Jilid 8

Baru sekarang Cu Jit-jit tahu bahwa Tio-lotoa ternyata salah seorang pengagum Tiong-goan-beng-siang, melihat belasan lelaki merubung tiba, lekas Jit-jit jambret bahu Tio-lotoa terus dilemparkan ke arah dua lelaki yang memburu datang lebih dulu. Sudah tentu kedua orang itu tidak kuat menahannya. Tiga orang terguling mencium tanah, sementara orang lain yang memburu tiba jadi kaget dan merandek, tapi Jit-jit lantas menerjang maju. Kungfu yang pernah dipelajarinya beraneka ragam dan tiada satu pun yang boleh dikatakan mahir, namun untuk menghadapi lawan keroco ini masih cukup berlebihan, seperti harimau mengamuk di tengah rombongan domba, dalam sekejap belasan lelaki itu telah dihajarnya hingga tunggang langgang. Sudah beberapa hari ini Cu Jit-jit menanggung penasaran, marah, dan takut, sekarang baru dia berhasil melampiaskan kekesalan hatinya, hingga perut lapar pun terlupakan. Merasa bukan tandingan Jit-jit, orang-orang itu melawan sambil mundur, sementara Jit-jit menghajar sambil mengejar, sebentar saja mereka sudah dekat di depan pintu gerbang. "Berhenti!" mendadak seorang membentak. Seorang lelaki berperawakan pendek dan kekar berusia 30-an, berpakaian sutra warna hijau berdiri di ambang pintu sambil menggendong tangan, wajahnya kelihatan kereng dan sedang mengawasi Cu Jit-jit dengan aliasnya berkerut, agaknya heran karena Cu Jit-jit dapat menguasai ilmu silat sebanyak itu ragamnya, tapi sikapnya tetap tenang saja. Melihat lelaki ini, kawanan lelaki tadi berlari dan sembunyi di belakangnya. Cu Jit-jit masih memburu maju dan hendak menjotos, tiba-tiba dilihatnya lelaki kekar ini mengadangnya sambil menjura dengan tertawa, "Sabar, kungfu nona memang mengagumkan." Tabiat Cu Jit-jit memang senang dilayani secara ramah dan pantang dikasari, melihat orang berlaku sopan, maka jotosannya yang sudah melayang segera ditarik kembali. Lelaki berbaju sutra hijau tertawa, katanya, "Kawanan hamba itu memang tidak bermata hingga lancang terhadap nona, semoga nona suka mengampuni mereka."

"Ah, tidak apa-apa," ujar Jit-jit, "sudah kenyang juga kuhajar mereka." Lelaki berbaju sutra melengak, katanya pula, "Sifat nona ternyata suka berterus terang."

"Sifatku ini baik atau jelek?" tanya Jit-jit. Tidak sedikit orang yang dikenal lelaki ini, tapi gadis sebinal ini belum pernah dihadapinya, sesaat dia melenggong, katanya kemudian, "O, baik ... tentu saja baik."

"Melihat tampangmu ini, tentu kau inilah Tiong-goan-beng-sian Auyang Hi."

"Betul ... entah nona ada petunjuk apa?"

"Kalau kau dijuluki Beng-siang, maka sepantasnya kau meladeni aku dengan baik, makan minum dulu sampai puas, sebab ada urusan penting ingin kuberi tahukan kepadamu."

"Tamu seperti nona biarpun sengaja kuundang juga belum tentu sudi kemari, cuma hari ini ...."

"Hari ini kenapa? Apakah hari ini kau kehabisan uang dan tidak mampu mentraktir aku?"

"Biar kukatakan terus terang kepada nona, hari ini ada seorang saudagar besar kalangan Kangouw, Leng-jiya, beliau telah meminjam tempatku ini, tamu agung dari berbagai penjuru sudah berdatangan, maka Cayhe tidak berani  ...." Berputar bola mata Cu Jit-jit, katanya dengan tertawa, "Dari mana kau tahu bahwa kedatanganku tidak untuk berdagang. Tolong kau bawa aku masuk." Dengan sangsi Auyang Hi pandang dia beberapa kali lagi, meski pakaian si nona tidak keruan, tapi sikapnya agung dan berani, selagi ragu, Cu Jit-jit lantas melangkah masuk rumah orang seperti rumah sendiri. Keruan Auyang Hi makin bingung dan tidak dapat meraba asal usul si nona, tapi ia pun tidak berani sembrono, terpaksa dengan tertawa getir dia silakan orang masuk. Cahaya lampu terang benderang di ruang besar, dua baris meja kayu cendana yang panjang penuh diduduki tiga puluhan orang, baik usia, tampang, dan dandanan mereka berbeda, tapi pakaian mereka sama perlente, jelas mereka adalah saudagar besar yang sering berkecimpung di dunia Kangouw. Melihat Auyang Hi datang mengiringi seorang nona cantik, semua mengunjuk rasa heran. Cu Jit-jit sudah biasa dipandang sedemikian rupa oleh orang banyak, kalau orang mengawasi kepalanya sampai ke kaki, dia tetap tak peduli dan tenang-tenang saja, dia malah melirik ke sana-sini. Sudah tentu kehadirannya menarik perhatian dan menimbulkan kasak-kusuk, tapi Jit-jit langsung menarik kursi terus berduduk, katanya dengan lantang, "Apakah kalian tidak pernah melihat orang perempuan? Ayolah, bisnis lebih penting, aku kan manusia biasa dan tidak punya tiga mata, kenapa aku dipandang begitu rupa?" Delapan di antara sepuluh hadirin merah mukanya oleh sindiran Cu Jit-jit, banyak yang menunduk atau melengos. Sungguh senang, bangga juga geli hati Cu Jit-jit. Dia melarang orang memandang dirinya, matanya justru menjelajah kanan-kiri dengan pandangan tajam. Di antara sekian orang yang hadir, dia yakin yang benar-benar pedagang hanya tujuh-delapan orang, belasan yang lain adalah jago-jago kosen Bu-lim, dua di antaranya malah lain daripada yang lain. Seorang duduk di depan Jit-jit, bibir merah muka putih, pakaiannya serbasutra, di antara sekian hadirin usianya terhitung yang paling muda, wajahnya juga sangat tampan, secara sembunyi-sembunyi dia melirik Jit-jit, bila Jit-jit balas menatapnya, dengan muka jengah dia lantas melengos. Cu Jit-jit tertawa di dalam hati, "Kelihatannya pemuda ini anak pingitan yang jarang keluar pintu, lebih pemalu dari gadis ...." Makin orang pemalu, makin dipandangnya, hingga pemuda itu tidak berani angkat kepalanya, sungguh senang hati Cu Jit-jit. Seorang lagi kelihatan seperti pelajar tua rudin yang tidak lulus ujian, mukanya kurus, berjenggot kambing yang jarang-jarang, mengenakan jubah panjang yang warnanya sudah luntur, saat mana sedang memejamkan mata seperti orang yang sudah beberapa hari tidak makan, hingga duduk lemas dan tidak mampu bicara lagi. Di belakangnya berdiri seorang kacung berbaju hijau pula, juga kurus tinggal kulit membungkus tulang, untung bola mata masih berputar kian kemari, kalau tidak, hampir tak kelihatan gairah hidup sedikit pun. Diam-diam Jit-jit membatin pula, "Pelajar rudin begini juga berani datang untuk urusan dagang? Memangnya akan menjual pensil butut." Kasak-kusuk dalam ruang besar sudah sirap, terdengar Auyang Hi berdehem, lalu berseru, "Kini tinggal Leng-jiya dan Keh-siangkong saja, kedatangan Keh-siangkong ke Lokyang kali ini entah membawa barang-barang aneh apa." Akhir katanya matanya menatap seorang lelaki gemuk putih, berdandan lucu, usianya jelas tidak muda lagi tapi sengaja berlagak Siangkong (tuan muda), kepalanya pakai  ikat kain, jubahnya yang kedodoran bersulam aneka warna, belasan kantong sutra bergantungan di sekeliling pinggangnya, tangan memegang pipa tembakau. Keh-siangkong memicingkan mata, lalu menoleh ke kanan-kiri, katanya dengan tersenyum, "Akhir-akhir ini aku sudah makin malas, kutahu dengan kedatangan Leng-jiya, pasaran dagang di kota Lokyang pasti ramai, namun aku hanya membawa dua macam barang saja." Auyang Hi berkata, "Barang mengutamakan kualitas dan bukan kuantitas. Barang yang dibawa Keh-siangkong kuyakin pasti luar biasa, silakan Keh-siangkong mengeluarkannya supaya hadirin ikut menyaksikan." Keh-siangkong berkata, "Ah, janganlah pujian melulu, cuma kawan Kangouw juga sama tahu, barang berharga di bawah lima ribu tahil aku tidak pernah jual-beli." Cu Jit-jit berkerut kening, batinnya, "Besar juga mulutnya, dipandang dari dandanan dan sikapnya, bukan mustahil dia ini salah seorang Ngo-toa-ok-kun (lima penjahat) yang merajalela di Kangouw, yaitu Kan-sian Keh-pak-bwe? (pedagang licik Keh si Pembeset Kulit). Jika benar dia adanya, orang yang berjual-beli dengan dia pasti akan mengalami kerugian." Tampak Keh-siangkong telah mengeluarkan sebuah kodok-kodokan pualam warna hijau sebesar mangkuk, terutama kedua matanya ternyata terbuat dari sepasang mutiara besar dan bundar, di bawah sinar lampu tampak gemerlap, harganya tentu tidak bernilai. Keh-siangkong berkata, "Kalian sama ahli, baik-jelek barang ini tentu dapat kalian lihat, maka tidak perlu aku membual, silakan saja kalian menentukan harga sendiri." Beruntun dia bersuara dua kali, tapi hadirin tiada yang memberi reaksi. Cu Jit-jit tertawa geli di dalam hati, pikirnya, "Mungkin orang takut pada yang ahli membeset kulit, maka tiada yang berani memberi penawaran, padahal kodok pualam hijau ini memang berharga sekitar lima-enam ribu tahil." Keh-siangkong menoleh kian kemari, satu per satu hadirin ditatapnya, akhirnya pandangannya berhenti pada seorang bertubuh gemuk pendek, katanya dengan tertawa, "Si Yong-kui, kau berdagang batu permata, berapa kau menawar barangku?" Berdenyut kulit muka Si Yong-kui yang gempal itu, katanya sambil menyengir, "Ah ... baiklah, aku menawar tiga ribu tahil." Keh-siangkong menarik muka, katanya dengan tertawa dingin, "Tiga ribu tahil, tega kau tawar serendah ini, jangankan badan kodok yang hijau ini, hanya sepasang mata mutiaranya saja � hehe, mutiara sebesar ini pun sukar dicari, besarnya sama, bundar lagi, hehehe, kalau kau punya dua butir yang sama kuberani bayar enam ribu tahil." Si Yong-kui menyengir, katanya, "Aku tahu mestika sebesar ini kalau tiga ribu tahil memang terlalu murah, tapi sebelum kuperiksa barang itu secara teliti, terus terang aku tidak berani memberikan tawaran lebih tinggi." Beringas sorot mata Keh-siangkong, katanya, "Memangnya sedekat ini tidak kau lihat jelas, barang mestika mana yang boleh sembarang dipegang orang, memangnya kau tidak percaya kepada orang she Keh?" Kembali bergoyang kulit muka Si Yong-kui, ia menunduk, suaranya juga gelagapan, "Wah, ini ... baiklah kutawar enam ribu tahil ...." Keh-siangkong terkekeh, katanya, "Meski enam ribu belum cukup modal, tapi orang she Keh kalau berdagang biasanya `cincay', demi hubungan yang lebih erat selanjutnya, kali ini biar aku jual murah kepadamu, tapi bayar dulu baru barang diserahkan, ini adalah kebiasaan jual-beli, enam ribu tahil perak, sepeser pun tidak boleh kurang." Agaknya Si Yong-kui tidak mengira tawaran semurah ini dapat membeli barang antik yang mahal ini, seketika dia mengunjuk rasa kejut dan girang, orang lain juga mengiri bahwa dia mendapat barang murah, semuanya mengiler. Jit-jit membatin, "Orang bilang dia tukang beset kulit, tapi dari jual-beli ini, kenyataan bukan saja adil, malah boleh dikatakan dia agak rugi." Maklum sebagai putri keluarga hartawan, nilai sesuatu permata cukup dikuasainya dengan baik, nilai mutiara sebesar dan sebundar itu harganya memang pantas enam ribu tahil perak. Sementara itu Si Yong-kui sudah suruh orangnya mengambil uang dan menimbang bobotnya, setelah uang diserahkan, kodok pualam itu pun diambilnya, tapi hanya dua kali dia mengamati barang itu, seketika wajahnya berubah pucat, serunya dengan suara gemetar, "Kodok pualam ini cacat, demikian pula mutiara ini ... hanya sebutir di ... dibelah dua, Keh-siangkong, ini ... ini ...." Keh-siangkong menyeringai, katanya, "Apa betul? Aku sendiri juga tidak memerhatikannya waktu membeli, tapi barang sudah dibeli, tidak boleh dikembalikan, kuyakin kau Si Yong-kui juga tahu aturan ini?" Si Yong-kui melenggong sesaat lamanya, "bluk", badannya yang gendut duduk lemas di atas kursi, air mukanya sungguh lebih jelek daripada tampang babi. Keh-siangkong tertawa terkekeh, katanya, "Dan barang kedua yang kubawa untuk kalian adalah ... merupakan suatu keajaiban, ya, keajaiban yang selalu kalian impikan, keajaiban yang diciptakan Tuhan untuk kalian, keajaiban yang tanggung belum pernah kalian lihat .... Ini, silakan kalian periksa keajaiban itu berada di sini." Meski suaranya tidak enak didengar, tapi dia memang pandai bicara hingga menimbulkan daya pikat yang besar, seluruh hadirin sama menoleh ke arah yang ditudingnya. Betul juga, hadirin sama menjerit tertahan dan melongo seketika, keajaiban yang dikatakan Keh-siangkong ternyata adalah seorang gadis berbaju putih, berambut panjang hitam legam dan terurai di atas pundak. Gadis ini berdiri malu-malu, wajahnya putih bersih dan molek, meski pucat karena takut, gayanya ternyata memesona dan menimbulkan rasa belas kasihan. Kedua bola matanya yang bercahaya bening juga memancarkan rasa kaget, takut, dan malu, mirip seekor rusa yang baru tertangkap dari hutan. Tubuhnya semampai, dadanya montok, karena  dipandang sekian banyak orang ia kelihatan gemetar. Melihat hadirin terpesona, tersimpul senyuman licik pada wajah Keh-siangkong, sekali raih dia tarik gadis itu, lalu serunya, "Inilah bidadari dari kahyangan, permaisuri raja, entah kapan kalian mendapat rezeki, barang siapa dapat memberikan tawaran tertinggi, bidadari ini akan menjadi miliknya, bila hatimu kesal, dia bisa bernyanyi menghiburmu, bila kau kesepian dia akan mendampingimu menikmati surga dunia, badannya yang mulus, hangat dan kenyal ini adalah obat untuk melenyapkan kesepian." Mendengar komentarnya, hadirin berduduk mematung terkesima. Entah berapa lama kemudian tiba-tiba terdengar seorang berseru lantang, "Kalau dia begitu menggiurkan, kenapa tidak kau pakai sendiri?" Hadirin memang takut berhadapan dengan Keh-pak-bwe yang suka menggorok pembelinya ini, khawatir dikibuli. Keh-siangkong terkekeh, katanya, "Kenapa tidak kupakai sendiri? .... Hahaha, terus terang saja, soalnya `harimau betina' di rumah terlalu lihai, kalau tidak, masa aku mau menjualnya?" Hadirin saling pandang, masih curiga, juga kurang percaya. Keh-siangkong memancing lagi, "Ayolah, apa lagi yang kalian tunggu?" Mendadak dia menarik baju si gadis hingga kelihatan bahunya yang putih melebihi pakaiannya, payudaranya yang mengintip tampak mengilat lagi padat. Keh-siangkong berteriak-teriak, "Gadis seperti ini, apa kalian pernah melihatnya? Bila ada orang berani bilang dia kurang cantik, pasti dia lelaki tolol, lelaki buta." Belum habis bicaranya, seorang lelaki bermuka burik segera berdiri, serunya, "Baik, aku tawar seribu ... seribu lima ratus tahil ...." Ternyata tawaran pertama ini mendapat sambutan orang banyak, maka di sana-sini orang lantas berlomba, "Seribu delapan ratus tahil ... dua ribu tahil ... tiga ribu ...." Lelang berjalan terus, badan si gadis makin gemetar, matanya yang sayu mulai berkaca-kaca, makin dipandang Jit-jit makin merasa kasihan, dia membatin, "Gadis cantik molek ini, mana tega aku melihat dia terjatuh ke tangan lelaki busuk ini ...." Entah mengapa mendadak terasa darahnya mendidih, tanpa pikir ia ikut berteriak, "Aku tawar delapan ribu tahil." Hadirin melongo, tapi pemuda berbaju sutra di seberang Cu Jit-jit tiba-tiba tersenyum, serunya, "Selaksa tahil!" Berkilat bola mata Keh-siangkong, wajahnya kegirangan, hadirin tersirap kaget oleh tawaran yang teramat tinggi ini. Cu Jit-jit mengertak gigi, mendadak dia berseru pula, "Dua laksa tahil perak!" Harga ini terlebih mengejutkan, keruan hadirin menjadi gempar. Gadis itu angkat kepalanya dan menatap Cu Jit-jit dengan heran dan juga senang. Dengan tertawa Keh-siangkong menatap pemuda berbaju sutra, tanyanya, "Bagaimana Ong-kongcu?" Pemuda itu tertawa sambil menggeleng kepala. Keh-siangkong lantas menghadap ke arah Cu Jit-jit, katanya sambil menghormat, "Selamat nona, gadis secantik bidadari ini kini sudah menjadi milik nona, entah di mana uang nona? Hahaha, dua laksa tahil perak sungguh teramat murah!" Jit-jit jadi melenggong, sahutnya dengan gelagapan, "Uang � uang tidak kubawa, tapi ... dua hari ...." Kontan Keh-siangkong menarik muka, katanya, "Apa nona berkelakar? Tanpa uang mana bisa bicara jual-beli?" Ruang besar ini seketika penuh suara gelak tertawa, ada yang mencemooh, ada yang berolok. Merah muka Jit-jit, dari malu dia jadi gusar, baru saja dia hendak menyemprot mereka, tiba-tiba sastrawan tua miskin yang sejak tadi duduk dengan mata terpejam itu membuka matanya dan berkata, "Tidak apa-apa, uang akan kupinjamkan padamu." Hadirin melengak kaget, Jit-jit juga terbeliak, kakek ini kelihatan rudin, mana punya uang untuk dipinjamkan padaku segala. Keh-siangkong menyengir, katanya, "Nona ini tidak dikenal engkau orang tua, mana ...." Kakek rudin tertawa dingin, "Kau tidak memercayainya, aku justru percaya padanya, soalnya kalian tiada yang kenal siapa dia, aku orang tua sebaliknya mengenalnya dengan jelas."

"Siapa nona ini?" tanya Keh-siangkong heran. Kakek rudin berkata, "Kau Keh-pak-bwe hanya mahir menipu uang orang lain, biar kau menipu tiga puluh tahun lagi juga belum dapat membandingi secuil kuku bapaknya. Tidak perlu kubicara banyak, cukup kuberi tahukan padamu, dia she Cu." Keh-siangkong terperanjat, serunya, "She Cu, apakah � apakah dia putri mestika keluarga Cu?" Kakek rudin mendengus sambil memejamkan mata pula, pandangan hadirin serentak beralih kepada Cu Jit-jit semua memandangnya dengan terbelalak. Sejak dahulu kala uang memang punya daya pikat luar biasa, manusia mana pun tidak terkecuali. erutama orang berwatak seperti Keh-siangkong, dia lebih tahu betapa hebat daya tarik uang di dunia ini. Sikapnya yang meremehkan tadi kini berubah tertawa lebar hingga kedua matanya hampir terpejam, katanya, "Baiklah, bila engkau orang tua yang menanggung, apa pula yang perlu kukatakan .... Fifi, sejak kini kau menjadi milik nona Cu ini, lekas ke sana!" Orang paling terkejut di dalam ruang ini adalah Cu Jit-jit sendiri, sungguh dia tidak mengerti dari mana kakek rudin ini mengenal dirinya. Tidak habis pula herannya manusia semacam Keh-siangkong ternyata menaruh kepercayaan penuh kepada kakek rudin ini. Padahal kakek ini kurus kering, pakaiannya, topinya, harta miliknya dari kepala sampai ke kaki paling-paling cuma berharga satu tahil perak saja. Gadis baju putih itu lantas menghampiri Jit-jit, sinar matanya tampak terang, lembut dan tetap malu-malu. Segera dia berlutut memberi hormat serta menyapa dengan suara merdu, "Lanli (perempuan kesusahan) Pek Fifi menyampaikan sembah hormat kepada nona Cu." Lekas Jit-jit menariknya bangun, sebelum dia bicara didengarnya Tiong-goan-beng-siang Auyang Hi berseru lantang, "Acara baik masih ada pada babak terakhir, kuyakin hadirin sedang menunggu dan ingin lihat barang dagangan Leng-jiya." Hadirin sama mengiakan. Timbul rasa ingin tahu Cu Jit-jit. "Orang macam apa pula Leng-jiya itu? Orang-orang ini kelihatan sangat segan kepadanya, tentu dia seorang luar biasa." Waktu matanya mengerling, tampak puluhan pasang mata hadirin sama menatap ke arah kakek rudin kurus itu. Keruan Jit-jit kaget, "Jadi Leng-jiya adalah kakek ini?" Waktu dia menoleh, mendadak dilihatnya di belakang pemuda berbaju sutra tahu-tahu berdiri seorang kacung berwajah bersih, kacung ini tengah menatapnya dengan tajam, Jit-jit merasa pernah melihat wajah si kacung, cuma tidak ingat di mana pernah melihatnya. Sementara itu si kakek rudin telah membuka mata dan batuk dua kali, lalu katanya, "Go-ji, sekali ini apa saja yang kita bawa, satu per satu boleh kau sebutkan supaya hadirin tahu, ingin kulihat berapa pula tawaran yang diajukan mereka." Go-ji (anak sengsara), anak yang berperawakan kurus hitam dan berdiri di belakangnya mengiakan dengan suara lemah seperti sudah tidak makan tiga hari, dengan perlahan ia tampil ke depan, lalu serunya, "Lima puluh kuintal Oh-liong-teh." Setelah terjadi tawar-menawar yang cukup seru terhadap daun teh terkenal itu, seorang pedagang besar penduduk Lokyang menutupnya dengan harga lima ribu tahil perak. Go-ji berseru pula, "Tong-hoa-yu lima ratus tong .... Tinta bak seribu potong ...." beruntun dia sebutkan delapan jenis barang dagangan, setiap jenis adalah barang-barang produksi suatu daerah yang jarang ada di pasaran, dalam sekejap barang-barang itu sudah terjual habis dengan harga tinggi. Cu Jit-jit menyaksikan perak sebungkus demi sebungkus digaruk seluruhnya oleh Leng-jiya, namun barang-barang yang disebutkan tadi satu pun tidak kelihatan, maka dia membatin, "Agaknya Leng-jiya memang seorang pedagang besar sehingga dia mendapat kepercayaan orang sebanyak ini, tapi kenapa dia justru berdandan mirip orang rudin? Ah, mungkin kakek ini seorang kikir." Kemudian Go-ji berseru pula, "Bik-kin-hiang-to tersedia lima ratus kuintal." Sejak tadi Keh-siangkong kelihatan duduk tenang sambil udut tembakau dengan merem melek, begitu mendengar `Bik-kin-hiang-to-bi' (beras unggul gagang wangi), matanya mendadak bersinar, serunya segera, "Partai itu kuborong seluruhnya!"

"Berapa tawaranmu?" tanya Go-ji. Keh-siangkong tampak berkerut kening, setelah berpikir dia pura-pura murah hati, katanya, "Selaksa tahil!" Beras unggul gagang wangi memang jarang ada di pasaran, kalau ada, harga pasaran sekuintal juga cuma dua puluhan tahil saja, bahwa Keh-siangkong berani menutup dengan harga setinggi itu memang sudah terhitung berani. Tak nyana si pemuda berbaju sutra mendadak berseru dengan tertawa, "Selaksa lima ribu tahil!" Keh-siangkong tampak melengak, akhirnya dia mengertak gigi dan berteriak, "Selaksa enam ribu." Ong-kongcu berseru, "Dua laksa." "Hah, dua laksa? .... Ong-kongcu, apa kau bergurau? Sejak dulu kala beras unggul ini tiada harga setinggi itu." Ong-kongcu tersenyum, katanya, "Kalau kau tidak berani beli, tiada orang memaksa." Air muka Keh-siangkong berubah pucat, menghijau lalu merah padam, giginya bergemertuk, sesaat dia melenggong, akhirnya berteriak lagi, "Baik kubayar dua laksa seribu." Harga ini jelas jauh melampaui harga pasaran, bahwa Keh-siangkong yang sering menggaruk uang orang lain secara nakal ini berani membayar setinggi ini, hadirin sama kaget dan heran, di sana-sini mulai terdengar bisik-bisik. Ong-kongcu mendadak berseru, "Tiga laksa!" Kali ini Keh-siangkong melompat bangun dari tempat duduknya, teriaknya, "Tiga laksa? Apa kau ... kau gila?" Ong-kongcu menarik muka, jengeknya, "Keh-heng, kalau bicara harap hati-hati." Keh-pak-bwe, si Pembeset Kulit yang terkenal nakal ini ternyata jeri terhadap pemuda lemah lembut yang baru keluar kandang macam Ong-kongcu ini, dia tidak berani lagi berkata kotor, dengan lemas dia duduk pula di kursinya, mukanya pucat dan penuh keringat. Go-ji lantas berkata, "Tiada penawaran lagi, baiklah barang itu akan diserahkan kepada Ong-kongcu!"

"Nanti dulu," mendadak Keh-siangkong berseru sambil menggebrak meja, teriaknya dengan suara parau, "Kutambah menjadi tiga laksa seribu .... Nah, Ong-kongcu, harga ini sudah memeras keringatku, kumohon kepadamu, jangan � jangan berebut lagi denganku." Ong-kongcu tertawa lebar, katanya, "Baiklah, hari ini aku mengalah kepadamu." Keh-pak-bwe tampak kegirangan, segera dia keluarkan uang dan menghitung, bahwa dia membayar lima ratus kuintal beras dengan harga setinggi itu, ternyata masih kegirangan, tiada hadirin yang tidak heran, siapa pun tidak mengerti mengapa Keh-pak-bwe hari ini mau berdagang rugi. Setelah menerima uang dan memberikan tanda terima, Go-ji lantas tertawa seperti mengalami sesuatu  kejadian yang amat menyenangkan, demikian pula Ong-kongcu juga tertawa lebar. "Apa ... apa yang membuatmu tertawa?" tanya Keh-pak-bwe. "Di kota Kayhong ada seorang saudagar yang berani membayar lima laksa tahil untuk lima ratus kuintal beras unggul gagang wangi, maka sekarang kau berani membayar tiga laksa tahil perak untuk jumlah beras yang sama, betul tidak?" Berubah air muka Keh-pak-bwe, serunya, "Dari ... dari mana kau tahu?" Go-ji tertawa geli, katanya, "Pedagang yang menawar lima laksa tahil untuk membeli beras jenis itu di Kayhong itu sengaja diutus oleh Leng-jiya kita, bila kau bawa beras itu ke Kayhong, tentu orang itu juga sudah pergi. Hahaha ... Keh-pak-bwe, siapa nyana sekali tempo kau pun akan mengalami rugi, biasanya kau menipu, hari ini kau tertipu." Pucat pasi muka Keh-pak-bwe, katanya, "Tapi, Ong ... Ong-kongcu ...." Go-ji menjelaskan, "Ong-kongcu juga sudah dipesan oleh Leng-jiya untuk memerankan sandiwara ini hingga kau tertipu ...." Belum habis dia bicara Keh-pak-bwe meraung terus menubruk maju. Mendadak melotot mata Leng-jiya, jengeknya, "Kau mau apa?" Melihat sorot mata tajam orang, Keh-pak-bwe seperti kena dicambuk, seketika kuncup nyalinya, lekas dia mundur kembali, sesaat dia melongo, lalu mendekap muka dan menangis tergerung-gerung. Tak tahan Jit-jit, dia tertawa geli, demikian pula hadirin ikut bertepuk, bahwa Keh-pak-bwe juga kena tipu, siapa pun merasa girang. Leng-jiya tersenyum, katanya, "Si Yong-kui tadi ditipunya, Go-ji, hitung tiga ribu tahil dan kembalikan kepada juragan Si, bulu kambing tumbuh di atas badan kambing, hendaknya Si-heng jangan sungkan!" Sudah tentu Si Yong-kui kegirangan, berulang dia ucapkan terima kasih. Dalam hati Cu Jit-jit juga memuji, baru sekarang dia tahu kakek rudin mirip pengemis, Leng-jisiansing, bukan saja seorang lelaki hebat, ternyata juga bukan orang kikir seperti diduganya semula. Kini mata Leng-jisiansing terpejam pula, sikap Go-ji kembali lesu seperti tidak punya semangat, lalu katanya perlahan, "Masih ada ... delapan ratus ekor kuda pilihan."

"Delapan ratus kuda pilihan", sungguh menarik perhatian hadirin, terutama dua kelompok orang yang duduk seberang-menyeberang, kedua kelompok itu sama terbelalak dengan bersemangat. Kedua kelompok orang ini, masing-masing terdiri dari tiga orang dan dua orang. Kelompok tiga orang itu adalah lelaki yang bertampang jelek, kulit daging pada mukanya benjol-benjol. Sementara kedua orang yang lain, seorang bermuka kuning seperti disepuh emas, mirip orang berpenyakitan, seorang lagi bermata elang berhidung betet, alisnya tebal, wajahnya bengis, gagah dan kasar, sikapnya kelihatan angkuh, seperti tidak pandang sebelah kepada siapa pun. Sepintas pandang Cu Jit-jit lantas tahu bahwa kelima orang ini pasti orang-orang gagah dari golongan hitam, tenaga mereka pun pasti besar. Ketiga lelaki itu serempak berdiri, orang pertama berseru, "Siaute Ciok Bun-hou."

"Siaute Ciok Bun-pa," sambung orang kedua. Orang ketiga berseru juga, "Siaute Ciok Bun-piau." Mereka bicara dengan membusung dada, sikapnya garang dan bertolak pinggang, agaknya sengaja mau pamer kekuatan. Mendengar nama ketiga orang ini, Si Yong-kui dan lain-lain tampak berubah air mukanya. Auyang Hi lantas bergelak tawa, katanya, "Kaum persilatan siapa yang tidak tahu nama besar Ciok-si-sam-hiong (tiga jago keluarga Ciok) dari Bing-hou-kang, buat apa pula kalian harus memperkenalkan diri." Ciok Bun-hou bergelak, katanya, "Betul, mungkin Auyang-heng juga tahu, kehadiran kami ini adalah untuk kedelapan ratus ekor kuda itu, semoga kalian sudi memberi muka kepada kami bersaudara, supaya kami tidak pulang dengan bertangan kosong." Ketiga Ciok bersaudara lantas bergelak tertawa, paduan suara tertawa yang keras ini serasa menggetar atap rumah. Umpama ada pihak lain bermaksud membeli kuda pasti akan kuncup nyalinya dan mundur teratur. Ciok Bun-hou bertiga menyapu pandang hadirin, sikapnya takabur dan bangga. Tak terduga lelaki hidung betet tiba-tiba menjengek, "Kurasa kalian memang akan pulang dengan tangan kosong." Suaranya tidak keras, tapi setiap hadirin dapat mendengar dengan jelas. Ciok Bun-hou menarik muka, serunya gusar, "Apa katamu?" Lelaki berhidung betet berkata pula, "Kedelapan ratus ekor kuda itu, kami bersaudara yang akan membelinya." "Berdasar apa kau berani bilang demikian?" teriak Ciok Bun-hou. Si hidung betet menyeringai, katanya, "Di hadapan Leng-jisiansing, tentunya harus dengan uang untuk membeli kuda, siapa berani main rebut atau merampok?"

"Bera ... berapa tawaranmu?" teriak Ciok Bun-hou. "Berapa tawaranmu, pasti kutambah di atasmu."

"Sebun Kau," bentak Ciok Bun-hou, "jangan kira aku tidak mengenalmu. Mengingat kita sesama satu golongan, selalu kami mengalah kepadamu, tapi kau ... kau terlalu menghina orang ...."

"Memangnya apa kehendakmu?" tantang Sebun Kau. Ciok Bun-hou gebrak meja, sebelum dia bicara Ciok Bun-pa lantas menarik tangannya, katanya dengan suara keras dan tegas, "Bing-hou-kang kami dengan seribuan anggota sedang menunggu kedelapan ratus ekor kuda ini untuk membuka usaha baru, bila Sebun-heng suruh kami pulang dengan bertangan kosong, lalu cara bagaimana kami akan memberi pertanggungan jawab."

"Kalau kalian sedang menunggu kedelapan ratus ekor kuda ini, memangnya Loh-be-ouw kami tidak memerlukan kuda-kuda ini? Kalau pulang bertangan kosong kalian sukar memberi pertanggungan jawab, memangnya kami tidak harus bertanggung jawab juga." Ciok Bun-piau mendadak menimbrung, "Jika demikian, biarlah kita mengalah saja." Sembari bicara segera dia tarik Bun-hou dan Bun-pa keluar. Selagi hadirin heran kenapa ketiga saudara ini mendadak mau mengalah, tiba-tiba sinar kemilau berkelebat, tiga golok panjang serempak membacok ke arah Sebun Kau,  bacokan keras dan keji, jika Sebun Kau terkena bacokan ini, badannya pasti hancur. Betapa ganas serangan golok ketiga saudara Ciok ini, ternyata Sebun Kau juga sudah waspada dan siaga, dia  tertawa dingin, sekali mengegos dapatlah menghindar. Yang jadi korban adalah kursi tempat duduk Sebun Kau tadi terbacok hancur lebur. Keruan Si Yong-kui dan lain-lain sama berteriak kaget. Membara mata Ciok Bun-hou, teriaknya serak, "Bukan kau yang mampus biar aku yang mati, ayo sikat dia." Kembali tiga batang golok mereka berputar pula dan hendak menerjang lagi. Lelaki muka kuning yang tidak bersuara sejak tadi mendadak berdiri, hanya sekali berkelebat tiba-tiba Sebun Kau ditariknya menyingkir sambil membentak, "Berhenti sebentar, dengarkan perkataanku." Walau wajahnya kuning seperti orang sakit, tapi gerak-geriknya ternyata gesit dan mengejutkan. Ciok Bun-hou bertiga terpaksa berhenti, katanya, "Baik, coba kita dengarkan apa yang hendak dikatakan Liong Siang-peng." Liong Siang-peng lantas berkata, "Bila kita berkelahi di sini, di samping menimbulkan permusuhan sesama orang Kangouw, rasanya juga tidak enak terhadap Auyang-heng, maka menurut pendapatku, lebih baik ...."

"Bagaimanapun juga kedelapan ratus ekor kuda itu adalah bagian kami," tukas Ciok Bun-hou lantang. Liong Siang-peng atau Liong si Sakit Melulu tertawa, katanya, "Kalian ingin mendapatkannya, orang lain juga tidak mau mengalah, bukankah terpaksa harus diselesaikan dengan pertarungan sengit. Tapi kalau masing-masing pihak mau membagi empat ratus ekor kuda, permusuhan kan tidak perlu terjadi." Ciok bersaudara saling pandang, Ciok Bun-pa lantas berkata, "Ucapan Liong-lotoa memang beralasan ...."

"Kalau begitu marilah kita saling tepuk tangan sebagai tanda perjanjian," ucap Liong Siang-peng. Ciok Bun-hou berpikir sejenak, akhirnya dia menjawab, "Baiklah, empat ratus ekor kuda sementara juga cukup." Lalu dia mendahului maju ke depan. Liong Siang-peng juga menyongsong maju dengan tertawa, masing-masing mengulurkan tangan, mendadak dari tangan kiri Liong Siang-peng menyambar dua titik sinar dingin, berbareng tangan kanan juga menghantam, "blang", dengan telak dada Ciok Bun-hou digenjotnya, kedua bintik  sinar itu pun tepat mengenai leher Bun-pa dan Bun-piau. Terdengar ketiga bersaudara itu menjerit ngeri, tubuh sempoyongan, mata melotot gusar, lama mereka menatap Liong Siang-peng, teriaknya dengan suara parau, "Kau ... kau ...." Belum lanjut suaranya, Ciok Bun-hou menyemburkan darah hitam, wajah Bun-pa dan Bun-piau juga berubah hitam. Satu per satu mereka roboh tersungkur, tiga orang segar bugar dalam sekejap telah melayang jiwanya menjadi mayat. Semua hadirin terbelalak kaget, sementara itu dengan tenang Liong Siang-peng berjalan balik ke tempat duduknya, tetap seperti orang penyakitan yang lemah dan acuh tak acuh, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Wajah Auyang Hi tampak gusar tapi entah mengapa akhirnya dia menahan rasa gusarnya. Semula Cu Jit-jit juga gusar, tapi kejap lain dia berpikir, "Orang lain tidak peduli, buat apa aku usil, memangnya urusanku belum cukup merepotkan?" Ternyata Go-ji juga bersikap tak acuh, katanya dingin, "Setelah terjadi pembunuhan, apakah jual-beli tetap menggunakan uang?" Sebun Kau tertawa, serunya, "Tentu saja pakai uang." Diturunkan ransel yang digendongnya di atas meja, perlahan dia buka buntelan kain kuning itu, ternyata isinya emas murni. "Berapa nilainya?" tanya Go-ji. Sebun Kau tertawa, katanya, "Dua ribu tahil, kukira cukup." Tak nyana Ong-kongcu yang pendiam dan pemalu itu mendadak angkat kepala, katanya dengan tersenyum, "Siaute tawar dua ribu seratus tahil!" Mendengar tawarannya, hadirin kaget, Jit-jit juga berubah air mukanya. Sebun Kau menyeringai, katanya, "Apakah Siangkong ini tidak berkelakar?" Ong-kongcu tertawa, "Tiga sosok mayat masih ada di sini, apakah tega orang berkelakar di hadapan mayat?" Sebun Kau berputar menghadap ke arahnya, selangkah demi selangkah dia menghampirinya, setiap langkahnya makin menimbulkan suasana tegang. Pandangan semua orang tertuju kepadanya sehingga siapa pun tidak menyadari tahu-tahu Liong Siang-peng sudah melayang ke belakang Ong-kongcu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, perlahan dia angkat telapak tangannya. Ong-kongcu masih tetap tidak merasakan ancaman bahaya, Sebun Kau menyeringai, "Bila kau mampu menghindar tiga kali pukulanku, kedelapan ratus kuda ditambah emas ini akan menjadi milikmu." Pada akhir perkataannya, secepat kilat kedua tangannya menggempur kedua pundak Ong-kongcu. Pada saat yang sama, dari kedua tangan Liong Siang-peng juga menyambar tujuh bintik sinar dingin, jadi dua orang menggencet dari depan dan belakang, bukan saja jiwa Ong-kongcu terancam, kacung di belakangnya juga sukar terhindar dari malapetaka. Cu Jit-jit menjerit sambil melompat bangun. Pada saat itulah mendadak lengan baju Ong-kongcu menggulung ke belakang, di belakang kepalanya seperti bermata, demikian pula lengan bajunya seperti ular sakti, ketujuh bintik sinar dingin itu tergulung semua ke dalam lengan bajunya, sekali kebut lagi ke depan, bintik tajam itu langsung menyambar ke dada Sebun Kau. Sebun Kau menjerit ngeri, mendekap dada sambil mundur terhuyung. Muka Liong Siang-peng juga berubah pucat, tapi dia tidak gugup, kedua tangan mengkeret ke dalam lengan baju, waktu dikeluarkan lagi setiap tangan sudah memegang sembilan badik, di mana sinar gemerdep segera badik menikam punggung Ong-kongcu. Betapa keji serangannya, badik itu juga hitam gilap, jelas dilumuri racun jahat, bila Ong-kongcu tergores sedikit saja kulit badannya, jangan harap bisa hidup lagi. Tapi Ong-kongcu tetap tidak berpaling, hanya sedetik itu, mendadak tubuhnya mengapung ke atas hingga kedua badik menusuk punggung kursi kayu cendana yang berukir. Saking kaget, kuncup nyali Liong Siang-peng, dia tidak berani turun lagi ia putar badan terus kabur. Ong-kongcu tersenyum, katanya, "Ini pun bawa pulang saja!" Waktu mengucapkan "ini" dari lengan bajunya melesat setitik sinar dingin, ketika mengatakan "pulang" sinar dingin itu lantas bersarang di punggung Liong Siang-peng. Bila dia selesai berkata, Liong Siang-peng pun menjerit dan terkapar di lantai, kaki tangan berkelojotan, lalu tak bergerak lagi. Bukan saja tidak pernah menoleh, bahkan Ong-kongcu tetap bersenyum, hanya mulutnya berkata, "Sungguh Am-gi (senjata rahasia) yang jahat, tapi Am-gi itu milik dia sendiri." Ternyata dalam lengan bajunya masih menyimpan sebuah Am-gi lawan, padahal jari tangannya saja tidak bekerja, tapi kedua begal besar yang beroperasi di Loh-be-ouw telah disikatnya. Melihat demonstrasi menangkap Am-gi, lalu balas menyerang pula hanya dengan lengan baju saja, seluruh hadirin sama kagum, tapi sikap Ong-kongcu tetap wajar dan tak acuh, seolah-olah membunuh orang bukan perbuatan jahat, keruan hadirin sama melongo dan tiada yang berani menanggapi perkataannya. Cu Jit-jit juga terkesiap, pikirnya, "Pemuda yang kelihatan lemah lembut ini ternyata memiliki kungfu yang luar biasa, hatinya kejam dan tindakannya ganas, sungguh mimpi pun orang tidak menyangka ...." Waktu ia menoleh, tiba-tiba dilihatnya kacung yang berdiri di belakangnya itu juga tengah mengawasinya dengan tersenyum, matanya yang lincah melirik sana-sini, seperti banyak persoalan hendak diberitahukan kepadanya. Heran dan gusar hati Jit-jit, pikirnya, "Kenapa keparat ini menatapku sedemikian rupa? Mungkinkah dia kenal aku? Wajahnya memang seperti pernah kukenal, tapi kenapa aku tidak ingat di mana pernah bertemu dengan dia?" Dia duduk termenung, sedang si gadis baju putih, Pek Fifi, dengan lembut berdiri di sampingnya, senyumnya yang menarik sungguh siapa pun akan tergiur. Tapi bagaimanapun Jit-jit sukar mendapatkan jawaban, pikir punya pikir, akhirnya dia teringat kepada Sim Long. "Di mana Sim Long? Sedang apa dia sekarang? Apakah dia juga sedang merindukan diriku?" Tiba-tiba didengarnya Auyang Hi berkata di sampingnya dengan tertawa, "Perjamuan makan malam sudah disiapkan, nona Cu ikut hadir?" Selama dua hari ini, baru sekarang Jit-jit mendengar perkataan ramah terhadap dirinya. Cepat dia menarik napas, dengan tertawa dia mengangguk serta berdiri. Baru sekarang didapatinya separuh hadirin sudah meninggalkan tempat ini, mayat juga sudah digotong pergi, tanpa terasa merah mukanya, diam-diam dia tanya diri sendiri, "Kenapa setiap merindukan Sim Long aku lantas linglung dan lupa daratan?" Santapan yang dihidangkan memang hebat, bukan saja banyak jenisnya, juga makanan kelas satu semua. Leng-jisiansing melalap hidangan dengan lahap, apa yang disenangi seperti dituang saja ke dalam perut. Selama hidup Cu Jit-jit juga belum pernah makan sepuas dan sekenyang ini, entah dari mana datangnya selera, yang terang perutnya memang lapar. Hanya Ong-kongcu dan dua orang lagi yang jarang menggerakkan sumpitnya, agaknya menonton orang makan saja perut mereka ikut kenyang. Sambil makan Auyang Hi masih terus mencerocos hingga makanan di mulutnya sering tersembur keluar, di samping minta maaf karena sejak bertemu dia tidak kenal bahwa Cu Jit-jit adalah putri kesayangan keluarga Cu, ia pun sibuk memperkenalkan Cu Jit-jit kepada hadirin lainnya. Jit-jit ogah melayani pembicaraannya, paling hanya mengangguk atau menggeleng dengan tertawa. Mendadak Auyang Hi berkata, "Ong-kongcu ini juga putra keluarga terhormat di Lokyang, asal nona Cu melihat perusahaan bermerek Ong-som-ki, semua itu adalah milik keluarga Ong-kongcu, bukan saja dia ...." Mendengar "Ong-som-ki", hati Jit-jit seketika seperti kena cambuk sekali, darah seketika bergolak hingga apa perkataan Auyang Hi selanjutnya tidak diperhatikan lagi. Waktu dia memandang ke sana, Ong-kongcu dan kacungnya yang cakap itu pun sedang mengawasinya dengan tertawa. Ong-kongcu tertawa sambil memperkenalkan diri, "Cayhe she Ong, bernama Ling-hoa ...." Dengan suara gemetar Jit-jit menukas, "Kau ... kau ... toko peti mati itu ...." Ong-kongcu tertawa, "Apa maksud nona Cu?" Wajah Jit-jit yang sudah merah karena menenggak arak seketika pucat, matanya terbeliak menyorotkan rasa kaget dan ngeri, pikirnya, "Ong-som-ki ... jangan-jangan Ong Ling-hoa ini pemuda bergajul yang berhati iblis itu .... Ah, betul, kacung itu bukankah gadis berbaju putih itu, pantas aku merasa mengenalnya, dia mengenakan pakaian lelaki hingga aku pangling padanya ...." Melihat Jit-jit pucat dan menggigil, Auyang Hi kaget dan heran, tanyanya dengan menyengir, "Nona Cu, engkau ...." Dengan menggigil mendadak Cu Jit-jit melompat berdiri, "blang", kursi yang didudukinya tergetar roboh, Jit-jit menyurut mundur, serunya gemetar, "Kau ... kau ...." mendadak dia putar tubuh terus angkat langkah seribu seperti melihat setan. Terdengar beberapa orang berteriak-teriak di belakang, "Nona Cu ... tunggu ... nona Cu!" Di antaranya terselip juga suara Pek Fifi yang minta dikasihani, "Nona Cu, bawa serta hamba ...." Mana Jit-jit berani berpaling. Entah sejak kapan di luar turun hujan deras, Jit-jit juga tidak menghiraukan lagi, dia terus lari ke depan tanpa membedakan arah, juga tidak peduli jalan apa. Sorot mata Ong Ling-hoa yang mengandung daya iblis itu seperti mengejar di belakangnya. Memang benar ada orang mengintil di belakangnya, bila dia berhenti, orang itu segera seperti akan menubruknya. Lari dan lari terus sampai napas Jit-jit sudah ngos-ngosan, kedua matanya juga sukar terpentang lagi karena diguyur air hujan, dia tahu bila dirinya terus berlari di tengah hujan begini, andaikan tidak mati juga pasti akan jatuh sakit. Lapat-lapat dilihatnya bayangan beberapa rumah di depan, satu di antaranya ada cahaya yang menyorot keluar, pintunya juga seperti terbuka, Jit-jit tidak peduli lagi, langsung dia menerobos ke dalam, begitu berada di dalam rumah dia lantas rebah di lantai. Setelah mereda napasnya baru dia sempat perhatikan keadaan setempat, rumah ini ternyata sebuah biara bobrok yang sudah lama tidak terawat, galagasi terdapat di mana-mana, patung pemujaan pun sama roboh. Tepat di tengah ruang pemujaan ada api unggun yang sedang menyala, yang duduk di tepi api unggun memanaskan badan adalah seorang nyonya berbaju hijau dan sedang mengawasinya dengan heran, waktu dia menoleh, hujan masih tertuang dari langit, mana ada bayangan orang mengejarnya. Setelah tenangkan diri, Jit-jit membetulkan badan dan menyapa dengan tertawa, "Popo (nenek), bolehkah aku ikut memanaskan badan?" Sikap nyonya berbaju hijau kelihatan welas asih, tapi hanya mengangguk tanpa bicara. Rambut Jit-jit semrawut, pakaian basah kuyup dan lengket dibadan hingga potongan badannya yang menggiurkan tampak jelas, diam-diam dia bersyukur, "Untung seorang perempuan tua, kalau lelaki bukankah amat memalukan." Namun demikian ia pun merasa kupingnya panas, dengan perasaan malu dan tidak tenteram dia membetulkan rambutnya, hingga wajahnya yang molek kelihatan jelas. Agaknya nyonya berbaju hijau itu pun tidak menyangka gadis yang basah kuyup ini bisa sedemikian cantiknya, sorot matanya yang semula dingin mulai kelihatan ramah, dengan menggeleng kepala dia berkata, "Kasihan, pakaianmu basah kuyup, apa tidak dingin?" Jit-jit menarik napas, tubuhnya memang lagi menggigil, mendengar perkataan orang seketika dia tambah gemetar, meski sudah berada di pinggir api unggun, pakaian basah yang lengket di badannya terasa sedingin es. Dengan suara lembut nyonya berbaju hijau berkata, "Di sini tiada orang lelaki, lebih baik kau buka pakaian basahmu, setelah dipanggang kering tentu akan merasa hangat." Walau sungkan dan rikuh, tapi rasa dingin yang merasuk tulang tak tertahan lagi, terpaksa Jit-jit mengangguk, perlahan dia mulai membuka baju. Meski di hadapan sesama perempuan, tak urung merah juga muka Jit-jit, cahaya api menambah merah pipinya, menyinari potongan tubuhnya yang aduhai .... Tiba-tiba Cu Jit-jit bersuara tertahan, pakaian dalamnya tak berani dilepas lagi, padahal pakaian dalam juga basah kuyup hingga hampir tembus pandang, cepat ia berjongkok, dan berharap pakaiannya lekas kering. Mendadak di luar seperti ada orang berdehem perlahan. Keruan Cu Jit-jit kaget, badannya mengkeret, serunya dengan gemetar, "Sia ... siapa di luar?" Suara serak tua berkata di luar tembok, "Hujan sangat lebat, orang beragama biar berteduh di emper saja." Legalah hati Cu Jit-jit, katanya, "Orang beragama ini memang orang baik, bukan saja tidak mau masuk, jendela pun tidak dilongoknya ...." Belum habis dia bicara, mendadak terdengar terkekeh tawa, katanya, "Walaupun ada orang baik di luar, tapi ada Siaujin (manusia rendah) di dalam." Sungguh tidak kepalang kejut Cu Jit-jit, cepat dia meraih pakaian untuk menutup dada, lalu mendongak ke arah datangnya suara. Tertampak di atas belandar yang penuh debu dan galagasi menongol sebuah kepala, sepasang matanya yang mirip mata kucing sedang menatap Cu Jit-jit. Malu, gusar, dan kaget Jit-jit, ia mendamprat, "Kau ... siapa? Berapa lama kau di ... di situ?" "Sudah cukup lama untuk menonton seluruhnya," ujar orang itu dengan tertawa. Wajah Jit-jit menjadi merah, repot dia membetulkan pakaiannya, tarik sini, sana terbuka, tarik sana, sini tersingkap, serbarepot, saking malu sungguh kalau bisa ingin sembunyi ke dalam tanah saja. Orang itu tergelak, katanya, "Sayang sekali mataku ini masih kurang untung, pakaian nona yang terakhir belum dibuka, wah, sayang ...." Malu dan gusar, segera Jit-jit mencaci, "Keparat, bajingan kau ...." Mendingan dia tidak memaki, karena caci makinya, orang itu segera melompat turun, Jit-jit menjerit kaget, tambah gencar caci makinya. Tampak lelaki ini berpakaian jaket kulit yang sudah lusuh, bagian dadanya terbuka, tangan kiri pegang buli-buli arak, di pinggang terselip sebatang golok pendek tanpa sarung, usianya belum tua, tapi wajahnya penuh berewok, alisnya hitam tebal, matanya mirip mata kucing dan sedang mengamati Cu Jit-jit dari kepala sampai kaki. Makin garang Jit-jit memaki, makin senang lelaki itu. Begitu Jit-jit bungkam, lelaki itu lantas berkata dengan cengar-cengir, "Kan tidak kubuka pakaian nona, tapi nona sendiri yang membuka pakaian, tentu juga tidak kurintangi, namun nona justru memakiku begitu rupa, bukankah engkau ini tidak kenal aturan?" Malu dan gemas Jit-jit bukan main, ingin rasanya dia gampar muka orang, tapi mana dia berani berdiri, terpaksa dia membentak, "Kau ... keluar, setelah ... setelah aku mengenakan pakaian."

"Di luar hujan lebat dan dingin, nona tega suruh aku kehujanan di luar. Daripada nona kesepian, bukankah lebih baik kutemani." Semula Jit-jit kira si nyonya berbaju hijau pasti seorang tokoh dunia Kangouw, melihat kejadian ini pasti akan membelanya. Siapa tahu nyonya itu malah menyingkir ke pinggir dengan muka pucat ketakutan. Berputar mata Jit-jit, mendadak dia tertawa dingin, "Tahukah kau siapa aku? Hm, inilah Moli (iblis perempuan) Cu Jit-jit, memangnya boleh dibuat permainan olehmu? Kalau tahu diri lekas kau-lari saja, supaya tidak mati sia-sia di sini." Julukan "Moli" sekenanya dia sebut, maksudnya hanya untuk menggertak orang. Semula lelaki itu melenggong, tapi segera tertawa, katanya, "Sebaliknya apa kau tahu siapa aku?"

"Kau siapa? Apa bedanya kau dengan babi, anjing, binatang ...."

"Ketahuilah," ujar lelaki itu sambil tepuk dada, "Hok-mo-kim-kong (raksasa penakluk iblis) adalah nama besarku, lebih baik kau menurut saja, jangan ...." Rasa gusar mendadak merangsang Jit-jit, bila dia sudah nekat,umpama telanjang bulat juga berani berdiri, apalagi sekarangdia masih pakai baju dalam, mendadak dia melompat bangun,jengeknya, "Baik, kau ingin lihat, ini, silakan lihat, lihatlahyang jelas ... sebentar lagi nona akan mencungkil kedua matamu." Mimpi pun lelaki itu tidak menyangka ada perempuan seberani ini, dia benar-benar terkejut, badan yang montok terpampang di depan matanya, entah kenapa ia malah tidak berani memandangnya. Jit-jit tambah nekat, dia maju selangkah pula, tanpa terasa orang itu menyurut mundur dengan mata terbelalak. Mendadak seorang mendengus di luar jendela, "Hm, maling cabul, keluar!" Tampak sesosok bayangan seperti patung berdiri di luar jendela, kepalanya mengenakan caping bambu, dagunya berjenggot, dalam kegelapan tidak terlihat jelas wajahnya, hanya tampak punggungnya menyandang pedang, ronce hiasan pada tangkai pedang tampak bergoyang tertiup angin. Lelaki tadi kaget, katanya, "Kau suruh siapa keluar?"

"Kecuali kau, siapa lagi?" jengek orang di luar itu. Lelaki itu tertawa, katanya, "Bagus, jadi aku ini maling cabul!"

Mendadak dia melompat melewati kepala Cu Jit-jit dan melayang keluar pintu. Jit-jit tidak mengira Ginkang orang ini sedemikian tinggi, terkejut juga hatinya, segera tertampak cahaya pedang berkelebat membendung pintu. Badan lelaki itu terapung di udara, kedua kakinya menendang beruntun, begitu cahaya pedang terdesak ke samping, lelaki itu melesat keluar di bawah hujan, terdengar gelak tawanya, lalu bentaknya, "Hidung kerbau keroco, memangnya kau ingin berkelahi?" Bayangan di luar jendela memang seorang Tojin kurus kecil, gerak-geriknya lincah, sinar pedangnya berkelebat lagi menusuk dada lelaki itu. "Ilmu pedang bagus!" puji lelaki itu sambil angkat buli-buli araknya untuk menangkis, "trang", buli-buli arak itu ternyata terbuat dari baja, pedang si Tojin tergetar ke samping, hampir terlepas dari cekalannya. "Tenaga pergelangan hebat," Tojin itu pun memuji. Dalam jangka ucapan tiga patah kata, sekaligus ia pun menyerang tiga jurus, cepat sekali serangan berantai ini sehingga lelaki itu tidak sempat balas menyerang dengan cara semula. Melihat kungfu kedua orang ternyata merupakan tokoh kosen tingkat tinggi dunia persilatan, kaget dan heran Cu Jit-jit, sesaat dia jadi melongo. Untung perempuan berbaju hijau di belakangnya lantas bersuara lirih padanya, "Nona, lekas pakai baju sekarang!" Merah muka Jit-jit, katanya dengan menunduk, "Ya, terima kasih!" Cepat dia kenakan bajunya yang masih basah, lalu melongok

keluar, tertampak di tengah hujan sinar pedang berkelebat bagai sambaran kilat naik-turun, begitu cepat hingga hujan lebat pun tidak tembus, air muncrat ke mana-mana. Ilmu pedangnya kelihatan tidak begitu lihai, tapi kecepatannya luar biasa, sinar pedangnya membawa desing angin tajam. Makin dipandang makin heran, ilmu pedang Tojin ini juga tidak di bawah Giok-bin-yau-khim Sin-kiam-jiu Ji Yok-gi yang termasuk salah satu ketujuh jago kosen .... Agaknya lelaki itu pun mulai gelisah, "Hidung kerbau, aku tidak ada permusuhan denganmu, apa benar kau ingin mencabut nyawaku?"

"Peduli siapa kau dan apa sebabnya, asalkan bentrok denganku, maka dia harus tahu pedangku selamanya tiada ampun bagi lawan." Lelaki itu kaget, katanya, "Orang yang tidak bermusuhan denganmu juga kau bunuh?"

"Dapat mati di bawah pedangku sudah terhitung untung baginya," Tojin itu menjengek. Dengan suara keras lelaki itu berteriak, "Sungguh keji ...." Dalam pembicaraan singkat ini si Tojin telah menyerang belasan kali, lelaki itu terdesak, sedikit lena jaket kulitnya tertebas sobek oleh pedang lawan. Bulu domba pada jaketnya bertebaran di bawah hujan lebat.

Lelaki itu menjadi gugup, pedang si Tojin mendadak menyambar lewat buli-bulinya terus menusuk dada kiri, pada urat nadi yang mematikan. Serangan ini sungguh berbahaya, kejam dan telak. Tak tertahan Cu Jit-jit berteriak, "Orang ini tidak perlu dihukum mati, ampuni saja jiwanya!" Sebetulnya tak perlu Jit-jit bersuara, sebab baru separuh dia bicara, mendadak selarik sinar putih berkelebat dari pinggang lelaki ini menyongsong tusukan pedang "Cring", si Tojin tergetar mundur tiga langkah, mata Cu Jit-jit cukup jeli, dia lihat ujung pedang si Tojin terkutung sebagian. Lelaki itu tertawa keras, katanya, "Tojin keparat, kau dapat memaksa aku menggunakan golok pusaka di pinggangku, ilmu pedangmu boleh dipasang dalam deretan lima ahli pedang Bu-lim zaman ini." Si Tojin melintangkan pedang di depan dada, siap menunggu serangan balasan lawan. Tak tahunya lelaki itu tidak balas menyerang, di tengah gelak tertawanya mendadak ia melompat mengapung tinggi ke atas, gelak tawanya berkumandang di udara, serunya, "Adik manis, lain kali kalau buka baju harus periksa dulu sekitarnya, ingat ya ...." Suara gelak tertawanya semakin jauh dalam sekejap saja lantas lenyap. Tojin itu masih berdiri tegak di tengah hujan, air hujan menetes dari pinggir capingnya seperti kerai air. Jit-jit terkesima, serunya kemudian, "Toya ini silakan masuk kemari, biar kuaturkan terima kasih." Perlahan Tojin itu membalik badan dan melangkah masuk ke situ. Terasa oleh Jit-jit kehadiran Tojin ini seperti membawa nafsu membunuh. Betapa pun orang adalah penolongnya, meski segan melihat wajah orang, tak dapat dia membuang muka. Setelah Tojin itu masuk, Jit-jit memberi hormat, "Atas pertolongan Totiang barusan ...." Mendadak Tojin itu menukas, "Tahukah kau siapa aku dan kenapa kutolongmu?" Jit-jit melenggong, tak tahu bagaimana harus menjawab. Berkata pula si Tojin dengan dingin, "Soalnya akan kubawa dirimu, maka tak boleh kau jatuh ke tangan orang lain." Kaget Cu Jit-jit, serunya, "Kau ... siapa kau?" Tojin itu mendorong capingnya ke atas hingga tampak jelas mukanya. Di bawah cahaya api yang bergerak-gerak tertampak mukanya kuning dan kurus, di antara mata alisnya tampak mengandung rasa dingin dan culas, siapa lagi dia kalau bukan Toan-hong-cu, kepala biara Hian-toh-koan dari Ceng-sia, satu di antara ketujuh jago kosen Bu-lim masa kini. Melihat dia, perasaan Jit-jit lantas tenteram, batinnya, "Kiranya Toan-hong-cu, lelaki tadi mengatakan dia patut dijajarkan di antara lima ahli pedang zaman ini, ternyata juga tidak salah tebak. Lalu dari mana datangnya lelaki itu? Kungfunya ternyata mampu menandingi salah satu dari ketujuh jago kosen Bu-lim, kenapa belum pernah kudengar tokoh macam itu di Bu-lim?" Hati berpikir mulut pun berkata, "Sungguh beruntung dapat bertemu dengan Toan-hong Totiang di sini, tadi Totiang bilang hendak membawa diriku, entah untuk keperluan apa?"

"Karena Hoa Lui-sian itulah, tentunya kau tahu sendiri." Diam-diam Jit-jit terkejut, tapi lantas katanya, "Hoa Lui-sian

sudah berada di Jin-gi-ceng, apakah Totiang belum tahu?"

"Kalau benar, boleh kau antar aku melihatnya ke sana."

"Maaf, aku masih ada urusan, mau lihat, boleh kau pergi sendiri." Mencorong gusar sinar mata Toan-hong-cu, katanya bengis, "Perempuan bernyali besar, berani kau membual dihadapanku, sudah puluhan tahun kumalang melintang didunia Kangouw, memangnya mudah kau tipu begini saja?"

"Setiap patah kataku benar, jika urusanku tidak penting, tentu boleh kuantarmu ke sana."

"Bila berurusan denganku, urusan penting lain harus dikesampingkan dulu." Kecuali Sim Long, terhadap siapa pun Jit-jit berani mengumbar adat, seketika matanya mendelik, adat pemberangnya kambuh, serunya gusar, "Aku justru tidak mau pergi, kau mau apa, jangan berlagak, betapa kehebatanmu, pedang pun ditebas kutung orang ...." Air muka Toan-hong-cu berubah kelam hardiknya beringas, "Mau tidak mau harus pergi!" Sinar pedang berkelebat, kedua pundak Jit-jit segera terancam.

Jit-jit jadi nekat, "Kau kira aku takut?" Jit-jit memang tidak takut kepada siapa pun, walau lawan bersenjata pedang, jago kosen kenamaan pula, bila kemarahannya sudah membara, apa pun tidak dihiraukan lagi. Tahu-tahu dia memapak sambaran pedang malah, dengan gerakan menangkap Kim-na-jiu-hoat dari Hoay-yang-pay yang meliputi 72 jurus, maksudnya hendak merebut pedang Toan-hong-cu. Toan-hong-cu menyeringai, katanya, "Sungguh budak yang tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, biar kubikin cacat lengan kananmu dulu sebagai hajaran." Pengalaman tempur Cu Jit-jit kurang luas, tapi otaknya cerdik, mendengar ancaman orang, dia malah membentak, "Baik, bila kau melukai tempat lain di badanku berarti kau ini binatang!" Tampak dia bermain secara terbuka, kecuali lengan kanan, bagian lain boleh dikatakan tidak terjaga, pertahanan dipusatkan pada lengan kanannya tok, maka daya serangnya cukup hebat hingga Toan-hong-cu ditandingi sama kuat.

Toan-hong-cu menyeringai, katanya, "Budak busuk dan licin!" Pedangnya berkelebat, "sret", ujung pedang menusuk dada kiri Cu Jit-jit. Dada kiri Cu Jit-jit memang tidak dipertahankan, jika pedang Toan-hong-cu tidak tertebas buntung, tusukan ini tentu sudah melukai kulit dagingnya, namun demikian tetap dia terlambat berkelit, "bret", baju pundaknya tersobek hingga pundaknya terlihat jelas. Kejut dan gusar Jit-jit, dia memaki, "Jelek-jelek kau ini seorang tokoh besar, ucapanmu ternyata tidak dapat dipercaya." Jit-jit tidak tahu bahwa di hadapan orang banyak Toan-hong-cu pernah meludahi hidangan di atas meja, lalu perbuatan kotor apa pula yang tidak berani dilakukannya? Sambil menyeringai pedangnya mendadak menyungkit ke atas, serangan keji dan kotor, yaitu Liau-im-sek, yang ditusuk adalah bagian selangkangan. Sekuatnya Jit-jit menghindar, sungguh tak terpikir olehnya bahwa tokoh seperti Toan-hong-cu juga dapat menyerang seorang gadis dengan cara yang rendah begini, saking malu dan gusarnya, pipi Jit-jit jadi merah, makinya, "Binatang, kau ... kau binatang."

"Biar hari ini kau jatuh di tangan binatang," dalam beberapa patah katanya itu, beruntun Toan-hong-cu menyerang enam

kali. Kaget, gusar, dan malu Jit-jit, ia terkurung sinar pedang lawan, terdesak hampir tidak mampu balas menyerang, Toan-

hong-cu menyeringai, gerak pedangnya tambah berani lagi, mengusap dada, menyontek perut, menyungkit selangkangan, semua gerakan keji dan kotor. Jit-jit merasa pedih membayangkan dirinya bakal terjatuh ke tangan orang rendah ini. Sekujur badan sudah berkeringat, kaki tangan lemas, rasa takut merangsang benaknya, tidak kepalang rasa sedih hatinya. Dalam pada itu si nyonya baju hijau agaknya sangat ketakutan, namun tidak lupa dia menambahi kayu kering ke dalam api unggun, asap putih lantas mengepul dan memenuhi ruangan biara. Desing angin pedang sementara itu telah mengoyak pakaian di depan dada Jit-jit, demikian pula bagian punggungnya, wajah Jit-jit sudah pucat dan takut. Toan-hong-cu sebaliknya tambah beringas, gerak pedangnya makin gencar, makin gila. Tampangnya yang semula kelihatan dingin, mungkin karena kehidupan puluhan tahun yang mengharuskan dia mengekang nafsu sehingga menjadikan sifatnya yang nyentrik. Kini nafsu berahinya yang terpendam sekian tahun telah meledak, membuatnya tersiksa dan hampir gila. Dengan pedang buntung di tangannya dia berusaha

menyalurkan nafsu yang terpendam itu, jadi bukan ingin selekasnya menundukkan Cu Jit-jit melainkan membikin nona itu meronta dan merintih, makin Jit-jit ketakutan dan menderita, makin puas hatinya dan terlampias. Setiap manusia pasti punya nafsu yang membara, cuma cara melampiaskannya yang berbeda. Untuk melampiaskan nafsunya, Toan-hong-cu ingin menyiksa orang, sehingga orang itu menderita. Setiap kali bergebrak dengan musuh dan melihat musuh kesakitan, meronta dan

meratap minta ampun baru dia merasa puas. Oleh karena itu tak peduli siapa musuhnya, betapa pun tangguh lawannya,

serangannya pasti ganas. Menghadapi sorot matanya yang membara bagai binatang kelaparan, wajahnya yang mirip orang kesetanan, Jit-jit jadi gugup, hingga kaki tangan pun terasa lemas, akhirnya dia jadi nekat dan membatin, "Begini Yang Kuasa menghukumku, biarlah aku mati saja." Tatkala dia ambil keputusan nekat hendak menerjangkan tubuhnya ke ujung pedang lawan, pada saat itulah dilihatnya air muka Toan-hong-cu mendadak berubah, gerak pedang mendadak mengendur dan berhenti. Hidungnya tampak mengendus-endus seperti mencium sesuatu, lalu menoleh mengawasi si nyonya berbaju hijau, sorot matanya tampak gusar dan ngeri pula, serunya dengan suara serak, "Kau ... kau ...." mendadak ia mengentak kaki serta membentak, "Tak nyana hari ini aku terjungkal di sini." Belum habis bicara mendadak ia melompat ke atas dan jumpalitan di tengah udara terus melesat pergi, tak tersangka tenaganya seperti putus tengah jalan, "blang", ia terbanting jatuh menumbuk kosen jendela, caping di kepalanya terpental jatuh, badan pun terguling ke pecomberan, menggelinding dua kali, dengan pedang buntung dia menopang badan dan merangkak bangun, lalu kabur dengan cepat. Kejut dan heran Jit-jit, sesaat dia melenggong, "Jelas dia sudah menang, kenapa melarikan diri malah dengan cara serunyam itu?" Waktu dia menoleh, asap putih masih mengepul dari api unggun, nyonya berbaju hijau duduk kaku seperti patung di tengah asap putih yang makin melebar. Wajahnya yang semula kelihatan welas asih kini mengulum senyuman aneh sehingga orang merasa ada semacam kekuatan gaib meliputi dirinya. Terkesiap hati Jit-jit, ucapnya dengan suara gemetar, "Mungkinkah ... mungkinkah dia ...." Belum habis bicara seketika ia pun merasa kaki-tangan lemas lunglai, kepala juga pening dan pandangan gelap. Kini dia baru sadar kenapa Toan-hong-cu melarikan diri, nyonya berbaju hijau yang kelihatan welas asih ini ternyata seorang iblis jahat, asap putih itu mengandung racun yang membius kesadaran orang. Siapa dia? Untuk apa dia berbuat demikian? Tapi Jit-jit tidak sempat berpikir lagi, rasa kantuk mendadak menyerang dirinya, kelopak mata terasa berat ... akhirnya dia rebah.

*****

Waktu Jit-jit siuman, bukan saja badan terasa kering dan hangat, malah kini dia tidur di suatu tempat yang empuk, seperti tidur di gumpalan awan. Rasa dingin, lembap, takut, dan panik sudah hilang semua, terbayang kejadian yang lalu, sungguh dia merasa seperti bermimpi buruk. Waktu dia menoleh, dilihatnya si nyonya baju hijau tetap duduk di sebelahnya, tempat itu ternyata sebuah hotel, Jit-jit tidur di atas ranjang, nyonya berbaju hijau duduk di pinggir ranjang. Wajahnya pulih kembali welas asih, dengan lembut dia mengelus pipi Jit-jit, dengan suara lembut dia berkata, "Anak baik, sudah bangun, kau sakit, tidurlah lagi." Terasa oleh Jit-jit jari orang seperti ular berbisa, ingin didorongnya, tapi tangan terasa lemas tak bertenaga. Dia terkejut dan ingin tanya, tapi hanya bibirnya yang bergerak, suara tidak dapat keluar dari mulutnya. Sekali ini Jit-jit betul-betul melenggong kaget, "Perempuan siluman ini telah membuatku bisu." Walau banyak pengalaman ngeri yang dialaminya tapi rasa takut dan ngeri sekali ini sungguh jauh lebih besar daripada yang sudah.

Nyonya berbaju hijau berkata pula penuh kasih sayang, "Coba lihat, begini pucat mukamu, pasti parah penyakitmu, lekas

istirahat. Sebentar bibi akan membawamu keluar." Jit-jit hanya bisa mengawasi, dia ingin berteriak, "Aku tidak sakit, tidak sakit ... kau perempuan siluman ini mencelakai aku." Tapi meski dia mengerahkan segenap tenaga tetap tidak mampu mengeluarkan suara. Dalam keadaan mengenaskan ini, nasib selanjutnya dan apa pula yang akan menimpa dirinya sungguh tak berani dipikir lagi, dia hanya mengertak gigi supaya air mata tidak menetes. Tapi apa pun, air mata tak tertahan lagi.

Nyonya baju hijau itu keluar sejenak, waktu datang lagi langsung ia menghampiri dan mengangkat Jit-jit, seorang pelayan hotel ikut masuk dan mengawasi Jit-jit dengan pandangan kasihan, katanya dengan menghela napas, "Lohujin, engkau sungguh sabar dan telaten." Nyonya berbaju hijau tertawa getir, katanya, "Murid perempuanku ini sejak kecil sebatang kara, seorang cacat lagi, kalau bukan aku yang merawat dia, lalu siapa akan mengasuhnya .... Ai, mungkin sudah nasib, apa boleh buat." Pelayan itu menghela napas berulang kali, katanya, "Engkau orang tua memang baik hati." Jit-jit tidak tahan dipandang kasihan, tak tahan pula mendengar percakapan itu. Dadanya hampir meledak, rasanya ingin mengeremus bulat-bulat perempuan siluman ini. Tapi apa boleh buat, lalat pun dia tidak mampu membunuhnya, terpaksa bungkam dan membiarkan apa saja yang dilakukan perempuan siluman atas dirinya. Perempuan berbaju hijau membopongnya keluar dan dinaikkan ke punggung seekor keledai, tiba-tiba si pelayan hotel menyusul keluar, dia mengeluarkan sekeping perak, dia memburu maju serta menyisipkan uang itu ke tangan si nyonya baju hijau, katanya, "Uang sewa kamar tak perlu bayarlah, uang ini kau bawa saja buat sangu di jalan." Nyonya berbaju hijau kelihatan seperti terharu, katanya tersendat, "Kau ... orang baik." Pelayan itu juga hampir menangis, dia kucek mata terus putar kembali ke dalam hotel. Ingin rasanya Jit-jit menggampar orang baik tapi ceroboh ini, diam-diam dia mengumpat, "Memangnya matamu buta, perempuan siluman ini kau anggap orang baik, kau ... lekaslah mampus saja biar manusia seluruh dunia ini mampus, mampus seluruhnya." Keledai dituntun ke depan, air mata meleleh membasahi pipi Jit-jit, mau dibawa ke mana dirinya? Apa tujuan orang membawanya pergi? Orang di jalan banyak yang memerhatikan mereka, biasanya bila Jit-jit berada di jalan raya memang sering menarik perhatian orang banyak, untuk ini dia tidak perlu merasa heran. Anehnya sekarang, sekali melihat dirinya, orang-orang itu lantas melengos dan tidak berani memandangnya pula. Jit-jit ingin supaya orang memandangnya berulang kali supaya mereka tahu bahwa dirinya sedang menjadi tawanan nyonya berbaju hijau, tapi bukan saja orang-orang itu tidak tahu, malah sama melengos dengan rasa jijik. Sungguh dongkol, heran, dan marah sekali Jit-jit, ingin dia menjatuhkan diri saja dari punggung keledai supaya mati dijalan raya, tapi nyonya berbaju hijau memapahnya dengan kencang, bergerak pun dia tidak bisa. Entah berapa lama dari betapa jauh mereka menempuh perjalanan, yang terang matahari makin panas. Tiba-tiba si nyonya baju hijau berkata dengan suara lembut,

"Apa kau lelah, di depan ada warung teh, nanti kita istirahat dan menangsel perut, ya?" Makin lembut sikap nyonya berbaju hijau itu, makin benci Jit-jit, rasanya belum pernah dia membenci perempuan yang satu ini. Warung teh itu di pinggir jalan, sudah banyak kereta kuda, warung itu penuh tamu. Ketika melihat si nyonya baju hijau membimbing Jit-jit masuk,

pandangan tetamu juga kasihan dan simpati padanya. Sungguh Jit-jit hampir gila, jika sekarang ada orang mampu membikin dia bicara, bisa mengatakan betapa jahatnya perempuan siluman ini, disuruh berbuat apa pun dia mau. Semula warung ini sudah tiada tempat kosong, tapi begitu mereka masuk, beberapa orang segera merelakan tempatnya, seakan-akan orang-orang itu merasa kasihan dan simpati terhadap nyonya tua yang welas asih ini. Dalam hati Jit-jit berharap Sim Long mendadak muncul, tapi manusia sebanyak ini, mana ada bayangan Sim Long, dalam hati dia mengumpat, wahai Sim Long, di manakah kau

mampus, memangnya kau sudah minggat dan tidak menghiraukan diriku lagi? Mungkin ada perempuan lain yang memikatmu? Kau bangsat keji, kau tega meninggalkan aku. Menghadapi keadaan ini, dia lupa bahwa dia sendiri yang meninggalkan Sim Long, bukan Sim Long yang meninggalkan dia. Bila perempuan gusar pada orang lain, biasanya memang mau menang sendiri, bila orang itu adalah lelaki yang dicintainya, alasan apa pun jangan harap dapat membuatnya mengerti. Mendadak sebuah kereta besar ditarik dua ekor kuda berlari datang dan berhenti di depan warung, kudanya kuda pilihan, keretanya juga bercat baru hingga mengilap. Sais mengayun cemeti, tangan yang lain menarik tali kendali, lagaknya dibuat-buat. Sikapnya garang. Banyak tamu dalam warung berkerut kening, pikir mereka, "Yang menumpang kereta ini besar kemungkinan orang kaya mendadak." Tampak sais kereta melompat turun, dengan sikap hormat ia membuka pintu kereta. Dari dalam kereta terdengar orang batuk-batuk beberapa kali, lalu keluar seorang dengan perlahan, tingkahnya memang tidak ubahnya sebangsa orang

yang baru kaya. Badannya yang tambun justru mengenakan pakaian ketat warna cokelat, baju yang pantasnya dipakai orang yang tiga puluh kati lebih kurus daripada dia.

Jilid 9

Usianya sudah mendekati setengah abad, tapi berdandan seperti pemuda bangsawan atau anak pembesar, tangan kiri menjinjing sangkar burung kenari, tangan kanan memegang pipa tembakau, sabuknya emas dengan beberapa kantong bersulam tergantung di pinggang, seakan khawatir orang tidak tahu dirinya kaya, maka kantong yang penuh berisi uang itu semua terbuka tutupnya hingga logam kuning kelihatan gemerlapan. Orang banyak memang dapat melihat tingkah lakunya, tapi semua orang hampir muntah karena mual terhadap laki-laki gendut berbau tengik ini, celakanya di belakangnya ikut keluar seorang gadis berbaju putih yang cantik bagai bidadari, seperti burung dara saja lengket di samping si gendut. Kalau si gendut memuakkan, gadis ini bak teratai yang tumbuh di dalam lumpur, cantik sekali, terutama sikapnya yang seperti minta dikasihani, lelaki mana pun akan tergiur. Melihat kedua orang ini, sungguh senang Jit-jit bukan main. Kiranya lelaki tambun ini bukan lain ialah Keh-pak-bwe, gadis jelita itu jelas adalah Pek Fifi yang pantas dikasihani. Melihat Pek Fifi kembali terjatuh ke tangan Keh-pak-bwe, mau tak mau hati Jit-jit jadi sedih dan kasihan, tapi dalam keadaan seperti sekarang ini, setiap melihat orang yang dikenalnya, dirasakan seperti kedatangan penolong yang akan membebaskan dirinya.

Waktu itu kebetulan ada sebuah meja kosong di sebelah kiri Cu Jit-jit, Keh-pak-bwe dengan langkah dibuat-buat membawa Pek Fifi berduduk di meja itu, kebetulan duduk di depan Cu Jit-jit. Jit-jit berharap dan menunggu Pek Fifi akan angkat kepala, malah ia pun berharap Keh-pak-bwe akan melihat dirinya, maka ia melotot mengawasi kedua orang ini hingga lama,

sampai mata terasa pegal. Akhirnya Pek Fifi angkat kepala, Keh-pak-bwe juga memandangnya sekejap. Tapi sekali pandang laki-laki kikir yang suka menggasak uang orang ini seketika mengunjuk rasa jijik, dia meludah ke samping terus melengos ke arah lain. Demikian pula sorot mata Pek Fifi juga mengunjuk rasa kasihan, tapi dia diam saja seperti tidak mengenalnya, tidak tersenyum, tidak mengangguk atau menyapa. Keruan Jit-jit heran, marah, dan kecewa, kalau Keh-pak-bwe

bersikap tak acuh kepadanya masih dapat dimaklumi, tapi Pek Fifi, apakah dia tidak kenal budi? Akhirnya dia hanya menghela napas, batinnya, "Sudahlah, manusia di dunia ini memang banyak yang tidak tahu balas budi, apa gunanya aku hidup di dunia ini?" Sungguh ia kecewa dan putus asa, tekad untuk mati makin menggelora dalam sanubarinya. Didengarnya si nyonya baju hijau berkata kepadanya, "Anak baik, kau dahaga, minumlah teh ini." Jit-jit berpikir, "Cara lain untuk membunuh diri tidak ada, biar aku mogok makan minum saja." Air teh yang dituang ke mulutnya kontan disemburkan ke atas

meja. Air teh berceceran di atas meja yang mengilap sehingga mirip sebuah cermin. Tanpa terasa Jit-jit menunduk, mendingan dia tidak melihat permukaan meja, karena apa yang dilihat pada permukaan meja seketika membekukan darahnya.

Dengan air teh yang tumpah di atas meja, dia dapat bercermin melihat muka sendiri, dilihatnya wajah yang kelihatan bukan lagi wajah cantik molek dulu, tapi seraut wajah yang tak keruan bentuknya, hidung yang semula mancung sekarang berubah jadi peyot, bibir yang tipis mungil kini berubah merot, muka yang halus kini berubah kisut, wajah yang cantik seperti bidadari dahulu sekarang lebih mirip hantu. Sungguh tidak kepalang kaget Jit-jit, remuk redam hatinya. Umumnya orang perempuan memandang kecantikan melebihi jiwa sendiri, bahwa wajah yang dulu begitu ayu kini rusak jadi begini, betapa luluh perasaannya, ia membatin, "Pantas sepanjang jalan orang yang melihat aku sama merasa jijik dan keheranan, tak heran pula Pek Fifi jadi tidak mengenalku lagi ...." Sekarang dia ingin menggembor, ingin menangis, ingin mati pun sukar terlaksana, mendadak dia mengertak gigi dan menumbuk meja sekuatnya. "Brak, prang!" meja ambruk, cangkir piring dan perabot lainnya sama berantakan, Jit-jit juga jatuh terguling di lantai, menggelinding di antara pecahan beling. Tetamu menjadi panik, si nyonya baju hijau tampak gugup dan kerepotan, Pek Fifi dan beberapa orang lain memburu datang membantu si nyonya untuk memapah Jit-jit. Seorang menghela napas dan mengawasi dia, katanya, "Nona, lihatlah betapa sabar dan kasih sayang orang tua ini merawat dan menjagamu, kau harus turut nasihatnya, jangan lagi berbuat hal-hal yang mendatangkan kesulitan bagi beliau dan juga untuk dirimu sendiri." Ternyata si nyonya baju hijau sedang mencucurkan air mata, katanya, "Sejak kecil keponakanku ini memang sudah cacat, dasar nasibnya jelek, dilahirkan dalam keadaan seperti ini, maklum bila wataknya juga rada pemberang, jangan kalian salahkan dia." Hadirin menggeleng kepala mendengar ucapan si nyonya, banyak pula yang menghela napas, semua bersimpati padanya. Jit-jit dipapah duduk kembali di atas kursi, mau

menangis juga tak keluar air mata. Siapa pula yang tahu betapa sengsara dan tersiksa hatinya? Siapa pula akan tahu betapa jahat dan keji tujuan si nyonya berbaju hijau, siapa pula yang dapat menolong dirinya? Ia benar-benar putus asa, umpama Sim Long sekarang berdiri di depannya juga tidak akan mengenalnya lagi, apalagi orang lain, jangan harap orang lain akan menolongnya. Pek Fifi mengeluarkan saputangan untuk mengusap air mata di pipi Jit-jit, katanya perlahan, "Cici, jangan menangis, walau kau ... walau kau dihinggapi penyakit, tapi ... tapi ada sementara gadis yang berparas cantik hidupnya justru lebih menderita daripadamu ...." gadis lemah ini agaknya teringat akan nasib sendiri, tak tertahan lagi air matanya meleleh. Dengan sesenggukan dia berkata pula, "Apa pun engkau masih ada yang merawat dan memerhatikan dirimu seperti bibi ini, sebaliknya aku ... aku ...." Mendadak Keh-pak-bwe membentak, "Fifi, lekas kembali!" Bergetar badan Pek Fifi, seketika mukanya pucat, cepat ia mengusap air mata, diam-diam ia melolos sebuah peniti bermutiara dan disisipkan ke tangan si nyonya baju hijau, lalu lari balik ke sana. Nyonya baju hijau itu melenggong mengawasi bayangan punggungnya, gumamnya sambil menghela napas, "Nona yang baik hati, semoga Thian selalu melindungimu." Suara lembut yang penuh kasih sayang, wajah yang arif bijaksana, sungguh seorang tua yang terpuji. Tapi siapa tahu di balik wajahnya yang baik itu tersembunyi sebuah hati yang jahat, hati iblis. Cu Jit-jit menatapnya, air matanya hampir berubah menjadi darah. Dia teringat kepada Ong Ling-hoa dan Toan-hong-cu, meski kedua orang ini rendah dan kotor, keji dan culas, tapi dibandingkan nyonya ini, mereka masih terhitung orang baik. Kini wajah sendiri sudah rusak, jiwa-raganya tergenggam di tangan si iblis, kecuali ingin lekas mati, harapan apa lagi yang didambakannya? Dengan keras dia mengertak gigi, sebutir nasi pun tidak mau makan, setetes air pun tidak mau minum.

*****

Ketika malam tiba, di bawah bantuan pelayan hotel yang simpatik dan berkasihan, nyonya baju hijau memasuki sebuah kamar yang terletak di pojok barat, tempat yang sepi serta tenang. Perut Jit-jit sudah keroncongan, tenggorokan kering, baru

sekarang dia tahu kelaparan adalah siksaan yang tidak enak, tapi dahaga lebih menyiksa lagi, lehernya seperti dibakar.

Setelah mengantar minuman, pelayan hotel keluar sambil menghela napas, akhirnya tinggal Jit-jit dan si nyonya berbaju

hijau, iblis jahat itu berdiri di depan Jit-jit dan menatapnya. Mendadak si nyonya menjambak rambutnya, katanya dengan

menyeringai, "Budak busuk, kau tidak mau makan minum, memangnya ingin mampus?" Mendadak Jit-jit membuka matanya, dengan penuh kebencian dia tatap orang, walau mulut tidak mampu bicara, tapi sorot matanya menampilkan tekad ingin mati saja. "Setelah terjatuh di tanganku, ingin mampus? ... hehehe, tidak begitu gampang. Kukira lebih baik kau tunduk dan menurut

saja, kalau tidak ...." mendadak tangannya melayang pulang-balik, muka Jit-jit ditamparnya. Memangnya sudah benci dan nekat, Jit-jit tetap menatapnya dengan mendelik. Sorot matanya yang penuh dendam seperti mau bilang, "Aku bertekad akan mati, apa pula yang kutakutkan? Mau pukul mau bunuh boleh kau lakukan." Si nyonya menyeringai pula, katanya, "Budak busuk, tak nyana watakmu sebandel ini, kau tidak takut ya? .... Baik, ingin kubuktikan apa kau takut tidak." Waktu mengucapkan kata terakhir, mendadak suaranya berubah logat seorang lelaki, kedua tangan terus meraih paha Jit-jit. Walau sudah terbuktikan nyonya baju hijau ini berhati keji, jahat dan culas, tapi mimpi pun tidak terbayang oleh Jit-jit

bahwa perempuan ini samaran seorang lelaki. "Bret", tahu-tahu si "nyonya" merobek pakaian Jit-jit, sebelah tangannya lantas meraba dada Jit-jit yang hangat. Air mata bercucuran, badan Jit-jit bergetar keras, meski tidak takut mati, mana bisa dia tidak ngeri bila dirinya dijamah dan dihina oleh tangan kotor iblis laknat ini. Nyonya baju hijau itu tertawa terkial-kial, katanya, "Sebetulnya aku ingin melayanimu dengan baik, akan kuantarkan ke suatu tempat untuk hidup bahagia, tapi kau tidak tahu kebaikan, terpaksa aku mencicipi dulu keindahan tubuhmu ...." Badan Jit-jit masih di bawah remasan tangan si iblis, dadanya yang putih kenyal itu kini sudah mulai bersemu merah karena belaian jari jemari iblis itu.

Jit-jit tidak bisa menghindar, juga tidak dapat melawan, ingin marah pun tidak mampu, sorot matanya hanya menampilkan

rasa mohon belas kasihan. Nyonya berbaju hijau tertawa senang, katanya, "Kau takut sekarang?" Dengan menahan duka dan marah, dengan penasaran Jit-jit mengangguk. "Selanjutnya kau mau tunduk dan menurut perintahku?" desak si nyonya. Di bawah cengkeraman tangan iblis, apa yang bisa dilakukan Jit-jit kecuali mengangguk. Wataknya keras, sejak kecil sudah

biasa mengumbar adat, tapi berada di tangan iblis ini, terpaksa dia tunduk dan patuh. "Bagus, kan begitu seharusnya," si nyonya tertawa. Suaranya berubah pula, berubah lembut, perlahan dia mengusap muka Jit-jit, katanya, "Anak sayang, bibi akan keluar sejenak, segera aku kembali." Iblis ini ternyata memiliki dua wajah dan dua suara. Hanya dalam sekejap dia bisa berubah menjadi seorang lain. Jit-jit hanya bisa mengawasi orang keluar dan menutup pintu, ia tak tahan lagi dan menangis. Terhadap nyonya ini sungguh ia sangat takut, meski si nyonya keluar, tapi dia tidak berani sembarang bergerak, hanya ingin melampiaskan rasa takut, duka, marah, putus asa dan terhina lewat air matanya yang tak terbendungkan lagi.

Air mata membasahi pakaian, bantal dan selimut, dia terus menangis dan menangis sampai lemas dan tanpa terasa dia

tertidur lelap.

*****

Di tengah mimpinya mendadak terasa angin dingin meniup dadanya, Jit-jit kedinginan dan terjaga dari tidurnya. Waktu ia membuka mata, pintu sudah terbuka, iblis jahat itu sudah pulang. Di bawah ketiaknya mengempit sebuah bungkusan besar panjang, setelah menutup pintu, perlahan dia turunkan buntelan besar itu di atas ranjang, katanya dengan tertawa, "Anak baik, nyenyak tidak tidurmu?" Melihat senyumnya, mendengar suaranya, kembali gemetar badan Jit-jit, kalau senyum dan suaranya sejelek dan sejahat hatinya masih mending, makin ramah dan welas asih senyum dan suaranya semakin mengerikan baginya. Waktu Jit-jit menoleh ke sana, kembali perasaannya seperti diguyur air dingin. Buntelan besar itu ternyata berisi seorang gadis berbaju putih, tampak pipinya merah jambu, pelupuk matanya terpejam, tidur pulas dengan senyum dikulum, siapa lagi kalau bukan Pek Fifi. Fifi yang harus dikasihani ternyata juga jatuh ke tangan iblis laknat ini.

Dengan gemas Jit-jit pandang si nyonya, sorot matanya diliputi rasa dendam dan benci. Kalau sorot matanya dapat dibuat membunuh orang, entah berapa kali nyonya berbaju hijau itu akan mampus di bawah tatapan matanya. Tampak orang itu mengeluarkan sebuah kantong kulit hitam, dari dalam kantong dikeluarkan sebilah pisau kecil tipis dan sebuah kaitan yang mengilat, sebuah jepitan, sebuah sendok, sebuah gunting, tiga botol porselen kecil dan ada lagi lima macam peralatan yang tidak diketahui namanya seperti setrika mini, serupa mainan anak-anak saja. Cu Jit-jit tidak tahu untuk apa peralatan itu, dia mengawasi dengan terkesima. "Anak baik," ujar si nyonya, "kalau kau tidak takut mati kaget, boleh kau menonton dari samping, kalau tidak, bibi menasihatimu memejamkan mata saja." Segera Jit-jit memejamkan mata, didengarnya si nyonya

berkata, "Kau memang anak baik ...." Selanjutnya didengarnya suara gemerencing alat-alat yang bersentuhan, suara membuka tutup botol, suara gunting bekerja, suara tepukan perlahan .... Berhenti sejenak lalu terdengar si nyonya meniup berulang

kali, lalu pisau mengiris sesuatu diselingi rintihan perlahan Pek Fifi. Di tengah malam sunyi, semua suara itu terdengar dengan mengerikan, selain takut Jit-jit juga heran dan tertarik, tak tahan lagi, diam-diam ia mengintip ke sana. Sayang nyonya baju hijau itu berdiri mungkur mengalangi pandangannya, kecuali terlihat kedua tangannya sibuk bekerja, bagaimana

keadaan Fifi dan apa yang sedang dilakukan si nyonya baju hijau, sama sekali tidak terlihat. Terpaksa ia memejamkan mata pula, kira-kira sepemasakan air, terdengar pula gemerencing alat-alat, suara botol ditutup, kantong diikat. Terakhir nyonya itu menghela napas lega dan berucap, "Sudah selesai." Waktu Jit-jit membuka mata dan memandang ke sana, seketika ia melongo. Nona jelita Pek Fifi yang berwajah cantik itu kini sudah berubah menjadi seorang perempuan setengah umur dengan rambut beruban, bermuka burik, alis tipis, hidung pesek dan bibir tebal, jeleknya sukar dilukiskan. Nyonya itu tertawa senang, katanya, "Bagaimana dengan kepandaian operasi bibi? Kini umpama ayah-bunda bocah ini berada di depannya juga tidak mengenalnya lagi." Sudah tentu Jit-jit tidak mampu bicara. Nyonya berbaju hijau tertawa riang pula, dia membelejeti pakaian Pek Fifi, sebentar saja nona itu sudah telanjang bulat. Di bawah penerangan lampu badan Pek Fifi mirip domba yang akan disembelih, meringkuk di tempat tidur, sungguh kasihan, tapi juga menarik. "Sungguh dara jelita yang mengagumkan ...." kata nyonya berbaju hijau dengan tertawa. Serasa meledak kepala Jit-jit, mukanya merah panas, lekas dia pejamkan mata lagi, mana berani menonton lebih lanjut. Waktu dia membuka mata pula, si nyonya sudah memberi

pakaian kasar rombeng warna hijau kepada Fifi, kini anak dara itu betul-betul telah berganti rupa. Nyonya berbaju hijau tertawa bangga, katanya, "Terus terang, bila kau tidak menyaksikan sendiri, dapatkah kau percaya bahwa nyonya buruk di depanmu ini adalah gadis jelita yang kasihan itu?" Rasa gusar kembali membakar hati Jit-jit, malu dan menyesal pula, kini baru dia tahu bagaimana proses dirinya waktu mukanya dipermak menjadi sejelek setan ini, jalannya operasi tentu sama dengan Pek Fifi tadi. Dalam hati dia membatin, "Asal aku tidak mati, akan datang suatu hari akan kupotong kedua tanganmu, mengorek kedua bola matamu yang pernah melihat badanku, supaya selama hidupmu tak dapat lagi melihat dan meraba, biar kau rasakan betapa sengsara orang hidup tersiksa." Bila dendam membara, keinginan untuk hidup lantas menggelora, dalam hati dia bersumpah apa pun yang terjadi dia harus bertahan hidup, peduli siksa derita apa pun yang akan dialaminya, dia tidak mau mati secara penasaran. Nyonya itu masih terus tertawa riang, katanya, "Tahukah kau, bicara tentang ilmu tata rias kecuali ajaran Hun-bong-siancu dulu, kuyakin tiada orang kedua lagi di dunia ini yang mampu menandingi bibimu ini."

Mendadak tergerak hati Jit-jit, teringat olehnya kemahiran Ong Ling-hoa, pemilik perusahaan "Ong-som-ki" yang juga pandai

ilmu rias itu, rasanya dia tidak lebih asor daripada perempuan ini. Dalam hati dia membatin, "Mungkinkah Ong Ling-hoa

keturunan Hun-bong-siancu? Apakah nyonya setengah umur berdandan seperti permaisuri dengan kepandaian yang mahatinggi itu adalah Hun-bong-siancu?" Sungguh ia ingin memberitahukan penemuannya ini kepada Sim Long, tapi selama hidupnya ini apakah dapat bertemu pula dengan Sim Long, harapannya terlalu kecil, dia hampir tidak berani mengharapkannya lagi.

*****

Hari kedua pagi-pagi mereka bertiga melanjutkan perjalanan. Jit-jit tetap menunggang keledai, sebelah tangan si nyonya

menuntun keledai dan tangan yang kiri menggandeng Pek Fifi. Fifi dapat berjalan, karena si "nyonya" tidak membikin lumpuh

badannya, sebab ia tahu gadis lemah ini tidak bakal melawan. Cu Jit-jit tidak berani memandang Pek Fifi, dan tidak ingin

melihat Pek Fifi yang sedang menangis dan juga tampak takut dan ngeri itu. Maklum, kalau Jit-jit yang berwatak keras saja ketakutan, apalagi gadis lembut dan penurut seperti Pek Fifi, meski tidak dipandang juga dapat dimaklumi Jit-jit. Tapal keledai berdetak, air mata bercucuran, debu beterbangan tertiup angin menyampuk muka, sorot mata orang lalu yang menaruh belas kasihan, semua itu terjadi serupa kemarin. Perjalanan yang bisa membuat orang gila ini entah akan berakhir kapan? Siksa derita yang tidak tertahankan ini apakah tidak akan berakhir? Mendadak sebuah kereta besar berkabin muncul dari depan. Kereta ini tiada bedanya dengan kereta umum yang lewat di jalan raya ini, kuda penarik kereta tampak kurus, sudah tua dan lelah. Tapi yang menjadi kusir kereta ternyata adalah Kim Bu-bong yang tindak tanduknya serbamisterius, yang duduk di samping Kim Bu-bong dengan gagah, siapa lagi kalau bukan Sim Long. Jantung Cu Jit-jit seperti hendak melompat keluar, tidak kepalang rasa girangnya. Seketika kepala terasa pening, pandangan juga kabur, air mata tidak terbendung lagi. Dengan sepenuh hati dia ingin berteriak, "Sim Long ... Sim Long ... tolong aku ....!" Sudah tentu Sim Long tidak dapat mendengar suara hatinya, anak muda ini hanya memandang Jit-jit sekejap, kelihatan menghela napas, lalu menoleh ke arah lain. Kereta itu berjalan lambat karena keledai penarik kereta terlalu lelah dan berlari ogah-ogahan. Sungguh cemas, gemas dan benci hati Cu Jit-jit, hampir gila rasanya. Hatinya seperti dirobek-robek, keluhnya, "Sim Long, O, Sim Long ... tolonglah ... pandanglah diriku, aku inilah Cu Jit-jit yang merindukanmu siang dan malam, apakah kau tidak mengenalku lagi?" Dia rela mengorbankan apa pun asal Sim Long dapat mendengar jeritan hatinya, tapi sayang, Sim Long tidak mendengar apa pun. Siapa pun tidak menduga mendadak si nyonya berbaju hijau malah mencegat kereta yang datang dari depan, tangan

disodorkan sambil meratap, "Tuan yang membawa kereta, sudilah memberi sedekah menolong kaum sengsara ini, Thian pasti akan memberkahi kalian panjang umur dan banyak rezeki." Sim Long mengunjuk rasa heran, ia heran nyonya ini bisa mengadang kereta dan minta sedekah. Siapa tahu Kim Bu-bong lantas merogoh saku dan menyisipkan selembar uang ke tangannya. Jit-jit melototi Sim Long, hampir saja dia meneteskan darah. Hatinya meratap juga mengumpat, "Sim Long, O, apa betul kau tidak mengenalku lagi, kau jahat, tidak tahu budi, keparat yang tidak punya hati, sekilas pun kau tidak sudi memandangku lagi."

Sim Long memang tidak lagi memandangnya, perhatiannya hanya tertuju kepada nyonya berbaju hijau dan Kim Bu-bong. Nyonya berbaju hijau sedang bergumam, "Orang yang berhati baik, Thian pasti membalas kebaikanmu." Wajah Kim Bu-bong tetap kaku, tidak mengunjuk sesuatu perasaan, cemeti diayun, "tar", kereta berjalan pula. Runtuh rasanya seluruh raga Jit-jit, walau dia tahu jelas Sim Long tidak mungkin mengenalnya, tapi sebelum bertemu dengan Sim Long, dalam hatinya masih terbetik setitik harapan, dan harapan itu akhirnya juga nihil. Roda kereta gemeretak di jalan raya, makin lama makin jauh, membawa pergi segala harapannya, kini dia benar-benar tahu bagaimana rasanya putus asa, sungguh perasaan yang aneh. Kini hatinya tidak lagi sedih, tidak marah, tidak takut, dan tidak menderita, segenap jiwa raganya sekarang seperti sudah mati rasa. Hanya kegelapan yang terbentang di depannya, tiada sesuatu yang dapat dilihatnya, tiada yang bisa didengarnya lagi, mati rasa ini seperti menyeluruh, mungkin inilah perasaan putus asa total. Jalan raya ini sangat ramai, orang bersimpang-siur, ada yang riang gembira, ada pula yang sedih, ada yang berjalan dengan enteng dan cepat, ada pula yang melangkah dengan berat dan seperti hendak mencari sesuatu, ada pula yang ingin melupakan .... Tapi siapakah yang dapat benar-benar

merasakan putus asa? Kereta yang ditunggangi Sim Long dan Kim Bu-bong sudah ratusan tombak jauhnya. Angin dingin mencambuk muka, lekas Sim Long menarik turun topi beledunya yang mahal tapi sudah butut itu, tanpa menghiraukan Kim Bu-bong, dia menguap dan mementang kedua tangan, gumamnya, "Tiga hari ... sudah tiga hari tanpa menemukan apa-apa, tiada yang kulihat, padahal waktu yang ditentukan sudah makin dekat ...."

"Ya, benar, mungkin sudah tiada harapan lagi," ujar Kim Bu-bong. Tersimpul senyum kemalasan di wajah Sim Long, katanya,

"Tiada harapan? .... Kurasa harapan tetap ada."

"Benar, tiada persoalan apa pun di dunia ini yang dapat membuatmu putus asa."

"Tahukah kau apa harapan satu-satunya yang kudambakan?"

berhenti sejenak karena Kim Bu-bong tidak menjawab, lalu Sim Long melanjutkan, "Harapan kita satu-satunya hanya pada Cu Jit-jit, dia lenyap seperti ditelan bumi, tentu karena dia menemukan sesuatu rahasia, dia gadis yang tinggi hati dan keras kepala .... Dia ingin seorang diri menyelidiki rahasia itu, maka diam-diam dia minggat. Kalau tidak, biasanya ia

tidak suka pergi sendirian."

"Benar, pikiran siapa pun tak bisa mengelabui kau, apalagi isi hati Cu Jit-jit," ujar Kim Bu-bong. Sim Long menghela napas, ujarnya, "Tapi sudah tiga hari kita tak berhasil menemukan dia, pasti dia sudah jatuh ke tangan musuh, kalau tidak, menuruti wataknya, di mana pun berada dia pasti menarik perhatian orang, sedikit banyak kita bisa mencari tahu tentang dia." Mendadak Sim Long tertawa dan memotong, "Aku bicara panjang lebar, beruntun empat kali kau jawab benar, jangan-jangan kau sedang memikirkan sesuatu ... padahal tidak perlu kau jawab." Lama Kim Bu-bong termenung, perlahan dia menoleh ke arah Sim Long dan menatapnya dengan tajam, katanya kemudian, "Tebakanmu memang benar, saat ini aku memang sedang memikirkan sesuatu, tapi soal apa yang kupikirkan? Dapat kau terka?"  Sim Long tertawa, "Mana bisa kuterka ... aku hanya heran."

"Heran apa?"

"Di tengah jalan bertemu dengan seorang nyonya yang tidak dikenal, tapi sekali rogoh saku kau beri selembar uang senilai

selaksa tahil kepadanya, apakah ini tidak patut diherankan?" Kim Bu-bong berdiam pula, ujung mulutnya mengulum senyum, katanya kemudian, "Apakah tiada sesuatu kejadian didunia ini dapat mengelabui matamu?"

"Ya, memang tidak banyak."

"Bukankah kau pun seorang yang murah hati?"

"Betul, kalau aku punya uang selaksa tahil dan melihat orang yang harus dikasihani, pasti juga akan kuberikan selaksa tahil padanya."

"Cocok kalau begitu." Sim Long menatapnya, katanya, "Tapi aku ini berasal dari keluarga yang miskin, sebaliknya kau bukan, kelihatannya kau bukan orang yang suka merogoh kantong memberi sedekah kepada orang miskin, kenapa nyonya itu tidak minta sedekah kepadaku atau kepada orang lain, dia justru minta kepadamu." Kepala Kim Bu-bong menunduk, gumamnya, "Apa pun tak dapat mengelabui kau ... apa pun tidak bisa mengelabui kau ...." mendadak dia angkat kepala, sikapnya kembali dingin dan kaku, suaranya pun berat, "Betul, dalam hal ini memang ada segi yang patut diherankan dan menarik perhatian, tapi aku tidak bisa menjelaskan." Pandangan mereka beradu, keduanya sama bungkam, akhirnya Sim Long tersenyum.

"Senyummu kelihatan aneh," kata Kim Bu-bong. "Rahasia hatimu, meski tidak kau katakan, dapat juga kuterka."

"Kalau bicara jangan terlalu yakin."

"Bagaimana kalau aku menebaknya."

"Boleh saja kau tebak, urusan lain mungkin bisa kau tebak, tapi soal ini ...." sampai di sini dia menahan perkataannya,

sebab kelanjutannya dikatakan atau tidak tetap sama. Kereta keledai ini masih terus maju perlahan, Sim Long mengawasi debu yang mengepul di kaki kuda, katanya pula, "Sejak berkenalan denganku, persoalan apa pun tiada yang kau rahasiakan, hanya soal ini ... soal ini pasti besar sangkut pautnya dengan dirimu, hal ini tidak perlu kutanyakan juga dapat diketahui?"

"Ya ...." Kim Bu-bong tetap tenang. "Bila soal ini ada sangkut pautnya dengan dirimu, kuyakin pasti besar pula sangkut pautnya dengan Koay-lok-ong ...." kelihatannya dia memerhatikan debu, padahal setiap perubahan sikap dan gerakan Kim Bu-bong tidak terlepas dari pengamatannya, sampai di sini air muka Kim Bu-bong benarlah mulai ada perubahan. Segera Sim Long berkata pula, "Karena itu, menurut pendapatku, nyonya yang harus dikasihani itu pasti juga ada hubungan dengan Koay-lok-ong, sikapnya yang kasihan itu mungkin hanya pura-pura belaka." Sampai di sini dia tidak melanjutkan lagi, ia menatap wajah Kim Bu-bong, bibir orang kelihatan terkancing rapat, kulit mukanya juga dingin. Kereta terus maju, angin dingin menampar muka, kedua orang ini saling tatap, masing-masing sama ingin menyelami isi hati lawan. Dari air muka Sim Long agaknya Kim Bu-bong ingin menebak ada berapa banyak yang diketahuinya? Sebaliknya dari perubahan air muka Kim Bu-bong juga Sim Long ingin tahu ada berapa banyak yang diketahuinya? Kereta itu maju ratusan tombak pula. Akhirnya air muka Kim Bu-bong yang dingin beku itu mulai cair. Hati Sim Long tergerak, namun dia menahan perasaannya, karena dia tahu

inilah detik-detik yang menentukan. Ia tahu bila dirinya tak tahan dan buka suara, maka jangan harap lagi Kim Bu-bong

akan mau bicara. Akhirnya Kim Bu-bong buka suara. Setelah menarik napas panjang, lalu berkata, "Betul, nyonya itu memang murid Koay-lok-bun." Sim Long tidak mau membuang kesempatan, tanyanya segera, "Di bawah Koay-lok-ong kau bertugas pemegang uang, kedudukanmu tinggi dan penting tapi hanya sedikit mengangguk kepala perempuan itu dapat minta sekian banyak uang darimu, jelas kedudukannya tidak di bawahmu, lantas siapakah dia? Apakah salah satu dari duta besarnya? Tapi

mengapa dia seorang perempuan?" Setiap patah katanya laksana cemeti, begitu deras ia melecut sehingga Kim Bu-bong tidak diberi kesempatan berganti napas karena setiap patah pertanyaan ini tepat mengenai sasarannya. Kim Bu-bong tidak berani menatap sorot mata Sim Long, ia diam sejenak, mendadak dia balas bertanya, "Tahukah kau kecuali Hun-bong-siancu yang mahir ilmu tata rias yang diakui nomor satu di dunia ini, masih ada orang atau perguruan lain yang juga mahir?" Sim Long berpikir sejenak, katanya kemudian, "Ilmu tata rias sebetulnya tidak terlingkup dalam ilmu silat, seorang yang lihai

dan nomor satu ilmu tata riasnya belum tentu seorang pesilat kenamaan ...." mendadak dia menepuk paha dan berteriak

tertahan, "Aha, apakah maksudmu Suto dari Sancoh?" Kim Bu-bong tidak angkat kepalanya, juga tidak bersuara, tapi

mengayun pecut menyabat pantat kuda sekeras-kerasnya, namun kuda penarik kereta ini sudah tua dan kurus, betapa pun keras dia memukulnya tetap tak bisa berlari lagi. Terpancar rasa senang dan bergairah pada sinar mata Sim Long, katanya, "Keluarga Suto bukan saja terkenal menguasai ilmu tata rias yang luar biasa, malah juga mahir Ginkang, Am-gi dan obat bius, demikian pula dalam hal kepandaian urut-mengurut, semuanya berada pada tingkat paling tinggi. Kebesaran nama keluarga mereka dahulu hanya sedikit lebih asor daripada Hun-bong-siancu. Berita yang tersiar di kalangan Kangouw belakangan ini mengatakan keluarga Suto mulai runtuh karena banyak melakukan kejahatan sehingga mendapat kutukan Thian, namun di antara anggota keluarganya masih ada juga yang hidup di dunia ini. Berdasarkan nama kebesaran dan kepandaian mereka, bila masuk ke dalam lingkungan Koay-lok-bun, kuyakin dapat menduduki jabatan salah satu keempat duta besarnya."

Kim Bu-bong tetap membungkam. Sim Long bergumam pula, "Kalau aku menjadi Koay-lok-ong, bila ada sanak keluarga Suto mau masuk ke perguruanku, maka kedudukan atau jabatan apa yang akan kuserahkan kepadanya ...." Air mukanya semakin cerah dan tampak bercahaya, sambungnya, "Keluarga Suto tidak gemar arak, Duta Harta sudah diduduki orang ... kukira manusia Suto itu bukan jenis lelaki yang suka berkelahi dan bernyali besar, tapi jika anak murid Suto disuruh mengoleksi gadis-gadis cantik di seluruh jagat ini, kurasa tiada orang lain lagi yang lebih tepat, betul tidak?" Dengan suara dingin Kim Bu-bong menjawab, "Apa pun tidak pernah kukatakan, semua itu kau sendiri yang menebaknya." Berkilau sinar mata Sim Long, lama dia pandang angkasa, lalu berkata, "Kalau aku menjadi murid keluarga Suto, cara bagaimana aku akan mengoleksi gadis-gadis cantik di dunia ini untuk Koay-lok-ong? Cara bagaimana aku akan menunaikan kewajiban? ...." perlahan dia mengangguk, lalu meneruskan, "Ya, pertama aku sendiri sudah tentu harus menyamar menjadi seorang perempuan, dengan demikian kesempatan

untuk bercengkerama dengan gadis-gadis akan jauh lebih banyak." Sorot mata Kim Bu-bong mulai memancarkan rasa kagum. Sim Long berkata lebih lanjut, "Gadis yang berhasil kuculik, untuk membawanya keluar perbatasan sejauh itu jelas kurang

leluasa, maklum gadis cantik umumnya pasti menarik perhatian orang banyak, tapi kalau aku mahir tata rias, dengan mudah bisa saja kurias gadis cantik itu menjadi nenek reyot atau perempuan apa saja yang buruk rupanya sehingga sekilas pandang cukup membuat orang jijik, kalau aku khawatir gadis itu berontak dan tidak tunduk pada perintahku, akan kucekok dia sejenis obat sehingga sepanjang jalan dia tidak bisa bicara atau ribut lagi." Kim Bu-bong menarik napas panjang, sesaat dia menoleh dan memandang bocah yang tidur pulas di kabin kereta, ia bergumam, "Kelak kalau bocah ini bisa memiliki setengah kepandaian Sim-siangkong sudah lebih dari cukup." Rupanya sepanjang hari bocah itu bekerja berat dan keletihan,

kini tidurnya pulas sekali, tentu saja tidak mendengar ucapannya. Padahal meski kata-katanya ditujukan kepada si bocah, tapi secara tak langsung dia seperti mau berkata, "Sim Long, kau memang cerdik, semua rahasia ini telah kau tebak dengan betul." Sudah tentu Sim Long merasakan juga pengakuan dari ucapannya yang tidak langsung ini, katanya dengan tersenyum, "Putar kembali!"

"Kembali?" Kim Bu-bong berkerut kening. "Dua gadis yang berada di sampingnya itu, pasti gadis dari keluarga baik-baik, apa tega aku melihat mereka jatuh ke dalam cengkeramannya?" Mendadak Kim Bu-bong tertawa dingin, kembali ia menoleh

kepada bocah itu, katanya, "Kelak bila kau sudah dewasa, ada beberapa urusan jangan kau tiru seperti apa yang dilakukan

Sim-siangkong ini, urusan kecil tidak bisa sabar akan menggagalkan urusan besar, nasihatku ini harus selalu kau

camkan dalam sanubarimu." Sim Long tersenyum, dia tidak bicara lagi, namun kereta belum juga diputar balik. Sesaat kemudian mendadak Kim Bu-bong tersenyum dan berkata kepada Sim Long, "Banyak terima kasih." Selama bergaul beberapa hari dengan Kim Bu-bong, baru sekarang Sim Long melihat dia tersenyum, senyuman yang timbul dari relung hatinya yang dalam.

Dengan tertawa Sim Long bertanya, "Soal apa kau berterima kasih padaku?"

"Besar tekadmu menyelidiki jejak Koay-lok-ong, jelas kau pun tahu kali ini Suto Pian pasti akan melaporkan hasil kerjanya

kepada Koay-lok-ong, sebetulnya secara diam-diam kau bisa menguntitnya, tapi karena Suto Pian sudah melihat kau

seperjalanan denganku, jika kau menguntitnya, jelas, aku akan ikut bersalah dan mendapat hukuman, lantaran diriku

terpaksa kau lepaskan kesempatan baik ini, namun sama sekali engkau tidak pernah menyinggung kebaikanmu ini kepadaku, untuk ini aku mengucap terima kasih padamu?" Lelaki aneh yang berwatak kaku dan pendiam ini kini melimpahkan isi hatinya, nada suaranya kedengaran mengharukan. "Sesama kawan mengutamakan tahu sama tahu, bila kau dapat menyelami isi hatiku, apa pula yang kuminta?" Keduanya saling pandang sekejap, namun hati sanubari mereka sudah bertaut, kata-kata hanya akan berlebihan belaka. Dari arah depan mendadak berkumandang suara senandung seorang dengan lantang, tertampak seorang lelaki muda berperawakan kekar tinggi tengah melangkah dari tepi jalan. Perawakannya yang setinggi delapan kaki itu sangat gagah, berdada lebar, alis tebal, mata besar, pada pinggangnya terselip sebatang golok pendek tanpa sarung, pada tangannya menjinjing sebuah buli-buli arak, sambil bersenandung dia menenggak arak sepuasnya. Rambutnya semrawut, baju

bagian dadanya terbuka lebar, kakinya mengenakan sepatu butut, pakaiannya kotor, namun langkahnya gagah dan tegap, sikapnya seperti dunia ini milikku, seperti jalan raya ini tiada orang lain lagi. Sudah tentu perhatian orang yang lewat di jalan raya ini tertuju kepadanya, tapi perhatian pemuda ini justru tertuju ke wajah Sim Long. Sim Long memandangnya dengan tersenyum, lelaki itu juga balas tersenyum, katanya mendadak, "Boleh menumpang kereta ini?"

"Silakan," sahut Sim Long. Memburu maju dua langkah, lelaki muda itu melompat ke atas kereta dan berjubel di samping Sim Long. Dengan nada dingin Kim Bu-bong berkata, "Arah tujuanmu berlawanan dengan kami, kami akan pergi ke arah datangmu,

apa tidak salah kau menumpang kereta ini?" Pemuda kekar itu mendongak dan bergelak tertawa, katanya, "Seorang lelaki menjadikan empat penjuru sebagai rumahnya, setiap tempat di dunia ini adalah tujuanku, ingin pergi atau mau datang boleh sesuka hati, hidup bebas melanglang buana, kenapa tidak boleh?" Mendadak dia angkat tangan dan menepuk pundak Sim-Long,

katanya, "Mari, minum seceguk." Sim Long tertawa, dia terima buli-buli orang, terasa buli-buli ini terbuat dari baja, dengan bernafsu dia menghirup satu ceguk, araknya terasa harum, ternyata arak simpanan yang paling wangi dan jarang ada di pasaran. Kedua orang ini tidak saling tanya asal usul, tidak tanya she dan nama, tapi seceguk demi seceguk hingga dalam sekejap arak sebuli-buli penuh telah dihabiskan mereka berdua. Pemuda itu bergelak riang, serunya, "Lelaki hebat! Peminum baik!" Belum lenyap gelak tertawanya, Kim Bu-bong menghentikan kereta di sebuah kota kecil, air mukanya kelihatan masam, katanya dingin, "Tujuan kami sudah sampai, saudara ini silakan turun." Pemuda itu terus menarik Sim Long turun, katanya, "Baiklah, kau boleh pergi, aku ingin mengajaknya minum beberapa cawan lagi." Tanpa menunggu reaksi orang dia tarik Sim Long dan diajak memasuki sebuah warung kecil yang kotor dan gelap. Bocah dalam kabin kereta tiba-tiba tertawa, katanya, "Mungkinkah orang ini gila? Agaknya dia juga tahu sikap Sim-siangkong yang meremehkan segala persoalan, kalau orang lain tentu sudah dibuatnya gemas." Kim Bu-bong mendengus sekali, katanya, "Jaga kereta!" Waktu dia masuk ke dalam warung, sementara Sim Long dan pemuda tadi sudah menghabiskan tiga cawan, sepiring daging rebus juga sudah disajikan di atas meja. Dari restoran besar termewah yang ada di dunia ini sampai warung kotor dan paling murah, semua pernah dikunjungi Sim Long, demikian pula hidangan paling lezat sampai makanan paling kasar di dunia ini juga pernah dirasakan olehnya. Peduli ke mana ia pergi, apa pun yang dimakannya, semua sama saja, begitulah sikapnya. Dengan kaku Kim Bu-bong menyusul datang terus duduk dengan dingin, dia tatap pemuda itu, sampai lama dia menatapnya, mendadak dia menegur, "Sebetulnya apa kehendakmu?"

"Hendak apa? Hendak minum arak, ingin bersahabat," sahut pemuda ini. "Kau ini orang macam apa, memangnya kau kira aku tidak bisa melihatnya?" jengek Kim Bu-bong. Pemuda itu bergelak tertawa, serunya, "Betul, aku memang bukan orang baik, memangnya tuan orang baik. Kalau aku ini perampok, mungkin Anda bandit besar." Berubah air muka Kim Bu-bong, pemuda itu malah angkat cawan araknya, katanya dengan riang, "Mari, mari! Biar rampok kecil macamku ini menyuguh secawan arak kepada

bandit besar." Telapak tangan Kim Bu-bong berada di bawah meja, sumpit diatas meja seperti mendadak kena ilmu sihir, entah bagaimana tiba-tiba mencelat terus melesat dengan desing yang keras, kedua sumpit mengincar kedua bola mata si pemuda. "Khikang bagus!" puji pemuda itu. Sambil mengucap kedua patah kata itu, si pemuda pentang mulut dan tepat menggigit sepasang sumpit itu terus ditiupnya kembali ke sana, dengan membawa suara mendesing meluncur balik mengincar mata Kim Bu-bong. Pergi-datang sepasang sumpit ini sedemikian cepat hingga sukar diikuti oleh pandangan mata orang biasa.

Sim Long hanya tersenyum, sumpit yang meluncur di udara mendadak lenyap tak keruan parannya, waktu mereka menunduk, ternyata sumpit sudah berada di tangan Sim Long, entah dengan cara bagaimana dan dengan gerakan apa Sim Long menyambar sepasang sumpit yang meluncur kencang dan dalam jarak sedekat ini. Taraf kepandaian si pemuda jelas di luar dugaan Kim Bu-bong, tapi betapa tinggi kungfu Sim Long, jelas juga di luar dugaan si pemuda. Maklum kepandaian mereka sudah termasuk jago top dunia persilatan, sesaat mereka bertiga saling pandang dengan kaget dan heran. Perlahan Sim Long taruh sepasang sumpit di depan Kim Bu-bong, sikapnya tetap wajar dan ramah, cawan arak terus diangkatnya pula, seolah-olah kejadian barusan tidak pernah ada. Kim Bu-bong tidak bersuara, juga tidak memegang sumpitnya dan cawan, dalam hati sedang berpikir sejak kapankah muncul seorang pemuda kosen ini dalam dunia Kangouw? Pemuda itu pun tidak menghiraukan lagi kehadirannya, dia tetap makan minum sepuasnya bersama Sim Long, makin tenggak makin banyak, lambat laun pemuda itu mulai mabuk, tiba-tiba dia berdiri serta bergumam, "Tunggu sebentar, Siaute mau ke belakang." Mendadak ia sempoyongan dan "bruk" ia ambruk dan menjatuhi meja, keruan hidangan di atas meja tumpah berantakan. Kim Bu-bong tengah melamun, karena tidak menduga, badan basah kecipratan kuah dan hidangan. "Maaf, maaf," cepat pemuda itu membersihkan pakaian Kim Bu-bong dengan lengan bajunya. Tapi Kim Bu-bong lantas mendorong pemuda itu hingga sempoyongan. "Ai, aku bermaksud baik, kenapa saudara memukulku malah ...." dengan langkah sempoyongan pemuda itu lari ke belakang. Kim Bu-bong menatap Sim Long, katanya, "Maksud keparat ini sukar diraba, kenapa kau bergaul dengan dia, lebih baik ...." mendadak berubah air mukanya, serentak ia membentak dengan beringas, "Celaka, kejar!" Tapi Sim Long lantas menariknya, katanya dengan tertawa, "Kejar apa?" Masam muka Kim Bu-bong, tanpa bersuara dia meronta dan hendak mengejar. Sim Long berkata, "Apakah ada milikmu digerayangi dia?"

"Dia mengambil barangku, akan kucabut nyawanya!" berkilat sorot mata Kim Bu-bong, segera dia balas bertanya, "Dari mana kau tahu dia mengambil barangku?" Tersenyum Sim Long, tangannya terangkat dari bawah meja, ternyata menggenggam setumpuk uang kertas dan sebuah kantong kecil mungil. Kim Bu-bong heran, tanyanya, "Ini ... cara bagaimana bisa berada padamu?"

"Dia mencomot uang kertas ini dari badanmu, maka aku pun mencomotnya dari kantongnya, sekaligus kuambil juga kantong kulit kecil ini." Beberapa kejap Kim Bu-bong menatapnya lekat-lekat, akhirnya tersembul pula senyuman tulus dan penuh

pengertian, perlahan dia duduk pula terus menenggak arak, katanya kemudian, "Sudah belasan tahun aku tak minum arak,

secawan arak ini kuminum untuk sahabatku, pencopet sakti nomor satu di kolong langit ini." Dengan tertawa sengaja Sim Long bertanya, "Siapa itu pencopet nomor satu? Apakah pemuda tadi?"

"Kecepatan tangan bocah itu sudah cukup mengejutkan, tapi selama Sim Long masih hidup, orang lain jangan harap bisa

memperoleh julukan copet nomor satu di dunia ini." Sim Long bergelak tertawa, "Sudah memaki orang sebagai copet, malah dibilang julukan baik segala. Nah, aku tidak berani menerima julukan baik ini." Segera dia kembalikan uang kertas kepada Kim Bu-bong, lalu berkata pula, "Coba kita periksa apa isi kantong kulit saudara yang ingin mencopet uangmu itu." Simpanan uang dalam kantong si pemuda ternyata tidak banyak, hanya uang receh beberapa keping saja. Sim Long geleng kepala, katanya, "Dinilai dari gerak-geriknya, kuyakin dia bukan lelaki rudin yang kurang penghasilan, siapa tahu hanya memiliki uang receh yang tak berarti ini, mungkin dia terlalu royal menghamburkan uangnya."

"Kalau memperolehnya gampang, membuangnya juga pasti mudah," ujar Kim Bu-bong. Dengan tertawa Sim Long mengeluarkan secarik kertas dari dalam kantong kecil itu, ternyata bukan uang tapi secarik surat, gaya tulisannya jelek, isinya berbunyi: Kepada yang terhormat Liongthau Toako. Sejak Toako mencekok arak, hingga Siaute mabuk tempo hari, terpaksa Siaute juga mencekoki orang lain sampai mabuk, aku sendiri selama ini belum pernah mabuk lagi, haha. Memang amat menyenangkan. Selama beberapa hari ini Siaute mendapat penghasilan lumayan, tapi aku selalu tunduk pada nasihat Toako, selain kubagikan kepada mereka yang membutuhkan, seperti juga Toako, sekarang Siaute sering kelaparan, makan tidak tetap, namun setiap malam tidur didalam biara bobrok, meski hidup agak menderita, namun perasaanku lega dan gembira, baru sekarang aku percaya kepada ucapan Toako membantu kesulitan orang lain rasanya memang jauh lebih menyenangkan dibanding menunaikan tugas apa pun. Membaca sampai di sini, Sim Long tersenyum, katanya, "Bagaimana, pemuda ini memang seorang murah hati, bukan?" Sim Long membaca lebih lanjut. "Poa-loji memang betul melakukan perbuatan kotor, memerkosa gadis keluarga baik-baik, aku sudah menghukumnya dengan memotong anunya, To-lotoa melakukan korupsi, Tam It-seng berbuat serong, To Bian-ci ingkar janji, ketiga keparat ini membuat Toako marah, maka Siaute mengiris sebelah kupingnya, tapi si tukang makan Lo Ciu telah mencurinya untuk teman arak, saking dongkol, kuping Lo Ciu juga kuiris dan kusuruh dia makan kuping sendiri untuk teman arak pula. Haha, mungkin nikmat dia makan kuping curian, tapi betapa lucu air mukanya waktu dia makan kupingnya sendiri sulit kulukiskan dengan alat tulis ini, sayang Toako tidak menyaksikan sendiri, namun sejak kini Lo Ciu sudah menyatakan kapok, tidak berani makan daging manusia lagi." Membaca sampai di sini, Kim Bu-bong yang biasa bersikap kaku dingin jadi geli juga. Lebih lanjut surat itu berbunyi: "Untung masih ada Kam Bun-goan, Ko Ci, Kam Lip-tik, Seng Hiong, Liok Ping, Kim Tek-ho, Sun Ciu-un dan para cucu lainnya, ternyata mereka mau bekerja keras untuk Toako, semua tugas mereka kerjakan dengan baik, karena puas Siaute mewakili Toako menjamu mereka makan-minum sepuasnya, hahaha, setelah kenyang baru Siaute sadar kantong kosong, sepeser pun tidak punya, konon pemilik restoran ini seorang kikir dan tamak, dengan mata melotot orang banyak lantas tinggal pergi dengan begitu saja, sebelum pergi malah minta pinjam kepada kasir restoran lima ratus tujuh puluh tahil perak tunai, seluruhnya disumbangkan kepada Hiong-lusit yang berjualan wedang kacang di seberang jalan untuk menikahkan putranya. "Satu hal perlu Toako ketahui, saudara-saudara yang hidupnya menderita dalam wilayah ini sudah banyak yang kita rangkul, seluruhnya berjumlah lima ratus delapan puluh empat orang, Siaute sudah ajarkan cara bagaimana mengadakan kontak rahasia, bila di tengah jalan menemukan `kambing gemuk'

yang mencurigakan, harus berusaha memberitahukan kepada Toako. Hahaha, perkumpulan kita sekarang sudah beranggotakan ribuan orang, kekuatan kita sudah tidak kecil lagi, lain kali bila Toako mabuk minum arak, jangan lupa mencarikan nama baik untuk perserikatan kita." Di bagian bawah bertanda tangan "Ang-thau-eng" (Elang Kepala Merah). Habis membaca surat itu, Sim Long berseru, "Bagus, bagus, siapa nyana pemuda yang masih begitu muda ternyata mampu mengendalikan ribuan orang dan menjadi Liongthau Toako (pemimpin) mereka."

"Karena itulah kau dan aku disangka sebagai `kambing gemuk' yang patut digerayangi isi kantongnya," demikian ucap Kim

Bu-bong. "Waktu kau berikan uang kertas ini kepada Suto Pian tadi mungkin terlihat oleh anak buahnya, lalu dia mendahului di depan dan mencegat kita," ujar Sim Long, lalu sambungnya, "Setiap nama yang disinggung dalam surat ini, kecuali si Ciu

Jing, semua adalah orang-orang gagah, terutama Ang-thau-eng yang menulis surat ini, seorang begal besar yang sudah lama terkenal. Konon Ginkang orang ini tidak kalah dibandingkan Toan-hong-cu dan lain-lain, bahwa tokoh selihai ini juga sudah ditundukkan oleh pemuda ini, bagaimana sepak terjang pemuda ini dapatlah dibayangkan, terutama caranya merampas milik si zalim dan dibagikan kepada yang miskin, patut kita berkenalan dengan dia." Kembali Kim Bu-bong hanya mendengus saja tanpa memberi komentar. "Apakah kejadian barusan masih kau pikirkan dalam hati?" Tanpa menjawab pertanyaan ini, Kim Bu-bong balas bertanya, "Apa lagi isi kantong itu?" Sim Long angkat kantong kulit itu dan dituangnya, ternyata ada dua benda jatuh di atas meja, yang sebuah adalah seekor kucing batu jade sebesar ibu jari. Tampaknya hanya perhiasan sederhana saja, namun berkat tangan seorang ahli, ternyata bentuk kucing kecil ini kelihatan begini elok dan laksana hidup tulen. Setelah diteliti, di bagian bawah lehernya terukir sebaris huruf kecil yang berbunyi, "Ukiran Him Miau-ji, untuk disimpan, dilihat, dan dibuat main sendiri." Sim Long tertawa, katanya, "Rupanya pemuda itu bernama Him Miau-ji (si Kucing)." Dengus Kim Bu-bong, "Melihat tampangnya dia memang mirip kucing." Sim Long bergelak tertawa sambil memandang benda kedua, tapi gelak tertawanya seketika lenyap, air muka pun berubah hebat. Kim Bu-bong heran, tanyanya, "Benda apa pula ini?" Benda kedua itu adalah sekeping batu jade bundar yang bolong bagian tengahnya, bentuknya mirip mainan kalung,

warnanya hijau pupus mengilap, kelihatan elok sekali, mainan kalung seperti ini terlalu umum, tapi setelah Kim Bu-bong

membolak-balik dan memeriksanya, seketika ia pun mengunjuk rasa kaget dan heran. Ternyata di atas mainan kalung batu jade itu berukir dua huruf "Sim Long". Kim Bu-bong berkata dengan heran, "Batu mainanmu, mengapa bisa berada di tangannya? Mungkinkah sebelumnya dia telah menggerayangi isi kantongmu?"

"Batu mainan ini bukan milikku," ucap Sim Long. "Bukan milikmu, bagaimana mungkin terukir namamu?"

"Batu mainan ini sebetulnya milik Cu Jit-jit." Tambah terkejut Kim Bu-bong, serunya, "Batu mainan nona Cu bagaimana bisa berada padanya, mungkin ... mungkin ...."

"Peduli apa sebabnya, kalau mainan ini berada di tangannya, maka dia pasti tahu di mana Cu Jit-jit sekarang, apa pun yang

terjadi kita harus mencari dan tanya kepadanya."

"Dia sudah pergi jauh, ke mana kita akan mengejarnya?" ujar Kim Bu-bong. Tapi sebelum Sim Long menjawab dia sudah

menjawabnya sendiri, "Tidak sukar, bila di jalan raya kita memergoki kawanan gelandangan, dari mulutnya tentu bisa kita mencari tahu jejak si Kucing."

"Benar, kalau ratusan anak buahnya tersebar di sepanjang jalan raya ini, memangnya khawatir takkan menemukan jejaknya? .... Ayolah cepat!" lenyap suaranya, orangnya sudah berkelebat ke luar pintu. Cuaca lembap, mega mendung, angin berembus dingin, tak jauh di pinggir jalan dalam sebuah kuil bobrok menyala seonggok api unggun, belasan lelaki duduk mengelilingi api unggun itu, mangkuk kosong berserakan, guci arak pun berjungkir balik. Orang-orang itu sedang berkeplok sambil bernyanyi, suaranya berpadu dan riang, "Si Kucing, si Kucing, pendekar kelana nomor satu di Kangouw, ahli menggerayangi kantong, merampas yang kaya menolong yang miskin, setiap orang di empat penjuru ikutan memujinya sebagai si Kucing yang tiada duanya ...." Di tengah paduan suara yang gembira bercampur gelak tawa itu, mendadak seorang bernyanyi solo dengan suara tenor di luar kuil, "Daripada disebut si Kucing yang tiada duanya, lebih tepat dinamakan si Kucing yang suka mabuk." Sesosok bayangan tampak bersalto beberapa kali di udara, lalu meluncur turun di pinggir api unggun, siapa lagi dia kalau bukan si Kucing yang beralis tebal. Orang-orang itu segera bersorak sambil berdiri, "Toako sudah pulang!"

Seorang lantas bertanya, "Apakah Toako sudah berhasil?" Si Kucing menatap tajam satu per satu hadirin ini sambil berputar, alisnya menegak, matanya bercahaya, katanya dengan tertawa, "Memangnya kapan kalian melihat si Kucing gagal dalam tugasnya?" Mendadak ia menepuk pundak seorang lelaki bermuka kuning yang duduk di pinggir api unggun katanya, "Go-losi, matamu memang tidak lamur, kedua orang itu memang punya asal usul luar biasa, pinggangnya juga gemuk, namun betapa tinggi kungfu mereka sungguh mimpi pun tak pernah terduga." Lelaki bernama Go-losi tertawa, katanya, "Betapa pun tinggi kungfunya, memangnya dia mampu menahan kelincahan tangan Toako?" Si Kucing mendongak sambil bergelak, katanya, "Memang betul, biarlah kuperlihatkan kepada kalian barang apa saja yang berhasil kugaet dari sakunya. Cukup segenggam yang kuperoleh ini, mungkin lebih dari cukup untuk hidup tenteram puluhan keluarga miskin di luar pintu utara itu." Tapi demi tangannya menepuk saku pinggang, gelak tawanya seketika berubah menjadi menyengir, air muka pun berubah hebat, tangan yang sudah merogoh saku ternyata tak mampu dikeluarkan lagi. Keruan hadirin melenggong, semua heran dan kaget, seru mereka, "Kenapa, Toako?" Lama si Kucing terlongong di tempatnya, akhirnya ia bergumam, "Lihai benar, sungguh lihai."

Di bawah cahaya api unggun tertampak keringat sebesar kacang berketes-ketes di atas jidatnya, mendadak dia bergelak tertawa sambil mendongak, serunya, "Gerakan bagus, lelaki hebat, hari ini si Kucing baru dapat bertemu dengan tokoh semacam ini, umpama terjungkal juga rela." Go-losi bertanya, "Siapakah yang Toako maksudkan?" Si Kucing segera mengacungkan jempol, katanya, "Bicara soal ini, betapa tinggi kungfunya, mungkin jarang ada tandingan di kolong langit ini, tindak tanduknya yang ramah, tutur katanya yang halus, terus terang jarang terlihat olehku selama hidup ini, bila aku ini seorang cewek, kecuali dengan dia, aku bersumpah tidak mau kawin." Go-losi makin heran, tanyanya mendesak, "Siapakah dia sebenarnya?"

"Dialah pemuda tampan di antara kedua kambing gemuk itu," sahut si Kucing. Seluruh hadirin bersuara heran, semua melongo, berkata pula Go-losi, "Toako memujinya begitu rupa, kuyakin dia pasti luar biasa, tapi ... entah ...." dia hentikan perkataannya demi melihat tangan si Kucing yang merogoh saku itu sudah sekian lama masih belum ditarik keluar lagi.

Si Kucing tertawa, katanya, "Dalam hati kau sangsi, tapi tak berani tanya, betul tidak? Baik, biar kujelaskan. Aku berhasil menggerayangi seluruh uang kepunyaan orang itu, di luar tahuku sakuku berbalik juga digerayangi olehnya, lebih celaka lagi, dompetku juga ikut jatuh ke tangan pemuda itu, bukankah hal ini dapat dikatakan tak berhasil mencuri ayam

malah kehilangan segenggam beras?" Peristiwa yang memalukan, kalau orang lain, siapa mau bercerita akan hal ini di hadapan anak buahnya sendiri, tapi si Kucing justru omong seenaknya dengan tertawa riang. Keruan hadirin saling pandang, tiada yang bersuara. Si Kucing tertawa pula, katanya, "Untuk apa kalian berlagak seperti ini? Dapat bertemu dengan tokoh seperti itu sudah untung bagiku, kehilangan barang tak berarti apa-apa, pula barang itu juga bukan milikku."

"Tapi ... tapi dompet Toako itu ...." Go-losi tergegap. "Dompet itu juga tak berarti, yang harus kusayangkan adalah

kucing kemala yang kuukir dengan golok pusakaku ini, namun ...." mendadak berubah air muka si Kucing, teriaknya, "Wah

celaka, masih ada benda lain dalam dompetku itu." Kehilangan barang apa pun si Kucing tidak perlu cemas, namun demi teringat pada barang yang berada dalam dompet itu, seketika muka si Kucing berubah hebat, jelas benda itu sangat berarti dan tinggi nilainya. Cepat Go-losi bertanya, "Benda apa?" Sesaat lamanya si Kucing termenung, katanya kemudian dengan menyengir, "Benda itu kutemukan di sebuah kuil bobrok, tapi ... tapi ...." akhirnya dia menghela napas dan menengadah, "tapi benda itu jelas milik pribadi nona itu." Go-losi berkerut kening, beberapa kali dia membuka mulut seperti ingin tanya apa-apa, tapi tidak berani mengutarakan isi hatinya. "Kalian tentu ingin tahu siapa nona itu, bukan?" ucap si

Kucing. Go-losi tertawa geli sendiri, katanya, "Apakah nona itu adalah ... adalah Toako punya ... Toako punya ...." hadirin tertawa gemuruh menyambut pertanyaan Go-losi yang kepalang tanggung itu. Si Kucing tertawa riang, katanya sambil membusungkan dada, "Betul, gadis itu memang menggiurkan, paling cantik dalam pandanganku, tapi siapa dia sebetulnya, siapa namanya, sampai saat ini aku pun tidak tahu." Berkedip Go-losi, katanya, "Apakah perlu Siaute mencari tahu?"

"Tak usah," ucap si Kucing tertawa kecut, "Ai, sejak hari itu aku melihat wajahnya, dia mendadak seperti menghilang

begitu saja, beberapa kali aku mondar-mandir di sepanjang jalan raya, namun tak kulihat pula bayangannya." Sejenak kemudian, mendadak dia putar badan dan melangkah keluar. "Toako, mau ke mana?" serempak semua orang bertanya. "Apa pun dompetku itu harus kuminta kembali, aku pun ingin bersahabat dengan pemuda itu, bila kalian tiada tugas, boleh tunggu saja di sini," belum habis si Kucing bicara bayangannya sudah lenyap di luar kuil. Go-losi mengawasi bayangan punggungnya, gumamnya, "Beberapa tahun aku melanglang buana, sungguh belum pernah kulihat seorang gagah jujur, bijaksana dan berjiwa besar seperti Him-toako, kita bisa menjadi saudaranya, sungguh beruntung besar, manusia seperti dia memang

ditakdirkan untuk menjadi seorang pemimpin besar. Dia hendak mencari orang, bagaimana juga harus kubantu." Sambil bicara bergegas ia pun berlari keluar.

*****

Senja belum tiba, si Kucing sudah berada di jalan raya, agar dapat menemukan jejak Sim Long dan Kim Bu-bong, dia tidak

mengembangkan Ginkangnya yang hebat. Setelah mengayun langkah sekian lamanya, tampak dari depan datang seorang nyonya berpakaian hijau dengan tubuh terbungkuk-bungkuk, sebelah tangan menggandeng seorang anak perempuan, tangan yang lain menuntun seekor keledai, dengan langkah terseok-seok. Gadis yang di atas keledai dan yang digandeng itu bermuka jelek sekali, jarang ada perempuan sejelek itu di dunia ini, sampai si Kucing juga tidak tahan dan meliriknya dua kali. Dua kali lirikan ini cukup berarti, mendadak dia ingat nyonya baju hijau ini bukan lain adalah nyonya yang membuat api

unggun di dalam kuil bobrok kemarin, pada waktu itu pula si nona cantik menggiurkan itu mencopot pakaian dan memanggang bajunya. Sekilas dia berkerut alis, setelah bimbang sejenak, mendadak ia mengadang di depan ketiga orang dan satu keledai itu sambil membentang kedua tangannya, katanya dengan cengar-cengir, "Masih kenal aku tidak?" Beberapa kali si nyonya baju hijau mengawasinya naik-turun, lalu berkata dengan tertawa dibuat-buat, "Toaya apakah mau memberi sedekah?" Si Kucing tertawa, katanya, "Kau tidak mengenalku, aku masih mengenalmu. Hari itu kau sendirian, mengapa sekarang berubah menjadi bertiga? Apakah kau melihat nona itu?" Semula Cu Jit-jit sudah putus asa, kini jantungnya berdebar pula, dia masih kenal pemuda bergajul ini, sungguh tak nyana pemuda bergajul ini bisa mencarinya. Terdengar nyonya berbaju hijau itu berkata, "Apa satu jadi tiga segala? Nona apa? Toaya, apa yang kau maksudkan, aku tidak tahu, kalau Toaya ingin memberi sedekah, lekaslah memberi, kalau tidak aku mau pergi saja." Si Kucing menatapnya dengan melotot, katanya, "Kau betul tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu? Nona yang malam itu buka baju di dalam kuil itu masa sudah kau lupakan? Nona yang bermata bundar besar, mulut kecil ...." Nyonya berbaju hijau seperti teringat mendadak, jawabnya, "O, maksudmu, nona yang mengeringkan pakaiannya pada api unggun itu. Ai, sungguh cantik sekali, cuma ... malam itu dia lantas pergi ikut si Tosu yang berkelahi dengan kau itu, kudengar katanya menuju ke timur, agaknya Toaya tidak menemukan dia." Si Kucing menghela napas kecewa, ia tidak tanya pula, baru saja dia membalik badan, mendadak terasa gadis berwajah buruk di samping nyonya baju hijau itu seperti menunjukkan pandangan ganjil padanya. Segera dia menghentikan langkah sambil berkerut kening, ia merasa heran, dia tidak dapat berpikir lebih cermat, sementara si nyonya baju hijau sudah melangkah pergi sambil menggandeng gadis buruk dan keledainya. Hati Cu Jit-jit kembali tenggelam, selanjutnya dia tidak berani

menaruh harapan setitik pun. Si Kucing mengguncang buli-buli araknya, isinya sudah kosong, dia menghela napas panjang, perasaannya kesal dan hampa, sesaat dia berdiri bingung, entah apa sebabnya. "Toako!" mendadak didengarnya seorang memanggil di belakang. Ternyata Go-losi memburu datang dengan napas ngos-ngosan, sikapnya kelihatan aneh, si Kucing heran, tanyanya, "Ada apa?" Menuding punggung si nyonya berbaju hijau Go-losi mendesis, "Kedua ... kedua `kambing gemuk' itu pernah memberi uang kepada nyonya baju hijau itu sehingga dapat kulihat sakunya cukup padat."

"Oo ...." si Kucing melengak. "Mata Siaute cukup tajam, sekilas pandang kulihat uang yang mereka berikan kepada nyonya baju hijau itu berhuruf merah, itu berarti nilai setiap uang kertas itu di atas lima ribu tahil." Tergerak hati si Kucing, katanya dengan mendelik, "Kau tidak salah melihat?"

"Tanggung tidak salah," sahut Go-losi. Bertaut alis tebal si Kucing, katanya, "Kalau hanya memberi sedekah kepada si miskin di tengah jalan, tak mungkin sekali rogoh kantong mengeluarkan uang lima ribuan, aku percaya nyonya baju hijau ini pasti ada hubungan erat dengan kedua orang itu. Kalau kedua orang itu orang aneh dunia Kangouw, maka nyonya berbaju hijau itu pasti juga bukan orang sembarangan, tapi dia justru berpura-pura selemah itu ... kurasa ada sesuatu yang kurang  beres." Mendadak dia putar balik dan memburu ke arah si nyonya baju hijau. Langkahnya semakin dekat, tapi nyonya baju hijau seperti tidak merasakan. Sorot mata si Kucing jelalatan, dengan gerak cepat mendadak dia cengkeram pundak si nyonya baju hijau, kelima jarinya penuh dilandasi tenaga dalam, setiap insan persilatan bila mendengar sambaran angin sekuat ini pasti segera tahu bila pundak tercengkeram, tulang pundak pasti teremas hancur. Tapi nyonya baju hijau tetap seperti tidak merasakan apa-apa, namun mendadak langkahnya seperti tersaruk batu hingga sempoyongan ke depan, pada detik terakhir itu dia meluputkan diri dari cengkeraman si Kucing. Si Kucing tertawa, katanya, "Ternyata memang punya kungfu bagus!"

Nyonya itu berpaling dan bertanya dengan bingung, "Kungfu bagus apa? Toaya, aku tidak mengerti apa yang kau katakan."

"Peduli kau tahu atau tidak, ayolah ikut padaku."

"Mau ... mau ke mana?"

"Kulihat kau terlalu miskin dan hidup sengsara, hatiku tidak tega, ingin kuberi sedekah padamu."

"Terima kasih atas maksud baik tuan, sayang aku harus menempuh perjalanan dengan membawa kedua keponakanku ini ...." Mendadak si Kucing membentak, "Mau atau tidak mau harus ikut." Mendadak dia melompat ke punggung keledai dan segera

menepuk pantatnya, karena kesakitan keledai itu segera lari kencang seperti kesetanan. Keruan si nyonya baju hijau melengak, berubah air mukanya makinya dengan gusar, "Bajingan, kembali!" Si Kucing tergelak, serunya, "Aku memang bajingan, caramu itu pantas untuk menghadapi kaum pendekar, orang lain mungkin tak mampu berbuat apa-apa terhadapmu, tapi

menghadapi bajingan seperti diriku, hehehe, memangnya bajingan peduli amat terhadap permainanmu ini." Walau kurus, dalam sekejap keledai itu telah lari lebih dua puluhan tombak. Nyonya berbaju hijau mencak-mencak, teriaknya, "Penculik, rampok ... tolong ...." Dari kejauhan si Kucing berkaok, "Betul, aku memang rampok, tapi adakah rampok yang takut pada orang baik, sebaliknya orang baik sama takut kepada rampok, sampai pecah tenggorokanmu juga tak ada orang berani menolongmu."

Lari keledai semakin jauh, dalam sekejap lagi hampir lenyap dari pandangan mata. Akhirnya si nyonya berbaju hijau tidak tahan, sambil mengertak gigi, sekali raih dia peluk pinggang Pek Fifi, tanpa hiraukan apakah orang lain kaget dan melongo, sekali tarik napas dia melompat jauh ke depan terus mengudak dengan kencang. Ginkang dan gerak tubuhnya memang luar biasa, meski sebelah tangannya mengempit seorang, tapi beruntun empat kali lompat naik-turun dia sudah meluncur dua puluhan tombak. Kedua kaki si Kucing mengempit keras perut keledai, sebelah tangan memeluk gadis buruk rupa, alias Cu Jit-jit, sebelah tangan terus-menerus menepuk pantat keledai supaya lari lebih cepat, katanya sambil tertawa, "Nah, kelihatan belangnya sekarang, akhirnya dapat kupaksa menunjukkan kungfumu."

"Memangnya kenapa kalau dipaksa?" jengek si nyonya baju hijau dengan benci, "apa kau kira bisa hidup lagi?" Beberapa kali lompatan pula, jelas dia akan dapat menyusul keledainya yang berlari kencang itu. Tak tersangka mendadak si Kucing angkat Cu Jit-jit terus melayang tinggi dari punggung keledai, serunya dengan tertawa, "Boleh kau kejar aku dulu dan bicara lagi nanti." Sekali meluncur tiga tombak ke depan, keledai tanpa penumpang itu ditinggalkan, tapi dia yakin yang dikejar

nyonya baju hijau bukan keledai melainkan penunggangnya yang bermuka buruk dalam rangkulannya ini. Jika murid didik kaum pendekar jelas tak sudi melakukan perbuatan yang memalukan ini, tapi lain dengan si Kucing yang tidak peduli tentang sopan santun segala, asal tujuannya suci dan dapat tercapai, perbuatan apa pun berani dilakukannya. Agaknya nyonya berbaju hijau tidak menduga bajingan tengik ini memiliki Ginkang selihai itu, dirinya ternyata tidak mampu menyusulnya, keruan ia gugup bercampur gusar pula, segera bentaknya, "Berhenti, marilah kita bicara secara baik."

"Bicara soal apa?" tanya si Kucing. "Sebetulnya apa kehendakmu? Turunkan dulu keponakanku, urusan bisa dirundingkan." Sementara itu mereka sudah hampir mencapai kuil bobrok itu. Si Kucing tertawa riang, katanya, "Berhenti juga boleh. Tapi

lebih dulu kau harus berhenti mengejar, baru nanti aku akan berhenti, kalau tidak meski tiga hari tiga malam, jangan harap kau dapat menyusul aku, kukira kau sendiri maklum akan hal ini."

"Bangsat, bajingan!" maki si nyonya baju hijau. Tapi terpaksa dia menghentikan langkahnya, "Apa kehendakmu? Katakan!"

Si Kucing juga berhenti dalam jarak lima tombak, katanya dengan tertawa, "Apa pun tidak kuinginkan, aku hanya ingin

tanya beberapa patah kata saja." Berkilat sorot mata si nyonya baju hijau, wajahnya tidak kelihatan welas asih lagi, desisnya penuh kebencian, "Lekas, tanya soal apa?"

"Ingin kutanya lebih dulu siapa sebetulnya kedua orang yang memberi uang kertas itu kepadamu?"

"Seorang murah hati yang kebetulan lewat di jalan, mana aku mengenalnya?"

"Kalau kau tidak kenal dia, memangnya dia mau memberi uang kertas sebanyak itu kepadamu?" Berubah pula air muka si nyonya baju hijau, serunya beringas, "Baiklah kuberi tahu padamu, kedua orang itu begal besar yang kupegang rahasianya, mulutku terpaksa disumbat dengan uang supaya rahasia itu tidak kubocorkan. Tentang di mana sekarang kedua orang itu, terus terang aku tidak tahu." Si Kucing tertawa terkial-kial, katanya, "Kalau betul kedua orang itu begal besar, pasti kau ini sekomplotan dengan mereka. Manusia macam dirimu ini, mengapa membawa dua gadis buruk muka dalam perjalanan, kurasa pasti ada suatu yang tidak beres ...."

"Ini ... ini bukan urusanmu," bentak nyonya baju hijau dengan gusar. "Aku si Kucing justru suka mencampuri urusan orang lain, meski urusan kecil yang tiada sangkut pautnya denganku, bila kebentur di tanganku, urusan harus dibikin jelas baru puas hatiku. Hari ini kalau aku tidak membekuk kau, tentu kau tak mau bicara sejujurnya." Mendadak dia menggembor keras, "Hai, saudara-saudara, ayolah keluar!" Lenyap suaranya, maka berbondonglah puluhan orang menerjang keluar dari dalam kuil. Si Kucing menyerahkan Cu Jit-jit sambil berpesan, "Sembunyikan gadis ini di tempat yang rahasia dan jaga baik-baik ...." Sambil mengiakan anak buahnya merubung maju, sementara si Kucing sendiri melompat balik ke hadapan si nyonya berbaju hijau, katanya, "Nah, boleh mulai." Nyonya baju hijau menyeringai, jengeknya, "Kau ingin mampus? Baik!" Dalam berkata "baik", sekaligus ia sudah menyerang tiga jurus. Agaknya dia tidak berani meremehkan pemuda bergajul yang kurang ajar ini, meski sambil mengempit Pek Fifi, tapi tiga jurus pukulannya telah mengerahkan seluruh tenaganya. Gerakan si Kucing segarang harimau, berputar laksana langkah naga, secepat kilat dia berkelit tiga kali, katanya dengan tertawa, "Mengingat kau ini seorang perempuan, biar aku mengalah tiga jurus lagi." Sikap si nyonya baju hijau tampak prihatin, bentaknya bengis, "Baik, jangan kau menyesal." Segera kaki kiri melangkah ke depan, tubuh setengah berputar, telapak tangan kanan didorong perlahan, mulut membentak pula, "Inilah jurus pertama." Tampak kelima jarinya setengah tertekuk, bentuknya mirip tinju tapi bukan tinju, seperti telapak tangan juga bukan telapak tangan, gerak serangannya lamban, sampai setengah jalan serangannya, lawan masih bingung dan tak dapat meraba ke arah mana serangannya akan dilancarkan.  

Si Kucing berdiri tegak bergeming, matanya menatap telapak tangan lawan yang satu ini, sorot matanya tampak prihatin,

namun ujung mulutnya mengulum senyuman acuh tak acuh. Setiba di tengah jalan mendadak telapak tangan nyonya baju hijau itu terayun ke atas dan menghantam telinga kiri si Kucing. Letak kuping kiri merupakan tempat sepele, dengan sendirinya

tidak terduga bahwa lawan bakal menyerang tempat ini, dengan perkataan lain pertahanan paling lemah pada bagian ini. Si Kucing merasa di luar dugaan, dalam repotnya dia tidak sempat berpikir, ia mengegos ke kanan, tak tahunya si nyonya baju hijau seperti sudah memperhitungkan gerakannya yang berkelit ke kanan ini, hanya bagian tubuh atas saja yang berkisar tanpa menggeser kedua kakinya, ini berarti ruang lingkup gerak tubuhnya tidak besar, maka begitu badan si Kucing miring ke kanan, telunjuk jarinya segera menjentik, yang digunakan adalah sebangsa Tan-ci-sin-thong atau tenaga jari sakti, sejalur angin tajam segera menyambar ke lubang telinga si Kucing. Lubang telinga dengan genderang kuping adalah titik terlemah pada tubuh manusia umumnya, biasanya cukup orang mengorek kuping dengan gulungan kertas saja akan menimbulkan rasa sakit, apalagi nyonya berbaju hijau ini menyerang dengan landasan tenaga murni, meski tidak kelihatan bentuknya, yang jelas tajamnya melebihi sebatang paku, bila terkena tenaga selentikan jarinya, genderang telinga bisa pecah. Sungguh tak pernah terpikir oleh si Kucing bahwa nyonya berbaju hijau itu bisa melancarkan serangan sekeji ini, kecuali manusia berhati culas dan jahat, mustahil bisa memikirkan serangan keji ini. Cepat si Kucing mengkeret kepala dan menjengkang badan serta mundur beberapa kaki. Tapi betapa cepat sambaran angin jentikan lawan, walau dia sempat berkelit, tak urung

jidatnya keserempet juga hingga kulit jidatnya jadi merah. Seketika si Kucing berjingkrak gusar, bentaknya, "Apa ini juga

terhitung satu jurus?" Baru saja dia membentak, tahu-tahu si nyonya baju hijau menubruk tiba pula dan melancarkan jurus kedua, yang diincar adalah bagian berbahaya di bawah perut, jurus serangan ini lebih keji lagi, saat itu badan si Kucing lagi doyong ke belakang, tenaga belum sempat dikerahkan, maka nyonya baju hijau yakin jurus kedua ini pasti akan

menamatkan riwayat lawan. Di luar tahunya, kekuatan fisik si Kucing sungguh tak terbayang oleh siapa pun, tenaga murni tubuhnya ternyata bagai arus air yang mengalir tak terputus-putus. Dia menarik napas, dengan tangkas ia menyurut mundur

beberapa kaki pula, begitu dia kerahkan tenaga pada tungkak kakinya, mendadak dia melompat ke udara, sekali berjumpalitan kembali ia berada lagi di hadapan si nyonya berbaju hijau.

Jilid 10

Bukan saja mampu meluputkan diri dari dua jurus serangan keji, gerak-gerik lawan ternyata juga aneh dan lincah, mau-tidak-mau si nyonya tampak gugup, bentaknya beringas, "Masih ada sejurus, sambutlah!" Kembali telapak tangannya didorong perlahan, gayanya mirip jurus pertama tadi. Si Kucing menjengek, "Tadi sebetulnya sudah cukup tiga jurus, tapi apa alangannya aku mengalah sejurus lagi." Beberapa patah kata ini tidak pendek, tapi selesai diucapkannya, pukulan telapak tangan si nyonya baju hijau juga baru mencapai setengah jalan, si Kucing berdiri sekukuh gunung, bola matanya menatap tajam seperti mata harimau, siap menunggu serangan lawan dan segera akan melancarkan serangan balasan mematikan.

Terdengar nyonya berbaju hijau menghardik, "Kena!" Telapak tangan berhenti bergerak, tapi kaki kanan mendadak melayang, menendang selangkangan. Jurus serangan yang tak terduga oleh lawan, namun si Kucing masih sempat berkelit meski agak kelabakan. Mendadak lengan baju si nyonya mengebas, puluhan bintik sinar lembut menyambar keluar dan berkembang melebar,

tiga tombak di kanan-kiri si Kucing terjangkau oleh bintik sinar kemilau itu, betapa pun tinggi kungfu si Kucing, kali ini jelas tak mampu menyelamatkan diri dari am-gi atau senjata rahasia yang ganas ini. Anak buahnya baru saja bersorak girang ketika melihat siKucing berhasil meluputkan diri dari serangan berbahaya lawan, kini melihat pemimpin mereka terancam bahaya pula, semuanya menjerit kaget dan khawatir. Pada detik yang menentukan itulah, buli-buli arak di tangan si Kucing mendadak berputar, puluhan bintik sinar kemilau yang berkembang di udara itu laksana rombongan lebah sekaligus

meluncur ke dalam sarangnya, seluruhnya tersedot oleh buli-buli itu. Nyonya baju hijau terperanjat, sebaliknya anak buah si Kucing berkeplok girang. Si Kucing menegakkan badan sambil bergelak tertawa, katanya, "Senjata rahasia keji, tangan yang ganas, untung berhadapan dengan si Kucing, kakek moyangnya ahli antiberbagai am-gi dari segenap perguruan di dunia ini." Gemetar suara si nyonya baju hijau, "Kau ... dari mana kau peroleh buli-buli ini?" Si Kucing tertawa, katanya, "Tidak perlu kau urus, sambutlah sejurus seranganku!" Di tengah gelak tertawanya, buli-buli mendadak menghantam dengan dahsyatnya. Cepat si nyonya baju hijau menyurut mundur beberapa langkah dan tidak balas menyerang. Si Kucing tertawa, "Eh, kenapa berhenti, ayolah serang pula." Mendelik benci si nyonya baju hijau, desisnya sambil mengertak gigi, "Tak nyana hari ini aku bertemu dengan kau .... Buli-bulimu itu ...." setelah mengentak kaki ia menambahkan, "Sudahlah." Segera dia berputar hendak lari. "Masa mau pergi begitu saja," si Kucing mencemooh, sinar kemilau berkelebat, golok pendek tercabut dari pinggangnya, cahaya lembayung mendadak mencegat jalan pergi si nyonya baju hijau. Merah mata si nyonya baju hijau, mendadak dia angkat Pek Fifi yang dikempitnya terus diangsurkan ke arah golok. Keruan si Kucing terkejut, lekas dia menarik golok dan menangkap tubuh Pek Fifi, dalam sekejap itu si nyonya berbaju hijau sudah melesat pergi beberapa tombak jauhnya, sekali melejit pula, bayangannya lantas lenyap.

*****

Go-losi sedang mengayun langkah menyusuri jalan, mendadak dilihatnya kedua "kambing gemuk" yang banyak uang kertas

itu sedang tanya ini-itu kepada seorang lelaki di bawah pohon sana. Wajah orang yang lebih tua itu tampak kaku dingin, wajahnya aneh dan seram, sepintas pandang bentuknya seperti mayat hidup, siapa pun yang melihatnya pasti mengirik.

Sementara yang lebih muda bersikap ramah santai dan gagah, ujung mulutnya mengulum senyum, berhadapan dengan dia siapa pun akan merasa sejuk seperti melihat bunga mekar di musim semi, ingin rasanya berkenalan dan bersahabat dengan dia.

Tergerak hati Go-losi, pikirnya, "Him-toako sedang mencari mereka, mungkin mereka juga sedang mencari Him-toako, sungguh kebetulan, sayang orang yang ditanya bukan saudara anggota kita." Segera dia menghampiri dengan langkah lebar, sapanya

dengan tertawa, "Apakah kalian sedang mencari orang?" Orang yang sedang bertanya pada lelaki di bawah pohon memang betul Kim Bu-bong dan Sim Long, sesaat mereka mengawasi Go-losi, sorot mata Sim Long tampak cerah, katanya dengan tertawa, "Orang yang kami cari, apakah Saudara mengenalnya?"

"Coba kalian jelaskan siapa yang kalian cari?" tanya Go-losi. Kucing kemala segera dikeluarkan oleh Sim Long dan diangsurkan ke depan Go-losi, katanya dengan tertawa, "Orang yang memiliki mainan kucing ini." Go-losi tertawa, segera dia ulur tangan hendak mengambil kucing kemala itu, tapi Sim Long lantas menarik tangannya, Go-losi jadi menyengir katanya, "Kalau kalian mencari orang lain, mungkin Siaute tidak mengenalnya, tapi pemilik kucing kemala ini ...."

"Kau kenal dia? Di mana dia sekarang?" tanya Sim Long. "Silakan ikut padaku," kata Go-losi, ia putar tubuh terus melangkah pergi.

*****

Musim dingin siang lebih pendek, malam datang lebih cepat. Api unggun dalam kuil bobrok itu tampak berkobar, di atas

dinding menyala pula lima batang obor, kuil bobrok yang terpencil ini jadi terasa hangat. Si Kucing sedang duduk di atas sebuah kasur bundar sambil bertopang dagu mengawasi kedua perempuan buruk rupa yang berada di samping api unggun. Terasa olehnya ada sesuatu yang kurang beres pada kedua perempuan ini, walau sejauh ini dia belum menyadari bahwa kedua perempuan buruk ini telah diproses sedemikian rupa oleh tangan seorang ahli hingga bentuk wajahnya berubah sama sekali dari aslinya. Ilmu rias keluarga Suto memang hebat luar biasa. Terasa pula oleh si Kucing kedua perempuan ini seperti ingin melimpahkan banyak persoalan yang mengganjal hatinya, tapi tak mampu buka suara, maka sorot matanya saja yang

berbicara, sorot mata mereka tampak gelisah, mendesak namun juga malu-malu di samping senang pula. Tak terpikir oleh Cu Jit-jit bahwa nasib manusia memang serbaaneh, orang yang menolong dan membebaskan dia dari belenggu iblis ternyata adalah pemuda bajingan yang pernah dibencinya, sedangkan Sim Long ... ai, entah di mana Sim Long sekarang. Buli-buli arak yang serbaguna itu ternyata berada dekat lutut si Kucing, di sekitar perut buli-buli yang gendut itu penuh menemplek jarum lembut yang runcing mengilap seperti dilem saja lengket di atasnya, di bawah pancaran cahaya api, jarum-jarum itu tampak berkilau biru. Pandangan si Kucing beralih ke arah buli-buli araknya, lalu dengan sepotong kayu kecil dia cungkil sebatang jarum serta diperiksanya dengan saksama, mendadak air mukanya berubah kelam. Pada saat itulah Go-losi menerobos masuk seraya berseru, "Toako, Siaute membawa tamu untukmu."

"Siapa?" tanya si Kucing dengan berkerut kening. Sembari bicara dia membalik badan, maka dilihatnya Kim Bu-bong dan

Sim Long melangkah masuk. Wajah Kim Bu-bong tetap kaku masam, sedang Sim Long tetap tersenyum ramah. Sim Long angsurkan batu kemala itu dengan kedua tangan, si Kucing menerima dengan kedua tangan pula, sepatah kata pun kedua orang ini tidak berucap, hanya sama tersenyum saja, namun segala perasaan hati masing-masing sudah terjalin dalam senyum persahabatan ini. Sim Long keluarkan pula batu mainan kalung. Melihat Sim Long muncul, jantung Cu Jit-jit terasa berhenti berdetak, begitu melihat mainan kalung bundar itu, seketika pipi terasa panas jengah. Dilihatnya si Kucing ulur tangan hendak menerima mainan kalung itu, tapi Sim Long tidak memberikannya. Si Kucing tertawa, katanya, "Kalau tidak salah, mainan kalung ini juga milikku bukan?" Sim Long tersenyum, ucapnya, "Apakah Saudara sudah periksa ukiran dua huruf di atas mainan kalung ini?" "Sudah tentu sudah, dua huruf ukiran itu berbunyi `Sim Long'."

"Apakah Saudara tahu apa arti kedua huruf ini?" Berkedip mata si Kucing, katanya, "Sudah tentu tahu, Sim Long adalah nama seorang gadis kenalan baikku, untuk mengenangnya, maka kuukir namanya di atas mainan kalung itu supaya tak terlupakan seumur hidup." Sudah tentu Cu Jit-jit merasa geli mendengar percakapan mereka itu dan juga mendongkol, batinnya, "Pemuda ini memang bajingan tengik, untuk mengangkangi mainan kalung, tak segan-segan dia membual, ceritanya seperti benar-benar terjadi." Sim Long juga tertawa geli, katanya, "Kalau demikian, aku inilah gadis pacarmu itu." Keruan si Kucing melongo, katanya, "Hah, apa ... apa artinya ini?"

"Kedua huruf Sim Long itu sebenarnya adalah namaku." Sesaat si Kucing berdiri melenggong, mukanya agak merah, tapi kejap lain dia tertawa keras, katanya, "Bagus, bagus, main copet aku kalah, menipu aku pun asor, baiklah, aku mengaku kalah, boleh tidak?" Terasa oleh Sim Long, meski pemuda ini bajingan tengik, tapi sifatnya yang polos dan jenaka, tutur katanya yang lucu sungguh menyenangkan. Setelah reda gelak tawa si Kucing, tiba-tiba ia berkerut kening, katanya, "Tapi menurut apa yang kuketahui, mainan kalung ini juga bukan milikmu, mana mungkin mainan kalung ini berukir namamu? Mungkin ... mungkinkah nona itu adalah ... adalah kau punya ...."

"Betul," tukas Sim Long cepat, "nona itu memang teman baikku, kedatanganku ini juga untuk mencarinya, mohon Saudara sudi memberitahukan di mana jejaknya." Si Kucing tidak segera menjawab, lama dia menatap Sim Long, mulutnya bergumam, "Bahwa nona itu mengukir namamu di atas mainan kalung yang selalu dipakainya, dia pasti amat mencintaimu .... Ah, bagus sekali ... ai." Mengerling bola mata Sim Long, sebagai pemuda yang berpengalaman, sekali pandang dia tahu pemuda ini pasti juga

jatuh hati kepada Cu Jit-jit yang binal itu sehingga sikapnya sekarang kelihatan linglung. Karena itu tambah besar

keyakinannya bahwa pemuda ini pasti tahu jejak Cu Jit-jit, maka dia berdehem perlahan, lalu bertanya pula, "Nona itu ...." Si Kucing tersentak, katanya dengan menyengir, "O, aku sendiri hanya sekali melihat nona itu, mainan kalung ini juga kutemukan pada waktu itu, sejak itu aku tidak pernah melihatnya lagi." Setelah menghela napas, lalu ia menyambung, "Bicara terus terang, selama beberapa hari ini aku mondar-mandir sibuk mencari jejaknya pula, tapi agaknya dia menghilang, ada orang bilang dia diculik Toan-hong-cu." Sim Long menatapnya lekat-lekat, terasa apa yang diucapkannya memang tidak bohong, sumber penyelidikannya akan jejak Cu Jit-jit jadi terputus pula. Sambil menunduk dia menghela napas.

Tentu saja Jit-jit yang berada di samping api unggun gelisah setengah mati. Ingin rasanya dia berteriak, "Tolol! Kalian

semua lelaki tolol, aku berada di sini, memangnya kalian buta semuanya?" Pek Fifi yang berada di sampingnya malah kelihatan tenang dan adem ayem saja. Sejak masuk tadi pandangan Kim Bu-bong lantas tertuju ke arah buli-buli arak, diamati sedemikian teliti, sorot matanya terunjuk rasa heran dan kaget, kini mendadak dia bertanya, "Buli-buli arak ini kau peroleh dari mana?" Senyum misterius menghias mulut si Kucing, ia tidak menjawab, tapi balas bertanya, "Apakah tahu asal usul buli-buli arak ini?" Kim Bu-bong mendengus, "Kalau tidak tahu buat apa tanya."

"Kalau tahu asal usulnya, maka sepantasnya tidak perlu kau tanya." Kembali Kim Bu-bong mendengus, tapi tidak tanya lebih

lanjut. Mendengar tanya-jawab kedua orang seperti main teka-teki, tertarik juga perhatian Sim Long, sorot matanya pun beralih pada buli-buli itu, hanya beberapa kejap, sorot matanya mendadak mencorong terang. Kim Bu-bong bertanya pula, "Apakah kau pernah bergebrak dengan seorang nyonya berbaju hijau?" Si Kucing tetap tidak menjawab, malah balas bertanya, "Kau mengenalnya?" Kim Bu-bong gusar, serunya, "Sebenarnya aku yang tanya padamu atau kau yang tanya padaku?" Si Kucing bergelak, katanya, "Memang tidak pantas aku tanya hal ini. Jika kau tidak kenal dia buat apa kau tanya padaku? Benar, aku memang sudah bergebrak dengan dia." Ia menatap tajam Kim Bu-bong, katanya pula, "Bukan saja aku sudah bergebrak dengan dia, malah aku pun tahu dia adalah keturunan keluarga Suto. Kedua ... kedua gadis di samping api unggun itu berhasil kurebut dari dia, demikian pula am-gi yang lengket pada buli-buli arakku itu adalah am-gi khas keluarga Suto." Berubah air muka Kim Bu-bong, dia memburu ke samping api unggun, lalu membungkuk dan memeriksa. Pek Fifi ngeri melihat wajahnya, sebaliknya Cu Jit-jit balas menatapnya dengan tajam. "Kecuali kepandaian am-gi," demikian ujar si Kucing, "ilmu rias

keluarga Suto juga merajai dunia Kangouw, tapi aku tidak bisa membedakan apakah kedua orang ini pernah dirias atau tidak

...." Kim Bu-bong menjengek, "Kalau dapat kau bedakan, memangnya ilmu rias macam apa jadinya." Tergerak hati Sim Long, katanya mendadak, "Saudara memiliki buli-buli besi sembrani `Kian-kun-it-tay-ceng' yang terbuat dari baja murni Laut Timur, khusus untuk mematahkan serangan berbagai am-gi, tentunya kau pun pernah mempelajari cara memudarkan ilmu rias keluarga Suto, entah sudi kiranya Saudara menunjukkan keahlianmu untuk memulihkan wajah asli kedua nona itu." Si Kucing tertawa, katanya, "Ternyata kau pun tahu Kian-kun-it-tay-ceng segala, sayang sekali aku tidak mempunyai keahlian seperti apa yang Saudara harapkan. Umpama betul kedua nona ini berwajah secantik bidadari juga kita takkan punya kesempatan untuk melihat wajah asli mereka." Tiba-tiba Go-losi menyeletuk, "Kenapa susah-susah memudarkan rias orang? Akan kuambilkan air untuk mencuci mukanya, kalau tidak bisa hilang, masih bisa dikerik dengan pisau, kan beres." Si Kucing tertawa geli, katanya, "Kalau urusan semudah apa yang kau bilang, bukankah ilmu rias keluarga Suto akan mirip make-up para pemain sandiwara di atas panggung. Padahal ilmu rias keluarga Suto tersohor di seluruh jagat, masa kau anggap sepele saja dan bisa dikerik dengan pisau segala, jika kulit muka mereka sampai tergores luka, lalu siapa akan bertanggung jawab?" Go-losi menyengir dan tidak berani bersuara lagi. Sebaliknya Cu Jit-jit yang mendengar percakapan mereka menjadi gelisah dan jengkel pula. Ingin rasanya dia menggembor, "Boleh kalian mengerik mukaku dengan pisau, umpama kulit mukaku rusak juga tidak menjadi soal ...." Kim Bu-bong menatap mata Jit-jit, katanya kemudian, "Bukan saja wajah nona ini sudah dioperasi, malah ia pun dicekoki obat bisu dan lumpuh oleh Suto Pian, kulihat banyak persoalan yang ingin dia katakan, sayang mulutnya tidak bisa bersuara ...." Mendadak si Kucing lari ke sana dan mendapatkan sebuah baskom pecah, diisi dengan abu, lalu ditaruh di depan Cu Jit-jit, dicarinya pula sepotong kayu dan disisipkan pada tangan Jit-jit. Seketika mata Cu Jit-jit memancarkan rasa gembira. Si Kucing berkata, "Tentu kau dengar pembicaraan kami, maka apa yang ingin kau katakan boleh kau tulis di atas abu dengan kayu ini ...." Tanpa menunggu selesai bicaranya, dengan tangan gemetar

Jit-jit siap menulis, ia pikir siksa derita segera akan berakhir, betapa senang dan haru hatinya dapatlah dibayangkan.

Siapa tahu tenaga untuk menulis saja tidak ada, semula dia hendak menulis nama sendiri, ternyata ranting kecil itu hanya

mengoret-oret tak keruan di permukaan abu, huruf apa yang ditulis tidak bisa dibaca. Lebih celaka lagi ranting kayu yang

dipegang itu akhirnya pun terlepas, keruan hati Jit-jit keki, dongkol, dan gugup setengah mati, ingin rasanya ia tebas

kutung saja tangan sendiri. Dia ingin mencakar wajah sendiri, tapi tidak bertenaga, ingin dia menggigit putus lidah sendiri juga tidak mampu menggigitnya, dia ingin menjadi gila namun bagaimana caranya menjadi gila ia pun tidak tahu. Sampai ingin menangis tergerung-gerung juga tidak mampu, terpaksa dia hanya bisa membiarkan air mata meleleh di pipinya.

Sim Long, Kim Bu-bong, dan si Kucing saling pandang, akhirnya mereka menghela napas panjang, demikian pula anak buah si Kucing yang menyaksikan juga ikut terharu dan gegetun. Kata si Kucing setelah menghela napas, "Akan kucoba yang satu ini ...." Pek Fifi juga tidak mampu bersuara, namun badannya tidak lunglai, maklum, dia dianggap gadis lemah yang tidak tahan

embusan angin kencang, maka si nyonya baju hijau tidak mencekoki obat bisu dan melumpuhkan badannya. Begitu si Kucing taruh baskom abu di depannya dia lantas menulis perlahan: "Aku bernama Pek Fifi, gadis sebatang kara yang hidup menderita, entah mengapa nyonya galak dan sadis itu menculikku dan menyiksaku begini rupa." Si Kucing manggut-manggut dan berkedip-kedip, tanyanya mendadak, "Apakah sebelum ini kau berparas cantik?" Sorot mata Pek Fifi mengunjuk rasa malu, ranting kayu digerakkan, tapi tak mampu menulis lagi. Si Kucing tertawa, katanya, "Kalau demikian, dugaanku pasti

tidak salah lagi. Nona yang senasib dengan kau ini, apakah dia juga cantik jelita? Siapa namanya?" Pek Fifi menulis: "Aku tidak mengenalnya, juga belum pernah melihat wajah aslinya." Si Kucing termenung sejenak, katanya, "Kalau begitu, dia

tersiksa lebih dulu daripadamu?" Pek Fifi menulis pula; "Betul, semula aku pun kasihan padanya, tak tahunya aku ...." dia tidak meneruskan tulisannya, tapi orang lain sudah tahu maksudnya. Tampak air matanya berlinang, tak tertahan akhirnya dia menangis juga. Si Kucing menoleh dan berkata, "Sekarang baru kutahu nyonya jahat itu akan menculik gadis-gadis cantik ini ke suatu tempat yang jauh, khawatir di tengah jalan kurang leluasa, maka mereka dipermak menjadi sejelek ini." Sim Long menghela napas sambil mengangguk, batinnya, "Selain cekatan, daya tangkap dan pikiran pemuda ini juga dapat bekerja cepat." Si Kucing berkata lebih lanjut, "Asalnya mereka adalah gadis jelita, kita tidak boleh berpeluk tangan melihat nasib mereka yang jelek ini, apa pun kita harus berdaya untuk memulihkan wajah asli mereka." Kim Bu-bong diam saja tanpa komentar. "Apa daya?" ucap Sim Long sambil menghela napas. "Kecuali kita bekuk murid keluarga Suto itu ...." Sejenak si Kucing berpikir, lalu katanya dengan tertawa, "Di kota Lokyang ada seorang temanku, walau usianya masih muda, tapi bun-bu-siang-coan (serbamahir ilmu sastra dan ilmu silat), juga mahir pengobatan dan berbagai kepandaian yang aneh, kalau kita mencarinya dan minta tolong, mungkin dia bisa membantu." Sim Long tertawa, katanya, "Kalau betul ada orang sepandai

itu, aku ingin menemuinya, kebetulan aku juga akan menyelesaikan suatu urusan di kota Lokyang, cuma ... apakah Saudara ada hubungan baik dengan dia?"

"Orang itu selain pemabukan, juga gemar paras ayu, sifatnya cocok dengan aku, bila kita pergi mencarinya, kuyakin dia

pasti banyak mengeluarkan biaya." Tidak kepalang sedih hati Cu Jit-jit, ia tidak lagi memerhatikan percakapan mereka lebih lanjut, dia cuma merasakan dirinya diangkut ke atas kereta, dia tidak tahu ke mana dirinya akan dibawa oleh orang-orang ini. Di dalam kereta ada seorang bocah yang dikenalnya, namun bocah ini tidak mengenalnya lagi, duduknya juga menyingkir jauh ke sana dan tidak mau berdekatan dengan dia. Dengan sepotong kain si Kucing menutup kabin kereta, kuda

penarik kereta dipecut supaya lari lebih kencang menuju ke kota Lokyang. Tengah malam buta kereta kuda ini menempuh

perjalanan, setiba di Lokyang hari pun menjelang fajar. Mereka harus menunggu kira-kira satu jam baru pintu kota terbuka. Kim Bu-bong menjalankan keretanya masuk ke kota. "Masih sepagi ini, apa enak mengganggu orang?" ujar Sim Long. Si Kucing tertawa, katanya, "Di kota Lokyang ini, aku masih punya teman lain, pintu besar rumahnya sepanjang tahun tidak pernah tertutup, siapa pun dan kapan pun datang ke rumahnya tanggung takkan kelaparan dan kedinginan." "Apa betul ada orang sebaik itu?" ujar Sim Long. Si Kucing berkeplok dan berseru, "Orang ini she Auyang dan bernama Hi, hobi satu-satunya adalah berkenalan dengan orang-orang gagah di seluruh jagat, nanti kalian akan membuktikan sendiri." Mendadak Kim Bu-bong menyeletuk, "Banyak juga kawanmu!" Si Kucing tidak bicara lagi dia rebut cemeti terus sabet kuda dan membedal kereta lebih kencang. Hari masih pagi, jalan raya sangat sepi, maka si Kucing berani melarikan kereta itu sekencang angin.

Mendadak mereka tiba di sebuah persimpangan jalan, suasana di sini ternyata ramai sekali, bau harum bunga semerbak merangsang hidung. Si Kucing angkat cemetinya seraya berkata, "Inilah pasar bunga yang terkenal di kota Lokyang, banyak penggemar bunga datang dari tempat ribuan li jauhnya, terutama bunga botan (peoni) dari kota Lokyang terkenal di seluruh jagat." Sim Long tertawa, katanya, "Sudah lama kudengar pasar bunga di kota Lokyang yang terkenal ini, hari ini kebetulan

berada di sini, pantasnya kubeli beberapa kuntum bunga segar, sayang ... ada maksudku membeli bunga tapi kepada siapa akan kupersembahkan bunga itu? Biar kutunggu sampai kesempatan lain saja." Kedua orang ini bergelak dan saling pandang, sementara Cu Jit-jit yang berada di dalam kereta mendengarkan dengan kesima. Kalau sekarang dia bisa di samping Sim Long, lalu Sim Long turun membeli bunga serta menyelipkan bunga itu di atas sanggulnya, umpama segera dia disuruh mati juga rela. Padahal dia juga tahu kereta mereka kini sedang lewat pasar bunga, tidak jauh ke depan akan tiba di sarang iblis, di mana Pui Jian-li, Thi Hoat-ho, dan lain-lain tersekap, meski dalam benaknya banyak rahasia yang ingin dibeberkan kepada orang banyak, namun tidak mampu diutarakannya. Pada saat itulah mendadak dua kereta harum yang ditarik dua ekor kuda putih datang dari depan, langsung dilarikan ke dalam pasar bunga. Lentera perunggu yang terpasang di depan kereta tampak mengilap, terdengar suara merdu percakapan nona jelita laksana kicau burung, terkadang tampak wajah cantik mengintip di balik tabir. Kebetulan angin berembus dan menyingkap tabir, tanpa sengaja Cu Jit-jit melirik ke sana, seketika jantungnya berdetak, kereta yang ditarik kuda putih itu bukankah kereta iblis yang hari itu memuat Thi Hoat-ho dan lain-lain masuk ke kota ini. Terdengar Him Miau-ji atau si Kucing bergelak tertawa dan berseru, "Haha, cantik molek berkereta harum, entah siapa gerangan yang akan tergiur, tampaknya hasratku terpaksa akan hanyut terbawa arus."

"Ah, janganlah Anda bicara demikian, apakah si cantik takkan marah bila mendengar celotehmu?" ucap Sim Long dengan

tertawa. "Kau tahu, meski indah bunga ini, apa mau dikata tumbuhnya di dinding tepi jalan, asalkan Anda sudi membayar, dapatlah kupetik bunga itu bagimu, memangnya Anda berminat?"

"Wah, kiranya engkau sudah cukup berpengalaman," ujar Sim Long. Dan kedua orang lantas saling pandang bergelak tertawa pula. Cu Jit-jit terkesiap mendengar percakapan mereka. Apakah mungkin sarang hantu yang banyak mengurung kaum kesatria itu adalah tempat pelesir begituan dari kalangan atas? Dan para gadis penggembala berbaju putih dan berkepandaian tinggi itu adalah perempuan penghibur di tempat pelesir itu? Sungguh hal ini sukar dipercaya oleh Jit-jit. Kereta itu akhirnya tiba di depan pintu gedung yang tak pernah tertutup sepanjang tahun, melihat kedatangan si Kucing, sudah tentu Auyang Hi amat girang, segera ia siapkan meja perjamuan menyambut kedatangannya. Tak lupa si Kucing memperkenalkan Sim Long dan Kim Bu-bong, lalu ia sibuk dengan araknya sendiri. Auyang Hi tertawa, katanya, "Kau kucing binal ini tampaknya semakin liar, sepanjang tahun sukar melihatmu, hari ini kau datang kemari, kecuali ingin makan, memangnya ada persoalan lain?" Si Kucing tertawa, omelnya, "Memangnya kau kira aku kemari hendak makan gratis melulu? Hehe, daging masam dan arak kecut yang kau hidangkan ini kau kira dapat menarik selera kucing liar macam diriku?"

"Kalau kau pergi ke rumah orang lain, mustahil kau tidak diusir," Auyang Hi berolok dengan tertawa. Si Kucing taruh cawan araknya, katanya, "Marilah bicara sesungguhnya, kedatanganku hari ini memang lantaran satu hal, aku ingin bertemu dengan Ong Ling-hoa, apakah belakangan ini dia berada di kota?"

"Beruntung kau, kebetulan dia belum meninggalkan Lokyang," sahut Auyang Hi. "Bicara tentang dia, aku jadi ingat satu

lelucon." "Ong Ling-hoa memang banyak bikin lelucon, coba ceritakan apa yang membuatmu geli." Auyang Hi bercerita, "Beberapa hari yang lalu waktu Leng-jisiansing jual-beli di sini, mendadak muncul seorang gadis jelita dari keluarga kaya raya. Ong-kongcu kita itu tentu saja menggunakan rayuannya untuk memikat nona itu, tak tahunya ...." Sampai di sini dia sengaja berhenti. Si Kucing tidak tahan, tanyanya, "Tak tahunya bagaimana?" Auyang Hi tertawa, katanya, "Begitu melihat dia, nona itu seperti melihat setan, tanpa menoleh terus lari terbirit-birit. Hal ini mungkin belum pernah terjadi selama hidupnya, Keh-pak-bwe yang beruntung, semula dia sudah jual seorang pelayan kepada nona itu, karena si nona lari, dalam keadaan kacau Keh-pak-bwe membawa lari pula pelayan itu." Si Kucing bergelak tertawa, baru dia ingin tanya siapakah

nona itu, ternyata Sim Long sudah mendahului bertanya, "Leng-jisiansing tersebut apakah ada hubungan dengan Jin-gi-ceng?"

"Benar," ujar Auyang Hi dengan menghela napas, "demi mempertahankan berdirinya Jin-gi-ceng, Leng-jisiansing boleh

dikatakan telah bekerja mati-matian, memangnya siapa orang Kangouw yang tidak tahu cara berdagang Leng-jisiansing tiada

keduanya di dunia ini. Dalam setahun entah berapa banyak keuntungan yang berhasil dikeduknya, namun seluruh keuntungan itu dia serahkan kepada Jin-gi-ceng, awak sendiri hidup sederhana, kapan dia pernah berpakaian perlente dan makan enak, sepanjang tahun dia selalu mengenakan jubah biru, bagi yang tidak mengenalnya pasti menyangka dia seorang siucay rudin."

Sim Long kagum, katanya dengan hormat, "Siapa nyana Leng bersaudara adalah kesatria gagah yang patut dibuat teladan."

Belum habis dia bicara, dari luar pekarangan mendadak berkumandang gelak tertawa seorang. Terdengar suara seorang pemuda berkata, "Auyang-heng, terlalu kacungmu, aku sedang mendengkur, dia bilang ada seekor kucing menerobos ke sini dan minta aku mengusirnya, kau tahu aku mampu menundukkan naga dan membekuk harimau, tapi setiap kali melihat kucing kepalaku lantas pusing." Seorang pemuda berpakaian perlente tampak masuk sambil tertawa riang. Mendadak si Kucing membentak sambil melayang maju dan turun di depan si pemuda, dia jambret baju orang seraya memaki dengan tertawa, "Pembual macam dirimu, kecuali main sambar sini dan comot sana (maksudnya main perempuan) apa pula kemahiranmu, berani mengaku pandai

menundukkan naga dan membekuk harimau segala."

"Wah, celaka," ujar pemuda itu tertawa, "kucing ini semakin liar." Si Kucing bersuara lantang, "Belakangan ini berapa banyak pula cewek yang berhasil kau gaet? Ayo lekas mengaku." Pemuda itu masih ingin balas berolok, sekilas dilihatnya Kim Bu-bong dan Sim Long, segera dia menghampirinya dengan langkah lebar, katanya dengan tertawa sambil menjura,

"Kedua Saudara ini jelas bukan orang biasa. Auyang-heng, kenapa tidak lekas kau perkenalkan mereka kepadaku." Agaknya Auyang Hi kelupaan karena mendengarkan selorohnya dengan si Kucing hingga tidak ingat lagi nama Sim Long dan Kim Bu-bong, terpaksa dia berkata, "Inilah Kim-tayhiap dan Sim-siangkong, Saudara ini adalah Ong Ling-hoa, Ong-kongcu, kalian bertiga seperti naga di antara manusia, selanjutnya silakan bersahabat." Kim Bu-bong hanya mendengus, sedang Sim Long balas

menghormat dengan tertawa. Maka semua orang lantas menempati kursinya masing-masing, kembali senda gurau terjadi. Auyang Hi berkata pula, "Ong-heng, kucing liar ini sebetulnya ingin mencarimu tapi tidak mau bilang untuk urusan apa, sekarang boleh kau tanya dia." Ong Ling-hoa tertawa, "Bila dicari kucing liar biasanya tidak pernah ada urusan enak, tak heran beberapa hari ini burung gagak selalu berkaok di luar jendelaku, pepatah memang benar, kalau badan lagi apes, menutup pintu duduk dalam rumah, bencana tetap menimpa dari langit." Him Miau-ji alias si Kucing tertawa, katanya, "Kali ini kau salah terka. Kedatanganku ini bukan untuk minta uang atau ingin minum arak, tapi kuantar dua gadis jelita kemari supaya kau lihat dan menilainya." Diam-diam Sim Long tertawa dan membatin, "Si Kucing ini kelihatan kasar, tapi cara kerjanya ternyata cukup rapi dan memakai otak, lebih dulu ia gelitik hati orang, kemudian baru memancingnya." Ong Ling-hoa lagi tertawa, katanya, "Masa ada urusan baik kau mau mencari aku, gorok leher pun aku tidak percaya, kedua cewek jelita itu boleh kau pandang sendiri saja, terima kasih atas kebaikanmu."

"Dasar manusia rendah," maki si Kucing dengan tertawa, "masa menilai diriku dengan hati busukmu, kini kedua cewek jelita sudah kubawa kemari, mau-tidak-mau kau harus memeriksanya, cuma ...." Ia berkedip-kedip dan tidak melanjutkan ucapannya.

"Aku tahu setiap kali matamu melek-merem pasti sedang merangkai akal bulus, agaknya akal bulusmu sudah berhasil memancing hasratku, hendaklah kau lanjutkan uraianmu supaya orang lain tidak gelisah menunggu." Sim Long dan Auyang Hi tertawa geli. Si Kucing lantas berkata, "Cuma untuk melihat kedua cewek menggiurkan ini, kau perlu menggunakan keahlianmu."

"Dengan keahlian apa baru aku bisa melihatnya?" tanya Ong Ling-hoa. "Coba jelaskan dulu, kecuali main golok dan memutar tombak, menggosok tinta dan menggerakkan pensil, meniup seruling, bernyanyi, meramal dan menujum serta memberi obat pada

orang yang sakit perut, apa pula keahlianmu?"

"Memangnya semua itu belum cukup?" tanya Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Belum cukup, malah ketinggalan jauh," ujar si Kucing. Ong Ling-hoa menggeleng kepala, katanya, "Kau ini memang bajingan, sayang aku tidak tahu bagaimana tampang bapakmu, kalau tidak, tentu aku akan menyamar menjadi beliau untuk menghajar adat kepada putra kurang ajar macam dirimu ini."

"Nah, itulah yang kumaksudkan?" seru si Kucing mendadak sambil menggebrak meja. "Itu apa?" Ong Ling-hoa dan Auyang Hi sama melengak. "Bukankah kau pun mahir ilmu rias, betul tidak?" tanya si Kucing. "Hehe, jangan geleng kepala, barusan kau sudah omong sendiri, mau mungkir juga sudah kasip."

"Memangnya kenapa?" tanya Ong Ling-hoa sambil menyengir. Si Kucing menjelaskan, "Kedua nona ini telah dipermak sedemikian rupa oleh seorang sehingga wajah aslinya yang jelita menjadi seburuk setan, jika kau mampu mengembalikan wajah asli mereka, aku baru betul-betul menyerah kepadamu."

"Siapa sih kedua nona itu?" tanya Ong Ling-hoa. "Wah, aku sendiri kurang jelas," ucap si Kucing sambil garuk kepala, "aku hanya tahu satu di antaranya she Pek." Cahaya mata Ong Ling-hoa seketika guram seperti menghela napas secara diam-diam, gumamnya, "Kiranya she Pek ...." mendadak dia tertawa pula, katanya, "Terus terang, merias aku hanya mahir sekadarnya saja, kalau aku diharuskan mengubah rupa seorang mungkin aku tidak mampu, tapi untuk mencuci samaran seorang aku dapat mencobanya."

"Itu sudah cukup," seru si Kucing girang, "lekas ikut padaku."

*****

Cu Jit-jit dan Pek Fifi sudah dibawa masuk sebuah kamar yang besar, si Kucing menarik Ong Ling-hoa ke kamar itu, Sim Long

dan lain-lain ikut dari belakang. Begitu melihat Ong Ling-hoa, jantung Cu Jit-jit hampir melompat keluar, sungguh mimpi pun tak terbayang olehnya bahwa si Kucing bakal membawa datang iblis laknat yang menakutkan ini. Setelah terjatuh ke tangan si nyonya berbaju hijau, ia merasa pemuda ini tidak lebih menakutkan daripada si nyonya berbaju hijau. Namun sekarang ia baru lolos dari cengkeraman iblis, kini mendadak bertemu lagi dengan pemuda bajul ini, berbagai kejadian yang mengerikan dahulu itu seketika terbayang pula olehnya, terpaksa dia menatap tajam ke arah Sim Long, hanya menatap Sim Long baru rasa takutnya sedikit berkurang, sayang Sim Long tidak balas menatapnya. Terdengar Kucing berkata, "Lekas kau periksa, apakah wajah mereka ini bisa dicuci bersih?" Ong Ling-hoa lantas mendekatinya dengan saksama ia memeriksa muka mereka. Jit-jit amat ngeri tapi juga terharu dan senang, karena ia yakin Ong Ling-hoa pasti punya kepandaian untuk memulihkan wajah aslinya. Tapi tak terpikir olehnya bahwa takdir telah mengatur nasib seorang secara ajaib, ternyata pemuda bajul ini yang harus menolong dirinya, diam-diam dia mengertak gigi, batinnya, "Terima kasih kepada Yang Mahakuasa yang telah mengatur secara aneh ini, nanti, bila aku bisa bersuara, segera akan kubongkar rahasianya, coba saja bagaimana

reaksinya?" Khawatir Ong Ling-hoa melihat perasaannya lewat sorot matanya, lekas dia memejamkan mata. Cukup lama Ong Ling-hoa memeriksa wajah kedua gadis itu dengan teliti, si Kucing dan lain-lain pun menunggu dengan sabar sambil menahan napas. Akhirnya Ong Ling-hoa menegakkan badan sambil menghela napas, ucapnya, "Hebat sekali, sungguh karya yang bagus ...."

"Bagaimana?" lekas si Kucing tanya. "Dapat kau tolong mereka?" Ong Ling-hoa tidak segera menjawab, dia malah berkata,

"Dinilai dari cara operasi wajahnya ini, kelihatannya mirip kepandaian khas keluarga Suto yang jarang diajarkan ...." Si Kucing tepuk paha, serunya senang, "Aha, betul, agaknya kau memang boleh ... kalau kau tahu asal-usul ilmu riasnya, tentu kau mampu menghapusnya."

"Aku memang dapat mencobanya, tapi ...." setelah menghela napas, ia menyambung, "orang yang mengoperasi wajah kedua nona ini boleh dikatakan sudah mempraktikkan segala kemampuannya, kedua wajah yang dipermaknya ini sungguh amat bagus, sedikit pun tidak kelihatan cirinya ...."

"Memangnya kenapa kalau begitu?" tanya si Kucing. "Dalam pandangan kalian wajah mereka tentu amat buruk bagai setan, tapi menurut penilaianku justru kedua wajah ini merupakan hasil karya seni terbesar dan terpuji, serupa lukisan antik yang tak ternilai harganya, sungguh aku tidak tega untuk merusak karya seni yang bagus ini." Sesaat si Kucing melenggong bingung, akhirnya dia tertawa dan memaki, "Kentut anjing, kentut melulu!" Ong Ling-hoa menggeleng kepala dan menghela napas,

katanya, "Kau ini orang kasar, mana kau bisa menilai karya seni." Si Kucing segera meraihnya, "Karya seni atau kentut anjing aku tidak peduli, aku hanya menuntut supaya kau segera memulihkan wajah asli kedua nona ini, coba katakan, mau

tidak?"

"Berhadapan dengan kucing liar macammu ini, sungguh serbarunyam, tapi lepaskan dulu tanganmu." Si Kucing tertawa sambil melepaskan pegangannya, katanya, "Masih ada, kedua orang ini terbius hingga lumpuh dan bisu, bahwa kau pun ahli pengobatan, kuyakin kau pun bisa menyembuhkan mereka." Ong Ling-hoa berpikir sejenak, katanya, "Wah ... baiklah akan

kucoba, bahwa aku harus memeras keringat, kalian pun jangan menganggur, bila aku minta bantuan kalian, siapa pun tidak boleh menolak." Sembari bicara seperti tidak sengaja ia mengerling Sim Long sekejap. Sim Long tertawa, katanya, "Bila diperlukan tenagaku, silakan bicara saja." Ong Ling-hoa tertawa, "Baiklah, kuterima janji kalian." Lalu sorot matanya tertuju Auyang Hi. Auyang Hi tertawa geli, katanya, "Wah, giliranku yang kau incar, baiklah Ong-toakongcu yang terhormat, apa kehendakmu? Katakan saja."

"Bagus," ujar Ong Ling-hoa. "Nah, perhatikan ... cuka hitam kualitas terbaik empat gentong, arak lama terbaik empat

gentong, garam murni sepuluh kati, kain kaci putih halus empat blok ...."

"Wah, wah, memangnya kau mau jadi dukun beranak atau mau membuka toko kelontong?" seru Auyang Hi. Ong Ling-hoa tidak pedulikan ocehannya, katanya lebih lanjut, "Dua baskom tembaga yang baru, minta ukuran yang paling besar, dua gunting baru, dua pisau kecil baru, empat anglo, cerek tembaga empat, semua juga ukuran yang paling gede, dua ratus kati batu bara yang bersih ... dan lekas suruh orang-orangmu memotong dan menjahit dua jubah panjang putih untuk aku dan Sim-siangkong ini, ingat, dalam waktu setengah jam jubah harus selesai, tidak perlu bagus jahitannya asal bersih." Yang hadir melongo dan bingung mendengar sekian banyak barang yang diminta dan harus disiapkan dalam waktu singkat. Si Kucing tertawa, katanya, "Barang-barang yang kau minta ini seperti mau buka toko serbaada saja, memangnya kau ini ingin jadi dukun bayi, atau mau buka rumah makan gelap yang menghidangkan daging manusia dari tubuh kedua gadis montok ini?"

"Wah celaka tiga belas, aku yang repot," ujar Auyang Hi tertawa, "dalam waktu setengah jam harus menyiapkan barang-barang tetek bengek, susah ...." Mulutnya mengeluh, namun wajahnya tetap berseri, sebab ia maklum kalau Ong Ling-hoa menuntut barang-barang yang serbabaru itu, pasti dia akan melakukan sesuatu yang mengejutkan. Soal ilmu rias atau kemahiran mengubah rupa sudah sering didengar namun praktik atau pelaksanaan yang bersangkutan dengan "operasi muka" ini baru sekarang dapat dilihat oleh Auyang Hi, maka bergegas dia keluar menyiapkan apa yang diperlukan. Belum setengah jam Auyang Hi sudah menyiapkan seluruh barang yang diperlukan, batu bara sudah menyala di tungku, cerek tembaga besar pun sudah berisi air dan tengah digodok, sebentar lagi pasti mendidih. Ong Ling-hoa menyerahkan seperangkat jubah panjang warna

putih kepada Sim Long, katanya dengan tertawa, "Tolong Sim-heng juga pakai jubah ini, harap sudi menjadi pembantuku?"

"Dengan senang hati ...." ucap Sim Long. "Dan aku?" si Kucing bertanya tidak sabar. "Apa yang harus kulakukan?"

"Kau keluar saja, tunggulah di luar dan jangan berisik." Si Kucing melongo, serunya, "Keluar? Apa kami tidak boleh

menonton?" Auyang Hi tertawa, "Kalau dia suruh kau keluar, lekas kau keluar saja, kita ...."

"Kau pun harus keluar," tukas Ong Ling-hoa. Auyang Hi melengak. "Apa? .... Aku pun tak boleh menonton?" Dengan serius Ong Ling-hoa berkata, "Dalam melaksanakan tugas aku perlu ketenangan dan harus konsentrasi pikiran, siapa pun tak boleh mengganggu, sebab bila sedikit lena dan menimbulkan sesuatu cacat di wajah kedua nona ini, umpama obat dewa juga takkan bisa menyembuhkannya, karena itulah kalian harus keluar, Kim-tayhiap ini pun harap menyingkir sementara waktu." Auyang Hi dan si Kucing saling pandang, sikap mereka tampak kecewa. Kim Bu-bong cuma mendengus, ia putar tubuh terus keluar. Apa boleh buat, terpaksa Auyang Hi dan si Kucing juga keluar. Pintu jendela segera ditutup rapat oleh Ong Ling-hoa, kain

gorden juga diturunkan sehingga penerangan dalam kamar menjadi guram, suasana dalam kamar seketika terasa seperti mengandung sesuatu yang gaib. Demikian pula bara api dalam tungku yang menyala seperti menambah suasana misterius ini.

Sim Long berdiri diam dan mengawasi orang tanpa bersuara, air dalam cerek di atas tungku sudah mendidih, mengepulkan

asap dan bersuara mendesis. Mendadak Ong Ling-hoa membalik badan, dia menatap Sim Long, lalu katanya, "Kusuruh mereka menyingkir karena aku tidak ingin rahasia operasi muka ini diketahui mereka, tentunya Sim-heng maklum akan hal ini."

Sim Long tersenyum dan mengiakan. "Padahal Auyang Hi dan si Kucing sudah lama bersahabat denganku, sebaliknya kau dan aku baru bertemu pertama kali ini, bahwa aku tidak ingin membocorkan rahasia ini kepada mereka, sebaliknya minta bantuanmu, dalam hal ini pasti ada sebabnya, Saudara tentu merasa heran bukan?" Sim Long tetap tersenyum, katanya, "Mohon keterangan."

"Soalnya meski kita baru berkenalan, tapi kegagahan Saudara sungguh belum pernah kulihat selama ini, sungguh sangat

mengagumkan."

"Terima kasih akan pujianmu, meski Cayhe banyak bergaul, tapi bicara tentang sifat kepribadian, Him-heng itulah yang

patut dipuji. Tapi bicara tentang kecerdikan, terpelajar, kurasa Saudaralah yang nomor satu di dunia ini." Dia merandek, sinar matanya gemerdep, lalu meneruskan, "Kecuali itu, tentu Saudara punya urusan lain, kalau tidak, tak mungkin ...."

Ong Ling-hoa menukas, "Betul, Siaute memang ada maksud lain, maka aku lebih akrab terhadap Saudara."

"Sebabnya tentu amat menarik."

"Ya, memang amat menarik."

"Kalau demikian, coba jelaskan, aku ingin mendengarnya." Ong Ling-hoa berpikir sejenak, katanya kemudian, "Waktu Auyang Hi memperkenalkan engkau tadi, dia tidak menyebut nama besarmu, betul tidak?"

"Mungkin Auyang-heng sendiri tidak tahu jelas nama lengkapku, atau mungkin sudah lupa, hal ini pun jamak dalam pergaulan umumnya."

"Tapi nama Saudara dapat kutebak."

"Ah, masa Saudara punya kepandaian demikian." Ong Ling-hoa tersenyum, "Bukankah nama besar Saudara adalah Sim Long?"

Terunjuk rasa kaget dan heran di wajah Sim Long, katanya, "Betul, bagaimana bisa kau tebak namaku, mungkin ... seorang pernah menyinggung aku di hadapanmu." Kalau kedua orang ini asyik bicara, Cu Jit-jit yang mendengarkan di samping menjadi gelisah malu tapi juga senang, dia tidak ingin Ong Ling-hoa menyebut nama Sim Long, namun juga berharap dia akan mengatakan nama Sim Long, bukan saja tidak rela kalau Ong Ling-hoa turun tangan kepada Sim Long, tapi juga berharap sekali genjot Sim Long membinasakan Ong Ling-hoa. Maka dia membuka lebar kedua matanya dan mengawasi Ong Ling-hoa, ingin tahu cara bagaimana pemuda bajul ini hendak menghadapi Sim Long, apa pula yang hendak dikatakannya? Didengarnya Ong Ling-hoa berkata, "Kalau Saudara ingin tahu bagaimana kutahu nama besarmu, ini ... kelak engkau akan tahu sendiri." Lalu dia mulai membuka tutup gentong cuka, tidak memandang pula kepada Sim Long, tapi tangannya kelihatan rada gemetar.

Diam-diam lega hati Jit-jit, entah kecewa atau merasa bersyukur? Betapa pikirannya sekarang sukar dijelaskan. Ong Ling-hoa angkat sebuah cerek tembaga dan mengarahkan corong cerek ke muka Pek Fifi, kepulan asap panas dari dalam cerek segera menyembur muka Pek Fifi, terpaksa Pek Fifi memejamkan mata. Selang sejenak, Ong Ling-hoa berkata, "Tolong Sim-heng buka tutup cerek." Sim Long mengiakan dengan tersenyum, ia membuka tutup cerek tembaga, padahal tutup cerek tembaga itu terpanggang di atas tungku yang membara, panasnya bukan main, tapi Sim Long memegangnya seperti tidak terasa panas sedikit pun. Sikap Ong Ling-hoa seperti tidak menaruh perhatian, namun air mukanya sedikit berubah, entah kaget, heran, memuji, iri, atau kagum. Setelah tutup cerek terbuka, Ong Ling-hoa menuang cuka ke dalam cerek, segera uap yang menyembur keluar dari cerek mengandung bau asam, uap panas asam menyembur ke muka Pak Fifi semakin keras hingga matanya terpejam rapat. Hal ini berlangsung sekian lama pula, setengah gentong cuka sudah menguap di dalam cerek, kulit daging di ujung mulut Pek Fifi yang mengeras kelihatan mulai lunak dan bergerak, malah kelihatan mengiler. Ong Ling-hoa menurunkan gentong cuka, ganti angkat gentong arak dan arak dituang ke dalam cerek pula, maka uap asam yang kental berubah menjadi bau arak yang pedas, hanya sekejap air mata tampak bercucuran dari mata Pek Fifi. Asap makin tebal memenuhi kamar, jidat Ong Ling-hoa dan Sim Long sudah berkeringat, dua baskom tembaga raksasa yang tersedia diisi arak oleh Ong Ling-hoa, cuka dan air putih dituang pula lalu berkata, "Sim-heng, tolong bukakan pakaian nona ini dan masukkan dia ke baskom besar ini." Sim Long melengak, "Apakah pakaiannya harus dibuka."

"Benar, pori-pori sekujur badannya sekarang tersumbat oleh obat rias, tanpa melucuti pakaiannya mana bisa menolongnya?"

Sembari bicara Ong Ling-hoa mengeluarkan tiga botol kecil yang terbuat dari kayu, dari botol-botol itu dia tuang sedikit

puyer ke dalam kedua baskom besar, lalu berkata dengan tertawa, "Seorang laki-laki sejati, memangnya tidak berani

membuka pakaian seorang perempuan?" Waktu Sim Long menoleh ke sana, dilihatnya air mata Pek Fifi berlinang, sorot matanya cemas, malu, dan minta belas kasihan. Sim Long menghela napas, katanya, "Urusan mendesak, terpaksa aku memberanikan diri, harap Nona maklum dan maaf akan kelancanganku." Perlahan dia membuka pakaian Pek Fifi. Di luar pintu si Kucing dan Auyang Hi berjalan mondar-mandir, yang satu menggendong tangan, yang lain mengepal tinju, wajah mereka tampak gelisah dan tidak sabar, sikap mereka lebih mirip seorang suami yang gelisah menunggu istrinya yang hendak melahirkan. Sementara Kim Bu-bong duduk diam di pojok sana, tapi sorot matanya kehilangan ketenangan biasanya. Terdengar suara mendesis air mendidih serta percikan api batu bara yang menyala besar, air dituang, bau arak dan cuka bersama asap tebal merembes keluar, terdengar pula suara gunting bekerja dan pisau mengiris, lalu terdengar pula suara orang lagi mandi. Tiba-tiba si Kucing tertawa geli, katanya, "Mendengar suaranya, mereka berdua seperti lagi menyembelih babi atau memotong kambing, entah bagaimana kedua nona itu dijagal ...." Auyang Hi berkata, "Kalau aku boleh masuk melihatnya, suruh aku menyembah tiga kali aku mau."

"Siapa bilang tidak," ucap si Kucing sambil menghela napas. "Cuma sayang ...." Mendadak berkumandang suara kaget dan bentakan perlahan, itulah suara Sim Long. Kim Bu-bong melompat bangun dan hendak menerjang masuk, tapi si Kucing segera menariknya mundur. "Kau mau apa?" bentak Kim Bu-bong gusar. Si Kucing tertawa, katanya, "Kenapa Saudara begini tegang,

betapa gagah perwiranya Saudara Sim kita, memangnya kau khawatir dia? Bila Kim-heng main terobos ke dalam hingga

Ong Ling-hoa gusar, bukan mustahil tugasnya yang belum selesai akan ditinggal pergi, lantas bagaimana urusan selanjutnya, bukankah kedua nona itu tidak bisa lagi hidup dimuka umum." Kim Bu-bong termangu sejenak, akhirnya ia mendengus sambil mengipratkan tangan si Kucing, dengan langkah lebar ia kembali ke tempat duduknya semula. Dia juga maklum manusia seperti Sim Long tak mungkin mengalami sesuatu. Tapi pada saat itulah di dalam kamar terdengar suara telapak tangan saling tepuk, suaranya keras dan kerap seperti rentetan mercon saja, kembali Kim Bu-bong berubah air mukanya, dia berdiri pula.

Auyang Hi juga berkerut kening, katanya, "Suara apa itu?" Si Kucing berpikir, katanya kemudian, "Mungkin suara Ong

Ling-hoa sedang mengurut dan memijat kedua nona itu." Auyang Hi manggut-manggut, katanya, "Ya, mungkin demikian ...."

Walau diam saja, namun dalam hati Kim Bu-bong menerima pendapat si Kucing, tapi baru saja ia berduduk, dari dalam kamar terdengar pula jeritan kaget pula. Yang menjerit kali ini ternyata Ong Ling-hoa. Berubah air muka Auyang Hi, ia pun

hendak menerjang masuk ke sana, tapi si Kucing kembali menariknya mundur. "Ong-heng biasanya tenang dan tabah," kata Auyang Hi, "bila dia sampai menjerit, mungkin ...."

"Mungkin kenapa?" tukas si Kucing. "Ong Ling-hoa sedang sibuk menolong kedua nona itu, memangnya kau kira Sim-heng akan bertindak sesuatu kepadanya, apalagi mereka baru saja kenal, belum pernah bermusuhan, malah saling kagum dan memuji .... Hehe, kukira lantaran kau ingin masuk, maka sengaja kau cari alasan." Auyang Hi tertawa geli dan keki, katanya, "Kucing rakus, apa kau tidak merasa jeritan itu agak ganjil?"

"Mungkin mereka terpesona oleh kecantikan kedua nona itu, hingga tak tahan dan menjerit kaget, terutama Ong Ling-hoa

si iblis perayu itu, mungkin tulangnya sekarang sudah lemas lunglai," kata si Kucing. Auyang Hi menggeleng, "Umpama dugaanmu benar juga hanya mereka berdua saja yang kebagian rezeki, tidak perlu kau ikut ribut." Pintu tertutup rapat, kecuali suara keras atau jeritan melengking, percakapan Sim Long dengan Ong Ling-hoa tidak terdengar dari luar. Auyang Hi melongok cuaca luar rumah, mentari sudah semakin tinggi, hampir dia tidak tahan sabar, ia garuk kepala dan membanting kaki, sering bergumam, "Kenapa mereka belum keluar, mungkin ... mungkin terjadi ...."

*****

Ketika Sim Long membuka kancing pertama baju Pek Fifi, nona itu memejamkan kedua matanya, kaki tangan berkeringat dingin dan gemetar. Walau rupanya sudah berubah buruk, tapi waktu dia memejamkan mata, kerlingan mata yang mengandung rasa malu sungguh menggiurkan. Sifat malu-malu seorang gadis jelita semacam ini justru tidak dimiliki oleh Cu Jit-jit. Walau gadis itu sudah memejamkan mata, agaknya Sim Long tidak berani menatap mukanya, dengan perlahan dan hati-hati Sim Long melucuti pakaiannya, ujung jari pun tidak menyentuh badan orang. Ternyata Pek Fifi tidak mengenakan pakaian dalam, begitu baju luar tersingkap, maka badannya yang mulus seketika terpampang di depan mata. Bentuk tubuh yang elok, mulus, kenyal, dan halus terpampang di depan mata Sim Long. Badan yang polos ini tidak merangsang nafsu tapi menimbulkan rasa kasih sayang

terhadap gadis yang lemah lembut, daya tarik gadis suci yang khas, yang sukar dilukiskan. Untuk melengos tidak sempat lagi, sekali pandang seketika Sim Long rada terkesima, dia lupa untuk melengos, dia terpesona oleh kemulusan tubuh gadis telanjang di depan mata ini. Biarpun dia seorang enghiong (kesatria), dia tetap seorang lelaki. Ketika mendengar Sim Long disuruh membuka pakaian Pek Fifi, Cu Jit-jit lantas mendelik mengawasi gerak-geriknya, kini melihat sikap kesima Sim Long itu, sorot mata Jit-jit seketika memancarkan rasa keki dan iri. Dia membatin, "Sim Long, wahai Sim Long, ternyata kau pun laki-laki mata keranjang, betapa besar cintaku kepadamu, lelaki lain tiada yang terpandang olehku, tapi melihat perempuan lain, kau pun melotot semacam ini, ai, sia-sia aku mencintaimu." Waktu dia melirik ke sana, Ong Ling-hoa berdiri membelakangi Sim Long dan Pek Fifi, melirik pun tidak ke arah sini. Setelah berdehem, Ong Ling-hoa bersuara, "Pakaiannya sudah dibuka belum? Sekarang silakan Sim-heng masukkan dia ke dalam baskom besar, gunakan kain putih yang baru kupotong,

cuci atas kepala sampai kaki dan digosok dua kali, gunakan dulu air baskom sebelah kiri, lalu dibilas dengan air baskom

sebelah kanan, sekali-kali jangan keliru." Sim Long menoleh, katanya gugup, "Tapi ... kenapa Saudara tidak turun tangan sendiri?" Ong Ling-hoa tetap tidak berpaling, katanya dengan tertawa, "Betapa terhormat badan suci seorang anak perawan, hanya lantaran keadaan mendesak, terpaksa harus dikerjakan, lebih baik kalau hanya seorang lelaki saja yang menjamah

badannya, betul tidak pendapat Sim-heng .... Selanjutnya dia sudah menjadi orang Sim-heng, maka terpaksa mohon Sim-

heng melanjutkan kerja sampai selesai." Sim Long menjadi gugup, serunya, "Dia ... dia sudah menjadi orangku apa?" Ong Ling-hoa tertawa, katanya tanpa menjawab pertanyaannya, "Khasiat obat dalam air sebentar akan hilang bila air mulai dingin, kenapa Sim-heng tidak lekas turun tangan?" Sim Long melongo sejenak, apa boleh buat, sambil menghela napas dia angkat Pek Fifi dan diturunkan ke dalam baskom, lalu diambilnya setumpuk kain kaci putih. Ong Ling-hoa berdiri sambil berpeluk tangan, katanya, "Kedua nona ini pasti berwajah cantik laksana bidadari, hari ini sungguh Sim-heng amat beruntung." Kelihatan gusar pada wajah Sim Long, katanya keki, "Saudara bicara demikian, memangnya kau anggap aku ini orang apa?"

"Ah, Siaute hanya berkelakar saja, harap Saudara jangan marah, tapi ...."

"Tapi apa?"

"Kau yang membawa kemari kedua nona ini, kesucian tubuh mereka juga sudah kau pandang dan kau jamah, maka selanjutnya kuharap engkau tidak telantarkan mereka, bila Saudara berjiwa pendekar, maka masa depan kedua gadis ini harus kau pandang sebagai kewajibanmu, sekali-kali tidak boleh naksir pada gadis yang ketiga." Sudah tentu kaget dan gusar Sim Long, tapi apa yang diucapkan Ong Ling-hoa juga terasa jujur dan tegas, seketika Sim Long jadi bungkam dan tak mampu mendebat.

Dalam persoalan ini sudah tentu hanya Cu Jit-jit saja yang tahu makna dari ucapan Ong Ling-hoa itu, sebab kecuali dia

sendiri siapa pun tidak tahu bahwa dia adalah Cu Jit-jit. Maksud tujuan Ong Ling-hoa adalah hendak mengikat Sim Long dengan kata-katanya, supaya kedua gadis ini benar-benar membelenggu Sim Long sehingga dia tidak bisa bebas dari tanggung jawab, untuk ini Ong Ling-hoa akan mengatur tipu daya sehingga kedua gadis ini selanjutnya akan mengikat Sim Long, apalagi menurut tradisi zaman itu, bila tubuh suci seorang gadis sampai terlihat, apalagi terjamah oleh seorang laki-laki, maka selama hidup dia tidak akan kawin kecuali dengan lelaki itu apalagi Sim Long adalah tipe lelaki gagah

yang disukai anak gadis. Bila Sim Long sudah terikat oleh kedua gadis ini, sudah tentu dia tidak boleh jatuh cinta kepada gadis lain. Gadis ketiga yang dimaksud Ong Ling-hoa sudah tentu adalah Cu Jit-jit. Langkah yang dimainkan Ong Ling-hoa memang lihai, namun betapa rapi perhitungannya, terjadi juga kekhilafan, tak pernah terbayang olehnya bahwa satu di antara kedua gadis ini adalah Cu Jit-jit, dengan susah payah ia mengatur tipu dayanya akhirnya justru merugikan diri sendiri. Sim Long tidak bicara lagi, ujung mulutnya kembali mengulum senyum. Ong Ling-hoa berkata, "Apakah Sim-heng sudah selesai memandikan dia? Baiklah, silakan Sim-heng menggosok kering badannya .... Bagus, selanjutnya dengan tenaga hangat Sim-heng boleh kau urut ke-46 hiat-to di sekitar perutnya, bila Sim-heng merasa malu, boleh kenakan dulu pakaian nona ini." Belum habis dia bicara, didengarnya suara keresek kain baju, kejap lain terdengar suara tepukan enteng telapak tangan, napas Sim Long lambat laun terdengar berat, Pek Fifi juga mengeluarkan suara keluhan dan napas tersengal, keluhan

yang menggetar sukma. Perlu dimaklumi tempat yang ditepuk dan diurut oleh Sim Long sekarang adalah bagian yang peka di tubuh seorang gadis, apalagi kini yang mengurut adalah telapak tangan lawan jenis, betapa nikmat rasanya dapat dibayangkan. Cu Jit-jit melotot gusar mengawasi tangan Sim Long yang bergerak di atas badan Pek Fifi, tiba-tiba terbayang olehnya waktu dirinya diurut dan dipijat oleh Ong Ling-hoa tempo hari, bukankah rasanya juga nikmat memabukkan. Seketika terasa adanya aliran hangat yang menyusuri seluruh badannya, hatinya seperti dibakar nafsu. Mata Pek Fifi masih terpejam, napasnya makin memburu, badan bergeliat dan gemetar. Perlahan Ong Ling-hoa membalik tubuh, ia ambil gunting dan dimasukkan ke dalam cuka yang mendidih, dengan tersenyum ia menyaksikan Sim Long mengerjai Pek Fifi, katanya, "Jangan

Sim-heng berhentikan kerja kedua tanganmu, tak peduli apa pula yang kau lihat atau dengar, sekejap pun tidak boleh

berhenti, kalau tidak, akan sia-sia usahamu, dan kau sendiri harus bertanggung jawab." Sim Long tersenyum, katanya, "Jangan khawatir, selama hidupku belum pernah melakukan sesuatu yang mengecewakan orang." Bukan dia tidak merasakan reaksi Pek Fifi, ia sendiri juga mulai terpengaruh oleh reaksi yang menggelitik ini. Tapi lahirnya tetap kelihatan tenang dan wajar, seperti yakin dan penuh kepercayaan pada diri sendiri bahwa segala apa yang akan terjadi, dia sudah siap menghadapinya. Ong Ling-hoa mendekati Pek Fifi, katanya, "Obat rias di muka nona ini karena tersembur uap arak dan cuka  dan terserang suhu panas badannya yang berkeringat kini sudah mulai lunak." Sembari bicara kedua tangannya mulai meremas muka Pek Fifi, "kulit" muka Fifi yang serupa asli itu sudah mulai berkerut oleh remasan-remasan tangannya, begitu  bentuknya berubah, sungguh tambah mengerikan roman mukanya. Segera Ong Ling-hoa keluarkan obat dan dijejalkan ke mulut

Fifi, katanya, "Aliran darah dan napasnya sudah berjalan lancar, mulutnya juga sudah bisa bicara, cuma ...." tiba-tiba

dia tertawa tertahan, lalu menyambung, "cuma karena rabaan tangan Sim-heng, sekujur badannya menjadi lunglai, untuk

bicara saja ogah buka suara." Kalau orang lain yang mendengar perkataannya ini, mana sanggup lagi bergerak lagi kedua tangannya, tapi Sim Long anggap tidak mendengar ocehannya, kedua tangannya masih terus bekerja. "Bagus!" Ong Ling-hoa memuji, dengan dua jari mendadak dia cubit kulit mata Pek Fifi, tangan kanan yang sejak tadi pegang gunting lantas bekerja, "kres", kontan dia mengguntingnya. Kulit kelopak mata Fifi diguntingnya secuil, walau Fifi tetap diam seperti tidak merasa sakit, tapi Sim Long dan Cu Jit-jit sama kaget. Ong Ling-hoa lempar hasil guntingannya ke dalam ember

garam, lalu pisau kecil ditusukkan ke kulit mata yang barusan diguntingnya. Kembali Sim Long kaget, tapi dilihatnya Pek Fifi diam saja seperti tidak merasakan apa-apa. Dilihatnya kedua tangan Ong Ling-hoa terus bekerja, pisau kecil mengiris pergi-datang, lapisan kulit muka Pek Fifi terkelupas sekeping demi sekeping, kulit mukanya yang memang jelek kini kelihatan lebih buruk lagi. Walau tahu kulit palsu itu buatan obat rias yang membeku, jantung Sim Long berdegup juga.

Mendadak sinar dingin berkelebat, pisau kecil di tangan Ong Ling-hoa tiba-tiba mengiris ke muka Sim Long. Jit-jit melihat jelas kejadian ini, sungguh tidak kepalang kagetnya. Sim Long lagi tumplak seluruh perhatiannya, jelas dia tidak

mampu menghindari sambaran pisau kecil ini. Siapa tahu mendadak Sim Long berteriak kaget, menyusul lantas membentak pula, kaki tidak bergerak, badan bagian atas menyurut mundur beberapa senti, pisau kecil menyambar lewat pipinya, tidak sampai melukai kulit dagingnya. Tanpa terasa keringat dingin membasahi tubuh Cu Jit-jit, ia mengkhawatirkan keselamatan Sim Long tapi kedua tangan Sim Long tetap bekerja, tidak berhenti juga tidak tertunda, masih terus mengurut, hanya sorot matanya tampak gusar, katanya, "Apa maksud tindakanmu ini?" Ong Ling-hoa berlagak seperti tidak terjadi apa-apa, katanya

dengan tersenyum, "Siaute hanya menguji ketenangan Sim-heng apa benar dalam keadaan bagaimanapun kedua tanganmu tidak akan berhenti bekerja." Sim Long tersenyum, katanya, "O, begitu?" Ia bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa, serangan pisau barusan tidak disinggungnya pula. Cukup lama Ong Ling-hoa menatapnya, sorot matanya menampilkan rasa kagum tapi juga iri, tiba-tiba ia menghela napas, katanya, "Selama hidupmu, apakah tidak pernah pikirkan urusan apa pun?"

"Sudah tentu ada," sahut Sim Long tertawa. "Cuma orang lain tidak tahu saja." Cara bicaranya tetap tenang dan kalem, namun dalam pendengaran Ong Ling-hoa entah kenapa tiba-tiba timbul rasa dingin dalam hati, pikirnya, "Ada manusia seperti dia di dunia ini, apa artinya hidup bagiku ...." Sembari berpikir tangannya juga tetap bekerja, kulit imitasi di muka Pek Fifi telah dipotong-potong lagi dan dilemparkan ke dalam ember. "Gerak tangan bagus ...." Sim Long memuji dengan tertawa.

Tapi begitu melihat wajah Pek Fifi, perkataannya terhenti, sekian lama dia melongo. Tampak pipi Pek Fifi putih bersemu merah laksana mawar, bulu matanya yang panjang tampak menghiasi pelupuk matanya yang terpejam, hidungnya mancung, napas tersengal .... Tadi Sim Long sudah melihat tubuhnya yang mulus, jarinya sempat menyentuh kulitnya yang halus, namun perasaannya masih terkendali, kini setelah melihat raut wajahnya yang molek memesona, entah mengapa timbul semacam perasaan aneh, tangannya tak berani lagi menyentuh tubuhnya. Betapa pun Sim Long adalah seorang lelaki, lelaki mana pun

takkan terhindar dari perasaan demikian. Ong Ling-hoa juga terbeliak, lama dia termenung baru menarik napas panjang, katanya dengan gegetun, "Ternyata memang cantik tiada bandingan ...." Melihat betapa sikap kedua lelaki itu mengawasi wajah Fifi, sungguh dongkol dan gemas bukan main perasaan Cu Jit-jit, dalam hati dia mengumpat, "Lelaki, dasar lelaki, tiada lelaki baik di dunia ini." Walau hati mendongkol, tapi kedua lelaki di hadapannya ini, yang seorang adalah pengagum dirinya, kalau tidak mau dikatakan kasmaran terhadapnya, seorang lagi justru pemuda pujaannya, sekarang terlihat mereka kesengsem kepada orang lain, dengan sendirinya timbul rasa cemburunya. Betapa pun Jit-jit adalah orang perempuan, perempuan mana pun di dunia ini pasti tak terhindar dari rasa cemburu. Tanpa sengaja Cu Jit-jit mengerling Ong Ling-hoa, dilihatnya Ong Ling-hoa lagi menatap Sim Long, sorot matanya penuh nafsu membunuh, Cu Jit-jit kaget, teriaknya dalam hati, "Celaka ...." Tengah mengeluh dalam hati, dilihatnya kedua tangan Ong Ling-hoa menghantam ke arah Sim Long dengan cepat. Serangan ini pun dilancarkan secara mendadak, cepat, dan ganas pula. Di luar dugaan, meski Sim Long lagi menatap wajah si cantik, padahal setiap gerak-gerik orang tidak lepas dari pengawasan Sim Long, baru saja telapak tangannya bergerak, kedua telapak tangan Sim Long lantas memapak ke depan. Empat telapak tangan beradu dan menimbulkan serentetan suara serupa seperti bunyi mercon, setelah belasan jurus adu pukulan, Sim Long tampak masih berdiri bergeming, Ong Ling-

hoa justru menjerit dan tergetar mundur. "Apa pula maksud perbuatanmu ini?" tanya Sim Long. Ong Ling-hoa tergetar mundur dekat dinding baru dapat berdiri tegak lagi, ia tepuk-tepuk jubah putih yang baru itu, sikapnya tetap tenang dan wajar seperti tidak terjadi sesuatu, katanya dengan tertawa, "Siaute hanya ingin menjajal, setelah mengurut dan menepuk tadi, apakah tenaga dalammu tidak berkurang?" Setelah menatapnya lekat-lekat, akhirnya Sim Long tersenyum, katanya, "O, apa betul? Banyak terima kasih atas perhatianmu." Sikapnya tetap santai seperti tidak terjadi apa-apa. Mendelik mata Cu Jit-jit, sambil mengertak gigi diam-diam ia mengumpat, "Sim Long, dungu kau, dia minta kau menjadi pembantunya adalah untuk mencari kesempatan akan membunuhmu, masa kau tidak tahu? Kau goblok, kau tidak punya liangsim, adakalanya, sungguh ingin kulihat kau dibunuh orang saja." Ternyata diam-diam Pek Fifi juga memicingkan mata dan mencuri lihat ke arah Sim Long, wajahnya masih kelihatan jengah, entah bagaimana perasaannya terhadap Sim Long, entah malu atau cinta dan kagum, yang jelas, kecuali Sim Long, matanya tidak memandang orang lain lagi. Ong Ling-hoa mengulang apa yang pernah dilakukan tadi terhadap Cu Jit-jit, mukanya disembur dengan uap cuka yang mendidih. Air mata dan ingus mengalir dari mata dan hidung Jit-jit, dia ingin menjerit dan meronta karena tidak tahan, tapi bila teringat sebentar lagi dirinya akan bebas dari siksa derita, maka jantungnya berdegup lebih cepat, rasa sakit kulit mukanya tidak dirasakan lagi sebagai derita yang luar biasa, dia mengertak gigi dan bertahan. Ke dalam baskom besar itu Ong Ling-hoa mengisi pula air arak, cuka, dan obat-obatan, kali ini obat yang dia gunakan lebih banyak, ia berkata kepada Sim Long dengan tertawa, "Untuk memulihkan keadaan nona yang satu ini jauh lebih sukar daripada yang pertama tadi, karena itu Sim-heng harus banyak menguras tenaga juga." Habis bicara dia mundur ke sana dan berdiri menghadap dinding. Sim Long tertawa getir, katanya, "Apa sama seperti cara tadi?" Terhadap setiap permohonan orang agaknya tak pernah dia menolak, segalanya diterima dengan baik. Ong Ling-hoa tertawa, katanya, "Betul, seperti tadi, mohon Sim-heng juga rendam tubuh nona itu di dalam kedua baskom itu secara bergantian ...." Melihat jari Sim Long sudah menyentuh kancing bajunya, jantung Jit-jit berdebar, ingin rasanya dia menjerit. Terpaksa dia memejamkan mata, tubuh terasa dingin, menyusul terangkat lalu terendam di dalam air hangat dalam baskom, tubuhnya meringkuk, terdengar suara napas dan keluh yang merangsang nafsu, dalam hati tadi dia pernah memaki Pek

Fifi, namun suara napas dan keluh kepuasan sekarang ini justru dia sendiri yang mengeluarkannya. Dia seperti mabuk, seperti terbuai dalam impian, entah berapa lama kemudian, akhirnya terasa tubuh terangkat pula, dikeringkan dengan kain dan mengenakan pakaian, kini rasa kaku tubuhnya sudah berangsur hilang, lambat laun perasaannya mulai pulih. Lalu dia merasakan jari-jari yang hangat mulai mengurut dan memijat tubuhnya, tanpa terasa napasnya mulai memburu lagi, suara keluhannya semakin keras. Tanpa disadarinya dia bersuara, hal ini sepantasnya dibuat girang, dia pernah bersumpah bila dirinya dapat bersuara, maka segera dia akan membongkar tipu muslihat keji Ong Ling-hoa, ia pun pernah bersumpah akan mencaci maki Sim Long, namun kini perasaannya seperti mabuk dan lupa daratan, ia lupa dirinya sudah bisa bersuara dan bicara.  Pek Fifi meringkuk di ujung ranjang, sesekali dia mengintip ke arah Sim Long, sementara Ong Ling-hoa masih berdiri menghadap dinding tanpa bergerak, seperti sedang termenung. Cukup lama Ong Ling-hoa berdiri diam, akhirnya dia membalik badan, gunting baru dipegangnya terus mencubit kelopak mata Cu Jit-jit, tapi gunting tidak segera bekerja, entah apa yang menyebabkan dia bimbang, sesaat dia memandang Sim Long dengan terkesima. Tak tahan Sim Long bertanya, "Kenapa Saudara tidak lekas turun tangan?"

"Pikiranku sekarang tidak tenteram dan sukar dikonsentrasikan, jika bekerja sembarangan, mungkin bisa merusak wajah nona ini."

"Kenapa pikiranmu mendadak kalut?" Ong Ling-hoa tersenyum, "Kupikir, setelah kusembuhkan dan memulihkan wajah kedua nona ini, entah bagaimana sikapmu terhadapku?"

"Tentu kuanggap sebagai sahabat, kenapa Saudara curiga?"

"Tadi dua kali aku menjajalmu, apakah tidak kau curiga bahwa sengaja hendak kulukai atau membunuhmu?"

"Aku tidak bermusuhan dan tidak pernah berbuat salah apa pun terhadapmu, untuk apa kau membunuhku?" Ong Ling-hoa tersenyum, katanya, "Kalau demikian, legalah hatiku, semoga Saudara tidak lupa akan apa yang kau katakan ini, selamanya anggap aku sebagai sahabat."

"Sudah tentu, asal Saudara sudi, tak nanti kulupakan."

"Bagus!" seru Ong Ling-hoa tertawa, mendadak dia taruh gunting terus melangkah ke sana. "Kenapa Saudara tidak turun tangan sekarang?" tanya Sim Long pula. "Bahwa Saudara sudi bersahabat denganku, sepantasnya aku menyuguh tiga cawan kepadamu," diambilnya dua cawan dan diisi arak dari gentong. "Tapi ... tapi nona ini ...."

"Tak perlu gelisah, aku bertanggung jawab memulihkan bentuk wajah asli nona ini, sekarang boleh berhenti sementara, kujamin tak terjadi apa-apa." Salah satu cawan arak itu disodorkan, terpaksa Sim Long berhenti bekerja dan menerima cawan arak itu. Sambil angkat cawan Ong Ling-hoa tertawa, katanya, "Secawan arak ini semoga Saudara banyak rezeki dan panjang

umur, semoga pula selanjutnya Saudara sudi menganggap diriku sebagai sahabat kental, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul." Sim Long juga angkat cawannya, katanya dengan tertawa, "Terima kasih ...." Saat mana keadaan Cu Jit-jit sudah berangsur pulih, kesadarannya mulai jernih, tanpa sengaja dia melirik ke sana, dilihatnya Sim Long sedang angkat cawan arak yang diterima dari Ong Ling-hoa dan akan diminum. Walau tadi dia keki terhadap Sim Long, meski ia pun tahu bila dirinya bersuara, kemungkinan Ong Ling-hoa tidak akan mau melanjutkan operasinya, dan kemungkinan besar selamanya mukanya akan tetap buruk, namun melihat Sim Long hendak minum arak pemberian Ong Ling-hoa, apa pun dia tidak pikir lagi, mendadak dia berteriak sekuatnya, "Lepaskan ...."

Jilid 11

Mungkin sudah terlalu lama dia tidak bicara, kini mendadak bisa bersuara, suaranya menjadi kurang jelas. Ong Ling-hoa dan Sim Long sama terkejut, Sim Long berpaling dan bertanya, "Apa kau bilang, Nona?" Sebetulnya Cu Jit-jit ingin bilang, "Lepaskan cawan arak, araknya beracun." Sungguh tak terpikir olehnya mendadak dirinya bisa bicara. Setelah sekian lama jadi orang bisu, kini dapat bicara lagi, betapa senang hatinya sukar dilukiskan. Setelah tercetus perkataan "lepaskan", ia sendiri pun kaget dan melongo, sampai lama ia tak mampu menyambung ucapannya. Jelalatan bola mata Ong Ling-hoa, mendadak dia memburu maju dan menepuk hiat-to bisu si nona, maka Jit-jit tidak mampu bersuara lagi, ia cemas dan penasaran hingga keringat dingin bercucuran. Sim Long mengerut alis, "Kenapa Ong-heng tidak membiarkan nona ini bicara?""

Ong Ling-hoa tertawa, katanya, "Nona ini terlampau lelah dan mengalami pukulan batin, pikiran belum tenang, setelah dapat

bicara dan dapat bergerak, bukan mustahil dia akan melakukan sesuatu yang mengerikan, tadi hampir saja kulupakan hal ini, kini biarlah dia istirahat dulu." Sejenak kemudian ia angkat cangkirnya pula, "Mari minum!" Sim Long agak bimbang, namun melihat Ling-hoa sudah menghabiskan isi cangkirnya, terpaksa ia pun tenggak araknya. Sudah tentu Cu Jit-jit yang berada di samping jadi gugup dan khawatir setengah mati, air mata pun meleleh. Ong Ling-hoa mengisi secangkir penuh pula, katanya dengan tertawa, "Secangkir ini kudoakan saudara ...." dia memang pandai bicara, tutur katanya ramah dan sopan, tanpa sadar Sim Long mengiringi dia menghabiskan tiga cangkir. Sekujur badan Cu Jit-jit berkeringat dingin, kata-kata Ong

Ling-hoa di penjara bawah tanah tempo hari kini seperti mengiang kembali di telinganya, "Sim Long ... Sim Long ...

Bagus, ingin kubuktikan orang macam apa dia sebenarnya ... aku justru akan bikin dia mati di depanku." Seolah-olah terbayang oleh Jit-jit darah hitam meleleh dari tujuh lubang indra Sim Long, lalu jatuh berkelejatan meregang jiwa. Sungguh ia ingin minum ketiga cangkir arak beracun tadi dan bukan Sim Long.

*****

Bulan semakin tinggi, kini Si Kucing pun merasa rada heran. Auyang Hi tetap mengentak kaki, katanya, "Kenapa belum lagi

keluar?" Kini dalam kamar tidak terdengar suara berisik apa pun, tenang dan sepi, hal ini mempertebal rasa curiga mereka,

akhirnya Si Kucing menghela napas, katanya, "Sungguh terlebih sulit daripada menunggu orang melahirkan anak." Makan malam sudah disiapkan di atas meja, tapi ketiga orang ini tiada nafsu makan. "Pasti terjadi sesuatu, ya, pasti terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan ..." demikian gumam Auyang Hi. Lalu dia melirik Si Kucing, tanyanya, "Bagaimana? Perlu tunggu lagi?"

"Tunggu sebentar lagi ... sebentar lagi," sahut Si Kucing. Mendadak Kim Bu-bong berkata, "Tunggu lagi sebentar, kalau

terjadi sesuatu, kau yang harus bertanggung jawab."

"Aku yang bertanggung jawab?" Si Kucing menegas. "Kenapa aku yang harus bertanggung jawab?"

"Kalau kau tidak berani bertanggung jawab, biar sekarang aku menerjang ke dalam," jengek Kim Bu-bong. Mendadak dia

berbangkit, tapi Si Kucing telah mengadang di depan pintu. "Apa pula kehendakmu?" tanya Kim Bu-bong dengan gusar. "Umpama ingin masuk juga harus memberi tanda lebih dulu," ujar Si Kucing. Auyang Hi segera mengetuk pintu, serunya, "Apa kami boleh masuk?" Terdengar suara Ong Ling-hoa berkumandang dari dalam, "Kenapa terburu-buru? Tunggu sebentar lagi, hampir selesai."

"Nah, bagaimana?" ucap Si Kucing dengan tertawa. "Apa salahnya tunggu sebentar lagi." Mendengar ketukan pintu di luar, hati Cu Jit-jit amat girang, dia ingin berteriak supaya Si Kucing, Kim Bu-bong, dan lain-lain terjang masuk, apa pun juga, pasti masih sempat menolong jiwa Sim Long. Tapi setelah mendapat jawaban Ong Ling-hoa, keadaan di luar kembali sunyi. Keruan di samping cemas Cu Jit-jit pun amat kecewa dan sedih, dengan sedih ia melihat Sim Long sekejap, sebetulnya dia tidak berani melihatnya lagi, namun tak tertahan dia menoleh ke sana juga. Tertampak Sim Long masih berdiri tegak di tempatnya, ujung mulutnya masih mengulum senyuman khas yang santai dan gagah, sedikit pun tidak kelihatan keracunan.

Keruan Jit-jit melongo, entah kaget, heran atau gembira, bahwa arak itu tidak beracun, sungguh di luar dugaannya, mimpi pun tak terduga. Didengarnya Ong Ling-hoa lagi berkata, "Tugas terakhir ini aku tidak perlu dibantu lagi, Sim-heng telah bekerja cukup berat, tentunya lelah, silakan duduk dan istirahat saja." Sim Long tertawa, katanya, "Kalau demikian, tolong saudara kerjakan sendiri." Kelihatannya dia memang sangat lelah, begitu duduk lantas memejamkan mata, tubuhnya juga lemas. Senyum di ujung mulutnya juga sirna, badan yang lemas akhirnya terkulai di kursi, entah tertidur pulas atau jatuh pingsan. Baru saja hati Jit-jit merasa lega, melihat keadaan Sim Long, kembali air matanya meleleh saking cemasnya, sayang dia tidak mampu bersuara dan menangis tergerung-gerung. Akhirnya Sim Long terperangkap juga oleh muslihat keji Ong

Ling-hoa, ternyata dugaannya tadi tidak keliru, ketiga cangkir arak tadi mengandung racun. Dengan dingin Ong Ling-hoa mengawasi Sim Long, ia tersenyum, senyuman misterius, dengan senyuman ini ia menghampiri Jit-jit, lalu menunduk dan mengawasinya. Seperti mau menyemburkan bara sorot mata Cu Jit-jit, saking gemasnya ingin rasanya matanya benar-benar bisa

menyemburkan api dan membakar mampus manusia keji ini. Tapi sorot mata Ong Ling-hoa sebaliknya begitu lembut penuh

kasih sayang, dengan tangan kiri dia membuka hiat-to di tubuh Cu Jit-jit, tapi tangan kanan tetap menekan hiat-to bisunya. Dengan demikian, meski Jit-jit bisa bersuara, namun napasnya belum lancar, bersuara juga tidak bisa keras. Jit-jit tahu keadaan sendiri, maka ia pun segan buka suara. Dengan tersenyum ramah Ong Ling-hoa lantas berkata, "Nona

Cu, kau ingin bicara, kenapa tidak katakan saja?" Mata Pek Fifi mendadak terbelalak, dia bergerak seperti hendak merangkak bangun, tapi sekali Ong Ling-hoa kebaskan lengan bajunya pada hiat-to penidurnya, seketika gadis itu tertidur pulas. Jit-jit tambah kaget lagi, dengan suara gemetar katanya, "Da ... dari mana kau tahu aku adalah ... adalah ...."

"Mendengar suara rintihanmu tadi, segera dapat kutebak siapa dirimu," jawab Ong Ling-hoa, "karena rintihanmu itu terasa

sudah pernah kudengar, pada saat itulah aku jadi menyesal kenapa baru sekarang teringat padamu, kenapa aku menyerahkan dirimu kepada Sim Long, perangkap yang kurencanakan kini malah menjerat diriku sendiri." Malu tapi juga benci Jit-jit, ia tahu iblis ini pernah mendengar rintihannya itu, adegan tidak senonoh iblis laknat ini di dalam penjara bawah tanah tempo hari sampai mati pun takkan dilupakannya. Ong Ling-hoa berkata pula dengan tertawa, "Sayang Sim-siangkongmu belum pernah mendengar suara keluhanmu yang menggetar sukma itu, maka mimpi pun dia tidak menyangka akan dirimu ...."

"Kau iblis laknat ... kau ...." damprat Jit-jit dengan suara parau. Ong Ling-hoa tidak menghiraukan caci makinya, dia berkata sendiri, "Karena mimpi pun dia tidak menduga akan dirimu, maka umpama tadi kau berteriak sekeras-kerasnya juga belum tentu dia mengenali suaramu, sebaliknya akulah justru mengenal suaramu." Jit-jit menggereget, "Kau ... binatang!"

Ong Ling-hoa kelihatan semakin senang, katanya, "Betul, aku ini binatang, tapi binatang macamku ini tanggung lebih kuat

dan lebih bergairah daripada pahlawan pujaanmu itu, hal ini pernah kukemukakan kepadamu tempo hari, walau waktu itu kau tidak percaya, tapi asal kau mau melihat keadaannya sekarang, tentu kau akan tahu seribu Sim Long juga tak dapat

dibandingkan seorang Ong Ling-hoa." Jit-jit mendesis gemas, "Mencelakai orang secara keji dan kotor, masih berani mengagulkan diri di hadapanku? Huh, bikin malu seluruh lelaki di dunia saja ... jika dengan kepandaian sejati kau bunuh dia, aku pun akan menyerah padamu, tapi perbuatanmu yang rendah dan kotor seperti ini, aku ... menjadi setan pun takkan mengampuni jiwamu." Ong Ling-hoa tertawa, "Sayang sekarang kau masih hidup, masih segar bugar, ingin menjadi setan juga tidak bisa." Teriak Jit-jit dengan suara serak, "Jika dia mati, segera aku pun akan menyusulnya ke alam baka."

"Dia mati? Siapa bilang dia mati?" Jit-jit melengak, suaranya gemetar, "Kau ... kau tidak membunuhnya?" Ong Ling-hoa tertawa, katanya, "Jika aku membunuhnya, bukankah seumur hidup kau akan membenciku? Kau adalah gadis pujaanku satu-satunya selama hidup ini, mana boleh kubikin kau membenciku?" Kejut dan senang hati Jit-jit, katanya, "Tapi dia ... dia kini ...."

"Sekarang dia hanya terbius oleh obatku dan tidur pulas, tidak perlu kau khawatir, daya kerja obatku itu sangat mustajab,

sedikit pun tidak menimbulkan efek sampingan yang merugikan, malah bila dia siuman nanti, dia takkan menduga bahwa barusan dia telah terbius olehku, rasanya seperti mengantuk dan pulas sekejap di atas kursi."

"Kau, kenapa kau lakukan hal ini ...."

"Aku berbuat demikian hanya supaya kau tahu betapa pun aku lebih kuat daripada dia, jika dia betul-betul pintar seperti apa yang pernah kau katakan, mana mungkin dia tertipu olehku?"

"Dia adalah seorang kuncu tulen, seorang lelaki sejati, sudah tentu takkan berpikir dan menjaga diri terhadap muslihat keji seorang siaujin (manusia rendah)," kata Jit-jit. Ong Ling-hoa tertawa keras, katanya, "Betul, dia adalah kuncu

dan aku ini siaujin, tapi kau ini juga siaujin. Siaujin sama siaujin, kebetulan adalah pasangan setimpal, akan datang

suatu ketika kau akan tahu hanya aku saja yang benar-benar setimpal menjadi pasanganmu. Suatu hari kau akan kembali

ke sampingku, ini mungkin karena pada hakikatnya engkau memang bukan pasangannya, kenapa kau harus menunggu dan menunggu dengan sia-sia, kuanjurkan lebih baik sekarang kau ikut aku saja, supaya kelak kau tidak berduka dan menangis."

"Kentut, kentut busuk! ..." maki Jit-jit dengan gusar. "Aku lebih suka kawin dengan anjing dan babi, tidak sudi diperistri binatang yang lebih rendah daripada babi seperti dirimu ini."

"Sekarang boleh kau benci padaku, boleh kau maki diriku sesuka hatimu, tapi jangan kau lupakan apa yang kukatakan

kepadamu barusan ini."

"Sudah tentu aku tidak akan lupa, mati pun aku tidak lupa. Jika kau seorang pandai, sekarang juga harus kau bunuh aku

dan Sim Long."

"Kenapa harus kubunuhmu? Mana aku tega membunuhmu?"

"Bila kau tidak membunuhku, nanti kalau Sim Long siuman, tentu akan kubongkar muslihatmu, kubongkar rahasiamu. Akan kusuruh Sim Long membunuhmu." Ong Ling-hoa tertawa, "Justru itulah keinginanku, kalau tidak, buat apa aku melepasmu tempo hari? Kalau tidak, untuk apa sekarang aku bicara panjang lebar denganmu?" Melihat betapa senang orang tertawa, mau tak mau Cu Jit-jit menjadi ragu dan heran, serunya, "Kau tidak takut?"

"Setelah kau katakan nanti baru akan tahu apakah aku takut atau tidak ...." Tiba-tiba terdengar Sim Long yang pulas di atas kursi itu mengeluarkan sedikit suara gerakan. Ucapan Ong Ling-hoa seketika terhenti, telapak tangan yang menekan hiat-to di tubuh Cu Jit-jit juga dilepaskan, kembali ia tarik kelopak mata Cu Jit-jit terus diguntingnya. Gerak-geriknya cekatan dan ahli benar. Walau sekarang Jit-jit mampu berteriak, namun cinta pada kecantikan adalah pembawaan setiap anak perempuan, betapa pun dia khawatir bila dirinya bergembar-gembor, gunting dan pisau di tangan Ong Ling-hoa bukan mustahil bisa mengiris kulit daging mukanya, itu berarti wajahnya yang ayu jelita akan cacat seumur hidup. Terpaksa dia menahan diri sambil mengertak gigi. Didengarnya Sim Long menarik napas panjang, agaknya telah berbangkit, lalu seperti berdiri melenggong, akhirnya tertawa dan berkata, "Apakah saudara belum rampung bekerja? Sungguh menggelikan, aku pulas di atas kursi." Ong Ling-hoa tidak menghentikan kedua tangannya, jawabnya, "Sim-heng hanya mengantuk sekejap ... Hampir selesai pekerjaanku, boleh saudara kemari melihatnya." Sim Long tertawa, katanya, "Aku memang ingin tahu siapa sebenarnya nona ini?"

"Jika nona itu begitu cantik molek, nona ini tentu juga bukan gadis sembarangan ... Nah, silakan Sim-heng pentang lebar

matamu, tunggu dan lihat sendiri." Mulut bicara sementara gunting bekerja, lapisan luar kulit muka Cu Jit-jit telah digunting dan dikupasnya tidak keruan, kini dia tinggal mengusapnya saja dan wajah asli Cu Jit-jit lantas terpampang di depan mata Sim Long. Betapa pun tabah dan tenang hati Sim Long, tak urung menjerit kaget juga. Suara kaget ini terdengar di luar, Kim Bu-bong tidak tahan lagi, cepat ia memburu maju, sekali pukul, "blang", daun pintu jebol dan orangnya pun menerobos ke dalam. Sudah kasip Si Kucing mau merintangi, lekas ia pun ikut menerobos masuk, setiba di depan ranjang, begitu melihat Cu Jit-jit, tak tahan ia pun menjerit kaget. "Cu Jit-jit ... bagaimana mungkin kau ...." Sim Long tergegap. Si Kucing juga mematung, gumamnya, "Jadi ... kiranya engkau ...." Kedua orang ini memang tidak pernah membayangkan bahwa Cu Jit-jit yang dicarinya ubek-ubekan sekian lamanya, ternyata berada di sampingnya sendiri. Pada saat itulah mendadak Jit-jit membalik badan, kedua tangan bergerak sekaligus, ia menyerang jian-kin-hiat di dada kiri, dan dua hiat-to mematikan di tubuh Ong Ling-hoa. Sudah tentu Ong Ling-hoa telah menduga akan serangan ini, mana bisa dia kecundang semudah ini, sedikit berputar, dengan enteng dia menghindarkan diri. Sebaliknya Si Kucing dan Sim Long kaget sekali, keduanya bergerak berbareng, kedua tangan Cu Jit-jit telah dipegang mereka. Sim Long menggenggam pergelangan tangan kanan si nona, katanya dengan suara tertahan, "Jit-jit, apa kau gila? Mana boleh kau serang Ong-kongcu?" Kedua pergelangan tangan Cu Jit-jit seperti terjepit tanggam, mana mampu meronta lepas, dia gugup dan gelisah hingga mukanya merah padam, kedua kakinya mencak-mencak, teriaknya serak, "Lepaskan! Kalian berdua babi goblok, kenapa memegangiku? Lekas lepaskan, biar aku mengupas kulit bangsat keparat ini!" Ong Ling-hoa tertawa, katanya, "Coba kalian lihat, susah

payah kutolong nona ini hingga bebas diri penderitaan, tapi nona ini malah mau mengupas kulitku ... Wah, terhitung apa

ini?" Sim Long berkata, "Mungkin lantaran pikirannya belum jernih, maka ...." Jit-jit mengentak kaki, makinya, "Kentut, kau tahu apa, pikiranku belum pernah sejernih sekarang, kau ... kau inilah babi goblok." Ong Ling-hoa tertawa, "Kalau Nona berpikiran jernih, kenapa kebaikanku kau balas dengan jahat?"

"Kau masih berpura-pura? Kalau bukan gara-garamu, mana bisa aku mengalami nasib seperti ini? Aku ... aku ... apa pun

aku akan membuat perhitungan denganmu." Ong Ling-hoa menyengir, ujarnya, "Apa yang dikatakan nona ini sungguh aku tidak mengerti. Sim-heng, Auyang-heng, dan Si Kucing manis, apa kalian tahu apa maksudnya?"

"Aku tidak mengerti," ujar Si Kucing, "Nona Cu, kau ...."

"Tutup mulutmu," bentak Cu Jit-jit. Sim Long menghela napas, katanya, "Kaulah yang harus tutup mulut!"

"Manusia mampus, kau ini orang mampus," pekik Cu Jit-jit. "Masa kau tidak tahu bahwa Ong Ling-hoa inilah iblis yang

menculik Thi Hoat-hou, Can Ing-siong, dan lain-lain itu." Sim Long terperanjat, dengan alis bekernyit dia menoleh ke

arah Ong Ling-hoa. Ong Ling-hoa malah tertawa, katanya, "Nona Cu, apa kau perlu makan obat lagi? Selama ini tidak kukenal Nona, kenapa Nona memfitnahku?"

"Selama ini belum kenal? Aku memfitnahmu? Kau, kau bangsat keparat, binatang, perbuatan yang pernah kau lakukan kenapa tidak berani kau akui?"

"Aku pernah berbuat apa?" ujar Ong Ling-hoa dengan lagak bingung, "Aku telah menolongmu, memangnya apa salahku? Sim-heng, tolong kau beri keadilan!" Sim Long menghela napas, katanya, "Sudah tentu Ong-heng tidak salah, mungkin dia ...." Hampir gila rasanya Cu Jit-jit, ia memandang kian-kemari tanpa menghiraukan betisnya yang mulus menongol keluar dari balik bajunya. Terpaksa Sim Long menutuk hiat-to bagian bawah tubuh si nona, katanya dengan menghela napas, "Tenanglah." Setelah menutuk hiat-tonya, hatinya menjadi tidak enak, segera ia berkata pula, "Kau tahu, tindakanku ini demi kebaikanmu."

"Kau orang mampus, kenapa Ong Ling-hoa tadi tidak menusukmu mampus saja supaya matamu melek dan biar kau tahu siapa sebetulnya yang salah, siapa pula yang gila."

"Ong-heng mana bisa membunuhku, kau ...." Sim Long menyengir. "Masih omong lagi ... babi goblok, ingin kugigitmu,

menggigitmu sampai mampus ...." mulutnya segera terbuka dan hendak menggigit Sim Long, sudah ia tentu tak mampu

menggigitnya. Agaknya Auyang Hi tidak tega, katanya, "Umpama benar ada persoalan, Nona harus bicara dengan tenang dan secara baik-baik ...."

"Aku emoh bicara baik-baik, aku ... mau gila ... kalian bunuh aku saja, aku tidak mau hidup lagi ...." Apa yang dikatakan ada benarnya, kejadian sesungguhnya, orang lain justru menganggap dia gila, keruan ia gugup, mangkel dan penasaran, mana dia kuat menahan perasaannya, akhirnya dia menangis tergerung-gerung. Orang banyak saling pandang, sesaat lamanya mereka

melenggong dan tiada yang bersuara. Pek Fifi datang menghampiri, katanya dengan lembut, "Nona ... Siocia, jangan menangis lagi, kumohon sukalah kau bicara dengan baik-baik. Dengan caramu ini kau sendiri yang rugi...."

"Peduli apa dengan kau, aku rugi adalah urusanku," bentak Jit-jit dengan gusar. "Kau ... enyah, aku tak mau melihatmu."

Fifi menunduk, seperti anak kecil yang penasaran dimarahi dia menyingkir ke pinggir. Sim Long menghela napas, katanya, "Dia bermaksud baik, kenapa kau sekasar ini terhadapnya?" Dengan sesenggukan Jit-jit masih ribut, "Biar, kau mau apa?

Dia orang baik, aku ... aku orang gila, pergi kau merawatnya, jangan pedulikan aku." Akhirnya Pek Fifi juga tidak tahan, dia menjatuhkan diri di lantai dan menangis keras-keras. Ong Ling-hoa keluarkan sebutir pil, katanya, "Kukira keadaan

Nona ini kurang sehat, obat ini dapat menenangkan pikirannya, silakan Sim-heng beri minum padanya." Sim Long menatap Jit-jit, dilihatnya kedua bola matanya merah rambutnya kusut masai, keadaannya memang seperti orang yang kurang waras, terpaksa dia terima pil itu, katanya, "Terima kasih ...." Kontan Jit-jit meratap dan berteriak, "Aku emoh ... emoh

minum obat ... obat itu pasti obat bius, bila kumakan obat itu ingin mati pun tak bisa." Sim Long tidak menghiraukan, pil itu diangsurkan ke depan mulutnya, katanya, "Turut omonganku, jangan bandel ... telanlah pil ini ...." Sekuatnya Jit-jit menggeleng kepala, suaranya serak, "Tidak mau, tidak mau, mati pun tidak mau. O, tolong ... tolonglah aku, kumohon jangan kau paksa aku minum obat ini, bila kumakan obat ini, selamanya tak bisa lagi membongkar rahasianya." Sim Long bimbang, katanya sambil menghela napas, "Kalau kau mau tenang dan bicara dengan baik, aku tidak akan paksa kau, kalau tidak ...."

"Baiklah, aku akan bicara dengan tenang, asal kau tidak paksa aku minum obat itu. Apa yang kau minta kulakukan tentu

akan kulakukan." Sebenarnyalah dia sudah ngeri, maka menyerah dengan menderita. "Apa benar pil ini beracun?" kata Ong Ling-hoa. Dia tertawa dingin dan ambil pil itu dari tangan Sim Long terus dimasukkan ke mulut sendiri serta ditelan, sambil mendongak katanya, "Kalau pil ini beracun, biar aku yang mati keracunan." Sim Long menghela napas, katanya sambil menggeleng, "Jit-jit, apa pula yang dapat kau katakan?" Bercucuran air mata Jit-jit, katanya, "Dengarkan, jangan kau

percaya padanya, setiap langkahnya pasti mengandung muslihat keji, dia ... dia manusia paling jahat di dunia ini." Ong Ling-hoa menyeringai, "Nona Cu, sebetulnya ada permusuhan apa antara kau dengan aku, kenapa kau fitnahku?"

"Sim Long, dengarkan penjelasanku, setelah aku berpisah dengan kau tempo hari, kebetulan aku bertemu dengan rombongan Can Ing-siong, kulihat keadaan mereka seperti orang linglung, gerak-geriknya lamban ...." sambil sesenggukan Jit-jit ceritakan bagaimana dia memergoki gadis-gadis berbaju putih mengiring kawanan mayat hidup, bagaimana dia sembunyi di bawah kereta hingga ikut terbawa ke dalam taman yang serbaaneh, bagaimana dia kepergok Ong Ling-hoa, lalu ditawan oleh nyonya jelita yang misterius itu, akhirnya dia disekap di penjara bawah tanah, secara ringkas dan jelas diceritakan seluruhnya. Kisahnya memang nyata, umpama Sim Long kurang yakin akan ceritanya terpaksa juga harus percaya. Ong Ling-hoa tertawa dingin, katanya, "Sungguh kisah yang menarik, apakah Sim-heng percaya?" Walau tidak menjawab, sorot mata Sim Long yang menatap muka orang dengan tajam jelas memancarkan rasa curiga. "Apakah Sim-heng tidak berpikir, jika kisahnya itu benar, urusan begitu penting dan begitu rahasia, mungkinkah kulepaskan harimau pulang ke gunung, membebaskan dia begitu saja?" Auyang Hi ikut menimbrung, "Benar, dalam keadaan seperti itu, sudah tentu Ong-heng takut rahasia bocor dari mulut

Nona Cu, jelas tidak mungkin membebaskan dia." Sim Long tetap tidak bersuara, sorot matanya yang masih curiga beralih menatap Jit-jit. Nona itu menunduk, katanya, "Dalam hal ini memang ada sebabnya, soalnya ...." walau watak Jit-jit kasar dan keras, tapi untuk menjelaskan kejadian di dalam penjara bawah tanah itu yang menyangkut kasih yang khusyuk masyuk itu, betapa pun sukar diceritakannya. Tapi Sim Long justru mendesak lagi, "Soal apa, katakanlah." Jit-jit mengertak gigi, mendadak dia angkat kepala dan berseru, "Baik, kukatakan, soalnya orang she Ong ini mencintai aku, tapi aku justru kasmaran terhadap orang she Sim, karena tak tahan pancinganku, dia tantang kubawa Sim Long padanya, maka aku  dibebaskannya." Bahwa seorang gadis belia berani bicara soal asmara di hadapan umum secara blakblakan, Auyang Hi dan lain-lain berdiri terkesima, sorot mata Si Kucing pun menampilkan rasa derita dan kecewa. Ong Ling-hoa malah bergelak tertawa, katanya, "Tutur kata Nona Cu sungguh mengasyikkan ... Umpama Nona Cu jelmaan bidadari, masakah perlu aku tergila-gila seperti itu kepadamu."

"Masih berani mungkir?" teriak Jit-jit serak. "Berulang kali kau hendak mencelakai Sim Long, bukankah lantaran soal ini,

barusan juga kau bilang kepadaku bahwa aku adalah perempuan satu-satunya yang paling kau cintai ...."

"Barusan aku bilang begitu?" tukas Ong Ling-hoa dengan tertawa lebar. "Sim-heng, apakah kau dengar?" Sim Long menghela napas, katanya, "Aku tidak mendengar."

"Jelas dia bilang begitu, tadi ... kau tadi terbius pulas oleh arak obatnya, saat itulah dia bicara padaku." Ong Ling-hoa gelang-geleng kepala, katanya, "Nona bilang tadi aku berulang kali hendak mencelakai Sim-heng, kini kau bilang dia terbius pula hingga tidur pulas ... Sim-heng, bila benar aku hendak mencelakai kau, kenapa tidak mumpung kau terbius kubunuhmu ... Saudara-saudara, coba perhatikan, apa benar ada manusia tolol seperti itu di dunia ini?" Hadirin diam saja dan saling pandang. Jit-jit berteriak, "Kau membiusnya untuk berbicara denganku karena waktu itu kau tahu siapa diriku, kau takut selama hidup aku membencimu, maka kau tidak berani membunuhnya."

"Waktu itu Sim-heng sendiri pun belum mengenali dirimu, bagaimana aku bisa mengetahui akan dirimu. Apalagi, umpama benar aku sudah mengenalimu, tapi bila kutahu kau bakal membongkar rahasiaku, kenapa aku mau menolongmu, sekarang kuberi pula kesempatan bicara padamu, memangnya aku sudah gila? Mungkinkah aku mencelakai jiwaku sendiri?" Pembelaan masuk di akal, sudah tentu orang banyak tiada yang mau percaya pada cerita Cu Jit-jit. Melihat sikap ragu orang banyak, saking gugupnya hampir gila Jit-jit, teriaknya dengan kalap, "Kau iblis laknat, mana kutahu muslihat yang kau rancang?"

"Tentu saja kau tidak tahu, karena apa yang kau ceritakan itu kau alami dalam mimpi, omong kosong belaka, namun impian

yang menyenangkan juga rupanya," demikian Ong Ling-hoa berolok-olok. Setiap patah kata Jit-jit adalah kejadian sesungguhnya, peristiwa nyata, namun tiada seorang pun yang mau percaya padanya, betapa rasa penasarannya sungguh sukar dilukiskan. Dengan serak dia berteriak pula, "Apakah kalian tiada yang percaya pada perkataanku?" Tiada yang menjawab, namun sikap hadirin sudah memberi jawaban. Bola mata Cu Jit-jit menyapu pandang wajah mereka satu per satu, akhirnya dia tak tahan isak tangisnya pula, walau tangisnya amat sedih, namun tiada seorang pun yang mau menghiburnya. Tiba-tiba Si Kucing berkata, "Untuk membuktikan kebenaran kisah Nona Cu, kurasa ada satu cara dapat kita tempuh."

"Kau kucing ini ada akal aneh apa?" tanya Auyang Hi. "Bila kisah Nona Cu benar, pasti dia bisa membawa kita ke tempat yang diceritakan ...." Jit-jit berhenti menangis, serunya dengan terbelalak girang, "Betul, itulah cara yang tepat! Tadi sudah kukatakan, aku akan bawa kalian ke tempat itu, orang she Ong jangan boleh pergi, setiba di tempat itu, coba apa yang bisa dia katakan." Sim Long menghela napas, katanya, "Sebetulnya soal ini tidak perlu dibuktikan, namun supaya dia tidak membuat ribut terpaksa kita gunakan cara ini, entah Ong-heng sudi tidak menyertai kami?"

"Tak perlu Sim-heng omong pasti juga kuikut, aku pun ingin tahu, cara bagaimana Nona Cu hendak membuktikan kisahnya. Kalau tak terbukti coba apa yang akan diucapkannya."

*****

Waktu itu sudah tengah hari, Lokyang termasuk kota besar di Tionggoan, sudah tentu amat ramai, jalan raya penuh orang

berlalu-lalang. Rombongan Cu Jit-jit sudah tentu menarik perhatian orang. Air mata Jit-jit sudah kering, matanya masih merah, dia berjalan paling depan, liku-liku jalan di kota besar ini sudah tentu dia belum hafal, setelah putar kayun sekian lama, belum juga dia menemukan tempat tujuannya. Auyang Hi boleh dikatakan adalah rajanya kota Lokyang, orang paling berkuasa di kota kuno ini, ada Auyang Hi di dalam rombongan ini, siapa berani bertingkah, bahkan melirik pun tidak berani kepada mereka. Sim Long dan Si Kucing berjalan di kanan-kiri mengapit Jit-jit, ternyata Pek Fifi juga mengintil di belakang, berjalan sambil menunduk, sikapnya yang lembut dan jinak sungguh harus dikasihani. Setelah putar kayun setengah hari, Auyang Hi mengerut kening, katanya, "Agaknya Nona Cu tidak hafal jalan di sini, coba katakan saja di mana atau apa nama tempat itu, aku ini penduduk tua di kota ini, biar aku menunjukkan jalannya." Jit-jit cemberut, katanya, "Tak perlu kau menunjukkan jalan, juga tak perlu kau beri komentar." Setelah putar satu lingkaran pula, mendadak mereka membelok ke sebuah jalan panjang, di kanan-kiri jalan terdapat lima-enam buah warung kecil, bau makanan yang harum merangsang hidung.

Perut Jit-jit sudah kelaparan, mencium bau masakan lezat, seketika tergerak hatinya, mendadak dia teringat waktu dirinya melarikan diri dari toko peti mati, perutnya juga sedang kelaparan, saat itu ia pun mencium bau masakan yang lezat seperti ini. Waktu dia mendongak dan celingukan, merek toko dan nama warung sekitar tempat ini rasanya seperti pernah dikenalnya. Jit-jit terbelalak girang, mendadak dia berlari ke depan, begitu angkat kepala, terlihatlah tiga huruf "ONG SOM KI" yang besar di sebuah pigura. Pigura berwarna dasar hitam dengan tulisan huruf emas ini betapa pun tidak salah lagi, apalagi di kedua pintu samping tergantung juga dua papan panjang yang berukir syair yang hafal baginya. Waktu dia melongok ke dalam, di belakang pintu terdapat sebuah panggung tinggi, di atas lemari terdapat dua timbangan, dua kuli, seorang sumbing bibirnya, yang lain burik, sedang menimbang uang perak. Keadaan toko ini masih persis seperti waktu dirinya melarikan diri tempo hari. Tak tertahan Jit-jit berteriak girang, "Nah, ini dia di sini!" "Di toko peti ini?" Sim Long mengerut kening. "Ya, dalam toko peti mati ini, tanggung tidak salah." Ong Ling-hoa tertawa, katanya, "Toko peti mati ini memang milikku, bila anggota keluarga Nona Cu ada yang meninggal dan mau pakai peti mati, ukuran apa dan kualitas terbaik juga dapat kusumbang beberapa buah." Jit-jit diam saja tidak menanggapi, langsung dia menerjang masuk lebih dulu. Kedua pegawai itu hendak mengadang, begitu melihat Ong Ling-hoa, segera mereka menjura dan munduk-munduk,

sapanya dengar cengar-cengir, "Siauya, kau telah datang, tumben Siauya datang kemari, biarlah hamba menyeduhkan teh wangi." Ong Ling-hoa mempersilakan para tamunya masuk, Sim Long bersama Si Kucing ikut menerjang masuk di belakang Cu Jit-jit. Toko peti mati ini memiliki ruang pamer yang amat besar, peti-peti mati yang sudah siap dipasarkan dan yang belum jadi atau belum dipelitur tersebar di mana-mana, di sebelah belakang tukang-tukang kayu yang bertelanjang dada sedang sibuk bekerja, makan siang telah usai, banyak di antaranya sedang duduk di atas peti mati dan mengobrol sambil

menikmati teh panas, mengisap pipa tembakau, melihat Ong Ling-hoa masuk membawa tamu, serempak mereka berdiri menyambut.

Pasah, gergaji, pahat, dan segala macam peralatan tukang kayu berserakan, serbuk gergaji bertumpuk, pasahan kayu berserakan, tapi Cu Jit-jit tidak pedulikan kotoran di sekelilingnya, dia maju ke samping kiri, dia memeriksa lantai

di sekitarnya, maka ditemukan sebuah papan batu di sebelah kiri ada tanda-tanda pernah dijugil. Seketika wajahnya

tersenyum senang, inilah senyuman pertama selama beberapa hari ini, khawatir Ong Ling-hoa mencegah atau merintangi

tindakannya, dia bersikap seperti tidak terjadi apa-apa,langsung dia mendekat beberapa langkah, akhirnya dia tidak kuat menahan sabar, mendadak dia melompat ke atas papan batu itu, ia berpaling kepada Ong Ling-hoa dan berkata, "Nah, sekarang apa pula yang hendak kau katakan?" Ong Ling-hoa seperti bingung, katanya sambil mengerut alis, "Ada apa?" Jit-jit tertawa, katanya, "Masih pura-pura pikun? Jelas kau tahu di bawah batu ini adalah mulut gua di bawah tanah yang terahasia itu, dari lubang inilah hari itu aku melarikan diri." Urusan sudah sejauh ini, mau tak mau orang setenang dan sedingin Kim Bu-bong pun ikut terbeliak, sorot matanya tampak beringas menatap Ong Ling-hoa, tak tahunya Ong Ling-hoa malah tertawa, katanya, "Bagus, bagus sekali!"

"Apanya yang bagus?" jengek Jit-jit. "Masa kau masih bisa tertawa?"

"Kalau di bawah batu ada lubang gua, kenapa Nona tidak membongkar papan batu itu?"

"Sudah tentu harus kubongkar untuk bukti."

"Biar aku?" seru Si Kucing sambil melompat maju. Jit-jit mendelik, katanya, "Akulah yang menemukan tempat ini, siapa pun dilarang menggangguku." Di sana terdapat palu besar, linggis dan sekop, Jit-jit mengambil sekop terus menggali tanah di pinggir papan batu, lalu menjugil batu itu perlahan. Kejap lain batu itu sudah terangkat ke atas dan terbalik ke

sebelah samping, tapi semua orang saling pandang dengan air muka berubah, Jit-jit juga menjerit kaget sambil menyurut

mundur. Di bawah papan batu ternyata adalah tanah padat, mana ada lubang gua segala. Mendadak Ong Ling-hoa tertawa terkial-kial, suaranya terdengar puas dan gembira. Dengan kening bekernyit Sim Long awasi Jit-jit, sementara Si Kucing, Auyang Hi menggeleng kepala, hanya Kim Bu-bong yang berdiri diam tanpa menunjukkan reaksi apa-apa, Pek Fifi mencucurkan air mata. Lama Jit-jit berdiri kesima, mendadak seperti gila dia ambil sekop dan membongkar jubin sekitarnya, orang banyak menyingkir jauh, menonton dengan berpeluk tangan, tiada yang membantu atau mencegah, jubin seluas dua tombak

hampir terjugil semua oleh sekop Jit-jit, tapi di bawah jubin jelas adalah tanah yang rata dan padat, tiada tanda-tanda

pernah digali atau ditimbun. "Nona Cu," ujar Ong Ling-hoa penuh kemenangan, "apa abamu sekarang?" Cu Jit-jit basah kuyup keringat, pakaiannya berlumpur, kaki tangan pun kotor, makinya sengit, "Kau bangsat keparat, kau ... pasti sebelumnya kau tahu kami akan kemari, maka siang-siang kau sumbat lubang gua itu." Sim Long tertawa getir, timbrungnya, "Tanah yang kau

bongkar tiada tanda pernah digali atau ditimbun, orang awampun tahu tempat ini tidak pernah dibongkar ... Jit-jit, Nona Cu, kuminta jangan membual lagi, sia-sia kita semua berputar kayun dan membuang tenaga belaka." Jit-jit geregetan, teriaknya dengan air mata bercucuran, "Sim Long, aku bicara sebenarnya, semua kejadian nyata, kumohon padamu, percayalah kepadaku, selama hidupku kapan pernah kudustaimu?"

"Tapi kali ini? Kali ini ...." Mendadak Ong Ling-hoa menyela, "Jika Nona Cu masih penasaran, boleh kusuruh orang membongkar tanah sekitar supaya dia periksa dengan teliti hingga persoalan menjadi jelas."

"Kenapa Ong-heng berbuat demikian ...." ujar Sim Long. "Tidak apa, kalau urusan tidak dibikin beres, aku pun malu ..."

lalu dia memanggil tukang-tukang kayu itu dan berkata, "lekas kalian gali tanah di sekitar sini." Sebelum magrib, tanah di dalam ruang itu sudah digali sedalam beberapa kaki hingga menjadi sebuah kolam, bagian bawah tanah adalah fondasi yang keras, setiap orang yang bermata dapat melihat dengan jelas. Maka Sim Long dan lain-lain hanya menggeleng kepala dan menghela napas. "Bagaimana Nona Cu?" tanya Ong Ling-hoa dengan tertawa. "Bluk", akhirnya Jit-jit jatuh terduduk dengan lemas, mukanya pucat, matanya mendelong seperti orang linglung. "Ong Ling-hoa hanya memiliki toko peti mati satu ini di kota Lokyang, jadi tiada cabang lain, jika kalian tidak percaya, boleh silakan mencari tahu kepada penduduk dalam kota."

Urusan sudah telanjur sejauh ini, siapa pula yang tidak percaya kepadanya? Umpama sekarang dia bilang peti mati

buatan tokonya semua bulat, mungkin tiada orang yang berani bilang tidak percaya. Sim Long berkata, "Kecuali minta maaf, terus terang tidak tahu apa yang harus kukatakan, semoga Ong-heng mengingat dia adalah seorang gadis hijau, jangan pikirkan persoalan ini dalam hatimu."

"Mendengar pernyataan Sim-heng, umpama seluruh tokoku ini harus dibongkar juga kurela," kata Ong Ling-hoa. "Bagaimana

kalau Sim-heng mampir dulu di kediamanku?"

"Mana berani aku mengganggu lagi, lebih baik ...." Mendadak Cu Jit-jit melompat bangun, serunya, "Kau tidak mau, biar aku ikut pergi."

"Kau mau ke mana?" tanya Sim Long. Jit-jit mengucek mata, katanya, "Ke rumahnya."

"Kapan Ong-kongcu mengundang kau ke rumahnya?"

"Dia mengundang kau, maka aku ikut, aku ... aku harus memeriksa rumahnya."

"Betul," ucap Ong Ling-hoa dengan tertawa, "betapa pun aku pasti juga mengundang Nona Cu, apa pun Nona Cu harus memeriksa persoalan ini secara tuntas."

*****

Kekayaan Ong Ling-hoa merajai kota Lokyang, rumahnya megah pekarangan luas, bentuk bangunannya sudah tentu sangat hebat. Begitu masuk pintu, bola mata Cu Jit-jit lantas jelalatan, celingukan ke sana-sini. Ong Ling-hoa tertawa, katanya, "Walau rumahku ini agak sempit, tapi di belakang terdapat taman yang indah permai, sayang Siaute tidak pandai mengatur tanaman dan bangunan sehingga keadaan morat-marit, mohon Sim-heng nanti memeriksa ke sana dan sudilah memberi petunjuk." Sebelum Sim Long buka suara, Jit-jit menjengek, "Kita memang harus memeriksa ke taman di belakang." Sim Long tertawa getir, katanya, "Ong-heng memang ingin kau periksa ke sana supaya selanjutnya tidak ribut lagi ...."

"Hanya manusia yang licin suka bicara secara terbalik, meski kutahu ucapannya juga sengaja pura-pura tidak tahu." Segera dia mendahului melangkah ke dalam. Jit-jit berjalan tanpa menentukan arah, melihat jalan lantas menerobos, sedikit pun tidak sungkan, serupa masuk ke rumah sendiri saja. Sim Long mengikut di belakangnya, sering tertawa sambil menggeleng kepala. Pepohonan di sini serbahijau dan tumbuh subur terpelihara baik, di sana loteng, di sini gerai pemandangan, letaknya diperhitungkan dengan tepat, jelas hasil tangan seorang yang ahli bangunan dan tata taman, berada di taman ini rasanya seperti di surga. Taman seluas ini keadaan sepi lengang, tiada suara atau bayangan orang, kicau burung juga tidak terdengar, hanya jangkrik atau sebangsa serangga saja yang bernyanyi di tempat gelap. Bergejolak perasaan Cu Jit-jit, batinnya, "Ke mana laki-laki kekar berbaju hitam serta kawanan gadis penggiring mayat hidup itu?" Meski binal dan galak, betapa pun dia sungkan main geledah di rumah orang. Di ujung taman terdapat beberapa rumah berloteng kecil, di samping sana terdapat istal kuda, suara ringkik kuda terdengar terbawa embusan angin. Semua ini jelas bukan pemandangan yang pernah dilihat Jit-jit hari itu. Akhirnya dia menghentikan langkahnya dan berkata, "Rumahmu bukan di sini." Ong Ling-hoa tertawa, katanya, "Masa rumahku sendiri tidak kukenal lagi dan Nona Cu lebih mengenalnya malah? Kalau benar omonganmu, bukankah aku ini orang pikun?"

"Jelas ini bukan rumahmu," teriak Jit-jit, "hendak kau tipu diriku?" Auyang Hi tidak tahan, dia menyela, "Sudah puluhan tahun Ong-kongcu tinggal di sini, aku berani menjadi saksi dan pasti tidak salah, jika Nona Cu tetap tidak percaya, Nona boleh tanya pula kepada orang lain ...."

"Kalau demikian ... dia pasti punya rumah yang lain."

"Cayhe belum menikah, kurasa tidak perlu rumah lain untuk menyimpan si cantik."

"Keparat," mendadak Jit-jit menjerit, "bisa mati gemas aku!" Mendadak dia berjingkrak, tangannya meraih secomot salju di

atap gardu terus dijejal ke mulut serta dikunyahnya dengan bernafsu, giginya sampai berkeriut, orang lain menyaksikan

dengan merinding, muka Jit-jit tampak merah padam seperti membara, saking gugup, gelisah dan gusar, badannya seakan

terbakar, ingin rasanya bergulingan di atas salju. Sim Long menyengir, katanya, "Buat apa kau menyiksa diri...."

"Jangan kau urus aku," bentak Jit-jit, "pergi ..." mendadak dia menerjang ke depan Ong Ling-hoa, "aku ingin tanya,

bukankah kau punya seorang ibu?"

"Kalau Cayhe tidak punya ibu, memangnya aku dilahirkan dari celah-celah batu? Kenapa Nona tanya hal ini, apa kau sendiri

tidak punya ibu?" Jit-jit anggap tidak mendengar ocehannya, bentaknya, "Dimana sekarang ibumu?"

"Jadi Nona ingin bertemu dengan ibuku?"

"Betul, bawa aku kepadanya."

"Baiklah, memang aku ingin memperkenalkan Sim-heng kepada ibuku ...."

"Ong-heng, jangan kau turuti kehendaknya, mana berani aku mengganggu ketenangan ibumu," kata Sim Long. "Tidak apa, walau sudah lanjut usia, tapi ibuku paling suka menerima tamu muda yang gagah, jika Sim-heng tidak percaya, ini, Auyang-heng boleh menjadi saksi."

"Ya, betul," ujar Auyang Hi. "Bukan, saja aku sering bertemu dengan ibunya, pernah pula Siaute disuguh kuah jinsom

masakan beliau sendiri, sungguh seorang tua yang welas asih."

*****

Waktu itu Ong-lohujin baru saja bangun tidur siang, rambutnya sudah ubanan seluruhnya, namun tersisir rapi dan berduduk di tengah ruang besar, dengan tertawa dia sambut kedatangan putranya yang membawa beberapa tamu. Raut wajahnya yang penuh keriput tampak berseri tawa, sambil bicara dan berkelakar dia berpesan kepada putranya supaya lekas menyiapkan perjamuan, jangan kurang adat terhadap tamu. Orang banyak saling pandang sekejap, dalam hati sama berpikir, "Memang seorang tua yang welas asih." Tapi setelah berhadapan dengan nyonya tua welas asih ini, Jit-jit justru tambah gelisah dan hampir gila. Sebetulnya dia hendak membentak gusar, "Dia bukan ibumu!" Syukur dia belum gila benar-benar, dia tidak berani melontarkan kata demikian, dalam keadaan seperti ini, dia insaf dirinya terpaksa harus menahan emosi, maka dia hanya berpeluk tangan dan melancarkan gerakan tutup mulut. Benaknya rasanya seperti butek dan pening, apa yang dipercakapkan orang lain sepatah pun tidak didengarnya, apa yang dilakukan orang lain juga tidak dilihatnya. Untunglah hidangan sudah disuguhkan, setelah makan, Ong-hujin pamit masuk kamar, perjamuan usai, Sim Long mohon diri. Dengan tertawa Ong Ling-hoa berkata, "Nona Cu ...."

"Ada apa berteriak-teriak?" bentak Jit-jit. "Pintu rumahku selalu terbuka menyambut kedatangan Nona Cu, kalau dalam hati masih curiga atau ada sesuatu yang kurang jelas, sembarang waktu boleh kau datang kemari." Jit-jit hanya melotot saja dengan mendongkol tanpa balas berolok. Ong Ling-hoa lantas berkata lebih lanjut, "Kenapa Nona Cu tidak bicara lagi?" Cu Jit-jit mengentak kaki terus menerobos keluar lebih dulu. Sim Long tertawa getir, katanya, "Begini sikap Ong-heng padanya, apa yang bisa dia katakan pula."

*****

Malam dingin, salju berhamburan. Sim Long tidak lagi minta meninggalkan kota, maka rombongan kembali ke rumah Auyang Hi, hingga malam ketika perjamuan diadakan pula, Cu Jit-jit tetap tutup mulut. Alisnya terkerut, kepala tertunduk,  entah apa yang sedang dipikirkan. Siapa pun mengajak bicara juga tidak dipedulikan, seperti tidak mendengar. Akhirnya Auyang Hi menghela napas, katanya, "Ong Ling-hoa memang bukan seorang kuncu, tapi kuyakin dia juga bukan lelaki seperti apa yang dikisahkan oleh Nona Cu, kurasa dalam persoalan ini pasti ada salah paham, Sim-heng, kau ...."

"Tanpa kau katakan juga kutahu," tukas Sim Long. "Apa lagi, meski dia bun-bu-siang-coan (serbamahir ilmu silat dan sastra), tapi belum pernah dia pamer di depan umum, kecuali dua-tiga orang tua seangkatanku, penduduk Lokyang hanya tahu dia seorang pemuda kaya yang suka pelesir, siapa pun tidak tahu dia pandai kungfu, terhadap seluk-beluk dunia Kangouw dia lebih-lebih tidak pernah ikut campur."

"Hal itu juga sudah kuketahui," kata Sim Long dengan tertawa. Mendadak Cu Jit-jit menggebrak meja, teriaknya, "Kau tahu

kentut!" Sim Long mengerut kening, katanya, "Urusan sudah sejauh ini, kau masih ingin membuat ribut, kau memfitnah orang, jika Ong-kongcu kurang bijaksana dan ramah tamah, mana dia mau mengampuni kau."

"Dia tidak mengampuni aku?" jengek Jit-jit penuh kebencian. "Hm, justru aku yang tidak akan mengampuni dia."

"Apa pula yang hendak kau lakukan?" tanya Sim Long. Turun-naik dada Jit-jit saking gemas, akhirnya dia menghela napas dan berkata, "Aku mau tidur." Sim Long tertawa, katanya, "Memangnya sejak tadi kau perlu tidur ...." Sejak tadi Pek Fifi duduk di samping Cu Jit-jit, segera ia berdiri, katanya, "Biar kulayani Nona beristirahat!" Sambil menunduk dia ikut maju melangkah ke sana. Mendadak Jit-jit membalik dan membentak, "Siapa minta dilayani? Enyahlah yang jauh." Suara Fifi gemetar, katanya, "Tapi ... tapi budi pertolongan Nona ...."

"Orang she Sim itu yang menolong kau dan bukan aku, boleh kau ladeni dia saja," sambil mendorong ke belakang Jit-jit

lantas berlalu. Sudah tentu Fifi tidak kuat menahan tolakan itu, tubuh yang lemah itu terhuyung dan air mata bercucuran.

Cepat Sim Long memapahnya, katanya, "Begitulah tabiatnya, jangan kau berkecil hati, sebenarnya ... sebenarnya ... Ai,

lahirnya dia kelihatan galak, padahal hatinya tidak demikian." Berlinang air mata Fifi, ia mengangguk, suaranya masih

gemetar, "Budi kebaikan Nona Cu terhadapku setinggi gunung, selama hidupku ini sudah menjadi miliknya, bagaimanapun sikapnya terhadapku adalah pantas ...." Lama Sim Long menatapnya, wajahnya yang tenang mendadak memperlihatkan perasaan haru, sesaat baru dia menghela napas, ujarnya, "Cuma ... terlalu menyusahkan kau." Fifi tertawa pedih, katanya, "Aku memang bernasib jelek, derita apa pun sudah biasa kualami, apa lagi ... apalagi para Kongcu bersikap sedemikian baik kepadaku ... inilah ... inilah hari-hari kehidupanku yang paling bahagia ...." Tangannya tidak berhenti menyeka air mata, tapi air mata justru tidak berhenti mengalir. Agak lama Sim Long termenung, akhirnya dia menghela napas, "Pergilah tidur."

"Terima kasih, Kongcu," ucap Fifi, lalu dia memberi hormat dan melangkah pergi. Auyang Hi menghela napas, katanya, "Perempuan seperti dia baru terhitung perempuan tulen, lelaki mana bila dapat mempersunting gadis seperti dia, sungguh bahagia selama hidupnya." Si Kucing mendebat, "Kau berkata demikian, memangnya Nona Cu itu bukan perempuan tulen dan gadis idaman?"

"Nona Cu? ... Kurasa ... oh ...." Auyang Hi terbatuk-batuk untuk menghilangkan rasa canggungnya. "Rase tua, tidak mau bicara, buat apa pura-pura batuk?" berolok Si Kucing. "Yang benar, meski Nona Pek sehalus sutra, secantik bunga, tapi Nona Cu juga tidak kalah dibandingkan dia."

"Nona Cu memang sangat cantik, cuma tabiatnya ...."

"Kau tahu apa? Dia mengumbar nafsu karena dalam hati sedang dirangsang emosi, lelaki mana yang membuatnya kasmaran baru benar-benar bahagia hidupnya." Auyang Hi tertawa, katanya, "Apakah betul bahagia, untuk ini kurasa harus tanya Sim-heng."

Sim Long tertawa tanpa memberi jawaban. Saat mana hujan salju makin lebat di luar, hawa dalam kamar justru masih hangat. Sim Long menatap keluar jendela, mendadak dia bergumam, "Malam sedingin ini, mengapa ada juga orang yang keluar di bawah hujan lebat?" Auyang Hi tidak jelas, dia tanya, "Apa yang kau katakan, Sim-heng?"

"O, tidak apa-apa ... marilah, Him-heng, temani aku minum secangkir." Setelah beberapa cangkir arak masuk ke perut, mendadak Si Kucing mendorong cangkir dan katanya dengan tertawa lebar, "Siaute sudah tidak kuat minum lagi, aku mau tidur ... haha." Di tengah gelak tertawanya, "blang", dia menumbuk kursi hingga terbalik terus melangkah dengan sempoyongan keluar pintu. Sim Long berkata, "Pertemuan meriah begini kenapa kau pergi lebih dulu?"

"Biarkan kucing itu pergi, mari kita minum tiga ratus cangkir," agaknya Auyang Hi mulai sinting.

*****

Setelah berada di luar, mata Si Kucing menjelajah sekitarnya, setelah yakin tiada bayangan orang lain, dengan langkah

sempoyongan dia berjalan beberapa langkah lagi, tapi mendadak dia melompat ke balik pohon sana, gerak-geriknya tampak lincah, cekatan dan mantap, sorot matanya yang semula seperti mabuk kini berkilat terang. Dia meluncur seperti bermain ski saja, meluncur ke samping sana dan melewati serambi, ia melayang ke sana di bawah hujan salju, lalu melompat ke wuwungan yang tertimbun salju. Hujan salju yang hebat, suasana remang-remang. Sedikit merandek, setelah menentukan arah, Si Kucing melesat kencang ke depan. Embusan angin mengiris muka setajam pisau, dinginnya meresap tulang sumsum, namun dia tidak mengerut kening, dada baju malah disingkap terlebih lebar. Beruntun dia melompat naik-turun delapan kali, kini dia sudah berada puluhan tombak jauhnya, dari kejauhan sempat dia melihat sesosok bayangan orang yang bergerak di wuwungan

rumah di sebelah depan, segera ia berjongkok, menentukan arah dan meneliti sekitarnya. Tanpa mengeluarkan suara Si

Kucing merunduk maju ke sana, langkahnya ternyata tidak meninggalkan jejak dan tanpa mengeluarkan suara. Dalam sekejap dia sudah melejit turun di belakang orang itu dan berdiri tegak dengan diam. Didengarnya orang itu sedang bergumam sendiri, "Menyebalkan, kenapa turun hujan selebat ini? Pantas kebanyakan maling yang berpengalaman suka bilang `mencuri

jangan pada waktu hujan salju', agaknya beroperasi pada saat seperti ini memang tidak leluasa." Si Kucing tertawa, katanya tiba-tiba, "Apa yang kau curi?" Orang itu berjingkat kaget dan membalik tubuh seraya mengayun tangga dan memukul dada Si Kucing, tanpa peduli siapa lawannya, dia menyerang secara keji. "Wah, celaka!" seru Si Kucing. Belum lenyap suaranya, orangnya sudah roboh. Orang itu berpakaian ketat dan berkerudung kepala, setelah merobohkan orang, dia berdiri bingung malah, bentaknya, "Siapa kau?" Si Kucing telentang kaku sambil merintih-rintih. Orang itu bergumam, "Ginkang orang ini tidak rendah, kenapa kungfunya tidak becus ...." karena ingin tahu, segera dia melompat maju serta jongkok untuk memeriksa siapa gerangan korbannya ini. Di bawah refleksi cahaya salju, dilihatnya mata Si Kucing terpejam, mukanya pucat. Begitu melihat wajah Si Kucing, orang itu mendadak berseru kaget, gumamnya pula, "Kiranya dia ... Wah, ba ... bagaimana baiknya?" Agaknya dia gugup dan juga menyesal hingga suaranya gemetar, akhirnya dia raih tubuh Si Kucing dan berkata, "He, kau kenapa? ... Ayo bicara ... kau ... kau ... kenapa tak berguna, sekali pukul lantas sekarat begini."

Dia tidak tahu bahwa Si Kucing sedang memicingkan mata dan mengintip kelakuannya, ujung mulut malah menyungging senyum geli. Mendadak tangannya bergerak menarik kain kerudung yang menutupi muka orang itu. Orang itu kaget, saking gugupnya berlinang air matanya, siapa lagi dia kalau bukan Cu Jit-jit. Si Kucing tertawa, katanya, "Ternyata kau, memang sudah

kuduga akan dirimu." Terangkat alis Cu Jit-jit, namun segera ia pun tertawa, "Oo, apa benar?"

"Tapi tak kuduga sebelumnya, melihat aku roboh terpukul, kau kelihatan khawatir, aku ... aku ...."

"Kau senang sekali, begitu?" tukas Jit-jit. "Kau bersikap sebaik ini kepadaku, tak sia-sia aku memerhatikan dirimu."

"Memang selama ini aku amat baik terhadapmu, masa kau tidak tahu?"

"Aku ... aku tahu, kau ...."

"Aku menghendaki kau ... kau mampus," mendadak Jit-jit ayun tangan menggampar beberapa kali muka Si Kucing, ditambah sekali tendangan pula hingga Si Kucing jatuh terjungkal. Si Kucing tertegun ketika mukanya digampar, "bluk", dengan

keras dia jatuh terbanting pula di atas salju, pantat seperti mau pecah, kepala pusing dan mata berkunang-kunang. Dilihatnya Cu Jit-jit bertolak pinggang, memaki sambil membungkuk badan ke arahnya, "Kau kucing mampus, kucing malas, kucing busuk, memangnya nonamu sudah buta, kau sendiri yang mabuk kepayang, kau ... kau lekas mampus saja." Sambil memaki dia mencomot salju terus ditimpukkan ke badan Si Kucing, lalu berlari pergi tanpa menoleh lagi. Sekujur badan Si Kucing bertaburan salju, baru saja dia hendak memanggil, ternyata penghuni rumah terjaga bangun karena keributan ini, beberapa orang tampak lari keluar sambil membawa pentung dan menerjang ke arahnya, tanpa bicara terus menghajar Si Kucing dengan bernafsu. Si Kucing tidak membalas, tapi berteriak-teriak, "Tahan, berhenti ...." Tapi beberapa orang itu mencaci dengan gusar, "Maling keparat, ganyang saja, ayo dibunuh!" Setelah terkena beberapa kali gebukan pentung baru Si Kucing berhasil menerjang keluar terus melompat ke atas genting dan melarikan diri, hatinya dongkol tapi juga geli. Sejak dia berkecimpung di dunia Kangouw, kapan pernah digebuk orang, apalagi harus melarikan diri dalam keadaan runyam, waktu dia celingukan, bayangan Cu Jit-jit sudah tidak kelihatan. Setelah mengejar beberapa saat lamanya, tak tahan dia mengentak kaki dan mengomel, "Budak busuk, budak setan, seorang diri berkeliaran, entah apa yang dilakukannya, bikin orang lain khawatir bagimu." Mendadak didengarnya cekikik tawa geli di tempat gelap, katanya, "Untuk siapa kau bergelisah begini?"

Sambil membetulkan sanggulnya, Cu Jit-jit tampak muncul dari tempat gelap, tubuhnya yang semampai dan menggiurkan

menambah cemerlang cahaya salju yang putih perak. Si Kucing terpesona mengawasinya, katanya tergegap, "Untukmu ... tentu saja demi kau." Jit-jit tertawa, "Jadi budak setan juga memaki diriku?" Selangkah demi selangkah dia menghampiri, Si Kucing juga menyurut mundur, dengan tertawa merdu Jit-jit berkata lembut, "Jangan khawatir, walau kau memakiku, aku tidak

marah."

"Baiklah ... bagus sekali ...." padahal jawaban yang tidak genah, di mana letak baiknya dan mana yang bagus dia tidak

tahu, akhirnya Si Kucing tertawa geli sendiri. "Coba lihat, sekujur badanmu berlepotan salju, mukamu juga bengep seperti dipukul orang, bocah segede ini, memangnya kau tidak tahu menjaga dirimu sendiri?" tutur kata Jit-jit lembut penuh kasih sayang, kejadian yang baru menimpa Si Kucing seperti tiada sangkut pautnya dengan dirinya. Si Kucing jadi menyengir, katanya, "Nona ...." Jit-jit keluarkan saputangan sutra, katanya, "Lekas kemari, biar kubersihkan wajahmu ...." Si Kucing malah mundur sambil menggoyang tangan, katanya, "Terima kasih, terima kasih, maksud baik Nona tak berani kuterima, selanjutnya asal Nona tidak main kaki dan tangan, Cayhe akan berterima kasih kepadamu."

"Tadi aku hanya berkelakar denganmu, apakah kau sesalkan perbuatanku?"

"Aku ...."

"Kau ini memang masih bocah, kukira ... lebih baik kau anggap aku sebagai taci saja, supaya kelak Taci bisa selalu

membela dirimu." Mendadak Si Kucing terbahak-bahak. Jit-jit melotot, "Kenapa tertawa?" Dengan tertawa Si Kucing bertanya, "Sebetulnya ada urusan apa yang perlu kukerjakan, lekas katakan saja, tak perlu bermuka-muka, jika aku punya taci seperti dirimu, dalam tiga hari saja tulang badanku bisa terhajar remuk." Merah muka Jit-jit, mendadak tinjunya menjotos secepat kilat. Tapi kali ini Si Kucing sudah siaga, mana mampu dia memukulnya. Jit-jit mengertak gigi, makinya dengar geregetan, "Kucing mampus, kucing keparat, kau ... kau." Si Kucing berkata, "Jangan khawatir, apa saja boleh kau katakan, pasti kukerjakan." Dia bicara sambil tertawa, namun sorot matanya menunjukkan ketulusan hatinya. Jit-jit tak mampu memakinya lagi, katanya, "Apa kau bicara setulus hati?"

"Aku tidak suka ngecap, ucapanku pasti dapat dipercaya."

"Tapi ... tapi kenapa kau bersikap demikian?"

"Aku ... aku ..." mendadak Si Kucing mengentak kaki, katanya, "jangan peduli kenapa aku bersikap demikian, pendek kata ... apa yang pernah kuucapkan pasti takkan kujilat kembali, ada persoalan apa yang kau minta kulakukan, katakan saja."

Jit-jit menghela napas, "Apakah kau hafal jalan di kota Lokyang ini?"

"Jika kau ingin cari penunjuk jalan, tepat sekali kau cari diriku, jalan raya dan gang sempit di seluruh pelosok kota Lokyang ini serupa rumahku sendiri, dengan mata tertutup juga aku bisa menemukan tempatnya."

"Baiklah, bawalah aku ke pasar bunga kota ini."

*****

Tengah malam musim dingin, pasar bunga kota Lokyang yang biasanya ramai sekarang jadi sepi lengang, penjual kembang

yang rajin bekerja sama datang pagi-pagi, tapi tengah malam tak mungkin mereka berada di pasar. Cu Jit-jit keluyuran ke

sana kemari, Si Kucing mengintil di belakangnya. Jit-jit bergumam, "Apakah kota Lokyang hanya ada pasar kembang satu ini?"

"Ya, hanya ada di sini, tiada cabang di tempat lain, kalau Nona ingin membeli bunga, sekarang masih teramat pagi."

"Aku bukan ingin beli bunga."

"Tidak ingin beli bunga, tapi berkeluyuran di pasar bunga, memangnya kau ingin makan angin malam yang dingin?" Pandangan Jit-jit menatap ke tempat jauh, mulutnya berkata lirih, "Dalam hal ini ada rahasianya."

"Rahasia apa?"

"Kalau kau ingin tahu, boleh kuceritakan kepadamu, tapi ..." mendadak dia menoleh dan mengawasi Si Kucing, katanya pula dengan serius, "sebelum kubeberkan rahasia ini, ingin kutanya padamu." Si Kucing tertawa, "Sejak kapan kau sungkan padaku? ... Tanya saja."

"Ceritaku ini menyangkut Ong Ling-hoa, kau percaya tidak?" Berkedip mata Si Kucing, gumamnya, "Ong Ling-hoa keparat itu adakalanya memang tampak plinplan, kalau orang tanya asal usul ilmu silatnya, sepatah kata pun dia tak mau memberi

keterangan. Coba katakan apa saja yang pernah dilakukannya, aku tidak akan kaget atau heran."

"Ya, pasti tidak salah lagi. Hari itu aku sembunyi di bawah kereta, waktu masuk kota Lokyang pernah lewat dan mampir

di pasar bunga ini, gadis-gadis di atas kereta turun sejenak membeli bunga segar."

"Maka sekarang kau ingin menelusuri kejadian hari itu mulai dari pasar bunga ini untuk menemukan tempat di mana kau

pernah disekap, begitu?"

"Kau memang pintar," puji Jit-jit tertawa. "Syukurlah kalau tidak bodoh," ujar Si Kucing dengan jenaka. "Bagus, orang pintar, pergilah cari sebuah kereta dan bawa kemari." Mata Si Kucing terbelalak, tanyanya heran, "Cari kereta untuk

apa?" Jit-jit menggeleng, katanya, "Baru saja bilang kau pandai, kenapa berubah bodoh pula. Hari itu aku sembunyi di bawah kereta, tiada yang bisa kulihat, terpaksa diam-diam aku mengingat arah kereta berjalan, maka sekarang aku harus

mengulang dengan sebuah kereta ...."

"Betul, kali ini memang akulah yang bodoh, kenapa hal sepele begini tidak kupahami. Tapi tengah malam buta begini, ke

mana dapat kucari kereta?"

"Laki-laki macam dirimu, persoalan apa yang pernah menyulitkan kau? Jangankan hanya sebuah kereta, sepuluh kereta juga dapat kau bawa kemari, betul tidak?" Si Kucing garuk-garuk kepala, "Tapi ... tapi ...."

"Aku minta tolong, ya ... aku minta tolong, usahakan!" pinta Jit-jit. Si Kucing menghela napas. "Baiklah, aku akan berusaha." Jit-jit tertawa lebar, katanya, "Nah, memang kau anak penurut, lekas pergi dan lekas pulang, aku menunggumu ..." lalu dirabanya wajah orang dan berbisik di pinggir telinganya, "harus berhasil dan lekas bawa kemari, jangan membuatku kecewa." Si Kucing bersungut-sungut, menggeleng kepala dan melangkah pergi. Kira-kira sepemasakan air, terdengar derap kuda lari di bawah embusan angin dan taburan salju, tampak Si Kucing membawa datang sebuah kereta besar, wajahnya tampak puas dan bangga. Jit-jit menyambut kedatangannya sambil berkeplok senang, serunya, "Bagus, engkau memang pintar, dari mana kau peroleh kereta besar ini? Di mana kusirnya? Apakah kau curi kereta ini?"

"Mencuri atau merampas sama saja, pendek kata aku sudah menunaikan tugas dengan baik, memangnya kau belum puas? Untuk apa kau tanya asal usul kereta ini?" Jit-jit cekikikan, lalu ia hendak menyelinap ke bawah kereta. "He, kau mau apa?" tanya Si Kucing. "Goblok, berapa kali kukatakan padamu? Hari itu aku sembunyi di bawah kereta, maka sekarang aku ...." Mendadak Si Kucing bergelak tertawa, "Betul, betul, aku memang goblok!"

"Memangnya kau tidak goblok? Apa yang kau tertawakan?" Si Kucing menahan gelinya, katanya, "Nona manis, hari itu karena khawatir kepergok orang, maka kau sembunyi dibawah kereta, tapi sekarang untuk apa kau sembunyi di bawah kereta pula? Untuk meneliti arah dan tujuan, apa bedanya duduk saja di depan kereta, kenapa harus meringkal di bawah kereta?" Merah muka Jit-jit, sesaat kemudian dia berkata sambil bersungut, "Hm, anggap alasanmu kali ini betul, tapi juga alasan biasa, kenapa bangga? Orang bodoh adakalanya juga bisa pintar." Si Kucing melongo, gumamnya kemudian, "Pantas Sim Long tidak berani bercuit di depanmu, nona segalak dan sebinal ini, orang gelandangan seperti diriku ini juga mati kutu."

"Apa katamu?" bentak Jit-jit mendelik. "Tidak apa-apa," sahut Si Kucing gelagapan, "Nona baik, Nona manis, lekas naik kereta." Segera Si Kucing ayun cemeti, "tar", kereta berkuda itu segera berlari ke depan. Jit-jit duduk di sampingnya, memejamkan mata dan mulut mulai menghitung, "Satu, dua, tiga ... tiga puluh ... empat puluh ..." sampai hitungan empat puluh tujuh mendadak dia membuka mata dan berseru, "keliru, keliru!"

"Apanya yang keliru?"

"Kereta ini terlalu lambat, dibandingkan laju kereta hari itu jauh lebih lambat, lekas putar balik dan ulangi lagi dari depan pasar bunga." Si Kucing menghela napas dan mengiakan, kereta diputar balik dan diulang. Kembali Jit-jit menghitung, "Satu, dua, tiga ..." waktu hitung sampai empat puluh tujuh, kembali dia membuka mata dan berteriak, "salah, salah lagi, kali ini terlalu cepat." Si Kucing tak sabar, katanya dengan mendongkol, "Apakah kau tidak bisa tahu lebih dini bila salah? Kenapa setelah sejauh ini baru ...." Jit-jit mendekap mulut orang, katanya dengan lembut dan tertawa, "Hanya sekali lagi, ya, sekali saja, apa kau tidak sudi membantuku?" Sesaat Si Kucing menatapnya dengan kesima, akhirnya dia

tertawa getir, katanya, "Di hadapanmu, aku benar-benar tak berdaya lagi, jangankan hanya sekali, sepuluh kali juga

kulakukan." Sembari bicara kereta dia putar balik. "Kau memang anak baik," puji Jit-jit dengan tertawa. Waktu kereta dilarikan lagi, kecepatannya kali ini tepat, Jit-jit terus menghitung sampai 90, lalu berkata, "Belok kanan, lalu belok ke kiri." Si Kucing memang melihat ada simpang jalan ke kanan. Maka kereta lantas dibelokkan ke kanan, di sebelah depan benar juga ada jalan yang membelok ke kanan, bilang belok kiri juga betul ada jalan membelok ke kiri, meski hitungan jaraknya ada sedikit berselisih, tapi kebanyakan tepat, mau tidak mau Si Kucing memuji dalam hati, "Daya ingat budak ini memang hebat, apa yang dikatakannya agaknya bukan bualan." Tengah Si Kucing membatin, mendadak didengarnya Cu Jit-jit

berseru dengan tertawa, "Sudah sampai, pasti di sini!" Lekas Si Kucing tarik tali kendali dan menghentikan kereta,

tanyanya heran, "Di sini?" Waktu Jit-jit membuka mata, dilihatnya jalan raya di sini dilapisi balok-balok batu besar, diapit dinding tinggi, di depan sana terdapat sebuah pintu besar bercat merah, undakan batu tampak bersih dan rata, lampion terpasang benderang, di kedua samping undakan terdapat jalan samping yang bisa buat lewat kuda dan kereta, sekilas pandang, seketika dia berseru girang, "Ini dia, pintu itulah!" Si Kucing tampak heran dan kaget, katanya, "Maksudmu pintu di sana itu?"

"Betul."

"Kali ini mungkin kau keliru."

"Tidak salah, tidak keliru, pasti tidak keliru."

"Aku justru bilang keliru, karena penghuni rumah ini sudah kukenal." Jit-jit kaget dan terbelalak, katanya, "Kau kenal? Apa betul rumah Ong Ling-hoa?"

"Memang Ong Ling-hoa sering kemari, tapi pasti bukan rumahnya."

"Lalu ... tempat apakah sebetulnya?" Si Kucing menyengir, katanya sambil menggeleng, "Tak dapat kukatakan ...."

"Kenapa tak dapat kau katakan, aku justru ingin kau bicara ... Ayo katakan, lekas!" Karena terdesak, Si Kucing ragu-ragu, ucapnya, "Baiklah, kukatakan, tapi setelah dengar, jangan merah mukamu."

"Mukaku merah? Memangnya begitu gampang?"

"Baiklah, biar kujelaskan, itulah tempat lampu merah."

"Tempat lampu merah" artinya sarang pelacur, tapi Cu Jit-jit tidak tahu, setelah melenggong sekian saat, lalu diliriknya

beberapa kali, katanya, "Pintu besar itu diterangi lampion sebesar itu, mana ada lampu merah?" Si Kucing melongo, katanya dengan tertawa getir, "Maksudku penghuni di rumah ini adalah kaum bidadari."

"Penghuni rumah itu jelas kawanan iblis, kau justru bilang bidadari, memangnya kau juga sehaluan dengan mereka?" Dongkol hati Si Kucing, dengan tawa tertahan dia berkata, "Nona manis, apakah benar kau tidak tahu apa-apa?"

"Apa pun aku tahu, kau ... kau memang sehaluan dengan mereka, kau ... kalian memang ingin menggoda aku," akhir katanya suaranya sudah setengah terisak. "Nona manis, Nona ayu, jangan menangis ... jangan menangis ...." Jit-jit melengos sambil mengentak kaki, "Kentut, siapa menangis? ... Lekas katakan, tempat apakah itu, lekas katakan!" Si Kucing menghela napas, "Baiklah, kujelaskan, bidadari adalah ... adalah nona-nona yang kerjanya tidak senonoh." Khawatir Jit-jit curang paham, segera dia menambahkan dengan blakblakan, "Tempat itu adalah sarang pelacur, penghuninya semua pelacur." Sudah tentu malu Jit-jit, ia menunduk dan memainkan ujung baju, mendadak dia membalik tubuh dan melotot kepada Si Kucing, teriaknya, "Sarang pelacur? Mana mungkin sarang pelacur? Kau tipu aku."

"Kalau tidak percaya, kenapa tidak kau masuk memeriksanya."

"Masuk ya masuk, memangnya aku takut?" segera dia melompat turun terus berlari ke sana, tangan diangkat dan hendak menggedor pintu. Tapi tangan yang sudah terangkat itu terhenti di udara, mendadak dia membalik dan lari kembali. Dengan tertawa Si Kucing mengawasi tingkah lakunya tanpa bicara. Didengarnya Jit-jit bergumam, "Sarang pelacur, ya, mungkin

saja tempat ini sarang pelacur. Pek-hun-bok-li itu adalah ... adalah bidadari, sarang pelacur, digunakan sebagai tempat

operasi untuk menyembunyikan perbuatan mereka, memang akal yang bagus, siapa yang menduga orang-orang gagah yang biasa malang melintang di dunia persilatan bisa menjadi tawanan kawanan pelacur, lalu digusur dan disekap dalam sarang pelacur?" Si Kucing masih mengawasi tanpa bicara, namun kedua alisnya tampak bekernyit, senyum pun lenyap, kini kelihatan

prihatin. Jit-jit menarik lengan bajunya, katanya perlahan, "Bagaimanapun aku sudah berada di sini, apa pun harus

kuselidiki hingga jelas duduknya perkara."

"Ya, memang harus demikian, lekas Nona masuk saja." Jit-jit melenggong, "Kau ... kau suruh aku masuk sendiri?" Si Kucing berkedip-kedip, katanya, "Apa Nona minta kutemani masuk?" Jit-jit gigit bibir dengan mendongkol, "Hm, memangnya kau ingin kumohon padamu ... Huh, jangan harap, kau kira aku tidak pernah masuk ke sana, memangnya apa yang perlu ditakuti?" Lahirnya bilang tidak takut, padahal dalam hatinya takut sekali, adegan di dalam kamar bawah tanah, betapa tinggi kungfu si nyonya setengah baya yang cantik itu, betapa jahat dan culas hatinya, semua itu cukup membuatnya ngeri dan bergidik. Kejadian itu betul-betul membuatnya takut, seorang diri betapa pun dia tak berani masuk ke sana. Akhirnya Jit-jit bersuara, "Kau ...kau ...."

"Aku kenapa?" tanya Si Kucing. "Apa kau tidak ingin masuk ke sana?"

"Untuk masuk ke tempat ini aku harus menunggu bila hari sudah mulai gelap, kantongku penuh berisi, dengan langkah lebar dan membusung dada kumasuk melalui pintu besar, mana boleh menyelundup masuk di tengah malam buta?"

Jilid 12

Lama Jit-jit menatapnya dengan mendelik, mendadak dia putar tubuh, sekali loncat ia hinggap di atas pagar tembok dan

langsung melompat ke dalam. Sudah tentu si Kucing terperanjat, segera dia ikut melompat dan melayang, ke balik tembok.

Siapa tahu, baru saja dia hinggap di tanah, segera dilihatnya Cu Jit-jit berdiri di kaki tembok sambil mengawasinya dengan tertawa ejek, katanya, "Kutahu kau pasti tidak tega membiarkan aku masuk sendirian." Dongkol, gemas juga geli si Kucing, katanya sambil menggeleng, "Baiklah, aku betul-betul takluk padamu."

"Kalau sudah takluk padaku, maka kau harus patuh pada perintahku." Mendadak si Kucing berkata serius, "Bila tempat ini betul tempat yang kau maksud, maka jelas di sinilah sarang naga dan gua harimau, di sekeliling kita pasti terpasang berbagai perangkap."

"Ya, betul," sahut Jit-jit. "Karena itulah penyelidikanmu kali ini harus dilakukan dengan hati-hati, sedikit pun tidak boleh salah langkah, sedikit lena mungkin takkan bisa keluar dari sini."

"Aku tahu ... ikuti aku," sembari bicara Jit-jit lantas melayang ke depan. Sebelum tengah malam tempat ini biasanya masih riuh ramai, gelak tertawa dan cekikikan genit, namun sekarang sunyi senyap, sinar lampu pun tidak kelihatan. Di bawah pantulan salju Cu Jit-jit berusaha membedakan arah, namun dalam keadaan remang-remang sukar baginya memastikan apakah dia pernah datang ke sini. Si Kucing menyusul di belakangnya, katanya, "Hati-hati, jangan meninggalkan bekas kaki di permukaan salju."

"Jangan khawatir, aku tahu."

"Apa pun untuk jadi maling jelas kau bukan tandinganku, biar aku yang menunjukkan jalan saja," tanpa menunggu jawaban

Cu Jit-jit si Kucing lantas mendahului melayang ke depan. Satu di depan yang lain di belakang, mereka merunduk ke taman belakang, sepanjang jalan bukan saja tidak terdengar suara orang, juga tidak menemukan rintangan atau perangkap. Kesunyian yang agak ganjil, membuat orang tegang dan khawatir. Cu Jit-jit merasakan jantung berdebar cepat dan keras.

Mendadak kakinya menyentuh sesuatu yang lunak, saking tegang dan kaget hampir saja Jit-jit menjerit. Untung si Kucing

keburu mendekap mulutnya, desisnya, "Ssst, ada apa?" Jit-jit tergegap, lidah terasa kelu, dia hanya menuding kesana.

Waktu si Kucing memandang ke arah yang ditunjuk, tertampak di bawah pohon kering meringkuk dua orang berbaju hitam tanpa bergerak, entah masih hidup atau sudah mati. Keruan berubah air muka mereka, keduanya menyurut mundur setindak. Kedua orang yang rebah di atas salju itu tetap tidak bergerak. "Mungkin ... mungkin sudah mati?" ucap Jit-jit gemetar. Si Kucing menunggu beberapa kejap pula, lalu mendekat dan berjongkok membalik tubuh salah seorang berbaju hitam itu, kedua orang ini kelihatan melotot, mulut terbuka lebar, mukanya berlepotan salju, kulit daging sudah kaku dan pucat karena kedinginan, namun hidungnya masih bernapas lemah, dadanya pun masih hangat. Kedua orang ini jelas belum mati. Setelah memeriksa sekian lamanya, akhirnya si Kucing berkata, "Kedua orang ini tertutuk hiat-tonya." Mengepal tinju Jit-jit, katanya tegang, "Dilihat dari dandanan kedua orang ini, jelas tukang pukul atau penjaga pekarangan ini, mereka penjaga di sini ...."

"Ya, pasti demikian," kata si Kucing.

"Tapi ... siapakah yang menutuk hiat-to kedua orang ini?"

"Kau tanya, padaku, aku tanya siapa?" Jit-jit gelisah, katanya, "Masa tak dapat kau buka hiat-to mereka dan tanyai mereka?" Si Kucing menggeleng kepala, "Bukan saja lwekang penutuk itu amat tinggi, cara yang digunakan juga khas, kecuali ajaran perguruannya, siapa pun takkan mampu memusnahkan tutukan hiat-to mereka."

"Lalu ... siapakah gerangan penutuk itu?"

"Melihat gelagatnya, ada seorang kosen secara diam-diam telah datang lebih dahulu, jejak kita bukan mustahil sudah di

bawah pengawasannya ...."

"Lalu bagaimana baiknya?" Si Kucing berdiri, "Mari kita pulang saja."

"Pulang? Setelah datang kau bilang harus pulang? Umpama benar ada orang mendahului kita, tapi dia menutuk hiat-to kedua budak ini, jelas dia berada di pihak kita, bukankah berarti kita mendapat bantuannya, maka jangan pulang, apapun kejadian ini harus diselidiki sampai jelas." Si Kucing berpikir sejenak, memang beralasan si nona, dia lantas berkata dengan menghela napas, "Baiklah, terserah." Maka kedua orang ini merunduk maju lebih lanjut, langkah mereka lebih hati-hati. Mendadak tampak di hutan bambu tak jauh di sana ada sinar lampu. "Tidak masuk sarang harimau mana bisa menangkap anak

harimau, mari kita ke sana," ucap Jit-jit. Urusan sudah telanjur, si Kucing tak bisa menolak, maka dia iringi Cu Jit-jit menerobos ke dalam hutan bambu. Di dalam hutan bambu terdapat tiga atau lima petak rumah mungil, sinar lampu menyorot keluar dari jendela. Cahayanya remang-remang, terasa mengandung kegaiban. Si Kucing jadi tertarik, dengan tabah dia menyelinap ke bawah jendela, mereka mendekam tak bergerak di bawah jendela dengan menahan napas dan pasang kuping. Sesaat kemudian terdengar suara rintihan seorang perempuan. Si Kucing dan Cu Jit-jit saling pandang sekejap dan merasa tegang.

Diam-diam Jit-jit membatin, "Jangan-jangan ada Pek-hun-bok-li yang berbuat salah dan sedang menjalani hukuman?" Tapi anehnya, setelah mendengarkan sekian lama, bukan saja suara rintihan itu tidak seperti orang kesakitan, malah agak ...

agak ... entah agak apa Cu Jit-jit sendiri tak bisa menerangkan. Menyusul terdengar dengus napas seorang lelaki. Kontan air muka si Kucing berubah, berubah aneh dan lucu, segera dia tarik lengan baju Cu Jit-jit, maksudnya mengajaknya pergi.

Tapi Jit-jit sedang keheranan dan ketarik oleh suara keluhan itu, mana dia mau pergi. Didengarnya suara laki-laki itu berkata di tengah sengal napasnya yang berat, "Bagaimana ... nikmat? ...." Suara genit seorang perempuan menjawab setengah merintih, "O, sayang ... aku ... aku tidak tahan ... tidak tahan lagi ...." Betapa pun hijaunya, akhirnya Jit-jit tahu juga apa yang tengah berlangsung di dalam kamar, seketika merah mukanya, diam-diam dia berludah. Si Kucing juga serbakikuk, keduanya melenggong dan tak bergerak, hingga tanpa sadar sesosok bayangan berkelebat lewat di atas kepala mereka. Cepat mereka pun berdiri dan lari ke luar hutan. Setelah jauh, Jit-jit berkata dengan mendongkol, "Tidak tahu malu ... menyebalkan!"

"Dari sini dapat disimpulkan bahwa di tempat ini tak terjadi sesuatu yang ganjil, kalau tidak masakah di dalam ada laki-laki iseng yang bermain dengan pelacur." Dengan wajah merah Jit-jit berkata, "Dari mana kau tahu laki-laki itu iseng, bukan mustahil dia ... dia adalah temannya?" Diam-diam si Kucing tertawa geli, batinnya, "Keluhan nikmat perempuan itu memang disengaja untuk menyenangkan setiap lelaki iseng, orang seperti diriku mana bisa dikelabui?" Sudah tentu hal ini tidak dijelaskannya. Waktu dia angkat kepala dan menoleh, tiba-tiba dia bertanya kaget, "He, apa yang berada di atas kepalamu?"

"Ada apa ...." sahut Cu Jit-jit, waktu dia angkat kepala, ia pun menjerit kaget, "Hei, apa yang berada di atas kepalamu?"

Berbareng mereka meraba kepala, dari atas kepala mereka masing-masing menjamah sebuah mahkota yang dirangkai dari ranting kayu kering, di atas mahkota ranting kayu itu masing-masing terselip secarik kertas. Mereka tarik kertas itu, di bawah keremangan mereka melihat tulisan di atas kertas itu berbunyi: "Ratu Tolol", sedangkan kertas si Kucing tertulis: "Raja Goblok". Siapakah yang menaruh mahkota ranting kering di atas kepala mereka? Kapan ditaruhnya? Ternyata si Kucing dan Cu Jit-jit tidak tahu dan tidak menyadari sama sekali. Keruan tidak kepalang kaget mereka, namun setelah membaca tulisan itu di samping mendongkol mereka pun geregetan, Jit-jit menggerutu, "Kentut, kentut anjing busuk. Huh, ratu ... apa, kalau dapat kutangkap bajingan itu, awas, akan kubeset kulitnya." Si Kucing tertawa getir katanya, "Orang menaruh ranting di

atas kepalamu saja tidak kau ketahui, cara bagaimana mampu kau tangkap dia, bayangan saja tak dapat melihatnya." Betapa tinggi kungfu orang, ginkangnya yang lihai dan gerak-geriknya yang cekatan dan tangkas, ngeri Jit-jit membayangkannya, bila yang ditaruh di atas kepala mereka bukan ranting kayu tapi senjata rahasia beracun yang bisa membuat luka kepala mereka, lalu apa jadinya, keruan ia berkeringat dingin. Si Kucing bergumam, "Pasti orang itulah yang menutuk hiat-to

kedua orang berbaju hitam tadi, tapi ... siapakah dia sebenarnya? Tokoh mana dalam dunia ini yang berkepandaian setinggi ini?"

"Peduli siapa dia," ucap Jit-jit, "lebih baik kita ...."

"Kita pulang saja," tukas si Kucing. "Pulang, pulang, kau hanya tahu pulang saja," omel Jit-jit mendongkol. Si Kucing menghela napas, katanya, "Orang itu jelas tak bermaksud jahat terhadap kita, kalau mau, dengan mudah dia dapat mencabut jiwamu, tapi perbuatannya ini jelas cuma ingin memperingatkan, supaya kita tidak terlalu lama berada di sini."

"Kenapa ... kenapa ...." Si Kucing memandang sekitarnya, lalu katanya, "Dalam kegelapan di sekitar kita ini pasti banyak alat perangkap yang tak kelihatan, khawatir kita terjebak, maka orang itu menganjurkan kita pulang saja."

"Kalau dia suruh kau pulang, kau lantas pulang? Kau begitu patuh kepadanya?"

"Betapa pun orang bermaksud baik ...."

"Aku justru tak mau terima kebaikannya, aku justru ingin tahu lebih jelas," belum habis bicara segera orangnya melompat ke depan. Si Kucing sudah kenyang berkelana di dunia Kangouw, pengalaman luas, banyak tipu akalnya, gesit, dan cekatan,

siapa saja yang bermusuhan dengan dia pasti pusing tujuh keliling, tapi menghadapi Cu Jit-jit, justru dia sendiri yang

kewalahan. Cu Jit-jit sudah berlari ke depan, terpaksa dia mengikut di belakangnya. Dengan kebat-kebit, mereka maju lagi beberapa puluh tombak jauhnya. Sekonyong-konyong berkumandanglah bunyi keleningan, meski ringan suaranya, tapi di tengah malam gelap dan sunyi, suaranya sungguh mengejutkan. Menyusul tampak cahaya api menyala di sebelah depan. Betapa besar nyali Cu Jit-jit kaget juga dia dan menghentikan langkah, terdengar suara bentakan keras di sana, "Siapa itu?

.... Berhenti! .... Tangkap maling!" Berubah air muka si Kucing, "Wah, celaka ... lekas mundur ..." Belum lenyap suaranya, tampak sesosok bayangan orang melesat keluar dari arah cahaya api sana, gerakannya secepat kilat dan menubruk ke arah Cu Jit-jit dan si Kucing bersembunyi. Gerak-geriknya sungguh amat cepat, walau melesat dari depan, tapi Jit-jit dan si Kucing hanya melihat bayangannya saja, hakikatnya sukar melihat raut wajah dan bentuk perawakan orang. Tatkala melesat lewat di samping tubuh mereka, bayangan itu membentak lirih, "Ikuti aku!" Sementara itu tampak bayangan orang banyak disertai langkah ramai sama memburu ke arah Cu Jit-jit dan si Kucing, bentakan dan teriakan bertambah keras.

Dalam keadaan terdesak begini, terpaksa Jit-jit putar tubuh dan melompat keluar, untung jalan mundur mereka belum tercegat, dengan cepat mereka melayang keluar pagar tembok. Setiba mereka di luar pagar tembok, bayangan misterius tadi

tidak kelihatan lagi. Jit-jit mengentak kaki, omelnya, "Maling mampus, bangsat goblok, dia sendiri lebih setimpal dianugerahi julukan raja goblok, jejaknya yang konangan orang, kita ikut susah."

"Kukira dia sengaja berbuat demikian," ujar si Kucing setelah berpikir. "Maksudmu dia sengaja memperlihatkan jejaknya?

Memangnya dia sudah gila?"

"Sudah berulang kali dia memberi peringatan, namun kita tetap bandel, terpaksa jejaknya sengaja diperlihatkan supaya

kita pun mau tidak mau ikut kabur ...." Jit-jit melenggong, katanya kemudian dengan gemas, "Apa sangkut paut urusan kita dengan dia? Kenapa dia mempermainkan kita?" Mulut bicara, kaki tidak berhenti, cepat sekali sudah melewati dua jalan raya. Pada saat itulah mendadak Jit-jit berhenti. "Kau mau apa pula?" tanya si Kucing. "Aku ingin kembali ke sana."

"He, apa kau sudah gila?"

"Siapa bilang aku gila, aku sangat sadar, setelah gagal menangkap maling, mereka tentu tidur lagi, kenapa aku tidak

boleh kembali ke sana?" Si Kucing menghela napas, katanya, "O, nonaku yang manis, memangnya tak kau pikir, setelah kejadian ini penjagaan tentu diperketat, kalau kau kembali ke sana, pasti masuk perangkap mereka." Jit-jit mengertak gigi, desisnya, "Mungkin betul ucapanmu, namun aku tambah yakin tempat itu adalah sarang iblis, kalau aku tidak memeriksanya pula ke sana, mana hatiku bisa tenteram?"

"Berdasarkan apa kau begitu yakin?"

"Coba jawab, kalau sarang pelacur biasa mana mungkin dijaga sekian banyak orang? Apalagi berulang kali orang itu memberi

peringatan kepada kita, pasti dia tahu dalam taman itu banyak dipasang jebakan. Nah, coba jawab lagi, sarang pelacur biasa mana mungkin terdapat jebakan dan perangkap?" Lama si Kucing terdiam, akhirnya menghela napas, katanya, "Aku selalu kalah berdebat dengan kau."

"Kalau mengaku kalah, ayolah ikut aku pula."

"Baiklah, aku ikut."

"Betul?" seru Jit-jit girang. "Sudah tentu betul, tapi bukan malam ini, sekarang kita pulang dulu, besok kita rancang dulu langkah kita, betapa pun sarang pelacur ini harus diselidiki sampai jelas." Jit-jit bimbang sejenak, tanyanya, "Apakah omonganmu dapat dipercaya?"

"Setiap patah kataku laksana paku yang menancap di dinding, satu paku satu mata."

"Baiklah, kali ini aku terima saranmu, besok kita lanjutkan penyelidikan ini."

*****

Setiba mereka di rumah keluarga Auyang, penghuni rumah besar itu sudah tidur semua, agaknya tiada orang tahu apa yang dilakukan kedua orang ini setengah malaman ini, segera mereka kembali ke kamar masing-masing. Di musim dingin, malam pendek siang panjang, Jit-jit hanya tidur sebentar di atas ranjang, waktu dia membuka mata mentari sudah memancarkan cahayanya ke dalam kamar. Cukup lama dia duduk termenung di atas ranjang, makin dipikir terasa makin mencurigakan, mendadak dia menyingkap selimut terus berpakaian langsung dia pergi ke kamar Sim Long. Pintu kamar masih tertutup rapat, segera ia hendak menggedor, tapi urung, sejenak ia berpikir, lalu berputar ke arah jendela dan pasang kuping  mendengarkan, didengarnya Sim Long masih mendengkur dengan teratur, jelas tidurnya sangat nyenyak. Mendadak di belakangnya seorang menyapa perlahan, "Selamat pagi, Nona!" Cepat Jit-jit membalik, yang berdiri di belakangnya dengan

meluruskan tangan ternyata Pek Fifi. Secara diam-diam dia berdiri di luar jendela kamar orang lelaki dan mencuri dengar, kini kepergok, keruan ia malu. Seketika dia menarik muka, baru saja dia hendak mengumbar adat, mendadak pikirannya berubah, dengan tertawa dia berkata perlahan, "Kau pun pagi, apa semalam enak tidurmu?" Dua hari ini setiap melihat tampang Pek Fifi selalu dia jengkel, kini sikapnya mendadak berubah ramah, sudah tentu Pek Fifi merasa di luar dugaan, ia jadi kebat-kebit malah, sahutnya dengan hormat, "Terima kasih atas perhatian Nona, aku ... aku tidur dengan nyenyak."

"Angkat kepalamu, biar kulihat mukamu." Fifi mengiakan dan perlahan angkat kepalanya. Hujan salju sudah berhenti, mentari yang baru menyingsing memancarkan cahaya keemasan menyinari wajah Pek Fifi. Jit-jit menghela napas, ujarnya, "Memang cantik, melihatmu aku pun ketarik, apalagi kaum lelaki hidung belang itu, sudah tentu tergila-gila ...." Fifi kira rasa cemburu orang mulai angot lagi, maka dengan gugup dia berkata, "Mana hamba berani dibandingkan dengan Nona ...."

"Tak usah sungkan, tapi ... jangan kau bohongi aku." Fifi berjingkat kaget, katanya, "Mana berani hamba bohongi Nona."

"Apa betul kau tidak bohong? Baik, jawab pertanyaanku, kau bilang semalam tidur nyenyak, kenapa kedua matamu tampak

merah bengul?" Wajah Fifi yang semula pucat seketika merah, katanya dengan tergegap, "Aku ... hamba ...." Khawatir dimaki Cu Jit-jit, saking takutnya sampai tak mampu bicara. Jit-jit malah tertawa, katanya, "Kalau semalam kau tidak tidur,

aku ingin tanya padamu, kamarmu di sebelah kamar Sim-siangkong, apa kau tahu semalam Sim-siangkong keluar dari kamarnya tidak?" Lega hati Fifi, katanya, "Semalam Sim-siangkong pulang ke kamar dengan mabuk, begitu rebah di ranjang lantas tidur pulas, dari kamar hamba pun mendengar suara dengkurannya." Sesaat Jit-jit menimbang-nimbang, lalu berkerut alis dan

bergumam, "Kalau demikian, mungkin bukan dia ...."

"Bukan dia siapa?" tiba-tiba seorang bertanya dengan tertawa. Entah kapan Sim Long sudah membuka pintu dan melangkah

keluar. Merah muka Jit-jit, katanya, "O, tidak ... tidak apa-apa." Sikapnya di hadapan Sim Long serupa Pek Fifi di hadapannya tadi, muka merah dan menunduk kepala, tergegap tak mampu bicara. Sambil menunduk diam-diam Fifi mengundurkan diri. Sim Long menatap Jit-jit, cahaya mentari yang keemasan menyinari wajah Cu Jit-jit, wajahnya kelihatan cantik, siapa

pun melihatnya pasti merasa sayang. Mendadak Sim Long menghela napas, katanya, "Wajahmu bak bunga mekar, lebih cantik dari ...."

"Siapa maksudmu?" tukas Jit-jit. "Sudah tentu kau, masa orang lain." Muka merah Jit-jit, belum pernah dia dengar Sim Long memuji kecantikannya, entah kejut entah senang, dia menunduk dan berkata, "Apakah kau bicara setulus hatimu?"

"Sudah tentu setulus hati .... Angin pagi dingin di luar, marilah duduk di dalam kamar." Tanpa diminta lagi Jit-jit mendahului melangkah masuk dan duduk di dalam kamar, terasa Sim Long masih terus mengawasi dirinya dengan saksama. Ia menjadi rikuh, duduk tak tenang, berdiri juga tak enak, akhirnya dia mengomel dengan tertahan, "Apa yang kau pandang? Bukankah aku serupa, beratus kali telah kau pandangku, dipandang lagi juga takkan tumbuh sekuntum bunga di mukaku." Sim Long tersenyum, katanya, "Aku sedang berpikir, perempuan secantik kau bila mengenakan mahkota di atas kepala pasti mirip seorang ratu." Terkesiap hati Jit-jit, "Ratu ... ratu apa?" Sim Long bergelak tertawa, "Sudah tentu ratu kecantikan.

Memangnya ada ratu lain." Tak tahan Jit-jit, ia mengawasi orang dengan saksama. Sim Long tertawa, katanya, "Udara dingin bumi beku, keluar malam gampang masuk angin, bila nanti malam kau ingin keluar, lebih baik mengenakan baju kapas ...."

Jit-jit berjingkrak, serunya, "Siapa bilang nanti malam aku mau keluar?"

"Siapa bilang kau mau keluar, aku hanya bilang umpama kau ingin keluar," mendadak Sim Long menoleh, lalu menyambung

dengan tertawa, "Him-heng, kenapa berdiri di luar jendela, silakan masuk?!" Si Kucing berdehem, lalu melangkah masuk perlahan dan menyapa, "Pagi benar Sim-heng bangun."

"Sebetulnya tidak pagi lagi, bagi orang yang malam hari suka keluyuran menjadi maling, semalam suntuk tidak tidur, tapi

sekarang sudah bangun, dia baru dapat dikatakan bangun pagi-pagi betul tidak Him-heng?" Si Kucing menyengir, sahutnya, "Ya ... ya ...."

"Barusan kubilang ada seorang mirip ratu, kini kulihat tampang Him-heng, haha, cara Him-heng melangkah bagai harimau lapar, gagah perkasa, bila mengenakan mahkota juga, kau pasti mirip seorang raja." Melotot si Kucing mengawasi Sim Long, sampai sekian lama terkesima dan tak mampu bersuara. Mendadak Sim Long berdiri, katanya, dengan tertawa, "Silakan kalian duduk di sini, aku akan keluar melihat-lihat dulu."

"Melihat ... melihat apa?" tanya Jit-jit. "Ingin kulihat apakah semalam ada maling datang mencuri barang, mungkin gagal mencuri malah kehilangan segenggam beras, kereta kuda yang ditumpangi juga tertinggal di luar." Dengan tertawa segera dia berlari keluar. Jit-jit dan si Kucing saling pandang dengan melenggong dan tak mampu bicara. Sesaat kemudian si Kucing tak tahan, ia buka suara, "Semalam pasti dia."

"Ya, pasti dia," ucap Jit-jit. Si Kucing menghela napas, katanya, "Sepak terjangnya sungguh menakjubkan, gerak-geriknya laksana setan, tingkah kita ternyata tak mampu mengelabui dia .... Ai, sungguh kungfu hebat." Tiba-tiba Jit-jit tertawa, katanya, "Banyak terima kasih." Si Kucing heran, "Kau terima kasih apa?" Manis tawa Jit-jit, katanya, "Kau memuji dia, berarti memujiku pula, mendengar pujianmu sungguh aku sangat senang, maka aku mengucapkan terima kasih, jika kau maki dia, pasti kuhajarmu." Si Kucing melongo sejenak, akhirnya menghela napas, katanya, "Semalam dia mempermalukan dirimu dan kau tidak marah?"

"Siapa bilang dia mempermainkan aku, maksud dia kan baik, ini ... ini kan kau sendiri yang bilang demikian? Kan pantas

kita berterima kasih kepadanya, kenapa mesti marah?" Kembali si Kucing melenggong, katanya kemudian, "Tapi aku justru marah."

"Kau marah apa?" tanya Jit-jit. Si Kucing tidak menjawab, mendadak ia berterus melangkah pergi. Jit-jit tidak mencegah, hanya katanya keras, "Hanya marah saja apa gunanya? Kalau malam nanti kau dapat membebaskan diri dari pengawasannya baru terbukti kau punya kepandaian tinggi, laki-laki yang serbapintar pasti akan disukai gadis." Si Kucing sudah pergi dengan langkah lebar, mendadak dia kembali dengan langkah lebar pula, katanya, "Kau kira aku tak mampu membebaskan diri dari pengawasannya?" Dengan tertawa Jit-jit mengawasinya, katanya, "Apa kau mampu?"

"Mampu saja, boleh kau buktikan," seru si Kucing keras. Setelah mengentak kaki, kembali dia melangkah pergi. Mengawasi bayangan orang yang lenyap di luar pintu, Jit-jit tertawa senang, gumamnya, "Kau si Kucing ini pernah bilang selamanya tak pernah terpancing orang? Sekarang kenapa terpancing juga olehku? .... Tampaknya laki-laki di dunia ini sama saja, tiada satu pun yang tahan dihasut oleh orang perempuan .... Hanya ... kecuali Sim Long saja ...." Terbayang akan watak Sim Long yang tidak kenal kompromi, tidak doyan halus maupun keras, sering berlagak bisu dan tuli lagi, sungguh ia gemas dan geregetan, rasanya ingin menggigitnya. Tapi ... ia hanya menggigitnya perlahan, sebab khawatir menyakitkan dia.

*****

Dengan sendirinya Auyang Hi berusaha menahan tetamunya supaya tinggal lebih lama, Jit-jit juga tidak berniat pergi, maka

kebetulan orang banyak lantas tinggal lebih lama di rumah Auyang Hi. Malamnya diadakan pula perjamuan besar. Setelah minum tiga cawan, si Kucing mendadak berkata, "Eh, tiba-tiba teringat olehku suatu persoalan menarik."

"Soal apa?" tanya Auyang Hi. "Bila kita berempat bertanding minum arak entah siapa yang akan ambruk lebih dulu?"

"Wah ...." Auyang Hi jadi bingung, ia menoleh ke arah Sim Long, lalu memandang Ong Ling-hoa pula. Sim Long diam saja, Ong Ling-hoa juga tidak memberi tanggapan. Setiap orang yang gemar minum pasti tidak mau mengaku takaran minumnya sedikit dan akan mabuk lebih dulu. Auyang Hi bergelak tertawa, katanya, "Persoalanmu memang menarik, namun sukar mendapatkan jawabannya."

"Kenapa sukar," ujar si Kucing, "asal Auyang-heng mau sediakan arak, hari ini juga kita bisa menentukan kalah-menang."

Belum habis orang bicara Auyang Hi lantas berkeplok, serunya, "Bagus! .... Ayo keluarkan empat guci arak!" Cepat sekali empat guci arak yang diminta sudah diusung keluar. Ong Ling-hoa tertawa, katanya, "Begini saja, satu orang satu guci, siapa pun tak dirugikan." Sim Long tersenyum, "Jika habis satu guci dan belum mabuk, lalu bagaimana?"

"Bila empat guci belum mabuk, keluarkan lagi delapan guci," kata Ong Ling-hoa. "Kalau belum juga mabuk?" tanya Sim Long.

Ong Ling-hoa tertawa, "Jika masih juga belum ada yang mabuk, apa salahnya kita teruskan adu minum sampai tiga hari?" Si Kucing tepuk tangan, serunya dengan bergelak tertawa, "Haha, bagus! Tapi, masih ada ...."

"Masih ada apa?" tanya Auyang Hi. "Cepat atau lambatnya cara minum juga harus diatur ...." ujar si Kucing. "Betapa cepat kau kucing ini dapat minum kami pasti akan mengiringimu sama cepatnya."

"Baik ...." seru si Kucing girang, segera diangkatnya satu guci dengan kepala mendongak, arak terus dituang ke dalam perut, sekaligus dia habiskan setengah guci. Ketika mendengar si Kucing ribut urusan minum arak, Jit-jit lantas tahu maksud si Kucing hendak mencekok mabuk ketiga orang ini, bila Sim Long juga mabuk, maka dia takkan bisa menguntit gerak-gerik mereka malam ini. Dalam hati dia tertawa geli dan bersorak akan akal si Kucing. Maka dia hanya menonton saja di samping tanpa memberi komentar. Empat orang ini memang jago minum, hanya sekejap saja isi empat guci sudah terminum habis, segera Auyang Hi tepuk tangan dan menyuruh keluarkan empat guci arak lagi. Ketika empat guci ini habis diminum dan minta tambah empat guci, keadaan keempat orang ini sudah mulai tak genah, mulai sinting, cara bicara juga ngelantur. Jit-jit sangat tertarik, ia ingin menyaksikan siapa di antara keempat orang ini yang mabuk dan ambruk lebih dulu. Tapi

setelah berpikir pula, ia jadi tidak tertarik lagi. Pikirnya, "Takaran minum keempat orang ini agaknya seimbang, jika si

Kucing tak mampu mencekoki Sim Long hingga mabuk, malah dia sendiri yang mabuk lebih dulu, lalu bagaimana baiknya?"

Mendadak terlihat Sim Long berdiri dan berseru lantang, "Kucing tetap kucing, habis tiga guci arak jatuh melingkar seperti kerbau." Mendadak ia roboh perlahan dan tak bangun lagi. "Haha, ambruk satu ...." teriak si Kucing dengan tertawa. Ong Ling-hoa mengedip mata, katanya, "Jangan-jangan dia pura-pura mabuk." Meski ingin mencekoki Sim Long sampai mabuk, tapi melihat keadaannya benar-benar mabuk, Jit-jit menjadi gugup pula, dengan penuh perhatian dia berjongkok memapah Sim Long, katanya, "Dia tidak pura-pura, tapi betul-betul mabuk, kalau tidak masa dia mengoceh tak keruan." Ong Ling-hoa tertawa, "Tak nyana orang lain ambruk lebih dulu, bagus, bagus! Biarlah kuminum lagi tiga cawan." Lalu dia habiskan tiga cawan arak, namun sebelum cawan ditaruh di atas meja, orangnya mendadak tak kelihatan, kiranya dia telah merosot ke bawah meja dan tak mampu bangun lagi. Si Kucing tertawa, cawan didorongnya serta berbangkit, tapi sebelum sirap suara tertawanya, ia pun ambruk telentang. Auyang Hi bergelak, serunya, "Bagus ... bagus! Bicara soal kungfu memang berbeda satu dengan yang lain, tapi soal kekuatan arak akulah yang paling jempol ...." Ia pegang cawan dengan langkah sempoyongan dan keluar pintu. Sesaat kemudian terdengar cangkir jatuh berantakan menyusul "bluk" yang keras, lalu suara Auyang Hi tak terdengar lagi. Dengan terkesima Jit-jit mengawasi mereka satu per satu, namun sesaat kemudian mendadak si Kucing melompat bangun, katanya sambil mengawasi Cu Jit-jit, "Nah, bagaimana, bukankah sekarang aku dapat melepaskan diri

dari mereka."

"Ya, anggaplah kau memang lihai, tapi ... tapi tak pantas kau mencekokinya sampai begini," apa pun Jit-jit tetap membela

Sim Long. Si Kucing melenggong sejenak, katanya dengan menghela napas, "O, perempuan ... sudah kubela dia, dia malah

membela orang lain ...." Jit-jit angkat Sim Long ke atas ranjang dan menyelimutinya, habis itu baru dia ikut si Kucing melesat keluar pekarangan. Kedua orang sama memikirkan persoalannya sendiri, maka tiada yang buka suara. Setiba di luar tembok rumah itu baru Jit-jit menoleh dan berkata, "Malam ini Sim Long tidak akan memberi petunjuk dan perlindungan lagi, maka kita harus lebih hati-hati."

"Hmk!" si Kucing hanya mendengus saja. Jit-jit tertawa, "Kau minum arak sebanyak itu dan tidak mabuk, jangan-jangan kau mabuk minum cuka (cemburu)." Dengan enteng mereka melompati tembok, keadaan gelap gulita sekelilingnya sepi seperti tiada penjagaan, ronda malam juga tidak kelihatan. Mereka maju terus tanpa rintangan. Entah berapa lama mereka sudah memasuki pekarangan besar ini, waktu diteliti agaknya mereka sudah berada di taman belakang, pemandangan sekelilingnya memang mirip seperti "sarang iblis" yang pernah dilihat Cu Jit-jit dulu. Hutan cemara, hutan bambu, gardu pemandangan, loteng

bersusun, gunung-gunungan dan empang .... Jalan kecil berkerikil sudah bertabur salju, empang teratai yang sudah membeku. Makin pandang makin mirip, namun makin dipandang hatinya juga semakin tegang, meski di musim dingin telapak tangan dan jidatnya ternyata berkeringat. Mendadak si Kucing bergelak tertawa, "Haha, arak bagus, arak bagus, lagi sepoci ...."

Saking kaget jantung Cu Jit-jit seperti mau melompat keluar dari rongga dadanya, cepat dia membalik dan menarik siKucing terus diajak menggelinding ke tempat gelap. Ditunggu sesaat lamanya, keadaan tetap sunyi senyap, gelak tawa si Kucing ternyata tidak mengejutkan penjaga atau ronda malam di taman ini. Jit-jit merasa lega, ia tarik lengan baju si Kucing dan

mengomel, "Sudah gila kau?" Si Kucing menyengir, "Sudah gila, ya sudah gila, lebih baik minum arak ...."

"Celaka, kau ... kau mabuk?" Mendadak si Kucing menarik muka, "Siapa mabuk, aku hanya ingin coba apakah di sini ada orang atau tidak."

"Caramu mencoba ini apakah tidak akan membikin jiwa melayang?" omel Jit-jit. Mendadak si Kucing berkata keras pula, "Baiklah, jika kau minta jangan kucoba, aku pun tidak akan mencoba." Tubuh Jit-jit berkeringat dingin, lekas dia memberi tanda dan mendesis, "Sssst, jangan bicara." Mendadak si Kucing juga mendekap mulut dan berkata, "Sssst, jangan bicara."

Khawatir dan gusar, serbasalah pula Jit-jit, ia tak tahu apa yang harus dilakukan lagi, sekarang baru dia tahu, tadi si

Kucing memang pura-pura mabuk, tapi setelah badan kena angin malam, arak dalam perut berontak hingga betul-betul jadi mabuk. Kalau tadi betul-betul mabuk masih mending, ditempat seperti ini dia baru mabuk, keruan Jit-jit gugup setengah mati. Tak terduga mendadak si Kucing berdiri, dengan hati-hati dia menuju ke sana, gerak-geriknya kelihatan lincah dan cekatan, Jit-jit tak berhasil menariknya, terpaksa dia ikuti saja langkah orang. Setelah sekian jauhnya, langkah si Kucing betul-betul seringan kucing merunduk tikus, enteng tak mengeluarkan suara, lega hati Cu Jit-jit, pikirnya, "Semoga dia tidak mabuk, kalau tidak ...." Baru melamun, mendadak si Kucing berlari ke arah sepucuk pohon cemara, kaki tangan bekerja sekaligus, beruntun dia memukul dan menendang pohon itu sambil berteriak-teriak, "Bagus, kau bilang aku mabuk, kuhajar kau ... kuhajar kau sampai mampus." Di samping kaget, dongkol juga Jit-jit, segera dia memburu maju dan menekan tubuh si Kucing pada batang pohon itu. "Plak-plok", belasan kali dia gampar mukanya. Si Kucing tidak meronta, juga tidak melawan, dia malah menyengir lucu. Dengan gemas Jit-jit memaki, "Kucing goblok, kucing mabuk, akulah yang akan menghajarmu sampai mampus!" Kucing meratap, "Nona yang baik, jangan menghajarku sampai mampus, cukup setengah mati saja."

Walau gusar, Jit-jit merasa geli pula, namun saat itu dia sadar bahaya selalu mengelilinginya, yang menemani dirinya justru kucing mabuk, dia bisa tertawa. Keadaan taman tetap sunyi senyap dan tak kelihatan orang mengejar. Dengan menahan suara Jit-jit berkata dengan geregetan, "Kucing mabuk, dengarkan, sekali lagi kau bikin ribut, segera kututuk hiat-tomu dan kubuang ke semak-semak, biar badanmu dicincang orang, kau tahu tidak?" Si Kucing manggut-manggut, "Ya, aku tahu, aku tahu!"

"Masih berani kau bikin ribut?"

"Tidak, tidak berani lagi." Lega hati Jit-jit, katanya, "Baik, ikuti aku dan jangan berisik, berani bersuara sedikit saja segera kucabut nyawamu."

"Baik, ikuti kau perlahan, asal mengeluarkan suara, kau akan merenggut nyawaku." Diam-diam Jit-jit membatin, "Walau dia mabuk, pikirannya ternyata masih jernih. Agaknya nasibku masih mujur, tadi dia ribut sekeras itu, ternyata tidak mengejutkan orang." Maka kedua orang lantas maju lebih lanjut. Si Kucing sudah mabuk hingga mengoceh tak keruan, seorang

lagi gadis yang hijau dan cetek pengalaman, betapa keras keributan yang dilakukan si Kucing tadi, umpama orang matipun akan terkejut bangun. Apalagi orang di sini pasti tidak mati. Tapi keadaan tetap sunyi, dalam hal ini pasti ada sebab

musababnya, namun bukan saja Jit-jit tidak pikirkan hal ini, dia malah merasa senang dan menganggap dirinya bernasib mujur.

*****

Dugaan Cu Jit-jit memang tidak salah, "sarang pelacur" ini memang betul adalah sarang iblis yang tempo hari pernah membuat dirinya ketakutan setengah mati itu. Maju beberapa langkah lagi lantas terlihat loteng kecil itu. Walau keadaan sekelilingnya gelap gulita, namun sudah terbayang olehnya akan wajah si nyonya setengah baya yang cantik dan berdandan seperti permaisuri itu tengah berdiri di langkan dan melambaikan tangan kepadanya. Rasa ngeri seketika menjalari benaknya, cepat dia tarik si Kucing terus menyelinap ke belakang sepucuk pohon. "Ken ...." baru si Kucing bersuara, mulutnya lantas didekap Cu Jit-jit. Tangan Jit-jit yang lain menuding loteng kecil itu, katanya, "Di ... di sana itulah."

Si Kucing bersuara dalam kerongkongan sambil manggut-manggut. Jit-jit berbisik pula, "Setiba di sini, jangan bersuara apa pun, perempuan yang tinggal di atas loteng itu lebih menakutkan daripada setan, bila mengeluarkan suara dan didengar

olehnya, jang ... jangan harap bisa pulang, tahu tidak?" Si Kucing manggut-manggut, selanjutnya bernapas pun dia tak berani terlalu keras. Jit-jit segera lepaskan dekapan atas mulut orang, katanya perlahan, "Walau kita sudah temukan tempat ini, tapi aku tidak tahu bagaimana baiknya? Perlukah kita memeriksanya ke atas? Atau pulang dulu mengajak Sim Long kemari?" Dengan berbisik si Kucing berkata, "Kita periksa lebih dulu." Jit-jit menghela napas, katanya, "Diperiksa dulu juga boleh, tapi tak dapat kau bayangkan betapa menakutkan perempuan di atas loteng itu, apalagi kau sedang mabuk ...."

"Tak jadi soal," kata si Kucing tegas. Belum lenyap suaranya dia lantas melompat jauh ke depan, meluncur secepat anak

panah. Jit-jit tak berhasil meraihnya, ingin berteriak tidak berani, saking khawatir berubah air mukanya, sebetulnya dia ingin menyusul, sayang kedua kaki terasa lemas. Dilihatnya si Kucing berlari langsung ke arah loteng, di mana kakinya melayang, dia depak daun pintu bagian bawah, menerjang masuk dengan langkah tegap seperti masuk rumahnya sendiri.

Tendangan si Kucing itu rasanya seperti menendang hulu hati Cu Jit-jit, seketika kepala pusing, jantung pun serasa berhenti berdenyut. Dia ambruk di tanah, kaki-tangan terasa dingin dan basah keringat, ia bersuara perlahan, "Wah, celaka ... habis ...." Dia yakin setelah si Kucing menerjang masuk ke sana, jiwanya pasti amblas dan takkan keluar lagi dengan hidup, sebetulnya timbul niatnya akan ikut menerjang masuk sebagai tanda setia kawannya, sayang, kakinya terasa lemas dan tak mampu berdiri. Dia membatin sambil mengertak gigi, "Salahmu sendiri minum sebanyak itu hingga mabuk, kau ... kau mampus juga pantas, buat apa aku kasihan ...." Walau demikian pikirannya, tapi entah kenapa, air mata lantas bercucuran.

Didengarnya si Kucing lagi mengamuk di dalam loteng, teriaknya, "Perempuan setan, iblis perempuan, ayo keluar, kalau berani ayolah berhantam dengan pendekar besar ini, coba kau yang mampus atau aku yang hidup, memangnya kau kira si Kucing takut padamu?" Menyusul terdengar suara "blang-blung" yang ramai disertai caci maki si Kucing, agaknya telah terjadi baku hantam yang seru di dalam loteng. Kalau betul terjadi pertarungan sengit, meski kepandaian si Kucing amat tinggi, apa pun dia bukan tandingan siperempuan setengah baya yang menghuni loteng kecil itu, apalagi saat itu si Kucing lagi mabuk.

Jit-jit tak tahan membendung air matanya, sambil menangis terisak dia berkata sendiri, "Peduli kau mabuk atau tidak, kalau bukan lantaran aku, tentu kau ... kau tidak akan mabuk dan takkan berada di sini .... Akulah yang membuatmu celaka

... aku yang membuatmu celaka, tapi aku malah duduk saja di sini, tak menyertai kau mengadu jiwa ... aku memang patut

mampus ... pantas mati ...." Tangan diangkatnya, mendadak dia gigit lengan sendiri, begitu jengkelnya hingga lengannya digigitnya sampai berdarah. Sementara itu tak terdengar lagi suara si Kucing di dalam loteng. Suasana menjadi sepi, keadaan sunyi yang aneh dan mencekam lebih mengerikan dari kegaduhan, dengan khawatir Cu Jit-jit angkat kepalanya, air mata masih berkaca-kaca di pelupuk matanya, ia pandang ke sana dengan bingung. Di tengah kesunyian yang mencekam perasaan ini, loteng kecil itu tetap menegak di tengah kegelapan, tiada suara, tak terlihat sinar lampu, apalagi bayangan manusia .... Di samping khawatir dia juga heran, batinnya, "Apakah yang terjadi .... Mengapa jadi begini .... Mungkinkah dia ... dia menemui ajalnya? Tapi umpama dia gugur, sedikitnya terdengar jeritannya." Loteng kecil yang tak bernyawa itu dalam pandangan Jit-jit sekarang berubah seperti iblis jahat. Pintu yang terpentang oleh tendangan si Kucing tadi seperti mulut iblis raksasa yang ternganga menunggu mangsanya, seperti juga menantang dan mencemoohkan Cu Jit-jit, "Apa kau berani masuk?" Bergidik Jit-jit. Tubuhnya memang sudah basah oleh salju, kini celananya juga basah dan kotor, namun dia seperti tidak menyadari, matanya tetap mengawasi bangunan loteng itu, persoalan lain seperti tak dipedulikan lagi. Daun pintu yang terpentang bergerak-gerak tertiup angin, seperti lagi mengejek Cu Jit-jit, juga seperti sedang menantang. Dengan mengertak gigi Jit-jit meronta berdiri, diam-diam ia maki dirinya sendiri, "Kenapa aku jadi penakut, mati saja tak

takut, apa yang harus kutakuti?" Ia tidak menyadari "rasa takut" adalah titik lemah manusia, kelemahan yang sudah dibawa sejak lahir, kecuali orangnya mati, pingsan atau mati rasa, kalau normal, siapa pun pasti punya rasa takut. Meski tak kuasa menghentikan rasa takutnya, namun akhirnya Jit-jit berdiri. Walau dia seorang gadis, tidak punya jiwa keperwiraan, namun wataknya suka menang dan keras kepala, dia juga memiliki hati yang bajik, dia sudah bersumpah demi kesejahteraan umat persilatan, dia harus membongkar rahasia ini, rahasia yang menakutkan ini. Setindak demi setindak dia melangkah ke arah loteng. Pintu masih terbuka lebar. Tapi keadaan di dalam pintu lebih gelap daripada di luar, dengan ketajaman matanya tetap sukar melihat keadaan di dalam rumah. Jantungnya seperti hendak melompat keluar, rasa takut makin menjadi. Tapi sambil mengertak gigi dia tetap melangkah masuk, tidak menoleh dan tidak berhenti. Dari tempat dia jatuh terduduk tadi ke pintu loteng jaraknya tidak jauh, namun jarak sedekat ini terasa betapa jauh dan lama perjalanan ini. Akhirnya dia berada di pintu, untuk sampai ke situ rasanya dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, kalau saat itu ada orang menerjang keluar dari balik pintu, sekali tonjok pasti dapat membunuhnya. "Blang", mendadak daun pintu tertutup. Hampir saja Jit-jit menjerit. Padahal angin yang bikin gara-gara. Jit-jit menggigit bibir, tangan kiri meraba dada tangan kanan

mendorong daun pintu Perlahan daun pintu terbuka, di dalam tiada orang, juga tak ada reaksi apa-apa. Dengan menabahkan hati dia melangkah masuk. Meski masih ngeri, namun kaki-tangannya kini sudah penuh tenaga, sekujur badan bersiap siaga, setiap saat dia siap tempur menghadapi sergapan. Namun setelah beranjak beberapa langkah, ternyata tiada kejadian apa pun yang dialaminya. Saking gelap kelima jari tangan sendiri pun tak terlihat, tiada suara apa pula, hening lelap, kecuali detak jantung sendiri. Keadaan ini membuat Jit-jit jadi bingung dan heran, kesunyian yang ganjil ini malah membuatnya terkejut, sukar untuk dimengerti sebenarnya apa yang terjadi? Perangkap apa yang terpasang di loteng kecil ini? Muslihat apa pula yang direncanakan musuh? Ke manakah si Kucing? Mati atau hidup? Kenapa penghuni loteng ini tidak segera menyergap dirinya? Apa pula yang mereka tunggu? Urusan sudah telanjur sejauh ini, terpaksa Jit-jit mengeraskan kepala dan melangkah maju lebih lanjut. Dia tahu setelah berada di dalam rumah ingin mundur juga kepalang tanggung, peduli ada perangkap atau muslihat apa, biarlah pasrah nasib. Selangkah demi selangkah ia maju terus, telapak tangan sudah basah keringat dingin, keadaan sekarang boleh diibaratkan seorang buta menunggang kuda lamur dan tengah malam berada di tepi jurang. Secara membabi buta dia terjang ke depan, setiap saat bukan mustahil dia akan jatuh ke dalam perangkap dan mengalami bahaya, kecuali nona bandel ini mungkin tak ada yang berani. Tiba-tiba kakinya terasa menginjak sesuatu yang empuk, rasanya seperti kaki orang, waktu tubuhnya tersungkur ke depan, kembali ia membentur sesuatu yang lunak. Benda itu

bukan saja basah juga lunak, terendus pula bau khas orang yang kasar, itulah bau arak dan bau keringat, bercampur

dengan bau sepatu yang bacin. Saking kaget Jit-jit melompat mundur, bentaknya, "Siapa?" Keadaan tetap hening, tiada reaksi apa-apa, tapi mendadak berkumandang gelak tertawa orang. Dengan suara serak Jit-jit berteriak, "Siapa kau sebenarnya? Kau ...." Belum habis dia bicara, sinar lampu mendadak menyala di empat penjuru hingga keadaan ruangan itu terang benderang. Sudah sekian lama dalam kegelapan, mendadak melihat sinar lampu, tentu mata Jit-jit terasa silau, cepat ia pejamkan mata sambil menyurut mundur. Mendadak punggungnya menumbuk benda lunak pula, seperti badan laki-laki, saking kaget dia menerjang maju lagi. Tak tersangka sepasang tangan segera menangkap pundaknya. Dia ingin meronta, namun didengarnya seorang laki-laki bicara perlahan di sampingnya, "Berdiri yang tegak, jangan terjatuh." Suara yang sudah amat dikenalnya, seperti suara Sim Long. Saking kaget segera dia membuka mata. Mendingan kalau dia tidak membuka mata, seketika dia terbelalak tertegun, mulut ternganga, sepatah kata pun tak mampu bicara. Di bawah sinar lampu yang benderang, meja kursi di dalam rumah lengkap dan rapi, mana ada bekas orang bertarung sengit? Seorang berduduk menghadap pintu sambil tertawa lebar, siapa lagi kalau bukan Ong Ling-hoa. Di tempat ini mendadak melihat Ong Ling-hoa, hal ini sudah cukup membuatnya kaget, ternyata seorang yang duduk di sebelah Ong Ling-hoa dengan tersenyum adalah Sim Long. Bahwa mendadak dia melihat Sim Long di sini masih bisa dimaklumi, tapi mimpi pun dia tidak percaya bahwa seorang lagi yang duduk santai di sebelah Sim Long ternyata bukan lain adalah si Kucing yang mabuk dan mengoceh tak keruan hingga membuatnya takut dan menangis tadi. Melihat ketiga orang ini sekaligus berkumpul di sini, meski cukup mengejutkan, tapi yang lebih mengejutkan lagi setelah dia melihat seorang lain yang duduk di sebelah si Kucing. Tulang pipi orang ini menonjol, sorot matanya tajam berkilat, mulutnya lebar, dia inilah Thi Hoat-ho yang sudah sekian lamanya hilang tak keruan parannya itu. Keempat orang ini sekaligus berada di sini, padahal semula keempat orang ini adalah lawan dan bukan kawan, tapi sekarang mereka duduk bersama di sini, mengawasi dirinya dengan senyum geli, satu sama lain seperti tiada permusuhan. Sebetulnya apa yang terjadi Jit-jit tidak habis mengerti. Tiba-tiba keempat orang itu berdiri. Ong Ling-hoa bersuara lebih dulu sambil menjura, "Kagum, sungguh kagum, keberanian Nona Cu memang mengejutkan, sungguh jantannya kaum wanita, Cayhe betul-betul kagum lahir batin." Thi Hoat-ho juga menjura, katanya dengan tertawa, "Demi keselamatan kami, Nona tak segan menempuh bahaya dan berusaha membongkar peristiwa ini, entah betapa derita yang kau alami, sungguh Cayhe sangat berterima kasih, seumur hidup takkan kulupakan." Dengan tersenyum Sim Long juga berkata, "Setelah mengalami peristiwa ini, baik pengalaman maupun keberanianmu telah bertambah tidak sedikit, bila kau mengalami derita juga setimpal." Si Kucing juga tertawa, katanya, "Kalian bilang dia belum tentu berani menerobos kemari, tapi aku justru bilang dia pasti berani, aku ...." Mendadak Cu Jit-jit berjingkrak, bentaknya, "Tutup mulut, tutup mulut semua." Dia menubruk ke depan Sim Long dan menjambret leher bajunya, teriaknya, "Sebetulnya apa yang terjadi? Lekas katakan, katakan! Aku hampir gila!" Si Kucing maju mendekat dan membujuk, "Nona, bicaralah baik-baik, kenapa ...."

"Plak", belum habis dia bicara mendadak mukanya digampar oleh Jit-jit. Seketika si Kucing melenggong di tempatnya, tangan mendekap pipi yang pedas dan sakit, tak tahu apa yang harus diucapkan lagi. Jit-jit menghadapinya sambil bertolak pinggang, serunya, "Bicara baik-baik, bicara kentut. Ayo jawab, bukankah kau mabuk, kenapa sekarang mendadak segar bugar, bukankah tadi kau pura-pura mabuk?" Si Kucing menyengir, katanya, "Aku ... aku ...." Mendadak Cu Jit-jit menjerit didekat kuping orang, "Kau tipu aku, kenapa kau tipu aku?" Hampir pecah genderang telinga si Kucing, dia melompat mundur, serunya tergegap, "Ini ... ini ...." Si Kucing biasanya pandai bicara, sekarang gelagapan, si Kucing sekarang hanya melirik Ong Ling-hoa dan mohon belas kasihan. Ong Ling-hoa berdehem, katanya, "Urusan ini memang banyak liku-likunya, cuma ...." Sim Long menukas, "Cuma kami tiada bermaksud jahat terhadapmu."

"Tidak bermaksud jahat apa, masih berani kau bilang tak bermaksud jahat," damprat Jit-jit. "Coba jawab pertanyaanku, kenapa dia menipuku? Kenapa kau pun menipu aku? Kalian laki-laki setan ini kenapa dusta padaku?" Dia berteriak dengan suara setengah tersendat. "Rahasia urusan ini mestinya hendak kami jelaskan kepadamu ...."

"Lantas kenapa tidak kalian jelaskan?" Jit-jit meraung. Sim Long menghela napas, katanya, "Kau bicara seperti ini, cara bagaimana kami dapat menjelaskan kepadamu." Jit-jit berjingkrak pula, serunya, "Seperti ini apa? Berani kau salahkan diriku, kalian menipuku, memangnya begitu masuk kemari aku harus berlutut dan minta maaf kepada kalian?" Ong Ling-hoa tertawa, "Tapi Nona harus dengarkan dulu penjelasanku baru boleh marah lagi."

"Ya, seharusnya begitu," timbrung Sim Long, "Nah, duduklah, dengarkan penjelasan kami."

"Aku justru tak mau duduk, kau mau apa?" bantah Jit-jit, dia mundur beberapa langkah dan menarik sebuah kursi, lalu

duduk. Entah kenapa, setiap saran Sim Long, meski lahirnya dia membantah, tapi selalu diturutinya, perkataan Sim Long

seperti mengandung tenaga gaib, terpaksa dia harus tunduk dan menurut. Sim Long menghela napas lega, katanya, "Baiklah. Urusan ini amat panjang untuk diceritakan, silakan Ong-heng saja yang bicara dari permulaan." Ong Ling-hoa juga menghela napas lega, tuturnya, "Soal ini memang ruwet dan berliku-liku, aku sendiri bingung, entah harus mulai dari mana?" Hampir saja Jit-jit berjingkrak pula, teriaknya, "Kalau tidak tahu mulai bicara dari mana, apa tak jadi bercerita?"

"Ah, sudah tentu harus kuceritakan, tapi ...."

"Tapi apa?" mendelik Jit-jit. "Karena tidak tahu caranya mulai bicara, maka lebih baik Nona saja yang mengajukan pertanyaan, apa saja boleh tanya dan pasti kujawab tanpa rahasia."

"Baik, biar aku tanya," ujar Jit-jit, namun dia lantas melenggong, kejadian yang dialami memang berbelit-belit dan sukar dimengerti, hakikatnya dia sendiri juga bingung soal apa yang perlu diungkap lebih dulu. Ia menunduk, lalu angkat kepala pula, benaknya bekerja, biji matanya berputar, mendadak dilihatnya di atas dinding depan tergantung sebuah lukisan raksasa. Entah sebab apa, sorot matanya segera tertarik pada lukisan besar itu hingga gejolak perasaannya seketika terhenti. Itulah sebuah lukisan cat air, melukiskan keadaan tengah malam. Di bawah cahaya rembulan yang sunyi sebuah jalan kecil yang berliku-liku menjurus dari pojok kiri bawah terus menuju ke tengah lukisan dan lenyap di balik keremangan malam, seperti ingin melukiskan perasaan "tak tahu datang dari mana dan tak tahu pergi ke mana". Kedua tepi jalan kecil itu dipagari tebing curam, pepohonan tumbuh subur memenuhi lereng gunung, bagian bawah adalah tanah dan batu padas berwarna cokelat kelabu. Dibelakang batu padas, sebelah kanan menjorok keluar pagar tembok warna merah, di atas tembok kelihatan payon rumah yang bentuknya seperti kuil kuno dan perkampungan misterius di pegunungan sunyi. Di balik tebing kanan menongol setengah badan bayangan orang, rambutnya hitam panjang, bola matanya jeli bening, itulah lukisan seorang gadis rupawan, seperti sedang sembunyi, tapi juga seperti sedang mengintip. Di bawah payon juga ada seorang perempuan, sama cantiknya, masih muda pula, tubuhnya setengah berputar, seperti hendak melangkah keluar, juga seperti mau masuk kedalam. Perempuan ketiga berdiri di jalan berliku itu, kepalanya miring hingga cuma sebagian wajahnya saja kelihatan, seperti ingin menoleh dengan lirikannya, seperti juga hendak menghindari tatapan perempuan di bawah payon itu.

Tiga perempuan dalam lukisan sama-sama cantik jelita, namun alis lentik mereka tampak terkerut seperti dirundung persoalan yang merisaukan hati mereka, seperti duka, tapi juga mirip dendam. Seperti lagi menghindar tapi juga seperti

menantikan. Apakah yang mereka nantikan? Kedatangan siapa yang mereka harapkan? Atau menantikan sesuatu yang bakal terjadi? Meski sebuah lukisan mati, namun apa yang terlukis itu justru serupa hidup. Tiga perempuan yang terlukis dalam bar itu menampilkan watak masing-masing yang menonjol, setiap orang seperti siap melakukan sesuatu atau sedang melakukan sesuatu yang khas. Orang yang melihat lukisan ini memang tak tahu apa yang hendak dilakukan ketiga perempuan itu, namun bila menatap lukisan ini sekian lamanya, dari relung hati akan timbul semacam perasaan ngeri, seolah-olah apa yang akan

dilakukan mereka adalah peristiwa yang membuat orang bergidik. Diterangi cahaya rembulan yang remang-remang sehingga

lukisan itu bertambah gaib dan misterius, seperti ada sesuatu yang akan terjadi, namun belum terjadi. Lukisan yang sederhana dengan goresan biasa, namun hidup dan indah, sekaligus menggambarkan berbagai makna dan perasaan yang berbeda-beda. Jelas membuktikan pelukis ini punya perasaan yang kuat yang tertuang ke dalam lukisannya ini, keadaan lukisan ini seolah-olah menggambarkan pengalaman hidupnya sendiri. Hanya pengalaman nyata saja dapat melimpahkan perasaan

yang kuat dan menonjol, dan perasaan yang paling kuat dalam hati manusia adalah cinta dan benci. Tapi yang menarik perhatian Cu Jit-jit sekarang bukan perasaan cinta dan benci yang meliputi lukisan itu melainkan tokoh dalam lukisan. Kini dia sedang menatap perempuan yang berdiri di tengah jalan dalam lukisan itu, sorot matanya menampilkan rasa kaget dan takut. Walau hanya kelihatan sebagian wajahnya, namun Jit-jit segera dapat mengenali perempuan dalam gambar itu bukan

lain adalah perempuan setengah baya yang cantik tapi berhati keji di atas loteng itu. Akhirnya Jit-jit berkata, "Baik, aku ingin tanya, siapakah orang ini?"

"Guruku ...." jawab Ong Ling-hoa. "Bohong," bentak Jit-jit, "jelas kudengar kau panggil ibu padanya." Ong Ling-hoa tertawa, katanya, "Karena guruku teramat sayang kepada anaknya, sejak kecil anaknya hilang tak keruan parannya, maka aku dipungut menjadi muridnya, beliau anggap aku sebagai putra sendiri, dengan sendirinya aku memanggilnya ibu."

"Oo," Jit-jit bersuara dalam mulut, agaknya dia menerima penjelasan ini, tapi kejap lain dia bertanya pula dengan suara

bengis, "Kalau begitu jadi kau mengakui aku pernah melihatnya di sini."

"Tidak salah," sahut Ong Ling-hoa dengan tertawa sambil mengangguk. "Jadi Can Ing-siong, Pui Jian-li, dan lain-lain juga betul digusur kemari dan disekap dalam penjara bawah tanah. Kau pun pernah mengurung aku dalam kamar di bawah loteng ini, kau bebaskan aku, dan aku pun betul-betul lari keluar dari toko peti mati itu?"

"Betul, betul," sahut Ong Ling-hoa tertawa. Makin beringas sikap Jit-jit, pertanyaannya pun makin mendesak, namun semua diakui oleh Ong Ling-hoa, malah sikapnya tenang, wajahnya selalu mengulum senyum. Tak tahan Jit-jit berjingkrak pula, serunya gusar, "Bagus! Sekarang kau baru mengaku terus terang, kenapa waktu itu kau mungkir, celakanya orang sama anggap aku ini membual, mengira aku ini orang gila." Dengan tertawa Ong Ling-hoa menjelaskannya, "Soalnya waktu itu aku belum tahu Sim-heng kawan atau lawan? Sudah tentu aku menyangkal segala tuduhanmu, tapi sekarang ...."

"Sekarang kenapa, memangnya sekarang Sim Long sudah sehaluan dengan kau?"

"Ya, sekarang kutahu, Sim Long dan Cayhe sehaluan menghadapi satu musuh yang sama, maka terhadap persoalan apa pun sekarang tidak perlu kututupi lagi." Bergetar badan Cu Jit-jit, saking kaget dia menjublek. Dengan mata kepala sendiri Jit-jit saksikan Ong Ling-hoa bersama ibunya melakukan berbagai perbuatan aneh dan rahasia, setiap urusan pasti mencelakai jiwa orang, malah menyangkut keamanan kaum persilatan umumnya, sungguh dia tidak percaya Sim Long mau berdiri di pihak mereka, mimpi pun dia tidak percaya Sim Long yang berjiwa pendekar sudi melakukan hal demikian. Maka dia lantas berteriak, "Sim Long, lekas katakan, betulkah apa yang dikatakan?" Sim Long tersenyum, sahutnya perlahan, "Apa yang diuraikan Ong-heng memang betul." Jit-jit terkesiap pula, teriaknya serak, "Aku tidak percaya ... aku tidak percaya!"

Segera dia memburu ke depan Sim Long, dengan air mata berlinang dia berkata, "Aku tak percaya kau sekomplotan dengan mereka, aku tak percaya kau ikut dalam komplotan mereka yang kotor dan jahat." Sim Long menggeleng kepala, katanya sambil menghela napas, "Kau keliru...."

"Bluk", Jit-jit jatuh terduduk di lantai, dengan mendongak dia mengawasi Sim Long, sorot matanya menunjukkan rasa kaget

dan gusar, curiga, tapi juga berduka, ratapnya, "Masa ... masa kau pun serendah itu?"

"Kau lebih keliru lagi," ucap Sim Long. Dengan tangan memukul lantai Jit-jit meratap terlebih keras, "Sebetulnya apakah yang terjadi? Apa yang terjadi? Aku tidak tahu ... aku tidak paham ... aku semakin bingung."

"Biar kujelaskan," ucap Sim Long, "terhadap segala persoalan, jangan dinilai dari luarnya saja, padahal penilaianmu hanya

dari luar persoalan ini, maka bukan saja tidak paham, kau pun salah paham." Rambut Jit-jit semrawut, wajahnya basah air mata, "Salah paham ...." serunya sambil mendongak. "Betul, salah paham," sahut Sim Long, "Ong-kongcu juga bukan iblis jahat seperti apa yang kau bayangkan, demikian pula sepak terjang Ong-lohujin juga tidak seperti yang apa kalian sangka ...."

"Tapi kejadian itu semua kusaksikan sendiri," tukas Jit-jit sengit. Sim Long menghela napas, katanya, "Apa yang kau saksikan memang betul. Thi-tayhiap, Pui-tayhiap, dan Can-piauthau serta yang lain memang ditolong keluar dari makam kuno itu oleh Ong-lohujin. Sebelumnya beliau sudah menyusup ke dalam kuburan itu, pada waktu kau dan aku bermain petak dengan Kim Put-hoan dan Ji Yok-gi, sementara itu dia orang tua sudah menolong Can-piauthau dan lain-lain keluar dari situ dan menyuruh orang membawanya kemari, tujuannya boleh dikatakan baik dan tak bermaksud jahat."

"Kalau tidak bermaksud jahat, kenapa tingkah lakunya serbamisterius, malah membius kesadaran mereka, lalu menyuruh gadis-gadis berbaju putih itu menggiringnya kemari? Jika betul dia berjiwa pendekar, setelah berhasil ditolong keluar, sepantasnya segera dibebaskan dan suruh mereka pulang."

"Soalnya Ong-lohujin tahu yang menjadi biang keladi intrik jahat ini adalah seorang iblis laknat yang amat kejam, baik

kungfu maupun akal muslihatnya tak mampu dilawan oleh Can-piauthau dan lain-lain, bila waktu itu juga mereka dibebaskan, orang-orang itu bukan mustahil akan jatuh lagi ke tangan iblis laknat itu, betul tidak?" Jit-jit mendengus tanpa menjawab. Lebih lanjut Sim Long berkata, "Menolong orang harus sampai tuntas, terpaksa beliau menahan mereka sementara di sini, melindungi jiwa mereka, hanya di tempat ini saja mereka akan selamat dari gangguan tangan jahat musuh."

"Umpama betul demikian, tidak pantas dia menggiring mereka ke sini seperti hewan."

"Kalau dia pakai cara biasa mengantar mereka kemari, dalam jarak seratus li pasti konangan orang, jika iblis laknat itu

mencegat di tengah jalan, bukankah usahanya akan sia-sia belaka?" Lama Jit-jit mencerna penjelasan Sim Long, akhirnya dia

mendengus lagi sebagai jawaban, namun masih uring-uringan. "Apalagi keadaan waktu itu amat mendesak, hakikatnya Ong-

lohujin tidak sempat memberi penjelasan seluk-beluk persoalan ini, umpama dijelaskan juga belum tentu mereka mau mendengar nasihatnya, demi keselamatan mereka disepanjang perjalanan, juga untuk memburu waktu, terpaksa digunakan cara luar biasa dan menggiring mereka ke sini. Hal ini harus dimaklumi karena keadaan yang cukup gawat itu, lawan yang harus dihadapi juga luar biasa, maka beliau menggunakan cara yang luar biasa pula .... Justru karena caranya yang luar biasa itulah sehingga menimbulkan salah paham."

"Tapi ... tapi ... aku ikut kemari, kenapa dia memperlakukan diriku begitu rupa?" omel Jit-jit. Sim Long tersenyum, katanya, "Waktu itu beliau tidak tahu siapa kau? Kan pantas kau dicurigai sebagai kaki tangan iblis laknat itu? Adalah logis kalau beliau bersikap demikian kepadamu."

"Tapi ... tapi ...." tapi bagaimana Cu Jit-jit tidak dapat menjelaskan. Walau dirasakan penjelasan Sim Long agak dipaksakan, namun kedengarannya juga masuk akal, hingga sukar menemukan lubang kelemahan penjelasannya itu. Agak lama kemudian baru dia berkata pula, "Kau tahu sejelas ini, cara ... cara bagaimana kau bisa tahu sejelas ini?"

"Sudah tentu Ong-heng yang menjelaskan persoalan ini kepadaku," sahut Sim Long. "Dia yang menjelaskan kepadamu? Mana mungkin dia memberitahukan kepadamu? Kenapa tidak dijelaskannya kepadaku?"

"Wah, ini ...." Sim Long jadi gelagapan. Ong Ling-hoa segera menyambung, "Soalnya hingga malam kemarin baru terpaksa kuberi penjelasan kepada Sim-heng."

"Malam kemarin?" teriak Jit-jit, "kenapa baru malam kemarin terpaksa kau jelaskan kepadanya?" Ong Ling-hoa tertawa, "Karena banyak persoalan meski dapat kukelabui Nona, tapi tak bisa mengelabui Sim-heng, jadi daripada dikatakan kujelaskan kepada Sim-heng, lebih tepat adalah karena Sim-heng sendiri yang telah membongkar persoalannya."

"Tidak paham, aku tidak mengerti," teriak Jit-jit. "Sejak Nona membawa Sim-heng ke toko peti mati itu, Sim-heng telah menemukan banyak kejadian ganjil, namun Nona sendiri malah tidak menyadarinya." Jit-jit menoleh ke arah Sim Long, katanya, "Keganjilan apa yang kau temukan, kenapa aku tidak melihatnya?" Sim Long tersenyum, katanya, "Padahal kejadian itu amat mencolok, siapa pun asal sedikit memerhatikan pasti akan melihat keganjilannya, sayang saat itu hatimu gundah dan pikiran tidak tenang ...."

"Memangnya ada keganjilan apa? Lekas katakan."

"Apakah kau lihat merek toko yang tergantung di atas pintu dan papan syair di kanan-kiri pintu ...."

"Memangnya aku buta, sudah tentu melihatnya, itulah papan merek yang dicat hitam yang sudah luntur, hurufnya berbunyi

...."

"Tulisan apa tidak perlu dibaca."

"Dibaca atau tidak sama saja. Pendek kata, bukan saja aku melihat jelas, juga masih ingat betul, sudah kuperhatikan,

papan merek itu tidak ada keganjilan apa-apa?"

"Tapi apakah kau perhatikan papan syair panjang di kanan-kiri pintu itu? Papannya sudah lapuk, catnya juga sudah ngelotok, umurnya sedikitnya sudah hampir sepuluh tahun."

"Tokonya sudah tua, adalah jamak kalau papan mereknya juga sudah lapuk, apanya yang ganjil?"

"Anehnya, toko yang sudah tua, juga papan mereknya, demikian pula meja kursi dan alat perabot lain dalam toko juga serbalama, hanya meja kasir yang tinggi tertutup itulah kelihatan baru dipindah ke sana, bukan saja catnya belum kering, malah dibuat secara kasar, jika dibandingkan papan merek dan meja kursi dalam toko jelas amat mencolok perbedaannya."

Jit-jit melengak, katanya, "Ya ... hal ini tidak kuperhatikan, tapi ...." ia merandek sejenak, lalu berteriak, "Tapi apa pula sangkut pautnya?"

"Di situlah letak persoalannya, kalau hari itu sudah kau lihat adanya meja kasir besar itu, kenapa meja kasir yang sekarang justru ditaruh di sana secara tergesa-gesa dan baru lagi?" Jit-jit melenggong pula, katanya kemudian, "Iya ... kenapa?"

"Masih ada, setiap toko peti mati mana pun, di dalam toko pasti ada bau khusus yang tidak ada di tempat lain, Ong-som-ki adalah toko tua, seharusnya bau khusus itu cukup tebal."

"Ya, bau peti mati memang tidak enak rasanya, bau itu ... bukan bau kayu melulu, tapi seram, bau apak seperti bau orang mati."

"Itu betul, tapi waktu aku berada di Ong-som-ki tempo hari, bau yang kurasakan tidak seperti bau orang mati, sebaliknya

bau sejenis lilin wangi." Jit-jit menepuk paha, serunya, "Iya ... dan kenapa begitu?"

"Masih ada lagi, toko peti mana pun, yang selalu diperhatikan dan dihindari adalah api, sebab seluruh isi toko adalah bahan yang mudah terbakar." Jit-jit mendengarkan dengan terkesima, tanpa terasa ia hanya mengiakan saja. "Tapi di toko Ong-som-ki hari itu, pekarangan di belakang yang membuat peti mati, kutemukan banyak permukaan dinding dan sudut tembok hitam hangus oleh asap api," dengan tersenyum Sim Long meneruskan, "pada saat kalian tidak memerhatikan, perlahan aku meraba dinding, jari tanganku lantas hitam berminyak, dari sini terbukti bukan saja tempat itu sudah sering tersembur asap api, malah dalam beberapa hari ini juga masih disembur asap ...." Tak tahan Jit-jit bertanya, "Aku kurang paham penjelasanmu ini, coba uraikan terlebih jelas."

"Kau tahu, untuk membuat hangus dinding putih diperlukan waktu yang cukup panjang."

"Betul, waktu kecil pernah kucuri makanan dapur, dinding di dapur seluruhnya terbakar hangus, dinding dapur itu sedikitnya sudah puluhan tahun terkena asap." Sim Long tertawa, "Tapi waktu aku merabanya, hangus berminyak yang mengotori jari tanganku ternyata masih baru, ini membuktikan bahwa selama bertahun-tahun, tempat itu selalu disembur asap api ...."

"Ya, paham aku sekarang ...." mendadak Jit-jit berkedip dan berkata pula, "Tapi aku juga tidak mengerti, apa pula sangkut

pautnya dengan persoalan ini?"

"Ada dua hal penting menyangkut persoalan ini."

"Orang mampus, lekas katakan!"

"Pertama, tempat pembuat peti mati pantasnya menyingkiri api dan asap, tapi dinding sekitar tempat pembuatan peti mati

justru hangus oleh semburan asap, bukankah janggal?"

"Betul, memang aneh ...dan yang kedua?"

"Kedua, setelah berani kupastikan tempat itu sering kena asap, namun tak kulihat di sana ada sepotong lilin pun,

bukankah hal ini pun janggal?" Jit-jit berpikir sekian lama, katanya, "Iya, kenapa begitu?" Sim Long tertawa, "Waktu itu dalam hatiku sudah mulai coba meraba hal ini, namun belum dapat dibuktikan, maka tak berani kupastikan, setelah keluar dari toko itu baru dapat kupastikan seluruhnya." Jit-jit heran, katanya, "Setelah keluar dari toko lantas kau yakin dugaanmu betul? Berdasar apa kau berani memastikan kebenaran dugaanmu?"

"Kulihat sebelah toko peti mati itu adalah toko lilin dan hio serta pelengkap sembahyang." Jit-jit makin heran, "Toko lilin dibuka di sebelah toko peti mati, tiada bedanya pegadaian dibuka di sebelah rumah judi, kukira ini sangat umum, berdasarkan hal ini lantas kau yakin kebenaranmu?"

"Aku yakin beberapa hari yang lalu toko peti mati itu sebetulnya adalah toko lilin, toko lilin sebelah itu sebetulnya

adalah toko peti mati, jadi dalam jangka waktu dua-tiga hari kedua toko itu telah saling tukar tempat."

"Tukar tempat ...."

"Ya, tukar tempat, di pekarangan belakang toko peti mati semula adalah tempat pembuatan lilin adalah logis kalau dindingnya menjadi hitam oleh hangus ...." melihat Jit-jit masih bingung, maka Sim Long melanjutkan, "Karena mereka

tukar tempat secara tergesa-gesa, segala benda apa pun yang bisa bergerak cepat dipindah, tapi meja kasir besar yang

terpendam di lantai tak mungkin dipindah, maka toko peti mati itu harus membuat ruang kasir yang serupa dengan

semula ... meja kasir yang dibuat secara tergesa-gesa dengan sendirinya kasar dan jelek, betul tidak?"

"Betul, betul ... betul!" dua kata "betul" yang diucap duluan sebenarnya masih dirundung rasa bingung, namun pada ucapan "betul" yang ketiga, mendadak Jit-jit melonjak bangun. Tampak wajahnya berseri girang dan haru, teriaknya, "Ya, aku tahu ... aku paham ...."

"Nah, coba sekarang kau uraikan, apa saja yang kau ketahui?" tanya Sim Long. "Toko peti mati yang semula ada lorong bawah tanah, namun toko lilin yang semula tidak ada, Ong Ling-hoa sudah memperhitungkan aku pasti akan kembali ke toko peti mati dan mencari lorong gelap itu, maka dia tukar tempat kedua toko itu, waktu aku datang lagi, sudah tentu tidak menemukan apa-apa."

"Bagus, akhirnya kau paham juga," kata Sim Long. "Bentuk bangunan deretan toko sepanjang jalan itu sama, jelas seluruhnya milik keluarga Ong Ling-hoa, kalau sang pemilik sendiri ingin pindah ke sana-sini, sudah tentu tinggal memberi perintah saja," demikian kata Jit-jit pula. Ong Ling-hoa tertawa, "Tidak sederhana seperti apa yang kau kira, mereka juga bekerja berat." Jit-jit tidak menghiraukan ucapannya, katanya pula, "Kedua toko saling tukar tempat, penduduk sekitarnya dan para

langganan sudah tentu merasa heran, tapi aku sendiri tidak paham seluk-beluk keadaan setempat, dengan sendirinya tidak memerhatikan hal-hal itu." Sim Long tertawa, "Justru di situlah kepintaran Ong-heng mengatur tipu dayanya, dia memperalat titik kelemahan sifat manusia, terhadap sesuatu yang mudah dan sering terlihat, biasanya orang tidak menaruh perhatian."

Ong Ling-hoa tertawa, katanya, "Akalku itu memang bagus, namun tak bisa mengelabui Sim-heng .... Sungguh tak kuduga bahwa daya pengamatan Sim-heng teramat tajam, soal-soal sekecil itu pun tak lepas dari pengamatanmu."

"Sebenarnya hal-hal itu cukup mencolok mata, cuma orang lain tidak memerhatikan, kuyakin banyak rahasia di dunia ini

sering terbongkar dari sesuatu yang terlihat jelas, karena itulah cara pengamatanku berbeda daripada orang lain." Si Kucing menghela napas, katanya, "Untuk berlatih daya pengamatan setajam Sim-heng, kurasa bukan pekerjaan yang mudah, padahal manusia sama mempunyai dua mata, kenapa Sim-heng bisa melihat dan menemukan kelemahan itu, sebaliknya kita tidak."

Jilid 13

Jit-jit menukas, "Kedua mata setannya memang jauh lebih lihai dari mata orang lain," lalu ia melototi Sim Long, katanya

dengan gemas, "Coba katakan, setelah tahu ada keganjilan itu, kenapa tidak kau beri tahukan padaku, bagaimanapun

terbongkarnya rahasia ini kan juga lantaran diriku." Sim Long tertawa, katanya, "Karena kutahu betapa berangasan watakmu, tidak tahan sabar, bila waktu itu kumat kebandelanmu, bisa jadi seluruh rencanaku akan berantakan."

"Baik, kau pandai... kau sabar, kau... kau punya rencana setan apa?" Jit-jit mengomel panjang-pendek. Ong Ling-hoa tertawa, ujarnya, "Waktu itu Sim-heng diam-diam saja, maka aku juga tidak tahu rahasiaku telah diketahui olehnya, tapi setelah malam tiba...." Dengan tertawa dia mengawasi Si Kucing dan Jit-jit, lalu melanjutkan, "Waktu bayangan Nona berkelebat di luar jendela kami segera melihatnya, tapi hanya Si Kucing saja yang mengejar keluar, semula aku juga ingin mengejar, tapi Sim-heng menahanku," lalu dia bergelak tertawa. "Hahaha, maka malam itu juga timbul niatku untuk mencekok Sim-heng hingga mabuk, takaran minum arakku di Kota Lokyang belum pernah menemukan tandingan." Jit-jit mencibir, katanya, "Caramu membual juga pasti belum ada tandingan." Ong Ling-hoa berlagak tidak mendengar, katanya lagi, "Siapa tahu, ingin kucekoki Sim-heng, ia pun ingin mencekokiku kami terus saling tenggak, entah berapa cawan sudah kami habiskan, Sim-heng belum mabuk, aku malah merasa pening kepala."

"Setan arak cilik berhadapan dengan setan arak besar, sudah tentu yang kecil akan kewalahan," demikian Jit-jit berolok.

Ong Ling-hoa tertawa, "Aku mendekap meja dan terlena sekejap, waktu aku tersentak sadar bayangan Sim-heng sudah tidak kelihatan, kutahu mengejar juga takkan tersusul terpaksa aku mendahului lari ke taman ini."

"Sim Long," sela Jit-jit, "bicaralah terus terang, waktu itu kau ke mana?" Ong Ling-hoa menyela, "Sim-heng memburu ke toko lilin ini diluar tahu siapa pun, seluruh pegawai toko dia tutuk hiat-tonya, di taman belakang sana dia menemukan mulut lorong bawah tanah ini." Mendadak Cu Jit-jit berteriak, "He, bukankah di mulut lorong itu dijaga seorang raksasa, Sim Long, masa kau... kau mampu melawannya?" Meski lahirnya dia memaki Sim Long, tapi batinnya sangat memerhatikan keselamatan anak muda itu. Sim Long tertawa, katanya, "Raksasa itu memang memiliki tenaga luar biasa, begitu aku masuk lorong lantas berhadapan dengan dia, untung lorong itu sempit, gerak-gerik orang itu lambat dan tidak leluasa, untung lagi dia bisu-tuli, tidak mampu berteriak minta tolong, kalau tidak, tentu sukar menerobos penjagaannya."

"Kau... kau membunuhnya?" tanya Jit-jit. Sim Long menggeleng. "Aku hanya menutuk hiat-tonya.... Ai, kalau diceritakan memang cukup mengejutkan, seluruhnya kututuk dua belas hiat-to di tubuhnya baru dia roboh tersungkur." Jit-jit menghela napas lega, katanya, "Hm, lebih baik kau mati diremas olehnya daripada hidup mendustai orang." Ong Ling-hoa berkata, "Kecuali penjaga raksasa itu, sepanjang lorong banyak dipasang alat jebakan, orang biasa jangan harap bisa bergerak leluasa di dalam lorong itu." Setelah menghela napas, ia menambahkan, "Tapi Sim-heng bukan saja dapat lolos dari perangkap, tiga puluh enam penjaga di dalam lorong itu ada dua puluh satu yang tertutuk roboh oleh Sim-heng, lima belas orang yang lain ternyata tidak melihat kehadiran Sim-heng di lorong itu, segala alat perangkap itu dianggap seperti permainan anak kecil saja oleh Sim-heng."

"He, Sim Long," seru Jit-jit tak sabar, "bagaimana sesudah kau keluar dari lorong bawah tanah itu?"

"Memang banyak perangkap keji dalam lorong itu, setiap langkah menghadapi bahaya, beruntung aku selamat keluar dari lorong itu, namun jejakku ternyata sudah ketahuan Ong-lohujin." Tanpa terasa Jit-jit menjerit kaget, "Apa yang dia lakukan terhadapmu?"

"Agaknya beliau sudah memperhitungkan bahwa aku pasti akan datang, maka dia duduk di mulut lorong menungguku, tentu saja aku pun kaget dan mengira bakal terjadi pertempuran sengit."

"Jadi baku hantam tidak? Dan siapa yang menang?" tanya Jit-jit. "Tak tahunya beliau malah bersikap ramah dan tiada maksud

bergebrak denganku, dengan tersenyum dia menyambut dan mempersilakan aku duduk. Betapa cerdik pandai beliau, besar wibawa dan gayanya yang anggun, sungguh jarang kulihat selama hidupku." Jit-jit mendengus sambil melirik Ong Ling-hoa, syukur tidak tercetus kata makiannya, namun sorot matanya sudah cukup berbicara. Ong Ling-hoa lantas bercerita, "Malam itu aku langsung pulang kemari dan kujelaskan persoalannya kepada ibunda, kubicarakan juga tentang Sim-heng.... Ibu amat tertarik pada Sim-heng, beruntun dia tanya bentuk, asal-usul dan perguruan Sim-heng, mendadak ibu turun dari loteng dan duduk di mulut lorong, semula aku heran, mendadak Sim-heng muncul dari dalam lorong.... Ai, betapa tepat analisis ibu terhadap segala persoalan, sungguh jarang ada bandingannya." Kembali Jit-jit mendengus, katanya kepada Sim Long, "Apa saja yang dia bicarakan padamu?"

"Beliau menjelaskan seluk-beluk persoalan ini, baru kutahu rencana kerjanya itu adalah untuk menghadapi Koay-lok-ong.

Walau kaki Koay-lok-ong kini belum masuk Tionggoan, namun orang ini sudah dipandang sebagai bibit bencana oleh kaum

persilatan umumnya, jika usahanya berhasil, maka huru-hara dan bencana bakal menimpa kaum persilatan, kaum persilatan

kita tak bisa lagi hidup tenteram," setelah menghela napas Sim Long meneruskan, "Sesudah mendengar penjelasannya, kecuali mohon maaf akan kecerobohanku yang main terobos, malah kuminta beliau melanjutkan mengatur siasat menghadapi persoalan ini, meski aku tak berguna, sedikit banyak juga akan membantu...." Dengan tertawa Ong Ling-hoa menyambung, "Karena itulah

mulai sekarang Sim-heng adalah kawan seperjuanganku, kesalahan paham sebelum ini siapa pun jangan mengungkapnya lagi." Tiba-tiba Sim Long tertawa pula, katanya, "Tapi sebelum penjelasan beliau itu telah terjadi satu peristiwa lucu."

"Peristiwa lucu apa?" tanya Jit-jit. "Yaitu kalian berdua...."

"Memangnya kenapa kami berdua?" Ong Ling-hoa tertawa. "Waktu Nona dan Si Kucing masih berada di luar, jejak kalian sudah ketahuan, semula ibu hendak berpura-pura tak tahu, akan dibiarkan kalian berjalan-jalan sesukamu, tapi Sim-heng ingin memberi kejutan kepada kalian agar kalian mundur teratur, maka ketika di bawah jendela...." Teringat pada suara yang mereka dengar di bawah jendela, seketika merah muka Jit-jit, teriaknya, "Sudahlah, jangan diteruskan...." lalu dia menerjang ke depan Sim Long, teriaknya dengan suara serak, "Jawab pertanyaanku, dalam hal apa aku berbuat salah padamu, ken... kenapa kau bersikap begitu kepadaku, kenapa tidak kau biarkan aku kemari, tapi mengapa menakuti aku?"

"Soalnya urusan belum jelas," jawab Sim Long dengan menyesal. "Kukhawatir kedatanganmu akan membuat onar dan membikin gusar Ong-lohujin, kau pun bisa menggagalkan rencana kerja. Kedua...." Sampai di sini dia melirik Ong Ling-hoa sekejap, lalu bungkam dengan tertawa. Maka Ong Ling-hoa berkata, "Kedua, waktu itu belum jelas persoalannya, lawan atau kawan tidak jelas, Sim-heng khawatir kau menempuh bahaya, sedangkan dia tidak leluasa memberi penjelasan kepadamu di hadapan ibu dan aku, maka terpaksa dia menggunakan caranya itu, membuatmu kaget dan mundur teratur... betul tidak Sim-heng?"

"Ya, begitulah," sahut Sim Long. "Dari sini dapat disimpulkan bahwa Sim-heng bermaksud baik...."

"Maksud baik apa, persetan.... Yang jelas dia sengaja hendak mempermainkan aku, supaya aku ketakutan dan mendapat malu, dan dia sendiri senang, demikian juga kau," mendadak dia membalik ke arah Si Kucing, "Kau kucing mampus, kucing busuk, kucing malas, kucing keparat.... Ayo jawab, bukankah kau tahu akan semua urusan itu?" Si Kucing menyengir, katanya tergegap, "Aku... aku...." Dengan tertawa Ong Ling-hoa melanjutkan, "Lewat tengah hari tadi, hal ini memang sudah kami jelaskan kepada Si Kucing...." Jit-jit menuding Si Kucing, dampratnya, "Nah, betul tidak? Mereka kan sudah memberitahukan kepadamu lebih dulu?"

"Rasanya memang demikian," sahut Si Kucing dengan bersungut. Beringas Jit-jit, "Jadi kalian saling mencekok arak tadi hanya untuk permainan belaka?"

"Arak itu memang enak... huk, huk...." Si Kucing terbatuk. "Hm, jangan pura-pura batuk. Jawab lagi, kau pura-pura mabuk dan membuat onar, semua itu juga disengaja bukan?"

"Kepalaku memang rada pening, tapi... tapi tidak mabuk betul."

"Kenapa kau dustai aku sehingga aku malu, jawab, kenapa? Kenapa?" selangkah demi selangkah Jit-jit mendekati SiKucing.

Selangkah demi selangkah Si Kucing menyurut mundur. Selesai Jit-jit bicara, Si Kucing sudah mundur mepet dinding, mendadak dia melompat dan bersembunyi di belakang Sim Long, serunya sambil menyengir, "Sim-heng, lekas kau beri penjelasan." Mendelik Cu Jit-jit, semprotnya, "Penjelasan apa? Untuk apa penjelasan?"

"Dalam hal ini Si Kucing tidak boleh disalahkan," ujar Sim Long. "Bukan salahnya, lalu salah siapa?" seru Jit-jit. Sim Long termenung sejenak, katanya, "Apakah kau perhatikan sehari ini ada seorang tidak pernah kelihatan."

"Memangnya kenapa kalau tidak kelihatan, aku tidak.... He, iya, Kim Bu-bong telah hilang, ke mana dia? Mungkinkah dia...

dia...."

"Mana mungkin kami bertindak padanya," tukas Sim Long, "sejak pagi dia sudah menghilang, kapan dia pergi dan kemana, kami juga tidak tahu." Jit-jit tertegun sekian lamanya, tiba-tiba dia membanting kaki seraya berteriak, "Dia pergi atau tidak apa hubungannya dengan kalian menipu diriku?"

"Kukhawatir dia mendadak pulang, atau secara diam-diam mengawasi gerak-gerik kita, maka tak leluasa kujelaskan rahasia persoalan ini.... Ai, walau dia seorang lelaki gagah, betapa pun dia adalah anak buah Koay-lok-ong."

"Kau tidak menjelaskan rahasia ini kepadaku, kenapa kau jelaskan kepada kucing mampus itu?"

"Si Kucing pasti takkan membocorkan rahasia ini, sebaliknya kau...."

"Aku kenapa? Memangnya aku perempuan cerewet, perempuan bawel?"

"Walau kau tidak bawel, tapi kau tak bisa menyimpan rahasia, jika Kim Bu-bong mengintip gerak-gerik kita secara diam-

diam, umpama kau tidak membocorkan rahasia ini, dari tindak tandukmu pasti akan kentara."

"Bebal, watakku memang tulus lurus, tidak tahan sabar lagi, tidak selicin kalian yang pandai mengatur muslihat, tapi...."

suara Jit-jit menjadi serak, matanya merah, setelah kucek-kucek mata dia melanjutkan, "Tapi umpama kalian tidak menjelaskan rahasia ini kepadaku, apakah pantas kalian mempermainkan aku."

"Soalnya...." mendadak Sim Long berpaling ke arah Si Kucing. Si Kucing tertawa, katanya, "Soalnya... hatiku lagi riang

setelah minum arak, aku ingin bercanda dengan kau, sebetulnya tak ada maksud jahat apa pun, buat apa kau marah."

"Hati riang setelah minum arak? Buat apa marah? Kau... tahukah kau betapa hatiku gelisah dan khawatir akan keselamatanmu? Tahukah kau dengan mempertaruhkan jiwa aku menerjang masuk kemari demi menolong dirimu?" Si Kucing melenggong, tanpa terasa ia menunduk, sungguh ia menyesal, terharu dan terima kasih, dan entah bagaimana lagi perasaannya. Jit-jit berkata pula, "Aku tahu kalian adalah orang-orang pintar, kalian bersekongkol untuk mempermainkan aku sipandir ini, tapi pernahkah kalian pikirkan untuk apa dan siapa perbuatan si pandir ini, memangnya demi diriku sendiri?" Sim Long dan Ong Ling-hoa saling pandang dan tak mampu bersuara. Jit-jit tertawa dingin, katanya pula, "Kalian orang-orang pandai ini, kalian kira perbuatan demikian tidak menjadi soal, paling-paling hanya menggoda dan bercanda saja denganku, toh aku tidak akan mati atau cedera, bila kejadian sudah lalu, semuanya tertawa dan selesai, dari sini terbukti lagi betapa cerdik pandai kalian." Dengan mengertak gigi dan menahan air mata Jit-jit meneruskan dengan suara tersendat, "Tapi kalian tidak pernah berpikir, betapa kalian telah melukai hatiku?"

"Sebetulnya ini...."

"Tutup mulutmu," bentak Jit-jit menghentikan ucapan Sim Long, "Tak ingin kudengar obrolanmu, selanjutnya aku tak mau lagi percaya pada kalian, aku... aku... tak mau lagi melihat tampang kalian." Ia menyurut mundur, suaranya tambah serak, "Sekarang, aku akan pergi dan takkan kembali selamanya, jika di antara kalian berani mengejar atau merintangiku, biar aku segera mati dihadapan." Belum habis bicaranya mendadak dia putar tubuh terus lari tanpa menoleh seperti kesetanan. Si Kucing berteriak, "Nona Cu, tunggu!" Dia melompat maju hendak mengejar, namun Sim Long keburu menahannya. Keruan Si Kucing gugup, serunya, "Kau... kau tega membiarkan dia pergi?" Sim Long menghela napas, katanya, "Memangnya mau apa kalau tidak membiarkan dia pergi? Wataknya berangasan, siapa bisa merintanginya? Apalagi, biasanya dia berani bilang berani berbuat, kalau kau mengejarnya keluar, mungkin dia betul-betul bunuh diri di depanmu."

"Tapi... dengan wataknya itu, seorang diri bukankah bakal menimbulkan bencana?" Sim Long tersenyum, "Untuk ini jangan kau khawatir, dia tidak akan pergi jauh dari sini."

"Tidak jauh? Kenapa?" tanya Si Kucing heran. "Karena masih banyak persoalan yang mengganjal hatinya, sebelum ditanyakan sampai jelas, mungkin dia tidak bisa nyenyak tidur, tadi karena emosi dia lupa mengajukan pertanyaan, tapi bila pikirannya tenang, pasti dia akan balik kesini untuk mengajukan pertanyaan lagi," Ong Ling-hoa menimbrung dengan tertawa. "Betapa mendalam pengertian Sim-heng terhadap Nona Cu, kuyakin apa yang diucapkan Sim-heng pasti tidak salah." Terpaksa Si Kucing mengangguk, "Tidak salah, ya, semoga tidak salah!" Dengan nanar dia menatap keluar pintu, dengan harapan semoga Cu Jit-jit lekas kembali. Malam makin larut, salju mulai turun pula dengan lebat. Cu Jit-jit terus berlari dengan cepat, entah berapa lama dia berlari, tahu-tahu di depan ada tembok tinggi, ternyata tanpa sadar dia berlari ke arah tembok kota. Padahal pintu kota belum dibuka. Lekas Jit-jit menghentikan langkah, tak kuat dia mengendalikan tubuhnya lagi, dia jatuh terduduk dan tidak mau bangun lagi, ia bersandar di kaki tembok kota dan menangis. Entah berapa lama dia menangis, suaranya mencolok ditengah malam gelap hingga terdengar sampai jauh, untung penjaga pintu kota sudah terkapar mabuk, kalau tidak tentu akan memburu kemari memeriksanya. Tapi biarpun ada orang datang, Jit-jit tidak juga peduli. Segala

urusan seperti tak mau diurus lagi, ia hanya memikirkan rasa penasaran hatinya, ingin melampiaskan perasaannya dengan

menangis. Jit-jit sudah biasa manja dan disanjung puji di rumah, kini setelah banyak mengalami pukulan lahir batin, baru diketahui betapa kejamnya dunia ini. Memang inilah dunianya yang kuat makan yang lemah, orang yang jujur dan baik hati memang ditakdirkan harus menderita dan menjadi korban. Angin malam yang dingin dengan cepat menenteramkan gejolak hatinya. Mendadak teringat olehnya banyak persoalan yang belum sempat dia pikirkan. Setelah berbicara panjang lebar dengan Sim Long, lalu ke manakah Ong-lohujin? Kenapa tadi tidak muncul menemuinya? Apa sebabnya? Thi Hoat-ho berada di loteng itu, lalu di mana Can Ing-siong dan Pui Jian-li serta yang lain? Apa betul mereka juga sudah dibebaskan? Kalau sudah dibebaskan, kenapa tidak kelihatan bayangan mereka?" Dan lagi, kalau Ong-lohujin pernah pergi ke makam kuno itu,

apakah hilangnya Hwe-hay-ji (Si Anak Merah) ada sangkut pautnya dengan dia? Jika betul ada sangkut pautnya, ke mana

dia membawa bocah itu? Persoalan ini ingin diketahuinya, terutama nasib adiknya, Si Anak Merah itu, tak pernah dia melupakan keselamatan adik kandungnya itu. Walau tadi sudah timbul rasa kecewa dan putus asa akan segala persoalan yang dihadapinya, tapi sekarang dia baru sadar sementara persoalan tak mungkin diabaikan begitu saja. Cepat dia berdiri dan putar badan hendak lari ke arah datangnya tadi. Tapi setelah berdiri dia lantas tertegun, terbayang senyuman sinis Sim Long yang mencemooh dirinya, seolah-olah mengiang perkataan Sim Long yang menyindir, "Kutahu akhirnya kau pasti kembali...." Saat itu Jit-jit sangat benci pada Sim Long, sambil membanting kaki dia mendesis dengan geram, "Aku justru tak mau berbuat seperti apa yang diduganya, aku tak mau kembali ke sana...." Tapi bagaimana kalau dia tidak kembali? Malam makin larut, hujan dan dingin pula, mau ke mana dia? Bagaimana mungkin ia menyelidiki semua persoalan yang ingin diketahuinya itu? Tak tahan dia menjatuhkan diri pula di atas salju, air mata bercucuran lagi. Mendadak sebuah tangan yang dingin memegang pundak Jit-jit. Keruan nona itu berjingkat kaget sambil putar badan, teriaknya, "Siapa?" Di tengah remang malam, di antara bunga salju yang bertebaran, tertampak berdiri sesosok bayangan orang, rambut panjang terurai semrawut, mukanya dingin kaku, hanya jubahnya saja yang melambai tertiup angin. Melihat bayangan ini, Jit-jit menjerit tertahan, "Kim Bu-bong, kiranya kau!" Kim Bu-bong berdiri kaku seperti mayat dan tidak menjawab, pertanyaan Jit-jit memang tidak perlu dijawab. Rasa kaget dan heran menyelimuti sanubari Cu Jit-jit, tak tahan dia bertanya pula, "Bukankah kau sudah pergi? Kenapa kembali lagi?"

"Di tengah malam gelap dan sepi, kudengar isak tangis yang menusuk telinga, maka aku datang kemari."

"Kau... ke mana kau pergi semalam?"

Kim Bu-bong menggeleng, tidak menjawab. Jit-jit tahu bila orang tidak mau menjawab, siapa pun tak dapat memaksanya menjawab maka ia pun tak banyak bicara lagi. Kim Bu-bong berdiri kaku tak bergerak dan menunduk mengawasinya. Lekas Jit-jit menunduk juga. Agak lama kemudian baru Kim Bu-bong bertanya, "Apa yang kau tangisi?"

"Tidak apa-apa," sahut Jit-jit sambil menggeleng. "Pasti ada urusan yang menyedihkan hatimu," kata Bu-bong, meski suaranya kaku dingin, namun nadanya sedikit banyak mengandung rasa simpatik, manusia seperti Kim Bu-bong dapat melontarkan pertanyaan seperti ini, sungguh jarang terjadi. Ternyata pertanyaannya justru menyentuh rasa sedih Cu Jit-jit, tak tahan lagi dia mendekap muka dan terisak pula. Lama Kim Bu-bong mengawasinya, mendadak dia menghela napas, "O, anak perempuan yang kasihan...." Serentak Jit-jit berbalik, teriaknya, "Siapa kasihan? Dalam hal apa aku harus dikasihani? Justru kau yang kasihan."

"Makin kau tak mengaku, makin besar kasihanku kepadamu." Jit-jit jadi melenggong, tapi mendadak dia terkial-kial,

"Hahaha, dalam hal apa aku kasihan... aku punya duit, aku cantik, aku masih muda, aku pandai menulis, pintar kungfu, yang bilang aku kasihan pasti orang gila."

"Lahirnya kau kelihatan gembira dan bahagia, padahal dalam hatimu menderita, lahirnya kau memiliki segala apa yang kau

inginkan, namun kau tidak dapat memperoleh apa yang kau harap." Kembali Jit-jit melenggong, lalu menggeleng kepala, teriaknya, "Tidak, salah, seribu kali salah." Kim Bu-bong mengawasinya lekat-lekat, "Lahirnya kau keras, padahal hatimu lembut, lahirnya kau bersikap kasar dan galak kepada orang, padahal kau seorang nona baik hati terhadap siapa pun. Hanya sayang... jarang ada manusia di dunia ini yang bisa menyelami jiwamu, dan kau... anak perempuan yang kasihan, kau justru suka melakukan hal-hal yang membuang tenaga dan hasilnya bertolak belakang." Dengan tercengang Cu Jit-jit mengawasinya, tanpa terasa dia terkesima. Sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa masih ada orang yang bersimpati kepadanya dan mau menyelami perasaannya.... Akan tetapi orang yang bisa menyelami jiwa dan simpati kepadanya ini justru manusia yang dingin kaku ini. Sungguh tak terpikir olehnya setelah Sim Long, Si Kucing, dan lain-lain bersikap kejam padanya, sekarang laki-laki yang kaku dingin dan pendiam ini justru memberi kehangatan kepadanya. Waktu dia angkat kepala, terasa orang aneh yang dingin jelek ini sebetulnya tidak sejelek seperti apa yang pernah dipikirnya, di balik tampang yang busuk orang ini memiliki hati yang mulia dan bajik. Terasa sorot matanya yang tajam ternyata mengandung pengertian yang mendalam terhadap sesama umat manusia. Dalam sedetik ini terasa oleh Jit-jit hanya orang yang berdiri didepannya inilah lelaki sejati satu-satunya yang pernah dilihatnya. Entah kenapa darahnya lantas bergolak, mendadak ia menubruk dan memeluk pundak Kim Bu-bong yang keras bagai baja, katanya dengan serak, "Orang lain tiada yang memahami penderitaanku, hanya engkau saja yang bisa menyelami jiwaku." Memang beginilah watak Cu Jit-jit, ingin berbuat apa segera dilakukannya, keruan perbuatannya membuat Kim Bu-bong melongo kaget. Terasa air mata Jit-jit menetes juga meresap ke dalam bajunya yang tipis.

Lama dan lama sekali baru Kim Bu-bong menarik napas, katanya, "Selama hidupku sebetulnya tidak ingin diriku dipahami orang lain, aku senang karena tiada orang mau mengerti akan keadaanku, tapi sekarang... ai, seorang anak perempuan memang mendambakan pengertian orang lain." Perlahan Jit-jit melepaskan pelukan dan mundur, dengan nanar dia mengawasinya, air mata masih berlinang, tapi mendadak dia tertawa, "Dulu memang tiada orang memahami diriku, tapi sejak kini, ada engkau yang dekat di sampingku, walau tiada orang lain mau memahami diriku, namun aku cukup puas karena engkau mau mengerti akan diriku." Kim Bu-bong melengos, tak berani beradu pandang dengan sinona, gumamnya, "Apa betul kau bisa menyelami diriku?"

"Ya pasti dapat," lalu ditariknya tangan Kim Bu-bong dan diajak lari ke pintu kota, meski pintu kota masih tertutup, tapi

di bawah pintu mereka bisa berteduh dari hamburan bunga salju. Dia tarik tangan Kim Bu-bong dan diajak berduduk bersandar pintu, katanya, "Sejak kini aku kan memahami dirimu sepenuhnya, aku ingin tahu seluk-belukmu, sekarang juga ingin tahu riwayat hidupmu masa lalu... sudikah engkau menceritakan perihal dirimu kepadaku?" Kim Bu-bong menatap jauh ke sana, menghela napas sambil gelang kepala. "Katakan, ceritakanlah! Kalau tidak kau ceritakan aku akan marah lho." Mendadak sorot mata Kim Bu-bong gemerdep setajam ujung golok, berkilau menakutkan. Tapi Jit-jit tidak kenal takut, juga tidak kenal menyingkir, ia malah mendesak, "Katakanlah, katakanlah!"

"Betul, kau ingin tahu?" Kim Bu-bong menegas. "Sudah tentu betul, kalau tidak buat apa kutanya."

"Selama hidupku, yang paling kubenci adalah perempuan, setiap kali bertemu dengan gadis cantik, tanpa menghiraukan

segala akibatnya aku terus membelejeti pakaiannya dan memerkosanya. Semakin mereka takut padaku, makin besar hasratku ingin memerkosa dia, sejak berumur lima belas sampai sekarang entah sudah berapa banyak gadis yang telah kuperkosa."

Tanpa terasa menggigil tubuh Cu Jit-jit, seketika dia mengkeret mundur. Kim Bu-bong menyeringai, katanya pula, "Walau biasanya aku bersikap alim, pendiam, tapi di tengah malam dingin begini, tiada orang lain di sekitar sini, bila bertemu dengan seorang perempuan maka aku akan menerkamnya dan mempermainkannya sampai puas...." Ngeri Jit-jit, dengan menggigil takut kembali dia menyurut mundur. Tapi di belakangnya ada tembok, mundur juga tidak bisa lagi. Tambah menakutkan Kim Bu-bong menyeringai, katanya, "Bukankah kau sendiri yang ingin tahu kisah hidupku? Kenapa setelah kuceritakan kau jadi takut?.... Apa sekarang kau ingin lari? Haha... hahaha...." mendadak dia mendongak dan terbahak-bahak. Mendadak Cu Jit-jit membusungkan dada sambil mendesak maju, teriaknya, "Kenapa aku takut? Kenapa aku perlu lari?" Kim Bu-bong tertegun malah, dia berhenti tertawa, tanyanya, "Kau tidak takut?"

"Biarpun dulu kau pernah berbuat jahat seperti apa yang kau ceritakan, hal itu disebabkan perempuan itu takut melihat

tampangmu, mereka hanya melihat luar saja, mereka tidak melihat di balik tampangmu yang jelek ada sebuah hati yang bajik, mereka takut dan menyingkir bila melihat kau, tentu saja kau tersinggung dan menderita lahir batinmu, maka timbul keinginanmu menuntut balas, ini tidak dapat menyalahkan dirimu, kalau orang lain tidak adil terhadap dirimu, kenapa engkau tidak boleh memperlakukan jelek kepada mereka? Kenapa engkau tidak boleh menuntut balas?" Ia tersenyum, lalu menyambung, "Apalagi, jika sekarang engkau bercerita demikian padaku jelas semua itu tidak betul terjadi dan lebih-lebih takkan kau lakukan terhadapku."

"Dari mana kau tahu takkan kulakukan?" tanya Kim Bu-bong. Berkedip mata Jit-jit, katanya dengan tertawa, "Umpama betul

kau pernah melakukan kejahatan, aku pun tak perlu takut, kalau tidak percaya, boleh kau coba diriku." Bukan cuma membusung dada saja, ia terus mendesak maju. Kim Bu-bong berbalik berjingkat kaget dan mundur selangkah, dengan melongo dia menatapnya dan entah bagaimana perasaannya. Jit-jit berkeplok, katanya dengan tertawa, "Engkau hanya hendak menggertak saja, betul tidak? Siapa tahu tak berhasil kau gertak malah berbalik kena kugertak, apakah tidak lucu?"

Kim Bu-bong menyengir, katanya, "Memang aku hanya menggertakmu...."

"Kau tak mau mengisahkan pengalaman hidupmu, niscaya kau pernah mengalami suatu peristiwa yang membuat hatimu terluka dan sedih, maka selanjutnya aku takkan tanya kepadamu lagi," ditariknya tangan Kim Bu-bong, katanya lebih lanjut, "Tapi engkau harus menjelaskan kepadaku, kenapa semalam kau pergi tanpa pamit.... Sebetulnya ke mana kau pergi secara diam-diam?"

"Pergi tanpa pamit?" Kim Bu-bong balas bertanya. "Ya, kan kabur semalam, kenapa?"

"Semalam Sim Long menyuruh aku melakukan sesuatu tugas, apakah dia tidak memberitahukan kepadamu?" Kini giliran Jit-jit yang melenggong. Sesaat kemudian baru dia bertanya, "Jadi Sim Long yang menyuruhmu pergi.... Tugas apa yang harus kau lakukan?"

"Mengejar dan menyelidiki jejak serombongan orang."

"Kenapa dia sendiri tidak pergi? Kenapa engkau yang diberi tugas?"

"Waktu itu dia sendiri tidak sempat, tugas ini pun cocok bagiku, hubunganku dengan dia seperti saudara kandung, kalau dia minta bantuanku, sudah tentu dengan senang hati kulakukan."

"Hm, dengan senang hati apa, sungguh penurut kau ini, kenapa setiap orang harus turut perintahnya sungguh aku tidak mengerti." Lalu diraihnya secomot salju dan dibantingnya dengan gemas. Kim Bu-bong mengawasinya lekat-lekat dengan mengulum senyum. Jit-jit mengentak kaki, katanya, "Buat apa kau mengawasi aku, lekas ceritakan, apa yang harus kau

laksanakan? Urusan apa yang harus kau selidiki? Apa kau pun ingin mengelabui diriku?" Lama Kim Bu-bong bimbang, katanya kemudian, "Apakah sudah kau lupakan perjanjian Sim Long dengan majikan Jin-gi-ceng?"

"O, ya, batas waktu yang dijanjikan sudah tiba...."

"Batas waktunya adalah kemarin malam."

"Jadi mewakili dia menepati janjinya itu? Tapi... dari mana kau tahu seluk-beluk persoalannya? Bagaimana kau memberi

pertanggungan jawab kepada majikan Jin-gi-ceng?"

"Yang mewakili dia menepati janji bukan aku, aku hanya ditugaskan mengawasi orang yang mewakili dia itu."

"Aku tak mengerti apa yang kau katakan, lalu siapakah yang ditugaskan mewakili dia?"

"Can Ing-siong, Pui Jian-li, dan lain-lain...."

"O, mereka. Ya, benar, bila mereka pergi ke Jin-gi-ceng, segala persoalan akan beres, Sim Long hadir atau tidak memang tidak menjadi soal," mendadak dia tanya pula, "Tapi kalau mereka sudah mewakili Sim Long, kenapa harus diawasi?"

"Apa sebabnya aku tidak tahu, dia hanya menyuruh aku mengawasi jejak mereka, bila urusan sudah jelas segera balik

memberitahukan kepadanya."

"Jadi kalian sudah berjanji sebelumnya," hal ini kembali dia dikelabui oleh Sim Long, keruan bukan main mendongkol

hatinya, namun kali ini dia dapat menahan emosinya. "Ya, betul," sahut Kim Bu-bong mengangguk. "Kapan dia berjanji bertemu dengan kau?"

"Sekarang." Jit-jit celingukan sambil menggigit bibir, katanya, "Di mana kalian akan bertemu?"

"Di sini," sahut Kim Bu-bong. Jawaban yang sama diucapkan dua suara sekaligus, keruan Jit-jit berjingkat seraya menoleh, tertampak seorang tersenyum simpul di belakangnya, senyum yang gagah dan menarik, siapa lagi kalau bukan Sim Long. Kejut, gugup, marah, dan girang meliputi hati Cu Jit-jit, serunya sambil mengentak kaki, "Engkau setan alas, kau...kapan kau datang?"

"Begitu Kim-heng mengedip aku lantas datang."

"Kebetulan kau datang, ingin kutanya, setiap persoalan kenapa selalu kau sembunyikan kepadaku, apa maksudmu menyuruh dia mengikuti jejak Can Ing-siong dan lain-lain?"

"Amat panjang ceritanya."

"Panjang juga harus kau jelaskan."

"Setelah aku bertemu dengan Ong-hujin, setelah berbincang semalaman maka dia membebaskan Can Ing-siong, Thi Hoat-ho, Pui Jian-li, dan lain-lain, di samping khawatir Can Ing-siong dan Pui Jian-li masih dendam kepadamu, apalagi janjiku kepada pihak Jin-gi-ceng juga sudah mendesak, maka kuminta Can, Pui dan segera menuju ke Jin-gi-ceng, seluk-beluk persoalan ini biar mereka jelaskan kepada pihak Jin-gi-ceng...."

"Ya, aku maklum, tapi kenapa masih harus kau awasi gerak-gerik mereka?"

"Karena sejak mula aku yakin kejadian ini agak ganjil, ada sesuatu yang belum bisa kupecahkan."

"Ya, memang agak ganjil, aku pun tahu."

"Syukurlah kalau kau tahu, tak perlu kujelaskan." Jit-jit melengak, "Tidak, aku justru ingin kau katakan." Sim Long tersenyum, "Coba pikir, kalau Ong-hujin punya iktikad baik terhadap Can Ing-siong dan lain-lain, kenapa perlu menunggu setelah bertemu dengan aku baru dia membebaskan mereka?" Berkilat mata Cu Jit-jit, katanya, "Ya, kenapa begitu?"

"Setelah kejadian tentu dapat kau terka."

"Kau kira aku bodoh, baik, biar kujelaskan, dalam urusan ini dia pasti ada intrik tertentu, karena rahasianya sudah kau

bongkar, terpaksa dia pura-pura baik hati dan membebaskan orang-orang itu...." Sim Long mengangguk, pujinya, "Anak pintar, memang betul demikian. Tapi setelah dia membebaskan Can Ing-siong dan dia bilang ada urusan harus pergi ke Ui-san, lalu buru-buru dia berangkat."

"Maka kau khawatir di tengah jalan dia mencegat dan membunuh Can Ing-siong dan rombongannya, apalagi resminya kau sudah berdiri di pihaknya, kalau Kim... Kim-heng berada di sana juga kurang leluasa maka diam-diam kau suruh dia pergi."

"Kau memang tambah pintar," ucap Sim Long. "Sebenarnya aku tak bermaksud mengelabui dirimu, tapi di hadapan Ong Ling-hoa, mana mungkin aku menjelaskan kepadamu.... Ai, syukur kau bertemu dengan Kim-heng di sini, kalau tidak...." Bercahaya mata Cu Jit-jit, katanya, "Kalau tidak kenapa?"

"Kalau tidak tentu akan membuatku khawatir," ujar Sim Long. Sesaat Jit-jit terkesima, "Kau khawatirkan diriku? Hanya setan percaya...." belum habis bicara, dekik di pipinya sudah kelihatan, tak tahan dia tertawa senang, rasa sedih, risau,

jengkel, seketika lenyap sama sekali setelah mendengar pernyataan Sim Long itu. Mengawasi sikap mesra kedua muda-mudi ini, maka Kim Bu-bong kembali kaku dingin, ia berdehem, lalu berkata dengan suara tertahan, "Sepanjang jalan rombongan Can Ing-siong tidak mengalami apa-apa hingga tiba di Jin-gi-ceng, kusaksikan sendiri mereka masuk ke perkampungan itu baru kembali ke sini."

"Aneh kalau begitu...." ujar Sim Long sambil termenung, tiba-tiba ia tertawa riang, katanya, "Terima kasih Kim-heng...."

"Rasanya tak perlu kau bilang terima kasih kepadaku."

"Betul, terlalu berlebihan."

"Bahwa Ong-hujin tidak bertindak sesuatu terhadap Can Ing-siong dan rombongannya, lalu bagaimana tindakanmu selanjutnya?"

Sejenak Sim Long berpikir, lalu balas bertanya, "Bagaimana pula langkah Kim-heng?" Kim Bu-bong mendongak sambil menghela napas, katanya, "Perjanjian dengan Jin-gi-ceng sudah selesai, keselamatan Can Ing-siong dan lain-lain juga tak kurang sesuatu apa, urusan ini boleh dikatakan sudah selesai, aku... aku akan pulang saja."

"Pulang?" Sim Long menegas. "Betul. Meski Ca Giok-koan jahat dan buas, tapi budi kebaikannya terhadapku amat besar, selama hayat masih dikandung badan aku takkan mengingkari dia...." tiba-tiba Kim Bu-bong menatap Sim Long, katanya perlahan, "Entah Sim-heng sudi kiranya membebaskanku pulang?"

"Orang telah menghargaiku sebagai pahlawan, sebagai pahlawan akan pula kubalas kebaikan orang... terhadap Ca Giok-koan boleh dikatakan Kim-heng sudah menunaikan kewajiban dengan baik, kenapa aku harus menjadi manusia rendah dan merintangi keberangkatanmu?" Kim Bu-bong menarik napas panjang, gumamnya, "Orang menghargaiku sebagai pahlawan, sebagai pahlawan aku balas kebaikan orang, tapi...." waktu dia angkat kepalanya lagi, sekian saat dia menatap Sim Long lekat-lekat, lalu katanya dengan beringas, "Selanjutnya bila kita bertemu lagi, kau adalah musuhku, saat mana aku tak peduli lagi siapa kau dan akan kurenggut jiwamu, hari ini kau bebaskan aku, kelak jangan kau menyesal." Sim Long tertawa pedih, katanya, "Setiap orang punya cita-citanya sendiri, siapa pun tak dapat memaksanya, kelak meski kau adalah musuhku, tapi dapat bergebrak dengan musuh seperti dirimu, sungguh menyenangkan juga."

"Baiklah kalau begitu," perlahan Kim Bu-bong mengangguk. Lama mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Mendadak keduanya bersuara bersama, "Selamat berpisah...." Mereka bersuara bersama dan tutup mulut bersama pula, sama mengulum senyum getir, sementara itu Jit-jit tak kuat menahan air matanya. Darah seperti bergolak dalam rongga dadanya, dia mengentak kaki, serunya, "Mau pergi lekas pergi, buat apa banyak omong. Tak tersangka kaum laki-laki kalian juga suka bertele-tele begini."

"Betul," ujar Kim Bu-bong, "sudah saatnya harus berangkat, kehidupan Kangouw serbabahaya, orang-orang jahat selalu berada di sekelilingmu, hendaknya Sim-heng...."

"Kim-heng jangan khawatir," tukas Sim Long, "kubisa menjaga diriku, malah Kim-heng sendiri...." Kim Bu-bong mendongak sambil tertawa panjang, "Darah mengalir bagi sahabat sejati, biar mati juga tidak menjadi soal...." sambil mengulapkan tangan segera dia melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Dengan berlinang air mata Cu Jit-jit mengawasi bayangan orang semakin jauh dan hampir menghilang di tengah hamburan bunga salju, mendadak dia berteriak keras, "Tunggu... berhenti!"

Kim Bu-bong berhenti di kejauhan, tapi tidak menoleh, tanyanya dingin, "Kau mau omong apa lagi?" Jit-jit menggigit bibir, katanya sambil memandang Sim Long sekejap, "Aku... aku ingin ikut kau." Kim Bu-bong seperti terpantek di tanah tanpa bergerak, juga tidak menoleh dan tak bersuara pula, agaknya dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Alis Sim Long terangkat, wajahnya menampilkan rasa kejut dan heran. Jit-jit tidak memandangnya lagi, teriaknya, "Hanya engkau seorang di dunia ini yang simpati dan memahami diriku, hanya kaulah satu-satunya lelaki sejati di dunia ini, kalau aku tidak

ikut kau, ikut siapa?" Kim Bu-bong seperti ingin menoleh, tapi lantas bergelak tawa sambil menengadah, cepat ia melangkah pula ke depan, sukar meraba makna gelak tertawanya itu. "Nanti dulu, tunggu aku...." sambil berteriak Cu Jit-jit lantas

memburu dengan kencang. Sim Long bermaksud menariknya, tapi pikirannya tergerak, dia urungkan niatnya, ia mengawasi bayangan punggung Cu Jit-jit yang makin menjauh, timbul senyuman pada ujung mulutnya. Setelah puluhan langkah Jit-jit coba melirik ke belakang, Sim Long yang kejam dan tega hati ini ternyata tidak menyusulnya, waktu dia menatap ke depan pula, bayangan Kim Bu-bong juga sudah tidak kelihatan. Bunga salju beterbangan menyampuk mukanya, seluas mata memandang yang terlihat hanya kabut putih, hatinya sedih, dongkol, dan kecewa. Tak tahan dia menangis lagi. Sambil menangis dia berlari terus ke depan, air mati menghalangi pandangannya hingga dia tidak bisa membedakan arah namun masih terus lari seperti dikejar setan. Hakikatnya dia tidak tahu ke mana dirinya harus pergi, umpama bisa menentukan arah juga tiada gunanya? Tetesan air matanya hampir membeku menjadi butiran es. Dengan lengan baju dia menyeka air mata, gumamnya,

"Baiklah, Sim Long, kau tidak menarikku, bila aku mampus, apakah kau tidak akan menyesal, tapi... kenapa aku tidak mati

saja...." Waktu dia mengusap air mata pula, mendadak dia menubruk seseorang. Saking keras dia berlari hingga tubuhnya terpental balik dua-tiga langkah baru dapat berdiri tegak, selagi dia hendak memaki, begitu dia angkat kepala, orang yang berdiri di depannya ternyata Kim Bu-bong adanya, lelaki yang kaku dingin seperti batu ini. Dalam keadaan seperti Cu Jit-jit sekarang, mendadak melihat Kim Bu-bong lagi, ia seperti bertemu dengan sanak kandung yang terdekat, entah duka, entah girang, segera dia menjerit terus menubruk ke dalam pelukan Kim Bu-bong dan merangkulnya kencang-kencang. Kepala dan pundak Kim Bu-bong sudah dilapisi salju, demikian pula kulit mukanya seperti dilumasi es, namun kedua matanya terasa menyala hangat. Lama sekali baru Kim Bu-bong menghela napas, katanya, "Kau benar-benar menyusul... buat apa kau menyusulku?" Jit-jit membenamkan kepalanya di dada orang, sambil menangis campur tertawa katanya, "Aku memang ingin ikut

kau.... Selanjutnya kau tidak akan kesepian, apakah... apakah kau tidak senang?"

"Selamanya kau ikut aku?"

"Ehm, ikut kau selamanya dan takkan berpisah, umpama kau mengusirku, aku pun takkan pergi.... Tapi engkau takkan

mengusirku bukan?"

Kim Bu-bong tertawa getir, "Ai, anak yang kasihan...."

"Tidak, tidak, tidak kasihan, aku tidak mau dikasihani. Ada engkau di sampingku, kenapa aku harus dikasihani? Selanjutnya kularang kau mengatakan kasihan." Namun mulut Kim Bu-bong masih bergumam, "Kasihan anak ini...." Jit-jit merengek sambil membenamkan kepalanya. "Nah, kau bilang lagi, coba katakan, dalam hal apa aku perlu dikasihani?"

"Hanya untuk membuat jengkel Sim Long kau ikut padaku? Buat apa...."

"Bukan karena Sim Long, dengan sukarela kuikut kau."

"Tapi bila Sim Long menyusulmu dan mengajakmu pulang, bagaimana?"

"Peduli apa dengan dia? Takkan kugubris."

"Apa betul?"

"Betul, seribu kali betul!" Untuk sejenak Kim Bu-bong diam saja, mendadak dia berkata, "Coba lihat, Sim Long menyusul kemari!" Tergetar tubuh Cu Jit-jit, teriaknya girang, "Di mana?" Segera dia melompat mundur membalik badan, salju masih

beterbangan, mana ada bayangan Sim Long, bayangan setan

pun tidak ada. Waktu dia berpaling, dia melihat Kim Bu-bong menampilkan senyum seorang yang sudah kenyang mengenyam

perikehidupan, senyum pengertian, namun juga senyum yang rada mengejek, kontan merah muka Cu Jit-jit, namun dia berusaha menutupi rasa malunya, katanya, "Dia datang juga aku tidak peduli, aku...aku...." Kim Bu-bong geleng kepala, katanya, "Nak, isi hatimu mana bisa mengelabui aku, lekas kau pulang ke sana saja."

"Tidak mau, mati pun aku tidak mau pulang."

"Mana boleh kau ikut aku."

"Kalau kau melarang aku ikut, biar aku mati di depanmu." Kim Bu-bong menyengir, sesaat kemudian baru berkata dengan perlahan, "Ikut aku juga bolehlah, cepat atau lambat Sim Long pasti juga akan menyusul kemari, bahwa dia membiarkan Nona Cu ikut aku, mungkin juga untuk memudahkan mengikuti jejakku.... Meski tidak secara gamblang dia paksa aku untuk membawanya mencari Ca Giok-koan, hal ini berarti dia sudah baik terhadapku, jika dia menguntitku secara diam-diam juga pantas, mana boleh aku menyalahkan dia." Dia bicara sendiri seperti sedang menganalisis bagi dirinya sendiri, tapi juga seperti memberi penjelasan bagi Sim Long, padahal suaranya lirih, kecuali dia sendiri tak terdengar siapapun. "Apa katamu?" tanya Cu Jit-jit. "Aku bilang... kalau kau mau ikut aku, ayolah berangkat!" Setengah hari itu kedua orang menempuh perjalanan secara cepat, menjelang tengah hari mereka sudah tiba di Say-kok. Say-kok adalah sebuah kota kecil di sebelah barat Kota Sin-an, walau kota kecil, tapi cukup ramai, ke timur menuju Lokyang, ke utara harus menyeberang sungai besar, tidak sedikit kaum pedagang yang seberang-menyeberang di kota ini, maka kehidupan penduduk kota kecil ini cukup makmur. Sepanjang jalan Jit-jit memegangi tangan Kim Bu-bong, masuk kota pun tidak dilepaskan, dia tidak peduli bagaimana

pandangan orang lain terhadapnya. Dengan sendirinya orang-orang di jalan sama heran, kagum dan pesona akan kecantikannya, tapi bila mereka melihat wajah Kim Bu-bong, seketika mereka melengos. Jit-jit berkata perlahan, "Coba lihat, semua orang takut kepadamu, betapa senang dan bangga hatiku."

"Kenapa kau senang dan bangga?" tanya Kim Bu-bong. "Kuharap orang takut kepadaku, tapi mereka justru tidak takut, kini aku ikut bersamamu, seperti kucing ikut harimau,

akan dapat membonceng supaya orang sama takut padaku, betapa hatiku tidak senang, cuma... cuma perutku mulai lapar, ingin berlagak juga tidak bisa." Kim Bu-bong tertawa, "Apa sekarang juga kau mau makan?"

"Aku bukan anak perempuan yang suka murung, hanya menghadapi sedikit persoalan lantas tak nafsu makan minum.... Segala persoalan dengan cepat dapat kulupakan, maka aku bisa makan seperti biasa. Makanya kakakku kelima pernah bilang, kelak aku bisa jadi gendut." Kembali Kim Bu-bong tertawa, katanya, "Memangnya kenapa kalau gendut? Mari kita makan sepuasnya."

Entah kenapa, orang aneh yang biasanya dingin kaku, kini seperti bergairah. Sepanjang jalan raya mereka tidak menemukan restoran, mendadak Kim Bu-bong seperti teringat sesuatu, dia bertanya, "Apakah kakakmu itu yang terkenal dipanggil Cu-gokongcu dikalangan Kangouw?" Jit-jit menghela napas, "Betul, engkohku kelima itu memang makhluk aneh, kejayaan keluargaku seperti tertumplak seluruhnya di atas tubuhnya, ke mana saja dia pergi, selalu dia mendapat sambutan hangat, dia memang pandai bergaul, aku sendiri heran kenapa bisa begitu?" Kim Bu-bong berkata, "Sudah lama kudengar nama Cu-

gokongcu yang harum, semua bilang dia seorang pemuda cakap yang jarang ada bandingannya, sayang sampai sekarang aku belum pernah melihatnya."

"Jangankan kau tak bisa bertemu dengan dia, kami beberapa saudara sendiri juga sukar melihatnya, dua-tiga tahun baru

bertemu satu kali. Hidupnya memang seperti arwah gentayangan. Hah, sudah sampai." Yang dimaksudkan sampai adalah mereka sudah berada didepan sebuah warung nasi. Lima buah meja kecil yang cukup bersih, bau arak dan bau masakan seperti menyongsong kedatangan mereka, sayang lima meja sudah penuh diduduki orang. "Ramai betul pengunjung warung makan ini," kata Kim Bu-bong. "Rumah makan yang banyak dikunjungi orang, hidangannya tentu lumayan."

"Sayang tidak ada tempat kosong."

"Tidak jadi soal, ikut aku saja," ujar Jit-jit. Kim Bu-bong ditariknya masuk mendekati sebuah meja di pojok sana, dua

orang pedagang sedang makan dengan lahap di meja ini, mendadak mereka angkat kepala, melihat muka Kim Bu-bong, seketika mereka bergidik, cepat mereka menunduk kepala, nafsu makan pun segera lenyap. Jit-jit tetap pegang tangan Kim Bu-bong, berdiri diam tak bergerak, kedua orang itu memegangi sumpit dengan gemetar, bergegas mereka berbangkit terus membayar

rekening. Maka Cu Jit-jit dan Kim Bu-bong lantas menduduki meja itu. Kim Bu-bong geleng kepala, katanya, "Kau memang pandai mencari akal."

"Ini namanya main gertak." Kim Bu-bong bergelak tertawa, namun setengah jalan mendadak dia berhenti tertawa. "Kenapa kau berhenti tertawa," tanya Jit-jit, "aku senang melihat cara tertawamu." Kim Bu-bong diam sejenak, lalu katanya, "Setengah hari ini aku sudah tertawa lebih banyak daripada tertawaku beberapa tahun yang lampau." Jit-jit mengawasinya hingga lama dan tak bicara, entah hatinya merasa kecut, manis, atau getir? Dia tidak tahu. Untung hidangan sudah disuguhkan, maka Jit-jit makan minum dengan lahap. Kim Bu-bong justru sebaliknya, sukar menelan hidangan di depannya, Jit-jit menyumpit makanan ke dalam mangkuknya. Orang-orang di sekitarnya tidak berani menoleh ke arah mereka, tapi tak sedikit yang melirik secara diam-diam. Maklum kedua orang ini teramat aneh, lelaki jelek, yang perempuan cantik, kelihatannya mesra, tapi juga seperti tak kenal-mengenal sebelumnya, entah pernah hubungan apa antara kedua orang ini, sungguh sukar menebaknya. Jit-jit tidak peduli tingkah laku orang-orang di sekitarnya, katanya tertawa, "Sepotong daging ini harus kau makan, perut

kosong mana boleh minum arak... perutmu bisa terbakar lho." Ia menyumpit sepotong daging dan diangsurkan pula kemangkuk Kim Bu-bong. Tapi mendadak tubuhnya bergetar, daging yang tersumpit jatuh kecemplung ke mangkuk kuah di depannya, ia terbelalak ke arah jendela dengan wajah pucat. "Ada apa?" tanya Kim Bu-bong kaget. Dengan sumpit Jit-jit menuding jendela di belakang Kim Bu-bong, katanya, "Oo...." suaranya bukan saja gemetar, lidahnya juga kelu, sumpit pun beradu karena tubuhnya menggigil. Berubah air muka Kim Bu-bong, lekas dia berpaling, namun jendela kosong tak ada apa-apa, keruan dia heran, tanyanya, "Kau melihat apa?" Sahut Jit-jit gemetar, "Ada... ada orang di luar jendela."

"Mana ada orang, mungkin pandanganmu kabur?"

"Barusan ada, begitu kau berpaling lantas lenyap."

"Siapa?"

"Iblis... iblis laknat itulah, iblis yang membikin aku lumpuh dan bisu itu."

"Apa kau melihat dengan jelas?"

"Aku melihat dengan jelas sekali, selama hidupku takkan kulupakan wajahnya." Berubah kelam air muka Kim Bu-bong, kedua alisnya bertaut, ia tunduk kepala berpikir tanpa bicara. "Apa kau mau mengejarnya?"

"Biar kukejar sekarang juga takkan tersusul."

"Lalu... lalu bagaimana baiknya? Begitu melihat dia, aku tiada selera makan lagi, tidur pun tak bisa nyenyak, seolah-olah dia selalu mengintil di belakangku dan mau mencelakai aku, bila kupejamkan mata lantas terbayang dia lagi menyeringai

kepadaku...." mendadak dia letakkan sumpit terus mendekap muka dan hampir menangis. Kim Bu-bong berpikir sejenak, mendadak dia berbangkit, sepotong uang perak dilemparkannya di meja, tangan Jit-jit ditariknya sambil mendesis, "Mari ikut aku!"

"Ke... ke mana?" tanya Jit-jit. Hijau kelam muka Kim Bu-bong, tanpa menjawab dia tarik Cu Jit-jit terus melangkah keluar, ia celingukan sekejap menentukan arah terus berlari keluar kota menuju ke tempat yang sepi. Heran dan takut Jit-jit, nyalinya sudah pecah bila terbayang kepada iblis itu, padahal biasanya tiada yang ditakutinya di dunia ini, tapi terhadap "iblis" yang satu ini dia justru ketakutan setengah mati. Makin jauh Kim Bu-bong melangkah ke tempat yang sepi, padahal saat itu cahaya mentari sudah menembus gumpalan mega, namun Jit-jit masih menggigil kedinginan. Tanpa terasa kedua tangannya memeluk pundak Kim Bu-bong dan tubuhnya pun menggelendot di bahunya. Dipandang dari belakang seolah-olah seorang lelaki kekar berjalan berpelukan dengan seorang gadis, seperti sepasang kekasih yang lagi bermesraan, siapa yang melihatnya pasti iri, tapi bila orang mendahului dan memandang dari depan, yang perempuan cantik bak bidadari, berpelukan dengan lelaki jelek yang mengerikan, siapa pun akan geleng kepala. Walau pundaknya diganduli, langkah Kim Bu-bong tetap cepat dan gesit. Tak tahan Jit-jit bertanya, "Tempat apa di sebelah depan."

"Aku tidak tahu." Gusar Jit-jit, serunya, "Habis untuk apa kau... kau...."

"Apa yang kulakukan segera kau akan tahu," ujar Kim Bu-bong, mendadak dia merendahkan suaranya, "Nah, itu dia datang." Berdiri bulu kuduk Cu Jit-jit, ia menahan napas dan pasang kuping, memang di belakang didengarnya ada suara desir pakaian melambai, gerakan orang di belakang amat cepat, namun Kim Bu-bong tidak menghentikan langkahnya juga tidak menoleh. Dengan sendirinya Jit-jit juga tidak berani menoleh, namun dalam hati dia bertanya-tanya, "Siapakah yang datang?

Jangan-jangan dia?" Didengarnya lambaian pakaian orang itu sudah berada di belakang mereka, gerakannya lantas iperlambat, dalam jarak yang sama terus mengikuti langkah mereka, tidak menyusul ke depan dan juga tidak ketinggalan. Rasa seram menjalari punggung Jit-jit, sungguh ia ingin menoleh untuk melihatnya, tapi dapat ditahan perasaannya ini, rangkulannya bertambah erat. Bila Kim Bu-bong mempercepat langkahnya, orang di belakang ikut cepat, bila Kim Bu-bong lambat orang itu pun memperlambat langkahnya. Kini Jit-jit yakin orang di belakang ini pasti iblis laknat itu, baru sekarang dia sadar Kim Bu-bong sengaja menuju ke tempat yang sepi, tujuannya juga untuk memancing dia. Tapi sukar dia menebak kenapa Kim Bu-bong berbuat demikian, apa tujuannya? Jika ingin membunuhnya, sekarang sudah boleh turun tangan, kalau tidak ingin melenyapkan dia, pantasnya sekarang sudah bertindak pula. Makin lama langkah Kim Bu-bong makin cepat, akhirnya hanya berputar kayun di dataran bersalju ini, orang itu ternyata mengintil terus ikut berputar. Cu Jit-jit tidak tahan dan ingin mengajukan pertanyaan namun sebelum dia bersuara, kupingnya lantas menangkap suara Kim Bu-bong yang bicara dengan ilmu gelombang suara, "Kungfu orang ini tidak lemah, tapi tenaga dalamnya kurang kuat, sekarang sengaja kukuras tenaganya, bila lwekang sudah lemah dan kehabisan tenaga baru akan kupancing dia turun tangan, kuyakin dapat mencabut nyawanya." Kejut dan girang hati rasanya ingin dia peluk leher Kim Bu-bong serta mencium pipinya sekali sebagai tanda rasa senang, haru dan kagumnya.

Mendadak Kim Bu-bong mendongak sambil bergelak tertawa, serunya, "Haha, bagus... bagus!" Orang itu juga tertawa serak dan berseru, "Haha, bagus...bagus!"

"Kutahu kau pasti datang!" ucap Kim Bu-bong. "Kutahu kau pasti datang!" orang itu menirukan bicaranya. "Setelah datang, kenapa kau tidak bicara?" tanya Kim Bu-bong. Orang itu juga bertanya, "Setelah datang, kenapa kau tidak bicara?" Kim Bu-bong gusar, dampratnya, "Apa sengaja kau permainkan aku? Meski kita pernah seperguruan, namun hubungan kita sudah putus, tahukah kau kenapa kupancing kau ke sini? Sebab akan kucabut nyawamu!" Orang itu seperti bersuara kaget, tapi segera menirukan pula, "Apa sengaja kau permainkan aku? Meski...."

"Siapa kau?" mendadak Kim Bu-bong menghardik sambil seret Jit-jit dan membalik badan. Orang itu sedang lari, hampir saja ia menubruk mereka, syukur satu kaki di depan mereka dia berhasil mengerem langkahnya. Wajahnya yang jelek dan kotor itu tepat berhenti di depan mata Cu Jit-jit, tapi bukan wajah "iblis" yang mereka duga semula, orang ini ternyata adalah Kim Put-hoan. Perubahan yang tak terduga ini bukan saja membuat Cu Jit-jit kaget, juga di luar dugaan Kim Bu-bong. Bukan rase yang mereka pancing ke sini sebaliknya terpancing serigala. "Kiranya... kau!" pekik Jit-jit. "Rupanya kau," bentak Kim Bu-bong dengan gusar. "Ya, aku...." Kim Put-hoan tertawa terkekeh. "Agaknya kalian tidak menduga."

"Kenapa kau buntuti kami sejauh ini? Apa kehendakmu?" seru Jit-jit. Kim Put-hoan memicingkan matanya, katanya dengan tertawa, "Aku hanya ingin menyaksikan betapa mesranya kalian berpelukan, untuk apa pergi ke tempat sepi seperti ini? Di sini kan bukan tempat untuk berpacaran?"

"Tutup mulutmu!" bentak Kim Bu-bong. "Baik, tutup mulut. Toako suruh aku tutup mulut, segera kututup mulut!" dia mendongak dan tertawa aneh, "Baru sekarang kutahu, Toako kita ini ternyata cukup lihai juga dalam hal memikat perempuan, hanya beberapa patah kata dengan mudah dapat merebut nona ayu ini dari tangan Sim Long." Jelalatan mata Kim Bu-bong, wajah diliputi nafsu membunuh. Jit-jit tidak tahan, ia memaki, "Kau kentut busuk apa?" Kim Put-hoan menyengir, "Aduh galaknya.... Eh, mau tidak kuberi tahu rahasia toakoku ini? Dia kelihatan jujur, padahal... hahahaha...."

"Padahal apa?" tanya Jit-jit. "Padahal toakoku ini laki-laki perayu, seorang hidung belang, sejak umur lima belas, entah betapa banyak gadis yang dibuatnya sakit rindu, kemudian...." Kim Bu-bong menatapnya dengan dingin dan mendengarkan

ocehannya tanpa mencegah atau menyetopnya, tapi Kim Put-hoan sengaja berhenti sambil meliriknya. "Belakangan bagaimana?" tak tahan Jit-jit bertanya pula. Kim Put-hoan sengaja berdehem, "Aku tak berani mengatakan." Kim Put-hoan menyengir, "Banyak nona cantik mengerumuninya hingga toakoku ini tak sempat berlatih kungfu, saking jengkel toakoku ini lantas merusak wajah sendiri yang tampan ini."

"Oo...." Jit-jit menjerit kaget. "Dia sendiri yang merusak mukanya tapi setelah wajahnya rusak, tabiatnya ikut berubah, bukan saja dia amat membenci perempuan, terhadap orang laki-laki juga bersikap dingin dan tak acuh." Cu Jit-jit termenung sekian lama, katanya kemudian, "Jadi begitulah kejadiannya... kiranya tempo hari kau menipuku."

"Menipumu... kapan aku menipumu...." seru Kim Put-hoan. "Cuh," Jit-jit berludah, "siapa bicara dengan kau." Kim Put-hoan mengawasinya, lalu melirik Kim Bu-bong, katanya dengan tertawa licik, "Ah, aku mengerti, aku mengerti.... Agaknya kau bicara dengan dia. Jadi Toako pernah dustai kau, tanpa sengaja aku membongkar rahasianya." Kim Put-hoan tertawa dan berkata pula, "Wah, baru sekarang aku bertemu dengan istri Toako, tidak diberi hadiah malah dicaci maki."

"Baik, kuberi hadiah," damprat Cu Jit-jit. Tangan kanan terayun terus menggampar muka Kim Put-hoan. "Plang", Kim Put-hoan tidak berkelit menghindar, gamparan Jit-jit telak mengenai pipinya, ternyata dia tidak marah sebaliknya malah tertawa sambil mengelus pipi, katanya, "Terima kasih, kuterima hadiahmu dengan senang hati. Jari-jemari halus dan runcing rasanya enak juga bila mengelus pipi. Toako, rezekimu memang tidak kecil." Mendadak Kim Bu-bong mendengus, "Sudah habis kau

bicara?"

"Ya, sudah habis."

"Hubungan persaudaraan kita sudah putus, tapi mengingat kau tumbuh dewasa bersamaku dulu, hari ini kuampuni sekali

lagi...." mendadak Kim Bu-bong membentak bengis, "Nah, ayoh, lekas menggelinding, jangan tunggu aku berubah pikiran." Kim Put-hoan tenang-tenang saja, katanya dengan tertawa, "Toako suruh aku enyah, tentu segera kupergi. Tapi masih ada pertanyaan yang ingin kuajukan kepada Toako," tanpa menunggu jawaban Kim Bu-bong dia meneruskan, "Toako tahu tidak di mana Sim Long sekarang?" Jit-jit heran, tanyanya, "Untuk apa kau cari Sim Long?" Kim Put-hoan tertawa lebar, katanya, "Banyak orang ingin mencari Sim Long, bukan cuma aku." Jit-jit makin tertarik, tanyanya lagi, "Siapa pula yang mencarinya?"

"Tiga cianpwe dari Jin-gi-ceng, Toan-hong Totiang, Thian-hoat Taysu, Hiong-say Kiau Ngo, dan... aku juga, walau aku tidak

becus, orang-orang itu bukan tokoh sembarang tokoh."

"Untuk apa orang-orang itu mencarinya?" tanya Jit-jit khawatir. "Tidak apa-apa, hanya ingin menggorok lehernya," sahut Kim Put-hoan. Berjingkat Jit-jit, serunya, "Ken... kenapa?"

"Karena dia ingkar janji, karena dia berbuat jahat, lahirnya bajik, padahal kejam, karena.... Ai, tak perlu kujelaskan lagi, tentunya kau tahu sendiri." Melotot mata Cu Jit-jit, serunya tergagap, "Bukankah... bukankah Sim Long sudah mengantar Can Ing-siong, Pui Jian-li, dan lain-lain pergi ke Jin-gi-ceng, bukankah mereka bisa memberi penjelasan."

"Apa benar Sim Long yang mengantar Can Ing-siong dan lain-lain?" tanya Kim Put-hoan, suaranya bernada menyindir. Tapi Jit-jit tidak memerhatikan, sahutnya, "Betul, Sim Long sendiri yang mengantar mereka," lalu ia menoleh ke arah Kim

Bu-bong, katanya pula, "Kau bisa jadi saksi bukan?" Terunjuk rasa heran pada wajah Kim Bu-bong, katanya dengan mengangguk, "Betul, aku melihat sendiri mereka sudah masuk ke Jin-gi-ceng."

"Memangnya ada kesalahan apa yang terjadi?" tanya Jit-jit. Kim Put-hoan menyeringai, "Betul, mereka memang sudah masuk ke perkampungan sana." Jit-jit menghela napas, "Nah, kan sudah beres...."

"Tapi setelah masuk kampung, sebelum sempat bicara mereka sudah putus nyawanya. Hm... mati secara mutlak, tiada satupun yang ketinggalan." Belum Kim Put-hoan selesai bicara, Jit-jit sudah menjerit kaget. Kim Bu-bong juga terbeliak, katanya, "Cara... cara bagaimana mereka mati?"

"Begitu masuk perkampungan mereka lantas roboh bersama pada saat itu juga dan jiwa melayang seketika, sekujur badan tidak terluka, mungkin mereka mati karena racun yang bekerja dalam tubuh mereka. Padahal tidak sedikit tokoh-tokoh kosen di dalam Jin-gi-ceng, tapi tiada satu pun yang tahu mereka keracunan apa," Kata Put-hoan tertawa riang sambil mendongak, "Membunuh dengan racun tidak perlu diherankan, anehnya waktu yang diperhitungkan ternyata begitu tepat.... Hehehe... sungguh cara lihai, kepandaian hebat, sayang teramat keji." Kim Bu-bong merinding mendengar perkataan Kim Put-hoan itu, Cu Jit-jit juga gemetar, katanya, "Aku yakin pasti bukan perbuatan Sim Long."

"Sim Long yang mengantar mereka, kalau bukan dia siapa lagi yang pandai main racun?"

"Pasti dia... perempuan itu?" kata Jit-jit. "Dia siapa? Siapa perempuan itu?" tanya Kim Put-hoan. "Meski kujelaskan juga percuma," segera Jit-jit tarik tangan Kim Bu-bong, serunya, "Ayo kita sampaikan berita ini kepada Sim Long."

"Kalian tidak perlu susah payah," ucap Kim Put-hoan sambil menyeringai, "sudah ada orang mencari dia, toh tidak bakal

melarikan diri. Mengenai kalian... ai, sekarang kalian juga tak bisa pergi."

"Berani kau rintangiku?" damprat Kim Bu-bong. Seperti tertawa tapi tidak tertawa, Kim Put-hoan berkata sinis, "Mana aku berani... tapi mereka...." bola matanya jelalatan ke empat penjuru, Kim Bu-bong dan Cu Jit-jit lantas mengikuti

pandangannya ke sana kemari. Di tengah dataran salju itu, dari arah timur, selatan, barat, dan utara masing-masing muncul bayangan seorang, dengan perlahan melangkah ke arah mereka. Kelihatannya mereka bergerak lamban, namun tahu-tahu sudah dekat. Yang datang dari timur berjenggot panjang menyentuh dada, pakaiannya melambai tertiup angin seperti dewa, namun wajahnya yang putih bersih tampak kaku dironai nafsu membunuh, dia bukan lain adalah Put-pay-sin-kiam Li Tiang-ceng, kepala Jin-gi-ceng. Orang yang datang dari selatan berperawakan tinggi besar, sedikitnya delapan kaki, cambang bauk melebati mukanya, sorot matanya juga memancarkan nafsu membunuh, dia juga salah satu dari Jin-gi-sam-lo yaitu Khi-tun-to-gu Lian Thian-hun. Orang yang datang dari barat berperawakan agak kurus dan lemah, setiap dua langkah lantas terbatuk-batuk, dia adalah toako dari ketiga Leng bersaudara. Yang datang dari utara sikapnya kelihatan paling garang,

wajahnya beringas kejam, siapa kalau bukan Thian-hoat Taysu dari Ngo-tay, tokoh silat nomor satu aliran Buddha yang

disegani. Sebelum keempat orang ini mendekat, Kim Put-hoan mendadak melompat mundur, lalu serunya lantang, "Apakah kalian sudah mendengar percakapan kami?"

"Sudah mendengar jelas," seru Lian Thian-hun yang berangasan. "Aku tidak salah omong bukan, orang-orang itu memang diantar oleh Sim Long," Kim Put-hoan membakar kemarahan mereka. "Memang benar, kau keparat ini bicara dengan betul, Sim

Long si anjing itu tak dapat diampuni," demikian damprat Lian Thian-hun, meski usianya sudah lanjut, waktu marah sikapnya

menjadi kasar dan tutur katanya juga kotor. "Perlu juga kalian ketahui, di sini ada seorang yang lebih hebat daripada Sim Long. Hehehe, kalian memang lagi mujur, tanpa sengaja bertemu dengan dia di sini."

"Siapa?" bentak Li Tiang-ceng. Padahal pandangan keempat orang itu sudah menatap Kim Bu-bong. Meski Kim Bu-bong berdiri tegak tanpa bergerak, diam-diam hatinya menjadi gelisah. Terdengar Kim Put-hoan berkata lantang, "Harap kalian perhatikan, inilah Kim Bu-bong, Duta Harta, salah satu duta besar Koay-lok-ong, tentu sudah lama kalian mendengar

kebesaran namanya." Belum habis dia bicara, serentak Li Tiang-ceng berempat melompat maju mengepung Cu Jit-jit dan Kim Bu-bong, setajam golok mereka menatap Kim Bu-bong. Perlahan Cu Jit-jit makin merapat di samping Kim Bu-bong. Kalau keempat orang itu menatap Kim Bu-bong, sebaliknya Kim Bu-bong juga balas menatap mereka, tiada yang bicara, dalam keadaan seperti ini, bicara memang berlebihan. Tanpa tanya juga Kim Bu-bong tahu maksud kedatangan keempat orang ini, keempat orang itu juga tahu jika pihaknya mengajukan pertanyaan, lawan jelas takkan memberi jawaban, maka lebih baik tidak tanya.

Berhadapan secara diam begini tentu saja menambah tegangnya suasana, sinar matahari seakan mulai guram, cuaca remang-remang, deru angin seperti pekikan di medan perang. Cu Jit-jit tidak tahan lagi, serunya, "Kalian mau apa?" Keempat orang itu melirik sekejap, hanya sekejap lalu menatap Kim Bu-bong pula, hakikatnya seperti tak sudi memandangnya, apalagi menjawab pertanyaannya. "Apa pun persoalannya harus dibicarakan dulu dengan jelas, memangnya apaan cara begini?" teriak Jit-jit pula. Kali ini orang-orang itu melirik pun tidak. Dengan nekat Jit-jit berteriak, "Mereka tidak mau bicara, mari kita pergi." Kim Put-hoan yang berdiri di samping mendadak tertawa latah, serunya, "Kalian dengar, merdu sekali ucapan budak ini." Teriak Jit-jit dengan gusar, "Kalian tak mau bicara, ayolah turun tangan, jika tidak turun tangan, maka kami mau pergi, memangnya harus ikut berdiri seumur hidup di sini." Li Tiang-ceng menghela napas, ujarnya, "Masa kau minta kami turun tangan?" Meski dia bersuara, tapi ucapannya bukan ditujukan kepada Cu Jit-jit, melainkan kepada Kim Bu-bong. "Betul," Kim Put-hoan ikut bersuara. "Apa kau ingin kami turun tangan? Kalau kau tahu diri menyerah saja biar kami belenggu, setiap pertanyaan harus kau jawab, daripada tersiksa." Kim Bu-bong hanya menyeringai saja tanpa bersuara. Tapi Jit-jit tambah tidak tahan, makinya, "Kentut, kau...." Mendadak Lian Thian-hun meraung, "Buat apa banyak

cincong, pukul roboh mereka dan ringkus saja, masa mereka takkan bicara nanti?" Mendadak Kim Bu-bong menengadah dan terbahak-bahak, "Haha, sungguh gagah, sungguh gagah, orang she Kim memang lagi menunggu kalian para pahlawan ini, silakan

turun tangan bersama." Berputar bola mata Cu Jit-jit, mendadak ia pun tertawa, serunya, "Sungguh kasihan, sungguh sayang... orang gagah terkenal macam kalian hanya pandai main keroyok...."

"Budak busuk," damprat Lian Thian-hun, "tutup bacotmu, boleh kau saksikan apakah tuan besarmu ini main keroyok atau tidak? Silakan kalian mundur selangkah, biar kubekuk keparat ini." Li Tiang-ceng berkerut kening, namun Lian Thian-hun, lantas melompat maju. Kim Bu-bong bertanya, "Apa betul kau berani melawanku seorang diri?"

"Hanya cucu kura-kura yang tidak berani," sahut Lian Thian-hun dengan gusar. "Kukira lebih baik kau mundur saja, kungfu Khi-tun-to-gu Lian Thian-hun dulu memang tinggi, tapi sejak tragedi di Heng-san kungfunya sekarang tinggal tiga bagian saja, mana boleh kau bergebrak denganku?" Lian Thian-hun menjadi gusar, kedua tinjunya beruntun menggenjot seraya membentak, "Siapa berani membantuku, Lian Thian-hun akan mengadu jiwa dulu dengan dia." Perlahan Kim Bu-bong mendorong Cu Jit-jit ke samping, "Awas!" Sambil bicara ia menghindari dua kali jotosan Lian Thian-hun. Li Tiang-ceng seorang tokoh besar, melihat gerak tubuh lawan, segera ia tahu lawan memiliki kungfu tinggi, segera dia mundur beberapa langkah dan memberi tanda kedipan mata kepada Leng Toa. Leng Toa segera melompat ke dekatnya, tanyanya, "Ada apa?" Li Tiang-ceng berkata dengan suara tertahan, "Betapa tinggi kepandaian orang ini sukar diukur, dalam empat puluh jurus Samte mungkin takkan kalah, tapi empat puluh jurus kemudian, bila kehabisan tenaga pasti kalah."

"Ya, kukira juga demikian."

"Belakangan ini bagaimana dengan latihan lwekangmu?" Leng Toa tersenyum, sahutnya, "Lumayan."

"Tapi batukmu...."

"Supaya tidak batuk juga bisa." Berputar mata Li Tiang-ceng, dilihatnya Kim Put-hoan menonton di pinggir sambil tersenyum, Thian-hoat Taysu kelihatan menggosok-golok kepalan dan getol ikut turun gelanggang, namun karena peringatan Lian Thian-hun tadi, maka dia bimbang. Seperti sengaja dan tidak sengaja, kedua orang ini mencegat jalan pergi Cu Jit-jit di kanan-kiri. Segera Li Tiang-ceng mendesis lagi, "Biasanya Kim Put-hoan jarang turun tangan, luka dalam Thian-hoat mungkin belum sembuh, sementara aku, ai, pendek kata, melihat situasi hari ini hanya kaulah yang bisa diharapkan, apakah kau yakin dapat mengalahkan dia?"

"Boleh kucoba!"

"Bagus, tapi sekarang kau tak boleh turun tangan, kau tahu watak Losam, maka harus kau tunggu bila dia melontarkan jurus andalannya itu baru kau terjun.... Sekarang sudah lebih dua puluh jurus, belasan jurus lagi Losam pasti akan melancarkan jurus itu, paham?"

"Tahu!" sahut Leng Toa, walau bicaranya lebih banyak daripada adiknya, tapi jawabannya tetap singkat saja. Pukulan Thian-hun secepat angin, dalam sekejap dia sudah menyerang dua puluhan jurus bagai gugur gunung dahsyatnya, siapa pun yang menyaksikan pukulannya akan pecah nyalinya. Di tengah deru angin pukulan, bunga salju beterbangan. Bunga salju yang berhamburan bila hinggap di muka orang akan meninggalkan bercak merah di muka orang, sudah ada tiga-empat bercak merah di muka Cu Jit-jit.

Jilid 14

Menyaksikan pertarungan ini, Jit-jit jadi ngeri dan khawatir, batinnya, "Siapa bilang kungfu Lian Thian-hun sudah susut?

Jika lwekangnya sekarang cuma tiga bagian daripada kemampuannya dulu, bukankah sekali pukulannya bisa menewaskan seorang kosen.... Mungkin Kim Bu-bong percaya omongan orang dan salah tafsir, kalau satu lawan saja tak mampu dikalahkan dia, belum lagi empat orang yang menunggu giliran." Maklum, watak Cu Jit-jit memang agak ekstrem, maka sering dia melakukan perbuatan tak dapat dilakukan orang lain, apa itu adat istiadat, apa itu peraturan, dia tidak peduli. Jika dia baik dengan seorang, maka dia harap orang itu akan menang, tentang benar atau salah, baik atau jahat sama sekali tidak dipikirnya. Demikian pula sekarang, tentu saja dia harap Kim Bu-bong dapat memukul mampus Lian Thian-hun, soal Lian Thian-hun orang baik atau jahat, hakikatnya tak terpikir olehnya. Tapi Kim Bu-bong justru terdesak di bawah angin, keruan Jit-jit gelisah. Dia tidak tahu bahwa lwekang Lian Thian-hun sudah jauh berkurang, kekuatannya sekarang paling-paling hanya tiga bagian saja dari kepandaiannya waktu puncaknya dulu. Dasar Lian Thian-hun berwatak berangasan, sekali bergebrak, dia keluarkan seluruh sisa tenaganya itu tanpa pikirkan keselamatan sendiri. Betapa luas dan pengalaman tempur Kim Bu-bong, sejak mula dia sudah melihat titik kelemahan lawan, maka dia tidak mau du jiwa, tujuannya hanya menguras tenaga lawan. Beberapa jurus lagi, serangan Lian Thian-hun mulai kendur. Keringat sudah membasahi jidatnya. Sebaliknya serangan Kim Bu-bong semakin kuat, lambat laun dia mulai berada di atas angin. Mendadak kedua kepalan Lian Thian-hun menghantam sekaligus, jurus ini dinamakan Ciak-boh-thian-king (Batu Pecah Langit Terkejut), dengan dahsyat menghantam dada Kim Bu-bong. Pada saat itulah Li Tiang-ceng berkata perlahan, "Inilah jurus ketiga delapan." Leng Toa mengangguk, seluruh perhatian tercurah ke tengah kalangan pertempuran. Tertampak Kim Bu-bong menyurut mundur miring, agaknya dia tidak mau melawan kekerasan serangan Lian Thian-hun, meski kaki melangkah mundur, tapi dia masih menyimpan tenaga susulan untuk menanti pukulan Lian Thian-hun selanjutnya. Tak terduga Lian Thian-hun juga mundur selangkah dan berdiri tegak di tengah, bentaknya, "Berhenti!" Bentakan menggelegar ini membuat kuping Cu Jit-jit mendengung, untuk sekian lama dia tak bisa mendengar suara apa pun. Kim Bu-bong langsung mengalami akibatnya, terasa seperti ada arus hawa yang memukul dadanya, tanpa kuasa tubuhnya tergeliat, tapi sedapatnya ia bertahan pada posisinya dan siap serang lagi. Pada saat itulah sesosok bayangan kurus meluncur tiba dan menyelinap di tengah mereka berdua. Kiranya bentakan Lian Thian-hun tadi adalah salah satu ilmu simpanannya yang lihai, yaitu Ci-te-tui (Palu Bawah Lidah) yang kuat tapi tak berbentuk. Lian Thian-hun bergelar Khi-tun-to-gu (Bila Marah Menelan Jagat), ini menunjukkan khikangnya teramat hebat, waktu kekuatannya masih utuh dulu sekali dia menghardik dengan Ci-te-tui lawan bisa tergetar putus urat sarafnya dan menjadi linglung.

Sayang sekali khikangnya sekarang tidak sekuat dulu, maka Kim Bu-bong hanya terkejut tak tidak terpengaruh oleh gertakannya. Lian Thian-hun juga tahu kekuatan Ci-te-tui sekarang jauh lebih lemah dibanding dulu, namun wataknya tidak mau kalah, bila terdesak dan keadaan cukup gawat tanpa sadar dia lantas melancarkan ilmu ini. Li Tiang-ceng adalah saudara angkatnya sejak muda, sudah diduganya Lian Thian-hun pasti akan melancarkan ilmunya ini. Maka begitu dia menggertak dengan Ci-te-tui, segera Leng Toa menyelinap masuk arena. Lian Thian-hun membentak gusar, "Minggir, siapa suruh kau turut campur?" Leng Toa tersenyum, katanya, "Sudah kau suruh orang berhenti, tentunya aku boleh turun tangan."

Lian Thian-hun melengak, lekas Li Tiang-ceng menyeretnya kepinggir. Kim Put-hoan tertawa lebar, katanya, "Haha, lucu, sungguh lucu." Thian-hoat Taysu juga berkata, "Biar ku...." "Kenapa Taysu tergesa-gesa? Keparat itu takkan bisa lolos,

kenapa Taysu tidak lihat dulu bagaimana kungfu Leng-keh-sam-hengte (Tiga Saudara dari Keluarga Leng) hebat dan yang jarang dipamerkan di depan umum?" demikian bujuk Kim Put-hoan. Sejenak Thian-hoat Taysu termenung dan urung melangkah

maju. Kiranya kedudukan ketiga saudara keluarga Leng di dunia persilatan agak aneh, mereka adalah kaum budak di Jin-gi-

ceng, namun kungfu mereka termasuk tokoh kelas tinggi. Mereka tidak mengejar nama, tidak mencari keuntungan pribadi, juga tak pernah berkecimpung di Kangouw atau ikut campur urusan orang lain, kecuali ada orang mengancam Jin-gi-ceng, mereka tidak sembarangan turun tangan. Tapi bila mereka sudah turun tangan, lawan mereka jarang ada yang bisa pulang dengan selamat, maka jarang ada kaum persilatan yang tahu asal usul kungfu mereka. Riwayat hidup mereka merupakan teka-teki pula, mereka tidak pernah menyinggung atau membicarakan perihal pribadi mereka dengan orang lain, umpama ada orang tanya juga mereka tak mau menjawab, kepada siapa pun sukar mencari tahu seluk-beluk mereka. Kungfu yang misterius, riwayat hidup yang terahasia, ditambah tabiat mereka yang aneh sehingga ketiga bersaudara ini dipandang sebagai tokoh aneh dunia Kangouw. Sekarang sampai Lian Thian-hun juga ingin menyaksikan saudara tertua keluarga Leng ini memiliki kejutan apa dalam ilmu silatnya. Sementara Leng Toa sedang terbatuk-batuk tak berhenti-henti, maka Cu Jit-jit lantas bertanya, "Kau sedang sakit, apa masih sanggup bergebrak?" Leng Toa angkat kepala dan tertawa padanya, katanya, "Terima kasih atas perhatianmu." Habis bicara dia batuk lagi lebih gencar. Jit-jit menghela napas, katanya, "Masih banyak orang di sini,

kenapa kau yang disuruh maju? Kim... Kim-toako, biarlah dia mundur saja, gantikan orang lain." Kim Bu-bong hanya tertawa dingin tanpa bicara. Kim Put-hoan justru menanggapinya dengan sinis, "Nona Cu, kau khawatir dia sakit dan tak sanggup berkelahi? Hehehe, nanti bila dia bikin kau menjadi janda, baru kau tahu betapa lihainya." Beringas muka Jit-jit, hampir dia mengumbar adatnya lagi. Dasar usil, Kim Put-hoan bermaksud meledek lagi, mendadak Leng Toa membentak gusar, "Tutup mulutmu." Kim Put-hoan melenggong, "Kau suruh aku tutup mulut?"

"Ya, kau harus tutup mulut," seru Leng Toa. "Apa... apakah kau tak bisa membedakan siapa musuh dan siapa kawan?"

"Aku lebih senang punya musuh seperti dia daripada punya teman seperti tampangmu," jawab Leng Toa. Perkataannya itu

berarti "teman yang hina dina jauh lebih menakutkan daripada musuh yang jujur". Mau tak mau Kim Put-hoan merasa malu, dia menoleh ke arah Li Tiang-ceng, maksudnya seperti ingin bilang, "Kacungmu bersikap kurang ajar padaku, kenapa kau tidak menegurnya." Ternyata Li Tiang-ceng diam saja tanpa memberi reaksi, seakan-akan dia tidak mendengar atau memang sengaja tidak peduli akan percakapan Kim Put-hoan dengan Leng Toa. Waktu Kim Put-hoan berpaling lagi, tampak mata Leng Toa

setajam pisau tengah menatapnya dengan gusar, lekas ia ganti sikap, katanya dengan cengar-cengir, "Agaknya tepukan

pantat keliru kutepuk pada paha kuda. Baiklah, aku takkan bicara lagi, silakan Leng-heng turun tangan." Leng Toa mendengus, sikapnya merasa jijik dan menghina, lalu dia berpaling ke arah Kim Bu-bong, katanya, "Silakan!" Cu Jit-jit tidak bersuara lagi, dia menduga Leng Toa yang berpenyakitan ini pasti punya bekal kungfu yang tinggi, kalau tidak Kim Put-hoan yang suka menindas yang lemah dan takut kepada yang kuat ini tidak nanti bersikap begitu takut kepadanya. Dengan mata terbelalak dia menunggu pertempuran yang akan berlangsung. Tapi Kim Bu-bong dan Leng Toa ternyata belum bergebrak.

Kedua orang berdiri berhadapan, tidak ambil posisi, tidak pasang kuda-kuda, namun keduanya sama tahu tidak boleh

sembarangan menyerang, kalau bergerak secara gegabah mungkin akan mengalami akibat yang fatal. Maklum, bagi penyerang yang ingin mendahului pasti menggunakan serangan keji dan dahsyat, padahal permainan silat di dunia ini bila mengutamakan serangan pasti ada peluang pada pertahanannya. Bilamana serangan pertama gagal, lawan pasti balas mengincar titik lemahnya dan melancarkan serangan balasan maut. Sebab itulah sejak Leng Toa bilang "silakan" tubuh kedua orang tiada yang bergerak, mata pun tak berkedip. Li Tiang-ceng, Kim Put-hoan, Thian-hoat Taysu adalah jago kosen, sudah tentu mereka tahu kenapa sejauh ini kedua orang diam saja tak mau menyerang lebih dulu. Suasana tegang mencekam, semua orang menahan napas, tak berani berisik, khawatir membuyarkan konsentrasi kedua jago yang siap saling labrak itu. Akhirnya Cu Jit-jit juga merasakan keadaan kedua jago yang berhadapan itu, mati-hidup mereka hanya bergantung pada sekejap saja, maka dengan tajam dia mengawasi kedua orang yang tegak seperti patung, suasana tegang ini jauh lebih menakutkan daripada pertempuran yang pernah disaksikannya. Angin dingin mengembus kencang, namun mereka tidak merasa dingin lagi. Entah berapa lama sudah lalu. Leng Toa merasakan tenaganya seperti sedang terkuras keluar, padahal dia belum menggerakkan seujung jari pun, tapi energi yang terbuang dalam ketegangan justru lebih besar dibanding tatkala bertempur sengit. Keringat terasa mengalir di jidatnya, meleleh dan membasahi pipi, seperti ulat-ulat kecil yang merambat di mukanya, gatal dan geli. Tapi dia bertahan dengan mengertak gigi. Sebab dia tahu pertempuran ini akan menentukan mati-hidup mereka, juga merupakan ujian tinggi-rendah kungfu mereka, yang lebih penting lagi juga menguji keteguhan ketahanan mereka berdua. Dia insaf meski dirinya sekarang menderita, lawan pun pasti dalam keadaan serupa. Entah berapa lama telah berlalu pula. Bukan saja Leng Toa dan Kim Bu-bong mengeluh dalam hati, Li Tiang-ceng, Thian-hoat Taysu yang menonton di pinggir juga kehilangan sabar, keringat juga membasahi jidat mereka, seolah-olah mereka sendiri baru mengalami pertempuran sengit. Diam-diam Kim Put-hoan menarik lengan baju Li Tiang-ceng. Mereka saling pandang sekejap, lalu mundur jauh ke sana. Kim Put-hoan berkata dengan berbisik, "Li-heng, menurut pendapatmu, siapa bakal menang dalam pertempuran ini?"

"Kukira kedua orang ini setanding dan sama kuat," jawab Li Tiang-ceng setelah berpikir sejenak. "Ya, mereka terhitung tokoh top dunia Kangouw, tujuh jago kosen bu-lim seperti kami ini bila dibandingkan mereka sungguh harus merasa malu."

"Dalam segalanya Leng Toa tidak lebih asor daripada Kim Bu-bong, tapi ketahanan fisiknya... penyakit tebesenya terakhir ini semakin parah karena terlalu banyak minum arak, kalau keadaan tegang begini berlangsung lebih lama, tenaga Leng Toa pasti tak kuat bertahan, bukan mustahil akibatnya fatal baginya."

"Wah, lalu bagaimana baiknya," ujar Kim Put-hoan. "Padahal kutahu betapa tekun orang ini menggembleng diri, sukar mencari orang kedua yang bisa menandingi dia. Apalagi biasanya dia tidak suka campur dengan orang perempuan, bicara tentang ketahanan tenaganya, selama aku berkecimpung di dunia Kangouw belum pernah kulihat orang yang lebih unggul daripada dia. Dahulu pernah dia bertempur melawan belasan orang secara bergilir, setelah belasan babak, ternyata wajahnya tetap tak berubah dan tenaga tak berkurang."

"Kalau betul demikian, tanpa bertempur pun jelas aku juga bukan tandingannya, mungkin...."

"Mungkin Thian-hoat Taysu juga bukan tandingannya, begitu?" tanya Kim Put-hoan. Li Tiang-ceng diam saja. "Jadi kita berlima tiada seorang pun yang kuat melawannya, apakah kita manda saja dipukul roboh satu per satu olehnya?"

"Sudah tentu tidak, kecuali... kecuali...." Li Tiang-ceng tak berani meneruskan. "Kecuali bagaimana?" tanya Kim Put-hoan.

"Kecuali kau turun tangan bersamaku." Tujuan Kim Put-hoan ajak orang bicara memang ingin memaksa pernyataannya ini, segera dia bertepuk tangan, serunya, "Ya, memang harus demikian, menghadapi iblis jahat ini tak perlu kita mematuhi aturan Kangouw segala, daripada kita berkorban, biarlah kita turun tangan bersama saja." Waktu Li Tiang-ceng memandang ke sana, dalam beberapa kejap percakapannya dengan Kim Put-hoan ini, dilihatnya keadaan Leng Toa semakin payah, jelas dia tidak kuat bertahan lebih lama, sebaliknya sorot mata Kim Bu-bong makin mencorong. "Bagaimana...." Kim Put-hoan mendesak.

Li Tiang-ceng mengertak gigi, katanya dengan suara tertahan, "Baiklah."  Belum habis dia bicara Kim Put-hoan menyeringai, katanya, "Kalau begitu, Kim Bu-bong harus menyerahkan jiwanya." Di tengah gelak tertawanya, beberapa bintik sinar dingin

melesat ke sana langsung menyerang dada Kim Bu-bong, serangan cepat lagi ganas, jelas dia sudah siapkan senjata rahasianya sejak tadi. Kim Bu-bong sedang tumplak seluruh perhatiannya, sedikit pun tidak boleh lena, kini mendadak diserang, dia dapat berkelit, jelas dia pasti celaka. Cu Jit-jit menjerit, mau menolong pun terlambat. Di luar dugaan Kim Bu-bong ternyata mampu menghindar, sekali berjumpalitan, belasan bintik kemilau itu meluncur lewat di bawah kakinya. Di tengah udara Kim Bu-bong berputar dan turun di samping Cu Jit-jit, ia membentak bengis, "Kim Put-hoan, sudah kuduga kau akan membokong diriku, maka sejak tadi memang sudah kuperhatikan gerak-gerikmu. Hm, kau ingin mencelakai aku, belajarlah sepuluh tahun lagi." Sudah tentu hadirin kaget mendengar pertanyaannya. Kim Put-hoan membentak gusar, "Ayo maju semua, ganyang saja kedua orang ini!" Meski suaranya lantang, namun dia tidak berani turun tangan lebih dulu. Thian-hoat Taysu melirik ke arah Li Tiang-ceng, terlihat Li Tiang-ceng mengangguk, tanpa bicara lagi dari kiri-kanan lantas menubruk maju, dalam sekejap mereka sudah menyerang tiga jurus. Begitu Kim Put-hoan turun tangan, Leng Toa malah mundur beberapa langkah, hanya Lian Thian-hun masih berdiri di tempatnya sambil menunduk seperti sedang memikirkan sesuatu. Sambil menarik Cu Jit-jit, Kim Bu-bong menangkis ke kiri dan menghindar ke kanan, beruntun dia layani tiga jurus serangan lawan, mendadak dia menjengek, "Li Tiang-ceng, coba kau lihat keadaan Lian Thian-hun." Kim Put-hoan membentak, "Jangan tertipu!"

Sebetulnya Li Tiang-ceng juga berpikir demikian, namun perhatiannya teramat besar atas keselamatan saudara angkatnya ini, akhirnya dia tak tahan dan menoleh. Seketika dia kaget dan berubah air mukanya. Ternyata Lian Thian-hun sedang menunduk dengan memejamkan mata, wajahnya pucat pasi, mulut mengeluarkan buih, kelihatan amat mengerikan. Kaget dan gusar Li Tiang-ceng, bentaknya, "Kau... kau apakah dia?" Kaki tangan Kim Bu-bong tidak berhenti, berbareng juga menjengek, "Waktu bergebrak denganku tadi dia sudah terkena obat biusku yang beracun, tanpa obat penawar perguruanku, dalam dua jam racun akan bekerja dan jiwa pun melayang."

"Bangsat, apa... apa kehendakmu?" bentak Li Tiang-ceng khawatir. "Dengan jiwanya kuminta ganti jiwa orang lain," seru Kim Bu-bong. Kim Put-hoan memaki, "Kau kira kami akan melepaskan kau? Hehe, jangan mimpi!" Kembali dia serang tiga kali dengan lebih keji, sungguh dia ingin sekali hantam mampuskan Kim Bu-bong. Sambil tertawa ejek Kim Bu-bong menghindarkan serangan lawan, jengeknya, "Hm, kau mimpi?!"

"Dalam sekejap kami dapat membekuk dirimu, memangnya takkan kau serahkan obat penawarnya?" kata Kim Put-hoan. "Ya, memang demikian," seru Li Tiang-ceng, kembali dia terjun ke arena, serangannya tambah gencar dan ganas, dalam keadaan begini, demi menolong jiwa Lian Thian-hun, terpaksa Leng Toa ikut mengeroyok. Diam-diam Cu Jit-jit cemas, pikirnya, "Dengan demikian bisa celaka dia." Siapa tahu mendadak Kim Bu-bong bergelak tertawa latah malah. "Kau tertawa apa? Masih bisa kau tertawa?" damprat Kim Put-hoan. "Coba kau lihat apakah ini?" seru Kim Bu-bong, mendadak tangan terayun, selarik bintik hitam menyambar dari tangannya. Orang banyak menyangka dia balas menyerang dengan am-gi atau senjata rahasia, ternyata delapan bintik hitam itu bukan menyerang lawan, tapi sebaliknya menyerang dirinya sendiri. Tertampak dia membuka mulut dan menyedot, sekaligus delapan bintik hitam itu tersedot ke dalam mulutnya. Sudah tentu semua orang terbelalak heran, beramai mereka tanya, "Apakah itu?"

"Inilah obat penawarnya," sahut Kim Bu-bong, agaknya dia belum telan bintik hitam itu ke dalam perut melainkan hanya

dikumur di mulut saja, maka suara bicaranya tidak begitu jelas, tapi semua orang tahu dan maklum akan maksudnya. "Obat penawar," terkesiap Li Tiang-ceng. "Hendak... hendak kau telan?"

"Kalau kalian menyerang lagi, obat penawar akan segera kutelan, obat penawar ini tinggal beberapa biji saja di dunia ini, jika kutelan seluruhnya.... Hehehe, umpama dewa juga jangan harap akan dapat menyelamatkan jiwa Lian Thian-hun." Belum habis dia bicara, Li Tiang-ceng dan Leng Toa serentak mengendurkan serangan, lalu berhenti dan mundur. Thian-hoat Taysu ikut berhenti, jika Kim Put-hoan tidak berhenti, seorang diri mana dia mampu melawan Kim Bu-bong. Dengan mata jelalatan Kim Put-hoan berkata, "Kim Bu-bong, terus terang kuberi tahu kepadamu, bila ingin kau tuntut kami membebaskan dirimu, lalu akan kau serahkan obat penawarnya, jangan harap kami akan menerima tuntutanmu. Tapi kalau kau tinggalkan obat penawarnya baru kami akan membebaskanmu, namun belum tentu kau mau, betul tidak? Lalu apa maksudmu sebenarnya? Lekas katakan saja!" Kim Bu-bong masih pegang lengan Cu Jit-jit, katanya dengan tertawa dingin, "Mau datang boleh datang, ingin pergi pun tiada yang dapat menahanku, kenapa perlu kau lepaskanku pergi segala?" Ucapan Kim Bu-bong ini kembali di luar dugaan. "Lalu kehendakmu?" tanya Kim Put-hoan. "Kalian harus membebaskan dia," kata Kim Bu-bong. "Dia?... nona ini?" Li Tiang-ceng menegas. "Ya, bebaskan Nona Cu ini," kata Kim Bu-bong. "Dia tidak ada sangkut pautnya dengan urusan ini, asalkan bebaskan dia, sesudah dia pergi jauh, segera kuberikan obat penawar." Diam-diam Li Tiang-ceng menghela napas lega, namun dimulut ia berkata, "Tapi... tapi cara bagaimana dapat kupercayaimu?"

"Percaya atau tidak terserah padamu," jengek Kim Bu-bong. Li Tiang-ceng termenung sejenak, katanya kemudian, "Baiklah."

Ia pandang Thian-hoat Taysu, padri itu mengangguk perlahan. Sebaliknya Kim Put-hoan merasa penasaran, namun dilihatnya

Leng Toa dan Li Tiang-ceng sama melotot padanya, biarpun ia menyatakan tidak setuju juga tidak ada gunanya. Terpaksa ia pun mengangguk, bahkan tertawa dan berseru, "Aha, kiranya permintaanmu hanya pembebasan Nona Cu, haha, bagus sekali. Padahal tanpa kau minta juga takkan kami ganggu dia." Kim Bu-bong mendengus dan melepaskan pegangannya, katanya kepada Cu Jit-jit, "Lekas kau pergi saja." Merah basah mata Jit-jit, ucapnya dengan menunduk, "Jadi benar kau suruh kupergi?"

"Jika tidak pergi, engkau berbalik akan menambah bebanku," kata Kim Bu-bong dengan dingin, meski sikap dan ucapannya

dingin, tapi dadanya berombak, jelas ia pun dirangsang emosi. Dalam keadaan demikian, bila gadis lain tentu akan menangis

dan banyak tingkah, namun sekali ini Cu Jit-jit justru bertindak kebalikannya, walaupun hati terharu dan berterima kasih, tapi ia tahu tiada gunanya bicara lagi. Segera ia mengentak kaki dan berseru, "Baik, kupergi! Jika engkau hidup tentu akan kutemukan kau lagi, bila engkau mati akan kutuntut balas bagimu." Dengan menahan perasaannya segera ia berlari pergi dengan cepat. Sampai lama sesudah bayangan punggung si nona menghilang di kejauhan Kim Bu-bong masih berdiri termangu

tanpa bergerak. Mendadak Kim Put-hoan mengejek, "Ai, kasihan, nona ini ternyata tidak tahu budi atas kebaikan Kim-lotoa kami, sekali bilang pergi segera pergi tanpa menoleh...."

"Binatang! Cuhh!" semprot Kim Bu-bong, sekaligus delapan bintik hitam menyambar ke sana. Kim Put-hoan sedang mengoceh dengan gembira dan tidak berjaga-jaga, keruan bintik hitam itu semua hinggap di mukanya. Wajahnya memang buruk serupa siluman, ditambah lagi hiasan bintik-bintik hitam ini, keruan tampangnya tambah lucu dan menakutkan, juga memuakkan.

Karena muka sakit pedas, Kim Put-hoan menjadi gusar, selagi tangannya hendak mengusap muka, baru tangan terangkat segera dipegang oleh Leng Toa. "Hm, yang menempel di mukamu itu adalah obat penawar penyelamat jiwa Lian-samya, jika berani sembarangan kau usap, segera kubinasakan kau," jengek Leng Toa. Baru sekarang Kim Put-hoan ingat yang disemburkan Kim Bu-

bong itu adalah obat penawar yang terkulum di mulutnya tadi, terpaksa ia berdiri diam saja dan membiarkan Leng Toa

membersihkan obat penawar itu sebiji demi sebiji. Ludah Kim Bu-bong yang menghiasi muka Kim Put-hoan itu akhirnya kering.

Kim Bu-bong lantas menengadah dan bersuit nyaring, serunya, "Nah, obat penawar sudah kalian dapatkan, bila mau turun tangan, ayolah mulai!" Belum lenyap suaranya, serentak dua sosok bayangan lantas menerjang maju.

*****

Dalam pada itu tanpa menoleh Cu Jit-jit terus berlari ke depan, sampai sekian jauhnya, air mata tak tertahankan lagi

dan bercucuran, semakin dipikir makin berduka, akhirnya ia menangis tergerung-gerung. Entah menangis berapa lama lagi, tiba-tiba diketahui dirinya berada di bawah sebatang pohon kering, entah kapan dia berhenti di situ juga tidak dirasakannya. Hari masih siang, namun cuaca remang-remang seakan-akan petang. Ia mengusap air matanya dan tidak menangis lagi, ia mengingatkan dirinya sendiri, "Jangan menangis lagi, Cu Jit-jit! Kim Bu-bong takkan mati, untuk apa kau tangisi?

Mungkin... mungkin saat ini Kim Bu-bong sudah kabur." Tapi segera ia mengomeli diri sendiri, "Omong kosong, siapa bilang Kim Bu-bong tak bisa mati? Siapa bilang Kim Bu-bong akan kabur? Keempat orang itu pasti bukan tandingannya jika satu lawan satu, tapi... tapi satu lawan empat, betapa pun sulit.... Namun dia dapat lari.... Ah, juga tidak betul, dia

terkepung empat orang, umpama mau lari juga sukar...." Begitulah sebentar dia menggerundel, sebentar mengomel, lain saat menghibur lagi diri sendiri, akhirnya ia berbangkit, ia mengertak gigi, setelah membedakan arah, segera ia berangkat ke depan. Sembari berjalan ia bergumam pula, "Kepergianku ini bukan untuk mencari Sim Long, dia bersikap kasar padaku, mati pun aku tidak mau mencari dia, aku akan cari Thio Sam atau Li Si dan orang lain, siapa pun dapat kumintai bantuan untuk

menolong Kim Bu-bong." Padahal ia tahu apa yang dikatakannya itu tidak dapat dipercaya, namun dia tetap omong begitu. Kebanyakan anak perempuan di dunia ini memang ada satu kelebihan daripada kaum lelaki, yaitu suka dusta pada dirinya sendiri. Begitulah sembari berjalan sambil berpikir, tanpa terasa Jit-jit sampai lagi di kota kecil tempat mereka makan pagi itu, rumah makan kecil itu kelihatan di depan. Entah mengapa, tanpa terasa ia masuk lagi ke rumah makan itu. Dia memang lelah, pikiran kusut, ia perlu mencari suatu tempat istirahat untuk menenangkan pikiran. Pelayan masih mengenali si nona, cepat ia mendekat dan menyapa, "Nona ingin makan apa, tuan tadi tidak ikut datang lagi? Apakah segera menyusul? Biarkan hamba menyiapkan dua pasang sumpit, boleh?" Mendadak Jit-jit menggebrak meja dan membentak, "Jangan cerewet!" Keruan pelayan itu berjingkat kaget dan melongo. "Sediakan Ang-sio-hi-sit dan pauhi, ham masak madu, tim tapak beruang dan...."

"Wah, mana... mana ada santapan kelas tinggi itu di tempat kecil ini?" ucap si pelayan dengan kelabakan. "Habis apa yang tersedia di sini?" teriak Jit-jit. "Paling-paling cuma nasi dan mi saja, kalau mi ada beberapa macam, pangsit mi, ti-te-mi, mi babat, loh-mi, dan...."

"Baikan, bawakan satu porsi pangsit mi," kata Jit-jit, ditambahkan pula, "Cepat!" Pelayan mengiakan, diam-diam ia menggerutu, minta ini dan itu, akhirnya pangsit mi juga mau. Dengan cepat juga pangsit mi lantas diantarkan. Namun pangsit mi yang mengepul panas ini akhirnya menjadi dingin dan tetap tidak disentuh oleh sumpit Cu Jit-jit. Maklum, kalau

pikiran lagi kusut, biarpun disediakan hidangan yang paling enak juga sukar ditelannya. Pada saat itulah mendadak ada orang berteriak-teriak di luar, "Tolong.... Tolong...." Segera seorang berlari masuk dengan wajah berlumuran darah, dari dandanan dan perawakannya jelas bukan sebangsa orang Kangouw. Jit-jit hanya memandangnya sekejap saja dan malas untuk

melihatnya lagi. Tapi pelayan dan tetamu lain sama terkejut dan beramai-ramai mengerumuni orang itu sambil bertanya, "He, terjadi apa, Juragan Ong?"

"Siapa yang menganiaya Juragan Ong kita, biar kuadu jiwa dengan dia!" teriak lagi seorang. Kiranya yang mengalami pukulan ini adalah pemilik rumah makan ini. "Tadi aku mengobrol iseng bersama Li gemuk di tempat penjualan daging babi sana," demikian tutur Juragan Ong, "kukatakan menjelang tengah hari tadi tempat kita ini kedatangan dua tetamu aneh, yang perempuan cantik molek, yang lelaki buruk rupa dan lebih mirip setan, kubilang pasangan itu seperti setangkai bunga menghiasi seonggok kotoran kerbau. Li gemuk tertawa, aku juga tertawa, siapa tahu pada saat itu juga mendadak menerjang tiba seorang lelaki liar dan menghajar diriku, aku...." Belum habis penuturannya, tiba-tiba dilihatnya nona cantik yang dibicarakannya itu sudah berdiri di depannya dengan wajah bersungut. Keruan Juragan Ong jadi melongo dan tidak dapat bicara lagi. Jit-jit lantas mendekati mereka, sekali tangannya menyiah, beberapa orang lantas tertolak sempoyongan ke kanan dan ke kiri, semuanya terkejut dan melongo. "Ayo, teruskan!" kata Jit-jit sambil memandang Juragan Ong dengan dingin. "Ya, aku... aku akan berce... bercerita lagi...." Juragan Ong gelagapan. "Tadi kau bilang siapa mirip setan?" segera Jit-jit menjambret leher baju orang. Dengan keringat memenuhi dahinya Juragan Ong menjawab, "O, ku... kubilang diriku sendiri...."

"Bagaimana bentuk orang yang menghajar dirimu tadi?" tanya Jit-jit pula. "Alis tebal, mata besar dan...." Belum habis penuturan Juragan Ong, sekali tolak Jit-jit membuat orang terlempar ke atas meja sana, lalu dia melayang pergi, tertampak di kedua tepi jalan berkerumun orang yang ingin melihat keramaian. Dilihatnya di kejauhan sana sedang berjalan seorang lelaki dengan sebelah tangan membawa buli-buli arak. Kejut dan girang Jit-jit, teriaknya, "Hai, Him Miau-ji... Si

Kucing!...." Cepat orang itu berpaling, tertampak jelas alisnya yang tebal dengan matanya yang besar, dada bajunya terbuka, siapa lagi dia kalau bukan Si Kucing. Si Kucing juga terkejut dan bergirang dapat bertemu dengan Cu Jit-jit, dengan langkah lebar ia menyongsong kedatangan nona itu, kedua orang saling mencengkeram bahu masing-masing serupa dua orang yang sudah berpisah selama berpuluh tahun. Mereka tidak menghiraukan orang berlalu-lalang. Air mata Jit-jit hampir saja bercucuran pula, bertemu dengan Him Miau-ji di sini, sungguh serupa bertemu dengan seorang yang paling berdekatan dengan dia. Ia pegang bahu Si Kucing dengan erat dan berkata padanya dengan suara rada gemetar, "Sungguh baik sekali... baik sekali dapat bertemu denganmu di sini."

"Ya, bagus sekali kita dapat bertemu di sini," Si Kucing juga memegang pundak si nona dengan tertawa. "Tapi... tapi mengapa kau datang ke sini?" tanya Jit-jit. "Men... mencari dirimu," jawab Si Kucing. "Dan kau?"

"Aku pun datang ke sini mencarimu," jawab nona. Dan kedua orang lantas tertawa bersama, "Ayo, harus kita rayakan dengan minum arak!" Tertawa mereka sangat gembira, sambil berpegangan tangan mereka masuk lagi ke rumah makan tadi. Karena gembiranya, kedua orang sudah melupakan adat istiadat yang membatasi pergaulan antara lelaki dan perempuan. Sebaliknya orang lain sama menganggap seperti bertemu dengan malaikat elmaut, semua orang sama menyingkir jauh, Juragan Ong itu juga entah lari ke mana. Si Kucing dan Jit-jit juga tidak ambil pusing, mereka duduk di rumah makan itu, tidak ada yang melayani mereka, segera mereka minum arak yang dibawa Si Kucing. "Tak tersangka engkau masih memikirkan diriku dan mau

datang ke sini mencariku," ujar Jit-jit dengan tertawa. "Kupikirkan dirimu?.... Oya, hampir gila saking cemasku, kucari sepanjang jalan dan tidak tahu apakah dapat menemukan dirimu atau tidak?"

"Aku pun gelisah dan entah dapat menemukan dirimu atau tidak, kudengar ada orang dihajar di sini, dari keterangannya segera dapat kuduga yang menghajarnya pasti kau."

"Hahaha! Kudengar keparat itu bicara tidak sopan, dapat kuterka yang dibicarakannya pastilah dirimu, aku tidak tahan,

biarpun setan alas juga akan kuberi hajaran setimpal." Dan keduanya lantas bergelak tertawa pula, akhirnya suara tertawa mereka mulai mereda. Jit-jit tidak tahan, ucapnya, "Entah Si...." ia mengertak gigi, kata "Sim Long" ditelannya kembali mentah-mentah. Tapi Him Miau-ji sudah dapat menduga apa yang ingin diucapkan si nona, tanyanya, "Kau ingin tanya Sim Long

bukan?"

"Siapa tanya dia? Setan yang tanya dia," jawab Jit-jit. Si Kucing menghela napas, katanya, "Tidak lama kau pergi, Sim Long juga pergi. Kutahu dia hendak mencari dirimu, siapa tahu meski sudah kutunggu sampai sekian lama belum juga

kelihatan bayangannya."

"Orang busuk begitu, untuk apa kau tunggu dia," ujar Jit-jit dengan gemas. "Aku tidak menunggu dia, tapi menunggumu," kata Si Kucing.

"Betul?!" Jit-jit menegas sambil berkedip-kedip. "Tentu saja betul," jawab Si Kucing. "Gelisah kutunggu kedatanganmu, sedangkan Ong Ling-hoa tiada hentinya bertanya padaku tentang kungfu Sim Long, perguruan, dan asal usulnya, dia tanya juga cara bagaimana kukenal Sim Long."

"Sebal kau kenal dia," gerutu Jit-jit. "Meski Ong Ling-hoa bertanya macam-macam, tapi aku malas menggubrisnya, dia tetap berada di situ, tidak enak bagiku untuk meninggalkan dia, untung pada saat itulah datang bintang penolong...."

"O, apakah Sim... siapa dia?" Si Kucing tampak menyesal dan berkata pula, "Pendatang itu bukan Sim Long."

"Aku kan tidak tanya apakah dia, setan yang mau tanya dia."

"Kau tanya dia juga pantas," ujar Si Kucing dengan tertawa, "Buat apa...."

"Ssst," perlahan Jit-jit memberi tanda, "selanjutnya takkan kusinggung dia lagi. Sungguh! Percayalah padaku, seterusnya

aku cuma memerhatikan orang yang baik padaku." Si Kucing memegang tangan Jit-jit dan memandangnya dengan terkesima, sampai lama belum lagi bicara. Jit-jit mengikik, katanya, "Hei, siapa pendatang itu, lekas ceritakan." Si Kucing menenangkan pikiran, lalu bertutur, "Orang itu bermuka buruk, dari caranya berjalan kelihatan tidak lemah ginkangnya, tapi dia justru berdandan sebagai seorang saudagar."

"Kau kenal dia?" tanya Jit-jit. "Sama sekali tidak kukenal dia," Si Kucing menggeleng. "Begitu datang, dia lantas kasak-kusuk membisiki Ong Ling-hoa, seketika air muka Ong Ling-hoa berubah dan buru-buru mohon diri padaku, lalu pergi bersama orang itu dengan tergesa-gesa dan rada gugup juga."

"Apa yang dibicarakan orang itu, apakah kau dengar?" tanya Jit-jit. "Seorang lelaki sejati mana dapat kucuri dengar pembicaraan orang lain," ujar Si Kucing. Tiba-tiba ia tertawa dan menyambung pula, "Padahal aku memang ingin mendengarkan, cuma sayang tidak sepatah kata pun terdengar." Jit-jit tertawa, "Ai, di sinilah letak cirimu yang menarik, engkau tidak munafik...." mendadak ia berkerut kening dan termenung sejenak, lalu menyambung, "kelakuan Ong Ling-hoa selalu misterius, apa yang diucapkannya juga selalu sukar dipercaya."

"Orang itu memang misterius," ujar Si Kucing. "Dahulu tidak begitu kurasakan, tapi setelah lebih sering berhubungan

dengan dia, semakin kurasakan tindak tanduknya yang sukar diduga."

"Setiap orang yang suka main kasak-kusuk selalu begitu, bukankah Sim... Sim Long juga begitu?" mendadak muka Jit-jit

menjadi merah, ia menunduk dan menambahkan, "Aku tidak lagi memikirkan dia, aku cuma menggunakan dia sebagai perumpamaan saja."

"Ya, aku... aku setuju," kata Si Kucing. "Hubungan kalian dengan Sim Long belum lama dan tidak terasakan apa-apa," ujar Jit-jit. "Bagiku, kemisteriusan tindak tanduknya kurasakan lebih aneh daripada Ong Ling-hoa." Si Kucing berpikir sejenak, katanya kemudian dengan gegetun, "Ya, memang betul juga. Tindak tanduknya sungguh sukar diraba, misalnya sekali ini dia mengadu kecerdasan dengan Ong Ling-hoa.... Ai, kedua orang memang mempunyai caranya sendiri, kini kedua orang kelihatannya bersatu padu, kutahu banyak rahasia yang disembunyikan oleh mereka."

"Siapa bilang tidak," tukas Jit-jit. "Semula kusangka Sim Long telah sama sekali memercayai Ong Ling-hoa, siapa tahu

sikapnya itu cuma sengaja diperlihatkan kepada orang lain saja."

"Jika begitu, bukankah selain Ong Ling-hoa, kita juga dikelabui olehnya," ujar Si Kucing. "Sungguh aku tidak mengerti,

sesungguhnya siapa dia, apa pula maksud tujuan perbuatannya itu?"

"Bukan cuma kau saja yang tidak mengerti, aku pun tidak paham," ujar Jit-jit. "Segala sesuatu mengenai orang ini

seolah-olah tertutup seluruhnya di dalam sebuah rumah, pintu rumah ini tidak dibukanya untuk siapa pun."

"Apakah kau tahu apa sebabnya?" tanya Si Kucing. "Setan yang tahu," jawab Jit-jit. Ia berkedip-kedip, lalu menyambung lagi, "Sungguh aku tidak paham, mengapa di dunia ada manusia seperti dia, seperti tidak percaya kepada siapa pun. Alangkah baiknya bila manusia di dunia ini suka terus terang dan terbuka seperti engkau dan aku."

"Tapi jika serupa engkau dan aku, dunia mungkin juga akan selalu kacau," ujar Si Kucing dengan tertawa. Mendadak ia berhenti tertawa dan berucap dengan murung, "Suka berterus terang adalah sifat terpuji, tapi ada sementara orang menanggung susah di dalam hati, pada bahunya terdapat beban yang berat, cara bagaimana akan kau suruh dia bicara terus terang?" Jit-jit termenung-menung, katanya kemudian, "Engkau sangat baik, masih bicara baginya...." Mendadak ia merasa orang yang berduduk di depannya, lelaki yang berbau liar, ternyata jauh lebih menyenangkan daripada lelaki mana pun.

Walaupun beberapa saat sebelum ini dia merasa sikap dingin Kim Bu-bong, keteguhan dan ketenangannya, sifat pendiam dan suka memahami perasaan orang itu adalah watak yang disukainya. Tapi sekarang dirasakan pula watak Him Miau-ji yang suka terus terang, simpatik, agak liar dan sukar ditundukkan inilah adalah sifat khas kaum lelaki. Dia termangu dan berpikir pula, "Jika ada seorang lagi yang dapat menggantikan kedudukan Sim Long dalam hatiku, maka orang itu ialah Si Kucing ini. Jika dia sedemikian mencintaiku, untuk apa kupikirkan lagi Sim Long?" Waktu ia menengadah, dilihatnya Si Kucing juga sedang melamun, entah apa yang dipikirnya. Alisnya yang tebal tampak agak terkejut sehingga menambah murung wajahnya yang cerah itu, serupa anak liar yang lelah bermain telah diseret pulang oleh sang ibu. Tiba-tiba timbul semacam perasaan kasih lembut seorang ibu, rasa hangat meliputi sekujur badannya, perlahan ia tanya, "Apa yang kau pikirkan?"

"Memikirkan dirimu," jawab Si Kucing. Jit-jit tertawa manis, perlahan ia membelai rambut Si Kucing dan tangan yang lain memegang telapak tangannya, ucapnya dengan lembut, "Aku berada di sampingmu, untuk apa kau pikirkan diriku?"

"Kupikir, apa yang kau lakukan seharian ini? Apakah kesepian?" lalu dia pandang Jit-jit lekat-lekat, si nona juga menatapnya. "Aku... aku tidak kesepian, kan ada seorang menemaniku...." belum lanjut ucapannya, mendadak Jit-jit melonjak bangun dan berseru, "Wah, celaka!" Dalam keadaan mesra begitu mendadak dia melonjak, tentu saja Si Kucing terkejut, heran dan juga rada kecewa. "Ada apa?" tanyanya. Sehari suntuk Kim Bu-bong terus mendampingiku," tutur Jit-jit. "Tapi sekarang dia terkepung oleh Kim Put-hoan dan begundalnya, kita harus lekas pergi menolongnya." Namun Si Kucing tetap berduduk tanpa bergerak. "Hei, kau dengar tidak? Lekaslah berangkat!" omel si nona. "Ah, kiranya dia selalu mendampingimu, pantas kau pikirkan dia meski berada bersamaku. Baiklah, anggap aku salah taksir," kecut suara Si Kucing, bernada cemburu.

Padahal gadis manakah di dunia ini yang tidak suka lelaki cemburu baginya? Seketika omelan Jit-jit berubah menjadi tersenyum lembut, ia membelai lagi rambut Si Kucing dan berucap, "Ai, anak bodoh, justru lantaran kelewat gembira bertemu denganmu, makanya kulupakan urusan lain. Tapi... tapi dia sedang menghadapi kesulitan, adalah pantas kalau kita menolongnya."

"Betul kau gembira melihatku?" tanya Si Kucing. "Betul, tentu saja betul," sahut Jit-jit. Mendadak Si Kucing melompat bangun sambil berseru, "Ayo, berangkat!" Segera ia tertarik Jit-jit dan diajak lari keluar. Jit-jit menggeleng kepala dan tertawa, "Sungguh seperti anak kecil...." Begitulah dengan bergandengan tangan keduanya terus berlari cepat ke depan menurut petunjuk Jit-jit. Dataran bersalju itu jarang dijelajahi manusia, bekas tapak kaki Cu Jit-jit dan Kim Bu-bong tadi masih tertinggal di atas tanah bersalju. Bekas kaki Kim Bu-bong lebih cetek, sedangkan bekas kaki Cu Jit-jit lebih dalam. Setiba di tempat sepi mendadak bertambah lagi bekas kaki ketiga, itulah bekas kaki Kim Put-hoan yang mengintil di

belakang mereka waktu itu. Setelah sekian lama berlari mengikuti arah bekas kaki itu, mendadak Si Kucing berhenti dan berkata, "Ah, tidak betul."

"Apa yang tidak betul?" tanya Jit-jit. "Bekas kaki ini jelas cuma berputar-putar di sini, mungkin kalian...."

"Betul, sebab...." dengan ringkas Jit-jit lantas menceritakan pengalamannya tadi. Tentu saja Him Miau-ji terheran-heran,

sembari bicara mereka terus maju ke depan. Tiba-tiba tertampak bekas kaki di atas tanah salju itu kacau-balau. "Nah, di sinilah," kata Jit-jit. "Di sini kalian dicegat!" tanya Si Kucing. "Betul, tapi... tapi sekarang mereka sudah pergi, jangan-jangan Kim Bu-bong telah... telah tertawan oleh mereka...." Mendadak Si Kucing berseru kaget, "Hei, lihat itu!"

Waktu Jit-jit memandang ke sana, seketika air mukanya berubah, dilihatnya di atas tanah salju dengan bekas kaki yang semrawut itu terdapat pula darah segar. Darah sudah meresap ke dalam salju dan buyar sehingga warnanya sudah hambar, ditambah lagi sudah terinjak-injak, kalau tidak diperiksa dengan teliti memang sulit ketahuan. Cepat mereka memburu ke sana, Si Kucing mencomot segumpal salju berdarah dan diciumnya, seketika alisnya yang tebal bekernyit, ucapnya dengan suara berat, "Betul, memang darah."

"Jika... jika demikian, jangan-jangan dia mengalami sesuatu...." suara Jit-jit rada gembira. Si Kucing tidak bicara lagi, ia berjongkok memeriksa bekas kaki di tanah. Cara memeriksanya sangat cermat dan teliti, Jit-jit tidak berani mengganggunya, selang sekian lama, ia tidak tahan dan coba bertanya, "Hai, adakah sesuatu yang kau temukan?"

"Bekas kaki ini sekilas pandang seperti sama, tapi bila diperiksa dengan cermat, terlihat banyak perbedaan diantaranya," kata Si Kucing. Meski merasa khawatir dan sedih, timbul juga rasa ingin tahu Cu Jit-jit, ia pun berjongkok dan coba memeriksanya, tapi sampai sekian lama ia pandang tetap tidak menemukan sesuatu yang aneh. Semakin tidak menemukan apa-apa, semakin tertarik dia dan ingin tahu sesungguhnya ada apa, karena tetap tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, akhirnya ia bertanya, "Tampaknya tidak ada perbedaan apa-apa, apakah betul kau temukan sesuatu yang aneh?"

"Masa tidak kau lihat?" ucap Si Kucing. "Seperti... seperti...." betapa pun Jit-jit tidak mau mengaku bodoh, ia berharap Si Kucing akan menjelaskan. Siapa tahu Si Kucing hanya memandangnya dengan tersenyum tanpa bersuara. Terpaksa Jit-jit berdiri dan mengentak kaki, "Ya, aku mengaku kalah, aku tidak menemukan sesuatu."

"Hendaknya kau periksa lebih teliti, soalnya belum kau kuasai cara memeriksa sesuatu benda...."

"Ya, ya, kau pintar, kau hebat, lekas katakan saja," si nona ngambek. Si Kucing lantas menunjuk sebuah bekas kaki, katanya, "Coba lihat, bekas kaki ini paling besar, dapat dibayangkan perawakan orang ini pasti sangat tegap, dan di antara beberapa orang itu yang berperawakan paling tegap ialah...."

"Betul, inilah bekas kaki Lian Thian-hun," tukas Jit-jit. Lalu Si Kucing menunjuk bekas kaki yang lain, "Bentuk bekas kaki ini tidak sama dengan yang lain, sebab sepatu yang dipakai orang ini adalah sepatu anyaman rami dengan daun telinga banyak, biasanya orang yang bersepatu jenis ini adalah

kaum hwesio...."

"Betul, itulah Thian-hoat Taysu," seru Jit-jit pula. Segera ia juga menuding salah sebuah bekas kaki dan berucap, "Ini bekas sepatu rumput, pada musim dingin pakai sepatu begini, hanya kaum pengemis saja.... Aha, Kim Put-hoan, inilah bekas kakimu." Dengan gemas ia lantas menginjak-injak bekas kaki itu. Si Kucing tertawa, "Diberi tahu satu lantas paham tiga, selain menarik, kau pun sangat pintar."

"Tapi masih ada bekas kaki yang lain yang tidak kuketahui," ujar Jit-jit.

"Ketiga bekas kaki yang lain ini tampaknya tiada sesuatu yang istimewa dan memang sukar dibedakan, tapi... coba kau lihat

ini, tentu dapat kau bedakan lagi." Yang ditunjuk adalah dua buah bekas kaki yang lebih dalam dan jelas, dua pasang bekas kaki berjarak agak jauh, lekukan yang cukup dalam itu seperti diukir dengan pisau. Jit-jit berkeplok dan berseru, "Aha, betul, inilah bekas kaki Kim Bu-bong dan Leng Toa waktu keduanya bertanding. Waktu itu mereka berdiri saling melotot tanpa bergerak, kelihatan tegang dan mengerahkan tenaga, dengan sendirinya bekas kaki mereka sangat dalam."

"Dan Leng Toa kalah, jelas bekas kaki yang paling dalam ini adalah bekas kakinya."

"Betul, betul," seru Jit-jit. Padahal ia tahu biarpun dapat mengenali bekas kaki setiap orang juga tidak ada gunanya, tapi dapat memahami sesuatu, betapa pun ia merasa girang. Dia suka bilang orang lain seperti anak kecil padahal ia sendiri yang benar-benar serupa anak kecil. "Ada lagi satu hal," tutur Si Kucing pula, "sepanjang tahun Leng Toa tidak keluar rumah, sebab itulah bekas kakinya terdapat garis sol sepatunya, sebaliknya selama ini Kim Bu-bong berkelana kian-kemari, sol sepatunya tentu sudah halus." Gembira dan kagum Jit-jit serunya, "Betul, tepat...."

"Setelah bekas kaki masing-masing sudah dikenali, sisanya jelas adalah bekas kaki Li Tiang-ceng, sebab bekas kakimu terlebih gampang dikenali."

"Ai, kau kucing cilik ini tambah lama tambah cerdas," ujar Jit-jit dengan tertawa dan perlahan mencubit pipi Si Kucing

sekali. Betapa mesranya ucapan "Si Kucing cilik", dan betapa membuat sukma Si Kucing hampir terbang ke awang-awang karena cubitan si nona. Ia tertawa senang dan berkata pula, "Padahal caraku meneliti sesuatu benda kubelajar dari Sim Long, dia...." Mendadak Jit-jit melengos dan berseru, "Kembali kau singgung dia? Untuk apa kau sebut dia? Bila mendengar namanya kepalaku lantas sakit." Yang benar bukan kepalanya yang sakit, tapi hatinya. Ia merasa sudah melupakan Sim Long, bilamana mendengar namanya, hatinya lantas seperti ditusuk jarum. Melihat si nona menjadi uring-uringan, Si Kucing jadi

melenggong, katanya kemudian, "Baiklah, jika engkau tidak suka mendengar namanya, selanjutnya takkan... takkan kusebut lagi."

"Bagus, lalu bagaimana setelah bekas kaki ini semua dapat dibedakan?" tanya Jit-jit. Si Kucing menunjuk bekas kaki Kim Bu-bong dan berkata, "Coba kau lihat, bekas kaki ini terhitung paling cetek di antara bekas kaki yang lain, ini menandakan ginkang Kim Bu-bong paling tinggi di antara beberapa orang ini. Tapi akhirnya, lantaran kehabisan tenaga, jelas dia telah bertempur mati-matian."

"Lalu apa lagi?" tanya Jit-jit. "Di antara bekas kaki yang memperlihatkan waktu mereka berangkat ini ternyata tidak terdapat bekas kaki Kim Bu-bong...."

"Hah, jangan-jangan dia tertawan dan digotong pergi," seru Jit-jit. "Bisa jadi," ujar Si Kucing dengan sedih. Jit-jit menjadi gelisah, "Wah, lantas bagaimana baiknya? Bilamana dia tertawan oleh musuh, sungguh celaka dia." Si Kucing termenung sejenak, katanya kemudian, "Dari bekas tapak kaki waktu pergi ini tertampak lebih dalam daripada waktu datangnya, jelas tenaga mereka juga habis terkuras, lebih-lebih Lian Thian-hun dan Leng Toa...."

"Tapi biasanya Kim Put-hoan yang licik itu tidak mau membuang tenaga dan bergebrak dengan orang, mengapa bekas telapak kakinya juga sedalam ini?" ujar Jit-jit. "Kukira dia yang memanggul pergi Kim Bu-bong, bobot dua orang tentu akan meninggalkan bekas kaki yang dalam," kata Si Kucing. Seketika Jit-jit berjingkrak dan menginjak-injak bekas kaki Kim

Put-hoan sambil mencaci maki, "Bangsat, binatang! Apabila kalian berani... berani menyiksa dia, pada suatu hari kelak

pasti akan kucincang kalian." Him Miau-ji memandangnya dengan berduka, entah berduka bagi si nona atau bagi dirinya sendiri. Maklum, bila melihat orang yang dicintainya cemas bagi pemuda lain, betapa perasaannya sukarlah dilukiskan.

Mendadak Jit-jit menarik tangan Si Kucing dan berkata dengan gemetar, "Kumohon dengan sangat sudilah kau bantuku

menolong dia." Si Kucing menunduk, "Aku... aku...."

"Satu-satunya sanak keluargaku di dunia ini hanya engkau, masakah engkau sampai hati...." Mendadak Si Kucing mengentak kaki dan berteriak, "Baik, berangkat!"

*****

Padahal Si Kucing cukup tahu biarpun dirinya mampu menyusul mereka, untuk merampas Kim Bu-bong dari tangan Thian-hoat Taysu, Li Tiang-ceng dan lain-lain itu jelas sangat sukar. Namun lelaki manakah di dunia yang mampu menolak permohonan gadis yang dicintainya dengan menangis, apalagi Him Miau-ji adalah pemuda yang simpatik. Maka ia tidak mau omong lagi, terpaksa harus mengadu jiwa bilamana perlu. Begitulah mereka terus mengejar mengikuti jejak yang terlihat di atas salju. Karena perasaan tertekan, sepanjang jalan sama tidak bicara. Tapi ketika tangan Jit-jit menyentuh tangan Si Kucing, tangan kedua orang lantas saling genggam lagi dengan erat. Dari jejak yang mereka ikuti itu arahnya ternyata bukan menuju ke Lokyang melainkan sampai di kaki sebuah gunung, sebenarnya tidak tinggi gunung ini, tapi dipandang dari bawah rasanya tetap sangat tinggi. Berdiri di kaki gunung, Si Kucing seperti termangu-mangu pula. "Ayolah naik ke atas, untuk apa melamun?" kata Jit-jit. Meski maksudnya mengomel, namun nadanya tatap mesra dan lembut. Mustahil dia tidak tahu betapa perasaan Si Kucing kepadanya. "Aku lagi heran," demikian tutur Si Kucing dengan perlahan, "sesudah mereka menawan Kim  Bu-bong untuk diperiksa dan ditanyai, seharusnya mereka pulang ke Jin-gi-ceng, tapi mengapa mereka menuju ke sini?"

"Jangan-jangan mereka hendak... hendak membunuhnya diatas gunung," kata Jit-jit dengan khawatir. "Jika mereka mau membunuhnya, kenapa mesti dibawanya keatas gunung? Di mana pun mereka dapat turun tangan. Kukira di balik persoalan ini pasti ada sesuatu yang tidak beres."

"Betul, di mana pun mereka dapat membunuh Kim Bu-bong dan tidak perlu membawanya ke atas gunung.... Ai, sungguh aku tidak mengerti." Padahal Him Miau-ji sendiri juga bingung. Dan karena kedua orang sama-sama tidak paham, terpaksa mereka mendaki gunung untuk melihat kejadian selanjutnya. Namun jalan pegunungan berliku-liku, di antara batu padas dan tetumbuhan penuh ditimbuni salju. Ada juga tanah yang teraling oleh tebing sehingga tidak teruruk bunga salju, sebab

itulah cara mereka mengikuti jejak menjadi tidak semudah tadi. Begitulah mereka terus mendaki ke atas, sebentar berjalan,

sebentar berhenti, memeriksa sini dan melihat sana. Setiba disuatu tempat datar, di sana ada sebuah gardu kecil. Gardu

yang biasa digunakan istirahat, juga dapat menjadi gardu pemandangan. Namun jejak yang mereka ikuti sampai di sini mendadak putus, lenyap tanpa bekas lagi. Meski mereka coba periksa lagi sekitar situ tetap tidak menemukan bekas kaki apa pun. "Aneh... sungguh aneh," ucap Si Kucing dengan kening bekernyit. "Ya, memang aneh, masakah setiba di sini orang-orang ini bisa terbang ke langit secara mendadak?" tukas Jit-jit. Sejenak kemudian, mendadak ia berkeplok berteriak girang,

"Aha, kiranya demikian!"

"Demikian bagaimana?" tanya Si Kucing. "Keadaan demikian sudah pernah kualami satu kali," tutur Jit-jit. "Yaitu ketika aku bersama Sim... bersama Thi Hoat-ho dan lain-lain menyelidiki makam kuno itu, di sana juga ada sebaris bekas kaki yang menghilang secara mendadak di tengah jalan. Tatkala itu pun mereka menyatakan rasa heran apakah mungkin orang-orang itu mendadak terbang ke langit?"

"Akhirnya bagaimana?" tanya Si Kucing. "Kemudian baru kuketahui, setiba di sana, mereka lantas mundur kembali ke arah semula dengan menginjak bekas tapak kaki sendiri, dengan demikian orang akan sukar menemukan jejak mereka, bahkan akan curiga dan terheran-heran."

"Aha, memang betul akal bagus." seru Si Kucing, segera ia coba menyurut mundur mengikuti tapak kaki yang terlihat, tapi baru dua langkah, segera ia berkerut kening dan berucap pula, "Tapi sekali ini... sekali ini mungkin tidak demikian

halnya."

"Sebab apa? Mengapa sekali ini tidak bisa sama?"

"Urusan makam kuno itu memang tidak terlalu banyak yang kita ketahui, tapi dapat dibayangkan pasti juga perbuatan yang misterius dan mencurigakan, dengan sendirinya harus diatur sedemikian rupa sehingga membuat orang sangsi dan takut. Sebaliknya tokoh-tokoh seperti Thian-hoat Taysu dan lain-lain...."

"Memangnya orang-orang ini pasti orang baik?" ujar Jit-jit dengan tertawa. "Orang-orang ini baik atau busuk tidak perlu kita urus dulu," ujar Si Kucing, "yang jelas mereka adalah tokoh ternama dan dikenal, biarpun main sembunyi tetap takkan terhindar dari tanggung jawab. Apalagi sama sekali mereka tidak tahu bakal dikuntit orang, terlebih lagi, dengan kepandaian mereka, biarpun dikuntit orang juga mereka tidak perlu main sembunyi." Jit-jit termenung sejenak, "Ya, uraianmu juga masuk di akal, tapi jika menurut pendapatmu, lantas apa yang terjadi ini? Memangnya mereka benar-benar bisa terbang ke langit secara mendadak?"

"Hal ini memang... memang sukar dimengerti," kata Si Kucing dengan menyesal. "Jika aku tidak mengerti dan kau pun tidak mengerti, lalu... lalu bagaimana baiknya? Masa harus kita tunggu di sini sampai mereka jatuh kembali dari atas langit?"

"Kukira... kukira kita tetap mendaki ke atas saja untuk melihatnya, bisa jadi...." Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri dari atas gunung. Suara serak seorang berteriak, "Tolong... tolong!...." Jit-jit dan Si Kucing terkejut, kedua orang saling pandang sekejap, serentak mereka bergerak dan melayang ke arah datangnya suara itu secepat terbang. Jeritan minta tolong itu berkumandang dari atas tebing yang curam sana. Setiba di sana suara itu sudah sangat lemah, orang yang berteriak tolong itu sudah kehabisan tenaga, namun tanpa berhenti tetap merintih dan berteriak, "Tol... tolong.... Aku akan terjerumus ke jurang, tolong!" Waktu mereka memandang ke arah suara sana, betul juga terlihat di tepi jurang ada dua tangan memegangi tepian, ruas jarinya sampai berubah menjadi hijau, jelas sudah tidak sanggup bertahan lagi. Jit-jit menghela napas, ucapnya, "Untung jiwa orang ini belum ditakdirkan mati sehingga tidak terjerumus, kebetulan juga kita naik ke sini...." Segera ia berseru, "Jangan khawatir.... Tahan dulu sekuatnya, segera kami akan menolong dirimu!" Selagi dia hendak menerjang ke sana, mendadak Him Miau-ji menarik tangannya dan berkata dengan kening bekernyit, "Nanti dulu, kukira hal ini agak...."

"Jiwa orang sangat penting, menolong orang seperti menolong kebakaran, masa perlu tunggu apa lagi?" ujar Jit-jit dengan

tidak sabar. Dalam pada itu suara rintih minta tolong orang itu bertambah cemas dan semakin lemah. "Kulihat urusan ini rada-rada...."

"Rada-rada apa?" sela Jit-jit. "Apa pun juga orang harus diselamatkan lebih dulu. Jika menunggu lagi, mungkin orang akan terjerumus ke bawah. Jika begitu, bagaimana perasaan hati nuranimu?" Si Kucing mau omong lagi, tapi segera dia didorong oleh Cu Jit-jit. Terpaksa ia mengangguk dan berkata, "Baik, akan kutolong dia, kau tunggu saja di sini." Cepat ia melompat ke tepi tebing dan berjongkok untuk memegang kedua tangan orang itu. "Tarik sekuatnya... lekas!...." Belum lanjut ucapan Jit-jit, mendadak terlihat kedua tangan yang semula bertahan pada tepi tebing itu meraih ke atas, tahu-tahu pergelangan tangan Him Miau-ji tercengkeram malah. Nyata yang digunakannya adalah kim-na-jiu-hoat atau ilmu menangkap dan menawan yang mahalihai. Karena tidak terduga-duga, Si Kucing tidak mampu mengelak, sekali terpegang pun sukar terlepas lagi, seketika ia merasa lengan sendiri kaku kesemutan, tenaga pun lenyap. Selagi Jit-jit tercengang, terdengarlah Si Kucing menjerit, orangnya terus terlempar ke dalam jurang. Perubahan ini sungguh terlalu mendadak, Jit-jit merasa seperti

disambar geledek, seketika ia melongo di tempat. Terdengar suara jeritan Si Kucing berkumandang menggema angkasa, sebaliknya dari bawah tebing itu lantas terdengar pula suara orang tertawa terkekeh-kekeh, sesosok bayangan orang lantas melayang ke atas. Hari sudah mulai gelap, dalam keadaan remang-remang hanya terlihat orang ini memakai baju yang longgar, memakai topi dengan pelindung telinga, inilah dandanan kaum saudagar waktu menempuh perjalanan dalam musim dingin. Sedapatnya Jit-jit menenangkan diri, bentaknya gusar, "Bangsat kau, bayar kembali jiwa Si Kucing!" Sembari membentak ia terus menerjang ke sana. Orang itu tidak mengelak, juga tidak menghindar, ia sambut serudukan Jit-jit dengan tertawa, "Anak baik, kau berani bergebrak denganku?" Suaranya halus dan welas asih. Namun suara lembut ini segera menyerupai cambuk yang menghajar tubuh Cu Jit-jit, begitu mendengar suara ini, seketika ia merandek dan berdiri terpaku. Angin mendesir, hawa terasa dingin. Namun wajah Cu Jit-jit penuh butiran keringat, tubuhnya tidak bergerak, namun tangan dan kakinya gemetar. "Hehe, anak baik, mendingan masih kau kenal diriku," ucap orang itu dengan tertawa. "Kau... kau...." Jit-jit tidak sanggup bersuara lebih lanjut, kerongkongannya seperti terkancing, lidah pun kaku. "Betul, aku inilah bibimu sayang," kata orang itu. "Hawa sangat dingin, kupakai baju longgar ini, bisa jadi bentukku banyak berubah."

"Kau... kau...." Jit-jit tetap gelagapan. "Ai, bibi selalu baik padamu, memberi baju, menyuapi kau makan, tapi masih juga kau kabur, sungguh tidak punya perasaan," omel orang itu dengan suara lembut sembari mendekati Jit-jit. "Oo... mohon... mohon jangan...."

"Ai, setelah kau pergi, kau tahu betapa sedihku, betapa kurindukan dirimu. Syukurlah sekarang dapat bertemu pula, lekas kemari, biar bibi cium sayang...." Jit-jit berteriak ketakutan, "Kau... kau... enyah...."

"Ai, masa pantas kau suruh bibi enyah," ujar orang itu dengan tertawa. "Justru bibi hendak membawamu pergi, akan kuberi

lagi baju yang apik, menyuapimu makanan yang enak...." bicara sampai di sini ia sudah berada di depan Cu Jit-jit. "Jangan... jangan mendekat lagi, akan kupukul kau...."teriak Jit-jit dengan suara parau, ia angkat sebelah tangan terus

menghantam. Tapi mungkin saking takutnya sehingga pukulannya itu sama sekali tidak bertenaga, dengan perlahan orang itu dapat menangkap tangan Jit-jit sambil berkata, "Jangan bandel, anak baik, turutlah perkataan bibi...." Hanya sekian kata saja yang dapat didengar Cu Jit-jit, mendadak kepala terasa pusing, tubuh menjadi lemas dan tidak tahu apa-apa lagi.

Angin pegunungan meniup dengan kencang, tidak lama kemudian Jit-jit siuman kembali. Begitu dia membuka mata, segera dirasakannya tubuhnya berada dalam pelukan "iblis" itu, sungguh kagetnya luar biasa, rasanya lebih menakutkan daripada mati. Meski teraling oleh dua lapis baju, tapi Jit-jit merasa tubuhnya seperti dililit oleh badan ular yang dingin dan licin. "Lepas... lepaskan aku...." teriaknya parau. "Ai, sayang, masa kutega melepaskan dirimu?" ujar orang itu dengan tertawa. Jit-jit bermaksud meronta, tapi dirasakan tubuh sendiri lemas lunglai tanpa bisa berkutik. Pengalaman yang dulu mestinya sudah dianggapnya sebagai impian buruk dan tidak berani lagi dibayangkannya. Tapi sekarang dia ternyata terjeblos lagi ke dalam impian buruk yang sama. Perasaannya sekarang tidak dapat lagi dilukiskan dengan kata-kata seperti gemetar, takut dan sebagainya, boleh dikatakan sukar untuk dilukiskan. Dia tidak dapat melawan, tidak mampu meronta, hanya air mata saja yang bercucuran. Terpaksa ia memohon belas kasihan dengan suara gemetar, "Kumohon su... sudilah engkau membebaskan diriku. Aku tidak ada permusuhan apa pun denganmu, mengapa engkau membikin susah padaku? Kenapa...."

"Eh, kupelukmu sehangat ini, masakah kau bilang kubikin susah padamu?" kata orang itu dengan tertawa. "Jika cara begini kau anggap membikin susah, baiklah, boleh kau peluk saja diriku biar kau yang membikin susah padaku."

"Jika... jika tidak mau kau lepaskan diri, lebih baik kau bunuh diriku saja, menjadi setan pun aku akan berterima kasih

padamu."

"Ah, jangan bercanda, bila kubunuhmu, masa kau berterima kasih padaku malah? Omong kosong!"

"Betul... sungguh...." Orang itu tidak menanggapi ucapan Cu Jit-jit lagi, ia bawa sinona ke tepi jurang sana dan memandang ke bawah, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Hah, kucingmu yang jinak itu sungguh hebat juga, sampai sekarang dia masih bertahan pada sesuatu sehingga tidak sampai terjerumus ke bawah."

"He, apakah betul dia belum mati?" seru Jit-jit dengan girang. "Ehm, dia belum mati," orang itu mengangguk. "Tampaknya

dia berusaha hendak merambat ke atas, cuma sayang, betapa pun dia takkan mencapai atas sini.... Apakah kau mau melihatnya?" Sejauh itu Jit-jit tidak berani membuka mata untuk memandang "iblis" ini, sekarang mendadak dirasakan orang

mengangkat tubuhnya ke depan. Dengan gemetar ia coba membuka mata, tertampak awan mengambang di bawah, jurang itu sangat dalam dan tidak kelihatan dasarnya, tidak jauh di bawah tebing yang curam itu benarlah ada sesosok bayangan orang sedang meronta dan bergerak-gerak. Hanya memandang sekejap saja kepala Jit-jit lantas pusing, cepat ia memejamkan mata pula dan berseru, "O, mohon sudilah engkau men... menolongnya!"

"Menolongnya? Kenapa harus kutolong dia?" ujar orang itu. "Tadi dia bermaksud... bermaksud menolongmu, akibatnya dia

terjerumus."

"Hahahaha!" orang itu bergelak tertawa. "Kubuntuti kalian sepanjang jalan sehingga tiba di sini, lalu kugunakan akal bagus ini untuk menamatkan riwayat hidupnya. Memangnya kau kira tadi aku benar-benar lagi minta tolong?"

"Ka... kau iblis... binatang...."

"Betul, aku memang iblis," kata orang itu dengan tertawa. "Mengapa tadi tidak kau pikirkan, di tempat seperti ini masakah bisa terjadi orang berteriak minta tolong? Mengapa tadi perlu kau tolong diriku? Bukankah kau sendiri yang membikin celaka dia?" Jit-jit jadi teringat pada keadaan tadi, memang berulang Him Miau-ji hendak menyatakan pendapatnya, tapi dicegahnya, bahkan dipaksanya agar memberi pertolongan kepada orang ini, akibatnya sekarang Si Kucing sendiri yang terancam maut. Hati Jit-jit menjadi pedih, teriaknya mendadak, "Him Miau-ji... Si Kucing.... Akulah yang membikin susah padamu... akulah yang membikin celaka dirimu...." Sekonyong-konyong dari bawah berkumandang suara SiKucing, "Jit-jit... Cu Jit-jit.... Engkau berada di mana? Baik-baikkah engkau?!" Suara itu penuh rasa cemas dan putus asa, tapi juga penuh

rasa perhatian, namun yang diperhatikan dan dicemaskan bukan Si Kucing sendiri melainkan bagi Cu Jit-jit. Bahwa seorang sedang bergulat di tepi garis antara mati-hidup bagi diri sendiri, tapi masih juga memerhatikan keselamatan orang lain, betapa besar jiwa dan betapa luhur budinya ini sungguh tidak ada bandingannya. Hati Cu Jit-jit serasa dirobek-robek, hancur luluh. Teriaknya dengan serak, "Aku berada di sini, Kucing.... Di atas sini...." Ia meronta mati-matian, tanpa menghiraukan akibatnya ia ingin terjun ke bawah, dalam benaknya sekarang cuma ada satu pikiran, suatu pikiran yang murni, yaitu terjun ke bawah dan mati bersama Him Miau-ji. Dalam keadaan demikian urusan lain tidak terpikir lagi olehnya, sudah terlupakan seluruhnya. Namun tangan si iblis serupa tanggam kuatnya merangkulnya, mana Jit-jit mampu melepaskan diri, apalagi terjun ke bawah. "Lepas... lepaskan diriku!" teriak Jit-jit. "Ai, mestikaku sayang, mana boleh kulepaskan, dengan susah payah baru kudapatkan kembali dirimu, mana boleh membiarkan kau mati begitu saja. Selanjutnya jangan lagi kau

pikirkan soal mati segala."

"O, Allah, masakah ingin mati pun tidak boleh?" ratap Jit-jit. "Mati memang soal yang aneh," kata orang itu. "Ada sementara orang ingin mati, tapi sangat sulit. Sebaliknya ada lagi setengah orang lain justru teramat mudah bilamana ingin mati...." Sampai di sini, mendadak ia mendepak sepotong batu padas sehingga batu itu mencelat ke bawah jurang.

Dengan membawa suara gemuruh batu itu terguling kebawah, menyusul lantas terdengar pula jeritan ngeri seorang berkumandang dari bawah tebing, suara ngeri menggetar sukma. Jit-jit juga menjerit kaget, tapi jeritannya lantas terhenti

mendadak serupa lehernya mendadak dicekik orang, sebab jeritan ngeri di bawah jurang juga mendadak terputus. Keadaan lantas berubah sunyi seperti kuburan, angin pun seolah-olah berhenti mendesir secara mendadak, suasana kelam.... Jagat raya ini seakan-akan beku di tengah kesunyian ini, semuanya membeku di tengah adegan yang mengerikan dan menyesakkan napas. Namun yang terbayang oleh Cu Jit-jit rasanya seperti adegan yang penuh berlumuran darah, dia seperti melihat Si Kucing terjatuh oleh batu padas tadi, lalu lelaki yang penuh gairah hidup dan gagah perkasa itu dalam sekejap itu hancur lebur dibawah jurang. Saraf sekujur badan Cu Jit-jit seakan-akan kaku juga dalam sekejap itu. Entah berselang berapa lama baru dapat dirasakan "iblis" yang memondongnya itu sedang menggeser ke depan. Soal ke mana tujuannya dan sudah berada di mana hampir tidak diketahuinya, juga tidak ingin tahu. Maklum, baginya sudah tidak ada bedanya hendak dibawa kemana, dia sudah jatuh dalam cengkeraman iblis, jalan kemana pun tetap menuju ke neraka. Akan tetapi neraka yang dituju ini ternyata berada di puncak gunung. Orang itu membawanya menuju ke atas gunung. Jalan pegunungan berliku-liku, terkadang hampir sukar dilalui, namun cara berjalan si iblis ini sedemikian enteng dan santai, tampaknya hafal betul terhadap jalan pegunungan yang melingkar-lingkar ini. Memangnya menembus ke manakah jalan ini? Di atas gunung yang terpencil terdapat hutan cemara yang lebat, dipandang dari hutan yang ditaburi salju itu samar-samar kelihatan di kejauhan sana ada dinding dan wuwungan rumah yang tinggi. "Berhenti!" mendadak Jit-jit berteriak. "Berhenti? Mau apa?" orang itu menegas dengan heran, disangkanya mungkin si nona mendadak kebelet kencing. "Berhenti dulu, ingin kutanya padamu," kata Jit-jit pula.

Orang itu tambah heran, "Ingin tanya apa?" Dilihatnya wajah Jit-jit yang pucat itu mendadak bersemu merah bergairah, sorot matanya yang putus asa itu tiba-tiba juga berubah bersemangat, senang dan berdaya hidup. Hal ini serupa seorang yang hampir terbenam di lautan ketika mendadak berhasil meraih sepotong kayu sehingga menemukan jalan hidup kembali. Tapi apa yang berhasil diraih Cu Jit-jit? Jangan-jangan teringat sesuatu olehnya? Terdengar nona itu berteriak pula, "Kusuruh berhenti harus cepat berhenti, bila kutanya padamu harus lekas kau jawab, tahu?"

"Wah, mestikaku sayang, bilakah engkau jadi galak begini dan main perintah padaku?" ujar orang itu dengan tertawa geli.

"Eh, sesungguhnya pikiran aneh apa yang timbul dalam benakmu?"

"Huh, memangnya kau sangka aku tidak tahu siapa dirimu?" jengek Jit-jit. "Mau apa kalau tahu?" tanya orang itu. "Engkau ini antek Koay-lok-ong, she Suto, tugasmu khusus mencarikan perempuan cantik bagi Koay-lok-ong, sekarang juga hendak kau bawa diriku kepadanya untuk... untuk dijadikan... dijadikan selirnya."

"Betul, lantas bagaimana?" orang itu tertawa. "Maka bila sekarang tidak kau tunduk kepada perintahku, nanti setelah kujadi selirnya, tentu akan kucari daya upaya untuk menawan hatinya, bilamana aku telah menjadi selir kesayangannya, akan ku...." Kata itu diucapkan dengan menggunakan tenaga yang besar, walaupun begitu kedengarannya tetap tergegap. Ia berhenti dan ganti panas, lalu berkata pula dengan lagak sungguh-sungguh, "Nah, bila kujadi selir kesayangannya nanti apa yang kuminta pasti akan diturutinya, tatkala mana umpama kuminta dia membunuhmu pasti juga akan dilaksanakannya." Orang itu jadi melengak. Dengan tertawa Jit-jit lantas menyambung, "Sudah tentu kau tahu apa yang kukatakan ini bukan gertakan belaka. Berani bicara pasti berani kulakukan. Maka harus kau pikirkan dulu, jika kau takut...."

"Hahaha, memang betul, aku sangat takut!" seru orang itu. "Jika takut, sekarang harus kau...." Mendadak orang itu bergelak tertawa. "Hahaha, mestikaku sayang, boleh juga jalan pikiranmu ini, sungguh engkau seorang nona yang pintar. Mari sayang, akan kucium dikau...." Benar juga, mendadak ia menunduk dan Jit-jit di"ngok" dengan bernafsu. Seketika muka Jit-jit pucat lagi, teriaknya gemetar, "Masa... masa engkau tidak takut?" Orang itu tidak bicara lagi melainkan cuma bergelak tertawa dan masuk ke hutan cemara itu.

Bersambung ... ke Bab 15 ...