kenapa kau kelihatan kaget melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng?"
Kok Cu menundukkan mukanya. Hanya dia yang tahu betapa hatinya seperti diremas-remas, seperti ditusuki jarum-jarum beracun. Perih dan penuh penyesalan hebat, membuat dadanya sesak dan mukanya pucat. Terbayang di depan matanya peristiwa di dalam guha, tampak jelas olehnya betapa dia telah melakukan hal yang amat hina di luar kehendaknya, betapa di suatu saat dia seperti telah berubah menjadi seekor binatang buas, menjadi setan yang amat jahat. Betapapun dia melawan, dia tidak dapat menguasai nafsu birahinya yang didorong oleh racun-racun amat hebatnya sehingga terjadilah perbuatannya yang amat keji,
memperkosa seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa, dara yang muncul untuk menolongnya! Dia telah membalas pertolongan orang dengan perbuatan yang sejahat-jahatnya, sekeji-kejinya yang dapat diderita seorang wanita, yaitu memperkosa wanita yang menjadi penolongnya itu! Kini, hatinya lebih parah lagi ketika mendapat kenyataan bahwa dara itu pun telah menyelamatkan nyawa ayahnya tanpa mempedulikan keselamatan nyawanya sendiri! Manusia macam apa dia ini! Dan ayahnya adalah seorang panglima
besar yang amat gagah, seorang yang dijunjung tinggi oleh seluruh rakyat di utara, ibunya seorang wanita yang demikian lemah lembut dan halus budi pekertinya, kedua orang adiknya pun demikian tampan dan gagah. Dia.... ah, dia lebih keji dari binatang, lebih jahat daripada setan. Dia tidak layak menjadi putera Jenderal Kao Liang, tidak layak berada diantara keluarga terhormat itu!
"Kok Cu, kau kenapa? Mengapa wajahmu pucat begitu?" Ibunya bertanya.
"Kok Cu, kau tadi kelihatan kaget ketika melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng. Mengapa?" Jenderal Kao bertanya pula.
"Ayah, Ibu.... aku terkejut karena.... karena aku pernah bertemu dengan Nona ini...." jawabnya. "Dia.... dia belum mati, Ayah."
"Nah, apa kata kami tadi, Kao-goanswe? Nona itu memang belum mati. Saudara Kao Kok Cu, ketahuilah bahwa baru saja nona itu malah muncul di kamar ini!" Kian Bu berseru saking girangnya bahwa mereka berdua memperoleh teman untuk menjadi saksi bahwa nona itu belum mati!
Akan tetapi dia sendiri terkejut melihat betapa mata Kok Cu terbelalak liar dan memandang ke kanan kiri seolah-olah pemuda itu ketakutan mendengar bahwa gadis itu tadi berada di tempat itu!
Jenderal Kao Liang menghela napas panjang. "Aku sendiri pun kalau bisa mohon kepada Thian agar dia masih hidup! Dan mudah-mudahan begitulah! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang dapat bertahan hidup setelah terjerumus ke sumur maut itu? Dan andaikata benar dia hidup, mengapa dia tadi tidak menjumpai aku? Antara dia dan aku sudah seperti ayah dan anak sendiri. Mengapa kalau dia masih hidup, dia bersikap demikian penuh rahasia?" Tidak ada orang yang dapat menjawabnya, dan kedua saudara Suma terpaksa harus mengakui keanehan ini di dalam hati mereka. Akan tetapi Kok Cu mempunyai dugaan lain. Tentu saja nona itu berubah sikapnya setelah mengalami peristiwa terkutuk itu, setelah menderita karena kebiadabannya! Siapa tahu nona itu telah menjadi gila karenanya!
"Kok Cu, sekarang kauceritakan pengalamanmu semenjak kau lenyap di dalam badai," perintah Jenderal Kao.
Seperti orang dalam mimpi karena semua pikirannya masih hanyut terbawa lamunannya terhadap nona yang diperkosanya, Kok Cu menceritakan pengalamannya dengan singkat, betapa dia ditolong oleh seorang manusia sakti berjuluk Si Dewa Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir, diambil murid dan baru sekarang diperkenankan meninggalkan istana itu.
"Selain berusaha mencari ayah dan ibu yang sudah kulupa namanya, aku pun memikul tugas dari suhu untuk mencari kitab yang hilang tercuri orang. Dalam pengejaran mencari kitab itulah aku tertipu dan tertangkap di Lembah Bunga Hitam, dan aku bertemu dengan Nona Lu Ceng di sana...." Pemuda itu menghentikan ceritanya, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan perbuatannya terhadap dara itu dan baru saja mendengar bahwa nona itu telah memasuki rumah orang tuanya.
"Kok Cu, kalau aku tidak salah menghitung, usiamu sudah dua puluh enam tahun sekarang. Engkau telah memiliki kepandaian tinggi, itu bagus sekali. Aku akan mengusahakan tempat bagimu di dalam barisan, dan setelah engkau memperoleh kedudukan, kami akan mencari jodoh untukmu."
"Benar sekali ucapan ayahmu, Kok Cu. Aku sudah sering bermimpi menimang-nimang seorang cucu!" ibunya menambahkan.
"Maaf Ayah, dan Ibu. Terpaksa malam ini juga aku minta diri karena aku harus memenuhi dulu perintah Suhu. Setelah urusan ini selesai barulah aku akan kembali ke sini dan menghabiskan sisa usiaku untuk berbakti kepada Ayah dan Ibu."
Ibunya hendak membantah, akan tetapi Jenderal Kao memberi isyarat kepada isterinya, lalu berkata, "Engkau benar! Kalau tidak ada suhumu, tentu engkau sudah tewas di padang pasir. Budi suhumu sampai mati pun takkan dapat dibalas lunas, maka satu-satunya perintah itu harus kaulaksanakan dengan sebaiknya sampai berhasil. Akan tetapi...., besok pagi-pagi aku sendiri akan kembali ke utara bersama kedua orang Suma Siauw-sicu ini. Apakah engkau tidak bisa menanti sampai besok dan kita semalam ini bercakap-cakap di sini?"
"Maaf, Ayah. Karena harus mengikuti petunjuk dan jejak, malam ini pun aku harus melanjutkan perjalanan mencari kembali kitab suhu itu...."
Akhirnya ayah dan ibunya tidak dapat mencegah lagi dan setelah memberi hormat kepada semua orang, sekali berkelebat lenyaplah tubuh tinggi besar itu melalui jendela. Semua orang, termasuk kedua orang kakak beradik Suma, merasa kagum sekali.
Seperti setan cepatnya, Kok Cu meninggalkan gedung orang tuanya. Hatinya tidak karuan rasanya. Dia girang dan merasa berbahagia sekali karena berhasil bertemu dengan ayah bunda dan adik-adiknya, akan tetapi perasaan ini bercampur dengan perasaan menyesal dan berduka. Dia merasa tidak patut menjadi anggauta keluarga yang mulia dan terhormat itu, dia merasa telah mengotori nama besar dan kehormatan ayahnya dengan perbuatannya terhadap Lu Ceng, dara yang dianggap sebagai bintang penolong keluarganya! Dan baru saja, menurut ayahnya, Lu Ceng telah datang ke tempat orang tuanya. Hal ini berarti bahwa gadis itu telah berada di kota raja!
Dengan pikiran melayang-layang, pemuda itu meloncat dari genteng sebuah rumah ke genteng lain, tanpa tujuan namun hati dan pikirannya penuh dengan bayangan Lu Ceng!
******
Ceng Ceng menangis di dalam kamar penginapan, sampai mengguguk akan tetapi dia menutupi mukanya dengan bantal agar tidak ada suara tangisnya keluar dari kamar itu. Makin diingat, makin hancur rasa hatinya. Tidak mungkin dia dapat bertemu dengan Jenderal Kao yang telah menyembahyanginya itu. Dia tidak pantas bertemu dengan jenderal gagah perkasa itu, merasa betapa dirinya sudah kotor. Dan pula, jelas bahwa pemuda laknat yang dicarinya tidak berada di tempat itu, tidak berada bersama Jenderal Kao. Kalau ada, tentu tadi dia sudah melihatnya.
Ingin sekali dia mengunjungi istana Puteri Milana yang dijunjung tinggi oleh mendiang kakeknya, siapa tahu Syanti Dewi telah berada di situ. Akan tetapi bagaimana dia mampu bertemu muka dengan seorang puteri yang demikian mulia? Dan dia merasa malu juga bertemu dengan Syanti Dewi karena sekali bertemu dengan kakak angkatnya itu, tentu dia tidak lagi dapat menyimpan rahasianya, tentu dia akan menceritakan segalanya dan hal ini hanya berarti mati membunuh diri saking malunya.
Teringat olehnya akan nasibnya yang amat buruk. Sejak kecil tidak melihat ayahnya, bahkan ibunya meninggalkannya menjadi seorang anak yatim piatu di dalam asuhan kakeknya. Dan kakeknya.... "Aihh, Kong-kong...!" Dia merintih dan tangisnya makin menjadi-jadi ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas secara menyedihkan itu.
Teringat pula dia akan peristiwa yang paling hebat, yang sekaligus menghancurkan hidupnya, peristiwa di dalam guha yang menimbulkan dendam yang sedalam lautan, kebencian yang setinggi langit. Hidupnya kini hanya untuk satu tujuan saja, mencari dan membunuh pemuda laknat yang telah memperkosanya itu!
"Ahhh....!" Dia mengepal tinju dan menggigit gigi. Dia tahu bahwa pemuda laknat itu memperkosanya di bawah pengaruh racun yang hebat. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi kebenciannya, tidak mengurangi dendamnya. Kalau diingat betapa dia telah berusaha menolong pemuda itu! Menolongnya, membebaskannya dari ancaman maut, dari dalam kerangkeng, akan tetapi pemuda itu malah membalasnya dengan perbuatan yang lebih keji daripada kalau membunuhnya! Pemuda itu telah mendatangkan siksa dan derita hebat sehingga dia dalam keadaan mati tidak hidup pun tidak.
Betapa dendam memainkan peran penting di dalam kehidupan manusia, bahkan dendam mencengkeram sebagian besar dari kehidupan manusia sehingga di seluruh pelosok dunia terjadilah pertentangan, permusuhan, benci-membenci dan akhirnya membesar menjadi perang antara bangsa, perang antara negara. Dendam yang menimbulkan kebencian bersumber kepada si aku. Si aku yang dirugikan lahir maupun batin melahirkan kemarahan dan dendam, kebencian, maka timbullah kekerasan dari dendam dan kebencian ini. Aku diganggu dan dirugikan, keluargaku diganggu, hartaku, namaku, kedudukanku, kepercayaanku, bangsaku, maka aku menjadi marah, dendam dan benci! Segala hal yang tampak maupun yang tidak tampak, yang menjadi kepunyaan si aku, tidak boleh diganggu. Kalau yang diganggu itu keluarga, harta benda, kedudukan, agama, bangsa dan negara orang lain, biasanya kita tidak peduli. Maka si akulah yang menjadi sumber timbulnya dendam dan kekerasan yang mengikutinya.
Dimana terjadi pertentangan dan permusuhan yang disusul dengan bentrokan, tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pihak yang kalah atau lebih tepat lagi, pihak yang dirugikan, tentu akan mendendam dan selalu rindu akan kesempatan untuk membalas dendam itu. Setelah kesempatan tiada maka terjadilah kekerasan yang lain lagi dan hal ini menimbulkan dendam kepada pihak yang kalah, baik perorangan maupun kelompok, maupun negara. Maka dendam-mendendam tidak habisnya di dunia ini, diantara manusia, diantara bangsa dan negara. Jika dendam masih mencengkeram manusia tidak mungkin ada perdamaian dalam hidup manusia. Selama dendam belum lenyap dari batin manusia, segala macam usaha ke arah perdamaian akan sia-sia belaka. Akan tetapi, apabila dendam dan kebencian tidak lagi bertahta di dalam batin manusia, apakah akan ada permusuhan, apakah akan ada perang lagi? Kiranya tidak perlu orang bersusah payah mengadakan usaha perdamaian lagi karena tidak akan adalagi permusuhan dan perang!
Jika dendam kebencian masih bernyala di hati dan pikiran kita, maka segala usaha kita untuk berdamai dengan musuh yang kita benci merupakan kepalsuan dan hanya akan menghasilkan perdamaian palsu belaka. Hanya setelah kita bebas dari dendam kebencian, baru kita dapat hidup damai dengan orang lain, dan tidak perlu lagi usaha perdamaian itu karena kita tidak mempunyai musuh siapa pun, tidak mendendam maupun membenci siapa pun! Yang penting harus disadari bahwa sumber segala dendam kebencian terletak kepada si aku, yaitu si pikiran yang menciptakan si aku. Kita selalu ingin merubah yang di luar, untuk disesuaikan demi kesenangan dan keenakan si aku, kita lupa bahwa sumber segala kekacauan terletak kepada si aku. Diri sendirilah yang harus berubah, si sumber yang harus berubah. Dan perubahan akan terjadi apabila ada pengertian dan pengenalan diri sendiri, melihat dengan mata terbuka akan kekotoran yang memenuhi diri sendiri. Melihat tanpa pamrih, tanpa keinginan apa pun, tanpa ingin merubah, tanpa ingin memperbaiki, menambah atau mengurangi. Dari penglihatan ini timbul pengertian karena penglihatan tanpa pamrih ini merupakan kewaspadaan, menimbulkan kesadaran penuh dan otomatis akan timbul tindakan-tindakan dari pengertian dan kesadaran itu yang akan menimbulkan perubahan.
Sayang bahwa Ceng Ceng tidak sadar akan semua kenyataan sederhana itu. Dia merasa sengsara, diracuni oleh dendam dan kebencian sehingga seperti seorang yang mabok, dia kadang-kadang menangis, kadang-kadang beringas dan beberapa kali dia hampir-hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri!
Tiba-tiba dia bangkit duduk, tidak bergerak dan perhatiannya tertarik oleh suara burung malam yang lapat-lapat di atas genteng. Bagi telinga orang biasa, tentu akan menganggap bahwa itu adalah suara burung malam tulen. Namun pendengaran Ceng Ceng yang terlatih menangkap sesuatu yang aneh dalam suara itu, apalagi ketika dia mendengar suara berkeresekan di atas genteng rumah penginapan, kecurigaannya timbul. Ditiupnya lilin di dalam kamarnya, disambarnya buntalan pakaian dan pedang Ban-tok-kiam, dibereskan kembali pakaiannya yang kusut, kemudian dia membuka jendela dan meloncat keluar jendela, menuju ke belakang rumah penginapan dan meloncat ke atas genteng. Dari situ tampak olehnya dua orang yang berpakaian hitam bergerak di atas genteng bagian depan rumah itu, maka dia cepat mendekati dan membayangi. Dua sosok bayangan itu melayang turun dengan gerakan yang ringan sekali. Ceng Ceng mengintai dari atas dan mendengarkan percakapan singkat mereka.
"Sudah pastikah engkau, Twako?"
"Sudah jelas dia, siapa lagi? Pangeran itu masuk dengan menyamar sebagai pedagang sayur dan sekarang disembunyikan oleh perwira itu di rumahnya."
"Kalau begitu kita harus cepat menangkapnya sebelum dia sempat menghadap istana!"
"Memang perintahnya begitu, akan tetapi kita menunggu teman-teman yang dikirim ke sini untuk membantu kita."
Tidak terlalu lama mereka menunggu karena segera muncul lima orang laki-laki yang memiliki gerakan ringan dan cepat. Setelah berbisik-bisik dan berunding, tujuh orang itu lalu berlari ke jurusan utara. Ceng Ceng cepat mengejar dan terus membayangi tujuh orang itu tanpa turun tangan karena dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan oleh mereka itu. Yang jelas, mereka itu mempunyai niat buruk terhadap diri seorang pangeran. Dia teringat akan Puteri Milana yang dipuji-puji mendiang kakeknya. Puteri Milana juga keluarga Kaisar, maka tentu masih ada hubungan dengan Pangeran ini. Maka sepantasnyalah kalau dia menyelidiki dan melindungi Pangeran itu.
Siapakah tujuh orang itu dan siapa pangeran yang hendak mereka tangkap? Tujuh orang itu adalah kaki tangan Pangeran Tua Liong Khi Ong yang menyamar sebagai orang-orang biasa dan memang banyak terdapat kaki tangan pangeran ini berkeliaran di kota raja. Sungguhpun mereka tidak berani banyak bergerak karena di kota raja terdapat banyak pula anak buah Puteri Milana, namun mereka ini merupakan penyelidik-penyelidik dari Pangeran Liong Khi Ong. Adapun pangeran yang hendak mereka tangkap adalah Pangeran Yung Hwa.
Telah diceritakan di bagian depan bahwa Pangeran Yung Hwa adalah pangeran putera Kaisar dari selir, seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang amat tampan dan halus gerak-geriknya, seorang ahli sastra yang halus budi bahasanya dan romantis jiwanya. Pangeran Yung Hwa ini pernah mendengar berita tentang kecantikan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan sehingga dia tergila-gila oleh berita itu. Tidaklah mengherankan kalau seorang seperti pangeran muda ini tergila-gila kepada seorang dara yang belum pernah dilihat sebelumnya, tergila-gila hanya karena mendengarkan berita tentang puteri itu! Memang jiwa seorang yang suka akan seni seperti Pangeran Yung Hwa amat romantis, amat peka dan halus, mudah tergerak dan mudah terpesona. Mendengar tentang Puteri Syanti Dewi yang kabarnya ahli dalam hal seni sastra, tari dan lukis, pandai pula meniup suling dan mainkan alat tetabuhan lain, bahkan kabarnya pandai pula menari pedang, di samping memiliki kecantikan yang luar biasa seperti seorang dewi dari kahyangan, hatinya tergerak dan sekaligus dia telah jatuh cinta! Karena tergila-gila dan tidak dapat pula menahan rindunya, dia menghadap ayahnya, yaitu Kaisar, dan mengajukan permohonan agar dia dilamarkan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu!
Akan tetapi Kaisar yang telah dipengaruhi oleh adik tirinya, Pangeran Liong Bin Ong, berpendapat lain. Kaisar menolak permintaan puteranya ini, bahkan melamar Puteri Bhutan itu untuk dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah berusia  lima puluh tahun dan sudah mempunyai banyak selir! Mendengar ini, remuklah hati Pangeran Yung Hwa dan dengan berani dia menulis sajak memaki-maki pamannya itu sebagai seorang tua yang tidak tahu malu, yang mata keranjang dan lain-lain untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Kemudian dia lolos dari istana melarikan diri!
Pangeran Liong Khi Ong tentu saja marah sekali kepada keponakannya ini karena sajak yang memaki-makinya itu dipasang di kuil besar dekat istana sehingga sebentar saja banyak orang yang tahu dan dia menjadi buah tertawaan orang. Dengan seijin Kaisar yang memang sudah mendengar akan hal itu dan hendak menghukum puteranya, Pangeran Liong Khi Ong mengerahkan pasukan untuk menangkap kembali Pangeran Yung Hwa yang minggat.
Di bagian depan dari cerita ini telah diceritakan betapa Pangeran Yung Hwa yang sedang melarikan diri dalam kereta dan dikejar oleh pasukan Pangeran Liong Khi Ong, secara kebetulan bertemu dengan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi yang menyamar, lalu pangeran muda itu mendapat pertolongan Gak Bun Beng sehingga lolos dari bahaya. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa dara cantik yang berada bersama penolongnya itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang menjadi gara-gara semua keributan itu!
Dengan bantuan seorang pamannya, yaitu saudara dari ibunya yang menjadi selir Kaisar, dia bersembunyi di luar kota raja. Ketika dia mendengar dari pamannya akan gerakan pemberontakan yang agaknya dikendalikan dari kota raja oleh  kedua orang pangeran tua, Yung Hwa terkejut sekali. Dia segera melakukan penyelidikan-penyelidikan, kemudian pada malam hari itu, dengan bantuan pamannya dia berhasil menyelundup masuk ke kota raja dengan niat menghadap ayahnya untuk minta ampun dan untuk menyampaikan hasil-hasil penyelidikannya tentang gerakan pemberontakan dua orang pangeran tua.
Pangeran Yung Hwa tidak tahu bahwa penyelundupannya itu telah diketahui oleh kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong yang cepat melapor kepada pangeran tua itu. Pangeran Liong Khi Ong segera memerintahkan tujuh orang kaki tangannya itu untuk menangkap Pangeran Yung Hwa.
Ketika Ceng Ceng melihat betapa tujuh orang itu yang harus diakuinya memiliki gerakan yang ringan dan gesit sekali dan diketahuinya merupakan lawan-lawan yang berat, mengepung sebuah rumah di ujung kota, dia lalu langsung menghampiri pintu rumah itu dan mengetuknya. Dia maklum bahwa perbuatannya itu diintai oleh tujuh orang itu dengan penuh keheranan dan perhatian, namun dia tidak peduli dan mengetuk terus dengan kuat sampai terdengar suara seorang laki-laki dari sebelah dalam, "Siapakah di luar?"
"Aku ingin berjumpa dengan Pangeran," kata Ceng Ceng. Hening sejenak di belakang pintu itu, kemudian penutup lubang digeser dan tampak sebuah mata mengintai dari balik lubang. Ketika orang di balik pintu itu melihat bahwa yang mengetuk pintu hanyalah seorang dara cantik dan sendirian pula, sinar matanya membayangkan kelegaan hati.
"Nona, engkau siapakah dan apa maksud kedatanganmu?"
"Biarkan aku masuk, aku ingin berjumpa dengan Pangeran. Dia terancam bahaya dan aku ingin melindunginya."
Sinar mata itu kelihatan terkejut dan heran, lalu nampak ragu-ragu. Pengintai ini adalah Perwira Chi yang melindungi dan menyembunyikan Pangeran Yung Hwa sebelum Pangeran itu sempat menghadap ayahnya di istana Kaisar. "Bukalah sebelum terlambat," Ceng Ceng berbisik.
"Rumah ini sudah mereka kurung!"
Perwira itu makin kaget dan cepat dia membuka daun pintu, membiarkan Ceng Ceng menyelinap masuk dan cepat menutupkan kembali pintunya. "Di mana dia?" Ceng Ceng bertanya. Laki-laki berusia empat puluh tahun lebih itu mengangguk dan memberi isyarat kepada dara itu untuk mengikutinya ke sebelah dalam rumahnya. Dalam perjalanan menuju ke ruangan dalam ini, Ceng Ceng bertemu dengan isteri Perwira Chi dan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil, berusia di bawah sepuluh tahun, dan dua orang pelayan. Mereka kelihatan takut-takut dan memandang kepada Ceng Ceng dengan muka pucat.
Ketika Ceng Ceng mengikuti orang itu masuk ke sebuah ruangan, seorang pemuda bangkit dari duduknya dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik. Begitu berhadapan, diam-diam Ceng Ceng harus mengakui bahwa baru sekali ini dia berjumpa dengan seorang pemuda yang demikian tampannya! Pemuda itu usianya tentu sudah dua puluh tahun lewat, wajahnya yang berkulit putih itu bentuknya tampan sekali, dan ada keagungan dalam sikapnya. Wajah itu agak bundar, dengan alis hitam tebal dan hidung mancung. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, dan mulutnya selalu tersenyum. Bentuk tubuhnya
sedang dengan sikap seorang yang berhati tabah dan merasa lebih tinggi daripada orang lain. Pakaiannya serba indah, sungguhpun bentuknya sederhana.
"Paman Chi, siapakah Nona ini?" Suaranya halus sekali ketika dia mengajukan pertanyaan ini dan dari sikapnya yang agak membungkuk dan pandang matanya, jelas bahwa dia terheran akan tetapi juga menghormat, sehingga Ceng Ceng juga segera menjura dengan hormat mengingat bahwa pemuda tampan ini adalah seorang pangeran!
Ceng Ceng tidak menanti perwira itu menjawab karena dia maklum bahwa perwira itu tentu saja juga tidak mengenalnya, maka dengan singkat dia berkata, "Apakah Paduka seorang pangeran?"
Pangeran Yung Hwa tersenyum dan Ceng Ceng memandang kagum. Begitu tersenyum pemuda ini kelihatan makin tampan dengan deretan giginya yang putih seperti mutiara. "Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Yung Hwa, dan baru padamulah aku berterus terang."
"Saya bernama Lu Ceng, dan tadi saya melihat ada tujuh orang yang mengurung rumah ini. Saya mendengar percakapan mereka bahwa mereka akan menyerbu dan menangkap paduka, oleh karena itu saya sengaja datang untuk melindungi paduka."
Perwira itu kelihatan terkejut, mengeluarkan suara perlahan di tenggorokannya dan mencabut pedang dari pinggangnya, mukanya pucat dan matanya memandang ke kanan kiri. Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya yang tampan. "Tenanglah, Paman Chi, Nona Lu, kalau boleh aku bertanya, mengapa Nona menempuh bahaya dan bagaimana pula Nona akan melindungi aku?"
"Mendengar bahwa paduka seorang Pangeran yang terancam bahaya, sudah sementinya kalau saya berusaha melindungi dan biarpun sedikit, saya pernah belajar ilmu dan tidak takut menghadapi tujuh orang itu."
"Ah, kiranya Nona adalah seorang pendekar wanita!" Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar. "Masih begini muda...., betapa mengagumkan! Akan tetapi.... sebaiknya kalau Nona cepat pergi dari sini. Nona masih amat muda, kalau dalam melindungiku sampai Nona tertimpa bencana, aku Yung Hwa selama hidupku akan menyesal."
Ceng Ceng memandang sejenak dan ada perasaan lembut mengelus perasaannya. Pemuda bangsawan ini benar-benar seorang pemuda yang selain tampan dan halus, juga amat berbudi, tidak mengingat diri sendiri saja. Betapa jauh bedanya kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda nakal dan ceriwis yang dijumpainya tiga kali, pertama kali di pasar kuda, kedua kalinya ketika dia terkurung oleh banyak pengeroyok di Lembah Bunga Hitam dan mereka berdua membantunya, ketiga kalinya ketika dia melihat mereka mengejarnya di rumah Jenderal Kao. Lebih jauh lagi bedanya kalau dibandingkan dengan Ang Tek Hoat, pemuda jahat yang menjadi kaki tangan pemberontak itu! Dan makin jauh lagi kalau dibandingkan dengan pemuda laknat, pemuda tinggi besar yang telah memperkosanya!
"Harap paduka jangan khawatir, dan sebaiknya Paduka bersembunyi di kamar ini saja. Paman, harap Paman menjaga beliau dan keluarga Paman juga sebaiknya dikumpulkan semua di kamar ini. Biar aku sendiri yang menghadapi kalau mereka berani masuk!" Sambil berkata demikian, Ceng Ceng mencabut pedangnya.
"Singgg....!"
Perwira Chi berseru kaget melihat berkelebatnya sebatang pedang yang begitu menyilaukan mata dan yang mengandung hawa dingin menyeramkan.
"Lu-siocia (Nona Lu)....!" Pangeran Yung Hwa berkata.
"Sekali lagi kumohon kepadamu, jangan mempertaruhkan nyawa demi aku. Aku adalah seorang laki-laki dan sudah biasa akhir-akhir ini menghadapi ancaman bahaya. Akan tetapi kau.... tidak boleh engkau menghadapi bahaya maut untukku, Nona!"
"Awas....! Trang-cring-cring-cring....!" Pedang di tangan Ceng Ceng berkelebatan dan membentuk sinar bergulung-gulung ketika menangkis datangnya puluhan batang senjata rahasia yeng menyambar-nyambar dari atas genteng di empat penjuru.
"Kau hebat, Nona.... tapi aku tetap khawatir...." Pangeran Yung Hwa memuji ketika menyaksikan kelihaian Ceng Ceng, akan tetapi Perwira Chi yang sudah datang bersama anak isterinya dan dua orang pelayan, mendesaknya agar memasuki ruangan dalam yang tidak berjendela sehingga tidak dapat diserang dari luar. Kemudian dia menutupkan pintu ruangan itu dan meloncat keluar dengan pedang di tangan, berdiri di dekat Ceng Ceng sambil berkata, "Terima kasih, Lihiap. Saya bersedia membantumu dan melindungi Beliau dengan taruhan nyawa."
Akan tetapi diam-diam Ceng Ceng merasa khawatir sekali. Tadi ketika dia menggunakan pedang menangkis, lengan kanannya sampai tergetar hebat, tanda bahwa para musuh yang melepas senjata rahasia itu memiliki tenaga yang amat kuat! Kalau tujuh orang yang pandai itu semua menyerbu ke tempat yang sempit ini, terpaksa dia harus menggunakan racun, dan hal ini bahkan akan membahayakan perwira ini, mungkin juga membahayakan Pangeran dan keluarga Perwira Chi.
"Paman, harap Paman masuk saja ke dalam ruangan dan menjaga mereka di dalam, dan jangan Paman atau siapa saja keluar karena di depan pintu ruangan ini akan kusebari racun agar tidak ada yang dapat masuk. Percayalah kepadaku!"
Perwira itu membelalakkan mata. Dia maklum bahwa dara yang muda ini tentu memiliki kepandaian tinggi, dan memang hatinya akan lebih tenang kalau dia menjaga Pangeran dan keluarganya di bawah matanya sendiri, maka dia mengangguk dan membuka pintu, lalu meloncat ke dalam dan menutupkan pintunya kembali. Ketika pintu terbuka sebentar itu, Ceng Ceng melihat betapa Pangeran Yung Hwa duduk dengan tenang dan tersenyum lalu mengangguk kepadanya. Hati dara ini makin kagum. Dalam keadaan menegangkan seperti itu, Pangeran itu kelihatan tenang saja. Sungguh sikap yang luar biasa gagahnya bagi seorang pangeran yang lemah.
Setelah Perwira Chi memasuki ruangan itu dan menutupkan pintu satu-satunya dari ruangan itu, Ceng Ceng lalu mengeluarkan bubuk racun berwarna putih dari saku bajunya. Bubuk racun itu tinggal sedikit, dan sisa ini ditaburkan semua di depan pintu ruangan, dari pintu sampai dua meter jauhnya sehingga siapa pun yang akan memasuki ruangan melalui pintu itu tentu akan menginjak bubuk racun yang telah ditaburkannya dan tidak tampak itu. Kemudian Ceng Ceng lalu meloncat keluar dan langsung dia melayang ke atas genteng.
Baru saja tubuhnya mencelat dan hinggap di atas genteng, dari empat penjuru dia diserang oleh tujuh orang kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong itu. Ceng Ceng yang sudah siap, tidak menjadi gentar dan cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam untuk melindungi tubuhnya sedangkan tangan kirinya menyebarkan bubuk racun merah yang juga tinggal bersisa sedikit dan tadi sudah dipersiapkannya. Bubuk racun merah ini merupakan racun yang memabokkan dengan keharumannya yang luar biasa, dan sungguhpun lawan tidak akan tewas oleh racun ini, akan tetapi yang mencium baunya tentu akan roboh dan lemas, pening dan tidak dapat bertanding lagi.
"Awas racun....!" Seorang diantara tujuh lawan itu berseru nyaring dan cepat meloncat mundur. Kawan-kawannya juga meloncat mundur, namun seorang diantara mereka terhuyung dan roboh di atas genteng, setengah pingsan karena dia telah mencium racun itu!
Enam orang yang lain, seorang diantara mereka berpakaian perwira menjadi marah dan menyerbu lagi setelah mereka menutup hidung mereka dengan kapas yang sudah dicelup obat penawar. Melihat ini, Ceng Ceng makin khawatir. Kiranya mereka itu pun merupakan orang-orang lihai yang mengerti sedikit banyak tentang racun. Dan kini Ceng Ceng terdesak hebat. Biarpun dia sudah memutar pedang Ban-tok-kiam sekuatnya dan secepatnya, namun senjata pedang dan golok itu menekan berat sekali. Dalam belasan jurus saja dia sudah mandi keringat. Celakanya, dorongan pukulan tangan beracun dari tangan kirinya agaknya kurang kuat bagi enam orang lawan ini yang menangkis dengan hawa pukulan sin-kang dari jauh sehingga tidak pernah bersentuhan tangan.
"Mampuslah....!" Ceng Ceng membentak marah, pedangnya menusuk tiga kali yang merupakan serangkaian serangan ke arah tiga orang lawan, sedangkan kepalanya bergerak ke kanan kiri, dan dari mulutnya yang manis bentuknya itu meluncur air ludah yang beracun ke arah tiga orang lawan yang lain!
"Aduhhh....!" Seorang diantara mereka, yang memandang rendah serangan ludah itu, dengan tepat terkena percikan ludah di lehernya dan dia berteriak-teriak sambil memegangi lehernya yang seperti dibakar rasanya, lalu bergulingan roboh di atas genteng, tidak dapat bertanding lagi. Akan tetapi pada saat itu, sebuah tendangan kilat mengenal pinggul Ceng Ceng. Dara ini mengeluh, terhuyung dan hanya berkat kecepatan gerak pedangnya saja yang diputar melindungi diri maka dia terhindar dari bahaya maut ketika lima orang itu menerjang secara berbareng ketika dara itu terhuyung.
"Trang-cring-cring-cring....!"
Ceng Ceng bergulingan di atas genteng sambil menggerakkan pedang Ban-tok-kiam menangkisi pedang dan golok yang mengejarnya. Banyak genteng pecah oleh gerakannya ini dan tubuhnya terus bergulingan karena lima orang lawannya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk meloncat berdiri. Dia terdesak benar-benar sampai bergulingan ke pinggir atas dan nyaris terjatuh ke bawah.
Terpaksa dia menghentikan gerakannya dan terus menangkisi pedang dan golok yang bertubi-tubi menyerangnya.
Lima orang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah pengawal-pengawal kelas satu yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, maka tentu saja mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Selain itu, juga mereka telah berpengalaman di dunia kang-ouw, maklum bahwa gadis yang dikeroyoknya itu biarpun ilmu silatnya tidak terlalu hebat, namun memiliki kepandaian tentang racun yang mengerikan, karena inilah mereka tidak berani sembarangan menggunakan tangan kiri menyerang agar tubuh mereka tidak bersentuhan dengan gadis beracun itu, melainkan menggunakan pedang atau golok mereka untuk menyerang. Tendangan tadi yang mengenai pinggang Ceng Ceng, tentu akan mencelakakan yang menendang kalau saja dia tidak memakai sepatu kulit tebal.
"Wuuuutt-plak-plak-plak!"
Lima orang itu terkejut sekali, terhuyung ke belakang karena sambaran angin dorongan yang amat kuat. Ketika mereka melihat bahwa yang mendorong mereka itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka buruk sekali, mereka terkejut dan maklumlah mereka bahwa orang ini memiliki sin-kang yang amat hebat. Maka mereka lalu berpencar, ada yang meloncat ke atas wuwungan yang lebih tinggi untuk bersiap-siap dengan senjata rahasia mereka. Ceng Ceng sendiri terkejut dan cepat bangkit, menggigit bibir karena pinggangnya terasa nyeri.
Pada saat itu, laki-laki tinggi besar bermuka buruk itu membuka mulut dan mengeluarkan teriakan melengking yang amat dahsyat, teriakan yang seolah-olah membuat semua atap di sekitar tempat itu tergetar, genteng-genteng banyak yang merosot dan lima orang pengeroyok itu mengeluh, senjata mereka terlepas dan tubuh mereka terguling di atas genteng dalam keadaan pingsan! Ceng Ceng sendiri merasa betapa tubuhnya seperti kemasukan tenaga yang dahsyat, telinganya seperti akan pecah rasanya, dan dia terhuyung-huyung. Akan tetapi tiba-tiba sebuah tangan yang besar menepuk punggungnya dan dia sadar kembali, memandang laki-laki tinggi besar itu dengan penuh kagum dan juga serem. Wajah orang ini sungguh buruk dan menakutkan. Kulit mukanya kasar seperti kulit punggung buaya, agak hitam kemerahan, mulutnya yang lebar seperti tidak pernah tertutup, hidungnya besar bengkok dan matanya besar sebelah, rambutnya riap-riapan dan panjang sedangkan sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar yang aneh. Sungguh wajah yang menakutkan seperti wajah setan dalam dongeng!
"Kau pergilah, kenekatanmu tadi berbahaya...." Orang itu berkata dan Ceng Ceng makin terheran-heran. Mukanya begitu buruk menakutkan, akan tetapi suaranya halus dan kepandaiannya luar biasa tingginya.
Sejenak Ceng Ceng termangu, kemudian secara tiba-tiba dia menggerakkan pedangnya menyerang. Serangan kilat ini dilakukan dengan dahsyat karena mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak dekat. Ban-tok-kiam meluncur ke arah dada orang tinggi besar itu dan agaknya tidak ada jalan lagi bagi orang tinggi besar untuk dapat menghindarkan diri dari bahaya maut ini, apalagi karena tangan kiri Ceng Ceng yang mengerahkan tenaga beracun mencengkeram ke arah perut dan kepalanya digerakkan sedemikian rupa sehingga rambutnya juga menyambar ke arah kedua mata lawan. Benar-benar serangan tiba-tiba yang amat berbahaya.
"Ahhh....!" Laki-laki bermuka buruk mengeluarkan seruan kaget, dan hanya mengangkat tangan kirinya ke depan dan menyambar pedang itu dari samping dan membiarkan rambut dan tangan kiri Ceng Ceng mengenai sasaran.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati dara ini ketika tangan kirinya bertemu dengan perut yang keras seperti baja, membuat jari-jari tangannya tidak dapat mencengkeram bahkan terasa nyeri, sedangkan rambutnya yang menyambar mata itu tiba-tiba membuyar ditiup oleh mulut Si Buruk Rupa, dan pedangnya ditangkap oleh tangan lawan! Pedangnya, Ban-tok-kiam yang ampuh, yang mengandung racun mujijat, ditangkap oleh tangan begitu saja seolah-olah hanya sebatang pedang kayu yang tidak berbahaya! Dia mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia, bahkan ketika laki-laki itu menggerakkan tangan, dia tidak mampu mempertahankan dan pedangnya terlepas, lalu dilempar di atas genteng oleh laki-laki itu.
"Apakah kau sudah gila?" laki-laki itu menegur.
Ceng Ceng segera menjatuhkan dirinya berlutut dan laki-laki itu mendengus heran. "Memang kusengaja untuk menguji kepandaianmu In-kong, aku mohon kepadamu agar kau suka menerimaku sebagai murid!"
Mata yang besar sebelah itu berkedip-kedip penuh keheranan. "Kau.... kau seorang yang aneh, Nona. Selamat tinggal...." Dia membalikkan tubuh membelakangi Ceng Ceng yang masih berlutut.
"In-kong...., jangan pergi dulu." Ceng Ceng berseru dan laki-laki itu berdiri di wuwungan, membelakangi Ceng Ceng dan bersedakap.
"Mau bicara apa lagi?" terdengar suaranya yang halus.
"In-kong, aku ingin sekali menjadi muridmu, belajar ilmu yang tinggi untuk kupergunakan membalas dendamku kepada seorang pemuda laknat yang amat lihai dan selamanya aku tidak akan melupakan budimu.... In-kong....!" Namun Ceng Ceng hanya dapat bangkit berdiri dengan muka pucat dan hati kecewa sekali karena selagi dia bicara tadi, laki-laki bermuka buruk itu telah berkelebat dan lenyap, meninggalkannya tanpa menjawab sedikitpun juga. Dengan kekecewaan hebat Ceng Ceng memungut pedangnya, lalu melayang turun setelah melihat bahwa tujuh orang itu masih rebah malang melintang dengan pingsan di atas genteng.
Ketika dia memasuki rumah dan menghampiri pintu ruangan di mana Pangeran Yung Hwa dan sekeluarga Perwira Chi bersembunyi, tiba-tiba pintu itu terbuka dan Pangeran Yung Hwa muncul, memandang kepadanya dengan wajah girang sekali sambil berkata, "Ah, syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nona....!"
"Haiii, jangan keluar....!" Ceng Ceng berteriak kaget melihat Pangeran itu hendak melangkah keluar. Seruannya terlambat, maka dia cepat meloncat seperti seekor burung walet, langsung menubruk dan merangkul tubuh Pangeran itu yang sudah melangkahkan kakinya sehingga mereka berdua terlempar kembali ke dalam ruangan, bergulingan seperti saling berpelukan!
Dengan kedua dengan masih memeluknya, Pangeran Yung Hwa membuka matanya, memandang terheran-heran. Ketika Ceng Ceng meronta, dia melepaskan kedua lengannya. "Ah maaf....!" Muka Pangeran itu menjadi merah sekali. Bersama Ceng Ceng dia bangkit berdiri, melihat dara itu mengebut-ngebutkan pakaiannya.
"Akan tetapi, mengapa Nona....?"
"Pangeran, di luar pintu itu tadi kusebarkan racun untuk menghalangi orang luar memasuki ruangan ini, dan hampir saja kau yang menjadi korban!" Ceng Ceng mengomel, lupa bahwa dia bicara dengan seorang putera Kaisar sehingga dia seenaknya saja menyebut "kau"!
Sepasang mata yang indah dari pangeran itu terbelalak. "Aihh.... kiranya baru saja kau kembali setelah menyelamatkan nyawaku, Nona Lu!" Dia memandang ke atas lalu bertanya, "Bagaimana dengan mereka?"
"Semua pingsan," jawab Ceng Ceng sederhana.
"Ah, sungguh hebat! Bagaimana aku dapat membalas budimu, Nona Lu?" Yung Hwa berkata lagi sambil menjura.
"Lihiap, bagaimana baiknya sekarang?" Perwira Chi yang masih pucat, wajahnya itu tiba-tiba bertanya.
"Kalian semua harus cepat pergi dari sini, kalau tidak, berbahaya sekali," jawab Ceng Ceng.
"Mari kalian semua ikut dengan aku!" Yung Hwa berkata.
"Kita harus malam ini juga masuk ke istana, barulah aman."
"Akan tetapi...." perwira itu meragu.
"Beliau berkata benar," Ceng Ceng memotong. "Memang sebaiknya kalau sekarang juga kalian semua menyelamatkan diri ke dalam istana. Kiranya tidak akan sukar bagi Pangeran Yung Hwa untuk memasuki istana."
"Akan tetapi kalau ada pencegatan di tengah jalan?" Perwira Chi masih meragu.
"Aku akan mengawal," Ceng Ceng menjawab.
"Ah, budimu makin bertumpuk, Nona Lu!" Pangeran Yung Hwa berseru terharu, akan tetapi Ceng Ceng cepat membuka pintu dan membersihkan racun dari lantai depan pintu.
"Aku tidak yakin apakah sudah bersih betul, sebaiknya kaubawa keluargamu meloncat sampai dua meter lebih dari pintu, Chi-ciangkun (Perwira Chi)!" Ceng Ceng berkata.
Perwira itu mengangguk, memondong isteri dan anak-anaknya bergantian dan membawa mereka meloncat.
"Maukah engkau membantu aku, Nona?" Yung Hwa berkata, matanya memandang tajam penuh harapan dan penuh selidik.
Wajah Ceng Ceng menjadi merah, akan tetapi dengan sederhana dia mengangguk dan mengeluarkan tangannya.
"Kau berpeganganlah pada tanganku, Pangeran!"
Setelah mereka saling berpegang tangan, Ceng Ceng meloncat dan menarik tubuh pangeran itu ke atas bersamanya.
"Ahhh....!" Pangeran Yung Hwa memuji dengan kagum dan agaknya dia lupa bahwa dia masih memegang tangan yang berkulit halus itu, sampai Ceng Ceng dengan halus menarik tangannya.
"Mari kita berangkat dan kalau ada pencegatan di jalan, biarkan aku menghadapi mereka akan tetapi lanjutkan perjalanan kalian ke istana," Ceng Ceng memesan dan berangkatlah mereka semua meninggalkan rumah Perwira Chi menuju ke istana. Di sepanjang jalan, Pangeran Yung Hwa yang kelihatan tenang saja tidak seperti Perwira Chi sekeluarganya yang nampak gugup dan tegang, tiada hentinya memuji-muji kelihaian Ceng Ceng.
Tidak ada halangan sesuatu di jalan sampai mereka tiba di pintu gerbang istana yang terjaga ketat oleh sepasukan pengawal istana. Ketika mereka melihat Pangeran Yung Hwa yang mengepalai rombongan kecil itu, tentu saja mereka mengenalnya dan cepat memberi hormat kepada pangeran yang mereka kenal sebagai seorang pangeran yang baik budi dan halus itu.
"Mereka ini adalah tamuku dan malam ini kami perlu sekali menghadap ibuku di istana," kata Pangeran Yung Hwa kepada para penjaga yang tidak berani melarang.
"Kalau begitu, kita berpisah di sini," kata Ceng Ceng.
"Selamat berpisah, Pangeran dan Chi-ciangkun."
"Eh, eh.... kau harus ikut dengan kami memasuki istana, Lu-siocia!" pangeran itu berseru.
"Harus....?" Ceng Ceng memandang dengan sikap angkuh dan matanya seolah-olah hendak mengatakan bahwa tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang mengharuskannya berbuat sesuatu!
"Eh, maksudku...." Pangeran Yung Hwa mendekati nona itu dan berbisik, "Harap Nona mengawal kami sampai kami aman berada di tempat tinggal ibuku. Di dalam istana itu banyak kaki tangan pemberontak."
Mendengar ini, Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Memang kalau dia lepaskan mereka di situ kemudian mereka itu tetap saja terjatuh ke tangan musuh yang tentu menyebar anak buahnya di dalam lingkungan istana, akan sia-sialah semua pertolongannya.
"Baiklah....!" katanya dan wajah pangeran itu menjadi berseri, jelas bahwa dia merasa girang sekali.
Karena pangeran itu merupakan seorang tokoh istana yang amat dikenal dan disuka oleh para penjaga, maka mereka tidak menemui halangan. Bahkan semua penjaga yang melihat pangeran ini menjadi girang sekali. Tersiar luas bahwa Pangeran Yung Hwa melarikan diri karena kecewa tidak diperkenankan menikah dengan Puteri Bhutan, dan kini agaknya pangeran itu sudah dingin hatinya dan mau pulang, maka tentu saja para penjaga ikut merasa girang. Agaknya biarpun di lingkungan bangunan istana itu terdapat banyak kaki tangan Liong Bin Ong, namun pangeran ini belum begitu gila untuk berani turun tangan di lingkungan istana, karena hal ini akan berbahaya sekali bagi dirinya sendiri. Maka Pangeran Yung Hwa dan rombongannya dapat tiba di tempat ibunya dengan selamat tanpa halangan.
Ibu pangeran itu, seorang wanita setengah tua, selir Kaisar yang masih kelihatan cantik jelita, menyambut puteranya dengan cucuran air mata saking girangnya. Pertemuan mengharukan antara ibu dan anak mendatangkan rasa haru pula di hati Ceng Ceng.
"Ah, Ibu, saya sampai lupa. Ini adalah Nona Lu Ceng, seorang pendekar wanita yang telah berkali-kali menyelamatkan nyawa puteramu."
Selir kaisar itu mengangkat muka memandang dan tersenyum ramah sambil menghapus air matanya. Ceng Ceng cepat menjura dengan hormat, lalu berkata, "Saya tidak berani mengganggu lebih lama lagi, perkenankan saya pergi."
"Eh, nanti dulu, Nona Lu. Mana mungkin malam-malam begini membiarkan kau pergi? Kau bermalam di sini, besok pagi masih belum terlambat untuk pergi." Pangeran itu berkata dan ibunya juga menahan sambil melangkah maju dan memegang tangan Ceng Ceng.
Dara ini merasa bingung dan sungkan, akan tetapi sikap selir kaisar yang halus dan ramah itu membuat dia tidak berani menolak lagi. Dia lalu diantar ke sebuah kamar dan dipersilakan mengaso, dilayani oleh seorang pelayan wanita. Juga perwira Chi dan keluarganya sudah diberi tempat untuk mengaso dan tidur, sedangkan Pangeran Yung Hwa dan ibunya bercakap-cakap sampai jauh malam.
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Ceng Ceng sudah bangun dan mandi di dalam kamar mandi yang serba mewah dan indah. Kemudian dia memasuki taman di samping kamarnya untuk menanti munculnya Pangeran Yung Hwa karena dia ingin segera pergi dari tempat itu. Akan tetapi baru saja dia memasuki taman, tampak pangeran itu sudah bangkit dari sebuah bangku menyambutnya.
"Selamat pagi, Lu-siocia. Kuharap Nona dapat beristirahat dengan cukup semalam."
"Ah, terima kasih, Pangeran. Kebetulan sekali karena memang saya ingin mohon diri dari sini."
"Duduklah dulu, Nona Lu Ceng, duduklah di bangku sini. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadamu."
Terpaksa Ceng Ceng duduk di bangku berhadapan dengan pangeran itu karena melihat sikap pangeran itu sungguh-sungguh.
"Biarpun baru saja aku berjumpa denganmu, Nona, akan tetapi ada perasaan aneh di hatiku bahwa kita telah menjadi sahabat yang tidak perlu menyimpan rahasia lagi. Karena itu aku ingin menceritakan kepadamu mengapa aku sebagai seorang pangeran kaudapatkan bersembunyi di dalam rumah perwira Chi dan mengapa pula ada usaha-usaha dari luar untuk menangkap atau membunuh aku."
Ceng Ceng selanjutnya tidak ingin mencampuri urusan pangeran itu, juga tidak ingin mendengarkan ceritanya, akan tetapi mengingat akan sikap halus ibu pangeran ini dan akan keramahan Si Pangeran sendiri, juga karena dia merasa kagum dan tertarik kepada pangeran yang tampan dan halus bersikap sederhana, tidak angkuh seperti biasanya kaum bangsawan, merasa tidak tega untuk menolak dan dia hanya mengangguk.
"Mula-mula adalah kesalahanku sendiri. Aku tergila-gila kepada Syanti Dewi, Puteri Bhutan.... eh, kau kenapa?" Pangeran yang sambil bercerita selalu menatap wajah Ceng Ceng melihat betapa tiba-tiba dara itu membelalakkan matanya dan wajah yang tadinya diam dan dingin itu seperti mengeluarkan cahaya dan kedua pipinya kemerahan.
Namun Ceng Ceng segera dapat menguasai hatinya yang tadi terkejut mendengar pangeran itu terang-terangan menyatakan tergila-gila kepada kakak angkatnya, Syanti Dewi.
"Tidak apa-apa, lanjutkanlah...." jawabnya.
"Akan tetapi ayahku, Sri Baginda Kaisar menolak permintaanku untuk dilamarkan puteri itu, bahkan menjodohkan puteri Bhutan itu dengan Paman Pangeran Liong Khi Ong yang sudah setengah abad usianya demi politik. Hatiku sakit dan aku lalu lolos dari istana, melarikan diri. Sikapku membikin marah Paman Pangeran Liong Khi Ong dan Liong Bin Ong, aku dikejar-kejar dan nyaris tewas. Aku dilindungi dan disembunyikan oleh pamanku, saudara ibuku di luar kota raja dan di situ aku mendengar akan rencana pemberontakan yang diatur oleh kedua orang paman Pangeran Liong itu. Bahkan pencegatan rombongan Puteri Syanti Dewi yang diboyong itu pun kabarnya dilakukan oleh sekutu para pemberontak. Maka aku lalu kembali ke Istana, akan tetapi di tengah jalan aku terlihat oleh kaki tangan pemberontak dan tentu aku sekarang telah tewas kalau tidak ada engkau yang muncul dan menyelamatkan nyawaku, Nona Lu Ceng!"
"Sudahlah, Pangeran. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Kakek adalah seorang bekas pengawal dahulu, maka sudah sepatutnya kalau aku melindungi seorang pangeran yang terancam bahaya oleh orang-orang jahat yang memberontak. Sekarang ijinkan aku memohon diri untuk melanjutkan perjalananku." Ceng Ceng bangkit berdiri.
"Engkau hendak ke manakah, Nona Lu?"
Ceng Ceng termenung. Dia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Akan tetapi segera terbayang olehnya pemuda tinggi besar yang memperkosanya, pemuda laknat yang menjadi musuh besarnya, "Aku.... aku mencari seseorang...."
"Keluargamu?"
"Bukan...."
"Sahabatmu....?"
"Bukan!"
"Habis siapa dia? Biar aku akan membantumu dan menyuruh para pengawal mencarinya."
"Terima kasih, Pangeran. Ini urusan pribadi. Aku akan pergi sekarang...."
Ceng Ceng sudah melangkah hendak pergi, akan tetapi pangeran itu bangkit berdiri dan berkata, "Nanti dulu, Nona Lu!"
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan membalikkan tubuhnya, memandang penuh selidik. "Ada urusan apa lagi?"
"Tadi sudah kukatakan bahwa ada sesuatu yang akan kusampaikan kepadamu."
"Engkau sudah menceritakan semua."
"Bukan.... bukan itu.... akan tetapi, ahh, maafkan aku karena engkau begitu tergesa hendak pergi, terpaksa aku terus terang saja. Nona Lu Ceng, aku.... begitu bertemu denganmu.... aku.... aku cinta padamu, Nona!"
Ceng Ceng benar-benar terkejut bukan main, matanya terbelalak memandang dengan mulutnya agak terbuka karena dia sama sekali tidak pernah menyangka akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut pangeran yang amat tampan itu!
"Maaf, Nona. Aku bersungguh-sungguh dalam hal ini. Aku bahkan telah membicarakan dengan ibu, dan beliau sudah setuju. Nona Lu, aku cinta padamu dan kalau Nona setuju, aku ingin meminangmu sebagai isteriku...."
"Ahhh....!" Ceng Ceng menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi merah sekali. Selama hidupnya, baru satu kali ini ada pria mengaku cinta secara demikian terang-terangan, bahkan sekaligus melamarnya sebagai isterinya.
"Maafkan, Nona Lu Ceng. Memang ini tidak semestinya, memang sepatutnya aku mengajukan pelamaran kepada orang tuamu, akan tetapi karena aku tidak tahu di mana kau tinggal, siapa orang tuamu, dan karena kau begitu tergesa-gesa hendak pergi, aku takut kalau-kalau kita tidak akan saling bertemu kembali, maka aku memberanikan diri...."
Tiba-tiba Lu Ceng menangis terisak-isak menutupi mukanya dan dia menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Disebutnya orang tuanya oleh pangeran itu membuat hatinya seperti ditusuk, mengingatkan dia akan semua nasibnya dan betapa tidak ada orang tua maupun kakeknya yang dapat dia sandari, yang dapat menghiburnya.
"Ahh, ampunkan aku, Nona Lu. Agaknya aku telah melukai hatimu.... akan tetapi percayalah, aku tidak bermaksud menghinamu.... semua pernyataanku keluar dari hatiku yang murni...."
Ceng Ceng mengusap air matanya, lalu memandang. Dilihatnya pangeran itu telah menjatuhkan diri berlutut di depannya! Seorang pangeran putera kaisar, telah berlutut di depannya! Berlutut kepadanya! Dara ini terlalu muda untuk mengerti bahwa cinta asmara memang dapat membuat seorang pria melakukan apa saja sehingga kalau seorang pangeran sampai berlutut di depan dara yang dicintanya, hal itu sama sekali tidaklah aneh! Maka dia segera meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya.
"Pangeran, harap jangan berlutut!"
Pangeran Yung Hwa bangkit berdiri dan wajahnya berseri. "Engkau tidak marah kepadaku?"
Ceng Ceng kembali menghadapi pangeran itu, kini memandang dengan sinar mata penuh selidik karena masih sukar baginya untuk dapat percaya bahwa pangeran yang amat tampan ini, putera kaisar, benar-benar jatuh cinta padanya dan meminangnya untuk menjadi isterinya!
"Tidak, aku tidak marah, hanya aku merasa heran sekali, Pangeran."
"Heran? Ha-ha-ha, Nona Lu! Seorang dara seperti engkau ini, biar dewa sekalipun pantas untuk jatuh cinta, apalagi hanya seorang pangeran puteri selir macam aku!"
Ucapan ini benar-benar mengelus rasa hati Ceng Ceng, mengangkat harga dirinya setinggi langit. "Pangeran Yung Hwa, apakah engkau sudah lupa lagi kepada Puteri Syanti Dewi yang kaukatakan sendiri telah membuat engkau tergila-gila tadi?"
"Ah, dia? Aku telah insyaf setelah aku melarikan diri keluar dari istana, Nona. Aku hanya tergila-gila kepada bayangan, kepada gambaran belaka. Selamanya aku belum pernah bertemu dengan Syanti Dewi, hanya tergila-gila mendengar berita orang tentang kecantikannya, tentang kebaikannya. Akan tetapi engkau.... engkau adalah seorang dara dari darah daging, yang hidup, bukan bayangan mati. Dan setelah aku berjumpa denganmu, tidak ada lagi bayangan Syanti Dewi di dalam hatiku, yang ada hanya engkau, Nona."
Makin nyaman rasa hati Ceng Ceng mendengarkan semua kata-kata itu. Dia seperti merasa dalam mimpi yang amat indah dan dia memejamkan matanya karena hampir tidak percaya bahwa ini mimpi. Pangeran yang tampan dan halus itu, yang di balik kehalusan dan kelemahannya memiliki keberanian dan kegagahan luar biasa pula ketika menghadapi bahaya, telah jatuh cinta padanya, meminangnya sebagai isteri!
Tubuhnya gemetar semua ketika tahu-tahu dia merasa ada dua lengan yang memeluknya. Dari balik bulu matanya, dia melihat bahwa Pangeran Yung Hwa telah merangkulnya dengan mesra, betapa dekat muka yang halus tampan itu, yang kini menjadi kemerahan dan mata yang indah itu memandang kepadanya penuh cinta kasih mesra, membuat Ceng Ceng hampir pingsan! Ketika merasa betapa napas yang panas dari hidung pangeran itu meniup pipinya, dia mengelak sedikit dan berbisik, "Akan tetapi, Pangeran.... aku.... aku
hanya seorang gadis perantau...."
Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini pangeran itu telah mempererat dekapannya dan telah mencium pipinya dengan hidung sambil membisikkan kata-kata indah di dekat telinganya, "Ceng-moi.... bagiku engkau adalah seorang bidadari.... engkau mulia seperti Kwan Im Pouwsat sendiri.... engkau gagah perkasa seperti pendekar wanita Hoan Lee Hwa (dalam cerita Sie Jin Kwi) dan aku.... aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, Moi-moi...."
"Ahhh.... tapi.... tapi aku...." Kembali Ceng Ceng tak mampu melanjutkan karena kini bibir pangeran itu telah menutup mulutnya dengan ciuman yang hangat dan mesra, yang dilakukan dengan penuh getaran batinnya. Sejenak Ceng Ceng terlena seperti pingsan dalam pelukan pangeran itu, menerima ciuman yang melupakan segala hal itu. Tiba-tiba terbayang wajah pemuda laknat dan teringatlah dia akan keadaan dirinya. Dia meronta dan pangeran itu berseru kaget, tentu saja pelukannya terlepas dan dia tidak mampu menahan  gerakan Ceng Ceng yang meronta tadi.
Wajah Ceng Ceng pucat sekali, matanya menjadi liar. "Tida k....! Tidak....! Tidak....!" Gadis itu setengah menjerit.
"Aih, Moi-moi.... kekasihku.... ada apakah....?" Pangeran itu berseru kaget dan melangkah dekat, akan tetapi Ceng Ceng melangkah mundur menjauhi.
"Jangan sentuh aku! Jangan....!" jeritnya.
"Aduh, Ceng-moi, kenapakah? Apakah salahku? Aku cinta padamu...."
"Tidak boleh begitu!"
"Mengapa? Terasa olehku betapa engkau pun membalas cintaku, Ceng-moi. Kenapa tidak boleh?"
Sepasang mata itu kembali mencucurkan air mata karena dia teringat kembali akan keadaan dirinya yang telah ternoda, yang telah diperkosa oleh Si Pemuda Laknat. Akan tetapi betapa mungkin dia menceritakan hal itu kepada orang lain, apalagi kepada pangeran ini? Lebih baik mati!
"Pangeran, ketahuilah bahwa Enci Syanti Dewi adalah kakak angkatku. Karena itu, engkau tidak boleh cinta padaku. Nah, selamat tinggal!" Dengan isak tertahan Ceng Ceng meloncat ke atas genteng dan melarikan diri.
"Ceng-moi....!" Pangeran itu berseru memanggil, namun Ceng Ceng tidak mau menoleh lagi, bahkan mempercepat loncatannya sehingga sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Pangeran Yung Hwa yang menjadi bengong dan pucat, sinar matanya layu kehilangan gairah hidup.
Air mata masih mengalir perlahan di kedua pipi Ceng Ceng ketika dara ini berjalan perlahan keluar dari pintu gerbang sebelah selatan kota raja. Hatinya diliputi bermacam perasaan. Terharu mengingat akan cinta kasih Pangeran Yung Hwa yang dia percaya sungguh-sungguh mencintanya, kecewa bahwa dia terpaksa tidak dapat menyambut cinta kasih pangeran itu, dan keadaan ini selain mendatangkan duka, juga menambah sakit hatinya terhadap Si Pemuda Laknat karena pemuda itulah yang menjadi biang keladi semua kedukaan dan kesengsaraan hatinya. Sungguhpun dia sendiri belum tahu apakah dia juga mencinta pangeran itu, namun kalau tidak
terjadi malapetaka menimpa dirinya, agaknya tidak akan sukar bagi dara manapun juga untuk membalas cinta kasih seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu. Hatinya menjadi panas dan murung mengingat pemuda tinggi besar, Si Laknat yang dicarinya itu. Ke mana dia harus mencari? Inilah yang membuat dia murung dan kesal karena dia tidak tahu di mana adanya musuh besar yang diburunya itu.
Dengan langkah gontai tanpa tujuan tertentu dan pikiran melayang-layang, tanpa disadarinya lagi Ceng Ceng telah melakukan perjalanan sehari penuh tanpa berhenti. Hari telah menjelang malam, senja yang cepat gelap karena langit tertutup awan. Ceng Ceng tiba di luar dusun sebelah selatan kota raja di mana terdapat sebuah sungai, yaitu Sungai Yung-ting. Seperti orang kehilangan semangat, tubuhnya lemas karena sehari penuh tidak makan atau minum, Ceng Ceng naik ke atas jembatan yang menyeberang sungai itu.
Dalam cuaca yang remang-remang, dia melihat sebuah benda di pinggir jembatan itu, dan ketika dia mendekat, ternyata benda itu adalah sebuah pot bunga. Benda yang tidak semestinya berada di jembatan, dan hal ini menarik perhatiannya, membuat dia berhenti dan mengamati pot bunga itu dengan heran. Tidak ada seorang pun manusia di jembatan itu, hanya dia seorang diri. Terasa aneh sekali berada di jembatan besar itu seorang diri, seperti tergantung di angkasa, dan pot bunga itu menambah keanehan suasana yang dirasakannya. Pot bunga itu terbuat dari besi tebal, tentu berat sekali, apalagi ditambah beratnya tanah di dalamnya. Hal ini menandakan bahwa orang yang membawanya ke tempat ini tentu seorang yang memiliki tenaga besar. Akan tetapi tidak tampak seorang pun manusia di situ.
"Hei, Nona cilik! Mau apa engkau longak-longok di situ? Lekas pergi kalau tidak ingin mampus menjadi setan air!"
Suara ini terdengar dari kolong jembatan, seperti suara setan karena tidak kelihatan bayangan orang. Kalau saja bukan Ceng Ceng, seorang laki-laki pun tentu akan takut mendengar suara kasar itu dan tentu akan lari terbirit-birit, menyangka bahwa yang bersuara mengancam itu tentulah setan sungai atau setan jembatan. Akan tetapi Ceng Ceng adalah seorang gadis yang pemberani, apalagi setelah dia pernah hidup di neraka bawah tanah bersama subonya, Ban-tok Mo-li Ciang Si (Iblis Betina Selaksa Racun), tidak sesuatu pun di dunia ini yang ditakutinya. Pada saat itu, hatinya sedang mengkal dan kesal, maka begitu mendengar suara itu, mendadak saja darahnya naik dan dia menjadi marah sekali. Ditendangnya pot bunga itu dengan kaki kanannya sambil mengerahkan sin-kang tentunya karena dia tahu bahwa pot besi itu amat berat. Pot besi itu terlempar keluar jembatan!
Akan tetapi, Ceng Ceng tidak mendengar suara benda itu terjatuh ke air, seolah-olah benda itu lenyap di tengah udara begitu saja. Selagi dia termangu-mangu dan dengan heran menjenguk dari jembatan sambil berusaha menembus kegelapan di bawah dengan matanya, tiba-tiba terdengar suara suitan orang dan tampaklah berkelipnya lampu dari tepi sungai. Penerangan seperti kunang-kunang ini bergerak ke tengah sungai dan di dalam cuaca remang-remang itu tampaklah sebuah perahu. Kembali terdengar suara orang, suara yang kasar tadi, akan tetapi kini suara itu terdengar halus penuh hormat!
"Kami mempersilakan Li-hiap untuk menerima penyambutan kami dan meloncat ke perahu."
Tentu saja Ceng Ceng tidak sudi memenuhi permintaan ini. Biarpun dia tidak takut, akan tetapi dia tidaklah sebodoh itu, mau saja dijebak orang yang tidak dikenalnya.
"Huhh!" Dia mendengus dan hendak pergi melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi kakinya berhenti bergerak lagi ketika mendengar suara orang tadi, kini penuh ejekan sungguhpun masih tetap menghormat.
"Apakah kami telah keliru? Apakah seorang calon beng-cu (pemimpin rakyat) mengenal rasa takut? Apa sih bahayanya meloncat dari jembatan ke perahu jika memiliki kepandaian tinggi? Harap Lihiap tidak menduga yang bukan-bukan! Kami sengaja menyambut Lihiap dan maafkan kelancangan kami tadi karena kami tidak menyangka bahwa calon beng-cu yang ditunggu-tunggu dari selatan adalah seorang wanita muda!"
Bergolak darah di tubuh Ceng Ceng ketika dia dikira takut tadi. Kemudian dia tertarik mendengar kata-kata selanjutnya. Mengertilah dia bahwa dia disangka orang lain dan pot bunga itu merupakan semacam tanda rahasia bagi orang yang diundang dan penyambutan undangan kiranya adalah dengan menendang pot bunga itu! Secara tidak disengaja dia telah menyambut undangan mereka! Siapa tahu, pemuda laknat itu berada bersama dengan mereka! Agaknya mereka itu adalah kaum sesat seperti pernah dia mendengar cerita kakeknya, golongan hitam atau kaum sesat yang sedang mengadakan pemilihan pimpinan atau beng-cu dan dia dianggap seorang calon beng-cu. Pemuda laknat itu sudah pasti merupakan seorang tokoh kaum sesat pula, maka sangat boleh jadi dia akan menjumpainya di tempat orang-orang ini. Teringat akan kemungkinan besar ini, tanpa meragu lagi dia lalu mengayun tubuhnya meloncat ke bawah, ke atas perahu yang menjemputnya!
Biarpun dalam hal ilmu silat mungkin kepandaian Ceng Ceng belum termasuk hitungan, namun gadis ini memiliki gin-kang atau ilmu meringankan tubuh yang cukup baik, maka ketika meloncat dan hinggap di perahu tidak menimbulkan banyak guncangan. Dua orang laki-laki tinggi besar menyambutnya di perahu dengan sikap menghormat, "Selamat datang, Lihiap. Terpaksa kami menyambut secara begini karena pasukan pemerintah kini sering kali melakukan perondaan dengan ketat. Silakan Lihiap mengaso di dalam
perahu. Kami terpaksa menyamar sebagai nelayan-nelayan biasa."
Ceng Ceng adalah seorang dara yang memiliki kecerdasan. Dia sudah yakin sekarang bahwa dua orang ini keliru menyambut orang yang diharapkan kedatangannya, orang yang dianggap sebagai seorang calon beng-cu. Maka dia pun tidak banyak cakap karena dia ingin melihat ke mana dia akan dibawa dan mungkin sekali di tempat itu dia akan bertemu dengan musuh besar yang dicari-carinya itu. Akan tetapi untuk mengetahui lebih banyak, dia menegur setengah bertanya, berdasarkan kata-kata seorang di antara mereka tadi setelah dia duduk dan perahu digerakkan dengan cepat.
"Bagaimana kalian sampai tidak menyangka? Apakah kalian tidak memperoleh keterangan cukup tentang orang yang harus kalian sambut?"
Seorang di antara mereka menggunakan dayung mendayung perahu yang meluncur cepat sekali sehingga diam-diam Ceng Ceng merasa ngeri, teringat dia akan pengalaman pahitnya dahulu ketika dia bersama Syanti Dewi dihanyutkan perahu sehingga akhirnya perahu bertumbukan dan dia bersama Syanti Dewi tenggelam dan hanyut sehingga terpisah sampai sekarang. Semenjak itu, dia merasa ngeri kalau mengingatnya dan sekarang dia naik sebuah perahu yang didayung cepat sekali, maka tentu saja hatinya menjadi tegang dan khawatir, namun tidak ada perubahan pada wajahnya. Orang ke dua segera menjawab, sikapnya tetap menghormat, dan agaknya dia memang suka bicara maka dia bercerita banyak sehingga menyenangkan hati Ceng Ceng yang memang hendak memancing keterangan dari orang lain.
"Maaf, Lihiap. Memang kami telah memperoleh keterangan dari Pangcu, akan tetapi kami semua anggauta Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) tidak ada yang pernah bertemu dengan kelima orang Loan-ngo Mo-li (Lima Iblis Betina dari Sungai Loan), hanya mendengar bahwa Lihiap berlima adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan Lihiap sendiri sebagai orang pertama dari Loan-ngo Mo-li diundang oleh Pangcu kami untuk memasuki sayembara perebutan kedudukan beng-cu. Tentu saja kami mengira bahwa Loan-ngo Mo-li adalah lima orang wanita yang tidak semuda Lihiap, apalagi Lihiap sebagai orang pertama...." Orang laki-laki tinggi besar itu tidak berani melanjutkan kata-katanya ketika melihat Ceng Ceng memandang seperti orang marah. Memang dara ini menjadi marah ketika dia disangka orang pertama dari Lima Iblis Betina! Akan tetapi karena dia tahu itu, maka dia menekan kemarahannya, hanya melangkah ke tengah perahu di mana terdapat bilik bambu sambil berkata, "Sudahlah, aku hendak mengaso!"
Di dalam bilik perahu itu, Ceng Ceng memutar otaknya. Jelas bahwa dia telah melibatkan diri dalam urusan kaum sesat yang berbahaya! Akan tetapi ketika teringat kemungkinan untuk menemukan jejak musuh besarnya, atau setidaknya dia akan dapat bertanya-tanya kepada kaum sesat yang tentu mengenal orang itu, hatinya lega dan dia dapat tidur nyenyak di dalam bilik perahu yang sempit itu. Pada keesokan harinya, dia terbangun oleh cahaya matahari yang menembus celah-celah bilik. Dia membuka jendela bilik kecil dan menggunakan tangannya mengambil air untuk mencuci muka dan tangannya, kemudian dia keluar dari bilik. Dua orang laki-laki yang sedang mendayung perahu, mengangkat muka dan jelas kelihatan betapa mereka tercengang dan memandang kagum. Mereka sudah terheran-heran melihat betapa orang yang mereka jemput adalah seorang wanita muda, dan kini mereka menjadi makin heran dan kagum sekali melihat wajah dara, yang demikian cantik jelita, wajah yang bersinar kemerahan ditimpa matahari pagi sehabis digosok-gosok ketika mencuci muka tadi. Di lain pihak, Ceng Ceng merasa tak senang dipandang seperti itu, apalagi yang memandangnya adalah dua orang laki-laki tinggi besar yang kini kelihatan berwajah kejam, kasar dan kurang ajar!
"Kalian memandang apa?" bentaknya marah. Suaranya melengking tinggi menggetarkan dan dua orang itu cepat-cepat menundukkan mukanya. Seorang di antara mereka, yang kumisnya tebal sekali, berkata, "Maaf, Lihiap. Kami hanya mempunyai bekal roti kering dan arak kasar, kalau Lihiap suka...."
"Aku lapar! Aku ingin makan daging ikan."
"Akan tetapi.... kami tidak membawa pancing atau jala...."
"Bodoh! Biar aku yang menangkap ikan, kalian yang memanggangnya nanti!" Ceng Ceng lalu duduk di pinggir perahu. "Bawa perahu ke pinggir, di bawah pohon sana di mana tentu banyak ikannya."
Dua orang itu tidak membantah dan benar saja, di bawah pohon yang rindang itu terdapat banyak ikan lee-hi atau semacam itu. Ceng Ceng memasukkan tangan kirinya ke dalam air di dekat perahu, digoyang-goyang perlahan sehingga menarik beberapa ekor ikan besar. Setelah ikan-ikan itu dekat, Ceng Ceng mengerahkan sin-kangnya sehingga hawa beracun di dalam tubuhnya berkumpul di tangan, getaran-getaran hebat terjadi dan dua ekor ikan yang terdekat terkena hawa beracun tangannya, menjadi mabok dan diam saja ketika ditangkap oleh gadis ini! Ceng Ceng melemparkan dua ekor ikan itu ke dalam perahu sambil berkata, "Nah, kalian panggang ikan-ikan ini! Seekor untukku!" Setelah berkata demikian, dia meninggalkan mereka dan duduk di kepala perahu yang sudah dijalankan lagi oleh seorang di antara mereka sedangkan orang yang berkumis tebal sudah sibuk dengan ikan-ikan tadi. Mereka tadi terkejut dan melongo, dan kini mereka yakin akan kelihaian gadis cantik ini!
Ceng Ceng memang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, kepandaian yang tidak dimengerti oleh dua orang itu, yang mengira bahwa gadis itu menggunakan ilmu aneh untuk menangkap ikan. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di hadapan mereka adalah seorang gadis beracun yang amat berbahaya, murid tunggal dan pewaris tunggal dari Ban-tok Mo-li yang belum ada tandingannya dalam hal ilmu tentang racun!
Hari telah siang ketika perahu itu menyentuh tepi sungai di sebuah lembah yang penuh dengan batu-batu besar dan pohon-pohon liar. Ketika Ceng Ceng bersama dua orang laki-laki itu meloncat ke darat dari perahu, dia melihat banyak orang di lembah itu. Dia bersikap hati-hati dan waspada, maklum bahwa dia berada di antara kaum sesat yang agaknya telah berkumpul di tempat ini untuk mengadakan pemilihan seorang beng-cu, yaitu orang yang dianggap patut untuk memimpin mereka semua.
Memang dugaannya ini, berdasarkan cerita Si Kumis Tebal, adalah benar. Hari itu, semua tokoh kaum sesat yang tinggal di sekitar kota raja berkumpul di lembah itu atas undangan penyelenggara pertemuan itu, yaitu perkumpulan Tiat-ciang-pang. Perkumpulan ini merupakan perkumpulan kaum sesat yang paling besar dan paling terkenal di sekitar daerah kota raja, karena para anggautanya adalah golongan perampok dan pencopet! Mereka ini menganggap diri mereka sebagai golongan sesat yang lebih "terhormat" dan lebih tinggi daripada tingkat golongan sesat yang lain. Terutama sekali terhadap golongan pencuri, Tiat-ciang-pang memandang rendah. Bagi mereka, pekerjaan kaum pencuri adalah kotor dan bersifat pengecut. Pencuri mengambili barang orang yang sedang tidur, sedang tidak berdaya dan pekerjaan ini dianggap kotor dan hina oleh kaum pencopet dan perampok yang bergabung dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang! Berbeda dengan mereka, demikian pendapat mereka. Mereka adalah para pencopet dan perampok, yang mengambil atau merampas barang orang yang sadar, yang dapat berjaga diri yang dapat melawan. Pekerjaan mereka lebih menunjukkan kejantanan!
Memang demikianlah sifat kita manusia pada umumnya. Kita amat kritis terhadap orang lain karena dalam memandang orang lain, mata kita selalu mencari cacat-cacatnya dalam segala perbuatan orang lain. Kita amat pandai untuk menunjukkan kesalahan orang lain dan dalam menilai orang lain, kita biasanya membutakan mata terhadap kebaikannya akan tetapi menonjolkan cacat-cacatnya! Kita tidak pernah memandang seperti itu kepada diri sendiri. Sebaiknya, kita membutakan mata terhadap cacat-cacat kita dan menonjolkan kebaikan kita. Kalau toh kita terpaksa melihat kesalahan kita, kita akan selalu siap membela diri, siap mencarikan alasan untuk membela kesalahan kita itu agar tidak menjadi kesalahan lagi! Senjata kita untuk itu selalu adalah pembelaan diri, bahwa kita melakukan suatu hal yang tidak baik karena terpaksa dan sebagainya. Kita semua pada hakekatnya ingin baik, ingin menjadi baik, ingin menjadi budiman, ingin menjadi orang yang bajik. Akan tetapi betapa mungkin hal ini terjadi? Dalam keadaan diri kotor ingin tampak bersih, hal ini sama sekali tidak mungkin. Segala usaha palsu akan dilaksanakan untuk menutupi kekotorannya itu agar kelihatan bersih. Akan tetapi, ditutupi dengan apa pun, tentu saja akan tetap tinggal kotor! Yang penting bukanlah keinginan untuk bersih, melainkan kesadaran akan kekotoran dirinya! Kesadaran ini timbul dari pengertian, dari pengertian ini datang bersama pengenalan diri sendiri. Kesadaran dan pengertian akan melenyapkan kekotoran itu dan dengan lenyapnya kekotoran, hilang pula keinginan untuk bersih. Pengertian timbul pada kewaspadaan saat ini, pengertian adalah saat demi saat yang mendatangkan tindakan seketika. Pengertian yang disimpan menjadilah pengetahuan yang mati, seperti semua pengetahuan yang hanya menjadi barang lapuk di dalam gudang ingatan. Pengertian dari kewaspadaan adalah kesadaran akan segala sesuatu di luar dan di dalam diri kita setiap saat! Bukan aku yang mengerti, bukan aku yang waspada, bukan aku yang sadar! Begitu ada aku di situ terdapat penilaian, perbandingan dan pemilihan, si aku menimbulkan pengejaran akan kesenangan dan penolakan akan yang tidak menyenangkan. Maka segala perbuatan akan bersumber kepada si aku, maka jauh dari kebenaran.
Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) yang merasa diri sebagai perkumpulan "orang-orang gagah" itu memiliki anggauta kurang lebih seratus orang banyaknya, semua terdiri dari pencopet dan perampok yang rata-rata memiliki kepandaian cukup hebat. Ketuanya adalah seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmunya yang dinamakan Tiat-ciang-kang (Ilmu Tenaga Tangan Besi) yang membuat kedua tangannya seperti besi kerasnya, dapat dipergunakan sebagai senjata, bahkan menghadapi lawan yang tidak terlalu kuat, kedua tangan ketua ini dapat dipergunakan untuk menangkis senjata tajam! Ketua Tiat-ciang-pang ini berjuluk Tiat-ciang (Si Tangan Besi) dan bernama Tong Hoat. Lembah Sungai Yung Ting itu menjadi pusat berkumpulnya para anggauta Tiat-ciang-pang dan setelah masuk menjadi anggauta perkumpulan ini, para pencopet dan perampok yang telah memiliki kepandaian itu diperkenankan untuk melatih diri dengan Ilmu Tangan Besi. Tentu saja tidak mudah memiliki ilmu ini secara sempurna karena latihan-latihannya yang amat berat dan sebagian besar yang melatih ilmu ini tidak kuat, atau yang dapat berhasil pun hanya sekedar dapat membuat lengan mereka lebih kuat dan keras dari biasanya. Tidak ada yang berhasil mencapai tingkat seperti yang dimiliki oleh ketua mereka, Tiat-ciang Tong Hoat sendiri.
Mungkin karena merasa bahwa mereka adalah kaum sesat yang "terhormat" dan "gagah", maka timbullah semacam keangkuhan di dalam hati Tong Hoat, ketua perkumpulan itu, sehingga mereka memiliki pegangan atau pendirian sebagai orang-orang "gagah" yang tidak mau tunduk kepada golongan pemberontak yang membujuk mereka untuk bersekutu! Karena ada pertentangan dan perpecahan di antara kaum sesat itulah, gara-gara bujukan pihak pemberontakan yang berusaha untuk merangkul mereka, maka hari ini diadakan pertemuan yang dipelopori oleh Tiat-ciang-pang, untuk mengadakan pemilihan beng-cu. Selain untuk memperlihatkan kekuatannya, juga Tiat-ciang-pang ingin menyatukan golongan sesat dan membersihkan golongan ini dari pengaruh pemberontakan dengan jalan memilih seorang beng-cu.
Tong Hoat sendiri maklum bahwa di antara golongan kaum sesat ini, terdapat banyak orang pandai. Karena merasa bahwa belum tentu dia seorang diri dapat menangkan kedudukan beng-cu ini, maka dia teringat kepada seorang tokoh yang dia tahu amat tinggi kepandaiannya, yaitu orang pertama dari Loan-ngo Mo-li atau Lima Iblis Betina Sungai Loan. Dia mengundang Song Lan Ci, demikian nama wanita lihai itu, dan karena pada waktu itu terdapat banyak mata-mata, baik dari pihak pemerintah maupun dari pihak pemberontak, maka dia menyuruh dua orang kepercayaannya menyambut dengan tanda-tanda rahasia seperti yang telah dia janjikan dengan Song Lan Ci. Kehadiran wanita lihai ini adalah untuk memperkuat kedudukannya, atau kalau perlu, daripada kedudukan beng-cu jatuh ke tangan orang yang memihak pemberontak, lebih baik jatuh ke tangan tokoh wanita ini. Dan dia merasa yakin bahwa Song Lan Ci akan suka membantunya, mengingat bahwa di antara dia dan wanita itu terdapat hubungan yang cukup erat! Pernah dua tahun yang lalu, secara kebetulan dia bertemu dengan Song Lan Ci yang sedang dikepung oleh musuh-musuhnya, dikeroyok banyak orang dan berada dalam keadaan terdesak. Melihat seorang wanita cantik dan gagah perkasa dikeroyok banyak orang laki-laki, Tong Hoat segera maju membantu sehingga para pengeroyok dapat dipukul mundur dan terjalinlah perkenalan dan persahabatan di antara mereka.
Ceng Ceng mengikuti dua orang penjemputnya itu untuk menghadap Ketua Tiat-ciang-pang. Ketika berjalan menuju ke sebuah pondok yang agak jauh dari tempat perhentian perahu, mereka berjalan melewati banyak sekali orang-orang golongan sesat yang sedang menanti di sekitar tempat itu. Ceng Ceng mencari-cari dengan matanya kalau-kalau musuh besarnya berada di antara mereka itu. Akan tetapi dia tidak melihat munculnya, dan agaknya akan aneh sekali kalau musuh besarnya itu, seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah, berada di antara orang-orang ini. Orang-orang yang jorok dan menimbulkan kengerian di hatinya. Ada di antara mereka yang sedang bermain kartu dan bertaruhan besar sehingga tempat itu menjadi bising dengan suara mereka. Itu adalah golongan para penjudi yang hidupnya hanya diisi dengan kegemaran ini, berjudi dan mempertaruhkan segala miliknya. Ada pula yang sedang minum arak sambil tertawa-tawa dan mereka ini semua sudah mabok atau setengah mabok. Inilah golongan pemabok yang hidupnya hanya mengejar kesenangan dibuai alam khayal ketika mabok. Golongan lain yang memisahkan diri mereka agak aneh.
Mereka ini terdiri dari orang-orang yang sebagian besar sudah tua dan tubuh mereka kurus, muka pucat. Mereka ini berkelompok dan kelihatan tenang-tenang saja, akan tetapi di antara mereka itu tampak asap bergulung-gulung ke atas seolah-olah di tempat itu terjadi kebakaran kecil. Ceng Ceng mendengus dan cuping hidungnya bergerak-gerak ketika dia mencium bau yang me muakkan. Tahulah dia bahwa kelompok ini adalah golongan pecandu madat dan penggemar asap beracun semacam ini. Hidup mereka tidak ada bedanya dengan golongan-golongan lain, mengejar kesenangan membiarkan dirinya diayun di angkasa oleh asap madat! Ada pula golongan lain yang pakaiannya mewah dan pesolek, sikap mereka genit dan ketika Ceng Ceng lewat, mereka itu tersenyum-senyum, bersuit, dan ada pula yang mengeluarkan kata-kata cabul sungguhpun mereka tidak langsung menujukan kata-kata itu kepada Ceng Ceng. Inilah golongan hidung belang yang kerjanya setiap hari hanya memikirkan kecabulan dan mengejar-ngejar wanita cantik.
Lengkaplah semua golongan sesat berada di tempat itu. Maling, pencopet, perampok, pemadat, pemabok, hidung belang, penjudi, semua berkumpul di situ dan merasa betah karena seperti berada di antara keluarga sendiri! Ceng Ceng merasa ngeri seolah-olah dia telah memasuki suatu masyarakat yang aneh dan asing baginya.
Pintu pondok terbuka dari dalam ketika diketok oleh dua orang penjemput itu. Mereka masuk melewati beberapa orang pengawal yang memandang tajam, kemudian memasuki sebuah ruangan di mana duduk seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih dan sikapnya masih gagah. Di depannya duduk pula empat orang laki-laki lain yang agaknya menjadi tamunya. Ketika dua orang pembantu Ketua Tiat-ciang-pang itu melaporkan bahwa orang yang dijemput telah tiba, dan laki-laki itu memandang Ceng Ceng, dia mengerutkan alisnya. Kemudian mempersilakan empat orang sekutunya itu keluar, juga dua orang pembantunya yang menjemput Ceng Ceng disuruhnya keluar. Setelah mereka berada berdua saja di ruangan itu, laki-laki yang bukan lain adalah Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat itu, bangkit berdiri dan menjura ke arah Ceng Ceng. Ceng Ceng memandang tajam, melihat bahwa setelah berdiri, laki-laki itu bertubuh agak pendek dan gendut, namun sikapnya gagah dan berwibawa.
"Silakan duduk, Nona. Bagaimana kabarnya dengan Loan-ngo Mo-li, terutama sekali dengan Nona Song Lan Ci?" Tong Hoat bertanya dengan ramah.
Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal siapa adanya Loan-ngo Mo-li atau Song Lan Ci sekalipun."
Mendengar jawaban ini, berubah wajah Tong Hoat dan dia meloncat berdiri, sejenak memandang keluar seolah-olah dia hendak bertanya kepada dua orang pembantunya yang sudah disuruhnya keluar tadi, kemudian dia memandang wajah Ceng Ceng penuh perhatian dan keraguan. "Nona, apa yang kaukatakan ini? Bukankah engkau diutus oleh Nona Song...."
"Aku tidak mengenal dia!"
Tong Hoat menjadi makin curiga dan dia memandang marah. "Kalau begitu, siapa engkau dan mengapa engkau berani memalsukan orang yang kuundang?"
Ceng Ceng mengangkat mukanya dan memandang dengan berani. "Siapa adanya aku, tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Aku tidak mengenal orang-orang yang kausebut namanya tadi, juga aku tidak mempunyai urusan dengan Tiat-ciang-pang. Aku datang ke sini karena ketika aku lewat di jembatan, aku menendang pot bunga dan aku disambut oleh dua orangmu yang membawa perahu. Nah, sekarang aku berada di sini dan aku bukan orang yang kauundang. Habis, engkau mau apa?"
Mendengar ucapan Ceng Ceng dan melihat sikap gadis itu, Tong Hoat terheran-heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu dara muda yang cantik ini bukan orang sembarangan. Kalau sampai bocor rahasia ini dan ketahuan oleh pihak lawan bahwa dia telah keliru memanggil orang, tentu selain akan mendatangkan ejekan dan tertawaan, juga lawan akan melihat kelemahan Tiat-ciang-pang. Kembali dia memandang Ceng Ceng. Seorang wanita muda yang telah berani menempuh bahaya ketika dijemput dua orang pembantunya seperti dara ini, tentu memiliki kepandaian yang tinggi, pikirnya. Kalau tidak demikian halnya, tentu dua orang pembantunya akan mengetahui kekeliruan mereka dan sudah bertindak. Maka timbul pikirannya untuk menyambut orang yang keliru dipanggil ini sebagal seorang kawan, daripada sebagai lawan dalam keadaan menghadapi pihak lawan yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dia lalu tertawa dan duduk kembali.
"Ha-ha-ha, ini namanya jodoh! Memang kita berjodoh untuk menjadi sahabat, Nona. Kuharap engkau suka memaafkan ketololan dua orang pembantuku. Akan tetapi sungguh kami merasa mendapat kehormatan besar memperoleh kunjungan seorang wanita gagah seperti Nona. Ketahuilah bahwa aku adalah pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang dan satu di antara kegemaranku adalah bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw."
Ceng Ceng memutar otaknya. Orang ini adalah ketua perkumpulan yang agaknya besar dan berpengaruh. Dia sudah datang ke tempat itu, sebaiknya kalau dia bersahabat dengan ketua ini. Dengan bantuan ketua ini, agaknya akan lebih mudah baginya untuk menyelidiki di mana adanya musuh besarnya.
"Kalau memang engkau berniat baik, Pangcu, aku pun datang bukan untuk mencari musuh baru. Namaku adalah Lu Ceng, dan seperti kukatakan tadi, aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan orang-orang yang kaundang, juga tidak ingin mencampuri urusan pemilihan bengcu di sini."
Tong Hoat kembali tersenyum, lalu bangkit dan menjura. "Aku merasa terhormat sekali, Nona Lu Ceng. Aku adalah Tong Hoat yang dikenal sebagai Tiat-ciang (Si Tangan Besi), ketua dari Tiat-ciang-pang. Sebelum kita bicara lebih jauh, sebagai tanda perkenalan dan penghormatanku, aku mempersilakan Nona minum arak penghormatan ini!" Ketua itu menuangkan secawan arak lalu memberikan cawan itu kepada Lu Ceng.
Ceng Ceng menerima tanpa banyak cakap, lalu membawa cawan itu ke dekat bibirnya. Sekali cium saja mengertilah dia bahwa arak itu dicampuri obat bius! Hatinya marah bukan main dan ingin dia melemparkan cawan dan araknya itu ke muka ketua Tiat-ciang-pang. Akan tetapi kemarahan ini ditahannya. Dia hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, pula dia malah ingin memperlihatkan bahwa dia tidak takut akan segala macam obat bius. Jangankan baru obat bius yang merupakan racun yang lemah saja, biar minuman itu dicampuri racun yang akan menghanguskan isi perut orang lain, dia masih akan berani meminumnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu minum habis arak itu sekali teguk, dipandang dengan sepasang mata bersinar-sinar oleh Tong Hoat.
"Bagus, ternyata engkau seorang yang gagah, Nona. Agaknya engkau sudah mendengar dari kedua orangku bahwa kami di sini menyelenggarakan pertemuan di antara golongan kami untuk memilih seorang beng-cu...." Ketua itu menghentikan kata-katanya saking herannya melihat Ceng Ceng sama sekali tidak kelihatan terpengaruh oleh obat bius yang biasanya amat kuat dan manjur itu. Apalagi ketika dia melihat Ceng Ceng bangkit berdiri dan menyambar guci arak yang istimewa itu di mana terdapat arak yang sudah dicampuri obat bius, kemudian tanpa banyak cakap Ceng Ceng lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya sampai
dua kali dan terus meminumnya, ketua ini memandang bengong! Satu cawan arak itu cukup untuk membius dua tiga orang dewasa, dan tiga cawan arak itu akan berubah menjadi racun yang mematikan!
"Eh, sudah cukup arak itu, Nona....!" Dia menegur.
"Hemm, engkau kiranya seorang tuan rumah yang pelit!" Ceng Ceng pura-pura marah, lalu melemparkan guci itu ke atas. Guci berputaran ke atas, lalu turun perlahan ke atas meja seperti diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, dan sedikit pun tidak ada arak yang tumpah dari dalam guci. Tong Hoat memandang dan demonstrasi lontaran yang mempergunakan tenaga sin-kang ini sama sekali tidak membuat dia terheran karena dia sendiri pun agaknya akan mampu melakukannya. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah karena nona muda itu telah menghabiskan tiga cawan arak bercampur obat bius dan kelihatannya masih enak-enak saja!
"Lekas, Nona Lu! Kauminumlah obat penawar racun ini!"
Dia mengeluarkan sebutir pel dari dalam bungkusan. "Lekas sebelum terlambat....!" katanya dengan nada khawatir sekali.
Ceng Ceng memandang tajam dan tidak menerima obat itu. Dia merasa makin heran akan sikap Ketua Tiat-ciang-pang ini. Tadi sengaja hendak meracuninya dengan obat bius, dan sekarang bingung memberikan obat penawarnya!
"Kenapa ribut-ribut?" bentaknya sambil bangkit berdiri. "Bukankah kau sengaja menaruh racun ke dalam arak itu dan ingin melihat aku roboh pingsan?"
Ketua itu makin terkejut mendengar ini. Kiranya nona muda ini malah sudah tahu bahwa yang diminumnya adalah arak yang bercampur racun akan tetapi toh masih diminumnya, bukan hanya satu cawan seperti disuguhkannya, melainkan mengambil sendiri dan minum sampai tiga cawan! Apa artinya ini?
"Nona Lu.... maafkan aku. Memang, tadinya aku hendak mengujimu. Kalau kau mudah saja terjebak dan pulas oleh obat bius, maka engkau bukanlah orang yang dapat kuharapkan bantuannya. Akan tetapi engkau tidak apa-apa, dan engkau minum lagi dua cawan! Ini di luar perhitunganku dan aku tidak ingin melihat engkau celaka karena racun. Maka kauminumlah obat penawar ini!"
Ceng Ceng tersenyum. Kemarahannya lenyap seketika. Kiranya ketua ini hanya ingin mengujinya! Sambil tersenyum dia menghampiri guci tadi, menuangkannya lagi sampai tiga kali ke dalam cawannya dan minum berturut-turut tiga kali lagi! Setelah itu, dia mengusap bibirnya dengan saputangan, memandang ketua itu dan berkata, "Pangcu, baru enam cawan yang dicampuri obat bius seperti ini, apa sih artinya?"
Melihat ini, Tong Hoat menjadi kagum dan terheran-heran. Dia menjadi girang dan segera menjura dengan dalam. "Aihh, kiranya mataku sudah lamur saking tuanya, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata, tidak melihat kedatangan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Nona Lu, engkau benar-benar menggirangkan dan mengagumkan hatiku, dan kami Tiat-ciang-pang akan berterima kasih sekali apabila Nona sudi membantu kami!"
Ceng Ceng duduk kembali, lalu berkata tenang, "Aku ingin mendengar dulu dalam hal apa aku dapat membantumu, Pangcu."
"Membantu memperkuat kedudukanku agar kita dapat merampas kedudukan bengcu, Nona Lu."
"Hemm.... bagaimana mungkin aku membantu engkau mengejar kedudukan untukku, Pangcu? Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi orang lain...."
"Jangan salah mengerti, Nona Lu. Aku tidak haus akan kedudukan. Aku sudah menjadi pangcu dari Tiat-ciang-pang, itu pun sudah cukup memusingkan. Siapa sudi menjadi beng-cu yang hanya akan menghadapi banyak pekerjaan yang memusingkan belaka? Kalau aku ingin merampas kedudukan itu hanyalah untuk menyelamatkan seluruh golongan hek-to (jalan hitam)!"
"Menyelamatkan bagaimana?"
"Agar jangan sampai mereka itu dibawa menyeleweng!"
Hampir saja Ceng Ceng tertawa keras mendengar ini. Pangcu ini ingin menjaga agar kaum sesat, manusia-manusia yang sudah hidup menyeleweng itu tidak dibawa nyeleweng! Betapa lucu dan anehnya!
"Aku tidak mengerti, Pangcu. Menyeleweng bagaimana yang kaumaksudkan?"
"Dengar baik-baik, Nona. Kaum pemberontak diam-diam sudah merajalela di seluruh pelosok dan kini mereka itu berusaha untuk menguasai dan mempengaruhi kaum hek-to. Biarpun kami tergolong orang-orang dari hek-to, namun kami memiliki kehormatan. Urusan mencopet dan merampok adalah urusan pekerjaan, akan tetapi menjadi pemberontak adalah suatu kerendahan dan merupakan perbuatan hina! Kami dari Tiat-ciang-pang menentangnya mati-matian. Karena tidak ingin melihat golongan hek-to diperalat oleh seorang beng-cu yang menjadi kaki tangan pemberontakan, maka mati-matian kami hendak mempertahankannya agar kedudukan beng-cu
tidak sampai terjatuh ke tangan seorang kaki tangan pemberontak!"
Ceng Ceng mengangguk-angguk. Mengertilah dia kini akan persoalannya, dan diam-diam dia merasa heran dan kagum juga mengapa seorang ketua perkumpulan kaum sesat ini memiliki jiwa patriot juga! Tentu saja Ceng Ceng siap sedia untuk membantu kerajaan menghadapi pemberontak. Betapapun juga, dia adalah keturunan orang-orang yang setia kepada negara!
"Baik, kalau begitu aku akan membantu, Pangcu. Akan tetapi ingatlah baik-baik, aku bukan membantu engkau pribadi atau membantu Tiat-ciang-pang, melainkan membantu untuk menentang kaki tangan pemberontak! Nah, sekarang jelaskan, siapa dan pihak manakah yang menjadi kaki tangan pemberontak di antara golongan hek-to?"
"Di antara kami kaum sesat telah terpecah belah menjadi empat kelompok," Ketua Tiat-ciang-pang itu menuturkan. Selanjutnya dengan panjang lebar dia menceritakan keadaan kaum sesat yang berkumpul di tempat itu.
Di antara empat kelompok kaum sesat itu, kelompok pertama tentu saja adalah perkumpulan Tiat-ciang-pang diketuai oleh Tong Hoat yang merasa bahwa perkumpulannya adalah perkumpulan penjahat-penjahat yang berjiwa gagah dan patriotik, yang menentang usaha pihak pemberontak untuk menarik kaum sesat sebagai sekutunya. Kelompok ke dua adalah kelompok yang dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk menguasai dunia kaum sesat membujuk mereka yang belum mau menggabungkan diri, dan kelompok ini terdiri dari para pencuri, dipimpin oleh seorang maling terkenal yang berjuluk Tangan Malaikat! Kelompok ke tiga hanya terdiri dari belasan orang bajak yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik she Ma dan mereka ini adalah orang-orang yang bermuka dua atau orang-orang yang licik, yang berjanji suka membantu pemberontak asal mereka diberi kedudukan sebagai beng-cu! Sedangkan kelompok ke empat adalah para penjudi, ialah sisanya yang tetap tidak memihak manapun, bahkan menganggap bahwa urusan pemberontakan terhadap pemerintah bukanlah urusan mereka.
Melihat perpecahan di antara kaum sesat ini maka Tong Hoat memelopori diadakannya pertemuan pada hari itu untuk memilih beng-cu. Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk dapat menguasai mereka, bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri segera mengirim utusan untuk menjamin agar pihaknya berhasil menguasai golongan hitam yang merupakan kekuatan yang cukup besar.
 Ceng Ceng mendengarkan penuturan ini dengan penuh perhatian. Kemudian dia berkata, "Kalau begitu, seperti telah kukatakan tadi, Pangcu, urusan antara golonganmu tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Akan tetapi, kalau aku melihat bahwa kaki tangan pemberontak ingin menguasai golonganmu untuk kepentingan pemberontakan, tentu aku akan turun tangan menentangnya."
Tong Hoat sudah merasa cukup puas dengan janji ini dan tak lama kemudian dia mengajak Ceng Ceng keluar karena pertemuan akan segera dimulai. Empat kelompok itu sudah berkumpul di sekeliling lapangan luas di tepi sungai, dan jelas tampak bahwa kelompok terbesar adalah kelompok Tiat-ciang-pang. Juga kelihatan bahwa empat kelompok itu masing-masing memiliki jagoan-jagoan yang berdiri di depan kelompoknya. Di tengah-tengah lapangan rumput yang mereka ke lilingi itu terdapat sebuah bangunan panggung yang luasnya tidak kurang dari sepuluh meter persegi. Panggung itu dijaga di bawahnya oleh para anggauta Tiat-ciang-pang yang bertindak sebagai pengundang atau tuan rumahnya.
Dengan gerakan ringan seperti seekor burung garuda melayang, Tong Hoat sudah meloncat ke atas panggung. Dia menjura ke empat penjuru, lalu berkata lantang, "Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat tentu sudah maklum bahwa pertemuan ini diadakan untuk melakukan pemilihan seorang beng-cu. Kita semua membutuhkan seorang beng-cu. Kita semua membutuhkan seorang pemimpin di jaman kacau ini agar dapat mengadakan ketertiban antara kita semua. Karena kita adalah orang-orang yang mengandalkan kekuatan tangan kaki untuk dapat hidup, maka pemilihan beng-cu pun didasarkan atas tingkat kekuatan tangan dan kaki. Siapa yang terpandai di antara kita, dari golongan mana pun dia datang, berhak untuk menjadi beng-cu dan memimpin kita semua. Kami persilakan orang gagah yang ingin memasuki pemilihan untuk naik ke panggung." Tong Hoat lalu menjura lagi dan melompat turun membiarkan panggung itu kosong lagi untuk menanti munculnya para calon beng-cu.
Tak lama kemudian berkelebat dua bayangan orang yang meloncat ke atas panggung. Ceng Ceng yang menyelinap di antara para anggauta Tiat-ciang-pang dan mencari-cari musuhnya dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menemukan pemuda laknat di antara para kaum sesat ini, melihat bahwa yang berada di atas panggung adalah dua orang laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan keduanya memiliki sikap yang kasar seperti tukang-tukang pukul. Seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk kartu dari sakunya, mengocok kartu itu sambil tersenyum dan berkata kepada teman-temannya,
"Wah, mudah-mudahan saja ada lawan yang tebal kantong!"
Dari sikap ini Ceng Ceng sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah dua orang penjudi ulung. Akan tetapi orang ke dua hanya tersenyum, kemudian dia menjura ke empat penjuru dan berkata, "Kami adalah dua saudara seperguruan dan golongan kami paling tidak suka melihat urusan politik. Pemerintah maupun pemberontak bukanlah sekutu kami. Di antara golongan kami, kami berdua menjadi calon beng-cu dan kalau kami berdua berhasil menduduki kursi bengcu, kami berdua akan mengatur agar semua kaum kita tidak mencampuri urusan pemerintah maupun pemberontak."
"Ho-ho, manusia-manusia sombong!" Terdengar bentakan dan kelihatan dua sosok bayangan orang melayang ke atas panggung. Mereka adalah dua orang kakak beradik she Ma seperti yang telah diceritakan oleh Tong Hoat kepada Ceng Ceng. Dengan lagak sombong kedua orang she Ma yang bertubuh tinggi kurus itu memperkenalkan diri.
"Kami dua orang kakak beradik Ma Ciang dan Ma Kai tidak hendak menjanjikan apa-apa lebih dulu seperti dua orang sombong ini. Kalau kami telah berhasil menjadi beng-cu, baru akan kami adakan peraturan yang harus diturut oleh semua kawan."
Orang ke dua dari kakak beradik Ma ini lalu menghampiri dua orang pertama sambil membentak, "Hayo kalian turun lagi sebelum kami paksa untuk turun!"
"Ha-ha-ha!" Penjudi yang mempermainkan kartu-kartunya tertawa. "Kami sudah mendengar akan kelihaian kakak beradik she Ma, tukang-tukang todong yang disegani. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut, dan dalam memperebutkan kedudukan beng-cu, hak kami pun sama besarnya dengan kalian atau siapa juga. Lebih baik kalian yang turun daripada mendapat malu dan kalah oleh kami berdua, ha-ha-ha!"
"Cet-cet-cet-cettt....!" Penjudi itu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya dan empat helai kartunya melayang dan menyambar papan, di situ empat helai kartu itu menancap sampai setengahnya lebih. Semua orang melongo dan merasa kagum juga ngeri. Ternyata hebat sekali penjudi ini. Kartu-kartunya dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang demikian ampuh. Mengenai papan yang keras saja menancap sampai dalam, kalau mengenai tubuh orang tentu akan hebat akibatnya, tidak kalah oleh senjata rahasia apa pun.
Akan tetapi Ma Ciang tertawa bergelak ketika dia mencabut sebuah di antara empat helai kartu yang menancap di papan itu. "Ha-ha-ha, dasar ular-ular kartu, tentu pandai bermain gila dengan kartu-kartunya!" Dia meremas kartu itu dan terdengar bunyi seperti barang keras patah-patah. Ternyata kartu terbuat dari besi tipis dan digambari seperti kartu, bukan kartu kertas biasa!
Dua orang penjudi itu menjadi marah dan telah mencabut senjata pedang mereka yang tersembunyi di balik baju, kemudian maju menerjang. Akan tetapi kakak beradik she Ma telah siap, dengan gerakan lincah mereka mencelat ke belakang dan mencabut golok mereka. Maka terjadilah pertandingan mati-matian antara dua orang penjudi dan dua orang perampok itu. Suara senjata pedang bertemu golok terdengar nyaring dan mengerikan.
Ceng Ceng menonton dan menahan napas. Hatinya terasa tegang. Melihat pertempuran bukan merupakan tontonan aneh baginya, akan tetapi dia melihat seorang pemuda yang muncul di antara para anggauta golongan sesat itu dan hatinya tegang sekali ketika dia mengenal pemuda itu. Seorang pemuda tampan yang menyelinap di antara banyak orang, hanya sebentar saja tampak olehnya namun segera pemuda itu lenyap kembali, agaknya berdiri di bagian belakang dan sengaja menyembunyikan diri. Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Melihat kehadiran pemuda yang dia tahu amat lihai ini, dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang hebat. Ceng Ceng yang cerdik dapat menduga bahwa tentu pemuda itu mewakili kaum pemberontak untuk menguasai golongan sesat.
Melihat munculnya Tek Hoat, otomatis Ceng Ceng juga menyelinap ke belakang para anggauta Tiat-ciang-pang agar pemuda itu tidak melihatnya. Dari belakang beberapa orang dia mengintai dan mencari-cari, namun Tek Hoat tidak kelihatan bayangannya lagi. Teriakan kesakitan membuat Ceng Ceng menoleh dan memandang ke atas panggung. Ternyata dua orang penjudi itu terhuyung dan terluka oleh golok kedua orang kakak beradik she Ma dan kini dua orang perampok tunggal itu menggunakan kaki menendang lawan yang sudah terluka. Dua orang penjudi terlempar ke bawah panggung dan cepat mereka ditolong oleh kawan-kawan mereka yang segera mengundurkan diri karena setelah dua orang jagoan mereka kalah, mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk kemenangan bagi golongan mereka.
Dua orang saudara Ma masih berdiri di atas panggung memegang golok mereka sambil tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru. Beberapa kali mereka mengajukan tantangan kepada calon beng-cu lain untuk menguji kepandaian, akan tetapi tidak kelihatan ada yang meloncat naik. Hal ini memang disengaja oleh para kaki tangan pemberontak yang dipimpin oleh Si Tangan Malaikat setelah dia mendapat perintah dari pemuda yang mewakili utusan Pangeran Liong Bin Ong. Tek Hoat memang amat cerdik. Kalau orang-orangnya sendiri yang maju dan merampas kedudukan beng-cu, hal itu akan terlalu mencolok dan kurang baik, kecuali kalau memang terpaksa. Kalau sekarang dua orang saudara Ma yang dia tahu merupakan orang-orang bermuka dua, dapat menjadi beng-cu, hal itu lebih baik. Mudah untuk mempengaruhi dua orang ini, dengan jalan menyogok dengan uang. Yang penting bagi dia, atau bagi pemberontak adalah agar kaum sesat jangan sampai dikuasai oleh Tiat-ciang-pang yang anti pemberontak dan mempunyai kesetiaan kepada kerajaan. Oleh karena inilah, maka dia memerintahkan agar anak buahnya, termasuk Si Tangan Malaikat, jangan menyambut tantangan dua orang saudara Ma, bahkan boleh menyumbang suara untuk mengangkat mereka sebagai beng-cu!
Ma Ciang dan Ma Kai yang melihat bahwa mereka tidak disambut orang, menjadi heran dan juga girang. Ma Ciang lalu berkata lantang, "Saudara sekalian, rekan-rekan yang terhormat! Kalau memang tidak ada lagi calon yang merasa cukup kuat untuk mengalahkan kami, maka kami minta agar kalian memberi suara mengangkat kami sebagai beng-cu dan wakilnya!"
"Setuju....!"
"Kita mengangkat kedua saudara Ma sebagai beng-cu dan wakilnya!"
Keadaan menjadi ribut karena suara mereka yang memberikan suaranya, tentu saja didukung oleh semua anak buah para pemberontak yang menyelundup di antara mereka. Hanya golongan yang tadi kalah saja yang diam dan hanya menonton dengan wajah muram, sedangkan golongan Tiat-ciang-pang tidak ada seorang pun yang bersuara.
"Lu-siocia (Nona Lu), lihatlah betapa anak buah pemberontak mendukung mereka, sedangkan dua orang itu adalah orang-orang bermuka dua yang mudah saja dibeli. Apakah Nona tidak akan turun tangan?" bisik Tong Hoat Ketua Tiat-ciang-pang kepada Ceng Ceng.
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. "Sudah kukatakan bahwa aku tidak akan mencampuri urusan pemilihan beng-cu, dan aku hanya turun tangan kalau anak buah pemberontak sendiri yang naik ke panggung, itu pun kalau engkau tidak mampu mengatasinya, Pangcu."
Ketua itu mengangguk. "Baiklah, aku hanya mengharapkan bantuan Nona untuk membela negara karena aku pun bukan seorang yang haus akan kedudukan bengcu." Setelah berkata demikian, Tong Hoat berteriak keras mengatasi suara gaduh mereka yang sedang menyokong suara kepada dua orang saudara Ma.
Teriakannya ini membuat semua orang ini diam, apalagi ketika mereka melihat Ketua Tiat-ciang-pang sudah meloncat naik ke atas panggung.
Dua orang saudara Ma memang sudah sejak tadi menanti munculnya jagoan dari Tiat-ciang-pang ini, maka kini mereka menghadapi Tong Hoat sambil tersenyum. Ma Ciang berkata, "Aihh, kiranya Pangcu sendiri sebagai tuan rumah yang memberi penghormatan kepada kami! Apakah Pang-cu dan semua anggauta Tiat-ciang-pang tidak rela kalau kami yang terpilih menjadi beng-cu?"
Ma Kai juga berkata, "Agaknya pangcu dari Tiat-ciang-pang juga menginginkan kedudukan beng-cu!"
Tong Hoat memandang tajam dan suaranya terdengar lantang oleh semua orang ketika dia menjawab, "Saya adalah pangcu dari Tiat-ciang-pang dan saya sama sekali tidak haus akan kedudukan beng-cu. Kalau kami mempelopori pertemuan dan mengadakan pemilihan beng-cu ini adalah karena kami melihat adanya perpecahan di antara kami. Sekarang, Ji-wi telah menang dari dua orang saudara dari golongan penjudi tadi. Akan tetapi, seorang beng-cu dan wakilnya harus orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi untuk dapat diandalkan oleh golongan kita semua. Oleh karena itu, terpaksa karena tidak adalagi yang mau naik, saya sendiri yang akan menguji apakah Ji-wi sudah tepat dan pantas untuk menjadi beng-cu dan wakilnya. Kalau memang cukup kuat dan lihai, tentu saja kami juga akan setuju jika Ji-wi diangkat menjadi pimpinan."
"Bagus! Dengan lain kata-kata Pangcu menantang kami berdua! Kai-te (Adik Kai), hayo kita coba kelihaian pang-cu dari Tiat-ciang-pang ini!" Setelah berkata demikian, Ma Ciang dan Ma Kai memutar-mutar golok mereka di atas kepala dan bergerak mengelilingi Ketua Tiat-ciang-pang itu.
"Tidak adil! Tidak adil!" tedengar teriakan dari para anggauta Tiat-ciang-pang.
"Dua orang mengeroyok satu orang sudah tidak adil!"
"Apalagi kalau menggunakan golok mengeroyok seorang bertangan kosong!"
Teriakan-teriakan ini terdengar susul-menyusul dan disokong pula oleh golongan yang tadinya diwakili oleh dia orang penjudi. Golongan ini memang tidak pro atau anti pemberontakan, akan tetapi melihat Ketua Tiat-ciang-pang akan dikeroyok dua, mereka merasa tidak senang.
Ma Ciang dan Ma Kai menjadi malu juga, wajah mereka merah dan sambil tertawa Ma Ciang menyimpan goloknya diturut oleh adiknya, lalu berkata, "Baiklah, kalau pang-cu dari Tiat-ciang-pang ngeri melihat darah, kami akan melayani dengan tangan kosong pula, kecuali kalau Pang-cu jerih menghadapi kami bersama." Ucapan ini pun lantang terdengar oleh semua orang.
Tong Hoat mengerutkan alisnya, dia maklum bahwa kedua orang ini hanya besar mulutnya belaka. Biarpun mereka menggunakan golok, dia pun tidak takut, apalagi bertangan kosong. Melihat gerakan mereka tadi ketika melawan dua orang jagoan pertama, dia sudah dapat menilai tingkat mereka dan merasa pasti akan dapat mengalahkan mereka berdua, bersenjata maupun tidak.
"Silakan Ji-wi maju, saya sudah siap menghadapi Ji-wi maju bersama!" teriaknya.
Ma Ciang dan Ma Kai menjadi girang. Mereka mengira bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini telah berhasil mereka bakar hatinya sehingga malu untuk mundur. Sambil menggereng seperti dua ekor harimau kelaparan, mereka menerjang ke depan, mencengkeram dan memukul.
Tong Hoat sudah siap. Tubuhnya bergerak mengelak dan menangkis, lalu mengirim pukulan balasan.
"Dukkk! Dukkk!" Dua orang bersaudara Ma terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Lengan mereka terasa sakit sekali ketika beradu dengan lengan Tong Hoat yang tentu saja mengerahkan ilmunya Tangan Besi! Namun dua orang itu bukan menjadi jera bahkan menjadi penasaran dan marah, lalu menerjang lagi dengan lebih dahsyat, disambut dengan tenang oleh Tong Hoat.
Lega hati Ceng Ceng menyaksikan jalannya pertandingan itu. Dia yakin bahwa Ketua Tiat-ciang-pang yang benar-benar lihai ilmu silatnya bertangan kosong itu akan dapat mengalahkan kedua orang lawannya dengan mudah sehingga dia tidak perlu turun tangan membantu. Setelah melihat munculnya Tek Hoat, dia menjadi makin ragu untuk mencampuri urusan pemilihan beng-cu ini. Kecuali kalau Tek Hoat yang maju, jelas bahwa pihak pemberontak ingin menguasai golongan ini dan kalau demikian halnya, dia tentu akan turun tangan! Sekarang, melihat Tong Hoat mendesak kedua orang lawannya, perhatiannya kembali ditujukan untuk mencari musuh besarnya dan dia mulai bergerak perlahan mencari-cari di antara para hadirin yang banyak jumlahnya itu.
Pertandingan di atas panggung masih berjalan dengan seru. Dua orang saudara Ma dengan bernapsu mencoba untuk mengalahkan Ketua Tiat-ciang-pang, akan tetapi karena memang kalah tingkat dan kalah kuat, mereka terdesak terus dan setiap kali Tong Hoat menangkis dengan pengerahan tenaga, mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang dan menyeringai kesakitan, tanda bahwa dalam pertemuan lengan itu mereka jauh kalah kuat.
Betapapun kedua orang itu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, namun belum sampai lima puluh jurus akhirnya mereka harus mengakui keunggulan Tong Hoat. Ketua Tiat-ciang-pang ini menggunakan kekuatan tangan besinya menampar dalam kesempatan yang terbuka dan berturut-turut mereka terlempar dari atas panggung. Biarpun Ketua Tiat-ciang-pang
yang masih mengingat akan hubungan antara golongan tidak memukul keras sehingga mereka tidak sampai terluka parah, namun keduanya tidak berani nekat naik lagi karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan Ketua Tiat-ciang-pang itu.
"Bagus! Tiat-ciang-pang mengundang orang hanya untuk memamerkan kepandaian sendiri!" Terdengar seruan orang dan dari bawah panggung tampak seorang laki-laki tinggi kurus meloncat naik ke panggung. Ketika semua orang memandang, mereka berbisik-bisik dengan hati tegang karena maklum bahwa tentu akan terjadi pertandingan yang amat hebat antara pendatang baru yang mereka kenal baik ini menghadapi Ketua Tiat-ciang-pang. Orang tinggi kurus ini bukan lain adalah tokoh besar golongan maling yang berjuluk Tangan Malaikat! Kini Tangan Malaikat hendak menantang Tangan Besi, tentu saja akan terjadi pertandingan ramai!
Sebetulnya sudah lama terdapat kebencian antara dua golongan ini, yaitu golongan para maling dan golongan pencopet dan perampok yang bergabung di dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang. Hal ini adalah karena Tiat-ciang-pang memandang rendah golongan maling, bahkan tidak mau menerima seorang pencuri sebagai anggauta, maka tentu saja golongan ini merasa terhina dan menaruh dendam. Ketika tokoh maling yang berjuluk Tangan Malaikat itu yang bernama Lauw Sek, datang dari selatan dan bergabung dengan golongan maling, mereka merasa menemukan seorang jagoan dan secara tidak resmi mengangkat Lauw Sek sebagai pimpinan mereka. Lauw Sek Si Tangan Malaikat ini dengan mudah saja terpikat oleh kaum pemberontak, dan diam-diam Lauw Sek membawa teman-temannya untuk bersekutu dengan kaki tangan pemberontak yang ingin menguasai kaum sesat. Lauw Sek adalah seorang yang memiliki kepandaian cukup tinggi maka dia berani memakai julukan Tangan Malaikat yang menyatakan bahwa selain pandai ilmu silat, juga dia adalah seorang ahli mencopet dan mencuri. Akan tetapi selama ini ia tidak begitu bodoh untuk mencari perkara dengan Tiat-ciang-pang yang merupakan perkumpulan besar yang banyak anggautanya. Sekarang, dalam pertemuan resmi ini, dimana diadakan pemilihan beng-cu, apalagi karena didukung oleh kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, dia menjadi berani untuk menentang dan menghadapi orang yang selama ini memang dibenci oleh dia dan kawan-kawannya.
Kini kedua orang yang diam-diam saling membenci itu berhadapan di atas panggung. Tong Hoat juga membenci orang ini karena memang dia selalu memandang rendah kaum pencuri yang dianggapnya merupakan pengecut besar, apalagi setelah dia mengetahui bahwa Tangan Malaikat dan kawan-kawannya telah merendahkan diri untuk diperalat oleh kaum pemberontak.
"Memang hanya kaum pengecut saja yang mau menjadi pengkhianat," katanya dengan pandang mata mengejek.
"Kalau golongan kita dipimpin oleh seorang pengecut dan pengkhianat, hancurlah kita semua!"
Muka Lauw Sek menjadi merah sekali karena ucapan itu biarpun tidak langsung ditujukan kepadanya, namun jelas bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini menghinanya di depan banyak orang.
"Hem, pangcu dari Tiat-ciang-pang, agaknya menurut pandanganmu, tidak ada orang lain yang lebih pantas menjadi beng-cu selain engkau, ya? Hendak kulihat sampai di mana tingginya kepandaianmu dan apakah tangan besimu itu benar-benar keras seperti besi!" Setelah berkata demikian Lauw Sek sudah maju menerjang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya yang bergerak cepat sekali sehingga tampaknya seolah-olah dia memiliki enam buah lengan!
Tong Hoat maklum bahwa kepandaian orang ini tidak boleh disamakan dengan dua orang saudara Ma tadi, maka dia pun cepat menggerakkan tubuh dan kedua tangannya menangkis sambil membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.
Cepat sekali gerakan dua orang itu, yang kelihatan hanyalah bayangan banyak tangan, kadang-kadang dikepal, kadang-kadang terbuka, saling pukul dan saling tangkis dan terdengar suara bersiutnya hawa pukulan kedua pihak yang agaknya memiliki kecepatan yang berimbang. Lauw Sek yang berhati besar karena merasa mempunyai dukungan amat kuat, bernafsu sekali untuk mengalahkan lawan, maka gerakannya cepat dan serangannya bertubi-tubi seperti air membanjir. Sebaliknya, Tong Hoat bersikap hati-hati dan tenang, gerakannya kokoh kuat membendung banjir serangan itu dan setiap kali menangkis, dia mengerahkan ilmu yang diandalkannya, yaitu Tangan Besi. Berkali-kali dua pasang lengan itu bertemu dengan dahsyat, kadang-kadang mengeluarkan bunyi berdetak seolah-olah dua tulang yang kuat saling beradu, namun keduanya tidak kelihatan terdorong dan agaknya sama kuatnya.
Biarpun Lauw Sek kelihatan juga kuat dan pantas berjuluk Tangan Malaikat, karena kelihatannya dia tidak terpengaruh oleh benturan tangan yang amat kuat dari Tong Hoat, akan tetapi sebetulnya dia merasa betapa kedua lengannya nyeri dan makin lama makin hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali bertemu dengan lengan lawan, dia merasa seolah-olah tulang lengannya retak dan maklumlah dia bahwa biarpun dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah jauh oleh lawan, namun harus dia akui bahwa Tong Hoat benar-benar memiliki lengan yang kuat dan keras seperti besi! Diam-diam dia mengeluh dan teringatlah dia akan pesan pemuda sakti utusan Pangeran Liong Bin Ong yang berpesan agar dia berhati-hati menghadapi tangan besi lawan, dan pemuda yang dia tahu amat sakti itu telah meminjamkan sebuah sarung tangan kepadanya. Sarung tangan itu dia simpan di dalam saku bajunya, karena dia tidak mau memakainya, akan tetapi setelah sekarang memperoleh kenyataan betapa lihainya Ketua Tiat-ciang-pang, teringatlah dia akan pesan pemuda itu dan segera dia melompat mundur sambil tertawa. Dikeluarkannya sarung tangan berwarna hitam itu dan dipakainya di tangan kanan. Tercium bau yang wangi-wangi aneh memabokkan.
Tong Hoat tidak mengenal sarung tangan itu. Dia dapat menduga bahwa tentu sarung tangan itu merupakan senjata yang ampuh, akan tetapi karena bukan merupakan senjata tajam, dia memandang rendah.
"Hemm, apakah lenganmu telah terasa nyeri maka engkau menggunakan sarung tangan itu?" dia mengejek.
Lauw Sek tersenyum. "Tanganmu memang keras seperti besi, akan tetapi jangan mengira aku takut. Tangan besimu akan mencair kalau bertemu dengan sarung tangan ini!"
Tong Hoat tentu saja tidak percaya dan dia sudah menerjang lagi. Dia tadi sudah hampir memperoleh kemenangan karena pihak lawan sudah terus didesaknya. Dengan pengerahan tenaga pada kedua lengannya, dia menyerang tanpa mempedulikan sarung tangan hitam yang melindungi tangan kanan dan sebagian dari lengan kanan Lauw Sek.
"Plak-plak! Dukkk....!"
Tong Hoat meloncat ke belakang dengan kaget sekali, lalu menggosok-gosok lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan bersarung tangan dari lawannya. Lengan kirinya terasa gatal-gatal dan panas sekali! Wajahnya berubah. Tahulah dia bahwa sarung tangan itu ternyata ampuh sekali dan tentu mengandung racun yang amat jahat!
"Kau curang....!" serunya.
"Ha-ha-ha, Pangcu. Kau takut....?" Lauw Sek tertawa mengejek dan siap menyerangnya kembali.
"Pangcu harap mempergunakan obat dari Lihiap ini, dilumurkan pada kedua tangan!" Tiba-tiba terdengar seruan ini dan seorang anggauta Tiat-ciang-pang melemparkan sebuah bungkusan ke arah ketuanya. Mendengar ini Tong Hoat menerima dengan girang dan tahulah dia bahwa nona Lu Ceng diam-diam telah membantunya. Mengingat betapa nona itu dapat menghabiskan beberapa cawan arak bercampur racun tanpa akibat apa-apa, dia maklum bahwa pendekar wanita itu adalah seorang ahli racun, maka dia cepat membuka bungkusan itu. Di dalamnya terdapat cairan kental seperti lumpur, berwarna kuning. Cepat dia membalurkan semua obat itu pada tangan dan lengannya. Rasa gatal dan panas pada tangan kanannya lenyap seketika, dan kedua lengannya terasa dingin.
"Majulah, siapa takut sarung tangan beracunmu?" Dia membentak dan menyerang lagi. Terjadilah pertandingan yang mati-matian. Lauw Sek selalu menggunakan tangan kanannya yang memakai sarung tangan, akan tetapi kini lawannya menangkis dan menerima tanpa ragu-ragu lagi dan setiap kali mereka bertemu lengan dan tangan, karena memang dia kalah kuat tenaganya, dia yang merasa kedua lengannya sakit-sakit.
Seratus jurus telah lewat dan pertandingan itu makin seru. Akan tetapi kini Lauw Sek main mundur dan selalu menghindarkan pertemuan kedua lengan karena kedua lengannya sudah bengkak-bengkak dan nyeri bukan main. Kesempatan baik dipergunakan oleh Tong Hoat ketika Lauw Sek yang sudah tidak berani menangkis itu berusaha mengelak dari pukulan lawan. Tong Hoat menggerakkan
kedua kakinya, mainkan ilmu tendangan berantai dan akhirnya Lauw Sek terkena sebuah tendangan kaki kiri yang membuat tubuhnya terlempar ke bawah panggung!
Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut kemenangan Tong Hoat, tidak saja dari para anggauta Tiat-ciang-pang, akan tetapi juga dari mereka yang tadi dikalahkan oleh dua orang saudara Ma. Akan tetapi di bawah sorak-sorai yang diselingi oleh teriakan-teriakan yang menyatakan mengangkat Tong Hoat sebagai beng-cu itu, tampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan Ketua Tiat-ciang-pang itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang bertubuh sedang saja dan kelihatannya tidak seperti seorang yang lihai. Pakaian pemuda ini sederhana saja, dengan jubah atau baju luar yang berwarna biru tua, celana kuning dan baju dalam putih. Biarpun pakaiannya terbuat dari kain yang mahal dan baru, akan tetapi potongannya biasa dan sederhana saja sehingga dia kelihatan hanya seperti seorang pemuda pekerja yang sederhana dari kota. Akan tetapi rambutnya yang hitam panjang itu merupakan kuncir yang besar mengkilap, bergantung di punggungnya, kulit mukanya putih dan ketampanan wajahnya makin mencolok dan sinar matanya yang tajam berapi dan bibirnya yang tersenyum simpul mengejek. Melihat pemuda ini, Ceng Ceng cepat mendekati panggung dan memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan karena dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
"Tiat-ciang-pangcu, apakah syaratnya bagi seorang beng-Cu yang dipilih dalam pertemuan ini?" Ang Tek Hoat bertanya, suaranya lantang namun halus dan tenang. "Bukankah syaratnya adalah orang yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita semua?"
Tong Hoat memandang pemuda itu penuh selidik, akan tetapi dia merasa belum pernah melihat pemuda ini. Kalau pemuda ini merupakan seorang tokoh kaum sesat di sekitar kota raja, tentu dia mengenalnya. Maka tentu pemuda inl seorang anggauta biasa saja, atau kalau dia seorang pandai, tentu datang dari daerah lain.
"Benar demikian, orang muda. Engkau siapakah dan datang dari mana?"
Tek Hoat tersenyum. "Aku she Ang dan aku ingin memasuki pemilihan beng-cu ini. Jika aku dapat mengalahkan engkau, apakah aku dipilih menjadi beng-cu dan semua golongan hitam di daerah ini lalu tunduk kepada semua perintahku?"
Tong Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal pemuda ini dan siapa tahu pemuda ini adalah kaki tangan pemberontak. Akan tetapi tentu saja dia tidak berhak melarang, dan teringat kepada Nona Lu yang sanggup untuk menentang kaki tangan pemberontak kalau mereka hendak menguasai golongan hitam untuk bersekutu.
"Orang muda she Ang, tentu saja siapa pun boleh mencoba kepandaian untuk menjadi beng-cu. Akan tetapi, sekarang keadaan negara sedang kacau, dikacau oleh usaha orang-orang yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang sah. Oleh karena itu, seorang beng-cu harus pula dapat melindungi semua anggautanya agar jangan sampai terseret ke dalam pemberontakan, karena pekerjaan itu adalah amat hina. Biarpun kita disebut golongan hitam atau kaum sesat, namun kita masih mempunyai kehormatan untuk tidak menjadi pengkhlanat bangsa dan negara!"
Tek Hoat tersenyum lebar. "Pangcu, saya kira urusan itu terserah kepada beng-cu yang telah dipilih, bukan? Dialah yang akan memutuskan tentang segala persoalan dan peraturan, dan hal itu merupakan urusan belakang. Sekali lagi, kalau saya mampu mengalahkan pangcu, berarti saya menjadi beng-cu?"
Tong Hoat menggeleng kepalanya. "Belum tentu, selama maslh ada calon lain engkau harus dapat mengalahkan semua calon."
"Itu adalah hal yang mudah. Bagaimana kalau lawan saya sampai tewas?"
Tong Hoat mengerutkan alisnya dan timbullah kemarahannya. Sikap pemuda ini sama sekali tidak memandang mata kepadanya, seolah-olah sudah yakin akan kemenangannya biarpun sikap pemuda itu tenang saja, namun kata-katanya amat memandang rendah dan
membayangkan kesombongan hebat!
"Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan silat!"
"Bagus, kalau begitu biarlah aku merobohkan Pangcu dulu, baru merobohkan lain orang yang berani naik ke sini."
Tentu saja ucapan ini membuat Tong Hoat marah sekali, akan tetapi di antara para angauta Tiat-ciang-pang ada yang tertawa geli dan menganggap pemuda itu seorang yang sudah miring otaknya karena bicara sedemikian mudahnya hendak merobohkan pangcu mereka dan merampas kedudukan beng-cu.
Akan tetapi Ceng Ceng memandang dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum bahwa nyawa Ketua Tiat-ciang-pang itu terancam bahaya hebat, akan tetapi tentu saja dia tidak hendak mencampurinya. Yang membuat dia khawatir adalah melihat betapa Tek Hoat kini sudah turun tangan sendiri dan kalau sampai pemuda ini yang menjadi beng-cu, tentu saja semua kaum sesat di daerah itu akan diseretnya menjadi kaki tangan pemberontak! Dan dia harus menghalangi usaha pemuda ini! Dia harus biarpun sedikit memperlihatkan kesetiaannya kepada kerajaan sebagai keturunan kakeknya, seorang bekas pengawal yang setia! Dia harus menentang para pemberontak!
Sementara itu, Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat sudah menerjang pemuda yang membakar hatinya itu. Serangannya dahsyat sekali, kedua tangannya bergantian melakukan pukulan dengan disertai pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya, mengerahkan Ilmu Tiat-ciang yang paling kuat. Karena marahnya, ketua ini ingin sekali pukul merobohkan pemuda sombong ini. Pemuda ini jelas bukan anggauta golongan daerah situ, maka membunuhnya pun bukan merupakan hal yang terlalu besar. Terhadap rekan sedaerah, dia masih sungkan membunuh, akan tetapi pemuda yang sombong itu boleh jadi adalah kaki tangan pemberontak, maka membunuhnya bahkan amat baik, tentu akan membikin jerih calon lain. Dengan pikiran demikian, maka begitu menerjang maju, Tong Hoat sudah mengeluarkan jurus yang paling hebat, bagaikan halilintar, kedua tangannya menyambar susul-menyusul, yang kanan memukul ke arah lambung lawan, yang kiri dengan jari terbuka mendorong ke arah dada disertai tenaga Tiat-ciang yang dahsyat. "Bukk! Desss!"
Dua pukulan itu dengan tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergoyang. Bahkan Tong Hoat seketika menjadi pucat mukanya ketika merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan tubuh yang kerasnya melebihi baja, yang membuat kedua pukulannya membalik dan lengan tangannya seperti dibakar. Pada saat itu, Tek Hoat menggerakkan tangan kirinya dan ujung jari-jari tangannya menyentuh dada Ketua Tiat-ciang-pang itu. Tanpa mengeluarkan suara apa pun Tong Hoat terjengkang, kedua tangannya dikembangkan, matanya melotot dan dia roboh seperti sebatang balok, roboh di atas papan panggung dan tidak dapat bergerak lagi!
Sejenak semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi. Semua mata melotot terbelalak penuh kekagetan dan keheranan melihat kepada pemuda itu. Sukar bagi mereka untuk dapat percaya betapa seorang lihai seperti Ketua Tiat-ciang-pang itu roboh oleh seorang pemuda tak terkenal dalam hanya satu gebrakan saja. Lebih aneh lagi karena mereka melihat betapa pukulan kedua tangan Tiat-ciang-pangcu itu, yang terkenal memiliki Ilmu Tangan Besi, dengan tepat mengenai dada dan lambung pemuda itu, namun bukan pemuda itu yang roboh, melainkan Si Ketua yang lihai itu! Hanya Ceng Ceng yang sudah mengenal kelihaian Tek Hoat, tidak menjadi heran sungguhpun dia menjadi makin kagum dan yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Tek Hoat.
"Ilmu setan!"
"Bunuh siluman itu!"
Teriakan-teriakan ini terdengar dari mulut para anggauta Tiat-ciang-pang dan enam orang tokoh Tiat-ciang-pang yang merupakan pembantu-pembantu utama dari pangcu, sudah naik ke atas panggung. Akan tetapi, orang-orang yang berdiri di sekitar panggung itu hanya melihat pemuda itu tersenyum dan menggerakkan kedua tangannya bergantian dan.... berturut-turut enam orang itu roboh pula terjengkang di atas papan panggung tanpa dapat bergerak lagi!
Keadaan menjadi geger. Dua orang penjudi yang tadi dikalahkan dua orang saudara Ma, menjadi penasaran dan marah. Mereka bersama belasan orang anggauta Tiat-ciang-pang dan sahabat-sahabat baik Tong Hoat, sudah meloncat naik ke atas panggung dengan senjata-senjata tajam di tangan, langsung menerjang dan mengeroyok pemuda itu.
Ceng Ceng melihat sambil tersenyum simpul. Dia tahu bahwa semua orang itu mengantar nyawa secara percuma saja. Dan apa yang terjadi di atas panggung memang amat mengerikan dan mengherankan semua orang yang menonton di bawah. Pemuda itu dengan sikap tenang-tenang saja menghadapi semua serangan orang yang menyerbu dengan senjata tajam seperti hujan menyambar ke arah tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan para pengeroyok itu terkejut dan bingung karena tubuh pemuda itu telah lenyap dari tengah mereka. Tiba-tiba, seperti halilintar cepatnya Tek Hoat membagi-bagi tamparan dengan jari-jari tangannya dan dalam waktu singkat saja lebih dari lima belas orang sudah roboh. Tubuh mereka bergelimpangan malang-melintang memenuhi papan panggung.
"Apakah masih ada lagi orang yang tidak mau menerima aku sebagai beng-cu?" Pemuda itu berseru, suaranya lantang sekali, terdengar sampai jauh di bawah panggung. "Kalau ada yang masih penasaran dan ingin menguji kepandaian, silakan naik."
Tentu saja semua orang kini telah yakin akan kesaktian pemuda itu dan tidak ada yang begitu bodoh untuk mengantarkan nyawa, bahkan suasana menjadi sunyi sekali sampai beberapa lamanya. Pemuda itu lalu menggunakan kaki tangannya, menendangi dan melempar-lemparkan tubuh para korbannya ke bawah panggung. Melihat orang-orang yang jumlahnya lebih dari dua puluh itu terlempar ke atas tanah dan tidak bergerak lagi, para anggauta Tiat-ciang-pang cepat mengadakan pemeriksaan dan terdengarlah teriakan-teriakan tertahan ketika mereka melihat bahwa semua tubuh itu telah tidak bernyawa lagi dan di dahi semua mayat itu tampak bekas jari tangan yang menghitam!
"Si Jari Maut....!"
Terkejutlah semua orang yang berada di situ. Bahkan dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat sendiri juga terkejut, tidak mengira bahwa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu adalah Si Jari Maut yang namanya sudah dikenal lama dan ditakuti semua orang sungguhpun jarang yang pernah melihat mukanya. Kiranya inilah orangnya! Rasa kagum dan girang bahwa mereka kini akan dipimpin oleh seorang penjahat yang terkenal amat lihai, membuat semua orang, bahkan termasuk anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, berseru keras, "Hidup beng-cu kita yang baru!"
"Hidup Si Jari Maut....!"
Tek Hoat tersenyum dan mengangkat kedua lengannya ke atas. Suasana menjadi hening dan tidak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara. Setelah memandang ke empat penjuru, Tek Hoat lalu berkata dengan suara nyaring, "Kalian telah melihat sendiri bahwa aku adalah satu-satunya orang yang menang dalam semua pertandingan di atas panggung ini. Oleh karena itu, apakah kalian setuju mengangkat aku sebagai beng-cu?"
"Setuju....!" Semua orang berteriak.
Akan tetapi di antara gemuruh suara yang menyatakan setuju ini, terdengar suara melengking yang mengatasi semua suara itu, "Tidak setuju....!"
Tentu saja suara melengking ini mengejutkan sekali membuat semua orang terdiam dan menoleh ke kanan kiri untuk mencari suara wanita melengking itu. Tek Hoat juga berdiri di tengah panggung dan matanya bergerak liar ketika dia melihat sesosok bayangan orang melayang naik ke atas panggung. Dia sudah marah sekali dan sudah siap menghadapi orang yang hendak menentangnya itu. Akan tetapi ketika secara tiba-tiba itu dia melihat bahwa yang meloncat naik dan kini berdiri di depannya adalah seorang gadis cantik dan yang bukan lain adalah Ceng Ceng, wajahnya berubah dan dia cepat-cepat memutar tubuhnya, membalik dan tidak mau berhadapan muka dengan Ceng Ceng! Hal ini adalah karena secara otomatis dia teringat akan janji dan sumpahnya, dan tanpa disadarinya sendiri tahu-tahu dia sudah memutar tubuh dengan jantung berdebar tegang.
Gerakan Tek Hoat ini tentu saja melegakan dan menyenangkan hati Ceng Ceng dan dia cepat mengeluarkan sehelai saputangan yang memang sudah dipersiapkan, lalu berkata, "Hemm, saputanganmu telah berada di tanganku, jangan sekali-kali kau berani memandangku!"
"Aku.... tidak akan memandangmu...." berkata Tek Hoat yang masih dipengaruhi oleh kekagetan dan masih gugup.
Ceng Ceng adalah seorang yang amat cerdik. Dia maklum bahwa sekarang setelah menjadi beng-cu, tentu saja Tek Hoat akan menjagat namanya sebagai seorang gagah, bukan orang yang suka melanggar sumpah dan janji! Akan tetapi, dia tidak boleh percaya kepada seorang seperti pemuda ini yang tidak segan-segan merendahkan diri menjadi kaki tangan pemberontak. Maka dia lalu berkata dengan lantang, ditujukan kepada semua orang yang berada di bawah, "Haiii, Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Laki-laki ini yang bernama Ang Tek Hoat, dia telah bersumpah bahwa setiap kali bertemu dengan aku, dia akan memejamkan mata atau tidak akan memandangku. Saputangannya ini yang menjadi saksi mati! Tidakkah benar kata-kataku, hai.... Ang Tek Hoat?"
Tek Hoat tak dapat menyangkal dan terpaksa dia menganggukkan kepalanya. "Benar dan aku sudah memenuhi janji. Nah, pergilah!"
Ceng Ceng tertawa akan tetapi menutupi mulutnya. Dia gembira sekali karena dia memperoleh pikiran yang amat baik, yang dianggapnya akan membuat dia mampu mencari musuh besarnya. Dia ingin menjadi beng-cu!
"Nanti dulu, Tek Hoat! Engkau harus menyerahkan kedudukan beng-cu kepadaku, dan kau tidak boleh membangkang!"
"Apa....? Ah, untuk apa kedudukan beng-cu bagimu?"
"Tidak perlu kau tahu. Pendeknya, kedudukan beng-cu harus diserahkan kepadaku. Bagaimana? Apakah kau berani tidak taat kepadaku dan melanggar sumpahmu sebagai seorang pengecut yang menjilat ludah sendiri?"
Diam-diam hati Tek Hoat mendongkol sekali. Hemmm, kau tunggu saja, pikirnya. Bocah nakal. Akan tiba saatnya aku membalas semua ini! Kalau saja saputangan itu dapat dirampasnya. Kalau saja dia bisa melupakan janji dan sumpah itu. Dia sendiri merasa heran dan tidak mengerti mengapa dia begitu lemah kalau menghadapi gadis ini!
"Baiklah, sesukamulah," jawabnya.
"Harus kauumumkan kepada mereka bahwa aku adalah beng-cu, dan engkau adalah pembantuku!" kata pula Ceng Ceng. Dia sengaja hendak menggunakan pengaruhnya untuk dua tujuan. Pertama, dia mencegah kaum sesat dipengaruhi pemberontak, dan ke dua, dia hendak menggunakan kedudukan sebagai beng-cu itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari pemuda laknat, musuh besarnya!
Tek Hoat menghela napas panjang. Sementara ini, dia terpaksa harus tunduk kepada gadis ini. Memang, kalau dia menghendaki tentu saja dia dapat menyerang dan merobohkan gadis ini, tidak mentaati perintahnya. Akan tetapi, kalau hal itu dia lakukan, dan dia sangsi apakah dia bisa melakukannya karena dia selalu merasa lemah terhadap gadis ini, dia tentu akan dianggap sebagai seorang laki-laki pengecut yang melanggar sumpahnya sendiri terhadap seorang gadis. Dan dalam kedudukannya sebagai seorang ketua, hal itu tentu akan mencemarkan namanya!
"Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Aku yang telah mengalahkan semua calon dan yang telah kalian angkat menjadi beng-cu, mulai saat ini menyerahkan kedudukan beng-cu kepada Nona...." Tiba-tiba dia menoleh kepada Ceng Ceng dan bertanya, "Ehh....!" Akan tetapi teringat bahwa dia tidak boleh memandang, dia cepat membuang muka lagi sambil bersungut-sungut dan bertanya, "Aku lupa lagi.... siapakah namamu?"
"Bodoh! Namaku Lu Ceng."
Tek Hoat kembali berseru nyaring, "Kedudukan beng-cu kuserahkan kepada Nona Lu Ceng dan mulai saat ini dialah yang menjadi beng-cu, sedangkan aku menjadi wakilnya...."
"Bukan wakil melainkan hanya pembantu!" Ceng Ceng menghardik.
"Bukan wakilnya, hanya pembantunya....!"
Tentu saja semua orang terheran-heran menyaksikan semua ini. Seorang yang memiliki kesaktian seperti itu, yang memiliki jari maut yang demikian mengerikan dan kepandaian yang demikian tinggi, mengapa berubah menjadi seekor domba saja berhadapan dengan gadis ini?
Akan tetapi ada beberapa orang yang tidak hanya terheran saja, melainkan juga penasaran sekali. Tentu ada rahasia yang mereka tidak mengerti, yang memaksa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu menjadi takut dan taat kepada gadis muda dan cantik itu. Tidak mungkin karena kalah pandai, dan tentu karena sumpah dan janji yang tidak berani dilanggarnya. Mereka itu adalah dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat. Mereka berunding sebentar, kemudian mereka mengambil keputusan untuk membantu Tek Hoat dan menyerang gadis yang mengacaukan semua rencana itu.
"Perempuan setan, jangan banyak lagak engkau di sini!" teriak Si Tangan Malaikat dan bersama dua orang saudara Ma, dia meloncat ke atas panggung, langsung menghadapi Ceng Ceng yang menyambut kedatangan tiga orang ini dengan senyum mengejek dan diam-diam gadis murid Ban-tok Mo-li mengerahkan ilmunya.
"Kallan sudah bosan hidup? Mampuslah!" bentaknya dan tiga orang itu tentu saja menjadi marah, masing-masing telah mencabut senjatanya dan hendak menyerbu. Melihat ini, Tek Hoat hanya melirik akan tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh amat mengejutkan hatinya, dan tentu saja juga amat mengejutkan semua orang yang melihatnya. Ketika tiga orang itu menyerbu, tiba-tiba Ceng Ceng meludah tiga kali ke arah mereka. Serangan aneh ini cepat dan tidak tersangka-sangka sama sekali, tiga orang kasar itu tentu saja tidak takut menghadapi serangan ludah seorang gadis cantik seperti Ceng Ceng, maka mereka pun tidak menunda serangan mereka dan terus maju. Akan tetapi, tiba-tiba tiga orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan ketiganya melepaskan senjata roboh ke atas papan dan bergulingan lalu berkelojotan dan tak lama kemudian tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi! Mereka telah menjadi korban ludah beracun dari Ceng Ceng, satu di antara ilmu-ilmu luar biasa yang diperolehnya dari Ban-tok Mo-li!
Melihat ini, tahulah Tek Hoat bahwa gadis ini benar-benar seorang yang amat ahli dalam soal racun. Dahulu ketika Ceng Ceng muncul, gadis ini pun telah memperlihatkan kelihaiannya dengan menyebar racun untuk menghalangi pengejaran, dan sekarang kembali telah membuktikan kelihaiannya dalam hal racun.
Lumayan juga mempunyai teman selihai ini, pikirnya. Pula, selain dia tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu Ceng Ceng, hal yang amat aneh baginya, juga dia mengharapkan untuk kelak dapat menguasai hati Syanti Dewi melalui gadis ini.
"Engkau hebat....!" katanya memuji tanpa memandang.
"Dan aku perkenankan engkau memandangku sekarang," kata Ceng Ceng. "Tidak enak kalau mempunyai pembantu yang selalu membelakangiku! Akan tetapi engkau harus taat dalam segala hal!"
Tek Hoat tersenyum geli. Lu Ceng ini benar-benar seorang bocah, akan tetapi telah memiliki kepandaian beracun yang demikian mengerikan, pikirnya. Dia mengangkat muka memandang dan memperoleh kenyataan bahwa biarpun gadis ini sekarang makin manis, kecantikannya makin matang, akan tetapi terbayang sesuatu yang amat mengerikan, sesuatu yang dingin dan penuh kebencian! Akan tetapi anehnya, begitu memandang, timbul pula rasa iba dan sayang di dalam hatinya terhadap gadis ini, hal yang sama sekali tidak dimengertinya mengapa demikian!
Melihat kehebatan gadis itu, yang meludah saja sudah dapat membunuh orang-orang pandai seperti Tangan Malaikat, semua orang dengan suara bulat menyetujui mengangkatnya menjadi beng-cu. Bahkan mereka menjadi girang dan bangga bukan main karena maklum bahwa mereka dipimpin oleh dua orang yang lihai, dan otomatis kedudukan mereka menjadi kuat. Tentu saja golongan-golongan yang mempunyal ambisi, yang pro dan anti pemberontak, yang masih sangsi dan bingung karena mereka belum tahu benar orang macam apa adanya gadis ini. Orang yang suka bersekutu dengan pemberontak ataukah yang membencinya?
Sementara itu Ceng Ceng memerintahkan para anak buah Tiat-ciang-pang untuk menyingkirkan semua jenazah. Setelah Ketua Tiat-ciang-pang tewas, otomatis dia sebagai beng-cu pun dianggap sebagai Ketua Tiat-ciang-pang pula, maka dia lalu mengajak Tek Hoat untuk pergi memeriksa markas Tiat-ciang-pang untuk dijadikan pusat di mana beng-cu dan pembantunya tinggal.
Malam hari itu, biarpun dalam keadaan berkabung karena kematian Tong Hoat, namun para pimpinan Tiat-ciang-pang yang masih hidup segera mengatur hidangan untuk merayakan dan menyambut beng-cu yang berkenan tinggal di tempat mereka. Juga para tokoh golongan lain yang termasuk kaum sesat di sekitar daerah kota raja hadir untuk memberi hormat kepada beng-cu mereka. Ceng Ceng duduk semeja dengan Tek Hoat, dan mereka berdua makan bersama tanpa banyak cakap, hanya kadang-kadang saja Ceng Ceng tersenyum mengejek kalau memandang Tek Hoat.
"Engkau sekarang lihai sekali," Tek Hoat berkata lirih agar jangan terdengar oleh orang lain yang duduk mengelilingi meja-meja agak jauh dari mereka berdua.
"Masih tidak selihai engkau!" jawab Ceng Ceng jujur.
"Aku heran sekali, mengapa engkau menginginkan kedudukan beng-cu?" Tek Hoat bertanya lagi.
"Karena aku ingin mengerahkan tenaga semua kaum sesat ini, termasuk engkau, untuk menyelidiki dan mencarikan musuh besarku."
Tek Hoat mengangkat mukanya, memandang tajam. Akan tetapi Ceng Ceng juga membalas pandang mata itu, sama tajamnya. Tek Hoat lalu menundukkan mukanya, merasa aneh mengapa dia tidak sanggup menentang pandang mata gadis itu terlalu lama. "Siapa....?" tanyanya lirih.
"Seorang pemuda tinggi besar, ilmu kepandaiannya tinggi sekali, aku tidak tahu dia berada di mana, juga tidak tahu siapa namanya."
"Hemm...., sungguh aneh. Pemuda tinggi besar dan lihai.... ahh....! Di dunia ini banyak sekali orang tinggi besar, dan banyak sekali yang lihai."
"Akan tetapi engkau pun sudah tahu siapa dia, dia yang menyelamatkan Jenderal Kao dari tanganmu."
"Aih, dia....!" Hampir saja Tek Hoat meloncat dari bangkunya. "Dia itu musuh besarmu?"
"Benar."
"Kalau dia, aku senang sekali membantumu. Aku sendiri kalau bertemu dengan dia, ingin mematahkan batang lehernya!"
"Tidak, aku hanya menghendaki engkau dan para anggauta mencarinya dan paling banyak menangkapnya. Aku sendiri yang harus membunuhnya!" kata Ceng Ceng dan suaranya mengandung kemarahan dan kebencian hebat.
Tek Hoat mengangkat mukanya memandang dengan penuh perhatian, lalu bertanya, "Kenapa? Kenapa engkau mendendam kepadanya dan begitu benci kepadanya?"
"Kau tidak perlu tahu!" Ceng Ceng menjawab dengan kasar dan membentak marah.
Melihat gadis itu marah-marah, Tek Hoat mengalihkan percakapan. "Lu Ceng, aku melihat bahwa engkau telah memiliki kepandaian hebat, jauh bedanya dengan dahulu ketika kita saling bertemu untuk pertama kalinya. Terutama sekali engkau hebat dalam ilmu beracun. Tentu engkau telah bertemu dengan seorang guru yang pandai."
Ceng Ceng mengangguk. "Aku telah mewarisi ilmu tentang racun yang tidak ada keduanya di dunia ini. Karena itu, di samping sumpah dan janjimu, kau pun harus tunduk kepadaku karena betapa mudahnya bagiku untuk membunuhmu, sekarang juga. Lihat!" Ceng Ceng menggerakkan tangan kirinya di atas cawan arak Tek Hoat sambil merngerahkan ilmunya. Segumpal hawa seperti asap hitam ke luar dari telapak tangannya dan ketika hawa itu menghilang, Tek Hoat melihat betapa arak di dalam cawannya menjadi kehijauan, mengandung racun!
"Sedikit saja kauminum arakmu, kau akan mati," kata Ceng Ceng.
Tek Hoat mengangquk-angguk dan membuang isi cawan itu ke atas lantai, lalu menggantikannya dengan arak baru dari guci. "Hemm, engkau telah membuat dirimu, sampai ludahmu pun dapat membunuh. Sungguh luar biasa!" Tek Hoat berkata memuji akan tetapi, tentu saja dia tidak merasa jerih dan dia merasa yakin bahwa kalau terpaksa bertanding, dia akan dapat mengalahkan gadis aneh ini.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar, dan tak lama kemudian beberapa orang bekas pimpinan Tiat-ciang-pang menghampiri meja Ceng Ceng dan melapor. "Celaka, di luar terdapat seorang pengacau yang amat lihai, banyak kawan kita telah dirobohkan olehnya."
Tek Hoat merasa tidak senang karena dia diganggu. "Siapa dia dan mengapa dia mengacau?"
"Dia tidak mengaku namanya dan tidak mengaku mengapa dia datang mengacau. Harap Ji-wi suka menundukkan sebelum dia merobohkan lebih banyak kawan dan menimbulkan kerusakan."
"Kurang ajar!" Tek Hoat bangkit berdiri dan bersama Ceng Ceng lalu berlari keluar.
Setelah mereka tiba di luar mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar sedang mengamuk, dikeroyok oleh banyak orang.
Lebih dari tiga puluh orang anggauta Tiat-ciang-pang mengeroyok orang itu dan dari jauh Tek Hoat dan Ceng Ceng melihat betapa orang itu melempar-lemparkan para pengeroyoknya dengan amat mudahnya. Para pengeroyok itu seperti sekumpulan semut mengeroyok seekor jangkrik yang kuat. Berkali-kali mereka dilempar ke kanan kiri akan tetapi mereka bangkit lagi dan menerjang lagi.
"Hemm, orang itu kuat sekali," Tek Hoat berkata dan mempercepat larinya menghampiri.
"Tek Hoat, aku ingin dia itu ditawan saja, jangan sampai terbunuh!" tiba-tiba Ceng Ceng berkata kepada Tek Hoat sehingga pemuda ini menjadi heran.
"Eh, kenapa? Dia pengacau...."
"Dia lihai, aku ingin mengambilnya sebagai pembantuku, di sampingmu...."
"Hemmm...." Tek Hoat tidak berkata apa-apa lagi melainkan melompat dekat dan berteriak, "Semua orang mundur! Biarkan aku menghadapi pengacau ini!"
Bersambung ke bagian 4 ...