Bagian 2
Kaisar sendiri mengerutkan keningnya mendengar ucapan itu. Tak senang hatinya dan untuk menjawab, lidahnya terasa berat. Tiba-tiba Jenderal Suma Kiat sudah membuka mulut berkata, "Tai-ciangkun dari Yucen benar-benar seorang yang jujur dan berhati polos! Setelah Tai-ciangkun tidak menyinggung atau menyalahkan Kaisar, sebaiknya menunjuk secara jujur menteri mana yang dimaksudkan agar tidak membikin hati para menteri di sini menjadi tidak enak."
"Ha-ha-ha, Suma-goanswe pun menyukai sikap jujur seperti kami. Bagus sekali! Yang kami maksudkan adalah Menteri Kam Liong, yang telah melakukan perbuatan tidak patut sekali, mengirim muridnya dan menyelundupkannya menjadi panglima kerajaan kami untuk melakukan pekerjaan mata-mata! Bukankah perbuatan itu amat busuk? Untung Sri Baginda Kerajaan Sung amat bijaksana, kalau tidak, bukankah perbuatan licik Menteri Kam itu cukup berbahaya untuk mencetuskan perang?"
Kembali keadaan di ruangan itu sunyi sekali dan hati semua orang makin bimbang dan tegang. Sri Baginda sendiri, yang tentu saja menyetujui akan penyelundupan Khu-ciangkun ke Yucen, kini hanya dapat memandang kepada Menteri Kam Liong.
Sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba tampak seorang panglima bertubuh jangkung memasuki ruangan itu dan terdengar suaranya nyaring. "Rombongan utusan Yucen ini datang membawa perdamaian ataukah mencari pertentangan? Menghina seorang menteri berarti menghina Kaisar dan kerajaan!"
Semua orang terkejut sekali melihat munculnya seorang panglima muda tinggi kurus yang tidak terkenal ini, dan seorang pengawal Yucen yang berdiri menjaga di belakang Sri Panglima Besar, sudah menghadang kedepan dan melintangkan tombaknya memandang panglima tinggi kurus itu.
"Eh, eh, mau apa engkau?" Panglima tinggi kurus itu membentak Si Pengawal Yucen sambil melangkah maju mendekat. Pengawal itu mengira bahwa Panglima Sung ini akan menyerang majikannya, maka cepat menggerakkan tombaknya menodong. Tiba-tiba kedua tangan panglima yang kurus itu bergerak menyambar tombak dan semua orang memandang terbelalak ketika tiba-tiba bagian perut panglima kurus itu bergerak ke depan seperti kaki tangan yang bertubi-tubi mengirim tendangan dan pukulan.
"Buk-buk....!" Pukulan-pukulan aneh yang keluar dari perut itu mengenai tubuh Si Pengawal yang sama sekali tidak menduga. Siapa akan menduga lawan memukul dengan perut yang bisa bergerak seperti kaki tangan itu? Biarpun pukulan-pukulan itu tidak keras, namun Si Pengawal terhuyung mundur saking kagetnya dan tombaknya terlepas!
Panglima besar Yucen dan guru negara marah sekali. Mereka sudah bangkit memandang panglima berdiri dan Koksu (Guru Negara) Yucen yang berjenggot panjang berambut putih berseru.
"Beginikah caranya menerma utusan kerajaan calon besan?" Semua orang, termasuk Kaisar sendiri masih terlalu heran dan bingung menyaksikan munculnya panglima tinggi kurus yang aneh itu sehingga mereka tak dapat menjawab. Kaisar sendiri mulai marah dan sudah membuat gerakan memerintahkan pengawal menangkap panglima tinggi kurus itu ketika Menteri Kam tiba-tiba meloncat dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar.
"Mohon Paduka sudi mengampunkan hamba dan mengijinkan hamba untuk menyelesaikan urusan ini agar perdamaian tetap dipertahankan." Kaisar mengangguk.
"Cu-wi Ciangkun dan Taijin dari Yucen harap suka memaafkan karena dia ini hanyalah seorang anak kecil yang bertindak menurutkan perasaan dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kerajaan. Mengenai urusan yang diajukan oleh Tai-ciangkun dari Yucen tadi, biarlah saya akan memberi penjelasan."
"Menteri Kam Liong! Apakah engkau hendak melindungi pula seorang panglima yang bersikap begitu lancang dan membikin malu kerajaan?" Tiba-tiba Suma Kiat berkata marah. "Pertanyaan yang tepat!" Panglima Besar Yucen berseru. "Dan siapa mau menerima alasan bahwa dia ini masih seorang anak kecil? Alasan yang dicari-cari untuk menyelamatkan diri!"
Menteri Kam Liong dengan sikap tenang lalu bangkit dan menghampiri panglima kurus yang masih berdiri tegak itu, tangannya meraih dan mulutnya menegur, "Maya, jangan kurang ajar, hayo cepat minta ampun kepada Hong-siang!"
Panglima kurus itu mencoba menghindar, namun terlambat dan jubahnya telah direnggut robek oleh tangan Menteri Kam Liong yang kuat. Berbareng dengar robeknya jubah, tampaklah penglihatan yang aneh dan membuat semua orang menjadi geli. Kiranya panglima tinggi kurus itu adalah dua orang anak perempuan, yang seorang berdiri di atas pundak temannya. Pantas saja tadi dari "perut" panglima itu keluar kaki tangan yang menyerang dari dalam jubah! Maya, segera meloncat turun dari pundak Siauw Bwee. Tadi, sewaktu semua panglima menonton tegang, dia dan Siauw Bwee diam-diam telah melakukan penyamaran mereka lagi, tentu saja atas desakan Maya yang ingin menolong Menteri Kam! Sebagai seorang puteri Kerajaan Khitan, tentu saja Maya mengerti akan tatasusila istana, demikian pula Siauw Bwee yang menjadi puteri seorang panglima terkenal. Mereka berdua lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar dan dengan suara halus mohon ampun.
Kam Han Ki tak dapat menahan ketawanya dan untung bahwa pada saat itu, Kaisar sendiri pun tertawa disusul oleh para pembesar yang hadir di situ. Memang amat lucu setelah melihat bahwa yang berbuat lancang kurang ajar itu ternyata hanyalah dua orang anak perempuan!
"Siauw Bwee.... !" Khu Tek San menegur dan biarpun Panglima ini hanya memanggil namanya, Siauw Bwee mengenal bahwa ayahnya amat marah dan dia menoleh kearah ayahnya dengan muka pucat. Akan tetapi Maya cepat berkata lantang, "Mohon Paman Khu, juga Sri Baginda dan semua orang tidak menyalahkan adik Siauw Bwee atau siapa saja karena semua ini sayalah yang bertanggung jawab!"
Bukan main kagum rasa hati Kaisar melihat sikap Maya. Bocah ini bukan anak sembarangan, pikirnya dan kepada Menteri Kam, Kaisar bertanya.
"Siapakah mereka ini?"
"Ampunkan mereka, karena mereka itu adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Hamba bersedia menerima hukumannya. Maya ini adalah anak keponakan hamba, sedangkan Khu Siauw Bwee adalah puteri Khu Tek San."
Kaisar mengangguk-angguk. Pantas, pikirnya. Dia sudah tahu bahwa menterinya, Kam Liong, adalah seorang yang sakti, putera dari Pendekar Suling Emas, tidak aneh kalau kemenakannya sehebat bocah cantik itu. Dan gadis cilik yang seorang lagi memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek San yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia, berkepandaian tinggi karena panglima itu adalah murid Menteri Kam Liong! Sambil tertawa Kaisar berkata.
"Dua orang bocah yang bersemangat, tabah dan lucu sekali. Kami memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian terimalah ini!" Kaisar menyambar dua butir buah appel merah dan menyambitkan dua butir buah itu ke arah Siauw Bwee dan Maya. Bukan sambitan biasa melainkan sambitan untuk menguji. Dengan cekatan sekali, Siauw Bwee dan Maya berhasil menangkap buah appel yang menyambar kearah mereka. Kemudian mereka menghaturkan terima kasih.
"Bagus! Mereka ini kelak akan menjadi pendekar-pendekar wanita yang hebat!" Kaisar berkata. "Akan tetapi kalian sekarang harus pergi. Tidak boleh ada anak-anak kecil hadir dalam pertemuan yang penting ini."
Bukan main gembiranya hati Menteri Kam Liong. Kiranya Kaisar dapat mengampunkan sedemikian mudahnya. Maka ia cepat memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang bocah itu pergi meninggalkan ruangan. Keadaan menjadi tenteram dan kembali setelah Maya dan Siauw Bwee pergi, sungguhpun para panglima di ruangan luar masih terheran-heran, terutama sekali para pengawal yang tadi kena diakali oleh dua orang anak perempuan itu.
Biarpun pihak Kaisar dan para pembesar Sung telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya para utusan Yucen merasa terhina dan mendapat malu. Betapapun juga, telah disaksikan semua orang betapa seorang pengawal Yucen dengan mudah dapat dikalahkan oleh dua orang anak perempuan nakal! Juga Suma Kiat menjadi tidak senang, maka diam-diam ia memberi tanda kedipan mata kepada Panglima Besar Yucen. Panglima ini maklum dan berkata dengan suara lantang.
"Kami utusan Kerajaan Yucen merasa makin kagum menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar! Dan kami bukanlah anak-anak kecil yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua orang bocah. Akan tetapi, kami yang menjunjung tinggi janji yang keluar dari mulut seorang gagah! Tadi kami mendengar akan kesanggupan Menteri Kam Liong yang akan membereskan persoalan. Terus terang saja, kami seluruh pembesar Yucen merasa penasaran kalau mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan kami dengan mengirimkan muridnya sebagai penyelundup dan memata-matai kami!"
Kam Liong dengan sikapnya yang masih tetap tenang, menjawab. "Tuduhan Tai-ciangkun dari Kerajaan Yucen tidak dapat disangkal dan memanglah sesungguhnya saya mengaku bahwa saya telah mengutus murid saya dan Panglima Sung yang bernama Khu Tek San untuk menyelundup ke Yucen dan menjadi panglima disana sambil mengawasi gerak-gerik dan mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal kerajaan itu. Akan tetapi, bukankah hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun? Setiap negara tentu akan mengirim penyelidik-penyelidik untuk mengetahui keadaan negara tetangga, dan biarpun secara bersembunyi, saya tahu bahwa
banyak pula penyelidik-penyelidik dari Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai mata-mata di Kerajaan Sung. Muridku sedikit banyak berjasa bagi Yucen, dan tidak menimbulkan kerugian, hanya memang benar dia menyelidiki keadaan Yucen dan melaporkan kepada saya. Tanpa mengenal sedalam-dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain terhadap kerajaan kami? Sekianlah jawaban saya."
Panglima Besar Yucen tertawa. "Kiranya Kam-taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu, semua orang tahu siapakah Kerajaan Yucen, dan bagaimana macamnya, perlu apa mesti diselidiki dengan cara menyelundupkan seorang panglima! Keadaan di Yucen sudah pasti, kerajaannya sudah ada dan pemerintahannya berjalan terus, seperti ini. Perlu apa diselidiki lagi?" Panglima Yucen itu mengeluarkan sebuah bola besi sebesar kepalan tangan dan menyambung. "Bangsa kami terkenal sebagai bangsa besi yang sudah ada beratus tahun yang lalu, seperti senjata peluru besi ini. Apakah Kam taijin juga akan menyelidiki bola besiku ini!" Sambil tertawa Panglima Yucen itu melontarkan bola besi keatas dan... semua orang memandang kaget, heran dan kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat sekali dan menyambar ke kanan kiri seperti dikendalikan, kemudian menyambar kearah Menteri Kam Liong! Keahlian mempergunakan bola besi sebagai senjata itu membuktikan betapa kuatnya tenaga
sin-kang Panglima Besar Yucen ini dan semua ahli yang hadir disitu menjadi khawatir akan keselamatan Menteri Kam Liong.
Hanya Khu Tek San seorang yang memandang dengan wajah t1dak berubah karena panglima gagah ini yakin bahwa permainan sin-kang seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak bagi gurunya.
Memang dermikianlah Menteri Kam Liong bersikap tenang, tangan kanannya sudah tampak memegang sebuah kipas dan sekali ia menggerakkan kipasnya dan mengebut, bola besi itu berputaran diatas kepalanya, dekat dengan kipas yang dikebut-kebutkan seperti seekor kupu-kupu mendekati bunga, seolah-olah ada daya tarik yang keluar dari gerakan kipas itu yang membuat bola besi ikut terputar-putar.
Sambil mempermainkan kipasnya menguasai bola besi, Kam Liong berkata, "Tai-ciangkun. Bola besi ini memang sebuah bola besi, akan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan dalamnya tanpa memeriksanya lebih dulu? Apakah dalamnya kosong? Ataukah berisi? Serupa ataukah lain dengan keadaan luarnya? Saya kira Ciangkun sendiri tak dapat menjawab tepat, bukan? Memang sukar menjawab tepat tanpa melihat dalamnya. Marilah kita bersama melihat apa isi bola-besi ini sesungguhnya!"
Setelah berkata demikian, kipas ditangan kanan Menteri Kam itu bergerak cepat sekali, menyambar tiga kali kearah bola besi. Terdengar suara keras tiga kali dan... bola besi itu telah terbabat malang-melintang tiga kali sehingga terpotong menjadi delapan, seperti sebuah jeruk dipotong-potong pisau tajam dan kini delapan potong besi itu diterima tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu meletakkan potongan potongan bola besi itu diatas meja depan panglima besar dari Yucen!
"Ah, ternyata isinya padat dan tetap besi, sama seperti diluarnya. Cocok sekali dengan keadaan Kerajaan Yucen, bukan? Akan tetapi baru diketahui setelah diselidiki dalamnya seperti yang telah kami lakukan dengan mengirimkan murid kami ke Yucen."
Wajah Panglima Yucen menjadi merah sekali, matanya terbelalak. Juga wajah Jenderal Suma Kiat menjadi pucat. Yang diperlihatkan oleh Menteri Kam tadi adalah kesaktian yang amat luar biasa, tenaga sin-kang yang hebat dan keampuhan kipas pusaka yang keramat! Koksu Negara Yucen maklum akan hal ini maka dia lalu berkata. "Hebat sekali kepandaian Kam-taijin. Dan keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu memperpanjang urusan kecil itu selagi urusan besar masih belum dibicarakan selesai." Ucapan ini melegakan hati setiap orang dan perundingan untuk menentukan hari pertemuan pengantin dilanjutkan sambil diseling makan minum dan hiburan tari nyanyi oleh seniwati-seniwati istana.
Berkat sikap Menteri Kam yang bijaksana, pesta menyambut utusan Yucen itu berlangsung dengan tenteram dan lancar. Menteri Kam sendiri, kelihatan lega akan tetapi didalam hatinya, dia merasa amat khawatir karena dia telah mendengar dari Han Ki akan hubungan pemuda itu dengan Sung Hong Kwi, dan ia dapat menduga betapa hancur perasaan hati adik sepupunya Itu. Kalau ia pikir-pikir dan kenangkan segala peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekali. Kerajaan Khitan hancur, adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali mengalami nasib buruk, kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu semua, hati Menteri Kam menjadi dingin, semangatnya mengendur dan timbul keinginannya untuk mengajak
muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya pergi saja mengundurkan diri menjauhi keramaian kota raja bahkan sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas yang bertapa dengan ibu tirinya, bekas Ratu Yalina. Makin menyesal lagi kalau ia memandang kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum dengan gembira melayani para tamu. Suma Kiat itu sebenarmya masih merupakan keluarga dekat dengannya. Tidak hanya keluarga. karena terikat hubungan antara ayahnya, Suling Emas, dan ibu Suma Kiat yaitu Kam
Sian Eng yang menjadi adik Suling Emas. Juga dari pihak ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan dekat, yaitu kakak beradik. lbunya, Suma Ceng, adalah adik kandung Suma Boan, ayah Suma Kiat. Dia dan Suma Kiat adalah keluarga dekat, namun Suma Kiat selalu membencinya dan selalu memusuhinya, sungguhpun tidak berani berterang.
***
"Susiok-couw (Paman Kakek Guru), apakah perbuatan kami tadi akan menimbulkan bencana....?" Dalam perjalanan pulang bersama Maya diantar oleh Han Ki, Siauw Bwee bertanya kepada pemuda itu.
"Aihhh! Kau benar-benar terlalu sekali, Siauw Bwee! Masa Han Ki yang masih muda, patut menjadi kakak kita, kausebut Susiok-couw? Benar-benar terlalu menyakitkan hati sebutan itu!" Maya mencela.
"Habis bagaimana?" Siauw Bwee membantah, "Memang dia itu paman guru ayahku, tentu saja aku menyebutnya Susiok-couw! Atau Susiok-kong?"
"Wah, tidak patut! Tidak patut! Jangan mau disebut kakek, Han Ki!" Maya berkata lagi. Mau tidak mau Han Ki tersenyum. "Kalian berdua ini seperti langit dengan bumi, jauh bedanya akan tetapi sama anehnya! Maya terhitung masih keponakanku, menyebutku dengan nama begitu saja seperti kepada seorang kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee terlalu memegang peraturan sehingga aku disebut kakek guru! Kalau benar kalian menganggap aku sebagai kakak, biarlah kalian menyebut kakak saja."
"Bagus kalau begitu! Aku menyebutmu Han Ki Koko." Maya berseru girang.
"Koko, engkau kelihatan begini berduka, apakah kesalahan aku dan Enci Maya tadi terlalu hebat sehingga engkau khawatir kalau-kalau ayahku dan Menteri Kam akan tertimpa bencana akibat perbuatan kami?" Siauw Bwee mengulang pertanyaannya, kini ia menyebut koko (kakak).
Han Ki menggeleng kepalanya. "Kurasa tidak. Kakakku, Menteri Kam bukanlah seorang yang dapat dicelakakan begitu saja oleh lawan. Aku tidak khawatir...."
"Akan tetapi, mengapa wajahmu begini muram? Engkau kelihatan berduka sekali, tidak benarkah dugaanku, Enci Maya?" Maya mengangguk. "Memang hatinya hancur lebur, patah berkeping-keping dan luka parah bermandi darah, siapa yang tidak tahu!"
Han Ki memandang Maya, alisnya berkerut dan ia membentak, "Engkau tahu apa?"
Maya tersenyum. "Tahu apa? Tahu akan rahasia hatimu yang remuk karena setangkai kembang itu akan dipetik orang lain!"
Han Ki terkejut sekali, menghentikan langkahnya dan menghardik. "Maya! Darimana kautahu??" Siauw Bwee juga memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti betul apa yang diartikan oleh Maya dan mengapa Han Ki kelihatan kaget dan marah.
"Darimana aku tahu tidak menjadi soal penting" Jawab Maya yang tidak mau berterus terang karena dia mendengar tentang hal itu dari percakapan antara ayah bunda Siauw Bwee yang ia dengar dari luar jendela kamar! "Yang penting adalah sikapmu menghadapi urusan ini. Kenapa kau begini bodoh, menghadapi peristiwa ini dengan berduka dan meremas hancur perasaan hati sendiri tanpa mencari jalan keluar yang Menguntungkan? Mengapa kau begini lemah, Koko?"
Han Ki terbelalak. "Bodoh? Lemah? Apa... apa maksudmu, Maya? Jangan kau kurang ajar dan mempermainkan aku!"
"Siapa mempermainkan siapa? Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Koko, sungguhpun aku belum yakin benar akan hal itu. Kalau engkau memiliki kepandaian, apa sukarnya bagimu untuk pergi mengunjungi kekasihmu itu? Dan kalau benar dia itu mencintaimu seperti yang ku.... eh, kuduga, tentu dia akan lebih suka ikut minggat bersamamu daripada menerima nasib menjadi permainan Raja Yucen yang liar!"
Han Ki memandang Maya dengan mata terbelalak, terheran-heran akan tetapi harus ia akui bahwa "nasihat" Maya itu cocok benar dengan isi hatinya! "Sudahlah jangan bicara lagi urusan itu. Mari kuantar pulang cepat-cepat karena aku masih mempunyai banyak urusan lain."
Maya bertolak pinggang. "Koko engkau memang orang yang kurang penerima! Kalau engkau setuju dengan omonganku, mengapa pakai pura-pura segala? Kau langsung pergilah menemui kekasihmu sebelum terlambat. Adapun kami berdua, kami bukanlah anak-anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri. Tadi pun kami pergi berdua, masa untuk pulang harus kautemani? Pergilah, kami dapat pulang sendiri, bukan begitu Adik Siauw Bwee?"
Siauw Bwee mengangguk. Han Ki menarik napas panjang. "Baiklah, kalian pulang berdua, akan tetapi harus langsung pulang dan jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan engkau selalu menuruti permintaan Maya. Bocah ini memang liar!" Setelah berkata demikian, Han Ki cepat-cepat meloncat pergi, tidak memberi kesempatan kepada Maya untuk membalas makiannya.
"Awas dia! Kalau bertemu lagi denganku!" Maya membanting-banting kaki dengan gemas.
"Dia... dia hebat sekali, ya Enci Maya?" Siauw Bwee berkata lirih memandang kearah lenyapnya bayangan Han Ki. "Hebat apanya, manusia sombong itu!" Maya mendengus marah. "Mari kita pergi, Siauw Bwee."
Malam telah larut dan sunyi sekali di sepanjang jalan. Semua rumah telah menutup daun pintu dan sebagian besar penghuni kota raja sudah tidur nyenyak. Ketika mereka tiba di jembatan Ayam Putih yang panjang menyeberangi air sungai yang menghubungkan kota raja dengan saluran besar ke selatan, mereka melihat seorang laki-laki tua di tengah jembatan yang sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah seorang anak yang tabah sekali, akan tetapi ketika mereka melihat dan mengenal kakek yang menghadang itu, mereka menjadi terkejut juga. Kakek itu adalah kakek berambut putih berjenggot panjang yang hadir di istana, yaitu Koksu Negara, Kerajaan Yucen!
Maya menggandeng tangan Siauw Bwee dan berjalan terus tanpa memandang seolah-olah dia tidak mengenal kakek ltu. Akan tetapi kakek itu tertawa dan berkata, "Anak-anak setan kalian hendak kemana? Hayo ikut bersama kami!"
Maya sudah menaruh curiga bahwa tentu kakek itu tidak mengandung niat baik, maka begitu kakek itu melangkah datang, ia sudah membalikkan tubuh dan mengirim pukulan kearah lambungnya! Siauw Bwee juga memiliki reaksi yang cepat sekali karena tanpa berunding lebih dulu dia sudah dapat cepat menyusul gerakan Maya mengirim pukulan kearah perut kakek itu.
"Buk! Bukk!" Kakek itu sama sekali tidak mengelak dan membiarkan dua orang anak perempuan itu memukulnya. Maya dan Siauw Bwee berseru kaget karena lambung dan perut yang mereka pukul, itu seperti bola karet yang membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka dapat mengelak, kakek itu telah mencengkeram pundak mereka, membuat mereka menjadi lemas. Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil tertawa melemparkan tubuh Maya dan Siauw Bwee melalui langkan jerbatan melemparkannya ke sungai! Maya dan Siauw Bwee terkejut setengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan kini melayang menuju ke sungai yang amat dalam. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh mereka disambar tangan yang kuat dan kiranya di bawah jermbatan telah menanti dua orang laki-laki diatas perahu. Mereka inilah yang menyambar tubuh mereka.
"Bawa mereka pergi sekarang juga!" terdengar Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada dua orang itu. "Dia merupakan hadiah sumbanganku untuk Coa-bengcu yang berulang tahun. Haha-ha!"
Maya dan Siauw Bwee yang tadinya merasa girang karena mengira bahwa mereka tertolong, menjadi makin marah karena kini mereka tahu bahwa dua arang di perahu ini adalah pembantu-pembantu koksu itu! Malam gelap, perahu gelap dan mereka, tidak dapat melihat muka. dua orang laki-laki itu. Perahu digerakkan, meluncur ke selatan. Maya dan Siauw Bwee dibelenggu kaki tangannya sehingga setelah mereka terbebas dari totokan, mereka tetap saja tidak mampu bergerak, hanya rebah miring di atas perahu dengan hati penuh kemarahan.
Setelah malam berganti pagi, barulah kedua orang anak perempuan itu dapat itu melihat wajah dua orang laki-laki yang menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua orang itu dan menurut penglihatannya, dua orang itu bukanlah orang jahat, maka timbullah harapannya. "Eh, Paman yang baik. Kalian adalah orang baik-baik, melihat wajah, pakaian dan sikap kalian. Mengapa kalian mau membantu koksu jahat yang menangkap kami dua orang anak perempuan yang tidak berdosa?"
Dua orang laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bersikap gagah dan golok besar tergantung dipunggung mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat dipipi kanan, berkata "Kami hanyalah pelaksana-pelaksana tugas yang dibebankan kepada kami. Kami tidak tahu siapa kalian dan mengapa kalian ditawan, akan tetapi kami harus menaati perintah atasan."
Maya belum cukup dewasa, akan tetapi dia memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat menangkap rasa tidak senang dan sungkan dibalik ucapan laki-laki bertahi lalat itu. Maka ia menjadi makin berani dan berkata. "Ah, kiranya Paman berdua juga menjadi anak buah Yucen?" ia berhenti sebentar, lalu mengirim serangan halus dengan kata-kata, "Heran sekali, bukankah Paman berdua ini orang-orang Han? Mengapa kini membantu kerajaan asing?"
"Kau anak kecil tahu apa!!" Tiba-tiba orang kedua yang mukanya kuning membentak. Ucapan ini sama benar dengan ucapan Han Ki yang pernah menjengkelkan hati Maya, akan tetapi sekali ini ia menangkap rasa sakit hati dibalik kata-kata itu, rasa hati yang tersinggung dan yang menyatakan betapa tepatnya ucapannya tadi.
"Biarpun aku anak kecil, akan tetapi aku tahu betapa seorang gagah selalu mengutamakan kegagahan, membela negara dan menentang yang lalim." Maya melanjutkan. Si Tahi Lalat kini berkata "Hemm, kulihat engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah bahwa kami berdua telah dibikin sakit hati oleh perbuatan anak buah Jenderal Suma Kiat sehingga keluarga kami terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami mengabdi permerintah Sung? Pula, kami menjadi anak buah dari Koksu Negara Yucen yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga tidaklah memalukan di dunia kang-ouw karena kami mengabdi kepada seorang tokoh besar yang jarang ada bandingannya."
Biarpun tubuhnya masih terbelenggu dan ia rebah miring, Maya mengangguk-angguk dan berkata mengejek "Hemm... bicara tentang kesaktian dan kegagahan ya? Buktinya, koksu itu pengecut hanya berani melawan dua orang anak perempuan. Dan sukar bagiku untuk mengatakan kalian ini orang gagah macam apa, menawan dua orang anak perempuan kecil masih perlu membelenggu seperti ini! Apakah kalau kami tidak dibelenggu kalian takut kalau-kalau kami akan membunuh kalian?"
Maya memang pandai sekali bicara dan amat cerdik. Kata-katanya lebih runcing daripada pedang dan lebih tajam daripada golok, secara tepat menusuk perasaan dan kegagahan dua orang laki-laki itu.
"Bocah, engkau benar-benar bermulut lancang!" bentak yang bermuka kuning.
"Aku tentu tidak berani bicara kalau tidak ada kenyataannya. Coba, kalau berani membebaskan belenggu kami, barulah aku percaya bahwa kalian tidak takut kepada kami."
Si Tahi Lalat segera mencabut goloknya yang berkelebat empat kali, dan semua belenggu pada kaki tangan Maya dan Siauw Bwee menjadi putus. "Nah, apakah kalian sekarang hendak menyerang kami?" tanyanya menyeringai.
Maya dan Siauw Bwee bangun, duduk dan menggosok-gosok pergelangan kaki tangan yang terasa nyeri. "Terima kasih," kata Maya. "Kami tidak akan menyerang karena tak mungkin kami dapat menang."
"Kami pun tidak suka, membelenggu kalian dua orang anak perempuan, akan tetapi disiplin dipasukan kami keras sekali. Kalau sampai kami tidak berhasil mengantar kalian sampai ditempat yang ditentukan, tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa kami. Itulah sebabnya kami membelenggu kalian, tidak ada maksud lain!"
Maya mengangguk-angguk. "Ahh, sekarang aku percaya bahwa kalian adalah orang-orang gagah yang terdesak oleh keadaan dan nasib buruk, seperti yang kami alami sekarang ini. Eh, Paman yang baik. Kami akan kaubawa kemanakah?"
"Nasib kalian tidaklah seburuk yang kalian khawatirkan," kata Si Tahi Lalat. "Entah apa sebabnya sampai kalian dimusuhi oleh Koksu, akan tetapi tentu kalian telah melakukan hal-hal yang amat tidak menyenangkan hatinya maka kalian ditangkap dan diserahkan kepada kami untuk membawa kalian pergi. Akan tetapi, kalian sekarang merupakan sumbangan-sumbangan yang amat berharga karena kalian dijadikan surmbangan oleh Koksu, diberikan kepada seorang bengcu yang terkenal sakti dan berpengaruh di pantai Lautan Po-hai."
"Sungguh lucu! Mengapa menyumbangkan dua orang anak perempuan? Apa maksudnya? Dan apa maksudmu mengatakan bahwa nasib kami tidak buruk? Apakah kalau kami diberikan sebagai sumbangan begitu saja merupakan nasib baik?" Maya mendesak terus.
"Sudahlah, kalian akan mengerti sendiri kalau kita sudah tiba di istana" kata Si Tahi Lalat yang sikapnya segan menceritakan keadaan bengcu itu. "Hanya aku dapat memastikan bahwa kalian tidak akan dibunuh dan bahkan akan hidup dengan senang dan terhormat. Percayalah dan harap saja jangan kalian mencoba untuk memberontak karena kalau sampai terpaksa kami berdua menggunakan kekerasan, hal itu sesungguhnya bukan kehendak kami."
"Kami tidak akan memberontak, kecuali kalau kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik Siauw Bwee?" Siaw Bwee mengangguk, kemudian anak yang lebih pendiam dibandingkan dengan Maya itu berkata, "Agaknya kedua Paman tidak tahu siapa kami, ya? Kalau tahu, kukira kalian berdua tidak akan lancang menawan kami, biarpun kalian melakukannya atas perintah Koksu Yucen."
Dua orang laki-laki itu kini memandang penuh perhatian. "Siapakah kalian ini?"
"Aku sih hanya puteri Panglima Khu Tek San yang tidak ada, artinya, akan tetapi enciku ini adalah Puteri Khitan, puteri
Raja Khitan!" Siauw Bwee berkata tidak peduli akan tanda kedipan mata dari Maya yang hendak mencegahnya. Dua orang itu kelihatan kaget, sekali, saling pandang dan berkatalah Si Tahi Lalat.
"Kami hanya melakukan perintah!" Dengan kata-kata itu agaknya dia hendak membela diri, dan semenjak saat itu, kedua orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas mempercepat gerakan dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu keluar dari Terusan Besar, membelok kekiri, yaitu ketimur memasuki sungai yang mengalir kearah Lautan Po-hai.
Tidak jauh dari pantai Lautan Po-hai, mereka mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee memasuki sebuah hutan besar. Setelah melalui daerah pegunungan yang penuh hutan liar, tibalah mereka disebuah pedusunan besar yang pada waktu itu sedang menampung banyak tamu dari empat penjuru, tamu-tamu penting karena mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan liok lim. Tokoh-tokoh golongan putih dan hitam, atau kaum bersih dan sesat, yang pada saat itu dapat berkumpul dan saling jumpa karena mereka itu kesemuanya menghormati ulang tahun seorang tokoh besar yang pada hari itu merayakannya di dusun itu. Tokoh besar ini lebih terkenal dengan sebutannya, yaitu Coa bengcu (Pemimpin she Coa), tokoh yang sudah lama dikenal sebagai seorang pemimpin rakyat dan tidak mengakui kedaulatan Kaisar dengan alasan bahwa Kaisar amat lemah dan tidak memperhatikan keadaan rakyat yang makin menderita keadaannya. Coa-bengcu ini amat terkenal dan biarpun jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah menyaksikannya sendiri, namun menurut berita, ilmu kepandaian Coa-bengcu ini hebat sekali, baik kepandaian ilmu silatnya. maupun ilmu perangnya. Dan perjuangannya yang gigih untuk membela rakyat membuat namanya menjulang tinggi sehingga para pembesar setempat tidak berani mengganggunya, bahkan tokoh-tokoh diseluruh dunia kang-ouw dan liok-lim menghormatinya.
Demikianlah, ketika Bengcu ini merayakan hari ulang tahunnya yang keenam puluh, bukan hanya tokoh-tokoh golongan bersih dan kaum sesat yang datang untuk memberi hormat dan memberi selamat, bahkan Koksu Negara Yucen sendiri sampai berkenan mengirim utusan memberi selamat dan mempersembahkan dua orang gadis cilik! Dan sudah terkenal pula bahwa Coa-bengcu amat suka kepada
orang-orang muda, baik laki-laki maupun perempuan, terutama yang tampan-tampan dan yang cantik-cantik, untuk dididik menjadi murid-murid atau seperti dikatakannya sendiri, sebagai anak-anak angkatnya!
Siapakah sebenarnya Coa-bengcu ini? Dia adalah seorang pelarian bekas tokoh Im-yang-kauw yang dahulu berpusat di perbatasan barat dan telah dihancurkan oleh pemerintah. Biarpun mengadakan perlawanan gigih, para tokoh Im-yang-kauw terbasmi kocar-kacir dan lenyaplah perkumpulan Im-yang-kauw, yang hanya namanya saja perkumpulan yang menentang pemerintah pada waktu itu.
Coa Sin Cu adalah seorang tokoh kelas dua dari Im-yang-kauw. Dia berhasil menyelamatkan diri dan lari ketimur, untuk belasan tahun ia menggembleng diri dan berguru kepada orang-orang sakti sehingga kepandaiannya meningkat secara hebat. Setelah ilmu kepandaiannya meningkat tinggi, Coa Sin Cu mulai dengan gerakannya memimpin rakyat yang tertindas, menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan memeras rakyat. Pengaruhnya makin besar, pengikutnya makin banyak sehingga akhinya terkenallah sebutannya Coa-bengcu sampai keseluruh pelosok. Hanya tokoh-tokoh lama saja yang mengenal Coa-bengcu ini sebagai Coa Sin Cu yang dulu menjadi tokoh Im-vang-kauw.
Di tengah dusun yang terletak di pegunungan tak jauh dari pantai Lautan Po-hai, terdapat sebuah bangunan yang tidak mewah, bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan besar sekali. Mempunyai halaman yang amat luas dan yang terkurung dinding tembok tinggi seperti benteng atau asrama pasukan! Inilah tempat tinggal Coa-bengcu dan disitu pula pada hari itu diadakan keramaian merayakan hari ulang tahun Coa-bengcu.
Tuan rumah Coa-bengcu sendiri, telah berada di ruangan depan menyambut datangnya para utusan atau wakil berbagai partai, juga para tokoh kang-ouw dan liok-lim yang datang sendiri untuk memberi selamat dan sumbangan-sumbangan. Isteri Bengcu, seorang wanita yang usianya setengah dari usia suaminya, kurang lebih tiga puluh tahun, cantik dan sikapnya gagah pula karena nyonya Bengcu ini pun bukan orang sembarangan melainkan seorang murid Hoasan-pai, duduk disamping suaminya sambil tersenyum-senyum bangga menyaksikan pengaruh suaminya yang menarik datangnya semua orang gagah dari dua golongan itu. Adapun putera tunggal Coabengcu yang bermama Coa Kiong, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, anak tiri nyonya Bengcu, yang sudah ditinggal mati ibu kandungnya, sibuk menerima barang-barang sumbangan yang ditumpuk di atas belasan buah meja besar di sudut ruangan. Tidak kurang dari lima puluh orang utusan pelbagai partai telah hadir dan duduk diatas kursi-kursi yang telah disediakan, menerima hidangan yang dilayani oleh anak-anak buah Coa-bengcu, pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang tampan-tampan dan cantik-cantik serta memiliki gerakan yang cekatan sekali.
Biarpun diantara para tamu itu terdapat banyak tokoh liok-lim, golongan bajak, perampok dan orang-orang yang biasa melakukan kejahatan, namun mereka tidak berani bersikap kurang ajar terhadap pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik itu karena semua orang maklum belaka bahwa pelayan-pelayan itu adalah anak buah atau murid-murid Coabengcu.
Banyak sekali barang sumbangan yang serba indah, perhiasan-perhiasan emas dan perak, ukiran naga dan burung hong terbuat dari batu-batu kemala, sutera-sutera yang indah sekali warnanya, bahkan ada pula senjata-senjata pusaka yang ampuh. Akan tetapi semua itu masih belum mengherankan karena ada pula orang-orang yang menyumbangkan benda-benda luar biasa anehnya. Seorang tamu yang baru tiba, bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk, mukanya lebar, berseru dengan suara nyaring,
"Saya Kiang Bu adalah seorang miskin, karena itu selain ucapan selamat kepada Coa-bengeu, tidak dapat menyumbangkan benda berharga kecuali barang hina tak berharga ini. Sudilah Bengcu menerimanya!"
Coa-bengcu memandang orang itu lalu tertawa. "Ha-ha-ha, Tho-te-kong (Malaikat Bumi) sungguh berlaku sungkan sekali. Terima kasih atas ucapan selamat dan sumbangan yang amat berharga, harap menyerahkan sumbangan itu kepada Puteraku."
Kiang Bu yang berjuluk Tho-tee-kong segera melangkah lebar dan menyerahkan sebuah bungkusan kepada Coa Kiong putera tuan rumah yang menerimanya dan meletakkannya diatas meja.
"Karena sumbanganku ini tidak berharga dan lain daripada yang lain, harap Siauw-enghiong suka membukanya agar semua tamu dapat melihatnya," kata pula Kiang Bu. Ketika memandang ayahnya dan melihat ayahnya mengangguk tanda setuju, barulah Coa Kiong berani membuka bungkusan kain itu. Tiba-tiba wajahnya berubah dan matanya memandang Si Malaikat Bumi dengan marah,
juga banyak tamu yang melihat isi bungkusan, mengeluarkan seruan tertahan. Siapa yang tidak akan menjadi kaget melihat
bahwa bungkusan itu terisi sebuah kepala manusia yang masih belepotan darah?
"Apa.... apa maksudmu ini?" Coa Kiong membentak dan tangan kanan pemuda ini sudah meraba gagang pedang, matanya terbelalak memandang kepala orang yang kini terletak diatas meja.
Tiba-tiba Coa-bengcu tertawa girang,"Ha-ha-ha! Barang hina tak berharga itu ternyata merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagiku. Terima kasih, Tho-tee-kong. Aku telah mengenal kepala Bhe-ciangkun dan memang sudah lama aku ingin melihat orang kejam dan penindas laknat itu kehilangan kepalanya! Kiong-ji, suruh pelayan membuang kepala itu dan memberikan kepada anjing-anjing agar digerogoti habis!"
Barulah semua orang termasuk Coa Kiong sendiri, tahu bahwa sumbangan itu benar-benar amat berharga karena Si Malaikat Bumi telah membunuh orang yang dibenci Coa-bengcu! Perwira She Bhe yang berkuasa di pantai Po-hai memang terkenal ganas dan kejam kekuasaannya seolah-olah melampaui kekuasaan Kaisar sendiri dan dia menjadi raja tanpa mahkota di daerah pantai Po-hai!
Dua orang yang membawa Maya dan Siauw Bwee tiba ditempat itu dan langsung mereka menghadap Coa-bengcu, memberi hormat dan berkata, "Kami berdua diutus oleh Koksu Kerajaan Yucen untuk menyampaikan ucapan selamat beliau kepada Bengcu, dan menyerahkan sumbangannya."
Sejenak kakek yang dihormati itu memandang kepada dua orang itu, akan tetapi pandang matanya segera terarah kepada Maya dan Siauw Bwee, seolah-olah melekat dan tidak menyembunyikan rasa kekagumannya. Isterinya yang melihat keadaan suami itu lalu berbisik, "Mereka menanti jawaban!" Barulah Coa-bengcu sadar dan ia tertawa bergelak sambil merangkap kedua tangan didepan dada. "Ha-ha-ha,sungguh Pek-mau Seng-jin mencurahkan kehormatan besar sekali kepada kami! Seorang koksu negara masih mau
memperhatikan orang tiada harganya seperti aku benar-benar menunjukkan perbedaan antara Pemerintah Yucen dan Permerintah Sung! Terima kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan apakah yang dikirim Pek-mau Seng-jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan membuat kami sekeluarga bahagia bukan main?"
"Sumbangan atau hadiah yang harus kami sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak perempuan inilah!" Kata Si Tahi Lalat. Semua tamu kembali menjadi terheran dan keadaan menjadi tegang karena mereka menganggap bahwa sumbangan ini sama sekali tidak dapat dianggap berharga. Melihat sikap para tamu itu, dua orang utusan itu menjadi tidak enak hati, maka Si Muka Kuning cepat menyambung keterangan temannya.
"Hendaknya Bengcu mengetahui bahwa dua orang anak perempuan ini bukanlah anak sembarangan. Yang lebih besar ini bernama Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khitan, sedangkan yang lebih kecil bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San seorang panglima yang terkenal di Kerajaan Sung!"
Terdengar seruan-seruan kaget di sana-sini, dan wajah Coa-bengcu yang tadinya memang sudah berseri gembira, kini menjadi makin berseri penuh kagum. "Sungguh merupakan hadiah yang tak ternilai harganya!" katanya kemudian seperti kepada diri sendiri ia berkata, "Puteri Raja Khitan....? Puteri Panglima Khu....?"
Tiba-tiba seorang tamu meloncat bangun sambil berseru keras. "Mohon kebijaksanaan Bengcu agar saya boleh membunuh bocah she Khu itu untuk membalas anak buah saya yang dahulu dibasmi oleh Khu Tek San ayahnya!" Yang bicara ini adalah bekas kepala rampok yang kenamaan di Lembah Huang-ho perbatasan Propinsi Shan-tung.
"Puteri Khitan itu patut dibunuh!" Tiba-tiba seorang lain meloncat dan berseru nyaring memandang ke arah Maya dengan mata terbelalak marah.
"Kalau dia puteri Raja Khitan, berarti dia itu cucu Suling Emas yang sudah banyak menimbulkan malapetaka di kalangan kami" Yang bicara kali ini adalah seorang pendeta berambut panjang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya hitam dan kotor seperti tubuhnya. Akan tetapi dia adalah seorang tokoh dunia hitam yang terkenal dengan julukannya yaitu Pat-jiu Sin-kauw (Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia amat terkenal dan ditakuti karena Pat-jiu Sin-kauw ini adalah murid dari seorang datuk hitam yang amat terkenal, yaitu Thai-lek Kauw-ong, seorang di antara lima datuk besar golongan sesat puluhan tahun yang lalu. "Benar! Puteri Khu Tek San harus dibunuh! Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong dan siapakah menteri itu? Bukan lain putera Suling Emas pula!" teriak yang lain.
"Harap Bengcu serahkan saja puteri Khitan kepada saya!" teriak yang lain.
Ributlah keadaan di ruangan itu karena banyak sekali tokoh dunia hitam yang ingin mendapatkan dua orang anak perempuan itu setelah mereka ketahui bahwa Maya adalah cucu Suling Emas sedangkan Siauw Bwee adalah cucu murid pendekar sakti itu.
Coa-bengcu bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya, keatas untuk minta para tamunya agar jangan membuat gaduh. Setelah suasana meredap terdengarlah suaranya lantang, "Aku mengerti apa yang terkandung dihati Saudara-saudara yang menaruh dendam. Akan tetapi dua orang anak perempuan ini adalah sumbangan dari Koksu Yucen kepadaku, bagaimana aku dapat memberikan begitu saja kepada orang lain? Bukannya aku orang she Coa bersikap kukuh melainkan aku harus menghormat kepada Koksu Yucen. Kalau aku menyerahkan begitu saja dua orang anak ini, bukankah berarti aku kurang menaruh penghargaan? Karena
itu, biarlah dua orang anak ini kuanggap benda-benda yang amat berharga dan sudah sewajarnyalah kalau untuk dapat memiliki benda amat berharga, diadakan sayembara!" Memang Coa-bengcu ini orangnya cerdik sekali. Dia memiliki kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, namun dia tahu bahwa kalau terjadi bentrokan antara dia dengan pemerintah, dia harus menganadalkan bantuan orang-orang pandai ini, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam terutama sekali. Dia sayang kepada dua orang gadis cilik yang jelas memiliki kelebihan mencolok kalau dibandingkan dengan murid-muridnya perempuan yang manapun juga. Kalau dia berkukuh menahan, tentu dia akan menimbulkan rasa tidak senang kepada para tamunya. Kalau dia, berikan begitu saja, selain dia, merasa tidak enak kepada Koksu Yucen, juga dia merasa sayang sekali. Maka dia mengusulkan diadakan
sayembara, karena dengan demikian, masih ada harapan baginya untuk mendapatkan dua orang gadis itu tanpa menimbulkan rasa tidak suka di hati orang lain.
"Apakah yang Bengcu maksudkan dengan sayembara?" Beberapa suara terdengar dan semua orang menanti jawaban dengan dugaan yang sama.
Coa-bengcu tertawa. "Perlukah kujelaskan lagi? Apakah yang paling diandalkan orang-orang golongan kita kecuali sedikit ilmu silat? Maka hanya orang terpandai diantara kita sajalah yang berhak memiliki dua orang anak ini. Yang minta begini banyak bagaimana dapat kuberikan kecuali dengan jalan beradu menguji kepandaian? Pula dua orang anak ini bukan anak sembarangan, melainkan keturunan orang-orang pandai seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu. Kalau yang bertanggung jawab atas diri kedua orang bocah ini tidak memiliki kepandaian tinggi, mana mungkin dapat menghadapi mereka? Setujukah Cu-wi sekalian?"
"Setuju! Akur! Tepat sekali!" Para tamu berteriak, yaitu mereka yang ingin sekali mendapatkan Maya dan Siauw Bwee. Adapun tokoh-tokoh wakil partai-partai yang termasuk golongan bersih atau putih, diam saja karena mereka ini tidak ingin mendapatkan kedua orang anak perempuan, juga tidak ingin mencampuri urusan mereka yang menaruh dendam kepada nenek moyang anak-anak itu.
Kembali Coa-bengcu mengangkat kedua tangan minta agar semua orang tidak berteriak-teriak membuat berisik. Setelah semua orang diam, tiba-tiba terdengar Maya berkata. "Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Berunding seenak perut sendiri untuk memperebutkan aku dan adikku, tanpa bertanya persetujuan kami yang tersangkut! Sudah jelas bahwa kami adalah dua orang manusia pula, masa kalian hendak menganggap sebagai benda mati? Beginikah sikap orang-orang gagah? Ataukah kalian ini semua bangsa penjahat yang t1dak mengenal perikemanusiaan?"
Semua orang menjadi merah mukanya dan kembali mereka membuat gaduh dengan teriakan-teriakan memaki Maya, yaitu mereka yang membenci keluarga Raja Khitan dan keluarga Suling Emas.
Setelah mereka mereda, Coa-bengcu berkata "Kita tidak perlu mendengarkan ucapan bocah ini. Sebagai tawanan, tentu saja mereka berdua tidak berhak untuk bicara. Kita semua menerima sebagai pemberian hadiah Koksu Yucen! Cu-wi sekalian. Karena jumlah kita terlalu banyak, maka untuk mempersingkat waktu dan mempermudah jalannya pibu kami akan mengadakan syarat-syarat yang berat lebih dulu. Hanya mereka yang memenuhi syarat-syarat itu barulah dapat memasuki pibu. Syaratnya dua macam dan akan kulakukan untuk memberi contoh. "Setelah semua orang menyatakan setuju, Coa-bengcu membisikkan perintah kepada murid-muridnya. Tak lama kemudian, dari pintu belakang tampak dua belas orang murid laki-laki yang muda-muda dan bertubuh kuat memikul sebuah arca besi berupa seekor singa. Pemuda-pemuda itu adalah orang-orang yang kuat, namun mereka membutuhkan tenaga dua belas orang untuk menggotong arca itu, dapat dibayangkan betapa beratnya singa besi itu. Ketika singa besi itu diturunkan di atas lantai ruangan, lantai itu tergetar sehingga sebagian besar para tamu baru melihat saja sudah ngeri dan didalam hatinya mundur teratur. Mereka maklum bahwa tuan rumah yang lihai itu tentu hendak menggunakan benda berat ini untuk mengukur calon pengikut sayembara memperebutkan dua orang gadis cilik.
Memang benar dugaan para tamu itu. Coa-bengcu melangkah maju mendekati arca besi itu lalu berkata sambil tersenyum. "Nama besar Suling Emas sudah terkenal di seluruh dunia juga puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam. Sayang sekali bahwa puluhan tahun pendekar ini mengasingkan diri, juga di dunia kang-ouw tidak pernah lagi terdengar Mutiara Hitam. Sudah amat lama aku ingin sekali dapat bertemu dan menguji mereka, sungguhpun aku benar-benar meragukan kebisaan sendiri untuk menandingi mereka. Kini secara kebetulan, dua orang keturunannya berada di sini dan menjadi rebutan. Maka, hanya mereka yang benar-benar pandai saja yang dapat diharapkan akan dapat mampu menandingi Suling Emas dan keturunannya apabila kelak keluarganya datang mencari dua orang anak ini. Nah, untuk memilih calon pengikut sayembara, syarat pertama adalah mengangkat singa besi ini sampai keatas pundak seperti yang akan kulakukan sekarang!" Setelah berkata demikian dan memberi hormat kepada para tamu, Coa-bengcu yang pada hari itu tepat berusia enam puluh tahun itu, menggulung lengan baju lalu membungkuk memegang singa besi pada kaki depan dan belakang kemudian mengeluarkan seruan keras sekali dan.... ia telah berhasil mengangkat singa besi itu, bukan hanya sampai kepundak, bahkan sampai keatas kepala! Kedua tangannya tergetar, kedua kakinya menggigil sedikit, dan kembali kakek yang kuat itu berseru keras lalu menurunkan singa besi kebawah sehingga lantai tergetar ketika benda berat itu jatuh berdebuk di atas lantai sampai melesak ke bawah sedalam beberapa sentimeter!
Tepuk sorak para tamu menyambut demonstrasi tenaga yang amat kuat itu.
"Cu-wi sekalian, silakan kalau ada yang merasa sanggup mengangkat singa besi ini, adapun syarat kedua adalah mengambil sebatang paku yang kutancapkan di balok melintang penyangga langit-langit itui" Setelah berkata demikian, tangan kakek itu merogoh saku dan bergerak.
"Cuat-cuat-cuat....!" Sinar hitam tampak berkelebatan menyambar keatas dan ternyata di atas balok yang amat tinggi itu telah menancap belasan batang paku yang berjajar rapi! Kemudian kakek itu menggerakkan kakinya, tubuhnya ringan sekali melayang keatas dan tangannya mencabut sebatang di antara paku-paku itu lalu ia turun kembali, kakinya, menginjak lantai tanpa mengeluarkan sedikitpun suara. Kembali semua orang bertepuk tangan memuji karena kakek itu telah mendemonstrasikan ilmu gin-kang yang amat tinggi. Balok melintang diatas itu amat tinggi sehingga seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi, Tentu tidak akan dapat mencabut paku itu.
"Sekarang kami mempersilakan Cuwi mencoba," kata Coa-bengcu sambil melangkah kembali ketempat duduknya. Maya membanting kakinya dengan marah dan gemas, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan dapat melarikan diri, setelab dilepas ia lalu menarik tangan Siaw Bwee dan kembali ketempat tadi malah kini mengajak Siauw Bwee duduk di atas kursi yang masih kosong dekat Coa-bengcui Kalau tidak bisa lari dan terpaksa menonton biarlah mereka berdua menonton yang enak dan mengaso diatas kursi demikian Maya menghibur diri sendiri. Bahkan ketika melihat dimeja terdapat hidangan, tanpa malu-malu dan tanpa permisi Maya menyambar dua potong roti juga memberikan sebuah kepada Siauw Bwee lalu makan roti, juga menuangkan minuman pada dua buah cawan.
Orang-orang yang menyaksikan sikap Maya ini, diam-diam menjadi kagum dan didalam hati memuji ketabahan anak perempuan itu yang jelas amat berbeda dengan anak-anak biasa. Akan tetapi para tamu itu lebih tertarik untuk melihat siapa kiranya di antara mereka yang akan dapat mengangkat singa besi dan meloncat setinggi itu. Suara ketawa mereka riuh-rendah menyambut kegagalan empat orang yang berturut-turut mencoba untuk mengangkat singa besi. Akan tetapi jangankan sampai terangkat melewati pundak. Yang dua orang hanya dapat mengangkat singa besi itu setinggi lutut dan melepas kembali, sedangkan yang dua setelah mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh dan menarik-narik singa besi itu sedikitpun tak dapat menggerakkannya!
Menyaksikan kegagalan empat orang berturut-turut, empat orang yang kelihatan kuat sekali, hati para tamu menjadi keder dan banyak yang tidak berani mencoba khawatir gagal dan hal itu sedikit banyak akan menurunkan derajat nama mereka. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Coa-bengcu, Yaitu agar pibu dapat diselesaikan dengan singkat dan mudah di antara sedikit orang-orang yang memang memiliki kepandaian tinggi!
"Hemm? biarkan aku mencobanya", terdengar suara keras dan ketika bayangan orang itu berhenti bergerak didekat singa besi, kiranya dia adalah bekas kepala perampok di lembah Huang-ho yang dahulu gerombolannya dibasmi oleh Khu Tek San. Kepala rampok ini bertubuh tinggi kurus, kini dia sudah membungkuk memegang singa besi dengan kedua tangan, mengerahkan tenaganya dan terangkatlah singa besi Itu sampai keatas pundaknya, kemudian cepat ia melepaskannya kembali singa besi jatuh berdebuk diatas lantai depan kakinya. Biarpun demikian, bekas kepala rampok ini telah lulus dalam ujian pertama karena, dia telah berhasil mengangkat benda itu sampai kepundak. Tepuk sorak menyambut hasil orang pertama yang memasuki sayembara itu dan Siauw Bwee memandang dengan mata penuh kekhawatiran. Tadi dia sudah mendengar bahwa orang ini adalah musuh ayahnya, maka kalau orang ini sampai menang dan dia terjatuh ketangannya, tentu akan celaka nasibnya. Melihat sikap Siauw Bwee ini, Maya berbisik, "Dia memang kuat, akan tetapi tidak sekuat Coa-bengcu, harap kau jangan khawatir."
Kini kepala rampok itu mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloncat tinggi akan tetapi hampir saja ia gagal kalau tidak cepat-cepat mengulur tangan dan dua ujung jari tengah dan telunjuknya berhasil menjepit dan mencabut sebatang paku. Kembali ia disambut dengan sorakan memuji.
Setelah kepala perampok ini, maju seorang laki-laki gendut pendek yang melangkah penuh gaya. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan mukanya berseri-seri, mulutnya, tersenyum-senyum penuh aksi, apalagi kalau dia memandang kearah gadis-gadis cantik murid Bengcu yang melayani para tamu dan kini menonton sambil berdiri berjajar di pinggir. Terang bahwa langkahnya dibuat-buat, berlenggang-lenggok meniru langkah seekor harimau supaya kelihatan gagah menyeramkan. Akan tetapi, karena tubuhnya gemuk sekali dan agak pendek, langkahnya tidak mendatangkan kegagahan melainkan mendatangkan pemandangan yang lucu, bukan seperti langkah harimau melainkan seperti langkah seekor babi buntung!
"Heh-heh-heh, maafkan....! Sebetulnya saya tidak berani berlaku lancang. Akan tetapi, karena sayembara ini memperebutkan hadiah yang luar biasa, dua orang nona kecil mungil yang jelita itu, tak dapat saya menahan hasrat hati saya untuk meramaikan sayembara. Ehemm, saya hanya memiliki sedikit kemampuan, dan kalau nanti mengecewakan, harap Cu-wi tidak mentertawakan saya. Nama saya Ngo Kee, julukan saya. adalah Tai-lek Siauw-hud (Babi Tertawa Bertenaga Besar)."
Melihat semua tamu tersenyum dan ada yang tertawa karena memang lagaknya amat lucu seperti seorang badut, Si Gendut yang berjuluk hebat itu kelihatan makin senang, mengerling kearah Maya dan Siauw Bwee dengan lagak memikat, membasahi bibir bawah dengan lidahnya yang bundar sehingga makin lucu tampaknya, kemudian ia membungkuk dan memegang kedua kaki singa besi, kemudian mengerahkan tenaga dan... kiranya orang lucu ini bukan membual kosong karena singa besi itu telah dapat diangkatnya! Semua orang tercengang dan bertepuk Tangan. Hal ini membuat Si Gendut makin bangga. la mengerahkan seluruh tenaganya, tidak mau mengangkat sampai disitu saja, menahan napas dan mendorongkan kedua lengannya keatas!
"Uhhh.... brooooottt!!"
Si Gendut cepat menurunkan singa besi keatas lantai dan semua tamu tertawa geli. Para pelayan murid Bengcu menutupi mulut dengan tangan agar jangan tampak mereka tertawa. Maya sendiri terpingkal-pingkal dan Siauw Bwee juga tertawa, memijat hidung sendiri sehingga membuat Maya makin terpingkal-pingkal. Kiranya karena terlalu mengerahkan tenaga sebagian hawa yang memenuhi perut gendut itu menerobos keluar melalui pintu belakang tanpa dapat dicegah lagi. Si Gendut mengeluarkan kentut besar!
Biarpun merasa jengah dan mukanya menjadi merah, namun Ngo Kee ini tertawa-tawa dan menyoja ke kanan kiri sebagai tanda terima kasih atas pujian semua orang dengan agak merendah seperti seorang jagoan keluar kalangan dengan kemenangan! Kemudian ia memandang keatas, kearah paku-paku yang menancap di balok melintang. Ia lalu melepas sepatunya, menghampiri dinding dan... mulailah ia merayap naik melalui dinding seperti seekor cecak! Ia menggunakan kedua telapak kaki telanjang itu merayap cepat melalui dinding sampai keatas, kemudian dengan mudah menggunakan tangan kirinya mencabut sebatang paku.
Setelah tercabut, Si Gendut ini bukan merayap turun kembali, melainkan melepaskan dirinya jatuh kebawah seperti sebongkah batu! Semua orang terkejut sekali menduga bahwa tubuh itu tentu akan terbanting remuk. Akan tetapi sungguh aneh, ketika tubuh itu tiba diatas lantai, tubuh itu terus menggelundung dan sama sekali tidak terbanting keras, bahkan kini dia sudah meloncat bangun sambil mengangkat paku itu tinggi-tinggi!
Para tokoh berilmu tinggi yang hadir di situ mengangguk-angguk. Si Gendut itu biarpun tingkahnya seperti badut, namun memiliki tenaga kuat dan kepandaian tinggi. Mungkin gin-kangnya tidak setinggi Coa-bengcu, namun dia telah mampu mempergunakan ilmu merayap di tembok seperti cecak, hal ini menandakan bahwa sin-kang di tubuhnya sudah kuat sekali sehingga ia dapat menggunakan telapak kaki tangannya, untuk melekat pada dinding seperti telapak kaki cecak!
"Aihh, aku suka kalau dia yang menang Enci Maya. Setiap hari dia akan kusuruh membadut," bisik Siauw Bwee yang masih tertawa-tawa ditahan.
"Hussh, siapa sudi? Jangan-jangan ketika melepas kentut tadi ada ampasnya yang ikut terbawa keluar!" jawab Maya. "Ihhh....! Jijik....!" Keduanya tertawa-tawa lagi dan hal ini memang amat mengherankan. Dua orang anak perempuan yang masih kecil dalam keadaan seperti itu menjadi tawanan, bahkan dijadikan barang sumbangan dan kini dijadikan hadiah perebutan sayembara, masih enak-enak makan minum dan tertawa-tawa melihat kelucuan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee! Sedikit pun mereka tidak kelihatan takut atau putus asa, padahal kalau anak-anak lain yang mengalami hal seperti mereka tentu sudah ketakutan setengah mati!
Puluhan tamu maju mencoba setelah melihat hasil baik kepala rampok dan Si Gendut, akan tetapi yang berhasil hanya tujuh orang lagi saja, termasuk Pat-jiu Sin-kauw, Si Monyet Sakti berpakaian hitam itu. Dan hanya Pat-jiu Sin-kauw seorang yang dapat mengangkat singa besi semudah yang dilakukan Bengcut kemudian menurunkan semua paku dengan kebutan lengan bajunya dari bawah, menerima sebatang kemudian melontarkan paku-paku lainnya kembali keatas dengan sapuan lengan bajunya! Ternyata lihai sekali pendeta rambut panjang ini!
Memang masih banyak tokoh yang pandai hadir di situ, yang kiranya akan dapat melakukan dua syarat itu tanpa kesukaran, akan tetapi mereka ini tidak mempunyai niat untuk mengikuti sayembara. Para tokoh partai memang tidak mau mencampuri urusan mereka, sedangkan tokoh-tokoh kaum sesat tidak mau ikut karena tidak tertarik kepada hadiahnya! Kini terkumpul sepuluh orang bersama Coa-bengcu yang telah lulus dan berhak mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara mereka dan berhak memiliki dua orang gadis cilik. Mereka itu telah berkumpul di tengah dan hendak merundingkan dengan Coa-bengcu bagaimana pibu akan diatur. Saat itu kembali dipergunakan oleh Maya yang menggandeng tangan Siauw Bwee, sekali ini tidak lari melainkan berjalan pelahan ke pintu.
***
"He.. kemana kalian mau lari?" Tiba-tiba seorang murid Coa-bengcu berseru dan mendengar ini, Maya mengajak Siauw Bwee lari secepatnya ke pintu. Coa-bengcu, puteranya dan murid-muridnya, juga tamu-tamu yang lulus ujian, meloncat dan mengejar pula. Akan tetapi betapa heran hati mereka ketika melihat bahwa kedua orang anak perempuan itu telah lenyap! Mereka mengejar keluar dan tampaklah dua orang anak perempuan itu berjalan pergi, digandeng oleh seorang kakek tua yang hanya kelihatan tubuh belakangnya oleh semua orang. Mereka semua mengejar dan berteriak-teriak. Akan tetapi, dua orang anak perempuan itu berlari dikanan kiri Si Kakek yang rambutnya panjang dan sudah putih semua, sama sekali tidak mempedulikan teriakan-teriakan mereka. Yang amat luar biasa dan membuat Coa-bengcu dan para tokoh pandai mengkirik (bulu tengkuk meremang) adalah kenyataan bahwa betapapun cepat mereka mengejar sambil mengerahkan ilmu lari cepat, mereka tidak juga dapat menyusul kakek dan kedua orang anak perempuan itu! Mereka mulai penasaran dan marah, mencabut senjata rahasia dan menyerang. Berhamburan senjata rahasia bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum, uang logam, peluru besi, pisau terbang, kesemuanya menyambar dengan cepat kearah punggung Si Kakek rambut putih. Semua senjata rahasia itu mengenai tubuh belakang kakek itu, tepat sekali, dan anehnya, tidak sebatang pun mengenai punggung Maya dan Siauw Bwee. Dan lebih aneh lagi, semua senjata rahasia yang dilontarkan dengan tenaga sinkang dan yang tepat mengenai tubuh belakang Si kakek runtuh tak meninggalkan bekas pada tubuh belakang itu!
Akhirnya, semua tokoh kang-ouw dan liok-lim yang melakukan pengejaran, menjadi gentar dan ngeri. Mereka adalah tokoh-tokoh kelas tinggi, ahli-ahli senjata rahasia, dan senjata rahasia mereka itu sebagian besar mengandung racun. Namun, tak seorang pun di antara mereka dapat menyusul kakek itu, dan tak sebuah pun senjata rahasia melukai punggungnya. Kini para tokoh itu menghentikan pengejaran, saling pandang dengan mata terbelalak.
"Siancai....! Kiranya di dunia ini hanya satu orang saja yang memiliki kepandaian seperti itu....!" Seorang tosu yang
menjadi tamu berkata lirih. Ucapannya ini menyadarkan semua orang dan mereka menjadi gentar sekali. Mereka menduga-duga siapa gerangan tokoh itu.
"Suling Emaskah....?"
Tosu itu, seorang tokoh dari Kun-lun-pai, menggeleng kepala. "Kalau tidak salah dugaan pinto, hanyalah manusia dewa yang dapat memiliki kepandaian sehebat itu, beliau adalah.... Bu Ke k Siansu...."
"Aihhh....! Mana mungkin? Mana mungkin tokoh yang sudah ratusan tahun itu masih hidup? Aku lebih percaya kalau
dia tadi adalah Bu Beng Lojin, julukan Suling Emas setelah mengasingkan diri!"
"Akan tetapi, biasanya pendekar itu bergerak secara berterang dan merobohkan semua lawan dengan berdepan. Sebaliknya kakek itu seolah-olah hendak menghindarkan bentrokan. Agaknya memang benar dugaan Totiang, beliau adalah Bu Kek Siansu...."
Demikianlah, para tokoh itu menjadi ribut membicarakan peristiwa aneh itu dan tentu saja otomatis sayembara ditiadakan. Betapapun juga, tidak ada yang merasa penasaran karena kalau memang benar bahwa yang membawa pergi dua orang anak perempuan itu adalah Bu Kek Siansu seperti yang mereka duga, tentu saja mereka tak dapat berbuat apa-apa. Siapakah orangnya di dunia ini yang akan mampu menandingi manusia dewa itu?
Maya dan Siauw Bwee masih terheran-heran dan mereka melongo memandang wajah kakek berambut panjang putih yang menggandeng tangan mereka. Tadi, ketika mereka ketahuan dan dikejar, mereka tiba di pintu dan tahu-tahu tubuh mereka seperti ditarik keluar. Tahu-tahu mereka telah digandeng oleh seorang kakek dan mereka meluncur kedepan dengan kecepatan yang mengerikan.
Tentu saja Maya dan Siauw Bwee tahu bahwa mereka dikejar-kejar, bahkan telinga mereka yang terlatih telah mendengar menyambarnya banyak senjata rahasia dari belakang, akan tetapi kakek tua renta itu masih enak-enak saja berjalan! Langkah kakek ini biasa saja, akan tetapi mengapa tubuh mereka meluncur kedepan seperti angin cepatnya? Mereka berdua adalah anak-anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan banyak mendengar akan orang-orang sakti, maka mereka dapat menduga bahwa tentu mereka tertolong oleh seorang kakek yang sakti. Akan tetapi, mereka tidak tahu orang macam apakah kakek yang menolong ini. Seorang baik-baikkah? Ataukah jangan-jangan seorang manusia iblis yang lebih jahat daripada sekumpulan manusia sesat tadi!
"Kong-kong (Kakek), engkau siapakah?" tanya Siauw Bwee, agak sesak napasnya karena gerakan yang amat cepat meluncur kedepan seperti terbang itu membuat orang sukar bernapas.
Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Masih melangkah satu-satu dan wajahnya tegak memandang kedepan, kedua tangan menggandeng tangan Siauw Bwee dan Maya. Kedua orang anak perempuan itu menengadah, menanti jawaban yang tak kunjung datang.
Maya menjadi curiga dan tidak sabar. "Kakek yang aneh, kalau engkau tidak suka bicara dengan kami, mengapa engkau membawa kami lari dari mereka?"
Kembali kakek itu tidak menjawab sama sekali.
"Enci Maya, jangan-jangan dia tuli!" Siauw Bwee berkata tak lama kemudian setelah dinanti-nanti tetap tidak ada jawaban dari kakek tua renta itu.
"Hemm, kalau hanya tuli masih untung! jangan-jangan dia ini malah lebih jahat daripada Bengcu dan kawan-kawannya tadi. Celaka, kita terjatuh ke tangan manusia Iblis!" kata Maya, suaranya mulai ketus karena marah.
"Anak-anak, kalian menghadapi urusan besar, harap jangan lengah dan bergantunglah kepada tanganku. Kalau kalian ingin tahu, orang-orang menyebut aku orang tua Bu Kek Siansu."
"Ohhh....!" Siauw Bwee melongo.
"Ahhh....!" Maya juga berseru dengan mata terbelalak!
Kedua orang anak perempuan ini sudah mendengar penuturan orang tua masing-masing, akan seorang manusia dewa yang kesaktiannya luar biasa, bernama Bu Kek Siansu yang muncul dan lenyap tanpa ada yang tahu bagaimana caranya. Bahkan ilmu-ilmu silat keluarga Suling Emas, yaitu sebagian kecil yang pernah mereka pelajari, bersumber daripada pemberian manusia dewa ini. Tak terasa lagi hati mereka menjadi besar, akan tetapi juga dengan hormat dan takut. Mereka mentaati permintaan kakek itu, mencurahkan perhatian kedepan dan tidak bertanya-tanya lagi! Bahkan Maya yang biasanya liar ini kini menjadi jinak! Mereka menyerahkan nasib mereka sepenuhnya kepada kakek itu dan ketika kakek itu mempercepat langkahnya sehingga mereka merasa pening, dua orang anak perempuan ini lalu memejamkan mata.
Dengan ilmu kepandaian yang tinggi, Han Ki berhasil menyelinap ke dalam taman bunga di istana, melompati pagar tembok yang tinggi setelah memancing perhatian para peronda dengan melemparkan batu ke sebelah barat. Ketika para peronda itu, perhatian mereka terpecah dan kesempatan itu dipergunakan Han Ki melompati pagar tembok dan menyelinap ke bawah pohon-pohon menuju ke taman bunga. Jantungnya berdebar keras dan ia tahu bahwa dia melakukan hal yang amat berbahaya dan gawat. Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, kini telah diputuskan menjadi jodoh orang lain, bahkan di halaman tamu istana Kaisar sendiri sedang menjamu urusan-urusan Raja Yucen calon suami Hong Kwi. Akan tetapi, dengan nekat dan berani mati dia menyelundup kedalam taman untuk menemui ke kasihnya itu seperti biasa dahulu ia lakukan. Hal ini adalah karena dorongan ucapan Maya yang membesarkan semangat. Hebat bukan main bocah itu, pikir Han Ki sambil tersenyum. Besar hatinya. Dia harus bertemu dengan Hong Kwi. Benar kata Maya, biarpun dia itu masih belum dewasa. Kalalu memang Hong Kwi mencintainya, mengapa mereka tidak melarikan diri saja berdua? Urusan perjodohan adalah selama hidup, bagaimana ia dapat dipaksa! Jantungnya berdebar makin tegang ketika dari tempat sembunyinya di balik sebatang pohon besar, dia melihat kekasihnya yang mengenakan pakaian indah sekali, pakaian baru calon mempelai, dari sutera berwarna-warni, dangan hiasan rambut terbuat dari permata, terhias mutiara, yang membuat kekasihnya nampak makin cantik gilang-gemilang sehingga mendatangkan keharuan di hati Han Ki.
Puteri Sung Hong Kwi sedang duduk di atas bangku marmer di dekat kolam ikan yang penuh dengan bunga teratai putih. Ikan-ikan emas berenang kesana kemari, berpasang-pasangan. Melihat ini, teringatlah Hong Kwi akan pertemuan-pertemuannya yang penuh kasih sayang, penuh kemesraan dengan pemuda idamannya, Kam Han Ki! Dia mendengar betapa kekasihnya itu melakukan tugas keluar, tugas yang amat berbahaya. Kekasihnya belum juga pulang dan tahu-tahu ia akan diberikan kepada Raja Yucen yang belum pernah dilihatnya. Teringat akan ini, dan melihat betapa ikan-ikan emas itu berenang berpasangan, kadang-kadang bercumbu dan berkasih-kasihan, tak tertahan pula kesedihannya dan Puteri Sung Hong Kwi menutup mukanya dengan ujung lengan
bajunya yang panjang, menangis tersedu-sedu! "Han Ki-koko....!" Gadis bangsawan itu menjerit lirih, lirih sekali tertutup isaknya, namun masih dapat ditangkap oleh telinga Han Ki dan tak terasa lagi dua butir air mata terloncat ke atas pipi pemuda itu. Seorang pelayan wanita yang Han Ki kenal sebagal satu-satunya pelayan yang paling dikasihi dan setia kepada nona majikannya, berlutut dan mengelus-elus pundak nona majikan itu sambil ikut menangis.
Han Ki tak dapat menahan keharuan dan kerinduan hatinya lebih lama lagi menyaksikan kekasihnya menangis sedemikian sedihnya. Ia meloncat keluar dan berlutut di depan kaki Sung Hong Kwi. "Dewi pujaan hatiku.... kekasihku....,
"Hong Kwi....!"
Pelayan itu cepat bangkit berdiri dan pergi dari tempat itu, kedua pipinya masih basah air mata dan dadanya masih terisak-isak. Hong Kwi mengangkat mukanya perlahan, ketika ia memandang wajah Han Ki yang berada di dekat didepannya, matanya yang basah terbelalak, ia takut kalau-kalau pertemuan ini hanya terjadi dalam alam mimpi. Kemudian ia menjerit lirih dan menubruk, merangkul leher pemuda itu. "Koko.... ah, Koko....! Aku.... aku telah...."
Han Ki mengangkat tubuh kekasihnya dan memangkunya, sambil duduk di atas bangku Hong Kwi menyandarkan pipinya di dada Han Ki sambil menangis tersedu-sedu. Han Ki membelai rambutnya, dahinya, kemudian menunduk dan menciumi wajah kekasihnya, menghisap air mata mengalir deras sambil berbisik.
"Aku tahu, Dewiku. Aku tahu kesemuanya yang telah menimpa dirimu. Karena itulah aku datang mengunjungimu malam ini...."
"Aduh, Koko.... bagaimana dengan nasibku....? Bagaimana cinta kasih kita? Kita sudah saling mencinta, saling bersumpah
sehidup semati dibawah sinar bulan purnama! Bagaimana....?" Ia tersedu kembali.
"Jangan berduka, Hong Kwi. Aku datang untuk mengajakmu pergi. Mari kita pergi dari sini sekarang juga!"
"Aihhh....!" Puteri bangsawan itu terkejut sekali, tersentak duduk dan memandang wajah kekasihnya penuh selidik, "Kaumaksudkan.... minggat?"
"Mengapa tidak? Bukankah kita saling mencinta?' Han Ki teringat akan ucapan Maya, seolah-olah bergema suara anak perempuan itu di telinganya di saat itu. "Kita pergi bersama, takkan saling berpisah lagi selamanya. Kita pergi jauh dari sini dan aku akan melindungimu sebagai suami yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Marilah, Hong Kwi....!"
"Tidak! Tidak bisa begitu, Koko....! Aku lebih baik mati. Lebih baik kaubunuh saja aku sekarang ini. Aahhh, untuk apa aku hidup lebih lama lagi....? Koko, kaubunuhlah aku....!"
Han Ki memeluk kekasihnya dan dia menjadi bingung. Ia dapat memaklumi isi hati kekasihnya. Kekasihnya adalah seorang puteri Kaisar, tentu saja tidak bisa lari minggat begitu saja karena hal ini selain akan menyeret namanya kedalam lumpur hina, juga akan mencemarkan nama Kaisar dan karenanya membikin malu kerajaan!
"Hong Kwi, aku tidak melihat jalan lain kecuali membawamu lari dari sini menjauhi segala kesusahan ini. Apakah engkau melihat jalan lain yang lebih baik, Hon Kwi kekasihku?"
"Ada jalan yang lebih baik Koko!" Tiba-tiba gadis bangsawan itu kelihatan bersemangat dan biarpun kedua pipinya masih basah, namun sepasang pipi itu sekarang menjadi kemerahan, merah jambon berbeda sekali, dengan bibirnya yang merah segar, dan matanya, berseri-seri aneh. "Koko, aku telah bersumpah hanya mencinta kau seorang, mencinta dengan seluruh, jiwa ragaku. Jiwa dan hatiku selamanya adalah kepunyaanmu, tidak dapat dirampas oleh siapapun juga. Akan tetapi tubuh ini... ah, bagaimana aku dapat membiarkan tubuhku dimiliki orang lain? Engkaulah yang berhak memiliki, Koko! Aku menyerahkan tubuhku
kepadamu, ahhh.... kalau tak terhimpit seperti ini, sampai mati pun aku tidak akan dapat bicara seperti ini, Koko... ambillah tubuhku.... barulah aku akan dapat menahan hatiku kalau tubuhku dimiliki orang lain, secara paksa!"
Han Ki meloncat turun dari bangku dan melangkah mundur dua tindak. Mukanya pucat sekali dan bulu tengkuknya berdiri!
Sampai lama dia tidak, dapat berkata apa-apa hanya memandang wajah gadis yang dicintanya itu. "Bagaimana, Koko....? Apakah.... apakah cintamu tidak cukup besar untuk memenuhi permintaanku terakhir ini?" Hong Kwi juga bangkit berdiri dan menghampiri Han Ki, merangkul pinggangnya sehingga tubuh mereka merapat.
"Tidak, Hong Kwi! Tidak mungkin itu! Aku.... ah...., janganlah mengajak aku menjadi seorang pria yang keji dan kotor! Lebih baik aku mati daripada mengotori dirimu yang murni! Tidak, betapapun besar hasrat hatiku, betapa darahku telah mendidih bergolak pada saat ini dengan kerinduan dan kemesraan sepenuhnya, betapa nafsu berahiku terhadapmu! sudah hampir menggelapkan mataku, namun.... aku.... aku tidak akan melakukan hal itu, Hong Kwi! "
"Kalau begitu, bagaimana baiknya.... Koko? Ahhh, engkau membuat aku makin putus asa dan menderita.... Gadis bangsawan itu terisak-isak lagi sambil berpelukan dengan Han Ki.
Han Ki mengelus-elus rambut yang halus hitam dan harum itu. "Kekasihku, pujaan hatiku, nasib kita boleh buruk, hati kita
boleh tersiksa, namun semua itu tidak boleh menggelapkan kesadaran kita. Kalau engkau suka pergi denganku, biarpun hal ini merupakan pelanggaran besar, namun kita akan dapat hidup bersama menanggung semua akibat bersama pula, maka aku mengajakmu minggat. Adapun kalau menurutkan permintaanmu tadi, aku menjadi seorang laki-laki hina dina, setelah melakukan pelanggaran suslia, menikmati pelanggaran, mencemarkan dan menodaimu, lalu pergi begitu saja, membiarkan engkau yang akan menanggung semua akibatnya! Betapa hina dan rendahnya apalagi terhadap engkau satu-satunya wanita yang kucinta didunia ini!"
"Aduhhh, Koko.... bagaimana baiknya....?"
"Hong Kwi kelahiran, perjodohan dan kematian merupakan tiga hal yang tidak dapat diatur oleh manusia karena sudah ada garisnya sendiri. Keadaan sekarang ini membuktikan bahwa Thian tidak menghendaki kita menjadi suami isteri, atau jelasnya, kita tidak saling berjodoh, betapapun murni cinta kasih yang terjalin antara kita. Memang sudah nasib kita.... ah, Hong Kwi...." Dua orang yang dimabok cinta dan kedukaan itu, seperti tergetar oleh sesuatu, tertarik oleh tenaga gaib, saling mencium dengan perasaan penuh duka, haru dan cinta tercampur menjadi satu.
"Aduhhh.... Sri Baginda datang...." Bisikan yang keluar dari mulut pelayan itu membuat sepasang orang muda yang sedang berpelukan dan berciuman itu terkejut sekali dan saling melepaskan pelukannya.
"Koko....! Cepat.... Bersembunyi...." Hong Kwi berseru lirih.
"Di mana....? Lebih baik aku pergi saja...."
"Jangan! Kau bisa ketahuan dan.... dan kita celaka! Lekas.... kolam itu, kaumasuklah dan bersembunyi di bawah daun teratai...."
Karena kini sudah tampak rombongan pengawal Kaisar datang memasuki taman membawa lampu, Han Ki tidak melihat jalan lain. Ia meloncat dan air muncrat keatas ketika pemuda itu menyelam kebawah permukaan air yang dalamnya hanya sampai ke pinggang, bersembunyi dibawah daun-daun teratai yang lebar. Dia menengadahkan mukanya, mengeluarkan hidungnya saja di bawah daun teratai agar dapat bernapas sedangkan matanya kadang-kadang ia buka untuk melihat melalui air yang bening.
"Hong Kwi, mengapa malam-malam begini engkau masih berada di taman.... eh, kau.... habis menangis?" Kaisar menegur puterinya dengan suara keren dan marah. Memang Kaisar tahu bahwa puterinya ini tidak suka dijodohkan dengan Raja Yucen, maka hati Kaisar menjadi mengkal dan penasaran. Apalagi ketika ia tadi mendengar bisikan Jenderal Suma Kiat yang mendengar dari muridnya, Siangkoan Lee, bahwa mulai saat itu keadaan Sang Puteri harus dijaga karena ada kemungkinan masuknya seorang "pengganggu kesusilaan"! Sung Hong Kwi yang berlutut tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya.
"Apakah ada orang luar masuk kesini malam ini?" Kembali Sri Baginda bertanya dengan suara keren. Hong Kwi menggeleng kepala tanpa menjawab. "Heh, pelayan! Apakah ada orang datang ke sini tadi?" Kaisar bertanya kepada pelayan yang berlutut di belakang nonanya.
"Ham.... hamba ti.... tidak melihatnya...." Pelayan itu menjawab lirih sambil membentur-benturkan dahi di atas tanah di depannya.
"Periksa semua tempat disekitar sini!" Kaisar memerintahkan para pengawalnya yang segera berpencar ke segala sudut, mencari-cari dan menerangi tempat gelap dengan lampu-lampu yang mereka bawa. Jantung Sung Hong Kwi dan pelayan itu hampir copot saking tegang dan takutnya.
"Mulai saat ini, engkau harus selalu berada dalam kamar, tidak boleh sekali-kali keluar. Mengerti?" Kaisar membentak dan kembali Hong Kwi mengangguk. Para pengawal selesai menggeledah dan melapor bahwa tidak ada orang luar di dalam taman itu. Dengan uring-uringan karena sikap puterinya, Kaisar lalu mendengus dan meninggalkan taman itu diiringkan para pengawalnya.
Setelah rombongan Kaisar lenyap memasuki pintu belakang, barulah Hong Kwi dan pelayannya berani bangkit berdiri. Han Ki yang juga melihat semua kejadian itu dari dalam air, berdiri dengan muka, rambut dan seluruh pakaian basah kuyup! Ia bergidik ketika merasa sesuatu menggelitik lehernya. Ditangkapnya ikan emas yang berenang di leher bajunya dan dilepaskannya kembali ke air. "Hong Kwi....!" Ia berkata lalu meloncat keluar. "Koko.... ahhh...., hampir saja....! Aku harus segera masuk. Han Ki-koko, selamat berpisah, selamat tinggal.... sampai jumpa pula di akherat kelak...." puteri itu terisak dan lari pergi diikuti pelayannya yang juga menangis, meninggalkan Han Ki yang berdiri melongo di tepi kolam dalam keadaan basah kuyup dan tubuh seolah-olah kehilangan semangat.
"Hong Kwi...." ia mengeluh, kemudian membalikkan tubuh dan.... kiranya dia terkurung sepasukan pengawal Istana yang dipimpin oleh.... Jenderal Suma Kiat sendiri bersama muridnya Siangkoan Lee dan masih banyak panglima tinggi istana!
"Kam Han Ki! Engkau manusia rendah budi, engkau membikin malu keluargamu saja! Membikin malu aku pula karena biarpun jauh engkau terhitung keluargaku juga. Cihh! Sungguh menyebalkan. Berlututlah engkau menyerah agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan!"
Han Ki pernah jumpa dengan Suma Kiat yang masih terhitung kakak misannya sendiri, karena ibu Suma Kiat ini adalah adik kandung mendiang ayahnya. Akan tetapi dalam perjumpaan yang hanya satu kali itu, Suma Kiat bersikap dingin kepadanya, maka kini ia menjawab. "Goanswe, perbuatanku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Ini adalah urusan pribadi, biarlah semua tanggung jawab kupikul sendiri, dan aku tidak akan menyeret nama keluarga, apalagi namamu!"
Wajah Suma Kiat menjadi merah saking marahnya. Dia gentar menghadapi Menteri Kam Liong karena maklum akan pengaruh kekuasaan dan kelihaian menteri itu. Akan tetapi dia tidak takut menghadapi Han Ki. Biarpun ia tahu bahwa Han Ki yang lenyap selama belasan tahun itu kini kabarnya telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia belum membuktikannya sendiri dan pula pemuda yang hanya dijadikan pengawal Menteri Kam itu kini melakukan kesalahan yang amat berat yaitu berani menyelundup ke dalam taman istana dan melakukan hubungan gelap dengan puteri Kaisar, calon isteri Raja Yucen Pula, saat ini dia sudah mengirim laporan kepada Kaisar bahwa pemuda itu benar-benar berada di taman sehingga menangkap atau membunuhnya bukan merupakan kesalahan lagi.
"Kam Han Ki manusia berdosa! Setelah engkau melakukan pelanggaran memasuki taman seperti maling, apakah kau tidak lekas menyerahkan diri dan hendak melawan petugas negara?" Kembali Suma Kiat membentak sambil mencabut pedangnya. Melihat gerakan jenderal ini, semua anak buah pasukan dan para panglima juga mencabut senjata masing-masing.
Han Ki tidak mau banyak bicara lagi karena ia maklum bahwa tidak ada pilihan lain bagi dia yang sudah "tertangkap basah" ini, yaitu menyerahkan diri atau berusaha untuk melarikan diri. Tidak, dia tidak akan menyerahkan diri karena dia tidak merasa bersalah! Dahulu pernah ia mendengar wejangan gurunya Bu Kek Siansu yang pada saat itu bergema di dalam telinganya.
"Jika engkau dengan pertimbangan hati nuranimu merasa bahwa engkau melakukan sesuatu yang salah, engkau harus mengalah terhadap seorang yang lemah pun. Sebaliknya, jika engkau yakin benar bahwa engkau tidak bersalah, tidak perlu takut mempertahankan kebenaranmu menghadapi orang yang lebih kuat pun."
Kini Han Ki tidak merasa bersalah. Berasalah kepada siapa? Dia dan Hong Kwi sudah saling mencinta, dengan murni dan tulus. Kaisarlah yang salah, Karena hendak memberangus kemerdekaan hati puterinya sendiri! Tidak, dia tidak bersalah karena itu dia tidak akan menyerahkan diri. Dia akan melarikan diri dan tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi, dia tidak akan dekat dengan Istana! Berpikir demikian, Han Ki lalu membalikkan tubuh dan meloncat ke arah pagar tembok taman itu.
Akan tetapi, ia berseru keras dan cepat berjungkir-balik dan meloncat kembali ke depan Suma-goanswe karena di dekat pagar tembok telah menghadang banyak pengawal dan tadi ketika ia meloncat hendak lari, mereka telah melepas anak panah kearah tubuhnya.
"Ha-ha-ha! Kam Han Ki, engkau maling cilik sudah terkurung. Lebih baik menyerah untuk kuseret ke depan kaki Hong-siang agar menerima hukuman!" Suma Kiat tertawa mengejek.
Hati pemuda itu menjadi panas, akan tetapi dia tidak melupakan kakak sepupunya, Menteri Kam. Kalau dia melakukan perlawanan, mengamuk sehingga membunuh para pengawal, panglima atau Jenderal Suma, tentu Menteri Kam Liong akan celaka karena bukankah dia menjadi pengawal Menteri Kam? Dia akan mencelakakan orang yang dihormatinya itu kalau dia mengamuk, maka dia mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar tanpa membunuh orang.
"Sampai mati pun aku tidak akan menyerah kepadamu, Suma-goanswe!" katanya gagah sambil mencabut pedangnya juga.
"Apa? Kau hendak melawan? Serbu!" Suma Kiat berseru dan mendahului kawan-kawannya menerjang maju dengan pedangnya berkelebat melengkung kearah pusar Han Ki sedangkan tangan kirinya sudah mengirim totokan maut yang amat berbahaya kearah pangkal leher. Ilmu kepandaian Suma Kiat amatlah dahsyat dan ganas. Jenderal ini mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dan aneh dari ibu kandungnya. Ibunya adalah Kam Sian Eng, adik tiri Suling Emas yang pernah menjadi tokoh yang menggemparkan para datuk golongan hitam karena selain sakti juga aneh dan setengah gila, membuat sepak terjangnya aneh-aneh mengerikan dan ilmu silatnya juga dahsyat menyeramkan.
Melihat serangan Jenderal itu diam-diam Han Ki terkejut. Sinar pedang yang menyerang ke arah pusarnya itu membuat lingkaran melengkung yang sukar diduga darimana akan menyerang sedangkan totokan jari tangan kiri itu dikenalnya sebagai totokan yang bersumber dari ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai yang amat lihai dan berbahaya, yaitu Im-yang Tiam-hoat!
"Cringgg....! Dukkk!" Han Ki yang sudah mendengar dari Menteri Kam akan kelihaian Jenderal yang masih keluarga sendiri ini, sengaja menangkis pedang lawan dan menangkis pula totokannya sehingga dua pedang dan dua lengan bertemu susul-menyusul. Suma Kiat terkejut karena pedang dan lengan kirinya gemetar dan tubuhnya bertolak ke belakang, tanda bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang amat kuat. Namun ia berseru keras dan menyerang lagi, dibantu para panglima dan pengawal sehingga di lain saat Han Ki telah terkurung rapat dan dihujani senjata dengan gencar sekali.
Pemuda ini terpaksa memutar pedangnya dengan cepat, membentuk lingkaran sinar pedang yang menyelimuti seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah sehingga semua senjata para pengeroyok terpukul mundur oleh sinar pedangnya yang berkilauan. Namun, pemuda ini harus mengerahkan seluruh tenaganya karena sekali saja pedangnya terpukul miring, tentu akan terdapat lowongan dan tubuhnya akan menjadi sasaran senjata para pengeroyok yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu.
Tiba-tiba Han Ki mengeluarkan lengkingan dahsyat yang menggetarkan jantung para pengeroyoknya dan membuat sebagian dari mereka ragu-ragu dan menunda gerakan senjata. Kesempatan ini dipergunakan oleh Han Ki untuk memutar pedangnya membalas dengan ancaman serangan kearah kepala para pengeroyoknya. Demikian ganas dan cepat sambaran pedangnya itu sehingga para pengeroyoknya menjadi terkejut, cepat mengelak dengan merendahkan tubuh atau meloncat ke belakang. Kesempatan yang amat baik, pikir Han Ki dan sekali ia mengenjot tubuhnya sambil menangkis serangan susulan pedang Suma Kiat dan golok di tangan
Siangkoan Lee, ia telah meloncat jauh kekiri, keatas wuwungan bangunan kecil di tengah taman dimana ia seringkali mengadakan pertemuan rahasia dengan Sung Hong Kwi.
"Penjahat cabul hendak lari kemana?" Terdengar bentakan keras dan sebatang tombak menusuknya dari kanan, sebatang pedang dari depan sedangkan dari kiri menyambar sehelai cambuk besi.
"Cringg.... tranggg.... wuuuttt!" Han Ki terkejut bukan main dan untung dia masih dapat menangkis tombak dan pedang serta mengelak dari sambaran pecut besi. Kiranya di tempat itu telah menjaga tiga orang panglima yang kepandaiannya cukup tinggi, terbukti dari serangan-serangan tadi yang amat kuat dan cepat. Ia melempar diri ke bawah, berjungkir-balik dan langsung meloncat ke bawah, makin ketengah mendekati Istana karena untuk lari kepagar tembok tidak mungkin lagi, terhalang oleh pengejarnya."Siuuttt!" Kembali Han Ki harus meloncat ke atas menghindarkan diri dari sambaran toya yang amat kuat, yang tadi datang menyambutnya dari bawah. Ia mencelat mundur sambil memandang. Kiranya disitu telah berjaga seorang panglima pengawal yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebatang toya kuningan yang berat. Kini panglima itu terus menerjangnya dan toyanya yang diputar menimbulkan angin bersuitan. Han Ki mengelak kekanan kiri dan mengerahkan tenaga lalu membabat dari samping.
"Tranggg!" Bunga api berhamburan dan panglima tinggi besar itu berseru kaget, tubuhnya terguling lalu ia bergulingan dan baru meloncat bangun setelah agak jauh, memandang ujung toyanya yang buntung oleh sambaran pedang ditangan Han Ki tadi! Sementara itu, Suma Kiat, Siangkoan Lee dan para panglima yang tadi mengeroyoknya, telah mengejar sampai disitu dan kembali Han Ki dikurung dan dikeroyok. Makin lama makin bertambah banyak jumlah pengeroyok karena tanda bahaya telah dipukul sehingga panglima dan pengawal yang berada di istana muncul semua!
Betapapun tinggi ilmu kepandaian Han Ki, namun menghadapi pengeroyokah begitu banyak orang lihai sedangkan dia menjaga agar jangan sampai membunuh lawan, tentu saja Han Ki menjadi kewalahan. Dia memang menerima gemblengan seorang manusia sakti seperti Bu Kek Siansu, menerima pelajaran ilmu sllat yang amat tinggi, bahkan telah mempelajarl inti sari ilmu silat sehingga segala macam ilmu silat yang dimainkan lawan dapat ia kenal sumber dan gerakan dasarnya. Akan tetapi selama belasan tahun ini waktunya habis untuk berlatih dan belajar. Dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam pertempuran, apalagi dikeroyok begini banyak panglima dan pengawal yang pandai! Namun, harus dipuji keuletan pemuda ini. Biarpun tubuhnya dihujani serangan senjata dari segenap penjuru, ia masih dapat mempertahankan diri, memutar pedang menangkis dengan gerakan lincah kesana kemari, bahkan masih sempat menggunakan tangan kirinya kadang-kadang untuk menyampok senjata lawan dan kadang-kadang menggunakannya dengan pengerahan sin-kang untuk mendorong pengeroyok sampai terjengkang atau terhuyung mundur. Entah berapa belas orang pengeroyok yang ia robohkan dengan tendangan kedua kakinya, merobohkan mereka tanpa membunuh, hanya mematahkan tulang kaki dan mengakibatkan luka ringan saja.
Jenderal Suma Kiat yang memimpin pengeroyokan ini, berulang-ulang menyumpah-nyumpah. Dia dibantu oleh pasukan pengawal, bahkan para panglima yang menjadi rekan-rekannya, yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi, dengan jumlah seluruhnya tidak kurang dari lima puluh orang, masih belum mampu membekuk pemuda itu setelah mengeroyok selama tiga empat jam! Bahkan ada belasan orang anak buah pengawal yang roboh tertendang atau terdorong oleh pemuda itu! Benar-benar amat memalukan!
"Panggil semua panglima yang berada diluar istana! Datangkan bala bantuan pengawal luar istana!" bentak Suma Kiat kepada anak buahnya yang cepat melaksanakan perintah itu.
Han KI masih memutar pedangnya dan makin lama makin mendekati istana. Dia tahu bahwa tidak mungkin dia dapat bertahan terus. Tubuhnya basah kuyup, bukan oleh air kolam ikan tadi yang sudah menjadi, kering kembali melainkan dari keringatnya sendiri. Tubuhnya mulai terasa lelah dan lemas, juga amat panas seolah-olah dari dalam tubuhnya timbul api yang membakarnya. Tubuhnya sudah menerima banyak pukulan dan bacokan senjata lawan dan biarpun sin-kangnya telah melindungi tubuh sehingga luka-luka itu tidak berat, namun membuat kaki tangannya terasa linu dan berat. "Habis aku sekali ini...." keluhnya diam-diam, namun ia tidak putus asa dan masih terus melawan sampai malam terganti pagi! Telapak tangannya yang memegang gagang pedang sampai kehilangan rasa, seolah-olah telah menjadi satu dengan gagang pedangnya. Tak mungkin aku melarikan diri melalui pagar tembok, pikirnya. Pagar tembok itu tentu telah terkepung ketat. Jalan satu-satunya hanyalah sekalian masuk ke dalam istana! Kalau berada di taman terbuka ini, dia dapat dikeroyok banyak orang, akan tetapi kalau dia main kucing-kucingan di dalam istana yang banyak kamar-kamarnya dan tidak terbuka seperti di taman, tentu dia dapat membatasi jumlah pengeroyok. Siapa tahu dia dapat menyelinap dan melarikan dir atau setidaknya bersembunyi di dalam istana
yang amat besar itu. Bukankah dahulu pernah dikabarkan ada orang sakti mengacau istana hanya untuk "menyikat" hidangan Kaisar dan orang itu dapat bersembunyi di dapur sampai berpekan-pekan?
Dia harus dapat menyelinap ke Istana sebelum keadaan cuaca menjadi terang, pikirnya dan dengan penuh semangat Han Ki memutar pedang berloncatan kesana sini seperti orang nekat. Semenjak dikeroyok tadi, Han Ki selalu melindungi dirinya, dan hanya merobohkan pengeroyok yang tidak terlalu kuat dengan tendangan atau dorongan kaki kiri, dan hal ini agaknya dimengerti oleh Suma Kiat dan kawan-kawannya. Akan tetapi kini pemuda itu menggerakkan pedangnya sedemikian hebat seolah-olah hendak mengamuk dan membunuh, maka para pengepungnya menjadi kaget dan jerih, otomatis meloncat mundur. Han Ki membuat gerakan kebawah cepat sekali, tangannya menyambar segenggam pasir dan sambil berseru keras ia menyambitkan pasir itu kedepan, kearah para pengepungnya.
"Awas senjata rahasia!" bentaknya, Suma Kiat dan para panglima yang berilmu tinggi dapat menyampok pasir-pasir itu runtuh tanpa berkedip, akan tetapi pengeroyok-pengeroyok yang kurang pandai, menjadi kaget dan cepat membuang diri kebawah. Yang kurang cepat segera memekik kesakitan karena biarpun hanya butiran-butiran pasir kalau dapat menembus kulit mendatangkan rasa nyeri dan perih sekali! Ketika semua orang memandang kedepan, pemuda yang luar biasa itu telah lenyap karena Han Ki telah meloncat cepat sekali dan menerobos masuk melalui pintu yang menuju ke kompleks bangunan istana dengan merobohkan dua orang penjaga pintu itu sambil berlari. Penjaga penjaga itu terpelantlng ke kanan kiri sedangkan tombak panjang mereka
patah-patah!
"Kejar! Tangkap dia, mati atau hidup! " Suma Kiat membentak para pengawal yang sejenak melongo penuh rasa kaget dan gentar menyaksikan sepak terjang Han Ki yang benar-benar amat hebat itu. Dikeroyok begitu banyak orang pandai sampai setengah malam, masih belum dapat ditangkap bahkan kini berani memasuki istana. Tentu saja semua orang cepat menyerbu, berlumba memasuki istana, ada yang menerobos dari pintu-pintu belakang, ada pula yang meloncat naik keatas wuwungan. Mereka harus cepat-cepat menangkap pemuda itu karena setelah kini pemuda itu menyelinap masuk ke istana, keadaan Kaisar dan keluarganya
dapat diancam bahaya!
Bala bantuan dari luar Istana sudah datang dan kini puluhan orang pengawal dipimpin sendiri oleh panglima-panglima kerajaan mulai mengadakan pengejaran dan mencari Han Ki yang lenyap! Kemanakah perginya Han Ki?
Han Ki yang berhasil menerobos memasuki Istana, terus berlari melalui lorong-lorong di antara kamar-kamar dan bangunan-bangunan kecil, ruangan-ruangan yang luas. Dia tidak mengenal jalan, hanya lari kearah yang sunyi tidak ada orangnya. Napasnya terengah-engah, mukanya berkilat penuh keringat, seluruh tubuhnya berdenyut-denyut saking lelahnya dan setelah tidak bertempur lagi, terasa betapa perihnya luka-luka bekas gebukan-gebukan senjata lawan. Tiba-tiba ia berhenti diluar sebuah kamar besar dan menyelinap dibalik jendela. Ia mendengar suara wanita berliam-keng (berdoa), membaca kitab suci di dalam kamar itu. Ketika ia mengintai, tampak olehnya seorang nenek tua di kamar itu, duduk membaca kitab dihadap seorang pelayan wanita. Han Ki menjadi tegang hatinya. Ia tahu bahwa nenek itu adalah ibu suri, Ibu dari Kaisar, seorang nenek yang sudah keriputan dan tua, yang seolah-olah kini telah mengasingkan diri bersembunyi di dalam kamarnya siang malam dan kerjanya hanya membaca kitab-kitab suci.
Selagi Han Ki hendak melanjutkan larinya, tiba-tiba ia mendengar suara para pengawal yang mengejarnya. Ada serombongan pengawal yang datang dari kanan. Han Ki sudah menggerakkan kaki untuk lari kekiri, akan tetapi dari arah kiri terdengar pula suara pengawal-pengawal yang menuju ketempat itu!
"Kita harus mengepung seluruh jalan dalam Istana, memeriksa seluruh kamar. Tak mungkin dia bisa menghilang seperti setan!" Suara itu adalah suara Suma Kiat yang sudah datang dekat!
Celaka, pikir Han Ki. Dia sudah amat lelah, tidak mungkin kuat melawan terus kalau tempat sembunyinya diketahui mereka. Dan kini, jalan dari kanan kiri sudah tertutup. Untuk meloncat keatas menerobos langit-langit, ia tahu merupakan hal berbahaya sekali, karena para pengawal tentu tidak melupakan penjagaan diatas sehingga begitu dia muncul tentu akan disambut serangan yang berbahaya sekali. Tiba-tiba ia mendapat akal dan didorongnya daun jendela, kemudian ia meloncat kedalam, menutup daun jendela dan menggunakan saputangan yang tadi dipakai mengusap peluh menutupi bagian bawah mukanya agar Ibu suri tidak
mengenal dia! Gerakannya begitu ringan sehingga Ibu suri yang sedang asyik membaca kitab itu tidak mendengarnya. Akan tetapi, pelayan wanita yang berlutut didepannya, tentu saja dapat melihat Han Ki yang muncul dari jendela dibelakang Ibu suri, maka pelayan itu bangkit berdiri dengan mata terbelalak.
"Jangan menjerit!" Han Ki berkata, lalu menodongkan pedangnya dibelakang Ibu suri. "Kalau menjerit, pedangku akan merampas nyawa!"
Pucatlah muka pelayan itu, kedua kakinya menggigil, tubuhnya gemetar dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut. Ibu suri yang sedang membaca kitab itu menghentikan bacaannya lalu menoleh. Ketika melihat seorang pemuda bertopeng saputangan memegang sebatang pedang telanjang di belakangnya, nenek ini tidak menjadi kaget atau takut, hanya terheran lalu bertanya lirih sambil bangkit berdiri. "Engkau siapakah dan apa artinya perbuatanmu ini?"
Hati Han Ki sudah lemas menyaksikan sikap tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik dan mencoba berteriak, tentu akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi nenek itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara halus dan sikap tenang penuh wibawa dan keagungan. Tanpa dapat ditahan lagi, Han Ki menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Hamba dikejar-kejar pengawal dan mohon perlindungan...." Sejenak nenek itu menunduk, memandang wajah yang setengahnya tertutup saputangan itu. "Hemm, apakah engkau yang diributkan semalam, engkau yang berani memasuki taman istana dan mengadakan pertemuan dengan Hong Kwi?"
"Benar, hambalah orang itu!"
"Siapa namamu?"
"Hamba Kam Han Ki...."
"She Kam? ada hubungan apa engkau dengan Kam Bu Song?"
"Paduka maksudkan Suling Emas? Dia adalah Pek-hu (uwa) hamba...."
"He mmm....! Seorang pemuda gagah perkasa yang menghadapi bahaya sebagai akibat perbuatan sendiri, mengapa menjadi begini lemah? Mengapa tidak menghadapi bahaya itu sendiri, bahaya yang amat berharga kalau memang hatimu terdorong cinta kasih? Mengapa membawa-bawa aku seorang tua untuk ikut terseret akibat perbuatanmu? Kam Han Ki, benarkah sikapmu ini?"
Han Ki terkejut bukan main. Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu sekali. Memang, apakah tujuannya bersembunyi di kamar nenek ini? Paling-paling dia akan menyeret nenek ini ke dalam kecemaran, seorang nenek yang begitu luhur budinya!
Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan masih memegangi
kitabnya, menegur halus, "Siapa diluar?"
"Hamba Jenderal Suma dan pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka suka mengijinkan hamba memeriksa di dalam!" terdengar jawaban dari luar. "Masuklah, daun pintu tidak dikunci," jawab Si Nenek dengan tenang!
Daun pintu didorong terbuka dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia, melompat bangun dan mengancam dengan pedangnya di dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan untuk mengancam Si Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran. Kalau dia menodong dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa ibu suri sama sekali tidak melindunginya, tidak menyembunyikannya! Akan tetapi maksudnya ini agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakutan dan menubruk kaki nyonya majikannya. Pada saat itu, muncullah Jenderal Suma Kiat bersama dua orang panglima pengawal. Mereka memandang tajam kearah Han Ki dan sejenak menjadi bingung melihat betapa ibu suri ditodong oleh Han Ki yang memakai kedok saputangan menutupi separuh mukanya. "Kam Han Ki, apakah engkau sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita yang tak berdaya?" tegur Suma Kiat dengan suara marah sekali dan pedangnya sudah tergetar di tangannya, demikian pula kedua orang panglima sudah mencabut senjata dan di belakang mereka, di luar pintu terdapat banyak pengawal, berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok ketika mendengar bahwa orang buronan itu bersembunyi di kamar Ibu suri dan menodong nenek itu!
Han Ki tidak menjawab dan kini nenek itu berkata, "Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin ribut didalam kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi jangan sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja kalau orang ini sudah keluar kamar." Suara nenek itu halus akan tetapi mengandung kepastian yang tidak boleh dibantah lagi. Suma Kiat dan dua orang panglima pengawal memberi hormat dan setelah melempar pandang mata marah sekali lagi kearah Han Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.
"Orang muda yang gagah, sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat perbuatanmu dengan gagah seperti pek-humu Suling Emas. Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup akan tetapi keduanya tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan. Hidup sebagai seorang pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan terbesar dalam kehidupan seorang jantan."
"Terima kasih dan hamba mohon maaf sebanyaknya!" kata Han Ki, semangatnya timbul kembali oleh nasihat nenek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat keluar menerobos jendela kamar itu.
Baru saja ia turun diluar kamar, lima orang pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja lima orang pengawal ini roboh dan mengalirlah darah pertama sebagai akibat gebrakan pedang Han Ki! Dia didesak hebat, maka sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi, pedangnya dikerjakan dan biarpun tidak membunuh mereka, kini Han Ki merobohkan orang dengan niat agar yang dirobohkan tak dapat mengeroyoknya lagi! Ia meloncati tubuh lima orang itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar dimana Suma Kiat dan para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan belasan orang panglima pilihan yang kesemuanya berkepandaian tinggi! Di antara para panglima itu ada yang mengenal dia, bahkan ada yang menjadi rekan Panglima Khu Tek San. Mereka itu hanya melaksanakan tugas, dan pada saat itu, Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan sebagai seorang buronan yang telah mengacaukan istana dan menghina Kaisar maka harus ditangkap atau dibunuh!
Han Ki mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap menjadi sinar yang bergulung-gulung, seperti seekor naga sakti bermain di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan menyeramkan para pengeroyoknya. Akan tetapi sekali ini, para pengeroyoknya adalah orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga tingkat dibandingkan dengan dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang penuh luka dan lelah sekali, maka mulailah Han Ki terdesak hebat! Setengah malam suntuk ia telah bertanding dikeroyok banyak orang pandai, dan kini, di ruangan terbatas, ia dikeroyok oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi repot sekali. Betapapun juga, ucapan nenek didalam kamar tadi telah menggugah semangatnya.
"Aku tidak bersalah! Aku datang menemui wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu bahwa aku tidak melakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau kalian tidak mau mundur, terpaksa aku mengadu nyawa!"
"Pemberontak keji, maling cabul tak tahu malu!" Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.
"Rrrrtt.... cring-cring....!" Han Ki menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan pukulan kesamping secara aneh dan tak terduga-duga. Biarpun pukulan dengan tangan kiri ini tidak mungkin dapat mengenai tubuh lawan, namun angin pukulan yang mengandung sin-kang kuat itu membuat dua orang pengeroyok terlempar kebelakang dan terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening dan semua pengeroyok diam-diam merasa kagum lalu mengeroyok lebih hati-hati. Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini hebat sekali kepandaiannya.
Kembali Han Ki terkena pukulan-pukulan, bahkan bajunya robek-robek termakan senjata tajam para pangeroyoknya. Darahnya mulai mengalir dari kedua bahu, pundak dan kedua pahanya. Darahnya sendiri membasahi tubuh, akan tetapi dalam seratus jurus lamanya, dia hanya terluka dan belum tertangkap, sebaliknya ia telah merobohkan empat orang pengeroyok dengan pedangnya sehingga mereka tidak mampu mengeroyok lagi, dan melukai ringan tubuh orang lain! Di antara yang terluka ringan adalah Siangkoan Lee murid Suma Kiat yang tergores pedang dadanya sehingga kulit dadanya robek berdarah!
Akan tetapi kehilangan darah dan kelelahan membuat Han Ki merasa pening dan sering kali terhuyung. Keadaannya sudah payah sekali dan tiba-tiba sebatang toya berhasil mengemplang pergelangan tangan yang memegang pedang. Pukulan yang keras sekali dan hanya berkat sinkangnya saja maka tulang lengan itu tidak remuk, akan tetapi pedangnya terlepas dari pegangan. Detik-detik lain merupakan hujan pukulan yang diakhiri dengan totokan Suma Kiat membuat tubuh Han Ki roboh mandi darah dan tak berkutik lagi, pingsan!
Suma Kiat melarang para panglima itu membunuh Han Ki. Hal ini bukan sekali-kali karena rasa sayang terhadap anggauta keluarga, bahkan sebaliknya. Saking bencinya, Suma Kiat tidak ingin melihat Han Ki dibunuh begitu saja. Ia ingin melihat pemuda itu dijatuhi hukuman gantung atau penggal leher disaksikan orang banyak sehingga puaslah hatinya. Kalau dibunuh sekarang dalam keadaan pingsan, terlalu "enak" bagi Han Ki yang dibencinya! Tubuh Han Ki dibelenggu lalu diseret dan dilempar ke dalam kamar tahanan di belakang Istana, dijaga kuat oleh pengawal yang diatur oleh Suma Kiat sendiri. Selain tidak ingin melihat Han Ki tewas secara enak, juga dia menahan pemuda itu dengan niat lain, dengan siasat untuk memancing Menteri Kam melakukan pelanggaran sehingga ia dapat pula mencelakakan Menteri Kam Liong yang amat dibencinya!
Dalam keadaan pingsan dan terbelenggu kaki tangannya, Han Ki dilemparkan keatas pembaringan batu dalam kamar tahanan yang sempit, kemudian pintu beruji besi yang kokoh kuat dikunci dari luar dan diluar kamar tahanan dijaga ketat oleh pasukan pengawal.
Ketika Han Ki siuman dari pingsannya dan membuka mata, ia tidak mengeluh. Ia sadar benar dan maklum bahwa dia telah ditawan. Dia tidak menyesal. Mati bukan apa-apa bagi seorang gagah, apalagi kalau ia teringat akan Hong Kwi, kematian hanya merupakan kebebasan daripada penderitaan batin akibat kasih tak sampai. Namun hatinya diliputi penyesalan dan kekhawatiran kalau ia teringat akan Menteri Kam Liong, kakak sepupunya itu. Dia maklum bahwa semua perbuatannya yang tentu dianggap mengacau Istana dan dianggap berdosa besar, pasti akan mengakibatkan hal yang tidak baik terhadap Menteri Kam padahal ini sungguh tidak ia kehendaki dan ia merasa menyesal sekali. Betapapun juga, dia lalu mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya dapat rebah telentang, matanya memandang langit-langit kamar tahanan. Sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya, dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Han Ki dapat "mematikan rasa" sehingga tubuhnya tidaklah terlalu menderita. Ia menyerahkan nyawanya kepada Tuhan dan siap menerima datangnya maut dalam bentuk apapun juga. ***
Dugaan Han Ki memang sama sekali tidak meleset. Peristiwa yang terjadi itu membawa akibat yang amat jauh dan hebat, dia pun tidak tahu nasib apa yang menimpa Maya dan Siauw Bwee, yang ia tinggalkan di tengah jalan.
Ketika Menteri Kam Liong dan muridnya, Panglima Khu Tek San meninggalkan Istana yang mengakhiri pesta penyambutan tamu agung sampai tengah malam, membuat hati guru dan murid ini lega karena semenjak munculnya Maya dan Siauw Bwee tadi membuat hati mereka amat tidak enak, mereka berpisah. Panglima Khu pulang ke gedungnya sendiri dengan tergesa-gesa. Dia ingin segera sampai di rumah dan menegur puterinya yang telah berbuat lancang menggegerkan Istana bersama Maya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika sampai di rumah, dia disambut teguran isterinya mengapa Siauw Bwee dan Maya tidak diajak pulang!
"Apa....? Mereka sudah pulang lebih dulu, malah diantar oleh Kam-susiok!" Panglima ini berkata dengan suara keras. Maka paniklah keluarga Khu dan Panglima itu pun segera menyuruh anak buahnya untuk berpencar mencari puterinya dan Maya. Juga dia sendiri ikut mencari, karena sungguhpun ia tidak usah merasa khawatir akan keselamatan dua orang anak perempuan yang diantar oleh susioknya itu, namun peristiwa yang terjadi di istana sebagai akibat kelancangan Maya dan Siauw Bwee membuat hatinya tidak enak. Apalagi karena urusan Yucen dan Jenderal Suma jelas memperlihatkan sikap bermusuhan dengan gurunya.
Akan tetapi, malam itu ternyata terjadi hal yang amat menggelisahkan hati panglima ini secara susul-menyusul, karena waktu ia meninggalkan rumahnya lagi untuk mencari jejak puterinya dan Maya, ia dikejutkan oleh berita bahwa Kam Han Ki mengamuk di taman istana dan dikeroyok oleh para pengawal! Tentu saja ia terkejut sekali, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia dapat menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan pertalian cinta kasih antara Kam Han Ki dan Puteri Sung Hong Kwi.
Panglima Khu menjadi bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan kedua orang anak perempuan itu belum didapatkan, kini mendengar Han Ki menggegerkan istana! Apakah yang terjadi dengan puterinya dan Maya?
Tiada jalan lain bagi Panglima Khu selain bergegas mendatangi gurunya di gedung Menteri Kam Liong. Seperti telah diduganya, gurunya telah mendengar perihal Han Ki di Istana, tentu mendapat pelaporan dari anak buah yang setia, dan kini Menteri yang tua itu duduk termenung dan menyambut kedatangan Tek San dengan muka gelisah. "Kau tentu datang untuk melaporkan tentang Han Ki, bukan? Aku sudah mendengar semua dan.... ah, betapapun juga, dia seorang pemuda yang tentu saja belum cukup kuat
untuk menahan pukulan cinta terputus. Bagaimana aku dapat menyalahkan dia?"
"Bukan hanya urusan Kam-susiok saja yang menggelisahkan teecu dan membuat teecu menjelang pagi begini mengunjungi Suhu, melainkan juga lenyapnya kedua orang anak itu...."
"Apa....?" Menteri tua itu menjadi terkejut. "Seperti Suhu ketahui, Maya dan Siauw Bwee pulang lebih dulu diantar oleh Kam-susiok, akan tetapi ternyata kedua orang anak itu belum sampai ke rumah teecu dan tahu-tahu ada berita Kam-susiok mengamuk di taman Istana. Teecu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, maka teecu datang menghadap Suhu mohon petunjuk.
Menteri Kam Liong mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. Khu Tek San mendengar gurunya berkata lirih, ".... mengapa.... mengapa....?" dan ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan gurunya itu. Memang yang mengerti hanya Menteri Kam Liong sendiri. Di dalam hatinya ia merasa berduka dan bertanya mengapa keturunan keluarga Suling Emas selalu ditimpa kemalangan?
"Kita harus bersabar, Tek San. Urusan Han Ki adalah urusan yang gawat dan biarlah besok aku menghadap Kaisar minta keterangan, dan akan kuusahakan agar aku dapat bertemu Han Ki dan bertanya tentang dua orang anak itu. Aku harus membela Han Ki yang kabarnya masih belum tertangkap, sebaiknya sekarang juga aku melihat keadaan."
Khu Tek San mengerti betapa gurunya bingung dan berduka, maka ia cepat berkata, "Harap Suhu tunggu saja di rumah karena kalau Suhu yang datang kesana, tentu akan terjadi salah paham, disangka Suhu akan membantu Kam-susiok. Sebaiknya teecu saja yang menyelidiki kesana dan melihat keadaan."
Menteri Kam Liong mengangguk-angguk dan membiarkan muridnya keluar. Dia memang bingung sekali menghadapi urusan yang sulit itu. Tidak membantu Han Ki tidak mungkin karena di antara semua keluarganya, hanya Han Ki seorang yang paling dekat. Kalau membantu berarti ia terancam bahaya bermusuhan dengan istana!
Sampai Han Ki tertawan dan dimasukkan dalam penjara, Khu Tek San menyaksikan semua pertandingan itu. Dia tidak berani turun tangan membantu, dan setelah mendapat kenyataan betapa Han Ki tertawan dan dijebloskan kamar tahanan, ia bergegas pulang ke rumah Menteri Kam untuk membuat laporan.
Menteri Kam Liong mengurut jenggotnya yang panjang, wajahnya agak pucat dan ia berkata lirih, "Aku harus menolongnya! Harus membebaskannya, kalau perlu dengan mengorbankan diriku...."
"Suhu....!" Tek San berseru kaget. Menteri Kam Liong memandang muridnya yang setia. "Tek San, engkau muridku yang amat baik, seperti keluargaku sendiri, maka tak perlu aku menyimpan rahasia. Saudara-saudaraku cerai-berai tidak karuan, dan keturunan ayahku yang laki-laki hanya ada tiga orang, yaitu aku sendiri, mendiang Raja Khitan dan Han Ki. Raja Khitan telah tewas dan aku sendiri tidak berdaya menolong adikku itu. Aku sendiri sudah tua dan tidak mempunyai anak. Kalau Han Ki tewas, bukankah keluarga Kam akan kehilangan turunan? Aku harus menyelamatkan dia, apa pun yang akan menimpa diriku. Tentu saja aku akan mempergunakan jalan halus membujuk Kaisar untuk mengampuni Han Ki, akan tetapi apabila tidak berhasil, aku akan mempergunakan kekerasan membebaskannya. Juga kalau kedua orang anak perempuan itu benar-benar lenyap diluar pengetahuan Han Ki, aku akan mendatangi Suma Kiat dan demi Tuhan, sekali ini aku tidak akan segan-segan untuk memukul pecah kepalanya kalau sampai dia berani mengganggu Maya dan Siauw Bwee. Kaupulanglah!"
Dengan hati berat dan penuh kekhawatiran karena hal-hal yang amat tidak enak menimpa secara bertubi-tubi, Tek San lalu mengundurkan diri. Puterinya hilang, paman gurunya ditawan, dan gurunya menghadapi kesukaran yang amat berat sedangkan dia sendiri tidak berdaya menolong! Lebih gelisah lagi hati Khu Tek San setelah lewat tiga hari, tidak ada seorang pun di antara anak buahnya yang disuruh menyelidik mengetahui kemana perginya dua orang anak perempuan itu! Han Ki yang berhasil dihubungi Menteri Kam hanya menceritakan bahwa dia berpisah dengan dua orang anak itu yang pulang berdua, sedangkan dia langsung menuju ke taman istana sampai tertawan.
Ketika gurunya memanggilnya, Tek San mendapatkan gurunya itu menjadi kurus dan pucat. Betapa hebat penderitaan batin menteri itu selama tiga hari ini. "Tek San, aku gagal mintakan ampun untuk Han Ki. Bahkan Kaisar menetapkan hukuman mati untuk Han Ki yang dilaksanakan besok. Si Bedebah Suma Kiat! Dialah yang membakar hati Kaisar sehingga, Han Ki tak dapat diampuni, bahkan Kaisar marah kepadaku mengapa tidak dapat mencegah perbuatan Han Ki yang mencemarkan nama baik keluarga Kaisar! Aku sudah mengambil keputusan, muridku. Malam ini, menjelang pagi, aku harus turun tangan membebaskan Han Ki dan kalau berhasil, aku akan pergi bersama dia menyusul ayahku di Go-bi-san. Aku hidup seorang diri, perbuatanku ini tentu akan menggegerkan, akan tetapi tidak ada keluargaku yang menderita akibatnya. Adapun tentang dirimu sebaiknya engkau mengundurkan diri saja setelah keributan yang kusebabkan mereda."
Tek San kaget sekali. "Akan tetapi.... bagaimana dengan puteri teecu dan Maya?"
"Aku sudah mendatangi Suma Kiat dan dia bersumpah tujuh turunan bahwa dia tidak mencampuri urusan lenyapnya dua orang anak itu. Aku percaya kepadanya. Kurasa, orang-orang Yucen mengambil bagian, bahkan mungkin pelaku-pelaku terpenting atas hilangnya dua orang anak itu. Mungkin mereka hendak membalas penghinaan yang dilakukan dua orang anak itu di dalam pesta. Kalau aku sudah berhasil menyelamatkan Han Ki, aku sendiri yang akan mencari mereka, menyelidik di antara tokoh Yucen yang hadir pada malam hari itu.
"Suhu, teecu akan membantu Suhu menolong Susiok! Kam Liong terkejut dan memandang wajah muridnya yang berdiri tegak penuh keberanian. Ia tidak ragu-ragu akan keberanian dan kegagahan muridnya, akan tetapi sekali ini, mereka bukan melakukan tugas demi kepentingan negara yang tidak perlu memperhitungkan untung rugi pribadi, melainkan melakukan urusan pribadi! Tentu saja amat jauh bedanya. "Jangan, Tek San. Urusan pada malam nanti adalah urusan pribadi. Aku tidak ingin melihat engkau terbawa-bawa dan keluargamu menjadi celaka karena keluarga kami. Biarlah kulakukan sendiri sehingga kalau gagal, tidak mengorbankan pula keselamatanmu."
***
Maaf, Suhu. Mengapa Suhu berkata demikian? Teecu telah menerima budi besar dari Suhu, bahkan semua kemuliaan yang teecu nikmati sekarang ini adalah berkat pertolongan Suhu. Ketika teecu ditawan di perbatasan, kalau tidak muncul Kam-susiok yang menolong, tentu teecu sudah mati pula. Kini Kam-susiok membutuhkan bantuan, bagaimana teecu dapat tinggal diam saja? Apalagi melihat Suhu terjun ke dalam bahaya, masa teecu harus diam menonton saja? Tidak, teecu mohon agar diperbolehkan membantu Suhu. Dengan tenaga dua orang, kiranya akan lebih mudah menolong Kam-susiok."
"Akan tetapi.... keluargamu?"
"Siauw Bwee telah lenyap dan yang menjadi tanggungan teecu hanyalah isteri teecu. Hari ini juga teecu akan menyuruh dua orang kepercayaan teecu untuk mengantarkan isteri teecu lolos dengan diam-diam dari kota raja. Hal itu mudah dilakukan."
"Tapi.... ah, tugas malam nanti amat berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan menghadapi pengeroyokan banyak sekali panglima yang pandai...."
"Justeru karena itulah maka sebaiknya kalau Suhu mengajak teecu. Biarpun kekuasaan Suhu lebih besar daripada teecu, karena memang pangkat Suhu lebih tinggi, akan tetapi sebagai seorang panglima, agaknya teecu dapat mempengaruhi para pengawal yang akan lebih taat pada seorang panglima daripada seorang menteri seperti Suhu. Ijinkan teecu pulang untuk mengatur kepergian isteri teecu keluar kota raja dan menentukan tempat yang akan dijadikan tempat sembunyi, kemudian teecu akan kembali kesini untuk mengatur siasat malam nanti."
Karena maklum akan kekerasan hati muridnya yang amat setia dan gagah perkasa sehingga makin dilarang tentu makin penasaran, apalagi memang dia amat membutuhkan tenaga Tek San, akhimya Menteri Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui. Tek San menjadi girang dan cepat ia pulang ke gedungnya, berbisik-bisik mengatur kepergian isterinya, dengan isterinya yang berwajah pucat dan mata merah, karena terlalu banyak menangis memikirkan lenyapnya puteri mereka. Hari itu juga, menjelang senja, nyonya Khu menyamar sebagai seorang wanita biasa, dikawal oleh dua orang pengawal kepercayaan Khu Tek San, keluar kota raja menuju ke selatan. Tidak ada orang yang tahu akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung itu sendiri tidak tahu!
Malam itu Menteri Kam dan Panglima Khu berunding di ruangan dalam, dan Menteri Kam memanggil pelayannya yang setia, pelayan yang juga dapat disebut sebagai muridnya karena pelayan ini amat tekun mempelajari ilmu silat yang dilihatnya setiap kali Menteri Kam, mengajar Tek San. Pelayan ini bernama Gu Toan, semenjak kecil sudah cacat, tubuhnya, yaitu punggungnya bongkok dan wajahnya buruk. Akan tetapi dia mempunyai kesetiaan yang amat luar biasa, dan pendiam namun cerdik sekali sehingga apa saja yang dilihatnya akan selalu teringat olehnya dan setiap perintah majikannya selalu dilakukan penuh ketaatan sehingga setiap perintah akan ia laksanakan dengan taruhan nyawanya!
"Gu Toan," kata Menteri Kam kepada pelayannya yang memandang penuh duka karena ia maklum bahwa majikannya yang dijunjung tinggi, dihormati dan dikasihinya itu sedang menderita tekanan batin karena urusan yang amat hebat itu. "Engkau sudah mendengar semua, bukan? Nah, malam nanti menjelang pagi aku akan melaksanakan rencanaku bersama Tek San. Kepadamulah kupercayakan untuk menyimpan peninggalanku, kitab-kitab yang sudah kubungkus itu. Hanya engkau seorang yang kupercaya untuk menyelamatkan benda-benda pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain karena aku khawatir sekali kalau-kalau ilmu keturunanku akan dipergunakan orang untuk perbuatan jahat."
"Hamba mengerti, Taijin."
"Dan sepergiku, engkau tidak boleh berada di gedung ini lagi, siap untuk menantiku di pintu gerbang sebelah selatan. Engkau mencari tempat sembunyi disana, menanti aku dan membawa benda-benda pusaka itu. Kalau aku berhasil menolong Han Ki, tentu aku akan keluar dari pintu gerbang selatan itu dan engkau boleh pergi bersamaku. Akan tetapi kalau sampai pagi aku tidak muncul, berarti aku gagal dan kau boleh cepat-cepat memberi kabar ke Go-bi-san, kaucarilah tempat pertapaan Ayah, Suling Emas dan ceritakan semua peristiwa yang terjadi disini. Mengertikah?"
Pelayan setia itu mengangguk-angguk dan dua titik air mata menetes turun ketika ia menggerakkan kepala. "Nah, kau berkemaslah," kata Menteri Kam, diam-diam berterima kasih dan lega hatinya bahwa dia mempunyai seorang pelayan demikian setia.
Malam itu, guru dan murid ini tidak tidur. Setelah makan minum, mereka berdua hanya duduk bersamadhi, mengumpulkan tenaga sambil menanti datangnya saat yang mereka tentukan, yaitu antara tengah malam dan pagi, waktu yang paling sunyi karena para penjaga pun sudah banyak yang tertidur dan sisanya tentu sudah mengantuk berjaga sampai hampir pagi.
Menjelang pagi, pada saat seluruh kota raja tertidur dan keadaan sunyi senyap, tampak tiga bayangan orang berkelebat keluar dari gedung Menteri Kam Liong. Mereka itu bukan lain adalah Menteri Kam Liong sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si bongkok Gu Toan yang membawa bungkusan besar di punggungnya yang berpunuk dan bongkok itu. Setelah memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan memisahkan diri, membelok ke selatan dan terus berlari menuju pintu gerbang selatan. Bagi dia tidaklah sukar untuk keluar dari pintu gerbang pada saat seperti itu karena ketika ia memperlihatkan surat perintah Menteri Kam kepada penjaga yang memandangnya dengan mata mengantuk, dia lalu dibukakan pintu gerbang dan berlarilah Si Bongkok ini keluar pintu gerbang, mencari tempat persembunyian diluar tembok kota raja di sebelah selatan,
menanti dengan hati penuh gelisah.
Menteri Kam Liong dan muridnya bergerak cepat sekali, bayangan mereka melesat ke depan sehingga di malam gelap itu sukarlah mengikuti gerakan mereka dan kalau kebetulan ada yang melihat tentu tidak menduga bahwa berkelebatnya dua sosok bayangan itu adalah dua orang manusia. Mereka mengenakan pakaian ringkas sungguhpun sengaja memakai pakaian kebesaran mereka. Menteri Kam Liong memakai pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan lengan baju lebar akan tetapi kedua celananya bagian bawah ditutup dengan sepasang sepatu kulit yang panjang menutupi betisnya. Kepalanya diikat dengan kain pembungkus kepala
ringkas sehingga biarpun pakaiannya adalah pakaian menteri, namun karena ringkas sederhana ia tampak sebagai seorang tokoh kang-ouw! Adapun Khu Tek San memakai pakaian panglima, bahkan mengenakan baju perang yang terlindung kulit tebal di bagian bahu, dengan dada, perut dan kaki dibawah lutut. Pedang panjang tergantung dipinggangnya. Rambutnya tidak dibungkus, hanya diikat keatas dengan sehelai sutera pengikat rambut. Panglima dengan kumisnya yang meruncing kekanan kiri ini kelihatan gagah perkasa! Mereka berdua langsung memasuki daerah istana dari tembok belakang. Tembok itu amat tinggi dan agaknya Khu
Tek San takkan mampu melompatinya, apalagi dengan pakaiannya yang berat itu kalau gurunya tidak membantunya dengan dorongan kuat dari bawah. Keduanya berhasil meloncat turun kesebelah dalam dan mulailah mereka berjalan menuju kebangunan penjaga di belakang istana yang terjaga ketat.
Tepat seperti yang diduga dan diperhitungkan Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga tertidur pulas. Sebagian lagi melenggut saking mengantuk, dan hanya ada belasan orang saja yang dapat bertahan, menjaga sambil main kartu. Melihat munculnya dua orang dari dalam gelap, mereka terkejut, akan tetapi mereka tidak jadi menyambar senjata atau berteriak ketika mengenal bahwa yang muncul adalah Panglima Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Mereka yang tidak tidur atau mengantuk, cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang berpangkat itu. "Maaf.... hamba.... hamba tidak tahu...." Kepala pengawal berkata gugup, karena munculnya dua orang itu, terutama sekali Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.
"Tak perlu ribut-ribut. Buka pintu untuk kami!" kata Panglima Khu dengan suara penuh wibawa. "Bu.... buka pintu.... tapi.... hamba tak boleh...." Kepala pengawal menjadi bingung memandang kepada pintu besi yang terkunci dengan gembok kuat sekali itu.
"Aku memerintahkan, dan disini hadir pula Kam-taijin yang ingin memeriksa tawanan, engkau masih berani banyak cerewet?" Panglima Khu membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Maaf.... hamba tidak membantah, Ciangkun.... hanya hamba telah dipesan oleh Suma-goanswe...."
"Bukalah!" kata Menteri Kam Liong dengan suara halus namun lebih mantap daripada suara Khu-ciangkun. "Kalau ada kemarahan dari Suma-goanswe, aku yang bertanggung jawab."
Mendengar ini, penjaga itu tidak berani rewel lagi dan ia lalu membuka kunci pintu besi yang menghubungkan tempat penjagaan dengan bangunan penjara. Menteri Kam dan Khu Tek San saling memberi tanda dengan kedipan mata, tubuh mereka bergerak seperti terbang menerjang para penjaga itu dan dalam beberapa detik saja para penjaga itu telah terpelanting roboh karena tertotok sehingga dipandang sepintas lalu keadaan mereka seperti kawan-kawan mereka yang tidur pulas.
Guru dan murid itu cepat memasuki pintu besi dan kembali mereka bertemu dengan serombongan penjaga di depan penjara. Penjaga di situ ada sepuluh orang, akan tetapi yang masih berjaga hanya tiga orang saja. Tanpa banyak cakap, selagi tiga orang ini memandang kaget dan bengong sehingga lupa memberi hormat, tiga kali lengan baju Menteri Kam mengebut dan tiga orang penjaga itu pun roboh "pulas" di tempatnya.
Setelah melampaui penjagaan-penjagaan dengan mudah, akhirnya mereka berdua tiba di depan kamar tahanan Han Ki dan melihat pemuda itu menggeletak pingsan diatas pembaringan batu dalam keadaan kaki tangan terbelenggu dan pingsan! Ternyata bahwa luka-lukanya yang tidak dirawat, dan tiga hari tidak diberi makan minum, akhirnya membuat pemuda yang sudah tidak peduli akan keselamatannya itu pingsan!
Di depan pintu kamar tahanan ini terdapat dua orang penjaga yang berbeda dengan para penjaga di depan karena mereka ini adalah dua orang panglima kaki tangan Suma Kiat. Begitu melihat munculnya Menteri Kam Liong dan Panglima Khu, dua orang itu meloncat kaget.
Seorang di antara mereka memutar golok menerjang Menteri Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke sudut ruangan itu.
"Plak!" Panglima muda yang menerjang Menteri Kam dengan pedangnya itu terbanting roboh dan pedangnya patah menjadi dua, sedangkan Panglima Khu yang melihat panglima kedua lari ke sudut ruangan dan menarik sebuah tali yang tergantung di situ, cepat menubruk dan sekali pukul ia merobohkan panglima itu. Akan tetapi terlambat. Kiranya tali yang ditarik itu menghubungkan sebuah tempat rahasia dan terdengarlah bunyi berkerincing yang nyaring sekali. Suara itu segera disusul oleh bunyi kentung tanda bahaya yang membangunkan semua penjaga sehingga mereka berteriak-teriak dan membunyikan tanda bahaya pula. "Tek San! Cepat, kaupondong Han Ki, biar aku yang melindungimu keluar!" Menteri Kam yang biasanya amat halus
gerak-geriknya, kini dengan sikapnya meloncat ke depan, sekali renggut saja putuslah rantai yang mengikat pintu, mendorong daun pintu dan meloncat kedalam kamar tahanan diikuti oleh muridnya. Menteri Kam Liong kembali menggunakan jari-jari tangannya yang kuat, mematahkan belenggu kaki tangan Han Ki yang masih pingsan. Dengan cepat Khu Tek San lalu memondong tubuh Han Ki yang lemas dan pada saat itu, terdengar bunyi alat tanda bahaya dipukul gencar diluar pintu kamar tahanan.
"Suma Kiat, engkau benar-benar orang yang tak tahu diri!" Menteri Kam Liong membentak marah ketika melihat bahwa yang memukul tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat yang sudah mengejar ke situ bersama pasukan panglima pilihan dari istana. Kiranya Jenderal ini sudah menduga bahwa Menteri Kam tentu akan turun tangan sebagaimana yang diduga dan diharapkan, maka ia sengaja membiarkan pengawal biasa menjaga tempat tahanan, sedangkan dia sendiri bersama panglima-panglima pilihan yang berkepandaian tinggi menanti di dalam ruangan tersembunyi yang dihubungkan dengan tempat tahanan melalui sebuah tali. Dia menempatkan dua orang panglima pilihannya secara bergilir di depan kamar tahanan dan begitu ada bahaya, mereka disuruh menarik tali itu. Di ruangan tersembunyi, Jenderal Suma Kiat dan para panglima melakukan penjagaan secara bergilir sehingga menjelang pagi itu, begitu alat rahasia berbunyi, mereka semua dibangunkan dan menyerbu ke tempat tahanan!
"Ha-ha-ha, Kam Liong, sudah kuduga bahwa akhirnya engkau menjadi pemberontak juga!, Kalian terjebak seperti tiga ekor tikus, ha-ha-ha!"
"Tek San, ikuti aku!" Kam Liong membentak sambil mencabut sepasang senjatanya yang ampuh dan menggiriskan hati semua lawannya, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas! Dengan gerakan kilat Kam Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan, diikuti oleh Tek San yang memanggul tubuh Han Ki dengan lengan kirinya sedangkan tangan kanannya sudah mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki dan dirinya sendiri.
Setibanya diluar, Kam Liong sudah disambut serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan lima orang panglima kelas satu dari para tokoh pengawal Kaisar. Melihat ini, makin gemas hati Kam Liong karena hadirnya pengawal-pengawal pribadi Kaisar ini membuktikan bahwa pengeroyokan ini telah direncanakan dengan seijin Kaisar sendiri! Dia tahu bahwa panglima-panglima pengawal pribadi Kaisar adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, hanya sedikit saja di bawah tingkat kepandaian Tek San, maka ia tahu bahwa keadaan mereka bertiga berbahaya sekali. Cepat ia memutar sulingnya dan tampak sinar yang gemilang menyilaukan mata disusul bunyi nyaring beradunya senjata dan di antara tujuh buah senjata lawan yang mengeroyoknya, sebatang pedang dan sebatang golok terlepas dari pegangan pemiliknya! Kam Liong membarengi tangkisannya dengan mengebutkan kipasnya kearah muka mereka. Kebutan ini mendatangkan angin dahsyat yang menyambar kearah tujuh orang pengeroyok. Saking hebatnya sambaran angin kipas, tujuh orang itu cepat mundur dan mereka memutar senjata melindungi tubuh mereka ketika kembali ada sinar kuning emas menyambar merupakan lingkaran sinar yang menyilaukan mata.
"Trangggg, tringg.... cringggg....!" Kembali para pengeroyok berteriak kaget dan hanya Suma Kiat dan Siangkoan Lee saja yang mampu mempertahankan diri dengan tangkisan senjata mereka, sedangkan para panglima pengawal lainnya terhuyung kebelakang.
"Tek San, bawa dia lari, aku menjaga dibelakang!" Menteri Kam Liong berteriak sambil memutar suling emasnya menangkis datangnya sinar bekeredepan dari senjata-senjata rahasia yang dilepas oleh para pengawal. Karena maklum bahwa kini pasukan pengawal yang menyerbu amat banyaknya dan kalau mereka tidak cepat-cepat dapat keluar dari kota taja tentu mereka terancam
bahaya hebat, Khu Tek San mengerti akan maksud suhunya, maka ia pun lalu meloncat sambil memutar pedang melindungi tubuh Han Ki yang dipanggulnya. Pemuda itu masih pingsan dan sama sekali tidak bergerak. Hal ini amat merugikan, karena Tek San mengerti benar bahwa apabila pemuda perkasa ini tidak pingsan dan ikut melawan, agaknya tidaklah amat sukar bagi mereka bertiga untuk menyelamatkan diri lari keluar dari kota raja!
Sepak terjang Kam Liong dan Tek San menggentarkan hati para pengeroyok. Kini Kam Liong tidak lagi berlaku sungkan karena dia maklum bahwa persoalannya menjadi gawat, persoalan mati atau hidup. Dia mengerti bahwa kalau sampai mereka tertawan, tentu akan menerima hukuman mati dan yang lebih menggelisahkan hatinya adalah tercemarnya nama keluarganya sebagai pemberontak, demi keselamatan Han Ki, karena kalau kali ini mereka tertawan dan mati semua, akan habislah keturunan keluarga ayahnya. Maka diputarnya senjata suling dan kipasnya dengan hebat menghadang para pengeroyok yang hendak mengejar Khu Tek San yang menggendong tubuh Han Ki yang masih pingsan.
Melihat betapa orang-orang yang dibencinya dapat lolos keluar dari penjara, bahkan kini telah menyerbu keluar dari dinding tembok istana, Suma Kiat marah sekali dan menambah jumlah pasukan, juga memerintahkan agar pasukan-pasukan keamanan dikerahkan untuk memblokir semua jalan keluar dari kota raja! Sementara itu, dia sendiri memimpin para panglima yang makin banyak jumlahnya, tetap mengeroyok Kam Liong yang mengamuk bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa, mengamuk
sehingga kipasnya menimbulkan angin bersuitan dan suling emasnya merupakan gulungan sinar kuning emas yang menyambar kesana kemari. Karena kini Kam Liong benar-benar meangamuk, bahkan hanya untuk membela diri namun terutama sekali untuk melapangkan jalan bagi Khu Te k San untuk menyelamatkan Han Ki, maka sinar suling emasnya mulai merobohkan para pengeroyok tanpa mengenal ampun lagi.
"Suma Kiat! Jika kau tidak ingin melihat kota raja banjir darah, biarkan kami pergi!" bentaknya berulang-ulang sambil
mengamuk karena di dalam hatinya, menteri tua ini tidak senang harus membunuhi para pengawal. Hal ini amat berlawanan dengan hatinya yang sebetulnya penuh kesetiaan kepada kerajaan.
"Pengkhianat dan pemberontak laknat! Tak mungkin kalian dapat meninggalkan kota raja dengan tubuh bernyawa!" Suma Kiat membentak sambil menyerang lebih ganas lagi.
Kam Liong berduka dan juga marah sekali. Dia terpaksa harus menjadi seorang pengkhianat dan pemberontak rendah, akan tetapi dia siap mengorbankan nyawa dan kehormatannya untuk menyelamatkan keturunan terakhir dan keluarganya. "Aku dan muridku akan menyerahkan nyawa asal Han Ki kaubebaskan!" Teriaknya pula. Akan tetapi, baik Suma Kiat maupun temannya yang sebagian memang tidak suka kepada menteri yang setia dan jujur yang selalu menentang kelaliman para pembesar, malah mengurungnya dengan ketat. "Tek San! Lari....!" Kam Liong berteriak, mencurahkan tenaganya menerjang Suma Kiat. Suma Kiat yang amat lihai itu kewalahan menghadapi sambaran sinar kuning emas dan dia tentu menjadi korban kalau saja lima orang temannya tidak melindunginya dengan tangkisan-tangkisan senjata mereka. Enam orang itu sampai terpental ke belakang dan terhuyung-huyung ketika senjata mereka bertemu dengan sinar kuning emas yang amat kuat itu. Kesemuanya ini dipergunakan Kam Liong untuk meloncat ke dekat Tek San, sinar sulingnya merobohkan tiga orang pengeroyok muridnya sehingga Tek San dapat melarikan diri. Menteri tua yang sakti itu pun lalu mengejar dan melindungi larinya Tek San dari belakang.
"Wirrr.... wirrr....!" Hujan anak panah mulai berdatangan, menyambar dari belakang, kanan dan kiri kearah tiga orang pelarian itu. Namun, pedang di tangan Tek San dan suling di tangan Kam Liong diputar cepat, meruntuhkan semua anak panah
yang menyambar, juga kebutan kipas membuat anak-anak panah terlempar dan menyeleweng ke kanan kiri. Mereka berdua menangkis sambil berlari terus menuju ke selatan karena mereka bermaksud melarikan diri keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Akan tetapi, dari segala sudut dan lorong di kota raja, berbondong-bondong muncul pasukan-pasukan yang menghujankan anak panah dan mengeroyok, seperti semut banyaknya sehingga usaha melarikan diri dua orang guru dan murid itu selalu terhalang dan sukar, hanya dapat maju dengan lambat.
"Kita harus dapat keluar sebelum terang cuaca!" Kam Liong berkata kepada muridnya. "Larilah cepat, biar aku yang menghadapi semua rintangan!" Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti burung garuda menyambar di sekeliling tubuh muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya. "Suhu....!" Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok. "Hemm, bicaralah!" Kam Liong berkata nyaring, suaranya
penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan kedukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya itu.
"Cet-cet cettt....!" Belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.
"Keparat!" Kam Liong berseru, sulingnya diputar menangkis dan kipasnya berhasil menangkap atau menjepit tiga batang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan robohnya dua orang pengawal dari atas genteng itu, dahi mereka "termakan" piauw mereka sendiri.
"Suhu.... kalau sampai gagal.... harap Suhu maafkan teecu....!" Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nyawa sendiri yang terancam maut, melainkan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengecewakan hati gurunya.
"Jangan cerewet! Cepat lari!" Kam Liong membentak, akan tetapi biarpun dia membentak, muridnya dapat menangkap getaran suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki yang pingsan.
"Kejar...."
"Tangkap....!"
"Bunuh mereka semua....!" Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong dan mengejar larinya Tek San!
Khu Tek San sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang. Cepat ia miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang. "Tring-tranggg....!"
Khu Tek San terkejut karena tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar hebat. Cepat ia membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri. "Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormat!" Tek San membentak marah dan memutar pedangnya. Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
"Cringgg....!" Dua batang pedang bertemu dan Tek San terhuyung mundur. Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biarpun tidak memondong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa mengejek.
"Khu Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan daripada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku. Berlututlah!"
"Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati daripada berlutut dan menyerah kepada seorang seperti engkau!" Khu Tek San berseru marah dan menyerang. Sambil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah terdesak hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat amat cerdik. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini
berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan diri mereka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar repot sekali. Ketika pedang Suma Kiat membacok kearah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.
"Tranggg....!" Pedang Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok kearah kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini tidak ada
kesempatan lagi baginya untuk menggunakan pedang menangkis, sedangkan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat menyambar kebawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang kanan.
"Cett!" Darahnya muncrat keluar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat mengelak dengan loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang panglima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.
"Keparat, hendak lari kemana kau!" Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur kearah Tek San. Panglima perkasa ini terancam bahaya maut karena sinar itu adalah dua batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia maut yang hebat, yang diwarisi oleh Suma Kiat dari ibunya. Jarum-jarum ini kalau dilepas oleh tangan yang ahli seperti tangan Suma Kiat, meluncur cepat tanpa mengeluarkan suara dan sekali mengenai tubuh akan menyusup-nyusup dan racunnya akan terbawa oleh darah sehingga seketika korbannya akan tewas. Dan saat itu, Tek San yang sudah terluka dan sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam bahaya maut! "Trik-trik!" Dua buah jarum merah kecil itu runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah Suma Kiat.
"Suhu, awas...." Siangkoan Lee berseru dan Suma Kiat cepat membuang tubuhnya ke belakang terus bergulingan. Untung bahwa Siangkoan Lee memperingatkan gurunya, nyaris dia menjadi korban suling emas yang ampuh. Kiranya yang menolong Tek San adalah Kam Liong yang sudah berhasil membubarkan pengeroyokan atas dirinya yang dilakukan oleh Siangkoan Lee dan para panglima, menghadang menteri sakti ini membantu muridnya.
"Tek San, lari....!" Kembali Kam Liong berteriak dan Tek San sudah meloncat lagi sambil lari terus ke selatan. Kam Liong mengikuti dari belakang sambil melindungi muridnya itu. Biarpun dihadang, dikepung dan dihujani senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan orang banyaknya, guru dan murid ini tetap dapat maju terus ke selatan, merobohkan banyak sekali pengawal dan panglima. Kota raja menjadi geger seolah-olah kedatangan serbuan pasukan musuh yang kuat dan banyak jumlahnya. Ketika para penduduk mendengar bahwa kegegeran itu disebabkan oleh Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San yang melarikan tawanan, mereka menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari pintu, diam-diam sebagian besar dari mereka berdoa untuk keselamatan Menteri Kam Liong yang dicinta dan disegani rakyat! Panglima-panglima dan pembesar yang bersimpati kepada
Menteri Kam Liong, merasa berduka dan gelisah sekali. Mereka bersimpati kepada menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba menjadi pe mberontak dan melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri? Mereka dapat dicap pemberontak dan malapetaka besar akan menimpa keluarga mereka.
Sinar matahari pagi telah menerangi bumi ketika akhirnya Kam Liong dan Tek San yang berlari sambil bertempur itu mendekati pintu gerbang selatan di mana telah berjaga seratus orapg perajurit, bahkan Suma Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan orang panglima telah pula mendahului para pelarian ini memperkuat penjagaan di pintu gerbang ini!
"Tek San, saat terakhir yang menentukan telah tiba. Kita mati atau selamat di sini! Terowongan pintu gerbang itu sempit, tidak akan lebih dari dua puluh orang dapat mengepung kita di sana. Kita membuka jalan darah, harus dapat memasuki terowongan. Kau di depan terus langsung mendobrak dan membuka pintu, aku yang mempertahankan kejaran mereka dari belakang. Cepat!"
Tek San terpincang-pincang, paha kanannya terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk tombak pengeroyok, akan tetapi semua rasa nyeri tidak dipedulikan. Sambil mengangguk ia memutar pedangnya, membuka jalan darah merobohkan empat orang panglima lalu memasuki terowongan pintu gerbang.
Menteri Kam Liong juga sudah terluka. Ketika tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan belasan orang panglima, ia mengamuk, merobohkan belasan orang panglima dan puluhan orang perajurit pengawal, akan tetapi pundak kirinya kena totokan golok, dan kipasnya ketika menangkis lima pedang sekaligus, mematahkan semua pedang akan tetapi daun kipasnya terobek. Biarpun demikian menteri tua putera pendekar sakti Suling Emas ini masih tetap kuat dan mengamuk terus dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Suling emas di tangannya seolah-olah menjadi makin berkilauan "tercuci" darah puluhan orang lawan yang
dirobohkannya, kipasnya yang robek menjadi dua itu seolah-olah menjadi makin lihai. Akan tetapi, karena kini ia bergerak
di depan mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi pengeroyokan yang amat banyak. Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di dalam hatinya, Menteri Kam Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan mempertahankan mulut terowongan pintu gerbang itu sampai napas terakhir untuk memberi kesempatan muridnya melarikan Han Ki. Dia sudah tua, tidak ada seorang pun keluarganya, maka kematian bukan apa-apa baginya, juga tidak akan menyedihkan hati orang lain. Akan tetapi, muridnya belum begitu tua mempunyai anak isteri pula, sedangkan Han Ki masih seorang pemuda remaja. Mereka itu harus hidup, dan dia rela mengorbankan nyawanya demi dua orang yang disayangnya itu.
Setelah merobohkan tiga orang penjaga lagi, yang merupakan orang-orang terakhir penjaga pintu gerbang, Khu Tek San terpincang-pincang menghampiri pintu gerbang. Tenaganya sudah hampir habis dan darah yang mengucur dari luka di pahanya terlalu banyak, membuat ia menjadi lemas dan pandang matanya berkunang. Adapun Kam Liong menghadapi pengeroyokan terlalu banyak orang, tidak sempat memperhatikan muridnya. Dia seorang yang sakti, akan tetapi dia pun hanya seorang manusia dari darah daging sehingga melakukan pertempuran menghadap pengeroyokan orang-orang pandai terus menerus semenjak malam sampai pagi benar-benar amat melelahkan. Apalagi setelah pundaknya terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang merupakan pengepungan paling hebat ini, biarpun ia telah berhasil melukai pangkal lengan Suma Kiat dengan gagang kipasnya, merobohkan Siangkoan Lee yang patah tulang pundaknya karena pukulan suling, membinasakan banyak sekali pengeroyok lain, namun kakek sakti ini sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak, membuat ia terluka di beberapa tempat dan seluruh tenaganya diperas hampir habis, napasnya terengah-engah dan pandang matanya menjadi kabur.
Khu Tek San dengan terengah-engah sudah dapat mendekati pintu gerbang. Cepat ia mempergunakan tangannya untuk merenggut palang pintu, akan tetapi betapa kagetnya ketika pintu itu sama sekali tidak dapat dibukanya. Palang pintu yang terbuat dari baja itu seolah-olah melekat atau berkerut. Memang palang pintu itu amat berat, biasanya ditarik oleh empat orang penjaga. Akan tetapi apa artinya bagi Khu Tek San benda seberat itu? Biasanya, kekuatannya melebihi kekuatan sepuluh orang biasa. Agaknya tanpa ia sadari, tenaganya sudah hampir habis, tubuhnya sudah lemas karena kehilangan darah dan kelelahan membuat dia hampir pingsan. Hanya berkat semangatnya yang tak kunjung padam sajalah yang membuat orang gagah ini masih mampu bertahan selama ini.
Guru dan murid itu tidak pernah putus asa, apalagi sekarang setelah mereka tiba di pintu gerbang. Sekali lolos dari pintu gerbang, akan lebih mudah bagi mereka untuk melarikan diri. Dengan ilmu lari cepat mereka, hanya ada beberapa orang saja yang akan dapat mengejar mereka dan beberapa orang itu tentu saja tidak ada artinya bagi mereka berdua. Setelah melakukan pertempuran selama setengah malam dan dapat tiba di pintu gerbang, hati guru dan murid ini sudah menjadi lega dan mulailah timbul harapan besar di hati mereka untuk akhirnya dapat lolos dengan selamat. Akan tetapi, Kam Liong kurang memperhitungkan kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat. Biarpun sudah terluka dan merasa jerih untuk ikut mengeroyok kakak misannya yang benar-benar amat sakti itu, Suma Kiat masih memimpin pengepungan dan melihat betapa Khu Tek San sudah
berusaha membuka pintu gerbang, hatinya menjadi gelisah sekali. Suma Kiat juga sudah memperhitungkan bahwa kalau sampai mereka berdua itu berhasil keluar tembok kota raja, akan sukarlah mengejar dua orang yang berilmu tinggi itu. Maka diam-diam ia lalu memberi perintah kepada pasukan pemanah yang pilihan untuk naik ke atas pintu gerbang, di bawah pimpinannya sendiri Suma Kiat menanti saat baik, selagi Khu Tek San berkutetan membuka palang pintu, dia memberi aba-aba.
Terdengarlah bunyi nyaring bercuitan ketika belasan batang anak panah meluncur dari atas menuju ke tubuh Han Ki dan Khu Tek San. "Tek San awas anak panah....!" Kam Liong yang sudah mulai payah saking lelahnya itu masih sempat memperingatkan muridnya. Tek San terkejut sekali. Kalau tidak diperingatkan, tentu ia menjadi korban karena seluruh perhatian dan tenaganya ia kerahkan untuk membuka daun pintu gerbang. Mendengar suara gurunya, cepat ia memutar pedang dan berhasil, menangkis runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya. Akan tetapi, begitu semua anak panah runtuh dan Tek San
dengan terengah-engah menghentikan gerakan pedangnya, tiba-tiba sebatang anak panah yang amat cepat meluncur datang, hampir tidak bersuara saking cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu sudah menancap dileher kiri Khu Tek San. Itulah anak panah yang dilepas hebat sekali, tepat dan kuat oleh tangan Suma Kiat sendiri!
"Suhu....!" Khu Tek San berseru, pedangnya terlepas dan ia terhuyung ke depan. Teriakan maut itu mengejutkan Kam Liong dan diluar kesadarannya, menteri sakti itu menengok dan seperti juga muridnya yang memandang terbelalak kedepan, ia pun memandang penuh keheranan karena tiba-tiba pintu gerbang yang tadi amat sukar dibuka oleh Khu Tek San itu kini telah terpental lebar dan tampaklah pemandangan diluar pintu gerbang yang amat aneh. Puluhan orang perajurit penjaga seperti telah berubah menjadi arca, ada yang berdiri ada yang rebah, akan tetapi kesemuanya tidak bergerak dan hanya melotot memandang ke arah seorang kakek tua renta yang berdiri di depan pintu gerbang itu, menggandeng dua orang anak perempuan di kedua tangannya. Dua orang anak itu adalah Maya dan Khu Siauw Bwee!
Pada saat itu, Kam Liong berteriak keras karena tiba-tiba sebatang tombak menusuk perutnya! Tusukan maut yang dilakukan tepat sekali oleh seorang panglima, menggunakan kesempatan selagi Menteri Kam Liong menengok dan terkejut, bukan hanya menyaksikan muridnya yang terpanah lehernya, juga menyaksikan munculnya kakek tua renta yang amat aneh itu.
"Ayahhhh....!" Khu Siauw Bwee menjerit melepaskan tangan Si Kakek dan lari masuk menubruk ayahnya yang sudah terjungkal sehingga tubuh Han Ki juga terlempar ke atas tanah.
"Pek-hu....!" Maya menjerit ketika melihat Kam Liong terhuyung ke belakang dengan sebatang tombak menancap di perut hampir menembus punggung.
Akan, tetapi guru dan murid yang gagah perkasa itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat Maya dah Siauw Bwee, keduanya memandang dengan wajah berseri, kemudian hampir berbareng, guru dan murid ini menghembuskan napas terakhir, ditangisi oleh dua orang anak perempuan itu. Para panglima dan pengawal yang tadinya terbelalak dan terheran-heran menyaksikan munculnya kakek tua renta itu, kini sadar kembali dan mereka cepat bergerak maju hendak menyerang. "Cukuplah pembunuhan-pembunuhan ini....!" Tiba-tiba kakek tua renta itu berkata halus dan tubuhnya seolah-olah digerakkan angin melayang kedepan, kedua tangannya dikembangkan dan pergelangan tangannya digoyang-goyang seperti orang mencegah. Anehnya, dari kedua tangan itu
menyambar angin halus yang amat kuat sehingga semua panglima dan pengawal yang menerjang maju itu terpelanting kekanan kiri, ada pula yang terjengkang kebelakang, seolah-olah ada tenaga mujijat yang mendorong mereka mundur. Dengan tenang, kakek itu menghampiri Maya dan Siauw Bwee, berkata lirih. "Orang hidup mesti mati. Hal yang sudah wajar dan semestinya, mengapa ditangisi?" Sungguh mengherankan, dua orang perempuan itu yang dilanda duka, terutama sekali Siauw Bwee yang melihat ayahnya tewas, seolah-olah lupa akan kedukaan mereka dan bangkit berdiri, memandang kakek itu dengan wajah sayu. Kakek itu membungkuk, mengangkat tubuh Han Ki, disampirkan di atas pundaknya. Pada saat itu terdengar teriakan yang diseling isak tangis dan dari luar pintu gerbang masuklah seorang laki-laki bongkok, langsung meloncat kedekat jenazah Kam Liong, berlutut dan menangis. Orang itu bukan lain adalah Gu Toan, pelayan dan juga murid Kam Liong yang amat setia.
Kakek tua renta itu mengangguk-angguk. "Bahagialah orang yang memiliki kesetiaan seperti engkau. Akan tetapi, menangis tiada gunanya. Lebih baik urus jenazah majikanmu dan muridnya, kuburkan abunya di kuburan keluarga mereka,"
Gu Toan menengok dan begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek tua renta sambil berkata, "Hamba mohon petunjuk."
Kakek itu tersenyum, menggerakkan tangan dan telapak tangannya menekan kepala Gu Toan. Pelayan Menteri Kam merasa hawa yang hangat dan makin lama makin panas memasuki kepalanya, terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebagai seorang pelayan yang dapat dikatakan juga murid seorang sakti seperti Kam Liong, Si Bongkok Gu Toan ini maklum bahwa kakek tua renta yang memiliki sinar pandang mata yang luar biasa seolah-olah menyinarkan sesuatu yang mujijat, adalah seorang maha sakti yang kini sedang memasukkan tenaga gaib ke dalam tubuhnya. Tentu saja ia menjadi girang sekali dan "membuka " semua pintu jalan
darahnya untuk menerima kekuatan sakti itu. Setelah kakek itu melepaskan telapak tangannya, Gu Toan merasa betapa dadanya hangat dan nyaman, dan ketika ia menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri, ia merasa tubuhnya ringan dan penuh semangat. Maka ia tidak mau membuang waktu lagi, maklum bahwa dalam saat yang penuh mujijat itu semua penjaga tidak ada yang dapat bergerak, cepat ia mengangkat jenazah Kam Liong dan Khu Tek San, kemudian melangkah lebar meninggalkan pintu gerbang itu dengan kedua jenazah di pundaknya. Suling dan kipas milik Kam Liong dia bawa pergi pula, diselipkan di pinggangnya.
Kelak akan ternyata bahwa Si Bongkok Gu Toan ini menguburkan abu jenazah kedua orang gagah itu di tanah pekuburan keluarga Suling Emas di Khitan, kemudian menjaga kuburan itu sampai menjadi kakek-kakek dengan penuh kesetiaan, dan sementara itu, ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab-kitab peninggalan Kam Liong ikut pula disimpannya dan sebagian dipelajarinya. Setelah ia menerima tenaga sakti yang diberikan kakek itu kepadanya, Gu Toan menjadi seorang yang amat lihai.
Kakek tua renta itu menarik napas panjang penuh kekaguman atas sikap Gu Toan. Seorang pelayan dapat mempunyai kesetiaan seperti itu, patut dicontoh oleh orang-orang yang merasa dirinya "besar", namun sesungguhnya, yang besar hanyalah pangkatnya atau keadaan lahiriah saja, sedangkan keadaan batinnya amatlah kecil dan rendahnya.
Siapa kakek tua renta yang memiliki kesaktian luar biasa ini? Dan bagaimana ia dapat datang di situ bersama Maya dan Siauw Bwee? Telah diceritakan di bagian depan betapa Maya dan Siauw Bwee yang dijadikan perebutan di dalam pesta Coa-bengcu, telah ditolong oleh kakek aneh berambut putih. Kakek ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu, tepat seperti yang telah disangka oleh tokoh-tokoh kang-ouw di dalam pesta ulang tahun Coa Sin Cu atau juga disebut Coa-bengcu. Memang sukar untuk dipercaya bahwa kakek itu adalah Bu Kek Siansu, karena nama besar manusia dewa Bu Kek Siansu sudah ada semenjak puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi memang sesungguhnyalah. Kakek itu adalah manusia dewa yang amat sakti Bu Kek Siansu yang usianya sukar ditaksir bahkan tidak ada yang tahu berapa banyaknya. Tokoh penuh rahasia yang kabarnya bertempat tinggal di Pulau Es itu
muncul dan pergi seperti dewa, atau seperti setan bagi mereka yang hidup di dunia hitam, memiliki kesaktian yang sulit dilukiskan dengan kata-kata karena memang kakek itu tidak pernah bertempur, akan tetapi belum pernah ada tokoh kang-ouw yang bagaimana sakti pun dapat merobohkannya! Dengan langkah tenang, Bu Kek Siansu yang memanggul tubuh muridnya, yaitu Kam Han Ki, menggandeng tangan Maya dan Siauw Bwee, kemudian meninggalkan tempat itu seperti tidak pernah terjadi sesuatu, diikuti pandang mata para penjaga yang seperti dalam mimpi, tidak mampu bergerak dan yang dapat bergerak pun tidak berani berkutik karena getaran aneh dan wibawa yang keluar dari kakek itu amat luar biasa dan menimbulkan rasa seram di hati mereka. Setelah kakek bersama dua orang anak perempuan itu lenyap dari pandang mata, barulah keadaan menjadi geger karena
Suma Kiat memaki-maki anak buahnya, marah-marah dan mencak-mencak. Kalau saja dia bukan seorang yang mempunyai pengaruh besar, tentu dia menerima kemarahan dan mungkin hukuman berat dari Kaisar karena dia tidak berhasil menangkap Kam Han Ki yang lolos dari tempat tahanan.
Biarpun hati Suma Kiat menjadi lega dan girang karena kematian Kam Liong yang membawa arti bahwa dia tidak mempunyai penghalang yang ditakutinya lagi, namun kalau teringat akan Bu Kek Siansu dan dua orang anak perempuan, terutama teringat akan Kam Han Ki, kadang-kadang ia bergidik dan merasa ngeri. Apalagi karena semenjak melarikan diri, putera tunggalnya, Suma Hoat, tidak pernah mengabarkan diri lagi. Karena itu maka semua kepandaiannya ia turunkan kepada muridnya yang ia percaya, yaitu Siangkoan Lee dan dalam keadaan berduka, ia membenamkan diri dalam pelukan dan hiburan selirnya yang paling cantik dan yang paling ia cinta, yaitu selirnya termuda dan terbaru Bu Ci Goat. Betapapun juga, Suma Kiat tidak dapat melupakan kenyataan bahwa persoalannya dengan Kam Liong membuat namanya menjadi tersohor dan dibenci oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang merasa kagum kepada Kam Liong.
Pada suatu pagi yang cerah, di tepi pantai paling utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek Siansu bersama Han Ki, Maya
dan Siauw Baee berdiri sambil menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya, yaitu munculnya matahari pagi di timur. Matahari tampak sebagai sebuah bola besar yang merah seperti bulan, purnama, sedikit demi sedikit muncul dari permukaan laut, tidak tampak gerakannya akan tetapi makin lama makin naik sehingga akhirnya mengambang di atas air laut. Makin tinggi matahari muncul, makin terang sinarnya, mula-mula sinar merah, makin lama makin kekuningan seperti keemasan dan akhirnya membakar seluruh permukaan laut dan tidak lama kemudian, mulailah sinar itu menyilaukan mata dan mata manusia tidak dapat pula memandang matahari secara langsung saking gemilangnya.
Bu Kek Siansu berdiri seperti patung, memandang kearah air laut yang kini diselaput emas. Dia seperti terpesona dan akhirnya terdengar kakek itu menarik napas panjang dan berkata halus.
"Han Ki...."
Pemuda itu memandang kakek itu dengan jantung berdebar. Dia belum dapat menyelami dan mengenal watak kakek itu yang penuh rahasia dan amat aneh, akan tetapi dalam suara itu ia merasakan semacam getaran yang aneh dan mengharukan, seolah-olah suara kakek itu membayangkan sesuatu yang berbeda dari biasanya dan amat aneh. Semenjak dibawa pergi kakek itu, cepat kesehatannya pulih kembali dan ia melakukan perjalanan bersama Maya den Siauw Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke pantai ini, dan setelah berjam-jam kakek itu berdiri mengagumi keindahan sinar matahari pagi, kini tiba-tiba memanggilnya dengan suara penuh getaran luar biasa.
"Suhu....!" Ia menjawab sambil menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Kek Siansu, dipandang oleh Maya dan Siauw Bwee. Kedua orang anak perempuan ini selama melakukan perjalanan bersama Bu Kek Siansu, tidak berani banyak bertanya. Seolah-olah ada sesuatu yang keluar dari sikap kakek itu yang membuat mereka tidak berani banyak bicara, karena ada wibawa yang menyeramkan namun juga mengharukan dari kakek itu. Bahkan Maya yang biasanya amat cerewet dan rewel, ketika berada di dekat kakek itu berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara. "Han Ki, dengarlah baik-baik kata-kataku karena saat ini merupakan saat terakhir engkau mendengar pesanku. "Suhu....! Apa.... apa maksud Suhu?" Han Ki bertanya, hatinya makin tidak enak.
Kakek itu menoleh dan menunduk, tersenyum. "Lepaskan kegelisahan dari hatimu. Saat ini sudah kunanti-nanti selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Saat ini merupakan saat yang paling bahagia bagiku, karena aku akan terbebas! Sudah tiba saatnya bagiku untuk mengundurkan diri dari dunia ini, Han Ki, hanya ada satu hal yang kuanggap sebagai kewajiban terakhir, yaitu memperingatkan kepadamu bahwa engkau memikul tanggung jawab dan tugas yang amat berat. Dua orang anak itu, dia kini sepenuhnya menjadi tanggunganmu. Engkaulah yang harus memimpin mereka, dan.... engkau hati-hatilah karena bukan hal yang ringan kauhadapi. Kulihat hal-hal yang amat meresahkan, akan tetapi.... biarlah Tuhan yang akan mengaturnya dan semua tergantung dari kalian bertiga sendiri. Tak perlu kujelaskan lagi karena aku tidak dapat menerangkan lebih jeias. Yang penting, engkau harus mengajarkan ilmu-ilmu yang kutinggalkan di Pulau Es, tidak saja mengajarkannya kepada kedua orang sumoimu ini. Yaaa, mereka adalah sumoimu, Han Ki, karena aku mengangkat mereka sebagai murid pula, dengan meninggalkan kitab-kitab pelajaran untuk mereka. Juga engkau dapat memperdalam ilmumu dari kitab-kitab yang kutinggalkan. Kurang lebih lima li dari sini, di sebelah utara, di dalam guha batu karang di tebing laut, ada kutinggalkan sebuah perahu yang kuat. Bawalah kedua sumoimu itu ke sana, kemudian berlayarlah engkau ke Pulau Es. Kalau dari tempat perahu itu engkau berlayar lurus menuju ke matahari terbit, engkau akan tiba di Pulau Es. Sekarang ini saatnya karena laut sedang tenang dan tidak ada
penghalang sehingga jika engkau mendayung kuat-kuat dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di Pulau Es."
"Pulau Es....?" Han Ki berdebar tegang.
"Pulau tempat kerajaan nenek moyangku yang sudah musnah. Akulah yang terakhir. Istana Pulau Es itu kutinggalkan untuk kalian bertiga. Hati-hatilah engkau terhadap ular-ular merah di pulau itu, hati-hati pula terhadap orang-orang aneh yang mengaku datang dari Pulau Neraka. Kalau kalian sudah berhasil tiba di sana, pelajarilah ilmu dengan tekun dan jangan sekali-kali meninggalkan pulau kalau ilmu kalian belum cukup masak. Dunia ini banyak terdapat orang aneh, pandai dan menyeleweng, maka kalian harus hati-hati menghadapi mereka. Akan tetapi.... yang paling berbahaya adalah menghadapi diri kalian sendiri...." kakek itu berhenti bicara dan menghela napas panjang. Tiba-tiba Maya menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu di dekat Han Ki, diturut pula oleh Siauw Bwee.
"Suhu hendak kemanakah?" tanya Siauw Bwee, kini menyebut suhu setelah mendengar bahwa dia dan Maya diaku sebagai murid oleh kakek aneh itu.
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Kuberi tahu juga tidak mengerti engkau, Siauw Bwee."
"Suhu, setelah kami diterima sebagai murid, bolehkah teecu bertanya?" Maya berkata, suaranya nyaring, matanya yang seperti bintang itu bersinar-sinar memandang gurunya. "Bertanyalah selagi ada kesempetan, Maya."
"Suhu tadi mengatakan bahwa paling berbahaya menghadapi diri sendiri. Apa yang Suhu maksudkan?" Kakek itu tersenyum dan memandang kepada Han Ki. "Jawabannya boleh kaudengar dari Suhengmu dan mulai saat ini, segala hal dapat kautanyakan kepada Suhengmu, karena dialah yang mewakili aku mengajar kalian berdua. Han Ki, jawablah pertanyaan Maya tadi."
Dengan suara tenang dan tetap Han Ki menjawab kepada Maya sambil memandang anak perempuan itu. "Sumoi, yang dimaksudkan oleh Suhu adalah bahwa menaklukkan orang lain hanya membutuhkan tenaga kasar dan kepandaian, akan tetapi amatlah berbahaya melawan diri sendiri karena diri sendiri memiliki nafsu-nafsu yang amat kuat dan nafsu-nafsu ini dapat membuat kita terpengaruh dan melakukan penyelewengan. Menghadapi nafsu jasmani diri sendiri tidak dapat dilawan dengan ilmu silat atau dengan tenaga kuat, melainkan dengan kesadaran dan dengan tenaga batin. Karena itu Suhu memperingatkan agar kita selalu waspada terhadap diri sendiri."
Pelajaran ini adalah pelajaran kebatinan yang masih terlampau dalam untuk anak-anak seperti Maya dan Siauw Bwee, akan tetapi karena semenjak kecil kedua orang anak itu sudah mengerti kitab-kitab yang diharuskan mereka baca ketika mereka mempelajari kesusastraan, maka biarpun belum jelas benar, Maya dapat menangkap maksudnya dan ia terdiam.
"Maya dan Siauw Bwee, selanjutnya, mulai saat ini, kalian tidak saja harus belajar ilmu silat di bawah pimpinan Han Ki, akan tetapi kalian juga harus selalu taat akan nasihat dan pesanan Suheng kalian yang mewakili aku. Nah, murid-muridku, saatnya sudah terlalu mendesak. Selamat tinggal dan selamat berpisah, semoga Tuhan senantiasa melindungi kalian dan memperkuat batin kalian. Han Ki, hati-hatilah muridku, terutama terhadap.... Cinta....!" Kakek itu tidak melanjutkan kata-katanya dan tiba-tiba ia meloncat ke.... laut di bawah tebing!
"Suhu....!" Han Ki berteriak kaget
"Suhu....!" Maya dan Siauw Bwee juga berteriak dan meloncat berdiri, menjenguk ke bawah tebing dengan hati tegang bercampur gelisah. Dan tiga orang itu memandang dengan mata terbelalak menyaksikan hal yang amat luar biasa. Mereka melihat kakek itu.... berjalan di atas permukaan air laut, seolah-olah berjalan di atas tanah saja, terus ketimur. "Suhu....!" Mereka berteriak. Bu Kek Siansu menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan. Hanya itulah yang tampak oleh tiga orang anak itu, pemandangan yang tak mungkin dapat mereka lupakan selamanya. Air laut mulai bergerak, gelombang mulai berdatangan dan tak lama kemudian lenyaplah tubuh kakek sakti itu tertutup ombak. Sampai lama ketiganya berdiri tertegun dan akhirnya Han Ki memecahkan kesunyian dengan suaranya yang terdengar menggetar.
"Sumoi, marilah ikut aku pergi mencari perahu seperti yang dipesankan Suhu." Maya dan Siauw Bwee mengangguk lalu mengikuti Han Ki sambil kadang-kadang menengok ke arah laut di mana tadi kakek itu menghilang. Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan bertanya lirih, "Suheng.... Suhu pergi kemanakah?"
Han Ki tidak dapat menjawab dan tiba-tiba Maya berkata, suaranya agak ketus. "Sumoi, mengapa engkau bertanya yang bukan-bukan? Seorang sakti seperti Suhu, pergi kemana siapa yang tahu?"
Siauw Bwee tidak membantah dan Han Ki diam-diam melirik ke arah Maya yang berjalan di sebelah kirinya. Ia melihat wajah Maya muram dan mulut yang bentuknya indah itu cemberut seperti orang marah. Diam-diam Han Ki merasa heran dan untuk menyenangkan hati Maya, ia lalu memegang tangan Maya itu seperti ia memegang dan menggandeng tangan Siauw Bwee. Akan tetapi tiba-tiba Maya merenggut lepas tangannya sambil berkata, "Suheng, aku bukan anak kecil yang harus digandeng-gandeng!"
Han Ki terseayum dan tidak berkata apa-apa, akan tetapi di dalam hatinya timbul ke khawatiran bahwa kelak akan sampai terjadi hal-hal yang memusingkan, tentu dari Maya datangnya. Anak ini memiliki watak yang aneh dan keras, berbeda dengan Siauw Bwee yang wataknya halus dan sabar. "Kuharap saja kalian akan selalu taat kepadaku seperti yang dipesankan Suhu agar semua berjalan beres," katanya perlahan.
"Engkau adalah suheng kami, pengganti Suhu, tentu saja aku akan taat kepadamu, Suheng. Akan tetapi Khu sumoi yang lebih muda harus pula taat kepadaku karena aku sucinya."
Han Ki mengerutkan kening. Dia tidak mengerti mengapa Maya berkata begitu. Ketika ia melirik ke arah Siauw Bwee, ia melihat sumoinya ini hanya menunduk dan wajahnya tetap tenang tidak membayangkan sesuatu. Diam-diam ia kagum kepada Siauw Bwee dan heran akan sikap Maya yang sukar diselami itu. "Sumoi, seorang saudara tua tidak hanya ingin ditaati oleh adik seperguruannya, melainkan juga harus melindunginya.
"Tentu saja!" jawab Maya cepat, "Suheng melindungi aku, dan aku melindungi Sumoi, itu sudah semestinya."
"Hemm...., melindungi yang bagaimana maksudmu, Sumoi?"
"Melindungi dan membela. Kalau ada orang jahat menggangguku, Suheng akan membelaku. Kalau ada orang mengganggu Khu-sumoi aku yang akan membelanya. Tentu saja masih ada Suheng yang melindungi kami berdua."
Han Ki mengangguk-angguk. Kiranya Maya ini agaknya hanya tidak mau kalah oleh Siauw Bwee karena merasa lebih tua! Ia menoleh ke arah Siauw Bwee dan bertanya, "Siauw Bwee sumoi, bagaimana pendapatmu?"
Siauw Bwee menoleh dan memandang sebentar kepada Han Ki. Mengerutkan alisnya yang kecil hitam, kemudian memandang Maya dan menjawab halus, "Aku adalah seorang saudara muda, sudah tentu dalam segala hal aku akan mendengar dan taat akan petunjuk Suheng dan Suci, karena aku yakin bahwa petunjuk dari Suci terutama dari Suheng, tentu baik dan tidak akan mencelakakan aku."
Mendengar ucapan ini, Han Ki memandang penuh perhatian, hatinya kagum karena dari jawaban itu dia dapat mengerti bahwa gadis cilik ini berwatak halus, suka mengalah, tahu diri akan tetapi juga cerdik sekali, dapat mempergunakan keadaan yang tadinya merugikan menjadi menguntungkan! Mulailah hati pemuda ini tertarik sekali kepada dua orang sumoinya. Keduanya merupakan keturunan orang-orang luar biasa dan gagah perkasa. Maya adalah puteri Khitan, anak atau anak angkat kakak sepupunya, yaitu Raja Talibu putera supeknya, Suling Emas. Adapun Siauw Bwee juga bukan anak sembarangan, melainkan puteri tunggal Khu Tek San yang telah tewas mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan dia! Kalau teringat akan ini, mau tidak mau timbul perasaan kasihan dan berterima kasih di dalam hati Han Ki kepada Siauw Bwee. Anak ini telah ditinggal mati ayahnya, ditinggal pergi ibunya tanpa diketahui kemana. Keluarganya berantakan. Bukankah semua itu terjadi karena dia? Karena ayahnya membela dia? Dia harus membalas semua kebaikan itu, dia harus memimpin Siauw Bwee dan kalau perlu menyediakan nyawa untuk membela dan melindungi Siauw Bwee seperti telah dilakukan ayah anak ini kepadanya. "Kalian berdua benar. Memang kita bertiga harus saling mencinta dan membela seperti tiga kakak beradik yang baik, memenuhi pesan Suhu. Akan tetapi marilah kita mempercepat perjalanan agar dapat menemukan perahu itu. Kalian harus tahu bahwa Pulau Es yang disebut Suhu merupakan sebuah pulau rahasia yang tadinya hanya terkenal dalam sebuah dongeng saja. Marilah, kedua Sumoiku yang baik, mudah-mudahan saja semangat Suhu akan membimbing kita sehingga dapat menemukan Pulau Es yang dimaksudkan Suhu."
"Mari kita lari cepat. Sumoi mari kita berlumba!" Maya berkata dan menantang Siauw Bee.
"Baik, marilah, Suci!" Siauw Bwee menjawab tegas dan larilah kedua orang gadis cilik itu di sepanjang pantai laut ke utara, secepat mungkin. Melihat ini Han Ki menggeleng-geleng kepala dan tersenyum. Kiranya mereka itu masih seperti anak-anak, pikirnya, sama sekali tidak sadar bahwa perlumbaan lari itu merupakan pertanda bahwa di dalam hati kedua orang gadis cilik itu telah terpendam bibit persaingan yang akan menimbulkan banyak keruwetan dalam hidupnya! Han Ki tersenyum dan ia pun berkelebat mengejar, membayangi kedua orang sumoinya dari belakang sambil memperhatikan cara mereka berlari cepat.
***
Kedua orang gadis cilik itu dapat berlari cukup baik, dan kecepatan mereka berimbang. Han Ki yang memperhatikan dari belakang melihat bahwa dasar ilmu lari cepat mereka adalah dari satu sumber, yaitu ilmu lari cepat Liok-te-hui-teng. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa Maya lebih terlatih dan agaknya bekas Puteri Khitan itu memang sering kali mempergunakan ilmu lari cepat sehingga setelah Siauw Bwee mulai tampak lelah, Maya masih dapat beriari dengan seenaknya. Han Ki melihat betapa Siauw Bwee dengan nekat mempercepat larinya agar dapat mengimbangi kecepatan Maya. Ia merasa kasihan karena maklum bahwa sebentar lagi Siauw Bwee tentu akan kehabisan napas dan akan kalah. Maka ia lalu mempercepat gerakan kakinya, melampaui mereka dan berkata tertawa.
"Wah, kalau kalian berlari begini lambat, sampai kapan kita bisa menemukan perahu itu? Mari kugandeng tangan kalian, Sumoi!" Han Ki menyambar tangan Maya dan Siauw Bwee dengan kedua tangannya, kemudian mengerahkan ginkangnya dan berlari cepat sekali, membuat Maya dan Siauw Bwee kagum bukan main dan mereka melupakan perlumbaan mereka tadi.
"Suheng, larimu cepat sekali!" Maya berseru kagum. "Seperti Suhu ketika membawa lari aku dan Suci. Suheng ilmu lari apakah ini?" Siauw Bwee juga berkata. "Inilah yang disebut Cio-siang-hui!" jawab Han Ki. "Suheng, kau harus ajarkan ilmu ini kepadaku! " Maya berseru dengan kagum karena ilmu "terbang di atas rumput" ini hanya ia dengar saja dan baru sekali ini dia melihatnya. "Tunggu sampai kita dapat menemukan Pulau Es. Tidak ada ilmu yang takkan kuajarkan kepada kalian berdua.
Sekarang diamlah dan tutup matamu agar jangan merasa ngeri." Setelah berkata demikian, tiba-tiba gerakan kaki Han Ki berubah dan larinya makin cepat karena tidak seperti tadi, hanya lari biasa, melainkan kadang-kadang melompat jauh ke depan sehingga larinya menjadi cepat bukan main. Maya dan Siauw Bwee tadinya mentaati pesan suhengnya dan memejamkan mata. Mereka mendengar angin berdesir di kanan kiri telinga dan merasa betapa tubuh mereka terangkat sehingga kedua kaki mereka kadang-kadang melayang dan kadang-kadang hanya menyentuh tanah sedikit saja. Rasa ingin tahu membuat dua orang gadis cilik itu membuka mata dan akhirnya mereka membelalakkan mata dan memandang penuh kagum, bahkan Maya berteriak girang.
"Suheng, ajarkan ilmu ini kepadaku!" Melihat betapa kedua orang sumoinya sama sekali tidak merasa ngeri, bahkan membuka mata dan kegirangan, diam-diam Han Ki menjadi girang sekali. Memang pilihan suhunya untuk mengambil murid dua orang anak perempuan ini benar-benar tepat. Keduanya memiliki bakat yang amat baik, dan lebih-lebih lagi, keduanya memiliki ketabahan yang merupakan syarat terpenting bagi seorang calon ahli silat. Ketabahan mendatangkan ketenangan dan betapapun pandai seseorang dalam ilmu silat, kalau dia tidak memiliki ketabahan dan tidak dapat bersikap tenang, berarti dia sudah kehilangan setengah ilmunya. "Bersabarlah engkau, Maya-moi. Lihat, di depan itulah agaknya tebing yang dimaksudkan Suhu. Mari kita mencari perahu itu!"
Ucapan ini membuat Maya dan Siauw Bwee tertarik sekali. Mereka bertiga lalu menuruni tebing yang terjal dan Han Ki tetap menggandeng tangan kedua orang sumoinya karena menuruni tebing itu merupakan pekerjaan yang cukup berbahaya. Namun, gin-kang yang dimiliki Han Ki telah mencapai tingkat tinggi sehingga biarpun menggandeng dua orang sumoinya, ia dapat mengajak mereka turun dengan cepat sampai tak lama kemudian mereka tiba di bawah tebing, di bagian pantai dimana terdapat banyak guha yang tercipta oleh gempuran ombak setiap hari ke arah dinding karang. Dan di sebuah di antara guha-guha ini, tampaklah perahu yang dimaksudkan Bu Kek Siansu, sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu yang kuat, bentuknya meruncing dan di tengahnya terdapat atap yang membuat ruangan kecil namun cukup untuk tempat berteduh dari terik matahari.
"Ini perahu Suhu!" Han Ki berseru girang. "Marilah!" Maya dan Siauw Bwee ikut menjadi girang melihat perahu itu dan mereka membantu Han Ki melepaskan ikatan perahu pada batu karang, kemudian melihat Han Ki menarik keluar perahu dari dalam guha dan mendorongnya ke atas air laut. Setelah kedua orang sumoinya naik ke atas perahu dan duduk di bangku bawah atap, Han Ki mulai mendayung perahunya, mengambil arah ke timur. Perahu yang ujungnya runcing itu meluncur cepat sekali. Air laut tenang sehingga mereka merasa nyaman duduk di atas perahu, sedikit pun tidak terguncang, hanya meluncur cepat ke depan seperti
terbang.
Maya dan Siauw Bwee tertarik melihat Han Ki mendayung perahu. Mereka minta belajar dan tak lama kemudian, dua orang gadis cilik itu menggantikan Han Ki mendayung. Perahu meluncur dikemudikan oleh Han Ki dan mereka bercakap-cakap.
"Suheng, kelak kalau aku sudah tamat belajar, aku akan pergi mencari Ibu." Han Ki memandang sumoinya yang kecil itu. Ah, kiranya diam-diam anak ini selalu memikirkan ibunya. Betapa kuat hatinya karena dapat menutupi kerinduannya. Ia mengangguk. "Tentu saja, Sumoi. Dan aku akan membantumu mencari sampai dapat. Kurasa kalau kita menyelidiki ke kota raja kelak, akan ada kenalan orang tuamu yang tahu akan rahasia itu, tahu ke mana Ibumu pergi mengungsi dengan sembunyi."
"Suheng, kalau aku sudah pandai kelak, aku akan membalas dendam kematian Raja dan Ratu Khitan!" Kim Han Ki mengerutkan alis ketika memandang Maya. "Hemmm.... orang tuamu gugur dalam perang. Kepada siapakah engkau akan membalasnya, Sumoi?"
"Kepada siapa lagi kalau tidak kepada Kerajaan Yucen, Sung dan kerajaan Mongol!" Diam-diam Han Ki terkejut. Dendam yang begitu hebat, ditujukan kepada kerajaan-karajaan tiga negara, bagaimana akan membalasnya? Kiranya cara membalasnya hanya satu, yaitu dalam perang! Diam-diam ia merasa ngeri, akan tetapi tidak mau bertanya lagi karena maklum bahwa sumoinya yang
seorang ini amat keras hati dan mudah tersinggung, apalagi dalam urusan membalas dendam. Karena ayah puteri ini merupakan saudara sepupunya pula, maka ia hanya berkata tenang, "Cita-citamu itu. amat sukar dilaksanakan, akan tetapi kaubelajarlah yang tekun, Sumoi."
"Dan engkau sendiri, bagaimana urusanmu dengan puteri Kaisar yang dipaksa kawin dengan Raja Yucen itu, Suheng?" Tiba-tiba Maya bertanya. Han Ki tersentak kaget, memandang terbelalak dengan wajah pucat. Tak disangkanya bahwa sumoinya tahu akan hal itu. Dia tidak mengerti bahwa berita-berita tentang hubungan-hubungan gelap, apalagi yang menimpa diri puteri Kaisar,
merupakan berita yang tak dapat ditutup tutupi karena setiap mulut suka membicarakannya.
Siauw Bwee diam-diam menyentuh tangan sucinya, ketika sucinya memandang, ia berkedip dan menggerakkan muka kearah Han Ki yang menundukkan muka. Maya mengerti bahwa pertanyaannya tadi menyinggung Han Ki, maka ia pun tidak bertanya lagi, mengangkat sedikit pundaknya kemudian melanjutkan gerakan tangannya mendayung, mulutnya yang kecil mulai bersenandung, menyanyikan sebuah lagu Khitan dengan lirih. Siauw Bwee memandang dan mendengarkan dengan kagum karena suara Maya memang merdu sekali, apalagi menyanyikan sebuah lagu asing yang terdengar makin aneh mempesonakan, dinyanyikan di atas perahu yang berada di tengah lautan dan dalam keadaan seperti itu. Han Ki yang perasaannya mendapat pukulan hebat oleh pertanyaan tiba-tiba tadi, ketika mendengar nyanyian ini, merasa makin nelangsa, pikirannya melayang-layang dan teringatlah ia akan
segala yang terjadi semenjak mengadakan pertemuan dengan Supg Hong Kwi sampai dia ketahuan, dikeroyok, ditangkap dan akhirnya ditolong dengan pengorbanan nyawa oleh Kam Liong dan Khu Tek San kemudian dibawa pergi suhunya. Teringatlah dia akan nasihat dan wejangan suhunya yang membuka matanya dan menyadarkannya sehingga dia dapat menerima peristiwa itu dengan hati tidak terlalu menderita. Akan tetapi, pertanyaan tiba-tiba dari Maya membuat ia terkejut dan terpukul, terbayang wajah Sung Hong Kwi yang dicintanya, timbullah rasa rindu yang tak tertahankan dan rasa sakit di hati mengingat betapa kekasihnya itu dirampas oleh orang lain!
"Hong Kwi....!" Hatinya mengeluh akan tetapi mulutnya berkata dengan suara dingin seperti suara yang keluar dari balik kubur, sama sekali tidak mengandung semangat kehidupan. "Maya dan Siauw Bwee, kuminta kalian selamanya jangan menyebut-nyebut lagi namanya...."
Melihat keadaan Han Ki, Maya menjadi terkejut dan menyesal mengapa tadi ia bertanya-tanya tentang Puteri Sung Hong Kwi itu.
"Baik, Suheng," jawabnya. "Baik, Suheng," kata pula Siauw Bwee. Dengan kekuatan batinnya sebentar saja Han Ki sudah dapat mengatasi perasaan hatinya yang tertekan, maka perahu kembali meluncur dengan lancar dan cepatnya ke timur. Suara ujung perahu memecah air laut mengumandangkan nasihat Bu Kek Siansu kepada Han Ki bahwa pemuda itu sebaiknya mengasingkan diri ke Pulau Es bersama dua orang sumoinya, karena kalau dia muncul di dunia ramai, tentu akan teringat terus akan peristiwa di
Kerajaan Sung dan dia akan selalu menjadi seorang buronan. Kini Han Ki dapat memikirkan dan merasai tepatnya nasihat itu. Dia masih muda dan berdarah panas, mudah dikuasai nafsunya sehingga kalau dia bertemu lagi dengan Hong Kwi, agaknya tidak akan dapat menahan diri dan akan menimbuikan kegemparan-kegemparan baru, mungkin pelanggaran-pelanggaran yang tidak semestinya dilakukan orang baik-baik. Hong Kwi telah menjadi milik orang lain, dan dia harus dapat melupakannya. Satu-satunya jalan untuk melupakannya secara baik adalah tinggal di pulau yang terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi.
"Hei....! Ikan banyak sekali....!" Tiba-tiba Maya berseru sambil menuding ke air. Siauw Bwee dan Han Ki memandang dan memang benar. Di dalam air, tersinar bagai matahari, tampak banyak ikan sebesar paha berenang kesana kemari banyak sekali. Pemandangan ini amat menarik hati dan ketiganya tidak menggerakkan dayung membuat perahu terhenti dan mereka menikmati pemandangan yang memang indah itu. Karena matahari sudah naik tinggi dengan sinar cemerlang dan air laut tenang, maka melihat ikan-ikan dengan sisik mengkilap itu berenang di sekitar perahu amatlah mempesonakan.
"Ah, kalau ada alat pancing, tentu menyenangkan sekali memancing di sini!" kata Siauw Bwee. "Itu ada perahu datang!" Han Ki berkata. Mereka memandang dan dari jauh tampak sebuah perahu kecil meluncur datang dengan cepat sekali. Setelah dekat tampak oleh mereka bahwa perahu itu ditumpangi seorang laki-lakiyang berkepala gundul.
"Seperti seorang hwesio!" kata Siauw Bwee. "Bukan, bantah Maya. "Lihat, biarpun gundul, dia tidak memakai baju! Mana ada hwesio tidak berjubah?" Han Ki sudah berdiri di atas papan perahunya dan memandang tajam penuh perhatian. "Bukan hwesio. Akan tetapi dia aneh sekali. Kepalanya gundul, pakaiannya hanya cawat, kumisnya kecil melintang. Heran, orang apakah dia? Melihat perahunya, tentu perahu nelayan dan melihat cara dia mendayung, tentu dia bukan orang sembarangan. Harap kalian hati-hati, jangan-jangan dia bukan orang baik-baik."
Perahu itu kini telah datang dekat dan orang yang berada di perahu agaknya tidak mempedulikan mereka, melainkan memandang ke air dimana terdapat banyak ikan. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan girang, perahunya dihentikan dan ia membuang jangkar besi yang diikat dengan tali panjang. Kemudian, setelah memandang ke air penuh perhatian sampai tubuhnya yang hanya bercawat itu membungkuk di luar bibir perahu, tiba-tiba orang itu meloncat ke dalam air dengan gerakan indah. Air hanya, muncrat sedikit saja dan tubuhnya sudah lenyap ditelan air.
"Wah, dia gila....!" Maya berseru.
"Dia bisa celaka....!" Siauw Bwee berkata penuh keheranan.
"Hemm, kurasa tidak. Melihat cara dia meloncat, dia adalah seorang yang ahli dalam air dan loncatannya tadi membayangkan bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya aneh sekali, aku heran apa yang dicarinya di dalam air? Dan bagaimana ia dapat bertahan menyelam sampai begini lama?"
Pertanyaan Han Ki itu segera mendapat jawaban yang merupakan pemandangan aneh sekali. Tiba-tiba air bergelombang dan.... dari dari dalam air tadi meloncatlah orang yang tadi ke dalam perahunya, tangannya memondong seekor ikan sebesar tubuhnya sendiri! Ikan itu dilemparnya ke dalam perahu, menggelepar-gelepar dan Si Gundul yang luar biasa itu sudah meloncat lagi ke dalam air. Tak lama kemudian, kembali ia meloncat ke perahu membawa seekor ikan besar dan ketika untuk ketiga kalinya ia meloncat ke air, Han Ki berkata. "Bukan main! Selama, hidupku, mendengarpun belum apalagi menyaksikan seorang nelayan menangkap ikan secara itu! Dia benar-benar hebat luar biasa. Mari kita dekati, aku ingin berkenalan dengan dia!" Han Ki berseru dan mendayung perahu mendekat.
Pada saat itu, air kembali bergelombang, kini lebih hebat dari tadi, dan Maya berteriak sambil menuding ke bawah, "Lihat....!" Mereka terbelalak ketika tiba-tiba muncul kepala yang gundul akan tetapi tenggelam lagi dan ternyata bahwa orang aneh itu sedang bergumul melawan seekor ikan yang besar, lebih besar daripada tubuhnya dan dua kali lebih besar dari
ikan-ikan yang telah ditangkapnya tadi. Han Ki, Maya dan Siauw Bwee memandang penuh kekhawatiran melihat orang itu bergulat dan bergulung-gulung di air yang makin keras berombak karena kibasan-kibasan ekor ikan yang amat kuat. "Suheng, bantulah dia....!" Siauw Bwee berteriak sambil menuding ke air dengan hati penuh kekhawatiran akan keselamatan orang gundul itu, sedangkan Maya menonton dengan amat tertarik sampai berdiri membungkuk di pinggir perahu.
"Tidak perlu, Sumoi. Lihat!"
Ketika Siauw Bwee memandang, ia kagum sekali melihat Si Gundul itu kini telah meloncat ke atas perahunya, mengempit kepala ikan besar itu yang memukul-mukul dengan ekornya. Begitu melempar ikan besar ke perahu, orang itu sekali pukul membikin pecah kepala ikan itu yang berhenti memukul-mukul dengan ekornya menggelepar lemah.
"Lopek, kepandaianmu mengagumkan sekali!" Han Ki berseru ke arah orang gundul itu dan ketika orang gundul itu membalikkan tubuh memandang, Han Ki cepat merangkapkan kedua tangannya didepan dada memberi hormat. Akan tetapi orang itu tidak membalas penghormatannya, memandang tak acuh lalu berkata dengan logat asing, setengah Mongol akan tetapi jelas bahwa dia pandai menggunakan bahasa Han. "Kepandaian begitu saja apa artinya? Kalau kalian tidak mempunyai kepandaian, perlu apa berkeliaran di sini mencari mampus?" Setelah berkata demikian, dia sudah terjun kembali ke dalam air.
"Celaka! Orangnya sombong seperti setan!" Maya memaki marah. "Hayo kita pergi saja, Suheng. Buat apa berkenalan dengan orang macam itu?"
"Lopek, awas....! Ikan hiu....!" Tiba-tiba Han Ki berteriak ke arah orang yang masih berenang dan agaknya sedang mencari-cari dan memandang ke dalam air itu. "Suheng....dia bisa celaka....!" Siauw Bwee berseru. "Biarkan saja, Suheng. Orang sombong biar tahu rasa!" Maya juga berseru.
Seekor Ikan hiu yang ganas dan liar, sebesar manusia, menyambar dari belakang orang gundul itu. Dia ini cepat sekali membalik dan dengan gerakan indah telah membuang diri ke kiri sehingga serangan ikan liar itu luput. Cepat Si Gundul menangkap ekor ikan dan mencengkerem sirip ikan, kemudian memutar dengan kekuatan luar biasa sehingga tubuh ikan itu membalik. Orang gundul itu menangkap moncong ikan dengan kedua tangan, membetot dan.... robeklah mulut ikan hiu itu yang setelah dilepas lalu berkelojotan sekarat, air di sekitarnya merah oleh darahnya.
"Lopek, naiklah ke perahu banyak ikan hiu....!" Han Ki berteriak lagi ketika melihat banyak sekali sirip atas ikan hiu meluncur datang. Ikan-ikan hiu amat tajam penciumannya akan darah, maka begitu ada darah di air, mereka berdatangan seperti berlumba! Sebentar Si Gundul dan bangkai ikan hiu itu telah dikurung belasan ekor ikan hiu yang besar-besar. Sebagian ikan ini menyerbu bangkai kawannya dengan ganas, dan ada tiga ekor yang menyerang Si Gundul!
Siauw Bwee menjerit ngeri menyaksikan bangkai ikan hiu itu hancur lebur dan robek-robek, ngeri karena tubuh orang gundul itu pasti akan disayat-sayat oleh gigi ikan-ikan buas itu. Sedangkan Maya memandang dengan wajah berseri, agaknya ia girang melihat orang sombong itu terancam bahaya. Akan tetapi orang gundul itu benar-benar amat lihai. Biarpun diserang oleh tiga ekor ikan buas, ia tidak mau naik ke perahu, dan memang untuk kembali ke perahunya sudah tidak keburu lagi. Dengan gerakan tangkas ia memukul ikan terdekat.
"Desss!" Pukulan itu hebat dan biarpun tubuh ikan yang kuat dan licin tidak remuk dan ikannya tidak mati, namun terlempar sampai dua meter jauhnya.
"Pukulan Pek-lek-sin-jiu (Pukulan Halilintar)! Dari mana dia mempelajarinya?" Han Ki makin terheran-heran ketika mengenal pukulan itu, sebuah pukulan sakti yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu!
Akan tetapi tidak ada yang dapat menjawabnya dan perhatian Han Ki tertarik oleh bahaya maut yang mengancam diri kepala gundul itu. Ikan yang dipukulnya tidak tewas, dan sudah berbalik menerjang didahului oleh dua ekor ikan yang lain yang menerjang dari kanan kiri. Orang gundul itu berhasil memukul dua ekor ikan, tetapi terjangan ikan yang pertama tadi tak mungkin dapat ia hindarkan. Melihat ini Han Ki mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya mencelat ke depan, tangan kirinya menyambar lengan orang gundul, kakinya menginjak kepala ikan hiu yang menyerang dari belakang. Sekali menggerakkan tangan, dengan menginjak kepala ikan sebagai landasan, Han Ki berhasil melontarkan tubuh laki-laki itu ke perahunya, sedangkan dia sendiri kembali mengenjotkan kakinya meloncat ke perahu terdekat, yaitu perahu Si Gundul dimana pemiliknya sudah berdiri
dengan mata terbelalak, heran memandang ke arah Han Ki. "Kau.... kau siapa?" Kini orang gundul itu hilang kesombongannya dan memandang Han Ki dengan sinar mata penuh heran dan kagum.
Han Ki tersenyum, kembali memberi hormat yang tak juga dibalas oleh Si Gundul sambil memperkenalkan diri! "Namaku Han Ki, dan mereka itu adalah dua orang sumoiku, Maya dan Khu Siauw Bwee. Siapakah Lopek yang pandai ini dan dimana tempat tinggal lopek?"
Laki-laki tua yang usianya sudah ada lima puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak kuat itu memandang Han Ki dengan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang dan berkata, "Sungguh tak kusangka di dunla ini ada seorang pemuda yang begini lihai! Orang muda, engkau telah menolong nyawaku, maka sudah sepatutnya menjadi tamu agung dari Pulau Nelayan kami. Aku hanyalah seorang nelayan biasa dari keluarga kami di Pulau Nelayan. Kebetulan aku berhasil menangkap tiga ekor ikan yang besar dan lezat dagingnya. Kalau engkau dan dua orang sumoimu suka, aku undang kalian untuk mengunjungi pulau kami dan ikut
berpesta menikmati daging ikan. "Baiklah dan terima kasih, Lopek. Aku akan senang sekali bertemu dengan keluargamu." Han Ki amat tertarik untuk mengetahui keadaan nelayan gundul itu karena tadi ia menyaksikan bahwa nelayan itu memiliki ilmu pukulan yang ia kenal sebagai ilmu pukulan gurunya. Ia mengenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang ke arah perahunya sendiri. Gerakan ini hanya membuat perahu Si Nelayan tergoyang sedikit sehingga nelayan itu makin kagum karena perbuatan pemuda itu membuktikan kepandaian yang tinggi.
"Suheng, buat apa kita mengunjungi pulaunya?" Maya menegur Han Ki dengan mulut cemberut.
"Sumoi, dia memiliki ilmu pukulan yang sama dengan yang pernah kupelajari. Aku ingin sekali mengetahui keadaan keluarganya. Tentu ada, hubungannya antara mereka dengan Suhu," Han Ki berkata lirih.
"Orang muda she Kam! Marilah ikut perahuku!" Nelayan itu berseru dan tanpa menengok lagi ia sudah mendayung perahunya meluncur cepat sekali karena dia memang mengerahkan tenaganya dan agaknya dia hendak menguji Han Ki. Melihat ini, Han Ki cepat menyambar dua batang dayung sambil mengerahkan tenaga pula mengejar perahu Si Nelayan itu menuju ke utara dan kurang lebih dua jam kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau kecil yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan sekelilingnya merupakan tebing batu karang yang curam. Nelayan itu mendaratkan perahu di bawah tebing dan mengikat perahunya.
Ketika ia menoleh dan melihat betapa Han Ki juga sudah mendarat dan mengikatkan perahu, Ia berkata, "Engkau memang orang muda hebat dan pantas menjadi tamu kami! Mari ikut aku!" Ia mengikat mulut tiga ekor ikan besar tadi, memanggulnya dan mulai mendaki tebing. "Benar-benar seorang yang aneh dan ilmunya cukup hebat." Han Ki memuji. "Kalian berpeganglah pada tali ini baik-baik karena tebing itu berbahaya." Han Ki menggunakan sebagian tali perahu yang dipegang kedua ujungnya oleh
Maya dan Siauw Bwee, kemudian ia sendiri memegang tengah-tengah tali dan dengan demikian ia menuntun kedua orang sumoinya mendaki tebing mengikuti nelayan gundul itu. Kagum ia melihat nelayan itu mendaki tebing sambil memanggul tiga ekor ikan yang amat berat itu.
Ketika tiba di atas tebing, ternyata pulau itu cukup subur dan mereka itu disambut oleh dua puluh orang lebih terdiri dari laki-laki dan wanita yang kesemuanya berpakaian sederhana, yang laki-laki sebagian besar bercawat atau memakai celana yang sudah robek-robek tanpa baju. Sedangkan yang wanita memakai pakaian dari kulit batang pohon atau kulit ikan yang dikeringkan dan dilemaskan. Anehnya, yang laki-laki semua botak atau gundul, agaknya kepala botak dan gundul merupakan "mode" bagi mereka!
Ketika mereka melihat Han KI dan dua orang sumoinya, mereka menjadi gempar dan mengurung tiga orang muda ini, memandang seperti sekumpulan anak-anak mengagumi barang mainan baru! Apalagi ketika nelayan gundul itu menceritakan betapa Han Ki menolongnya dan betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, orang-orang itu makin tertarik dan memuji-muji.
"Karena kulihat dia patut menjadi tamu kita, maka dia kuundang untuk berpesta bersama kita," demikian Si Nelayan Gundul menutup ceritanya.
Setelah membiarkan dia dan kedua orang sumoinya menjadi barang tontonan beberapa lama sambil memperhatikan orang-orang itu yang kehidupannya amat sederhana, Han Ki lalu berkata, "Siapakah di antara Cu-wi yang menjadi Tocu (Majikan Pulau)?"
"Apa Tocu? Tidak ada tocu di sini," jawab Si Nelayan Gundul.
"Kumakasudkan ketua kalian. Pemimpin. Siapakah pemimpin kalian? Aku ingin menyampaikan hormatku dan ingin bicara. "Orang-orang yang berada di situ tertawa dan Si Nelayan Gundul menjawab, "Kami sekeluarga tidak mempunyai pemimpin, kami memimpin diri kami masing-masing. Siapa membutuhkan pemimpin?"
Han Ki terheran-heran. "Kalau begitu kalian dahulu datang dari manakah?" Apakah turun temurun terus berada di sini?" Si Nelayan Gundul mengangkat pundak kemudian menuding ke arah seorang laki-laki tua yang berkepala botak. "Aku tidak tahu. Dia mungkin tahu."
Laki-laki berkepala botak itu menggerakkan tongkatnya, jalan terpincang menghampiri Han Ki. Tiba-tiba tongkatnya membuat beberapa gerakan berputar dan tongkat lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang mengurung tubuh Han Ki. Pemuda ini terkejut bukan main, bukan karena penyerangan yang tak disangka-sangka itu, melainkan karena mengenal bahwa gerakan tongkat ini sebenarnya adalah gerakan ilmu pedang yang amat dikenalnya, yaitu ilmu Pedang Thian-te It-kiam yang juga merupakan ilmu pedang yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu! Cepat ia mengelak dan berseru.
"Apakah kalian murid Bu Kek Siansu? Aku adalah muridnya!" Akan tetapi kakek bertongkat tidak menjawab, juga diantara dua puluh orang lebih itu tidak ada yang menjawab, seolah-olah nama Bu Kek Siansu belum pernah mereka mendengarnya. Dan kini ujung tongkat kakek itu meluncur dengan kecepatan kilat menotok ke arah jalan darah di pundak Han Ki! Han Ki cepat mengelak dan tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar telah menguasai Thian-te It-kiam dengan sempurna dan bahwa kakek itu hanya ingin
mengujinya karena gerakan aseli dari jurus itu adalah menusuk tenggorokan yang berarti merupakan serangan maut, akan tetapi oleh kakek itu diubah menjadi gerakan yang hanya menotok pundak. Timbul kegembiraannya dan ia cepat mencabut pedangnya.
"Srattt!" Tampak sinar berkilau ketika pedang pemuda itu tercabut dan ia lalu memutar pedangnya sambil berseru. "Baiklah, orang tua yang gagah. Mari kita menguji ilmu Pedang Thian-te It-kiam!" Ia lalu mainkan jurus Thian-te It-kiam yang amat lihai. Kakek itu berseru girang, juga semua orang yang berada di situ berseru, kaget karena segera mengenal gerakan pedang pemuda itu, kakek itu nampak makin bersemangat dan terjadilah adu ilmu pedang yang lebih menyerupai latihan karena selalu keduanya, mainkan jurus-jurus yang sama, juga keduanya jelas tidak ingin saling bunuh! Han Ki menjadi makin kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu benar-benar telah menguasai ilmu pedang itu bahkan tidak kalah baiknya oleh dia sendiri, juga sin-kang kakek itu amat hebat! Dia pun mengerti bahwa orang-orang yang mengaku penghuni Pulau Nelayan dan kelihatannya liar dan biadab ini, ternyata bukanlah orang-orang kejam dan tidak mempunyai niat membunuhnya.
Seratus jurus lebih mereka bertanding. Akhirnya kakek itu meloncat mundur dan berseru "Pemuda ini adalah keluarga sendiri!"
Diam-diam Han Ki menjadi terharu dan ia maklum bahwa sekumpulan keluarga aneh ini telah memiliki tingkat ilmu kepandaian yang hebat, yang kalau diberi kesempatan di dunia ramai, mereka akan menjadi jago-jago kang-ouw yang sukar ditandingi. Maka ia cepat menyimpan pedangnya, kembali dan menjura.
"Locianpwe, maafkan kekurang-ajaranku. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah murid Bu Kek Siansu, demikian pula kedua orang sumoiku itu. Locianpwe yang memiliki Ilmu Pedang Thian-te It-kiam dan saudara nelayan yang memiliki pukulan Pek-lek-jiu tadi tentu mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu guruku."
"Kami tidak mengenal Bu Kek Siansu, kata kakek itu dan Han Ki makin terheran karena menduga bahwa kakek itu agaknya tidak membohong.
"Kalau begitu, dari manakah kalian mendapatkan ilmu-ilmu itu?" Kakek itu mengangkat pundak. "Dari nenek moyang kami yang tinggal di pulau ini."
"Locianpwe, sukakah Locianpwe menceritakan siapa nenek moyang Locianpwe, dan bagaimana dapat tinggal turun-temurun di tempat seperti ini?" Wajah kakek itu kelihatan jemu akan percakapan mengenai nenek moyangnya. "Aku tidak tahu, aku yang paling tua tidak tahu, tentu saja mereka semua pun tidak tahu. Sudahlah, orang muda. Kami adalah nelayan-nelayan di Puau Nelayan ini, selama turun-temurun menjadi nelayan dan tidak mau mencampuri urusan manusia-manusia lain. Tempat ini jarang didatangi orang asing dan engkau sekarang menjadi tamu kami. Marilah kau menikmati penyambutan kami seadanya. Kau boleh tinggal disini selama kau dan sumoi-sumoimu menyukai, dan boleh pergi kemana saja. Hanya pesanku, engkau dan sumoimu sama sekali tidak boleh melanggar batas puncak batu karang sana itu. Tempat itu adalah tempat keramat bagi kami, tak seorang pun boleh mengunjunginya. Mengertikah, orang muda?"
Han Ki mengangguk dan memandang ke arah bukit karang di ujung timur pulau itu dengan hati penuh ingin tahu. Tempat itu disebut tempat keramat dan tidak boleh didatangi orang. Tiba-tiba Maya berkata kepada kakek itu, "Kakek, tempat apakah itu yang kausebut tempat keramat?"
Han Ki terkejut akan kelancangan Maya dan merasa khawatir kalau-kalau kakek dan keluarganya yang aneh itu akan marah. Akan tetapi, kakek itu agaknya berwatak sabar sekali, malah menjawab halus, "Anak perempuan yang cantik jelita, kalau engkau mau tahu, tempat itu adalah kuburan nenek moyang kami. Sudahlah, aku sudah tidak bisa bercerita banyak, dan aku tidak berani bicara banyak pula mengenai tempat yang kami anggap suci itu. Mari kita berpesta!"
Orang-orang itu lalu bersorak sambil mengangkut tiga ekor ikan besar, kemudian mereka mengajak Han Ki dan dua orang sumoinya meninggalkan pantai pergi ke tengah pulau dimana terdapat sebuah dusun kecil dengan pondok-pondok kayu yang sederhana pula. Beberapa anak-anak yang telanjang bulat menyambut kedatangan mereka sambil bersorak-sorak gembira. Tak lama kemudian anak-anak itu mengelilingi Maya dan Siauw Bwee, memandang terheran-heran dan tertawa-tawa sehingga akhirnya Maya dan Siauw Bwee merasa suka kepada meraka. Biarpun mereka itu kelihatan tak berpakaian dan sederhana, namun mereka sama sekali tidaklah bodoh, dan juga tidak nakal. Di samping itu, semenjak kecil anak-anak ini sudah digembleng dengan ilmu silat sehingga gerakan mereka tangkas dan tubuh mereka kuat.
Setelah daging ikan di panggang dan diberi bumbu yang sedap baunya, tiga orang tamu itu ikut makan daging ikan dan buah-buahan, minum semacam arak buatan penghuni pulau itu sendiri yang rasanya seperti sari buah. Mereka semua bersikap ramah dan wajar sehingga Maya sendiri yang biasanya rewel kini merasa senang di pulau itu. Yang amat mengherankan di antara semua keanehan pada keluarga itu adalah bahwa mereka itu tidak mempunyai nama! Agaknya, keluarga yang terasing dari dunia ramai ini telah kehilangan kebiasaan memberi nama pada anak mereka yang baru lahir sehingga sampai tua mereka tidak, bernama.
Keadaan mereka yang aneh, kepandaian mereka yang tinggi dan satu sumber dengan ilmu yang diajarkan Bu Kek Siansu membuat hati Han Ki tertarik sekali untuk membuka rahasia yang menyelimuti keadaan keluarga nelayan ini. Maka tinggallah dia bersama kedua orang sumoinya untuk beberapa hari lamanya di pulau itu. Diam-diam ia melakukan penyelidikan dan akhirnya ia, menduga bahwa letak rahasianya agaknya berada di daerah keramat di pulau itu. Karena ia menduga keras bahwa keluarga ini tentu masih mempunyai hubungan dengan suhunya. Han Ki bertekad bulat untuk melakukan penyelidikan ke tempat keramat itu dan
agaknya hal itu akan dapat ia lakukan dengan mudah karena keluarga nelayan itu memberi kebebasan sepenuhnya kepadanya, sedangkan Maya dan Siauw Bwee setiap hari bergembira bersama anak-anak para nelayan itu menangkap ikan di pantai pulau dan belajar renang dari anak-anak yang amat pandai berenang.
***
Sudah lama kita meninggalkan Tang Hauw Lam yang ditinggal pergi isterinya, yaitu Kam Kwi Lan Si Mutiara Hitam. Telah diceritakan di bagian depan betapa Mutiara Hitam, pendekar wanita yang gagah perkasa itu meninggalkan suami dan dua orang muridnya pergi menuntut balas atas kematian saudara kembarnya, yaitu Raja Talibu. Semenjak mendengar berita bahwa kakak kembarnya itu gugur dalam perang melawan tentara Mongol, hati pendekar wanita itu tidak pernah merasa tenteram lagi. Bayangan Raja Talibu, saudara kembarnya, selalu muncul dan menggodanya, menuntut dibalaskan kematiannya.
Dengan hati hancur akan tetapi tak dapat menahan gelora hatinya Mutiara Hitam Kam Kwi Lan meninggalkan suami yang dicintanya untuk melaksanakan tugasnya yang memaksa jiwanya, maka berangkatlah ia seorang diri ke Mongol untuk menuntut balas atas kematian saudara kembarnya, tugas yang dia dan suaminya tahu takkan mungkin dapat dilakukan dengan berhasil, yaitu membunuh Raja Mongol! Sungguh sengsara rasa hati Hauw Lam ketika isterinya yang tercinta itu meninggalkannya. Semenjak menikah dengan Mutiara Hitam, Pendekar Golok Sinar Putih ini tak pernah terpisah sehari pun dari isterinya, maka dapat dibayangkan betapa dunia ini berubah menjadi sunyi senyap, semua kegembiraan lenyap dari hatinya ketika Mutiara Hitam pergi dan dia terpaksa menanti dengan hati gelisah di Gunung Merak di daerah Khitan, bersama dua orang muridnya. Pendekar yang di waktu mudanya terkenal sebagai seorang yang selalu gembira dan jenaka ini kehilangan gairah hidupnya seperti matahari tertutup awan gelap. Dia kini berubah menjadi seorang pendiam dan murung, bahkan keras terhadap dua orang muridnya yang ia paksa untuk tekun mempelajari ilmu-ilmu dari kitab-kitab peninggalan isterinya.
Berbulan-bulan ia menunggu dan di lubuk hatinya, Tang Hauw Lam maklum bahwa lebih tepat kelau dikatakan bahwa dia menunggu berita kematian isterinya daripada menunggu kembalinya isterinya yang dicintainya itu. Siapakah seorang yang akan mampu membunuh seorang raja, apalagi Raja Mongol yang pada waktu itu sedang kuat-kuatnya?
Gunung Merak merupakan bukit kecil dan tanah kuburan Raja-raja Khitan berada di lereng bukit itu. Tang Hauw Lam memilih tempat tinggal tidak jauh dari arah kuburan, sesuai dengan pesan isterinya. Jenazah Talibu dan isterinya pun oleh Pangilma Khitan yang setia, sempat diselamatkan dan dimakamkan di tempat itu pula. Pendekar ini membangun sebuah pondok kecil di sebelah atas tanah kuburan, dan hidup sebagai pertapa di tempat itu bersama dua orang muridnya. Kurang lebih lima bulan kemudian, pada suatu pagi ketika Tang Hauw Lam sedang duduk bersamadhi, dia disadarkan teriakan dua orang muridnya.
"Suhu! Ada orang membongkar kuburan!" Tang Hauw Lam membuka matanya yang kIni tampak sayu dan muram. Wajahnya kurus sekali karena pendekar ini jarang sekali makan. Berita yang mengejutkan itu diterimanya dengan tenang.
"Ceritakan yang betul, apa yang terladi, katanya kepada dua orang muridnya yang sudah berlutut di depannya. "Teecu dan Sumoi pergi ke kuburan untuk bermain-main dan berlatih. Di sana sudah terdapat seorang laki-laki bongkok yang menakutkan. Dia sedang menggali tanah kuburan. Ketika teecu menegurnya dan bertanya ia membentak teecu berdua dan mengusir," kata Can Ji Kun.
"Dia pasti orang jahat, Suhu. Mukanya menakutkan dan dia galak sekali, mengusir teecu seperti anjing saja!" Ok Yan Hwa
menyambung dengan suara penuh kemarahan. Tang Hauw Lam maklum akan kenakalan kedua orang muridnya, maka ia bertanya sambil memandang tajam. "Apakah kalian tidak bersikap kurang ajar kepadanya? Apakah dia tidak memberitahukan nama dan apa keperluannya menggali tanah kuburan?"
Melihat sinar mata gurunya penuh selidik, Can Ji Kun tidak berani membohong lalu menceritakan dengan jelas apa yang telah ia alami bersama sumoinya. Mereka melihat seorang laki-laki bongkok menggali tanah kuburan menggunakan sebuah cangkul. Karena mereka menduga bahwa orang itu tentu tidak berniat baik terhadap kuburan keluarga Raja Khitan yang juga menjadi kuburan keluarga subo mereka itu, dengan marah Ok Yan Hwa meloncat ke dekat laki-laki bongkok itu sambil membentak.
"Haii! Engkau tentu maling yang hendak merampok isi kuburan!"
"Mau apa kau membongkar tanah kuburan? Siapa engkau?" Can Ji Kun juga membentak marah. Laki-laki bongkok itu menunda pekerjaannya menggali tanah, menoleh dan memandang mereka dengan mata terheran karena sesungguhnya dia tidak mengira akan
bertemu dengan dua orang anak-anak di tempat sunyi itu, kemudian berkata nyaring.
"Kalian anak-anak tahu apa? Pergilah bermain di tempat lain, jangan di tempat keramat ini!" Dan dia melanjutkan pekerjaannya menggali, tanah. Setiap kali cangkulnya menghunjam tanah, sebongkah tanah yang besar terangkat dan ternyata tenaga laki-laki itu besar sekali. Akan tetapi dua orang anak yang seperti dua ekor anak harimau itu tidak melihat kenyataan ini dan Can Ji Kun membentak, "Maling kurang ajar, pergilah!" Ia lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah punggung yang bongkok "Dukk!" Pukulan Can Ji Kun yang baru berusia sebelas tahun itu amat keras karena dia terlatih semenjak kecil. Akan tetapi akibat pukulan itu membuat dia terjengkang dan roboh bergulingan, tangannya terasa nyeri.
Melihat suhengnya roboh, Ok Yan Hwa membentak keras, Maling hina! Berani kau merobohkan suhengku?" anak perempuan ini menerjang pula dengan pukulan tangan miring ke arah tengkuk Si laki-laki Bongkok yang masih terus menggali tanah tanpa mempedulikan mereka.
"Plakk! Aduh....!" Seperti halnya Can Ji Kun, begitu tangannya mengenai tengkuk laki-laki itu, Ok Yan Hwa terpelanting dan memegang tangannya yang terasa panas dan nyeri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa yang merasa kesakitan tangannya itu masih belum kapok, bahkan kini keduanya mengambil sebuah batu besar dan berbareng menyerang laki-laki itu dengan batu di tangan.
"He mm.... anak-anak nakal!" Laki-laki itu membalik dan sekali tangkap ia telah merampas dua buah batu itu, kemudian meremas dengan tangan dan dua buah batu itu hancur lebur. Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menjadi pucat, kemudian membalikkan tubuh dan lari untuk melapor kepada suhu mereka.
"Demikianlah, Suhu. Teecu lalu lari ke sini. Orang itu jahat dan lihai sekali!"
"Agaknya dia bukan manusia, Suhu. Mungkin setan! Kalau manusia, perlu apa membongkar kuburan?" kata Ok Yan Hwa. Hati Tang Hauw Lam tertarik sekali. Kelau ada orang kuat menahan pukulan muridnya yang masih kecil, bukanlah hal yang mengherankan. Juga meremas hancur batu-batu itu bukan hal aneh. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan menegur dua orang muridnya yang dianggapnya lancang. Akan tetapi laki-laki bongkok itu membongkar tanah kuburan keluarga Raja Khitan! Hal ini amat mencurigakan, maka ia bangkit berdiri dan berkata, "Akan kutemui dia, akan tetapi kalian hanya boleh menonton saja, jangan sekali-kali lancang mencampuri." Dua orang murid itu lalu mengikuti guru mereka sambil berjalan membusungkan dada. Kini Si Bongkok itu akan tahu rasa, pikir mereka karena hati mereka sakit kalau memikirkan kekalahan mereka tadi.
Ketika Tang Hauw Lam tiba di tanah kuburan itu, laki-laki bongkok masih menggali tanah sehingga legalah hati pendekar ini karena ternyata bahwa dua orang muridnya itu tidak membohong. Akan tetapi dia juga lega melihat bahwa laki-laki itu sama sekali bukan membongkar kuburan karena yang digalinya adalah tanah kosong, sungguhpun tidak jauh dari kuburan raja Khitan. Ia memperhatikan orang itu. Seorang laki-laki yang bongkok berpunuk, pakaiannya sederhana seperti pakaian pelayan, wajahnya buruk dan kelihatan berduka. Di atas tanah, tak jauh dari makam Raja Khitan, tampak dua buah guci perak tempat abu jenazah.
Makin tertarik hati Tang Hauw Lam dan ia pun merasa kurang senang karena jelas agaknya bahwa orang ini sedang menggali tanah untuk mengubur abu jenazah. Hal ini dianggapnya amat lancang. Mana mungkin abu jenazah sembarang orang dimakamkan di tanah kuburan keluarga Raja Khitan?
"Sobat, apa yang kaulakukan di sini?" Ia menegur. Si Bongkok itu kembali menunda pekerjaannya dan menoleh dengan alis berkerut. Agaknya ia tidak senang sekali pekerjaannya yang dilakukan dengan tekun itu selalu terganggu. Akan tetapi ketika melihat seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah biarpun kurus dan agak pucat, ia menghentikan pekerjaannya, membalikkan tubuh dan berdiri menghadapi Tang Hauw Lam. Setelah memperhatikan Hauw Lam dan merasa yakin tidak pernah bertemu dengan laki-laki gagah itu, Ia menjawab singkat. "Kalau engkau suhu dari dua orang anak nakal tadi, lebih baik engkau pergi dan nasihati murid-muridmu agar jangan mencari urusan orang lain. Apa yang kulakukan di sini adalah urusanku dan tiada sangkut pautnya denganmu. Pergilah, aku sedang sibuk!"
Tang Hauw Lam mengerutkan keningnya. Orang ini jelas bukan orang Khitan, melainkan bersuku bangsa Han yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Raja Khitan. Jawaban orang ini ketus dan tidak ramah, bahkan memandang rendah kepadanya.
"Kalau begitu, aku pun tidak mau tahu siapa yang kau kubur di sini, akan tetapi yang sudah jelas, engkau tidak boleh mengubur abu jenazah di tempat ini!"
Orang bongkok itu memandang Tang Hauw Lam dengan alis berkerut dan mata bersinar penuh kemarahan. "Hemm.... siapa yang melarangnya?"
"Aku yang melarangnya!" Hauw Lam berkata tegas. Si Bongkok menjadi semakin marah, berdiri dan menantang. "Kalau aku tetap hendak mengubur abu jenazah di sini, engkau mau apa?"
Tang Hauw Lam juga menjadi marah sekali. "Akan kuusir engkau dari sini dengan kekerasan!"
"Hemm, kaukira akan gampang saja? Cobalah!" Kalau isterinya berada di sampingnya, belum tentu Hauw Lam akan suka melayani Si Bongkok ini dengan kekerasan dan tentu ia akan lebih mengandalkan kepandaian bicara. Akan tetapi semenjak isterinya pergi, ia pemurung dan pemarah. Maka kini menyaksikan sikap yang menantang dan sama sekali tidak memandangnya, amat merendahkan, dia tidak dapat menahan kesabarannya dan membentak "Manusia sombong! Pergilah!" Sambil membentak demikian, ia menerjang maju dan menggunakan tangan kanannya untuk mendorong. Bukan sembarang dorongan karena itu adalah pukulan Pek-kong-ciang yang amat ampuh, dan kuat, mengandung tenaga sin-kang yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.
Si Bangkok itu membuat gerakan menangkis dengan tangannya, bahkan meloncat maju pula sehingga kedua lengan mereka bertemu dengan kuatnya. "Desss....!"
"Ahhh....!" Keduanya meloncat mundur dengan kaget ketika merasa betapa lengan mereka tergetar hebat tanda bahwa tenaga lawan amat kuatnya. Yang lebih kaget adalah Hauw Lam. Pada waktu itu, ilmu kepandaiannya telah meningkat hebat karena selama perantauannya dengan isterinya ke negeri barat, ia telah memperoleh pengalaman dan penambahan ilmu-ilmu silat yang hebat, juga tenaga sin-kangnya bertambah kuat sehingga untuk masa itu, jarang ada orang kang-ouw yang mampu menandingi Pek-kongto Tang Hauw Lam suami Mutiara Hitam ini. Akan tetapi, dalam pertemuan tenaga sakti tadi, Hauw Lam merasa betapa
tangan Si Bongkok itu amat kuatnya dan mengandung tenaga mujijat, tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Bagaimana seorang yang hanya berpakaian pelayan dapat memiliki kepandaian sehebat ini? Di lain pihak, Si Bongkok itu pun agaknya terkejut sekali, dan baru tahu bahwa orang yang dilawannya bukanlah orang sembarangan sehingga ia mulai memandang penuh perhatian. Karena maklum bahwa orang ini tentulah seorang pendekar yang berilmu tinggi, maka timbul kekhawatiran di hatinya kalau-kalau dia salah tangan dan salah duga. Orang yang berkepandaian sehebat itu tidak mungkin hanya menghalanginya karena sebab yang remeh seperti mengalahkan dua orang muridnya. tadi. "Orang gagah, ketahuilah bahwa aku Gu Toan hanya melakukan tugas hidupku dan aku akan mengubur abu jenazah majikanku di sini dengan taruhan nyawa. Siapapun juga tidak boleh menghalangi dikuburnya abu jenazah ini di sini!" Dengan ucapan ini, Si Bongkok itu agaknya hendak
minta maaf dan mengajukan alasan mengapa dia bersikeras hendak mengubur abu jenazah di situ.
Tang Hauw Lam belum pernah mendengar nama Gu Toan. Setelah diingat-ingat dan merasa yakin bahwa dia belum pernah mengenal orang ini, dia pun menjawab. "Dan aku pun mempertaruhkan nyawaku untuk menjaga kebersihan tanah kuburan ini dari gangguan siapapun juga. Tidak boleh sembarang jenazah atau abunya dikuburkan di tempat ini!"
Gu Toan tercengang dan penasaran, lalu bertanya. "Bolehkan aku mengetahui siapakah Sicu ini? Dan hak apa yang Sicu miliki untuk mempertahankan tanah kuburan ini?"
"Aku adalah Pek-kong-to Tang Hauw Lam. Tanah kuburan ini adalah kuburan keluarga isteriku, bahkan Raja Talibu yang dimakamkan di sini adalah saudara iparku!"
Gu Toan terbelalak memandang ragu-ragu dan bertanya gugup, "Mutiara Hitam....?"
Hauw Lam mengangguk. "Isteriku!"
Tiba-tiba terjadi hal yang membuat Tang Hauw Lam terkejut dan terheran-heran, demikian pula kedua orang muridnya karena di luar dugaannya sama sekali, Si Bongkok itu menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Gu Toan menangis sesenggukan, mengambil sebuah di antara dua guci terisi abu jenazah, memeluknya dan berkata terisak-isak.
"Hamba Gu Toan mohon ampun.... harap Tang-taihiap ketahui.... ini.... abu jenazah dari.... majikan hamba.... mendiang Menteri Kam Liong....!"
Wajah Hauw Lam menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak memandang ke arah guci terisi abu jenazah. "Apa? Kanda, Kam Liong.... mati....? Benarkah....?"
"Hamba adalah pelayan beliau. Beliau tewas karena dikeroyok para panglima kerajaan.... dan yang satu itu abu jenazah Panglima Khu Tek San, murid-majikan hamba .... mereka tewas dalam menolong adik beliau, Kam Han Ki-taihiap...."
"Ahhh....!" Tang Hauw Lam menjatuhkan diri berlutut, menyentuh guci itu dan berkata lirih, "Tidak dinyana.... Kam Liong Twako....!"
Sambil berlutut, Gu Toan lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga majikannya. Menceritakan pula betapa pada saat terakhir, Kam Han Ki, Maya dan Khu Siauw Bwee tertolong oleh Bu Kek Siansu dan dia berhasil pula membawa pergi jenazah Kam Liong dan muridnya, menyelamatkan pula kitab-kitab dan senjata, kemudian membakar jenazah Kam Liong dan Khu Tek San dan
membawa abu jenazah ke tempat itu untuk dikubur sesuai dengan pesan Bu Kek Siansu. Tang Hauw Lam mendengarkan penuturan itu dengan penuh keharuan. Hatinya berduka bukan main, makin tersayat rasa hatinya kalau mengenangkan nasib keluarga isterinya. Raja Talibu saudara kembar isterinya, tewas dan terbasmi seluruh keluarga berikut kerajaannya. Kini Menteri Kam Liong, saudara tertua isterinya, tewas dalam keadaan begitu rendah, sebagai pemberontak, padahal tadinya Menteri Kam terkenal sebagai seorang menteri yang amat setia! Mengapa begitu buruk nasib keturunan Suling Emas pendekar perkasa yang menjadi ayah mertuanya! Dan sekarang, isterinya juga belum diketahui nasibnya!
"Aihhh. Gu Toan.... engkau seorang yang amat setia. Terima kasih atas semua pembelaanmu, dan kaumaafkanlah aku dan murid-muridku. Gu Toan, aku pun sedang menanti berita tentang isteriku...." Karena tidak menganggap Gu Toan si bongkok sebagai pelayan biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Tang Hauw Lam menceritakan keperglan isterinya. Mendengar ini, Gu Toan terkejut dan ikut prihatin. Kemudian, Tang Hauw Lam membantu Gu Toan menggali lubang kuburan untuk mengubur abu jenazah Kam Liong dan Khu Tek San sebagaimana mestinya, bahkan dengan penuh khidmat dia bersama muridnya menyembahyangi kuburan baru itu.
Dua hari kemudian, selagi Tang Hauw Lam, kedua orang muridnya dan Gu Toan yang bergabung menunggu kuburan Kam Liong, datanglah serombongan pasukan yang didahului dengan bunyi terompet dan tambur. Hauw Lam dan Gu Toan terkejut dan sudah siap-siap. Tang Hauw Lam yang khawatir akan datang bahaya. Lalu menyuruh kedua orang muridnya untuk bersembunyi di belakangnya dan memesan agar jangan sembarangan bicara atau bergerak. Tak lama kemudian muncullah serombongan pasukan terdiri dari lima puluh orang yang berkuda, sikap mereka gagah perkasa dan pakaian perang mereka gemerlap ditimpa matahari pagi. Komandan pasukan itu bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan sikapnya gagah sekali, sebatang golok besar targantung di pinggang, dan kuda yang ditungganginya juga kuda putih yang tinggi besar.
Ketika komandan pasukan ini tiba di dekat kuburan dan melihat Tang Hauw Lam bersama Gu Toan berdiri dengan sikap tenang namun siap waspada, ia mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya berhenti. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring bertanya, ditujukan kepada Gu Toan dan Hauw Lam.
"Kami adalah pasukan Mongol yang jaya, sengaja datang ke tanah kuburan keluarga Khitan untuk mencari seorang yang bernama Tang Hauw Lam Pek-kong-to!"
Jantung Tang Hauw Lam berdebar keras dan ia meloncat ke depan, wajahnya berubah ketika ia berkata, "Akulah Pek-kong-to Tang Hauw Lam! Ada keperluan apakah pasukan Mongol mencari aku?"
Semua anak buah pasukan memandang ke arah Hauw Lam, dari komandan itu lalu memberi hormat secara militer, kemudian berkata dengan sikap hormat, "Kami melaksanakan perintah raja kami untuk pertama-tama menyampaikan salam dan hormat raja kami yang setinggi-tingginya kepada pendekar Tang Hauw Lam, disertai pujian bahwa Tang-taihiap adalah seorang yang amat bahagia dapat menjadi suami seorang pendekar wanita perkasa seperti Mutiara Hitam!"
Hati pendekar itu makin berdebar. Apakah artinya ini? Bukankah isterinya menuju ke Mongol dengan maksud membunuh Raja Mongol? Apakah yang telah terjadi? Karena dia memang selalu berkhawatir akan nasib isterinya, maka dia tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan berteriak, "Apa yang terjadi dengan isteriku? Lekas katakan dan jangan memutar-mutar omongan! Di mana Mutiara Hitam dan apa yang telah terjadi?"
"Kami hanya utusan yang menyampaikan perintah langsung dari raja kami. Setelah menyampaikan salam dan hormat, kami bertugas menyerahkan ini kepada Taihiap!"
Panglima Mongol itu mengambil sebuah bungkusan sutera kuning dari tangan seorang pembantunya, melompat turun dari kudanya dengan sigap kemudian dengan penuh hormat dan membungkuk, menyerahkan bungkusan sutera kuning itu kepada Hauw Lam. Dengan kedua tangan agak gemetar dan jantung berdebar tegang Hauw Lam menerima bungkusan itu tanpa berkata apa-apa, kemudian menurunkan bungkusan dan hendak membukanya.
"Tang-taihiap, kami telah melaksanakan tugas dengan baik. Kami mohon diri hendak kembali ke Mongol."
"Tunggu dulu!" Hauw Lam tidak melanjutkan niatnya membuka bungkusan, melompat berdiri dan berkata, "Ceritakan dulu, apa yang terjadi dengan isteriku!"
"Tang-taihiap, kami tidak berhak bicara. Raja kami hanya mengutus seperti yang telah kami lakukan, dan Taihiap tentu akan mengerti kesemuanya setelah membaca surat dari raja kami yang berada di dalam bungkusan. Selamat tinggal!" Panglima itu meloncat ke atas kudanya, memberi aba-aba dan pasukan itu bergerak cepat, kuda mereka membentuk barisan yang rapi dan ketika pasukan bergerak pergi, tampak debu mengebul tinggi menutupi barisan yang pergi dengan cepatnya.
Tang Hauw Lam masih berdiri termangu-mangu ketika Gu Toan berkata halus, "Tai-hiap, hidup memang banyak penderitaan, akan tetapi kalau kita kuat menghadapinya, penderitaan merupakan pengalaman hidup yang amat berguna."
Tang Hauw Lam membalikkan tubuhnya, berlutut menghadapi bungkusan sutera kuning, hampir tidak berani membuka bungkusan itu. Ia mengheningkan cipta, memusatkan panca indera dan memperkuat hatinya dengan hawa murni, kemudian setelah hatinya tenang, dengan jari-jari yang tak bergetar lagi ia mulai membuka bungkusan kain kuning, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua itu tanpa berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa isi bungkusan yang dikirim oleh Raja Mongol dengan begitu menghormat kepada suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh perhatian, dengan wajah penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri Mutiara Hitam. Suasana amat menegangkan ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali sutera yang mengikat bungkusan. Suara berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar oleh tiga orang yang mengikuti gerakan jari tangan itu dengan seksama. Akhirnya bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya yang mereka tunggu-tunggu dan duga-duga. Ternyata
bahwa bungkusan itu berisi sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya dihias dengan batu permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan Mongol, dan.... setumpuk pakaian dan perhiasan yang amat dikenal karena itu adalah pakaian dan perhiasan yang dipakai Mutiara Hitam ketika pergi, berikut sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!
Betapapun kuat Tang Hauw Lam mempersiapkan hatinya, namun tangannya menggigil ketika ia membuka tutup tempayan dan melihat abu jenazah yang memang telah ia perkirakan semula, dan terdengar keluhnya, "Lan-moi.... isteriku....!" Ia menyambar pakaian Mutiara Hitam, mencengkeram pakaian itu dan menutupi mukanya dengan pakaian isterinya, lalu menubruk dan memeluk tempayan itu, tak tertahan lagi ia terisak-isak sambil memejamkan mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah. Isterinya tercinta telah tewas! Gagal dalam usahanya dan mengorbankan nyawa, kini pakaian dan abu jenazahnya dikirim kembali oleh
Raja Mongol.
"Kwi Lan....!" Ia mengeluh lagi dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan tidak menggelapkan kesadarannya.
"Subo....!" Can Ji Kun berseru sambil menangis.
"Subo....!" Ok Yan Hwa menjerit, kemudian meloncat berdiri dan berteriak, "Keparat orang-orang Mongol! Aku akan membalas dendam!"
"Aku juga!" Can Ji Kun juga meloncat berdiri dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar, rombongan pasukan Mongol.
"Ji Kun, Yan Hwa! Berhenti....!" Tang Hauw Lam membentak, tangannya bergerak ke depan dan dua orang muridnya itu terpelanting roboh. "Apa yang hendak kalian lakukan?"
Kedua orang anak itu merangkak menghampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan. "Subo telah mereka bunuh....!" Ok Yan Hwa mengeluh sambil menangis.
"Subomu gagal, namun tewas sebagai seorang gagah yang mendapat kehormatan besar dari Raja Mongol, dari musuhnya sendiri. Kalian patut berbangga karenanya!" Kelemahan dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw Lam, dan dengan wajah pucat, pipi basah air mata namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini membuka sampul surat dan membaca isinya. Bibirnya bergerak-gerak, air matanya menetes-netes ketika ia membaca surat Raja Mongol itu. Surat yang menceritakan usaha isterinya membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh kekaguman dan pujian atas kegagahan Mutiara Hitam, yang seorang diri menyerbu Mongol, mengamuk dan menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara Mongol dengan gagah perkasa, membunuhi ratusan orang perajurit Raja Mongol yang menyambutnya seperti seekor naga sakti mengamuk, dan hanya karena kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang masih di tangan!
"Kami amat kagum dan terharu menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam," demikian penutup surat yang panjang lebar itu. "Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai musuh, bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami. Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan perang dengan perasaan pribadi. Kami memperabukan jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh hormat, dan kami mengirim salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali dapat
menjadi suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa."
"Kwi Lan....!" Ucapan Tang Hauw Lam terdengar sayu dan wajahnya menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya suram-muram dan tanpa banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah, dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu Toan yang berkali kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala. Penguburan abu jenazah Mutiara Hitam dilakukan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya. Tang Hauw Lam berkabung di dekat kuburan isterinya.
Setelah lewat sebulan, dia menyerahkan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan sambil berkata, "Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kuburan keluarga ini dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di tanganmu, maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas. Jagalah tanah kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku."
"Jangan khawatir, Tai-hiap. Satu-satunya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini, akan hamba jaga sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan keluarga majikan hamba."
"Engkau seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan."
"Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba lancang memberi nasihat kepada Tai-hiap, hanya ingin hamba memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup, melainkan juga Tai-hiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Tai-hiap."
Kedua mata pendekar itu menjadi basah. Teringat ia akan pesan terakhir isterinya ketika hendak pergi. Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya, ".... andaikata aku tewas dalam tugas pribadiku ini, kaupimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, suamiku."
Biarpun dua titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum penuh syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata, "Terima kasih, Gu Toan. Aku akan melakukan tugasku sebaik mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan menantiku di pintu gerbang akhirat. Selamat tinggal!" Sambil menggandeng tangan kedua muridnya. Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata Si Bongkok yang mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.
***
Berlindung di bawah cuaca senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang dan menyelinap di antara batu-batu karang, menghampiri guha besar yang dianggap tempat keramat oleh penduduk Pulau Nelayan. Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu karena ia menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh rahasia dan tentu ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu, akan dapat ia temukan di dalam guha keramat terlarang itu. Biarpun kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian hebat sehingga kalau dia tidak hati-hati tentu akan terlihat oleh mereka. Dia tidak takut ketahuan, hanya tidak ingin dia menyinggung hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak
tuan rumah yang bersikap baik kepadanya. Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia jangan melanggar daerah terlarang itu, kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia akan merasa malu sekali?
Guha itu sudah mulai gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan. Setelah memasuki guha itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia dengan penyelidikannya. Guha itu ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, gua itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan dinding batunya banyak yang longsor. Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian tertimbun batu dan tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki mengambil sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai membuka-buka kitab.
"Inilah yang kucari!" serunya girang. Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu adalah huruf yang sudah agak kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap artinya. Memang benar seruannya tadi. Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan keadaan nenek moyang penghuni. Pulau Nelayan. Agaknya kitab-kitab itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara mereka dapat membaca.
Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget sekali, juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau Nelayan itu masih mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu adalah keturunan orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di jaman dahulu. Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan kecil di Pulau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu. Menurut catatan dalam kitab itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di situ. Pangeran ini amat sakti dan bersama
para pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil. Mereka hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan di
pulau itu, para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es turun-temurun dan ilmu kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang turun-temurun dipelajari anak cucunya.
Akan tetapi, pada waktu keturunan keempat berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es sudah mulai berkembang, terjadilah malapetaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan mengamuk, tak tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat pun, menyapu habis Pulau Es berikut semua penghuninya! Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi semua! Hanya beberapa orang yang kebetulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar menangkap ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk badai, dan sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki dan lima wanita, dilemparkan badai sehingga perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua belas orang inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan! Di antara mereka itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apabila ilmunya itu ia wariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu kepandaian tinggi! Mungkin karena makin lama makin tidak membutuhkan, makin lenyaplah
pengetahuan baca tulis, bahkan pakaian serta watak mereka menjadi sederhana sekali sungguhpun ilmu silat mereka amat lihai!
Han Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja yang terbebas dari maut. Mendadak terdengar suara gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin menyambar ke arah kepalannya. Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke arah kepalanya dengan kecepatan yang mengerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara berbareng. Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng seperti binatang buas. Han Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti sehingga terguling. Ketika ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang. Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk
menangkis dan menakut-nakuti. "Trik-cringgg....!"
"Ayaaa....!" Han Ki makin terkejut. Sentilan kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu menubruk dan kembali Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
Kini, di antara serangan bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan terdesak, Han Ki dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua orang. Dua orang kembar dampit (kembar siam) yang punggungnya melekat menjadi satu, yang bergerak seperti satu orang saja, atau memang dua orang yang mempunyai satu hati dan satu perasaan. Kiranya orang kembar dampit itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada para penghuni Pulau Nelayan. Han Ki mengerahkan seluruh kepandaiannya karena orang kembar itu, berbeda dengan kakek botak yang menguji kepandaiannya, kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan kaki atau tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Dan di dalam guha yang gelap
karena lilin di atas peti terguling. Han Ki tidak dapat bergerak leluasa, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat,
agaknya mereka lebih awas di dalam gelap. "Heii, nanti dulu! Aku bukan musuh....!" Han Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri kesana kemari. Namun orang dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah mendesak makin hebat. Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin gelap dan Han Ki memang tidak ingin membunuh, maka tentu saja pemuda ini makin terdesak hebat sehingga dua kali ia kena dicakar kuku runcing itu. Untung ia, masih dapat bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung dan di belakang pundak.
Tiba-tiba, seorang di antara sepasang dampit itu mengeluh, "Mataku.... ahhh.... silaunya....!" Han Ki terheran melihat betapa keadaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini agak terang. Dan bersamaan dengan terangnya tempat itu, dua orang dampit itu makin bingung, serangannya ngawur bahkan seringkali menggunakan tangan melindungi mata mereka. Ketika Han Ki memutar pedang sambil meloncat ke belakang, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin, tadi terguling dan tidak padam, melainkan perahan-lahan membakar kitab yang tadi dibacanya!
"Aduh.... silau....!"
"Tak dapat melihat...."
Tiba-tiba sepasang orang dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari tempat itu, menghilang kesebelah dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan pedangnya, menyusut peluh dan menarik napas melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah keluar dari dalam peti, kini telah menjadi korban api! Ia dapat menduga bahwa seperti keadaan binatang-binatang buas yang biasa dengan tempat gelap, sepasang orang dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang menolongnya. Ia harus lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan menyerangnya, pula. Kalau demikian, maka berbahayalah. Menghadapi orang dampit di tempat terang dan tempat yang luas, mungkin masih dapat melindungi diri. Akan tetapi di tempat sempit dan gelap? Mereka terlalu lihai! Tergesa-gesa Han Ki lalu berlari keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar di tempat pertempuran tadi.
Akan tetapi ketika ia tiba di luar guha, tempat di luar guha itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak yang dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan guha. Maya dan Siauw Bwee berada di antara mereka, akan tetapi kedua orang sumoinya itu dibelenggu!
"Eh.... aku.... aku tidak melakukan apa-apa...." Han Ki berkata gagap. Ia merasa malu sekali karena sekali ini benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela kedua orang sumoinya kalau mereka itu berniat buruk.
"Engkau telah melanggar larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit!" Kakek botak berkata suaranya dingin sekali.
"Akan tetapi.... dia.... dia yang menyerangku. Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul kalian karena aku tertarik, tidak
berniat buruk....! Dan aku telah berhasil mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal dari Pulau Es!"
Orang-orang itu saling pandang dan tidak menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi, "Kami tidak mengerti apa yang kaukatakan itu, Si Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir seperti itu, kami anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan mendatangkan malapetaka kalau tinggal bersama kami. Kelahiran, mereka telah membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin besar merusakkan tanaman. Karena itu mereka kami asingkan di tempat keramat."
"Akan tetapi mereka.... lihai sekali!"
"Kami mengajarkan semua kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena mereka merupakan seorang dengan empat tangan empat kaki dua kepala, tentu saja mereka lebih tangkas. Sudahlah, engkau telah melanggar pantangan kami, karena itu sekarang juga engkau dan dua orang sumoimu harus meninggalkan pulau ini!"
"Akan tetapi....!" Han Ki membantah.
"Apakah engkau lebih suka kalau kalian bertiga kami bunuh dan kami korbankan untuk mencegah kemarahan penghuni pulau?"
Han Ki tak dapat membantah lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya takhayul ini tak munkin di bantah. "Baiklah, kami akan pergi besok pagi."
"Sekarang juga!"
"Suheng, mengapa membantah? Mereka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku muak menyaksikan sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita bukan pulau ini?"
Han Ki mengangguk. "Baiklah. Mari kita pergi!" Han Ki lalu menghampiri kedua orang sumoinya, menggunakan tenaga saktinya sekali renggut membikin patah belenggu kedua orang anak perempuan itu, menggandeng tangan mereka dan mengikuti orang-orang itu yang mengantarkan ke pantai di mana perahu mereka ditinggalkan. Han Ki kagum menyaksikan betapa mereka semua, laki-laki dan perempuan, juga kanak-kanak, menuruni tebing membawa obor sampai ke bawah tebing. Dia lalu lepaskan ikatan perahunya, mengajak kedua orang Sumoinya memasuki perahu, kemudian ia menjura kepada mereka semua dan berkata kepada kakek botak.
"Kalian ketahuilah bahwa menurut buku catatan di guha yang kubaca, kalian adalah keturunan dari dua belas orang pengungsi yang menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu dilanda badai taufan. Kalian adalah keturunan rakyat dari raja muda di Pulau Es yang keluarganya terbasmi dalam badai. Akan tetapi, ada seorang keturunan keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa yang sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku tidak berniat buruk ketika menyelidik ke dalam guha. Adapun sepasang manusia dampit itu, kasihan kalau diasingkan di tempat itu. Mereka sampai menjadi takut dan silau oleh sinar terang. Kapandaian mereka itu hebat sekali, kalau mereka kalian biarkan keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!"
Dengan hati-hati Han Ki mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena malam amat gelap. Dia menanti sampai orang-orang itu pergi meninggalkan pantai, obor-obor di tangan mereka membentuk pemandangan yang aneh, sinar panjang yang bergerak mendaki tebing sperti seekor ular merayap naik. Setelah sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia melewatkan malam itu di atas perahu di pinggir pantai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur, ia mendayung perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan air.
Dua orang gadis ciiik itu mendengarkan penuturan Han Ki dengan hati tertarik. Apalagi ketika mendengar bahwa suhu mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es, hati mereka menjadi besar dan bangga. Baru para pengikut kerajaan itu saja mempunyai keturunan yang demikian hebat kepandaiannya seperti penghuni Pulau Nelayan, apalagi raja itu sendiri yang menjadi nenek moyang suhu mereka! Dan Pulau Es itu tentu indah sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang dituju.
Setelah memasang layar pada perahu kecil dan berlayar selama setengah hari, melewati sekumpulan pulau kecil, akhirnya mereka melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan dari jarak jauh tampak samar-samar puncak sebuah bangunan di tengah pulau itu. "Tak salah lagi, itulah Pulau Es!" Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan.
Maya dan Siauw Bwee melindungi mata dengan tangan, meneropong ke depan dengan hati berdebar tegang. Memang dari jauh sudah tampak lain daripada pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih dan cemerlang tertimpa sinar matahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau perak! Dan ujung bangunan itu kalau tidak lebih dulu mendengar bahwa di tengah pulau terdapat sebuah istana tentu disangka puncak sebuah bukit karang.
"Apakah ada yang tinggal di sana, Suheng?" tanya Maya. "Jangan-jangan kita telah didahului orang lain," kata pula Siauw Bwee penuh keraguan. "Tidak mungkin," jawab Han Ki. "Kalau demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita ke sana. Hayo bantulah aku agar kita dapat cepat tiba di sana."
Perahu meluncur cepat sekali dan akhirnya dengan jantung berdebar tegang, tiga orang itu mendarat dan menarik perahu naik ke darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di pulau kosong ini yang dapat menghbungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu itulah. Setelah menarik perahu sampai jauh ke daratan agar jangan terbawa hanyut air laut kalau pasang dan menyembunyikan perahu di tempat yang aman, mereka bertiga mendekati bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam mimpi saja. Pulau itu penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga tidak ada bagian yang kelihatan tanah atau batunya. Pantas saja disebut Pulau Es, karena pulau itu kelihatannya seolah-olah terbuat dari bongkahan es yang amat beSar. Atau sebongkah es raksasa yang mengapung di atas laut, sungguhpun mereka tidak merasakan guncangan sama sekali. "Pulau Es ini kosong, tidak ada mahluk hidup tinggal di sini, benar seperti kata Suhu!" Han Ki berseru, gembira dan kagum.
"Bagaimana kita dapat hidup di tempat seperti ini?" Maya mencela, "Tidak ada tetumbuhan sebatang pun, tidak ada hewan seekor pun. Kita akan mati kelaparan di sini!"
"Aduh, dinginnya bukan main!" Siauw Bwee menggigil. Mendengar ini, Maya juga menggigil kedinginan. Han Ki merasa betapa makin lama, keadaan hawa udara di situ makin dingin, menyusup ke tulang-tulang rasa dingin itu sehingga ia harus mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum bahwa kedua orang sumoinya tentu akan menderita sekali karena untuk dapat melawan hawa yang dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin dingin itu, membutuhkan tenaga sin-kang yang kuat.
"Mari kita berlari cepat ke istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar." Mereka berlari cepat mendaki bukit karang. Karena pergerakan ini, darah mereka mengalir cepat menimbulkan rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah bukit karang,
akhirnya mereka berhenti dan memandang kagum ke depan. Di tengah pulau itu, di antara bukit-bukit karang yang mengelilinginya, berdiri megah bangunan yang amat indah. Karena di situ tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak gemilang seperti baru, selain indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi, karena tempat ini merupakan tempat yang paling tinggi di pulau ini, hawanya lebih dingin lagi sehingga Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.
"Mari kita masuk!" Han Ki berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoinya. Kedua orang anak perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di depan pintu bangunan yang besar, Siauw Bwee menghentikan langkahnya dan bertanya, "Suheng.... jangan-jangan ada orangnya di...."
"Aihhh, Sumoi, mengapa engkau begini penakut? Andaikata ada penghuninya sekalipun kita takut apa?" Maya mencela dengan suara nyaring. "Jangan khawatir, siapa berani masuk ke sini? Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada orang yang akan berani mengganggu. Marilah!" Han Ki bergandeng tangan Siauw Bwee. Sedangkan Maya yang hendak digandengnya pula merenggut tangannya dan mendahului mendorong pintu gerbang itu dengan sikap tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau tidak akan terdapat kerukunan di antara kedua orang sumoinya itu.
Pintu yang besar itu terbuka dan tiga orang itu terbelalak kagum dan terheran-heran. Ruangan depan istana itu benar-benar mengagumkan sekali karena selain bersih dan perabot rumahnya serba indah, juga di dinding terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya menghias rumah orang-orang bangsawan dan hartawan. Juga tulisan indah yang merupakan sajak berpasangan. Ruangan yang lebar, lantainya dari pintu putih mengkilap bersih. Dua pasang meja kursi kuno berjajar rapi di kedua sudut, dua buah lemari kayu terbuat daripada kayu besi terukir kepala naga dan piring-piring dinding, guci berukir bunga-bunga menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah pintu besar menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri, yang sebelah kiri menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong yang menuju kebangunan kecil. Di sudut sekali terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata, biasanya dipasang sebagai hiasan akan tetapi senjata yang berada di rak itu, dari pedang sampai tombak merupakan senjata pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya!
Han Ki menutup pintu depan yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan ini tidaklah sedingin hawa di luar. Kedua orang anak perempuan itu menjadi girang sekali karena mereka tidak benar-benar menderita oleh hawa yang makin lama makin dingin. Mereka memeriksa keadaan di ruangan depan, kemudian terus masuk ke dalam melalui pintu besar yang menembus ke ruangan dalam. Semakin dalam, makin eloklah keadaan di dalam istana. Semua perabot rumah serba lengkap dan indah, dan disitu terdapat banyak sekali kamar yang bersih dan lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan belakang terdpat beberapa pintu yang menembus ke kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno, yaitu kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu! Dapat dibayangkan betapa girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan mereka memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya. Ruangan belakang yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat, bahkan di sebuah kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat indah dan halus sehingga tampak urat-urat dan jalan darah seolah-olah arca itu terbuat daripada kulit dan daging. Han Ki girang sekali karena dengan adanya arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoinya lebih baik, dan lebih mudah, yaitu untuk melatih pukulan-pukulan dan totokan-totokan ke jalan darah lawan menggunakan tubuh arca yang persis tubuh manusia biasa itu. Ketika Han Ki mendapatkan beberapa karung gandum dan bumbu-bumbu masakan, juga sayur-sayur kering, ia makin kagum dan bersyukur kepada suhunya yang agaknya sebelum menyuruh para muridnya pergi ke Pulau Es, telah lebih dulu mengatur persediaan secukupnya.
"Nah, engkau tidak akan kelaparan lagi, Suci?" Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan suaranya halus, namun tidak urung tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada sucinya yang tadi takut kelaparan berada di pulau itu. "Hemm, semua bahan makanan ini paling lama hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Kalau sudah habis, kemana kita akan mencarinya?" Maya mempertahankan kehkhawatirannya. "Kita bisa mencari ikan di laut," kata Siauw Bwee. "Hemm, kalau engkau mempunyai kepandaian seperti para nelayan yang tinggal di Pulau Nelayan, tentu mudah, Sumoi. Sayang sekali, hawanya di sini amat dinginnya sehingga sekali menyelam, sebelum mendapat seekor ikan pun, engkau sudah akan membeku dan sebaliknya menjadi makanan ikan. Sumoi, aku tidak takut mati kelaparan, akan tetapi kita harus memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar ilmu bertahun-tahun di tempat ini."
Melihat betapa kedua orang sumoinya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata, "Sudahlah, Sumoi berdua, tidak ada gunanya ribut-ribut. Kalian. berdua memang benar semua. Khu-sumoi benar karena memang kita tidak perlu berkecil hati dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus mencari akal bagaimana kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat yang tiada
tumbuh-tumbuhan ini dengan selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam pelayaran ke tempat ini kita melalui pulau-pulau yang subur, dan kurasa di tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan buah-buahan serta sayur-sayuran. Kelak aku akan melakukan penyelidikan dengan perahu dan mencari bahan makanan secukupnya. Sekarang, lebih baik membantu aku untuk membuat api dan memasak makanan dari bahan peninggalan Suhu untuk mengisi perut. Dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua
orang sumoinya melupakan perbantahan mereka, kemudian mereka berdua kembali berlumba untuk membuat masakan yang seenak-enaknya. Ternyata dalam hal membuat masakan ini pun keduanya tidak mau saling mengalah, atau lebih tepat lagi, Maya tidak pernah mau kalah oleh sumoinya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus kini mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai dapat menilai watak kedua orang sumoinya. Maya keras hati, keras kepala dan tidak mau kalah mau kalah sungguhpun di dasari kejujuran dan juga mempunyai kasih sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati yang tidak kalah teguh oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup oleh sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan untuk mengalah terhadap sucinya. Ada satu hal yang menguntungkan dalam sifat saling tidak mau kalah, dan saling lumba antara kedua orang anak perempuan itu, dalam hal mempelajari ilmu silat. Dalam hal ini pun, dua orang anak perempuan itu agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan dan hal ini amat menggembirakan hati Han Ki. Kedua orang sumoinya merupakan "murid-murid" yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru karena sifat mereka tidak mau saling mengalah. Betapapun lelahnya, seorang di antara mereka, kalau melihat yang lain berlatih, dan akan terus melanjutkan latihannya seolah-olah merasa khawatir kalau beristirahat akan tertinggal jauh, Keduanya sama tekun dan sama cerdik, kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di bawah pengawasan dan bimbingan Han Ki mereka "sikat" satu demi satu! Tentu saja mereka berdua memperoleh kemajuan yang amat cepat. Juga Han Ki sendiri sampai terbawa hanyut oleh
semangat kedua orang sumoinya sehingga dia pun dengan amat tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih tinggi, yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhunya. Dengan, dasar yang telah dimilikinya, tidak terlalu sukar baginya untuk melatih diri dengan ilmu yang lebih tinggi.
Akan tetapi, di samping kegembiraannya melihat persaingan antara kedua orang sumoinya yang membuat mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki menjadi pusing kalau melihat persaingan itu berlarut-larut sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak enak. Sungguh sukar bagi seorang laki-laki dewasa seperti dia tinggal di atas pulau kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang manja-manjanya dan bengal-bengalnya, apalagi menghadapi Maya yang makin lama makin tampak
kegalakannya, terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.
"Aku akan mempelajari ilmu di sini sampai dapat mengalahkan semua musuh-musuhku!" Pada suatu malam Maya berkata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam seadanya. "Kalau belum kubasmi habis musuh-musuhku, belum lega hatiku!"
Karena maklum bahwa sumoinya yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan berlarut-larut, Han Ki hanya mengangguk. "Lebih baik sekarang mempelajari ilmu dengan tekun. Ilmu silat tidak ada batasnya dan di dunin ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi."
Akan tetapi, Siauw Bwee yang selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ingin melihat sucinya itu untuk kemudian ia permainkan dan tertawa, segera bertanya, "Eh, Suci. Siapa sih itu musuh-musuhmu yang begitu banyak sehingga kau hendak membasminya semua?"
"Musuh-mushku?" Sepasang mata Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki memandang kagum. Di bawah sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti sepasang bintang yang terang cemerlang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah sekali. Bola matanya begitu jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan hitamnya mencolok sekali di tengah bagian yang hitam tampak titik yang hitam namun seolah-olah mengeluarkan api! "Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan kubasmi mereka semua kelak!"
Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan main sumoinya ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati yang demikian besar atas kematian ayah bunda angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau ditujukan kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dibantah, sumoinya ini akan lebih "ngotot" lagi, maka dia diam saja. Akan tetapi seperti biasa, Siauw Bwee tidak mau "kalah" begitu saja dan ia langsung mencela, "Aihhh, Suci. Pandanganmu itu keliru sekali!"
"Apa? Keliru katamu kalau aku mendendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan kerajaan ayahku, telah membunuh ayah bundaku? Keliru katamu? Di mana letak kekeliruannya, Sumoi yang manis?" Biarpun Maya menyebut "sumoi yang manis" namun jelas bahwa dia marah terhadap Siauw Bwee dan menantangnya untuk berdebat. Han Ki maklum bahwa kembali api di antara kedua orang sumoinya akan menyala, dan seyogianya dia segera memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak mengetahui
bagaimana pandangan kedua orang sumoinya mengenai urusan itu, dia diam saja mendengarkan penuh perhatian. "Suci," jawab Siauw Bwee dan kembali Han Ki kagum menyaksikan sumoinya yang kecil ini karena di balik kehalusannya itu tersembunyi kekuatan dan ketenangan yang mengherankan hatinya. "Engkau tentu tahu sendiri bahwa aku pun menjadi korban, ayahku tewas
oleh bala tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku sama sekali tidak mendendam kepada seluruh kerajaan Sung! Aku tahu bahwa ada biang keladinya yang mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan mendendam pada biang keladinya yaitu Panglima Besar Suma Kiat dan kakitangannya."
"Itu tandanya bahwa engkau gentar menghadapi musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung telah bersama menghancurkan kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri sampai tewas. Ini merupakan dendam keluarga juga dendam kerajaan. Ahh, tentu saja engkau tak dapat merasakan hal ini karena engkau bukan putri raja yang mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi ditambah dendam bangsa! Aku akan belajar ilmu dan kelak akan kubalas.
Sebelum Siauw Bwee membantah lagi Han Ki segera mendahuluinya, "Semua cita-cita adalah benar asal dilakukan di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan kebenaran. Aku sudah mendengar tekad Maya-sumoi dan aku tidak akan mencampuri cita-citanya. Dan engkau sendiri bagaimana cita-cita mu, Khu-sumoi?"
Seperti biasa, Siauw Bwee yang cerdik maklum bahwa suhengnya itu sengaja memasuki perdebatan dengan maksud menghentikannya, maka dia selalu yang patuh kepada suhengnya juga tidak berkeras hendak membantah Maya. Maka jawabnya, "Aku akan mempelajari ilmu sesempurna mungkin untuk kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat. Dia amat lihai, karena itu aku harus
memiliki tingkat kepandaian yang melebihi dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun, aku akan bersabar dan tekun mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka"
Han Ki mengangguk-angguk dan Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan. "Suheng, engkau sendiri mengalami kecelakaan karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau mendendam pula kepadanya?" Pertanyaan. itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar keinginan menarik Han Ki di sampingnya sehingga mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama! Akan tetapi, betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi terheran ketika mendengar jawaban Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum menjawab. "Masih bergema di telingaku nasihat dan wejangan Siansu." Han Ki kadang-kadang menyebut Suhunya "siansu".
"Yaitu bahwa dendam timbul dari nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan berkali-kali Suhu menegaskan bahwa menuruti
nafsu memancing datangnya penyesalan dan penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada siapapun juga. Kalau toh ada malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku, maka hal itu datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah sebagai ujian, namun yang jelas, demikian menurut Siansu, adalah bahwa apa pun yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Diluar kehendakNya, takkan ada terjadi sesuatu!"
"Akan tetapi, Suheng," Siauw Swee membantah penuh perasaan. "Ada akibat tentu ada sebabnya. Katakanlah bahwa akibatnya adalah di tangan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah perbuatan manusia, dalam hal malapetaka yang menimpamu, sebabnya adalah kejahatan Suma Kiat!"
Han Ki menggeleng kepala, tersenyum pahit dan menghela napas. "Sungguhpun demikian, Sumoi, namun si manusia yang melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai penyebab. Dan siapa yang melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam pohon yang buahnya kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa kita balas, Tuhan pun akan memungut-Nya sendiri dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya kepada Tuhan."
Maya mengerutkan alisnya, sama sekali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suhengnya itu. "Suheng! Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu membayangkan keputusasaan dan kelemahan yang menjijikkan! Seperti mayat hidup saja, tidak mempunyai kemauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak berakal saja yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan
kita bukan binatang! Apa pun yang dikehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang hal-hal yang mencelakakan kita!"
Han Ki tersenyum memandang sumoinya yang penuh semangat itu. "Ucapanmu benar, Sumoi. Memang, manusia wajib berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar. Betapapun juga, segala ikhtiar hanyalah merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, adapun segala penentuannya adalah di tangan Tuhan juga."
"Suheng, kenapa Tuhan menjatuhkan malapetaka kepada kita?" Siauw Bwee bertanya, suaranya mengandung penasaran. "Suheng sendiri tertimpa malapetaka sehingga menjadi orang buronan kerajaan di mana Suheng bekerja sebagai seorang penglima yang setia! Aku sendiri tertimpa malapetaka, ayahku yang setia terhadap kerajaan tewas oleh kerajaan sendiri dan aku terlunta-lunta bersama Suheng dan Suci di tempat ini. Dan Suci juga kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk? Mengapa Tuhan seolah-olah mengutuk kita? Apakah karena kita bertiga ini tergolong manusia jahat maka Tuhan sengaja menghukum kita? Kalau kita ini manusia jahat, kejahatan apakah yang telah kita lakukan?"
Kembali Han Ki tersenyum sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoinya ini masih remaja dan penuh nafsu dan semangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup yang sederhana. "Sumoi, manusia terlahir bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan. Juga manusia kelak mati tidak mungkin atas kehendaknya sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruh hidup manusia, dari lahir sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang menentukan segalanya, sungguhpun segala akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia sendiri. Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapapun juga merupakan hukum yang penuh rahasia bagi manusia yang amat terbatas pikirannya. Karena itu, kita harus sadar dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan itu Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil! Betapa piciknya
kaiau kita hanya tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya menangis duka dan penasaran sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita! Kalau kita mendasarkan segala peristiwa sebagai kehendak Tuhan, mengapa kita mesti merasa penasaran lagi? Yang penting adalah menjaga sepak terjang kita dalam hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran dan keadilan, cukuplah, yang lain tidaklah penting lagi."
"Ah, mana mungkin?" Maya membantah. Kalau orang tertimpa malapetaka yang disebabkan oleh kejahatan orang lain, bagaimana kita dapat berdiam diri? Bagaimana kita harus ingat untuk berbuat baik kalau nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?"
Han Ki menggeleng kepala, "Suka duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan oleh nafsu iba diri dan mementingkan diri sendiri, Sumoi. Andaikata Tuhan sutradaranya, maka manusia-manusia adalah pemain-pemain sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara menentukan, permainan apakah yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia. Dan ingat, bukan
perannya yang penting, melainkan cara manusia memainkan perannya itu. Biarpun seseorang diberi peran seorang raja besar, kalau dia tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela. Sebaliknya, biarpun Sang Sutradara memberi peran kecil tak berarti, misalnya peran seorang pelayan, kalau pemegang peran itu memainkannya dengan baik, tentu dia akan terpuji. Demikian pun dalam kehidupan manusia. Apa artinya seorang raja besar yang dimuliakan rakyat kalau sepak terjang hidupnya tidak patut dilakukan seorang raja, kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina? Dia hanya akan direndahkan di mata manusia, juga di mata Tuhan! Sebaliknya, betapa mengagumkan hati manusia dan menyenangkan Hati Tuhan kalau seorang biasa yang bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup penuh kebajikan dan selalu melandaskan kelakuannya di atas garis kebenaran dan keadilan."
Dua orang anak perempuan itu mengerutkan kening. Makanan batin itu terlampau keras dan alot untuk hati mereka, sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah hidup.
"Ahh, engkau terlalu lemah, Suheng." Maya mendengus. "Maaf, Suheng. Betapapun juga, aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya!" Siauw Bwee berkata.
Han Ki tersenyum. Maklumlah dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua orang sumoinya akan sia-sia belaka. Kesadaran datang bukan oleh pelajaran dari mulut ke telinga, melainkan dari gemblengan pengalaman. Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mungkin disuruh hati-hati kalau lari? Manusia membutuhkan pengalaman pahit untuk mencapai kesadaran dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang lebih banyak pahitnya daripada manisnya. Namun, semua ini berguna, karena apakah artinya pengalaman manis? Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pengalaman pahit akan membekas dalam hati sanubari, sukar dilupa, dan karena itu maka amat berguna. Diam-diam dia hanya mengharapkan semoga tidak terlalu pahit pengalaman yang akan menimpa kedua orang sumoinya ini. "Sudahlah, daripada omong kosong, mari kita berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sin-kang sehingga dapat bertahan bersamadhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian sudah mengerti bahwa hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sin-kang yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri untuk memperkuat sin-kang kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu menotok) dengan satu jari dan dua jari. Kita
menggunakan arca yang berada di kamar bawah untuk berlatih.
Dua orang anak perempuan itu menjadi gembira sekali seperti biasa kalau mereka menerima pelajaran ilmu baru. Ilmu menotok sudah mereka kenal sebelum mereka ikut bersama Han Ki ke Pulau Es, akan tetapi yang diajarkan Han Ki adalah ilmu menotok yang bertingkat tinggi dan untuk pelajaran ini, mereka telah menerima pelajaran teorinya, melatih kekuatan jari, menghafal letak-letak jalan darah sehingga kini mereka hanya akan melatih prakteknya saja dengan arca itu.
Terutama sekali Siauw Bwee girang sekali karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu ini dia dapat mengatasi sucinya! Memang kedua orang anak perempuan itu, biarpun keduanya sama tekun dan sama-sama memiliki bakat yang amat baik untuk belajar ilmu silat, memiliki bakat-bakat menonjol yang berbeda. Dalam hal mempelajari sin-kang, jelas bahwa Maya melampaui sumoinya, juga dalam ilmu pukulan, gerakan Maya lebih mantap dan berisi sehingga dia lebih cepat maju dibandingkan dengan sumoinya. Akan tetapi, dalam hal gin-kang, yaitu ilmu meringankan diri yang dipergunakan sebagai dasar loncatan-loncatan dan berlari cepat. Siauw Bwee jauh melampaui sucinya. Juga dalam hal pelajaran tiam-hiat-hoat ini.
Dan seperti biasa dalam setiap hari kedua orang anak perempuan ini bersaing dan berlumba saling mengalahkan. Dia yang merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah pengawasan dan petunjuk Han Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu berlatih. Mula-mula Maya yang disuruh bergerak dan menyerang semua jalan darah di tubuh arca itu seperti yang telah diajarkannya dalam teori gerakan ilmu silat ini. Bergeraklah Maya secepat mungkin dan tubuh anak perempuan ini berkelebatan seperti seekor kumbang mengelilingi setangkai bunga. Dalam waktu beberapa belas menit saja ia telah berhasil menotok semua jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi. Seluruh gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee dan setelah selesai, Han Ki berkata sungguh-sungguh, "Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang cepat dan ketika engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau menggunakan jari telunjuk saja, sebaliknya untuk menotok jalan darah tiong-teng-hiat yang
lebih besar, harus dipergunakan telunjuk dan jari tengah. Engkau tadi melakukannya dengan terbalik. Harap kaulatih setiap hari dengan tekun. Maya-sumoi."
Maya mengangguk dan menjawab, "Baiklah, Suheng." Akan tetapi mukanya yang menunduk itu membayangkan ketidakpuasan hatinya.
"Sekarang engkau, Khu-sumoi," Han Ki menyuruh sumoinya yang kedua.
"Baik, Suheng. Harap Suheng lihat baik-baik dan suka memberi tahu kesalahan-kesalahanku seperti yang dilakukan Suci tadi agar aku mengenal kesalahanku sendiri!" kata gadis cilik ini dan dengan gerakan lincah dan ringan sekali mulailah tubuhnya berkelebatan di sekeliling arca, jari tangannya yang kecil mungil melakukan totokan-totokan secara cepat. Kalau tadi gerakan Maya kelihatan amat cepat dan indahnya, kini ternyata bahwa gerakan Siauw Bwee lebih cepat lagi dan setelah ia selesai bersilat dan menghabiskan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh arca itu, Han Ki berkata, "Bagus! Totokanmu tepat semua, penggunaan jari tangan benar dan kecepatanmu cukup, hanya dalam melakukan totokan, engkau harus pandai mengumpulkan tenaga sin-kang di ujung jarimu agar setiap totokan, pada tubuh manusia akan berhasil baik."
Melihat betapa Han Ki, memuji sumoinya, Maya meloncat ke depan dan berkata, "Suheng, aku mau berlatih lagi dengan arca keparat ini!" Tanpa menanti jawaban Han Ki, Maya sudah bergerak lagi menerjang dan menyerang arca batu, gerakannya cepat dan serangannya amat kuat
"Krakkk! Dada arca itu retak-retak dan Maya, menyusulkan sebuah pukulan lagi dari punggung, membuat tubuh arca itu pecah dan jatuh di atas lantai. "Ahhh, Sumoi! Engkau telah merusakkan arca!" Han Ki berseru marah. Karena dalam kemarahannya melihat Siauw Bwee dapat melampauinya dan mendengar Han Ki memuji-muji Siauw Bwee padahal tadi mencelanya, Maya tidak lagi
menggunakan totokan jari tangan, melainkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan terbuka sehingga arca itu menjadi pecah dan rusak. Mendengar teguran Han Ki dan melihat betapa sinar mata Han Ki tajam memandangnya penuh kemarahan, Maya menundukkan muka dan berkata, "Salahku, Suheng. Aku bersalah dan siap menerima hukuman...."
Han Ki menghela napas panjang. Maya amat keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima kesalahan dan Siap dihukum seperti itu, hati siapa tidak merasa iba dan sayang? Siauw Bwee melangkah maju, memegang lengan Maya dan berkata, "Suheng, kalau arca itu rusak, bukanlah kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah mengapa begitu rapuh? Alat untuk menguji ilmu dan berlatih haruslah yang kuat, apalagi arca ini setiap hari ditotok dan dipukul, tentu saja lama-lama pecah."
Han Ki tersenyum. Kedua orang sumoinya ini memang aneh dan lucu. Tadi saling berlumba dan bersaing, akan tetapi begitu yang seorang terancam bahaya, yang lain siap membela dan melindunginya! "Arca ini peninggalan Suhu, kini telah menjadi rusak, kita harus dapat membuatkan penggantinya."
Han Ki lalu mencari batu karang yang terselimut salju, membongkar sebongkah batu sebesar manusia, dan mulai hari itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh seorang manusia. Dan dalam usaha ini terjadi keanehan dan penemuan bakatnya. Ternyata Han Ki memiliki bakat seni ukir yang luar biasa sekali! Maya dan Siauw Bwee berseru terheran-teran dan kagum ketika mereka menyaksikan betapa arca buatan Han Ki ternyata amat baik, bentuknya menyerupai manusia benar dan biarpun tidak sehalus arca yang rusak, namun tidak kalah baik dalam bentuknya. Melihat hasil ukirannya yang tak terduga-duga ini Han Ki menemukan bakatnya dan kini pada setiap waktu terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir untuk memperdalam kemahiran tangannya.
Demikianlah, Han Ki dan dua orang sumoinya dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang amat tinggi peninggalan Bu Kek Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa. Kalau dua orang gadis cilik itu saja berubah menjadi orang-orang yang amat lihai, apalagi Han Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia sudah merupakan seorang pemuda sakti yang sukar dicari tandingannya, apalagi sekarang! Namun, di samping ketekunan mereka yag bercita-cita dan melatih diri menjadi orang-orang sakti, terdapatlah keruwetan-keruwetan perasaan di antara dua orang gadis remaja yang berangkat dewasa. Han Ki adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, lagi amat pandai. Bagi kedua orang dara remaja itu, Han Ki merupakan suheng, juga guru dan merupakan orang terpandai. Maka, anehkah kalau di dalam hati kedua orang dara remaja ini tumbuh tunas yang sama? Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang menyebabkan kedua orang kakak beradik seperguruan yang sebetulnya saling menyayang ini selalu bersaing, apalagi di depan Han Ki! Mereka bertiga yang memasuki Pulau Es yang kosong itu tidak tahu bahwa bersama dengan mereka masuk pula setan yang mengubah diri menjadi Cinta, Nafsu dan Cemburu. Melawan musuh yang kuat dapat mengandalkan ilmu silat tinggi yang telah dikuasai, akan tetapi bagaimana orang-orang muda itu akan dapat melawan setan yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri?
Kalau Han Ki sedang, melatih silat kepada dua orang sumoinya, dia selalu merasa kagum, karena selain cerdik dan berbakat, juga kedua orang sumoinya itu merupakan dua orang gadis remaja yan cantik jelita. Sukar dikatakan siapa antara mereka yang cantik. Maya memiliki kecantikan yang panas dan liar, bagaikan setangkai bunga mawar hutan, memiliki daya tarik istimewa dan khas. Akan tetapi, daya tariknya itu sukar dikatakan dapat mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw Bwee dengan kehalusannya dan pengertiannya yang mendalam. Sama sekali Han Ki, pemuda yang pernah patah hati ini, yang merasa putus asa pula dan tidak bersemangat, bahkan diam-diam berjanji dalam hati untuk tidak mendekati wanita, tidak pernah mimpi bahwa
dialah orangnya yang akan mabok kepayang, bahkan akan menjadi akibat daripada serangkaian peristiwa yang amat hebat!
***
"Bagus sekali! Ahh, Suheng, terima kasih! Terima kasih banyak, burung batu ini indah sekali, lihat, seolah-olah dia bernapas!" Siauw Bwee bersorak girang ketika menerima burung batu yang dibuat oleh Han Ki atas permintaannya. Han Ki memandang dengan wajah berseri, diam-diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang kini usianya sudah empat belas tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil, begitu girang memeluk burung-burungan dari batu yang diukirnya dari batu karang putih. Siauw Bwee lalu berlari-lari pergi mencari Maya yang berlatih di belakang istana. Han Ki lalu pergi memasuki ruangan dalam untuk melanjutkan usahanya. yang sudah ia kerjakan kurang lebih setahun lamanya, yaitu menuliskan ilmu-ilmu silat tinggi yang ia gabungkan dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya selama ini ke dalam sebuah kitab. Bu Kek Siansu telah berpesan kepadanya bahwa setelah kitab-kitab yang ditinggalkannya di istana itu habis dipelajari, kitab-kitab itu harus dibakar.
"Kitab-kitab pelajaran iimu silat tidak baik ditinggalkan begitu saja," kata gurunya. "Ilmu silat merupakan ilmu yang amat berguna jika terjatuh ke tangan orang yang baik-baik, akan tetapi sekali terjatuh ke tangan orang yang hatinya gelap tersesat, amatlah berbahaya. Karena itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan kedua orang sumoimu, kitab-kitab itu harus
dibakar."
Karena inilah, maka Han Ki terpaksa membakar dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang telah mereka pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan ilmu-ilmunya, maka dia sendiri lalu merangkai kitab yang berisikan ilmu-ilmu yang digabungnya sendiri dari banyak ilmu silat yang telah ia pelajari.
Tiba-tiba Han Ki mendengar suara ribut-ribut di belakang istana. Suara Maya dan Siauw Bwee, seperti orang bertengkar.
Cepat ia menghentikan tulisannya dan lari ke belakang. Dilihatnya Siauw Bwee dan Maya bertanding memperebutkan batu putih! Ketika Han Ki tiba di situ, perebutan mencapai puncaknya. Maya berusaha merampas burung batu itu dari tangan Siauw Swee yang mempertahankan. Keduanya memegang burung batu itu, bersitegang hendak menarik dan mengerahkan tenaga.
"Prakkk" Burung batu itu pecah menjadi perkeping-keping dan jatuh berhamburan ke atas tanah!
"Ohhh....! Burungku.... aih, burungku pecah....!" Siauw Bwee berlutut, menangis memandang burung batu yang sudah pecah berantakan di depan lututnya. Melihat munculnya Han Ki dan akibat perebutan itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela,
"Ahh, begitu saja menangis. Cengeng....!"
"Maya-sumoi!" Apa yang kaulakukan itu?" Han Ki membentak, marah kepada Maya dan kasihan kepada Siauw Bwee.
"Aku hanya ingin meminjam, dan melihat sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!"
"Tidak! Dia memang hendak merampasnya!" Siauw Bwee membantah, terisak-isak.
"Maya-sumoi, tidak baik meminjam milik orang lain dengan paksa," Han Ki kembali menegur, tidak senang karena melihat Maya mulai bersikap keras dan memaksa kepada Siauw Bwee.
"Suheng, engkau yang tidak adil, pilih kasih! Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan tetapi tidak kepadaku." Han Ki mengerutkan keningnya. "Sumoi, burung batu itu kubuat atas permintaan Khu-sumoi, bukan semata-mata aku membuatkan untuknya. Kalau engkau juga menginginkan sebuah, mengapa tidak minta saja kubuatkan dan merampas kepunyaan Khu-sumoi? Perbuatanmu itu tidak benar. Kau harus minta maaf kepada Khu-sumoi!"
"Sudahlah, Suheng. Suci tidak merusak burung batuku." Siauw Bwee bangun berdiri dan mengusap air matanya. Melihat betapa Maya dimarahi Han Ki, timbul rasa kasihan di hati Siauw Bwee.
"Lihat, Khu,sumoi begini baik kepadamu, akan tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi," Han Ki kembali menegur. Sejenak sepasang mata yang indah itu menatap wajah Han Ki, kemudian menoleh kepada Siauw Bwee. Tiba-tiba Maya terisak dan air matanya mengucur. "Memang aku selalu nakal! Memang aku paling jahat! Lebih baik aku pergi saja agar jangan mengganggu Sumoi dan membikin marah Suheng!" Maya membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Han Ki dan Siauw Bwee.
"Suci, kau hendak kemana?" Siauw Bwee hendak mengejar akan tetapi Han Ki memegang lengannya mencegah.
"Kalau dia sedang marah, dikejar dan dibujuk pun percuma. Biarkan dia, nanti kalau sudah mendingin hatinya, tentu dia kembali sendiri." Karena di dalam hatinya Han Ki masih marah kepada Maya, maka dia sengaja membiarkan saja karena dipikirnya, kemana Maya dapat pergi? Pulau itu tidak berapa luas.
Akan tetapi, setelah malam tiba dan Maya belum juga kembali, mulailah hati Han Ki menjadi gelisah. Juga Siauw Bwee merasa khawatir sekali dan mereka berdua mulai mencari, mengelilingi pulau dari dua jurusan. Akan tetapi, mereka bertemu kembali dengan tangan hampa. "Kucari kemana-mana tidak ada. Suheng.Jangan-jangan dia...."
"Tidak bisa pergi dari sini. Perahu kita masih ada. Entah dimana anak nakal itu!"
"Suheng, Suci tidak nakal! Ahh.... dia harus dapat ditemukan kembali, Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dia? Suheng, aku khawatir sekali...."
"Tenanglah. Kaupersiapkan saja makan malam. Aku akan mencari Maya sampai dapat." Han Ki pergi lagi mencari, kini dia tidak menyembunyikan kekhawatiran hatinya dan mulai berteriak-teriak nyaring memanggil nama Maya. "Mayaaaaa....! Sumoi....! keluarlah....! Di mana engkau....?"
Suara Han Ki bergema di seluruh permukaan pulau karena dia mengerahkan tenaga dari dalam perutnya, mempergunakan khi-kang yang kuat sekali. Mendengar suara itu Siauw Bwee merasa makin khawatir. Dia melanjutkan persiapannya membuat makan malam untuk mereka bertiga dan dia mendengarkan gema suara Han Ki dari jauh. "Maya....! Maya....! Maya....!" Tidak ada orang lain mendengar suara nyaring bergema ini kecuali Siauw Bwee dan tentu saja Maya yang bersembunyi! Maya tersenyum, hatinya puas. Memang dia sejak tadi bersembunyi dan memang itulah keinginan hatinya, bersembunyi tidak mau keluar lagi agar Han Ki susah payah mencarinya, agar suhengnya dan sumoinya cemas memikirkannya, terutama sekali suhengnya! Ia tersenyum mendengar suara Han Ki memanggil-manggil namanya dan ia tahu bahwa suhengnya tentu mencarinya di seluruh permukaan pulau itu. Tentu saja dia tidak bodoh bersembunyi di pulau yang kosong itu. Dia bersembunyi di tempat yang tidak akan disangka-sangka oleh suheng dan sumoinya, yaitu di dalam ruangan bawah istana!
Biar dia tahu rasa, demikian pikir Maya. Hatinya gemas sekali kalau mengingat betapa Han Ki membuatkan mainan sumoinya dan dalam pertengkaran tadi jelas bahwa suhengnya membela sumoinya, bahkan memarahinya di depan sumoinya. Hatinya sakit sekali. Biar sekarang dia mencariku setengah mati, aku tidak akan kembali kepada mereka! Akan tetapi, kemana dia dapat pergi? Kalau terus bersembunyi di dalam ruangan bawah itu, tentu suheng dan sumoinya akan dapat menemukannya. Maya mencari-cari tempat sembunyi. Melihat arca batu yang tadinya mereka pakai sebagai alat melatih tiam-hoat, yang kini sudah pecah dan hanya tinggal kaki dan pinggangnya saja yang masih berdiri di situ, hatinya makin sakit, teringat ia betapa dalam latihan itu pun ia dimarahi suhengnya karena membikin pecah arca. Ahh, pecahan arca itu masih berada di situ. Kalau dia tumpuk di depan rak senjata, tentu merupakan tempat sembunyi yang baik, yaitu di belakang tumpukan, di bawah kolong rak senjata. Berpikir demikian, Maya lalu menghampiri arca yang tinggal setengah badan bagian bawah, kemudian ia memeluk kaki arca itu, mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya. Namun, arca itu sama sekali tidak dapat ia gerakkan! Ia berdiri memandang penuh penasaran. Sin-kangnya sudah kuat, masa dia tidak dapat mengangkat batu ini? Menurut ukurannya, biar arca itu masih utuh sekalipun pasti dia akan kuat mengangkatnya. Mengapa kaki arca ini tak dapat dia angkat sedikit pun? Ia menjadi penasaran, kembali membungkuk, memeluk kedua kaki arca dan mengerahkan tenaga, menarik, membetot dan memutar. Sisa arca itu tidak terangkat akan tetapi tergeser dan betapa heran rasa hati Maya ketika melihat bahwa di bawah landasan kaki arca itu, lantainya berlubang? Akan tetapi keheranannya berganti kegirangan dan ia berkata, "Inilah tempat sembunyi yang baik!" Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki lubang itu dan kembali dia terheran-heran karena di bawah lubang terdapat anak tangga dari batu. Dengan penuh keheranan, lupa akan niatnya bersembunyi sehingga dia tidak menutup lagi kaki arca di atas lubang dengan hati-hati Maya menuruni anak tangga batu itu, terus ke bawah. Kiranya di bawah arca itu terdapat sebuah lorong rahasia ke bawah tanah!
Dengan hati-hati akan tetapi sedikitpun juga tidak merasa takut, Maya melanjutkan perjalanannya menuruni lorong kecil, Dia dapat menduga bahwa lorong ini memang sengaja dibuat orang, berada di bawah istana dan hal ini selain terbukti dari adanya anak tangga batu, juga karena lorong ini tidaklah gelap, melainkan mendapat penerangan dari atas, yaitu datang dari sinar penerangan melalui lubang-lubang rahasia.
***
Akan tetapi karena penerangan di malam itu hanya datang dari beberapa buah kamar saja di atas, yaitu kamarnya, kamar Siauw Bwee dan kamar Han Ki, juga didapur, maka makin ia turun ke bawah makin gelaplah cuaca. Maya berhenti dan duduk mengaso. Teringatlah ia kembali akan tujuannya semula, yaitu bersembunyi. Ah, tempat sembunyi yang baik dan tidak mungkin Han Ki dapat mencarinya di sini. Ia tersenyum puas, akan tetapi mulai merasa ngeri karena tak lama kemudian tempat itu menjadi gelap sekali. Hal ini karena adalah penerangan di dapur, yang letaknya di atas tempat itu, dipadamkan oleh Siauw Bwee yang sudah selesai memasak.
"Dia tidak ada!" Kata Han Ki sambil menghela napas panjang, kini penuh kekhawatiran. "Begini gelap,tentu sukar mencarinya," kata Siauw Bwee. "Besok akan kucari lagi sampai dapat. Heran sekali, kemana perginya anak nakal itu?"
"Dia tidak nakal, Suheng...." Kembali pemuda itu menghela napas, "Hemm,dia seringkali mengganggumu dan kau selalu melayaninya, akan tetapi sekarang kau selalu membelanya. Kau makanlah, Sumoi."
"Marilah, Suheng."
"Makanlah, aku tidak lapar."
"Suheng mengkhawatirkan keselamatan Suci?"
"Tentu saja. Entah dimana anak itu. Aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Dia lenyap, bagaimana aku tidak khawatir?"
"Kalau Suheng tidak mau makan, akupun tidak makan."
"Makanlah, Sumoi, aku akan pergi lagi mencarinya." Han Ki berkelebat keluar untuk mencari lagi sumoinya yang hilang. Siauw Bwee berdiri menghadapi makanan, alisnya berkerut. "Dia.... dia mencintai Suci" Tiba-tiba ia menjatuhkan diri di atas bangku dan menyandarkan muka berbantal lengan di atas meja, pundaknya bergoyang-goyang. Siauw Bwee menangis!
Semalam itu Siauw Bwee tidak tidur, gelisah didalam kamarnya. Makanan yang telah dibuatnya dan disediakan diruangan belakang di atas meja, tidak tersentuh. Juga Han Ki tidak tidur, bahkan semalaman itu ia tidak kembali ke istana, karena dia terus mencari Maya diseluruh Pulau Es, beberapa kali mengelilingi pulau sehingga setiap tempat yang mungkin dijadikan tempat sembunyi sumoinya itu dijenguknya sampai dua tiga kali. Namun hasilnya sia-sia belaka. Setelah matahari terbit, ia berdiri termenung ditepi laut. Tiba-tiba ia menepuk kepalanya sendiri. Ah, kemana Maya dapat pergi? Tidak mungkin dapat meninggalkan pulau tanpa perahu! Tentu berada di pulau dan karena semalam penuh ia mencari di luar istana, tentu sumoinya itu bersembunyi didalam istana! Mengapa dia begini bodoh? Bergegas ia lari memasuki bangunan besar itu dan mencari-cari. Semua kamar dimasukinya dan akhirnya ia memasuki ruangan bawah, tempat mereka berlatih tiam-hiat-hoat. Begitu masuk, ia
mencium sesuatu yang aneh, harum-harum dan amis, juga tampak olehnya lubang diatas lantai dekat kaki arca yang pecah!Ia terbelalak heran, kemudian tanpa ragu-ragu lagi ia merayap memasuki lubang itu.
Maya yang tertidur sambil duduk bersandar dinding batu, terbangun dan melihat betapa tempat yang gelap itu kini menjadi terang. Ia dapat menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena sinar yang masuk dari atas adalah sinar matahari. Timbul keinginan hatinya untuk melanjutkan penyelidikannya, maka ia terus berjalan turun, menuruni anak tangga batu. Dari jauh ia sudah mencium bau harum yang aneh di sebelah bawah. Ketika ia tiba di akhir anak tangga batu dan melihat ke depan ternyata bahwa anak tangga itu berakhir di dalam sebuah ruangan yang lebar dan di atas lantai tampak uap mengebul memenuhi ruangan. Ia tertarik dan mendekat. Tiba-tiba ia menjerit dan membalikkan tubuh hendak lari naik karena kini matanya yang sudah biasa dapat melihat di balik uap putih itu terdapat banyak sekali ular merah. Puluhan, bahkan ratusan ekor banyaknya! Ular-ular berkulit merah berdesis-desis saling belit dan agaknya ular-ular itu melihat kedatangannya karena ular-ular itu
mengangkat kepala memandang kepadanya dengan lidah bergerak-gerak cepat keluar masuk mulut yang kebiruan. Dengan hati penuh kengerian Maya melangkah hendak lari menaiki anak tangga dan pergi dari tempat yang menyeramkan itu, akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pusing, pandang matanya berkunang dan seluruh tubuhnya panas, kakinya gemetar lemas dan akhirnya gadis cilik ini terguling roboh di atas anak tangga. Ratusan ekor ular merayap perlahan menghampirinya, akan tetapi karena anak
tangga itu terbuat dari batu dan licin, maka ular-ular itu tidak dapat merayap naik, baru sampai dekat kaki Maya sudah
terpeleset jatuh kembali kebawah. Akan tetapi, uap putih harum amis yang keluar dari mulut mereka makin tebal memenuhi ruangan. Maya tidak melihat kengerian ini karena dia sudah pingsan, rebah terpelanting di atas anak tangga.
"Maya....!" Han Ki terkejut dan cemas sekali menyaksikan tubuh Maya menggeletak di atas anak tangga sedangkan di bawahnya, ratusan ekor ular merah berusaha untuk merayap naik. Cepat pemuda yang banyak pengalaman dan maklum bahwa uap putih harum itu adalah hawa beracun, menahan napas dan menyambar tubuh Maya, dibawanya lari naik menjauhi gumpalan uap. Kemudian ia menurunkan tubuh Maya di atas lantai lorong yang rata, memeriksa nadi pergelangan tangan Maya. Ia bernapas lega. Jalan darah sumoinya tidak berubah, pernapasannya biasa, hanya tubuhnya agak panas dan mungkin sumoinya pingsan karena kaget. Cepat ia memijit beberapa jalan darah di tengkuk dan pundak Maya. Maya mengeluh, bergerak perlahan, membuka mata dan napasnya mulai terengah-engah! Hal ini mengherankan hati Han Ki, juga mendatangkan rasa khawatir. Ia memeluk tubuh sumoinya, mengangkat kepala gadis cilik itu dan mengguncang-guncangnya. "Maya-sumoi....!"
Maya memandang kepada Han Ki. Pemuda ini terkejut. Sepasang mata yang indah itu kini mengandung sinar yang Amat luar biasa, seolah-olah mengeluarkan api, wajah yang jelita itu menjadi kemerahan, mengingatkan ia akan wajah kekasihnya dahulu, yaitu puteri Sung Kwi diwaktu berlumba asmara dengan dia!
"Maya...."
Han Ki tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking kagetnya ketika tiba-tiba Maya merangkul lehernya dengan kedua lengan, merangkul erat-erat dan menyembunyikan muka kedadanya, didekapkan kuat-kuat sambil berbisik, "Suheng ....ah, Suheng....!" Kemudian gadis cilik itu menangis!
"Suheng....apakah kau sayang kepadaku....?" Hati Han Ki menjadi lega karena tangis menandakan bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan tetapi sikap dan pertanyaan Maya membuat ia merasa aneh. "Tentu saja aku sayang padamu, Sumoi," jawabnya dengan cepat, karena memang tentu saja dia sayang kepada sumoinya, baik Maya maupun Siauw Bwee. Jawaban ini dijawab dengan rangkulan yang lebih ketat lagi sehingga ia merasa tidak enak sendiri, lalu berusaha melepaskan rangkulan Maya. Akan tetapi, kedua lengan itu merangkul makin ketat dan mulut Maya betbisik, "Peluklah aku erat-erat....Suheng....,jangan lepaskan lagi....!"
"Maya....!"Han Ki berseru kaget dan jantungnya berdebar. "Suheng....aku cinta padamu, Suheng....ahhh....!" Kini Maya mengangkat mulutnya dan membuat gerakan hendak mencium pipi Han Ki. Pemuda itu terkejut seperti diserang ular berbisa. Melihat mata yang penuh gairah dari sumoinya, ia mengerti bahwa tentu uap putih harum itu yang mengandung racun aneh sehingga mempengaruhi watak Maya yang luar biasa ini, seolah-olah gadis cilik itu berubah menjadi seorang wanita yang penuh nafsu birahi! Cepat ia menotok tubuh sumoinya sehingga Maya mengeluh dan terkulai lemas, kemudian ia memondongnya dan membawanya lari naik.
"Suheng....!Suci kenapa....?" Siauw Bwee ternyata mencari sucinya dan berhasil menemukan lubang rahasia. lalu memasukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naik dari bawah memondong tubuh sucinya yang terkulai lemas.
"Khu-sumoi, lekas kembali! Di sini berbahaya!" kata Han Ki. Ucapan ini mengejutkan Siauw Bwee dan bersama-sama mereka lari naik dan keluar dari lubang di lantai ruangan bawah. Karena lubang itu kecil, maka Siauw Bwee yang keluar lebih dahulu membantu tubuh Maya yang didorong keluar dari bawah oleh Han Ki. Kemudian Han Ki memondong tubuh itu dibawa ke dalam kamar Maya yang berada disebelah kamar Siauw Bwee.
"Di bawah banyak ular merah beracun. Agaknya dia terkena racun uap putih yang keluar dari mulut ular-ular itu," kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh Maya. Gadis itu segera tertidur pulas, "Dia perlu beristirahat, biarkan dia tidur agar hawa beracun lenyap dari tubuhnya."
Sehari semalam Maya tidur pulas, bahkan dia tidak terbangun ketika Siauw Bwee menuangkan air obat yang dibuat oleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han Ki duduk bersila dan menempelkan telapak tangannya di punggung Maya, menggunakan sin-kangnya untuk "membersihkan" tubuh sumoinya dari pengaruh hawa beracun. Pada keesokan harinya, Maya terbangun dan ia bangkit duduk, mengusap-usap matanya dan memandang kepada Siauw Bwee. "Ular....banyak sekali ....,ular merah....!" katanya gugup.
Siauw Bwee merangkulnya dengan hati lega. "Engkau sudah aman, Suci. Suheng menyelamatkanmu."
"Aku disini, Sumoi, "Han Ki memasuki kamar, menekan perasaannya agar guncangan hatinya tidak terlihat diwajahnya. Diapun menekan kemarahannya atas perbuatan Maya yang membingungkan dia dan Siauw Bwee semalam suntuk.
"Ahhh, kini aku teringat.... lubang rahasia di bawah arca.... lorong di bawah tanah....dan ular-ular merah! Hiiih, menjijikkan! Suheng, kau maafkan aku, ya?"
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Aku girang bahwa engkau selamat. Ular-ular itu berbahaya sekali, entah bagaimana bisa berada dibawah sana. Harus dibasmi."
"Aku ikut, Suheng!" Siauw Bwee berkata penuh semangat. "Aku juga ikut!" kata Maya sambil melompat turun dari pembaringan. Han Ki tersenyum. Maya telah pulih kembali, telah memperlihatkan sikap tidak mau mengalah seperti biasa. "Memang aku akan mengajak kalian akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam tadi?"
"Aku belum!" jawab Maya, mendadak merasa betapa perutnya lapar sekali. "Bukan hanya semalam, sudah dua hari dua malam aku tidak makan!"
"Aku juga belum sama sekali!"Siauw Bwee berkata. "Aihh! Mengapa Sumoi?", Maya bertanya. "Dia gelisah memikirkanmu, mana bisa makan?" Han Ki berkata.
Maya memandang Siauw Bwee, lalu merangkul dan mencium pipi sumoinya. Melihat ini, Han Ki berdebar, teringat akan perbuatan Maya seperti itu terhadapnya ketika Maya dikuasai racun ular.
"Sumoi, kau baik sekali! Aku sungguh sayang kepadamu, Sumoi!"
Siauw Bwee balas memeluk. "Maka jangan kau pergi lagi, Suci. Aku tidak bisa makan dan tidur kalau, kau pergi,"jawab Siauw Bwee.
Tiba-tiba Maya menoleh kepada Han Ki. "Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?" Jantung Han Ki berdebar. Ia seperti melihat betapa sinar mata Maya ini berbeda dari biasanya, bukan pandang mata kanak-kanak lagi, melainkan pandang mata seorang gadis yang sudah mulai dewasa, pandang mata seorang wanita! Ia menekan debar jantungnya dan memasang muka cemberut,
menjawab, "Aku setengah mati mencarimu, mana ingat makan dan tidur?"
"Aihh! Aku membikin susah kalian! Maafkan saja. Biar kumasakkan yang enak untuk kalian!" Maya berlari ke dapur dan Siauw Bwee tertawa, menoleh kepada Han Ki, berkata, "Lihat! Suci begitu baik, mana bisa dibilang nakal?" Dan ia pun lari mengejar untuk membantu Maya mempersiapkan makanan.
Setelah makan, tiga orang itu lalu bersama memasuki lorong rahasia dibawah tanah. Tadinya Siauw Bwee dan Maya membawa sebatang pedang karena mereka bermaksud untuk membunuh ular-ular berbahaya itu. Akan tetapi mereka dilarang oleh Han Ki yang berkata, "Ular-ular itu berbahaya sekali. Baru uap yang keluar dari mulut mereka saja sudah amat berbahaya. Tidak mungkin kita dapat mendekati binatang-blnatang itu untuk membunuhnya."
"Habis, bagaimana baiknya, Suheng?" tanya Maya yang masih belum tahu bahwa dia nyaris menjadi korban uap beracun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun ular merah itu masih belum lenyap sama sekali dari tubuhnya, yang membuat ia kini merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Han Ki, yang mendatangkan gairah dan rangsangan birahi namun belum dimengerti benar oleh hatinya yang masih belum matang.
"Aku akan menggunakan api. Tidak mungkin ular-ular itu berada di sana tadinya. Suhu tentu tidak akan membiarkan ular-ular berbahaya itu memenuhi ruangan. Tentu ular-ular itu datang dari lain tempat, maka biarlah kuusir mereka itu dari ruangan bawah tanah.Kalau tidak mau pergi, binatang-binatang itu akan kubasmi dengan api."
Selama tinggal di Pulau Es, Han Ki beberapa kali pergi menggunakan perahu untuk mencari bahan makanan, binatang buruan, buah-buahan dan sayur-sayuran, juga ranting-ranting kering untuk bahan bakar dari pulau-pulau yang berdekatan. Kini ia membawa ranting-ranting dan daunkering serta menyalakan obor memasuki lorong rahasia itu bersama kedua orang sumoinya yang juga membawa ranting-ranting kering.
Dengan hati-hati mereka menuruni anak tangga, dan dari atas tampaklah oleh mereka ular-ular itu dengan uap yang harum.
"Kita nyalakan ranting-ranting dan melemparkan kebawah. Akan tetapi hati-hatilah, kalau mendekat kesana harus menahan napas. Jika sudah tidak tertahan, segera naik lagi dan bernapas ditempat yang tak ada uap putihnya. Uap itu berbahaya sekali!" Han Ki berkata, "Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting berapi didekat anak tangga agar jangan sampai menimbulkan kebakaran. Kulihat di sudut ruangan itu ada lemari dan meja, jangan sampai barang barang itu terbakar. Siapa tahu kalau-kalau Suhu menyimpan sesuatu disana."
Tiga orang itu membakar ranting dan melemparkan kebawah. Melihat menyambarnya ranting-ranting berapi itu, beberapa ekor ular lalu menerjang dan tentu saja mereka bertemu dengan api dan seketika mereka berkelojotan. Han Ki dan kedua orang sumoinya melemparkan lagi beberapa batang ranting berapi. Kembali ular-ular itu menyerang sambil mendesis-desis dan begitu bertemu api, binatang-binatang itu berkelojotan dan menyerang kawan sendiri membabi buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahu bahwa benda-benda bernyala itu berbahaya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik, bergerak saling terjang, saling belit dan berlumba lari memasuki sebuah lubang yang terdapat di sudut ruangan itu. Dua tiga kali Maya dan Siauw Bwee, meloncat naik keatas menjauhi uap beracun untuk bernapas, sedangkan Han Ki yang lebih kuat masih bertahan terus.
"Lihat, mereka lari dari sebuah lubang. Sudah kuduga, tentu ada lubangnya yang menembus ruangan itu. Mereka menggunakan ruangan itu sebagai sarang!"
Dengan hati penuh rasa jijik dan ngeri Maya dan Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerak pergi dan tak lama kemudian, di ruanganitu hanya tinggal belasan ekor ular yang mati dan ada yang masih berkelojotan. Uap putih yang tadi memenuhi ruangan bawah itu kini telah lenyap pula, keluar dari lubang-lubang di atas dari mana sinar matahari menerobos masuk. Agaknya lubang-tubang di atas itu memang sengaja dibuat untuk lubang hawa dari lubang memasukkan sinar matahari.
"Heii, di lemari itu ada kitab-kitab!" Maya berseru dan hendak berlari turun. Akan tetapi, Han Ki memegang lengannya mencegah,
"Hati-hati, Sumoi. Biarpun ular-ular telah pergi dan uap telah lenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh racun bekas ular. Biarkan aku saja yang turun membersihkan tempat itu dan memeriksa kitab-kitab." Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Han Ki menuruni anak tangga dan menggunakan kakinya melempar-lemparkan bangkai dan tubuh ular yang berkelojotan keluar dari lubang kecil di sudut ruangan. Kemudian pe muda ini mencabut pedang, memotong dinding batu yang cukup besar lalu menggunakan sebongkah batu itu menutupi lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan ruangan. Dengan pengerahan tenaganya, ia mendorongkan batu sebesar lubang itu lebih dulu sebagal penyumbat, baru meletakkan batu besar itu di luar lubang.
Kemudian ia menghampiri lemari yang daun pintunya terbuka separuh memperlihatkan beberapa jilid kitab tua. Akan tetapi,
baru saja tiba di depan lemari, ia melihat bahwa lemari itu tadinya tertutup dan "disegel' dengan sepotong kain sutera yang ada tulisannya. Agaknya karena tua dan lapuk, terutama'sekali karena bisa ular, kain itu robek dan daun pintunya terbuka separuh. Han Ki mengenal tulisan di atas kain, yaitu tulisan tangan suhunya dengan huruf-huruf kembang yang amat rapi, maka dia tidak berani berlaku lancang. Dipegangnya kain sutera itu, disambungkannya kembali baru dibaca. Kagetlah ia ketika membaca tulisan suhunya itu!
"Ilmu-ilmu silat dalam kitab-kitab ini amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka, tidak patut dipelajari pembela-pembela kebenaran dan keadilan."
Membaca tulisan suhunya itu, Han Ki cepat menutupkan kembali daun pintu lemari, kemudian ia meloncat naik menghampiri kedua orang sumoinya yang memandang dengan heran.
"Suheng, kitab-kitab apakah itu?" Siauw Bwee bertanya tidak sabar. Seperti juga sucinya, dia selalu ingin sekali melihat dan mempelajari ilmu-ilmu baru dari kitab-kitab yang berada di istana itu.
"Kenapa tidak diambil, bahkan tidak kau periksa isinya, Suheng?" Maya juga bertanya. "Mari kita kembali ke atas, nanti kuceritakan," kata Han Ki dan kedua orang sumoinya tidak banyak bertanya lagi karena melihat wajah serius suheng mereka, setelah tiba di atas, barulah Han Ki menarik napas panjang dan berkata. "Memang ruangan di bawah itu hanya pantas menjadi
sarang ular. Kitab-kitab itu ternyata lebih berbahaya dari pada sekumpulan ular berbisa itu."
"Ah, kitab-kitab apakah itu, Suheng?" tanya Maya. "Kitab-kitab itu sengaja disembunyikan oleh Siansu agar jangan dibaca orang, dan lemari itu tadinya dipasangi tulisan suhunya yang melarang orang membaca kitab-kitab yang katanya amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka dan tidak patut dipelajari oleh orang-orang gagah pembela kebenaran dan, keadilan."
"Orang buangan di Pulau Neraka? Siapakah itu, Suheng?" Siauw Bwee bertanya.
"Aku sendiri pun tidak tahu jelas, Akan tetapi ada disebut sedikit di dalam kitab yang kubaca ditempat keramat penghuni
Pulau Nelayan. Ketika kerajaan kecil di Pulau Es ini masih berdiri, yang istananya kini kita tempati, terdapat orang-orang
yang melanggar peraturan dan dihukum buang kesebuah pulau yang merupakan neraka dunia, sukar, bahkan tak mungkin orang hidup di sana, di sebut Pulau Neraka. Tentu hanya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji saja yang dibuang di sana, dan melihat betapa rakyat Pulau Es itu saja sudah amat lihai seperti kita buktikan pada keturunan mereka di Pulau Nelayan, maka para penjahatnya amat lihai. Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaan orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan tetapi keji bukan main. Setelah Suhu kita sendiri melarang, perlu apa kita melihat kitab-kitab keji seperti itu?"
Sekali ini, kedua orang gadis remaja itu tidak membantah. Akan tetapi diam-diam Maya merasa penasaran dan tidak setuju. Apa sih kejinya ilmu? Tergantung kepada orangnya! Akan tetapi ia takut untuk membantah, apalagi mengingat bahwa terdapat larangan oleh suhunya sendiri. Semenjak peristiwa itu, Maya tidak banyak rewel seperti biasa akan tetapi ada perubahan yang membuat hati Han Ki makin khawatir, yaitu bahwa sering kali pandang mata Maya kepadanya mengingatkan ia akan pandang mata Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, memandangnya penuh cinta kasih! Dia tidak tahu bahwa diam-diam, sesuai dengan wataknya yang halus, Siauw Bwee juga sering kali memandangnya seperti itu. Cinta kasih bersemi di dalam lubuk hati kedua orang gadis
remaja itu terhadap suheng mereka. Dan perlumbaan diantara mereka dahulu untuk menarik perhatian suheng mereka, kini diam-diam mereka melanjutkan dengan perlumbaan mencinta pemuda itu!
Hal ini terjadi dengan diam-diam karena kedua orang gadis yang berangkat dewasa itu mempunyai perasaan kewanitaan yang halus, yang membuat mereka saling mengerti bahwa mereka mencinta Han Ki, bukan kasih sayang seorang sumoi terhadap suhengnya, melainkan kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria. Biarpun keduanya tidak pernah membuka rahasia hati dari mulut mereka, namun keduanya saling mengerti. Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Han Ki, dan masih ada lagi hal yang tidak diketahui Han Ki, yaitu bahwa diam-diam Maya telah turun kedalam ruangan rahasia itu dan diam-diam membuka dan membaca kitab-kitab ciptaan tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka!
Yang diketahui oleh Han Ki hanyalah bahwa kedua orang sumoinya itu belajar Ilmu dengan amat tekunnya sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat dan semua ini membuat hatinya gembira sekali karena ia merasa bahwa dia telah memenuhi tugas yang dibebankan suhunya dengan baik. Waktu berjalan dengan amat cepatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah tinggal di atas Pulau Es selama lima tahun, Kini Maya telah menjadi seorang dara jelita berusia delapan belas tahun sedangkan Siauw Bwee menjadi seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun. Biarpun mereka bertiga tinggal di atas pulau yang kosong, namun untuk kepentingan mereka, Han Ki pergi menggunakan perahunya membeli bahan-bahan pakaian untuk mereka
sehingga mereka selalu dapat berpakaian dengan baik, seperti telah dapat diduga sebelumnya oleh Han Ki, setelah kini
kepandaian kedua orang sumoinya itu menjadi matang, Siauw Bwee memiliki gin-kang yang luar biasa sekali, yang memungkinkannya bergerak seperti seekor burung walet dan pandai pula menggerakkan tenaga sin-kangnya menjadi tenaga halus yang memungkinkan dara ini mempergunakan telapak tangannya menghadapi senjata lawan yang keras dan tajam. Dilain pihak, Maya juga memperoleh kemajuan luar biasa, tenaga sin-kangnya mengagumkan, kuat sekali, terutama sekali tenaga Yang-kang sehingga kalau Maya memainkan ilmu silat yang sifatnya panas, dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang panas seperti api membara! Juga Maya dapat bersilat dengan gerakan indah seperti menari-nari sehingga dara yang memiliki kecantikan luar biasa dan khas Khitan itu tampak seperti bidadari kahyangan menari-nari.
Han Ki sendiri memperoleh kemajuan yang sukar diukur lagi. Dia menjadi seorang pendekar sakti yang sukar dicari tandingnya di waktu itu. Usianya sudah tiga puluh tahun, namun sikapnya sudah seperti seorang tua, pendiam dan seringkali bersamadhi. Di samping kepandaian silatnya, juga kepandaiannya mengukir batu memperoleh kemajuan karena sering ia latih. Dan pada waktu kedua orang sumoinya telah menjadi dara-dara dewasa, Han Ki mencari tiga bongkah batu karang yang seperti batu pualam putih, dan amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga buah arca mereka dengan penuh ketelitian dan hati-hati.
***
"Jangan tinggalkan aku....ohhh, Koko....jangan tinggalkan aku....,bawalah aku pergi....!" Rintihan ini keluar dari mulut
seorang wanita muda, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, yang pakaiannya setengah telanjang dan dicobanya membetulkan letak pakaian ketika ia turun dari pembaringan menghampiri seorang laki-laki yang sedang berkemas membetulkan pakaian di dekat pintu kamar.
Kamar itu mewah dan indah, kamar seorang puteri bangsawan atau hartawan,bersih dan harum semerbak. Dara itu amat cantik, kulit muka dan lengannya putih seperti salju, halus seperti sutera. Rambutnya terurai lepas, hitam dan panjang agak berombak, berbau harum sari bunga. Pakaian yang dipakainya, yang sedang dibetulkan letaknya, juga terbuat dari sutera halus dan mahal. Di atas meja dekat pembaringan tampak hiasan-hiasan baju dan hiasan-hiasan rambut dari pada emas dan batu kumala, serba indah, dan mahal. Mudah diduga bahwa dara berusia delapan belas tahun ini adalah puteri seorang bangsawan atau seorang hartawan. Adapun pria yang sedang membetulkan pakaian dengan sikap tidak acuh itu adalah seorang laki-laki yang tampan dan sikapnya gagah perkasa, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya juga indah dan pesolek sekali sikapnya ketika membetulkan baju dan membereskan rambutnya.
"Aku harus pergi sekarang juga dan engkau tidak boleh ikut, bahkan tidak boleh mengingat aku lagi. Pertemuan kita hanya sekali ini dan untuk terakhir kali, sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi di antara kita."
Dara itu memandang terbelalak, seolah-olah tidak percaya kepada telinganya sendiri. Benarkah ucapan yang tadi penuh rayuan, yang manis dan sedap didengar, yang membahagiakan hatinya semalam suntuk, keluar dari mulut laki-laki ini pula yang sekarang bicara dengan sikap demikian dingin?
Ah, tidak mungkin! Dara itu lari kedepan dan menubruk laki-laki itu, merangkul pinggangnya dari belakang dan menjatuhkan diri berlutut, "Koko...., jangan tinggalkan aku....,ahhh, tidakkah engkau mencintaku? Bukankah tadi telah kau bisikkan kata-kata cinta kepadaku? Mungkinkah orang seperti engkau akan begitu tega meninggalkan aku? Ahh,Koko!"
"Hemm, cinta telah mati dihatiku. Mati karena cinta palsu perempuan-perempuan sepertimu."
"Koko...., aku....,aku cinta padamu ....,uhu-uhu, dengan seluruh jiwa ragaku....?" Dara itu menangis.
"Engkau? Perempuan? Mencinta dengan seluruh jiwa raga? Ha-ha-ha!" Laki-laki itu tertawa, akan tetapi suara tawanya mengandung kepahitan.
"Koko....,sudah kubuktikan tadi cinta kasihku kepadamu. Bukankah sudah kuberikan kepadamu tubuhku, cintaku, segala-galanya....?"
"HA-ha-ha, itukah buktinya cinta? Seperti semua perempuan yang telah kukenal. Bagimu, bukti cinta adalah penyerahan tubuhmu? Ha-ha-ha, pergilah, dan biarkan aku pergi!"
"Tida k....! Tidak....! Koko, jangan tinggalkan aku. Aku cinta padamu, aku mau meninggalkan semua ini, aku mau ikut bersamamu, kemana pun kau pergi!"
Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan kakinya kebelakang dan tubuh dara itu terlempar ke atas pembaringan. Dia terbanting ringan dan gerakan laki-laki itu cukup menjadi bukti akan kelihaiannya. Si Dara terbanting telentang diatas pembaringan dan menangis terisak-isak memandang laki-laki itu yang perlahan menoleh sambil berkata, "Tidak ada cinta lagi bagiku! Aku tidak percaya akan cinta. Yang ada hanyalah nafsu, kebutuhan tubuh. Yang kauberikan kepadaku tadi juga nafsu! Kita saling berjumpa, saling memberi dan meminta untuk memuaskan nafsu, dan habis perkara. Tidak ada bakas-bekasnya lagi. Engkau tahu aku siapa?"
"Engkau seorang pendekar yang perkasa, yang kucinta....!"
"Ha-ha-ha! Sama sekali bukan, Nona manis. Aku adalah seorang yang dikutuk banyak orang, yang dianggap sejahat-jahatnya. Aku dijuluki Jai-hwa-sian! Engkau tahu artinya? Jai-hwa-sian Si Dewa Pemerkosa Wanita! Entah sudah berapa banyak bunga kupetik (Jai-hwa-sian berarti Dewa Pemetik Bunga), akan tetapi, bukan kupatahkan tangkainya melainkan kupetik atas kerelaan si bunga sendiri. Ha-ha-ha! Aku penjahat besar Jai-hwa-sian dan engkau seorang di antara ratusan orang korbanku. Mau Ikut? Mencintaku? Ha-ha, menggelikan sekali. Selamat tinggal, Nona manis, apa yang terjadi semalam itu hanya menjadi kenangan manis."
Sekali berkelebat, laki-laki itu telah lenyap dari dalam kamar yang mewah. Hanya bayangan saja tampak melayang keluar dari jendela kamar yang seketika menjadi sunyi senyap, kemudian disusul dengan isak tangis tertahan dara itu. Terbayanglah semua yang terjadi oleh dara jelita itu. Tiga hari yang lalu, ketika dia bersama ayahnya berpesiar naik perahu di telaga, perahunya bertumbukan dengan perahu lain dan terguling. Untung dari perahu yang menumbuknya itu meloncat keluar seorang pemuda tampan dan gagah yang menyambar dia dan ayahnya, bahkan membalikkan perahu sekaligus, dan menurunkan mereka di atas perahu. Ayahnya seorang kaya raya dan tentu saja para pelayan yang berada diperahu lain cepat memberi pertolongan, akan tetapi andaikata tidak ada pemuda itu, agaknya ayahnya dan dia akan mengalami kekagetan dan basah kuyup sebelum tertolong. Setelah menolong, pemuda itu tidak menanti ucapan terima kasih, langsung meloncat ke perahunya sendiri yang didayung pergi dengan cepat, tidak mempedulikan teriakan ayahnya. Akan tetapi, ketika tadi menolongnya, menyambar tubuhnya, ia mendengar bisikan pemuda itu di telinganya, "Malam nanti aku menerima terima kasihmu di dalam kamarmu, Nona manis."
Sehari itu Si Dara gelisah, akan tetapi kadang-kadang kedua pipinya menjadi merah dan jantungnya berdebar tidak karuan kalau ia terbayang akan wajah yang tampan, bentuk tubuh yang gagah dan sikap yang halus dari pemuda itu. Dan dia tidak berani menceritakan tentang bisikan itu kepada orang tuanya. Benarkah pemuda itu membisikkan kata-kata seperti itu?" Ah, tidak mungkin! Betapapun juga, hatinya menjadi gelisah dan malam itu ia mengunci semua jendela dan pintu kamarnya. Setelah merebahkan diri dan menjelang malam baru pulas dengan hati lega akan tetapi juga kecewa, lega karena yang dikhawatirkan tidak terjadi akan tetapi juga kecewa mengapa tidak terjadi (wanita memang aneh), tertidurlah Si Dara manis. Akan tetapi, belum lama ia pulas, ia terbangun dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mendapat, kenyataan bahwa pemuda yang dibayangkan setiap detik sebelum pulas tadi kini telah rebah di sampingnya! Dia memang ada mengharapkan hal ini, akan tetapi setelah benar-benar terjadi ia kaget dan takut, lalu membuka mulut hendak menjerit. Akan tetapi sekali bergerak, jari tangan pemuda itu telah menotok jalan darah dilehernya membuat dia tak dapat mengeluarkan suara. Kemudian, dengan halus dan menarik, pemuda itu mencumbu rayu, membujuk-bujuk dengan halus sehingga ketika totokannya dibebaskan, dara ini sama sekali tidak menjerit atau melawan. Jangankan melawan, bahkan dia membalas setiap rayuan laki-laki yang telah menjatuhkan hatinya itu. Dia jatuh dan mabok, menyerahkan segalanya dengan hati rela karena dia merasa yakin bahwa pemuda itu mencintanya, maka tentu akan meminangnya.
"Aahhh....!" Dara itu menangis makin sedih ketika teringat akan itu semua. Kiranya dia menjadi korban seorang laki-laki
yang keji! Dan tidak lama kemudian terdengar suara aneh dari dalam kamar itu, seperti suara leher dicekik, suara yang akan
menggegerkan seisi rumah pada esok harinya karena suara itu keluar dari kerongkongan dara yang tadi menggantung diri di
kamarnya!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena patah hati sebagai akibat
terputusnya cinta kasihnya dengan Ciok Kun Hwa, kemudian ditambah lagi dengan peristiwa bersama ibu tirinya sehingga dia diusir oleh ayahnya sendiri, Suma Hoat menjadi seorang laki-laki yang suka mempermainkan cinta wanita. Mula-mula dia hanya ingin membalaskan sakit hatinya kepada wanita, akan tetapi lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan dan menjadi penyakit sehingga dia berubah menjadi seorang yang selalu mencari korban, seperti seekor burung elang yang selalu kelaparan mengintai dari angkasa mencari anak ayam! Karena ilmu kepandaiannya tinggi dan tidak pernah ia dapat ditangkap, bahkan banyak orang gagah yang roboh ketika berusaha menangkapnya, Suma Hoat diberi julukan Jai-hwa-slan (Dewa Pemetik Bunga), bahkan nama aselinya dilupakan orang.
Nona hartawan yang menggantung diri di kamarnya itu adalah korban yang entah keberapa ratus, dan begitu keluar dari kamar, Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan diri dara yang telah menjadi korbannya. Dia tahu bahwa banyak di antara mereka yang membunuh diri untuk lari dari aib dan malu, ada pula yang diam-diam merahasiakan peristiwa satu malam itu, akan tetapi dia tidak peduli dan juga tidak ingin tahu. Begitu keluar dari kamar, dianggapnya bahwa diantara dia dan korbannya sudah tidak ada sangkut-paut lagi, tidak ada hubungan atau urusan apa-apa lagi.
***
Sudah lebih dari lima tahun ia meninggalkan kotaraja, meninggalkan orangtuanya dan selama perantauannya didunia kang-ouw, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sepak terjang orang-orang gagah dan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang golongan hitam. Biarpun dia sendiri tidak berani menganggap dirinya sebagai orang gagah atau pendekar budiman, namun dilubuk hatinya ia selalu merasa kagum kepada para pendekar itu dan muak menyaksikan kelakuan tokoh-tokoh dunia hitam. Mulailah terbuka mata hatinya betapa ayahnya selama ini melakukan perbuatan-perbuatan sewenang-wenang dan mulailah ia menaruh penghargaan kepada Menteri Kam, paman tuanya yang amat ia takuti itu. Dan ia berjanji di dalam hatinya untuk
berusaha menjadi atau sedikitnya mencontoh perbuatan-perbuatan para orang gagah. Karena itu, pemuda ini selalu mengulurkan tangan kepada pihak yang tertindas dan menentang golongan dunia hitam sungguhpun ia tidak dapat meninggalkan kesukaannya merayu wanita-wanita untuk menjadi korbannya, bahkan kalau perlu menggunakan kekerasan! Ia maklum bahwa perbuatannya itu tidak baik, akan tetapi dia sudah mencandu dan tidak dapat menghentikannya, terutama sekali kalau ia ingat akan sakit
hati dan patah hatinya. Inilah sebabnya, di samping kebiasaannya memperkosa wanita, ia pun seringkali menolong orang-orang lemah tertindas sehingga dia disamping julukan Pemetik Bunga (Pemerkosa) juga di juluki Dewa!
Pada masa itu, terjadilah perubahan besar. Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan, terutama sekali oleh Kerajaan Yucen yang menjadi makin kuat, kemudian malah barisan Mongol ikut pula menyerbu, diam-diam dibantu oleh pasukan-pasukan Sung yang berada dalam kekuasaan Jenderal Suma Kiat, maka Kerajaan Yucen boleh dibilang tidak adalagi saingannya di daerah utara di luar tembok besar. Benar bahwa bangsa Mongol sudah mulai memperlihatkan kekuatannya, namun bangsa ini sedang membangun dan
menyusun kekuatan mengatasi bentrokan-bentrokan didalam, diantara bangsa sendiri. Maka bangsa Yucen menjadi makin kuat sehingga bangsa ini mendirikan sebuah wangsa baru yang disebut Wangsa Cin. Namun segera menjadi kenyataan pahit bagi Kerajaan Sung bahwa Kerajaan Cin yang baru ini ternyata lebih bengis dan sewenang-wenang daripada Kerajaan Khitan yang sudah runtuh. Biarpun dahulu Kerajaan Khitan juga merupakan kerajaan kuat yang selalu menjadi ancaman untuk Kerajaan Sung, dan setiap tahun Kerajaan Sung mengirim upeti sebagai tanda persahabatan, namun Raja Talibu dari Kerajaan Khitan yang masih ingat akan darahnya yang separuh darah Han, tidak terlalu mendesak dan selalu memperlihatkan sikap yang bersahabat dan saling menghormat. Kini bangsa Cin yang tahu akan kelemahan Sung, menuntut upeti yang lebih besar dan yang sifatnya memaksa, seolah-olah upeti harus diberikan sebagai tanda pengakuan kebesaran kerajaan baru Cin. Kalau dahulu bangsa Khitan tidak pernah mengganggu Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai memperlihatkan keserakahannya, bersikap menghina kepada bangsa Han, bahkan sedikit demi sedikit daerah-daerah di utara yang termasuk wilayah Sung dirampas dengan kekerasan. Kerajaan Sung tak dapat mempertahankan daerah ini dan selalu didesak mundur ke selatan. Melihat keadaan ini, bangsa Han pada umumnya, terutama sekali kaum patriot dan orang gagah, menjadi cemas dan kecewa sekali. Tentu saja kekecewaan ini terutama mereka tujukan kepada pemerintah Sung yang amat lemah. Kaisar telah berada dalam cengkeraman para pembesar tinggi yang korup, hidup Kaisar dan keluarganya terlalu mewah, yang diperhatikan hanyalah kesenangan-kesenangan pribadi saja,
seolah-olah tidak mempedulikan betapa rakyatnya disebelah utara ditindas, dirampok, ditawan dan dipaksa oleh bangsa Yucen yang kini mempunyai Kerajaan Cin yang makin kuat. Pesta pora, bersenang-senang, melakukan pemilihan dara-dara muda jelita setiap bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara cantik, membuang-buang kakayaan semena-mena tanpa mempedulikan bahwa semua itu adalah hasil keringat rakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakan oleh kaisar dan keluarganya setiap saat
Diluar istana, pembesar-pembesar korup berbuat sekehendak hatinya, merajalela tanpa ada pengawasan, masing-masing mempunyai kekuasaan seperti raja-raja kecil di daerah masing-masing, mempergunakan kekuasannya untuk melakukan apa saja demi kesenangan diri pribadi, memeras, memaksa, merampas dan mengadakan peraturan-peraturan yang menekan bawahan. Setiap protes dan nasihat dianggap melawan kekuasaan dan terjadilah penangkapan-penangkapan dan hukuman-hukuman serta pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang.
Di sebelah dalam istana sendiri, Kaisar hanya seperti boneka hidup yang tenggelam dalam pelukan dara-dara muda jelita, dalam arak-arak wangi dan hidangan serba lezat, mabok oleh tubuh ramping berlenggak-lenggok menari, terbuai suara musik dan nyanyian-nyanyian merdu, dan terlena oleh bisik dan bujuk rayu kaum penjilat. Kekuasaan yang sesungguhnya tidak terletak ditangan Kaisar, melainkan dipegang oleh para pembesar thaikam (orang kebiri) melalui lidah dan tubuh menggairahkan paraselir. Sedemikian besar kekuasaan dan pengaruh para thaikam dan selir muda itu sehingga boleh dibilang seluruh urusan kerajaan merekalah yang memutuskannya. Urusan pengangkatan pembesar-pembesar, baik sipil maupun militer tergantung kepada mereka. Mereka mengajukan usul dan Kaisar menelannya begitu saja. Karena ini, timbullah sistim konco-isme, keluarga-isme, dan sogok-isme, sogokan yang berupa apa saja, benda mati maupun benda hidup, benda mati berupa emas permata dan sutera-sutera halus, benda hidup berupa dara-dara jelita! Keadaan semacam ini tentu saja mengakibatkan makin lemahnya Kerajaan Sung. Para tokoh kang-ouw, para partai-partai persilatan dan perkumpulan-perkumpulan orang gagah merasa marah sekali dan kecewa bukan main sehingga mereka mulai membenci kerajaan yang dipimpin oleh orang-orang lalim itu. Mereka ini lalu terpecah-pecah, mendukung dan membantu pembesar-pembesar dan raja-raja muda yang menguasai daerah-daerah dan yang mulai memberontak dan tidak mengakui kedaulatan pemerintah Kerajaan Sung pusat. Yang paling dibenci oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan oleh pembesar-pembesar daerah, diantara para pembesar daerah, di antara pembesar pusat yang korup, adalah Jenderal Suma Kiat. Kebencian mereka memuncak ketika para pembesar daerah ini mendengar akan perbuatan Suma Kiat terhadap
Menteri Kam yang mereka hormati, mereka percaya sepenuhnya sebagai penegak keadilan dan satu-satunya pembesar yang paling berani dalam menentang perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri, menjadi tewas. Bukan hanya para pembesar daerah yang membenci Suma Kiat, juga terutama sekali para tokoh kang-ouw yang menaruh hormat kepada putera Suling Emas itu, menjadi sakit hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri Kam.
Mulailah terjadi kesimpang siuran dan bentrokan-bentrokan ketika para pembesar daerah ini berkuasa dan berdaulat didaerah masing-masing dan mulailah penghidupan para pembesar kerajaan Sung menjadi tidak aman, setiap saat mereka terancam oleh pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw dan juga mata-mata para pembesar daerah.
Hampir semua partai persilatan mengadakan aksi anti Kaisar dan anti Kerajaan Sung. Kecuali Siauw-lim-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tua yang amat tinggi ilmunya, yaitu Kian Ti Hosiang. Menghadapi kekacauan di Kerajaan Sung, ketika para muridnya menyatakan pendapat ketua mereka, Kian Ti Hosiang merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata, "Omitohud ...., segala peristiwa telah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan menjadi akibat daripada sepak terjang manusia yang selalu dikuasai nafsu pribadinya! Kita adalah orang-orang beragama yang bertugas
menyebarkan agama, ada sangkut-paut apakah dengan urusan kerajaan? Siapa pun yang menjadi pembesar, bagi kita sama saja, mereka adalah manusia-manusia yang belum sadar dan sudah menjadi kewajiban kita untuk memberi penerangan. Mengikuti perputaran dan pertentangan kerajaan, berarti terjatuh kedalam api permusuhan dan hal ini sungguh bertentangan dengan sifat kita. Tidak, Siauw-lim-pai tidak boleh terbawa-bawa dan kalian semua pinceng larang untuk mencampuri pertentangan di antara pembesar-pembesar daerah, orang-orang kangouw dan pemerintah pusat."
"Maaf, Supek, teecu sekalian tentu saja mentaati pesan Supek dan semua nasihat Supek benar belaka," kata seorang hwesio yang menjadi murid kepala, yaitu Ceng San Hwesio yang dianggap sebagai seorang hwesio yang paling "maju" dan yang diharapkan kelak menggantikan kedudukan Ketua Siauw-lim-pai setelah ketua sekarang yang terhitung supeknya itu mengundurkan diri, "akan tetapi apabila badai mengamuk, semua pohon besar kecil akan diamuk badai. Binatang-binatang kecil seperti burung sekalipun akan berusaha menyelamatkan diri, apakah kita harus mandah saja menjadi korban keganasan badai?" Dengan ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendak mengatakan bahwa pertentangan antara para pembesar daerah dibantu orang kang-ouw dengan pemerintah pusat tentu akan mendatangkan perang dan mereka tentu akan terlanda akibat perang.
Kian Ti Hosiang mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim-pai, disamping menjadi kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian, penegak kebenaran dan tentu saja merasa penasaran menyaksikan kelaliman merajalela. "Pohon akan tunduk oleh kekuasaan alam dan akan condong kemana angin bertiup tanpa perlawanan. Mencontoh sifat pohon bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak dapat mencontohnya tirulah sifat burung dilanda badai, yaitu
mencari perlindungan dan keselamatan diri tanpa merusak dan merugikan pihak lain. Nah, kalian tentu mengerti dan laksanakanlah pesan pinceng ini. Setelah berkata demikian, Kian Ti Hosiang bersila dan memejamkan matanya. Ini merupakan tanda bagi para murid bahwa ketua itu mengakhiri wawancara dan telah mulai bersamadhi. Maka mereka pun bubaran.
Demikian sikap Ketua Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh semua cabang-cabang Siauw-lim-pai yang tersebar dimana-mana. Sikap ini adalah tidak ingin mencampuri pertentangan dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan, tidak melakukan perbuatan permulaan kearah permusuhan, namun hanya boleh bertindak menyelamatkan orang lain.
Cabang Siauw-lim-pai dikota Lo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para hwesio Siauw-lim-pai di cabang itu melakukan tugas mereka sehari-hari didalam kelenteng dengan tekun dan tenteram, menyebar pelajaran tentang kasih sayang dan membantu rakyat yang membutuhkan bantuan. Beberapa kali mereka didatangi tokoh-tokoh kang-ouw, kakitangan para pembesar daerah, dan petugas-petugas pembesar pusat untuk menarik mereka yang merupakan tenaga kuat untuk berpihak, namun semua permintaan ditolak dengan halus oleh Gin Sin Hwesio, ketua kelenteng Siauw-lim-pai di Lo-kiu itu.
Pada waktu itu memang belum ada terjadi perang terbuka, namun telah ada bentrokan-bentrokan kecil antara kaki-tangan
masing-masing pihak dan di mana-mana, termasuk di Lo-kiu, terdapat pertentangan paham dan diam-diam terdapat mata-mata semua pihak yang saling menyelidiki. Namun seperti biasa, rakyat yang sudah kenyang akan pertentangan itu dan masih melanjutkan usaha mereka seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Perdagangan masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran masih penuh tamu yang datang untuk makan minum sambil bercakap-cakap. Ditempat-tempat seperti inilah sering kali dijadikan tempat pertemuan antara teman golongan masing-masing sehingga tidak jarang pula terjadi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan luka-luka dan kematian. Akan tetapi, hal ini amatlah mengherankan dan mengagumkan pihak yang melakukan bentrokan selalu mengganti kerugian pemilik restoran atau rakyat yang menderita rugi akibat bentrokan-bentrokan itu. Hal ini adalah karena masing-masing golongan bukan hanya saling bermusuhan, akan tetapi juga berlumba untuk merebut hati rakyat yang amat diperlukan dukungannya. Karena itulah, maka pemilik restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya bentrokan-bentrokan bahkan sebagai pedagang-pedagang cerdik, setiap terjadi bentrokan yang merusakkan perabot restoran, mereka berkesempatan menarik keuntungan dengan menaikkan jumlah penafsiran ganti rugi! Juga para pembesar setempat selalu bersikap bijaksana, tidak mencampuri bentrokan-bentrokan itu karena sekali mereka ini mencampuri dan berat sebelah, berarti mereka akan menanam permusuhan!
Pada suatu pagi, restoran itu sudah hampir penuh oleh tamu yang datang berbelanja. Ketika seorang pemuda tampan yang pakaiannya indah, dengan pedang bergantung di punggung, gagah sekali sikapnya, memasuki restoran, pelayan menyambutnya dengan ramah dan mempersilakan duduk di meja sudut sebelah dalam yang kosong. Pemuda ini bukan lain adalah Suma Hoat. Semenjak meninggalkan gadis yang kemudian membunuh diri, dua hari yang lalu, dia belum bertemu dengan wanita yang menggerakkan birahinya sehingga hatinya menjadi kesal. Ia memasuki kota Lo-kiu, juga dengan niat mencari calon korbannya, akan tetapi wanita didaerah ini tidak ada yang menarik hatinya.
Ia menanggalkan pedang buntalan pakaiannya, meletakkan diatas meja dan memesan makanan dan minuman. Setelah pelayan pergi untuk melayani pesanannya, pemuda ini menyapu ruangan restoran dengan pandang matanya. Tamu yang memenuhi tempat itu terdiri dari bermacam-macam golongan, dan ramailah mereka itu bercakap-cakap dengan teman masing-masing yang duduk semeja. Tidak ada yang menarik perhatian Suma Hoat, karena mereka itu terdiri dari pedagang-pedagang dan pelancong-pelancong. Melihat betapa para pedagang dan pelancong memenuhi restoran sambil bercakap-cakap bersendau-gurau, keadaan nampaknya tenang tenteram dan damai. Akan tetapi ketika seorang tamu baru memasuki restoran, perhatian Suma Hoat segera tertarik sekali. Orang ini adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya, paling tinggi dua puluh lima tahun usianya, pakaiannya sederhana sekali, bahkan yang amat mencolok adalah kakinya yang tidak bersepatu, telanjang sama sekali! Laki-laki ini memanggul sebuah tongkat dan ujung tongkat tampak sebuah buntalan kain kuning yang agaknya berisi pakaian. Wajah laki-laki ini kurus seperti tubuhnya, dan tidak ada keanehan menonjol pada dirinya, kecuali kaki telanjang itu dan sinar matanya yang tajam, senyumnya yang seolah-olah mengejek pada keadaan di sekitarnya. Rambutnya diikat ke atas dan dia lebih mirip seorang tosu perantau, hanya pakaiannya tidak seperti pendeta To-kauw (Agama To), melainkan seperti seorang
petani yang bangkrut! Tidaklah mengherankan apabila pelayan restoran menyambut tamu istimewa ini dengan alis berkerut, hati
curiga dan pandang mata pelayan itu naik turun melalui pakaian sederhana dan kaki telanjang. Laki-laki itu mengikuti pandang mata Si Pelayan lalu berkata, "Bung Pelayan, engkau tidak melayani pakaian dan sepatu, bukan? Yang kau layani bukan pula orangnya, melainkan uangnya, bukan? Nah, aku mempunyai uang itu, maka jangan ragu-ragu melayani uangku!" Setelah berkata demikian, laki-laki itu menepuk-nepuk bungkusannya dan terdengarlah suara berkerincingnya perak. Pelayan itu cepat membungkuk dan mempersilakan tamu aneh itu dan tidak jauh dari meja Suma Hoat. Ketika melewati meja ini, laki-laki tadi melirik kearah pedang yang terletak di meja Suma Hoat, mengerling tajam kearah Suma Hoat, lalu tersenyum dan membungkuk. Akan tetapi, betapapun tertarik hatinya, Suma Hoat pura-pura tidak melihatnya. Didalam hatinya ia merasa geli dan menganggap betapa tepatnya ucapan orang aneh itu. Memang tidak dapat disangkal betapa palsu sikap manusia yang matanya sudah tertutup oleh bayangan perak dan emas,silau oleh harta dunia sehingga setiap gerakan mereka merupakan pengabdian
terhadap harta dunia! Orang menilai orang lain bukan dari orangnya, melainkan dari pakaian, kekayaan, dan kedudukannya, pendeknya yang dinilai adalah hal-hal yang sekiranya dapat mendatangkan kesenangan dan keuntungan bagi yang menilai! Buktinya tersebar di mana-mana. Datanglah kerumah seseorang dengan pakaian butut dan nama tak terkenal, maka engkau akan disambut dengan penuh curiga, pandang rendah dan penghinaan karena Si Tuan Rumah manganggap bahwa engkau hanya akan mendatangkan kerugian dan ketidak-senangan belaka. Sebaliknya, kalau engkau datang dengan pakaian serba indah, dengan kekayaan berlimpah, dengan kereta mewah dan dengan nama besar serta kedudukan, tentu engkau akan disambut dengan terbongkok-bongkok dan tersenyum-senyum karena engkau dianggap akan mendatangkan keuntungan atau kesenangan! Hal ini tak mungkin dapat dibantah lagi karena memang kenyataannya demikianlah. Maka, biarpun sikapnya tak acuh, diam-diam Suma Hoat
memperhatikan laki-laki itu dan menduga bahwa orang itu tentulah bukan orang sembarangan, sungguhpun tak tampak sebatang pun senjata pada dirinya. Timbul kegembiraannya karena ada sesuatu yang menarik hatinya dan didalam hatinya timbul pula keyakinan bahwa munculnya seorang tokoh luar biasa seperti ini tentu akan disusul dengan peristiwa yang menarik. Akan tetapi ia meragu. Jangan-jangan orang yang masih muda ini hanya berlagak saja, karena pada waktu itu memang tidak jarang orang berlagak dengan pakaian dan sikap yang aneh-aneh agar dianggap orang aneh, atau setidaknya agar dianggap bahwa dia adalah lain daripada yang lain!
Si Pelayan yang sudah biasa melayani orang-orang kang-ouw, kalau tadinya menganggap laki-laki itu sebangsa pengemis yang merugikan, kini dapat menduga pula bahwa orang aneh itu tentulah seorang kang-ouw maka ia bertanya dengan sikap hormat.
"Sicu hendak memesan apakah?" Akah tetapi orang itu tidak menjawab, hanya memandang kearah pintu depan. Si Pelayan menoleh kearah pintu dan tiba-tiba mukanya berubah, senyumnya melebar dan serta-merta ia meninggalkan orang itu dan lari terbungkuk-bungkuk menyambut datangnya serombongan tamu yang tiba. Melihat ini, Suma Hoat memandang pula dan diam-diam ia menaruh perhatian karena dapat menduga dari langkah-langkah kaki dan sikap lima orang itu bahwa mereka adalah orang-orang
penting dan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka itu terdiri dari dua orang yang pakaiannya seperti perwira tinggi, dua orang pula berpakaian sebagai orang-orang kang-ouw dengan pedang di punggung, dan seorang lagi adalah hwesio berkepala gundul dan berpakaian serba kuning. Pada waktu sekacau itu, melihat seorang pendeta hwesio memasuki restoran bukan merupakan penglihatan aneh. Lima orang itu memasuki ruangan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, sedangkan Si Pelayan yang menyambut segera berkata, "Selamat datang, Ngo-wi (Tuan Berlima ) yang terhormat! Pesanan ciangkun kemarin telah kami sediakan. Silakan, disanalah tempat terhormat Ngo-wi!" Pelayan itu dengan bantuan beberapa orang temannya lalu mengatur meja, tiga meja disatukan di tengah ruangan itu, di depan meja Suma Hoat dan orang bertelanjang kaki. Dengan sikap angkuh lima orang itu menarik kursi dan duduk mengelilingi meja, dua orang perwira membelakangi Suma Hoat dan Si Tosu membelakangi meja laki-laki berkaki telanjang. Suma Hoat mulai makan, akan tetapi diam-diam ia memperhatikan lima orang itu, dan juga memperhatikan Si Kaki Telanjang yang masih belum memesan makanan karena
ditinggalkan pelayan yang kini sibuk melayani lima orang itu. Karena lima orang itu menanti pesanan makanan mereka yang amat banyak sambil bercakap-cakap perlahan, Suma Hoat sambil makan memasang telinga dan menangkap percakapan mereka.
"Sungguh menjemukan sekali keledai-keledai gundul itu!" kata seorang perwira yang bertubuh tinggi besar. "Akan tetapi, mulai malam nanti mereka tidak akan dapat tinggal diam lagi!" kata perwira kurus sambil tertawa. "Kabarnya mereka lihai," kata orang yang berpakaian tokoh kang-ouw, bajunya berwarna biru.
"Aahh, yang lihai hanya ketuanya, dan pinto sanggup melawannya," kata Si Tosu dengan suara rendah. "Pinto akan memperkenalkan diri sebagai tokoh Hoasan...."
"Sstt, harap Totiang hati-hati," perwira gemuk mencela dan menoleh ke kanan kiri.
"Takut apa?" Tosu itu berseru dan melirik kearah Suma Hoat yang masih makan dan berpura-pura tidak mendengar.
"Semua sudah diatur baik."
"Memang Hoa-totiang benar. Kalau pusat perkumpulan mereka mendengar bahwa cabang mereka terbasmi oleh perwira Sung dan tokoh Hoa-san, hendak kulihat apakah ketua pusatnya akan tetap dingin saja," kata pula perwira kurus.
Percakapan mereka terhenti karena munculnya empat orang pelayan yang membawa hidangan yang mereka pesan. Banyak benar hidangan itu dan mereka sudah mempersiapkan sumpit ketika mereka dikejutkan oleh suara orang menggebrak meja sambil berseru, "He, Bung Pelayan yang tidak adil! Aku sudah datang lebih dulu dan pesan lebih dulu, mengapa orang-orang lain yang
datang belakangan dilayani lebih dulu? Sungguh menjemukan!"
"Sicu, harap bersabar....!" Pelayan membujuk dengan wajah ketakutan, bukan takut terhadap Si Kaki Telanjang, melainkan takut kepada rombongan lima orang itu karena ia membungkuk-bungkuk kepada dua orang perwira sambil menggumam, "Ciangkun, maafkan.... !"
Melihat ini, Suma Hoat menjadi panas perutnya dan ia pun berkata, "Pelayan, tugasmu melayani tamu yang sama-sama membayar tanpa pilih kedudukan dan pilih kasih!"
Pelayan itu makin ketakutan dan empat orang pelayan mundur-mundur ketika melihat betapa lima orang itu melototkan mata mereka. Si Perwira kurus memencet hidungnya dan berkata, "Wah-wah, banyak sekali lalat di sini! Membikin orang kurang bernafsu makan saja! Biar kubasmi lalat-lalat ini!" katanya dan menyambar kain lap dari pundak seorang pelayan, kain itu ia gerakkan keatas, kekanan kiri dan.... belasan ekor lalat yang memang banyak terdapat di situ terkena sambaran angin pukulan, runtuh semua ke atas meja Si Kaki Telanjang!
Si Kaki Telanjang melihat bangkai belasan ekor lalat di atas mejanya, dan terdengarlah suara ketawa lima orang itu terbahak-bahak, "Ha-ha-ha!" Si Perwira Kurus yang memperlihatkan kepandaiannya itu tertawa. "Kalau sudah amat kelaparan, lalatpun merupakan hidangan yang lumayan!"
"Ha-ha-ha-ha!" Lima orang itu bertawa lagi, yang paling keras ketawanya adalah Si Perwira Kurus karena ia sengaja hendak menghina Si Kaki telanjang yang menoleh sambil tertawa mangerling ke arah Si Kaki Telanjang. "Ha-ha-ha-hauuup....!" Tiba-tiba Si Perwira kurus menghentikan ketawanya, matanya mendelik, ia terbatuk-batuk dan berusaha mengeluarkan tiga ekor lalat yang menyambar memasuki mulutnya yang tadi tertawa dan kini bersarang ketenggorokkannya.
"Haaak-agghh....haaakk-huaaakkk!"
"Eh,kau kenapa?" Temannya, Si Perwira Gemuk, bertanya, juga tiga orang lainnya memandang heran, menghentikan ketawa mereka.
"Ughh-ughh...., lalat...., masuk mulut...., si bedebah!" Perwira kurus itu terbatuk-batuk dan empat orang temannya tertawa-tawa geli, akan tetapi mereka itu menjadi terheran-heran juga mengapa ada lalat bisa masuk kemulut teman mereka.
"Tiga ekor...., ihh, huakk, si keparat!" Perwira itu menyumpah-nyumpah dan terpaksa menelan tiga ekor lalat itu karena tidak berhasil mengeluarkannya. Empat orang temannya makin terheran. Suma Hoat memandang dengan kagum. Ia melihat tadi betapa Si Kaki Telanjang itu menggunakan telunjuk kirinya menyentil tiga ekor bangkai lalat dari atas mejanya dan menerbangkan bangkai tiga ekor lalat itu memasuki mulut Si Perwira Kurus. Dia ikut merasa gembira dan tak dapat menahan ketawanya.
"Ha-ha-ha, memang bagi yang kelaparan, tiga ekor bangkai lalat juga merupakan hidangan lumayan!" Lima orang itu semua menengok kepada Suma Hoat, dan Si Perwira Gemuk lalu minum araknya setelah berkata, "Menangkap lalat banyak caranya, aku suka dengan cara ini!" Setelah minum arak semulut penuh, ia lalu menyemburkan arak dari mulutnya kearah lalat-lalat yang beterbangan. Belasan ekor lalat disambar percikan arak, dan berikut percikan araknya, bangkai-bangkai lalat itu menyambar kearah Suma Hoat! Inipun merupakan demonstrasi kepandaian yang tidak rendah karena seperti halnya Si Perwira Kurus tadi,
Si Gemuk itu pun menyembur dengan pengerahan tenaga sin-kang yang kuat.
Dengan tenang Suma Hoat melambaikan tangan kirinya dan percikan arak bersama bangkai-bangkai lalat itu terputar-putar kemudian ia mengangkat mangkok kuah dan semua percikan arak berikut bangkai lalat masuk kedalam mangkok itu, semua masuk dengan tepat seolah-olah dituangkan kesitu. Suma Hoat memandang kepada Si Gemuk dan berkata, "Kalau orang gemar kuah daging lalat, silakan minum!" Maka terbanglah mangkok dan kuah itu kearah Si Perwira Gemuk.
"Setan....!" Si Perwira berseru dan mengelak dengan jalan melempar tubuh kebelakang, akan tetapi mangkok itu melayang dari atas dan mengguyur kepalanya sehingga kepalanya dan mukanya tersiram kuah dan bangkai-bangkai lalat. Biarpun ia gelagapan dan mukanya terasa perih, tangan perwira gemuk itu masih berhasil menangkap mangkok dan sekali remas mangkok itu hancur berkeping-keping!
"Ha-ha-ha! Hebat! Hebat! Ada yang suka mengganyang lalat mentah-mentah, ada pula yang suka mandi kuah lalat, ha-ha-ha!" Kini Si Kaki Telanjang yang berjingkrak dan bertepuk tangan, diam-diam ia kagum sekali menyaksikan kepandaian pemuda pesolek tampan yang tadi sudah menarik perhatiannya itu.
"Makanlah!" Si Perwira Kurus menyambar dua buah mangkok sayurnya yang belum dimakan sesendok pun, dilemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Akan tetapi orang aneh ini menerima dua buah mangkok itu dengan kedua tangannya, tangkas sekali gerakannya sehingga ketika ia meletakkan dua buah mangkok itu, tidak ada setetes pun kuahnya tumpah.
"Ha-ha-ha, lagi! Lagi....!" katanya gembira. Dua orang kang-ouw yang melihat ini menjadi penasaran, mereka pun menyambar mangkok-mangkok masakan dan melemparkan kearah Si Kaki Telanjang. Cepat sekali sambaran mangkok-mangkok itu, namun Si Kaki Telanjang lebih cepat lagi menerima mangkok-mangkok itu seperti seorang pemain akrobat yang mahir dan susulan mangkok-mangkok berikutnya diterima semua sampai semua hidangan dari atas meja lima orang itu kini pindah kemejanya.
"Singggg....!" Tiba-tiba tampak sinar berkelebat, sinar putih yang menyambar cepat bukan main kearah Si Kaki Telanjang. Melihat ini, Suma Hoat terkejut. Yang melempar itu adalah Si Tosu dan yang dilemparkan sebuah piring sehingga "senjata rahasia" itu menyambar cepat bukan main, padahal saat itu, Si Kaki Te lanjang sedang sibuk menerima sambaran mangkok-mangkok terakhir.
"Ke sini....!" Suma Hoat membentak, tangannya diulur kedepan dengan pengerahan sin-kangnya yang kuat dan...., piring yang berubah menjadi sinar putih itu seperti bernyawa, berputaran dan melayang kearah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang meletakkannya kearah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang meletakannya keatas meja.
Lima orang itu terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa di dalam restoran itu terdapat dua orang yang demikian lihai. Mereka tahu diri, bahkan Si Tosu yang memiliki kepandaian tertinggi di antara mereka cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat. "Maafkan pinto dan teman-teman yang tidak melihat dua buah Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata."
Ucapan ini biasa dilakukan oleh orang-orang kang-ouw yang mengakui keunggulan orang pandai. Empat orang temannya juga sudah bangkit berdiri dan menjura. Akan tetapi Suma Hoat dan Si Kaki Telanjang itu sama sekali tidak berdiri, tetap duduk dengan tenang. "Mohon tanya, Ji-wi-enghiong dari aliran manakah?" Tiba-tiba Si Kurus, perwira yang tadi mengganyang tiga ekor lalat, bertanya.
"Aku bukan dari aliran apapun juga dan tidak mempunyai urusan dengan siapapun juga," kata Suma Hoat acuh. "Heh-heh, dan aku pun hanya seorang perantau yang tidak mempunyai backing (sandaran), seorang manusia biasa biarpun bukan tergolong lalat hijau," kata Si Kaki Telanjang sambil tertawa.
"Kalau begitu, sekali lagi maaf," kata Si Perwira Kurus. "Karena belum mengenal, kami telah bersikap lancang, dan harap Ji-wi tidak mencampuri urusan kami."
"Ha-ha-ha, sahabat yang baik, engkau terlalu merendah. Setelah menjamu kami dengan hidangan-hidangan yang begitu komplit, siapa bilang bahwa kalian belum mengenal kami? Terima kasih, ya?"
Perwira Gemuk yang kini bersikap hormat dan berhati-hati, menjura kearah Si Kaki Telanjang sambil berkata, "Hidangan kami hanya sekedarnya, harap Jiwi-enghiong suka menerimanya dengan senang hati. Kami mohon diri!" Lima orang itu lalu menjura dan membalikkan tubuh hendak meninggalkan restoran itu.
"Eh, eh, sahabat-sahabat baik, nanti dulu!" Si Kaki Telanjang bangkit berdiri dan menggapai. "Harap jangan mempermainkan aku orang miskin, dan jangan akal-akalan, ya? Hidangan ini belum dibayar, kalau kalian pergi tanpa membayar, tentu aku yang ditagih, bisa repot aku membayarnya!"
"Sahabat, biarlah aku yang membayarnya!" Suma Hoat berkata, menganggap Si Kaki Telanjang itu keterlaluan sekali.
"Tidak, mereka memberi hadiah, kenapa harus kita bayar sendiri?" Si Kaki Telanjang berkata membantah. Perwira gemuk merogoh kantung bajunya dan menggapai pelayan yang datang membungkuk-bungkuk, "Ini bayaran hidangan!" kata Si Perwira mengeluarkan beberapa buah uang perak dan memberikan kepada Si Pelayan. Si Pelayan menerima dan matanya terbelalak. Uang itu terlampau
banyak, akan tetapi dia bergidik ketika menerimanya. Perwira itu tidak peduli dan pergilah dia bersama empat temannya meninggalkan restoran.
"Heii! Kenapa kau bengong? Apakah bayarannya kurang?" Si Kaki Telanjang menegur pelayan. "Kalau kurang bilang saja, mereka harus menambahnya!"
"Tidak...., tidak kurang malah lebih...., akan tetapi...." Pelayan itu memperlihatkan perak yang berada di telapak tangannya dan ternyata bahwa potongan-potongan uang perak itu kini telah menjadi satu seperti dijepit jepitan baja yang amat kuat! Si Kaki Telanjang tertawa, "Bagus, kalau lebih, berikan kelebihannya untuk menambah arak!" Pelayan ini pergi tanpa berani membantah karena kalau lima orang itu saja bersikap mengalah dan gentar terhadap dua orang aneh ini, apalagi
dia!
"Mari, sahabat yang tampan. Kita makan bersama!" Suma Hoat menjawab, "Makanlah sendiri. Aku tidak rakus!" Si Kaki Telanjang terbelalak, kemudian bangkit berdiri dan membungkuk. "Aihh...., dasar aku si tukang rakus! Perkenalkan, aku tidak mempunyai nama, akan tetapi orang-orang sinting di dunia ini menyebutku Im-yang Seng-cu."
Suma Hoat terkejut. Dia sudah mendengar nama besar orang aneh ini dan sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa orangnya masih begitu muda, namun namanya sudah menggemparkan dunia persilatan. Menurut kabar yang ia peroleh, Im-yang Seng-cu adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang dianggap "murtad", menjadi seorang perantau yang ilmunya tinggi, wataknya aneh dan gila-gilaan akan tetapi selalu menindas kejahatan. Ia pun menjura dan berkata, "Aku pun tidak mempunyai nama, dan orang-orang suci di dunia ini menyebutku Jai-hwa-sian!"
"Haiii!" Im-yang Seng-cu meloncat bangun, kemudian menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangannya, "Jangan berkelakar, kawan. Orang seperti engkau ini tidak patut disebut Jai-hwa-sian!"
"Akan tetapi memang benar akulah Jai-hwa-sian, dan kalau engkau merasa terlalu suci untuk berdekatan dengan...."
"Wah-wah, stop! Biar engkau Jai-hwa-sian atau Jai-hwa-kwi (setan) aku tidak peduli. Yang penting kita berdua hari ini bertemu secara kebetulan dan menyenangkan sekali. Kupersilakan engkau sudi menemaniku, makanan dimejamu tentu sudah kotor kena percikan arak bau dari mulut orang tadi!"
Suma Hoat memang tertarik sekali untuk berkenalan dengan orang aneh yang telah ia lihat sendiri kelihaiannya tadi, maka ia lalu bangkit berdiri dan pindah duduk, menghadapi meja Si Kaki Telanjang. Mereka lalu makan minum, dan karena Im-yang Seng-cu makan dengan lahapnya tanpa bicara, Suma Hoat juga makan tanpa berkata sesuatu.
"Benarkah engkau Jai-hwa-sian?" Tiba-tiba Im-yang Seng-cu bertanya.
"Kalau benar mengapa?" Suma Hoat balas bertanya. Im-yang Seng-cu tertawa. "Engkau jantan sejati. Akan tetapi aku masih tak bisa percaya. Akan tetapi aku tidak bisa percaya bahwa engkau adalah Jai-hwa-sian yang tersohor itu."
"Kalau engkau ragu-ragu, aku pun meragukan apakah benar engkau ini Im-Yang Seng-cu yang terkenal."
"Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Apakah artinya nama julukan? Yang penting kecocokan hati, dan aku cocok sekali denganmu. Biarlah kita saling menutup mata terhadap nama. Eh, sahabat, bagaimana pendapatmu tentang lima orang tadi?"
"Mereka lihai, akan tetapi sombong." Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. "Mereka merupakan lawan-lawan tangguh, terutama si tosu bau yang hendak menodai nama Hoa-san-pai tadi. Dan Si Gemuk yang mencengkeram uang perak membuktikan bahwa sin-kangnya
tinggi. Eh, apa yang hendak kaulakukan terhadap rencana mereka?"
"Rencana yang mana? Tentang niat mereka menyerbu kelenteng? Aku tidak mengerti dan tidak peduli," jawab Suma Hoat.
"Aihhh! Engkau sudah tahu mereka akan menyerbu kelenteng dan membasmi hwesio-hwesio di sana, dan masih tidak peduli? Dengar baik-baik, yang hendak mereka serbu adalah kelenteng cabang Siauw-lim-pai, dan mereka itu hendak membakar hati tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang!"
Biarpun Im-yang Seng-cu bicara penuh gairah dan semangat, Suma Hoat mendengarkan dengan sikap dingin dan melanjutkan menyumpit dan makan potongan daging. "Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku," jawabnya. "Apa?" Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya. "Jai-Hwa-sian, kalau benar kau Jai-hwa-sian, salahkan pendengaranku selama ini bahwa di samping.... eh.... kebiasaanmu yang tidak terpuji, engkau adalah seorang pendekar yang selalu siap mengulurkan tangan menentang kejahatan?"
Mendengar ini, Suma Hoat menunda sumpitnya dan memandang tajam. "Im-yang Seng-cu, tentang kebiasaanku, itu adalah urusan pribadi. Dan tentang sifat pendekar, aku bukan seorang pendekar, akan tetapi aku bukan pula seorang yang suka mencampuri urusan permusuhan orang lain, sedangkan aku belum tahu siapa salah dan siapa yang benar."
Im-yang Seng-cu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aih-aihh...., sampai begitu jauhkah engkau mengerti tentang keadaan di dunia kang-ouw dan kerajaan?"
"Aku tidak ada urusan dengan kerajaan dan dunia kang-ouw."
"Kalau begitu, engkau perlu mengerti. Dengarlah baik-baik," Im-yang Seng-cu lalu menceritakan pendirian Siauw-lim-pai tentang pertentangan-pertentangan yang timbul antara Kerajaan Sung dan banyak pembesar-pembesar daerah yang hendak berdiri sendiri. Kemudian ia menambahkan, "Nah, siapakah yang tidak kagum akan kebijaksanaan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti itu? Akan tetapi sekarang, lima orang cecunguk tadi hendak merusak pendiriannya yang bijaksana itu. Si Tosu hendak menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai membunuh ketua cabang Siauw-lim-si, hal ini berarti mereka hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kemudian, dua orang perwira tadi hendak menyamar sebagai perwira-perwira Sung, ini
berarti orang-orang ini hendak melawan Kerajaan Sung dan membantu para pemberontak! Tidak kasihankah engkau kepada pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan tidak sayangnya engkau kalau melihat pendirian yang bijaksana itu menjadi berantakan?"
Suma Hoat tertarik sekali. Dia sudah mendengar bahwa diantara para tokoh besar, kedudukan Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, amatlah tinggi dan kesaktiannya dapat disejajarkan dengan paman tuanya. Menteri Kam Liong. Dia sudah mendengar pula bahwa Menteri Kam telah tewas dikeroyok pasukan kerajaan di bawah pimpinan ayahnya sendiri, hal yang amat menyesalkan hatinya. "Im-yang Seng-cu, bagaimana engkau bisa tahu bahwa mereka tadi hendak membasmi para hwesio ke lenteng Siauw-lim-si?"
Yang ditanya tertawa, "Biarpun dalam hal ilmu kepandaian aku masih kalah jauh dibandingkan denganmu, akan tetapi agaknya tentang dunia kang-ouw aku lebih tahu. Mereka bicara tentang keledai-keledai gundul yang berarti hwesio, dan di kota Lo-kiu ini satu-satunya kelenteng yang memiliki hwesio-hwesio lihai hanyalah kelenteng Siauw-lim-si di sebelah barat kota. Dan percakapan mereka tadi cocok dengan keadaan pada waktu ini. Sudahlah, kalau memang engkau tidak memiliki kegagahan biar aku sendiri yang akan membela para hwesio Siauw-lim-pai!"
Suma Hoat tersenyum dingin. "Silakan!" Im-yang Seng-cu menenggak araknya, lalu bangkit berdiri dengan sikap marah.
"Sebaiknya mulai saat ini, julukanmu dirubah menjadi Jai-hwa-kwi (Setan Pemetik Bunga) saja! Selamat tinggal!" Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan Suma Hoat dan pergi dengan cepat, memanggul tongkat dan buntalan pakaiannya. Tak lama kemudian, Suma Hoat juga meninggalkan restoran itu setelah membayar makanan yang dipesannya tadi.
***
Im-yang Seng-cu yang maklum bahwa seorang diri saja dia akan kurang kuat untuk menghadapi lima orang lihai yang hendak menyerang Siauw-lim-si, maka ia lalu langsung pergi ke kuil itu yang berada di sebelah barat, di ujung kota. "Saya mohon bertemu dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini," katanya kepada penjaga kuil.
Penjaga kuil itu, seorang hwesio muda, memandang Im-yang Seng-cu penuh kecurigaan dan menjawab, "Suhu sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu. Kalau Sicu hendak bersembahyang, siauw-ceng dapat melayani Sicu."
Im-yang Seng-cu menjadi tidak sabar menyaksikan pandang mata hwesio muda itu mengandung kecurigaan, maka katanya keras, "Aku mempunyai urusan penting sekali dengan Gin Sim Hwesio, urusan yang menyangkut persoalan jatuh bangunnya Siauw-lim-si ini, dan juga termasuk urusan mati hidupmu. Harap jangan banyak curiga dan lekas minta Gin Sim Hwesio keluar menemuiku!"
Alis hwesio itu berkerut. Tamu ini biarpun aneh dan tidak bersepatu, usianya hanya sebaya dengan dia, mengapa sikapnya begini angkuh? "Maaf Sicu," jawabnya dengan sikap yang sopan namun keras. Urusan jatuh bangunnya Siauw-lim-si adalah tanggung jawab kami sendiri, adapun urusan mati hidup siauwceng adalah urusan Tuhan. Sicu tidak ada hubungannya dengan itu. Kami di sini selalu mengutamakan hidup suci dan damai, dan hanya melayani orang-orang yang ingin menikmati sinar kasih Sang Budda dan bersembahyang."
Bukan main jengkelnya hati Im-yang Seng-cu melihat kekerasan hati hwesio muda itu. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang suka mencampuri urusan orang. Apakah dia keliru dan Jai-hwa-sian yang benar? Dia penasaran dan berkata lagi, "Engkau sungguh terlalu curiga dan keras kepala! Katakanlah kepada suhumu bahwa aku Im-yang Seng-cu mohon bertemu!"
Sepasang mata hwesio itu terbelalak. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai bukanlah pendeta-pendeta sembarangan dan telinga serta mata mereka tajam, pengertian mereka tentang dunia kang-ouw luas karena hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terkenal di dunia kang-ouw.
Sambil menjura hwesio itu berkata, "Omitohud..., kiranya orang gagah Im-yang Seng-cu yang datang? Maafkan Sicu, Siauw-ceng rasa bahwa Siauw-lim-pai tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Hoa-san-pai."
"Aku tidak datang sebagai utusan Hoa-san-pai, melainkan karena maksud pribadi, dan yang hendak kubicarakan adalah hal penting yang menyangkut keselamatan Siauw-lim-pai, bukan hanya mengenai kuil ini, melainkan mengenai Siauw-lim-pai seluruhnya. Lekas kauberitahukan kepada suhumu sebelum terlambat."
Tiba-tiba dari sebelah dalam terdengar suara. halus, "Siapakah yang ingin berjumpa dengan pinceng?"
Im-yang Seng-cu memandang. Yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi, kurus yang usianya sudah empat puluh tahun lebih, bersikap gagah dan tangan kirinya membawa seuntai tasbeh. Ia cepat menjura dan bertanya. "Apakah aku berhadapan dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini?".
"Benar, Sicu." Hwesio itu berkata dan balas menjura dengan hormat.
"Aku adalah Im-yang Seng-cu, ada urusan penting mengenai kuil ini hendak kusampaikan kepada Losuhu."
"Omitohud.... ! Pinceng merasa menerima kehormatan besar sekali dengan kunjungan seorang pendekar kang-ouw yang ternama seperti Sicu. Silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan dalam."
Setelah mereka memasuki ruangan dalam yang sederhana namun bersih sekali, dan duduk berhadapan, Im-yang Seng-cu lalu berkata, wajahnya serius, "Gin Sim Hwesio, Siauw-lim-pai terancam bahaya besar. Malam nanti, kuil ini akan diserbu, semua penghuninya akan dibunuh dan mungkin kuilnya akan dibakar!"
Hwesio tinggi kurus itu menerima berita ini dengan sikap tenang-tenang saja sungguhpun sinar keheranan dan tidak percaya terpancar dari kedua matanya. "Omitohud! Sungguh luar biasa sekali berita yang Sicu bawa ini. Siapakah yang begitu gatal tangan hendak melakukan hal-hal hebat itu? Kami selamanya tidak bermusuhan dengan siapa juga, kami bersahabat dengan semua golongan...."
"Aku mengerti Losuhu!" Im-yang Seng-cu memotong tak sabar. "Aku tahu sikap bijaksana yang menjadi pegangan Siauw-lim-pai, dan aku kagum serta menghargai sikap yang diambil oleh ketua kalian, Kian Ti Hosiang-locianpwe yang terhormat. Akan tetapi, justeru sikap diam tidak mencampuri dan tidak memusuhi siapa-siapa itulah yang menjadi sebab ancaman yang akan dilakukan orang malam nanti."
Mulailah hwesio itu tertarik. "Siapakah yang akan melakukan hal yang keji itu, Sicu? Dan kenapa?"
"Aku tidak tahu mereka itu siapa, akan tetapi yang jelas, mereka itu akan menyerbu dan membasmi kuil ini dengan menyamar sebagai tokoh Hoa-san-pai dan perwira-perwira Kerajaan Sung." Dengan singkat namun jelas Im-yang Seng-cu lalu menceritakan tentang lima orang yang ia lihat dan dengar percakapan mereka di dalam restoran pagi hari itu.
Gin Sim Hwesio adalah murid Siauw-lim-pai yang lebih condong dengan sikap suhengnya di pusat, yaitu Ceng San Hwesio yang bersikap keras terhadap orang-orang yang memusuhi Siauw-lim-pai, tidak seperti sikap Kian Ti Hosiang. Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, ia mengerutkan alisnya kemudian bangkit berdiri dan menjura kepada tamunya.
"Banyak terima kasih akan peringatan Sicu. Pinceng tidak percaya bahwa ada orang-orang yang berniat begitu jahat terhadap kuil ini, dan andaikata benar demikian, pinceng dan murid-murid akan sanggup menghadapi mereka. Selamat jalan, Sicu."
Im-yang Seng-cu membelalakkan mata, "Losuhu, aku akan membantumu! "
"Tidak baik kalau pihak luar mencampuri, kami sanggup membela diri dan kami tidak ingin menarik orang luar sehingga permusuhan akan berlarut-larut. Selamat jalan, Sicu!"
Im-yang Seng-cu hampir tidak dapat percaya. Dia diusir halus-halusan! Dengan hati mengkal Im-yang Seng-cu bangkit berdiri, menampar kepalanya sendiri dan mengomel, "Dasar si bodoh yang ingin mencampuri urusan orang-orang besar! Benar sekali pandangan Si Jai-hwa-sian! "Selamat tinggal, Losuhu!" Ia membalikkan tubuhnya hendak pergi. "Tunggu dulu, Sicu. Hendaknya jangan salah paham. Pinceng berterima kasih sekali, akan tetapi kalau pinceng menerima bantuan Sicu, bukankah hal ini berarti pinceng perluas permusuhan dengan orang-orang yang belum kita ketahui dari golongan mana datangnya? Pinceng kira, kalau pinceng sudah berhadapan dengan mereka, pinceng dapat membujuk mereka agar tidak melanjutkan niat jahat mereka
sehingga perdamaian dapat dijaga dan dipertahankan."
Akan tetapi, Im-yang Seng-cu mendengus marah dan pergi meninggalkan kuil itu. Namun hatinya penasaran. Jiwa kependekarannya mengalahkan rasa jengkelnya dan biarpun penawarannya untuk membantu ditolak mentah-mentah, dia masih tetap ingin menjaga dan kalau perlu membantu pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang ia tahu bersih hatinya namun juga amat keras kepalanya itu.
Malam itu sunyi sekali di sekitar kuil. Malam yang gelap, akan tetapi keadaan didalam dan diluarnya terang karena para hwesio menyalakan lampu penerangan atas perintah Gin Sim Hwesio. Biarpun hatinya keras dan kepercayaannya terhadap diri sendiri dan para muridnya amat besar, namun ketua kuil itu telah siap sedia dan berlaku hati-hati. Kuil cabang Siauw-lim-pai di Lo-kiu ini tidak begitu besar dan Gin Sim Hwesio hanya dibantu oleh murid-muridnya, para hwesio muda Siauw-lim-pai yang jumlahnya ada dua puluh orang. Dia merasa bahwa kedudukannya sudah cukup kuat karena murid-muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Para muridnya menjaga di sekeliling kuil, sedangkan Gin Sim Hwesio sendiri duduk bersila melakukan samadhi di tengah ruangan depan.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gin Sim Hwesio berkata, "Siap....!" Dan perintah ini segera disampaikan kepada semua murid sambung-menyambung. Tak lama kemudian tampaklah berkelebat bayangan enam orang yang gerakannya gesit sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Melihat ini, enam orang murid kepala yang ditugaskan menjaga di dalam, segera keluar membawa obor sehingga sinar penerangan di ruangan depan itu makin cemerlang menerangi wajah enam orang itu. Gin Sim Hwesio sudah bangkit berdiri, tasbeh di tangan kiri, sebatang tongkat hwesio di tangan kanan, memandang tajam. Ia mengenal lima orang yang diceritakan Im-yang Seng-cu, yaitu dua orang kang-ouw, dua orang berpakaian perwira, dan seorang tosu. Akan tetapi kini bertambah dengan seorang lagi yang membuatnya terkejut karena gerakan dan sinar mata orang ini menunjukkan bahwa kepandaiannya amat tinggi, orangnya gendut pendek dan mulutnya tertawa-tawa atau tersenyum-senyum lebar, usianya kurang lebih empat puluh tahun. "Liok-wi siapakah, malam-malam mengunjungi kuil kami secara ini?"
Si Perwira Gemuk yang agaknya memimpin penyerbuan itu, tertawa sambil mencabut pedang panjang dari pinggangnya, "Kami adalah dua orang perwira tinggi, Kerajaan Sung, datang untuk membasmi kuil Siauw-lim-si karena para hwesio Siauw-lim-pai bersekutu dengan berontak!"
"Dan pinto Thian Ek Cin-jin dari Hoa-san-pai!" kata Si Tosu sambil mengejek.
"Omitohud! harap Cu-wi tidak membohong lagi karena pinceng sudah tahu bahwa Ji-wi-ciangkun hanyalah, perwira-perwira Sung yang palsu, sedangkan Tosu juga hanya menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai. Sebaiknya katakan terus terang, apakah maksud Cu-wi datang mengganggu? Cu-wi sudah mendengar bahwa Siauw-lim-pai tidak mau mengotorkan diri dengan pertentangan dan perebutan kekuasaan. Kami tidak mau memusuhi siapapun juga, dan kalau Cu-wi datang hendak mengobarkan kemarahan Siauw-lim-pai dan memancing-mancing usaha keji itu tidak akan berhasil, sebaliknya Cu-wi selamanya akan merasa tidak aman. Sebaiknya Cu-wi pergilah dengan aman sebelum kita semua melakukan dosa!"
Lima orang itu saling pandang dengan mata terbelalak, "Ahhhh Si Keparat.... tentu mereka yang membocorkan....!" teriak Si Perwira Kurus. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ telah muncul Im-yang Seng-cu yang tertawa dan berkata, "Ha-ha-ha, kiranya si pemakan lalat yang datang! Eh, apakah engkau sudah ketagihan lalat lagi dan datang kesini hendak mencari makanan? Di sini terlalu bersih, tidak ada lalat hijau, ha-ha!"
"Engkau.... Im-yang Seng-cu!" Tiba-tiba orang pendek gemuk yang tersenyum-senyum tadi melangkah maju dan menegur. Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. "Hemm, hemm...., kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee juga hadir! Sekarang tahulah aku bahwa yang berdiri di belakang semua ini tentulah Coa Sin Cu!?"
"Setan kau!" Dua orang perwira gendut dan kurus itu sudah menerjang maju, dibantu oleh dua orang kang-ouw, sedangkan tosu, dan Si Gendut yang bukan lain adalah Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee menerjang Gin Sim Hwesio yang dibantu enam orang muridnya.
Im-yang Seng-cu sudah menggerakkan tongkatnya dan sinar hitam yang lebar dan panjang bergulung di depan tubuhnya menangkis serangan empat batang pedang, dan sambil meloncat mundur mencari tempat luas ia mengejek kearah ketua kuil cabang Siauw-lim-si, "Bagaimana, Losuhu? Berhasilkah engkau menghadapi mereka dengan pelajaran suci agamamu? Ha-ha-ha, orang-orang macam mereka ini hanya patut dihadapi dengan tongkat penggebuk anjing!"
"Omitohud...., terpaksa pinceng melanggar pantangan berkelahi!" Gin Sim Hwesio juga sudah menggerakkan tongkat hwesionya dan melanjutkan, "Im-yang Seng-cu, terima kasih atas bantuanmu akan tetapi jangan mengotorkan kuil dengan darah atau pembunuhan!"
Akan tetapi, biarpun mulutnya berkata demikian, hati hwesio ini terkejut sekali menyaksikan kelihaian dua orang lawannya, terutama Si Gendut yang dengan gerakan golok besarnya ditangan kanan telah membuat senjata para muridnya menyeleweng, kemudian dorongan tangan kiri yang amat kuat membuat seorang di antara muridnya roboh terjengkang dan muntah darah!
"Ha-ha-ha, Gin Sim Hwesio. Kalau kita tidak membunuh tentu kita yang akan terbunuh!" Im-yang Seng-cu tertawa lagi, tongkatnya menyambar-nyambar dan dengan ilmu kepandaiannya yang campuraduk, ia berhasil mengacaukan pertahanan keempat orang pengeroyoknya. Imyang Seng-cu adalah seorang jagoan Hoa-san-pai, murid Tee Cu Cinjin yang merupakan orang terpandai di Hoa-san-pai, akan tetapi semenjak bertahun-tahun ia berkelana, merantau dan mempelajari banyak sekali ilmu silat. Memang mempelajari ilmu silat merupakan hobbynya. Tidak seperti para murid Hoa-san-pai yang menjaga kemurnian ilmu silat Hoasan-pai dan tidak sudi mempelajari ilmu silat golongan atau partai lain, Im-yang Seng-cu tidak pantang mempelajari ilmu silat apapun juga, baik ilmu silat kaum putih maupun kaum hitam sehingga dia dianggap murtad dari Hoa-san-pai. Akan tetapi berkat kesukaannya mempelajari segala macam ilmu silat dan "mengawin-ngawinkan" semua ilmu itu, Im-yang Seng-cu memperoleh kemajuan hebat dan dia memiliki gerakan yang aneh-aneh, sedangkan keuntungan lain adalah bahwa dia mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat lawan sehingga memudahkannya untuk menghadapi lawan itu. Selain segala keanehan yang dimilikinya, juga jago kang-ouw yang masih muda akan tetapi wataknya luar biasa ini mempunyai sebuah keanehan lain, yaitu dia selalu bernyanyi dan mengarang sajak setiap melakukan pertempuran! Kali ini pun dia sudah memutar tongkatnya sambil bernyanyi, suaranya lantang dan nyaring:
"Betapa dunia takkan kacau-balau
oleh tingkah mahluk bernama manusia
pendeta tidak segan berbuat dosa
pejabat tidak segan berbuat khianat
Pendekar berubah menjadi penjahat
Si bengcu cerdik menggoyang kaki
membiarkan anjing-anjing memperebutkan tulang
tinggal dia menanti hasil terakhir!
Oh dunia....!Oh manusia....!
Sungguh menyedihkan, ataukah menggelikan"
Pada saat menyanyikan bait terakhir, ujung tongkatnya yang tadinya dikempit ketika ia menggerakkan ujung satunya untuk menangkis tiga batang pedang, tiba-tiba mencuat melalui belakang ketiaknya dan langsung menyambar kearah kaki Si Perwira kurus.
"Pletak!" Tulang kering kaki kanan Si Perwira Kurus dihajar ujung toya, retak den rasa nyeri menusuk ke tengah jantung.
"Ayaaaa....! Aduh-aduhhh....!" Perwira kurus itu berloncatan dengan sebelah kaki, pedangnya terlepas dan ia berjingkrak-jingkrak memegangi kaki yang rasanya patah-patah. Yang terpukul adalah tulang kering kakinya, namun rasa nyeri menusuk-nusuk jantung.
"Ha-ha-ha! Kalau menangis jangan terlalu lebar membuka mulut, nanti kemasukkan lalat lagi!" Im-yang Seng-cu mengejek dan mendesak tiga orang pengeroyoknya.
"Im-yang Seng-cu, manusia sombong!" Tiba-tiba sebatang golok besar menyambar dari belakang. "Syuuutt...., tranggg!" Im-yang Seng-cu mundur dan terkejut karena telapak tangannya tergetar ketika tongkatnya menangkis golok. Kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee yang menyerangnya. Orang gendut pendek ini ketika melihat betapa empat orang kawannya tidak mampu pengalahkan Im-yang Seng-cu, bahkan perwira kurus terluka, segera meninggalkan Gin Sim Hwesio karena tosu itu sendiri cukup untuk menghadapi Gin Sim Hwesio yang kini hanya dibantu oleh seorang murid, sedangkan lima orang muridnya telah roboh dan tewas. Tosu itu ternyata lihai sekali. Pedangnya menyambar-nyambar merupakan gulungan sinar putih sehingga biarpun Gin Sim Hwesio sudah menggerakkan tongkat dan tasbihnya, dibantu pula oleh murid kepala, tetap saja kedua orang hwesio ini terdesak. Betapapun juga, mereka berdua masih mampu mempertahankan diri, tidak seberat tadi ketika Thai-lek Siauw-hud masih membantu Si Tosu. Adapun Im-yang Seng-cu, biarpun masih tertawa-tawa, namun dia kini bersilat dengan hati-hati sekali. Setelah para
pengeroyoknya tinggal tiga orang, tadinya ia memandang ringan, akan tetapi begitu Si Gendut Pendek itu maju, dia terdesak dan maklumlah dia bahwa tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud tidak kalah jauh olehnya. "Thai-lek Siauw-hud, kematian sudah di depan mata, engkau masih banyak berlagak?" Im-yang Seng-cu masih mengejek.
"Hu-ha-ha! Bualanmu tidak akan menolongmu Im-yang Seng-cu! Sayang kau tidak pernah bersepatu sehingga kalau mati, jangankan sorga, neraka pun tidak akan sudi menerima orang tak sopan, bertelanjang kaki!"
Im-yang Seng-cu tertawa dan diam-diam ia mendongkol karena sekarang, ia bertemu batunya. Ternyata Si Pendek itu pun suka tertawa dan suka berkelakar. Ia lalu menjalankan siasatnya yang ia dapatkan ketika merantau ke utara, dimana ia mempelajari ilmu gulat dari bangsa Mongol. Ketika tiga batang pedang menyambar, disusul sambaran Si Gendut yang lihai, ia cepat memutar tongkatnya dengan pengerahan tenaga sehingga tiga batang pedang itu terpental dan tiga orang pengeroyoknya meloncat mundur dengan kaget, dan pada saat golok menyambar. Im-yang Seng-cu sengaja memperlambat gerakan mengelak. Akan tetapi begitu sinar golok lewat di atas pundak, ia merendahkan tubuh, menangkap pergelangan tangan lawan! Sedetik mereka bersitegang, dan tiba-tiba tubuh yang gendut pendek dari Thai-lek Siauw-hud terlempar keatas kepala Im-yang Seng-cu! Inilah bantingan dari gulat yang dimiliki Im-yang Seng-cu. Dalam adu tenaga, ia mendapat kenyataan bahwa julukan Thai-lek tidaklah kosong Si Gendut Pendek itu kuat sekali maka ia tadi telah cepat membalikkan tubuh dan melontarkan tubuh si gendut itu dengan kekuatan dari bokong dan punggungnya.
"Ngekkk....broooottt!" Tubuh si Gendut terbanting dan ketika ia mengerahkan sin-kang untuk melawan bantingan, tanpa disengaja lubang belakangnya melepaskan kentut besar!
"Idiiih....! Bau....! Bau....!" Im-yang Seng-cu memijat hidung dengan jari tangan kiri sedangkan tangan kanannya memutar tongkat menyambut serangan perwira gemuk dan dua orang kang-ouw.
Muka Thai-lek Siauw-hud merah sekali. Dia tidak terluka akan tetapi telah terbanting sampai terkentut-kentut! Memang aneh sekali Thai-lek Siauw-hud ini, dia mempunyai semacam "penyakit" yang mungkin timbul karena kesalahan berlatih sin-kang dahulu. Entah terlalu banyak angin di dalam perutnya yang gendut itu, ataukah karena lubang belakangnya sudah longgar, akan tetapi setiap kali ia mengerahkan tenaga sin-kang sekuatnya dan hawa sakti terkumpul di perut, selalu tentu ada saja hawa yang bocor sedikit kebelakang sehingga menimbulkan suara kentut yang nyaring! Ketika menghadiri ulang tahun Coa-bengcu di pantai Po-hai dahulupun, dalam mengikuti pameran tenaga mengangkat benda berat, ia sudah melepas kentut pula dan sekarang, karena terbanting ia mengerahkan sin-kang agar tidak terluka, ia terkentut pula. Rasa malu membuat dia marah sekali dan bagaikan seekor harimau terluka, ia menerjang maju memutar goloknya sambil memaki, "Im-yang Seng-cu calon bangkai! Makanlah golokku!" Hebat bukan main serangan Thai-le k Siauw-hud yang marah sehingga Im-yang Seng-cu tidak berani main-main, cepat
mainkan jurus-jurus pertahanan dengan ketat, menahan serangan golok dan tiga batang pedang yang bertubi-tubi itu. Sekali ini ia terdesak hebat seperti halnya Gin Sim Hwesio dan murid kepalanya. Gin Sim Hwesio mulai merasa khawatir karena murid-muridnya yang menjaga di sekitar kuil tidak ada yang tampak. Tiba-tiba ia berseru, "Celaka....!" Dan ia memutar tongkatnya mengirim serangan hebat kepada Si Tosu yang lihai, akan tetapi tosu itu dapat mengelak dan bahkan mengirim tusukan dari samping dengan pedangnya. Kekagetan ketua kuil ini melihat api bernyala di belakang kuil membuat gerakannya
kurang cepat dan ketika ia mengelak, pedang itu berkelebat kebawah melukai pahanya. Ia terhuyung dan muridnya cepat mendesak Si Tosu untuk menolong suhunya. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menyusul berkobarnya api, akan tetapi sorak-sorai ini segera terganti teriakan-teriakan kaget dan api pun padam. Tak lama kemudian, berkelebatlah bayangan orang yang cepat dan ringan sekali, dan di situ muncul seorang laki-laki tampan yang menerjang dengan pedangnya, sekali terjang ia telah membuat Si Tosu terlempar kebelakang. Kemudian, laki-laki ini meloncat dan menerjang mereka yang mengepung Im-yang Seng-cu. Melihat laki-laki ini Im-yang Seng-cu tertawa dan berseru, "Ha-ha-ha! Kiranya engkau benar-benar Sian (Dewa), bukannya Kwi (Setan)!"
Suma Hoat atau Jai-hwa-sian tidak menjawab, hanya menggerakkan pedangnya, diputar cepat sekali sehingga dua orang kang-ouw yang baru menangkis menjadi patah pedangnya dan terluka pundak dan dadanya.
"Siapa engkau....?" Thai-lek Siauw-hud membentak, kaget menyaksikan kehebatan gerak pedang Suma Hoat. Suma Hoat tidak menjawab, akan tetapi Im-yang Seng-cu sudah memperkenalkan, "Mau kenal sahabatku ini? Dialah Jai-hwa-sian!" Si Gendut terkejut sekali. "Mengapa orang seperti engkau membela Siauw-lim-pai?"
Sebagai jawaban Jai-hwa-sian menerjang dan Si Gendut terpaksa menangkis dengan golok. Cringggg!" Golok dan pedang bertemu dan melekat, pada saat itulah, Si Perwira gemuk sudah menerjang dengan pedang panjangnya, menyambar keleher Suma Hoat dari
belakang. "Pergilah....!" Suma Hoat membentak, menggetarkan pedangnya dan mendorong sehingga Thai-lek Siauw-hud terhuyung kebelakang dan secepat kilat Suma Hoat sudah merendahkan diri sahingga pedang perwira gemuk menyambar atas kepalanya. Detik itu juga, pedang Suma Hoat meluncur dari bawah, Si Perwira menjerit, pedangnya terlepas dan ia terjengkang roboh, darah muncrat-muncrat keluar dari perutnya.
Akan tetapi, puluhan orang sudah menyerbu datang. Mereka terdiri dari belasan pemuda-pemuda dan belasan gadis-gadis yang memiliki gerakan gesit dan ringan. Mereka itu adalah anak buah atau murid-murid dari Coa Sin Cu, bengcu di pantai laut Po-hai. Para murid Kuil Siauw-lim-si yang menjaga di luar tadi telah roboh oleh mereka dan ketika mereka mulai membakar kuil, tiba-tiba muncul Suma Hoat yang merobohkan lima orang yang membakar kuil dan memadamkan kebakaran lalu datang membantu Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu.
Terjadilah pertandingan yang berat sebelah karena para penyerbu terdiri dari puluhan orang sedangkan yang mempertahankan hanyalah Gin Sim Hwesio yang sudah terluka, Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat. Murid kepala Gin Sim Hwesio juga sudah roboh.
"Ha-ha-ha! Jai-hwa-sian, mari kita basmi anjing-anjing keparat ini!" Im-yang Seng-cu tertawa bergelak dan cepat mengerjakan tongkatnya merobohkan dua pengeroyok karena ingin mengejar ketinggalannya ketika melihat betapa Suma Hoat sudah lebih dulu merobohkan dua orang. Gin Sim Hwesio mengeluh ketika melihat kuilnya menjadi kotor oleh darah manusia, dan karena dia sudah terluka cukup parah, ia hanya dapat menggerakkan tongkatnya untuk melindungi tubuhnya. Dari pihak penyerbu, yang memiliki kepandaian tinggi hanya Thai-lek Siauw-hud, dan tosu yang mengaku bernama Thian Ek Cinjin, Si Perwira Gemuk telah tewas oleh pedang Suma Hoat, si Perwira Kurus telah remuk tulang kering kakinya dan dua orang kang-ouw teman mereka pun telah
terluka oleh pedang Suma Hoat. Biarpun kepandaian dua orang itu cukup hebat, namun Si Tosu kewalahan menghadapi tomgkat Im-yang seng-cu dan Thai-lek Siauw-hud juga terdesak hebat menghadapi pedang Suma Hoat. Akan tetapi karena datang puluhan orang anak buah Coa Sin Cu, payah jugalah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat, sedangkan Gin Sim Hwesio sudah tidak dapat menyerang lawan kecuali melindungi diri sendiri.
Bunyi senjata beradu bertubi-tubi nyaring dan terdengar Gin Sim Hwesio mengeluh panjang, tubuhnya terhuyung dan roboh kebelakang ketika kembali bahu kanannya terluka oleh sabetan pedang. Dia sudah terluka dan tenaganya makin berkurang sedangkan para pengeroyoknya yang masih muda-muda itu terlampau banyak. Biarpun ia roboh terjengkang dan rebah sambil memutar tongkatnya, namun keadaannya terancam bahaya maut dengan serangan senjata pedang yang amat banyak, yang bagaikan hujan menimpa dirinya. "Trang-trang-trang....!" Pedang-pedang yang menyerang tubuh ketua kuil ini terpental, bahkan dua orang pengeroyok roboh terguling ketika Suma Hoat meloncat datang meninggalkan para pengeroyoknya untuk menolong Gin Sim
Hwesio. Hwesio itu kini sempat bangun kembali. Darah mengucur dari bahu dan pahanya, namun ia sudah dapat memasang kuda-kuda dan melintangkan tongkatnya. Suma Hoat kini kembali dikepung dan pundaknya kena ujung pedang seorang pengeroyok, bajunya robek dan kulitnya ikut robek sehingga darahnya mulai mengucur keluar. Namun bagaikan seekor naga mengamuk, ia masih terus memutar pedangnya menyambut datangnya serangan Thai-lek Siauw-hud dan para murid Coa-bengcu.
Keadaan Im-yang Seng-cu juga tidak lebih baik. Biarpun ia masih tertawa-tawa, namun dia sudah terluka pula. Dada kanannya tertusuk pedang, dan untunglah bahwa ia sempat mengerahkan sin-kang sambil membanting diri sehingga hanya kulit dan daging dada saja yang robek berdarah. Diapun mengamuk hebat, bahkan terdengar dia bernyanyi nyaring:
"Malang-melintang di dunia kang-ouw
menentang kejahatan mengabdi kebenaran
tongkat di tangan haus darah dan nyawa
para penjahat angkara murka
biarpun tewas dalam membela kebenaran
dengan senjata tongkat tetap di tangan
apa lagi yang membuat penasaran?"
"Bress! Prookk!" Kembali dua orang pengeroyok roboh oleh tongkat di tangan Im-yang Seng-cu, akan tetapi pada saat itu, pedang Si Tosu yang lihai telah berhasil membacok kearah lehernya. Im-yang Seng-cu cepat membuang diri kebelakang, namun sinar pedang menyusul dan darah muncrat keluar dari pundak kanan Im-yang Seng-cu, sebagian daging bahu kanannya robek! Ia terhuyung dan memutar tongkatnya sehingga terdengar suara nyaring ketika tongkatnya berhasil menangkis banyak senjata lawan.
Suma Hoat mengeluarkan teriakan keras dan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar menyilaukan mata tertimpa api penerangan, membuat Thai-lek Siauw-hud dan teman- temannya mundur, kesempatan itu dipergunakan Suma Hoat untuk meloncat jauh menyambar tubuh Im-yang Seng-cu, dibawa ke tempat dimana Gin Sim Hwesio masih mempertahankan diri.
"Kalian berdua mempertahankan di belakangku!" kata Suma Hoat dan mulailah terjadi pengepungan yang ketat terhadap tiga orang itu. Gin Sim Hwesio sudah terluka parah, juga Im-yang Sengcu sudah terluka berat, dan hanya Suma Hoat seorang yang masih mampu mengirim serangan balasan karena dua orang temannya hanya mampu mempertahankan diri saja.
Bukan main kagum hati Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu menyaksikan sepak terjang Suma Hoat. Biarpun pundaknya sudah berdarah, pemuda tampan itu mengamuk terus, melindungi kedua orang yang terluka sambil balas menerjang dengan sambaran pedangnya yang amat luar biasa sehingga sedikit saja ada pengeroyok lengah tentu menjadi korban. Im-yang Seng-cu kagum dan juga gembira menyaksikan teman barunya itu. Dia sendiri bersama Gin Sim Hwesio hanya mampu melindungi diri, dan dia pun maklum bahwa kalau tidak ada Suma Hoat tentu niat buruk anak buah Coa Sin Cu membasmi para hwesio Siauw-lim-pai dan membakar kuil akan terlaksana, bahkan ditambah dengan pengorbanan dirinya sendiri. Saking gembiranya menyaksikan sepak terjang Suma Hoat, ia memutar tongkat sambil bernyanyi:
"Dia dikatakan Pemetik Bunga
perbuatannya bergelimang darah menghitam
kini dia mati-matian membela
kebenaran dengan taruhan nyawa penuh rela
hitam atau putihkah dia?
Dia disebut berbudi seperti dewa
tapi betapa banyak air mata runtuh dari dara-dara
menangis dengan hati merana
setan atau dewakah dia?"
Suma Hoat tidak dapat memperhatikan nyanyian ini hanya diam-diam ia pun kagum sekali akan sikap Im-yang Seng-cu yang dalam himpitan bahaya maut masih sempat bernyanyi-nyanyi. Betapa gagah perkasanya Si Kaki telanjang itu! Suma Hoat memusatkan perhatiannya diujung pedang dan amukannya membuat gentar Thai-lek Siauw-hud. Thian Ek Cinjin dan anak buah mereka. Malam sudah hampir terganti pagi dan mulailah para penyerbu merasa khawatir. Kalau sampai pagi dan mereka belum berhasil sehingga kelihatan oleh penduduk, tentu rahasia mereka akan pecah dan semua usaha itu akan sia-sia belaka. Maka Thai-lek Siauw-hud lalu memberi aba-aba rahasia. Semua anak buahnya mulai mengumpulkan teman-teman yang tewas atau terluka, kemudian serentak mereka lari meninggalkan tempat itu membawa para korban pihak mereka. "Engkau ikut denganku!" Tiba-tiba Suma Hoat berseru,
tubuhnya berkelebat kedepan dan ia sudah menyambar pinggang seorang di antara gadis-gadis penyerbu yang sejak tadi memang sudah diincarnya, bahkan ketika mengamuk tadi ia berlaku hati-hati agar jangan melukai gadis berpakaian hijau ini. Gadis itu menjerit, meronta dan menggerakkan pedangnya membacok, akan tetapi sekali mengetuk pergelangan gadis itu, pedangnya terbang dan di lain saat tubuhnya sudah ditotok dan dikempit lengan kiri Suma Hoat. Gadis yang cantik itu tak dapat bergerak lagi.
Kemudian, tanpa menoleh lagi, Suma Hoat meloncat berkelebat dan pergi dari situ tanpa pamit. "Eh, nanti dulu!" Im-yang Seng-cu berseru. "Taihiap, harap tunggu dulu, Pinceng hendak menyampaikan terima kasih Gin Sim Hwesio juga berteriak, akan tetapi Suma Hoat tidak peduli dan sama sekali tidak menengok atau menjawab. Im-yang Seng-cu tertawa dan berkata kepada Gin Sin Hwesio, "Itulah seorang pendekar besar yang rusak hatinya oleh asmara! Ha-ha-ha-ha, dia terkenal di dunia kang-ouw
sebagai Jai-hwa-sian, akan tetapi siapa kira malam ini dia membela Siauw-lim-pai mati-matian. Losuhu selamat berpisah!" Im-yang Seng-cu juga berkelebat pergi mengejar bayangan Suma Hoat yang sudah lenyap di telan keremangan pagi.
"Omitohod....!" Gin Sim Hwesio merangkap kedua tangan, kedua tangan seperti berdoa, diam-diam harus mengakui bahwa keselamatannya dan keselamatan kuilnya, juga agaknya keselamatan Siauw-lim-pai sehingga tidak terseret dalam pertentangan adalah jasa pertolongan orang muda yang di dunia kang-ouw disohorkan sebagai seorang penjahat cabul yang dikutuk semua orang.
Im-yang Seng-cu, melakuan pengejaran. Hatinya penuh rasa penasaran dan penuh rasa kekecewaan. Begitu bertemu dengan Suma Hoat, ia merasa tertarik, merasa suka dan kagum. Ia tahu bahwa di dasar hatinya, Suma Hoat memiliki watak pendekar yang besar yang mengagumkan. Akan tetapi sayang seribu kali sayang watak yang baik itu dikotori oleh kesukaan lain yang dianggap terkutuk di seluruh dunia yaitu suka mengganggu wanita! Bahkan perbuatannya semalam yang amat mengagumkan, kegagahan serta keberanian disertai tekad untuk membela kebenaran dengan taruhan nyawa tanpa ditawar-tawar lagi, pada akhirnya dicemarkan
oleh perbuatannya yang amat tercela, yaitu menculik seorang di antara para penyerbu yang masih muda dan cantik. Penculikan yang jelas diketahui apa maksudnya! Padahal, di waktu mengamuk tadi, demi membela kebenaran membersihkan nama Siauw-lim-pai, dia sudah terancam bahaya maut dan kalau dikehendaki. Jai-hwa-sian yang sudah terluka itu masih sempat melarikan diri. Akan tetapi, dia sama sekali tidak mau menyelamatkan diri tidak mau meninggalkan Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu yang terluka parah, bahkan melindungi mereka dan mengamuk dengan nekat! "Jai-hwa-sian.... bagaimana aku akan dapat
menyadarkanmu dari kebiasaan buruk itu?" Im-yang Seng-cu berlari terus dan baru setelah matahari naik tinggi ia menemukan jejak Jai-hwa-sian yang membawa lari korbannya ke dalam sebuah hutan diluar kota Lok-kiu!
Im-yang Seng-cu mencari-cari di dalam hutan dan akhirnya ia mendengar suara-suara dari balik rumpun yang itu, dan tahulah ia bahwa Jai-hwa-sian bersama korbannya berada di balik rumpun itu, di atas tanah yang ditilami rumput tebal hijau seperti permadani! Dia menyelinap mendekati, siap untuk menolong gadis yang menjadi korban itu. Betapapun kagumnya terhadap Jai-hwa-sian, disini terdapat seorang wanita yang perlu ditolong! Dan dia akan melawan Jai-hwa-sian, demi kebenaran, kalau perlu berkorban nyawa! Memang tidak salah bahwa gadis itu adalah seorang diantara para penyerbu kuil semalam, seorang anak buah Coa Sin Cu akan tetapi persoalannya sekarang lain. Gadis itu kini menjadi seorang wanita yang terancam kehormatannya oleh seorang penjahat cabul tukang memperkosa, bukan oleh seorang pendekar yang semalam mempertahankan nyawanya untuk membela kebenaran!
Ia menduga bahwa tentu akan mendengar gadis itu menangis seperti biasa kalau seorang Jai-hwa-cat (Penjahat Pemerkosa) menerkam korbannya, dan mendengar suara Jai-hwa-sian membujuk rayu atau mengancam. Akan tetapi, muka Im-yang Seng-cu menjadi merah sekali, matanya terbelalak ketika ia mendengar suara gadis itu, penuh kemanjaan penuh rayuan.
"Koko.... aku.... aku cinta padamu! Betapa gagah perkasa engkau.... betapa.... tampan dan mesra! Koko, aku rela menjadi milikmu selamanya...., aku cinta padamu!"
Dan terdengarlah jawaban Jai-hwa-sian, suaranya mengandung kegetiran, "Aku tidak percaya akan cinta! Perempuan yang cantik rupanya belum tentu cantik hatinya. Yang ada ini hanya nafsu! Nafsu birahi! Dan aku...." Tiba-tiba suara itu terhenti kemudian disusul bentakan, "Im-yang Seng-cu! Aku suka bersahabat denganmu karena aku kagum padamu, akan tetapi kalau kau mencampuri urusan pribadiku, aku akan melupakan kekagumanku dan terpaksa engkau akan kuanggap penghalang. Pergilah, atau
seorang di antara kita akan mati!"
Im-yang Seng-cu menarik napas panjang, merasa malu karena benar-benar keterlaluan baginya untuk mengintai dua orang yang sedang berkasih mesra, sama sekali tidak ada tanda-tanda perkosaan, dan kedua telinganya sendiri jelas mendengar pernyataan cinta gadis itu kepada Jai-hwa-sian! Betapa mungkin ini? Dia menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Jai-hwa-sian, aku hanya ingin melihat engkau sadar bahwa perbuatanmu itu menyeleweng daripada kebenaran."
"Im-yang Seng-cu, perbuatan yang menyangkut urusan pribadiku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga, dan sama sekali engkau tidak berhak mencampurinya. Pilihlah sekarang, engkau mau pergi atau aku terpaksa menggunakan kekerasan?"
Im-yang Seng-cu menghela napas. Apa yang akan ia lakukan? Dia tidak takut menghadapi Jai-hwa-sian, sungguhpun ia maklum bahwa orang itu lihai sekali, apalagi sekarang dia sudah terluka cukup parah. Andikata dia mendengar gadis itu menangis dan minta tolong, jangankan baru orang selihai Jai-hwa-sian, biar sepuluh kali lebih lihai, dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela wanita yang tertindas dan terhina. Akan tetapi wanita yang suaranya manja dan merayu itu mana membutuhkan "pertolongannya"? Bahkan, kalau ia mencampuri, bukan hanya Jai-hwa-sian yang tidak senang hatinya, jelas bahwa wanita itu pun akan membencinya! Jadi siapa yang ditolongnya dan untuk apa ia mencampuri urusan ini? Ia menggerakkan pundak lalu pergi
dari tempat itu.
***
Han Ki memandang kedua arca Maya dan Siauw Bwee dengan mata bersinar-sinar, penuh kegembiraan. Kedua arca yang berdiri di dekat arcanya sendiri itu amat memuaskan dirinya. Arca-arca itu sudah jadi, persis seperti kedua orang sumoinya yang amat dikasihinya dan ia kagum akan hasil seni yang diciptakan tangannya, melainkan kagum akan kecantikan kedua orang sumoinya. Baru sekarang ia dapat memandangi kecantikan kedua orang gadis remaja itu sepuas hatinya. Memang hebat! Sukarlah menentukan siapa di antara keduanya yang lebih cantik. Kadang-kadang tampak Maya lebih cantik, akan tetapi kadang-kadang Siauw Bwee lebih manis dan jelita. Hanya diam-diam ia harus mengakui bahwa sepasang mata Maya amat hebat, luar biasa hebatnya dan
menyinarkan kehangatan yang membuat ia kadang-kadang merasa jantungnya berdebar, apalagi ditambah bibir yang seolah-olah mengandung senyum penuh arti itu.
Gerakan harus di belakangnya pada saat itu amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok pun Han Ki maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat arca. Dia mengenal benar gerakan halus kedua orang sumoinya, malah dapat membedakannya. Apalagi, ada keharuman yang khas pada diri masing-masing dara itu karena keduanya suka memakai bunga yang berlainan, bunga-bunga yang sering kali dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang sumoinya karena dia tahu bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.
"Suheng...." Han Ki menoleh tersenyum.
"Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi. Hanya tinggal menghaluskannya saja, dalam sehari saja tentu selesai." Maya berlutut di dekat suhengnya.
"Suheng, arca siapakah yang terindah di antara tiga buah arca ini?" Pertanyaan kanak-kanak, pikir Han Ki sambil tersenyum
dan dia menjawab, suaranya menggoda, "Tentu saja arcaku sendiri!"
"Ah, Suheng sombong!" Han Ki hanya tertawa. "Suheng, kalau dua yang lain ini, mana lebih cantik?" Han Ki mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi kemudian terdengar suaranya menggoda karena dia terpaksa melayani pertanyaan yang manja itu, "Wah, tentu saja arcamu lebih cantik."
Wajah yang itu berseri, manis pandang mata yang biasanya hangat itu lebih panas lagi, senyumnya manis memikat. "Suheng...." Maya menyentuh lengan suhengnya, "Benarkah engkau anggap aku paling cantik?" Han Ki menatap wajah sumoinya dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa cantiknya, kecantikan khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri tersendiri dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh "Engkau memang cantik jelita, Sumoi."
"Tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kecantikanku?" Pertanyaan ini makin manja dan Maya mendekatkan mukanya. Tampak garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang lentik melengkung, agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam, bibir itu terbuka sedikit, tampak sederetan gigi putih dan napas dara itu seperti agak terengah.
Han Ki hanyalah seorang laki-laki yang masih muda pula. Jantungnya berdebar dan jakunnya bergerak ketika ia menelan ludah, "Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini, Maya."
Maya memandang dengan sinar mata penuh arti, tangannya memegang lengan Han Ki, suaranya menggetar berbisik, "Suheng, engkau pun bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini
"Maya....!" Han Ki membantah kaget. Akan tetapi Maya yang sudah mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan. "Suheng, bukankah aku lebih cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?"
"Maya-sumoi....!" Maya sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan suhengnya dan berbisik, "Suheng, aku bersedia menjadi pengganti Hong Kwi...., aku...., Suheng, bukankah engkau mencintaku seperti aku cinta padamu....?"
Kali ini benar-benar Han Ki terkejut karena diluar kesadarannya ia telah memeluk tubuh itu penuh dendam rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima tahun ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang tengadah itu dekat sekali dengan mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu menyentuh pipinya. Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki melepaskannya, bangkit berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Maya, memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya mengusir gairah nafsu yang menyesakkan dada.
"Suheng....!" Maya juga bangkit berdiri dan memeluk pinggangnya.
"Maya-sumoi, jangan....!" Han Ki berkata dan melepas kedua lengan yang merangkul pinggang itu, melangkah maju dua langkah sambil membalikkan tubuh menghadapi sumoinya. Kini ia telah menguasai nafsunya dan matanya memancarkan pandang mata penuh teguran. "Sumoi, mulai detik ini jangan engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!"
"Suheng....! Aku.... cinta padamu, Suheng...."
"Diam! Keluarlah engkau sebelum kutampar!" Maya memandang dengan mata terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang ketakutan, napasnya terengah dan naiklah sedu-sedan dari dadanya, kemudian membalik dan lari keluar sambil terisak. Han Ki memejamkan mata, menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut, dan kemudian ia memandangi arca-arca itu. Maya mencintainya! Dan biarpun Siauw Bwee tidak pernah memperlihatkan sikap dengan terang-terangan, namun ia dapat menduga bahwa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia? Ah, cintanya sudah habis, sudah terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi? Namun ahhh...., dia bergidik kalau teringat tadi betapa nafsu berahi menguasainya, membuat ia ingin
memeluk ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu, ingin membelai merayu. Ah, betapa mudahnya ia jatuh cinta kepada Maya, dan.... ketika ia memandang arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat mudah pula, semudah tadi, ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Celaka!
"Kau...., kau mata keranjang!" Han Ki menampar kepalanya sendiri, terbayanglah wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai lama ia termenung seperti itu, berjam-jam dan hanya dengan kekuatan batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat menindas perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya memperhalus tiga buah arca itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua kali Siauw Bwee menjenguknya, mengajaknya makan kemudian setelah bertanya mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh, "Aku tidak lapar dan tidak mengantuk. Aku ingin
menyelesaikan ini, Khu-siauw-moi, tinggalkan aku sendiri."
Pada jengukannya yang ke dua, Siauw Bwee ragu-ragu dan memandang suhengnya, kemudian berkata, "Ini tentu kesalahan suci entah apa sebabnya!"
Han Ki terkejut, akan tetapi menindas perasaannya dan menoleh. "Mengapa engkau, berpendapat demikian?"
"Kulihat Suci menangis, dia pun tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya ddan menghiburnya dia malah membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya. Suheng, apakah yang terjadi?"
"Tidak apa-apa. Aku pun tidak tahu dia mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri, Sumoi!"
Sejenak Siauw Bwee berdiri di belakangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya lirih, "Engkau kelihatan berduka, Suheng. Kenapakah?"
"Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!"
"Suheng, selama lima tahun kita tinggal di sini, baru sekarang kulihat engkau berduka dan Suci menangis, Suheng, engkau...., engkau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini, disamping ibuku yang entah berada di mana. Suheng, kalau engkau berduka, aku ikut berduka...."
Han Ki memejamkan mata, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia telah dapat menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri tersenyum dan berkata, "Engkau ini aneh-aneh saja, Sumoi. Aku tidak apa-apa, hanya tekun menyelesaikan arca-arca ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang kaubuat? Telah selesaikah?" Dia sengaja membelokkan percakapan untuk mengalihkan perhatian sumoinya itu.
"Sudah, Suheng. Layar yang kauberi sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba. Aku ingin mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu"
Han Ki tersenyum. "Itu Pulau Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang disana."
"Aku ingin menangkap kijang."
"Boleh, akan tetapi kalau memburu kijang, cari yang sudah tua agar pembiakannya tidak terganggu."
"Aku ingin menangkap seekor anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman disini." Han Ki berdiri, membalikkan tubuh dan memandang sumoinya. "Apa? di sini ada aku dan sucimu, dan engkau hendak mencari kijang untuk teman?"
Siauw Bwee menunduk dan terdengar suaranya lemah seperti berbisik, "Aku...., aku kadang-kadang merasa kesepian, Suheng tarutama sekali.... sekarang ini...."
Setelah berkata demikian Siauw Bwee membalikkan tubuhnya dan lari pergi.
"Hei....! Khu-sumoi....?" Han Ki memanggil akan tetapi dara itu tidak menoleh dan lapat-lapat Han Ki mendengar sumoinya itu terisak! Han Ki berdiri termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Perempuan....!" gumamnya dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti.
Hatinya makin bingung dan makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa mulai saat itu ia hanya akan menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kedua sumoinya itu. Untuk melupakan pekerjaannya. Semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah arcanya.
***
Bersambung ke bagian 3 ...