Bagian 90

"Begitu bertemu dengan pasukan Lo Sat, hamba akan menyampaikan Firman Sri Baginda dan meminta mereka menyampaikannya kepada Ratu Sophia," sahut Siau Po.

"Aku sudah mengundang beberapa orang Profesor Barat datang ke sini dan meminta mereka menjelaskan sejarah Negara Barat serta letak tanah dan Hong Sui, juga keadaan politik di sana..."

"Bagus, bagus sekali. Mengetahui kondisi musuh seperti mengetahui keadaan diri sendiri. Dengan demikian kita pasti mendapatkan kemenangan," tukas Siau Po.

Kaisar Kong Hi tersenyum.

"Para profesor mengatakan bahwa bangsa Lo Sat benci kelemahan tapi takut terhadap yang keras. Semakin kita bersikap lunak, semakin tinggi kepala kita diinjaknya. Semakin lama sikap mereka semakin berani.

Mereka harus kita beri sedikit pelajaran bahwa bangsa kita bukan bangsa yang bisa dipermainkan. Karena itu, di satu pihak kita mengerahkan pasukan besar. Kalau mereka ingin berperang, layani saja.

Di sisi lain kita juga menunjukkan adat ketimuran kita bahwa kita bukan bangsa yang tidak beradab, kita tidak akan memaksakan kehendak dengan semena-mena," katanya.

"Hamba mengerti sepenuhnya. Seakan main layang-layang, kita harus tahu kapan menarik benangnya dan kapan harus menguIurnya. Seperti apa yang pernah dilakukan oleh Cu Kek Liang, kita akan membuat musuh takluk sedalam-dalamnya sehingga kelak mereka tidak berani bertindak sewenang-wenang lagi," sahut Siau Po.

Kaisar Kong Hi tertawa terkekeh-kekeh.

"Betul, begitulah maksudku."

Siau Po melihat senyumnya yang aneh seakan menyimpan suatu rahasia. Diam-diam dia memutar otaknya, kemudian suatu ingatan melintas dalam benaknya.

"Seperti Sri Baginda menekan hamba dengan cara halus sehingga hamba merasa berterima kasih sekaligus takut. Dengan demikian mulai sekarang hamba juga tidak akan berbuat macam-macam lagi. Siau Kui Cu sendiri seperti Sun Go Kong, untuk selamanya tidak dapat melepaskan diri dari Ban Sui Ya, si Ju Lay Hud!" ujarnya sambil tertawa.

Kong Hi tertawa.

"Usiamu sudah bertambah beberapa tahun, Semakin lama kau jadi semakin rendah hati. Kalau kau benar-benar ingin melepaskan diri dari telapak tanganku kau kira aku sanggup mencengkerammu terus?"

"Hamba merasa aman dan damai dalam genggaman tangan Sri Baginda, mengapa hamba harus melarikan diri?" sahut Siau Po yang cerdas.

"Keberhasilan kami membereskan Go Sam Kui, jasamu terhitung besar juga. Meskipun kau tidak sempat menikmati akhir ceritanya, namun sekarang aku akan menugaskan kau memimpin sejumlah besar pasukan untuk menggempur Negara Lo Sat. Kota Ya Lung Ke dekat dengan puncak Gunung Lu Ting San (Gunung Menjangan), maka aku menganugerahkan gelar Pangeran Gunung Menjangan Tingkat Tiga

sekaligus sebagai panglima perang.

Dalam mengatasi masalah perang, biar Peng Cun si Komandan Pasukan, Panglima dari Hek Liong Ciang Lu Pu Sut, dan Panglima dari Ling Ku Ta yakni Pa Hai Ciangkun yang akan membantumu. Mengenai surat menyurat, So Ngo Ta lah yang akan melayanimu. Pertama-tama kita kerahkan pasukan berkuda sebanyak lima laksa orang dan pasukan Angkatan Laut berjumlah lima ribu.

Apabila masih belum cukup, berapa banyak yang kau inginkan masih tersedia, perbekalan yang kami siapkan cukup untuk keperluan para prajurit selama tiga tahun penuh. Untuk menyerang musuh, kami sudah mempersiapkan meriam tiga ratus lima puluh buah, sedangkan sebagai pertahanan kami menyediakan lima puluh buah meriam. Cukup?" tanya Kaisar Kong Hi.

Setiap kali Kaisar Kong Hi mengucapkan sepatah kata, Siau Po langsung mengucapkan terima kasih. Ketika Kong Hi menyelesaikan ucapannya, dia segera menjatuhkan diri berlutut lalu menyembah beberapa kali.

"Jumlah pasukan berkuda serta prajurit Negara Lo Sat yang berada di Ya Lung Ke dan Ni Pu Ju tidak lebih dari enam ribu orang. Kita mengerahkan pasukan sebanyak delapan kali lipat dari mereka, rasanya sudah lebih dari cukup. Asal kau tidak ceroboh menjatuhkan wibawa kami Bangsa Tionghoa," kata Kaisar Kong Hi pula.

"Dalam peperangan ini hamba toh mewakili Sri Baginda. Kalau ada sedikit celah saja yang terlihat tentu kita akan dipandang rendah oleh Bangsa Lo Sat. Harap Sri Baginda tidak mengkhawatirkan hal ini."

"Bagus, Apakah masih ada hal lain yang kau perlukan?" tanya Kaisar Kong Hi.

"Dari Taiwan hamba membawa lima ratusan prajurit. Mereka sudah pernah berperang melawan Setan-Setan Berambut Merah, karena itu pandai menggunakan senjata api. Hamba bermaksud membawa mereka dalam menghadapi Negara Lo Sat kali ini," kata Siau Po.

Kong Hi senang sekali mendengarnya.

"Bagus sekali Para prajurit The Seng Kong pernah mengalahkan Setan-Setan Berambut Merah dari HoIland. Kau bisa membawa mereka para prajurit itu, berarti kepercayaan kita terhadap kekuatan sendiri bertambah lagi tiga bagian. Tadinya aku khawatir persenjataan Bangsa Lo Sat terlalu hebat sehingga banyak prajurit kita yang akan menjadi korban."

"Sebagian prajurit harus menggunakan perisai dari baja, perisai sejenis ini bisa digunakan untuk menahan peluru. Setelah itu mereka menggulingkan diri ke depan dan menebas kaki musuh dengan golok besar. Cara ini mungkin dapat dipraktekkan nanti," kata Siau Po memberikan pendapatnya.

"Bagus sekali!" seru Kaisar Kong Hi gembira.

"Hamba mempunyai seorang selir yang dulu pernah mengikuti hamba ke Moskow. Dia mahir sekali Bahasa Lo Sat. Hamba bermaksud mengajukan permohonan kepada Sri Baginda agar mengijinkan dia menyertai kami sebagai prajurit dalam peperangan ini," kata Siau Po pula.

Dalam undang-undang Dinasti Ceng, setiap panglima yang berangkat perang tidak boleh ada yang membawa keluarganya. Hal ini dianggap sebagai dosa besar itulah sebabnya Siau Po mengajukan permohonan terlebih dahulu.

Kaisar Kong Hi menganggukkan kepalanya beberapa kali.

"Aku mengerti. Baik-baiklah kau menunaikan tugasmu!"

Sekali lagi Siau Po berlutut menyembah serta memohon diri. Ketika sampai di depan pintu, terdengar Kaisar Kong Hi bertanya.

"Aku dengar bahwa gurumu, Tan Eng Hoa dibunuh oleh The Kek Song, benarkah?"

Siau Po tertegun.

"Betul," sahutnya kemudian.

"The Kek Song sudah menyatakan takluk terhadap pemerintahan Ceng. Aku sudah berjanji untuk tidak menyulitkan keturunan The Seng Kong, harap kau juga berbuat sama," kata Kong Hi pula.

Siau Po terpaksa memberikan janjinya.

Ketika berangkat menuju Kotaraja ini, diam-diam Siau Po sudah bertekad untuk menemui The Kek Song agar dapat melampiaskan kedongkolan hatinya.

Siapa sangka, apa pun yang dipikirkannya selalu dapat ditebak oleh si Raja Cilik sehingga belum sempat kesampaian niatnya, dia sudah harus berjanji. Apabila dia tetap mengganggu The Kek Song, maka berarti sekali lagi dia menentang Firman Kaisar.

Dalam hati Siau Po berpikir. -- Masa dendam terhadap si budak busuk yang membunuh guruku harus dilupakan begitu saja? -- Dia berjalan dengan kepala tertunduk, tiba-tiba ada seseorang yang berkata.

"Saudara Wi, selamat!"

Siau Po merasa suara itu tidak asing bagi telinganya. Dia segera mendongakkan kepalanya, tampak seorang laki-laki bertubuh besar serta bahunya lebar. Orang itu sedang menatapnya dengan tersenyum simpul.

Ternyata dialah si Komandan para siwi yang dulu akrab sekali dengannya, yakni To Lung. Rasa terkejutnya jangan dikatakan lagi. Hari itu terang-terangan dia telah menikam orang ini di dalam rumahnya sendiri. Apakah yang datang ini arwah nya yang merasa penasaran?

Untuk sesaat tubuhnya sampai gemetaran. Rasa-nya ingin sekali membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri, juga terlintas keinginan untuk berlutut memohon pengampunan dari orang itu.

Namun sepasang kakinya bagai terpantek di atas tanah, dia sama sekali tidak sanggup menggerakkannya. Bagian bawah tubuhnya seperti lumpuh, hampir saja dia terkencing-kencing di celana.

To Lung menghampiri Siau Po dan menarik tangannya.

"Saudaraku yang baik, berapa tahun kita tidak bertemu. Kakakmu ini sudah rindu sekali. Rasanya selama ini kau pasti senang sekali. Dengar-dengar kau disuruh memancing ikan di atas pulau Tong Sip to oleh Sri Baginda. Beberapa kali beliau menaikkan pangkatmu, aku jadi gembira mengetahuinya," katanya sambil tertawa.

Siau Po dapat merasakan tangannya yang hangat Matahari menyinari koridor panjang itu. Di sisi To Lung terlihat bayangannya, kalau begitu dia tentu bukan setan gentayangan. Rasa takutnya sirna seketika, lalu terdengar dia menjawab dengan suara seperti gumaman.

"Ya, ya." Dia masih khawatir To Lung menaruh dendam terhadapnya. Jangan-jangan dia ingin mengadakan perhitungan atas hutang lama. Namun dia yakin pisau belatinya yang tajam jelas menancap di punggung orang ini, mengapa dia tidak mati? pikirannya sedang kusut, bagaimana dia bisa berpikir dengan jernih?

Terdengar To Lung berkata pula.

"Tempo hari, ketika berada di rumahmu, kakakmu ini telah dibokong oleh seseorang, namun untung Saudara Wi berhasil mengenyahkan musuh itu. Dengan demikian selembar jiwa ini bisa dipertahankan. Selama ini aku belum mendapat kesempatan untuk menyatakan terima kasihku kepadamu, namun dalam hati aku selalu mengingatnya. Sedangkan kau masih menitipkan hadiah lewat Sie Long, aku benar-

benar malu jadinya."

Siau Po memperhatikan mimik wajah orang itu, tampaknya dia tidak berbohong. Dalam hati dia berpikir lagi. -- Dia seorang komandan para siwi, berarti bawahan yang selalu dekat dengan Sri Baginda. Ketika Sie Long membagi-bagikan hadiah, dia pasti kebagian juga. Mungkin dia menanyakan diriku kepada Sie long dan orang itu sengaja mengatakan bahwa hadiah-hadiah itu merupakan titipanku. Dia takut aku memburuk-burukkan namanya di depan si Raja Cilik, lagipula, dengan menunjukkan keakrabannya denganku, dia tidak

perlu khawatir orang-orang di istana ini memberikan kesulitan bagi dirinya.

Tapi, mengapa To lung mengatakan bahwa aku telah mengusir orang yang membokongnya, hal ini benar-benar membuat kepala pusing!

To Lung melihat wajah Siau Po pucat pasi, orangnya juga seperti orang linglung. Dia menduga bahwa Siau Po baru saja mendapat teguran dari Kaisar Kong Hi, maka dia menghiburnya dengan berkata, "Akhir-akhir ini watak Sri Baginda memang kurang baik, ini disebabkan kekesalannya terhadap negara Lo Sat yang terlalu merendahkan derajat kita, Saudara Wi tidak perlu khawatir Nanti setelah selesai bertugas, kita pergi mencari makan yang enak agar meringankan beban hati."

"Budi Sri Baginda besar sekali, barusan beliau menaikkan pangkatku lagi, justru aku merasa berterima kasih sekali, entah dengan cara apa aku baru bisa membalas budi beliau," sahut Siau Po.

To Lung tertawa.

"Selamat! Selamat! Saudara Wi memang pandai, melakukan tugas apa pun selalu sempurna, selalu mengurangi permasalahan Hong Siang kita. Maka sudah sepantasnya kalau setiap kali mendapat anugerah kenaikan pangkat dari beliau."

Siau Po merasakan sikap To Lung terhadapnya sangat akrab, pandangannya juga menyiratkan kekaguman. LagipuIa orang ini selalu bersikap terbuka dan terang-terangan dalam menghadapi apa pun. Tidak mungkin dia bisa bersandiwara sebaik ini. Rasa takut dan khawatirnya pun sirna seketika. Dia baru bisa tertawa lepas.

"To toako, harap kau tunggu sebentar saudaramu ini dari tadi kebelet kencing. Tadi Sri Baginda menyatakan ingin bertemu, dan pesan yang disampaikannya banyak sekali. Dari tadi aku menahan diri, sekarang benar-benar tidak sanggup menahannya lagi," katanya.

To Lung tertawa terbahak-bahak. Dia tahu, apabila raja ingin bertemu dengan menteri-menteri atau bawahannya, maka sebelum pertemuan itu selesai, hamba-hambanya tidak boleh memohon diri dengan alasan apa pun. Kalau hamba-hambanya kebelet ingin buang air kecil, maka situasinya bisa jadi sulit sekali. Tapi dasar Sri Baginda memang sayang sekali kepada Siau Po.

Terhadap bawahan yang lain, sang raja juga tidak pernah berbincang-bincang begitu lama. Kalau terhadap hambanya yang lain, biasanya Kong Hi hanya menyampaikan pesannya satu dua patah kata lalu menyuruh mereka mengundurkan diri. Dengan demikian mereka juga tidak sampai kebelet buang air kecil.

Selama ini hubungan To lung dengan Siau Po memang dekat sekali. Hari ini keduanya dapat berjumpa kembali, tentu saja hati mereka merasa senang. Oleh karena itu To Lung segera menarik tangan Siau Po dan mengantarkannya ke rumah pondok. Di luar pintu dia menunggu Siau Po menyelesaikan hajatnya.

Tempo hari Siau Po terpaksa membokong To Lung karena dia terdesak untuk menolong guru serta saudara-saudaranya dari perkumpulan Thian Te hwee, sekarang dia teringat lagi bahwa selamanya sikap To Lung terhadapnya sangat baik, maka dalam hati dia merasa menyesal juga.

Tak disangka To Lung ternyata tidak mati, malah tidak sedikit pun tampak sikap menyalahkan Siau Po atas kejadian yang lalu. Oleh karena itu dia cepat-cepat menumpahkan air seninya yang sudah penuh. Begitu keluar dari rumah pondok (Sekarang kita sebut toilet) itu, dia pura-pura menanyakan kejadian tempo hari.

"Ketika aku tersadar tempo hari, ternyata aku sudah pingsan selama tiga hari empat malam. Menurut Tabib Kwan, untung letak jantungku agak berbeda dengan orang biasa, yakni lebih ke kanan sedikit, sehingga yang tertikam justru limpa, kalau tidak, aku pasti sudah mati.

Dia juga mengatakan bahwa orang yang kedudukan jantungnya seperti jantungku ini, dalam sepuluh laksa manusia di dunia ini, mungkin hanya ada satu saja yang sama," kata To Lung menjelaskan

Dalam hati Siau Po berkata, - Memalukan, rupanya begitu maka dia tidak mati! - sedangkan di luarnya dia tersenyum dan berkata, "Selama ini aku tahu bahwa To toako adalah manusia yang baik serta jujur, tidak tahunya hatinya malah miring. Kalau miring artinya kan tidak adil. Tidak adil terhadap siapa? istri muda atau anak-anak?"

To Lung tertegun sejenak, kemudian dia sadar bahwa Siau Po sedang bergurau dengannya, maka dia pun tertawa.

"Kalau adik Wi tidak mengungkitnya, aku sendiri juga tidak punya ingatan. Memang selama ini aku sayang sekali terhadap selirku yang ke delapan, ini pasti disebabkan kedudukan hatiku yang miring sedikit," sahutnya geli.

Kedua orang itu pun tertawa terbahak-bahak, lalu Siau Po berkata pula.

"Penyerang gelap itu mempunyai ilmu yang tinggi sekali. Mula-mula aku juga tidak sadar bahwa dia ingin membokong Toako."

"Memang betuI," sahut To Lung yang kemudian merendahkan suaranya serta melanjutkan "Kebetulan waktu itu Kian Leng kongcu datang menemui adik Wi. Urusan ini siapa pun tidak ada yang berani menanyakannya. Hampir tiga bulan aku merawat diri akhirnya baru sembuh total. Sri Baginda menyampaikan Firman yang isinya mengatakan bahwa adik Wi telah menyelamatkan jiwaku ini dengan gagah berani,

dengan tangan sendiri adik Wi berhasil membunuh penyerang gelap itu. Apa yang terjadi kemudian tidak perlu diceritakan dengan terperinci lagi, pokoknya kakakmu ini telah berhutang nyawa kepada mu."

Muka Siau Po sebenarnya cukup tebal. Dari jaman perkenalannya dengan Kaisar Kong Hi saja sudah sulit menemukan tandingannya. Tapi mendengar kata-kata To Lung barusan, wajahnya agak merah juga.

Dia baru sadar bahwa sekali lagi Kaisar Kong Hi telah menyelamatkan mukanya. Pertama, Kong Hi yang mengatakannya sendiri, dengan demikian sudah barang tentu To Lung percaya sepenuhnya.

Kedua, urusan ini ada sangkut pautnya dengan Kian Leng kongcu. Orang-orang di istana sadar, masalah yang menyangkut keluarga sang raja ini sebaiknya jangan banyak dibicarakan. Meskipun dalam hati mereka merasa curiga, namun lebih aman kalau mereka pura-pura tidak tahu. Kalau bukan karena Kaisar Kong Hi sendiri, ingin mengarang sebuah cerita untuk menutupi kejadian ini juga bukan hal yang mudah.

Diam-diam Siau Po merasa malu, dia berjanji untuk melakukan yang terbaik untuk membalas jasa orang yang jujur dan tulus terhadapnya ini. Maka dia berkata. "To toako, dari Taiwan adikmu ini membawa beberapa macam tanda mata, nanti aku akan menyuruh orang mengantarnya ke rumah To toako."

To Lung mengibaskan tangannya berkali-kali.

"Jangan, jangan. Kita kan orang sendiri, buat apa bersikap demikian sungkan? Tempo hari hadiah yang dibawakan Sie Long saja sudah terlalu banyak."

"Tiba-tiba suatu ingatan melintas dalam benak Siau Po. -- Urusan ini toh lebih banyak untungnya daripada ruginya, seandainya Sri Baginda mengetahuinya, aku juga tidak akan dikatakan menentang Firman Kaisar, -- pikirnya.

"To toako, setelah menyatakan takluk terhadap Kerajaan Ceng, bagaimana keadaan si bocah The Kek Song?" tanyanya kemudian.

"Sikap Hong Siang terhadapnya masih lumayan juga, dia dianugerahi pangkat pangeran Tingkat Satu. Bocah ini tidak becus apa-apa, tapi berkat rejeki leluhurnya maka dia bisa memperoleh pangkat yang lebih tinggi dari adik Wi sendiri," sahut To Lung.

"Tempo hari kita mempermainkannya dengan mendesaknya berhutang pada para siwi sebanyak selaksa tail, akhirnya adikmu ini yang membayarnya. Apakah To toako masih ingat peristiwa itu?" tanya Siau Po pula.

To Lung tertawa terbahak-bahak.

Tentu saja ingat. Bagaimana dengan nona yang adik Wi sukai itu? Kalau dia masih ikut dengan The Kek Song, biar sekarang kita rebut dia kembali."

Siau Po tersenyum.

"Nona itu sudah cukup lama menjadi istriku, bahkan sudah melahirkan seorang putra dariku," katanya.

To Lung tertawa lebar.

"Selamat, selamat! Kalau tidak, kita akan mendatangi si bocah The Kek Song itu, tidak perduli pangkatnya Pangeran Tingkat Satu kek, tingkat dua kek, yang penting kedudukannya toh pangkat kosong. Aku jamin kentut pun dia tidak berani. Pangeran yang telah takluk ini setiap hari pasti merasa cemas, sikapnya seperti kerbau dicucuk hidungnya, takut kalau ada sedikit kesalahan saja Sri Baginda akan meringkusnya untuk dihukum mati karena dianggap akan memberontak lagi."

"Kita juga tidak perlu menghinanya. Tapi membunuh harus membayar dengan jiwanya, hutang uang bayar uang, ini toh sudah merupakan undang-undang yang tidak tertuIis. Jangankan dia cuma Pangeran-pangeranan, biarpun dia pangeran beneran, dia juga tidak boleh melupakan hutangnya begitu saja," kata Siau Po.

"Benar, benar," sahut To Lung, "Tempo hari dia berhutang kepada Adik Wi sebanyak selaksa tail, banyak siwi yang menjadi saksinya, sekarang juga kita mencarinya untuk menagih hutang."

Siau Po tersenyum.

"Bocah ini memang keterlaluan. Kalau cuma selaksa tail masih tidak apa-apa. Belakangan dia malah meminjam lagi sejumlah besar uang, bahkan aku masih menyimpan bon pernyataan hutangnya. Keluarga The selama tiga generasi menjadi raja di Tai-wan, mana mungkin hartanya cuma sedikit? Pasti diam-diam dia membawanya ke Kotaraja, The Seng Kong dan The Keng adalah laki-laki sejati, manusia baik-baik yang tidak mungkin atau memeras rakyat. Namun si bocah busuk The Kek Song ini lain lagi, mana mungkin dia bersikap

sungkan-sungkan terhadap rakyat? Satu hari saja dia menjadi Ongya, kemungkinan pemasukannya seratus laksa tail, dua hari berarti dua ratus laksa tail. Coba hitung sendiri, sudah berapa lama dia menjadi Ongya di Taiwan, berapa kira-kira uang rakyat yang telah diperasnya?"

To Lung meleletkan lidahnya.

"Hebat, hebat!" serunya.

"Sebentar nanti aku akan kembali membawa pernyataan hutangnya. Uang ini aku sendiri tidak menginginkannya lagi." kata Siau Po.

To Lung cepat-cepat menukas.

"Saudaramu ini akan membantumu menagih hutang, kurang sepeser pun tidak boleh. Aku akan membawa beberapa orang siwi sebagai saksi mata."

"Jumlah hutangnya terlalu besar. Tempo hari si bocah busuk ini pandai sekali berfoya-foya. Dia memakai uang seperti menuangkan air saja. Kalau suruh dia bayar sekaligus, pasti keberatan. Begini saja, Toako bawa orang menagih hutang, kalau dalam sepuluh hari dia tidak mengeluarkan uangnya, suruh dia buat satu pernyataan lagi bahwa hutangnya sekarang harus dibayarkan kepada para siwi sekalian.

Setiap siwi memegang satu lembar jumlahnya boleh seribu tail atau dua ribu tail, Siwi mana yang berhasil menagihnya maka uang itu pun menjadi miliknya," kata Siau Po.

"Mana boleh? Para siwi di sini rata-rata bekas bawahan adik Wi. Kalau hanya membantu adik Wi menagih sedikit hutang saja, toh tidak usah diberikan imbalan?" sahut To Lung.

"Mereka merupakan bekas bawahanku yang baik, juga terhitung sahabat dan saudaraku yang baik. Selama beberapa tahun ini pangkatku terus dinaikkan oleh Sri Baginda. Namun karena berada di pulau yang terpencil aku tidak bisa memberikan keuntungan apa-apa bagi mereka. Rasanya aku jadi tidak enak hati. Beberapa ratus laksa tail ini biar dibagi rata kepada para saudara siwi saja," kata Siau Po memaksakan.

To Lung terkejut setengah mati.

"Apa? Jum... lahnya men... capai beberapa ratus laksa tail?" tanyanya dengan suara bergetar.

Siau Po tersenyum.

"Jumlah yang sebenarnya sih tidak seberapa, tapi dengan sedikit permainan, sedikit bunga, sedikit renten di sana-sini, otomatis jumlahnya jadi banyak. Dari jumlah ini, harap To toako ambil dulu beberapa bagian."

To Lung hampir saja tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Tampak dia bergumam seorang diri.

"Beberapa ratus laksa tail? Apakah jumlahnya tidak terlalu banyak?"

"ltulah makanya dia harus membagikannya menjadi beberapa surat pernyataan. Dengan demikian To toako dan para saudara siwi tidak terlalu susah menagihnya," sahut Siau Po. Kemudian dia merendahkan suaranya.

"Sebaiknya jangan menyebut-nyebut namaku dalam urusan ini. Kalau sampai para menteri di istana tahu, mereka tentu menganggap aku membungakan uang. Biar bagaimana itu terhitung sebuah dosa. Kalau para siwi yang menagih, mereka mengira The Kek Song memang ada hutang dengan mereka. Urusan ini tidak akan dipersoalkan panjang lebar."

To Lung mengiakan. Dalam hati dia berjanji kalau hutang ini sudah tertagih, lebih dari setengahnya harus dikembalikan kepada Siau Po. Walaupun pemuda ini royal serta berjiwa besar, tapi jangan sampai tidak kembali modal sama sekali.

Siau Po merasa senang sekali. Dia berpikir bahwa To Lung pasti akan membawa rombongan para siwi serta prajurit yang rakus akan uang untuk menagih piutang. Kali ini kepala The Kek Song pasti pusing tujuh keliling dibuatnya, walaupun Sri Baginda sudah berpesan bahwa dia tidak boleh menyulitkan The Kek Song atas dendamnya terhadap kematian sang guru namun perbuatannya kali ini bisa membuat si anak muda dari Taiwan itu bangkrut seketika.

Dia yakin The Kek Song tidak berani mengungkap masalah ini. Kalau pun sampai ada yang tahu, paling-paling mereka mengira hal ini merupakan urusan pribadi para siwi yang menagih piutang terhadap The Kek Song.

Dan kemungkinan mereka menduga si bocah Kek Song yang menyerahkan diri ke Kotaraja menjadi stress sehingga setiap hari pergi berjudi sedangkan uangnya adalah hasil pinjaman sana sini dari para siwi Bagaimanapun tidak ada kaitannya dengan diri Siau Po.

Begitu keluar dari istana, So Ngo Ta, Kong Cin Ong, Li Wei serta sejumlah pembesar lainnya sudah menanti di depan gerbang. Mereka memberikan selamat kepada Siau Po, lalu mengiringinya keluar bersama.

Sesampainya di sebuah lorong, Siau Po melihat sebuah gedung mewah dan jauh lebih besar dari gedung miliknya dulu. Di depan atas pintu gerbang rumah itu tergantung sebuah papan besar. Namun tidak ada satu huruf pun yang tertera di dalamnya. Siau Po memang tidak pernah bersekolah Huruf yang dikenalinya juga cuma satu dua. Namun setidaknya dia masih bisa membedakan papan yang ada tulisannya atau tidak. Karena itu dia berdiri tertegun melihat pemandangan di depannya. !

Kong Cin Ong tertawa.

"Saudara Wi, budi Sri Baginda memang besar sekali terhadapmu. Dulu gedung Pak Ciak hu milikmu pernah terbakar, sedangkan kau tidak ada di Kota-raja. Ketika Sri Baginda mengetahuinya, beliau segera mengutus kakakmu ini membangunnya kembali.

Bahkan dalam firman kaisar tidak disebut berapa biaya yang dibataskan untuk membangunnya, malah tercantum bahwa setiap kekurangan silahkan ambil pada bagian keuangan. Gedung ini merupakan hadiah dari Sri Baginda, maka aku yang jadi kakakmu rasanya tidak perlu berhemat bagimu. Karena itu aku pun memilih semua bahan yang terbaik untuk membangunnya, Adik Wi, coba kau !ihat, apakah rumah ini sesuai dengan seleramu?"

Siau Po cepat-cepat mengucapkan terima kasih. Begitu masuk melalui pintu gerbang utama, tampak tata ruangan di dalamnya sangat mewah dan indah. BoIeh dibilang tidak kalah dengan gedung Kong Cin Ong Hu sendiri.

Para pembesar yang ikut mengantarnya segera menyatakan pujian dan kekaguman mereka atas keindahan gedung baru Siau Po ini.

"Gedung ini sudah selesai dibangun cukup lama. Tinggal menunggu adik Wi kembali ke Kotaraja untuk menempatinya. Tapi kakakmu ini tidak tahu pangkat apalagi yang akan dianugerahkan Sri Baginda kepada mu. Itulah sebabnya papan nama di atas pintu gerbang masih dibiarkan kosong, sekarang kami baru saja mengetahuinya, nama gedung Xu Ting Kong Hu" (Sesuai dengan pangkat Siau Po) biar aku suruh Guru besar Li menuliskannya untukmu," kata Kong Cin Ong.

Li Wei merupakan juru Tulis Kerajaan yang telah memperoleh gelar Guru Besar (Sekarang kita sebut Profesor). Pendidikannya dianggap tertinggi di antara Kerani-kerani lain dari istana. Dia juga sudah lama mengenal Siau Po sehingga tidak menolak permintaan Kong Cin Ong.

Dia segera menyuruh orang menurunkan papan nama itu dan menulis empat huruf "Lu Ting Kong Hu" di atasnya. Setelah itu dia menyuruh beberapa orang tukang yang ahli untuk menyemprotnya dengan tinta air emas. Setelah selesai baru digantung kembali Tampak huruf-huruf itu bertengger di atas pintu gerbang dengan megah.

Malam harinya "Lu Ting Kong Hu" mengadakan perjamuan besar-besaran. Sejumlah pembesar istana dan sahabat-sahabat Siau Po diundang. Bahkan The Kek Song dan Pang Ci Hoan juga menyuruh orang mengantarkan hadiah kepada Siau Po, namun mereka tidak menghadiri perjamuannya.

Sesudah mengantarkan tamu-tamunya pulang, kembali Siau Po mengadakan perjamuan keluarga. Ketujuh orang istrinya memberikan ucapan selamat kepadanya.

Saat itulah Siau Po mengungkit urusan bahwa dia akan membawa Song Ji menyertainya ke utara, Keenam istrinya yang lain langsung protes. Mereka mengatakan Siau Po pilih kasih, Siau Po terpaksa mengoceh sembarangan. Kepergian Song Ji merupakan Firman Kaisar Kong Hi, katanya sebagai alasan. Akhirnya keenam istrinya yang lain tidak berani memrotes lagi.

Untung saja Song Ji mempunyai sifat lembut, hubungannya dengan istri-istri Siau Po yang lain juga sangat akrab, jadi mereka tidak terlalu cemburu terhadapnya. Hanya Kian Leng kongcu seorang yang masih mendongkol. Dia merasa status dirinya sebagai adik kaisar, lebih tinggi dari istri Siau Po yang lain, namun nilainya ternyata masih dikalahkan oleh seorang budak.

Tentu saja diam-diam dia merasa tidak puas. Disamping itu, dia juga sadar bahwa dirinyalah yang akan dikeroyok oleh istri-istri "Siau Po yang lain bila mempersoalkan masalah ini. Siau Po juga jarang membelanya.

Dalam beberapa tahun belakangan ini si Tuan Puteri sudah muIai belajar mengendalikan perasaannya, tidak seperti dulu yang suka meledakkan emosi di depan orang banyak.

Keesokan harinya Siau Po menyuruh Song Ji mengeluarkan surat pernyataan hutang The Kek Song yang disimpannya tempo hari. Setelah itu dia memanggil To Lung untuk menghadap. Diserahkannya surat pernyataan hutang itu kepada si komandan siwi.

Tentu saja To Lung merasa senang sekali.

"Dengan adanya surat pernyataan hutang ini, biar dari dalam batu dia juga harus memeras minyaknya. Kalau dia berani tidak membayar hutangnya, maka kami para siwi dan prajurit tidak punya muka lagi untuk tetap mencari makan di Kotaraja ini."

Selama beberapa hari sejak itu, setiap harinya Siau Po pasti mendapat panggilan untuk menemui raja di ruang perpustakaan, Kong Hi menjelaskan bagaimana caranya melakukan penyerangan membuat benteng pertahanan, dan melakukan transaksi dengan pihak musuh. Kalau ada hal-hal yang kurang jelas bagi Siau Po, Kong Hi akan menggambarkannya di atas sehelai kertas dan mengulangi keterangannya.

"Pokoknya hamba hanya mewakili Sri Baginda dalam peperangan ini. Hamba tidak mengerti apa-apa, juga tidak berani sembarangan mengambil keputusan, semuanya tinggal mengikuti ajaran Sri Baginda saja. Kalau tidak, meskipun hamba berhasil memenangkan peperangan ini, Sri Baginda juga tidak merasa senang karenanya,"  sahut Siau Po.

Kong Hie menganggukkan kepala sambil tersenyum. Kata-kata Siau Po barusan cocok sekali dengan keinginan hatinya. Sejak kecil dia sudah mempelajari ilmu politik dan ilmu perang, namun selama ini dia tidak pernah mendapat kesempatan untuk mempraktekkannya.

Di masa kecil dia hanya pernah bermain gulat dengan Siau Po. Setelah agak besar sedikit, setiap urusannya diserahkannya kepada bocah itu. Dalam hati diam-diam dia mengumpamakan Siau Po sebagai dirinya yang menjalani berbagai tugas.

Padahal usia Siau Po lebih muda sedikit dibandingkan dengan usianya. Baik dalam ilmu silat, surat maupun politik, bocah itu tidak seujung kuku dirinya, sedangkan setiap tugas yang diberikan selalu dapat diselesaikan oleh Siau Po dengan baik, apalagi kalau dirinya sendiri yang turun tangan. Dengan memberikan tugas kepada Siau Po dia mendapat kepuasan sendiri yang sulit dikatakan.

Tidak lama lagi Siau Po akan menjalankan tugasnya. Dia tidak berani menemui rekan-rekannya dari perkumpulan Thian Te hwee. Dalam hati dia berpikir.  - Sri Baginda tidak menyuruhku membasmi perkumpulan Thian Te hwee, ini merupakan cara untuk menyatakan dirinya telah mengalah terhadapku. Boleh dibilang aku sudah diberikan muka yang terang. Kalau aku masih tidak tahu diri dan pergi menemui Ci Thian Coan dan yang Iainnya, kelak semua dosa-dosaku akan diungkit kembali. Sama saja aku menimpukkan batu di atas mata kakiku sendiri Jadi orang tidak boleh terlalu bodoh, juga jangan terlalu menonjolkan kepintaran -

Setelah menentukan hari baik, rombongan Siau Po pun berangkat menuju utara. Banyak sekali pembesar atau pun para siwi dari istana yang mengantarkan keberangkatannya. Ketika mereka melihat Siau Po mengenakan jubah kebesarannya, diam-diam mereka merasa geli dalam hati.

Mana tampak wibawa sedikit pun pada diri anak muda itu? Malah lebih mirip pemain sandiwara di atas panggung. Meskipun demikian, mereka tahu bahwa Siau Po telah mengangkat saudara dengan Kong Cin Ong, siapa yang berani menertawakan nya secara terang-terangan?

Siau Po sudah sering mendapat tugas dari Kaisar Kong Hi, namun wibawanya tidak seperti hari ini. Diam-diam dia merasa bangga sekali. Dia juga sadar masalah yang ditanganinya kali ini merupakan kaliber atas, maka dia berusaha keras menunjukkan wibawanya.

Selama perjalanan dia tidak berani mengajak bawahannya bermain judi. Kalau terasa iseng, pa!ing-paling dia mengajak beberapa orang yang dekat dengannya untuk melempar dadu, main tebakan atau minum arak.

Tidak sampai satu hari, mereka sudah tiba di wilayah utara yakni Liau Tong. Di daerah ini Siau Po pernah tinggal beberapa lama bersama Song Ji. Di sini mereka berburu menjangan untuk menangsal perut. Keadaan saat itu tentu jauh berbeda dengan sekarang.

Angin musim semi berhembus sejuk. Para prajurit dari rombongan Siau Po meneruskan perjalanan jarak antara tempat itu dengan kota Ya Ke Lung masih ada ratusan li.

Utusan dari pasukan terdepan kembali dengan laporan: Mereka mendapat kabar dari penduduk setempat bahwa para prajurit Lo Sat menyusahkan rakyat, dengan seenaknya membunuh orang atau pun membakar rumah.

Tidak satu kejahatan pun yang tidak mereka lakukan. Rakyat tampak sengsara sekali hidup dalam penindasan. Belasan hari sekali mereka pasti muncul untuk menimbulkan keonaran. Mereka yakin dalam beberapa hari lagi para prajurit Lo Sat itu pasti kembali lagi.

Siau Po sudah mendapat pengarahan dari Kaisar Kong Hi. Mereka mencari tempat yang agak jauh lagi terpencil untuk membangun tenda, sedangkan di dekat perbatasan para prajuritnya harus mendirikan kelompok, jumlahnya sepuluh kelompok, tiap kelompok terdiri dari seratus orang.

Mereka harus berpencar untuk menyembunyikan diri. Bila jumlah pasukan Lo Sat yang datang besar sekali, mereka tidak boleh memperlihatkan diri terlebih dahulu. Dengan demikian dapat dijaga kemungkinan jatuh korban banyak, sedangkan kalau yang datang jumlahnya sedikit, mereka harus bergerak cepat melakukan penyerangan, jangan sampai ada yang berhasil meloloskan diri lalu mengirim berita untuk mendatangkan bala bantuan.

Beberapa hari kemudian, dari kejauhan terdengar suara tembakan yang tiada henti-hentinya, Siau Po tahu pasukannya yang terdepan sudah berperang melawan prajurit Lo Sat.

Hati Siau Po berdebar-debar untuk mengetahui akhir ceritanya, sampai menjelang sore, Ho Yu (Komandan Pasukan Terdepan) mengutus anak buahnya untuk memberikan laporan, mereka berhasil membunuh dua puluh lima orang prajurit Lo Sat dan masih ada dua belas orang yang berhasil diringkus hidup-hidup. Menjelang malam hari, kedua belas tawanan perang itu pun digiring ke tenda Siau Po.

Tentu saja Siau Po senang sekali dengan hasil gebrakan pertama ini. Dia mengumumkan bahwa dia sendiri yang akan menginterogasi kedua belas tawanan tersebut. Para tawanan menjadi heran ketika mengetahui bahwa Siau Po mengerti bahasa Lo Sat mereka. Namun mereka memprotes, kekalahan mereka tidak perlu disalahkan. Mereka mendapat tekanan karena jumlah prajurit Ceng banyak sekali.

Mereka juga menyatakan bahwa kemenangan pihak Siau Po tidak membawa kegemilangan bagi kerajaan Ceng,

Siau Po marah sekali mendengar protes mereka. Dia segera menyuruh beberapa anak buahnya untuk menggiring dua tawanan Lo Sat ke hadapannya. Begitu mereka masuk ke tenda Siau Po, anak muda itu langsung menyerahkan dua butir dadu kepada kedua tawanan itu.

"Ayo, kalian lempar dadu itu!" bentaknya.

Melempar dadu merupakan permainan sejak jaman dulu bagi dunia barat. Caranya pun tidak berbeda dengan Tiongkok. Tentu saja kedua tawanan itu tahu bagaimana cara memainkannya, namun mereka tidak mengerti untuk apa Sang panglima musuh yang masih muda itu meminta mereka melempar dadu. Karena merasa tidak merugikan pihak mana pun, mereka segera melemparkan dadu ke atas meja seperti apa yang disuruh Siau Po.

Kedua butir dadu itu berputar. Yang satu menunjukkan tujuh titik, sedangkan yang lainnya menunjukkan lima titik.

Siau Po menunjuk kepada tawanan yang dadunya menunjukkan lima titik.

"Kau sudah kalah, mampuslah!" Dia menoleh kepada seorang cong peng dan memberi perintah, "Bawa dia ke luar dan penggal kepalanya!"

Empat orang cong peng segera mengiakan, lalu mereka menyeret tawanan itu ke luar. Tidak lama kemudian mereka kembali lagi dengan membawa batok kepala orang itu. Tentu saja kesebelas tawanan yang lain terkejut setengah mati melihat hal itu. Wajah mereka langsung berubah pucat pasi.

Siau Po menunjuk lagi kepada dua tawanan Lo Sat lainnya.

"Sekarang giliran kalian berdua yang melempar dadu!" katanya.

Sudah pasti kedua tawanan itu tidak sudi jiwa mereka dijadikan pertaruhan dalam permainan tersebut karenanya serentak mereka berteriak. "Kami tidak mau!"

"Baik, tidak apa-apa kalau kalian memang tidak mau." Siau Po menolehkan kepalanya kepada empat orang cong peng tadi dan menurunkan perintah.  "Seret kedua-duanya dan penggal kepala mereka !"

Dalam sekejap mata kembali dua orang tawanan kehilangan batok kepalanya.

Sekali lagi Siau Po menunjuk kepada dua orang tawanan Lo Sat yang lainnya.

"Sekarang giliran kalian berdua!"

Kedua orang itu sadar, apabila mereka menolak, mereka berdua pasti akan mengalami nasib yang tragis seperti kedua rekannya barusan.

Tapi kalau mereka bersedia melemparkan dadu, masih ada kesempatan lima puluh persen untuk hidup. Dengan ragu-ragu mereka masing-masing mengambil sebutir dadu. Baru saja mereka bermaksud melemparkannya, tiba-tiba salah seorang rekan tawanan itu mengangkat telunjuknya ke atas. "Biar aku saja yang melempar," katanya kepada Siau Po. sikapnya sombong sekali.

Siau Po tertawa.

"Bagus! Ternyata kau berani menentang aku. Nah, kau dulu yang lempar!" katanya.

Tawanan itu melemparkan dadunya. Dia memperoleh tujuh titik, sedangkan Siau Po memperoleh sepuluh titik. Sekali lagi Siau Po tertawa.

"Bagaimana?" tanyanya.

Mimik wajah tawanan itu menunjukkan kekecewaan.

"Memang nasibku saja yang sedang apes, apalagi yang harus kukatakan!"

"Ketika kau datang ke negara kami, berapa banyak bangsa kami yang telah kau bunuh?" tanya Siau Po pula.

Tawanan itu tampak agak bingung.

"Aku tidak ingat lagi, mungkin paling tidak ada tujuh atau delapan belas orang. Kau boleh membunuhku sekarang, pokoknya aku masih tidak merasa dirugikan," sahutnya berani.

Siau Po memberi perintah untuk memenggal kepala orang itu, lalu menunjuk kepada seorang tawanan lainnya. Dengan gemetar orang itu melemparkan dadu tersebut ke atas meja. Setelah bergerak ke sana ke mari, jumlah yang ditunjukkan sebanyak sebelas titik. Berarti kesempatan untuk menang besar sekali.

Siau Po bermaksud main curang, lagipula dia memang ahlinya melempar dadu, namun kali ini ternyata gerakan tangannya kurang meyakinkan, angka yang terlihat justru hanya dua titik, untuk sesaat dia sampai tertegun, kemudian dia tertawa terbahak-bahak.

"Aku menang!" seru nya.

"Jumlah dadu yang kulemparkan sebelas titik, sedangkan jumlah dadumu hanya dua titik, bagaimana mungkin kau yang menang?" sahut tawanan itu cepat.

"Kali ini jumlah yang kecillah yang menang, yang besar justru kalah!" kata Siau Po seenaknya.

Tawanan itu merasa tidak puas.

"Tentu saja yang jumlahnya besar yang menang. Di negara Lo Sat kami peraturannya juga begitu!"

Mimik wajah Siau Po langsung berubah sehingga tidak sedap dilihat.

"Sekarang kau ada di Negara Lo Sat atau negara Tiongkok?" tanyanya dengan suara tajam.

"Negara.,., Ti... Tiongkok," sahut tawanan itu gugup.

"Kalau tahu kau ada di Negara Tiongkok, maka peraturan Tiongkoklah yang dipakai. Lain kali kalau aku mengunjungi negara Lo Sat, baru kita gunakan peraturan negaramu itu. Mampuslah kau!"

Kembali Siau Po memerintahkan anak buahnya agar menyeret orang itu ke luar untuk dipenggal kepalanya. Setelah itu kembali dia menunjuk kepada seorang tawanan Lo Sat lainnya.

Tampaknya tawanan yang satu ini lebih cerdas dari teman-temannya yang lain. Sebelum melemparkan dadu, dia bertanya terlebih dahulu.

"Kalau menurut peraturan Tiongkok, kali ini yang besar yang menang atau yang kecil yang menang?"

"Menurut peraturan negara kami. Bangsa Tiong-hoalah yang menang. Kalau biji dadu yang dilemparkan Bangsa Tionghoa kecil, maka yang kecil yang menang. Kalau biji dadu yang dilemparkan bangsa kami menunjukkan jumlah besar, maka yang besarlah yang menang."

Tawanan itu kesal sekali dibuatnya.

"Kau benar-benar keterlaluan! itu namanya tidak pakai peraturan!"

"Tentara Lo Sat yang datang ke negara kami dan sembarangan merebut tempat serta membunuh orang, bukan bangsa kami yang datang ke negaramu untuk membunuh bangsamu. Coba kau katakan, siapa yang keterlaluan dan tidak tahu aturan?"

Tawanan itu terdiam.

"Cepat lempar dadunya!" bentak Siau Po.

"Biar bagaimana toh aku yang akan kalah, buat apa melempar dadu lagi?" kata tawanan itu.

"Tidak mau? Mampuslah kau!" teriak Siau Po,

Kembali dia memanggil seorang tawanan Lo Sat untuk maju ke depan, orang itu bertubuh tinggi besar, wajahnya penuh dengan cambang.

"Budak Cina, kau tidak perlu main gila. Bunuh saja aku sesuka hatimu. Kali ini jumlah kalian banyak. Lagipula kalian bersembunyi di bawah salju lalu tiba-tiba menyerbu keluar. Menang juga tidak perlu dibanggakan. Suatu hari pasukan besar negara kami akan menyerang kembali dan membunuh kalian semua!" katanya dengan suara keras.

"Jadi karena kalian berhasil kami ringkus lalu kalian merasa tidak puas?" tanya Siau Po.

"Tentu saja tidak puas!" sahut tawanan itu dengan berani.

"Dalam anggapanmu, kalau kita berhadapan dengan jumlah yang sama maka pihakmu yang akan meraih kemenangan, begitu?" tanya Siau Po pula.

Dengan sombong tawanan itu menjawab. "Sudah pasti, Bangsa Lo Sat kami satu orang bisa mengalahkan bangsa kalian lima orang. Kalau tidak, kami juga tidak berani datang ke negara Tiongkok kalian. Aku berani bertaruh denganmu. Kau perintahkan lima orang dari pihakmu ke luar ke depan, suruh mereka berkelahi denganku. Kalau kalian menang, silahkan penggal kepalaku. Tapi kalau aku yang menang, kau harus melepasku!"

Orang ini merupakan prajurit yang gagah dalam pasukan Lo Sat. Tenaganya besar sekali. Dia melihat setiap prajurit yang dipimpin Siau Po rata-rata lebih pendek satu kepala darinya, maka biar pun satu lawan lima, kemungkinan menangnya masih lebih besar.

Sejak tadi Song Ji duduk di samping. Mendengar nada suara orang itu yang sombong, hatinya jadi mendongkol.

"Orang Lo Sat, tidak ada gunanya kau sesumbar. Wanita Cina saja masih dapat mengalahkan dirimu," katanya sambil berdiri dan berjalan ke samping Siau Po.

Tawanan itu melihat tubuh Song Ji yang kecil sekali, wajahnya juga cantik jelita, Dia menjadi geli sehingga tertawa terbahak-bahak.

"Apakah kau ingin melawanku?" tanyanya.

Siau Po menyuruh seorang cong peng melepaskan tali yang mengikat kedua tangan tawanan tersebut Sambil tersenyum dia berkata.

"Song Ji ku yang baik, biar dia rasakan kelihaian wanita Cina kita!"

"Wanita Cina bisa berbahasa Lo Sat, bagus sekali, bagus sekali!" seru tawanan itu.

Bahasa Lo Sat Song Ji masih kalah jauh dibandingkan dengan Siau Po, karenanya dia tidak sudi banyak bicara. Tangan kirinya memukul ke depan, sebuah jurus pukulan dilancarkan ke arah muka tawanan itu.

Tawanan itu cepat-cepat menundukkan kepalanya. Namun dalam saat yang bersamaan Song Ji juga mengirimkan sebuah tendangan. Perut si tawanan telak terkena sehingga orang itu terkejut setengah mati.

Sambil meraung keras-keras, kedua tinjunya menghantam ke depan. Dia adalah jago tinju di Negara Lo Sat, gerakannya cepat dan tinjunya kuat sekali, Song Ji bisa melihat kehebatan orang itu. Dia berkelebat ke bagian punggung si Tawanan dan dengan gerakan yang indah dia mengeluarkan sebuah jurus andalannya, Plak! Plok! Terdengar suara keras dua kali berturut-turut pinggang kiri dan kanan si tawanan kembali terkena tendangan maut Song ji.

Tawanan itu menjerit kesakitan.

"Kau menggunakan kaki, curang! Curang!" teriaknya marah.

Rupanya ada peraturan bagi Bangsa Lo Sat yang sedang mengadu tinju. Mereka tidak boleh menggunakan kaki untuk menyerang lawan.

"lni Negara Cina, berkelahi juga harus mengikuti peraturan Cina!" kata Siau Po sambil tertawa.

"Menggunakan cara Lo Sat aku juga akan menang!" seru Song ji.

Secepat kilat tinju kanannya menghantam ke depan. Tawanan itu berusaha menangkis, ternyata jurus yang dikerahkan Song Ji adalah jurus tipuan. Belum apa-apa dia sudah menarik kembali tinju kanannya sementara itu tinju kirinya sudah bergerak pula ke depan.

Berulang kali hal ini terjadi, sebetulnya tidak berbeda dengan adu tinju di Negara Lo Sat. Kadang-kadang lawan justru terkecoh dengan siasat ini. Hanya saja gerakan Song Ji jauh lebih cepat beberapa kali lipat dibandingkan orang-orang Lo Sat.

Tawanan itu menangkis beberapa kali, namun setiap kali dia gagal. Akhirnya dia tertawa terbahak-bahak.

"Permainan wanita Cina juga tidak berarti..." Belum lagi kata-katanya selesai, kedua pipinya sudah terkena pukulan tinju Song Ji. Dia jadi marah sekali. Kedua tangannya langsung menghantam ke atas dan ke bawah secara serampangan.

Song Ji menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindar. Kedua jari telunjuk dan jari tengahnya menjulur ke depan, tahu-tahu Tay Yang Hiat orang itu sudah ditotoknya. Tawanan itu merasa kepalanya pusing tujuh keliling.

Tubuhnya terhuyung-huyung, Song Ji mencelat ke atas melampaui tubuh si tawanan, telapak tangannya menepuk bagian belakang kepala lawannya. Meskipun tubuh tawanan itu tinggi besar, namun dia juga tidak sanggup menahan diri dari pukulan Song Ji. Tubuhnya terkulai di atas tanah dan tidak sanggup bangkit kembali.

Siau Po senang sekali melihatnya. Dia menggandeng tangan Song Ji lalu didupaknya kepala tawanan itu satu kali.

"Apakah kau sudah merasa puas sekarang?" tanyanya.

Tawanan itu masih merasa pusing.

"Wanita Cina... menggunakan ilmu... sihir, Dukun wanita yang...."

Siau Po marah mendengar makiannya terhadap Song Ji, dan segera menukas ucapan orang itu.

"Babi busuk, ilmu sihir apa? Seret dia ke luar dan penggal kepalanya! Kalian para prajurit Lo Sat, siapa yang masih belum puas? Aku ke luar dan kita mengadakan pertandingan lagi!" teriaknya keras.

Sisa lima orang tawanan itu saling memandang.

Mereka melihat si Hercules yang tenaganya besar saja sudah dikalahkan dengan mudah oleh perempuan di samping panglima itu, tentu mereka juga bukan tandingannya. Tidak ada seorang pun yang berani mengajukan diri.

"Kalau kalian menyatakan takluk, maka aku tidak akan membunuh kalian. Bila tidak, coba saja adu lempar dadu lagi denganku. Kita gunakan cara Tiong-kok, yang bisa mengalahkan aku boleh terus hidup!" kata Siau Po pula. Dia membuat gerakan isyarat dengan tangannya yang artinya memenggal kepala orang.

Ke lima tawanan itu berpikir dalam hati.  - Kalau menggunakan cara Cina, berapa jumlah dadu yang ke luar pun tetap kau yang menang! -

Salah seorang di antaranya segera membungkukkan tubuhnya memberi hormat dan berkata. "Aku menyatakan takluk!"

"Bagus! Ambil arak dan daging, kasih dia makan!" seru Siau Po.

Beberapa orang cong peng segera mengambil arak dan daging semangkok penuh. Setelah itu dia melepaskan ikatan tangan si tawanan dan mempersilahkannya makan.

Negara Lo Sat dingin sekali, setiap penduduknya suka minum minuman keras. Meskipun Siau Po sendiri tidak begitu suka minum arak, namun persediaan yang dibawakan para anak buahnya merupakan arak kelas satu sehingga baunya harum sekali.

Ke empat orang tawanan lainnya masih ragu-ragu, namun ketika mencium bau harum arak, air liur mereka terasa akan menetes. Dan saat melihat rekannya makan minum dengan lahap, rasa yang menggelitik dalam perut mereka tidak tertahankan lagi.

Satu per satu segera menyatakan takluk kepada Siau Po. Beberapa orang cong peng diperintahkan untuk melepaskan ikatan tangan mereka. Lalu seperti rekannya yang pertama, mereka juga disediakan arak dan daging, semuanya makan dengan lahap.

Kalau mengingat kembali bahwa jiwa mereka berhasil diselamatkan bahkan diberi makan minum yang enak, mereka bersyukur sekali. Beramai-ramai mereka menyatakan terima kasih kepada Siau Po.

Beberapa di antaranya malah minum sampai mabuk. Mereka menari-nari dan bernyanyi. Tentu saja para prajurit Siau Po tidak mengerti lagu apa yang mereka nyanyikan, tapi kalau didengar lama-lama iramanya lumayan juga.

Selama beberapa hari berturut-turut, komandan barisan terdepan Ho Yu berhasil lagi meringkus beberapa tawanan Lo Sat. Kadang-kadang jumlahnya mencapai tujuh belas orang, paling sedikitnya satu dua orang, Siau Po sengaja menjalankan siasatnya.

Para tawanan itu tidak langsung dibunuh, melainkan dibiarkan bertemu dengan beberapa kawannya yang sudah menyatakan takluk. Dari mulut rekan-rekannya itulah, para tawanan itu mengetahui apabila mereka mau diajak melempar dadu dengan Siau Po, satu per satu pasti dihukum penggal kepala.

Namun apabila mereka menyatakan takluk, setiap hari mereka malah disediakan arak mahal dan makanan yang enak-enak. Oleh karena itu, setiap tawanan yang berhasil ditangkap, boleh dibilang semuanya menyatakan takluk.

Bangsa Lo Sat adalah bangsa yang besar. Saking besarnya negara itu, perekonomian mereka jadi kacau. Banyak penduduknya yang hidup di jalan sesat. Umpamanya mencuri, merampok atau membunuh pun dihalalkan agar bisa menyambung jiwa keluarganya.

Demikian pula para tentara negara itu, mereka tidak merasa takut terhadap siapa pun. Selama ini sikap mereka sombong sekali. Apalagi setelah berhasil menduduki wilayah Cina dan dalam anggapan mereka rakyat Cina terlalu lemah serta tidak berani memberikan perlawanan.

Sampai Siau Po membawa pasukannya datang ke daerah tersebut dan langsung memamerkan hukuman penggal kepala, mereka baru tahu kelihaian Bangsa Cina.

Pada saat itu, Komandan Pasukan Kolichin telah mendapat perintah dari Ratu Sophia agar kembali ke Moskow untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, sedangkan panglima perang yang memimpin Ya Ke Lung bernama Alexi Tolbusin.

Beberapa kali dia mengirim pasukan kecil untuk meninjau daerah Liau Tong. Tapi semuanya hilang tanpa kabar berita, Tolbusin menyuruh orang menyelidiki masalah ini, namun tetap tidak mendapat jawaban yang memuaskan.

Dia segera sadar ada sesuatu yang tidak beres di balik semua ini. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk memimpin dua ribu orang prajuritnya dan menyelidiki sendiri apa yang telah terjadi.

Dalam perjalanannya, Tolbusin tidak melihat apa-apa yang mencurigakan. Apabila mereka bertemu dengan penduduk Cina yang kebanyakan merupakan petani, dia segera memerintahkan anak buahnya untuk membakar ladang orang tersebut dan membunuh pemiliknya.

Kira-kira menempuh perjalanan sejauh dua puluh li, tiba-tiba dia mendengar derap suara kaki kuda, serombongan pasukan berkuda mendatangi ke arahnya.

Tolbusin segera memerintahkan anak buahnya untuk berpencar. Tampak serombongan prajurit Kerajaan Ceng dengan menunggang kuda menyerbu ke arah mereka. Prajurit Kerajaan Ceng langsung membidikkan anak panah. Tolbusin tertawa terbahak-bahak melihatnya.

"Bangsa Cina yang bodoh hanya bisa membidikkan anak panah, mana bisa melawan pasukan kita yang mempunyai senjata api lengkap?" katanya.

Dia langsung menurunkan perintah untuk melepas tembakan, Dalam waktu yang singkat belasan prajurit Ceng telah terkulai dari kuda masing-masing.

Dari antara pasukan berkuda Ceng terdengar suara teriakan keras. Mereka segera memutar arah dan lari ke selatan, Tolbusin tidak sudi melepaskan mereka begitu saja. Dia memerintahkan para serdadunya untuk mengejar.

Kuda yang ditunggangi prajurit Kerajaan Ceng merupakan kuda-kuda pilihan. Larinya cepat sekali. Untuk sesaat pasti tidak bisa tersusul. Setelah mengejar kurang lebih tujuh delapan li, tiba-tiba serdadu Lo Sat melihat ada sebuah bendera kuning bergambar naga terpancang pada dahan sebatang pohon.

Setelah agak dekat mereka baru tahu bahwa prajurit kerajaan Ceng mendirikan beberapa puluh tenda di sana. Serdadu Lo Sat segera melepaskan tembakan serombongan prajurit Kerajaan Ceng berhamburan ke luar dan membidikkan anak panah.

Setelah itu mereka melompat naik ke punggung kuda dan melarikan diri ke arah selatan.

Bagian 91

Di saat pasukan negara Lo Sat sampai di depan tenda-tenda itu, mereka tidak melihat batang hidung seorang prajurit Kerajaan Ceng di sana, Tolbusin menerjang ke dalam tenda yang paling besar. Di sana tampak makanan yang masih mengepulkan asap dan kendi arak berserakan di mana-mana, juga terdapat berbagai jenis batu permata, mantel berbulu tebal serta benda-benda berharga lainnya yang bertaburan di dalam tenda.

Tolbusin girang sekali melihatnya.

"Ha, ini pasti tenda Panglima bangsa bodoh itu. karena diserang secara tiba-tiba dia langsung mengambil langkah seribu serta tidak sempat lagi membereskan semua ini. Cepat kalian kejar! Tangkap panglima bangsa bodoh itu. Siapa yang berhasil akan mendapat hadiah besar. Kalau dilihat dari isi tenda nya, barang-barang berharga yang dibawa orang itu pasti banyak sekali!" perintahnya.

Para serdadu Bangsa Lo Sat yang melihat harta sebanyak itu langsung menjadi hijau matanya. Mereka segeraberebut mengambili batu permata, emas intan yang berserakan di dalam tanah. Ada pula yang langsung mengambil kendi arak dan meneguknya sampai kering, Beberapa yang lainnya mencomot makanan lezat yang banyak sekali jumlahnya.

Setelah mendengar perintah panglimanya, mereka baru berbondong-bondong ke luar untuk naik ke atas kuda dan mengejar ke arah selatan.

Di sepanjang perjalanan tampak berceceran uang emas, batu permata, golok panjang, busur, dan anak panah. Para serdadu Lo Sat menduga bahwa prajurit Kerajaan Ceng terkejut setengah mati melihat kedatangan mereka lalu lari terbirit-birit. Bahkan senjata serta benda berharga yang jatuh berceceran pun tidak mereka perdulikan lagi,

Mereka meneruskan pengejaran. Tidak seberapa jauh kemudian mereka kembali melihat sepasang sepatu dan beberapa topi tergeletak di tengah jalan. "Rupanya panglima bangsa yang bodoh itu sudah mengganti pakaiannya untuk menyamar Kemungkinan sekarang dia menyamar menjadi prajurit biasa, jangan sampai terkecoh olehnya!" teriak Tolbusin.

"Ciangkun selalu meramal sesuatu dengan tepat, pasti begitulah kejadiannya!" sahut beberapa orang pengikutnya.

Tolbusin juga menyuruh anak buahnya untuk mengambil sepatu serta topi yang mereka temukan.

"Kalau kita berhasil meringkus prajurit bangsa yang bodoh itu, suruh dia mengenakan sepatu dan topi itu untuk dicocokkan. Bagi yang pas, kemungkinan dialah sang panglima yang kita cari," katanya.

Sekali para serdadu Lo Sat memuji panglimanya. Siapa manusia di dunia ini yang tidak senang mendengar pujian?

Pengejaran pun diteruskan. Tidak lama kemudian mereka kembali menemukan sebuah tenda besar. Kecuali uang emas dan batu permata, kali ini tampak pakaian dalam wanita berserakan di mana-mana, warnanya mencolok pandangan mata, jantung para serdadu jadi berdegup-degup melihat pemandangan itu.

"Cepat kejar! Prajurit-prajurit bangsa bodoh itu juga membawa beberapa wanita!" teriak beberapa diantara nya.

Yang lain juga ikut bersemangat. Apalagi di dalam tenda itu juga tercium bau pupur serta wewangian yang menyengat hidung. Mereka jadi yakin prajurit Kerajaan Ceng membawa sejumlah perempuan sebagai hiburan.

Mereka melanjutkan pencarian. Dalam perjalanan mereka masih menemukan tujuh buah tenda lainnya, dari kejauhan terdengar suara teriakan hiruk-pikuk, Tulbosin segera mengeluarkan alat peneropong jarak jauh. Dia melihat sejumlah prajurit Ceng sedang berlari serabutan. Rupanya pasukan mereka telah terpecah belah. Melihat keadaan ini hati Tulbosin jadi senang tidak terkatakan.

"Kita berhasil menyusul mereka!" serunya sambil menghunus goloknya dan diayun-ayunkannya ke atas. "Serang... Bunuh!" teriaknya dengan keras.

Dia segera memimpin pasukannya untuk menyerbu ke depan. Di tengah perjalanan mereka melihat beberapa ekor kuda milik prajurit Kerajaan Ceng tergeletak lemas. Bahkan ada beberapa diantaranya yang sudah mati.

"Kuda tunggangan bangsa bodoh itu tidak punya tenaga untuk berlari lagi!" seru beberapa serdadu Lo Sat.

Mereka melarikan kudanya dengan cepat, setelah agak dekat, mereka melihat para prajurit menyusup masuk ke sebuah celah di antara dua bukit.

Tolbusin mengejar sampai di depan bukit tersebut. Untuk sesaat dia tertegun melihat keadaan di depan mata yang tidak menguntungkan bagi pihaknya. -- Apabila pihak musuh tiba-tiba menyerbu ke luar, kami akan kewalahan menghadapinya. -- pikirnya dalam hati.

Tiba-tiba dari dalam bukit terdengar seseorang berteriak dengan menggunakan Bahasa Lo Sat.

"Hei, prajurit bangsa bodoh, jadi kalian sudah menyerah? Bagus! Bagus!"

Kemudian ada orang lainnya yang berseru pula. "Ha ha ha! Kali ini prajurit Bangsa Cina mengalami kekalahan dengan mengenaskan!"

Suara orang itu terdengar seperti logat orang setempat. Hal ini tidak perlu diragukan lagi. Tolbusin gembira sekali. Tanpa curiga sedikit pun, dia memimpin pasukannya menerjang ke celah di antara dua bukit Prajuritnya yang berjumlah dua ribu orang pun segera mengikuti di belakangnya.

"Pasukan mana yang ada di depan? Di mana kalian?" teriak Tolbusin.

Dari tengah bukit terdengar sahutan puluhan orang.

"Kami di sini! Prajurit bangsa bodoh ini sudah menyerahkan diri!"

"Bagus!" seru Tolbusin. Baru saja dia menarik tali kendali kuda tunggangannya, dari belakang terdengar suara tembakan yang memekakkan telinga.

Tolbusin terkejut setengah mati. Dia membalikkan tubuhnya, tampak pepohonan di kedua sisi bukit penuh dengan asap tebal. Cahaya api memijar-mijar. Di kedua sisi bukit muncul moncong senapan yang berbaris rapi, para serdadu Lo Sat menjerit-jerit kalang kabut.

"Membalik! Kita ke luar dari celah bukit ini!" teriak Tolbusin.

Terdengar teriakan beribu-ribu orang dari kedua sisi bukit itu.

"Tentara Lo Sat, menyerahlah! Menyerahlah!" Suara itu begitu keras sehingga memekakkan telinga.

Sementara itu, ratusan batu dilempar ke luar sehingga menutupi jalan masuk celah kedua bukit itu. para serdadu Lo Sat menjadi panik, mereka saling mendorong untuk meloloskan diri, namun keadaannya justru semakin parah. Belum lagi bidikan anak panah yang gencar milik prajurit Kerajaan Ceng dari segala penjuru.

Diam-diam Tolbusin mengeluh, dia baru sadar dirinya telah terjerat perangkap yang dipasang musuh. Sekarang jalan masuk sudah tertutup, terpaksa dia memutar kembali kuda tunggangannya untuk menerjang ke arah lain.

"Semuanya terjang ke depan!" teriaknya memerintahkan.

Baru saja melarikan kudanya beberapa depa, tiba-tiba dari arah depan terdengar suara ledakan dahsyat. Berpuluh-puluh meriam ditembakkan ke arah mereka. Tampak berpuIuh-puluh serdadu Lo Sat yang memimpin di depan langsung mati terkena ledakan meriam.

Kekagetan Tolbusin jangan ditanyakan lagi, sukmanya seakan melayang entah ke mana. Dia tidak pernah menyangka bahwa pasukan Kerajaan Ceng juga mempunyai perlengkapan senjata api yang tidak kurang hebatnya.

Apalagi mereka sudah mempersiapkan meriam-meriam di ujung celah kedua bukit itu. Dengan panik dia melompat turun dari kudanya.

"Tinggalkan kuda kalian! Gunakan senapan untuk menyerbu ke luar dari arah kita masuk tadi!" teriaknya gugup.

Para serdadu itu segera melompat turun dari kuda masing-masing. Keadaan semakin kacau, beratus-ratus orang berusaha memanjat ke atas bebatuan untuk meloloskan diri, namun masih ada tersisa beberapa puluh orang yang masih bisa menggunakan akal sehatnya.

Mereka menembaki prajurit Kerajaan Ceng untuk melindungi teman-temannya yang sedang berusaha meloloskan diri. Tembakan para serdadu itu cukup hebat Belasan prajurit Kerajaan Ceng terkena sasarannya.

Tapi meriam yang ditembakkan oleh pihak Siau Po juga tidak kurang dahsyatnya.

Beratus-ratus serdadu Lo Sat berusaha melarikan diri, namun meriam-meriam serta granat yang dilemparkan ke arah mereka mencegahnya. Suara dentuman yang keras semakin menggema di udara, sebagian serdadu itu tidak sempat menyelamatkan diri. Kepala mereka terpisah dari leher karena ledakan meriam, ada pula yang kehilangan empat anggota tubuhnya, sedangkan yang belum terkena musibah segera mengundurkan diri daripada mati konyol

Tampaknya kalau perang ini dilanjutkan pihak seradu Lo Sat akan mengalami kekalahan tragis, bahkan ada kemungkinan semuanya mati tanpa tersisa seorang pun. Melihat situasi yang gawat ini, Panglima Tolbusin segera berteriak. "Jangan menembak lagi! Kami menyerah!" sayangnya suara ledakan meriam dan tembakan senapan terlalu keras sehingga menutupi teriakannya. Tidak ada yang mendengar. Buktinya meriam masih diledakkan dan senapan pun tetap mengeluarkan tembakan.

Beberapa serdadu yang ada di sisinya segera ikut berteriak.

"Hentikan tembakan! Hentikan tembakan!"

Prajurit Kerajaan Ceng pun berhenti menembak. Terdengar seseorang berseru dengan bahasa Lo Sat.

"Lemparkan senapan kalian, buang senjata yang lain, lepaskan semua pakaian kalian!"

Tulbusin marah sekali mendengar teriakan itu.

"Kami akan membuang semua senjata tapi tidak boleh menyuruh kami melepaskan pakaian!" sahutnya lantang.

ari antara prajurit Kerajaan Ceng kembali terdengar seruan.

"Buang senapan kalian, lepaskan pakaian! Siapa yang menurut akan diundang minum arak, yang membangkang pasti mati!"

"Kami tidak akan melepaskan pakaian!" sahut ToIbusin sekali lagi.

Baru saja teriakannya lenyap, kembali terdengar suara ledakan. Rupanya prajurit Kerajaan Ceng menembakkan meriam mereka sekali lagi. Sebagian besar serdadu Lo Sat takut mati, mereka segera melemparkan senapan atau senjata lainnya dari tangan masing-masing lalu mulai membuka pakaiannya satu per satu.

ToIbusin mengeluarkan sebatang tombak pendek lalu ditimpukkannya ke arah salah seorang serdadunya yang sedang melepaskan pakaian sehingga orang itu mati seketika.

"Siapa yang berani melepaskan pakaiannya akan mendapat hukuman mati!" teriaknya.

Meskipun demikian, di bawah tembakan meriam yang semakin lama semakin gencar, mereka terpaksa mengabaikan perintah panglimanya. Belasan serdadu segera membuka pakaian mereka sehingga telanjang bulat. Setelah itu mereka memanjat ke atas bebatuan. pemandangan itu tentu lucu sekali. Para prajurit Kerajaan Ceng tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan.

"Cepat buka pakaian kalian!" seru mereka beramai-ramai.

Serdadu yang melepaskan pakaiannya semakin lama semakin banyak. Lagi-lagi ToIbusin menimpuk dengan tombak pendeknya. Dua serdadu yang terkena sasaran mati seketika. Tapi bagaimana mungkin dia sanggup membunuh serdadu yang jumlahnya demikian banyak?

Prajurit Kerajaan Ceng tidak menembakkan meriam lagi. Dari atas bukit terdengar seseorang berseru.

"Siapa yang ingin hidup cepat lepas pakaiannya dan panjat ke mari!"

Pada saat itu, hampir seluruh serdadu Lo Sat tidak berniat melakukan perkelahian lagi. Mereka sibuk melepaskan ikat pinggang dan seluruh pakaian.

ToIbusin menarik nafas panjang. Dia mengangkat tombak pendeknya ke atas dan bersiap-siap untuk menghunjamkan senjata itu ke ubun-ubun kepalanya sendiri, namun seorang serdadu yang rupanya merupakan wakil komandan pasukan pertama segera menarik tangannya dan berkata. "Ciangkun, kau tidak boleh berbuat demikian. Elang yang mempunyai sayap baru bisa terbang tinggi di atas gunung!"

Pepatah dalam Bahasa Lo Sat itu kira-kira mempunyai arti yang sama dengan pepatah "Selagi gunung masih menghijau, jangan takut kekurangan kayu bakar" dari Cina.

Dari antara para prajurit Kerajaan Ceng kembali terdengar seseorang berteriak dengan menggunakan Bahasa Lo Sat.

"Kalian lekas buka pakaian Tolbusin, kemudian kalian ke luar bersama-sama! Kalau tidak, aku akan memerintahkan orang-orangku untuk menembakkan meriam lagi!"

Kata Bahasa Lo Sat ini diucapkan dengan fasih. Yang menyerukannya justru para serdadu negara Lo Sat yang telah menyerahkan diri. Tentu saja mereka dipaksa untuk menyerukannya.

Hawa amarah Tolbusin benar-benar meluap. Tapi berpuluh-puIuh pasang mata anak buahnya menatap dirinya lekat-lekat. Dia tahu mereka juga merasa malu. Akhirnya dia bertekad untuk membunuh diri. Tangannya segera terjulur untuk menghunus pedang panjang di pinggangnya.

Namun baru saja berhasil menyentuh gagang pedang tersebut, tujuh delapan serdadu sudah menomplok ke arah tubuhnya dan meringkusnya hidup-hidup. Ada yang memegangi kepalanya, ada yang sibuk melepaskan pakaiannya. Dalam sekejap mata Tolbusin sudah telanjang bulat. Tubuhnya diangkat oleh para serdadu dan digotong ke luar dari celah bebatuan.

Setiap ada serdadu Lo Sat yang memanjat ke luar maka ada dua orang prajurit Kerajaan Ceng yang menghampirinya lalu mengikat kedua tangannya ke belakang. Setelah itu mereka digiring meninggalkan tempat itu sejauh beberapa li. Dalam gebrakan kali ini, hampir seluruh serdadu Lo Sat kecuali yang mati sebanyak enam ratus orang lebih telah terikat tangannya dan dijejerkan di sebuah tanah kosong.

Tubuh mereka semuanya telanjang bulat. Ketika angin dingin berhembus, tampak tubuh mereka menggigil kedinginan.

Prajurit Kerajaan Ceng menggiring Tolbusin dan menempatkannya di barisan paling depan, padahal saat itu serdadu Lo Sat sendiri merasa kecewa sekali sehingga mereka menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Namun ketika mereka melihat sang panglima yang sehari-harinya sangat garang dan saat ini dapat diperlakukan sedemikian rupa, diam-diam jadi merasa geli. Ada beberapa serdadu yang merasa lucu melihat pantatnya yang bulat sehingga tertawa cekikikan yang lainnya pun jadi ikut memperhatikan.

Dalam waktu yang singkat suasana di tempat itu jadi riuh karena suara tertawa yang ramai. Hampir seluruh serdadu Lo Sat yang kena ditawan dan para prajurit Kerajaan Ceng tertawa terbahak-bahak menyaksikan pemandangan tersebut.

Tolbusin marah sekali, dia menolehkan kepalanya dan membentak. "Siapa! Apa yang kalian tertawakan?" Namun kata-katanya terhenti seketika. Dia baru ingat bahwa saat ini dia tidak mengenakan sehelai benang pun, dengan bersikap garang seperti ini kelihatannya malah semakin lucu, walaupun dalam hati mereka masih tersisa rasa gentar akan wibawa yang ditunjukkan sang panglima sehari-harinya, namun pada saat ini siapa yang sanggup menahan rasa geli dalam hatinya?

Tiba-tiba terdengar suara tembakan meriam sebanyak tiga kali Kemudian tampak serombongan pasukan berkuda mendatangi orang yang ada di bagian terdepan membawa bendera biru.

Di belakangnya menyusul lagi rombongan berkuda yang lain, kali ini yang dibawanya bendera kuning, sedangkan rombongan yang terakhir membawa bendera merah bertuliskan "Tay Ceng Lu Ting Kong Wi" yang artinya pangkat Lu Ting Kong, orangnya she Wi dan mewakili Kerajaan Ceng yang besar.

Setelah sampai di hadapan para tawanan, rombongan berkuda yang membawa bendera biru dan kuning menggeser diri menjadi dua rombongan di kanan kiri sedangkan rombongan bendera merah berbaris rapi di tengah-tengah.

Tampak di bagian paling depan duduk bertengger di atas kudanya seorang pemuda yang mengenakan mantel berwarna merah, topinya berwarna merah juga dan tangannya sedang mengibaskan sebuah kipas. Lagaknya lucu sekali. Dia tentu si pemuda konyol Wi Siau Po.

Dia menggerakkan kudanya ke depan lalu tertawa terbahak-bahak pada saat itu. Tolbusin sedang gusar sekali, sedangkan dia tidak mempunyai wadah untuk melampiaskannya.

Sejak tadi hatinya sudah dingin, dia sudah tidak memperdulikan mati hidupnya lagi. Karena itu dia memaki dengan suara lantang.

"Bocah Cina, kau menggunakan siasat jahat untuk meringkus kami, itu bukanlah perbuatan para pendekar! Kalau mau bunuh, silahkan. Kenapa kau harus memperlakukan kami dengan cara demikian? Mengapa kau harus mempermalukan kami di depan umum?"

Siau Po tertawa.

"Bagaimana aku membuatmu malu?" tanyanya santai.

Tolbusin semakin berang.

"Kau lihat sendiri ke... adaanku i... ni, apakah ini bukan suatu hinaan namanya?"

Kembali Siau Po tertawa.

"Celanamu itu... siapa yang melepaskannya?"

Tolbusin segera sadar bahwa tuduhannya tidak tepat. Sudah jelas celananya dilepaskan dengan paksa oleh anak buahnya sendiri, bagaimana mungkin dia menyalahkan pemuda pesolek ini? Dalam keadaan marah besar, wajahnya berubah merah padam. Dia lalu memberontak dan menerjang ke depan seakan hendak mengadu jiwa dengan Siau Po.

Empat orang prajurit segera mengangkat senapan mereka dan menudingkannya ke arah Tolbusin. Panglima itu merasa tidak berdaya, terpaksa dia menghentikan gerakan kakinya. Tanpa sadar dia menurunkan tangannya untuk menutupi bagian bawah tubuhnya (memang hanya Tolbusin seorang yang tangannya diikat ke depan).

Tindakannya itu justru menimbulkan lagi rasa geli di hati kedua belah pihak sehingga suara tawa kembali riuh.

"Kalau kau benar-benar menyerah, maka kau harus mengikuti Kerajaan Ceng kami yang besar, sekarang juga kau berangkat ke Pe King untuk menyembah kepada Sri Baginda," kata Siau Po.

"Aku tidak akan menyerah! Biar pun tubuhku dipotong menjadi beberapa bagian, aku tidak akan menyerah!" sahut Tolbusin.

Siau Po mengeraskan suaranya untuk bertanya kepada para serdadu Lo Sat.

"Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian menyatakan takluk kepada Kerajaan Ceng kami yang besar?"

Tidak ada jawaban atau pun reaksi dari para serdadu itu. Mereka menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Baik, rupanya kalian tidak benar-benar menyerah panggil tukang masak!" teriak Siau Po pula.

Sepuluh orang tukang masak berjalan ke luar, di belakangnya mengiringi beberapa orang cong peng yang membawakan sebuah tungku api. Mereka berdiri untuk menanti perintah selanjutnya.

Siau Po menoleh kembali kepada Tolbusin.

"Di Negara Lo Sat kalian ada semacam hidangan yang bernama "Sia sunik", rasanya boleh juga, sekarang tiba-tiba saja aku kepingin makan lagi hidangan itu. Sudah cukup lama aku tidak merasakannya yakni sejak kembali dari Moskow!" katanya kemudian menoleh lagi kepada ke sepuluh orang tukang masak tadi dan memerintahkan "Buatkan hidangan "Sia sunik"

"Terima perintah," sahut ke sepuluh tukang masak itu serentak.

Tungku api dinyalakan, di atasnya disampirkan selembar jala kawat. Dalam sekejap mata jala kawat itu sudah merah membara karena apinya yang besar. Para serdadu Lo Sat saling memandang. Mereka tidak tahu permainan apa lagi yang akan ditunjukkan oleh para prajurit Cina itu.

Siau Po mengibaskan tangannya, dua puluh anak buahnya segera menyeret ke luar sepuluh serdadu Lo Sat. Dengan Bahasa Lo Sat Siau Po berseru. "Potong bagian bawah tubuh mereka untuk dijadikan "Sia sunik"!"

Sia sunik adalah sejenis hidangan seperti sosis yang dipanggang di atas api. Hidangan khas ini sangat terkenal di Negara Lo Sat.

Sepuluh orang koki tadi segera menghampiri serdadu Lo Sat yang diseret ke luar. Golok mereka yang berkilau saking tajamnya diangkat tinggi ke atas lalu dibacokkan ke bawah kemudian terdengar suara jeritan yang memilukan.

Ketika para serdadu itu diseret ke daerah perbukitan, di atas tanah tampak sisa darah yang berceceran. Seakan suatu hal yang sudah biasa, tukang masak Siau Po langsung menusuk setiap alat kelamin ke dalam sebatang pesi panjang lalu dipanggangnya di atas api.

Suara peletekan dan bau hangus pun tersebar. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan para serdadu Lo Sat lainnya ketika melihat daging rekan mereka dipanggang sedemikian rupa. Wajah mereka tampak pucat pasi dan kepala mereka semakin menunduk.

"Seret lagi sepuluh serdadu Lo Sat untuk dibuat "Sia sunik"!" teriak Siau Po sekali lagi.

Dua puluh prajurit Cina pun ke luar menyeret mereka. Di antara sepuluh serdadu yang terpilih, empat di antaranya sudah tidak dapat menahan diri lagi.

"Menyerah! Menyerah!" teriak mereka serentak.

"Baik, Bagi yang menyerah boleh kalian bawa ke bagian bendera putih di sana!" kata Siau Po sambil menunjuk pada sebuah bendera putih yang entah sejak kapan dipalangkan pada dahan sebatang pohon.

Empat serdadu itu dibawa ke bawah pohon. Tidak lama kemudian ada prajurit yang datang mengantarkan arak dan makanan.

Beberapa prajurit kembali menyeret ke luar empat orang serdadu lainnya untuk melengkapi jumlah yang sudah berkurang. Empat serdadu itu melihat rekan-rekannya yang sudah menyerah malah mendapat arak dan makanan, sedangkan yang keras kepala akan ditebas bagian bawah tubuhnya untuk dijadikan "Sia sunik", mereka segera mengambil keputusan.

"Menyerah! Kami menyerah!"

Sedangkan ke enam serdadu yang pertama-tama diseret keluar juga sadar apa yang sedang mereka hadapi, maka mereka pun ikut berseru. "Menyerah! Kami juga menyerah!"

Kalau sudah ada satu yang mulai, biasanya pengikut yang latah pasti banyak, apalagi untuk urusan yang enak. Suara teriakan "menyerah" memecahkan kesunyian yang mencekam. Malah sebagian besar tidak perlu diseret keluar lagi oleh para cong peng. Mereka berhamburan lari ke bawah bendera putih.

Dalam sekejap mata seribu lebih serdadu Lo Sat sudah menyerahkan diri. Di tempat semula hanya tertinggal Tolbusin seorang yang masih berdiri dengan tegak.

"Bagaimana? Apakah kau sudah mau menyerah sekarang?" tanya Siau Po.

"Lebih baik mati daripada menyerah!" sahut Tolbusin tegas.

"Baiklah, aku akan mengembalikan kau ke Ya Ke Lung!" ujar Siau Po, lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengantar Totbusin ke Ya Ke Lung.

Tadinya Tolbusin sudah yakin, kalau dia bersikap keras kepala, paling-paling dia akan dibunuh oleh prajurit-prajurit Kerajaan Ceng ini. Ternyata sekarang dia mendengar perintah untuk melepaskan dirinya, hal ini benar-benar di luar dugaan Tolbusin.

"Kalau kau memang bersedia melepaskan aku, kembalikanlah pakaianku!" kata ToIbusin.

Siau Po tersenyum.

"Pakaian sih tidak boleh dikembalikan lagi," katanya. Dia lalu menurunkan perintah lagi kepada anak buahnya, "Kalian antar dia sampai perbatasan kota Ya Ke Lung, sampaikan pesanku bahwa untuk sementara peperangan dihentikan. Kalian harus menggiring manusia bugil ini keliling tembok kota sebanyak tiga kali baru boleh membawanya masuk."

Ang Cao yang selaku Komandan segera mengiakan. Di bawah suara tertawa yang riuh dari para prajurit, dia membawa pasukannya untuk menggiring Tolbusin meninggalkan tempat itu.

"Mohon bertanya kepada Panglima, kita sudah berhasil menangkap panglima musuh, mengapa kemudian dilepaskan lagi?" tanya Lim Heng Cu. "Apabila dibalik persoalan ini ada siasat yang ajaib, bolehkah panglima menjelaskan nya kepada kami?"

Siau Po tertawa.

"Hari ini kita berhasil memenangkan peperangan dengan gemilang, tahukah kalian siasat apa yang kupakai?"

"Otak Thayswe (Panglima) sangat cerdas, siasat yang terpikirkan pun pasti ajaib tidak terkira, dalam hal ini hamba-hambamu merasa kagum sekali," sahut Li Heng Cu.

Siau Po menggelengkan kepalanya.

"Bukan siasatku yang ajaib, melainkan strategi sakti yang disusun oleh Sri Baginda. Beliau berkata, dulu Cu Kek Liang berhasil memenangkan peperangan dengan gemilang, kita harus banyak belajar dari pengalaman tokoh besar itu. Apakah kau pernah menonton sandiwara tentang tokoh Cu Kek Liang? Taruhlah kau tidak pernah menonton sandiwara ini, tetapi pasti kau pernah mendengar kisahnya dari gurumu, bukan?

Cu Kek Liang memerintahkan Wei Seng untuk berperang, dia hanya boleh kalah tidak boleh menang, Wei Seng mengalami kekalahan selama lima belas kali berturut-turut dan pihak Beng Hok berhasil merebut tujuh buah tenda mereka. Kemudian Beng Hok dipancing masuk ke Lembah Pan Coa Kok, akhirnya dengan api Wei Seng mengurung musuhnya sehingga terbakar hidup-hidup di dalam lembah. Siasat yang kita gunakan hari ini merupakan pemikiran Cu Kek Liang tempo dulu," katanya menjelaskan.

Para prajurit menyatakan kekaguman.

"Sri Baginda berjiwa pengasih. Beliau mengatakan bahwa cara Cu Kek Liang membakar hidup-hidup musuhnya di dalam lembah Pan Coa Kok terlalu sadis. Kita bangsa yang beradab dan sudah lebih pandai lagi harus bisa mengendalikan diri. Apabila para serdadu Lo Sat memang benar-benar takluk, kita harus mengampuni jiwa mereka," kata Siau Po pula.

"Kalau bukan Thayswe yang cerdas menggunakan siasat "Sia sunik" dan memanggang daging beberapa orang dari mereka, belum tentu serdadu-serdadu itu sudi menyerahkan diri. Mereka begitu keras kepala. Namun setiap manusia pasti ada rasa takut menghadapi kematian, apalagi dengan cara sedemikian rupa. Menurut hamba, siasat Thayswe kali ini bahkan lebih cemerlang daripada siasat Cu Kek Liang tempo dulu," sahut seorang komandan pasukan.

Siau Po tertawa.

"Aku tidak akan berbuat sekejam itu, sebetulnya di dalam saku para tukang masak itu sudah tersedia sepuluh potongan daging sapi yang masih segar. Kami sudah yakin bahwa tidak ada seorang pun yang sampai hati melihat dengan mata terbelalak di saat temannya dihukum mati. Apalagi dengan cara demikian padahal beberapa cong peng itu sudah mendapat kisikan, mereka hanya menebas bagian paha para serdadu itu sehingga darah berceceran. Biar bagaimana rasa sakitnya pasti tidak berbeda jauh, itulah sebabnya mereka menjerit histeris. sedangkan yang dipanggang di atas api tidak lain dari sepuluh potong daging sapi yang telah disediakan. Kalau kalian ingin tahu bagaimana rasanya, silahkan mencobanya sendiri."

Tentu saja prajurit yang lain jadi tertawa terbahak-bahak. Mereka segera mengambil potongan daging sapi dari atas tungku pembakaran. Ternyata apa yang dikatakan Siau Po memang benar, rasanya gurih dan lezat.

"Thayswe melepaskan panglima musuh begitu saja, apakah maksudnya agar dia menjadi jera serta tidak berani lagi memimpin pasukan untuk menyerang kita?" tanya beberapa orang prajurit.

"Bukan begitu maksudku. Tentang urusan ini, ketika di Kotaraja aku pun pernah menanyakannya kepada Sri Baginda. Aku menyebut Hong Siang sebagai Niau Seng Hi Tong. Jiwanya besar dan berbudi tinggi. Apakah kita harus meniru cara Cu Kek Liang, yakni setelah berhasil menangkap panglima Lo Sat lalu melepaskannya sebanyak tujuh kali? Sri Baginda mengatakan bahwa itu merupakan suatu kesalahan.

Cu Kek Liang berhasil meringkus seorang raja, sedangkan yang tertangkap oleh kita kemungkinan hanya seorang panglima. Andaikata dia menyatakan bahwa dia tidak berani memberontak lagi, tetap saja tidak ada gunanya, karena tampuk kekuasaan bukan terletak pada dirinya. Raja atau ratu dari Lo Sat masih bisa mengutus panglima yang lain untuk menyerang kita," kata Siau Po menjelaskan.

Para prajurit membenarkan pendapat rajanya, "Serdadu Lo Sat yang berjaga di Ya Ke Lung sangat kejam. Persenjataan yang dimiliki mereka pun hebat sekali. Kalau kita membunuh panglimanya tadi, mereka masih bisa memilih seorang panglima yang lain untuk memimpin pasukan yang lebih besar berperang mati-matian dengan kita.

Tapi aku justru menyuruh orang-orang kita menggiring panglimanya yang telanjang bulat kembali ke sana, mereka harus mengaraknya mengelilingi tembok kota sebanyak tiga kali. Serdadu Lo Sat pasti melihatnya, dan sejak sekarang panglima itu tidak dihargai lagi. Kelak apabila dia memberikan perintah apa pun, anak buahnya belum tentu mau mendengarkan," kata Siau Po pula.

Sekali lagi para prajuritnya mengiakan "Apakah Sri Baginda pula yang berpesan agar seluruh pakaian panglima itu harus dilepaskan?" tanya Lim Heng Cu.

Siau Po tertawa terbahak-bahak "Mana mungkin Sri Baginda berbuat senekad itu? Beliau hanya menyuruhku mencari akal agar semangat kita tetap terbangun dan musuh menjadi gentar sehingga kita sanggup mengalahkan Bangsa Lo Sat. Sri Baginda berkata: Serdadu Lo Sat bertubuh tinggi besar, seluruh tubuh tertutup oleh bulu yang lebat puIa, dan tampangnya seperti orang liar. Senjata api mereka hebat-hebat pula. Apabila para prajuritku melihat tampang mereka yang kasar, mungkin bisa timbul rasa takut dalam hati. Begitu semangat pudar, maka untuk mencapai kemenangan bukanlah hal yang mudah lagi, Sri Baginda berkata pula.

"Siau Kui Cu, kau paling banyak akal muslihatnya, pokoknya aku tidak mau tahu, kau harus melakukan sesuatu agar para prajuritku memandang hina serdadu bangsa liar itu", sepanjang malam aku tidak bisa tidur, aku terus mengasah otak mencari jalan melaksanakan pesan Sri Baginda, sampai lama aku kebingungan. Akhirnya aku teringat masa kecilku ketika suka bermain judi."

"Apa hubungannya antara serdadu Lo Sat dan kisah berjudi Thayswe di masa kecil?" tanya seorang prajurit.

"Ketika kecil aku sering bermain judi di kota Lok Yang, sifatku memang jelek. Kalau menang masuk kantong, kalau kalah justru tidak mau mengakuinya. Diajak berkelahi selalu ayo saja, tidak pernah ada rasa takut terhadap siapa pun. Sampai suatu hari aku benar-benar kapok dibuatnya.

Orang yang memenangkan perjudian menyuruh rekan-rekannya meringkusku. Setelah celanaku juga dilepasnya, lalu aku disuruh pulang dengan tubuh telanjang, sepanjang perjalanan aku ditertawai oleh para penduduk, malunya bukan main.

Untuk selanjutnya aku tidak berani main gila lagi. Kalau kalah ya kalah, kalau menang, boleh saja main curang asal jangan ketahuan pihak lawan."

Anak buahnya tertawa terbahak-bahak mendengar ceritanya.

"Sri Baginda mengatakan bahwa dalam perangan kita harus banyak akal dan pandai melihat situasi. Sri Baginda memang bisa memberikan berbagai saran, tapi sampai waktunya bagaimana pun harus menjalani sendiri. Aku ingat ketika aku kecil saja masih tahu betapa malunya kalau celanaku dilepaskan orang, masa Bangsa Lo Sat tidak takut diperlakukan serupa? Ternyata memang sama, begitu disuruh telanjang, mereka segera menyatakan takluk," kata Siau Po selanjutnya.

Para prajurit memuji dirinya, dan merasa kagum sekali. Beberapa diantaranya berpikir.  -- ilmu melepas celana ini belum pernah ada, bahkan dari jaman Dinasti Sung. Ternyata ilmu panglima Wi cukup lihai -

Setelah itu, Siau Po menyuruh para serdadu Lo Sat untuk mengganti pakaiannya dengan seragam Kerajaan Ceng lalu di bawah iringan seorang komandan, mereka berangkat menuju Kotaraja untuk dipersembahkan kepada Kaisar Kong Hi.

Dalam rombongan Siau Po sekarang hanya tertinggal dua puluhan serdadu Lo Sat. Dia mempertahankan sedikit sisanya agar dapat dimanfaatkan apabila terjadi kesulitan dalam berkomunikasi.

Malam itu juga Siau Po memanggil ketiga panglima lainnya, mereka diharuskan menggempur Kota Ya Ke Lung. Keesokan harinya, dia pribadi membawa sepasukan prajurit untuk menyusul mereka. Dari jauh saja sudah terdengar suara dentuman meriam. Asap senjata-senjata api yang digunakan sampai mengepul ke atas langit. Suara bentakan dan jeritan kedua belah pihak terdengar dari dalam maupun luar kota.

Komandan pasukan Peng Cun yang mendapat tugas menyerang kota tersebut melaporkan bahwa senjata api serta meriam serdadu Lo Sat hebat sekali. Banyak prajurit Kerajaan Ceng yang menjadi korban.  "Tambah meriam kita dan gempur terus!" teriak Siau Po.

Peng Cun segera melaksanakan tugas yang diberikan. Tidak lama kemudian berpuluh-putuh meriam dipencarkan ke sekeliling tembok kota. Kali ini dentuman meriam yang terdengar lebih dahsyat dari sebelumnya. Selama beberapa hari berturut-turut peperangan terus berlangsung. Tampaknya kedua pihak sama-sama dirugikan. Malah kalau dihitung-hitung, lebih banyak prajurit kerajaan Ceng yang mati atau terluka parah.

Pelipis kanan panglima Lu Pu Suk terserempet peluru, untung Lim Heng Cu dengan sigap menariknya ke luar dari kancah peperangan panglima Lung segera mendapatkan pertolongan. Tampaknya nasib orang ini masih cukup terang, peluru yang mengenai dirinya tidak sampai menembus ke dalam otak.

Siau Po memberikan hadiah kepada Lim Heng Cu atas jasanya. Dia juga memerintahkan anak buahnya untuk mendirikan tenda sejauh lima li dari pintu gerbang kota. Beberapa prajurit memberikan pendapatnya kepada Siau Po. Ada yang mengusulkan anak muda itu menggunakan cara yang sama dengan sebelumnya yakni memancing musuh ke tempat yang sudah terkepung sehingga dapat diledakkan sekaligus, ada pula yang menyarankan agar menggali jalan dari bawah tanah untuk melakukan penyerangan.

Cara menggali jalan di bawah tanah ini memang sudah Iama ada di Negara Cina. Beberapa kali negara ini berhasil dalam perang justru menggunakan tradisi kuno ini. Dan saran yang diberikan oleh salah seorang prajurit Kerajaan Ceng tersebut justru memberi ilham kepada Siau Po.

Dia tahu di dalam kota Ya Ke Lung memang ada sebuah jalan di bawah tanah, di situlah dia pernah memeluk tubuh Ratu Sophia yang bugil. Rasanya ingin sekali kembali ke masa itu. Tanpa sadar mimik wajahnya jadi aneh, bibirnya tersenyum-senyum.

Para prajurit yang menyaksikan hal itu mengira panglimanya telah menemukan siasat yang jitu untuk menggempur lawan, karena itu tidak ada seorang pun yang berani membuka suara.

Dalam hati Siau Po berpikir.  - Bagaimana kalau Ratu Sophia tiba-tiba muncul di kota Ya Ke Lung dan memimpin pasukannya untuk menyerang kami? Kali ini aku harus memeluknya lebih erat, Oh, indahnya tubuh yang penuh dengan bulu emas itu! --

Para prajuritnya masih menantikan keputusan Siau Po. Mereka tidak mengerti apa yang dipikirkan Siau Po. Tampang anak muda itu aneh sekah. Kadang-kadang matanya setengah terpejam seakan sedang membayangkan sesuatu yang indah, Kadang-kadang bibirnya bergerak-gerak seakan sedang bersenandung, namun mereka tetap tidak berani mengganggunya.

Tiba-tiba terdengar Siau Po berkata, "Kurang ajar, bikin orang penasaran!"

"Memang betul," sahut Ang Cao. "Sudah berapa kali kita menyerang serdadu Lo Sat, namun hasilnya tidak memuaskan, kota Ya Ke Lung masih belum berhasil kita rebut kembali. Bagaimana kita tidak jadi penasaran dibuatnya?"

Namun Siau Po sedang memikirkan tubuh ratu Sophia yang halus, telinganya seakan tersumbat sehingga dia tidak mendengar apa yang dikatakan Ang Cao.

Terdengar dia menggumam kembali, "Aih, masa bodoh! Biar barang rongsokan dari Lo Sat itu bagaimana lihainya, suatu hari aku pasti mendapatkan jalan ke luar untuk mengatasinya!"

"Apa yang dikatakan Thayswe memang benar, bagaimana pun lihainya Bangsa Lo Sat, kita pasti akan menemukan jalan untuk mengalahkannya," sahut Peng Chun.

Siau Po seperti tersentak mendengar kata-katanya, "Apa? Kau juga ingin meraba perempuan rongsokan itu? Boleh! Boleh! Tapi kau harus hati-hati, jangan sampai melupakan anak istrimu di rumah!" katanya sambil tertawa terbahak-bahak

Peng Cun kebingungan namun tidak berani banyak bertanya, Siau Po menggebrak meja keras-keras.

"Bagus! ide saudara-saudara sekalian semuanya bagus! Tapi jalan di bawah tanah itu terlalu sempit, lagipula tembusnya ke kamar sang Panglima, kemungkinan sekarang sudah disumbat. Mulai besok pagi kalian harus mulai menggali lagi!"

Para prajurit tentu saja merasa senang mendengar usul mereka dapat digunakan walaupun dalam hati mereka menganggap sikap Siau Po angin-anginan. Kadang-kadang mereka tidak mengerti jalan pikiran anak muda itu.

Pada keesokan harinya mereka mulai menggali terowongan. Selama itu peperangan masih berlangsung. Prajurit Siau Po masih belum berhasil menemukan titik kelemahan lawan. Korban yang jatuh semakin banyak. Apalagi setelah Tolbusin mendengar selentingan bahwa pihak Kerajaan Ceng sedang menggali jalan di bawah tanah. Diam-diam dia meletakkan beberapa bom di sana sehingga ratusan anak buah Siau Po mati seketika.

Siau Po semakin kesal. Kepalanya terasa hendak pecah memikirkan jalan untuk memenangkan peperangan ini. Sedangkan cuaca semakin hari semakin dingin. Wilayah ini merupakan wilayah paling dingin di utara. Begitu masuk musim gugur saja, angin sudah terasa menggigilkan, apalagi musim salju di penghujung tahun.

Setiap air yang menetes segera berubah menjadi es. Hidung dan telinga terasa akan copot dari tempatnya. Kaki dan tangan membeku. para sukarelawan yang membantu prajurit Kerajaan Ceng merasa tidak tahan lagi. Mereka mengatakan bahwa mereka ingin memohon diri untuk kembali ke tempat masing-masing. Sampai tahun depan musim semi mereka baru datang lagi untuk memberikan bantuan.

Lung Pu Suk dan Pa Hai pernah tinggal lama di daerah utara. Mereka tahu bagaimana dinginnya cuaca di musim salju. Tidak mengherankan apabila sebagian prajurit bisa mati kedinginan Apalagi mereka tidur di dalam tenda.

Berbeda dengan serdadu Lo Sat yang tinggal di dalam rumah. Tembok rumah lebih lama menyerap hawa dingin daripada tenda yang terbuat dari kain terpal.

Akhirnya Siau Po mengambil keputusan untuk mengundurkan diri sementara. Mereka harus menemukan cara yang lebih efisien untuk mengalahkan Bangsa Lo Sat.

Ketika serdadu Lo Sat melihat prajurit Kerajaan Ceng mengundurkan diri, mereka menganggap lawannya sudah keok. Mereka bersorak dan bertepuk tangan keras-keras, bahkan ada sebagian yang naik ke atas tembok kota dan membuka celananya serta seenaknya membuang air kecil.

Tentu saja Siau Po mendongkol sekali. Tangannya menunjuk ke arah tembok kota dan memaki-maki. Salah seorang prajuritnya berkata.

"Serdadu-serdadu Lo Sat seperti binatang liar, Thayswe tidak usah memperdulikan mereka."

"Tidak bisa! Kekalahan kita terlalu memalukan!" teriaknya. Kemudian dia menyuruh anak buahnya membawakan selang air yang besar.

Selang air itu gunanya untuk memadamkan kebakaran. Dalam peperangan mereka selalu menyediakannya, sebab ada kemungkinan tenda-tenda mereka dibakar musuh atau kejadian lainnya yang tidak terduga-duga.

Para prajurit Kerajaan Ceng membawakan belasan selang air yang besar. Namun benda-benda itu tidak ada gunanya karena tidak dapat menyedot air. Bukannya tidak bisa tapi air sungai telah membeku menjadi es. Sekali lagi Siau Po menyuruh anak buahnya menyediakan kuali raksasa.

Mereka segera menyalakan api dan memasak es dari salju sehingga mencair. Setelah itu air panas dituang ke dalam sebuah corong yang mengalir ke dalam selang. Siau Po membuka celananya lalu mengencingi air panas tersebut.

"Semburkan ke arah kota!" perintahnya.

Para prajurit tahu bahwa Siau Po telah mendapatkan akal yang jitu untuk membalas hinaan pihak Lo Sat. Tanpa disuruh lagi mereka segera turun tangan membantu. Ada yang memasak es, ada yang menuangkannya ke dalam selang dan sisanya menyemprotkan air panas itu ke arah kota. Beberapa diantaranya malah berseru, "Wi Thayswe mempersembahkan sirop air seni untuk diminum serdadu Lo Sat!"

Begitu air panas menyemprot ke dalam kota, para serdadu Lo Sat segera menghindarkan diri sambil mencaci maki.  -- Anak muda ini benar-benar iseng! -- pikir beberapa komandan pasukan. Namun ada sebagian pula yang ingin mengambil hati panglima besarnya sehingga bertepuk tangan menyerukan pujian.

Sayangnya cuaca terlalu dingin, air yang dimasukkan ke dalam selang pun sebentar saja sudah membeku jadi es. Para prajurit Kerajaan Ceng terpaksa menggodoknya kembali.

Siau Po merasa bangga sekali akan hasil pemikirannya. Dia memuji dirinya sendiri. "Cu Kek Liang menggunakan api membakar seluruh Pan Coa Kok, aku Wi menggunakan air seni menyembur Gunung Lu Ting San. Sungguh suatu kebanggaan yang tidak terkirakan!" serunya.

Seorang prajurit yang berdiri di sampingnya segera menukas. "Wi Thayswe menggunakan air seninya untuk menenggelamkan semangat Bangsa Lo Sat!"

Siau Po tertegun sejenak mendengar ucapan orang itu. Suatu pernikiran kembali melintas dalam benaknya. Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.

"Bagus sekali! Bagus sekali!" serunya sambil melonjak-lonjak kegirangan.

Siau Po memerintahkan anak buahnya memukul tambur sebagai tanda bahwa dia ingin segera bertemu dengan wakil-wakiInya. Setelah mereka berkumpul, Siau Po bertanya.

"Berapa banyak selang air yang kita miliki?"

Salah seorang komandan yang menangani bagian perbekalan muncul dan menjawab.

"Jumlah seluruhnya ada delapan belas buah."

Siau Po mengerutkan keningnya.

"Kurang, masih kurang banyak! Mengapa tidak membawa lebih banyak?"

Komandan itu tidak menjawab, namun dalam hatinya dia berkata, -- jarang sekali terjadi kebakaran dalam peperangan. Kalaupun ada delapan belas buah selang sudah cukup untuk memadamkan api. --

"Aku menginginkan seribu buah selang. Cepat sebar orang untuk membelinya di desa-desa terdekat. Kira-kira kapan semuanya bisa tersedia?" tanya Siau Po pula.

Wilayah itu merupakan perbatasan utara. Tempatnya luas namun penduduknya sedikit. Desa atau kota yang terdekat saja jaraknya mencapai seratus li. Setiap desa atau kota hanya dihuni oleh ratusan keluarga. Kehidupan mereka sulit sekali, belum tentu mereka mempunyai selang air yang besar. Bila menginginkan seribu selang besar dalam waktu yang singkat siapa pun tidak ada yang berani menjanjikannya.

Komandan itu menampakkan tampang serba salah.

"Harap Thayswe ketahui, di dalam perbatasan jarang ada yang menjual selang besar, jumlahnya tidak mungkin mencapai demikian banyak. Kalau di luar perbatasan kemungkinannya lebih besar, misalnya di Tian Cin atau Pe King. Kita harus menyuruh orang pergi memesannya dan minta dikirim ke mari secepat nya."

Siau Po marah sekali.

"Kentut busuk! Berangkat ke Pe King atau Thian Cin hanya untuk memesan selang besar? Kau kira berapa lama waktu yang diperlukan? Untuk urusan perang, terlambat setengah jam pun tidak boleh!" teriaknya keras-keras.

Komandan itu mengiakan berkali-kali, wajahnya berubah murung seketika. Dalam hati dia berpikir. -- Celaka! Kemungkinan batok kepalaku ini tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi. --

Salah seorang prajurit yang duduk di dekatnya mencoba memberikan saran kepada Siau Po.

"Thayswe, air senimu yang berharga sudah menyebar di tempat Bangsa Lo Sat Yang penting mutunya, bukan banyaknya, Menurut pandangan saudaramu yang dangkal ini, lebih baik kita hentikan saja semburan ini, toh kita sudah menunjukkan keangkeran kita!"

Siau Po menggelengkan kepalanya.

"Tidak bisa! Tanpa seribu selang besar, urusan yang besar ini tidak akan dapat diselesaikan!"

Dalam hati komandan tadi berpikir. - Panglima yang satu ini benar-benar pengacau! Urusan rasa kesal yang disebabkan air seni saja harus diperpanjang sedemikian rupa. Toh semua ini tadinya hanya gurauan dan tidak akan melukai siapa pun, apa untungnya? Raja yang masih muda pasti senang menggunakan tenaga panglima yang muda pula. Hubungan mereka atasan dan bawahan begitu dekat, siapa yang berani banyak mulut? Tapi kalau permainannya sudah mencapai batas yang keterlaluan toh kita sendiri yang akan menjadi bahan tertawaan orang-orang sedunia! --

Baru saja dia akan menasehati Siau Po sekali lagi, tiba-tiba terdengar anak muda itu bertanya. "Saudara-saudara sekalian, siapakah diantara kalian yang dapat menemukan cara terbaik untuk mendatangkan selang besar secepatnya? Kalau bisa mendapatkannya, maka akan menjadi jasa yang tidak terkatakan besarnya."

"Mohon bertanya kepada Thayswe, apakah... apakah seribu selang besar ini... akan digunakan untuk menyemprotkan air seni ke dalam kota?" tanya Peng Cun.

Siau Po tertawa.

"Kalau kita sudah memiliki seribu selang besar dan akan kita gunakan untuk menyemprotkan air kencing ke dalam kota, coba aku ingin tahu, dari mana kita menemukan orang yang bisa buang air seni sebanyak itu?"

"Memang benar. Hamba sungguh bodoh. Biar semua prajurit membuang air kecil sepanjang hari, jumlahnya juga tidak akan cukup untuk mengisi seribu selang. Hamba mohon petunjuk dari Thayswe," sahut Peng Cun.

"Tadi aku melihat air seniku yang berharga telah menyemprot ke dalam tembok kota dan dalam sekejap mata saja sudah membeku menjadi salju, Nah, kalau kita menggunakan seribu selang lebih untuk menyemprotkan air ke dalam tembok kota itu selama beberapa hari beberapa malam, apa yang akan terjadi?" tanya Siau Po.

Para prajurit tertegun sejenak, orang yang otaknya lebih encer segera bersorak gembira, kemudian yang lainnya juga ikut mengerti. Dari dalam tenda besar terdengar seruan-seruan yang memekakkan telinga.

"Siasat yang bagus! Strategi yang jitu! Air memenuhi kota Ya Ke Lung! Salju membeku di gunung Li Ting San!" Demikian teriak mereka.

Beberapa saat kemudian, seruan mereka baru mereda, terdengar ada seseorang yang berkata. "Walaupun harus ke Kotaraja atau Tian Cin, kita tetap harus mengusahakan seribu selang besar itu!"

Bahkan ada beberapa komandan pasukan yang memberanikan diri memohon surat ijin agar mereka dapat segera berangkat mencari selang besar tersebut.

Kedudukan Ang Cao tidak begitu tinggi. Sejak tadi dia berdiri di bagian belakang dan mendengarkan saja percakapan Siau Po dengan anak buahnya. Pada saat itu dia membungkukkan tubuhnya dan berkata. "Lapor Thayswe, hamba mempunyai sebuah pandangan yang dangkal, bolehkah hamba mengungkapkannya?"

"Katakanlah!" sahut Siau Po.

"Begini, hamba adalah orang dari propinsi Hok-kian. Kampung halaman hamba itu merupakan daerah yang miskin, maka kami tidak sanggup membeli selang air. Apabila terjadi kebakaran di desa kami, para penduduk menggunakan pompa air dari bambu yang besar untuk memadamkan api. Kami membuatnya sendiri dengan menggunakan bahan bambu dan kayu. Dari sebelah atas dibuka sebuah liang kecil untuk memasukkan air, sedangkan kayu yang panjang kita gunakan untuk mendorong air

sehingga menyembur ke luar," kata Ang Cao menjelaskan.

Siau Po menganggukkan kepalanya beberapa kali. Kemudian dia merenungkan cara pemakaian pompa air itu.

"Harap Thayswe ketahui, bentuk pompa air ini bisa kecil namun bisa besar juga," kata Ho Yu, "Ketika kecil hamba sering bermain dengan teman-teman, kami menggunakan pompa air semacam itu untuk menyemprot lawan. Memang menyenangkan juga. Sayangnya daerah ini tidak banyak batang bambu yang besar. Untuk membuat pompa air yang besar, mau tidak mau kita juga harus mencari bambunya di seberang sungai."

"Apakah kau mempunyai jalan keluar yang lebih baik?" tanya Siau Po kepada Ang Cao.

"Hamba rasa bambu besar memang sulit ditemukan di daerah ini. Namun pohon siong dan lainnya banyak. Kita dapat menebang batang pohon itu lalu bagian tengahnya kita lubangi untuk dijadikan pompa air besar," sahut Ang Cao.

"Untuk melubangi batang pohon Siong rasanya juga tidak begitu mudah, bukan?" kata Siau Po.

Salah seorang wakil komandan pasukan Siau Po merupakan keturunan tukang kayu, dia segera menyatakan pendapatnya. "Lapor Thayswe, pekerjaan itu tidak terlalu sulit dilaksanakan. Mula-mula kita belah dulu batang pohon itu menjadi dua bagian lalu masing-masing di-korek sehingga berbentuk setengah lingkaran, lalu kita serut sehingga rata dan terakhir kedua bagian itu kita satukan kembali. Dengan demikian di bagian tengahnya sudah terdapat lubang seperti bambu, untuk merapatkan kedua bagian batang pohon itu kita pantek saja

dengan paku besar."

Siau Po gembira sekali mendengarnya.

"Bagus! Untuk membuat sebuah pompa air sebesar itu, kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan?"

"Kalau hamba turun tangan sendiri, satu hari rasanya bisa menyelesaikan satu buah. Apabila ditambah dengan kerja malam, mungkin satu hari bisa menyelesaikan dua buah," sahut orang tadi.

Siau Po mengerutkan keningnya.

"Terlalu lambat. Kau harus pergi ke setiap tenda dan mencari orang yang mengerti pertukangan. Kau jadi mandornya, dalam waktu sesingkat mungkin kau harus mengajarkan mereka cara membuatnya. Pompa air ini merupakan barang kasar, bukan bahan untuk membangun rumah seorang hartawan atau bahan untuk peti mati seorang pembesar. Kulit luar batang pohon itu juga tidak perlu dikelupas, pokoknya harus bisa menghemat waktu, tidak penting bagusnya, asal dapat digunakan secepatnya. Sekarang juga kau mencari tenaga untuk membuat pompa air sebanyak mungkin!" perintahnya.

Prajurit itu mengiakan, lalu segera mencari orang untuk pergi menebang batang pohon. Beberapa puluh di antaranya mendapat tugas mendatangi rumah penduduk untuk meminjam berbagai alat pertukangan.

Daerah luar perbatasan penuh dengan pohon Siong, malah di sepanjang tepi sungai merupakan hutan yang luas. Selama ratusan tahun penduduk di sekitar daerah itu tidak pernah mengeluh kekurangan kayu bakar, mungkin saking luasnya hutan tersebut.

Para prajurit segera bekerja. Dalam setengah hari mereka sudah berhasil menebang ribuan batang pohon. Ada ratusan prajurit yang tadinya memang tukang kayu. Wakil Komandan mereka mengumpulkan orang-orang itu menjadi satu. Setelah itu dia mencari lagi empat lima ratus orang untuk membantu. Selama beberapa hari beberapa malam mereka bekerja tanpa mengenal waktu untuk menyelesaikan pompa air yang besar itu. Sedangkan jumlah yang diperlukan juga banyak sekali, jadi mereka agak kewalahan juga.

Begitu selesai satu, Siau Po menyuruh anak buahnya mengadakan percobaan. Pompa air itu diisi dengan air panas, enam orang mendorongnya, Ternyata air panas itu bisa menyembur sampai sejauh dua ratusan depa.

Melihat hasil percobaan itu, Siau Po tidak henti-hentinya memuji.

"lni sih bukan pompa air, lebih cocok dinamakan meriam air. Tapi seharusnya kita mencari nama yang lebih bagus lagi seperti.,., Pek.Liong Cui Pao (Meriam air Naga Putih)," katanya seakan untuk dirinya sendiri. "

Kemudian dia mengeluarkan uang perak untuk diberikan kepada Wakil Komandan dan rekan-rekannya, lalu memerintahkan mereka agar bekerja lebih giat lagi.

Tolbusin melihat para prajurit Kerajaan Ceng yang sudah mundur, sekarang balik kembali. Namun mereka berdiri di kejauhan dan memandang ke arah tembok kota. Dengan alat teropongnya dia juga melihat musuhnya mengumpulkan batang pohon dalam jumlah yang banyak sekali. Dalam hati dia berpikir.  -- Bangsa Cina yang bodoh itu menebangi batang pohon, mungkin untuk menghangatkan tubuh. Kalau melihat caranya, tampaknya mereka tidak akan meninggalkan tempat ini dengan segera.

Hm, lewat setengah bulan lagi, kalian akan mendapat kesenangan. Biarpun api yang lebih besar lagi, tetap saja tidak bisa mengalahkan hawa dingin seperti di neraka ini. -

Dia menyuruh anak buahnya menambah kayu di tungku perapian, setelah itu menuangkan secawan arak Lo Sat dan meminta dua orang gadis Cina yang didatangkan dari dalam perbatasan untuk menemaninya.

Bagian 92

Peng Cun, Ho Yu membawa sejumlah prajurit untuk membantu penduduk mendatangkan lebih banyak lagi alat pertukangan ke tenda mereka. Dalam waktu beberapa hari, meriam air yang diperlukan sudah selesai. Siau Po segera memerintahkan agar meriam-meriam air itu diangkut ke atas bukit, dan moncongnya diarahkan ke tembok kota.

Para prajurit bersorak-sorai. Meriam ditembakkan sebanyak tiga kali sebagai tanda perang akan dimulai. Kuali besar juga sudah disiapkan, bongkahan salju dimasukkan ke dalam kuali panas dan dididihkan. Setelah itu mereka menggunakan tong untuk menuangkannya ke dalam meriam air itu.

Saat itu Tolbusin sedang tertidur lelap di balik selimutnya yang tebal. Tiba-tiba dia mendengar suara meriam ditembakkan. Cepat-cepat dia melompat bangun dan secepat kilat pula mengenakan pakaiannya, dia berlari ke luar untuk melongok lewat tembok kota. Ketika itu angin bertiup dengan kencang dan langit gelap, Dalam remang-remangnya cuaca dian melihat para prajurit Kerajaan Ceng sedang meng-isikan sesuatu ke dalam batang pohon. Maka hatinya bertanya-tanya. Tiba-tiba terdengar seruan para prajurit itu disusul dengan semprotan air dari beribu-ribu batang pohon.

Tolbusin terkejut setengah mati.

"Aduh!" jeritnya keras-keras, sekumpulan air panas menyembur ke arah dadanya, walaupun cuaca sangat dingin dan air panas yang mencapai tubuhnya hanya terasa suam-suam kuku, namun derasnya air membuat tubuhnya terpelanting ke belakang.

Beberapa serdadu yang berdiri di dekatnya cepat-cepat membangunkan panglima itu, namun dalam waktu yang bersamaan mereka juga memekik terkejut. Pancuran air yang jumlahnya tidak terkirakan menyemprot ke arah mereka. Dalam sekejap mata seluruh kota Ya Ke Lung penuh dengan uap putih, hal ini disebabkan hawa air hangat yang mengenai salju di atas tanah.

Hati Tolbusin menjadi panik melihatnya.

"Bangsa Cina yang bodoh kembali menggunakan ilmu sihir!" teriaknya histeris.

Dari dalam batang pohon tahu-tahu bisa menyemprotkan air, tentu saja mereka menganggapnya sebagai ilmu sihir. Dengan gugup dia berkata pula. "Cepat tembak! jangan sampai Bangsa Cina yang bodoh itu memanjat ke atas tembok kota!"

Sejak hari itu dia ditelanjangi anak buahnya dan diarak kembali ke kota, wibawanya sudah jatuh. Serdadunya tidak terlalu memperdulikan perintahnya lagi. Mereka meninjau situasi yang sedang dihadapi. Kalau membahayakan jiwa, mereka memilih tidak menuruti perintah panglimanya, sedangkan saat ini mereka melihat pancuran air yang tidak henti-hentinya menyembur ke dalam kota, setiap orang berusaha menghindarkan diri, siapa yang kerajinan menuruti perintah Tolbusin.

Para laki-laki Cina yang ada di dalam kota Ya Ke Lung sejak semula sudah dibunuh oleh anak buah Tolbusin. Yang tersisa hanya beberapa perempuan yang masih muda. Mereka dipaksa menjadi gundik para pembesar Lo Sat.

Bagi yang tidak mau akan dihukum mati juga. Jadi, dalam kota itu sekarang hampir seluruhnya merupakan Bangsa Lo Sat. Ketika terjadi keributan, mereka berbondong-bondong ke luar untuk melihat apa yang terjadi otomatis mereka pun terkena semprotan air dari meriam batang pohon yang dilancarkan prajurit Siau Po.

Tubuh mereka dari kepala sampai ke kaki basah seketika. Mula-mula airnya memang terasa hangat di badan, namun karena dinginnya cuaca, sebentar saja pakaian mereka sudah berlapis es. Bangsa Lo Sat terkejut setengah mati.

Cepat-cepat mereka membuka seluruh pakaian dan sepatu, Mereka sadar apabila hal ini tidak cepat dilakukan, maka dengan bertambah dinginnya cuaca, pakaian serta sepatu mereka akan membeku menjadi es. Saat itu apabila mereka ingin melepasnya, pasti sudah sulit sekali, namun kalau dibiarkan akan lebih berbahaya. Bayangkan tubuh yang ditutupi pakaian dari es. Dalam waktu beberapa jam saja mereka akan mati membeku.

Suasana di dalam kota Ya Ke Lung jadi kacau balau. Suara jeritan dan tangisan membaur menjadi satu. Air yang menyembur di atas tanah sebentar saja sudah menggumpal seperti bubur. Kaki Bangsa Lo Sat yang telanjang menginjak di atasnya, dinginnya jangan ditanyakan lagi.

Suara jeritan semakin menjadi-jadi. Mereka berdesak-desakan untuk memanjat ke tempat yang lebih tinggi, bahkan sebagian di antaranya naik ke atas genteng.

Tolbusin mengenakan mantel yang terbuat dari kulit harimau, tangannya membawa sebuah payung besar. Dia kembali ke arena untuk melihat perkembangan. Tiba-tiba dia mendengar salah seorang serdadunya berseru. "Lebih baik kita menyerah saja!"

Tolbusin marah sekali.

"Siapa yang berani mengacau di sini? Seret dia ke luar dan penggal kepalanya!" bentaknya garang.

Para serdadunya melihat Tolbusin mengenakan mantel kulit yang tidak dapat merembes air. Pasti tubuhnya hangat sekali. Dan sekarang dia berdiri sambil bertolak pinggang dan marah-marah. Tentu saja anak buahnya merasa tidak puas. Salah satu di antaranya mengambil sebongkah es batu dan dilemparkannya ke arah sang Panglima. Tolbusin marah sekali, lalu mencabut pistol pendeknya dan Banggg!!

Dada orang itu tertembak dan mati seketika, sekarang giliran serdadunya yang berang, Beramai-ramai mereka memunguti bongkahan salju dan ditimpukkan ke arah panglimanya. Bahkan ada beberapa di antaranya yang menerjang ke arah Tolbusin hingga orang itu jatuh bergulingan di atas hamparan salju.

Di saat ribut-ribut itu, sepasukan serdadu lainnya muncul dari dalam kota. Serdadu yang mula-mula menerjang TuIbosin takut akan timbul keonaran di antara orang sendiri, maka terpaksa mereka melepaskan sang panglima. Baru saja TuIbosin berusaha bangkit dari hamparan salju, dua semburan air yang keras mengenai kepalanya sehingga dia kebasahan juga. Kakinya mencak-mencak, air yang mengalir lewat kerah mantelnya membasahi tubuhnya sehingga dia merasa kedinginan. Dalam keadaan demikian terpaksa dia meminta anak buahnya untuk melepaskan pakaian dan sepatunya.

Prajurit Kerajaan Ceng yang melihat kepanikan serdadu Lo Sat tentu saja merasa senang sekali. Ada yang bertepuk tangan keras-keras, ada yang bersuit sambil menari-nari, ada yang menyanyikan lagu macam-macam, bahkan ada yang menyenandungkan lagu "Raba sana raba sini" gubahan Siau Po.

Peng Cun dan yang lainnya bertambah sibuk. Bongkahan salju yang diambil semakin banyak. Api terus membara di bawah kuali, dan air panas yang disemprotkan ke arah tembok kota pun semakin meluap.

iapa pun tidak menyangka kedahsyatan meriam air yang dilancarkan Siau Po. Serdadu Lo Sat kehilangan kendali. Masih ada sebagian yang bisa berpikir panjang, mereka mengeluarkan meriam untuk balas menembak, namun hal ini tidak berlangsung lama.

Air yang menyembur mengenai moncong meriam, dalam sekejap juga membeku menjadi es. Meriam-meriam itu malah menjadi barang rongsokan yang tidak terpakai. Atap rumah, jendela dan bagian lainnya yang terkena guyuran air juga langsung membeku Cuaca di dalam kota itu semakin dingin, pakaian kering yang disimpan untuk salin menyerap hawa dingin sehingga tidak dapat dikenakan.

Bahkan lantai didalam rumah pun tidak luput dari genangan air yang akhirnya membeku menjadi salju pula, Keadaan di dalam kota itu hampir tidak terkendalikan lagi, Siau Po senang sekali melihatnya.

Dia bermaksud menyuruh anak buahnya untuk mempergencar serangan, namun tiba-tiba melihat bongkahan salju di permukaan sungai tinggal sedikit, paling-paling untuk mengisi puluhan meriam batang pohon lagi. Hatinya menjadi kecewa seketika, dan wajahnya pun berubah murung. Dia benar-benar tidak tahu cara apa lagi yang harus ditempuh apabila serangan kali ini gagal. Namun justru di saat itulah pintu gerbang utama kota terpentang lebar, ratusan serdadu berhamburan ke luar sambil berteriak.

"Menyerah! Kami menyerah!"

Luka di kepala Lung Pu Suk seperti sembuh setengahnya begitu mendengar suara itu. Dia segera memerintahkan seribu prajurit dari pasukan berkudanya untuk maju ke depan menghampiri para serdadu yang menyerahkan diri itu.

"Yang menyerah duduk di atas tanah!" teriaknya lantang.

Serdadu Lo Sat tidak mengerti apa yang dikatakannya. Mereka saling memandang dengan rekan-rekannya. Seorang prajurit Kerajaan Ceng menunjuk ke atas tanah dan berkata.  "Duduk! Duduk!"

Tepat pada saat itulah pintu gerbang kota dirapatkan kembali. Dari atas tembok muncul beberapa moncong meriam dan ditembakkan ke bawah sehingga puluhan serdadu Lo Sat mati seketika terkena ledakannya.

Prajurit Kerajaan Ceng membidikkan meriam air ke arah atas tembok kota. Begitu serdadu Lo Sat menembakkan meriam, mereka juga menyemprotkan air dalam waktu yang bersamaan. Meriam yang meluncur ke depan langsung terpental membalik oleh kencangnya semburan air, jatuhnya tepat di atas tembok tempat para serdadu Lo Sat sedang mengintai Blammm!

Terdengar suara dentuman meriam disusul dengan jeritan yang menyayat hati. Serdadu Lo Sat yang ada di atas tembok mati dengan tubuh hancur akibat "Senjata yang makan tuan".

Siau Po bertepuk tangan keras-keras. Dia tidak menyangka semburan air yang kuat dapat membalikkan meriam yang sedang meluncur, semangatnya terbangkit kembali. Keyakinannya juga semakin bertambah.

Tulbosin membentak dengan suara keras, dia menyuruh anak buahnya yang lain menggantikan kedudukan serdadu-serdadu yang mati. Tapi anak buahnya malah memalingkan kepala, tidak ada seorang pun yang menuruti perintahnya.

Tulbosin marah sekali, dia mengulurkan tangannya untuk memukul salah seorang serdadu yang ada di dekatnya. Serdadu itu menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindar. Tentunya Tulbosin tidak sudi melepaskan orang itu begitu saja, dia langsung mengejarnya.

Tapi apa mau dikata, tiba-tiba kakinya tergelincir dan jatuh terpeleset, ini yang dinamakan "Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Seorang serdadunya yang lain cepat-cepat mendorong Tulbosin sehingga dia terjatuh ke dalam sebuah lubang yang tadinya digunakan untuk menempatkan meriam.

Tulbosin berusaha memanjat ke atas, tapi salju yang terdapat di sekeliling liang itu licin sekali. Berkali-kali Tulbosin mencoba, namun berkali-kali pula dia terperosok lagi.

"Tolong aku! Tolong aku!" serunya, sementara itu, air yang deras masih menyembur ke dalam kota. Lubang tempat Tulbosin terperosok pun tergenang air, Tulbosin semakin kelabakan, sedangkan para serdadunya malah berkerumun untuk melihat keadaannya yang mengenaskan.

Air yang menggenang di dalam lubang perlahan-lahan membeku menjadi salju. TuIbosin berusaha meronta, namun tidak ada gunanya. Sesaat kemudian, setengah tubuhnya sudah tertimpa salju.

Sementara itu, tampaknya para serdadu Lo Sat sudah bersatu hati. Mereka membuka pintu gerbang lalu berhamburan ke luar sambil berseru, "Menyerah!"

Karena perasaan hatinya yang terlampau gembira, Siau Po sampai melompat turun dari kudanya, lalu menari-nari. Mulutnya mengoceh macam-macam, namun tidak ada seorang prajurit mengerti apa yang diperintahkannya. Untung masih ada beberapa Komandan lain yang sudah berpengalaman dalam peperangan.

Dia segera mengambil alih tugas Siau Po. Serdadu Lo Sat yang menyerah segera dikumpulkan menjadi satu. Kemudian dia memerintahkan ratusan anak buahnya agar masuk ke kota untuk mengambil benda-benda yang bermanfaat bagi mereka.

Dalam keadaan seperti ini, otomatis Siau Po, So Ngo Ta dan beberapa pembesar lainnya juga mendapatkan banyak rejeki, sebagian harta benda yang tidak terkirakan nilainya dibawa ke hadapan Siau Po.

Pihak mereka sudah berhasil memenangkan perang kali ini. Malam harinya diadakan perjamuan besar-besaran, sebagian besar prajurit Kerajaan Ceng masih bekerja keras. Kalau tadi mereka membekukan Kota Ya Ke Lung, sekarang mereka justru mencairkan esnya agar mengalir kembali ke dalam sungai, pekerjaan ini pun bukan pekerjaan yang mudah. Akhirnya mereka memutuskan untuk melakukannya sedikit demi sedikit.

So Ngo Ta dan lainnya memberikan pujian kepada Siau Po. Mereka mengatakan belum pernah ada peperangan yang berhasil segemilang ini dari jaman dulu.

Salah seorang utusan kaisar yang kebetulan masih ada di sana berkata.  "Ketika hamba berangkat dari Kotaraja, Sri Baginda menyuruh hamba melihat perkembangan yang sedang berlangsung. Beliau juga meminta hamba menyampaikan kepada Wi Thayswe agar jangan terlalu banyak melakukan pembunuhan.

Ternyata hari ini Wi Thayswe benar-benar berhasil dengan gemilang. Yang mengagumkan justru tidak adanya korban yang jatuh di pihak kita, walaupun lawan menggunakan senjata api yang dahsyat.

Sejak jaman dulu, mungkin hanya Wi Thayswe seorang yang sanggup melakukannya. Bahkan kelak di kemudian hari belum tentu ada orang yang sanggup menyamai Wi Thayswe."

Siau Po merasa bangga sekali, dan sifat membualnya kumat lagi.

"Untuk menghancurkan sebuah kota seperti Ya Ke Lung sebetulnya juga bukan urusan yang sulit. Satu-satunya kesulitan yang kita temui justru terletak pada sikap Sri Baginda yang pemaaf. Beliau tidak ingin banyak orang menjadi korban walaupun yang dimaksud itu musuh negaranya sendiri itulah sebabnya aku menunggu sampai hari ini baru mengeluarkan strategi yang satu ini. Maksudnya untuk membuktikan kebaikan Sri Baginda. Kita semua bekerja untuk Sri Baginda, melakukan peperangan tanpa perduli berapa banyak korban pun yang jatuh merupakan urusan yang mudah sekali. Tapi bila ingin memenuhi firman kaisar yakni menang dalam perang tanpa jatuh korban, ini memang agak sulit sedikit."

Tentu saja para prajurit tahu bahwa anak muda ini sedang membual, namun untuk memenangkan perang tanpa jatuh korban dari pihak sendiri mereka mengakui memang bukan hal yang mudah.

"Hal ini merupakan rejeki dari Sri Baginda dan bakat ajaib dari Wi Thayswe," kata So Ngo Ta.

"Dalam peperangan kali ini, dari yang pangkatnya tinggi sampai rendah, semuanya telah mendirikan jasa yang besar. Kalau bukan nasib baik yang dibawa oleh utusan kaisar dan So Tayjin, kita juga tidak mungkin memenangkan peperangan ini," sahut Siau Po.

Tentu saja utusan Kaisar dan So Ngo Ta senang sekali mendengar kata-katanya. Mereka merasa terharu atas kebaikan hati Siau Po. Padahal, ketika perang berlangsung mereka berdua selalu menyembunyikan diri jauh-jauh.

Kedua-duanya takut terkena sasaran tembakan atau pun ledakan meriam. Apa hubungannya dengan "nasib baik" yang dikatakan Siau Po? Tapi dengan ucapan Siau Po barusan, berarti mereka berdua juga ikut mendirikan jasa besar dalam peperangan kali ini. Hadiah bagi yang berjasa dalam perang paling banyak dibandingkan hadiah untuk jasa lainnya.

Siau Po paling pandai melihat situasi. Membagi jasa kepada utusan kaisar ini tidak akan merugikan dirinya, malah sebaliknya akan mendatangkan keuntungan baginya. Sekembalinya utusan ini ke Kota-raja, dia pasti akan membual tentang dirinya setinggi langit di hadapan Sri Baginda. Taruhlah jasanya hanya lima bagian juga akan dikatakan sebanyak sepuluh bagian. Kalaupun ada sedikit kesalahan yang pernah dilakukannya, baik sang utusan maupun So Ngo Ta pasti akan ditutupinya. Mereka akan menutup mulut rapat-rapat.

Mereka makan minum dengan lahap. Seorang prajurit datang melaporkan bahwa mereka mendapat kisikan dari serdadu Lo Sat yang menyerah bahwa mereka telah mengeluarkan tubuh Tolbusin. Saat itu sang panglima sudah mati beku. Seluruh tubuhnya berubah menjadi kehijau-hijauan.

"Ketika masih bayi, orang ini diberi nama yang salah. Dia tidak boleh menggunakan nama Tolbusin (Sin merupakan terjemahan dari Cing yang artinya hijau), seharusnya dia bernama Tolbucai (Cai = rejeki) agar rejekinya banyak dan panjang umur. Kalau begitu dia tidak perlu menjadi hijau, malah menjadi kaya," kata Siau Po sembari menarik nafas panjang. Kemudian dia memerintahkan anak buahnya untuk pergi

membeli peti mati guna pemakaman jenasah ToIbusin.

Setelah menyelesaikan berbagai hal yang diperlukan Siau Po mengutus So Ngo Ta bersama utusan kaisar segera memacu kuda mereka kembali ke Kota-raja memberikan laporan kepada Kaisar Kong Hi.

Malam harinya Siau Po dan Song Ji bermalam di rumah yang tadinya ditempati oleh Gubernur setempat Tungku api membara, selimut dari kulit harimau menutupi tubuh. Suasananya romantis sekali.

Tempat ini merupakan tempat nostalgia bagi Siau Po. Ketika dia membuka sebuah peti yang terdapat di samping tempat tidur, isinya ternyata baju seragam serta senapan api.

Song Ji tersenyum.

"Apakah Siangkong berharap dari dalam peti keluar seorang ratu negara Lo Sat?" tanyanya menggoda.

Siau Po tertawa.

"Kau kan Tuan Puteri dari Tiongkok, jauh lebih baik daripada seorang ratu dari Negara Lo Sat," sahutnya tak mau kalah.

Song Ji menjadi geli mendengarnya.

"Sayangnya Puteri Tiongkokmu yang asli masih ada di Peking, bukan di sini," katanya.

"Song Ji ku yang baik, bukankah pekerjaan kita hari ini dapat dikatakan sebuah "jasa yang bukan main besarnya"?" goda Siau Po.

Wajah Song Ji menjadi merah padam. Untuk sesaat dia tersenyum tersipu-sipu. Meskipun dia sudah cukup lama menjadi istri Siau Po, namun mendengar godaan suaminya, dia masih merasa jengah.

Siau Po meraih pinggang Song Ji dan diajaknya duduk di tepi tempat tidur.

"Berkat bantuanmu, akhirnya kita berhasil merebut kembali Gunung Lu Ting San. Sri Baginda menganugerahi aku pangkat Lu Ting Kong, Tampaknya wilayah ini akan menjadi kekuasaanku. Di dalam gunung ini banyak tersimpan emas permata. Perlahan-lahan kita menggalinya. Suatu hari kelak namaku harus diganti menjadi Wi Tuo Po (Wi banyak harta)," katanya.

"Siangkong sudah memiliki banyak uang emas maupun perak. Biar digunakan sampai seumur hidup juga masih berlebihan sedemikian banyaknya emas permata juga tidak ada gunanya. Aku rasa sebaiknya Siangkong tetap menjadi Wi Siau Po (Wi yang hartanya sedikit)," sahut Song Ji.

Siau Po mengecup pipi Song ji dengan lembut.

"Benar, benar! Selama beberapa hari ini aku terus dicekam keraguan. Kalau hanya menggali harta saja sih tidak apa-apa, Takutnya salah menggali sehingga memutuskan urat nadi naga Bangsa Boan Ciu. Dengan demikian aku telah mencelakai Sri Baginda. Selama ini Sri Baginda selalu memperlakukan diriku dengan baik. Bukanlah suatu perbuatan yang terpuji bila aku malah mencelakakannya. Namun

kalau harta itu tidak digali, rasanya sayang juga. Lebih baik begini saja, untuk sementara kita jangan menggali harta karun ini. Apabila suatu hari nanti Sri Baginda sudah wafat, tentunya kita juga sudah jatuh miskin. Sampai saat itu toh masih belum terlambat untuk menggali harta karun ini," katanya pula.

Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba dari dalam peti kemas terdengar suara samar- samar. Kedua orang itu saling melirik sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah peti. Sampai sekian lama tidak terlihat gerakan apa-apa.

Perlahan-lahan Siau Po menepuk tangannya tiga kali, Song Ji keluar untuk memanggil ke empat penjaga yang meronda di depan, Siau Po menunjuk ke arah peti dan berkata dengan suara berbisik. "Di dalam peti ada orang!"

Keempat penjaga itu terkejut setengah mati. Mereka segera membuka tutup peti, tampak di bagian atasnya penuh dengan pakaian seragam. Siau Po memberi isyarat dengan gerakan tangan. Para penjaga itu mengerti lalu mereka mengangkat pakaian seragam itu satu per satu sampai akhirnya tampak sebuah lubang. Tepat pada saat itulah terdengar suara, Dor! Moncong sebuah senapan tersembul ke luar. Salah seorang penjaga yang berada di bagian paling depan menjerit satu kali kemudian roboh terjengkang ke belakang.

Song Ji segera menarik Siau Po lalu berlindung di punggungnya, Siau Po menunjuk ke arah tungku api dan memberikan isyarat kembali dengan tangannya. Seorang penjaga mengajak rekannya mengangkat tungku api itu lalu dituangkannya ke dalam lubang.

Terdengar seseorang berteriak dengan Bahasa Lo Sat dari dalam lubang tersebut.

"Jangan buang bara api, aku akan menyerah!" Disusul dengan suara batuk-batuk yang tidak henti-hentinya. Mungkin nafasnya sesak karena asap yang keluar dari bara api.

"Lemparkan dulu senapanmu, lalu merangkaklah ke luar perlahan-lahan!" kata Siau Po dengan bahasa Lo Sat.

Dari dalam lubang menyembul ke luar sebuah senapan pendek, kemudian tampak seseorang merangkak ke luar. Seorang penjaga menjambak rambut orang itu lalu menariknya ke atas, sedangkan seorang penjaga yang lain segera melintangkan goloknya di leher orang itu.

Janggut orang itu mengeluarkan asap, tampaknya api yang membakar jenggot itu masih belum padam sehingga dia meraung-raung kesakitan.

"Apakah di bawah sana masih ada orang lain?" bentak Siau Po.

Terdengar sahutan dari dalam lubang.

"Masih ada satu orang lain lagi! Aku menyerah! Aku menyerah!"

"Lempar ke luar senapanmu!" teriak Siau Po.

Tampak sekilas cahaya dari dalam lubang berkelebat sebuah golok dilempar ke luar disusul dengan setumpukan kobaran api yang menyala. Rupanya orang yang satu ini mengalami kebakaran di rambut kepalanya.

Para tentaranya atau prajurit yang berada di depan kamar Siau Po mendengar suara gempar di dalam. Mereka segera berhamburan datang untuk melihat kejadian apa yang menimpa Panglima Besar-nya.

Tujuh delapan orang prajurit segera memadamkan api yang membakar rambut dan jenggot kedua orang itu. Setelah itu kedua tawanan tersebut baru diikat dengan tali kuat-kuat.

Tiba-tiba Siau Po menunjuk kepada salah seorang Bangsa Lo Sat sambil berkata. "Kau adalah Wang Pat Se Ki (Si Kura-kura Ayam Mampus)!"

Tawanan itu menunjukkan wajah berseri-seri. "BetuI, betul Pembesar bocah Tiongkok, aku memang bernama Walpatsky!"

Seorang tawanan Lo Sat lainnya juga ikut berseru.

"Pembesar bocah Tiongkok, aku bernama Che-konof!"

Untuk sesaat Siau Po menatap mereka dengan pandangan ragu, jenggot dan rambut mereka terbakar sehingga tidak karuan, sedangkan wajah mereka merah membengkak. Namun masih bisa dikenali. Karena itu dia tertawa terbahak-bahak.

"Benar, benar. Kau memang Cu Ke Juo Fu (Manusia rendah turunan Babi)!"

Chekonof gembira sekali, dia tidak paham apa arti kata-kata Siau Po dalam bahasa Cinanya.

"Betul pembesar bocah Tiongkok, aku kawan baikmu!"

Walpatsky dan Chekonof merupakan dua orang di antara para siwi Ratu Sophia. Tempo hari mereka berdua mengiringi Siau Po berangkat ke Moskow dari kota Ya Ke Lung.

Ketika terjadi keributan tempo hari, ada empat orang siwi bawahan Ratu Sophia yang telah mendirikan jasa besar sehingga pangkatnya naik menjadi Komandan pasukan Perang.

Di saat terjadi bentrokan kembali dengan pasukan Kerajaan Ceng, keempat orang ini diutus kembali untuk meredakannya, akan tetapi kali ini keadaannya justru terbalik, pihak mereka yang mengalami kekalahan.

Dua di antaranya mengalami musibah, yang satu mati kena ledakan, sedangkan satunya lagi mati kedinginan. Sisa dua orang lainnya segera bersembunyi di jalan bawah tanah, mereka berharap dapat melarikan diri ke luar kota.

Tidak disangka-sangka kalau ujung jalan satunya sudah tersumbat, sedangkan ujung sebelah sini merupakan kamar tidur sang Panglima. Mereka jadi mundur salah maju salah, akhirnya malah ketangkap basah.

Tempo hari Siau Po memang memanggil mereka sebagai Wang Pat Se Ki dan Cu Ke Juo Fu, Kedua orang ini tentu saja tidak tahu arti yang sebenarnya. Mereka mengira orang Cina aksennya tidak becus sehingga kata-kata yang diucapkannya agak aneh kedengarannya, itulah sebabnya mereka langsung mengiakan panggilan Siau Po tadi.

Selain itu, mereka sering mendengar Ratu Sophia memanggil Siau Po sebagai "Bocah Tiongkok". Pada mulanya mereka juga menyebut Siau Po sebagai Bocah Tiongkok, tapi setelah Siau Po mendirikan jasa dan dianugerahi pangkat oleh Ratu Sophia, maka mereka menyebutnya "Pembesar Bocah Tiongkok"

Siau Po menanyakan awal kedatangan mereka, lalu menyuruh para prajurit melepaskan ikatan pada kedua tangan tawanan tersebut, kemudian mengajak mereka ke luar untuk menikmati hidangan yang telah disajikan.

Para prajurit khawatir kalau-kalau di dalam lubang masih terdapat para serdadu Bangsa Lo Sat. Mereka lalu menyusup masuk untuk mengadakan pemeriksaan. Akhirnya mereka tahu bahwa lubang itu telah tersumbat di ujungnya sehingga tidak ada jalan untuk melarikan diri.

Komandan para penjaga segera menghadap Siau Po dan memohon pengampunan atas keteledorannya.

Diam-diam dia membayangkan, apabila ada beberapa serdadu Lo Sat yang bersembunyi di dalam lubang itu dan Siau Po serta Song Ji kebetulan tidak memergokinya, lalu kedua suami istri itu terbunuh pada malam harinya, kemungkinan kepalanya sendiri harus dipenggal lima belas kali atas tanggung jawab yang mesti dipikulnya.

Keesokan harinya, Siau Po memanggil Walpatsky dan Chekonof untuk menanyakan keadaan Ratu Sophia. Kedua orang itu mengatakan bahwa Ratu Sophia pandai mengatur politik di negara nya. Para menteri maupun pembesar setempat tidak ada yang berani membantah apapun yang dikatakannya, sedangkan kedua pangeran lainnya masih kecil-kecil, tentu saja mereka menurut saja apa yang dikatakan oleh kakaknya.

Chekonof tertawa sambil berkata, "Tuan puteri kami rindu sekali kepada pembesar Bocah Tiongkok. Kami diperintahkan ke mari untuk mencari berita tentang Anda. Apabila kami berhasil bertemu dengan Anda, maka kami harus mengundang Anda untuk bermain-main lagi ke Moskow. Pasti ada hadiah besar yang menanti Anda di sana."

"Tuan Puteri tidak tahu kalau pembesar Bocah Tiongkok yang memimpin peperangan ini, kalau tidak, semuanya toh merupakan sahabat sehati, kawan karib, tentunya peperangan ini tidak perlu dilanjutkan lagi," kata Walpatsky.

"Ah, kalian hanya mengacau, bohong!" teriak Siau Po.

Kedua orang segera bersumpah seberat-beratnya, mereka menyatakan bahwa apa yang dikatakannya adalah kebenaran yang sejati dan tidak mengada-ada.

Siau Po berpikir dalam hati. - Sri Baginda toh menyuruhku mencari jalan agar dapat berdamai dengan negara Lo Sat. Ada baiknya aku meminta kedua orang ini menjadi penengahnya.

Oleh karena itu, dia berkata, "Aku ingin menulis sepucuk surat, kalian harus menyerahkannya kepada Tuan Puteri. Namun tulisan ceker ayam saja aku tidak bisa, apalagi tulisan Ceng-corang Bangsa Lo Sat. Karena itu aku meminta kalian yang mewakili aku menulisnya."

Untuk sesaat kedua tawanan itu saling memandang sejenak, wajah mereka menunjukkan roman serba salah. Sejak kecil mereka biasa hidup kasar, setelah dewasa diharuskan berlatih agar dapat diandalkan dalam peperangan. Mana mereka punya waktu untuk bersekolah? pada dasarnya kedua tawanan itu tidak berbeda dengan Siau Po. Mereka juga buta huruf. Akhirnya Chekonof mendapat jalan.

"Pembesar Bocah Tiongkok ingin menulis surat cinta, kita tidak akan mengerti menyusun kata-katanya. Sebaiknya kita undang saja seorang ahli Sastra."

Siau Po menyetujuinya. Dia memerintah beberapa anak buahnya untuk membawa kedua tawanan itu agar dapat mencari seorang ahli sastra di antara serdadu-serdadu Lo Sat yang telah menyerah.

Tidak lama kemudian, kedua tawanan itu kembali lagi dengan membawa seorang laki-laki yang bercambang lebat. Pada waktu itu, Bangsa Lo Sat yang mengerti ilmu surat masih sedikit sekali. Ahli Sastra yang ikut dalam pasukan perang mempunyai tugas untuk memimpin pembacaan doa dan memberi ceramah agar para serdadu tetap terbangun semangatnya.

Selain itu masih ada satu tugas khusus yang harus dilakukannya, yakni mewakili para serdadu menulis surat untuk keluarga masing-masing agar para istri dan anak-anak mereka dapat mengetahui keadaan serdadu-serdadu tersebut.

Ahli sastra itu mengenakan seragam serdadu yang kesempitan. Tubuhnya terbungkus ketat bagai bungkus kacang, maka tampak lucu sekali. Dia ketakutan setengah mati ketika mengetahui dua orang tawanan sebangsanya mengajaknya menemui Siau Po.

Dia berkata dengan suara tergagap-gagap. "Tu... han memberkati panglima Cina, semoga seluruh keluarga Pang.. lima Besar Cina dalam keada... an sehat-se... hat se... lalu!"

Siau Po mempersilahkan orang itu duduk.

"Kau wakili aku menulis sepucuk surat untuk Ratu Sophia kalian," katanya.

Ahli sastra itu segera mengiakan berkali-kali, prajurit Siau Po sudah menyediakan berbagai perlengkapan alat tulis yang diperlukan. Ahli sastra itu segera mengambil sebatang pit lalu mulai menulis huruf huruf Lo Sat yang mirip Cengcorang berjalan. Tapi alat tulis yang digunakan Bangsa Cina berlainan dengan yang digunakan Bangsa Lo Sat- Pit yang ujungnya berbulu itu sangat lunak, apabila digunakan untuk menulis, hurufnya jadi tebal tipis tidak karuan. Namun dia tidak berani berkata apa-apa, khawatir ucapannya akan membangkitkan kemarahan panglima Besar Cina itu.

"TuIis begini: "Sejak perpisahan kita tempo hari, siang dan malam aku selalu merindukan Tuan Puteri. Aku sangat berharap dapat mengambil Tuan Puteri sebagai istriku...."

Kalimat yang dibacakan Siau Po membuat ahli sastra itu bagai disambar petir. Tangannya gemetar, dan pit yang digenggamnya sampai membuat coretan panjang di atas kertas.

Chekonof segera menjelaskan kepada ahli sastra itu.

"Pembesar Bocah Tiongkok ini merupakan buah hati Tuan Puteri kita. Tuan Puteri sangat mencintainya. Beliau sering mengatakan bahwa kekasih Bangsa Cina lebih hebat seratus kali lipat dibandingkan kekasih Bangsa Lo Sat sendiri."

Orang ini ingin mengambil hati Siau Po. itulah sebabnya dia sengaja melebih-lebihkan persoalannya.

Ahli sastra itu menganggukkan kepalanya ber-kali-kali.

"BetuI, betul. Memang lebih hebat seratus kali lipat, seratus kali lipat!" ucapnya berkali-kali pula.

Meskipun demikian, biasanya dia menggunakan kata-kata kelas tinggi untuk menulis surat kepada ratunya. Baru kali ini dia disuruh menulis sepucuk surat cinta, dia tidak tahu bagaimana harus menulisnya sehingga akhirnya dia mengambil keputusan untuk menulis apa yang dikatakan Siau Po saja.

Ternyata isinya tidak jauh berbeda dengan surat-surat yang dituIiskan para serdadu untuk istri mereka di kampung halaman. Hanya saja kata-kata yang diucapkan Siau Po lebih membuat bulu roma merinding, antara lain: "Kekasihku tersayang", "Tadi malam aku bermimpi bermesraan lagi denganmu", "Aku menciummu seribu kali" dan lain-lainnya.

Siau Po melihat orang itu menulis dengan cepat sekali, maka hatinya merasa puas sekali.

"Kalian para serdadu Bangsa Lo Sat seenaknya menduduki tanah negara kami, Sri Baginda gusar sekali karena hal ini, itulah sebab aku diutus untuk memimpin pasukan perang guna menggempur kalian, sekarang aku sudah berhasil meringkus sejumlah besar serdadu kalian. Aku akan memotong tubuh mereka sekerat demi sekerat untuk kujadikan Sia-sunik," katanya pula.

Ahli sastra itu terkejut setengah mati mendengar kata-kata Siau Po. Tanpa sadar dia berseru.

"Oh,Tuhanku!"

Siau Po tidak memperdulikan orang itu, dia melanjutkan kata-katanya. "Tapi, karena memandang muka Tuan Putri yang cantik jelita, untuk sementara aku tidak memotong mereka. Namun mereka juga tidak akan kulepaskan begitu saja, sebelum Tuan puteri berjanji kelak tidak akan ada serdadu kalian yang kembali menduduki tanah Tiongkok kami dengan seenaknya sehingga Negara Tiongkok dan Lo

Sat akan menjadi sahabat untuk selamanya. Namun kalau kau tidak menurut apa yang kukatakan, aku akan memimpin sejumlah besar pasukan perang menuju Negara Lo Sat dan membunuh semua laki-Iaki yang ada di sana. Dengan demikian tidak tersisa satu pun laki-Iaki di Negara Lo Sat yang dapat menemanimu tidur di malam hari. Kalau kau ingin ada laki-Iaki yang menemanimu tidur, yang tertinggal hanya laki-Iaki Bangsa Tiongkok kami saja."

Diam-diam ahli sastra merasa tidak puas, dia berkata dalam hati,  -- Kalaupun kau membunuh semua laki-laki Bangsa Lo Sat, yang tertinggal di dunia ini juga bukan hanya laki-Iaki Bangsa Cina saja, Kata-katamu itu benar-benar tidak masuk akal, -- Dia juga merasa kata-kata yang kasar itu tidak pantas ditujukan kepada tuan puterinya. Diam-diam dia merubah kalimat itu menjadi beberapa patah kata-kata yang manis.

Dia membayangkan bahwa Siau Po juga tidak akan mengetahui apa yang ditulisnya. Namun watak orang ini sangat teliti. Dia khawatir ada jejak yang tertinggal sehingga rahasianya akan terbongkar. Karena itu, beberapa kalimat yang diucapkan Siau Po tadi diubahnya dengan kata-kata yang manis, tapi ditulisnya dalam bahasa Latin. Setelah selesai, wajahnya ber-seri-seri dan bibirnya tersenyum.

Terdengar Siau Po berkata kembali.

"Sekarang aku akan mengutus Wang Pat Se Ki dan Cu Ke Juo Fu untuk membawakan surat ini kepadamu, aku juga mengantarkan beberapa macam hadiah. Kau ingin menjadi kekasihku atau musuhku, keputusannya ada di tanganmu sendiri."

Ahli sastra itu kembali mengganti kata-katanya yang terakhir dengan ungkapan yang lebih halus.

"Menteri kecil dari Cina mengingat budi besar yang telah diberikan oleh Tuan Puteri. Sebagai balas jasanya menteri kecil mengirimkan beberapa macam hadiah, seandainya ada jodoh dalam kehidupan yang akan datang, menteri kecil dengan senang hati menjadi hamba bagi Tuan Puteri. Namun dalam kehidupan ini, menteri kecil mengharap kerukunan kedua negara. Bila seluruh serdadu yang tadinya diperintahkan datang menduduki tanah Cina ditarik kembali, hamba akan semakin mengingat budi besar Tuan Puteri." Demikian tulis ahli sastra.

Kalimat yang terakhir merupakan ungkapan keegoisan hatinya sendiri. Dia membayangkan, apabila kedua negara ini tidak bisa didamaikan, maka dia beserta seluruh serdadu Bangsa Lo Sat yang telah menjadi tawanan pasti akan dihukum mati untuk melampiaskan kedongkolan hati si panglima besar ini.

Siau Po menunggu sampai orang itu menyelesaikan suratnya, kemudian baru berkata.

"Sudah, begitu saja, coba bacakan sekali lagi!" Si Ahli Sastra mengangkat surat itu tinggi-tinggi, lalu langsung membacakan sekali lagi isi surat itu. Sampai batas yang telah diubahnya, dia tetap membacakan apa yang dikatakan Siau Po. Bahasa Lo Sat Siau Po memang terbatas, apalagi dia tidak mengerti bahasa surat.

Ketika dia mendengar isinya ternyata tidak banyak berbeda dengan yang dikatakannya, maka hatinya merasa puas. Dia mana mengira ahli sastra itu berani mati mengubah beberapa bagian dari isi suratnya? Dia pun menganggukkan kepalanya dengan puas dan memuji. "Bagus sekali!"

Dia mengambil sebuah cap besar yang tertera nama serta pangkatnya untuk dicapkan di atas sampul sebuah surat. Dengan demikian, surat yang tidak mirip surat cinta, namun berisi kata-kata mesra, juga tidak mirip surat dinas namun berisi pernyataan perdamaian kedua negara ini pun selesai sudah. Dia sendiri yang memasukkan surat tersebut ke dalam ampIop.

Setelah selesai, Siau Po menyuruh ahli sastra itu ke luar untuk menikmati hidangan yang telah disajikan. Kemudian dia memerintahkan seorang ahli sastra Bangsa Ceng untuk merekatkan surat itu serta menulis beberapa kata pengantar di depannya dengan menggunakan tulisan Cina.

Di sini kembali terjadi sedikit kekacauan Ahli sastra berkebangsaan Cina ini menulis nama yang ditujukan oleh surat itu, yakni Ratu Sophia, Namun dalam bahasa Cina, Fi yang ada di tengah nama sang ratu bisa berarti yang bukan-bukan, maka dia merasa bahwa kata-kata itu harus diubahnya. Surat ini ditulis demi kerukunan kedua negara, itulah sebabnya nama Sophia diganti menjadi Sopheisia (Pheisia artinya pelangi melintasi sebetulnya orang itu benar- benar kekurangan pekerjaan. Apa yang ditulisnya saja tidak dimengerti oleh Siau Po kecuali dia mengenali tulisan namanya sendiri, sedangkan Bangsa Lo Sat juga belum tentu mengerti Bahasa Cina, maka kemungkinan

tulisan di depan amplop itu tidak akan menjadi perhatian pihak lawan.

Itulah sebabnya, ketika melihat ahli sastra itu menambahkan tulisan panjang di bagian depan dan blok amplop, Siau Po segera menghentikannya dengan berseru.

"Sudah, sudah! Tulisanmu bagus sekali, bahkan lebih bagus dari tikus Bangsa Lo Sat tadi!"

Dia segera menunjuk seorang wakilnya untuk mengambil beberapa macam benda-benda berharga. Benda-benda itu merupakan sitaan dari dalam Kota Ya Ke Lung, jadi dia tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk membelinya. Setelah itu, kembali dia memerintahkan anak buahnya untuk memanggil Walpatsky dan Chekonof. Kedua orang itu harus memilih seratus serdadu Lo Sat yang telah menyerahkan diri untuk mengawal kepulangan mereka ke Negara Lo Sat mengantarkan surat kepada Ratu Sophia.

Tentu saja kedua komandan itu gembira setengah mati. Berulang kali mereka membungkukkan tubuhnya dan mengucapkan terima kasih. Bahkan mereka juga menarik tangan Siau Po untuk dicium berkali-kali, jenggot kedua orang itu kasar-kasar sehingga punggung telapak tangan Siau Po kegelian. Pemuda itu pun tertawa terbahak-bahak sambil menahan rasa geli di tangannya.

Kota Ya Ke Lung kecil sekali sehingga tidak dapat menampung seluruh prajurit Kerajaan Ceng, karena itu, Siau Po memerintahkan dua orang komandan beserta dua ribu orang prajurit untuk menjaga di kota tersebut sedangkan dia sendiri membawa pasukan besarnya bergerak ke arah selatan, sebelumnya dia berpesan kepada Lim Heng Cu, yaitu salah seorang dari Komandan tersebut bahwa mereka dilarang menggali sumur di Kota Ya Ke Lung, juga tidak boleh menggali jalan di bawah tanah.

Sisa pasukan yang besar itu mulai bergerak ke selatan, Siau Po memerintahkan para serdadu Lo Sat yang telah menyerahkan diri untuk mengganti pakaian mereka dengan seragam prajurit Kerajaan Ceng. Dia juga menyuruh beberapa anak buahnya mengajar mereka Bahasa Cina, sepanjang jalan mereka diharuskan menghafal bermacam-macam pujian bagi Kaisar Kong Hi. Setelah para serdadu itu hafal luar kepala, dia baru memerintahkan sejumlah prajurit nya untuk menggiring mereka ke Kotaraja.

Tidak lupa dia menambahkan bahwa mereka sudah harus menyerukan pujian bagi Kaisar Kerajaan Ceng begitu masuk pintu gerbang Kotaraja dan setelah bertemu dengan rajanya sendiri. Seruan mereka harus di-perkeras. Dia juga mengatakan, apabila seruan mereka semakin lantang, raja akan semakin suka sehingga ada kemungkinan jiwa mereka akan diampuni.

Kurang lebih dua puluh hari kemudian, datang firman kaisar Kong Hi menyatakan salut atas kemenangan mereka. Siau Po dinaikkan lagi pangkatnya menjadi Pangeran Gunung Puncak Menjangan tingkat dua, sedangkan setiap orang yang berjasa dalam peperangan ini juga dinaikkan pangkatnya masing-masing satu tingkat.

Selesai membacakan firman, utusan kaisar menyerahkan sebuah kotak kayu berukiran kepada Siau Po. Anak muda itu menyambutnya sambil mengucapkan terima kasih. Dia tahu isinya pasti merupakan hadiah pribadi dari Kaisar Kong Hi untuknya.

Ketika dia membuka tutup kotak kayu itu, untuk sesaat dia sempat terpana, isinya ternyata sebuah mangkok emas. Di dalam mangkok terukir tulisan "Pangeran yang paling banyak jasa bagi negara". Dia tahu mangkok itu merupakan pemberian Sie Long dulu, namun tulisannya sudah dihapus dan dicetak ulang serta diganti kata-katanya.

Siau Po ingat mangkok emas itu pernah diletakkan dalam lemari pajangan di rumah kediamannya yang lama, mengapa tiba-tiba bisa muncul di sini? Dia merenung sejenak, namun akhirnya mengerti. Tempo hari rumah lamanya sudah diledakkan atas perintah Kaisar Kong Hi. Pasti setelah keadaan aman, para prajurit mengadakan pemeriksaan dan barang-barangnya yang masih bisa diselamatkan tentu mereka serahkan ke sang Raja.

Akhirnya Kaisar Kong Hi menyuruh orang melebur mangkok emas itu dan mencetaknya dengan kalimat yang baru.

Kali ini Kong Hi mcnghadiahkannya kembali kepada Siau Po. Maknanya pasti menyatakan bahwa mangkok nasinya sudah pernah hancur satu kali, sekarang dia harus menjaganya baik-baik agar tidak rusak untuk kedua kalinya.

Siau Po berpikir dalam hati, - Si Raja cilik cukup solider terhadapku. Antara kami harus saling take and give. Dia telah mengampuni berbagai kesalahanku dan akupun tidak boleh merusak nadi naganya --

Malam harinya dia mengadakan perjamuan khusus bagi utusan kaisar. Selesai bersantap dia juga menggelar permainan judi.

Kurang lebih dua bulan kemudian, kembali datang firman dari Kaisar Kong Hi. Namun isinya kali ini ada kerlingan besar dalam pujian bagi dirinya. Kaisar Kong Hi malah mengatakan bahwa Siau Po mengacau saja. isi firmannya antara lain mengatakan: - Sebagai laki-laki harus bijaksana, yang terpenting mendahulukan perasaan sesama manusia. Dalam pandangan Thian Yang Kuasa, manusia di dunia ini tidak ada perbedaannya. Meskipun Bangsa Lo Sat kasar serta kurang terpelajar, namun kita harus menghargai pernyataan takluk mereka. Serdadu yang sudah kalah perang tidak boleh dihina lagi, apalagi mengajarkan mereka menghapal berbagai pujian yang hanya menjatuhkan derajat mereka sendiri.

Bagaimana perasaan mereka ketika mengetahui apa arti seruan yang mereka elu-elukan tiap hari itu? Dalam pandangan Kaisar Kong Hi sendiri, apa yang dilakukan Siau Po itu masih bisa dimaafkan, namun dosanya besar sekali dalam pandangan Yang Kuasa, --

Ternyata kali ini ilmu menepuk pantat kuda salah alamat. Yang ditepuknya bukan pantat kuda tapi kaki kuda sehingga diri sendiri yang tersepak. Untungnya muka Siau Po cukup tebal, di hadapan utusan kaisar itu dia menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya, walaupun dalam hati merasa masa bodoh. Diam-diam dia malah berpikir.  -- Pasti bahasa Cina Bangsa Lo Sat itu kacau balau sehingga Sri Baginda salah tanggapannya, padahal siapa sih di dunia ini yang tidak senang mendapat pujian? -

Akhirnya dia memanggil beberapa anak buahnya yang tempo hari diperintah mengajarkan Bahasa Cina kepada para serdadu Bangsa Lo Sat itu, Dia memaki mereka habis-habisan, Setelah puas dia malah mengajak mereka berjudi. Tentu saja cercaan Kaisar Kong Hi dalam firmannya tidak dipikirkan lagi.

Dengan cepat waktu berlalu, musim dingin telah berganti dengan musim semi. Meskipun kehidupan Siau Po di tempat itu cukup menyenangkan, namun tidak jarang dia merasa rindu terhadap A Ko, Su Cuan dan istri-istrinya yang lain.

Tentunya dia juga merasa kehilangan kedua putra dan seorang putrinya, Cepat-cepat dia menyuruh anak buahnya untuk menyiapkan berbagai hadiah untuk dikirim ke Kotaraja. Keenam istrinya masing-masing mendapat kiriman pakaian serta barang-barang keperluan lainnya.

Namun mereka tahu Siau Po buta huruf, jadi percuma saja bila mereka menulis surat untuknya. Akhirnya mereka hanya menyampaikan kata-kata lisan lewat prajurit yang menjadi utusan Siau Po.

Dikatakan bahwa seluruh keluarga baik yang besar maupun yang kecil dalam keadaan baik-baik saja, semoga Thayswe dapat secepatnya kembali ke samping mereka.

Hari ini kembali datang firman dari Kaisar Kong Hi. Selain itu ada sejumlah tentara pilihan serta beberapa pembesar yang mengiringi kedatangan utusan kaisar tersebut. Mereka diharuskan menemani Siau Po yang akan mengadakan perundingan dengan pihak Negara Lo Sat sehubungan dengan datangnya balasan surat dari kedua pangeran dari negara itu.

Tentu saja surat itu juga ditulis oleh sekretaris negara karena kedua pangeran Lo Sat masih muda belia dan belum berpengalaman dalam masalah politik.

Utusan kaisar membacakan surat balasan dari negara Lo Sat, namun karena kata-katanya yang dalam, dia harus menjelaskan artinya begitu selesai membacakan surat tersebut, Utusan kaisar tertawa.

"Rupanya Ratu dari Negara Lo Sat tidak pernah melupakan kisah asmaranya dengan Wi Thayswe. Hadiah yang dikirimkannya juga banyak sekali, Sri Baginda memerintahkan hamba membawa semuanya ke mari agar dapat diterima langsung oleh Wi Thay-swe," katanya kemudian.

Siau Po mengangkat tangannya ke atas lalu menjura kepada utusan kaisar itu.

"Terima kasih, terima kasih!" sahutnya. "Bangsa Lo Sat benar-benar tidak tahu etiket pergaulan seharusnya mereka merendahkan diri dengan mengatakan "Sedikit hadiah dari Ratu kami", masa membanggakan hadiahnya yang besar. Hadiah yang ditujukan untuk Sri Baginda baru harus yang berat, tapi kalau mengirimkan hadiah besar untukku, bukankah akan menjadi bahan tertawaan orang saja?"

"Memang betul, Wi Thayswe menyuruh para prajurit menggiring serdadu Lo Sat yang telah menyerahkan diri ke Kotaraja, Sri Baginda sendiri yang mengadakan pemeriksaan. Ternyata dalam barisan para serdadu itu ditemukan seorang pejabat tinggi pemerintahan Negara Lo Sat," kata utusan kaisar itu pula.

Siau Po menunjukkan roman terkejut "Masa ada kejadian seperti itu?" tanyanya kurang percaya.

"Orang ini benar-benar licik. Dia sengaja berbaur dengan para serdadu dan tidak pernah memperlihatkan gerak-gerik apapun. Tempo hari Sri Baginda mengadakan pemeriksaan terhadap para tawanan. Karena susah mengadakan komunikasi, Sri Baginda mendatangkan seorang penterjemah berkebangsaan HolIand, Sri Baginda menggunakan Bahasa Latin untuk berbicara dengan Penterjemah itu. Di antara orang

banyak ada seorang serdadu Bangsa Lo Sat, tiba-tiba wajahnya menunjukkan mimik yang mencurigakan Sri Baginda bertanya apakah dia mengerti Bahasa Latin, tapi orang itu terus menggelengkan kepalanya. Kemudian Sri Baginda berkata dalam Bahasa Latin, "Bawa orang ini ke luar dan penggal kepalanya!",

Orang itu terkejut setengah mati lalu dia segera menjatuhkan diri berlutut serta mengaku bahwa dia memang mengerti Bahasa Latin," kata utusan kaisar itu pula.

"Apa sih Bahasa Latin itu? Mengapa Sri Baginda bisa mengerti Bahasa Latin yang digunakan sebagian Bangsa Lo Sat?" tanya Siau Po.

"Sri Baginda sangat cerdas. Bahasa Latin sangat populer di kalangan Barat, tentu saja Sri Baginda mengerti cara menggunakannya," sahut sang utusan.

"Tapi mengapa Sri Baginda tidak mengerti Bahasa Lo Sat malah mengerti Bahasa Latin yang mereka gunakan?" tanya Siau Po yang masih penasaran.

Utusan kaisar itu kebingungan memberikan jawaban.

"Apa sebenarnya rahasia di balik semua ini tentu saja hamba tidak mengerti. Lain kali kalau Thayswe bertemu sendiri dengan Sri Baginda, harap jangan lupa menanyakan hal ini," ujarnya sambil tertawa.

Siau Po menganggukkan kepalanya berkali-kali.

"Kemudian apa yang terjadi dengan orang Lo Sat itu?"

"Sri Baginda menginterogasinya dengan teliti. Perlahan-Iahan rahasianya terkorek juga. Rupanya orang ini bernama Yalcinsky. Dia Gubernur daerah Ya Ke Lung dan Ni Pu Ju," sahut Sang utusan.

Orang-orang yang mendengar keterangan itu langsung mendesah terkejut.

"Pangkat orang ini benar-benar tidak rendah," kata Siau Po.

"lya kan? Boleh dibilang di antara para utusan Negara Lo Sat yang didatangkan ke Negara Timur kita, orang inilah yang pangkatnya paling tinggi. Mungkin ketika terjadi kekacauan dalam kota Ya Ke Lung, orang ini segera mengganti pakaiannya dengan seragam para serdadu sehingga untuk sekian lama kedoknya tidak terbuka," sahut utusan Kaisar itu.

Siau Po menggelengkan kepalanya sambil tertawa.

"Bukan begitu. Ketika terjadi kekacauan di Kota Ya Ke Lung tempo hari, hampir seluruh Bangsa Lo Sat membuka pakaian mereka sehingga telanjang bulat Saking tidak tahan melawan dingin barulah mereka menyerahkan diri. Dalam keadaan demikian, tampang mereka semua hampir sama. Mana bisa membedakan mana komandan, mana serdadu atau pembesarnya?

Memang tidak salah pepatah yang mengatakan "Pangkat seseorang hanya bisa dikenali dari penampilan luarnya saja". Jadi saudaraku, ini bukan semata-mata kesalahanku bukan?"

Para hadirin tertawa terbahak-bahak, mereka berebut menceritakan situasi kemenangan yang diperoleh mereka tempo hari.

Utusan Kaisar itu tertawa geli mendengar keterangan tersebut.

"Begitu rupanya! ini juga tidak dapat disalahkan. Sri Baginda berkata bahwa Siau Po berhasil meringkus Gubernur Ya Ke Lung dan Ni Pu Ju, jasanya ini besar sekali, sayangnya dia agak ceroboh sehingga mengira orang itu hanya seorang serdadu biasa. Jadi dalam hal ini hitungannya seri. Dia tidak mendapat hukuman tapi juga tidak mendapat hadiah apa-apa." Siau Po segera berdiri dan berkata dengan nada

menghormat.

"Budi Sri Baginda tidak terkirakan, hamba merasa terharu sekali!"

"Selama enam hari berturut-turut Sri Baginda menginterogasi Yalcinsky. Berbagai urusan baik yang berhubungan dengan Negara Lo Sat maupun para serdadu nya serta kekuatan mereka ditanyakan satu persatu oleh Sri Baginda. Bahkan akhirnya Sri Baginda berhasil mendapatkan sebuah informasi penting. Seperti yang Wi Thayswe katakan, ketika menyatakan takluk, orang ini tidak mengenakan sehelai benang pun, namun toh dia berhasil menyembunyikan sejumlah dokumen penting," kata si utusan pula.

Siau Po langsung memaki.

"Neneknya! Si Yal entah bau bacin kartu ceki apa ini benar-benar banyak akal busuknya, lain kali kalau bertemu denganku lagi, aku akan menunjukkan sedikit kelihaian di hadapannya! Tapi, di mana dia menyembunyikan dokumen penting itu? Masa dia menyembunyikannya di dalam lubang pan..."

"Ketika para serdadu Lo Sat yang sudah menyatakan takluk harus digiring ke hadapan Sri Baginda, mereka tentunya sudah diperiksa dengan teliti. Bahkan rambut, tubuh sampai ketiak pun harus dipentang lebar-lebar. Baju mereka juga dilepaskan semua. Wi Thayswe kan tahu hati Bangsa Lo Sat itu busuk sekali, bagaimana kalau mereka menyembunyikan senjata tajam secara diam-diam? Yalcinsky ini juga diperiksa secara teliti, pada tubuhnya tidak ditemukan apa-apa, tapi Sri Baginda melihat ada tonjolan pada ketiaknya. Lagipula mata orang itu berkali-kali melirik ke bagian yang satu ini. Maka Sri Baginda bertanya kepadanya, benda apakah yang dikepit dalam ketiaknya itu?

Yalcinsky menyahut bahwa ketiaknya terluka sehingga dibalut dengan kain kasa. Tapi Sri Baginda tidak percaya begitu saja. Beliau segera menyuruh orang untuk membuka perban itu. Wajah Yalcinsky pucat seketika, Wi Thayswe, coba kau tebak apa yang dikempit dalam ketiaknya?"

"Pasti dokumen berharga yang tadi kau katakan bukan?"

Si utusan menepuk tangannya sambil tersenyum.

"Memang benar. Tidak heran kalau Sri Baginda sering memuji kecerdasan Wi Thayswe, ternyata sekali tebak langsung jitu, Yang disembunyikan oleh Yalcinsky itu bukan hanya sebuah dokumen penting, tapi juga merupakan firman rahasia dari kedua pangeran Negara Lo Sat," sahutnya.

Sang utusan mengeluarkan sebuah surat dari dalam saku pakaiannya kemudian membacakan isinya. Rupanya surat itu merupakan warisan dari Raja tua Lo Sat untuk kedua pangerannya, dan ketika Yalcinsky mendapat perintah untuk menjabat sebagai gubernur di daerah Ya Ke Lung dan Ni Pu Ju, surat warisan itu terus dibawanya untuk mengingatkan pesan almarhum rajanya.

Isinya antara Iain menyatakan bahwa Negara Cina adalah negara yang sangat besar, namun sejak jaman dahulu tidak ada seorang pun dari kaisarnya yang berotak cerdas. Negara besar ini mengalami berbagai kemelut. Berebutan tahta kerajaan seakan sudah menjadi tradisi bagi bangsa ini. Oleh karena itu Bangsa Lo Sat harus pandai menggunakan kelemahan mereka untuk menguasai sedikit demi sedikit wilayah Cina.

Yang paling penting adalah mengadu domba bangsa mereka sehingga terjadi perpecahan di mana-mana. Kalau perlu mengajak bangsa lain untuk bekerja sama merebut Negara Cina. Apabila sudah berhasil, barulah enyahkan satu per satu bangsa yang memberikan bantuan sebelumnya.

Setiap kali utusan itu membacakan isi dokumen rahasia, setiap kali pula Siau Po memaki: "Kentut!" Ketika utusan itu selesai membaca, entah sudah berapa kali ucapan itu ke luar dari mulutnya.

Si utusan berkata pula.

"Sri Baginda menyatakan bahwa watak Bangsa Lo Sat sangat membanggakan diri mereka sendiri. Surat ini dibuat oleh almarhum Raja tua. Yakni ayah dari kedua pangeran sekarang, Raja itu belum tahu kelihaian bangsa kita.

Bagian 93

Tapi Bangsa Lo Sat yang sekarang sudah kena batunya, tentunya mereka tidak berani menganggap remeh bangsa kita lagi. Meskipun demikian, di saat mengadakan perundingan dengan mereka, Sri Baginda berharap Wi Thayswe tahu cara berhadapan dengan mereka, sebaiknya sikap keras dan lunak harus saling mengimbangi.

"Memang benar, Sri Baginda memang sudah berpesan agar kita menampar pipi mereka beberapa kali, menendang kaki mereka beberapa kali, setelah itu kita harus menepuk-nepuk pundak mereka beberapa kali dan mengelus-elus punggung mereka beberapa kali," sahut Siau Po seperti biasanya. Tidak karuan.

"Ratu yang memegang tampuk pemerintahan dinegara Lo Sat sekarang juga licik sekali. Dalam surat balasannya dia seakan-akan tidak tahu kalau ada pembesarnya yang sudah tertahan oleh kita. Namun ada beberapa patah kata yang justru membuka kedoknya sendiri. Dia mengatakan bahwa bersedia mengadakan perundingan dengan pihak kita, tapi meminta kita mengembalikan para serdadunya yang berhasil kita tangkap agar dapat diadili di negaranya sendiri," kata utusan kaisar. Siau Po tertawa.

"Enak benar. Dia baru menghadiahkan beberapa lembar kulit macan tutul dan beberapa butir jamrud yang disebutnya sebagai hadiah besar saja lalu mau mengharapkan kita mengembalikan para serdadu?"

"Sri Baginda juga berpesan, apabila Bangsa Lo Sat benar-benar ingin berdamai dengan kita, sebetulnya tidak ada salahnya kalau kita memberikan sedikit kelonggaran. Tapi kita harus membawa pasukan besar ke sana serta mengadakan perjanjian di bawah tembok kota," kata si utusan pula.

"Apa sih yang dimaksud dengan perjanjian di bawah tembok kota?" tanya Siau Po.

"Kedua negara saling menukar tawanan perang masing-masing, tapi dalam hal ini kita berada dipihak yang unggul karena tidak ada prajurit dari pihak kita yang tertawan oleh musuh. Pasukan besar kita mengepung tembok kota. Pihak musuh mengajak berdamai Kita melakukan perundingan dan menandatangani perjanjian di bawah tembok kota, itulah yang dinamakan perjanjian di bawah tembok kota, walaupun hal ini tidak berarti musuh menyatakan takluk terhadap kita, namun setidaknya mereka sudah mengaku kalah," sahut sang utusan menjelaskan.

"Begitu rupanya, sebetulnya kita toh bisa membawa sejumlah pasukan besar untuk merebut kembali daerah Ni Pu Ju. Rasanya bukan hal yang terlalu sulit, bukan?" tanya Siau Po.

"Sri Baginda berkata, bahwa memenangkan beberapa peperangan lagi hatinya tetap merasa yakin. Tapi, di depan mata sekarang ini, Lo Sat adalah sebuah negara besar. Banyak negara kecil yang dikuasainya. Apabila di wilayah Timur pihak mereka mengalami kekalahan secara berturut-turut, gengsi mereka tentu jatuh di mata dunia. Dengan demikian akan timbul pemberontakan dari negara-negara kecil yang tadinya mereka kuasai. Akhirnya pihak Negara Lo Sat akan gusar, mereka akan mengerahkan segenap kekuatannya untuk menggempur kita. Pada saat itu, apakah keberuntungan atau musibah yang akan kita dapatkan, kita masih belum tahu, jadi untuk apa mengambil resiko seberat itu? sedangkan di sebelah barat Negara Lo Sat masih ada satu negara lain yang tidak kalah kuatnya, yakni Negara

Swiss. Kedua belah pihak itu juga sedang saling menggempur. Negara Lo Sat tentu khawatir apabila dari sebelah timur ada pihak lain pula yang menyerang. Kita gunakan kelemahannya ini untuk melakukan negosiasi dengan mereka, setidaknya untuk jangka waktu yang panjang bangsa kita tidak akan mengalami tekanan dari pihak Negara Lo Sat," sahut sang utusan menjelaskan.

Semangat Siau Po sedang menyala-nyala setelah memenangkan peperangan kali ini, ingin rasanya dia membawa pasukan besar untuk menyerang Ni Pu Ju. Hatinya agak kecewa mendengar sri Baginda mengharapkan dia bernegosiasi dengan pihak negara Lo sat. Rasanya kurang seru kalau tidak perang. Tapi ini merupakan keputusan sri Baginda. Tentu saja Siau Po tidak berani membantahnya lagi.

Utusan ini adalah paman sri Baginda, juga merupakan paman istriku, kalau dihitung-hiTung kau adalah generasi tua. Pangkatmu pangeran Tingkat satu, sedangkan aku belum lama dinaikkan pangkat menjadi pangeran Tingkat Dua.

Kali ini Sri Baginda menyuruhku mengadakan perundingan dengan pihak Lo Sat, kau justru dijadikan wakilku. Kalau dipertimbangkan lagi, sri Baginda sudah cukup memberi muka kepadaku, - pikirnya.

Ayah sang utusan yang bernama Tung tu Lai masih saudara kandung ibunda Kaisar Kong Hi, sedangkan ayah mereka ialah orang Han. jadi sebetulnya Kaisar Kong Hi tidak asli Bangsa Boan ciu. Dalam tubuhnya masih mengalir setengah darah Han.

Tung tu Lai sudah meninggal, anaknya Tung Kok Bang (utusan) dianugerahi pangkat pangeran Tingkat satu. Dulu Tung tu Lai menjadi komandan pasukan perang di luar perbatasan, dia memimpin pasukan Bendera Kuning.

Pada jaman keemasannya, jasa orang itu banyak sekali, dan namanya sangat terkenal. Namun Siau Po selalu merasa nama itu kurang bagus, tu Lai... tu Lai, kalau diartikan dalam Bahasa Cina bisa mengandung makna orang yang sudah kalah berjudi tapi tidak mau bayar.

Malam hari itu, Siau Po mengadakan perjamuan sekali lagi, selesai bersantap, seperti biasanya Siau Po mengajak tamunya bermain judi. Tentu saja si utusan raja tidak menolak.

Mereka bermain sampai larut malam. Tung Kok Bang, utusan raja kalah sampai enam ratus tail uang perak lebih. Namun orang itu masih tertawa terbahak-bahak. Tidak sedikit pun tampang orang yang sudah kalah tidak mau membayar. Begitu kembali ke kamarnya, lama Siau Po merenung.

Dia berpikir dalam hati. -Si utusan Raja ini bersikap sportif, untung tidak menuruni nama ayahnya yang Tu Lai, sudah kalah tidak mau bayar orangnya juga cukup menyenangkan masih kerabat si Raja Cilik pula, orang ini harus kugaet agar menjadi teman dekat. -

Keesokan harinya Siau Po mengadakan rapat bersama beberapa menteri dan pembesar yang dikirimkan dari Kota raja. Mereka mengatakan bahwa sebaiknya pasukan perang diberangkatkan sekarang saja karena cepat atau lambat mereka toh harus melakukan perundingan dengan pihak Negara Lo Sat.

Kalau ditunda lama-lama, bisa-bisa pasukan tentara jadi tidak bersemangat lagi, Siau Po menyetujui usul itu, lalu memerintahkan dua orang komandannya untuk menyiapkan pasukan perang dan berangkat hari itujuga ke Kota Ni Pu Ju.

Hari itu juga mereka sampai di pesisir pantai. Ada seorang prajuritnya yang melaporkan bahwa telah datang dua orang komandan yang memimpin sepasukan serdadu, mereka mengajukan permohonan untuk bertemu dengan wi Thayswe. Siau Po menyuruh keduanya menghadap. Rupanya kedua orang itu tidak lain dari Walpatsky dan chekonof, Siau Po gembira sekali melihat mereka.

"Bagus, bagus. Rupanya Wang Pat se Ki dan cu KeJuc Fu" serunya keras-keras.

Kedua orang itu segera membungkukkan tubuh sebagai penghormatan lalu menyerahkan surat balasan dari Ratu sophia.

Si Ahli sastra berkebangsaan Lo Sat yang mewakili Siau Po menulis surat masih ikut dengan rombongan mereka. Tentu saja untuk menjaga kemungkinan apabila tenaganya diperlukan sewaktu-waktu. Disamping itu, kaisar Kong Hi juga mengutus seorang penterjemah berkebangsaan Holland untuk membantu Siau Po dalam melakukan perundingan Siau Po segera memanggil keduanya untuk membacakan surat Ratu sophia.

Si Ahli sastra dari negara Lo Sat telah mengubah sedikit surat Siau Po tempo hari. Dia khawatir dalam surat balasannya Ratu sophia menyinggung hal yang akan membongkar rahasianya. Cepat-cepat dia mengambil surat dari tangan Siau Po dan melihatnya sekilas.

Hatinya baru merasa tenang setelah mengetahui isinya. Dia menyerahkan surat itu kepada Si Penterjemah Holland yang langsung membacakannya dalam Bahasa Cina.

Surat itu menyatakan, bahwa sejak berpisah dengan Siau Po. Ratu sophia juga selalu merindukan anak muda itu. Dia berharap, setelah perundingan berjalan dengan lancar, Siau Po bersedia main ke Moskow untuk mengenangkan kembali masa lalu mereka yang indah.

Siau Po mendapat perhatian serta kasih sayang dari dua kepala negara yang seharusnya menjadi penengah yang adil untuk menghapus segala kesalahpahaman dan sengketa yang tidak diperlukan. Ratu sophia juga berharap Siau Po akan menjadi penunjang tercapainya kerukunan kedua belah pihak.

Dalam suratnya Ratu sophia juga mengatakan bahwa Cina dan Lo sat merupakan dua negara terbesar di Timur dan Barat. Bila kedua negara dapat bekerja sama, maka tidak akan ada negara lain di dunia yang berani mencoba-coba menyerang mereka.

Namun apabila perundingan tidak berjalan sesuai kehendak kedua belah pihak, maka perang yang panjang tidak akan dapat dihindarkan lagi. Akhirnya baik Negara Lo sat maupun Negara Cina akan mengalami kerugian besar.

Ratu sophia berharap Siau Po dapat menunaikan tugas ini dengan baik, agar dapat mendirikan jasa besar bagi Negara Cina, sedangkan Negara Lo sat juga tidak akan melupakan begitu saja kebaikannya.

Dia juga meminta Siau Po membujuk Kaisar Kong Hi agar bersedia membebaskan para serdadu Lo sat yang telah tertawan. Dengan demikian mereka dapat kembali ke keluarga masing-masing yang sudah merasa cemas sekali atas nasib para suaminya.

Ahli Sastra itu sudah selesai membacakan surat dari Ratu sophia, Siau Po melihat Walpatsky dan chekonof memberikan isyarat dengan kedipan mata. Anak muda itu tahu masih ada urusan lain yang ingin dibicarakan kedua orang itu, Siau Po segera menyuruh kedua Ahli sastra Lo sat dan Holland itu meninggalkannya, setelah itu dia baru bertanya.

"Apakah masih ada urusan lain yang ingin kalian bicarakan?"

"Tuan puteri meminta kami menyampaikan pada Pembesar Bocah Tiongkok bahwa laki-laki bangsa Lo Sat tidak ada yang hebat, justru harus Pembesar Bocah Tiongkok seorang yang paling hebat di dunia. Tuan puteri merasa rindu sekali kepada Anda. Biar bagaimana pun hamba berdua harus berhasil mengundang pembesar Bocah Tiongkok mengunjungi Moskov kata Walpatsky.

Siau Po mendengus satu kali, diam-diam dia berpikir.  -- ini pasti rayuan gaya Lo sat, sama sekali tidak dapat dipercayai -

Terdengar chekonof berkata lagi. "Tuan puteri masih mempunyai beberapa macam urusan yang harus dimohonkan penyelesaiannya kepada Pembesar Bocah Tiongkok. Ada pula sesuatu yang diberikan oleh Tuan puteri kepada Pembesar Bocah Tiongkok."

Dia melepaskan rantai tembaga yang melilit di lehernya, gandulannya ternyata sebuah peti besi berbentuk mini, besarnya kurang lebih dua kali kepalan tangan orang dewasa. Demikian pula dengan Walpatsky. Kemungkinan kedua orang itu menempuh jarak jauh, jadi mereka terpaksa menggunakan cara seperti ini untuk menjaga jangan sampai peti kecil itu hilang di perjalanan atau dicuri orang.

Setelah itu chekonof juga mengeluarkan sebuah anak kunci dari selipan ikat pinggangnya. Rupanya tutup peti itu digembok rapat. Dia menggunakan kuncinya untuk membuka peti mini di tangan Walpatsky, sedangkan Wafpatsky juga mengeluarkan anak kuncinya untuk membuka peti mini di tangan chekonof.

Kemudian keduanya menghaturkan peti-peti mini itu dengan hormat ke atas meja dihadapan Siau Po.

Siau Po mengangkat peti mini yang pertama, lalu membalikkan. Terdengarlah suara dentingan, ternyata dari dalamnya tumpah puluhan butir batu permata yang indah-indah, sinarnya menyilaukan mata, ada batu safir, ada Jamrud, batu Mira, bahkan Topaz kuning, sedangkan peti mini yang satunya berisi berlian dan intan yang besar-besar.

Seumur hidupnya, sudah banyak batu permata, emas dan intan berlian yang dilihat Siau Po. Tapi jumlah sebanyak ini dan bentuknya sebesar ini, benar-benar belum pernah ditemuinya, sambil tertawa dia berkata. "Wah, hadiah yang diberikan Tuan puteri benar-benar berat dan besar sekali, aku merasa tidak kuat menerimanya"

"Tuan puteri juga berkata, seandainya Pembesar Bocah Tiongkok bisa menyelesaikan pekerjaan besar yang disodorkannya, masih ada hadiah-hadiah menarik lainnya, seperti sepuluh gadis cantik dari sepuluh negara, yakni India, Nepal, Pakistan, Polandia, Jerman, Swiss, Polinesia, Denmark dan lain-lainnya. Dijamin semuanya masih perawan, bukan janda serta berparas cantik bak dewi kayangan, semuanya akan dipersembahkan kepada Pembesar Bocah Tiongkok" kata Walpatsky

Siau Po tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

"Aku sudah mempunyai tujuh istri, itu saja sudah cukup kesulitan yang kuhadapi. Ditambah sepuluh gadis cantik lagi, si pembesar Bocah Tiongkok ini bisa melayang jiwanya."

"Tidak akan terjadi hal seperti itu," sahut Walpatsky "Kesepuluh gadis cantik ini sudah tersedia. Kami sudah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Masing-masing mempunyai wajah yang tidak kalah ayunya dari sekuntum mawar. Kulit tubuh mereka putih halus seperti secangkir susu, suara mereka seperti kicauan burung yang merdu."

Tentu saja hati Siau Po agak tergerak mendengarnya "Urusan apa sih yang harus aku selesaikan?" tanyanya penasaran.

"Pertama, kedua negara hidup rukun, dengan adil membagi kekuasaan, sejak sekarang tidak ada serdadu lawan yang ditahan," kata Chekonof.

Diam-diam Siau Po berpikir-- Ini toh sama dengan keinginan si Raja Cilik. Hal ini pasti dapat kulakukan dengan baiki-- Dia mengerutkan keningnya lalu berkata. "Di sebelah barat negara Lo sat kalian ada sebuah negara yang bernama Su. Apa gitu, mereka mengirimkan utusan yang menyatakan ajakan kerja sama. Mereka ingin kami bersama-sama memimpin pasukan perang guna menggempur Negara Lo sat dari dua arah. Dengan demikian negara kalian akan kewalahan menghadapinya. Pada saat itu. Negara Polandia keki jerman keki Hindia Belanda keki semuanya bisa kami kuasai, maka jika aku menginginkan wanita cantik macam apa atau berapa pun jumlahnya bukan masalah lagi. Apalagi Tuan puteri kalian hanya mengirimkan masing-masing seorang dari setiap negara, huh. Tidak cukup menggairahkan"

Kedua Komandan dari negara Lo sat itu terkejut setengah mati mendengar kata-katanya.

Pada saat itu negara Swiss dipimpin oleh Raja Charlie ke sebelas. Dia seorang pemuda yang gagah dan pandai mengatur siasat perang. Memang sudah terdengar desas-desus bahwa raja ini ingin memimpin sendiri pasukannya untuk menyerang negara Lo sat. Cepat atau lambat hal ini pasti terjadi, para menteri serta pembesar di Moskov memang sedang mencemaskan masalah ini. Mereka sama sekali

tidak menduga kalau pihak Swiss malah terpikir untuk bekerja sama dengan Cina, walaupun Lo sat adalah negara yang kuat, tapi mereka juga tidak berani menjamin pihak mereka tidak akan kalah digempur dari depan dan belakang.

Siau Po memperhatikan tampang kedua utusan itu. Dia tahu ocehannya sudah termakan oleh mereka. Maka dia berkata pula. "Tapi, bagaimana pun aku dan Tuan puteri kalian merupakan teman sehati. Mana mungkin aku menerima begitu saja usul negara kasar seperti sui apa tadi? Untungnya sekarang kaisar kami belum mengambil keputusan yang mantap. Bila pihak kalian benar-benar ingin berdamai, aku bisa mengusahakan agar utusan dari negara sui apa itu segera dipulangkan."

Kedua Komandan itu senang sekali mendengar janjinya dan cepat-cepat mereka menyahut. "Tentu saja pihak kami mau berdamai setulus-tulusnya, sedikit pun kami tidak sudi berbohong mengenai urusan yang penting ini. Harap pembesar Bocah Tiongkok segera

memulangkan utusan dari Swiss itu, kalau perlu penggal saja batok kepalanya" Siau Po menggelengkan kepalanya.

"Memenggal kepala seorang utusan itu tidak boleh sekali-kali kita lakukan. Apalagi dia sudah mengirimkan aku sedemikian banyak batu permata, sepuluh wanita pilihan dari negara nya. Masa aku tidak tahu diri main penggal saja kepala orang itu, iya kan?" sahut si anak muda ugal-ugalan.

Kedua Komandan Lo sat segera menganggukkan kepalanya berkali-kali.

Mereka berpikir dalam hati. - Rupanya pihak Swiss juga sudah memikirkan segala kemungkinan dengan matang-matang. Belum apa-apa mereka sudah mengantarkan sejumlah hadiah, strategi mereka benar-benar jitu, keluar uang dulu belakangan baru menerima kembali berikut bunganya. -

Sesaat kemudian mereka berpikir lagi, - Untung pembesar Bocah Tiongkok ini merupakan kawan sehati Tuan putri kami, kalau tidak urusan ini bisa runyam jadinya --

"Masih ada urusan apalagi yang Tuan Puteri kalian minta kuselesaikan?" tanya Siau Po pula.

Walpatsky tersenyum.  "Satu urusan lagi yang harus diselesaikan oleh pembesar Bocah Tiongkok tidak dapat tidak harus dilakukan dalam istana Kremlin di Moskow "sahutnya sambil cengar-cengir.

Siau Po mendengus dingin.  -- Lagi-lagi gaya Lo Sat, bisa juga disebut sup perangsang dari Lo Sat, boleh dihirup tidak boleh dipercaya. -- katanya dalam hati.

Sambil tertawa dia berkata pula.  "Rupanya kalian para laki-laki Lo Sat benar-benar tidak ada gunanya"

"Bukannya laki-laki Lo sat tidak ada gunanya, melainkan justru Tuan Puteri kami terlalu merindukan pembesar Bocah Tiongkok." sahut Chekonof.

  -- Lagi-lagi sup perangsang dari Lo sat, -- pikir Siau Po-

"Kalau begitu, tampaknya tidak ada urusan lain yang dipesankan oleh Tuan Puteri kalian?" tanyanya kemudian.

"Ratu Sophia berharap raja kalian mengeluarkan ijin perdagangan bagi kedua negara, dengan demikian perekonomian kita akan semakin lancar," sahut Walpatsky.

"Kalau jalur perdagangan kedua negara bisa diperlancar, kapan saja Tuan puteri dapat mengirimkan surat serta menghadiahkan berbagai barang untuk pembesar Bocah Tiongkok." sambung chekonof.

Dalam hati Siau Po memaki  -- Maknya. Datang lagi semangkok sup yang lain, -- namun diluarnya dia berkata.  "Kalau begitu, niat Tuan puteri melancarkan jalur perdagangan kedua negara adalah mementingkan pribadinya bukan kepentingan umum?"

"Betul, betul. Apa yang dilakukan Tuan puteri kami demi pembesar Bocah Tiongkok." sahut Chekonof.

"Sekarang aku bukan seorang anak kecil lagi. Kalian tidak boleh memanggilku dengan sebutan Pembesar Bocah Tiongkok" kata Siau Po.

Kedua Komandan itu segera membungkukkan tubuh mereka dalam-dalam. "Baik, baik. Kami akan memanggil pembesar orang Dewasa Tiongkok" sahut mereka serentak.

Perlahan-lahan Siau Po mengembangkan seulas senyuman.

"Baiklah. Kalian boleh beristirahat sekarang. Apabila kami berangkat ke Ni Pu Ju, pokoknya kalian harus ikut serta," katanya kemudian. Kedua orang itu terkejut setengah mati. Mata mereka saling lirik sekilas. -Untuk apa pembesar ini datang ke Ni Pu Ju? Apakah dia benar-benar ingin melakukan penyerangan ke kota itu? - tanya mereka dalam hati.

"Kalian tidak perlu khawatir, aku sudah berjanji kepada Tuan Puteri untuk mendamaikan kedua negara. Keberangkatan kami ke sana bukan untuk berperang." kata Siau Po yang dapat menebak isi hati kedua komandan itu. Kedua orang itu sekali lagi membungkukkan tubuhnya rendah-rendah. "Terima kasih pembesar Bo... eh, orang Dewasa Tiongkok"

Kemudian Walpatsky berkata pula, "Tuan puteri kami mendengar bahwa jembatan buatan orang Tiongkok bagus sekali. Biarpun danau atau sungai yang bagaimana lebarnya, orang Tiongkok sanggup membuat jembatan dari batu di atasnya. Di bawahnya tidak menggunakan penyanggah beton pula. Tuan puteri sangat mencintai pembesar orang Dewasa Tiongkok, tentu saja beliau juga mencintai barang-barang

buatan Tiongkok. Oleh karena itu. Tuan puteri berharap pembesar orang Dewasa Tiongkok bersedia mengutus ahli-ahli bangunan untuk pergi ke Moskow dan membuatkan beberapa buah jembatan di sana. Bila ada jembatan buatan orang Tiongkok. Tuan Puteri kami akan melaluinya setiap pagi dan senja hari. Menurut beliau, hal ini sama saja dengan mengenang kembali masa-masa indah bersama Pembesar

orang Dewasa Tiongkok."

Dalam hati Siau Po berpikir, - sup yang dikirimkan perempuan dari Lo sat ini datang semangkok demi semangkok. Kalau aku terus menghirupnya, lama kelamaan aku pasti bisa muntah, secara khusus Tuan putri Lo Sat ini mengincar jembatan batu buatan bangsa kami, ada apa sebenarnya? Pasti ada udang di balik batu. Aku harus hati-hati, jangan sampai terperangkap jerat yang dipasangnya, -- Maka dia berkata. " Kalau Tuan puteri kalian sangat merindukan aku, tofo tidak perlu menyuruh orang membuat jembatan di Moskow, pekerjaan ini rumit sekali, jumlah tenaga kerjanya juga banyaki waktunya lama pula. Biar aku kirimkan beberapa lembar selimut dan bantal guling saja. Dengan demikian, apabila Tuan Puteri kalian memeluk bantal guling itu dan mengenakan selimutnya, tidak ubahnya ada laki-laki Tiongkok yang menemaninya di tempat tidur."

Tampang kedua komandan itu jadi aneh kelihatannya. Mereka saling lirik sekilas. "Ini... Ini... rasanya " kata Chekonof tergagap.

Tampaknya otak Walpatsky lebih encer daripada rekannya, dia segera berkata. "Usul yang dikemukakan Pembesar orang Dewasa Tiongkok tadi memang bagus sekali. Biar kami saja yang mengantarkan selimut dan bantal dari Tiongkok. Biarpun Tuan Puteri kami tidak bisa memeluk langsung pembesar orang Dewasa Tiongkok, tidak banyak bedanya apabila beliau memeluk selimut serta bantal guling dari Tiongkok. Namun baik selimut maupun bantal guling merupakan benda yang tidak dapat bertahan lama, satu dua tahun kemudian pasti sudah rusak. Lain halnya dengan jembatan batu, benda itu bisa menjadi kenangan bagi Tuan puteri kami selama-lamanya. Karena itu,

harap Pembesar orang Dewasa Tiongkok tetap mengirimkan beberapa ahli bangunan untuk membuatkan jembatan bagi Tuan Puteri kami,"

Mendengar nada bicara kedua orang itu, tampaknya pihak Negara Lo sat sangat menginginkan pembuatan jembatan batu seperti yang ada di Cina, dia tahu dibalik semua ini pasti ada intrik yang tidak menguntungkan pihaknya.

Siau Po tidak tahu bahwa pembuatan jembatan di Cina pada masa itu menjadi kekaguman negara-negara lainnya. Mereka merasa aneh sebuah jembatan batu yang kekar dapat melintang di atas sungai yang lebar sebetulnya tidak ada intrik apa-apa di balik semua Pihak Negara Lo sat hanya ingin mempelajari cara pembuatannya. Namun kalau meminta secara terang-terangan, pihak Raja di Cina pasti akan menolaknya. Apabila berhasil membujuk Siau Po mendatangkan beberapa ahli bangunan untuk membuatkan jembatan di Moskov, mereka bisa menyuruh ahli mereka melihat cara buatannya dan kemudian menirukannya.

Siau Po berpikir lagi dalam hati.  -- Apa yang semakin kalian inginkan, bapakmu ini semakin tidak sudi memberikannya--  Maka dia berkata.  "Baiklah, aku sudah tahu. Kalian boleh mundur sekarang"

Kedua komandan Lo Sat itu tidak berani banyak bicara lagi. Kemudian setelah memberikan penghormatan mereka pun mengundurkan diri.

Keesokan harinya, pembesar utusan Lo sat yang ada di kota Ni Pu Ju yakni Fedor A-Golovin mendapat laporan bahwa pasukan besar Kerajaan ceng telah tiba. Cepat-cepat dia menyuruh seseorang mengantarkan surat yang menyatakan bahwa dia akan segera menjumpai mereka dan berharap pihak Kerajaan ceng mendirikan kemah di luar kota tersebut.

"Tidak perlu sungkan-sungkan. Biar kami yang mendatanginya sebagai tamu" kata Siau Po

"Para prajurit Kerajaan ceng segera berpencar Lung Pu suki Peng cun dan Komandan perang yang lainnya memimpin pasukan masing-masing untuk mengepung seluruh Kota Ni Pu Ju. Bahkan jalan mundur serdadu Lo sat juga ditutup untuk menjaga kemungkinan mereka melarikan diri. Juga untuk mencegah masuknya bala bantuan dari pihak Barat, Siau Po sendiri memimpin sepasukan prajurit tepat di depan pintu gerbang kota itu. Dia menggerakkan tangan sebagai isyarat. Dalam sekejap mata berpuluh-puluh meriam ditembakkan ke atas sebagai tanda kedatangan mereka.

Para pembesar serta menteri-menteri Lo sat melihat begitu banyaknya prajurit Kerajaan Ceng telah mengepung di sekitar mereka. Malah semangat para prajurit itu begitu berkobar-kobar sehingga sedikit banyak membuat ciut nyali lawan.

Golovin sebagai menteri utusan Lo sat segera menyuruh anak buahnya menyiapkan berbagai macam hadiah untuk dipersembahkan kepada utusan dari Cina, selain itu dia juga menyampaikan surat yang isinya menyatakan bahwa pimpinan kedua negara telah bersepakat untuk berdamai.

Untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan, sebaiknya tentara kedua belah pihak jangan terlalu berdekatan, urusan apa pun dapat dirundingkan secara baik-baik. Bila kedua belah pihak ada satu orang saja yang memulai sengketa, urusannya bisa gawat. Perdamaian pun jangan diharapkan lagi.

Siau Po segera mengajak para menterinya untuk merundingkan masalah ini- supaya banyak mengatakan bahwa Bangsa Tionghoa bukanlah bangsa yang tidak tahu adat istiadat- Karena pihak lain telah meminta secara baik-baik maka Bangsa Tionghoa pun harus menerimanya- Sopan dulu, perang belakangan.

Siau Po langsung meminta para prajuritnya untuk mundur sejauh beberapa li. Golovin melihat prajurit-prajurit Kerajaan ceng telah mengundurkan diri sesuai permintaannya. Hatinya menjadi lapang.

Dia menulis sepucuk surat lagi untuk Siau Po yang isinya menyatakan bahwa dia mempunyai empat hidayat yang diharapkannya dapat dipenuhi oleh Siau Po- Pertama, tempat pertemuan harus dipertengahan antara Kota Ni Pu Ju dan sungai sengelkev. Kedua, pada waktu pertemuan, utusan dari kedua belah pihak akan didampingi oleh empat puluh orang pilihannya. Ketiga, juga disiapkan lima ratus prajurit dari negara masing-masing, serdadu Lo sat menjaga di bawah tembok kota, sedangkan prajurit Kerajaan Ceng menjaga di sepanjang sungai. Empat, utusan kedua negara juga dikawal oleh serdadu serta prajurit dari pihak masing-masing, batasnya dua ratus enam puluh orang. Tidak ada seorang serdadu pun dari kedua belah pihak yang boleh membawa senjata tajam ataupun senapan api.

Golovin mengajukan keempat hidayat ini justru mengingat banyaknya prajurit Kerajaan Ceng yang datang, sedangkan serdadu dari pihaknya jauh lebih sedikit. Kalau jumlah pengawal utusan itu tidak dibatasi kerugian pasti ada di pihaknya.

Siau Po mengajak para menterinya merundingkan persyaratan yang diajukan oleh Golovin. Mereka merasa permintaan itu dapat dipenuhi, maka waktu pertemuan pun ditentukan malam hari itu juga. Siau Po menyuruh orang mendirikan tenda besar untuk tempat berlangsungnya pertemuan.

Keesokan harinya, Siau Po, So Ngo Ta dan Tang Kok Bang membawa empat puluh orang pilihan serta dua ratus prajurit ke tempat pertemuan.

Di depan pintu Ni Pu Ju yang terpentang lebar, tampak cGolovin memimpin sejumlah pasukan berkuda yang semuanya dilengkapi dengan perisai. Mereka berbaris dengan rapi, tampak gagah dan berwibawa. Melihat hal itu, Siau Po langsung memaki. "Neneknya setan Lo sat benar-benar licik. Dalam syarat yang diajukan kemarin hanya dikatakan bahwa masing-masing utusan boleh membawa pengawal sebanyak dua ratus enam puluh orang. Kita justru tidak menanyakan pasukan jalan kaki atau pasukan berkuda. Telah dicantumkan pula bahwa kedua belah pihak tidak boleh membawa senjata tajam, tidak tahunya mereka justru membawa perisai untuk melindungi diri"

"Hal ini mengingatkan kita bahwa dalam mengadakan perjanjian dengan pihak mereka kita harus super hati-hati. Kalau kita melakukan setitik kecerobohan saja, kita bisa tergelincir habis-habisan" kata So Ngo Ta.

Sementara kedua orang itu berbicara, pasukan berkuda Lo sat sudah hampir sampai di hadapan mereka.

"Kita ikuti saja perintah sri Baginda, Bangsa kita adalah bangsa yang tahu sopan santun, tidak suka menggunakan kekerasan. Kita tunjukkan terlebih dahulu niat baik kita, sebaiknya kita turun dari kuda." ujar Tang Kok Bang.

"Baik, semuanya turun dari kuda" teriak Siau Po memberikan perintah.

Empat puluh orang pilihan yang mengiringi kedatangan memang menunggang kuda. Mereka segera turun dan berdiri dengan rapi. Golovin yang melihat hal itu segera berseru lantang dan para pengikutnya pun segera turun dari kuda masing-masing.

Kedua belah pihak sama-sama maju untuk berhadapan.

"Utusan Raja dari Negara Lo sat, Golovin mendoakan semoga sri Baginda serta keluarganya di Tiong goan dalam keadaan sehat-sehat selalu" ujar Golovin dengan suara lantang.

Siau Po menirukan kata-kata lawannya, "Utusan dari Kerajaan ceng mendapat perintah dari Kaisar Kong Hi untuk mendoakan semoga pangeran-pangeran beserta seluruh keluarganya di Moskow dalam keadaan sehat-sehat selalu"

Dia membungkukkan tubuhnya memberi hormat lalu menambahkan sedikit, "semoga Tuan Puteri sophia juga selalu cantik dan berbahagia" Golovin tersenyum simpul. Dalam hati dia berpikir. - Kaisar Cina kok mendoakan semoga Tuan puteri kami selalu cantik dan

berbahagia? Tapi kalau Tuan Puteri mendengarnya, tentu beliau akan merasa senang juga. -

Kedua belah pihak segera mengenalkan menteri-menteri dan pembesar dari negara masing-masing lalu berbasa-basi sedikit, setelah itu masing-masing mengemukakan pendapat tentang perjanjian yang harus disetujui.

Siau Po melihat para pembesar dan menteri dari Negara Lo sat mendengarkan Ahli sastra Cina membacakan surat kaisar dengan tenang dan sopan, tapi ke dua ratus enam puluh serdadu negara itu justru sudah melompat naik ke atas kuda masing-masing dan mengacung-acungkan perisai di tangan mereka tinggi-tinggi. Siau Po yang melihatnya semakin lama semakin mendongkol.

Ucapan ini dikatakan dalam Bahasa Lo sat. Biasanya bahasa asing yang terucap dari mulut anak muda ini selalu kacau balau, tapi dalam keadaan serius ternyata dia dapat menggunakannya dengan baik. Bahkan aksennya mengandung wibawa yang dalam.

"Serdadu kalian benar-benar tidak mengenal sopan santun bertemu dengan pembesar orang Dewasa Tiongkok seharusnya mereka turun dari kuda dan menunggu sampai pertemuan selesai"

Golovin menyahut dengan tenang.

"Negara kami mempunyai peraturan tersendiri biarpun berhadapan dengan pangeran kami sendiri, serdadu pasukan berkuda tidak perlu turun dari tunggangannya masing-masing"

"Daerah ini masuk wilayah Tiongkok. Maka kalian harus mengikuti peraturan Tiongkok pula," kata Siau Po.

Golovin menggelengkan kepalanya, "Pendapat Tayjin salah ini merupakan tanah yang telah dikuasai oleh negara kami, jadi peraturan yang harus dipakai adalah peraturan kami pula," sahutnya.

Pertemuan yang akan diadakan hari itu justru mempersoalkan siapa pemilik tanah tersebut. Hasil keputusan rapat nanti masih belum diketahui, namun utusan kedua belah pihak negara begitu bertemu sudah berdebat, "Kalian Bangsa Lo Sat datang ke sebuah tempat, kemudian kalian bangun menjadi sebuah kota, dengan demikian apakah berarti tanah itu sudah menjadi milik kalian? Di dunia ini mana ada peraturan seperti itu?" kata Siau Po.

"lni merupakan tanah kekuasaan Negara Lo sat kami, itulah sebabnya kami mendirikan kota di sini, orang Cina toh tidak mendirikan kota di sini, jadi tanah ini memang milik bangsa kami, Tayjin berani mengakui tanah ini merupakan milik Negara Cina, apakah ada bukti-bukti yang menguatkannya?" tanya Golovin tak mau kalah.

Sebetulnya kota Ni Pu Ju merupakan daerah bebas tadinya, tidak ada negara mana pun yang pernah mendebatkan masalah ini. Bahkan dalam buku peta pun tidak tertera kalau wilayah ini masuk wilayah Cina atau Rusia (Lo Sat).

Tapi sejak kota itu mulai dibangun dan banyak penghuninya yang terdiri dari berbagai golongan ras, maka Cina dan Rusia pun saling memperebutkannya dan mengakui wilayah itu sebagai tanah milik negara masing-masing.

Siau Po yang mendapatkan pertanyaan tadi jadi bingung. Kalau dia berdebat dengan menggunakan Bahasa Lo sat, perbendaharaan kata-katanya dalam bahasa itu terbatas sekali. Untuk percakapan saja dia sudah kewalahan, apalagi harus bersilat lidah? Hatinya marah sekali.

"lni merupakan tanah Negara Cina Kami mempunyai banyak bukti" teriaknya.

Kemudian dia mengganti kata-katanya dengan menggunakan bahasa daerah Yang-ciu, kampung kelahirannya, "Maknya. Aku ini pernah menjadi leluhur Bangsa Lo Sat dari generasi ke tujuh belas"

Sekali makian terlontar dari mulutnya, kata-katanya ibarat sungai deras yang mengalir di saat banjir, sampai-sampai nenek kakek buyut, istri dan anak-anak Golovin pun tidak terhindar dari caci maki nya.

Melihat utusan dari Tiongkok itu marah sekali, menteri-menteri dan pembesar kedua negara menjadi bingung sekali, jangankan Golovin yang tidak mahir berbahasa Cina, bahkan banyak prajurit dari pihak Siau Po sendiri tidak mengerti apa yang diucapkannya.

Bahasa yang digunakan Siau Po merupakan caci maki dari kalangan rendah di kota Yang-ciu orang-orang dari keluarga baik-baik dalam kota itu mungkin hanya bisa menangkap dua atau tiga bagian kata-katanya. Apalagi So Ngo Ta, Tung Kok Bang yang selamanya tinggal di utara dan mendapat didikan dari kalangan istana?

Setelah memaki panjang lebar, hati Siau Po sudah terasa lapang. Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak

Walaupun tidak mengerti maksud ucapan Siau Po, tapi melihat mimik wajahnya saja Golovin dapat merasakan bahwa anak muda itu sedang melampiaskan kemarahan di hatinya. Dan ketika dia melihat akhirnya Siau Po tertawa terbahak-bahak, dia malah terkesima. Untuk sesaat dia menatap Siau Po dengan pandangan terpana.

"Mohon tanya kepada Tayjin, petunjuk apa yang diberikan oleh Tayjin barusan?" tanyanya kemudian

"Harap dimaklumi, bahasa Cina kami terbatas, sedangkan bahasa yang digunakan Tayjin adalah bahasa tinggi semoga Tayjin bersedia mengulangi satu persatu dan menjelaskan maknanya agar kami sekalian dapat mengerti."

"Tadi aku mengatakan bahwa kau benar-benar tidak tahu aturan, aku ingin mengambil nenek moyangmu menjadi istriku." Golovin tersenyum.

"Ketika masih gadis, nenekku terkenal di Kota Moskow karena kecantikannya. Banyak bangsawan negara kami yang tergila-gila kepadanya. Ayahnya adalah menteri Pedrovousky yang gagah. Rupanya Tayjin juga pernah mendengar tentang kecantikan nenekku. Aku merasa bangga sekali karenanya, sayangnya nenekku sudah mati sejak tiga puluh delapan tahun yang lalu," sahutnya

"Kalau begitu aku memilih ibumu saja untuk menjadi kekasih atau istriku," kata Siau Po pula

Wajah Golovin semakin berseri-seri, kelihatan kalau hatinya sedang gembira sekali.

"Ibuku juga keturunan orang terkenal wajahnya bersih, kulitnya halus. Beliau pandai membuat puisi dalam Bahasa Perancis. Di dalam Kota Moskov saja entah ada berapa puluh pangeran yang jatuh hati kepadanya. Di negara kami ada seorang penyair yang pernah menuliskan lima puluh lembar puisi untuk ibuku, usianya sekarang sudah enam puluh tiga tahun, tapi tampangnya tidak melebihi wanita yang berusia tiga puluhan. Kalau suatu hari pembesar orang Dewasa Tiongkok berkunjung ke Moskow, aku pasti akan mengenalkan kalian berdua. Tapi untuk menikah rasanya tidak mungkin. Kalau jadi kekasih hati saja, tentu tidak apa-apa seandainya ibuku juga bersedia"

Kebudayaan barat memang jauh berbeda dengan kebudayaan timur. Bila ada memuji istri atau ibunya, mereka bukannya cemburu, justru malah merasa bangga. Bahkan merasa lebih menyenangkan daripada dirinya sendiri yang dipuji.

Siau Po justru salah paham. Dia menyangka Golovin merasa gentar terhadapnya sehingga ibu sendiri pun rela dipersembahkan baginya. Kemarahan yang menyelimuti hatinya tadi sirna seketika. Apalagi mendengar nada suaranya, tampaknya Golovin bersedia mengangkat dirinya sebagai ayah tirinya. Sambil tertawa dia berkata pula. "Bagus, bagus sekali. Lain kali kalau aku berkunjung ke Moskov, aku pasti akan menjadi tamu langganan dalam rumahmu" Dia menarik tangan, Golovin lalu diajaknya masuk ke dalam rumah.

Pengikut dari kedua negara pun ikut masuk ke dalam tenda yang besar itu.

Rombongan Siau Po duduk di sebelah timur, sedangkan rombongan Golovin di sebelah barat.

                                             0oo0

"Ratu yang memegang tampuk pemerintahan di negara kami berpesan bahwa dalam perundingan menuju perdamaian kali ini, pihak kami benar-benar tulus. Kedua belah pihak harus adil siapa pun jangan sampai ada yang menekan pihak lainnya. Karena itu pula, negara kami mengusulkan untuk menggunakan sungai Hek Liong Kiang sebagai batas. Bagian utara sungai (Kiang Pak) merupakan wilayah kami, sedangkan sebelah selatan, yakni Kiang Lam menjadi wilayah Tiongkok. Kalau perundingan ini disetujui, mulai sekarang serdadu kami tidak boleh menginjakkan kaki ke wilayah selatan dan prajurit Kerajaan Ceng tidak boleh melintas ke utara," kata Golovin sebagai pembukaan.

"Kalau Kota ya Ke Lung itu termasuk wilayah utara atau selatan?" tanya Siau Po.

"Letaknya di sebelah utara sungai Kota itu juga dibangun oleh bangsa kami, jadi termasuk wilayah kekuasaan kami," sahut Golovin.

Mendengar kata-katanya, hawa amarah dalam dada Siau Po meluap lagi.

"Di tengah-tengah Kota ya Ke Lung ada sebuah gunung, tahukah kalian apa nama gunung itu?" tanyanya.

Golovin menolehkan wajahnya dan bertanya kepada seorang tua yang berdiri di belakangnya, setelah itu dia baru menjawab.

"Namanya gunung Kocutle"

Siau Po tahu "Kocutle" artinya Menjangan, maka dia berkata. "Dalam Bahasa Cina disebut Lu Ting san (gunung Puncak Menjangan). Tahukah kau pangkat apa yang aku jabat sekarang?"

"Tayjin adalah Lu Ting Kong, dalam bahasa kami disebut Kong ciak dari Kocutle," sahut Golovin.

"Kalau begitu kau sengaja ingin menentang aku. Kau sudah tahu kalau aku ini Lu Ting Kong, tapi kau sengaja menguasai gunung Lu Ting san jadi kau menginginkan agar aku tidak mendapat jabatan sebagai Kong ciak."

"Tidaki tidak. Kami tidak bermaksud demikian," sahut Golovin cepat.

"Sekarang aku ingin tahu apa jabatanmu?" tanya Siau Po pula.

"Jabatanku sekarang Menteri Lomonosasj"

"Baik, Lomonosasj itu terletak di sebelah mana Tiongkok?"

Golovin sempat terkejut mendengar pertanyaannya, tapi segera tersenyum.

"Lomonosasj terletak di sebelah barat Moskow, mana ada kaitannya dengan Negara Tiongkok?"

"Tadi kau mengatakan bahwa jabatanmu juga berdasar nama suatu tempat yakni Laomanosasi...."

"Laomanosasi," sela Golovin.

Siau Po tidak memperdulikannya, dia tetap melanjutkan kata-katanya.

"Berapa jauh jarak antara Pe King, Kota raja kami dengan Lomona apa tadi? Harus menempuh perjalanan berapa hari?"

Jarak dari Lomonosasj ke Moskow saja kurang lebih lima ratus li, setidaknya menempuh perjalanan lima hari. Sedangkan ke Kota raja Cina mungkin harus menghabiskan waktu tiga bulan lebih."

"Taruhlah waktu yang dihabiskan untuk menempuh perjalanan itu kurang lebih tiga bulan lima hari. Wah, benar-benar perjalanan yang panjang" kata Siau Po pula.

"Ya, memang perjalanan yang panjang sekali." sahut Golovin.

"Kalau perjalanannya saja sepanjang itu, sudah pasti wilayah Lomono apa tadi bukan lagi termasuk wilayah Cina," kata Siau Po pula. Golovin tersenyum.

"Apa yang dikatakan Tayjin memang tepat sekali." Siau Po mengangkat cawan araknya. "Silahkan minum" ajaknya.

Orang Lo sat gemar minuman keras. Malah mereka memilih tidak makan daripada tidak meneguk minuman keras. Tapi setidaknya Golovin tahu aturan. Arak sudah sejak tadi disajikan di depan batang hidungnya, baunya harum semerbak. Namun apabila tuan rumah belum mempersilahkannya minum, sudah pasti dia tidak berani menyentuhnya, sekarang mendengar ajakan Siau Po, tentu saja hatinya senang sekali. Dia segera mengangkat cawan araknya dan meneguknya sekaligus sampai kering.

Seorang prajurit yang bertugas melayani perjamuan itu segera menuangkan arak lagi ke dalam cawan Golovin. Pembesar dari Moskow itu juga di jamu dengan berbagai hidangan dari lainnya.

Sembari bersantap, iseng-iseng Siau Po bertanya, "Kapan Tuan utusan berangkat dari Moskov?"

"Kami mendapat perintah dari Tuan puteri pada bulan empat tanggal dua belas. Hari itu juga kami berangkat dari Moskov," sahut Golovin.

"Bagus, mari kita keringkan lagi cawan ini. Tang Kong ya (Tung Kok Bang) kami ini kuat minum, kalian harus saling mengeringkan beberapa cawan," kata Siau Po.

Tung Kok Bang segera menyulang Golovin, Masing-masing minum sebanyak tiga cawan.

"Apakah Tuan utusan bulan ini juga sampai di Ni Pu Ju?" tanya Siau Po sambil lalu.

"Kami tiba di sini tanggal lima belas bulan lalu," sahut Golovin,

"Hm, kalian berangkat bulan empat tanggal dua belas, sampai di sini bulan tujuh tanggal lima belas, perjalanannya saja sudah tiga bulan lebihi" kata Siau Po.

"Betul, kami menempuh perjalanan selama tiga bulan lebih. UnTung saja musim dingin sudah berlalu sehingga perjalanan yang harus ditempuh tidak begitu sulit"

Siau Po mengacungkan jempolnya secara tiba-tiba, "Bagus, Kali ini Tuan utusan benar-benar bersikap jujur. Akhirnya dia mengakui

bahwa Ni Pu Ju bukan termasuk wilayah Lo sat," serunya lantang. Golovin sudah menenggak belasan cawak arak. Dia mulai mabuk.

"Kapan aku pernah mengakui hal ini?" tanyanya, Siau Po tertawa.

"Dari Lomonosa apa tadi ke Kota raja memerlukan waktu selama tiga bulan lebih baru bisa sampah perjalanan itu panjang sekali, jadi Lomonosa apa tadi bukan termasuk wilayah Cina. Sedangkan dari Moskov ke Ni Pu Ju juga memerlukan waktu selama tiga bulan lebih. Ini bukan perjalanan yang pendek lho jadi Ni Pu Ju juga tidak mungkin termasuk wilayah Negara Lo sat."

Golovin mendelikkan matanya lebar-lebar, untuk sesaat dia tidak tahu harus berkata apa, sampai agak lama dia baru menyahut.

"Negara kami sangat luas, tentu saja tidak dapat disamakan."

"Negara Kerajaan ceng kami juga bukan negara kecil," kata Siau Po.

Golovin memaksakan diri untuk mengembangkan seulas senyuman.

"Tay... Tayjin benar-benar suka bergurau. Kedua hal ini mana bisa dibanding-bandingkan?"

"Tuan utusan masih bersikeras kalau Ni Pu Ju ini merupakan wilayah Lo sat. Kalau begitu kita bertukar tempat saja. Kita sama-sama berangkat ke Moskov. Aku akan memohon pada Ratu Sophia untuk menganugerahkan kepadaku jabatan sebagai Menteri Lomonansasa apa, dan kau menjabat sebagai Lu Ting Kong. Dengan demikian maka wilayah Lomonosasa apa itu sudah menjadi wilayah Tiongkok." kata Siau Po pula.

Wajah Golovin langsung berubah merah padam,

"Mana ada aturan seperti itu?" ujarnya.

Hatinya jadi gundah seketika. Dia tahu anak muda ini pernah menjadi kekasih hati Tuan Putirinya. Kalau sampai wanita itu terkena obat bius Cina anak muda ini, urusannya bisa runyam. Kemudian dia berpikir pula. -- Wilayah Lomonosasj merupakan wilayah yang subur dan kaya dengan berbagai produk lokal. Bagaimana kalau Tuan puteri benar-benar memindahkan aku ke kota Ni Pu Ju ini? Di sini wilayahnya terkenal dingin, penduduknya masih segelintir, hasil buminya sedikit, bisa celaka aku jadinya. Apalagi pangkatku yang sebenarnya adalah

Pangeran Tingkat satu. Kalau aku berganti jabatan dengan anak muda ini, bukankah sama saja pangkatku jadi turun? -

Siau Po melihat air muka Golovin yang serba salah sambil tertawa dia melanjutkan lagi.

"Kau malah bermaksud merebut Kota ya Ke Lung. Dengan demikian aku juga tidak bisa menjadi Lu Ting Kong lagi? Biarpun nama wilayahmu yang Lomonosa apa itu kedengarannya kurang enak di telinga, tapi apa boleh buat, tidak ada udang ikan pun jadi".

Golovin berpikir lagi.  -- Rasanya tidak mungkin kalau negara Cina ingin mengakui wilayah Lomonosasj begitu saja. Tapi si bocah Siau Po ini pernah mendirikan jasa bagi Tuan puteri. Bukan tidak mungkin dia diberikan jabatan untuk mengelola wilayah Lomonosasj. Hal ini bisa

membuat aku repot, sedangkan kami juga bukan serius menginginkan Kota ya Ke Lung. Toh kota itu sudah diduduki kalian, memangnya kalian bersedia disuruh keluar begitu saja? --

Karena itu dengan wajah tersenyum dia berkata. "Apabila Tuan utusan mengatakan kota ya Ke Lung merupakan wilayah kalian, ya tidak apa-apa. Kami akan mengalah. Kedua negara tetap menggunakan sungai Hek Liong Kiang sebagai patokan. Kota ya Ke Lung dan daerah sepuluh li di sekitarnya merupakan milik Negara Cina. Hal ini kami biarkan karena memandang muka Tuan utusan saja. Kami sudah mengalah sebisa-bisanya."

Siau Po berpikir dalam hati.  -- Kalian sudah kalah perang masih membuka mulut besar. Coba kalau kalian yang memenangkan peperangan ini. Kemungkinan kota Pe King juga harus kami serahkan kepada kalian --

Meskipun demikian di luarnya dia berkata.  "Kita sudah melakukan peperangan satu kali, entah pihak kalian yang menang atau pihak kami yang menang?"

Golovin mengerutkan keningnya, "Hanya perang kecil, rasanya juga sulit untuk mengatakan siapa yang menang atau siapa yang kalah. Apalagi Tuan puteri kami sudah berpesan, demi kerukunan kedua negara, jangan sekali-sekali berperang, itulah sebabnya kami tidak melakukan pembalasan ketika prajurit Tuan utusan menyerang. Kalau tidak akhir ceritanya tentu berbeda lagi."

Siau Po jadi marah mendengar kata-katanya.

"Jadi kalau Bangsa Lo Sat mengangkat senjata dan menembakkan meriam, bukan melakukan pembalasan namanya?" teriaknya keras-keras.

"Mereka hanya mempertahankan kota yang dianggap milik negaranya... Bukan melakukan pembalasan namanya. Kalau benar-benar berperang, tidak mungkin Bangsa Lo Sat hanya mempertahankan tanpa melakukan pembalasan. Mereka pasti akan mengeluarkan seluruh persediaan senjata api yang paling hebat dan menyerbu langsung ke Kota raja Pe King" sahut Golovin.

Siau Po marah sekali. Dalam hati dia memaki, - Neneknya. Kalian bangsa rambut kuning hanya pandai menggertak. Kalau aku Wi Siau Po sampai termakan gertakanmu, maka aku akan mengikuti margamu, jadi anakmu atau cucumu. Namaku akan kuganti menjadi Siau Po Pedro --

Dia tahu orang Lo sat selalu menggunakan nama kecil di depan dan marganya di belakang, tapi justru tidak tahu bahwa Pedro itu nama kecil si utusan, sedangkan Golovin baru marganya. Kemudian terdengar dia berkata. "Bagus, bagus sekali Tuan Besar, tahukah kau apa yang paling kuharapkan dalam hati ini?"

"Mengenai hal ini aku tidak tahu, harap Tuan utusan memberikan petunjuk" sahut Golovin.

"Jabatanku sekarang baru Kong ciak (gelar pangeran yang diberikan karena mendirikan jasa besar), bukan pangeran asli. Aku mengharapkan kenaikan pangkat sehingga aku bisa menjadi pangeran yang asli atau setidaknya menantu raja," kata Siau Po.

 -- Menjadi pangeran asli atau naik pangkat, memangnya hanya kau yang bercita-cita setinggi, itu? -Ejek Golovin dalam hati. Di luarnya dia justru berkata lain.  "Tuan utusan sangat cerdas dan masih muda, perjalanan yang harus ditempuh masih panjang. Apabila Tayjin mendirikan beberapa jasa lagi, aku yakin lama kelamaan Tayjin akan dianugerahi pangkat sebagai Ceng ong atau pangeran yang dianggap

sedarah dengan rajanya. Dengan setulus hati aku mendoakan agar cita-cita Tayjin segera tercapai."

Siau Po merendahkan suaranya. "Tapi untuk hal ini aku memerlukan bantuanmu," katanya, Golovin tertegun sejenak.

"Tentu saja aku bersedia mengulurkan tangan, tapi entah bantuan apa yang dapat kuberikan?" tanya Golovin.

Siau Po mendekatkan bibirnya ke daun telinga Golovin dan berkata. "Kalau menurut peraturan negara kami, seorang harus sanggup memenangkan peperangan besar barulah dapat dianugerahi kedudukan Pangeran Tingkat satu, sedangkan sekarang ini negara kami sedang damai-damainya, para pemberontak sudah terbasmi semua. Untuk menunggu kesempatan baik ini, mungkin dua atau tiga puluh tahun lagi baru kesampaian, sedangkan dalam perundingan ini kau tidak mau mengalah setindak pun, sebaiknya kau pimpin sejumlah pasukan besar untuk menggempur Kota raja kami, kalau perlu sekarang bunuh dulu dua atau tiga orang menteri utusan Istana. Dengan

demikian kedua negara pasti akan berperang. Kau kerahkan seluruh perlengkapan senjata api dan meriam yang paling dahsyat untuk menyerang Pe King. Dan kami akan bekerja sama dengan negara Swiss mengerahkan segenap kekuatan untuk menggempur Moskow.

Lebih baik lagi kalau perangnya berjalan sadis, darah berceceran di mana-mana, rakyat yang tidak berdosa kita korbankan. Akhirnya toh aku bisa dianugerahi pangkat yang lebih tinggi, bahkan ada kemungkinan kaisar yang sekarang bersedia mengangkatku menjadi saudaranya. Tolong deh. Mudah-mudahan kau sudi memberikan bantuanmu. Tapi bicaranya jangan keras-keras, nanti terdengar oleh orang lain"

Semakin didengarkan hati Golovin semakin terkejut terhadap apa yang dikatakan Siau Po. Dia berpikir bahwa anak muda ini benar-benar nekad. Demi mendapat jabatan sebagai pangeran asli saja rela mengadu domba kedua negara agar berperang, malah bermaksud mengajak negara Swiss bekerja sama untuk menggempur Moskov.

Kalau perang ini sampai terjadi, siapa yang menang atau siapa yang kalah memang masih belum pasti. Tapi situasi di depan mata ini justru tidak menguntungkan pihaknya. Diam-diam Golovin menyesal barusan mengungkit-ungkit soal menggempur Kota raja Pe King segala.

Anak muda di hadapannya ini bukannya gentar malah jadi bersemangat umpannya kali ini sungguh-sungguh salah sasaran. Tapi kalau dia memperlihatkan mimik cemas, pasti akan dipandang rendah oleh Siau Po. Untuk sesaat dia dilanda kebingungan.

Terdengar Siau Po berkata pula. "Sayangnya jarak tempat ini ke Moskov terlalu jauh. Kalau mengerahkan tentara Ceng menyerbu ke sana, kami tidak yakin juga, Jangan-jangan bukannya menang malah kalah. Kalau sampai hal ini terjadi, sri Baginda tentu akan menyalahkan aku...."

Mendengar ucapan Siau Po yang terakhir, otak Golovin berjalan lancar lagi dan wajahnya berseri-seri seketika,

"Betul, betul," sahutnya mengiakan.

"Sebaiknya Tuan utusan jangan menempuh resiko besar ini."

"Aku toh hanya ingin mendirikan jasa besar agar mendapat kenaikan pangkat, bukannya benar-benar ingin menghancurkan Negara Lo sat. Lagipula, negara kalian begitu besar, belum tentu kami sanggup menghancurkannya," kata Siau Po. Kembali Golovin mengiakannya berkali-kali.

"Begini saja" kata Siau Po dengan suara lirih.

"Kau kerahkan pasukan untuk menggempur Pe King, sedangkan aku akan mengerahkan pasukan untuk menggempur Ni Pu Ju. Berhasil menggempur Pe King tentunya merupakan jasamu, berhasil menggempur Ni Pu Ju akan menjadi jasaku. Kita dua bersaudara memimpin peperangan masing-masing. Apa pendapatmu tentang siasat yang satu ini?"

Bagian 94

Diam-diam Golovin mengeluh celaka, pasukannya sekarang hanya ada dua ribuan orang. Untuk merebut kembali Kota Ya Ke Lung saja sudah jadi masalah, apalagi menggempur Kotaraja Negara Cina?

Dalam hati dia berpikir, kalau tidak mengaku kalah. Kemungkinan anak muda ini akan semakin melantur ke mana-mana. Sambil tertawa getir dia berkata. "Harap Tayjin jangan mengambil hati atas apa yang aku ucapkan tadi. Memang aku mengatakan tentang perlengkapan senjata api dan meriam untuk menggempur Kotaraja Pe King, tapi tentunya aku tidak bersungguh-sungguh, sekarang aku menarik kembali semua kata-kataku tadi, anggap saja aku tidak pernah mengatakannya."

Siau Po  memperlihatkan tampang kebingungan. "Kata-kata yang sudah diucapkan kok seenaknya ditarik kembali?" tanyanya.

"Aku benar-benar berharap Tayjin sudi melupakan apa yang kukatakan tadi," sahut Golovin dengan nada lunak.

"Jadi pihakmu bukan benar-benar ada niat untuk menggempur Pe King?"

"Tidak, tidak mungkin kami lakukan hal itu," sahut Golovin tegas.

"Kalian juga tidak bermaksud menguasai Kota ya Ke Lungku lagi?" tanya Siau Po.

"Tidak, kami tidak menginginkannya lagi," sahut Golovin.

"Mengenai Kota Ni Pu Ju ini, berarti kalian juga tidak berani menginginkannya lagi?"

Golovin tertegun.

"Ni Pu Ju merupakan wilayah negara kami, harap Tayjin sudi memaafkannya," sahutnya kemudian.

Siau Po berpikir dalam hati.  -- Bila aku meminta Kota Ni Pu Ju, belum tentu dia akan mengabulkan. Coba aku ingin tahu apa yang akan dikatakannya, jika aku meminta daerah sebelah barat kota Ni Pu Ju. -- Karena itu dia berkata.  "Dalam perundingan kita kali ini, kedua belah pihak harus bertindak adil, jangan sampai ada yang mengalami kerugian, bukan?"

Golovin menganggukkan kepalanya.

"Betul. Kedua negara sama-sama mempunyai kekuasaan. Paling baik kalau dapat berdiri sejajar untuk selama-lamanya."

"Bagus sekali. Kalau wilayah sebelah sana dipotong sampai terlalu dekat kota Moskov, berarti pihak Lo sat yang rugi. Kalau wilayah sini yang dipotong sampai terlalu dekat ke Pe King berarti negara Cina yang rugi. Sebisanya kita harus mengambil jalan tengah. Dua ditambah satu sama dengan lima," kata Siau Po.

"Apa yang dimaksud dengan dua ditambah satu jumlahnya lima?" tanya Golovin tidak mengerti

"Dari Moskov ke kota Pe King kurang lebih harus menempuh perjalanan selama tiga bulan, bukan?" tanya Siau Po tanpa menjawab pertanyaan lawannya.

"Betul," sahut Golovin

"Kalau tiga bulan dibagi dua jadi berapa lama?" tanya Siau Po pula.

Golovin tidak mengerti apa maksud pertanyaan Siau Po, maka dia menjawab seadanya.

"Jadi satu setengah bulan."

"Betul. Kita juga tidak perlu berdebat panjang lebar lagi. Kita kembali saja ke Ibukota negara masing-masing. Kemudian kau berangkat lagi dari Moskov untuk menempuh perjalanan selama satu setengah bulan dan aku juga berangkat dari Kota Pe King untuk

menempuh perjalanan selama satu setengah bulan, sampai waktunya tentu kita akan bertemu bukan?" tanya Siau Po.

"Betul. Tapi entah Tayjin mempunyai maksud apa melakukan hal ini?"

"Ini merupakan cara yang paling adil untuk membagi wilayah. Tempat kita bertemu nanti akan menjadi perbatasannya. Tempat itu jaraknya satu setengah bulan perjalanan dari Moskov, juga memerlukan waktu satu setengah bulan perjalanan dari Kota Pe King.

Kalian tidak rugi, kami pun tidak rugi. Namun berarti peperangan yang kami menangkan tempo hari, jadi sia-sia. Hitung-hitung malah kalian yang untung," kata Siau Po.

Wajah Golovin langsung berubah merah padam

"Ini... ini..." Dia melonjak bangun dari tempat duduknya.

Siau Po tertawa.

"Tentunya kau juga beranggapan cara ini merupakan cara yang teradil, bukan?" Golovin langsung mengibaskan tangannya berkali-kali.

"Tidak, tidak bisa. Kalau membagi wilayah dengan caramu itu, bukankah berarti hampir setengah dari wilayah negara kami akan menjadi milik kalian?" protesnya keras.

"Tidak mungkin setengahnya. Di sebelah barat negara kalian masih banyak negara-negara kecil lainnya, toh tanah di wilayah itu tidak perlu dibagi menjadi dua tambah satu jumlahnya lima dengan negara kami?" saking kesalnya jenggot Golovin sampai berdiri semua.

"Kong ciak Tayjin, kalau kau benar-benar bermaksud membiarkan pertemuan ini menjadi lancar, seharusnya kau mengemukakan usul yang masuk akal. Cara yang kau katakan tadi sepertinya ingin menguasai setengah dari tanah negara kami. Ini.... Ini benar-benar penghinaan namanya"

Dengan marah dia menghentakkan pantatnya di atas kursi sehingga terdengar suara krek seakan tungkai kaki tempat duduknya retak.

Siau Po kembali merendahkan suaranya.

"Sebetulnya mengadakan perundingan untuk mendamaikan kedua negara seperti ini kurang seru, bagaimana kalau kita berperang saja?" tanyanya.

Jangan ditanyakan lagi bagaimana perasaan Golovin saat itu. Rasanya dia ingin menggebrak meja keras-keras sambil berteriak.

"Perang ya Perang. Memangnya aku takut?" Tapi dia membayangkan pula, apabila peperangan ini sampai terjadi, akibatnya benar-benar parah, sedangkan menilik situasi sekarang, tipis sekali kemungkinan dia bisa menang.

Karena itu terpaksa diu menahan kekesalan hatinya dan memilih berdiam diri.

Tiba-tiba Siau Po mengulurkan tangannya untuk menggebrak meja keras-keras, lalu tertawa terbahak-bahak.

"Ada, ada. Aku masih mempunyai cara lain yang lebih adil untuk menentukan batas wilayah negara masing-masing." Dia mengeluarkan dua butir dadu dari balik sakunya lalu ditiupnya satu kali,

"Kau toh tidak bersedia melakukan perang dengan kami, tapi kau juga tidak menggunakan cara dua tambah satu jumlahnya lima. Mari kita taruhan lempar dadu saja, umpamanya jarak antara Pe King dan Moskov seribu li, kita bagi jadi sepuluh bagian setiap bagiannya seribu li. Kita adu lempar dadu sepuluh kali, siapa yang menang akan mendapatkan wilayah seribu li dari perbatasan Kalau rejekimu bagus dan

kau berhasil memenangkan sepuluh kali taruhan, maka kota Pe King akan menjadi milik Negara Lo sat kalian," katanya.

Golovin mendengus dingin.

"Bagaimana kalau pada lemparan yang sepuluh kali itu aku kalah semuanya?" Siau Po tertawa.

"Sebaiknya kau sendirilah yang mengatakannya."

"Apakah tanah negara kami yang luasnya mencapai laksaan li itu harus aku persembahkan kepada kalian?"

"Rasanya nasibmu juga tidak mungkin seburuk itu. Kalau kau bisa menang satu kali saja, berarti kau sudah mempertahankan seribu li tanah kalian. Dua kali menang menjadi dua ribu li. Enam kali menang jadi enam ribu li, kalian malah sudah meraih keuntungan," kata Siau Po.

Golovin semakin marah.

"Untung apanya? jarak sejauh seribu li masih terhitung tanah negara Lo sat kami. Dua ribu li, tujuh ribu li, delapan ribu li juga masih terhitung wilayah negara kami" sejak tadi Siau Po dan Golovin saling berdebat.

Si Ahli sastra dari Kota raja tidak henti-hentinya menterjemahkan. Mula-mula So Ngo Ta dan Tang Kok Bang serta beberapa pembesar lainnya merasa marah karena Golovin dengan seenaknya menentukan sungai Hek Liong Kiang sebagai pembatas kedua negara.

Namun akhirnya mereka mendengar si penterjemah menceritakan perdebatan antara Siau Po dan Golovin. Mereka mendengar bagaimana si anak muda menggunakan cara yang berbeda-beda untuk menaklukkan utusan Lo sat itu.

Siau Po malah mengajak Golovin mengerahkan pasukannya untuk menggempur Kota Pe King. Tentu saja mereka jadi bingung. Tapi mereka juga sadar bahwa Bangsa Lo sat adalah bangsa kasar yang tidak tahu etiket kenegaraan.

Malah belakangan mereka mendengar Siau Po mengajukan cara yang aneh untuk membagi wilayah kedua negara sehingga sang utusan Lo sat menjadi keblinger menghadapinya. Terakhir Siau Po justru mengajak lawannya taruhan lempar dadu.

Diam-diam para pembesar dari Kerajaan ceng itu berpikir.  - Bangsa Lo sat licik dan pandai menggunakan kelemahan orang. Mereka tidak

pernah memakai peraturan, untung kami mempunyai seorang raja yang bijaksana serta cerdas. Beliau bisa berpikir untuk mengirimkan Wi Tayjin ini sebagai utusan untuk mengadakan perundingan dengan pihak Lo sat. Mungkin hanya Wi Tayjin ini seorang pula yang dapat memikirkan bermacam-macam akal busuk untuk menandingi kelihaian Bangsa Lo sat --

Sebetulnya So Ngo Ta, Tang Kok Bang maupun pembesar lain di istana hanya berpura-pura baik dan hormat di hadapan Siau Po, namun di belakangnya mereka justru memandang remeh. Hanya karena kebetulan si anak muda merupakan bawahan yang paling disayang oleh sang Raja, mereka terpaksa mengambil hatinya.  Lagi pula, dalam sikapnya sehari-hari Siau Po sering menunjukkan kebodohannya sendiri. Lagaknya kadang-kadang kelewat norak, sedangkan kali ini sri Baginda memerintahkan anak muda itu menjadi utusan untuk membicarakan masalah perdamaian dengan Negara Lo sat.

Tadinya mereka mengira anak muda ini hanya akan mempermalukan nama negara dengan tindakannya yang konyol. Tidak disangka kecerdasan sri Baginda memang tidak dapat diragukan lagi, pilihannya selalu tepat kalau sekarang yang diutus mendamaikan kedua negara bukan Siau Po, urusannya malah bisa jadi perang besar.

Mungkin dalam seluruh istana, tidak ada orang lain lagi yang lebih cocok melaksanakan tugas ini semakin mendengarkan perdebatan yang diterjemahkan oleh Ahli sastra dari istana, mereka semakin kagum terhadap si anak muda itu. Tentu saja semua ini berkat kepandaian Kaisar Kong Hi pula. Mendengar sampai di sini, tiba-tiba So Ngo Ta menukas.

"Moskov memang asalnya milik negara Cina kami juga."

si Ahli sastra berkebangsaan Holland langsung menterjemahkan kata-kata So Ngo Ta. Tentu saja Golovin jadi terkejut setengah mati. Dia berpikir dalam hati. - Anak muda ini sudah mengoceh yang bukan-bukan, itu sih masih tidak apa-apa, kok engkau si tua bangka malah ikut-ikutan mengacau? Bagaimana mungkin negara kami bisa menjadi milik negara Cina?

Terdengar so Ngo Ta berkata kembali. "Kalau menilik pembicaraan Tuan utusan barusan, wilayah yang sudah pernah diduduki oleh Bangsa Lo sat berarti sudah menjadi milik bangsa kalian, bukan?"

"Memang benar. kok Tanpa hujan tanpa angin kau mengatakan bahwa kota Moskov juga terhitung milik negara kalian, ini benar-benar merupakan lelucon yang paling tidak lucu sepanjang hidupku," sahut Golovin.

"Dan negara kalian terdiri dari berbagai suku, ada Elos atau apa yang besar ada pula Elos kecil Elos putih dan sebagainya, bukan?" tanya so Ngo Ta pula.

"Memang benar, Lo sat adalah negara besar, sudah pasti suku bangsanya juga banyak."

"Tapi suku bangsa kami juga banyak sekali. Ada orang Boan ciu, orang Mongol, orang Han, suku Biau, suku Hwe, Tibet dan lain sebagainya lagi."

"Memang benar Lo sat merupakan negara besar. Cina juga merupakan negara besar. Boleh dibilang Lo sat dan cina merupakan dua negara terbesar yang ada di dunia sekarang ini" sahut Golovin

"Tampaknya para serdadu yang dibawa oleh Tuan utusan kali ini sebagian besar terdiri dari orang-orang suku Ke Lungke" kata so Ngo Ta pula. Golovin tersenyum simpul.

"Ke Lungke merupakan suku bangsa yang paling gagah perkasa dari negara Lo sat kami"

"Kalau begitu, suku bangsa yang lain seperti Elos apa tadi tidak ada yang kegagahannya melebihi suku Ke Lungke?" tanya so Ngo Ta

Tidak bisa dikatakan demikian. Suku Ke Lungke merupakan rakyat negara Lo sat. Suku Elos yang anda katakan juga terdiri dari rakyat negara Lo sat- Tidak ubahnya seperti suku Boan ciu. Han maupun suku Biao dalam negara Cina kalian." so Ngo Ta menganggukkan kepalanya.

"ltu dia. Makanya Moskov juga terhitung wilayah Cina kami," katanya.

Sejak tadi Siau Po hanya mendengarkan perdebatan antara kedua orang itu. Dia tidak mengerti maksud yang terkandung dalam ucapan so Ngo Ta, jarak antara tempat itu dengan Moskov memang laksaan li. Mana mungkin Moskov bisa menjadi milik Cina sebelumnya? Tapi dia mendengar pembicaraan so Ngo Ta yang berputar-putar, sedangkan semakin lama urat hijau di kening Golovin semakin menonjol, pertanda orang itu sudah gusar sekali. Maka tanpa berpikir panjang dia turut berkata. "Moskov memang aslinya milik Negara Cina kami. justru raja-raja bangsa kami berjiwa besar satu orang dikirim untuk bertani di sana, seabad kemudian sudah lupa budi"

Tentu saja Golovin tidak mengerti maksud ucapan Siau Po, tapi dia dapat merasakan bahwa pembicaraan orang-orang dari negara Cina ini semakin lama semakin melenceng dari jalurnya. Tidak mirip dengan orang yang beradab tinggi.

Maka dia pun tertawa dingin, "Hm, dulu aku pernah mendengar bahwa Bangsa Cina sangat sopan tutur katanya, rata-rata berpendidikan tinggi. Tak disangka... he... he... semuanya justru tukang mengibul yang tidak sanggup memperlihatkan bukti apa-apa."

Tuan utusan adalah seorang Menteri besar, taruhlah pendidikannya tidak seberapa tinggi, tapi setidaknya mengerti sejarah Negara Lo sat, bukan?" tanya so Ngo Ta pula.

"Sejarah negara kami mempunyai dokumen yang tersimpan rapi. Bukan hanya ucapan di bibir yang tidak ada bukti apa-apa," sahut Golovin tegas.

"Bagus sekali, jaman dulu Negara Cina kami mempunyai seorang kaisar yang bernama Jengis Khan...."

Mendengar disebutnya nama raja jengis Khan, tanpa sadar Golovin menjerit: "Aduh"

Dalam hati dia mengeluh.  -- Celaka Celaka Kenapa aku sampai melupakan hal yang satu itu? -- Terdengar so Ngo Ta melanjutkan kata-katanya.. "Bangsa Cina kami menyebut jengis Khan sebagai Goan Thaycou. Karena beliaulah yang mendirikan Dinasti Goan. Beliau aslinya orang Mongol seperti yang Tuan utusan kemukakan tadi, baik orang Boan ciu, orang Mongol, orang Han, semuanya sama saja,

termasuk suku bangsa Cina kami. Pada saat itu pasukan Mongol ia pernah menuju barat untuk menggempur Negara Lo sat, bahkan terjadi peperangan sebanyak beberapa kali, sejarah negara kalian mempunyai dokumen yang tertulis, pasti bukan sekedar isapan jempol belaka. Tolong jelaskan, dalam beberapa kali peperangan itu, apakah Bangsa Cina kami yang meraih kemenangan atau Bangsa Lo Sat kalian yang

menang?"

Golovin membisu, sampai sekian lama dia baru menyahut. "Bangsa Mongollah yang menang"

"Suku Mongol terhitung Bangsa Cina juga," kata so Ngo Ta.

Untuk beberapa saat Golovin mendelikkan matanya lebar-lebar, akhirnya dia menganggukkan kepalanya juga.

Siau Po mana tahu cerita sejarah, apalagi yang satu ini. Mendengar perdebatan antara so Ngo Ta dan Golovin, semangatnya jadi terbangun seketika.

"Kalau Bangsa Cina dan Bangsa Lo Sat berperang, sudah pasti Bangsa Lo Sat yang kalah. Kebisaan kalian belum seberapa. Lain kali kalau kita berperang lagi, sebaiknya bangsa kami menggunakan sebelah tangan saja. Kalau memenangkan suatu peperangan terlalu mudah rasanya kurang seru juga," katanya.

Golovin menatapnya dengan pandangan marah. Dalam hati dia berpikir.  - Sayang Tuan puteri telah berpesan wanti-wanti, dalam pertemuan kali ini, bagaimanapun harus berdamai, tidak boleh angkat senjata. Kalau tidak, berdasarkan hinaan kalian atas Bangsa Lo sat saja, aku akan mengajak kau berduel sampai mati --

Siau Po tertawa terkekeh-kekeh, lalu bertanya kepada so Ngo Ta. "So toako, bagaimana caranya jengis Khan dapat mengalahkan Bangsa Lo Sat?"

"Pada waktu itu jengis Khan memerintahkan bawahannya untuk mengerahkan pasukan mereka menuju barat, jumlah tentaranya hanya dua laksa orang. Tapi ternyata mereka sanggup membasmi puluhan laksa serdadu Lo sat, Cucu Jengis Khan, panglima Besar Pa to juga seorang pahlawan. Dia memimpin pasukan perang dan secara gemilang berhasil menduduki Kota Moskov. Malah negara Polandia dan sekitarnya pun berhasil dikuasainya selama puluhan tahun sejak kejadian itu, para pembesar Moskov terpaksa menuruti perkaTaan Bangsa cina, saat itu suku Mongol dari bangsa kita tinggal di tenda yang ditempeli emas permata. Bangsa Lo sat secara berturut-turut datang menyembah. Kalau bangsa kita senang menyepak pantat mereka, orang-orang Lo Sat, tidak berani mengaduh sedikitpun. Kalau ingin tampar juga

demikian. Malah mereka harus berteriak 'Lagi, lagi', kalau tidak, kepalanya bisa kena penggal."

Wajah Golovin sebentar hijau sebentar putih memucat. Apa yang dikatakan oleh so Ngo Ta memang berdasarkan sejarah, bukan cerita yang dikarang-karang, cuma Bangsa Lo sat selamanya tidak pernah mengakui Bangsa Mongol merupakan Bangsa Cina juga. Tapi pada saat ini Mongol memang sudah termasuk wilayah Cina. Kalau mau diperdebatkan bukan urusan yang mudah.

Tuan utusan, rasanya masalah membagi wilayah ini tidak perlu kita lanjutkan lagi, sebaiknya kau kembali saja ke negara mu dan tanyakan pada Tuan puteri kalian kapan Moskov akan dikembalikan kepada Cina? Aku juga ingin cepat-cepat kembali ke Pe King untuk mengumpulkan kulit kerbau dan emas- sebab aku ingin segera membuat sebuah tenda dari emas seperti jaman jengis Khan dulu, setelah itu aku akan meratakan istana Kremlin dan mendirikan tenda emasku itu di atasnya. Pada waktu itu aku akan mengundang Tuan Puteri sophia tidur di dalamnya. Ha ha ha ha" kata Siau Po sambil tertawa terbahak-bahak!

Mendengar sampai di sini, Golovin tidak bisa menahan kemarahan hatinya lagi. Tampak dia menerjang ke luar tenda lalu memberi perintah dengan suara lantang. Terdengarlah suara derap kaki kuda yang riuh. Dua ratus lebih pasukan berkuda langsung menerjang datang.

Siau Po terkejut setengah mati.

"Aduh Makhluk berbulu itu mengajak perang, lebih baik kita kabur saja" teriaknya.

Tang Kok Bang sudah berpengalaman menghadapi perang yang bagaimanapun, maka dia tidak sudi mengalah begitu saja.

"Wi Kong ya tidak perlu panik, kalau memang mesti berperang, kita layani saja. Memangnya kita takut kepada mereka" katanya.

Terdengar suara teriakan lantang dari pasukan berkuda, seluruh tubuh Siau Po gemetaran. Dia menundukkan kepalanya dan menyusup ke kolong meja, Tang Kok Bang dan So Ngo Ta saling memandang. Mimik wajah mereka mengandung kekhawatiran juga.

Tenda disingkap, seseorang masuk dengan langkah lebar. Dialah komandan pasukan yang mengawal kedatangan Siau Po. Dia berseru dengan suara lantang. "Lapor Thayswe..."

Tapi dia tidak melihat panglima besarnya, Siau Po yang bersembunyi di bawah kolong meja mengenali suara Lim Heng Cu, maka dia menjawab.

"Aku... aku ada... di... sini, Ka... lian semua... cepat-cepat menyelamatkan... di.. ri..."

Lim Heng Cu berjongkoki lalu berkata kepada panglimanya yang bersembunyi di kolong meja

"Lapor Panglima serdadu Lo sat hanya besar suaranya. Kita tidak boleh menunjukkan kelemahan. Kalau memang mau dienyahkan, enyahkan saja maknya sekalian"

Siau Po mendengar suaranya yang gagah, perasaannya menjadi jauh lebih tenang. Dia segera keluar dari tempat persembunyiannya. Tadi keadaan memang terlalu mendadak, sehingga tanpa berpikir panjang lagi dia menyusup ke kolong meja, padahal biasanya Siau Po juga bukan orang yang terlalu penakut. Maka dia menepuk dadanya sendiri dan berkata. "Bagus. Kalau mau dienyahkan, enyahkan saja neneknya sekalian Bapakmu ini juga keturunan para kesatria. Kegagahan baru tidak maju, eh bukan, kegagahan barulah berharga" Tanpa menunda waktu lagi, dia menarik tangan Lim Heng Cu dan diajaknya ke luar dari tenda.

Sampai di luar tenda, dia melihat pasukan berkuda Negara Lo Sat berputaran mengelilingi tenda. Entah sejak kapan para serdadu itu sudah menggenggam golok di tangan masing-masing dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Golovin berseru lantang, para serdadu itu segera memencarkan diri sejauh dua ratus depa. Mereka langsung membagi diri menjadi sepuluh kelompok. Setiap kelompok terdiri dari dua puluh enam prajurit berkuda. Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras, beramai-ramai mereka menerjang ke arah Siau Po. Siau Po menjerit. "Aduh Emak". Dia segera membalikkan tubuh untuk menyusup kembali ke dalam tenda, tapi tiba-tiba suatu ingatan melintas dalam benaknya.  -- Kalau Setan-setan Lo sat ini memang berniat membunuhku biar bersembunyi di dalam tenda juga tetap bisa diseret ke luar oleh mereka, tapi muka ini mau ditaruh dimana? Karena itu, meskipun tubuhnya gemetar dan wajahnya berubah menjadi kelabu, dia tetap berdiri tegak di tempatnya-

"Sebarkan barisan untuk melindungi wi Thay-swe" teriak Lim Heng Cu memberikan perintahnya.

Terdengar salah seorang prajurit menyahut. "Baik"

Prajurit Kerajaan Ceng yang berjumlah dua ratus enam puluh orang itu pun segera berpencar dan berbaris rapi melindungi Siau Po dan para pembesar lainnya. Diam-diam Siau Po mencabut belatinya yang tajam dari balik kaus kakinya. - Kalau memang setan Lo sat itu mau main kasar, lebih baik kita ajak duel saja, tidak usah sungkan-sungkan lagi -- pikirnya dalam hati.

Dia segera menghambur ke hadapan So Ngo Ta dan berseru, "so Toako, jangan takut, aku akan melindungimu"

So Ngo Ta sebetulnya Menteri Politik, dia tidak pernah berperang, sejak tadi dia memang sudah ketakutan setengah mati, maka dengan suara bergetar dia menyahut. "Toa... ko hanya... bi... sa menyerah... kan semua... nya kepada saudara... Wi.."

Tampak sepuluh kelompok padukan berkuda itu menerjang datang, jaraknya kurang lebih lima depa, seorang komandan berteriak lantang. Dalam waktu bersamaan dua ratus enam puluh serdadu Lo sat itu menarik tali kendali kudanya masing-masing, dan gerakan kaki kuda pun berhenti sekali lagi sang komandan memberikan aba-aba, pasukan berkuda itu langsung membagi diri menjadi dua kelompok.

Kelompok berjumlah seratus tiga puluh orang, demikian pula dengan kelompok kanan. Mereka lalu bergeraki sebagian ke utara, sebagian ke selatan. Kira-kira mencapai jarak dua ratusan depa mereka berputar lagi, lalu kembali ke tempat semula dan berhenti pada jarak seratusan depa, lalu kembali ke tempat semula dan berhenti pada jarak seratusan depa.

Gerakan mereka teratur sekali, tidak ada kekacauan sedikit pun. Dapat dipastikan bahwa mereka merupakan pasukan berkuda yang sudah terlatih baik, Golovin tertawa terbahak-bahak "Kong ciak Tayjin, bagaimana pendapatmu tentang serdadu Lo sat kami?" tanyanya dengan suara lantang.

Sampai saat ini Siau Po baru tahu bahwa dia hanya pamer kekuatan. Tentu saja si anak muda jadi marah bukan main.

"Itu kan gaya monyet-monyet yang membuat pertunjukkan dalam sirkus. Kalau digunakan untuk berperang, sedikit pun tidak ada gunanya" sahutnya kesal. Golovin juga meluap amarahnya.

"Kita coba sekali lagi" serunya. Dalam hati dia berpikir, - sekali ini aku akan menyuruh mereka menerjang sampai ke depan mata kalian. Aku ingin lihat kalian akan lari ketakutan atau tidak. -- "Renggut topi para prajurit itu" perintahnya sekali lagi.

Seorang komandan menurunkan perintah atasannya, dua ratus orang pasukan berkuda kembali menerjang ke arah prajurit Kerajaan ceng.

"Tebas kaki kuda" teriak Siau Po

"Terima perintah. Kalian dengar Tebas kaki kuda jangan melukai siapa pun" seru Lim Heng cu.

Terdengar suara derap kaki kuda seperti guntur yang menggelegar di siang hari, jarak mereka semakin lama semakin mendekat Lima puluh depa, tiga puluh depa, sepuluh depa, tujuh depa, lima depa. Tiba-tiba Lim Heng cu berseru, "Gelinding kedepan gerakkan golok kalian"

Rupanya pihak Siau Po juga sudah menduga Bangsa Lo sat pasti tidak berlaku jujur.

Walaupun dalam perjanjian dikatakan masing-masing pihak tidak boleh membawa senjata tajam, namun diam-diam para prajurit Kerajaan ceng menyembunyikan golok di balik pakaian masing-masing. Begitu mendengar perintah Lim Heng Cu, dua ratusan prajurit itu segera menggelindingkan tubuhnya ke atas tanah sembari menebaskan golok.

Dua ratus enam puluh prajurit kerajaan Ceng ini merupakan orang-orang pilihan. Mereka rata-rata mahir memainkan ilmu golok. Ketika tubuh mereka menggelinding ke depan sambil menebaskan goloknya, senjata itu tidak memperlihatkan sinar sedikit pun. Hal ini saking cepatnya gerakan tangan mereka.

Para serdadu Lo Sat melihat prajurit-prajurit Kerajaan ceng menggelinding di atas tanah, mereka jadi heran. Padahal serdadu-serdadu Lo sat yang menjaga di kota ya Ke Lung sudah pernah kena batu prajurit Kerajaan Ceng, tapi sayangnya yang mati sudah mati, yang hidup justru sudah menyerahkan diri kepada pihak Cina, sedangkan pasukan berkuda yang melakukan perlawanan kali ini merupakan serdadu-serdadu yang baru didatangkan dari Moskov bersama-sama dengan Golovin.

Mereka belum mengerti kelihaian prajurit Siau Po. Dalam hati mereka justru berpikir. - Berkelahi cara apa itu? Kalian sendiri yang menggelinding di atas tanah, kalau sampai mati terinjak kaki kuda, jangan sampai kalian menyalahkan orang lain -

Dalam sekejap mata rombongan yang pertama sudah menerjang tiba. Mereka masih belum mengerti permainan apa yang dijalankan prajurit Kerajaan Ceng. Tahu-tahu tampak sebagian kuda terkulai jatuh setelah meringkik keras. Menyusul beberapa puluh ekor kuda kembali terkulai dalam keadaan yang sama.

Semuanya berlangsung dengan cepat. Kira-kira seratusan ekor kuda pihak lawan telah tertebas kakinya sehingga jatuh saling menimpa. Keadaan jadi kacau balau.

Pihak Lo sat sudah melihat ketidak beresan ini, Golovin segera memerintahkan serdadu-serdadunya untuk menarik tali kendali kuda dan membalik. Dalam waktu yang sama Lim Heng Cu juga memerintahkan anak buahnya untuk menghambur kembali ke pasukan masing-masing.

Dari pihak Kerajaan ceng hanya ada belasan orang yang terluka, itu pun hanya luka tidak serius. Sambil menahan rasa sakit para prajurit itu kembali ke posisi masing-masing dan berdiri tegak.

Sebagian besar serdadu Lo sat terpelanting dari kudanya. Beberapa diantaranya tertindih tubuh kuda yang berat, sedangkan lainnya terpental mengenai tubuh temannya sendiri. Terdengar suara rintihan kesakitan di sana-sini.

Hanya sisanya yang berhasil melarikan diri jauh-jauh. Teman-temannya yang lain cuma bisa berdiri dengan mulut ternganga dan pandangan terpana serta tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Saat itu Golovin dan beberapa puluh pembesar Lo sat lainnya justru berada di tengah-tengah arena, mereka tidak menduga akan terjadi hal demikian, sebagian besar pasukannya sudah tidak berdaya, sebagian lagi melarikan diri jauh-jauh. Siau Po yang pandai segera memanfaatkan kesempatan itu. "sebagian prajurit mengepung para pembesar lawan" serunya.

Lim Heng Cu menerima perintahnya, sebagian prajuritnya disebar untuk mengepung para pembesar lawan, mereka melintangkan golok masing-masing ke samping sehingga membentuk lingkaran golok. Asal Siau Po berteriak sekali lagi, seluruh golok di tangan prajurit itu akan menebas ke depan.

Bila hal ini sampai terjadi, bukankah rombongan Golovin akan menjadi bola daging?

Melihat situasi saat ini, komandan pasukan berkuda suku Ke Lungke segera melarikan kudanya mendekat sambil berteriak "Jangan melukai orang jangan melukai orang"

Siau Po menolehkan kepalanya kepada Song ji yang mengenakan seragam prajurit Ceng. "Ke sana dan totoklah jalan darah mereka" perintahnya.

Song Ji mengiakan, tubuhnya berkelebat ke arah komandan pasukan berkuda tadi lalu menotok jalan darah di pinggangnya, setelah itu dia juga menotok jalan darah di punggung sang Wakil Komandan.

Seorang Komandan pasukan kecil menyusupkan tangannya ke dalam saku lalu mengeluarkan sepucuk pistol.

"Jangan bergerak" teriaknya.

Dengan gerakan cepat Songji menarik salah seorang serdadu Lo sat yang berada paling dekat dengannya. Dia menggunakan orang itu sebagai perisai sehingga komandan tadi tidak berani menembak.

"Jangan bergerak" teriak komandan itu sekali lagi.

Song Ji menghempaskan tubuh serdadu yang ditariknya tadi ke depan. Komandan pasukan kecil itu terkejut, dia menggeser tubuhnya untuk menghindar tapi gerakan Song Ji lebih cepat, dia menerjang ke arah komandan itu serta mengulurkan jarinya untuk menotok jalan darah di dada orang itu.

Setelah itu dia merebut pistol dari tangannya dan terdengarlah Dorr. Song Ji melepaskan tembakan ke udara.

"Bagus. Dalam persyaratan yang ditentukan tidak boleh ada yang membawa senapan api, dasar kalian Bangsa Lo sat tidak bisa dipercayai teriak Siau Po sambil berjalan ke depan beberapa langkah. Dia menuding Golovin sambil berkata, "Hei, suruh anak buahmu membuang senjatanya masing-masing, dan harus turun dari kudanya. Bagi siapa yang membawa senjata api harus menyerahkannya kepada kami"

Golovin melihat situasi di depan matanya tidak menguntungkan bagi pihaknya, terpaksa meneruskan perintah Siau Po kepada bawahannya. Serdadu suku Ke Lungke itu terpaksa membuang goloknya masing-masing dan turun dari kudanya, Siau Po menyuruh anak buahnya melakukan penggeledahan terhadap para serdadu itu.

Karena pimpinan mereka sudah terkepung, terpaksa para serdadu itu membiarkan tubuh mereka diperiksa. Di antara para serdadu itu malah ditemukan dua ratus delapan puluhan pucuk pistol. Ada serdadu yang membawa dua pucuk di kiri kanan ikat pinggangnya.

Para serdadu yang menjaga di bawah tembok kota Ni Pu Ju melihat ada perubahan yang telah terjadi. Mereka segera bergerak ke depan, namun di lain pihak, prajurit kerajaan Ceng juga mengikuti tindakan mereka, setelah agak dekat, serdadu Lo sat dapat melihat bahwa semua pimpinan mereka telah terkepung. Diam-diam mereka mengeluh dalam hati dan tidak berani maju lagi.

Siau Po bertanya kepada Golovin. "Untuk apa kalian membawa pistol sebanyak ini?"

Golovin menundukkan kepalanya rendah-rendah. "Maaf sebesar-besarnya. Ternyata anak buahku tidak mendengar perintah, diam-diam mereka membawa senjata api. Sekembalinya ke Moskow nanti aku akan memberikan hukuman berat kepada mereka," sahutnya.

"Saudara-saudaraku sekalian, lepaskan pakaian kalian, lihat apakah ada di antara kalian yang membawa senjata api" teriak Siau Po dengan suara lantang.

Para prajurit Kerajaan Ceng segera mengiakan. Mereka langsung membuka pakaian masing-masing. Tangan yang satunya diangkat tinggi-tinggi. Ternyata tidak ada satupun yang membawa senapan api, Golovin merasa malu sekali sehingga kepalanya tertunduk semakin dalam.

Siau Po berteriak lagi dalam Bahasa Lo sat. "Bangsa Lo sat tidak tahu malu. Lepas seluruh pakaian mereka dan lihat apakah mereka masih menyembunyikan senjata api yang lain atau tidak?" Golovin terkejut setengah mati.

"Kong ciak Tayjin, harap kau membuka budi. Kalau celanaku ini dilepaskan juga, aku lebih baik bunuh diri"

"Bagaimana pun juga celanamu itu harus dilepaskan" kata Siau Po tegas.

"Harap Tayjin memberi pengampunan sekali ini saja, urusan lainnya aku akan menurut apa pun yang kau katakan," ujar Golovin dengan nada meratap.

"Tadi pasukan berkuda mu tiba-tiba menerjang datang. Aku begitu ketakutan sampai bersembunyi di kolong meja, benar-benar membuat malu muka Kong ciak Tayjin ini. Apa pula yang akan kau lakukan untuk mengatasi hal ini?" tanya Siau Po.

Golovin berpikir dalam hati.  -- Nyalimu sendiri yang kecil Memangnya apa yang bisa kulakukan? - Meskipun hatinya menggerutu namun di depan matanya tampak ratusan golok yang berkilauan. Karena itu dengan terpaksa dia menyahut, "Aku bersedia mengganti kerugian."

Hati Siau Pojadi gembira mendengarnya. Diam-diam dia bersorak dalam hati. - ini dia, tidak diminta datang sendiri -- Tapi untuk sesaat ia masih belum menemukan apa yang akan dijadikan pengganti kerugian. Maka dia berseru kepada anak buahnya, "Potong ikat pinggang Bangsa Lo Sat"

"Terima perintah" sahut seorang komandan. Dia segera memimpin puluhan anak buahnya maju ke depan. Mereka lalu memotong ikat pinggang para serdadu Lo sat. Dalam waktu sekejap ikat pinggang ratustan serdadu Lo sat itu telah terputus semuanya. Mereka terkejut setengah mati, lalu segera menarik pangkal celana masing-masing agar tidak merosot.

Siau Po tertawa terbahak-bahak, girang. "Bangsa Lo sat itu. Dengan kemenangan kita kembali keperkemahan" serunya lantang,

                                      -ooo00000ooo-

Pada saat itu, yang dikhawatirkan oleh Bangsa Lo sat hanya celana mereka melorot jatuh kedodoran. Karena itu tidak ada seorang pun yang berani melakukan perlawanan ketika digiring oleh prajurit-prajurit Ceng. Tang Kok Bang tertawa lebar.

"Siasat Wi Thayswe benar-benar hebat Kami merasa kagum sekali. Dengan diputusnya ikat pinggang celana Bangsa Lo Sat itu, tidak ubahnya mereka tidak mempunyai tangan untuk melakukan perlawanan lagi," katanya,

Siau Po tersenyum.

"Laki-laki Bangsa Lo sat paling takut kalau celananya dilepas, perempuan bangsa Lo sat justru tidak takut sama sekali. Bukankah hal ini merupakan suatu keanehan?"

Mendengar kata-katanya, baik So Ngo Ta, Tang Kok Bang maupun yang lainnya jadi tertawa terbahak-bahak.

Rombongan itu segera bergabung dengan prajurit-prajurit lainnya, seorang komandan menurunkan perintah, anak buahnya bergerak cepat.

Mereka menyingkapkan kain terpal yang menutupi meriam-meriam besar, setelah itu mereka mendorongnya ke depan, empat ratus moncong meriam ditujukan ke arah Bangsa Lo sat.

Sebetulnya Negara Lo Sat memang mempunyai perlengkapan senjata api dan meriam yang dahsyat, namun semuanya berada di Moskov, sedangkan di Ni Pu Ju hanya disediakan jumlah yang terbatas. Kalau dibandingkan dengan persediaan yang dibawakan oleh Kaisar Kong Hi, baik senjata maupun jumlah prajuritnya sudah terpaut jauh. Bila Golovin tetap menggunakan kekerasan, taruhlah siau Po dan yang lainnya mati, akhirnya mereka pasti kalah juga.

Melihat demikian banyaknya moncong meriam yang diarahkan ke pihak mereka, Golovin dan beberapa pembesar Lo sat lainnya langsung saling memandang. Mimik wajah mereka menunjukkan perasaan takut, sisa serdadu-serdadu Lo Sat yang tadinya menjaga di bawah tembok kota terkejut setengah mati melihat pemimpin mereka telah tertawan. Tanpa berpikir panjang lagi mereka segera menghambur ke

dalam kota Ni Pu J u dan menutup pintu gerbangnya rapat-rapat.

Ketika melarikan diri, mereka sangat tergesa-gesa, sehingga tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya. Mula-mula mereka merasa heran, mengapa tidak tampak seorang pun dari prajurit Ceng yang melakukan penyerangan.

Perlahan-lahan beberapa orang dari mereka melongokkan kepalanya dari atas tembok kota. Mata mereka terbelalak saat itulah mereka baru memperhatikan ada empat ratusan meriam yang moncongnya terarah ke pintu gerbang kota itu. Tentu saja tidak ada satu pun yang berani keluar apalagi berpikir untuk menolong pemimpin mereka.

Sementara itu, tiga komandan serta wakil komandan serdadu Lo sat telah tertotok jalan darahnya oleh Song Ji. Mereka berdiri tegak di tengah arena seperti patung kayu.

Para prajurit Ceng merasa geli melihat pemandangan itu, dan tertawa terkekeh-kekeh, sedangkan serdadu-serdadu Lo sat yang berdiri di atas tembok kota justru kebingungan. Mereka tidak mengerti mengapa ketiga orang itu berdiri tegak tanpa bergerak sedikit pun.

Siau Po menyuruh anak buahnya menggiring Golovin serta para pembesar lainnya masuk ke dalam tenda. Di dalam tenda mereka didudukkan di kursi tamu, sementara itu Siau Po hanya memandangi mereka sambil tersenyum simpul.

Hal ini membuat Golovin semakin marah.

"Kong ciak Tayjin, kau tidak perlu bersandiwara lagi. Kalau mau membunuhku, silahkan" teriaknya lantang.

"Kita kawan baik, mengapa aku harus membunuhmu? Lebih baik kita membicarakan masalah pembagian wilayah" sahut Siau Po.

Dalam hati Siau Po menduga posisinya sudah di atas angin, apa pun yang dimintanya pihak lawan pasti menurutinya. Tidak tahunya Golovin seorang keturunan para kesatria di negaranya. Watak orang ini keras kepala.

"Sekarang aku adalah tawananmu, bukan utusan negara tetangga yang datang untuk melakukan perundingan. Di bawah tekananmu, tidak ada yang dapat kita rundingkan. Kalaupun sampai terjadi perundingan hasilnya juga tidak berlaku," kata Golovin dengan suara sumbang.

"Kenapa tidak berlaku?" tanya Siau Po.

"Keputusannya ada di tanganmu, apa yang harus kita rundingkan? Kau toh tidak bisa memaksaku untuk melakukan perundingan denganmu".

"Kenapa kau mengira aku tidak bisa memaksamu."

 "Sebab aku tidak akan menurut" sahut Golovin sengit "Kau boleh menggerakkan golok menebas batang leherku, atau boleh juga menggunakan senapan menembakku"

Siau Po tertawa mendengar kata-katanya.

"Bagaimana kalau aku menyuruh orang melepaskan celanamu?" tanyanya santai.

Golovin langsung berdiri.  "Kau...." Tiba-tiba dia merasa celananya merosot, namun cepat-cepat ditariknya ke atas, padahal tadi dia sedang duduk celananya pasti tidak bisa merosot justru saking marahnya tiba-tiba dia berdiri, untung saja dia cepat tanggap sehingga rasa malunya sempat tertolong. Namun adegan itu cukup menimbulkan kegelian di hati para prajurit. Hampir semuanya tertawa menyaksikan kejadian itu.

Saking kesalnya, wajah Golovin berubah putih seperti selembar kertas. Kedua. tangannya mencengkeram pangkal celana, sikapnya sungguh mengenaskan. Rasanya dia ingin mengucapkan sesuatu untuk melampiaskan kemarahannya, namun kedua tangannya tidak bisa digerakkan agar kelihatannya lebih bersemangat. Akhirnya dia mendengus satu kali lalu duduk kembali di atas kursinya. Terdengar dia

berkata. "Aku adalah utusan negara tetangga yang diperintahkan untuk melakukan perundingan denganmu, kau tidak boleh menghina aku sedemikian rupa"

"Jangan khawatir, aku tidak menghinamu, sebaiknya kita membicarakan lagi masalah pembagian wilayah." ujar Siau Po.

Golovin mengeluarkan sehelai sapu tangan dari dalam sakunya lalu digunakan untuk menyumbat mulutnya. Dia bermaksud mengatakan bahwa bagaimana pun dia tidak sudi lagi membicarakan masalah pembagian wilayah dengan Siau Po.

Siau Po tersenyum. Dia menyuruh anak buahnya menyediakan arak dan berbagai hidangan. Dalam sekejap mata semua hidangan sudah tersaji.

"Silahkan jangan sungkan-sungkan" ajak Siau Po.

Golovin merasa tergelitik seleranya mencium bau arak. Dia tidak dapat menahan diri. Segera dilepaskannya sapu tangan yang menyumpal mulutnya lalu meneguk sampai kering secawan arak yang ada di hadapannya. Lagi-lagi Siau Po tersenyum.

"Sekarang mulutmu sudah bisa digunakan lagi?" tanyanya.

Golovin tidak menimpali pertanyaan Siau Po, melainkan terus melahap makanan dan minuman yang tersedia di depannya, ia seakan hendak menunjukkan kepada Siau Po dan yang lainnya bahwa mulutnya hanya digunakan untuk makan dan minum, bukan untuk yang lainnya.

Siau Po terus menuangkan arak di cawan lawannya. Dia berharap dapat membujuk Golovin apabila orang itu sudah mabuk nanti. Tidak disangka yang terjadi justru diluar keinginannya, setelah menghabiskan belasan kati daging sapi rebus dan belasan cawan arak. Golovin mengambil sapu tangannya kembali dan kembali menyumbat mulutnya.

Melihat keadaan ini, mau tidak mau Siau Po merasa geli juga. Dia menyuruh anak buahnya menggiring Golovin ke tenda belakang untuk beristirahat. Dia juga berpesan agar orang itu dijaga dengan ketat, jangan sampai ada kesempatan untuk melarikan diri. Sementara itu dia mengajak para menteri dan pembesar istana untuk merundingkan tindakan selanjutnya.

"Orang ini benar-benar keras kepala, sudah pasti dia tidak sudi melakukan perundingan di bawah tekanan para prajurit kita. Namun kalau membiarkannya pulang ke rombongannya begitu saja, rasanya tidak rela juga," kata Tang Kok Bang.

"Kurung saja dia selama delapan atau sepuluh hari," usul So Ngo Ta.

"Setiap hari kita giring seorang serdadu Lo sat lalu kita bunuh orang itu di hadapan matanya, lihat apakah dia masih terus berkeras?"

"Kalau kita terlalu memaksakan kehendak sampai dia memilih jalan bunuh diri, urusannya bisa jadi runyam. Kita menggunakan kekerasan untuk menindas lawan, apabila masalah ini diselidiki oleh sri baginda, kita pasti terkena dosa," kata Tang Kok Bang.

"Apa yang dikatakan Tang Kokya benar juga. Menggunakan kekerasan juga bukan jalan ke luar yang terbaiki" sahut so Ngo Ta setelah berpikir kembali.

Mereka mengadakan perundingan sampai sekian lama, namun tidak ada jalan ke luarnya juga. Memang mereka sudah berhasil meringkus Golovin, meskipun terhitung sebuah kemenangan, tapi tidak sesuai dengan perintah Kaisar Kong Hi.

Boleh dibilang mereka telah mengacaukan rencana besar kerajaan. Kalau meleset sedikit saja, tindakan mereka bisa dianggap sebagai dosa besar. Akhirnya para pembesar istana menyarankan kepada Siau Po untuk melepaskan Golovin.

"Baiklah. Kita tahan dia satu malam ini saja, besok kita lepaskan," ujar Siau Po.

Dia lalu kembali ke tendanya. Di dalam tenda itu dia berjalan mondar-mandir sambil memeras otak tiba-tiba suatu ingatan terlintas di dalam benaknya.  - Dulu aku meniru cara Cu Kek Liang yang membakar Lembah Ular sehingga berhasil memenangkan peperangan di Ya Ke Lung, sekarang aku mencoba cara yang kulihat dalam sandiwara Tio yu. --

Dia merenung pula sejenak, akhirnya dia sudah mendapat akal yang bagus Siau Po segera kembali ke tenda besar. Di sana dia memerintahkan anak buahnya memanggil si Ahli sastra berkebangsaan Holland. Dia mengajak orang itu berkasak-kusuk.

Kemudian minta diajarkan dua puluhan kata dalam bahasa Lo sat. Pemuda konyol itu langsung menghapalkannya luar kepala, setelah itu dia juga memanggil empat orang komandan pasukannya lalu menyampaikan beberapa pesan. Akhirnya ke empat orang itu menerima perintahnya lalu meninggalkan.

Sementara itu Golovin tidur di tenda belakang, pikirannya melayang-layang, di satu pihak dia merasa benci, di satu pihak dia merasa menyesal, mana mungkin dia bisa pulas sepanjang malam?

Golovin bergolek ke sana ke mari sampai tengah malam dia masih belum bisa memejamkan matanya. Keadaan di sekelilingnya sunyi senyap. Sayup-sayup terdengar suara hembusan nafas yang teratur. Ternyata ketiga prajurit yang menjaga di depan tendanya tertidur pulas.

Golovin berpikir dalam hati.  - Kalau tidak menuruti kehendak si Pembesar Bocah Cina itu, pasti sulit bagiku untuk meloloskan diri. Besok kalau setan Kecil itu marah dan aku dibunuhnya, bukankah jadi mati penasaran namanya? Lebih baik aku mengambil resiko untuk mencoba melarikan diri malam ini juga --

Dengan tergopoh-gopoh dia turun dari balai-balainya. Dekat tempat gantungan baju ada sehelai selendang, dia menggunakannya untuk menggantikan ikat pinggang agar celananya tidak merosot, setelah itu dia mengendap-endap ke luar dari tenda.

Tampak ketiga penjaga sedang tidur dengan lelap. Dengan hati-hati Golovin mengulurkan tangannya untuk mencabut golok yang terselip di pinggang salah seorang penjaga. Hampir saja dia berhasil meraih gagang golok itu, tiba-tiba si penjaga tersentak dan bersin.

Golovin terkejut setengah mati. Dia segera menyurutkan tangannya kembali. Beberapa saat dia menunggu, namun tidak terlihat gerakan apa-apa. Kembali terpikir olehnya untuk mengambil golok milik seorang penjaga lainnya.

Namun tiba-tiba penjaga itu juga bergeliat lalu membalikkan tubuhnya. Mulutnya mengucapkan beberapa patah kata yang tidak jelas. Rupanya orang itu mengigau. Namun hal ini membuat Golovin tidak berani coba-coba lagi, dan cepat-cepat dia meninggalkan tenda itu. Dia merasa beruntung karena tidak ketahuan oleh ketiga penjaga itu.

Golovin berjalan terus. Dia memilih tempat yang remang-remang sehingga dirinya tidak terlihat. Tampak olehnya beberapa prajurit sedang meronda. Mereka membawa sebuah lentera di tangan masing-masing. Hampir seluruh pelosok dijaga ketat, hanya sebelah barat yang tampak gelap gulita, Golovin mengendap-endap menuju sebelah barat. Tiba-tiba tiga orang penjaga berjalan ke arahnya, Golovin segera menyusup ke belakang sebuah tenda yang agak besar, untung saja dirinya tidak sampai ketahuan pada saat itulah dia mendengar seseorang dalam tenda berbicara dengan bahasa Lo sat.

"Sebetulnya tidak ada masalah kalau Tayjin tetap ingin menyerang moskov, namun perjalanan ke sana panjang sekali, kemungkinan banyak bahaya yang akan kita hadapi"

Golovin terkejut setengah mati mendengar kata-kata orang itu. Dia segera menyingkapkan sedikit bagian bawah tenda dan mengintip ke dalamnya. Hatinya langsung berdebar-debar.

Tampak cahaya di dalam tenda itu berwarna putih terang, pemandangan di dalam tenda tampak jelas sekali, Siau Po mengenakan jubah kebesarannya dan duduk di tengah-tengah ruangan.

Di sisi kiri kanannya berdiri belasan panglima perang beserta komandan-komandan pasukan. Di depannya berdiri puluhan prajurit Ceng yang semuanya menggenggam sebatang golok. Di samping Siau Po berdiri si Ahli sastra kebangsaan Holland yang saat itu sedang berbicara dengan si anak muda.

Terdengar Siau Po menyahut dengan menggunakan Bahasa Lo Sat. "Kita mengajak Golovin minum arak makan yang enak-enak berbincang-bincang, semuanya bohong. Biar bicara sampai satu bulan, dua bulan, tiga bulan juga merupakan kebohongan, sementara itu secara diam-diam prajurit kita bergerak ke barat. Setiap saat Tuan puteri sophia akan menerima laporan bahwa Golovin masih berunding dengan kita. Dasar bodoh Tuan puteri tidak takut, setiap hari masih berpelukan dengan kekasih-kekasihnya. Mendadak pasukan besar Cina sudah sampai ke Moskov. Mereka diserang dengan cara yang tidak mereka pahami. Kedua pangeran beserta Tuan puteri Sophia akan ditangkap. Pada saat itu Bangsa Lo Sat akan menangis, berlutut, menyembah, memohon pengampunan menyatakan takluk"

"Mengenai urusan parang, aku tidak mengerti apa-apa," kata si Ahli sastra Holland. "Tapi, di satu pihak kita mengajak Bangsa Lo Sat melakukan perundingan sedangkan di lain pihak kita malah mengerahkan pasukan untuk menggempur ibukota negara mereka, rasanya tak melanggar etiket. Tuhan pernah bersabda, kita tidak boleh menipu orang lain untuk kejahatan. Kebohongan juga merupakan sebuah dosa."

"Ha ha ha Bangsa Lo sat yang lebih dulu membohongi kita Mula-mula kita sudah berjanji untuk melakukan perundingan dengan baik-baik, kedua belah pihak tidak boleh membekal senjata api. Lihat apa yang dilakukan mereka? Mereka justru membawa senjata api, walaupun bentuknya lebih pendek tapi tetap saja senjata api namanya. Mereka bisa berbohong, kita juga bisa. Dia menggigit aku satu kali, aku akan menggigitnya dua kali" teriak Siau Po. si Ahli sastra terdiam sejenak, kemudian dia mendesah panjang.

"Aku hanya bisa menyarankan kepada Kong ciak Tayjin agar mengurungkan niat ini. Kalau dua negara besar berperang, yang menjadi korban bukankah umat Tuhan juga" katanya menasehati.

Siau Po mengibaskan tangannya berkali-kali. Jangan bicara lagi. Kami hanya percaya kepada Pou sat, tidak percaya Tuhan sebetulnya kalau si Golovin itu mau mengalah sedikit dengan memberikan beberapa jengkal tanah kepada Bangsa Cina, mungkin perundingan ini masih bisa dilanjutkan.

Tapi si Golovin busuk itu tidak mau mengalah sedikit pun juga. Biar kita gempur saja Kota Moskov, pada saat itu laki-laki Bangsa Lo sat akan kami bunuh semua agar bisa masuk surga, sedangkan yang perempuannya dibiarkan untuk menjadi istri-istri Bangsa Cina" semakin mendengarkan hati Golovin semakin tegang.

 -- Tuhanku, Bangsa Cina yang tidak beradab ini benar-benar tidak memandang kekuasaan Tuhan, berani-beraninya mulut mereka membual setinggi langit -- katanya dalam hati.

Terdengar Siau Po berkata lagi. "Hari ini aku menyuruh seorang prajurit kecil menyentuh tubuh para komandan Lo sat dengan ujung jarinya, tahu-tahu mereka tidak bisa bergerak lagi. Apakah kau melihat kejadian itu?"

Si Ahli sastra menganggukkan kepalanya. "Ya, aku melihatnya. ilmu sihir dari mana itu? Kok ajaib sekali?" tanyanya dengan tatapan ingin tahu.

"Ilmu sihir dari Cina, warisan dari Jengis Khan, dulu Jengis Khan justru menggunakan ilmu ini untuk menyerang Bangsa Lo sat sehingga mereka berlutut dan menyatakan takluk. Sekarang aku akan menggunakan ilmu yang sama untuk menggempur mereka. Matilah Bangsa Lo sat sahut Siau Po dengan roman bangga."

Golovinpun berpikir dalam hati. Dulu Jengis Khan hanya mengerahkan dua laksa prajuritnya untuk menyerang negara kami, ternyata belasan laksa serdadu kami berhasil dikalahkannya. Kami sudah menduga mereka pasti menggunakan ilmu sihir sekarang si bocah setan ini akan menggunakan ilmu itu sekali lagi, gawat Apa yang harus kulakukan? --

Terdengar si Ahli sastra berkata pula. "Tapi kalau dari jauh Bangsa Lo sat sudah menembakkan senapan, ilmu sihir kalian tentu tidak akan ada gunanya lagi"

Siau Po tertawa.

"Memang betul, itulah sebabnya kita harus menjalankan strategi. Di sini kita pura-pura mengajak Golovin berunding, sementara itu pasukan besar kita menyusup ke Kota Moskov. Aku pernah menginjakkan kaki ke ibukota negara tersebut. Di dalam kota banyak suku bangsa apa ya. Tar Tar kalau tidak salah. Mereka mengenakan sejenis topi berbulu yang lucu.

Kebanyakan mencari nafkah sebagai penggembala ternak-prajurit kita harus bertindak seperti maling kecil selagi tuan rumah meleng, mereka menyusup masuk ke dalam Kota Moskov dengan menyamar sebagai para gembala- sampai jejak mereka ketahuan tentu sudah terlambat untuk mempertahankan diri," sahutnya pula.

Tubuh Golovin langsung mengeluarkan keringat dingin. -- siasat si bocah setan ini benar-benar keji. Memang mudah menyamar sebagai para gembala. Kalau mereka berhasil menyusup ke dalam Kota Moskov lalu menggunakan ilmu sihir mereka, bencana apa pula yang harus bangsa kami hadapi? --pikirnya.

Golovin tidak tahu ilmu yang digunakan Song Ji adalah ilmu menotok jalan darah. Untuk menguasainya harus mempelajari dasar ilmu tenaga dalam tingkat tinggi. Dari puluhan ribu prajurit Kerajaan Ceng, hanya Song Ji seorang yang bisa melakukannya, Golovin justru mengira ilmu itu merupakan warisan turun-temurun.

Setiap orang Bangsa Cina pasti bisa melakukannya. Asal jari tangan menyentuh tubuh, maka orang itu tidak bisa bergerak lagi. Apabila ratusan ribu prajurit Cina menyusup ke Kota Moskov lalu menggunakan ilmu sihir ini, bukan tidak mungkin dalam waktu yang singkat Bangsa Lo Sat akan habis mereka basmi.

Bagian 95

Terdengar si Ahli Sastra Holland berkata pula.

"Kalau Kong ciak Tayjin tetap bermaksud mengerahkan pasukan besar Cina menyusup ke Kota Moskow lalu menggunakan ilmu sihir warisan jengis Khan untuk meringkus kedua pangeran serta Tuan Puteri Sophia, mungkin memang bisa berhasil. Tapi rahasia ini harus dijaga rapat-rapat, jangan sampai diketahui oleh Bangsa Lo Sat. Negara Lo Sat adalah negara yang besar sekali, kekuatannya tidak bisa disamakan dengan jaman jengis Khan dulu."

"Aku sudah pernah ke Kota Moskow. Kelihatan di sana aku sudah melihatnya dengan jelas sekali. Besok kita lepaskan Golovin, lalu kita ajak berunding lagi. Tentu saja hanya pura-pura. Apa yang kita usulkan juga pasti tidak akan disetujui olehnya. Namun kita bisa mengulur waktu, satu hari perjanjian tertunda, berarti prajurit kita sudah berkurang satu hari dalam perjalanan menuju Moskow."

"Betul, betul. Tapi biar bagaimana sebaiknya Tayjin berhati-hati, sebab urusan ini berbahaya sekali," sahut si Ahli Sastra.

"Aku tahu. Yang penting kau jangan berkata apa-apa, jangan sampai timbul kecurigaan di hati Golovin," kata Siau Po. Si Ahli Sastra mengiakan lalu memohon diri.

"Panggil Wang Pat Se Ki dan Cu Ke Juo Fur" teriak Siau Po.

Seorang cong peng berjalan ke luar, tidak lama kemudian dia masuk kembali bersama Walpatsky dan chekonof.

"Besok aku mengutus kalian berdua pergi ke Moskow. Bawakan hadiah-hadiah besar untuk Tuan puteri sophia, sepanjang jalan banyak perampok, sebaiknya ajak sejumlah pasukan untuk mengawal kalian," kata Siau Po kepada kedua orang itu.

"Dalam perjalanan dari sini ke Moskow paling-paling ada beberapa maling kecil saja, namun mereka tidak terialu ganas, Tayjin tidak perlu khawatir," sahut Walpatsky.

"Kau tidak tahu bahwa perampok suku Tar Tar sekarang ganas sekali jumlah mereka sekali keluar ada delapan sembilan ribu orang. Malah kalau sasarannya kelas kakap, sekali muncul bisa dua puluh ribuan orang," kata Siau Po pula.

Walpatsky dan chekonof saling memandang sekilas, pandangan mata mereka seakan tidak percaya terhadap apa yang dikatakan Siau Po.

"Keberangkatan kalian harus terbagi dua rombongan Wang Pat se Ki memimpin satu rombongan dengan mengambil jalan utara, sedangkan cu Ke juo Fu memimpin rombongan lainnya mengambil jalan selatan, Bagaimana? "

"Tidak jadi masalah, jarak yang ditempuh hampir sama jauhnya," sahut Wafpatsky.

Chekonof juga mengiakan,

"Baiklah. Hadiah-hadiah serta surat yang telah kupersiapkan biar diserahkan oleh utusan kami. Kalian hanya jadi pengantar jalan saja. Kalau kerja kalian bagus, ada hadiah nya besar sekali. Tapi kalau pekerjaan kalian tidak beres, aku akan berpesan kepada komandan pasukan yang mengawal untuk memenggal batok kepala kalian," kata Siau Po. Setelah itu dia mengibaskan tangannya,

"Sekarang kalian boleh keluar"

Kedua komandan Lo Sat itu segera mengundurkan diri. Siau Po mengambil sejumlah Leng Ki atau Bendera perintah dan dibagikan kepada para panglima, mulutnya mengoceh dalam bahasa Cina. Golovin memang tidak mengerti apa yang dikatakannya, tapi kalau dengan dari gerak-geriknya, dia tahu bahwa para panglima itu sedang menerima perintah dari Siau Po, lalu setiap orang menepuk dadanya sendiri seperti sedang mengangkat sumpah. Mulut mereka tidak henti-hentinya bersemi "Moskow Moskow"

Terdengar mulut Siau Po mengoceh beberapa kalimat lagi. Empat orang prajurit segera mengambil selembar peta dan membawanya ke hadapan siau Po. Jari telunjuk Siau Po menuding pada sebuah titik biru, lalu menyusuri garis merah sampai pada kotak bertanda hijau.

Meskipun Golovin tidak mengerti huruf Cina dan tidak mengerti pula bahasa yang mereka gunakan, tapi kebetulan peta itu menghadap kepadanya. Dari bentuk serta gambarnya dia tahu bahwa Siau Po sedang menunjukkan perjalanan dari Ni PuJu dan berhenti tepat di Kota Moskov. Mungkin itulah jalur yang akan mereka tempuh besok. -- Bangsa Cina yang bodoh ini benar-benar jahat. Rupanya sejak semula mereka sudah mengadakan persiapan untuk menggempur Moskov -- pikir Golovin dalam hati.

Terdengar Siau Po berbicara kembali dalam bahasa Cina, berulang kali dia menyebut-nyebut nama "Golovin", para prajurit yang mendengarnya langsung tertawa terbahak-bahak

Golovin berpikir dalam hati- -- Kalian pasti menertawakan aku sebagai si Tolol. Kalian berhasil menipu ku untuk melakukan perundingan dan akan mengulur waktu. Diam-diam para prajurit kalian malah menyusup ke Moskov untuk menyerang ibukota kami. Hm Kau kira aku bisa tertipu oleh kalian? -

Perlahan-lahan dia berdiri - Tuhan memberkati kami sehingga aku dibiarkan mengetahui rencana jahat Bangsa Cina yang bodoh ini. Hal ini merupakan pertanda bahwa negara kami masih dilindungi, tidak mungkin terjadi apa-apa. Aku tidak perlu khawatir. Besok toh aku akan dilepaskannya, untuk apa aku mengambil resiko melarikan diri malam ini? -- pikirnya lagi.

Di sebelah barat tampak para penjaga berjalan mondar-mandir tidak henti-hentinya, namun berbalik di sebelah timur justru berbalik jadi gelap gulita. Dengan mengendap-endap Golovin kembali ke tendanya.

Ternyata ketiga penjaga tadi masih tertidur dengan pulas. Dengan hati-hati dia masuk ke tenda dan tiduran kembali di atas balai-balai

Keesokkan paginya Golovin disediakan sarapan yang mewah. Pembesar Lo Sat itu menyantapnya tanpa sungkan-sungkan, setelah selesai, dua orang prajurit menggiringnya ke tenda besar. Di dalam tenda itu tampak Siau Po duduk sambil tersenyum simpul. "Tuan utusan Apakah semalam kau bisa tidur nyenyak?" tanyanya.

Golovin mendengus satu kali. "Para penjagamu mengawasiku dengan ketat, tentu saja aku bisa tidur nyenyak" sahutnya ketus.

Siau Po tertawa

"Hari ini tentunya kau tidak lagi marah, bukan? Bagaimana kalau kita bicarakan masalah pembagian wilayah?" tanyanya.

Golovin tidak menjawab, malah mengeluarkan sapu tangan lalu digunakan untuk menyumpal mulutnya lagi. Siau Po menunjukkan sikap marah.

"Kalau kau masih keras kepala, aku akan menyuruh orang untuk menebas batang lehermu" Golovin tidak menunjukkan perasaan gentar sedikit pun.

 -- Kau toh sudah mengambil keputusan untuk melepaskan hari ini, buat apa buang-buang energi dengan pura-pura marah seperti ini. Memangnya siapa yang takut terhadapmu -Ejeknya dalam hati.

Siau Po memaki-maki panjang lebar, tapi tampaknya Golovin tidak memperdulikannya. Akhirnya dia memperlihatkan mimik kewalahan.

"Baiklah, aku mengakui kegagahanmu. Kau boleh kembali ke tempat untuk beristirahat, sepuluh hari kemudian kita bertemu lagi di sini untuk melakukan perundingan kembali," kata si anak muda, Golovin berpikir pula dalam hati. Kau pura-pura marah, tujuanmu sebenarnya adalah mengulur waktu. Kemungkinan pasukanmu sekarang sudah berangkat menuju Moskov, pokoknya aku tidak akan terjerat oleh perangkap yang kau pasang --

Maka dia pun berkata, "Terima kasih banyak kalau kau bersedia memulangkan aku, untuk menunjukkan ketulusan hati kami, aku bersedia merundingkan perjanjian nanti sore, jadi tidak perlu menunggu sampai sepuluh hari lamanya-" Siau Po tersenyum.

"Tidak perlu tergesa-gesa. Biar kita sama-sama bisa istirahat dan menenangkan pikiran Lewat beberapa hari lagi masih ada waktu untuk merundingkannya."

"Pimpinan kedua negara sama-sama berharap masalah ini bisa cepat diselesaikan setelah itu masih banyak waktu untuk beristirahat." sahut Golovin.

"Raja kami tidak tergesa-gesa minta urusan ini diselesaikan. Beliau sudah menyerahkan semuanya kepadaku. Kalau Tuan utusan merasa keberatan, baiklah kita rundingkan hal ini lima hari kemudian," kata Siau Po.

Golovin menggelengkan kepalanya. "Jangan menunda waktu lagi. Kita rundingkan hari ini juga."

"Bagaimana kalau tiga hari lagi kita baru berunding?" tanya Siau Po seakan ingin mengulur waktu terus.

"Tidak Hari ini" sahut Golovin.

"Bagaimana kalau besok?"

"Tidak bisa, harus hari ini" Siau Po menarik nafas panjang.

"Kalau kau begitu keras kepala, terpaksa aku yang mengalah. Tapi sebelumnya aku harus bicara pahitnya dulu. Dalam menentukan pembagian wilayah aku tidak akan mengalah, setiap jengkal tanah harus ada penawaran dan saling timbang yang terinci," sahut Siau Po, Golovin berpikir dalam hati.  - Dalam pembagian wilayah saja kau ingin melakukan tawar menawar untuk setiap jengkal tanahnya. Kalau begitu, sampai tawar menawar ini selesai kemungkinan prajurit kalian sudah masuk ke Kota Moskow. Kau kira aku ini orang tolol? -

Dia segera berdiri dan berkata," Kalau begitu aku mohon diri sekarang, terima kasih atas hidangan yang telah Tayjin sajikan"

Siau Po mengantar sampai ke depan tenda, serombongan prajurit mengiringi pembesar Lo Sat itu sampai ke kota Ni Pu Ju. Namun dua ratus enam puluh serdadu mereka masih ditahan oleh Siau Po.

Golovin berjalan ke luar. Dia melihat pasukan besar Ceng yang kemarin berkumpul di sekitar tempat itu sudah tidak tampak batang hidungnya lagi.

Hanya tersisa segelintir yang berjaga-jaga di sana. Hatinya semakin kecut melihat keadaan itu. -Bangsa Cina ini berani berbicara berani berbuat pula, sungguh bangsa yang lihai dan tidak boleh dianggap enteng - pikirnya dalam hati.

Rombongan menggiring Golovin sampai di depan tenda tempat pertemuan mereka kemarin. Tampak tiga orang Komandan Lo Sat masih berdiri tegak di tempat semula tanpa bergerak sedikit pun. Enam prajurit Ceng segera menghampiri mereka. Terdengar mulut keenam orang itu berseru serentak.  "Jengis Khan jengis Khan" Lalu tangan mereka menepuk beberapa kali di tubuh ketiga komandan tersebut.

Tampak ketiga komandan Bangsa Lo Sat itu menggeliat sedikit. Tubuh mereka sudah terbebas dari totokan. Tapi karena mereka sudah berdiri tegak selama satu hari satu malam, otomatis kedua lututnya jadi kesemutan. Mereka langsung jatuh terkulai di atas tanah.

Keenam prajurit Ceng tadi segera membimbing mereka bangun lalu membantu mereka melangkah sejauh belasan depa. Dengan demikian rasa kesemutan di dengkul para komandan itu sudah jauh berkurang sehingga mereka bisa bergerak sendiri, Golovin yang melihat kejadian langsung berpikir.  - ilmu sihir yang diwariskan oleh jengis Khan ternyata benar-benar lihai. Tidak heran kalau dulu dia bisa menguasai dunia tanpa tandingan, untung jaman sekarang sudah ada senapan api, sehingga dengan demikian musuh tidak berani terlalu dekat dengan kita. Kalau tidak, Bangsa Cina yang barbar itu akan menguasai seluruh dunia, sedangkan kami yang umat Tuhan malah harus jadi budaknya --

Para prajurit Ceng itu segera mengantar Golovin sampai ke depan pintu gerbang Ni Pu Ju, setelah itu mereka baru kembali ke tempat semula.

Golovin menanyakan nasib ketiga komandannya itu setelah terkena pengaruh ilmu sihir Bangsa Cina, Ketiga komandan itu memberikan jawaban yang sama.

"Pada saat itu, tiba-tiba saja terasa ngilu di bagian pinggang dan punggung, lalu tidak terasa apa-apa lagi, seperti orang yang mati rasa."

"Apakah antara kalian ada yang membawa salib?" tanya Golovin

Ketiga anak buahnya segera melepaskan pakaian mereka. Tampak mereka semua mengenakan kalung salib, bahkan satu di antara mereka membawa patung kecil yesus Kristus. Golovin mengerutkan keningnya. Dia berpikir.  - ilmu sihir warisan jengis Khan rupanya benar-benar lihai, salib yesus Kristus sekali pun tidak sanggup mengenyahkan hawa sesatnya --

Dia segera menulis tiga pucuk surat laporan darurat lalu menyuruh lima belas orang serdadu agar berpencar ke tiga arah yang berlainan untuk menuju ke Moskow secepatnya. Di dalam suratnya dia menyatakan bahwa prajurit-prajurit Cina dalam jumlah besar sudah berangkat ke ibukota mereka dan akan melakukan penyerangan secara diam-diam.

Para serdadau itu akan menyamar sebagai gembala-gembala suku Tar Tar, harap pihak Moskow berhati-hati dan menjaga ketat pintu gerbang kota tersebut.

Kira-kira tengah hari, ketiga serdadu yang diutus oleh Golovin kembali ke Kota Ni Pu Ju secara berturut-turut. Mereka memberikan laporan yang sama, yakni seluruh jalan menuju Moskow telah dihadang oleh prajurit Ceng. Begitu utusan Lo Sat bermaksud menerobos, prajurit Ceng membidik mereka dengan anak panah.

Benar-benar tidak ada akal yang baik untuk menerobos. Maka dari pada mati konyol lebih baik mereka kembali lagi.

Hati Golovin semakin panik mendengar keterangan para utusannya.  --jalan satu-satunya adalah mempercepat selesainya perundingan. Dengan demikian baru ada kemungkinan mereka menarik kembali para prajuritnya. -- pikirnya.

Sore harinya, Golovin membawa lima belas anak buahnya menuju tenda tempat pertemuan diadakan. Kali ini dia tidak membawa seorang pun serdadu suku Ke Lungke dari pasukan berkudanya.

Dia ingin menunjukkan ketulusan niatnya kali ini. Lagipula dia merasa percuma membawa pasukan berkuda sebanyak apa pun, sebab anak buahnya tidak bisa menangkal kehebatan ilmu sihir warisan jengis Khan, sebetulnya Golovin berpendidikan tinggi. Dia sudah mempunyai banyak pengalaman pula. Pada dasarnya dia bukan orang yang mudah ditipu begitu saja, sayangnya rasa gentar Bangsa Lo Sat terhadap keperkasaan jengis Khan sudah tertanam sejak jaman dahulu. Apalagi ilmu menotok jalan darah Song Ji sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, dia pun melihat buktinya dengan mata kepala sendiri, itulah sebabnya dia percaya penuh ketika mendengar ocehan Siau Po tentang ilmu sihir warisan Jengis Khan.

Golovin tiba lebih dulu di tenda pertemuan, tidak lama kemudian Siau Po, So Ngo Ta dan Tang Kok Bang pun tiba. Siau Po melihat Golovin tidak membawa serdadunya, maka dia pun menyuruh para prajuritnya untuk mengundurkan diri.

Kedua belah pihak saling berbasa-basi sebentar, mereka tidak mengungkit urusan kemarin sedikit pun. Mereka segera membicarakan masalah pembagian wilayah. Golovin berharap perundingan ini dapat cepat diselesaikan makanya dalam segala hal dia banyak mengalah, sikapnya jauh berlainan dengan kemarin. Diam-diam Siau Po merasa geli, dia tahu lakon sandiwara yang dimainkannya tadi malam sudah memperlihatkan hasil, sebetulnya dia sendiri tidak mengerti sedikit pun urusan pembagian wilayah ini, karena itu dia juga tidak berani ambil resiko.

Urusan itu diserahkan kepada So Ngo Ta yang berkomunikasi dengan bantuan si Ahli sastra berkebangsaan Holland.

Tampak Golovin dan So Ngo Ta meletakkan sehelai peta besar di atas meja. Tangan So Ngo Ta terus menunjuk ke sebelah utara, Golovin mengerutkan keningnya, telunjuknya yang menunjuk ke utara juga menyurut mundur sedikit demi sedikit sebagai tanda bahwa dia terus menerus mengalah.

Asal jari tangannya makin naik ke arah utara, berarti wilayah yang dimiliki negara Cina pun semakin banyak. Siau Po memperhatikan kedua orang itu beberapa saat, kemudian hatinya jadi tidak sabaran. Dia segera berjalan menuju sebuah kursi goyang dan duduk di sana.

Disuruhnya salah seorang prajurit mengambilkan sebuah kotak yang terletak di meja satu nya, sembari menikmati kue dalam kotak itu, hidungnya mendengungkan irama "Raba sana raba sini".

Golovin sudah bertekad untuk mengalah, namun So Ngo Ta juga tidak mau terlalu mendesaki karena khawatir akan terjadi perubahan yang tidak diinginkan. Meskipun demikian, surat-surat yang harus di-tanda tangani kedua belah pihak memang agak rumit diselesaikan.

Karena surat itu terdiri dari beberapa lembar dan harus diterjemahkan dalam bahasa negara masing-masing, setelah itu masih ada lembaran lainnya yang dibuat dalam bahasa Latin sebagai bahasa yang digunakan oleh saksi.

Sampai empat hari lamanya mereka sibuk menyelesaikan dokumen perjanjian, akhirnya surat-surat itu pun dilanda tangani oleh kedua belah pihak. Dari So Ngo Ta dan Tang Kok Bang, Siau Po mengetahui bahwa dalam perundingan ini negara Cina meraih banyak keuntungan, sebab wilayah pembagian yang didapatkan lebih luas dari pihak Lo Sat.

Malah jauh melebihi batas yang ditentukan oleh Kaisar Kong Hi. Dokumen perjanjian terdiri dari empat bagian, satu dalam Bahasa Lo Sat, satu dalam Bahasa Cina, dan dua dalam Bahasa Latin.

Apabila ada kalimat yang kurang meyakinkan dalam perjanjian kedua belah pihak, maka dokumen dalam Bahasa Latinlah yang akan dijadikan dasar.

Tibalah saatnya bagi kedua utusan dari negara masing-masing untuk menanda tangani perjanjian Siau Po mengenali tulisan namanya sendiri, namun kalau disuruh menggerakkan pit untuk menuliskannya, kadang-kadang membuat salah kaprah.

Huruf Wi ada kalanya ditulis menjadi huruf Cang. Bentuk kedua huruf ini memang hampir sama, apalagi bagi orang yang buta huruf, sedangkan huruf Po kadang-kadang ditulisnya sebagai huruf Mai. Hanya huruf siau saja yang masih bisa ditulisnya dengan benar.

Seumur hidupnya, jarang sekali melihat wajah Siau Po berubah menjadi merah. Namun saat ini terlihat berona merah. Bukan karena minum arak, juga bukan karena marah, melainkan karena hatinya merasa agak malu.

Masa di depan utusan negara lawan dia sebagai seorang pembesar kerajaan tidak bisa menulis namanya sendiri.

So Ngo Ta paiing memahami diri Siau Po, maka dia berkata. "Untuk menanda tangani dokumen perjanjian ini yang diperlukan hanya membuat sebuah guratan tangan saja, Wi Tayjin boleh mencantumkan sebuah huruf "siau" saja sudah terhitung menanda tangani perjanjian ini."

Siau Po gembira sekali. Dalam hati dia berpikir bahwa huruf "siau" memang merupakan huruf andalannya. Dia segera mengambil sebatang mopit, di sebelah kiri dia membuat garis miring seperti kumis, demikian pula di sebelah kanannya.

Terakhir dia membuat guratan panjang dengan bagian kakinya agak melengkung sedikit so Ngo Ta tersenyum, "Sudah, tulisan yang bagus sekali," pujinya, Siau Po memiringkan kepala untuk meneliti huruf "Siau, yang dibuatnya, kemudian mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahak-bahak. So Ngo Ta menjadi heran.

"Apakah ada sesuatu yang lucu dalam pandangan Wi Tayjin?" tanyanya, Siau Po tertawa.

"Coba kau perhatikan huruf ini, bukankah mirip seseorang yang tertotok jalan darahnya lalu berdiri kaku dengan kedua tangan melebar ke samping?" katanya.  So Ngo Ta ikut memperhatikan sekilas, apa yang dikatakan Siau Po memang benar. Dia tahu benak Siau Po saat ini pasti sedang membayangkan Golovin. Bayangan itulah yang akhirnya menjadi inti tulisannya. Dia langsung ikut tertawa geli. Para pembesar lainnya yang hadir di sana juga ikut tertawa. Golovin mendelikkan matanya memperhatikan orang-orang cina itu, ia tidak mengerti apa yang ditertawakan oleh mereka.

Utusan kedua negara dan para pembesar negara masing-masing segera menyelesaikan perjanjian tersebut ini merupakan perjanjian pertama yang dibuat oleh Negara Cina dan Negara Lo Sat.

Dalam hal ini negara Cina meraih keuntungan besar, wilayah utara yang berhasil dikuasainya mencapai dua ratus laksa li. Kalau dibandingkan negara Cina yang sekarang, maka luasnya mencapai satu setengah kali lipat.

Sesuai dengan peraturan pada jaman itu, kedua belah pihak sama-sama menembakkan meriam ke udara sebanyak empat kali sebagai tanda perjanjian telah disepakati. Meriam milik kerajaan Ceng ada empat ratus lebih, begitu ditembakkan suaranya menggelegar seakan hendak memecahkan angkasa, sedangkan meriam milik Negara Lo Sat yang ada di Ni PuJu ada dua puluhan.

Kalau dibandingkan dengan suara meriam milik Kerajaan Ceng, benar-benar ibarat kicauan burung dan auman singa.

Diam-diam Golovin merasa beruntung, sebab kalau perjanjian itu sampai gagal, dia tidak dapat membayangkan akibatnya bila harus berperang dengan pasukan Siau Po. Dapat dipastikan tidak ada satu pun serdadu dari pasukannya yang bisa menyelamatkan diri.

Setelah perjanjian selesai, kedua negara saling bertukar souvenir, Golovin menghadiahkan arloji, alat teropong, peralatan dari peraki kulit macan tutul dan berbagai macam senjata untuk Siau Po dan para pembesar Ceng lainnya.

Sedangkan Siau Po membalasnya dengan memberikan kuda-kuda pilihan, pelana dari kulit bermutu terbaik, cawan emas, pakaian dari benang sutera, mantel berbulu binatang dan lainnya, sedangkan untuk para serdadu Lo Sat yang berjumlah dua ratus enam puluh orang itu Siau Po memberikan masing-masing uang perak senilai dua puluh tail sebagai pengganti ikat pinggang mereka yang telah diputuskan atas perintahnya.

Diam-diam Golovin masih merasa cemas, entah pasukan Kerajaan ceng yang diperintahkan menyusup ke kota Moskov sudah ditarik kembali atau belum. Maka dalam pembicaraan dengan Siau Po selama perjamuan besar di malam harinya, dia terus melakukan penyelidikan.

Namun Siau Po sangat cemas, dia pura-pura tidak tahu apa yang dilakukan Golovin, pertanyaan orang itu selalu dijawab dengan sangar-sangar.

Dua hari kemudian, Golovin mendapat kabar bahwa ada pasukan besar Kerajaan Ceng yang mendatangi dari arah barat, Golovin segera memanjat ke atas tembok kota dan melihat dengan alat peneropong. Dari kejauhan tampak rombongan besar pasukan berkuda Kerajaaan-Ceng sedang menghambur ke arah kota Ni Puju. Debu-debu yang terkais oleh kaki kuda sampai mengepul ke udara, Golovin senang sekali. Dia tahu pasukan besar yang tadinya diperintahkan menyusup ke Kota Moskow sudah ditarik kembali.

Beberapa hari kemudian, tukang-tukang batu panggilan telah menyelesaikan tugu perbatasan sesuai perjanjian Talisan yang tertera di atas tugu tersebut terdiri dari Bahasa Cina, Bahasa Lo Sat dan Bahasa Latin.

Setelah selesai, utusan kedua negara beserta para pembesarnya melakukan upacara peresmian secara sederhana, kemudian mereka saling memohon diri untuk kembali ke negara masing-masing.

Sebelumnya Siau Po memanggil Walpatsky dan chekonof, dia menyuruh mereka membawakan hadiah untuk Ratu Sophia. Diantaranya terdapat selimut serta bantal.

Negara utara merupakan wilayah yang tandus, sulit menemukan benda-benda seperti ini. Siau Po memberikan milik Song Ji kepada si Tuan Puteri Negara Lo Sat.

Sembari tertawa Siau Po berkata. "Kalau Tuan puteri benar-benar merindukan aku, suruh dia bergumul dengan selimut atau memeluk bantal ini saja."

"Cinta Tuan puteri kami terhadap Tayjin dalam sekali, sedangkan selimut dan bantal ini cepat rusak, sebaiknya Tayjin memerintahkan beberapa ahli bangunan datang ke Moskow untuk membuatkan beberapa jembatan. Dengan demikian dalam jangka waktu yang panjang sekali kenangan terhadap Tayjin masih terpateri dalam hati Tuan puteri" sahut Walpatsky. Sekali lagi Siau Po tertawa lebar.

"Aku sudah mempertimbangkan hal ini, kalian jangan cerewet," katanya.

Ia lantas menyuruh beberapa anak buahnya menggotong ke luar sebuah peti kemas berukuran besar, yang menggotongnya sampai delapan orang. Tampaknya isi peti itu berat sekali. Di bagian luar peti kemas terbelenggu rantai tebal yang dilas api sehingga kuat sekali.

"Hadiah ini berarti sekali, kalian harus menjaganya baik-baik dan jangan sampai terjadi kerusakan dalam perjalanan. Begitu Tuan puteri kalian melihatnya, dia pasti merasa senang."

"Hadiah ini akan menimbulkan kenangan sepanjang masa sama halnya dengan jembatan buatan orang-orang bangsa kami," kata Siau Po pula.

Kedua utusan dari Lo Sat itu tidak berani banyak bertanya. Mereka menyuruh beberapa serdadunya untuk membawa peti kemas itu. Peti itu memang berat sekali, mungkin lebih dari seribu kati. Bayangkan saja betapa susah payahnya para serdadu Lo Sat membawa benda itu dari Ni Puju menuju Moskov.

Begilu menerima hadiah itu. Ratu sophia segera menyuruh orang untuk membukanya, isi peti itu ernyata sebuah patung besar berbentuk Siau Po yang sedang tersenyum simpul, buatannya halus sekali sehingga tampak hidup. Namun yang menjadi keistimewaannya, patung itu justru telanjang bulat. Rupanya Siau Po mendatangkan seoarang ahli pahat patung untuk membuat patung dirinya. Dibagian cincin patung itu terdapat tulisan "Aku selalu mencintaimu" yang dibuat oleh si Ahli Sastra kebangsaan Holland dengan menggunakan Bahasa Lo Sat.

Tuan puteri Sophia yang melihat patung itu sampai tertegun beberapa saat. Dia tidak tahu harus menangis atau tertawa menghadapi kejadian ini. Terbayang olehnya kecerdasan dan sikap nakal si Pembesar Bocah Tiongkok.

Rasanya tidak ada seorang lain pria Lo Sat yang dapat menandinginya. Akhirnya dia menatap patung itu dengan sinar mata penuh kerinduan.

Patung ini diletakkan dalam istana Kremlin. Ketika terjadi pemberontakan antara orang-orang sendiri. Ratu Sophia diusir keluar dari istana tersebut, patung Siau Po ini diperintahkan agar dihancurkan, para serdadu yang mendapat tugas tersebut merasa sayang menghancurkan patung yang bentuknya demikian hidup. Akhirnya patung itu mereka sembunyikan di sebuah desa terpencil, oleh sebagian penduduk yang masih primilif, patung itu malah dipuja. Ada orang yang percaya, bila ingin mendapatkan keturunan bagi pasangan yang mendapat kesulitan, mereka harus berdoa di depan patung itu lalu meraba bagian bawahnya beberapa kali.

                                       -ooo00000ooo-

Siau Po memerintahkan anak buahnya untuk segera kembali ke Kotaraja. Begitu pasukan besar Kerajaan Ceng memasuki perbatasan kota utama negara Cina itu, para pembesar istana serta ratusan prajurit pilihan sudah menunggu di pintu gerbang kota.

Siau Po mengajak So Ngo Ta, Tung Kok Bang, Pa Hai, Peng Cun, Lim Heng cu dan beberapa pembesar lainnya pergi menemui Kaisar Kong Hi. sri Baginda merasa puas sekali dengan hasil kerja Siau Po sehingga menganugerahkan pangkat pangeran Lu Ting Kong Tingkat satu. Sedangkan So Ngo Ta, Tung Kok Bang serta yang lainnya juga mendapat kenaikan pangkat.

Keesokan harinya Siau Po mendapat panggilan untuk menghadiri perjamuan yang diadakan oleh Kaisar Kong Hi. Di hadapan para pembesar istana, raja menceritakan kecerdikan Siau Po sehingga berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Siau Po juga mendapat berbagai hadiah. Tentu saja si anak muda merasa senang sekali. Dalam perjalanannya pulang dari istana, terdengar suara tepukan tangan yang riuh mengiringi dari belakangnya.

Siau Po merasa bangga sehingga membusungkan dadanya tinggi-tinggi, setiap tempat yang dilaluinya selalu terdengar suara sorakan orang ramai memujinya.Tiba-tiba dari pinggir jalan terdengar teriakan seseorang.

"Siau Po Kaulah si anjing buduk yang tidak ingat budi"

Jangan ditanyakan bagaimana terkejutnya hati Siau Po. Dia merasa suara ini tidak asing bagi telinganya. Ketika dia menolehkan kepala, tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar menghambur ke luar dari kerumunan orang banyak- orang itu menudingnya sambil memaki.

"Siau Po Kau lah si maling kecil yang pantas ditebas seribu kali. Kau tidak sudi menjadi orang Han yang baik justru menyerahkan diri untuk mengabdi kepada Bangsa Ceng. Kau tidak malu menjadi budak Bangsa Tatcu. Kau sudah mencelakai gurumu sendiri, kau juga mencelakai saudara-saudara seperguruanmu sekarang Raja Tatcu menganugerahkan pangkat yang tinggi kepadamu sehingga kau merasa besar kepala. Pasti karena hidupmu senang, bukan? Neneknya Locu akan menebas tubuhmu dua puluh delapan kali dan meng ulungkan kepalamu lima belas kali. Aku ingin lihat pada saat itu apakah kau masih bisa menjadi pangeran Kura-kura atau pangeran Bebek?"

Laki-Iaki itu tidak mengenakan baju. Tampak dadanya penuh dengan bulu yang lebat. Tampangnya garang dan matanya memandang Siau Po dengan sinar menyala-nyala, ternyata dialah Mao sip Pat, yang mula-mula membawa Siau Po ke Kota raja.

Sementara Siau Po masih tertegun mendengar caci maki orang itu, puluhan prajurit Ceng sudah menerjang ke depan dan mengepung Mao sip Pat. Laki-laki itu mengeluarkan sebilah pedang pendek untuk melakukan perlawanan, namun puluhan prajurit itu sudah mengambil tindakan terhadapnya. Ada yang menudingkan golok ke lehernya, ada yang merebut pedang pendek dari tangannya dan sisanya segera

menelikung kedua tangan orang itu lalu mengikatnya dengan tali.

Mulut Mao sip Pat tidak henti-hentinya memaki, "Siau Po Kaulah si maling kecil yang lahir dari rahim seorang pelacur sungguh merupakan suatu kesalahan besar Locu membawamu ke Kota raja tempo hari. Aku merasa berdosa terhadap Tan Kin Lam dan Tan ceng tocu. Aku juga berdosa terhadap para pendekar dari perkumpulan Thian Te hwee. Hari ini toh aku tidak ingin hidup lagi, biarlah orang-orang di dunia ini tahu bahwa kaulah si pengkhianat yang menjual temannya sendiri. Kaulah si maling budukan yang lupa budi orang yang ada dalam otakmu hanyalah bagaimana menjabat pangkat yang tinggi dengan menjadi anjingnya Bangsa Tatcu"

Beberapa prajurit maju untuk menampar mulut Mao sip Pat, tetapi dengan gagah orang itu terus memaki, tidak memperdulikan rasa sakit sedikit pun. Siau Po segera memerintahkan para prajurit jangan bertindak kasar, salah seorang prajurit mengeluarkan sehelai sapu tangan lalu menyumpal mulut Mao sip Pat dengan sapu tangan itu.

Namun Mao sip Pat masih juga mencaci meskipun suaranya berubah aneh dan tidak terdengar jelas apa yang dimakinya. Siau Po menurunkan perintah kepada anak buahnya. "Bawa orang ini ke rumahku, jaga baik-baik tapi jangan dipersulit. Beri dia makan dan

minum, nanti aku akan menginterogasinya sendiri"

Siau Po kembali ke rumahnya. Di dalam ruangan perpustakaan telah tersedia hidangan yang lengkap di atas meja. Dia menyuruh orang menggiring Mao sip Pat ke hadapannya. Namun dia takut Mao sip Pat akan mengambil tindakan keras terhadapnya, maka dia menyuruh Song Ji dan Su Cuan untuk menemaninya dengan menyamar sebagai prajurit Ceng.

Beberapa orang menggiring Mao sip Pat ke hadapan Siau Po. Anak muda itu menyuruh mereka membebaskan belenggu yang mengikat kedua tangan Mao sip Pat setelah itu mereka disuruh meninggalkan tempat itu. Siau Po menyambut orang itu dengan tertawa lebar.

"Mao toako, sudah lama kita tidak bertemu. Tentunya keadaanmu baik-baik saja bukan?" katanya.

Mao sip Pat marah sekali.

"Apanya yang baik atau tidak? sejak bertemu denganmu seharusnya keadaanku baik-baik saja, sekarang sudah pasti tidak baik" sahutnya kasar. Siau Po tetap tersenyum.

"Mao toako, harap duduk dulu, siaute akan menyalang tiga cawan arak untukmu, semoga kemarahanmu bisa reda, setelah itu kau bisa memberitahukan kesalahan apa yang telah siaute lakukan. Rasanya masih belum terlambat, bukan?" katanya. Mao sip Pat melangkah lebar-lebar ke depan. "Aku akan membunuhmu terlebih dahulu, setelah itu baru minum arak"

Tinjunya yang besar terkepal dan dilayangkan ke arah Siau Po. Su Cuan menghambur ke depan lalu menangkap tinju Mao sip Pat dengan tangan kanannya. Dalam waktu yang bersamaan jari tangan kirinya menotok dua kali pada bagian pundak Mao sip Pat. Detik itu juga tubuh Mao sip Pat menjadi ngilu dan lemas.

Dia tidak dapat mengerahkan tenaga sedikit pun. Tanpa terasa dia jatuh terduduk di atas kursi.

Mao sip Pat terkejut sekaligus marah. Dia berusaha untuk bangun, namun Su Cuan yang berdiri di belakangnya kembali menggunakan jari tangannya menutul pundaknya sehingga di luar kemauan Mao sip Pat terpaksa duduk kembali. Padahal tubuh Mao sip Pat besarnya dua kali tubuh Su Cuan. Namun dengan ilmunya yang tinggi wanita itu berhasil menguasai lawannya, sudah tentu hati Mao sip Pat semakin panas jadinya.

"Hari ini Locu berani memakimu di hadapan orang banyak, dengan demikian Locu juga tidak memikirkan lagi mati hidup ini. Asal orang-orang di seluruh dunia tahu bahwa kau Wi Siau Po hanyalah seorang manusia rendah yang mencelakai gurunya sendiri serta menjual saudara-saudara seperguruannya" makinya.

"Mao toako, aku memang bekerja bagi sri Baginda, tapi apa yang kulakukan adalah menggempur Bangsa Lo Sat, bukan membunuh Bangsa Han kita. Bagaimana kau bisa mengatakannya sebagai sebuah pengkhianatan?" tanya Siau Po dengan nada tenang.

"Namun kenapa kau membunuh gurumu, Tan Kin Lam?" Mao sip Pat balik bertanya.

"Kenapa kau mengatakan aku yang mencelakakan guruku? sudah terang guruku mati di tangan si budak The Kek song" kata Siau Po.

"Sampai sekarang kau masih mungkir? Dalam firmannya, sri Baginda terang-terangan menjelaskan masalah ini" sahut Mao sip Pat. Siau Po terkejut setengah mati.

"Mengapa... dalam firman raja bisa disebutkan bahwa aku yang membunuh guruku?" Siau Po merasa heran. Diam-diam dia mengerling ke arah Su Cuan.

"Dalam firman beliau beberapa hari yang lalu, sri Baginda memang menyatakan bahwa kau telah mendirikan jasa besar dalam pemberantasan para pemberontak seperti Go Pay, Go sam Kui dan yang lain-lainnya, juga dikatakan bahwa kaulah yang pertama-tama membuat ciut hati para pemberontak dari Taiwan sehingga bawahannya yang lain tidak mengalami kesulitan merebut pulau itu.

Hal ini memang benar, namun di samping itu masih ada beberapa kalimat yang isinya menerangkan bahwa kau berhasil membunuh Ketua Pusat Thian Te hwee yakni Tan Kin Lam, juga tangan kanannya yang sangat dipercaya, Hong ci Tiong.

Dengan demikian seluruh saudara-saudara dari Thian Te hwee yang tersisa segera melarikan diri terbirit-birit serta menyembunyikan diri di tempat terpencil karena takut tertangkap prajurit Kerajaan Ceng, inilah yang tidak benar," sahut Su Cuan menjelaskan tanpa diminta.

Siau Po mengerutkan keningnya.

"Aku masih belum mengerti juga, bagaimana urusan ini bisa dibebankan ke pundakku?" tanyanya.

"Dengan kata lain kau telah berhasil membunuh Tan Kin Lam dan Hong ci Tiong sehingga murid-murid Thian Te hwee lainnya kocar-kacir entah kemana. Hal ini dapat dianggap bahwa perkumpulan Thian Te hwee sudah bubar terpecah belah" sahut Su Cuan pula.

Siau Po melonjak bangun.

"Mana... mana ada urusan seperti itu? Bukankah ini yang dinamakan fitnah?" teriaknya penasaran Su Cuan menggelengkannya perlahan-lahan, "Hong ci Tiong adalah seorang mata-mata. Memang betul kita yang membunuhnya, cuma dalam firmannya sri Baginda menambahkan tiga kata Tan Kin Lam."

Siau Po menjadi panik seketika, Tan Kin Lam adalah guruku yang berbudi tinggi. Bagaimana mungkin aku mampu mencelakakannya? Firman sri Baginda ini... aih, kau sudah mendengar apa isi firman itu, mengapa kau tidak mengatakannya kepadaku?"

"Kami sudah pernah merundingkan hal ini. Dalam firmannya sri Baginda menambahkan tiga kata Tan Kin Lam". Apabila kau mengetahuinya, kau pasti merasa tidak senang," sahut Su Cuan.

Siau Po mengerti apa yang dimaksudkan dengan. "Kami telah merundingkannya" oleh Su Cuan. Artinya ketujuh istrinya telah mengadakan perundingan Siau Po menoleh kepada Song Ji, tampak istrinya itu menganggukkan kepalanya perlahan-lahan.

"Mo toako, dengan sejujur-jujurnya aku mengatakan bahwa aku tidak mencelakai guruku, sedangkan Hong ci Tiong merupakan murid murtad dari perkumpulan Thian Te hwee, dia... dia memberikan laporan kepada sri Baginda mengenai gerak-gerik kami secara diam-diam...." Mao sip Pat tertawa dingin.

"Oh, jadi kau inilah yang disebut orang baik-baik?" ejeknya.

Siau Po terduduk dengan lemas.  "Aku.. aku akan menemui Sri Baginda dan meminta agar beliau merubah... merubah isi firman itu...." Meskipun mulutnya berkata demikian, namun dia tahu bahwa Kaisar Kong Hi tidak mungkin merubah isi firmannya hanya karena dia dianggap orang yang istimewa. Dalam hati dia berpikir. -- Entah anjing penjilat mana yang melaporkan bahwa aku yang membunuh Tan Kin Lam? Dalam pandangan Sri Baginda, ini merupakan bukti kesetiaanku, tapi apakah... aku masih terhitung seorang manusia apabila tidak menjelaskan duduk perkaranya? --

Hatinya semakin gelisah. Tanpa dapat mempertahankan diri lagi dia menangis tersedu-sedu.

"Mao toako, cici Cuan, Song Ji yang baik, aku benar-benar tidak membunuh guruku" teriaknya.

Melihat Siau Po tiba-tiba menangis keras-keras, ketiga orang itu menjadi terkejut, Su Cuan segera menghampirinya lalu memeluk pundaknya. Dengan lembut dia berkata "Suhumu dibunuh oleh The Kek song di Pulau Tong sip to. Kami melihatnya dengan mata kepala sendiri" Dia mengeluarkan sehelai sapu tangan kemudian mengusap air mata yang membasahi pipi Siau Po.

Pada saat itu Mao sip Pat baru tahu bahwa prajurit yang ilmunya tinggi itu ternyata seorang wanita. Hatinya semakin terkejut, suatu ingatan tiba-tiba melintas dalam pikiran Siau Po.

"Betul Mao toako, si budak Kek song sekarang masih ada di Kotaraja, sekarang kita bersama-sama menemuinya lalu Toako bisa menanyakan hal ini sampai jelas. Aku yakin dia tidak berani mengingkari perbuatannya"

Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba dari luar terdengar seruan seseorang.

"Firman kaisar tiba To congkoan to Lung mendapat tugas menyampaikan firman kaisar"

Siau Po segera berdiri menghadap ke utara. Tampak To Lung melangkah masuk dengan wajah berseri-seri. Siau Po langsung menjatuhkan diri berlutut dan menyembah sebanyak tiga kali. To Lung menunggu anak muda itu menyelesaikan penghormatannya, baru ia berkata.

"Sri Baginda berpesan agar orang yang mengacau di jalanan tadi dibawa untuk menemui beliau. Kemungkinan Sri Baginda ingin menginterogasinya sendiri" Hati Siau Po tercekat kaget mendengar kata-katanya.

"Oh, orang itu? Tadi adikmu ini sudah membawanya ke mari dan mengajukan berbagai pertanyaan secara mendetail, rupanya dia itu orang gila. Kata-katanya ngaco, semakin lama siaute semakin tidak mengerti apa yang diocehkannya sehingga dengan kesal siaute terpaksa melepaskannya," sahut Siau Po.

Mendengar sampai di sini, Mao sip Pat tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Dia melonjak bangun sambil menggebrak meja keras-keras, getarannya sampai membuat mangkuk-mangkuk yang ada di atas meja itu saling beradu.

"Maknya, Wi Siau Po siapa yang kau katakan sebagai orang gila? Akulah orang yang mengacau di jalanan tadi Aku pula yang memaki-maki Raja Tatcu. Meskipun ditebas dengan seribu golok pun aku tidak takut. Mengapa aku harus takut bertemu dengan seorang Raja Tatcu?" teriaknya lantang.

Diam-diam Siau Po mengeluh. Dia berharap dapat mendustai Kaisar Kong Hi dan To Lung, setelah itu dia akan melepaskan Mao sip Pat. Ternyata orang itu tidak menyadari kebaikan hatinya sama sekai, malah sengaja memaki-maki sang Raja di depan umum. Walaupun batok kepalanya ada delapan belas, belum tentu Siau Po sanggup mempertahankannya lagi. To Lung menarik naIas panjang.

"Saudaraku, kau selalu mengutamakan persahabatanmu dengan orang-orang kangouw. Dalam hal ini toakomu merasa kagum sekali, untuk urusan ini kau telah berusaha sebaik-baiknya, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Mari kita berangkat" katanya.

Mao Sip Pat melangkah ke depan pintu. Ketika hendak ke luar tiba-tiba dia menolehkan kepalanya lalu meludah ke arah Siau Po. Ketika itu pikiran si anak muda sedang bercabang, yakni memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan Mao sip Pat. Tentu saja dia tidak melihat datangnya semburan ludah dari Mao sip Pat. Puih segumpal air liur itu tepat mengenai matanya. Para prajurit yang melihat kejadian itu

sebera menghunus golok masing-masing lalu menerjang ke arah Mao sip Pat.

Siau Po mengibaskan tangannya "Sudahlah, jangan mempersulit dirinya" katanya. Anak buah To Lung langsung maju untuk meringkus orang itu. Dalam sekejap mata Mao sip Pat sudah berhasil dibelenggu.

Siau Po berpikir dalam hati.  -- Kalau sri Baginda mengajukan pertanyaan kepada Mao toako, mungkin belum sampai tiga kata saja dia akan dibawa ke luar untuk dipenggal kepalanya. Aku harus menemui sri Baginda secepatnya. Biar bagaimana aku harus mencari akal untuk menolong jiwa Mao toako --

Maka dia berkata kepada to Lung, "To toako, aku akan menghadap sri Baginda untuk menjelaskan duduk persoalannya. Dengan demikian beliau juga bisa bersiap-siap, jangan sampai orang Han yang kasar ini menyerangnya secara tiba-tiba."

Rombongan itu sampai di istana raja, Siau Po mendengar bahwa Kaisar Kong Hi berada di ruang perpustakaan. Maka dia memohon untuk menghadap. Sri Baginda memanggilnya, Siau Po segera masuk lalu berlutut melakukan penghormatan setelah itu dia baru berdiri" orang yang memaki-makimu juga memaki-makiku di jalanan tadi teman baikmu, bukan?"

"Kecerdasan Sri Baginda tidak ada yang bisa menandingi dalam urusan apa pun tidak perlu menebak sampai dua kali," sahut Siau Po.

"Apakah dia orang dari Thian Te hwee?" tanya Kaisar Kong Hi.

"Dia tidak pernah menjadi anggota secara resmi, tapi banyak anak murid Thian Te hwee yang dikenalnya, orang ini sangat kagum kepada guru hamba. Dia mendengar bahwa dalam firman Sri Baginda ada menyatakan bahwa akulah yang membunuh Tan Kin Lam. Dia marah sekali sehingga memaki-makiku seenak perutnya. Mengenai Sri Baginda sendiri, dia tidak berani mengeluarkan cacian sepatah kata pun," sahut Siau Po.

Kaisar Kong Hi tertawa.

"Antara kau dengan Thian Te hwee tidak ada apa apa lagi, bukan? sejak hari ini kau tidak pernah menghubungi mereka, kan?"

Siau Po menganggukkan kepalanya.

"Benar. Waktu menggempur Negara Lo Sat saja hamba tidak membawa seorang pun anak murid Thian Te hwee"

"Kalau suatu hari ada teman lamamu dari Thian Te hwee yang datang mencarimu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Kaisar Kong Hi.

"Hamba tidak akan menemuinya, ini untuk menjaga perasaan kurang enak pada kedua belah pihak." sahut Siau Po.

Kaisar Kong Hi menganggukkan kepalanya, "Itulah sebabnya aku menyebut nama Tan Kin Lam dan Hong ci Tiong dalam firmanku tempo hari. Aku justru mencegah terjadinya banyak masalah bagimu di kemudian hari, Siau Kui Cu, tidak mungkin menginjakkan kaki pada dua perahu untuk selamanya. Kalau kau memang setia kepadaku, maka kau harus bekerja untukku dengan sesungguh hati, jangan sekali-kali

kau menceburkan diri dalam kemelut gelombang badai Thian Te hwee. Bila kau memang ingin sekali menjadi Hiocu perkumpulan Thian Te hwee, maka kau juga harus mengerahkan segenap kemampuanmu untuk melawanku?"

Siau Po terkejut setengah mati mendengar ucapannya, dia segera menjatuhkan dirinya berlutut dan menyembah beberapa kali.

"Biar bagaimana pun hamba tidak berani melakukan perlawanan terhadap Sri Baginda. Di saat kecil hamba memang suka ceroboh melakukan apa pun tanpa berpikir panjang lagi. Namun sekarang hamba sudah dewasa. Hamba tidak akan melakukan hal yang bodoh lagi."

Kaisar Kong Hi tertawa lebar. "Bagus sekali. Besok kau tabas saja batok kepala orang gila yang memaki-maki kita di tengah jalan itu jangan sekali-sekali dibiarkan hidup."

Kembali Siau Po menyembah "Hari ini hamba dapat bertemu dan mengabdi kepada sri Baginda, seluruhnya merupakan jasa orang ini. Hamba masih belum mendapat kesempatan untuk membalas budinya. Maka... maka hamba memberanikan diri untuk memohon pengampunan baginya. BiarIah... biarlah hamba mengembalikan semua hadiah yang telah diberikan oleh Sri Baginda. Hamba juga bersedia diturunkan pangkatnya menjadi pangeran Lu Tiong Kong Tingkat Dua kembali."

Wajah Kaisar Kong Hi berubah seketika, "Apa yang sudah dikatakan oleh seorang Raja kau anggap sebagai suatu permainan? Anugerah berupa pangeran Lu Ting Kong tingkat satu adalah budi yang kuberikan kepadamu. Kau menggunakan hadiah yang kuberikan untuk melakukan tawar-menawar denganku, tampaknya nyalimu sekarang sudah besar sekali, ya" bentak sang Raja.

Siau Po menggelengkan kepalanya, "Hamba memang mengajukan harga, tapi Sri Baginda toh boleh menawar sesuka hati. Kalau sri Baginda keberatan hamba diturunkan pangkatnya menjadi Lu Ting Kong Tingkat Dua, boleh saja turun lagi menjadi Tong sip Pak kembali, atau Tong sipji (Anak kecil dari pulau Tong sip)."

Tadinya Kaisar Kong Hi bermaksud menakut-nakuti Siau Po agar kelak tidak berani membangkang lagi terhadapnya. Tak disangka anak muda ini benar-benar ibarat "Katak dalam tempurung" walaupun pangkatnya sudah tinggi sekali, wataknya masih kampungan gayanya yang tengil tidak pernah berubah. Dalam hati Kaisar Kong Hi jadi kesal sekaligus geli.

"Berdiri kau" bentaknya pura-pura garang, Siau Po menyembah satu kali lagi kemudian baru bangkit. Kaisar Kong Hi masih memasang tampang cemberut.

"Kau ingin melakukan tawar-menawar denganku. Baiklah, Kalau kau meminta aku mengampuni pemberontak itu, maka kau harus membayarnya dengan batok kepalaku sendiri" katanya seolah-olah serius.

Wajah Siau Po justru dipasang semurung mungkin.

"Tawaran Sri Baginda terlalu serius dan sadis, bagaimana kalau harganya dinaikkan sedikit lagi?"

"Baik aku akan menaikkannya sedikit. Begini saja, biar bagian paling vital di bawah tubuhmu dipotong saja, jadi kau bisa menjadi Thay-kam yang sebenarnya di istana ini," kata Kaisar Kong Hi.

"Coba naikkan harganya sedikit lagi." pinta Siau Po.

"Tidak. Harga sudah mantap. Kalau kau tidak membunuh orang itu, berarti kau tidak setia terhadapku, seseorang itu apabila setia ya setia, tidak ya tidak. Memangnya ada tawar-menawar?" kata Kaisar Kong Hi.

"Kepada Sri Baginda sudah pasti hamba menyerahkan kesetiaan. Terhadap teman namanya setia kawan atau solider, terhadap ibu namanya berbakti, terhadap istri namanya cinta..."

Kong Hi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-katanya.

"Kau memang bocah paling serakah. Kalau mau apa-apa tidak pernah tanggung-tanggung. Bagus, aku merasa kagum sekali. Besok tengah hari, pokoknya kau harus membawa sebuah batok kepala ke hadapanku. Kalau bukan batok kepala orang itu, ya batok kepalamu sendiri"

Siau Po merasa tidak berdaya. Dia segera menyembah sekali lagi lalu mengundurkan diri

Ketika ia sampai di depan pintu, terdengar Kong Hi bertanya. "Tentunya kau bermaksud kabur lagi, bukan?"

"Kali ini hamba tidak berani lagi. Hamba hanya ingin pulang ke rumah lalu berbaring di atas tempat tidur untuk berpikir baik-baik. Paling bagus kalau hamba menemukan jalan ke luar yang ideal. Dengan demikian hamba tetap setia terhadap Sri Baginda, tidak berdosa terhadap teman sekaligus dapat mempertahankan batok kepala ini," sahut Siau Po.

Kong Hi tersenyum. "Baiklah. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Kian Leng kongcu. Kalau kau pulang nanti, sampaikan agar dia menemui kakaknya ini. Aku sudah rindu sekali kepadanya." setelah berhenti sejenak dia melanjutkan kembali, "Sekalian ke enam istrimu yang lain dan tiga orang anakmu juga suruh bawa untuk menemui Thay Hou. Thay Hou pernah mengatakan bahwa kau telah mendirikan jasa besar, beliau ingin memberi hadiah untuk istri-istri dan anak-anakmu," katanya.

"Terima kasih atas budi yang dilimpahkan sri Baginda dan Thay Hou. Biarpun tubuh ini harus hancur, rasanya masih belum cukup untuk membalas budi tersebut." Siau Po melangkah mundur dua tindak, tanpa dapat menahan mulutnya dia berkata pula. "Hamba pernah mengatakan bahwa sri Baginda adalah sang Buddha, sedangkan hamba yang menjadi Sun Go Kongnya. Apa pun yang hamba lakukan, tetap hamba tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman Sri Baginda."

Kong Hi tersenyum simpul. "Kau sendiri juga sangat cerdas, jadi kau tidak perlu sungkan-sungkan terhadapku."

Siau Po melangkah ke luar dari ruang perpustakaan. Tidak henti-hentinya dia menarik naIas panjang.

- Sri Baginda sengaja menahan ke tujuh istri dan ketiga anakku. Dia tahu dengan cara ini aku tidak mungkin sampai hati meninggalkan mereka apalagi pakai kabur segala -- pikirnya dalam hati.

Ketika sampai di koridor panjang, tampak To Lung menghampirinya.

"Saudara Wi, Thay Hou memanggil istri-istri dan anak-anakmu. Kali ini keluargamu pasti banjir hadiah lagi, selamat" Siau Po menjura.

"Semua ini berkat rejeki to Toako puIa," sahutnya. To Lung tersenyum.

"Sebelum menjalankan tugas tempo hari, saudara Wi berpesan kepadaku untuk menagihkan hutang kepada The Kek song. Boleh dibilang sudah hampir delapan puluh bagiannya yang dibayar, jumlah yang sudah terkumpul mencapai dua ratus laksa tail lebih. Nanti aku akan menyuruh orang mengantarnya ke rumah Adik Wi," kata To Lung, Siau Po tertawa.

"llmu To toako ternyata hebat juga. Dalam waktu yang begitu singkat sudah berhasil menagih begitu banyak". Kemudian dengan penuh kebencian dia berkata pula, "Maknya si bocah Kek song itu. Kalau mengingat guruku yang mati di tangannya, rasanya belum puas sebelum berhasil membalaskan dendam ini. Dan orang gila yang memaki-maki di jalanan tadi juga karena perbuatannya itu"

Semakin memikirkan hatinya semakin kesal. "To toako, harap kau membawa anak buahmu lebih banyak lagi, sekarang juga kita tagih lagi hutangnya" katanya pula.

Mendengar Siau Po ingin menagih hutang lagi kepada Kek song, tentu saja hati to Lung menjadi senang sekali. Apalagi hari ini dia ditemani oleh Lu Ting Kong Tingkat satu, wibawanya pasti tampak semakin besar.

Dia segera menyuruh wakilnya menggantikannya untuk sementara. Kemudian dia memerintahkan salah seorang komandannya agar mempersiapkan seratus cong peng pilihan untuk menyertai Siau Po dan dirinya menuju tempat kediaman The Kek song.

Pangkat Kek song sekarang adalah Kong ciak. Kalau dibandingkan dengan Siau Po ibarat langit dan bumi. Apalagi Kek song merupakan pihak musuh yang telah menyatakan takluk.

Sedang Siau Po mendapat pangkatnya dari berbagai jasa yang telah didirikannya, walaupun dihitung dari urutan tidak terpaut jauh tapi isinya justru berbeda sekali.

Di atas pintu gerbang gedung kediaman Kek song terdapat papan yang bertulisan "Hai Tin Kong Hu", namun tintanya warna hitam. Jauh berbeda dengan gedung kediaman Siau Po yang papannya ditulis dengan tinta air emas. Melihat keadaan itu, setidaknya hati Siau Po merasa bangga juga.

"Merek yang terpasang di atas rumah budak ini masih tidak bisa menyaingi gedung kediamanku," katanya.

Para prajurit Kerajaan ceng sudah biasa menagih hutang ke rumah Kek song, setidaknya muncul dua tiga hari sekali, jadi mereka tidak menunggu sampai penjaga pintu melaporkan kedatangan mereka, semuanya main selonong saja, Siau Po masuk ke ruang tamu dan duduk di atas sebuah kursi, sedangkan To Lung duduk di sisinya.

Bagian 96

Kek Song mendengar panglima Besar Bu yan Thayswe Wi Siau Po datang berkunjung. Dia jadi kebingungan seketika. Tapi dia tidak berani menolak pertemuan dengan Siau Po. Karena itu dia segera mengganti pakaiannya dengan jubah kebesarannya lalu dengan membusungkan dada dia keluar menemui musuh dedengkotnya. Dari jauh sudah terdengar suara panggilannya yang lantang.

"Wi Tayjin" Kek Song segera menjura dalam-dalam.

Siau Po tidak berdiri, dia tetap duduk di atas kursi sambil mengangkat sebelah kakinya, kepalanya mendongak ke atas lalu mendengus satu kali.

"To toako, bocah Kek Song itu benar-benar tidak tahu sopan santun. Kita sudah datang setengah hari lebih tapi dia tidak memperdulikannya sama sekali. Bukankah kelakuannya itu menunjukkan bahwa dia tidak memandang sebelah mata terhadap kita?" katanya seakan tidak melihat kemunculan Kek Song.

"Memang benar, orang bilang hutang nyawa dibayar nyawa, hutang uang dibayar uang. Dia selamanya suka menyurutkan kepala seperti seekor kura-kura. Memangnya orang itu bisa bersembunyi untuk selamanya?" sahut To Lung.

Kek Song marah sekali. Namun di bawah tekanan orang, mau tidak mau dia harus menundukkan kepalanya. Kedua orang di hadapannya ini, yang satu seorang panglima Besar, sedangkan yang satunya lagi seorang Komandan Pengawal Istana.

Ada pun dirinya sendiri tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, pangkatnya hanya berdasarkan nama saja, walaupun punya kedudukan tapi dalam bidang apapun dia masih tidak berbeda dari rakyat biasa.

Terpaksa dia menahan rasa kesal dalam hatinya. Dia segera membungkukkan tubuhnya dalam-dalam dan menyapa sekali lagi.

"Wi Tayiin, to Congkoan, semoga kalian berdua sehat-sehat saja"

Perlahan-lahan Siau Po menurunkan kepalanya. Matanya menatap Kek song yang berdiri dengan tubuh membungkuk di hadapannya tajam-tajam, Siau Po memiringkan kepalanya, kemana perginya The Kek song yang tampan? yang terlihat di hadapannya justru seorang laki-laki setengah baya ujang tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat, matanya kuyu. Rambutnya sebagian sudah memutih. Siau Po semakin penasaran. eh, kalau dilihat lama-lama tidak terlalu tua juga. Namun tampangnya kurang bersemangat, rasanya Siau Po kenal dengan orang ini. Cuma dulunya orang ini tidak memelihara jenggot. Siapa lagi kalau bukan The Kek song?

Beberapa tahun saja tidak bertemu tampang orang ini sudah bertambah tua dua tiga puluhan tahun. Mula-mula Siau Po memang merasa bingung, namun akhirnya dia mengerti selama beberapa tahun belakangan ini Kek song sudah mengalami berbagai penderitaan.

Karena itulah tampangnya menjadi tua dan tubuhnya semakin lama semakin kurus, timbul sedikit perasaan iba dalam hati Siau Po. Tapi kalau dia mengingat kembali orang ini pernah membunuh gurunya dengan kejam, kemarahannya timbul pula. Sembari tertawa dingin dia bertanya.

"Siapa kau?"

"Hamba The Kek song. Mengapa Tayjin tidak mengenali hamba lagi?" sahut Kek song, Siau Po menggelengkan kepalanya,

"The Kek song? Bukankah si bocah Kek song itu sudah menjadi Raja Muda di Taiwan? Mengapa dia bisa ada di Kotaraja? oh, kau pasti barang palsu"

"Hamba sudah mengabdi kepada Kerajaan Ceng yang besar. Berkat budi besar Sri Baginda hamba mendapat pangkat Kong ciak pula," sahut Kek song.

"Oh begitu rupanya. Dulu kau pernah membual di Taiwan bahwa pada suatu hari nanti kau akan menyerang Kotaraja dan meringkus Sri Baginda. Lalu kau juga mengatakan entah akan menuntaskan segalanya sepanjang apa atau sependek apa. Apakah semua kata-kata itu tidak ada hitungannya?" tanya Siau Po pula. Keringat dingin di punggung Keksong mengalir semakin deras.

 -- Dia ingin memperberat dosaku sehingga mengoceh yang tidak-tidak, biar bagaimana sri Baginda selalu mendengarkan apapun yang dikatakannya, tidak mungkin dia mendengarkan apa yang kukatakan, -- pikirnya dalam hati.

Sejak To Lung membawa anak buahnya datang menagih piutang, hari-hari yang dilalui Kek song terasa semakin berat, satu hari serasa satu tahun. Dari seluruh harta bendanya yang dibawa dari Taiwan, boleh dibilang hampir delapan puluh persen nya telah disita oleh congkoan beserta anak buahnya ini.

Sebagian besar dari emas permatanya telah dijual untuk membayar hutang. Entah sudah berapa ribu kali dia menyatakan penyesalan dalam hatinya sendiri seharusnya dia jangan menyerah kalau tahu urusan belakangannya begini gawat.

Ketika sie Long membawa pasukannya datang menyerang, paling tidak dia bisa melakukan perlawanan mati-matian, toh belum tentu pihak mereka yang kalah. Kalau dia sampai mati dalam peperangan, dia juga tidak perlu merasa berdosa terhadap para leluhurnya.

Tidak di-sangka-sangka setelah menyerahkan diri dia masih harus mengalami berbagai hinaan, terutama dari pemuda yang sekarang berada di hadapannya ini. Mendengar ucapan Siau Po barusan, rasanya dia memilih mati daripada hidup, "To toako, dulu The ongya ini benar-benar sok. Belum lama ini adikmu mendapat selentingan bahwa ada orang yang akan datang ke Kotaraja untuk menjemput pangeran ini agar dapat menduduki tahtanya kembali di Taiwan, The ongya, apa yang dikatakan penghubung mu itu? siaute ingin mendapat penjelasan yang selengkapnya agar tidak mendapat kesulitan bila melapor pada sri Baginda nanti," kata Siau Po pula.

"Wi Tayjin, harap Anda ulurkan tanganmu yang mulia. Apa yang dikatakan Tayjin tadi benar-benar tidak pernah terjadi..."

"Eh. Kok aneh To toako, bukankah kita berhasil meringkus seorang pemberontak? Dia telah membuka mulut memakiku dan Sri Baginda, Dia mengaku sebagai bawahan lama The ongya. Dia mengatakan bahwa tuan mudanya telah disiksa di Kotaraja ini karena itu dia datang untuk membalas dendam. Dia bilang ingin membasmi seluruh Bangsa Boan ceng Tatcu apa itu," kata Siau Po.

Mendengar sampai di sini, Kek song tidak dapat menahan kegelisahan hatinya lagi. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan Siau Po, lalu dengan suara meratap dia berkata "Ampun, Wi Tayjin Dosa hamba yang dulu memang besar sekali sehingga seharusnya patut mendapat hukuman mati. Harap Tayjin berwelas asih. Kalau Tayjin membukakan jalan kehidupan bagi hamba, Thian di atas tentu akan memberkati Tayjin sekeluarga" Siau Po tertawa dingin.

"Ketika membunuh guruku tempo hari, apakah kau pernah membayangkah apa yang akan kau alami sekarang?"

Tiba-tiba dari ruangan dalam melangkah ke luar seseorang. Tubuhnya tinggi kurus, tampangnya dingin. Dia bukan lain daripada It Kiam Bu Hiat Pang Ci Hoan. Dia menghambur ke sisi The Kek song lalu membangunkannya. Kemudian dia menoleh kepada Siau Po seraya berkata. "Mengenai pembunuhan atas diri Tan Cong tocu tempo hari, semuanya merupakan gagasanku, sama sekali tidak ada kaitannya dengan The Kongcu. Bila kau ingin membalas dendam, silahkan mencariku"

Selama ini Siau Po memang agak gentar berhadapan dengan Pang Ci Hoan. Melihat kegarangan orang itu, tubuhnya jadi lemas seketika, sikapnya yang sombong tadi tidak kelihatan lagi. Tubuhnya terhenyak di atas kursi seakan tidak mempunyai tenaga lagi.

"Apakah kau ingin memukul orang?" tanyanya dengan suara gemetar. To Lung segera bangkit dari tempat duduknya.

"Mana orang?" teriaknya.

Dalam sekejap mata muncul puluhan anak buahnya ke dalam ruangan dan mengambil posisi mengurung Pang Ci Hoan dan The Kek song.

Melihat begitu banyaknya anak buah di pihaknya, hati Siau Po terasa agak lega.

Orang ini berani bersikap kurang ajar dalam wilayah istana kerajaan. Dia benar-benar tidak memandang sebelah mata terhadap Sri Baginda kita yang mulia. Cepat ringkus dia" serunya kemudian.

Empat orang pengawal istana segera tampil ke depan, lalu memborgol kedua lengan Pang Ci Hoan, Pang Ci Hoan tidak melakukan perlawanan. Malah dengan suara lantang dia berkata. "Kami telah menyatakan takluk pada pihak Kerajaan Ceng, Sri Baginda

menganugerahkan pangkat Hai Tin Kong kepada The Kongcu, sedangkan aku dianugerahi pangkat Tiong seng Pak- ucapan seorang kaisar ibarat emas beratnya, beliau pernah mengatakan bahwa apa yang sudah lalu biarkan berlalu Wi Tayjin, kau sengaja mencari gara-gara agar bisa mendirikan jasa lagi, bukan? sebaiknya kita bersama-sama menghadap sri Baginda dan memohon beliau yang menentukan siapa

yang bersalah di antara kita" Siau Po tertawa dingin. "Oh jadi kau sendiri orang baik? He he, rupanya It Kiam Bu Hiat Pang Ci Hoan

adalah pendekar yang gagah perkasa. Aneh Mengapa sampai hari ini aku baru mengetahuinya?" ejek Siau Po.

"Sejak tiba di Kotaraja ini kami selalu mendapat penjagaan yang ketat selamanya kami tidak pernah bertemu dengan orang luar. Kami terlebih-lebih tidak berani melakukan dosa sekecil apa pun. Para siwi ini tidak henti-hentinya datang ke mari meminta uang. Kami selalu menyediakannya sesuai dengan kemampuan kami. Kami tidak merasa berat hati karenanya.

Wi Tayjin, apabila kau ingin mencari masalah untuk menambah kesalahan kami, perlu kau ketahui bahwa Sri Baginda berpandangan luas. Mungkin kau sendiri yang salah kaprah nantinya" kata Pang Ci Hoan pula.

Orang ini mempunyai pengalaman yang luas dan bernyali besar. Tidak bisa membandingkannya dengan The Kek song. Apa yang dikatakannya mengandung dalih yang kuat. Untuk sesaat Siau Po sendiri juga merasa sulit berdebat dengannya. Dalam hati Siau Po sadar bahwa kedua orang itu merupakan musuh-musuh yang telah menyatakan takluk, memang tidak menjadi masalah kalau hanya datang untuk memberikan sedikit hinaan saja, namun apabila benar-benar ingin menjatuhkan mereka, Sri Baginda hanya perlu menanyakan beberapa kata saja maka kedoknya bisa terbongkar.

Apalagi bila Sri Baginda sampai tahu bahwa tujuan kedatangannya untuk membalaskan dendam bagi Tan Kin Lam, kaisar itu pasti akan menyalahkan dirinya. Tanpa terasa hatinya menjadi lunak seketika, namun mulutnya masih tidak mengaku salah.

"Kemarin kami berhasil meringkus seorang pemberontak. Dia sendiri yang mengatakan bahwa kedatangannya ke Kotaraja ini justru ingin menjemput The Kong cu pulang ke Taiwan. Memangnya apa yang dikatakan orang itu hanya kebohongan belaka?"

"Orang itu hanya mengoceh sembarangan, mana boleh dianggap serius? Harap Wi Tayjin sudi menyeret orang itu ke mari, biar kita bicara secara berhadapan sehingga kita bisa mengetahui apakah dia bohong atau tidak" sahut Pang Ci Hoan.

"Kau bersedia berhadapan dengan orang itu? Bagus sekali. Benar-benar suatu hal yang paling bagus. Eh, ngomong-ngomong, The ongya, kapan akan kau lunasi hutangmu itu?"

Tandanya mengganti topik pembicaraan secara tiba-tiba.

Pang Ci Hoan mendengar kata-kata Siau Po yang ngalor-ngidul tidak karuan. Dia menduga anak muda ini khawatir urusan ini diperpanjang. Tentunya dia hanya mengada-ada saja. Pang Ci Hoan merasa bahwa masalah ini sudah terlanjur panjang, sebaiknya diteruskan saja sampai ke hadapan Sri Baginda. Apalagi dia tahu bahwa Sri Baginda yang sekarang ini otaknya cerdas sekali. Meskipun usianya masih sangat muda, namun caranya memimpin tampuk pemerintahan justru bijaksana sekali. Raja pasti bisa membedakan siapa yang bersalah dalam masalah ini.

Bila dia tidak menggunakan kesempatan yang baik ini, kemungkinan untuk selamanya mereka harus terus menerima tekanan dari berbagai pihak. Mereka sebetulnya sudah didesak sedemikian rupa oleh si pemuda tengil ini. Dalam hati dia berpikir, semut saja kalau diinjak pasti mengigit, apalagi mereka sebagai manusia. Daripada menadah saja leher mereka dijerat tali gantungan, toh apa salahnya kalau mencoba-coba nasib. Maka dia pun berkata. "Wi Tayjin, mari kita bawa orang itu ke hadapan Sri Baginda?"

Siau Po terkejut setengah mati. Dia membayangkan akibatnya apabila urusan ini diteruskan sampai ke hadapan Sri Baginda. Tapi Siau Po bukan orang yang sudi mengakui kelemahannya begitu saja.

"Bagus sekali Ringkus dulu kedua orang ini agar mereka dapat menikmati kenyamanan dalam penjara, satu atau dua tahun kemudian kita baru bawa urusan ini ke pengadilan"

To Lung menjadi serba salah. Dia tahu masalahnya sekarang jadi gawat. Kalau dia hanya membawa beberapa pengawal untuk menagih hutang saja, tidak menjadi persoalan, namun kalau benar-benar memasukkan kedua orang ini ke dalam penjara, bagaimanapun mereka harus mendapat ijin dari firman raja.

Apalagi raja sendiri yang pernah menyatakan akan membebaskan mereka dari hukuman. Sebagai bukti keputusannya, Sri Baginda malah menganugerahkan pangkat untuk kedua orang ini.

"Wi Tayjin, sebaiknya kita laporkan dulu kejadian ini kepada Sri Baginda, setelah itu kita baru boleh meringkusnya" kata To Lung dengan suara rendah.

Hati Kek song menjadi lega seketika.

"Betul. Aku toh tidak melakukan kesalahan apa-apa, mengapa harus ditangkap" katanya

Menghitung arah angin justru merupakan salah satu keahlian Siau Po Maka dia segera berkata "Salah atau tidak, kita masih belum tahu. Tapi hutangmu kepada ku justru belum lunas juga, apa yang akan kau lakukan? Aku ingin tanya, kau akan membayar hutang atau ikut denganku?"

Mendengar Siau Po masih memberinya peluang untuk memilih, hati Kek song semakin lapang. Dia segera menyahut. "Aku akan membayar hutangku. Aku akan membayar hutangku"

Selesai berkata dia langsung masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian dia keluar lagi dengan membawa setumpuk uang. Disamping itu masih ada dua pelayannya yang keluar dengan membawa nampan berisi perhiasan.

"Wi Tayjin, hamba sudah menguras seluruh lemari, hamba benar-benar tidak punya apa-apa lagi, jumlah semuanya paling-paling empat laksa tail saja. Sisanya hamba tidak mungkin bisa membayar lagi," kata Keksong kemudian.

"Tidak bisa membayar lagi? Aku tidak percaya. Coba kita masuk bersama-sama untuk mencari lagi" jawab Siau Po dengan mata mendelik, "Ini... ini.... Rasanya kurang leluasa,.,."

"Kami toh tidak melakukan kesalahan apa-apa. Wi Tayjin bermaksud menggeledah tempat tinggal kami? Boleh saja. Tapi apakah Wi Tayjin membawa surat ijin dari Sri Baginda atau sepotong surat dari pengadilan?" tanya Pang Ci Hoan. Siau Po tertawa.

"Ini bukan penggeledahan namanya, The ongya sendiri yang mengatakan bahwa dia tidak bisa membayar hutangnya lagi. Aku rasa dia berbohong. Kemungkinan dia masih sanggup membayar lebih banyak lagi, Lagipula, siapa tahu di dalam rumahnya dia bukan hanya menyimpan uang serta emas saja, tetapi masih menyembunyikan sejumlah senapan api, pistol, meriam api, meriam air dan sebagainya.

Kalau dia sendiri lupa di mana dia menyimpan barang-barang itu, kami toh mempunyai banyak tenaga. Kami bersedia membantu mencarinya," sahut anak muda itu seenaknya.

"Mana berani hamba menyembunyikan barang-barang itu? Lagipula pangkat hamba hanya Kong ciaki maka sebutan ong ya tidak pantas hamba terima" sahut Kek song.

Siau Po menoleh kepada to Lung.

"To toako, coba tolong kau hitung semuanya, berapa kira-kira jumlahnya?"

To Lung mengajak dua anak buahnya menghitung jumlah uang dan perhiasan yang diserahkan Kek song tadi.

Jumlah uangnya ada tiga laksa empat ribu tiga ratus tail, sedangkan sisanya merupakan perhiasan-perhiasan yang tidak ada harganya. Kami tidak bisa memperkirakan harganya" sahut To Lung.

Siau Po mengulurkan tangannya untuk memeriksa perhiasan-perhiasan yang ada di atas nampan. Tiba-tiba dia mengambil sebatang tusuk konde.

"Aduh, To toako, lihat ini. Bukankah Sri Baginda disebut Naga yang perkasa dan permaisurinya dipanggil Burung Hong yang suci? Mengapa selir budak The Keksong ini berani mengenakan tusuk konde berbentuk burung Hong? Apakah dia menyamakan dirinya sebagai permaisuri Raja?" teriak Siau Po-Pang Ci Hoan marah sekali mendengar kata-katanya.

"Wi Tayjin Kalau kau bermaksud mencari tulang di dalam telur ayam, maka hari ini juga aku akan mengadu jiwa denganmu. Dalam setiap keluarga yang berada apalagi kaum bangsawan, siapa yang anak gadis atau istrinya tidak memiliki tusuk konde burung Hong? Aku yakin setiap gadis atau selir dari para pembesar di istana ini semuanya memiliki tusuk konde burung Hong"

"Rupanya selama ini Pang Tayjin sudah membuka mata lebar-lebar terhadap setiap gadis para pembesar di istana? Hebat, hebat Hehehehe, tampaknya matamu mempunyai rejeki yang lumayan sehingga bisa menikmati kecantikan setiap putri bangsawan di Kotaraja ini. Coba katakan, gadis mana yang paling cantik dalam pandanganmu? Apakah kau sudah berhasil melihat selir Kong cin ong atau puteri

tunggal Penasehat Raja?" ejek Siau Po.

Saking kesalnya Pang Ci Hoan sampai tidak dapat berbicara, wajahnya berubah merah padam. Hatinya merasa agak takut juga. Dia tahu bahwa anak muda ini mempunyai hubungan dekat dengan kaisar sekarang. Kalau ocehannya sampai tersiar di luaran, apalagi ditambahi berbagai bumbu, kemungkinan dirinya akan mengalami nasib sial. The Kek song tidak henti-hentinya membungkukkan tubuhnya sambil

berkata. "Wi Tayjin, urusan ini kami serahkan kepada Wi Tayjin saja. Mohon Tayjin bersedia memberikan bantuan"

Siau Po melihat beberapa patah kata ucapannya berhasil membuat ciut nyali Pang Ci Hoan sehingga membisu, selagi benderanya masih berkibar maka dia harus menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Tampak dia tertawa terbahak-bahak

"To toako, muka adikmu ini rupanya masih kalah jauh dibandingkan dengan dirimu. To toako datang menagih hutang, hasilnya dua ratus laksa tail lebih, sedangkan adikmu ini turun tangan sendiri hasilnya justru jauh dari memuaskan."

"Dengan sebenar-benarnya hamba memang tidak punya apa-apa lagi. Hamba tidak berani mendustai Wi Tayjin, apalagi berpura-pura dengan niat tidak mau membayar." sahut Kek Song.

"Mari kita pulang. Lewat sepuluh hari atau setengah bulan kemudian, setelah The ongya mendapat kiriman dari Taiwan, baru kita datang menagih lagi" kata Siau Po.

Tentu saja Pang Ci Hoan dapat mendengar nada bicara Siau Po yang masih terus mengaitkan The Kek song dengan Taiwan, Kata-katanya seakan menyatakan bahwa tuan mudanya masih bersekongkol dengan negara yang dikuasainya dulu, ini merupakan dosa yang berat sekali karena terhitung pengkhianatan.

Kalau urusannya tidak cepat-cepat dijelaskan, selamanya mereka akan dicap sebagai pembangkang Pemerintah. Maka dia menyahut dengan suara lantang.  "Kami selalu menjaga diri sesuai dengan hukum, tidak berani melakukan perbuatan yang memberatkan diri kami sendiri. Apa yang dikatakan oleh Wi Tayjin dan to Congkoan, semuanya harus kita sampaikan kepada Sri Baginda. Kalau tidak meskipun

dunia ini luas, kemungkinan kita tidak mempunyai tempat untuk berpijak lagi" Siau Po tertawa.

"Kalian ingin tempat untuk menginjakkan kaki? Ada, ada The ongya dan Pang Ciangkun bisa kembali ke Taiwan. Bukankah disana ada tempat yang luas sekali? Kalian berdua tentunya ingin merundingkan tempat yang akan digunakan untuk menginjak kaki, kalau begitu sebaiknya kami tidak mengganggu lebih lama lagi," katanya.

Tanpa menunggu jawaban dari lawannya, Siau Po segera menarik tangan to Lung dan diajaknya meninggalkan tempat kediaman Kek song.

                                      -ooo00000ooo-

Setiba di rumahnya, Siau Po segera menyuruh orangnya menyiapkan meja perjamuan. Diundangnya para pengawal untuk minum arak bersama-sama, To Lung memerintahkan anak buahnya pergi mengangkut empat buah peti dari rumahnya. Ketika dibuka isinya ternyata uang peraki emas permata dan berbagai benda berharga lainnya-sembari tertawa dia berkata "Setelah menagih selama beberapa bulan, sebagian besar harta kekayaan Kek Song sudah terkumpul di sini. Wi Tayjin, harap kau terima semuanya"

Siau Po mengambil segepok uang kertas yang jumlahnya sekitar belasan laksa tail.

"Si Anjing buduk itu telah membunuh guruku, tapi Sri Baginda justru menganugerahkan pangkat untuknya. Rasanya dendam kesumat ini tidak mungkin terbalas lagi. Terima kasih atas bantuan to toako dan saudara-saudara lainnya yang telah mempersulit dirinya selama ini. Setidaknya kedongkolan dalam hati ini, agak terlampiaskan juga, guruku tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Aku akan menggunakan

uang ini dengan menyuruh, rakyat di Taiwan membuatkan sebuah tugu peringatan bagi beliau. Dengan demikian jasanya akan dikenang sepanjang masa. Sisanya harap To toako ambil dan bagikan juga kepada para saudara siwi yang telah bercapek lelah" katanya.

To Lung mengibaskan tangannya berkali-kali. "Tidak bisa, tidak bisa uang ini merupakan hutang yang dibayarkan oleh Kek song, saudara Wi hanya meminta sedikit bantuan dari saudara-saudara siwi ini untuk menagih ke rumahnya beberapa hari sekali. Masa jasa sekecil itu saja harus diperhitungkan? Lagipula kita toh orang sendiri, mana boleh meminta bagian saudara Wi?" Siau Po tertawa.

"Terus terang saja, harta benda di rumah adikmu ini sudah terlalu banyak sehingga aku sendiri bingung bagaimana harus menggunakannya. Antara sahabat yang baik seharusnya susah sama-sama senang juga sama-sama. Mengapa harus dibeda-bedakan?"

Biar dibujuk bagaimana pun, To Lung tetap tidak mau menerima uang pemberian Siau Po. Mereka terus berdebat sampai wajah keduanya merah. Akhirnya para siwi menerima uang sebanyak seratus laksa tail sebagai ongkos capek mereka menagih, sedangkan tiga puluh laksa tail lagi dibagikan kepada prajurit pasukan berkuda, sisanya yang dibawa sendiri oleh To Lung untuk dimasukkan ke dalam kamar Siau Po.

Para siwi yang bertugas di istana ataupun di luar istana segera membagi-bagikan uang jatah itu sedikitnya masing-masing menerima beberapa tail uang perak semuanya merasa gembira sekali. Mereka makan minum sampai puas untuk merayakannya sesudahnya mereka segera menggelar meja judi di taman lalu mulai permainan judi. Karena semuanya merupakan sahabat baik Siau Po, maka Siau Po bermain dengan jujur. Berbeda dengan biasanya yang selalu mencari kesempatan untuk curang. Mereka berjudi sampai kentungan dua lebih. Tiba-tiba Siau Po berkata kepada To Lung.  "To toako, masih ada satu hal lagi yang adikmu ini ingin meminta bantuan dari Toako"

Peruntungan To lung sedang bagus, hatinya juga gembira sekali. "Baik, urusan apa pun silahkan saudara Wi katakan" sahutnya sambil tertawa. Namun tiba-tiba dia teringat sesuatu sehingga dia segera menambahkan, "Asal bukan yang satu ini yakni orang gila yang memaki-maki Sri Baginda dan Adik Wi di jalanan kemarin. Sri Baginda telah meminta agar aku menjaganya dengan ketat. Besok pagi

saudara Wi sendiri yang harus mengutungkan kepalanya. Kalau saudara Wi meminta agar aku melepaskannya, bisa-bisa besok batok kepalaku sendiri yang harus dipisahkan dari lehernya."

Persoalan yang ingin dimintakan bantuan oleh Siau Po justru masalah yang satu ini. Siapa sangka sebelum dia mengatakan apa-apa To lung sudah menembaknya. Dalam hati dia berpikir.  -- Sri Baginda memang melebihi peramal ulung, apapun bisa ditebak olehnya.

Bahkan uang sebesar seratus laksa tailpun tidak dapat digunakan untuk menebus selembar nyawa Mao Toako --

Hatinya jadi panas, rasanya dia ingin kembali ke rumah Kek song untuk menagih hutangnya lagi. Tapi kalau dipikir-pikir, tampang si Kek song sungguh mengenaskan seandainya bisa menekan orang bernyali semut seperti dia, toh tidak bisa dianggap seorang pendekar. Dia merenung sejenak kemudian berkata.  "Mengenai orang gila itu, Sri Baginda memang sudah berpesan wanti-wanti. Biarpun nyaliku sebesar langit juga tidak berani melepaskannya. Hari ini kita ke rumah si Kek Song untuk menagih hutang, dia sendiri sih tidak jadi masalah, yang membuat hatiku mendongkol justru tangan kanannya, si Pang Ci Hoan itu. Lagaknya setinggi langit, dia benar-benar tidak memandang sebelah mata terhadap kita. Kalau mengingat kembali, rasanya aku tidak sanggup menelan penghinaan tadi"

Beberapa siwi yang mendengarkan dari samping segera menyatakan persetujuan mereka atas apa yang dikatakan Siau Po.

"Apa yang kita hadapi hari ini memang membuat hati jadi kesal Wi Tayjin tidak perlu memikirkannya, sekarang juga kita kembali ke sana. Dia toh hanya seorang panglima yang kalah dalam peperangan, berani-beraninya bersikap garang di hadapan kita. Menghadapi orang yang kasar seperti dia apakah kita juga harus memakai aturan?" sahut seseorang di antara mereka.

"Urusan menjadi anak kura-kura seperti ini tidak boleh dilakukan secara terang-terangan. Kalau sampai tersiar di luaran, nama saudara-saudara siwi pula yang jelek" kata Siau Po.

"Memang benar, saudara Wi memang bisa mempertimbangkan segala hal sampai jauh" sahut To Lung cepat.

"To toako juga tidak perlu turun tangan sendiri urusan ini biar diselesaikan oleh Tio toako dan cio toako saja," kata Siau Po sembari menggapaikan tangannya kepada Tio Kong Lian dan cio ci Hian.

"Kalian melamar sebagai anak buah Cin Tou tong dari bagian depan, katakan bahwa ada urusan genting yang ingin kalian rundingkan bersama Pang Ci Hoan. Meskipun hatinya curiga tapi aku yakin dia tidak berani menolak. Sampai tengah perjalanan kalian harus membelenggu kaki dan tangannya. Kemudian tutup matanya dengan kain hitam serta sumpal mulutnya dengan sapu tangan, setelah itu kalian ajak dia berputar-putar beberapa kali baru bawa dia ke mari. Di sini kalian boleh memukulnya sepuas hati. Kalau dia sudah tidak sadar, kalian lepas seluruh pakaiannya lalu antar dia ke atas tempat tidur selir kesayangan Cin Toutong" kata Siau Po menjelaskan rencananya.

Para siwi tertawa terbahak-bahak, mereka memuji siasat bagus yang dikemukakan oleh Siau Po. Para siwi yang bertugas dalam istana memang tidak cocok dengan para prajurit barisan depan, setiap kali bertemu selalu ada saja yang terlibat dalam perkelahian.

Sebetulnya Komandan bagian barisan depan itu dijabat oleh Akili. Tapi tempo hari orang itu sudah terperangkap oleh jerat yang dipasang Siau Po sehingga dijebloskan dalam penjara. Walaupun akhirnya dia dibebaskan, namun Sri Baginda menyalahkan kecerobohan orang itu yang dikatakan tidak becus melaksanakan tugas, itulah sebabnya Akili dipecat dari jabatannya dan sekarang kedudukannya dijabat oleh

seseorang bermarga Cin. Selama ini, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi sudah sering terjadi perselisihan antara To Lung dengan Cin Toutong ini. Namun keduanya berpangkat tinggi sehingga sama-sama merasa apa boleh buat terhadap lawannya. Itulah sebabnya To Lung yang paling senang mendengar siasat Siau Po barusan.

"Si budak Cin ini terkenal takut istri. Meskipun dia mempunyai beberapa orang selir, tapi tidak ada seorang pun yang berani dibawanya pulang ke rumah selir kedelapan yang baru diambilnya tinggal di daerah Tiam Cui Ceng. Cin Toutong belum pernah bermalam di tempat itu. Kita telanjangi Pang Ci Hoan lalu kita letakkan di atas tempat tidur selir barunya itu. Yakin Cin Toutong akan mencak-mencak karenanya, walaupun ada kemungkinan dia curiga semua ini adalah perbuatan kita, tapi asal tidak ada seorang pun yang membocorkan rahasia ini, dia tidak akan bisa membuktikan apa-apa," katanya.

Para siwi segera melepaskan lencana di pakaian masing-masing lalu melangkah ke luar sambil tertawa cekikikan.

                                       -ooo00000oooo-

Siau Po dan to Lung duduk di ruang tamu. Mereka minum arak sembari menunggu laporan dari para siwi yang sedang menjalankan tugas. Anak buah Siau Po yang mengamati kejadian yang sedang berlangsung lalu menjelaskan secara berurutan apa yang mereka lihat.

Para siwi sudah sampai di depan gedung Tiong seng Pak Hu. Mereka mengetuk pintu dan mengaku sebagai utusan Cin Toutong, Pang Ci Hoan keluar menyambut kedatangan mereka. Dia bermaksud mengundang para siwi itu masuk untuk minum arak.

Namun Tio Kong Lian mengatakan bahwa dia mendapat tugas dari Cin Toutong untuk mengundang Pang Ci Hoan agar segera menemuinya karena akan diajak merundingkan masalah desas-desus dari Taiwan yang tampaknya sangat penting. Tidak lama kemudian datang lagi laporan bahwa Pang Ci Hoan sudah naik ke dalam tandu. Para siwi mengangkutnya ke sebelah barat kota. Para siwi sudah berhasil meringkus Pang Ci Hoan. Beberapa prajurit yang menyertainya juga dibelenggu. Para siwi menggiring mereka ke bagian utara kota. Ketika ditanya oleh penjaga pintu gerbang, para siwi mengaku sebagai prajurit barisan depan pimpinan Cin Toutong, Pang Ci Hoan yang ditutup matanya dan disumpal mulutnya pasti dapat mendengar dengan jelas, sekarang rombongan orang-orang itu sedang menuju ke mari... Kurang lebih sepembakaran hio kemudian, para siwi telah menggiring Pang Ci Hoan memasuki rumah Siau Po.

Tio Kong Lian berseru dengan suara lantang.

"Lapor kepada Cin Toutong, pemberontak Pang Ci Hoan sudah datang"

Tangan kanan Siau Po dikepalkan lalu dipukulkan ke depan keras-keras sebagai tanda bahwa para siwi harus memukuli Pang Ci Hoan.

"Pemberontak Pang Ci Hoan berani bersekongkol dengan penjahat, Cin Toutong menurunkan perintah agar memberi pelajaran yang keras" teriak beberapa orang siwi pula.

Dalam sekejap mata pukulan-pukulan dan tendangan segera mendarat di tubuh Pang Ci Hoan. Sebetulnya ilmu Pang Ci Hoan tinggi sekali, orangnya juga teliti. Ketika para siwi datang menjemputnya tadi, dalam hati dia sudah menduga ada sesuatu yang tidak beres. Kalau dia memang berniat kabur, meskipun jumlah para siwi itu cukup banyak dia yakin belum tentu dirinya akan tertangkap.

Tapi sejak menyerahkan diri, dia sudah mendapat pangkat yang cukup tinggi. Dalam hati dia berpikir, biarpun pihak lawan ada maksud mencelakainya, tapi Sri Baginda toh orang yang cerdas dan bijaksana. Pasti beliau akan mempertimbangkan siapa yang bersalah.

Maka dia menurut saja dibawa pergi lalu dibelenggu pula, namun karena serakah dan tamak pangkat, akhirnya dia malah kena pukulan sampai setengah mati. Hal ini membuktikan bahwa ilmu yang tinggi tanpa pertimbangan yang matang dalam mengambil keputusan juga merupakan suatu kesalahan.

Siau Po melihat mulut dan hidung Pang Ci Hoan mengalirkan darah. Hatinya terasa agak lega, setidaknya dia sudah berhasil membalas dendam gurunya walau cuma sedikit.

Tapi kalau pemukulan ini dilanjutkan, kemungkinan orang ini bisa mati benar-benar. Karena itu dia sebera memberi isyarat dengan gerakan tangan agar para siwi jangan memukulinya lagi, Siau Po menyuruh mereka melepaskan seluruh pakaian Pang Ci Hoan lalu mengikat tangan dan kakinya dengan tali.

To Lung tertawa geli melihat keadaan orang itu.

"Sekarang juga angkut dia ke rumah selir muda Cin Toutong" katanya. Cio Ci Hian juga ikut tertawa.

"Paling baik kalau seluruh pakaian selir muda itu juga dilepaskan lalu dijejerkan keduanya di atas pembaringan," sarannya.

Para siwi tertawa terbahak-bahak mereka menyatakan setuju, To Lung ingin melihat bagaimana tampang Cin Toutong ketika melihat istri mudanya telanjang bulat dan tidur berdampingan dengan lelaki lain. Maka dia berkata. "Kali ini biar aku sendiri yang memimpin kepergian mereka"

Beberapa siwi segera menggotong Pang Ci Hoan. Baru saja rombongan itu bermaksud berangkat, tiba-tiba dari luar menghambur masuk dua orang prajurit lalu segera menghadap Siau Po

"Lapor kepada Wi Tayjin, di depan rumah selir ke delapan Cin Toutong sekarang sedang kacau balau. Terjadi perkelahian besar-besaran� orang-orang di dalam ruangan itu terkejut setengah mati. - Mungkinkah ada orang yang membocorkan rahasia? Kalau Cin Toutong sudah

mengadakan persiapan, maka urusan ini bisa gawat -- Pikir mereka dalam hati-

"Siapa yang berkelahi?" tanya Siau Po.

"Kami berdelapan mendapat tugas dari Wi Tayjin untuk melakukan pengintaian di sekitar rumah istri mudanya Cin tou tong. Tiba-tiba ada serombongan Nio Cu Kun yang datang menyerbu ke rumah itu-jumlah mereka lebih dari empat puluh orang..." sahut salah seorang prajurit.

Siau Po mengerutkan keningnya.

"Apa sih Nio Cu Kun itu?" tanyanya tidak mengerti.

"Harap WiTayjin ketahui, rombongan orang-orang ini terdiri dari para wanita berkaki besar. Ada yang membawa papan gilasan, ada yang membawa kemoceng (Bulu ayam), dan ada pula yang membawa palang pintu. Mereka menerjang ke halaman rumah selir muda Cin Toutong lalu berkelahi dengan para penjaga di sana. Mereka kemudian menyeret ke luar seorang wanita yang kurus kecil dan mencambukinya dengan pecut," sahut prajurit itu pula

"Kok ada kejadian seaneh itu? Coba kalian selidiki lagi" perintah Siau Po.

Kedua prajurit itu mengiakan lalu menjalankan tugas yang diberikan kepada mereka.Tidak lama kemudian salah seorang dari mereka kembali lagi lalu melaporkan: Cin Toutong telah berangkat ke rumah selir mudanya dengan menunggang kuda. Rupanya saking buru-burunya sampai-sampai kancing bajunya tidak dipasang dengan benar. Kaki kanannya mengenakan sepatu, kaki kirinya justru telanjang. Rupanya pemimpin pasukan Hio Cu Kun yang menyerang ke rumah selir muda Cin tou Tong itu justru istri tuanya sendiri"

Mendengar laporan itu, para siwi serta lainnya yang ada dalam ruangan itu langsung tertawa terbahak-bahak. Rupanya istri tua Cin Toutong merasa cemburu sehingga mengganyang ke rumah madunya, prajurit yang memberikan laporan itu menceritakan sampai bagian ini, dia sendiri tidak dapat menahan kegelian hatinya sehingga ikut-ikutan tertawa. Lalu dia melanjutkan lagi penuturannya.

"Istri tua itu berhasil merenggut baju Cin Toutong lalu menampar pipinya berulang kali sampai terdengar suara Plak Plok Plak Plok pantat suaminya juga ditendang keras-keras. Cin Toutong hanya dapat meringkukkan tubuhnya sambil berteriak "Istriku, harap jangan marah, harap jangan marah"

To Lung yang mendengarnya sampai berjingkrak-jingkrak kegirangan.

"Cin Toutong benar-benar mendapat pelajaran kali ini" serunya, Siau Po tertawa.

"Toako, cepat kaupergi ke sana dengan menunggang kuda, ajak beberapa orangmu dan bertindak sebagai penengah. Kali ini kuncirnya sudah terpegang olehmu, aku jamin mulai saat ini tentara barisan depan mereka tidak berani lagi berbuat macam-macam kepada para siwi kita," katanya menyarankan.

To Lung segera tersadar oleh ucapan Siau Po- saking gembiranya dia sampai menepuk jidatnya sendiri kuat-kuat.

"Aku benar-benar bodoh. Kesempatan yang sebagus ini juga tidak digenggam erat-erat, saudara-saudara sekalian, mari kita pergi melihat keramaian" ajaknya.

Dia sebera memimpin para siwi dan berangkat menuju Tiam Cui Ceng dengan menunggang kuda

Siau Po menatap Pang Ci Hoan yang tergeletak tidak berdaya di atas tanah.  -- Apa yang harus kulakukan terhadap makhluk ini? Kalau aku membebaskannya, tentu dia akan melaporkan kejadian ini kepada Sri Baginda, walaupun tidak mempunyai bukti apa-apa, Sri Baginda pasti bisa menebak bahwa ini adalah perbuatanku--

Tangannya melipat ke belakang, dia berjalan mondar-mandir di dalam ruangan itu. Kembali dia berpikir --

Sebentar lagi fajar menyingsing, pada saat itu aku harus menebas batok kepala Mao toako. Adakah jalan ke luar yang baik untuk menyelamatkan selembar nyawa Mao toakoku itu? Teori menggunakan kebesaran nama pasti tidak berlaku dalam masalah ini-

Teori... Teori... teori apa lagi yang bisa kupakai kali ini? ah! bagaimana kalau teori menukar anak?

Tiba-tiba dia teringat sesuatu. - Ah! Dalam salah satu pertunjukan sandiwara ada cerita mengenai seorang ibu yang diam-diam menukar bayinya--

Pertunjukan sandiwara yang pernah dilonton Siau Po bukan main banyaknya kalau kita menanyakan apa nama sandiwara itu dan siapa nama tokohnya, dapat dipastikan dia tidak dapat menjawab. Tapi kalau ditanyakan jalan ceritanya, dia pasti hapal luar kepala.

Sesaat kemudian, berbagai cerita sandiwara berkelebat dalam benaknya. Ada lagi satu kisah tentang seorang laki-laki bercambang lebat yang menukar bayinya sendiri dengan bayi majikannya- Dia membiarkan kepala bayinya yang ditebas agar dapat menolong jiwa anak majikannya-

  - Minta ampun -- pikir Siau Po pula,  untung usia Mao toako terpaut jauh dengan anak-anakku-

Kalau tidaki mungkin aku harus menyerahkan batok kepala Ho Tau atau Tong cui untuk menyelamatkan jiwa Mao toako. Teman sih teman, solider sih solider, tapi biar bagaimana aku tidak sanggup melakukan hal ini- Bagus Bagus - Dia menyepakkan kakinya keras-keras ke arah tubuh Pang Ci Hoan.

"Rejekimu bagus juga. Sekarang juga Wi Tayjin mengangkatmu sebagai anak pungutnya. Anak sendiri dia tidak sampai hati dijadikan bahan pertukaran, tapi anak pungut sih boleh-boleh saja," katanya.

Dia segera memanggil seorang komandannya untuk menghadap lalu berbisik-bisik di telinga orang itu. Kemudian Siau Po menghadiahkan uang perak sebanyak seribu tail. Di samping itu masih ada seribu tail lainnya yang harus dibagi-bagikan kepada beberapa prajurit lainnya yang ikut turun tangan dalam menjalankan tugas ini. Komandan itu mengucapkan terima kasih.

"Wi Tayjin tidak perlu khawatir, hamba akan mengatur semuanya baik-baik sehingga tidak terjadi kesalahan sekecil apa pun," katanya.

Setelah selesai menyusun rencananya, Siau Po masuk ke dalam rumah. Ketujuh istri dan ketiga anaknya sudah dibawa ke tempat Thay Hou sehingga kamarnya sunyi melompong. Tidak lama kemudian fajar pun menyingsing. Kira-kira waktu sarapan pagi, datang firman dari kaisar yang menyatakan bahwa perampok ulung Mao sip Pat melanggar peraturan karena berani memaki pembesar istana sehingga patut mendapat hukuman penggal kepala. Bu yan Thayswe Wi Siau Po yang mendapat tugas menjalankan hukumannya.

Siau Po menerima firman kaisar, lalu memanggil beberapa anak buahnya untuk menggiring Mao sip Pat ke hadapannya.

Sekitar mata Mao sip Pat tampak membiru, hidungnya bengkak dan bibirnya pecah. Darah membasahi seluruh wajahnya. Rupanya orang itu mendapat siksaan selama dalam tahanan.

Begitu melihat Siau Po, dia seaera membuka mulut memaki. "Wi Siau Po Kaulah si pengkhianat yang tidak tahu malu. Hari ini kau menjadi algojo pembuka jalan ke neraka bagiku, tapi harap kau tahu bahwa aku tidak penasaran sedikit pun. Siapa suruh mataku buta dulu, mau saja membawamu sianak haram dari rumah pelacuran di kota Yang-ciu ke Kotaraja ini"

Para prajurit menyentaknya agar diam, tapi Mao sip Pat terus memaki bahkan semakin keras.

Siau Po tidak memperdulikan orang itu. Dia menoleh kepada to Lung dan bertanya. "Bagaimana keadaan si tua Cin?" To Lung tertawa.

"Ketika aku sampai di sana, wajah Cin Toutong sudah penuh dengan luka akibat kena amukan istri tuanya. Begitu melihat aku, dia tampak malu sekali. Aku pura-pura menjadi orang baik, istrinya kunasihati. Aku lalu menyuruh anak buahku untuk mengajak selir muda pulang ke rumahku dan menyuruh istri-istriku agar menjaganya. Akhirnya hawa amarah istri tua Cin Toutong reda juga," sahutnya.

Siau Po tertawa.

"Bagaimana tampang selir mudanya itu?" tanyanya pula.

To Lung mengacungkan jempolnya.

"He he he, hebat" sekali lagi Siau Po tertawa.

"Kau jangan mencari kesempatan dalam kesempitan, orang lagi kebakaran, kau malah merampok" katanya bergurau.

To Lung tertawa terbahak-bahak.

"Mengenai hal ini, saudara Wi tidak perlu merasa khawatir. Memangnya kau kira toakomu ini benar-benar tidak becus? walaupun si Cin tua itu musuh bebuyutan toakomu ini, tapi toakomu ini tidak akan melakukan hal serendah itu," sahutnya.

Sementara itu, beberapa prajurit segera membawa Mao sip Pat ke gedung pengadilan. To Lung menunggang kuda, sedangkan Siau Po menumpang sebuah kereta besar. Mao sip Pat dinaikkan ke atas kereta kuda yang atapnya terbuka. Tangannya dibelenggu dengan rantai, sedangkan bagian lehernya dijepit dengan sebilah papan. Di atasnya terdapat tulisan "Penjahat Mao sip Pat yang akan dihukum penggal kepala"

Iring-iringan itu berjalan dijalan raya menuju sebelah barat kota. Banyak penduduk yang keluar melihat rombongan itu. Dalam perjalanan Mao sip Pat malah masih bisa bernyanyi dengan suara lantang, "Delapan belas tahun kemudian Locu masih bisa lahir kembali menjadi seorang pendekar itulah sebabnya aku dinamakan Mao sip Pat. Sejak semula aku memang sudah tahu bahwa suatu hari akan mendapat hukuman penggal kepala."

Terdengar pujian dari kedua sisi jalan, "Bagus Benar-benar seorang laki-laki sejati"

Rombongan itu sampai di persimpangan jalan depan gedung Pengadilan. Anak buah Siau Po sudah menunggu di sana sepanjang malam. To Lung sendiri khawatir ada anak murid Thian Te hivee yang datang mengacau maka penjagaan di tempat itu diperketat jumlah siwi dan prajurit yang menjaga di sekitar sana mencapai seribu orang lebih.

Yang disebut gedung pengadilan rupanya sebuah alun-alun dengan atap terbuka dan bagian depannya dikelilingi tembok tinggi. Diantara beberapa meter dari tembok itu ada beberapa lubang angin yang dapat digunakan untuk mengintip. Mao sip Pat digiring ke tengah-tengah lapangan, terdengar dia berseru dengan lantang.

"Kita adalah Bangsa Han yang sejati, tapi tanah kita telah diduduki oleh Bangsa Tatcu. Suatu hari nanti, kita harus sanggup mengusir Bangsa Tatcu dari negeri kita ini"

Disamping lapangan tampak ada sebuah tenda besar, Siau Po segera turun dari kereta dan masuk ke tenda, to Lung mengiringi di belakangnya, Siau Po duduk di atas sebuah kursi yang telah disediakan, lalu mempersilahkan to Lung duduk di hadapannya. Tampak kening to Lung berkerut.

"Penjahat ini berani sekali, kalau dibiarkan lama-lama, mulutnya pasti mengoceh semakin banyaki sebaiknya cepat-cepat laksanakan hukumannya," katanya.

"Baik" sahut Siau Po lalu berseru, "Bawa ke pesakitan itu"

Empat orang prajurit menggiring Mao sip Pat ke dalam tenda. Mereka menekan bahunya agar dia berlutut. Tapi dasar Mao sip Pat memang keras kepala. Biar diperlakukan bagaimana pun dia tetap tidak mau berlutut.

"Sudah tidak usah berlutut," kata Siau Po kemudian menoleh kepada To Lung dan bertanya, "Bolehkah seorang pesakitan menjalani hukumannya sambil berdiri?"

"Tidak apa-apa," sahut to Lung.

"Kalau begitu aku akan menanda-tangani ijin hukumannya sekarang juga, Mao sip Pat menerima ijin hukuman penggal kepala" serunya sambil mengambil sebatang pit lalu membuat sebuah lingkaran di atas papan yang menjepit leher Mao sip Pat. " giring dia ke luar untuk dihukum" teriaknya pula.

Seorang prajurit segera membuka papan yang menjepit leher Mao sip Pat, lalu dibuangnya ke atas tanah, setelah itu dia baru menggiringnya ke luar dari tenda tersebut.

"To toako, aku ingin memperlihatkan sesuatu yang menarik," kata Siau Po kepada To Lung.

Dia mengeluarkan seikat sapu tangan dari dalam saku pakaiannya, lalu disodorkan ke hadapan To Lung. Di atas sapu tangan itu terdapat sulaman bergambar porno. Ada seorang gadis cantik dan seorang laki-laki tampan yang sedang bercinta, gayanya hidup sekali sehingga To Lung menjadi tertarik melihatnya.

Untuk sesaat To Lung sampai menahan nafas memperhatikan gambar sulaman itu. Karena penasaran dia mengambil sehelai sapu tangan lainnya. Sulaman di atasnya ternyata berbeda-beda, yaitu gambar dua perempuan dan satu laki-laki.  Ada lagi yang laki-lakinya tiga sedangkan perempuannya dua, gaya bercinta dalam gambar sulaman itu juga aneh-aneh. Bahkan To Lung sendiri belum pernah

mengalaminya seumur hidup.

Darahnya serasa meluap, hatinya berdebar-debar menandakan dirinya terangsang sekali nafsunya melihat sulaman-sulaman itu, jumlah sapu-tangan yang disodorkan Siau Po semuanya ada dua belas helai atau satu lusin, semakin dilihat to Lung semakin senang, sembari tertawa dia bertanya. "Darimana engkau mendapatkan saputangan seperti ini? sulamannya bagus sekali seakan orang-orang yang ada di dalamnya hidup. Bagaimana kalau kau memesankan satu set untuk toakomu ini?" Siau Po tertawa.

"Sedikit barang yang tidak ada artinya, siaute memang bermaksud menghadiahkannya untuk toako," sahutnya.

To Lung seakan mendapat rejeki nomplok- wajahnya berseri-seri seketika, cepat-cepat dimasukkannya selusin saputangan itu ke dalam sakunya sambil mengucapkan terima kasih.

Pada saat itulah terdengar suara meriam yang ditembakkan sebanyak tiga kali. Seorang prajurit datang melaporkan. "Waktunya sudah tiba, harap Tayjin melaksanakan hukuman"

"Baik sahut Siau Po sembari berdiri. Dia lalu menarik tangan to Ling dan diajaknya ke luar. Rupanya kali ini Mao sip Pat tidak mengadakan perlawanan lagi. Dia berlutut dengan kepala terkulai seakan tidak mempunyai tenaga sedikit pun.

Terdengar suara tambur dipukul sampai beberapa saat. Setelah suara tambur itu berhenti Siau Po mengangkat tangannya ke atas. Seorang algojo yang berdiri di samping Mao sip Pat ikut mengangkat goloknya ke atas.

Ketika tangan Siau Po diturunkan, golok algojo pun menebas ke bawah. Kepala Mao sip Pat langsung menggelinding di atas tanah, disusul dengan tubuhnya yang ambruk ke depan.

Darah yang mengalir dari batang leher Mao sip Pat berceceran di mana-mana. Sungguh suatu pemandangan yang tidak sedap dipandang.

"Hukuman sudah selesai dijalankan saudara Wi, sekarang kita harus berpisah sebentar karena toakomu ini ingin memberikan laporan kepada sri Baginda," kata to Lung. Tampak wajah Siau Po menjadi murung, matanya berkaca-kaca.

"To toako, orang ini mempunyai hubungan yang dekat sekali denganku. Tapi apa boleh buat, firman kaisar kali ini benar-benar berat siaute tidak berani melanggarnya."

Sembari berbicara dia mengusap air matanya, malah terdengar suara tangisnya yang tersedu-sedu.

To Lung menarik nafas panjang.

"Aih, saudara Wi memang setia kawan sekali, sebaiknya kau urus baik-baik jenasahnya dan makamkan dengan sempurna. Dengan demikian kau sudah berbuat sesuatu untuk sahabatmu itu," katanya pula.

Siau Po menganggukkan kepalanya sedikit, tangisnya masih belum berhenti juga. Sebetulnya Siau Po menggunakan lengan baju untuk mengusap matanya, sebelumnya dia sudah mengoleskan minyak balsem pada lengan bajunya itu. Karena perih matanya menjadi bengkak dan panas, air matanya terus mengalir. Padahal dalam hati dia diam-diam merasa geli. Untung rencananya berjalan dengan baik.

To Lung masih menghiburnya dengan beberapa patah kata. Dia mengantarkan Siau Po ke atas kereta, kemudian baru berangkat ke istana dengan menunggang kuda. Beberapa prajurit menjalankan kereta untuk mengantar Siau Po kembali ke rumahnya, sedangkan sisa anak buahnya yang lain segera memungut batok kepala si pesakitan untuk dimasukkan ke dalam peti mati bersama-sama dengan tubuhnya, setelah itu cepat-cepat mereka memantek tutup peti mati dengan paku.

Terdengar suara kasak-kusuk dari penduduk yang ikut menyaksikan jalannya hukuman, mereka memuji Mao sip Pat sebagai seorang pendekar sejati.

Menjelang kematiannya orang itu masih berani membuka mulut memaki-maki Raja dan pembesar istana. Namun ada beberapa orang yang takut terlibat masalah, mereka mengatakan bahwa Mao sip Pat adalah seorang pemberontak yang patut mendapat hukuman penggal kepala, orang seperti itu tidak boleh dipuji-puji.

Siau Po berhenti di depan rumahnya lalu turun dari kereta, sedangkan para bawahannya segera melanjutkan perjalanan dengan kereta tersebut menuju selatan, yakni ke kota Yang-ciu.

Begitu sampai di dalam rumah ternyata utusan Kaisar Kong Hi sudah menunggunya. Dalam firman raja itu dinyatakan bahwa Sri Baginda ingin bertemu dengan Siau Po.

Rupanya dia sudah mendapat laporan dari to Lung bahwa Siau Po telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Ketika Siau Po datang menghadapnya, dia melihat mata anak muda itu merah bengkak karena terlalu banyak menangis. Timbul sedikit penyesalan dalam hati Kaisar Kong Hi. Apalagi dia sudah membuktikan kesetiaannya sekarang. Kaisar Kong Hi menghiburnya agar jangan terlalu sedih. Kemudian dia berkata pula. "Siau Kui Cu, beberapa ratus serdadu Lo sat yang kau tangkap itu mengajukan permohonan kepadaku agar mereka dibebaskan. Karena itulah aku membiarkan mereka pulang ke negaranya. Namun ada dua ratus lebih yang rela mengabdi kepada negara kita dan tinggal selamanya di sini."

"Kota Pe King lebih ramai dan lebih menarik daripada Kota Moskow. Lagipula mengabdi kepada Sri Baginda lebih membanggakan daripada mengabdi kepada dua pangeran yang masih ingusan dari Negara Lo sat itu" sahut Siau Po, Kong Hi tertawa.

"Aku sudah mengumpulkan para serdadu itu menjadi satu kelompok. Mereka kuserahkan kepadamu selanjutnya kaulah pemimpin mereka. Kau harus mengurus mereka baik-baik, jangan sampai melakukan hal yang tidak-tidak."

Siau Po gembira sekali dan segera menjatuhkan diri berlutut dan mengucapkan terima kasih.

Begitu keluar dari istana, dua rombongan serdadu Lo sat sudah menunggunya di samping jembatan Kin sui Kio dekat Tai Ho Bun. Para serdadu Lo sat itu mengenakan seragam prajurit Ceng yang masih baru, jahitannya pas sekali di badan sehingga tampak berwibawa juga.

Siau Po menurunkan perintah agar setiap serdadu Lo sat itu diberikan hadiah uang masing-masing dua puluh tail dan diliburkan selama tiga hari. Para serdadu Lo sat itu segera berjingkrak kegirangan sambil berseru: "Hore"

Selama pemerintahan Kaisar Kong Hi, kedua ratus serdadu Lo sat itu terus mengabdikan diri dengan setia. Banyak menteri dari negara lain yang berkunjung di kemudian hari merasa kagum atas kebijaksanaan Kong Hi yang pandai mengendalikan serdadu dari negara-negara yang ditaklukkannya.

Para serdadu itu tinggal di Negara Cina dan mengabdikan diri sampai mereka tua dan mati, setelah itu kelompok yang dinamakan "serdadu Cina Lo sat" ini baru dihapus.

Begitu pulang ke rumahnya.Tuan puteri dan istri-istri lainnya serta ketiga anaknya sudah kembali dari istana, Thay Hou memberikan bermacam-macam hadiah kepada mereka. Namun Kian Leng kongeu justru menunjukkan wajah muram.

Bagian 97

Ketika ditanya oleh Siau Po, dia baru mengeluarkan kekesalan hatinya, Thay Hou memperlakukan ketujuh istri Siau Po dengan adil. Dia tidak membeda-bedakan antara satu dengan lainnya, walaupun Kian Leng kongcu adalah putrinya sendiri tapi nada bicaranya tidak menunjukkan kemesraan sebagaimana biasanya perlakuan seorang ibu terhadap anaknya.

Tentu saja Siau Po tahu mengapa hal itu sampai terjadi. Diam-diam dia berpikir dalam hati. "Thay Hou tidak memperlakukan kau dengan buruk, boleh dibilang karena beliau memandang muka suamimu ini. "

Meskipun di dalam hati dia berpikir demikian, namun mulutnya mengatakan. "Thay Hou tidak mengistimewakan dirimu justru karena sikapnya yang bijaksana, dia tidak ingin menimbulkan rasa iri dengan kakak serta adikmu yang lain."

Kian Leng kongcu masih merasa marah.

"Dia ibu kandungku sendiri, kalau perlakuannya lebih manis sedikit terhadapku, masa mereka akan merasa iri juga?" teriaknya kesal. Siau Po merangkul pinggangnya. "Biar aku saja yang memperlakukan kau lebih mesra sedikit, coba lihat apakah mereka akan merasa cemburu atau tidak?" katanya.

Istri-istrinya yang lain langsung tertawa cekikikan Kian Leng kongcu sikapnya terbuka. Kalau memang marah, dia langsung saja marah di depan orangnya, tapi dia juga mudah melupakannya. Melihat madu-madunya tertawa gembira, senyumnya ikut merekah juga.

Selama belasan hari selanjutnya, rumah Siau Po selalu ramai kedatangan tamu. Para pembesar satu demi satu datang mengucapkan selamat kepadanya. Malam harinya pasti diadakan perjamuan makan dan tentu saja tidak ketinggalan permainan judi. Jadi Siau Po tidak mempunyai banyak waktu senggang, setiap hari dia repot melayani tamu.

Malam ini kembali diadakan perjamuan, To Lung yang kebetulan hadir bertanya kepada Siau Po dengan suara lirih. "Saudara Wi, malam itu kita memukuli orang itu habis-habisan. Apa yang terjadi kemudian?"

Siau Po tahu 'orang itu' yang dimaksud To Lung tentulah Pang Ci Hoan. "Akhirnya tentu saja mengantarkannya pulang. Memangnya dia pergi ke mana?" sahut Siau Po.

"Apakah dia tidak kau bunuh?" tanya to Lung pula.

"Kalau aku menyuruh orang membunuhnya, sudah pasti To toako ikut menyaksikan juga. Apakah To toako melihat kejadian seperti itu?"

"Tidak, tidak." sahut To Lung cepat.

"Kita hanya memukulnya sampai puas. Tentu saja kita tidak membunuhnya."

"Sejak mendapat tugas memimpin pasukan perang, siaute memang berhubungan dengan berbagai kalangan. Tapi biar bagaimana, apa pun yang dilakukan oleh para siwi, adikmu ini pasti akan menanggungnya bersama-sama To toako," kata Siau Po tegas.

To Lung tersenyum.

"Tidak akan terjadi kesulitan apa-apa. Banyak saksi yang menyatakan bahwa orang itu dibawa oleh anak buah Cin Toutong. Belakangan memang diketahui bahwa dia tidak pernah kembali, urusan ini pernah ditanyakan oleh sekretaris Negara langsung kepada Cin Toutong.

Namun Cin Toutong memberikan jawaban secara samar-samar. Akhirnya malah ada beberapa pembesar lain yang merasa tidak senang Cin Toutong ditanyai sedemikian rupa dan sekretaris Negara pun tidak berani menyelidikinya lebih jauh," katanya sambil berdiri lalu menepuk-nepuk pundak Siau Po.

"Saudara Wi, kau memang patut disebut Panglima Rejeki. Siapa sangka kejadiannya bisa begitu kebetulan istri tua Cin Toutong tidak mendatangi madunya kemarin-kemarin atau keesokan harinya, dia justru datang malam itu. Dengan demikian semua urusan jadi dibebankan ke pundak si Cin tua itu."

Dalam hati dia yakin Pang Ci Hoan telah dibunuh oleh Siau Po. Meskipun dalam urusan ini dirinya juga ikut terlibat tapi dosanya sudah dibebankan kepada Cin Toutong. Hal ini benar-benar sesuai dengan kehendak hatinya.

To Lung mana tahu bahwa kedatangan istri tua Cin Toutong ke rumah madunya bukanlah suatu kebetulan sebetulnya secara diam-diam Siau Po menyuruh orang kepercayaannya untuk menyampaikan berita itu kepada istri tua Cin Toutong.

Dengan demikian sesuai dengan waktu yang telah diaturnya, terjadilah keributan tersebut, To Lung terlebih-lebih tidak menduga bahwa secara diam-diam pula Siau Po telah menyuruh anak buahnya mempersiapkan Pang Ci Hoan dalam keadaan sedemikian rupa, maka ketika Mao sip Pat digiring ke luar dari dalam tenda, mereka segera memasukkannya ke dalam kereta kuda lalu ditukar dengan Pang Ci Hoan.

Untuk mengalihkan perhatian To Lung, Siau Po sengaja memperlihatkan saputangan bersulaman porno itu sehingga si congkoan jadi tertarik dan nafsunya terangsang.

Meskipun bentuk tubuh Pang Ci Hoan dan Mao sip Pat agak berbeda, namun dengan pikiran yang melayang-layang To Lung tentu tidak bisa membedakannya.

Setelah Pang Ci Hoan yang menggantikan kedudukan Mao sip Pat menjalankan hukuman penggal kepala, Siau Popun diantar pulang. Pada saat itu di dalam keretanya sudah ada Mao sip Pat. Namun tangan dan kaki orang itu dibelenggu, mulutnya disumpal dengan kain, sehingga tidak bisa berkoar-koar.

Setelah itu Mao sip Pat dibawa ke wilayah selatan oleh anak buah Siau Po. Sesampainya di Kota Yang-ciu, para prajurit itu baru melepaskan ikatan pada kaki tangan Mao sip Pat dan menjelaskan apa yang telah terjadi.

Mao sip Pat adalah seorang laki-laki sejati. Dia menjunjung tinggi kesetia kawanan sosial. Mendengar Siau Po telah menyelamatkan nyawanya dengan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri, diam-diam dia merasa terharu. Tentu saja mulai saat itu dia tidak berani lagi muncul di dunia ramai, apalagi membuka mulut tentang persoalan ini.

Selama beberapa hari berturut-turut Siau Po mengadakan perjamuan. Lama-lama dia merasa bosan juga. Hatinya merindukan saudara-saudaranya dari perkumpulan Thian Te hwee. Dia berpikir bahwa perbuatan Kaisar Kong Hi semakin lama semakin menjadi-jadi.

Dirinya dapat menikmati segala kemewahan hidup di gedung tempat tinggalnya, namun nasib saudara-saudaranya dari perkumpulan Thian Te hwee masih tidak menentu, jangan sampai mereka terjaring oleh orang-orangnya Kaisar Kong Hi dan dibasmi sampai ke akar-akarnya. Dia harus mencari jalan yang baik untuk menyelesaikan masalah ini

Keesokkan harinya dia menyamar sebagai seorang kongcu dari keluarga hartawan sedangkan Song Ji menyamar sebagai pelayannya. Mereka pergi ke Tian kio dan membaur dengan orang banyak, setelah mengitari tempat itu beberapa saat lamanya, mereka melihat Ci Thian Gan berjalan menuju kedai teh dengan menenteng kotak obatnya.

Siau Po segera melangkah masuk ke dalam kedai teh. Dia melihat ci Tian Gan duduk di sudut kiri. Dia melangkah ke depannya dan duduk di atas bangku yang ada di hadapan orang itu.

"Ci toako" panggilnya dengan suara lirih, Ci Tian Gan langsung berdiri wajahnya menunjukkan kemarahan. Tanpa mengatakan sepatah kata pun dia berjalan ke luar. Siau Po tertegun. Dia segera mengikuti temannya itu. Dia melihat Ci Tian Gan berjalan menuju tempat yang sepi, Siau Po mengajak Song Ji mengikutinya dari belakang.

Ci Tian Gjan membelok di tiga tikungan, kemudian melalui dua buah lorong, dan sampai di sebuah gang kecil. Di depan gang itu terdapat dua batang pohon besar. Dia berjalan masuk ke dalam gang itu lalu menuju ke rumah yang kelima, sesampainya di depan pintu Ci Tian Gan mengetuk beberapa kali.

Pintu dibuka, seorang anggota Thian Te hwee lainnya keluar menyambut kedatangan Ci Tian Gan, setelah melihat Siau Po, wajah orang itu juga menunjukkan kemarahan. Siau Po segera menghampiri orang itu lalu menyapanya.

"So toako, apa kabar?"

Orang itu mendengus dingin. Dia tidak memberikan sahutan sepatah kata pun. ci Tian Coan juga memperlihatkan mimik wajah yang tidak enak dilihat.

"Wi Tayjin, apakah kau membawa pasukan untuk menangkap kami?" tanyanya dengan suara ketus.

"Mengapa Ci samko bergurau seperti ini?" sahut Siau Po tidak mengerti.

Orang Thian Te hwee yang satunya berjalan ke mulut gang lalu melongok ke kiri dan kanan. Kemudian dia masuk ke dalam rumah dan merapatkan pintunya, Siau Po dan Song Ji mengikuti di belakang kedua orang itu.

Mereka berjalan menuju ruang tamu. Di sana terlihat Li Liat sek- Hian ceng Tojin, Ko Can cao, Cian Laopan dan yang lain-lainnya sedang berkumpul.

Melihat kedatangan Siau Po, mereka mengeluarkan suara desahan terkejut lalu serentak berdiri. Siau Po segera merangkapkan kedua tangannya menjura. "Kakak-kakak sekalian, semoga kalian dalam keadaan baik-baik saja," katanya. Hian ceng tojin marah sekali.

"Keadaan kami masih lumayan karena belum sampai dicelakai olehmu" sahutnya ketus.

Terdengar suara sreett Hian ceng lojin telah menghunus pedangnya.

Siau Po menyurut mundur satu langkah, dan dengan suara gemetar dia bertanya.  "Mengapa... kalian memperlakukan aku seperti ini? Aku toh tidak melakukan kesalahan apa-apa" katanya penasaran.

"Tan Cong tocu telah dicelakai olehmu Hong jiko juga mati di tanganmu, bahkan beberapa hari yang lalu kau juga memenggal kepala Mao sip Pat. Kami... kami rasanya belum puas kalau belum mengoyak kulitmu atau memutuskan urat nadimu" bentak Hian ceng tojin dengan suara keras.

Siau Po menjadi panik seketika.

"Tidak ada kejadian seperti itu semua itu dusta belaka" katanya cepat.

Hian Ceng tojin maju beberapa langkah lalu mencengkeram pakaian di bagian dada Siau Po.

"Selama ini kami kebingungan mencari jalan untuk membalaskan dendam sahabat-sahabat kami. Sekarang kau mengantar nyawa sendiri, sungguh suatu kebetulan. Tentu Thian yang Kuasa sudah mengatur semuanya"

Siau Po dapat melihat situasinya yang kurang menguntungkan. Dia menolehkan kepalanya dan siap-siap mengerahkan langkah ajaibnya untuk melarikan diri. Tapi di belakangnya tampak Ci Tian Gan dan sou Kang berdiri menghadang dengan golok.

"Bukankah kita saudara sendiri? Mengapa kalian harus marah-marah tidak karuan?" katanya menutupi kegelisahan hatinya.

"Siapa yang sudi mengaku dirinya pengkhianat kecil seperti engkau sebagai saudara. Kata-katamu suka memutar tidak karuan, sama sekali tidak enak didengar. Lebih baik korek dulu jantungmu untuk membalaskan sakit hati Tan congtocu dan Hong jiko" bentak Hian ceng tojin.

Lengan kirinya disurutkan, dia menarik Siau Po ke belakang. Anak muda itu berkaok-kaok keras,.

"Benar- benar penasaran"

Song Ji melihat keadaan di depan keadaan sudah mendesak sekali. Dia segera mengeluarkan sebuah pistol dari balik pakaiannya lalu ditembakkan ke atas sebanyak tiga kali. Asap segera memenuhi seluruh ruangan itu. Dengan cekatan Song Ji merenggut punggung Siau Po lalu diseretnya kuat-kuat.

Dulu Hian ceng tojin sudah pernah terkena batunya senapan angin bangsa Barat, bahkan ayah dan kakaknya mati oleh tembakan pistol sehingga perasaan gentarnya selalu timbul bila mendengar suara tembakan. Hatinya shock sesaat dan kesempatan itu telah digunakan dengan baik oleh Song Ji untuk menolong Siau Po.  Songji menghambur ke sudut rumah lalu menghadang di depan Siau Po untuk

melindunginya. Pistol di tangannya ditudingkan ke arah orang-orang di depannya.

"Kalian benar-benar tidak mencari tahu dulu kebenarannya?" bentak wanita itu. Mata Hian ceng tojin sampai merah terkena asap yang tebal.  "Semuanya serang, mari kita adu jiwa dengan mereka" teriaknya, lalu menghunjamkan pedangnya ke depan. Cian Laopan maju ke depan mencegahnya.

"To tiang, tunggu dulu" katanya sembari menoleh kepada Songji lalu bertanya, "Apa yang kau katakan sebagai kebenaran?"

"Baiklah, harap kalian dengarkan" sahut Song Ji.

Kemudian wanita itu menceritakan bagaimana Siau Po menolong Tan Kin Lam menghindar dari musibah sehingga rumahnya diledakkan dan mereka melarikan diri ke pulau terpencil, bagaimana mereka diculik oleh Kaucu dari sin Liong kau, bagaimana Tan Kin Lam sampai terbunuh di tangan The Kek song dan Pang Ci Hoan berdua, bagaimana liciknya Hong ci Tiong yang menjadi mata-mata bagi Kerajaan Ceng, sehingga hampir saja dirinya dan Siau Po terperangkap dan bagaimana orang itu kemudian mati di tangan mereka, bagaimana Kaisar Kong Hi menggunakan sebala cara memerintahkan Siau Po membasmi seluruh anggota perkumpulan Thian Te hwee namun ditolak oleh anak muda itu, dan bagaimana Siau Po menyelamatkan Mao sip Pat dari hukuman penggal kepala dengan menempuh bahaya baru-baru ini.

Song Ji bukan orang yang pandai bersilat lidah, maka kisah yang dikemukakannya tidak begitu enak didengar, namun anggota Thian Te hwee sudah lama bergaul dengannya, mereka tahu wanita ini sangat polos dan tidak bisa berpura-pura. Apalagi dia bisa menceritakan semuanya dengan lancar, tidak sedikit pun terlihat dia merenung sebentar memikirkan apa yang harus dikatakannya. Lagipula mereka yakin Song Ji tidak pandai mengarang cerita seperti halnya Siau Po.

Tidak mungkin dalam waktu yang demikian singkat dia bisa mengarang sebuah cerita yang demikian sempurna, sedangkan Siau Po rela kehilangan pangkatnya demi menyelamatkan para anggota Thian Te hwee sehingga rumahnya diledakkan atas perintah Kaisar Kong Hi, memang dialami sendiri oleh mereka. Dan bila mereka mengingat kembali tindakan-tindakan atau sikap Hong ci Tiong semasa hidupnya, memang banyak celah yang mencurigakan. Mau tidak mau mereka menjadi percaya atas apa yang dikisahkan oleh Song Ji barusan.

"Kalau begitu, kenapa... kenapa dalam firmannya. Raja... Tatcu menyebutkan bahwa Wi Hioculah yang membunuh Tan Congtocu?" tanya Hian Ceng tojin. Panggilannya terhadap Siau Po sudah diubah menjadi 'Wi Hiocu', hal ini membuktikan bahwa dia sudah hampir percaya sepenuhnya terhadap cerita Song Ji. Song Ji menggelengkan kepalanya.

"Kalau mengenai hal itu, aku benar-benar tidak mengerti."

"Pasti siasat liciknya Raja Tatcu, dia mengharapkan Wi Hiocu putus hubungan dengan para anggota Thian Te hwee dan mulai sekarang hanya setia serta mengabdikan diri menjadi pembesar Tatcu," tukas Ceng Pio.

"Apa yang dikatakan Ciu heng memang benar," kata Ci Tian Gan sembari memasukkan golok ke dalam sarungnya. Kedua kakinya ditekuk dan dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Siau Po.

"Kami sudah bersikap ceroboh tanpa memberi kesempatan kepada Wi Hiocu untuk menerangkan segalanya. Dosa kami sungguh besar sekali, harap Wi Hiocu menjatuhkan hukuman kepada kami."

Orang-orang lainnya juga ikut berlutut memohon maaf kepada Siau Po. Hian ceng tojin malah tidak hentinya menampar pipinya sendiri sambil memaki.  "Kau memang patut mati Kau memang patut mati"

Siau Po dan Song Ji cepat-cepat ikut berlutut untuk membalas penghormatan mereka perasaan Siau Po sudah agak tentram. Maka dia berkata "Saudara-saudara sekalian, harap kalian bangun. Pepatah mengatakan bahwa orang yang tidak tahu tidaklah berdosa. Mengapa kalian menyesalkan sedikit kesalah pahaman tadi?"

Para anggota Thian Te hwee berdiri, sekali lagi mereka meminta maaf atas kecerobohan tadi, sekarang Siau Po merasa bangga sekali. Dia segera menceritakan pengalamannya selama ini. Tentu saja caranya mengisahkan pengalaman itu jauh lebih menarik daripada Song Ji. Bahkan setiap mencapai bagian yang tegang, para anggota Thian Te hwee sampai menahan nafas dan memandangnya dengan mata terbelalak. Namun pada akhirnya, seperti biasa mereka tahu Siau Po lebih banyak membual daripada mengisahkan yang sebenarnya. Mereka lebih percaya cerita yang dikisahkan Song Ji tadi.

Tampak para anggota Thian Te hwee berkerumun bersama-sama dan saling berbisik untuk beberapa saat lamanya. Lalu Li Liat sek berkata. "Wi Hiocu, sungguh malang nasib Tan congtocu yang dicelakai orang, perkumpulan Thian Te hwee sekarang ibarat Naga tanpa kepala, selama ini saudara-saudara kita dari sepuluh Tong selalu merundingkan siapa yang pantas menjadi pengganti Tang congtocu. Para saudara dari bagian ceng Bok Tong ingin mengajukan wi Hiocu sebagai Congtocu, tapi kami khawatir saudara-saudara dari sembilan Tong lainnya tidak setuju. Lagipula mereka masih meragukan ketulusan hati Wi Hiocu. Karena itu kami memohon Wi Hiocu melaksanakan sebuah tugas untuk mendirikan jasa bagi perkumpulan kita."

Siau Po berulang kali menggoyangkan tangannya. "Biar bagaimana aku tidak bisa menjadi Cong-tocu," sahutnya, namun hatinya

merasa penasaran. "Tapi jasa apa yang harus kudirikan?" tanyanya pula dengan perasaan ingin tahu.

"Keonaran dalam negara memang sudah reda. Taiwan sudah berhasil diduduki Bangsa Tatcu dan wi Hiocu sudah berhasil memukul mundur serdadu Lo Sat yang menguasai beberapa bagian dari negeri kita. Namun usaha besar kami untuk membangkitkan kembali kerajaan Beng rasanya semakin lama jadi semakin sulit," kata Li Liat Sek pula.

Siau Po menarik nafas panjang.

"Memang betul," katanya sembari berpikir dalam, hati -- Kalau sudah tahu susah ya biarkan saja keadaan seperti ini. Untuk apa meributkan masalah membangkitkan Kerajaan Beng? -

"Meskipun usia Raja Tatcu masih sangat muda tapi otaknya cerdas sekali, dia pandai mengambil hati Bangsa Lo Sat pula. Rakyat di dunia ini sudah mulai melupakan dinasti yang dulu. Kalau hal ini dibiarkan terus, bisa-bisa seluruh dunia ini dikuasai Raja Tatcu," kata Li Liat Sek.

Sekali lagi Siau Po menarik nafas panjang,

"Memang betul," sahutnya dan dalam, hati kembali dia berpikir, -- 'Kalau siau Hian cu bisa menguasai seluruh dunia, toh bukan urusan yang buruk pula?' --

"Wi Hiocu sangat dipercaya oleh Kaisar Tatcu. Kami ingin wi Hiocu menyusun sebuah rencana agar kami dapat menyusup ke dalam istana untuk membunuh Raja Tatcu itu" kata Li Liat Sek pula.

Siau Po terkejut setengah mati.

"Ini... tidak bisa dilaksanakan..." sahutnya dengan suara bergetar.  "Mohon tanya kepada Hiocu, kesulitan apa yang menjadi pikiran Wi Hiocu?" tanya Sou Kang.

"Di dalam, istana terdapat banyak penjaganya, masih ada lagi pasukan barisan depan, pasukan pengawal Raja, pasukan prajurit perang dan lain-lain sebagai nya. oh, pokoknya gawat deh. Baru bagian siwi saja sudah terdapat berbagai bagian misalnya bagian penjaga di Kam Ceng Tong, bagian penjaga pintu gerbang istana, dan bagian penjaga sam Kisiwi (Bendera tiga warna). Tempo hari Kui Heng su Lo yacu yang ilmunya demikian tinggi saja mengalami kegagalan sampai menemui ajalnya dalam istana, apalagi aku? Bila kalian ingin membunuh Raja secara gelap, aku bisa mengatakan bahwa ini merupakan kesulitan yang tersulit," sahut Siau Po.

Para anggota Thian Te hwee langsung merasa kurang senang mendengar penolakannya, apalagi dari nada suaranya seakan Hiocu mereka ini sangat membanggakan penjagaan yang ketat dalam istana. Hati mereka semakin kesal, bahkan beberapa di antaranya menjadi marah kembali.

Sou Kang mengedarkan pandangannya ke para anggota Thian Te hwee yang lain, kemudian berkata. "Wi Hiocu, ingin membunuh seorang raja memang bukan hal yang mudah. Meskipun kau sendiri yang menyusun seluruh rencananya, kami juga tidak yakin akan berhasil.

Namun asal kami bisa menyusup ke dalam istana, biarpun kami tidak mengharapkan dapat keluar dalam hidup, namun kami akan menjaga baik-baik keselamatanmu. jumlah anggota Thian Te hwee memang mencapai laksaan orang, namun tidak ada satu pun yang dapat menandingimu. Thian Te hwee bersumpah tidak akan hidup bersama-sama Bangsa Tatcu. Beban berat membangkitkan dinasti Beng terpaksa kami serahkan ke pundak Wi Hiocu," Siau Po menggelengkan kepalanya.

"Bagaimanapun aku tidak bisa melaksanakan tugas ini. Sri Baginda meminta agar aku membasmi Thian Te hwee, namun aku tidak melakukannya karena perasaan setia kawan, sekarang kalian meminta agar aku menyusun rencana untuk membunuh Sri Baginda, aku juga tidak dapat melakukannya karena merasa harus setia kawan terhadap beliau," sahutnya.

Hian Ceng tojin menjadi marah.

"Mengapa harus merasa setia kawan terhadap "Raja Tatcu? Bukankah sama artinya dengan pengkhia--"

Kalimat yang terakhir tidak diselesajkannya. Dia memaksakan diri untuk menahan emosi.

"lni merupakan urusan yang besar sekali, kami mengerti kalau Wi Hiocu tidak dapat mengambil keputusan dengan segera, sebaiknya Wi Hiocu mempertimbangkannya kembali-setelah mengambil keputusan, Wi Hiocu bisa datang ke sini memberikan jawabannya," kata sou Kang.

"Baik, baik. Aku akan mempertimbangkannya," sahut Siau Po cepat.

Ci Tian Gan dapat melihat niat Siau Po yang kurang tulus, maka dia berkata. "Semoga Wi Hiocu tidak melupakan cita-cita Tan congtocu semasa hidupnya-jangan melupakan negara kita yang sudah diduduki bangsa asing sehingga mengalami berbagai bencana, pokoknya Bangsa Han kami tidak boleh menjadi budak Bangsa Tatcu."

Siau Po menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Ya, ya. Memang tidak boleh dilupakan."

Para anggota Thian Te hwee mendengar Siau Po hanya memberikan jawaban secara samar-samar. Akhirnya mereka merasa lebih baik diam. Siau Po mengedarkan pandangannya ke sana ke mari.

"Mengapa Kakak-kakak sekalian tidak bicara lagi?" ujarnya sambil tertawa.

Tidak ada seorang pun yang memberikan jawaban Siau Po merasa jenuh. Dia tidak betah duduk lama-tama di tempat itu seakan di atas kursinya terdapat puluhan jarum yang menusuk pantatnya "

"Sebaiknya kita berpisah dulu sekarang, nanti sekembalinya ke rumah aku akan mempertimbangkan penawaran kalian tadi, setelah itu aku akan kembali untuk merundingkannya dengan Kakak-kakak sekalian," katanya.

Dia segera berdiri Para anggota Thian Te hwee mengantarnya sampai depan pintu.

Dengan hormat mereka mengucapkan selamat jalan, Siau Po sudah sampai di rumahnya. Dia duduk di ruang tamu sampai merasa bosan.

Ketika menjelang sore, datang firman kaisar yang menyatakan sri Baginda memanggilnya agar menghadap.

Siau Po segera menuju ruang perpustakaan dalam istana. "Pang Ci Hoan menghilang secara tiba-tiba, sebetulnya apa yang terjadi?" tanya

Kaisar Kong Hi.

Siau Po terkejut setengah mati. Dalam hati dia berpikir. 'Kenapa aku jadinya yang ditanya?'

Namun dengan hormat dia menjawab. "Harap sri Baginda ketahui, malam ketika Pang Ci Hoan menghilang, hamba sedang minum arak bersama to congkoan dan Para siwi lainnya. Kemudian baru hamba dengar bahwa malam itu Pang Ci Hoan telah dibawa oleh anak buah Cin Toutong, entah bagaimana tahu-tahu jejak orang itu jadi hilang.

Orang-orang Taiwan yang telah menyatakan takluk ini banyak akal busuknya, tingkah mereka aneh-aneh. Jangan-jangan mereka merencanakan sesuatu secara diam-diam. Sebaiknya hamba selidiki hal ini."

Kong Hi tersenyum.

"Baiklah, urusan menghilangnya Pang Ci Hoan ini kuserahkan kepadamu untuk menyelidikinya. Aku sudah memberikan janjiku kepada orang-orang Taiwan itu bahwa aku akan melindungi keselamatan mereka, sekarang orang ini tiba-tiba menghilang. Bila aku tidak memberikan penjelasan apa-apa, lain kali ucapanku tidak akan dipercaya lagi oleh orang-orang di seluruh dunia ini" katanya. Keringat dingin membasahi kening Siau Po.  - 'Kata-kata Sri Baginda ini sungguh berat, apakah dia tahu kalau Pang Ci Hoan telah mati akibat perbuatanku?' - tanyanya dalam hati. Terpaksa dia menjawab.  "Baik"

"Pagi ini kau pergi ke Gin Ko Ho Tong, apakah kau merasa senang?" tanya Kaisar Kong Hi pula.

Siau Po tertegun.

"Gin Ko Ho Tong?" untuk sesaat dia menjadi bingung. Tiba-tiba dia ingat sesuatu, di depan gang markas rahasia Thian Te hwee terdapat dua batang pohon Gin Ko, kalau begitu gangnya pasti bernama Gin Ko Ho Tong. Nama jalannya saja sudah diketahui oleh Sri Baginda, urusan apa lagi yang bisa mengelabuinya?

Seluruh tubuhnya dibasahi oleh keringat dingin. Kedua kakinya menjadi lemas dan dia menjatuhkan diri berlutut seketika, sambil menyembah dia berkata. "Pandangan sri Baginda jauh sekali. Pokoknya, dari awal hingga akhir hamba tetap setia terhadap sri Baginda." Kong Hi menarik nafas panjang.

"Para pemberontak itu memaksamu agar mencelakaiku tapi biar bagaimana kau tetap menolaknya, kau merasa harus solider terhadap aku. Tapi... Tapi siau Kui Cu, apakah untuk selamanya kau harus menginjakkan kaki di atas dua perahu?" tanyanya pula. Siau Po masih terus menyembah.  "Harap Sri Baginda ketahui, pokoknya hamba tidak akan menjadi Ceng Tocu mereka, untuk hal ini harap Sri Baginda berlega hati" sahutnya.

Sekali lagi Kong Hi menarik nafas panjang, kepalanya mendongak ke atas, tampak dia merenung beberapa saat kemudian baru berkata.

"Aku telah menjadi Kaisar Negeri Tiongkok ini, walaupun tidak dapat dikatakan sebagai Niau seng Hi Tongnya, tapi aku mencintai rakyat. Aku berusaha keras untuk mensejahterakan kehidupan mereka, Diantara raja-raja dari Dinasti Beng, mana ada yang dapat menandingiku? sekarang Penjahat Go sam Kui sudah terbasmi, Taiwan sudah berhasil kita kuasai. Bangsa Lo sat tidak berani lagi bertindak semena-mena

terhadap kita. Rakyat dapat hidup dengan tentram. Namun Thian Te hwee tetap ingin membangkitkan Dinasti Beng, apakah di bawah pemerintahan Kaisar she Cu itu, rakyat hidup lebih baik daripada kehidupan mereka sekarang?"

  -' Mana aku tahu?' - kata Siau Po dalam hati. Lalu terdengar dia menjawab. "Hamba pernah mendengar nyanyian yang isinya begini: sejak adanya Kaisar cu, dalam sepuluh tahun, sembilan tahunnya selalu penuh dengan penderitaan Keluarga petani terpaksa menjual sawah ladangnya, keluarga biasa malah menjual anaknya. Kalau diperhatikan makna yang terkandung di dalamnya, seharusnya kita sudah mengerti sekarang ini hujan badai telah berlalu, negara dan rakyat damai sentosa, Sri Baginda Niauseng HiTong, Kaisar cu masih ketinggalan seratus delapan puluh ribu li dengan Sri Baginda, meskipun dia menunggang kuda pilihan, tetap saja dia tidak sanggup menyandak Sri Baginda."

Kaisar Kong Hi tersenyum

"Bangunlah" perintahnya.

Siau Po segera berdiri. Tampak Kaisar Kong Hi melipatkan tangannya ke belakang serta berjalan mondar-mandir dalam ruangan itu. Terdengar pula ia berkata. "Ayahanda memang orang Boan ciu, tapi ibu kandung ku justru keturunan tentara Han. Dengan demikian di dalam tubuhku mengalir setengah darah Han. Aku memperlakukan rakyatku sama rata dan tidak pernah menyiksa Bangsa Han. Mengapa

mereka begitu membenciku sehingga selalu mencari jalan agar dapat membunuhku?"

"Para pemberontak itu tidak tahu aturan, mereka selalu ceroboh dalam mengambil tindakan Sri Baginda tidak perlu membuat otak capek memikirkannya," sahut Siau Po.

Kong Hi menggelengkan kepalanya, wajahnya muram dan pandangan matanya kosong seperti orang yang sangat kesepian, lewat sejenak dia berkata pula. "Bangsa Boan ciu ada yang jahat dan ada pula yang baik, begitu pula Bangsa Han, orang jahat di dunia ini kelewat banyak- tidak mungkin habis dibunuh. Dibasmi satu lahir lagi sepuluh. Tapi untuk menyadarkan pikiran mereka, aku tidak mempunyai

kesanggupan setinggi itu. Aih Ternyata menjadi seorang raja bukanlah hal yang mudah"

Dia menatap Siau Po sesaat kemudian meianjutkan,  "Kau boleh kembali sekarang"

Siau Po menyembah satu kali lagi lalu mengundurkan diri. Dia merasa tubuhnya agak dingin, rupanya tadi dia kelewat kaget sehingga peluhnya membasahi seluruh tubuh. Begitu keluar dari istana, dia baru bisa menghela nafas lega.

'Ternyata di dalam perkumpulan Thian Te hwee terdapat mata-mata yang lain, Setelah Hong ci Tiong terbunuh, muncul pula penggantinya. Kalau tidak, bagaimana Sri Baginda bisa tahu anggota Thian Te hwee memintaku menyusun rencana pembunuhan atas dirinya? Entah siapa pula mata-mata yang satu ini?' - pikirnya dalam hati.

Siau Po kembali ke rumah, dia duduk di ruang tamu sambil merenung. Dibayangkannya setiap anak murid Thian Te hwee, namun sampai lama dia masih belum bisa menebak siapa orangnya yang menjadi mata-mata.

 -- 'Sri Baginda memintaku menyelidiki ke mana hilangnya Pang Ci Hoan. Kalau ditilik dari nada bicaranya, kemungkinan Sri Baginda sudah curiga akulah biang keladi semuanya. Cuma dia belum mendapatkan bukti yang konkrit untuk memperkuat dugaannya, bagaimana aku harus menutupi urusan ini selanjutnya?

Tadi Song Ji mengatakan kepada para anggota Thian Te hwee bahwa aku menyerempet bahaya menyelamatkan jiwa Mao toako, untung sebelumnya aku tidak menceritakan bahwa aku menggunakan Pang Ci Hoan sebagai tumbalnya.

Kalau tidak, si budak jujur ini pasti akan menceritakan semuanya dan mata-mata itu pasti akan memberikan laporan kepada Sri Baginda. Apabila pangkatku tidak diturunkan seratus delapan puluh derajat, maka aku tidak marga Wi lagi,' -- pikirnya pula.

Pikirannya melayang ke sana ke mari. Hatinya semakin lama semakin gelisah- Dia membayangkan betapa menyenangkannya kehidupan di masa kecil ketika dia bisa bermain bersama-sama Kaisar Kong Hi.

Sungguh sayang keduanya telah tumbuh dewasa, Kong Hi bukan lagi siau Hian cu yang dulu, sikapnya harus sewibawa mungkin. Dan Siau Po tidak bisa lagi mengoceh sembarangan di hadapannya, karena semakin besar otak Kaisar Kong Hi juga sudah semakin cerdas.

Siau Po juga tidak bebas lagi bila bergurau dengannya. Kedudukannya sebagai panglima Besar dan pangeran Tingkat satu rasanya tidak menarik lagi. Lebih enak kehidupan masa kanak-kanaknya sebagai anak desa di rumah pelacuran Li Cun wan di kota Yang-ciu.

 - 'saudara-saudara dari Thian Te hwee memaksaku membunuh Sri Baginda, sedangkan sri Baginda menekanku agar membasmi seluruh anggota perkumpulan Thian Te hwee, Sri Baginda malah berkata: "siau Kui Cu, apakah selamanya kakimu harus menginjak pada dua perahu?", Maknya Lebih baik aku berhenti Aku lepas tangan saja dan semua ini' --Makinya dalam hati-

Secara tidak sadar dia memaki dalam hati bahwa dia ingin lepas tangan dari semua ini, tahu-tahu dadanya terasa lapang. Dia mengeluarkan biji dadu dari saku pakaiannya lalu dilemparkan ke atas meja sembari membentak.

"Kalau aku tidak boleh bekerja lagi, maka yang keluar pasti Man Teng Hong"  Empat butir dadunya menggelinding di atas meja- Tiga di antaranya menampakkan warna merah di atas, dadu yang keempat justru menunjukkan enam titik. Padahal ketika melemparkan dadu, Siau Po sudah mengerahkan kepandaiannya, tapi ternyata tidak berhasil juga.

"Maknya" Dia mengambil dadu-dadu itu lalu dilemparkannya sekali lagi, sampai yang ke delapan kali barulah terlihat warna merah memenuhi bagian atas dadu-dadu itu. Terdengar Siau Po menggumam seorang diri "Rupanya aku melaksanakan tujuh tugas lagi dari Kaisar Kong Hi baru bisa pensiun"

Tapi dia berpikir pula.  - 'Tujuh tugas itu telah kulaksanakan semuanya, yang pertama adalah membunuh Go Pay kedua -menolong Lo Hongya, ketiga - melindungi Raja Tua di gunung Hgo Tay san. Keempat -menolong Thay Hou. Kelima - Mengajak Tibet dan Mongol bekerja sama dengan Sri Baginda, Keenam - menghancurkan partai sin Liong kau, ketujuh -- Menangkap Go Eng Him, kedelapan -- Memerintahkan Tio yong dan Tio Liang TUng membasmi Go sam Kui. Kesembilan -merebut kota ya Ke Lung... terlalu banyak, terlalu

banyak urusan yang kecil tidak masuk hitungan, urusan yang besar pas tujuh buah. idak lebih tidak kurang --

Untuk sementara dia juga malas mengulangi kembali apa tujuh tugas besar yang telah dilaksanakannya, tiba-tiba dia berteriak

  "Locu pensiun"

- Tapi, kalau aku tidak menjadi pembesar dan tidak juga melakukan pemberontakan apapula yang harus Locu lakukan? - pikirnya bolak-balik, maju-mundur. Akhirnya dia mengambil keputusan bahwa paling menyenangkan kalau dia pulang saja ke Kota Yang-ciu. Begitu teringat Kota Yang-ciu, kekesalannya hilang seketika, "Pelayan" teriaknya.

Seorang pelayan segera menghadap- Siau Po menyuruh orang itu menyiapkan hidangan dan arak yang bagus- Dia menikmati makanan dan minumannya seorang diri sembari menyapit sepotong daging sapi, otaknya terus bekerja. Bagaimana caranya agar dia bisa pensiun tanpa dicari-cari oleh Kaisar Kong Hi, dan bagaimana caranya menolak permintaan saudara-saudara dari Thian Te hwee yang mengajaknya melakukan pemberontakan?

Kalau bisa mengambil keputusan yang adil sehingga tidak memberatkan kedua belah pihak. Dia berpikir pula, apabila mengajak Kian Leng kongcu hidup dengan senang bersamanya di Kota Yang-ciu, kemungkinan Tuan puteri itu tidak akan menolak. Tapi bila dia bermaksud membuka rumah pelacuran, kemungkinan Su Cuan, A Ko, Bhok Kiam Peng, Pui fe, Onju dan yang lainnya tidak akan setuju-

"Baiklah, kita jalan selangkah maka maju satu langkah pula- Lihat saja perkembangannya kelak. Harta benda Locu entah sudah berapa ribu laksa tail- Tidak jadi buka rumah pelacuran juga tidak akan mati kelaparan. Hanya tidak ada hal yang menarik," katanya seorang diri.

Malam itu, dia mengajak para istrinya berkumpul di kamarnya, Siau Po selalu menunjukkan wajah berseri-seri. Tidak henti-hentinya dia bergurau, jauh berbeda dengan keadaan siang tadi, istrinya menjadi heran sehingga mereka bertanya. "Ada urusan apa yang membuat siangkong demikian gembira?" Siau Po tersenyum.

"Rahasia langit tidak boleh dibocorkan" sahutnya santai.

"Apakah Hongte Koko kembali menaikkan pangkatmu?" tanya Kian Leng kongcu.

"Atau menang judi?" tanya Cinju.

"Urusan Thian Te hwee sudah berhasil diselesaikan?" tanya Songji.

"Aih Budak ini pasti jatuh hati lagi pada gadis cantik entah dengan keluarga mana, dan ingin mengambilnya sebagai istri ke delapan" tebak A Ko.

Siau Po hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban bahwa terkaan mereka semua salah.

Para istrinya semakin penasaran, lalu mendesaknya agar mendesaknya hal apa yang membuatnya begitu gembira.

"Sebetulnya aku tidak ingin mengatakan nya, tapi kalian terlalu memaksa. Baiklah, aku akan menceritakannya kepada kalian."

Para istrinya segera berdiam diri untuk mendengarkan. "Aku telah menjabat pangkat sebagai seorang panglima Besar. Di samping itu aku

juga dianugerahi pangkat Pangeran Tingkat satu. Namun aku buta huruf, rasanya memalukan saja. Mulai besok aku akan melepas jabatanku lalu belajar dengan sungguh-sungguh agar dapat mengikuti ujian negara," kata Siau Po pula.

Ketujuh istrinya saling memandang sejenak, kemudian mereka tertawa terbahak-bahak. Mereka tahu kalau Siau Po bisa membakar rumah penduduk, membunuh orang seenaknya, pokoknya melakukan apa saja, tapi satu hal yang tidak mungkin dilakukannya, yakni belajar membaca dan menulis.

Pada keesokkan harinya, sekretaris Negara datang mengunjunginya, orang itu mengatakan bahwa dia mendengar sri Baginda menyuruh Siau Po menyelidiki kasus menghilangnya Pang Ci Hoan. Kedatangannya justru ingin menanyakan kemajuan hasil penyelidikannya. Siau Po mengerutkan keningnya.

"Bukankah kalian sekretariat negara mempunyai banyak pegawai? Data-data apa yang berhasil kalian kumpulkan dalam beberapa hari ini?" tanyanya.

"Perlu Tayjin ketahui, menghilangnya Pang Ci Hoan misterius sekali, selama beberapa hari ini hamba sudah mengutus orang-orang hamba untuk menyelidikinya, namun sampai hari ini tidak ada jejak yang bisa kami telusuri. Hal ini benar-benar membuat kami cemas,

Hari ini hamba baru tahu bahwa sri Baginda telah menyerahkan kasus ini agar diselidiki oleh Wi Tayjin. Rasa senang di hati hamba melebihi senangnya kalau pangkat hamba dinaikkan tiga tingkat, Wi Tayjin merupakan pembesar yang paling banyak akalnya di dalam istana kita.

Kalau menunggang kuda dapat memenangkan perang, turun dari kuda bisa menentramkan rakyat. Masalah sebesar apa pun kalau sudah ditangani oleh Wi Tayjin pasti bisa dituntaskan dalam waktu yang singkat.

Hamba mendapat kesempatan melayani Tayjin dalam menangani kasus ini, benar-benar merupakan berkah dari arwah leluhur hamba. Para bawahan hamba langsung bersorak gembira dan memuji bahwa kali ini kami tidak perlu khawatir lagi. Kalau Wi Tayjin yang turun tangan, serdadu Lo Sat saja bisa dibuat terkocar-kacir, apalagi menyelidiki hilangnya Pang Ci Hoan ini?"

Siau Po tahu kalau kata-kata Sekretaris Negara ini memang enak didengar padahal sebetulnya dia sedang menimpakan bebannya ke pundak Siau Po. Dalam hati Siau Po berpikir.  -' Entah di mana mereka memakamkan jenasah Pang Ci Hoan, Aku harus menyuruh orang mendandani mayatnya agar tidak dikenali lagi. Kalau tidak ada bukti, tentu tidak ada tuduhan yang bisa ditimpakan pada diriku, seharusnya dari kemarin-kemarin aku sudah mempersiapkan semua ini, sayangnya aku terlalu sibuk sehingga menundanya terus sampai sekarang. Tapi bagaimana aku harus memberikan laporan kepada si Raja Cilik? Bukannya aku Wi Siau Po suka membual, tapi urusan apa pun yang diperintahkan oleh Sri Baginda, sampai saat ini belum pernah satu pun yang tidak sanggup aku selesaikan -- terdengar seketaris negara itu berkata pula. "Istri Pang Ci Hoan tiap hari mengutus orang datang ke rumah hamba menanyakan nasib suaminya, orang itu duduk terus di depan pintu dan tidak mau pergi sebelum mendapat jawaban yang memuaskan. Hamba benar-benar pusing menghadapinya. Kemarin datang lagi orang dari rumah keluarga Pang, dia mengatakan bahwa istri muda Pang Kongya yang namanya entah Lan Siang apa gitu telah melarikan diri bersama seorang kusir kereta keluarga mereka, perempuan itu membawa kabur sejumlah

perhiasan. Apabila Pang Kongya tidak cepat-cepat kembali ke rumah, kemungkinan satu persatu selirnya akan buron dengan laki-laki lain dengan membawa harta keluarga"

Siau Po mendengus dingin.

"Si Pang Ci Hoan ini pasti bersembunyi di suatu tempat dan sedang bersenang-senang. Kau utus lebih banyak orang lagi untuk mencarinya. Dia sendiri berpelesir diluaran, sedangkan selir dan gundiknya dilarikan orang. Hitung-hitung hukum karma baginya," kata anak muda itu.

"Betul, betul," sahut si sekretaris Negara.

"Tapi kalau Pang Kongya benar-benar berpelesiran di luar, tapi perginya kan sudah beberapa hari, seharusnya diu sudah kembali lagi ke rumahnya."

"Sulit dikatakan juga, Pang Ci Hoan kan hidung belang tua, tidak seperti Anda laki-laki baik. Kalau berpelesiran paling-paling juga satu malam saja tidak pulang."

Si sekretaris Negara tersenyum malu-malu.

"Hamba mana berani" sahutnya.

Tepat pada saat itulah datang laporan bahwa Pang Hujin mengutus beberapa orang saudaranya datang menyembah kepada Siau Po dan mengantarkan berbagai hadiah sebagai ungkapan rasa terima kasih karena Wi Tayjin bersedia menyelidiki urusan ini.

Siau Po menyampaikan pada anak buahnya bahwa dia tidak mau menemui saudara-saudara Nyonya Pang itu, dan hadiahnya juga tidak usah diterima. Tidak lama kemudian anak buahnya kembali lagi dengan laporan. "Saudara-saudara Nyonya Pang itu benar-benar kurang ajar. Ketika meninggalkan halaman rumah Wi Tayjin ini, mereka tidak hentinya tertawa dingin. Mereka mengatakan entah setan apa yang penasaran dan mengungkit soal pembalasan dendam.

Disamping itu seorang diantaranya mengatakan bahwa urusan ini telah diketahui oleh Sri Baginda, suatu hari nanti pasti akan terungkap, sebaiknya orang lain jangan ikut campur agar tidak terlibat masalah yang serius ini." Lapor Wi Tayjin, "Orang-orang itu berani memaki serta mengoceh yang tidak-tidak di depan rumah Wi Tayjin, hampir saja hamba tidak dapat menahan diri untuk menggaplok mulutnya."

"Ketika menukar pesakitan di lapangan pengadilan tempo hari, anak buahnya yang satu ini juga ikut turun tangan. Melihat datangnya orang dari keluarga Pang, setidaknya dia sudah bisa menebak apa yang terjadi. Hatinya ikut gelisah juga memikirkan akibatnya.

Siau Po yang berbuat tentu lebih gelisah lagi. Wajahnya agak berubah mendengar laporan anak buahnya. Dia berpikir dalam hati. - 'Kalau dibiarkan terus urusan ini pasti akan terbongkar Maknya Pang Ci Hoannya sendiri sudah kubunuh, memangnya aku takut terhadap istri sesosok arwah gentayangan' --

Tiba-tiba sebuah ingatan yang bagus melintas dalam benaknya. Wajah anak muda itu menjadi berseri-seri seketika.

"Harap Tuan jangan pergi dulu. Tuan tunggu sebentar di sini" katanya sembari masuk ke dalam rumah. Dia memerintahkan dua orang komandannya untuk menghadap, lalu dia membisikkan beberapa patah kata di telinga mereka dan meminta mereka melaksanakan tugas yang diberikan. Siau Po kembali ke ruang tamu dan berkata.  "Apa yang diperintahkan oleh majikan kita, sebagai hamba kita tentu harus

melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Hal ini kita lakukan demi membalas budi Sri Baginda, sebaiknya sekarang juga kita datangi keluarga pang untuk mencari sedikit keterangan." sekretaris Negara itu tertegun.

- 'Pang Kong ya menghilang selama beberapa hari, mengapa harus mencari keterangan di rumahnya?' -- pikirnya tidak mengerti. Tapi di luarnya dia terpaksa mengiakan.

"Kasus ini benar-benar pelik. Kita ajukan pertanyaan kepada setiap anggota keluarga Pang, siapa tahu kita bisa mendapatkan sedikit jejak yang bisa kita telusuri kata Siau Po pula.

"Betul, betul. Pendapat Wi Tayjin pasti benar. Hamba sungguh bodoh, tidak sanggup menandingi kecerdasan Wi Tayjin," sahut orang itu.

Sebetulnya bukan karena si sekretaris Negara ini kurang cerdas otaknya, tapi pangkatnya tidak seberapa tinggi, jauh dibandingkan dengan Siau Po- Mana mungkin dia berani mengajak anak buahnya datang ke rumah Pang Ci Hoan untuk menginterogasi anggota keluarganya?

Lagipula tidak ada orang yang mau melibatkan diri dalam masalah ini. Mereka tahu Pang Ci Hoan adalah musuh bebuyutan Siau Po. Menghilangnya orang bermarga Pang ini hampir seratus persen ada hubungannya dengan Siau Po, sedangkan Siau Po terkenal sebagai pembesar yang paling disayang raja, maka tidak ada orang yang mau mencari penyakit.

Dalam menangani kasus ini, siapa pun tidak ada yang serius. Mereka hanya bisa mengulur-ulur waktu sampai akhirnya kasus ini dianggap sebagai kasus yang tidak terungkapkan, sekretaris Negara itu berpikir pula. - Wi Tayjin sudah mencelakai Pang Ci Hoan, sekarang dia akan datang pula ke rumah orang itu untuk mempersulit istrinya, si Nyonya tua itu juga tidak tahu diri, pakai suruh orang datang ke mari mencaci maki, makanya Wi Tayjin jadi marah- --

Siau Po mengajak sekretaris Negara berangkat bersamanya dengan kereta besar. Begitu sampai di depan rumah Pang Ci Hoan tampak ratusan prajuritnya telah mengepung sekitar rumah itu. Seorang anak buahnya datang memberikan laporan. "Harap Tayjin ketahui, seluruh anggota keluarga Pang Kongya yang berjumlah tujuh puluh sembilan orang telah menunggu kedatangan Wi Tayjin di ruangan sebelah barat." Siau Po menganggukkan kepalanya.

"Lapor Tayjin, ruangan untuk rapat ada di sebelah timur" kata salah seorang komandannya.

Siau Po menuju ruangan sebelah timur. Tampak meja kursi di dalam ruangan itu telah ditata sesuai perintahnya. Dia duduk di atas sebuah kursi yang ada di belakang meja paling depan. Keadaannya seperti sebuah ruangan pengadilan. Siau Po menyuruh si sekretaris Negara duduk di sisinya, salah seorang anak buahnya segera membawa masuk seorang perempuan yang masih muda. Tampangnya lumayan.

Dengan berlenggang-lenggok perempuan itu memasuki ruangan lalu berlutut di depan Siau Po. Anak muda itu menarik usianya sekitar dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun.

"Siapa kau?" tanya si anak muda.

"Hamba adalah selir kelima dari Pang Kongya," sahut perempuan itu.

"Bangunlah dan silahkan duduk. Aku tidak berani menerima penghormatanmu yang demikian tinggi," kata Siau Po.

Perempuan itu merasa ragu-ragu. Untuk sekian saat dia tidak berani berdiri, Siau Po berdiri dari tempat duduknya, sambil tersenyum dia berkata. "Sebaiknya kau berdiri saja, kalau tidak aku yang akan berlutut di hadapanmu"

Perempuan itu tersenyum malu-malu, kemudian baru berdiri Siau Po baru duduk kembali di kursinya.

  -- sikap Wi Tayjin terhadap keluarga Pang ini tidak garang sama sekali, hanya gayanya yang genit mengurangi kewibawaannya, -- pikir si sekretaris Negara, "Siapa namamu?" tanya Siau Po pula.

"Hamba bernama Kiok Fang (Harumnya bunga Krisan)" sahut perempuan itu Siau Po mengendus dengan hidungnya dalam-dalam, sambil tertawa dia berkata. "Nama yang bagus. Tidak heran ketika kau masuk tadi seluruh ruangan ini langsung penuh dengan harumnya bunga krisan." Kiok Fang tertawa.

"Wi Tayjin hanya menggoda saja," sahutnya dengan gaya kenes.

Siau Po memiringkan kepalanya untuk memperhatikan perempuan itu sekejap, lalu bertanya lagi. "Dengar-dengar ada seorang madumu yang melarikan diri?"

"Memang betul. Namanya Lan siang, Hm, perempuan rendah itu benar-benar tidak tahu malu" sahut Kiok Fang.

"Suaminya tiba-tiba menghilang, dia mencari penggantinya. Hm, ini tidak dapat dikatakan... apa ya?" tanya Siau Po menoleh kepada si sekretaris Negara.

"Tidak dapat dikatakan sebuah dosa," sahut sekretaris Negara itu. Siau Po tertawa.

"Betul Bukan dosa, bukan dosa. Eh, Kiok Fang cici, kenapa kau sendiri tidak ikut kabur?"

Mendengar kata-katanya, kening si sekretaris Negara langsung mengerut.  - Bocah ini semakin lama semakin ngelantur, masa di ruang interogasi menyebut saksi dengan panggilan "cici" segala? - pikirnya,

Kiok Fang tidak menyahut, dia melirik Siau Po dengan kerlingan penuh arti. Siau Po senang sekali, sampai sekarang rayuannya selalu mendapatkan tanggapan dari perempuan mana pun. Sikap hidung belangnya timbul seketika. "Bisakah kau menyanyikan lagu Ra..-" Tiba-tiba dia merasa pertanyaannya tidak pada tempatnya, maka lalu menoleh kepada seorang bawahannya lalu memerintahkan "Berikan uang sebanyak dua puluh tail kepada Nona Kiok pang ini sebagai hadiah-"

Beberapa orang prajurit segera mengeluarkan uang sebanyak dua puluh tail sambil berseru. "Wi Tayjin memberikan hadiah, sampaikan rasa terima kasihmu"

Kiok Fang segera menerima hadiah itu sambil mengucapkan terima kasih- sekali lagi dia melirik genit ke arah Siau Po- setelah itu dia baru mengundurkan diri-

Siau Po memanggil satu persatu anggota keluarga Pang Ci Hoan, yang semuanya perempuan. Kalau dia mengajukan pertanyaan kepada wanita yang muda, dia selalu memberikan uang sebagai hadiah.

Tapi kalau giliran perempuan tua, mereka malah mendapat makian Siau Po yang mengatakan bahwa mereka tidak baik-baik melayani Pang Kong ya sehingga laki-laki itu merasa bosan dan sekarang berpelesiran di luaran serta tidak mempunyai maksud untuk pulang lagi, dan sebagainya.

Kurang lebih satu kentungan lamanya Siau Po mengajukan pertanyaan kepada para anggota keluarga Pang. Kemudian seorang komandan dipanggil menghadap, Siau Po kembali mengoceh secara samar-samar sehingga si sekretaris Negara sendiri tidak mendengar jelas apa yang dikatakannya.

Hanya kalimatnya yang terakhir dapat terdengar dengan jelas, "Mari kita mengadakan pemeriksaan di dalam" Siau Po mengajak sekretaris negara, tukang catat dan beberapa pegawai pemerintahan lainnya melakukan penggeledahan di dalam rumah itu. Ketika memeriksa sampai ruangan yang ketiga, para prajurit tetap melakukan penggeledahan sebagaimana ruangan-ruangan lainnya. Tiba-tiba terdengar seorang prajurit mendesah terkejut. Dari dasar sebuah peti dia mengeluarkan sebuah golok yang penuh dengan bercak darah yang sudah mulai mengering.

"Lapor Tayjin, hamba menemukan sebatang senjata tajam" katanya.

Siau Po menganggukkan kepalanya.

"Periksa lagi" perintahnya lalu menoleh kepada si sekretaris Negara, "Saudara, coba kau periksa apakah noda darah yang ada di golok itu?"

Si sekretaris Negara mengambil golok dari tangan prajurit tersebut ia mendekatkan golok itu ke lubang hidungnya lalu mengendus beberapa kali. Rasanya dia mencium bau amis darah, maka dia menjawab. "Rasanya memang noda darah manusia."

"Di atas golok itu ada lubang kecilnya, mengapa aku tidak pernah melihat golok semacam itu? Tahu kah kau golok untuk apa itu?" tanyanya pula.

"Golok semacam ini biasanya disebut arit, untuk membabat rumput. Dan biasanya digunakan dalam istal kuda," sahut si sekretaris Negara, "Oh, begitu rupanya"

Komandan Siau Po memerintahkan anak buahnya mengambil segenteng air lalu disiramkan di atas tanah-

"Untuk apa itu?" tanya Siau Po.

"Tayjin, tanah yang pernah digali pasti akan menjadi gembur kalau disiram, dan air akan menyerap dengan cepat," Baru saja prajurit itu menyelesaikan keterangannya, tiba-tiba dari kolong tempat tidur terdengar suara blep blep seperti suara bergelembung masuk ke dalam tanah. Para prajurit yang sedang melakukan pemeriksaan langsung bersorak keras-keras. Mereka mengambil cangkul lalu mulai menggali tanah di bawah tempat tidur itu. Sedangkan beberapa di antaranya langsung memindahkan tempat tidur tersebut. Tidak berapa lama menggali, mereka berhasil mengeluarkan sesosok mayat dari dalamnya.

Mayat itu tidak berkepala, tubuhnya juga sudah hampir hancur dan berbau busuk. Tampaknya sudah mati selama beberapa hari, pakaian yang dikenakannya memang jubah kebesaran Pak Ciang Kong. Tanpa sadar sekretaris Negara menjerit begitu menyaksikannya.

"Itu... itu kan pang Kongya"

"Benar-benar Pang Ci Hoan? Bagaimana kau bisa mengenalinya?" tanya Siau Po.

"Ya, betul Kita harus menemukan kepalanya terlebih dahulu baru bisa meyakinkan hal ini," sahut sekretaris Negara yang kemudian bertanya kepada seorang pegawainya, "Siapa yang menempati rumah ini?"

"Hamba akan menanyakannya sekarang juga," sahut pegawainya sambil melangkah ke luar menuju ruangan sebelah barat, tempat para anggota keluarga Pang sedang menunggu.

Rupanya ruangan itu di tempati oleh selir kelima Pang Ci Hoan yakni Lan siang yang telah melarikan diri dengan laki-laki lain. Pegawai tadi segera kembali dan memberikan laporannya.

"Wi Tayjin, Tuan sekretaris, senjata pembunuh itu ternyata sebilah arit yang biasa digunakan untuk membabat rumput sekarang hamba akan menyelidiki sekitar istal, karena menurut kabar yang hamba terima selir kelima Pang Kong ya melarikan diri bersama kusir keretanya."

Beramai-ramai mereka menuju istal para prajurit sekali lagi melakukan pemeriksaan di tempat itu. Tidak lama kemudian, dari balik rerumputan mereka berhasil menggali sebuah kepala manusia, Siau Po meminta sekretaris Negara untuk mengenali batok kepala itu. Ternyata memang Pang Ci Hoan adanya. Dengan demikian sudah dapat dipastikan bahwa Pang Ci Hoan telah dicelakai seseorang lalu jenasahnya dikuburkan dengan kepala dan tubuh terpisah.

Pada saat itulah para anggota keluarga Pang yang tadinya disuruh berkumpul di ruangan sebelah barat dilepaskan suara tangisan pun bergema di seluruh rumah. Mereka memaki-maki Kiu si (si kusir kereta) dan Lan siang yang telah sampai hati mencelakai majikan mereka sendiri. Berita itu dengan segera tersiar ke luar. Tidak sampai setengah hari kemudian, hampir seluruh penduduk Kota Pe King sudah

mengetahui kejadian ini.

Sekretaris Negara merasa malu, juga berterima kasih sekali terhadap Siau Po. Dalam hati dia membayangkan kalau bukan Wi Tayjin yang menangani kasus ini, kemungkinan masa depannya akan terancam karena sampai botak pun dia tidak mungkin berhasil mengungkapkannya.

Tidak henti-hentinya dia mengucapkan terima kasih kepada Siau Po. Sepanjang perjalanan dia sibuk membuat laporan untuk diserahkan kepada Raja juga menulis catatan untuk dokumennya sendiri.

Disamping itu dia juga menyiarkan berita mencari kedua penjahat Kiu si dan Lan siang yang telah melakukan dosa besar membunuh seorang pembesar kerajaan. Hanya pegawainya yang merasa agak curiga. Dia melihat bekas tebasan di leher mayat Pang Ci Hoan rapi sekali, seakan-akan batok kepalanya ditebas dengan golok besar yang tajam, bukan digorok dengan arit pemotong rumput.

Dia juga melihat tanah yang menutupi tubuh dan kepala mayat itu masih baru seperti belum lama dirimbunkan di tempat itu. Tapi Wi Tayjin sudah membantunya menyelesaikan sebuah kasus, lagipula keluarga Pang memberinya hadiah uang yang cukup banyak agar kasus itu cepat-cepat diselesaikan.

Kemungkinan dia akan dianugerahi kenaikan pangkat pula oleh Sri Baginda. Karena itu, meskipun hatinya merasa curiga, dia memilih untuk berdiam diri saja. Dalam hati dia berpikir.  -- Ketika melakukan penyelidikan di dalam rumah keluarga Pang, anak buah Wi

Tayjin menjaga dengan ketat. Tidak ada seorang luar pun yang boleh bergerak dalam rumah itu. Bila mereka ingin mengubur kan sesosok mayat saja, tentu bukan masalah, jangankan hanya satu, sepuluh atau dua puluh mayat pun dapat dikuburkan mereka dengan cepat -

Siau Po membawa laporan terperinci dari sekretaris Negara menghadap Kaisar Kong Hi. Dia juga melaporkan bagaimana mereka berhasil mengungkapkan kasus ini. Kaisar Kong Hi tersenyum.

"Siau Po, ilmumu memecahkan misteri memang hebat sekali, Banyak orang yang mengatakan bahwa Pao Liong to hidup kembali," katanya.

"Semua ini berkat rejeki besar Sri Baginda juga," sahut Siau Po.

Kaisar Kong Hi mendengus dingin.

"Main sulap memindahkan mayat seperti itu apa hubungannya dengan rejekiku yang besar?" sindirnya.

Siau Po terkejut setengah mati. Dalam hati dia berkata.  -- 'Bagaimana dia bisa tahu?' -- sesaat kemudian dia langsung mengerti, -- 'Hm, di dalam pasukanku pasti ada pula mata-matanya.' -

Siau Po kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Tiba-tiba terdengar Kong Hi menarik nafas panjang.

"Penyelesaian yang demikian memang ada bagusnya juga, pokoknya orang luar tidak banyak tanya lagi dan aku sendiri juga tidak ketiban pulung, cuma tindakanmu yang makin lama makin ceroboh itu, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi." katanya.

Hati Siau Po menjadi lega. Dia tahu kali ini kembali Kaisar Kong Hi mengampuni kesalahannya. Karena itu dia segera berlutut dan menyembah berkali-kali. "Sekarang ini dunia sudah aman. Mungkin sampai waktu lama baru terjadi perang lagi. Rasanya panglima Besar sepertimu tidak diperlukan lagi, sebaiknya kau copot saja jabatanmu itu," kata Kaisar Kong Hi.

Siau Po tahu ini merupakan salah satu cara Kaisar Kong Hi menghukum kesalahannya.

"Betul, betul. Hamba rasa pangkat pangeran Tingkat satu juga kelewat tinggi, sebaiknya diturunkan saja."

"Baiklah, turunkan saja pangkatmu menjadi pangeran Tingkat Dua," kata Kong Hi pula

"Hamba selalu ceroboh, dalam melakukan apa pun tidak pernah berpikir panjang. Hati hamba menjadi tidak tentram karenanya. Lebih baik kalau Sri Baginda menurunkan lagi pangkat hamba menjadi pangeran Tingkat Tiga saja," pinta Siau Po.

Kong Hi tertawa terbahak-bahak.

"Maknya. Kau lagi bisa tidak tentram hatinya, kalau hal ini sampai terjadi maka matahari akan terbit dari sebelah barat"

Mendengar Kaisar Kong Hi memaki. "Maknya", Siau Po tahu kemarahan dalam hati raja itu sudah reda- Dia segera berdiri-

"Meskipun kebaikan dalam hati hamba ini sedikit sekali, setidaknya masih ada." Kong Hi menganggukkan kepalanya berkali-kali.

"Justru aku memandang sedikit kebaikanmu itu, kalau tidak, sejak dulu aku sudah memenggal batok kepalamu lalu menyuruh orang untuk menguburmu di bawah tempat tidurnya A Ko atau Songji," katanya.

Siau Po pura-pura panik.

"Hal ini jangan sampai terjadi," sahutnya.

"Kenapa tidak boleh?" tanya Kong Hi.

"Baik A Ko maupun Songji sudah pasti tidak sudi melarikan diri bersama kusir kereta." sahut Siau Po-Kaisar Kong Hi tertawa.

"Kalau tidak bersama kusir kereta, kemungkinan dengan...."

Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya. Dia merasa tidak baik melanjutkan ucapan yang merupakan penghinaan bagi orang lain. Lagipula, meskipun anak muda ini ugal-ugalan, kesetiaannya tidak perlu diragukan lagi. Antara majikan dan bawahan boleh saja bergurau, asal tidak saling menyinggung perasaan, namun untuk sesaat dia merasa kesulitan mencari topik pembicaraannya, maka dia segera menundukkan kepala dan pura-pura memperhatikan kertas laporan yang dibawa Siau Po tadi-

Siau Po berdiri dengan sikap menghormat Dia tetap menunggu di samping Kaisar Kong Hi. Tampak Kaisar Kong Hi berulang kali mengerutkan keningnya seakan ada persoalan berat yang menggelayuti benaknya. Maka Siau Po berpikir dalam hati.  --jadi Raja memang selalu dihormati orang dan wibawanya besar sekali. Tapi bagi orang yang tahu, benar-benar jadi raja rasanya tidak menyenangkan juga -

Kong Hi mengambil setumpukan kertas laporan yang lain lalu memperhatikannya pula. Kemudian terlihat dia menarik nafas panjang, Siau Po memberanikan diri bertanya.

"Persoalan apa yang membuat Sri Baginda resah? serahkan saja kepada hamba, hamba akan menyelesaikan tugas itu sebaik-baiknya sebagai penebus dosa hamba yang besar ini."

"Urusan ini tidak mungkin diselesaikan olehmu, Sie Long memberikan laparan bahwa Taiwan dilanda badai dahsyat, air yang menggenangi wilayah itu tingginya mencapai empat kaki- Rumah penduduk hancur, ada pula yang terseret banjir. Rakyat yang tewas setiap hari bertambah, benar-benar merupakan bencana alam terbesar tahun ini" kata Kong Hi.

Bagian 98 Tamat

Siau Po melihat Kaisar Kong Hi berbicara dengan mata berkaca-kaca  Dalam hati dia berpikir. - Sejak kecil kami merupakan sahabat karib, biar bagaimana aku harus menolongnya kali ini. -

Maka dia pun berkata. "Sri Baginda, terus terang saja, ketika menjadi pembesar di Taiwan hamba kecipratan sedikit rejeki. Akhir-akhir ini ada pula orang Taiwan yang membayar hutangnya. Mengandalkan mangkok emas dari Sri Baginda saja hamba seumur hidup tidak akan mati kelaparan. Harap Sri Baginda sudi menerima sedikit sumbangan hamba untuk menolong rakyat Taiwan yang tertimpa musibah itu."

Kaisar Kong Hi tersenyum.

"Jumlah penduduk Taiwan yang terkena bencana alam banyak sekali. Cipratan rejekimu yang sedikit itu mana cukup untuk membantu meringankan penderitaan mereka, sebaiknya mulai besok aku akan menurunkan firman agar setiap penduduk di Kota raja ini mengurangi anggaran pengeluaran mereka, setiap ibu rumah tangga jangan membeli alat kecantikan yang berlebihan, agar setiap bulan mereka dapat

menyisakan uang untuk sumbangan bencana alam di Taiwan. Dalam waktu beberapa bulan mungkin kita bisa mengumpulkan sumbangan sebanyak lima puluh laksa tail untuk membantu korban-korban bencana alam itu," katanya.

"Dosa hamba berat sekali, mungkin hukuman yang paling setimpal adalah kematian" sahut Siau Po.

"Mengapa kau berkata demikian?" tanya Kaisar Kong Hi.

"Selama menjadi pembesar hamba benar-benar serakah, di Taiwan saja hamba kecipratan rejeki sebesar seratus laksa tail. Dan baru-baru ini hamba menagih hutang kepada The Kek song, dia juga membayar hutangnya sebanyak seratus laksa tail lebih---"

Kong Hi terkejut setengah mati.

"Sebanyak itu?"

Siau Po menabok mulutnya perlahan-lahan.

"Siau Kui Cu memang patut mati"

Kaisar Kong Hi malah tertawa terbahak-bahak

"llmumu meminta uang rupanya hebat juga, mengapa selama ini aku tidak pernah tahu?" katanya.

"Siau Kui Cu memang patut mati" sahut Siau Po sekali lagi.

Padahal diam-diam dia merasa bangga. Dalam hati dia berpikir, - seorang pembesar sering mengulurkan tangannya meminta uang, kau yang jadi raja mana boleh tahu. Kau bisa memasang mata-mata dalam pasukanku, yang diselidikinya paling-paling aku berani memberontak atau tidak, suami adikmu ini meminta uang dengan tangan kiri, memasukkan uang ke dalam saku dengan tangan kanan. Adikmu sendiri saja tidak tahu, apalagi kau sang ipar? -

Di mulut dia selalu membahasakan dirinya sebagai hamba, namun dalam hati dia menyebut dirinya "Iparmu". Kaisar Kong Hi merenung sesaat.

"Pembesar yang mencintai rakyat seperti engkau ini juga sulit ditemukan. Begini saja, kau mengeluarkan uang sebanyak seratus lima puluh laksa tail, aku akan mengirit anggaranku sendiri dan menyumbangkan uang sebanyak lima puluh laksa tail jumlahnya jadi dua ratus laksa tail.

Kita majikan dan bawahan bekerja sama. Rakyat Taiwan yang menjadi korban bencana alam jumlahnya mencapai belasan ribu keluarga. Masing-masing mendapat sumbangan sebanyak seratus tail lebih. Rasanya cukup untuk membantu mereka memperbaiki segala kerusakan" katanya pula-

Barusan Siau Po diserang emosinya sendiri sehingga mengatakan jumlah harta yang dimilikinya, sekarang hatinya terasa agak menyesal juga kalau harus kehilangan uang sebanyak itu. Tiba-tiba dia mendengar Kong Hi mengatakan akan membantunya sebanyak lima puluh laksa tail, berarti sisa untuk dirinya masih banyak. Hatinya menjadi gembira seketika.

"Betul, betul sri Baginda sangat mencintai rakyat, Thian yang Kuasa pasti akan memberkati sri Baginda selamanya. Negara akan aman tanpa diganggu bencana alam apapun," sahutnya cepat.

Sejak mendengar bencana alam yang melanda Taiwan, sepanjang hari ini wajahnya muram terus. Sekarang tanpa susah payah dia bisa mendapatkan sumbangan uang begitu banyak, tentu saja hatinya menjadi senang sekali.

"Juga melindungimu agar pangkatnya naik terus dan selalu mendapat rejeki" katanya, Siau Po tertawa.

"Terima kasih atas ucapan emas dari Ban sui ya. Hamba bisa naik pangkat ataupun ketiban rejeki juga merupakan budi besar dari sri Baginda. Lagi pula, uang yang hamba miliki itu asalnya juga dari orang-orang Taiwan, hitung-hitung sapi pulang... pulang ke Taiwan saja," sahutnya.

Kong Hi tertawa terbahak-bahak.

"Maknya Pepatah yang mengatakan 'sapi pulang ke kandang' malah kau ubah menjadi 'sapi pulang ke Taiwan.'"

"Betul, betul untuk sesaat hamba sampai lupa kata-kata 'kandang'nya. Orang Taiwan gemar memelihara sapi, tidak heran kalau pertanian mereka maju pesat dibandingkan negara lain. Tadinya hamba masih terus bertanya-tanya dalam hati apa gerangan sebabnya," sahut Siau Po.

Kong Hi menjadi geli. Dia tahu Siau Po ini agak bebal otaknya. Kalau diajari baik-baik belum tentu bisa mengerti. Mana ada sapi untuk membajak sawah, ada juga kerbau. Tapi percuma menjelaskannya panjang tebar, soal pengetahuan pasti antri di bagian yang paling akhir dalam pilihan Siau Po. Maka dia sengaja menggoda anak muda itu. "Betul sekali, betul sekali. Ada lagi pepatah yang berbunyi "Wi Pian sam Kiat" (Wi menguasai tiga macam ilmu), artinya keluarga Wi kalian rajin belajar, rata-rata berpendidikan tinggi. Kau pasti merasa bangga bukan?"

Siau Po menggelengkan kepalanya.

"Pendidikan hamba rendahnya tidak ketolongan. Benar-benar memalukan leluhur marga Wi,".sahutnya.

"Mengenai tugas mengirimkan bantuan bagi korban bencana alam di Taiwan...."

Tadinya Kong Hi ingin mencari jalan mudahnya saja dengan mengutus Siau Po ke Taiwan mengantarkan bantuan uang, namun dia pertimbangkan sekali lagi.  -- Dia mengeluarkan uang sebesar ini, tentunya karena merasa solider terhadapku. Bukan benar-benar mencintai rakyat sekeluarnya dari istana, kemungkinan dia akan merasa menyesal. Kalau dia pergi ke Taiwan membuang uang sebanyak dua ratus laksa tail, mungkin dia ingin meminta modalnya kembali. Kalau bisa malah sama bunganya sekalian. --

Maka dia segera mengubah kata-katanya, "Merupakan tugas yang mudah sekali. Tidak perlu kau yang berangkat sedangkan pangkatmu sebagai Lu Ting Kong Tingkat satu juga tidak perlu diturunkan lagi. Diantara kita toh masih ada tali persaudaraan yang erat Tidak perlu sungkan-sungkan."

Siau Po mengucapkan terima kasih. Dia menyembah satu kali kemudian berdiri "Hamba mengeluarkan uang bantuan ini tidak lain karena mengembalikan sapi ke kandangnya, sedangkan sri Baginda terpaksa mengurangi anggaran belanja keluarga, ketulusannya saja sudah jauh berbeda."

Kong Hi menggelengkan kepalanya.

"Apa yang kau katakan tidak tepat, seluruh keperluan rumah tanggaku berasal dari rakyat pula. Rakyat bersusah payah menghidupi aku maka sebagai pemimpin aku pun harus memperhatikan kesejahteraan mereka. Kau makan dari mangkok majikanmu maka kau harus setia terhadap majikanmu.

Aku makan dari mangkok rakyat maka aku harus setulusnya setia kepada rakyat pula.

Pepatah mengatakan 'Empat lautan penuh penderitaan, jodoh langit sampai di sini saja.' Artinya, kalau rakyat susah, maka raja-nyalah yang tidak becus. Kalau langit marah maka akupun tidak akan jadi raja lagi," katanya.

"Tidak, itu tidak mungkin terjadi"

"Hari ini kau bisa jadi pembesar dikarenakan budi yang kutanamkan. Hari ini aku bisa menjadi kaisar dikarenakan budi yang diberikan oleh Thian. Kalau kau tidak becus kerja, aku akan memenggal kepalamu. Kalau aku tidak mengurus rakyatku dengan baik, Thian akan mencari seorang kaisar lain untuk menggantikan aku."

Kaisar Kong Hi mengambil sebuah buku lalu membalikkan halamannya, "Isi buku ini bagus sekali. Di dalamnya terdapat berbagai filsafat tentang kehidupan seorang raja. Biarpun isinya lebih banyak mengandung sindiran, tapi aku menyetujui pandangan pengarangnya. Dikatakan bahwa seorang raja biasanya menghendaki rakyatnya bersikap baik, tidak boleh egois, jangan suka mencari keuntungan dari

penderitaan orang lain. Padahal dia sendiri suka mencari keuntungan dari penderitaan orang lain. Padahal dia sendirilah manusia yang paling egois di dunia, dia pulalah manusia yang paling banyak meraih keuntungan dari penderitaan orang lain. Dan dia merasa bahwa peraturan yang dikeluarkannya itu merupakan peraturan paling adil di dunia. Awal sikap ini saja sudah tidak baik, dan kalau dibiarkan akan menjadi suatu kebiasaan. Dia merasa pandangannya selalu benar dan pandangan orang di sekelilingnya pasti salah-"

"Itu kan raja yang jahat, kalau sri Baginda kan Niau seng Hi Tong, apa yang dikatakannya sudah tidak benar" sahut Siau Po.

"He he Asal yang jadi raja, orang selalu menganggapnya Niau seng Hi Tong, siapa yang mengaku dirinya tidak benar? Lagi pula, di samping raja yang rendah pasti ada beberapa bawahannya yang kerjanya cuma menepuk pantat kuda saja. Dengan demikian si Raja semakin tidak menyadari kekeliruannya," ejek Kaisar Kong Hi.

Siau Po tertawa.

"Untung sri Baginda ini barang tulen, murni Niau Seng Hi Tong, kalau tidak hamba pasti dicap tukang menepuk pantat kuda"

Kaisar Kong Hi menghentakkan kaki kirinya keras-keras di atas tanah "Kau memang ahlinya menepuk pantat kuda, masih tidak mau mengaku? Menggelindinglah kau ke sana" katanya pura-pura marah.

Siau Po tertawa sekilas, kemudian wajahnya berubah menjadi serius. "Hong siang, hamba ingin memohon budimu yang besar agar boleh berlibur beberapa lama. Hamba ingin menjenguk ibu hamba di Yang-ciu."

Kaisar Kong Hi tersenyum. "Kalau kau masih mempunyai rasa berbakti kepada orang tuamu, itu memang sudah seharusnya kau menjenguk beliau. Lagi pula kalau kemewahan tidak dibawa pulang ke kampung halaman, ibarat mengenakan mantel bulu di tempat yang gelap. Memang seharusnya kau pulang untuk menunjukkan kebanggaan di depan teman-teman sekampungmu.

Kau boleh pergi asal jangan lama-lama. Ajaklah ibumu ke Kota raja dan menetap di sini. Aku akan menuliskan sepucuk firman agar ibumu mendapat kedudukan sebagai ibu seorang pembesar siapa nama ayahmu yang sudah meninggal itu, kau sebutkan di depan penasehatku, sebab Almarhum juga patut diberi bintang jasa, sebetulnya ketika kau pulang ke Yang-ciu tempo hari, urusan ini sudah seharusnya diselesaikan sayangnya saat itu kita terlalu sibuk mengurus Go sam Kui sehingga masalah ini terbengkalai" katanya.

Kong Hi menduga bahwa Siau Po pasti tidak tahu bagaimana menulis nama ayahnya, maka setelah bertemu dengan ibunya Siau Po baru meminta ibunya menuliskan untuk diserahkan kepada Penasehat Raja. Meskipun Kaisar ini sangat cerdas, namun dalam hal ini dia masih salah tebak- Siau Po bukan tidak bisa menulis nama ayahnya saja, bahkan siapa ayahnya pun dia belum pernah tahu.

Siau Po mengucapkan terima kasih lalu mengundurkan diri. Dia pulang ke rumahnya dan mengambil uang sebanyak seratus lima puluh laksa tail. Dia membawa uang itu pada Bendahara Kerajaan dan mencap namanya dengan stempel merah yang telah tersedia.

Setelah itu dia mengundang Su Cuan untuk menulis sebuah nama karangan sebagai nama ayahnya bahkan lengkap sampai tiga generasi berturut-turut, Siau Po segera menyuruh keluarganya bebenah kemudian berangkat hari itu juga-

Pada dasarnya anak muda ini memang mudah bergaul dengan siapa saja, otomatis orang-orang yang mengantar keberangkatan mereka bukan main banyaknya. Menjelang keberangkatannya, Siau Po teringat kembali akan uang seratus lima puluh laksa tail miliknya yang disumbangkan. Hatinya sedikit menyesal, maka dia menyuruh orang ke rumah The Kek song untuk menagih lagi hutangnya, walaupun sisanya masih banyak, tapi Siau Po hanya berhasil mendapatkan belasan ribu laksa tail dari orang itu. Tidak lama kemudian, rombongan itu pun berangkat. Dari Kam Lu mereka tiba di Tong Ciu. Di sana mereka menyuruh kereta-kereta mereka pulang, dan rombongan itu

melanjutkan perjalanan dengan kapal, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan melalui Tiam Cing, Leng cing dan melintasi sungai Ho. Pada malam harinya kapal rombongan berlabuh di dekat sai yang untuk beristirahat.

Usai makan malam, Siau Po dan para istrinya berkumpul dalam kabin untuk berbincang- bincang. Terdengar Su Cuan berkata. "Siau Po, besok kita sudah sampai di Cun Ing. Jaman dulu di kota ini ada seorang yang memangku jabatan Cun Ing Hou...."

"Hm, pangkatnya masih lebih rendah daripada aku.." tukas Siau Po.

Su Cuan tertawa. "Tidak juga, orang ini pernah memangku jabatan sebagai ongya dan sebagainya. Tetapi karena sang Raja takut dia akan memberontak maka pangkatnya diturunkan menjadi Cun Ing Hou.... Orang ini bernama Han Sing, sangat terkenal pada jamannya."

"Ah, aku tahu. Dalam beberapa sandiwara yang kutonton, orang inilah yang menjadi tokoh utamanya," sahut Siau Po.

"Memang betul. Orang ini mempunyai beberapa keahlian, jasanya pun besar sekali, pendekar besar seperti Cu Pao ong saja kalah di tangannya. Sayang akhir nasibnya mengenaskan, dia mati dibunuh oleh Kaisar dan Thay Hou," kata Su Cuan pula.

Siau Po menarik nafas panjang.  "Sayang.. Sayang.. Kenapa Raja membunuhnya? Apakah dia memang memberontak?" tanyanya.

Su Cuan menggelengkan kepalanya. "Tidak- dia tidak memberontak. Tapi Raja menganggap keahlian orang ini sudah terlalu banyak, takut suatu hari dia akan memberontak."

"Untung keahlianku terbatas sekali. Dalam segala hal sri Baginda melebihi aku, jadi tidak mungkin beliau merasa iri. Aku hanya melebihi sri Baginda dalam satu hal. Kecuali yang satu ini, dia lebih unggul daripada aku," kata Siau Po.

"Dalam hal apa kau melebihi sri Baginda?" tanya A Ko.

"Aku mempunyai tujuh orang istri yang cantik jelita. Di dunia ini sulit mencari wanita kedelapan yang secantik para istriku. Meskipun sri Baginda mempunyai rejeki yang besar, tapi aku sebagai hambanya juga tidak kalah beruntung, cuma rejeki nya yang lain, peruntunganku justru ada pada istri-istriku yang cantik."

Dengan menebalkan muka Siau Po membual setinggi langit Istri- istrinya jadi geli sehingga tertawa terkekeh-kekeh.

"Tidak tahu malu, memuji diri sendiri. Kau memang pantas menjadi raja, tapi Raja Monyet" goda Pui Ie.

"Betul, akulah Bi Hou ong (Raja Monyet cantik) dari Goa Cui Lian Tong. Aku memimpin serombongan nyonya-nyonya Monyet, putra- putri Monyet untuk melewatkan hari-hari yang indah seperti dalam khayangan" sahut Siau Po.

Di saat mereka sedang bersenda gurau itulah muncul seorang prajurit yang berseru dengan suara lantang.

"Ada tamu yang memohon bertemu dengan Wi Tayjin"

Kemudian prajurit itu menyodorkan empat lembar kartu nama.  Su Cuan menerima kartu nama tersebut dan berbisik di telinga Siau Po.

"Mereka terdiri dari Ku Yan Bu, Lu Liu Liang dan kawan-kawan."

"Oh, rupanya rombongan Ku siansing. Bagaimana pun aku harus bertemu dengan mereka," kata Siau Po sambil memerintahkan pelayannya untuk mengundang para tamu itu masuk dan menghidangkan minuman untuk mereka.

Siau Po sendiri segera masuk ke ruangan satunya untuk mengganti pakaian kemudian baru menemui tamu-tamunya.

Ku Yan Bu dan yang lain-lainnya merupakan bawahan Go Ci yong di Yang-ciu. Pernah jiwa mereka hampir melayang, untung ada Siau Po yang menolong. Kalau Lu Liu Liang memang baru kali ini bertemu dengan Siau Po. Di belakangnya mengikuti dua orang anak muda. Mereka adalah anak-anak Lu Liu Liang, yakni Lu Pao Cung dan Lu Hao Cung.

Setelah saling memberikan penghormatan para tamu pun dipersilahkan duduk di tempat yang telah disediakan Lu Pao Cung dan Lu Hao Cung berdiri di belakang ayah mereka.

"Kedatangan kami kali ini sebetulnya ingin mengajak Wi Hiocu merundingkan suatu persoalan. Tapi daerah ini kurang aman, kami khawatir banyak telinga dan mata yang mengawasi kami. Bolehkah Wi Hiocu menyuruh tukang perahumu menjalankan kapal ini sejauh beberapa li sehingga kita dapat berbicara dengan leluasa?" ujar Ku Yan Bu.

Ketika diadakan rapat besar membasmi kura-kura tempo hari. Ku Yan Bu ini pernah terpilih menjadi Cong Kunsu oleh orang-orang gagah dari berbagai daerah. Namanya sudah sangat terkenal di dunia kangouw. Dia sangat mengagumi Siau Po. Karena itu Siau Po, segera menyetujui permintaannya. Dia menyampaikan pesan kepada Su Cuan dan yang lainnya.

"Jangan pergi sendiri. Kalian boleh menggunakan perahu kecil ke tengah sungai untuk berbicara. Tapi hati orang siapa tahu, sebaiknya kita waspada. Kapal kami akan mengikuti dari belakang, kita bisa menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi," kata Su Cuan memperingatkan.

Siau Po ingat Ku Yan Bu mengatakan akan mengajaknya ke tempat yang sunyi, hatinya memang agak curiga. Tapi kalau ada tujuh istrinya yang melindungi perasaannya jadi agak tenang. Maka dia segera menyetujui usul Su Cuan.

Dia memerintahkan anak buahnya untuk menjalankan perahu kecil dan kapalnya ke tengah sungai. Alasannya pemandangan di tempat itu bagus sekali, siapa tahu Wi Kongya akan mendapatkan ilham untuk menciptakan beberapa syair sedangkan sisa perahu yang lain tetap menunggu di tempat semula.

Sesampainya di tengah sungai, Siau Po melihat ke sekeliling. Daerah itu memang sepi sekali. Kecuali perahu dan kapalnya, tidak tampak adanya perahu atau kapal lain yang berhilir mudik di sana, Siau Po memerintahkan para pelayannya untuk menunggu di kabin belakang.

Dia mengatakan bahwa dia tidak ingin pembicaraan dengan tamu-tamunya terganggu. Begitu semua pelayan pergi. Ku Yan Bu dan yang lainnya sekali lagi mengucapkan terima kasih atas pertolongan Siau Po dulu, Siau Po bersikap rendah hati.

Dia mengatakan bahwa urusan kecil itu tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Dia juga menceritakan urusan Go Liok Ki dan Tan Kin Lam yang telah dicelakai sampai sejelas-jelasnya.

Ku Yan Bu serta kawan-kawannya memandang siauPo dengan mimik bingung. "Gosip yang tersebar di dunia kangouw memang berlebihan. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa Wi Hiocu gila kedudukan dan tamak akan kekayaan sehingga membunuh guru serta saudara seperguruannya sendiri saudara Ca, saudara Oey dan aku sendiri tidak yakin dengan berita itu.

Bayangkan saja, dulu kami tidak begitu kenal dengan wi Hiocu, tapi Wi Hiocu bersedia menempuh bahaya untuk menyelamatkan jiwa kami dengan membunuh si Penjahat Go Ci yong.

Orang yang berbudi luhur seperti Wi Hiocu ini mana mungkin tega membunuh gurunya yang sudah seperti orang tuanya sendiri?" kata Ku Yan Bu.

"Ketika kami mendengar teman-teman dari dunia kangouw membicarakan hal ini, kami selalu membela Wi Hiocu. Tapi mereka malah membantah, katanya dalam firman raja saja terang-terangan telah dinyatakan bahwa kaulah yang membunuh gurumu, Wi Hiocu, orang besar mana yang dalam hidupnya tidak diceritakan orang, terutama keburukannya. Kau tidak perlu memasukkannya dalam hati. Bahkan Tio Kong saja pernah difitnah sampai urusannya dibawa ke pengadilan," kata rekannya.

Siau Po tidak tahu siapa Tio Keng, terlebih-lebih tidak mengerti urusan apa yang dibawa sampai ke pengadilan. Tapi dia manggut-manggut saja seperti burung pelatuk.

"Wi Hiocu mengalami berbagai penderitaan dalam menangani setiap masalah. Biarlah bila orang-orang tidak mengerti juga. Asal Wi Hiocu berhasil menunaikan sebuah tugas yang maha besar, pada saat itulah mata orang-orang yang buta itu akan terbuka," kata Lu Liu Liang.

Dalam hati Siau Po berpikir.  -- Tugas maha besar apa yang bisa kuselesaikan? Aduh Celaka Jangan-jangan orang-orang ini juga menyuruhku mengatur rencana pembunuhan atas diri raja. Bagaimana aku harus menolak mereka kali ini? sebaiknya aku berusaha menutup pintu rapat-rapat -- Maka dia berkata.  "Aku tidak mempunyai keahlian apa-apa, terlebih-lebih pendidikan. Menulis saja aku

tidak bisa. Kalau melakukan apa-apa tidak pernah beres. Aku merasa kecewa sekali terhadap diri sendiri. Kali ini aku justru merasa sudah tua sehingga ingin pulang ke kampung halaman untuk pensiun."

Lu Hao Cung melihat usia Siau Po malah lebih muda beberapa tahun daripada dirinya. Namun dia mengatakan bahwa dirinya merasa tua sehingga ingin pulang ke kampung halaman untuk pensiun. Tentu saja dia jadi geli sehingga tidak dapat menahan diri untuk tertawa. Ku Yan Bu dan yang lainnya juga merasa lucu, mereka saling pandang sambil tersenyum.

"Masa depan wi Hiocu cerah sekali, usianya masih muda, orangnya gagah pula. Kesalahpahaman sesaat bagi orang yang belum tahu tidak dapat dianggap dosa," kata oey Li ciu.

"Tidak bisa. Kalau keterusan bisa-bisa mencelakakan orang lain oey siansing, bukankah kaupernah mengarang sebuah buku yang judulnya... aih pokoknya aku tidak ingat lagi," kata Siau Po. Oey Li ciu merasa heran -- orang ini buta huruf, tapi mengapa dia bisa tahu aku mengarang sebuah buku? - tanyanya dalam hati- Namun dia menjawab juga. "Memang betul."

"Di dalam bukumu itu terdapat berbagai makian terhadap para kaisar, bukan?" tanya Siau Po pula.

Oey Li ciu dan yang lainnya terkejut setengah mati. -- isi buku itu saja sudah diketahui oleh orang ini, jangan-jangan buntutnya bisa

membawa bencana, pikir mereka dalam hati. "Bukan memaki para kaisar, tapi dalam bukunya Oey heng menjelaskan sikap seorang raja yang baik dan mencela sikap raja yang jahat," kata Ku Yan Bu cepat-cepat.

"Betul selama beberapa hari ini sri Baginda terus-terusan membaca buku karangan Oey siansing. Beliau memuji isinya yang bagus. Beliau juga menyatakan kekagumannya terhadap oey siansing. awat, jangan-jangan sri Baginda ada maksud mengundangmu ke istana untuk menjadi Ahli sastranya," ujar Siau Po.

"Wi Hiocu hanya bergurau saja, mana ada urusan seperti itu?" kata oey Li Ciu.

Siau Po langsung menceritakan bagaimana Kaisar Kong Hi memuji isi buku itu dan menjelaskan artinya kepada dirinya yang tidak becus membaca-- Mendengar keterangannya. Ku Yan Bu dan yang lainnya baru merasa lega.

"Ternyata Raja Tatcu juga bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah" kata Oey siansing.

Siau Po segera mencengkeram kesempatan itu baik-baik, "Memang betul si Raja Cilik mengatakan bahwa meskipun dia bukan Niau seng Hi Tong, tapi kalau dibandingkan dengan raja-raja yang pernah memerintah selama Dinasti Beng, dirinya masih lebih unggul, selama dia menjadi raja, hari-hari yang dilalui rakyat jauh lebih baik dibandingkan dengan hari-hari yang dilalui rakyat selama pemerintahan Dinasti Beng. Aku tidak punya pendidikan tidak ada pengetahuan sama sekali. Maka aku juga tidak tahu apa yang dikatakannya benar atau tidak."

Ku Yan Bu, Li Liu Liang dan yang lainnya saling memandang. Terbayang kembali di benak mereka masa-masa pemerintahan Dinasti Beng, sejak Beng Thaycou menjadi kaisar sampai Raja Beng yang terakhir memang selalu timbul masalah. Kalau bukan pembunuhan secara besar-besaran, rakyat pasti banyak yang mati kelaparan. Beberapa diantaranya malah hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri sehingga rakyat menderita. Mana ada yang sanggup menandingi Kaisar Kong Hi?

Keempat tamu Siau Po ini merupakan sisa orang-orang gagah jaman Dinasti Beng. Semuanya hapal sekali sejarah kerajaan Beng. Mereka juga tidak mau membohongi hati kecilnya sendiri, maka terpaksa mereka menganggukkan kepalanya membenarkan apa yang dikatakan Siau Po barusan.

"ltulah, sri Baginda orangnya baik, saudara-saudara dari Thian Te hwee juga baik. Sri Baginda menyuruhku membasmi perkumpulan Thian Te Hwee, namun dengan cara apapun aku menolaknya. Dan ketika saudara-saudara dari Thian Te hwee merencanakan pembunuhan atas diri raja, aku juga menolaknya. Akhirnya kedua pihak sama-sama menyalahkan diriku. Bayangkan saja bagaimana sulitnya aku jadi orang?

setelah mempertimbangkan sekian lama, belakangan aku mengambil keputusan untuk pensiun dan kembali ke kampung halaman," kata Siau Po.

"Wi Hiocu, kedatangan kami kali ini bukan ingin memintamu merencanakan pembunuhan atas diri raja" ujar Ku Yan Bu menjelaskan, Siau Po gembira sekali mendengarnya.

"Bagus Asal bukan merencanakan pembunuhan atas diri raja, urusan lainnya aku tidak akan menolak. Entah urusan apa yang saudara sekalian inginkan bantuanku?"

Ku Yan Bu membuka jendela kabin itu, kepalanya melongok ke luar pandangan matanya beredar. Dia melihat keadaan masih sunyi senyap seperti tadt, maka dia berkata. "Kami ingin mengajukan permohonan agar Wi Hiocu bersedia mengangkat diri sendiri sebagai raja"

Prang cawan arak di tangan Siau Po terlepas seketika. Dia benar-benar terkejut mendengar permintaan itu.

"Kalian tentu sedang bergurau bukan?" tanyanya tidak percaya.

"Tidak ada setitik pun niat kami untuk bercanda, selama beberapa bulan ini kami selalu melakukan perundingan. Kami merasa semangat Beng sudah pudar, semakin hari rakyat sudah semakin melupakan dinasti yang terdahulu.

Rupanya raja-raja dari Dinasti Beng telah membuat rakyat sedemikian sengsaranya sehingga mereka merasa benci mengenang kembali. Tapi Raja Tatcu telah menguasai negeri kita. Bangsa kita dipaksanya untuk mengepung rambut dan mengenakan pakaian adat mereka.

Hati kami tentu saja merasa tidak puas diperlakukan sedemikian rupa. Wi Hiocu sekarang telah menjabat sebagai panglima Besar, prajurit yang dibawahi Wi Hiocu pasti banyak sekali. Lagi pula, Raja Tatcu sangat mempercayai Wi Hiocu. Asal Wi Hiocu bersedia memimpin pasukannya menyerbu istana dan merebut tahta kerajaan, kami yakin rakyat di seluruh negeri akan memberikan dukungan kepada Wi Hiocu," kata Li Liu Liang.

Rasa terkejut dalam hati Siau Po masih belum hilang juga. Berkali-kali dia menggoyangkan tangannya. "Aku... aku tidak mempunyai peruntungan sebagus itu. Lagi pula aku tidak sanggup menjadi raja," sahutnya dengan suara gemetar.

"Wi Hiocu orangnya bijaksana. Peruntungannya malah lebih bagus lagi. Dalam dunia ini, kecuali Wi Hiocu, tidak ada orang Bangsa Han lainnya yang sanggup menjadi raja," kata Ku Yan Bu ikut membujuk.

Jumlah rakyat Han di negeri ini jauh lebih banyak dari rakyat Boan ciunya sendiri seratus orang melawan satu orang, masa tidak menang? Tempo hari Go sam Kui pernah memberontak sayangnya dialah si pengkhianat bangsa yang menyerahkan negeri kita ke tangan orang asing sehingga rakyat membencinya- itulah sebabnya dia mengalami kegagalan, sedangkan wi Hiocu pandai bergaul. Belum lama ini berhasil mengusir serdadu-serdadu Lo sat pula. Nama Wi Hiocu sudah berkumandang di mana-mana, ibarat matahari yang memancarkan sinarnya. Asal Wi Hiocu sudi menganggukkan kepala, kami akan sebera menghubungi rekan-rekan sejalan dari berbagai daerah untuk memberi dukungan kepada Wi Hiocu," kata Li Liu Liang.

Hati Siau Po berdebar-debar, dalam mimpi pun dia tidak pernah membayangkan pada suatu hari akan datang orang yang menyarankannya mengangkat diri menjadi raja, untuk sesaat tampak dia merenung. "Aku ini keturunan anak jalanan, keahlianku hanya memaki orang dan bermain judi, setelah menjadi panglima saja sudah banyak orang yang merasa tidak puas, apalagi kalau aku menjadi raja?" sahutnya.

Setelah berdiam diri sesaat, dia melanjutkan kembali, "Untuk menjadi raja, nasib seseorang sudah digaris oleh Yang Kuasa, peruntunganku tidak sebaik itu. Karena Pek Ji (Hitungan tanggal lahir) kujuga tidak tepat, seorang peramal pernah mengatakan, kalau aku sampai menjadi raja, umurku tidak akan lebih dari tiga hari."

Lu Hao Cung mendengar anak muda ini suka mengoceh sembarangan tanpa dapat menahan diri dia tertawa lagi.

"Bolehkah Wi Hiocu menyebut tanggal, bulan dan tahun kelahiran Wi Hiocu? Nanti kami akan mencari seorang peramal yang ahli untuk menghitungnya sekali lagi," kata Ca siansing.

Mereka tahu bahwa Siau Po tidak pernah mengenyam pendidikan, juga tidak mempunyai pengetahuan yang luas. Kalau mereka bilang hitam dia hanya tahu cara berdebat sampai orang itu mengaku putih. Demikian pula sebaliknya. Tapi kalau mereka berhasil menyuap seorang peramal, mungkin Siau Po akan mempercayai ocehan orang itu. Siapa sangka jawaban Siau Po tidak sesuai dengan keinginan

mereka.

"Hanya ibuku yang tahu tanggal, bulan dan tahun kelahiranku. Begitu sampai di kota Yang-ciu, aku akan menanyakannya."

Ku Yan Bu dan yang lainnya tahu dia sengaja menjawab sembarangan maka mereka terpaksa mendesak terus.

"Bagi seorang pendekar sejati ucapan seorang peramal hanya main asal tebak saja. Bahkan kaisar pertama dari Dinasti Han paling tidak percaya segala macam takhyul, orangnya sederhana dan suka mengikuti apa adanya saja," kata Li Liu Liang.

Dalam hati dia berpikir, -- Kau mengaku sebagai anak jalanan, sebetulnya itu tidak menjadi persoalan Kaisar pertama juga anak jalanan, dia malah terkenal suka memaki orang seenaknya dan gila judinya melebihi engkau, tapi akhirnya dia bisa menjadi raja juga, -Siau Po mengibaskan tangannya beberapa kali.

"Kita semua kan kawan baik, jadi biar aku katakan terus terang kepada kalian..."

Sambil berbicara dia mengusap-usap kepalanya sendiri, "Mulutku ini masih ingin merasakan nasi selama berpuluh-puluh tahun. Di bagian atas mulut ini masih ada sepasang mata yang ingin kugunakan untuk menonton sandiwara dan menyaksikan wanita yang cantik-cantik. Di samping itu masih ada sepasang telinga yang masih akan kugunakan untuk mendengar nyanyian dan bisikan mesra istri-istriku. Kalau aku bermaksud menjadi raja, kemungkinan panca inderaku ini tidak bisa bertahan lama, seandainya batok kepala ini sampai terpenggal saja, semua ini sudah jadi kacau. Lagi pula, apa enaknya sih jadi raja? Begitu mendengar Taiwan diserang badai, hatinya langsung sedih. Mengetahui ada orang yang akan melakukan pemberontakan di Hun Lam, kepalanya jadi pusing. Jadi Raja itu repot, menderita dan tidak menyenangkan pokoknya aku tidak suka menjadi raja."

Ku Yan Bu dan yang lainnya saling memandang, mereka merasa apa yang dikatakan Siau Po memang benar. Kalau anak muda ini kurang besar jiwanya. Lagi pula enggan memahami penderitaan rakyat, untuk apa membujuknya menjadi raja? Bisa-bisa semuanya semakin berantakan.

Sesaat kemudian, terdengar Ku Yan Bu berkata pula. "Urusan ini besar sekali, untuk sesaat memang sulit diambil keputusannya...."

Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara tiupan terompet. Ternyata ada belasan ekor kuda yang sedang memacu ke arah utara. Malam itu sunyi sekali sehingga suara sedikit pun terdengar jelas.

"Tengah malam seperti ini dari mana datangnya pasukan berkuda?" kata Oey Li Ciu.

"Mungkinkah prajurit yang sedang meronda?" tanya Li Liu Liang.

Tidak mungkin prajurit peronda biasanya mondar-mandir dengan santai, mana mungkin mereka melarikan kuda secepat itu? Mungkinkah teman-teman pendekar dari dunia kangouw?" tanya Ca sian-sing pula.

Selama pembicaraan berlangsung, dari arah timur datang lagi serombongan orang-orang berkuda, tanah daratan di sisi sungai tidak seberapa lebar, karena itu suara derap kaki kuda dapat terdengar jelas sampai di atas perahu.

Kapal yang mengikuti di belakang perahu yang ditumpangi Siau Po diperintahkan untuk mendekat Su Cuan dan Song ji melompat ke atas perahu.

"Siangkong, orang-orang yang baru datang itu kemungkinan mempunyai niat jahat. sebaiknya kita berkumpul bersama-sama saja," kata Su Cuan.

"Baiklah. Ku siansing dan kawan-kawannya sudah tua. Tampaknya mereka juga tidak mirip laki-laki hidung belang. Kalian semua masuk saja ke mari. Dilihat oleh mereka juga tidak apa-apa," sahut Siau Po.

 - Ngaco - Maki Ku Yan Bu dan lainnya dalam hati-

Mereka merasa tidak pantas bertemu dengan istri-istri Siau Po karena itu mereka segera menuju kabin belakang, sedangkan A Ko, Kian Leng kongcu dan yang lainnya naik ke atas perahu Siau Po-

Terdengar suara siulan dari arah barat dan timur. Rupanya para penunggang kuda itu menggunakan semacam sandi untuk berhubungan dengan kawan-kawannya, Siau Po gembira sekali mendengar suara itu.

"Suara siulan para anggota Thian Te hwee" serunya.

Penunggang-penunggang kuda dari sisi daratan mendekati perahu-perahu kerajaan yang sedang berlabuh. Terdengar seseorang berteriak dengan suara lantang.

"Wi Siau Po, keluar"

"Maknya Kurang ajar benar Panggil Wi Hiocu saja segan" makinya dengan suara lirih.

Baru saja dia berniat ke luar dari kabin perahu, tangannya sudah ditarik oleh Su Cuan.

"Tunggu dulu, biar aku menanyakan mereka sampai jelas," kata wanita itu. Dia berjalan ke luar lalu berseru dengan suara keras, "Entah sahabat dari kalangan mana yang ingin bertemu dengan wi siang-kong?"

Matanya memandang ke tepi sungai, tampak rombongan orang-orang itu menggunakan kain hijau untuk menutupi bagian kepalanya, tangan mereka masing-masing menggenggam sebatang golok.

Dari daratan sebelah barat terdengar seseorang menyahut, "Kami dari perkumpulan Thian Te hwee"

"Kata sandi apa yang digunakan untuk bertemu dengan sesama anggota Thian Te hwee?" tanya Su Cuan kepada Siau Po.

Siau Po berjalan ke luar lalu berseru,  "Lima orang berbagi pantun, diri sendiri pendekar tidak ada orang yang tahu"

Terdengar orang yang nongkrong di atas kuda itu menyahut, "ltu sih kata sandi lama perkumpulan Thian Te hwee, sejak Wi Siau Po berkhianat terhadap perkumpulan kami sudah menggantinya dengan kata sandi yang baru."

Siau Po terkejut mendengarnya, "Siapa kau? Mengapa berkata demikian?"

"Apakah kau yang bernama Wi Siau Po?" orang itu balas bertanya, Siau Po merasa tidak mungkin mungkir lagi. Maka dia menyahut.

"Akulah Wi Siau Po."

"Kalau begitu boleh kukatakan kepadamu. Aku bawahan dari Hung Hua Tong, margaku Su" kata orang itu.

"Oh, Rupanya Su Toako. Di balik ini terdapat kesalah pahaman yang besar sekali. Apakah Li Hiocu dari bagian kalian ikut hadir di sini?" tanya Siau Po.

"Dosamu sudah tidak terkatakan lagi, Li Hiocu kami justru mati kesal karena mu" teriak seseorang dari tepi sungai.

"Wi Siau Po berkhianat terhadap perkumpulan dan menyerah pada pihak musuh. Demi kekuasaan dia sampai hati membunuh gurunya sendiri, su Toako tidak perlu banyak cakap dengannya. Hari ini kita tangkap orang itu dan hancurkan seluruh tubuhnya untuk membalaskan dendam kematian Tan Congtocu serta Li Hiocu kita" sahut seseorang yang lain.

Tiba-tiba terdengar suara desiran angin, rupanya ada seseorang yang melemparkan batu ke atas perahu, Siau Po mengeluh dalam hati, dia cepat-cepat menyurutkan kepalanya.

 - Rupanya Li Hiocu sudah mati. Saudara-saudara ini tidak memberi kesempatan kepada kami untuk menjelaskan persoalannya. Apa yang harus kulakukan sekarang? -- tanyanya dalam hati.

Terdengar suara Tik Tak Tik Tak dari tepi sungai. Rupanya rombongan orang-orang itu mulai menyambitkan senjata rahasia ke arah perahu, untung saja jarak perahu itu dengan daratan agak jauh sehingga senjata-senjata rahasia yang disambitkan kebanyakan jatuh ke dalam sungai, walaupun ada beberapa yang sempat mencapai perahu namun tenaga sambitannya sudah lemah sekali sehingga tidak membuat orang terluka.

Inilah yang dinamakan 'Perahu rumput meminjam panah', aku adalah Lu siau, bagianku hanya ketakutan.

"Adakah seseorang yang bisa menyamai Cu Kek Liang di sini? cepat cari akal" kata Siau Po.

Ku Yan Bu dan yang lainnya ada di kabin belakang. Melihat pihak lawan menyambitkan senjata rahasia, mereka segera merunduk rendah-rendah untuk menyembunyikan diri.

Tiba-tiba tampak berkilas-kilas cahaya terang. Rupanya ada orang yang membidikkan panah api. Dua diantaranya sempat mengenai perahu sehingga anjungan perahu itu terbakar seketika. "Aduh, minta ampun Api membakar Wi Siau Po" teriak si anak muda yang konyol itu.

"Ku Yan Bu siansing dan yang lain-lainnya ada di sini, kalian tidak boleh kurang ajar" seru Su Cuan sekeras-kerasnya.

Dia merasa nama Ku Yan Bu di dunia kangouw sudah terkenal sekali. Para anggota Thian Te hwee pasti pernah mendengar namanya dan menaruh hormat kepada orang ini. Maka dia berteriak keras-keras, sayangnya keadaan di tepi sungai kacau sekali, teriakan orang-orang berkuda itu lebih kuat lagi sehingga suaranya kalah.

"Istri- istriku, sebaiknya kita berteriak bersama-sama, mungkin mereka dapat mendengarnya, satu, dua tiga" ajak Siau Po.

"Ku Yan Bu siansing ada di sini" teriak mereka serentak.

Setelah mereka berteriak sampai tiga kali, suara gaduh di seberang sungai mulai mereda, orang marga Su yang memperkenalkan diri tadi segera bertanya dengan suara lantang. "Apakah Ku Yan Bu siansing ada di atas perahu?"

Ku Yan Bu segera melangkah keluar kemudian sambil menjura dia menjawab. "Aku Ku Yan Bu ada di sini"

Orang marga su itu mendesah terkejut, lalu cepat-cepat dia memberikan perintah. "Saudara-saudara yang ahli menyelam cepat terjun ke dalam sungai, dorong perahu itu ke tepi"

Terdengar suara deburan air, ternyata belasan anggota Thian Te hwee yang pandai berenang sudah terjun ke dalam sungai, sebagian dari mereka memutar ke belakang untuk mendorong perahu, sebagian lagi menarik tali yang mengikat bagian depannya. Dalam waktu yang tidak berapa lama perahu itu sudah hampir mencapai tepi sungai.

Pada saat itu bagian tengah perahu mulai terbakar. Api berkobar-kobar, Song Ji menarik tangan Siau Po lalu diajaknya melompat ke daratan, yang lainnya segera menyusul. Para anggota Thian Te hwee yang ada di tepi sungai segera menyebar untuk mengepung Siau Po dan lain-lainnya.

Orang marga Su itu langsung membungkukkan tubuhnya dan menjura kepada Ku Yan Bu.

"Aku yang rendah Su Hua Liong dari bagian Hung Hua Tong perkumpulan Thian Te hwee menjumpai Tuan Ku Yan Bu" katanya.

Ku Yan Bu merangkapkan kedua tangannya membalas penghormatan itu. Seorang anggota Thian Te hwee yang sudah tua melangkah ke depan dan menjura. "Ketika diadakan rapat besar membunuh kura-kura tempo hari, aku yang rendah juga hadir. Di sana Cayhe pernah melihat Ku siansing satu kali. Kami telah bersikap kasar hari ini, harap Ku siansing sudi memaafkan" katanya.

Siau Po tertawa.

"Kalian kalau melakukan apa-apa memang suka tanpa aturan" tukasnya.

"Aku sedang berbicara dengan Tuan Ku, siapa yang sudi berbicara dengan seorang pengkhianat kecil seperti kau?" bentak orang tua itu dengan suara tajam. Tahu-tahu dia mengulurkan tangannya untuk mencengkeram dada Siau Po.

Su Cuan melesat ke depan. Dalam sekali gerak dia sudah berhasil mencekal tangan orang tua itu. Kemudian ia mengerahkan tenaga untuk mendorong, orang tua itu tidak dapat mempertahankan diri, sehingga tubuhnya terhempas ke belakang, untung ada dua anggota Thian Te hwee segera menangkap tubuhnya sehingga dia tidak sampai terjatuh.

"Ada apa-apa kita bicarakan baik-baik jangan menggunakan kekerasan" teriak Ku Yan Bu.

Pada saat itu perahu sudah hampir musnah terbakar, cahaya api yang merah menerangi seluruh tempat itu. Su Cuan berpikir bahwa ilmunya dan ilmu Song Ji cukup tinggi, untuk melindungi sang suami saja pasti bukan persoalan sedangkan yang diinginkan pihak Thian Te hwee hanya Siau Po seorang, mereka tidak akan menyulitkan orang perempuan.

Karena itu keduanya segera berpencarkan diri dan melindungi Siau Po. Mereka memperhatikan tiga ekor kuda yang tampaknya gagah sekali. Bila kesempatan datang, mereka akan merebutnya untuk membawa kabur Siau Po.

Sementara itu Ku Yan Bu menarik tangan Su Hua Liong lalu diajaknya menjauh dari kerumunan orang-orang itu.

"Saudara su, bolehkah kita bicara di sana sebentar?"

Su Hua Liong mengiakan. Di tempat yang agak jauh tampak mereka saling berbisik beberapa kata, lalu Su Hua Liong menyuruh beberapa orang lainnya menghampiri mereka.

Tampaknya orang yang dipanggil itu merupakan pimpinan dari kelompok tertentu, termasuk si orang tua yang didorong Su Cuan tadi.

"Harta benda diperahuku itu cukup banyak, sekarang perahunya sudah terbakar. Kalau Hung Hua Tong kalian yang harus menggantinya, bisa-bisa kalian jadi bangkrut," kata Siau Po.

Beberapa anggota Thian Te hwee membuka mulut memakinya, ada pula yang diam saja, Siau Po tenang-tenang saja, sebab dia yakin Ku Yan Bu pasti sanggup memberi penjelasan kepada su Hua Liong dan yang lainnya.

Benar, sesaat kemudian tampak su Hua Liong berjalan menghampiri Siau Po. Ku Yan Bu menjelaskan peristiwa yang dialami Siau Po selama ini. Para anggota Thian Te hwee mungkin tidak bisa mengerti mengapa Siau Po harus bekerja pada Kerajaan Ceng, tapi setidaknya sekarang mereka tahu bukan Siau Po tidak membunuh Tan Kin Lam. Dengan demikian kebencian mereka pun berangsur-angsur hilang.

Ciu Hu Liong menjura kepada Siau Po.

"Wi Hiocu, kejadian tadi merupakan kesalah pahaman kami terhadapmu. Kalau bukan Tuan Ku yang memberikan penjelasan, kemungkinan saat ini kami sudah melakukan kesalahan fatal," katanya.

Siau Po tertawa. "Bila kalian benar-benar ingin menangkapku, rasanya juga tidak begitu mudah" sahutnya sambil menghambur ke depan. Dia mengerahkan ilmu langkah ajaibnya untuk menyusup ke sana ke mari. Dalam sekejap mata dia sudah mencelat ke atas seekor

kuda dan nongkrong di atasnya.

Su Hua Liong terkejut setengah mati. Dia tidak menyangka ilmu peringan tubuh Siau Po sudah mencapai taraf setinggi itu. Tidak heran dalam usianya yang masih kecil dulu dia sudah menjabat Hiocu dari Ceng Bok Tong.

Memang benar pepatah yang mengatakan "Guru yang pandai akan membuahkan murid yang pandai pula". Semua orang tahu ilmu silat Tan Kin Lam sangat tinggi. Hanya nasibnya yang sial sehingga dibokong oleh putra majikannya sendiri, sedangkan orang tua dari Hung Hua Tong juga memiliki ilmu yang cukup tinggi, tapi dia toh tidak bisa menahan diri dari dorongan Su Cuan yang asal-asalan.

Tampaknya ke tujuh istri Siau Po juga mempunyai ilmu yang tinggi-tinggi. Kalau mereka tadi sampai bergebrak, meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak, belum tentu mereka akan menang.

"Maaf, aku akan pergi sekarang" seru Siau Po dan langsung menarik tali laso tunggangannya lalu melakukan gerakan seperti sebelumnya. Kudanya mengikuti gerakan tangan Siau Po dengan menerjang ke sana ke mari. Tahu-tahu dia sudah berada di samping Su Cuan dan Songji lagi.

Para anggota Thian Te hwee bersorak memujinya.

"Ilmu Wi Hiocu tinggi sekali, sungguh membuat kami kagum"

Siau Po merangkapkan kedua tangannya. "Harus memamerkan sedikit kejelekan," sahutnya.

"Tadi Tuan Ku mengatakan bahwa tubuh Wi Hiocu memang ada di Kerajaan Ceng tapi hatinya berpihak pada bangsa Han. Beliau juga mengatakan bahwa Wi Hiocu akan melakukan sebuah tugas yang maha besar sehingga orang-orang nanti akan tahu bahwa Wi Hiocu sama sekali tidak bersalah. Apabila Wi Hiocu sudah mantap keputusannya, harap hubungi kami. Meskipun pihak Hung Hua Tong kami tidak mempunyai kebisaan apa-apa, tapi kami tidak akan menolak meskipun harus terjun ke dalam, lautan api," kata su Hua Liong.

Siau Po hanya menganggukkan kepalanya.

"Baik, baik"

Su Hua Liong dapat melihat sikapnya yang tawar. Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya untuk mencolok mata kirinya. Darah langsung membasahi seluruh wajahnya, orang-orang yang hadir di tempat itu langsung menjerit melihat keadaan itu. Siau Po, Ku Yan Bu dan yang lainnya juga terkejut setengah mati.

"Su Toako, mengapa kau... melakukan hal ini?" tanya mereka serentak. Dengan tenang Su Hua Liong menyahut.

"Aku telah melanggar peraturan perkumpulan, seharusnya aku membutakan sepasang mataku ini, karena walaupun ada sepasang mata ternyata aku tidak melihat apa-apa. Tapi aku hanya membutakan sebuah mataku saja, sebab aku membiarkan mataku yang satu lagi melihat tugas besar yang akan dilakukan Wi Hiocu kelak"

"Seandainya Tuan Ku dan kita semua telah ditipu, ternyata Wi Hiocu mengingkari janjinya sendiri dan tetap menjadi pembesar Boan ciu, bagaimana?" tanya si orang tua seolah menyesalkan tindakan tergesa-gesa Su Hua Liong.

"Kalau begitu aku minta Wi Hiocu mengorek biji matanya sendiri untuk menggantikan mataku ini," kata Su Hua Liong tegas. Lalu dia menoleh kepada Ku Yan Bu serta Siau Po, sekali lagi dia menjura.

"Wi Hiocu, kami menunggu kabar darimu."

Tangan kirinya dikibaskan, anak buahnya segera berpencar, kemudian naik ke atas kuda masing-masing untuk meninggalkan tempat itu. Si orang tua tadi menolehkan kepalanya dan berseru. "Wi Hiocu, kalau kau pulang nanti, tanyakan kepada ibumu, bapakmu orang Han

atau orang Boan Manusia tidak boleh melupakan leluhurnya sendiri"

Dalam sekejap mata orang-orang yang memenuhi tempat itu sudah pergi semuanya, suasana jadi lenggang kembali. Namun api yang berkobar di atas perahu masih belum padam juga.

Ku Yan Bu menarik nafas panjang. "Tampaknya saudara-saudara tadi masih menaruh kecurigaan terhadap Wi Hiocu. Mereka rata-rata keturunan orang persilatan. Baik bicara maupun tindakan memang agak kasar, tapi kesetiaan mereka terhadap negara patut kita hargai Wi Hiocu, apa yang ingin kami katakan telah kami sampaikan jangan lupa bahwa kau juga keturunan Bangsa Han. Kita berpisah saja di sini. sampai jumpa"

Selesai bicara dia menjura kepada Siau Po dan isteri nya, setelah itu dia mengajak rekan-rekannya meninggalkan tempat itu.

Siau Po berdiri tertegun di tepi sungai. Angin berhembus sepoi-sepoi Api yang berkobar hanya tinggal sisanya. Kadang-kadang terdengar suara peletekan dari kayu yang termakan api, kemudian api yang sempat menyala sebentar tampak mengecil kembali, Siau Po menggumam seorang diri "Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?"

"Untung masih ada satu kapal lagi. Kita kembali dulu ke sai yang Ki, di sana kita baru berunding lagi" kata Su Cuan.

"Orang tua tadi menyuruhku pulang untuk bertanya kepada ibuku, apakah bapakku orang Han atau bukan. He he he, tampaknya saran ini ada benarnya juga." gumam Siau Po kembali, Su Cuan segera memberikan nasehat kepadanya. "Siau Po, kata-kata orang kasar itu tidak perlu kau simpan dalam hati. Mari kita naik ke atas kapal"

Siau Po masih terpaku di tempatnya. Ketika dia menundukkan kepala, tampak di atas tanah tertetes noda darah, pasti darah yang keluar dari mata Su Hua Liong tadi.Tiba-tiba dia berseru. "Aku tidak akan melakukan apa-apa lagi. Aku akan pensiun"

Ketujuh istrinya terkejut sekali. Wi Song Song tadinya sudah tertidur nyenyak dalam pelukan ibunya. Mendengar suara teriakan bapaknya, dia langsung terjaga dan menangis keras-keras.

"Sri Baginda memaksaku membunuh saudara-saudara dari Thian Te hwee, sedangkan orang-orang memintaku membunuh Sri Baginda, sepasang kakiku menginjak dua perahu, aku jadi serba salah, sebelah sini ingin memenggal batok kepalaku, yang satunya ingin mengorek biji mataku. Memangnya kepalaku ini ada beberapa buah? Memangnya mataku ini ada beberapa pasang, dan apakah kalau

hilang masih ada serepnya? pokoknya aku tidak akan menuruti pihak mana pun, aku akan berhenti" teriak Siau Po sekali lagi.

Su Cuan dapat melihat jiwa suaminya sedang terguncang, dia segera menasehati dengan suara lembut. "Jadi pembesar setiap hari hatimu dilanda kecemasan, jadi Hiocunya perkumpulan Thian Te hwee juga tidak ada yang menyenangkan. Kalau kau memang bertekad melepaskan diri dari semua ini, aku bisa mengatakan bahwa inilah hal yang terbaik bagimu" Siau Po gembira sekali.

"Jadi kalian setuju kalau aku melepaskan diri dari semua ini?" tanyanya menegaskan.

Su Cuan, A Ko, Pui Ie, Bhok Kiam Peng, Cinju dan Songji langsung menyatakan setuju, hanya Kian Leng kongcu sendiri yang tampak kurang senang.

"Pangkatmu masih bisa naik terus, mengapa kau harus berhenti? Tunggu kalau kau sudah menjadi ongya, barulah kau pensiun. Lagi pula, kalau kau minta berhenti sekarang, aku yakin Hongte kokojuga tidak akan mengijinkan" kata si Tuan puteri-Siau Po menjadi marah.

"Kalau aku tidak menjadi pembesar lagi, tentu tidak perlu menuruti apa yang dikatakan sri Baginda. Dia cuma kakak iparku, maknya siapa yang masih berani mengoceh, biar aku memutuskan hubungan dengan iparku itu sekalian" teriaknya kalap.

Kalau dia tidak mengaku Sri Baginda sebagai iparnya lagi, sama saja artinya dia juga tidak mengakui Tuan puteri sebagai istrinya. Kian Leng kongcu terkejut setengah mati, namun tidak berani berbicara apa-apa lagi.

Melihat ketujuh istrinya tidak ada yang mengatakan apa-apa lagi, hati Siau Po menjadi lega seketika.

"Kebetulan orang-orang dari Hung Hua Tong itu membakar habis perahuku, sementara kita bisa bersembunyi di tempat yang terpencil. Kalau berita ini sudah tersebar, Sri Baginda pasti menduga kita semua juga mati dalam kebakaran itu- Dengan demikian dia tidak akan mengutus orang mencari kita lagi," katanya.

Delapan orang itu segera mengadakan perundingan. Akhirnya Siau Po memutuskan, Song Ji dan Kian Leng kongcu mengganti dandanan untuk berangkat terlebih dahulu ke Kota Cun Ing dan menunggu yang lainnya di penginapan, sedangkan Su Cuan, A Ko, Pui Ie, Cinju dan

Bhok Kiam Peng mengumpulkan harta benda yang terdapat di dalam kapal kemudian membakar habis kapal itu.

Setelah itu mereka akan menyebarkan berita bahwa Wi Tayjin telah tertimpa musibah. Dalam perjalanannya ke kota Yang-ciu, malam-malam ada penjahat yang merampok kapalnya dan membunuh seluruh keluarga.

Tapi masih ada beberapa pengawal serta tukang perahu yang mengetahui jalannya kejadian. Mereka mungkin akan memberikan laporan kepada pembesar setempat, Su Cuan menyarankan agar mereka itu dibunuh saja, untuk mendukung cerita yang disebar luaskan.

Tapi Bhok Kiam Peng merasa tidak tega. Dia mengatakan sebaiknya mereka jangan membunuh orang yang tidak berdosa.

"Baiklah. Hati adik Kiam Peng memang sangat mulia, semoga Thian memberkatimu sehingga dalam waktu dekat kau bisa melahirkan beberapa putra yang montok. SiauPo, aku akan menusukmu dengan pedang, kau berlarilah sambil berkaok-kaok. seakan-akan kau terbunuh di tanganku," kata Su Cuan. Siau Po tertawa. "Oh, rupanya kau ingin menjadi istri yang sadis sehingga tega membunuh suami

sendiri?"

Lalu dia berteriak sekeras-kerasnya.  "Tolong.. Tolong. Ada orang yang ingin membunuhku"

Dia mengerahkan langkah ajaibnya untuk berlari sekencang-kencangnya. Su Cuan menghunus pedangnya tinggi-tinggi lalu mengejar dari belakang. Padahal Bhok Kiam Peng tahu bahwa semua ini merupakan sandiwara yang telah diatur bersama, tapi mendengar bentakan Siau Po yang demikian menyayat, hatinya berdebar-debar juga.

"Adik Song Ji, ini pasti bohong-bohongan kan?" tanyanya.

"Jangan takut, tentu saja bohongan," sahut Song Ji. Meskipun ia berkata demikian, tapi hatinya sendiri agak khawatir juga. Tidak lama kemudian, tampak Su Cuan berlari ke luar dari hutan sambil mengacung kan pedangnya.

"Bunuh tukang perahu dan yang lain-lainnya" teriak wanita itu.

Sejak tadi tukang-tukang perahu dan beberapa pengawal tetap berdiri di tepi sungai. Mereka ketakutan ketika orang-orang Thian Te hwee membidikkan panah api ke arah perahu mereka. Hati mereka agak tenang melihat akhirnya urusan dapat diselesaikan. Tapi entah kenapa istri-istri Wi Tayjin mendadak jadi gila? Tampak salah satu diantaranya menghunus pedang dan mengejar Wi Tayjin yang berlari ke arah hutan. Apalagi kemudian mereka mendengar suara teriakan Su Cuan. Mereka yakin Wi Tayjin telah terbunuh, sekarang giliran mereka dibungkam. Maka mereka langsung lari terbirit-birit.

Song Ji menunggu sekian lama, tidak tampak Siau Po berlari kembali. Hatinya jadi khawatir. Cepat-cepat dia menghambur ke dalam hutan untuk melihat apa yang terjadi. Tampak Siau Po tergeletak di tanah tanpa bergerak sedikit pun. Song Ji terkejut sekali. Dia cepat-cepat menghampirinya lalu membalikkan tubuhnya. Mata Siau Po terpejam rapat, keadaannya seperti orang yang tidak sadarkan diri.

Song Ji menjadi panik.

"Siangkong siangkong" teriaknya. Dia tidak mengerti apa yang terjadi atas diri suaminya, sementara dia masih terpana, tiba-tiba Siau Po membuka matanya dan tangan kanannya meraih pinggang Song Ji.

"Rencana kita berhasil cium dong" goda Siau Po.

Keenam istri Siau Po yang lain pun menyusul tiba. Mereka terpaksa mengubah rencana. Karena harta benda sudah terkumpul mereka segera berangkat ke kota Yang-ciu. Mereka menjemput ibu Siau Po lalu diajaknya ke Hun Lam dan menetap di kota Tali.

Kadang-kadang Siau Po merasa kesepian. Di tempat itu tidak ada hiburan yang menarik. Harta bendanya memang tidak sebanyak dulu lagi. Namun kalau dia mengingat harta karun yang terpendam di kaki gunung Lu Ting san, hatinya merasa puas, untuk seumur hidup dia tidak perlu khawatir kekurangan, namun mengingat hubungannya dengan Kaisar Kong Hi, dia tidak sampai hati merusak urat nadi Bangsa

Boan.

                                  -OOO) PENUTUP (OOO-

Kaisar Kong Hi tahu Siau Po sangat licik dan banyak akalnya. Meskipun tidak mengenyam pendidikan tapi kecerdasannya tidak kalah dengan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Tidak mungkin dia begitu mudah dicelakai oleh orang jahat. Apalagi sampai sekian lama mayatnya tidak berhasil ditemukan. Maka tidak hentinya dia mengutus orang untuk melakukan pencarian. Namun tidak pernah  mendapatkan hasil yang memuaskan.

Berkali-kali Kaisar Kong Hi menyamar sebagai orang biasa pergi ke Kang Lam yang terdapat di wilayah selatan. Mengapa dulu-dulunya dia tidak pernah mendatangi daerah itu, sedangkan sejak menghilangnya Siau Po dia sering mengunjungi daerah itu dengan alasan meninjau pembuatan tanggul sungai Huang Ho?

Selama menyamar Kaisar Kong Hi juga memasuki tempat-tempat perjudian, rumah-rumah pelacuran dan sebagainya. Di sana dia selalu menanyakan Siau Po, namun selama itu pula tidak pernah ada orang yang mengaku kenal dengannya, apalagi mengetahui di mana dia berada, sebenarnya di mana tempat persembunyian Siau Po sehingga jejaknya begitu sulit dilacak?

Rupanya tempo hari Siau Po membawa seluruh keluarganya ke Kota Yang-ciu untuk menemui ibunya, setelah sekian lama berpisah, ibu dan anak itu dapat berkumpul kembali, sudah tentu hati keduanya terharu sekali sehingga mereka langsung berpelukan dengan mesra.

Melihat ke tujuh menantunya, semuanya cantik, Wi Cun Fang (Ibu Siau Po) berkata dalam hati.  -- Si Maling kecil Siau Po ini mempunyai pandangan mata yang bagus. Kalau dia membuka usaha pelacuran, perempuan-perempuan yang dipeliharanya pasti terdiri dari

perempuan-perempuan pilihan, uang tentu mengalir masuk seperti air. --

Sesudah berbasa-basi, Siau Po menarik ibunya ke dalam kamar. "Mak, bolehkah aku menanyakan sesuatu?"

Ibunya jadi heran, tapi dia menganggukkan kepalanya juga. "Tanyakan saja"

"Siapakah bapakku sebenarnya?" tanya Siau Po. Mata Wi Cun Fang langsung mendelik.

"Mana aku tahu?" sahutnya, Siau Po mengerutkan keningnya.

"Sebelum mengandung aku, tamu-tamu dari golongan mana saja yang pernah kau temani?"

"Waktu itu ibumu sedang laris-larisnya, satu hari bisa menerima beberapa tamu, mana aku ingat tamu-tamu dari golongan apa?" jawab Cun Fang.

"Apakah tamu-tamu itu semuanya orang Bangsa Han?" tanya Siau Po penasaran.

"Tentu saja ada yang orang Han, namun kadang-kadang kami menerima tamu orang Boan juga, selain itu masih ada Bangsa Mongol."

"Apakah ada tamu bangsa asing?" tanya Siau Po.

"Kau pikir ibumu ini pelacur murahan? Masa aku sudi menerima tamu bangsa asing pokoknya setiap orang bule, baik Bangsa Losat maupun setan Berambut Merah ada yang berani masuk ke Li Cun Wan ini, ibumu akan mengusir mereka dengan sapu" sahut Cun Fang kesal.

Hati Siau Po menjadi lega seketika.

"Bagus" katanya.

Cun Fang mendongakkan kepalanya sedikit seakan sedang mengenangkan masa lalunya.

"Tempo hari ada seorang laki-laki yang tampan sekali. Dia sering mengunjungi aku, setiap kali teringat kepadanya, aku selalu berkata dalam hati. Anak kesayanganku si Siau Po mempunyai bentuk hidung yang bagus, mirip dengan orang itu."

"Orang cina, orang Mongol, orang Boan semuanya ada. Entah apakah ada tamu dari Tibet?" tanya Siau Po ingin tahu.

Wi Cun Fang sepertinya bangga sekali ketika mudanya banyak melayani laki-laki dari berbagai suku.

"Tentu saja ada. Ada seorang pendeta dari Tibet, sikapnya lucu sekali, sebelum naik ke atas tempat tidur dia selalu membaca doa, sembari membaca doa matanya memandang lekat-lekat kepadaku. Eh, kalau membayangkan kembali matanya yang bersinar terang, berkilau-kilauan seperti mutiara, rasa-rasanya persis deh dengan matamu itu"

Siau Po hampir semaput mendengar keterangan terakhir ibunya, ya ampun.

                                   -- T A M A T --