Bagian 2

Gadis itu berdiri termenung di lereng itu, memandang ke depan, ke arah bukit menghitam yang dinamakan orang Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan). Memang nampak menyeramkan dari lereng itu, seolah-olah lembah itu memang sepantasnya dihuni oleh setan dan iblis. Para penduduk dusun di sekitar kaki Bukit Setan itu, menganggap Ban-kwi-kok sebagai lembah yang keramat dan tak seorang pun berani mendaki ke sana. Akan tetapi, menurut keterangan para penghuni dusun, baru sebulan yang lalu lembah itu diserbu pasukan pemerintah yang besar jumlahnya. Kabar itu mengatakan bahwa terjadi pertempuran besar, kemudian pasukan pemerintah turun dan membawa banyak tawanan, kemudian lembah itu nampak terbakar. Biarpun desas-desus mengatakan bahwa gerombolan yang bersembunyi di lembah itu telah terbasmi habis, dan lembah itu telah kosong, perkampungan gerombolan pemberontak telah dibakar, namun masih saja tidak ada seorang pun berani naik ke sana.

Gadis itu masih amat muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya. Cantik manis dan nampak gagah dengan pakaiannya yang sederhana namun serasi dengan bentuk tubuhnya yang padat dan ramping, dan pakaian itu bersih. Wajahnya yang manis, dengan sepasang matanya yang indah dan bersinar tajam, juga sederhana, tidak dipoles bedak dan gincu. Akan tetapi, kulit mukanya memang sudah halus dan putih, dan kedua pipinya kemerahan karena sehat, demikian pula sepasang bibirnya merah tanpa gincu. Biarpun ia muda dan cantik manis, namun di sepanjang perjalanan, tidak pernah atau jarang sekali ada pria yang berani mengganggunya. Hal ini adalah karena penampilannya yang pendiam dan gagah, dengan sebatang pedang di punggung sehingga mudah diduga bahwa ia bukan wanita sembarangan yang boleh diganggu begitu saja, melainkan seorang wanita kang-ouw, seorang pendekar wanita.

Dan memang dugaan itu benar. Gadis muda ini adalah Cu Kim Giok, puteri dari pendekar Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian. Cu Kun Tek adalah pendekar yang merupakan keturunan para pendekar Cu majikan Lembah Naga Siluman. Cu Kun Tek terkenal mewarisi ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman), juga ilmu tangan kosongnya Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok), dan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) hebat sekali. Adapun ibu gadis itu, yang bernama Pouw Li Sian, bahkan lebih lihai dibandingkan suaminya. Pouw Li Sian ini adalah murid mendiang Bu Beng Lokai yang sakti.

Ketika Cu Kim Giok diajak oleh ayah ibunya menghadiri ulang tahun dan pertemuan tiga keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong, gadis ini merasa gembira bukan main dan bangkitlah keinginannya untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan dengan jalan merantau seperti yang dilakukan para pendekar. Ayah ibunya tidak merasa keberatan. Mereka sendiri adalah pendekar-pendekar yang dahulu di waktu mudanya sudah biasa melakukan penjalanan merantau memperluas pengalaman. Pula, puteri mereka telah mewarisi ilmu kepandaian mereka dan tingkat kepandaian gadis itu hanya sedikit selisihnya dengan tingkat mereka sehingga Kim Giok telah memiliki bekal yang cukup untuk melindungi dan menjaga diri sendiri.

Tentu saja Kim Giok juga amat tertarik dengan peristiwa yang terjadi di rumah Suma Ceng Liong, yaitu munculnya seorang gadis cantik lihai yang mengaku sebagai seorang puteri tokoh Pao-beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar, oleh karena itulah pada siang hari itu, ia tiba di Kwi-san dan kini termangu berdiri di lereng itu setelah ia mendengar keterangan penduduk tentang penyerbuan pasukan pemerintah yang membasmi gerombolan Pao-beng-pai di Lembah Selaksa Setan.

Ah, pikirnya, aku datang terlambat. Andaikata tidak terlambat, tentu akan dapat menyaksikan terbasminya gerombolan itu, dan kalau perlu ia akan membantu pasukan. Bukan semata karena ia ingin membantu pemerintah. Ayah ibunya berpesan agar ia tidak melibatkan diri dengan pemerintah Mancu. Akan tetapi, ia dapat mempergunakan kesempatan selagi gerombolan itu ditumpas, untuk membalas sikap sombong dara gadis Pao-beng-pai itu terhadap tiga keluarga besar. Ia menduga-duga bagaimana dengan nasib gadis cantik itu. Apakah ikut terbunuh? Atau tertawan?

Tidak ada gunanya lagi mendaki ke lembah yang sudah hancur itu. Tentu tidak adalagi orang di sana. Cu Kim Giok membalikkan tubuhnya hendak pergi meninggalkan lereng itu. Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, tiba-tiba pendengarannya yang tajam terlatih mendengar gerakan orang. ia berhenti melangkah dan memandang ke sekeliling penuh kewaspadaan dan tiba-tiba bermunculan lima orang laki-laki yang nampak bengis. Mereka itu berloncatan dari balik semak belukar. Melihat bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang cantik manis, mereka cengar-cengir dan menyeringai dengan sikap kurang ajar, dengan mata yang liar dan bengis. Kim Giok bersikap tenang, namun matanya yang indah tajam itu menyapu mereka. Lima orang itu berusia antara tiga puluh tahun sampai empat puluh tahun, tubuh mereka rata-rata kekar dan kuat. Pakaian mereka butut dan kotor, tentu telah lama tidak pernah berganti pakaian. Melihat pakaian kotor itu seperti seragam abu-abu, teringatlah ia akan beberapa orang laki-laki yang ikut datang mengawal gadis Pao-beng-pai yang berkunjung ke rumah Suma Ceng Liong tempo hari. Agaknya mereka ini sisa anggauta Pao-beng-pai, pikir gadis yang cukup cerdik ini. Dan memang dugaannya benar. Lima orang itu adalah mereka yang berhasil lolos dari penyerbuan pasukan pemerintah. Karena takut muncul di tempat umum, lima orang ini bersembunyi saja di Kwi-san, tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai. Mereka mengharapkan dapat bertemu dengan seorang di antara para pimpinan mereka karena mereka tahu bahwa ketua mereka tidak tewas, juga tidak ikut tertawan. Hanya nyonya ketua mereka yang tewas.

Bahkan nona puteri ketua juga tidak ikut tertawan. Ketika dari tempat persembunyian mereka nampak ada gadis yang datang ke tempat itu, mereka tadinya mengira bahwa gadis itu tentulah Siangkoan Eng, dan mereka merasa girang sekali. Akan tetapi setelah mereka muncul, mereka melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan puteri ketua mereka, melainkan seorang gadis lain yang asing sama sekali, akan tetapi gadis itu cantik manis dan menarik. Seorang di antara mereka, yang berhidung besar dan bermata lebar, agaknya menjadi pimpinan mereka, melangkah maju dan tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu nampak karena bajunya kehilangan kancing dan terbuka. Perut itu terguncang-guncang naik turun ketika dia tertawa.

"Ha-ha-ha-ha-ha, kawan-kawan, alangkah beruntungnya kita hari ini! Kita kedatangan seorang bidadari yang cantik jelita, yang agaknya menaruh iba kepada kita dan datang untuk menghibur kita. Ha-ha-ha-ha-ha!" Teman-temannya ikut pula tertawa. Mereka selama sebulan lebih dicekam ketakutan, kekurangan dan kedukaan. Dan hari ini tiba-tiba, tanpa disangka-sangka, mereka berhadapan dengan seorang gadis cantik! Tentu saja mereka bergembira. Anak buah Pao-beng-pai terdiri dari bermacam orang, akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang berjiwa sesat. Kalau membutuhkan, mereka tidak segan untuk melakukan perampokan dan berbagai kejahatan lainnya. Kini, melihat seorang gadis seorang diri di tempat sunyi itu, tentu saja timbul gairah mereka, seperti lima ekor harimau kelaparan melihat munculnya seekor domba seorang diri.

"Heh-heh-heh, Nona manis, siapakah engkau, siapa namamu dan mengapa engkau berada di sini seorang diri? Apakah engkau datang sengaja hendak menghibur kami berlima? Ha-ha-ha!" Si hidung besar kembali berkata dan kini mereka berlima, sambil tersenyum menyeringai, sudah mengambil posisi mengepung gadis itu agar tidak dapat melarikan diri.

Akan tetapi, sebetulnya lima orang itu harus tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang bukan gadis sembarangan saja. Hal ini sebetulnya dapat dilihat dari sikap Kim Giok. Biarpun dikepung lima orang itu, ia bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada sesuatu yang mengancam dirinya, tidak ada sesuatu yang perlu ditakuti.

"Aneh....aneh sekali...." Ia tidak menjawab pertanyaan, bahkan bergumam sambil menggelengkan kepalanya.

"Apanya yang aneh, Nona manis? Kami bukan orang-orang aneh, kami adalah laki-laki sejati dan engkau sebentar lagi akan membuktikannya sendiri, heheh!" kata si hidung besar sambil melangkah maju mendekat.

"Aneh mengapa masih ada sisa anak buah Pao-beng-pai, kenapa kalian tidak mampus atau tertawan." kata Kim Giok, masih tenang saja.

Mendengar ucapan gadis itu, lima orang bekas anak buah Pao-beng-pai nampak terkejut, saling pandang dan kini mengepung lebih ketat dengan sikap bengis mengancam.

"Nona, siapakah engkau sebenarnya dan mau apa engkau datang ke tempat ini?" Suara si hiudung besar galak dan mengandung ancaman, tidak menggoda seperti tadi.

"Namaku tiduk ada sangkut-pautnya dengan kalian. Juga aku tidak mempunyai sangkut paut dengan pembasmian Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah. Aku hanya heran mengapa kalian tidak ikut mampus atau tertawan. Nah, karena di antara kita tidak ada urusan, minggirlah dan biarkan aku lewat!" kata Kim Giok yang memang tidak ingin mencari keributan dengan bekas anak buah Pao-beng-pai yang sudah hancur itu. Kalau ia bertemu dengan gadis tokoh. Pao-beng-pai yang pernah mengacau di rumah Suma Ceng Liong, tentu akan lain lagi sikapnya.

Akan tetapi ketika ia melangkah, lima orang itu cepat menghadangnya dan tetap mengepungnya. Bahkan kini sikap mereka kembali seperti tadi, dengan pandang mata tidak sopan.

"Hemmm, engkau tidak boleh pergi sebelum menghibur kami, Nona manis!" Dan si hidung besar cepat menggerakkan kedua lengannya yang panjang, jari-jari tangan yang besar panjang itu hendak merangkul.

"Wuuut.... plakkk! Aughhh....!" tubuh tinggi besar si hidung besar itu terjengkang. Ternyata ketika kedua tangannya sudah hampir menyentuh kedua pundak gadis itu untuk merangkul, gadis itu dengan gerakan cepat sekali menyelinap ke samping sehingga tubrukan itu luput dan sekali Kim Giok menggerakkan tangan kiri menampar, leher bawah telinga si hidung besar kena ditampar dan orang itu pun terjengkang dan terbanting, melotot dan meraba lehernya dengan mata terbelalak dan mulut mengaduh-aduh.

Empat orang temannya menjadi kaget dan marah. Mereka berempat cepat menyerbu, seolah-olah hendak berlomba untuk lebih dulu dapat meringkus gadis manis itu. Namun, sekali ini mereka membentur karang. Gerakan Kim Giok cepat bukan main, kaki dan tangannya menyambar-nyambar dan dalam segebrakan saja, empat orang itu pun terpelanting dan roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya!

Lima orang itu mengaduh-ngaduh dan menyumpah-nyumpah. Dasar golongan kasar yang tidak tahu diri dan yang selalu merasa diri mereka paling pandai, lima orang itu tidak melihat kenyataan bahwa mereka sama sekali bukanlah lawan gadis manis yang mereka sangka domba itu. Mereka tidak menyadari bahwa yang disangka domba itu sesungguhnya seekor singa betina yang amat tangguh!

Mereka merasa penasaran dan kini nafsu berahi mereka terbang lenyap, terganti oleh nafsu amarah yang hanya dapat diredakan dengan darah! Mereka mencabut golok mereka dan berloncatan berdiri.

Kim Giok sudah dapat menilai sampai di mana kemampuan lima orang lawannya, maka ia pun tidak mau mencabut pedangnya, hanya berdiri tegak sambil tersenyum manis. Lima orang itu sudah menggerakkan golok mereka dan bagaikan binatang-binatang yang haus darah, mereka sudah menyerang Kim Giok, serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh! Namun, pandang mata mereka menjadi kabur ketika gadis itu bergerak cepat dan lenyap bentuk tubuhnya, hanya nampak bayangannya berkelebat menyambar-nyambar bagaikan seekor capung. Itulah Pat-hong-sin-kun yang membuat tubuh gadis itu seolah-olah bergerak dari delapan penjuru angin! Dan ketika lima orang itu membacok-bacok membabi-buta ke arah bayangan tubuh gadis itu tanpa hasil, Kim Giok kembali membagi tamparan dan tendangan, kini ia menambahi tenaganya sehingga lima orang lawan yang terkena tamparan atau tendangan, roboh untuk tidak dapat bangkit dengan cepat, hanya mengaduh-aduh, ada yang patah tulang, ada yang nanar dan ada pula yang mendadak mulas perutnya!

Kim Giok berdiri bertolak pinggang, memandang lima orang lawan yang masih mengeluh kesakitan itu. "Hemmm, pantas saja Pao-beng-pai terbasmi pasukan pemerintah. Kiranya kalian hanya mengaku sebagai pejuang, akan tetapi sesungguhnya hanyalah segerombolan penjahat kecil yang tak tahu malu. Perampok dan pengganggu wanita. Orang-orang macam kalian ini mengaku pejuang?"

"Nona, ucapanmu lancang sekali!" tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan dalam, juga amat berwibawa karena Kim Giok merasa betapa isi dadanya tergetar oleh suara itu. Ia terkejut dan cepat menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara dan semakin kagetlah ia ketika melihat bayangan mendaki lereng itu dari arah kanan. Kalau orang itu yang tadi mengeluarkan suara, alangkah kuatnya khi-kang dari orang itu. Jelas bahwa dia mampu mengirim suara dari jauh dengan demikian kuatnya, dan hal ini menunjukkan bahwa dia akan berhadapan dengan seorang yang amat lihai.

Gerakan orang itu pun cepat bukan main. Sebentar saja dia telah berada di situ, berdiri tegak berhadapan dengan Kim Giok. Gadis ini memang penuh perhatian. Seorang pria jantan berusia lima puluh lima tahun yang amat gagah, bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat bagaikan batu karang, mukanya persegi merah dan jenggotnya terpelihara rapi, di punggungnya nampak gagang pedang dengan ronce merah.

"Pangcu....!!" lima orang itu segera memaksa diri memberi hormat dengan berlutut kepada. orang yang baru tiba ini dan tahulah Kim Giok bahwa pria ini adalah ketua Pao-beng-pai! Tentu orang ini ayah dari gadis lihai yang pernah mengacau pesta pertemuan keluarga. di rumah Suma Ceng Liong! Biarpun maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang amat lihai, namun puteri dari sepasang pendekar Lembah Naga Siluman ini sedikit pun tidak merasa gentar. Hanya ia bersikap waspada.

Pria itu menengok ke arah lima orang anggauta Pao-beng-pai itu dan mendengus, marah, lalu dia menghadapi Kim Giok lagi, pandang matanya tajam mencorong itu mengamati Kim Giok penuh selidik, dari kepala sampai ke kakinya. Seperti telah diceritakan di bagian depan ketika Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah, Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini, dikepung oleh belasan orang jagoan istana yang datang bersama muridnya, Tio Sui Lan, murid utama yang kemudian dia paksa menjadi isterinya setelah dia bercekcok dengan isterinya, Lauw Cu Si. Dia membunuh Sui Lan dan melukai Cu Si, akan tetapi ketika dia menghadapi pengeroyokan belasan orang jagoan istana yang membuatnya terdesak, dan mendengar keributan di luar dengan adanya penyerbuan pesukan pemerintah, dia cepat meninggalkan para pengeroyoknya. Setelah tiba di luar, dia melihat betapa tempat itu diserbu oleh pasukan yang besar sekali jumlahnya. Tahulah dia bahwa semua usahanya telah gagal, gerakannya hancur. Karena maklum bahwa melawan pasukan itu pun tidak akan ada gunanya dan akhirnya bahkan hanya akan membahayakan diri sendiri, dia pun meninggalkan Ban-kwi-kok! Dia melarikan diri bukan karena takut, melainkan karena maklum betapa akan sia-sianya melakukan perlawanan terus. Sebagai seorang yang amat cerdik dan licik, dia tidak mau berlaku nekat dan mengorbankan diri. Tidak, demi cita-citanya, biarpun sekali ini kelompoknya dihancurkan, kalau dia masih hidup, dia dapat membentuk dan membangun kembali Pao-beng-pai, berjuang terus sampai dapat menjatuhkan kerajaan Ceng, mengusir orang-orang Mancu dari tanah air! Karena dia ingin mengetahui keadaan bekas markas Pao-beng-pai yang telah dibasmi dan dibakar, maka siang hari itu dia mendaki Kwi-san dan kebetulan dia melihat dan mendengar apa yang terjadi di lereng itu biarpun dia masih jauh.

"Nona, siapakah engkau yang begitu lancang memaki dan menghina Pao-beng-pai?" bentaknya dengan alis berkerut dan wajah bengis.

Kim Giok adalah seorang gadis yang sejak kecil dilatih ayah ibunya sendiri, bukan hanya ilmu silat tinggi, akan tetapi juga kebudayaan dan ia tahu sopan santun. Menghadapi seorang yang kedudukannya tinggi seperti ketua Pao-beng-pai, ia memang ada menaruh hormat. Akan tetapi mengingat betapa puteri orang ini pernah menghina dan mengacau dalam pertemuan tiga keluarga besar, ia merasa tidak senang dan ia pun tidak memberi hormat.

"Kalau aku tidak salah duga, tentulah engkau ini ketua Pao-beng-pai yang telah dibasmi pasukan pemerintah!" katanya, dan ia pun menentang pandang mata pria itu dengan penuh keberanian.

"Benar, akulah Siangkoan Kok. Sekarang katakan, siapa engkau dan kenapa engkau menghina Pao-beng-pai!"

"Maaf, Pangcu. Aku sama sekali tidak menghina Pao-beng-pai. Bahkan aku akan menghormati Pao-beng-pai kalau memang perkumpulan itu benar-benar merupakan perkumpulan orang-orang gagah yang berjuang menentang penjajah Mancu. Akan tetapi, aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya saja. Aku mendengar tentang penyerbuan pasukan pemerintah terhadap Pao-beng-pai dan aku ingin melihat keadaan di sini. Aku, Cu Kim Giok, ingin meluaskan pengalaman dan kesempatan ini tidak kulewatkan begitu saja. Akan tetapi, apa yang kudapatkan? Lima orang itu muncul, mengaku sebagai anggauta Pao-beng-pai dan mereka bersikap sebagai penjahat-penjahat kecil, hendak merampok dan mengganggu wanita. Kalau memang anggauta-anggauta Pao-beng-pai seperti itu, lalu apa yang harus kukatakan terhadap Pao-beng-pai?"

Siangkoan Kok melirik ke arah anak buahnya yang kini sudah bangkit berdiri bergerombol sambil memandang penuh harapan, ingin melihat ketua mereka menundukkan gadis yang telah menghajar mereka itu. Lalu dia berkata, "Tidak sembarang orang boleh menilai kami. Nona, aku ingin melihat dulu sampai di mana kepandaianmu, baru aku akan mengambil keputusan, apa yang harus kulakukan terhadap dirimu."

"Pangcu, kalau engkau membela mereka itu, aku berani mengatakan bahwa memang Pao-beng-pai dipimpin oleh orang yang tidak baik!" kata Kim Giok berani.

"Kita bicara lagi setelah kita mengadu kepandaian. Nah, sambutlah seranganku ini!" Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala gadis itu. Angin yang dahsyat menyambar, disusul angin yang menyambar dari samping karena tangan kedua sudah mengikuti serangan pertama itu dengan mencengkeram ke arah perut.

Kim Giok memang kurang pengalaman bertanding, namun ia telah digembleng oleh ayah bundanya sejak kecil, maka ia segera mengenal serangan yang berbahaya. Cepat ia pun mengerahkan gin-kangnya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang untuk mengelak sehingga serangan kedua tangan Siangkoan Kok yang beruntun itu luput. Diam-diam Siangkoan Kok maklum bahwa gadis ini biarpun masih muda, memang cukup berisi, agaknya tidak kalah dibandingkan dengan mendiang Tio Sui Lan, murid pertamanya. Dia mendesak dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berpusing. Kembali Kim Giok menggunakan gin-kang dan mengelak dengan gerakan cepat sekali, membuat tubuhnya hanya merupakan bayangan yang berkelebatan mengelak di antara hujan serangan lawan. Karena maklum bahwa lawannya benar-benar tangguh, Kim Giok mencabut pedangnya dan nampaklah sinar berkilat dan terdengar bunyi desing yang aneh, seperti gerengan binatang buas, seperti auman harimau. Itulah Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman), pedang milik ayahnya yang diberikan kepadanya agar gadis itu dapat melindungi diri dengan baik.

Melihat sinar pedang dan dengungnya yang menyeramkan itu, diam-diam Siangkoan Kok terkejut dan kagum bukan main. "Ahhh, po-kiam (pedang pusaka) yang hebat!" teriaknya dan begitu Kim Giok memainkan pedangnya, dia pun semakin kaget dan cepat mencabut pedangnya sendiri, kaget karena dia maklum bahwa biarpun dia memiliki tingkat kepandaian tinggi, namun terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi pedang seperti itu dengan tangan kosong saja. Apalagi gerakan ilmu pedang gadis itu pun hebat dan dahsyat, bagaikan seekor naga yang mengamuk.

Segera terjadi pertandingan pedang yang amat seru. Setelah lewat belasan jurus, tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat jauh ke belakang dan berseru, "Tahan dulu!" Kim Giok berdiri tegak, pedang juga tegak lurus di depan dadanya.

"Nona, bukankah itu Koai-liong Kiamsut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang kaumainkan? Dan tentu pedang itu Koai-liong-pokiam! Apa hubunganmu dengan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman?"

Kim Giok tersenyum. "Namaku Kim Giok, tentu engkau dapat menduganya, Pangcu."

"Ah, benar! Engkau tentu keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman! Sudah lama aku mendengar tentang keluarga Cu yang gagah perkasa. Ah, sungguh beruntung hari ini dapat menguji kepandaian seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman. Nah, sambutlah seranganku ini dan keluarkan seluruh ilmu pedang Naga Siluman itu, Nona!" Setelah berkata demiklan, Siangkoan Kok menerjang ke depan dengan dahsyat karena dia tahu betapa lihainya pedang dan ilmu pedang gadis muda itu. Dia memang sejak dahulu ingin sekali menguasai semua ilmu silat tinggi di seluruh dunia, maka dia sejak dahulu memancing para tokoh persilatan untuk mengadu ilmu dan dengan cara itu, dia dapat mempelajari ilmu mereka. Kini, berhadapan dengan seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman, tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu untuk memaksa Kim Giok memainkan ilmu pedang itu. Justeru kelihaian Siangkoan Kok terletak kepada kekuatan ingatannya sehingga sekali melihat, dia sudah hampir dapat mengingat dan menguasai gerakan itu. Karena pengetahuannya yang luas tentang ilmu-ilmu dari para tokoh besar, maka dia pun tentu saja menjadi lihai bukan main.

Karena didesak lawan yang lihai, tentu saja terpaksa Kim Giok memainkan Kaoi-liong Kiam-sut sepenuhnya, bahkan ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat memang ilmu pedang gadis ini. Pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan mengeluarkan suara mengaung, seolah-olah ada naga yang melayang-layang dan mengamuk. Melihat ini, lima orang anak buah Pao-beng-pai itu diam-diam memaki diri mereka sendiri, seperti buta tidak melihat bahwa gadis itu adalah seorang yang demikian lihainya. Bergidik mereka membayangkan betapa tadi mereka berani hendak kurang ajar kepada gadis itu. Kalau tadi gadis itu mencabut pedangnya, mungkin sekarang mereka telah menjadi setan-setan tanpa kepala!

Betapapun hebatnya ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi ketangguhan seseorang bukan hanya bergantung sepenuhnya kepada ilmu silatnya, melainkan lebih banyak kepada keadaan orang itu sendiri. Dibandingkan Siangkoan Kok, tentu saja Kim Giok kalah segala-galanya, walaupun mungkin ilmu pedangnya tidak kalah dibandingkan ilmu pedang lawan. Ia kalah tenaga, kalah pengalaman bertanding, juga jauh kalah matang dalam gerakan ilmu pedang. Setelah lewat seratus jurus, karena ditekan terus sehingga ia harus berulang kali memainkan ilmu pedangnya, ia sudah mandi keringat dan napasnya mulai tersengal. Tahulah gadis ini bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan roboh oleh pedang lawan. Namun, ia sudah dilatih ayah ibunya untuk tidak mengenal takut dan pantang menyerah kepada seorang yang jahat. Lebih baik mati dengan pedang di tangan daripada menyerah kepada pada seorang yang jahat dan yang tentu akan membuat ia lebih menderita daripada kalau ia roboh dan tewas. Baru lima orang anak buahnya saja sudah seperti itu, apalagi ketuanya! Maka, ia pun terus menggerakkan pedangnya dengan nekat, walaupun tenaganya sudah banyak berkurang.

Makin lama, semakin repotlah Kim Giok, hanya mampu mengelak dan menangkis saja, itu pun setiap kali menangkis, pedangnya terpental dan lengannya tergetar hebat. Pada saat itu, terdengar suara tawa yang aneh, tawa mengejek yang mengandung getaran yang membuat kedua orang yang sedang bertanding itu terpaksa menghentikan gerakan mereka karena mereka merasa betapa jantung

mereka terguncang. Mempergunakan kesempatan terlepas dari desakan karena lawan menghentikan gerakan pedangnya, Kim Giok melompat ke belakang dan menengok ke arah orang yang tertawa itu. Juga Siangkoan Kok menoleh.

Yang tertawa itu adalah seorang laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun, gagah dan tampan sekali. Alisnya hitam tebal dan panjang, matanya mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya yang tersenyum itu manis, dagunya juga kokoh dan mukanya bersih. Tubuhnya tegap berisi otot yang membuat dia nampak gagah. Pakaiannya tidak mewah namun rapi dan bersih. Pemuda itu sudah menghentikan tawanya dan kebetulan dia memandang kepada Kim Giok. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, kemudian wajah Kim Giok berubah kemerahan dan ia pun menundukkan mukanya. Hatinya berdebar aneh dan harus diakui bahwa ia merasa amat tertarik kepada pemuda yang tampan dan gagah itu.

Akan tetapi, sebaliknya Siangkoan Kok mengerutkan alisnya, matanya melotot marah. Tentu saja dia memandang rendah kepada pemuda yang tidak dikenalnya itu, yang berarti tidak terkenal pula. "Heh siapa engkau berani mentertawakan aku dan mencampuri urusanku?"

Pemuda itu bukan lain adalah Ouw Seng Bu yang belum lama ini telah berhasil menguasai Thian-li-pang dan menjadi ketuanya. Dia mendengar tentang kehancuran Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah. Dia ingin sekali melihat bagaimana keadaan Pao-beng-pai sekarang karena dia ingin memperkuat Thian-li-pang dengan bersekutu dan bekerja sama dengan para perkumpulan lain yang besar seperti Pek-lian-kauw, Pat-kwapai, dan Pao-beng-pai. Biarpun dia sendiri belum pernah melihat Siangkoan Kok, namun dia sudah menyelidiki dan mendengar bagaimana keadaan ketua Pao-beng-pai itu. Maka, ketika melihat pria setengah tua yang gagah perkasa itu bertanding melawan seorang gadis yang juga lihai, akan tetapi gadis itu terdesak, Ouw Seng sengaja mengeluarkan suara tawa yang dilakukan dengan pengerahan khi-kang sehingga kedua orang yang sedang bertanding itu terkejut dan menghentikan pertandingan mereka.

Mendengar teguran Siangkoan Kok, Seng Bu yang datang untuk mencari kawan, tersenyum. "Bukankah aku berhadapan dengan Siangkoan Kok, pangcu dari Pao-beng-pai?" tanyanya, kini sikapnya sopan dan ramah. Siangkoan Kok mengamati pemuda itu. Dia seorang yang berpengalaman dan dari suara tawa pemuda itu tadi saja, dia pun dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang lemah. Akan tetapi karena dia tidak mengenalnya, maka dia memandang rendah.

"Engkau sudah tahu namaku, mengapa masih berani lancang mencampuri urusanku?" bentaknya. "Siapa engkau?"

"Namaku Ouw Seng Bu dan seperti juga engkau, aku seorang pengcu (ketua) pula. Aku adalah pangcu dari Thian-li-pang."

"Bohong!" Siangkoan Kok membentak marah. Sementara itu, lima orang bekas anak buahnya kini sudah memegang golok masing-masing dan siap untuk membantu ketua mereka kalau diperintahkan. Adapun Kim Giok, walau tidak mengenal siapa pemuda itu, akan tetapi di dalam hatinya ia sudah condong berpihak kepadanya sehingga kalau sampai pemuda itu terancam bahaya, tanpa diminta pun ia pasti akan membantunya.

"Ha-ha-ha, orang muda. Jangan engkau mencoba untuk membohongi aku. Kaukira aku tidak tahu siapa ketua Thian-li-pang? Ketuanya adalah Lauw Kang Hui, dan pemimpin besarnya adalah Sinciang Tai-hiap Yo Han. Bukankah begitu? Engkau ini, orang bernama Ouw Seng Bu tidak pernah dikenal. sebagai ketua Thian-li-pang!"

Seng Bu tersenyum dan menggeleng kepala. "Itu menandakan bahwa Pao-beng-pai yang sudah hancur tidak lagi pandai meneliti keadaan di dunia kang-ouw. Engkau agaknya tidak tahu, Pangcu, bahwa Lauw-pangcu dari Thian-li-pang telah tewas dan akulah yang menjadi penggantinya. Adapun Yo Han, ah, dia bukan orang Thian-li-pang dan dia tidak mempunyai urusan apa pun dengan Thian-li-pang."

Siangkoan Kok masih sangsi, akan tetapi karena dia memang tidak tahu perkembangan di dunia kang-ouw, maka dia tidak membantah lagi. "Kalau engkau benar ketua Thian-li-pang, itu pun tidak memberi hak kepadamu untuk mencampuri urusanku! Nah, mau apa engkau datang ke sini?"

"Pangcu, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah. Begitulah jadinya kalau kita tidak mau bekerja sama antara perkumpulan pejuang. Aku datang hendak mengulurkan tangan kepadamu, mengajakmu bekerja sama. Thian-li-pang sejak dahulu terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gigih. Beberapa kali kami sudah menyusup ke istana dan biarpun belum berhasil, namun nama kami cukup ditakuti. Akan tetapi setelah tiba di sini, markas Pao-beng-pai sudah hancur, dan aku melihat Pangcu bahkan bertanding melawan seorang gadis muda. Siapakah Nona ini dan mengapa pula bertanding melawan Pangcu?"

"Huh, ia berani berkeliaran di sini dan memukul anak buahku!" kata Siangkoan Kok dengan singkat karena dia tidak menghendaki orang luar mencampuri urusannya. Akan tetapi Seng Bu yang amat tertarik kepada gadis cantik manis yang juga lihai ilmu pedangnya itu, kini sudah menghadapi Kim Giok lalu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat.

"Nona sudah mengenal namaku. Aku Ouw Seng Bu, ketua Thian-li-pang dan kalau boleh aku bertanya, siapakah Nona dan mengapa bertanding melawan Pangcu dari Pao-beng-pai yang amat lihai?"

Kim Giok cepat membalas penghormatan itu dengan senyum ramah, lalu ia menjawab, "Namaku Cu Kim Giok dan aku sedang merantau untuk meluaskan pengalaman. Ketika tiba di sini aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dibasmi pasukan pemerintah, maka aku sengaja hendak melihat bekas-bekasnya di sini. Tiba-tiba muncul lima orang itu yang hendak merampok dan bersikap kurang ajar

kepadaku. Aku menghajar mereka. Lalu muncul Pangcu dari Pao-beng-pai ini yang memaksaku untuk bertanding."

Mendengar ini, Seng Bu kembali menghadapi Siangkoan Kok, "Aih, Pangcu semestinya malu terhadap Cu-siocia (nona Cu) ini. Anak buahmu yang bersalah, sepantasnya engkau yang minta maaf kepadanya dan menghukum anak buahmu, bukan malah menantang Cu-siocia untuk bertanding." katanya mencela.

Wajah ketua Pao-beng-pai menjadi merah sekali dan matanya mencorong tajam. "Ouw Seng Bu, engkau ini siapa berani berkata seperti itu kepadaku? Kalau engkau mengulurkan tangan ingin bekerja sama dengan aku, setidaknya aku tentu harus tahu orang macam apa engkau ini dan apakah engkau pantas duduk sejajar dengan aku!"

"Hemmm, sudah kudengar bahwa Siangkoan Kok adalah seorang yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah orang lain. Baiklah, akan tetapi bagaimana kalau aku mampu menandingi ilmu silatmu?"

"Ouw Seng Bu, kalau engkau dapat mengalahkan aku, barulah aku mau menjadi sekutumu, bahkan aku akan membantu Thian-li-pang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mampu menandingi aku, engkau harus cepat berlutut minta ampun kepadaku dan tidak mencampuri urusanku lagi. Kalau engkau bukan ketua Thian-li-pang, tentu akan kubunuh engkau."

"Bagus! Nah, aku sudah siap, Siangkoan Pangcu. Akan tetapi karena aku ingin bersahabat denganmu, bukan bermusuhan, maka sebaiknya kita bertanding dengan tangan kosong saja."

"Baik, sambutlah seranganku ini, orang she Ouw!" setelah berkata demikian, Siangkoan Kok yang sudah menyimpan pedangnya, menerjang dengan pukulannya yang mengandung tenaga sin-kang yang dahsyat. Karena dia ingin cepat-cepat mengalahkan lawannya, maka dia mengerahkan tenaganya yang disebut Kang-kin Tiat-kut (Otot Baja Tulang Besi) dan begitu kedua tangan kakinya bergerak menggunakan ilmu ini, terdengar suara berkerotokan pada buku-buku tulangnya!

Lima orang anak buah Pao-beng-pai biarpun masih menderita nyeri, kini memandang dengan wajah gembira karena mereka merasa yakin bahwa ketua mereka yang sakti akan dapat mengalahkan pemuda itu pula. Akan tetapi, Kim Giok memandang dengan sinar mata khawatir. Pemuda itu jelas muncul dan membantunya, bahkan berani menegur bekas ketua Pao-beng-pai untuk membelanya. Dan

ia tahu betapa lihainya Siangkoan Kok, apalagi kini mengeluarkan ilmu yang demikian mengerikan. Ia tidak dapat maju membantu, karena satu di antara pesan yang ditekankan ayah bundanya adalah agar ia menjadi seorang yang gagah dan pantang untuk bertindak curang. Dan maju melakukan pengeroyokan merupakan suatu perbuatan yang curang dan ia tidak mau melakukannya. Maka ia hanya menjadi penonton yang risau, dan hanya siap untuk melindungi kalau pemuda she Ouw itu terancam maut.

Menghadapi serangan yang amat dahsyat dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu juga maklum bahwa kalau dia mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Lauw Kang Hui saja, dia tidak akan menang. Bahkan mendiang gurunya itu, Lauw Kang Hui, masih kalah setingkat dibandingkan bekas ketua Pao-beng-pai ini. Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa gentar. Dia sudah cepat mengeluarkan ilmu rahasianya, yaitu Bu-kek Hoat-keng! Begitu kedua tangannya bergerak, terdengar bunyi aneh bersiutan dan angin pukulan kedua tangannya mendatangkan angin berpusing. Dengan mudah saja dia menangkis lima kali pukulan lawan yang datang beruntung susul menyusul, kemudian dia pun membalas dengan cepat dan tak kalah dahsyatnya!

Siangkoan Kok terkejut bukan main. Sedikit banyak, dia sudah mengenal ilmu andalan dari Lauw Kang Hui. Biarpun dia belum dapat menirukan, namun dia sudah banyak mendengar dua ilmu andalan Thian-li-pang, yaitu Tok-jiauw-kang dan Kiam-ciang. Dia akan mengenal dua ilmu ini. Dan karena mengenal, setidaknya dia akan lebih mudah menghadapi dan melawannya. Akan tetapi, gerakan pemuda ini sama sekali tidak dikenalnya! Dia hanya merasa ada angin berpusing datang menyambar dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambutnya.

"Plak! Desss....!!" Siangkoan Kok berjungkir balik ke belakang, dan setelah membuat salto tiga kali barulah dia terbebas dari dorongan tenaga yang tentu akan membuatnya terjengkang kalau saja dia tidak membuat salto tadi.

Seng Bu sendiri terkejut dan kagum melihat gin-kang yang diperlihatkan lawan. Akan tetapi dia menyerang terus dan sekali ini, Siangkoan Kok yang maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang mujijat, tidak mau mengadu tenaga secara langsung, melainkan menggunakan kecepatan gerakan untuk menghindar dan membalas serangan itu dengan sepenuh tenaga. Terjadilah perkelahian yang amat hebat! Beberapa kali kalau kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya terdorong mundur. Tanpa diketahui orang lain, terjadi perubahan pada diri Seng Bu, seperti biasa kalau dia memainkan ilmunya itu. Sepasang matanya menjadi liar, senyumnya menjadi dingin mengerikan dan beberapa kali dia mengeluarkan suara tawa yang aneh.

"Siangkoan Kok, engkau takkan menang melawanku!" beberapa kali dia mengeluarkan ucapan ini yang didahului dan diakhiri suara tawa ha-ha-hi-hi-hi seperti orang gila. Hal ini membuat Siangkoan Kok merasa penasaran dan semakin marah. Dia sudah mengerahkan semua jurus yang menjadi andalannya, namun dia tidak mampu menembus benteng pertahanan lawan, biarpun lawannya juga belum mampu merobohkan atau mendesaknya. Mereka memiliki tingkat yang seimbang!

"Ouw Seng Bu, mari kita bertanding dengan senjata!" bentaknya sambil meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya.

Seng Bu hanya terkekeh dan melihat pemuda itu agaknya tidak membawa senjata, Kim Giok cepat menghampiri dan menyodorkan pedangnya.

"Kau pergunakanlah pedangku ini!" Ouw Seng Bu memandang gadis itu dengan matanya yang mencorong liar sehingga Kim Giok terkejut, akan tetapi pemuda itu menerima juga Koai-liong-kiam, lalu menghadap siangkoan Kok dan tertawa.   "Heh-heh-heh, Siangkoan Kok. Perlukah diteruskan? Kalau aku membiarkan saja pun engkau akan mampus. Lihat baik-baik kedua telapak tanganmu."

Mendengar ini, Siangkoan Kok cepat memeriksa kedua tangannya dan wajahnya berubah pucat. Kedua telapak tangannya berwarna menghitam dan terasa panas bukan main!

"Kau....! Aku.... keracunan....!" katanya. "Ha-ha-ha, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak kusedot kembali hawa beracun itu, engkau akan mati. Perlukah dilanjutkan? Atau engkau mengaku kalah?" Siangkoan Kok menarik napas panjang dan menyarungkan pedangnya. Dia harus mengaku kalah, kalau ingin hidup! "Baiklah, Ouw-pangcu. Aku mengaku kalah. Akan tetapi

sebelum kita bicara, punahkan dulu racun dari kedua tanganku."

"Baik, duduklah bersila, Siangkoan-pengcu, dan acungkan kedua telapak tanganmu ke atas, menghadap ke belakang," kata Seng Bu.

Siangkoan Kok duduk bersila, mengangkat kedua tangan ke atas dan menghadapkan kedua telapak tangan yang menghitam itu ke belakang! Seng Bu yang telah menguasai Bu-kek Hoat-keng secara keliru, memang telah mendapatkan pukulan yang mengandung hawa beracun. Kalau Siangkoan Kok tidak memiliki sin-kang yang amat kuat, tentu dia telah tewas dengan tubuh hangus. Untung bahwa ketua Pao-beng-pai itu memiliki sin-kang kuat sehingga hawa beracun itu berhenti sampai di pergelangan tangannya saja, dihambat oleh sin-kangnya. Kini, Seng Bu menjulurkan kedua tangannya dan ditempelkan pada kedua tangan Siangkoan Kok. Sampai beberapa menit lamanya dia mengerahkan sin-kangnya sehingga tubuh kedua orang itu menggigil dan perlahan-lahan, warna menghitam di kedua tangan Siangkoan Kok menjadi hilang, tersedot ke dalam kedua tangan Seng Bu!

Setelah Seng Bu melepaskan kedua tangannya dan meloncat ke belakang, Siangkoan Kok memeriksa kedua tangannya dan ternyata kedua telapak tangannya sudah bersih, lalu memandang kepada Seng Bu dengan kagum.

"Ouw-pangcu, sekarang aku percaya. Engkau masih muda akan tetapi lihai bukan main, dan aku akan suka menjadi sekutumu. Karena Pao-beng-pai sudah terbasmi pasukan pemerintah penjajah, maka biarlah aku membantumu untuk memperkuat Thian-li-pang dan kita bersama jatuhkan pemerintah kerajaan Mancu!"

"Nanti dulu, Siangkoan-pangcu. Urusan di sini harus dibereskan dulu. Sebaiknya kalau engkau minta maaf kepada Nona Cu, dan memberi hukuman kepada lima orang bekas anak buahmu."

Siangkoan Kok menghela napas panjang. Dia maklum bahwa pemuda yang mengaku ketua Thian-li-pang itu lihai bukan main, memiliki ilmu pukulan yang amat aneh dan berbahaya. Dia akan melihat keadaan di Thian-li-pang. Kalau memang pantas dia bantu, apa salahnya? Baginya, yang penting adalah menggulingkan pemerintah Mancu! Dan memang tidak menguntungkan kalau dia bermusuhan dengan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman.

"Nona Cu, maafkan sikapku tadi." Dia menjura kepada gadis itu. Tentu saja Kim Giok segera membalas penghormatan ketua Pao-beng-pai itu.

"Tidak mengapa, Pangcu, hanya kesalahpahaman saja." katanya.

Kini Siangkoan Kok menoleh ke arah lima orang anak buahnya yang menyeringai. Ketika dia melangkah maju menghampiri mereka, lima orang itu memandang dengan wajah pucat dan mata ketakutan. Melihat sikap ketua mereka yang sudah amat mereka kenal, mereka ketakutan dan maklum bahwa ketua mereka itu marah kepada mereka. Dengan kaki menggigil, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Siangkoan Kok menggerakkan tangan kirinya lima kali dan lima orang itu pun terjengkang dan tewas seketika! Melihat ini, terkejutlah Kim Giok. Lima orang itu memang jahat dan patut dihajar, akan tetapi hukuman mati itu ia anggap terlalu keras. Akan tetapi karena yang membunuh adalah ketua mereka sendiri, ia pun tidak dapat mencampuri.

Sementara itu, Seng Bu merasa senang dan puas melihat cara Siangkoan Kok membuktikan kesungguhan niat kerja sama dengan dia. Dia kini menghadapi Kim Giok dan berkata, sikapnya sudah pulih ramah dan sopan. "Nona Cu, secara kebetulan kita saling bertemu dan berkenalan di sini. Mendengar tadi Nona berkata bahwa Nona sedang merantau untuk meluaskan pengalaman, sudikah Nona menerima undanganku untuk berkunjung ke Thianli-pang bersama Siangkoan Pangcu ini? Pasti Nona akan mendapat pengalaman dan pengetahuan lebih luas."

Karena memang merasa tertarik dan kagum sekali melihat pemuda yang ternyata mampu menundukkan Siangkoan Kok, pula ia pun tahu bahwa tanpa bantuan Ouw Seng Bu, mungkin ia sudah menderita celaka di tangan ketua Pao-beng-pai dan anak buahnya, maka Kim Giok mengangguk dan mengucapkan terima kasihnya.

Akan tetapi, Siangkoan Kok agaknya merasa tidak enak kalau harus melakukan perjalanan bersama mereka. "Ouw-pangcu, aku bukan seorang yang suka mengingkari janji. Aku pasti akan datang berkunjung ke Thian-li-pang, karena bukan hanya engkau yang membutuhkan bantuanku, akan tetapi juga aku sendiri amat membutuhkan kerja sama dengan orang sepertimu. Memang engkau benar, tanpa kerja sama antara kekuatan-kekuatan yang ada, perjuangan kita menentang penjajah tidak akan berhasil. Nah, silakan engkau dan Nona Cu pergi dulu, Ouw-pangcu, aku akan menyusul segera berkunjung ke sana."

Ketua Thian-li-pang itu setuju dan demikianlah, dia mengajak Cu Kim Giok untuk pergi lebih dahulu. Setelah mereka pergi, Siangkoan Kok menjatuhkan diri duduk di atas batu, termenung memandang ke arah mayat lima orang anak buahnya yang malang melintang. Dia mengerutkan alisnya. Terpaksa dia membunuh mereka, untuk memuaskan hati Ouw Seng Bu. Kini hatinya panas bukan

main. Ketua Thian-li-pang itu memaksanya membunuh anak buahnya sendiri. Dia, Siangkoan Kok, adalah keturunan kaisar kerajaan Beng, berdarah bangsawan tinggi. Bagaimana mungkin dia begitu direndahkan untuk menjadi pembantu saja dari seorang pemuda ingusan macam Ouw Seng Bu, betapapun lihainya pemuda itu karena menguasai ilmu pukulan beracun yang hebat? Tidak, dia harus menjadi kepala, dia harus menjadi pemimpin, dia harus menjadi yang nomor satu. Dia akan mencari akal untuk mengalahkan dan menjatuhkan Ouw Seng Bu. Dia mengepal tinju, kemudian dia melempar-lemparkan lima buah mayat itu ke dalam jurang yang dalam agar tidak kelihatan terlantar di tempat itu.

******

Siangkoan Kok menuruni lembah Bukit Setan. Tiba di lembah terakhir dia berhenti dan memutar tubuhnya, memandang ke arah Ban-kwi-kok yang nampak menghitam dari situ. Selama bertahun-tahun dia membangun kekuatan di tempat itu. Dan terpaksa, kini dia harus meninggalkan tempat itu yang sudah kosong dan hancur. Selama belasan tahun dia menghimpun tenaga para anak buahnya, hanya untuk hancur dalam waktu sehari saja! Dia merasa berduka dan menyesal sekali, maklum bahwa dia memang telah bersikap bodoh. Dia terlalu mengandalkan kekuatan perkumpulannya. Perkumpulan yang menentang pemerintah, seharusnya menyembunyikan diri, menghimpun kekuatan secara diam-diam pula, tidak memamerkan kekuatan sehingga terbasmi sebelum sempat

memberontak. Dia harus mulai dari permulaan, menghimpun pembantu-pembantu yang lebih cakap daripada yang sudah. Akan tetapi dia tahu betapa sukarnya hal itu tercapai. Yang jelas, dahulu dia dibantu oleh isterinya, Lauw Cu Si yang selain setia juga amat lihai ilmunya, sebagai keturunan para pimpinan Beng-kauw. Tidak mudah mencari seorang pengganti isteri seperti Lauw Cu Si yang pandai dan lihai. Kemudian dia berhasil menggembleng Eng Eng yang dianggap seperti anak sendiri sehingga Eng Eng yang tinggal bersamanya sejak berusia dua setengah tahun, menjadi seorang gadis yang memiliki kelihaian melebihi ibunya! Dua orang wanita itu tadinya merupakan pembantu-pembantu yang amat boleh diandalkan, terutam Eng Eng. Akan tetapi sekarang, semuanya telah hancur. Bahkan isterinya telah tewas, dan Eng Eng telah lari, dan dia tahu bahwa sekarang Eng Eng bukan lagi anaknya, melainkan musuhnya! Dan semua pembantu yang telah dididiknya, juga murid-muridnya, telah habis, entah tewas entah ditawan pasukan pemerintah. Dia hanya seorang diri di dunia ini. Bahkan lima orang bekas anak buahnya tadi pun terpaksa dibunuhnya.

"Aku tidak boleh putus asa," bisik Siangkoan Kok kepada dirinya sendiri sambil mengepal tinju. "Aku harus mencari lagi pembantu-pembantu yang lebih kuat lagi." Kalau saja orang-orang seperti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok tadi dapat menjadi pembantu-pembantunya! Kalau Ouw-pangcu tidak muncul, mungkin dia sudah dapat membujuk atau memaksa Cu Kim Giok menjadi pembantunya yang baru, atau menjadi selirnya! Dia bukan tergila-gila karena kecantikan dan kemudaan Kim Giok, melainkan ingin memiliki gadis itu agar dapat menjadi pembantunya yang setia.

Dengan keputusan hati yang penuh harapan, penuh semangat, pria perkasa ini melanjutkan perjalanan, dengan langkah lebar dia menuruni lereng terakhir. Di dalam sakunya masih terdapat banyak emas permata untuk bekal perjalanannya, walaupun hal ini tidak dipentingkan benar karena kalau dia membutuhkan biaya, tidak sukar baginya untuk mengambil dari rumah orang yang manapun. Ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup ramai di kaki Kwi-san, matahari telah condong ke barat dan cuaca sudah mulai remang-remang, maka Siangkoan Kok mengambil keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu. Biarpun dia bekas ketua Pao-beng-pai yang bermarkas di Lembah Selaksa Setan, di lereng Bukit Setan itu, namun penduduk dusun di kaki bukit ini tidak pernah melihatnya. Oleh karena itu, tak seorang pun mengenal pria tinggi besar gagah perkasa yang pada senja hari itu memasuki dusun. Akan tetapi, biarpun dia sendiri belum pernah memasuki dusun itu, Siangkoan Kok sudah mendengar dari anak buahnya bahwa dusun itu cukup ramai, penduduknya hidup cukup makmur karena sawah ladang di daerah itu amat subur, dan bahwa kepala dusunnya kaya. So-chung-cu (Kepala dusun So) bersama isterinya dan puterinya yang pada sore hari itu sedang duduk di serambi depan, tidak menduga buruk ketika melihat seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar,

berpakaian cukup pantas seperti seorang kota yang pakaiannya dari kain sutera, memasuki halaman rumah mereka. Bahkan Lurah So segera bangkit berdiri sambil memandang penuh perhatian ketika orang itu datang menghampiri mereka. Akan tetapi dia merasa heran karena merasa tidak mengenal tamu yang datang itu. Kalau seorang pejabat dari kota, kenapa datang tanpa pengawal?

Kini mereka berdiri berhadapan. Juga isteri Lurah So dan puterinya yang berusia delapan belas tahun, bangkit berdiri dan memandang kepada tamu itu. Karena tamu pria itu sudah setengah tua, maka dua orang wanita itu tidak merasa sungkan. Andaikata yang datang itu seorang laki-laki muda, tentu So Biauw Hwa, puteri lurah itu, akan masuk ke dalam bersama ibunya.

"Apakah engkau kepala dusun di sini?" tiba-tiba tamu itu mendahului tuan rumah. Suaranya menggelegar dan sikapnya berwibawa, juga sikapnya tidak menghormat si kepala dusun seperti sikap penduduk dusun di situ pada umumnya. Akan tetapi, So-chung-cu tidak marah karena dia menduga bahwa tentu tamu ini seorang dari kota, mungkin pejabat atau pedagang. Dia hanya memandang sejenak lalu mengangguk.

"Benar, saya kepala dusun di sini. Siapakah Saudara dan dari mana hendak ke mana? Ada keperluan apa Saudara berkunjung ke rumah kami?"

Siangkoan Kok mengamati lurah itu. Seorang laki-laki yang sebaya dengannya, tinggi kurus. Isterinya berusia empat puluhan tahun, masih cantik, dan puterinya yang berusia delapan belas tahun itu berwajah manis dan matanya lebar indah seperti mata kelinci. Ruangan depan itu pun memiliki prabot rumah yang cukup mewah, tanda bahwa lurah ini memang cukup keadaannya.

"Saya orang yang kebetulan lewat di dusun ini dan karena kemalaman, saya ingin melewatkan malam di sini, di rumah ini." kata Siangkoan Kok dengan sikap acuh, seolah-olah dia sudah merasa yakin bahwa permintaannya itu pasti dikabulkan. Mulailah Lurah So mengerutkan alisnya, juga isteri dan puterinya memandang dengan alis berkerut. Tamu ini sungguh tidak sopan, dan permintaannya agak keterlaluan. Tidak memperkenalkan nama, tidak menceritakan maksud kedatangannya, datang-datang menyatakan ingin menginap di rumah itu, bahkan tidak minta diterima!

"Hemmm, kalau ada tamu kemalaman di sini, kami sudah menyediakan tempat umum untuk bermalam, yaitu di balai dusun. Akan tetapi setiap orang tamu harus mendaftarkan namanya, tempat tinggalnya, agar kami tahu siapa yang datang bermalam. Nah, Saudara boleh pergi ke balai dusun, itu di sebelah kiri, tiga rumah dari sini, dan di sana sudah ada petugas yang akan melayanimu. Silakan!" kata tuan rumah itu, mengusir dengan nada halus.

Akan tetapi, jawaban yang diberikan tamu itu sungguh membuat keluarga lurah itu menjadi terbelalak. Siangkoan Kok berkata dengan nada suara marah. "Lurah So, tidak perlu banyak cakap lagi. Sediakan sebuah kamar terbaik di rumah ini untukku! Sediakan air hangat untuk mandi. Setelah itu, aku ingin makan malam yang enak, sediakan masakan yang lengkap, sembelih ayam

dan bebek, dan aku ingin makan dilayani wanita yang muda-muda dan cantik-cantik!" berkata demikian, Siangkoan Kok mengerling ke arah isteri dan puteri lurah itu. Dia bukan seorang mata keranjang, akan tetapi dia ingin memperlihatkan kekuasaannya, ingin dihormati secara berlebihan. Kalau dia pernah memaksa mendiang Tio Sui Lan, muridnya karena dia marah kepada isterinya

dan ingin mendapatkan ganti isterinya. Dan Sui Lan yang pada saat itu paling dekat dengannya, maka dia mengambil murid itu sebagai isteri secara paksa. Sebelum itu, dia tidak pernah mengganggu wanita lain karena bukan kepada wanita cantiklah curahan nafsu dalam diri Siangkoan Kok, melainkan kepada pengejaran cita-citanya, yaitu membangun kembali kerajaan Beng dan dia yang menjadi kaisar!

Tentu saja Lurah So marah bukan main mendengar permintaan kurang ajar seperti itu. Seorang pejabat tinggi dari kota pun tentu tidak akan mengajukan permintaan seperti itu secara langsung, seolah-olah dia merupakan abdi dari orang itu!

Lurah So tidak mau banyak cakap lagi, lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah lima orang dari samping rumah, membawa seekor anjing yang dirantai. Anjing itu besar dan nampaknya menyeramkan. Lima orang itu adalah penjaga atau peronda yang malam itu akan bertugas jaga di dusun itu, melakukan perondaan dan memang rumah samping Lurah So menjadi pusat penjagaan.

"Usir orang yang tidak sopan ini keluar dari dusun!" perintah Lurah So dengan geram sambil menunjuk ke arah Siangkoan Kok. Lima orang itu menghampiri dengan sikap bengis. Para petugas ronda di dusun itu memang dipilih warga dusun yang bertubuh kuat dan masih muda. Biarpun mereka bukan tukang pukul, akan tetapi lima orang itu yang merasa mendapat wewenang, lalu menghampiri Siangkoan Kok dengan sikap bengis mengancam. Sementara itu, isteri dan puteri Lurah So yang merasa ketakutan, sudah lari masuk ke dalam rumah.

"Hayo engkau cepat pergi dari sini!" kata seorang penjaga.

"Kalau tidak cepat pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!" bentak orang kedua.

Siangkoan Kok memandang kepada mereka dengan senyum mengejek. "Aku tidak mau pergi dan hendak kulihat, kekerasan macam apa yang hendak kalian lakukan terhadap diriku!"

Mendengar kata-kata dan melihat sikap penuh tantangan ini, lima orang penjaga menjadi marah. Mereka berlima maju dan mengulur tangan hendak menangkap orang setengah tua itu. Akan tetapi, begitu Siangkoan Kok menggerakkan kedua tangannya, lima orang itu terdorong dan terjengkang, terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya! Anjing yang tadinya dipegang ujung rantainya oleh seorang dari mereka, terlepas dan anjing itu menggonggong, lalu menubruk ke arah Siangkoan Kok dengan moncong dibuka lebar, memperlihatkan gigi bertaring yang runcing.

Melihat serangan anjing besar itu, Siangkoan Kok menjadi marah. Tangan kirinya, dengan jari terbuka menyambut tubrukan anjing itu, menyambar dari samping ke arah kepala anjing.

"Krekkk!" Anjing itu terbanting roboh dan berkelojotan dengan kepala pecah.

Lima orang penjaga itu terkejut dan mereka sudah mencabut golok masing-masing sambil berloncatan berdiri. Akan tetapi, ketika Siangkoan Kok menggerakkan kakinya, tubuhnya berkelebat ke depan, kakinya dan tangannya bergerak dan lima batang golok itu beterbangan lepas dari tangan pemegangnya.

"Apakah kalian ingin mampus seperti anjing itu?" bentaknya dan sekali tangan kirinya meraih, dia sudah mencengkeram baju di tengkuk Lurah So.

"Kalau permintaanku yang pantas itu tidak dituruti, aku akan membunuh Lurah So sekeluarganya, dan membakar rumah ini. Kalau ada penghuni dusun ini berani melawanku, akan kubunuh mereka semua!" Dia melepaskan lagi cengkeramannya dan Lurah So dengan

muka pucat lalu menyuruh para penjaga itu mundur, kemudian dia membungkuk dan memberi hormat kepada Siangkoan Kok.

"Maafkan kami.... karena tidak tahu kami telah berani membangkang perintah Tai-hiap (Pendekar Besar)."

"Cukup sudah! Cepat sediakan yang kupinta tadi. Kamar terbaik, mandi air hangat, lalu makan malam yang meriah dilayani wanita-wanita muda dan cantik!"

"Silakan, Taihiap.... silakan, biar Taihiap mempergunakan kamar kami sendiri. Silakan!"

Dengan langkah lebar Siangkoan Kok memasuki rumah lurah itu, diiringkan Lurah So yang masih ketakutan. Lima orang penjaga membawa pergi bangkai anjing dan dengan ketakutan mereka menceritakan apa yang terjadi di rumah Lurah So kepada penghuni dusun. Semua orang dusun dicekam ketakutan, akan tetapi mereka tidak berdaya, takut untuk melakukan sesuatu karena keselamatan keluarga Lurah So telah dicengkeram tamu aneh itu.

Terpaksa Lurah So melayani tamunya, memberikan kamarnya sendiri kepada Siangkoan Kok, menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi dan memerintahkan juru masak untuk menyembelih ayam dan bebek, membuat masakan dan mempersiapkan makan

malam sebaik mungkin untuk tamu aneh yang amat ditakuti itu. Diam-diam dia menyuruh puterinya pergi meninggalkan rumah, mengungsi ke mana saja agar jangan sampai diganggu tamu itu.

Sementara itu, pada sore hari itu juga, seorang gadis berusia delapan belas tahun lebih juga menuruni lereng Kwi-san. Gadis ini cantik jelita, dengan wajah yang bulat telur, kulitnya putih kemerahan, mata lebar dan sinarnya tajam, hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum yang amat manis karena ujung bibirnya dimeriahkan lesung pipit.

Dari pakaiannya yang serba merah, mudah diduga siapa adanya gadis jelita ini, apalagi kalau nampak sebatang suling berselaput emas terselip di pinggangnya. Ia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li! Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini hadir pula bersama ayah ibunya di dalam pesta ulang tahun dan pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong. Diam-diam ia kecewa karena tidak melihat Yo Han di sana, kemudian terjadi pengacauan yang dilakukan Eng Eng dari Pao-beng-pai. Hal ini dijadikan alasan oleh Sian Li untuk meninggalkan ayah ibunya dengan diam-diam di rumah Suma Ceng Liong, meninggalkan surat untuk ayah ibunya bahwa ia pergi untuk membantu Yo Han mencari puteri Sim Houw, yaitu Sim Hui Eng, dan juga untuk menyelidiki Pao-beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar.

Karena tidak tahu ke mana Yo Han pergi, maka Sian Li mencari tanpa tujuan tertentu. Ke manapun ia pergi, ia bertanya-tanya tentang pendekar yang berjuluk Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti), namun tidak pernah menemukan orang yang dapat menunjukkan di mana adanya pendekar yang dicarinya itu. Akhirnya, ia menuju ke Bukit Setan untuk menyelidiki Pao-beng-pai. Dalam perjalanan menuju ke sanalah ia mendengar akan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap gerombolan pemberontak itu, mendengar betapa Pao-beng-pai dibasmi oleh pasukan pemerintah. Namun, ia tetap pergi ke sana dan berhasil naik sampai ke Lembah Selaksa Setan, melihat betapa bekas sarang Pao-beng-pai telah menjadi puing karena dibakar oleh pasukan pemerintah.

Sian Li sama sekali tidak tahu bahwa ketika dia meninggalkan lembah itu, di lembah sebelah bawah, terjadi perkelahian antara Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok yang kemudian dibantu oleh Ouw Seng Bu. Hanya beberapa jam selisihnya ketika ia melewati lembah itu. Ia terus menuruni lembah dan ketika tiba di kaki bukit, ia hendak menuju ke dusun yang tadi dilihatnya dari lembah terakhir.

Pada saat itu memasuki hutan kecil yang berada di kaki bukit, untuk menuju ke dusun di seberang hutan, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya. "Nona Tan Sian Li....!!"

Sian Li terkejut, menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya memandang. Segera ia mengenal pemuda yang datang berlari-lari menghampirinya itu. "Twako (Kakak) Gak Ciang Hun....!" serunya girang dan juga heran sekali.

Terakhir ia berjumpa dengan pemuda itu di rumah Suma Ceng Liong ketika diadakan pertemuan antara tiga keluarga besar. "Bagalmana engkau dapat berada di sini?" Dengan wajah berseri-seri karena gembira dapat menemukan gadis itu, Ciang Hun menjawab, "Aku memang menyusul dan mencarimu setelah kami semua mengetahui kepergianmu."

Sian Li mengerutkan alisnya. "Kenapa, Gak-twako? Mau apa engkau menyusul dan mencariku?"

Ciang Hun menyadari kesalahannya. Hampir saja dia membuka rahasia hatinya. Tentu saja dia menyusul Sian Li karena msngkhawatirkan gadis itu dan ingin membantunya. Semua ini terdorong oleh perasaan cintanya kepada Sian Li! Akan tetapi, dia tidak berani menceritakan itu. "Aku.... aku pun ingin ikut mencari puteri paman Sim Houw yang hilang sejak kecil, aku ingin pula ikut menyelidiki Pao-beng-pai. Aku sudah mendapat perkenan ibu, maka aku cepat pergi menyusulmu, Nona. Kurasa, dengan tenaga kita berdua, akan lebih kuat dan...."

"Gak-twako, jangan sebut aku nona. Engkau membuat aku merasa sungkan saja. Bagaimanapun juga, di antara kita masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau perguruan. Nah, kalau aku menyebutmu kakak, sepatutnya kau menyebut aku adik, bukan?"

Wajah Ciang Hun menjadi kemerahan dan dia salah tingkah. Memang pemuda ini, walaupun sudah berusia dua puluh sembilan tahun, namun belum berpengalaman dalam pergaulan dengan wanita, maka dia merasa canggung dan rikuh.

"Baiklah, Siauw-moi. Aku memang mencarimu ke Kwi-san, karena engkau ingin pula menyelidiki Pao-beng-pai. Akan tetapi aku menjadi bingung ketika mendengar bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah. Maka aku hanya berkeliaran di sekitar kaki bukit sampai tadi kebetulan sekali aku melihatmu, maka aku mengejarmu."

Siang Li yang merasa lelah, tidak begitu senang membayangkan dirinya melakukan perjalanan berdua saja dengan Ciang Hun. Bukan Ciang Hun yang diharapkannya, melainkan Yo Han! Dan ia mendapat kesan bahwa pandang mata Gak Ciang Hun terhadapnya begitu penuh kagum, begitu mesra. Ini hanya berarti bahwa pemuda perkasa ini agaknya menaruh hati kepadanya, hal yang sama sekali tidak ia harapkan! Sian Li adalah seorang gadis yang berwatak tegas dan keras. Ia lalu duduk di atas batu, di bawah pohon yang rindang. Matahari sudah condong ke barat, namun sinarnya masih cukup panas dan duduk di tempat teduh itu amat nyaman, apalagi karena ia sudah melakukan perjalanan melelahkan menuruni Lembah Selaksa Setan tadi.

"Gak-twako, sesungguhnya, perjalananku meninggalkan ayah ibu tempo hari terutama sekali untuk mencari kanda Yo Han." Ia berkata dengan tekanan suara kepada nama pemuda itu, dan matanya memandang tajam.

Ciang Hun mengerutkan alisnya. "Yo Han? Kau maksudkan, Pendekar Tangan Sakti?"

Sian Li mengangguk dan ia semakin yakin akan dugaannya melihat betapa sinar mata pemuda itu menunduk dan alisnya berkerut, jelas nampak dia terpukul. Sebaiknya berterus terang, pikir gadis itu, daripada membiarkan dia berlarut-larut hanyut dalam khayal.

"Benar, Gak-twako. Aku ingin mencari Han-koko. Dia bertekad untuk menemukan puteri Paman Sim Houw yang hilang, maka aku akan mencarinya karena aku tidak ingin ikut ayah dan ibu ke kota raja."

Ciang Hun yang sudah dapat menguasai kekecewaan mendengar betapa gadis yang sejak pertemuannya pertama kali telah merampas semangatnya ini mencari-cari Yo Han, membuat dia menduga bahwa tentu ada perhatian khusus dari gadis ini terhadap pendekar itu, untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, dia bertanya, "Kenapa engkau tidak ingin ikut dengan orang tuamu ke kota raja, Nona.... eh, Siauw-moi?"

"Hemmm, orang tuaku mengajak aku ke kota raja untuk membicarakan urusan perjodohanku. Aku tidak suka itu. Aku hendak dijodohkan dengan putera Pangeran Cia Yan, bahkan ikatan itu sudah dilakukan sejak dahulu dan kini orang tuaku hendak mematangkan urusan itu. Aku tidak suka menjadi calon mantu pangeran!"

Ciang Hun memandang wajah gadis itu yang nampak cemberut, namun tidak mengurangi kecantikannya. "Akan tetapi, kenapa, Siauw-moi? Bukankah menjadi mantu pangeran merupakan suatu penghormatan besar, engkau akan hidup mulia dan terhormat, dan kurasa putera pangeran itu pun seorang pemuda yang baik maka sampai diterima oleh ayah ibumu...."

"Tidak peduli bagaimanapun baiknya, aku tidak sudi! Ah, Twako, kurasa tidak perlu lagi aku merahasiakan. Hanya ada seorang saja pria yang aku ingin menjadi suamiku, pria yang kucinta sejak dahulu, dia adalah Han-koko...."

"Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?" Ciang Hun bertanya, tidak merasa heran karena hal ini sudah diduganya. Gadis itu mengangguk, merasa puas karena ia memang ingin berterus terang agar Gak Ciang Hun tidak lagi mengharapkannya.

"Dia memang seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku pun kagum dan menghormatinya. Pilihan hatimu tidak keliru, Siauw-moi. Akan tetapi bagaimana dengan pilihan orang tuamu, pangeran itu....?"

"Aku tidak mau! Ayah dan ibu harus dapat mengerti. Aku hanya mencinta Han-ko, aku akan mencarinya."

"Kalau begitu, aku akan membantumu, Siauw-moi. Aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan Yo Han!" kata Ciang Hun penuh semangat. Dia memang berjiwa pendekar. Biarpun baru saja harapannya hancur lebur, bahwa cintanya kepada Sian Li takkan mungkin terbalas, bahwa dia hanya bertepuk tangan sebelah, namun dia tidak menjadi patah hati. Tidak, dia dapat menerima dan menghadapi kenyataan. Apalagi mendengar bahwa pilihan hati Sian Li adalah Yo Han, pendekar yang dia kagumi, dan dia tahu bahwa Yo Han jauh lebih baik dari dirinya sendiri! Dia tahu bahwa dia bukan jodoh Sian Li, akan tetapi hal ini bukan berarti dia membenci Sian Li. Tidak, dia tetap menyayangnya, karena bagaimanapun juga, di antara mereka masih ada hubungan dan ikatan antara tiga keluarga besar. Dia harus membantu gadis itu, menemukan kekasihnya, calon suaminya, menemukan kebahagiaannya.

Sian Li mengangkat muka memandang wajah yang menunduk itu. Diam-diam ia merasa terharu, dan juga kagum. Saorang pria yang hebat, pikirnya. Betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada pria ini, sekiranya di sana tidak ada Yo Han! Ia mengulur tangan dan menyentuh lengan Ciang Hun.

"Benarkah, Twako? Aih, engkau memang baik hati sekali. Engkau dan ibumu selalu berbuat baik. Terima kasih, Twako!"

Ciang Hun mengangkat muka dan tersenyum melihat Sian Li begitu gembira. Begitu kekanak-kenakan! "Mari kita lanjutkan perjalanan, matahari sudah condong ke barat. Sebentar lagi gelap, kita harus dapat melintasi hutan ini sebelum malam tiba."

"Marilah, Gak-twako. Tadi kulihat dari atas bahwa di seberang hutan kecil ini terdapat sebuah dusun. Kita ke sana sebelum malam tiba, Twako."

Mereka memasuki hutan itu dengan langkah cepat, akan tetapi ketika mereka hampir tiba di seberang, mereka mendengar isak tangis seorang wanita. Mereka terkejut dan heran, bahkan sempat bulu tengkuk mereka meremang karena di waktu senja dan cuaca sudah hampir gelap, terdengar isak tangis di hutan.

Siapa lagi kalau bukan siluman atau iblis yang mengeluarkan suara seperti itu untuk menakut-nakuti mereka? Memang mereka merasa ngeri. akan tetapi mereka adalah dua orang pendekar yang tidak mudah lari ketakutan, Mereka menghentikan langkah dan

memperhatikan, suara tangis wanita itu ditanggapi suara seorang wanita lain.

"Sudahlah jangan menangis. Tidak ada yang tahu bahwa kita bersembunyi di sini...."

Orang yang menangis itu berkata dengan suara ketakutan, "Tapi.... Ibu.... bagaimana dengan ayah? Bagaimana kalau dia dipukul atau dibunuh iblis jahat itu....?"

Mendengar percakapan ini, Sian Li cepat menghampiri, diikuti oleh Ciang Hun. Kedua orang wanita yang sedang duduk di dalam gubuk kecil tempat para pemburu beristirahat itu, menahan jerit mereka ketika di dalam cuaca yang sudah remang-remang itu mendadak muncul dua bayangan orang. Akan tetapi mereka tidak jadi menjerit ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadis cantik bersama seorang pemuda tampan.

"Jangan takut, Bibi dan Cici, kami bukan orang jahat. Namaku Tan Sian Li dan ini kakak Gak Ciang Hun. Kami kebetulan lewat di sini dan mendengar percakapan kalian. Kenapa kalian bersembunyi di sini dan siapa yang mengancam keselamatan suami Bibi?"

Melihat sikap Sian Li yang gagah, juga pemuda di dekatnya itu bersikap gagah, wanita itu lalu memberi hormat dan berkata, "Aku adalah isteri Lurah So di dusun sana, dan ini So Biauw Hwa puteri kami. Baru saja rumah kami didatangi seorang laki-laki yang amat kasar dan jahat. Dia dengan paksa hendak bermalam di rumah kami, minta disediakan kamar terbaik, mandi air hangat, dan pesta-pesta, minta dilayani wanita-wanita cantik. Dia memukul para penjaga, dan membunuh anjing kami. Dia menakutkan sekali. Karena takut kalau anakku diganggu, maka ia kuajak melarikan diri dan bersembunyi di sini."

"Hemmm, apakah orang itu perampok dan banyak temannya?" tanya Sian Li, penasaran dan sudah marah kepada para perampok yang bertindak sewenang-wenang.

Akan tetapi nyonya itu menggeleng kepala. "Dia hanya seorang diri, dan agaknya tidak seperti perampok, pakaiannya pantas, hanya sikapnya yang seperti raja memerintah kami. Ah, kami takut sekali, khawatir kalau sampai suamiku dicelakakan olehnya...."

"Siauw-moi, mari kita ke sana!" kata Gak Ciang Hun yang juga sudah marah mendengar kelakuan tamu yang demikian kurang ajar.

"Mari, Bibi dan Cici, mari antar kami ke rumah kalian. Kami akan hajar dan usir tamu tak tahu diri itu!" kata Sian Li. Melihat sikap pemuda dan pemudi itu, ibu dan anak ini menjadi berani dan timbul pula harapan mereka agar cepat terbebas dari ancaman tamu yang jahat itu.

Hari telah menjadi gelap ketika mereka berempat memasuki dusun. Suasana dusun yang tadinya ramai itu kini mendadak menjadi sepi sekali karena semua rumah menutupkan pintu dan jendelanya. Tak seorang pun berani menampakkan diri di luar rumah, mereka semua telah mendengar akan munculnya seorang manusia yang jahat dan amat lihai di rumah kepala dusun, Ketika mereka berempat tiba di rumah Lurah So, dari luar mereka sudah mendengar ribut-ribut, Suara itu datangnya dari ruangan makan seperti yang diberitahukan ibu dan anak itu, dan mereka semua langsung menuju ke ruangan makan di sebelah belakang. Dan mereka melihat betapa laki-laki setengah tua yang tinggi besar itu sedang bertanding melawan seorang gadis yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang). Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya bulat dengan dagu runcing dan rambutnya yang hitam itu lebat dan panjang sekali, digelung dua di belakang kepala. Matanya bersinar lembut dan mulutnya amat indah, dengan bibir yang kemerahan dan lekuknya amat menggairahkan. Tubuhnya ramping dan gadis ini memang cantik manis. Juga ilmu sepasang pedangnya cukup lumayan. Jelas bahwa ia marah sekali, menyerang pria itu dengan mati-matian, Akan tetapi, Ciang Hun dan Sian Li melihat betapa pria itu memang lihai bukan main, Biarpun hanya menggunakan tangan kosong, namun pria itu sama sekali tidak terdesak oleh sepasang pedang lawannya, bahkan dia menggulung lengan baju dan dengan lengan telanjang dia berani menangkis pedang, seolah-olah lengannya terbuat dari baja saja! Sian Li dan Ciang Hun

tidak mengenal wanita cantik manis yang biarpun melihat kehebatan lawan, namun tidak nampak gentar dan terus menyerang itu. Karena mereka tidak tahu siapa gadis itu, Juga ibu dan anak itu tidak mengenalnya, maka Sian Li dan Ciang Hun meragu untuk turun tangan. Gadis yang mulutnya menggairahkan itu adalah Gan Bi Kim! Para pembaca kisah Si Bangau Merah akan mengenal Gan Bi Kim. Ia adalah puteri seorang pejabat tinggi, yaitu kepala gudang pusaka kerajaan dan tinggal di kota raja, bernama Gan Seng. Ketika Yo Han tamat belajar ilmu silat dari kakek yang buntung lengan dan kakinya, yaitu mendiang Ciu Lam Hok, sebelum mati kakek itu memesan kepada muridnya agar suka berkunjung kepada cicinya yang tinggal di kota raja. Cici dari kakek Ciu Lam Hok adalah nenek Ciu Cing, yaitu ibu kandung Gan Seng ayah Bi Kim. Ketika Yo Han berkunjung ke sana nenek Ciu Cing menangisi kematian adiknya Ciu Lam Hok dan ketika menyembahyangi arwah adiknya, di depan meja sembahyang ini nenek itu menjodohkan cucunya, Gan Bi Kim, dengan murid adiknya, yaitu Yo Han. Dan kebetulan sekali Bi Kim jatuh cinta pula kepada Yo Han, walaupun Yo Han sendiri tidak mencintanya karena sejak remaja, Yo Han telah jatuh cinta kepada Tan Sian Li, Si Bangau Merah! Yo Han meninggalkan keluarga Gan di kota raja. Bi Kim merasa penasaran karena belum mendapatkan kepastian dari Yo Han, maka ia pun mendesak ayahnya untuk mengundang jagoan-jagoan istana dan mengajarkan ilmu silat kepadanya. Ternyata ia berbakat dan terutama sekali ia pandai memainkan sepasang pedang.

Setelah ditunggu-tunggu tidak juga Yo Han datang, bahkan tidak ada berita, Gan Bi Kim merasa penasaran. Ia merasa bahwa ia telah menguasai ilmu pedang dan pandai menjaga diri, maka pada suatu hari, ia pun lolos dari gedung ayahnya, meninggalkan sepucuk surat dan menyatakan kepada ayah ibunya bahwa ia pergi untuk mencari tunangannya, yaitu Yo Han!

Pada sore hari itu, kebetulan sekali ia pun tiba di dusun itu. Ia sudah lelah dan ingin bermalam di dusun itu. Akan tetapi betapa herannya melihat semua rumah di dusun itu tertutup pintu dan jendelanya, bahkan di jalan pun tidak nampak seorang pun manusiai Akan tetapi, ia tahu benar bahwa dusun itu bukan dusun kosong. Pekarangan rumah bersih terpelihara, juga sawah ladang dan tanaman di sekeliling perumahan durun. Dan lebih dari itu, ia pun mendengar gerakan orang-orang di dalam rumah-rumah yang tertutup rapat dan, yang tidak dipasangi lampu walaupun senja telah mendatang.

Karena merasa heran dan penasaran ketika mendengar tangis anak kecil dari sebuah rumah dan tangis itu berhenti tiba-tiba seolah-olah mulut anak yang menangis itu didekap tangan, ia tidak sabar lagi dan mengetuk daun pintu rumah itu.

"Paman atau bibi, bukalah pintunya. Aku bukan orang jahat, aku seorang gadis yang kebetulan kemalaman dan ingin bermalam di dusun ini. Biarkan aku menginap semalam di rumah kalian, akan kuberi pengganti kerugian!"

Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan berteriak, akhirnya terdengar jawaban seorang wanita dari dalam, tanpa membuka pintu. "Nona, maafkan kami.... tempat kami penuh sesak.... eh, kalau Nona ingin bermalam.... datanglah ke rumah kepala dusun, di sebelah itu, sepuluh rumah dari sini."

Terpaksa Bi Kim meninggalkan rumah itu, menuju ke kanan sampai ia tiba di depan rumah kepala dusun. Mudah saja menemukan rumah itu karena jauh lebih besar dibandingkan rumah-rumah lain, dan hanya rumah besar ini saja yang daun pintu sebelah depan terbuka, dan di dalam rumah itu dipasangi lampu penerangan yang cukup banyak. Ketika ia memasuki pekarangan, beberapa orang bermunculan dari tempat gelap, agaknya mereka ini pun ketakutan.

"Nona mencari siapakah?" seorang setengah tua bertanya dengan suara gemetar, juga tiga orang temannya nampak ketakutan.

"Aku seorang yang kebetulan lewat dan kemalaman di dusun ini, aku hendak minta pertolongan lurah agar suka menerimaku semalam ini."

Empat orang itu saling pandang, kemudian menengok ke arah dalam rumah dan orang setengah tua tadi berbisik, "Nona, pergilah dari sini. Di rumah ini kedatangan seorang penjahat yang menakutkan. Dia sedang memaksa lurah untuk menjamunya dengan pesta. Dia jahat sekali!"

Mendengar ini, Gan Bi Kim tersenyum dan meraba gagang siang-kiam yang tergantung di punggungnya, "Aku tidak takut, bahkan kalau ada penjahat mengganggu rumah ini, aku akan mengusirnya."

Kembali empat orang itu saling pandang. "Kalau begitu, masuklah, pergilah ke ruangan belakang, ruangan makan. Akan tetapi, kami tidak berani mengantarmu, Nona." kata mereka dan kembali mereka menyelinap ke dalam bayangan-bayangan yang gelap.

Tentu saja Bi Kim merasa heran dan penasaran. Dengan langkah lebar ia memasuki rumah itu. Sunyi saja, agaknya semua orang, seperti empat orang pria tadi, sudah lari menyingkir dan bersembunyi ketakutan. Akan tetapi terdengar suara di ruangan belakang dan ia pun menuju ke sana.

Ruangan itu luas dan terang sekali. Sebuah meja makan besar penuh hidangan yang masih mengepulkan uap berada di tengah ruangan. Seorang pria tinggi besar duduk makan minum seorang diri, dilayani oleh tiga orang wanita muda. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, tinggi kurus, berdiri di sudut, memandang dengan sikap takut-takut.

Mendengar langkah kaki, pria yang sedang makan itu menoleh dan melihat Bi Kim, wajahnya berseri, matanya memandang penuh selidik dan dengan suaranya yang parau berwibawa dia bertanya, "Siapa kau? Mau apa kau masuk ke sini?"

Karena tidak tahu mana, lurah yang ia cari, Bi Kim memandang kepada pria yang sedang makan itu, bertanya, "Aku ingin bertemu dengan lurah dusun ini. Mana dia?"

"Aku.... akulah Lurah So dari dusun ini, Nona...." Lurah So berkata dengan gagap.

Kini Bi Kim menoleh kepada pria tinggi besar yang bukan lain adalah Siangkoan Kok itu. "Hemmm, jadi orang inikah yang datang mengacau?" tanya Bi Kim sambil menoleh kepada Lurah So. Akan tetapi lurah ini tidak berani mengeluarkan suara, bahkan menunduk karena takut membuat marah tamunya. Juga tiga orang wanita muda itu tidak berani bergerak.

"Ha-ha-ha, engkau cantik. manis, Nona, engkau jauh lebih cantik daripada tiga orang perempuan di dusun ini. Sayang puteri lurah ini telah melarikan diri. Biar engkau menjadi penggantinya menemaniku makan minum. Mari, Nona, duduklah di sini, makan minum sepuasnya!"

"Hemmm, kiranya engkau ini jahanam busuk, manusia tak tahu diri, begitu datang ke rumah orang bertindak sewenang-wenang. Setelah aku datang, jangan harap engkau akan dapat menjual lagak lagi. Hayo pergilah cepat meninggalkan rumah ini, meninggalkan dusun ini, atau sepasang pedangku akan membuat engkau menjadi setan tanpa kepala!" Berkata demikian, untuk menggertak, Bi Kim mencabut sepasang pedangnya. Sepasang pedang yang baik karena ayahnya mencarikan sepasang pedang pilihan

untuk puterinya. Nampak kilat menyambar ketika gadis. itu mencabut sepasang pedangnya. Akan tetapi, Siangkoan Kok tertawa dan sama sekali tidak kelihatan gentar.

"Ha-ha- ha, bagus sekali. Aku memang lebih senang kalau gadis cantik yang menemani aku makan minum bukan seorang wanita lemah. Nah, sekararg kita bertaruh, Nona. Kalau aku kalah olehmu, biar aku pergi tanpa banyak cakap lagi. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menemani aku makan minum sampai mabuk. Bagaimana?"

Wajah Bi Kim berubah merah sekali, matanya mencorong penuh kemarahan. "Jahanam busuk!" katanya melihat orang itu bangkit dan menghampirinya. "Engkau memang layak dibasmi!" Dan sepasang pedangnya sudah menyambar ganas. Akan tetapi, Siangkoan Kok dapat mengelak dengan mudah dan dia segera mengenal bahwa ilmu pedang nona ini bukan ilmu sembarangan, melainkan ilmu pedang yang tinggi nilainya. Hal ini tidak mengherankan karena Bi Kim dilatih oleh jagoan-jagoan istana yang lihai. Maka, timbul penyakit lama Siangkoan Kok. Dia tidak segera mengalahkan gadis yang tingkatnya masih jauh di bawahnya itu, bahkan dia menggulung kedua lengan bajunya agar tidak sampai robek, menggunakan kedua lengan untuk menangkis serangan pedang sambil memperhatikan jurus-jurus ilmu pedang itu untuk menambah pengetahuannya yang sudah banyak. Tentu saja Lurah So dan tiga orang gadis dusun yang dipaksa menjadi pelayan tadi merasa ketakutan, apalagi melihat betapa tamu yang ditakuti itu mampu melawan si gadis yang berpedang hanya dengan tangan kosong saja. Juga Bi Kim sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa penjahat ini memang luar biasa, memiliki kesaktian. Apalagi ia, bahkan guru-gurunya belum tentu mampu menandingi kakek ini!

Pada saat pertandingan itu berlangsung, muncullah Sian Li dan Ciang Hun. Akan tetapi karena kedua orang pendekar ini tidak mengenal Bi Kim, tentu saja mereka tidak dapat turun tangan membantu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, siapa gadis ber-siang-kiam itu dan mengapa pula berkelahi melawan kakek, yang amat lihai itu. Seperti yang mereka duga, kakek itu hanya mempermainkan lawannya dan setelah dia mengenal benar ilmu pedang pasangan dari Bi Kim, tiba-tiba Siangkoan Kok membentak nyaring dan tahu-tahu sepasang pedang itu telah berpindah tangan! Dia menyeringai ketika Bi Kim meloncat ke belakang dengan kaget.

"Ha-ha-ha, engkau kalah, Nona. Nah, engkau harus menemani aku makan minum sampai mabuk!"

"Tidak sudi! Sebelum mati aku tidak akan mengaku kalah!" bentak Bi Kim dan ia pun menerjang lagi, kini dengan tangan kosong. Kini Sian Li dan Ciang Hun tidak ragu-ragu lagi. Jelas bahwa gadis itu merupakan orang yang menentang penjahat lihai itu, maka keduanya sudah melompat ke depan untuk mencegah Bi Kim bertindak nekat. Dengan sepasang pedang saja bukan lawan kakek

itu, apalagi bertangan kosong.

"Tahan....!" kata Sian Li dan dari samping ia telah menangkap pergelangan tangan Bi Kim dan menariknya ke samping. Bi Kim yang tertangkap pergelangan tangannya, merasa tenaganya lumpuh, maka ia terkejut sekali dan menurut saja ditarik ke samping. Siangkoan kok mengerutken alisnya memandang kepada Sian Li yang berpakaian merah dan Ciang Hun yang gagah. "Huh, siapa lagi ini kalian yang datang mengganggu kesenanganku!" katanya sambil melemparkan sepasang pedang rampasan itu ke arah Bi Kim. Biarpun hanya dilempar sambil lalu saja, namun sepasang pedang itu meluncur bagaikan anak panah ke arah Sian Li dan Ciang Hun! Jelas bahwa kakek yang lihai itu sengaja hendak menguji kepandaian dua orang muda yang baru muncul! Dengan tenang Sian Li menangkap pedang yang meluncur ke arahnya, dari samping dengan jalan menjepitnya di antara telunjuk dan ibu jarinya, seperti anak-anak menangkap capung pada ekornya. Sedangkan Ciang Hun lebih repot, mengelak ke samping lalu memutar tubuh dan menangkap pedang itu pada gagangnya dari belakang! Dari cara menangkap pedang ini saja sudah dapat dinilai bahwa tingkat kepandaian Si Bangau Merah lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Gak Ciang Hun!

Siangkoan Kok agak terkejut. Kiranya dua orang muda ini hebat! Sama sekali tidak boleh dipandang ringan, tidak dapat disamakan dengan kepandaian Bi Kim. Ciang Hun dan Sian Li menyerahkan sepasang pedang itu kembali kepada Bi Kim, kemudian Sian Li menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Siangkoan Kok. "Engkau ini orang tua yang kelihatan gagah perkasa, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh menjijikkan sikapmu di dusun ini, bertindak seperti perampok kecil saja!"

Wajah Siangkoan Kok berubah kemerahan. "Bocah bermulut lancang!" Setelah berkata demikian, dia menubruk ke arah Sian Li dan mengirim serangan kilat. Namun, nampak bayangan merah berkelebat dan Sian Li sudah dapat mengelak dari serangan dahsyat itu, dan ketika tubuhnya turun, di depan kakek itu, ia sudah memegang sebatang suling berselaput emas, sikapnya gagah dan tenang

sekali.

Siangkoan Kok terkejut, apalagi ketika melihat suling emas itu? Alisnya berkerut mengingat-ingat. Pakaian merah! Tentu saja!

"Hemmm, apakah engkau ini yang berjuluk Si Bangau Merah?" tanyanya sambil memandang penuh selidik.

Sian Li menggerakkan sulingnya dan terdengar suara berdesing, disusul ucapannya yang lantang, "Memang benar aku yang dijuluki Si Bangau Merah."

"Bagus! Ha-ha-ha, hari ini aku sungguh beruntung, dapat bertemu dengan tokoh-tokoh muda dunia kang-ouw. Dan engkau siapa orang muda?" tanyanya. "Tidak mengapa, biarkan aku menebak siapa engkau!" Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan tangannya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Ciang Hun. Pemuda ini sama sekali tidak menduga akan diserang, maka dia tidak sempat mengelak lagi, lalu mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menggerakkan kedua tangan terbuka menyambut.

"Dukkkkk!" Keduanya terdorong ke belakang. Ciang Hun sudah berjongkok dan berlutut dengan sebelah kaki, kedua tangannya depan dada, kedua telapak tangannya menghadap ke atas.

Siangkoan Kok terbelalak. "Wah, apakah engkau memiliki sin-kang yang disebut Tenaga Inti Bumi? Engkau mengambil tenaga dari tanah?"

Diam-diam Gak Ciang Hun tertegun dan kagum. Sekali beradu tenaga yang membuat dia terlempar dan terpaksa memasang kuda-kuda Dewa Menyangga Bumi untuk memulihkan tenaga dan siap menghadapi serangan lanjutan lawan, dan kakek itu sudah mengenal dasar ilmunya. Memang dia tadi menggunakan tenaga yang menjadi ilmu warisan keluarga Gak, bahkan mendiang kakeknya, Bu-beng Lo-kai atau dahulu bernama Gak Bun Beng sebelum meninggal dunia telah mengoperkan tenaga kepadanya sehingga biarpun bakatnya tidak sangat baik, namun dia telah dapat menghimpun tenaga ginkang itu.

"Orang muda, apa hubunganmu dengan mendiang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san)?" tanyanya lagi.

Ciang Hun tidak ingin menyombongkan dirinya akan tetapi dia pun bangga dengan nama besar kedua ayahnya. "Mereka adalah ayah kandungku!" jawabnya gagah sama sekali tidak merasa sungkan mengaku bahwa dia memiliki dua orang ayah kandung! Memang suatu hal yang aneh dalam keluarga itu. Ayahnya adalah sepasang pendekar kembar yang mencintai seorang wanita, maka keduanya menjadi suami wanita itu dan lahirlah Ciang Hun, anak dari seorang ibu dan dua orang ayah.

"Ha-ha-ha-ha-ha, pantas kalian berani mengganggu kesenanganku. Nah, mengingat bahwa kalian keturunan orang-orang pandai, mari kuundang kalian makan minum denganku, Bangau Merah dari orang muda she Gak! Dan engkau juga! Nona. Permainan siang-kiam (sepasang pedang) darimu tadi cukup lumayan, membuktikan bahwa engkau pun telah dilatih oleh guru yang pandai. Ha-ha-ha, marilah orang-orang muda, kita mempererat perkenalan dengan makan minum!" Siangkoan Kok tidak berpura-pura dengan keramahan ajakannya ini. Tadinya dia adalah majikan yang dihormati seperti seorang raja kecil. Akan tetapi sekarang semua kemuliaan itu habislah sudah, anak buahnya dibasmi pasukan pemerintah, Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) telah diobrak-abrik, seluruh

hartanya habis.Habislah sudah kesemuanya, bahkan dia  kehilangan anak yang disayangnya walaupun hanya anak tiri, kehilangan isteri yang dia bunuh sendiri, juga kehilangan murid tersayang yang diambilnya secara paksa menjadi isteri, juga murid ini dia bunuh. Sekarang, dia sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi. Karena itu, melihat tiga orang muda ini, yang gagah perkasa dan juga dua orang di antaranya adalah gadis-gadis perkasa yang cantik, timbul keinginan hatinya untuk bersahabat dengan mereka. Siapa tahu dia dapat menguasai mereka dan dengan bantuan tiga orang muda seperti ini dia tentu akan mampu membangun lagi perkumpulannya yang terbasmi dan dia akan jaya kembali.

Sejak tadi Sian Li memperhatikan pria yang tinggi besar gagah dan berwibawa itu. Ketika ia melakukan perjalanan untuk menyelidiki Pao-beng-pai, ia telah mencari keterangan tantang perkumpulan itu, tentang ketuanya dan tentang puteri ketua yang pernah datang mengacau pertemuan tiga keluarga besar. Pao-beng-pai telah terbasmi dan di tempat yang tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai, terdapat kakek yang lihai ini.

"Bukankah engkau yang bernama Siangkoan Kok, majikan di Ban-kwi-kok dan ketua Pao-beng-pai yan telah hancur?"

Pertanyaan yang dilontarkan Sian Li ini sungguh amat mengejutkan hati semua orang. Bukan hanya Gak Ciang Hun dan Dan Bi Kim yang terkejut juga Lurah So dan semua orang yang tadi sibuk melayani kakek itu. Lurah So dan para pembantunya menjadi pucat mendengar bahkan kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai, perkumpulan yang mereka takuti. Mereka semua sudah mendengar akan Pao-beng-pai dan ketuanya, yaitu Siangkoan Kok majikan Lembah Selaksa Setan, akan tetapi hanya namanya saja yang mereka ketahui, belum pernah melihat orangnya. "Ha-ha-ha, engkau hebat, Si Bangau Merah! Tidak percuma engkau mendapat julukan itu karena engkau memang cerdik, lihai dan bermata tajam. Aku memang Siangkoan Kok!"

"Bagus! Kiranya engkau ketua Pao-beng-pai! Dan gadis siluman yang berani menantang keluarga kami itu adalah puterimu. Suruh ia keluar untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya!" Sian Li membentak.

"Sian-moi, kiranya tak perlu bicara lagi dengan iblis seperti ini!" kata Ciang Hun yang sudah mencabut pedangnya.

"Benar, jahanam ini iblis yang kejam dan jahat yang harus dibasmi!" kata pula Gan Bi Kim yang sudah siap dengan sepasang pedangnya pula.

"Ha-ha-ha, kiranya kalian hanyalah pendekar-pendekar muda yang menjadi antek penjajah Mancu!" bekas ketua Pao-beng-pai itu mengejek sambil menertawakan mereka. Wajah Sian Li berubah merah. "Jahanam busuk! Kalau kami menentangmu, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Bagi kami, engkau bukanlah pejuang, melainkan penjahat busuk yang suka mengganggu rakyat.

Bersiaplah untuk mampus!" Sian Li sudah menerjang dengan senjata sulingnya, Ciang Hun dan Bi Kim juga cepat menggerakkan senjata mereka, mengeroyok.

Siangkoan Kok adalah seorang datuk yang lihai sekali. Akan tetapi, sekarang dia menghadapi pengeroyokan tiga orang muda yang tangguh, terutama sekali Si Bangau Merah dan Gak Ciang Hun. Dua orang muda ini adalah keturunan pendekar-pendekar lihai, maka dia tidak berani memandang rendah dan kakek itu sudah mencabut pedangnya, memutar senjata itu menyambut serangan para pengeroyoknya.

Kalau tiga orang muda itu menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, menyerang dengan semangat besar, sebaliknya Siangkoan Kok hanya melindungi dirinya dengan gulungan sinar pedang. Dia tidak bersemangat untuk berkelahi. Apalagi mengingat bahwa dua orang di antara para pengeroyoknya adalah keturunan keluarga pendekar yang tangguh. Dia tidak ingin menambah jumlah musuh di luar pasukan pemerintah yang telah membasmi perkumpulannya, bahkan mungkin dia ingin bekerja sama dengan kelompok lain untuk membalas dendam kepada pemerintah penjajah Mancu, seperti yang telah dijanjikannya kepada ketua Thian-li-pang di Bukit Setan. Selain itu, dia juga merasa gentar kalau-kalau Pendekar Bangau Putih, ayah Si Bangau Merah ini, dan juga Pendekar Tangan Sakti Yo Han akan muncul.

Maka, setelah memutar pedangnya dengan dahsyat, membuat tiga orang pengeroyoknya dengan hati-hati mundur menjaga jarak, tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke kiri dan sebelum tiga orang muda yang mengeroyoknya sempat mencegah, dia sudah mencengkeram leher baju Lurah So dan menempelkan pedangnya di leher lurah yang menjadi pucat ketakutan itu.

"Kalau ada yang menyerangku, aku akan lebih dulu menyembelih lurah ini!" bentak Siangkoan Kok sambil mendorong tubuh lurah itu di depannya dan terus mendorongnya keluar rumah.

Ciang Hun, Sian Li, dan Bi Kim tentu saja tidak berani menyerang lagi. Bagaimanapun juga, mereka tidak mau mengorbankan nyawa lurah yang tidak berdosa itu. Mereka hanya dapat memandang ketika lurah itu didorong keluar oleh Siangkoan Kok. Sian Li hanya dapat mengancam ketua Pao-beng-pai itu.

"Siangkoan Kok, kalau engkau membunuhnya, aku bersumpah untuk mengejarmu dan tidak akan berhenti sampai aku dapat membunuhmu!"

Ketua Pao-beng-pai itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, aku sedang malas bertanding, Nona manis, dan aku menangkapnya hanya untuk mencegah kalian mendesakku, bukan untuk membunuhnya. Lurah ini telah begitu baik untuk melayaniku makan minum, tentu aku tidak akan membunuhnya."

Setelah tiba di luar rumah, Siangkoan Kok berlompatan jauh sambil tetap menggandeng Lurah So dan baru setelah tiba di tepi sebuah hutan dia melepaskan lurah itu dan menghilang ke dalam hutan. Sian Li dan yang lain juga tidak mau mengejar, mengejar seorang seperti Siangkoan Kok yang melarikan diri ke dalam hutan amatlah berbahaya.

Melihat tiga orang muda yang berhasil mengusir ketua Pao-beng-pai, Lurah So yang dilepaskan oleh kakek itu tanpa dilukai, segera menghampiri dan memberi hormat, menghaturkan terima kasih kepada mereka dan memohon agar malam itu mereka suka bermalam di rumahnya.

"Pertama, agar kami sekeluarga sempat menghaturkan terima kasih kepada Sam-wi (Kalian Bertiga), dan kedua, agar hati kami sekeluarga merasa aman dan tenteram. Kalau Sam-wi pergi sekarang, malam ini pasti kami tidak dapat tidur dan ketakutan membayangkan iblis itu kembali ke rumah kami." Demikian antara lain Lurah So membujuk mereka. Karena alasan itu masuk akal juga, akhirnya Ciang Hun, Sian Li dan Bi Kim menerima undangan itu.

Seluruh penghuni dusun itu bersukaria karena lurah mereka terbebas dari gangguan ketua Pao-beng-pai yang mereka takuti. Dan para penghuni itu memuji-muji pemuda dan dua orang gadis perkasa itu. Keluarga Lurah So juga menghaturkan terima kasih dan mengadakan pesta kecil untuk menyambut mereka.

Sehabis makan minum, akhirnya tiga orang muda itu mendapat kesempatan untuk bicara bertiga saja di ruangan belakang rumah Lurah So. Tidak ada anggauta keluarga yang berani mengganggu mereka bertiga yang sedang bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Gan Bi Kim berkenalan dengan Gak Ciang Hun dan Tan Sian Li.

"Aku berterima kasih sekali kepada Tai-hiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar Wanita)," kata Gan Bi Kim.

"Aku sungguh tidak tahu diri, dengan ilmu silatku yang masih rendah aku berani menentang ketua Pao-beng-pai yang lihai itu. Kalau Ji-wi (Anda Berdua) tidak datang, entah bagaimana jadinya dengan diriku." kata Bi Kim.

"Aih, Nona, harap jangan merendahkan diri. Ilmu pedangmu sudah cukup hebat, hanya ilmu kepandaian ketua Pao-beng-pai itu memang luar biasa. Hanya setelah kita bertiga maju bersama, baru dapat mengusirnya." kata Ciang Hun.

"Benar, Enci, di antara kita tidak perlu sungkan, kita adalah dari golongan yang sama, yaitu menentang perbuatan jahat. Siapakah engkau, Enci, dan bagaimana engkau dapat tiba di tempat ini dan berkelahi dengan ketua Pao-beng-pai itu?" Gan Bi Kim menghela napas panjang.

"Aku hanya orang biasa saja, adik yang gagah, tidak seperti engkau yang berjuluk Si Bangau Merah dan kakak ini yang keturunan orang-orang sakti. Ketua Pao-beng-pai itu sampai mengenal kalian dan merasa gentar. Aku bernama Gan Bi Kim berasal dari kota raja dan aku sedang melakukan perjalanan mengembara untuk meluaskan pengalaman setelah aku mempelajari sedikit ilmu silat dari para guru di kota raja sebagai bekal untuk membela diri. Ketika tiba di sini, aku mendengar akan kejahatan kakek. tadi yang menguasai rumah keluarga Lurah So, maka aku datang untuk menegur dan mengusirnya, tidak tahu bahwa kakek itu adalah ketua Pao-beng-pai yang amat lihai. Nah, sekarang aku mengharapkan keterangan tentang kalian, karena aku hanya mendengar julukanmu, tidak tahu siapa namamu dan nama kakak ini."

"Namaku Tan Sian Li, enci Kim." kata Sian Li yang segera merasa akrab dengan gadis kota raja yang dari sikapnya saja dapat diduga bahwa ia seorang gadis terpelajar, bahkan ada sikap agung dan anggun seperti gadis pingitan atau gadis bangsawan.

"Dan namaku Gak Ciang Hun, nona Gan," Ciang Hun memperkenalkan diri dan dia seperti terpesona memandang gadis itu. Ada sesuatu yang amat menarik hatinya pada gadis itu, entah sinar matanya yang lembut, atau mulutnya yang memiliki bibir yang mempesonakan.

"Aih, Gan-toako, kita segolongan dan aku sudah merasa akrab dengan enci Kim. Kiranya tidak perlu bersungkan-sungkan menyebut ia nona segala!" kata Sian Li yang wataknya terbuka dan jujur.

Bi Kim tersenyum dan memandang kepada pemuda itu. "Li-moi berkata benar, Gak-toako. Aku pun merasa seolah-olah sudah mengenal kalian selama bertahun-tahun."

Ciang Hun tersenyum girang. "Baiklah, Kim-moi (adik Kim)."

"Enci Kim, engkau seorang gadis kota raja, lembut dan pandai, kenapa bersusah-susah bertualang seperti gadis kang-ouw? Kalau aku sendiri lain lagi, memang aku dari keluarga petualang, aku seorang gadis kang-ouw yang sudah biasa hidup berkelana. Tapi engkau...."

Bi Kim tersenyum dan memegang lengan Sian Li. "Aih, jangan berkata seperti itu, Li-moi. Engkau lebih dalam segala-galanya dibandingkan aku, kenapa mesti memuji-muji aku? Engkau lebih lihai, engkau lebih cantik, lebih muda! Aku mendengar dari para guruku di kota raja tentang dunia persilatan yang luas, mendengar tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, bahkan aku pernah mendengar nama besar Si Bangau Putih dan puterinya, Si Bangau Merah. Maka, aku tertarik dan ingin meluaskan pengalamanku dengan merantau." Tentu saja Bi Kim tidak mau menceritakan bahwa kepergiannya adalah untuk mencari Yo Han, pemuda idamannya yang telah ditunangkan dengannya oleh neneknya. "Dan engkau sendiri, dari mana hendak ke mana, Li-moi? Dan juga engkau, Gak-toako?"

"Panjang ceritanya," kata Sian Li. "Beberapa pekan yang lalu, diadakan pertemuan dari tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga Siluman. Aku pun hadir dan dalam pertemuan itu, muncul puteri ketua Pao-beng-pai yang menantang kami. Ia dapat dikalahkan dan pergi. Aku menjadi penasaran dan pergi menyelidiki Pao-beng-pai...."

"Dan karena aku mengkhawatirkan keselamatan siauw-moi Tan Sian Li, maka aku lalu mengejarnya dan berhasil, maka kami melakukan perjalanan bersama." sambung Ciang Hun.

"Tapi aku mendengar berita bahwa Pao-beng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah," kata Hi Kim.

"Benar, kami terlambat dan kami. tidak dapat bertemu dengan gadis iblis itu, melainkan dengan, ayahnya di sini."

"Jadi kalian berdua saja berani datang mencari puteri ketua Pao-beng-pai? Itu berbahaya sekali! Baru ketuanya saja tadi sudah selihai itu. Apalagi kalau perkumpulan itu belum terbasmi dan terdapat banyak anak buahnya." kata Gan Bi Kim kagum akan keberanian dua orang itu.

"Aku bukan hanya menyelidiki Pao-beng-pai, enci Kim. Sebetulnya, penyelidikan terhadap Pao-beng-pai hanya sambil Lalu saja. yang terutama sekali kepergianku adalah untuk mencari Han-koko...." Sian Li berhenti sebentar sambil memandang kepada Gak Ciang Hun yang nampak tenang saja karena pemuda ini sudah pernah mendengar pengakuan Si Bangau Merah.

"Han-koko? Siapa itu Han-koko?" tanya Bi Kim, tersenyum. Sian Li baru ingat bahwa Bi Kim sama sekali tidak mengenal kekasihnya itu, dan sebagai seorang gadis yang tidak merasa perlu merahasiakan hubungannya dengan Yo Han terhadap seorang sahabat yang dipercayanya, ia pun tertawa.

"Aih, aku sampai lupa bahwa engkau belum mengenal Han-ko, enci Kim. Dia berjuluk Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti) bernama Yo Han.... eh, engkau kelihatan terkejut, apakah engkau sudah mengenalnya, Enci?"

"Tentu saja aku terkejut," Bi Kim tersenyum, menahan debaran jantungnya, "Siapa yang tidak pernah mendengar akan nama besar Sin-ciang Tai-hiap? Dan engkau menyebutnya Han-koko? Agaknya engkau mempunyai hubungan yang erat dengan dia. Masih ada hubungan keluargakah, Li-moi?"

Sian Li tersenyum dan tiba-tiba saja kedua pipinya menjadi kemerahan dan sambil menundukkan mukanya dengan tersipu ia berkata, "Boleh dibilang begitulah karena dia.... dan aku.... kami saling mencinta dan mengharapkan kelak menjadi suami isteri." Karena mukanya ditundukkan ketika mengatakan itu, Sian Li tidak melihat betapa mata Bi Kim terbelalak, mukanya pucat napasnya terengah sejenak. Bahkan ia lalu menunduk dan mengusapkan tangannya ke arah kedua matanya untuk mengusir cepat dua titik air matanya. Akan tetapi, Ciang Hun yang sejak tadi mengamatinya, melihat perubahan ini dan diam-diam dia pun merasa terkejut dan heran, hatinya menduga-duga.

Ketika Sian Li mengangkat muka memandang kepada sahabat barunya itu, Bi Kim sudah dapat menguasai perasaan hatinya. Baru saja ia mengalami guncangan batin yang hebat. Siapa orangnya tidak akan merasa seperti ditikam jantungnya kalau mendengar pengakuan, seorang gadis yang dikaguminya bahwa gadis itu saling mencinta dengan pria yang selama ini dicari dan  dirindukannya karena pria itu adalah tunangannya! Menurut gejolak hatinya, ingin ia marah-marah kepada Sian Li. Akan tetapi

ia lalu mengingat-ingat kembali, membayangkan sikap Yo Han terhadap dirinya. Pemuda yang ditunangkan dengannya oleh neneknya itu belum pernah menyatakan cinta kepadanya, bahkan minta waktu untuk dapat memberi jawaban dan mengambil keputusan tentang niat neneknya menjodohkan mereka.

"Kau kenapakah, enci Kim? Kelihatan termenung...." kata Sian Li.

Bi Kim mengangkat muka memandang kepadanya dan tersenyum manis! Lalu ia menggelengkan kepalanya.

"Tidak apa-apa, adik manis, hanya aku merasa terharu mendengar bahwa pendekar wanita Bangau Merah saling mencinta dengan Pendekar Tangan Sakti. Li-moi, melihat usiamu yang masih muda, tentu belum lama engkau berkenalan dengan Pendekar Tangan Sakti."

Sian Li memandang Bi Kim dengan lucu dan tertawa terkekeh. "Hi-hi-hik, engkau keliru sama sekali, enci Kim. Usiaku memang baru delapan belas tahun, akan tetapi aku telah berkenalan dan akrab dengan Han-ko sejak aku berusia empat tahun!"

Bi Kim terbelalak, memandang kepada Gak Ciang Hun, lalu menatap lagi wajah Sian Li. "Aku.... aku tidak mengerti...." katanya bingung.

Sian Li tersenyum dan memegang lengan Bi Kim. "Tidak perlu heran, enci Kim. Ketahuilah, ketika aku berusia empat tahun, Han-ko ikut orang tuaku, bahkan menjadi murid ayah dan ibu. Kemudian kami berpisah dan baru belasan tahun kemudian kami saling bertemu kembali dan langsung kami saling jatuh cinta, maksudku.... sejak kanak-kanak pun kami sudah saling mencinta, walaupun sifat cinta itu berubah...." Kembali sepasang pipi itu menjadi merah sekali, semerah warna pakaiannya. Setelah mendengar semua itu tahulah Bi Kim bahwa tidak mungkin ia dapat mengharapkan Yo Han menjadi calon jodohnya.

Bukan Sian Li yang merampas tunangannya. Gadis ini dan Yo Han sudah saling mencinta, bahkan sejak kecil! Kalau ia berkeras mempertahankan usul neneknya mengenai perjodohan itu, berarti ialah yang merampas kekasih orang! Keangkuhan yang timbul dari harga dirinya sebagai seorang dari keluarga bangsawan, membuat Bi Kim dapat menekan perasaannya dan saat itu juga ia sudah mematahkan hubungan batinnya dengan Yo Han. Ia tidak boleh dan tidak akan suka mencinta Yo Han yang telah menjadi kekasih si Bangau Merah!

Untuk mengalihkan perhatian dan melupakan rasa nyeri seperti ada pisau menikam ulu hatinya, Bi Kim bertanya dengan suara heran, "Adik manis, kenapa engkau mencari kekasihmu itu? Dan kenapa pula dia meninggalkanmu?" Pertanyaan yang wajar saja dari seorang gadis kepada gadis lain, walaupun sesungguhnya pertanyaan itu mengandung keinginan untuk mengetahui lebih jelas tentang hubungan antara Sian Li dan Yo Han.

"Ahhh, banyak sekali yang menyebabkannya, Enci dan sebetulnya hal ini merupakan rahasiaku...."

"Siauw-moi, aku merasa lelah dan mengantuk. Bagaimana kalau engkau lanjutkan percakapanmu dengan adik Bi Kim saja, dan aku beristirahat lebih dulu?" kata Ciang Hun yang merasa tidak enak karena agaknya kehadirannya hanya akan membuat canggung dua orang gadis itu bercakap-cakap secara akrab. Sian Li tersenyum dan mengangguk, diam-diam merasa terharu dan juga senang karena pemuda itu sungguh tahu diri dan dapat memaklumi keadaan dirinya. Ia selalu merasa tidak enak kepada Ciang Hun kalau di depan pemuda itu harus menceritakan segala hal mengenai Yo Han, padahal Ciang Hun mencintanya.

"Gak-toako seorang pemuda yang bijaksana dan baik sekali, aku amat kagum dan menghormatinya, apalagi di antara dia dan aku masih ada hubungan kekeluargaan, maksudku, dia masih keturunan keluarga perguruan Pulau Es, sedangkan kakekku keturunan keluarga Gurun Pasir dan nenekku keluarga Pulau Es." kata Sian Li kepada Bi Kim setelah mereka tinggal berdua saja.

"Aku pun kagum kepadanya. Dia seorang pemuda yang lihai, pendiam dan sopan," kata Bi Kim.

"Akan tetapi, kalau engkau enggan menceritakan tentang dirimu dan kekasihmu, aku pun tidak akan memaksamu, Li-moi."

"Ah, tidak sama sekali, Enci. Kepadamu aku tidak merasa sungkan atau enggan untuk menceritakan, hanya kalau ada Gak-toako.... , aku tidak tega untuk banyak bercerita tentang Han-koko dan aku...."

"Tidak tega?" Bi Kim memandang penuh selidik, terheran-heran, "Kenapa tidak tega?"

"Karena dia mencintaku, enci Kim. Dan aku tentu saja tidak dapat membalas cintanya, walaupun aku suka dan hormat kepadanya. Aku sudah menceritakan tentang hubunganku dengan Han-koko, dan Gak-twako dapat menerima kenyataan itu dengan hati lapang. Dia bijaksana sekali! Dan aku tidak ingin menyinggung perasaannya kalau banyak bercerita tentang Han-ko di depannya."

Bi Kim semakin terheran-heran dan kagum. Dara ini sungguh luar biasa, pikirnya. Begitu jujur, begitu terbuka!

"Aih, kasihan dia kalau begitu, Li-moi. Pahit sekali memang kalau orang bertepuk sebelah tangan dalam soal asmara. Nah, sekarang ceritakan, kenapa engkau saling berpisah dengan kekasihmu?"

Sian Li bercerita. Tanpa tedeng aling-aling lagi. Diceritakannya tentang ayah ibunya yang agaknya tidak menyetujui hubungan cintanya dengan Yo Han, bahkan ayah ibunya telah memilihkan jodoh untuknya, yaitu seorang pangeran!

"Akan tetapi aku tidak mau, Enci. Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran itu, walaupun pangeran itu terkenal gagah dan tampan, kabarnya pandai ilmu silat juga."

"Siapakah pangeran itu? Mungkin aku sudah tahu."

"Dia Pangeran Cia Sun." Diam-diam Bi Kim semakin heran dan terkejut. Tentu saja ia tahu siapa pangeran itu.

Seorang pangeran yang menjadi pujaan hampir semua gadis di kota raja. Setiap orang gadis merindukannya dan mengharapkan menjadi isterinya! Bahkan ia sendiri, sebelum ditunangkan dengan Yo Han, pernah beberapa kali melihat pangeran itu dan ia sendiri pun merasa terpikat! Dan gadis ini.... Si Bangau Merah ini, malah menolak dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun. Bukan main!

"Hem, menurut penilaianku, dia seorang pangeran yang baik sekali, berbeda dengan para pangeran lainnya. Dia tidak congkak, manis budi dan dekat dengan rakyat."

"Biar seratus kali lebih baik dari itu, aku tidak sudi, Enci. Aku hanya mau berjodoh dengan Han-ko! Nah, ketika ayah dan ibu mengajakku menghadiri pertemuan tiga keluarga besar, aku mengharapkan dapat bertemu dengan Han-koko di sana. Akan tetapi ternyata dia tidak ada. Lalu muncul puteri ketua Pao-beng-pai membuat kekacauan dan menantang-nantang kami. Setelah ia dapat diusir pergi, aku lalu diam-diam meninggalkan ayah ibu karena aku ingin mencari Han-koko dan menyelidiki Pao-beng-pai.

Sebetulnya, aku ingin membatalkan niat ayah. dan ibu mempertemukan aku dengan pangeran itu di kota raja, dan mencari Han-koko sampai dapat."

"Ke mana sih perginya kekasihmu itu, Li-moi?" tanya Bi Kim, diam-diam merasa heran dan geli juga melihat betapa ada persamaan antara ia dan Si Bangau Merah ini. Ia pun sedang mencari-cari Yo Han seperti yang dilakukan Sian Li. Hanya bedanya, ia mencari pemuda itu sebagai tunangan, sedangkan Sian Li sebagai kekasih! Amat besar bedanya memang, dan kenyataan ini menikam hatinya. Pertunangannya belum resmi itu atas kehendak neneknya, sedangkan saling mencinta tentu saja atas kehendak mereka yang bersangkutan!

"Han-koko menerima tugas berat, yaitu mencari puteri Pendekar Suling Naga Sim Houw yang hilang diculik orang sejak anak itu masih kecil sekali, baru dua tiga tahun usianya. Sampai sekarang, dua puluh tahun lebih sudah berlalu dan tak pernah ada berita tentang anak itu. Semua usaha yang dilakukan Pendekar Suling Naga dan isterinya tidak berhasil. Bahkan andaikata anak itu ditemukan juga, anak itu tidak mengenal orang tua kandungnya, dan suami isteri itu pun tidak akan dapat mengenal puteri mereka. Dan Han-koko bertugas mencari anak yang hilang itu!"

"Aih, betapa sukarnya tugas itu. Bagaimana mungkin dapat mencarinya kalau tidak pernah melihat anak yang kini tentu telah menjadi seorang gadis dewasa itu?" kata Bi Kim yang ikut merasa prihatin mendengar betapa tunangannya, pria yang dicintanya akan tetapi yang mencinta gadis lain itu dibebani tugas yang demikian, sulitnya. Andaikata dapat menemukan gadis itu, bagaimana dapat yakin bahwa ia adalah anak yang hilang itu?"

"Memang ada ciri khasnya, Enci. Menurut keterangan orang tuanya, anak itu memiliki dua buah tanda yang khas, yaitu sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya dan sebuah noda merah di telapak kaki kanannya. Nah, kurasa di dunia ini tidak ada dua orang yang memiliki tanda-tanda yang serupa seperti itu!"

"Aku akan ingat ciri itu, Li-moi, agar aku dapat membantu mencarinya."

"Terima kasih, enci Kim. Engkau baik sekali. Aku merasa bingung harus ke mana mencari kekasihku itu. Aku amat merindukannya, Enci, dan dia tentu akan berbahagia sekali kalau dapat mencari gadis itu bersamaku."

Tanpa disadarinya, ucapan itu menikam ulu hati Bi Kim yang segera berpamit untuk beristirahat di kamarnya.

Mereka bertiga mendapatkan masing-masing sebuah kamar di keluarga Lurah So yang amat menghormati tiga orang pendekar itu.

******

Bi Kim rebah di atas pembaringan kamarnya, menelungkup dan menangis menahan isak agar jangan sampai suara tangisnya terdengar oleh orang lain di luar kamar. Ia merasa hatinya seperti diremas-remas, pedih dan perih bukan main rasanya. Ingatannya melayang-layang pada segala peristiwa yang lalu, ketika untuk pertama kali ia bertemu dengan Yo Han. Pertama kali Yo Han datang berkunjung ke rumah keluarga ayahnya sebagai murid mendiang paman-kakeknya Ciu Lam Hok, keluarga ayahnya sedang dilanda malapetaka. Ayahnya yang menjadi penanggung jawab gedung pusaka kerajaan, diancam hukuman berat karena banyak benda pusaka penting hilang dicuri orang. Yo Han menyelidiki dan ternyata yang melakukan pencurian adalah Coan-ciangkun yang sengaja melakukan hal itu untuk memaksa keluarga Gan menyerahkan ia untuk menjadi isteri panglima itu. Yo Han berhasil menyelamatkan Gan Seng, ayahnya dan dalam keadaan berbahagia itu, neneknya yang bersembahyang di depan meja sembahyang paman-kakeknya, menetapkan perjodohannya dengan Yo Han!

Semua itu terbayang kembali olehnya. Ikatan pertunangan itu pula yang mendorongnya untuk dengan tekun tanpa mengenal waktu, melatih diri dengan ilmu silat dari guru-guru silat yang pandai dari istana atas bantuan ayahnya sehingga kini ia menguasai ilmu kepandaian silat yang lumayan. Semua itu dilakukannya demi cintanya kepada Yo Han yang dianggap calon suaminya. Calon

suaminya seorang pendekar besar, maka akan janggallah kalau ia tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Kemudian, karena merasa rindu kepada tunangannya itu yang tak kunjung datang, ia lalu meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi mencari Yo Han!

Dan sekarang, Si Bangau Merah Tan Sian Li yang mengagumkan hatinya itu mengaku terus terang bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han, bahkan hubungan mereka jauh lebih dahulu daripada pertemuannya dengan pemuda itu. Pantas saja Yo Han belum dapat menerima usul perjodohan yang diajukan neneknya! Kiranya pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih!

Bi Kim terpaksa mendekap mukanya dengan bantal karena tangisnya menjadi-jadi. Nafasnya sampai terasa sesak karena ia menahan-nahan sekuatnya agar jangan sampai terdengar suara tangisnya.

Segala macam perasaan yang mengandung susah senang adalah permainan nafsu. Nafsu memang selalu mempunyai satu arah tujuan, yaitu kesenangan yang dinikmati tubuh melalui panca-indrya.

Kesenangan itu dalam sekejap mata dapat berubah menjadi kebalikannya, yaitu kesusahan kalau penyebab kesenangan itu lepas dari tangan.

Cinta asmara antara pria dan wanita merupakan suatu perasaan manusia yang paling rumit dan aneh. Dalam perasaan yang ada pada tiap diri seorang manusia yang normal ini, yang agaknya memang sudah menjadi anugerah atau peserta sejak manusia dilahirkan, terkandung banyak hal. Ada pengaruh naluri daya tarik antara lawan jenis yang alami, naluri yang ada pada setiap mahluk ciptaan Tuhan, yang bergerak maupun yang tidak, daya tarik yang merupakan syarat mutlak bagi pengembang-biakan mahluk

itu. Daya tarik alami ini yang membuat lawan jenis kelamin saling tertarik, saling mendekati lalu terjadi penyatuan yang melahirkan mahluk baru sebagai proses penciptaan yang amat indah dan suci. Di samping naluri, ini yang sifatnya suci dan alami, masuk pula pengaruhi nafsu dan dalam cinta asmara, nafsu memainkan peran sepenuhnya sehingga memberikan kesenangan selengkapnya kepada manusia yang dilanda cinta. Kenikmatan dirasakan manusia melalui kesenangan yang terkandung dalam panca indrya. Kalau orang sedang bercinta, mata melihat keindahan pada orang yang dicinta, telinga mendengar kemerduan, hidung mencium keharuman dan segala macam perasaan, sentuhan dan apa saja terasa teramat indah!

Namun, karena nafsu memegang peran yang begitu besarnya, maka seperti akibat daripada permainan nafsu, semua kesenangan itu setiap saat dapat berubah menjadi kesusahan. Tidak ada kesenangan melebihi senangnya orang bercinta, dan tidak ada kesusahan hati melebihi orang gagal dalam bercinta! Dunia seakan kiamat, harapan seakan-akan hancur lebur, hidup seakan-akan tiada artinya lagi! Dalam saat seperti itu, betapa banyaknya orang yang kurang tabah dan kurang sadar melakukan perbuatan dungu seperti membunuh diri, atau membunuh orang yang menggagalkan cintanya termasuk orang yang dicintanya itu sendiri! Dalam mabuk cinta, kita lupa bahwa segala kesenangan itu ada batasnya, dan tidak abadi! Jelas bahwa nafsu yang bermain di dalam cinta kasih tidak abadi pula.  Yang abadi adalah sesuatu yang datangnya bukan dari nafsu yang menggelimangi hati akal pikiran. Yang aseli dan abadi adalah cinta yang tidak dikotori nafsu dan cinta inilah yang menjadi dasar dari segala perasaan yang baik, cinta ini yang mungkin biasa kita namakan kasih sayang! Kasih ini terdapat dalam sinar matahari, dalam titik-titik air hujan, dalam gelombang samudera, dalam bersilirnya angin semilir, dalam merekahnya dan harumnya bunga-bunga,

dalam senyum ranum dan matangnya buah-buahan, dalam air mata seorang ibu dalam belaian tangannya, dalam pandang mata seorang ayah, dalam tangis seorang bayi dan masih banyak lagi. Gan Bi Kim menjadi korban dari ulah nafsu itu. Ia merasa seolah-olah hidupnya hancur lebur. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak tahu bahwa kesusahan, seperti juga kesenangan, tidak abadi, bahkan tidak panjang umurnya, walaupun dibandingkan kesenangan, kesusahan lebih lama dirasakan manusia. Tidak mungkin senang terus tanpa kesusahan, seperti tidak mungkinnya susah terus tanpa kesenangan. Bahkan di waktu siang hari pun, tidak selalu terang benderang, kadang-kadang digelapkan awan mendung, dan malam gelap gulita pun kadang-kadang diterangi bulan atau bintang-bintang! Dalam keadaan senang, orang lupa bahwa kesusahan sudah berada di ambang pintu. Dalam keadaan susah, seseorang seolah-olah merasa bahwa tidak ada harapan lagi dan selalu dia akan menderita susah, seperti sakit yang tak mungkin dapat diobati lagi!

Bi Kim merasa semakin tidak tahan. Berduka di dalam kamar yang asing, seorang diri digerogoti kenangan lama, membuat ia merasa sumpek dan pengap. Malam telah tiba dan suasana sunyi. Ia membuka daun pintu dan melangkah keluar, melalui gang masuk ke dalam taman bunga milik keluarga lurah itu. Agak lega rasanya ketika ia berada di luar, di udara terbuka.

Ia melangkah terus. Malam tidak gelap benar karena ada banyak sekali bintang di langit, tak terhitung banyaknya karena langit cerah tanpa mendung sehingga hampir semua bintang bermunculan ada yang tersenyum, ada yang berkedip-kedip. Bunga-bunga di taman itu banyak yang mekar indah karena memang waktu itu musim bunga sudah berumur dua bulan sehingga suasana di taman itu indah sekali, bermandikan cahaya bintang yang kehijauan. Ditambah lagi suara jangkerik dan belalang seperti sekumpulan musik yang mendendangkan lagu malam dalam irama yang bebas namun tidak kacau, bahkan serasi.

Tiba-tiba suasana itu, yang pada mulanya menghibur, kini bagaikan menyentuh perasaannya, mendatangkan keharuan yang mendalam sehingga ia terhuyung, menutupi muka dengan tangannya dan menangis. Kini ia berada di luar rumah dan ia tidak begitu menahan isak tangisnya, dan terdengar rintihan kalbunya keluar melalui mulutnya dalam bentuk tangis lirih dan sedu sedan.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa Gak Ciang Hun yang sejak tadi duduk melamun seorang diri di dekat kolam ikan, kini bangkit dan memandang kepadanya dari sebelah kiri. Pemuda itu menghela napas panjang, dan alisnya berkerut. Dia telah melihat perubahan sikap gadis itu sejak Sian Li mengaku bahwa ia dan Yo Han saling mencinta. Dia melihat betapa Gan Bi Kim terbelalak dengan muka pucat dan napasnya terengah ketika mendengar pengakuan Sian Li itu dan betapa gadis itu berusaha untuk menenangkan diri secepatnya. Dia menduga-duga, akan tetapi tidak menemukan jawabannya. Dan kini, selagi dia melamun seorang diri di dalam taman mengenangkan nasib dirinya yang menderita penolakan cintanya terhadap Sian Li, atau lebih tepat lagi menderita putusnya cinta karena Sian Li mengaku bahwa gadis itu hanya mencinta Yo Han, tiba-tiba saja dia melihat Bi Kim menangis sedih seorang diri di dalam taman! Karena merasa terharu dan iba, bagaikan terkena pesona dan seperti tidak disadarinya, Ciang Hun melangkah perlahan menghampiri. Setelah dekat, dia berkata lirih.

"Adik Bi Kim...."

Bi Kim tersentak kaget, seperti diseret dari dunia lamunan kembali ke dunia kenyataan yang pahit dan membingungkan. Cepat-cepat ia menghapus air mata dengan tangannya, mengucek-ucek kedua matanya, memaksa bibirnya tersenyum.

"Aih, kiranya Gak-toako.... kaget sekali aku karena tidak mengira di sini ada orang lain."

Hati Ciang Hun semakin terharu. Gadis ini jelas sedang menderita batin yang membuatnya berduka, akan tetapi masih berusaha untuk bersikap wajar yang amat canggung. Dia pun tidak berpura-pura lagi karena dia merasa kasihan dan ingin sekali dapat membantunya, kalau memang gadis itu membutuhkan bantuan.

"Kim-moi, sejak tadi aku berada di sini, ingin menikmati malam musim bunga yang indah ini. Malam amat cerah, langit bersih terhias bintang-bintang. Kenapa engkau malah berduka dan menangis, Kim-moi?"

"Aku.... aku tidak berduka, tidak menangis...." Bi Kim cepat membantah, akan tetapi suaranya membuktikan bahwa ia memang habis menangis, bahkan sisa tangisnya, masih terkandung dalam getaran suaranya.

"Ah, Kim-moi, biarpun kita baru berkenalan hari ini, akan tetapi tentu engkau juga sudah merasakan seperti yang kami rasakan, yaitu bahwa kita adalah satu golongan dan seperti keluarga sendiri. Di antara saudara atau sahabat baik, kalau yang seorang mengalami kesulitan, sudah sepantasnya kalau yang lain membantu, bukan? Andaikata aku yang mengalami kesusahan, apakah engkau tidak bersedia untuk menolongku, Kim-moi?"

"Tentu saja, Toako! Engkau sendiri dan Li-moi tadi pun sudah menolongku dari ancaman ketua Pao-beng-pai. Tentu aku akan mengulurkan tangan membantumu kalau aku bisa."

"Nah, demikian pula dengar aku, Kim-moi. Sekarang aku mengulurkan tangan dan aku bersedia untuk membantumu mengatasi kesusahanmu. Nah, maukah engkau menceritakan mengapa engkau begini bersedih?"

Ditanya orang lain tentang kesedihannya dengan suara yang demikian penuh perhatian dan ikut merasakan, keharuan memenuhi hati Bi Kim dan tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Akan tetapi ia menggigit bibir dan tidak mau mengeluarkan suara tangis. Ia menggeleng kepala dan menghapus air matanya dengan saputangannya yang sudah basah.

"Engkau.... engkau atau siapapun di dunia ini tidak akan dapat menolongku, Toako....memang sudah ditakdirkan bahwa nasibku amat buruk...." kembali ia mengusapkan saputangan ke arah kedua matanya.

"Siauw-moi, tidak ada nasib buruk itu! Segala sesuatu yang terjadi menimpa diri kita sudah sewajarnya, dan ada sebab akibatnya. Bukan nasib buruk, karena nasib buruk itu hanya pandangan seseorang yang kecil hati dan tidak tabah menghadapi kenyataan hidup. Kenyataan hidup memang tidak selalu putih, ada kalanya hitam, tidak selalu manis, ada kalanya pahit. Akan tetapi, manis atau pun pahit, kalau kita dapat menerimanya sebagai suatu kenyataan hidup yang tidak terlepas dari hukum alam, maka kita dapat menghadapinya dengan tabah. Tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi, asalkan kita tabah, tidak meninggalkan daya ikhtiar dan didasari penyerahan kepada Yang Maha Kuasa, Kim-moi. Aku tadi sudah melihat perubahan pada sikapmu. Ketika Li-moi bercerita dengan terus terang, memang wataknya terbuka dan jujur, bahwa ia dan Yo Han saling mencinta, aku melihat engkau terbelalak kaget dan mukamu pucat sekali. Kim-moi, aku yakin bahwa kedukaanmu tentu ada hubungannya dengan cerita Li-moi itu, atau setidaknya, ada hubungannya dengan Yo Han. Benarkah dugaanku?"

Bi Kim menundukkan mukanya, sampai lama tidak menjawab, hanya menarik napas panjang berulang kali. Ia tahu bahwa ia tidak dapat mengelak lagi, dan kalau sampai Sian Li mengetahui hal ini, sungguh amat tidak enak. Pemuda ini dapat dipercaya, dan dengan bantuan pemuda ini ia akan lebih mudah menyembunyikan rahasianya dari Sian li.

"Gak-toako," katanya sambil memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam, "Kalau aku berterus terang kepadamu, maukah engkau berjanji untuk merahasiakan ini dari adik Sian Li?"

"Aku berjanji demi kehormatanku, Kim-moi."

"Ketahuilah, Toako, bahwa guru dari Sin-ciang Tai-hiap Yo Han adalah adik nenekku. Pada suatu hari, Yo-toako datang berkunjung ke kota raja dan dia berhasil menolong ayahku yang terancam malapetaka karena beberapa buah pusaka istana lenyap padahal ayahku menjabat sebagai pengatur gedung pusaka itu. Karena bersyukur, di depan meja sembahyang paman kakekku itu, nenekku lalu menjodohkan aku dengan Yo-toako."

"Ah, begitukah....," Gak Ciang Hun menggumam lirih.

"Ya begitulah, Toako. Biarpun perjodohan itu belum diresmikan, akan tetapi sejak saat itu, aku sudah menganggap diriku sebagai calon isteri Yo Han. Dan dapat kaubayangkan betapa kaget rasa hatiku ketika tadi aku mendengar bahwa adik Tan Sian Li saling mencinta dengan Yo Han."

Ciang Hun mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya. "Apakah Yo Han sudah menyetujui ikatan jodoh itu?"

Gadis itu menggeleng. "Belum, Toako. Bahkan dia minta agar urusan perjodohan itu ditangguhkan sampai dia menyelesaikan tugas-tugasnya. Usul perjodohan itu datang dari nenek, dan dia belum menyatakan setuju atau tidak setuju."

"Akan tetapi.... maafkan pertanyaanku ini, apakah kalian sudah saling mencinta?"

Gadis itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak memelas sekali walaupun tidak kelihatan jelas di bawah sinar ribuan bintang yang lembut, namun tarikan muka itu membuat Ciang Hun maklum bahwa pertanyaannya mendatangkan kepedihan hati.

"Terus terang saja, Toako, aku amat kagum kepadanya dan selama ini aku menganggap bahwa aku cinta padanya. Akan tetapi....ah, cinta sepihak tidak mungkin, bukan? Dia sudah saling mencinta dengan adik Sian Li.... aku akan memberitahu kepada nenekku dan orang tuaku bahwa aku tidak mungkin berjodoh dengannya." Hening sejenak, kemudian Bi Kim tercengang melihat pemuda itu tertawa, akan tetapi suara tawanya sumbang. "Haha-ha-heh-heh, alangkah lucunya! Betapa lucunya....!!"

Tentu saja Bi Kim mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah merah, pandang matanya bersinar tajam karena marah. Ia mengira bahwa pemuda itu mengejeknya! Padahal, ia telah mempercayainya dan menceritakan rahasia hatinya yang sebetulnya tidak harus diceritakan kepada siapa pun.

"Toako, kau.... kau mentertawakan aku....!!" bentaknya marah.

Ciang Hun menyadari sikapnya yang dapat menimbulkan kesalahpahaman itu, maka dia menghentikan tawanya dan cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada meminta maaf. "Maafkan aku, Siauw-moi. Aku sama sekali bukan mentertawakan engkau melainkan mentertawakan diriku sendiri karena sungguh amat lucu keadaan kita berdua!" Kembali dia tertawa akan tetapi menahan sehingga tawanya tidak bersuara.

Bi Kim masih mengerutkan alisnya. "Hemmm, apanya yang lucu dengan ceritaku tadi?"

"Dengarlah, Kim-moi. Sudah lama aku pun jatuh cinta kepada adik Tan Sian Li! Dan kautahu, sebelum aku sempat menyatakan cintaku kepadanya, ia mengaku kepadaku seperti yang diceritakan kepadamu tadi, yaitu bahwa ia mencinta Yo Han dan hanya mau berjodoh dengan Yo Han. Kau tentu mengerti betapa hancurnya perasaan hatiku, namun aku dapat menerima kenyataan pahit itu. Sama sekali tidak aku duga bahwa engkau mengalami hal yang sama benar dengan aku, dan kita berdua sama-sama mendengar keputusan yang menghancurkan itu dari mulut Li-moi. Hanya bedanya di antara kita, engkau mencinta yang laki-laki, aku mencinta yang perempuan. Ha-ha-ha, bukankah lucu sekali?"

Ciang Hun tertawa-tawa lagi dan sekali ini, Bi Kim juga tertawa. Mereka berdua tertawa-tawa, akan tetapi tawa mereka sumbang dan makin lama, suara tawa mereka semakin sumbang dan akhirnya Bi Kim menangis, dan Ciang Hun juga mengeluh dan menahan tangisnya!

Dalam keadaan seperti itu, keduanya dapat saling merasakan betapa sedih dan perihnya hati yang hampa karena cinta sepihak. Perasaan yang mendatangkan iba diri karena diri serasa tiada harganya, tidak ada yang menyayang! Dan timbullah perasaan iba yang mendalam satu lama lain.

"Kim-moi,kita harus dapat menerima kenyataan.... sudahlah, Kim-moi, jangan bersedih lagi...." karena merasa iba sekali, Ciang Hun mendekat dan menyentuh lengan gadis itu.

Bagaikan tanggul penahan air bah yang bobol, bendungan itu pecah dan setengah menjerit Bi Kim menangis dan merangkul Ciang Hun, menangis di dada pemuda itu sampai mengguguk. Semua perasaan pedih perih dan duka yang sejak tadi ditahan-tahannya dalam hati, kini terlepas semua melalui tangisnya yang meledak-ledak.

Ciang Hun mengelus rambut itu dan dia pun berdongak memandang langit penuh bintang-bintang, kedua matanya sendiri basah. Dia maklum bahwa gadis itu sedang ditekan perasaan yang amat berat, maka jalan terbaik adalah membiarkannya menangis melarutkan semua tekanan batin yang dapat menimbulkan penyakit luar dan dalam. Setelah tangisnya itu agak mereda, seperti badai yang mereda, Ciang Hun berkata, "Eh, Kim-moi, lihatlah betapa bodohnya kita. Apakah dengan gagalnya cinta kasih kita, lalu dunia ini akan kiamat? Lihat di langit itu, jutaan bintang mentertawakan kita yang lemah. Kita bukan orang lemah, kita harus mampu menanggulangi semua tantangan hidup. Kegagalan hanya akan memperkuat batin kita, mematangkan kita. Sama sekali keliru kalau kita putus asa dan membiarkan diri tenggelam dalam kecewa dan duka."

Bi Kim sadar dan ia pun seperti baru menyadari bahwa ia telah menangis di atas dada Ciang Hun. Ia melepaskan rangkulannya dan tersipu. Ia menghapus sisa air matanya, memandang kepada pemuda itu, mencoba untuk tersenyum.

"Engkau benar, Toako. Maafkan atas kelemahanku, dan maafkan kelakuanku tadi yang tidak pantas."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Siauw-moi, tidak ada yang tidak pantas. Aku mengerti perasaanmu dan aku dapat merasakan pula kepahitan yang melanda hatimu. Kita sama-sama mengalaminya, akan tetapi sama-sama pula dapat mengatasinya, bukan?"

"Terima kasih, Gak-toako." Ciang Hun lalu menasehati agar gadis itu kembali ke kamarnya karena akan kurang baik dugaan orang kalau ada yang melihat mereka berada di taman berdua saja pada waktu malam seperti itu. Bi Kim menyetujui dan ia pun kembali ke kamarnya, meninggalkan Ciang Hun yang termenung seorang diri di taman itu.

Mulai saat itu, tumbuhlah perasaan aneh di dalam hati kedua orang itu. Mereka saling merasa kasihan, dan perasaan ini menumbuhkan suatu perasaan baru dari cinta kasih, ingin saling menghibur, saling membahagiakan! Pohon cinta memang dapat tumbuh dengan perantaraan belas kasihan, atau kekaguman, senasib, kesamaan pandangan, kesamaan selera dan banyak perasaan, lain lagi. Dan sekali orang jatuh cinta, maka segala yang ada pada diri orang yang dicintai nampak indah, segala yang dilakukan orang yang dicinta selalu menyenangkan hati. Tidak terlalu berlebihan kalau orang mengatakan bahwa cemberut seorang yang dicinta menjadi pemanis, sebaliknya senyum seorang yang dibenci makin menyebalkan!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah bangun dan mandi. Ketika ia keluar dari dalam kamarnya dengan mengenakan pakaian bersih, seperti biasa pakaiannya serba merah sehingga ia nampak segar dan jelita bagaikan setangkai bunga mawar merah di waktu pagi, masih segar membasah bermandikan embun pagi, ia melihat Gan Bi Kim dan Gak Ciang Hun juga sudah mandi dan mereka duduk di ruangan dalam di luar kamar mereka.

Setelah mereka duduk bertiga, Sian Li berkata. "Pagi ini aku akan melanjutkan perjalananku, dan sebelum aku bertemu dengan Han-ko, aku tidak akan pulang."

"Memang, sebaiknya kalau kita bertiga pergi dari sini," kata Ciang Hun. "Tidak enak kalau mengganggu keluarga Lurah So terlalu lama."

"Adik Sian Li, aku akan mencoba untuk membantumu, ikut mencarikan anak yang hilang itu. Siapa tahu aku akan bertemu dengan gadis yang mempunyai tanda-tanda di pundak kiri dan kaki kanan itu. Siapa namanya?"

"Namanya Sim Hui Eng," jawab Sian Li.

"Aku pun akan membantumu mencari Yo Han, kalau jumpa akan kuberitahu bahwa engkau mencarinya. Paling lambat pada hari Sin-cia (Tahun Baru Imlek), berhasil atau tidak, aku akan memberi kabar kepadamu, di rumah orang tuamu di Ta-tung." kata Ciang Hun.

Sian Li tersenyum memandang kepada dua orang sahabatnya itu. "Terima kasih, kalian baik sekali. Karena kita bertiga mencari orang, maka akan lebih besar harapannya akan berhasil kalau kita berpencar. Kita mencari dengan berpencar dan berjanji saling jumpa lagi pada hari Sin-cia. Bagaimana pendapat kalian?"

"Setuju!" kata Ciang Hun. "Pada hari Sin-cia, aku akan berkunjung ke rumahmu, Li-moi."

"Dan bagaimana dengan kau, Kim? Di mana kita akan bertemu hari Sin-cia nanti?"

"Aku setuju dengan pendapat Gak-toako. Aku pun akan berkunjung ke rumahmu pada hari Sin-cia, Li-moi."

"Bagus! Aku akan menanti kunjungan kalian dengan hati gembira. Ayah dan ibu juga tentu akan bergembira sekali bila menerima kunjungan kalian. Nah, sekarang kita berangkat!"

Tiga orang muda perkasa itu lalu berpamit kepada Lurah So sekeluarga, kemudian meninggalkan rumah dan dusun itu. Setelah tiba di perempat jalan, mereka berpisah. Sian Li menuju ke utara, Ciang Hun ke selatan dan Bi Kim ke timur.

******

Gadis itu duduk di bawah pohon, agak jauh dari jalan raya dan tidak nampak dari jalan karena tempat itu agak tertutup oleh hutan kecil yang berada di luar tembok kota raja. Gadis yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun itu anggun dan cantik jelita. Pakaiannya indah dan rambutnya digelung tinggi dan dihias tiara kecil. Melihat pakaiannya pantasnya ia seorang puteri bangsawan yang kaya raya. Namun sungguh aneh, ia berada seorang diri di tempat sunyi itu, bahkan lebih aneh lagi, ia duduk termenung dengan air mata mengalir menuruni kedua pipinya. Kalau orang mengetahui sikap gadis itu, dia tentu dan semakin terheran-heran. Gadis itu adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang ketika itu disebut Sang Puteri atau Nona Dewi. Oleh semua anggauta Pao-beng-pai dan bahkan di dunia kang-ouw, ia dikenal sebagai puteri ketua Pao-beng-pai Siangkoan Kok, dan nama gadis itu adalah Siangkoan Eng atau biasa dipanggil ayah ibunya Eng Eng saja.

Akan tetapi, telah terjadi peristiwa hebat yang mendatangkan perubahan besar dan yang membuat Eng Eng kini duduk termenung di bawah pohon itu sambil mencucurkan air mata! Padahal, dahulu sebagai puteri ketua Pao-beng-pai ia dikenal sebagai seorang wanita perkasa yang dingin dan keras, belum pernah menangis! Kalau orang yang pernah mengenalnya melihat ia kini duduk menangis, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran bukan main.

Bagaimana ia tidak akan menangis? Setabah-tabahnya, sekeras-keras hatinya, saat itu Eng Eng dilanda perasaan yang hancur lebur. Ia berduka, kecewa, penuh penasaran dan dendam. Karena membebaskan Yo Han dan Cia Sun, ia hampir dibunuh ayahnya. Kemudian ayahnya menyakiti hati ibunya dengan memaksa Tio Sui Lan, murid ayahnya dan sahabat baiknya, menjadi isteri pengganti ibunya. Sui Lan diperkosa ayahnya tanpa ia dan ibunya dapat berbuat sesuatu! Dan setelah ia terluka parah oleh pukulan ayahnya, terjadi hal yang lebih hebat lagi, yaitu ibunya membuka rahasia bahwa ayahnya itu, Siangkoan Kok,  sebetulnya hanyalah ayah tirinya! Dan ketika ia bertanya kepada ibunya, siapa ayah kandungnya, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa ibunya itu amat membenci ayah kandungnya. Semua peristiwa itu membuat ia merasa sedih bukan main. Orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri, ternyata orang lain dan amat kejam terhadap ibunya dan terhadap dirinya sendiri. Kemudian, ibunya malah amat membenci ayah kandungnya dan tidak mau memberitahukan siapa nama ayah kandungnya, masih hidup ataukah sudah mati. Semua ini menghancurkan hatinya dan ia pun malam itu juga melarikan diri dari rumah, meninggalkan Pao-beng-pai dan bersembunyi di sebuah gua yang banyak terdapat di Ban-kwi-kok. Di Lembah Selaksa Setan ini terdapat gua-gua besar yang ditakuti orang, yang menurut tahyul dijadikan tempat tinggal para setan dan iblis. Karena itu, jangankan rakyat

biasa, bahkan para anggauta Bankwi-kok sendiri jarang ada yang berani datang, apalagi bermalam di gua-gua itu.

Dalam kedukaannya, Eng Eng tidak mengenal takut. Ia bersembunyi di sebuah gua dan setiap hari dan malam ia hanya duduk bersamadhi, menghimpun tenaga sakti untuk mengobati luka yang diderita akibat pukulan ayah tirinya! Ayah tirinya amat jahat, hampir membunuhnya, memperkosa Sui Lan, dan menurut ibunya, ayah kandungnya juga amat jahat sehingga dibenci ibunya.

Dunia seperti hancur rasanya bagi Eng Eng. Pada keesokan hatinya, selagi bersamadhi, ia mendengar suara ribut-ribut. Agaknya terjadi pertempuran di Ban-kwi-kok! Kalau saja ia tidak terluka, dan kalau saja ia belum bentrok dengan ayah tirinya, tentu ia akan membela Pao-beng-pai dengan taruhan nyawa. Akan tetapi, sekali ini ia diam saja, tidak bergerak dan tetap duduk bersila. Ia masih belum pulih, kalau ia bertempur melawan musuh yang agak tangguh saja, ia akan celaka. Selain itu, ia tidak sudi membantu ayah tirinya lagi. Bahkan hatinya condong untuk menentang dan melawan! Kalau saja ia tidak ingat betapa sejak kecil ia dididik dan digembleng oleh ayah tirinya yang ia tahu sayang kepadanya, tentu sekarang ia sudah menganggap ayah tiri itu musuhnya! Karena perasaan itu, ia pun diam saja dan tidak keluar dari dalam gua. Akan tetapi setelah pertempuran itu berhenti, baru ia teringat akan ibunya! Betapapun ia marah kepada ibunya yang mengatakan membenci ayah kandungnya, tetap saja kini ia mengkhawatirkan ibunya. Ayah kandungnya sakti, juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga mereka akan mampu membela diri dengan baik. Akan tetapi, ia tidak tahu siapa yang melakukan penyerbuan ke Pao-beng-pai dan ia harus melihat bagaimana keadaan ibunya, agar hatinya lega.

Karena keadaan amat sunyi, ia pun keluar dari dalam gua dan pergi ke sarang Pao-beng-pai. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat para anggauta Pao-beng-pai banyak yang tewas, sisanya entah lari ke mana. Yang lebih mengejutkan hatinya lagi adalah ketika ia menemukan mayat ibunya dan mayat Sui Lan! Ia menubruk dan menangisi mayat ibunya. Ketika dua orang anggauta Pao-beng-pai yang melihat munculnya nona mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, Eng Eng bertanya apa yang telah terjadi.

Dua orang anggauta Pao-beng-pai lalu bercerita bahwa pasukan pemerintah datang menyerbu Pao-beng-pai. Tanpa bertanya lagi Eng Eng dengan sendirinya menganggap bahwa Sui Lan dan ibunya tewas di tangan para penyerbu!

"Dan di mana Pangcu (Ketua)?" Ia tidak mau menyebut ayah.

"Kami tidak tahu, Nona. Melihat bahwa tidak ada jenazah Pangcu di sini, tentu beliau telah berhasil menyelamatkan diri."

"Bagaimana pasukan pemerintah mampu naik ke tempat ini melalui semua jebakan rahasia?" tanyanya penasaran.

"Kami melihat bayangan Cia Ceng Sun yang pernah menjadi tawanan di sini, Nona. Tentu dia yang menjadi penunjuk jalan."

Eng Eng terkejut, bangkit berdiri dan dengan muka pucat ia mengepal tinju, hatinya berteriak memaki Cia Sun. Tahulah ia. Tentu pangeran Mancu itu yang telah membawa pasukan datang menyerbu! Pangeran itu tentu dahulu datang sebagai mata-mata. Laki-laki berhati palsu!  Kelak aku akan membuat perhitungan denganmu, geramnya dalam hati. Dibantu dua orang anggauta Pao-beng-pai itu, Eng Eng lalu mengubur jenazah ibunya dan Sui Lan, di lereng sebuah bukit yang bersih.

Demikianlah, kini ia berada di luar kota raja, bersembunyi di hutan itu dan menangis. Ia bukan seorang wanita cengeng yang menangisi kematian ibunya berulang kali. Sudah cukup ia menangisi di depan jenazah dan di depan makam sederhana ibunya. Kini ia mencucurkan air mata bukan karena teringat kematian ibunya. Ia menangis karena teringat akan Cia Sun! Ia akan mencari, menangkap dan menyiksa, membunuh Cia Sun! Akan tetapi, sukar membayangkan bagaimana ia akan dapat melakukan itu. Ia amat mencinta pangeran itu! Mengenangkan sikap manis dan mesra pangeran itu, bagaimana mungkin tangan ini akan mampu melukainya, menyakitinya, apalagi membunuhnya? Inilah yang membuat ia bercucuran air mata menangis!

Senja datang dan suasana semakin sepi. Eng Eng mengepal kedua tangannya. "Cengeng! Lemah!" Ia memaki diri sendiri. Bagaimanapun juga, dia adalah musuh besar. Dialah yang menyebabkan Pao-beng-pai runtuh dan terbasmi, bahkan dia pula yang menyebabkan ibuku tewas! Aku bukan membalas dendam untuk Pao-beng-pai, bukan pula membalas dendam untuk Siangkoan Kok, melainkan ia harus membalas dendamnya atas kematian Sui Lan dan ibunya, terutama ibunya. Pangeran Cia Sun harus membayar lunas hutangnya!

Setelah menghapus air mata dan mengeraskan hatinya, Eng Eng memasuki pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Karena Ia kelihatan seperti seorang gadis bangsawan atau hartawan, tidak membawa senjata karena senjata istimewanya, yaitu sebatang hud-tim (kebutan) terselip di pinggang, di balik baju, maka para penjaga di pintu gerbang hanya memandang kagum, tidak mengganggunya.

Malam itu gelap. Udara mendung. Gelap dan dingin karena angin malam meniupkan hawa yang lembab. Karena gelap dan dingin, orang-orang lebih suka tinggal di dalam rumah yang lebih hangat dibandingkan hawa di luar. Apalagi di rumah kaum bangsawan dan hartawan, di mana terdapat perapian yang mendatangkan hawa hangat. Kalau tidak mempunyai keperluan yang penting sekali, tidak ada yang mau meninggalkan rumah. Jalan-jalan raya juga sepi dari lalu lintas. Kesepian itu membantu Eng Eng yang sudah

mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya digelung dan diikat ke belakang, tidak disanggul rapi seperti biasa, juga tidak dihias tiara. Pakaiannya yang serba hitam dan ringkas itu membuat gerakannya yang cepat sukar diikuti pandang mata. Senjata kebutan berbulu merah dan bergagang emas terselip di pinggang depan, dengan bulunya digulung rapi, sedangkan pedang beronce merah tergantung di punggung. Sekuntum jarum hitam juga tergantung di pinggang. Eng Eng kini membekali diri dengan senjata lengkap karena ia hendak menangkap Pangeran Cia Sun di rumah gedung keluarga pangeran itu. Sore tadi setelah memasuki kota raja, ia telah melakukan penyelidikan dan tidak sukar untuk mendapat keterangan tentang rumah tinggal Pangeran Cia Sun. Sebuah gedung besar dan megah berdiri di sudut kanan kota raja. Itulah tempat tinggal Pangeran Cia Sun dengan keluarga ayahnya, yaitu Pangeran Cia Yan seorang di antara putera-putera Kaisar Kian Liong (1736 - 1796). Seperti kita ketahui, biarpun secara resmi Pangeran Cia Yan adalah anak angkat Kaisar Kian Liong, yaitu seorang keponakan yang diangkat menjadi putera, namun sesungguhnya, Pangeran Cia Yan adalah putera kaisar itu sendiri, hasil hubungan gelapnya dengan kakak iparnya.

Karena itu, biarpun resminya pangeran akuan, atau anak angkat, namun Kaisar Kian Liong menyayangnya seperti anak sendiri. Pangeran Cia Yan tidak dapat diangkat menjadi putera mahkota, namun dia merupakan seorang di antara para pangeran yang disayang kaisar. Malam itu, di sekitar gedung milik Pangeran Cia Yan juga sunyi. Karena dia sendiri tidak memegang jabatan penting, juga tidak merasa mempunyai musuh, maka gedung tempat tinggal keluarga Pangeran Cia Yan ini tidaklah dijaga ketat seperti tempat kediaman para pangeran lainnya. Hanya ada enam orang yang berjaga malam dan melakukan perondaan di sekitar gedung besar itu untuk menjaga keamanan.

Tentu saja amat mudah bagi Eng Eng untuk menyusup masuk dengan melompati pagar tembok tanpa diketahui para penjaga. Ia melompat pagar tembok belakang dan masuk ke taman bunga yang terpelihara rapi. Sambil menyelinap di antara pohon dan semak bunga, ia menghampiri bangunan besar dan beberapa menit kemudian, ia sudah dapat meloncat ke atas genteng dan melakukan pengintalan dari atas. Lampu-lampu di luar genteng sudah banyak yang dipadamkan sehingga gerakan Eng Eng tidak dapat terlihat ketika ia berkelebatan di atas genteng. Dengan cara mengintai dari atas, akhirnya ia mendengar percakapan di bawah yang dilakukan dengan suara keras. Jantungnya berdebar tegang ketika ia mendengar suara Pangeran Cia Sun! Suara yang lembut

namun kuat.

"Ayah dan Ibu, sekali lagi saya mohon maaf, bukan sekali-kali saya ingin membantah dan tidak menaati perintah Ayah dan Ibu. Bukan sekali-kali saya menolak karena menganggap pilihan Ayah dan Ibu kurang baik untuk saya. Sama sekali tidak! Saya telah mendengar tentang Si Bangau Merah, mendengar bahwa ia seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, berwatak gagah perkasa dan berbudi baik, juga ia cantik jelita, keturunan keluarga pendekar sakti yang terkenal."

"Nah, mau apa lagi?" Engkau sendiri bilang, ia keturunan pendekar besar, ia gagah perkasa, berbudi baik dan cantik jelita. Apakah semua itu belum memenuhi syarat bagimu untuk menjadi isterimu?" terdengar suara Pangeran Cia Yan, ayah pemuda itu, membentak.

"Benar sekali kata Ayahmu, anakku. Selain gadis itu amat baik bagimu, juga kami telah mengikat janji dengan orang tuanya, yaitu Pendekar Bangau Putih dan isterinya. Masih kurang apakah Si Bangau Merah itu, anakku?"

Kalau tadinya Eng Eng yang mendengar semua itu sudah merasa gemas dan ingin segera menangkap orang yang menyebabkan kehancuran Pao-beng-pai dan terutama kematian ibunya, kini mendengar apa yang dipercakapkan, dia tertarik sekali dan ingin ia mendengar apa yang akan dikatakan pangeran itu tentang ikatan jodoh. Ia sendiri tentu saja tadinya mencinta pangeran itu dan mengharapkan menjadi isterinya, dan tentu ia akan marah sekali kalau mendengar pangeran itu akan menikah dengan orang lain. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Ia tidak mungkin menjadi isteri Cia Sun, dan tidak semestinya mencintanya, bahkan sepatutnya membencinya karena pria yang tadinya menjadi kekasihnya itu sekarang telah menjadi musuh besarnya. Biarpun ia tidak peduli lagi apakah pangeran itu akan menikah dengan gadis lain ataukah tidak, tetap saja ia tidak dapat membohongi hatinya sendiri. Ia ingin sekali mengetahui apa jawaban pangeran itu dan bagaimana isi hatinya! Maka, ia pun mendengarkan dengan jantung berdebar tegang.

"Sebagai seorang gadis, memang harus saya akui bahwa Si Bangau Merah itu baik dan tidak ada kekurangannya, Ayah dan Ibu. Akan tetapi untuk menjadi isteriku, ia memiliki kekurangan besar sekali artinya, yaitu ia tidak memiliki cinta! Saya tidak mencintanya dan ia pun tidak mencintaku. Dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta!"

Eng Eng merasa betapa kedua kakinya gemetar dan ia mengerahkan tenaga untuk melawannya karena ia tidak ingin gerakan tubuhnya terdengar orang. Ucapan pangeran itu terasa begitu nyaman di hatinya, seolah-olah hatinya dibelai oleh tangan yang lembut. Dia musuh besarku, aku benci dia, demikian dengan pengerahan tenaga Eng Eng melawan perasaan hatinya sendiri dan mendengarkan terus. "Omong kosong!" kata sang ayah. "Kalau kalian sudah saling bertemu dan saling bergaul, cinta itu akan datang dengan sendirinya. Ia cantik dan engkau tampan, kalian sama-sama suka ilmu silat, kalau kalian saling bergaul, pasti

kalian akan saling jatuh cinta."

"Itu mungkin saja kalau saya belum jatuh cinta kepada orang lain, Ayah. Akan tetapi saya telah mencinta seorang gadis lain, dan saya hanya mau menikah dengan gadis yang saya cinta itu."

Kini kedua kaki Eng Eng menggigil dan hampir saja ia tak mampu bertahan lagi. Ia memejamkan mata, menahan napas dan dengan susah payah baru berhasil menguasai jantungnya yang melonjak-lonjak mendengar pengakuan itu. "Dia musuhku, aku benci padanya, dia musuhku!" demikian berulang-ulang ia melawan gejolak hatinya sendiri, dan ia mendengarkan terus.

"Kalau engkau jatuh cinta kepada gadis lain, hal itu pun tidak menjadi persoalan. Engkau menikah dengan Si Bangau Merah, dan gadis yang kaucinta itu menjadi selirmu.... " kata sang ibu.

"Maaf, Ibu. Saya tidak mau mempunyai selir!"

"Hemmm, apa salahnya dengan itu?" bantah ayahnya.

"Engkau seorang pangeran, sudah sepatutnya mempunyai selir. Semua pangeran di sini mempunyai selir, tidak hanya seorang malah."

"Akan tetapi saya tidak, Ayah. Saya hanya mencinta gadis itu, dan saya tidak mau menikah dengan wanita lain." Pangeran itu berkeras.

"Aihhh, engkau keras kepala, Cia Sun. Siapa sih gadis yang telah menjatuhkan hatimu seperti ini? Siapa namanya?" tanya sang ibu.

Di atas genteng, di luar kehendaknya sendiri, Eng Eng menerawang dan matanya setengah terpejam, mulutnya tersenyum simpul, hatinya senang sekali. Semua ucapan pangeran itu terdengar olehnya bagaikan sebuah lagu yang amat merdu. Dan ia mendengarkan terus, siap untuk memperkembangkan senyumnya mendengar ibu pangeran itu menanyakan namanya!

"Ibu, gadis yang saya cinta itu, yang saya pilih untuk menjadi calon isteri saya, ia she (bermarga) Sim dan namanya Hui Eng...."

Terdengar gerakan di atas genting, Cia Sun mendengar suara itu akan tetapi dia mengira itu suara kucing. Ketika mendengar disebutnya nama itu, seketika wajah yang tadinya tersenyum itu menjadi pucat, senyumnya berubah menjadi ternganga, matanya terbelalak. Kemudian wajah yang pucat itu berubah kemerahan dan kedua tangannya dikepal.

"Jahanam keparat kau!" bentaknya di dalam hatinya dan kini kebenciannya terhadap Cia Sun memuncak. "Engkau membohongi aku, engkau merayu dan menipuku!" Sekarang ia mengerti. Cia Sun telah menyelundup ke dalam Pao-beng-pai, untuk menyelidiki keadaan perkumpulan, itu, dan ketika orang mulai mencurigainya, dengan ketampanan dan kehalusan budinya, pangeran itu merayunya dan menjatuhkan hatinya. Semua itu palsu! Semua itu hanya untuk berhasil dalam tugasnya sebagai mata-mata.

Pangeran itu telah mempunyai seorang kekasih yang akan dijadikan isterinya. Namanya Sim Hui Eng! Keparat! pan dia masih berani berpura-pura meminangku!

"Jahanam kau!" Eng Eng tidak dapat menahan lagi kemarahannya dan beberapa kali loncatan membuat ia berada di luar jendela ruangan di mana pangeran dan ayah ibunya bercakap-cakap. Ia mengerahkan tenaga dan menerjang daun jendela.

"Brakkk....!" Daun jendela pecah berantakan dan Eng Eng sudah berdiri di depan pangeran itu yang terbelalak memandang kepadanya.

"Kau....!" seru Cia Sun, akan tetapi pada saat itu, dari jarak dekat, selagi pangeran itu tertegun karena sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dalam keadaan seperti itu dengan kekasihnya. Eng Eng menggerakkan tangan kirinya dan dua batang jarum hitam menyambar cepat, mengenai kedua pundak Cia Sun.

"Ahhhhh....!" Pemuda itu mengeluh dan roboh terpelanting. Sebelum tubuhnya terbanting, dengan cepat Eng Eng sudah menggerakkan tubuhnya, lengan kirinya mengempit tubuh Cia Sun yang terkulai lemas dan sekali meloncat, dia sudah keluar dari rongga jendela yang berlubang.

Suami isteri yang tadinya terbelalak itu, baru sempat berteriak-teriak melihat betapa putera mereka diculik seorang wanita yang cantik dan berpakaian serba hitam.

"Tolong....! Pangeran diculik....!" teriak isteri Pangeran Cia Yan.

"Tangkap penculik! Tangkap penjahat!" Pangeran Cia Yan juga berteriak-teriak. Suami isteri itu mencoba untuk mengejar lewat pintu.

Akan tetapi, dua orang penjaga yang mencoba untuk menghalangi bayangan hitam yang mengempit tubuh Pangeran Cia Sun, roboh oleh tendangan Eng Eng dan gadis itu pun menghilang dalam kegelapan malam. Karena malam itu sunyi, gelap dan dingin, maka tidak sukar bagi Eng Eng untuk melarikan Cia Sun dari rumahnya. Sejenak pemuda itu sendiri tertegun dan bingung. Kedua pundaknya terasa panas sekali dan tubuhnya lemas. Akan tetapi dia menahan rasa nyeri itu dan setelah gadis itu tidak berlari lagi, dia berkata dengan heran.

"Bukankah engkau Eng-moi? Eng-moi, kenapa kaulakukan ini kepadaku?"

Eng Eng diam saja, tidak menjawab, ia sedang memikirkan bagaimana dapat membawa pangeran ini keluar dari kota raja. Sebentar lagi, kota raja tentu akan penuh dengan pasukan yang melakukan pengejaran dan pencarian. Untuk keluar begitu saja dari pintu gerbang sambil mengempit tubuh Pangeran Cia-Sun, tentu menimbulkan kecurigaan dan ia akan segera dikepung perajurit. Sementara itu, Pangeran Cia Sun berpkir, apa yang membuat orang yang dicintainya dan yang dia tahu juga mencintanya kini bersikap seperti ini, bahkan tega untuk melukainya dan menculiknya. Dan dia pun teringat. Ketika terjadi penyerbuan ke Pao-beng-pai oleh pasukan pemerintah, dia pun nampak di antara para penyerbu. Tentu Eng Eng mengira bahwa dia yang membawa pasukan itu melakukan penyerbuan.

"Eng-moi, engkau hendak membalas dendam atas penyerbuan ke Pao-beng-pai? Eng-moi, bukan.... bukan aku yang melakukan. Engkau salah duga. Mari kita bicara baik-baik dan kaudengarkan semua keteranganku."

Mendengar ucapan ini, Eng Eng mendapatkan akal untuk dapat membawa keluar pangeran ini dari kota raja tanpa kesulitan. Ia harus dapat membawa pangeran ini keluar. Ia akan menyiksanya, memaksanya mengakui dosanya dan ia akan membunuh pangeran ini di depan makam ibunya!" Aku memang ingin bicara denganmu, di luar kota raja. Kalau engkau membawaku keluar dari pintu gerbang, aku mau bicara denganmu di sana. Kalau tidak, aku akan membunuhmu di sini juga tanpa banyak cakap lagi."

Cia Sun bergidik. Dia tidak takut mati. Biarpun dia seorang pangeran, namun dia berjiwa pendekar dan kematian bukan sesuatu yang menakutkan baginya. Yang membuat dia merasa ngeri adalah sikap dan suara gadis yang dicintanya itu. Segitu tidak wajar, begitu dingin dan penuh ancaman maut! Dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu sedang dibakar api dendam dan kebencian.

"Baiklah, Eng-moi. Bebaskan totokanmu dan hentikan kenyerian ini agar tidak ada orang curiga. Aku akan mencari dua ekor kuda untuk kita."

"Jangan mengira engkau akan dapat lari dariku, sebelum kau lari, aku akan membunuhnya!" kata Eng Eng, kemudian dia memberi sebuah pil merah untuk ditelan oleh Cia Sun setelah ia membebaskan totokannya. Setelah menelan pil itu, Cia Sun tidak begitu menderita lagi.

Kebetulan ada serombongan penjaga keamanan kota terdiri dari enam orang menunggang kuda datang dari depan. Cia Sun cepat memberi isyarat kepada rombongan berkuda. Ketika mereka telah dekat dan melihat siapa yang menahan mereka, enam orang itu terkejut, turun dari atas kuda dan memberi hormat kepada Pangeran Cia Sun.

"Kami membutuhkan dua ekor kuda, berikan dua ekor yang terbaik," kata pangeran itu. Enam orang itu tergopoh memilihkan dua ekor kuda dan Cia Sun segera mengajak Eng Eng untuk menunggang kuda dan segera melarikan kuda ke pintu gerbang selatan seperti dikehendaki Eng Eng.

Sejam kemudian, kota raja geger karena Pangeran Cia Yan minta bantuan pasukan keamanan untuk menangkap penculik yang melarikan Pangeran Cia Sun. Terjadilah geger dan kekacauan, apalagi ketika ada perajurit yang melapor bahwa Pangeran Cia Sun tidak diculik, melainkan pergi dengan suka rela bersama seorang yang berpakaian hitam, bahkan pangeran itu sendiri yang minta dua ekor kuda kepada rombongan perajurit dan menunggang kuda keluar dari pintu gerbang selatan. Tentu saja berita ini

membuat para perwira yang memimpin pengejaran itu menjadi bingung dan ragu. Bagaimana kalau Pangeran Cia Sun tidak diculik melainkan pergi dengan suka rela? Tentu pangeran itu akan marah kalau pasukan melakukan pengejaran. Karena kebingungan inilah maka pengejaran dilakukan setengah hati, dan andaikata mereka dapat bertemu Pangeran Cia Sun, tentu mereka tidak akan berani lancang menangkap gadis berpakaian hitam seperti diperintahkan Pangeran Cia Yan.

Mereka tentu akan melihat bagaimana sikap Pangeran Muda Cia Sun.

Karena memang sudah merencanakan lebih dahulu, tanpa ragu-ragu Eng Eng mengajak pangeran itu memasuki hutan kecil di mana tadi ia menangis, dan mereka lalu turun dari atas kuda, menambatkan kuda dan membiarkan dua ekor kuda itu makan rumput. Karena tubuhnya masih terasa sakit akibat tusukan dua batang jarum di pundaknya, jarum-jarum hitam yang mengandung racun, Cia Sun lalu menjatuhkan diri di atas rumput, memandang kepada gadis itu yang berdiri memandangnya dengan sinar mata yang

bernyala-nyala. Biarpun tempat itu gelap, namun Cia Sun seolah-olah dapat melihat sepasang mata yang memandang marah itu.

Malam masih amat dingin, akan tetapi mendung telah tersapu angin dan langit kini nampak bersih dengan sinar bulan sepotong sehingga mereka dapat saling melihat, walaupun hanya remang-remang. "Nah, katakanlah. Eng-moi, apa artinya semua ini? Benarkah dugaanku tadi bahwa engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai?"

Sejak tadi Eng Eng menahan kemarahannya terutama kemarahan karena mendengar percakapan antara pangeran itu dan orang tuanya tadi. Kini, kemarahannya meledak! "Engkau manusia paling busuk di dunia! Engkau manusia palsu, jahanam keparat yang berbudi rendah!"

"Silakan memaki dan mencaci, bahkan engkau boleh saja membunuhku, Eng-moi, akan tetapi, setidaknya jelaskan dulu mengapa engkau begini marah kepadaku, agar andaikata engkau membunuhku, aku tidak akan mati penasaran."

"Huh, tidak perlu engkau merayuku lagi dengan omonganmu yang seperti madu berbisa! Engkaulah yang membuat banyak orang mati penasaran, termasuk ibuku dan Tio Sui Lan! Engkau menyamar, menyelundup ke Pao-beng-pai untuk memata-matai Pao-beng-pai. Engkau bahkan merayuku sehingga aku terbujuk dan membebaskanmu, mengkhianati Pao-beng-pai sendiri. Ternyata engkau hanya palsu, engkau mempermainkan aku, engkau memimpin pasukan membasmi Pao-beng-pai, membunuhi keluargaku! Engkau sungguh keji, kejam dan curang!" Suara Eng Eng terkandung isak tangis.

"Hemmm, kalau begitu tepat dugaanku. Engkau marah kepadaku karena mengira aku yang memimpin pasukan menyerbu Pao-beng-pai. Semua itu tidak benar, Eng-moi! Aku tidak memimpin pasukan itu! Baru sebentar aku pergi, bagaimana aku dapat mengumpulkan pasukan besar untuk menyerbu Pao-beng-pai? Tidak, aku tidak mengerahkan pasukan itu. Aku mendengar bahwa ada pasukan yang

pergi menyerbu Pao-beng-pai, karena tempatnya sudah diketahui. Ketika Pao-beng-pai mengadakan pertemuan itu, di antara para tamu terdapat orang-orang yang menentang dan merekalah yang memberi laporan kepada pemerintah. Panglima Ciong yang memimpin pasukan itu menyerbu, dan aku menyusul cepat untuk menyelamatkan engkau dan ibumu."

"Omong kosong! Rayuan gombal! Siapa dapat percaya? Kalau bukan engkau yang menjadi penunjuk jalan, bagaimana mungkin pasukan dapat naik ke Lembah Selaksa Setan, dapat melampaui semua jebakan dan membasmi Pao-beng-pai? Tidak perlu engkau mencoba

untuk membohongi aku lagi!" Saking marahnya, tubuh Eng Eng bergerak, tangannya menyambar ke arah dada Cia Sun.

"Bukkk!" Pukulan tangan terbuka itu keras sekali dan tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling-guling. Eng Eng mengejar dan kembali tangannya menampar ke arah kepala orang yang sudah rebah di atas tanah itu. Akan tetapi tangan itu tertahan di udara, tidak jadi memukul.

Cia Sun terbatuk-batuk, dadanya terasa sesak. Akan tetapi dia masih tersenyum ketika mengangkat kepala memandang. "Kenapa tidak kaulanjutkan, Eng-moi? Pukullah, hajar dan siksalah aku, bunuhlah kalau hal itu akan dapat meredakan kemarahanmu."

"Kenapa.... kenapa engkau tidak melawan? Tidak mengelak atau menangkis? bentaknya.

"Untuk apa? Aku rela mati di tanganmu kalau engkau menghendaki itu, Eng-moi. Hanya kuminta, sebelum engkau membunuhku, dengarlah dulu keteranganku...."

"Huh, keterangan bohong! Penuh tipuan!"

"Andaikata benar aku berbohong sekalipun, kumohon padamu, dengarlah kebohonganku sebelum engkau membunuhku. Setelah aku memberi keterangan, nah, engkau boleh percaya atau tidak, boleh membunuhku atau tidak, terserah."

"Bohong! Kau penipu! Ah, untuk kebohongan itu saja, aku dapat membunuhmu seratus kali!" Dan kini Eng Eng menampar lagi, menendang dan menampar lagi sampai Cia Sun terguling-guling dan tidak mampu bergerak lagi. Pingsan! Ketika Eng Eng hendak memberi pukulan terakhir, ia teringat akan niat semula, yaitu membunuh pemuda itu di depan makam ibunya, maka ia pun menahan

diri.

"Biar kubersabar sampai besok. Engkau akan mampus di depan makam ibuku, bedebah!" katanya dan ia pun duduk dibawah pohon, bersamadhi. Akan tetapi, samadhinya tidak pernah berhasil. Ia bahkan gelisah dan beberapa kali mendekati Cia Sun, untuk mendapat kepastian bahwa pemuda itu belum tewas.

Malam terganti pagi. Pagi yang amat indah. Sinar matahari pagi agaknya mengusir semua kegelapan, kegelapah alam yang berpengaruh terhadap keadaan hati. Sinar matahari mendatangkan kehidupan. Burung-burung berkicauan dan sibuk mempersiapkan diri untuk bekerja. Ayam jantan berkeruyuk saling saut. Semua nampak cerah gembira, bahkan daun-daun nampak berseri. Seluruh

mahluk seolah-olah menyambut munculnya sinar kehidupan dengan puja-puji kepada Yang Maha Kasih. Sang Maha Pencipta, melalui suara, melalui keharuman, melalui keindahan. Keharuman rumput dan tanah basah, daun dan bunga, keharuman udara itu sendiri.

Eng Eng juga terpengaruh oleh semua keindahan itu. Hatinya terasa ringan dan perasaan marahnya tidak terasa lagi olehnya. Namun, ketika ia menengok ke arah Pangeran Cia Sun, ia teringat segalanya dan ia pun bangkit menghampiri.

Cia Sun sudah siuman, namun seluruh tubuhnya terasa nyeri. Melihat gadis itu menghampiri, dia pun bangkit duduk, memandang kepada gadis itu dengan senyum sedih! Senyum itu seperti pisau menusuk kalbu bagi Eng Eng.

"Eng-moi, kenapa kepalang tanggung? Kenapa engkau tidak membunuh aku semalam?" tanya Cia Sun.

Eng Eng hampir tidak percaya. Pemuda bangsawan ini masih bersikap demikian manis kepadanya. Bukan, bukan sikap yang terdorong rasa takut, melainkan sikap yang demikian wajar. Masih tersenyum, dan pandang mata kepadanya itu demikian lembut dan mesra, jelas nampak sinar kasih sayang di dalamnya. Padahal, ia sudah menyiksanya sampai pingsan, nyaris membunuhnya!

"Aku akan membunuhmu di depan makam ibuku!" katanya singkat.

"Eng-moi, arwah ibumu akan berduka kalau engkau melakukan itu. Aku bukan pembunuh ibumu, aku bahkan berusaham enyelamatkannya, dan ia meninggal dunia di dalam rangkulanku "

"Bohong!!"

"Eng-moi, untuk apa aku berbohong? Aku tidak takut mati, bahkan aku tidak akan penasaran mati di tanganmu. Aku hanya tidak ingin melihat engkau salah tindakan dan menyesal di kemudian hari, aku hanya ingin agar engkau mengetahui dengan betul siapa sebenarnya dirimu. Aku telah mengetahui rahasia besar mengenai dirimu, Eng-moi, dan aku akan menceritakan semua, kalau engkau bersedia mendengarkan. Memang semua akan kedengaran amat aneh bagimu, dan mungkin engkau akan menganggap aku berbohong, akan tetapi demi Tuhan, aku tidak berbohong."

Agaknya sinar matahari memang berpengaruh besar terhadap hati manusia, setidaknya terhadap Eng Eng. Gadis itu merasa agak tenang dan ia dapat melihat kenyataan bahwa tidak ada ruginya mendengarkan apa yang akan diceritakan oleh pemuda itu. Bohong atau tidak, pemuda itu memang berhak untuk membela diri. Dan melihat wajah yang tampan dan yang tadinya amat disayangnya itu agak bengkak-bengkak oleh tamparannya semalam, timbul juga perasaan iba di dalam hatinya.

"Bicaralah, aku tetap tidak akan percaya padamu." katanya dengan sikap ketus yang dipaksakan. Ia bahkan tidak menatap langsung wajah yang bengkak-bengkak itu, karena ia merasa tidak enak, mengingatkan ia betapa ia telah bertindak kejam terhadap satu-satunya pria di dunia ini yang dicintanya. Lega rasa hati Cia Sun. Dia sama sekali tidak akan menyesal kalau dia dibunuh wanita yang dicintanya ini, hanya dia akan merasa menyesal karena perbuatan itu merupakan suatu perbuatan yang berdosa bagi Eng Eng. Dia tidak ingin melihat kekasihnya ini menjadi seorang yang jahat.

"Eng-moi, setelah engkau membebaskan aku, aku lalu cepat pulang ke kota raja. Akan tetapi, setelah tiba di sana, aku mendengar bahwa Panglima Ciong memimpin pasukan untuk menyerbu Pao-beng-pai. Aku terkejut dan cepat aku kembali lagi ke sana untuk menyusul pasukan itu karena aku mengkhawatirkan keselamatanmu dan keselamatan ibumu. Namun aku terlambat. Setelah tiba di Ban-kwi-kok, pasukan telah menyerbu ke perkampungan Pao-beng-pai...."

"Tanpa penunjuk jalan, tidak mungkin pasukan akan mudah memasuki daerah Pao-beng-pai yang dipasangi banyak jebakan rahasia!" Eng Eng memotong dan kini sepasang matanya mengamati wajah pemuda itu penuh selidik dan hatinya menuduh bahwa tentu pemuda itu yang menjadi penunjuk jalan.

"Dugaanmu memang benar, Eng-moi. Hal ini pun kuketahui kemudian dari para perwira yang memimpin penyerbuan itu. Ada memang penunjuk jalan yang memungkinkan pasukan itu dapat menyerbu dengan mudah...."

"Engkaulah penunjuk jalan itu!" bentak Eng Eng. Cia Sun tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Bukan, Eng-moi, bukan aku. Penunjuk jalan itu adalah seorang gadis, murid Pao-beng-pai sendiri, bernama Tio Sui Lan...."

"Bohong tidak mungkin....!" teriak Eng Eng, akan tetapi teriakan mulutnya ini tidak sesuai dengan perasaan hatinya yang menjadi bimbang. Setelah apa yang dilakukan Siangkoan Kok kepada Sui Lan, memaksanya menjadi isteri dan memperkosanya, bukan hal yang tidak mungkin kalau Sui Lan lalu berkhianat. Dan pula, Sui Lan tentu saja mengenal semua jalan rahasia naik ke sarang Pao-beng-pai, sedangkan Cia Sun tidak akan mengetahui banyak tentang jebakan-jebakan itu. Kalau Sui Lan yang menjadi penunjuk jalan, tentu saja pasukan itu akan menyerbu naik dengan mudah.

"Terserah kepadamu, Eng-moi, untuk percaya atau tidak. Aku hanya mendengar keterangan para perwira. Ketika pasukan tiba di kaki bukit dan mulai mendaki, tiba-tiba muncul gadis itu yang kemudian menawarkan diri menjadi penunjuk jalan. Ketika pasukan menyerbu, Siangkoan Kok sedang berkelahi dengan isterinya dan ibumu sudah terdesak. Gadis yang mengkhianati gurunya

itu lalu menyerang Siangkoan Kok, akan tetapi dengan mudah ia roboh dan tewas di tangan gurunya sendiri!"

"Tapi ibuku....! Tentu ia terbunuh oleh pasukan pemerintah!" kata Eng Eng, mulai tertarik karena apa yang diceritakan Cia Sun itu agaknya memang masuk akal. Ia sudah melihat mayat Sui Lan dan luka yang mengakibatkan kematiannya memang luka beracun yang dikenalnya sebagai racun dari pedang Siangkoan Kok!

Dengan sikap tenang Cia Sun menggeleng kepala, kini senyumnya menghilang dan dia mengerutkan alisnya, mengenang kembali peristiwa menyedihkan itu. "Sudah kuceritakan tadi, ketika pasukan menyerbu, aku cepat ikut di barisan depan karena aku ingin mencegah agar engkau dan ibumu tidak sampai ikut diserang. Ketika kami tiba di sana, kami melihat ibumu berkelahi dengan ayahmu dan ibumu roboh tertendang ayahmu. Aku cepat mencegah ketika pasukan hendak menyerang ibumu yang sudah roboh, dan memerintahkan mereka mengejar ayahmu yang melarikan diri. Aku lalu memondong tubuh ibumu yang pingsan dan ternyata ia telah menderita luka-luka parah, tentu ketika berkelahi melawan ayahmu." Cia Sun berhenti sebentar untuk mengamati wajah Eng Eng dan melihat bagaimana tanggapan dan sikap gadis itu terhadap ceritanya.

"Terus, lalu bagaimana? "Eng Eng mulai tertarik dan pada saat seperti itu, ia lupa akan kemarahan dan kebenciannya terhadap Cia Sun.

"Kubawa ibumu ke dalam rumah dan kurebahkan di bangku panjang. Kucoba untuk merawatnya, akan tetapi sia-sia. Ibumu hanya siuman untuk bicara sedikit kepadaku, meninggalkan pesan-pesan dan akhirnya ia meninggal dunia dalam rangkulanku."

"Ibuku...., bagaimana aku dapat mempercayaimu? Engkau berbohong. Ketika engkau merayuku, engkau hanya pura-pura...."

"Tidak, Eng-moi. Langit dan Bumi menjadi saksi bahwa aku sungguh mencintamu, sejak pertama kali kita bertemu, sampai sekarang...."

"Bohong! Pendusta!" Eng Eng marah kembali karena ia teringat akan percakapan antara pemuda ini dan orang tuanya, tentang pengakuan Cia Sun kepada ayah ibunya bahwa pemuda itu telah mencinta seorang gadis lain.

"Eng-moi, kenapa engkau tidak percaya kepadaku dan menuduhku berbohong?" Cia Sun bertanya dan dia merasa kepalanya pening sekali, bumi seperti berputaran. Itu adalah akibat racun dari jarum Eng Eng, juga karena dia mengalami tamparan-tamparan malam tadi. Namun, dia mempertahankan diri agar tidak jatuh pingsan lagi. Dia memandang gadis itu dengan sinar mata penuh

permohonan. Eng Eng melompat berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada pangeran itu dengan sinar mata membakar. Makin diingat tentang percakapan keluarga pangeran itu, semakin panaslah hatinya.

"Bagaimana aku dapat percaya omongan perayu busuk macam engkau? Engkau telah mencinta seorang gadis lain dan masih engkau berani mengatakan bahwa engkau mencintaku?"

Biarpun kepalanya sudah pening sekali, akan tetapi mendengar ucapan itu, Cia Sun membelalakkan matanya dan berkata dengan suara mengandung penasaran. "Sekali ini, engkau yang berbohong, Eng-moi! Aku tidak pernah dan tidak akan mencinta gadis lain kecuali engkau seorang!"

"Pendusta besar! Kedua telingaku sendiri mendengar pengakuanmu kepada ayah ibumu bahwa engkau mencinta gadis lain yang bernama Sim Hui Eng! Hayo sangkal kalau engkau berani! Kuhancurkan mulutmu kalau engkau berdusta!"

Cia Sun mencoba untuk tersenyum,akan tetapi karena rasa nyeri berdenyut-denyut di kepalanya, membuat kepala seperti akan pecah rasanya, senyumnya menjadi pahit sekali. "Aku tidak berdusta, Eng-moi. Memang benarlah, aku mencinta Sim Hui Eng, sejak pertama kali jumpa sampai sekarang dan aku akan tetap mencintanya karena Sim Hui Eng adalah engkau sendiri, Eng-moi.... ahhh...." Cia Sun tidak dapat menahan lagi rasa nyeri di dada dan kepalanya. Dia pingsan lagi.

Dia tidak tahu betapa Eng Eng memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka pucat. Sampai lama Eng Eng mengamati wajah Cia Sun, pandang matanya meragu. Ia bernama Sim Hui Eng? Apa pula artinya ini? Benarkah semua yang diceritakan Cia Sun? Ia harus tahu apa artinya semua itu. Cia Sun mengaku kepada orang tuanya bahwa dia hanya mencinta gadis yang bernama Sim Hui Eng, dan kini dia menjelaskan bahwa Sim Hui Eng adalah ia sendiri! Bagaimana pula ini? Namanya seperti dikenal Cia Sun adalah Siangkoan Eng, kemudian karena ibunya membuka rahasia bahwa ia bukan puteri kandung Siangkoan Kok, ia pun tidak sudi lagi memakai nama keluarga Siangkoan, lebih memilih marga ibunya, yaitu Lauw. Dan kini, tiba-tiba saja Pangeran Cia Sun mengatakan bahwa ia she Sim, dan nama lengkapnya Hui Eng! Jangan-jangan pangeran ini tidak berbohong dan sudah mengenal ayah kandungnya. Ayah kandungnya! Ibunya amat membenci ayah kandungnya. Benarkah ayah kandungnya she Sim? Benarkah semua cerita Cia Sun? Sayang bahwa pemuda ini keburu jatuh pingsan sehingga tidak dapat melanjutkan keterangannya.

Eng Eng berlutut di dekat tubuh Cia Sun. Hatinya sempat berdegup ketika ia berada begitu dekat dengan pangeran itu, dan keharuan mulai menggigit perasaannya ketika ia melihat wajah yang tampan itu bengkak-bengkak. Ia cepat mengeluarkan sebutir pil, lalu menggunakan bekal air minumnya untuk memasukkan pil itu ke dalam mulut Cia Sun yang dibukanya dengan penekanan kepada rahang pemuda itu. Pil itu sukar ditelan maka terpaksa ia mendekatkan mulutnya dan meniup ke dalam mulut pemuda itu sehingga pil itu dapat tertelan karena ia telah menotok beberapa jalan darah, membuat pemuda itu hanya setengah pingsan. Kemudian ia mengurut sana sini, mengobati luka-luka memar itu dengan semacam obat gosok yang selalu dibawanya sebagai bekal. Kemudian, ia menempelkan tangan kirinya ke dada pemuda itu, menyalurkan sin-kang untuk membantu pemuda itu terbebas dari luka sebelah dalam tubuhnya.

Akhirnya Cia Sun membuka matanya dan dia tersenyum melihat gadis itu bersimpuh di dekatnya dan menempelkan telapak tangan ke dadanya. Terasa betapa lembutnya telapak tangan yang mengeluarkan hawa panas itu.

"Ah, Eng-moi, engkau masih mau mengobati dan menolongku? Terima kasih...." katanya lembut dan wajah yang kini hanya tinggal membiru karena bengkaknya sudah hilang itu tersenyum! Senyum itulah yang menikam jantung Eng Eng. Kalau pangeran itu marah-marah dan memaki-makinya, kiranya tidak akan sesakit itu hatinya. Sejak ditangkapnya tadi, sampai disiksanya, pangeran itu tidak pernah marah, bahkan selalu berbicara lembut, pandang matanya penuh kasih dan mulutnya tersenyum.

"Aku mengobatimu hanya agar engkau tidak mampus sekarang," katanya, suaranya diketus-ketuskan. "Hayo katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu tadi bahwa aku bernama Sim Hui Eng! Jangan mempermainkan aku kalau kau tidak ingin kusiksa lebih berat lagi!"

"Sejak tadi aku tidak pernah mempermainkanmu, tidak pernah berdusta, Eng-moi. Engkau yang kurang sabar mendengarkan keteranganku. Nah, sekarang kulanjutkan ceritaku tadi. Sebelum ibumu meninggal dunia dalam rangkulanku, ia menceritakan suatu rahasia yang amat mengejutkan hatiku, juga tentu akan mengejutkan hatimu dan mungkin engkau semakin tidak percaya kepadaku. Nah, sudah siapkah engkau mendengarkan ceritaku tentang pengakuan ibumu?"

Eng Eng merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kini ia hampir yakin bahwa pangeran ini tidak pernah berbohong kepadanya! Tidak pernah berbohong dan ia sudah menculiknya, menyiksanya dan bahkan nyaris membunuhnya. Kemungkinan ini membuat darahnya berdesir meninggalkan mukanya, membuat wajahnya menjadi pucat sekali.

"Ceritakan semua!" perintahnya.

"Rahasia yang dibuka bibi Lauw Cu Si ini seluruhnya mengenai dirimu, Eng-moi. Pertama-tama, engkau bukanlah anak kandung Siangkoan Kok ketua Pao-beng-pai!" Cia Sun mengira bahwa gadis itu akan terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi dia kecelik. Gadis itu sedikit pun tidak kelihatan kaget atau heran, bahkan mulutnya seperti membentuk senyum mengejek.

"Aku sudah tahu. Dia adalah ayah tiriku." katanya pendek.

Cia Sun menggeleng kepalanya. "Bukan, Eng-moi. Sama sekali bukan ayah tirimu. Dia bukan apa-apamu."

Eng Eng terbelalak. "Apa.... apa maksudmu? Aku dibawa ibu ketika masih kecil, berusia dua tiga tahun ketika ibuku menikah dengan Siangkoan Kok! Kenapa kaukatakan dia bukan ayah tiriku?"

"Inilah rahasia besar yang dibuka ibumu kepadaku, Eng-moi. Memang benar ketika bibi Lauw Cu Si itu menikah dengan Siangkoan Kok, ia membawa seorang anak kecil dian anak itu adalah engkau, Eng-moi. Akan tetapi, engkau bukanlah anak kandung bibi Lauw Cu Si!"

"Ehhh....!!??" Eng Eng berseru setengah menjerit.

"Apa... apa maksudmu....!!?" Tangan gadis itu menangkap lengan Cia Sun dan mencengkeramnya, seluruh tubuhnya gemetar dan wajahnya semakin pucat.

"Aku mendengar dari Nyonya Siangkoan Kok yaitu bibi Lauw Cu Si, Eng-moi. Agaknya karena tahu bahwa ia akan tewas, maka ia membuka rahasia itu kepadaku. Engkau bukan anak kandungnya, engkau telah ia culik dari orang tuamu ketika engkau masih kecil, kemudian diaku sebagai anaknya sendiri."

"Tapi.... tidak mungkin! Apa buktinya? Bagaimana aku dapat mengetahui benar tidaknya ceritamu ini?"

"Sabar dan tenanglah, Eng-moi. Aku pun tadinya terkejut dan kalau bukan bibi Lauw Cu Si sendiri yang bercerita, aku pun pasti tidak akan percaya. Akan tetapi, aku lalu teringat kepada Yo-toako! Engkau ingat Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?"

Eng Eng mengerutkan alisnya. Tentu saja ia teringat kepada pendekar yang amat lihai itu. "Apa hubungannya dia dengan ceritamu itu?"

"Eng-moi, ingatkah engkau akan pengakuan Yo-toako bahwa dia hendak mencari seorang gadis yang diculik orang sejak kecil? Gadis itu bernama Sim Hui Eng dan Yo-toako bertugas untuk mencarinya. Bahkan dia kemudian ditipu Siangkoan Kok yang menyuruh mendiang Tio Sui Lan untuk memancingnya ke dalam gua kemudian menjebak dan menangkapnya. Nah, gadis yang dicari-carinya itu

adalah engkau, Eng-moi. Engkaulah gadis yang ketika kecil diculik itu, dan penculiknya adalah bibi Lauw Cu Si yang selama ini kauanggap sebagai ibumu sendiri."

Eng Eng masih terbelalak dan seperti berubah menjadi patung. Ia tentu saja masih diombang-ambingkan kebimbangan. "Tapi.... tapi apa buktinya bahwa.... ibuku meninggalkan pesan itu kepadamu, dan apa buktinya bahwa aku benar-benar gadis yang bernama Sim Hui Eng itu? Tanpa bukti, bagaimana mungkin aku dapat mempercayai ceritamu?"

Cia Sun menghela napas panjang. "Tentu saja aku tidak dapat membuktikan bahwa mendiang bibi Lauw Cu Si membuka rahasia itu kepadaku, juga ketika kami bicara, tidak ada seorang pun saksinya. Dan ia sudah meninggal dunia, jadi tidak mungkin lagi ditanyai. Akan tetapi, aku mempunyai suatu tanda rahasia yang ada pada dirimu, seperti yang diceritakan Yo-toako kepadaku. Ketika Yo-toako menerima tugas mencari anak yang hilang diculik itu, orang tua anak itu memberitahukan kepadanya adanya dua

tanda rahasia di badan anak itu yang merupakan ciri-ciri khas atau tanda sejak lahir. Kalau aku katakan tanda-tanda itu. dan kemudian ternyata cocok dengan keadaan dirimu, apakah engkau masih akan menganggap aku pendusta yang patut kausiksa dan kaubunuh di depan makam bibi Lauw Cu Si?"

Tentu saja Eng Eng menjadi bingung dan salah tingkah. Ia merasa ngeri kalau membayangkan bahwa pangeran itu benar dan sama sekali tidak berdusta, sama sekali tidak menipunya, dan ia telah menyiksanya seperti itu!

"Katakanlah, tanda-tanda apa yang ada pada anak yang diculik itu?" tanyanya, suaranya jelas terdengar gemetar.

"Yo-toako hanya berpegang kepada, tanda-tanda itu saja untuk mencari anak yang hilang terculik itu, maka tentu saja amat sukar karena tanda-tanda itu terdapat di bagian tubuh yang selalu tertutup...."

"Katakan cepat, tanda-tanda apa itu?" tanya Eng Eng dengan suara nyaring karena ia sudah tidak sabar sekali.

"Pertama, anak itu mempunyai sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya, dan ke dua, ia pun mempunyai sebuah noda merah sebesar ibu jari kaki di telapak kaki kanannya."

Eng Eng meloncat ke belakang, terbelalak dan seluruh tubuhnya menggigil. Melihat ini, Cia Sun menguatkan tubuhnya dan bangkit berdiri, menghampiri dengan pandang mata khawatir.

"Kenapa, Eng-moi.... dan be.... benarkah ada tanda-tanda itu pada dirimu....? Benarkah bahwa engkau ini Sim Hui Eng?" Suara pangeran itu juga gemetar karena dia meresa tegang, khawatir kalau-kalau gadis ini bukan Sim Hui Eng seperti yang disangkanya.

Sampai lama Eng Eng tidak mampu bicara, mukanya yang pucat kelihatan seperti mau menangis dan ketika ia bertanya, suaranya hampir tidak dapat didengar, "Bagaimana....perasaanmu terhadap aku kalau aku tidak memiliki tanda-tanda itu, kalau aku bukan Sim Hui Eng?"

"Eng-moi, masihkah engkau meragukan cintaku kepadamu? Ketika aku jatuh cinta dan meminangmu, engkau adalah puteri ketua Pao-beng-pai, bukan? Engkau tetap engkau bagiku, satu-satunya gadis yang kucinta, baik engkau mempunyai tanda atau tidak, baik engkau puteri Siangkoan Kok atau bukan, atau puteri siapapun juga. Aku tetap cinta padamu, Eng-moi, biar engkau akan

membunuhku sekalipun. Tapi.... untuk meyakinkan, benarkah engkau memiliki tanda-tanda itu?"

Tiba-tiba Eng Eng menjatuhkan diri berlutut dan menangis terisak-isak. Tentu saja pangeran itu terkejut dan khawatir, lalu dia pun berlutut di depan gadis itu. "Eng-moi, kenapa, Eng-moi....? Ah, maafkan kalau aku membuat hatimu berduka, Eng-moi. Lebih baik aku melihat engkau marah-marah kepadaku seperti tadi daripada melihat engkau bersedih seperti ini, Eng-moi."

Ucapan itu membuat Eng Eng semakin mengguguk. Cia Sun merasa hatihya seperti ditusuk-tusuk melihat keadaan kekasihnya itu dan dia pun menyentuh pundak gadis itu dengan lembut. "Eng-moi, ada apakah...."

Akhirnya Eng Eng dapat bicara tanpa menurunkan kedua tangannya dari muka, dan air mata mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya. "Kau.... kaulihat sendiri.... apakah.... ada tanda-tanda itu...."

Ia lalu menyingkap baju di bagian pundak kiri dan melepas sepatu dan kaos kakinya yang kanan. Cia Sun memandang pundak yang berkulit putih mulus itu dan di sana, jelas sekali nampak sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat. Dan pada telapak kaki yang putih kemerahan itu nampak pula noda merah.

"Kau.... kau benar-benar Sim Hui Eng....!" serunya seperti bersorak gembira.

Eng Eng kini merangkul ke arah kaki Cia Sun, "Pangeran...., ampunkan aku.... aku telah berbuat kejam dan tidak adil kepadamu.... aku.... aku layak kau pukul. Balaslah, Pangeran, pukullah aku, siksalah aku, bunuhlah aku.... huuu-huhuuuuu....!" Gadis itu tersedu-sedu, menangis dengan perasaan menyesal, malu, dan juga marah kepada diri sendiri dan amat iba kepada pria yang dicintanya namun yang telah disiksanya tanpa salah itu. Bahkan pangeran itu telah mencegah pasukan membunuh Lauw Cu Si sehingga dia merupakan satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia dirinya. Pangeran ini telah berjasa kepadanya. Sebaliknya, ia menuduhnya sebagai pembunuh dan ia telah menyiksanya dengan kata-kata, dengan perbuatan. Ingin ia menciumi sepatu pangeran itu untuk menyatakan penyesalannya.

Melihat betapa gadis yang dicintanya itu merangkul kakinya dan mencium sepatunya, Cia Sun cepat merangkul, menarik dan mendekap kepala itu, seolah-olah hendak membenamkannya ke dadanya untuk disimpan di dalam dada dan tidak akan dilepaskannya lagi selamanya. Dia sendiri pun membenamkan mukanya yang basah air mata ke dalam rambut itu. Sampai beberapa lamanya mereka

berpelukan dan bertangisan, dan. Eng Eng beberapa kali mengusap dan membelai muka yang masih ada bekas-bekas tamparan tangannya itu dengan jari-jari gemetar.

Setelah gelora keharuan hati mereka mereda, Cia Sun membiarkan Eng Eng duduk bersandar di dadanya. Dia membelai rambut yang kusut itu dan berbisik, "Sudahlah, Eng-moi, sudah cukup engkau menyesali diri. Aku tidak akan menyalahkanmu. Memang batinmu mengalami guncangan hebat. Akhirnya semua kegelapan lewat dan kini kita berdua tinggal menyongsong sinar kebahagiaan."

"Pangeran...."

Cia Sun menghentikan kata-kata itu dengan sentuhan bibirnya pada bibir Eng Eng. "Hushhh...., kalau kau menyebutku pangeran, lalu apa bedanya dengan seluruh wanita yang menjadi kawula dan menyebutku seperti itu. Engkau adalah calon isteriku, engkau tunanganku, engkau kekasihku, ingat?"

Eng Eng tersipu, akan tetapi tersenyum penuh bahagia. "Kakanda.... Cia Sun...." Betapa merdunya panggilan itu.

"Adinda Hui Eng...." Sang pangeran berbisik dan sebutan nama yang terdengar asing baginya itu mengingatkan Eng Eng akan keadaan dirinya.

"Kakanda Pangeran, dengan hati berdebar penuh ketegangan, sekarang aku menanti engkau memberitahu kepadaku, siapa sebenarnya orang tuaku? Ayah ibuku masih hidup?"

"Engkau akan terkejut, berbahagia dan bangga sekali kalau mendengar siapa ayah ibumu, Eng-moi. Ketika engkau masih kuanggap sebagai puteri Siangkoan Kok, aku sudah kagum dan cinta padamu. Ketika aku mendengar dari bibi Lauw Cu Si siapa ayah ibumu, kekagumanku kepadamu bertambah-tambah. Ketahuilah bahwa ayahmu bernama Sim Houw dan ibumu bernama Can Bi Lan eh, kenapa kau, Eng-moi (adinda Eng)?"

Mendengar disebutnya dua nama itu sebagai ayah ibunya, Eng Eng sudah meloncat berdiri sehingga terlepas dari rangkulan pangeran itu. Ia berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat.

"Ayahku.... Pendekar Suling Naga dan ibuku Si Setan Kecil....! Aihhhhh.... Kakanda.... celakalah aku sekali ini...."

Cia Sun cepat bangkit dan merangkul gadis itu. "Tenanglah, Moi-moi, kenapa engkau berkata begitu? Bukankah sepatutnya engkau berbangga? Ayah ibumu adalah suami isteri pendekar yang sakti dan nama mereka terkenal sekali di dunia persilatan!"

"Aih, engkau tidak tahu, Koko! Ah, betapa malunya aku berhadapan dengan mereka. Ketahuilah, aku pernah mewakili Pao-beng-pai mendatangi tiga keluarga besar para pendekar itu dan menantang mereka mengadu kepandaian. Bahkan dalam peristiwa itu, Siauw-kwi Can Bi Lan, ibu kandungku itu maju untuk menandingiku, akan tetapi aku, si tinggi hati tak tahu diri ini, aku bahkan menghinanya dan menantang Pendekar Suling Naga, ayahku sendiri untuk maju menandingiku! Aku telah bersikap angkuh dan

menghina tiga keluarga besar dan ternyata Pendekar Suling Naga adalah ayahnya sendiri. Bagaimana aku dapat berhadapan dengan mereka, Koko?" Dalam rangkulan Cia Sun, seluruh tubuh Eng Eng gemetar seperti orang terserang demam.

"Jangan risaukan hal itu, Eng-moi. Engkau tidak dapat disalahkan. Ketika itu, engkau mewakili Pao-beng-pai dan engkau tentu menganggap para pendekar itu sebagai musuh. Apalagi engkau hanya melaksanakan tugas, karena ketika itu engkau menganggap bahwa kau adalah puteri ketua Pao-beng-pai. Dan aku mengerti mengapa engkau mendapatkan tugas itu. Mungkin bibi Lauw Cu Si yang kau anggap sebagai ibumu itulah yang mempunyai peran penting, sengaja membujuk Siangkoan Kok agar engkau melakukan penghinaan terhadap keluarga besar para pendekar itu."

Gadis itu menatap wajah Cia Sun. "Eh, kenapa begitu?"

"Aku sudah melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa sebetulnya mendiang bibi Lauw Cu Si itu. Ia adalah seorang keturunan pimpinan Beng-kauw yang telah hancur. Karena ia seorang tokoh sesat, tentu saja ia memusuhi keluarga besar dari Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Siluman. Itu pula yang menyebabkan ia menculikmu, yaitu untuk membalas dendam kepada Pendekar Suling Naga dan isterinya yang terkenal sebagai pendekar-pendekar yang menentang golongan sesat. Dengan mengadukan engkau melawan keluarga pendekar itu, melawan golongan orang tuamu sendiri, agaknya bibi Lauw Cu Si menemukan kepuasan tersendiri."

"Akan tetapi, Koko. Kalau orang tuaku itu Pendekar Suling Naga dan isterinya yang merupakan sepasang suami isteri pendekar yang sakti, kenapa aku sampai dapat terculik? Dan kenapa pula mereka tidak mencari si penculik dan merampasku kembali?"

"Pertanyaan seperti itu juga kuajukan kepada Yo-toako ketika kami membicarakan anak hilang itu. Menurut keterangan Yo-toako, Pendekar Suling Naga dan isterinya sudah sejak kehilangan puteri mereka itu berusaha sampai bertahun-tahun untuk menemukan anak mereka kembali. Namun semua usaha itu sia-sia belaka. Agaknya, si penculik, yaitu bibi Lauw Cu Si, dengan cerdik sekali telah menghilang, yaitu menjadi isteri Siangkoan Kok dan tak seorang pun mengira bahwa engkau adalah anak yang diculik. Semua orang, bahkan Siangkoan Kok sendiri, menganggap engkau adalah puteri bibi Lauw Cu Si."

Eng Eng mengangguk-angguk, semua rasa penasaran hilang, akan tetapi tetap saja ia mengerutkan alisnya. Kalau saja ia mendengar bahwa ayah ibunya adalah orang-orang biasa, bahkan petani miskin sekalipun, ia tentu akan berbahagia sekali dan merasa rindu untuk segera dapat bertemu dengan orang tuanya yang aseli. Akan tetapi, Pendekar Suling Naga! Semua pengalamannya ketika ia menantang tiga keluarga besar itu terkenang dan makin dikenang, semakin merah wajahnya karena ia merasa malu bukan main.

"Koko, aku....    aku takut untuk bertemu dengan mereka, aku takut dan malu...."

Cia Sun merangkul pundaknya, dan mengajaknya menghampiri kuda mereka. Matahari telah naik tinggi dan di jalan raya sana lalu

lintas sudah mulai ramai. "Eng-moi, buang saja semua perasaan itu. Percayalah, orang tuamu tidak pernah berhenti memikirkanmu, bahkan sekarang pun masih minta bantuan Yo-toako untuk mencarimu. Mereka akan berbahagia sekali kalau dapat menemukan anak mereka kembali, dan tentang kemunculanmu tempo hari, mereka tentu akan dapat mengerti. Jangan khawatir, akulah yang akan menemanimu ke sana menghadap mereka, dan aku yang tanggung bahwa mereka tentu akan menerima dengan bahagia dan tidak akan ada yang menyesalkan tindakanmu dahulu."

"Aih, aku merasa ngeri bertemu mereka, Koko. Bagaimana kalau aku tidak usah memperlihatkan diri saja kepada mereka? Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua saja. Aku.... aku tidak mau membuat suami isteri pendekar itu mendapat malu besar dan nama baik mereka tercemar karena mempunyai anak seperti aku ...."

"Hushhhhh, jangan berkata begitu, Moi-moi. Coba jawab apakah engkau mencinta aku seperti aku mencintamu?"

"Apakah hal itu masih perlu ditanyakan lagi, Koko? Aku mencintamu, bahkan kekejamanku terhadapmu tadi pun karena terdorong cintaku padamu, karena panasnya hatiku mendengar engkau mencinta Sim Hui Eng yang kukira gadis lain. Aku cinta padamu, Koko."

"Bagus, dan karena kita saling mencinta, apakah engkau mau menjadi isteriku?"

Gadis itu mengangguk. Sebagai puteri ketua Pao-beng-pai yang sejak kecil hidup dalam suasana kekerasan, ia tidak canggung atau malu mengaku tentang perasaan cintanya, "Tentu saja aku mau, koko!"

"Nah, kalau begitu, karena aku seorang pangeran yang tidak mungkin meninggalkan tata-susila dan adat-istiadat, aku akan melamarmu dengan terhormat dan baik-baik. Dan untuk itu, engkau harus mempunyai wali, mempunyai orang tua. Sekarang, mari kita pergi ke Lok-yang, ke rumah orang tuamu. Setelah engkau diterima dengan baik, aku akan kembali ke kota raja dan aku akan mengirim utusan untuk meminangmu secara terhormat."

Gadis itu mengerutkan alisnya, akan tetapi begitu sinar matanya bertemu dengan pandang mata pangeran itu, ia pun mengangguk dan menurut saja ketika digandeng ke arah dua ekor kuda mereka yang sedang makan rumput. Tak lama kemudian, sepasang orang muda yang berbahagia ini pun sudah melarikan kuda, menuju ke Lok-yang.

Karena Cia Sun merupakan seorang keluarga kaisar, bahkan cucu kaisar, seorang pangeran yang pandai bergaul dan terkenal di kalangan para pejabat daerah, maka di sepanjang perjalanan dengan mudah saja dia mendapatkan pelayanan yang penuh penghormatan, mendapatkan tempat bermalam di rumah para kepala daerah, dijamu pesta dan mendapatkan penukaran kuda-kuda baru sehingga perjalanan ini cukup menyenangkan bagi Eng Eng.

******

Yo Han mendaki lereng bukit itu. Bukit Naga. Thian-li-pang berada di lereng paling atas, dekat puncak. Sudah hampir setengah tahun dia merantau, mencari Sim Hui Eng, puteri Pendekar Suling Naga. Namun, usahanya sia-sia. Tak pernah dia berhasil mendengar keterangan tentang penculikan terhadap putri pendekar sakti itu. Dia sudah memasuki dunia kang-ouw, bahkan banyak menundukkan tokoh-tokoh sesat, hanya untuk dimintai keterangan kalau-kalau ada yang mengetahui, siapa yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga dua puluh tahun yang lalu. Akan tetapi semua usahanya, dari bujuk halus sampai kekerasan, tidak ada hasilnya. Agaknya tidak ada seorang pun tahu siapa yang menculik puteri pendekar itu. Penculiknya agaknya lihai dan cerdik bukan main sehingga setelah menculik anak itu, dia seperti menghilang ke dalam bumi membawa anak culikannya!

Akhirnya Yo Han mengambil kesimpulan bahwa tanpa banyak tenaga pembantu, akan sukarlah menemukan anak yang hilang itu. Dia teringat kepada Thian-li-pang. Dia telah dianggap sebagai pemimpin besar Thian-li-pang dan anak buah Thian-li-pang adalah orang-orang berpengalaman dan memiliki hubungan luas dalam dunia kang-ouw. Mungkin para tokoh kang-ouw yang ditanyainya, merasa enggan untuk membuka rahasia rekan mereka sendiri yang melakukan penculikan, karena dia dianggap sebagai Pendekar Tangan Sakti, seorang pendekar yang menentang kejahatan. Kalau anak buah Thian-li-pang yang melakukan penyelidikan, mungkin akan lebih mudah. Orang-orang kang-ouw tentu akan bersikap lebih terbuka di antara golongan sendiri. Benar sekali, kenapa sejak dahulu dia tidak minta bantuan para anggauta Thian-li-pang, pikirnya menyesali diri sendiri. Paman Lauw Kang Hui tentu akan senang membantuku dan lebih besar harapannya untuk dapat menemukan orang yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga!

Demikianlah, pada pagi hari itu, Yo Han mendaki lereng Bukit Naga. Dia sama sekali tidak tahu bahwa Thian-li-pang telah terjadi perubahan yang amat besar. Tidak tahu bahwa Lauw Kang Hui dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang telah tewas, terbunuh oleh Ouw Seng Bu, yang kini menjadi ketua Thian-li-pang!

Memang Thian-li-pang telah berubah sama sekali semenjak dipegang pimpinannya oleh Ouw Seng Bu. Pemuda yang telah menemukan ilmu silat yang amat hebat ini membiarkan para anggauta Thian-li-pang berbuat apa saja dengan bebasnya. Bahkan dia menjalin hubungan lagi dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, seperti yang pernah dilakukan Thian-li-pang dahulu sebelum muncul Yo Han

yang membersihkan perkumpulan pejuang itu, dan Ouw Seng Bu bahkan mempunyai cita-cita untuk mempersatukan semua kelompok pejuang dengan dia yang menjadi pemimpin besar. Kalau semua kekuatan kelompok pejuang sudah dipersatukan, baik itu dari golongan pendekar maupun golongan sesat, dan dia yang menjadi pemimpin besar, tentu perjuangan mengusir penjajah Mancu akan

berhasil. Dan kalau sudah berhasil, dia yang menjadi pemimpin besar, tentu berhak untuk menjadi kaisar kerajaan baru! Besar sekali jangkauan cita-cita pemuda ini.

Setelah secara kebetulan bertemu dengan Cu Kim Giok di dekat Ban-kwi-kok, menolong gadis itu dari ancaman Siangkoan Kok, dan berhasil pula menundukkan bekas ketua Pao-beng-pai yang berjanji untuk membantunya, Ouw Seng Bu mengajak, Kim Giok berkunjung ke Bukti Naga. Cu Kim Giok sudah mendengar tentang perkumpulan Thian-lipang yang di dunia kang-ouw (sungai telaga, atau persilatan) dikenal sebagai sebuah perkumpulan para patriot yang berjuang untuk menggulingkan pemerintah penjajah. Itulah sebabnya, ia merasa kagum dan tertarik sekali kepada Ouw Seng Bu, pemuda tampan dan gagah yang mengaku sebagai ketua Thian-li-pang. Dan di sepanjang perjalanan menuju ke Bukit Naga, Kim Giok melihat betapa sikap Seng Bu memang amat baik. Pemuda itu pendiam, juga sopan, juga ramah terhadap dirinya. Cu Kim Giok adalah puteri tunggal suami isteri pendekar. Ayahnya, Cu Kun Tek, merupakan pendekar keturunan langsung dari keluarga Cu, majikan Lembah Naga Siluman. Ibunya tidak kalah lihai dibandingkan ayahnya, karena ibunya adalah murid mendiang Bu Beng Lokai. Tentu saja sebagai anak tunggal, Kim Giok telah mewarisi ilmu-ilmu, dari ayah ibunya, dan biarpun usiarya baru delapan belas tahun lebih, Kim Giok telah menjadi seorang pendekar wanita yang amat lihai. Akan tetapi, tentu saja ia kurang pengalaman karena kali ini merupakan yang pertama ia merantau seorang diri untuk meluaskan pengalamannya. Biarpun demikian, ia sudah membawa banyak bekal nasihat dan pesan kedua orang tuanya. Andaikata Seng Bu bersikap ceriwis terhadap dirinya, terdapat kegenitan dalam pandang mata atau kata-katanya saja, tentu ia akan menjauhkan diri. Akan tetapi, sikap Seng Bu sungguh baik. Dia nampak seperti seorang pemuda

pendiam yang sopan dan berwatak pendekar sejati! Inilah sebabnya mengapa Kim Giok mekasa tertarik sekali, kagum dan merasa suka.

Rasa kagumnya semakin bertambah ketika Kim Giok dan Seng Bu tiba di Bukit Naga, di pusat perkampungan Thian-li-pang. Para anggauta Thian-li-pang rata-rata kelihatan gagah perkasa dengan pakaian yang rapi dan bersih, baik prianya maupun wanitanya, dan mereka semua itu menyambut kedatangan Seng Bu dengan sikap yang amat menghormat!

Masih begitu muda, akan tetapi telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pejuang Yang terkenal gagah perkasa. Dan melihat perkampungan Thian-li-pang itu, Kim Giok menaksir bahwa anggauta perkumpulan itu tidak kurang dari seratus orang banyaknya.

Akan tetapi, hati gadis itu merasa penasaran ketika pada keesokan harinya ia melihat lima orang tamu yang datang menghadap ketua Thian-li-pang. Dua orang di antara tamu-tamu itu adalah dua orang tosu (pendeta) berambut panjang yang pada baju di dadanya terdapat lukisan teratal putih. Orang-orang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)! Dan tiga orang pendeta lainnya mengenakan gambar pat-kwa (segi delapan) pada dadanya. Ia pernah mendengar akan nama perkumpulan pemberontak yang namanya tidak bersih di dunia kang-ouw karena para anggautanya tidak pantang melakukan segala macam kejahatan!

Setelah lima orang tamu itu meninggalkan perkampungan Thian-li-pang barulah Kim Giok memberanikan diri menemui ketua Thian-li-pang untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya. Ia melihat pemuda itu sedang duduk di ruangan rapat yang luas, sedang memberi perintah kepada belasan orang pembantunya. Melihat ini, Kim Giok yang sudah tiba di ambang pintu, mundur kembali. Akan tetapi Seng Bu telah melihatnya dan ketua ini berseru dengan ramah.

"Nona Cu, masuk sajalah. Di antara kita orang sendiri tidak ada rahasia. Masuk dan silakan duduk." Setelah gadis itu memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari mereka yang sedang melakukan perundingan, Seng Bu melanjutkan, "Harap tunggu sebentar, Nona, pembicaraan kami sudah hampir selesai."

Kim Giok mengangguk dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka, akan tetapi Seng Bu tidak melirihkan suaranya ketika melanjutkan pengarahannya kepada para pembantunya. "Kalian sudah tahu akan tugas-tugas kalian? Terserah kalian membagi tugas, kalian harus ingat apa yang terpenting dalam tugas kalian. Yang pertama menghubungi semua kelompok pejuang, membujuk mereka agar suka bekerja sama dengan mengemukakan alasan seperti yang kujelaskan tadi. Kalau ada yang tidak bersedia bekerja

sama, selidiki keadaan mereka, siapa para pemimpinnya dan sampai di mana tingkat kepandaian mereka agar aku dapat mengambil tindakan. Dan ke dua, selidiki kelemahan-kelemahan yang ada pada keluarga kaisar, terutama orang-orang yang dekat hubungannya dengan kaisar. Sudah mengerti semua?"

Belasan orang itu menyatakan mengerti dan Seng Bu lalu mempersilakan mereka keluar. Sikap pemuda itu demikian tegas dan berwibawa sehingga Kim Giok yang ikut mendengarkan merasa kagum sekali. Setelah belasan orang pembantunya keluar, Seng Bu menghampiri Kim Giok dan duduk berhadapan dengan gadis itu. Sikapnya seperti biasa amat sopan dan ramah, menghormati gadis yang dianggap sebagai seorang tamu agung di Thian-li-pang.

"Nona Cu, selamat pagi. Maafkan, bahwa aku meninggalkanmu seorang diri karena kesibukanku menerima tamu malam tadi dan memberi tugas kepada para pembantuku. Apakah semalam Nona enak tidur, dan apakah pelayanan kepada Nona tidak ada yang

mengecewakan?"

"Terima kasih, Pangcu (Ketua). Pelayanan cukup memuaskan dan aku merasa terlalu disanjung di sini. Pangcu, aku sengaja datang mencarimu karena aku melihat sesuatu yang membuat hatiku merasa penasaran sekali dan aku mengharapkan jawabanmu yang sejujurnya."

Seng Bu menatap wajah gadis itu. Sejak pertama kali berjumpa, dia telah terpesona. Dia bukanlah seorang pria yang mudah terpikat kecantikan wanita. Akan tetapi, belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis muda seperti Kim Giok. Gadis ini manis sekali dan terutama yang membuat dia terpesona adalah sepasang matanya. Mata itu demikian indahnya. Selain ini, ilmu silat gadis itu pun cukup tinggi, dan sikapnya demikian pendiam dan gagah. Semua ini ditambah lagi kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri pendekar dari Lembah Naga Siluman! Kiranya sukar dicari keduanya gadis seperti ini. Selama ini, Seng Bu sibuk

menggembleng diri dengan ilmu yang ditemukan di dalam sumur maut, maka dia pun tidak sempat memikirkan hal lain. Apalagi, dia memang bukan tergolong pemuda yang suka bergaul dengan gadis-gadis cantik. Dan baru sekarang dia merasa kagum dan tertarik kepada seorang gadis.

"Nona Cu, aku tidak menyembunyikan sesuatu darimu. Kalau ada hal yang membuat engkau merasa penasaran, tanyakanlah dan aku akan menjawab sejujurnya." Kim Giok juga menatap tajam sehingga dua pasang mata bertaut, seperti saling menyelidik, kemudian Kim Giok berkata, "Pangcu, bukan aku sebagai tamu ingin mencampuri urusan tuan rumah. Akan tetapi, aku suka menjadi tamu Thian-li-pang karena aku merasa yakin bahwa perkumpulanmu ini adalah perkumpulan orang-orang gagah yang merupakan pejuang-pejuang sejati seperti yang pernah kudengar dibicarakan orang di dunia kang-ouw. Aku percaya itu, apalagi setelah aku mengenalmu. Akan tetapi apa yang kulihat hari ini membuat aku merasa penasaran bukan main. Aku melihat para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai menjadi tamu Thian-li-pang! Bagaimana ini? Aku sudah mendengar bahwa kedua perkumpulan itu adalah perkumpulan jahat yang banyak ditentang oleh para pendekar!"

Seng Bu tersenyum, dengan berani menentang pandang mata gadis itu tanpa merasa canggung. "Ah, kiranya itu yang membuatmu penasaran, Nona. Hal ini membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, Nona. Akan tetapi, apakah Nona tertarik oleh urusan perjuangan? Lika-liku perjuangan amat rumit, Nona. Dipandang sepintas lalu dari segi kependekaranmu, memang rasanya janggal kalau melihat kami berhubungan dengan orang-orang dari golongan yang ditentang para pendekar. Akan tetapi, dalam perjuangan,

kepentingan pribadi dan golongan terpaksa harus dikesampingkan. Yang terpenting adalah urusan perjuangan, urusan usaha untuk membebaskan bangsa dan negara dari cengkeraman penjajah Mancu."

"Maksudmu bagaimana, Pangcu?"

"Tentu engkau telah mengetahui hampir satu setengah abad negara kita dijajah bangsa Mancu, dan selama satu setengah abad itu semua usaha perjuangan rakyat untuk merebut kembali tanah air selalu gagal. Mengapa begitu? Karena tidak ada persatuan di antara para kelompok yang berjuang! Bahkan banyak kelompok perjuangan yang saling gempur sendiri, bersaing dan memperebutkan kebenaran demi kepentingan pribadi atau golongan. Itulah sebab utama kegagalan perjuangan selama ini, dan kami dari Thian-li-pang melihat kekeliruan itu, maka kini kami berusaha untuk mengubahnya.

"Caranya?"

"Mempersatukan semua golongan, tanpa membedakan mana golongan putih mana golongan hitam, mana golongan pendekar atau mana yang dinamakan kaum sesat. Pendeknya, siapa saja, dari golongan manapun, apa pun pekerjaannya, bagaimana bentuk sepak terjangnya, asalkan dia itu menentang pemerintah penjajah Mancu, dia adalah sekutu kita! Dengan cara ini, maka di seluruh negeri akan terdapat persatuan yang kokoh dan kalau sudah tercapai persatuan itu, maka menggulingkan pemerintah penjajah

bukan merupakan masalah yang sukar lagi."

"Jadi pendirian itukah yang membuat Pangcu tidak memandang bulu dalam memilih sahabat, dan suka menerima Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai sebagai sahabat pula?"

"Benar, Nona. Kalau misalnya Thian-li-pang, Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-pai, yang ketiganya merupakan perkumpulan pejuang, bersatu padu dan bersama-sama menentang penjajah, bukankah itu akan jauh lebih kuat daripada kalau kami berjuang sendiri-sendiri secara terpisah? Apalagi kalau seluruh kekuatan yang ada, baik dari golongan hitam maupun putih, dapat bersatu padu!"

"Tidak dapat disangkal kebenaran pendapat itu, Pangcu. Akan, tetapi kita kaum pendekar bagaimana mungkin bekerja sama dengan kaum sesat? Justeru tugas utama kita adalah untuk menentang segala perbuatan jahat dari kaum sesat, membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat tapi jahat!

Ketua yang masih muda itu tersenyum ramah. Dia bicara penuh semangat, akan tetapi tidak terbawa perasaan, masih tetap tenang dan tersenyum sehingga membuat gadis itu pun tidak terbawa dan terseret dalam perbantahan yang memperebutkan kebenaran sendiri.

"Sudah kukatakan tadi bahwa dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan kepentingan golongan harus disingkirkan lebih dahulu. Tanpa sikap seperti itu, bagaimana mungkin ada persatuan dan tanpa persatuan bagaimana mungkin ada kekuatan? Buktinya, semua usaha perjuangan yang lalu selama ini, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam, gagal semua. Karena terpecah-pecah! Kalau kita menuruti kepentingan pribadi dan golongan, misalnya kalau kita tidak mau bersatu dengan golongan sesat dan memusuhi mereka, maka kita akan terpecah belah dan akibatnya melemahkan diri sendiri. Dengan demikian, yang untung adalah pemerintah penjajah! Mengertikah engkau, Nona?"

Cu Kim Giok bukan seorang gadis yang bodoh. Ia termenung dan menelan ucapan ketua itu dalam hatinya, dan mulailah ia mengerti akan apa yang dimaksudkan Seng Bu.

"Aku mengerti, Pangcu. Akan tetapi karena sejak kecil orang tuaku menanamkan jiwa kependekaran dalam hatiku, rasanya amat berat bagiku menerima kenyataan dari kebenaran pendapatmu tadi. Kalau kita para pendekar tidak menentang golongan sesat, bukankah kehidupan rakyat akan menjadi semekin parah dan sengsara, tertindas kejahatan tanpa ada yang membela dan melindungi?"

"Tentu saja kita tidak kalau terjadi kejahatan di depan mata kita, Nona. Kita wajib melindungi menjadi korban kejahatan. Akan tetapi, urusan itu merupakan urusan yarg tidak diutamakan kepentingannya, lebih penting urusan perjuangan sehingga kalau pun kita menentang kejahatan, harus dicegah agar jangan sampai menimbulkan keretakan persatuan antara golongan. Ketahuilah, Nona, bahwa peristiwa kejahatan hanya merupakan akibat dari tidak sehatnya pemerintah. Seperti sebuah penyakit, kejahatan, ketidakamanan, ketidakmakmuran dan bahkan kesengsaraan rakyat hanya merupakan bintik-bintik kecil akibat penyakit itu. Memberantas dan mengobati bintik-bintiknya saja tidak akan banyak manfaatnya karena bintik-bintik itu akan muncul lagi setelah diobati selama penyakitnya masih ada. Kita harus lebih mementingkan pengobatan penyakitnya, sumber penyakit itu sendiri. Dalam hal ini, sumber penyakitnya terletak pada pemerintahan. Bangsa dan tanah air kita dicengkeram penjajah Mancu, tentu saja pemerintahnya tidak sehat dan memeras rakyat jelata. Kalau penjajahan itu dapat kita bongkar dan kita ganti dengan pemerintah bangsa sendiri, maka penyakit itu sembuh pada sumbernya dan tidak akan timbul bintik-bintik berbahaya. Segala bentuk kejahatan akan dapat kita tumpas. Penindasan yang dilakukan para penjahat itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan penindasan dan penghisapan yang dilakukan penjajah terhadap kita."

Kim Giok tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia kagum sekali dan kini ia dapat mengerti sepenuhnya, "Sekarang aku mengerti, Pangcu, dan aku tidak penasaran lagi melihat Thian-li-pang bersahabat dengan golongan sesat, kalau maksudnya untuk mempersatukan tenaga melawan penjajah."

Sejak percakapan itu, Kim Giok semakin kagum dan tartarik kepada ketua Thian-li-pang itu, dan sebaliknya Seng Bu juga telah jatuh hati kepada puteri Lembah Naga Siluman. Ketika Seng Bu minta agar gadis itu tinggal di Thian-li-pang sebagai tamu kehormatan selama beberapa hari, Kim Giok tidak menolak.

Demikianlah, ketika pada pagi hari itu Yo Han mendaki Bukit Naga, Cu Kim Giok telah tinggal selama lima hari di perkampungan Thian-li-pang. Hubungannya dengan Seng Bu semakin akrab namun ketua itu masih tetap bersikap sopan dan tidak pernah menyatakan perasaan hatinya. Kim Giok sudah mendengar banyak dari Seng Bu tentang Thian-li-pang, dan ia mendengar pula kisah yang aneh, peristiwa mengerikan yang terjadi beberapa bulan yang lalu, yaitu tentang pembunuhan terhadap ketua Thian-li-pang yang dilakukan oleh seorang yang tadinya dianggap sebagai pemimpin Thian-li-pang, yaitu Sin-ciang Tai-hiap Yo Han. Ia sudah mendengar nama itu, maka menyatakan keheranannya kepada Seng Bu mengapa Yo Han yang dianggap sebagai pemimpin besar malah membunuh ketua Thian-li-pang. Dengan cerdik Seng Bu menceritakan bahwa pembunuhan itu dilakukan Yo Han untuk membalas dendam atas kematian gurunya yang bernama Ciu Lam Hok. Demikian pandainya Seng Bu bercerita sehingga Kim Giok percaya dan gadis ini pun merasa tidak senang kepada pendekar yang di juluki Si Tangan Sakti itu.

Kita kembali kepada Yo Han yang sedang mendaki Bukit Naga dengan santai. Kembali ke tempat ini, di mana selama bertahun-tahun dia hidup dalam sumur maut bersama gurunya, mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, mendatangkan segala macam kenangan lama padanya. Bahkan kenangan itu berkembang sampai akhirnya dia terkenang kepada Tan Sian Li, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya sejak dia masih seorang pemuda remaja. Akan tetapi, percakapannya dengan Cia Sun, setidaknya menimbulkan lagi harapan baru dalam hatinya. Ketika dia meninggalkan Sian Li, di rumah orang tua gadis itu yang menjadi suhu dan subonya pertama kali, harapannya sudah hancur luluh. Dia mendengar betapa suhu dan subonya hendak menjodohkan Sian Li dengan seorang pangeran di kota raja! Tentu saja seorang pangeran jauh lebih pantas menjadi suami seorang gadis seperti Si Bangau Merah itu daripada dia! Dia yatim piatu miskin dan papa, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap! Akan tetapi, kebetulan dia bertemu dengan Pangeran Cia Sun, bersahabat bahkan pernah senasib sependeritaan yang mendorong mereka mengangkat saudara. Dan dari adik angkatnya yang pangeran ini dia mendengar bahwa adik angkatnya itulah pangeran yang hendak dijodohkan dengan Sian Li! Akan tetapi, di samping berita mengejutkan itu, terdapat kenyataan yang membuat dia tumbuh lagi semangatnya, timbul pula harapannya, yaitu bahwa Pangeran Cia Sun dan Tan Sian Li tidak saling mencinta. Pangeran itu bahkan mencinta gadis lain, yaitu puteri ketua Pao-beng-pai!

Dalam perjalanannya menuju ke Thian-li-pang, dia pun sudah mendengar akan pembasmian Pao-beng-pai yang dilakukan pasukan pemerintah. Dia mengira bahwa tentu adik angkatnya, Pangeran Cia Sun, yang melakukan penyerbuan itu, walaupun ada kesangsian di hatinya apakah sang pangeran mau melakukan hal itu mengingat akan cintanya terhadap Siangkoan Eng.

Tiba-tiba Yo Han menghentikan langkahnya dan dia mengerutkan alisnya. Dia mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan suara itu makin mendekat, tanda bahwa mereka yang bercakap-cakap itu sedang berjalan menuruni lereng. Yo Han menyelinap ke balik pohon besar. Sudah lama dia meninggalkan Thian-li-pang dan dia tidak tahu bagaimana keadaannya. Walaupun dia percaya sepenuhnya kepada Lauw Kang Hui yang diserahi pimpinan perkumpulan itu, namun sebaiknya kalau dia menyelidiki keadaannya karena bagaimanapun juga, kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak benar di Thian-li-pang, dialah yang bertanggung jawab. Gurunya berpesan agar dia menyelamatkan Thian-li-pang dari penyelewengan, maka biarpun dia tidak memimpin langsung, dia harus selalu mengawasi.

Mereka yang tertawa-tawa tadi sekarang telah datang dekat dan dari balik batang pohon, Yo Han mengintai. Alisnya terangkat dan kemudian berkerut tidak senang ketika dia melihat dua orang anggauta Thian-li-pang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan dua orang pendeta muda yang dari tanda gambar di dadanya diketahuinya sebagai dua orang anggauta Pat-kwa-pai! Dia merasa heran bukan main. Bagaimana mungkin anggauta Thian-li-pang bergaul demikian akrabnya dengan anggauta Pat-kwa-pai yang terkenal sebagai golongan sesat yang menggunakan kedok perjuangan, atau dapat juga dikatakan pemberontak-pemberontak yang tidak segan menggunakan kejahatan dan kekejaman dalam pemberontakan mereka?

Yo Han menahan diri, ingin tahu lebih banyak, maka dari jauh dia membayangi empat orang itu. Dia tidak mengenal para anggauta Thian-li-pang. Yang dikenalnya hanyalah Lauw Kang Hui dan pimpinannya, bahkan dia tidak tahu nama para pimpinan mudanya satu demi satu. Akan tetapi melihat sikap mereka, siapa lagi mereka itu kalau bukan anggauta Thian-li-pang? Dan mereka telah berada di wilayah Thian-li-pang, maka kehadiran dua orang anggauta Pat-kwa-pai sungguh mencurigakan sekali.

Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Yo Han untuk membayangi mereka, kadang malah demikian dekat sehingga dia dapat mendengarkan sebagian dari percakapan mereka. Setelah mendengar percakapan itu dia pun yakin bahwa dua orang itu adalah anggauta Thian-li-pang.

"Kenapa kalian khawatir?" terdengar seorang di antara dua anggauta Thian-li-pang itu berkata kepada dua orang tosu itu. "Kalau hanya kami berdua yang menghilang dari tempat penjagaan, tidak akan kentara. Pula siapa sih yang akan berani mendaki Bukit Naga dan mengganggu wilayah Thian-li-pang? Baru mendengar nama Thian-li-pang saja, nyali mereka sudah terbang melayang!" Mereka tertawa-tawa.

"Pula, berapa lamanya untuk sekedar bersenang-senang dengan kalian di dusun bawah sana? Andaikata para pimpinan mengetahui kalau kami pergi bersama kalian, tentu tidak akan dimarahi. Bukankah Thian-li-pang bersahabat baik dengan Pat-kwa-pai?" Kembali mereka tertawa-tawa dan tidak tahu betapa Yo Han mengepal tinju mendengarkan percakapan itu.

Akhirnya, empat orang itu tiba di dusun yang berada di kaki Bukit Naga. Di dusun itu terdapat sebuah kedai arak dan ke sanalah mereka masuk. Yo Han yang memakai caping lebar, duduk pula dengan memilih tempat jauh di sudut dan capingnya tidak dilepas sehingga mukanya tertutup. Ketika pelayan datang menghampiri, dia memesan arak dan semangkuk bubur.

Terdengar ribut-ribut di meja empat orang itu. Agaknya pemilik kedai arak menghampiri mereka dan menuntut agar mereka lebih dahulu mengeluarkan uang untuk membeli makanan dan minuman yang mereka pesan.

"Sudah terlalu sering teman-teman kalian makan minum di sini tanpa membayar! Aku tidak mau dirugikan, harap kalian suka membayar lebih dulu." kata pemilik kedai itu, seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang kurus agak bongkok.

Seorang anggauta Thian-li-pang yang tinggi bermuka kuning, bangkit dan bertolak pinggang. "Apa katamu? Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Kami berdua adalah anggauta Thian-ii-pang dan dua orang sahabat kami ini adalah anggauta Pat-kwa-pai. Kami adalah pejuang! Kami adalah pahlawan bangsa, pembela rakyat dan tanah air! Masa hanya mengeluarkan sedikit makanan dan minuman saja bagi kami engkau tidak rela? Kami berjuang dengan taruhan nyawa dan engkau tidak mau menjamu makan minum kepada kami?"

Seorang di antara dua orang tosu Pat-kwa-pai menggebrak meja dan dengan sikap bengis berkata, "Hayo cepat keluarkan hidangan untuk kami atau engkau ingin kedaimu ini kami hancurkan?"

"Kalian sungguh kejam!" Pemilik kedai itu membantah dan mempertahankan miliknya. "Kalau hanya dua tiga orang saja yang datang minta makan minum, kami rela, akan tetapi kalau setiap hari datang dan jumlah kalian sampai puluhan orang selalu minta makan dan minum dengan gratis, kami dapat bangkrut! Kami pun mempunyai keluarga yang harus hidup dari hasil usaha kami yang kecil ini."

"Jahanam, masih banyak cakap? Engkau memang perlu dihajar!" bentak seorang anggauta Thian-li-pang bermuka kuning tadi dan sekali kaki kanannya terayun menendang, pemilik kedai itu terpelanting keras.

"Penuhi permintaan kami tanpa banyak cakap lagi atau engkau akan kuhajar sampai mampus!" bentaknya.

"Ayah....!" Dari dalam berlari keluar seorang gadis berusia tujuh belas tahun dan ia segera menubruk ayahnya yang sudah bangkit duduk sambil menyeringai kesakitan. Melihat gadis itu, yang cukup manis, seorang di antara dua orang anggauta Pat-kwa-pai tersenyum menyeringai dan segera menangkap lengan gadis itu dan menariknya lalu memaksanya duduk di sebuah bangku dekat meja mereka. "Haha-ha, tukang warung. Cepat keluarkan hidangan itu atau kami akan membawa pergi gadismu. Nona, kautemani kami makan minum di dini dan cepat suruh pelayan mengeluarkan hidangan dan arak terbaik." katanya. Gadis itu tidak berani meronta, bahkan membujuk ayahnya yang sudah bangkit berdiri.

"Ayah, turuti saja permintaan mereka." Empat orang itu tertawa bergelak melihat pemilik kedai dengan terhuyung memasuki dapur untuk menyediakan hidangan bagi empat orang itu.

"Manis, engkau lebih bijaksana daripada ayahmu. Untung engkau muncul, kalau tidak tentu ayahmu telah menjadi mayat." kata si muka kuning sambil mencolek dagu gadis itu.

Gadis itu membuang muka dan berkata, "Kami telah memenuhi permintaan kalian, menyuguhkan hidangan, harap jangan ganggu aku lagi." Gadis itu bangkit berdiri.

"Duduk saja, engkau tidak boleh pergi." kata seorang tosu Pat-kwa-pai.

"Aku akan membantu ayah mempersiapkan hidangan untuk kalian." bantah gadis itu.

"Dan menaruh racun dalam hidangannya, ya? Ha-ha-ha, kami tidak sebodoh itu, Manis. Kami berempat makan minum dan engkau harus menemani kami, ikut pula makan minum sehingga kalau hidangan itu beracun, engkau yang akan lebih dulu keracunan!"

Si muka kuning menekan pundak gadis itu sehingga ia terduduk kembali.

Tiba-tiba terdengar suara lembut namun nadanya mengejek. "Ini rumah makan macam apa, membiarkan empat ekor buaya darat mengotorinya! Sungguh mendatangkan bau busuk sekali, empat orang maling kecil mengaku pejuang seperti empat ekor tikus mengaku harimau!"

Jelas sekali makna ucapan itu dan empat orang tadi tentu saja mengerti bahwa merekalah yang dimaki tikus dan maling! Hampir mereka tidak percaya ada orang berani memaki mereka seperti itu. Mengatakan mereka maling kecil dan tikus. Tentu saja mereka terbelalak dan muka mereka berubah kemerahan ketika mereka menoleh dan memandang ke arah meja di sudut kanan, di mana duduk

seorang laki-laki yang mengenakan sebuah caping lebar sehingga muka dan kepala orang itu tertutup sama sekali. Akan tetapi tidak dapat diragukan lagi. Orang bercaping itulah yang mengeluarkan ucapan menghina tadi karena ucapannya datang dari arah itu dan di sudut itu tidak ada orang lain kecuali dia. Serentak empat orang itu meninggalkan gadis puteri pemilik kedai dan dengan langkah lebar mereka menghampiri meja di mana Yo Han duduk.

Yo Han bersikap tenang saja, bahkan kini menuangkan arak ke dalam cawannya yang telah kosong. "Heiii, kaukah yang tadi mengeluarkan ucapan menghina kami!" bentak seorang di antara mereka.

Yo Han mengangkat cawan araknya dan membawanya ke mulut. "Heiii, apakah engkau tuli? Kalau benar engkau yang tadi bicara, coba ulangi ucapanmu kalau engkau berani!" kata si muka kuning yang ingin mendapat kepastian bahwa orang bercaping ini yang tadi bicara. Apalagi melihat orang bercaping itu ternyata masih muda, maka dia agak merasa ragu apakah benar pemuda itu berani mengeluarkan ucapan seperti itu.

"Kalian berempat memang maling kecil dan tikus-tikus busuk. Pergilah!" kata Yo Han, menahan kemarahannya mengingat bahwa dua di antara mereka adalah termasuk anak buahnya sendiri, anggauta Thian-li-pang!

"Jahanam!"

"Keparat!"

Empat orang itu marah sekali dan menggerakkan tangan memukul dari depan belakang dan kanan kiri. Yo Han menggerakkan tangan yang memegang cawan arak ke sekelilingnya dan empat orang itu berteriak dan terhuyung mundur karena muka mereka disiram arak. Biapun hanya arak, dan tidak banyak pula karena isi cawan itu dibagi empat, namun ketika mengenai muka, terutama mata,

membuat mereka sejenak tidak mampu membuka mata dan kulit muka terasa perih.

Setelah menggosok-gosok mata dan dapat melihat lagi, empat orang itu mencabut golok mereka dan serentak menyerang sambil memaki dengan kamarahan memuncak. Orang-orang yang sedang makan minum di situ menjadi ketakutan dan berhamburan lari keluar, juga pemilik kedai dan puterinya, beserta para pelayan, sudah bersembunyi di balik meja dengan tubuh gemetar ketakutan.

Yo Han masih tetap duduk, akan tetapi kedua tangan mengambil sepasang sumpit dan juga dua buah mangkok yang kosong. Begitu empat orang dengan golok mereka menyerbu dekat, kembali kedua tangan Yo Han bergerak. Dua sumpit menembus pundak kanan dua orang tosu sehingga golok mereka terlepas dan mereka mengaduh-aduh, sedangkan dua buah mangkok menghantam muka dua orang anggauta Thian-li-pang dengan keres. Dua orang Thian-li-pang itu terjengkang roboh dengan muka berdarah karena mangkok yang menghantam muka mereka tadi pecah-pecah dan melukai mereka. Tidak sampai membunuh mereka, akan tetapi mereka terjengkang roboh dengan muka berlumuran darah dan pingsan! Dua orang tosu terbelalak dan tidak berani melawan lagi, bahkan melarikan diri keluar dari rumah makan itu ketika Yo Han dengan sikap sembarangan saja mencengkeram baju di punggung kedua orang anggauta Thian-li-pang itu dan melempar tubuh mereka yang pingsan ke sudut ruangan itu di mana mereka rebah bertumpuk. Kemudian, dia melanjutkan makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Pemilik rumah makan tadi bersama puterinya segera menghampiri Yo Han dan membungkuk-bungkuk. "Terima kasih atas pertolongan Tai-hiap, akan tetapi.... ah, bagaimana dengan nasib kami? Tentu mereka akan datang dan akan menghancurkan rumah kami, bahkan mungkin kami akan mereka bunuh...."

"Benar apa yang dikatakan Ayah, Tai-hiap," kata gadis itu sambil menangis. "Harap Tai-hiap suka melepaskan dua orang itu, karena sudah pasti kami yang menderita karena pembalasan mereka."

"Paman dan Nona, jangan khawatir. Aku akan menanti di sini sampai mereka semua datang. Aku yang akan menanggung bahwa kalian tidak akan diganggu lagi oleh mereka. Tenang sajalah. Nanti akan kuganti semua kerugian karena kerusakan yang diakibatkan karena keributan ini. Sekarang, tolong tambahkan arak seguci untukku. Aku akan menanti mereka datang semua."

Biarpun khawatir sekali ayah anak itu tidak berani membantah lagi. Mereka tadi sudah melihat betapa mudahnya pemuda bercaping ini mengalahkan empat orang pengacau, akan tetapi mereka tahu belaka betapa kuatnya Thian-li-pang dan kalau mereka semua itu datang, apakah pemuda itu akan mampu menghadapi mereka seorang diri saja?

Dua orang tosu Pat-kwa-pai yang sedang bermain-main ke Thian-li-pang tadi, tentu saja tidak mau tinggal diam. Mereka terluka dan masing-masing menderita kesakitan dengan sebatang sumpit masih menancap dan menembusi pundak mematahkan tulang pundak, dan dua orang teman mereka ditawan. Mereka cepat mendaki lereng Bukit Naga yang menjadi sarang Thian-li-pang dan sambil meringis kesakitan mereka melapor kepada para anggauta Thian-li-pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang perkampungan perkumpulan itu. Tentu saja para anggauta Thian-li-pang menjadi gempar dan marah mendengar bahwa dua orang kawan mereka dirobohkan seorang asing di dusun yang berada di kaki bukit. Mereka segera melapor kepada kepala jaga. Mereka menganggap urusan itu terlalu kecil untuk dilaporkan kepada ketua, bahkan mereka tidak ingin ketua mendengar bahwa mereka tidak mampu

membereskan urusan kecil itu.

"Di mana jahanam itu sekarang? tanya seorang murid yang tingkatnya lebih tinggi.

"Di dalam kedai arak dusun itu," kata dua orang tosu itu.

Murid yang termasuk tingkat atas dari Thian-li-pang itu mengumpulkan empat orang saudara lain. "Kalian tetap berjaga saja di sini, kami berlima yang akan menghajarnya." katanya dan lima orang yang memiliki tingkat tiga di Thian-li-pang itu segera turun dari lereng bukit sambil berlari cepat.

Sebentar saja, lima orang murid Thian-li-pang yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini telah tiba di depan kedai arak itu. Mereka melihat betapa kedai arak itu sepi sekali, dan ada beberapa orang yang mengintai dari jauh dengan sikap ketakutan. Dengan sikap gagah lima orang itu memasuki kedai dan ternyata di dalam ruangan kedai yang biasanya penuh tamu itu, sekarang kosong. Hanya ada seorang tamu sedang minum-minum seorang diri di sudut dan mereka melihat orang itu mengenakan caping lebar sehingga tidak nampak mukanya. Dan mereka melihat pula dua orang adik seperguruan mereka duduk bersandar dinding di lantai sudut itu dengan muka berlumuran darah! Ketika dua orang itu melihat lima orang kakak seperguruan mereka muncul di pintu rumah makan, mereka segera bangkit.

"Suheng, tolonglah kami...." kata mereka dan mereka hendak menghampiri kawan-kawan mereka, akan tetap begitu tangan Yo Han bergerak, dua butir kacang menyambar dan mengenai dada kedua orang itu, membuat mereka mengeluh dan roboh kembali!

Melihat itu, lima orang yang baru datang tentu saja menjadi marah sekali. "Jahanam busuk!" bentak seorang di antara mereka dan lima orang itu serentak menyerang Yo Han dari sekelilingnya. Yo Han masih tetap duduk di atas bangkunya, kedua tangannya bergerak, juga kedua kakinya menyambar dan empat orang pengeroyok roboh terpelanting! Orang kelima yang melihat ini, terbelalak kaget dan dengan jerih dia melangkah mundur. Empat orang yang roboh itu mencoba untuk mencabut pedang dan menyerang lagi, akan tetapi sebelum mereka dapat melakukan serangan, kembali kaki tangan Yo Han bergerak tanpa dia turun dari bangkunya dan empat orang itu roboh kembali, pedang mereka terlepas berkerontangan dan mereka tidak mampu bangkit.

Melihat ini orang ke lima segera meloncat keluar dan melarikan diri ketakutan. Dia tidak tahu bahwa memang Yo Han sengaja melepasnya, dengan maksud agar dia melapor kepada pimpinan Thian-li-pang. Dengan tenang dia lalu turun dari bangkunya, dan bagaikan mencengkeram punggung baju mereka dan melemparkan mereka satu demi satu ke sudut sehingga kini di situ berserakan dan bertumpuk enam orang anggauta Thian-li-pang. Ketika melakukan. ini, enam orang itu dapat sekilas melihat tampangnya dan dua di antara mereka terbelalak.

"Sin.... ciang.... Tai-hiap...." Mereka berbisik dan jatuh pingsan saking kaget dan takutnya. Tentu saja mereka ketakutan sekali karena mereka telah melawan pemimpin besar Thian-li-pang! Apalagi mereka juga menyadari bahwa mereka telah melakukan penyelewengan besar dari garis-garis yang ditentukan pemimpin besar ini, menyadari bahwa Thian-li-pang telah berubah semenjak ketua Lauw Kang Hui tewas dan pimpinan dipegang oleh Ouw Seng Bu.

Yo Han tidak peduli dan melanjutkan minum seorang diri. Dia harus meluruskan kembali Thian-li-pang seperti pesan mendiang suhunya, yaitu kakek Ciu Lam Hok. Dia sengaja merobohkan para anggauta Thian-li-pang dan menumpuk mereka di sudut ruangan rumah makan itu untuk memancing datangnya para pimpinan Thian-li-pang ke situ, terutama sekali Lauw Kang Hui.

Dia tidak langsung datang ke Thian-li-pang karena maklum betapa besar bahayanya kalau dia melakukan itu. Kalau benar para pemimpin Thian-li-pang sudah menyeleweng dan dia dimusuhi, maka mendatangi pusat Thian-li-pang sama dengan menghadapi buaya besar karena Thian-li-pang memiliki anggauta yang rata-rata kuat, juga para pemimpinya lihai di samping tempat itu berbahaya dan penuh rahasia. Dia harus dapat memancing para pemimpinya keluar ke rumah makan ini, agar lebih leluasa dia turun tangan menghajar mereka dan memaksa mereka ke jalan benar seperti dikehendaki mendiang Ciu Lam Hok gurunya.

Sementara itu, anggauta Thian-li-pang yang ketakutan dan lari pulang, membuat para anggauta lainnya menjadi gempar. Mereka tidak berani menganggap persoalan itu kecil lagi, apalagi ketika rekan mereka menceritakan betapa empat kawannya roboh dengan mudah sekali oleh si caping lebar yang aneh. Mereka lalu berangkat untuk melaporkan peristiwa itu kepada ketua mereka.

Ketika itu, ketua Thian-li-pang yang baru, Ouw Seng Bu, sedang menjamu dua orang tamu yang dihormatinya, yaitu Cu Kim Giok dan Siangkoan Kok. Seperti telah diceritakan dibagian depan, Cu Kim Giok tertarik kepada Ouw Seng Bu dan menganggap pemuda itu seorang ketua perkumpulan besar Thian-li-pang yang tampan, gagah perkasa dan berjiwa patriot, membuat ia merasa tunduk dan kagum bukan main. Adapun Siangkoan Kok, bekas ketua Pao-beng-pai, juga dapat ditundukan Ouw Seng Bu dengan ilmunya yang luar biasa sehingga kini Siankoan Kok yang sudah hancur perkumpulannya itu mau menggabungkan diri untuk menentang pemerintah dan mencari kedudukan yang tinggi. Demikian besar rasa kagum Cu Kim Giok kepada Ouw Seng Bu sehingga ia tidak berkeberatan untuk makan bersama dua orang tosu wakil Pek-lian-kauw dan dua orang tosu wakil Pat-kwa-pai yang datang sebagai tamu Thian-li-pang. Padahal, sejak kecil ia sudah mendengar dari ayah ibunya bahwa pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang banyak melakukan kejahatan, walaupun perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah Mancu. Alasan yang dikemukakan Ouw Seng Bu bahwa untuk menentang penjajah, semau kekuatan harus bersatu, tanpa membeda-bedakan antar golongan

putih atau hitam, dapat ia terima bahkan membenarkannya.

Demikianlah, pada saat itu, Ouw Seng Bu, makan minum semeja dengan Siangkoan Kok, Co Kim Giok, dan empat orang tosu, yaitu dua tokoh Pat-kwa-pai dan dua orang tokoh Pek-lian-kauw. Wakil Pat-kwa-pai yang bertubuh tinggi kurus bernama Im-yang-ji, murid kepala dari ketua Pat-kwa-pai yang lihai, bersama adik seperguruannya. Adapun wakil Pek-lian-kauw adalah kui Thian-cu yang sudah kita kenal ketika dia mewakili Pek-lian-kauw hadir dalam pesta yang diadakan Siangkoan Kok ketika masih menjadi ketua Pao-beng-pai, bersama seorang adik seperguruannya pula. Ouw Seng Bu yang merasa bergembira sekali telah mendapatkan dua sekutu yang boleh dibanggakan, Siangkoan Kok yang selain amat lihai juga dapat diharapkan menghimpun banyak orang menjadi anak buah mereka, dan Cu Kim Giok. Gadis puteri majikan Lembah Naga Siluman ini tentu saja merupakan seorang sekutu yang amat besar artinya, karena tentu akan dapat menjadi jembatan agar para tokoh kang-ouw lainnya suka bergabung dengan Thian-li-pang. Selain itu, sejak pertemuan yang pertama kalinya, hati Ouw Seng Bu sudah terjerat dan dia tahu bahwa dia jatuh cinta kepada gadis yang bermata indah, dan amat manis itu.

"Mari kita minum untuk persatuan antara kita yang kokoh kuat untuk menumbangkan penjajah dan mengusir mereka dari tanah air tercinta!" kata Ouw Seng Bu penuh semangat. Enam orang lain yang duduk semeja itu menyambut dengan penuh semangat pula, bahkan Cu Kim Giok merasa bangga karena ia merasa yakin bahwa ayah ibunya tentu akan merasa bangga pula melihat puteri mereka kini bersekutu dengan para pejuang yang hendak menumbangkan pemerintah penjajah Mancu!

Baru saja mereka mengosongkan cawan, seorang anggauta Thian-li-pang tergopoh-gopoh memasuki ruangan itu. Dia adalah kepala jaga, dan biarpun dalam hal tingkatan, orang ini masih adik seperguruan Ouw Seng Bu, yaitu murid mendiang Lauw Kang Hui, akan tetapi karena kini Ouw Seng Bu telah menjadi ketua dan orang itu bukan lain hanya seorang anak buah, ketua Thian-li-pang yang masih muda itu mengerutkan alisnya dan merasa terganggu.

"Hemmm, ada urusan apa sampai engkau datang mengganggu kami?" bentaknya dengan sikap berwibawa.

"Harap maafkan kelancangan saya, Pangcu. Akan tetapi saya hendak melapor bahwa ada seseorang yang telah merobohkan dan menawan enam orang anggauta kita di kedai arak dusun bawah sana."

Kerut di antara mata Seng Bu semakin mendalam dan matanya mencorong marah. "Hemmm, muncul seorang pengacau saja kalian tidak mampu membereskannya sendiri dan masih melapor kepada kami?"

"Maaf, Pangcu. Mula-mula, dua orang anggauta kita bersama seorang teman anggauta Pat-kwa-pai dan seorang anggauta Pek-lian-kauw minum di kedai itu, bertemu dengan si pengacau yang merobohkan dua orang anggauta kita, akan tetapi hanya melukai dua orang tosu sahabat dan membiarkan mereka pergi. Dua orang anggauta Thian-li-pang itu ditawannya di kedai. Kemudian, lima orang saudara tua kami turun lereng untuk memberi hajaran. Akan tetapi, empat orang di antara mereka roboh dan ditawan, seorang dapat melarikan diri melapor dan menurut laporannya, empat orang saudara tua itu dalam segebrakan saja roboh oleh pengacau yang bercaping lebar itu."

"Hemmm....!" Ouw Seng Bu diam-diam terkejut. Yang disebut saudara tua adalah para anggauta yang tingkatnya sejajar dengannya, yaitu murid atau murid keponakan mendiang Lauw Kang Hui. Kalau empat orang di antara mereka roboh dengan mudah oleh pengacau itu, dapat dibayangkan betapa lihainya orang itu.

"Ah, siapa berani melukai anggauta Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?" seru Im Yang-ji, tokoh Pat-kwa-pai dengan marah. Dia sudah mulai mabuk maka mudah sekali panas hati mendengar bahwa seorang anak buahnya dilukai orang. "Toyu, kita harus menghajar orang itu!" katanya kepada dua orang tosu Pek-lian-kauw.

Kui Thian-cu mengangguk dan bangkit berdiri, memberi hormat kepada Seng Bu sambil berkata, "Pangcu, biarlah kami berempat yang menghajar orang itu dan menyeretnya ke sini agar Pangcu dapat menghukumnya. Pangcu tidak perlu marah-marah dan terganggu makan, minum. Sebaiknya, Pangcu, Nona dan Siangkoan Lo-cian-pwe melanjutkan makan minum. Kami berempat akan segera

kembali menyeret si pengacau itu."

Ouw Seng Bu mengangguk dan bangkit berdiri membalas penghormatan empat orang tosu itu. "Kalau Cu-wi hendak menghajar si pengacau yang telah melukai anggauta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, silakan dan harap jangan membunuhnya karena saya ingin melihatnya dan menanyainya mengapa dia berani memusuhi kita."

Empat orang tosu itu mengangguk dan ke luar dari ruangan itu dengan langkah lebar. Setelah mereka pergi, Ouw Seng Bu menoleh kepada Cu Kim Giok sambil tersenyum. "Aih, ada-ada saja. Sayang sekali masih terdapat orang-orang yang tidak menghargai perjuangan kita sehingga mereka itu bukan membantu kita, bahkan memusuhi kita dan rela menjadi antek penjajah Mancu.

Siapa tidak akan merasa menyesal kalau orang-orang pandai yang termasuk golongan pendekar, seperti Sin-ciang Tai-hiap Yo Han itu, membiarkan dirinya menjadi anjing penjilat dan antek penjajah Mancu"

"Sangat menyakitkan hati memang!" kata Siangkoan Kok sambil menuangkan arak dari cawan ke dalam mulutnya.

"Bahkan para pendekar dari keluarga pendekar terbesar di dunia persilatan, rela mengekor kepada penjajah Mancu. Harap maafkan aku, nona Cu. Selama ini, aku belum pernah mendengar keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman menjadi antek Mancu walaupun hubungan keluargamu dekat sekali dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Dua keluarga pendekar itu sejak dahulu

membantu penjajah Mancu, sungguh mengecewakan sekali. Apakah mereka tidak tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa liar yang menjajah tanah air dan bangsa? Kita berjuang untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah, dan mereka tidak membantu kita malah memusuhi kita!"

Wajah Kim Giok berubah agak kemerahan. Selain pengaruh arak, juga hatinya tersentuh. Ia telah jatuh cinta kepada Ouw Seng Bu dan merasa yakin akan kebenaran pemuda itu, akan kemurnian perjuangan melawan penjajah, dan ia pun tahu bahwa di antara keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, memang terdapat hubungan yang akrab dengan kerajaan Mancu, bahkan ada pertalian hubungan

darah. Biarpun ayah ibunya tidak pernah memusuhi kerajaan Mancu secara berterang, akan tetapi juga mereka tidak pernah menjadi pembantu langsung atau pejabat. Akan tetapi, harus diakui bahwa keluarga orang tuanya dekat dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Kini pandangannya kepada Siangkoan Kok juga berubah. Kakek ini adalah seorang pejuang sejati, pikirnya, seperti juga Seng Bu, walaupun kakek ini berwatak keras dan aneh, tidak seperti Seng Bu yang halus dan tampan.

"Biarpun, keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir tidak memusuhi kita secara terang-terangan, namun mereka tidak mau bersatu dengan kita untuk menghancurkan penjajah. Kita harap saja nona Cu akan dapat membujuk mereka dan membuka mata mereka betapa pentingnya perjuangan menentang penjajah. Yang kukhawatirkan hanyalah satu orang saja yaitu Sin-ciang Tai-hiap...."

"Hemmm, orang itu memang berbahaya dan dia pun telah menjadi antek penjajah. Bahkan dia bergaul akrab sekali dengan seorang pangeran Mancu, yaitu Pangeran Cia Sun." kata Siangkoan Kok yang lalu menceritakan dengan singkat betapa Yo Han dan Pangeran Cia Sun pernah menyelundup ke dalam perkumpulannya, Pao-beng-pai sehingga mengakibatkan perkumpulannya itu dihancurkan pasukan pemerintah. "Jelas bahwa pasukan itu dibawa datang oleh Yo Han dan Cia Sun yang bekerja sebagai mata-mata," katanya.

"Yo Han memang harus dibasmi. Dia pun merupakan ancaman bagi Thian-li-pang, karena dia pernah diangkat oleh mendiang suhu Lauw Kang Hui sebagai pemimpin Thian-li-pang. Dia dapat sewaktu-waktu muncul di sini dan menggunakan hak kekuasaannya untuk mengubah Thian-li-pang, dari perkumpulan pejuang menjadi perkumpulan pengekor kerajaan Mancu." kata Seng Bu penasaran.

"Biarpun dia datang. Kita sambut dia dengan pedang aku akan membantumu menundukkannya, Pangcu." kata Siangkoan Kok yang masih merasa sakit hati kalau teringat kepada Yo Han dan Cia Sun yang dianggap menjadi penyebab kehancuran Pao-beng-pai.

"Akan tetapi, dia lihai bukan main, paman Siangkoan," kata Seng Bu, "Sebaiknya kalau kita menggunakan siasat untuk menundukkannya, dan kuharap Paman dan juga nona Cu suka membantuku untuk menundukkannya kalau dia berani datang di sini."

"Tentu saja aku akan membantumu, Pangcu," kata Kim Giok tanpa ragu lagi, Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang yang jahat, pikirnya, telah mengkhianati Thian-li-pang, membunuh ketua Thian-li-pang, bahkan bergaul dengan Pangeran Cia Sun dari kerajaan Mancu. Yo Han telah membunuh banyak tokoh Thian-li-pang dan orang sejahat itu memang harus ditentang.

"Kalau perlu, kita minta bantuan tenaga ketua Pek-lian-kauw dan ketua Pat-kwa-pai," kata Siangkoan Kok yang diam-diam juga merasa jerih terhadap Sin-ciang Tai-hiap.

"Memang aku sudah mempunyai rencana, dan sudah mengirim surat kepada mereka," kata Seng Bu. Mereka melanjutkan makan minum dan merasa yakin bahwa dua orang tosu Pek-lian-kauw dan dua orang tosu Pat kwa-pai tadi akan mampu membereskan kerusuhan dan

menyeret pengacaunya ke markas Thian-li-pang.

******

Empat orang tosu itu memasuki rumah makan dengan hati-hati, dan di belakang mereka nampak dua belas orang anggauta Thian-li-pang tingkat tertinggi, siap dengan pedang di tangan. Ketika mereka memasuki pintu depan rumah makan, Kui Thian-cu tokoh Pek-lian-kauw yang memimpin rombongan. itu, memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk berhenti. Tadi dia sudah merundingkan dengan Im-yang-ji dan dua orang tosu lain untuk mempermainkan pengacau yang berada di rumah makan itu dengan mempergunakan kekuatan sihir. Kini, mereka berempat mengerahkan kekuatan sihir, mempersatukan kekuatan mereka, mulut mereka berkemak-kemik membaca mantram, mata mereka memandang ke arah caping yang menutupi kepala dan muka Yo Han, kemudian mereka menudingkan telunjuk kanan ke arah caping itu. Kui Thian-cu yang menjadi juru bicara mereka berempat, segera berkata dengan suara bergema dan mengandung kekuatan sihir.

"Caping yang berada di atas kepala pengacau, terbanglah ke sini!"

Para anggauta Thian-li-pang yang bergerombol di luar pintu rumah makan itu terbelalak heran dan kagum melihat betapa caping yang menutupi kepala orang yang duduk membelakangi mereka di sudut itu tiba-tiba saja terbang melayang ke atas meninggalkan kepala itu, dan empat orang tosu itu sudah siap untuk mentertawakan Yo Han. Akan tetapi wajah mereka yang tadinya menyeringai itu berubah seketika ketika caping yang melayang ke atas itu kini menyambar ke arah mereka seperti peluru yang

berputar-putar mengeluarkan suara berdesing! Tentu saja mereka terkejut bukan main dan mereka cepat mengelak. Caping itu seperti berubah menjadi seekor burung elang yang menyambar-nyambar kepala mereka sehingga mereka sibuk berloncatan ke sana-sini. Akhirnya, setelah gagal memperoleh korban caping itu melayang kembali ke arah kepala pemiliknya dan hinggap di atas kepala seperti burung terbang kembali ke sarangnya! Kini empat orang tosu itu saling pandang, maklum bahwa pemilik caping itu telah mempermainkan mereka dan bahwa kekuatan sihir mereka tadi sama sekali tidak berhasil!

Kui Thian-cu yang melihat betapa ruangan itu terlalu sempit dan banyak terhalang meja dan bangku sehingga kawan-kawannya tidak akan leluasa untuk mengeroyok lawan yang agaknya amat lihai ini, segera membentak, "orang bercaping sombong! Engkau berani melukai para anggauta Thian-li-pang, Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw. Kalau engkau memang berkepandaian, dan bukan seorang pengecut, keluarlah dan mari kita mengadu kepandaian di luar yang luas! Kalau engkau tidak mau keluar, kami akan membakar rumah ini!" Setelah berkata demikian, Kui Thian-cu memberi isyarat dan bersama teman-temannya, dia pun melangkah keluar dan menanti di luar rumah makan.

Mendengar ucapan yang bernada mengancam itu, pemilik kedai dan puterinya menjadi ketakutan, nekat keluar dari persembunyian mereka dan menjatuhkan diri berlutut di depan Yo Han.

"Tai-hiap.... tolonglah.... harap Tai-hiap keluar dari sini dan berkelahi diluar saja....jangan sampai rumah kami dibakar....!"

Juga enam orang anggauta Thian-li-pang yang masih meringkuk di sudut ruangan itu dan tidak berani bergerak, menjadi pucat ketakutan. Mereka sejak tadi takut pergi dari situ, takut kalau dirobohkan lagi oleh si caping lebar yang amat lihai. Akan tetapi sekarang ada ancaman dari tosu tadi, kalau mereka diam saja di situ, tentu mereka akan ikut terbakar!

Yo Han tentu saja tidak ingin merugikan si pemilik rumah makan, tanpa menjawab dia pun menyambar buntalan pakaiannya, menggendong buntalan pakaiannya, mengeluarkan sepotong emas dan melemparkannya ke atas meja.

"Ini untuk pengganti semua kerugianmu, Paman," katanya sambil melangkah keluar perlahan-lahan. Tentu saja ayah dan anak itu terkejut dan gembira bukan main. Pemberian itu puluhan kali lebih banyak daripada kerugian yang mereka derita.

Sementara itu, ketika si caping lebar melangkah lambat-lambat keluar dari rumah makan, empat orang tosu dan selosin anggauta Thian-li-pang memandang dengan hati tegang. Yo Han melangkah dengan muka ditundukkan sehingga mereka belum dapat melihat wajahnya. Setelah tiba di depan empat orang tosu itu, Yo Han berhenti melangkah.

"Heiii, orang asing!" bentak Kui Thian-cu marah. "Siapakah engkau dan apa pula sebabnya engkau melukai para anggauta Thian-li-pang, Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?"

Tanpa mengangkat mukanya yang menunduk dan tertutup caping, Yo Han menjawab, suaranya terdengar dingin, "Sejak dahulu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw adalah penjahat-penjahat yang berkedok perjuangan, tidak aneh kalau hari ini mereka melakukan kejahatan. Akan tetapi, Thian-li-pang adalah pejuang-pejuang sejati, sekarang anak buahnya menyeleweng, patut disesalkan dan

dibuat penasaran!"

"Keparat, enak saja engkau membuka mulut! Perlihatkan mukamu, atau engkau begitu pengecut untuk memperkenalkan diri?"

"Kui Thian-cu, aku bukan orang asing bagimu," kata Yo Han dan kini dia mengangkat mukanya sehingga sekilas nampak wajahnya, akan tetapi dia sudah menunduk kembali. Mereka yang sudah mengenalnya, terkejut, termasuk Kui Thian-cu.

"Ah, kiranya Sin-ciang Tai-hiap? Sejak kapan engkau memusuhi Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?"

"Kui Thian-cu, aku tidak memusuhi siapapun, akan tetapi akan menghajar siapa saja yang berbuat jahat. Anak buah Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai melakukan kejahatan bersama anak buah Thian-li-pang yang menyeleweng, maka kuhajar mereka. Pergilah dan jangan mencampuri urusanku dengan Thian-li-pang, ini merupakan urusan dalam Thian-li-pang sendiri."

Akan tetapi Kui Thian-cu sudah marah sekali, apalagi memang dia tahu bahwa ketua Thian-li-pang, sekutunya, harus membunuh orang ini yang merupakan ancaman bagi perkumpulan itu, "Serang dan bunuh dia!" bentaknya dan dia pun sudah menggerakkan pedangnya, diikuti Im Yang-ji dan dua tosu lain yang sudah mencabut pedang. Yo Han dikeroyok empat orang tosu!

Yo Han bergerak cepat, tubuhnya berkelebatan dan menyelinap di antara gulungan sinar empat batang pedang itu. Sementara itu, selosin anak buah Thian-li-pang tadi terkejut bukan main ketika melihat wajah Yo Han. Akan tetapi, mereka semua telah menjadi anak buah Ouw Seng Bu dan mereka sudah ikut melakukan penyelewengan, maka tentu saja mereka pun tidak menghendaki Yo Han yang berkuasa di Thian-li-pang karena hal itu akan berarti hilangnya semua kesenangan yang selama ini mereka peroleh semenjak Seng Bu menjadi ketua. Maka, mereka pun serentak ikut mengeroyok!

Seorang di antara mereka diam-diam sudah lari naik ke lereng bukit untuk melapor kepada ketuanya. Ketika dia tiba di pusat, Thian-li-pang, Ouw Seng Bu yang menjamu Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok, baru saja selesai makan minum.

"Celaka, Pangcu. Sin-ciang Tai-hiap Yo Han telah muncul. Dialah orang yang mengacau tadi!" anggauta itu melapor dengan suara gemetar.

Mendengar ini, Ouw Seng Bu meloncat bangkit dan dia nampak gugup. Akan tetapi, melihat Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok di situ, dia menenangkan diri. "Di mana dia sekarang?"

"Dia berada di luar rumah makan, dikeroyok oleh keempat orang tosu dan sebelas orang anggauta kita, Pangcu. Saya lari pulang untuk melapor kepada Pangcu."

Ouw Seng Bu yang amat cerdik itu bertindak cepat sekali. "Paman Siangkoan Kok, harap Paman tidak memperlihatkan diri kepada Yo Han dan bersembunyi di dalam kamar Paman. Nona Cu, harap engkau beristirahat di dalam kamarmu sampai nanti aku memberitahukan segalanya kepadamu. Aku akan menghadapi Yo Han dan menerimanya dengan baik-baik untuk mencegah jatuhnya banyak korban." Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok mengangguk dan mereka pergi ke kamar masing-masing yang sudah diberikan kepada mereka sejak mereka tiba di situ.

Ouw Seng Bu cepat mengumpulkan anak buahnya dan dengan tegas memesan agar mereka semua memperlihatkan sikap lunak dan takluk kepada Yo Han dan bersikap seperti dahulu agar tidak menimbulkan kecurigaan di hati Pendekar Tangan Sakti. Kemudian, dia menuju ke kamar Cu Kim Giok dan mengetuk daun pintunya. Setelah Cu Kim Giok muncul, Ouw Seng Bu berkata, "Nona Cu, sekarang saatnya engkau membantuku. Aku ingin menaklukkan Yo Han tanpa mendatangkan banyak korban, dan aku akan berpura-pura tidak tahu bahwa dia yang telah menyebar pembunuhan di sini. Engkau bersikaplah sebagai seorang tamuku, seorang sahabat baikku...."

"Tapi, apa manfaatnya kehadiranku...."

"Banyak sekali, Nona. Engkau akan menimbulkan kepercayaan di hatinya bahwa kita tidak mempunyai maksud tertentu terhadap dirinya. Kalau melihat engkau sebagai tamuku, pasti dia akan percaya kepadaku. Marilah, Nona, aku.... sungguh aku membutuhkan pertolonganmu. Ataukah.... engkau begitu tega tidak mau membantuku?" Ouw Seng Bu. Sudah dapat melihat selama dia bergaul dengan Kim Giok bahwa gadis itu pun membalas perasaan hatinya, bahwa. gadis itu pun jatuh cinta kepadanya, maka dia mempergunakan sikap lunak dan menarik rasa iba gadis itu. Dia berhasil, Cu Kim Giok mengangguk.

"Baiklah, Pangcu. Aku akan, membantumu."

"Engkau tidak perlu bicara atau berbuat apa pun, hanya mengaku saja bahwa engkau menjadi sahabatku. Nah, aku tidak ingin menyuruhmu berbuat jahat atau berbohong bukan?"

Mereka berdua segera berlari cepat menuruni lereng bukit dan ketika mereka memasuki dusun dan tiba di depan kedai arak, mereka berdua tertegun.

Apa yang telah terjadi? Yo Han dikeroyok oleh empat orang tosu lihai dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, juga oleh sebelas orang murid Thian-li-pang tingkat atas. Para pengeroyok itu semua menggunakan pedang sedangkan Yo Han bertangan kosong! Akan tetapi, tubuhnya yang dapat dibuat ringan seperti bayangan itu berkelebatan di atas belasan batang pedang dan setiap kali terbuka kesempatan, begitu kaki atau tangannya bergerak menyambar, tentu seorang pengeroyok dapat dirobohkan! Dia mengenal

gerakan silat orang-orang Thian-li-pang, mengenal cakar beracun mereka, maka dengan mudah dia dapat mengenal bagian lemah mereka sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, seorang anggauta Thian-li-pang terjungkal. Dia tidak mau membunuh mereka, hanya merobohkan dan membuat mereka tidak mampu bangkit kembali karena patah tulang atau menotok mereka sehingga tidak mampu beegerak kembali. Akhirnya, sebelas orang Thian-li-pang roboh tak dapat bangkit kembali dan tinggal

dua orang tosu Pek-lian-kauw dan dua orang tosu Pat-kwa-pai saja yang masih mengeroyoknya dengan serangan membabibuta karena sejak tadi, serangan pedang mereka tidak pernah mengenai tubuh pemuda itu.

"Orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, kalian pergilah. Aku tidak ingin bermusuhan dengan kalian dan jangan mencampuri utusan kami orang-orang Thian-li-pang!" dua kali Yo Han menegur dan menyuruh mereka pergi.

Ketika empat orang itu terus mengamuk tanpa mempedulikan kata-katanya, Yo Han menjadi marah.

"Kalian ini orang-orang bandel yang pantas menerima hajaran!" Dia pun bergerak cepat, menggunakan ilmu silat Bu-kek Hoat-keng dan angin berpusing cepat sekali, membuat empat orang tosu itu ikut terputar dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, pedang mereka beterbangan lepas dari tangan dan mereka pun seperti dilontarkan tenaga yang amat kuat, terlempar dan terbanting sampai beberapa meter jauhnya! Agaknya Si Tangan Sakti memang tidak ingin membunuh mereka sehingga mereka hanya terbanting keras tanpa menderita luka parah.Pada saat mereka terbanting itulah, Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok menuruni lereng. Ouw Seng Bu mengenal gerakan Yo Han itu. Dia pun merasa sanggup bergerak menimbulkan angin berpusing seperti itu seperti yang pernah dia pelajari dalam sumur!

Empat orang tosu mendapat hati ketika melihat Seng Bu. Mereka dengan muka meringis kesakitan karena pinggul mereka tadi terbanting keras, bangkit menyongsong kedatangan Seng Bu.

"Pangcu...." kata mereka, akan tetapi Seng Bu mengangkat tangan memberi hormat.

"Harap To-tiang berempat suka memaafkan kami dan meninggalkan tempat ini. Biarkan kami menyelesaikan urusan dalam Thian-li-pang."

Empat orang tosu itu merasa heran, akan tetapi karena mereka sudah maklum bahwa ketua baru itu tentu akan menggunakan siasat, mereka pun memberi hormat, dan pergi dari tempat itu tanpa banyak cakap lagi. Kini Seng Bu berdiri berhadapan dengan Yo Han dan keduanya saling pandang.

"Kiranya Sin-ciang Tai-hiap yang datang! Harap maafkan siauwte dan para anggauta Thian-li-pang yang tidak tahu akan kedatangan Tai-hiap dan tidak sempat menyambut seperti mestinya." Dia memberi hormat. Yo Han mengerutkan alisnya, memandang penuh selidik. Dia tadi mendengar Kui Thian-cu menyebut "pangcu" kepada pemuda tampan ini! Dengan sikap tenang namun suaranya tegas dan menyelidik, Yo Han berkata, "Wajahmu tidak asing bagiku. Bukankah engkau seorang di antara para murid suheng Lauw Kang Hui? Kenapa tosu tadi menyebutmu sebagai pangcu? Di mana suheng Lauw Kang Hui dan apa yang terjadi dengan Thian-li-pang? Mengapa bersahabat dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai dan mengapa pula ada murid Thian-li-pang yang dapat melakukan kejahatan di dusun ini?"

Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, Seng Bu merasa seperti dihujani serangan yang berbahaya. Dia memberi hormat lagi. "Tai-hiap, banyak sekali hal-hal yang amat hebat telah terjadi di tempat kita. Suhu.... suhu telah....mati dibunuh orang.... dan aku terpaksa untuk sementara mewakili dan diangkat menjadi pangcu karena tidak ada orang lain yang dapat memegang kedudukan itu sebagai pemimpin sementara. Suhu Lauw- Kang Hui dibunuh orang, demikian pula suci Lauw Sek, suheng Lauw Kin, susiok Su Kian den susiok Thio Cu. Semua tewas dibunuh orang...."

"Ahhh??" Yo Han benar-benar merasa terkejut. "Siapakah yang membunuh mereka?"

"Panjang ceritanya, Taihiap. Marilah, ktta naik ke tempat kita dan di sana nanti aku menceritakan semuanya. Banyak sekali rahasia tersembunyi di balik semua peristiwa yang mengerikan itu, Taihiap."

Yo Han masih mengerutkan alisnya, akan tetapi dia mengangguk dan ketika mereka mulai mendaki bukit dan melihat gadis manis yang datang bersama Ouw Seng Bu ikut pula mendaki, dia berhenti dan bertanya.

"Nanti dulu, siapakah Nona ini?"

"Taihiap, Nona ini adalah nona Cu Kim Giok, ia seorang sahabat baikku dan sekarang menjadi tamu terhormat di Thian-li-pang. Ia bukan gadis sembarangan, Taihiap. Kuyakin Taihiap pernah mendengar tentang keluarga majikan Lembah Naga Siluman, yaitu keluarga Cu Nah, Nona ini adalah puteri dari pendekar besar Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman."

"Ahhh, kiranya Nona dari keluarga yang terkenal itu," kata Yo Han sambil memberi hormat.

Kim Giok cepat membalas penghormatan itu. "Harap Yo-taihiap tidak bersikap merendah. Sudah lama aku mendengar tentang nama besar Taihiap. Sayang dalam pertemuan tiga keluarga besar di rumah Paman Suma, Ceng Liong di Hong-oun, Taihiap tidak ikut hadir."

Yo Han tersenyum dan sejenak mamandang gadis itu penuh selidik. "Jadi engkau adalah sahabat baik dari.... eh, ketua Thian-li-pang ini?"

"Benar, dan baru beberapa hari aku menjadi tamu dari Thian-li-pang."

"Taihiap agaknya sudah lupa kepadaku. Aku murid termuda dari mendiang suhu Lauw Kang Hui, namaku Ouw Seng Bu," ketua itu memperkenalkan diri.

Yo Han mengangguk-angguk. "Ya, aku sekarang teringat. Jadi semua murid tertua dari suheng Lauw Kang Hui telah dibunuh orang?"

Diam-diam Cu Kim Giok mengerling dan mengamati wajah pendekar itu. Menurut cerita yang didengarnya dari. Seng Bu, orang inilah yang membunuh Lauw Kang Hui dan para muridnya. Apakah sekarang dia berpura-pura? Ataukah ada rahasia lain di balik pembunuhan itu dan pembunuhnya bukan Sin-ciang Tai-hiap melainkan orang lain? Wajah tampan dengan sinar mata tajam mencorong

itu sukar diduga apa yang terkandung dalam hatinya.

"Taihiap, nanti saja akan kuceritakan semua setelah kita tiba di rumah." kata Seng Bu dan Yo Han mengangguk. Mereka lalu mendaki lereng bukit dan ketika mereka tiba di pintu gerbang perkampungan Thian-li-pang, para murid Thian-li-pang menyambut mereka dengan sikap meriah dan gembira.

"Sin-ciang Tai-hiap telah datang!" demikian mereka berteriak dan bersorak sambil memberi hormat.

Yo Han menerima penyambutan itu dengan senyum, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran bukan main. Betapa jauh bedanya antara sikap, para anggauta Thian-li-pang yang berada di perkampungan ini dengan mereka yang tadi berada di dusun! Seolah tidak wajar lagi!

Setelah mereka memasuki ruangan dalam, Seng Bu berkata kepada Cu Kim Giok, "Nona Cu, maafkan saya, harap Nona suka beristirahat dan meninggalkan kami berdua untuk membicarakan soal perkumpulan kami."

Cu Kim Giok mengangguk, lalu meninggalkan ruangan itu. Seng Bu menutup pintu ruangan itu, kemudian dia pun mempersilakan Yo Han untuk duduk.

Yo Han duduk dan menghela napas panjang. "Nah, sekarang ceritakanlah semua. Apa yang telah terjadi di sini? Ceritakan semua dengan jelas."

Tiba-tiba Ouw Seng Bu menjatuhkan diri berlutut di depan Yo Han sambil menangis! Yo Han mengerutkan alisnya dan menegur dengan tegas, "Ouw Seng Bu, sikapmu ini sungguh memalukan sekali! Engkau telah ditunjuk sebagai ketua, akan tetapi anak buah Thian-li-pang menyeleweng, Thian-li-pang mengadakan persekutuan dengan partai-partai sesat seperti Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, dan sekarang engkau menangis seperti anak kecil atau seperti wanita lemah, yang cengeng. Engkau tidak patut menjadi ketua Thian-li-pang!"

"Yo-taihiap, harap maafkan dan kasihanilah saya! Saya terpaksa menjadi ketua karena tidak ada orang lain lagi. Hanya sayalah satu-satunya murid mendiang suhu yang dianggap paling kuat. Akan tetapi, setelah suhu dan para susiok dan suheng tewas, saya menjadi bingung dan tidak dapat mengendalikan semua murid, tidak dapat mencegah kalau ada yang melakukan penyelewengan. Mereka itu condong untuk memberontak dan saya tidak berdaya menghadapi mereka. Juga saya tidak berani menolak ketika Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw melakukan pendekatan, takut kalau-kalau mereka akan memusuhi kami. Sekarang Tai-hiap telah pulang, maka saya menyerahkan kepada Tai-hiap untuk mengatur kembali perkumpulan kita ini."

"Sudahlah, duduklah dan sekarang ceritakan apa yang terjadi dan bagaimana suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain sampai dibunuh orang, dan siapa pembunuh mereka itu."

Seng Bu duduk dan menghapus air matanya. "Peristiwa yang terjadi itu amat mengerikan dan penuh rahasia, Yo-taihiap. Kami hanya melihat ada bayangan hitam yang menangkap mereka seorang demi seorang dan membawa mereka masuk ke dalam sumur tua itu. Dan setelah mereka itu dibawa masuk sumur, sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya dan kami semua menganggap bahwa mereka

tentu telah tewas terbunuh.""Hemmm, siapakah bayangan hitam itu?" Yo Han bertanya, alisnya berkerut, penasaran sekali.

"Itulah yang membuat kami semua penasaran, Tai-hiap. Tak ada yang dapat melihatnya, hanya melihat bayangan hitam seperti setan, menangkap mereka dan membawa loncat ke dalam sumur. Tentu saja peristiwa itu membuat semua anggauta menjadi panik dan ketakutan, dan untuk meredakan kepanikan mereka, terpaksa saya untuk sementara menggantikan kedudukan suhu dan memimpin mereka."

"Akan tetapi, kenapa kalian tidak memasuki sumur itu untuk menyelidikit apa yang terjadi di sana? Siapa tahu suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain belum tewas?"

Seng Bu kelihatan terkejut dan ketakutan. "Maafkan kami, Yo-taihiap. Tentu saja kami juga berpikir demikian, mengharapkan mereka belum tewas dan sewaktu-waktu akan muncul keluar. Akan tetapi, untuk menyelidikinya, untuk memasuki sumur tua itu, siapa yang berani?"

"Tidak berani? Aih, tak kusangka orang-orang Thian-li-pang berubah menjadi penakut dan pengecut!" Lalu sambil menatap tajam wajah Seng Bu dia melanjutkan, "Dan engkau sendiri, yang telah menerima menjadi ketua, kenapa engkau tidak memasuki sumur itu untuk menyelidikinya?"

Seng Bu menundukkan mukanya. "Maafkan kami semua, Yo-taihiap. Sebetulnya kami ingin sekali, akan tetapi kami takut. Kalau suhu dan para susiok, suci dan suheng sendiri tidak berdaya dibawa masuk ke sumur oleh bayangan hitam itu, lalu bagaimana mungkin kami akan mampu menandinginya? Memasuki sumur berarti mati konyol, dan kami semua, tidak berani."

Yo Han menghela napas panjang, teringat akan mendiang kakek Ciu Lam Hok. Gurunya itu adalah seorang yang gagah perkasa, bahkan kedua orang paman gurunya, mendiang Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, biarpun keduanya menyeleweng dari jalan kebenaran, tetap saja mereka berdua adalah orang-orang yang gagah perkasa. Demikian pula murid mereka, Lauw Kang Hui, memiliki keberanian dan kegagahan. Akan tetapi bagaimana sekarang para murid Thian-li-pang begitu penakut dan pengecut? Gurunya berpesan agar dia mengawasi Thian-li-pang dan mengusahakan agar Thian-li-pang pulih kembali menjadi perkumpulan besar yang berjiwa pahlawan pembela nusa bangsa.

"Sudah berapa lamakah peristiwa hilangnya suheng Lauw Kang Hui ke dalam sumur tua itu terjadi?"

"Sudah kurang lebih tiga bulan, Yotaihiap."

Yo Han merasa penasaran dan khawatir. Kalau sampai tiga bulan mereka tidak keluar dari dalam sumur tua itu, kecil sekali harapannya mereka masih hidup. Akan tetapi, mati atau hidup mereka itu, dia harus mengetahui dengan pasti.

"Baik, kalau begitu biar aku sendiri yang akan memasuki sumur itu dan melakukan penyelidikan." Yo Han berkata.

Ouw Seng Bu memandang dengan mata terbelalak. "Akan tetapi, Tai-hiap. Itu berbahaya sekali!!"

Yo Han tersenyum, "Seorang gagah tidak gentar menempuh bahaya, asal itu dilakukan demi kebaikan. Lupakah engkau akan pelajaran kegagahan dari Thian-li-pang?"

"Be.... benar, Tai-hiap. Akan tetapi.... sumur tua itu penuh rahasia dan menyeramkan, tentu banyak iblis menjadi penghuninya di sana dan tak seorang pun berani memasukinya. Saya takut kalau sampai terjadi sesuatu atas diri Taihiap...."

"Mati hidup di tangan Tuhan. Aku tidak minta ditemani siapapun kalau memang kalian takut. Biar aku sendiri yang masuk dan kalian berjaga di luar sumur raja. Sediakan sehelai tali yang kuat dan panjang, sekaran juga aku akan memasuki sumur menyelidiki keadaan suheng Lauw Kang Hui dan yang lain-lain."

"Baik, Taihiap."

"Dan mulai saat ini, Thian-li-pang harus memutuskan hubungan dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw. Para murid dilarang bergaul dengan mereka, dan kalau ada yang melanggar, akan dihukum berat. Dua orang anggauta Thian-li-pang yang membuat kerusuhan di rumah makan, harus dihukum kurung selama sepekan. Nah, laksanakan!"

"Baik, Taihiap." Ouw Seng Bu membuka daun pintu dan berseru memanggil pembantunya. Para murid kelas tertinggi dari Thian-li-pang datang berlarian dan berkumpul di luar pintu ruangan itu. Seng Bu lalu berkata dengan suara lantang kepada mereka.

"Seluruh anggauta agar bersiap-siap dan berkumpul di dekat sumur tua dan sediakan sehelai tambang yang kuat dan panjang. Sin-ciang Tai-hiap sendiri akan turun ke dalam sumur melakukan penyelidikan sekarang juga!"

Terdengar seruan-seruan kaget di antara para anggauta Thian-li-pang, akan tetapi mereka segera menanti perintah ketua mereka dan diantar oleh Ouw Seng Bu pergi ke bagian belakang perkampungan Thian-li-pang dan tiba di dekat sumur tua. Sumur pertama yang pernah menjadi tempat tahanan kakek Ciu Lam Hok yang berada di tempat itu juga, tidak terlalu jauh dari situ, telah ditutup dengan batu-batu sehingga tidak nampak lagi lubangnya. Sumur ke dua ini lebih besar, juga amat dalam karena kalau dijenguk dari atas, tidak nampak dasarnya, hanya gelap menghitam. Sebetulnya, tanpa tambang sekalipun Yo Han akan mampu menuruni sumur itu dengan merayap, akan tetapi lebih mudah menggunakan tali, juga untuk naik kembali, mudah kalau ada talinya. Hampir seratus orang anggauta Thian-li-pang sudah berkumpul di tempat itu, mengelilingi sumur tua, wajah mereka tegang. Seorang di antara mereka menyerahkan segulungan tali yang kuat dan panjang kepada Ouw Seng Bu.

"Tai-hiap, apakah tali ini memenuhi syarat?" tanya Seng Bu sambil memperlihatkan tali itu kepada Yo Han. Yo Han menerima gulungan tali, kemudian melepas ujungnya ke dalam sumur setelah ujung itu diikatkan kepada sebongkah batu. Ternyata sumur itu dalam sekali dan sampai lama barulah batu di ujung tali tiba pada dasar sumur dan tali itu memang cukup panjang dan kuat. Setelah batu tiba pada dasar sumur dan tali mengendur, masih ada sisa tiga empat meter, Yo Han melibatkan sisa tali itu pada sebatang pohon dekat sumur, lalu menyerahkan ujungnya kepada Seng Bu.

"Jaga dan pegangi ujung tali ini, aku akan segera turun ke bawah. Kalau aku sudah memberi tanda tarikan tiga kali pada tali kau boleh tarik aku keluar."

"Baik, Yo-taihiap. Harap Taihiap berhati-hati, siapa tahu ada bahaya mengintai di bawah sana." kata Seng Bu.

"Jangan khawatir, aku sudah siap menghadapi apa saja," kata Yo Han. Setelah berkata demikian, Yo Han menuruni sumur malalui tali yang ujungnya dipegang oleh Seng Bu, bagaikan seekor monyet saja, dengan cekatan dia menuruni tali itu, waspada memperhatikan ke bawah karena dia maklum bahwa seperti yang dikatakan Ouw Seng Bu tadi, mungkin di bawah sana mengintai bahaya yan mengancam keselamatannya. Sama sekali Yo Han tidak pernah mengira bahwa bahaya mengintai dari atas, bukan dari bawah! Tadi dia telah menduga bahwa sumur ituu menyerong, yaitu ketika dia mengulur tali yang ujungnya digantungi batu.

Batu itu tadi menyentuh dinding sumur dan menggelinding ke bawah, tidak lagi tergantung bebas. Itu berarti bahwa sumur itu menyerong, tidak lurus ke bawah. Kini ternyata memang benar. Tubuhnya menyentuh dinding sumur yang kasar dan dia merayap terus. Dan nampaklah sinar dari samping, yang tidak nampak dari atas karena letaknya yang menyerong itu. Dan begitu kakinya menyentuh lantai batu, dia pun melihat lima sosok mayat yang sudah tinggal tulang dibungkus pakaian yang robek-robek. Lima orang! Dia teringat akan keterangan Ouw Seng Bu yang menceritakan bahwa yang dibawa masuk ke dalam sumur oleh bayangan hitam adalah Lauw Kang Hui, Su Kian, Thio Cu, Lauw Kin dan Lu Sek. Lima orang tokoh Thian-li-pang telah benar-benar tewas di dasar sumur! Akan tetapi kedudukan lima sosok mayat itu bertumpuk, nampaknya seperti dilemparkan dari atas!

Dia menghampiri mayat-mayat itu. Sudah tidak dapat dikenal lagi, apalagi diselidiki sebab kematian mereka. Juga tempat itu hanya remang-remang, terlalu gelap untuk dapat memeriksa dengan teliti. Dia harus memeriksa ke dalam sana. Mungkin si pembunuh masih berada di dasar sumur yang ternyata dasarnya merupakan terowongan berbatu-batu. Dia pun melepaskan tali yang tadi masih dipegangnya, lalu berindap-indap memasuki lorong penuh batu-batu besar itu. Kalau benar ada orangnya, mungkin bersembunyi di balik batu besar. Dia sudah siap kalau-kalau ada serangan gelap dari dalam.

Tidak ada penyerangan, tidak ada gerakan apa pun dari dalam. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara bersiutan dari atas. Yo Han terkejut melihat tali yang dipakai turun tadi kini menyambar turun seperti seekor ular yang panjang sekali! Tali itu dilepas dari atas! Sejenak dia tertegun karena heran dan kaget, akan tetapi cepat dia menarik tali itu karena dalam sekejap mata dia yakin bahwa tali itu akan ada gunanya baginya. Dia masih belum dapat menduga mengapa Ouw Seng Bu melepaskan tali itu. Tiba-tiba terdengar suara tawa dari atas yang bergema ke bawah dan dia terkejut. Itulah suara Ouw Seng Bu dan dia tahu bahwa orang yang dapat melepas suara tawa mengandung khikang amat kuat seperti itu tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Suara tawa itu disusul sorak-sorai dan tiba-tiba saja terjadi hujan batu dari atas sumur!

Yo Han melompat lebih dalam, lagi dan cepat dia mendorong sebuah batu besar sekali ke depan terowongan sehingga hujan batu itu tidak menggelundung ke dalam terowongan melainkan tertahan oleh batu besar dan terus bertumpuk menutupi lubang sumur! Kini mengertilah dia. Ouw Seng Bu dan para anggauta Thian-li-pang telah berkhianat dan dia telah tertipu. Ouw Seng Bu berhasil memancingnya memasuki sumur dan sumur itu lalu ditimbuni batu.

Yo Han yang pada dasarnya seorang yang memiliki iman yang kokoh kuat kepada Tuhan, tidak menjadi gugup. Mati hidupnya sudah dia serahkan kepada kekuasaan Tuhan. Dia akan berusaha sekuatnya mempertahankan hidupnya, akan tetapi berhasil atau gagalnya dia serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia tahu bahwa tidak mungkin keluar melalui sumur yang sudah tertutup banyak batu itu. Dia tidak mati tertimpa batu karena batu besar tadi  merupakan pengganjal dan penghalang batu-batu kecil memasuki terowongan. Dia tidak akan mati tertimbun batu. Juga agaknya dia tidak akan mati kehabisan napas karena ada saluran udara segar di situ, mungkin masuk melalui celah-celah batu, seperti juga sinar matahari yang dapat masuk ke situ. Dia tidak akan mati kehausan, karena dinding itu basah dan tidak sukar menampung air dengan membuat lekukan pada dinding, basah untuk menampung air. Dia akan mati kelaparan? Mungkin, kalau dia tidak dapat keluar dan kalau di tempat itu tidak terdapat benda yang bisa dimakan.

Yo Han menggulung tali dan duduk di atas gulungan tali agar tidak basah. Dia duduk bersila dan membiarkan hati dan pikirannya tenang. Dia membutuhkan ketenangan. Dalam menghadapi bahaya, dia harus dapat tenang agar akal pikirannya dapat dipergunakan sebaik-baiknya, dan di dalam ketenangan itu kepasrahannya kepada kekuasaan Tuhan dapat lebih mendalam.

Sementara itu, di atas sumur, Ouw Seng Bu tertawa gembira ketika bersama para anak buah yang sudah dipersiapkan sebelumnya, menimbun sumur tua itu dengan batu.

"Ha-ha-ha, Yo Han. Rasakan sekarang engkau, mampus di dalam sumur tua, menjadi setan penasaran! Sin-ciang Taihiap, engkau tidak lagi menjadi penghalang bagiku."

Akan tetapi, Ouw Beng Bu segera menghentikan tawanya ketika dia melihat Cu Kim Giok datang berlari-larian. Gadis itu mendengar sorak-sorai anak buah Thian-li-pang, merasa tertarik dan segera datang ke tempat itu. Ia masih melihat anak buah Thian-li-pang melempar-lemparkan batu ke dalam sebuah sumur tua dan ia merasa heran sekali.

"Ouw-pangcu, apakah yang telah terjadi?" tanya gadis itu heran sambil mendekati Seng Bu.

Seng Bu segera memasang wajah yang serius. "Aih, hampir saja aku pun celaka menjadi korban kelihaian Yo Han, Nona. Mari kita bicara di dalam dan akan kuceritakan semua." Kepada anak buahnya dia memesan agar sumur itu ditutup sampai tidak nampak lagi lubangnya. Kemudian dia mengajak Kim Giok kembali ke bangunan induk pusat perkampungan Thian-li-pang.

Setelah mereka duduk berdua di dalam kamar belakang, Kim Giok dengan hati tegang bertanya, "Ceritakan, Pangcu. Apakah yang telah terjadi dan di mana adanya Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?"

Seng Bu menghela napas dan tiba-tiba dia mengeluh, wajahnya berubah pusat dan napasnya terengah.

"Aduhhh...." Dia memejamkan matanya dan tangan kirinya menekan ke arah dada kanannya.

Tentu saja Kim Giok terkejut bukan main, cepat bangkit dan menghampiri pemuda itu. "Ouw-pangcu, ada apakah? Engkau.... terluka....?"

Sambil menekan dada kanan dengan telapak tangannya, wajahnya menyeringai kesakitan, napasnya sesak, dia menjawab terengah-engah, "Dia memang.... lihai.... sekali, dan.... jahat kejam. Dia.... dia tadi tiba-tiba memukulku, di dekat sumur.... aku nyaris terjungkal, akan tetapi.... aku mampu bertahan, aku melawan.... dibantu oleh saudara-saudaraku.... akhirnya kami berhasil.... dia terjatuh ke dalam sumur akan tetapi aku.... aku terkena pukulannya...."

"Ahhh!" Kim Giok terbelalak. "Dan kalian.... tadi menimbun sumur itu dengan batu? Dia terkubur hidup-hidup.... ?" Gadis itu memandang ngeri.

"Aih, Nona, kau tidak tahu.... dia amat kejam dan lihai....kalau berhasil lolos....kami semua tentu akan dibunuhnya. Lihat, lihat bekas tangannya ini...." Seng Bu merobek baju di dadanya dan mata yang indah itu semakin terbelalak kaget. Dada Seng Bu, di bagian kanan, terdapat bekas telapak tangan dengan lima jarinya, menghitam!

"Ohhhhh....!" Dia menahan teriakannya.

"Ini.... pukulan.... mautnya.... untung aku sudah berjaga diri...., tapi nyeri bukan main.... auhhh....!" Seng Bu terkulai dan dia tentu akan terjatuh dari kursinya kalau saja Kim Giok tidak cepat-cepat merangkulnya. Melihat Seng Bu pingsan, Kim   Giok memondongnya dan merebahkannya di atas lantai. Ia mengurut kedua pundak dan tengkuk, dan pemuda itu membuka mata kembali.

"Aduhhh....!"

"Bagai mana rasanya, Pangcu?"

"Nona, pukulan itu beracun, harus cepat dibersihkan hawa beracun itu dengan pengerehan sin-kang. Maukah.... maukah engkau membantuku, Nona? Aku lemah sekali....!"

"Tentu saja, Pangcu. Bagaimana aku dapat membantumu?"

"Tempelkan kedua telapak tanganmu di punggungku dan kerahkan sin-kang, agar kekuatan kita dapat bersatu mendorong keluar hawa beracun itu."

"Baik, Pangcu." Melihat dengan susah payah Seng Bu bangkit duduk, tanpa ragu Kim Giok membantunya duduk bersila. Ia membantu pula Seng Bu membuka bajunya sehingga punggungnya nampak dan ia pun bersila di belakang pemuda itu, menempelkan kedua telapak tangan di punggung itu dan memejamkan mata, mengerahkan sin-kang membantu pemuda itu "mengusir" hawa beracun.

Diam-diam Seng Bu menggunakan tangan kiri mengusap dan menekan dada yang ada tanda, telapak tangan menghitam. Perlahan-lahan, tanda menghitam itu pun lenyap, Kim Giok yang kurang pengalaman sama sekali tidak menyangka bahwa noda hitam itu dibuat oleh Seng Bu sendiri ketika dia menekan dada kanannya tadi. Dengan kepandaiannya yang aneh, dia mampu membuat kulit dadanya kehitaman seperti terkena pukulan beracun.

"Perlahan-lahan, pernapasan Seng Bu menjadi normal kembali dan dia pun memutar tubuhnya, memegang kedua tangan gadis itu dan menatapnya dengan pandang mata penuh kasih sayang. Kim Giok juga menatapnya dan gadis itu menunduk malu.

"Giok-moi (adik Giok), terima kasih....engkau telah menyelamatkan nyawaku...."

Dengan tersipu Kim Giok menarik kedua tangannya, lalu bangkit berdiri dan memutar tubuh membelakangi pemuda itu agar tidak kelihatan bahwa ia merasa malu sekali.

"Ihhhhh, Pangcu...."

"Kim Giok, setelah apa yang kaulakukan kepadaku tadi masihkah kita harus bersungkan-sungkan? Jangan menyebut pangcu kepadaku, sebutan itu terlampau kaku, Giok-moi, aku merasa engkau bukan seperti seorang sahabat baru, melainkan seperti sudah bertahun-tahun kukenal. Jangan sebut aku pangcu, aku akan merasa, bahagia kalau engkau menyebut aku koko (kanda)."

"Bu-koko, engkau terlalu berkelebihan. Apa yang kulakukan tadi hanya sekedar membantumu mengusir hawa beracun. Apakah sekarang engkau sudah sembuh, sudah sehat kembali?"

"Lihatlah, Giok-moi. Tidak ada bekasnya lagi. Lihatlah!"

Kim Giok membalikkan tubuhnya dan sekilas memandang ke arah dada yang telanjang itu, dada yang bersih kulitnya, tidak lagi nampak tanda telapak tangan menghitam seperti tadi. Ia merasa lega dan girang, akan tetapi juga malu dan ia tersipu, menundukkan muka tidak mau memandang lagi.

"Bu-ko, pakailah pakaianmu. Engkau membuat aku merasa malu."

Seng Bu tertawa. "Ha-ha-ha, setelah kita menjadi sahabat baik seperti ini, perlukah kita merasa sungkan dan malu, Moi-moi? Entah mengapa, aku sudah tidak merasa malu sama sekali terhadap dirimu, seolah-olah kita telah akrab selama bertahun-tahun." Seng Bu membetulkan bajunya yang robek di bagian dada dan dia nampak senang sekali. Memang hatinya gembira, Yo Han, orang yang paling ditakutinya, telah tiada, dan kini dia melihat tanda-tanda bahwa Cu Kim Giok gadis yang dicintanya, jelas memperlihatkan tanda-tanda suka kepadanya. Setidaknya, gadis ini tadi amat mengkhawatirkan keadaannya dan tanpa malu-malu suka membantu mengobati dirinya.

Kini mereka duduk berhadapan, hanya terhalang meja kecil. Beberapa kali pandang mata mereka bertemu dan dalam pandangan mata itu saja sudah terpancar perasaan hati masing-masing, biarpun terkandang Kim Giok menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.

"Giok-moi, kenapa engkau menunduk dan kelihatan malu-malu?"

"Habis, engkau memandangku seperti itu!"

"Seperti apa?" Seng Bu menggoda.

"Pandang matamu membuat aku merasa canggung dan malu, Bu-ko."

Tiba-tiba Seng Bu memegang kedua tangan gadis itu yang berada di atas meja dan menggenggam tangan itu! "Giok-moi, perlukah aku jelaskan lagi apa artinya pandang mataku itu? Aku memandangmu penuh kasih sayang. Aku cinta padamu, Giok-moi."

Kim Giok menundukkan mukanya yang kini menjadi merah sekali. "Bagaimana, Giok-moi? Marahkah engkau akan kelancanganku ini?"

Kim Giok menggeleng kepala, tetap menunduk. "Lalu, kenapa engkau diam saja? Apakah engkau tidak sudi menerima perasaan cintaku?"

Kini gadis itu mengangkat mukanya yang kemerahan. "Bu-ko, aku pun kagum dan suka padamu. Akan tetapi, kita tidak perlu tergesa-gesa membicarakan perasaan kita itu. Kita baru saja berkenalan dan kalau kita sudah menjadi sahabat baik, itu sudah menyenangkan sekali, bukan?"

Seng Bu seorang yang cerdik. Ia memang benar-benar mencinta Kim Giok sepenuh hatinya. Dia tidak ingin membuat gadis itu tidak senang atau menjadi rikuh. Dia bahkan rela melakukan apa saja untuk gadis yang dicintanya itu.

"Baiklah, Giok-moi. Maafkan aku. Kita memang telah menjadi sahabat baik, dan biarlah urusan antara kita itu kita bicarakan kelak seperti yang kaukehendaki. Aku hanya ingin agar engkau tahu betul bahwa engkaulah satu-satunya wanita yang tinggal di dalam hatiku."

Lega rasa hati Kim Giok dan ia menjadi semakin suka kepada pemuda yang penuh pengertian itu. "Terima kasih, Bu-ko atas pengertianmu. Sekarang mari kita bicara tentang apa yang terjadi tadi. Aku masih merasa heran sekali kenapa Sin-ciang Tai-hiap hendak membunuhmu setelah dia membunuhi banyak tokoh Thian-li-pang. Aku pernah mendengar namanya yang dipuji-puji oleh para pendekar dari dua keluarga besar pendekar Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir. Mereka menyatakan bahwa Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang pendekar yang budiman dan bijaksana. Akan tetapi kenapa di sini dia menjadi begitu kejam dan jahat?"

Ouw Seng Bu menghela napas panjang. "Aku tidak heran dan sebaiknya engkau juga tidak perlu mengherankan hal itu, Giok-moi. Kedudukan dan kekuasaan seringkali membuat orang lupa diri!"

Dia hendak menguasai Thian-li-pang hendak menonjolkan diri dan menguasai dunia lewat Thian-li-pang."

"Akan tetapi, aku mendengar bahwa dia telah diangkat menjadi pemimpin Thian-li-pang, hanya kedudukan ketua dia serahkan kepada mendiang Lauw Pangcu. Kenapa dia malah membunuh Lauw Pangcu dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang, dan sekarang hendak membunuhmu pula? Sungguh aku tidak mengerti."

"Giok-moi, agaknya engkau hanya mengerti ekornya tidak mengerti kepalanya. Memang benar dia menjadi pemimpin besar Thian-li-pang seperti dikehendaki oleh para tokoh tua Thian-li-pang. Akan tetapi, sikapnya tidak sejalan dengan sikap para pimpinan Thian-li-pang. Dia tidak suka Thian-li-pang mempergunakan kekerasan menentang pemerintah penjajah, bahkan dia tidak setuju bersama-sama berjuang mengusir penjajah Mancu dari tanah air. Bahkan mungkin sekali dia hendak membawa Thian-li-pang agar menjadi antek penjajah. Itulah sebabnya dia membunuhi para pimpinan Thian-li-pang yang pendiriannya tegas tegas menentang penjajah. Melihat aku yang diangkat menjadi ketua menghimpun tenaga, bekerja sama dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, juga dengan kelompok pejuang lainnya, dia menjadi marah dan dengan berpura-pura hendak menyelidiki kematian para pimpinan Thian-li-pang di dekat sumur tua itu, tiba-tiba dia menyerangku dan hendak membunuhku dan melemparku ke sumur tua seperti yang dia lakukan kepada para pimpinan lain. Untung para dewa masih melindungiku dan sebaliknya dia yang terlempar ke dalam sumur tua itu."

"Aihhh," Cu Kim Giok menghela napas panjang. "Ayah dan ibu pernah mengatakan bahwa kedudukan memang suka membuat orang menjadi kejam. Kuharap saja engkau tidak ikut-ikutan mabuk kekuasaan, Ha-ko."

"Tidak mungkin, Giok-moi. Apalagi kalau engkau suka membantuku dan berada di sampingku. Sejak Thian-li-pang berdiri, nenek moyangku adalah pejuang-pejuang yang gigih, yang rela mengorbankan nyawa demi membela nusa bangsa. Aku melanjutkan cita-cita mereka, dan aku akan berjuang semata-mata demi membebaskan rakyat dan tanah air dari cengkeraman penjajah Mancu, bukan untuk

mencari kedudukan atau harta benda. Tentu engkau percaya kepadaku, bukan?"

"Tentu saja aku percaya padamu, Bu-ko. Kalau tidak percaya, tentu aku tidak akan suka membantumu. Dan selanjutnya, langkah apa yang akan kauambil?"

"Aku akan mengadakan perundingan dengan para pimpinan puncak Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, juga kelompok pejuang lainnya. Seperti juga pendirian orang-orang sombong, macam Yo Han, masih banyak tokoh dunia kang-ouw yang mengambil jalan sendiri, membeda-bedakan kelompok dan tidak mau bekerja sama untuk menghancurkan penjajah. Cara kerja sendiri-sendiri ini, apalagi kalau disertai persaingan, menimbulkan pertentangan antara para pejuang sendiri dan hal ini melemahkan perjuangan dan memperkuat kedudukan pemerintah penjajah. Oleh karena itu, kita haruslah berusaha untuk lebih dulu menundukkan para kelompok

dan tokoh dunia persilatan. Kalau selurub dunia kang-ouw sudah dapat bekerja sama, kukira menggulingkan pemerintah penjajah Mancu bukan merupakan hal yang sukar lagi."

Kim Giok yang sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu, tertarik oleh gaya bicara dan sikapnya, mengangguk-angguk dan merasa kagum karena ia manganggap bahwa pendapat pemuda itu tepat. Sedikit banyak, ayah ibunya juga sudah menanamkan perasaan cinta tanah air dan bangsa kepadanya, juga sudah menceritakan tentang kekuasaan bangsa Mancu yang menjajah bangsanya.

"Pendapatmu itu tepat sekali dan aku akan membantumu, Bu-koko!" katanya penuh semangat. Tentu saja Seng Bu menjadi girang bukan main.

"Terima kasih, Giok-moi. Dengan adanya engkau di sampingku, bintang dan bulan di langit pun akan dapat kuraih!"

Mereka saling pandang dengan senyum mesra dan ketika mereka mendengar suara gaduh kembalinya anak buah Thian-li-pang, mereka pun keluar dari ruangan itu.

******

Dengan bantuan yang bersungguh-sungguh dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu memperoleh kemajuan pesat dalam menyatuan kekuatan. Siangkoan Kok yang kini dia angkat menjadi wakil ketua Thian-li-pang, mendatangi banyak perkumpulan silat dan perguruan-perguruan silat yang terkenal, mula-mula membujuk mereka untuk bekerja sama dengan Thian-li-pang berjuang menentang pemerintah Mancu. Kalau ada yang menolak, Siangkoan Kok mengalahkan dan menundukkan para pimpinannya sehingga akhirnya perkumpulan itu menakluk juga karena takut dibasmi. Tentu saja dengan mudah Siangkoan Kok mengajak mereka yang dahulunya memang sudah bersekutu dengan Pao-beng-pai agar kini bekerja sama dengan Thian-li-pang karena Pao-beng-pai telah dihancurkan pasukan pemerintah.

Hanya ada satu dua perkumpulan saja yang memiliki pimpinan yang terlampau kuat bagi Siangkoan Kok. Untuk menaklukkan pimpinan perkumpulan yang lihai ini, Ouw Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang turun tangan sendiri dan selama ini, belum pernah ada yang mampu menandingi ilmunya yang aneh akan tetapi juga dahsyat bukan main.

Thian-li-pang menjadi semakin besar dan berpengaruh. Melihat kemajuan yang dicapai kekasihnya, tentu saja Kim Giok merasa gembira dan kagum. Beberapa kali ia menawarkan diri untuk membujuk orang tuanya agar mau membentu perjuangan Thian-li-pang karena kalau ayah ibunya suka membantu, tentu mereka itu akan dapat menarik perhatian para pendekar lainnya. Akan tetapi Ouw

Seng Bu selalu menolak dengan halus.

"Belum tiba saatnya, Giok-moi. Ayah ibumu tentu akan merasa heran dan terkejut melihat hubungan kita yang akrab dan hal itu saja sudah membutuhkan pendekatan yang lembut. Apalagi kalau ditambah dengan bujukan agar mereka membantu perjuangan. Biarlah, nanti kalau Thian-li-pang sudah kuat benar, aku sendiri akan menghadap mereka, untuk melamarmu dan kalau kita sudah menjadi suami isteri, orang tuamu menjadi mertuaku, tentu dengan sendirinya mereka akan membantu perjuangan kita."

Kim Giok tidak membantah lagi. Sikap Seng Bu terhadap dirinya selalu lembut dan sopan, dan pemuda itu memegang janji, tidak pernah lagi bicara tentang cinta mereka seperti yang pernah dijanjikannya. Hal ini membuat ia menjadi semakin kagum dan suka, dan diam-diam ia pun sudah mengambil keputusan untuk memilih pemuda ini sebagai calon suaminya.

Ouw Seng Bu memang cerdik luar biasa. Setiap kali dia berlatih silat Bu-kek Hoat-keng yang ditemukannya di dalam sumur dan dia tahu bahwa latihan itu membuat dia berubah dan merasa aneh, dia selalu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, apalagi setelah kini Kim Giok berada di Thian-li-pang. Juga, dia melarang keras anak buahnya agar bertindak seperti pejuang-pejuang yang gagah dan menjauhkan diri dari perbuatan yang akan menjadi celaan orang. Hal ini untuk menjaga nama baik Thian-li-pang dan untuk menarik hati para pendekar agar mau bergabung dengan mereka.

Untuk biaya perkumpulannya, diam-diam, tanpa kekerasaan yang menyolok, mereka masih menguasai semua tempat pelesir dan tempat judi, juga dengan halus namun mengandung ancaman maut, mereka dapat memeras para pedagang untuk setiap bulan menyerahkan uang sumbangan kepada Thian-li-pang! Ada pula anggauta yang tugasnya melakukan pencurian di rumah para hartawan dan bangsawan, namun mereka yang bertugas mencuri adalah anggauta yang ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan setiap kali melakukan pencurian, mereka selalu menutupi muka dengan kain hitam. Juga, mereka dipesan agar sampai mati pun tidak mengaku bahwa mereka orang Thian-li-pang, yaitu kalau mereka sampai tertangkap ketika melakukan pencurian. Pesan ini harus ditaati, karena Seng Bu mengancam akan menyiksa dan membunuh seluruh keluarga anggauta Thian-li-pang yang melanggar pesan itu. Demikianlah, dengan hasil yang cukup berlimpah, Seng Bu dapat memperkuat Thian-li-pang menjadi perkumpulan yang cukup mewah, walaupun kini tidak ada lagi anggauta yang melakukan kejahatan secara berterang.

Sebenarnya, sejak kecil Ouw Seng Bu memang digembleng untuk menjadi seorang pendekar dan patriot. Sebelum dia secara kebetulan menemukan ilmu di dalam sumur tua dan mempelajarinya, dia adalah seorang murid Thian-li-pang yang baik dan gagah perkasa. Bahkan mendiang Lauw Kang Hui menaruh harapan besar kepada muridnya ini. Akan tetapi, sejak dia melatih diri dengan ilmu Bu-kek Hoat-keng secara keliru, terjadi kelainan pada batinnya, seolah-olah dia mendapat gangguan jiwa. Dia menjadi aneh, ganas, kejam, licik dan haus akan kekuasaan dan kemenangan! Watak aneh ini memang tidak begitu kelihatan, tidak menonjol apabila dia tidak sedang berlatih ilmu itu, akan tetapi telah menjadi watak kedua yang telah tenggelam di dasar hatinya dan sewaktu-waktu dapat muncul secara tidak terduga, walaupun pada lahirnya dia nampak tetap sebagai seorang pendekar yang gagah dan baik.

Pada suatu hari, Thian-li-pang menerima banyak tamu yang memang diundang, yaitu para pimpinan perkumpulan yang sudah menakluk kepada Thian-li-pang dan ada pula orang pimpinan perkumpulan yang belum bekerja sama dan yang sengaja diundang dalam kesempatan itu untuk dibujuk dan diajak bekerja sama. Tidak kurang dari lima puluh orang tokoh-tokoh kang-ouw yang hadir, sebagian besar dari mereka yang telah mau bekerja sama dengan Thian-li-pang adalah mereka yang terdiri dari golongan hitam. Dalam pertemuan yang diadakan seperti dalam pesta ini, Cu Kim Giok dipersilakan hadir dan tentu saja ia dianggap sebagai seorang tamu kehormatan dan kursinya berada di sebelah kanan kursi ketua Thian-li-pang.Ouw Seng Bu nampak tampan dan gagah pada hari itu, dengan pakaian yang baru dan wajahnya berseri menyaksikan betapa semua undangan datang hadir. Ini membuktikan bahwa Thian-li-pang mulai dikenal dan ditaati. Siangkoan Kok yang juga nampak gagah berwibawa, duduk di sebelah kirinya, dan kehadiran tokoh besar ketua Pao-beng-pai ini saja sebagai pembantunya, sebagai wakil ketua, sudah menambah kewibawaan Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang. Kabar tentang kelihaian pemuda ini terdengar luar di dunia Kang-ouw.

Setelah semua tamu hadir dan disuguhi arak. Siangkoan Kok mewakili ketuanya, bangkit berdiri dan mengucapkan selamat datang dengan mengangkat secawan arak, mengajak semua yang hadir minum. Kemudian dia melanjutkan dengan suara lantang.

"Cu-wi (Anda sekalian) tentu sudah mengenal saya. Tentu Cu-wi merasa heran mengapa saya sebagai bekas ketua Pao-beng-pai yang telah gagal dan hancur oleh sebuah pasukan pemerintah, sekarang menjadi wakil Thian-li-pang. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan yang sehaluan dengan Pao-beng-pai, yaitu perkumpulan para pejuang yang hendak merobohkan pemerintah penjajah dan membebaskan rakyat dan tanah air dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Oleh karena itu,

bagi Cu-wi yang belum mengadakan perjanjian kerja sama dengan kami, untuk membantu perjuangan kami, diharapkan sekarang juga menyatakan kesediaan untuk kerja sama itu, demi tanah air dan bangsa."

Sambutlah tepuk sorak menyatakan setuju dengan ucapan Siangkoan Kok. Dan para pemimpin kelompok yang datang sebagai tamu undangan dan belum bersekutu dengan Thian-li-pang, segera menyatakan kesediaan mereka. Akan tetapi pada saat itu, para penjaga, yaitu murid-murid Thian-li-pang yang berada di luar ruangan pertemuan, melaporkan dengan suara lantang.

"Rombongan pemimpin Bu-tong-pai datang berkunjung!"

Semua orang terkejut dan merasa heran, termasuk Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok. Bu-tong-pai termasuk satu di antara partai-partai persilatan yang tidak dapat diharapkan untuk bekerja sama, yaitu partai-partai seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai yang menganggap diri mereka sebagai partai "bersih" dan yang tidak mau bergaul dengan kelompok lain yang mereka anggap kotor, hitam atau sesat! Bahkan dahulu Pao-beng-pai juga tidak berhasil menarik golongan itu sebagai teman seperjuangan. Dan sekarang, rombongan pemimpin Bu-tong-pai datang berkunjung?

Dengan tenang Seng Bu dari Siangkoan Kok bangkit menyambut ketika lima orang tosu itu memasuki ruangan dengan sikap mereka yang tenang dan gagah. Mereka terdiri dari lima orang tosu yang berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun, dipimpin oleh Thian Tocu yang berusia enam puluh tahun, berjenggot panjang dan memegang sebatang tongkat. Tosu ini adalah seorang ketua kuil yang menjadi cabang perguruan Bu-tong-pai di kota Hun-kiang, kurang lebih lima puluh li dari Bukit Naga. Empat orang tosu lainnya adalah adik-adik seperguruannya dan lima orang tosu ini rata-rata memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau Thian To-cu membawa sebatang tongkat, empat orang sutenya membawa pedang di punggung mereka. Mereka berpakaian sederhana, dengan jubah tosu yang lebar berwarna biru menyelimuti pakaian yang berwarna kuning muda, dan rambut mereka digelung ke atas. Sikap mereka tenang dan lembut. Siangkoan Kok mengenal Thian To-cu karena tokoh Bu-tong-pai ini pernah berkunjung ketika Pao-beng-pai mengadakan pesta ulang tahun, maka cepat dia mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Ah, kiranya To-tiang Thian Tocu dan para To-tiang tokoh Bu-tong-pai yang datang berkunjung." Dia menoleh kepada Seng Bu, dan berkata, "Pangcu, mereka adalah Thian To-cu Totiang dan para tokoh Bu-tong-pai lainnya. Dan Cu-wi Totiang (Para

Bapak Pendeta Sekalian), ini adalah Ouw Pangcu, ketua Thian-li-pang kami."

Ouw Seng Bu yang pandai membawa diri segera memberi hormat dan berkata, "Maaf, karena Cu-wi Totiang tidak memberitahui lebih dahulu akan kunjungan ini, kami terlambat menyambut. Silakan Cu-wi mengambil tempat duduk."

Lima orang tosu itu tidak mempedulikan Siangkoan Kok, dan sejak tadi mereka semua mengamati Ouw Seng Bu dengan penuh perhatian. Mereka telah mendengar banyak berita tentang ketua baru Thian-li-pang yang sepak terjangnya mengejutkan. Kabarnya, ketua itu masih muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan menarik bekas ketua Pao-beng-pai yang terkenal sebagai seorang datuk itu menjadi wakilnya, dan juga bahwa kini Thian-li-pang telah menalukkan hampir semua kelompok dan kekuatan di dunia kang-ouw. Melihat bahwa ketua itu memang masih muda, bersikap lembut dan sopan, mereka lalu mengangkat kedua tangan depan dada.

"Siancai...." kata Thian To-cu dan memandang kagum.

"Kiranya Ouw-pangcu, ketua Thian-li-pang masih amat muda, akan tetapi telah membuat nama besar. Terima kasih, kami datang hanya untuk melihat bukti dan mengajukan beberapa pertanyaan, bukan untuk bertamu. Kami bahkan tidak tahu bahwa pagi ini Thian-li-pang mengadakan pertemuan dengan banyak tokoh kang-ouw."

Tosu itu memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa yang hadir adalah orang-orang kang-ouw dari daerah itu, dan sebagian besar di antara mereka adalah golongan hitam. Bahkan ada pendeta Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-pai hadir pula di situ.

Ouw Seng Bu mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah dan ramah kembali. "Kalau begitu kehendak Totiang, silakan."

"Begini Ouw Pangcu. Sejak Sin-ciang, Tai-hiap, yaitu Yo Taihiap menjadi pemimpin Thian-li-pang dan kemudian kedudukan ketua diserahkan kepada pangcu Lauw Kang Hui, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gagah berani dan bijaksana, bahkan berhubungan dekat dengan para pendekar di dunia persilatan. Akan tetapi, tiba-tiba saja kami mendengar bahwa Thian-li-pang mengalami perubahan. Kabarnya, para pemimpinnya terbunuh dan kedudukan ketua dipegang oleh Ouw Pangcu.

Yang lebih mengherankan lagi, menurut desas-desus itu, para pimpinan Thian-li-pang yang lama itu dibunuh oleh Yo Tai-hiap! Kami semua merasa heran dan sama sekali tidak percaya, hanya karena urusan itu merupakan urusan dalam Thian-li-pang, kami terpaksa berdiam diri. Akan tetapi, melihat sepak terjang Thian-li-pang akhir-akhir ini, terpaksa pinto dan adik-adik seperguruan memberanikan diri lancang berkunjung untuk mengajukan pertanyaan kepada Pangcu."

"To-yu, kalau hendak bertanya, tanya saja. Kenapa berbelit-belit seperti itu?" Tiba-tiba Siangkoan Kok berseru dengan suara lantang karena dia sudah tidak sabar lagi mendengar ucapan tosu Bu-tong-pai itu.

"Benar, Totiang, tanyalah, kami tidak menyembunyikan sesuatu." kata Seng Bu.

"Ouw Pangcu, kami melihat betapa Thian-li-pang telah mengubah seluruh sikapnya. Thian-li-pang menaklukkan hampir semua perkumpulan dan kelompok pejuang, mengadakan hubungan dengan semua pihak tanpa pilih bulu, dan Thian-li-pang juga menguasai semua tempat hiburan, tempat maksiat, dan Thian-li-pang melakukan pemerasan kepada para hartawan. Padahal, semua ini tidak dilakukan ketika Lauw Pangcu masih menjadi ketua. Kenapa setelah para pimpinan Thian-li-pang tewas secara rahasia, tiba-tiba Ouw Pangcu yang menjadi ketua tanpa pengumuman kepada para kenalan, dan Ouw Pangcu mengadakan perubahan yang berlawanan dengan sikap Thian-li-pang dahulu? Kami melihat Thian-li-pang telah menyimpang dari jalan benar, maka kami terus terang saja

merasa curiga dengan perubahan ini. Yang lebih mengejutkan kami, ada desas-desus disebarkan oleh orang-orang Thian-li-pang bahwa beberapa hari yang lalu, Ouw Pangcu telah membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han di sini!

Nah, itulah penasaran yang mendorong kami datang pada pagi ini, untuk minta penjelasan dari para pimpinan Thian-li-pang!"

Siangkoan Kok bangkit berdiri dengan muka berubah merah dan mata melotot. "Tosu Bu-tong-pai, kalian berani mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang!"

Ouw Seng Bu juga bangkit berdiri dan menyabarkannya. "Sudahlah, Paman. Biarkan aku menghadapi mereka."

"Tapi, Pangcu. Mereka ini sungguh tidak tahu aturan!"

"Paman Siangkoan Kok, duduklah dan biarkan aku menangani urusan ini!" kata pula Seng Bu dan nada suaranya mengandung sesuatu yang membuat Siangkoan Kok duduk kembali dengan muka cemberut dan mata masih merah ketika dia memandang ke arah lima orang

tosu Bu-tong-pai itu, dan untuk mendinginkan hatinya, dia pun menuangkan arak dari cawan ke dalam mulutnya.

Kini Ouw Seng Bu menghampiri lima orang tosu itu dan berhadapan dengan mereka. Sikapnya masih tenang saja dan Cu Kim Giok yang sejak tadi hanya menjadi penonton yang berhati tegang, merasa kagum akan sikap kekasihnya itu. Betapa tenang dan lembutnya pemuda yang menjadi ketua Thian-li-pang itu!

"Ngo-wi To-tiang (Bapak Pendeta berlima), kami akan menjawab semua pertanyaan To-tiang tadi. Tadi To-tiang Thian To-cu menyinggung tentang terbunuhnya suhu Lauw Kang Hui dan beberapa orang pimpinan kami. Memang hal itu benar, dan pembunuhnya adalah Sin-ciang Tai-hiap Yo Han. Hal ini dapat kami ketahui dari luka yang terdapat pada mayat korban karena pukulan itu hanya dapat dilakukan oleh Yo Han saja. Mengapa dia melakukan semua pembunuhan itu? Mungkin untuk membalaskan sakit hati gurunya, kakek yang menjadi orang hukuman di sini karena menentang pimpinan. Mungkin juga dia hendak menguasai Thian-li-pang dan memusuhi kami yang berlawanan pendapat dan sikap dengan dia. Tentang perubahan yang terjadi di Thian-li-pang semenjak saya dipilih menjadi ketua, memang benar. Kami menganggap bahwa perjuangan bukan monopoli golongan pendekar saja, melainkan menjadi tugas setiap orang warga negara untuk menyelamatkan bangsa dari penjajah Mancu. Dan kami berkeyakinan bahwa tanpa adanya persatuan dari semua pihak, perjuangan akan gagal. Oleh karena itu, kami sengaja mengadakan hubungan dengan semua pihak yang menentang pemerintah, dan kami akan menundukkan dan memaksa golongan yang menjadi antek penjajah untuk membantu perjuangan kami. Adapun penguasaan atas semua tempat pelesiran dan meminta sumbangan dari kaum hartawan, memang hal itu kami lakukan karena dari mana kami akan memperoleh biaya? Kalau tempat-tempat maksiat itu dibiarkan tanpa pengontrolan kami, tentu akan menjadi sarang golongan penjahat. Juga, apa salahnya mengajak para hartawan membantu perjuangan dengan menyumbangkan sedikit harta mereka?

Kalau kebijaksanaan kami mengenai perjuangan bangsa ini tidak cocok dengan keinginan Bu-tong-pai, maaf, hal itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Kami sendiri pun belum pernah mencampuri urusan dapur dan kamar Bu-tong-pai."

"Siancai.... keterangan Ouw Pangcu masuk diakal sungguhpun belum meyakinkan kami tentang Sin-ciang Tai-hiap. Lalu bagaimana dengan berita tentang tewasnya Sin-ciang Tai-hiap Yo Han di tangan Pangcu? Benarkah itu, ataukah hanya berita isapan jempol belaka?"

Cu Kim Giok mengerutkan alisnya. Sikap tosu itu terlalu sombong, pikirnya, dan terbelalak memandang rendah kepada Ouw Seng Bu. Akan tetapi sikap ketua Thian-li-pang itu tetap tenang Menghadapi ucapan yang nadanya tidak percaya dan meremehkan itu.

"To-tiang, Yo Han memang muncul di sini dan dia berusaha untuk membunuhku. Dia datang dan pura-pura hendak menyelidiki kematian suhu dan yang lain-lain, akan tetapi ketika berada di bagian belakang perkampungan kami, dia menyerangku dan nyaris membunuhku. Untung aku dapat mempertahankan diri dan dengan bantuan para anggauta Thian-li-pang, kami berhasil membuat dia jatuh terjungkal ke dalam sumur tua dan tewas, walaupun aku sendiri menerima pukulan darinya."

"Siancai....! Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang pendekar budiman, dan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin dapat dikalahkan demikian mudahnya? Cerita Pangcu itu sukar untuk diterima begitu saja...."

Sepasang mata Seng Bu mencorong dan suaranya terdengar dingin sekali. "To-tiang tidak percaya kepada keteranganku?"

"Bagaimana kami dapat percaya?" kata Thian To-cu. "Kalau kami melihat buktinya, barulah kami dapat percaya."

"To-tiang adalah seorang tokoh besar dan pemimpin Bu-tong-pai, bagaimana dapat bersikap seperti anak kecil begini?" tiba-tiba terdengar suara merdu dan lantang.

"Akulah yang menjadi saksi akan kebenaran keterangan Ouw Pangcu. Aku yang membantunya mengobati lukanya di dada yang terkena pukulan tangan Sin-ciang Tai-hiap Yo Han!"

Semua orang memandang dan lima orang tosu Bu-tong-pai kini memperhatikan Kim Giok dengan pandang mata penuh selidik. "Siancai, kalau boleh kami mengetahui, siapakah Nona dan apa hubungan Nona dengan Ouw Pangcu?"

"To-tiang, Nona ini adalah Nona Cu Kim Giok, puteri dari majikan Lembah Naga Siluman, pendekar Cu Kun Tek. Ia keturunan keluarga Cu, penghuni Lembah Naga Siluman. Apakah Totiang juga meragukan ucapannya dan tidak percaya?" kata Ouw Seng Bu.

Lima orang tosu itu nampak kaget, akan tetapi Thian To-cu mengerutkan alisnya dan pandang matanya kepada gadis itu nampak ragu. Seorang gadis cantik manis bermata indah yang usianya paling banyak baru delapan belas tahun! Kalau benar gadis itu puteri keluarga yang amat terkenal itu, bagaimana dapat berada di Thian-li-pang?

"Maafkan kami, Nona. Kami belum pernah melihat Nona, walaupun kami sudah mendengar akan nama besar keluarga Lembah Naga Siluman. Bagaimana kami dapat yakin bahwa Nona adalah puteri majikan Lembah Naga Siluman?"

"Singgg....!!" Nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan Kim Giok sudah mencabut pedangnya. "Pendeta yang sombong, lihat baik-baik, apakah engkau masih meragukan pedangku ini?" bentak Kim Giok. Pedang Koai-liong Po-kiam nampak berkilat menyilaukan mata dan ketika dicabut tadi, suara berdesingnya mengandung suara seperti harimau mengaum.

Melihat pedang itu, Thian To-cu terkejut dan cepat dia memberi hormat. "Koai-liong Po-kiam! Ah, maafkan kami, nona Cu. Setelah Nona maju sebagai saksi, kami tidak meragukan kebenarannya. Akan tetapi, yang membuat kami sukar percaya adalah bagaimana mungkin Sin-ciang Tai-hiap dapat dikalahkah oleh Ouw Pangcu yang murid mendiang Lauw Pangcu? Padahal, Lauw Pangcu sendiri, gurunya, tidak akan mampu menandingi Sin-ciang Tai-hiap! Bukankah hal ini amat aneh dan sukar dipercaya?"

"Ngo-wi To-tiang," kata Ouw Seng Bu, suaranya terdengar dingin dan pandang matanya mencorong, "haruskah seorang murid lebih lemah dibandingkan gurunya? Ingat, To-tiang, orang muda mempunyai kesempatan jauh lebih banyak untuk memperoleh kemajuan daripada gurunya yang sudah tua. Kalau Ngo-wi masih belum percaya akan kemampuanku sehingga aku terpilih menjadi ketua Thian-li-pang dan mampu menandingi Yo Han, silakan To-tiang berlima maju dan menguji kemampuanku!"

Mendengar tantangan ini, lima orang tosu Bu-tong-pai saling pandang. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai, dan kini mereka berlima ditantang untuk menghadapi seorang pemuda!

"Ha-ha-ha-ha-ha, aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa lima orang kakek Bu-tong-pai yang sombong ini tidak akan mampu bertahan sampai tiga puluh jurus melawan Ouw Pangcu. Ha-ha-ha!" Siangkoan Kok berkata sambil tertawa mengejek dan minum araknya. Itulah ejekan yang amat merendahkan lima orang tosu itu! Mempertaruhkan kepalanya! Akan tetapi ini bukan sekedar bualan kosong belaka. Siangkoan Kok sudah mengenal lima orang tosu itu dan tahu akan tingkat kepandaian mereka berlima. Dia sendiri pun akan mampu menandingi pengeroyokan lima orang tosu itu. Walaupun dia belum dapat memastikan bahwa dia akan berada di pihak pemenang. Kalau tidak lima orang itu disatukan hanya sebanding dengan tingkatnya, maka tidak mungkin mereka

berlima mampu bertahan sampai tiga puluh jurus menghadapi pemuda ketua Thian-li-pang yang memiliki ilmu kepandaian aneh namun dahsyat itu.

"Siancai! Thian-li-pang sungguh memandang rendah Bu-tong-pai, dan kami ingin sekali membuktikan apakah ketua baru Thian-li-pang memang seorang sakti yang mampu menewaskan Sin-ciang Taihiap. Ouw Pangcu, kami berlima mohon petunjuk!"

berkata demikian, Thian To-cu melintangkan tongkatnya di depan dada, sedangkan empat orang sutenya juga sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka membuat suatu barisan ngo-heng-tin (barisan lima unsur).

Ouw Seng Bu maklum bahwa dia harus memperlihatkan kepandaiannya, bukan saja untuk menundukkan dan sekedar memberi hajaran kepada lima orang tosu yang memandang rendah kepadanya itu, melainkan juga untuk mendatangkan kesan kepada mereka yang belum mau bekerja sama atau tunduk kepada Thian-li-pang. Dia tahu bahwa peristiwa ini tentu akan disebarluaskan oleh mereka yang hadir dan sebentar saja dunia kang-ouw akan mendengar betapa ketua Thian-li-pang telah mengalahkan lima orang tosu tokoh Bu-tong-pai. Dia lalu maju dan menghadapi lima orang tosu yang sudah memasang barisan di tengah ruangan itu, di tempat yang cukup luas dan semua tamu menonton dengan hati penuh ketegangan.

Melihat Ouw Seng Bu menghadapi lima orang tosu itu dengan tangan kosong, padahal lima orang itu memegang senjata dan mereka membentuk suatu barisan, hati Kim Giok menjadi resah.

"Ouw Pangcu, pergunakan pedangku ini!" katanya dan dia pun sudah meloncat ke depan, mencabut pedang Koailiong Po-kiam dan menyerahkan pedang itu kepada Seng Bu.

Ouw Seng Bu merasa girang bukan main. Dengan ilmunya yang ajaib, yaitu Bu-kek Hoat-keng, dia tidak gentar menghadapi pengeroyokan lima orang tosu itu walaupun dia tidak memegang senjata. Akan tetapi, sikap gadis itu yang menyerahkan pedangnya kepadanya, membuktikan bahwa Kim Giok benar sayang kepadanya dan mengkhawatirkan keselamatannya. Dia pun menerima

pedang itu.

"Terima kasih, sebetulnya tanpa pedang pun aku tidak gentar menghadapi lima orang tosu yang tinggi hati ini."

"Ouw Pangcu, sambutlah serangan kami!" kata Thian To-cu sambil menggerakkan tongkatnya menyerang. Seng Bu menyambut dengan pedang Koai-liong Po-kiam dan terdengar suara mengaung menyeramkan karena dia menggerakkan pedang itu dengan mengerahkan sin-kangnya. Thian To-cu yang mengenal pedang ampuh, menarik kembali tongkatnya dan meloncat ke samping. Dua orang tosu lain sudah menyerang dari kanan kiri, diikuti dua orang lain lagi yang sudah siap untuk melakukan serangan sambung menyambung, dan Thian To-cu sendiri yang sudah menyelinap ke arah belakang lawan juga siap dengan tongkatnya.

Seng Bu maklum bahwa lima orang tosu itu menjadi berbahaya karena mereka bergerak mengikuti kedudukan bintang Ngo-heng yang perubahannya otomatis dan kadang amat ganas itu. Seng Bu mengerahkan tenaga Bu-kek Hoat-keng dan memutar pedangnya. Tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedang yang menyilaukan mata dan suara mengaung-ngaung itu sungguh menggetakkan hati para pengeroyok. Karena cara Seng Bu bergerak amatlah aneh, seperti kacau balau akan tetapi semua serangan senjata lawan dapat digagalkan, lima orang tosu itu terseret oleh kekacauan gerakannya sehingga kerapian gerakan barisan Ngo heng-tin itu juga menjadi retak. Tiba-tiba Seng Bu mengeluarkan teriakan melengking yang begitu nyaring mengerikan, sehingga bukan saja membuat lima orang lawannya terkejut, juga semua orang yang berada di situ tergetar dan merasa ngeri. Teriakan itu bukan seperti suara manusia, mengandung gaung yang aneh dan seketika membuat lima orang tosu itu seperti kehilangan kesadaran. Kemudian terdengar suara keras lima kali berturut-turut dan empat batang pedang beserta sebatang tongkat telah tersambar dan patah-patah oleh sinar pedang Koai-liong Po-kiam!

Lima orang tosu itu berlompatan mundur dengan kaget bukan main. Dalam waktu belasan jurus saja, senjata mereka telah patah-patah dan ini berarti bahwa mereka telah kalah. Ucapan Siangkoan Kok tadi terbukti!

"Ha-ha-ha, sekawanan tosu sombong sekarang baru menyaksikan tingginya langit!" Siangkoan Kok tertawa bergelak, diikuti oleh mereka yang memang sudah tunduk kepada Thian-li-pang.

Seng Bu yang tadinya seperti kesetanan, kini sudah tenang kembali dan dia pun menghampiri Kim Giok dan mengembalikan pedang gadis itu. Gadis itu masih duduk tercengang. Tadi ia melihat betapa pemuda pujaan itu seperti telah berubah. Gerakannya demikian aneh, seperti bukan orang bersilat, seperti orang gila atau binatang buas mengamuk, dan suaranya tadi! Juga matanya mencorong aneh dan mengerikan. Akan tetapi sekarang dia telah kembali menjadi seorang pemuda yang tampan dan lembut seperti biasanya, yang mengembalikan pedangnya dengan senyum manis. Ia pun menerima pedang itu dan menyarungkannya kembali, tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah pemuda itu.

"Terima kasih, Giok-moi," kata Seng Bu dan dia pun kembali menghadapi lima orang tosu yang masih berdiri tertegun.

"Apakah Totiang berlima masih penasaran? Masih tidak percaya bahwa aku telah mengalahkan Yo Han yang hendak membunuhku dan kini dia telah tewas di dalam sumur tua?" tanyanya, tersenyum, akan tetapi senyumnya dingin dan pandang matanya mengejek dan merendahkan. Lima orang tosu itu merasa penasaran sekali. Sukar bagi mereka untuk menerima kekalahan dari seorang pemuda,

padahal mereka tadi maju bersama.

"Ouw Pangcu, senjata kami rusak karena keampuhan pedang Koai-liong Pokiam, akan tetapi kami belum merasa kalah." kata Thian To-cu.

"Lalu To-tiang mau apa?" Seng Bu menantang.

"Kita lanjutkan pertandingan dengan tangan kosong agar kalah menang ditentukan oleh kepandaian, bukan oleh keampuhan senjata."

"Baik, kalau Totiang masih penasaran, silakan!" Seng Bu menantang.

"Ha-ha-ha, dasar tosu-tosu tolol, tak tahu diri!" Siangkoan Kok mencela dari tempat duduknya.

"Semua orang tahu bahwa orang-orang Bu-tong-pai mengandalkan ilmu pedangnya. Kalau menggunakan pedang saja kalah, apalagi bertangan kosong. Mencari penyakit, ha-ha-ha, para tosu tolol yang mencari penyakit!" Bekas ketua Pao-beng-pai ini tertawa-tawa.

Mendengar ejekan ini, lima orang tosu Bu-tong-pai menjadi marah. Mereka sudah memasang kuda-kuda dan Thian To-cu berseru, "Ouw Pangcu, sambut serangan kami!"

Orang-orang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Cu Kim Giok, Siangkoan Kok dan beberapa orang di antara tamu, terkejut melihat cara lima orang tosu itu membuka penyerangan mereka. Thian To-cu berada di depan, empat orang sutenya menempelkan telapak tangan di punggungnya. Jelas bahwa mereka berlima itu menyatukan tenaga sakti mereka untuk mengalahkan Seng Bu. Kim Giok terkejut sekali, maklum betapa kuatnya tenaga lima orang tosu yang dipersatukan itu. Bahkan Siangkoan Kok sendiri mengerutkan kening dan memandang khawatir. Akan tetapi, Kim Giok menahan teriakannya untuk mencegah kekasihnya menyambut serangan itu karena memang sudah terlambat. Seng Bu sama sekali tidak mengelak, bahkan dia juga mendorongkan kedua telapak tangan ke depan untuk menyambut serangan gabungan itu.

"Desss....!!" Dua pasang telapak tangan bertemu dengan dahsyatnya dan lima orang tosu itu terjengkang roboh! Ilmu yang dikuasai Seng Bu memang hebat dan aneh. Biarpun dipelajarinya secara ngawur dan tidak menurut aturan, namun tidak kehilangan keampuhannya, bahkan lebih aneh lagi dan mengandung racun yang hebat. Ilmu Bu-kek Hoat-keng aselinya, biarpun dahsyat, namun dapat dikendalikan, dan memang memiliki daya penolak atau mengembalikan kekuatan lawan yang menyerangnya. Akan tetapi, yang dikuasai Seng Bu sudah berubah, tenaga dahsyat itu tidak dapat dikendalikannya dan mengandung racun hebat. Akan tetapi daya tolaknya masih ampuh sehingga ketika lima orang tosu itu menyerangnya dengan tenaga gabungan yang dahsyat, tenaga itu membalik dan memukul diri mereka Sendiri!

Peristiwa robohnya lima orang tosu ini mengejutkan semua orang, dan amat mengagumkan dan melegakan hati Kim Giok. Bahkan Siangkoan Kok terkejut dan kagum bukan main, membuat dia semakin yakin akan kelihaian ketua Thian-li-pang yang masih muda itu. Lima orang tosu itu bangkit dengan muka pucat. Yang paling parah adalah Thian To-cu yang muntah darah. Seng Bu memberi hormat dan berkata, "Totiang berlima melihat sendiri bukti ketangguhan kami. Sebaiknya kalau Totiang membawa Bu-tong-pai bekerja sama dengan kami untuk berjuang dan kalau Bu-tong-pai menolak, kami harap tidak lagi mengganggu kami."

"Maafkan kami yang tak tahu diri, kami mengaku kalah." kata Thian To-cu dan dibantu empat orang sutenya, dia pun meninggalkan tempat itu diikuti suara tawa Siangkoan Kok.

******

Thian To-cu dengan susah payah menuruni Bukit Naga, dibantu oleh empat orang sutenya yang juga menderita luka guncangan dalam dada. Mereka terpukul oleh tenaga mereka sendiri yang membalik, akan tetapi yang paling parah adalah Thian To-cu karena dia bukan saja terguncang hebat oleh pukulannya yang membalik, juga dia dilanda hawa beracun yang membuat dadanya sesak dan warna kulit dadanya menghitam! Setelah tiba di kaki bukit, Thian To-cu tidak tahan lagi dan roboh pingsan!

Pada saat empat orang to-su dengan bingung merubung suheng mereka dan berusaha menyadarkannya, mereka mendengar, suara seorang wanita yang bertanya, "To-tiang sekalian, apakah yang terjadi dan kenapa To-tiang itu? Eh, bukankah kalian tosu-tosu dari Bu-tongpai?"

Empat orang tosu itu menengok. Seorang gadis telah berdiri di situ. Gadis yang masih amat muda, belum dua puluh tahun usianya. Cantik jelita dan gagah sekali sikapnya. Pakaiannya berwarna merah.

"Aih, bukankah dia Thian To-cu Totiang dari Bu-tong-pai?" kata lagi gadis itu dengan nada suara heran. "Kenapa dia?"

Kini dua di antara empat orang tosu itu teringat bahwa gadis ini pernah satu kali singgah di kuil mereka. "Kiranya Ang-ho Li-hiap (Pendekar Wanita Bangau Merah)!" seru seorang di antara mereka. "Kami berlima baru turun dari bukit, berkunjung ke Thian-li-pang dan kami dilukai oleh ketuanya."

"Ahhhhh?" Gadis itu adalah Tan Sian Li, Si Bangau Merah. Tentu saja ia merasa heran bukan main mendengar ketua Thian-li-pang melukai lima orang tosu Bu-tong-pai. Bukankah Thian-li-pang merupakan perkumpulan para patriot gagah perkasa? Bahkan Yo Han menjadi pemimpin besar mereka. Kenapa kini ketuanya memukul orang-orang Bu-tong-pai? Kalau ia tidak salah ingat, Yo Han pernah bercerita tentang Thian-li-pang dan ketuanya adalah Lauw Kang Hui, seorang kakek yang gagah perkasa. Akan tetapi,

yang lebih penting adalah menolong tosu yang terluka itu. Bu-tong-pai adalah perkumpulan orang gagah, para muridnya banyak yang menjadi pendekar. Bahkan ayahnya menghormati Bu-tong-pai, maka sudah sepantasnya kalau ia mencoba menolong para tosu itu.

"Biarkan aku memeriksanya, siapa tahu, akan dapat mengobati dan menyembuhkannya," katanya. Melihat sikap gadis muda itu yang tenang dan tegas, empat orang tosu itu mundur dan membiarkan Sian Li melakukan pemeriksaan. Sian Li berjongkok dekat tubuh Thian To-cu yang masih pingsan, lalu memegang pergelangan tangannya, merasakan denyut nadinya. Ia mengerutkan alisnya. Dari denyut nadi itu ia maklum bahwa keadaan tosu itu cukup gawat dan dia menderita luka dalam yang mengandung hawa beracun!

"Coba ceritakan, apa yang terjadi bagaimana dia sampai terluka dalam seperti ini." katanya. Empat orang tosu itu menceritakan tentang perkelahian mereka melawan ketua Thian-li-pang, tentang adu tenaga yang mengakibatkan mereka semua terluka.

Sian Li mengerutkan alisnya. "Hemmm, sungguh aneh. Aku harus memeriksa keadaan tubuhnya. Tolong bukakan bajunya, aku ingin memeriksa dadanya."

Seorang tosu membuka baju yang menutupi dada Thian To-cu dan mereka terkejut melihat dada itu kehitaman. Sian Li meraba dada itu dan mengangguk-angguk. "Dia telah terkena hawa beracun yang aneh sekali. Bagaimana mungkin ketua Thian-li-pang dapat melakukan pukulan sekeji ini?"

"Pemuda itu memang keji, aneh, seperti iblis!"

"Pemuda? Bukankah ketua Thian-lipang sudah tua?"

"Dia masih muda sekali, Lihiap, paling tua dua puluh empat tahun."

"Ahhh? Bukankah ketuanya bernama Lauw Kang Hui dan sudah tua?"

"Bukan. Lauw Kang Hui sudah mati, dan dialah ketua baru yang penuh rahasia."

Sian Li merasa heran. "Biarlah kucoba mengobati suheng kalian ini lebih dahulu." katanya dan gadis murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) ini lalu mengeluarkan dua batang jarum emas. Ia mengobati Thian To-cu dengan cara menusuk jarum. Tidak sampai setengah jam ia mengobati tosu tua itu, warna hitam di dada pendeta itu lenyap dan tosu Bu-tong-pai itu siuman, dan biarpun masih agak lemah, telah mampu bangkit.

"Siancai...., kiranya Si Bangau Merah yang telah mengobatiku. Terima kasih atas pertolonganmu, Tan-lihiap." kata Thian To-cu.

"Totiang, apa sih yang telah terjadi di Thian-li-pang? Bukankah ketuanya bernama Lauw Kang Hui, dan bagaimana sekarang tiba-tiba muncul ketua baru yang masih muda dan memiliki ilmu pukulan keji itu? Aku sendiri hendak naik ke sana dan mencari kalau-kalau Han-koko berada di sana."

"Siapakah Han-koko itu, Lihiap?" tanya Thian To-cu.

"Yang kumaksudkan adalah koko Yo Han, Sin-ciang Tai-hiap. Bukankah dia merupakan pemimpin besar Thian-li-pang?"

Mendengar ini, Thian To-cu menghela napas panjang dan wajahnya berubah muram. "Siancai...., suatu keanehan terjadi di atas sana, Lihiap." Dia memandang ke atas bukit. "Karena terjadinya perubahan aneh di Thian-li-pang, maka kami berlima datang terkunjung untuk melakukan penyelidikan dan meminta keterangan. Akan tetapi, kami dihadapkan kepada kenyataan pahit, bahkan kami sampai terluka."

Tentu saja, Sian Li tertarik sekali. "Ceritakan, Totiang. Apa sih yang terjadi dengan Thian-li-pang?"

"Mula-mula kami mendengar berita yang meresahkan hati, bahwa para pimpinan Thian-li-pang, yaitu Lauw Kang Hui dan beberapa orang pembantunya, telah tewas. Kemudian terdengar berita bahwa Thian-li-pang mempunyai seorang ketua baru dan sejak itu sepak terjang Thian-li-pang menjadi aneh. Mereka menundukkan hampir semua perkumpulan silat dan tokoh kang-ouw di daerah ini, membujuk atau memaksa mereka untuk bekerja sama. Bahkan golongan sesat, bersekutu pula dengan golongan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, sebetulnya, kami dari Bu-tong-pai tidak ingin mencampuri urusan dalam, sampai ada sebuah berita yang membuat kami merasa penasaran sekali dan memaksa kami untuk datang berkunjung. Berita itu adalah bahwa para pemimpin Thian-li-pang itu dibunuh oleh Sin-ciang Tai-hiap Yo Han."

"Ahhhhh.... tidak mungkin....!!" Sian Li berseru, kaget bukan main.

"Kami juga tidak percaya akan berita itu, Lihiap. Kami mengenal siapa Sin-ciang Tai-hiap. Apalagi membunuh para pimpinan Thian-li-pang padahal dia pemimpin besar di sana, bahkan para penjahat pun tidak ada yang dibunuhnya. Dia menundukkan penjahat dan menasihatinya, membujuknya sehingga banyak penjahat kembali ke jalan benar. Akan tetapi, ada berita lain yang terlalu aneh. Yang mendorong kami melakukan penyelidikan, yaitu bahwa baru beberapa hari ini, Sin-ciang Tai-hiap dibunuh oleh ketua baru Thian-li-pang!"

"Ahhhhh....!!" Kini Sian Li meloncat berdiri dan mukanya berubah pucat sekali, matanya terbelalak. "Aku.... aku tidak percaya!!"

"Kami juga tidak percaya akan keterangan yang diberikan ketua baru Thian-li-pang itu sehingga terjadi bentrokan antara kami dan dia. Akan tetapi, dia ternyata amat lihai dan memiliki ilmu pukulan yang amat keji. Kami kalah dan pergi dalam keadaan.luka."

"Kalau begitu, aku harus menyelidiki ke sana. Selamat berpisah, Totiang!" Setelah berkata demikian, nampak berkelebat bayangan merah dan Sian Li sudah lenyap dari depan para tosu itu.

Thian To-cu menghela napas panjang dan menggeleng kepalanya.

"Sungguh berbahaya sekali, akan tetapi mudah-mudahan Tan-lihiap akan mampu menandingi iblis itu," katanya. Mereka berlima merasa prihatin sekali, akan tetapi juga tidak berdaya.

Dengan hati diliputi kegelisahan mendengar Yo Han dibunuh ketua baru Thian-li-pang yang kabarnya masih muda itu, Sian Li berloncatan dan mempergunakan ilmu berlari cepat mendaki Bukit Naga.

"Berhenti!!" Tiba-tiba terdengar seruan dan dari balik pohon dan semak belukar, berloncatanlah sepuluh orang anggauta Thian-li-pang dan mereka mengepung Sian Li. Ketika melihat bahwa yang datang tanpa diundang dan mereka kepung itu hanya seorang gadis cantik berpakaian serba merah, sepuluh orang anggauta Thian-li-pang itu tertegun lalu mereka tertawa-tawa dan mereka menyarungkan kembali golok mereka karena mereka tentu saja memandang rendah seorang gadis, cantik seperti Sian Li. Akan tetapi, biarpun mereka kagum akan kecantikan Sian Li, mereka tidak berani bersikap kurang ajar. Ketua mereka mempunyai hubungan luas dengan dunia kang-ouw dan kalau ternyata gadis ini seorang sahabat ketua mereka, maka kekurang-ajaran mereka cukup untuk menjadi alasan mereka dihukum berat oleh ketua mereka.

"Nona, siapakah Nona dan ada keperluan apakah mendaki Bukit Naga? Apakah Nona seorang tamu dari Thian-li-pang?"

Karena merasa amat khawatir akan keselamatan Yo Han yang kabarnya dibunuh ketua Thian-li-pang, Sian Li langsung saja bertanya, "Apakah kalian ini anak buah Thian-li-pang?"

"Benar, Nona. Siapakah Nona dan ada keperluan apa Nona datang berkunjung?"

"Siapakah nama ketua Thian-li-pang sekarang?" tanya Sian Li.

Orang-orang itu saling pandang, masih ragu-ragu karena belum tahu apakah gadis ini teman ataukah lawan, Ouw pangcu kami bernama Ouw Seng Bu," kata pemimpin mereka, seorang yang bertubuh kurus kering dan mukanya kuning.

"Katakan kepada Ouw-pangcu bahwa aku ingin bertemu. Namaku Tan Sian Li."

Mendengar bahwa gadis cantik ini hendak bertemu dengan ketua mereka, orang-orang Thian-li-pang itu tidak berani bersikap lancang. Si kurus kering berkata, "Mari silakan mengikuti kami, Nona. Kami akan melaporkan kepada ketua kami."

Sian Li mengikuti mereka memasuki perkampungan Thian-li-pang dan berhenti di depan gedung induk yang menjadi tempat tinggal ketua Thian-li-pang. Si kurus kering segera masuk untuk melaporkan kepada Ouw Seng Bu.

Pada saat itu, Ouw Seng Bu sedang bercakap-cakap dengan Cu Kim Giok dan Siangkoan Kok. Siangkoan Kok sedang melaporkan tentang hasilnya menaklukkan partai-partai persilatan dan perkumpulan besar di dunia kang-ouw untuk bekerja sama dengan mereka mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah. Cu Kim Giok hanya sebagai pendengar saja. Gadis ini semakin kagum kepada Ouw Seng Bu dan tidak lagi memandang rendah kepada Siangkoan Kok atau para tokoh perkumpulan sesat yang telah bergabung dengan Thian-li-pang. Ia menganggap bahwa di dalam perjuangan menentang penjajah, memang semua kekuatan harus dipersatukan, seperti yang dikatakan pemuda yang dicintanya itu. Ia menyadari sepenuhnya bahwa kadang-kadang kekasihnya itu bertindak kejam, namun ia menghibur hatinya yang merasa tidak cocok itu bahwa memang demikianlah perjuangan. Ia menganggap kekasihnya seorang pejuang sejati, seorang pahlawan dan pendekar. Dan sikap Ouw Seng Bu terhadap dirinya demikian baik, sopan, ramah dan penuh perhatian, penuh kasih sayang!

Daun pintu ruangan itu diketuk orang. Ouw Seng Bu mengerutkan alisnya. "Masuk!" katanya lantang. Si kurus kering membuka daun pintu dan masuk, disambut bentakan Ouw Seng Bu. "Ada urusan apa sampai engkau berani mengganggu kami?"

"Maaf, Pangcu. Kami mengadakan penjagaan di lereng dan bertemu dengan seorang gadis berpakaian merah yang menanyakan Pangcu dan minta bertemu dengan Pangcu. Karena itu, kami mengajaknya datang dan sekarang ia menanti di ruangan depan."

"Siapakah namanya dan apa keperluannya?"

"Ia tidak mengatakan keperluannya, hanya ingin bicara dengan Pangcu dan namanya Tan Sian Li...."

"Ah, ia Sian Li....!!" seru Cu Kim Giok kaget, heran dan juga girang.

"Si Bangau Merah....!!" Seru pula Siangkoan Kok.

"Kalian sudah mengenalnya?" tanya Ouw Seng Bu heran. "Siapakah gadis itu, Giok-moi?"

"Bu-koko, Tan Sian Li adalah puteri paman Tan Sin Hong." jawab Kim Giok. "Kami pernah saling bertemu dalam pesta ulang tahun Paman Suma Ceng Liong."

"Ia adalah Si Bangau Merah, puteri Pendekar Bangau Putih dan ibunya adalah keturunan keluarga Istana Gurun Pasir." kata pula Siangkoan Kok.

"Ahhh....!" Ouw Seng Bu terkejut sekali. "Ada keperluan apa ia datang ke sini? Aku tidak mengenalnya." Lalu kepada si kurus kering dia berkata, "Persilakan Nona Tan Sian Li untuk menunggu di kamar tamu. Aku segera menemuinya di sana."

Setelah si kurus kering pergi, dia menoleh kepada Kim Giok. "Giok-moi, engkau mengenalnya dengan baik. Apa yang harus kulakukan?"

"Aku agak khawatir, Koko, karena aku pernah mendengar bahwa Sian Li saling mencinta dengan Yo Han. Jangan-jangan ia datang untuk...."

Wajah Ouw Seng Bu berubah. "Ah, kalau begitu kita harus membuat persiapan untuk mengatasinya. Ia merupakan ancaman bagi kita."

"Koko, harap engkau jangan mengganggu Sian Li. Kita harus mencari jalan agar ia tidak memusuhi kita, bahkan membujuknya agar membantu perjuangan kita." kata Kim Giok.

"Engkau benar, Giok-moi. Akan tetapi bagaimana kalau ia tidak mau dan hendak membalas dendam karena kematian Yo Han?"

"Kalau begitu, kita habisi gadis itu karena membahayakan kita!" kata Siangkoan Kok.

"Aku tidak setuju!" kata Cu Kim Giok tegas, "Aku tidak rela kalau ia dibunuh! Ia masih kerabat dekat orang tuaku.

Tidak mungkin aku membiarkan orang membunuhnya!"

"Giok-moi, apakah engkau membiarkan ia membalas dendam atas kematian Yo Han dan menghancurkan Thian-li-pang kita? Apakah engkau rela kalau ia membunuhku? Kalau kita biarkan ia pergi, dan ia mengajak ayahnya dan semua keluarga menyerang, kita akan celaka.

Keluarga Suling Emas dan Gurun Pasir merupakan kerabat dekat dan bagaimana kita dapat menanggulangi mereka yang memiliki banyak orang sakti?"

"Tidak, aku tidak ingin ia membunuhmu, akan tetapi juga tidak ingin engkau membunuhnya. Kita mencari jalan terbaik. Aku akan membujuknya agar Ia mau melihat kenyataan bahwa Yo Han tewas karena ulah sendiri dan agar ia tidak memusuhi kita."

"Andaikata usahamu itu gagal?"

"Kalau begitu, terserah, akan tetapi aku tetap melarang ia dibunuh."

"Baiklah, Giok-moi, kalau ia berkeras kita tangkap dan tawan saja ia sebagai tamu, agar ia melihat sepak terjang kita dalam perjuangan."

Terdengar ketukan pada daun pintu dan suara si kurus kering tadi, "Lapor, Pangcu. Nona Tan sudah menanti di ruangan tamu."

"Baik, kami segera datang. Mari, Giok-moi!" Siangkoan Kok tidak ikut karena kalau dia muncul di depan Si Bangau Merah, tentu akan mengejutkan gadis itu dan mendatangkan kesan buruk karena mereka pernah bermusuhan dan bertanding.

Sian Li sudah menjadi tidak sabar menanti terlalu lama, maka ketika mendengar langkah orang dari dalam, ia sudah bangkit berdiri. Dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah seorang pemuda tampan bersama seorang gadis yang dikenalnya sebagai Cu Kim Giok! Akan tetapi, ia takut kalau salah lihat dan mungkin gadis itu orang lain yang hanya mirip Cu Kim Giok, maka dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian.

"Sian Li....!" Cu Kim Giok yang berseru sambil menghampiri Si Bangau Merah. "Kiranya engkau!"

"Jadi benar engkau Cu Kim Giok? Kim Giok, bagaimana engkau dapat berada di sini?"

"Panjang ceritanya, Sian Li. Perkenalkan, ini adalah Ouw Seng Bu, pangcu dari Thian-li-pang. Silakan duduk!"

Sian Li masih keheranan, akan tetapi ia pun duduk berhadapan dengan mereka setelah membalas penghormatan Ouw Seng Bu kepadanya. Pangcu yang masih muda itu bersikap sopan dan hormat sekali.

"Sungguh merupakan kehormatan besar menerima kunjunganmu, Nona. Bukankah Nona yang berjuluk Si Bangau Merah? Sudah lama kami mengenal nama besar Nona di dunia kang-ouw." kata Ouw Seng Bu.

"Ouw-pangcu, aku datang ke sini untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Kuharap engkau suka menjawab sejujurnya!"

"Sian Li, Ouw-pangcu adalah seorang pendekar, seorang pahlawan bangsa yang sedang berjuang untuk menentang penjajah Mancu. Tentu saja dia akan menjawab semua dengan sejujurnya." kata Cu Kim Giok.

"Kim Giok, aku berurusan dengan Ouw-pangcu, harap engkau tidak mencampuri." kata Sian Li, masih ragu dan heran melihat keakraban antara gadis itu dan ketua Thian-li-pang. Memang ia merasa ingin tahu sekali bagaimana Kim Giok dapat berada di situ, akan tetapi ia mengesampingkan keinginan tahu ini karena ia lebih mementingkan jawaban tentang Thian-li-pang dan terutama tentang Yo Han seperti yang didengarnya dari para tosu Bu-tong-pai.

"Tanyalah, Nona. Saya akan menjawab sejujurnya." kata Ouw Seng Bu. Sian Li berpikir, biarpun ia ingin sekali segera mendengar tentang Yo Han, akan tetapi ia ingin mengajukan pertanyaan secara teratur.

"Ouw-pangcu, aku mendengar bahwa Thian-li-pang menaklukkan banyak partai persilatan dan memaksa para tokoh kang-ouw untuk bekerja sama dengan Thian-li-pang, bahkan Thian-li-pang bersekutu dengan perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pal. Benarkah itu dan mengapa demikian! Setahuku, Thian-li-pang adalah perkumpulan pejuang yang gagah perkasa yang menentang partai-partai sesat. "

Ouw Seng Bu tersenyum. Sebelum pendekar wanita itu mengajukan pertanyaan, dia telah dapat mengira apa yang akan dipertanyakan, maka, dia pun tentu saja sudah siap dengan jawabannya.

"Itulah pertanyaanmu, Nona? Memang kami akui bahwa Thian-li-pang telah mengubah siasat. Kami yakin benar bahwa tanpa adanya persatuan, pengerahan seluruh tenaga yang ada di tanah air, mustahil akan dapat mengenyahkan penjajah Mancu dari tanah air kita. Karena itulah, maka kami memang membujuk, bahkan kalau perlu memaksa, menyadarkan semua pihak untuk bekerja sama dalam satu perjuangan menentang penjajah dan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan. Karena itu, kami tidak berpantang untuk barsekutu dengan pihak manapun, termasuk Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang kami anggap sebagai rekan-rekan seperjuangan."

"Aku setuju sekali dengan tindakan itu, Sian Li," kata Kim Giok.

"Begitukah? Sekarang pertanyaan ke dua. Aku mendengar bahwa para pimpinan Thian-li-pang, termasuk pangcu Lauw Kang Hui, telah tewas dibunuh orang. Benarkah itu, dan kalau benar, apa yang terjadi dan siap pelakunya?" Dengan jantung berdebar namun wajah tetap tenang, sepasang matanya mencorong mengamati wajah ketua Thian-li-pang itu, Sian Li menanti jawaban.

Ouw Seng Bu menghela napas panjang sebelum menjawab, "Pertanyaan ini amat menyedihkan hati saya, akan tetapi selalu saja orang menanyakannya. Memang benar, Nona. Suhu Lauw Kang Hui, juga suci Lu Sek dan suheng Lauw Kin, susiok Su Kian dan su-siok Thio Cu, mereka semua telah terbunuh. Bagaimana terjadinya, kami semua tidak mengetahui jelas. Yang kami tahu adalah

bahwa mereka itu tewas dan dari tanda pukulan pada tubuh mereka, jelaslah bahwa pembunuhnya adalah Sin-ciang Tai-hiap Yo Han."

"Tidak mungkin!" Sian Li berteriak. "Sin-ciang Tai-hiap Yo Han adalah seorang pendekar besar, bahkan dia juga tokoh pimpinan dan kehormatan Thian-li-pang. Bagaimana mungkin dia membunuh para tokoh Thian-li-pang sendiri?"

"Kami sendiri memang merasa heran dan berduka, Nona. Sin-ciang Tai-hiap Yo Han dahulunya adalah pujaan kami semua, menjadi tokoh kami. Akan tetapi banyak sekali anggauta Thian-li-pang yang menyaksikan kematian para tokoh kami itu dan jelas bahwa mereka melihat bekas pukulan pada tubuh mereka, pembunuhnya adalah Pendekar Tangan Sakti Yo Han."

"Hemmm, begitukah? Sekarang pertanyaan terakhir. Aku mendengar bahwa engkau, Ouw Seng Bu, telah membunuh Sin-ciang Tai-hiap Yo Han. Benarkah itu?" berkata demikian, Sian Li bangkit berdiri, matanya mencorong dan suaranya terdengar lantang.

Ouw Seng Bu nampak tegang dan gelisah lehernya basah oleh peluh. "Nona Tan Sian Li, sungguh hal ini amat menyedihkan. Entah apa yang terjadi pada diri Sin-ciang Tai-hiap karena dia telah berubah sama sekali. Dia datang dan menyerang saya ketika saya berada didekat sumur keramat di belakang bukit. Saya terkena pukulannya yang ampuh sehingga hampir saya tewas. Akan tetapi, para saudara di Thian-li-pang membela saya dan akhirnya Yo-taihiap tergelincir ke dalam sumur tua itu. Karena kami

semua takut kepadanya yang seolah-olah telah berubah menjadi seorang yang kejam dan hendak membunuhi kami, terpaksa kami pergunakan batu-batu untuk menutup sumur itu."

"Tidak....! Bohong....! Aku tidak percaya! Kaukira aku tidak mengenal siapa Yo Han? Dia adalah kakak angkatku, suhengku, dan orang yang paling kucinta di dunia ini. Aku mengenalnya dan tidak mungkin dia melakukan semua itu. Bohong!"

"Maaf, Sian Li," kata Cu Kim Giok, "terpaksa sekali ini aku mencampuri. Aku yang menanggung bahwa keterangan Ouw pangcu tadi benar, karena aku sendiri yang menjadi saksi. Aku yang mengobati luka yang diderita oleh Ouw-pangcu akibat pukulan Yo Han! Dia terluka parah dan hampir tewas, bagaimana engkau mengatakan dia berbohong?"

"Aku tidak mengerti kenapa orang seperti engkau dapat berada di sini dan membela ketua Thian-li-pang yang baru ini, Kim Giok, akan tetapi aku tidak peduli. Siapapun yang mengatakan bahwa Yo Han melakukan itu semua, aku tetap tidak percaya kalau tidak melihat buktinya. Ouw Seng Bu, bawa aku ke tempat sumur itu, di mana kaukatakan tadi Yo Han tergelincir masuk!"

Ouw Seng Bu menghela napas panjang. "Sungguh, ini merupakan masalah yang membuat kami semua berduka, Nona. Akan tetapi kalau itu yang kaukehendaki, marilah!"

Tanpa banyak cakap lagi, Sian Li mengikuti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok keluar dari ruangan tamu dan menuju ke bagian belakang perkampungan Thian-li-pang, melalui sebuah bukit kecil. Ia tidak peduli ketika melihat puluhan orang anggauta Thian-li-pang mengikuti mereka dari jarak jauh.

Setelah tiba di sumur yang dimaksudkan, Ouw Seng Bu berhenti dan menunjuk ke arah sumur itu. "Di situlah dia tergelincir masuk, Nona."

Mendengar bahwa kekasihnya tergelincir ke dalam sumur tua itu dan ditimbuni batu-batu, Sian Li merasa jantungnya seperti diremas dan kedua kakinya menjadi limbung ketika dengan terhuyung ia menghampiri sumur itu. Ketika ia tiba di tepi sumur dan melongok ke dalam, ingin rasanya ia menjerit melihat betapa sumur itu telah tertutup batu, memang tidak penuh sekali, akan tetapi dasarnya tidak nampak karena tertutup batu-batuan. Wajahnya menjadi pucat dan matanya mencorong akan tetapi basah ketika ia membalikkan tubuhnya. Ia melihat bahwa Seng Bu berdiri tegak dan di belakangnya nampak puluhan orang anak buah Thian-li-pang. Kim Giok berdiri di samping Ouw Seng Bu dan kelihatan bingung dan gelisah.

"Ouw Seng Bu, cepat perintahkan anak buahmu untuk menggali sumur ini, mengangkat semua batu yang telah ditimbunkan ke dalamnya!"

"Aih, Nona, bagaimana mungkin sumur ini merupakan sumur keramat bagi kami Thian-li-pang...."

"Tidak peduli! Batu-batu itu dilemparkan ke dalam sumur oleh orang-orang Thian-li-pang, maka mereka pula yang harus mengangkatnya dari dalam sumur. Aku ingin melihat bukti keteranganmu tadi. Aku ingin melihat....mayat.... Han-koko. Kalau engkau tidak mau menuruti permintaanku, berarti engkau membohongi aku, dan aku akan membunuhmu!"

"Sian Li, kuharap engkau jangan bersikap seperti ini. Percayalah, kami tidak membohongimu. Lebih baik kita sekarang mengerahkan tenaga kita untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah, itu lebih mulia daripada kita saling bentrok sendiri. Tidak ada yang membohongimu, Sian Li. Agaknya telah terjadi sesuatu sehingga Yo Han menjadi berubah...."

"Tutup mulutmu, Kim Giok! Han-koko selamanya tidak berubah. Dia seorang pendekar dan orang gagah sejati. Sedangkan Ouw Seng Bu ini orang macam apa? Kita tidak mengenal dengan baik, siapa tahu semua ini hanya akal busuknya saja. Buktinya, dia telah bersekongkol dengan golongan sesat!"

Pada saat itu terdengar seruan keras dan para anggauta Thian-li-pang otomatis membuat gerakan mengepung sumur tua itu sehingga dengan sendirinya Sian Li juga ikut terkepung! Dan dari rombongan itu muncullah Siangkoan Kok bersama dua orang berjubah pendeta yang bukan lain adalah Im Yang Ji tokoh Pat-kwa-pai dan Kui Thian-cu tokoh Pek-lian-kauw.

Ouw Seng Bu kini melangkah maju dengan sikapnya yang gagah. Dengan suara yang dibuat menyesal dia berkata, "Nona, semua ini adalah kesalahanmu sendiri. Engkau tidak percaya kepada kami dan hendak membongkar sumur keramat ini, berarti engkau telah

menghina Thian-li-pang. Karena kami sedang menghimpun tenaga untuk perjuangan, maka sikapmu yang bermusuhan ini tentu saja akan membahayakan kami, misalnya engkau melapor kepada pemerintah penjajah. Karena itu, menyerahlah, terpaksa kami akan menawanmu."

"Singgg....!" nampak sinar emas mencorong dan di tangan gadis berpakaian merah itu telah terdapat sebatang suling berselaput emas yang panjangnya seperti pedang.

"Hem, sikapmu ini saja sudah menunjukkan dengan jelas bahwa engkau telah berbohong! Aku yakin bahwa engkau memutar-balikkan kenyataan. Han-koko belum tewas, atau andaikata dia tewas pun tentu engkau sengaja menjebaknya! Aku yakin akan hal itu. Engkau hendak menawanku dan menyuruh aku menyerah? Jangan mimpi! Si Bangau Merah tidak mengenal kata menyerah. Kalian hendak mengandalkan pengeroyokan? Boleh, boleh! Kulihat bekas ketua Pao-beng-pai, Siangkoan Kok, telah berada pula di sini dan dua orang tosu yang tentu merupakan orang-orang sesat!"

"Tangkap gadis sombong ini!" Ouw Seng Bu membentak dan Siangkoan Kok, dua orang tosu Pat-kwa-pai dan Peklian-kauw, segera menggerakkan senjata mereka. Ouw Seng Bu sendiri juga menerjang maju dengan tangan kosong. Para anggauta Thian-li-pang mengepung ketat. Menghadapi para pengeroyok yang mulai menyerangnya, Sian Li memutar sulingnya dan nampaklah gulungan sinar emas menyambar-nyambar di antara berkelebatnya bayangan merah. Gerakan gadis ini cepat bukan main, juga amat indah dan gulungan sinar emas itu mengandung tenaga kuat sehingga dalam beberapa gebrakan saja, beberapa batang senjata anak buah Thian-li-pang terlepas dari pegangan, bahkan dua orang anggauta perkumpulan itu roboh terkena sambaran sinar suling emas.

"Semua mundur, biarkan kami saja yang menghadapinya!" bentak Ouw Seng Bu yang maklum akan kelihaian Si Bangau Merah itu. Para anggauta Thian-li-pang yang memang sudah merasa jerih segera mengendurkan pengepungan dan kini yang menghadapi Sian Li hanya tinggal empat orang, yaitu Siangkoan Kok, Im Yang-ji, Kui Thian-cu dan Ouw Seng Bu sendiri. Akan tetapi Cu Kim Giok masih belum bergerak, dan hanya menonton tiga orang sekutunya yang kini mulai menggerakkan senjata menyerang gadis berpakaian merah yang memegang suling emas itu. Agaknya, Ouw Seng Bu masih tidak percaya kalau tiga orang sekutunya yang merupakan tokoh-tokoh kang-ouw yang amat tangguh itu tidak akan mampu menundukkan Sian Li.

"Bu-koko, engkau tidak boleh membunuhnya. Aku akan marah sekali kepadamu kalau engkau membunuhnya."

"Giok-moi, ia berbahaya sekali. Kalau sampai lolos, ia tentu akan melapor kepada pemerintah dan kalau pasukan besar pemerintah datang menyerbu, kita belum siap menghadapi mereka."

"Tangkap saja, tawan saja akan tetapi jangan bunuh. Aku tidak rela kalau ia dibunuh. Kita adalah pejuang-pejuang, tidak akan membunuhi kaum pendekar, Koko!"

Ouw Seng Bu mengangguk. Dia pun maklum bahwa membunuh Si Bangau Merah akan mendatangkan akibat yang amat berbahaya, karena kalau sampai Pendekar Sakti Bangau Putih mendengar bahwa puterinya terbunuh oleh Thian-li-pang, dan pendekar sakti itu mengerahkan kekuatan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, bagaimana mungkin Thian-li-pang akan kuat bertahan?

"Paman Siangkoan Kok dan kedua Totiang, tangkap saja Si Bangau Merah, jangan bunuh dan jangan lukai. Kami ingin menawannya." serunya kepada tiga orang sekutunya. Mendengar seruan ketua Thian-li-pang itu, tiga orang tokoh yang mengeroyok Sian Li mengubah gerakan mereka. Siangkoan Kok menggunakan pedangnya hanya untuk menangkis suling di tangan gadis itu, sedangkan yang melakukan serangan adalah tangan kirinya, dengan cengkeraman, tamparan atau totokan. Demikian pula dengan dua orang tosu pengeroyok. Im Yang-ji tokoh Pat-kwa-pai memutar pedang hanya untuk mengurung gadis itu dengan sinar pedangnya dan yang menyerang adalah tangan kirinya dengan ilmu totokan yang ampuh dari Pat-kwa-pai dengan gerakan ilmu silat Pat-kwa-kun. Juga Kui Thian-ou, tokoh Pek-lian-kauw menyerang dengan ujung lengan bajunya yang kiri, menotok untuk merobohkan Sian Li, sedangkan pedangnya juga hanya untuk membendung gerakan suling emas yang dahsyat itu. Kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Sian Li masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian tokoh Pat-kwa-pai atau tokoh Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi, bagaimanapun gadis yang usianya belum genap dua puluh tahun itu masih ketinggalan kalau dibandingkan dengan kepandaian Siangkoan Kok, datuk sesat yang banyak pengalaman itu. Menghadapi pengeroyokan tiga orang tokoh itu, tentu saja Sian Li merasa berat sekali dan dalam beberapa gebrakan saja ia sudah merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Ia pasti tidak akan mampu bertahan terlalu lama kalau tiga orang pengeroyoknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi ketika Ouw Seng Bu mencegah mereka agar tidak membunuhnya, maka hal itu membuat Sian Li dapat bertahan lebih baik. Bahkan beberapa kali sambaran sinar sulingnya hampir saja mengenai tubuh lawan. Melihat betapa tiga orang sekutunya yang biasanya dapat diandalkan untuk menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw. yang tidak mau bekerja sama itu sampai sekian lamanya

belum juga mampu menundukkan Si Bangau Merah. Ouw Seng Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia melompat ke dalam medan perkelahian itu. "Bu-koko, jangan bunuh atau lukai Sian Li!" Cu Kim Giok berteriak.

Ouw Seng Bu juga tidak bodoh untuk membunuh seorang tokoh seperti Si Bangau Merah, apalagi kalau Cu Kim Giok yang dicintanya itu melarangnya. Dia sudah meloncat dan mengeluarkan ilmunya yang aneh, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan. Akan tetapi dia menjaga agar tangannya yang mengandung racun ampuh itu tidak sampai membunuh gadis yang diserangnya.

Ketika ada angin pukulan yang amat dingin datang menerpanya, Sian Li yang memang sudah terdesak, terkejut bukan main. Ia mengenal pukulan ampuh, dan untuk meloncat menghindar, tidak ada jalan lagi. Senjata tiga orang pengeroyoknya yang terdahulu sudah menutup semua jalan keluar dengan sinar pedang mereka. Terpaksa ia mengerahkan sinkang dan menyambut pukulan itu.

"Desss....!!" Sian Li terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan Siangkoan Kok untuk melancarkan totokan jari tangannya dan tubuh Sian Li yang terhuyung itu nyaris terkena totokan. Gadis yang memiliki ginkang luar biasa ini, cepat memutar sulingnya dan tubuh itu mencelat ke samping. Dalam keadaan yang amat gawat itu ia masih mampu menghindarkan diri dari totokan! Akan tetapi, kini empat orang lihai itu sudah mengepungnya.

Pada saat yang amat gawat bagi Sian Li itu muncullah dua orang yang tanpa banyak cakap lagi segera terjun ke dalam perkelahian itu. Mereka itu seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Pangeran Cia Sun dan Sim Hui Eng, atau tadinya bernama Siangkoan Eng!

Seperti kita ketahui, Pangeran Cia Sun ditawan oleh Sim Hui Eng yang mengira pangeran itu yang menyebabkan kematian ibunya dan kehancuran Pao-beng-pai. Kemudian pangeran itu membuka rahasia Hui Eng sehingga gadis itu mengetahui bahwa ia bukanlah puteri Siangkoan Kok, bukan pula puteri mendiang Lauw Cu Si yang selama ini dianggap ibu kandungnya. Bahkan dalam pertemuan itu, mereka saling menemukan cinta mereka dan akhirnya Cia Sun mengajak kekasihnya untuk menemui orang tua kandungnya yang aseli, yaitu pendekar sakti Sim Houw dan Can Bi Lan.

Dalam perjalanan, mereka mendengar tentang sepak terjang Thian-li-pang yang menundukkan banyak tokoh dan perkumpulan kang-ouw. Hal ini menimbulkan kecurigaan di hati Cia Sun. Dia sudah menjadi saudara angkat Yo Han dan dia tahu bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan pejuang, perkumpulan para pendekar gagah perkasa yang memperjuangkan kemerdekaan bagi tanah air dan bangsanya. Bahkan saudara angkatnya itu, Si Tangan Sakti Yo Han, menjadi ketua kehormatan perkumpulan itu. Akan tetapi sekarang apa yang didengarnya? Perkumpulan itu memaksa para tokoh kang-ouw untuk tunduk, bahkan juga terdengar bahwa para anggauta perkumpulan itu tidak segan melakukan kejahatan.

"Aku harus datang ke sana, aku harus menegur kakakku Yo Han!" kata pangeran itu. Sim Hui Eng siap membantu kekasihnya untuk menegur Yo Han agar menghentikan sepak terjang Thian-li-pang yang tidak baik itu. Demikianlah, mereka membelokkan perjalanan dan menuju ke Bukit Naga, pusat perkumpulan Thian-li-pang. Ketika tiba di tempat itu dan melihat Sian Li dikeroyok empat orang, Sim Hui Eng berkata kepada pangeran Cia Sun, "Koko, itu Si Bangau Merah Tan Sian Li yang dikeroyok!"

Cia Sun memandang dan merasa kagum. Gadis berpakaian serba merah itu memang lihai bukan main. Begitu gagah ia memainkan suling emasnya, dan gadis itulah yang dijodohkan dia! Kalau saja tidak ada Sim Hui Eng yang dicinta dan mencintanya, tentu akan berubah sikapnya terhadap pilihan orang tuanya itu. Akan tetapi dia mencinta Sim Hui Eng, dan tidak ada seorang bidadari pun yang akan mampu memisahkan dia dan Hui Eng.

"Kalau begitu, kita harus membantunya."

"Benar, kita harus membantunya. Lihat, para pengepungnya itu lihai, bahkan bekas ayahku yang jahat itu pun ikut mengeroyoknya." Dengan kemarahan meluap teringat akan perbuatan Siangkoan Kok yang amat jahat, terbayang kembali betapa ia dihajar dan hampir dibunuh bekas ketua Pao-beng-pai, apa yang dilakukan orang yang bertahun-tahun ia anggap ayah kandungnya itu terhadap Tio Sui Lan, muridnya sendiri, membuat ia marah dan ketika ia melompat dan menerjang ke arah Siangkoan Kok,

serangannya dahsyat bukan main. Pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kirinya menyambar dahsyat dengan jarum-jarum maut!

"Ehhh.... kau....!??" Siangkoan Kok terkejut bukan main ketika mengenal penyerangnya. Akan tetapi, Hui Eng tidak memberi dia banyak kesempatan dan gadis itu sudah menyerang terus, membuat Siangkoan Kok terpaksa melayaninya dengan sungguh-sungguh karena dia maklum bahwa tingkat kepandaian bekas puterinya ini sudah mencapai tingkat tinggi dan tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri. Adapun Cia Sun sudah memutar pedangnya pula membantu Sian Li sehingga Si Bangau Merah itu kini mendapat keringanan, tidak lagi terdesak seperti tadi.

Sian Li sendiri terkejut dan heran melihat Sim Hui Eng. Ia masih mengenal gadis itu sebagai gadis Pao-beng-pai yang pernah datang mengacau dalam pesta keluarga di rumah pendekar Suma Ceng Liong. Dan kini gadis itu membantunya, bahkan bertanding seru melawan bekas ketua Pao-beng-pai sendiri! Juga ia tidak mengenal siapa pemuda bertubuh tegap bermuka bundar putih dan tampan itu, yang datang membantunya pula. Akan tetapi Si Bangau Merah segera melihat kenyataan bahwa biarpun bantuan mereka berdua itu telah menolongnya dari himpitan para pengeroyok akan tetapi tingkat kepandaian mereka belum cukup tinggi untuk mampu merebut kemenangan dari para pimpinan Thian-li-pang.

"Bu-koko, jangan bunuh mereka! jangan!!" kembali Cu Kini Giok berseru.

Melihat kesempatan setelah ia tidak lagi begitu terhimpit berkat pertolongan kedua orang itu, Sian Li segera memutar sulingnya dan berkata, "Sobat, mari kita pergi!" Ia memutar sulingnya dengan ilmu silat Kim-siauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan tangan kirinya masih meluncurkan pukulan jarak jauh sehingga dua orang tosu dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw terpaksa harus mundur. Cia Sun maklum bahwa kalau Si Bangau Merah berteriak mengajak mereka pergi, hal itu tentu berarti bahwa pihak musuh terlampau kuat. Maka dia pun berseru, "Eng-moi, kita pergi!"

Tiga orang muda itu berloncatan dengan cepat untuk melarikan diri. Ketika Ouw Seng Bu hendak mengejar, Kim Giok berseru, "Koko, jangan kejar mereka!"

Ouw Seng Bu meragu dan hal ini menguntungkan Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng. Kecuali Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok, tidak ada yang akan mampu menahan mereka pergi. Dan, agaknya karena Ouw Seng Bu ragu-ragu untuk melakukan pengejaran oleh pencegahan Cu Kim Giok, maka Siangkoan Kok juga jerih untuk melakukan pengejaran sendiri. Semua keraguan ini membuat Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng dapat berlari cepat meninggalkan sarang Thian-li-pang.

Setelah mereka lari sampai ke kaki bukit dan tidak ada yang kelihatan melakukan pengejaran Sian Li menghentikan langkahnya dan dengan sendirinya Cia Sun dan Hui Eng juga berhenti berlari.

Dengan leher basah oleh keringat, mereka saling pandang dan akhirnya Sian Li yang lebih dulu bicara, suaranya agak ketus dan ucapannya ditujukan kepada Hui Eng. "Sekarang boleh kaukatakan kepadaku, apa artinya ini semua? Engkau yang pernah mengacau dan memusuhi keluarga kami, kenapa sekarang mendadak membantuku? Bukankah engkau tokoh Pao-beng-pai dan Siangkoan Kok tadi ketua Pao-beng-pai?"

Sebelum Hui Eng menjawab, dan hal ini terasa sukar baginya, Cia Sun yang mendahuluinya memberi keterangan, "Nona Tan Sian Li, memang telah terjadi perubahan besar sekali atas diri Eng-moi ini. Jangankan engkau atau orang lain, ia sendiri pun terheran ketika mendengar tentang keadaan dirinya."

Sian Li mengerutkan alisnya dan kini mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik. Sikapnya masih dingin, "Hemmm, sebelum engkau bercerita, katakan dulu siapa engkau ini dan bagaimana engkau dapat mengenal namaku!"

Wajah pangeran itu berubah menjadi kemerahan dan dia pun salah tingkah. "Ehhh.... sebetulnya.... yang mengenalimu tadi bukanlah, aku, melainkan Eng-moi ini, Nona. Aku bernama Cia Sun...."

"Cia....??" Kini Sian Li terbelalak memandang pemuda itu dan perlahan-lahan kedua pipinya berubah kemerahan. "Cia Sun....? Kau.... maksudkan pangeran....?"

"Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Cia Sun yang oleh orang tua kita...." Dia tidak melanjutkan kata-katanya.

"Sudahlah, Pangeran. Harap engkau suka menceritakan tentang semua ini, tentang Enci ini, tentang perubahan yang kaukatakan tadi." Sian Li memotong untuk mengalihkan pembicaraan karena ia menjadi rikuh sekali kalau harus bicara tentang hubungan antara mereka. Siapa yang tidak menjadi rikuh dan gugup kalau secara tiba-tiba dihadapkan kepada seorang pemuda yang oleh ayah ibunya dicalonkan menjadi suaminya.

"Nona, ketika Eng-moi ini memusuhi keluargamu dan para pendekar, adalah seorang gadis yang bernama Siangkoan Eng, puteri dari ketua Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Adapun sekarang, Eng-moi bukanlah puteri ketua Pao-beng-pai, bahkan musuhnya, karena Eng-moi ini sebenarnya adalah puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan, yang hilang ketika masih kecil."

Sian Li terbelalak. "Aihhh....! Jadi engkau.... engkau inikah puteri Paman Sim Houw yang hilang itu? Engkau yang dicari-cari semua pendekar, dicari oleh Han-koko dan aku pun ikut membantu mereka mencarimu? Dan engkau bahkan pernah datang menemui kami sebagai seorang musuh yang sengaja menantang kami?"

"Benar sekali, adik Sian Li. Ketika itu, aku sama sekali tidak pernah mimpi bahwa aku bahkan anggauta keluarga dekat dengan keluarga yang kutantangi sama sekali tidak tahu bahwa aku bukanlah anak kandung Siangkoan Kok dan isterinya. Wanita yang sejak aku kecil mengaku sebagai ibu kandungku adalah Lauw Cu Si, seorang keturunan Beng-kauw yang memusuhi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir." Kemudian, secara singkat namun jelas, diceritakanlah semua tentang dirinya, tentang Siangkoan Kok dan Lauw Cu Si kepada Sian Li yang mendengarkan dengan bengong. Cerita itu sungguh seperti dongeng dan tentu saja ia tidak dapat menyalahkan Hui Eng atas sikapnya ketika memusuhi keluarganya dahulu. Bahkan ia lalu memegang kedua tangan Hui Eng.

"Aihhh, enci Hui Eng. Sungguh malang nasibmu, sejak kecil dipisahkan dari ayah ibu kandung dan dipelihara oleh orang-orang sesat. Akan tetapi dasar engkau keturunan suimi isteri pendekar, maka biarpun engkau mendapat didikan para tokoh sesat, tetap saja engkau setelah dewasa berjiwa pendekar dan menentang kejahatan. Lalu, bagamana ceritanya, engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan.... Pangeran Cia Sun ini dan kalian dapat datang tepat pada waktunya selagi aku terancam oleh pengeroyokan mereka tadi?"

"Kami saling berkenalan ketika aku dan kakak angkatku Yo Han...."

"Kakak angkatmu, Pangeran?" Sian Li terbelalak.

"Benar, Nona. Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan aku telah saling mengangkat saudara. Kami bertemu di Pao-beng-pai, kemudian kami mengangkat saudara setelah kami menjadi tawanan di Pao-beng-pai. Untung ada adik Eng ini yang membebaskan kami. Kemudian, Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah dan isteri Siangkoan Kok, yang dianggap ibu kandung oleh Eng-moi, tewas. Aku yang mengkhawatirkan nasib Eng-moi, ikut pasukan untuk mencarinya. Akan tetapi ia tidak ada dan aku sempat bertemu dengan isteri Siangkoan Kok yang tewas oleh suaminya sendiri. Sebelum meninggal dunia, wanita itulah yang membuka rahasia Eng-moi kepadaku." Pangeran itu menghentikan kisahnya dan kini Hui Eng yang melanjutkan.

"Aku mengira bahwa Pangeran Cia Sun yang membawa pasukan menghancurkan Pao-beng-pai. Aku tidak peduli Pao-beng-pai yang jahat itu hancur akan tetapi aku mendendam karena wanita yang tadinya kuanggap ibu kandungku itu tewas. Maka, aku menyusul dia dan menawannya, dengan maksud membunuhnya di depan makam ibuku. Akan tetapi, aku mendengar ceritanya dan aku mengetahui keadaan diriku. Kami.... kami berbaik kembali apalagi setelah aku mendengar bahwa wanita yang kuanggap ibu kandungku itu tewas di tangan Siangkoan Kok."

"Tapi, kenapa kalian dapat datang ke Thian-li-pang?" tanya Sian Li yang masih terkesan oleh kisah yang terjadi antara kedua orang itu.

Pangeran Cia Sun yang mengambil keputusan untuk berterus terang lalu menyambung cerita kekasihnya. "Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa orang tua kita telah menjodohkan kita, akan tetapi sebaiknya aku berterus terang kepadamu, nona Tan Sian Li. Biarpun setelah bertemu denganmu aku merasa bahwa orang tuaku telah melakukan pilihan yang tepat dan bahkan terlalu baik

untukku, akan tetapi aku telah saling jatuh cinta dengan Eng-moi dan kami telah bersumpah untuk menjadi suami isteri. Maafkan aku kalau menyinggung..."

Sian Li tersenyum! Senyum yang cerah dan sedikit pun tidak mengandung penyesalan sehingga melegakan hati Cia Sun dan Hui Eng. "Aku bahkan merasa lega dan gembira dengan pernyataanmu ini, Pangeran. Terus terang saja, aku sendiri pun sama sekali tidak setuju dengan tindakan ayah dan ibuku yang memilihkan seorang calon suami untukku, seorang yang sama sekali tidak kukenal dan tidak kuketahui bagaimana orangnya. Nah, sekarang ceritakan bagaimana kalian dapat datang ke sini.

"Aku hendak mengantar Eng-moi menghadap ayah ibu kandungnya yang tinggal di Lok-yang. Akan tetapi dalam perjalanan itu kami mendengar akan sepak terjang orang-orang Thian-li-pang. Aku merasa penasaran sekali bagaimana Thian-li-pang berubah menjadi perkumpulan yang menyeleweng, padahal, kakak angkatku Yo Han menjadi ketua kehormatannya. Aku lalu mengajak Eng-moi untuk berkunjung, dan kalau ada Yo-toako, aku ingin menegurnya."

Sian Li kembali terheran-heran. "Pangeran, apakah engkau tidak tahu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan pejuang yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah!? Dan engkau sendiri seorang pangeran kerajaan Ceng...."

"Benar, Nona. Aku seorang Pangeran Mancu, pemerintah penjajah. Akan tetapi aku sendiri tidak menyetujui penjajahan dan menganggap bahwa perjuangan para orang gagah itu memang sudah benar dan menjadi hak mereka. Aku tidak ingin mencampuri urusan itu, aku bercita-cita menjadi orang biasa yang tidak mencampuri urusan pemerintahan. Bahkan kami sekeluarga pun tidak

mau mempunyai ambisi untuk memegang kedudukan. Karena itu, selama perkumpulan pejuang benar-benar merupakan pahlawan dan patriot sejati, aku menghormati mereka. Akan tetapi kalau mereka itu melakukan penyelewengan dan menjadikan perjuangan sebagai kedok untuk menutupi kejahatan yang mereka lakukan, aku pasti akan menentang mereka."

Sian Li menganggak-angguk kagum dan ia memandang kepada Hui Eng.

"Aih, enci Eng, engkau telah mendapatkan seorang calon suami yang gagah perkasa. Sekarang tahulah aku mengapa ayah dan ibu berkeras hendak menjodohkan aku dengan Pangeran Cia Sun! Harap kaulanjutkan ceritamu, Pangeran." Mendengar ucapan San Li yang begitu jujur dan terbuka, memuji pangeran itu begitu saja tanpa disembunyikan, sepasang kekasih itu tersipu akan tetapi

juga merasa suka dan kagum kepada Si Bangau Merah.

"Kami segera mendaki Bukit Naga ini dan melihat engkau dikeroyok tadinya aku merasa ragu karena tidak tahu urusannya. Akan tetapi begitu Eng-moi mengenalmu dan menyebutkan namamu, kami berdua segera terjun dan membantumu."

Sian Li menghela napas panjang. "Pertolongan Tuhan datang melalui apa saja, bahkan yang tidak pernah terduga sekalipun. Siapa pernah menduga bahwa ia akan diselamatkan oleh orang yang ditunangkannya akan tetapi tak pernah dikenalnya dan ditolaknya, dan oleh orang yang tadinya jelas memusuhi keluarganya? Kalian datang tepat sekali pada saatnya, karena tadi aku sudah hampir tidak tahan menghadapi mereka, terutama sekali Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang yang amat lihai itu."

"Sekarang tiba giliranmu, Nona. Kami ingin sekali mengetahui bagaimana engkau dapat berada di sana tadi dan di keroyok banyak orang lihai?" tanya Cia Sun.

Ditanya begitu, Sian Li teringat akan Yo Han dan tiba-tiba wajahnya menjadi muram. Kalau saja ia bukan seorang gadis yang tabah dan berhati baja, tentu ia sudah menangis karena teringat bahwa mungkin sekali pria yang dikasihinya itu telah tewas.

Cia Sun dan Hui Eng melihat perubahan muka Sian Li itu dan mereka saling pandang. Ketika beberapa kali Sian Li hanya menghela napas panjang dan menunduk, alisnya berkerut, Cia Sun menjadi tidak sabar lagi.

"Nona, apakah yang telah terjadi? Apakah ada sesuatu yang membuat engkau enggan menceritakan kepada kami? Kalau begitu, engkau tidak usah menceritakannya...."

"Tidak, Pangeran, bukan begitu, akan tetapi, ah, hatiku risau dan gelisah. Maafkan kelemahanku dan biar kuceritakan dari semula. Sebelum kuceritakan semuanya, sebaiknya kalau aku pun membuat pengakuan kepadamu, pengakuan yang hanya dapat kulakukan setelah engkau berterus terang tentang hubunganmu dengan enci Hui Eng. Pangeran, aku dan kakak Yo Han.... kami berdua.... ehhh..."

Melihat keraguan Sian Li dan perubahan mukanya yang menjadi merah sekali dan bibirnya yang mengulum senyum malu-malu, Cia Sun tersenyum, "Kalian saling mencinta?" Sian Li mengerling kepadanya dan mengangguk.

"Ha, sudah kuduga, Nona. Engkau memang pantas sekali menjadi calon isteri Yo-toako. Nah, teruskan ceritamu."

"Ketika tiga orang keluarga besar berkumpul di rumah Paman Suma Ceng Liong, aku tidak melihat Yo Han koko di sana. Aku tahu bahwa dia sedang membantu Paman Sim Houw untuk mencarikan puterinya yang hilang. Karena itu, aku lalu mengambil keputusan untuk membantunya mencarikan enci Hui Eng."

Mendengar ini, Hui Eng berkata. "Aih, kalian, semua begitu baik, bersusah payah mencari aku, akan tetapi aku sendiri telah bertindak jahat, mengacau di sana...." Suaranya penuh penyesalan.

"Ah, enci Eng. Seperti yang dikatakan Pangeran tadi, ketika itu engkau bukanlah enci Sim Hui Eng yang sekarang, melainkan Siangkoan Eng puteri ketua Pao-beng-pai. Yang sudah lewat anggap saja mimpi buruk, Enci."

"Engkau benar adik Sian Li. Teruskan ceritamu." Sian Li lalu menceritakan bahwa dalam perjalanannya, ia pun mendengar tentang kejahatan orang-orang Thian-li-pang, maka ia pun merasa penasaran dan ingin menyelidiki. Ia bertemu dengan para tokoh Bu-tong-pai di lereng Bukit Naga dan mendengar penurutan mereka yang membuat ia terkejut setengah mati, yaitu bahwa kabarnya, Yo Han tewas di tangan ketua Thian-li-pang yang baru.

"Apa....?? Tidak mungkin itu!" Cia Sun berseru kaget setengah mati.

"Aku sendiri juga tidak percaya, Pangeran. Lebih tidak percaya lagi ketika OuW Seng Bu, ketua baru itu, menceritakan bahwa Han-koko telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang, dan bahwa Han-koko datang untuk membunuh dia. Dia melawan di dekat sumur tua dan dia terluka oleh pukulan Han-koko, akan tetapi para anak buah mengeroyok Han-koko yang katanya tergelincir masuk ke dalam sumur tua itu. Dan....dan.... mereka menimbuni sumur tua itu dengan batu." Suara Sian Li terdengar lirih dan penuh kegelisahan.

"Tapi, aku tetap tidak percaya! Memang ketua baru Thian-li-pang itu lihai, akan tetapi tidak mungkin dia mampu membuat Yo-toako terjatuh ke dalam sumur. Tidak mungkin Yo-toako tewas, aku tidak percaya!" kata Cia Sun keras sambil mengepal tinju, akan tetapi suaranya mengandung isak tertahan, tanda bahwa dia juga merasa gelisah sekali.

"Pangeran, biarlah adik Sian Li melanjutkan ceritanya. Lalu apa yang terjadi kemudian, Li-moi?"

"Aku menuntut kepada Ouw-pangcu agar anak buah Thian-li-pang menggali sumur itu dan menyingkirkan timbunan batu-batu. Akan tetapi dia melarang dengan alasan sumur itu keramat bagi Thian-li-pang dan tidak boleh diganggu. Kami bercekcok lalu berkelahi dan aku dikeroyok oleh mereka."

"Aku tetap tidak percaya! Nona, apakah engkau percaya akan keterangan itu? Bohong, ketua Thian-li-pang itu tentulah orang jahat yang berhasil menguasai Thian-li-pang dengan ilmunya. Mungkin dia yang telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang dan menjatuhkan fitnah kepada Yo-toako. Kita harus menyelidiki hal ini!"

"Aku pun tidak percaya, Pangeran. Akan tetapi, satu hal yang mencemaskan hatiku adalah kesaksian yang diberikan oleh Cu Kim Giok."

"Cu Kim Giok? Siapakah itu?" tanda Sim Hui Eng dan Cia Sun hampir berbareng.

"Cu Kim Giok adalah puteri Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pauw Li Sian dari Lembah Naga Siluman. Ia keturunan terakhir keluarga Lembah Naga Siluman dan masih terhitung kerabat yang ada hubungan pertalian kekeluargaan denganku. Aku merasa heran bukan main melihat ia berada di sana, bahkan nampak akrab sekali dengan Ouw-pangcu itu. Kim Giok yang memberi kesaksian bahwa Ouw-pangcu memang terluka parah oleh pukulan Han-koko. Kehadiran Kim Giok di sana bukan sembarangan saja, pasti tersembunyi rahasia di balik itu semua."

"Aih, jangan-jangan gadis itu dipengaruhi oleh Ouw Seng Bu itu."

"Aku pun menduga begitu, Pangeran. Akan tetapi, jelas bahwa Kim Giok tidak menjadi jahat karenanya. Buktinya, ia yang berkali-kali memperingatkan Ouw-pengcu agar jangan membunuhku atau melukaiku. Agaknya ia pun percaya bahwa Ouw-pangcu berada di pihak yang benar, bahwa ketua baru itu seorang pejuang, seorang pendekar dan pahlawan, dan agaknya ia pun membenarkan Ouw-pangcu dalam urusannya dengan Han-koko. Pasti ada apa-apanya di balik semua ini."

"Pangeran, adik Sian Li, kita semua sudah saling menceritakan apa yang kita alami. Sekarang tidak ada gunanya untuk menduga-duga dan berheran-heran. Yang terpenting, kita harus menyelidiki sumur tua itu dan kita harus dapat melihat kenyataan apakah benar Yo-taihiap tewas seperti dikatakan Ouw-pangcu itu. Dengan demikian, kita tidak ragu lagi dan setelah itu baru kita putuskan, tindakan apa yang akan kita ambil."

"Tepat sekali apa yang dikatakan oleh adik Hui Eng, Nona. Kami semua harus berusaha sekuat tenaga untuk mencari bukti tentang keadaan Yo-toako. Karena bukan tidak ada sebabnya kalau orang-orang Thian-li-pang menimbuni sumur yang mereka anggap keramat itu dengan batu. Walaupun kita tidak percaya akan berita tewasnya Yo-toako, namun kita harus mendapat kepastian."

Sian Li mengangguk. "Memang kalian benar, dan aku pun sudah mengambil keputusan, tidak akan pergi dari sini sebelum mendapat kenyataan yang jelas tentang diri Han-koko."

Mereka bertiga lalu turun lagi untuk mencari pedusunan di mana mereka bisa membeli makanan. Setelah membawa bekal makanan kering dan minuman, mereka bertiga lalu berangkat lagi mendaki, Bukit Naga dan mencari jalan agar dapat memasuki daerah perkampungan Thian-li-pang dari belakang, langsung menuju ke sumur tua yang berada di bagian belakang terpisah sebuah bukit kecil dari perkampungan perkumpulan itu.

******

"Adik Gan Bi Kim, kau tunggu dulu....!!" Gan Bi Kim menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh. Ia melihat pemuda itu berlari cepat menghampirinya. Wajah Bi Kim berseri gembira ketika mengenal bahwa pemuda itu adalah Gak Ciang Hun pemuda yang selalu terbayang di pelupuk matanya semenjak mereka bertemu lalu berpisah. Dalam keadaan berduka karena kasihnya yang gagal terhadap Yo Han, ia bertemu pemuda itu yang juga mengalami derita patah hati karena kasihnya terhadap Si Bangau Merah tidak terbalas. Mereka seolah-olah saling menemukan, saling menghibur dan saling mengisi kekosongan hati masing-masing. Akan tetapi, pertemuan singkat itu segera diakhiri perpisahan, membuat Gan Bi Kim merasa kehilangan. Mereka bertiga, ia, Gak Ciang Hun, dan Tan Sian Li, saling berpisah di jalan perempatan. Sian Li melakukan perjalanan ke utara, Ciang Hun ke selatan, dan Bi Kim ke timur. Mereka bertiga bertujuan sama, yaitu membantu pencarian terhadap puteri Sim Houw yang hilang sejak kecil, yaitu Sim Hui Eng.

"Gak-toako....!" Bi Kim berseru dan kini ia pun lari menghampiri, menyambut pemuda itu dengan hati terbuka dan kedua tangan di julurkan ke depan. Semenjak berpisah, ia merasa kehilangan dan kesepian, kehilangan gairah dan semangat.

"Kim-moi (adik Kim)....!"

Kedua orang itu, saling menjulurkan kedua tangan, saling tatap tanpa kata. Dua pasang mata itu bersinar-sinar, kemudian mata Ciang Hun berkaca-kaca sedangkan Bi Kim yang berusaha keras menahan keras guncangan hatinya, tidak urung meneteskan beberapa butir air mata saking merasa lega dan bahagia dapat bertemu kembali dengan orang yang amat dikenangnya.

Ketika terdapat beberapa orang pejalan kaki mendatangi, Ciang Hun menggandeng tangan Bi Kim ke tepi jalan dan mengajaknya duduk di atas batu besar. "Mari kita bicara di sini, Kim-moi," katanya.

Setelah duduk saling berhadapan di atas batu, Bi Kim berkata, "Toako, aku tadi merasa seperti dalam mimpi ketika mendengar panggilanmu kemudian melihat bahwa benar-benar engkau yang datang. Kiranya bukan mimpi dan betapa bahagianya rasa hatiku melihatmu, Toako."

Ciang Hun menggenggam tangan yang masih digandengnya. Dari tangan mereka yang saling genggam itu saja sudah terasa getaran hati mereka yang berbahagia.

"Kim-moi, aku girang sekali bahwa engkau merasa berbahagia melihat aku mengejarmu. Tadinya aku khawatir kalau-kalau engkau akan marah."

"Marah? Aih, Toako, ketika kita saling berpisah, aku merasa kehilangan pegangan, seolah hidupku hampa. Akan tetapi, apakah yang menyebabkan engkau kembali kepadaku? Apakah ada sesuatu yang penting?"

Ciang Hun tersenyum dan menggeleng kepala, nampak agak tersipu, akan tetapi dengan sejujurnya dia berkata, "Kim-moi, setelah kita saling berpisah, entah mengapa, hatiku selalu terasa berat. Lalu kupikir betapa besar bahaya yang mengancammu dalam perjalanan seorang diri. Apalagi mengingat bahwa kita sama-sama hendak membantu dan mencari Sim Hui Eng, maka apa salahnya

kalau kita mencari bersama? Dengan berdua, atau bertiga dengan Sian Li, kita akan lebih kuat menghadapi bahaya, bukan? Nah, aku lalu berbalik mengejarmu."

Bi Kim tersenyum, "Kalau begitu pikiran kita sama. Aku pun senang sekali engkau akan menemaniku, Toako. Marilah kita segera menyusul Sian Li ke utara."

"Aku pernah mendengar bahwa Yo Han menjadi pemimpin Thian-li-pang di Bukit Naga. Sian Li mungkin sekali mencari Yo Han yang dicintanya itu untuk membantunya karena Yo Han sedang mencari Hui Eng. Mari kita cari Sian Li ke sana, siapa tahu ia pergi ke Thian-li-pang di Bukit Naga."

Setelah Ciang Hun berada di sampingnya, tentu saja Bi Kim mengikuti saja ke mana pemuda itu pergi. Mereka berdua melakukan perjalanan cepat ke utara dan kini mereka merasakan betapa perjalanan mereka amat menyenangkan, tidak lagi kesepian dan kehilangan. Kita tinggalkan dulu kedua orang ini dan kita tengok keadaan Sian Li, Hui Eng, dan Cia Sun. Tiga orang ini sudah mengambil keputusan untuk menyelidiki sumur tua di belakang Thian-li-pang untuk mencari bukti kebenaran berita bahwa Yo Han berada di dalam sumur dan ditimbuni batu-batu. Setelah membuat persiapan secukupnya, tiga orang pendekar ini mendaki Bukit Naga dari arah belakang Thian-li-pang. Mereka adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka biarpun perjalanan pendakian itu amat sulit bagi orang biasa, mereka dapat juga tiba di belakang bukit yang memisahkan sumur itu dari pusat Thian-li-pang. Tempat ini memang merupakan tempat yang seolah terasing. Juga dianggap keramat oleh para murid Thian-li-pang sehingga tanpa ijin ketua, tak seorang pun anggauta berani memasuki daerah yang menyeramkan itu.

Hari masih pagi sekali ketika mereka mulai mendaki bukit dan kini matahari sudah mulai menyengatkan cahayanya setelah mereka tiba di dekat sumur yang ditimbuni batu-batu. Tempat itu nampak sunyi, tidak nampak ada seorang pun anak buah Thian-li-pang. Hal ini melegakan hati tiga orang pendekar, membuat mereka lebih leluasa untuk melakukan pemeriksaan. Andaikata di situ terdapat anak buah Thian-li-pang, mereka tentu akan merobohkan dulu sebelum dapat melakukan pemeriksaan.

Sian Li mengerutkan alisnya ketika menjenguk ke dalam sumur tua itu. Sumur itu tertutup banyak batu-batu dan rasanya tidak mungkin batu-batu itu dapat digali dan disingkirkan hanya oleh mereka bertiga. Tentu akan memakan waktu berhari-hari!

"Ahhh, benarkah Yo-toako ditimbuni batu-batu itu di dalam sumur ini?" Aku sama sekali tidak dapat percaya!"

Sim Hui Eng juga memandang ngeri ke dalam sumur itu, "Aihhh, adik Sian Li, bagaimana kita akan dapat menyingkirkan batu-batu itu? Tidak tahu sampai berapa dalamnya sumur ini dan berapa banyaknya batu yang menimbuninya."

"Bagaimanapun juga, kita harus membongkar batu-batu itu dan mengangkatnya keluar dari sumur. Kalau tidak begitu, bagaimana kita akan dapat membuktikan bualan ketua baru Thian-li-pang itu?"

Sian Li berkata, "Nanti dulu, Pangeran. Coba engkau dan enci Eng menyerang dan mengeroyokku di dekat sumur ini, aku ingin melihat kemungkinan Han-koko tergelincir ke dalam sumur. Mungkin atau tidak hal itu terjadi kalau kita sedang dikeroyok. Harap kalian mengeroyok dengan sungguh-sungguh, karena kalau benar Han-koko berkelahi melawan ketua Thian-li-pang itu, dan dikeroyok oleh para sekutunya, berarti Han-koko menghadapi banyak lawan tangguh. Nah, mulailah."

Mengerti apa yang dimaksudkan Si Bangau Merah, Cia Sun dan Hui Eng mengangguk, kemudian keduanya sudah menyerang gadis itu dari kanan kiri. Sian Li mengelak dan menangkis, dan membiarkan dirinya terdesak sampai ke tepi sumur. Dengan cara tidak membalas, ia terdesak mundur sampai ke tepi sumur. Tiba-tiba, nampak bayangan merah berkelebat ke atas dan gadis itu sudah meloncati kedua orang lawannya, bagaikan seekor burung bangau melayang, melampaui kepala mereka.

"Cukup!" katanya. "Nah, kalian lihat sendiri, aku saja kiranya dalam keadaan gawat menghadapi pengeroyokan, dapat meloloskan, diri dengan mengandalkan gin-kang. Apalagi Han-koko yang memiliki tingkat gin-kang jauh lebih tinggi dariku. Jadi, mustahil kalau sampai mereka itu dapat membuat Han-koko tergelincir ke dalam sumur, bukan?"

"Tepat, Nona. Aku pun sama sekali tidak percaya bahwa Yo-toako demikian bodoh untuk dapat dibuat tergelincir ke dalam sumur yang bibirnya cukup tinggi ini." kata Pangeran Cia Sun sambil menyentuh bibir sumur yang tingginya ada 1 satu meter itu. "Dia pasti berbohong!"

"Adik Sian Li, lalu apa yang akan kita lakukan sekarang. Apakah tidak lebih baik kita serbu saja Thian-li-pang, menangkap ketuanya dan memaksanya untuk mengaku, atau memaksa dia mengerahkan anak buahnya untuk membongkar batu-batu dalam sumur ini?" kata Hui Eng.

"Atau kalau kekuatan mereka terlampau besar bagi kita, biar aku mencari bantuan ke benteng pasukan yang terdekat."

"Nanti dulu, Pangeran. Aku memang mengkhawatirkan keselamatan Han-koko, akan tetapi kurasa andaikata benar dia tewas, tentu bukan karena perkelahian melawan orang-orang jahat itu. Dia mungkin saja tewas atau tertawan karena terjebak, dan mungkin saja tidak berada di dalam sumur ini, melainkan ditawan di suatu tempat rahasia di Thian-li-pang."

"Ahhh, itu mungkin sekali!" kata Cia Sun.

"Bagaimana kalau kita bertiga mencari secara terpencar? Dengan terpencar, selain lebih mudah menyusup, juga pencarian dapat dilakukan lebih luas," kata Hui Eng.

Wajah Sian Li nampak berseri. "Demikianlah sebaiknya, enci Eng! Akan tetapi.... ah, aku merasa tidak enak sekali karena selain merepotkan kalian, juga menyeret kalian ke dalam bahaya besar mengingat betapa lihainya mereka."

"Ihhh, nona Tan, mengapa engkau mengatakan demikian? Kakak Yo Han adalah kakak angkatku, sudah sepatutnya kalau aku rela mengorbankan nyawa sekalipun untuk membelanya!" kata Cia Sun.

"Ucapan itu tepat sekali," sambung Hui Eng. "Adik Sian Li, bukankah keluarga orang tua kita sejak dahulu merupakan keluarga besar para pendekar? Aku telah terseret ke dalam dunia sesat, akan tetapi sekarang tibalah saatnya aku menebus semua kekuranganku itu dan memperlihatkan kepada dunia bahwa aku masih tetap keturunan keluarga pendekar!"

Sian Li memandang dengan haru. "Kalau begitu, semoga Tuhan melindungi kita semua. Aku akan mengambil jalan dari sini ke kiri, dan engkau ke kanan, enci Eng. Pangeran sendiri melakukan penyelidikan di sini dan terus ke bagian belakang Thian-li-pang."

"Dan kapan kita bertemu lagi? Di mana?"

"Di sini saja. Setelah kita melakukan penyelidikan, kita kembali ke sini dan siang atau sore ini kita harus sudah kembali ke sini mengumpulkan hasil penyelidikan kita." kata Sian Li.

Setelah bersepakat, Sian Li berkelebat ke kiri dan Hui Eng meloncat ke kanan. Dalam sekejap mata saja kedua orang gadis perkasa itu telah lenyap, meninggalkan Cia Sun seorang diri. Pangeran ini termenung, hatinya diliputi penuh kekhawatiran. Pertama-tama tentu saja dia mengkhawatirkan. Hui Eng, gadis yang dicintanya, kemudian dia mengkhawatirkan Yo Han dan Sian Li. Pihak musuh terlampau kuat, dan jumlah mereka terlalu banyak. Dia memang tidak ingin mencampuri urusan pemerintah tidak mencampuri urusan perjuangan atau pemberontakan. Akan tetapi sekali ini dia harus mencari bantuan pasukan pemerintah, bukan untuk membasmi pemberontak, melainkan untuk melindungi dua orang gadis itu dan mencari keterangan tentang Yo Han. Biarpun dia tahu bahwa Hui Eng memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan belum tentu di bawah tingkat kepandaian Si Bangau Merah, akan tetapi menghadapi Thian-li-pang yang memiliki anak buah ratusan orang banyaknya, belum lagi sekutu-sekutunya yang banyak dan lihai, apa yang dapat diperbuat oleh dua orang gadis itu dibantu olehnya sendiri? Setelah berpikir keras, Cia Sun meninggalkan tempat itu, bukan untuk menyelidiki ke Thian-li-pang, melainkan kembali menuruni bukit itu untuk memasuki dusun di mana tadi mereka membeli bekal makanan. Dia tahu bahwa kurang lebih seratus li dari dusun itu terdapat benteng Siang-heng-koan di mana terdapat pasukan pemerintah. Dia sendiri tidak mungkin pergi ke sana karena dia harus membantu dua orang gadis itu.

Melihat seorang laki-laki sedang menggarap sawah di luar dusun itu, Cia Sun cepat memanggilnya dari tepi sawah. Laki-laki itu bertubuh kuat berkat pekerjaan berat di sawah dan setiap hari mandi cahaya matahari, usianya sekitar empat puluh tahun.

"Toako, kesinilah sebentar aku mempunyai urusan penting untuk dibicarakan!" kata Cia Sun.

Melihat seorang pemuda di tepi sawah memanggilnya dan pemuda itu bukan seperti seorang pemuda dusun, petani itu segera menghampiri dan tubuh atas telanjang itu nampak kekar, celananya yang hitam penuh lumpur.

"Ada urusan apakah Kongcu memanggil aku?" tanya heran.

"Sobat, maukah engkau mendapatkan penghasilan yang lebih besar jumlahnya daripada penghasilan sawahmu, selama beberapa tahun?"

"Ehhh? Apa maksudmu Kongcu? Aku tidak mengerti...."

Cia Sun mengeluarkan tiga potong besar emas dari sakunya dan memperlihatkannya kepada petani itu. "Emas ini akan kuberikan kepadamu kalau engkau suka melakukan sesuatu untukku."

Sepasang mata itu terbelalak. Biarpun selama hidupnya belum pernah dia melihat emas sebanyak itu, apalagi memilikinya, akan tetapi dia cukup dewasa untuk mengetahui bahwa tiga potong besar emas itu bukan saja amat mahal harganya dan merupakan jumlah yang lebih besar daripada hasilnya sepuluh tahun bekerja di sawah, bahkan dengan emas itu dia akan mampu membeli sawah yang luas dan rumah tinggal yang cukup baik!

"Apa yang harus kulakukan untuk Kongcu? Biarpun aku orang miskin, aku tidak mau kalau disuruh mencuri atau membunuh orang, biar dibayar berapa banyaknya pun!"

"Aih, siapa suruh engkau melakukan kejahatan? Tugasmu hanya mudah saja, yaitu mengantarkan surat ke benteng Siang-heng-koan."

"Benteng pasukan....? Ah, mana aku berani, Kongcu? Aku akan ditangkap!"

"Suratku akan membuka pintu benteng dan engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai utusanku. Katakan dulu, sanggupkah engkau?"

Karena hanya disuruh mengantar surat, dengan penuh semangat petani itu berkata, "Aku.... eh, saya sanggup, Kongcu!"

"Kalau begitu, mari kita ke rumahmu, akan kubuatkan surat itu."

Petani itu bergegas mencuci kaki tangannya, lalu mengenakan baju dan capingnya, memanggul cangkulnya dan bersama Cia Sun dia pulang. Rumahnya diujung dusun, sebuah rumah yang amat sederhana dan miskin. Mereka disambut isteri petani itu bersama empat orang anak mereka yang merasa terheran-heran melihat petani itu pulang bersama seorang pemuda tampan bukan petani.

Petani itu menyuruh anak isterinya ke belakang dan dia duduk di tengah rumah bersama tamunya. Atas permintaan Cia Sun, petani itu keluar sebentar untuk membeli alat tulis dan menyewa seekor kuda yang kuat. Kemudian, Cia Sun menulis surat kepada komandan benteng Siang-heng-koan dan surat itu dibubuhi tanda tangan dan cap yang selalu dibawanya.

"Nah, sekarang juga engkau cepat pergi menunggang kuda ke benteng itu dan emas ini boleh kaumiliki. Dengan emas ini, engkau akan dapat mengubah keadaan hidup keluargamu. Akan tetapi awas, kalau sampai surat ini tidak kausampaikan, pasukan benteng itu akan kukerahkan pasukan untuk menangkapmu dan engkau dengan seluruh keluargamu akan dihukum berat. Katakan siapa namamu!" kata Cia Sun sambil menyerahkan surat itu.

"Nama hamba Ki Siok...." kata petani itu, kini nampak takut dan hormat. "Kalau boleh hamba mengetahui nama Kongcu...."

"Katakan saja kepada komandan benteng itu bahwa engkau diutus oleh seorang yang bernama Sun dan serahkan suratku itu. Akan tetapi ingat, tidak boleh orang lain mengetahui tentang urusan kita ini dan siapapun juga tidak boleh melihat surat ini. Juga isteri dan anak-anakmu tidak boleh mengetahui."

"Baik, baik, hamba mengerti...." kata petani itu ketakutan karena sebodoh-bodohnya, dia pun dapat menduga bahwa pengirim surat ini tentulah bukan orang sembarangan, buktinya memiliki emas sebanyak itu, bersikap royal, dan berani mengirim surat kepada komandan benteng.

Setelah melihat sendiri Ki Siok meninggalkan dusun menuju ke benteng Siang-heng-koan cepat Cia Sun kembali mendaki Bukit Naga dan ke tempat yang tadi. Matahari telah naik tinggi, tengahari hampir lewat, namun dekat sumur tua itu nampak sepi, belum kelihatan kedua orang gadis itu kembali. Dia pun menunggu dengan hati berdebar tegang penuh kekhawatiran.

******

Kekuasaan Tuhan mencakup dan menyelimuti seluruh yang ada, seluruh yang nampak dan yang tidak nampak oleh mata manusia. Keadaan di seluruh alam semesta ini terjadi karena Kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan berada di dalam yang paling dalam, di luar yang paling luar, mencakup yang paling kecil sampai paling besar, yang terendah sampai yang tertinggi. Kekuasaan Tuhan jugalah yang mencipta, memelihara, dan mengadakan sampai yang meniadakan.

Segala sesuatu terjadi karena Kehendak Tuhan. Segala macam suka, duka, indah buruk, hanya merupakan ulah pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.

Sebab akibat merupakan mata rantai kait mengait yang dibentuk oleh hati akal pikiran kita sendiri. Tidak ada yang lebih kuat daripada Kekuasaan Tuhan, yang juga bekerja di dalam tubuh kita, dari ujung rambut sampai ke kuku jari kaki. Kekuasaan Tuhan bekerja sepenuhnya kalau kita menyerah. Penyerahan total yang meniadakan ulah hati akal pikiran sehingga kekuasaan Tuhan mutlak bekerja. Kalau sudah begitu, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya Tuhanlah Maha Sempurna, Maha Kuasa. Segala kehendakNya jadilah!

Ketika dia terjebak di dalam sumur tua, dan sumur itu ditimbuni batu-batu dari atas, Yo Han mengerahkan segala daya hati akal pikirannya yang memang tugasnya untuk mempertahankan manusia agar hidup dalam dunia ini. Dia berhasil menutup terowongan dalam sumur itu dengan batu besar sehingga batu-batu yang dilemparkan dari atas sumur itu tertahan oleh batu besar.

Yo Han duduk bersila di atas gulungan tali, memusatkan semua rasa diri, seolah-olah tenggelam dan membiarkan dirinya tenggelam ke dalam lautan penyerahan. Sampai malam lewat, dia tidak menyadari dan dia merasa seperti hidup di dalam lautan, atau di dalam udara tanpa datar. Tubuhnya ringan, tidak ada secuil pun pikiran mengganggu batin, bahkan tidak ada lagi rasa enak atau tidak enak. Seperti orang tidur atau orang mati, begitu kiranya keadaan. Yo Han. Hanya bedanya, dia sadar. Dia  menyadari bahwa dia berada di dasar sumur tua dan tidak ada jalan keluar. Namun pada saat dia duduk bersila seperti itu, dia tidak merasa khawatir, tidak merasa apa-apa seolah-olah tidak peduli dan tiada bedanya baginya.

Malam lewat dan setelah ada sinar matahari menyorot masuk melalui celah-celah di antara batu-batu di atas, dia seperti terbangun. Dan teringatlah dia akan semua yang terjadi kemarin. Kemarin? Hanya samar-samar dia teringat bahwa malam telah lewat, berarti dia telah semalam berada di terowongan sumur itu. Lima orang pimpinan Thian-li-pang telah tewas dan mayat mereka dilempar ke dalam sumur yang kini ditimbuni batu-batu. Kini semuanya jelas baginya. Ouw Seng Bu membunuhi para pimpinan Thian-li-pang karena ingin menguasai perkumpulan itu. Gila! Bukankah Ouw Seng Bu murid Lauw Kang Hui bahkan merupakan murid tersayang? Kalau hanya murid mendiang Lauw Kang Hui, bagaimana mungkin dia mampu membunuh lima orang tokoh pimpinan Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi itu. Dan bagaimana pula para murid Thian-li-pang mau menerima dia sebagai ketua baru? Dan yang membuat dia lebih heran lagi, bagaimana gadis yang diperkenalkan kepadanya sebagai puteri Cu Kun Tek, pendekar sakti dari Lembah Naga Siluman, dapat berada di Thian-li-pang, bahkan bersahabat baik dengan Ouw Seng Bu?

"Aku harus dapat keluar dari sini. Harus! Aku harus dapat membongkar semua rahasia Ouw Seng Bu, kalau tidak Thian-li-pang akan diselewengkan, dunia kang-ouw akan kacau balau dan kejahatan akan menjadi-jadi. Semoga Tuhan memberi bimbingan kepadaku." katanya dalam hati. Perutnya mulai terasa lapar, akan tetapi dia menampung rembesan air yang menetes-netes turun dari atas dengan kedua tangan dan setelah minum air beberapa teguk, laparnya hilang. Mulailah dia memeriksa semua dinding terowongan itu. Dinding itu terjal ke atas, licin dan keras, tidak mungkin dipanjat, apalagi di atasnya tidak nampak lubang yang cukup besar seperti mulut sumur, melainkan tertutup dan sinar yang masuk pun melalui celah-celah dari samping atas yang tidak nampak dari situ. Tiba-tiba terdengar suara mencicit dan Yo Han melihat seekor tikus yang cukup besar, sebesar anak kucing, berlari keluar dari sebuah lubang dan menggigit sebuah benda hitam kehijauan. Dia merasa heran bagaimana binatang itu dapat membawa sesuatu dengan gigitan, dan mengeluarkan bunyi mencicit pula. Tikus itu lenyap menyelinap ke dalam lubang kecil dan tak lama kemudian terdengar suara mencicit-cicit anak tikus. Yo Han tersenyum. Betapa besar kekuasaan Tuhan, pikirnya. Bahkan di tempat seperti ini pun terdapat mahluk hidup. Belum yang tidak nampak olehnya, seperti cacing dan kutu-kutu lainnya, mungkin dalam tetesan-tetesan air itu pun terdapat mahluk hidupnya! Hatinya semakin tenang karena dia yakin bahwa kekuasaan Tuhan berada di mana-mana, sehingga kalau memang Tuhan menghendaki dia tidak mati, tentu ada jalan keluar dari situ!

Tikus itu! Dia membawa benda hitam kehijauan dan kembali ke sarang, memberi makan kepada anak-anaknya. Benda tadi tentulah makanan. Teringatlah dia akan jamur-jamur atau tanaman dalam air yang terdapat di terowongan gua di mana dia pernah mempelajari ilmu dari Kakek Ciu Lam Hok!

Kini Yo Han memandang ke arah lubang dari mana tikus tadi keluar. Bukan lubang sesempit kepalan tangan ke mana tikus tadi menghilang, melainkan lubang yang cukup besar, agaknya dia akan dapat memasuki lubang itu dengan merangkak rendah. Siapa tahu, itu merupakan jalan keluar, setidaknya jalan menuju ke tempat makanan! Andaikata bukan jalan keluar sekalipun, kalau dari sana dia bisa mendapatkan makanan sebagai penyambung hidup, itu sudah lumayan namanya.

Akan tetapi, baru dua meter lebih dia merangkak melalui lubang sempit itu, lubang mengecil dan tubuhnya tidak dapat maju lagi. Terpaksa Yo Han mempergunakan tenaganya untuk membongkar batu-batu di depannya, memperbesar terowongan itu sehingga dia dapat maju lagi. Tentu saja pekerjaan ini memakan waktu dan setelah sehari penuh bekerja, dia baru dapat maju sejauh empat meter dan terpaksa menghentikan pekerjaannya karena lelah dan gelap. Dia merangkak mundur dan minum air dengan menadah air rembesan dari atas dengan kedua tangannya sampai kenyang.

Malam itu, Yo Han mengatur tali sehingga merupakan tempat tidur darurat, lumayan untuk membiarkan tubuhnya beristirahat dengan rebah terlentang. Sudah menjadi lajim bagi kita bahwa dalam keadaan menderita sengsara, kalau semua daya kita sudah tidak mampu menolong keadaan kita, maka kita baru teringat kepada Tuhan! Kita lalu merengek-rengek dan memohon kepada Tuhan agar kita dibebaskan daripada penderitaan. Tentu saja setiap orang dari kita tidak mau kalau dikatakan bahwa kita hanya teringat kepada pencipta kita kalau kita membutuhkan saja. Di waktu kita dalam keadaan senang, sewaktu kita berhasil, maka kita tidak ingat lagi kepada Tuhan dan merasa bahwa semua hasil itu adalah karena kepintaran kita! Keberhasilan mendatangkan kesombongan, kita menjadi tinggi hati dan merasa diri hebat. Sebaliknya, dalam keadaan gagal dan menderita, baru kita merasa

betapa kita lemah tak berdaya, dan kita baru berdoa dan, meminta-minta kepada Tuhan. Segela macam permintaan kita ajukan, kita mohon diberi rejeki, mohon diberi kenaikan pangkat, mohon diluluskan ujian, mohon disembuhkan dari penyakit, dan segala macam permohonan lagi. Kita lupa bahwa segala sarana yang lengkap telah diberikan Tuhan kepada kita untuk mencapai itu semua. Untuk mendapat rejeki, kita sudah diberi anggauta tubuh lengkap, berikut hati akal pikiran untuk kerja dan mencari rejeki, untuk naik pangkat kita harus bekerja dengan jujur, setia dan baik, untuk lulus ujian kita harus belajar dengan rajin, untuk sembuh dari penyakit kita harus berobat dan untuk mencegah datangnya penyakit kita harus hidup bersih dan sehat, dan sebagainya. Akan tetapi, kesenangan merupakan semua penggunaan sarana tidak sehat. Karena penggunaan akal pikiran secara tidak sehat sehingga melahirkan perbuatan yang tidak sehat pula, maka timbullah semua akibat buruk. Kalau sudah begitu, kita minta-minta kepada Tuhan agar kita dibebaskan daripada akibat perbuatan kita sendiri itu.

Berbahagialah manusia yang lahir batinnya menyerah dengan tawakal dan ikhlas kepada Tuhan, mendasari semua ikhtiar sehat di atas penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bagi seorang yang sudah dapat menyerah lahir batin, maka segala apa pun yang datang menimpa diri, merupakan kehendak Tuhan yang penuh rahasia, Tuhan mengetahui apa yang paling tepat untuk kita, baik itu merupakan hukuman atau ujian. Hukuman memang tepat untuk mengingatkan kita akan dosa kita dan ujian memperkuat batin dan iman kita. Orang yang menyerah kepada Tuhan hanya mengenal ucapan syukur dan berterima kasih kepada Tuhan, dan hanya mengenal satu permohonan, yaitu permohonan ampun atas segala dosa yang diperbuatnya di masa lalu dan bimbingan di masa depan. Tidak banyak mengeluh kalau sedang ditimpa duka, dan tidak mabuk kalau sedang di jenguk suka. Pada keesokan harinya, begitu ada sinar memasuki terowongan itu, Yo Han sudah bekerja lagi dengan rajin. Dia tidak tergesa-gesa, tidak terlalu memeras tenaganya agar tidak sampai kehabisan tenaga dan kelelahan karena perutnya yang kosong mengurangi banyak tenaganya.

Setelah tiga hari lamanya membongkar batu-batu dan hanya minum air, setelah tenaganya hampir habis, lubang itu membesar lagi sehingga dia dapat melanjutkan merangkak ke depan dan ditemukannya jamur atau tumbuhan di antara dinding batu yang basah seperti yang dibawa oleh induk tikus untuk memberi makan kepada anak-anaknya. Yo Han pernah makan jamur ini atas petunjuk mendiang kakek Ciu Lam Hok, maka tanpa ragu lagi dia pun makan beberapa potong jamur. Dan terhindarlah dia dari bahaya kelaparan! Kini dia dapat melanjutkan usahanya mencari jalan keluar dengan menjelajahi lubang-lubang yang banyak terdapat di bawah permukaan bukit itu, merupakan lubang dan terowongan bawah tanah dari batu karang yang kuat.

Sambil mengerahkan seluruh anggauta badannya, seluruh panca inderanya, didasari penyerahan kepada Tuhan, yakin bahwa kekuatan Tuhan akan membimbingnya, Yo Han terus bekerja dengan tekun, tak pernah putus asa walaupun beberapa kali lubang yang diikutinya tiba di dinding buntu dan terpaksa dia harus mencari lubang lain.

******

Kalau Yo Han dengan penuh semangat mencari jalan keluar, maka di atasnya, di permukaan bukit itu, terjadi hal-hal yang hebat, yang tentu akan menggelisahkan hati Yo Han kalau dia mengetahuinya. Bayangan tubuh Sim Hui Eng yang ramping padat itu berkelebat cepat, menyelinap di antara pohon-pohon. Ia sedang melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang, untuk mengetahui lebih banyak tentang perkumpulan itu dan kalau mungkin menyelidiki apakah benar Yo Han telah tewas, ataukah ditahan dalam rumah perkumpulan itu.

Gadis yang anggun dan cantik ini, tidak lagi bersikap dingin angkuh seperti dahulu ketika ia masih menjadi puteri ketua Pao-beng-pai, menggunakan ginkangnya dan gerakannya sedemikian cepat sehingga tidak akan kelihatan oleh orang-orang Thian-li-pang. Akan tetapi, hal ini hanya dugaanya saja karena ia mengira bahwa musuh tidak tahu akan kedatangannya. Padahal, sejak ia bersama Sian Li dan Cia Sun berada di dekat, sumur tua, para murid Thian-li-pang telah melakukan penjagaan dan Ouw Seng Bu sendiri telah mengamati gerak-gerik ketiga orang itu. Tentu saja kini gerakan Hui Eng juga sudah selalu diamati. Setelah gadis itu kini berpisah jauh dari Sian Li dan Cia Sun, dan ia melihat bagian kanan perkampungan itu nampak tidak terjaga ketat, dengan berani ia melompati pagar dan memasuki bagian belakang sebuah bangunan besar yang hendak diselidikinya. Mungkin ia dapat mendengar percakapan murid Thian-li-pang atau syukur kalau menemukan sesuatu yang akan dapat menunjukkan tentang Yo Han.

Akan tetapi baru saja ia tiba di ruangan terbuka yang tadinya sepi itu, terdengar gerakan orang dan ketika ia cepat memutar tubuhnya, ia melihat dirinya sudah terkepung oleh puluhan orang, anak buah Thian-li-pang yang kesemuanya menyeringai dengan gaya mengejek!

"Hemmm....!" Hui Eng tidak menjadi gentar dan ia sudah mempersiapkan pedang dan kebutannya. Dua orang pria yang agaknya menjadi pimpinan tiga puluh orang lebih anak buah Thian-li-pang itu melangkah maju dan berkata dengan suara yang mengandung ejekan.

"Nona, sebaiknya engkau menyerah dan kami hadapkan kepada pangcu daripada tubuhmu yang mulus itu halus lecet-lecet dan mungkin terluka."

Sinar mata Hui Eng mencorong marah. "Aku? Menyerah kepada kalian? Makanlah ini!" Pedangnya menyambar ganas. Dua orang anggauta Thian-li-pang yang memimpin rombongan itu merupakan murid yang sudah agak tinggi tingkatnya. Mereka terkejut melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyambar, akan tetapi mereka masih dapat melempar tubuh ke belakang sehingga terhindar dari maut. Para anggauta Thian-li-pang sudah mengepung ketat dan menggerakkan senjata mereka mengeroyok gadis itu.

"Tar-tar-tarrr....!!" Sinar merah menyambar-nyambar dan bulu-bulu kebutan yang halus itu merobohkan empat orang pengeroyok. Hui Eng mengamuk. Pedang dan kebutannya menyambar-nyambar menjadi dua gulungan sinar putih dan merah, dan dalam waktu belasan jurus saja sudah ada belasan orang anggauta Thian-li-pang roboh!

"Semua mundur!" terdengar bentakan dan muncullah Siangkoan Kok! Datuk ini dengan muka merah karena marah menghadapi bekas puterinya, juga muridnya yang tadinya amat disayangnya. "Eng Eng, cepat menyerah!"

Akan tetapi Hui Eng memandang kepada orang yang dahulu dianggap guru dan ayahnya itu dengan mata mencorong. "Kenapa aku harus menyerah kepadamu? Aku tidak sudi!"

Siangkoan Kok melotot. "Eng Eng, lupakah engkau bahwa aku adalah gurumu, juga pernah menjadi ayahmu yang menyayangmu?"

"Aku tidak lupa, semuanya aku tidak lupa, juga betapa engkau dengan kejam hampir membunuhku, dan engkau membunuh pula sumoi Tio Sui Lan, membunuh pula isterimu yang pernah menjadi ibuku. Aku tidak lupa dan sekaranglah saatnya aku membalaskan semua itu!" Setelah berkata demikian, dengan nekat Hui Eng sudah menerjang maju menyerang datuk yang pernah menjadi guru dan ayahnya itu.

"Keparat, kalau begitu engkau tidak layak dikasihani!" bentaknya dan Siangkoan Kok menangkis, lalu balas menyerang. Guru dan murid itu segera saling serang dengan dahsyat dan terjadilah pertandingan yang amat seru karena keduanya menyerang untuk membunuh.

Melawan bekas gurunya sendiri itu saja Hui Eng sudah kewalahan, karena betapapun juga, semua ilmunya ia dapatkan dari Siargkoan Kok, sehingga semua gerakannya telah diketahui datuk itu. Biarpun ia mengenal pula gerakan lawan, akan tetapi ia kalah pengalaman dan ilmunya kalah matang. Apalagi kini muncul dua orang tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang tanpa banyak cakap sudah maju membantu Siangkoan Kok. Hui Eng terdesak hebat dan ia hanya mampu memutar pedang dan kebutannya

untuk menangkis saja, tidak mendapat kesempatan lagi untuk membalas serangan tiga orang lawannya.

Melihat kedua orang tosu yang membantunya itu menyerang dengan sungguh-sungguh, timbul kekhawatiran di hati Siangkoan Kok bahwa gadis itu akan roboh dan tewas, atau akan terluka berat. Hal ini tidak dikehendaki oleh Ouw-pangcu, juga dia sendiri tidak ingin melihat bekas murid dan puterinya itu tewas. Dia masih sayang kepada Eng Eng, bahkan kini, setelah gadis itu bukan lagi puterinya, timbul keinginan di hatinya untuk menarik gadis itu sebagai pengganti isterinya. Dia masih sayang kepada Eng Eng dan rasa sayang sebagai guru dan ayah itu dapat dialihkan menjadi kasih sayang seorang pria terhadap seorang wanita yang menjadi isterinya.

"Jangan lukai atau bunuh gadis ini. Kita tangkap hidup-hidup sesuai perintah pangcu!" kata Siangkoan Kok dan mendengar seruan ini, kedua orang tusu lalu mengubah gerakan mereka, tidak lagi menyerang dengan pedang mereka, melainkan menggunakan pedang untuk menangkis dan menyerang dengan totokan tangan kiri untuk merobohkan gadis itu tanpa membunuhnya.

Setelah melakukan perlawanan mati-matian, akhirnya Hui Eng terkena totokan dan roboh terkulai lemas! Siangkoan Kok cepat menelikungnya dan membawanya ke dalam, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi. "Jaga baik-baik dan jangan sampai ia lolos!" pesannya kepada beberapa orang Thian-li-pang yang melakukan penjagaan. "Akan tetapi, siapa yang berani mengganggunya akan dihukum berat!"

Siangkoan Kok, Im Yang-ji dan Kui Thian-cu lalu meninggalkan tempat tahanan itu karena mereka sudah mendengar berita bahwa kini Ouw-pangcu sedang berusaha untuk menawan Si Bangau Merah.

Seperti juga Hui Eng, Sian Li melakukan penyelidikan melalui samping, perkampungan Thian-li-pang. Ia pun meloncati pagar dan sama sekali tidak mendapatkan perlawanan karena di balik pagar tembok itu tidak nampak seorang pun anggauta Thian-li-pang. Akan tetapi, tidak mudah untuk menjebak Si Bangau Merah. Ia cukup waspada dan melihat keadaan yang sepi itu, ia pun mgklum

bahwa agaknya pihak musuh telah mengetahui akan kedatangannya dan sengaja mengosongkan tempat itu untuk memasang perangkap.

Dengan gin-kangnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Sian Li berkelebat dan menyelinap ke dalam sebuah taman kecil dan dari sini ia pun meloncat ke atas benteng dan bersembunyi di balik wuwungan. Gerakannya demikian cepatnya sehingga para anggauta Thian-li-pang yang mengawasinya kehilangan jejaknya. Bahkan Ouw Seng Bu yang diam-diam juga mengamatinya dari dalam, menjadi terkejut dan bingung karena Si Bangau Merah itu tidak nampak lagi.

Dari balik wuwungan, Sian Li mengintai ke bawah dan ia tersenyum mengejek ketika melihat beberapa orang anak buah Thian-li-pang mulai bermunculan dari tempat persembunyian mereka. Seperti telah diduganya, orang-orang Thian-li-pang telah mengetahui akan kedatangannya dan sengaja bersembunyi untuk membiarkan ia masuk ke dalam jebakan mereka. Akan tetapi karena ia lenyap bersembunyi di wuwungan, mereka mulai menjadi bingung dan ada yang keluar mencari-cari.

Sian Li mengambil jalan memutar dan melihat seorang anggauta Thian-li-pang mencari ke arah belakang dengan pedang di tangan dan orang itu melongok-longok, ia lalu bergerak mendekati dari atas. Setelah cukup dekat, Sian Li menggerakkan tangan kanannya dan sepotong genteng yang ia patahkan dari ujung wuwungan menyambar dan tepat mengenai tengkuk orang itu. Dia mengeluh, pedangnya terlepas dan roboh terkulai, pingsan.

Sian Li menanti beberapa lamanya. Setelah yakin tidak ada orang melihat penyerangnya itu, ia melayang turun dan menarik lengan orang yang tak mampu bergerak itu ke dalam sebuah ruangan kosong, dan ia menutupkan daun pintu ruangan itu.

Anggauta Thian-li-pang itu terkejut bukan main ketika totokannya punah dan dia siuman, dia melihat gadis berpakaian merah itu menodongkan pedang tajam yang menggigit kulit lehernya. Pedangnya sendiri!

"Kalau engkau tidak mengaku terus terang, pedang ini akan menembus tenggorokanmu!" Sian Li mendesis dan mata orang itu terbelalak, mukanya berubah pucat, apalagi ketika dia merasa perihnya kulit leher di mana ujung pedangnya sendiri menempel.

"Saya....saya mengaku terus terang...." katanya lirih.

"Hayo katakan di mana Sin-ciang Taihiap Yo Han? Jangan bohong!"

Orang itu semakin ketakutan. "Dia.... dia.... di tempat.... tahanan...."

Berdebar rasa hati Sian Li karena lega. Seperti telah diduganya. Ouw Seng Bu membohonginya. "Di mana tempat itu? Hayo antar aku ke sana!"

"Saya....saya tidak berani.... ahhh...!" Pedang itu menusuk, masuk ke kulit lehernya sampai setengah senti, mendatangkan rasa nyeri dan ketakutan hebat. Sedikit saja nona baju merah itu menusukkan pedang itu, tentu lehernya akan tembus dan matilah dia.

"Baik.... baik...." katanya. Sian Li menarik pedangnya.

"Hayo jalan dulu, awas, kalau engkau memberi tanda atau berteriak, akan kucincang tubuhmu."

Dengan tubuh gemetar ketakutan, anak buah Thian-li-pang itu membawa Sian Li menyelinap melalui lorong kecil. Setiap kali melihat ada anak buah Thian-li-pang lainnya, orang itu ditarik oleh Sian Li untuk bersembunyi dan pedangnya menodong punggungnya. Akhirnya, setelah melalui jalan berliku-liku, orang itu membawa Sian Li memasuki ruangan bagian belakang. Bangunan di situ cukup besar dan mereka memasuki gang dan tiba di depan pintu sebuah kamar yang terbuat dari besi dan ada jerujinya yang kokoh kuat. Pintu kamar itu dipasangi rantai yang dikunci.

"Dia.... dia di sana...." Orang itu menuding ke dalam kamar tahanan itu. Sian Li menggerakkan tangan kirinya dan orang itu terkulai lemas, tak mampu bergerak lagi karena tertotok. Sian Li menghampiri jeruji pintu kamar itu dan melihat ke dalam. Jantungnya berdebar.

"Han-koko....!" Ia berseru, akan tetapi lirih karena tidak ingin membuat gaduh. Ia melihat Yo Han duduk bersila, membelakangi pintu. Ia memang tidak melihat wajah orang itu, akan tetapi perawakannya membuat ia mengenal pemuda itu, apalagi anak buah Thian-li-pang tadi mengatakan bahwa Yo Han ditawan di kamar itu.

"Han-koko....!" Ia memanggil lagi, akan tetapi orang yang bersila membelakanginya itu tidak menjawab, tidak bergerak. Agaknya Yo Han terluka parah dan sedang menghimpun hawa murni, maka tidak dapat menjawabnya, pikir Sian Li. Ia melihat betapa Yo Han menarik napas panjang dan menahan napas itu sampai lama.

Ah, Yo Han tentu terjebak musuh dan menderita luka, maka dapat tertawan, pikir Sian Li. Sekaranglah saatnya membebaskannya, karena kalau sampai Ouw Seng Bu dan sekutunya muncul, tidak akan mudah baginya untuk membebaskan kekasih hatinya itu.

"Han-koko, jangan khawatir, aku akan menolongmu!" katanya. Ia memperhitungkan bahwa kalau kamar tahanan itu dipasangi jebakan, tentu Yo Han akan memperingatkannya.

Sian Li mengeluarkan sulingnya. Suling itu hanya disaput emas, akan tetapi sebetulnya di sebelah dalamnya terbuat dari baja pilihan yang amat kuat. Ia mengerahkan tenaganya, tenaga gabungan Im-yang-sin-kang dari keluarga Pulau Es seperti yang ia pelajari dari Suma Ceng Liong, memutar sulingnya dengan ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan sinar emas menyambar ke arah lantai yang membelenggu daun pintu kamar tahanan itu.

"Tranggg.... trakkk!" Rantai itu patah dan Sian Li mendorong daun pintu kamar tahanan itu sehingga terbuka. Dengan cepat, namun hati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaan, ia pun memasuki kamar tahanan itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh di luar dan ketika ia menengok, nampak banyak anak buah Thian-li-pang memasuki rumah tahanan itu. Hemmm, ia telah ketahuan musuh, pikirnya. Ia harus cepat membebaskan Yo Han.

"Han-koko, mari kita pergi...." Ia menahan kata-katanya dan terbelalak ketika orang yang tadinya bersila membelakanginya itu meloncat ke depan, membalikkan tubuhnya dan ia berhadapan dengan Ouw Seng Bu! Kiranya, ketua Thian-li-pang itu yang tadi duduk bersila membelakanginya. Memang perawakan ketua baru ini mirip dengan perawakan Yo Han, dan agaknya sang ketua ini sengaja menyamar sehingga rambut yang dikucir bergantung dan melingkar leher itu pun sama, juga pakaiannya.

"Ha-ha-ha, Bangau Merah! Sudah kukatakan bahwa Yo Han telah berkhianat, dan dia telah mati di dalam sumur tua, dan engkau masih juga tidak percaya? Sekarang, lebih baik engkau menyerah dan membantu kami berjuang melawan penjajah, sesuai dengan nama besar keluargamu sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa."

"Keparat Ouw Seng Bu! Engkau tentu telah menjebak Han-koko! Sekarang aku harus membalas dendam kepadamu!" Setelah berkata demikian, Sian Li memutar suling dan menerjang maju. Akan tetapi, Ouw Seng Bu menghindar dengan loncatan ke kiri.

"Ha-ha-ha, engkau sudah terkepung dan masih bicara besar? Lihat di luar kamar ini anak buahku telah menghadang dan mengepung. Engkau tidak akan dapat lolos, Tan San Li. Melawan pun tidak ada gunanya karena kalau Yo Han saja tidak mampu menandingi aku, apa lagi engkau."

"Jahanam busuk sombong!" Sian Li berteriak dan ia pun menyerang lagi dengan dahsyat. Diam-diam Ouw Seng Bu terkejut karena serangan Si Bangau Merah itu memang dahsyat dan kuat bukan main. Sulingnya berubah menjadi sinar emas yang mengeluarkan suara melengking-lengking aneh. Dia melompat ke tepi kamar, tangannya menekan tombol di dinding dan di dinding di belakangnya terbuka. Dia melompat masuk.

"Pengecut, hendak lari ke mana kau?" bentak Sian Li yang mengejar cepat. Ia pun, meloncat masuk ke dalam kamar lain di mana Ouw Seng Bu sudah menunggu sambil tersenyum mengejek. Pemuda itu menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya secara aneh dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan! Dia telah menghimpun tenaga dari ilmunya yang sesat, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latih. Dan kini wajahnya berubah, masih tampan, akan tetapi senyumnya yang tadinya ramah dan manis itu berubah menjadi wajah menyeringai yang amat menyeramkan, sadis dan dingin, matanya liar dan suara tawanya seperti setan tertawa. Ketika Sian Li melihat keadaan Ouw Seng Bu seperti itu, ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang yang tidak waras, atau miring otaknya! Ia tidak tahu bahwa keadaah itu merupakan akibat dari ilmu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan.

"Iblis gila!" bentaknya dan ia mengerang lagi dengan Sulingnya. Kamar yang ini berbeda dengan kamar tahanan di depan tadi. Dinding yang tadi terbuka menembus ke kamar tahanan kini sudah menutup kembali dengan sendirinya dan kamar ini lebih luas. Hantaman sulingnya ke arah kepala pemuda itu meloncat ke samping dan ketika suling itu mengejar dengan sambaran ke samping, dia menangkis dengan tangan kirinya.

"Takkk....!" Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh Sian Li terdorong ke belakang sampai tiga langkah. Gadis itu terkejut bukan main. Sulingnya yang ditangkis tadi tergetar hebat dan ada tenaga aneh yang amat dingin menyusup melalui suling dan tangannya dan tenaga itu amat kuat sehingga dia terdorong dan terhuyung. Baiknya ia masih mengerahkan. tenaga sin-kang untuk menolak pengaruh hawa dingin aneh itu.

"Ha-ha-heh-heh-heh!" Ouw Seng Bu terkekeh menyeramkan dan membusungkan dadanya. "Si Bangau Merah, engkau tidak akan menang melawan aku. Ilmuku yang amat hebat ini tidak dapat ditandingi siapapun juga dan sebentar lagi aku akan menjadi jagoan nomor satu di dunia, mengusai dunia kang-ouw, bahkan setelah menjatuhkan pemerintah penjajah Mancu, akulah yang layak dan pantas menjadi kaisar. Ha-ha-ha!"

"Gila, dia gila akan tetapi memiliki ilmu yang ajaib," pikir Sian Li. Ia harus dapat merobohkan orang ini, kalau tidak, ia tentu akan celaka. Baru orang ini saja sudah demikian hebat, kalau para sekutunya datang mengeroyok, ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi mereka.

Sian Li mengeluarkan pekik melengking dan kini ia memutar suling emasnya, memainkan ilmu pedangnya yang paling ampuh, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Bangau Merah) yang ia pelajari dari ayahnya, Pendekar Sakti Bangau Putih.

Sulingnya berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung menyilaukan mata, dan tubuhnya juga lenyap berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan terbungkus sinar emas. Dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyerang ke arah Ouw Seng Bu. Akan tetapi sambil terkekeh-kekeh aneh, Ouw Seng Bu berdiri tegak dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, kadang diputar seperti baling-baling, dan dari kedua tangan itu menyambar hawa dahsyat yang membuat semua serangan Sian Li tertolak kembali, mental sebelum mengenai tubuh lawan! Ketika Ouw Seng Bu melangkah maju mendekat, hawa pukulan kedua tangannya semakin kuat sehingga kini gulungan sinar emas itu makin menyempit, tanda bahwa Si Bangau Merah terdesak oleh tenaga aneh itu.

Pada saat itu terdengar suara wanita, "Bu-ko, jangan bunuh atau lukai ia!"

Mendengar teriakan itu, Ouw Seng Bu terkekeh. "Heh-heh-heh, tidak, tidak, sayang, jangan khawatir!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan berlari keluar dari ruangan itu melalui sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua meter dan panjang.

"Jangan lari!" bentak Sian Li yang mengejar. Terdengar suara keras dan jorong itu sudah tertutup dari depan dan belakang oleh pintu rahasia. Sian Li terkejut, merasa terjebak dalam lorong yang tertutup, akan tetapi karena Ouw Seng Bu masih berada di situ bersamanya, ia tidak takut dan memutar suling lebih cepat untuk menjaga agar orang itu tidak melarikan diri melalui sebuah pintu rahasia.

"Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lolos, Bangau Merah!" kata Ouw Seng Bu. Tiba-tiba dari lantai lorong itu keluar asap kemerahan memenuhi lorong. Sian Li mencium bau harum menyengat dan tahulah ia bahwa asap itu mengandung racun pembius! Akan tetapi, tidak ada jalan keluar dan jalan satu-satunya hanya menyerang mati-matian pada lawan yang masih tertawa-tawa walaupun asap merah makin menebal. Gadis perkasa yang cerdik ini menyesal akan kebodohannya sendiri. Tentu saja, pikirnya.

Ouw Seng Bu telah memakai obat penawar! Asap sudah terpaksa disedotnya ketika ia bernapas.

"Keparat keji, pengecut, curang....!" Ia menyerang lagi akan tetapi kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang dan ia pun roboh terkulai pingsan.

Ketika siuman kembali, Sian Li mendapatkan dirinya rebah di atas sebuah dipan. Ia melihat betapa kaki tangannya diikat rantai baja panjang. Cepat ia turun dari pembaringan itu dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk mematahkan rantai kaki tangannya.

"Jangan, Sian Li. Jangan patahkan, rantai. kaki tanganmu." terdengar suara orang. Ia menengok dan melihat Hui Eng juga berada di kamar itu. Juga gadis ini dirantai kaki tangannya, dengan rantai panjang yang membuat ia mampu bergerak ke sana sini, mampu mempergunakan tangan kakinya akan tetapi rantai itu tidak sampai pintu kamar tahanan yang beruji.

"Ah, kiranya engkau pun sudah tertawan. Bagaimana dengan pang.... " Sian Li teringat. Mereka berada di tangan pemberontak Thian-li-pang, sungguh berbahaya kalau mereka mengetahui bahwa Cia Sun adalah pangeran Mancu. "Di mana Sun-toako?"

"Entah, kami berpencar, bukan? Aku dikepung dan dikeroyok, tertangkap."

"Tapi kenapa engkau melarang aku mematahkan rantai ini! Kurasa engkau pun akan mampu mematahkan rantai kaki tanganmu."

"Agaknya aku akan mampu mematahkan rantai ini, akan tetapi apa gunanya? Mereka jelas tidak ingin membunuh kita, dan rantai ini bagaimanapun juga masih memberi kebebasan bergerak kepada kita. Dengan mematahkannya, belum berarti kita bebas. Kamar ini kokoh kuat dan terjaga kuat, juga mereka dapat mempergunakan perangkap untuk menangkap kita kembali. Kalau sampai mereka menggantikan rantai ini dengan belenggu yang membuat kita tidak mampu bergerak leluasa, bukankah hal itu lebih menyiksa? Kita harus tenang dan sabar, tidak menuruti kemarahan."

Sian Li mengangguk membenarkan. "Mereka itu lihai, dan orang she Ouw itu agaknya miring otaknya. Dia itu gila, akan tetapi mempunyai ilmu seperti iblis sendiri. Belum pernah selama hidupku bertemu dengan lawan setangguh dengan ilmu seaneh itu."

"Aku.... aku mengkhawatirkan pangeran...." kata Hui Eng lirih.

"Agaknya dia tidak seperti kita, tidak tertangkap. Mudah-mudah saja begitu karena kalau dia masih bebas, berarti kita masih mempunyai harapan akan dapat tertolong. Aku sekarang mengerti bahwa anggauta Thian-li-pang yang kutangkap tadi sengaja dipasang sebagai umpan perangkap. Mereka itu lihai dan licik sekali. Aku sekarang sungguh mencemaskan keadaan Han-koko."

Mereka terdiam karena mendengar langkah kaki yang ringan menghampiri dari luar kamar tahanan. Muncullah Cu Kim Giok, gadis manis dengan mata indah, akan tetapi kini wajahnya agak muram dan matanya mengandung penyesalan.

"Hemmm, engkau sungguh tidak tahu malu masih berati muncul di depan kami!" Sian Li langsung menyambut dengan ucapan keras. "Ingin aku melihat wajah Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pouw Li Sian yang gagah perkasa kalau melihat puterinya seperti ini, membantu orang-orang jahat!"

Cu Kim Giok memandang sedih. "Aihhh, tak kusangka akan begini jadinya. Sungguh, aku bersumpah, Sian Li, aku bukan orang yang membela orang jahat. Semua ini hanya salah sangka dari pihakmu saja. Aku berani tanggung bahwa Ouw Seng Bu adalah seorang yang gagah perkasa, seorang pendekar berjiwa pahlawan. Dia mau mengorbankan apa saja dengan perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Salahkah aku kalau aku membantu perjuangan yang suci? Engkau terlalu berprasangka dan menganggap buruk. Tentang kematian Pendekar Tangan Sakti Yo Han, sungguh bukan kesalahan Ouw-toako. Aku sendiri menjadi saksi. Yo Han yang berusaha membunuhnya seperti yang telah dilakukan kepada para pimpinan Thian-li-pang, dan Ouw-koko hanya membela diri. Kalau Yo Han tidak tergelincir ke dalam sumur, dan tidak ditimbuni batu, tentu Ouw-koko yang tewas di tangannya. Percayalah Ouw-koko adalah seorang yang baik, seorang pendekar yang...."

"Gila! Ya, dia seorang yang miring otaknya, Kim Giok. Tidak tahukah engkau akan hal itu atau pura-pura tidak tahu? Cu Kim Giok, katakan kepada iblis gila Ouw Seng Bu itu bahwa kalau benar Han-koko tewas di tangannya, aku Tan Sian Li akan menggerakkan seluruh keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir untuk membalas dendam! Aku tidak akan berhenti berusaha sampai aku dapat memenggal lehernya dan membawa kepalanya dan hatinya untuk sembahyang kepada Han-koko!" Berkata demikian, karena membayangkan kematian Yo Han, kedua mata Sian Li menjadi basah dan suaranya gemetar, walaupun mengandung ancaman yang membuat Kim Giok merasa ngeri.

"Sian Li, engkau rela mengorbankan apa pun untuk membela Yo Han, karena engkau menganggap dia benar dan mencintanya. Apakah aku tidak boleh membela orang yang kuanggap benar dan yang kucinta?" Dengan muka penuh kesedihan Kim Giok meninggalkan tempat itu dengan cepat dan kedua orang gadis perkasa itu masih sempat mendengar isak tangis yang dibawa lari gadis dari Lembah Naga Siluman itu.

"Sungguh aneh! Ia mencinta Ouw Seng Bu....!" kata Sian Li lirih.

"Ih, kenapa hal itu kauanggap aneh, Sian Li?" tanya Hui Eng, tersenyum.

"Akan tetapi Ouw Seng Bu itu orang gila! Iblis gila!" Hui Eng tertawa geli dan Sian Li memandang heran. Memang nampak aneh dan lucu melihat gadis itu tertawa-tawa geli, padahal mereka berada dalam tawanan musuh dengan kaki tangan dipasangi rantai! Sungguh merupakan keadaan yang patut mendatangkan tangis, bukan tawa geli! Ini saja sudah membuktikan betapa tabah hati Sim Hui Eng, menghadapi keadaan yang gawat. Dan hal ini membesarkan pula hati Sian Li. Mempunyai seorang kawan sependeritaan setabah ini memang membesarkan hati.

"Hemmm, apa yang perlu ditertawakan? Apanya yang lucu?" tanya Sian Li.

"Engkau yang lucu," kata Hui Eng. "Kenapa engkau seperti orang kebakaran jenggot melihat gadis itu mencinta Ouw Seng Bu?"

"Hushhh! Mana aku berjenggot?" cela Sian Li akan tetapi kini ia pun tertawa geli.

"Sian Li, cinta membuat orang yang kita cinta nampak selalu benar selalu baik, selalu menarik, sebaliknya benci membuat orang yang kita benci nampak selalu salah, selalu buruk, selalu menyebalkan. Buktinya, engkau ditunangkan dengan pangeran Cia Sun, engkau malah memilih Yo Han. Dan pangeran memilih aku, padahal ketika itu aku masih puteri ketua Pao-beng-pai yang memberontak terhadap kerajaan keluarganya. Dan aku pun memilih dia, padahal aku selalu tidak suka kepada penjajah Mancu, dan aku yakin, Yo Han juga tidak akan suka memilih lain gadis kecuali engkau. Nah, apa anehnya kalau sekarang gadis itu mencinta Ouw Seng dan menganggap dia selalu baik dan benar?"

Sian Li termenung. Kebenaran ucapan Hui Eng meresap ke dalam hatinya. Memang apa yang dikatakan Hui Eng patut direnungkan. Kita semua selalu mengambil kesimpulan, mempunyai pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian kita, dan kita menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk. Kita lupa bahwa sesuatu itu tidak ada yang abadi, tidak ada yang tetap dan selalu akan berubah-ubah. Kita tidak mungkin dapat menentukan seseorang itu baik atau buruk, karena si orang yang kita nilai itu sudah pasti akan mengalami perubahan, dan perubahan ini akan mendatangkan kesan berbeda-beda bagi kita, ada kalanya kita anggap baik dan ada kalanya pula kita anggap buruk. Orang yang hari ini kita anggap sebaik-baiknya orang, mungkin pada suatu saat kelak akan kita anggap seburuk-buruknya orang, demikian sebaliknya. Mengapa demikian? Pertama, karena tidak ada apa atau siapapun di dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Dan kedua, karena pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian, dan setiap penilaian, diakui atau pun tidak, disadari maupun tidak, selalu berdasarkan kepentingan si-aku, si penilaian. Penilaian muncul di mana ada pertimbangan untung rugi, disenangkan atau tidak disenangkan. Kalau seseorang atau sesuatu benda itu menguntungkan dan menyenangkan, bagaimana mungkin kita menilainya jelek dan jahat? Sebaliknya, kalau seseorang atau sesuatu itu merugikan dan tidak menyenangkan, sudah pasti kita menilainya tidak baik, tidak mungkin kita menilainya bagus atau baik.

Biarpun orang sedunia mengatakan bahwa seorang yang baik dan patut dipuji, akan tetapi kalau memusuhi kita, merugikan dan tidak menyenangkan kita, mungkinkah kita menilainya sebagai seorang yang baik dan patut dipuji? Sebaliknya, andaikata orang sedunia mencaci sebagai seorang yang jahat dan patut dikutuk, akan tetapi kalau baik terhadap kita, menguntungkan dan menyenangkan kita, dapatkah kita mengutuknya dan menilainya sebagai seorang yang jahat? Bahkan seorang kekasih yang dicinta

setengah mati pun, dicinta karena dia menyenangkan kita, dipuja karena menguntungkan perasaan kita. Seandainya pada suatu hari dia itu melakukan sesuatu yang merugikan kita, tidak menyenangkan kita misalnya menipu kita, menyeleweng dengan orang lain, tidak mau melayani kita sebagai kekasih, dapatkah kita tetap menilainya baik dan mencintanya? Biasanya, cinta itu berubah menjadi benci! Mengapa? Karena benci itu merupakan akibat penilaian yang buruk terhadap seseorang! Kalau menyenangkan, dinilai baik dan dicinta, kalau sekali waktu tidak menyenangkan, dinilai buruk dan dibenci! Hujan tinggal  tetap hujan, air yang jatuh dari atas, akan tetapi kalau hujan itu merepotkan kita seperti banjir, menghalangi kesenangan,

kita akan menganggapnya buruk dan mengomel. Kalau hujan itu datang dan kita anggap menyenangkan dan menguntungkan, seperti para petani yang mengharapkan datangnya air untuk sawah ladang mereka, maka kita akan menilainya baik dan hati kita senang, mulut tidak lagi mengomel dan cemberut, melainkan tertawa-tawa dan bersyukur! Demikianlah panggung sandiwara dalam kehidupan ini, lebih lucu dan konyol daripada panggung para pelawak. Kita dipermainkan nafsu yang sudah menyusup ke dalam diri kita lahir batin, dan karena nafsu selalu mengejar kesenangan, maka timbullah suka duka dan penilaian baik buruk, persahabatan permusuhan dan segala macam kebalikan-kebalikan yang mendatangkan konflik lahir batin pula.

Dapatkah kita hidup tanpa menilai dan menerima kenyataan apa adanya? Apapun yang terjadi dan menimpa kehidupan kita merupakan suatu kenyataan hidup yang patut kita hadapi dengan segala kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan! Tuhan Maha Pencipta. Seluruh isi alam maya pada ini adalah milik Sang Maha Pencipta, jadi Dialah yang

menentukan segala. Kewajiban kita hanyalah berusaha, berikhtiar untuk mempertahankan hidup ini yang berarti membantu kodrat Tuhan yang telah menghidupkan kita, dan mengisi kehidupan ini agar hidup kita bermanfaat bagi diri sendiri, bagi keluarga dan bagi lingkungan. Bermanfaat berarti tidak merusak. Dengan dengan pasrah, dengan menyerahkan kepada Tuhan yang menciptakan kita, menyerah penuh keiklasan dan ketawakalan, barulah mungkin bagi kita untuk menerima segala yang terjadi dengan penuh kesadaran, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu, pada akhirnya ditentukan oleh kekuasaannya.

"Aku mengerti sekarang, enci Eng, dan aku merasa kasihan kepada Kim Giok. Aku hampir yakin bahwa ia telah terbujuk, bahwa Ouw Seng Bu itu seorang yang tidak waras, orang gila yang teramat cerdik dan licik, juga memiliki ilmu silat yang aneh dan berbahaya sekali."

"Kita lihat perkembangannya, adik Sian Li. Kita harus bersabar dan melihat apa yang akan mereka lakukan terhadap kita. Aku yakin mereka akan menghubungi kita, mungkin melalui Cu Kim Giok tadi. Tidak perlu kita bergerak dengan sia-sia, sebaiknya menanti datangnya kesempatan baru kita mematahkan rantai ini dan mencoba untuk lolos."

Sian Li mengangguk, diam-diam merasa lega dan girang karena mempunyai teman seperti ini boleh diandalkan.

******

Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim tiba di kaki Bukit Naga. Terdapat sebuah kuil tua kosong di kaki bukit sebelah itu dan karena hari menjelang senja, mereka mengambil keputusan untuk melewatkan malam di kuil tua itu. Tadi mereka telah membeli bekal makanan dari dusun terakhir. Di luar kuil tua yang tidak digunakan lagi itu, mereka berhenti dan terkejut melihat ada seorang tosu duduk bersila di bagian depan kuil. Ciang Hun yang sudah berpengalaman, tidak berani lancang dan dia  menghampiri tosu itu. Bi Kim mengikutinya dari belakang, siap menghadapi, segala kemungkinan karena tahu bahwa mereka telah berada di daerah Bukit Naga.

"Harap Totiang memaafkan kami berdua. Karena kemalaman di perjalanan kami ingin melewatkan malam di kuil tua ini, kalau saja tidak mengganggu Totiang."

"Siancai, silakan, Kongcu dan Siocia. kata pendeta itu dengan sikap acuh. Pada saat kedua orang muda itu hendak melangkah masuk, dari dalam keluar empat orang tosu lainnya dan tentu saja, hal ini membuat Ciang Hun terkejut.

"Ah, maafkap kami, Cu-wi To-tiang. Kiranya kuil ini sekarang menjadi tempat tinggal To-tiang sekalian?"

Tosu tertua yang tadi duduk bersila di luar berkata lembut, "Sama sekali bukan, Kongcu. Kami berlima juga sedang berteduh dan melewatkan malam di sini. Kuil ini kosong dan tidak dipergunakan lagi."

"Ah, kalau begitu kebetulan dan terima kasih To-tiang." Ciang Hun dan Bi Kim lalu membersihkan lantai di sudut ruangan depan karena ternyata hanya ruangan depan itu saja yang masih agak utuh dan bersih, sedangkan ruangan tengah dan belakang kuil itu sudah rusak dan kotor.

Lima orang tosu itu duduk bersila, dan dua orang muda di sudut itu lalu menyalakan lilin yang tadi mereka beli sehingga ruangan itu tidak menjadi gelap lagi. Malam tiba dan hawa udara amat dinginnya. Dua orang di antara para tosu itu lalu membuat api unggun dari kayu-kayu yang agaknya telah mereka cari dan kumpulkan siang tadi. Keadaan menjadi semakin terang oleh cahaya api unggun dan ada kehangatan di situ.

Bi Kim mengeluarkan buntalan makanan yang mereka beli tadi, dan dengan ramah dan hormat Ciang Hun dan Bi Kim menawarkan makanan kepada lima orang tosu itu.

"Cu-wi To-tiang mari silakan Cu-wi To-tiang makan malam bersama kami, kita makan seadanya, To-tiang." kata Bi Kim.

"Silakan, To-tiang, kami akan gembira sekali untuk menjamu Cu-wi dengan makanan kami yang sederhana." kata pula Ciang Hun.

"Siancai, Ji-wi adalah dua orang muda yang ramah dan baik. Terima kasih, Kongcu dan Siocia, kami tadi sudah makan dan tidak merasa lapar. Silakan Ji-wi makan, harap jangan sungkan-sungkan." kata tosu tertua.

Karena maklum bahwa mereka berdua menghadapi perjalanan yang mungkin sukar dan membutuhkan banyak pengerahan tenaga, maka dua orang muda itu tidak sungkan-sungkan lagi dan mulai makan bak-pao dan dendeng yang tadi mereka beli sebagai bekal. Setelah mereka selesai makan, membersihkan mulut dan tangan dengan air yang mereka bawa, mereka diundang duduk dekat api unggun oleh para tosu. Dengan gembira dua orang muda itu duduk mengelilingi api unggun bersama lima orang pendeta itu.

"Kalau pinto (saya) tidak salah lihat, Ji-wi bukanlah dua orang muda biasa, melainkan dua orang muda yang memiliki kepandaian silat. Bolehkah pinto mengetahui nama Ji-wi dan apa keperluan Ji-wi mendatangi daerah yang berbahaya ini?"

Karena yakin bahwa lima orang pendeta ini adalah orang-orang beribadat yang baik, maka Ciang Hun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan keadaan mereka. "To-tiang, saya bernama Gak Ciang Hun dan nona ini adalah Gan Bi Kim. Kami berdua melakukan perjalanan ke sini untuk mencari seorang sahabat kami yang jejaknya menuju ke bukit ini."

Tiba-tiba Gan Bi Kim berkata, "Mungkin sekali Cu-wi To-tiang ada yang melihat sahabat kami itu lewat di sini!"

"Aih, benar juga!" seru Ciang Hun girang. "Apakah Cu-wi To-tiang melihat sahabat kami itu lewat di sini? ia seorang gadis muda...."

"Pakaiannya serba merah?" potong seorang tosu.

"Benar, benar!" Ciang Hun berseru girang.

"Siancai, yang kalian cari itu bukankah Si Bangau Merah, nona Tan Sian Li?"

Dua orang muda itu hampir berteriak karena girangnya, "Benar sekali, To-tiang!" kata Gak Ciang Hun. "Apakah Totiang melihatnya? Di mana?" tanyanya dengan penuh gairah.

"Nanti dulu, kalau Ji-wi mengenal Si Bangau Merah, tentulah Ji-wi bukan orang-orang sembarangan. Kongcu she Gak? Hemmm....? pinto mendengar tentang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san), apakah hubungan Kongcu dengan para pendekar she Gak itu?"

"Saya adalah puteranya...."

"Ahhh! Sungguh kami merasa beruntung bertemu dengan putera Beng-san Siang-heng!"

"Kalau boleh kami mengetahui, siapakah Cu-wi To-tiang?" tanya Ciang Hun, kini memandang penuh perhatian.

Tosu tertua itu menghela napas panjang. "Pinto disebut Thian-tocu, seorang murid Bu-tong-pai dan empat orang ini adalah para sute pinto. Baru kemarin pinto berlima bertemu dengan Si Bangau Merah, bahkan ia yang mengobati. Pinto dari pukulan beracun. Karena masih belum pulih kekuatan pinto, maka kami berhenti di sini untuk memulihkan tenaga."

"Lalu, ke manakah perginya adik Sian Li?" tanya Ciang Hun.

Tosu itu menghela napas panjang. "Kami khawatir sekali. Ia pergi mendaki Bukit Naga itu dan hendak berkunjung ke Thian-li-pang, padahal keadaan Thian-li-pang telah berubah sama sekali. Perkumpulan itu telah menyeleweng dan dipimpin oleh seorang ketua baru yang seperti Iblis. Kami sungguh mengkhawatirkan keselamatan pendekar wanita itu."

"Totiang, apakah yang telah terjadi?" tanya Gan Bi Kim, ikut pula merasa khawatir mendengar ucapan tosu itu.

Thian-tocu lalu menceritakan semua pengalaman mereka berlima. Mereka sengaja mendatangi Thian-li-pang karena mendengar berita tentang sepak terjang Thian-li-pang yang menyeleweng, menundukkan para tokoh-tokoh kang-ouw dengan kekerasan, melakukan pemerasan.

"Bahkan lebih mengejutkan lagi adalah berita tentang terbunuhnya Pendekar Tangan Sakti Yo Han oleh ketua baru Thian-li-pang...."

"Ahhh....!! Benarkah itu, Totiang?" Ciang Hun berseru kaget.

"Kami pun tidak percaya. Ketika kami tanyakan hal itu kepada Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang, dia mengatakan bahwa Yo Han telah membunuhi para pimpinan Thian-li-pang, kemudian Yo Han juga menyerang dia. Dalam perlawanan yang dibantu anak buahnya, Yo Han tewas. Demikian keterangan Ouw pangcu. Kami tidak percaya sehingga terjadi perkelahian, akan tetapi ketua baru itu seperti iblis, lihai bukan main dan pinto terkena pukulan beracun darinya. Kami merasa kalah dan turun bukit, bertemu di jalan dengan Si Bangau Merah yang mengobati pinto. Kami sungguh mengkhawatirkan Si Bangau Merah yang hendak melakukan penyelidikan ke tempat berbahaya itu."

"Kalau begitu, adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus cepat ke sana, Kim moi!" kata Ciang Hun, khawatir sekali.

"Gak-taihiap, sebaiknya kalau kita berhati-hati menghadapi Thian-li-pang. Selain ketuanya amat lihai, juga kini Thian-li-pang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti. Siangkoan Kok bekas ketua Pao-beng-pai juga para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai berada di sana. Sebaiknya kalau Ji-wi bersabar sampai lewat malam ini dan besok pagi-pagi barulah mendaki ke sana."

"Kita?" Ciang Hun bertanya.

"Kongcu, melihat Ji-wi yang muda-muda begini bersemangat untuk membantu Si Bangau Merah, menentang bahaya dengan gagah berani, kami yang tua-tua merasa malu kalau hanya tinggal diam saja. Kami akan menemani Ji-wi membantu pendekar wanita Bangau Merah, walaupun kami tahu bahwa kekuatan kita ini tidak ada artinya dibandingkan kekuatan mereka yang mempunyai ratusan orang anak buah."

"Kita tidak bermaksud menyerang Thian-li-pang, Totiang, hanya hendak menyelidiki kalau-kalau adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus membantunya."

"Kami siap membantu, Kongcu."

Demikianlah, malam itu mereka lewatkan dengan beristirahat dan menghimpun tenaga karena siapa tahu, besok mereka akan menghadapi musuh dan bahaya yang harus ditentang.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Hun, Bi Kim dan lima orang tosu Bu-tong-pai telah mendaki Bukit Naga. Mereka bergerak cepat akan tetapi dengan hati-hati sekali dan tosu-tosu itu yang memimpin pendakian karena mereka lebih mengenal daerah itu daripada kedua orang muda yang baru pertama kali itu berkunjung ke situ. Akan tetapi gerak-gerik tujuh orang ini tidak terlepas dari pengintaian anak buah Thian-li-pang. Ouw Seng Bu maklum bahwa sebelum pemuda yang datang bersama Sian Li dan Hui Eng itu tertangkap, tentu Thian-li-pang akan terancam bahaya, apalagi ketika dia mendengar dari Siangkoan Kok bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran Mancu! Maka dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan tersembunyi dan siang malam harus melakukan pengamatan terhadap seluruh permukaan bukit itu.

Karena itu begitu tujuh orang itu mendaki bukit, para anak buah Thian-li-pang telah mengetahuinya dan diam-diam setiap gerak-gerik mereka telah diamati dan diikuti. Sementara itu, di dalam rumah tahanan Cu Kim Giok kembali datang mengunjungi dua orang tawanan, Hui Eng dan Sian Li. Kini Sian Li telah dapat menekan kemarahan hatinya dan melihat munculnya Kim Giok, ia bertanya, suaranya tenang saja. "Kim Giok, apalagi yang hendak kaukatakan kepada kami?"

"Sian Li, engkau melihat sendiri betapa Thian-li-pang bersikap baik kepada kalian yang bahkan tidak dianggap sebagai musuh, melainkan sebagai tamu. Aku mengharap dengan sepenuh hatiku agar kalian berdua dapat melihat kenyataan bahwa Thian-li-pang sesungguhnya mengharapkan persahabatan dan kerja sama dengan kalian, bukan permusuhan."

"Kim Giok, aku sekarang mengerti bahwa engkau saling mencinta dengan Ouw Seng Bu, maka engkau membantu dan membelanya. Aku tidak akan mempersoalkan baik buruknya Ouw-pangcu itu, akan tetapi kalau memang benar Thian-li-pang hendak berbaik dan bersahabat dengan kami, kenapa kami dijebak, dikeroyok dan ditahan di dalam kurungan ini? Kenapa kami tidak dibebaskan saja?

"Sian Li, percayalah, aku sudah minta-minta kepada pangcu agar kalian dibebaskan, akan tetapi dia mengajukan alasan kuat sehingga aku sendiri pun tidak berdaya karena alasannya memang tepat. Dia mengatakan bahwa di dalam perjuangan, kita harus dapat membedakan mana kawan mana lawan. Sekarang ini, kalian memperlihatkan sikap sebagai lawan, kalau kalian dibebaskan, sungguh amat berbahaya bagi perjuangan Thian-li-pang. Kalian lihai, dan kalian dapat mendatangkan bencana kepada kami, kecuali tentu saja kalau kalian suka bekerja sama dengan kami dan sama-sama berjuang menentang pemerintah penjajah Mancu. Karena itu, aku memohon kepada kalian, jangan memusuhi Thian-li-pang, jangan memusuhi Ouw-pangcu, jangan memusuhi kami. Sungguh aku bersumpah, kami tidak mempunyai niat buruk terhadap kalian, hanya ingin mengajak kalian bekerja sama."

"Cu Kim Giok, tidak perlu engkau membujuk kami, tentu engkau sudah tahu bahwa kami tidak akan sudi bekerja sama dengan golongan sesat. Sebetulnya, melihat engkau membantu Ouw-pangcu, hatiku tidak rela, dan aku tidak ingin lagi bicara denganmu. Akan tetapi mengingat ayah ibumu, orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, aku minta engkau berterus terang mengenai satu hal. Benarkah Yo Han telah tewas di sumur tua itu?"

Kim Giok menghela napas panjang. Jawaban itu memang sudah diduganya. Akan tetapi bagaimanapun juga, apa pun yang terjadi, ia akan tetap membela Seng Bu karena ia sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.

"Sian Li, dengan menyesal sekali terpaksa kukatakan bahwa memang benar Yo Han tewas di dalam sumur," katanya lirih dan mendengar keterangan ini, Sian Li menahan jeritnya, mukanya menjadi pucat dan ia berdiri termangu seperti patung, kedua tangan yang dipasangi rantai pada pergelangannya itu menggenggam dan melihat keadaan Si Bangau Merah itu, Hui Eng bertanya kepada Cu Kim Giok dengan suara yang tegas.

"Cu Kim Giok, katakan terus terang, demi nama baik nenek moyangmu yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar Lembah Naga Siluman, apakah engkau melihat sendiri kematian Yo Han itu?"

Kini Cu Kim Giok memandang kepada Hui Eng dengan alis berkerut, "Hemmm, tidak perlu aku menjawab pertanyaanmu. Engkau sendiri adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang pernah mengacau dan memusuhi keluarga besar bahkan kemudian menurut ayahmu, engkau menjadi seorang pengkhianat dan anak yang durhaka. Aku mau bicara dengan Tan Sian Li, bukan denganmu!"

"Kim Giok, engkau tidak tahu dengan siapa engkau bicara. Ketahuilah bahwa enci Eng ini adalah Sim Hui Eng, puteri Paman Sim Houw yang hilang itu dan kini ia telah mengetahui siapa dirinya."

"Ahhh....! " Cu Kim Giok terkejut. "Kalau.... kalau begitu, kalian berdua harus mau bekerja sama, aku tidak ingin melihat kalian celaka. Aku mohon kepada kalian, terimalah uluran tangan Ouw Pangcu untuk bekerja sama dan berjuang, atau setidaknya, jangan memusuhi kami. Kalau kalian mau berjanji di depan pangcu, aku yang akan menanggung...."

"Sudahlah, Kim Giok. Sebaiknya kau jawab saja pertanyaan enci Hui Eng tadi. Apakah engkau melihat sendiri tewasnya Han-koko di sumur tua itu?" tanya Sian Li tak sabar.

"Ketika Yo Han datang, aku memang melihatnya, bahkan kami berkenalan. Dia pun bicara dengan baik-baik kepada Ouw-pangcu, kemudian dia bicara empat mata dengan Ouw-pangcu. Aku tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi tahu-tahu aku mendapatkan Ouw-pangcu sudah terluka parah terkena pukulan di dadanya, sedangkan para anggauta Thian-li-pang melempar-lemparkan batu ke dalam sumur tua, Barulah aku tahu bahwa Ouw-pangcu hampir terbunuh Yo Han dan karena bantuan para anak buah, Yo Han dapat didesak dan terjerumus ke dalam sumur. Para anggauta Thian-li-pang menimbuni sumur itu dengan batu karena maklum bahwa kalau Yo Han dapat keluar, tentu akan mengamuk dan semua orang dibunuhi."

Keterangan bahwa Kim Giok tidak melihat sendiri kematian Yo Han, membuat hati Sian Li merasa lega kembali. Ia tetap tidak percaya bahwa Yo Han telah tewas. Lebih tidak percaya lagi bahwa Yo Han membunuhi para pimpinan Thian-li-pang dan berusaha membunuh Ouw Seng Bu. Ia mengenal pria yang dikasihinya itu. Yo Han tidak mau membunuh orang, apalagi para pimpinan Thian li-pang di mana dia menjadi ketua kehormatan. Tidak masuk di akal semua berita itu, walaupun ia percaya bahwa puteri Lembah Naga Siluman ini tidak berbohong. Tentu gadis ini telah dipengaruhi Ouw Seng Bu dan tertipu!

Pada saat itu, dua orang pengawal masuk dan berkata kepada Cu Kim Giok dengan sikap hormat, "Nona, pangcu minta agar Nona suka menemuinya di ruangan dalam."

Sikap dan ucapan penjaga itu saja sudah membuktikan bahwa ketua baru Thian-li-pang amat menghormati gadis itu. Ia bukan dipanggil, melainkan diminta!

Cu Kim Giok menoleh kepada dua orang gadis tawanan, kemudian pergi meninggalkan tempat tahanan itu, diikuti dua orang penjaga dengan sikap hormat.

Setibanya di ruangan dalam, Ouw Seng Bu sudah menyambutnya dan kedua orang penjaga itu pun mengundurkan diri. "Ada urusan apakah, Bu-Ko?" tanya Kim Giok.

"Giok-moi, ada lagi orang-orang yang menyelidiki tempat kita dan kini mereka telah tertangkap."

"Siapakah mereka?" Kim Giok mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya ia merasa tidak setuju kalau Thian-li-pang menangkapi orang, apalagi kalau mereka yang ditawan itu tokoh-tokoh pendekar seperti Sian Li dan Hui Eng. Kalau sampai Thian-li-pang memusuhi para pendekar dan perkumpulan para pendekar di dunia persilatan, hal itu sungguh tidak baik dan tidak benar. Seluruh keluarganya tentu akan marah dan menyalahkan ia membantu perkumpulan yang memusuhi dunia persilatan dan menawani para pendekar.

"Lima di antara mereka adalah para tosu Bu-tong-pai yang tempo hari, dan dua yang lain adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Bagaimana dengan hasil pembicaramu dengan Si Bangau Merah dan puteri Paman Siangkoan Kok tadi?"

Kim Giok mengerutkan alisnya. "Mereka masih belum mau berbaik, dan puteri Paman Siangkoan Kok itu ternyata adalah puteri dari Paman Sim Houw yang hilang dicullik orang ketika masih kecil. Ini menambah gawat keadaan, Koko, karena Paman Sim Houw adalah Pendekar Suling Naga yang sakti, pendekar besar tokoh di Lok-yang. Kalau ayah Sian Li, Pendekar Bangau putih dan Pendekar Suling Naga mengetahui puteri mereka ditawan di sini dan memusuhi kita, sungguh amat berbahaya bagimu, Koko.

Lalu siapa pula dua orang pemuda dan gadis yang tertawan bersama lima orang tosu Bu-tong-pai itu?"

Ouw Seng Bu kelihatan muram dan berduka. "Giok-moi, sesungguhnya engkau sendiri pun tahu bahwa aku tidak pernah mencari perkara dan tidak pernah memusuhi mereka. Adalah mereka sendiri yang datang memusuhi Thian-li-pang. Aku pun merasa heran mengapa para pendekar itu tidak mau menyadari dan mereka bahkan berpihak kepada kerajaan Mancu, penjajah yang mencengkeram tanah air dan bangsa? Nah, cobalah engkau temui dua orang muda itu dan syukur kalau dapat membujuk mereka dan lima orang tosu, menyadarkan mereka akan pentingnya persatuan antara kita untuk membebaskan rakyat daripada cengkeraman penjajah."

Kim Giok merasa lemas karena pekerjaan membujuk ini merupakan pekerjaan yang amat berat baginya. Akan tetapi, ia yakin bahwa kekasihnya benar, maka ia pun siap untuk membelanya.

Bagaimana lima orang Bu-tong-pai dan dua orang muda itu dapat tertawan? Seperti kita ketahui, Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu mendaki Bukit Naga untuk melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang yang mereka curigai kebersihannya. Mereka tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka telah diikuti oleh para anggauta Thian-li-pang. Seorang di antara para anggauta itu melapor kepada Seng Bu yang segera ditemani Siangkoan Kok, Im-yang-ji dan Kui Thian-cu, juga beberapa orang tokoh sesat

lain yang telah bergabung, menyambut rombongan yang mendaki bukit itu.

Sebelum tiba di perkampungan Thian-li-pang, Gak Ciang Hun dan kawan-kawannya secara tiba-tiba saja sudah dikepung oleh puluhan orang Thian-li-pang dan mereka berhadapan dengan Ouw Seng Bu dan kawan-kawannya. Dengan sikap hormat Seng Bu mengangkat tangan memberi hormat kepada lima orang tosu dan dua orang muda itu. "Selamat pagi Ngo-wi To-tiang dan kalian berdua sobat muda. Tidak tahu, entah angin baik apa yang meniup kalian datang ke sini. Kami harap saja Ngo-wi To-tiang telah menyadari bahwa akhirnya kita semua, tidak peduli dari golongan apa, mempunyai tekad yang sama, yaitu bersatu padu menghadapi penjajah Mancu dan mengusir mereka dari tanah air kita."

Thian-tocu, tokoh Bu-tong-pai yang menjadi pemimpin rombongan tokoh Bu-tong-pai yang lima orang itu, membalas penghormatan Ouw Seng Bu dan berkata dengan sikap dan suara yang dingin, "Ouw-pangcu, kami berlima datang kembali bukan dengan maksud untuk menyerah, walaupun kami mengakui bahwa kami telah kaukalahkan dalam pertandingan. Kami bertemu dengan dua orang sahabat muda ini dan kami menemani mereka untuk berkunjung ke Thian-li-pang. Ketahuilah bahwa saudara muda ini adalah saudara Gak Ciang Hun, putera dari mendiang Beng-san Siang-eng, dan ini adalah nona Gan Bi Kim."

"Ah, kiranya Gak-enghiong yang datang berkunjung. Kami dari Thian-li-pang merasa mendapat kehormatan besar sekali dengan kunjungan Gak-enghiong dan nona Bi Kim. Kami memang sedang menghimpun tenaga dari seluruh penjuru tanah air untuk mengadakan persiapan menyerang penjajah Mancu dan mengusirnya. Kami mendengar bahwa keluarga Gak dari Beng-san merupakan pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan besar yang tentu akan suka bekerja sama dengan kami untuk mengusir penjajah Mancu."

Gak Ciang Hun sudah mendengar dari para tosu Bu-tong-pai betapa cerdik dan liciknya ketua baru Thian-li-pang itu dan kini begitu bertemu, ketua itu ternyata telah memperlihatkan dua macam kelihaiannya. Pertama, dia serombongannya tiba-tiba saja sudah dikepung, ini berarti bahwa sejak mendaki bukit, mereka telah diketahui dan dibayangi. Dan ke dua, begitu bertemu, ketua itu telah bersikap demikian ramah dan hormat sehingga dia sendiri andaikata belum mendengar dari para tosu, tentu akan

terpikat hatinya oleh keramahan pemuda tampan itu. Akan tetapi karena sebelumnya dia sudah mendengar bahwa pemuda ini seorang yang palsu dan dikabarkan telah membunuh Yo Han, dia pun menyambut dingin saja. "Pangcu, kami sengaja datang ke Thian-li-pang untuk mencari nona Tan Sian Li. Apakah ia berada di sini?"

"Ah, kaumaksudkan Si Bangau Merah? Benar, ia berada di sini, menjadi tamu kehormatan kami. Ia sudah menyatakan setuju untuk membantu kami, untuk bekerja sama menentang penjajah Mancu. Kalau Gak-enghiong ingin bertemu dengannya, mari, silakan masuk ke perkampungan kami!" kata Seng Bu dengan wajah cerah berseri.

Mendengar ini, Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim tercengang. Jawaban yang tidak mereka sangka sama sekali dan mereka berdua sudah merasa gembira. Akan tetapi, Thian-tocu, tosu Bu-tong-pai itu sudah berkata dengan suara lantang.

"Ouw-pangcu, tidak perlu engkau membohongi Gak-taihiap dan kami. Kami sama sekali tidak percaya bahwa nona Tan Sian Li mau bekerja sama denganmu. Kami sudah berjumpa dengannya dan mendengar bahwa engkau telah membunuh Sin-ciang Tai-hiap Yo Han, bagaimana mungkin ia mau bekerja sama denganmu? Kalau kaukatakan bahwa engkau telah menjebaknya dan menawannya, kami akan lebih percaya!"

Wajah Seng Bu berubah merah dan matanya kini mencorong memandang kepada tosu Bu-tong-pai itu. Dia merasa heran bagaimana tosu ini dapat sembuh sedemikian cepatnya, padahal dia tahu benar bahwa tosu ini telah terkena tangan beracun sehingga terluka parah. "Totiang, kalau pihakmu hendak menjadi antek penjajah Mancu dan tidak mau bekerja sama dengan kami para pejuang patriot bangsa, itu urusanmu. Akan tetapi jangan banyak mulut di sini. Kami pernah mengampuni kalian dan membiarkan kalian pergi. Apakah kini kalian minta mati?"

Perubahan sikap ketua Thian-li-pang ini membuat Gak  Ciang Hun yang tadinya tertarik, menjadi terkejut dan tidak senang. Sikap ketua Thian-li-pang itu amatlah aneh. Baru saja wajahnya nampak tampan dan ramah ceria, akan tetapi kini kelihatan begitu bengis, dingin dan sadis, bahkan matanya yang mencorong itu mengandung nafsu membunuh yang mengerikan.

"Ouw-pangcu, agaknya membunuh merupakan pekerjaan biasa bagimu dan mungkin menjadi kegemaranmu. Kalau memang engkau merasa sebagai seorang yang gagah, jangan menyangkal perbuatanmu sendiri dan akui sajalah apa yang telah terjadi dengan nona Tan Sian Li. Kecuali kalau engkau memang pengecut, tidak berani mempertanggung-jawabkan perbuatanmu...."

"Tutup mulutmu, tosu jahanam!" Seng Bu membentak dan dia sudah menggerakkan tangannya menampar ke arah Thian-tocu sambil mengerahkan ilmunya yang dahsyat. Hawa beracun yang amat kuat menyambar ke arah tosu Bu-tong-pai itu.

Melihat ini, Gak Ciang Hun yang mengenal pukulan ampuh, meloncat ke depan dan menangkis dari samping untuk menolong, tosu itu.

"Dukkk....!!" Mendapat tangkisan ini, Seng Bu mengeluarkan seruan kaget dan dia mundur dua langkah, akan tetapi Gak Ciang Hun lebih kaget lagi karena dia sempat terhuyung! Padahal, putera pendekar kembar Gak ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, pernah menerima pemindahan tenaga sinkang dari kakeknya, mendiang Bun-beng Lo-jin Gak Bun Beng! Akan tetapi, ketika menangkis, dia merasa betapa dari tangan ketua Thian-li-pang itu menyambar hawa dingin yang aneh sekali, yang membuat dia sampai terhuyung.

"Pangcu dari Thian-li-pang, kalau memang ucapan Thian-tocu Totiang tadi tidak benar, engkau berhak menyangkal, akan tetapi kalau benar, memang sepatutnya engkau berterus terang, bukan lalu menyerang seperti yang kaulakukan tadi! " Ciang Hun menegur.

Senyum iblis muncul di mulut Ouw Seng Bu. "Heh-heh-heh, kami menerima kalian sebagai sahabat, akan tetapi kalau kalian menghendaki kekerasan baiklah. Seperti yang kami lakukan terhadap Si Bangau Merah, kami menawarkan persahabatan dan kerja sama, akan tetapi kalau kalian menolak dan bersikap memusuhi kami, terpaksa kami harus menawan kalian seperti yang telah kami lakukan terhadap Si Bangau Merah!"

Mendengar ini, Ciang Hun mengecutkan alisnya. "Pangcu, kami tidak menghendaki persahabatan, juga tidak mencari permusuhan. Akan tetapi kalau engkau telah menawan nona Tan Sian Li, kami menuntut agar engkau suka membebaskannya sekarang juga.

"Heh-hah, bagaimana kalau kami tidak mau membebaskannya?"

"Ouw Seng Bu, kalau engkau tidak mau membebaskan Tan-lihiap, kami akan mengadu nyawa denganmu!" bentak Thian-tocu marah. Lima orang tosu Bu-tong-pai itu sudah mencabut pedang mereka, siap untuk bertanding mati-matian untuk menolong Si Bangau Merah.

"Ouw-pangcu, kami harap engkau suka membebaskan nona Tan Sian Li, agar kami tidak harus menggunakan kekerasan."

Siangkoan Kok yang sejak tadi mendengarkan saja, kini menjadi tidak sabar. "Pangcu, serahkan saja kepadaku untuk menelikung pemuda sombong ini!"

"Dan lima orang tosu Bu-tong-pai ini serahkan kepada kami!" kata Kui Thian-cu dan Im Yang-ji.

Ouw Seng Bu mengangguk dan para pembantunya itu segera bergerak menyerang. Lima orang tosu Bu-tong, Ciang Hun dan Bi Kim menggerakkan senjata mereka menyambut dan terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Baru tiga orang pembantu Seng Bu itu saja, bekas ketua Pao-beng-pai, wakil Pek-lian-kauw dan wakil Pat-kwa-pai sudah merupakan lawan berat bagi lima orang tosu dan banyak anggauta Thian-li-pang tingkat tinggi yang melakukan pengeroyokan.

Akan tetapi, bagaimanapun juga Gak Ciang Hun adalah keturunan pendekar sakti, permainan pedangnya mantap dan kuat, tenaga sin-kangnya pun mampu menandingi lawan yang manapun sehingga Siangkoan Kok yang menandinginya, tidak dapat mendesaknya dengan cepat. Gan Bi Kim juga terdesak hebat oleh Kui Thian-cu yang mengejeknya, lima orang tosu kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak anak buah Thian-li-pang.

Melihat betapa Siangkoan Kok belum juga mampu menundukkan Ciang Hun, Seng Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia tahu bahwa bekas ketua Pao-beng-pai itu cukup tangguh dan tidak akan kalah, akan tetapi dia tidak ingin perkelahian itu berlangsung terlalu lama. Kalau sampai Kim Giok mengetahui, gadis itu tentu akan merasa tidak senang. Juga, tidak baik kalau mereka ini sampai terbunuh. Kalau dia dapat membujuk orang-orang yang lihai itu untuk bersekutu dengannya, hal itu akan amat menguntungkan

dan memperkuat kedudukannya. Maka, dia pun segera meloncat ke depan dan menyerang Gak Ciang Hun dengan totokan jari tangannya, menggunakan ilmunya yang aneh, akan tetapi membatasi tenaganya agar jangan sampal melukai berat atau membunuh pemuda itu.

Dengan lengking yang aneh menyeramkan, Seng Bu menyerang dan Ciang Hun yang menghadapi Siangkoan Kok saja sudah merasa sibuk karena ilmu kepandaian kakek tinggi besar itu memang hebat, kini merasa ada sambaran angin dingin dari samping. Dia mengelak ke kiri dan pada saat itu, Siangkoan Kok menyerangnya dengan pedang, dibarengi pula dengan tamparan tangan kiri. Ciang Hun

menangkis pedang lawan, memutar tubuh dan menyambut tamparan tangan kiri lawan itu dengan tangan kirinya pula.

"Trang.... plakkk!" Kedua tangan itu bertemu dan melekat dan pada saat itu, totokan kedua yang dilakukan Seng Bu tiba. Ciang Hun tidak mampu menghindar lagi dan dia pun roboh lemas terkena totokan ampuh jari tangan Seng Bu.

"Tangkap mereka, jangan bunuh!" teriaknya dan teriakan Seng Bu ini menolong. Gan Bi Kim yang sudah terdesak, juga lima orang tosu itu, akhirnya roboh dan hanya lima orang tosu itu yang luka-luka, namun bukan luka yang terlalu parah, sedangkan Gan Bi Kim juga roboh terkena totokan Im Yang-ji.

Demikianlah, lima orang tosu Bu-tong-pai, Ciang Hun, dan Bi Kim tertawan oleh Thian-li-pang dan mereka dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang cukup lebar, tidak dirantai seperti halnya Sian Li dan Hui Eng, akan tetapi kamar tahanan itu berjeruji tebal dan kokoh kuat, sedangkan di depannya terdapat penjagaan yang ketat terdiri dari belasan orang anak buah Thian-li-pang.

******

Ketika Cu Kim Giok berdiri di depan jeruji kamar tahanan itu dan melihat Ciang Hun, wajahnya berubah agak pucat dan matanya terbelalak. Ia tidak begitu peduli melihat lima tosu Bu-tong-pai, Juga ia tidak mengenal gadis cantik yang ikut tertawan di kamar itu, akan tetapi ia segera mengenal Gak Ciang Hun yang pernah dijumpainya di dalam pesta pertemuan keluarga besar di rumah pendekar Suma Ceng Liong.

"Kau....?" serunya kaget. "Bukankah engkau.... saudara Gak Ciang Hun....?"

Ciang Hun memandang dingin. Dia sudah mendengar dari para tosu Bu-tong-pai tentang gadis itu.

"Hemmm.... dan engkau Cu Kim Giok, puteri paman Cu Kun Tek dan bibi Pouw Li Bian dari Lembah Naga Biluman. Sungguh mengherankan sekali melihat engkau di sini menjadi kaki tangan seorang jahat seperti Ouw Seng Bu, pangcu baru dari Thian-li-pang."

Wajah Kim Giok berubah kemerahan. "Gak-twako!" serunya dengan nada protes. "Agaknya engkau pun sudah dipengaruhi lima orang tosu yang sombong ini. Ouw Seng Bu bukanlah seorang jahat. Dia ketua Thian-li-pang yang berjiwa pahlawan dan yang bertekad untuk mengusir penjajah Mancu dari tanah air!"

"Pahlawan yang bergaul dengan para penjahat dan golongan sesat dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai? Bukan orang jahat akan tetapi membunuh Sin-ciang Tai-hiap Yo Han, membunuhi para pimpinan Thian-li-pang, bahkan menawan Tan Sian Li? Dan engkau masih mengatakan dia tidak jahat?"

"Gak-twako, engkau salah mengerti! Yang membunuh para pimpinan Thian-li-pang adalah Yo Han, bahkan dia hendak membunuh Ouw-pangcu. Adapun Tan Sian Li terpaksa ditawan karena ia hendak membunuh Ouw-pangcu dan mengamuk. Juga Ouw-pangcu yang hampir dibunuh Yo Han sampai terluka parah, dan Yo Han terjerumus ke dalam sumur tua karena dikeroyok para anggauta Thian-li-pang yang membela ketuanya. Tentang pergaulan dengan para tokoh kang-ouw, hal ini adalah karena kita semua bersatu padu menghimpun kekuatan untuk menentang penjajah Mancu! Kalau tidak bersatu dengan semua golongan bagaimana mungkin penjajah Mancu dapat diusir dari tanah air? Harap engkau dapat memaklumi, Gak-twako. Dan sekali kalau engkau, enci ini, dan para tosu Bu-tong-pai suka bekerja sama dengan kami, berjuang bahu-membahu menentang penjajah Mancu."

"Cukuplah, kami tahu bahwa engkau telah terbius oleh racun yang diberikan Ouw Seng Bu kepadamu sehingga engkau tidak lagi dapat melihat kenyataan, tidak dapat lagi, membedakan yang benar dan yang salah." kata Ciang Hun marah.

"Sudahlah, Nona, pergilah dan jangan ganggu kami. Bujuk rayumu itu tidak ada gunanya. Kami hanya merasa menyesal sekali bahwa seorang gadis keturunan keluarga Lembah Naga Siluman seperti Nona ini sampai dapat ditipu dan dibius oleh seorang penjahat gila seperti Ouw Seng Bu!" kata Thian-tocu.

Kim Giok tidak dapat menahan lagi mendengar semua itu. Ia membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu, wajahnya merah dan kedua matanya terasa panas menahan tangis. Ia merasa bingung sekali melihat betapa kekasihnya mempunyai semakin banyak musuh dari golongan para pendekar dan hal ini amat merisaukan hatinya. Setelah memasuki kamarnya sendiri, Kim Giok tidak dapat lagi menahan. tangisnya dan ia menelungkup di atas pembaringannya dan menangis. Terjadi perang di dalam batinnya. Mau tidak mau ia mempunyai kecondongan untuk membela dan mempercaya Sian Li, Hui Eng dan juga Ciang Hun. Akan tetapi perasaan ini ditentang oleh cinta dan kepercayaannya kepada Seng Bu. Seng Bu begitu baik kepadanya, begitu mencintanya dan menurut pendapatnya, kekasihnya itu seorang yang gagah perkasa dan bijaksana, dan merasa bahwa kekasihnya tidak salah, bahkan mendatangkan harapan besar bagi nusa bangsa untuk mengusir penjajah dari tanah air.

Sementara itu, Sian Li dan Hui Eng sudah menghentikan siu-lian mereka dan merasa tubuh mereka segar dan penuh kekuatan. Akan tetapi Hui Eng melihat kemuraman membayangi wajah Sian Li yang cantik. Ia tahu bahwa Si Bangau Merah itu tentu memikirkan Yo Han, maka ia pun menghibur.

"Adik Sian Li, tenangkan hatimu. Tidak baik dalam keadaan seperti ini membiarkan diri dicekam kerisauan, membuat kita menjadi lemah." katanya lirih.

Sian Li mengangkat muka memandang wajah Hui Eng, lalu menghela napas panjang. "Engkau benar, enci Eng. Akan tetapi aku tidak pernah dapat melupakan Han-koko. Membayangkan dia berada dalam sumur yang ditimbuni batu.... ah, bagaimana hatiku takkan risau?"

"Kerisauan hatimu tidak akan menolong apa-apa, adik Sian Li, tidak ada manfaatnya sama sekali. Jangan biarkan hatimu ditekan kerisauan yang menegangkan dan percaya sajalah bahwa Tuhan tentu akan selalu menolong orang yang baik dan benar. Dan aku yakin bahwa Yo Han adalah orang yang berada di pihak benar. Kalau Tuhan tidak menghendaki dia mati, biarpun dia benar-benar berada di dalam sumur itu, aku yakin dia tidak akan mati. Yang penting sekarang memikirkan bagaimana kita dapat lolos dari sini dan melanjutkan penyelidikan kita tentang Yo-twako itu."

"Akan tetapi bagaimana mungkin itu dilakukan, enci Eng? Kita dapat mematahkan rantai yang mengikat kaki tangan kita, akan tetapi kita tidak akan dapat membuka pintu besi dan beruji itu, terlalu kuat. Selain itu, para penjaga di luar tentu akan bertertak-teriak dan kalau Ouw Seng Bu datang bersama para pembantunya, mereka itu terlalu banyak dan terlalu kuat bagi kita."

"Tenangkan hatimu, adik Sian Li. Aku masih mempunyai harapan. Lupakah engkau kepada kanda Cia Sun?" kata Hui Eng dan kedua pipinya menjadi kemerahan ketika ia teringat kepada pangeran yang menjadi kekasihnya dan kini menjadi tumpuan harapannya itu.

"Ah, engkau benar, enci Eng. Melihat bahwa sampai sekarang Pangeran Cia Sun tidak nampak tertawan musuh, hal itu berarti bahwa dia masih bebas. Dan tidak mungkin Pangeran Cia Sun akan membiarkan saja gadis yang paling dicintanya di seluruh dunia tertawan musuh. Dia pasti berusaha untuk membebaskanmu, enci Eng."

"Ihhh! Bukan hanya aku, akan tetapi engkau juga pasti akan dia usahakan agar dapat bebas."

"Akan tetapi, enci Eng. Bagaimanapun juga, kita mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat, pangeran tidaklah lebih lihai daripada engkau atau aku. Bagaimana mungkin dia dapat mengatasi Ouw Seng Bu dan para pembantunya yang lihai, dan anak buahnya yang cukup banyak?"

"Kukira dia tidak sebodoh itu, hanya mengandalkan tenaga sendiri. Bagaimanapun juga, dia seorang pangeran dan tentu tidak akan sukar baginya untuk mendapatkan bantuan pasukan yang terdekat, bukan? Kalau dia mengerahkan pasukan yang besar, tentu gerombolan penjahat yang berkedak pejuang ini dapat dibasmi."

"Engkau benar, enci Eng. Akan tetapi, bayangan itu sungguh tidak mengenakkan hatiku. Kalau pasukan pemerintah yang datang menolong, bukankah itu sama artinya dengan kita berpihak kepada penjajah?"

"Adik Sian Li, kita harus dapat melihat kenyataan dan dapat mempertimbangkan dengan adil. Kalau Thian-li-pang merupakan sekelompok pejuang, segolongan pendekar yang berjiwa patriot, apakah kita sampai menentang mereka dan menjadi tawanan mereka? Ingat, bahwa kalau pasukan pemerintah benar-benar dikerahkan pangeran Cia Sun untuk menggempur Thian-li-pang, yang digempur adalah gerombolan penjahat, bukan perkumpulan pejuang sejati."

Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan penuh keyakinan. "Aku mengenal baik Pangeran Cia Sun. Harus kuakui bahwa dia seorang pangeran Mancu, akan tetapi dia tidak berjiwa penjajah, bahkan dia menghormati para pejuang dan tidak akan mencampuri urusan pemberontak para pejuang. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia sampai menjadi adik angkat Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?"

Sian Li tersenyum. Tentu saja gadis itu akan membela mati-matian Pangeran Cia Sun, kekasihnya, tunangan dan calon suaminya. Akan tetapi, pembelaan itu pun bukan hanya ngawur dan ia tak dapat membantah kebenaran apa yang diucapan Hui Eng.

"Mudah-mudahan Pangeran Cia Sun cepat muncul dengan bala bantuannya, enci Eng. Aku ingin cepat bebas dan mencari Han-ko. Kalau perlu, akan kubongkar dengan tanganku sendiri batu-batu yang menimbuni sumur tua itu."

Mereka menerima suguhan makan malam yang dimasukkan melalui lubang di antara jeruji baja. Ternyata Ouw Seng Bu tetap memperlakukan mereka dengan baik. Hidangan yang disuguhkan cukup mewah, bahkan ada pula minuman anggur segar. Mereka berdua tidak menolak dan makan sampai kenyang untuk menjaga kondisi tubuh mereka, kemudian mereka bersamadhi lagi mengumpulkan kekuatan agar selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Diam-diam mereka pun dapat menduga bahwa berkat adanya Cu Kim Giok di situ, maka agaknya Ouw Seng Bu bersikap lunak kepada mereka.

Menyerah dengan penuh kepasrahan, penuh kepercayaan akan kekuasaan Tuhan, dan berdaya upaya sekuat tenaga dan kemampuan yang ada merupakan dua persyaratan hidup yang tak boleh dipisahkan dan tidak boleh pula diabaikan kita. Hanya menyerah saja tanpa

berupaya, atau hanya berupaya saja tanpa penyerahan dengan keimanan kepada Tuhan, tidaklah lengkap dan tidak pula benar. Kita hidup sebagai hasil ciptaan Tuhan yang sempurna dan lengkap, dan semua perlengkapan yang pada kita ini memang diikut-sertakan kita agar dapat kita pergunakan untuk keperluan hidup. Panca indera kita, tangan kaki kita, hati akal pikiran, semua itu merupakan perlengkapan sempurna yang sudah sepatutnya kita pergunakan, kita kerjakan demi kelangsungan hidup ini, demi kesejahteraan, demi kebahagiaan hidup. Namun, di samping daya upaya ini, kita harus yakin sepenuhnya bahwa segala sesuatu baru dapat terjadi apabila ditentukan oleh kekuasaan Tuhan! Menyerah saja tanpa usaha, sama saja dengan mempersekutu Tuhan. Kalau perlu kita lapar, kita harus makan dan untuk bisa makan kita harus mencari makanan itu. Hanya menyerah saja tanpa makan, tidak mungkin kita terbebas dari rasa lapar. Akan tetapi, mencari makanan saja tanpa penyerahan kepada Tuhan, kita dapat dibawa menyeleweng oleh nafsu sehingga kita mudah melakukan penyelewengan, misalnya mengambil kebutuhan kita itu dari orang lain, mencuri, merampok dan sebagainya. Maka, kedua syarat itu tidak terpisahkan, yaitu, pada lahirnya kita berusaha sekuat kemampuan kita, pada batinnya kita menyerah kepada kekuasaan Tuhan. Kalau sudah begini, lengkaplah sudah. Berhasil atau tidaknya usaha kita, kita serahkan kepada Tuhan. Yang terpenting, kita berusaha sekuat kemampuan kita! Kalau sudah begini, berhasil atau gagal tidak membuat kita terlalu mabuk atau terlalu kecewa, karena kita maklum sepenuhnya bahwa segala kehendak Tuhan pun jadilah! Kita hanya dapat bersyukur akan kekuasaan Tuhan. Tuhan Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, tahu apa yang terbaik bagi kita. Mungkin di dalam suatu kenyataan yang bagi hati akal pikiran kita merupakan kegagalan, tersembunyi suatu hikmah, tersembunyi suatu berkah demi kebaikan kita. Dalam kehidupan kita ini, betapa banyaknya berkah Tuhan bersembunyi di balik pengalaman yang kita anggap menguntungkan atau tidak menyenangkan.

Demikian pula dengan Yo Han. Biarpun menurut hati akal pikiran dia tertimpa malapetaka, terkubur hidup-hidup di dalam sumur tua, suatu hal yang amat tidak menyenangkan, juga yang mengancam keselamatan nyawanya, namun pemuda ini sama sekali tidak tenggelam ke dalam keputusan, tidak terseret ke dalam kedukaan. Kekuatan seperti yang dimiliki Yo Han ini dapat kita miliki,

yaitu kalau kita memiliki kepasrahan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, dengan iman yang sepenuhnya, sehingga kita yang sepenuhnya percaya bahwa apa pun yang terjadi, tidak lepas dari kehendak Tuhan! Yo Han terbebas dari kematian, tertimbun atau tertimpa batu, kemudian, dia terbebas pula dari bahaya kelaparan ketika dapat menemukan jamur yang dapat dimakan. Kini, dia berusaha sekuat tenaga untuk mencari jalan keluar tanpa sedikit pun pernah mengurangi penyerahannya kepada Tuhan. Andaikata Tuhan menghendaki bahwa dia akan tewas, dia sudah siap setiap saat. Dengan amat giat dan tekun, Yo Han mencari jalan keluar dengan menggali lubang-lubang yang sempit, mencari jalan keluar. Sebuah demi sebuah batu dia lepaskan, melanjutkan gerakannya merayap dalam lubang terowongan yang kecil sempit itu. Setiap hari, bahkan dalam gelap pun dia bekerja, hanya berhenti kalau dia memerlukan istirahat untuk menghimpun tenaga baru atau kalau dia lapar dan mengantuk.

Akhirnya, pada suatu siang, ketekunan yang penuh penyerahan itu mendatangkan hasil yang sama sekali di luar dugaannya. Ada sinar terang di depan. Dia merayap terus, menyingkirkan batu-batu penghalang lubang sempit itu dan akhirnya, ternyata lubang terakhir yang merupakan lorong amat panjang itu membawa dia muncul di tepi sebuah tebing jurang, di lereng bukit!

"Terima kasih, Tuhan!" Yo Han berlutut dengan sepenuh hati merasa bersyukur akan kemurahan Tuhan yang telah membebaskannya dari dalam bumi yang seolah menghimpitnya itu! Kemudian, dia duduk bersila setelah makan jamur menghimpun kekuatan dan menjelang sore, dia mulai mencari jalan menuruni tebing yang curam itu.

Malam gelap membuat Yo Han terpaksa menghentikan usahanya dan dia melewatkan malam di tebing jurang. Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah terang tanah, dia melanjutkan usahanya menuruni tebing itu. Dia harus segera kembali ke Thian-li-pang dan mengadakan pembersihan di sana. Dia sekarang mengerti bahwa Ouw Seng Bu telah berkhianat, telah membunuhi para pimpinan Thian-li-pang dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua. Dan pemuda yang aneh itu, yang memiliki ilmu aneh pula, telah mengajak golongan sesat untuk bersekutu. Thian-li-pang telah diselewengkan dia harus bertindak. Dialah yang bertanggung jawab. Dia teringat akan pesan mendiang kakek Ciu Lam Hok, gurunya, agar dia membersihkan Thian-li-pang dan mengembalikan Thian-li-pang kepada cita-cita semula, yaitu perkumpulan orang-orang berjiwa patriot, dan pendekar sejati yang berjuang untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Menjadi pembela bangsa bukan pengganggu keamanan rakyat, bukan menjadi penjahat!

******

"Giok-moi.... kenapa engkau menangis....?" Suara yang lembut dan sentuhan halus pada pundaknya membuat Kim Giok terkejut. Ia bangkit duduk dan melihat Seng Bu sudah duduk di tepi pembaringannya, dan kini pemuda itu merangkul pundaknya.

"Koko....aku.... aku merasa gelisah sekali...." Seng Bu menarik gadis itu ke dadanya dan mengelus rambutnya yang halus. "Giok-moi tersayang, kenapa engkau gelisah? Bukankah di sini ada aku yang selalu siap untuk melindungimu dan membahagiakan hatimu?" Dia mengusap dahi gadis itu dengan bibirnya. "Apakah yang telah terjadi, sayangku."

"Koko, betapa hatiku tidak akan gelisah dan risau? Ketika aku mencoba untuk membujuk Sian Li dan Hui Eng, aku hanya mendapat teguran, ejekan dan penghinaan. Ketika aku menemui tawanan baru itu, ternyata pemuda itu adalah twako Gak Ciang Hun, dan aku pun di sana menerima celaan dan makian. Ahhh, Koko, sungguh aku merasa malu dan bersedih sekali...."

"Kalau begitu, biar kuhajar mereka, kusiksa mereka yang berani menghina dan mengejekmu!"

Kim Giok memegang lengan pemuda itu. "Jangan, Koko! Bukan begitu maksudku. Aku gelisah dan risau karena aku merasa bimbang. Kenapa mereka menolak berjuang bersama kita? Mengapa mereka menganggap engkau bersalah dan jahat?"

Rangkulan Seng Bu semakin erat, dan dia berbisik dekat telinga gadis itu. "Giok-moi, apakah engkau tidak percaya kepadaku? Tentu saja mereka memusuhiku karena mereka semua itu memihak Yo Han, tidak tahu bahwa Yo Han telah berubah, telah membunuhi para pemimpin Thian-li-pang, bahkan hampir saja membunuhku. Engkau tahu sendiri betapa aku hampir mati, Giok-moi. Kalau engkau pun seperti mereka, tidak percaya kepadaku, habislah sudah harapan hidupku. Engkaulah satu-satunya orang yang memberi harapan kepadaku. Biar seluruh manusia di dunia ini tidak percaya kepadaku dan memusuhiku, akan kuhadapi dan kulawan mereka yang memusuhiku!"

"Koko...." Kim Giok yang kurang pengalaman itu terbuai oleh kemesraan kata-kata yang diucapkan Seng Bu.

"Aku akan selalu berpihak padamu, membelamu dan setia kepadamu."

"Terima kasih, Giok-moi, aku cinta padamu, Giok-moi, aku cinta padamu sepenuh jiwa ragaku." Ucapan ini menggetar penuh perasaan dan baru saat itulah Seng Bu benar-benar bicara dari lubuk hatinya. Memang dia jatuh cinta kepada Kim Giok, walaupun cintanya bergelimang nafsu berahi, cintanya timbul karena baginya, tidak ada gadis yang lebih cantik menggairahkan daripada Kim Giok. Dengan tubuh gemetar, dia mendekap dan mencium pipi dan bibir gadis itu.

Kim Giok agak terkejut dan ia dengan halus melepaskan diri dari rangkulan. Ia sendiri kalau mau jujur, merasa senang dengan perlakuan penuh kemesraan itu, akan tetapi karena hatinya memang sedang risau, ia pun tidak ingin melanjutkan kemesraan yang membuat jantungnya berdebar keras itu.

"Koko, aku ingin bicara padamu."

Seng Bu tersenyum. "Ehhh? Bukankah sudah sejak tadi kita bicara?" Dia hendak merangkul lagi akan tetapi Kim Giok menolak dengan tangannya.

"Aku tidak main-main dan harap engkau bersungguh-sungguh, Bu-ko. Aku minta kepadamu agar engkau suka membebaskan mereka bertiga, yaitu Sian Li, enci Hui Eng, dan Gak-twako. Kalau engkau tidak membebaskan mereka, hatiku akan selalu merasa risau. Maukah engkau, Koko?"

Seng Bu mengerutkan alisnya dan sejenak dia menatap wajah kekasihnya. penuh selidik. "Giok-moi, tidak salahkah apa yang kudengar ini? Engkau minta kepadaku agar aku membebaskan orang-orang yang memusuhi aku dan yang hendak membunuhku?" Dia tersenyum, akan tetapi senyumnya masam. "Itu berarti melepaskan tiga ekor harimau yang akan selalu mengancam keselamatanku,

keselamatan kita, bahkan akan menggagalkan usaha perjuangan kita. Itukah yang kaukehendaki."

"Tentu saja tidak, Koko. Aku akan mengajukan syarat kepada mereka, kuminta mereka berjanji tidak memusuhimu kalau kita bebaskan mereka."

"Itu berbahaya sekali, Giok-moi. Ingat, masih ada seorang lagi dari mereka yang lolos, yaitu Pangeran Cia Sun. Dia merupakan ancaman besar bagi kita selama dia masih belum tertangkap. Setelah dia tertawan, baru kita bicarakan lagi tentang permintaanmu itu. Percayalah padaku, Giok-moi. Bukankah selama ini aku tidak pernah berbohong kepadamu dan kuperintahkan anak buah kita agar memperlakukan para tawanan itu dengan baik?"

Kembali Seng Bu meraih dan merangkul, hendak mencium dan hendak merebahkan gadis itu ke atas pembaringan. Kim Giok meronta dan melepaskan diri, meloncat turun dari pembaringan, memandang kepada kekasihnya dengan alis berkerut.

"Koko, apa yang kaulakukan ini?"

"Giok-moi, kita saling mencinta dan aku tahu, aku selalu sibuk dengan pekerjaan ini. Aku.... aku ingin.... memiliki dirimu sepenuhnya. Giok-moi...." Pemuda itu hendak merangkul lagi, akan tetapi Kim Giok melangkah mundur menghindar.

"Bu-ko, kita tidak boleh kita belum menikah!"

"Giok-moi, kasihanilah aku. Kita pasti akan menikah, akan tetapi aku harus meminangmu dulu kepada orang tuamu dan hal itu akan makan waktu lama. Aku ingin memiliki dirimu sepenuhnya, sekarang...."

"Tidak, aku tidak mau!"

"Giok-moi....!" Seng Bu menjulurkan kedua tangannya, akan tetapi Kim Giok meloncat keluar dari dalam kamar itu, dikejar kekasihnya. Sebetulnya, Seng Bu bukanlah seorang pemuda yang gila wanita, bukan pula hamba nafsu berahi. Akan tetapi, dia sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Kim Giok dan dia takut kehilangan gadis itu yang agaknya kini meragu dan bahkan minta agar para tawanan dibebaskan. Kalau dia dapat menggauli Kim Giok sekarang, tentu gadis itu terikat kepadanya dan tidak akan

lepas lagi dari tangannya, bahkan akan lebih kuat dan patuh kepadanya. Karena itu, sikapnya sekarang seperti hendak memaksa Kim Giok menyerahkan diri lebih dipengaruhi perhitungan yang menguntungkan dirinya daripada sekedar terseret nafsu berahi.

Kim Giok berlari keluar dari bangunan itu, dikejar oleh Seng Bu yang tentu saja tidak hendak berlaku kasar, hanya mengejar untuk membujuk kekasihnya.

"Giok-moi, tunggu....!" serunya sambil tertawa karena merasa betapa kekasihnya itu seperti mengajaknya bermain kejar-kejaran seperti kanak-kanak saja.

Pada saat itu, terdengar suara terompet dan tambur, disusul kegaduhan luar biasa di bawah puncak. Beberapa orang anak buah Thian-li-pang berlari-larian dan ketika Kim Giok dan Seng Bu yang berhenti berlari memandang, nampak Kui Thian-cu, Im Yang-ji dan Siangkoan Kok datang pula berlarian.

"Ah, celaka, Pangcu!" kata Im Yang-ji dengan muka pucat. Tosu Pat-kwa-pai yang tinggi kurus ini nampak gugup.

"Apa yang terjadi? Kenapa kalian begitu panik?" Seng Bu bertanya.

"Pangcu, pasukan besar pemerintah telah mengepung kita dari empat penjuru!" kata pula Im Yang-ji.

"Jahanam!" Seng Bu berseru marah dan matanya mulai mencorong aneh sehingga Kim Giok yang melihatnya menjadi terkejut. Dalam keadaan marah seperti itu, Seng Bu seolah telah berubah, wajahnya bengis, pandang matanya mencorong dan otaknya mendadak saja menjadi cerdik dan licik sekali. "Im Yang-ji Totiang, dan Kui Thian-cu Totiang, kalian cepat atur pasukan kalian masing-masing menyambut musuh dari sayap kanan dan kiri. Dan engkau, paman Siangkoan, cepat atur barisan Thian-li-pang kita,

bagi menjadi dua untuk mempertahankan depan dan belakang. Aku akan menangkap para tawanan untuk dijadikan sandera, karena aku yakin Pangeran Cia Sun berdiri di belakang penyerbuan ini!"

Tiga orang pembantu itu segera pergi melakukan perintah dan Seng Bu hendak berlari masuk, agaknya sudah lupa sama sekali kepada Kim Giok.

"Koko, jangan!" Kim Giok melompat dan gadis ini sudah berdiri menghadang Seng Bu.

"Giok-moi, minggirlah kau!" bentak Seng Bu marah, matanya yang mencorong itu sama sekali sudah tidak mengandung sinar kasih sayang, melainkan kebengisan dan kemarahan.

"Tidak, Bu-koko! Engkau tidak boleh membuat mereka bertiga menjadi sandera. Bahkan setelah pasukan pemerintah menyerang, jelas bahwa mereka tidak mempunyai hubungan dengan itu karena mereka berada di sini sebagai tawanan, maka kita sudah seharusnya membebaskan mereka sekarang juga. Mungkin mereka akan menyadari dan membantu kita untuk melawan pasukan pemerintah."

"Minggir, Giok-moi! Kalau mereka tidak boleh dijadikan sandera, mereka bahkan harus dibunuh agar berkurang musuh kita."

"Bu-ko, musuh kita adalah penjajah Mancu, bukan anggauta keluarga besar para pendekar!" kata Cu Kim Giok dan kini Koai-liong-pokiam telah terhunus di tangannya. "Aku tidak memperkenankan siapapun membunuh para tawanan itu!"

Mendengar ini, tiba-tiba Ouw Seng Bu tertawa, dan suaranya tawanya sungguh mendirikan bulu roma, mengerikan.

"Haha-ha-ha-ha, kiranya engkau pun kini menjadi musuhku, Giok-moi? Engkau kucinta sepenuh jiwa ragaku, engkau pun memusuhi aku? Engkau tega sekali, Giokmoi...." dan laki-laki ini pun menangis! Kim Giok sampai menjadi bengong dan baru sekarang ia dapat menduga bahwa pria yang dicintanya ini adalah seorang yang miring otaknya.

"Ha-ha-ha," Seng Bu tertawa lagi. "Engkau hendak membela mereka?" Dia pun berteriak kepada sekelompok anak buahnya yang berlari dekat. "Heiii, kalian! Cepat suruh bakar tempat tahanan. Sekarang juga, cepat!"

"Baik, Pangcu!" sahut mereka dan mereka pun berlarian ke arah rumah tahanan.

"Tidaaak, jangan....!" Kim Giok melompat ke depan untuk mengejar dan mencegah anak buah Thian-li-pang itu melakukan pembakaran.

"Cu Kim Giok, engkau musuh kami!" terdengar bentakan Seng Bu dan dia pun sudah meloncat lalu langsung mengirim pukulan ketika tubuhnya dan tubuh Kim Giok masih melayang di udara.

Karena tidak menduga bahwa pria yang dikasihinya itu akan menyerangnya, juga karena serangan aneh itu datangnya amat cepat, membawa angin dingin, maka biarpun Kim Giok berusaha melakukan gerakan poksai (salto) untuk menghindar, tetap saja lambungnya terkena pukulan itu.

"Aughhh....!" Kim Giok mengeluh dan tubuhnya terkulai, jatuh ke atas tanah. Ia rebah miring dan merasa betapa lambungnya seperti dimasuki benda dingin sekali, seperti sebongkah air beku dan dadanya sesak, pandang matanya berkunang.

"Giok-moi.... kekasihku.... Giok-moi....!" Seng Bu menangis dan dia menghampiri tubuh yang roboh miring itu. Akan tetap pada saat itu, terdengar suara yang membuat Seng Bu terkejut seperti disengat binatang berbisa dan tengkuknya terasa dingin dan tebal saking ngeri dan takutnya.

"Ouw Seng Bu, pengkhianat keji manusia berhati iblis!" Suara Yo Han. Cepat Seng Bu membalikkan tubuhnya dan dia sudah berhadapan dengan Yo Han! Dia merasa seperti dalam mimpi dan menatap wajah Yo Han dengan mata terbelalak. Apalagi mendengar suara gaduh pertempuran yang menunjukkan bahwa pasukan pemerintah sudah menyerbu ke dalam perkampungan Thian-li-pang.

Sementara itu, Kim Giok mengangkat mukanya dan ia terbelalak melihat api telah membakar rumah tahanan.

Melihat api mulai berkobar, seakan timbul semangat dan kekhawatirannya. Ia meloncat dan dengan pedang di tangan, ia seperti melupakan rasa nyeri di lambungnya. Ia berlari menuju ke rumah tahanan itu, tidak mempedulikan lagi kepada Seng Bu.

Setelah tiba di dekat rumah tahanan itu, dia melihat beberapa orang anggauta Thian-li-pang sedang membakar bagian samping rumah tahanan yang sudah mulai berkobar. Dengan marah Kim Giok menggerakkan pedangnya dan empat orang anggauta Thian-li-pang roboh. Dua orang lagi yang menjadi terkejut melihat tunangan ketua mereka mengamuk, tahu bahwa calon nyonya ketua itu kini

menjadi musuh. Mereka menggerakkan golok, akan tetapi mereka pun segera terpelanting mandi darah, menjadi korban pedang Koai-liong Po-kiam di tangan gadis dari Lembah Naga Siluman itu. Kim Giok tidak mempedulikan berkobarnya api, dengan cepat ia meloncat masuk, menyelinap dan berlari menuju ke kamar tahanan. Ia melihat betapa Sian Li dan Hui Eng telah dapat mematahkan rantai yapg membelenggu kaki tangan mereka dan mereka berdua kini sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjebol jeruji baja dengan menarik dan membetot-betot, namun agaknya usaha ini tidak akan membawa hasil. Juga di bagian ujung sana, di mana Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu ditahan, terdengar suara gaduh ketika mereka mendorong-dorong pintu baja kamar tahanan mereka.

Dengan sisa tenaga terakhir, Kim Giok menyambut empat orang anggauta Thian-li-pang yang agaknya hendak meninggalkan ruangan yang mulai terbakar itu. Mereka adalah para penjaga sebelah dalam dan ia tahu bahwa kunci kamar-kamar tahanan itu pasti berada di tangan mereka. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar dan robohlah empat orang itu. Kim Giok memeriksa pakaian mereka dan menemukan gelang besi yang digantungi beberapa buah kunci. Cepat ia menghampiri kamar tahanan di mana Sian Li dan Hui Eng sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh harapan dan kegembiraan. Tentu saja mereka berdua merasa gembira sekali bahwa pada saat terakhir, ternyata Kim Giok menunjukkan bahwa ia tetap seorang puteri sepasang pendekar dari Lembah Naga Siluman yang gagah perkasa!

Setelah Kim Giok berhasil membuka kunci pintu dan menarik daun pintu baja terbuka, ia pun terhuyung. Ia menyerahKan gelang kunci kepada Sian Li sambil berpegang kepada jeruji.

"Cepat.... bebaskan mereka.... di ujung sana....!" Dan ia pun terkulai roboh.

"Kim Giok....!" Sian Li berseru dan cepat merangkulnya. Kepada Hui Eng ia berkata, "Enci Eng, cepat bebaskan tawanan di ujung sana, bahkan kalau masih ada yang lain, bebaskan mereka semua."

Hui Eng menerima kunci dan tak lama kemudian ia sudah membuka pintu kamar tahanan di mana Ciang Hun dan lain-lain dikeram.

Sian Li masih memeriksa keadaan Kim Giok dan terkejutlah ia ketika melihat lambung gadis itu terdapat tanda menghitam dan sekali raba saja tahulah ia bahwa isi perut gadis itu telah menderita luka yang agaknya tidak mungkin disembuhkan lagi.

"Kim Giok....!" Ia merangkul, penuh keharuan. Biarpun gadis yang terluka parah itu tidak menerangkan, Sian Li sudah dapat menduga bahwa tentu Kim Giok terpukul oleh Ouw Seng Bu ketika gadis ini nekat hendak membebaskan ia dan Hui Eng. Hanya yang membuat ia heran, bagaimana Kim Giok tetap masih dapat membebaskannya, padahal pukulan itu saja merupakan pukulan maut yang

mematikan.

"Sian Li.... mintakan ampun.... kepada ayah ibu...." Kim Giok mengeluh dan terkulai.

"Sian Li, cepat kita harus meninggalkan tempat ini. Kebakaran mulai membesar dan sebentar lagi tidak akan ada jalan keluar," kata Hui Eng yang datang bersama Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu Bu-tong-pai.

Sian Li memandang dan Ciang Hun juga berkata, "Benar, adik Sian Li, kita harus cepat pergi. Ah, bukankah itu adik Cu Kim Giok? Kenapa ia?"

Sian Li menjawab dengan suara gemetar, "Gak-twako....tanpa pertolongan Kim Giok, kita semua akan hangus dan mati terbakar. Ia yang menolong kita membukakan pintu tahanan dan ia.... ia telah tewas. Mari, bantu aku membawanya keluar, Twako."

Tanpa diminta untuk ke dua kalinya, Ciang Hun sudah mengangkat tubuh yang masih hangat dan lemas itu, memondong dan membawanya ke luar bersama yang lain. Melihat di luar sudah terjadi pertempuran hebat antara anak buah Thian-li-pang melawan pasukan pemerintah yang menyerbu masuk, Sian Li menyerahkan jenazah Kim Giok agar ditunggu oleh lima orang tosu Bu-tong-pai yang masih menderita luka-luka, sedangkan ia sendiri bersama Hui Eng, Ciang Hun dan Bi Kim lalu mengamuk, membantu pasukan menyerbu para anggauta Thian-li-pang sehingga mereka itu cerai-berai dan banyak yang jatuh.

"Aku harus mencari Seng Bu!" teriak Sian Li dengan marah.

"Aku akan mencari Siangkoan Kok!" kata pula Hui Eng.

Akan tetapi, mereka melihat Siangkoan Kok dan dua orang tosu pembantu, yaitu Im Yang-ji tokoh Pat-kwa-pai dan Kui Thian-cu tokoh Pek-lian-kauw, mengamuk dan membuat para perajurit dan perwira yang mengeroyok menjadi kocar-kocir dan banyak perajurit yang roboh. Hui Eng yang melihat Siangkoan Kok mengamuk, segera mencabut pedangnya dan menyerang bekas ayah angkatnya, juga gurunya itu. Memang Ouw Seng Bu tidak merampas senjata para tawanan itu sehingga kini mereka dapat mempergunakan senjata masing-masing. Melihat gadis itu nekat menyerang bekas ketua Pao-beng-pai yang lihai itu, Sian Li merasa khawatir dan ia pun sudah menerjang maju membantu Hui Eng mengeroyok Siangkoan Kok. Adapun Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim sudah membantu para perwira dan perajurit yang mengeroyok dua orang tosu dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw.

Siangkoan Kok yang terkejut sekali melihat para tawanan sudah lolos, terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang gadis yang tangguh itu. Tingkat kepandaian bekas puteri dan muridnya itu sudah hampir menyusulnya, sedangkan Si Bangau Merah juga merupakan seorang wanita yang amat lihai, maka dia pun harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk membela diri.

Jumlah pasukan yang menyerbu amatlah banyaknya sehingga orang-orang Thian-li-pang menjadi kewalahan dan terdesak hebat. Tiba-tiba muncul Cia Sun yang memimpin sebuah regu perajurit pilihan dan melihat betapa kekasihnya sudah bertanding melawan Siangkoan Kok dibantu Tan Sian Li, dia pun segera memerintahkan para perwira dan perajurit yang memiliki kepandaian untuk ikut pula mengeroyok. Pertandingan berat sebelah itu tidak berlangsung terlalu lama. Biarpun mereka bertiga berhasil merobohkan banyak perajurit, namun Siangkoan Kok, Im Yang-ji, dan Kui Thian-cu setelah menderita banyak luka-luka, akhirnya roboh. Siangkoan Kok tewas dengan dada tertembus pedang di tangan Hui Eng. Im Yang-ji dan Kui Thian-cu juga tewas dengan tubuh penuh luka.

Cia Sun gembira sekali melihat Hui Eng selamat. "Adik Sian Li, di sana kulihat kakak Yo Han sedang bertanding melawan Ouw Seng Bu."

Sian Li mengeluarkan suara seperti sorak gembira mendengar ini dan ia pun berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Cia Sun diikuti oleh yang lain. Setelah tiba di tempat yang dimaksudkan, mereka tertegun menyaksikan sebuah pertandingan yang luar biasa hebatnya. Ketika ada yang hendak bergerak membantu Yo Han, Sian Li cepat berkata, "Jangan ada yang bergerak, Han-koko tidak akan kalah dan dia tidak senang kalau dibantu dengan pengeroyokan." Mendengar ucapan ini, semua orang maklum dan mereka menonton dengan kagum dan juga tegang, kecuali Sian Li yang percaya sepenuhnya bahwa kekasih hatinya tidak akan kalah. Pertemuan antara Yo Han dan Ouw Seng Bu tentu saja membuat ketua Thian-li-pang itu terkejut setengah mati. Wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak, akan tetapi perlahan-lahan wajah itu berubah merah dan matanya menjadi mencorong liar penuh kebencian dan kemarahan.

"Kau....???!!" Seng Bu berseru dan suaranya terdengar dingin dan tajam mengiris jantung, mulutnya kini membentuk senyum menyeringai yang amat bengis. Yo Han sendiri merasa bulu tengkuknya berdiri. Orang ini tidak waras, pikirnya.

"Ouw Seng Bu, kenapa engkau membunuh Lauw Pangcu dan para pimpinan Thian-li-pang?" Seng Bu merasa tidak perlu lagi merahasiakan semua perbuatannya dan dia tertawa. "Ha-ha-ha, mereka itu tidak ada gunanya, membuat Thian-li-pang menjadi lemah saja. Thian-li-pang harus menjadi yang terkuat, harus dapat mengajak seluruh kekuatan untuk menghancurkan penjajah Mancu. Mereka itu orang-orang lemah!"

"Ouw Seng Bu, engkau membunuh mereka dan menguasai Thian-li-pang, bukan demi perjuangan melainkan untuk mencari kedudukan tinggi. Engkau bersekutu dengan golongan sesat, engkau membiarkan anak buah Thian-li-pang melakukan perbuatan jahat. Bahkan engkau secara tak tahu malu dan curang sekali menjebak aku ke dalam sumur. Heran sekali kenapa engkau, murid Lauw Pangcu yang dahulu amat dipercaya dan baik, mendadak berubah seperti iblis? Apakah engkau telah menjadi gila?"

"Yo Han, semua orang Thian-li-pang memujamu. Kau lalu menjadi sombong. Kaukira hanya engkau yang telah menguasai Bu-kek Hoat-keng? Ha-ha-ha, aku pun telah menguasainya dan aku akan membunuhmu untuk kedua kalinya!" Setelah berkata demikian, Ouw Seng Bu menyerang dengan gerakan yang aneh dan dahsyat sekali. Diam-diam Yo Han merasa heran dan terkejut mendengar bahwa orang ini telah menguasai Bu-kek Hoat-keng, dan melihat serangan yang luar biasa itu. Yang membuat dia heran adalah mengenal gerakan tangan Seng Bu ketika menyerangnya. Memang itu adalah gerakan dari Bu-kek Hoat-keng!

Karena merasa heran, Yo Han ingin sekali melihat lebih banyak lagi gerakan itu dan dia pun mengelak cepat tanpa membalas, membiarkan Seng Bu menyerang lagi bertubi-tubi. Dan tidak salah lagi, jurus-jurus yang dimainkan Seng Bu ketika menyerangnya adalah ilmu Bu-kek Hoat-keng, akan tetapi semakin lama, semakin aneh saja perkembangan jurus-jurus itu. Hebatnya, serangan itu mengandung hawa dingin yang aneh karena ketika satu kali dia menangkis, tangannya yang bertemu lengan lawan itu terasa panas! Pukulan Seng Bu itu mengandung hawa beracun yang amat ganas! Berbahaya sekali bagi lawan dan tidak mengherankan kalau Lauw Kang Hui dan yang lain-lain tewas di tangan Seng Bu. Dia sendiri kalau tidak menguasai Bu-kek Hoat-keng, tentu akan terpengaruh hawa beracun itu.

Seng Bu yang merasa bahwa dia telah memiliki ilmu yang tak terkalahkan, makin berbesar hati melihat Yo Han tak pernah membalas dan hanya lebih banyak mengelak dan berloncatan untuk menghindarkan serangan-serangannya. Akan tetapi dia pun merasa penasaran melihat dia belum juga berhasil. Dia harus dapat membunuh Yo Han secepatnya agar dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri, karena dia melihat betapa banyaknya pasukan pemerintah menyerbu perkampungan Thian-li-pang itu. Maka, dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan sedikitnya dua puluh orang anak buah Thian-li-pang kini menggunakan senjata  mereka mengepung dan mengeroyok Yo Han!

Yo Han maklum bahwa Seng Bu mencari kesempatan melarikan diri dan hal ini haruslah dicegah. Maka, dia pun tidak pernah meninggalkan atau menjauhi Seng Bu. Dia mulai menggunakan ilmunya untuk menyerang dan menutup jalan keluar Seng Bu, sedangkan para anak buah Thian-li-pang yang mengepung dan mengeroyoknya dengan ragu-ragu dan gentar, dia robohkan dengan tendangan dan tamparan saja, tidak membuat mereka terluka parah.

"Para anggauta Thian-li-pang, cepat kalian ajak teman-teman untuk melarikan diri! Jangan hiraukan lagi Ouw Seng Bu yang menyeret kalian ke dalam penyelewengan!" beberapa kali Yo Han berseru.

"Kelak aku sendiri yang akan membangun kembali Thian-li-pang!" kembali Yo Han berseru. Terjadi kebimbangan dalam hati para anggauta Thian-li-pang. Mereka yang memang berwatak jahat dan lebih senang dipimpin Seng Bu karena di bawah bimbingan Seng Bu mereka dapat melampiaskan nafsu dan keserakahan mereka secara bebas, tidak mempedulikan seruan Yo Han ini dan mereka tetap melakukan perlawanan dan setia kepada Seng Bu. Akan tetapi, lebih banyak lagi angauta yang hanya terpaksa mentaati ketua baru itu, dan kini para anggauta ini segera menyampaikan pesan kepada kawan-kawan sehaluan dan mereka pun mulai berserabutan mencari lubang untuk meloloskan diri dari penyerbuan pasukan pemerintah.

Mendengar teriakan Yo Han dan melihat betapa anak buahnya yang mengeroyok Yo Han terpelanting ke kanan kiri sehingga dia tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk meloloskan diri dari Yo Han, Seng Bu menjadi marah dan nekat.

"Yo Han, engkau harus mati di tanganku!" bentaknya dan dia pun menyerang lagi sambil mengeluarkan teriakan yang menyeramkan, bukan teriakan manusia lagi melainkan teriakan iblis. Dan pada saat itulah Sian Li dan para tokoh lain muncul dan menjadi penonton. Yo Han juga melihat mereka dan hatinya berdebar girang bukan main melihat Sian Li dalam keadaan sehat dan selamat. Dia pun mengenal Hui Eng dan Cia Sun, membuat hatinya menjadi semakin girang bahwa adik angkatnya itu telah bersatu dengan kekasihnya. Akan tetapi hanya sebentar dia dapat melirik ke arah Sian Li dan yang lain-lain karena dia harus memperhatikan lawannya yang ternyata amat tangguh dan memiliki ilmu silat yang amat aneh itu.

"Hyaaattt....!!" Seng Bu nekat melihat munculnya para tawanan. Tahulah dia bahwa dia harus membela diri mati-matian dan tidak ada jalan keluar kecuali dia dapat membunuh Yo Han. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menyerang dengan gencar, kedua tangannya melakukan pukulan dengan cara mendorong dengan telapak tangan, dan dari kedua tangannya itu menyambar hawa yang dingin seperti es, dan nampak pula uap hitam membiru keluar dari kedua telapak tangan itu.

"Hemmm....!!" Yo Han mengelak dan menampar dari samping. Lawannya agaknya mengenal gerakan serangan ini dan dapat mengelak dengan baik, lalu membalas dengan dorongan tangan kanan. Diam-diam Yo Han semakin heran. Dia mengenal benar gerakan kaki tangan Seng Bu itu.

Datang lagi serangan dahsyat dari Seng Bu yang mengerahkan seluruh tenaganya dalam setiap serangan. Yo Han merasa aneh. Dia yakin bahwa gerakan-gerakan itu benar ilmu Bu-kek Hoat-keng seperti yang pernah dipelajarinya dari kakek Ciu Lam Hok. Bagaimana mungkin Seng Bu dapat mempelajarinya? Kakek itu telah meninggal, dan semua coret-moret di dalam lorong sumur tua telah dihapus. Dia tidak tahu bahwa kakek Ciu Lam Hok pernah membuat coret-moret lain di sumur ke dua, yang ditemukan Seng Bu, catatan ilmu itu yang tidak lengkap sama sekali dan yang telah dipelajari dengan keliru oleh Seng Bu. Yo Han mengenal semua gerakan itu, akan tetapi ilmu Bu-kek Hoat-keng yang dipelajarinya mempungai daya mengembalikan setiap pukulan lawan.

Bu-kek Hoat-keng bukan pukulan untuk merobohkan orang, melainkan mempunyai daya tolak yang luar biasa sehingga serangan yang bagaimana hebat pun, akan membalik kepada penyerangnya sendiri. Akan tetapi, gerakan yang mirip Bu-kek Hoat-keng dan dimainkan Seng Bu ini memiliki daya serang yang demikian dahsyatnya, mengandung hawa maut dan beracun! Kalau dia sendiri mempergunakan tenaga Bu-kek Hoat-keng, tentu pukulan aneh dari Seng Bu itu akan membalik dan mana mungkin ada manusia dapat bertahan kalau terkena pukulan sehebat itu? Dia tidak ingin membunuh Seng Bu, walaupun dia tahu bahwa Seng Bu telah membunuh Lauw Kang Hui dan para pimpinan lain dan pemuda itu telah membawa Thian-li-pang menyeleweng. Dia ingin menyadarkan Seng Bu dan membuat pemuda itu bertaubat. Tidak ada istilah terlambat untuk bertaubat selagi manusianya masih hidup.

Akan tetapi, justeru karena dia tidak mau membunuh lawan, maka perkelahian itu menjadi amat seru dan juga tidak mudah bagi Yo Han untuk menundukkan lawannya. Karena dia memiliki ilmu Bu-kek Hoat-keng yang asli, tentu saja tingkatnya lebih tinggi dibandingkan Seng Bu. Bu-kek Hoat-keng yang dimiliki dan dikuasai Seng Bu telah menjadi ilmu sesat yang amat keji dan berbahaya, sedangkan yang dikuasai Yo Han adalah ilmu yang mengandung keajaiban, yang memiliki daya menolak semua kekuatan jahat, bahkan menolak semua hawa beracun. Namun, karena Yo Han tidak bermaksud membunuh, tidak membalas serangan lawan  dengan jurus ampuh mematikan, dan bahkan dia tidak mau menggunakan tenaga menolak balik serangan Seng Bu, maka perkelahian itu menjadi ulet dan lama. Seng Bu mengerahkan seluruh tenaganya, namun semua hawa sakti yang keluar dari tubuhnya, bagaikan batu besar dilempar ke dalam telaga saja ketika dipakai menyerang Yo Han, semua tenaga itu tenggelam dan tidak mendatangkan akibat apa pun. Setiap kali Yo Han menangkis, tangan Seng Bu tergetar hebat dan seperti lumpuh. Seng Bu tidak tahu bahwa kalau Yo Han menggunakan tenaga sakti dari Bu-kek Hoat-keng, maka tenaganya bukan hanya tenggelam, melainkan membalik dan seolah dia memukul dirinya sendiri.

Bagi mereka yang menonton perkelahian itu, tentu saja nampak amat seru dan menegangkan. Sian Li sampai bermandi peluh menyaksikan perkelahian itu karena tidak kelihatan kekasihnya unggul, walaupun juga tidak nampak terdesak. Agaknya kedua orang itu memiliki ilmu dan kekuatan yang serupa dan setingkat!

"Haaaiiihhhhh....!!" Kembali Seng Bu menyerang, sekali ini tubuhnya mencelat ke atas, bagaikan seekor burung garuda dia menyambar turun dengan kedua tangan dijulurkan lurus ke depan, dengan pengerahan tenaga sepenuhnya ke arah kedua telapak tangannya yang berwarna kehitaman dan mengeluarkan uap hitam. Melihat serangan maut yang amat berbahaya ini, Sian Li mengepal tangan kanannya dan memandang dengan mata terbelalak. Sebagai seorang ahli ilmu silat Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah), ia tahu betapa besar bahayanya serangan seperti itu, karena di dalam ilmu silatnya terdapat pula jurus penyerangan sambil melayang seperti itu. Akan tetapi Yo Han juga mengenal jurus yang berbahaya ini dan tahulah dia bahwa Seng Bu sudah nekat dan hendak mengadu nyawa! Dengan tenang saja Yo Han sudah mengambil keputusan bahwa dia harus cepat menundukkan Seng Bu dan merobohkannya, walaupun tidak harus membunuhnya. Pemuda ini agaknya sudah miring otaknya, maka kalau dibiarkan lolos dan membawa pergi ilmunya yang sesat, akan merupakan bahaya besar bagi umum, terutama sekali bagi dunia kang-ouw. Dia harus dapat berusaha menyadarkannya atau merampas ilmu sesat itu. Bagaikan seekor burung walet, tiba-tiba tubuh Yo Han juga mencelat ke atas menyambut serangan Seng Bu. Melihat ini, Seng Bu mengeluarkan suara tawa aneh karena dia

girang dan yakin sekali ini akan mampu membunuh Yo Han. Dengan pengerahan seluruh tenaganya, dia menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah tubuh Yo Han.

"Wuuuttt....!" Seng Bu terkejut karena tiba-tiba tubuh itu lenyap dari depannya dan kedua tangannya menghantam udara kosong. Maklum bahwa dia terkecoh, dia berusaha membuat gerakan jungkir balik seperti yang dilakukan Yo Han dengan cepat ketika mengelak tadi, namun terlambat. Dari sebelah atasnya, Yo Han telah menggunakan tangan yang dimiringkan untuk memukul punggung Seng Bu.

"Desss....!!" Seng Bu mengeluarkan keluhan lirih dan tubuhnya terbanting ke atas tanah. Yo Han menyusul dengan melayang turun. Akan tetapi, dapat dibayangkan kagetnya hati Pendekar Tangan Sakti ini ketika tiba-tiba tubuh yang tadinya terbanting roboh itu, telah bergerak meloncat bangun dan menyambut Yo Han yang baru saja turun itu dengan dorongan kedua tangan, dahsyat bukan main karena Seng Bu mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam serangan mendadak ini. Ternyata Seng Bu memiliki

kekuatan luar biasa sehingga pukulan Yo Han tadi seolah tidak terasa olehnya!

Tidak ada lain jalan bagi Yo Han kecuali dia juga menyambut dengan kedua tangannya didorongkan ke depan.

"Wuuuttt.... plakkk!" Dua pasang tapak tangan itu bertemu dan melekat! Yo Han merasa betapa ada hawa yang amat dingin menyerangnya. Akan tetapi, dia mengerahkan tenaga panas dan kini Seng Bu yang merasa betapa kekuatannya terdorong oleh tenaga yang dahsyat sekali. Dia mempertahankan dan terjadilah dorong mendorong dengan menggunakan ilmu yang sama, yaitu Bu-kek Hoat-keng, akan tetapi kalau ilmu yang dikuasai Yo Han murni, sebaliknya yang dikuasai Seng Bu merupakan ilmu sesat yang timbul karena keliru latihan. Dari kepala Yo Han mengepul uap putih, sebaliknya dari kepala Seng Bu mengepul uap hitam. Seng Bu mendengus-dengus, muka dan lehernya sudah penuh keringat dan perlahan-lahan, tenaganya mengendur sedangkan hawa panas dari tapak tangan Yo Han mulai memasuki dirinya melalui kedua tapak tangannya.

Yo Han merasa mendapatkan kesempatan. Dia harus menggunakan tenaga saktinya untuk mendorong keluar hawa beracun itu dari tubuh Seng Bu, dan merusak pusat penghimpunan sin-kang agar selanjutnya Seng Bu tidak dapat lagi mempergunakan ilmu sesatnya itu. Dia sudah mengambil keputusan bahwa itulah satu-satunya jalan untuk memaksa Seng Bu kembali ke jalan benar, yaitu dengan mengadakan kekuatan yang akan mendorongnya melakukan kekejian. Kalau Seng Bu sudah tidak memiliki kekuatan yang dapat dia andalkan, tentu dia tidak akan mampu merajalela lagi.

Sian Li, Hui Eng, Ciang Hun, Cia Sun, dan Bi Kim yang maklum apa artinya adu tenaga sin-kang antara kedua orang muda yang lihai itu, menonton dengan hati tegang. Terutama sekali Sian Li. Gadis ini maklum bahwa dalam adu tenaga sin-kang seperti itu, berarti adu nyawa, dan kalau sampai kekasihnya kalah dalam adu tenaga sin-kang ini, ia tahu bahwa Seng Bu pasti tidak segan-segan untuk membunuhnya. Untuk membantu, ia tidak mau karena hal itu akan merendahkan Yo Han dan tidak sesuai dengan

watak pendekar. Maka, wajahnya sudah mulai pucat karena ia merasa gelisah sekali.

"Jangan takut, dia pasti menang," terdengar Hui Eng berbisik di sampingnya dan Sian Li mengangguk, berterima kasih karena ia pun tahu bahwa Hui Eng cukup lihai untuk dapat menduga yang tepat, menghilangkan keraguannya sendiri.

Dan memang ucapan Hui Eng itu bukan sekedar hiburan kosong belaka. Gadis lihai ini sudah melihat betapa Seng Bu terdesak hebat dalam adu tenaga itu, membuat uap tebal menghitam keluar dari kepalanya, matanya mendelik dan keringatnya membasahi muka dan leher, juga nampak betapa tubuh Seng Bu mulai menggigil.

Seng Bu maklum bahwa dia tidak akan menang, akan tetapi dia pun tidak mau menyerah. Masih dikerahkan tenaganya yang terakhir dan dia seperti mendengar suara tulang patah di dalam dadanya, dan dia pun melangkah mundur, kedua tangannya ditarik lepas dari tangan Yo Han dan menggunakan kedua tangan untuk menekan dadanya yang terasa nyeri. Dia pan muntahkan darah segar,

terhuyung ke belakang.

"Ouw Seng Bu, masih ada kesempatan hidup bagimu. Pergi, berobat dan bertaubatlah!" kata Yo Han lembut.

Dengan mata mendelik penuh kebencian Seng Bu memandang kepada Yo Han, kemudian, dia masih nekat hendak mengerahkan tenaga dan menyerang lagi. Akan tetapi begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, isi dada perutnya seperti diremas, membuat dia mengeluh dan terhuyung, dan dia memandang kepada Yo Han dengan mata terbelalak bingung.

"Seng Bu, engkau tidak akan dapat menggunakan tenaga berbuat kejahatan lagi. Bertaubatlah!" kata Yo Han lembut dan dalam suaranya terkandung perasaan iba. Mendengar ini, tahulah Seng Bu bahwa sudah habis baginya, habis segalanya.

Dia teringat secara mendadak kepada Cu Kim Giok, gadis yang dicinta dan mencintanya, dan di dalam lubuk hatinya timbul penyesalan yang amat mendalam. Dia mengeluarkan keluhan panjang lalu tubuhnya membalik dan dia sudah berlari menuju ke tempat tahanan yang kini berkobar dimakan api. Yo Han dan semua orang mengejarnya.

Ketika Seng Bu melihat lima orang tosu Bu-tong-pai, berdiri dan tak jauh dari situ rebah sesosok tubuh, ia tersentak kaget mengenal tubuh Kim Giok yang dicarinya. Tanpa mempedulikan apa pun, dia berseru memanggil, "Giok-moi....!!" Dan, dia pun menubruk mayat gadis itu. "Giok-moi ah, Giok-moi....!" Dia meratap dan menangis. Yo Han dan yang lain-lain sudah tiba di situ.

"Ouw Seng Bu iblis busuk, tak perlu lagi engkau pura-pura menangis! Simpan saja air mata buayamu itu, karena Kim Giok tewas oleh pukulanmu. Engkaulah yang telah membunuhnya, kenapa engkau kini pura-pura menangis?" tegur Sian Li gemas dan marah.

Mendengar ucapan Sian Li, tangis Seng Bu semakin menjadi-jadi. Seperti anak kecil dia menangis dan meratap, sesenggukan. "Giok-moi.... Kim Giok.... ampunkan aku.... ampunkan aku...." demikian ratapnya berulang kali, kemudian tanpa diduga-duga oleh semua orang, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya, meringis menahan nyeri ketika mengerahkan tenaga terakhir dan tangan itu menyambar dan mencengkeram ubun-ubun kepalanya sendiri. Terdengar suara tulang patah dan dia pun roboh dan tewas di atas jenazah Kim Giok yang masih hangat.

Semua orang terbelalak, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa. "Mungkin inilah yang terbaik...." kata Yo Han halus penuh rasa haru dan iba."

Kakak Yo Han, untung engkau dapat muncul dalam keadaan selamat, kalau tidak.... sukar aku membayangkan apa yang akan terjadi dengan kami semua," kata Cia Sun.

Yo Han memandang kepada adik angkatnya itu sambil mengerutkan alisnya dan suaranya memang lembut, namun penuh teguran ketika dia berkata, "Ciasiauwte, kenapa engkau melanggar janji, mengerahkan pasukan pemerintah untuk menyerbu perkumpulan pejuang?"

Wajah Cia Sun berubah kemerahan. "Ahhh, Twako. Aku sama sekali bukan mengerahkan pasukan untuk menyerbu perkumpulan pejuang, melainkan terpaksa mengerahkan pasukan untuk menolong Eng-moi dan nona Sian Li dari tangan penjahat!

Hui Eng segera maju membela. "Dia benar! Tanpa datangnya pasukan yang menyerbu perkumpulan Thian-li-pang yang sudah menjadi gerombolan penjahat itu, mungkin kami sekarang telah tewas."

Sian Li sudah maju dan memegang lengan Yo Han dengan mesra. "Han-koko, mereka itu benar. Pangeran mengerahkan pasukan bukan hanya untuk menyelamatkan kami berdua, bahkan untuk mencoba menolongmu yang dikabarkan tewas dalam sumur."

Yo Han termangu. Kalau Sian Li sudah memberi kesaksiannya, tentu dia tidak meragukan lagi kebenarannya. "Kalau begitu, mari kita pergi dari sini dan bicara di luar tempat ini." Dia memandang kepada gadis yang tewas di samping Seng Bu dan bertanya, "Siapakah nona yang tewas ini?"

"Han-koko, ia bukan orang lain. Ia adalah puteri Paman Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman." kata Sian Li.

Yo Han terbelalak. "Ahhh....!"

"Ia yang telah membebaskan kami dari rumah tahanan yang terbakar. Tanpa bantuannya, kami semua tentu sudah terbakar mati di dalam kamar tahanan." kata pula Sian Li, lalu ia menunjuk kepada lima orang tosu, Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim. "Lima orang Totiang ini dari Pu-tong-pai, dan ini kakak Gak Ciang Hun dan enci ini...."

"Aku sudah mengenal Yo-taihiap dengan baik, adik Sian Li."

"Benar apa yang dikatakan saudara Yo Han, kita bicara saja di luar. Biar kubawa jenazah nona Cu Kim Giok ini keluar." Dia lalu memondong jenazah itu.

"Mari ikut aku. Aku yang akan membukakan jalan keluar." kata Cia Sun. Dia pun berjalan diikuti mereka semua dan para perwira atau perajurit tentu saja tidak berani menghalangi pangeran ini keluar dari perkampungan Thian-li-pang diikuti lima orang tosu Bu-tong-pai, Gak Ciang Hun yang memondong jenazah Cu Kim Giok, Yo Han, Sian Li, Bi Kim, dan Hui Eng.

Setelah tiba di kaki bukit, barulah mereka berhenti dan menurut usul Gak Ciang Hun yang disetujui pula oleh mereka semua, lima orang tosu Bu-tong-pai yang lebih mengetahui akan urusan itu, diminta agar memilihkan sebidang tanah yang baik untuk mengubur jenazah Cu Kim Giok. Semua orang membantu menggali lubang dan dengan upacara sederhana namun khidmat yang dipimpin oleh Thian-tocu tosu dari Bu-tong-pai. Setelah selesai pemakaman yang dilakukan tanpa ada yang bicara, akhirnya mereka mendapat kesempatan untuk duduk di dekat makam dalam sebuah lingkaran dan barulah mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Seperti dengan sendirinya, Sian Li duduk di dekat Yo Han dan pandang mata Sian Li bersinar-sinar penuh kebahagiaan karena akhirnya ia dapat bertemu dan berkumpul dengan pria yang sejak kecil telah dicintanya itu. Hui Eng juga duduk di dekat Cia Sun, sedangkan Bi Kim duduk di dekat Ciang Hun. Bergantian mereka menceritakan pengalaman mereka.

Yo Han merasa lega dan gembira ketika mendengar bahwa Hui Eng yang tadinya dianggap sebagai puteri Siangkoan Kok, ternyata adalah gadis yang selama ini dicarinya, yaitu puteri Liong-siauw Kiam-hiap (Pendekar Pedang Suling Naga) Sim Houw yang hilang diculik orang sejak kecil. Apalagi sekarang Hui Eng telah menemukan jodohnya, yaitu adik angkatnya, Pangeran Cia Sun yang dia tahu adalah seorang pangeran Mancu yang berjiwa pendekar. Makin besar rasa bahagia hatinya ketika dia melihat bahwa Gan Bi Kim, cucu keponakan gurunya yang oleh nenek Ciu Ceng dijodohkan dengannya itu nampak akrab dan saling mencinta dengan Gak Ciang Hun.

Kini giliran Yo Han menceritakannya dan semua orang, terutama sekali Sian Li yang merasa ngeri dan kadang mengeluarkan seruan tertahan sambil memegang lengan Yo Han, mendengarkan dengan penuh ketegangan dan kengerian.

"Sian-cai....,sungguh menakjubkan sekali mendengar betapa dalam keadaan yang agaknya sudah tidak ada harapan itu, ternyata Yo-taihiap masih dapat meloloskan diri! Mengagumkan sekali!"

Yo Han tersenyum melihat pandang mata mereka semua penuh kagum kepadanya. "Totiang, dan Cu-wi (Saudara sekalian), harap jangan memuji aku. Sesungguhnya, aku sendiri sudah meragukan apakah aku akan mampu keluar dari dalam sumur yang sudah ditutup dari luar itu. Namun, dalam keadaan apa pun juga, sebelum hayat meninggalkan badan, aku tidak akan pernah putus asa. Di atas segala kekuatan di dunia ini, ada suatu kekuatan yang maha kuat, maha kuasa, dan maha mengetahui! Aku hanya menyerah

kepada kekuasaan itu, yakni kekuasaan Tuhan Sang Maha Pencipta. Aku yakin sepenuhnya bahwa kekuasaan itu menyerap sampai ke manapun, bahkan di dalam tanah itu pun kekuasaanNya bekerja dengan sempurna. Oleh karena itu, selama badan ini masih mampu bergerak, aku harus berusaha sekuat kemampuan untuk mempertahankan hidup ini, didasari penyerahan yang mutlak kepada kekuasaan itu."

"Kekuasaan itulah To...." Thian-tocu menggumam.

"Saya kira memang tepat ucapan Totiang. To yang dimaksudkan itulah hukum Alam, atau Kekuasaan Tuhan yang selalu bekerja dan bergerak tiada hentinya, tak pernah menyimpang sedikit pun dari ketepatannya, seperti timbul tenggelamnya matahari dan bulan, seperti gerakan ombak samudera ke kanan kiri yang tiada berkesudahan. Karena penyerahan mutlak kepada Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Kuasa itulah maka tidak ada rasa gelisah atau takut sedikit pun. Dan ketenangan ini amat menguntungkan kita dalam menghadapi peristiwa apa saja. Demikianlah, dengan tekun dan tak mengenal menyerah kepada kesulitan, dengan pasrah kepada Tuhan, akhirnya kekuatan dari kekuasaan Tuhan itu yang menuntunku sehingga dapat lolos dari ancaman maut di perut bumi."

Semua orang terkesan dan suasana menjadi sunyi. "Han-ko, bagaimana si Seng Bu itu dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat itu? Bukankah dia pula yang telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang, kemudian dia menjatuhkan fitnah bahwa engkau yang telah membunuh mereka. Ketika melawannya, aku merasakan betapa hebat tenaganya, dan melihat dia bertanding denganmu tadi,

sungguh menegangkan dan menggelisahkan. Bagaimana seorang murid Thian-li-pang dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat itu, Koko?"

Yo Han menghela napas panjang. "Agaknya hal itu akan tetap merupakan rahasia yang tak terpecahkan, Li-moi. Aku sendiri ketika bertanding dengannya, merasa heran dan terkejut bukan main karena aku mengenal ilmunya sebagai ilmu yang pernah kupelajari. Padahal ilmu itu tidak pernah dipelajari orang lain dan yang menguasainya hanyalah mendiang suhu sebagai penemunya dan aku sebagai muridnya. Entah bagaimana, agaknya Seng Bu dapat pula mempelajari ilmu itu, hanya saja.... ilmu yang dikuasainya itu mempunyai perbedaan bumi langit dengan ilmuku. Ilmu itu menjadi sesat dan berbahaya sekali, mengandung hawa beracun yang dahsyat. Kalau tidak salah perhitunganku, agaknya dia secara kebetulan, entah bagaimana, telah menemukan dan mempelajari ilmu itu, akan tetapi tanpa bimbingan, dia mempelajarinya secara keliru sehingga tanpa disengaja, dia telah menguasai ilmu yang menjadi sesat dan dahsyat, dan mungkin saja karena penguasaan ilmu itu, dia menjadi berubah dan tidak waras lagi."

"Aku ikut merasa menyesal sekali, Twako. Bagaimanapun juga, aku telah membantu hancurnya Thian-li-pang, padahal engkau tentu tahu bahwa aku tidak pernah memusuhi para pejuang." kata Cia Sun.

"Bukan salahmu, Cia-te. Thian-li-pang telah diselewengkan menjadi gerombolan jahat yang bersekutu dengan golongan sesat. Biarlah kelak aku akan mencoba menyusunnya kembali menjadi perkumpulan para pejuang yang sehat dan berjiwa pendekar, seperti pesan mendiang suhu. Sekarang, apa yang akan kalian lakukan?"

"Siancai, kami berlima mohon diri, karena kami sudah terlalu lama meninggalkan Bu-tong-san, Yo-taihiap." kata Thian-tocu. Lima orang tosu itu bangkit dan memberi hormat, dibalas oleh enam orang muda itu.

"Ngo-wi To-tiang dari Bu-tong-pai sungguh merupakan sahabat yang amat baik, membelaku sampai hampir menjadi korban kekejaman Ouw Seng Bu."

"Sian-cai....,Yo-taihiap tentu sudah mengerti sepenuhnya bahwa orang-orang seperti kita ini, tidak pernah membela seseorang maupun memusuhi seseorang. Yang kita bela adalah kebenaran dan yang kita tentang adalah kejahatan. Bukankah begitu, Taihiap?" kata Thian-tocu.

Yo Han dan yang lan-lain memandang kagum dan mereka semua mengangguk menyetujui. "Kalau begitu terima kasih dan selamat jalan, Totiang."

"Sampai jumpa, Yo-taihiap dan saudara sekalian." Lima orang tosu itu lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Setelah lima orang tosu itu pergi, enam orang muda itu saling pandang. "Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk saling berpisah," kata Yo Han sambil memandang kepada Sian Li. "Aku bersama adik Sian Li akan pergi ke rumah orang tua, Li-moi, akan tetapi aku mengharap bantuan adik Cia Sun untuk menemani kami. Terus terang saja, seperti yang mungkin telah kalian ketahui, kami berdua sudah bertekad untuk hidup bersama sebagai suami isteri, padahal, oleh orang tuanya, Li-moi telah dijodohkan dengan adik Cia Sun. Oleh karena itu, aku membutuhkan bantuan Cia-te untuk menemani kami agar Cia-te yang memberi penjelasan kepada paman Tan Sin Hong berdua."

"Tentu, tentu saja aku akan menemani kalian!" seru Cia Sun gembira. "Akan tetapi, sebelum itu, aku minta kepada kalian semua untuk menemani aku dulu bersama adik Hui Eng. Aku hendak mengantarkan Eng-moi kepada orang tuanya di Lok-yang. Mengingat bahwa Eng-moi pernah bertemu dengan ayah ibu kandungnya dalam keadaan yang tidak menyenangkan di rumah pendekar Suma Ceng Liong, maka tentu pertemuan itu akan terasa canggung. Kalau ada kalian semua yang ikut dan membantu memberi kesaksian dan penerangan, tentu akan lebih menyenangkan. Terutama sekali, aku juga mohon bantuan Yo-toako untuk membicarakan urusan kami berdua kepada orang tua Eng-moi."

Yo Han tersenyum memandang kepada Hui Eng yang menjadi merah kedua pipinya dan menundukkan kepalanya. "Aku mengerti, Cia-te, dan agaknya kita memang saling membutuhkan. Aku yakin Gak-twako tidak akan keberatan untuk ikut pula ke Lok-yang membantu adik Sim Hui Eng."

"Ah, tentu saja!" kata Gak Ciang Hun dan dia pun nampak tersipu dan salah tingkah. "Bahkan aku pun.... hemmm.... aku pun atau maksudku kami berdua, aku dan adik Gan Bi Kim, amat membutuhkan bantuanmu, Yo-siauwte. Aku pun ingin berterus terang saja. Aku sudah mendengar dari adik Bi Kim bahwa oleh neneknya, ia telah ditunangkan denganmu, Yo-te, akan tetapi kenyataannya sekarang, engkau saling mencinta dengan adik Sian Li, sedangkan adik Bi Kim.... ah, kami berdua saling mencinta dan sudah mengambil keputusan untuk berjodoh. Nah, tanpa bantuan Yo-te, bagaimana kami berdua akan berani menghadapi keluarganya?"

Kini enam orang itu saling pandang dan meledaklah tawa mereka. Sian Li yang memang berwatak lincah jenaka itu tidak menyembunyikan tawanya karena geli hatinya. "Hi-hik-hik, alangkah lucunya! Agaknya memang kita berenam ini sudah ditakdirkan untuk saling bantu dan harus melakukan perjalanan bersama. Betapa menggembirakan! Kita saling kait mengait, saling membutuhkan bantuan!"

Yo Han mengangguk-angguk. "Memang aneh, dan agaknya memang Tuhan menghendaki demikian! Aku ditunangkan dengan Gan Bi Kim, akan tetapi adik Bi Kim berjodoh dengan Gak-twako dan aku berjodoh dengan Li-moi yang ditunangkan dengan Cia-te, sedangkan Cia-te berjodoh dengan Sim Hui Eng yang selama ini kita semua mencarinya! Baiklah, sekarang diatur begini saja. Pertama-tama kita semua pergi ke rumah orang tua adik Sim Hui Eng, karena bagaimanapun juga, peristiwa bertemunya kembali adik Eng dengan ayah ibunya merupakan hal yang amat membahagiakan dan penting sekali. Nah, setelah dari sana, kita tinggalkan dulu adik Eng bersama orang tuanya, dan Cia-te ikut dengan kami untuk menemui orang tua Li-moi. Setelah itu, aku meninggalkan dulu Li-moi di rumah orang tuanya dan aku menemani Gak-twako untuk berkunjung ke rumah adik Gan Bi Kim. Dengan demikian semua urusan akan menjadi beres!"

Demikianlah, tiga pasang kekasih itu lalu mulai melakukan perjalanan berantai itu untuk saling bantu. Mula-mula mereka berenam pergi berkunjung ke Lok-yang. Pendekar Suling Naga Sim Houw dan isterinya, Can Bi Lan, menyambut kedatangan mereka dengan gembira dan juga terheran-heran karena mereka mengenal Hui Eng sebagai gadis Pao-beng-pai yang pernah membikin kacau

pertemuan keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong. Akan tetapi, keheranan mereka berubah menjadi kejutan yang luar biasa ketika mereka mendengar bahwa gadis itu bukan lain adalah Eng Eng, atau Sim Hui Eng, anak kandung mereka! Mula-mula mereka merasa sukar untuk percaya, akan tetapi setelah Yo Han, Sian Li, dan Pangeran Cia Sun bercerita, ditambah lagi bukti tanda tahi lalat hitam di pundak kiri dan noda merah di ibu jari kaki di telapak kaki kanan, Can Bi Lan menubruk puterinya sambil

menjerit dan menangis. Terjadilah pertemuan yang amat mengharukan hati dan sukar dilukiskan betapa bahagia rasa hati Sim Houw dan Can Bi Lan ketika mereka dapat menemukan kembali puteri mereka yang hilang sejak kecil itu.

Setelah suasana keharuan mereda, dengan hati-hati Yo Han dan Sian Li menceritakan tentang hubungan kasih sayang antara Hui Eng dan Cia Sun, dan tentang semua pengalaman mereka, tentang pembelaan Cia Sun kepada Hui Eng.

Mula-mula, suami isteri itu tertegun. Mereka menemukan kembali puteri mereka, akan tetapi juga mendengar bahwa puteri mereka berjodoh dengan seorang pangeran Mancu? Akan tetapi, suami isteri ini memang bijaksana. Mendengar betapa pangeran calon mantu mereka itu adik angkat Pendekar Tangan Sakti Yo Han, juga dipuji-puji sebagai bekas calon suami Si Bangau Merah Tan Sian Li, juga bahwa pangeran itu berjiwa pendekar, tidak memusuhi para pejuang dan tidak setuju pula dengan penindasan, mereka pun dapat menerima dengan hati lapang.

Pada keesokan harinya Yo Han dan Sian Li, Ciang Hun dan Bi Kim, mengajak Cia Sun untuk melanjutkan perjalanan dan meninggalkan dulu Hui Eng bersama orang tuanya. Cia Sun berjanji kepada keluarga itu untuk segera minta kepada ayah ibunya untuk mengajukan pinangan secara resmi. Kemudian, Cia Sun mengikuti Yo Han dan Sian Li mengunjungi orang tua Si Bangau Merah, yaitu Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang tinggal di Ta-tung sebelah barat Peking.

Sekali ini, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li menerima puteri mereka dengan gembira dan mereka berdua bahkan merasa berbahagia sekali ketika mendengar keterangan mereka semua tentang pembatalan pertalian jodoh antara puteri mereka dengan Cia Sun yang dengan jujur mengakui bahwa dia saling mencinta dengan Sim Hui Eng. Kini suami isteri ini dapat menerima pinangan Yo Han dengan rasa syukur karena bagaimanapun juga sebetulnya mereka pun amat menyayang Yo Han yang kini ternyata telah menjadi seorang pendekar sakti yang bernama besar sebagai Pendekar Tangan Sakti. Suami isteri ini pun ikut merasa gembira mendengar bahwa puteri keluarga Sim yang hilang itu telah ditemukan kembali, bahkan akan menjadi jodoh Pangeran Cia Sun, bekas calon mantu mereka.

Dari rumah orang tua Sian Li, Yo Han mengikuti Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim ke kota raja. Juga Pangeran Cia Sun hendak pulang ke kota raja untuk minta kepada orang tuanya meminang Sim Hui Eng.

Keluarga pembesar Gan Seng, juga nenek Ciu Ceng, menyambut pulangnya Gan Bi Kim dengan gembira pula. Mereka agak tercengang ketika mendengar pengakuan Gan Bi Kim bahwa ia telah memutuskan pertalian jodohnya dengan Yo Han, karena Yo Han telah berjodoh dengan gadis lain. Akan tetapi mereka pun merasa lega ketika diperkenalkan dengan Gak Ciang Hun sebagai pemuda yang dipilih Bi Kim sebagai calon jodohnya. Apalagi Yo Han ikut bicara dan memberi penjelasan bahwa sebelum bertemu Bi Kim, sebetulnya dia sudah memiliki pilihan hati. Keluarga itu bahkan merasa bangga mendengar bahwa calon mantu mereka, Gak Ciang Hun, adalah keturunan pendekar besar yang mempunyai nama harum di dunia persilatan.

Demikianlah, tiga pasangan kekasih ini tidak menemui halangan apa pun dalam urusan perjodohan mereka. Pihak orang tua telah menerima dengan senang hati dan pinangan resmi dilakukan, bahkan pernikahan tiga pasang mempelai ini dirayakan dalam tahun itu juga.

Cia Sun mengajak isterinya, Sim Hui Eng, tinggal di kota raja, dan sekali waktu keduanya juga tinggal di rumah mertuanya di Lok-yang. Gak Ciang Hun mengajak isterinya, Gan Bi Kim tinggal di Beng-san, bekas tempat tinggal orang tuanya, yaitu di puncak Telaga Warna yang indah.

Yo Han sendiri bersama isterinya, Tan Sian Li, melakukan perjalanan bulan madu jauh ke Lembah Naga Siluman, untuk menyampaikan berita duka tentang kematian Cu Kim Giok kepada keluarga Cu. Berita itu tentu saja disambut dengan tangis oleh Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian, dan mereka mendengarkan keterangan Yo Han dan Sian Li tentang puteri mereka, dan menerima pesan terakhir Kim Giok melalui Sian Li untuk mohon ampun kepada ayah ibunya. Biarpun hati mereka terasa hancur karena kematian puteri mereka, namun setidaknya mereka terhibur juga bahwa pada saat terakhir, puteri mereka sadar dan bertindak sesuai dengan jiwa kependekaran keluarga mereka. Puteri mereka, Cu Kim Giok, tewas sebagai seorang pendekar wanita yang membela kebenaran. Juga mereka tidak merasa penasaran karena pembunuh. puteri mereka, yaitu ketua Thian-li-pang Ouw Seng Bu, telah menemui ajalnya pula. Kemudian Pendekar Tangan Sakti Yo Han bersama isterinya, Si Bangau Merah Tan Sian Li berkunjung ke Bukit Naga dan di tempat itu, dibantu oleh isterinya, Yo Han menghimpun kembali perkumpulan Thian-li-pang. Para anggauta lama yang semula memang tidak setuju dengan kesesatan Thian-li-pang dikumpulkan dan perkumpulan itu pun didirikan kembali dengan jumlah anggauta yang kecil. Akan tetapi di bawah bimbingan Yo Han, Thian-li-pang bangkit kembali menjadi perkumpulan para pendekar pejuang yang terkenal bersih dan di kemudian hari, Thian-li-pang memegang peran penting dalam perjuangan rakyat menentang kekuasaan penjajah Mancu.

Sampai di sini berakhirlah kisah Pendekar Tangan Sakti dengan harapan pengarang mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi para pembacanya. Seperti tercatat dalam sejarah, setahun lebih kemudian (1796), Kaisar Kian Liong meninggal dunia dan tahta kerajaan Ceng dipimpin oleh Kaisar Cia Cing, putera Kaisar Kian Liong. Kaisar Cia Cing memerintah selama dua puluh empat tahun (1796 -1820), kemudian dilanjutkan puteranya, Kaisar Tao Kuang (1820 - 1850). Akan tetapi semenjak wafatnya Kaisar Kian Liong, kerajaan Mancu ini mulai kehilangan pamornya dan kejayaannya mulai memudar. Pemberontakan terjadi di mana-mana, ditambah lagi dengan masuknya kekuatan asing barat (orang kulit putih) yang mulai menancapkan kuku kekuasaan mereka di daratan Cina. Sampai jumpa di lain kisah.

TAMAT

Lereng Lawu, medio Maret 1986.