Bagian 6

"Ceritanya begini," Topeng Setan melanjutkan dan mulailah dia menceritakan riwayat penciptaan dasar gerakan ilmu silat oleh pendeta kenamaan itu, didengarkan oleh Ceng Ceng dengan penuh perhatian.

Tat Mo Couwsu adalah seorang pendeta Buddha yang hidup di dalam jaman Dinasti Liang (Tahun 506-556 M). Pada suatu hari ketika Tat Mo Couwsu sedang berkotbah dan mengajar ilmu tentang kehidupan kepada muridnya, dia melihat beberapa orang di antara mereka yang bertubuh lemah terkantuk-kantuk. Mengertilah pendeta sakti itu bahwa untuk memiliki jiwa yang sehat haruslah mempunyai tubuh yang sehat pula, maka dia lalu menciptakan gerakan-gerakan delapan belas jurus gerakan yang semata-mata harus dilatih oleh para pendeta lemah itu untuk memperkuat dan menyehatkan tubuh mereka. Dan delapan belas jurus ini kemudian menjadi dasar dari semua gerakan ilmu silat yang makin lama makin berkembang dan diolah serta ditambah oleh para ahli di kemudian hari, setiap jurus dikembangkan menjadi empat sehingga terciptalah ilmu silat yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Kemudian sekali tujuh puluh dua jurus ini dikembangkan menjadi seratus tujuh puluh jurus yang menjadi dasar dari ilmu silat Siauw-lim-pai sampai sekarang. Penciptanya adalah tiga orang sakti, yaitu pendeta Chueh Goan, Li Ceng dan Pai Yu Feng, yang merangkai tujuh puluh dua jurus yang berdasar dari pelajaran gerakan delapan belas jurus dari Tat Mo Couwsu itu menjadi seratus tujuh puluh jurus.

"Demikianlah, ilmu silat berkembang terus sampai terpecah-pecah menjadi bermacam cabang ilmu silat yang bertebaran di seluruh negeri seperti sekarang ini, ada yang bercampur dengan ilmu-ilmu bela diri dari negara lain," Topeng Setan melanjutkan. "Akan tetapi ada ciptaan Tat Mo Couwsu yang masih aseli, dan kini menjadi pusaka simpanan bagi para tokoh Siauw-lim-pai. Ciptaan ini merupakan latihan singkat yang dapat menyehatkan tubuh dan latihan inilah yang akan kuajarkan kepadamu agar dapat mengurangi hawa beracun di tubuhmu sebelum engkau dapat memperoleh obat mujijat itu, Ceng Ceng."

Gadis itu menjadi girang sekali. "Terima kasih, Lopek. Aku akan suka melatihnya dengan giat."

"Ini bukan latihan silat, melainkan gerakan untuk menyehatkan tubuh, maka melatihnya pun tidak boleh berlebihan, sungguhpun kalau kurang pun tidak akan ada gunanya. Cukup dilatih dua kali sehari, pagi dan sore di tempat terbuka. Nama ilmu olah raga ini adalah I Kin Keng (Ilmu Mengganti Otot), terdiri dari dua belas gerakan."

Topeng Setan lalu mulai mengajarkan I Kin Keng kepada Ceng Ceng. Karena ilmu kuno ini mempunyai nilai yang amat tinggi bagi kesehatan, maka sengaja pengarang sajikan di sini karena mungkin bermanfaat sekali bagi siapa yang suka mempelajarinya.

Gerakan Pertama: Kosongkan pikiran dan satukan perhatian. Berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang sejauh satu kaki (30 senti), muka lurus ke depan. Ujung lidah menyentuh pertemuan antara gigi atas dan bawah. Bengkokkan kedua lengan ke samping pinggang sampai kedua tangan melintang lurus ke depan. Pada saat membengkokkan lengan tenaganya didorong ke bawah oleh telapak tangan, seolah-olah kedua telapak tangan menekan meja dan siap untuk meloncat. Lakukan ini perlahan-tahan sampai tiga puluh sembilan kali, mengendur dan menegang dalam waktu yang sama, kemudian turunkan tangan kembali. Tarik dan tahan napas di waktu mengerahkan tenaga, dan buang napas di waktu mengendurkan tenaga.

Gerakan ke dua: Agak dekatkan kedua kaki sampai setengah kaki. Kepal jari-jari tangan dengan ibu jari lurus mengacung. Gerakkan kedua kepalan tangan di depan bawah pusar, kedua ibu jari bersambung. Lalu tarik ibu jari (menegangkan) sejauh mungkin ke atas. Tahan menegang sejenak, lalu kendurkan dan turunkan ibu jari. Lakukan ini berulang 49 kali.

Gerakan ke tiga: Pentangkan kaki terpisah satu kaki seperti pertama. Kedua kaki menahan kekuatan di bawah, tak pernah mengendur. Kepal tangan dengan ibu jari di dalam kepalan dan kendurkan kedua pundak. Lalu keraskan kepalan. Lakukan ini berulang kali mengeras dan mengendur sampai 49 kali.

Gerakan ke empat: Rapatkan kedua kaki. Kepal kedua tinju dengan ibu jari di dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sampai lurus dengan pundak. Kerahkan tenaga ke depan di waktu menarik dan menahan napas. Lalu keluarkan napas dan turunkan lengan. Ulangi sampai 39 kali.

Gerakan ke lima: Kedua kaki merapat. Angkat kedua lengan dari samping terus ke atas dengan telapak terlentang sampai jari-jari saling bertemu di atas kepala, sambil mengangkat tumit kaki berdiri di atas jari kaki. Lalu kepal kedua tangan dengan kuat, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke enam: Pisahkan kedua kaki seperti pertama. Buatlah kepalan biasa, ibu jarinya di luar. Angkat kedua lengan ke samping, terlentang sampai rata dengan pundak. Kemudian bongkokkan lengan menjadi segi tiga, permukaan tangan menghadap pundak. Lalu keraskan kepalan tangan. Ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke tujuh: Rapatkan kedua kaki. Membuat kepalan biasa, angkat kedua lengan sampai sejajar pundak ke depan. Menggunakan tangan, tarik kedua lengan ke samping sampai sejajar pundak, kepalan menelungkup. Lalu angkat jari kaki dan berganti-ganti berdiri di atas sebelah tumit kaki. Ketika menurunkan jari kaki kembali keluarkan napas dan buka kepalan. Ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke delapan: Kedua kaki masih merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat kedua lengan, berdiri di atas jari kaki angkat tumit. Lalu kepalkan tinju dengan keras. Kemudian kendurkan kepalan dan turunkan tumit, ulangi sampai 49 kali.

Gerakan ke sembilan: Kedua kaki masih merapat dan ibu jari tangan di dalam kepalan. Angkat kedua lengan ke depan akan tetapi bengkokkan lengan setelah kepalan berada sejajar dengan perut. Lalu naikkan kepalan, menghadap ke muka sampai lengan menjadi bentuk segi tiga. Kemudian putar kedua kepalan ke dalam sampai menghadap ke depan dagu. Ulangi 49 kali.

Gerakan ke sepuluh: Kaki tetap merapat dan ibu jari dalam kepalan. Angkat lengan ke depan sejajar pundak. Lalu tarik kedua kepalan melintang ke kanan kiri pundak dengan muka kepalan menghadap ke depan, seolah-olah sedang mengangkat benda seberat setengah ton dengan siku menegang dan kepalan mengeras. Ulangi 49 kali.

Gerakan ke sebelas: Kedua kaki merapat akan tetapi jari membuat kepalan tangan biasa, ibu jari di luar. Kepalan mengendur dan diangkat ke depan pusar, siku membengkok. Lalu keraskan kepalan dengan ibu jari ditegangkan. Kemudian kendurkan ibu jari dan kepalan. Ulangi 9 kali.

Gerakan ke dua belas: Kedua kaki merapat. Ibu jari di dalam kepalan tangan. Angkat kedua kepalan sejajar pundak, lurus dengan kepalan saling berhadapan muka. Ketika mengangkat lengan ke depan sejajar pundak dengan telapak terlentang, angkat pula tumit. Jangan mengerahkan tenaga. Tahan posisi ini sejenak, kemudian turunkan lengan dan tumit. Ulangi 12 kali.

Demikianlah latihan olah raga I Kin Keng yang diciptakan oleh Tat Mo Couwsu dan yang diajarkan oleh Topeng Setan kepada Ceng Ceng.

"Kaulatih gerakan semua itu, ulangi dari pertama sampai ke dua belas sebanyak tiga kali, dan lakukan setiap pagi dan sore. Jangan lupa, setiap pengerahan tenaga dilakukan setelah napas ditarik dan ditahan, kemudian setiap pengenduran tenaga dilakukan ketika napas dikeluarkan."

"Baiklah, Paman. Setelah semua ilmu silat yang pernah kulatih selama ini, latihan I Kin Keng itu tidak berapa berat bagiku."

Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Telaga Sungari. Makin lama kedua orang ini makin akrab dan Ceng Ceng melatih I Kin Keng setiap hari, sedangkan Topeng Setan setiap kali masih membantunya dengan pengerahan sin-kang yang disalurkan dengan telapak tangan menempel di punggung gadis itu.

Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng melatih I Kin Keng, gadis itu melihat Topeng Setan duduk seorang diri dengan mencoret-coret tanah, menggunakan sebatang ranting kecil sambil memandang ke depan. Ceng Ceng tidak menegurnya karena dia sibuk sendiri dengan latihan gerak badan itu. Setelah selesai dan menghapus keringatnya yang bercucuran, barulah dia menghampiri Topeng Setan.

"Wah, lukisanmu itu indah sekali! Kiranya engkau ahli pula melukis, Paman!" Ceng Ceng berseru kagum melihat lukisan seekor kijang di atas tanah itu. Coretannya kuat dan bagus.

"Kalau sedang iseng aku suka melukis, Ceng Ceng."

"Kalau begitu, engkau bisa membantu aku melukis orang, Lopek!"

Topeng Setan memandang heran. "Melukis orang? Siapa yang kaumaksudkan?" Ceng Ceng duduk di atas tanah.

"Siapa lagi kalau bukan dia! Sampai sekarang aku belum berhasil mencarinya, karena orang lain tidak ada yang tahu bagaimana macamnya. Kalau aku mempunyai gambarnya, tentu akan lebih mudah mencarinya dengan bertanya-tanya kepada orang di sepanjang perjalanan. Lopek (Paman Tua), maukah engkau menolongku lagi? Kulihat Paman pandai sekali melukis, maka tentu Paman akan dapat melukis wajahnya!"

"Wajah siapa yang kaumaksudkan?" Topeng Setan bertanya dan sepasang mata yang besar sebelah di balik topeng itu mengeluarkan sinar tajam penuh selidik.

Muka Ceng Ceng berubah merah sekali, akan tetapi dengan menekan perasaannya, dia mengangkat muka memandang dan menjawab, "Siapa lagi kalau bukan musuh besarku. Paman, aku mempunyai seorang musuh besar yang harus dapat kutemukan sebelum aku mati. Selama ini, aku mencari-cari tanpa hasil, maka melihat betapa engkau pandai melukis, aku mempunyal akal, Paman. Dengan membawa gambarnya, kiranya akan lebih mudah bagiku untuk mencari dia dan membunuhnya!" Ceng Ceng mengeluarkan kalimat terakhir itu dengan suara penuh kegeraman karena hatinya terasa sakit sekali, sampai dia lupa bahwa andaikata dia sudah berhadapan dengan musuh besarnya itu yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, belum tentu dia akan dapat menandinginya!

"Ceng Ceng, semuda engkau ini sudah menyimpan sakit hati dan dendam yang besar. Siapakah musuh besarmu itu?" Topeng Setan bertanya, suaranya penuh getaran karena merasa kasihan.

"Engkau adalah satu-satunya sahabatku, penolongku dan kuanggap sebagai ayah atau paman sendiri, maka aku memberi tahu kepadamu, Paman. Si keparat laknat musuh besarku itu bernama Kok Cu."

"Hemm...., Kok Cu? Dan siapa she (nama keluarga) orang itu?"

"Aku tidak tahu, Paman. Aku hanya mendengar dari kakek Louw Ki Sun, pelayan dari Istana Gurun Pasir bahwa orang itu bernama Kok Cu tanpa diketahui she-nya, dan bahwa musuhku itu adalah murid dari Dewa Bongkok majikan Istana Gurun Pasir. Sudah kuselidiki di mana-mana, bahkan dibantu anak buah kita, akan tetapi tidak ada yang pernah mengenal nama itu di dunia kang-ouw. Maka, kalau aku mempunyai gambar mukanya, tentu akan lebih mudah mencari dia. Harap Paman suka membuatkan gambarnya."

Hening sejenak. Topeng Setan menunduk dan termenung, kemudian dia berkata, "Mana mungkin aku dapat menggambar muka orang yang tidak pernah kulihat sendiri?"

"Tentu bisa, Paman" Ceng Ceng berkata penuh semangat. "Mari kita mencari kertas dan alat tulisnya, nanti aku yang menceritakan bagaimana bentuk wajahnya kepada Paman."

Gadis itu mengajak Topeng Setan untuk membeli sehelai kertas putih yang baik dan pensil serta tinta, kemudian di tempat sunyi dia mulai memberi petunjuk kepada Topeng Setan tentang wajah orang yang dimaksudkan itu. Mereka memasuki sebuah kuil kuno yang kosong dan setelah menyapu lantainya dengan daun, Ceng Ceng mengajak Topeng Setan membuat gambar musuh besarnya itu. Mula-mula dia minta kepada Topeng Setan untuk menggunakan pensil dan tinta membuat bentuk muka orang di atas lantai.

"Paman, buatlah bentuk wajah yang bulat dari seorang laki-laki muda...." katanya penuh gairah karena hatinya tegang bahwa dia kini memperoleh jalan untuk dapat mencari musuhhya itu lebih mudah.

"Hemm, wajah bulat laki-laki muda? Berapa usianya?" Topeng Setan bertanya, bersila dan memegang pensil bulu.

"Entahlah.... hemm, kira-kira dua puluh empat atau dua puluh lima begitulah," Ceng Ceng menjawab.

Topeng Setan mencelupkan pensil bulu ke dalam bak tinta, lalu membuat coretan, melukis bentuk wajah bulat. "Begini?"

"Ah, tidak gemuk begitu, bentuk wajahnya bulat.... atau hampir segi empat, dengan dagu agak keras berlekuk tengahnya...." Topeng Setan memperbaiki coretannya di atas lantai.

"Nah.... nah, begitu lebih mirip.... sekarang rambutnya. Rambutnya hitam tebal dan panjang, atasnya agak tebal disisir ke belakang, kucirnya panjang membelit leher dan pundak.... ah, tidak menutup telinga, Paman. Telinganya masih nampak.... yaaa, begitu lebih mirip, rambut di pelipis kanan ini agak tebal, ya begitu...."

Topeng Setan membuat coret-coret di atas lantai. "Sekarang matanya, buatlah sepasang mata yang agak lebar, alisnya tebal panjang seperti golok, ah, bukan begitu.... matanya tidak sayu mengantuk begitu, matanya hidup dan tajam, hidungnya sedang saja dan bibirnya membayangkan kekerasan hati.... aihhh.... mengapa berbeda....?"

Ceng Ceng memandang coretan di atas lantai itu dengan mata disipitkan, kadang-kadang dipicingkan sebelah dan mulutnya menggerutu, "Hemmm.... mata dan mulutnya sudah mirip, akan tetapi mengapa lain? Seingatku tidak begitu dia.... ahh, tentu saja! Matanya yang berbeda, Paman!"

"Matanya berbeda bagaimana? Kau bilang tadi sudah mirip."

"Maksudku sinar matanya! Di samping tajam, sinar matanya mengandung sorot yang ganas, seperti binatang buas...."

"Eh....? Seperti binatang buas?"

"Ya, seperti.... ah, cobalah Paman buatkan mata seperti mata seekor harimau buas yang hendak menerkam seekor domba!"

"Aih, aneh betul mata orang itu."

"Memang aneh, Paman. Dia seperti.... eh, dia memang seorang yang gila pada saat itu. Mulutnya menyeringai, matanya kemerahan dan bersinar penuh api, nah, begitu, Paman.... ya, ya.... tulang pipi dan dagunya lebih menonjol, dia kelihatan gagah dan tampan.... eh, dan jahat seperti seekor harimau jantan yang buas. Nah, mirip sekali. Sekarang harap Paman lukis di atas kertas ini!" Ceng Ceng merasa gembira sekali karena coret-coret itu memang mirip dengan Kok Cu, pemuda laknat musuh besarnya!

Topeng Setan tidak mengeluarkan kata-kata lagi dan kini dia sibuk menyalin coretan di atas lantai itu ke atas kertas. Jari-jari tangannya bergerak lemas dan cepat, dan tak lama kemudian selesailah lukisan seorang pemuda tampan dan gagah setengah badan yang tak salah lagi memang mirip sekali dengan musuh besar Ceng Ceng itu.

"Beginikah dia....?" Akhirnya Topeng Setan bertanya lirih sambil menyerahkan lukisan itu kepada Ceng Ceng. Akan tetapi dia terbelalak heran melihat gadis itu berdiri memandang lukisan dengan mata merah dan berlinang air mata. Tiba-tiba Ceng Ceng melompat, merampas lukisan itu dengan kasar dari tangan Topeng Setan.

"Plak-plak! Brettt.... reeeetttt....! Mampus engkau, jahanam....!" Seperti orang gila, Ceng Ceng menampari kemudian merobek-robek lukisan itu sampai hancur berkeping-keping. Kemudian Ceng Ceng melempar kepingan-kepingan kertas itu ke atas lantai dan menginjak-injaknya dengan kedua kakinya penuh kemarahan.

Topeng Setan terbelalak memandang ulah dara itu dan dia memejamkan mata ketika melihat Ceng Ceng akhirnya menjatuhkan diri duduk di atas lantai, di atas robekan kertas itu sambil menangis.

Dengan hati-hati Topeng Setan mendekati, duduk pula di atas lantai kemudian setelah melihat tangis Ceng Ceng mereda, dia bertanya lirih, "Ceng Ceng, benci benarkah engkau kepadanya?"

Ceng Ceng mengangkat muka memandang, matanya merah dan air mata masih bertitik turun. "Benci? Tidak ada orang di dunia ini yang lebih kubenci seperti dia! Aku membenci lahir batin dan aku tidak akan dapat mati meram apabila belum dapat membunuh jahanam biadab itu!"

Hening sejenak, yang terdengar hanya isak tertahan dari Ceng Ceng. Kemudian terdengar Topeng Setan berkata, "Betapa hebat bencimu kepadanya, Ceng Ceng. Tentu dia telah melakukan dosa besar sekali kepada seorang gadis semulia engkau sampai engkau menjadi begini membencinya."

Orang tua bermuka seperti setan itu menghela napas panjang. "Apakah yang telah diperbuatnya terhadapmu?"

Ceng Ceng menghapus air matanya. Lalu dia menggeleng kepala. "Hal itu tidak mungkin dapat kuceritakan kepada Siapapun juga, Paman. Pendeknya, sakit hatiku terhadap dia hanya dapat dibayar dengan nyawa, itu pun masih kurang! Akan tetapi, dia lihai sekali, Paman, dan karena Paman merupakan satu-satunya orang yang dapat membantu aku, maka aku berjanji bahwa kalau aku dapat menemukan dia, aku akan menceritakan sakit hatiku itu kepada Paman."

"Kemana engkau hendak mencarinya?"

"Kemana saja, ke ujung dunia sekalipun. Memang sisa hidupku hanya untuk mencari dia dan membalas dendam itu, Paman. Aku akan mencari dia dan.... ahhh, apa yang telah kulakukan? Gambar itu.... ah, gambar itu kurusak...." Ceng Ceng agaknya seperti baru teringat bahwa gambar yang dapat menolong dia mencari musuh besarnya itu tanpa disadarinya telah dirobek-robeknya ketika dia teringat akan sakit hatinya tadi.

"Jangan khawatir, aku dapat membuatkan lagi untukmu, Ceng Ceng." Topeng Setan lalu mencoret-coret lagi dengan alat tulisnya di atas sehelai kertas dan setelah selesai ternyata lukisan ini malah lebih baik daripada tadi. Ceng Ceng menjadi girang sekali, menggulung kertas lukisan wajah musuh besarnya itu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Telaga Sungari.

Pada suatu pagi mereka memasuki sebuah rumah makan di dalam dusun yang masih sunyi. Mereka membeli beberapa butir bakpao dan makan bakpao sambil minum air teh panas. Seperti biasa, Ceng Ceng menggunakan setiap kesempatan bertemu dusun untuk menyelidiki perihal musuh besarnya. Maka, setelah makan dua butir bakpao besar dan minum air teh, dia mempersilakan Topeng Setan melanjutkan sarapannya, sedangkan dia sendiri lalu membawa gulungan kertas menghampiri dua orang yang mengukus bakpao di dekat pintu.

"Bung, saya ingin bertanya kepadamu," katanya kepada seorang di antara dua tukang bakpao itu yang cepat menoleh dan memandang heran serta kagum karena Ceng Ceng memang selalu mengagumkan pandang mata pria di mana pun dia berada.

"Tentu saja, Nona...." Tukang bakpao yang berusia tiga puluhan tahun itu menjawab sambil tersenyum bangga bahwa ada seorang dara secantik itu mau menyapanya.

Ceng Ceng seperti biasa membuka gulungan kertas itu, memperlihatkan lukisan wajah musuh besarnya sambil berkata, "Harap kaulihat baik-baik, barangkali engkau mengenal orang ini dan tahu dimana dia berada?"

Tukang bakpao itu menggerak-gerakkan bibirnya sehingga kumis tebal di atas bibir itu ikut bergerak-gerak, keningnya berkerut seolah-olah dia sedang mengasah otaknya menghadapi teka-teki yang ruwet. "Rasanya pernah kulihat akan tetapi mungkin juga belum pernah.... ehh, nanti kuingat-ingat dulu, Nona.... hemm...."

"Heiiii....! Subo (Ibu Guru)....!" Tiba-tiba terdengar suara melengking merdu memanggil. "Kiranya Subo berada di sini....?"

Ceng Ceng cepat memutar tubuhnya dan melihat seorang dara remaja berdiri di belakangnya, seorang dara tanggung yang cantik sekali, bertolak pinggang dan sikapnya sembarangan, bahkan seperti ugal-ugalan. Tentu saja dia mengenal anak perempuan yang menyebutnya subo itu. Kiranya dara remaja itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo! Ceng Ceng cepat memandang ke kanan kiri, gentar juga hatinya karena khawatir kalau-kalau ayah anak ini berada di situ. Pernah dia melawan Hek-tiauw Lo-mo dan ternyata olehnya bahwa kakek iblis itu lihai bukan main sehingga dengan mudah dia tertawan. Untung ada Hwee Li yang telah membebaskannya setelah dia berhasil menarik hati anak perempuan itu untuk mengajarnya tentang ilmu mengenai racun. Akan tetapi segera pandang matanya bertemu dengan Topeng Setan yang masih makan bakpao di sudut ruangan, maka hatinya menjadi lega kembali. Dengan adanya orang tua ini dia tidak takut lagi kepada Hek-tiauw Lo-mo.

"Eh, engkau Hwee Li! Engkau mencari siapa dan dengan siapa engkau di sini?" Ceng Ceng menegur setelah dara remaja itu menghampirinya.

"Subo, aku mencari ayahku. Apakah Subo tidak melihatnya? Ayahku sedang mengejar musuhnya dan aku ditinggal begitu saja, maka aku menyusulnya dan mencarinya sampai di sini. Apakah Subo melihat ayahku?"

"Tidak, Hwee Li. Aku tidak melihat ayahmu."

"Subo sendiri mencari siapakah? Gambar siapa yang Subo pegang itu?" Hwee Li yang lincah itu tanpa sungkan-sungkan melihat gambar yang dipegang oleh Ceng Ceng. "Wah, gagah sekali pemuda ini, Subo. Apakah dia pacarmu?" Biarpun dara cilik itu tidak mempunyai watak cabul seperti bibi gurunya yang disukanya, yaitu Mauw Siauw Mo-li, namun dekat dengan wanita genit itu dia pun sudah biasa bersikap genit dan tanpa sungkan-sungkan lagi.

Wajah Ceng-Ceng menjadi merah sekali. "Ihhh.... lancang mulutmu. Hayo katakan, apakah barangkali engkau tahu orang ini dimana."

Hwee Li memandang gambar itu penuh perhatian lalu menggeleng kepala. "Sayang aku tidak tahu, kalau aku tahu tentu kuajak dia berteman. Dia kelihatan gagah dan tentu merupakan kawan yang menyenangkan."

Mendengar ucapan yang dianggapnya tidak sopan itu Ceng Ceng menggulung gambar itu dengan kasar lalu berkata, "Sudahlah, kau mencari ayahmu akan tetapi bermain-main di sini, mana bisa bertemu dengan dia? Lekas pergi mencarinya di tempat lain!"

Hwee Li mengangguk. "Subo, ingat, kalau aku sudah bertemu Ayah, kelak aku akan mencarimu untuk mulai belajar ilmu itu."

Ceng Ceng mengangguk tak sabar. "Baik, baik, nah, kau pergilah!" Hwee Li tersenyum-senyum lalu pergi meninggalkan warung itu.

"Eh, Nona.... agaknya Nona kehilangan pacar? Daripada mencari orang yang tidak ada, aku.... eh, aku pun masih membujang."

Ceng Ceng memandang tukang bakpao berkumis itu dengan mata bersinar. "Apa.... apa maksudmu....?"

Tukang bakpao itu mengurut kumisnya. "Nona seorang dara cantik, tidak baik melakukan perjalanan di tempat berbahaya ini hanya untuk mencari pacar yang hilang. Tinggallah bersamaku di sini dan aku akan membikin Nona hidup senang dan.... aughhh!" Tukang bakpao itu tak dapat melanjutkan teriakannya karena sebagian mukanya dari dagu sampai ke hidung telah terbenam ke dalam uap panas dari tempat bakpao dikukus! Setelah menampar dan mendorong orang itu sampai mukanya masuk ke dalam tempat masak bakpao yang panas, Ceng Ceng mendengus dan membalikkan tubuhnya menghampiri Topeng Setan yang sudah bangkit berdiri dan cepat membayar makanan lalu mereka berdua pergi dari tempat itu yang sudah menjadi ribut karena tukang bakpao itu merintih-rintih dengan muka bagian bawah terbakar dan melepuh!

Topeng Setan dan Ceng Ceng berjalan tanpa bicara, dan setelah mereka keluar dari dusun itu barulah Topeng Setan bertanya, "Ceng Ceng, siapakah anak perempuan yang muncul di warung bakpao tadi?"

"Ohh, dia? Dia adalah Kim Hwee Li, dia puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...."

"Hei....?" Topeng Setan terkejut bukan main. "Hek-tiauw Lo-mo yang telah memukulmu secara keji?" Tentu saja orang tua bermuka seperti setan ini kaget bukan main dan juga terheran-heran. "Hek-tiauw Lo-mo memusuhimu, akan tetapi puterinya menyebutmu subo (Ibu guru). Apa artinya semua ini?"

Ceng Ceng tersenyum dan menghela napas. "Memang di dunia ini banyak sekali terdapat hal-hal yang amat aneh, Paman Topeng Setan. Memang benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek iblis yang jahat dan kejam, selain memusuhiku apabila kami saling bertemu, apalagi akhir-akhir ini ketika dia memukulku dia adalah kaki tangan pemberontak sedangkan aku menentang pemberontakan. Dulu, pernah aku bertanding dengan dia dan aku kalah, menjadi tawanannya. Akan tetapi puterinya, Kim Hwee Li itu, menolongku dan membebaskan aku dengan janji bahwa aku akan suka menjadi subonya. Karena ingin bebas, tentu saja aku mau dan begitulah, dia membebaskan aku...."

"Akan tetapi, ayahnya sendiri demikian lihai, mengapa dia mengangkat engkau menjadi guru?"

"Ayahnya lihai dalam ilmu silat memang, akan tetapi dalam hal ilmu tentang racun, aku sebagai murid Ban-tok Mo-li lebih unggul. Dia ingin belajar ilmu tentang racun dariku."

Topeng Setan menghela napas. "Memang tidak keliru bahwa sebagai murid Ban-tok Mo-li, engkau adalah seorang ahli yang hebat tentang racun, Ceng Ceng. Akan tetapi, buktinya engkau malah celaka karena tubuhmu mengandung racun, sehingga pukulan Hek-coa-tok-ciang dari Hek-tiauw Lo-mo membuat nyawamu terancam. Ilmu tentang racun memang hanya suatu ilmu yang tentu saja penting untuk dipelajari. Akan tetapi dalam cara mempergunakannyalah yang penting. Kalau dipelajari untuk digunakan sebagai ilmu pengobatan, baik sekali, sebaliknya kalau untuk mencelakakan lawan, menjadilah ilmu hitam yang hanya dimiliki golongan sesat. Sungguh menyesal sekali bahwa seorang seperti engkau sampai mengalami hal yang membuatmu begini sengsara....!" Tiba-tiba Topeng Setan menghentikan kata-katanya dan berjalan sambil menundukkan mukanya.

Ceng Ceng menoleh dan memandang dengan terheran-heren. Dia menangkap getaran suara aneh penuh keharuan dalam kata-kata Topeng Setan tadi dan kini makin heranlah dia ketika melihat sepasang mata yang besar sebelah itu setengah dipejamkan dan tampak ada air membasahi bulu-bulu mata itu. Topeng Setan menangis!

"Paman Topeng Setan, berhenti sebentar, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu."

Topeng Setan berhenti dan mereka berdiri berhadapan. "Kau mau bertanya apa?" Topeng Setan bertanya sambil menundukkan muka.

"Paman, engkau agaknya selalu menaruh iba kepadaku dan selalu membela dan melindungiku, akan tetapi kulihat hidupmu sendiri merana, bahkan demikian tersiksa batinmu sampai-sampai engkau selalu menyembunyikan diri di belakang topeng setan ini. Kenapa begitu? Engkau menaruh kasihan kepadaku akan tetapi melupakan kesengsaraanmu sendiri. Apa yang menyebabkannya? Kalau hal ini belum kaujelaskan, hatiku selalu akan diganggu oleh keraguan dan keheranan, Paman."

Topeng Setan menghela napas, kemudian dengan suara terpaksa dia menjawab juga, "Engkau.... mengingatkan kepadaku akan seorang wanita...."

"Ya....? Lanjutkanlah, Paman. Siapakah wanita itu dan di mana dia sekarang?"

"Dia.... dia telah mati...."

"Ouhhh....? Maafkan, Paman...."

"Dia mati.... karena aku yang membunuhnya...."

"Aihhh....!" Ceng Ceng terbelalak dan melihat Topeng Setan kini berdiri membelakanginya dengan kedua pundak yang lebar itu berguncang, tahulah dia bahwa orang tua itu menahan tangisnya dan amat menyesali perbuatannya. Dengan hati terharu dia menghampiri dan memegang tangan orang tua itu.

"Paman, sukar dipercaya bahwa engkau telah membunuhnya.... padahal.... agaknya engkau mencinta wanita itu, bukan?"

Topeng Setan menahan napas menenangkan batinnya, dia mengangguk. "Aku telah gila.... aku melakukan dosa besar dan karena itu.... tiada jalan lain bagiku kecuali menebus dosaku itu dengan jalan menjaga dan melindungimu, Ceng Ceng...."

"Aihh, Paman Topeng Setan. Orang seperti engkau ini tidak mungkin melakukan perbuatan jahat. Kalau bibi itu, wanita itu.... sampai mati olehmu, tentu dia yang bersalah.... dan jahatlah dia kalau bibi itu tidak dapat membalas cinta kasih seorang mulia seperti Paman...."

"Cukup....! Dia baik dan suci seperti dewi.... akulah yang jahat...."

Melihat keadaan Topeng Setan amat menderita tekanan batin, Ceng Ceng lalu menghibur dan mengalihkan percakapan.

"Sudahlah, Paman. Tidak perlu kita membicarakan soal-soal yang lalu. Yang jelas, Paman adalah seorang yang paling mulia bagiku...."

"Tapi engkau hidup merana, Ceng Ceng. Engkau diracuni oleh dendam yang tak kunjung habis...."

"Ah, urusan kecil! Sekarang, yang penting seperti kata Paman dulu, aku harus berobat sampai sembuh, kemudian aku akan tekun belajar ilmu dari Paman, kemudian setelah kepandaianku menjadi tinggi, apa sukarnya untuk mencari keparat itu? Sekarang, jangan dia mengganggu perjalanan kita ke Telaga Sungari. Nah, biar belum dapat membunuh orangnya, biar kubunuh dulu gambarnya!" Ceng Ceng lalu merobek-robek gulungan gambar dari Kok Cu, musuh besarnya itu. "Mari kita melanjutkan perjalanan ke Sungari mencari obat anak naga itu, Paman."

Berangkatlah kedua orang itu dengan cepat karena kini tidak lagi mereka berhenti untuk menyelidiki musuh besar Ceng Ceng.

"Auhhh....!" Kian Bu merapatkan matanya kembali ketika merasa betapa kepalanya pening berdenyut-denyut, tubuhnya sakit-sakit

semua dan dia teringat betapa dia ditelan ombak air sungai, digulung dan dihanyutkan tanpa dapat berdaya sama sekali. Perasaan ngeri membuat dia memejamkan kembali matanya. Akan tetapi dia tidak merasa lagi tubuhnya dipermainkan gelombang air, bahkan dia merasa rebah di suatu tempat yang keras, kepalanya berbantal sesuatu yang lunak dan hangat, kemudian mukanya ada yang menyentuh, bukan air yang keras dan ganas melainkan sentuhan-sentuhan hangat dari jari-jari tangan yang dengan lunak memijat-mijat pelipisnya.

"Bagaimana....? Pening sekalikah kepalamu....? Akan tetapi tidak mengapa, air sudah keluar semua dari perutmu dan memang akibatnya agak pening di kepala, atau mungkin kepalamu terbanting kepada batu ketika hanyut...."

Kian Bu mendengarkan suara itu seperti dalam mimpi. Suara seorang wanita, merdu dan halus, dengan nada naik turun seperti orang bersenandung, atau seperti orang membaca sajak yang indah. Wanita? Dia teringat dengan kaget dan membuka matanya, apalagi ketika perasaannya makin sadar membuat dia dapat menduga bahwa kepalanya rebah di atas dua buah paha yang lunak dan hangat, di atas pangkuan seorang wanita!

Begitu matanya terbuka, dia memejamkannya kembali karena silau! Bukan silau oleh sinar matahari pagi saja yang cerah, melainkan juga oleh wajah yang amat cantik, oleh sepasang mata panjang lentik, oleh sebatang hidung kecil mancung dan sepasang bibir yang merekah manis, perpaduan antara merahnya daging berkulit tipis dan putihnya gigi seperti mutiara!

Kian Bu tersentak kaget ketika dia teringat dan mengenal wajah wanita itu. Cepat dia bangkit duduk dan menegur, mukanya merah sekali, "Aihhh.... Enci Hong Kui....?"

Hong Kui atau Mauw Siauw Mo-li tersenyum, "Mengapa engkau terkejut, Kian Bu yang baik? Tadi engkau gelisah sekali dalam tidurmu, mengeluh dan agaknya engkau mimpi terbawa air sungai, maka aku.... eh, memangku kepalamu dan memijit-mijit. Bagaimana sekarang, apakah masih pening....?" Sikap wanita itu biasa saja dan diam-diam Kian Bu merasa terharu. Apakah wanita cantik ini benar-benar demikian mencintanya seperti seorang kakak perempuan mencinta adiknya? Akan tetapi.... sikapnya benar-benar terlalu mesra dan darahnya masih berdesir ketika teringat betapa tadi rebah dengan kepala di atas pangkuan wanita cantik itu.

"Ti.... tidak, Enci. Terima kasih. Ah, kiranya sudah pagi, biar aku pergi...." dia teringat akan janjinya untuk membantu wanita itu mencari obat di Telaga Sungari, maka cepat disambungnya, "Marilah kita pergi mencari mereka...."

Lauw Hong Kui tersenyum mengangguk tanpa menjawab dan mereka lalu bangkit berdiri. Tanpa banyak cakap mereka lalu menyusuri sungai itu mencari-cari, akan tetapi sampai setengah hari lamanya, mereka tidak berhasil menemukan jejak dari Siang In dan yang lain-lain, seolah-olah rakit mereka itu telah ditelan air sungai yang ganas semalam.

Melihat wajah Kian Bu yang berduka dan khawatir, Hong Kui segera memegang lengannya dan berkata, "Jangan kau khawatir, Kian Bu. Aku yakin bahwa mereka itu tidak mengalami malapetaka dan masih dapat menyelamatkan diri mereka."

Mendengar ucapan yang nadanya bersungguh-sungguh itu Kian Bu memandangnya dengan penuh harapan dan bertanya, "Bagaimana engkau bisa menduga demikian, Enci?"

"Mudah saja. Malapetaka yang dapat menimpa mereka hanya dua macam, bukan? Yang pertama adalah bahwa mereka terjatuh ke air dan dibawa hanyut seperti keadaanmu. Yang ke dua adalah bahwa mereka terjatuh ke tangan musuh atau terbunuh oleh mereka. Aku melihat bahwa kedua malapetaka itu tidak menimpa diri mereka. Karena, andaikata mereka hanyut, tentu ada di antara mereka yang terdampar ke pinggir seperti yang kau alami atau ada yang tersangkut di daerah yang berbatu-batu tadi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa mereka itu hanyut. Dan juga andaikata mereka itu tertawan atau terbunuh musuh, tentu orang-orangnya Tambolon semalam tidak mencari-cari dan menyerang kita. Jadi aku yakin bahwa mereka itu tentu telah berhasil menyelamatkan diri dan telah pergi dari tempat ini."

Kian Bu menjadi girang sekali karena kini dia pun percaya bahwa agaknya memang demikianlah. Dia merasa kasihan sekali kepada Siang In, apalagi melihat gadis itu telah kehilangan encinya. "Ah, engkau hebat dan cerdik sekali, Enci Hong Kui. Aku percaya keteranganmu itu."

Hong Kui melempar senyum, mengerling, mencubit lengan Kian Bu dan berkata dengan bibir merah mencibir, manis sekali, "Ihhhh, engkau bisa saja memuji orang! Engkau yang tak kusangka ternyata amat sakti, mengalahkan dua orang pembantu Tambolon secara demikian mudah, masih memuji-muji aku yang lemah dan bodoh. Huiii.... sungguh menggemaskan!" Kemba li dia mencubit, kini yang dicubitnya adalah paha Kian Bu dan agak keras sehingga pemuda itu berteriak kesakitan sambil tertawa-tawa.

Mereka tertawa-tawa dan Hong Kui menggandeng tangan Kian Bu dengan sikap mesra dan manja. "Kian Bu, aku merasa berbahagia sekali....!"

Kian Bu memandang tajam, kecurigaannya timbul kembali. Wanita ini dijuluki orang Mauw Siauw Mo-li, biarpun cantik jelita dan menggairahkan, namun cantiknya cantik siluman, bisa berbahaya. Jangan-jangan wanita ini hendak menjebaknya dengan menggunakan kecantikannya. Dia harus waspada! Pernah ayahnya secara samar-samar memperingatkan dia bahwa di antara hal-hal yang amat berbahaya, lebih berbahaya daripada musuh yang sakti, selain kesombongan diri, nafsu-nafsu pribadi, juga kecantikan seorang wanita. Kecantikan seorang wanita mampu merobohkan pertahanan seorang pendekar yang bagaimana sakti pun! Dan Mauw Siauw Mo-li ini memang cantik bukan main. Cantik jelita dan manis, memiliki keindahan dalam segala gerak-geriknya, gerak matanya, alisnya, bibirnya, dan gerak tubuh dari leher, pinggang, pinggul sampai langkahnya! Bukan main! Dia harus berhati-hati sekali. Siapa tahu di balik semua keindahan ini tersembunyi perangkap yang akan mencelakakannya.

"Kenapa engkau berbahagia, Enci?" pancingnya.

Jari-jari tangan yang menggandeng lengannya itu makin mengetat dan mendekat. Kepala yang berambut panjang terurai sebagian terlepas dari gelungnya yang tinggi bergerak-gerak dan tercium bau harum oleh hidung Kian Bu.

"Aku berbahagia karena dapat bertemu dengan seorang seperti engkau, Kian Bu. Kini bangkit kembali harapanku untuk dapat hidup karena aku yakin, dengan bantuan seorang pendekar sakti seperti engkau, sudah pasti anak naga keramat di Telaga Sungari itu akan berhasil kita dapatkan sehingga racun dari tubuhku dapat dibersihkan."

Kian Bu menghela napas panjang, hatinya lega bahwa kecurigaannya tadi ternyata palsu. Wanita ini memang sudah sepatutnya merasa berbahagia karena wanita ini agaknya menggantungkan harapannya kepadanya.

"Jangan khawatir, Enci Hong Kui. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku agar engkau dapat menjadi sehat kembali."

Wanita itu memandang dan dua butir air mata mengalir turun. "Engkau.... engkau baik sekali...." Katanya terisak dan Kian Bu merasakan jantungnya berdebar keras ketika jari-jari tangan yang kecil panjang itu menyusup di antara jari-jari tangan Kian Bu. Pergeseran dan sentuhan antara jari-jari tangan ini seolah-olah mengandung getaran dahsyat yang memasuki tubuh Kian Bu, membuat dia merasa tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdebar seperti akan meledak! Tubuhnya agak menggigil dan untung baginya, pada saat itu Hong Kui melepaskan tangannya sambil mengeluarkan suara ketawa yang aneh akan tetapi terdengar amat merdu dan mesra dalam telinga Kian Bu. Suara ketawa yang mirip bunyi seekor kucing yang memanggil-manggil pasangannya di waktu malam!

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang biarpun usianya baru tiga puluh tahun, namun telah memiliki pengalaman matang dalam hal bermain cinta dan mempermainkan seorang pria. Dia sekali ini benar-benar terjebak ke dalam permainan dan nafsunya sendiri. Dia jatuh cinta! Belum pernah selama hidupnya dia mengalami perasaan seperti ini terhadap seorang pria. Biasanya, dia mempermainkan pria, seperti seekor kucing betina kelaparan mempermainkan seekor tikus, dipermainkan lebih dulu sebelum diganyang dan kemudian ditinggalkan bangkainya begitu saja, sama sekali tidak diingatnya lagi. Belum pernah dia dapat bertahan lebih dari tiga hari tiga malam mengeram seorang pria. Kebosanannya timbul dan dia akan

meninggalkan korbannya yang kebanyakan tentu dibunuhnya dulu. Akan tetapi sekali ini, bertemu dengan Kian Bu, dia benar-benar jatuh cinta. Dia sama sekali tidak merasa seperti seekor kucing yang mempermainkan tikus, melainkan seperti seekor kucing yang haus akan belaian manusia yang lebih kuat! Pemuda ini bukan hanya tampan, karena ketampanan mudah didapatkan di antara orang-orang muda, akan tetapi yang amat menarik hatinya adalah karena pemuda ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, lebih tinggi daripadanya, dan terutama sekali seorang perjaka tulen yang dia tahu mempunyai sifat romantis!

Di dalam kecerdikannya, Hong Kui tidak mau menuruti nafsu berahinya. Dia bersikap hati-hati dan biarpun tadi belaiannya membuat pemuda itu mulai tergetar, namun dia tidak mau terlalu mendesak, karena sekali pemuda sehebat ini timbul kecurigaannya, akan berbahayalah. Dia sama sekali tidak mungkin dapat memaksa seorang seperti Kian Bu, maka dia akan menggunakan siasat halus dan tidak akan bermain kasar!

Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, dan ibunya adalah bekas Ketua Thian-liong-pang, dia adalah seorang pemuda gemblengan yang memiliki kepandaian hebat dan kegagahan luar biasa. Akan tetapi, menghadapi seorang wanita matang seperti Lauw Hong Kui, tentu saja dia itu hanya seorang pemuda hijau. Andaikata Mauw Siauw Mo-li mempergunakan kekerasan dan kepandaian silatnya, tentu dalam waktu singkat saja dia akan roboh oleh pemuda itu dan andaikata dalam rayuannya dia terlalu tergesa-gesa, tentu pemuda perkasa itu akan menjadi curiga dan sadar. Akan tetapi, Hong Kui terlalu cerdik dalam hal ini dan dia menjatuhkan hati Kian Bu secara perlahan-lahan, secara cerdik sekali dan tidak kentara sehingga setelah mereka melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, Kian Bu telah percaya penuh bahwa wanita ini benar-benar seorang wanita yang patut dikasihani, seorang yang "baik-baik" akan tetapi tidak kebetulan menjadi sumoi dari orang-orang jahat macam Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka dan mendiang Hek-hwa Kuibo. Wanita ini amat ramah, amat halus dan sopan! Dan di dalam perjalanan itu Hong Kui selalu menonjolkan keringanan tangannya, melayani Kian Bu, dan sikapnya penuh rasa sayang seorang kakak perempuan terhadap seorang adiknya. Maka, diam-diam Kian Bu juga mengambil keputusan untuk mengerahkan kepandaiannya berusaha menangkap anak naga di Telaga  Sungari untuk menyembuhkan keracunan di dalam tubuh Hong Kui.

Pada suatu siang yang amat panas mereka mengaso di dalam hutan dan duduk di bawah sebatang pohon yang lebat daunnya. Sambil bersenandung merdu, Hong Kui memanggang daging ayam hutan yang tadi ditangkap oleh Kian Bu dan kini pemuda itu duduk beristirahat tidak jauh dari tempat itu. Ketika Kian Bu sedang terlena mengantuk, tiba-tiba dia mendengar suara Hong Kui menjerit. Dia terkejut sekali dan tubuhnya sudah bergerak meloncat, menyambar tubuh Hong Kui yang terhuyung dan ketika dia memeluk tubuh wanita itu ternyata Hong Kui telah pingsan!

Kian Bu terkejut bukan main, dan cepat dia mengurut jalan darah di tengkuk wanita itu. Hong Kui membuka matanya, lalu menjerit, "Ular.... ahh, Kian Bu, ada ular....!" matanya terbelalak dan telunjuknya menuding ke atas pohon.

Kian Bu menengok dan hampir dia tertawa bergelak. Seekor ular hijau kecil merayap ketakutan di antara daun-daun di cabang pohon itu.

"Enci Hong Kui, kau kenapakah? Mengapa kau pingsan dan ular kecil itu...."

"Aihhh.... maafkan aku, Kian Bu...." Hong Kui menggunakan saputangan, menyusuti peluh dari dahinya yang pucat sekali. "Engkau belum kuberi tahu.... aku.... aku paling takut melihat ular...."

Kian Bu tersenyum lebar dan memandang aneh. Mereka sudah duduk kembali dan Hong Kui melanjutkan pekerjaannya memanggang daging setelah beberapa kali menengok ke atas dan melihat bahwa ular itu sudah tidak tampak lagi.

"Enci Hong Kui, engkau seorang yang memiliki kepandaian begitu tinggi takut melihat seekor ular kecil itu? Biar ada seratus ekor seperti itu, mana mungkin bisa mengganggu seorang lihai seperti engkau?"

"Ah, engkau tidak tahu, Kian Bu. Andaikata aku tidak takut terhadap ular, tentu sudah sejak dahulu aku pergi mencari anak naga di Telaga Sungari itu! Akan tetapi, aku amat takut melihat ular...."

"Enci, sungguh aneh sekali. Mengapa orang yang lihai seperti engkau takut melihat ular?"

Aku bukan takut, akan tetapi lebih dari takut, aku jijik sekali dan bisa pingsan kalau melihatnya. Dan tentu saja ada sebabnya.... ehh, malu aku untuk menceritakan pengalamanku di waktu aku baru berusia belasan tahun itu...." Wanita itu lalu menunduk. Kedua pipinya yang halus menjadi kemerahan, dari bawah matanya mengerling tajam ke atas dan bibirnya menahan senyum, giginya yang putih menggigit bibir bawah. Sikap malu-malu kucing ini kelihatan manis dan menarik sekali sehingga timbul kelnginan tahu Kian Bu untuk mendengar cerita yang tentu aneh itu sehingga orangnya sampai merasa malu untuk bercerita.

"Enci Hong Kui, diantara kita yang sudah seperti kakak dan adik sendiri, mengapa engkau merasa malu? Ceritakanlah, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang begini lihai sampai pingsan ketakutan melihat seekor ular kecil tadi."

"Terjadi di waktu aku berusia kira-kira tiga belas tahun," wanita itu bercerita sambil menunduk dan memperhatikan daging yang dipanggangnya. "Pada suatu hari ketika aku tertidur di dalam kamarku, tengah malam aku terbangun dengan kaget sekali dan.... dan.... dapat kaubayangkan betapa ngeri dan jijik serta takutku ketika aku merasa ada sesuatu yang dingin bergerak-gerak di dalam.... celanaku, dipaha...."

Kian Bu terbelalak, mulutnya ternganga memandang wanita itu yang hanya mengangkat muka sebentar memandangnya kemudian menunduk kembali dengan pipi yang makin kemerahan.

"Ketika aku cepat-cepat melepas pakaian.... ternyata.... benda bergerak itu adalah seekor ular hitam! Aku menjerit-jerit dan jatuh pingsan. Nah, semenjak saat itulah setiap kali melihat ular, terbayang kembali kengerian hatiku di waktu dahulu itu dan aku tak kuat menahan."

Hening sejenak. Entah mengapa, membayangkan pengalaman wanita ini di waktu berusia belasan tahun itu, jantung Kian Bu berdebar tegang dan beberapa kali dia menelan ludah. "Memang.... memang mengerikan...." komentarnya pendek.

"Itulah sebabnya mengapa setelah mendengar bahwa yang menjadi obat tubuhku hanya anak naga di Telaga Sungari, aku menjadi ngeri dan takut. Untung aku bertemu dengan engkau, Kian Bu, yang telah begini baik hati untuk membantu aku menangkap anak naga itu. Kalau aku sendiri harus menangkapnya, apalagi anak naga, baru melihat seekor ular biasa saja aku sudah akan jatuh pingsan!"

Beberapa hari kemudian, mereka tiba di luar sebuah dusun. Telaga Sungari tidak begitu jauh lagi dari situ. Ketika melihat sebatang anak sungai yang airnya amat jernih mengalir di luar dusun itu, dan betapa tempat itu sunyi sekali, Hong Kui berkata, "Kian Bu, aku merasa gerah sekali. Air itu jernih, aku ingin mandi."

"Akan tetapi tempat ini dekat dusun, Enci. Tentu akan ada orang lewat nanti...."

Hong Kui mengerling penuh celaan. "Habis ada engkau untuk apa?" katanya menegur sambil tersenyum. "Kaujagalah di sini sebentar agar kalau ada orang lewat, kau minta dia jangan ke sungai dulu sebelum aku selesai mandi. Aku tidak akan lama, asal sudah berendam sebentar pun cukuplah untuk mengusir kegerahan dan menghilangkan debu yang menempel di tubuh."

"Baiklah...." Kian Bu lalu duduk di tepi jalan, membelakangi anak sungai yang tidak begitu jauh dari jalan kecil itu. Memang panas hawanya siang hari itu dan Kian Bu membuka kancing bajunya menelanjangi dada agar terhembus angin lalu. Hatinya gembira. Selama melakukan perjalanan dengan Hong Kui, dia makin tertarik dan kagum kepada wanita itu. Gayanya yang genit memikat, persis seperti yang dulu ditirukan oleh Siang In, akan tetapi tentu saja lebih memikat karena gerak-gerik Hong Kui tidak dibuat-buat, memang sudah menjadi wataknya. Biarpun genit memikat, namun wanita ini sopan dan amat baik terhadap dia, tidak pernah mengeluarkan kata-kata cabul, apalagi melakukan sesuatu yang tidak sopan. Hanya setiap kali mereka bersentuhan,

seperti ada aliran hawa panas keluar dari tubuh wanita itu menjalar di seluruh tubuhnya dan menggoncang jantungnya!

"Eiiihhh.... ular.... tolong.... Kian Bu....!"

Jerit ini mengejutkan Kian Bu. Sekali meloncat dia telah mengejar ke pinggir sungai dan alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tubuh Hong Kui rebah miring dengan kepala masuk ke dalam air, sedangkan seekor ular hitam yang panjangnya ada satu meter berenang terbirit-birit meninggalkan tempat itu menyeberang anak sungai. Celaka, pikirnya, kalau tidak cepat ditolong, Hong Kui yang pingsan dengan kepala terbenam air itu tentu akan kehabisan napas dan tewas! Maka dia lalu meloncat mendekati, memasuki anak sungai yang airnya hanya setinggi lututnya, kemudian dia mengangkat tubuh Hong Kui yang lemas.

Dapat dibayangkan betapa kacau perasaan Kian Bu ketika mengangkat tubuh yang sama sekali tidak berpakaian, yang telanjang bulat itu! Ketika dia mengangkat tubuh polos itu, dia mencoba untuk memejamkan mata dan tidak melihat. Akan tetapi tangannya dan lengannya menyentuh kulit tubuh yang mulus dan hangat, dan jantungnya berdebar hampir copot dari tempatnya! Dan dia pun tidak mungkin memejamkan mata terus karena dia harus membawa Hong Kui ke tepi anak sungai. Tidak lupa dia menyambar pakaian wanita itu yang tadi terletak di atas sebuah batu.

Teringat bahwa wanita itu tentu akan merasa malu sekali kalau sadar nanti dalam keadaan polos, Kian Bu lalu cepat-cepat mengenakan pakaian Hong Kui pada tubuh itu. Dan tentu saja untuk dapat melakukan ini, dia harus membuka matanya, dan karena dia membuka matanya, tentu saja dia melihat dengan jelas semua bagian tubuh yang berada di depan hidungnya! Sekali melihat, dia tidak kuasa lagi untuk menahan matanya yang menjelajahi semua bagian tubuh yang mulus dan menggairahkan itu. Berkali-kali dia menelan ludah karena merasa lehernya seperti dicekik. Jari-jari tangannya menggigil sehingga sampai lama barulah akhirnya dia berhasil mengenakan pakaian itu pada tubuh Hong Kui, walaupun setengah memaksa kedua tangannya yang agaknya mau mogok saja!

Begitu akhirnya Kian Bu selesai mengenakan pakaian Hong Kui, wanita itu siuman dan mengeluh, kemudian merangkul pinggang Kian Bu sambil merintih ketakutan, "Ular.... ular...."

Kian Bu tersenyum, merasa geli juga melihat wanita yang dia tahu amat lihai ini menjadi begitu ketakutan seperti anak kecil ketika bertemu ular. "Ularnya sudah pergi, Enci Hong Kui."

Wanita itu kembali mengeluh, kemudian tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dan melepaskan pelukannya, melihat ke arah tubuhnya yang sudah berpakaian. "Eh.... ahhh.... aku tadi sedang mandi.... ada ular hitam menjijikkan...."

"Kau menjerit dan aku melihat engkau pingsan di air, Enci...."

"Dan aku...." Muka yang halus itu menjadi merah sekali dan matanya mengerling malu-malu, sikap yang bahkan amat manis dan menarik hati, "....aku tadi mandi.... kutanggalkan pakaianku...."

Kini Kian Bu memandang dengan muka terasa panas. "Aku yang mengenakan kembali pakaianmu, Enci Hong Kui."

"Aihhh.... engkau.... engkau baik sekali, Kian Bu."

Kian Bu yang masih hijau itu tentu saja sama sekali tidak menduga bahwa ular-ular itu, baik yang merayap di cabang pohon maupun di sungai, adalah ular-ular yang sengaja ditangkap oleh Hong Kui dan dilepas di dekatnya, tidak tahu bahwa wanita ini sama sekali tidak takut terhadap ular yang bagaimana juga pun, bahkan sejak kecil dia telah biasa bermain-main dengan ular berbisa! Kian Bu tidak tahu bahwa wanita itu secara halus dan cerdik sekali mulai menggoda dan memikat hatinya.

Dan memang hati Kian Bu terguncang hebat sekali. Mula-mula hatinya sudah tergerak oleh cerita Hong Kui yang membuat dia selalu me mbayangkan yang bukan-bukan, kemudian dia disuguhi pemandangan yang amat mengesankan, melihat tubuh telanjang bulat yang menggairahkan itu, sehingga setiap kali memandang Hong Kui, dia melihat seolah-olah wanita itu tidak berpakaian.

Penglihatan itu terus menggodanya, membuat dia selalu terbayang akan hal yang mesra dan seringkali Kian Bu termenung. Dia tidak tahu betapa Hong Kui seringkali tersenyum puas dan sepasang matanya kelihatan bersinar-sinar karena wanita yang berpengalaman ini dapat menduga bahwa siasatnya telah berhasil dan dia telah berhasil mengisi hati dan pikiran pemuda yang dicintanya ini dengan nafsu berahi yang berkobar. Hanya berkat pendidikan yang baik di Pulau Es saja yang membuat Kian Bu masih dapat bertahan dan selalu menindas kobaran nafsu berahi itu. Akan tetapi, pemuda ini merasa tersiksa sekali dan kini dia melihat setiap  gerak-gerik Hong Kui sebagai sesuatu yang amat indah dan manis membangkit kan berahinya. Apalagi memang sikap Hong Kui tepat seperti yang dikatakan Siang In dahulu, yaitu genit memikat, baik cara matanya memandang dan mengerling,

cara bibirnya bergerak dalam berkata-kata atau tersenyum, gerak lehernya, lengannya, pinggang dan pinggulnya ketika berjalan, sentuhan-sentuhan halus ujung jari tangannya, harum wangi-wangian yang keluar dari tubuhnya dan rambutnya, getaran pada suaranya yang mesra.

Bagaikan seekor laba-laba yang menjerat seekor lalat, Hong Kui terus memperketat jeratnya dan matanya yang penuh pengalaman itu melihat betapa lalat itu menjadi makin lemah, makin berkurang daya tahan dan daya lawannya, sampai dia yakin benar bahwa lalat itu sudah siap dan matang untuk dihisap darahnya. Dan malam itu, ketika mereka berdua bermalam di sebuah rumah penginapan di dalam sebuah dusun, dia mengambil keputusan untuk melakukan penerkaman terakhir. Dia sengaja memesan masakan-masakan lezat dan arak wangi sampai dua guci besar. Ketika Kian Bu menyatakan keheranannya, Hong Kui berkata sambil

tersenyum manis. "Kian Bu, hari ini kebetulan adalah hari ulang tahunku, maka aku hendak merayakannya. Engkau tentu mau menemaniku merayakan hari ulang tahunku, bukan?"

Wajah Kian Bu berseri. "Ah, tentu saja, Enci Hong Kui! Dan biarlah aku mengucapkan selamat atas hari ulang tahunmu ini!" Kian Bu menjura dan dibalas oleh Hong Kui sambil tersenyum.

"Engkau baik sekali, terima kasih. Mari kita makan minum sekedarnya."

Mereka duduk menghadapi meja yang penuh hidangan, dan Hong Kui menuangkan arak wangi di dalam cawan mereka. Kian Bu mengangkat cawan sambil berkata, "Semoga engkau panjang usia, banyak rejeki dan berbahagia, Enci"

"Terima kasih!" Mereka mengangkat cawan lalu minum arak itu.

"Kalau aku boleh bertanya, hari ini merupakan ulang tahunmu yang ke berapa, Enci Hong Kui?"

Wanita itu memandang dengan mata dan mulut berseri. "Coba kauterka, berapa kiranya umurku sekarang, Kian Bu?"

Kian Bu memandang wajah yang cerah itu. Dia dapat menduga bahwa wanita ini tentu lebih tua daripada nampaknya, mengingat bahwa suhengnya, Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang kakek, dan sucinya, mendiang Hek-wan Kui-bo, adalah seorang nenek. Akan tetapi melihat wajah yang cantik itu, orang akan menduga bahwa wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya. Dan Kian Bu yang sejak keluar dari Pulau Es sudah sangat memperhatikan wanita, mengerti bahwa wanita paling suka mendengar dugaan orang bahwa dia masih muda, maka sambil tersenyum dia menjawab, "Menurut dugaanku, usiamu paling banyak dua puluh tahun, Enci."

"Hi-hi-hik!" Hong Kui tertawa merdu sambil menutupi mulutnya dan matanya mengerling tajam. "Masa kaukira aku semuda itu, Kian Bu? Bukan paling banyak dua puluh tahun, melainkan dua puluh dua tahun. Usiaku sudah dua puluh dua tahun, Kian Bu. Aihhh, tanpa kusadari aku sudah menjadi sangat tua, bukan? Setua nenek-nenek...." Dia menarik napas panjang.

"Ah, siapa bilang engkau sudah tua, Enci? Sama sekali tidak! Engkau masih sangat muda dan.... dan...." Kian Bu teringat bahwa dia sudah terlanjur bicara, maka dia cepat menahan kata-katanya dan menunduk.

"Ya....? Mengapa tidak kauteruskan? Katakanlah bahwa aku jelek dan tua."

Kian Bu tidak dapat melanjutkan karena dari pandang mata wanita itu, dia tahu bahwa wanita itu menertawakan dia. Hong Kui juga tidak mau mendesak dan kembali mengisi arak ke dalam cawan Kian Bu yang sudah kosong. Mereka makan minum dan karena pandainya Hong Kui bicara, Kian Bu terpaksa menemaninya minum arak sampai dua guci besar itu habis memasuki perut mereka! Malam telah gelap ketika dalam keadaan setengah mabok Kian Bu mencuci muka dan mulut, menggosok gigi lalu memasuki kamarnya. Begitu membuka baju karena arak membuat tubuhnya gerah dan melemparkan bajunya ke atas meja, membuka sepatunya, dia lalu melempar tubuhnya yang hanya memakai celana itu ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas.

Kian Bu hanyut dalam mimpi. Dia merasa seperti sedang berlatih sin-kang di Pulau Es, di atas salju yang amat dingin. Seperti ketika dia berlatih di waktu masih tinggal di pulau itu, dia duduk bersila di atas salju yang lembut dan dingin itu, mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin sehingga uap mengepul dari seluruh tubuhnya. Kemudian dia melihat ada seekor ular bergerak perlahan berlenggak-lenggok mendekatinya dan ular itu lalu menggelutnya. Dicobanya untuk melawan akan tetapi ular itu kuat sekali sehingga dia terjengkang rebah terlentang. Ular besar itu menindihnya, membelit dan menggelutnya. Tubuh ular itu licin halus dan hangat, dan ular itu menjilat-jilat mukanya, matanya, hidungnya, bibirnya. Kemudian ular itu mengeluarkan suara aneh, suara merintih dan mengeong seperti suara seekor kucing! Dan dalam mimpinya, Kian Bu melihat betapa ular itu berubah menjadi seekor kucing. Kucing putih berbulu tebal, lunak halus dan hangat, lalu kucing itu menindih dan menggelutinya, menjilat-jilatkan lidah dan bibirnya yang basah dan hangat itu ke pipinya dan mulutnya, sambil mengeluarkan

suara lirih mengerang.

Ketika kucing itu tidak hanya menjilat, akan tetapi kini menggigit bibirnya dengan gigitan halus, Kian Bu terkejut dan takut. Cepat dia meronta dan kucing itu terlempar didorongnya. Dia cepat bangkit mengangkat tubuh atasnya dan matanya terbelalak memandang kepada tubuh polos yang dihias rambut panjang itu. Kiranya Hong Kui telah duduk di atas pembaringannya dan dadanya hanya tertutup rambut hitam panjang yang terurai lepas. Kian Bu terbelalak memandang wajah yang cantik kemerahan dan sepasang

mata yang seperti mata kucing, jeli dan berkilauan aneh itu.

"Enci...." Dia berbisik dengan mata terbelalak lebar. Hong Kui sudah menutupi dadanya dengan pakaiannya, akan tetapi gerakan ini membuat tubuh yang menjadi setengah telanjang itu makin menarik. Kiranya wanita itu telah memasuki kamarnya, dan hal ini tidak sukar sama sekali bagi wanita yang lihai itu, dan telah menyalakan lampu tanpa diketahui Kian Bu yang tadi tidur pulas.

"Kian Bu.... Kian Bu.... kasihanilah aku...." Hong Kui lalu menubruk pemuda yang masih bengong itu dan menangis, memeluk lehernya dan mendekapkan mukanya di dada pemuda yang telanjang itu.

"Enci.... apa.... apa artinya ini....?" Kian Bu gelagapan.

"Artinya.... bahwa aku.... aku cinta padamu, Kian Bu.... kaukasihanilah aku...." tangan Hong Kui terjulur ke arah lampu dan di lain saat lampu itu pun padam. Kamar menjadi gelap sekali akan tetapi Kian Bu tidak membutuhkan penerangan karena tubuhnya merasa betapa wanita itu mendekap dan menciuminya penuh nafsu.

Kian Bu hanyalah seorang pemuda yang baru menjelang dewasa. Dia masih hijau dan sebelumnya dia telah digoda secara halus oleh Hong Kui. Tanpa disadarinya, dengan cerdik sekali Hong Kui telah mengusahakan agar nafsu berahi pemuda remaja itu bangkit dan dia maklum akan hasil usahanya itu ketika melihat Kian Bu seringkali melamun dan di waktu berhadapan sering melihat pandang mata pemuda itu menjelajahi tubuhnya dari leher turun sampai ke kaki. Kemudian, malam itu sengaja dia mengajak Kian Bu minum

banyak arak sampai setengah mabok sehingga oleh pengaruh arak, lenyap sama sekalilah daya pertahanan batin Kian Bu dan kini pemuda itu hanyut dalam kemesraan belaian dan bujuk rayu, terseret hanyut oleh gelombang nafsu berahi yang dahsyat dari Hong Kui. Wanita itu merupakan guru yang amat pandai dalam permainan cinta sehingga makin dalamlah Kian Bu tenggelam dan makin jauh dia terhanyut sehingga semalam suntuk itu dilewatkan oleh Kian Bu sebagai suatu malam yang amat indah dan nikmat.

Pada keesokan harinya, ketika mereka berdua pagi-pagi sekali sudah melanjutkan perjalanan, Hong Kui telah menjadi kekasih Kian Bu. Wanita ini telah berhasil menundukkan dan menguasai Kian Bu yang menjadi tergila-gila, mabok oleh permainan cinta Hong Kui, dirayu oleh suara aneh seperti kucing mengerang yang bagi Kian Bu merupakan pendengaran yang menambah berkobarnya nafsu berahinya.

Mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandeng tangan dan kadang-kadang mereka berhenti untuk berpelukan dan berciuman, seolah-olah permainan cinta semalam suntuk tadi masih belum memuaskan dahaga wanita itu yang memang tidak pernah mengenal kepuasan. Kian Bu menjadi makin mabok. Dalam hal ilmu silat, dia jauh lebih lihai daripada Hong Kui, namun dalam hal ilmu mengumbar nafsu berahi ini, dia merupakan seorang murid bodoh dan mentah menghadapi Hong Kui yang amat pandai.

Demikianlah, Suma Kian Bu, pemuda perkasa putera Pendekar Super Sakti dan Nirahai, bekas Ketua Thian-liong-pang, jatuh cinta dan tergila-gila ke dalam pelukan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, lupa sama sekali bahwa wanita ini adalah seorang wanita cabul yang hidupnya menghamba kepada nafsu berahinya. Akan tetapi di lain pihak, sebaliknya wanita itu pun tergila-gila kepada Kian Bu. Selama hidupnya baru sekarang dia mendapatkan seorang pria seperti pemuda ini yang selain tampan dan memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada dia sendiri, juga merupakan seorang pemuda yang romantis dan sebentar saja sudah hampir menandingi kelihaiannya dalam permainan cinta! Perjalanan mereka menuju ke Telaga Sungari seringkali tertunda karena setiap kali mereka berhenti untuk mencurahkan perasaan yang penuh oleh hawa nafsu.

Pada suatu hari, lupa akan keadaan sekelilingnya, dua orang itu duduk di bawah pohon yang teduh. Kian Bu duduk dan wanita itu menyandarkan tubuh ke dadanya, mereka saling mencumbu dan Hong Kui sudah mengeluarkan suara mengerang seperti seekor kucing manja.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. "Kiranya Siluman Kucing dan kekasihnya berada di sini!"

Hong Kui dan Kian Bu terkejut. Cepat mereka membetulkan letak pakaian mereka pada tubuh dan meloncat berdiri. Pertama-tama yang muncul adalah Yu Ci Pok Si Siucai pembantu Tambolon dan yang tadi menegur sambil tertawa mengejek. Lalu dari belakang mereka muncul pula Si Petani Liauw Kui dan dari balik-balik pohon berlompatlah anak buah mereka, orang-orang suku liar yang menjadi kaki tangan mereka.

Kian Bu menjadi marah sekali. Dia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk membasmi orang-orang ini. Dia marah karena merasa malu bahwa tadi ada orang melihat dia bercumbu dengan Hong Kui. Akan tetapi selagi dia hendak membentak, tiba-tiba terdengar suara meledak, kelihatan asap mengebul dan dari dalam asap itu muncul seorang nenek berpakaian serba hitam. Terkejutlah Kian Bu karena dia mengenal nenek ini sebagai orang yang berada di pesta Tambolon tempo hari. Nenek itu memang bukan lain adalah Durganini, guru dari Tambolon!

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui juga marah sekali, merasa bahwa kesenangannya terganggu. Sambil menggereng dia sudah mengeluarkan sebuah peluru peledak dan melontarkannya ke arah nenek yang muncul seperti itu. Akan tetapi nenek itu tertawa, menudingkan telunjuknya ke arah senjata rahasia itu dan.... senjata rahasia itu meledak di udara!

"Aihhh....!" Hong Kui menjerit dengan kaget sekali.   Kian Bu juga maklum bahwa nenek itu amat lihai, maka melihat betapa kini anak buah Tambolon ternyata lebih banyak lagi, dia berbisik, "Mari kita pergi!"

Hong Kui mengangguk, kedua tangannya sibuk melempar-lemparkan senjata peledak ke kanan kiri dan depan, kemudian bersama Kian Bu dia meloncat ke belakang dan merobohkan empat orang anak buah mereka, terus menghilang pada saat senjata-senjata itu meledak dan tempat itu penuh asap.

"Siluman Kucing, hendak lari kemana kau?" terdengar Si Petani membentak.

"Bresss!" Liauw Kui yang tadi melihat ke mana berkelebatnya dua orang itu dan menerjang dengan lompatan dahsyat, bertemu dengan hantaman Kian Bu. Dia menangkis, dan benturan tenaga dahsyat membuat Si Petani terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia bergulingan dan cepat meloncat ke belakang dengan kaget bukan main. Kian Bu dan Hong Kui mempergunakan kesempatan itu untuk melompat jauh dan terus melarikan diri.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa melengking tinggi. Mendengar suara tertawa yang seolah-olah mengikuti mereka ini, Kian Bu dan Hong Kui bergidik ngeri karena suara tertawa itu seperti menikam-nikam jantung mereka. Kemudian terdengar suara tinggi nyaring yang mengandung wibawa aneh, "Perempuan genit, kau tidak bisa lari lagi, hi-hik-hik! Kakimu lumpuh tak bertenaga, kau robohlah....!"

"Enci Hong Kui....!" Kian Bu terkejut sekali ketika melihat betapa tiba-tiba wanita kekasihnya itu terhuyung dan tentu sudah roboh kalau saja dia tidak cepat-cepat menyambarnya dan memondongnya lalu berlari lebih cepat lagi sambil memondong tubuh Hong Kui.

"Haiii.... pemuda remaja yang tampan....! Berhentilah...., berhentilah...., jangan berlari lagi.... berhenti. ...!" Suara yang tinggi nyaring itu melengking dan bergema, akan tetapi Kian Bu tetap saja berlari terus, malah lebih cepat karena pemuda yang maklum bahwa nenek itu memiliki ilmu hitam yang luar biasa, telah menulikan telinganya dan sama sekali tidak mendengarkan suara itu melainkan berlari terus sampai akhirnya dia memasuki sebuah hutan besar dan jauh meninggalkan para pengejarnya.

Dua buah lengan yang halus panjang itu merayap seperti ular dan merangkul lehernya. "Kian Bu, kekasihku.... kau telah menyelamatkan aku...." Dan Hong Kui menarik leher itu, terus menciumi Kian Bu yang terpaksa menghentikan larinya untuk menyambut ciuman kekasihnya.

"Tempat ini sunyi dan teduh.... kita lanjutkan yang tadi terganggu orang...." Hong Kui yang sudah turun dari pondongan itu memeluk pinggang dan menarik Kian Bu ke atas rumput.

"Jangan, Enci. Mungkin mereka sebentar lagi akan menyusul ke hutan ini. Kita harus lari terus sampai benar-benar terlepas dari mereka. Nenek itu mengerikan sekali. Tadinya kukira dia sudah mampus di waktu ruangan pesta Tambolon terbakar."

Hong Kui menghela napas kecewa, akan tetapi dia tidak membantah ketika Kian Bu mengajak dia terus berjalan menyusup-nyusup hutan lebat.

"Dia memang bukan manusia!" katanya bersungut-sungut. "Dan aku hanya pernah mendengar namanya saja, baru sekarang aku bertemu dengan iblis tua itu. Hihh, bukan main dia! Bukan saja dapat membikin senjata rahasia peledakku tidak berdaya, akan tetapi dari jauh dia bisa memaksaku roboh hanya dengan suaranya! Dia adalah seorang manusia iblis dari See-thian, dan kabarnya di Pegunungan Himalaya banyak terdapat orang-orang ahli ilmu setan seperti dia. Namanya Durganini dan dia adalah seorang di antara guru-guru dari Tambolon."

"Sebetulnya tidak terlalu aneh," Kian Bu berkata. "Orang yang memiliki kekuatan sihir tidak sukar meledakkan senjatamu di udara dan tadi dia menggunakan khi-kang yang mengandung kekuatan sihir untuk merobohkanmu. Kalau kau mengerahkan sin-kang, atau kalau kau menulikan telinga tidak mendengar suaranya, tentu dia tidak akan dapat mempengaruhimu. Ahli sihir seperti dia itu kalau bertemu dengan Ayah tentu celaka!" tiba-tiba Kian Bu menghentikan kata-katanya karena dia teringat bahwa tidak semestinya dia membawa-bawa nama ayahnya, apalagi memperkenalkan ayahnya kepada Hong Kui.

Akan tetapi, pemuda int terlalu memandang rendah Hong Kui yang luar biasa cerdiknya. Semenjak Kian Bu bertekuk lutut oleh rayuan mautnya, dia selalu berusaha menyelidiki riwayat Kian Bu yang benar-benar telah merampas hatinya, yang membuat dia jatuh cinta. Akan tetapi pemuda itu selalu merahasiakan riwayatnya, dan dia hanya berhasil mengetahui bahwa pemuda ini mempunyai she (nama keturunan) Suma. Ini saja sudah menimbulkan dugaan karena dia melihat bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang amat kuat dari melihat she Suma serta sikap pemuda yang ingin merahasiakan dirinya ini sudah timbul dugaannya bahwa agaknya pemuda luar biasa ini tentu ada hubungannya dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti yang dia tahu bernama Han dan ber-she Suma pula. Namun dengan cerdiknya, karena melihat pemuda itu merahasiakan riwayatnya dia pura-pura tidak menduga apa-apa. Sekarang mendengar betapa pemuda itu memandang rendah Durganini dan mengatakan bahwa ilmu sihir itu tidak ada artinya jika bertemu dengan ayah pemuda ini, dia merasa yakin bahwa tentu ayah pemuda ini adalah Pendekar Super Sakti atau juga yang disebut Pendekar Siluman karena pendekar itu memiliki ilmu sihir yang kabarnya amat mujijat! Diam-diam hati wanita ini menjadi girang bukan main. Kekasihnya adalah putera Pendekar Super Sakti! Kalau saja dia bisa menjadi mantu Majikan Pulau Es, betapa akan bangga dan bahagia hatinya. Maka, dia mengambil keputusan untuk tidak melepaskan pemuda ini dari cengkeramannya.

Tiba-tiba Kian Bu memegang tangannya. "Ada derap kaki kuda dari jauh menuju ke sini! Mari kita bersembunyi di sana!" Tanpa menanti jawaban, sambil memegang lengan wanita itu, Kian Bu melompat ke atas dan Hong Kui merasa kagum bukan main ketika tubuhnya terbawa melayang seperti terbang. Mereka bersembunyi di dalam pohon, di cabang yang tinggi di antara daun-daun lebat. Hong Kui merangkul dan mencium telinga Kian Bu, hatinya bangga bukan main. Dia sendiri memiliki gin-kang yang sukar dicari tandingannya, namun dibandingkan dengan pemuda kekasihnya ini, dia kalah jauh! Dan pendengaran telinga pemuda itu pun tajam bukan main. Dia sendiri belum mendengar apa-apa dan Kian Bu sudah tahu akan datangnya rombongan kuda. Setelah berada di atas pohon, baru dia mendengar suara itu, bahkan tak lama kemudian mereka melihat bahwa dari kiri tampak serombongan orang berkuda. Ada tujuh belas orang berkuda dan di belakang barisan ini terdapat dua buah kereta tertutup yang agaknya terisi muatan-muatan. Kereta pertama terhias bendera hitam yang tidak jelas gambarnya dan kereta ke dua jelas adalah kereta penuh dengan muatan barang.

Kian Bu menjadi lega karena melihat bahwa mereka itu bukanlah para pengejar, bukan anak buah Tambolon seperti yang dikhawatirkannya tadi. Ketika dia menoleh dan memandang temannya, dia melihat wanita itu tersenyum manis.

"Eh, kenapa kau tersenyum?"

Dengan lagak genit Hong Kui mencolek dagu Kian Bu. "Kita bersembunyi di atas kereta yang terakhir itu. Tak usah capai-capai berjalan kaki dan tidak akan terlihat oleh Si Nenek Iblis kalau dia mengejar kita."

Kian Bu mengangguk. Buah pikiran yang baik sekali. Memang atap kereta itu rata dan cukup lebar. Kalau mereka berdua rebah di atas atap yang tertutup pinggiran atap tentu tidak kelihatan dari bawah. Maka ketika kereta yang terakhir dan yang muat barang itu lewat, mereka meloncat turun sambil mengerahkan gin-kang mereka sehingga ketika kedua kaki mereka hinggap di atas atap, seperti ditahan oleh per yang halus dan tidak menimbulkan guncangan sehingga tidak terasa sedikit pun juga oleh kusir kereta itu. Cepat mereka berdua lalu menggulingkan tubuh rebah berdampingan di atas atap kereta.

"Hi-hik, enak di sini....!" Hong Kui sudah terkekeh genit, membalikkan tubuh menghadapi kekasihnya, kaki dan tangannya sudah memeluk.

"Hishhh.... jangan di sini! Siang-siang begini.... dan malu kalau kelihatan orang!" Kian Bu berbisik mencela sambil bergurau, akan tetapi dia mencium pipi kekasihnya yang cemberut oleh penolakannya itu sehingga Hong Kui tersenyum lagi. Mereka lalu rebah menelungkup dan mengintai dari atas pinggiran atap ke depan.

Tiba-tiba terdengar suara bersuit nyaring dan penunggang kuda terdepan berteriak kaget karena kaki kudanya terperosok ke dalam lubang sehingga kaki depan kuda itu patah dan kudanya roboh terjungkal. Akan tetapi, betapa kaget hati Kian Bu melihat penunggang kuda ini tidak ikut jatuh, bahkan mencelat ke atas, berpoksai di udara dan hinggap di atas punggung kuda penarik kereta pertama. Sungguh merupakan kepandaian yang mengagumkan. Akan tetapi kekagumannya berubah menjadi kekagetan dan kengerian ketika dia melihat orang itu yang melihat kudanya sekarat, dari atas kuda penarik kereta lalu menggerakkan tangan kanannya, seperti memukul ke arah kudanya yang sekarat. Serangkum hawa pukulan jarak jauh mendorong bubuk putih seperti kapur yang mengeluarkan bau busuk menyambar ke arah kuda sekarat itu. Terdengar ledakan keras dan kuda itu terbakar habis sampai menjadi abu! Tentu saja Kian Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa rombongan ini terdiri dari orang-orang yang demikian lihainya, bahkan belum tentu kalah lihai dibandingkan dengan para pengejarnya, orang-orang liar dari kaki tangan Tambolon! Dia melirik ke arah Hong Kui dan dia melihat betapa kekasihnya itu hanya tersenyum saja seolah-olah tidak pernah terjadi kengerian seperti yang disaksikannya tadi. Betapa tabah hati kekasihnya yang cantik ini! Akan tetapi, perhatiannya sudah tertarik lagi oleh munculnya beberapa belas orang dibarengi tanda-tanda suitan dan ternyata yang muncul adalah rombongan perampok yang diketuai oleh seorang laki-laki bercambang bauk yang bertubuh tinggi besar. Mereka itu pun kelihatan heran dan jerih melihat betapa kuda tadi dapat terbakar habis, maka kini kepala rampok yang agaknya setelah melihat peristiwa itu bersikap hati-hati dan lunak, lalu berkata, suaranya parau dan keras, "Sahabat-sahabat yang lewat harap suka menolong

kami orang-orang kekurangan dengan sedikit sedekah sebagai pembagian rejeki!"

Dari kereta pertama itu tiba-tiba terdengar suara yang berat dan malas-malasan, "Kalian menghendaki sedekah? Nih, maju dan terimalah!"

Kepala rampok menjadi girang, lalu meloncat dekat kereta dan ketika dari dalam kereta itu menyambar sebuah pundi-pundi, dia cepat menyambutnya. Pundi-pundi itu berat dan segera dibuka tali pengikatnya. Ketika pundi-pundi terbuka dan tampak potongan-potongan emas berkilauan, kepala rampok itu terkejut, terheran dan tentu saja menjadi girang bukan main. Dia mengelus jenggot yang lebat, mengucak-ucak matanya kemudian tertawa dan menjura ke arah kereta. "Aihh, kiranya kami bertemu dengan sahabat yang amat dermawan, harap suka memaafkan kami yang telah membikin kaget...."

"Hi-hik, hendak kulihat siapa yang kaget." Hong Kui terkekeh dan berbisik sambil terus mengintai dan tangannya mengelus-elus tengkuk Kian Bu penuh rasa sayang. Kian Bu tidak mengerti mengapa kekasihnya berkata demikian, akan tetapi dia terus mengintai dan tiba-tiba dia terbelalak saking kaget dan herannya.

Kepala rampok itu tiba-tiba mengeluarkan seruan aneh, lalu kedua tangannya menegang kemudian saling menggaruk telapak tangan, kemudian kedua tangan menggaruk mukanya, lehernya, dan tak lama kemudian dia sudah berteriak-teriak dan berkelojotan di atas tanah, kedua tangan menggaruki mukanya, mencakar mukanya berkali-kali sampai kulit mukanya robek berdarah, akan tetapi terus digarukinya sambil menjerit-jerit. Pundi-pundi emas itu terjatuh ke atas tanah dan ketika sebuah lengan terjulur keluar dari tenda kereta pertama dan dengan jari-jari terbuka bergerak, tiba-tiba pundi-pundi itu seperti tersedot dan terbang ke arah tangan itu yang segera lenyap kembali ke balik tenda atau tirai kereta. Melihat demonstrasi tenaga sin-kang yang dahsyat ini, tentu saja Kian Bu terkejut bukan main.

Kini anak buah perampok itu sadar bahwa kepala mereka telah terkena racun, maka dengan marah mereka berteriak-teriak dan menyerbu dengan pedang atau golok terhunus. Dan tujuh belas orang berkuda itu dengan ketenangan seperti patung-patung hidup, membiarkan para perampok itu menyerbu. Kemudian, mereka itu melontarkan bermacam bubuk racun yang beraneka warna, ada yang putih, ada yang merah dan ada pula yang hitam. Akan tetapi akibatnya amat mengerikan. Yang terkena bubuk putih meledak dan terbakar hidup-hidup dan yang terkena bubuk merah berkelojotan dan menggaruki tubuh seperti Si Kepala Rampok, sedangkan yang

terkena bubuk hitam berkelojotan dan tubuh mereka mencair dan mengeluarkan bau yang amat busuk.

Melihat pembunuhan yang amat mengerikan ini, Kian Bu menjadi marah dan hampir saja dia meloncat turun dari atas atap kereta, akan tetapi Hong Kui merangkul lehernya dan mencegahnya. Ketika dia hendak membantah, sebelum ada suara keluar dari mulutnya, mulut itu sudah ditutup oleh bibir Hong Kui sampai lama sehingga Kian Bu menjadi nanar terbuai nafsu. Hong Kui melepaskan ciumannya dan berbisik dekat telinganya, "Mereka begitu lihai, sedang kita masih dikejar nenek iblis, mengapa mencari bahaya?"

Mau tidak mau Kian Bu terpaksa membenarkan pendapat kekasihnya itu. Jelas bahwa mereka ini merupakan lawan yang amat lihai, apalagi orang yang berada di dalam kereta tadi. Sedangkan menghadapi nenek iblis itu saja amat berbahaya, kalau ditambah mereka ini tentu dia akan kewalahan. Dia terpaksa diam saja menonton akan tetapi merasa hatinya seperti diremas-remas dan ada rasa malu di dalam lubuk hatinya mengapa dia mendiamkan saja pembantaian manusia sedemikian kejamnya tanpa turun tangan sama sekali. Sungguh amat tidak sesuai bahkan berlawanan dengan sifat pendekar yang ditanamkan oleh ayah bundanya dalam dirinya!

Pemandangan itu amat mengerikan. Empat belas orang perampok itu roboh semua dan kini Kian Bu melihat betapa para korban bubuk putih terbakar menjadi abu seperti bangkai kuda tadi, yang terkena bubuk merah menggaruk-garuk kulit daging sampai habis dan mereka mati menjadi kerangka-kerangka karena kulit dan daging mereka habis dimakan racun merah sedangkan yang terkena racun hitam tubuhnya mencair dan meleleh menjadi cairan kuning yang baunya amat busuk! Hawa dari racun-racun itu ternyata amat jahat karena pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan di dekat tempat itu menjadi layu dan daun-daunnya menjadi kuning dan rontok.

"Lanjutkan perjalanan, Telaga Sungari tak jauh lagi!" Tiba-tiba terdengar suara berat dan malas dari dalam kereta. Rombongan bergerak lagi dan kini kereta yang ditumpangi Kian Bu dan Hong Kui dilarikan cepat menyusul kereta depan dan ternyata kereta ini sekarang berada di depan sendiri, di belakang dua orang penunggang kuda yang agaknya menjadi penunjuk jalan, sedangkan kereta yang ditumpangi orang lihai tadi berada di belakang.

"Hi-hik, kebetulan sekali, Kian Bu. Mereka menuju ke Telaga Sungari juga!" Hong Kui berbisik, kemudian membalikkan tubuhnya rebah terlentang menatap langit yang indah sekali terbakar api merah dari sinar matahari senja. Sambil rebah dan bercumbuan tanpa mengeluarkan suara, Kian Bu dan Hong Kui mendengarkan percakapan dua orang berkuda di depan kereta itu dan dari percakapan kedua orang itu tahulah mereka bahwa mereka ini adalah kelompok anggauta perkumpulan Lembah Bunga Hitam! Kiranya belasan orang ini adalah ahli-ahli racun jagoan dari Lembah Bunga Hitam dan melakukan perjalanan ke Telaga Sungari dipimpin sendiri oleh Hek-hwa Lo-kwi (Iblis Tua Bunga Hitam) Thio Sek yang berada di dalam kereta itu. Kian Bu menjadi terkejut sekali. Pantas saja orang-orang ini demikian lihai, dan kakek di dalam kereta itu mengerikan se kali. Kiranya Ketua Lembah Bunga Hitam dengan para jagoannya! Dari percakapan itu Kian Bu mendengar bahwa selama beberapa bulan ini Hek-hwa Lo-kwi bersama kaki tangannya tidak tinggal di Lembah Bunga Hitam dan selalu berpindah tempat karena mereka hendak menjauhkan diri dan bersembunyi dari kejaran dan intaian dua orang musuh besar yang amat lihai.

"Kalau Pangcu (Ketua) sudah selesai melatih diri dengan ilmu pukulan baru yang dirahasiakan, beliau tentu akan menghadapi dua orang musuh besar itu dan kita tidak perlu merantau lagi," kata yang seorang.

Kian Bu tidak tahu siapakah dua orang musuh besar yang dimaksudkan oleh dua orang pembicara itu. Dan Hong Kui berbisik, "Musuh besar dari Ketua Hek-hwa-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bunga Hitam) adalah suhengku."

"Hek-tiauw Lo-mo?"

"Benar, mereka bermusuhan karena memperebutkan kitab curian. Justeru karena mempelajari ilmu dari kitab curiannya itulah tubuhku keracunan."

Kian Bu mengangguk-angguk. Dia tidak tahu bahwa dugaan Hong Kui itu hanya sebagian kecil saja yang benar. Memang Ketua Lembah Bunga Hitam bermusuhan dengan Ketua Pulau Neraka, karena memperebutkan kitab yang mereka curi dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir. Akan tetapi yang membuat ketua ini melarikan diri dan menghindari pertandingan dengan dua orang pengejarnya, bukanlah Hek-tiauw Lo-mo, melainkan bekas rekannya, yaitu Louw Ki Sun, kakek pelayan Si Dewa Bongkok, dan Kok Cu, murid terkasih dari Si Dewa Bongkok yang amat lihai. Dia tahu bahwa kedua orang itu telah menerima tugas dari Si Dewa Bongkok untuk

melakukan pengejaran dan merampas kembali kitab yang dicurinya bersama Hek-tiauw Lo-mo. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena maklum akan kelihaian mereka, terutama murid Dewa Bongkok, dia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi korban dan di samping itu dia sedang melatih ilmu pukulan dahsyat yang dipelajarinya dari kitab curian itu. Kini, melihat bahwa telah tiba musimnya anak naga keramat akan dibawa keluar oleh induknya di permukaan Telaga Sungari, maka dia membawa anak buahnya ke telaga itu karena dengan bantuan anak naga itu, dia akan dapat menguasai ilmu pukulan yang dahsyat itu secara lebih cepat dengan hasil yang amat hebat sehingga dia tidak akan takut lagi menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun juga.

Malam itu terang bulan dan suasana di atas kereta itu romantis dan indah sekali. Cahaya bulan keemasan langsung menimpa tubuh mereka, kadang-kadang diselimuti bayangan halus pohon-pohon di kanan kiri kereta. Kian Bu makin terpesona dan mabok melihat kulit tubuh kekasihnya yang sengaja membuka pakaian itu bermandikan cahaya bulan dan untuk kesekian kalinya dia tidak dapat menolak rayuan Siluman Kucing itu.

Karena maklum bahwa mereka berdekatan dengan orang-orang pandai dan berbahaya, apalagi Ketua Lembah Bunga Hitam berada di dalam kereta di belakang mereka, Hong Kui terpaksa harus mengerahkan seluruh kekuatan sin-kangnya untuk menahan diri sehingga dari kerongkongannya tidak terlontar suara kucing yang biasanya dilakukannya kalau dia sedang tenggelam dalam permainan cinta. Dia hanya merintih lirih.

Kian Bu sudah tertidur pulas kecapaian, tidur dengan senyum kepuasan di bibirnya, berbantalkan lengan sendiri, sedangkan Hong Kui yang rambut dan pakaiannya masih mawut itu terlentang memandang langit yang indah dengan mata merem-melek digulung kenikmatan ketika tiba-tiba terdengar suara gerengan seperti seekor singa dan kereta itu dihentikan.

Hong Kui terkejut dan miringkan tubuhnya mengangkat kepala dan memandang ke depan. Dua orang penunggang kuda sudah berhenti dan mereka melihat datangnya seorang laki-laki berkuda. Laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menunggang seekor kuda putih yang besar dan jubahnya yang lebar melambai-lambai ketika kudanya berlari congklang mencegat rombongan itu.

"Eh, kenapa berhenti?" Kian Bu berbisik dan mengangkat tangannya, merangkul dada kekasihnya.

"Ssssh...." Hong Kui memberi isyarat agar pemuda itu tidak ribut. Kian Bu kini terbangun dan cepat dia pun membalikkan tubuhnya, mengintai ke depan.

"Wah.... dia....?" bisiknya kaget ketika dia mengenal penunggang kuda, laki-laki tinggi besar itu yang ternyata bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!

Akan tetapi kembali Hong Kui memberi isyarat agar dia tidak bersuara, dan mereka lalu mengintai ke depan dengan lengan saling merangkul dan mereka menelungkup di atas kereta.

"Orang she Thio, bujang hina-dina! Hayo keluar, manusia tak tahu malu. Hayo keluar dan kembalikan kitabku yang kaucuri!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak dengan suaranya yang nyaring dan menggetarkan hutan itu.

Dari dalam kereta yang berada di belakang terdengar suara tertawa bergelak, dan berbareng dengan berkelebatnya bayangan hitam, seorang kakek tinggi kurus bermuka tengkorak dan berpakaian serba hitam telah berdiri di depan kuda yang ditunggangi Hek-tiauw Lo-mo. Kakek tinggi kurus bermuka tengkorak ini adalah Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek.

"Ha-ha-ha, engkau maling rendah berani memaki orang! Kitab itu adalah milik bekas majikanku, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Engkaulah yang menjadi maling! Aku telah meminjamkan sebagian kitab kepadamu, dan sekarang telah kuambil kembali karena akulah yang berhak memiliki kitab itu. Pergilah, Hek-tiauw Lo-mo, sebelum kau kutangkap sebagai maling hina!" Hek-tiauw Lo-mo mengeluarkan suara memekik nyaring dan dari balik pohon-pohon berserabutan keluarlah orang-orang Pulau Neraka yang tadi bersembunyi. Jumlah mereka ada lima belas orang dan mereka merupakan orang-orang pilihan yang mengawal ketua mereka. Semenjak Hek-tiauw Lo-mo gagal dalam membantu para pemberontak, dia lalu kembali ke tempat di mana berkumpul orang-orang Pulau Neraka yang telah melakukan pendaratan di daratan besar dan pada suatu malam kitabnya yang hanya sepotong, yaitu bagian yang dapat dirampasnya ketika dia dan Thio Sek mencuri kitab dari Dewa Bongkok, ternyata telah dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam itu yang telah lama menanti-nanti saat dan kesempatan itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan melakukan penyelidikan dan pengejaran.

Kitab milik Dewa Bongkok yang dicuri oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu adalah sebuah kitab pelajaran ilmu mujijat tentang pukulan-pukulan beracun, akan tetapi karena tadinya mereka berebutan sehingga kitab itu terobek menjadi dua, maka isi kitab yang hanya setengah itu tidak begitu banyak manfaatnya. Karena itu mereka berdua selalu bermusuhan untuk merebut setengah bagian kitab yang mereka butuhkan, dan kini dengan akal curang, selagi Hek-tiauw Lo-mo sibuk dengar mengejar kedudukan membantu pemberontak, Ketua Lembah Bunga Hitam yang dahulunya adalah pelayan Dewa Bongkok itu akhirnya dapat mencuri bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo dan yang dijaga oleh para anak buahnya, yaitu orang-orang Pulau Neraka.

Kini setelah anak buahnya muncul, Hek-tiauw Lo-mo meloncat turun dari kudanya dan menerjang Hek-hwa Lo-kwi sehingga mereka lalu saling serang dengan dahsyatnya. Adapun anak buah Lembah Bunga Hitam sudah bertempur melawan belasan orang Pulau Neraka. Malam yang indah di bawah sinar bulan purnama itu kini berubah menjadi menyeramkan karena pertempuran antara dua kelompok ahli racun yang lihai itu. Karena orang-orang Lembah Bunga Hitam maklum bahwa orang-orang Pulau Neraka yang bermuka menyeramkan itu adalah orang-orang yang sudah kebal tubuh mereka terhadap racun, maka mereka tidak mau menggunakan senjata-senjata beracun mereka. Dalam pertempuran-pertempuran yang lalu mereka sudah cukup maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka tentang hal racun sehingga kalau mereka mengeluarkan bubuk-bubuk racun itu jangan-jangan malah senjata makan tuan, maka kini mereka menyerbu dengan senjata tajam di tangan dan menggunakan ilmu silat untuk mengalahkan musuh besar mereka. Melihat perang tanding yang dahsyat itu, Hong Kui hendak bangkit. "Suheng bisa celaka kalau tidak kubantu...."

Akan tetapi dua lengan yang kuat memeluknya dan Kian Bu berkata, "Hek-tiauw Lo-mo adalah bekas musuhku, kalau kau membantu dia, terpaksa aku pun akan membantu lawannya."

"Eihhh....?"

"Karena itu sebaiknya kita jangan mencampuri mereka, Enci."

Hong Kui menatap wajah pemuda itu, lalu tersenyum dan merangkul kemudian menciumi kekasihnya dengan penuh nafsu. Dicumbu dan dibelai oleh wanita yang amat cantik jelita dan pandai memikat hati ini, Kian Bu kembali mabok dan tenggelam sehingga selagi di bawah kereta kedua golongan itu bertanding mati-matian, di atas atap kereta itu dua orang ini bermain cinta tanpa mempedulikan keadaan di sekitar mereka!

"Eh, lihat ada orang....!" Tiba-tiba Kian Bu mendorong halus tubuh Hong Kui yang menindihnya dan menuding ke kiri. Hong Kui menengok dan benar saja. Mereka melihat sesosok bayangan manusia dengan gerakan cepat dan ringan berloncatan lalu berindap-indap menghampiri kereta di belakang tadi, kereta yang tadi ditumpangi Ketua Lembah Bunga Hitam. Kemudian bayangan yang ternyata adalah seorang kakek berambut putih itu menyelinap masuk dan tak lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah kitab.

"Dia mencuri kitab!" bisik Hong Kui dan tangan kiri wanita ini bergerak, sebuah benda bulat melayang ke arah kereta di belakang itu.

"Darrrr....!" Kereta itu meledak dan hancur, akan tetapi kakek itu dapat meloncat ke samping menghindar.

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang sedang bertanding ramai itu, cepat menengok dan melihat kakek itu, mereka terkejut sekali.

"Dia mencuri kitab itu....!" teriak Hek-hwa Lo-kwi dan seperti mendapat komando saja, mereka lalu meloncat ke depan. Kakek yang mengambil kitab dari dalam kereta itu cepat melarikan diri dan dikejar oleh dua orang datuk yang melihat betapa kitab mereka yang saling diperebutkan itu dilarikan orang.

"Wah, jadi ramai sekarang...." kata Kian Bu yang melihat betapa orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Lembah Bunga Hitam menjadi bingung melihat ketua mereka berhenti bertempur dan mengejar seorang kakek. Mereka lalu berlari pula ikut mengejar dan otomatis pertempuran pun berhenti.

"Hayo kita nonton keramaian!" Hong Kui terkekeh genit, menggelung rambutnya, membereskan pakaiannya dan bersama Kian Bu dia lalu meloncat turun dari atas kereta. Sunyi di tempat itu karena tidak ada seorang pun di situ, semua telah melakukan pengejaran. Mereka lalu berlari cepat mengejar ke arah larinya semua orang itu, yaitu ke utara.

Kakek tua berambut putih itu cepat sekali larinya sehingga malam lewat, belum juga dua orang datuk lihai itu dapat menyusulnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat membebaskan diri dari dua orang kakek yang seolah-olah menjadi bayangannya sendiri dan selalu mengikuti kemanapun dia pergi itu. Kakek tua itu tidak berani berhenti, karena dia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan mereka berdua, dia tidak akan mampu menang.

Kakek tua yang rambut dan jenggotnya sudah putih itu menjadi bingung juga dan ketika dia melihat sebuah dusun di luar hutan dia cepat memasuki dusun itu dan tak lama kemudian dia sudah menyelinap memasuki sebuah warung nasi yang masih sunyi karena baru dibuka dan langsung dia bersembunyi di dalam. Pemilik warung ini hanya melihat bayangan berkelebat dan bayangan itu lenyap sehingga dia bingung dan menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggerakkan pundaknya dan menggeleng kepala karena

mengira bahwa dia tentu salah lihat.

Akan tetapi tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek raksasa yang wajahnya mengerikan dan sikapnya bengis muncul di depan warungnya, pemilik warung ini menjadi terkejut dan ketakutan, yakin bahwa dia kini berhadapan dengan siluman-siluman maka dengan tubuh gemetar dia lalu berlutut dan bersembunyi di balik meja!

Yang muncul itu memang Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan memang wajah mereka amat menyeramkan. Hek-hwa Lo-kwi kelihatan seperti tengkorak hidup, sedangkan wajah Hek-tiauw Lo-mo memang seperti raksasa menakutkandan mulutnya bertaring. Akan tetapi pada saat kedua orang datuk ini tiba di depan warung, pada saat yang sama datang pula dua orang yang begitu melihat mereka menjadi kaget sekali. Dua orang ini bukan lain adalah Ceng Ceng dan Topeng Setan! Ketika Ceng Ceng melihat dua orang kakek yang pernah dikenal dan dilawannya ini, dia menjadi terkejut sekali. Akan tetapi dasar dia seorang gadis yang tidak mengenal

takut, apalagi ada Topeng Setan di situ, dia memandang rendah dua orang datuk ini dan dengan sikap angkuh dia lalu membuang muka dan hendak memasuki warung itu karena memang dia tadi mengajak Topeng Setan untuk mengisi perutnya yang lapar di warung itu. Hek-tiauw Lo-mo yang sudah sangat bernafsu untuk merampas kembali kitab yang kini telah utuh karena bagiannya dan bagian Hek-hwa Lo-kwi sudah disatukan dan yang telah dicuri dari dalam kereta oleh kakek berambut putih, tidak sabar lagi dan dia agaknya lupa dan tidak mengenal lagi kepada Ceng Ceng.

Maka melihat seorang gadis cantik yang sikapnya angkuh mendahuluinya masuk ke warung, dia lalu meloncat ke pintu dan membentak, "Bocah hina mundurlah!"

Tentu saja seketika perut Ceng Ceng menjadi panas mendengar sebutan "bocah hina" tadi, maka melihat Ketua Pulau Neraka itu melangkah hendak mendahuluinya memasuki pintu, langsung saja dia memukul dengan tangan terbuka ke arah perut kakek tinggi besar itu. Pukulan beracun, pukulan maut!

Barulah Hek-tiauw Lo-mo terkejut ketika dia merasa ada angin dahsyat menyambar dari pukulan, bukan hanya menunjukkan adanya tenaga sin-kang yang cukup kuat, akan tetapi terutama sekali hawa beracun yang hebat keluar dari telapak tangan gadis itu!

"Aihhh....!" Dia berseru dan tentu saja dia pun cepat menangkis dan mengerahkan tenaganya karena baru sekarang dia teringat siapa adanya wanita ini. Ceng Ceng sendiri karena merasa benci dan mendendam kepada Hek-tiauw Lo-mo yang telah membuat nyawanya terancam maut karena pukulan beracun Hek-coa-tok-ciang yang dijatuhkan kepadanya kini menggunakan pukulan beracun yang mematikan untuk membalas dendam.

"Dessss....!" Dua tangan yang sama-sama mengandung racun jahat itu saling bertemu dan akibatnya Ceng Ceng terlempar dan hampir terjengkang kalau tidak cepat lengannya disambar oleh Topeng Setan. Hek-tiauw Lo-mo yang hanya tergetar tangannya memandang kepada Ceng Ceng sambil tertawa.

"Hah! Kiranya engkau belum mampus?"

Dapat dibayangkan betapa marah hati dara itu. Dalam kemarahannya, dia sampai lupa diri dan berkata kepada Topeng Setan dengan suara memerintah, "Paman, bunuh orang ini!"

Kelihatannya memang aneh. Orang tua bermuka buruk itu tanpa banyak cakap lagi agaknya amat mentaati perintah Si Dara muda jelita itu karena tanpa berkata apa-apa dia sudah menggerakkan tangan kanannya. Tanpa menggerakkan kakinya, tempat dia berdiri terpisah dua meter dari Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi lengan tangan kanannya yang digerakkan itu terulur ke depan, terus memanjang dan mulur seperti karet, sampai mencapai jarak dua meter itu dan jari tangannya langsung menyerang dengan totokan ke arah iga Hek-tiauw Lo-mo!

Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi sangat terkejut menyaksikan hal ini dan tahulah dia bahwa orang tua bermuka buruk ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar dan dengan mengerahkan tenaga Hek-coa-tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang dilatihnya dari kitab curian, dia memapaki totokan itu dengan telapak tangannya.

"Cuuss....! Dessss!"

Akibat pertemuan kedua tangan yang sama besar dan sama kuatnya ini hebat sekali. Tubuh Topeng Setan tergetar, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terhuyung-huyung mundur sampai lima langkah keluar dari pintu warung!

Melihat ini, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut juga dan timbul kekhawatirannya. Dia memperhitungkan bahwa munculnya gadis beracun dan laki-laki tua bertopeng setan itu tentu ada hubungannya dengan Si Pencuri Kitab yang agaknya bersembunyi di dalam warung, maka karena yakin bahwa orang tua bertopeng ini tentu membela Si Pencuri, secepat kilat, dia pun menerjang maju dan menyerang Topeng Setan dengan pukulan mautnya.

Topeng Setan mengeluarkan suara seperti orang menahan tawa, dan di lain saat dia telah dikeroyok dua oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang lihai. Pertandingan ini berlangsung hebat sekali, sampai bumi di sekeliling tempat pertempuran itu tergetar hebat dan angin pukulan menyambar-nyambar dahsyat. Hebat sekali sepak-terjang Topeng Setan, dan Ceng Ceng menonton dengan wajah khawatir akan tetapi juga takjub. Dia tahu akan kelihaian Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, akan

tetapi Topeng Setan dapat menghadapi pengeroyokan mereka dengan tangguh dan sama sekali tidak kelihatan terdesak. Namun, diam-diam Topeng Setan maklum bahwa biarpun dia mampu menandingi dua orang datuk itu, akan tetapi dia pun tidak dapat mendesak mereka, apalagi mengalahkan. Kalau pertandingan dilanjutkan, akhirnya dia yang akan terancam bahaya karena tingkat kepandaian dua orang kakek ini memang sudah tinggi sekali.

Tak lama kemudian, Kian Bu dan Hong Kui yang memiliki ilmu berlari cepat lebih mahir daripada para anak buah Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, telah dapat menyusul ke dusun itu dan tiba di depan warung dengan sembunyi. Ketika Kian Bu melihat dua orang kakek lihai itu tidak bertanding melawan kakek pencuri kitab melainkan bertanding melawan Topeng Setan, dia terheran-heran. Akan tetapi ketika dia melihat Ceng Ceng berada di situ, dia terkejut dan girang. Hampir dia membuka mulut memanggil gadis yang ternyata masih keponakannya itu karena dia sudah mendengar bahwa Ceng Ceng adalah keturunan dari Wan Keng In putera ibu tirinya dan kakek tiri dari Suma Kian Lee. Akan tetapi ketika dia teringat akan Hong Kui, teringat akan perhubungannya dengan Hong Kui, dia merasa malu dan jengah sekali, merasa sungkan untuk bertemu dengan Ceng Ceng. Teringat akan semua perbuatannya, akan petualangannya dalam permainan cinta yang mesra dan memabokkan selama beberapa hari ini dengan Mauw Siauw Mo-li, dia bahkan merasa khawatir sekali kalau-kalau sampai terlihat oleh Ceng Ceng bahwa dia datang bersama Hong Kui.

"Aku.... aku mau.... pergi kencing dulu...." katanya kepada Hong Kui dan tanpa menanti jawaban Hong Kui yang tersenyum lebar mendengar ini, Kian Bu lalu menyelinap pergi.

Sementara itu, ketika melihat betapa suhengnya dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu tidak mampu mengalahkan orang bertopeng yang amat lihai, Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran. Kebetulan sekali Kian Bu pergi dari sisinya, maka dia lalu meloncat tinggi ke atas dan langsung dia terjun ke pertempuran sambil mencabut pedangnya.

Topeng Setan terkejut sekali dan cepat mengelak dari tusukan pedang sambil membalas dengan tendangan kaki berantai yang mengancam ketiga orang pengeroyoknya. Kini Topeng Setan menjadi makin repot.

"Perempuan hina dan pengecut!" Ceng ceng membentak marah ketika melihat Topeng Setan dikeroyok tiga, dan dia pun lalu menerjang dan menggerakkan kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah punggung Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkejut dan tidak berani menangkis karena maklum bahwa pukulan itu mengandung racun, dia hanya mengelak dan mengelebatkan pedangnya dengan cepat sehingga hampir saja pundak Ceng Ceng terbabat pedang kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.

"Ceng Ceng mundurlah....!" Topeng Setan berteriak karena dia khawatir akan kesehatan dara itu yang belum sembuh benar.

Pada saat itu, dari dalam warung meloncat seorang kakek berambut putih yang langsung menyerang Ketua Lembah Bunga Hitam tanpa mengeluarkan kata-kata. Serangannya cepat dan berat, akan tetapi pukulannya dapat ditangkis oleh Hek-hwa Lo-kwi dan kini pertandingan menjadi makin ramai. Ceng Ceng yang maklum bahwa luka di dalam tubuhnya bisa menjadi makin parah kalau dia mengerahkan tenaga, kini meloncat mundur dan menonton dengan penuh kekhawatiran karena biarpun dibantu oleh kakek berambut putih itu masih terdesak hebat, apalagi ketika dua orang datuk itu mulai mengeluarkan pukulan-pukulan beracun.

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li yang tadinya membantu suhengnya mendesak Topeng Setan, membalik dan pedangnya menyerang kakek rambut putih. Wanita ini memang cerdik sekali. Dia segera tahu bahwa di antara dua orang lawan itu, yang amat tinggi ilmunya adalah Topeng Setan, maka sebaiknya kalau lebih dulu merobohkan kakek rambut putih yang lebih penting dan tidak begitu kuat, apalagi yang mencuri kitab adalah kakek rambut putih itu. Pada saat itu, kakek rambut putih sedang terdesak hebat oleh Hek-hwa Lo-kwi, maka ketika Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui membalik dan menyerang, dia tidak mampu mengelak dan lambungnya tertusuk pedang!

Melihat ini Topeng Setan mengeluarkan gerengan dahsyat yang menggetarkan tiga orang lawannya, kemudian sambil merangkul pinggang kakek rambut putih yang terluka parah itu, dia melayani serangan tiga orang dengan tangkisan lengan dan ujung lengan bajunya. Tentu saja dia menjadi repot sekali dan melihat ini Ceng Ceng juga tidak mau tinggal diam saja, terus dia terjun dan menyerang kalang-kabut untuk membantu Topeng Setan.

Pada saat yang amat berbahaya bagi Topeng Setan, Ceng Ceng dan kakek berambut putih itu, tiba-tiba dari dalam warung muncul seorang nenek tua yang berkulit hitam, diiringkan oleh beberapa orang suku liar. Mereka agaknya memasuki warung itu dari pintu belakang karena tidak ada orang melihat mereka tadi masuk. "Heh-heh-heh, Siluman Kucing, kiranya engkau di sini!"

Melihat munculnya nenek yang dikenalnya sebagai guru Raja Tambolon yang luar biasa lihainya itu, Hong Kui menjadi terkejut dan dia mengkhawatirkan kekasihnya yang sejak tadi belum juga muncul.

"Kian Buuuu....!" Dia memekik sambil meloncat keluar dari gelanggang pertempuran, lalu melarikan diri sambil mencari kekasihnya.

"Heh-heh-heh, kalian manusia-manusia gila, saling perang sendiri tidak karuan. Heh-heh-heh....!"

Pada saat itu, orang-orang Pulau Neraka dan Lembah Bunga Hitam yang melakukan pengejaran sudah tiba di situ dan melihat nenek itu melambai-lambai lengan bajunya yang hitam, mereka itu saling serang sendiri dengan mati-matian! Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menjadi bengong dan mereka berusaha untuk melerai orang-orangnya yang saling gempur karena terpengaruh oleh sihir nenek hitam itu! Adapun nenek itu yang bukan lain adalah Durgagini, sambil terkekeh lalu mengejar Hong Kwi yang sudah melarikan diri.

Dua orang datuk lihai itu hanya bingung saja, tidak sampai terpengaruh hebat oleh sihir Si Nenek Hitam, akan tetapi mereka hanya sadar bahwa tidak semestinya mereka saling serang, hanya mereka seolah-olah pada saat itu terlupa akan kakek berambut putih yang telah mencuri kitab mereka.

Topeng Setan yang melihat kesempatan baik ini, cepat memanggul tubuh kakek berambut putih yang sudah pingsan, dan menyambar lengan Ceng Ceng terus saja dia membawa gadis itu melarikan diri secepat mungkin meninggalkan tempat yang berbahaya itu.

******

Sebaiknya kita tinggalkan dulu Ceng Ceng yang dibawa "terbang" oleh Topeng Setan yang memondong tubuh kakek berambut putih yang terluka parah itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Milana bersama Puteri Syanti Dewi karena sudah terlalu lama kita tinggalkan mereka.

Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, dengan hati hancur Puteri Milana terpaksa meninggalkan istananya dan juga jenazah suaminya karena dia tahu bahwa pasukan pengawal diperintahkan datang dan dipimpin oleh Perdana Menteri Su sendiri untuk menangkapnya.

Setelah menyelinap dan meloncat pergi melalui pintu belakang istananya, puteri yang baru saja kematian suaminya ini menahan semua perasaan marahnya, lalu menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk mencuri masuk ke dalam istana Kaisar dan langsung dia menuju ke bagian puteri dan memasuki kamar Puteri Syanti Dewi yang malam itu masih duduk termenung di atas pembaringannya. Puteri Bhutan ini terkejut sekali melihat bayangan berkelebat dari jendela dan tahu-tahu dia melihat Puteri Milana sudah berdiri di dalam kamarnya.

"Bibi Puteri Milana....!" tegurnya girang, akan tetapi dia khawatir melihat kedua pipi yang halus itu pucat dan basah air mata.

"Bibi.... apa yang terjadi. ...?" tegurnya sambil memegang kedua dengan puteri perkasa itu.

"Lekas berkemas, kau ikut aku pergi dari sini sekarang juga."

Tentu saja Syanti Dewi menjadi girang bukan main karena memang berita inilah yang dinanti-nantinya. Diam-diam dia merasa terharu karena dia menduga bahwa tentu Kian Bu yang mengusahakan ini semua. Dia merasa terharu betapa dia telah membikin pemuda itu patah hati, namun pemuda yang gagah perkasa itu masih juga menyampaikan kepada Puteri Milana sehingga dia sekarang akan dibebaskan dari tempat ini. Cepat dia berkemas dan karena dia seorang puteri sejati, yang disebut berkemas ini malah menanggalkan pakaian indah yang diterimanya dari Kaisar dan dia mengenakan pakaian sendiri yang lama, juga dia menanggalkan semua perhiasan. Melihat ini Puteri Milana diam-diam merasa kagum dan menjadi makin suka kepada Puteri Bhutan ini.

Puteri Syanti Dewi memejamkan matanya ketika dia dipondong dan dibawa meloncat ke atas genteng, kemudian berlarian dan berlompatan dengan cepat sekali. Dia merasa ngeri dan juga amat kagum. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan bahwa Puteri Milana, selain cantik jelita dan agung ternyata juga merupakan pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Memang pantaslah kalau pendekar sakti Gak Bun Beng menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang wanita seperti ini!

Setelah mereka keluar dari daerah istana kaisar, barulah Puteri Milana melompat turun dan menurunkan Syanti Dewi dari pondongannya. "Sekarang kita harus pergi keluar dari kota raja, Syanti Dewi."

"Eh, mengapa begitu? Mengapa tidak ke istana Bibi?"

"Hemm, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Baiklah, kaudengarkan apa yang telah terjadi dengan keluargaku." Dengan singkat Milana lalu menceritakan bagaimana suaminya, Han Wi Kong, melakukan pembunuhan terhadap dalang pemberontak yaitu Pangeran Liong Bin Ong karena suaminya penasaran melihat bahwa Kaisar tidak mau percaya bahwa pangeran tua inilah yang menjadi biang keladi pemberontakan. Dan biarpun suaminya telah berhasil membunuh pangeran pemberontak, namun suaminya sendiri

tewas oleh pengeroyokan pengawal.

"Nah, karena itu aku harus pula pergi, Syanti, karena kalau tidak aku tentu akan ditangkap sebagai isteri seorang yang tentu dianggap berdosa." Ucapan ini memancing keluarnya dua buah air mata di atas pipi Milana yang pucat itu.

"Ahhh.... Bibi....!" Syanti Dewi memeluk Milana sambil menangis. Dua orang wanita itu berpelukan dan tidak mengucapkan sepatah pun kata. Agaknya di dalam detik itu perasaan dan suara hati mereka sama, yaitu keduanya teringat kepada Gak Bun Beng berhubung dengan adanya peristiwa kematian suami Puteri Milana itu.

Tak lama kemudian, Syanti Dewi yang terlalu halus perasaannya untuk menyinggung nama Gak Bun Beng pada saat seperti itu, bertanya, "Sekarang kemana Bibi hendak membawa saya?"

Milana menarik napas panjang. "Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus membawamu, yang jelas kita harus keluar dari kota raja karena kita menjadi orang-orang pelarian. Akan tetapi sebelum kita meninggalkan kota raja untuk selamanya, aku ingin sekali lagi lewat di depan rumahku dan menengoknya."

Syanti Dewi dapat memaklumi perasaan hati puteri perkasa itu, apalagi karena jenazah suami puteri ini masih berada di dalam istana dan puteri ini tidak dapat mengurus sendiri pemakaman jenazah suaminya. Mereka lalu berjalan melalui tempat-tempat gelap dan menuju ke istana Puteri Milana yang sudah sunyi. Akan tetapi ternyata istana itu dijaga ketat dan tak terasa lagi air mata mengalir di sepanjang pipi Milana ketika dia mendengar suara para pendeta membaca liam-keng, berdoa untuk jenazah suaminya yang berada di dalam istananya. Diam-diam dia merasa bersyukur dan maklum bahwa Perdana Menteri Su, sahabatnya yang baik itu, telah memenuhi permintaannya yang ditulisnya di atas tembok dan telah mengurus jenazah Han Wi Kong dengan baik-baik.

"Mari kita pergi," katanya kemudian kepada Syanti Dewi yang juga memandang ke arah istana itu dengan hati terharu. Tak disangkanya sama sekali bahwa seorang puteri besar seperti Milana ini sampai tertimpa malapetaka yang demikian hebatnya. Kesengsaraan yang dideritanya sendiri semenjak dia meninggalkan istana ayahnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan malapetaka yang dialami oleh Puteri Milana.

Milana yang berpemandangaq tajam sekali, biarpun dalam keadaan berduka, masih dapat melihat berkelebatnya bayangan orang yang mengikuti mereka berdua dari jauh. Dia tidak merasa takut, akan tetapi juga tidak peduli dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya menuju ke benteng sebelah utara karena dia mempunyai hasrat untuk pergi mengunjungi brang tuanya di Pulau Es dan jalan terdekat adalah melalui pintu gerbang utara.

Para pembesar militer di istana semua adalah sahabat Milana, dan mereka amat menghormat dan kagum kepada puteri ini, maka peristiwa yang terjadi di istana Pangeran Liong Bian Ong itu dirahasiakan oleh mereka sehingga belum tersiar luas. Oleh karena itu, ketika Milana dan Syanti Dewi tiba di pintu gerbang utara, para penjaga yang mengenal Puteri Milana menjadi terkejut dan tentu saja dengan sikap hormat dan girang mereka membukakan pintu untuk puteri yang terkenal dan yang mereka hormati itu sehingga mudah saja bagi Milana dan Syanti Dewi untuk keluar dari kota raja di waktu yang sudah amat larut lewat tengah malam itu.

Setelah agak jauh meninggalkan pintu gerbang itu dan mereka berdua berhenti di tempat peristirahatan di pinggir jalan untuk melewatkan malam gelap, kembali Milana melihat berkelebatnya bayangan tadi. Diam-diam dia menjadi penasaran, akan tetapi karena bayangan itu tidak melakukan sesuatu, dia pun hanya berjaga-jaga saja dan menyuruh Syanti Dewi untuk mengaso.

Malam lewat dengan cepatnya dan setelah matahari mengusir sisa kegelapan malam dan Milana hendak mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari jauh, "Adik Milana, tunggu dulu....!"

Milana terkejut dan merasa heran sekali. Dia berdiri di depan Syanti Dewi, melindungi dara itu dan matanya tajam menatap wanita yang berlari mendatangi dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita inilah yang sejak malam tadi membayanginya dari kota raja, atau lebih tepat mulai dari depan istananya.

Kini wanita itu telah tiba di depannya. Milana tidak mengenalnya dan dia memandang penuh selidik. Seorang wanita yang cantik dan bertubuh ramping sungguhpun usianya sudah sebaya dengan dia, sudah tiga puluh tahun lebih. Sikapnya gagah dan dari sepatu dan pakaiannya yang kusut berdebu Milana dapat menduga bahwa wanita itu telah melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw yang kelihatannya tentu memiliki kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Wanita itu pun memandang Milana dengan sinar mata penuh selidik, akan tetapi agaknya dia tidak ragu-ragu lagi dan mengenal puteri itu.

"Adik Milana, girang sekali hatiku dapat bertemu denganmu di sini. Tadinya aku sudah merasa heran dan ragu mengapa engkau meninggalkan rumahmu seperti orang yang sedang melarikan diri." Wanita itu berkata.

"Maaf," Milana menjawab dengan hati-hati. "Aku tidak ingat lagi siapakah engkau?"

"Ah, Adik Milana, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Kita adalah orang-orang senasib sependeritaan. Lupakah engkau betapa engkau dahulu bersama aku dan Lu Kim Bwee mengeroyok seorang musuh besar kita?"

"Lu Kim Bwee....? Aihh, engkau Ang Siok Bi....!" Milana berseru kaget dan kini dia mengenal wanita yang baru satu kali dijumpainya dahulu, betasan tahun yang lalu ketika dia bersama wanita ini dan Lu Kim Bwee (ibu Ceng Ceng) mengeroyok Gak Bun Beng yang mereka anggap sebagai orang jahat yang telah memperkosa dua orang wanita itu(baca cerita Sepasang Pedang Iblis) . Akan tetapi dia teringat akan Ang Tek Hoat yang tentu adalah putera wanita ini, maka dengan pandang mata tajam Milana lalu bertanya, "Ada keperluan apa kah engkau sejak di kota raja semalam?"

"Maaf, Adik Milana, karena aku masih ragu-ragu maka aku membayangimu dan baru pagi ini aku berani memanggilmu. Aku sengaja mencarimu di kota raja setelah aku mendengar bahwa engkau telah meninggalkan Teng-bun kembali ke kota raja."

"Ah, engkau mencariku, Enci Siok Bi? Ada keperluan apakah?"

"Adik Milana, aku ingin minta tolong kepadamu, demi persahabatan dan persamaan nasib kita belasan tahun yang lalu.... aku mendengar bahwa engkau telah menawan seorang bernama Ang Tek Hoat...."

"Hemm, apamukah pemuda itu?"

"Dia itu puteraku. Ah, aku sudah mendengar bahwa dia tersesat.... bahwa dia telah membantu pemberontak.... akan tetapi demi perkenalan kita.... kuharap engkau suka mengasihaninya dan suka mengusahakan agar dia diampuni dan dibebaskan." Tiba-tiba Ang Siok Bi, ibu yang merasa amat khawatir akan keselamatan puteranya itu, telah menjatuhkan dirinya di depan Milana, berlutut sambil menangis!

Milana cepat memegang kedua pundak wanita itu dan mengangkat bangun. "Jangan begitu, Enci Siok Bi. Bangkitlah dan mari kita duduk dan bicara tentang puteramu itu."

Dengan penuh harapan Ang Siok Bi bangkit berdiri lalu mengikuti Milana untuk duduk berhadapan di dalam tempat peristirahatan di tepi jalan itu, sedangkan Syanti Dewi hanya mendengarkan dari samping. Puteri Bhutan itu ikut merasa terharu karena dia tahu siapa adanya Ang Tek Hoat, yaitu pemuda tampan dan gagah perkasa yang telah menyelamatkan dia dari tangan Pangeran Liong Khi Ong, pemuda perkasa yang mengorbankan diri demi untuk menyelamatkannya itu. Pemuda yang tak mungkin dapat dia lupakan selamanya. Dan wanita cantik dan gagah ini adalah ibunya! Maka tentu saja dia ingin sekali mengetahui kelanjutan pertemuan yang amat menarik dari dua orang wanita cantik yang agaknya sudah sejak dahulu saling mengenal itu.

"Jadi Ang Tek Hoat itu adalah puteramu, Enci Siok Bi? Bolehkah aku bertanya kepadamu, siapakah ayahnya?" Pertanyaan ini diajukan secara langsung dan Milana memandang tajam penuh selidik sehingga Ang Siok Bi merasa terkejut sekali, merasa seolah-olah menghadapi serangan tusukan pedang yang langsung mengarah ulu hatinya.

"Adik Milana! Mengapa engkau menanyakan hal itu? Apa hubungannya denganmu?"

"Hubungannya banyak sekali dan aku baru akan suka menolong puteramu apabila engkau mengaku terus terang siapa ayahnya."

"Betapa aneh pertanyaanmu ini! Mengapa engkau harus bertanya lagi seolah-olah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi dan menimpa diriku, Adik Milana? Siapa lagi ayahnya kalau bukan si jahanam Gak Bun Beng itu?"

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi mendengar ucapan ini, wajahnya menjadi pucat seketika akan tetapi dia tidak mau mengeluarkan suara, hanya memandang wanita itu dengan tajam dan mendengar penuh perhatian. Milana mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.

"Sudah kuduga demikian.... dan engkau tentu menceritakan kepada puteramu itu bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng adalah musuh besarmu, bukan?"

"Adik Milana, bagaimana engkau masih juga bertanya begitu? Bukankah sudah jelas bagimu bahwa jahanam Gak Bun Beng itu...."

"Enci Siok Bi!" Tiba-tiba Milana membentak dengan suara keras karena hatinya marah mendengar nama Gak Bun Beng dimaki orang. "Kau datang untuk minta tolong padaku tentang Ang Tek Hoat. Nah, ceritakan saja jangan banyak membantah. Apa yang telah kaupesankan kepada anakmu Ang Tek Hoat itu dan yang telah kauceritakan tentang ayahnya dan tentang Gak Bun Beng?"

Siok Bi memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi karena dia ingin sekali agar puteranya dapat selamat, biarpun hatinya penuh rasa penasaran, dia menjawab juga sejujurnya, "Aku.... aku mengatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah.... Ang Thian Pa...."

"Hemm, pantas dia memakai she Ang, kiranya begitu. Ang Thian Pa adalah nama Ang Lojin ayahmu, bukan?"

Siok Bi mengangguk. "Dan aku katakan bahwa ayahnya itu terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi bahwa jahanam itu telah terbunuh pula olehku. Apa salahnya dengan keterangan itu?"

Milana menggeleng kepada dan menarik napas panjang. "Pantas kalau begitu.... aihh, sungguh kasihan sekali Gak-suheng....! Enci Siok Bi, jadi sampai detik ini pun engkau masih mengira bahwa puteramu itu adalah keturunan dari Gak Bun Beng, begitukah?"

"Tentu saja! Habis mengapa?"

"Engkau telah keliru, Enci! Kita semua telah keliru pada waktu itu, belasan tahun yang lalu. Engkau, aku, dan Enci Kim Bwee telah tertipu dan kasihan sekali Suheng Gak Bun Beng yang tidak berdosa sedikitpun juga. Ketahuilah, Enci, yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu dan diri Enci Kim Bwee dahulu itu sama sekali bukan Suheng Gak Bun Beng...."

"Ahhh....!" Wajah Siok Bi menjadi pucat. Biarpun dia tidak pernah mau menyangkalnya, akan tetapi melihat wajah puteranya dia sudah merasa heran sekali karena biarpun puteranya itu tampan akan tetapi sedikitpun juga tidak ada miripnya dengan wajah Gak Bun Beng! "Apa.... apa maksudmu....?"

"Maksudku adalah bahwa belasan tahun yang lalu itu kita semua salah duga. Ada orang yang menjatuhkan fitnah atas diri Gak-suheng, yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan nama Gak-suheng dan orang itulah yang telah melakukan perbuatan terkutuk terhadap dirimu dan diri Enci Kim Bwee. Coba kauingat baik-baik ketika peristiwa terkutuk itu terjadi, apakah engkau melihat wajahnya?"

Siok Bi menjadi pucat sekali, mengenangkan peristiwa itu, ketika pada malam hari di dalam kamar dia dipaksa dan diperkosa oleh Gak Bun Beng, di tempat gelap, dan dia hanya tahu bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng karena laki-la ki itu mengaku demikian, dan dia percaya pula kepada laki-laki tampan yang mengaku sebagai sahabat Gak Bun Beng.... ah, hampir dia menjerit. Kini dia teringat akan wajah sahabat dari Gak Bun Beng itu dan wajah puteranya mirip orang itu!

"Kita semua telah tertipu. Bukan Gak Bun Beng yang melakukan perbuatan terkutuk itu, Enci, melainkan orang itulah, dan orang itu pula yang menjadi ayah kandung dari puteramu Tek Hoat."

Dengan mata terbelalak dan muka pucat Ang Siong Bi memandang Milana dan berkata dengan suara gemetar dan tergagap, "Bagaimana.... bagaimana aku dapat percaya ceritanya ini....? Setelah belasan tahun aku percaya demikian.... bagaimana aku bisa tahu bahwa ceritamu ini benar, Adik Milana?"

"Engkau harus percaya kepadaku, Enci Siok Bi. Harus, kataku! Aku sendiri pun menjadi korban tipuan orang itu, sungguhpun tidak sampai tertimpa malapetaka seperti engkau dan Enci Kim Bwee, akan tetapi aku pun dahulu percaya bahwa Gak-suheng adalah seorang yang amat jahat dan melakukan perbuatan terkutuk. Oleh karena itulah maka aku dahulu suka bekerja sama dengan engkau dan Enci Kim Bwee untuk mengeroyok Gak-suheng sampai dia terjungkal ke dalam jurang dan engkau mengira bahwa dia telah mati.

Sayang bahwa sejak itu aku tidak dapat bertemu lagi dengan engkau atau Enci Kim Bwee sehingga mengakibatkan hal yang berlarut-larut sampai sekarang. Akan tetapi ketahuilah, orang yang melakukan perbuatan keji itu masih.... anggauta keluargaku sendiri dan.... dan dia telah mengakui segalanya di depanku dan di depan ayah ibuku sendiri. Dia adalah Wan Keng In, putera dari ibu tiriku di Pulau Es...."

"Ya Tuhan....!" Siok Bi mengeluh panjang. "Dan di mana keparat itu...."

"Dia sudah tewas, Enci. Dia sudah tewas menebus dosa-dosanya. Puteramu itu she Wan, tidak salah lagi. Wajahnya persis wajah ayah kandungnya itu...."

"Dan kita dahulu telah membunuh Gak Bun Beng....!"

"Tidak, Enci Siok Bi. Dan inilah celakanya. Puteramu masih belum tahu dan kini dia hanya tahu bahwa Gak Bun Beng masih hidup maka dia bertekad untuk mencarinya dan membunuhnya sebagai musuh besar. Dahulu, ketika kita mengira Gak-suheng yang tergelincir ke dalam jurang itu mati, sebetulnya dia masih hidup dan sekarang, puteramu itu tentu akan terus memusuhinya." Milana berhenti sebentar. "Sungguh kasihan Gak-suheng.... dahulu Wan Keng In yang memburukkan namanya, sekarang.... puteranya juga melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan namanya."

"Ahhhh....! Apakah anakku telah menjadi manusia sejahat itu? Anakku telah menjadi seorang manusia yang menyeleweng dan jahat, Adik Milana?" Siok Bi bertanya dengan suaranya mengandung rintihan batin tertekan.

"Tidak! Tek Hoat sama sekali bukanlah manusia jahat!" Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan suara tegas. "Kalau dia sampai melakukan suatu penyelewengan sebelumnya, hal itu tentu adalah pengaruh dari keadaannya dan bekal yang dia bawa dari cerita ibunya. Dia bukan seorang manusia jahat dan patut dikasihani."

Siok Bi menoleh dan memandang dara yang cantik jelita itu dengan heran. "Siapakah dia ini, Adik Milana?"

"Dia adalah Puteri Bhutan, bernama Syanti Dewi. Dia telah diselamatkan oleh puteramu itu dan agaknya apa yang dikatakannya itu mendekati kebenaran. Puteramu itu telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan mempergunakan nama Gak-suheng yang disangkanya sudah mati dan disangka musuh besar pembunuh ayahnya maka hendak dicemarkan nama musuh besar yang tidak dapat dibalasnya lagi karena disangkanya sudah mati itu. Dia lalu tersesat membantu pemberontakan. Tentu saja dosanya amat besar sekali dan dia selayaknya di jatuhi hukuman berat. Akan tetapi pada akhir pemberontakan, dia telah membuat jasa besar, membunuh pangeran pemberontak Liong Khi Ong dan tiga orang kaki tangannya, mengorbankan diri sendiri sampai terluka demi

menyelamatkan Puteri Bhutan ini. Karena jasanya itulah maka dia telah kubebaskan, dan celakanya, setelah dia mendengar bahwa Gak-suheng masih hidup, dia bertekad untuk mencarinya dan membalas dendamnya."

"Ahhhh....!" Siok Bi berseru kaget. "Hal itu harus dicegah! Dimana dia sekarang, Adik Milana? Dia harus dicegah memusuhi Gak-taihiap.... selain beliau bukan musuh kami.... juga mana mungkin anakku mampu menandinginya?"

"Agaknya engkau tidak tahu. Puteramu itu telah menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, Enci Siok Bi. Dia telah dibebaskan dan aku tidak tahu ke mana dia pergi. Memang hanya engkaulah yang dapat mencegahnya dan menceritakan keadaan sebenarnya dari riwayat kalian ibu dan anak. Mungkin dia masih berada di kota raja."

"Kalau begitu aku akan mencarinya sekarang juga!" Siok Bi berteriak, lalu lari meninggalkan dua orang puteri itu menuju ke kota raja.

Milana menarik napas panjang dan Syanti Dewi berkata halus, "Agaknya belasan tahun yang lalu telah terjadi hal-hal yang amat hebat menimpa dirimu dan diri Paman Gak, Bibi."

Milana menarik napas panjang. "Kami semua telah melakukan dosa besar sekali terhadap Gak-suheng, dan dia semenjak dahulu sampai saat ini pun merupakan seorang manusia yang amat mulia, gagah perkasa dan hebat...." Puteri ini menengadah, termenung karena teringat akan sikap Gak Bun Beng yang meninggalkannya, kemudian dia teringat pula akan surat peninggalan suaminya. Jari tangannya meraba surat suaminya yang ditujukan kepada Bun Beng dan diam-diam dia meragu apakah dia akan dapat berjumpa lagi dengan satu-satunya pria yang dikasihinya itu.

"Sekarang kita hendak pergi ke mana, Bibi?" Syanti Dewi yang maklum akan kedukaan yang menyelimuti wajah puteri itu, memecahkan kesunyian dan menarik kembali Milana dari lamunannya.

"Ke mana....? Ahh, aku sendiri menjadi bingung memikirkan keadaanmu, Syanti. Sebaiknya kalau engkau kembali ke Bhutan. Akan tetapi semua orang telah pergi.... aku pun sekarang seorang diri. Sebetulnya aku ingin kembali ke Pulau Es, ke tempat tinggal ayah bundaku, akan tetapi engkau...."

"Bibi Milana, kalau begitu biarlah aku melakukan perjalanan sendiri ke barat. Aku pun bukan seorang yang lemah dan aku berani untuk pulang seorang diri ke Bhutan. Aku tidak mau membikin repot padamu, Bibi...."

"Hemm, jangan berkata demikian, Syanti Dewi. Aku yang telah melarikan engkau dari istana, dan akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Tidak, aku harus mencari jalan sebaiknya agar engkau dapat diantar ke Bhutan dengan selamat."

Selagi Syanti Dewi hendak membantah, tiba-tiba dari arah kota raja tampak serombongan pasukan berkuda mendatangi. Milana memandang dengan alis berkerut. "Apakah mereka hendak menggunakan kekerasan?" Dia mengomel dan mengepal tinjunya, sedangkan Syanti Dewi memandang dengan khawatir. Dia mengkhawatirkan diri Milana karena tahu bahwa puteri itu mengalami hal yang amat hebat dan bisa dianggap sebagai pemberontak atau orang buruan istana. Akan tetapi ketika pasukan yang terdiri dari dua losin

perajurit itu tiba dekat, mereka melihat bahwa pasukan itu mengawal seorang jenderal yang tinggi besar dan gagah, yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang. "Gi-hu....!" Syanti Dewi berseru girang memanggil ayah angkatnya itu dan jenderal itu melompat turun dan cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dengan sinar mata berseri.

"Syukurlah.... aku sudah menduga bahwa engkau tentu telah diselamatkan!"

Sementara itu Milana melangkah dekat dan berkata dengan suara dingin, "Jenderal Kao, apakah engkau mengejar untuk menangkap aku?"

Jenderal itu menarik napas panjang dan memberi hormat kepada Puteri Milana. Suaranya terdengar penuh penyesalan. "Sampai mati pun tidak ada yang dapat memaksa saya untuk menangkap Paduka. Saya telah mendengar akan semua peristiwa di kota raja dan saya ikut menyatakan berdukacita atas malapetaka yang menimpa keluarga dan diri Paduka. Ketika saya mendengar dari para penjaga bahwa Paduka bersama seorang dara cantik keluar dari gerbang malam tadi, saya sudah menduga bahwa tentu Syanti Dewi Paduka

selamatkan. Sekarang saya menyusul untuk menawarkan bantuan, barangkali ada sesuatu yang saya dapat lakukan untuk membantu Paduka."

"Jenderal Kao, aku adalah seorang yang hidup sebatang kara di kota raja, dan aku tidak membutuhkan bantuan apa-apa. Hanya kebetulan sekali engkau datang karena aku bingung memikirkan Syanti Dewi. Dia harus diantar kembali ke Bhutan."

"Jangan khawatir, biar para pengawalku ini yang mengantarnya sampai ke Bhutan dengan selamat." Jenderal itu lalu menghadapi Syanti Dewi. "Dewi, apakah engkau ingin kembali ke Bhutan?"

Puteri itu mengangguk. "Kehadiranku di sini hanya menimbulkan keributan saja, Gi-hu. Sebaiknya kalau aku pulang saja ke Bhutan dan sebetulnya aku sudah memberi tahu kepada Bibi Milana bahwa aku berani pulang sendirian, tidak perlu dikawal...."

"Ah, mana mungkin? Jangan kau khawatir, biarpun aku terikat oleh tugasku dan tidak dapat mengantar sendiri, dua losin pengawalku ini akan mengawalmu sampai ke Bhutan. Kalau saja tidak ada peristiwa engkau hendak dinikahkan dan engkau melarikan diri dari istana, tentu bisa menanti sampai aku sempat mengantarmu sendiri. Akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, engkau akan dianggap sebagai seorang pelarian. Nah, biar pasukanku mengawalmu. Sebelum ada pengejaran dari kota raja, sebaiknya engkau berangkat sekarang, anakku. Kaupakailah kudaku ini."

Syanti Dewi merasa terharu dan dia memeluk ayah angkatnya, menghaturkan terima kasih dan selamat tinggal. Kemudian dia pun memeluk puteri Milana dan berbisik di dekat telinganya, "Bibi.... jangan biarkan Paman Gak merana...." Dan sambil terisak dia lalu melompat ke atas kudanya lalu membalapkan kuda itu, diiringkan oleh dua losin pengawal yang sudah menerima pesan dari Jenderal Kao diiringkan oleh pandang mata Milana yang berlinang air mata dan pandang mata Jenderal Kao yang merasa kehilangan.

Dua orang gagah ini pun lalu saling berpisah, Milana melanjutkan perjalanan ke utara sedangkan Jenderal Kao Liang kembali ke kota raja.

******

Dengan kecepatan seperti terbang, Topeng Setan memanggul tubuh kakek berambut putih dan menggandeng tangan Ceng Ceng melarikan diri dari tempat berbahaya itu dan akhirnya, setelah mendaki sebuah bukit, dia memasuki sebuah kuil yang tua dan rusak, kuil yang terpencil di lereng bukit itu, di daerah yang sunyi sekali.

Ketika dia menurunkan tubuh kakek itu dari pondongannya, dia terkejut melihat keadaan kakek itu yang amat payah. Pedang yang menusuk lambungnya itu melukai bagian penting di dalam tubuhnya dan pedang itu mengandung racun pula.

"Ahh, bukankah dia ini pelayan Istana Gurun Pasir?" Tiba-tiba Ceng Ceng berseru ketika dia mengenal muka kakek itu, "Benar, dia adalah Louw Ki Sun.... aku pernah bertemu dengan dia....!" Ceng Ceng berseru lagi.

Akan tetapi Topeng Setan yang memeriksa luka itu segera berkata, "Ceng Ceng, harap engkau suka membantu. Carikanlah air yang jernih.... dia memerlukannya...." Suara Topeng Setan penuh permohonan dan terdengar agak tergetar sehingga Ceng Ceng tidak banyak cakap lagi lalu mengangguk dan berlari keluar dari kuil. Tidak mudah baginya mencari air di tempat yang tidak dikenalnya itu dan sampai beberapa lamanya barulah akhirnya dia berhasil mendapatkan air yang diisikan di sebuah guci yang tadi dibawanya dari Topeng Setan. Cepat dia berlari ke bali ke kuil itu.

Akan tetapi ketika dia memasuki ruangan di mana Topeng Setan tadi merebahkan tubuh kakek tua di atas lantai, dia terkejut sekali melihat Topeng Setan duduk termenung menyandarkan tubuhnya pada dinding rusak itu dan kedua pipi muka bertopeng buruk itu basah oleh air mata. Topeng Setan menangis! Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. Selama dia mengenal Topeng Setan, orang tua ini adalah seorang yang jantan, berkepandaian tinggi, aneh dan agaknya tidak pernah dipengaruhi oleh perasaan. Akan tetapi mengapa sekarang menangis.

"Paman, kau.... kau.... menangis?"

Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggunakan tangan menghapus sisa air mata di atas pipi topengnya itu, dan dengan anggukan kepala dia menunjuk ke arah kakek berambut putih yang rebah telentang di atas lantai. Ceng Ceng memandang dan tahulah dia bahwa kakek Louw Ki Sun itu telah tewas.

"Ah, dia telah mati?" tanyanya sambil berlutut dan memandang ke arah jenazah kakek itu. Topeng Setan mengangguk. "Dia tewas karena membantu aku melawan orang-orang lihai tadi. Dia mati karena membantuku, Ceng Ceng."

Diam-diam hati Ceng Ceng terharu dan juga kagum. Orang tua bertopeng ini selain gagah perkasa dan lihai, juga ternyata memiliki watak ingat budi sehingga kematian kakek yang membantunya itu membuat hatinya berduka. Maka dia pun tidak banyak bicara lagi dan ikut bersembahyang memberi hormat ketika jenazah itu dikubur di depan kuil tua dan Topeng Setan melakukan upacara sembahyang secara sederhana sekali karena tidak terdapat alat-alatnya. Mereka hanya berlutut di depan gundukan tanah, tepekur dan mengheningkan cipta.

Kemudian Topeng Setan mengajak Ceng Ceng melanjutkan perjalanan menuju ke Telaga Sungari. Bulan muda telah mulai nampak di waktu malam dan pada malam bulan purnama, beberapa hari lagi, mereka harus sudah berada di telaga itu untuk mencoba peruntungan mereka, yaitu berusaha menangkap anak naga yang akan dipergunakan sebagai obat bagi Ceng Ceng.

Makin dekat dengan Telaga Sungai, makin teganglah hati Ceng Ceng. Apalagi setelah dia mulai melihat berkelebatnya bayangan orang-orang aneh yang melakukan perjalanan menuju ke arah yang sama. Rombongan-rombongan orang yang pakaiannya aneh-aneh, yang sikapnya ganjil dan luar biasa, melakukan perjalanan tanpa bicara seperti serombongan orang yang hendak berziarah ke tempat suci!

"Mereka adalah orang-orang pandai yang agaknya juga hendak pergi ke telaga itu," Topeng Setan berkata lirih ketika melihat keheranan Ceng Ceng. "Sebaiknya kita jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan keributan dengan mereka sebelum kita tiba di tempat tujuan."

Ceng Ceng mengangguk dan timbul keraguan di dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan dapat berhasil memperoleh anak naga atau anak ular itu? Demikian banyaknya orang lihai yang menghendaki binatang keramat itu. Dia sekarang menduga bahwa orang-orang lihai, datuk-datuk kaum sesat yang dilihatnya di jalan, seperti rombongan Tambolon, orang-orang Lembah Bunga Hitam, orang-orang Pulau Neraka, lalu Kakek Louw Ki Sun yang tewas itu, kiranya tentu semua juga bermaksud pergi ke Telaga Sungari untuk kepentingan yang sama pula. Kemudian orang-orang aneh yang makin banyak menuju ke telaga ini!

Akhirnya, beberapa hari kemudian, tibalah mereka di pinggir sebuah telaga yang amat luas. Dan tepat seperti yang telah diduga oleh Ceng Ceng, dia melihat banyak sekali orang-orang di pinggir telaga, bahkan ada pula yang sudah berperahu hilir mudik di atas permukaan air telaga yang biru seperti air laut saking dalamnya itu. Telaga itu luas sekali sehingga pantai di seberangnya tidak nampak. Karena luasnya telaga maka biarpun di tepi telaga berkumpul banyak orang dan ada belasan buah perahu di tengahnya, akan tetapi tempat itu masih kelihatan sepi. Para nelayan tidak ada yang berani mencari ikan karena setiap bulan purnama, sering kali terdapat badai dan angin besar melanda telaga itu, apalagi terang bulan di musim semi ini yang dikaitkan dengan dongeng rakyat tentang munculnya naga siluman! Akan tetapi sekali ini para nelayan di daerah itu tidak menjadi rugi, bahkan memperoleh keuntungan besar karena banyak datang orang-orang yang katanya hendak "pesiar" di Telaga Sungari dan menyewa perahu mereka. Mereka itu demikian royal sehingga berani menyewa perahu dengan jumlah tinggi sehingga uang sewa perahu itu saja sudah beberapa kali lipat dari hasil mencari ikan di telaga!

Akan tetapi, agaknya orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh yang biasanya bersembunyi dan memiliki kepandaian tinggi itu agaknya saling menjaga diri, tidak mau mencari keributan atau permusuhan karena kedatangan mereka itu semua bermaksud untuk mencari anak naga itu. Bahkan Ceng Ceng melihat sendiri betapa anak buah Pulau Neraka dan anak buah Lembah Bunga Hitam yang biasanya kasar-kasar dan kejam-kejam, bahkan saling bermusuhan itu setelah tiba di tepi telaga lalu memisahkan diri, mencari tempat yang sunyi dan tidak kelihatan ingin memancing keributan. Memang akan rugilah kalau sebelum anak naga itu muncul sudah membuat permusuhan lebih dulu yang akibatnya hanya akan merugikan mereka sendiri.

Ceng Ceng dapat merasakan suasana yang amat tegang dan panas itu. Dia maklum bahwa biar keadaannya sekarang kelihatan tenang, namun begitu anak naga itu muncul, pasti akan terjadi perebutan yang hebat dan dia makin meragu apakah Topeng Setan akan berhasil memperoleh anak ular atau naga itu.

"Begitu banyak orang...." Ceng Ceng berbisik.

Topeng Setan memberi isyarat dan gadis itu mengikuti orang tua bertopeng ini menuju ke tepi telaga yang sunyi, jauh dari orang lain dan di sini Topeng Setan menyewa sebuah perahu kecil dari seorang nelayan. Dia menyeret perahu itu ke tepi dan duduk di atas perahu bersama Ceng Ceng, menjauhi semua orang, menanti malam tiba. Malam nanti adalah malam bulan purnama, malam yang dinanti-nanti oleh semua orang dengan jantung tegang berdebar.

"Mereka adalah orang-orang yang lihai sekali, kita harus berhati-hati Ceng Ceng. Wah, agaknya orang-orang yang selama ini hanya bersembunyi di gunung-gunung, di guha dan di tempat terasing, yang pekerjaannya hanya bertapa, kini keluar dari tempat pengasingan diri mereka untuk mencari anak naga itu."

"Ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu saja sudah memiliki kelihaian yang amat hebat. Apa kaukira ada yang lebih lihai dari mereka, Paman?"

"Hemmm, kau sungguh tidak melihat tingginya langit dan dalamnya lautan, Ceng Ceng, karena engkau hanya mengira bahwa di dunia ini hanya ada mereka berdua itu yang lihai. Aihhh, banyak sekali orang berilmu di dunia ini, Ceng Ceng. Sama banyaknya dengan bintang di langit dan sukar untuk mengatakan siapa di antara mereka yang paling pandai."

"Aku mendengar bahwa orang paling lihai di dunia ini adalah Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es," kata Ceng Ceng dan diam-diam dia ada juga sedikit rasa bangga bahwa dia masih terhitung cucu tiri dari pendekar sakti itu. Topeng Setan menarik napas panjang. "Mungkin di antara para pendekar yang dikenal orang, dia tergolong tingkat teratas. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai yang menyembunyikan diri. Para pertapa di puncak-puncak gunung, mereka yang sudah tidak mau lagi berurusan dengan dunia ramai, banyak sekali di antara mereka yang tinggi sekali ilmunya, sukar diukur bagaimana tingginya...."

"Lebih tinggi dari kepandaian Pendekar Super Sakti?" tanya Ceng Ceng tidak percaya.

"Mungkin sekali, bahkan mungkin beberapa kali lipat! Mereka yang tidak mau lagi mempergunakan ilmunya untuk melakukan sesuatu di dunia ramai, tidak bisa dibandingkan dengan kita, dengan mereka yang kini datang ke sini mengandalkan ilmu untuk memperebutkan anak naga." Topeng Setan menghela napas panjang. "Kepandaian mereka yang tidak mau muncul di dunia ramai itu seperti dewa.... akan tetapi mereka telah melihat bahwa kepandaian itu tidak ada manfaatnya bagi kebahagiaan hidup manusia, dan mereka memang benar...."

"Apakah kau mau mengatakan bahwa kepandaian hanya mendatangkan malapetaka bagi kehidupan manusia, Paman?"

"Kenyataannya demikianlah.... akan tetapi, asal kita selalu ingat bahwa kepandaian bukanlah untuk mengumbar nafsu.... ah, sudahlah, itu ada orang mendekati kita, Ceng Ceng." Topeng Setan lalu menghentikan kata-katanya dan Ceng Ceng menengok ke kanan. Benar saja, ada seorang pria muda dengan langkah perlahan ke arah mereka, agaknya pemuda itu sedang menikmati pemandangan di sekitar telaga itu.

"Eh.... kau ini....? Moi-moi.... Nona Ceng....?" Tiba-tiba pemuda itu melangkah maju menghampiri dan memandang Ceng Ceng dengan kedua lengannya dikembangkan dan wajahnya berseri.

Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Pemuda itu tampan sekali, tampan dan ramah, sikapnya halus dan gembira, pakaiannya indah sekali. Maka dia makin kaget ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Yung Hwa! Pangeran yang pernah ditolongnya dahulu di kota raja, pangeran yang bersikap amat manis kepadanya, yang tanpa banyak membuang waktu langsung saja menyatakan cinta kepadanya! Pemuda bangsawan menarik hati, yang pernah.... menciumnya tanpa dia dapat mencegahnya, pemuda yang tentu akan mudah menjatuhkan hatinya sekiranya dia tidak sudah hancur hatinya karena perbuatan pemuda laknat yang menjadi musuhnya.

"Ohhh.... Pangeran.... Yung Hwa...." Dia tergagap.

"Aih, Nona.... kiranya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini. Kiranya aku dapat bertemu dengan engkau di sini! Betapa bahagia rasa hatiku! Kau tidak tahu, susah payah aku mencarimu, Nona, hatiku penuh dengan kegelisahan setelah aku mendengar bahwa engkau terluka parah ketika terjadi penumpasan pemberontak, dan hatiku bangga bukan main mendengar akan kepahlawananmu. Ah, mukamu masih pucat.... Nona Ceng, marilah, engkau ikut bersamaku ke kota raja. Akan kuundang semua tabib terpandai, engkau harus diobati sampai sembuh. Katanya engkau terluka pukulan beracun...."

Ceng Ceng sampai merasa kewalahan mendengar ucapan yang membanjir ini. Dia menoleh kepada Topeng Setan yang juga memandang pemuda itu dan baru sekarang agaknya Pangeran Yung Hwa melihat Topeng Setan. Dia terkejut melihat wajah yang buruk itu dan dia bertanya, "Dia ini.... eh, siapakah dia, Nona Ceng?"

Sebelum Ceng Ceng sempat menjawab, Topeng Setan sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata, "Kiranya Paduka seorang pangeran. Saya adalah Topeng Setan, pembantu Nona Ceng ini."

"Topeng Setan....? Nama yang aneh....!" Pangeran Yung Hwa kelihatan serem.

"Dia yang mengobati aku, Pangeran. Dan dia akan mencarikan obat untukku di telaga ini, bagaimana Pangeran bisa tahu bahwa aku terluka? Dan bagaimana pula bisa sampai di tempat ini?" Ceng Ceng bertanya.

Pangeran Yung Hwa kelihatan begitu gembira bertemu dengan Ceng Ceng, sehingga dia lalu melupakan Topeng Setan, duduk di atas perahu dan dengan ramah dia lalu bercerita.

"Aku bertemu dengan Perdana Menteri Su, beliau yang menceritakan semuanya kepadaku. Beliau mendengar dari Kakak Milana tentang engkau.... ah, kasihan Kakak Milana...."

"Kenapa, Pangeran?" Ceng Ceng bertanya heran.

"Ah, kau belum mendengar apa yang terjadi di kota raja? Ah, banyak terjadi hal yang hebat mengerikan. Kau tahu, suami Kakak Milana, yaitu Han Wi Kong, dengan nekat telah menyerbu istana Pangeran Liong Bin Ong dan membunuh pangeran itu, akan tetapi dia sendiri pun tewas. Kakak Milana mengamuk, membunuh para pengawal yang menewaskan suaminya, kemudian Kakak Milana melarikan Puteri Bhutan dari istana dan peristiwa itu tentu saja menggegerkan istana."

Ceng Ceng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Bin Ong adalah dalang pemberontakan. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Puteri Milana yang dikaguminya itu. Juga dia kaget mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan dari istana oleh Puteri Milana.

"Lalu ke mana mereka pergi? Ke mana Puteri Bhutan itu dibawa pergi?" tanyanya.

"Entahlah. Siapa bisa mengikuti bayangan Enci Milana? Dia sudah terbang.... dan aku berterima kasih sekali kepadanya bahwa dia melarikan Puteri Syanti Dewi!" Wajah yang tampan itu berseri.

"Mengapa, Pangeran?"

"Ah, engkau tidak tahu? Ceng-moi...., tidak tahukah engkau bahwa setelah Pangeran Liong Khi Ong tewas, Kaisar lalu memutuskan untuk menjodohkan Puteri Bhutan itu dengan aku? Nah, dapat kau bayangkan betapa gelisah hatiku.... engkau tahu bahwa setelah bertemu dengan engkau.... aku tidak mungkin dapat menikah dengan wanita lain.... maka keputusan Kaisar itu membuat aku mengambil keputusan untuk minggat lagi...."

"Ah, jangan berkata begitu, Pangeran!" Ceng Ceng menegur halus sambil melirik dengan muka merah kepada Topeng Setan yang hanya mendengarkan tanpa memandang.

"Akan tetapi untung, sebelum aku terpaksa minggat, puteri itu telah dilarikan oleh Enci Milana. Memang Enci Milana adalah seorang puteri yang gagah perkasa, adil dan berbudi. Dia tahu bahwa Syanti Dewi juga tidak setuju dengan keputusan Kaisar, kami berdua akan dikawinkan secara paksa! Maka begitu aku mendengar tentang dirimu, bahwa menurut Perdana Menteri Su engkau telah terluka parah dan pergi, aku segera mencarimu ke mana-mana. Akhirnya, agaknya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini sambil pesiar, dan benar saja aku bertemu denganmu, Ceng-moi....!" Pangeran itu kelihatan girang bukan main.

Ceng Ceng menarik napas panjang. Tidak perlu lagi kiranya takut diketahui oleh Topeng Setan karena pemuda bangsawan ini dengan terang-terangan telah menyatakan perasaannya di depan sahabatnya itu. "Pangeran Yung Hwa, sudah kukatakan dahulu bahwa tidak mungkin bagimu melanjutkan perasaanmu yang tidak selayaknya kepadaku itu. Kenapa engkau membuang-buang waktu mencariku, Pangeran? Tempatmu di istana, di kota raja, bukan di tempat liar ini...."

"Hushhh, jangan berkata demikian. Sudahlah, jangan kita bicarakan itu dulu sebelum engkau sembuh. Bagaimana? Apanya yang terasa sakit, Ceng-moi? Mari kita mencari tabib yang pandai di kota raja...."

"Paman Topeng Setan ini adalah tabibku, Pangeran."

"Ouhhh....! Benarkah Paman sanggup menyembuhkan nona ini?" Yung Hwa bertanya kepada orang tua bertopeng buruk itu. "Kalau benar, apa pun yang Paman minta akan kupenuhi. Aku bisa membantu Paman memperoleh kedudukan di kota raja! Ataukah harta benda? Akan kuserahkan kepadamu, Paman, asal Paman dapat menyembuhkan Nona Ceng...."

Topeng Setan menghela napas panjang dan Ceng Ceng yang merasa tidak enak terhadap Topeng Setan segera berkata, "Pangeran, paman ini adalah sahabatku, sahabat baikku! Dia telah berkali-kali menolongku dan kini pun dia berusaha mencarikan obat untukku. Untuk semua itu dia sama sekali tidak mengharapkan apa-apa."

"Ah, kalau begitu Paman adalah seorang budiman. Biar aku menghaturkan terima kasih terhadap semua kebaikan Paman yang telah dilimpahkan kepada Nona Ceng!" Dan Pangeran Yung Hwa lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Topeng Setan! Memang pangeran ini sama sekali berbeda sikapnya dengan pangeran-pangeran lain. Dia paling bandel dan suka memberontak terhadap peraturan dan tradisi istana, dan dia tidak angkuh seperti layaknya seorang pangeran, dan pandai dia bergaul dengan rakyat biasa.

Topeng Setan cepat-cepat mengangkat bangun pangeran itu. "Ah, harap Paduka jangan merendahkan diri seperti itu, Pangeran." Suara Topeng Setan mengandung keharuan. "Saya berjanji akan berusaha sekuat saya untuk menyembuhkan Nona Ceng."

"Terima kasih.... terima kasih....! Wah, hatiku lega sekali mendengar ini. Ceng Ceng, obat apakah yang hendak dicari di telaga ini?"

"Obat yang juga akan diperebutkan oleh semua orang itu, Pangeran."

"Aihhh....?" Pangeran itu terkejut, memandang ke pinggir telaga di mana berkumpul banyak orang dan di tengah telaga yang sudah nampak banyak perahu hilir mudik. "Berebutan? Apa yang diperebutkan?"

"Anak naga yang akan muncul malam ini di permukaan Telaga Sungari!" kata Ceng Ceng dengan suara lantang dan pandang mata geli karena dia ingin menakut-nakuti pangeran ini. Sikap pangeran yang gembira itu membangkitkan watak gadis ini yang memang lincah gembira sebelum malapetaka kehidupan menimpa dirinya.

Akan tetapi Pangeran Yung Hwa tidak menjadi takut atau kaget, malah dia tertawa bergelak. "Lucu....! Dongeng itu? Ha-ha-ha, sungguh lucu. Lucu dan indah. Kaulihat betapa indahnya permukaan telaga yang biru itu, Ceng-moi. Lihat betapa air seperti terbakar oleh cahaya matahari senja yang kemerahan. Seolah-olah permukaan telaga berubah menjadi api neraka dan dari situ akan muncul anak naga? Ha-ha, pemandangan alam begini indah, ditambah suasana yang begini aneh dibumbui dongeng menyeramkan, benar-benar membuat orang menjadi gembira dan timbul gairah untuk menulis sajak!"

Ceng Ceng juga tersenyum. Kegembiraan pangeran itu menular dan memang sukar untuk tidak merasa gembira berdekatan dengan pemuda yang menarik hati ini. "Kalau begitu, mengapa Pangeran tidak menulis sajak?"

"Alat tulisku berada di kereta yang menanti di sana...." pangeran itu menuding ke kanan. "Aku datang bersama seorang kusir dan dua orang pengawal yang kusuruh menanti di sana karena aku ingin berjalan-jalan sendiri.... akan tetapi bertemu denganmu membangkitkan daya ciptaku, Moi-moi. Tanpa ditulis pun rasanya sanggup aku menciptakan sajak untukmu. Kaudengar...."

Pangeran itu berdiri menghadapi telaga yang pada saat itu memang amat indah pemandangannya. Kemudian terdengar dia mengucapkan kata-kata sajak berirama seperti orang bersenandung, suaranya halus dan merdu, matanya tajam menatap ke depan seolah-olah melihat hal-hal yang tak tampak oleh mata biasa. Mata seniman yang dapat menembus segala tabir dan kabut rahasia yang membutakan mata sebagian besar manusia.

  "Merah nyala matahari

  membakar langit senjakala

  di atas Telaga Sungari!

  Air terbakar merah seperti neraka

  sebagai isyarat

  munculnya sang naga

  dari dongeng rakyat jelata.

  Matahari senja, langit menyala,

  Telaga Sungari, kisah naga,

  tidak seindah saat ini

  berjumpa kekasih di tepi sungai!"

Ceng Ceng mendengarkan dengan kagum dan terharu. Dia maklum bahwa bagaimanapun juga, pangeran yang tampan ini masih terus menyatakan cinta kasih kepadanya!

"Bagaimana, Ceng-moi? Baikkah sajakku tadi?"

"Sajak yang indah sekali!" Tiba-tiba Topeng Setan berkata sambil merenung ke tengah telaga.

"Sajakmu memang bagus, Pangeran," kata Ceng Ceng menunduk, jantungnya berdebar dan dia tidak tahu harus berkata apa di depan pangeran yang sifatnya terbuka dan yang menyatakan perasaan hatinya secara langsung dan terang-terangan.

"Tunggu sebentar, Ceng-moi. Aku akan menyuruh keretaku ke sini. Indah sekali di bagian ini dan hem.... aku maklum bahwa keindahan itu tidak akan ada artinya lagi kalau engkau tidak berada di sini. Kautunggu sebentar, aku takkan lama...."

Pangeran itu lalu bergegas pergi hendak menyuruh kusir dan pengawalnya membawa keretanya ke tempat itu.

Sementara itu, cuaca mulai gelap dan kegelapan itu adalah karena pertemuan antara sinar senja dari matahari dan sinar lembut dari bulan di timur.

"Paman, mari kita pergi...." Ceng Ceng berkata lirih setelah pangeran itu pergi jauh.

"Eh....?" Topeng Setan berkata bingung.

"Mari kita dayung perahu ke tengah telaga. Kalau kita terlambat, jangan-jangan kita tidak akan berhasil mendapatkan anak naga itu.... dia.... dia.... tentu akan menjadi pengganggu kalau sudah kembali ke sini."

Topeng Setan hanya mengangguk, tidak membantah lalu mereka memasuki perahu kecil yang segera didayung ke tengah oleh Topeng Setan. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi yang sudah tidak kelihatan lagi karena gelapnya cuaca dan Ceng Ceng membayangkan betapa pangeran itu akan mencari-cari dan akan kebingungan dan kecewa.

"Pangeran Yung Hwa itu baik sekali...." Terdengar Topeng Setan berkata.

"Dia seperti orang gila saja...." Ceng Ceng membantah yang lebih ditujukan kepada hatinya sendiri.

"Memang begitulah orang yang jatuh cinta, tergila-gila...."

"Sudahlah, Paman. Aku tidak mau bicara tentang dia. Mari kita mendekati perahu-perahu itu. Agaknya ada terjadi sesuatu di sana."

Bulan mulai muncul di ufuk timur dan perahu-perahu makin bertambah banyak. Agaknya semua orang kang-ouw yang ingin menangkap anak naga sudah bersiap-siap dan sudah berada di perahu masing-masing. Dan ketika perahu kecil Ceng Ceng dan Topeng Setan berada di tengah, di tempat yang ramai karena agaknya semua perahu mengharapkan munculnya anak naga di telaga, tampaklah perahu-perahu berseliweran dan agaknya banyak yang melagak, memamerkan kekuatan dan bersiap-siap untuk berebutan dan kalau perlu mempergunakan kepandaian mereka untuk saling mengalahkan lawan dalam perebutan itu!

Perahu-perahu itu ditumpangi oleh orang-orang yang wajahnya serem-serem dan aneh-aneh. Ketika Topeng Setan mendayung perahunya perlahan-lahan sambil memperhatikan kanan kiri, tiba-tiba sebuah perahu besar lewat dengan laju dan perahu yang didayung cepat ini menimbulkan gelombang yang melanda perahu-perahu kecil di sekelilingnya, termasuk perahu yang ditumpangi Topeng Setan dan Ceng Ceng.

Perahu besar itu agaknya tidak mempedulikan perahu-perahu lainnya dan meluncur dengan angkuhnya. Agaknya karena kurang hati-hati, sebuah perahu kecil terlanggar ujungnya dan dengan suara keras, perahu itu terbalik! Ceng Ceng memandang dengan penuh perhatian karena perahu kecil yang terlanggar itu tida jauh jaraknya dari perahunya. Penumpangnya hanya satu orang. Orang berpakaian tosu tua yang wajahnya bengis. Orang-orang di dalam perahu lain sudah tertawa melihat perahu terbalik ini, akan tetapi tiba-tiba tosu itu mengeluarkan seruan melengking nyaring dan tubuhnya mencelat tinggi sekali, lalu bagaikan seekor burung garuda saja, di udara tubuhnya membuat poksai (salto) sampai tiga kali dan dia sudah melayang ke arah perahu besar itu.

"Tarrrr....!" Suara ledakan ini dibarengi oleh uap yang mengepul ketika sebatang cambuk bergerak menyambar tubuh tosu itu dari atas perahu besar. Sungguh merupakan sambaran yang amat berbahaya karena lecutan cambuk yang dibarengi suara meledak nyaring dan kepulan uap itu menandakan bahwa yang memegang cambuk adalah orang yang berilmu tinggi dan bertenaga besar. Ceng Ceng terkejut karena menurut dugaannya tentu tubuh tosu itu akan kena dihajar dan akan terjatuh ke air.

Akan tetapi, betapa kagumnya ketika tosu itu kembali mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah membuat gerakan aneh, seperti seekor burung walet bertemu halangan dan sudah berjungkir balik dan berhasil mengelak lalu tubuh itu mencelat lagi ke atas, tahu-tahu tubuh itu sudah hinggap di puncak tiang layar perahu besar itu!

"Hebat....!" Ceng Ceng memuji karena apa yang diperlihatkan oleh tosu itu adalah suatu demonstrasi kepandaian gin-kang yang hebat dan dia harus mengakui bahwa dia sendiri tidak mungkin meniru perbuatan tosu itu.

Terdengar bunyi aba-aba di perahu besar dan tiba-tiba terdengar bunyi berdesing dan empat batang anak panah yang besar dan berat, yang agaknya keluar dari satu busur, meluncur ke arah tubuh tosu di antara tiang layar itu. Akan tetapi tosu itu telah meloncat ke atas dan ketika empat batang anak panah itu meluncur lewat, dia hinggap di atas empat batang anak panah itu dengan menelungkup, kaki dan tangannya hinggap di atas sebatang anak panah dan "terbanglah" dia mengikuti luncuran anak panah-anak panah itu! Ceng Ceng sampai bengong menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian ini. Gin-kang tosu itu benar-benar seperti seekor burung saja. Akan tetapi pemain cambuk dan pemanah di atas perahu itu pun tak boleh dibuat main-main.

Tubuh tosu yang "menunggang" empat batang anak panah itu kebetulan meluncur ke arah perahunya yang terbalik dan dia lalu meloncat turun. Hampir saja tubuhnya menimpa dua buah perahu kecil lainnya. Perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang kakek muka hitam tinggi besar dan perahu kecil yang ditumpangi seorang kakek gemuk pendek berkepala gundul.

"Huhhhh!" Kakek tinggi besar sudah meloncat ke atas, menjepit perahu dengan kedua kakinya dan perahunya "terbang" terbawa oleh loncatannya sehingga tidak tertimpa tubuh tosu itu.

"Hemmm....!" Kakek gundul gemuk pendek mengerahkan dayungnya dan.... perahunya "selulup" ke dalam air seperti seekor ikan, kemudian muncul kembali ke depan, lima meter jauhnya dan dia tetap mendayung perahunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu sungguhpun pakaian dan kepala gundulnya basah kuyup!

Ceng Ceng makin kagum. Dua orang kakek itu pun hebat sekali! Kiranya tempat ini penuh dengan orang-orang pandai, tepat seperti yang diceritakan dan diduga oleh Topeng Setan tadi. Ceng Ceng menjadi makin ragu-ragu. Kalau tempat ini begitu penuh orang pandai, bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan berhasil mendapatkan anak naga itu? Tentu akan menghadapi banyak sekali halangan.

"Cluppp....!" Tubuh tosu kurus tadi terjun ke dalam air dan lenyap. Ceng Ceng menanti-nanti, akan tetapi tidak kelihatan tosu itu keluar dari dalam air. Dia merasa khawatir sekali dan menduga-duga, lalu bertanya kepada Topeng Setan, "Paman, apakah dia mati?"

Topeng Setan mendengus, "Hemm, dia sudah kembali ke perahunya."

Ceng Ceng memandang perahu yang terbalik tadi. Masih tetap terbalik dan kini dia yang menduga-duga apakah benar tosu itu telah berada di bawah perahunya yang terbalik itu dan kalau benar begitu, bagaimana Topeng Setan bisa mengetahuinya.

Sementara itu, perahu besar yang menabrak perahu tosu tadi, masih meluncur cepat ke tengah telaga. Dari sebelah kanan juga meluncur sebuah perahu besar lain dengan cepat. Karena keduanya tidak mau saling mengalah, tak dapat terhindarkan lagi, ujung kedua perahu besar itu beradu.

"Brakkkk....!" Dua buah perahu besar terguncang hebat dan beberapa orang anak perahu terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke air.

Demikian hebatnya tabrakan itu sehingga tiang perahu besar ke dua itu patah dan tumbang, jatuh menimpa ke arah sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kanannya, tidak kelihatan oleh Ceng Ceng yang berada agak jauh di sebelah kiri perahu itu.

Tiang yang terbuat dari balok besar itu menimpa perahu yang ditumpangi oleh dua orang muda, yang bukan lain adalah Kian Bu dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui! Keduanya menjadi terkejut akan tetapi dengan tenang mereka lalu menghindar dengan meloncat tinggi ke atas. Perahu mereka hancur akan tetapi keduanya selamat dan dengan gerakan yang indah sekali, sambil saling bergandeng tangan, kedua orang ini sudah melayang turun kembali dan hinggap di atas balok tiang layar yang menimpa perahu mereka tadi, berdiri tegak dan sedikit pun tidak terguncang. Orang-orang yang menyaksikan ini memuji keindahan gerakan mereka. Karena semua peristiwa itu terjadi di bawah sinar bulan purnama yang tidak terlalu terang akan tetapi juga tidak gelap, maka kelihatan makin indah.

Perahu ke dua yang patah tiangnya itu ternyata adalah perahu milik rombongan Pulau Neraka, sedangkan perahu besar pertama yang menabraknya adalah perahu yang ditumpangi oleh rombongan Raja Tambolon! Kini seorang tokoh Pulau Neraka yang keluar dari balik perahu, dengan marah menyambitkan obor yang tadi dipegangnya ke arah perahu Raja Tambolon. Obor meluncur seperti mustika naga ke arah perahu itu dan semua orang memandang dengan hati tegang. Tiba-tiba jendela bilik perahu Raja Tambolon terbuka, sebuah lengan tangan yang hitam kurus mencuat keluar dan.... obor yang melayang itu seperti bernyawa saja, terbang ke arah tangan itu yang sudah menyambutnya! Maka keluarlah nenek itu, merupakan bayangan hitam yang kecil menyeramkan karena dengan tangan kirinya dia lalu meremas-remas api obor itu begitu saja sampai menjadi padam! Akan tetapi ketika nenek itu membuka mulutnya ini melayanglah segumpal api yang merupakan bola api meluncur ke arah perahu Pulau Neraka dan tepat mengenai gulungan tali layar sehingga terbakar.

Tentu saja orang-orang Pulau Neraka cepat memadamkan api itu dan ada di antara mereka yang memaki-maki dan mengacung-acungkan senjata. Ceng Ceng melihat bahwa nenek itu terkekeh aneh dan dia merasa seram seperti melihat setan! Dan nenek itu memanglah Nenek Durganini, guru Tambolon ahli sihir yang lihai dan yang tadi telah mendemonstrasikan ilmu sihirnya.

Keadaan menjadi makin tegang. Kedua pihak, yaitu anak buah Tambolon dan anak buah Pulau Neraka, sudah saling mengancam dan mendayung perahu saling mendekati, agaknya tak dapat dihindarkan lagi kedua rombongan ini akan saling gempur. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara aneh, seperti keluar dari dalam dasar telaga, suara yang dalam akan tetapi terdengar jelas oleh semua orang.

"Itu dia....! Naga sudah muncul....!"

Tampak air bergolak dan tahu-tahu perahu yang terbalik tadi kini membalik telentang dan Si Tosu sudah berada di dalam perahu! Kiranya tosu aneh yang lihai inilah yang tadi bersuara dari balik perahu maka suaranya terdengar begitu aneh. Dan otomatis ketegangan antara dua rombongan perahu besar itu beralih menjadi ketegangan menghadapi peristiwa yang telah mereka tunggu-tunggu. Terdengar suara air gemericik dan telaga itu bergelombang dahsyat. Semua orang memandang dengan panik. Untung bulan purnama bersinar terang tanpa penghalang awan sehingga permukaan telaga kelihatan terang keemasan, akan tetapi belum kelihatan apa-apa kecuali gelombang yang makin membesar dan perahu-perahu kecil terombang-ambing. Ceng Ceng dan Topeng Setan juga cepat menggerakkan dayung untuk mencegah perahu mereka terguling, sedangkan wajah Ceng Ceng menjadi tegang dan matanya terbelalak. Belum pernah dia merasa setegang itu, jantungnya berdebar keras dan dia hampir tidak berani berkedip karena matanya terbelalak menyapu seluruh permukaan air, mencari-cari.

Bukan hanya mata Ceng Ceng saja yang tidak pernah berkedip menyapu ke kanan kiri, melainkan mata semua orang yang berada di atas perahu-perahu besar kecil itu semua terbelalak mencari-cari, seluruh urat syaraf di tubuh menegang, dan siap untuk bergerak apabila yang dinanti-nanti itu muncul.

Akan tetapi ketika yang ditunggu-tunggu itu benar-benar muncul, semua orang menjadi panik, apalagi anak buah Pulau Neraka karena di dekat perahu mereka itulah munculnya "naga" itu! Secara tiba-tiba saja air telaga muncrat tinggi dan tampaklah sebuah kepala ular yang besar sekali, muncul di atas permukaan air begitu saja. Sepasang mata ular itu mencorong seperti lentera bernyala, kuning kehijauan sinarnya dan seolah-olah ular atau naga itu hendak menyapu semua permukaan telaga dengan sinar matanya yang mencorong. Di dekat lubang hidungnya nampak dua sungut panjang seperti sungut ikan lee dan ketika muncul itu, lehernya "berdiri" dan dari dalam mulut yang sedikit terbuka itu mencuat sebatang lidah putih yang bercabang dua. Kepala ular itu sebesar karung beras dan kepala sebesar itu tentu akan dapat dengan mudah menelan seorang manusia dewasa! Melihat kepala ular tersembul di permukaan air dekat perahu mereka, para anak buah Pulau Neraka menjadi panik dan mereka sudah mengangkat senjata untuk membacok ular itu kalau berani naik lebih tinggi lagi. Akan tetapi terdengar bentakan keras dari Hek-tiauw Lo-mo menyuruh anak buahnya minggir dan dia sendiri lalu meloncat ke pinggir perahunya, dekat dengan ular besar itu dan tangan kirinya bergerak menyebar bubuk putih ke arah kepala ular itu.

"Koaaaakkk....!" Terdengar suara nyaring sekali, suara yang menggetarkan jantung semua orang ketika ular yang terkena bubuk racun putih kepalanya itu memekik dan kepala itu menyelam sebentar. Akan tetapi tidak lama kemudian kepala ular besar itu muncul lagi dan kedua matanya terpejam dan berair. Ternyata racun dahsyat dari Hek-tiauw Lo-mo itu telah membutakan mata ular sehingga binatang yang usianya tentu sudah ratusan tahun ini menjadi marah sekali. Begitu muncul lagi, terdengar dia mengeluarkan suara berkoak beberapa kali dan dia mengamuk. Kepala dan ekornya bergerak menghantam sana-sini dan air telaga pun berguncang hebat seperti dilanda badai. Perahu-perahu kecil terbanting dan banyak pula yang tersentuh sabetan ekor ular besar itu menjadi pecah berantakan dan tenggelam. Juga kedua perahu besar itu diombang-a mbingkan, saling bertumbukan dan masih dihantam oleh ekor ular sehingga pecah berantakan dan para penumpangnya cerai-berai banyak yang terlempar ke dalam air! Suasana menjadi menakutkan dan semua orang menjadi panik.

Topeng Setan dan Ceng Ceng cepat mendayung perahunya menjauh. Ceng Ceng gemetar dan mukanya pucat sekali. Tak disangkanya bahwa ular "naga" itu sedemikian hebatnya. Ketika mengamuk tadi, nampaklah tubuhnya yang panjang dan besar, sebesar tubuh manusia dan panjangnya belasan meter. Sisik tubuhnya mengkilap dan besar-besar kehijauan dan kelihatan keras dan kuat sekali. Bagian bawah tubuhnya agak putih dan ketika ular itu membuka moncongnya, nampak gigi yang seperti pedang, rongga mulut yang lebar dan merah dan lidahnya yang bercabang itu keluar masuk di antara gumpalan uap menghitam yang keluar dari dalam mulut ular itu. Anak ular yang ditunggu-tunggu tidak kelihatan. Melihat kedahsyatan ular itu, yang begitu besar dan mengerikan, Ceng Ceng menjadi gentar sekali. Telaga yang demikian luasnya menjadi bergelombang ketika ular itu mengamuk. Sukar dibayangkan betapa hebat tenaganya. Mana mungkin orang dapat menangkap anaknya yang kabarnya selalu dibawa di dalam mulutnya? Manusia gila manakah yang akan mampu mengambil anak "naga" itu dari dalam moncong yang demikian mengerikan dan berbahaya?

Betapapun lihainya seseorang mana mungkin mampu melawan seekor naga yang demikian kuat dan dahsyatnya? Baru sabetan ekornya saja sudah dapat menghancurkan perahu-perahu besar kecil! Kabarnya, selama ratusan tahun belum pernah ada yang mampu menaklukkan naga ini, apalagi mencuri anaknya dari dalam moncong! Akan tetapi anehnya, menurut penuturan Topeng Setan, setiap sepuluh tahun sekali ada orang-orang kang-ouw yang datang untuk mencobanya, sungguhpun setiap sepuluh tahun itu pasti jatuh korban banyak orang tewas di Telaga Sungari ini! Dan sekarang, aklbat perbuatan Hek-tiauw Lo-mo yang meracuni naga, sudah jelas akan menimbulkan korban yang tidak sedikit. Sekarang saja yang tenggelam karena perahunya pecah sudah ada belasan orang!

"Bodoh si Hek-tiauw Lo-mo!" Topeng Setan berkata lirih. "Kenapa dia tergesa-gesa? Sekarang mana mungkin menangkap anak ular itu?" Jelas bahwa Topeng Setan merasa kecewa sekali oleh perbuatan Hek-tiauw Lo-mo itu dan Ceng Ceng dapat mengerti karena menurut cerita Topeng Setan, naga itu biasanya akan lama berenang di permukaan telaga dan akan mengeluarkan anaknya dari mulut agar anak naga itu dapat berenang di permukaan air. Sekarang, karena naga itu telah menjadi buta dan terluka berat, tentu binatang ini menjadi marah dan tidak ada harapan lagi untuk melihat dia mengeluarkan anaknya dari dalam mulut setelah tahu bahwa ada bahaya mengancam.

"Aaiiihhh....!" Tiba-tiba Ceng Ceng menjerit dan cepat-cepat dia berpegang pada pinggiran perahunya ketika perahu kecil itu tiba-tiba mencelat ke atas tersundul oleh sesuatu dari bawah air. Perahu itu mencelat ke atas, akan tetapi berkat kecekatan dan tenaga Topeng Setan yang memegangi kedua pinggiran perahu, perahu itu tidak terbalik dan dapat melayang turun lagi ke atas air dan mereka berdua tetap duduk di dalam perahu dan hanya kehilangan dayung. Ceng Ceng terkejut bukan main dan hampir dia pingsan karena kagetnya.

"Apa.... apa yang terjadi.... eiiikkkhhh....!" Ceng Ceng menjerit lagi dengan mata terbelalak memandang ke kiri karena tiba-tiba saja di samping perahu itu muncul moncong ular naga tadi. Uap putih bergumpal keluar dari mulut itu dan Ceng Ceng mencium bau yang memuakkan, akan tetapi karena dia sudah kebal terhadap racun, uap beracun itu tidak mempengaruhi, hanya rasa takut membuat dia seperti kehilangan semangat dan tidak mampu bergerak lagi. Ekor ular menyabet, tampak bayangan ekor ular itu muncul di permukaan air dan secepat kilat Topeng Setan sudah menyambar pinggang Ceng Ceng dengan lengan kanannya dan dia meloncat ke atas ketika ekor ular raksasa itu menyabet perahu.

"Braaakkkk....!" Perahu kecil itu hancur berkeping-keping ketika dihantam ekor ular itu. Topeng Setan sudah cepat meloncat ke atas akan tetapi tetap saja kaki kanannya keserempet sabetan ekar ular itu. Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk tulang seolah-olah tulang pahanya remuk. Topeng Setan maklum bahwa sin-kangnya dapat melindungi tulang pahanya, akan tetapi biarpun dia tidak mengalami luka dalam yang hebat, tetap saja merasa betapa kaki kanannya itu seperti lumpuh.

"Pakai pedang pendek ini....!" Ceng Ceng yang teringat akan bekalnya, sebatang pedang kecil yang diselipkan di pinggang, mencabut senjata itu dan menyerahkan kepada Topeng Setan yang cepat menyambarnya dengan tangan kiri. Dia berhasil menginjak pecahan perahu dan selagi tubuhnya meluncur turun dan dia melihat kepala naga itu membuka moncongnya dan siap hendak menyerang dan menelan dia dan Ceng Ceng, Topeng Setan melihat lidah putih itu mencuat keluar. Secepat kilat tangan kirinya menggerakkan pedang pendek Ceng Ceng. Dia sudah melihat tadi betapa tubuh dan kepala naga itu kebal terhadap hantaman dan bacokan senjata-senjata tajam anak buah kedua perahu itu, maka kini dengan mati-matian dia menusukkan pedangnya ke arah lidah

ular naga itu.

"Crattt.... plaaakkk!" Pedang kecil itu tepat menancap di lidah ular, melukai lidah itu akan tetapi gerakan kepala ular itu ke samping membuat pedang itu terlepas dari pegangan tangan kiri Topeng Setan. Dan Topeng Setan terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya karena terdengar pekik melengking yang dahsyat sekali dari mulut ular itu. Pekik melengking nyaring ini terdorong oleh rasa kesakitan karena lidahnya terluka dan mengucurkan darah, dan pada saat ular itu terpekik melengking, pandang mata yang tajam dari Topeng Setan dapat melihat sebuah benda berkilauan mencelat keluar dari dalam kerongkongan mulut ular naga itu. Benda itu ternyata adalah seekor ular kecil! Itulah anak naga yang dicari-cari! Dengan lengan kanan masih memeluk pinggang Ceng Ceng, Topeng Setan lupa akan segala bahaya dan cepat dia menubruk ke air, di mana tadi dia melihat ular

kecil itu terlempar dan tangan kirinya menyambar. Tepat sekali dia berhasil menangkap kepala ular kecil itu! Ular kecil meronta-ronta, tubuhnya membelit lengan kiri Topeng Setan, akan tetapi Topeng Setan mengerahkan tenaganya dan ular kecil itu tidak mampu melepaskan diri.

Akan tetapi pada saat itu, induk ular naga menjadi marah sekali. Biarpun matanya sudah buta, akan tetapi nalurinya memberi tahu bahwa anaknya berada dalam bahaya dan kepekaannya dapat membuat dia tahu bahwa musuh yang menyakiti lidahnya berada di depan. Dia membuka moncongnya dan menyambar ke arah Topeng Setan yang sudah berhasil menangkap anak ular dan berusaha menghindar dan berenang, melihat moncong lebar itu menyambar dari arah kirinya, menjadi terkejut dan dia memindahkan anak ular ke tangan kanannya, kemudian dia menggerakkan tangan kiri dengan pengerahan tenaga untuk menangkis karena sudah tidak keburu membalikkan badan. Karena lengan kanan itu merangkul pinggang Ceng Ceng, tentu saja gerakan tangan kirinya menjadi kaku.

"Plakkk....!" Topeng Setan mengeluarkan teriakan ngeri ketika dia merasa betapa Ceng Ceng terlepas dari rangkulan. Seketika yang teringat olehnya hanyalah keselamatan Ceng Ceng yang disangkanya telah terampas oleh moncong ular naga, maka otomatis dia menggerakkan lengan kiri untuk menyambar. Akan tetapi perasaan kosong dan aneh membuat dia memandang tangan kirinya dan Topeng Setan terbelalak, mulutnya mengeluarkan suara. "Auhhhh...." ketika dia melihat betapa tangan kiri berikut lengannya telah lenyap! Yang tinggal hanyalah pundaknya dan seluruh lengan kirinya itu ternyata telah buntung dicoplok ular naga tadi!

Melihat kenyataan yang mengerikan ini, hampir saja Topeng Setan menjadi pingsan. Akan tetapi, dia menggigit bibir menahan pukulan lahir batin yang amat hebat ini. Tidak, tekadnya. Dia tidak boleh pingsan. Yang penting adalah Ceng Ceng! Dia cepat menengok dan melihat gadis itu gelagapan tak jauh dari situ. Gadis itu tidak pandai berenang dan dipermainkan air bergelombang. Cepat dia lalu berenang mendekati dan menggunakan lengan kanan memeluk pinggang gadis itu dan mengangkatnya ke atas. Ular itu masih digenggam di tangan kanannya.

Selagi Topeng Setan yang kini hanya mengandalkan kedua kakinya untuk bergerak di air itu hendak berenang menjauh, tiba-tiba kaki kirinya dipegang orang dari bawah! Topeng Setan merasa terkejut, mengerti bahwa amatlah berbahaya kalau dia tidak dapat melepaskan cekalan tangan orang itu. Cepat dia meronta dan menendang-nendangkan kaki kirinya, bahkan kaki kanannya juga menendang ke bawah. Akan tetapi tetap saja cekalan itu tidak terlepas dari kakinya. Sementara itu Ceng Ceng sudah pingsan dan bergantung lemas dalam pelukan tangan kanannya, sedangkan anak ular itu masih membelit lengan kanannya tanpa mampu melepaskan diri. Tangan yang mencekal kaki Topeng Setan itu kuat sekali dan kini berusaha menarik tubuh Topeng Setan tenggelam. Topeng Setan meronta-ronta, namun cekalan pada pergelangan kakinya itu seperti jepitan baja, dan tidak mungkin dapat dilepaskan dengan cara meronta dan menendang. Sudah beberapa kali dia ditarik ke bawah sampai gelagapan. Hampir saja dia menyerah. Akan tetapi tiba-tiba induk ular yang masih mengamuk itu menggerakkan ekor menyabet ke arah kaki Topeng Setan. Hal ini menolongnya

karena kakinya terlepas dari jepitan dan orang yang memegang kakinya itu muncul ke permukaan air. Kiranya orang itu adalah Si Tosu yang lihai tadi! Akan tetapi karena induk ular naga itu masih mengamuk, Si Tosu Lihai tidak berani mendekat, bahkan cepat-cepat berenang menjauh ketika ular naga itu bergerak ke arahnya dengan sikap menyeramkan.

Karena merasa betapa tubuhnya makin melemah dan ular naga itu masih mengamuk di dekatnya, maka Topeng Setan yang hanya teringat akan keselamatan Ceng Ceng semata, melihat adanya balok tiang perahu besar yang tadi patah dan kini ujung yang kiri masih ditumpangi oleh Kian Bu dan Hong Kui, cepat dia menggerakkan kakinya dan seluruh tubuhnya, mencelat ke atas balok tiang layar itu. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tampak sebuah perahu juga meloncat dan menubruk Topeng Setan. Orang yang berada di dalam perahu itu adalah kakek tinggi besar bermuka hitam yang cepat mengulur tangannya merampas ular kecil di dalam genggaman tangan Topeng Setan! Karena perahu itu muncul tiba-tiba dan menubruknya, membuat dia tidak dapat mengelak lagi, apalagi lengannya yang tinggal satu itu memeluk Ceng Ceng yang sudah mulai siuman, maka Topeng Setan sekali ini tidak berdaya. Ular kecil di dalam tangannya kena dirampas oleh kakek tinggi besar muka hitam itu! Dengan kemarahan meluap, Topeng Setan masih sempat menggerakkan kakinya menendang.

"Bukkk!" Tendangannya tepat mengenai lambung kakek itu sehingga terlempar keluar dari perahunya.

"Byuuuurrr....!" Tiba-tiba dari dalam air muncul sebuah perahu dan kakek pendek gemuk berkepala gundul sudah menggunakan dayungnya mengemplang kepala kakek muka hitam!

Kakek muka hitam terkejut, masih dapat mengelak sambil menangkap dayung itu, akan tetapi ternyata kakek gundul itu hanya menipunya karena sambil tertawa lalu tangannya meraih dan.... ular kecil itu kembali berpindah tangan, dari tangan kakek tinggi besar bermuka hitam terampas oleh kakek gundul.

"Keparat....!" Kakek muka hitam menggerakkan dayung rampasannya dan menghantam ke perahu lawan.

"Brakkkk....!" Perahu itu hancur berkeping-keping dan Si Kakek Gundul sambil tertawa lalu menyelam dan lenyap!

Sementara itu, Topeng Setan berhasil hinggap di ujung balok tiang layar. Ceng Ceng sudah siuman dan pertama kali gadis ini melihat lengan kiri Topeng Setan yang lenyap, hanya tinggal pundak kiri yang berlepotan darah, hampir dia pingsan lagi.

"Paman....!" Dia menjerit dan memeluk tubuh mandi darah itu. "Kau.... kau.... lenganmu....?"

"Tidak apa, Ceng Ceng.... tidak apa...." Topeng Setan berkata tenang.

"Tidak apa-apa? Lenganmu buntung dan kau bilang tidak apa-apa?" Ceng Ceng lalu cepat mengeluarkan obat bubuk yang sudah basah semua dari dalam bajunya, mengobati pundak yang buntung itu dengan hati penuh kengerian dan keharuan, kemudian dia merobek baju Topeng Setan dan membalut luka yang kini darahnya sudah berhenti mengucur. Topeng Setan sama sekali tidak mengeluh, bahkan kelihatan tersenyum di balik topengnya yang buruk. Kian Bu dan Hong Kui yang melihat semua ini menjadi bengong. Kian Bu merasa kagum bukan main. Betapa hebatnya orang yang bermuka buruk ini, yang dia tahu adalah pembantu dari Ceng Ceng.

Manusia muka buruk ini sudah putus lengannya, akan tetapi masih dapat bergerak sehebat itu di dalam air, berhasil menolong Ceng Ceng yang tadi pingsan, bahkan telah berhasil menangkap anak naga yang kini terampas oleh kakek gundul yang menyelam dan menghilang. Melihat kesibukan Ceng Ceng merawat luka Topeng Setan, apalagi karena dia masih merasa malu karena terlihat berdua dengan Mauw Siauw Mo-li, maka Kian Bu tidak berani menegur Ceng Ceng yang agaknya juga tidak melihatnya biarpun mereka berada di satu balok tiang layar, di kedua ujungnya. Agaknya Ceng Ceng juga tidak melihat dan mempedulikan keadaan sekelilingnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah kepada keadaan Topeng Setan yang kehilangan lengan kirinya.

"Sayang anak naga itu terampas Si Kakek Gundul...." terdengar Topeng Setan berkata.

"Peduli dengan ular itu....!" Ceng Ceng menjawab sambil menyelesaikan pekerjaannya membalut pundak dengan hati-hati. "Aku.... aku benci ular itu, Paman! Aku benci diriku sendiri karena aku yang menyebabkan kau kehilangan lengan kirimu."

"Ahhh.... jangan berkata begitu...."

Sementara itu, induk ular naga masih mengamuk karena selain matanya buta, lidahnya terluka, juga dia kehilangan anaknya. Amukannya di dalam air itu agaknya membuat Si Kakek Gundul tidak kuat bertahan lama dan sudah muncul lagi ke permukaan air. Akan tetapi begitu dia muncul, dari atas perahu besar milik Tambolon, tampak sinar hitam mencuat dan tahu-tahu tubuh kakek gundul sudah tertangkap dalam sehelai jaring hitam yang terbuat dari tali sutera halus yang amat kuat! Kakek gundul yang masih memegangi ular kecil itu terkejut dan meronta-ronta, namun dia tidak berdaya ketika tubuhnya ditarik dan diangkat naik ke atas perahu oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya, yaitu Si Petani dan Si Siucai. Begitu jaring dibuka, kakek gundul mengamuk dan gerakannya dahsyat sekali. Akan tetapi tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi dan nadanya aneh.

"Jangan keroyok, biarkan dia!"

Mendengar ini, Tambolon dan dua orang pembantunya mundur dan nenek itu lalu berkata, "Hai, cucuku gundul.... engkau memang anak baik sekali mau menyerahkan ular itu kepada nenekmu. Mari.... mari sini.... berikan ular itu kepadaku....!"

Ceng Ceng yang sudah selesai membalut, kini bersama Topeng Setan memandang ke arah perahu itu dan mereka menjadi bengong terheran-heran melihat kakek gundul yang lihai dan yang tidak gentar dikeroyok oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan Si Nenek Hitam dan menyerahkan ular itu dengan kedua tangannya! Sambil terkekeh Durganini menerima ular itu. Begitu ular diterima, kakek gundul agaknya sadar dan  dengan teriakan dahsyat dia meloncat berdiri dan hendak menerjang nenek itu. Akan tetapi Tambolon dan dua orang pengawalnya sudah menyambutnya sehingga terjadilah

pertandingan seru di atas perahu.

Akan tetapi kini semua perahu yang melihat bahwa ular yang diperebutkan itu terjatuh ke tangan Si Nenek Hitam, berbondong datang mendekati perahu besar Tambolon dan banyak sekali bayangan orang yang gerakannya ringan dan gesit berloncatan ke atas perahu besar itu untuk merampas ular kecil! Di antara mereka terdapat Si Tosu Lihai, Hek-tiauw Lo-mo, dan banyak orang lagi termasuk Si Kakek Muka Hitam dan Si Kakek Gundul yang masih bertanding melawan Tambolon. Anak buah raja liar ini menyambut dan terjadilah perang tanding yang amat seru di atas perahu. Menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang pandai, Tambolon dan Si Nenek Lihai ini menjadi kewalahan juga dan dia tidak sempat menggunakan ilmu sihirnya terhadap begitu banyak orang pandai yang rata-rata memiliki tenaga batin amat kuat sehingga tidak mudah tunduk kepada kekuatan ilmu sihirnya.

Selagi Topeng Setan tidak tahu apakah dia harus pula ikut memasuki medan pertandingan itu, tiba-tiba perahu besar itu terlempar ke atas dan terbanting lalu terbalik! Kiranya ular yang marah itu telah mengamuk dan menyundul perahu yang sudah pecah itu sehingga terbalik dan tentu saja semua orang lihai yang sedang enaknya bertempur semua terlampar ke dalam air! Si Nenek Hitam yang lihai dan ahli ilmu sihir itu kehilangan kelihaiannya karena dia tidak pandai renang, maka dengan gelagapan dia terpaksa minta tolong dan dibantu oleh anak buah Tambolon, diseret kembali ke perahu yang sudah terbalik. Akan tetapi dalam ketakutannya tenggelam tadi, nenek ini yang sudah pikun lupa akan ular kecil yang dipegangnya sehingga ular kecil itu terlepas. Anak ular yang juga panik karena sejak tadi dicengkeram tangan-tangan panas dan kuat, dalam keadaan bingung dan panik meluncur dan berenang ke dekat tiang layar yang ditumpangi Kian Bu, Hong Kui, Topeng Setan dan Ceng Ceng! Melihat ini, Topeng Setan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Cepat tangannya meraih untuk menangkap anak naga itu.

"Desss....!" Topeng Setan dan Kian Bu terkejut. Keduanya tadi secara otomatis telah mengulur tangan hendak menangkap anak ular naga itu dan begitu tangan mereka saling bertemu, otomatis pula keduanya menyalurkan lengan sehingga terjadilah bentrokan hebat antara tangan mereka. Kian Bu terkejut sekali karena merasa betapa tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan itu kuat bukan main, dan betapa orang yang sudah mengalami luka buntung lengan itu masih sanggup menandingi tenaganya. Hal ini benar-benar membuat dia penasaran dan juga kagum bukan main.

Anak ular itu berenang ke dekat Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan cepat tangannya menyambar. Akan tetapi pada saat itu, Lauw Hong Kui Si Siluman Kucing juga sudah menangkap pada saat yang bersamaan, tentu saja mereka lalu berebut dan saling betot! Kasihan ular kecil itu yang dipegang kepala dan ekornya dan dijadikan rebutan! Kian Bu memandang terbelalak. Biasanya kekasihnya itu amat takut terhadap ular, bahkan beberapa kali pingsan melihat ular, akan tetapi mengapa kini berani menangkap ular itu dan membetotnya. Melihat Ceng Ceng juga sudah menangkap ular itu, dia berteriak kepada Hong Kui, "Enci, biarkan dia mendapatkan ular itu....!"

Hong Kui terkejut dan marah. "Apa? Tidak sudi!" Dan dengan marah dia menarik sekuatnya. Ceng Ceng tentu saja mempertahankannya, gadis ini lebih beruntung dalam perebutan itu karena dia tadi memegang kepala ular yang tentu saja merupakan bagian yang lebih kuat daripada bagian ekornya.

"Prattt....!" Anak ular naga itu putus menjadi dua dan putusnya di dekat ekor sehingga Hong Kui hanya mendapatkan bagian yang sedikit saja, yaitu bagian ekornya! Dan karena Ceng Ceng yang mempertahankan ular itu berada di pinggir balok dan kini tiba-tiba ular putus, tak dapat dihindarkan lagi Ceng Ceng terjengkang dan terjatuh ke dalam air. Pada saat itu, induk ular naga sudah tiba di atas lagi, ekornya mobat-mabit dan balok tiang itu kena dihantam ekor yang amat kuat, pecah berantakan.

Topeng Setan yang setengah pingsan karena penderitaannya itu melihat Ceng Ceng terjatuh ke dalam air, tahu bahwa gadis itu terancam bahaya karena tidak pandai berenang, maka tepat pada saat balok tiang dihantam ekor ular naga, dia sudah meloncat terjun ke air dan mengejar Ceng Ceng, merangkulnya dan terus dibawanya gadis itu menyelam selagi ular naga mengamuk di atas mereka. Dia maklum bahwa keadaan sudah berbahaya sekali, tenaganya sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk melindungi Ceng

Ceng dan kalau mereka muncul lagi di permukaan air, tentu semua orang lihai itu akan mengeroyok mereka karena ular itu, biarpun ekornya putus sedikit, masih berada di tangan Ceng Ceng.

Karena dia maklum bahwa sekali mereka muncul, tentu mereka akan celaka dan terutama sekali yang terpenting baginya, Ceng Ceng akan terancam bahaya dan anak ular naga itu akan dirampas orang, maka Topeng Setan mengambil keputusan nekat. Dia hendak membawa Ceng Ceng menyelam terus dan berenang di bawah permukaan air menuju ke tepi telaga. Dengan sin-kangnya yang sudah amat kuat itu, dan melawan penderitaan tubuhnya yang terluka hebat dengan kekuatan kemauannya yang membaja, Topeng Setan lalu

menyeret tubuh Ceng Ceng yang dirangkulnya itu, mulai berenang meninggalkan tempat berbahaya itu di mana tidak hanya ular naga raksasa yang mengamuk, akan tetapi juga banyak tokoh lihai yang mencari-cari mereka. Dengan pengerahan tenaga yang amat mentakjubkan, yang sesungguhnya terdorong oleh keinginan dan kemauannya untuk menyelamatkan Ceng Ceng, Topeng Setan berenang cepat dan hanya menggunakan kedua kakinya dan dia berhasil menjauhi tempat itu. Kakinya yang pernah dihantam ekor ular naga terasa nyeri bukan main, akan tetapi dia tidak mau merasakan siksaan ini dan terus menggerakkan kedua kaki meluncur ke depan. Dengan sin-kangnya yang sudah mencapai puncak, dia dapat "menyimpan" hawa udara sehingga dia masih kuat bertahan. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Ceng Ceng. Dasar sin-kang dari gadis ini masih lemah sekali, maka kini dia mulai kehabisan napas, meronta-ronta dan hal ini diketahui oleh Topeng Setan. Akan tetapi, kalau dia membawa Ceng Ceng muncul ke permukaan untuk mencari hawa segar dan bernapas, tentu akan kelihatan oleh musuh dan selanjutnya mereka tidak mungkin dapat melarikan

diri lagi, karena tentu akan dikejar-kejar, baik di permukaan air atau di dalam air. Di antara mereka terdapat banyak ahli

bermain di air, seperti kakek gundul dan tosu itu. Maka Topeng Setan mempererat pelukannya dan tidak membolehkan Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas itu untuk naik ke permukaan air. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dibiarkan terus, gadis itu akan kehabisan napas dan akan tewas pula, maka dia lalu mengambil keputusan nekat. Diangkatnya tubuh Ceng Ceng, didekatkan muka gadis itu dengan mukanya. Di dalam air yang jernih itu mereka tidak dapat saling melihat, karena sinar bulan tidak dapat

menembus sedalam itu, akan tetapi remang-remang mereka masih dapat saling melihat bayangan mereka. Topeng Setan lalu menundukkan mukanya dan.... dia menutup mulut Ceng Ceng dengan mulutnya sendiri!

Tentu saja Ceng Ceng terkejut bukan main, mula-mula tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh orang tua itu. Dia sudah pening dan telinganya mengeluarkan bunyi mengaung, dadanya seperti hendak meledak. Rasa kaget ketika merasa betapa mulutnya dicium seperti itu oleh Topeng Setan, membuat dia ingin menjerit dan otomatis mulutnya terbuka. Agaknya inilah yang dikehendaki Topeng Setan. Dengan bibir masih menutup mulut Ceng Ceng yang terengah-engah itu, dia mengeluarkan hawa "simpanan" yang masih bersih, ditiupkannya ke dalam paru-paru Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas.

Ceng Ceng gelagapan akan tetapi dadanya menjadi lega dan kini lenyaplah kekagetan dan kemarahan yang tadi menyelinap di dalam hatinya. Kini dia mengerti bahwa orang tua bertopeng buruk itu, sama sekali tidak berniat kurang ajar kepadanya. Sebaliknya malah, kembali Topeng Setan menyelamatkannya! Dan dia tahu bahwa cara penyelamatan ini pun suatu pengorbanan diri karena dengan memberikan hawa cadangan itu kepadanya, berarti Topeng Setan sendiri akan cepat kehabisan napas! Keharuan memenuhi hati Ceng Ceng dan ketika Topeng Setan melepaskan "ciumannya", dia merangkul pinggang kakek itu dan merapatkan tubuhnya sebagai tanda terima kasihnya. Kini Ceng Ceng dapat bertahan dan mereka terus berenang ke suatu arah tertentu, secara untung-untungan karena mereka tidak dapat melihat arah mana yang terdekat ke pantai. Setiap kali Ceng Ceng kehabisan napas, Topeng Setan lalu "menciumnya" seperti tadi untuk memindahkan hawa murni dan sampai tiga kali dia melakukan hal ini yang berarti menyambung napas dan umur gadis itu. Ceng Ceng tidak meronta lagi, dan setiap kali dia dicium, dia memejamkan matanya dan sungguh aneh, dalam keadaan tercium itu, yang amat terasa olehnya, dia membayangkan wajah.... pemuda laknat yang telah memperkosanya! Dia sendiri merasa heran. Dicobanya untuk membayangkan wajah Pangeran Yung Hwa, mengkhayal bahwa pangeran yang tampan dan menarik itulah yang menciumnya, akan tetapi tetap saja wajah pemuda laknat itu yang muncul!

Ketika akhirnya, secara kebetulan sekali, mereka dapat mendarat di pantai terdekat, keduanya sudah kehabisan napas. Mereka terengah-engah di pantai, dengan tubuh bawah masih terendam air dan tubuh atas rebah di atas lumpur, dada mereka terasa seperti akan meledak, terengah-engah seperti ikan-ikan terdampar di daratan. Akan tetapi anak ular naga itu masih terus digenggam tangan kanan Ceng Ceng, dan tubuh ular yang ekornya buntung itu masih membelit lengannya dengan kuat.

Sementara itu, jauh di tengah telaga, orang-orang lihai masih terus sibuk melawan ular naga yang mengamuk dan mereka sibuk pula berusaha mencari Topeng Setan dan Ceng Ceng. Adapun Hong Kui dan Kian Bu yang tadi terlempar ke air ketika balok tiang layar dihantam oleh ekor ular naga, kini sudah berhasil menyelamatkan diri ke atas sebuah pecahan perahu. Melihat ekor ular itu yang masih berdarah, Hong Kui terus saja memasukkannya ke dalam mulutnya dan Kian Bu merasa ngeri melihat betapa mulut yang bentuknya indah itu, bibir yang merah basah dan yang sudah amat dikenalnya dengan ciuman-ciumannya yang hangat dan mesra, kini mengunyah daging, tulang dan kulit ular yang berdarah itu sampai terdengar suara berkerotakan ketika tulang-tulang ekor ular kecil itu hancur digilas oleh gigi-gigi kecil kuat dari Hong Kui. Sedikit pun tidak kelihatan wanita itu merasa jijik, maka kini Kian Bu mulai mengerti bahwa Hong Kui sebenarnya sama sekali tidak takut kepada ular! Terbukalah matanya bahwa selama ini wanita itu memang sengaja memancing dan merayunya dan dia merasa betapa bodohnya dia. Akan tetapi biarpun kenyataan ini membuat dia kehilangan perasaan cinta terhadap Hong Kui, namun tidak melenyapkan rasa tertariknya. Wanita itu telah memperkenalkan kenikmatan yang luar biasa kepadanya dan dia masih merasa sayang untuk melepaskannya! Kalau tadinya Kian Bu hampir mengakui dan percaya bahwa dia jatuh cinta kepada Hong Kui, semenjak peristiwa memperebutkan ular itu, dia yakin bahwa sebetulnya tidak ada kasih di hatinya terhadap wanita ini, melainkan hanya nafsu kesenangan karena wanita ini

memang hebat dan pandai sekali menghibur dan  menyenangkan hatinya. Dan melihat Hong Kui mengunyah dan makan ekor ular itu mentah-mentah, timbul juga rasa kasihan di hatinya karena dia maklum bahwa wanita itu terpaksa melakukan hal ini karena khawatir kalau-kalau bagian yang hanya sedikit itu akan terampas orang lain! Akan tetapi, yang sedikit ini pun cukuplah karena seketika itu juga Hong Kui merasa betapa tekanan panas di pusarnya akibat keracunan telah lenyap sama sekali begitu ekor ular itu memasuki perutnya!

Topeng Setan sudah dapat memulihkan pernapasannya. Pundak kirinya terasa sakit bukan main, berdenyut-denyut sampai terasa di ubun-ubun kepalanya, juga kaki kanannya yang kena hantaman ekor ular naga masih terasa setengah lumpuh. Lebih-lebih lagi hatinya seperti ditusuk-tusuk kalau dia teringat akan lengan kirinya yang buntung akan tetapi semua penderitaan lahir batinnya ini dilupakannya seketika ketika dia menoleh kepada Ceng Ceng yang juga sudah tidak begitu terengah-engah seperti tadi.

"Cepat kaumakan ular itu. Ular inilah obat yang akan menghilangkan semua racun yang mengancam nyawamu. Cepatlah, Ceng Ceng." Topeng Setan berkata. Ceng Ceng menoleh kepadanya, mukanya pucat, sebagian tertutup rambutnya yang terurai awut-awutan dan basah kuyup. Begitu menoleh dia melihat lengan kiri yang buntung itu dan tiba-tiba Ceng Ceng memandang ular di tangannya

dengan wajah beringas. "Ular sialan! Ular itu telah membuat lenganmu buntung, Paman. Aku benci ular itu!" Ceng Ceng lalu me lemparkan ular itu ke telaga!

"Aihhh.... kau.... kau gila....!" Topeng Setan berteriak kaget sekali dan cepat dia terjun ke air dan berenang mengejar ular

itu. Untung ular itu sudah menjadi lemah dan setengah mati karena sejak tadi kepalanya digenggam oleh Ceng Ceng dan ekornya telah buntung, maka dia tidak menyelam dan hanya berenang lambat-lambat ke sana-sini sehingga mudah bagi Topeng Setan untuk menangkapnya dan membawanya berenang ke pinggir. Ceng Ceng sudah merangkak dan duduk di atas tanah yang keras di tepi telaga ketika Topeng Setan mendarat.

"Kau harus makan daging ular ini dan minum darahnya." Dia berkata.

"Ular sialan itu, biarlah aku tidak berobat lagi, Paman."

"Kau harus!"

"Tidak....!"

"Aku akan memaksamu!"

Ceng Ceng yang pada dasarnya berhati keras itu, mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang keras dan marah dari Topeng Setan, lupa kalau orang itu telah kehilangan lengannya dan dia meloncat bangun sambil mengepal kedua tangannya. "Tidak! Tidak sudi! Coba kau memaksaku kalau berani."

"Mengapa tidak berani? Hanya ular ini obatnya yang akan menyelamatkan nyawamu, Ceng Ceng." Tiba-tiba Topeng Setan menyerbu dan Ceng Ceng berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat, dan sebuah totokan pada pundaknya membuat dia roboh dan tak dapat bergerak lagi. Akan tetapi sebelum dia roboh, lengan Topeng Setan sudah menahannya dan dia lalu direbahkan dengan hati-hati di atas rumput.

"Karena kau berkeras menolak, aku terpaksa menggunakan kekerasan ini, Ceng Ceng. Ular ini harus cepat kaupergunakan sebagai obat, kalau sampai mereka mengejar ke sini, ular ini akan terampas dan kau akan celaka. Maafkan aku, terpaksa aku melakukan ini padamu...."

Topeng Setan mencari sehelai daun teratai lebar, membuatnya dengan susah payah sebagai tempat air dan sementara itu dia menjepit leher ular dengan jari kakinya yang dilepaskan dari sepatunya yang basah, kemudian dengan jari-jari tangannya yang panjang dia menggulung dan menggenggam ular itu ke dalam kepalannya, dan mengerahkan tenaga menghimpitnya! Tentu saja kepala dan tubuh ular itu menjadi hancur dan cairannya mengucur ke dalam mangkok daun teratai itu, cairan yang terdiri dari darah

dan perasan tubuh ular itu, cairan kuning kemerahan yang dipandang dengan mata jijik oleh Ceng Ceng.

"Cairan ini mengandung obat mujarab, akan tetapi juga mengandung racun ular itu yang akan mematikan bagi orang biasa. Akan tetapi karena tubuhmu sudah kebal racun, maka racun ular ini tidak akan mengganggu, bahkan mungkin akan mendatangkan suatu keuntungan bagimu, Ceng Ceng. Mestinya tidak dihidangkan secara begini saja, yang agak menjijikkan, akan tetapi apa boleh buat, kita masih belum aman benar dan obat ini perlu secepatnya kauminum."

Ceng Ceng yang sudah lumpuh kaki tangannya itu hanya menjawab pendek, "Aku tidak mau!"

"Maaf....!" Topeng Setan kembali menggerakkan jari tangannya.

"Aaaahhhh!" Mulut Ceng Ceng terbuka dan tak dapat tertutup kembali! Topeng Setan lalu menuangkan cairan itu ke dalam mulut yang terbuka itu! Ceng Ceng mencium bau yang amat amis dan busuk, maka dia tidak mau menelan cairan yang sudah berada di mulutnya itu.

"Maaf, terpaksa aku....!" Topeng Setan lalu menggunakan telunjuk dan ibu jarinya untuk memencet kedua lubang hidung Ceng Ceng. Dipencet lubang hidungnya seperti itu, Ceng Ceng tak dapat bernapas dan gelagapan sehingga terpaksa cairan itu tertelan olehnya. Dia di "cekoki" cairan ular yang menjijikkan itu.

Topeng Setan itu lalu membebaskan totokannya dan Ceng Ceng bangkit duduk, meludah berkali-kali akan tetapi cairan itu telah memasuki perutnya.

"Kaumaafkanlah aku, Ceng Ceng...."

Suara itu demikian penuh permohonan dan penyesalan sehingga kemarahan Ceng Ceng sudah sebagian terusir pergi. Apalagi dia ingat bahwa semua yang dilakukan oleh Topeng Setan itu semata-mata adalah untuk menolongnya. Dan penolakannya tadi pun hanya karena berduka dan menyesal mengapa untuk mencari ular itu Topeng Setan sampai mengorbankan lengannya.

"Mengapa kau minta maaf?" tanyanya pendek.

"Maaf bahwa aku terpaksa memaksamu minum cairan obat itu."

"Engkau memaksaku karena aku menolak dan engkau melakukan itu karena engkau hendak menolongku, Paman."

"Maaf, bahwa aku harus memencet hidungmu, menotokmu, mencekokkan obat itu kepadamu."

"Sudahlah, obat sudah masuk ke perut ku, mengapa diributkan lagi?"

"Dan maafkan aku.... aku terpaksa mengoper hawa murni kepadamu secara itu...." Topeng Setan memalingkan mukanya membelakangi Ceng Ceng, lalu bangkit berdiri dan memasuki hutan tak jauh dari situ.

Ceng Ceng juga bangkit dan mengikutinya memasuki hutan itu. Di bawah sebatang pohon, Topeng Setan lalu berusaha membuat api, akan tetapi karena tangannya tinggal satu, sukarlah dia menggosok-gosokkan kayu kering untuk membuat api.

Ceng Ceng merebut kayu kering itu dan dia lalu membuat api dan menyalakan api unggun. Tanpa bicara keduanya duduk di dekat api unggun itu. Topeng Setan merenung ke dalam api, sedangkan Ceng Ceng memandang wajah yang buruk itu.

"Kenapa kau minta maaf tentang itu, Paman? Kalau kau tidak melakukannya, tentu saat ini aku sudah menjadi mayat dengan perut kembung penuh air."

Topeng Setan menoleh dan mereka saling pandang. Pengalaman hebat yang baru saja mereka alami berdua itu masih menegangkan hati mereka. Ketika dua pasang mata itu bertemu, Topeng Setan cepat mengelak dan menunduk.

"Bagaimana.... perasaan tubuhmu sekarang, Ceng Ceng?"

Ceng Ceng juga sadar betapa dia tadi memandang orang itu dengan sinar mata penuh kagum, penuh rasa syukur dan terima kasih, maka dia cepat menjawab sambil merasakan keadaan tubuhnya, "Rasanya enak dan hangat.... dan rasa muak itu lenyap, Paman."

"Hemm.... aku yakin bahwa engkau akan sembuh sama sekali. Engkau telah terbebas dari bahaya maut, Ceng Ceng."  Suara itu terdengar girang.

Ceng Ceng merasa jantungnya seperti ditusuk. "Apa artinya itu? Dan untuk nyawaku yang tidak berharga ini engkau harus mengorbankan lengan kirimu! Ah, Paman....!"

Topeng Setan menoleh ke kiri memandang ke arah pundaknya yang buntung. "Ah, ini? Tidak begitu hebat. Sekali waktu manusia akan kehilangan sesuatu yang berharga di luar kehendaknya, Ceng Ceng. Kalau dia dapat menghadapi peristiwa itu dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, maka tidaklah terlalu menyiksa hati benar...."

Ceng Ceng memandang dengan mata terbelalak. "Kau.... kau kehilangan lengan kiri dan tidak tersiksa hatimu karenanya?"

Topeng Setan menggeleng kepalanya. "Ceng Ceng, segala peristiwa yang terjadi, menimpa diri kita tidak mengandung suka maupun duka, tidak mengandung sesuatu yang ada hubungannya dengan batin. Suka atau duka adalah permainan batin, permainan hati dan pikiran. Betapapun akan hebatnya pikiranku menyiksa hati, tetap saja lenganku takkan dapat tumbuh kembali. Karena itu, mengapa harus dipikir? Permainan pikiran hanya akan menimbulkan derita batin, menimbulkan duka, menimbulkan sengsara dan menimbulkan kebencian, dendam dan permusuhan belaka...."

Ceng Ceng makin terheran-heran. Manusia ataukah apa yang bersembunyi di dalam topeng itu?

"Paman, setelah segala yang kaulakukan demi aku, setelah segala budi yang berlimpah-limpah bertumpuk yang kaulakukan untukku, setalah segala pengorbanan besar yang kauderita karena aku, maukah engkau memenuhi permintaanku ini? Aku.... aku ingin sekali melihat wajahmu, Paman."

Topeng Setan kelihatan terkejut sekali, tersentak kaget dan melangkah mundur seperti terhuyung sampai punggungnya menabrak batang pohon di belakangnya, kepalanya digelengkan dan matanya terbelalak menatap wajah Ceng Ceng. "Tidak....! Tidak...., jangan kauminta itu.... kau boleh memerintahkan apa saja padaku Ceng Ceng, kau boleh menyuruh dan minta apa saja, aku akan melaksanakan dan menuruti.... akan tetapi yang satu ini.... jangan kau memaksa aku menanggalkan topengku...."

"Kenapa, Paman? Antara kita.... mengapa engkau segan memperlihatkan mukamu? Kita sudah senasib sependeritaan, aku merasa kita bukan orang lain lagi, sudah berkali-kali aku hutang budi dan hutang nyawa kepadamu, yang sampai mati pun takkan mampu kubalas. Aku hanya ingin melihat manusia yang paling baik dan paling mulia terhadap diriku di dunia ini, mengapa kau menolak?"

"Aku tidak bisa membuka topeng ini, akan terlalu mengerikan...., wajahku sangat mengerikan, jauh lebih buruk dari topeng ini. Engkau akan menjadi ketakutan dan aku khawatir engkau akan menjadi jijik dan muak, bahkan benci melihatku. Jangan, Ceng Ceng, jangan kau memaksa aku membuka topeng ini. Kau boleh membukanya kalau kelak aku sudah mati...."

Ceng Ceng menundukkan mukanya, menarik napas panjang. "Aku tidak akan memaksamu, Paman. Sungguhpun aku yakin bahwa betapapun buruk rupamu, aku tidak akan dapat merasa takut, apalagi jijik dan muak, apalagi membencimu. Bagaimana mungkin aku bisa membenci seorang yang telah berkorban sedemikian hebat untukku? Aku jadi heran sekali apa yang terjadi antara wanita yang....

kaubunuh itu dengan engkau. Kalau aku menjadi dia, agaknya.... aku mau melakukan apa saja untuk seorang semulia engkau ini, Paman. Apakah bibi itu melakukan hal yang amat menyakitkan hatimu?"

Topeng Setan menghela napas panjang, agaknya lega karena Ceng Ceng tidak memaksanya membuka topeng. Dia duduk lagi bersandar batang pohon, lalu menjawab, "Tidak, Ceng Ceng, dia seorang wanita yang amat hebat, tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi aku.... aku telah membunuhnya...."

"Kasihan sekali engkau, Paman...."

Topeng Setan agaknya ingin mengalihkan percakapan karena dia lalu berkata, "Ceng Ceng, engkau sekarang sudah sembuh, engkau tidak terancam lagi oleh racun, bahkan dengan latihan I-kin-keng yang telah kuajarkan, semua ilmu beracun yang kaupelajari dari Ban-tok Mo-li sehingga tubuhmu beracun akan lenyap, dan.... aku sendiri masih belum tahu akibat aneh apa yang akan didatangkan oleh khasiat anak naga yang telah memasuki tubuhmu. Sekarang, sebaiknya kalau kau kembali ke kota raja, kau.... kautemui Pangeran Yung Hwa itu...."

"Eh, mengapa, Paman?" Ceng Ceng bertanya dengan kaget sekali.

"Engkau seorang gadis yang amat baik, seorang wanita berjiwa pahlawan, engkau sudah mengalami banyak kesukaran dan seorang wanita seperti engkau berhak untuk hidup mulia dan bahagia. Pangeran Yung Hwa itu, dia seorang bangsawan tinggi, putera Kaisar, dia terpelajar tinggi dan tampan dan baik dan yang terutama sekali, dia cinta kepadamu, Ceng Ceng. Kaupergilah kepadanya...."

Ceng Ceng menggeleng kepala keras-keras. "Tidak! Dia boleh cinta kepadaku, akan tetapi aku.... aku tidak berharga...."

"Hemmm, jangan kau berkata begitu, Ceng Ceng. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak cinta kepada pangeran itu? Aku teringat akan pemuda tampan yang berilmu tinggi, adik dari Puteri Milana, puteri dari Pendekar Super Sakti, yang bernama Suma Kian Lee itu. Dia pun cinta kepadamu, Ceng Ceng. Baik Pangeran Yung Hwa maupun Suma Kian Lee keduanya adalah pemuda-pemuda pilihan yang sukar dicari tandingannya di dunia ini. Kaukembalilah ke kota raja, kau berhak hidup bahagia. Apakah engkau mencinta Suma Kian Lee....?"

"Tidak, Paman. Sama sekali tidak mungkin! Dia adalah pamanku sendiri!"

"Ehhh....?" Topeng Setan kelihatan terkejut sekali mendengar ini. "Putera Pendekar Super Sakti itu.... pamanmu?"

Ceng Ceng mengangguk dan hatinya terasa perih ketika dia teringat kepada Kian Lee. Pemuda itu pun amat baik kepadanya, bahkan dia tahu bahwa Kian Lee cinta kepadanya, sehingga dia dapat membayangkan betapa hancur hati Kian Lee ketika memperoleh kenyataan-kenyataan bahwa dia adalah keponakannya sendiri! Pemuda itu pun demikian mencintanya sehingga rela mengorbankan dirinya sendiri ketika berusaha mengobatinya sampai kedua tangannya keracunan.

"Rahasia itu terbuka ketika aku bertemu dengan Paman Gak Bun Beng. Itulah sebabnya mengapa aku pernah mengatakan kepadamu, Paman, bahwa sheku bukanlah Lu, melainkan Wan. Ayahku adalah Wan Keng In, kakak tiri Paman Suma Kian Lee. Ayahku adalah putera tiri Pendekar Super Sakti, dia.... ayahku itu.... dia amat jahat, Paman." Ceng Ceng lalu menceritakan riwayat dirinya, diceritakan semua tanpa ada yang disembunyikan bahwa dia hidup di Bhutan dengan kakeknya yang ternyata adalah kakek buyutnya,

betapa tadinya dia mendengar dari kakeknya bahwa ayah kandungnya adalah Gak Bun Beng yang sudah mati seperti ibunya. Betapa dia mengawal Puteri Syanti Dewi yang menjadi kakak angkatnya itu sehingga mengalami banyak kesengsaraan, betapa kemudian dia bertemu dengan Gak Bun Beng dan mendengar akan semua riwayat ibunya yang diperkosa oleh Wan Keng In yang memakai nama Gak Bun

Beng. Semua diceritakannya dengan panjang lebar, didengarkan dengan mata terbelalak dan penuh perhatian oleh Topeng Setan. Setelah mendengar semua itu, Topeng Setan menarik napas panjang. "Akan tetapi, riwayatmu itu bahkan mengangkat derajatmu, Ceng Ceng. Engkau adalah cucu tiri dari Pendekar Super Sakti, dan engkau adalah adik angkat dari Puteri Bhutan, bahkan kakek buyutmu adalah seorang bekas panglima pengawal yang setia. Engkau cukup berharga bahkan untuk seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu sekalipun, engkau sudah terlalu berharga. Dia amat mencintamu, Ceng Ceng, bahkan dia sampai menolak dikawinkan dengan Puteri Syanti Dewi karena dia cinta padamu. Mari kuantar engkau menjumpainya, Ceng Ceng...."

"Paman....! Jangan engkau berkata demikian, Paman....!" Dan tiba-tiba Ceng Ceng menangis tersedu-sedu karena dia teringat akan keadaan dirinya.

"Eh, eh.... Ceng Ceng, kenapa....?" Topeng Setan bertanya, suaranya gemetar.

Ceng Ceng mengusap air matanya dan memandang wajah bertopeng buruk itu, yang menjadi seperti wajah iblis ketika tertimpa cahaya api unggun yang merah. "Baiklah, kau boleh mendengar semua, Paman. Engkau sudah kuanggap seperti pamanku sendiri seperti ayah sendiri, seperti sahabatku yang termulia di dunia ini, bahkan sebagai satu-satunya orang yang menjadi sahabatku. Aku.... aku sama sekali tidak berharga, Paman, apalagi bagi seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa. Aku hanya seorang yang menanti kematian...."

"Eh, apa maksudmu?"

"Paman.... aku.... aku telah tertimpa malapetaka yang lebih hebat daripada kematian. Aku telah ternoda, aku telah diperkosa orang...." Dengan terengah-engah dan terputus-putus Ceng Ceng menceritakan melapetaka hebat di dalam guha itu ketika dia diperkosa oleh pemuda laknat itu.

"Dia kutolong, akan tetapi dia malah memperkosa aku, Paman.... dia, si laknat itu, dia bernama Kok Cu, murid Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Mendiang kakek Lauw Ki Sun yang tewas dan jenazahnya kaukubur di depan kuil itu, dialah yang menceritakan kepadaku siapa adanya manusia iblis itu. Kakek itu adalah pelayan dari Dewa Bongkok dan pemuda yang merusak hidupku itu adalah murid Si Dewa Bongkok, dialah orang yang kaugambar itu, Paman. Aku harus menemukannya, engkau harus membantu aku untuk membalas dendam setinggi langit dan sedalam lautan ini. Aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum dapat membunuhnya, dan setelah aku berhasil membunuhnya, mudah-mudahan dengan bantuanmu karena dia lihai sekali, Paman. Sesudah

itu, aku.... aku akan membunuh diri, untuk apa hidup menderita aib yang hebat ini....?"

Topeng Setan bangkit berdiri, mengepal tinjunya, matanya terbelalak, seluruh urat di dadanya yang telanjang karena bajunya dirobek untuk membalut pundak kirinya, tampak dan dari kedua mata yang terbelalak lebar itu jatuh air matanya satu demi satu, seperti butir-butir mutiara runtuh dari untaiannya. Dadanya bergelombang dan terdengar rintihan aneh keluar dari mulutnya yang berbibir tebal sekali itu.

Ceng Ceng memandang dengan heran. Melihat Topeng Setan berdiri seperti iblis berdiri, dengan air mata bercucuran seperti itu, hati Ceng Ceng seperti diremas-remas rasanya. Dia tahu bahwa orang bertopeng ini juga amat mencintanya sehingga orang itu kini menderita pukulan batin yang hebat setelah mendengar ceritanya. Melihat orang yang sudah buntung lengannya karena dia itu kini menangis, Ceng Ceng memandang dengan bibir gemetar, kemudian menggigil dan bibir itu mewek-mewek menahan tangis, akhirnya dia menubruk dan merangkul pinggang Si Buruk Rupa itu sambil menangis sesenggukan. Sampai mengguguk Ceng Ceng menangis, melepaskan seluruh kedukaan dan penyesalan hatinya, menumpahkan semua rasa penasaran yang bertumpuk-tumpuk dan dia seolah-olah memeluk gunung yang kokoh kuat, yang akan dapat dipergunakan sebagai sandaran hidup ketika dia sendiri sudah hampir tidak kuat menahan penderitaan yang menimpanya. Dengan lengan kanannya, Topeng Setan memeluk dan jari-jari tangannya mengelus kepala gadis itu penuh keharuan dan kasih sayang.

"Paman.... Paman.... ahhh.... Paman.... hu-hu-huuuuhh...." Ceng Ceng menangis seperti anak kecil, air matanya membasahi dada yang bidang, kuat, tegap dan berkulit putih halus, merupakan kontras yang aneh dengan kulit wajah yang buruk itu.

"Tenanglah, Ceng Ceng. Kuatkan hatimu.... dan hadapilah kenyataan hidup seperti ini.... jangan kau putus harapan, Ceng Ceng. Aku.... aku bersumpah akan melindungimu dan membantumu menemukan kebahagiaan...."

"Paman, kau bilang tadi.... kau akan meninggalkan aku.... kau menyuruh aku pergi ke kota raja...."

"Tidak lagi, Ceng Ceng. Aku baru akan pergi setelah melihat engkau menemui kebahagiaan hidup. Jangan khawatir, aku akan mempertaruhkan nyawaku demi kebahagiaanmu."

"Paman.... uhu-hu-huuuu, Paman...." Ceng Ceng makin menjadi tangisnya karena hatinya terharu sekali mendengar ucapan yang keluar dengan suara gemetar itu. "Paman, mengapa kau begini baik kepadaku. Mengapa....?" Ceng Ceng mengguncang-guncang tubuh yang dipeluknya itu. "Dan mengapa dia.... dia begitu jahat.... dia merusak hidupku.... mengapa....?"

Topeng Setan tidak menjawab, hanya mengelus-elus rambut itu dan membiarkan Ceng Ceng menumpahkan semua rasa penasaran hatinya. Setelah gelora perasaan itu agak mereda di hati Ceng Ceng, Topeng Setan lalu mengajak gadis itu pergi dari situ.

"Kita harus pergi melanjutkan perjalanan. Mereka tentu akan mengejar terus dan sebelum luka di pundakku sembuh, amat berbahaya menghadapi lawan berat, Ceng Ceng."

"Baik, Paman. Aku hanya menurut dan ikut padamu." Ceng Ceng menjawab dan dia tahu bahwa mulai saat itu, untuk segala urusan, sampai kepada urusan mencari musuh besarnya, dia harus mengandalkan pamannya yang buruk rupa dan penuh rahasia ini, yang kini dipercayanya setelah dia saksikan kehebatan sepak terjangnya. Maka berangkatlah mereka meninggalkan hutan itu menuju ke selatan karena menurut rencana Topeng Setan, mereka akan pergi ke sebelah selatan kota raja, di markas kaum sesat yang dulu menjadi markas kaum Tiat-ciang-pang, di mana Ceng Ceng telah diangkat menjadi bengcu (ketua) oleh kaum sesat dan Topeng Setan bersama-sama Tek Hoat menjadi pembantu-pembantunya. Di tempat itu mereka akan bersembunyi dan beristirahat sampai luka di pundak Topeng Setan sembuh sama sekali.

******

Hukum karma seperti yang dikenal oleh kita semua adalah lingkaran setan berupa roda-roda sebab akibat yang saling berkaitan dan tiada habisnya karena semua itu digerakkan oleh pikiran manusia yang membentuk nafsu-nafsu sebagai lanjutan dari setiap peristiwa yang terjadi atas diri manusia sendiri. Dari suatu sebab timbullah akibat, dan akibat lain sehingga menjadi lagi si sebab juga si akibat dan sebaliknya. Sebagai contohnya, terjadi suatu peristiwa di mana kita dirugikan orang lahir maupun batin. Mungkin kejadian ini pun merupakan akibat dari sebab-sebab terdahulu, akan tetapi kita menganggapnya sebagai sebab dan peristiwa itu mendatangkan kemarahan dan dendam sehingga tentu saja menimbulkan akibat yang terjadi dari pihak kita, membalas

dendam dan sebagainya sebagai reaksi. Reaksi dari kita ini terhadap pihak luar yang kita anggap merugikan, kembali dapat menjadi suatu aksi yang memancing reaksi lain dari pihak luar itu sehingga dengan demikian, si reaksi menjadi aksi dan sebaliknya. Dengan adanya kenyataan ini, maka yang membentuk lingkaran setan yang disebut hukum karma sesungguhnya adalah kita sendiri, pikiran kita sendiri yang selalu siap untuk melakukan reaksi. Sebaliknya, kalau dengan kesadaran mendalam kita menghadapi peristiwa yang merugikan kita itu sebagai suatu peristiwa yang wajar, sebagai suatu kenyataan yang habis sampai di situ saja, tidaklah timbul dendam, kemarahan, kebencian, harapan atau lain macam perasaan lagi dan patahlah lingkaran setan itu! Jelas bahwa mengingat-ingat masa lalu, baik itu setahun yang lalu, kemarin atau semenit yang lalu, disambung dengan membayangkan masa depan, baik itu nanti, besok atau kelak, merupakan pembentukan lingkaran setan atau hukum karma tadi. Batin yang bebas dari masa lalu dan masa depan, akan bebas pula dari hukum karma.

Sekali kita membiarkan diri terseret oleh hukum karma, hidup akan terombang-ambing menjadi permainannya, yang sesungguhnya adalah permainan dari nafsu-nafsu keinginan dan hasil pikiran kita sendiri. Setiap peristiwa yang terjadi tidak bersifat senang atau susah, yang terjadi adalah suatu kenyataan sungguhpun kejadian itu sendiri tidak akan terlepas dari keadaan yang dibentuk oleh kita sendiri. Suka atau duka akan terjadinya peristiwa itu terletak dalam penanggapan kita. Siapa mengejar suka tak dapat tidak pasti berkenalan dengan duka karena suka atau duka hanya permainan dari pikiran sendiri yang menilai, membanding, memilih, membenarkan atau menyalahkan. Kita tidak berani meninggalkan semua ini, karena kita takut untuk menjadi "bukan apa-apa", dan kita menganggap bahwa melepaskan semua suka duka hidup, berarti kita akan menjadi kosong melompong, tidak berarti apa-apa dan kita menjadi ngeri untuk kehilangan arti kita! Karena itu, dengan membuta kita melanjutkan semua ini, melanjutkan kehidupan seperti yang sudah-sudah, sungguhpun setiap hari kita ditimpa kesengsaraan dan menjadi permainan konflik-konflik, dari konflik batin sendiri sampai konflik antar manusia sampai ke perang-perang yang berkobar di seluruh pelosok dunia. Dan dipermainkan oleh konflik dan kesengsaraan ini kita namakan hidup!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Puteri Syanti Dewi yang dilarikan ke luar dari istana oleh Puteri Milana, akhirnya bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan atas usul jenderal yang gagah perkasa dan bijaksana ini, Puteri Syanti Dewi lalu dikawal oleh dua losin pasukan pengawal jenderal itu. Pasukan itu lalu mengawal Syanti Dewi yang menunggang kuda Jenderal Kao di tengah-tengah dan berangkatlah mereka membelokkan perjalanan ke barat untuk memulai perjalanan yang amat jauh itu ke Bhutan. Kepala atau komandan pasukan ini bernama Can Siok, seorang gagah berusia empat puluh tahun yang telah lama menjadi seorang di antara pengawal kepercayaan Jenderal Kao Liang, memiliki kepandaian tinggi sebagai anak murid Hoa-san-pai dan dia mengantongi surat perintah Jenderal Kao yang akan dapat dipergunakan sebagai "jimat" di dalam perjalanannya menuju ke Bhutan mengantar puteri jelita itu. Pengawal Can Siok ini maklum betapa berat tugasnya mengantar puteri itu, yang dia tahu diam-diam juga mungkin dianggap buronan oleh Kaisar, dan tentu akan menarik hati orang-orang jahat di tengah perjalanan. Akan tetapi, mengandalkan ketangkasan dua losin tenaga dalam pasukannya dan mengandalkan nama Jenderal Kao Liang yang surat perintahnya dia kantongi, pengawal ini melakukan perjalanan dengan hati tenang sungguhpun dia selalu berhati-hati.

Dua hari kemudian, mereka berhenti di sebuah dusun karena kemalaman. Dusun itu terletak di tepi Sungai Ta-cing yang mengalir di sebelah selatan dan barat kota raja Peking. Setelah melapor kepada kepala dusun setempat, kepala dusun dengan penuh kehormatan lalu memerintahkan penginapan tunggal di dusun itu untuk mengosongkan semua kamar dan memberikannya kepada rombongan ini.

Dusun ini berada di dekat hutan yang menjadi markas para kaum sesat yang dipimpin oleh Ceng Ceng. Ketika rombongan ini tiba di dusun, seorang di antara anggauta Tiat-ciang-pang yang kini telah menggabung menjadi anak buah perkumpulan kaum sesat itu, cepat lari kemarkasnya dan memberi laporan bahwa ada sepasukan pengawal lewat dan bermalam di dusun tepi sungai Ta-cing itu, mengantarkan seorang puteri yang menurut kabar angin adalah Puteri Bhutan yang dikabarkan melarikan diri dari istana Kaisar. Kabar seperti itu memang cepat sekali tersiar sehingga tidak mengherankan kalau berita itu telah terdengar di daerah itu.

Kalau saja Ceng Ceng berada di tempat itu, tentu dia akan girang sekali mendengar berita ini. Akan tetapi pada waktu itu,

Ceng Ceng belum kembali ke markas ini dan telah terjadi perubahan besar sekali di pusat kaum sesat daerah kota raja ini. Baru beberapa hari yang lalu, markas kaum sesat itu telah diambil-alih dan dikuasai oleh rombongan Pulau Neraka! Seperti kita ketahui, Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya, orang-orang Pulau Neraka, juga berusaha menangkap anak ular naga di Telaga Sungari dan setelah melihat bahwa mereka gagal, naga yang terluka menyelam kembali ke dalam telaga dan anak ular itu lenyap setelah yang terakhir berada di tangan Ceng Ceng, Hek-tiauw Lo-mo membawa anak buahnya mendarat. Mereka melakukan perjalanan cepat dengan kuda-kuda yang telah tersedia dan mereka langsung menuju ke sarang kaum sesat di selatan kota raja ini karena Hek-tiauw Lo-mo sudah tahu bahwa Ceng Ceng menjadi bengcu di sarang ini. Karena menduga bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka itu tentu akan bersembunyi di sarang ini, maka dia telah mengejar ke sana, akan tetapi ternyata dia dan rombongannya jauh lebih cepat tiba di tempat itu daripada Ceng Ceng dan Topeng Setan yang melakukan perjalanan lambat berhubung dengan lukanya Topeng Setan. Setelah tiba di sarang itu, dengan mudah saja Ketua Pulau Neraka ini dapat menguasai para kaum sesat tanpa banyak menimbulkan korban. Kaum sesat di tempat itu sudah terpengaruh dan tunduk begitu mendengar bahwa kakek raksasa mengerikan itu adalah Ketua Pulau Neraka, apalagi menyaksikan kelihaian anak buahnya. Setelah mendengar bahwa Ceng Ceng dan

Topeng Setan belum tiba di situ, Hek-tiauw Lo-mo lalu mengatur untuk menyambut kedatangan dua orang itu yang diharapkan masih menyimpan anak ular naga Telaga Sungari.

Akan tetapi, malam hari itu Hek-tiauw Lo-mo mendengar pelaporan bahwa rombongan pengawal sedang mengiringkan Puteri Bhutan bermalam di dalam dusun yang hanya dua puluh li jauhnya dari sarang itu. Mendengar pelaporan ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan cepat dia memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk merampas dan menculik Puteri Bhutan itu. Dia pernah mendengar bahwa gadis liar Ceng Ceng adalah saudara angkat Puteri Bhutan yang menimbulkan kegemparan itu, maka kini mendengar puteri itu lewat di dekat tempat itu, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik ini untuk menawan Sang Puteri, karena puteri ini dapat dia pergunakan sebagai sandera untuk memaksa Ceng Ceng menyerahkan anak naga kepadanya! Dan selain anak naga yang amat diinginkannya itu, juga dia harus memaksa Topeng Setan mengembalikan kitab Istana Gurun Pasir. Kitab itu yang kini telah lengkap karena tadinya bagiannya dan bagian yang dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam, baru-baru ini terjatuh ke tangan kakek Lauw Ki Sun, pelayan dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir dan kakek itu setelah terluka parah

dilarikan oleh Topeng Setan, maka menurut dugaannya, pasti kitab itu kini berada di tangan Topeng Setan! Dengan adanya anak naga dan kitab Istana Gurun Pasir itu di tangan Ceng Ceng dan Topeng Setan, Hek-tiauw Lo-mo akan berusaha sekuat tenaga dan mau melakukan apapun juga untuk menangkap dan memaksa mereka menyerahkan dua buah benda keramat itu.

Baru saja anak buah Pulau Neraka yang diutus oleh Hek-tiauw Lo-mo berangkat untuk menangkap Puteri Bhutan yang hanya dikawal oleh dua losin perajurit itu, tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kucing. Lirih saja suara ini yang datangnya dari atas genteng dan yang bagi orang lain tentu akan dianggap suara kucing aseli, akan tetapi kakek raksasa ini sudah hafal akan suara sumoinya, maka sambil tersenyum lebar dia menggerakkan tangannya seperti orang tidak sabar dan berseru, "Sudahlah, Sumoi, kalau sudah datang turun saja, kenapa mesti banyak lagak!"

"Suheng....!" Dari atas genteng melayang sesosok tubuh yang gerakannya ringan sekali dan tahu-tahu di depan kakek raksasa mengerikan itu berdiri Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang cantik jelita dan kedua pipinya kemerahan, wajahnya cemerlang tertimpa sinar lampu yang terang. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah sumoinya itu dengan kagum, akan tetapi tiba-tiba dia meloncat bangun dari kursinya dan memandang wajah sumoinya lebih teliti lagi. "Eh, engkau sudah sembuh....!"

Lauw Hong Kui mencibirkan bibirnya yang merah basah itu kepada suhengnya, sikapnya manja dan mengejek. "Suheng, setelah engkau kejam meninggalkan aku terancam bahaya maut dan darahku keracunan, apa kaukira aku tidak mampu mencari obatnya sendiri?"

"Salahmu sendiri!" Hek-tiauw Lo-mo mengomel. "Engkau mencuri ilmu dari kitabku...."

"Huh, kitab itu pun kitab curian," Lauw Hong Kui mencela.

"Jangan kurang ajar kau! Setelah kau mencuri ilmu dari kitabku sampai darahmu keracunan, apa yang kauharapkan dariku? Hal itu kuanggap sebagai hukuman bagimu, akan tetapi racun itu pun tidak akan membunuhmu, maka aku diam saja." Hek-tiauw Lo-mo memandang lebih teliti wajah sumoinya yang berseri-seri dan kemerahan, sehat sekali.

"Sudahlah, Sumoi, sekarang katakan bagaimana engkau bisa memperoleh obat yang mencuci bersih darahmu?"

Dengan sikap angkuh dan lagak bangga Lauw Hong Kui bertolak pinggang dan berkata, "Suheng tidak berhasil di Telaga Sungari, bukan? Aku sudah melihat sendiri betapa Suheng gagal, bahkan hampir celaka oleh Nenek Durganini yang seperti iblis itu!"

"Eh, eh.... kau juga berada di sana?"

"Tentu saja! Dan berhasil!"

"Berhasil? Kau mau bilang bahwa anak naga itu...."

Tiba-tiba tangan Hek-tiauw Lo-mo itu menyambar dan sumoinya tidak mampu lagi mengelak karena pergelangan tangannya sudah dipegang oleh kakek raksasa itu. Jari-jari tangan kakek itu lalu menotok sana-sini membuat sumoinya tak dapat bergerak, lalu tangannya meraba-raba dari ubun-ubun kepala sampai punggung dan ulu hati di antara dua tonjolan buah dada wanita itu.

"Hemm, kau sudah sembuh sama sekali akan tetapi kalau kau makan semua anak naga itu tentu hawanya terasa olehku. Kau bohong, kau tidak makan semua anak naga dan entah obat apa yang telah menyembuhkan keracunan darahmu," kata kakek itu dan dia membebaskan kembali sumoinya.

Setelah dapat bergerak, Mauw Siauw Mo-li memandang suhengnya dan dengan mata berapi dia berkata penuh kemarahan, "Suheng, kalau lain kali kau memperlakukan aku seperti tadi, aku akan membunuhmu!"

"Heh-heh, kau harus belajar seratus tahun lagi untuk dapat melakukan itu, anak manis. Sekarang ceritakan saja obat apa yang telah menyembuhkanmu?"

"Apalagi kalau bukan anak naga itu? Akan tetapi kalau aku mendapatkan semua dan telah makan seluruhnya, apa kaukira aku demikian tolol untuk muncul di depanmu? Tentu engkau akan merampas khasiatnya dengan cara makan dagingku dan minum darahku."

"Ahhhh! Masa aku melakukan hal itu? Engkau adalah sumoiku."

"Huh, seperti aku tidak mengenalmu saja, Suheng. Akan tetapi karena aku hanya memperoleh ekor anak naga itu dan telah kumakan habis, andaikata engkau makan dagingku dan minum seluruh darahku pun tidak ada manfaatnya bagimu. Suheng, sisa anak naga itu, sebagian besarnya karena aku hanya memperoleh ekor sejengkal, telah dilarikan oleh dara liar bersama Si Topeng Setan yang lihai."

"Aku tahu.... hemmm....!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan tangan kirinya ke arah genteng.

"Suheng, jangan....!" Lauw Hong Kui mencegah akan tetapi terlambat, tampak sinar berkelebat dan sebatang golok terbang yang panjangnya hanya satu kaki meluncur ke arah bayangan seorang pemuda yang berdiri di atas genteng. Akan tetapi dengan mudah saja pemuda itu mengulur tangan kiri dan menangkap hui-to (golok terbang) itu pada gagangnya, lalu dia melayang turun dan melemparkan golok kecil itu kembali ke arah Hek-tiauw Lo-mo sambil berkata, "Lo-mo, beginikah kau menyambut tamu?"

"Hehhh!" Hek-tiauw Lo-mo mendengus dan tangannya bergerak, jari tangannya menampar hui-to yang menyambar ke arah dadanya.

"Krekkk!" Hui-to itu patah-patah menjadi tiga potong dan semua potongannya, berikut gagangnya, menancap di atas lantai.

Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian Bu itu. Dia menjadi terkejut. "Ah, kiranya engkau, keparat!" bentaknya dan dia sudah siap untuk menyerang.

"Suheng, jangan! Dia adalah sahabatku, sahabatku yang sangat baik!" Lauw Hong Kui meloncat di depan suhengnya, menghadang dan melindungi Kian Bu.

"Lo-mo, kalau tidak melihat muka sumoimu dan tidak menerima undangannya, apakah kaukira aku sudi datang mengunjungimu sebagai tamu?" Kian Bu juga berkata dengan nada suara mengejek.

"Sumoi, apa artinya ini? Tahukah kau siapa pemuda ini?"

"Dia adalah Suma Kian Bu yang telah membantuku mencari anak naga."

"Dia adalah putera dari Majikan Pulau Es, goblok! Dan kau berkawan dengan orang yang menjadi musuhku ini?"

"Kalau dia benar putera Pendekar super Sakti, aku malah merasa bangga dapat menjadi.... eh, sahabat baik."

"Minggirlah, aku akan membunuhnya!" Hek-tiauw Lo-mo berseru marah.

"Enak saja engkau bicara, Lo-mo. Dahulu di waktu aku masih kecil pun engkau tidak mampu membunuhku, apalagi sekarang," jawab Kian Bu, sedikitpun tidak menjadi takut.

"Suheng, harap jangan kau mengumbar keganasanmu di mana-mana tanpa perhitungan!" Lauw Hong Kui mencela suhengnya. "Lupakah Suheng bahwa Suci telah tewas dan hanya tinggal kita dua saudara? Aku akan membantu dia kalau Suheng menyerangnya dan kita akan saling gempur mati-matian. Begitukah yang Suheng kehendaki? Ingat, Suheng melihat sendiri betapa banyak orang-orang berilmu telah bermunculan di Telaga Sungari, bukankah sebaiknya kalau kita bersatu sehingga kedudukan Suheng lebih kuat setelah Suci meninggal dunia?"

Hek-tiauw Lo-mo bukanlah seorang bodoh. Dia meninggalkan Pulau Neraka karena tidak betah tinggal di tempat yang amat berbahaya itu. Sumoinya yang pertama telah tewas dan sumoinya yang masih muda ini juga amat lihai, terutama sekali senjata-senjata rahasianya yang amat berbahaya, maka dapat dijadikan sekutu yang boleh diandalkan, apalagi mengingat betapa akhir-akhir ini, ketika menghadapi orang-orang Lembah Bunga Hitam, sumoinya ini juga langsung turun tangan membantunya. Dia menarik napas panjang dan mengendurkan lagi kedua tangannya.

"Sudahlah, selama dia menjadi sahabatmu, aku tidak akan mengganggunya." Dan Hek-tiauw Lo-mo dengan wajah bersungut-sungut lalu memasuki kamarnya.

Kian Bu mengerutkan alisnya. "Enci, aku tidak suka tinggal di tempat suhengmu ini."

"Eh, Kian Bu, kenapa engkau pun meniru watak Suheng yang pemarah?" Dengan sikap manja Hong Kui menggandeng lengan pemuda itu. "Ingat, kita ke sini untuk menanti munculnya Topeng Setan dan dara liar itu, siapa tahu nasib kita baik dan anak naga itu dapat terjatuh ke tangan kita. Jangan pedulikan dia, anggap saja engkau menjadi tamu di rumahku...." Dengan bujuk rayu dan kegenitannya, Lauw Kui Hong akhirnya dapat mengajak Kian Bu memasuki sebuah kamar tamu yang lengkap dan mewah. Kian Bu juga tidak membantah lagi, akan tetapi kalau saja Hong Kui tahu apa yang terkandung di dalam hati kekasihnya ini, tentu dia tidak

akan segembira itu melayani dan menghibur hati kekasihnya dengan segala kepandaiannya bermain cinta. Dia sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan di dalam hati pemuda kekasihnya itu. Kian Bu telah menyadari kepalsuan wanita cantik ini dan dia hanya menganggap Hong Kui sebagai seorang wanita yang amat pandai menyenangkan hati dan menghiburnya, seorang wanita yang sengaja merayunya dan sama sekali bukan berdasarkan cinta kasih seperti yang dahulu sering diimpikannya. Dia tahu bahwa di antara mereka berdua yang ada hanyalah cinta jasmani belaka, dorongan nafsu berahi yang mengasyikkan. Kalau dia mau mengikuti Hong Kui dan tinggal di rumah Hek-tiauw Lo-mo, sesungguhnya hanya karena diam-diam dia mengambil keputusan untuk melindungi Ceng Ceng yang masih terhitung keponakannya sendiri itu.

Ketika dia menyaksikan perebutan anak ular naga antara Ceng Ceng dan Hong Kui, dia sudah menganjurkan kepada kekasihnya itu untuk memberikan saja ular kecil itu kepada Ceng Ceng yang dia tahu amat membutuhkannya. Kemudian melihat ular itu putus dan Hong Kui mendapat bagian sedikit sedangkan selebihnya terampas oleh Ceng Ceng, diam-diam dia merasa girang sekali akan tetapi tentu saja dia tidak menyatakannya di depan kekasihnya.

Kemudian Hong Kui menyatakan ketidakpuasan hatinya bahwa dia hanya dapat makan bagian ekor anak naga itu dan wanita ini menyatakan dugaannya bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka parah itu tentu akan kembali ke sarang kaum sesat di selatan kota raja di mana gadis itu menjadi ketuanya. Mendengar bahwa Hong Kui hendak mengejar Ceng Ceng ke sana, dia sengaja menyatakan persetujuannya, akan tetapi diam-diam tentu saja bersiap untuk melindungi Ceng Ceng dan mencegah kekasihnya ini

mengganggu Ceng Ceng. Siapa kira, di tempat itu dia malah bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo, maka tahulah dia bahwa Ceng Ceng akan terancam bahaya hebat kalau benar-benar datang ke tempat itu. Hal ini membuat dia terpaksa menerima ajakan Hong Kui untuk bermalam dan tinggal di gedung yang ditinggali Hek-tiauw Lo-mo itu, menanti kalau Ceng Ceng benar datang di tempat berbahaya itu.

Sayang bahwa kedatangan mereka agak terlambat sehingga Kian Bu tidak mendengar akan perintah Hek-tiauw Lo-mo terhadap anak buahnya untuk menangkap Puteri Syanti Dewi yang bermalam di dusun tidak jauh dari tempat itu. Kalau dia mendengarnya, tentu dia terkejut sekali dan akan turun tangan mencegahnya.

Akan tetapi di dusun di mana rombongan Puteri Syanti Dewi bermalam, terjadi hal yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Hek-tiauw Lo-mo, bahkan oleh rombongan itu sendiri. Siang tadi dusun itu kedatangan rombongan yang terdiri dari orang-orang aneh dan rombongan ini tentu akan mendatangkan geger kalau saja ada yang mengenalnya karena rombongan ini dipimpin oleh Raja Tambolon! Seperti diketahui, Raja Tambolon yang dibantu oleh Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Maut Yu Ci Pok, membawa anak buahnya yang terdiri dari orang-orang liar di daerah utara, ikut memperebutkan anak naga di Telaga Sungari, akan tetapi rombongan Raja Tambolon ini pun tidak memperoleh hasil. Ketika melihat bahwa anak naga itu terjatuh ke tangan Ceng Ceng dan Topeng Setan, Raja Tambolon yang sudah mengenal dua orang itu dan tahu bahwa nona Lu Ceng adalah bengcu dari kaum sesat di sebelah selatan kota raja, lalu melakukan pengejaran ke tempat itu. Dia dan para pembantunya menyamar sebagai serombongan pelancong dan karena mereka royal mengeluarkan uang, mereka tidak menarik perhatian dan kecurigaan orang lain.

Di tengah perjalanan, rombongan ini bertemu dengan lima orang wanita yang sudah mengenal Yu Ci Pok, maka mereka dihadapkan kepada Tambolon dan diperkenalkan oleh Si Sastrawan Maut itu. Lima orang wanita ini bukanlah sembarangan wanita, karena mereka itu adalah Loan-ngo Mo-li (Lima Iblis Betina Sungai Loan) yang namanya sudah terkenal sekali di sepanjang Sungai Loan-ho. Mendengar bahwa Loan-ngo Mo-li hendak berkunjung ke Tiat-ciang-pang untuk mengambil-alih kekuasaan karena mendengar bahwa perkumpulan itu dan semua perkumpulan kaum sesat kini dipimpin oleh seorang wanita yang kabarnya menyamar sebagai Song Lan Ci, orang pertama dari Loan-ngo Mo-li, lima orang wanita yang pekerjaannya adalah cabang atas Sungai Loan-ho yang membawahi semua kaum bajak, Tambolon menjadi girang dan segera mengajak lima orang wanita lihai itu untuk bekerja sama. Sungguhpun pihaknya sendiri sudah amat kuat, dengan bantuan dua orang pengawalnya yang setia dan terutama sekali bantuan nenek gurunya yang pikun, Durganini, namun dalam keadaan seperti itu, di mana banyak tokoh pandai bermunculan, Tambolon merasa lebih kuat kedudukannya kalau mempunyai banyak pembantu orang lihai. Dia menawarkan bantuannya untuk merampas kedudukan bengcu bagi Loan-ngo Mo-li, akan tetapi dia pun minta bantuan lima orang wanita itu untuk menghadapi musuh-musuhnya dalam memperebutkan anak naga.

Demikianlah, rombongan yang kini bertambah dengan lima orang wanita itu memasuki dusun, beberapa jam lebih dulu daripada kedatangan rombongan Puteri Syanti Dewi. Secara kebetulan sekali, satu-satunya rumah penginapan yang diminta atau diperintahkan agar dikosongkan oleh kepala dusun karena rumah penginapan itu harus diberikan kepada rombongan Puteri Bhutan, tadinya disewa oleh rombongan Tambolon ini! Tentu saja raja liar Rambolon menjadi marah, akan tetapi begitu mendengar penjelasan bahwa rumah penginapan itu akan dipergunakan untuk tempat bermalam rombongan dari kota raja yang mengawal Puteri Bhutan, dia cepat memberi isyarat kepada para pembantunya agar mengalah dan mereka segera pergi meninggalkan rumah penginapan itu, mengalah bermalam di dalam sebuah kuil di luar dusun! Akan tetapi Tambolon segera mengatur siasat untuk menangkap Puteri Bhutan, puteri dari musuh besarnya karena dengan adanya puteri itu di tangannya, dia tentu akan dapat memaksakan tuntutannya kepada Raja Bhutan! Apalagi karena memang puteri itu dahulunya telah dihadang dan hendak dirampasnya namun usahanya gagal karena Sang Puteri dapat melarikan diri.

Tambolon tidak akan dapat menjadi raja dari para suku bangsa liar kalau saja dia tidak pandai dan cerdik. Dia bukanlah orang kasar yang hanya mengandalkan kekuatan badan dan ilmu kepandaian silatnya saja, akan tetapi seorang ahli siasat yang dapat bersikap cerdik dan hati-hati. Dia maklum bahwa biarpun kekuatan rombongannya sudah lebih dari cukup untuk menyergap dan merampas Syanti Dewi dengan kekerasan, namun dia tidak mau melakukan hal itu, mengingat bahwa dusun ini tidak begitu jauh dari kota raja dan kalau dia menimbulkan keributan sampai ketahuan dan terdengar oleh kota raja, tentu pemerintah akan mengirim pasukan besar dan orang-orang pandai untuk menangkap atau membunuhnya. Dia maklum akan kelemahannya sendiri kalau harus menghadapi bala tentara pemerintah dan orang-orang pandai yang dia tahu banyak membantu pemerintah.

Oleh karena itu, dia lalu minta bantuan gurunya, nenek ahli sihir yang seperti iblis itu untuk menawan Syanti Dewi secara halus. Nenek itu terkekeh girang. Durganini sudah terlalu tua dan sudah pikun, biarpun dia lihai sekali, baik ilmu silat maupun tenaga saktinya, terutama sekali ilmu sihirnya, akan tetapi karena sudah terlalu pikun, Tambolon tidak berani melepaskan gurunya ini untuk bekerja sendiri saja, karena kepikunannya akan dapat menggagalkan semua urusan. Oleh karena itu, dia minta bantuan kepada sekutunya yang baru, yaitu Loan-ngo Mo-li yang dipimpin oleh Song Lan Ci. Lima orang wanita jagoan dari Sungai Loan-ho ini berusia rata-rata empat puluh tahun, wajah mereka membayangkan kekejaman dan kekasaran sungguhpun mereka itu, terutama Song Lan Ci, dapat dikatakan agak cantik juga dan mereka semua masih gadis, dalam arti kata belum ada yang menikah. Lima orang wanita itu tentu saja menyanggupi dan pergilah mereka mengantar Durganini yang harus digandeng itu menuju ke rumah penginapan yang telah mereka tinggalkan tadi.

Sementara itu, Puteri Syanti Dewi yang sudah di atas pembaringan di dalam kamar rumah penginapan itu merasa gelisah hatinya. Biarpun ada dua puluh empat orang pengawal anak buah dan kepercayaan ayah angkatnya, Jenderal Kao Liang, pada saat itu menjaga dan mengawalnya, namun hatinya merasa tidak enak. Dia mengingat akan semua pengalamannya sejak meninggalkan Bhutan dan merasa betapa lebih senang dan merasa lebih aman ketika dia melakukan perjalanan bersama adik angkatnya, Lu Ceng atau Candra Dewi. Entah bagaimana, dia tidak merasa senang untuk kembali ke Bhutan. Dia merasa kehilangan karena di dalam perantauannya selama ini dia bertemu dengan banyak orang jahat dan musuh, akan tetapi juga dengan banyak sekali orang-orang yang amat baik kepadanya, yang tak mungkin dapat dia lupakan selama hidupnya, Lu Ceng adik angkatnya, Jenderal Kao Liang ayah angkatnya, Gak Bun Beng yang pernah menjatuhkan hatinya, yang sampai saat itu pun dianggap sebagai seorang manusia yang paling mulia baginya, Suma Kian Bu yang ternyata mencintanya dan pemuda yang remaja ini amat baik kepadanya. Kemudian Suma Kian Lee yang halus dan sopan gerak-geriknya. Puteri Milana yang demikian gagah perkasa dan bernasib menyedihkan. Kemudian Ang Tek Hoat, pemuda yang takkan dapat dia lupakan, pemuda yang aneh, pemuda yang telah mengorbankan diri sendiri untuk menolongnya, pemuda yang oleh semua orang dianggap jahat dan menjadi pengkhianat, menjadi pemberontak ternyata malah berjasa membunuh pangeran pemimpin pemberontak. Pemuda yang menurut cerita Puteri Milana ibu pemuda itu, ternyata masih terhitung keluarga Pulau Es! Dia membayangkan sinar mata sayu dan penuh derita hidup membayang dari mata pemuda itu dan teringat akan ini, Syanti Dewi menarik napas panjang. Betapa banyaknya kedukaan di dunia ini bagi manusia. Gak Bun Beng pendekar sakti itu pun merana karena cinta kasihnya dengan Puteri Milana gagal. Demikian pula puteri itu merana. Dan Kian Bu patah hati karena dia tidak dapat membalas cintanya. Dia suka kepada pemuda ini seperti suka kepada seorang saudara, kepada seorang adik karena pemuda perkasa itu masih amat muda.

Renungan-renungan ini membuat Puteri Syanti Dewi merasa gelisah. Bagaimana mungkin dia dapat melupakan semua orang itu dan kembali ke Bhutan di mana penghidupan akan menjadi lain sama sekali dan dia harus mengubur semua wajah yang dikenalnya itu dan mulai hidup baru di Bhutan? Kepada pria mana lagi dia akan dijodohkan oleh ayahnya demi negara? Dia merasa ngeri memikirkan hal ini. Setelah merasakan keindahan alam luas, kenikmatan kebebasan, kini dia menghadapi istana Bhutan seperti menghadapi sebuah penjara! Dia akan kehilangan kebebasannya sebagai manusia, sebagai seorang wanita biasa dan akan berada di dalam kurungan emas berupa istana megah itu sebagai seorang puteri, sebagai alat untuk negara!

Syanti Dewi makin gelisah dan akhirnya dia turun dari pembaringan, membuka pintu samping dan berkata kepada pengawal yang berjaga di luar pintu bahwa dia ingin berjalan-jalan ke dalam taman bunga kecil di samping rumah penginapan itu. Pengawal itu mengangguk dan menjaga serta mengawasi dari jauh. Taman itu menembus ke samping rumah dan depan rumah penginapan itu telah terjaga oleh lima orang temannya. Puteri itu selalu dalam pengawasan dan tidak akan ada sesuatu dapat menimpanya. Angin malam

semilir lembut mengusap wajah Syanti Dewi, mengusir kegelisahannya yang tadi terselimut oleh kenangan yang mendatangkan rasa gelisah di hati. Kewaspadaan membuat dara ini dapat melihat dan mendengar dengan jelas keadaan di sekelilingnya dan telinganya menangkap suara tidak wajar yang arahnya datang dari depan. Dia lalu melangkah perlahan menuju ke depan sehingga akhirnya dia dapat menyelinap di belakang serumpun pohon kembang dan mengintai keluar.

Dia terheran-heran melihat lima orang pengawalnya itu semua berlutut di depan seorang nenek tua renta berpakaian hitam yang datang bersama lima orang wanita setengah tua yang sikapnya galak. Lebih lagi heran dan kagetnya ketika dia melihat berturut-turut semua pengawalnya yang keseluruhannya berjumlah dua losin orang itu berdatangan dan terdengar nenek itu berkata, suaranya agak pelo karena mulutnya sudah tidak bergigi lagi, nadanya tinggi dan mendesis setengah berbisik, akan tetapi terdengar jelas memasuki telinga bahkan sampai menyusup ke dalam jantung.

"Aku adalah permaisuri, kalian para pengawal tidak cepat berlutut memberi hormat? Aku adalah Thaihouw yang sengaja datang untuk memeriksa apakah kalian benar-benar baik dalam pengawalanmu terhadap Puteri Bhutan." Nenek berkulit hitam berpakaian hitam itu berkata. Syanti Dewi sendiri belum pernah bertemu atau melihat permaisuri Kaisar, karena ketika dia dihadapkan Kaisar, dia sama sekali sebagai seorang puteri bangsawan yang tahu akan tata susila tidak berani mengangkat muka dan meliarkan pandang mata, maka sekarang pun dia tidak akan mengenal permaisuri. Akan tetapi, betapapun juga, sampai mati dia tidak akan mau percaya bahwa nenek tua renta yang berwajah bengis menyeramkan, yang berpakaian hitam berkulit hitam dan lebih menyerupai iblis betina daripada manusia ini adalah permaisuri Kaisar dengan lima orang pengawalnya! Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran adalah ketika dia melihat Can Siok, komandan pasukan pengawalnya yang baru datang berlari keluar, menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu dan berseru hormat, "Thaihouw....!" Juga semua pengawal kini telah berlutut di depan nenek itu!

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang puteri Bhutan. Kerajaan Bhutan adalah sebuah kerajaan di antara Pegunungan Himalaya dan di sana banyak terdapat pertapa-pertapa dan ahli-ahli ilmu kebatinan termasuk ahli-ahli sihir. Maka puteri ini tidak asing dengan segala peristiwa yang tidak wajar dan berbau ilmu sihir. Begitu dia menyaksikan keadaan di depan rumah penginapan itu, di mana dua losin orang pengawalnya berlutut di depan seorang nenek hitam dan menganggap nenek itu permaisuri, dia sudah dapat menduga bahwa tentu ada permainan sihir di sini.

"Heh-heh-heh, bagus sekali para pengawal yang setia!" Nenek hitam itu terdengar berkata, suaranya berbisik mendesis seperti suara ular. "Sekarang lekas kauambil Puteri Bhutan itu, Kaisar menghendaki agar dia ikut dengan aku sekarang juga."

Begitu mendengar kata-kata ini, Syanti Dewi terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa nenek iblis itu sengaja datang hendak menangkapnya secara halus, menggunakan ilmu sihir. Maka dia cepat pergi meninggalkan tempat persembunyiannya itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan kembang di dalam taman, lalu dengan jantung berdebar dia menggunakan kepandaiannya untuk meloncati pagar taman yang tidak begitu tinggi, kemudian dia lari menyelinap di antara rumah-rumah penghuni dusun itu. Karena tidak mengenal jalan, dia tidak berani lari di tempat terbuka, dan dia hanya bersembunyi di balik-balik rumah, dan berpindah ke tempat lain kalau mendengar suara orang-orang mencarinya di tempat yang berdekatan.

Di sudut dusun itu, Syanti Dewi melihat sebuah rumah rusak yang kosong, maka dimasukinya rumah kosong ini dan dia bersembunyi di situ, mengintai dari balik pintu rumah yang terbuka karena daun pintunya tinggal sebelah. Jantungnya berdebar dan kakinya menggigil. Dia tidak lagi berani keluar dari rumah rusak itu karena takut terlihat orang dan tertangkap.

Pagi cepat datang dan sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam. Syanti Dewi masih berdiri mengintai di balik daun pintu yang tinggal sebelah. Dusun itu masih sunyi dan Syanti Dewi ingin minta tolong penduduk dusun kalau dia melihat mereka keluar. Di antara orang banyak, tentu nenek iblis itu tidak berani berlagak, pikirnya. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan napas melihat munculnya seorang wanita, yaitu seorang di antara lima wanita pengawal nenek itu malam tadi, dan wanita ini datang menuju ke rumah rusak itu diikuti oleh lima orang pengawalnya sendiri yang kini agaknya sudah menjadi kaki tangan mereka! Syanti Dewi maklum bahwa para perajurit pengawalnya itu berada di bawah pengaruh sihir nenek itu, maka dari mereka jelas dia tidak dapat mengharapkan perlindungan lagi.

Mereka datang makin dekat, hanya tinggal belasan meter saja dari rumah rusak itu. Untuk melarikan diri tidak mungkin karena sekali keluar dari rumah itu tentu akan terlihat oleh mereka dan lari pun tentu percuma, akan dapat dikejar. Maka Syanti Dewi hanya bersembunyi dan mengintai dengan menahan napas, diam-diam berdoa agar mereka itu tidak akan memasuki rumah rusak.

"Haaaaa, kau hendak lari kemana....?" Suara lirih dan parau di belakangnya ini membuat Sang Puteri terkejut setengah mati. Dia menengok dan melihat seorang kakek tua berkepala botak, tersenyum dan matanya memandang seperti mata seorang anak nakal yang suka menggoda, kedua lengan dibentangkan dengan sikap hendak menangkap Syanti Dewi!

Syanti Dewi terkejut dan menjadi bingung, akan tetapi tiba-tiba kakek itu yang melihat kebingungannya, menurunkan kedua lengannya dan bertanya halus, "Eh, Nona. Mengapa pagi-pagi sekali engkau berada di sini seorang diri dan kelihatan ketakutan? Apakah kau hendak minggat dari rumahmu bersama seorang pacar?"

Syanti Dewi maklum bahwa ternyata kakek ini tidak ada hubungannya dengan para pengejarnya, dan sepanjang perantauannya dia telah agak mengenal orang-orang pandai, maka dia pun menduga bahwa kakek ini tentu bukan orang sembarangan, maka cepat dia menjura dan berkata, "Kakek yang baik, aku mohon padamu, tolonglah aku.... aku sedang dikejar dan hendak ditangkap oleh mereka itu...." Dia menuding ke arah luar rumah rusak itu.

Akan tetapi terlambat sudah. Wanita yang bukan lain adalah seorang di antara Loan-ngo Mo-li itu telah mendengar suara Si Kakek dan dengan langkah lebar diikuti oleh lima orang perajurit pengawal dia telah menghampiri rumah rusak itu dan tiba-tiba saja dia muncul di depan Syanti Dewi dan kakek itu.

Wanita yang memakai anting-anting emas besar di kedua telinganya dan lima orang perajurit pengawal itu kelihatan girang sekali melihat Syanti Dewi. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu tertawa dan mengandung getaran kuat sekali, "Ha-ha-ha, kalian bengong memandang kami kakek dan nenek mau apa sih? Berani kalian mengganggu Nenek Durganini yang sedang indehoi dengan ke kasihnya? Heh-heh!"

Betapa anehnya! Wanita Loan-ngo Mo-li yang bertampang kejam itu dan lima orang perajurit pengawal yang telah terpengaruh sihir dari nenek hitam guru Tambolon itu kini memandang bengong, dan wanita itu lalu menjura kepada Syanti Dewi sambil berkata, "Harap Locianpwe maafkan, saya kira tadi puteri yang sedang kita cari-cari...."

Syanti Dewi tentu saja juga bengong dan bingung, akan tetapi lengannya sudah digandeng oleh kakek itu pergi meninggalkan rumah rusak, jalan bergandengan tangan diikuti pandang mata wanita itu yang masih terkejut dan heran. Akan tetapi, bukan main kaget dan heran hatinya ketika melihat mengapa "nenek hitam" itu tadi dari belakang kelihatan ramping dan muda, tidak terbongkok-bongkok melainkan jalan berlenggang dengan bukit pinggul seorang dara muda yang bulat dan penuh! Dia menggoyang dan mengguncang kepalanya, memejamkan mata sebentar kemudian membuka mata memandang lagi. Kiranya "nenek" itu adalah puteri yang dicari-carinya.

"Kejar....! Tangkap mereka!" Dia berteriak dan lima orang perajurit pengawal yang kini berubah menjadi seperti manusia-manusia robot yang tidak mempunyai pendirian sendiri karena telah dipengaruhi sihir Nenek Durganini itu cepat mengejar Syanti Dewi dan kakek tua, tombak mereka ditodongkan ke depan siap untuk menyerang. Mendengar teriakan ini yang disusul derap kaki mengejar mereka, Syanti Dewi menjadi khawatir sekali. "Kek, mereka mengejar....!" bisiknya.

Kakek itu terkekeh, kemudian secara tiba-tiba dia berhenti dan membalikkan tubuhnya, telunjuk kirinya menuding ke arah lima orang perajurit pengawal itu sambil mulutnya berkata, "Heeeiii! Kalian mengapa main-main dengan ular? Lihat, kalian bisa digigit sendiri oleh ular di tangan kalian!"

Syanti Dewi tentu saja menjadi heran sekali, mengira bahwa kakek yang aneh ini mungkin sudah miring otaknya. Dikejar musuh yang mengancam bukannya lari atau melawan malah berolok-olok seperti itu. Akan tetapi Syanti Dewi terbelalak kaget bukan main ketika dia melihat betapa lima orang perajurit pengawal yang kini telah menjadi hamba atau kaki tangan nenek hitam mengerikan itu memekik ketakutan dan tombak di tangan mereka itu telah berubah menjadi ular-ular besar yang kini membalikkan kepala mendesis-desis hendak menyerang mereka sendiri. Syanti Dewi mengejap-ngejapkan matanya karena tidak percaya, akan tetapi benar saja, tombak-tombak di tangan lima orang itu telah berubah menjadi ular-ular yang menyerang mereka sendiri. Lima orang itu terbelalak dengan muka pucat, kemudian tentu saja mereka lalu membuang "ular-ular" itu dan lari ketakutan! Mereka adalah perajurit-perajurit pengawal pilihan, anak buah Jenderal Kao dan merupakan perajurit yang pantang mundur menghadapi musuh yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi melihat tombak sendiri berubah menjadi ular-ular besar panjang yang menyerang mereka sendiri, hal ini terlalu hebat bagi mereka dan mendatangkan rasa takut yang hebat.

"Ha-ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa dan Syanti Dewi terpukau di tempatnya melihat betapa "ular-ular" itu setelah dibuang ke atas tanah dan ditinggalkan para perajurit, telah kembali kepada bentuk semula, yaitu lima batang tombak. Bukan main kagum dan girang rasa hatinya karena kini dia maklum bahwa dia telah ditolong oleh seorang kakek ahli sihir pula. Sungguh mengherankan sekali, pikirnya. Dia akan diculik oleh seorang nenek ahli sihir dan ditolong oleh seorang kakek ahli sihir!

"Kakek yang baik, aku akan kaubawa ke mana?" tanya Syanti Dewi setelah melihat betapa para pengejar itu tidak tampak lagi di belakang mereka dan kakek itu telah membawanya ke luar dari dusun itu.

"Ke tempat yang aman, di hutan depan itu. Di sana menanti seorang muridku, mari kau kuperkenalkan dengan dia," kata Si Kakek yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su itu. Kakek ini pernah mengacau di dalam pesta yang diadakan Tambolon ketika Tambolon memaksa Siang Hwa untuk menikah dengan dia. Seperti telah diceritakan secara singkat, tokoh perantauan yang aneh ini adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi dan mahir pula dengan ilmu sihir dan dia adalah bekas suami dari Nenek Durganini. Seperti telah kita ketahui, See-thian Hoat-su ini bersama Panglima Jayin perwira pengawal Bhutan itu bersama empat orang anak buahnya, Kian Bu, Siang Hwa dan Siang In melarikan diri dikejar oleh Pasukan Tambolon dan dikeroyok di atas rakit sampai rakit itu terbawa hanyut oleh sungai yang mengamuk dalam badai. Jenazah Siang Hwa yang menjadi korban hujan anak panah tidak dapat diselamatkan dan dibawa hanyut oleh air, akan tetapi kakek ini berhasil menyelamatkan Siang In ke darat. Karena kasihan melihat dara yang yatim piatu dan kini bahkan kehilangan encinya itu, juga karena melihat Siang In memiliki tulang yang kuat dan darah yang bersih serta memiliki bakat, kakek itu lalu mengangkat Siang In menjadi muridnya.

Biarpun sudah bercerai dari isterinya, yaitu Nenek Durganini, namun sesungguhnya Kakek See-thian Hoat-su masih mencinta isterinya atau bekas isterinya itu. Maka ketika dia mendengar bahwa isterinya datang dari barat untuk membantu dan dapat dikatakan diperalat oleh muridnya yang jahat, yaitu Tambolon, See-thian Hoat-su menjadi tak senang hati dan dia pun lalu membayangi bekas isterinya itu untuk mencegah isterinya terseret dalam kejahatan. Inilah sebabnya mengapa kakek itu muncul di dalam perayaan pesta pernikahan Tambolon dan mengacau sehingga pernikahan paksaan itu gagal. Kini, mendengar bahwa Tambolon dan bekas isterinya itu pergi ke kota raja, diam-diam dia pun mengajak murid barunya, Teng Siang In untuk membayangi.

Melihat betapa isterinya menggunakan ilmu sihir menculik Syanti Dewi, dia segera turun tangan menolong gadis itu dan hal ini dilakukannya bukan sekali-kali karena dia suka mencampuri urusan orang lain melainkan semata-mata karena dia hendak mencegah isterinya terseret oleh muridnya melakukan perbuatan jahat. Demikian pula halnya ketika dia mengacau di dalam pesta Tambolon. Hanya karena mengingat kepada isterinya sajalah maka kakek ini mau campur tangan karena biasanya dia sudah tidak sudi lagi mencampuri urusan dunia yang hanya mendatangkan pertentangan dan permusuhan.

See-thian Hoat-su yang melarikan Syanti Dewi itu telah tiba di dalam hutan kecil itu dan langsung dia menghampiri sebuah kuil rusak yang kosong dan sisa dindingnya sudah penuh dengan lumut hijau.

"Siang In...., muridku yang baik, kau lekas keluarlah....!" Kakek itu berteriak dengan suara gembira.

Terdengar suara orang menjawab dari dalam kuil tua dan Syanti Dewi ingin sekali melihat macam apa orangnya yang menjadi murid kakek aneh ini. Kemudian dari dalam kuil itu tampak sesosok bayangan orang melangkah keluar dan Syanti Dewi terbelalak melihat bahwa orang ini bukan lain adalah nenek hitam berpakaian hitam yang telah menyihir para pengawalnya malam tadi!

See-thian Hoat-su juga terkejut sekali, akan tetapi kakek ini terkekeh dan berkata, "Isteriku yang baik, engkau sudah menyusulku ke sini? Mana muridku?"

"Siapa isterimu? Siapa muridmu?"

"Engkau isteriku.... yang baik, yang tercinta, yang...."

"Cukup! Kita sudah bercerai dan aku sudah nenek-nenek, engkau sudah kakek-kakek, tidak ada gunanya merayuku lagi."

"Ahhhh, galak amat....! Durganini, di mana muridku?" Kakek itu bertanya dengan alis berkerut, agak khawatir juga sungguhpun dia tahu bahwa isterinya ini tidak akan mengganggu orang begitu saja.

"Muridmu siapa?"

"Ah, jangan main-main. Tentu saja Teng Sian In...."

"Dia? Huh, engkau lancang mulut, enak saja mengaku murid. Dia muridku, tahu?"

"Hah....?" Kakek itu melongo dan cepat dia menguasai keheranannya, ingat bahwa sekali dia terheran, akan mudah untuk jatuh di bawah pengaruh sihir isterinya yang dalam hal ini lebih kuat daripada dia itu. "Apa maksudmu?"

"Maksudku? Kaulihat dan dengar sendiri! Siang In....! Muridku yang baik, kau keluarlah!"

"Baik, Subo!" Terdengar jawaban nyaring dan tak lama kemudian muncullah seorang dara remaja cantik manis yang memandang kepada kakek itu dengan senyum lebar dan kemudian memandang kepada Syanti Dewi dengan sinar mata penuh keheranan. "Eh, Enci ini siapakah? Begini cantik jelita seperti bidadari....!"

Begitu melihat Siang In, Syanti Dewi sudah merasa senang sekali. Akan tetapi hatinya terlampau gelisah melihat nenek itu sehingga dia diam saja memperhatikan kedua orang tua itu. Tak disangkanya bahwa kakek yang menolongnya ini malah suami dari nenek itu, atau setidaknya bekas suami!

Sementara itu, See-thian Hoat-su yang tadinya menyangka bahwa tentu muridnya telah terjatuh ke dalam kekuasaan sihir isterinya, begitu melihat muridnya, menjadi makin terheran-heran karena ternyata benar olehnya bahwa muridnya itu sama sekali tidak di bawah pengaruh sihir!

"Siang In, apa maksudmu? Mengapa engkau mengangkat guru kepadanya?"

"Kepada siapa, Suhu? Maksudmu kepada Subo ini?"

"Ya. Kenapa? Bukankah engkau sudah menjadi muridku?" kakek itu menuntut.

"Karena aku menjadi murid Suhu, maka aku adalah muridnya juga, bukan? Engkau adalah suhuku (Bapak Guru) dan dia adalah suboku (Ibu Guru). Aku sudah mendengar bahwa Suhu telah meninggalkan Subo. Jahat sekali itu!"

"Ihh, anak kecil kau tahu apa? Hayo kau ikut aku pergi."

"Tidak, Suhu. Aku mau ikut pergi dengan Suhu kalau bersama subo. Kalau tidak, biar aku ikut Subo saja, sama-sama perempuan."

"Wah, apa-apaan ini?" Kakek itu menggaruk kepalanya.

"Celaka sial dangkalan! Kenapa aku mengambil murid seorang perempuan? Sekarang aku dikeroyok!"

"Bagaimana, Suhu? Kalau Suhu mau berbaik kembali dengan Subo, aku mau ikut Suhu, kalau tidak, biar aku ikut dengan Subo."

Kakek itu membanting-banting kakinya. "Cari penyakit! Dahulu, hanya dengan seorang perempuan di sampingku, hidup sudah banyak repot, sekarang malah ada dua ekor! Cari penyakit!"

"See-thian Hoat-su, banyak lagak engkau!" Durganini menudingkan tongkatnya. "Kalau begitu, pergilah tinggalkan kami, jangan sampai bangkit marahku dan kukutuk engkau menjadi monyet nanti!"

"Sudahlah!" Kakek itu menghela napas panjang. "Dasar nasibku, tua-tua cari perkara. Aku mau menurut, kita bersama lagi, akan tetapi hanya dengan satu syarat yaitu kalian harus meninggalkan Tambolon dan ikut dengan aku ke tempat sunyi. Jangan membikin dunia yang sudah kacau menjadi makin kacau lagi. Bagaimana?"

"Setuju!" Siang In bersorak. "Selamanya aku memang hidup di tempat sunyi, dahulu dengan enciku, sekarang dengan Suhu dan Subo, tentu lebih ramai."

"Bagaimana, Durganini?" Kakek itu menuntut.

Aneh! Nenek itu menundukkan muka seperti seorang gadis diajak kawin, kemalu-maluan dan hanya terkekeh dan mengangguk-angguk! Kakek itu tertawa bergelak lalu menggandeng tangan Durganini di sebelah kanan dan tangan muridnya di sebelah kiri. "Kalau begitu, hayo kita pergi, tunggu apa lagi?"

"Eh, nanti dulu.... Enci, mari kau ikut bersama kami saja....!" Siang In berseru sambil menoleh kepada Syanti Dewi. Akan tetapi Syanti Dewi yang merasa ngeri menyaksikan adegan aneh itu dan seolah-olah menghadapi orang-orang gila, tentu saja tidak mau dan menggeleng kepala. Dan tiba-tiba dia melihat asap hitam mengepul yang menelan tiga orang itu lenyap dari pandangan matanya. Dia tertegun dan kagum bukan main. Kiranya banyak benar orang-orang pandai di dunia ini.

Akan tetapi setelah kakek itu pergi, dia teringat akan keadaan dirinya dan timbullah kekhawatirannya. Biarpun nenek itu sudah tidak ada lagi, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana jadinya dengan dua losin orang pengawal itu, apakah masih di bawah pengaruh sihir nenek itu sehingga bahkan berbalik hendak menangkapnya. Teringat ini, dia mengambil keputusan untuk pergi sendiri saja melanjutkan perjalanannya ke barat.

******

Dengan hati lega Ceng Ceng dan Topeng Setan tiba di sarang perkumpulan di mana Ceng Ceng menjadi ketuanya itu. Mereka sudah melihat beberapa orang anak buah menyambut kedatangan mereka dengan muka gelisah. Karena Topeng Setan masih menderita luka parah dan tubuh membutuhkan perawatan baik, maka dia tidak begitu memperhatikan keadaan di situ, dan Ceng Ceng yang merasa lega hatinya bahwa akhirnya mereka tiba di tempat persembuyian ini, segera bersama Topeng Setan memasuki rumah besar yang selama dia berada di situ menjadi tempat tinggalnya. Heran juga dia melihat rumah itu demikian sunyi, padahal hari sudah agak siang. Tidak nampak ada pelayan dan penjaga menyambutnya. Mereka terus saja memasuki ruangan dalam dan tiba-tiba keduanya tertegun ketika melihat munculnya belasan orang yang warna mukanya aneh-aneh, mengurung ruangan itu sehingga mereka berdua terkurung di tengah-tengah oleh orang-orang yang bersenjata itu! Kaget sekali hati Ceng Ceng karena dia mengenal orang-orang ini sebagai anak buah Hek-tiauw Lo-mo, yaitu orang-orang Pulau Neraka yang memiliki kepandaian tinggi.

Topeng Setan juga terkejut sekali dan tiba-tiba muncullah dari balik pintu dalam dua orang yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka berada di tempat itu. Mereka adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui!

Melihat wanita yang bersama dengan Kian Bu di Telaga Sungari dan yang telah memperebutkan ular naga dengan dia, Ceng Ceng menjadi marah, memandang dengan mata terbelalak dan dia menudingkan telunjuknya sambil membentak, "Kalian iblis laki perempuan berada di sini mau apa?"

"Ha-ha-ha-ha, selamat bertemu, Nona Ceng! Selamat datang di tempat perkumpulan kami."

"Apa maksudmu, Hek-tiauw Lo-mo?" Ceng Ceng membentak. "Aku adalah Bengcu di tempat ini!" Ceng Ceng memberi isyarat dengan tepuk tangannya untuk memanggil anak buahnya, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani muncul.

"Ha-ha-ha-ha! Tempat ini telah menjadi tempatku, Nona yang baik. Akan tetapi mengingat persahabatan antara kita, aku mau mengembalikannya kepadamu dan mengampunimu kalau engkau suka menyerahkan anak ular naga itu kepadaku."

"Jangan mimpi! Mustika itu telah berada di dalam perutku...."

"Tidak.... tidak...., kami tidak berhasil mendapatkan anak naga itu...." Topeng Setan cepat berseru dengan wajah membayangkan kekhawatiran, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tertawa lagi.

"Kau hendak membohongiku? Ha-ha, kulihat cahaya racun sudah lenyap dari wajahnya, hal ini berarti darahnya sudah bersih. Akan tetapi.... darah dan dagingnya masih sepenuhnya mengandung khasiat mustika itu sebelum lewat empat puluh hari, dan kau datang menyerahkan diri padaku, ha-ha-ha....!"

"Hek-tiauw Lo-mo, kau tidak bisa berbuat sekeji itu!" Tiba-tiba Topeng Setan membentak marah dan tangan kanannya dikepal keras-keras. "Engkau tidak boleh mengganggu dia!"

"Ha-ha-ha, siapa yang tidak memperbolehkan? Engkau dengan lenganmu yang sudah buntung sebelah? Ha-ha-ha! Mari, Nona manis, kau ikutlah dengan aku, ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo yang kegirangan melihat munculnya orang yang ditunggu-tunggu itu menggapai kepada Ceng Ceng.

Nona ini tenang-tenang saja dan dia masih belum mengenal bahaya. Dengan sabar dia berkata, "Hek-tiauw Lo-mo, apakah kau benar-benar tidak mempunyai perikemanusiaan lagi? Puterimu demikian cantik dan berbudi, akan tetapi apakah engkau begitu kejam untuk mengganggu kami? Kau lihat, dia terluka parah dan perlu beristirahat, perlu dirawat luka-lukanya. Dan percuma saja engkau mengganggu kami karena anak ular itu sudah kuhabiskan semua. Biar engkau akan membunuh aku pun engkau tidak akan bisa mendapatkan anak ular naga itu."

"Aihh, Ceng Ceng.... kau.... kau tidak tahu...." Topeng Setan mengeluh. "Dia memang bukan manusia, dia lebih jahat daripada iblis, lebih keji daripada seekor binatang yang paling buas. Dia menghendaki daging dan darahmu...."

Wajah Ceng Ceng menjadi pucat sekali dan sambil berteriak marah dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi dengan amat mudahnya Ketua Pulau Neraka itu mengelak dan tiba-tiba Ceng Ceng merasa betapa punggungnya sakit sekali dan dia roboh pingsan. Ternyata bahwa ketika dia menyerang Hek-tiauw Lo-mo yang tentu saja menganggap ringan ilmu silatnya, dari belakang Hong Kui telah menotoknya.

"Kalian tidak boleh mengganggunya!" Topeng Setan membentak dan tubuhnya mencelat ke depan dengan kecepatan kilat dan tangannya yang tinggal sebelah itu berkelebat. Bukan main cepatnya gerakan tangannya dan tenaga yang terkandung di dalam tangan ini juga amat besar, mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Hong Kui terkejut dan membalik sambil menangkis. "Bresss....!" Tubuh wanita cantik ini terlempar ke belakang menabrak tembok dan kalau saja dia tidak memiliki kepandaian tinggi, tentu tulang-tulangnya akan remuk. Akan tetapi dia sudah mengerahkan sin-kangnya dan ketika tubuhnya menabrak dinding, dia sudah membulatkan tubuh dan menggelinding di atas lantai. Wanita ini selamat, akan tetapi dia kaget dan marah bukan main, mukanya merah, matanya melotot dan jantungnya masih berdebar tegang karena hampir saja dia celaka dalam sekali

gebrakan saja!

Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah menerjang maju, mengerahkan tenaganya dan menggunakan Ilmu Pukulan Hek-coa-tok-ciang yang ampuh. Pada saat itu, Topeng Setan baru saja menderita kehilangan lengan kiri. Ketika hal itu terjadi, dia sedang bergulat dengan maut dalam air, maka dia telah kehilangan banyak darah dan tubuhnya masih lemah. Apalagi karena baru saja kehilangan lengan kiri, gerakannya menjadi kaku dan canggung. Oleh karena itu, biarpun dia masih mampu menangkis beberapa pukulan Hek-tiauw Lo-mo dan mengelak cepat ketika Mauw Siauw Mo-li juga menerjangnya dengan penuh kemarahan, akan tetapi karena sebagian perhatiannya juga tercurah kepada Ceng Ceng dengan penuh kegelisahan melihat dara ini rebah terlentang dalam keadaan pingsan, maka lewat belasan jurus saja dia sudah roboh oleh hantaman tangan kanan Hek-tiauw Lo-mo yang mengenai punggungnya. Sekali dia roboh terhuyung, Mauw Siauw Mo-li juga menotok pundak kanannya. Seketika Topeng Setan merasa betapa lengan kanannya setengah lumpuh dan dia roboh terguling.

"Ceng Ceng....!" Biarpun dia sudah roboh, Topeng Setan berusaha untuk bangkit sambil memandang ke arah Ceng Ceng dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum manusia macam apa adanya Hek-tiauw Lo-mo dan membayangkan betapa dara itu akan diganyang dagingnya dan diminum darahnya oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sangat menginginkan khasiat dari anak ular naga, dia merasa ngeri dan khawatir

sekali.

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang merasa marah bukan main karena tadi dibuat terlempar menubruk tembok oleh Topeng Setan, menghampiri orang aneh itu. Dia memang sudah merasa amat kagum dan heran ketika menyaksikan sepak terjang Topeng Setan ketika terjadi perebutan anak ular naga, kagum betapa laki-laki ini dalam keadaan terluka hebat, buntung lengan kirinya, masih mampu merampas anak ular naga itu, bahkan mampu membawa Ceng Ceng lari sehingga tidak dapat ditangkap oleh sekian banyaknya orang lihai di Telaga Sungari. Kini, dia merasakan sendiri keampuhan tangan yang tinggal sebelah itu, maka timbul keinginannya untuk melihat bagaimana macam orangnya yang bersembunyi di balik kedok buruk itu.

"Suheng jangan bunuh dia dulu. Aku ingin melihat wajahnya!" Dia berteriak ketika melihat Hek-tiauw Lo-mo hendak turun tangan membunuh Topeng Setan.

"Hemm, sesukamu. Aku pun ingin melihat siapa dia!" Hek-tiauw Lo-mo berkata sambil terkekeh girang karena dia telah berhasil menangkap Ceng Ceng dan merobohkan Topeng Setan yang amat lihai itu.

Lauw Hong Kui membungkuk, tangan kanannya meraih ke arah wajah Topeng Setan yang sama sekali tidak berdaya lagi itu, jari-jari tangan yang panjang dan halus itu sudah menyentuh topeng.

"Tahan....! Enci Hong Kui, jangan kaubuka topeng itu....!" Tiba-tiba Kian Bu yang baru muncul keluar berseru keras mencegah perbuatan Hong Kui itu. Mendengar suara Kian Bu, Hong Kui terkejut karena kekasihnya itu nada suaranya bersungguh-sungguh seperti orang marah. Tentu saja dia tidak ingin membuat kekasihnya marah kepadanya. Kalau hanya karena muka Topeng Setan dia harus menghadapi kemarahan kekasihnya yang mungkin akan mogok melayani nafsunya, dia akan rugi sekali!

Kian Bu terkejut bukan main ketika melihat Ceng Ceng menggeletak di atas lantai. Kalau saja dia tidak terlambat muncul, tentu dia akan mencegah Ketua Pulau Neraka dan sumoinya itu menyerang Ceng Ceng dan pembantunya yang setia itu. Kini dengan langkah lebar dia menghampiri, alisnya berkerut dan dia menghadapi Hek-tiauw Lo-mo sambil berkata, "Lo-mo, aku melarang engkau mengganggu mereka! Ketahuilah, nona ini adalah keponakanku sendiri, dan Topeng Setan adalah pembantunya yang setia. Mereka berdua telah membuat jasa besar dalam membantu pemerintah. Aku terpaksa akan menentangmu kalau engkau mengganggu mereka. Enci Hong Kui, jangan engkau ikut-ikut suhengmu!"

"Ha-ha-ha, Sumoi, matamu buta! Engkau memilih kekasih yang menentang kita. Orang muda, engkau sombong sekali. Kaukira mudah saja menentang Hek-tiauw Lo-mo?"

Kakek itu sudah mengepal kedua tangannya dan terdengar suara berkerotokan. Ini merupakan tanda bahwa dia sudah marah sekali dan ingin menurunkan tangan maut kepada Kian Bu. Sebaliknya, pemuda dari Pulau Es itu pun memandang tajam, berdiri tegak dan siap untuk melakukan perlawanan terhadap musuh yang dia tahu amat lihai itu.

"Tahan....! Jangan berkelahi....!" Mauw Siauw Mo-li berseru dan meloncat di tengah-tengah melerai mereka. "Suheng! Kian Bu! Jangan kalian berkelahi sendiri. Segala urusan dapat dirundingkan baik-baik, mengapa harus menggunakan kekerasan saling merusak? Kalian berdua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, kalau sudah saling gempur tentu ada seorang di antara kalian yang celaka."

Hek-tiauw Lo-mo bukan seorang bodoh. Ucapan sumoinya ini menyadarkannya bahwa memang amat merugikan kalau dia bermusuhan dengan kekasih sumoinya ini. Dia tahu betapa lihainya putera Majikan Pulau Es ini dan dalam keadaan seperti sekarang ini, sebaiknya kalau dia tidak bermusuhan dengan pemuda yang telah dapat ditarik oleh sumoinya itu. Dan tentang Ceng Ceng yang telah ditawannya, juga Topeng Setan, dapat saja dia kuasai dengan jalan halus.

"Ha-ha-ha, ucapan sumoi memang tepat juga. Orang muda, engkau mencinta dia, dan aku adalah suhengnya, sungguh tidak enak kalau antara kita bentrok sendiri. Aku akan menjadi malu hati terhadap sumoiku yang tinggal seorang ini!"

Kian Bu menahan senyum dan melirik ke arah Ceng Ceng yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan dan Topeng Setan yang juga rebah tak berdaya karena tertotok.

"Lo-mo, aku pun tidak hendak memusuhimu, akan tetapi kalau kau mengganggu mereka, terpaksa aku harus turun tangan."

Hek-tiauw Lo-mo menarik napas panjang. "Aih, kau tentu mengerti betapa aku amat membutuhkan khasiat naga itu untuk menyempurnakan ilmuku yang masih setengah matang kulatih. Dan aku harus merampas kembali kitabku dari tangan Topeng Setan ini. Akan tetapi biarlah hal itu kita lakukan dengan halus dan membujuknya untuk mengembalikan kitab. Adapun tentang nona ini dengan khasiat anak naga, biar sementara waktu kita tidak usah bicarakan dulu. Akan tetapi aku pun tidak akan membebaskan mereka sebelum kitab itu dikembalikan kepadaku. Sumoi, kau yang bertanggung jawab kalau sampai nona ini melarikan diri. Nah, kau boleh membawa dia ke kamar dan menjaganya. Topeng Setan akan kumasukkan tahanan dan dijaga keras."

Tanpa menanti jawaban, Hek-tiauw Lo-mo menyambar tubuh Topeng Setan dan membawanya ke dalam tahanan di mana dia memerintahkan anak buah Pulau Neraka untuk menjaganya. Lengan yang tinggal sebelah itu dipasangi belenggu baja yang amat kuat, demikian pula kedua pergelangan kakinya. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar, Hek-tiauw Lo-mo yang sudah berjanji itu tidak memperbolehkan anak buahnya membuka topeng buruk itu. Sementara itu, Lauw Hong Kui membujuk kekasihnya untuk bersabar dan dia memondong tubuh Ceng Ceng yang masih pingsan ke dalam sebuah kamar dan menjaganya. Dapat dibayangkan betapa bingung rasa hati Kian Bu. Dia ingin sekali menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan, akan tetapi dia maklum bahwa dalam keadaan tidak berdaya seperti itu, dia tidak mungkin seorang diri saja membebaskan mereka karena dia harus menghadapi Hek-tiauw Lo-mo yang lihai dan banyak anak buahnya. Selain itu, juga dia merasa sungkan untuk bermusuhan dengan kekasihnya yang dia tahu terpaksa tentu

akan berpihak kepada suhengnya. Maka dia mengandalkan cinta kasih wanita itu kepadanya untuk dapat membujuk agar Hek-tiauw Lo-mo tidak mengganggu kedua orang tawanan itu sebelum dia mampu menyelamatkan mereka.

Suma Kian Bu termenung di dalam kamarnya. Hatinya gelisah sekali dan pikirannya ruwet. Batinnya sadar bahwa dia telah tersesat, telah menuruti nafsu berahi dan membiarkan dirinya tenggelam ke dalam kenikmatan duniawi yang sebetulnya mengandung racun-racun berbahaya. Akan tetapi, setiap kali dia membayangkan kesenangan dan kenikmatan yang dialaminya bersama Hong Kui, dia menjadi lumpuh dan tidak mampu meninggalkan wanita itu. Dia merasakan dirinya seperti seekor semut yang terjatuh ke dalam secawan madu. Manisnya madu itu memabokkan, akan tetapi telah menggulung dan membuat dia melekat tak mampu melepaskan diri, bergulung dalam kemanisan dan kenikmatan biarpun dia maklum bahwa keselamatannya terancam. Hendak melepaskan diri, sayang akan kenikmatannya, hendak melanjutkan menikmati kesenangan, sadar bahwa dia tersesat!

Tiba-tiba dia mendengar suara sesuatu di jendela kamarnya. Daun jendela itu diketuk orang dari luar! Dia terheran-heran mengapa dia tidak dapat mendengar ada orang mendekati jendelanya dan tahu-tahu jendela itu diketuk dari luar! Dengan sikap waspada dan siap-siap Kian Bu mendekati jendelanya dan membuka palangnya lalu mendorong jendela terbuka. Betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat seorang pemuda sudah berdiri di luar jendela dan pemuda itu tentu saja dikenalnya baik karena dia

bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

Dengan pandang mata tajam penuh selidik Tek Hoat memberi tanda dengan telunjuk di depan bibir agar Kian Bu tidak membuat gaduh, kemudian dengan gerakan ringan sekali dia meloncat memasuki kamar Kian Bu. Wajah pemuda ini masih pucat, agaknya luka-luka yang dideritanya ketika dia dikeroyok oleh Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo yang berhasil dia robohkan dan tewaskan itu masih belum memulihkan semua kesehatan tubuhnya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat yang terluka hebat sekali telah diangkut ke kota raja oleh Puteri Milana dan di sana mengalami perawatan dan pengobatan. Akan tetapi, ketika Tek Hoat mendengar bahwa musuh besarnya, Gak Bun Beng, masih hidup, semangatnya timbul dan biarpun kesehatannya masih belum pulih, badannya masih lemah, dia nekat meninggalkan istana Puteri Milana untuk pergi mencari musuh besarnya itu. Juga dia pergi dengan jantung seperti ditusuk rasanya karena dia melihat bahwa Syanti Dewi, Puteri Bhutan yang telah merampas hatinya dan telah membuat dia tergila-gila itu, ternyata mencinta Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti. Dia maklum bahwa dirinya memang tidak berharga sama sekali bagi puteri itu dan dia sudah merasa berbahagia bahwa dia telah berhasil menyelamatkan puteri yang dicintanya dengan diam-diam itu dari bahaya.

Karena kesehatannya belum pulih, Tek Hoat tidak pergi jauh meninggalkan kota raja dan kemudian dia teringat akan dusun Nam-lim di mana dia membantu Ceng Ceng yang menjadi bengcu kaum sesat di sana. Mengingat bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan meninggalkan tempat itu, Tek Hoat lalu pergi ke sana dengan niat untuk mencari saputangannya yang membuat dia teringat akan sumpahnya kepada Ceng Ceng, dan juga untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya.

Akan tetapi, ketika pagi hari itu dia tiba di sebuah hutan tidak jauh dari Nam-lim, dia mendengar jerit seorang wanita. Biarpun dia merasa enggan untuk mencampuri urusan orang lain, apalagi karena tubuhnya masih lemah, namun bangkit juga rasa penasaran di dalam hatinya dan dia cepat mengejar ke arah datangnya suara itu. Jerit tertahan yang hanya satu kali seperti jerit wanita yang mengalami kekagetan.

Dengan bersembunyi di balik sebatang pohon besar, Tek Hoat memandang ke depan kuil rusak di mana terdapat belasan orang yang dikenalnya sebagai raja liar Tambolon dan dua ocang pengawalnya yang terkenal itu bersama anak buahnya. Dan hampir Tek Hoat mengeluarkan teriakan kaget dan marah ketika dia melihat seorang dara berdiri di tengah-tengah pengurungan mereka, dan dara yang matanya terbelalak lebar dan mukanya pucat karena kaget itu bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi! Tek Hoat menggosok-gosok kedua matanya. Tak salah lagi. Puteri itu adalah Puteri Bhutan yang selama ini tak pernah dilupakannya sedetikpun juga! Akan tetapi bagaimana puteri ini bisa berada di dalam hutan, seorang diri di depan kuil tua dan kini dikurung oleh Tambolon dan orang-orangnya?

Seperti kita ketahui, Puteri Bhutan ini berada di depan kuil tua seorang diri setelah dia ditinggalkan See-thian Hoat-su yang mengajak pergi isterinya, Durganini dan muridnya, Teng Siang In di tempat itu, tiba-tiba datang Tambolon dan anak buahnya sehingga Syanti Dewi terkejut sekali dan mengeluarkan suara menjerit tadi yang terdengar oleh Tek Hoat.

Setelah dia merasa yakin bahwa dara itu adalah Puteri Syanti Dewi, Tek Hoat merasa ada hawa panas naik dari pusarnya terus sampai membuat mukanya menjadi panas dan merah. Ada orang-orang berani mengganggu Syanti Dewi di depan hidungnya! Sekali meloncat, tubuhnya melayang dan tahu-tahu dia telah tiba di depan pengurungan itu, di dekat Syanti Dewi yang menjadi girang sekali melihat pemuda ini.

"Tek Hoat....!" Dalam girangnya melihat betapa dalam keadaan terancam bahaya mengerikan itu tiba-tiba muncul pemuda yang pernah menolongnya dan yang tentu sekarang datang hendak menolongnya pula, Syanti Dewi segera menyambar lengan Tek Hoat.

Merasa betapa lengannya disentuh oleh tangan dara itu, jantung Tek Hoat berdebar keras akan tetapi dengan halus dia melepaskan pegangan gadis itu sambil berbisik halus, "Harap paduka mundur dan berlindung di belakang saya...."

Syanti Dewi menggigit bibirnya mendengar betapa pemuda itu menyebut paduka dan bersikap amat menghormatinya. Dia tidak berkata apa-apa lagi dan mundur di belakang pemuda itu, hatinya diliputi penuh kekhawatiran karena melihat sikap Tambolon dan anak buahnya yang mengancam.

Memang Tambolon marah sekali ketika dia melihat munculnya Tek Hoat yang seperti setan tiba-tiba saja muncul di situ. "Ahh, bukankah engkau pemuda tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong?" bentaknya.

"Tidak perlu menggali urusan lama, yang penting adalah sekarang ini, Tambolon. Aku melarang engkau mengganggu puteri ini!" Tek Hoat berkata dengan suara nyaring dan yang nadanya penuh tantangan.

"Pemuda sombong!" Tiba-tiba Yu Ci Pok, Si Siucai Maut itu membentak dan sudah menerjang ke depan dengan totokan jari-jari tangannya yang dilakukan secara beruntun ke arah tujuh jalan darah terpenting di tubuh bagian depan dari Tek Hoat.

"Plak-plak-plak.... desss....!" Tubuh Siucai itu terlempar ke belakang bahkan sampai terbanting sehingga pinggulnya menimpa tanah dan debu mengebul dari tempat yang tertimpa pantatnya.

Melihat betapa kawannya begitu mudah dirobohkan, Liauw Kui Si Petani Maut menjadi marah. Dia berseru keras dan pikulannya sudah menyambar-nyambar. Melihat serangan maut ini, Tek Hoat cepat mengelak dengan lincahnya dan balas menendang dari kiri yang juga dapat dielakkan oleh Si Petani Maut. Adapun Yu Ci Pok yang mukanya menjadi merah sekali karena terbanting tadi, kini juga sudah meloncat bangun, mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu sepasang poan-koan-pit dan bersama dengan Lauw Kui dia menyerang Tek Hoat Kalang kabut.

"Hemm...., kalian hendak bertempur? Boleh, lihat pedang!"

Tiba-tiba kelihatan sinar pedang bergulung-gulung mengerikan sekali. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) yang amat ampuh, sebatang pedang yang dahulu menjadi milik iblis dari Pulau Neraka Cui-beng Koai-ong! Terdengar suara nyaring berkali-kali dan dua orang pembantu Tambolon itu melompat ke belakang dengan muka pucat karena senjata pikulan dan dua batang poan-koan-pit itu telah patah-patah terbabat sinar pedang Cui-beng-kiam.

"Simpan pedangmu atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!" Tiba-tiba Tambolon berkata tenang.

Tek Hoat terkejut, cepat dia memutar tubuhnya dan matanya terbelalak memandang Syanti Dewi yang sudah dipegang kedua lengannya ke belakang oleh Tambolon dan raja liar ini menempelkan pedangnya di leher Puteri Bhutan itu. Melihat ini lemaslah seluruh tubuh Tek Hoat.

Tambolon memang seorang yang amat cerdik sekali. Dia telah melihat betapa lihainya pemuda ini ketika Tek Hoat dengan mudah membuat dua orang pengawalnya itu tidak berdaya hanya dalam waktu singkat saja. Dia tahu bahwa kalau dia sendiri maju dibantu dua orang pengawalnya dan para anak buahnya, belum tentu dia tidak akan dapat mengalahkan Tek Hoat, akan tetapi sebelum dia dapat merobohkan pemuda perkasa ini tentu pihaknya lebih dulu mengalami pukulan hebat, mungkin banyak pembantunya yang akan tewas. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi, apalagi dia memang mengharapkan bantuan pemuda ini. Maka dia telah mengambil cara yang dianggapnya paling mudah dan paling aman, yaitu mengancam Syanti Dewi.

Muka Tek Hoat menjadi merah saking marahnya menyaksikan cara ini. "Tambolon, engkau sungguh manusia pengecut! Bebaskan Sang Puteri dan mari kita bertanding secara jantan!"

Tambolon tersenyum mengejek. "Di antara kita tidak ada permusuhan, perlu apa saling hantam? Pula, aku ingin bicara denganmu, kau simpan pedangmu itu!"

"Jangan mengira aku akan dapat kau gertak, hayo bebaskan atau aku akan mengamuk dan membunuh kalian semua!"

"Ha-ha-ha, apakah kaukira aku anak kecil, Ang Tek Hoat? Bergeraklah dan pedangku akan memenggal leher yang halus ini!" Tambolon mengancam dan pedangnya yang menempel di kulit leher putih halus itu amat mengerikan. Memang Tambolon bukan melakukan perbuatan ini karena takut, melainkan dengan perhitungan yang sudah masak. Dia telah mendengar betapa pemuda ini, demi untuk menyelamatkan Syanti Dewi, telah berkhianat, membalik dan membunuh Pangeran Liong Khi Ong, Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo, dan Hek-wan Kui-bo. Hal ini membuat dia merasa yakin bahwa penodongannya terhadap Syanti Dewi sudah pasti akan berhasil baik dan membuat Tek Hoat tidak berani bergerak. Dan memang perhitungannya ini tepat sekali. Tek Hoat merasa seolah-olah dibelenggu kaki tangannya dan dia lalu menyimpan pedangnya.

"Tambolon, kalau engkau mengganggu selembar rambutnya saja, aku bersumpah akan menyiksamu dan akhirnya membunuhmu sampai engkau menyesal telah dilahirkan di dunia ini." Ucapannya itu lirih akan tetapi mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma. Tambolon sendiri yang mempunyai watak kejam, bergidik mendengar sumpah itu karena dia maklum bahwa orang macam pemuda ini tentu akan memenuhi ancamannya yang hebat itu. Pemuda seperti ini merupakan seorang musuh yang berbahaya dan mestinya, menurut watak dan kecerdikannya, dia harus membunuh pemuda ini sekarang juga. Akan tetapi dia ingin memanfaatkan pemuda ini lebih dulu, karena dia mendengar pelaporan anak buahnya tadi bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan telah tiba di dusun Nam-lim dan celakanya telah terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo!

"Ang Tek Hoat, aku pun bersumpah tidak akan mengganggu Puteri Bhutan ini, akan tetapi engkau harus membantuku dengan sesuatu. Kalau engkau tidak mau melakukan itu dan gagal, terpaksa aku akan membunuhnya dan kami sanggup menghadapi ancaman kosongmu itu!"

"Tambolon, tak perlu banyak cakap. Katakan apa yang kau kehendaki?"

"Aku ingin agar engkau pergi ke dusun Nam-lim dan menghadapkan Nona Lu Ceng ke sini. Atau pendeknya, aku ingin menukar puteri ini dengan Nona Lu Ceng."

"Tek Hoat.... jangan kaucelakakan Lu Ceng....!" Tiba-tiba Syanti Dewi yang berdiri dengan leher tertempel pedang dan mukanya pucat, berseru. "Biar mati aku tidak akan mencelakakan adikku itu!"

Tek Hoat memandang Tambolon dengan sinar mata penuh selidik. "Tambolon, mengapa engkau menyuruh aku untuk urusan itu? Engkau dengan begini banyak pembantumu, takut untuk melakukan penangkapan atas diri Nona Lu Ceng maka engkau menyuruh aku?"

"Ha-ha-ha, jangan menduga yang bukan-bukan, orang muda. Engkau adalah seorang di antara pembantu Lu-bengcu, bukan? Engkau lebih mengenal keadaan di sana dan engkau tentu akan lebih mudah untuk membawa dia ke sini. Sudahlah, kaulakukan itu atau terpaksa aku akan membunuh puteri ini."

"Mengapa engkau menghendaki dia?"

"Karena dia telah berhasil memperoleh anak naga Telaga Sungari."

Diam-diam Tek Hoat terkejut. Dia pun mendengar tentang anak naga itu akan tetapi dia sendiri tidak mempedulikan binatang yang dianggap keramat dan merupakan obat yang amat luar biasa itu.

"Nona Lu Ceng dan Topeng Setan telah kembali ke Nam-lim dan mereka terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya."

"Ahhh....?" Tek Hoat terkejut.

"Karena itu, berhati-hatilah dan jangan sampai engkau gagal menyeret Nona Lu ke sini kalau kau ingin melihat puteri ini selamat."

"Baik, aku akan lakukan itu. Dan sekali lagi ingat, jangan engkau mengganggu selembar rambut pun dari nona ini." Setelah berkata demikian, Tek Hoat membalikkan tubuhnya pergi dari situ.

"Tek Hoat...., jangan kaupenuhi permintaan mereka. Jangan kauganggu adikku Lu Ceng!" Syanti Dewi masih berseru marah.

Tek Hoat membalik dan menjura. "Harap paduka tenang saja." Kemudian sekali berkelebat, pemuda itu sudah lenyap di balik pohon-pohon di hutan itu.

Demikianlah, malam hari itu Tek Hoat berhasil menyelundup ke dusun Nam-lim yang tentu saja dikenalnya dengan baik dan dia berhasil memasuki kamar Suma Kian Bu yang gelisah tak dapat tidur memikirkan keadaan Ceng Ceng yang menjadi tawanan itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati Kian Bu melihat munculnya Tek Hoat di tempat itu.

Setelah mereka berdiri berhadapan di dalam kamar, Tek Hoat sejenak menatap wajah Kian Bu dengan tajam, kemudian dia berdiri. "Apakah dunia telah terbalik? Tidak salahkah penglihatanku bahwa putera Pendekar Super Sakti kini menjadi sekutu Hek-tiauw Lo-mo?"

Wajah Kian Bu menjadi merah bukan main. "Tek Hoat, jangan engkau mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan! Aku di sini menjadi tamu, bukan sekutu!"

"Bagus! Akan tetapi mengapa engkau enak-enak saja melihat Nona Lu Ceng dijadikan tawanan olehnya?"

Jantung Kian Bu berdebar penuh rasa malu dan ketegangan. Untung bahwa pemuda aneh ini agaknya belum tahu akan hubungannya dengan Hong Kui, kalau tahu, dia akan merasa makin canggung dan malu lagi. "Enak saja kau bicara, apa kaukira aku diam-diam tidak memikirkan hal itu?

Akan tetapi mereka itu kuat sekali, aku tidak berani bertindak sembrono dan mengalami kegagalan."

"Aku datang untuk menyelamatkan Nona Lu Ceng. Dapatkah kau membantuku?"

"Dengan adanya engkau, tentu keadaan kita lebih kuat. Mari kita serbu dan...."

"Tidak begitu maksudku, Kian Bu. Aku hanya minta bantuanmu. Di mana Ceng Ceng ditahan?"

"Di dalam kamar.... Mauw Siauw Mo-li, di ujung lorong belakang. Topeng Setan dimasukkan ke gudang belakang...."

"Aku tidak peduli dengan Topeng Setan," kata Tek Hoat.

"Sekarang baiknya engkau mengacau dengan api. Bakarlah bagian depan bangunan untuk memancing mereka keluar, dan aku akan menyelinap ke belakang dan membebaskan Nona Lu Ceng."

Kian Bu mengangguk dan setelah menerima bahan pembuat api dari Tek Hoat yang memang telah mempersiapkannya sebelumnya, dia lalu mengikuti Tek Hoat keluar dari kamar itu. Setelah memberi isyarat dimana letaknya kamar Mauw Siauw Mo-li, mereka lalu berpisah dan Kian Bu cepat menuju ke depan dan memilih tempat yang baik untuk dibakar. Dia maklum bahwa perbuatannya ini tentu akan membuat dia dibenci oleh Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi dia tidak peduli. Dia tidak mencinta wanita cantik itu, hanya menikmati pergaulan mereka, memuaskan nafsu belaka. Memang dia sudah gelisah dan mencari akal bagaimana dapat menyelamatkan Ceng Ceng dan kemunculan Tek Hoat memang amat kebetulan.

Tak lama kemudian, di malam yang sunyi itu, kegelapan di dusun yang menjadi sarang bekas perkumpulan Tiat-ciang-pang  dipecahkan oleh sinar api yang bernyala tinggi dan kesunyian dipecahkan oleh teriakan-teriakan banyak orang, "Api....! Api....! Kebakaran....!"

Seketika tempat itu menjadi geger. Para anggauta Pulau Neraka memimpin orang-orang memadamkan api dan Hek-tiauw Lo-mo sendiri dengan kaget dan marah mendatangi tempat kebakaran.

Tak lama kemudian muncul Mauw Siauw Mo-li dan Suma Kian Bu. Wanita ini tadi masih menjaga Ceng Ceng di dalam kamarnya. Ketika Suma Kian Bu datang mengetuk pintunya dan mengajaknya keluar untuk melihat kebakaran, Lauw Hong Kui yang tadi menotok Ceng Ceng, lebih dulu mengikat kaki tangan dara itu, baru dia pergi bersama Kian Bu keluar.

Ketika mereka tiba di luar, Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepada Kian Bu dan sumoinya, lalu membentak marah, "Sumoi, kenapa kautinggalkan dia? Celaka, ini tentu perbuatan musuh yang menggunakan siasat memancing harimau keluar sarang!"

Mendengar ini, Hong Kui terkejut dan bersama suhengnya dia berlari kembali menuju ke kamarnya. Saking kaget dan khawatirnya dia sampai tidak melihat bahwa Kian Bu tidak ikut kembali ke dalam.

"Brakkk!" Hek-tiauw Lo-mo menendang pecah daun pintu kamar itu dan keduanya berteriak marah dan kaget melihat pembaringan di mana tadi Ceng Ceng rebah terbelenggu telah kosong.

"Celaka....!" Lauw Hong Kui berteriak. "Dia sudah kubelenggu!"

"Kau tolol....!" Hek-tiauw Lo-mo berseru dan meloncat kejuar lagi, mendorong sumoinya yang menghalangi jalan. Dia kembali ke tempat kebakaran dan mencari-cari, akan tetapi tidak melihat lagi bayangan Suma Kian Bu.

Sambil memaki-maki penuh kemarahan, Hek-tiauw Lo-mo cepat berlari menuju ke tempat tahanan Topeng Setan dan dia masih melihat para penjaganya lengkap di situ karena mereka tidak berani meninggalkan tawanan penting ini. Dan Topeng Setan sendiri masih duduk bersila dalam keadaan terbelenggu di dalam kamar tahanan.

Kita tinggalkan dulu Hek-tiauw Lomo yang marah-marah melihat hilangnya Ceng Ceng dan mari kita ikuti pengalaman Ceng Ceng. Tadi ketika dia melihat Kian Bu muncul di depan kamar kemudian dia yang sudah tertotok itu dibelenggu oleh Mauw Siauw Mo-li, melihat betapa mereka berdua bicara dengan sikap mesra sekali, hati Ceng Ceng mendongkol bukan main. Tak disangkanya bahwa putera Pendekar Super Sakti atau masih terhitung "paman" tirinya itu, kini menjadi sahabat baik dari Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya. Ketika dulu dia melihat Suma Kian Bu berdua dengan Lauw Hong Kui di Telaga Sungari, dia masih belum menduga jelek dan mengira bahwa mereka itu secara kebetulan saja bertemu di telaga karena keduanya sama memperebutkan anak naga. Akan tetapi sekarang, dia menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo dan Kian Bu berada di situ sebagai sahabat Mauw Siauw Mo-li! Hampir saja Ceng Ceng tidak dapat mempercayai pandangan matanya sendiri. Sungguh tidak mungkin kalau pemuda perkasa itu, yang dia tahu merupakan keturunan pahlawan dan pendekar besar, yang bersama dengan Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee telah ikut berjuang membasmi pemberontak, kini tiba-tiba menjadi sahabat Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li, bekas kaki tangan pemberontak dan orang-orang yang pantas digolongkan dengan bangsa iblis jahat! Teringat dia akan teriakan Suma Kian Bu ketika dia memperebutkan anak naga dengan Mauw Siauw Mo-li di atas tiang layar patah itu. Pemuda itu berteriak, "Enci, biarkan dia mendapatkan ular itu....!" Teriakan ini ditujukan kepada Mauw Siauw Mo-li yang disebut "enci" oleh Kian Bu. Dan teriakan itu saja sudah membuktikan bahwa Kian Bu berpihak kepadanya, minta kepada iblis betina itu agar menyerahkan anak naga kepadanya. Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mau sehingga akhirnya anak ular naga itu putus ekornya.

Akan tetapi mengapa sekarang Kian Bu seolah-olah diam saja melihat dia ditawan? Dan mengapa kelihatannya antara Kian Bu dan iblis betina itu begitu mesra? Iblis betina itu cantik sekali memang cantik, menarik dan genit penuh daya pikat. Diam-diam Ceng Ceng mengeluh. Mungkinkah "paman" tirinya itu yang masih muda belia terjebak dalam pikatan si cantik genit? Ceng Ceng gelisah bukan main, gelisah memikirkan keselamatan Topeng Setan. Pamannya yang bertopeng buruk itu, yang telah berkorban sedemikian rupa untuk dia, sekarang kembali berada dalam ancaman maut. Ceng Ceng memejamkan matanya mengusir kengerian hatinya yang penuh rasa iba kepada Topeng Setan. Luka di pundaknya karena lengannya buntung itu masih belum sembuh dan sekarang harus menjadi tawanan orang-orang sejahat iblis. Sudah matikah Topeng Setan? Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar membasahi pipinya. Topeng Setan mati? Dunia tak ada artinya lagi baginya. Karena kalau orang itu mati dia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi dan dia tidak akan dapat menahan derita hidup akan bosan dengan hidup ini. Topeng Setan merupakan harapan satu-satunya, seolah-olah merupakan pegangan terakhir baginya dalam kehidupannya yang penuh derita itu. Dia sejak dahulu hanyut dalam gelombang kesengsaraan dan baru sekarang dia mendapat pegangan yang dapat menahan kehanyutannya,

pegangan seorang yang dapat dipercayanya sepenuhnya, yang dia yakin amat mencintanya, mungkin menganggapnya sebagai anak sendiri. Kalau dia benar sudah mati, dia pun enggan menanggung derita hidup sendirian saja!

Tiba-tiba jendela kamar itu terbuka dari luar, dan sesosok bayangan yang cepat dan ringan sekali melayang masuk. Ang Tek Hoat! Ceng Ceng memandang dengan jantung berdebar ketika melihat betapa jari-jari tangan yang mengandung kekuatan sin-kang hebat itu mematah-matahkan belenggu kaki tangannya, kemudian dia ditotok bebas.

"Tek Hoat...."

"Sssssttt, mereka sedang sibuk dengan api, mari kita pergi!" Tanpa menanti jawaban dia menyambar lengan Ceng Ceng dan mengajaknya melompat lari dan menyelinap di antara bayangan rumah-rumah di situ lalu langsung melarikan diri secepat mungkin keluar dari dusun Nam-lim.

"Tek Hoat, berhenti dulu!" Tiba-tiba Ceng Ceng berkata dan memegang lengan pemuda itu.

Tek Hoat berdiri dan memandang wajah gadis itu di bawah sinar bulan yang bersinar terang di malam itu. "Kita harus kembali!" kata Ceng Ceng dengan suara tetap. "Ehh....?" Tek Hoat menjadi terheran sekali. "Susah payah aku membebaskan engkau dan melarikan diri, sekarang engkau hendak kembali ke sana? Apa artinya ini?"

"Aku tidak boleh melarikan diri sendiri saja sedangkan Topeng Setan masih tertawan di sana. Kita harus menolong dan membebaskannya."

Tek Hoat yang tidak tahu menahu akan segala pengalaman Ceng Ceng bersama Topeng Setan, tidak tahu betapa Topeng Setan telah kehilangan sebelah lengannya ketika membela Ceng Ceng, diam-diam menjadi kagum sekali, mengira bahwa gadis ini mempunyai rasa setia kawan yang amat besar.

"Ceng Ceng, kaukira mudah saja aku membebaskanmu tadi? Kalau tidak ada bantuan Suma Kian Bu yang membakar ruangan depan, kiranya belum tentu aku dapat membebaskanmu semudah itu dari tangan orang macam Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya serta kaki tangannya, orang-orang Pulau Neraka itu. Dan sekarang kalau kita kembali ke sana berarti kita akan memasuki guha naga yang amat berbahaya. Apalagi mereka tentu telah bersiap-siap...."

"Tidak peduli!" Ceng Ceng membentak dan mencari-cari saputangan dari balik bajunya. Saputangan milik Tek Hoat yang selama ini selalu dibawanya karena benda itu merupakan "jimat" baginya kalau berhadapan dengan pemuda ini. "Ang Tek Hoat, kau berani membantah perintahku? Kau.... kau...." Dia bingung karena saputangan itu tidak berada lagi di kantongnya dan mendengar pemuda itu tertawa, dia memandang dan.... ternyata saputangannya itu telah berada di tangan pemuda itu! Agaknya ketika menolongnya tadi, Tek Hoat tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk merampas kembali saputangannya!

"Ceng Ceng, kau tidak lagi dapat memaksaku melakukan sesuatu."

"Keparat, kau jahat!" Ceng Ceng membentak. "Kalau begitu sudahlah, memang kau orang jahat dan tidak patut menjadi temanku. Biarlah aku akan menolongnya sendiri!" Ceng Ceng hendak membalikkan tubuhnya, akan tetapi Tek Hoat cepat menahannya.

"Nanti dulu....! Ceng Ceng, apa kau sudah melupakan kakak angkatmu, Puteri Bhutan?"

"Syanti Dewi....? Apa maksudmu?" Ceng Ceng terkejut dan memandang tajam.

"Dia ditawan oleh Raja Ta mbolon. Aku hendak menolongnya akan tetapi Tambolon menodong leher puteri itu dan mengatakan bahwa dia mau membebaskan Syanti Dewi asal engkau mau menyerahkan diri kepadanya sebagai tukarnya."

"Lalu.... lalu bagaimana maksudmu? Mengapa dia hendak menangkap aku?"

"Hemm.... aku telah mendengar bahwa engkau berhasil memperoleh anak naga, maka tentu dia hendak minta mustika itu darimu. Maka, untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi, kita harus menggunakan akal. Engkau pura-pura menjadi tawananku dan kutukarkan dengan Syanti Dewi, setelah puteri yang lemah itu berada padaku, maka aku dapat membantumu untuk meloloskan dia dari Tambolon."

Ceng Ceng menjadi girang sekali bahwa dia akan dapat menolong kakak angkatnya dan akan dapat bertemu dengan puteri yang telah lama sekali berpisah darinya itu, akan tetapi dia menjadi bimbang karena teringat kepada Topeng Setan yang masih menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo.

"Akan tetapi.... bagaimana dengan Paman Topeng Setan....? Kita harus menyelamatkan dia lebih dulu...."

"Jangan khawatir, Ceng Ceng. Setelah membantuku membakar ruangan depan memancing perhatian musuh, dia tentu akan menolong Topeng Setan. Pula, aku yakin bahwa Hek-tiauw Lo-mo tidak akan membunuh Topeng Setan sebelum dapat menangkapmu kembali. Engkaulah yang dibutuhkan olehnya, bukan dia. Tentu dia dapat dipergunakan sebagai sandera. Marilah, aku khawatir kita akan terlambat menolong Syanti Dewi!"

Mendengar ini, terpaksa Ceng Ceng mengikuti pemuda itu menuju ke dusun di tepi Sungai Ta-cing di mana Syanti Dewi menjadi tawanan Raja Tambolon. Untung bahwa puteri ini dianggap orang penting sekali setelah gerombolan ini bertemu dan berjanji dengan Tek Hoat yang akan ditukar dengan Ceng Ceng sehingga Syanti Dewi memperoleh perlakuan yang baik dan sopan, karena kalau tidak, sukar dibayangkan bagaimana nasib puteri jelita ini di tangan seorang biadab seperti Tambolon!

Hari masih pagi sekali dan penduduk dusun itu masih belum bangun ketika Tek Hoat dan Ceng Ceng tiba di dusun itu. "Engkau harus pura-pura menjadi tawananku, biar kutotok jalan darahmu. Kalau hanya pura-pura biasa, tentu tidak akan dapat mengelabui Tambolon dan pembantu-pembantunya yang lihai," kata Tek Hoat. Ceng Ceng mengangguk dan Tek Hoat lalu menotok pundak dara itu sehingga menjadi lemas dan dipanggulnya tubuh Ceng Ceng, dibawa berloncatan ke atas genteng menuju ke tempat Tambolon dan gerombolannya bermalam.

"Tambolon, aku sudah berhasil menangkap Nona Lu Ceng. Hayo kaukeluarkan Puteri Syanti Dewi!" Tek Hoat berteriak ketika dia tiba di depan rumah yang ditinggali gerombolan itu.

Tambolon dan teman-temannya memang sudah siap menanti kedatangan pemuda ini sejak Tek Hoat pergi dengan janjinya untuk menangkap Ceng Ceng. Tambolon sendiri yang keluar, diantar oleh dua orang pengawalnya, mendorong Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak ketika mendengar nama Lu Ceng disebut-sebut. Ketika dia melihat Ang Tek Hoat memondong tubuh Ceng Ceng yang dikenalnya karena di depan rumah itu terdapat penerangan lampu yang cukup terang sehingga dia dapat melihat wajah Ceng Ceng, dia berteriak kaget dan girang, "Adik Candra....!"

Akan tetapi Tambolon menangkap lengannya ketika puteri ini hendak lari menghampiri. Ceng Ceng sendiri merasa girang bukan main dan tak terasa lagi dua butir air mata menetes turun ketika dia melihat puteri itu bercucuran air mata memandang kepadanya. Dia mulai merasa curiga karena Tek Hoat belum juga membebaskan totokannya.

"Tambolon, kaulemparkan Sang Puteri kepadaku dan aku pun akan melemparkan Nona Lu Ceng kepadamu!" Tek Hoat berseru karena dianggapnya bahwa cara inilah yang paling baik dan aman agar dia tidak dicurigai raja liar itu.

"Hemm, pemuda sombong. Kaukira aku ini orang macam apa? Seorang raja sekali mengeluarkan janji, tidak akan ditelannya kembali. Nah, terimalah!" Tambolon yang tadi memegang lengan Syanti Dewi, kini mengangkat puteri itu dan melemparkannya ke arah Tek Hoat. Pemuda ini pun melemparkan tubuh Ceng Ceng yang masih lemas tertotok itu ke arah Tambolon.

"Adik Candra....!"

"Enci Syanti....!"

Dua orang gadis itu hanya mampu memanggil nama masing-masing ketika mereka terlempar saling berpapasan. Tek Hoat cepat menyambar tubuh Syanti Dewi dan didukungnya lalu dibawanya lari secepat mungkin dari tempat berbahaya itu.

"Ang Tek Hoat.... kau harus menolong Adik Candra...." Syanti Dewi berkata ketika melihat betapa dia dilarikan secepat itu meninggalkan Ceng Ceng.

"Harus satu demi satu, Sang Puteri. Menyelamatkan kalian berdua sekaligus tidak mungkin," kata Tek Hoat yang tentu saja membohong karena baginya, yang terpenting adalah menyelamatkan puteri yang dicintanya ini. Dia juga suka sekali kepada Ceng Ceng dan tidak pernah dia mempunyai pikiran jahat terhadap gadis itu, akan tetapi sekali ini dia dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu Ceng Ceng atau Syanti Dewi dan tentu saja dia memberatkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh hati itu.

"Habis, bagaimana dengan Candra Dewi....?" Syanti Dewi membantah.

"Jangan khawatir, Sang Puteri. Setelah saya menyelamatkan paduka, tentu saya akan berusaha untuk menolongnya."

Agak lega rasa hati Syanti Dewi, sungguhpun dia masih mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu di tangan raja liar Tambolon yang dia tahu amat jahat dan kejam. "Ke mana aku hendak kaubawa....?" Kembali dia bertanya ketika melihat pemuda itu melakukan perjalanan cepat sekali, menuju ke utara.

"Ke kota raja," jawab Tek Hoat pendek.

Tentu saja Syanti Dewi terkejut bukan main. Dia baru saja dilarikan oleh Puteri Milana dari istana kaisar. Dia adalah seorang pelarian. Bagaimana kini pemuda ini hendak membawanya kembali ke kota raja?

"Tek Hoat....! Apa.... apa yang hendak kaulakukan ini....?"

Melihat puteri itu memandangnya dengan pandang mata penuh kecurigaan, ketakutan dan ketidakpercayaan, Tek Hoat yang menghentikan larinya itu lalu menurunkannya dan dia menarik napas panjang. "Puteri Syanti Dewi, saya memang hanya seorang pemuda bodoh, kasar dan jahat akan tetapi.... harap paduka tenangkan hati karena saya.... saya yang sesungguhnya seorang jahat ini, pada saat ini sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap paduka. Saya ingin membawa paduka berlindung pada Perdana Menteri Su yang saya tahu adalah satu-satunya orang yang dapat dipercaya di kota raja, di samping Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana. Akan tetapi, Jenderal Kao Liang sibuk dengan urusan di luar kota raja, Puteri Milana telah pergi meninggalkan kota raja, satu-satunya jalan hanyalah berlindung kepada Perdana Menteri Su. Engkau akan aman di sana, Puteri. Setelah itu, barulah saya akan pergi menolong Ceng Ceng...."

Melihat sikap pe muda itu, melihat pandang matanya yang penuh kedukaan, jelas terbayang pada wajah yang tampan itu betapa sakit rasa hati pemuda itu karena dia telah mencurigainya. Syanti Dewi lalu menghela napas. "Aku yakin bahwa engkau adalah seorang yang amat gagah perkasa dan dapat kupercaya sepenuhnya, Ang Tek Hoat. Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan ke kota raja, dan aku menyerahkan semua nasibku ke tanganmu, juga aku mengharapkan bantuanmu untuk keselamatan adik Candra Dewi."

Tek Hoat menjadi lega dan girang hatinya. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan hatinya daripada kehilangan kepercayaan puteri yang dicintanya ini. Dia tahu bahwa dia sama sekali tidak berharga bagi puteri jelita ini, akan tetapi setidaknya kalau dia sudah dapat melakukan sesuatu bagi puteri ini, apalagi menyelamatkan puteri ini dari bencana, hatinya sudah akan merasa bahagia. Akan tetapi kalau dia teringat betapa puteri ini mencinta Suma Kian Bu, dan hal itu memang sudah sewajarnya mengingat bahwa Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, hatinya seperti ditusuk rasanya. Dan dia akan menegur pemuda itu karena dia melihat pemuda itu bermain gila dengan seorang busuk seperti Mauw Siauw Mo-li, dan kalau perlu dia akan menggunakan kekerasan untuk memperingatkan pemuda ltu agar menjadi orang berharga untuk dicintai seorang seperti Syanti Dewi!

"Agar dapat cepat, terpaksa saya harus memondong paduka...."

"Terserah kepadamu, Tek Hoat. Aku percaya sepenuhnya kepadamu," jawab Syanti Dewi dan Tek Hoat lalu memondong puteri itu dengan hati-hati dan kembali melanjutkan perjalanan sambil berlari cepat. Bukan main rasa bangga dan bahagia hatinya. Puteri yang dicintanya itu telah dipondongnya! Gemetar rasa seluruh tubuhnya ketika dadanya dan tangannya merasakan kehangatan dan kelembutan tubuh yang dipondongnya, hidungnya mencium keharuman yang membuat semangatnya melayang. Dia merasa terharu sekali!

Keharuan pertama kali yang pernah dirasakan oleh pemuda yang digembleng oleh keadaan dan menjadi seorang yang keras ini.

Dengan mudah Tek Hoat dapat melompati pagar tembok di sekeliling istana Perdana Menteri Su setelah dia tiba di kota raja pada malam hari berikutnya. Ketika dia tiba di ruangan dalam, dua orang pengawal membentaknya dan menghadangnya dengan pedang di tangan.

"Aku bukan orang jahat...., kalian tentu mengenal puteri ini, lekas kalian laporkan kepada Perdana Menteri bahwa aku dan puteri ingin menghadap sekarang juga....!"

Dua orang pengawal itu adalah pengawal-pengawal setia dari Perdana Menteri Su. Mereka tentu saja mengenal keadaan dan tahu akan hal ihwal Puteri Syanti Dewi dari Bhutan ini. Melihat puteri itu yang kini menjadi pelarian muncul bersama seorang pemuda di tengah ruangan istana seperti iblis saja, mereka terkejut dan seorang dari mereka cepat berlari dan mengetuk pintu kamar Perdana Menteri Su setelah dia memanggil lima orang pengawal lain untuk mengurung pemuda itu.

Perdana Menteri Su terkejut sekali mendengar laporan bahwa Puteri Syanti Dewi muncul bersama seorang pemuda lihai dan hendak menghadapnya. Cepat dia berpakaian dan keluar dari kamarnya. Ketika melihat perdana menteri itu datang, Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi yang tadinya beristirahat dan duduk di atas bangku, dijaga dari jauh oleh para pengawal, cepat berdiri dan Tek Hoat memberi hormat kepada perdana menteri tua itu.

Perdana Menteri Su mengangkat tangan kanannya, memandang Syanti Dewi lalu bertanya dengan suara serius dan pandang mata penuh selidik kepada Tek Hoat. "Siapakah kau dan bagaimana kau dapat datang bersama Puteri Bhutan ini di waktu tengah malam di sini?"

"Saya adalah Ang Tek Hoat...."

"Hemm.... aku sudah pernah mendengar namamu dari Puteri Milana...." Kakek bangsawan itu mengangguk-angguk dan memberi isyarat dengan tangannya agar para pengawal mundur dan menjaga dari jauh saja, jangan ikut mendengarkan percakapan mereka. Perdana Menteri Su adalah seorang yang bijaksana dan cerdas sekali. Begitu melihat Puteri Syanti Dewi dan sikap puteri ini, maka dia dapat yakin bahwa pemuda ini bukan orang berbahaya, apalagi setelah dia mendengar namanya, maka tidaklah perlu sekali para pengawal menjaga keselamatannya dan agaknya yang akan disampaikan oleh pemuda ini tentulah hal yang amat penting maka dia menyuruh para pengawal mundur.

"Ceritakan apa kepentingan kalian," kemudian perdana menteri itu berkata setelah dia duduk di atas sebuah bangku di depan dua orang muda itu.

"Saya baru membebaskan Puteri Syanti Dewi dari tangan raja liar Tambolon...."

"Ahh....? Si keparat itu berani berada di dekat kota raja?"

Tek Hoat lalu menceritakan di mana adanya Tambolon dan para pembantunya, yaitu di desa dekat Sungai Ta-cin di selatan kota raja. Dia minta agar perdana menteri sudi melindungi Syanti Dewi, sedangkan dia sendiri hendak pergi menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan pula yang masih berada di dalam tangan Hek-tiauw Lo-mo.

"Hemm, tentu saja aku akan membantu Sang Puteri ini. Kebetulan sekali siang tadi aku bertemu dengan rombongan utusan dari Kerajaan Bhutan. Aku akan menyerahkan Sang Puteri kepada mereka agar dapat dikawal kembali ke Bhutan, dan aku akan menghubungi Jenderal Kao agar raja liar Tambolon dan bekas para pembantu pemberontak itu dapat dibasmi!"

Tek Hoat menjadi girang sekali, juga Puteri Syanti Dewi girang bukan main mendengar bahwa rombongan utusan ayahnya yang dipimpin Panglima Pengawal Jayin sendiri sudah berada di kota raja! Tek Hoat lalu memberi hormat kepada Perdana Menteri Su dan menghaturkan terima kasihnya, kemudian dia memberi hormat kepada Syanti Dewi yang cepat dibalas oleh puteri itu. Sejenak mereka berpandangan, dan Tek Hoat berkata dengan suara gemetar, "Selamat jalan, Sang Puteri. Semoga Thian selalu melindungi paduka dengan berkah yang berlimpah-limpah sehingga paduka akan hidup bahagia selalu."

Terharu rasa hati Syanti Dewi. Dia sudah tertarik sekali kepada pemuda ini sejak pemuda ini menyelamatkan dirinya dari Pangeran Liong Khi Ong, apalagi setelah mendengar bahwa pemuda inilah yang dahulu menyamar sebagai tukang perahu. Kini lagi-lagi pemuda itu menolongnya dari ancaman mengerikan di tangan Tambolon. Pemuda ini dikabarkan jahat sekali, dikabarkan menjadi kaki tangan pemberontak, akan tetapi baginya, pemuda ini amat baik, amat gagah perkasa dan menimbulkan rasa iba di hatinya. Ingin dia menceritakan kepada pemuda ini tentang hal ibu pemuda itu yang pernah dijumpainya ketika Ang Siok Bi bertemu dengan Milana, dan ingin dia menceritakan rahasia tentang diri pemuda ini. Akan tetapi dia merasa tidak enak untuk bercerita di depan perdana menteri, juga dia masih sangsi apakah rahasia itu setelah dibukanya tidak akan menghancurkan hati pemuda itu. Karena ini maka siang tadi dia selalu meragu dan belum menceritakan apa yang diketahuinya tentang pemuda ini kepada Tek Hoat. Dan sekarang telah terlambat. Kalau dia mengajak pemuda itu bicara empat mata, tentu amat tidak baik dan akan menimbulkan prasangka yang bukan-bukan terhadap perdana menteri.

"Terima kasih...., Tek Hoat. Aku akan selalu ingat bahwa sudah dua kali engkau menyelamatkan aku dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut. Terima kasih...."

Wajah Tek Hoat berseri sejenak mendengar ini, kemudian dia memandang dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kemesraan, namun hanya sekejap saja karena dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi cepat sekali dari istana itu. Sekali berkelebat tubuhnya sudah mencelat keluar dan naik ke atas genteng lalu lenyap.

Perdana Menteri Su menghela napas panjang. "Seorang pemuda yang hebat sekali kepandaiannya...." Dia lalu mengajak Sang Puteri Syanti Dewi untuk menemui isterinya dan memberinya sebuah kamar untuk mengaso dan memerintahkan sepasukan pengawal untuk menjaga di luar kamar puteri itu dengan ketat. Malam itu juga dia mengabarkan kepada Panglima Jayin yang bermalam di sebuah rumah penginapan di kota raja.

Syanti Dewi tidak dapat tidur di dalam kamarnya. Wajah Ang Tek Hoat selalu terbayang di depan matanya, terutama sekali wajah pemuda itu pada saat terakhir hendak meninggalkannya. Pandang mata itu! Tidak salahkah dia? Benarkah pemuda itu menolongnya dengan pengorbanan dirinya, sampai hampir tewas ketika melawan para pengawal Liong Khi Ong, didasarkan rasa cinta kasih kepadanya? Ah, tidak mungkin. Tentu karena pemuda itu mulai insyaf akan kesesatannya, setelah dia membantu pemberontak lalu dia insyaf dan bahkan menentang pemberontak, membunuh dalang pemberontak Pangeran Liong Khi Ong! Mengapa dia selalu terkenang kepada pemuda itu? Sedangkan dia sama sekali tidak tersentuh hatinya ketika pemuda seperti Suma Kian Bu menyatakan cinta kasih kepadanya? Dibandingkan dengan Ang Tek Hoat, tentu saja Suma Kian Bu menang jauh! Pemuda itu putera Pendekar Super Sakti, adik kandung Puteri Milana, cucu Kaisar! Akan tetapi entah bagaimana, dia tidak mempunyai perasaan cinta terhadap pemuda yang amat tampan dan gagah itu, yang dalam pandangannya masih seperti kanak-kanak saja, sungguhpun dia amat suka kepada Suma Kian Bu, rasa suka yang lebih mirip rasa suka seorang kakak kepada adiknya! Rasa sayang persaudaraan. Dan tentang cinta kasih terhadap seorang pria, agaknya baru satu kali pernah dia alami, yaitu terhadap Gak Bun Beng! Sungguhpun kini dia insyaf bahwa tidak mungkin dia dapat berjodoh dengan pendekar setengah tua yang amat menarik hatinya, mengagumkan hatinya dan yang dianggapnya sebagai sebuah puncak di Pegunungan Himalaya, tenang dan mendalam seperti lautan, dan yang dapat dipercaya seratus prosen itu.

Keinsyafan itu membuat dia mengubur rasa cinta kasih itu karena dia pun maklum bahwa seorang laki-laki sehebat Gak Bun Beng, sekali menjatuhkan cinta kasihnya, yaitu kepada Puteri Milana, selama hidupnya tidak akan dapat mencinta seorang wanita lain, biarpun dia tahu bahwa pendekar besar itu pun amat tertarik kepadanya dan amat mencintanya. Keinsyafan ini membuat cinta kasihnya terhadap Gak Bun Beng menjadi cinta kasih terhadap seorang paman, ayah atau guru yang amat dihormati dan dijunjung tinggi, dan dia hanya mengharapkan pendekar itu akan dapat berkumpul kembali dengan Puteri Milana karena dia akan ikut merasa gembira jika melihat pria perkasa itu berbahagia hidupnya. Kini, melihat Tek Hoat yang pendiam dan kadang-kadang pandai bicara, kadang-kadang muram, kadang-kadang gembira, dia melihat pula adanya sifat-sifat yang mendekati sifat-sifat Gak Bun Beng. Pemuda ini menimbulkan kepercayaan besar dalam hatinya, dan pemuda ini pun membayangkan sebagai sebongkah batu karang  yang besar dan kokoh kuat, yang akan dapat merupakan seorang pelindung yang boleh diandalkan. Juga seperti Gak Bun Beng, pemuda ini seolah-olah hidup di dalam alam penderitaan, alam kedukaan dan penyesalan.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Perdana Menteri Su sudah memanggilnya. Kemudian mengatakan bahwa perdana menteri itu telah melakukan kontak dengan para utusan Bhutan yang dipimpin oleh Panglima Jayin.

"Karena engkau masih merupakan seorang pelarian istana, maka untuk mencegah timbulnya keributan, terutama sekali untuk mencegah terjadinya pencegatan-pencegatan seperti yang terjadi ketika kau dikawal pasukan Jenderal Kao, maka sebaiknya kalau engkau menyamar sebagai seorang wanita biasa, Sang Puteri."

Demikianlah, tak lama kemudian, dua orang pengawal tua mengantarkan seorang gadis yang cantik sekali akan tetapi berpakaian biasa seperti pakaian semua wanita sederhana, rambutnya juga dikuncir ke belakang dan dia berjalan keluar dari istana perdana menteri melalui pintu belakang.

Panglima Jayin yang menyambutnya di jalan, tidak memberi hormat melainkan memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri gembira hatinya dapat bertemu dengan puteri junjungannya itu. Kemudian dia menggantikan dua orang pengawal itu, mengantarkan Sang Puteri menuju ke sebuah rumah penginapan kecil di mana anak buahnya sudah berkumpul. Para anak buah panglima pengawal Bhutan ini pun berpakaian seperti orang-orang biasa dan mereka segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Syanti Dewi ketika puteri yang cantik ini dalam pakaian wanita biasa memasuki rumah penginapan itu diantar oleh Panglima Jayin yang kelihatan tinggi tegap dan gagah dalam pakaian penyamarannya seperti orang biasa.

Dengan sehelai surat dari Perdana Menteri Su di dalam sakunya, Panglima Jayin dan rombongannya dapat mengawal Sang Puteri mengendarai sebuah kereta keluar dari kota raja tanpa ada yang berani mengganggu dan mulailah Puteri Syanti Dewi yang kini dikawal oleh para pengawalnya sendiri dari Bhutan itu melakukan perjalanan pulang ke Bhutan. Tanpa dapat dicegah lagi, teringat betapa dia akan pulang ke Bhutan dan mungkin tidak akan dapat bertemu dengan orang-orang di dunia timur ini kembali, air matanya menetes-netes di sepanjang kedua pipinya. Dia tidak tahu jelas siapa yang ditangisinya, akan tetapi wajah orang-orang yang selama ini baik sekali kepadanya terbayang semua, terutama sekali wajah Gak Bun Beng, Jenderai Kao Liang, Puteri Milana, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee, dan terutama sekali wajah Ang Tek Hoat.

******

"Ha-ha-ha, akhirnya engkau terjatuh pula ke dalam tanganku, nona manis. Ha-ha-ha!" Raja Tambolon tertawa gembira ketika dia memondong tubuh Ceng Ceng masuk ke ruangan dalam rumah yang dijadikan tempat tinggal sementara itu, diikuti oleh Si Petani Maut Liauw Kui, Si Siucai Yu Ci Pok, dan lima orang Loan-nga Mo-li. Nenek ahli sihir Durganini tidak nampak sekali ini karena seperti telah diceritakan di bagian depan, nenek itu berjumpa dengan bekas suaminya, See-thian Hoat-su dan pergi bersama kakek ini dan Teng Sian In yang menjadi murid See-thian Hoat-su.

Ceng Ceng kini mengerti bahwa dia telah ditinggalkan oleh Tek Hoat begitu saja! Dia telah ditipu oleh Tek Hoat dan dia dijadikan barang tukaran dengan Syanti Dewi. Celaka pikirnya. Pemuda itu benar-benar luar biasa jahat dan curangnya. Untuk mendapatkan Syanti Dewi, pemuda itu telah menyelamatkannya dari tangan Hek-tiauw Lo-mo akan tetapi kiranya bukan ditolong untuk dibebaskan, melainkan untuk diserahkan kepada Tambolon sebagai penukar diri Syanti Dewi. Terjatuh ke tangan pemuda berhati palsu seperti itu, tentu kakak angkatnya itu akan celaka, pikirnya penuh kekhawatiran. Dan dia sendiri, dia baru saja terlepas dari tangan Hek-tiauw Lo-mo kini terjatuh ke tangan Tambolon, sama saja dengan terlepas dari mulut harimau terjatuh ke dalam cengkeraman seekor srigala!

"Tambolon, aku tahu bahwa engkau adalah seorang laki-laki yang berjiwa dan berwatak pengecut! Kalau memang engkau yang suka mengangkat diri menjadi raja, benar-benar seorang yang jantan, hayo kaubebaskan aku dan kita bertanding sampai selaksa jurus sampai seorang di antara kita menggeletak mampus!" Ceng Ceng memaki.

"Ha-ha-ha! Susah payah aku mendapatkan dirimu, sampai-sampai aku harus mengorbankan dan kehilangan Puteri Bhutan yang denok ayu, masa sekarang harus membebaskan kau dan bertanding lagi. Sayang kalau sampai aku harus membunuhmu begitu saja, nona manis," Tambolon tertawa-tawa, akan tetapi kemudian tiba-tiba sikapnya berubah, wajahnya bengis dan dengan kasar dia mendudukkan tubuh Ceng Ceng yang masih lemas tertotok itu ke atas kursi di sebelahnya, memegangi pundak dara itu dan membentak.

"Hayo katakan di mana adanya anak ular naga itu dan serahkan kepadaku!"

Hemm, kiranya untuk itu dia menangkapku dan rela membebaskan Syanti Dewi, pikirnya. Tahulah kini Ceng Ceng bahwa dia tidak akan dapat hidup lagi. Seperti juga Hek-tiauw Lo-mo, Tambolon ini agaknya berkeras ingin memiliki anak naga dan karena anak naga itu telah dimakannya habis, maka tentu seperti juga Hek-tiauw Lo-mo, raja liar ini akan membunuhnya dan minum semua darahnya yang telah mengandung khasiat dari anak naga itu. Dia tidak bisa mengharapkan pertolongan lagi. Kedua orang pembantunya yang boleh diandalkan, keduanya sudah tak dapat diharapkannya lagi. Tek Hoat telah menipunya, tak mungkin pemuda ini dapat membantunya. Dan Topeng Setan masih berada di dalam tahanan Hek-tiauw Lo-mo, entah masih hidup atau sudah mati. Tidak ada lagi seorang manusia yang akan mampu menyelamatkannya, maka dia lalu menjawab, "Aku tidak tahu!" dan menutup mulut dan matanya, seperti orang sedang bersamadhi.

"Keparat, apakah kau ingin kusiksa untuk mengaku?" Tambolon berteriak marah.

"Ong-ya, saya mendengar bahwa gadis ini menderita luka parah dan kalau dia mencari anak naga itu tentu untuk mengobatinya. Setelah memperoleh anak naga itu dengan demikian susah payah, di mana lagi disimpannya kalau tidak di dalam perutnya? Lihat, wajahnya demikian merah dan sehat, tentu karena khasiat anak naga itu." Tiba-tiba Si Siucai Maut Yu Ci Pok berkata.

"Kata-kata Yu-hiante ada benarnya dan untuk membuktikannya, tidak ada jalan lain kecuali memeriksa darahnya," kata pula Liauw Kui Si Petani Maut.

"Aha, kalian benar! Tentu telah ditelannya anak naga itu, maka Hek-tiauw Lo-mo menangkapnya. Aku tahu kebiasaan manusia iblis itu, suka sekali makan daging dan minum darah manusia. Daging gadis manis ini tentu lunak dan darahnya tentu manis apalagi kalau mengandung khasiat anak naga. Belenggu dia dan bebaskan totokannya!"

Liauw Kui dan Yu Ci Pok cepat membelenggu kaki dan tangan Ceng Ceng pada kursi yang didudukinya dengan tali sutera yang amat kuat, kemudian Liauw Kui membebaskan totokan pada pundak dara itu. Akan tetapi Ceng Ceng tetap menutup mulut dan matanya, seolah-olah tidak merasakan itu semua.

Gadis ini memang sedang memusatkan perhatiannya. Sudah beberapa hari ini semenjak dia minum sari dari anak ular naga itu, dia merasa sesuatu bergerak-gerak aneh di dalam perutnya, gerakan yang disertai hawa amat panas akan tetapi kadang-kadang juga amat dingin. Akan tetapi gerakan-gerakan itu segera menghilang maka dia melupakannya. Sekarang, kembali perutnya bergerak-gerak dan diam-diam dia bergidik. Jangan-jangan anak naga yang hanya diminum perasannya itu kini hidup kembali dan bergerak-gerak di dalam perutnya! Makin lama gerakan-gerakan itu makin menghebat dan seolah-olah ada tenaga mujijat yang hidup di dalam rongga perutnya dan yang kini minta jalan keluar!

Ceng Ceng menjadi khawatir sekali karena perutnya seperti hendak pecah rasanya, ditekan oleh hawa mujijat yang berputar-putar di perutnya itu. Maka dia lalu mengerahkan sin-kangnya, mengerahkan tenaga dari pusarnya untuk menekan dan menindih tenaga liar mujijat itu. Akan tetapi betapa heran dan kagetnya ketika hawa liar itu malah menyerbu ke dalam pusarnya, tak terkendalikan lagi, demikian kuatnya bergerak-gerak di dalam pusar hendak menerobos ke atas!

Pada saat itu, Tambolon sudah mengeluarkan sebatang jarum, hendak menusuk pergelangan lengan Ceng Ceng untuk mengeluarkan darah gadis itu dan memeriksanya apakah benar darah gadis itu sudah lain dari biasa dan telah mengandung khasiat mujijat dari anak ular naga. Dan Ceng Ceng tidak tahu akan itu semua karena dia sendiri sedang berjuang melawan hawa liar mujijat yang kini dari dalam rongga perut memasuki pusarnya dan akhirnya dia tidak dapat menahan lagi, membuka saluran dari pusarnya sehingga hawa mujijat itu kini menjalar di seluruh tubuhnya, membuat tubuhnya terasa panas seperti dibakar dan keringatnya

bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.

"Cusss....!" Tambolon menusukkan jarumnya ke pergelangan lengan Ceng Ceng.

"Krakkk....!" Jarum itu mendadak patah seperti ditusukkan pada baja yang keras.

"Ahhhh....!" Tambolon terkejut bukan main dan juga kagum karena dia mengira bahwa gadis itu telah menggunakan sin-kang yang sedemikian kuatnya sehingga kulit lengannya mampu mematahkan jarum baja.

"Keparat, dia melawan! Totok dia agar tidak mampu mengerahkan sin-kang!" katanya kepada Liauw Kui. Si Petani Maut ini selain amat lihai ilmu silat dan senjata pikulannya, juga terkenal sebagai ahli menotok jalan darah yang lihai sekali. Mendengar perintah rajanya, dia lalu menggerakkan tangan kanannya, dua jari yaitu telunjuk dan jari tengahnya menusuk ke arah pundak kini Ceng Ceng, di bagian jalan darah Kin-ceng-hiat.

"Takkk! Aughhh....!" Liauw Kui terhuyung ke belakang sambil memegangi tangan kanannya. Dua batang jari tangannya seperti akan patah-patah rasanya dan hawa panas yang amat hebat menyerangnya dari pundak gadis itu, membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh dan kehilangan tenaga!

Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran melihat keanehan ini. Gadis itu masih duduk di atas kursi dalam keadaan terbelenggu, dan memejamkan matanya, alisnya berkerut, semua tubuhnya mengeluarkan hawa panas. Jelas bahwa gadis itu tidak seperti sedang mengerahkan tenaga, akan tetapi mengapa jarum menjadi patah dan totokan Si Petani Maut menjadi gagal?

Pada saat itu Ceng Ceng memang sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Telinganya seperti penuh dengan bunyi mengaung-ngaung dan biarpun kedua matanya dipejamkan, namun dia masih melihat warna merah serta darah yang menyilaukan, dan seluruh tubuhnya terasa nyeri semua. Celaka, pikirnya, aku tentu keracunan hebat, akan tetapi pikiran ini hanya seperti kilatan halilintar saja karena segera pikirannya menjadi kosong lagi dan seluruh perhatiannya hanya tertuju pada pergerakan hebat di dalam perutnya, pusarnya, dadanya dan semua tubuhnya, bahkan pergerakan itu sampai terasa ke ubun-ubun kepalanya.

"Dia.... dia mempunyai ilmu yang mujijat.... ingat, dia gadis beracun!" Liauw Kui berkata dan semua orang sudah mencabut senjatanya.

"Biar aku menotoknya dengan poan-koan-pit!" teriak Yu Ci Pok dan cepat dia telah menggerakkan senjata pensil baja itu ke arah punggung dan tengkuk Ceng Ceng.

"Cus-cuss.... krekk-krekkk! Aihhh....!" Yu Ci Pok meloncat ke belakang, tubuhnya tergetar dan kedua buah senjata pensil itu patah menjadi empat potong!

"Ilmu siluman....! Biar kita keluarkan darahnya dan kita tampung!" Berkata Tambolon. "Cepat ambilkan panci!"

Song Lan Ci, orang pertama dari Loan-ngo Mo-li, sudah cepat lari dan minta sebuah panci kepada anak buah Tambolon, kemudian dia datang lagi dan bersama empat orang saudaranya dia pun sudah mencabut pedang-pedang samurai mereka.

Tambolon sudah mencabut pedangnya dan dengan gerakan tangkas dia sudah menerjang ke depan, menusukkan pedangnya ke arah leher Ceng Ceng karena leher itu tentu akan mengalirkan semua darah segar dari tubuh dara itu yang akan ditadahi dengan panci. Dia akan "menyembelih" gadis itu di atas kursinya dalam keadaan terbelenggu!

Pada saat itu, Ceng Ceng sudah berada dalam keadaan puncak dari getaran hawa mujijat yang menguasai seluruh tubuhnya. Dia sudah menahan-nahan diri agar tidak muntah karena keadaannya itu membuat dia merasa mual dan ingin muntah. Akan tetapi pada saat pedang Tambolon bergerak, dia sudah tidak dapat bertahan lagi, merasa seolah-olah nyawanya dicabut melalui mulutnya, maka dara yang merasa bahwa dia tentu mati pada saat itu, padahal sakit hatinya belum terbalas, pemuda laknat itu belum terdapat olehnya, rasa penasaran membuat dia menjerit sekuatnya. Lengking yang amat hebat keluar dari tenggorokannya, dibarengi dengan gerakan tubuhnya yang seolah-olah hendak meronta dan melawan maut yang disangka hendak merenggut nyawanya.

"Aaaiiihhhh....!" Lengking ini diikuti dengan keluarnya darah menghitam bergumpal-gumpal yang dimuntahkan oleh mulut Ceng Ceng, akan tetapi hebatnya, pada saat dia menggerakkan tubuhnya, kaki tangannya bergerak dan semua tali sutera kokoh kuat yang membelenggunya putus semua. Bukan itu saja, dari kedua tangannya yang bergerak kalang-kabut itu keluar hawa mujijat yang luar biasa dahsyatnya sehingga Tambolon yang sedang menusukkan pedangnya, kena digempur hawa mujijat ini sehingga dia terlempar ke belakang. Tidak terkecuali Si Petani Maut dan Si Siucai Maut, bersama Loan-ngo Mo-li yang memegang samurai, terdorong oleh hawa mujijat dari gerakan kedua dengan tangan Ceng Ceng sehingga mereka itu terlempar ke belakang dan terbanting ke atas lantai dengan keras!

Ceng Ceng membuka matanya, merasa betapa dada dan perutnya lega bukan main setelah dia memuntahkan darah bergumpal-gumpal itu. Melihat betapa gerakan-gerakannya dapat mematahkan belenggu dan merobohkan delapan orang itu, dia sendiri terheran dan terkejut, akan tetapi kecerdasannya mengingatkan bahwa dia kini memperoleh kesempatan baik sekali. Cepat dia meloncat keluar dan melarikan diri di dalam kegelapan malam!

Tak lama kemudian, setelah sadar dari kekejutan yang hebat, Tambolon dan para pembantunya meloncat bangun, kemudian mereka berteriak-teriak melakukan pengejaran, diikuti oleh anak buah mereka. Akan tetapi Ceng Ceng telah lenyap dan selain Tambolon sendiri, juga para pembantunya masih terkejut dan jerih menyaksikan kehebatan gadis itu.

Ceng Ceng sendiri juga terheran-heran. Dia tidak tahu mengapa bisa terjadi seperti itu, akan tetapi karena dia seorang gadis yang memiliki kecerdasan, dia teringat dan menduga bahwa tentu semua itu adalah khasiat darah anak ular naga yang telah diminumnya. Agaknya baru sekarang khasiat anak ular naga itu memperlihatkan diri, dan hasilnya memang hebat. Hanya dia masih belum mengerti benar keadaannya dan sayang bahwa Topeng Setan tidak berada di situ, karena kalau ada, tentu pembantunya yang serba bisa itu akan dapat memberi keterangan. Memang dugaan Ceng Ceng tidak keliru, semua itu adalah khasiat dari darah anak ular naga dan darah-darah hitam bergumpal-gumpal yang keluar dari mulutnya itu adalah dari racun-racun yang dahulu dilatih dan berada di tubuhnya. Hawa mujijat itu adalah hawa yang dibangkitkan oleh darah anak ular itu.

Seluruh tubuh Ceng Ceng masih gemetar. Ketika dia menyelinap di antara pohorr-pohon, tiba-tiba dua orang anak buah Tambolon muncul dan hampir bertumbukan dengan dia di tempat gelap. Mereka sama-sama kaget, akan tetapi dua orang anak buah Raja Tambolon itu telah mengenalnya dan cepat mereka mengangkat golok mereka untuk menyerang sambil berteriak-teriak memanggil teman-teman mereka.

Ceng Ceng yang masih merasa gemetar tubuhnya dan dikuasai oleh hawa yang bergerak-gerak, merasa lemas dan tidak bersemangat untuk melayani mereka. Setelah mengelak, dia lalu teringat akan senjatanya yang ampuh, yaitu ludahnya.

"Cuh! Cuhh!" Dua kali dia meludah dan tepat mengenai muka dua orang lawan itu. Akan tetapi Ceng Ceng menjadi kaget dan bingung karena dua orang yang terkena ludah beracunnya itu sama sekali tidak roboh, bahkan menyumpah-nyumpah marah dan menyerangnya lebih ganas lagi! Dan karena teriakan mereka tadi, kini muncul lagi dua orang lain yang segera mengepungnya.

Celaka, pikirnya. Kalau sampai Tambolon dan para pembantunya datang, dia tentu celaka.

"Minggir....!" teriaknya dan kaki tangannya bergerak menyerang. Gerakannya kacau karena Ceng Ceng merasa betapa tenaganya sendiri lenyap ditelan oleh hawa yang masih bergerak-gerak itu seolah-olah dia tidak mampu lagi menguasai kaki tangannya. Akan tetapi, begitu kedua tangannya bergerak mendorong ke depan dan kanan kiri, empat orang itu memekik ngeri, terlempar dan senjata mereka terpental, terbanting dan tidak bangun lagi karena mereka tewas seketika!

Ceng Ceng mendengar datangnya banyak kaki orang, maka cepat dia membalikkan tubuhnya dan lari dari situ. Begitu dia meloncat, hampir dia berteriak kaget karena loncatannya kini seperti terbang saja. Sekali meloncat dia sudah melayang ke atas hampir menabrak pohon! Tubuhnya begitu ringan dan loncatannya begitu kuat sehingga dia tidak dapat menguasai lagi tubuhnya.

"Brukkk!" Dia terbanting ke atas tanah seperti seekor burung sedang belajar terbang. Akan tetapi Ceng Ceng merangkak bangun dan lari lagi, sekali ini dia berhati-hati karena dia mulai maklum bahwa di dalam tubuhnya terdapat tenaga mujijat yang liar dan tidak dapat dikendalikan sehingga kalau dia salah menggunakannya, dia tidak mampu lagi mengatur keseimbangan dirinya.

Akhirnya dia dapat meninggalkan tempat itu dan tidak mendengar lagi suara para pengejarnya. Tadinya dia berniat untuk mengejar Tek Hoat dan menolong Syanti Dewi, akan tetapi dia tidak tahu ke mana perginya pemuda berhati palsu itu, maka dia lalu memutuskan untuk kembali saja mencari dan menolong Topeng Setan. Akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pening bukan main dan tanpa dapat dicegahnya lagi tubuhnya terguling. Karena gelap, dia tidak tahu bahwa dia terguling ke dalam sebuah jurang. Untung baginya bahwa jurang itu tidak terlalu dalam, dan bahwa di luar kesadarannya, tubuhnya seperti balon karet terisi penuh hawa yang penuh, maka biarpun dia pingsan, ketika terguling-guling ke dalam jurang itu tubuhnya sama sekali tidak terluka, terlindung oleh hawa mujijat itu.

******

"Kalian pengecut-pengecut hina-dina, manusia-manusia busuk yang tak tahu malu!" maki-makian itu terdengar dari dalam sebuah kamar tahanan yang amat kuat, berdinding tebal dan berpintu besi. "Kalau kalian berani mengganggu seujung rambut saja dari Ceng Ceng, aku bersumpah akan menghancurkan kepala kalian satu demi satu!"

Yang memaki-maki ini adalah Topeng Setan! Dapat dibayangkan betapa risau hatinya kalau dia mengingat akan nasib Ceng Ceng yang telah terjatuh ke dalam tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kalau saja anak ular naga itu belum diminum darahnya oleh Ceng Ceng, masih ada harapan bagi dara itu untuk lolos dengan selamat. Akan tetapi, darah anak ular itu telah diminum Ceng Ceng dan dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo manusia iblis itu amat membutuhkan darah itu. Dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo tidak akan ragu-ragu lagi untuk makan daging dan minum darah Ceng Ceng untuk memperoleh khasiat darah anak ular naga itu. Membayangkan ini, hatinya merasa ngeri dan dia berteriak-teriak dan memaki-maki.

"Hek-tiauw Lo-mo, pencuri busuk, keparat keji dan curang. Hayo kautandingi aku, satu lawan satu, jangan mengandalkan orang banyak selagi aku terluka dan jangan kau berani mengganggu Ceng Ceng!"

Karena Topeng Setan selalu meronta dan memaki, maka ketika dia roboh tadi, dia lalu dibelenggu di dalam kamar tahanan ini dan keadaannya mengerikan sekali. Pundak kirinya yang buntung itu masih mengeluarkan darah, buktinya bajunya di bagian pundak itu masih basah dan merah. Kedua kakinya dibelenggu, demikian pula tangan kanannya, dengan belenggu baja yang amat kuat dan diikatkan pada tiang-tiang di sudut kamar sehingga tubuhnya tergantung menelungkup, terapung kurang lebih dua kaki dari lantai. Tentu saja dia berada dalam keadaan tersiksa. Hanya satu hal yang tidak berani dilakukan oleh para anak buah Pulau Neraka atau anak buah Hek-tiauw Lo-mo, yaitu membuka topengnya. Hal ini adalah karena pesan dari Mauw Siauw Mo-li sendiri yang memenuhi permintaan Suma Kian Bu. Sampai kini, para anak buah itu tidak berani membuka topeng buruk itu, akan tetapi karena Topeng Setan selalu memaki-maki Hek-tiauw Lo-mo, menantang-nantang dan berteriak-teriak sepanjang malam, para anak buah yang terdiri dari orang berwatak keras dan berhati kejam itu menjadi marah dan benci sekali! Mulailah mereka mencambuki tubuh yang sudah tergantung menelungkup itu. Melihat Topeng Setan tidak mempedulikan siksaan ini, dan tidak menghentikan maki-makiannya seperti yang diperintahkan oleh para penjaga, para anak buah Hek-tiauw Lo-mo menjadi makin marah. Mereka kini tidak hanya mencambuki, juga menyirami dengan air, menggunakan pentungan untuk menggebuki punggung dan pinggulnya sehingga terdengar suara bak-buk-bak-buk di samping meledaknya pecut. Hebatnya, semua cambukan dan gebukan itu seolah-olah tidak terasa oleh Topeng Setan yang masih menantang-nantang. Karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia sama sekali tidak berdaya, sedangkan Ceng Ceng terancam bacana hebat, maka Topeng Setan melampiaskan ke khawatiran dan kemarahannya dengan berteriak-teriak dan memaki-maki untuk memancing kemarahan Hek-tiauw Lo-mo dan agar perhatian mereka semua tidak hanya tercurah kepada Ceng Ceng yang tidak diketahuinya bagaimana nasibnya itu. Topeng Setan tidak tahu pula akan apa yang terjadi malam tadi, hanya mendengar teriakan kebakaran.

Kini, setelah malam lewat, sikap para anak buah Hek-tiauw Lo-mo lebih kejam lagi. Muncul di situ Hek-tiauw Lo-mo yang wajahnya muram dan keruh.

"Iblis laknat Hek-tiauw Lo-mo, kalau kau berani, hayo kaulawan aku, laki-laki sama laki-laki, jangan mengganggu wanita! Ataukah kau sudah demikian pengecut tidak berani melawan seorang laki-laki yang sudah cacat dan terluka? Ha-ha-ha, betapa hina engkau!" Topeng Setan memaki-maki dan meronta-ronta sehingga belenggu-belenggu tangan dan kedua kakinya mengeluarkan bunyi berkerontangan.

"Siksa dia, akan tetapi jangan bunuh dulu! Siksa dia sampai dia minta-minta ampun kepadaku!" bentak Hek-tiauw Lo-mo yang berwajah keruh itu lalu meninggalkan kamar tahanan Topeng Setan. Dia datang hanya untuk memeriksa apakah Topeng Setan masih berada di situ dan sekali pandang saja tahulah dia bahwa Topeng Setan tidak ada sangkut pautnya dengan terbebasnya Ceng Ceng dan larinya Suma Kian Bu. Akan tetapi dia sudah berpesan kepada semua anak buahnya agar Topeng Setan tidak tahu akan peristiwa lolosnya Ceng Ceng malam tadi.

Mendengar perintah dari kepala mereka, tentu saja para penjaga itu menjadi girang sekali. Mereka memang ingin melampiaskan kemendongkolan dan kemarahan mereka. Seorang di antara mereka yang mempunyai banyak akal mencari cara-cara penyiksaan yang paling sadis, segera mengusulkan untuk mencari batu besar dan menindihkan batu itu di atas punggung Topeng Setan agar orang ini remuk punggungnya kalau tidak cepat-cepat minta ampun. Semua orang setuju dan enam orang di antara mereka lalu keluar dan menggotong sebongkah batu besar yang beratnya tentu lebih dari tiga ratus kati. Batu besar itu mereka pergunakan untuk menindih punggung Topeng Setan sampai melengkung ke bawah ketika punggungnya ditindih batu seberat itu, akan tetapi dia mengerahkan tenaganya, pinggulnya digerakkan secara tiba-tiba dan batu besar itu terlempar mencelat dari atas punggungnya, hampir menimpa seorang di antara mereka yang cepat meloncat ke samping sehingga hanya sebuah bangku kayu saja yang hancur berkeping-keping tertimpa batu itu.

"Ambil yang lebih berat lagi!" teriak seorang di antara mereka.

Kini enam orang itu menggotong sebongkah batu yang lebih besar. Mereka berenam adalah anggauta-anggauta Pulau Neraka yang lihai dan bertenaga besar dan batu yang mereka gotong itu tentu lebih dari lima ratus kati beratnya. Dengan beramai-ramai mereka kini mengangkat batu besar itu dan menindihkannya ke atas punggung Topeng Setan.

Wajah belasan orang yang sudah biasa dengan segala macam kekejaman itu kelihatan puas ketika melihat betapa perut Topeng Setan hampir menyentuh lantai dan terdengar keluhan dari mulut di balik topeng itu ketika batu besar menghimpitnya dari atas. Tangan yang tinggal sebelah itu menegang tertahan belenggunya, demikian pula kedua kakinya. Akan tetapi sedikit pun tidak ada kata-kata rintihan atau permintaan ampun dari mulut Topeng Setan. Dia kembali mengerahkan tenaga dari pusarnya. Memang tidak mudah karena selain dia masih menderita karena luka di pundaknya yang buntung, juga dalam keadaan tergantung menelungkup itu, dia harus pula menggunakan tenaganya untuk menahan agar kaki tangannya tidak terluka atau patah tulangnya. Dan dia sudah tergantung seperti itu selama satu malam suntuk!

"Haiiittt!" Setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil dan ditertawakan oleh para penjaga, tiba-tiba Topeng Setan mengeluarkan seruan ini dan kembali pinggulnya bergerak mengerahkan tenaga dan.... batu sebesar kerbau yang amat berat itu terlempar dari punggungnya.

"Awas.... minggir....!" Mereka berteriak akan tetapi tetap saja seorang di antara mereka kena tertimpa sehingga terlempar dan terguling-guling dan mengalami luka-luka parah.

Hal ini tentu saja membuat para penjaga itu menjadi makin marah dan penasaran saja. Kalau tidak ada larangan dari kepala mereka, tentu mereka sudah menghujankan senjata untuk membunuh orang yang keras hati dan keras kepala ini. Kembali mereka menghujankan cambuknya dan gebukan sampai tangan mereka sendiri lecet-lecet. Namun Topeng Setan yang juga mengalami rasa puas sudah dapat membikin marah Hek-tiauw Lo-mo dan kaki tangannya, makin mengejek dan menantang-nantang. Karena dalam keadaan tidak berdaya dan tidak tahu apa yang terjadi dengan Ceng Ceng, maka sedikitnya dia sudah merasa puas dengan dapat membikin hati mereka tidak senang, dan tadi melihat kekeruhan wajah Hek-tiauw Lo-mo, timbul harapan di dalam hatinya. Kalau wajah Ketua Pulau Neraka itu keruh, berarti telah terjadi hal yang tidak menyenangkan hatinya dan hal ini tentu ada hubungannya dengan Ceng Ceng! Apakah gadis itu dapat menyelamatkan dirinya? Atau setidaknya dapat mengakali Hek-tiauw Lo-mo sehingga untuk sementara dapat terbebas dari ancaman maut? Dan dia melihat adanya Suma Kian Bu di tempat ini. Akan janggal dan tidak masuk akallah kalau putera Pendekar Super Sakti itu membiarkan saja Ceng Ceng dibunuh! Ah, dia masih dapat mengharapkan pemuda tampan itu! Harapan-harapan ini membuat hatinya menjadi besar dan dia menantang-nantang lebih berani lagi.

"He, Hek-tiauw Lo-mo, jangan lari kau! Hayo kaukeroyoklah aku dengan semua anak buahmu! Aku akan mematahkan batang leher kalian satu demi satu!"

Kini para penjaga sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Tidak peduli apakah akibatnya tawanan ini akan mampus, mereka segera mendorong sebongkah batu penggilingan tahu yang besar sekali, batu penggilingan tahu ini beratnya ada seribu kati! Saking beratnya, mereka tidak mampu menggotongnya dan hanya dapat mendorong batu yang bentuknya bundar itu, kemudian dengan pengerahan tenaga belasan orang, mereka dapat mengangkat gilingan tahu itu dan menindihkannya ke atas panggung Topeng Setan!

Sekali ini Topeng Setan tak mampu berkutik lagi. Kedua kakinya tergantung, demikian tangan kanannya, badannya terayun dan ditindih batu sebesar dan seberat itu. Dia merasa seolah-olah kedua kaki dan sebelah tangannya akan copot pergelangannya. Napasnya sesak dan keringatnya bertetesan satu-satu dan besar-besar. Semua orang bersorak dan tertawa-tawa, ada yang menjambak rambutnya dan berkata, "Hayo kaugebrakkan lagi pantatmu yang lihai itu agar batu ini terlempar!"

"Lihat, dia sudah empas-empis mau mampus!"

"Hati-hati, kawan, jangan sampai dia benar-benar mampus!"

"Tidak, kalau dia sudah sekarat mau mampus kita gulingkan batu ini dari punggungnya. Paling-paling tulang punggungnya remuk, ha-ha-ha!"

Dapat dibayangkan betapa hebat siksaan ini terasa oleh Topeng Setan. Menahan agar tulang-tulang kaki dan tangannya tidak copot saja sudah amat sukarnya, apalagi melemparkan batu seberat itu dari punggung dengan hanya tenaga gerakan pinggul. Peluh mengucur keluar dengan derasnya dan dia hampir putus asa. Punggungnya terasa seperti akan patah. Sendi-sendi tulangnya seperti mau copot semua. Terutama sekali sendi pergelangan kedua kaki dan tangan kanannya, tak mungkin dapat bertahan lama. Akan tetapi, dia tidak boleh putus asa. Dia harus tetap hidup untuk dapat menyelamatkan dan melindungi Ceng Ceng! Otot-otot di tubuhnya mengeras, dia ingin bertahan dengan tenaga dalamnya. Dia harus membuat tubuhnya menegang dengan pengerahan sin-kang, menegang kaku seperti batu. Karena kalau sedikit saja mengendur, tentu tulang kaki, tangan atau punggungnya akan patah. Mengeluh dan minta ampun? Pantangan besar bagi seorang gagah! Lebih baik mati dengan tubuh gepeng dan tulang remuk daripada harus minta ampun!

Dia maklum bahwa nyawanya tergantung kepada selembar rambut. Sedang nyawanya sendiri terancam, mana bisa menolong Ceng Ceng. Kiranya tidak ada orang di dunia ini yang akan mau dan yang dapat menolongnya dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi ada! Yaitu gurunya! Akan tetapi gurunya itu tidak pernah mencampuri urusan dunia!

Dalam keadaan menghadapi maut itu, Topeng Setan teringat akan gurunya, manusia yang memiliki kepandaian tidak lumrah manusia itu. Kalau saja dia sepandai gurunya, dalam keadaan seperti ini pun tentu akan dapat membebaskan diri, akan dengan mudah melemparkan batu seberat ini. Mengapa dia tidak bisa sehebat gurunya? Padahal gurunya itu pun hanya seorang manusia yang buntung sebelah lengannya! Tiba-tiba Topeng Setan teringat akan sesuatu, teringat akan pesan gurunya dahulu. Pelajaran yang diberikan kepadanya di waktu itu, pesan gurunya di waktu itu, sebelum ini memang tak pernah diperhatikannya. Akan tetapi setelah sebelah lengannya buntung, setelah dia terhimpit dan terancam maut, tiba-tiba dia teringat akan semua itu. Gurunya pernah berkata kepadanya bahwa kini gurunya menemukan seorang ahli waris yang tepat dan cocok sekali, yaitu dirinya sendiri, sehingga ilmu rahasia perguruan yang dirahasiakan itu tidak akan musnah.

"Ilmu rahasia ini tidak dikenal oleh seluruh tokoh persilatan di dunia, muridku," demikian kata gurunya. "Akan tetapi kiranya jarang ada ilmu silat dan ilmu menghimpun tenaga sin-kang yang akan mampu menandingi ilmu rahasia kita ini. Ilmu ini telah ribuan tahun terpendam dan baru setelah tiba di tanganku, kupelajari dan kusempurnakan. Bahkan aku belum pernah mempergunakan ilmu ini saking hebatnya, dan karena aku memang tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun. Ilmu ini kunamakan Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Atas Tanah). Engkaulah yang menjadi ahli waris ilmu rahasia ini, muridku." Setelah berkata demikian, gurunya mengajarkan teori ilmu yang sakti itu.

Dahulu, dia merasa heran dan tidak mengerti, biarpun dia tidak berani membantah gurunya, mengapa gurunya mengajarkan ilmu itu kepadanya. Ilmu Sin-liong-hok-te itu adalah ilmu mujijat yang hanya tepat dipelajari oleh orang yang lengannya buntung sebelah, itu pun harus lengan kanan yang masih tinggal, seperti keadaan gurunya yang lengannya hanya sebelah kanan itu. Akan tetapi gurunya tetap saja mengajarkannya kepadanya. Hal ini sekarang membuat dia makin tunduk dan kagum kepada suhunya yang ternyata selain memiliki kesaktian hebat, juga agaknya telah dapat mengetahui bahwa dia akhirnya pun akan menjadi buntung lengan kirinya, seperti gurunya!

Dahulu, biarpun dia sudah hafal akan teorinya, dia mengalami kesukaran hebat ketika melatihnya. Ilmu Sin-liong-hok-te itu, sesuai dengan namanya, harus dilatih dengan tubuh menelungkup di atas tanah, seperti naga mendekam. Dan ketika berlatih, tubuh harus kejang dan kaku dari awal sampai akhirnya. Latihan yang amat hebat, karena membuat tubuh seluruhnya kejang kaku itu bukan dalam waktu pendek, karena latihan itu memakan waktu sampai setengah hari! Berbahayanya, ketika sedang melatih sin-kang berdasarkan ilmu itu, tubuh sedikit pun tidak boleh mengendur, karena selagi mengerahkan sin-kang seperti yang diajarkan dalam ilmu tadi, sedikit saja tubuh mengendur, orang yang melatihnya akan dapat menjadi lumpuh kaki tangannya untuk

selama hidupnya! Inilah yang amat sukar sehingga sampai dia meninggalkan gurunya, dia belum juga dapat menguasai ilmu itu. Selalu yang menjadi penghalang dahulu adalah adanya lengan kirinya. Gurunya sudah berkali-kali menganjurkan agar dalam latihan ilmu itu, dia "melupakan" lengan kirinya. Akan tetapi mana mungkin? Karena itu dia belum juga berhasil.

Topeng Setan melamun mengenangkan masa lalu itu sambil terus menegangkan tubuhnya untuk menahan gilingan tahu yang amat berat dan menindih tubuhnya itu. Dan pada saat itu dia sadar! Bukankah keadaannya pada saat itu sangat cocok untuk melatih dan menyempurnakan Ilmu Sin-liong-hok-te yang sampai saat ini belum dikuasai itu? Kini tubuhnya juga menelungkup dalam keadaan kaku menegang seluruhnya, biarpun tidak menelungkup di atas lantai. Yang penting, dia pun dalam keadaan tegang terus tubuhnya, karena kalau tidak, mengendur sedikit saja, tulang punggungnya bisa patah! Bagus sekali, semua persyaratan terpenting dari cara melatih ilmu ini telah terpenuhi. Lengannya tinggal yang kanan saja sehingga lengan kiri yang selalu mengganggu penyaluran tenaga itu tidak ada lagi, dan dia harus menelungkup dengan tubuh kaku menegang terus. Akan tetapi, tadi para penyiksanya ini selalu mengganti penyiksaannya. Bagaimana kalau sebelum dia dapat menguasai Sin-liong-hok-te lalu mereka menurunkan batu gilingan itu. Bisa celaka dia karena latihannya jadi terganggu dan setengah matang! Jangan-jangan dia bisa menjadi lumpuh kaki tangannya. Terlalu berbahaya untuk menyempurnakan ilmu seperti itu dalam keadaan di tangan musuh seperti ini.

Akan tetapi dia tidak melihat jalan lain dan teringat ini, tanpa disadarinya Topeng Setan mengeluh. "Ha-ha-ha, mulai terasa sekarang, ya? Hayo kau lekas minta ampun kepada kami, baru kami akan menurunkan batu ini agar kau tidak sampai mampus!" Seorang di antara mereka mengejek.

Bentakan yang disertai lecutan cambuk ke arah mukanya ini mendatangkan akal kepada Topeng Setan. "Kalian anjing-anjing rendah! Siapa tidak kuat menahan.... uh-uhhh.... batu jahanam ini.... uhhh...." Topeng Setan berpura-pura kepayahan. "Mari kita bertaruh.... bahwa aku akan kuat menahannya sampai sebatang lilin putih bernyala habis."

"Ha-ha-ha! Sebatang lilin dapat bernyala sampai tiga empat jam. Mana kau akan kuat bertahan?"

Memang inilah yang dikehendaki oleh Topeng Setan. Dia membutuhkan waktu berlatih kurang lebih tiga empat jam!

"Berani atau tidak bertaruh? Kalau aku dapat bertahan sampai lilin itu padam, kalian menurunkan batu ini dan selanjutnya jangan kalian menggangguku, biarkan Hek-tiauw Lo-mo sendiri yang berhadapan dengan aku. Kalau aku tidak kuat bertahan, kalian boleh.... boleh menanggalkan topengku!"

Tentu saja taruhan ini tidak usah dipikir panjang dua kali oleh mereka. Taruhan itu sama sekali tidak merugikan mereka dan memang mereka ingin sekali melihat bagaimana macamnya orang yang mempunyai kekuatan dan daya tahan sedemikian hebatnya. Seorang lalu berlari cepat mencari lilin dan menyalakan lilin itu di situ.

Topeng Setan sudah mulai dengan latihannya, hatinya lapang karena dia yakin bahwa latihannya tidak akan diganggu. Dia berlaku nekat, dan memang tidak ada jalan lain baginya. Dia harus berhasil dengan latihannya, atau jika dia gagal, biarlah dia mati terhimpit batu itu. Peluhnya makin bertetesan dari seluruh tubuhnya. Tubuhnya menjadi keras dan kejang seperti sebatang pohon kering atau lebih lagi, seperti tiang baja.

Dengan menurutkan teori yang sudah dihafalnya tentang latihan Sin-liong-hok-te, dia mulai mengerahkan sin-kang yang berputar di pusarnya, hawa sin-kang ini bergerak perlahan-lahan, mula-mula didorong ke bawah menembus semua jalan darah sampai ke ujung kedua kakinya, terasa sampai ke jari-jari kakinya. Lalu perlahan-lahan naik ke atas, ke dada dan ketika tiba di pundak, tenaga itu bergabung dan tersalur ke samping kanan saja karena lengan kirinya sudah tidak ada. Inilah sukarnya bagi dia ketika dahulu latihan ilmu mujijat ini, ketika kedua lengannya masih utuh.

Ketika lengannya masih lengkap, tenaga atau hawa sin-kang yang merayap ke atas itu selalu sebagian menyeleweng ke lengan kiri, sukar sekali untuk dipusatkan ke lengan kanan. Padahal di dalam ilmu ini, kalau tenaga sakti Sin-liong-hok-te sudah sempurna, inti tenaga sakti ini dipergunakan dalam ilmu silat tangan kosong yang khusus diciptakan untuk seorang berlengan buntung sebelah, dengan tenaga sakti ini sebagai dasar, yaitu Ilmu Silat Tangan Kosong Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Naga Sakti), lengan tunggal ini bergerak sebagai kepala naga, sedangkan kaki bergerak sebagai cakar naga.

Biarpun memakan waktu yang cukup lama, akhirnya hawa sakti itu dapat juga membelok dan berputar pada lengan kanannya. Kini tinggal tingkat terakhir dari latihan itu, tingkat yang paling sukar dan berbahaya, yaitu menyalurkan hawa itu ke dalam kepala! Amat sukar dan berbahaya sekali untuk menembus terbuka jalan darah di ubun-ubun kepala, harus dilakukan dengan amat teliti, hati-hati dan dengan pencurahan seluruh perhatian dan penyerahan lahir batin.

Para penjaga sudah mulai tertawa-tawa karena lilin itu sudah terbakar selama hampir tiga jam, tinggal sedikit lagi dan Topeng Setan sudah kelihatan amat lelah kehabisan tenaga, kehabisan keringat dan napasnya mulai terengah-engah. Topeng Setan sadar akan hal ini. Hampir dia tidak kuat bertahan lagi, hampir menyerah! Tenaganya telah terkuras habis, berjam-jam terus-menerus mengerahkan tenaga agar tubuhnya meregang dan menegang kaku, sedangkan untuk dapat menerobos jalan darah di ubun-ubun bukanlah hal yang mudah, membutuhkan pengerahan tenaga sin-kang yang terpusat. Mana dia kuat dan mampu? Dia berbeda dengan gurunya, dan dia masih terluka hebat.

"Ha-ha-ha, lilinnya sudah hampir padam dan engkau pun sudah hampir padam!" seorang penjaga mengejeknya.

"Wah-wah, mampus kau sekali ini, Topeng Setan! Apakah lebih baik kau menyerah saja, biar kubuka topengmu dan kami turunkan batu ini?"

"Heh-heh, dia sudah tidak mampu menjawab. Dia sudah sekarat!"

Para penjaga yang wataknya kejam itu memperolok-oloknya dengan bermacam-macam kata-kata mengejek dan semua ini bahkan menimbulkan kembali semangat Topeng Setan yang tadinya sudah hampir tenggelam. Bernyala kembali api perlawanannya yang tadi sudah hampir padam.

Dia menggeleng kepala tanda belum menyerah, kemudian dia mengerahkan seluruh tenaganya. Tidak, dia harus nekat sampai denyut darah terakhir. Dia tidak akan menyerah sampai mati. Dengan otak membayangkan keselamatan Ceng Ceng dia memusatkan tenaga yang menjadi besar kembali terdorong oleh kebulatan tekadnya, berusaha menjebol jalan darah ke ubun-ubun sebagai tingkat terakhir dari latihan dan penguasaan ilmu mujijat Sin-liong-hok-te. Tinggal sedikit lagi. Dia sudah merasa betapa hawa sakti membubung ke atas, kepalanya sudah tergetar dan terasa panas. Tapi bukan main sukarnya dan kalau pada saat itu para penjaga menurunkan batu, hal ini bahkan akan mencelakakannya. Tenaganya sudah habis! Dia tidak kuat menembus bagian tipis yang sedikit lagi itu. Seolah-olah terasa sudah olehnya tirai tipis yang sudah disentuhnya. Kalau masih ada tenaganya, mendorong sedikit saja tentu sudah akan dapat menerobos tirai itu. Akan tetapi tenaganya sudah habis!

"Wah, dia memang keras kepala! Manusia ini menjemukan sekali!" teriak seorang penjaga.

"Biar kuhajar kepalanya agar merasa dia!" Penjaga lain yang memegang cambuk berteriak.

"Tar-tar-tar....! Plongggg....!"

Jalan darah ke ubun-ubun itu tertembus secara tiba-tiba dan tidak disengaja. Pada saat dia sedang bersitegang untuk menembus tirai tipis yang tinggal sedikit itu, secara tiba-tiba cambuk melecut mengenai ubun-ubunnya dan sentakan kaget ini membantunya sehingga merupakan bantuan yang tak tersangka-sangka pada saat yang kritis itu. Dia berhasil!

Hampir Topeng Setan tidak dapat mempercayai sendiri apa yang dirasakannya pada saat tirai tipis itu tertembus oleh hawa saktinya dan semua jalan darah telah terbuka, seluruh hawa sakti di tubuhnya telah meluncur dengan lancar dan cepatnya. Tubuhnya kini terasa nyaman, kepalanya terasa ringan, otaknya menjadi terang dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mencorong menggiriskan, seperti mata naga sakti, seperti mata suhunya. Beban berat yang menindih punggungnya tidak terasa lagi olehnya, yang terasa hanyalah hawa penuh yang berputar-putar cepat sekali di seluruh tubuhnya, seolah-olah seekor naga sakti melayang-layang berputaran di angkasa mencari korban.

Para penjaga yang tidak sadar akan perubahan ini masih mengejek, bahkan Si Pemegang Cambuk kini mengayun cambuknya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melecut kepala yang menelungkup itu.

"Tarrr.... brolll....! Aduhhh....!"

Bukan main hebatnya akibat dari lecutan ini, seolah-olah lecutan yang membuka bendungan besar tenaga sakti yang kini datang membanjir dengan hebatnya. Naga sakti yang melayang-layang itu seperti memperoleh mangsa oleh lecutan itu. Tenaga mujijat yang berputaran di tubuh Topeng Setan itu bergerak melawan ketika melecut, dan akibatnya, Si Pemegang Cambuk itu roboh dan mati seketika dengan tubuh membiru karena semua urat-uratnya tergetar pecah-pecah oleh tenaganya sendiri yang membalik dengan kuatnya. Batu penggilingan tahu yang mendidih punggung itu mencelat seperti dilontarkan, menghantam dua orang penjaga yang menjadi remuk badannya dan masih terus menerjang dinding batu sehingga ambrol dan berlubang besar. Belenggu tangan kanan dan kedua kaki yang terbuat dari baja tebal itu patah-patah semua dan jatuh berkerontangan di atas lantai! Kini Topeng Setan berdiri di tengah kamar tahanan itu dan berteriak dengan suara menyeramkan, "Mana Hek-tiauw Lo-mo? Bebaskan aku!"

Para penjaga lainnya memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, ada yang terkencing ketakutan melihat orang bertopeng yang berdiri tegak dengan mata mencorong seperti itu, ada yang kedua kakinya menggigil dan tidak mampu melangkah selangkah pun untuk mengikuti teman-temannya yang mundur melarikan diri.

"Hek-tiauw Lo-mo manusia iblis! Hayo kaubebaskan Ceng Ceng....!" Kembali Topeng Setan berteriak.

Mendadak terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo dari sebelah kiri, dari dinding yang masih utuh. "Topeng Setan, aku berada di sini!"

Mendengar suara musuhnya ini, dengan sekali gerakan saja, tubuh Topeng Setan melayang ke arah dinding, tangan kanannya mendorong dinding dan.... "braaakkkk!" dinding itu jebol dengan amat mudahnya! Begitu dia menerobos dinding ini dan tiba di sebuah ruangan lain, dari kanan kiri menyambar anak anak panah yang tak mungkin dielakkannya lagi. Topeng Setan terpaksa menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga di seluruh tubuh untuk mengebalkan tubuh. Hawa mujijat di tubuhnya itu berputar cepat sekali dan betapa girang hati Topeng Setan ketika menyaksikan betapa anak-anak panah itu begitu menyentuh tubuhnya, di bagian manapun, runtuh semua dan patah-patah!

Hek-tiauw Lo-mo, Ji Song kakek gendut pembantunya, dan Mauw Siauw Mo-li sumoinya, memandang dengan mata terbelalak. Ketika anak panah itu habis, yang ternyata dilepas dari alat-alat rahasia, Topeng Setan memandang ke depan dan matanya yang mencorong itu berapi-api ketika dia melihat Hek-tiauw Lo-mo. "Hek-tiauw Lo-mo, kalau kau tidak bebaskan Ceng Ceng, aku akan menghancurkan kepalamu!"

Hek-tiauw Lo-mo mengangkat tangan kanannya ke atas. "Topeng Setan, jangan bergerak kau! Sekali bergerak, nona itu akan dibunuh oleh pembantu-pembantuku seperti yang sudah kuperintahkan. Aku akan membebaskan gadis itu dan juga engkau asal engkau suka membantuku sekali ini. Kalau engkau menolak, gadis itu akan kusuruh bunuh lebih dulu sebelum kami akan menghadapimu dalam pertempuran mati-matian."

Topeng Setan memandang tajam. Betapa cerdiknya Ketua Pulau Neraka ini, pikirnya. Kalau iblis tua ini membawa Ceng Ceng pada saat itu, dengan ilmunya yang mujijat telah dikuasainya kini, agaknya dia akan mampu merampas Ceng Ceng dari tangan orang-orang ini. Akan tetapi iblis tua yang cerdik ini menyembunyikan Ceng Ceng, dan orang macam dia ini tentu benar-benar akan membunuh Ceng Ceng kalau dia tidak memenuhi permintaannya.

"Kalau kau menipuku, ke mana pun kau pergi akan kukejar sampai dapat, Hek-tiauw Lo-mo."

"Tidak! Aku bicara sebagai seorang tokoh kang-ouw terhadap seorang tokoh lain, dan namaku akan tercemar selama hidupku kalau aku menipumu. Aku akan membebaskan kalian kalau engkau mau dan berhasil membantuku."

"Katakan, apa yang harus kulakukan!"

"Kami sedang diserbu musuh-musuh yang lihai, dan kalau engkau bisa mengundurkan musuh-musuh itu, nah, aku Hek-tiauw Lo-mo berjanji akan membebaskan engkau dan gadis itu."

"Siapakah musuh-musuhmu itu?"

"Mereka adalah serombongan pengawal yang dipimpin oleh Gak Bun Beng, Puteri Milana, dan Suma Kian Bu."

Terkejut sekali hati Topeng Setan mendengar ini, alisnya berkerut. Bagaimana dia berani melawan? Andaikata dia mampu menghadapi mereka juga, bagaimana dia dapat melawan orang-orang yang dia tahu adalah pahlawan-pahlawan dan pendekar-pendekar besar itu? Akan tetapi, keselamatan Ceng Ceng berada di tangan Hek-tiauw Lo-mo! Topeng Setan menjadi bingung sekali.

Bagaimana Gak Bun Beng, Milana, dan Suma Kian Bu dapat berkumpul dan kini dikatakan oleh Hek-tiauw Lo-mo bahwa mereka memimpin pasukan pengawal menyerbu dusun itu? Untuk mengetahui hal ini, baiknya kita membiarkan dulu Topeng Setan yang sedang kebingungan itu dan mari kita mengikuti pengalaman Gak Bun Beng dan Milana.

******

Seperti telah dituturkan di bagian depan, dengan hati seperti disayat-sayat Gak Bun Beng terpaksa meninggalkan istana Milana, bekas kekasihnya dan yang masih merupakan satu-satunya wanita yang dicintanya di dunia ini. Perih sekali hatinya ketika dia melihat kenyataan bahwa Milana juga masih mencinta dia! Bahwa wanita yang dicintanya itu ternyata hidup merana, hidup sengsara di samping suaminya itu, karena Milana tidak pernah dapat melupakan dia. Betapa akan mudahnya untuk membiarkan diri terbenam dalam kebahagiaan bersama Milana, menuruti suara hati dan dorongan keinginan yang ditekan-tekannya selama belasan tahun ini. Akan tetapi kalau dia menuruti hati dan menerima uluran kasih sayang Milana, akan menjadi orang macam apakah dia? Tidak! Ayahnya dahulu terkenal sebagai seorang datuk sesat, berjuluk Kang-thouw-kwi Gak Liat, dan kelahiran dirinya pun adalah akibat perbuatan terkutuk ayahnya itu atas pemerkosaannya terhadap ibunya. Biar ayahnya seorang manusia iblis, dia harus menebus semua penyelewengan ayahnya itu dengan perbuatan benar! Dan kalau dia kini menuruti nafsu hatinya, merebut seorang wanita seperti Milana yang masih bersuami, berarti dia sama tersesatnya dengan ayahnya. Tidak, biar hancur hatinya, biar remuk hidupnya, dia tidak sudi melakukan hal ini dan dia telah melarikan diri dari Milana!

Akan tetapi, cintanya terhadap Milana demikian besarnya, mengalahkan segala-galanya. Dahulu, selama belasan tahun dia telah mampu menekan perasaannya ini, menekan hasrat hatinya untuk bersanding dengan wanita kekasihnya. Akan tetapi, setelah kini bertemu dengan Milana, duduk berdekatan, mendengar suaranya, bahkan mendengar pernyataan cinta kasih wanita itu yang masih sebesar dahulu terhadap dirinya, mana dia mampu berjauhan? Dia tidak kuat untuk berjauhan lagi. Maka seperti seorang yang sinting Gak Bun Beng tak pernah jauh meninggalkan kota raja, bahkan kadang-kadang dia mencuri masuk, menggunakan kepandaiannya hanya untuk menjenguk dan melihat wajah kekasihnya. Dia cukup puas hanya dengan melihat sepintas wajah yang tak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu, lalu pergi lagi, akan tetapi tidak jauh, hanya dekat di luar kota raja, bersembunyi. Gak Bun Beng adalah seorang laki-laki yang sudah berusia tiga puluh sembilan tahun, hampir empat puluh tahun dan selama hidupnya baru dengan Milana saja dia berdekatan dengan wanita. Dia adalah seorang perjaka, bahkan setelah dia berpisah dengan Milana belasan tahun yang lalu, dia tidak pernah mau memandang wanita lainnya dan seolah-olah sudah menutupkan pintu hatinya terhadap cinta asmara antara pria dan wanita.

Segala macam bentuk nafsu keinginan lahir dari pikiran. Daya tarik yang terkandung, dalam keindahan bentuk tubuh dan kecantikan serta kelembutan seorang wanita terhadap pandang mata seorang pria memang sudah sewajarnya, akan tetapi dalam daya tarik itu tidak terkandung nafsu berahi. Kalau kita kaum pria melihat seorang wanita dan kita kagum akan kecantikannya, kelembutan dan keluwesannya, maka hal itu hanya habis pada tingkat kekaguman saja. Akan tetapi begitu sang pikiran masuk mencampuri, pikiran membayangkan hal yang bukan-bukan, kenangan-kenangan yang pernah dirasakannya atau pernah didengarnya, pernah dilihatnya, maka sang pikiran ini lalu membayangkan betapa akan senang dan nikmatnya kalau kita dapat memiliki wanita itu menjadi kawan bermain cinta dan sebagainya, maka lahirlah nafsu berahi yang pada dasarnya hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Pikiran adalah diri pribadi, maka segala yang direncanakan dan diperbuat oleh pikiran selalu berpusat pada kesenangan untuk diri pribadi.

Dengan kekuatan batinnya yang memang amat kokoh kuat, Gak Bun Beng berhasil menjauhkan diri dari nafsu berahi dan tidak merasa terganggu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Syanti Dewi dalam kehidupannya, dan sifat-sifat dara yang amat baik ini dengan kekuatan mujijat membuka lagi pintu hatinya. Kalau saja dia tidak mempunyai kesetiaan sampai mati kepada Milana, agaknya dengan amat mudahnya dia menerima uluran tangan Syanti Dewi yang jatuh cinta kepadanya karena terdorong oleh hutang budi dan kekaguman yang berlebihan. Dia menolak Syanti Dewi dengan bijaksana, mengingat usia mereka, mengingat hubungan hatinya dengan Milana. Akan tetapi penolakan ini membuka lebar-lebar kembali luka di dalam hatinya. Semua ini ditambah lagi dengan perjumpaannya dengan Milana, lalu lebih-lebih lagi dengan pernyataan Milana betapa wanita itu masih selalu mencintanya, betapa wanita itu merana hidupnya karena dia!

Kini Gak Bun Beng tersiksa hebat, jauh lebih hebat daripada dahulu kerena kini setiap detik dia digerogoti perasaan dendam rindu kepada Milana! Inilah yang membuat dia tidak mampu lagi terpisah jauh-jauh dari wanita yang dicintanya itu, dan penderitaan ini hendak diperingan dengan setiap kali menjenguk wajah orang yang dicintanya. Dia tidak tahu bahwa perbuatan itu sebenarnya bahkan memperhebat penderitaannya, seperti seorang yang kehausan diperlihatkan air yang tidak boleh diminumnya!

Betapa terkejutnya ketika dia mendengar akan geger yang terjadi di kota raja, yaitu tentang tewasnya Pangeran Liong Bin Ong yang kabarnya dibunuh oleh perwira Han Wi Kong dan tentang tewasnya perwira itu pula, kemudian tentang mengamuknya Puteri Milana dan lenyapnya Puteri Syanti Dewi dari istana Kaisar! Tentu saja dia cepat memasuki kota raja dan melakukan penyelidikan. Dengan muka pucat dia menghadap Perdana Menteri Su dan mendengar semua penuturan perdana menteri itu bahwa suami Milana tewas, kemudian betapa Milana menculik Puteri Syanti Dewi dan melarikan diri dari kota raja setelah membunuh para pengawal Liong Bin Ong yang menewaskan suaminya!

Gak Bun Beng terkejut dan juga berduka sekali. Kekasihnya tertimpa malapetaka yang demikian hebat tanpa dia mampu menolongnya! Dia merasa menyesal sekali. Andaikata dia tidak meninggalkan istana puteri itu, kiranya belum tentu suami puteri ini akan tewas dan membawa akibat sedemikian hebatnya sehingga kini Puteri Milana menjadi seorang pelarian dari istana! Setelah menghaturkan terima kasih kepada Perdana Menteri Su, dia lalu berpamit dan cepat mencari Milana yang dia duga tentu hendak mengantarkan Syanti Dewi kembali ke Bhutan.

Sementara itu, seperti telah diceritakan di bagian depan, Milana yang membawa lari Syanti Dewi bertemu dengan Ang Siok Bi, kemudian bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan menyerahkan Syanti Dewi kepada dua losin pengawal jenderal itu yang dipimpin oleh kepala pengawal Can Siok untuk dikawal sampai ke Bhutan. Puteri Milana sendiri lalu berpisah dari Jenderal Kao Liang untuk kembali ke utara karena dia ingin pergi ke orang tuanya, yaitu di Pulau Es.

Lemas rasanya seluruh sendi tulangnya ketika Puteri Milana berjalan perlahan memasuki hutan itu. Berkali-kali dia menghela napas panjang, menyesali dirinya sendiri karena dia merasa telah melakukan dosa yang amat besar. Dia merasa seolah-olah dialah yang telah membunuh Han Wi Kong. Dia tahu bahwa suaminya itu seperti membunuh diri, sungguhpun pembunuhan diri yang amat terhormat dan berjasa besar bagi negara. Dan yang menjadi sebab adalah dia. Suaminya menderita hebat sejak menikah dengan dia karena suaminya itu benar- benar mencintanya dan dapat dibayangkan betapa perih hatinya dan sengsara hidupnya karena semenjak menikah, sampai belasan tahun lamanya, dia hanya menjadi isteri dalam nama saja, tidak pernah menjadi isteri dalam arti yang sesungguhnya.

"Salahkah aku? Berdosakah aku?" Berkali-kali dia bertanya kepada diri sendiri.

Dia dahulu diharuskan menikah oleh Kaisar dan terpaksa dia harus memilih seorang di antara mereka. Pilihannya jatuh kepada Han Wi Kong, akan tetapi bagaimana dia bisa mencinta orang lain kalau hatinya sudah diserahkan sebulatnya kepada Gak Bun Beng? Han Wi Kong "membunuh diri" karena ingin membahagiakannya, ingin membebaskannya agar dia dapat berkumpul dengan Gak Bun Beng. Kalau sampai tujuan terakhir suaminya itu tidak terpenuhi, sama artinya dengan membiarkan suaminya itu mati konyol, mati dengan sia-sia.

Akan tetapi Gak Bun Beng.... Milana menarik napas panjang ketika teringat pria yang dicintanya itu, teringat akan pendiriannya, akan keangkuhannya. Teringat betapa Gak Bun Beng berkeras meninggalkannya, kembali dia menarik napas panjang dan bibirnya terdengar mengeluh lirih seperti rintihan, "Gak-suheng...."

"Sumoi....!"

Suara ini memasuki telinganya seperti halilintar dan membuat seluruh tubuhnya tergetar. Wajah Milana menjadi pucat sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya. Ketika melihat orang yang sedang dikenangnya itu kini berdiri di depannya, Gak Bun Beng yang berwajah pucat dan bermata sayu, Milana menggosok kedua matanya.

"Sumoi.... Milana, aku di sini...." Gak Bun Beng berkata dengan suara terharu ketika melihat wanita itu seperti tak percaya akan kehadirannya, wanita yang dicintanya, yang berpakaian kusut dan berambut awut-awutan, berwajah pucat sekali akan tetapi yang kecantikannya baginya tak pernah berkurang semenjak mereka masih remaja dahulu.

"Suheng.... Gak-suheng...." Milana tak dapat lagi menahan hatinya. Wanita yang terkenal sebagai seorang pendekar besar, seorang pahlawan dan seorang panglima yang amat gagah perkasa, yang mampu menghadapi segala macam bahaya dengan mata tidak berkedip, yang tidak pernah meruntuhkan air mata dan yang terkenal sebagai seorang wanita gagah berhati baja, kini tidak lebih hanya seorang wanita yang lembut dan tangisnya mengguguk, air matanya jatuh berderai-derai. Seperti seorang anak kecil dia berdiri sambil menangis, tubuhnya berguncang dan kedua punggung tangannya menggosok-gosok matanya.

"Sumoi.... tenangkan hatimu, Sumoi...." Dengan suara gemetar Gak Bun Beng mencoba menghibur, melangkah maju dan dengan hati-hati menyentuh kedua pundak wanita itu dengan ujung-ujung jari tangannya. Sentuhan ini sudah cukup untuk membuka bendungan itu.

"Gak-suheng.... aihhh, Gak-suheng....!" Milana lalu memeluk dan mendekap dada pria itu dengan mukanya, menangis sejadi-jadinya.

"Sumoi...." Suara Bun Beng juga mengandung isak dan dia menengadah, memejamkan kedua matanya mencegah keluarnya air mata, dan tangan kanannya mengusap-usap rambut yang awut-awutan dan halus lemas itu.

Sampai lama sekali mereka hanya berdiri saling peluk. Milana menangis terisak-isak, makin lama makin mereda dan Gan Bun Beng memeluk pundaknya dan membelai rambutnya. Setelah tangis wanita itu agak mereda, tinggal terisak-isak saja, Bun Beng lalu dengan halus melepaskan pelukannya, menjauhkan dirinya sambil berkata lembut, "Sumoi, aku telah mendengar semua apa yang terjadi di kota raja. Aku menyesal sekali.... tidak dapat membantumu sama sekali...."

Milana masih belum mampu menjawab hanya terisak-isak dan menghapus sisa air mata dengan sehelai saputangan sutera.

"Mari kita duduk di bawah pohon itu dan bicara, Sumoi." Bun Beng mengajaknya dan dia mengangguk, keduanya lalu duduk di atas akar-akar pohon yang menonjol di atas tanah. Milana menundukkan mukanya yang menjadi agak kemerahan, mungkin karena tangisnya, isaknya masih ada akan tetapi hanya kadang-kadang dan air matanya sudah berhenti mengucur. Wanita perkasa ini sudah dapat menguasai dirinya lagi.

"Sumoi, aku sudah bertemu dengan Perdana Menteri Su dan mendengar dari beliau akan semua peristiwa. Suamimu telah membunuh Pangeran Liong Bin Ong dan dalam usaha itu dia berhasil akan tetapi dia juga terbunuh oleh para pengawal tokoh pemberontak itu. Dan kau telah melarikan Syanti Dewi.... eh, di mana sekarang?"

"Dia telah dikawal oleh para pengawal Jenderal Kao, kembali ke Bhutan." Milana lalu menceritakan dengan singkat pertemuannya dengan Jenderal Kao. Kemudian dia menceritakan juga tentang pertemuannya dengan Ang Siok Bi, dan menambahkan, "Ternyata benar bahwa Ang Tek Hoat itu adalah puteranya, dan dia.... dia mencari-carimu sebagai seorang musuh besar, Suheng."

"Biarlah...." Gak Bun Beng menarik napas panjang, sikapnya tidak peduli. "Sekarang engkau hendak.... ke manakah, Sumoi?" Suaranya penuh perasaan iba dan hal ini terasa sekali oleh Milana sehingga kembali wanita ini menggigit bibir menahan tangisnya.

"Tadinya aku hendak mencarimu, Suheng, akan tetapi karena tidak tahu engkau berada di mana, setelah Syanti Dewi diantar para pengawal, aku lalu hendak pergi ke Pulau Es saja. Syukur bahwa kita dapat bertemu di sini, Suheng."

"Kau.... kau mencariku, Sumoi?" Gak Bun Beng memandang dengan jantung berdebar tegang. "Mengapa.... engkau mencariku?"

Wajah yang masih agak pucat itu menjadi merah dan jari-jari tangannya gemetar ketika Milana mencari-cari ke balik bajunya, kemudian mengeluarkan sebuah sampul surat. "Aku mencarimu untuk menyampaikan ini, Suheng. Aku menemukan surat peninggalan suamiku ini di dalam kamarnya dan surat ini untukmu."

Gak Bun Beng menerima surat itu dan membaca tulisan pada sampulnya. Memang ditujukan kepadanya, ditulis oleh tangan Han Wi Kong dengan gaya tulisan yang kuat dan indah. Jantungnya berdebar tegang penuh kekhawatiran dan penyesalan. Apakah yang akan dia baca dan temukan di dalam surat ini? Apakah kata-kata kutukan dan penyesalan dari perwira gagah itu? Karena dia dan isterinya mempunyai hubungan cinta kasih? Apakah perwira itu menderita kesengsaraan batin karena dia? Karena isterinya mencinta dia? Hampir dia tidak berani membuka surat itu dan dia memandang kepada Milana. Akan tetapi wanita itu pun merunduk saja, agaknya menanti dengan penuh ketegangan.

"Sumoi, katakanlah, mengapa suamimu melakukan perbuatan nekat itu? Seorang diri menyerbu istana dan membunuh Pangeran Liong Bin Ong, bukankah hal itu sama artinya dengan membunuh diri?"

Ucapan itu terasa oleh Milana seperti tusukan pada jantungnya dan tak dapat dicegahnya lagi beberapa butir air mata mengalir turun dan karena dia menunduk, air mata itu berkumpul di ujung hidungnya seperti sebutir mutiara besar. Milana menggeleng kepala dan mutiara itu jatuh dari ujung hidungnya. "Aku.... aku tidak tahu...." Dia merasa lehernya seperti dicekik, tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata.

Gak Bun Beng menarik napas, memandang sampul surat itu lalu memberanikan hatinya, membuka sampul itu dengan jari-jari tangan gemetar dan mengeluarkan suratnya. Dia sudah siap untuk menerima berita yang paling buruk, siap untuk menerima celaan dan kutuk orang yang sudah mati itu. Lalu dibacanya surat itu,

Gak Bun Beng Taihiap,

Kalau taihiap membaca surat ini, saya tentu sudah mati. Kematian yang tidak sia-sia karena saya tentu telah berhasil membunuh dalang pemberontak Liong Bin Ong. Terutama sekali, dengan kematian saya, Puteri Milana menjadi bebas untuk hidup bersama satu-satunya pria yang dicintanya, yaitu Taihiap sendiri. Percayalah, sejak dahulu sampai saat ini Puteri Milana hanya mencinta Taihiap seorang, dan dia menjadi isteri saya hanya namanya saja, bukan isteri dalam arti sesungguhnya. Sampai saat ini Puteri Milana masih seorang gadis yang selalu menanti pinangan Taihiap!

Semoga bahagia, Han Wi Kong.

Surat itu terlepas dari jari-jari tangan Gak Bun Beng yang gemetar karena jantungnya berdebar dengan keras. "Ohhh...." demikian keluhnya.

Mendengar keluhan ini, Milana mengangkat mukanya memandang. Gak Bun Beng lalu menyambar kertas itu dan menyerahkan kepada Milana sambil berkata, suaranya gemetar, "Benarkah ini....? Benarkah ini....?" Milana menerima surat itu dan membacanya, dipandang dengan tajam oleh Gak Bun Beng. Perlahan-lahan kedua pipi wanita itu berubah menjadi merah sekali dan surat itu pun terlepas dari tangannya yang menggigil.

"Benarkah, Milana....?" tanya Bun Beng, suaranya lirih seperti berbisik.

Milana mengangkat muka memandang. Dua pasang mata saling bertemu dan akhirnya Milana hanya mengangguk penuh kepastian.

 Bun Beng meloncat berdiri. "Akan tetapi mengapa?" teriaknya. "Milana? Engkau adalah isterinya! Mengapa engkau menyiksanya sedemikian rupa? Belasan tahun menjadi isterinya.... hanya dalam nama saja....? Betapa kejamnya engkau...."

Mendengar ucapan ini, Milana juga meloncat berdiri dan memandang Bun Beng dengan mata bersinar-sinar. "Mangapa? Tentu saja aku tidak bisa menyerahkan diri kepada lain pria! Setelah aku menyerahkan cinta kasih dan hatiku kepadamu, suheng, bagaimana mungkin aku dapat menyerahkan tubuhku kepada pria lain?"

"Ahh.... tapi... kalau begitu, mengapa engkau menikah dengan dia?"

"Karena Kaisar memaksaku."

"Kau bisa saja pergi dari istana dan mencari aku, Milana...."

"Suheng, bukankah engkau yang telah meninggalkan aku, pergi dariku? Aku telah merasa berdosa kepadamu dahulu, telah tidak mempercayaimu (dalam cerita Sepasang Pedang Iblis)...., akan tetapi aku tidak mungkin bisa menyerahkan diri kepada pria lain...."

"Milana.... sumoi, begitu besar cintamu kepadaku...."

"Dan kau tadinya kuanggap telah melupakan aku, Suheng. Kiranya engkau pun rela hidup merana, tak pernah menikah, karena cintamu kepadaku...."

"Milana.... aku cinta padamu, sejak dahulu sampai detik ini.... aku hanya merasa diriku tidak berharga untukmu. Dan ternyata engkau.... engkau begitu setia kepadaku.... ternyata aku yang telah menyiksa hidupmu, Milana...."

"Suheng....!" Milana mengeluh dan mereka saling tubruk, saling rangkul karena sekarang keduanya yakin akan cinta kasih mereka masing-masing.

"Sumoi.... Milana.... ah, Milana.... betapa aku rindu padamu."

"Aku pun rindu padamu, Suheng...."

Sejenak kedua orang itu lupa diri. Milana terlena dalam pelukan Bun Beng, air matanya mengalir turun dari kedua mata yang dipejamkan. Bun Beng mendekapnya, menciumnya, mencium lehernya, dagunya, bibirnya, hidung dan matanya, menghisap air mata itu, air mata yang seolah-olah menjadi air embun yang menyiram kembang di dalam hatinya yang kehausan dan yang hampir melayu, sehingga kembang itu menjadi segar kembali. Pada saat itu dicurahkanlah segala kerinduannya, segala cinta kasihnya sehingga setiap bulu di tubuhnya seolah-olah bangkit dan membelai wanita itu. Milana memejamkan matanya, merasa terayun di angkasa dengan nikmatnya. Wanita manakah yang tidak akan merasa berbahagia bahwa dia telah menundukkan hati pria yang dicintanya, merasa dibutuhkan, dicinta dan dipuja? Bisikan halus yang keluar dari bibir Bun Beng di dekat telinga, bisikan yang berkali-kali menyatakan cinta kasih yang mendalam, membuat hati Milana bangga dan bisikan itu lebih merdu daripada nyanyian surga!

Akan tetapi tiba-tiba Milana melepaskan dirinya dengan halus, kini dia memandang ke kasihnya dengan bibir tersenyum dan mata masih basah, dengan kedua pipi kemerahan seperti wajah seorang dara remaja yang baru pertama kali menerima ciuman seorang pria. Bun Beng memandang dengan terpesona.

"Jangan.... Suheng, jangan dulu...., kita harus menghormati Han Wi Kong.... dialah yang sesungguhnya mempertemukan kita kembali. Kita.... kita harus sabar menanti.... biarkan aku berkabung selama setahun untuknya, Suheng."

Gak Bun Beng tersenyum, senyum penuh kecerahan yang baru pertama kali ini nampak di wajahnya, seolah-olah wajahnya bersinar kembali dengan cahaya kehidupan. Dia mengangguk dan matanya memandang penuh kelembutan, penuh kemesraan dan penuh pengertian. "Memang sebaiknya begitu, Sumoi. Sebaiknya begitu...., betapapun juga, secara lahiriah dia adalah suamimu dan sahabat kita yang amat baik. Setelah menanti belasan tahun lamanya, apa artinya setahun bagi kita?"

Milana melangkah maju lagi dan memegang kedua tangan kekasihnya. "Aku tahu bahwa engkaulah satu-satunya manusia yang bijaksana dan mulia di dunia ini. Mulai saat ini aku merasa seolah-olah baru hidup, suheng...."

Gak Bun Beng balas menggenggam jari-jari tangan yang halus itu. "Bukan baru hidup melainkan hidup baru, Sumoi. Sekarang, apakah engkau hendak melanjutkan perjalananmu ke Pulau Es?"

"Aku.... aku.... terserah kepadamu, Suheng. Sejak saat ini, aku hanya menurut apa yang kau katakan dan kautentukan. Aku takut kalau-kalau keputusanku sendiri akan mengakibatkan kesalahan hebat seperti yang telah kita alami bersama dahulu. Aku menyerahkan segalanya kepadamu, Suheng."

Bukan main girangnya hati Gak Bun Beng. "Kiranya lebih baik kalau kelak setahun kemudian kita bersama pergi menghadap ke Pulau Es untuk minta doa restu dari orang-orang tua. Sekarang, lebih baik kita mengejar perjalanan Syanti Dewi. Hatiku merasa tidak tenang kalau sampai anak itu hanya dikawal oleh pasukan biasa. Sebaiknya waktu yang satu tahun itu kita pergunakan untuk mengawalnya ke Bhutan."

Milana mengangguk, lalu berkata, "Dia.... Syanti Dewi amat mencintamu, Gak-suheng...."

"Eh, bagaimana kau tahu?"

"Anak yang baik itu menceritakan segalanya kepadaku. Dan tahukah engkau betapa dia marah-marah kepadaku dan menuntut agar aku membahagiakan engkau. Tidakkah aneh sekali itu? Seorang anak belasan tahun mengajarkan aku tentang cinta kasih! Dia benar-benar cinta kepadamu sehingga aku merasa heran mengapa engkau tidak menyambut uluran hati seorang dara secantik dia?"

"Sumoi, perlukah kautanyakan lagi hal itu? Dengan adanya engkau, betapa mungkin aku mencinta wanita lain? Aku tahu akan kebaikan hatinya, karena itu dia kuanggap sebagai keponakan atau anak sendiri, dan karena itu pula kita sudah sepatutnya mengantarkan dia kembali kepada orang tuanya di Bhutan."

Milana tersenyum manja. "Terima kasih, Suheng. Pernyataanmu itu makin meyakinkan hatiku betapa besar cintamu kepadaku, dan amat membahagiakan hatiku."

"Hemm, tidak kalah besarnya dengan kebahagiaanku memperoleh kenyataan bahwa selama ini engkau tetap mencintaku, Sumoi. Mari kita berangkat, aku khawatir terjadi hal-hal yang tidak baik terhadap diri Syanti Dewi."

Maka berangkatlah kedua orang ke kasih yang baru saling menemukan kembali setelah cinta kasih mereka terpisah selama belasan tahun itu. Patut dikagumi Gak Bun Beng dan Milana. Keduanya masih perawan dan perjaka, biarpun usia mereka telah mendekati empat puluh tahun, dan mereka selama belasan tahun menekan kerinduan hati masing-masing. Kini, setelah mereka berdua memperoleh kebebasan dan tidak ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk saling memiliki, seolah-olah kenikmatan itu merupakan setangkai bunga di depan mata, tinggal mengulur tangan memetiknya saja, dan keduanya sudah saling mencinta dan sudah saling percaya, tidak ada halangannya untuk saling menyerahkan diri lahir batin, mereka masih mampu mengatasi dorongan nafsu mereka dan melihat kenyataan bahwa hal itu kurang baik dan bahwa sudah sepatutnya kalau mereka menanti saja sudah menjadi bukti betapa teguh dan kokoh kuat dasar batin kedua orang gagah ini, yang tidak mudah dimabok oleh nafsu berahi!

Sambil bergandeng tangan mereka pergi meninggalkan hutan itu dan dengan kecepatan luar biasa mereka menggunakan ilmu berlari cepat mereka menuju ke barat untuk menyusul rombongan Syanti Dewi yang dikawal oleh dua losin orang pasukan pengawal Jenderal Kao Liang.

Ketika mereka tiba di dekat dusun yang dijadikan markas sementara oleh Hek-tiauw Lo-mo, di tengah jalan mereka bertemu dengan Suma Kian Bu yang memimpin sepasukan yang terdiri dari belasan orang, yaitu pasukan yang didapatnya dari Perdana Menteri. Pemuda ini setelah behasil membantu Tek Hoat membakar ruangan dan membiarkan Tek Hoat menolong Ceng Ceng, lalu melarikan diri ke kota raja dan dia pun pergi menemui Perdana Menteri Su, menceritakan dan minta bantuan untuk menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan. Perdana Menteri Su dengan singkat menceritakan bahwa Syanti Dewi telah ditolong Tek Hoat dan karena semua perbuatannya itu adalah di luar tahu istana, maka perdana menteri yang bijaksana ini hanya dapat menyuruh pengawal-pengawal pribadinya yang berjumlah lima belas orang untuk membantu Suma Kian Bu menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan.

Demikianlah, di tengah jalan mereka saling bertemu. "Enci Milana! Gak-suheng!" Kian Bu berseru dengan girang bukan main dan dia memegangi kedua tangan suheng dan encinya itu.

"Hemmm, ke mana saja engkau selama ini, Kian Bu?" Milana bertanya.

Ditanya demikian, Kian Bu menundukkan muka menyembunyikan perasaan jengah dan malunya. Tentu saja tidak mungkin dia menceritakan pengalamannya dengan Hong Kui.

"Aku hanya merantau saja, Enci, akan tetapi ada hal yang lebih penting untuk kalian ketahui dan kebetulan sekali aku bertemu dengan kalian. Marilah kita pergi menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan dan di perjalanan nanti kuceritakan semua kepada Ji-wi (Kalian Berdua)."

Tentu saja Gak Bun Beng dan Milana terkejut dan segera mengikuti adik itu melanjutkan perjalanan menuju ke dusun yang dijadikan tempat tinggal Tambolon. Kian Bu telah mendengar penuturan dari Perdana Menteri Su betapa Ceng Ceng masih ditawan oleh Tambolon menurut cerita Tek Hoat dan Syanti Dewi, dan bahwa Tek Hoat sedang pergi untuk menolongnya. Sedangkan Topeng Setan ditawan Hek-tiauw Lo-mo di dusun Nam-lim.

Dengan singkat namun jelas Kian Bu menceritakan betapa dia bertemu dengan Tek Hoat dan dia membantu Tek Hoat untuk membebaskan Ceng Ceng, kemudian dia pergi ke kota raja untuk minta bantuan.

"Hek-tiauw Lo-mo kuat sekali kedudukannya, apalagi di dekat dusun Nam-lim itu terdapat pula rombongan Tambolon yang dibantu oleh banyak orang pandai, di antaranya seorang nenek yang amat lihai dan pandai ilmu sihir. Ternyata tadinya Puteri Syanti Dewi ditawan oleh Tambolon dan telah diselamatkan oleh Tek Hoat dengan jalan menukarnya dengan Ceng Ceng. Menurut Perdana Menteri Su, kini puteri itu telah dikawal oleh pasukan Bhutan sendiri, kembali ke Bhutan." Kian Bu menghentikan ceritanya karena dia masih merasa terluka oleh penolakan cintanya terhadap puteri itu.

"Sungguh aneh sekali! Mengapa rombongan Hek-tiauw Lo-mo dan rombongan Tambolon masih saja berkeliaran di sini? Dan bagaimana pula Syanti Dewi yang dikawal oleh pasukan Jenderal Kao sampai tertawan oleh rombongan Tambolon? Bagaimana pula cara Tek Hoat menukar tawanan itu? Ah, pemuda itu ternyata hebat! Kembali dia telah menyelamatkan Syanti Dewi dan kini dia seorang diri hendak menolong Ceng Ceng, sungguh berbahaya baginya. Mari kita mempercepat perjalanan dan mendahului pasukan ini," Bun Beng berkata. Setelah berpesan kepada pasukan itu, Kian Bu lalu bersama Milana dan Bun Beng menggunakan ilmu berlari cepat, meninggalkan pasukan dan mendahului pergi ke sarang Tambolon di mana kabarnya Ceng Ceng menjadi tawanan raja liar itu.

Akan tetapi ternyata rombongan itu tidak lagi berada di situ. Seperti kita ketahui, akibat khasiat darah anak ular naga yang diminumnya, Ceng Ceng dapat membebaskan diri sendiri dari tangan Tambolon dan kawan-kawannya, dan rombongan raja liar ini pun lalu pergi meninggalkan tempat itu untuk melakukan pengejaran.

Karena dusun itu kosong, maka Bun Beng lalu mengajak Milana dan Kian Bu untuk melanjutkan perjalanan ke Nam-lim. Kedatangan tiga orang ini dengan pasukan pengawal di belakang mereka, telah diketahui oleh anak buah Hek-tiauw Lo-mo yang cepat melapor kepada Ketua Pulau Neraka ini, tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi terkejut sekali dan pada saat itu dia melihat Topeng Setan sudah dapat membebaskan diri secara menggiriskan. Maka timbullah akalnya untuk mengadu Topeng Setan dengan rombongan Puteri Milana. Biarpun Ceng Ceng sudah tidak berada lagi di tahanan, akan tetapi kebebasan dara ini belum diketahui oleh Topeng Setan dan karenanya dia masih dapat menipu Topeng Setan dan memaksanya untuk membantunya dengan mengancam Ceng Ceng yang sebenarnya sudah tidak ada lagi di situ.

******

Demikianlah mengapa Gak Bun Beng, Milana dan Suma Kian Bu dapat muncul di tempat itu dan kini kita kembali kepada Topeng Setan yang dihadapkan pada dua pilihan yang amat berat baginya. Sungguh berat baginya untuk menghadapi rombongan Puteri Milana yang dihormati dan dipandang tinggi itu, akan tetapi apa pun akan dilakukannya demi untuk menolong keselamatan Ceng Ceng.

"Bagaimana, Topeng Setan? Apakah engkau lebih ingin melihat kami membunuh gadis itu kemudian engkau melawan kami mati-matian? Jangan mengira bahwa kami takut kepadamu. Kami hanya ingin menarikmu sebagai kawan untuk menghadapi musuh-musuh yang kuat itu, dan percayalah, aku pasti akan membebaskan engkau dan gadis itu kelak. Mereka telah tiba di luar dan pergilah kau mengundurkan mereka."

"Baik, akan tetapi awaslah engkau kalau menipuku, Lo-mo!" teriak Topeng Setan yang kini juga sudah mendengar gerakan orang di depan rumah itu. Dia meloncat keluar dan terus ke ruangan depan dan tiba-tiba saja dia sudah berhadapan dengan Puteri Milana, Gak Bun Beng dan Suma Kian Bu!

"Pergilah kalian dari sini....! Ah, pergilah segera....!" Topeng Setan berkata sambil melambai-lambaikan tangannya memberi isyarat agar supaya mereka itu pergi dari situ.

"Topeng Setan, kami datang justeru untuk menolong.... engkau dan Ceng Ceng...." Suma Kian Bu berkata.

"Tidak...., tidak....! Lekas kalian pergi dari sini, lekas....!" kembali Topeng Setan berseru dengan kacau karena memang hatinya kacau-balau tidak karuan menghadapi keadaan gawat yang mengancam keselamatan Ceng Ceng itu.

Milana dan Gak Bun Beng hanya pernah mendengar nama Topeng Setan, akan tetapi mereka baru sekarang melihat orangnya. Bagi kedua orang pendekar besar ini, orang yang menyembunyikan mukanya di balik topeng sudah menunjukkan ketidakjujuran orang itu, maka topeng itu saja sudah mendatangkan kesan yang kurang baik bagi mereka.

"Topeng Setan atau siapa pun adanya engkau. Mundurlah dan kami datang untuk membebaskan Ceng Ceng!"

"Tidak.... tidak.... Paduka saja mundurlah. Dan harap jangan mencampuri urusan kami berdua dengan Hek-tiauw Lo-mo!"

Milana menjadi marah. Biarpun satu kali dia pernah melihat Topeng Setan ini dan biarpun dia sudah mendengar bahwa orang ini adalah pembantunya Ceng Ceng, namun sikapnya sekarang amat mencurigakan karena agaknya membela Hek-tiauw Lo-mo.

"Manusia sombong, agaknya engkau telah berkhianat dan memihak Hek-tiauw Lo-mo. Minggir....!" Milana maju dan mendorong Topeng Setan agar ke pinggir akan tetapi Topeng Setan menggerakkan tangan kanannya menangkis.

"Desss....!" Milana terlempar hampir jatuh oleh tangkisan itu, baiknya Bun Beng cepat menyambar lengannya. Milana dan Bun Beng terkejut bukan main. Apalagi Milana. Wanita perkasa ini tadi sudah mengerahkan seluruh tenaganya karena dia dapat menduga bahwa Topeng Setan ini memiliki kepandaian hebat, namun dia terlempar oleh tangkisan itu. Sungguh hebat orang ini.

Hek-tiauw Lo-mo, pembantunya yang utama Ji Song, dan Mauw Siauw Moli juga kaget bukan main melihat betapa Topeng Setan dapat menangkis dan membuat puteri yang mereka segani dan takuti itu terlempar! Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang melihat Suma Kian Bu muncul bersama Milana dan Gak Bun Beng menjadi girang dan juga khawatir.

"Kian Bu....!" Dia berseru memanggil akan tetapi pemuda itu sudah cepat melompat ke belakang dan menghilang karena dia merasa malu sekali kalau sampai wanita cantik yang membuat dia mabuk dan lupa daratan, membuat dia tenggelam dalam permainan cinta dan nafsu berahi, akan membuka rahasia yang memalukan di depan encinya dan suhengnya.

Pada saat itu, Milana sudah menjadi marah bukan main. "Kau mundurlah, biar aku menghadapinya," kata Bun Beng, akan tetapi Milana yang sudah penasaran itu membantah.

"Biar aku mencobanya sekali lagi!"

Puteri Milana sudah mengerahkan tenaga sakti dari Pulau Es, yaitu tenaga Swat-im Sin-kang. Setelah mengerahkan tenaga mujijat ini, tangan puteri itu kelihatan mengkilap kebiruan dan di ruangan itu menyambar hawa yang amat dingin!

Topeng Setan maklum bahwa puteri ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, maka dia pun terpaksa mengerahkan ilmunya yang mujijat, yang baru saja dikuasainya, yaitu tenaga Sin-liong-hok-te. Tubuhnya memasang kuda-kuda rendah sekali, hampir menelungkup, lengan kanannya lurus ke depan dengan jari-jari tangan membentuk kepala ular, tubuhnya kaku kejang dan anehnya,

lengan kiri yang hanya tinggal lengan bajunya yang kosong itu seolah-olah "hidup", dapat bergerak-gerak lurus ke belakang dan kopat-kapit seperti ekor naga!

"Pergi!" Milana membentak dan wanita ini sudah mendorong dengan lengan tangannya. Hawa yang amat dingin menyambar ke arah Topeng Setan. Pukulan yang didasari tenaga Swat-im Sin-kang ini hebat dan dahsyat bukan main. Dengan ilmu ini yang sudah sampai di puncaknya, air pun terkena hawa pukulan ini akan menjadi beku!

Topeng Setan memapaki dengan lengan kanannya dalam tangkisan yang dahsyat pula.

"Desss....!" Kembali tubuh Milana terlempar ke belakang sedangkan Topeng Setan hanya melangkah mundur dua langkah saja. Dan kembali Gak Bun Beng yang menyambar lengan Milana. Sekali ini Milana tidak banyak membantah ketika Bun Beng yang maju menghadapi Topeng Setan.

Hek-tiauw Lo-mo dan para pembantunya memandang heran dan terkejut, akan tetapi juga girang bahwa "pembantu" mereka itu dapat menolong mereka menghadapi para lawan yang tangguh itu. Diam-diam Hek-tiauw Lo-mo memberi isyarat kepada sumoinya dan kepada para pembantu dan anak buahnya dan diam-diam mereka itu mundur ke dalam. Mereka hendak mempergunakan kesempatan selagi para musuh sibuk menghadapi Topeng Setan yang hebat itu untuk meloloskan diri karena mereka merasa tidak akan menguntungkan kalau melawan pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Puteri Milana.

Gak Bun Beng memandang tajam dan dengan penuh keheranan. Selama hidupnya yang penuh dengan pengalaman dan pertempuran melawan orang-orang pandai, tokoh-tokoh sesat dari seluruh dunia persilatan belum pernah dia bertemu dengan orang yang menggunakan ilmu pukulan semacam yang diperlihatkan Topeng Setan ini. Penghimpunan sin-kang dengan tubuh merendah hampir menelungkup itu! Dia sendiri pernah melatih diri di bawah pimpinan Bu-tek Siauw-jin tokoh besar di Pulau Neraka dengan sin-kang mujijat yang dina makan Tenaga Sakti Inti Bumi, yang juga pengerahan tenaganya dilakukan dengan menelungkup di atas tanah, akan tetapi sungguh berbeda lagi dengan yang diperlihatkan Topeng Setan tadi. Apalagi gerakan ilmu silat yang aneh itu, lengan kanan seperti kepala ular dan lengan buntung diwakili lengan baju seperti ekor naga, sungguh amat mengerikan dan hebat. Kalau sin-kang Si Topeng Setan mampu menandingi Swat-im-sin-kang, sungguh amat luar biasa. Biarpun dia tahu bahwa Milana belum mencapai kesempurnaan dalam latihan Swat-im Sin-kang, namun tingkat wanita ini amat tinggi dan sukar mencari tandingannya.

"Kau agaknya berkeras hendak membela Hek-tiauw Lo-mo!" kata Gak Bun Beng. "Terpaksa aku pun harus menggunakan kekerasan."

"Harap.... harap Taihiap mundur saja...." Topeng Setan berkata dengan cemas.

"Aku tidak tahu apa yang memaksamu, akan tetapi jelas engkau membela musuh, maka terpaksa aku akan berusaha menyingkirkanmu!" Bun Beng kini mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang di tangan kanannya, tenaga ini sudah dia perkuat dengan tenaga sakti Inti Bumi sehingga lengan kanannya itu kelihatan merah membara seperti baja yang terbakar api dan mengeluarkan uap. Hawa di sekitarnya menjadi panas sekali sehingga para pengawal yang sudah tiba di situ, tidak berani mendekat saking panasnya.

Topeng Setan terkejut bukan main, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang benar-benar sakti, akan tetapi karena dia harus melindungi keselamatan Ceng Ceng, dia tidak gentar dan kalau perlu dia akan mempertaruhkan nyawanya. Gak Bun Beng mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, menggunakan tangan kanan dengan jari terbuka untuk menghantam. Serangkum hawa panas sekali menyambar dan Topeng Setan terpaksa menyambutnya dengan telapak tangan kanannya, seperti tadi tubuhnya mengambil posisi rendah dan lengan baju kirinya tergerak-gerak di belakangnya seperti mengatur keseimbangan.

"Blarrr....!"

Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti di udara ini, terasa oleh semua orang, bahkan beberapa orang pengawal yang sudah menonton dari jarak jauh ada yang terpental. Topeng Setan berseru keras dan pada saat kedua tangan bertemu tadi, kakinya melangkah ke belakang, akan tetapi tiba-tiba "ekor naga" yang berupa lengan baju kirinya itu menyambar, tubuhnya miring.

"Pyarrr....!" Bun Beng terkejut dan masih sempat menangkis, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, sedangkan Topeng Setan juga terhuyung ke belakang dengan muka pucat akibat pertemuan tenaga sakti yang pertama tadi.

Topeng Setan memandang dengan mata terbelalak. Dia maklum bahwa dia sudah berhasil menguasai Ilmu Tenaga Sakti Sin-liong-hok-te, biarpun belum sesempurna gurunya, namun ilmu ini hebat sekali dan menurut gurunya, jarang ada orang di dunia yang akan mampu melawannya. Akan tetapi siapa kira, baru saja dia berkesempatan mempergunakan ilmu yang dahsyat ini, dia telah menemui lawan yang begini hebat.

Di lain pihak, Gak Bun Beng juga memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar keras. Baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang hebat, yang dapat mengimbangi kepandaiannya. Seolah-olah dia melihat tokoh-tokoh besar seperti Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua tokoh Pulau Neraka itu, hidup lagi! Topeng Setan ini merupakan orang yang kepandaiannya sukar ditandingi. Padahal dia sudah menggembleng dirinya dan pukulannya tadi adalah pukulan yang didasari persatuan tenaga Hwi-yang Sin-kang dan Inti Bumi. Kiranya di dunia ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja yang akan mampu menahan

pukulannya, di samping tentu saja orang sakti seperti Pendekar Super Sakti, akan tetapi orang bertopeng ini mampu menahan bahkan membalas dan membuat dia terhuyung.

Sejenak keduanya saling pandang dengan mata terbelalak, seperti dua ekor ayam jago yang berlagak sebelum saling gempur, berdiri saling pandang dan saling taksir. Tiba-tiba Bun Beng mengeluarkan suara melengking tinggi dan pendekar sakti ini sudah bergerak menyerang. Topeng Setan yang sudah memasang kuda-kuda Sin-liong-hok-te menyambut dan bertempurlah kedua orang itu.

Karena dia yakin bahwa lawannya ini memang dahsyat sekali dan tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi daripadanya, maka Topeng Setan tidak berani mainkan lain ilmu silat kecuali yang baru saja dikuasainya, yaitu Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat yang sejak dahulu memang sudah dihafalnya benar akan tetapi baru sekarang dia kuasai. Pula, ilmu inilah satu-satunya ilmu silat tinggi yang dikenalnya, yang cocok dimainkan dengan lengan tunggal, sedangkan ilmu silatnya yang lain, dahulu dilatihnya dengan sepasang lengan sehingga tentu sekarang menjadi canggung kalau dia mainkan dengan lengan tunggal.

Sementara itu, menghadapi serangan-serangan yang aneh dari lengan kanan dan "ekor" berupa lengan baju kiri itu, Gak Bun Beng mainkan ilmu silat Kong-jiu-jip-tin (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan) sambil mengerahkan tenaga saktinya berganti-ganti kadang-kadang dengan Hwi-yang Sin-kang, kadang-kadang dengan Swat-im Sin-kang yang amat dingin.

Akhirnya Topeng Setan harus mengakui keunggulan Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Dan diam-diam Bun Beng juga harus mengakui bahwa kalau saja Topeng Setan tidak sedang terluka hebat, dan kalau saja ilmu silat aneh itu sudah dikuasainya benar, sudah terlatih matang dan banyak dipakai menghadapi orang pandai dalam pertempuran, belum tentu dia akan dapat menang dengan mudah! Kini Topeng Setan terhuyung dan terdesak hebat, agaknya sebentar lagi akan roboh. Topeng Setan merasa heran sekali mengapa Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li tidak membantunya, padahal kedua orang itu memiliki kepandaian hebat pula dan kalau membantunya, belum tentu dia sampai terdesak seperti ini. Ketika sebuah hantaman yang biarpun sudah ditangkisnya membuat dia terlempar ke belakang, dia menengok dan.... dia tidak melihat mereka. Terkejutlah dia. Celaka, pikirnya, siapa tahu dia ditipu oleh orang Pulau Neraka itu.

"Tahan dulu....!" teriaknya ketika Gak Bun Beng mendesak maju. Napasnya sudah terengah-engah dan keringatnya bercucuran. "Taihiap....! Puteri....! Tolonglah.... harap jangan serbu Hek-tiauw Lo-mo karena.... karena Ceng Ceng mereka jadikan sandera. Mereka akan membunuh Ceng Ceng kalau saya tidak melawan Ji-wi, maka terpaksa saya melawan agar Ceng Ceng dibebaskan...."

Tiba-tiba terdengar suara teriakan, "Paman....! Kau sudah mati-matian membelaku....! Aku telah dapat lolos, Paman....!"

Kemudian dia membalik, menghadapi Gak Bun Beng dan Puteri Milana dengan kedua tangan terkepal. "Paman Gak Bun Beng dan.... Bibi Puteri Milana! Kalau kalian melanjutkan mendesak dan menyerang Paman Topeng Setan, terpaksa aku akan menantang kalian!"

"Hushhh.... Ceng Ceng, jangan kurang ajar kau terhadap mereka. Gak-taihiap, celaka, kita telah diadu domba dan ditipu oleh Hek-tiauw Lo-mo!" kata Topeng Setan.

Akan tetapi Ceng Ceng yang kegirangan melihat Topeng Setan tidak mati seperti dikhawatirkannya itu, sudah lari dan menubruk, merangkulnya dengan penuh kebanggaan dan kegirangan. Lagi-lagi dalam keadaan seperti itu, Topeng Setan telah memperlihatkan kemuliaan hatinya terhadap dia, telah membelanya mati-matian, bahkan sampai berani melawan Gak Bun Beng yang demikian sakti karena dia ditekan oleh Hek-tiauw Lo-mo yang mengancam hendak membunuhnya kalau Si Buruk Rupa ini tidak melawan Gak Bun Beng. Dia baru saja tiba dan selagi dia terheran-heran dan kebingungan menyaksikan Topeng Setan bertanding sedemikian hebatnya dengan Gak Bun Beng, dia mendengar ucapan Topeng Setan itu maka dia lalu berteriak dan muncul memperlihatkan diri.

"Syukur engkau telah bebas pula, Paman. Betapa aku amat mengkhawatirkan dirimu, Paman...." katanya.

"Dan kau.... bagaimana kau dapat bebas, Ceng Ceng?" Topeng Setan bertanya dan mereka lalu bicara dengan asyik, tanpa mempedulikan Milana dan Gak Bun Beng yang sudah menerjang ke dalam. Akan tetapi rumah itu sudah kosong sama sekali dan di belakang mereka berjumpa dengan Suma Kian Bu.

"Eh, kau tadi kemana, Bu-te?" tanya Milana terheran-heran. Baru sekarang dia teringat bahwa adiknya ini tidak nampak ketika mereka bertanding melawan Topeng Setan.

"Aku.... aku tadinya menyelinap ke belakang untuk menolong Ceng Ceng, kiranya Ceng Ceng tidak ada dan mereka semua telah melarikan diri," jawab Suma Kian Bu yang sebenarnya menghindarkan diri dari Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui.

Mereka semua lalu mencari-cari, mengejar ke sana-sini dan mengerahkan belasan orang pengawal, namun hasilnya sia-sia belaka. Hek-tiauw Lo-mo dan kawan-kawannya sudah melarikan diri entah kemana, menggunakan kesempatan selagi Milana dan Gak Bun Beng sibuk bertempur melawan Topeng Setan tadi. Terpaksa mereka kembali ke tempat tadi dan melihat Topeng Setan dan Ceng Ceng masih bercakap-cakap dengan asyik sekali.

"Orang itu hebat, entah siapa dia...." Diam-diam Gak Bun Beng berbisik kepada Milana dan wanita perkasa itu mengangguk menyetujui.

"Tapi dia benar-benar setia, agaknya dia mencinta Ceng Ceng...." bisiknya kembali dan biarpun tidak yakin akan hal ini, Gak Bun Beng juga mengangguk. Baginya, tanpa melihat wajah Si Kedok itu, bagaimana dia bisa menduga isi hati orang? Akan tetapi, dalam hal asmara memang wanita lebih halus perasaannya.

Melihat kedatangan mereka, Ceng Ceng lalu bertanya kepada Milana, "Bibi Puteri Milana, bagaimana dengan Syanti Dewi? Di mana Kakak Syanti?"

Yang menjawabnya adalah Suma Kian Bu, "Menurut penuturan Perdana Menteri Su, puteri itu kini telah dikawal oleh para utusan Bhutan sendiri kembali ke negaranya...."

"Ah....! Kiranya dia bermain curang....!" Ceng Ceng berseru.

"Siapa?"

"Ang Tek Hoat. Dia menolongku dari tahanan di sini, akan tetapi dia membawaku, dan menukarkan aku dengan Enci Syanti yang tadinya tertawan oleh Tambolon. Untung aku dapat meloloskan diri...." Dia tidak menceritakan kepada orang lain kecuali kepada Topeng Setan tadi betapa dia secara aneh dan tiba-tiba memiliki tenaga mujijat yang amat dahsyat itu.

Selagi mereka bercakap-cakap, datang serombongan pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang! Begitu tiba di situ dan melihat Ceng Ceng, jenderal ini menjadi girang sekali.

"Ceng Ceng.... ahhh, Nona yang baik....! Ternyata benar engkau masih hidup....!" Dengan suara serak karena terharunya dia menghampiri Ceng Ceng dan memeluknya seperti memeluk anaknya sendiri. "Banyak yang mengatakan bahwa kau masih hidup, akan tetapi sukar bagiku untuk percaya setelah melihat kau terjerumus ke dalam sumur maut! Aihhh, betapa bahagia rasa hatiku dapat bertemu denganmu!"

Ceng Ceng segera memberi hormat dan hatinya terharu sekali. Jenderal ini merupakan satu di antara orang-orang di dunia ini yang amat baik kepadanya.

"Paman, inilah dia Paman Jenderal Kao Liang yang sering kuceritakan kepadamu, seorang yang amat mulia hatinya!" katanya kepada Topeng Setan memperkenalkan.

Jenderal Kao Liang terkejut sekali melihat orang yang bertopeng seperti setan dan amat buruk, lagi lengannya buntung sebelah itu. "Siapa.... siapa dia....?"

Gak Bun Beng yang menerangkan, "Goanswe, dia adalah Topeng Setan yang amat terkenal, yang menjadi pembantu dan pengawal Ceng Ceng, akan tetapi ternyata ilmu kepandaiannya hebat bukan main, saya sendiri sampai kewalahan dibuatnya!" Dengan singkat pendekar ini menuturkan kepada Jenderal Kao tentang peristiwa tadi. Sang Jenderal mengangguk-angguk, kagum memandang ke arah

Topeng Setan yang hanya menunduk.

"Selama orang-orang jahat itu masih berkeliaran, negara tidak akan aman," katanya. "Setelah kini pemberontakan dapat terbasmi, para kaki tangan pemberontak harus dibersihkan karena jelas bahwa mereka tidak mau insyaf dan melanjutkan kejahatan mereka. Saya akan mengerahkan semua kekuatan untuk membasmi mereka." Lalu kepada Ceng Ceng dia berkata, "Harap kau suka ikut bersamaku dan singgah di rumahku karena banyak hal yang harus kubicarakan denganmu, anak yang baik."

Ceng Ceng menoleh kepada Topeng Setan yang masih menunduk saja, hatinya bimbang karena dia tidak mau berpisah lagi dari Topeng Setan, akan tetapi menolak permintaan jenderal yang amat baik hati itu pun dia merasa tidak enak.

Melihat keraguan Ceng Ceng, jenderal yang gagah perkasa dan berwatak jujur itu lalu tertawa dan dengan suara lantang berkata, "Anak Ceng, biarlah disaksikan oleh para tokoh perkasa di sini, bahkan oleh Puteri Milana yang masih terhitung bibi luarmu,  aku mengundangmu untuk membicarakan soal perjodohan! Aku ingin sekali mengambil engkau sebagai mantuku, Ceng Ceng!"

Puteri Milana terbelalak, lalu tersenyum dan mengangguk-angguk setuju, sedangkan Gak Bun Beng juga tersenyum. Dia sudah mendengar bahwa putera sulung jenderal ini, yang tadinya lenyap, kini telah pulang dan telah menjadi seorang pemuda yang amat lihai dan telah membantu pelaksanaan penghancuran para pemberontak. Biarpun dia sendiri tidak mengenal pemuda itu, namun melihat Jenderal Kao, seorang yang dia ketahui betul sifat dan keadaannya, amat baiklah kalau gadis yang gagah ini menjadi mantu jenderal itu. Akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng berseru keras, "Eh, Paman....! Paman Topeng Setan, kautunggu aku....!"

Semua orang menoleh dan melihat bahwa Topeng Setan telah pergi dari situ tanpa pamit lagi. Mendengar teriakan Ceng Ceng, dia hanya menoleh sebentar, lalu melangkah pergi lagi tanpa mengeluarkan kata-kata.

"Paman Jenderal Kao, harap suka maafkan saya. Biarlah lain kali saja saya pergi mengunjungi rumah Paman untuk menghaturkan terima kasih. Paman Gak, Bibi Puteri, maafkan saya....!" Ceng Ceng lalu berlari cepat mengejar Topeng Setan yang sudah agak jauh. Semua orang memandang ketika dara itu berhasil menyusul Topeng Setan dan mereka berdua itu berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap. Sungguh pasangan yang sama sekali tidak patut dan berat sebelah!

Jenderal Kao Liang menggosok-gosok dagunya, mengelus jenggot dengan hati penasaran dan kecewa. "Sungguh manusia aneh Topeng Setan itu...."

"Akan tetapi kesetiaannya terhadap dara itu tidak perlu diragukan lagi, Kao-goanswe. Karena itu tenangkanlah hatimu, dara itu tidak akan dibiarkan mengalami malapetaka."

Jenderal Kao Liang dan pasukannya lalu melanjutkan perjalanan untuk mencari dan membasmi kaki tangan bekas pemberontak yang masih berkeliaran, sedangkan Gak Bun Beng dan Puteri Milana melanjutkan perjalanan mereka untuk mengejar rombongan Syanti Dewi untuk melindunginya.

"Bu-te, aku dan Gak-suheng akan mengantarnya sampai ke Bhutan. Kau sebaiknya pulang dulu ke Pulau Es dan ceritakan semua yang telah terjadi kepada Ayah dan Ibu dan katakan bahwa setelah mengantar Syanti Dewi ke Bhutan, kami berdua akan pergi ke Pulau Es menghadap Ayah dan Ibu."

Kian Bu hanya mengangguk, akan tetapi setelah semua orang pergi, dia tidak menuju ke Pulau Es, sebaliknya dia pun menuju ke barat karena dia ingin mencari kakaknya, Suma Kian Lee yang tidak diketahuinya ke mana perginya itu. Juga dia masih perlu waktu panjang untuk memulihkan perasaannya yang terguncang karena dia malu dan menyesal akan semua perbuatannya bersama dengan Mauw Siauw Mo-li. Kini baru dia insyaf betapa dia telah terpikat oleh wanita yang hina, seorang datuk kaum sesat yang gila laki-laki. Sungguh dia merasa menyesal sekali kepada dirinya sendiri yang dianggap amat lemah dan mudah jatuh oleh kecantikan wanita.

******

Kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda itu berjalan dengan tenang melalui lembah pegunungan, dikawal oleh tiga puluh enam orang yang kelihatan gagah perkasa, kesemuanya menunggang kuda dan biarpun mereka berpakaian seperti orang-orang biasa, bukan pakaian seragam piauwsu (pengawal barang), namun dari cara mereka menunggang kuda, duduk dengan tegak dan kuda mereka teratur rapi di belakang dan di depan kereta, dapat diduga bahwa mereka itu adalah orang-orang yang biasa berbaris dengan kuda dan

mengenal disiplin. Pemimpinnya, seorang laki-laki tinggi besar dengan kumis dan jenggot pendek rapi, kelihatan gagah sekali dan mereka melanjutkan perjalanan berkuda itu menuju ke barat tanpa banyak kata-kata. Kereta itu sendiri amat besar, tidak seperti kereta biasa, agaknya kereta yang khusus dibuat untuk keperluan itu. Panjang kereta dua kali panjang kereta biasa, maka penariknya adalah empat ekor kuda, tidak dua ekor seperti biasa kalau hanya menarik penumpang. Di bagian paling belakang dari rombongan itu terdapat seekor kuda menarik sebuah kereta kecil yang terisi barang-barang perbekalan mereka.

Orang-orang yang kelihatan gagah itu ternyata dapat bekerja sama dengan cepat dan setiap kali jalan terlalu mendaki sehingga empat ekor kuda yang menarik kereta besar itu kelihatan payah, mereka lalu langsung meloncat turun dan beberapa orang ikut mendorong roda kereta sehingga kereta itu dapat mendaki dengan lancar dan perjalanan tidak perlu dihentikan. Biarpun mereka tidak tergesa-gesa, namun perjalanan itu tidak pernah berhenti kecuali kalau hendak makan atau bermalam di tengah perjalanan.

Pagi hari itu amat cerah. Jalan yang dilalui rombongan itu pun datar sehingga kuda mereka berlari congklang dan kereta bergerak lancar. Suara derap kaki kuda menimbulkan bunyi irama yang lucu dan menggembirakan, dan barisan kuda itu akhirnya memasuki sebuah hutan kecil yang mulai diterobos sinar matahari pagi yang membangunkan semua binatang penghuni hutan. Beberapa ekor kelinci dan tikus lari berserabutan melintasi jalan dan menyelinap ke balik semak-semak ketika rombongan itu tiba. Burung-burung terbang ketakutan dari pohon-pohon di kanan kiri jalan. Kuda-kuda mereka agaknya merasa gembira pula tiba di dalam hutan di antara pohon-pohon dan daun-daun segar. Beberapa di antara mereka meringkik dan mendengus, agaknya bau daun-daunan dan tanah yang sedap menimbulkan gairah dan kegembiraan mereka. Tentu saja jauh bedanya dengan bau pengap di kota-kota dan dusun-dusun yang penuh manusia.

Akan tetapi, selagi rombongan yang terdiri dari tiga puluh enam orang termasuk kusir kereta dan komandan rombongan itu menjalankan kuda dengan hati tenang gembira, tiba-tiba terdengar bunyi berdesing dan tahu-tahu tiga batang tombak menancap di tengah jalan di depan Si Pemimpin. Cepat pemimpin rombongan ini menahan kudanya, mengangkat tangan kiri memberi tanda agar rombongan itu berhenti. Kemudian beberapa orang pembantunya melarikan kuda dari belakang ke depan dan lima orang pemimpin rombongan yang berkuda itu berjajar memenuhi jalan sambil memandang ke arah tiga batang tombak yang masih menggetar di atas tanah itu.

Mereka menyangka bahwa tentu ada perampok-perampok yang "bosan hidup" berani menghadang mereka. Akan tetapi ketika dari balik pohon-pohon besar muncul seorang kakek tinggi besar bersama seorang wanita cantik dan di belakang mereka terdapat belasan orang yang dipimpin oleh seorang kakek gendut tinggi besar, rombongan berkuda ini menjadi terkejut sekali. Andaikata benar mereka itu perampok, tentu bukan perampok-perampok sembarangan. Orang-orang yang datang bersama kakek tinggi besar itu adalah orang-orang yang berwajah menyeramkan sekali, seperti setan-setan karena wajah mereka itu samar-samar masih membayangkan warna-warna bermacam-macam, ada yang kehijauan dan ada yang kemerahan!

"Haii, rombongan yang melakukan perjalanan, jangan kalian takut, kami bukan perampok. Ketahuilah, kami adalah orang-orang Pulau Neraka dan aku adalah Hek-tiauw Lo-mo. Hayo kalian turun dari kuda, berikan kereta itu untukku dan berikan kepada anak buahku masing-masing seekor kuda dan kami tidak akan membunuh kalian."

Rombongan itu belum pernah mendengar tentang Pulau Neraka atau Hek-tiauw Lo-mo maka tentu saja mereka menjadi marah mendengar ucapan yang bernada sombong itu. Apalagi harus menyerahkan kereta yang dikawalnya dengan rapi, tentu saja mereka tidak sudi melaksanakan permintaan ini.

Pemimpin rombongan lalu berkata, suaranya tegas dan bernada keras, "Hek-tiauw Lo-mo, kami serombongan pelancong tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, maka harap kalian jangan mengganggu kami. Kuda dan kereta ini kami butuhkan sekali untuk melanjutkan perjalanan kami. Akan tetapi penolakan kami bukan berarti bahwa kami pelit. Nah, sedikit emas dan perak ini kiranya cukup bagi kalian untuk membeli kuda!" Setelah berkata demikian, pemimpin rombongan itu melemparkan sebuah kantung kecil ke arah Hek-tiauw Lo-mo! Kakek ini menerimanya dan merobeknya, sehingga isinya yang berupa potongan-potongan emas dan perak berhamburan ke atas tanah, "Ha-ha-ha, ada orang berani memberi sedekah kepada Hek-tiauw Lo-mo. Penghinaan ini selama hidupku belum pernah kuterima. Ji Song, hajar mereka!" Perintahnya kepada pembantunya yang selama ini tidak pernah ketinggalan memimpin para anak buahnya. Ji Song, kakek gendut tinggi besar, segera berteriak memberi aba-aba dan majulah belasan orang anak buah Pulau Neraka itu menyerbu.

Akan tetapi pemimpin rombongan itu pun memberi aba-aba dan bagaikan perajurit-perajurit yang terlatih baik, para anak buahnya juga meloncat dari atas kuda dan menyambut serbuan itu sehingga terjadilah pertempuran yang seru. Akan tetapi betapa kaget hati pemimpin itu menyaksikan kehebatan pihak lawan, terutama kakek gendut tinggi besar. Maka dia sendiri bersama empat orang pembantunya lalu meloncat turun dan disambut oleh wanita cantik itu sambil tertawa-tawa. Wanita cantik itu bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Hek-tiauw Lo-mo yang telah kehilangan Ceng Ceng, menggunakan siasat adu domba ketika dia diserbu oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng, dan menggunakan kesempatan selagi Topeng Setan melayani mereka, dia mengajak sumoinya itu dan semua anak buahnya untuk meloloskan diri.

Mauw Siauw Mo-li penasaran sekali karena kehilangan Kian Bu, pemuda yang amat memuaskan hatinya itu, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo penasaran karena kehilangan Ceng Ceng. Mereka terus mencari ke barat dan di hutan itu mereka bertemu dengan rombongan berkuda itu yang hendak mereka rampas kereta dan kudanya agar perjalanan mereka lebih lancar dan cepat.

Biarpun dikeroyok oleh lima orang pimpinan rombongan itu, Mauw Siauw Mo-li masih melayani seenaknya saja. Untung bahwa lima orang pemimpin rombongan itu adalah laki-laki yang gagah perkasa dan rata-rata berwajah tampan menarik. Laki-laki muda tampan dan menarik merupakan kelemahan Mauw Siauw Mo-li sehingga hati wanita ini tidak tega untuk membunuh mereka. Dia hanya mempermainkan mereka, menangkis senjata mereka dengan pedangnya yang bersinar hijau, sedangkan jari-jari tangan kirinya tidak hentinya mencolek sana-sini di tubuh kelima orang lawannya itu sambil mengeluarkan kata-kata pujian yang membuat lima orang itu terkejut, terheran, akan tetapi juga menjadi muak.

"Hemm, Sumoi, apakah pada saat begini sudah kumat lagi penyakitmu gila laki-laki? Hayo kaubunuh mereka agar lebih cepat urusan ini beres!" teriak Hek-tiauw Lo-mo yang duduk di bawah pohon menonton pertempuran. Dia sendiri merasa terlalu tinggi untuk melayani orang-orang yang kepandaiannya tidak berapa tinggi itu dan dia mendongkol menyaksikan sumoinya yang mempermainkan lima orang lawannya.

"Hi-hi-hik, baiklah, Suheng. Wah, sayang sekali, aku terpaksa harus merobohkan kalian, orang-orang ganteng!" Mauw Siauw Mo-li tertawa dan pedangnya lalu berubah berkelebatan menjadi gulungan sinar hijau yang amat cepat. Lima orang lawannya terkejut sekali dan mereka pun menggerakkan senjata mereka untuk membela diri, akan tetapi biarpun mereka sama sekali tidak dapat menyerang dan hanya mempertahankan diri, tetap saja mereka terhimpit dan terdesak hebat oleh sinar hijau itu dan agaknya pertahanan mereka tidak akan berlangsung lama.

Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat terjun ke medan pertempuran ini, didahului sinar yang seperti halilintar menyilaukan mata.

"Cringgg.... trakkkk!"

Mauw Siauw Mo-li mengeluarkan pekik kaget ketika pedangnya yang bersinar hijau itu disambar oleh sinar kilat itu dan ternyata ujung pedangnya yang merupakan pedang pusaka ampuh itu telah patah! Ketika dia yang telah meloncat mundur memandang ke depan, kiranya di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan gagah yang dikenalnya baik karena pemuda ini bukan lain adalah Tek Hoat! Setelah pemuda itu menyerahkan Syanti Dewi kepada Perdana Menteri Su, hatinya lega bukan main karena kekasih hatinya itu telah berada dalam keadaan aman. Barulah dia teringat akan Ceng Ceng dan Topeng Setan. Dia suka sekali kepada Ceng Ceng dan agaknya akan mudah baginya untuk jatuh cinta kepada gadis itu andaikata tidak ada Syanti Dewi di dunia ini. Maka setelah meninggalkan istana Perdana Menteri, dia bergegas keluar dari kota raja dan kembali ke tempat Tambolon di sebelah selatan untuk menolong gadis itu. Diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau dia akan terlambat. Dan ketika dia tiba di tempat itu, ternyata bahwa Tambolon dan kawan-kawannya telah pergi dan demikian pula Ceng Ceng, entah pergi ke mana, entah lolos ataukah dibawa pergi oleh Tambolon. Maka ia menjadi gelisah juga dan dia cepat pergi ke dusun Nam-lim untuk menolong Topeng Setan. Akan tetapi dusun bekas sarang kaum sesat ini pun telah kosong!

Terpaksa dia lalu meninggalkan tempat itu dan secepatnya dia menuju ke barat, karena dia dapat menduga bahwa tentu Syanti Dewi akan dikawal dan dipulangkan ke Bhutan maka sebaiknya kalau dia mengamat-amati dari jauh. Demikianlah, pada pagi hari itu dia melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li mencegat rombongan berkuda, dan melihat orang-orang yang menjadi musuhnya ini sekarang, orang-orang yang telah menangkap Topeng Setan dan Ceng Ceng, dia menjadi marah dan tanpa mengetahui siapa mereka yang didesak oleh Mauw Siauw Mo-li, dia sudah mencabut Cui-beng-kiam dan sekali tangkis dia telah mematahkan ujung pedang sinar hijau di tangan Siluman Kucing itu.

"Eh, kau.... bocah tampan? Kau di sini....? Kenapa kau melawan aku?" Mauw Siauw Mo-li menegur, setengah marah karena kerusakan pedangnya, akan tetapi juga girang karena sejak dahulu dia ada hati terhadap pemuda tampan itu yang dahulu merupakan tangan kanan dari Pangeran Liong Khi Ong. Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat ke depan dan menghadapi Tek Hoat dengan alis berkerut. "Bocah lancang! Kenapa engkau mencampuri urusanku? Hayo minggat, sebelum aku marah dan membunuhmu!"

Kalau saja Hek-tiauw Lo-mo tidak bersikap kasar dan bicara dengan baik, agaknya Tek Hoat yang tidak mengenal rombongan itu akan merasa sungkan untuk mencampuri dan akan pergi. Akan tetapi entah mengapa, semenjak dia bertemu dengan Syanti Dewi dan orang-orang seperti Milana dan lain-lain, dia merasa betapa dirinya amat rendah dan hina, betapa dia adalah seorang pemuda yang tersesat dan jahat, betapa dia karena semua perbuatannya yang jahat, sama sekali tidak berharga untuk berdekatan dengan Syanti Dewi. Hal ini membuat dia merasa menyesal bukan main akan perbuatan-perbuatannya yang sudah-sudah. Dia bukan anak penjahat, mengapa dia telah tersesat sedemikiah jauhnya? Penyesalan inilah, terutama sekali bayangan wajah Syanti Dewi yang lembut dan penuh welas asih, yang membuat dia merasa tidak senang dengan orang-orang dari golongan sesat karena dia menganggap bahwa mereka itulah yang menyeretnya ke lembah kesesatan. Kini, Hek-tiauw Lo-mo bersikap kasar, maka dia menjadi makin marah dan mengambil keputusan untuk melawannya dan membela rombongan yang tak dikenalnya ini.

"Hek-tiauw Lo-mo, engkau manusia sombong dan jahat! Kaukira aku takut kepadamu?" bentaknya dan pedang Cui-eng-kiam yang menggiriskan itu melintang di depan dadanya.

Hek-tiauw Lo-mo memang benar telah menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi dia bukanlah asli penghuni Pulau Neraka. Dia adalah pendatang baru yang menggunakan ilmunya untuk menaklukkan orang-orang Pulau Neraka, maka dia tidak mengenal pedang di tangan Tek Hoat itu. Akan tetapi Kakek Ji Song, kakek gendut gundul yang memang merupakan tokoh Pulau Neraka asli, begitu melihat pedang di tangan Tek Hoat, seketika dia menjadi ketakutan, gemetar dan berseru, "Cui-beng-kiam....!" Lalu dia menjauhkan diri dari situ.

Hal ini adalah tidak aneh. Cui-beng-kiam ini dahulunya adalah pedang milik Cui-beng Koai-ong, yaitu tokoh nomor satu dari Pulau Neraka, yang merupakan iblis Pulau Neraka, orangnya mengerikan seperti mayat hidup, kepandaiannya tidak lumrah manusia. Seperti kita ketahui, pedang pusaka ini berikut kitab-kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin terjatuh ke tangan seorang tokoh Pulau Neraka lainnya, yaitu Kong To Tek dan akhirnya terjatuh ke tangan Tek Hoat.

Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li yang tidak mengenal pedang ini lalu bergerak menerjang pemuda itu dari kanan kiri. Hek-tiauw Lo-mo yang dapat menduga akan kelihaian pemuda yang pernah menjadi tangan kanan pemberontak ini, langsung mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu sebatang golok besar tajam yang punggungnya berbentuk gergaji! Senjata ini terbuat dari baja pilihan sehingga mengkilap dan amat tajam, ketika digerakkan menjadi gulungan sinar biru dan mengeluarkan suara berdesing.

Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui juga marah sekali karena kerusakan pedangnya, akan tetapi karena yang patah hanya ujungnya sedikit, dia masih dapat menyerang dengan ganas. Dia merasa menyesal sekali bahwa obat peledaknya yaitu senjatanya yang paling diandalkan, telah habis dan belum memperoleh kesempatan untuk membuat lagi, maka kini dia hanya dapat menyerang dengan pedang buntung dibantu oleh cakaran tangan kirinya yang juga amat berbahaya.

Tek Hoat mengamuk. Kadang-kadang dia menyeringai menahan rasa sakit. Luka-lukanya akibat pertempuran membela Syanti Dewi di dalam hutan melawan Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo masih belum sembuh sama sekali. Dan kini dua orang lihai yang mengeroyoknya itu pun mengeluarkan seluruh daya upaya mereka untuk membunuhnya. Sebetulnya suheng dan sumoi itu sama sekali tidak merasa sakit hati atas kematian Hek-wan Kui-bo karena di antara mereka bertiga biarpun terhitung suheng dan sumoi, akan tetapi tidak mempunyai hubungan akrab, bahkan saling mengiri dan saling mencurigai. Kematian Hek-wan Kui-bo di tangan pemuda ini tidak mendatangkan perasaan dendam. Akan tetapi, karena kini Tek Hoat berani menentang mereka, maka mereka teringat akan hal itu yang sedikitnya merupakan pukulan bagi nama mereka, maka tanpa berunding lebih dulu, keduanya kini berusaha sekuat tenaga untuk membunuh Tek Hoat.

Tek Hoat juga maklum akan kelihaian lawan, maka dia memutar pedangnya yang ampuh itu dan mengeluarkan semua kepandaiannya. Ilmu yang diwarisinya dari Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin memang hebat sekali. Dari kitab peninggalan Bu-tek Siauw-jin dia telah memperoleh ilmu menghimpun tenaga sakti, sedangkan dari kitab-kitab Cui-beng Koai-ong dia memperoleh ilmu-ilmu pukulan beracun, ilmu pedang yang dinamakan Cui-beng Kiam-sut dan obat perampas ingatan. Kini dia menggerakkan pedangnya berdasarkan sin-kang yang sesungguhnya berpusat pada ilmu mujijat atau Ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi dan dia memainkan Cui-beng Kiam-sut yang luar biasa gerakannya itu.

Hebat bukan main pertandingan antara tiga orang ini. Sinar pedang Cui-beng-kiam berubah menjadi gulungan sinar kilat menyambar-nyambar menyilaukan mata, dan sinar ini dikeroyok oleh gulungan sinar hijau dan biru! Adapun lima orang pemimpin rombongan itu kini sudah saling gempur melawan kakek gundul Ji Song yang lihai dan teman-temannya. Akan tetapi karena jumlah para anak buah Pulau Neraka ini kalah jauh dan karena ternyata anggauta rombongan berkuda itu pun rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka pertandingan antara mereka itu berjalan seru dan akhirnya pihak Pulau Neraka mulai terdesak.

Mauw Siauw Mo-li yang sudah marah kini tidak lagi memperlihatkan sikapnya yang gila laki-laki, apalagi dia teringat akan sucinya yang tewas oleh pemuda ini dan pedangnya yang menjadi buntung. Lebih-lebih lagi karena dia yang mengeroyok dengan suhengnya yang dia tahu amat lihai, selama hampir seratus jurus masih belum juga dapat mengalahkan pemuda ini. Dia gemas dan penasaran sekali.

"Ang Tek Hoat, kau manusia khianat! Engkau yang sudah banyak makan uang pemberontak, pada saat terakhir malah berkhianat. Manusia tak tahu malu! Sekarang engkau agaknya hendak bermuka-muka dan menjilat-jilat pantat Kaisar agaknya! Hi-hik, manusia rendah, pemuda yang hina!"

Bukan main marahnya hati Tek Hoat mendengar ini. Diingatkan akan penyelewengan dan kejahatannya adalah hal yang amat dibencinya karena hal itu mengingatkan dia lagi akan ketidakpantasannya untuk berdekatan dengan Syanti Dewi! Tiba-tiba dia merubah ilmu pedangnya. Biarpun Cui-beng Kiam-sut adalah ilmu pedang iblis yang amat hebat, akan tetapi pertahanan kedua orang itu amat ketat dan mereka mulai dapat mengikuti gerakan dari ilmu pedang ini. Maka secara tiba-tiba dia merubah ilmu pedangnya dan mainkan Pat-mo Kiam-sut yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo, bekas tokoh Thian-liong-pang. Pat-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Iblis) juga merupakan ilmu pedang golongan sesat yang amat hebat sekali, dahulu menjadi satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari ketuanya, yaitu Puteri Nirahai yang kini menjadi nyonya Pendekar Super Sakti. Dan perubahan mendadak ini membuat kedua orang lawan itu terkejut, terutama sekali Lauw Hong Kui yang memang didesak hebat oleh Tek Hoat yang marah mendengar ejekannya tadi.

Sinar kilat menyambar ke arah ulu hati Lauw Hong Kui. Wanita hamba nafsu berahi ini memekik, cepat dia miringkan tubuhnya dan menangkis.

"Cringgg.... trekk.... aughhh....!" Tangkisan itu memang tepat, akan tetapi saking kuatnya Tek Hoat menggerakkan pedangnya, kembali pedang sinar hijau dari wanita itu terbabat putus dan Cui-beng-kiam masih sempat melukai pangkal lengan kanan wanita itu sehingga kulit dan dagingnya terobek lebar dan darah bercucuran, pedangnya yang buntung tinggal pendek saja itu terlepas!

Akan tetapi pada saat itu, sinar hitam menyambar dari atas ke arah kepala Tek Hoat. Pemuda ini terkejut dan cepat menangkis dengan Cui-beng-kiam.

"Plakkkk....!" Makin kagetlah hati Tek Hoat karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah sehelai jala tipis yang tadi dikepal di tangan kiri Ketua Pulau Neraka dan jala ini terbuat dari bahan yang amat kuat, tidak dapat diputus oleh pedang pusaka. Pedang itu telah tertangkap oleh jala! Dan golok berpunggung gergaji itu menyambar ganas ke arah lehernya! Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li yang juga marah sekali karena lengannya terluka parah dan pedangnya rusak, menerjang ke depan dengan hantaman tangan kirinya dengan pengerahan sin-kang dan dia telah mempergunakan pukulan beracun ke arah kepala Tek Hoat.

Pemuda ini maklum akan datangnya bahaya besar. Pedangnya tak dapat digerakkan lagi karena telah tertangkap dan terbelit jala tipis, dan andaikata dia hanya mementingkan pedangnya, tentu dia akan terkena sambaran golok dan hantaman wanita itu. Dia teringat akan Tenaga Sakti Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu-tek Siauw-jin. Tiba-tiba dia melepaskan pedangnya, melempar diri ke bawah dan menelungkup, kemudian dengan pengerahan sin-kang sakti Inti Bumi, kedua kakinya menghantam ke atas seperti seekor jengkerik menendang. Tendangannya yang tak tersangka-sangka dan mengandung tenaga dahsyat itu memapaki golok.

"Dessss.... crakkk....!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak keras karena goloknya itu membalik sedemikian hebatnya sehingga dia tidak mampu mempertahankan lagi dan goloknya telah menghantam pundaknya sendiri sehingga tulang pundaknya retak dan bahunya terluka! Dengan kemarahan meluap, dia menguyun kakinya.

"Bukkk! Plakkk!" Tek Hoat terkena tendangan pada perutnya dan terkena hantaman tangan kiri Mauw Siauw Mo-li pada punggungnya. Tubuhnya terlempar dan terbanting lalu bergulingan. Akan tetapi dia dapat meloncat bangun kembali, matanya terbelalak marah dan tangan kirinya mengusap mulutnya yang berdarah.

Hek-tiauw Lo-mo menyumpah-nyumpah. Dia telah terluka, juga Mauw Siauw Mo-li telah terluka. Celakanya, anak buahnya terdesak hebat dan banyak yang sudah terluka. Maka dia lalu bersuit nyaring dan meloncat pergi bersama sumoinya. Anak buahnya maklum bahwa pimpinan mereka juga terdesak, maka mereka lalu melarikan diri meninggalkan medan pertempuran sambil memapah teman-teman yang terluka. Tek Hoat memandang dengan mata terbelalak, tidak dapat mengejar karena dia maklum bahwa dia sendiri pun terluka parah. Setelah melihat bahwa musuh-musuhnya lari pergi membawa pedang Cui-beng-kiam yang terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, dia mengeluh, memejamkan matanya dan terguling pingsan di dekat kereta rombongan itu.

Tek Hoat, yang memang luka-lukanya akibat pertandingan melawan para pengawal lihai dari Pangeran Liong Khi Ong itu belum sembuh benar, kini mengalami pukulan dan tendangan yang hebat, tentu saja menjadi makin parah luka-luka di sebelah dalam tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa selama sehari semalam dia tidak sadar. Ketika dia akhirnya siuman kembali, dia merasa dirinya terguncang-guncang perlahan dan telinganya mendengar suara bergemuruh. Dia membuka matanya. Kiranya tubuhnya memang sedang terguncang-guncang di dalam bilik kereta yang berjalan perlahan, dan suara gemuruh itu adalah suara roda-roda kereta melindas

jalan yang tidak rata. Cuping hidungnya kembang-kempis karena dia mencium bau harum semerbak dan matanya mencari-cari. Kiranya di dalam bilik kecil kereta itu terdapat peralatan rias dari wanita di atas sebuah meja kecil. Sisir, cermin, bedak dan lain-lain. Dia bergerak hendak bangkit duduk dan mengeluh. Kiranya tubuhnya sakit-sakit semua, terutama di dada dan punggungnya. Dia melihat betapa luka-luka luar di lengan dan dahinya telah dibalut orang dan diobati.

Tek Hoat menjadi terheran-heran dan menduga-duga. Tak salah lagi, tentu dia ditolong oleh rombongan itu, karena dia juga melihat ada sebuah kereta besar dari rombongan yang diserbu oleh Hek-tiauw Lo-mo itu. Akan tetapi siapakah orang-orang ini dan kereta siapa ini yang penuh dengan peralatan rias seorang wanita?

Tiba-tiba kereta itu berhenti dan Tek Hoat menyingkap tirai di jendela kereta. Kiranya mereka berhenti di dalam hutan dan waktu itu adalah tengah hari. Dia mengira bahwa belum lama dia berada di situ, karena pertempuran itu terjadi di pagi hari.

Baru setengah hari. Seorang yang berjenggot dan berkumis pendek, yang dikenalnya sebagai seorang di antara para pemimpin yang

mengeroyok Mauw Siauw Mo-li, datang menjenguk dan diikuti seorang anggauta rombongan yang membawa makanan untuk Tek Hoat.

"Aih, syukurlah bahwa engkau telah siuman kembali, orang muda yang perkasa! Hati kami sudah gelisah melihat kau pingsan selama sehari semalam."

"Sehari semalam?" Tek Hoat berseru kaget. "Bukankah baru pagi tadi aku jatuh pingsan?"

"Bukan pagi tadi, melainkan kemarin pagi," orang itu berkata sambil tersenyum dan memandang kagum. "Sungguh hebat engkau, dapat menandingi orang-orang iblis itu! Terpaksa kami membawamu ke dalam kereta karena engkau pingsan dan tentu saja kami tidak tega meninggalkan engkau di dalam hutan itu."

"Ah, terima kasih....!" Tek Hoat mencoba untuk bangkit duduk lagi, akan tetapi dia menyeringai kesakitan.

"Tak usah duduk. Mengasolah dulu, orang muda...."

"Akan tetapi.... akan tetapi, siapakah kalian ini....?"

"Kami adalah pelancong-pelancong, rombongan pelancong."

"Dan kemana kalian hendak pergi?"

"Engkau sendiri hendak ke mana, orang muda? Kalau tidak satu tujuan dengan kami, biarlah kami mencarikan tempat di sebuah kota atau dusun untuk kau tinggal dan beristirahat. Jangan khawatir, kami akan meninggalkan biaya secukupnya sampai kau sembuh."

"Terima kasih, kau baik sekali, Paman. Aku.... aku akan ke barat...."

"Ahhh! Kalau begitu kita setujuan. Kami pun serombongan sedang menuju ke barat. Kalau begitu, biarlah engkau mengaso di kereta itu dan kami akan berusaha mengobatimu."

Tek Hoat merasa girang sekali dan amat berterima kasih. Karena dia belum kuat bangkit duduk, maka dia mengangkat kedua tangan ke dada sambil rebah telentang, lalu berkata, "Engkau sungguh baik sekali, Paman dan banyak terima kasih atas pertolonganmu ini."

Orang itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Orang muda perkasa yang rendah hati! Jangan bicara tentang terima kasih dan pertolongan, karena kalau bukan engkau yang datang menolong, agaknya saat ini kami telah menjadi mayat-mayat yang diperebutkan binatang-binatang hutan! Mengasolah dan biar anak buahku ini melayanimu." Pemimpin rombongan itu lalu pergi dan kiranya mereka semua berhenti di hutan itu untuk makan siang.

Bersambung ke Bagian 7 ...