Jilid 6

SOUW KIAT lalu menggeleng kepala. "Sepanjang yang kami ketahui, Hek I Kai-pang tidak mempunyai musuh. Musuh kami hanyalah orang-orang Mongol, akan tetapi setelah mereka diusir, kami tidak mempunyai musuh. Kenapa li-hiap bertanya tentang itu ?"

"Jawab sajalah," kata Sui In berwibawa, "Bagaimana dengan Hwa I Kai-pang? Apakah mereka bukan musuh Hek I Kai-pang?"

Souw Kiat saling pandang dengan para pimpinan cabang. "Hwa I Kai-pang? Aih, lihiap, Hwa I Kai-pang adalah segolongan dengan kami. Mereka adalah rekan-rekan kami dan Hwa I Kai-pang adalah perkumpulan yang menguasai daerah timur, sedangkan kami menguasai daerah barat. Batasnya justeru di Lok-yang ini, maka di kota ini terdapat anggauta-anggauta kedua perkumpulan. Akan tetapi di antara kami tidak pernah ada permusuhan."

"Hemm, kulihat tadi sikap pengemis baju kembang itu tidak bersahabat terhadap pengemis baju hitam. Bahkan dia memburukkan Hek I Kai-pang di depan umum dan di depan perwira yang memimpin pasukan penjaga keamanan." Sui In mendesak.

Souw Kiat mengerutkan alisnya. "Hemmm, terus terang saja, lihiap, memang ada persaingan di antara kami, maklum karena Lok-yang merupakan perbatasan. Kami sama-sama ingin agar hubungan kami lebih dekat dengan para penguasa, dan mendapat nama baik di kota sehingga banyak hartawan suka menderma kepada kami. Hanya persaingan, akan tetapi bukan permusuhan, tidak pernah terjadi bentrokan ...." dia berhenti dan mengamati wajah cantik itu. "Akan tetapi kenapakah, lihiap?"

"Orang ini bukan anggauta Hek I Kai-pang akan tetapi dia memakai pakaian Hek I Kai-pang dan mengaku anggauta. Dia bersikap jahat dan membuat kekacauan di tempat umum yang ramai. Kemudian, dia dibunuh secara rahasia dan kebetulan sekali di sana muncul pasukan penjaga keamanan yang menyaksikan kejahatan yang dilakukan anggauta Hek I Kai-pang, diperkuat oleh pengakuan semua orang yang berada di sana. Nah, kalau orang ini benar bukan anggauta Hek I Kai-pang, kemungkinannya hanya satu, yaitu bahwa orang ini palsu sengaja dibayar oleh pihak yang ingin memburukkan nama Hek I Kai-pang, lalu membunuhnya agar dia tidak

membocorkan rahasia itu."

"Ahhh ....." Souw Kiat dan para pembantunya berseru kaget dan penasaran. "Tapi ...... tapi ......."

"Souw pangcu, ceritakan, apakah di antara Hek I Kai-pang dan Hwa I Kai-pang terjadi perebutan sesuatu? Sekarang atau dalam waktu dekat ini?"

Souw Kiat mengerutkan alisnya, "Tidak ada perebutan sesuatu atau ..... ah, mungkinkah? Dalam waktu dekat ini, sebulan lagi, seluruh kai-pang di empat penjuru memang sedang direncanakan mengadakan pertemuan besar dan kami semua sudah sepakat untuk mengangkat atau menunjuK seseorang untuk menjadi pemimpin besar kai-pang yang menjadi atasan atau penasihat dari semua ketua empat kai-pang terbesar di empat penjuru. Tapi .......... "

"Souw-pangcu, ceritakan kepadaku tentang semua itu, tentang keadaan semua kai-pang dan apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan itu, dan siapa pula sekarang yang menjadi pemimpin besar kai-pang."

Kini ketua Hek I Kai-pang mengubah sikapnya dan menatap tajam wajah Sui In. Kemudian, terdengar suaranya yang tegas. "Maaf, Cu-lihiap. Semua itu adalah urusan pribadi kai-pang, tidak ada sangkut-pautnya dengan lihiap. Kami tidak boleh bicara tentang urusan dalam kai-pang kepada orang luar. Dan pula, untuk apa lihiap hendak mengetahui semua itu? Tidak ada manfaatnya bagi lihiap."

"Souw-pangcu. Ketahuilah bahwa aku telah mengambil keputusan untuk mendapat dukungan Hek I Kai-pang, bahkan mewakili Hek I Kai-pang dalam pemilihan pemimpin besar kai-pang nanti."

Tentu saja ketua itu terkejut, dan para pembantunya juga memandang heran dan kaget. "Ah, apa maksud lihiap? Bagaimana mungkin lihiap sebagai orang luar dapat mewakili perkumpulan kami? Dan dukungan apa yang dapat kami berikan kepada lihiap?"

"Tentu saja mungkin kalau memang engkau sebagai ketua Hek I Kai-pang menyetujui, pangcu. Aku dan sumoiku dapat saja menjadi anggauta rombongan Hek I Kai-pang dalam pertemuan rapat besar itu. Adapun dukungan yang kuminta itu agar Hek I Kai-pang mendukung dipilihnya calon yang akan kuajukan dalam rapat itu, yaitu calon pemimpin besar kai-pang!"

Souw Kiat bangkit dari tempat duduknya, alisnya berkerut dan mukanya berubah merah. Juga para pembantunya banyak yang bangkit dan memandang kepada dua orang wanita itu dengan marah.

"Cu-lihiap, permintaanmu itu sungguh tidak mungkin! Pemimpin besar kai-pang kelak akan mewakili kai-pang untuk mengadakan pemilihan beng-cu di dunia persilatan! Bagaimana seorang yang bukan pengemis dapat menjadi calon pemimpin besar kai-pang? Dan juga lihiap tidak berhak untuk mencampuri urusan kai-pang!"

Sui In tersenyum dingin dan memandang kepada ketua itu dengan sinar mata tajam. "Souw Kiat, mengapa orang seperti engkau dapat diangkat menjadi ketua Hek I Kai-pang? Tentu karena di antara semua tokoh Hek I Kai-pang, engkau yang paling lihai bukan?"

Souw-pangcu memandang tak senang. "Kalau benar begitu, apa hubungannya denganmu?"

Sui In bangkit dengan tenang. "Kalau begitu, aku akan merebut kedudukan ketua Hek I Kai-pang dari tanganmu dengan mengalahkanmu! Kalau aku yang menjadi ketua, tentu aku akan dapat mencalonkan pilihanku itu untuk menjadi pemimpin besar kai-pang." Semua orang menjadi gaduh dan bicara sendiri-sendiri mendengar ucapan wanita cantik yang mereka anggap keterlaluan itu. Souw-pangcu marah bukan main, akan tetapi sebagai orang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menahan diri dan berkata dengan suara yang tegas.

"Cu-lihiap, apakah sesungguhnya yang kaukehendaki! Tidak mungkin Hek I Kai-pang mempunyai ketua seorang wanita. Dan engkau juga bukan orang pengemis! Bagaimana mungkin Hek I Kai-pang mempunyai ketua seorang wanita yang bukan pengemis? Andaikata ada yang setujupun, seluruh anggauta yang jumlahnya ratusan orang tentu akan merasa berkeberatan!"

"Hemm, kalau begitu, jangan memaksaku untuk merampas kedudukan ketua! Akupun tidak suka menjadi ketua kaum jembel. Aku hanya menghendaki dukungan Hek I Kai-pang untuk memilih calonku menjadi pemimpin besar kai-pang."

"Hemm, lalu siapakah calon yang kaupilih untuk menjadi pemimpin besar kai-pang?" Souw-pangcu bertanya, semakin penasaran.

Dengan wajah dingin namun bibirnya yang amat manis menggairahkan itu tersenyum mengejek, Sui In berkata, suaranya lantang terdengar semua anggauta kai-pang yang berada di situ. "Calonnya adalah aku sendiri! Aku ingin menjadi pemimpin besar kai-pang agar kelak aku dapat mewakili seluruh kai-pang dalam pemilihan Beng-cu."

Semua orang terbelalak, lalu suasana menjadi gaduh. Ada yang tertawa geli, ada yang mengomel panjang pendek, ada pula yang berseru kagum akan keberanian wanita cantik jelita itu. Kalau Sui In tenang-tenang saja menghadapi sikap para pengemis itu, sebaliknya Lili menjadi marah melihat gurunya ditertawakan orang. Biarpun sekarang Sui In telah menjadi kakak seperguruannya, namun dalam beberapa hal ia masih menganggapnya sebagai gurunya.

"Heiii, kalian ini jembel-jembel busuk dan bau! Suci ingin menjadi pemimpin besar kai-pang, kalian tidak cepat menyambutnya dengan baik malah mentertawakan! Hayo siapa yang berani menyatakan tidak setuju, boleh maju melawan aku!"

Sebetulnya karena melihat kedua orang wanita ini datang tidak untuk memusuhi mereka, ketua Souw Kiat tidak ingin memusuhi mereka dan menyambut mereka dengan sikap hormat. Akan tetapi, mendengar permintaan mereka` untuk menjadi ketua Hek I Kai-pang dan kemudian bahkan ingin menjadi pemimpin besar seluruh kai-pang, dia terkejut dan merasa penasaran. Oleh karena itu, ketika wakilnya yang bernama Lu Pi maju menghadapi gadis muda yang galak itu, diapun mendiamkannya saja. Bagaimanapun juga, kedua orang wanita ini harus dihadapi dengan kegagahan kalau dia tidak ingin perkumpulannya menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw. Dipimpin oleh wanita muda yang cantik! Bagaimana mungkin?

Lu Pi adalah seorang laki-laki berusia tigapuluh lima tahun yang bertubuh tinggi kurus, kelihatannya saja lemah dan berpenyakitan, akan tetapi sesungguhnya dia seorang ahii silat yang pandai. Dia memiliki tenaga sin-kang yang kuat, juga memiliki gerakan yang cepat yang licin bagaikan belut.

Oleh karena kepandaiannya itu, maka dia dapat diangkat menjadi wakil ketua Hek I Kai-pang dan merupakan tangan kanan Souw Kiat. Orangnya pendiam akan tetapi hatinya keras dan mendengar ucapan Lili tadi, mukanya berubah merah dan diapun sudah meloncat ke depan dara itu. Dengan telunjuk tangan kiri ditudingkan ke arah muka Lili, diapun membentak.

"Bocah sombong, berani engkau menghina Hek I Kai-pang? Aku Lu Pi, wakil ketua Hek I Kai-pang yang akan menghajarmu!" Dia melintangkan tongkat hitamnya, sama dengan tongkat hitam ketua Souw Kiat, di depan dada lalu menantang. "Hayo cepat keluarkan senjatamu!"

"Untuk apa senjata? Melawan orang macam engkau ini, dengan tangan kosongpun sudah terlalu kuat!" kata Lili dan kembali ucapannya itu membuat banyak orang terkejut. Ada yang kagum akan keberaniannya akan tetapi lebih banyak yang marah karena, gadis ini dianggap terlalu sombong.

"Sumoi, jangan bunuh orang!" kata Sui In. Ia tidak menghendaki Hek I Kai-pang mendendam kepadanya karena ia membutuhkan bantuan dan dukungan perkumpulan pengemis ini.

"Jangan khawatlr, suci. Aku hanya ingin memberi hajaran kepada anjing kurus ini."

Mendengar ucapan kedua orang wanita itu Lu Pi menjadi semakin marah. Mereka sungguh amat memandang rendah kepadanya. Dia sudah memutar tongkat hitamnya sehingga benda itu berubah menjadi gulungan sinar hitam dan dia berseru lantang.

"Bocah sombong, lihat seranganku!" Tanpa sungkan lagi dia menyerang gadis muda, yang tidak memegang senjata itu. Wakil ketua ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman. Biarpun dia marah bukan main namun dia bersikap waspada dan hati-hati karena dia maklum bahwa sikap sombong gadis itu tentu ditunjang kepandaian yang tinggi.

Setelah membentak sebagai peringatan pembukaan serangan, gulungan sinar hitam itu semakin meluas dan tiba-tiba ujung tongkatnya mencuat dari gulungan sinar itu, menyambar dengan totokan ke arah pundak kiri Lili. Bagaimanapun juga, Lu Pi agaknya masih teringat bahwa yang diserangnya adalah seorang gadis belasan tahun yang tidak bersenjata, maka serangannya pun masih lunak dan hanya ditujukan ke pundak orang untuk menotoknya.

Namun, yang diserang enak-enak saja berdiri santai, sama sekali tidak membuat gerakan untuk menghindarkan diri dari totokan itu. Baru setelah ujung tongkat mendekati pundak, tangan kanannya bergerak ke atas dan jari tengahnya menjentik ke arah ujung tongkat yang orang menyambar pundaknya.

"Takkk!"

Lu Pi terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya tergetar dan hampir saja tongkat itu terlepas dari genggamannya. Ujung jari tengah gadis itu membuat tongkatnya terpental keras! Kini tahulah dia bahwa lawannya bukan sekedar membual belaka. Gadis yang masih amat muda itu ternyata memiliki ilmu kepandaian hebat dan tenaga sin-kangnya lewat jentikan jari tadi saja sudah terbukti kekuatannya, Diapun tidak sungkan lagi dan serangan berikutnya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bertubi-tubi ujung tongkatnya mengirim serangkaian totokan maut!

Akan tetapi yang diserangnya tetap tenang dan bahkan enak-enak saja. Lili telah dapat mengukur tingkat kepandaian lawan dan iapun bergerak dengan santai saja, bahkan kedua kakinya jarang digeser, hanya kedua lengannya saja yang bergerak seperti dua ekor ular. Begitu lentur dan begitu aneh gerakan lengannya, sungguh mirip dua ekor ular menari-nari dengan kepala terangkat. Dan ke manapun ujung tongkat menotok, selalu bertemu dengan "kepala" dua ekor ular itu yang setiap kali menangkis membuat tongkat terpental.

Ketika tongkat kembali meluncur, kini menusuk ke arah tenggorokan gadis itu, Lili menangkis dengan tangan kanannya, sekaligus menangkap ujung tongkat dengan tangannya, gerakannya seperti ular yang membuka moncongnya dan menggigit. Ujung tongkat tertangkap dan sebelum Lu Pi dapat menarik kembali tongkatnya, pergelangan tangannya kena diketuk oleh jari tangan kiri Lili. Seketika lengan kanan itu menjadi lumpuh dan dengan amat mudahnya, tongkat hitam itu sudah berpindah ke tangan Lili. Gadis itu menggunakan tongkat rampasannya untuk menyerang. Gerakannya aneh dan cepat dan tubuh Lu Pi menjadi bulan-bulan tongkatnya sendiri. Biarpun dia berusaha untuk mengelak dan menangkis, tetap saja gerakannya kalah cepat dan terdengas suara bak-bik-buk ketika tongkat itu menggebuki kepala, punggung, dan pinggulnya. Pukulan itu datang bertubi-tubi dan akhirnya tubuh Lu Pi terpelanting roboh.

Setelah lawannya roboh tanpa menderita luka parah, barulah Lili menghentikan pukulan tongkat. Dia lalu meremas tongkat itu dengan kedua tangannya. Bagian yang diremas itu menjadi hancur berkeping dan ia lalu melemparkan sisa tongkat dan remukannya ke arah tubuh Lu Pi yang mulai merangkak bangun, lalu ia menepuk-nepuk kedua tangannya membersihkan telapak tangan dari remukan kayu tongkat! Sikapnya angkuh dan memandang rendah sekali.

Semua anggauta kai-pang memandang dengan mata terbelalak. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa wakil ketua mereka yang amat lihai dengan tongkatnya itu, dalam beberapa gebrakan saja roboh, bahkan setelah dipermainkan oleh dara remaja ltu, seperti seorang dewasa mempermainkan seorang kanak-kanak saja! Lu Pi juga tahu diri. Dia maklum sepenuhnya bahwa dia bukanlah lawan gadis itu, maka dengan muka pucat dan kepala ditundukkan, diapun mundur ke sudut.

Kini Lili menghadapi Souw Kiat dan berkata dengan nada meremehkan. "Nah, pangcu. Apakah engkau juga masih berkeras tidak mau menyerahkan kedudukan kepada suciku ini?"

Wajah Souw Kiat nampak suram. Diapun sudah melihat sendiri kekalahan wakilnya dan diapun tahu bahwa melawan gadis remaja itu saja, dia tidak akan menang, Dia tidak sanggup mengalahkan Lu Pi seperti yang dilakukan gadis itu, sedemikian mudahnya! Apa lagi kalau harus melawan kakak seperguruan gadis itu, seorang wanita yang tidak muda lagi walaupun masih nampak segar dan cantik, yang tentu lebih lihai lagi dibandingkan adik seperguruannya.

"Aku Souw Kiat menjadi Hek I Kai-pangcu mengandalkan kepandaian silatku. Kalau ada yang hendak merampas kedudukan ini, harus juga melalui adu kepandaian," katanya akan tetapi dengan lemah seolah-olah tidak bersemangat.

"Kalau begitu bangkitlah dan mari kita mengadu kepandaian!" tantang Lili.

"Sumoi, apakah engkau ingin menjadi ketua Perkumpulan pengemis ini?" tanya Sui In.

Lili terbelalak dan menggeleng kepala kuat-kuat. "Aih, siapa ingin mengetuai para jembel ini, suci? Tidak, aku hanya mewakilimu merampas kedudukan ketua di sini!"

"Kalau tidak, mundurlah, sumoi. Aku yang ingin menjadi ketua, maka harus aku pula yang merampas kedudukan itu dari tangan Souw-pangcu."

Dengan tenang Sui In bangkit dan melangkah ke tengah ruangan itu, lalu memandang kepada Souw Kiat dan berkata, "Souw-pangcu, aku Cu Sui In menantangmu untuk mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih pantas menjadi ketua Hek I Kai-pang!"

Souw Kiat bangkit dan dengan lemas dia melangkah ke tengah ruangan menghadapi wanita cantik itu. Dia maklum bahwa kedudukannya terancam.

Souw Kiat memberi hormat dan berkata. "Cu-lihiap, sungguh sikap lihiap ini amat membingungkan hati kami. Bagaimana seorang wanita cantik seperti lihiap begitu ingin menjadi pemimpin besar kai-pang? Apakah alasannya? Dan sebelum kita bertanding, kalau boleh kami mengetahui, dari partai manakah lihiap datang? Kami Hek I Kai-pang selalu menghargai kegagahan dan ingin bersahabat dengan semua golongan."

"Sudah kukatakan tadi, aku ingin menjadi ketua Hek I Kai-pang agar aku mendapat dukungan kalau ada pemilihan pemimpin besar Kai-pang. Tujuanku bukan menjadi pemimpin besar kai-pang, melainkan agar aku dapat mewakili seluruh kai-pang untuk mengadakan pemilihan beng-cu."

Souw Kiat terbelalak. "Apakah ..... apakah? lihiap yang semuda ini berkeinginan menjadi beng-cu?"

Sui In menggeleng kepala. "Bukan aku calon beng-cu, melainkan ayahku."

"Siapakah ayah lihiap? Bolehkah kami mengetahui nama besarnya?"

"Ayahku adalah See-thian Coa-ong Cu Kiat."

Mendengar ini, terdengar seruan-seruan kaget dan Souw Kiat sendiri segera memberi hormat lagi kepada Sui In. "Ah, kiranya lihiap puteri locianpwe See-thian Coa-ong!"

"Lu-siauwte, engkau tidak perlu merasa penasaran! Engkau telah dikalahkan seorang murid dari locianpwe See-thian Coa-ong!" seru ketua Hek I Kai-pang itu kepada wakilnya dan wajah Lu Pi yang tadinya muram kini berseri. Kalau dikalahkan seorang murid dari datuk besar itu tentu saja lain halnya. Namanya tidak akan rusak, berarti dia tidak dikalahkan oleh gadis sembarangan!

"Cu-lihiap, kalau begitu kiranya tidak perlu lihiap menjadi ketua Hek I Kai-pang. Kelak kalau ada pemilihan pimpinan seluruh kai-pang, lihiap akan kami dukung sebagai calon."

"Souw-toako, bagaimana mungkin itu? Kalau Cu-lihiap bukan ketua kai-pang, bahkan bukan anggauta, bagaimana mungkin diajukan sebagai calon pemimpin seluruh kai-pang?" Lu-pangcu mengingatkan ketuanya.

Souw Kiat mengangguk dan mengerutkan alisnya. "Benar juga ucapan Lu-siauwte. Bagaimana mungkin kami kelak mendukung kalau lihiap bukan seorang ketua ?" Dia menghela napas panjang. "Agaknya tidak dapat dihindarkan lagi, terpaksa aku mohon petunjukmu, lihiap. Kalau aku kalah, maka barulah lihiap berhak menjadi ketua Hek I Kai-pang."

"Hemm, silakan maju, pangcu," kata Sui In dan dengan sikap tenang ia menanti ketua itu untuk bergerak menyerang. Akan tetapi Souw Kiat nampak tidak bersemangat. Begitu mendengar bahwa, wanita cantik ini puteri See-thian Coa-ong, dia sudah menjadi jerih. Apa lagi tadi ia melihat wakilnya dengan amat mudah dikalahkan sumoi dari wanita ini.

"Cu-lihiap, dalam hal ilmu silat aku tidak akan menang melawanmu. Akan tetapi kalau lihiap mampu mengalahkan aku dalam hal tenaga sin-kang, aku akan mengaku kalah, dan akan merasa bangga mempunyai ketua baru seperti lihiap."

Sui In tersenyum. "Baik, kau mulailah!"

Ketua Hek I Kai-pang yang bertubuh tinggi besar itu lalu berdiri tegak, kedua lengannya diangkat ke atas kedua tangan

dikembangkan dan diapun mengerahkan tenaga, membuat gerakan seperti memetik buah-buah dari atas, kemudian kedua tangan diturunkan ke bawah dan terdengar bunyi tulang-tulang lengannya berkerotokan. Kedua tangannya berkembang ke bawah dan kembali membuat gerakan seperti mencabuti rumput-rumput dari bawah, kemudian kedua tangan naik lagi. dengan jari-jari terbuka menempel di kanan kiri pinggang. Mukanya berubah merah, seluruh tubuhnya tergetar, terisi tenaga sin-kang yang dihimpunnya tadi.

Sui In maklum bahwa lawan telah mengumpulkan tenaga sakti dan siap menyerangnya, maka iapun mengangkat kedua tangan ke atas, lurus, lain kedua tangan itu turun membuat gerakan melengkung seperti membentuk lingkaran, berhenti di depan dada seperti memondong anak, perlahan-lahan kedua tangan itu diturunkan ke kanan kiri tubuh, tergantung lepas dan lurus seperti tidak bertenaga lagi. Ia tersenyum dan berkata, "Aku telah siap, pang-cu. Mulailah!"

Souw Kiat tidak menjawab, melangkah maju sampai dekat di depan wanita itu. Hidungnya mencium keharuman yang keluar dari pakaian Sui In dan dengan cepat dia mematikan penciuman itu agar tidak mengganggu konsentrasinya. Kemudian, sambil mengerahkan tenaga dari bawah pusar, disalurkannya ke seluruh kedua lengannya, diapun membuat gerakan mendorong dengan kedua tangan terbuka, ke arah dada Sui In. Terdengar angin yang dahsyat menyambar keluar dari kedua tangan itu.

Sui In segera menyambutnya dengan kedua tangan pula yang diluruskan ke depan, dengan jari terbuka pula.

"Plakkkk" Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu, melekat dan mulailah keduanya mengerahkan tenaga sakti mereka untuk saling mendorong dan mengalahkan lawan. Nampaknya kedua orang itu seperti main-main saja, namun semua orang maklum bahwa adu tenaga yang dilakukan secara diam tanpa bergerak ini bahkan lebih berbahaya dari pada adu silat yang penuh pukulan, tendangan, elakan dan tangkisan.

Souw Kiat memang cerdik. Melihat ilmu silat Lili tadi saja, dia tahu bahwa dalam ilmu silat dia bukan tandingan wanita cantik ini. Akan tetapi dia memiliki sin-kang yang terkenal kuat, maka dia hendak mencari kemenangan melalui adu tenaga sakti. Ketika mula-mula kedua telapak tangannya bertemu dengan tangan wanita itu, dia merasa betapa telapak tangan itu lembut, lunak dan hangat. Dia lalu mengerahkan tenaga untuk mendorong, akan tetapi bertemu dengan tenaga lunak itu, tenaganya seperti batu ditekankan ke air, tenggelam! Kemudian, telapak tangan yang halus itu menjadi panas sekali. Souw Kiat cepat mengerahkan tenaganya untuk melawan hawa panas yang seperti membakar telapak tangannya. Namun, kedua telapak tangan halus itu makin lama semakin panas dan ada tenaga dorongan yang amat kuat keluar dari tangan itu. Souw Kiat mengerahkan seluruh tenaga untuk bertahan dan tak lama kemudian, dahi dan lehernya sudah penuh keringat, dan dari kepalanya mengepul uap. Merasa betapa kedua kakinya mulai goyah dan kuda-kudanya terbongkar, dia makin mempertahankan sekuat tenaga. Semua orang yang menyaksikan pertandingan ini, walaupun tidak dapat merasakan, namun dapat melihat perbedaan antara kedua orang yang sedang bertanding sin-kang itu. Kalau Souw Kiat berpeluh, kepalanya beruap dan mukanya sebentar merah sebentar pucat, wanita cantik itu masih tenang saja, nampak santai dan tersenyum mengejek.

Tiba-tiba Sui In mengeluarkan bentakan melengking dan tubuh Souw Kiat terangkat ke atas Kedua kakinya naik sampai satu meter dari tanah! Biarpun Souw Kiat berusaha untuk membuat tubuhnya menjadi berat, tetap saja dia tidak mampu menandingi tenaga yang mengangkat tubuhnya itu. Mukanya berubah pucat karena dia berada dalam bahaya maut!

Kalau dilanjutkan adu tenaga sin-kang ini, dia akan terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan akan terluka parah, mungkin tewas. Dia berusaha melepaskan kedua tangan dari tangan lawan, namun dua pasang tangan yang bertemu itu seperti telah melekat dan tidak dapat dipisahkan lagi!

Mendadak, Sui In mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya mendorong dan tubuh Souw Kiat terlempar sampai empat lima meter jauhnya dan tubuhnya terbanting keras di atas lantai. Dia menderita nyeri pada pinggul yang terbanting, akan tetapi tidak menderlta luka dalam. Tahulah dia bahwa wanita itu selain sakti, juga tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya yang tadi sudah berada di ambang maut, diapun bangkit, memberi hormat dengan hati kagum dan berkata, "Saya mengaku kalah dan terima kasih atas pengampunan lihiap."

"Hemm, sekarang engkau membolehkan aku menjadi ketua Hek I Kai-pang? Atau masih ada anggauta kai-pang lainnya yang merasa tidak suka?" tanya Sui In.

Tidak ada seorangpun yang berani menjawab. Bahkan mereka harus mengakui bahwa wanita cantik ini jauh lebih lihai dari pada pangcu mereka, dan sudah sepatutnya menjadi ketua baru. Akan tetapi, merekapun tidak suka mendukungnya karena Hek I Kai-pang tentu akan menjadi bahan tertawaan para kai-pang yang lain kalau mereka mendengar bahwa Hek I Kai-pang diketuai oleh seorang wanita muda yang cantik.

"Cu-lihiap, saya dan seluruh anggauta Hek I Kai-pang, tentu akan suka sekali kalau lihiap memimpin kami. Akan tetapi saya khawatir justeru Cu-lihiap sendiri yang tidak mau menjadi ketua kami."

Lili bangkit dari tempat duduknya dan menudingkan telunjuk kanannya ke arah Souw Kiat. "Heii, Souw-pangcu. Jangan kau plintat-plintut! Hek I Kai-pang selama ini dipimpin oleh orang-orang yang tidak becus, maka mudah saja menjadi permainan perkumpulan lain seperti Hwa I Kai-pang. Sekarang, suci dengan mudah mengalahkanmu, maka ia berhak menjadi pangcu. Kenapa engkau malah mengatakan bahwa suci tidak mau menjadi ketua? Omongan macam apa itu?"

"Harap ji-wi lihiap (berdua pendekar wanita) tidak salah paham dan suka mendengarkan keterangan kami," kata Souw Kiat. "Hek I Kai-pang sejak puluhan tahun telah mempunyai suatu peraturan tertentu yang sama sekali tidak boleh dilanggar mengenai pengangkatan seorang ketua baru. Selain seorang ketua baru harus menjadi orang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya di antara seluruh anggauta, juga sebagai ketua baru dia harus lebih dahulu melakukan sendiri pekerjaan mengemis selama satu bulan, dan dia tidak boleh mengenakan pakaian lain kecuali pakaian hitam. Nah, apakah Cu-lihiap suka memenuhi syarat dalam peraturan itu?"

Dua orang wanita itu saling pandang. Lili tertawa akan tetapi sucinya cemberut dan mengerutkan allsnya "Mengemis? Sebulan dan selalu berpakaian hitam? Wah, aku tidak suka melakukan itu, Souw-pangcul" katanya kemudian. "Akan tetapi aku tetap ingin didukung oleh Hek I Kai-pang dalam pemilihan pemimpin besar kai-pang nanti!"

Kini ketua dan wakil ketua Hek I Kai-pang yang mengerutkan alis dengan bingung.

Tiba-tiba Lu Pi memandang kepada ketuanya dengan wajah berseri. "Ah, hal itu bisa diatur, Souw-toako! Dalam peraturan kita, tidak ada disebut tentang ketua kehormatan! Maka, kita dapat mengangkat Cu-lihiap dan Tang-lihiap sebagai ketua dan wakil ketua kehormatan. Karena tidak ada dalam peraturan, maka mereka tidak terikat oleh peraturan dan persyaratan itu. Dan kelak, dalam pemilihan, tentu kita dapat mendukung Cu-lihiap sebagai calon pemimpin besar kai-pang karena mereka telah kita terima sebagai ketua-ketua kehormatan!"

"Bagus sekali! Engkau benar, siauw-te. Nah, ji-wi lihiap mendengar sendiri usul Lu-siauwte yang amat baik. Apakah ji-wi juga setuju dengan usul itu?"

Sui In mengangguk, "Teserah kepada kalian. Bagiku yang terpenting, kalian harus mendukung aku dalam pemilihan pemimpin kai-pang."

Untuk menghormati ketua dan wakil ketua kehormatan itu, Souw-Pangcu dan Lu-Pangcu lalu mengadakan penyambutan dengan pesta. Dan dalam kesempatan ini, Souw Kiat menceritakan tentang keadaan kai-pang (perkumpulan pengemis) di empat penjuru dan tentang pemilihan pemimpin besar kai-pang yang akan diadakan sebulan lagi di kota Lok-yang.

Ada empat kai-pang terbesar yang menguasai empat daerah. Di barat adalah Hek I Kai-pang dengan pakaian hitam, di timur Hwa I Kai-pang dengan pakaian kembang-kembang, di utara terdapat Ang-kin Kai-pang dengan tanda sabuk merah di pinggang para anggautanya dan yang berkuasa di selatan adalah Lam-kiang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Sungai Selatan) yang ditandai dengan topi butut hitam yang dipakai para anggautanya.

"Masih banyak perkumpulan pengemis lainnya, akan tetapi mereka semua hanyalah perkumpulan-perkumpulan kecil yang bernaung di bawah panji kekuasaan empat perkumpulan pengemis yang besar itu," Souw Pangcu melanjutkan keterangannya. "Empat perkumpulan besar itulah yang pada bulan depan nanti akan mengadakan pertemuan untuk memilih seorang pemimpin besar kai-pang yang menjadi penasihat dan sesepuh, yang berwenang memutuskan kalau terdapat pertikaian dan persaingan di antara keempat kai-pang."

"Aku pernah mendengar bahwa seluruh kai-pang sudah mempunyai seorang pemimpin besar yang amat sakti dan bijaksana. Ayahku mengenal baik tokoh ini, apakah sekarang dia tidak lagi memimpin para kai-pang!" tanya Sui In.

Souw Pangcu mengangguk-angguk. "Memang benar sekali, Cu-lihiap. Dahulu para kai-pang telah mempunyai seorang sesepuh yang sakti dan bijaksana, yaitu Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih). Selama ada beliau, para kai-pang tidak ada yang berani melakukan penyelewengan dan mereka hidup rukun dan saling bantu dengan kai-pang lainnya. Akan tetapi, semenjak beberapa tahun yang lalu, beliau menghilang dan tak seorangpun mengetahui di mana adanya, masih hidup ataukah sudah mati. Beliau dahulu memimpin kami untuk menentang penjajah Mongol dengan gerakan bawah tanah, bahkan membantu pergerakan Kerajaan Beng. Akan tetapi setelah penjajah Mongol berhasil digulingkan, beliau menghilang. Mungkin karena kini rakyat tidak terjajah lagi,

negara berada di bawah pemerintahan Kerajaan Beng, bangsa sendiri, beliau menganggap tidak perlu lagi memimpin para kai-pang."

Sui In juga menceritakan rencananya. "Kai-sar Thai-cu sendiri yang memerintahkan agar dunia persilatan memilih seorang beng-cu (pemimpin rakyat) agar pemerintah mudah mengadakan hubungan dengan para tokoh dunia persilatan. Nah, dalam rangka inilah aku ingin menjadi pemimpin para kai-pang. Aku ingin mewakili kai-pang dalam pemilihan beng-cu itu dan para kai-pang harus mendukung ayahku sebagai calon beng-cu." Mendengar ini, para pimpinan pengemis itu merasa lega.

Kiranya, wanita ini sama sekali bukan menginginkan kedudukan ketua Hek I Kai-pang ataupun pemimpin besar kai-pang, melainkan menginginkan kedudukan beng-cu untuk ayahnya. Tentu saja hal itu tidak ada sangkut-pautnya secara langsung dengan Hek I Kai-pang, maka dengan hati lega Souw-pangcu menyatakan kesanggupannya untuk membantu dan memberi dukungan.

Karena pemilihan permimpin besar kai-pang masih sebulan lagi, maka Sui In dan Lili meninggalkan perkumpulan itu, memasuki kota Lok-yang dan menghabiskan waktu untuk berpesiar ke seluruh daerah Lok-yang di mana terdapat banyak daerah wisata yang indah.

Dataran tandus di kaki pegunungan, di sebelah dalam Tembok Besar itu merupakan daerah yang amat sunyi. Letaknya di sebelah utara kota Peking. Daerah yang berbukit-bukit dan kadang diseling gurun pasir dan tandus itu merupakan daerah yang mati. Akan tetapi, ketika pasukan rakyat mengejar tentara Mongol pada akhir perang yang meruntuhkan kekuasaan Mongol, daerah ini merupakan daerah pertempuran besar-besaran. Banyak perajurit kedua pihak tewas di daerah ini. Juga banyak pula para pengungsi dan penduduk dusun yang ikut pula dibantai di tempat ini.

Biarpun perang itu sudah berlalu selama belasan tahun, namun masih banyak ditemukan rangka-rangka manusia berserakan di situ, tengkotak-tengkorak dan bahkan senjata-senjata tajam yang sudah berkarat.

Pada siang hari itu, seorang kakek melintasi daerah tandus yang terakhir dan kini dia melepas lelah di hutan pertama, di bawah pohon besar yang rindang, berteduh dari terik matahari. Di dalam perjalanan tadi dia memungut sebuah tengkorak yang bersih, dan kini dia duduk di bawah pohon sambil memegangi tengkorak itu, menghadapkan muka tengkorak kepadanya dan dia mengajak tengkorak itu bercakap-cakap!

Dia seorang pria tua, mungkin mendekati tujuh puluh tahun usianya. Pakaiannya jelek sekali, sudah robek di sana sini dan penuh tambalan. Akan tetapi anehnya, pakaian yang butut itu nampak bersih, seperti habis dicuci. Kedua kakinya telanjang tanpa alas kaki, dan celana yang robek dan buntung sebatas lutut itu memperlihatkan betis yang kecil kurus hampir tak berdaging. Kakek ini tubuhnya sedang akan tetapi kurus, kepalanya besar dan mukanya seperti muka singa karena rambut, cambang, kumis dan jenggotnya tebal dan awut-awutan melingkari muka itu.

Rambutnya sudah banyak yang putih, demikian pula kumis dan jenggotnya, dibiarkan tumbuh liar tak terpelihara rapi.

Akan tetapi rambut dan kumis jenggotnya halus seperti kapas, juga bersih, tanda bahwa biarpun dia tidak pernah menyisir rambutnya akan tetapi rambut dan kumis jenggot itu sering dicuci bersih. Sepasang matanya seperti mata kanak-kanak, nampak berseri gembira, mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi itupun selalu tersenyum, bibirnya merah tanda bahwa dia sehat.

Kalau dikatakan dia seorang kakek jembel, kurang pantas karena pakaian dan seluruh tubuhnya nampak sehat dan bersih. Akan tetapi kalau bukan jembel, kenapa pakaiannya penuh tambalan dan robek-robek. Sebuah caping lebar tergantung di punggungnya, baru saja dilepas dari atas kepalanya ketika dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon itu. Kini dia bicara kepada tengkorak yang dipegangnya, seperti orang bicara kepada seorang sahabatnya saja.

"Hayo jawablah!" Dia mengulang. "Selagi hidup engkau tentu cerewet bukan main, kenapa sekarang diam dalam seribu bahasa?" Dia terkekeh. Suara kakek itu lirih dan ringan, seperti suara anak-anak.

"Hayo katakan, apakah engkau dahulu seorang wanita yang cantik jelita ataukah wanita yang buruk rupa? Seorang laki-laki yang jantan perkasa ataukah seorang laki-laki yang lemah berpenyakitan? Apakah engkau dahulu seorang panglima? Ataukah perajurit biasa? Hartawan ataukah pengemis?"

Kalau ada orang lain melihat dan mendengatnya di saat itu, tentu kakek ini akan dianggap seorang yang tidak waras, seorang gila atau setidaknya sinting.

"Coba jawab. Engkau dahulu seorang pembesar yang jujur bijaksana, ataukah seorang pembesar yang korup dan penindas rakyat? Seorang hartawan yang dermawan ataukah yang pelit? Ataukah engkau seorang pendeta yang penuh kasih sayang dan arif bijaksana, ataukah seorang pendeta munafik yang pura-pura alim? Ha..ha..ha, apapun adanya engkau dahulu, sekarang tiada lebih hanya sebuah tengkorak! Mana itu kecantikan atau ketampananmu, mana hartamu, mana kedudukanmu? Ha..ha..ha, engkau kini hanya pantas untuk menakut-nakuti anak-anak saja!" Kakek itu tertawa-tawa.

"Heii, tengkorak! Selagi hidup haruslah ada manfaatnya! Jadilah seperti para pemimpin yang membimbing rakyat dengan bijaksana dan adil menuju ke arah kehidupan yang makmur, seperti para cerdik pandai yang memberi pelajaran yang bermanfaat bagi orang lain, seperti para pendekar yang selalu menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan, seperti para pendeta yang benar-benar mengabdi kepada Tuhan, memberi penyuluhan dan bimbingan kepada orang lain ke arah jalan benar. Mereka meninggalkan hasil karya dan nama baik mereka, sehingga matipun tidak menyesal karena sudah berjasa semasa hidupnya. Dan engkau, apa jasamu terhadap orang lain, terhadap negara dan bangsa, dan terutama terhadap Tuhan?"

Kini kakek itu tidak tertawa lagi, melainkan menghela napas panjang. Kemudian terdengar lagi dia berkata, "Kuharap saja engkau dahulu bukan seperti para muda yang tidak jujur, yang suka mengintai orang dan tidak berani muncul secara berterang, tengkorak. Kalau begitu halnya, engkau tidak pantas kuajak bicara!" Dia meletakkan tengkorak itu di atas tanah dan pada saat itu, dari balik sebatang pohon besar berloncatan keluar seorang pemuda dan seorang gadis.

Mereka tadi bersembunyi sambil mengintai dan mendengarkan ulah kakek jambel itu dengan terheran-heran, dan ucapan terakhir kakek itu yang menyindir mereka yang sedang mengintai, mengejutkan mereka dan keduanya segera berloncatan keluar. Mereka menghampiri kakek itu dan memberi hormat.

"Kakek yang baik, harap maafkan kami yang tadi bersembunyi di sana." Kata pemuda itu dengan sikap yang sopan.

Kakek itu terkekeh dan memandang kepada dua orang muda itu dan hatinya merasa senang. Dia adalah seorang kakek yang sudah banyak makan garam, sudah luas sekali pengalamannya dan dia dapat menilai orang hanya dengan melihat sinar matanya saja.

Pemuda itu berusia duapuluh satu tahun, berkulit gelap, tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tampan dan gagah. Dahinya lebar, sepasang alis tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang lebar dan bersinar-sinar. Akan tetapi mata yang bersinar tajam itu amat lembut dan ini saja sudah menyenangkan hati si kakek, apa lagi melihat pemuda itu begitu muncul sudah minta maaf kepadanya!

Dan gadis yang muncul bersama gadis itupun mengagumkan hatinya. Dara itupun sebaya dengan si pemuda, wajahnya lonjong dengan dagu runcing. Setitik tahi lalat menghias dagu kanannya. Matanya juga tajam bersinar, namun lembut. Bibirnya merah segar dan sikapnya halus dan anggun.

"He..he..heh!" kakek jambel itu terkekeh setelah mengamati wajah kedua orang muda itu. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. "Kenapa kalian minta maaf kepadaku? Tempat ini bukan milikku. Siapa saja boleh datang dan pergi. Akan tetapi kenapa kalian main sembunyi-sembunyi? Kalian bukan sepasang kekasih yang melarikan diri dari orang tua kalian, bukan?"

Wajah dua orang muda itu berubah kemerahan, akan tetapi keduanya tersenyum dan tidak menjadi marah. Ucapan kakek itu wajar dan sebagai kelakar yang sopan, tidak bermaksud menghina.

"Sama sekali bukan, locianpwe (orang tua gagah)."

"Heii! Kenapa engkau menyebut aku seorang jembel tua dengan sebutan locianpwe! Aku hanya pandai makan dan minta-minta!"

"Harap locianpwe tidak merendahkan diri. Locianpwe tadi dapat mengetahui bahwa kami bersembunyi, hal itu saja sudah menunjukkan bahwa locianpwe memiliki penglihatan dan pendengaran yang tajam sekali," kata pemuda itu.

Kakek itu memandang dengan kagum. "Haii, engkau cerdik juga. Nah, katakan mengapa kalian bersembunyi tadi."

"Kami melihat dan mendengar semua kata-katamu, locianpwe. Karena kami tidak ingin mengganggumu, maka kami bersembunyi. Ucapan locianpwe kepada tengkorak tadi sungguh menyentuh perasaan kami. Akan tetapi, locianpwe, mengapa locianpwe seperti orang yang berputus-asa dan melihat dunia ini dari seginya yang mengecewakan dan menyedihkan belaka? Bukankah masih banyak segi lain yang menggembirakan?"

Tiba-tiba sepasang mata yang lembut dan ramah itu mencorong, mengejutkan hati pemuda itu. Lalu kakek itu menghela napas panjang, pandang matanya melembut kembali. "Aihhh, siapa yang tidak akan merasa kecewa dan bersedih, orang muda? Kalau aku mengenang semua peristiwa yang terjadi selama beberapa tahun ini, sejak perang yang meruntuhkan pemerintah penjajah Mongol. Aihh, sungguh menyedihkan ......"

Pemuda itu mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, locianpwe, bukankah peristiwa itu amat membahagiakan rakyat? Bukankah perang itu yang berhasil melepaskan rakyat dari pada cengkeraman penjajah? Kenapa locianpwe malah menyatakan kecewa dan sedih? Bukankah sudah selayaknya kalau kita bersyukur, bahkan kalau bisa membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah?"

Kakek itu menatap wajah pemuda yang bicara dengan sikap penasaran itu beberapa lamanya, kemudian dia tertawa bergelak sambil memandang ke angkasa. "Ha..ha..ha..ha, lucunya! Engkau memberi kuliah kepadaku tentang perjuangan? Ha..ha..ha, orang muda, ketahuilah bahwa selama perang melawan Mongol, aku selalu berada di garis terdepan!"

Pemuda dan gadis itu cepat memberi hormat. "Kiranya locianpwe seorang pahlawan!" kata gadis itu, baru pertama kali bicara.

"Apa pahlawan? Apa artinya sebutan itu? Kalian tahu, ketika rakyat bergerak dan berjuang melawan penjajah Mongol, aku merasa bangga dan gembira bukan main. Hampir dapat dikatakan bahwa semua golongan, tidak perduli dari aliran mana, bersatu padu dan bekerja sama, bahu membahu dalam perjuangan, rela setiap saat berkorban nyawa. Akan tetapi, kegembiraan itu hanya sebentar! Aih, seperti awan tipis tertiup angin saja. Segera terganti kedukaan ketika aku melihat betapa perang itu mengakibatkan jatuhnya korban yang teramat besar. Banyak rakyat jelata yang tidak berdosa menjadi korban, Tidak perduli wanita, kanak-kanak, orang-orang jompo, semua tak terkecuali, banyak yang roboh dibantai orang! Perang itu mengakibatkan banjir darah!"

"Apa anehnya hal itu, locianpwe? Setiap peperangan tentu saja menjatuhkan banyak korban. Setiap perjuangan tentu saja membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan rakyat tidak sia-sia, locianpwe. Mereka yang tewas dalam perang itu. baik dia perajurit maupun rakyat, adalah pahlawan dan darah mereka yang membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah. Kematian mereka yang mendatangkan kebebasan dan kemakmuran .........."

"Kemakmuran siapa, orang muda? Inilah yang menyedihkan hatiku. Kami dahulu dengan senang hati membantu perjuangan yang dipimpin pendekar Cu Goan Ciang yang gagah perkasa, bahkan sampai sekarangpun, setelah menjadi Kaisar Thai-cu, kami masih menaruh rasa hormat kepada dia. Dia memang seorang pejuang sejati, seorang pemimpin sejati. Sekarang pun dia menjadi kaisar yang bijaksana, yang tidak mabok kemenangan, tidak mabok kemuliaan dan kesenangan. Dia terus membangun yang rusak oleh perang, dibantu oleh para pejabat yang setia dan bijaksana .........."

"Nah, bukankah hal itu menggembirakan sekali, locianpwe?"

"Uhhh, engkau hanya tahu satu tidak tahu selebihnya yang jauh lebih banyak. Aku melihat hal-hal yang menyedihkan sebagai akibat perang, atau menyusul perjuangan yang luhur itu. Kalau dahulu, semua golongan bersatu padu menyerang penjajah, ehh, sekarang malah terjadi perpecahan antara kita dengan kita sendiri, karena saling berebutan! Saling memperebutkan pengaruh, kedudukan dan kekuasaan yang pada hakekatnya saling memperebutkan kesenangan duniawi! Orang-orang tidak mungkin akan memperebutkan pengaruh, kedudukan dan kekuasaan kalau di situ tidak terdapat kesenangan! Jadi, yang diperebutkan adalah kesenangan! Dan dalam perebutan ini, mereka tidak segan-segan untuk saling serang dan saling bunuh! Bukan itu saja, akan tetapi lihat keadaan para pembesar! Mereka tidak pantas disebut pemimpin, mereka adalah pembesar yang membesarkan perut sendiri. Mereka melakukan korupsi, mencuri dan menipu uang negara, menindas yang bawah menjilat yang atas, bahkan banyak yang lebih tamak dan lebih murka dibandingkan penjajah Mongol sendiri! Dan Kaisar yang bijaksana itu bagaimana mungkin dapat mengetahui semua yang terjadi di antara laksaan orang pejabatnya?"

"Akan tetapi, locianpwe, aku tidak setuju! Tidak semua pejabat seperti yang locianpwe katakan tadi! Masih banyak yang merupakan pejabat sejati, setia kepada pemerintah, jujur dan tidak mementingkan diri sendiri!" Gadis itu kini berseru penasaran.

"Ha..ha..ha, hanya berapa gelintir orang saja yang seperti itu? Dan ..... eh, kenapa aku bicara dan berdebat dengan dua orang muda yang sama sekali tidak kukenal?" Dia menepuk kepala sendiri dan mengomel, akan tetapi sambil tersenyum, "Bu Lee Ki, engkau tua bangka pikun. Sekali waktu bisa celaka oleh celotehmu sendiri!"

Melihat kakek itu kini mengatupkan bibir kuat-kuat dan duduknya bahkan membelakangi mereka, pemuda itu saling pandang dengan si gadis dan keduanya tersenyum.

"Locianpwe, maafkan kami berdua yang masih muda dan lupa untuk memperkenalkan diri kepada locianpwe. Namaku Sin Wan dan ini adalah sumoiku bernama Lim Kui Siang.

Kakek itu tidak menoleh, masih duduk membelakangi mereka, seperti acuh saja. Sin Wan dan Kui Siang kembali saling pandang.

Mereka berdua baru saja meninggalkan guru mereka yang tinggal seorang, yaitu Ciu-sian (Dewa Arak) Tong Kui yang telah berhasil mengajarkan Sam-sian Sin-ciang kepada dua orang muridnya itu. Selama hampir setahun dua orang murid itu dengan tekun melatih diri dengan ilmu silat baru hasil ciptaan Tiga Dewa. Setelah Dewa Arak melihat bahwa dua orang muridnya sudah benar-benar menguasai ilmu silat sakti itu, diapun menyuruh mereka turun gunung.

"Aku hendak menghabiskan sisa hidupku di sini, menanti uluran tangan maut yang akan membawa aku menyusul dua orang gurumu yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita. Kalian pergilah dan pergunakan semua kepandaian yang pernah kalian pelajarl dari kami demi keadilan dan kebenaran. Kui Siang, sebaiknya engkau kembali ke kota raja. Tentu semua harta peninggalan orang tuamu berikut rumahmu masih dirawat baik-baik oleh Ciang-Ciangkun. Dan engkau, Sin Wan, terserah kepadamu hendak ke mana, akan tetapi ..... biarlah sekarang kuceritakan kepada kalian suatu keinginan hati yang sudah kami sepakati bertiga ketika dua orang gurumu yang lain masih hidup. Kami ingin melihat kalian menjadi suami isteri ........"

"Suhu ....!" Kui Siang berseru lirih dan mukanya menjadi merah sekali. Ia hanya menunduk. Juga wajah Sin Wan menjadi kemerahan, dan diapun tidak berani berkutik, hanya menunduk.

Sejak masih kecil, hatinya sudah penuh kasih sayang terhadap Kui Siang. Dia menganggap gadis itu seperti adiknya sendiri, Demikian pula Kui Siang nampak sayang kepadanya. Mungkin kebersihan hati mereka berdua saja yang belum sempat membiarkan panah asmara menembus hati mereka. Karena itu, begitu Dewa Arak secara terang-terangan menyatakan keinginannya, juga keinginan dua orang guru mereka yang telah tiada, mereka menjadi tertegun dan malu.

"Aihhh, Sin Wan dan Kui Siang. Kalian sudah tahu akan watakku. Aku menjunjung tinggi kebebasan setiap orang dan dalam hal perjodohan, tentu saja tidak boleh ada penekanan dari orang lain. Aku hanya memberitahukan keinginan kami bertiga, hanya mengusulkan saja. Sama sekali tidak akan memaksakan. Terserah kepada kalian berdua. Hanya aku yakin, kedua orang gurumu yang sudah tiada, juga aku sendiri, akan merasa gembira dan puas sekali kalau kalian menjadi suami isteri. Nah, sekarang pergilah kalian, dan jangan mencari aku di sini karena mungkin aku tidak berada di sini lagi. Kalau aku ingin bertemu kalian, aku yang akan mencari kalian."

Demikianlah, dua orang murid itu lalu meninggalkan Dewa Arak dan karena ia tidak mempunyai tujuan lain, Kui Siang pergi ke kota raja, ditemani Sin Wan. Pemuda inipun tidak mempunyai tujuan. Dia hanya menemani sumoinya pulang ke kota raja, baru kemudian dia akan melanjutkan perjalanan, entah ke mana. Mereka sengaja mengambil jalan memutar untuk mencari pengalaman dan pada hari itu, tibalah mereka di hutan dekat daerah tandus itu dan tertarik oleh ulah kakek tua jembel yang bicara dengan sebuah tengkorak.

Kini, kakek tua jembel itu masih duduk membelakangi mereka. Karena Sin Wan dan Kui Siang menganggap bahwa kakek itu menjadi marah dan tidak mau lagi bicara dengan mereka, maka Sin Wan memberi isyarat dengan matanya kepada sumoinya. Kalau orang tua ini tidak lagi mau bicara, merekapun tidak sepantasnya mengganggunya.

"Maafkan, locianpwe. Kami berdua telah lancang mengganggu locianpwe dan sekarang kami hendak pergi saja."

Akan tetapi baru saja keduanya bangkit berdiri, terdengar kakek itu bertanya tanpa menoleh, "Nanti dulu, katakan dulu siapa guru kalian."

Sin Wan saling pandang dengan Kui Siang. Mereka ragu-ragu. Kakek jembel yang tadinya kelihatan amat ramah itu kini seperti orang yang angkuh. Mereka sudah memperkenalkan diri, akan tetapi kakek itu tidak mengatakan siapa dia, dan kini malah menanyakan nama guru mereka. Pada hal mereka tahu benar bahwa tiga orang guru mereka sama sekali tidak ingin nama mereka disebut-sebut kalau tidak penting sekali. Agaknya, kakek itu dapat membaca isi hati mereka.

"Hemm, jangan kalian menaruh curiga kepadaku. Aku Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki tidak ingin banyak bicara dengan sembarang orang. Katakan siapa guru kalian agar aku dapat memutuskan untuk melanjutkan percakapan kita ataukah tidak."

Mendengar nama julukan Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Berhatl Putih) itu, dua orang muda ini tercengang. Mereka pernah mendengar disebut nama julukan itu oleh Dewa Arak, dan guru mereka itu mengatakan bahwa Pek-sim Lo-kai adalah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang tidak palsu dan amat dihormatinya.

"Aih, kiranya locianpwe adalah pemimpin besar seluruh kai-pang!" seru Sin Wan.

"Ketiga orang suhu kami, Sam-sian, pernah mencerltakan tentang locianpwe!" kata pula Kui Siang.

Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri sambil membalikkan tubuhnya, menghadapi dua orang muda itu, wajahnya berseri dan senyumnya melebar sehingga matanya menjadi sipit sekali, kemudian dia bahkan tertawa ha..ha..he..he seperti tadi lagi.

"Heh..heh..heh, kiranya kalian adalah murid-murid Sam-sian! Ha..ha..ha, kalau begitu kita bukan orang lain karena Sam-Sian sudah lama kuanggap sebagai sahabat-sahabat yang paling baik! Bagaimana kabarnya dengan mereka bertiga? Apakah Ciu-sian tetap mabok-mabokan dan ugal-ugalan, Kiam-sian masih suka berfilsafat dengan pelajaran To, Pek-mau-sian masih suka bersajak?"

Mendengar ini, terbayanglah di depan mata Kui Siang semua itu, wajah ketiga orang gurunya, terutama Kiam-sian dan Pek-mau-sian, dan semua sikap dan gerak-gerik mereka, dan tak tertahankan lagi, kedua matanya menjadi basah.

Biarpun tadi tersenyum dan matanya menyipit nyaris tertutup, ternyata penglihatan kakek itu tajam sekali. Air mata itu belum sempat jatuh, masih tergenang di pelupuk mata, akan tetapi dia sudah cepat menegur.

"Heiiii? Kenapa engkau menangis? Apa yang terjadi dengan Sam-sian?" tanyanya kepada Kui Siang.

Dangan muka ditundukkan karena ia tidak ingin memperlihatkan tangisnya, Kui Siang menjawab, "Suhu Kiam-sian dan suhu Pek-mau-sian telah meninggal dunia lebih setahun yang lalu."

Mendengar ini, hanya sejenak saja kakek itu tertegun, lalu dia terkekeh lagi. "Heh..heh..heh, enaknya kalian, Kiam-sian dan Pek-mau-sian! Tidak seperti aku yang masih terseok-seok mengikuti langkah kakiku yang sudah mulai lemah terhuyung ini. Heh..heh. Dan di mana sekarang Dewa Arak?"

Cara kakek itu membicarakan Sam-sian menunjukkan bahwa dia memang sahabat karib mereka, maka Sin Wan yang memberi keterangan. "Suhu Ciu-sian menyuruh kami meninggalkannya dan suhu hendak merantau, entah ke mana karena tidak memberitahu kepada kami berdua."

"Aihh, masih enak dia dari pada aku. Dia bebas, dan aku? Terikat oleh kaipang-kaipang yang brengsek itu! Dahulu, di jaman perjuangan, mereka itu demikian setia, demikian gagah perkasa dan bersatu! Sekarang? Muak aku melihatnya. Saling bermusuhan, saling berebutan, bahkan banyak yang kemasukan kaum sesat! Sangguh memalukan. Karena itu, lebih baik aku merantau dan menjauhi semua tetek-bengek itu!" Baru sekarang nampak wajah yang biasanya berseri itu digelapkan mendung kemurungan. "Mereka itu munafik semua munafik! Segala kebaikan, segala kehormatan, segala keramahtamahan, semuanya munafik! Sama dengan bedak gincu saja, untuk menyembunyikan kulit yang buruk."

Dia menarik napas panjang dan memandang wajah Kui Siang. "Tidak ada hubungannya dengan engkau, anak baik. Engkau memiliki wajah yang cantik dan bersih, tidak membutuhkan bedak gincu lagi!"

Diam-diam Sin Wan terkejut. Menurut guru-gurunya, Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki adalah seorang sakti yang gagah perkasa dan ditakuti, juga disegani oleh kawan dan lawan. Dia lihai akan tetapi berhati lembut, adil dan pandai mengatur sehingga seluruh perkumpulan pengemis dari empat penjuru memilih dia sebagai pemimpin besar yang disebut Thai-pangcu (Ketua Besar) dan ditaati seluruh pimpinan semua perkumpulan pengemis. Akan tetapi, sekarang tokoh ini meninggalkan perkumpulan, melarikan diri dari semua hal yang membuatnya kecewa dan penasaran.

"Maaf, locianpwe. Sudah berapa lamakah locianpwe meninggalkan kai-pang?"

"Heh..heh, biar mereka tahu rasa. Biar mereka memilih sendiri pimpinan mereka, agar pimpinan yang baru itu mampus karena pusing kepala! Aku tidak sudi lagi, aku sudah meninggalkan kesemuanya itu sudah bertahun-tahun sedikitnya ada tujuh tahun!"

"Tapi, locianpwe. Menurut para guruku, hanya locianpwe seorang yang dipandang oleh seluruh pimpinan kai-pang di empat penjuru, hanya locianpwe yang dapat mengatur dan mengarahkan mereka agar mereka tetap berjalan di jalan yang benar. Bukankah locianpwe pula yang dahulu memimpin mereka semua membantu perjuangan menumbangkan pemerintah Mongol? Kenapa locianpwe sekarang malah meninggalkan mereka?"

"Biar! Heh..heh, siapa sudi mengurus orang-orang brengsek itu? Setelah perjuangan selesai, mereka ikut-ikut dengan orang-orang sesat untuk memperebutkan harta benda dan kedudukan, menuntut imbalan jasa atas perjuangan menumbangkan penjajah!"

"Maaf, locianpwe, bukankah itu wajar? Bukankah mereka yang telah berjasa dalam perjuangan memang berhak menerima imbalan?" Sin Wan mengejar, hanya untuk memancing pendapat kakek itu karena dia sendiri sudah melihat betapa sesatnya perbuatan itu.

Sepasang mata itu melotot. "Hehh? Kau hendak menguji aku atau bersungguh-sungguh? Kalau sungguh-sungguh, tidak pantas engkau menjadi murid Sam-sian, apakah guru-gurumu hanya mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan saja dan tidak membuka matamu melihat kenyataan hidup?"

"Maaf, saya mengharapkan petunjuk dan pelajaran yang amat berharga dari locianpwe." kata Sin Wan.

"Hemm, kalau berjuang mengharapkan imbalan jasa, maka itu bukan perjuangan namanya! Makna perjuangan yang luhur, pengabdian kepada nusa bangsa dengan taruhan nyawa, menjadi pudar dan diisi dengan pamrih demi keuntungan diri pribadi. Pejuang seperti itu dapat melakukan penyelewengan dengan mudah karena yang dipentingkan adalah pamrihnya. Berjuang hanya mempunyai satu tekad, yaitu menghalau penjajah dan membebaskan bangsa dan negara dari belenggu kekuasaan Mongol. Itu saja! Tentu saja setelah berhasil, dilanjutkan dengan mengisi kemerdekaan yang telah diperoleh dengan pengorbanan harta dan nyawa itu. Dan pengisiannya juga merupakan perjuangan yang sama luhurnya, yaitu demi negara dan bangsa, bukan demi penuhnya kantung sendiri, demi keuntungan dan kesenangan diri sendiri! Dan lihat, mereka mulai saling bermusuhan berebutan seperti segerombolan anjing kelaparan memperebutkan tulang-tulang yang berserakan. Memalukan!"

"Dan melihat hal seperti itu, locianpwe malah menjauhkan diri? Sudah benarkah tindakan locianpwe itu?" Sin Wan menegur sambil mengerutkan alisnya yang tebal.

"Eh? Apa maksudmu?"

"Locianpwe, perjuangan suci bukan hanya memerdekakan negara dan bangsa lalu disusul dengan usaha memakmurkan rakyatnya saja. Kalau melihat ada orang-orang yang tidak benar dan berambisi menyenangkan diri sendiri, berarti melihat tikus-tikus yang hendak menggerogoti sarana kemakmuran bagi rakyat. Melihat begitu dan mendiamkannya saja, bahkan menjauhkan diri, sudah benarkah itu? Bukankah berusaha dengan tindakan mencegah terjadinya semua penyelewengan itu, menghentikan semua permusuhan antara bangsa sendiri, antara golongan sendiri, membersihkan mereka yang menipu dan mencuri milik negara, menjamin keamanan bagi rakyat jelata, bukankah itupun merupakan perjuangan yang luhur pula?"

Kakek itu membelalakkan mata memandang kepada Sin Wan, akan tetapi tidak marah, melainkan tersenyum lucu. "Ehh? Ehh, lanjutkan, lanjutkan!" katanya penuh gairah.

"Kehidupan di seluruh alam mayapada ini dikuasai oleh dua unsur, locianpwe, yaitu Im (negatif) dan Yang (positif). Keduanya ini yang memutar seluruh alam dan isinya, seluruh kejadian dan seluruh sifat. Bagaimana ada Yang tanpa Im? Bagaimana ada Terang tanpa Gelap, ada Kebaikan tanpa Keburukan dan sebagainya? Hidup ini merupakan tantangan, locianpwe, justeru di sini letaknya seni hidup. Kita harus hadapi setiap tantangan, menghadapinya dan mengatasinya! Bukan melarikan diri! Inipun perjuangan namanya, perjuangan hidup, yaitu menghadapi dan mengatasi semua tantangan, dengan landasan benar! Tidakkah demikian, locianpwe? Ataukah locianpwe hanya pura-pura saja tidak tahu karena saya yakin locianpwe lebih tahu dari pada kami orang-orang muda ini?"

"Siancai ........! Ini baru suara murid Sam-sian! Hei, orang muda yang baik, engkau menjatakan tadi tentang landasan benar! Nah, kata "benar" ini bagaimana? Setiap orang akan menganggap dirinya benar! Kalau aku sampai berkelahi denganmu, pasti aku akan merasa diriku benar dan engkaupun demikian. Lain, kalau kita berdua merasa benar, lalu siapa yang tidak benar?"

"Locianpwee kalau locianpwe merasa benar dan sayapun merasa benar sehingga kita saling bermusuhan, maka jelaslah bahwa kita berdua sama-sama tidak benar! Kebenaran tak dapat diperebutkan, tidak dapat dimonopoli seseorang. Kebenaran yang dibela dengan kekerasan sehingga bermusuhan, jelas bukan kebenaran lagi."

"Heh..heh..heh, lalu apa maksudmu mengatakan dengan landasan benar tadi? Kebenaran yang mana yang kau maksudkan?"

"Maaf, locianpwe, kalau pengertian saya masih dangkal dan keliru, mohon petunjuk. Kebenaran mutlak, yang Maha Benar hanyalah Tuhan Yang Maha Esa, yang lainnya, yaitu kebenaran yang diaku oleh manusia hanyalah kebenaran semu yang setiap waktu dapat dinyatakan tidak benar, tergantung waktu, keadaan dan lingkungan. Yang saya maksudkan dengan landasan benar tadi, locianpwe, adalah apabila tindak kita tidak didasari pamrih demi kepentingan dan keuntungan diri pribadi. Yang penting itu pamrihnya, bukan perbuatannya. Betapapun baik dan indah nampaknya suatu perbuatan, kalau didasari pamrih yang mementingkan diri pribadi, maka perbuatan itu palsu adanya."

"Heh..heh..heh, engkau terlalu keras, orang muda ..... eh, siapa namamu tadi? Sin Wan? Aku mulai tertarik kepadamu. Di dunia ini mana ada manusia yang bebas dari pamrih? Setidaknya manusia membutuhkan sandang pangan dan papan, dan berhak menikmati hidupnya dan bersenang-senang!"

"Tentu saja, locianpwe. Tuhan tidak mungkin menciptakan manusia untuk bersengsara-sengsara. Akan tetapi sekali kebutuhan akan kesenangan itu menjadi majikan, kita akan diperhamba oleh nafsu dan kita akan dibawa ke jalan sesat."

"Ha..ha..ho..ho..ho, bagus sekali, Sin Wan. Dari Sam-sian kah engkau memperoleh semua pengetahuan akan kehidupan ini?"

"Kewaspadaan akan kehidupan bukanlah pelajaran yang harus dihafalkan dan diingat-ingat, locianpwe, melainkan timbul dari kesadaran akan rasa diri, akan seluruh isi alam dan terutama akan Penciptanya, yaitu Allah Yang Maha Tunggal, Maha Besar, dan Maha Kuasa."

Kakek itu tertawa bergelak, lalu menoleh kepada Kui Siang. "Dan bagaimana dengan engkau, siapa namamu tadi, Lim Kui Siang? Bagaimana dengan engkau? Bukankah engkau juga murid Sam-sian dan digembleng dengan kebijaksanaan yang sama?"

Kui Siang tersenyum. "Locianpwe, aku hanyalah seorang gadis bodoh, tidak dapat dibandingkan dengan suheng, baik dalam hal ilmu silat maupun pengetahuan tentang hidup dan filsafat. Dia memang pintar!"

Sin Wan tersenyum. "Jangan percaya ucapannya, locianpwe. Sumoi hanya merendahkan diri. Ilmu silatnya hebat, saya sendiri belum tentu akan mampu menandinginya. Dan ia adalah puterl seorang bangsawan tinggi yang setia dan baik."

"Suheng ......!" Gadis itu berseru hendak mencegah suhengnya bercerita tentang itu. Namun sudah terlanjur dan Sin Wan yang merasa bersalah segera berkata, suaranya menghibur.

"Maaf sumoi. Kurasa tiada halangannya locianpwe ini mengetahui tentang keadaanmu. Dia adalah sahabat baik dari guru-guru kita."

"Heh..heh..heh, nona Lim Kui Siang, tidak diberitahupun orang mudah saja menduga bahwa engkau tentulah mempunyai darah bangsawan! Hal itu dapat nampak pada sikap dan gerak-gerikmu yang anggun dan lembut. Bangsawan she Lim di kota raja yang setia? Hemm, aku pernah mengenal bangsawan Lim yang menjadi Jaksa Agung di kota raja. Itukah orang tuamu ?"

Kui Siang menggeleng. Sekarang sudah tidak perlu merahasiakan keluarganya yang sudah tiada. "Bukan, locianpwe, dan harap locianpwe tidak menyebut nona kepadaku. Ayahku tidak menjadi jaksa, melainkan bertugas sebagai pengurus gudang pusaka di kota raja."

"Pengurus gudang pusaka? Ah, kalau begitu tentu seorang yang terpelajar tinggi! Ingin sekali-kali aku menemui orang tuamu dan berkenalan."

"Locianpwe, ayah ibu sumoi sudah meninggal dunia," kata Sin Wan.

"Ahh!" Senyum itu menghilang dari bibir si pengemis tua. "Kiranya engkau sudah yatim piatu?"

"Ayahku terbunuh orang ketika melaksanakan tugasnya, locianpwe. Ketika pusaka-pusaka kerajaan dicuri orang, ayah menjadi korban, dibunuh oleh pencuri pusaka."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku pernah mendengar berita tentang hilangnya pusaka-pusaka itu, akan tetapi karena aku sudah tidak tertarik lagi akan urusan dunia ramai, akupun tidak memperhatikan. Siapa sih orang yang begitu berani mencuri pusaka dari kerajaan?"

"Pencurinya adalah Hui-ciang Se Jit Kong," kata Kui Siang.

"Aha, Si Tangan Api yang tersohor itu? Ingin sekali-kali aku mencoba kelihaian tangan apinya. Kabarnya dia merajalela dan mengalahkan banyak tokoh besar dunia persilatan."

"Dia sudah tewas, locianpwe," kata Sin Wan. "Ketiga guru kami mendapat tugas dari Kaisar untuk mencari pusaka-pusaka itu dan berhasil merampasnya kembali dari Se Jit Kong yang tewas di tangan mereka."

"Wahai ...... sayang sekali! Nah, Sin Wan, engkau tadi menyalahkan tindakanku yang meninggalkan kai-pang. Nah, katakan, kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan?"

"Maaf, sama sekali saya tidak berani menyalahkan tindakan locianpwe. Saya hanya mengingatkan dan mengajak locianpwe bertukar pikiran. Sekarang ini penjajah telah terusir pergi. Negara dan bangsa dipimpin oleh tangan bangsa sendiri yang berarti merupakan tindak lanjut dari perjuangan merebut kemerdekaan. Kalau dahulu, di waktu perjuangan merebut kemerdekaan, locianpwe dengan gigih ikut membantu. Kenapa sekarang tidak? Kiranya justeru sekarang ini, para kai-pang perlu disatupadukan untuk membantu pemerintah mengisi kemerdekaan."

"Heh.. heh, sudah kukatakan, aku muak dengan semua itu! Mereka itu palsu dan penyelewengan terjadi di mana-mana. Kalau aku terjun kembali, bukankah aku akan membiarkan diriku bergelimang dengan penyelewengan? Bermain dengan lumpur tentu kotor!"

"Belum tentu, locianpwe! Sekali emas, biar terpendam dilumpurpun akan tetap emas mengkilat. Sekali teratai, biar hidup di atas lumpurpun akan tetap indah dan bersih. Bahkan kalau locianpwe terjun kembali, locianpwe akan dapat menangani semua penyelewengan itu, membelokkan ke jalan benar. Kalau locianpwe melarikan diri dari kenyataan seperti ini, bukankah hal itu berarti locianpwe memembantu makin memburuknya keadaan? Locianpwe, selagi hidup, kalau tidak membuat tindakan yang bermanfaat bagi dunia, lalu apa artinya hidup?"

Sepasang mata itu terbelalak. "Heii, orang muda! Enak saja engkau bicara. Orang bicara harus berani mempertanggung jawabkan ucapannya. Pendapatmu itu jangan kaujejalkan dan paksakan saja kepada orang lain untuk melaksanakannya, akan tetapi juga untuk dirimu sendiri! Kalau orang hanya memberi nasihat dan dorongan kepada orang lain akan tetapi diri sendiri tidak berbuat, perbuatan itu seperti sikap para pembesar korup yang menganjurkan ini itu kepada rakyat namun dia sendiri tidak melaksanakannya! Beranikah engkau membantuku kalau aku terjun kembali ke dunia ramai, menertibkan para kai-pang dan membantu pemerintah mengisi kemerdekaan?"

Sin Wan adalah seorang pemuda yang berwatak gagah dan bertanggung jawab. Mendengar pertanyaan itu, tanpa ragu-ragu lagi diapun menjawab, "Tentu saja saya berani dan sanggup membantu locianpwe!"

"Bagus!" Kakek itu terkekeh girang sekali. Sekarang kalian berdua bersiap-siaplah untuk melawan aku, heh..heh..heh!"

Tentu saja dua orang muda itu terkejut bukan main. "Apa maksud locianpwe?" Kui Siang berseru. "Aku tidak ingin berkelahi denganmu!"

"Anak bodoh, siapa yang mau berkelahi dengan siapa? Setiap kali aku bertemu Sam-sian, tentu mereka akan kuajak berlatih silat. Kini mereka tidak berada di sini, dan yang kutemui adalah murid-murid mereka. Nah, sebagai murid, kalian harus mewakili Sam-sian untuk berlatih dengan aku. Bersiaplah, kita berlatih beberapa jurus!"

Sin Wan maklum akan isi hati kakek ini. Setelah menerima kesanggupannya untuk membantu kakek itu terjun lagi ke dunia persilatan, tentu kakek ini ingin menguji kepandaiannya. Dia tidak ingin sumoinya terilbat, karena maklum, betapa besar bahayanya berkecimpung di dunia persilatan di mana terdapat banyak tokoh yang menyeleweng seperti yang disesalkan kakek itu, Maka, diapun berkata, "Locianpwe, biarlah saya mewakili ketiga orang guru kami. Sumoi adalah seorang wanita yang tidak semestinya terlibat dalam urusan ini, maka biarlah saya sendiri yang menghadapi locianpwe."

"Heh..heh..heh, kalau menghadapi Sam-sian, tentu aku minta mereka maju satu demi satu. Akan tetapi engkau hanya muridnya, bagaimana mungkin dapat menandingi aku? Majulah kalian berdua, baru akan seimbang, heh..heh!"

"Kita sama lihat saja, locianpwe. Kiranya tidak sia-sia ketiga orang guruku selama ini menggembleng dan mengajarkan ilmu-ilmu mereka kepada saya!" kata Sin Wan tenang.

"Ilmu kepandaian sumoi tidak banyak selisihnya dengan saya, maka dengan mengukur tingkat saya, locianpwe sudah akan dapat pula mengetahui kemampuan sumoi."

"Bagus! Melawan seorang di antara Sam-sian, sampai ratusan jurus belum ada yang kalah atau menang. Yang terakhir kalinya, ketika melawan Kiam-sian kami berdua menghabiskan gerakan hampir seribu jurus dan belum ada yang kalah atau menang. Kalau engkau ini muridnya mampu bertahan sampai seratus jurus saja sudah kuanggap bagus sekali. Nah, bersiaplah!"

Kakek itu menggerakkan sebatang tongkat dan caping lebarnya tergantung di punggung. Tongkat itu bukanlah tongkat luar biasa, melainkan sepotong ranting yang baru saja dibersihkan daun-daunnya, masih basah dan besarnya hanya selengan wanita, panjangnya satu meter lebih.

Sin Wan maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat lihai, yang mampu menandingi mendiang suhunya, Dewa Pedang, sampai beribu jurus! Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi diapun mencabut pedangnya yang butut dari balik jubahnya.

Sinar hijau nampak berkelebat ketika pedang dicabut, akan tetapi biarpun mengeluarkan sinar hijau yang aneh, ketika pedang itu dipegang lurus menunjuk ke langit di depan mukanya, pedang itu hanya merupakan sebatang pedang yang jelek dan tumpul.

"Pedang tumpul ....??!!" kakek itu berseru kagum dengan mata terbelalak. "Pedang pusaka yang pernah mengangkat nama besar Jenghis Khan! Bukankah itu menjadi pusaka kerajaan?"

"Ketiga orang suhu saya menerima hadiah dari Kaisar karena berhasil mengembalikan pusaka-pusaka yang hilang, dan pedang ini merupakan satu di antara hadiah-hadiah itu, locianpwe."

"Pedang tumpul .......! Bagus, aku ingin melihat apakah engkau patut menjadi majikannya. Nah, sambut seranganku ini!" Tiba-tiba saja tongkat di tangan kakek itu lenyap, berubah menjadi gulungan sinar yang seperti ombak samudera menerjang ke arah Sin Wan.

"Ini Lam-hai-tung-hwat (Ilmu Tongkat Laut Selatan). Ilmuku terbaru yang belum pernah dilihat Sam-sian!" kakek itu berseru dari balik gulungan sinar kelabu yang menyelimuti bayangannya itu.

Maklum bahwa dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya yang paling tinggi, Sin Wan juga tidak membuang waktu lagi. Langsung dia mainkan ilmu yang baru saja dipelajarinya dengan tekun selama setahun dari Dewa Arak, yaitu Sam-sian Sin-ciang! Ilmu ini dapat dimainkan dengan tangan kosong sesuai namanya, yaitu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa), akan tetapi juga dapat dimainkan dengan menggunakan pedang!

Maka, begitu gulungan sinar kelabu dari tongkat kakek itu menyambar-nyambar dan tiba-tiba dari gulungan sinar itu mencuat sinar kecil meluncur ke arah dadanya dengan totokan yang cepat bagaikan kilat. Sin Wan sudah menggerakkan pedangnya menangkis dan diapun langsung membalas dengan memainkan ilmu silat Sam-sian Sin-ciang.

Melihat pedang tumpul yang tadinya menangkis tongkatnya itu tiba-tiba saja berputar dan menyambarnya dengan gerakan melengkung, kakek itu terkejut dan kagum. Anak ini telah menguasai tenaga sakti sepenuhnya sehingga dapat mengubah yang keras menjadi lemas seketika! Dia mengelak dari sambaran sinar hijau pedang itu, lalu memainkan Lam-hai Tung-twat dengan hati-hati dan cepat.

Sin Wan mengimbangi kecepatan gerakan kakek itu sehingga Kui Siang yang menjadi penonton tunggal, tertegun dan kagum. Dua orang yang sedang bertanding itu tidak nampak lagi, yang nampak hanyalah dua gulungan sinar kelabu dan hijau yang saling terjang, saling belit dan saling desak. Dua orang itu mengandalkan ketangguhan ilmu silat yang aneh itu disertai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat tinggi.

Selama sepuluh tahun menjauhkan diri dari dunia persilatan, kakek itu sama sekali tidak pernah berkelahi, akan tetapi juga tidak pernah meninggalkan latihan. Bahkan dia telah menyempurnakan ilmu-ilmunya, menggabung jurus-jurus terampuh menjadi satu dan menciptakan ilmu tongkat Lam-hai Tung-hoat. Tadinya dia mengira bahwa tentu sebelum seratus jurus, dia akan mampu mengalahkan pemuda murid Sam-sian itu dengan llmu tongkatnya yang baru. Akan tetapi ternyata, pemuda dengan Pedang Tumpul itu bukan saja mampu bertahan, bahkan mengimbangi semua kecepatannya dan membalas serangan tidak kalah gencarnya sehingga keadaan mereka dapat dikatakan seimbang!

Dan sudah hampir seratus jurus lewat dan dia sama sekali tidak mampu mendesak Diam-diam dia merasa girang sekali. Mendapatkan seorang pembantu seperti ini sungguh menyenangkan dan menguntungkan! Diapun tahu bahwa kalau dilanjutkan mengandalkan kecepatan yang dapat diimbangi pemuda itu, akhirnya dia yang malah kalah, yaitu kalah dalam hal pernapasan. Napasnya akan habis sebelum pemuda itu terengah-engah!

"Hyaaaattt .....!" Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan kini tongkatnya digerakkan mengandung tenaga yang dahsyat, tenaga sakti dikerahkan dan dipusatkan pada gerakan menusuk itu.

Sin Wan dapat merasakan datangnya sambaran angin yang dahsyat dan tahulah dia bahwa kakek itu mengerahkan tenaga sakti yang amat kuat. Maka diapun cepat mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan kuat untuk mencoba sampai di mana kekuatan kakek itu.

"Crakkk .........!!!"

Pertemuan antara ranting dan pedang itu membuat tanah di sekelllingnya seperti tergetar hebat dan Sin Wan terdorong ke belakang sampai dua langkah sedangkan kakek itu sama sekali tidak, hanya merasakan tangannya tergetar saja. Hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa dalam hal tenaga sakti, pemuda itu masih kalah. Namun, cukup membuat Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki kagum bukan main. Jarang ada tokoh kang-ouw, biar datuk sekalipun, yang mampu bertahan terhadap pengerahan tenaga sin-kangnya tadi, dan pemuda ini hanya undur dua langkah saja!

"Bagus!" Serunya dan kini kakek jembel itu menyerang lagi. Serangannya nampak lambat, lama sekali menjadi kebalikan tadi. Kalau tadi dia mengandalkan kecepatan, kini dia mengandalkan tenaga.

Sin Wan maklum akan hal ini dan diapun mengerahkan tenaga sakti dan menandingi kakek itu. Pertandingan dilanjutkan dan beberapa kali kedua senjata itu bertemu menggetarkan tanah yang diinjak Kui Siang yang menonton dengan hati kagum. Tak disangkanya bahwa kakek tua itu sedemikian lihainya, memang agaknya setingkat dengan kepandaian Sam-sian.

Kembali seratus jurus terlewat dalam pertandingan yang didasari tenaga sin-kang ini. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan melengking dan tongkatnya menyambar dari atas ke bawah, memukul ke arah kepala lawan! Sin Wan menggerakkan pedangnya dan menangkis dari bawah ke atas.

"Trakkk!" kembali kedua senjata bertemu akan tetapi sekali ini, Sin Wan tidak terdotong mundur. Agaknya kakek itu mengurangi tenaganya, hanya kini pedang itu melekat pada tongkat! Ketika Sin Wan hendak menarik pedangnya yang tertempel tongkat itu, tiba-tiba dia merasa betapa tongkat itu mengendur, kehilangan tenaga! Sin Wan terkejut.

Tentu kakek itu kehabisan tenaga, pikirnya dan dalam keadaan seperti ini, ada dua jalan saja yang dapat dia lakukan. Kalau dia menghendaki kemenangan, tentu dengan mudah saja dia dapat mengerahkan tenaga dan dari tempelan tongkat yang kini tanpa tenaga itu dia dapat langsung menyerang dengan tusukan atau bacokan dan dengan mudah memperoleh kemenangan.

Akan tetapi, Sin Wan adalah seorang yang sejak kecil dijejali kelembutan oleh ibunya, kemudian digembleng lahir batin oleh Sam-sian. Dia tidak haus kemenangan, apa lagi terhadap kakek jembel yang dihormatinya ini. Tidak, dia tidak mau mempergunakan kesempatan itu untuk menang. Maka, diapun cepat mengendurkan tenaganya dan menarik kembali pedangnya yang menempel pada tongkat, untuk memberi kesempatan kepada lawan memulihkan.tenaganya.

Akan tetapi, pada saat dia mengendurkan tenaganya dan menarik pedangnya, tiba-tiba tongkat yang tadinya tidak bertenaga itu, secepat kilat telah meluncur dengan tenaga sepenuhnya dan tahu-tahu telah menempel di lehernya! Tentu saja Sin Wan terkejut bukan main. Ini berarti bahwa dia telah kalah mutlak! Kakek itu terkekeh senang.

"Kau kalah, Sin Wan."

"Tapi, locianpwe tadi seperti kehilangan tenaga ......."

"Itu namanya menggunakan tenaga Mengalah Untuk Menang!"

"Kalau saya tidak menarik pedang dan pada kesempatan itu justeru mencari keuntungan dan menyerang ......."

"Kau juga akan kalah. Coba saja kita ulangi!" kata kakek itu sambil tersenyum. Dia lalu memasang kuda-kuda seperti tadi, dengan tongkatnya di atas. Sin Wan yang merasa penasaran juga memasang kuda-kuda seperti tadi, menempelkan pedangnya pada tongkat.

Jilid 7

"AKU mulai!" kata Pek-sim Lo-kai dan tiba-tiba saja tongkat itu mengendor seperti kehilangan tenaga. Sin Wan menggunakan kesempatan ini untuk menggerakkan pedangnya, menusuk ke depan, ke arah leher lawan, tentu saja dengan tenaga terkendali sehingga dapat dia hentikan kalau sudah menempel leher. Akan tetapi, tiba-tiba sekali tubuh kakek itu merendah, kedua lututnya ditekuk dan sebelum Sin Wan dapat menyangkanya, perutnya sudah ditodong ujung tongkat! Kembali dia kalah mutlak!

Kakek itu terkekeh. "Heh..heh, ilmu Tenaga Mengalah Untuk Menang ini memang ampuh, merupakan satu di antara ilmu yang kudapatkan selama ini. Menghadapi ilmuku ini, menggunakan kesempatan untuk menang berarti kalah, dan kalau mengalah dan menarik pedangmu, berarti kalah juga!"

Sin Wan tertegun kagum. "Wah, kalau begitu, apakah tidak ada cara untuk menghindarkan diri dari ilmu itu, locianpwe?"

"Tentu saja ada, akan tetapi tidak pernah diduga dan dipergunakan orang tentunya! Inilah letak keistimewaan ilmu ini. Tenagaku yang tiba-tiba mengendur itulah yang menjadi pancingan, menjadi umpan. Kalau lawan merasa bahwa tenagaku mengendur dan hendak mencari kemenangan seperti yang kaulakukan dalam pengulangan tadi, maka dengan mudah aku akan dapat mengalahkan, karena tentu dia mengira aku kehabisan tenaga dan tidak menduga akan seranganku ke arah perut tadi. Kalau dia sebaliknya hendak mengalah, dan menarik senjatanya, aku dapat menggunakan kesempatan itu untuk menyerangnya dengan tiba-tiba dan memperoleh kemenangan. Bagaimana untuk menghindarkan diri dari kekalahan menghadapi ilmuku ini! Heh..heh, namanya juga orang memancing, kalau umpannya tidak disambar ikan, namanya gagal! Kalau engkau tetap dengan sikapmu, tidak mengurangi tenaga menarik kembali senjata, tidak pula menggunakan kesempatan untuk menyerang, berarti aku tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menggunakan lain taktik!" Kakek itu tertawa-tawa dan Sin Wan ikut pula tertawa. Ilmu yang aneh dan nakal, akan tetapi memang dapat berhasil baik, menunjukkan betapa cerdiknya kakek ini.

"Ada lagi ilmu baru yang kudapatkan dan belum pernah kucoba, satu di antara ilmu-ilmu yang kuanggap terbaik. Nah, mari kita coba! Engkau berhati-hatilah karena aku akan melancarkan serangkaian serangan yang dahsyat!"

Sin Wan sudah memasang kuda-kuda dengan hati-hati sekali. Kedua kakinya terpentang dan tertekuk sedikit, kokoh kuat dan tangan kanan dengan jari terbuka di pinggang kiri, pedang melintang di depan dada. Dalam keadaan seperti itu, diserang dari manapun dia akan mampu menjaga dirinya.

"Saya telah siap, locianpwe!" katanya gembira. Betapa hatinya tidak gembira. Dia akan melihat ilmu-ilmu yang aneh dan lihai. Sama saja dengan menerima pelajaran ilmu-ilmu baru yang ampuh dari kakek itu.

"Awas seranganku ini!" teriak kakek itu dan tiba-tiba tubuhnya berpusing seperti gasing! Saking cepatnya, sukar diikuti dengan pandang mata, biar pandang mata terlatih seperti mata Sin Wan sekalipun. Dan pusingan atau gasingan hidup itu berputar dan menggelinding ke arah Sin Wan. Pemuda ini tidak dapat melihat mana tongkat lawan dan bagian tubuhnya yang mana yang diserang, maka untuk melindungi tubuhnya, dia memutar pedang menjadi perisai. Terdengar suara berdentang beberapa kali dan gasing manusia itupun menggelinding pergi, lalu membalik dan menyerang kembali dalam keadaan masih berpusing.

Sin Wan sama sekali tidak mampu membalas. Dia hanya melindungi diri setiap kali gasing manusia itu mendekat, dan ketika gasing itu menggelinding dekat untuk yang keempat kalinya, dan dia memutar pedang menjadi perisai, tiba-tiba gasing itu mencelat ke atas dan ketika dia memutar pedangnya ke atas, dia merasa rambutnya seperti ditarik dan gasing hidup itu telah melayang turun kembali dan nampak kakek itu terkekeh.

"Heh..heh..heh, kalau yang keempat kalinya itu aku gagal, dua kali serangan lagi aku tentu akan roboh sendiri. Siapa tahan sudah setua ini disuruh berpusing seperti gasing. Sekarangpun bumi seperti dilanda gempa hebat, ha..ha!"

Sin Wan meraba rambutnya dan ternyata kain pengikat rambutnya telah lenyap dan ketika dia memandang lagi, kain itu sudah terkait di ujung tongkat Pek-sim Lo-kai! Tahulah dia bahwa kembali dia harus mengaku kalah karena kalau yang dihadapinya seorang musuh, tentu bukan kain pengikat rambut yang dikait!

"Hebat sekali gerakan aneh tadi, locianpwe. Ilmu apakah itu tadi?"

"Itu namanya Langkah Angin Puyuh! Bukan saja dapat dipergunakan untuk menyerang, akan tetapi juga untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang. Akan tetapi, harus kuat terhadap putaran itu, kalau tidak, kepala bisa pening dan baru beberapa putaran sudah roboh sendiri. Membutuhkan latihan!"

"Sungguh hebat sekali, locianpwe. Masih ada lagikah ilmu aneh yang boleh kami lihat?" kini Kui Siang berkata, merasa kagum bukan main karena dengan dua macam ilmu itu saja, demikian mudahnya suhengnya dikalahkan.

"Ha..ha..ha, masih banyak, nona ........"

"Kenapa locianpwe demikian sungkan menyebut nona kepadaku? Namaku Lim Kui Siang," kata gadis itu ramah.

"Heh..heh, Kui Siang. Aku sudah tua. Terlalu lama bertanding, napasku bisa putus dan tenagaku habis. Sekarangpun aku sudah haus sekali dan lapar bukan main."

"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan ke selatan, locianpwe. Bukankah kota Peking tidak jauh lagi?" kata Sin Wan. "Di sana kita dapat makan di rumah makan."

"Kalian yang bayar? Aku seorang pengemis tua, mana bisa makan di rumah makan?"

"Kami akan membayar, locianpwe. Pilihlah makanan yang paling enak, dan kami akan membayar," kata Kui Siang.

Kakek itu bersorak. "Ha..ha..ha! Hari ini engkau mujur, perut dan mulut. Mari kita berangkat!" Dan diapun sudah berlari dengan cepat seperti terbang saja.

Sin Wan dan Kui Siang saling pandang, tersenyum dan merekapun segera mempergunakan ilmu berlari cepat mengejar kakek itu, menuju ke selatan, ke kota Peking.

Peking merupakan kota raja ke dua dari kerajaan baru Beng-tiauw. Biarpun kota raja kini dipindahkan ke Nan-king di tepi Sungai Yang-ce, namun bekas kota raja Peking di utara itu masih dipertahankan sebagai pangkalan yang penting. Kota ini selain memiliki bangunan-bangunan besar dan indah, mempunyai banyak penduduk dan menjadi kota yang ramai, juga merupakan benteng utama di utara untuk menentang para penyerbu dari utara. Di Peking ini, Kaisar Thai-cu menempatkan seorang puteranya sebagai seorang raja muda.

Karena itu, kekuasaan Raja Muda Chu Hoan Ong cukup besar karena selain sebagai raja muda, dia juga putera Kaisar Thai-cu.

Bahkan balatentara kerajaan Beng sebagian besar berada di daerah utara ini untuk membendung bahaya yang mungkin datang dari Bangsa Mongol yang tentunya saja tidak rela membiarkan kekuasaannya di selatan digulingkan dan mereka selalu berusaha untuk berjaya kembali.

Ketika mereka tiba di luar pintu gerbang Peking, Sin Wan teringat akan sesuatu dan berkata kepada Pek-sim Lo-kai. "Locianpwe sudah bertahun-tahun meninggalkan dunia persilatan, akan tetapi tentu setiap orang pengemis akan mengenal locianpwe sebagai pemimpin besar mereka. Kalau sudah begitu, tentu kami tidak mungkin lagi dapat mendekati locianpwe yang tentu akan disambut dengan meriah. Kami bukan segolongan, maka kami tidak ingin membuat locianpwe merasa kikuk."

"Heh..heh, siapa yang akan mengenal seorang jembel tua seperti aku? Dahulu, yang berjuluk Pek-sim Lo-kai adalah seorang tua gagah yang selalu mengenakan pakaian putih bersih dan membawa pedang, rambutnyapun belum putih dan selalu terawat rapi. Sekarang, aku hanyalah seorang tua she Bu yang berpakaian butut, rambut dan kumis jenggot tidak terawat dan putih semua, juga tidak membawa pedang. Takkan ada yang mengenalku, dan akupun tidak suka dikenal sebelum aku mengambil keputusan apa yang akan kulakukan terhadap para kai-pang itu, terdorong oleh percakapan kita tadi."

Merekapun memasuki pintu gerbang dan memang tidak ada yang memperhatikan Bu Lee Ki. Juga tidak ada yang memperhatikan Sin Wan, akan tetapi hampir setiap orang pria yang berpapasan dengan Kui Siang, selalu memandang, bahkan menengok. Hal ini tidak aneh bagi Sin Wan yang menyadari akan kecantikan sumoinya, dan diam-diam dia selain merasa bangga bahwa sumoinya dikagumi hampir setiap orang pria! Juga merasa beruntung karena dialah yang dapat bergaul akrab dengan sumoinya.

Kota Peking memang besar dan megah, juga ramai. Selain merupakan daerah pertahanan dan benteng utama terhadap musuh dari utara, juga Peking menjadi tujuan para pedagang yang datang dari utara untuk bertukar barang dagangan.

Semenjak jatuhnya pemerintah Mongol dan berdirinya Kerajaan Beng-tiauw. Kaisar Thai-cu pendiri Beng-tiauw yang berkedudukan di Nan-king, mengangkat seorang di antara putera-puteranya untuk menjadi raja di Peking. Kaisar Thai-cu memang cerdik dan bijaksana. Dia tahu bahwa di antara semua puteranya, Yung Lo adalah seorang yang paling gagah perkasa dan ahli perang. Maka, dia mengangkat Yung Lo menjadi raja muda di Peking dan bertugas membendung musuh yang berani menyerbu dari utara. Raja Muda Yung Lo memang berbakat menjadi panglima. Dia memimpin pasukan besar melakukan pembersihan di daerah utara, dan diapun pandai mengajak rakyat untuk bersama pasukannya mempertahankan kedaulatan pemerintahan bangsa sendiri setelah seabad lamanya dicengkeram penjajah Mongol. Karena sikapnya ini maka para pendekar di dunia persilatan merasa suka dan hormat kepadanya dan mendukungnya.

Raja muda Yung Lo juga mengetahui bahwa golongan pengemis yang bergabung dalam kai-pang (perkumpulan pengemis) merupakan pejuang yang gigih ketika rakyat memberontak terhadap kerajaan Mongol. Maka setelah dia menjadi raja muda di Peking, diapun merangkul kai-pang dan memberi banyak sumbangan untuk kemajuan perkumpulan-perkumpulan pengemis. Dia pula, sejalan dengan politik ayahnya yaitu Kaisar Thai-cu di Nan-king, yang menganjurkan kepada para pimpinan kai-pang untuk mempersatukan seluruh kai-pang agar jangan sampai timbul persaingan dan bentrokan. Persatuan rakyat merupakan syarat mutlak untuk kekuatan pemerintah, juga memungkinkan kehidupan rakyat yang tenteram sehingga memudahkan tercapainya kesejahteraan.

Pada waktu itu, perkumpulan pengemis terbesar dan yang paling kuat di daerah utara adalah Ang-kin Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Sabuk Merah). Pakaian para anggauta pengemis ini bermacam-macam warnanya, tentu saja dengan tambalan sebagai ciri khas pengemis. akan tetapi setiap anggauta selalu memakai sabuk berwarna merah, sesuai dengan namanya, yaitu Perkumpulan Pengemis Sabuk Merah.

Pada waktu sebelum penjajah Mongol dijatuhkan, Ang-kin Kai-pang merupakan perkumpulan pejuang yang gagah, akan tetapi ketika itu ketuanya tidak mau bekerja sama dengan pihak kerajaan baru. Usaha Raja Muda Yung Lo untuk merangkul perkumpulan ini selalu gagal. Akan tetapi, setelah ketua yang keras hati ltu diganti oleh ketua baru pilihan Raja Muda Yung Lo, kini perkumpulan itu benar-benar telah menjadi bawahan raja muda ini dan setia kepada pemerintah. Ketua yang sekarang, yang baru dua tahun menjadi ketua Ang-kin Kai-pang, bernama Thio Sam Ki, berusia empatpuluh tahun dan terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi.

Berkat bimbingan Thio Sam Ki dan pengarahan Raja Muda Yung Lo, maka kini terjadi perubaban besar-besaran dalam perkumpulan itu, Tidak pernah lagi ada anggauta Ang-kin Kai-pang yang melakukan tindakan kekerasan. Mereka bahkan tertib sekali, dan setiap orang anggauta kai-pang merupakan orang yang berwatak gagah sehingga disukai oleh rakyat karena mereka itu selalu turun tangan membela rakyat tertindas. Sejak Ang-kin Kai-pang dipimpin oleh ketuanya yang baru, para anggauta kai-pang yang berkeliaran di kota Peking dan sekitarnya, seolah-olah menjadi petugas-petugas keamanan sehingga tidak ada penjahat yang berani melakukan aksinya. Pasukan keamanan pemerintah mendapatkan bantuan yang besar sekali dari para pengemis itu.

Bahkan mereka ini mengemis atau mohon sumbangan dari rakyat sekedar untuk menyesuaikan keadaan mereka sebagai anggauta perkumpulan pengemis belaka. Mereka mengemis kepada orang-orang yang mampu, dan diberi berapapun akan mereka terima dengan senang hati. Mereka memang tidak perlu menggunakan kekerasan karena para hartawan dengan rela memberi sumbangan karena para pengemis itu menjaga ketenteraman. Selain itu, Ang-kin Kai-pang juga tidak takut kekurangan biaya karena Raja Muda Yung Lo selalu mengulurkan tangan membantu.

Siang hari itu, amat ramai di sebuah restoran besar yang berada di pusat keramaian, yaitu di daerah pasar. Rumah makan cat hijau itu memang terkenal dengan masakannya sehingga setiap hari hampir selalu penuh pengunjung. Bahkan para pendatang dari luar kota Peking selalu makan di tempat ini.

Bu Lee Ki, Sin Wan, dan Kui Siang mendapatkan tempat duduk di luar, karena di sebelah dalam, juga di loteng, telah penuh tamu. Maklum, waktu itu memang waktunya makan siang dan hawa udara amat dinginnya, maka semua tamu lebih senang mendapatkan meja di sebelah dalam. Yang membuat hawa semakin dingin menusuk tulang walaupun tengah hari adalah angin yang bertiup dari utara. Namun bagi tiga orang ini yang terlatih dan memiliki sin-kang kuat, hawa dingin itu tidak begitu mengganggu.

Tanpa sungkan lagi, dengan gembira dan wajahnya penuh senyum, Bu Lee Ki melihat menu makanan dan memesan masakan-masakan yang paling istimewa, tidak memperdulikan harganya. Sin Wan dan Kui Siang ikut gembira. Mereka memang sudah menjanjikan untuk menjamu kakek ini sepuasnya dan sekenyangnya.

Di luar rumah makan, di pinggir jalan dan di sekitar pertokoan di daerah pasar itu, nampak beberapa orang pengemis bersabuk merah berkeliaran. Mereka itu rata-rata bersikap gagah, dengan tubuh yang kekar dan wajah lembut penuh senyum, sama sekali tidak menimbulkan kesan angker. Kalau Bu Lee Ki sendiri sama sekali tidak memperdulikan mereka, sebaliknya diam-diam Sin Wan dan Kui Siang memperhatikan gerak gerik para pengemis bersabuk merah itu. Ketika Bu Lee Ki sibuk memilih masakan dan yang diperhatikannya hanya susunan daftar harga masakan, Sin Wan memperhatikan beberapa orang pengemis yang berada di luar rumah makan.

Betapa beda jauhnya sikap mereka itu dengan apa yang didengarnya dari keterangan Bu Lee Ki. Menurut keterangan kakek itu, kai-pang yang paling berpengaruh di Peking adalah Ang-kin Kai-pang yang cabang-cabangnya terdapat di seluruh daerah utara. Dan menurut kakek itu, Ang-kin Kai-pang merupakan kai-pang yang paling keras, dipimpin oleh orang-orang yang suka mempergunakan kekerasan. Biarpun bukan tergolong penjahat, namun mereka itu suka sewenang-wenang, memaksakan keinginan dan sama sekali tidak pernah mau tunduk terhadap pemerintah, walaupun mereka ikut pula berjuang melawan penjajah, Akan tetapi, melihat beberapa orang pengemis sabuk merah yang berada di luar rumah makan, sungguh berbeda dari gambaran kakek itu. Memang beberapa orang, pengemis di luar itu masih muda dan bertubuh tegap dan kokoh, jelas menunjukkan bahwa mereka itu orang-orang yang kuat, dan tidak pantas menjadi pengemis, namun wajah mereka itu sama sekali tidak membayangkan kekerasan.

Bahkan mereka tersenyum-senyum dan juga orang yang berlalu lalang di situ nampak tidak takut kepada mereka, malah ada beberapa orang yang berhenti dan bercakap-cakap dengan mereka seperti layaknya sahabat yang akrab. Ada pula wanita yang agaknya baru pulang berbelanja, sengaja memberikan bungkusan makanan kepada para pengemis itu dengan sikap wajar dan ramah, diterima dengan sikap sopan oleh para pengemis sabuk merah itu! Dilihat dari keadaan itu dan sikap mereka, Sin Wan dan Kui Siang hampir yakin bahwa para pengemis itu tidak dapat digolongkan jahat. Dan merekapun melihat betapa dua orang di antara mereka kini mendekati rumah makan dan seringkali mereka itu melirik ke arah Bu Lee Ki dengan alis berkerut!

Kakek itu sama sekali tidak perduli, apalagi setelah hidangan yang mereka pesan datang. Sambil tersenyum-senyum, tanpa malu-malu lagi, Bu Lee Ki menyerbu masakan-masakan itu seperti seorang yang kelaparan bertemu makanan enak. Sepasang sumpitnya bergerak cepat dari satu ke lain masakan, dan mangkok demi mangkok nasi putih dilahapnya. Mulut yang tidak bergigi lagi namun masih kuat mengunyah segala macam daging dan sayur itu tidak pernah berhenti bergerak sedetikpun. Bercawan-cawan arak mendorong makanan ke dalam perutnya.

Melihat kakek itu demikian lahap dan nampak nikmat sekali, Sin Wan dan Kui Siang juga ikut bergembira. Biarpun baru saja mereka berkenalan dengan Bu Lee Ki, namun mereka merasa suka dan sayang kepada kakek tua itu. Kakek itu nampak demikian lembut, ramah dan selalu cerah wajahnya, halus gerak-geriknya dan bicaranya biarpun tanpa pura-pura namun selalu lembut dan tidak menyinggung perasaan. Pada hal, mereka yakin bahwa di balik semua kelembutan dan kemiskinan itu, kakek ini memiliki  ilmu kepandaian yang amat hebat!

Ketika Kui Siang menuangkan lagi arak dari guci ke dalam cawan yang sudah kosong itu, Bu Lee Ki mengangkat kedua tangan ke atas. "Wah, sudah, sudah cukup, Kui Siang. Apa kalian ingin melihat aku mabok dan harus digotong keluar?"

"Akan tetapi engkau belum kelihatan mabok, locianpwe," kata Kui Siang.

"Heh..heh..heh, segala hal ada batasnya! Cawan ini yang terakhir dan kalau kalian sudah selesai makan, kita keluar dari sini," katanya dan sekali tuang saja arak dari cawan itu sudah memasuki perutnya.

Pada saat itu, dua orang pengemis berpakaian kuning bersih dengan sabuk merah di pinggang, menghampiri meja mereka yang memang berada di bagian luar rumah makan. Mereka berusia kurang lebih tigapuluh tahun, keduanya bertubuh kekar dan biarpun pakaian mereka dihias tambalan, namun dengan sabuk merah melilit pinggang, mereka bardua lebih patut menjadi ahli silat dari pada menjadi pengemis.

Dengan sikap hormat mereka mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan kepada Sin Wan dan Kui Siang dan seorang di antara mereka berkata, "Harap kongcu (tuan muda) dan siocia (nona) suka memaafkan kami. Bukan maksud kami menyinggung ji-wi (kalian), akan tetapi kami ingin bicara dengan jembel tua ini."

Alis di atas mata Kui Siang sudah berkerut karena hatinya tidak senang mendengar kakek yang duduk semeja dengannya itu disebut jembel tua, akan tetapi ia didahului Sin Wan yang berkata acuh.

"Silakan."

Dua orang anggauta Ang-kin Kai-pang itu lalu menghadapi Bu Lee Ki yang acuh sambil mengelus perutnya yang baru saja diisi penuh, matanya mengantuk karena kekenyangan.

"Orang tua," kata seorang di antara mereka yang berjenggot pendek. "Apa artinya kemunculanmu ini? Apakah engkau sengaja hendak menghina kami dari Ang-kin Kai-pang?"

Bu Lee Ki membuka mata, menggeliat seperti seekor kucing dengan kaki tangan terentang sehingga kakinya yang panjang dan telanjang itu hampir mengenai muka si jenggot pendek yang melangkah mundur dengan jengkel. "Aaaahhh, apa ....? Apa kaubilang dan kau bicara kepada siapa?"

"Aku bicara kepadamu! Kalau engkau benar seorang pengemis, kenapa engkau bersikap royal, makan masakan mahal dan bersikap seperti hartawan? Dari golongan kai-pang manakah engkau? Dan kalau sebaliknya engkau seorang hartawan, apa perlunya pura-pura menjadi pengemis dengan pakaian butut dan kaki telanjang? Apakah engkau hendak mengejek dan menghina kami?"

Bu Lee Ki terbelalak, seperti orang bingung. "Ehh ......? Ohhhh ........?" Lalu dia menoleh kepada Sin Wan. "Heh..heh, Sin Wan, mereka ini ........ heh..heh, aku malas menjawab. Engkau sajalah yang mewakili aku menjawab." Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menjulurkan kedua kakinya ke bawah meja, bersandar kepada kursinya dan tidur pulas, mulutnya yang terbuka mendengkur!

Kui Siang yang sejak tadi sudah marah mendahului Sin Wan dan menjawab sambil memandang marah dan suaranya ketus. "Kalian berdua ini manusia lancang dan usil. Perduli apa kalian dengan orang tua ini? Apakah dia pengemis, ataukah dia jenderal ataukah raja, apa hubungannya denganmu dan ada urusan apa kalian ribut-ribut? Dia mau memakai pakaian rombeng, atau memakai pakaian kaisar, tidak ada sangkut pautnya pula dengan kalian. Yang penting, dia memakai pakaiannya sendiri, tidak mencuri dan di sini dia makanpun membayar! Hayo kalian pergi cepat dari sini!"

Si jenggot pendek dan temannya menoleh kepada Kui Siang dengan muka merah. Mereka adalah orang-orang gagah, anggauta Ang-kin Kai-pang, sudah biasa disegani dan dihormati orang dan siang ini tiba-tiba saja dicaci maki seorang gadis! Pada hal, semalam mereka tidak mimpi apa-apa! Si jenggot pendek menjura kepada Kui Siang, "Maafkan kami, nona. Kami tidak berurusan dengan nona, dan kalau andainya orang tua ini tidak berpakaian pengemis, kamipun tidak akan mencampuri urusannya, asal dia tidak

melakukan kejahatan. Akan tetapi, siapapun yang berpakaian pengemis harus mentaati peraturan kai-pang! Kalau tidak, tentu kami yang akan menjadi bulan-bulan!"

Sin Wan khawatir kalau-kalau Kui Siang tidak mampu menahan kemarahannya dan terjadi perkelahian. Dia cepat bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri dua orang pengemis itu lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda menghormat. Ini saja sudah luar biasa! Seorang kongcu (tuan muda) memberi hormat kepada dua orang pengemis!

"Sobat, sudahlah maafkan kami. Kami adalah pendatang dari jauh yang tidak tahu akan peraturan di sini. Orang tua ini adalah menjadi tanggung jawab kami dan harap ji-wi (kalian berdua) tidak mengganggunya lagi."

"Kalau kalian menghendaki sedekah, katakan saja, tidak perlu mengganggu orang makan," kata pula Kui Siang yang juga ikut bangkit berdiri dan mengambil dua keping uang dari dalam saku di pinggangnya, Nah, ini kuberi sedekah untuk kalian!"

Gadis itu melemparkan dua keping uang itu kepada mereka. Karena ada benda menyambar ke arah mereka, dua orang anggauta Ang-kin Kai-pang cepat menyambut dengan tangan. Mereka melihat ke arah benda yang berada di tangan mereka dan mata mereka terbelalak. Sekeping uang tembaga yang berada di tangan mereka telah berubah bentuk, hampir tergulung bundar dan dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga jari-jari tangan yang dapat meremas kedua keping uang tembaga menjadi seperti itu. Otomatis mereka, menurunkan pandang mata menuju ke arah tangan gadis itu. Jari-jari yang lembut kecil-kecil itukah yang memiliki tenaga sehebat itu? Mereka lalu menjura kepada Sin Wan dan Kui Siang.

"Maafkan kami, dengan ji-wi kami memang tidak mempunyai urusan. Dan biarlah sementara ini mengingat kehadiran ji-wi, kami tidak akan mendesak kepada pengemis tua itu dan hanya akan melapor kepada pimpinan kami."

Mereka lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ dengan langkah lebar.

Setelah mereka pergi, Sin Wan dan Kui Siang duduk kembali dan kakek Bu Lee Ki masih tidur mendengkur. Sin Wan tidak menyetujui perbuatan sumoinya tadi, akan tetapi dia tidak mau menegur, takut kalau menyinggung perasaan Kui Siang. Dia hanya berkata lirih agar tidak terdengar oleh para tamu lain yang tadi memperhatikan peristiwa itu dengan diam-diam saja.

"Kulihat mereka itu bukan orang jahat. Sikap mereka baik dan sopan."

"Akan tetapi mereka menghina Bu locianpwe. Mereka tinggi hati!" bantah Kui Siang.

Kakek Bu Lee Ki menggeliat dan menguap, lalu membuka kedua matanya. "Eh? Aku sampai tertidur. Wah, perut kenyang bikin orang mengantuk. Mari kita pergi. Sudah kalian bayar harga makanan?"

Sin Wan menggapai pelayan yang segera datang menghampiri. Para pelayan memang sudah memperhatikan mereka sejak terjadinya keributan kecil dengan dua orang anggauta Ang-kin Kai-pang tadi dan merasa girang bahwa tiga orang tamu itu membayar harga makanan dan segera pergi dari situ agar tidak mendatangkan keributan lebih lanjut.

Mereka berjalan-jalan dan melihat betapa seluruh kota Peking dikuasai oleh para pengemis Ang-kin Kai-pang. Tidak ada seorangpun pengemis yang tidak bersabuk merah. Tidak mengherankan kalau setiap orang pengemis tentu melirik ke arah Bu Lee Ki yang berpakaian pengemis akan tetapi tanpa sabuk merah.

Dan di manapun mereka berada dan melihat anggauta Ang-kin Kai-pang. selalu para pengemis itu bersikap baik dan sopan.

"Heh..heh, agaknya memang telah terjadi perubahan," bisik Bu Lee Ki kepada dua orang anak muda itu. "Sudah pasti terjadi perubahan pada Ang-kin Kai-pang. Mereka sopan dan tertib, hal yang sungguh menggembirakan hatiku."

"Akan tetapi dua orang tadi menghinamu, locianpwe, Mereka menyebutmu jembel tua. Hati siapa tidak akan menjadi panas?" kata Kui Siang.

"Kakek Bu Lee Ki terkekeh-kekeh, "Heh..heh..heh, lucunya! Aku memang pengemis sejak muda, aku memang jembel tua. Sebutan jembel tua bahkan merupakan sebutan kehormatan bagiku, seperti seorang kaisar kalau disebut Sribaginda! Kenapa engkau malah yang menjadi panas hati?"

Kui Siang mengerutkan alisnya akan tetapi tidak mampu menjawab karena baru sekarang ia menyadari betapa janggal sikapnya! Kakek ini memang seorang kakek pengemis, bahkan pemimpin besar seluruh kai-pang, berarti rajanya jembe!! Bagi kakek itu, disebut kakek jembel tentu bukan merupakan penghinaan sama sekali, dan ia memandang dan mendengar sebutan itu sebagai seorang awam yang bukan golongan pengemis!

"Locianpwe, agaknya hal ini merupakan pertanda baik bahwa locianpwe memang sudah sepatutnya kalau kembali memimpin mereka. Kalau mereka berdisiplin dan baik, bukankah akan lebih mudah untuk mempersatukan mereka dan membuat pembersihan sehingga tidak ada lagi kai-pang yang kotor?"

Kakek itu mengangguk-angguk. Melihat sikap para pengemis di Peking, dan mendengar ucapan Sin Wan, timbul semangat dan gairahnya. "Engkau benar, Sin Wan. Apa sih artinya hidup ini kalau tidak ada guna dan manfaatnya bagi manusia lain? Bukti yang paling nyata dari kebaktian kepada Tuhan adalah berbuat baik terhadap manusia. "Mari kalian ikut bersamaku mengunjungi pusat Ang-kin Kai-pang!"

Melihat semangat dari kakek itu yang kini wajahnya berseri, Sin Wan dan Kui Siang ikut bergembira. Mereka berdua merasa amat suka kepada kakek itu dan ingin melihat perkembangan usaha kakek itu mempersatukan kembali seluruh kai-pang, sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju Nan-king.

___

Kakek Bu Lee Ki tertegun ketika dia berdiri di depan pintu gerbang markas Ang-kin Kai-pang. Tentu saja dia tahu di mana markas itu karena dahulu, di waktu dia masih memegang kedudukan pemimpin besar kai-pang yang sampai kini belum diganti, dia pernah datang ke markas semua perkumpulan besar kai-pang. Yang membuat dia tertegun adalah perubahan yang terjadi di situ. Baru pintu gerbangnya saja sudah amat megah dan dari situ nampak bangunan yang biarpun sederhana, namun besar dan kokoh, bukan bangunan yang dahulu lagi. Bangunan ini besar dan pekarangannya luas, bahkan tanaman di pekarangan itu nampak terawat dan teratur baik sehingga tempat yang bersih itu sungguh tidak pantas menjadi bangunan pusat perkumpulan pengemis! Di atas pintu gerbang itu terdapat papan tulis yang gagah dan indah seperti papan nama perusahaan besar saja, berbunyi ANG-KIN KAI-PANG.

Melihat tiga orang itu berdiri di depan pintu gerbang, dua orang anggauta Ang-kin Kai-pang segera menghampiri mereka dari dalam. "Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang ke sini?" tanya seorang di antara mereka singkat, namun sikapnya cukup menghormat.

Dengan sikap acuh dan suara sambil lalu kakek itu berkata, "Aku ingin bertemu dengan pimpinan Ang-kin Kai-pang."

Agaknya, para anggauta Ang-kin Kai-pang sudah mendengar tentang tiga orang ini. Hal ini nampak pada sikap mereka yang tidak merasa heran dengan ucapan kakek itu, bahkan dengan tegas mereka lalu membungkuk dan seorang di antaranya berkata, "Silakan masuk. Pimpinan kami sudah menanti kunjungan sam-wi (anda bertiga)!"

Dengan wajah tersenyum Bu Lee Ki melangkah masuk ke dalam pekarangan itu, diikuti Sin Wan dan Kui Siang yang diam-diam merasa tegang karena mereka maklum bahwa mereka memasuki "sarang harimau". Kini tampak dari kanan kiri banyak anak buah Ang-kin Kai-pang berlarian, juga dari dalam gedung besar itu bermunculan lebih banyak lagi. Mereka itu membentuk pagar dan ketika Bu Lee Ki dan dua orang muda tiba di beranda, mereka sudah dihadang oleh pagar manusia yang mengepung mereka dengan setengah lingkaran. Jumlah para anggauta Ang-kin Kai-pang tidak kurang dari tigapuluh orang dan karena mereka semua bersabuk merah walaupun pakaian mereka bermacam-macam, maka mereka seperti sekelompok murid perguruan silat saja.

Melihat pagar manusia itu menghadang dan mengepung, Bu Lee Ki terkekeh.

"Heh..heh-heh, mana pimpinan kalian? Aku ingin bertemu!"

Daun pintu lebar yang menembus ke ruangan sebelah dalam terbuka, dan kini nampaklah belasan orang di sebelah dalam sedang duduk dan agaknya mereka sedang mengadakan pesta! Mereka yang berada di dalam itu menoleh keluar, kemudian merekapun bangkit berdiri. Tujuh orang yang berpakaian sutera dengan sabuk merah berjalan di depan sedangkan di belakang mereka nampak lima orang berpakaian perwira tinggi, para pimpinan Ang-kin Kai-pang sedang menerima dan menyambut tamu-tamu mereka, yaitu para perwira itu, dan mereka sedang makan minum ketika kedatangan tiga orang itu mengganggu. Tentu mereka semua sudah mendengar laporan dua orang anggauta perkumpulan mereka tentang peristiwa di rumah makan, maka kini tujuh orang pemimpin, bahkan lima orang tamu mereka yang agaknya sudah mendengar pula, merasa tertarik dan semua keluar meninggalkan meja hidangan!

Diam-diam, biarpun mulutnya tersenyum-senyum dan matanya menjadi sipit hampir terpejam, Bu Lee Ki memperhatikan wajah ketujuh orang pemimpin Ang-kin Kai-pang dan dia masih mengenal beberapa orang di antara mereka. Sebaliknya, para pimpinan itu ada yang merasa kenal dengan kakek pengemis itu, juga di antara para anggauta Ang-kin Kai pang yang sudah tua, dia yang merasa tidak asing, akan tetapi mereka tidak dapat mengingat siapa adanya kakek pengemis itu.

Tujuh orang pimpinan itu berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun dan sikap mereka berwibawa. Seorang di antara mereka yang berjenggot panjang, berusia limapuluhan tahun, segera melangkah maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada tiga orang tamu yang tidak diundang itu.

"Siapakah anda bertiga dan ada keperluan apa berkunjung ke tempat kami ini?"

Karena Sin Wan dan Kui Siang datang ke tempat itu hanya sebagai pengikut Bu Lee Ki, maka mereka diam saja, menyerahkan jawabannya kepada kakek itu. "Mana ketua Ang-kin Kai-pang? Suruh dia keluar menemuiku! Aku hanya mau bicara dengan ketua kalian," kata kakek itu, karena dia bicara sambil tersenyum dan suaranya lembut, maka dalam ucapan itu tidak terkandung nada yang angkuh.

Biarpun demikian, tujuh orang pimpinan perkumpulan pengemis itu saling pandang dan wajah mereka berubah tak senang karena Mereka merasa diremehkan sekali oleh kakek pengemis asing ini. Ketua mereka, Thio Sam Ki, memang tidak berada di situ pada saat itu, akan tetapi karena mendongkol, mereka tidak mau membiarkan kakek ini pergi begitu saja sebelum merasakan keangkeran Ang-kin Kai-pang agar nama dan kehormatan mereka tetap terjaga.

"Hemm, orang tua. Tidak begitu mudah untuk bertemu dengan ketua kami. Kalau engkau mampu melewati rintangan dan masuk sampai ke ruangan tamu di dalam, baru engkau berharga untuk bertemu dan menghadap ketua kami."

Setelah berkata demikian, tujuh orang pimpinan itu melangkah mundur dan si jenggot panjang memberi isyarat kepada anak buahnya. Begitu tujuh orang pimpinan dan lima orang perwira tinggi yang menjadi tamu itu masuk kembali, pintu besar dibiarkan terbuka, akan tetapi kini di depan pintu, di tempat para pimpinan tadi berdiri, telah berdiri enam orang tinggi besar dengan tongkat merah di tangan. Mereka menuruni anak tangga dan membuat gerakan menggeser kaki, membuat setengah lingkaran menghadapi tiga orang itu. "Bolehkah aku yang menghadapi mereka?" tanya Kui Siang kepada Bu Lee Ki dan kakek ini mengangguk sambil tersenyum, dan diapun mundur agak jauh lalu duduk di bawah pohon nongkrong seenaknya dengan santai untuk menjadi penonton!

"Sumoi, kita tidak mempunyai permusuhan dengan siapapun, harap jangan sampai mencelakai orang!" kata Sin Wan yang khawatir kalau-kalau dalam kemarahannya, sumoinya akan membunuh atau melukai orang sampai parah. Kui Siang mengangguk, "Jangan khawatir, suheng."

Lega rasa hati Sin Wan mendengar jawaban itu dan diapun mengundurkan diri bergabung dengan Bu Lee Ki di bawah pohon.

Melihat betapa mereka akan dilawan oleh seorang gadis, enam orang itu tetap dengan pengepungan mereka. Mereka sudah mendengar akan kelihaian gadis ini maka tidak berani memandang ringan.

"Nona, keluarkan senjatamu. Kami akan menyerangmu dengan tongkat kami," kata seorang di antara mereka yang bertubuh gendut sehingga tidak patut menjadi pengemis, patutnya menjadi seorang cukong.

Ucapan ini saja sudah menunjukkan bahwa mereka ini bukan orang.orang yang berwatak curang. Sebagai jawaban, Kui Siang meraba pinggangnya dan begitu tangannya bergerak, nampak sinar yang menyilaukan mata berkelebat dan tahu-tahu tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang tipis dan yang tadi ia lilitkan di pinggangnya. Itulah Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari) yang ampuh! Melihat ini, enam orang anggauta Ang-kin Kai-pang itu terbelalak kagum.  

"Nona, sebetulnya nona tidak berhak mencampuri urusan di antara pengemis, akan tetapi karena nona datang bersama pengemis tua itu, terpaksa kami akan melayani nona. Harap nona memperkenalkan diri lebih dulu, siapakah nona dan apa hubungan nona dengan pengemis tua itu," kata pula si perut gendut yang agaknya menjadi pemimpin dari barisan tongkat enam orang itu.

"Namaku Lim Kui Siang dan locianpwe itu adalah, paman guruku!" jawab Kui Siang.

Bu Lee Ki adalah sahabat baik guru-gurunya, maka sudah sepatutnya kalau ia mengakuinya sebagai paman guru.

"Heh..heh..heh, engkau memang murid keponakan yang baik, Kui Siang, hajar saja orang-orang yang tak tahu diri itu!" dari tempat dia menonton, Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki berseru.

"Bersiaplah nona, akan kami mulai!" Si gendut berseru nyaring dan ini merupakan aba-aba bagi para temannya untuk mulai dengan serangan mereka. Enam batang tongkat merah menyambar dari depan, kanan dan kiri. Ada yang menusuk ke arah dada, ada yang menghantam ke arah kepala dari atas dan ada pula yang membabat ke arah kedua kaki. Dan setiap batang tongkat mengeluarkan angin berdesing, tanda bahwa keenam orang itu memiliki tenaga yang cukup kuat!

Dengan tenang dan mudah saja Kui Siang melangkah mundur dan semua serangan itu pun luput. Akan tetapi, enam orang itu melanjutkan serangan sambil menambah tenaga dan kecepatan sehingga enam batang tongkat berubah menjadi gulungan sinar merah yang menyambar dari semua jurusan. Serangan itu datangnya tidak berbareng, melainkan susul menyusul dan bertubi-tubi sehingga tidak memberi kesempatan sedikitpun kepada Kui Siang untuk membalas.

Gadis ini masih bersikap tenang saja. Dengan menggunakan langkah-langkah cepat dan aneh Hui-niau-poan-soan (Langkah Ajaib Burung Terbang) ia mampu mengelak dari semua serangan. Bagi yang menonton pertandingan itu, nampak seolah-olah gadis cantik itu sedang menari-nari, mempergunakan enam helai selendang merah!

Tiba-tiba, enam orang yang mengepung itu mengubah gerakan tongkat mereka. Kini mereka menyerang dengan berbareng. Enam batang tongkat menyambar dari enam penjuru, dari sekeliling tubuh gadis itu. Kui Siang memutar tubuh dan menggerakkan pedangnya. Terdengar bunyi nyaring berdenting ketika enam batang tongkat itu bertemu pedang. Enam orang itu berseru kaget karena tongkat mereka telah patah ketika bertemu pedang tipis dan pada saat mereka mundur, Kui Siang sudah menggerakkan kedua kakinya bertubi-tubi yang menyambar bagaikan kilat cepatnya, membuat orang-orang yang mengeroyoknya itu berpelantingan!

Mengerti bahwa mereka telah kalah, enam orang itu bangkit, memberi hormat kepada Kui Siang lalu mengundurkan diri. Terdengar tepuk tangan dari dalam dan ketika Kui Siang mengangkat muka memandang, yang bertepuk tangan itu adalah lima orang perwira tinggi yang tadi melanjutkan makan minum sebagai tamu sambil menonton pertandingan silat. Akan tetapi, tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang tidak bertepuk tangan, dan wajah mereka nampak muram dan penasaran. Enam orang jagoan mereka telah tumbang semudah itu ditangan seorang gadis muda!

"Hebat, kepandaian li-hiap sungguh hebat, membuat kami merasa kagum!" kata seorang di antara lima perwira tinggi itu yang usianya limapuluh tahun lebih sambil mengangguk-angguk terhadap Kui Siang. Akan tetapi gadis ini tidak memperdulikan pujian itu, melainkan memperhatikan gerakan dari sebelah dalam karena kini muncul sembilan orang laki-laki anggauta Ang-kin Kai-pang yang lain. Mereka tidak memegang tongkat merah seperti enam orang tadi melainkan membawa sebatang pedang! Agaknya, sembilan orang ini adalah ahli-ahli pedang dari Ang-kin Kai-pang!

Seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus, mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Kui Siang. "Lim-lihiap telah memperlihatkan kepandaian dan memberi petunjuk kepada enam orang sute (adik seperguruan) kami, terima kasih. Akan tetapi, kami mohon sukalah lihiap mundur dan membiarkan pengemis tua yang tidak mau memperkenalkan nama itu untuk maju menghadapi kami."

Melihat sikap dan kata-kata itu cukup sopan, Kui Sian menjadi ragu. Pada saat itu, Sin Wan telah menghampirinya. "Sumoi, mundurlah. Aku sudah mendapat perkenan dari su-siok (paman guru) untuk mewakilinya menghadapi barisan Sembilan Pedang Naga ini."

Kui Siang mengangguk dan pergi ke bawah pohon di mana kakek itu menyambutnya dengan senyum gembira. Sembilan orang jagoan Ang-kin Kai-pang itu saling pandang, kemudian si tinggi kurus menghadapi Sin Wan dan memberi hormat.

"Orang muda, bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa kami adalah barisan Sembilan Pedang Naga?" tanyanya sambil memandang, penuh perhatian. "Dan siapakah anda?"

"Namaku Sin Wan, suheng dari nona Lim Kui Siang tadi. Kalian adalah jagoan-jagoan terkenal, tentu saja aku mengenal Kiu-liong Kiam-tin (Barisan Sembilan Padang Naga)."

"Bagus, kalau begitu, keluarkan senjatamu, Sin-sicu (orang gagah Sin), kami sudah siap untuk menguji kelihaianmu."

Sin Wan dapat menduga bahwa sembilan orang lawannya ini tentu lihai bukan main karena tadi, kakek Bu Lee Ki telah memberi tahu bahwa mereka adalah pasukan pedang yang amat tangguh dari Ang-kin Kai-pang. Bahkan kakek itu membisikkan bahwa dia harus tidak membiarkan dirinya terkepung dan berusaha untuk berada di luar kepungan. Maka, tanpa ragu lagi dia kini mengeluarkan pedangnya dari balik jubahnya, pedang yang biasanya tarsembunyi.

Begitu Sin Wan mencabut sebatang pedang yang butut, rupanya buruk dan pedang itu tidak tajam, juga tidak runcing, sembilan orang itu menahan kegelian hati mereka. Agaknya pedang pemuda itu adalah senjata yang belum jadi! Bagaimana dengan pedang buruk macam itu akan menghadapi pedang naga mereka? Pedang mereka yang terhias ukiran naga itu terbuat dari baja yang amat kuat dan ampuh, juga amat tajam dan runcing! Diam-diam mereka sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, hanya di bawah tingkat para pimpinan yang menjadi pembantu-pembantu ketua, merasa ragu dan agak sungkan untuk mengeroyok seorang pemuda yang bersenjata semacam itu. Akan tetapi, namanya saja kiam-tin (barisan pedang), maka kurang satu saja sudah menjadi tidak lengkap dan kacau. Maka, mereka merasa ragu dan bingung.

"Sin-sicu, engkau masih muda dan kami merasa sayang sekali kalau sampai sicu terluka dalam pertandingan ini, karena pedang tidak mempunyai mata. Apakah tidak sebaiknya kalau sicu mundur saja dan membiarkan paman guru sicu yang maju?" kata pula si tinggi kurus.

Dari tempat ia menonton, di bawah pohon, Kui Siang bangkit berdiri. Gadis ini tidak biasa memperlihatkan kemarahan dan ia bukan seorang gadis galak, akan tetapi sekarang ia tidak dapat menahan kemarahannya. "He, kalian ini sungguh tidak tahu malu! Kalau sudah berani maju mengeroyok, kenapa pakai segala macam alasan lagi? Kalau tidak berani, mundur saja tidak perlu banyak cakap!"

Sin Wan merasa tidak enak mendengar ucapan sumoinya yang cukup pedas itu. Dia menjura kepada sembilan orang itu. "Paman sekalian, aku sudah siap, segera mulailah dan jangan khawatir, aku tidak akan menyesal dan tidak akan menyalahkan kalian kalau aku terluka atau mati dalam pertandingan ini."

Sembilan orang itu lalu membuat gerakan mengepung Sin Wan. Mereka melangkah secara teratur mengelilingi pemuda itu yang berdiri di tengah dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Dia selalu ingat akan pesan kakek Bu Lee Ki bahwa dia harus menghindarkan kepungan sembilan orang itu. Kini sembilan orang mempercepat langkah mereka setengah berlari mengitarinya dan Sin Wan sudah memperhitungkan, bagaimana caranya untuk membobol kepungan atau keluar dari kepungan itu. Dia tahu bahwa

sekali dia bergerak menyerang ke satu arah, tentu dia akan disambut dengan serangan dari depan, kanan kiri dan belakang. Maka diapun diam saja menanti sampai para pengeroyok membuat gerakan terlebih dahulu sebelum dia mengambil keputusan apa yang akan dia lakukan.

Tiba-tiba si tinggi kurus yang menjadi pemimpin dari barisan pedang itu mengeluarkan teriakan sebagai aba-aba serangan dan sembilan orang itupun serentak menggerakkan senjata mereka dan menyerang ke tengah. Gerakan barisan pedang ini teratur sekali sehingga biarpun sembilan orang menyerang bersama dalam waktu yang berbareng, namun serangan itu tidak menjadi kacau. Seluruh bagian tubuh Sin Wan dari kepala sampai ke kaki menghadapi serangan yang rata-rata amat cepat datangnya dan mengandung tenaga dahsyat sehingga terdengar bunyi berdesing-desing dan nampak sinar pedang menyambar-nyambar.

Namun, mereka melihat bayangan berkelebat dan pemuda yang tadi berada di tengah kepungan mereka. tahu-tahu telah lenyap melompat ke atas dan melampaui kepala dua orang pengeroyok, pemuda itu telah berada di luar kepungan. Mereka semua membalikkan tubuh dan melihat pemuda itu sudah berdiri dengan tenang seperti tadi. Dengan pedang yang jelek itu di tangan, akan tetapi di luar kepungan. Si tinggi kurus kembali mengeluarkan seruan nyaring dan barisan itu dengan cepatnya sudah mengepung kembali, gerakan mereka cepat dan teratur, tidak memberi kesempatan kepada Sin Wan untuk menghindarkan diri dari kepungan. Kini, sembilan orang itu kembali berlari-lari mengelilinginya dan terkejutlah Sin Wan melihat betapa kepungan itu bergerak secara aneh, ada yang berlari dari kiri ke kanan dan ada yang dari kanan ke kiri! Barisan sembilan orang itu berlari saling berlawanan menjadi dua susun, akan tetapi jumlah mereka masih tetap sembilan. Tentu saja hal ini membuat Sin Wan bingung karena sukar baginya untuk menglkuti gerakan bersimpang siur itu dengan pandang matanya.

Namun dia masih bersikap tenang saja, menanti sampai pihak lawan melakukan serangan lagi. Dia tahu bahwa sekali ini tentu para pengeroyok tidak akan membiarkan dia melakukan loncatan seperti tadi untuk keluar dari kepungan. Dilihatnya bahwa lima orang yang berada di depan dan empat di belakang dan mengertilah dia. Lima orang itu akan menyerangnya dan yang empat orang menjaga kalau dia melompat ke atas, tentu mereka akan menyambut dengan lompatan dari empat penjuru untuk menyerang selagi

tubuhnya berada di udara. Hal itu akan dapat membahayakan dirinya!

Serangan ke dua itu datang dan seperti yang diduganya semula, lapisan pertama yang di depan menyerangnya. Lima orang menyerang dengan pedang mereka dari lima penjuru. Sin Wan terpaksa memutar pedangnya menangkis. Lima orang itu terkejut karena pedang mereka terpental begitu bertemu dengan pedang tumpul pemuda itu. Akan tetapi begitu pedang mereka tertangkis dan terpental mereka melangkah mundur dan dari belakang mereka, empat orang kawan mereka menyusulkan serangan kilat dari empat penjuru.

Kembali Sin Wan menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi, lima orang pertama sudah menerjang lagi sehingga dia dihujani serangan yang dilakukan serentak oleh empat orang dan lima orang.

Sin Wan maklum bahwa dalam menghadapi pengeroyokan banyak orang, kalau hanya melindungi diri saja tanpa balas menyerang akhirnya dia akan terkena juga atau setidaknya, dia terancam bahaya. Biarpun dia sudah menduga sebelumnya, ketika lima orang menyerangnya lagi, dia sengaja melompat ke atas untuk menghindarkan diri dari kepungan.  Benar saja, empat orang yang mengepung di lapisan kedua, sudah berlompatan pula dan menyambutnya dengan serangan pedang selagi tubuhnya masih berada di atas! Terpaksa Sin Wan turun kembali dan dia masih tetap berada di dalam kepungan! Ketika diserang di atas tadi, diapun memutar pedang menangkis, maka tubuhnya turun kembali ke bawah dan begitu turun, lima orang sudah menyambutnya dengan gelombang serangan baru.

Dia harus membalas, demikian pikirnya. Itulah satu-catunya cara untuk membebaskan diri dari tekanan! Sin Wan lalu bergerak cepat, memainkan pedang tumpulnya dan bersilat dengan ilmu silatnya yang baru dipelajarinya dari Ciu-sian, yaitu Sam-sian Sin-ciang yang dimainkan dengan pedang tumpul secara aneh dan dahsyat bukan main. Ilmu ini mempergunakan langkah-langkah ajaib Hui-niau-poan-soan sehingga gerakannya seperti seekor burung walet saja. Menghadapi serangan balasan Sin Wan yang gerakannya amat cepat ini, lima orang itu menjadi sibuk sekali dan gerakan mereka kacau.

Si tinggi kurus mengeluarkan seruan dan barisan itu kembali menjadi satu lapis dari sembilan orang dan kepungan melonggar akan tetapi Sin Wan kembali menghadapi sembilan batang pedang yang bergerak dengan berbareng dan serentak.

Melihat perubahan ini, Sin Wan melompat lagi dan diapun berhasil keluar dari kepungan seperti tadi, dan sekali ini dia tidak tinggal diam melainkan segera menyerang dengan membalik dari luar kepungan!

Barisan itu menjadi buyar dan dua orang pengeroyok terpelanting oleh dorongan tangan kiri Sin Wan. Si tinggi kurus mengeluarkan, aba-aba dan sekarang, sembilan orang itu berbaris tiga-tiga! Dan ketika mereka menyerang, maka serangan itu seperti datangnya gelombang samudera, pertama tiga orang menyerang dan disusul tiga orang lain, kemudian tiga orang lagi.

Menghadapi gelombang serangan ini, Sin Wan kembali terdesak. Dia tahu bahwa kalau dia mengalah terus, dia akan selalu terdesak. Begitu gelombang ke tiga dapat dia hindarkan dengan loncatan ke samping, diapun membalik dan kini dialah yang menyerang sebelum sembilan orang itu menyusun kembali barisan mereka. Tubuh Sin Wan bergerak cepat, pedang tumpul mengeluarkan suara mengaung dan berubah menjadi gulungan sinar kehijauan yang besar dan dari mana kadang-kadang mencuat sinar hijau dari ujung pedang. Setiap kali sinar itu meluncur, seorang pengeroyok roboh tertotok dan biarpun yang lain berusaha untuk menangkis dan mengelak, namun pedang tumpul itu selalu merobohkan sasaran, dibantu oleh tangan kiri Sin Wan yang mempergunakan ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang). Akan tetapi, dia mengendalikan tenaganya sehingga dia hanya, menotok roboh para pengeroyoknya, sama sekali tidak melukai, apa lagi membunuh.

Kembali kemenangan Sin Wan ini disambut tepuk tangan riuh olah lima orang perwira yang menjadi tamu Ang-kin Kai-pang. Sin Wan memberi hormat kepada tujuh orang pimpinan perkumpulan itu.

"Maafkan saya." Dan diapun mundur mendekati sumoi dan kakek Bu Lee Ki yang mengangguk-angguk senang.

Tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang itu bangkit dari tempat duduk mereka, menghampiri sembilan orang pembantu mereka dan membebaskan mereka dari pengaruh totokan yang membuat mereka tak mampu bergerak.

Kemudian, dengan muka merah karena merasa penasaran melihat para pembantu utama mereka kembali mengalami kekalahan, mereka menghadap ke arah kakek Bu Lee Ki. Kini sikap mereka lunak, bahkan hormat kepada kakek itu. Si jenggot panjang yang kedudukannya sebagai wakil ketua dan memimpin enam orang sutenya, segera memberi hormat.

"Kiranya dua orang murid keponakan locianpwe adalah orang-orang yang amat lihai. Kami yakin bahwa locianpwe sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi dan harap maafkan kalau anak buah kami bersikap kurang hormat. Sebagai persyaratan terakhir, kalau locianpwe mampu melewati kami bertujuh, kami akan mempersilakan locianpwe dan dua orang muda gagah ini untuk masuk sebagai tamu-tamu kehormatan kami."

Kakek itu bangkit berdiri dengan sikap ogah, menggeliat dan melangkah tertatih-tatih menghampiri tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang, akan tetapi mulutnya tersenyum dan dia mengomel. "Aihh, anak-anak ini sungguh rewel, main-main dengan orang tua seperti aku. Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah cekcok dengan orang, bertengkarpun belum pernah, apalagi sampai berkelahi. Sekarang begini saja. Kalau kalian bertujuh mampu merampas capingku ini, biar aku mengaku kalah dan sebaliknya aku akan mencoba untuk mengambil sabuk merah kalian!"

Tantangan kakek itu membuat tujuh orang pemimpin Ang-kin Kai-pang tertegun. Si jenggot panjang yang bernama Ciok An dan menjadi wakil ketua Ang-kin Kai-pang, diam-diam terkejut. Kalau kakek itu berani menantang seperti itu, jelas bahwa tentu kepandaiannya hebat. Tidak akan mudah melindungi caping lebar yang tergantung di punggung dengan tali mengalungi leher itu dari sergapan tujuh orang, dan lebih sukar lagi merampas sabuk-sabuk merah mereka bertujuh yang mengikat pinggang. Karena menduga bahwa kakek ini tentu sakti dan merupakan tokoh besar dunia persilatan yang belum dikenalnya, maka diapun tidak ingin kalau sampai dia dan kawan-kawannya kesalahan tangan. Diapun menerima baik tantangan itu, dengan hati lega karena kemungkinan kesalahan tangan melukai lawan lebih kecil dibandingkan kalau bertanding dengan senjata.

"Baik, kami mohon petunjuk locianpwe, katanya merendah, kemudian dia memberi isyarat kepada enam orang sutenya untuk mulai bergerak. Begitu mereka bergerak, mudah saja dapat diketahui bahwa tingkat kepandaian tujuh orang ini jauh lebih lihai dibandingkan sembilan orang yang tadi mengeroyok Sin Wan. Gerakan mereka selain cepat juga mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat.

Tujuh orang yang dipimpin Ciok An itu, merupakan pimpinan Ang-kin Kai-pang, dan Ciok An sendiri yang berjenggot panjang adalah wakil ketua. Tentu saja kepandaiannya dan enam orang sutenya itu sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu bergerak, mereka itu masing-masing melancarkan serangan dengan satu tangan sedangkan tangan yang lain berusaha merampas caping yang tergantung di punggung Bu Lee Ki.

Akan tetapi tubuh kakek yang bertubuh sedang dan kurus itu seolah-olah berubah menjadi bayangan saja. Dia menggunakan langkah-langkah aneh dari ilmu Langkah Angin Puyuh dan tubuhnya yang hanya nampak seperti bayangan itu menyelinap di antara sambaran tujuh pasang tangan itu. Kadang dia menangkis dan setiap kali tangannya menangkis, orang yang tersentuh lengannya terhuyung ke belakang hampir roboh!

"Heh..heh..heh, kalian anak-anak nakal! Caping butut seperti ini untuk berebutan! Nah, awas pegangi itu celana agar jangan merosot ke bawah kalau sabuknya kuambil," kata kakek itu terkekeh.

Mendengar ini, tujuh orang itu bersiap siaga agar jangan sampai sabuk mereka dapat diambil kakek itu. Sebetulnya, menurut pendapat mereka, hal ini tidak mungkin. Pertama, mereka cukup tangguh, apalagi kalau hanya melindungi sabuk sutera, dan kedua, sabuk itu melilit pinggang mereka kuat-kuat. Bagaimana mungkin dapat dirampas?

Tiba-tiba kakek itu membuat gerakan aneh. Tubuhnya yang tadi berputar-putar itu semakin cepat dan tubuhnya seperti gasing saja, tidak tentu ke mana arahnya sehingga membingungkan para pengeroyoknya. Dan tiba-tiba, terdengar teriakan susul menyusul karena seorang demi seorang harus memegangi celana mereka agar tidak merosot.

Entah bagaimana caranya, sabuk sutera merah yang melilit pinggang mereka itu tiba-tiba saja meninggalkan pinggang seperti berubah menjadi ular hidup saja dan telah berada di tangan kakek Bu Lee Ki! Setelah semua sabuk terampas, tujuh orang itu berdiri terbelalak, memegang celana sambil memandang ke arah kakek itu yang berdiri dan tertawa-tawa memegang tujuh helai sabuk merah dan diangkatnya tinggi-tinggi.

Kembali lima orang perwira tinggi itu bertepuk tangan memuji dan sekali ini mereka agaknya benar-benar kagum karena mereka berlima bangkit berdiri dari tempat duduk mereka. Pada saat itu, beberapa orang anggauta Ang-kin Kai-pang yang berada di luar berseru, "Pangcu datang ......!!"

Suasana menjadi menegangkan bagi semua orang ketika mendengar bahwa ketua mereka datang, dan giranglah hati Ciok An dan para sutenya karena tentu ketua mereka yang lihai akan mampu menebus kekalahan mereka yang membuat mereka merasa penasaran dan malu.

Ternyata orang yang muncul dari luar ini malah lebih muda dibandingkan Ciok An dan para sutenya. Usianya sekitar empatpuluh tahun dan wajahnya bersih dan tampan, tanpa ada kumis dan jenggot. Tubuhnya tegap dam nampak gesit, pakaiannya juga sederhana, berwama biru muda dan seperti juga semua anggauta Ang-kin Kai-pang, di pinggangnya terlilit sehelai sabuk sutera, hanya warna merahnya yang berbeda karena warna merah sabuknya lebih tua dari pada yang lain.

Dari luar tadi ketua ini sudah mendengar dari anak buahnya bahwa ada seorang kakek pengemis asing dan dua orang murid keponakannya mengacau di situ dan mengalahkan semua pimpinan Ang-kin Kai-pang. Mendengar ini, dia cepat melangkah maju dan dengan suara berwibawa dia berseru nyaring.

"Siapa yang berani mengacau di Ang-kin Kai-pang?"

Dengan tangan kiri masih memegangi celana agar tidak merosot, Ciok An segera menjawab, "Pangcu, locianpwe ini memaksa hendak bertemu dengan pangcu dan kami semua telah dikalahkannya."

"Heh..heh..heh, jangan merengek! Nih ku kembalikan sabuk kalian!" Dan begitu kakek itu melemparkan sabuk-sabuk merah itu, nampak tujuh sinar merah melayang ke arah tujuh orang pimpinan itu dan merekapun menyambut sabuk-sabuk mereka dengan tangan.

Akan tetapi mereka menyeringai karena ketika menangkap sabuk-sabuk yang melayang ke arah mereka itu, mereka merasa betapa telapak tangan mereka nyeri seperti dicambuk. Dengan menahan rasa nyeri, mereka cepat melilitkan kembali sabuk mereka di pinggang.

Sementara itu, Thio Sam Ki, yaitu ketua Ang-kin Kai-pang, memandang ke arah kakek Bu Lee Ki dan dia mengeluarkan seruan heran, lalu bergegas menghampiri. Mereka kini berhadapan. Bu Lee Ki masih terkekeh sedangkan ketua Ang-kin Kai-pang terbelalak.

"Locianpwekah ini ......? Benarkah ...... locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki ........?"

Kakek itu terkekeh. "Heh..heh..heh, kiranya engkau yang menjadi ketua Ang-kin Kai-pang ini, Thio Sam Ki! Bagus, pantas saja kai-pang ini demikian maju dan baik, kiranya engkau yang menjadi ketuanya, ha..ha..ha..ha!"

"Ahh, locianpwe, semua ini berkat petunjuk yang pernah saya terima dari locianpwe. Betapa bahagia rasa hati saya melihat locianpwe ternyata masih dalam keadaan sehat. Locianpwe, terimalah hormat saya!" Dan ketua Ang-kin Kai-pang itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu!

Ketika tadi mendengar disebutnya nama Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki oleh ketua Ang-kin Kai-pang, semua orang telah terbelalak kaget. Kini melihat ketua mereka berlutut memberi hormat, tanpa diperintah lagi seluruh pimpinan dan anggauta Ang-kin Kai-pang yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek itu!

Siapa yang tidak kaget mendengar bahwa kakek itu adalah Thai-pangcu (Ketua Besar) dari seluruh kai-pang? Kakek itu adalah "datuk" seluruh pengemis yang dikabarkan menghilang selama bertahun-tahun.

Bu Lee Ki mengangkat kedua tangannya ke atas. "Wah .. wah, bangkitlah kalian semua. Aku datang untuk melihat-lihat keadaan dan dapat kunyatakan bahwa engkau telah berhasil, Thio Sam Ki. Ang-kin Kai-pang agaknya mampu mempertahankan namanya sebagai pejuang-pejuang yang gagah, tidak menyeleweng ke jalan sesat!"

Thio Sam Ki bangkit berdiri, diturut semua anggautanya dan wajahnya berseri. "Semua ini berkat bimbingan locianpwe, dan berkat bantuan dari yang mulia Raja Muda Yung Lo!" Lain dia memandang kepada tujuh orang pembantunya sambil tersenyum. "Apakah kalian ini sudah buta, berani mencoba-coba kepandaian locianpwe Bu Lee Ki!"

Sementara itu, setelah melihat dan mendengar semua itu, lima orang perwira saling pandang dan mereka nampak gembira sekali. Seorang di antara mereka yang berusia limapuluh tahun lebih, bertubuh-tinggi besar, segera maju memberi hormat kepada Bu Lee Ki.

"Kiranya locianpwe adalah Thai-pangcu yang terkenal itu. Kami merasa beruntung dapat bertemu locianpwe dan kami mengucapkan selamat atas berkumpulnya kembali seorang pemimpin besar dengan anak buahnya." Dia lalu memberi hormat kepada Thio Sam Ki dan berkata, "Kami mengucapkan selamat kepada Thio-pangcu yang telah dapat bertemu dengan pemimpin besarnya. Kami berlima mohon diri karena sudah cukup lama berada di sini dan terima kasih atas segala keramahan Ang-kin Kai-pang."

Lima orang perwira itu lalu keluar dari situ dan lima orang anggauta Ang-kin Kai-pang sudah mempersiapkan kuda tunggangan mereka.

Setelah mereka pergi, Thio Sam Ki memandang kepada Sin Wan dan Kui Siang, lalu bertanya kepada Bu Lee Ki, "Saya mendengar bahwa kedua orang adik yang gagah ini adalah murid-murid keponakan locianpwe, harap suka memperkenalkan saya kepada mereka."

Bu Lee Ki tersenyum. "Mereka adalah murid-murid dari Sam-sian, boleh dibilang murid keponakanku sendiri. Pemuda ini bernama Sin Wan dan nona itu bernama Lim Kui Siang dari Nan-king. Sin Wan dan Kui Siang, ini adalah ketua Ang-kin Kai-pang Thio Sam Ki, takkusangka bahwa dia yang menjadi ketua di sini."

Dua orang itu saling memberi hormat dengan Thio Sam Ki yang merasa kagum kepada mereka karena sudah mendengar betapa mereka ini telah mengalahkan dengan mudahnya. Gadis cantik itu telah mengalahkan barisan Enam Tongkat Merah, bahkan pemuda itu mengalahkan barisan Sembilan Pedang Naga. Hebat! Apalagi ketika tadi mendengar keterangan Bu Lee Ki bahwa mereka adalah murid-murid Sam-sian, kekagumannya semakin bertambah.

"Dahulu saya hanya anggauta pengemis biasa di Ang-kin Kai-pang, namun berkat bimbingan locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki maka akhirnya saya dapat menjadi ketua. Locianpwe, marilah kita bicara di dalam." Ketua itu lalu memerintahkan para pembantunya untuk mempersiapkan pesta penyambutan kepada pemimpin besar para kai-pang itu.

Dalam perjamuan meja panjang di mana duduk Bu Lee Ki, Sin Wan dan Kui Siang sebagai tamu kehormatan, dan Thio Sam Ki bersama tujuh orang pembantunya sebagai tuan rumah. Bu Lee Ki dengan tenang dan sabar mendengarkan semua keterangan yang diberikan Thio Sam Ki mengenai perkembangan dunia kai-pang semenjak penjajah Mongol diusir dan pemerintah Kerajaan Beng memegang kekuasaan.

Dahulunya Ang-kin Kai-pang juga, terbawa menyeleweng oleh ketuanya yang lama yang bernama Boan Kin. Melihat situasi yang kacau akibat perang, Boan Kin bersama para pendukungnya yang menjadi kaki tangannya dan berjumlah duapuluh orang lebih, membawa Ang-kin Kai-pang keluar dari jalan benar dan mulai melakukan pemerasan dan penindasan terhadap masyarakat di Peking dengan dalih bahwa Ang-kin Kai-pang sudah berjasa dalam perjuangan menumbangkan penjajah Mongol dan karenanya sudah sepatutnva kalau mendapatkan imbalan jasa. Boan Kin dan kaki tangannya merupakan gerombolan yang merajalela di Peking dan amat ditakuti rakyat karena mereka tidak segan-segan mempergunakan kekerasan dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka.

Thio Sam Ki yang menjadi anggauta Ang-kin Kai-pang, dan para pengemis lain yang berjiwa bersih, tentu saja tidak menyetujui langkah yang diambil ketua mereka. Biarpun Thio Sam Ki sendiri sudah memiliki ilmu silat yang tinggi dan kiranya tidak kalah oleh Boan Kin karena dia pernah dibimbing langsung oleh Pek-sim Lo-kai, namun dia tidak berdaya mengingat bahwa Boan Kin mempunyai duapuluh lebih kaki tangan yang tentu saja tidak mungkin dapat dia atasi.

Akhirnya, setelah Raja Muda Yung Lo mulai melakukan penertiban dengan tangan besi, melakukan pembersihan terhadap para penjahat, Thio Sam Ki mendapat dukungan dari raja muda ini. Dengan bantuan pasukan, Thio Sam Ki berhasil membunuh Boan Kin dan kaki tangannya dan diapun diangkat sebagai ketua baru oleh semua sisa anggauta Ang-kin Kai-pang dan didukung sepenuhnya oleh Raja Muda Yung Lo.

"Demikianlah, locianpwe. Saya dipilih menjadi ketua baru Ang-kin Kai-pang. bukan karena saya berambisi untuk mencari kedudukan, melainkan semata-mata demi menolong Ang-kin Kai-pang dari cengkeraman orang jahat dan mengembalikan Ang-kin Kai-pang ke jalan benar." Thio Sam Ki mengakhiri ceritanya.

"Bagaimana dengan kai-pang yang lain-lain? Apakah keadaan di empat daerah masih seperti dahulu?" tanya Bu Lee Ki yang merasa senang melihat keadaan Ang-kin Kai-pang dan mulai tertarik untuk mengetahui keadaan dunia kai-pang yang dahulu menjadi dunianya dan yang ditinggalkannya karena dia kecewa melihat penyelewengan para kai-pang.

"Setahu saya masih seperti dulu, tidak ada pergantian ketua kecuali Ang-kin Kai-pang, locianpwe. Ketika saya diangkat menjadi ketua, tiga orang ketua dari kai-pang terbesar di barat, timur dan selatan datang memberi selamat.  Kalau di utara yang menjadi kai-pang terbesar adalah Ang-kin Kai-pang maka di selatan adalah Lam-kiang Kai-pang yang masih dipimpin oleh ketuanya yang dahulu, yaitu Kwee Cin. Di barat adalah Hek I Kai-pang dipimpin oleh Souw Kiat sebagai pangcunya, dan di timur Hwa I Kai-pang dipimpin Siok Cu."

Bu Lee Ki mengangguk-angguk. Ternyata tidak ada perubahan di tiga daerah itu, dan dia mengenal mereka karena mereka adalah bekas bawahannya. Dia pernah menjabat sebagai Thai-pangcu, yaitu ketua terbesar yang dianggap sebagai pengawas dan penasihat bagi keempat kai-pang yang berkuasa.

"Apakah mereka masih juga menjaga kebersihan nama kai-pang masing-masing itu?" tanyanya, alisnya berkerut karena dahulu dia melihat bahwa di antara mereka banyak yang terseret ke dalam kesesatan seperti halnya mendiang Boan Kin ketua Ang-kin Kai-pang yang lama, kecuali Kwee Cin ketua Lam-kiang Kai-pang yang seperti juga Thio Sam Ki, pernah menerima bimbingannya selama beberapa tahun.

"Yang saya ketahui, hanya Hwa I Kai-pang saja yang kabarnya banyak berubah. Perkumpulan itu kini menjadi kaya raya dan kabarnya memiliki kekuasaan besar sekali. Ketuanya masih Siok Cu dan menurut berita yang saya terima, terjadi persaingan antara Hwa I Kai-pang dan Hek I Kai-pang. Saya merasa yakin bahwa Souw-pangcu tetap mempertahankan Hek I Kai-pang sebagai kai-pang yang bersih dan gagah. Mengenai Hwa I Kai-pang, banyak berita yang tidak menyenangkan."

Bu Lee Ki mengelus jenggotnya yang kacau dan putih. "Hemm, begitukah? Apakah Hwa I Kai-pang masih berpusat di Lok-yang?"

Thio Sam Ki membenarkan, lalu melanjutkan. "Sebulan lagi akan diadakan pertemuan besar di Lok-yang antara pimpinan empat kai-pang itu, locianpwe, yaitu untuk membicarakan kepergian locianpwe dan kekosongan kedudukan Thai-pangcu. Di dalam pertemuan itu akan diadakan pemilihan Thai-pangcu yang baru dan hal ini didukung pula oleh pemerintah."

"Pemerintah?"

"Benar sekali, locianpwe. Tentu locianpwe tadi melihat pula lima orang perwira tinggi yang menjadi tamu di sini. Hubungan kami dengan para panglima baik sekali, bahkan Raja Muda Yung Lo amat memperhatikan kami. Demikian pula ayahanda beliau, Kaisar Thai-cu di Nan-king kabarnya amat memperhatikan kai-pang. Beliau tidak melupakan perjuangan para kai-pang dan pemerintah yang menganjurkan agar diadakan pemilihan Thai-pangcu lagi untuk kelak mewakili para kai-pang dalam pemilihan seorang Beng-cu. Pemerintah bermaksud untuk mempersatukan seluruh tokoh dunia persilatan agar tidak terjadi persaingan dan perpecahan dan kekuatan di dunia persilatan dapat dimanfaatkan untuk membantu pemerintah dalam menjaga keamanan dan

ketertiban sehingga kehidupan menjadi tenteram."

"Bagus sekali!" Bu Lee Ki mengangguk-angguk dan wajahnya berseri. "Kalau kaisar dan pemerintahnya bijaksana dan baik, maka tidak sia-sia belaka bertahun-tahun rakyat ikut berjuang melawan penjajah mengorbankan nyawa dan harta benda. Perjuangan takkan berhasil tanpa bantuan rakyat karena yang berjuang adalah rakyat. Oleh karena itu setelah perjuangan berhasil, para pimpinan sekali-kali tidak boleh melupakan tujuan semula dari perjuangan, yaitu membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan agar rakyat dapat hidup dalam keadaan tenteram, adil dan makmur. Para pemimpin harus selalu menyadari bahwa tanpa rakyat, mereka bukan apa-apa, dan tanpa dukungan rakyat, setiap pemerintahan pasti akan rapuh dan jatuh."

"Betapa bahagianya kami kalau selalu mendapatkan bimbingan dari locianpwe yang bijaksana," kata Thio Sam Ki terharu. "Pemilihan Thai-pangcu akan diadakan. Akan celakalah para kai-pang kalau Ketua Besar dipegang oleh orang yang tidak bijaksana. Oleh karena itu, demi menjaga keutuhan para kai-pang dan dapat mengendalikan mereka asal tidak sempat terseret ke dalam kesesatan, kami mohon agar locianpwe suka kami calonkan kembali menjadi Thai-pangcu yang akan dipilih. Dan pula, selama ini Thai-pangcu masih dianggap pimpinan walaupun telah bertahun-tahun tidak muncul. Harap locianpwe tidak menolak."

"Aku akan menghadiri rapat besar itu di Lok-yang dan kita lihat saja bagaimana perkembangannya nanti, apakah aku masih harus menyibukkan diri dengan kai-pang ataukah tidak," kata Bu Lee Ki lalu minum araknya.

Mereka bertiga tinggal di pusat Ang-kin Kai-pang sebagai tamu kehormatan dan pada malam harinya, dengan wajah berseri Thio Sam Ki memperlihatkan sebuah sampul merah terisi surat undangan dari Raja Muda Yung Lo!

"Raja Muda mengundang kita, Locianpwe. Saya, locianpwe, Sin-taihiap dan Lim-lihiap diundang untuk makan malam di istana Raja Muda!" Ketua itu nampak gembira dan bangga bukan main.

Hati siapa tidak akan merasa bangga menerima undangan makan malam dari seorang yang paling berkuasa di Peking, Raja Muda yang juga seorang putera kaisar itu? Selama ini, dalam hubungannya dengan pemerintah, bahkan ketika dia didukung untuk menjadi ketua, wakil pemerintah hanyalah para perwira tinggi saja dan belum pernah Thio Sam Ki bertemu langsung dengan raja muda itu, apa lagi diundang makan malam!

Sin Wan dan Kui Siang merasa heran sekali mendengar bahwa merekapun ikut diundang raja muda, akan tetapi ketika Thio-pangcu memperlihatkan surat undangan itu, di situ jelas tertulis pula nama Sin Wan dan Lim Kui Siang! Melihat keheranan dua orang muda itu, Thio-pangcu tersenyum.

"Tai-hiap dan Li-hiap tidak perlu merasa heran. Raja Muda Yung Lo adalah seorang pangeran yang sejak dahulu amat menghargai orang-orang gagah di dunia persilatan, bahkan beliau sendiri seorang panglima yang gagah perkasa dan biarpun belum pernah ada yang berani mencohanya, namun kami mendengar bahwa beliau memiliki dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang hebat. Tentu para ciangkun (perwira) yang tadi menyaksikan kelihaian ji-wi (anda berdua) telah melaporkan ke istana dan membuat Raja Muda Yung Lo tertarik dan mengirim undangan."

"Heh .. heh .. heh, memang nasib kita sedang mujur, Sin Wan dan Kui Siang. Begitu tiba di sini, kita selalu disambut dengan kehormatan dan terutama sekali dengan hidangan yang serba enak. Apa lagi kalau makan malam di istana, aduh, belum apa-apa aku sudah mengilar, walaupun tadi sudah makan kenyang, ha .. ha!"

Sin Wan yang selama hidupnya belum pernah melihat kemewahan dan keindahan yang luar biasa dari sebuah istana, tiada habisnya terkagum-kagum ketika dia bersama Kui Siang, kakek Bu Lee Ki dan Thio Sam Ki didahului pengawal memasuki istana Raja Muda Yung Lo. Kui Siang sendiri adalah seorang puteri bangsawan, maka kemewahan gemerlapan itu tidak membuatnya merasa heran, demikian pula dengan kakek Bu Lee Ki yang sudah mempunyai banyak pengalaman itu. Bahkan Thio-pangcu sendiripun terkagum-kagum.

Ketika mereka tiba di ruangan luas yang dipasangi banyak lampu sehingga keadaannya menjadi terang seperti siang itu, Raja Muda Yung Lo telah duduk di situ. Agaknya raja muda ini sudah mendapat laporan dan telah menanti, ditemani oleh tiga orang panglimanya. Sebuah meja besar berada di situ, meja bundar yang bersih mengkilap.

Ketika mereka berempat memasuki ambang pintu, seorang pengawal melapor dengan suaranya yang nyaring bahwa empat orang tamu undangan sudah tiba, dan terdengar perintah raja muda itu agar mereka dipersilakan masuk. Thio Sam Ki yang berjalan di depan, begitu memasuki ruangan itu dan melihat sang raja muda duduk bersama tiga orang panglima besar yang sudah dikenalnya, cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada Raja Muda Yung Lo.

Akan tetapi, kakek Bu Lee Ki tidak berlutut, hanya memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada lalu membungkuk sampai dalam. Sin Wan dan Kui Siang mengikuti perbuatan kakek itu, memberi hormat tanpa berlutut.

Melihat ini, Thio-pangcu merasa khawatir, akan tetapi sebaliknya, pangeran atau raja muda itu malah tersenyum dan menegurnya. "Tidak perlu berlutut, mari bangkitlah dan silakan kalian duduk," suaranya tegas dan nyaring, akan tetapi ramah.

Legalah hati Thio Sam Ki yang segera bangkit dan dengan sikap hormat mereka melangkah maju dan duduk di atas kursi menghadapi Raja Muda Yung Lo di seberang meja. Sejenak mereka tidak bicara dan raja muda itu memberi isyarat dengan tangan kepada para pengawal agar keluar dari ruangan itu. Para pengawal keluar dan di situ kini tinggal Raja Muda Yung Lo, tiga orang panglima, dan empat orang tamu itu.

Jilid 8

KUI SIANG mengangkat muka untuk memandang kepada para bangsawan yang duduk di seberang meja bundar. Tiga orang panglima itu berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun, bertubuh kekar dan nampak berwibawa dalam pakaian panglima yang gemerlapan. Akan tetapi raja muda itu sendiri nampak masih muda. Tidak akan lebih dari tigapuluh tahun usianya dan wajahnya membayangkan kegagahan dan kecerdikan, wajah yang cukup tampan dan jantan. Sepasang telinganya lebar dan panjang, merapat di

kepala. Wajahnya berbentuk persegi panjang, dengan sedikit kumis dan cambangnya bersatu dengan jenggot, terpelihara rapi sehingga wajah itu nampak bersih matanya lebar dengan ujung sipit ke atas, dengan alis yang berbentuk golok.

Hidungnya besar dan mancung, mulutnya membayangkan keramahan, akan tetapi dagunya menunjukkan bahwa dia seorang yang bersemangat dan keras hati.

Kepalanya tertutup topi dan pakaiannya ringkas walaupun gemerlapan, akan tetapi tidak terlalu mewah. Sepasang matanya itulah yang amat menarik perhatian karena mata itu seperti mata burung elang rajawali yang amat tajam dan juga amat berwibawa. Bahkan Kui Siang sendiri tidak dapat bertahan lama beradu pandang dengan mata itu dan iapun menunduk.

Pangeran atau Raja Muda Yung Lo adalah seorang pria yang gagah perkasa dan jantan. Dia bukan seorang yang berwatak mata keranjang, walaupun sebagai seorang pria yang normal, dia tidak buta terhadap kecantikan wanita. Dia lebih mementingkan urusan pemerintahan, lebih mementingkan kedudukan ketimbang wanita. Sebetulnya, ketika dia menjadi pangeran, nama kecilnya adalah Pangeran Yen dengan julukan Pangeran Cang On. Akan tetapi dia lebih suka mempergunakan nama Yung Lo, yaitu nama besar yang dipakainya setelah dia menjadi Raja Muda Yung Lo yang menguasai seluruh daerah utara. Dia bukan seorang pemimpin yang hanya mengatur siasat di balik tembok benteng dan di kamar yang mewah dalam istana. Dia adalah pemimpin yang maju sendiri memimpin pasukannya mengamuk kalau sedang dalam pertempuran sehingga namanya terkenal dan dia dipuja-puja oleh pasukan dan rakyat sebagai seorang panglima yang gagah perkasa.

Akan tetapi kini, melihat Lim Kui Siang, raja muda itu terpesona. Bukan semata karena kecantikan Kui Siang, melainkan dia terkagum-kagum oleh kelihaian gadis itu. Dia telah menerima laporan bahwa, seorang diri, gadis ini mampu mengalahkan enam orang tokoh Ang-kin Kai-pang yang mengeroyoknya, enam orang yang terkenal sebagai Barisan Tongkat Merah dari perkumpulan itu. Dia sendiri sudah mempunyai seorang isteri yang cantik dan lima orang selir, yang manis-manis, akan tetapi belum pernah dia bertemu seorang pendekar wanita muda yang cantik dan lihay seperti Kui Siang. Seketika hatinya tertarik dan timbul perasaan cintanya. Kalau dia dapat menarik gadis ini sebagai pendamping hidupnya, dia bukan saja memperoleh seorang selir yang lain dari pada selirnya, melainkan juga mendapatkan seorang pengawal pribadi yang boleh diandalkan!

Setelah berpandangan sejenak, dan tahu bahwa para tamu itu tentu tidak akan berani bicara lebih dahulu sebelum ditegurnya. Raja Muda Yung Lo berkata dengan suaranya yang nyaring dan tegas. "Kami menerima laporan tentang locianpwe yang ternyata adalah Thai-pangcu, pemimpin besar para kai-pang yang selama bertahun-tahun menghilang. Kami sudah lama mendengar nama besar Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang telah berjasa besar membantu perjuangan kami merobohkan penjajah Mongol. Sayang bahwa selama ini locianpwe pergi tanpa meninggalkan jejak sehingga kami belum sempat memberi hadiah dan imbalan jasa kepadamu."

Dari tempat duduknya, kakek itu tersenyum dan memberi hormat kepada raja muda itu. "Terima kasih atas kehormatan yang diberikan kepada hamba, Yang Mulia. Akan tetapi maafkan hamba bahwa hamba sama sekali tidak mengharapkan hadiah atau imbalan jasa. Tentu paduka sudah lebih mengetahui bahwa berjuang demi kemerdekaan tanah air dan bangsa, mengusir penjajah Mongol merupakan kewajiban setiap orang anak bangsa. Ketika hamba membantu perjuangan, memimpin seluruh Kai-pang untuk menentang pasukan Mongol, seujung rambut pun tidak ada pamrih dalam hati hamba untuk kemudian menuntut imbalan jasa."

Raja Muda Yung Lo tertawa dan Kui Siang melihat betapa pria itu nampak jauh lebih muda ketika tertawa dan semua bentuk kekerasan yang menggores di wajah yang perkasa itupun lenyap. Tahulah ia bahwa pada dasarnya, raja muda itu seorang yang lembut hati dan ia merasa semakin kagum.

"Ha..ha..ha, ucapanmu itu sudah kami duga sebelumnya, locianpwe. Memang demikianlah watak seorang pendekar, seorang pahlawan, selalu menjunjung kebajikan, membela kebenaran dan keadilan, tanpa pamrih sedikitpun untuk diri sendiri. Akan tetapi ketahuilah bahwa pemimpin bangsa yang baik dan bijaksana harus menghargai dan menghormati para pahlawan bangsa. Dan bagi kami, penghargaan terhadap pahlawan yang masih hidup jauh lebih penting dari pada penghargaan terhadap pahlawan yang sudah tewas dan gugur dengan sekedar kenangan untuk menghormati jasa mereka. Oleh karena itu, kami selalu mencari para pendekar yang berjasa bukan sekedar untuk memberi penghargaan, akan tetapi juga mengajak mereka untuk bekerja sama demi kepentingan bangsa. Perjuangan masih jauh dari pada selesai, locianpwe. Oleh karena itu, kami ingin sekali mengajak locianpwe bekerja sama!"

"Hamba mengerti, Yang Mulia. Memang, sebelum mati, setiap orang takkan pernah terbebas dari pada perjuangan. Hidup ini perjuangan, yaitu menghadapi semua tantangan dan mengatasinya, bukan saja untuk diri sendiri, keluarga, bangsa bahkan manusia. Akan tetapi hamba sudah tua, Yang Mulia. Apakah yang dapat hamba lakukan untuk membantu paduka? Tentu saja hamba selalu siap membantu asal sesuai dengan kemampuan hamba yang sudah tua ini."

"Locianpwe, kami selalu merindukan melihat persatuan terjalin erat di antara seluruh tokoh dalam dunia persilatan. Dengan adanya, locianpwe sebagai Thai-pangcu, maka berarti bahwa seluruh kai-pang dapat dipersatukan. Ada gejala timbulnya perpecahan ketika locianpwe menghilang, dan dengan munculnya kembali locianpwe, kami harap agar seluruh kai-pang dapat dipersatukan kembali."

"Hamba memang bermaksud untuk mengunjungi rapat besar kai-pang yang akan diadakan di Lok-yang bulan depan, Yang mulia."

"Bagus sekali kalau begitu. Akan tetapi bukan hanya sekian, bukan hanya para kai-pang yang harus dipersatukan, melainkan seluruh dunia persilatan, seluruh tokoh kangouw. Oleh karena itu, Sribaginda Kaisar sendiri sudah menyetujui agar diadakan pertemuan besar di mana akan dilakukan pemilihan seorang Beng-cu yang akan memimpin seluruh dunia persilatan dan mewakili dunia persilatan untuk bekerja sama dengan pemerintah. Dan kami percaya bahwa locianpwe akan mampu menjadi calon Beng-cu, atau setidaknya, locianpwe dapat menjaga agar yang dipilih menjadi Beng-cu seorang yang benar-benar berjiwa pendekar dan pahlawan, bukan tokoh sesat yang akan menyelewengkan dunia kang-ouw. Mengertikah locianpwe akan maksud kami?"

"Hamba mengerti, dan tanpa perintah padukapun, hamba tentu akan melakukan pengawasan itu agar jangan sampai dunia persilatan diselewengkan ke arah kesesatan."

"Bagus, terima kasih, locianpwe. Kami percaya sepenuhnya kepada locianpwe. Kami akan memberi laporan kepada ayahanda Sribaginda Kaisar, dan akan memberi perintah kepada para pejabat tinggi di Lok-yang dan lain-lain agar mereka mempersiapkan bantuan kepada locianpwe. Kami dari pemerintah tidak akan mencampuri pemilihan itu, secara langsung, hanya akan menjaga dan mendukung pihak yang kami anggap benar. Dan locianpwe merupakan satu di antara golongan yang kami pilih."

"Terima kasih, Yang Mulia."

"Kami tidak mau menjanjikan hadiah kepada locianpwe karena hal itu akan merupakan penghinaan bagi seorang yang berjiwa pahlawan, akan tetapi percayalah bahwa kami tidak akan melupakan jasa locianpwe yang besar bagi negara dan bangsa. Nah, sekarang kami ingin bicara dengan pemuda ini. Namamu Sin Wan, orang muda?"

Suara raja muda itu membuat Kui Siang merasa geli dalam hatinya karena seolah-olah raja muda itu sudah tua. Padahal,

dibandingkan dengan Sin Wan, raja muda itu pantas menjadi seorang kakaknya saja.

Sin Wan memberi hormat, "Benar, Yang Mulia."

"Dan engkau murid keponakan locianpwe Pek-sim Lo-kai?"

Sin Wan menoleh ke arah kakek itu. Dia tidak ingin berbohong, akan tetapi di pusat Ang-kin Kai-pang, kakek itu telah mengakuinya sebagai murid keponakan. Melihat pemuda itu menoleh kepadanya, kakek itu tersenyum.

"Maaf, Yang Mulia. Sesungguhnya, Sin Wan dan Kui Siang adalah murid-murid Sam-sian dan hamba akui sebagai murid keponakan karena hamba dengan Sam-sian akrab seperti saudara saja."

Raja Muda Yung Lo memandang terbelalak kepada Sin Wan, lalu kepada Kui Siang dan mulutnya tersenyum, wajahnya berseri. "Aihhh .....! Murid-murid Sam-sian, Tiga Dewa yang telah berjasa menemukan kembali pusaka-pusaka istana yang hilang dicuri orang itu? Bukan main! Sam-sian adalah tiga tokoh besar yang telah berjasa. Jadi engkau ini murid mereka, Sin Wan! Akan tetapi, kami lihat bahwa engkau bukan seorang pribumi, bukan orang Han. Benarkah?"

Sin Wan kagum kepada raja muda itu yang berpenglihatan tajam. Pada hal, baik cara dia bicara maupun pakaian dan sikapnya, tiada bedanya antara dia dan orang Han. Sin Wan sendiri tidak menyadari bahwa terdapat perbedaan walaupun kecil pada matanya dan kulit wajahnya, dan dia memiliki ketampanan yang berbeda dengan orang Han.

"Benar sekali dugaan paduka, Yang Mulia. Sesungguhnya, mendiang ayah dan ibu hamba adalah orang-orang Uighur."

"Hemm, pantas kalau begitu. Jadi engkau telah yatim piatu?"

"Benar, Yang Mulia. Sejak berusia sepuluh tahun, hamba kehilangan ibu hamba, sedangkan ayah hamba telah meninggal sewaktu hamba masih dalam kandungan, dan sejak berusia sepuluh tahun hamba menjadi murid ketiga orang guru hamba."

"Kalau begitu, engkau seorang keturunan Bangsa Uighur, Sin Wan, dapatkah kami mengharapkan seorang Uighur untuk setia terhadap kerajaan dan Dinasti Beng? Setia terhadap negara dan Bangsa Han. Kepada tanah air?" Sepasang mata itu mencorong dan mengamati wajah Sin Wan penuh selidik.

Ucapan yang menusuk hati itu diterima oleh Sin Wan dengan sikap tenang saja. Batinnya sudah digembleng secara hebat oleh tiga orang gurunya, maka tidak mudah keseimbangannya terguncang. Diapun menyambut pandang mata raja muda itu dengan sinar mata yang terang dan tenang.

"Yang Mulia, bagi hamba, di mana hamba hidup, di situlah tanah air hamba karena airnya hamba minum dan hasil tanahnya hamba makan. Bangsa hamba adalah bangsa di dalam mana hamba hidup dan bergaul, mengalami suka duka bersama. Sejak kecil hamba hidup di antara Bangsa Han, bergaul dengan Bangsa Han, sehingga hamba akan merasa asing kalau berada di antara orang-orang Uighur sendiri, bahkan hambapun hampir lupa akan Bahasa Uighur karena sejak kecil ibu bicara dalam Bahasa Han kepada hamba. Sejak kecil ketiga orang guru hamba mengajarkan kepada hamba untuk selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. Bagaimana mungkin hamba akan mengkhianati tanah air di mana hamba makan minum dan bangsa dengan siapa hamba bergaul dan mengalami suka duka bersama? Hamba tidak akan menyangkal bahwa hamba adalah keturunan orang Uighur, akan tetapi hamba akan menyeleweng dari pada kebenaran kalau hamba mengkhianati negara dan bangsa di mana hamba hidup!"

Ucapan itu penuh semangat dan sewajarnya karena keluar dari lubuk hati pemuda itu. Dia sendiri akan merasa asing, aneh dan kehilangan tempat berpijak kalau dia harus bersikap lain dari pada apa yang telah dia katakan itu.

Diam-diam Kui Siang memandang kepada suhengnya dengan hati merasa heran bukan main. Tiga orang suhu mereka tidak pernah bercerita tentang asal usul Sin Wan, dan suhengnya itu sendiripun hanya menceritakan bahwa dia yatim piatu. Sama sekali ia tidak pernah mengira bahwa suhengnya adalah seorang Uighur! Baginya, tidak ada sedikitpun sisa-sisa orang Uighur pada suhengnya, padahal menurut pengakuannya tadi, ayah bunda suhengnya adalah Bangsa Uighur. Suhengnya orang Uighur tulen! Sungguh tak disangkanya sama sekali. Mendengar ucapan itu. Melihat sikap dan sinar mata pemuda itu, Raja Muda Yung Lo tersenyum girang. Wajahnya berseri dan diapun berkata, "Hemm, kami hanya ingin tahu isi hatimu, Sin Wan. Kalau kita semua mau mengakui secara jujur, kami sendiri tidak tahu siapakah yang asli dan siapa pula yang tidak asli di antara kita semua!"

Pangeran atau raja muda itu tertawa. "Kita hanya mampu mengenal nenek moyang kita sampai kepada kakek buyut atau kakek canggah. Sebelum itu, siapa dapat yakin bahwa nenek moyang kita bukan keturunan suku lain? Siapa tahu di dalam tubuhku ini mengalir darah Uighur, atau darah Miauw, bahkan darah Mancu atau malah darah Mongol? Yang penting memang bukan keturunannya, melainkan sepak terjangnya dalam hidup. Bagaimanapun, darah manusia tetap darah manusia, apa bedanya? Keturunan apapun, kalau memang dia pengkhianat, tetap penghkianat, kalau dia pendekar atau pahlawan, tetap pahlawan. Nah, mengingat bahwa engkau murid Sam-sian, apa lagi kini datang bersama locianpwe Pek-sim Lo-kai, kami percaya sepenuhnya kepadamu. Kepadamu kami juga menawarkan kerja, sama demi kepentingan rakyat seperti yang kami tawarkan kepada locianpwe Pek-sim Lo-kai. Bagaimana kesanggupanmu, Sin Wan?"

"Hamba siap untuk bekerja sama, Yang Mulia."

"Bagus Kami sudah mendengar akan kemampuanmu, maka kami ingin engkau membantu kami sebagai seorang panglima pasukan keamanan yang khusus bergerak dalam usaha pemerintah mempersatukan dunia persilatan dan menjalin hubungan antara mereka dengan pemerintah. Maukah engkau menerimanya?"

Sin Wan terkejut. Dia diangkat menjadi seorang panglima! Sungguh merupakan hal yang mengejutkan dan tak pernah dia bermimpi untuk menjadi seorang perwira tinggi begitu saja! Akan tetapi dia teringat akan kesanggupannya kepada kakek Bu Lee Ki untuk membantunya mempersatukan kai-pang.

"Hamba berterima kasih sekali dan tentu saja hamba mentaati perintah paduka. Akan tetapi kalau boleh hamba memohon agar pengangkatan itu, ditangguhkan dahulu karena hamba ingin membantu Bu-locianpwe untuk menghadiri pertemuan besar antara para pimpinan kai-pang di Lok-yang."

Tentu saja alasan ini mempunyai maksud yang lain, yaitu bahwa dia ingin lebih dahulu mengantar sumoinya pulang ke Nan-king!

Raja Muda Yung Lo tersenyum dan mengangguk-angguk. "Bagus, kami setuju. Memang urusan itupun merupakan kepentingan kami dan masih dalam rangka tugasmu sebagai seorang panglima keamanan. Baik, engkau pergilah bersama Bu-locianpwe, sekalian melaporkan kelak kepada kami bagaimana hasil pertemuan itu. Sekarang kami ingin bicara dengan nona Lim Kui Siang."

Gadis itu mengangkat muka memandang kepada Raja Muda Yung Lo, akan tetapi melihat sinar mata yang amat tajam itu, iapun menunduk kembali dan menanti dengan jantung berdebar. Apa yang dikehendaki raja muda itu darinya?

"Nona Lim Kui Siang, kami sudah mendengar pula laporan tentang kelihaian nona ketika bertanding melawan tokoh-tokoh Ang-kin Kai-pang dan kami merasa kagum sekali. Nona masih begini muda sudah memiliki kepandaian hebat, walaupun keheranan kami kini terjawab ketika mendengar bahwa nona adalah murid Sam-sian."

Dengan sikap tenang dan sopan, Kui Siang memberi hormat dan menjawab, "Paduka terlalu memuji, Yang Mulia. Berkat bimbingan tiga orang suhu, maka hamba memiliki sedikit kemampuan untuk menjaga diri."

Senang hati raja muda itu mendengar ucapan ini. Gadis ini selain lihai, juga berwatak pendekar, tidak suka menyombongkan diri bahkan jawaban itu menunjukkan sikap yang rendah hati.

"Nona, kebetulan sekali kami membutuhkan seorang wanita selihai nona untuk menjadi pengawal keluarga kami. Kami sendiri sering kali memimpin pasukan mengusir pengacau-pengacau dari luar Tembok Besar dan meninggalkan keluarga. Hati kami akan merasa tenang dan tenteram kalau nona suka membantu kami dengan menjadi pengawal pribadi keluarga kami, yang mengepalai semua pasukan pengawal istana. Maukah nona menerimanya?"

Wajah gadis itu menjadi kemerahan dan jantungnya berdebar, seperti juga Sin Wan, ia terkejut bukan main. Begitu saja, secara mendadak dan amat mudah, ia diangkat menjadi kepala pengawal keluarga di dalam istana raja muda. Ini kedudukan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada kedudukan mendiang ayahnya dahulu! Kepala pengawal dalam istana adalah orang yang dipercaya sepenuhnya oleh raja muda untuk menjaga keselamatan keluarga!

Sejenak ia termangu. Ia melirik ke arah suhengnya, akan tetapi suhengnya hanya menundukkan mukanya dan ketika ia mengerling ke arah Bu Lee Ki, kakek itu memandang kepadanya dengan senyum dan pandang matanya jelas tidak mau mencampuri dan menyerahkan keputusannya kepadanya sendiri.

"Bagaimana jawabanmu, nona Lim?" raja muda itu bertanya.

"Hamba ...... hamba ingin pergi ke Nanking dan menyembahyangi makam ayah bunda hamba ......!" akhirnya Kui Siang menjawab.

"Aihhh .... jadi seperti juga Sin Wan, engkau sudah yatim piatu, nona? Dan engkau berasal dari kota raja?"

Sin Wan maklum bahwa sumoinya merasa sungkan untuk memperkenalkan keluarganya. Mengingat bahwa ayah gadis itu seorang pembesar yang setia, diapun tidak ragu-ragu membantu sumoinya.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Sumoi Lim Kui Siang adalah puteri tunggal dari mendiang Lim-taijin (pembesar Lim) yang menjabat pengurus gudang pusaka istana."

Mendengar ini, Raja Muda Yung Lo terbelalak dan memandang tajam kepada gadis itu yang kini menundukkan mukanya.

"Ahhh! Jadi ayahmu adalah mendiang paman Lim Cun, nona!" Kui Siang hanya dapat mengangguk.

"A-ha! Kalau begitu engkau puteri seorang pejabat tinggi yang setia sampai mati! Bukankah mendiang ayahmu tewas karena dibunuh penjahat yang mencuri pusaka istana?"

"Benar, Yang Mulia."

"Lim Kui Siang, ternyata engkau masih orang sendiri! Ayahmu dahulu adalah seorang pejabat yang setia dan kami mengenalnya walaupun kami belum pernah berkenalan dengan keluarganya. Kami menjadi semakin yakin dan percaya sepenuhnya kepadamu. Baiklah, engkau boleh pergi dulu ke Nan-king menyembahyangi makam orang tuamu, setelah itu engkau kembali ke sini dan mulai dengan tugasmu di istana. Bagaimana?"

Kui Siang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyetujui tentu saja. Ia memang tidak tahu bagaimana harus memulai hidupnya yang sebatang kara itu. Biarpun ada dua orang pamannya dan seorang bibi dari ayah, juga seorang paman dari ibunya, akan tetapi ia tidak suka kepada mereka karena ia tahu benar bahwa dahulu mereka itu amat menginginkan peninggalan atau warisan harta dari orang tuanya. Ia akan ke Nanking selain bersembahyang, juga akan mengurus harta peninggalan itu yang dahulu oleh Ciu-sian dititipkan kepada Ciang-Ciangkun, seorang perwira yang setia dan jujur, juga bahkan sahabat baik ayahnya,

"Baiklah, Yang Mulia Hamba akan mentaati perintah paduka."

Bukan main senang rasa hati Pangeran yang menjadi Raja Muda di Peking itu. Dia lalu memerintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan makan malam, kemudian dia mengajak empat orang tamunya untuk makan malam bersamanya, suatu kehormatan yang luar biasa, terutama bagi Thio Sam Ki.

Dia seorang ketua pengemis makan malam bersama yang mulia Raja Muda Yung Lo! Peristiwa ini menjadi dongeng baginya yang tiada hentinya dia ceritakan dan banggakan kepada anak cucunya kelak!

Mendengar bahwa mereka akan segera berangkat ke selatan, Raja Muda Yung Lo memberi hadiah lima ekor kuda pilihan untuk mereka, karena wakil ketua Ang-kin Kai-pang, yaitu Ciok An, akan mengawani ketuanya menghadiri rapat besar pemilihan pemimpin besar kai-pang yang akan diadakan di Lok-yang.

Mereka lalu melakukan perjalanan cepat ke selatan. Sementara itu, Raja Muda Yung Lo juga membuat surat laporan panjang kepada ayahnya, tentang rapat besar kai-pang, tentang Bu Lee Ki, Sin Wan dan Lim Kui Siang.                                

0oo0

"Kalian tidak perlu banyak bertanya!" kata gadis itu sambil bertolak pinggang di depan pintu gapura pusat perkampungan Hwa I Kai-pang yang megah. "Panggil saja ketua kalian keluar, katakan bahwa aku Tang Bwe Li ingin bertemu dan bicara dengan dia!"

Gadis yang galak itu sejak kemunculannya telah menarik perhatian banyak anggauta Hwa I Kai-pang. Tadinya ia melangkah hendak memasuki gapura tanpa memperdulikan para penjaga, dan setelah para penjaga menghadang, ia marah-marah! Tadinya para anggauta Hwa I Kai-pang hendak marah, akan tetapi ketika melihat bahwa gadis itu seorang dara jelita berusia duapuluh tahunan yang wajahnya manis sekali, timbul kegembiraan mereka untuk menggoda.

"Aduhai nona manis, kenapa sukar-sukar, mencari pangcu kami? Marilah bertemu dan bicara saja dengan aku di gardu sini, kan lebih asyik! Aku adalah kepala jaga, dan dapat kusuruh semua anak buahku ini menyingkir agar kita berdua dapat bicara tanpa gangguan."

Tentu saja ucapan ini disambut suara tawa para temannya.

Gadis itu memang Tang Bwe Li atau Lili. Ia mendapat tugas dari Bi-coa Sian-li Cu Sui In, yaitu gurunya yang kemudian menjadi kakak seperguruannya untuk pergi melakukan penyelidikan kepada Hwa I Kai�pang yang menjadi saingan Hek I Kai-pang yang telah mereka kuasai. Akan tetapi, Lili adalah seorang dara yang keras hati dan juga memandang rendah semua orang. Perlu apa bersusah-susah mengadakan penyelidikan seperti seorang pencuri, pikirnya. Lebih baik temui saja ketua Hwa I Kai-pang, taklukkan dia dan paksa dengan kekerasan agar dia mau mencalonkan sucinya sebagai pemimpin besar kai-pang, habis perkara. Lebih mudah dan cepat, juga tidak harus menyelinap masuk seperti pencuri! Tingkat kepandaian Souw-pangcu dari Hek I Kai-pang juga hanya sebegitu saja. Tentu tingkat kepandaian ketua Hwa I Kai-pang juga tidak jauh selisihnya dan akan mudah dia kalahkan.

Mendengar ucapan yang kurang ajar itu, Lili menoleh dan melihat bahwa yang bicara adalah seorang laki-laki berusia tigapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus berjenggot pendek jarang dan berkumis tipis. Demikian kurusnya orang itu sehingga nampak seperti kerangka dibungkus kulit. Matanya yang dalam. menunjukkan bahwa dia seorang mata keranjang dan hidung belang.

Lili menggapai ke arah orang itu yang berada di depan gardu. Tentu saja laki-laki anggauta Hwa I Kai-pang yang pada hari itu menjadi kepala jaga itu menjadi gembira bukan main dan diiringi tawa iri kawan-kawannya, diapun melangkah lebar menghampiri Lili. Setelah berhadapan, dia semakin kagum. Dara ini memang cantik sekali dan secara kurang ajar dia mengembang-kempiskan hidungnya, lalu memuji, "Aduh, alangkah harum baunya! Mawar merah yang cantik jelita dan berbau harum! Adik manis, siapa namamu?"

Lili tak pernah meninggalkan seyumnya sejak muncul, senyum yang rnengandung ejekan, senyum sinis ketinggian hati. "Sebaliknya aku, mencium bau busuk keluar dari mulutmu!"

Orang itu terbelalak dan kawan-kawannya yang tadi merasa iri, kini tertawa geli, mentertawakan rekan yang ceriwis itu. "Apa kau bilang?" Baru saja si tinggi kurus itu mengeluarkan pertanyaan ini, secepat kilat kaki Lili sudah menendang sebongkah batu sebesar kepalan tangan dan batu itu melayang dengan kuatnya ke atas, tepat menghantam mulut yang sedang terbuka karena bicara itu.

"Auppp .......!" Batu itu menghantam keras sekali sehingga merobek bibir dan meruntuhkan gigi, memasuki mulut dengan paksa sehingga mulut itu terkuak lebar, lebih lebar dari pada kemampuannya karena tepi mulut itu terobek!

"Uhhh ...... ahhhh .......ahhhhh ......!" Si tinggi kurus itu menekuk tubuhnya, mencoba dengan kedua tangan untuk mengeluarkan batu dari mulut dan merintih-rintih kesakitan.

Mulut yang robek itu berdarah dan teman-temannya yang tadinya tertawa-tawa, kini menjadi terkejut dan cepat menolong. Batu itu akhirnya dapat dikeluarkan, dan akibatnya sungguh mengerikan karena mulut itu robek pada kedua pipinya, bibirnya pecah-pecah dan semua gigi depan, baik yang atas maupun yang bawah, patah-patah! Si tinggi kurus itu tidak akan mati karena lukanya, akan tetapi dia akan menderita cacat pada mukanya.

"Nah, siapa lagi yang berani bermulut busuk? Majulah!"

Seorang anggauta Hwa I Kai-pang yang lebih tua segera melangkah maju, sedangkan kini banyak kawannya, tidak kurang dari duapuluh orang, sudah berada di pintu gapura itu "Nona siapakah dan ada keperluan apa hendak mencari pangcu kami?" Orang ini lebih berhati-hati.

"Tidak perlu kalian tahu siapa dan mengapa aku ingin bertemu dengan pangcu dari Hwa I Kai-pang. Katakan saja aku Tang Bwe Li ingin bertemu dengan dia, sekarang juga! Dia yang keluar menemuiku atau aku yang akan masuk mencarinya!"

Biarpun para anggauta Hwa I Kai-pang itu dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang sembarangan, terbukti ketika dengan sebuah batu yang ditendangnya ia mampu merobek mulut si tinggi kurus, namun mereka merasa penasaran juga. Ia hanya seorang gadis muda dan mereka adalah para anggauta Hwa I Kai-pang yang rata-rata memiliki kepandaian silat. Gadis itu memaksa hendak menemui ketua mereka yang sedang keluar, dan telah melukai si tinggi kurus rekan mereka. Bagaimana mereka dapat membiarkannya saja tanpa membalas? Akan rusak nama besar Hwa I Kai-pang dan akan menjadi buah tertawaan umum karena peristiwa itu dilihat pula oleh umum yang menonton dari jarak jauh di seberang jalan depan perkampungan Hwa I Kai-pang.

"Nona, engkau sungguh lancang. Pangcu sedang tidak berada di sini, dan engkau telah melukai seorang rekan kami tanpa sebab. Oleh karena itu, terpaksa kami harus menahanmu di sini dan menanti sampai pulangnya pangcu kami agar memberi keputusan kepadamu atas perbuatanmu ini."

Biarpun ucapan itu sopan dan tidak kasar, namun cukup membuat wajah Lili menjadi merah dan matanya terbelalak karena marah. "Apa? Kalian hendak menahanku, hendak menangkap aku? Apakah kalian ini orang-orang Hwa I Kai-pang sudah gila? Suruh saja ketua kalian keluar. Kalian bukan lawanku!"

Ucapan ini tentu saja membuat banyak anggauta Hwa I Kai-pang menjadi marah sekali. "Bocah sombong, kau berani melawan kami yang banyak ini?" tegur anggauta yang sudah berpengalaman itu.

"Tidak berani? Huh, suruh keluar seluruh anggauta Hwa I Kai-pang! Biar ada seratus orang, akan kuhajar semua kalau berani melawanku!"

Tentu saja para anggauta Hwa I Kai-pang menjadi marah sekali. Mereka segera bergerak maju mengepung Lili dan terdengar teriakan-teriakan marah.

"Tangkap bocah sombong ini!"

"Ia harus dihajar, berani menghina Hwa I Kai-pang!"

Beberapa orang serentak menubruk untuk menangkap gadis jelita itu, bukan hanya karena marah, akan tetapi juga karena ingin meringkus tubuh yang menggairahkan itu. Akan tetapi, begitu tubuh Lili bergerak dan berkelebatan, ia sudah sibuk dengan kaki tangannya membagi-bagi tamparan dan tendangan, dan akibatnya, dalam segebrakan saja empat orang pongoroyok telah terpelanting ke kanan kiri, ada yang mukanya membengkak, ada yang tulang pundaknya patah, ada yang perutnya mulas dan sambungan lutut terkilir!

Yang lain menjadi semakin marah dan kini belasan orang sudah mengepung dan mengeroyok gadis itu. Agaknya para anggauta Hwa I Kai-pang masih belum percaya bahwa mereka yang berjumlah banyak tidak akan mampu meringkus gadis itu, maka merekapun hanya mempergunakan tangan kosong, seperti segerombolan srigala mengeroyok seekor domba, berlomba untuk membekuk batang leher gadis jelita. Akan tetapi, Lili mengamuk. Sepak terjangnya menggiriskan, tubuhnya tidak dapat disentuh, apalagi ditangkap. Bagaikan seekor burung walet menyambar-nyambar, ia menyelinap di antara tangan-tangan yang meraihnya, berloncatan ke sana sini dan kadang-kadang tinggi di atas kepala para pengeroyoknya dan setiap ada kesempatan, tangan atau kakinya merobohkan seorang pengeroyok. Tubuhnya berlenggang-lenggok secara aneh, seperti gerakan ular saja, namun semua serangan lawan tak pernah menyentuh tubuhnya, dan setiap kali ia menggerakkan kaki atau tangan, pasti seorang lawan terpelanting.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kurang lebih dua puluh orang anggauta Hwa I Kai-pang telah terpelanting roboh!

Sekali meloncat, Lili sudah mendekati seorang di antara mereka dan kaki kirinya menginjak dada. Orang itu terengah-engah, merasa dadanya seperti dihimpit benda yang ratusan kati beratnya, membuat dia sukar bernapas dan matanya terbelalak, mukanya merah seperti udang direbus.

"Hayo cepat katakan, di mana ketua Hwa I Kai-pang?" Lili bertanya. "Kalau engkau tidak mengaku, dadamu akan kuinjak sampai pecah!"

"Saya ..... uh-uhhh ..... saya tidak berani bohong ..... uhhh, pangcu pergi ke luar kota, entah ke mana.... saya hanya anggauta biasa....!"

Lili melepaskan injakannya dan orang itu megap-megap seperti ikan dilempar ke darat, meneguk udara dengan lahapnya seperti orang kehausan. Lili memandang kepada mereka yang bergelimpangan di tanah. "Salah kalian sendiri yang mencari penyakit! Katakan kepada ketua kalian bahwa besok pagi-pagi aku akan kembali untuk bicara dengan dia!" Setelah berkata demikian, gadis itu membalikkan tubuhnya, mengebut-ngebutkan ujung pakaian dan melangkah pergi dari situ dengan santai.

Semua orang yang tadi melihat perkelahian itu, mengikutinya dengan pandang mata penuh kagum dan khawatir. Akan tetapi tak seorangpun berani menegur Lili yang melenggang pergi seenaknya, menuju ke pintu gerbang barat.

Baru saja bayangan Lili lenyap di sebuah tikungan, serombongan orang datang ke tempat itu dari timur. Mereka terdiri dari delapan orang dan begitu melihat keadaan para anak buah Hwa I Kai-pang, seorang di antara mereka cepat berlari menghampiri.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya orang itu kepada mereka. Para anak buah Hwa I Kai-pang yang masih kesakitan, girang melihat munculnya orang itu yang bukan lain adalah ketua mereka. Orang itu berusia kurang lebih empatpuluh tahun, bertubuh pendek gendut dan namanya adalah Siok Cu. Pakaiannya juga berkembang-kembang dengan tambalan dari kain yang baru. Ketika dia mendengar keterangan para anak buahnya bahwa baru saja ada seorang gadis muda yang berkeras hendak bertemu dengan ketua Hwa I Kai-pang dan yang bersikap sombong lalu menghajar mereka semua, Siok-pangcu menjadi marah bukan main.

"Keparat!" serunya marah. "Di mana gadis sombong itu sekarang?"

"Ia tadi pergi ke sana, pangcu," kata anak buahnya sambil menunjuk ke barat.

"Aku harus mengejarnya!"

Akan tetapi sebelum Siok-pangcu lari mengejar, tujuh orang yang tadi datang bersamanya sudah berada di dekatnya dan seorang pemuda berusia duapuluh enam tahun yang bertubuh pendek, berlengan panjang, pakaiannya mewah dan pesolek, tampan dan tersenyum-senyum, segera menyentuh lengannya.

"Pangcu, ada aku di sini, kenapa pangcu hendak bersusah payah sendiri? Tinggallah saja di sini bersama suhu, aku yang akan menangkapkan gadis itu untukmu."

Kakek yang datang bersama mereka, yang tubuhnya besar perutnya gendut sekali dan kepalanya botak, terkekeh. "Heh-heh, pangcu, apa yang dikatakan Maniyoko benar. Biarlah dia memperlihatkan jasanya yang pertama!"

Kakek ini adalah seorang datuk yang amat terkenal di sepanjang pantai timur, bahkan di Lautan Pohai, karena dia adalah Tung-hai-liong (Naga Laut Timur) Ouwyang Cin. Kakek ini menjadi datuk para bajak laut dan semua golongan hitam di daerah pantai timur, bahkan terkenal sekali di kepulauan Jepang karena dia adalah seorang peranakan Jepang.

Adapun pemuda tampan itu adalah Maniyoko, seorang pemuda Jepang yang menjadi muridnya. Senang hati Siok Cu mendengar kesanggupan tamunya itu. Setelah Maniyoko mendengar keterangan para anggauta Hwa I Kai-pang tentang ciri-ciri gadis pengacau itu, dia lalu mengajak lima orang anak buah ayahnya untuk melakukan pengejaran dengan cepat menuju ke barat.

Lili sudah keluar dari pintu gerbang kota Lok-yang sebelah barat. Ia merasa puas. Besok pagi-pagi ia akan kembali ke Hwa I Kai-pang dan akan memaksa ketuanya agar menakluk kepada sucinya dan kelak memberi suara kepada sucinya untuk menjadi pemimpin besar para kai-pang! Akan jauh lebih mudah begitu, pikirnya bangga. Ia kini tiba di jalan raya dekat hutan yang sunyi, menuju ke perkumpulan Hek I Kai-pang yang berada di luar kota.

Tiba-tiba ia mendengar seruan dari sebelah kiri, dari hutan di tepi jalan raya itu. Mula-mula ia tidak perduli, akan tetapi

setelah ia dapat menangkap kata-kata yang diteriakkan suara itu, alisnya berkerut dan iapun menahan langkahnya.

"Heii, perempuan sombong! Kalau memang engkau berani, masuklah ke sini agar kita dapat bertanding sampai seribu jurus tanpa ada orang lain yang mengganggunya! Kalau engkau takut, cepat berlutut dan menyerah untuk kubawa sebagai tawanan ke Hwa I Kai-pang!"

"Jahanam busuk!" Lili sudah menjadi marah sekali dan tanpa memperdulikan peraturan kehidupan dunia kang-ouw bahwa tantangan dari dalam hutan seperti itu dapat merupakan jebakan dan amat berbahaya dan tidak sepatutnya dilayani, ia sudah melompat ke kiri dan memasuki hutan itu.

"Siapa takut kepadamu? Keparat, jangan lari kau!" teriaknya lagi.

Ketika ia tiba di tempat terbuka, di situ telah menanti enam orang laki-laki, dipimpin oleh seorang pemuda yang tubuhnya pendek tegap dan wajah yang tampan itu tersenyum-senyum secara kurang ajar. Bentuk muka pemuda ini bundar seperti bulan, putih dan halus tanpa kumis jenggot, akan tetapi cambangnya tebal dan panjang, dari dekat telinga sampai ke dagu, kepala bagian depan sengaja dicukur botak sehingga nampak aneh, seperti seekor kepala burung yang ajaib.

"Engkaukah yang bernama Tang Bwe Li, nona?" tanya pemuda itu, sedangkan lima orang lainnya yang bertubuh tegap berdiri diam saja di samping, namun sikap merekapum dalam keadaan siap siaga dan menanti perintah.

"Kalau benar mengapa? Engkaukah yang berteriak-teriak menantangku tadi?"

Pemuda itu tertawa. "Aku memang sengaja memancingmu masuk ke sini, nona. Kalau engkau takut, engkau boleh keluar lagi."

Maniyoko memang seorang pemuda Jepang yang sudah banyak pengalamannya dan amat cerdik. Dia segera tahu apa kelemahan gadis jelita yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu. Gadis ini memiliki kelemahan, yaitu tinggi hati sehingga kalau gadis ini ditantang dan dikatakan takut, biar dipancing dengan ancaman bahaya bagaimana besarpun tentu akan nekat!

Sepasang mata Lili berapi-api. "Tutup mulut busukmu. Siapa takut!"

"Heh..heh, memang aku tahu bahwa engkau tidak mengenal takut, nona. Karena itu, aku ingin sekali berkenalan. Namaku Maniyoko dan aku........"

"Persetan dengan namamu! Kalau engkau yang menantangku tadi, bersiaplah untuk mampus. Aku tidak sudi berkenalan denganmu!" kata Lili dan iapun sudah mencabut pedangnya karena sekali ini ia marah sekali dan ia harus membunuh orang yang tadi menghina, dan menantangnya.

Begitu mencabut pedangnya, Lili berseru, "Cepat keluarkan senjatamu dan bersiaplah untuk mati!"

Pemuda Jepang itu terkejut melihat pedang yang mengeluarkan sinar putih, berwarna putih seperti perak, akan tetapi begitu tercabut mengeluarkan bau harum yang amat aneh itu. Sebagai orang yang sudah banyak pengalaman dan lama berkecimpung dalam dunia persilatan, pemuda Jepang ini dapat menduga bahwa pedang itu tentu ampuh sekali dan mengandung racun. Maka, diapun memberi isyarat kepada lima orang anak buah ayahnya dan dia sendiri lalu mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. Sebatang pedang panjang melengkung, pedang samurai yang amat tajam dan yang bergagang panjang sehingga gagang itu dapat dipegang dengan kedua tangannya.

Sebetulnya, dengan kepandaiannya yang tinggi, Maniyoko memandang rendah kepada gadis itu. Akan tetapi melihat pedang di tangan Lili, dia terpaksa mencabut pedangnya karena maklum bahwa pedang beracun itu cukup berbahaya.

"Nona manis, aku sudah siap. Mari kita bertaruh dalam pertandingan ini. Kalau engkau kalah, engkau akan menjadi milikku dan harus menurut segala kehendakku, harus melayani aku dengan manis, heh-heh!"

"Jahanam kau! Kalau engkau yang kalah, lehermu akan kupenggal!" teriak Lili dan iapun sudah menyerang dengan dahsyatnya. Pedangnya menjadi sinar putih menyambar dan mengeluarkan suara berdesing.

Maniyoko terkejut den cepat menangkis dengan samurainya, "Traaggg ....!" Bunga api berpijar dan keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar hebat. Keduanya cepat meloncat ke belakang dan memeriksa senjata masing-masing. Akan tetapi baik pedang maupun samurai itu tidak rusak dan keduanya saling pandang. Maniyoko baru tahu bahwa gadis itu benar-benar amat lihai, memiliki tenaga yang mampu menandinginya! Pada hal tadi dia menangkis dengan pengerahan tenaga untuk membuat pedang lawan patah atau terlepas. Siapa kira, tangannya sendiri tergetar hebat.

Sebaliknya, Lili juga maklum bahwa lawannya tidak boleh disamakan dengan orang-orang Hwa I Kai-pang tadi. Ia menjadi semakin marah dan penasaran, lalu memutar pedangnya dan menyerang dengan ganasnya. Berbeda dengan sucinya yang mempunyai Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam), ia diberi Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) oleh gurunya dan juga ilmu pedang yang amat dahsyat dan ganas. Seperti juga pedang sucinya, pedang di tangannya itu walaupun nampaknya putih bersih seperti perak, namun

pedang itu telah direndam racun ular yang amat berbahaya. Sedikit saja tergores pedang itu, orang yang terluka sukar ditolong lagi nyawanya.

Akan tetapi lawannya, Maniyoko adalah murid tersayang dari Tung-hai-liong Ouwyang Cin, seorang datuk yang kedudukannya setingkat dengan kedudukan datuk See-thian Coa-ong Cu Kiat. Tentu saja tingkat kepandaian pemuda Jepang itu juga sudah tinggi dan dia mampu mengimbangi permainan pedang Lili, bahkan membalas dengan tak kalah ganasnya dengan permainan samurainya yang aneh. Permainan samurai yang kadang-kadang dipegang kedua tangan itu bagaikan gelombang samudera, susul menyusul dan selalu menyambar lagi kalau serangan pertama gagal dan dielakkan lawan.

Akan tetapi, Lili merasa girang bahwa pemuda Jepang itu dapat ia desak mundur sampai ke bawah pohon. Ia sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu memang sengaja memancingnya ke bawah pohon besar itu, dan pada saat Lili menyerang dengan dahsyat, tiba-tiba pemuda Jepang itu melempar tubuh ke belakang dan bergulingan.

Pada saat itu, dari atas pohon meluncur sehelai jala yang lebar dan sebelum Lili maklum apa yang terjadi, tubuhnya telah ditimpa jala itu. Ia terkejut dan menggunakan pedangnya untuk membabat tali-temali jala yang melibat dirinya.

Akan tetapi pada saat itu, Maniyoko telah melompat ke belakangnya dan sekali pemuda itu menggerakkan tubuh, Lili tidak mampu bertahan lagi dan roboh terkulai lemas. Hal ini dapat terjadi karena ia tadi sibuk meronta untuk melepaskan diri dari jala dengan sia-sia, karena ke empat ujung jala dipegang oleh anak buah Maniyoko. Mereka adalah bajak-bajak laut yang lihai dan ahli mempergunakan senjata jala itu.

"Ha-ha-ha, nona manis. Engkau kalah dan engkau akan menjadi milikku!" kata pemuda Jepang itu dengan girang sambil menyolek dagu gadis itu dari luar jala. Lili hanya mampu memandang dengan mata penuh kebencian karena ia tidak mampu bergerak. Sambil tertawa gembira pemuda Jepang itu berkata kepada kawan-kawannya. "Biarkan ikan jelita ini di dalam jala dan kita bawa ke Hwa I Kai-pang. Siok-pangcu tentu akan girang sekali dan kalian akan menerima hadiah besar."

Karena tadi ia meronta, pangkal lengan kiri dan punggungnya terkena besi kaitan yang dipasang di dalam jala sehingga kini terasa nyeri. Akan tetapi Lili menahan diri dan sama sekali tidak mau memperlihatkan penderitaan itu.

Lima orang anak buah itu lain melibatkan jala di sekitar tubuhnya, membuat Lili sama sekali tidak mampu bergerak lagi. Andaikata totokan pada tubuhnya sudah lenyap pengaruhnyapun, sukar baginya untuk membebaskan diri dari jala yang melibat dirinya dengan kuatnya itu.

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat. "Enam orang laki-laki menghina seorang wanita, sungguh jahat sekali!"

Lima orang anak buah Maniyoko segera menyerang bayangan itu yang ternyata seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap. Akan tetapi begitu pemuda itu menggerakkan kaki tangannya, lima orang itu terlempar ke belakang seperti disambar angin badai! Pemuda itu cepat membuka libatan jala, akan tetapi sebelum sempat membebaskan Lili dari totokan, Maniyoko telah menyerangnya dengan samurainya.

"Singgg.......!!" Samurai itu meluncur dan mendesing nyaring ketika dielakkan oleh pemuda itu. Samurai yang luput dari sasaran itu membuat gerakan melengkung dan membalik, kini menyambar lagi sebagai serangan susulan yang lebih dahsyat dari pada yang pertama tadi.

Kembali pemuda itu mengelak dengan gerakan cepat, lalu dari samping dia mendorong dengan kedua tangannya. Dari kedua telapak tangan itu mengepul uap putih dan angin yang dahsyat membuat Maniyoko hampir terjengkang! Pemuda Jepang ini mengeluarkan seruan kaget, meloncat ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan oleh si pemuda jangkung untuk menyambar tubuh Lili yang masih berada dalam jala berikut pedangnya, memanggul tubuh itu dan melarikan diri ke dalam hutan!

Lima orang anak buahnya hendak mengejar akan tetapi Maniyoko segera menahan mereka. "Jangan kejar! Mari kita lapor kepada suhu!" katanya dengan hati gentar. Dari serangan kedua tangan yang mengeluarkan uap putih itu saja dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang amat tangguh dan mengejar lawan selihai itu di dalam hutan sungguh amat berbahaya.

Setelah berlari cepat bagaikan burung terbang saja sampai ke tengah hutan dan melihat bahwa tidak ada yang mengejarnya, pemuda itu berhenti berlari dan menurunkan tubuh yang dipanggulnya itu dengan hati-hati ke atas tanah berumput tebal. Dia lalu mengulurkan tangan menekan punggung dan pundak gadis itu dan seketika Lili merasa dirinya terbebas dari totokan. Ia marah sekali dan karena jala itu tidak ada yang memeganginya lagi, juga libatannya telah melonggar, ia menggerakkan pedang mengamuk dan jala itupun dicabik-cabiknya.

"Auhhh ......!" ketika ia merenggut jala itu, besi kaitan mengait punggungnya dan menimbulkan rasa nyeri, menambah kenyerian luka di punggung dan pundaknya.

"Engkau terluka, nona.......?" Pemuda itu bertanya dan menghampiri gadis yang kini jatuh terduduk itu.

"Kaitan sialan ini mengait di punggung ..... aduhh .....!" Lili mengomel.

"Diamlah dan jangan bergerak, nona. Biar kucabut kaitan itu Pemuda itu berlutut di belakang Lili. Akan tetapi setelah dia memeriksanya, ternyata besi kaitan itu menancap menembus pakaian dan kulit dan sukar mencabutnya karena tidak nampak. Dia lalu merobek baju di punggung itu agar dapat melihat besi kaitannya.

"Breettt .......!"

"Ihh! Apa yang kaulakukan itu, jahanam!" Lili membentak, hendak meloncat, akan tetapi terduduk kembali karena kaitan itu tidak memungkinkan ia untuk banyak bergerak.

"Tenanglah, nona. Aku hanya ingin mengeluarkan besi kaitan itu dan tanpa merobek baju, sukar melakukannya karena kaitan itu tidak kelihatan." Pemuda itu mengerutkan alisnya. Betapa galaknya gadis ini, pikirnya.

Dengan hati-hati dia lalu mengeluarkan besi kaitan itu dari daging dan kulit yang ditembusinya. Darah mengucur keluar dan pemuda itu melihat bahwa punggung itu menderita dua luka, sedangkan dipundak kiripun terluka.

"Diam dulu, nona. Pundak dan punggungmu terluka. Tiga buah luka yang cukup dalam dan kalau tidak segera diobati, bisa berbahaya. Siapa tahu besi kaitan itu mengandung racun." Pemuda itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya, membukanya dan menaburkan bubuk putih pada tiga luka itu.

Lili merasa betapa jari-jari tangan pemuda itu menyentuh kulitnya di punggung dan pundak dengan lembut dan mengingat betapa selama hidupnya belum pernah ada tangan pria yang menyentuh kulitnya, bulu tengkuknya meremang. Akan tetapi luka-luka yang tadi menimbulkan perasaan panas dan perih, kini terasa dingin dan nyerinya menghilang.

Setelah pemuda itu selesai mengobati lukanya, Lili meloncat berdiri dan pemuda itupun bangkit berdiri. Pemuda itu kecelik kalau dia mengharapkan ucapan manis dan terima kasih dari Lili. Sebaliknya malah, gadis itu memandang kepadanya dengan alis berkerut, muka marah dan mata melotot, bahkan tangan yang memegang pedang itu gemetar, siap untuk membacok atau menusuk!

"Kenapa engkau menyentuh pundak dan punggungku? Kenapa? Hayo katakan, kenapa engkau menyentuh pundak dan punggungku, keparat?"

Pemuda itu tertegun, bengong dan sampai lama tidak mampu menjawab. "Hayo jawab, kenapa malah bengong seperti patung!" bentak Lili bertambah marah.

"Ehh? Aku .....eh, aku .... hanya ingin menolongmu, nona ......." akhirnya dia berkata gagap dan bingung karena selama hidupnya baru sekarang dia berhadapan dengan seorang gadis yang begini galak.

"Menolongku? Kenapa? Hayo jawab!" kembali Lili membentak marah.

Kini pemuda itu sudah dapat mengatasi kekagetan dan keheranannya. Entah siapa orang tua dan guru gadis ini, pikirnya. Kenapa tidak mampu mendidik anak ini sehingga menjadi seperti itu, manis, galak, sesat, seenak perutnya sendiri, dan tidak tahu sopan santun ditambah tidak mengenal budi? Baru saja diselamatkan nyawanya, eh, bukannya berterima kasih bahkan memaki-maki dan membentak-bentak penolongnya!

"Nona, engkau ..... engkau ini seorang manusiakah?"

Lili terbelalak. Pertanyaan itu datangnya begitu mengejutkan, seperti serangan tusukan pedang yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangkanya, membuat ia sejenak kehilangan keseimbangan dan salah tingkah. Kalau tadi ia memegang pedang dengan sikap mengancam, kini ia terlupa dan pedangnya ia pergunakan untuk bersandar seperti tongkat dengan ujungnya menekan tanah!

"Apa .....? Apa maksudmu .....?" Ia berbalik tanya, bingung.

"Kalau nona ini seorang manusia, kenapa begini aneh, baru saja diselamatkan orang, malah berbalik memaki-maki penolongnya? Kalau nona bukan manusia, tidak anehlah, hanya sungguh sayang. Nona begini muda dan cantik dan gagah, kelihatan baik budi, sayang kalau bukan manusia ........"

Tiba-tiba wajah yang tadinya bengis itu berubah sama sekali. Kini nampak cerah, bahkan nampak gembira dan kalau tadi mulutnya mengandung senyum sinis mengejek, kini berubah menjadi senyum yang amat manis, membuat wajah itu seperti wajah kanak-kanak yang berhati bersih.

"Benarkah ucapanmu itu? Benarkah aku cantik dan gagah? Benarkah.....?"

Dalam ucapan ini terkandung harapan bahkan permohonan seperti seorang anak kecil yang mengharapkan sesuatu yang amat diinginkannya. Hal ini tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa sejak kecil Lili telah hidup bersama orang-orang yang wataknya aneh, bahkan keras dan dapat dikata sesat seperti Bi-coa Sian-li Cu Sui In, kemudian ia menjadi murid pula dari seorang datuk aneh dan sesat seperti See-thian Coa-ong Cu Kiat. Dari kedua orang ini, tidak pernah ia merasakan cinta kasih yang sewajarnya, yang keluar dari hati dan perasaan yang murni. Bahkan lebih sering ia mendengar caci maki dan celaan yang menyakitkan hati.

Kemudian, setelah ia remaja dan dewasa, kalau ada orang memuji kecantikannya, maka pujian itu selalu mengandung rayuan dan penjilatan, pujian penuh nafsu yang dapat ia rasakan dan yang membuat ia merasa jijik dan benci. Kini, untuk pertama kalinya selama hidupnya, ia bertemu seorang pemuda yang memuji atau mengatakan bahwa ia cantik dan gagah dengan cara yang lain sama sekali, bukan rayuan, bahkan bukan pujian sehingga terasa olehnya bahwa ucapan itu mengandung ketulusan hati. lnilah yang selama ini ia idam-idamkan, yaitu perhatian yang tulus dari seseorang!

Pemuda itu kembali tertegun. Akan tetapi dia seorang yang jujur dan diapun mengangguk.

"Tentu saja! Semua orangpun dapat melihat bahwa engkau seorang gadis yang masih muda, cantik dan gagah, memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tepat dan serasi sekali kalau semua keindahan itu dilengkapi dengan watak yang baik. Nona, aku tadi melihat engkau ditangkap secara curang oleh enam orang laki-laki itu yang tidak kukenal. Karena aku menganggap perbuatan mereka itu jahat, maka aku membantumu. Akan tetapi mereka itu ternyata lihai, apa lagi pemuda pendek itu. Maka, aku mengambil keputusan untuk membawamu lari agar kita dapat menyelamatkan diri dari pengeroyokan mereka. Akan tetapi, siapa, sangka, di sini engkau membalas perbuatanku untuk menolongmu itu dengan caci maki!"

Sejenak Lili tidak menjawab, akan tetapi sinar matanya mencorong dan mengamati wajah pemuda itu penuh selidik. Sinar matanya yang tajam seolah-olah hendak menembus ke dalam dan menjenguk isi hati pemuda itu!

Akan tetapi pemuda itu menentang pandang matanya dengan tenang.

"Aku masih belum tahu apakah engkau memang seorang yang benar-benar jujur dan pantas menjadi sahabatku, apakah engkau tadi benar-benar menolongku tanpa pamrih, ataukah engkau hanya ingin pamer kepandaian untuk menarik perhatianku agar aku suka kepadamu?"

Ia berhenti sebentar, kemudian mengangkat pedangnya dan memegang pedang itu melintang di depan dada. "Kalau engkau palsu, keluarkan senjatamu karena aku ingin mengujimu sampai berapa tinggi kepandaianmu maka engkau memamerkan kepandaianmu kepadaku! Akan tetapi kalau engkau memang jujur, kau ...... kau maafkan sajalah sikapku tadi. Aku bukan tidak mengenal budi, hanya ..... ah belum pernah aku bertemu dengan orang yang tidak palsu hatinya, maka sukar bagiku untuk percaya kepada siapapun juga di dunia ini."

Pemuda itu menarik napas panjang dan nampak terharu karena ucapan dan sikap gadis itu agaknya amat mengena pada perasaannya. "Engkau memang benar, nona. Dunia ini penuh kepalsuan sehingga aku sendiri hampir tidak pernah melihat kebenaran yang sejati. Mungkin aku sendiripun sama palsunya dengan yang lain. Kita sudah terseret kedalam pusaran kepalsuan dalam kehidupan manusia di dunia. Sudahlah, nona. Lebih baik aku pergi saja. Aku tidak mempunyai pamrih lain ketika membantumu, akan tetapi

akupun tidak berani mengaku bahwa aku bukan orang yang palsu seperti orang-orang lain. Selamat tinggal!!"

Pemuda itu membalikkan tubuh melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis itu telah meloncat dan melewatinya, menghadang di depannya dan tanpa banyak cakap lagi Lili sudah menyerangnya dengan pukulan ke arah dada. Cepat dan kuat sekali serangan itu!

Pemuda itu mengelak dengan gesit, lalu meloncat ke belakang. "Heiiii ...! Kenapa pula engkau menyerangku?"

Lili tertawa. "Hi..hik, aku hanya ingin mengajak engkau berlatih silat, sobat. Sambutlah ....!" Tanpa memberi waktu lagi kepada si pemuda untuk menjawab Lili sudah menyerang kalang kabut dengan kedua kaki tangannya, cepat dan aneh gerakannya karena ia yang ingin menguji kepandaian pemuda yang menarik hatinya itu telah mengeluarkan jurus-jurus simpanannya!

Pemuda itu terheran-heran, akan tetapi juga timbul kegembiraannya. Dia seorang yang berilmu tinggi dan tentu saja merasa senang kalau mendapatkan kesempatan untuk berlatih dengan lawan yang pandai seperti gadis aneh itu. Maka, sambil mengelak atau menangkis, diapun membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya!

Lili telah terluka. Biarpun luka-luka di punggung dan pundak itu telah diobati, akan tetapi begitu dipakai bergerak, terasa nyeri lagi, bahkan ia tidak mampu mengerahkan seluruh tenaganya, terhalang oleh perasaan nyeri. Akan tetapi Lili adalah seorang gadis yang keras hati dan yang tidak pernah mau memperlihatkan kelemahannya. Biarpun rasa nyeri menusuk-nusuk, ia tidak mau mengaku dan masih tetap mengerahkan seluruh tenaganya sambil menahan nyeri sampai seluruh tubuhnya berkeringat dan napasnya mulai memburu!

Pemuda itu maklum akan hal ini dan tiba-tiba saja dia bergerak terlalu lambat ketika tangan kiri Lili mencengkeram ke arah dadanya. Akan tetapi begitu jari tangan gadis itu menyentuh dadanya, tangan itu tidak jadi mencengkeram, bahkan dibuka dan hanya telapak tangannya yang membentur dada pemuda itu.

"Plakk .......!" Pemuda itu terhuyung kebelakang.

"Nona lihai sekali, aku mengaku kalah," katanya.

Tentu saja Lili bukan seorang gadis bodoh. Dalam hal ilmu silat, kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi sehingga ia dapat membedakan gerakan kalah atau mengalah. Dan ia tahu benar bahwa pemuda jangkung ini sengaja mengalah kepadanya, pada hal ia sudah hampir kehabisan napas!

Ia tersenyum girang dan lega. Kalau pemuda itu tidak mengalah, tentu ia akan kalah dan hal ini akan menyakitkan perasaannya. Kekalahan merupakan hal yang ia anggap amat menyakitkan dan bahkan merendahkan! Dengan napas terengah Lili mengusap keringat dari leher dan dahinya, menggunakan sehelai saputangan merah muda, dan ia menatap wajah pemuda itu dengan senyum. Diam-diam ia merasa kagum.

"Engkau lihai, aku suka padamu. Siapakah namamu?" tanyanya dengan terus terang dan sikap ini kembali membuat pemuda itu tertegun, akan tetapi juga kagum. Gadis ini amat terbuka dan jujur, tidak banyak dipengaruhi tata cara sopan santun yang biasanya hanya sebagai bedak penutup isi hati yang sebenarnya saja. Gadis seperti ini tidak akan menyimpan perasaannya sebagai rahasia, apa yang tercermin dalam sikap dan pada wajahnya menunjukkan keadaan perasaan hati yang sebenarnya. Tidak seperti orang awam yang demi sopan santun palsu, suka memperlihatkan sikap yang menjadi kebalikan dari keadaan hatinya.

"Namaku Sin Wan, nona. Dan siapakah engkau?"

Pemuda itu memang Sin Wan. Seperti kita ketahui, bersama Kui Siang dan kakek Bu Lee Ki, juga ketua dan wakil ketua Ang-kin Kai-pang, dia pergi ke Lok-yang untuk menemani Bu Lee Ki dalam usaha kakek itu untuk mempersatukan dan memimpin kembali para kai-pang.

Setelah tiba di luar kota Lok-yang mereka berpencar seperti sudah direncanakan semula oleh kakek Bu Lee Ki. Dua orang pimpinan Ang-kin Kai-pang berpisah karena mereka akan langsung berkunjung kepada Hwa I Kai-pang dan menjadi tamu perkumpulan pengemis itu. Kakek Bu Lee Ki sendiri bersama Kui Siang memasuki kota Lok-yang sebagai tamu pesiar. Sin Wan sendiri diberi tugas oleh Bu Lee Ki untuk memasuki Lok-yang melalui pintu gerbang barat untuk melakukan penyelidikan terhadap Hek I Kai-pang.

Demikianlah, ketika dia tiba di jalan raya dekat hutan yang sunyi, dia mendengar suara orang bertempur di dalam hutan. Perkelahian itu, tidak nampak dari jalan raya, akan tetapi karena dia memiliki pendengaran yang tajam terlatih, dia dapat menangkap suara mereka dan karena tertarik, dia lalu memasuki hutan itu dan melihat betapa seorang gadis sedang dalam bahaya, ditawan oleh enam orang menggunakan jala dan dia segera turun tangan menolongnya.

"Nama Sin Wan tidak dikenal oleh Lili walau sebelas tahun yang lalu mereka sebagai anak-anak berusia sepuluh dan sembilan tahun, pernah berkelahi. Juga wajah dan keadaan mereka sudah berubah sama sekali, dari kanak-kanak menjadi dewasa, maka tentu lain tidak saling mengenal. Maka, dengan wajah masih dihias senyum manis Lili menjawab.

"Namaku Tang Hwe Li, akan tetapi engkau boleh memanggil aku Lili saja, seperti semua orang yang akrab denganku."

"Lili? Nama yang bagus."

"Hemm, dan namamu amat jelek."

"Hemm ...." Sin Wan tersenyum walaupun dia merasa heran akan kekasaran gadis ini.

"Akan tetapi biar namamu jelek, engkau seorang yang amat baik dan aku suka padamu, Sin Wan. Aku belum pernah mempunyai seorang kawan yang baik, dan aku senang sekali mendapatkan seorang kawan seperti engkau. Aku ...... ahhh ........."

Melihat gadis itu terkulai dan jatuh berduduk di atas rumput sambil menekan kepalanya dengan tangan kiri, Sin Wan terkejut dan diapun cepat berlutut di dekatnya.

"Lili, kau kenapakah .......?" tanyanya khawatir.

"Tidak apa-apa ........" Lili yang tidak pernah mau kelihatan lemah itu mengerahkan tenaganya dan ia mencoba untuk bangkit berdiri. Akan tetapi begitu ia berdiri, tubuhnya terkulai dan ia tentu sudah roboh kalau saja tidak cepat dirangkul Sin Wan.

"Lili, engkau kenapa? Tubuhmu panas sekali ....!" Sin Wan yang merangkulnya terkejut karena gadis itu nampak pucat dan menderita nyeri, dan tubuhnya panas seperti terbakar. Dan Sin Wan merasa betapa tangan dan lengannya yang merangkul menjadi basah oleh keringat gadis itu.

"Sin Wan, aku ...... aku ..... ahhhh....... " Gadis itu terkulai dan pingsan dalam rangkulan Sin Wan!

"Lili, ah, kenapa kau?"

Sin Wan cepat memondong tubuh itu dan membawanya ke tempat yang kering, di mana tanahnya tertutup daun-daun yang kering dan dengan hati-hati dia lalu merebahkan gadis itu di atas tanah. Setelah itu, dia melepaskan kancing dekat leher untuk melonggarkan dada gadis itu karena dia melihat napasnya terengah.

Setelah itu, mulailah dia memeriksa denyut jantung melalui nadi dan pernapasannya. Pemuda ini telah mewarisi ilmu pengobatan mendiang Pek-mau-sian Thio Ki, seorang di antara Sam-sian. Setelah melakukan pemeriksaan sejenak, dia terkejut karena mendapat kenyataan bahwa gadis itu telah keracunan! Tahulah dia bahwa racun itu tentu masuk melalui tiga buah luka di punggung dan pundaknya tadi, Ternyata obatnya tidak cukup kuat untuk melawan racun itu dan kini ada hawa beracun menguasai gadis itu.

Terpaksa dia mendorong tubuh gadis itu miring, merobek baju di punggung untuk memeriksa luka-lukanya. Dan benar saja, luka-luka itu nampak membiru, baik yang di pundak kiri maupun yang di punggung. Nampak betapa dua buah luka kecil di punggung itu nampak buruk sekali di permukaan punggung yang berkulit halus dan putih mulus. Dia tahu bahwa tanpa mengeluarkan racun itu dari luka-lukanya akan sukar mengobati Lili.

Dia mendorong tubuh itu menelungkup dengan muka miring, merobek baju di punggung itu semakin lebar sehingga nampak semua permukaan punggung dan pundak, kemudian tanpa ragu-ragu lagi diapun membungkuk dan menempelkan mulutnya pada luka pertama! Dia mengerahkan sin-kang dan mulai mengisap, perlahan-lahan dan mengatur tenaga isapannya sampai mulutnya merasakan darah. Dia meludahkan darah yang diisapnya, dan seperti dugaannya, darah itu berwarna kehitaman!

Setelah tiga kali mengisap, barulah yang terisap ke mulutnya darah merah dan dia menghentikannya, lalu menaburkan bubuk putih lagi kepada luka yang sudah bersih dari racun. Dilakukan isapan pada luka ke dua seperti tadi, kemudian pada luka di pundak sampai ke tiga luka itu bebas dari racun.

Pernapasan gadis itu tidak seperti tadi walaupun tubuhnya masih terasa panas. Baru saja dia selesai mengisap luka dipundak, tiba-tiba gadis itu merintih dan bergerak. Sin Wan melepaskan mulutnya dan pada saat itu, Lili sudah bangkit duduk. Mata gadis itu mencorong dan kedua tangannya meraba punggung dan pundak yang terbuka karena baju di bagian punggung terbuka lebar.

"Jahanam kau, Sin Wan! Kau ...... kau ...... berani ......." Tangan kiri Lili menyambar ke arah kepala Sin Wan dengan cengkeraman maut. Akan tetapi Sin Wan menangkap pergelangan tangan itu, lalu meludahkan darah terakhir tadi baru berkata.

"Tenanglah, Lili. Aku mengobatimu, aku menyedot racun dari luka-luka, dan untuk itu, terpaksa aku membuka bajumu di punggung. Maaf, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawamu. Lihat itu ......." Sin Wan menunjuk ke tanah di mana nampak darah hitam yang diludahkannya tadi.

Lili terbelalak dan kebingungan. "Jadi aku ...... keracunan .........?"

Sin Wan mengangguk. "Benar. Racun itu jahat sekali sehingga pengobatanku pertama tadi gagal. Akan tetapi aku telah mengisap keluar semua racun dari tiga luka itu, dan kini hanya hawa beracun di tubuhmu yang harus kita bersihkan. Percayalah kepadaku, Lili. Aku hanya ingin menolongmu, bukan berniat kotor dan tidak sopan. Nah, duduklah bersila, aku akan membantumu mengusir hawa beracun dari tubuhmu."

Lili mengangguk, tidak bicara lagi dan iapun duduk bersila, bahkan membiarkan saja punggung dan pundaknya yang terbuka. Sin Wan dengan hati-hati menaburkan obat bubuk putih di luka terakhir, yaitu di pundak, kemudian dia menutup kembali punggung dan pundak yang terbuka dengan mengikatkan ujung kedua baju yang tadi dia robek. Setelah itu, diapun duduk bersila di belakang gadis itu dan menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang kini sudah tertutup kembali, perlahan-lahan dia mengerahkan tenaganya, disalurkan dari pusar melalui kedua lengannya, membuat telapak tangan yang menampung tenaga itu tergetar.

Lili duduk bersila dengan hati yang tidak karuan rasanya. Ada marah, ada malu, ada pula rasa girang, ada terharu sehingga kedua matanya menjadi basah! Sejak menjadi murid Bi-coa Sian-li sampai sekarang, ia tidak pernah menangis. Tangis merupakan pantangan baginya. Akan tetapi saat ini ingin ia menjerit-jerit menangis. Ketika perasaan itu ditahannya, matanya menjadi panas dan basah dan perlahan-lahan, beberapa tetes air mata jatuh ke atas kedua pipinya. Ia merasa betapa dari kedua telapak tangan pemuda yang menempel di punggungnya itu, keluar hawa yang hangat bergelombang memasuki dirinya.

Ia tidak melawan dan pasrah saja, akan tetapi perlahan-lahan, ia merasa betapa hawa panas yang membakar di dalam dadanya, berangsur mengurang. Uap mengepul dari kepalanya dan tidak sampai sejam lamanya, kesehatannya telah pulih kembali, hawa panas itu menghilang dan ia merasa tubuhnya demikian nyaman, akan tetapi juga amat lemah.

"Nah, engkau sudah sembuh sekarang, Lili," kata Sin Wan lirih sambil melepaskan kedua tangan yang menempel di punggung gadis itu. Akan tetapi karena lemah, dengan lemas Lili terkulai dan jatuh bersandar pada dada Sin Wan yang cepat merangkulnya

"Eh, kenapa, Lili?"

"Lemas sekali ..... Sin Wan, biarkan aku bersandar begini ...... biarkan ......." kata Lili dengan suara yang lemah dan lirih.

Tentu saja Sin Wan membiarkan gadis itu duduk bersandar pada dadanya dan diapun merangkul dengan kedua lengan agar gadis itu tidak sampai terguling ke samping. Dia tahu bahwa akibat racun tadi, Lili yang sudah sembuh itu tinggal merasa lemas saja.

Dan sekarang, setelah bahaya yang mengancam gadis itu lewat, baru dia merasa betapa lembut dan hangat tubuh yang bersandar di dadanya itu. Betapa halus dan harum rambut kepala itu, dan betapa cantik raut wajah yang kini bersandar miring di dadanya. Betapa indah dan lembut lengan yang dipeluknya.

Sin Wan adalah seorang pemuda dewasa yang normal, maka wajarlah kalau dia merasa jantungnya berdebar penuh gairah. Namun, dengan kekuatan batinnya yang kokoh dia menekan perasaan yang timbul ini, perasaan alami seorang pria dengan keyakinan bahwa menuruti dorongan perasaan mesra itu amatlah berbahaya dan tidak baik, dan dapat membuatnya lupa dan melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya dia lakukan. Diapun memejamkan kedua matanya.

Dia baru sadar dengan kaget ketika merasa betapa tubuh yang bersandar di dadanya itu terguncang perlahan dan ketika dia membuka mata dan menundukkan muka memandang, dia melihat betapa gadis itu menangis lirih! Tangis tanpa bunyi, akan tetapi jelas bahwa gadis itu menangis karena kedua pipinya basah dan pundaknya terguncang perlahan.

"Lili, kau .... kau ...... menangis, ........?" tanyanya lirih, khawatir, dengan berbisik saja di dekat telinga gadis itu.

"Siapa menangis?" jawaban itu mengandung bantahan dan cepat, akan tetapi segera disusul ucapan lirih dan lemas, "Biarkan aku .... Sin Wan, biarkan aku begini sebentar ......"

Sin Wan diam saja dan gadis itu bersandar miring. Makin lama, pernapasan gadis itu makin halus dan panjang, dan akhirnya tahulah Sin Wan bahwa Lili telah tertidur di atas dadanya! Diapun merasa kasihan dan tidak ingin mengganggu, hanya merangkul agar gadis itu tidak terguling jatuh. Diam-diam dia merasa iba sekali. Gadis ini pasti mengalami kepahitan hidup, agaknya haus akan kelembutan, haus akan kasih sayang. Kasihan sekali gadis secantik ini, pikirnya dan diapun duduk bersila dengan kokoh seperti dalam samadhi, membiarkan dirinya kokoh kuat sebagai sandaran gadis yang pulas itu, sambil mendengarkan pernapasan yang panjang dan lembut.

Sementara itu, matahari telah mulai condong ke barat, senja menjelang tiba. Sesosok bayangan yang gerakannya amat ringan memasuki hutan itu dan menyelinap di antara pohon dan semak. Akhirnya, bayangan itu berhenti di belakang pohon, mengintai ke arah Sin Wan yang duduk diam disandari gadis yang tidur pulas di dadanya. Ikatan rambut Lili terlepas dan rambutnya yang hitam panjang itu menyelimuti dada dan perut Sin Wan.

Bayangan itu adalah Lim Kui Siang! Karena sampai lama Sin Wan tidak muncul di kota Lok-yang, ia menyatakan kekhawatirannya dan memberi tahu kakek Bu Lee Ki bahwa ia hendak mencari dan menjemput suhengnya itu melalui pintu gerbang barat. Bu Lee Ki yang maklum akan perasaan gadis itu terhadap Sin Wan, menyetujui dan memesan agar gadis itu pulang sebelum malam tiba.

Kui Siang keluar dari pintu gerbang barat, akan tetapi tidak bertemu dengan Sin Wan. Hatinya merasa khawatir, apa lagi matahari mulai condong ke barat dan jalan raya itu sunyi. Ketika ia melihat sebuah hutan di kiri jalan, ia mengerutkan alisnya. Apakah yang telah terjadi dengan suhengnya? Ia merasa khawatir dan iapun melangkah memasuki hutan. Siapa tahu, suhengnya sedang menyelidiki sesuatu dan berada di dalam hutan ini.

Akhirnya, setelah tiba di tengah hutan, ia melihat Sin Wan duduk bersila di atas tanah yang ditilami daun-daun kering, dan di depan pemuda itu nampak seorang gadis cantik sedang tidur pulas di atas pangkuan Sin Wan, dengan kepala miring bersandar di dada suhengnya. Mesra bukan main!

Seketika Kui Siang merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil dan dadanya seperti akan meledak! Benarkah itu suhengnya? Akan tetapi kenapa? Siapa gadis itu? Bagaimana mungkin suhengnya melakukan hal seperti itu, bermesraan dan berpacaran dengan seorang gadis asing di tengah hutan?

Setahunya, suhengnya bukankah pria macam itu! Bahkan terhadap dirinya sendiri sebagai su-moipun, suhengnya tak pernah bersikap terlalu mesra, tak pernah menyentuh sedikitpun, selalu menjaga jarak dan kesopanan. Akan tetapi sekarang, di tempat sepi ini, tahu-tahu suhengnya merangkul seorang gadis yang tidur pulas di atas pangkuannya, dengan kepala bersandar mesra di dadanya! Entah mengapa, Kui Siang ingin menjerit, ingin mengamuk, ingin membunuh gadis itu dan memaki suhengnya, ingin menangis! Sebelum ia tidak kuat lagi menahan semua dorongan amarah itu Ia cepat pergi dari situ, setelah sekali lagi memperhatikan dan yakin bahwa pemuda itu adalah Sin Wan, suhengnya!

Kui Siang berlari cepat meninggalkan tengah hutan itu, akan tetapi setelah tiba di tepi hutan, tak jauh dari jalan raya akan tetapi tidak nampak dari sana, ia tidak dapat menahan lagi guncangan hatinya dan iapun menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon dan menangis sejadi-jadinya! Setelah banyak air mata mengalir keluar, baru agak ringan rasa hatinya, seolah semua beban yang menyesak dada tadi mendapatkan jalan keluar. Dengan mata masih merah dan muka basah, Kui Siang termenung. Kesadarannya menimbulkan pertanyaan yang membuat ia sendiri merasa sungkan dan heran. Kenapa ia menangis?

Kenapa ia harus marah-marah dan merasa bersedih seperti itu? Sin Wan bermesraan dengan seorang gadis, walaupun hal itu baru baginya dan aneh, akan tetapi wajar sekali. Sin Wan seorang pemuda dewasa dan gadis itu cantik! Kenapa ia harus marah-marah dan bersedih?

Kui Siang termangu-mangu. Biar pikirannya merasa heran dan penasaran mengapa ulah dirinya seperti ini, namun hatinya berbisik lirih, jelas sekali, "Aku cinta padanya ..... aku mencinta suheng, aku tidak ingin dia dimiliki wanita lain!"

Menyadari kenyataan yang dibisikkan hatinya ini, Kui Siang bangkit dan mukanya menjadi kemerahan. Nampak jelas kini, ia sejak dahulu jatuh cinta kepada suhengnya. Bukan cinta seorang sumoi terhadap suhengnya, bukan cinta kanak-kanak karena sejak berusia sembilan tahun ia bergaul dengan Sin Wan, bukan pula cinta saudara, melainkan cinta seorang gadis dewasa terhadap seorang pemuda. Cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Dan ia dilanda cemburu!

"Ihhh ......!" Ia mencela diri sendiri. Cemburu? Sin Wan hanya suhengnya, bukan apa-apanya, bukan pula kekasihnya. Inilah salahnya! Kalau saja mereka saling mengaku bahwa mereka saling mencinta, kalau Sin Wan tahu bahwa ia mencintainya, kiranya belum tentu Sin Wan mau bermesraan dengan gadis lain.

Ada pendapat dan perbantahan dalam hati dan kepalanya ini membuat Kui Siang merasa pening dan iapun perlahan-lahan melangkah keluar menuju ke jalan raya. Kemudian seperti orang yang kehilangan semangat, iapun kembali ke rumah penginapan di mana ia dan Bu Lee Ki menyewa dua buah kamar. Dengan hati-hati agar tidak terdengar oleh Bu Lee Ki, ia memasuki kamarnya dan melempar tubuh ke atas pembaringan, menelungkup dan membenamkan mukanya pada bantal agar isaknya tidak sampai terdengar orang!

                               0oo0

Cuaca sudah mulai remang-remang. Sin Wan, mulai khawatir. Tidak mungkin dia mendiamkan saja Lili pulas di atas dadanya sampai cuaca menjadi gelap. Dia harus melanjutkan perjalanan memasuki kota Lok-yang, mencari kakek Bu Lee Ki dan Kui Siang. Sudah cukup lama Lili tertidur, lebih dari satu jam. Perlahan dan lembut ia memegang pundak kanan gadis itu, pundak yang tidak terluka, mengguncangnya dan berbisik lirih.

"Lili .....! Lili ..........., bangunlah ........."

Jilid 9

PERNAPASAN yang lembut itu berubah dan tubuh yang lembut hangat itu menggeliat perlahan. Lili membuka matanya dan agaknya ia terheran melihat dirinya duduk tertidur di dalam hutan yang cuacanya mulai remang. Ia melihat ke atas. Ketika ia melihat wajah Sin Wan yang menunduk dan memandang kepadanya, iapun teringat akan semua yang telah terjadi dan ia tersenyum! Ia tidak bangkit, bahkan membalikkan mukanya, dibenamkan ke dada yang bidang itu dan belum pernah selama hldupnya ia merasa begitu tenang tenteram penuh damai seperti seekor anak ayam berlindung di bawah selimutan sayap induknya!

"Aihh ...., Sin Wan ...... aku ..... sudah lamakah aku tertidur?" bisiknya.

"Ada sejam lebih. Malam hampir tiba dan kita harus segera keluar dari hutan ini, aku harus melanjutkan perjalanan ....."

kata Sin Wan tanpa nada mengusir.

"Sin Wan, aku tidak mau pergi ......" Lili malah merangkul leher. "Sin Wan, aku tidak sudi berpisah darimu, aku ingin kita terus berdampingan, tak terpisah lagi, ....... seperti ini ....."

Sin Wan mengerutkan alisnya. Ini sudah keterlaluan namanya. Dia merasa kasihan sekali kepada Lili, akan tetapi kemanjaan yang berlebihan ini juga amat mengganggunya. Rasa iba membuat dia mengelus rambut kepala yang hitam panjang itu, seperti seorang kakak menghibur adiknya. "Lili, tidak mungkin begitu. Kenapa engkau seaneh ini?" Suaranya lembut tidak bernada teguran.

Lili bangkit duduk, membalik dan kini mereka duduk berhadapan. Gadis itu memandang dengan sinar mata tajam dan nampak penasaran. "Kenapa aneh? Aku cinta padamu, Sin Wan! Ya, aku jatuh cinta padamu dan aku tidak ingin berpisah darimu!"

Sin Wan terkejut bukan main, matanya membelalak. Bukan main gadis ini! Begitu saja menyatakan cinta, begitu terbuka, begitu jujur, begitu berani! Dia sendiri menjadi salah tingkah, mukanya menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar.

Lili menjulurkan kedua tangannya dan menangkap tangan pemuda itu. Jari-jarl tangan mereka saling genggam. "Sin Wan, aku cinta padamu dan engkaupun cinta padaku, bukan? Engkau telah menyelamatkan aku, engkau telah begitu baik kepadaku, engkau telah melihat punggung dan pundakku yang telanjang. Bahkan engkau telah mengalahkan aku dalam latihan tadi ........"

"Aku yang kalah, Lili ........" kata Sin Wan karena tidak tahu harus berkata apa.

"Tidak, engkau mengalah, kaukira aku tidak tahu? Engkau amat baik kepadaku, itu tandanya engkaupun cinta padaku!" Kedua tangan Lili menggenggam kuat-kuat.

Sin Wan menghela napas panjang, tidak berusaha melepaskan kedua tangannya walaupun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia memang amat kagum kepada gadis ini, juga merasa kasihan, akan tetapi dua macam perasaan itu belum menjadi tanda bahwa dia jatuh cinta! Bagaimana mungkin cinta dapat ditentukan sedemikian cepatnya?

"Lili, kita tidak boleh begini. Kita baru saja bertemu dan berkenalan, bagaimana mungkin kita bicara tentang cinta? Pula, aku harus menyelesaikan tugasku lebih dulu, dan aku melakukan perjalanan bersama locianpwe Pek-sim Lo-kai. Dia menantiku di dalam kota, aku harus cepat pergi ke sana."

Sepasang mata yang indah itu melebar, penuh kagum. "Ah, Jadi engkau murid Pek-sim Lo-kai yang kabarnya amat lihai itu, Sin Wan? Pantas saja kepandaianmu hebat. Aku makin cinta padamu!"

"Bukan, Lili. Locianpwe itu bukan guruku!" jawab Sin Wan cepat, semakin bingung karena gadis itu tiada hentinya mengaku cinta.

"Bukan muridnya? Lalu, siapa gurumu Sin Wan?"

Kalau saja Sin Wan tidak menjadi panik dan bingung, merasa disudutkan oleh pengakuan cinta yang bertubi dari gadis itu, tentu dia akan berhati-hati dan tidak sembarangan saja memperkenalkan nama guru-gurunya. Akan tetapi, dia sedang panik, apalagi kedua tangan gadis itu, terasa demikian hangat dan, penuh getaran aneh, membuat jantungnya semakin berdebar.

"Guruku adalah Sam Sian ....." jawaban ini keluar begitu saja.

Dia merasa betapa jari-jari tangan itu makin kuat menggenggam kedua tangannya, dan karena salah tingkah dia tidak berani menatap wajah Lili sehingga tidak melihat perubahan yang terjadi pada wajah gadis itu.

"Tiga Dewa? Engkau murid Tiga Dewa ....?" Dan kini teringatlah Lili akan anak laki-laki yang pernah menghinanya sebelas tahun yang lalu! Bahkan setahun yang lalu, ketika ia dan sucinya menyerbu Pek-In-kok dan sucinya berhasil menewaskan dua di antara Tiga Dewa walaupun sucinya sendiri terluka, ia tidak berhasil mencari anak laki-laki yang dulu menghinanya itu. Dan kini teringatlah ia bahwa Dewa Arak pernah menyebutkan nama muridnya, Sin Wan? Mungkin, ia sudah lupa lagi.

"Kau ..... kau ..... murid Sam Sian .....?" Bibirnya komat-kamit dan suaranya tidak jelas. Perasaannya terguncang, penuh kebimbangan, penuh penasaran dan kemarahan.

"Lili, kau kenapa ......?" Sin Wan dengan khawatir memegang kedua pundak gadis itu karena tubuh itu menggigil. Akan tetapi pada saat itu, kedua tangan Lili bergerak dan sebelum Sin Wan tahu apa yang terjadi, dia sudah tertotok dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi karena tubuhnya menjadi lemas!

"Lili, kau .....?" Sin Wan berkata lemah, lebih heran dari pada penasaran. Gadis yang tadi mati-matian mengaku cinta, yang begitu lembut dan hangat membenamkan muka di dadanya, tiba-tiba menyerang dan merobohkannya dengan totokan!

"Sin Wan, katakan, sejak kapan engkau menjadi murid Sam-sian?" Lili bertanya dan kini suaranya terdengar galak, lenyap semua kemanisan dan kemesraan dalam suaranya itu. "Kenapa? Sejak kecil ........"

"Sebelas tahun yang lalu?"

"Ya begitulah, kurang lebih."

"Ketika Sam-sian mengantarkan pusaka-pusaka istana yang hilang, menggunakan sebuah kereta, engkau juga berada dikereta itu?"

"Ya ...... ya ....." Sin Wan semakin heran. Bagaimana gadis ini mengetahui soal itu?

"Bagus! Engkau kiranya kuda-sapi-kerbau-anjing itu?"

Sin Wan terbelalak. Kata-kata dan sikap yang galak ini menggugah ingatannya. Seorang anak perempuan yang galak sekali, seperti setan! Anak perempuan yang mengambil pakaian dan merobek-robek pakaiannya ketika dia sedang mandi. Kemudian anak perempuan yang bersama gurunya hendak merampas pusaka istana dan berkelahi dengan dia, kemudian dia berhasil menangkapnya dan memukuli pinggulnya seperti seorang ayah menghajar anaknya yang nakal.

"Lili, kau ....... kau ......."

"Engkau seorang manusia yang kejam, jahat dan, kurang ajar!" Kini Lili memaki-maki dengan marah sekali. "Engkau pernah menghinaku habis-habisan, tahukah engkau? Dahulu pernah aku bersumpah untuk membalas penghinaan itu, ingatkah? Engkau memukuli pinggulku! Sampai sekarangpun masih terasa olehku! Hemm, engkau harus membayar berikut bunganya!"

Sin Wan tidak bicara lagi. Dia tahu bahwa dia terjatuh ke tangan seorang gadis yang seperti iblis. Murid Bi-coa Sian-li yang telah menewaskan dua di antara tiga orang gurunya. Dia sudah tidak berdaya. Kematian di depan mata tanpa dia mampu melakukan perlawanan.

Dan dia tidak mau membuka mulut karena dia tidak ingin mendengar suaranya sendiri minta dikasihani dan diampuni. Tidak, dia bukan seorang pengecut. Kalau memang Tuhan menghendaki dia mati di tangan gadis ini, tiada kekuatan atau kekuasaan di dunia ini mampu menyelamatkannya. Sebaliknya, kalau memang Tuhan tidak menghendaki dia mati sekarang, biarpun dia sudah berada di ambang maut, pasti akan terdapat jalan baginya untuk terhindar dari maut. Kalaupun dia harus mati, dia harus mati sebagai seekor harimau yang tidak pernah memperlihatkan kelemahan sedikitpun juga sampai mati, bukan seperti matinya seekor babi yang akan disembelih dan merengek-rengek minta hidup. Tuhan Maha Besar, Tuhan Maha Kuasa, dia hanya menyerahkan jiwa raganya kepada kekuasaan Tuhan.

Kaki gadis itu mendorong dan tubuh Sin Wan terguling menelungkup. Kemudian terdengar gadis itu menghardik, "Engkau pernah memukuli pinggulku sampai sepuluh kali! Sekarang rasakan pembalasanku dengan pukulan seratus kali!" Setelah berkata demikian, tangan kiri Lili terayun dan sambil berjongkok ia menamparkan tangan kirinya ke arah pinggul Sin Wan bertubi-tubi.

"Plak..plak..plak..plak....!!" Ia menampari sambil menghitung dengan tangan kirinya. Akan tetapi karena ia tidak bermaksud membunuh, hanya untuk menghajar dan membalas penghinaan melalui pemukulan pada pinggul, ia mengatur tenaga, tidak mempergunakan tenaga sakti, melainkan tenaga otot biasa. Karena itu, Sin Wan tidak menderita luka dalam, tulangnya tidak patah bahkan kulitnya tidak pecah. Namun karena dia sendiri tertotok dan tidak mampu mengerahkan tenaga, maka tamparan-tamparan itu terasa nyeri, panas dan perih.

"Plak..plak..plak....!!" Belum sampai limapuluh kali, tangan kiri Lili sudah terasa panas dan lelah sekali sehingga pukulannya makin lama semakin lemah, ia menggantikannya dengan tangan kanan dan kembali tamparannya menjadi kuat.

Tentu saja Sin Wan menderita nyeri. Panas dan pedih rasa kedua pinggulnya, akan tetapi, dia menerimanya dengan bibir terkatup kuat, tidak pernah dia mengeluh atau merintih.

Hal inilah yang membuat Lili merasa penasaran. Kalau pemuda itu mengeluh, tentu hatinya akan terasa puas sekali. Akan tetapi, pemuda itu sama sekali tidak merintih seolah-olah semua pukulannya itu tidak terasa sama sekali. Pada hal kedua tangannya sudah panas dan lelah karena ia hanya mempergunakan tenaga otot. Belum sampai seratus kali, paling banyak baru tujuhpuluh kali, ia sudah menghentikan tamparannya!

"Hemm, engkau bandel, ya? Engkau tidak minta ampun, tidak mengeluh, engkau merasa gagah, ya? Pembalasanku belum lunas, pukulanku belum ada seratus kali, sisanya akan ku lakukan dengan cara lain!" Ia melolos sabuknya yang panjang, membikin putus sebagian, kemudian ia menyeret tubuh Sin Wan ke sebatang pohon, memaksanya bangkit berdiri dengan menariknya, lalu ia mengikat Sin Wan pada batang pohon itu. Diikatnya kaki dan tangan pemuda itu ke belakang, bersandar pohon. Setelah selesai, ia memandang kepada Sin Wan dengan senyumnya yang khas, senyum sinis mengejek. Kemarahannya memuncak ketika ia melihat wajah

pemuda itu tenang-tenang saja, bahkan pemuda itupun tersenyum, seperti seorang dewasa merasa geli melihat ulah yang nakal seorang kanak-kanak!

"Aku akan meninggalkanmu di sini, biar engkau dimakan binatang buas di hutan ini! Nah, apa yang akan kaukatakan?" Sin Wan merasa nyeri sekali di pinggulnya piut-miut rasanya berdenyut-denyut seperti mau pecah, panas dan pedih menusuk jantung, dan tubuhnya masih lemas tak mampu bergerak karena totokan. Akan tetapi wajahnya tidak membayangkan semua penderitaan itu, dan dia bahkan tersenyum, senyum yang oleh Lili dianggap menantang dan menyakitkan hati. Kemudian, Sin Wan berkata dengan suara

lirih dan lembut tanpa kemarahan.

"Aku hanya ingin berkata bahwa sayang sekali engkau yang begini cantik dan gagah, yang berkepandaian tinggi, telah dibikin gila oleh dendam sehingga menjadi kejam seperti setan."

Sepasang mata itu terbelalak dan tangan kanannya melayang. "Plakk !!" keras sekali telapak tangan itu menghantam pipi kiri Sin Wan sehingga kepala pemuda itu terdorong ke kanan dan seketika pipi itu menjadi merah membiru dan membengkak.

"Kau maki aku seperti setan? Engkaulah yang setan, iblis, siluman! Kau .... kau ....., huh, aku benci padamu. Benciiii...!"

Dan gadis itu mengeluarkan suara aneh, seperti tawa akan tetapi juga mirip tangis, atau suara antara keduanya itu. "Biar kau dimakan binatang buas!" Dan sekali melompat, gadis itu menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang mulai gelap itu.

Sin Wan termenung, pipinya berdenyut deyut keras, nyerinya bisa mengalahkan rasa nyeri di pinggul. Betapa galaknya gadis itu dan dia membayangkan Lili. Aneh, yang terbayang olehnya bukan prilaku yang menyiksanya tadi. Terbayang olehnya ketika gadis itu tertidur pulas di dadanya! Yang terngiang di telinganya bukan caci makinya, melainkan ucapan gadis itu yang mengaku cinta padanya.

Malam tiba. Sinar bulan yang menggantikan matahari tidak cukup kuat mengusir kegelapan malam, akan tetapi setidaknya mendatangkan cahaya menembus daun-daun pohon sehingga cuacanya tidak gelap benar, melainkan remang-remang. Dia belum mampu menggerakkan tubuhnya. Totokan Lili ternyata lihai sekali. Agaknya dia harus menanti satu dua jam lagi agar pengaruh totokan itu membuyar dan baru dia akan dapat mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali sabuk yang mengikat kaki dan tangannya pada pohon. Sebelum dia mampu mengerahkan tenaga, dia tidak berdaya.

Terdengar suara gerengan di sana-sini. "Harimau," pikir Sin Wan, atau sebangsa itu, binatang hutan yang liar! Kalau dia belum mampu menggunakan tenaga dan ada binatang buas datang, dia akan mati konyol! Dia akan menjadi mangsa binatang buas, kulit dagingnya akan digerogoti, dia akan dimakan hidup-hidup! Bukan main ngeri rasa hatinya membayangkan semua itu, akan tetapi perasaan ngeri dan takut itu segera lenyap seketika setelah dia teringat akan keyakinan hatinya terhadap kekuasaan Tuhan!

Dia sebagai manusia hanya sekedar alat. Hidup dan matinya milik Tuhan! Kenapa harus takut? Dia menyerah penuh kesabaran, penuh ketawakalan, penuh keikhlasan! Kalau Tuhan menghendaki dia mati, setiap saatpun dia siap dengan hati yang rela dan ikhlas. Bukan berarti-putus asa! Penyerahan dengan ikhlas tidak berarti putus asa. Saat itu dia hidup dan selama dia masih hidup, dia akan menggunakan segala daya kemampuannya untuk bertahan hidup, untuk menjaga dan mempertahankan kehidupannya. Akan tetapi kalau Tuhan menghendaki dia mati, dia tidak akan menyesal karena penyerahan seikhlasnya berarti ikhlas untuk hidup dan ikhlas untuk mati, menyerah kepada kekuasaan Tuhan!

Keyakinan dan penyerahannya ini mengusir semua rasa takut, bahwa Sin Wan dapat menghadapi keadaannya saat itu dengam senyum di bibir. Betapa amat menarik kehidupan dengan segala liku-likunya ini, dan dia sudah siap untuk menjadi saksi, mengikuti setiap pengalaman hidup sampai akhlr.

Tiba-tiba terdengar gerengan keras dan Sin Wan menengok ke kiri. Lehernya sudah dapat dia gerakkan, akan tetapi ketika dia berusaha menggerakkan tangan dan kaki, kedua pasang anggauta tubuh itu masih lemas dan tidak dapat dia gerakkan! Dan dia melihat sepasang mata mencorong di dalam cuaca yang remang-remang itu. Nampaknya bayangan itu seperti seekor anjing yang berindap-indap menghampirinya. Akan tetapi jelas gerengan ini bukan gonggong atau salak anjing, melainkan auman harimau!

Sin Wan merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Bagaimanapun juga, nalurinya untuk mempertahankan hidup mendatangkan kecemasan ketika dia sadar bahwa di depannya hadir seekor harimau yang mengancamnya dia yang sedang tak berdaya itu. Dia benar-benar akan mati konyol! Akan tetapi, kembali kepasrahan yang mutlak menenangkan hatinya dan dia memandang ke arah harimau itu dengan tajam.

Dia pernah mendengar bahwa harimau takut bertemu pandang mata dengan manusia, dan kalah wibawa. Bahkan ada kemungkinan binatang itu setelah bertemu pandang, akan merasa takut dan pergi tanpa mengganggunya. Akan tetapi dia lupa bahwa cuaca remang-remang dan mata manusia berbeda dengan mata harimau. Kekuasaan Tuhan adalah bijaksana dan adil, maka semua makhluk dan benda ciptaan Tuhan selalu dibekali sesuatu yang amat dibutuhkan oleh masing-masing.

Harimau tidak berakal, tidak pandai membuat alat penerangan, hidup di dalam hutan gelap, maka memiliki mata yang penglihatannya dapat menembus gelap sehingga matanya mencorong! Manusia mampu membuat alat penerangan untuk mengatasi kegelapan malam. Maka, betapapun tajam dia memandang, binatang itu tidak menjadi undur, bahkan menggereng semakin keras dan menghampiri semakin dekat. Perlahan-lahan, dengan hati-hati, binatang itu mendekati Sin Wan dan pemuda ini merasa betapa hidung binatang itu mengendus dan menyentuh kakinya. Dia memejamkan mata, menyerah kepada Tuhan, maklum bahwa, kalau harimau itu menyerang, dia tidak akan mampu melindungi dirinya.

Harimau itu mengaum keras, kaki depan kiri bergerak cepat ke arah paha Sin Wan. "Brettt ........!!" Celana Sin Wan terobek dengan mudah dan kulit pahanya terkena cakaran sehingga terobek dan berdarah! Dia berusaha mengerahkan tenaga, namun tidak berhasil, Harimau itu kini undur, bukan untuk pergi, melainkan untuk mengambil ancang-ancang. Darah yang mengalir dari paha Sin Wan yang tergores kuku itu membuat dia semakin liar. Kini binatang itu merendahkan tubuh, mengambil ancang-ancang untuk meloncat. Mati aku sekarang, pikir Sin Wan. Binatang itu meloncat ke atas, menubruk ke arah Sin Wan.

"Cratttt ......!! Bukkk!" Tubuh binatang itu terhenti di udara ketika sebatang pedang menyambutnya dengan tusukan memasuki perutnya, kemudian sebuah tendangan kilat membuat tubuh binatang itu terlempar. Biarpun telah terluka parah dan dari perutnya bercucuran darah, harimau itu tidak roboh atau takut, bahkan menjadi semakin nekat. Kini dia menubruk ke arah orang yang menyakitinya, yang berdiri di depan Sin Wan.

"Sratttt .......!" Tubuh harimau terpelanting dan matilah dia dengan leher hampir putus terbabat pedang! Lili membersihkan pedangnya dengan menggosoknya pada kulit bangkai harimau. Dalam cuaca yang remang-remang, Sin Wan terbelalak ketika mengenal bahwa yang membunuh harimau itu dan yang menyelamatkan dirinya adalah Lili. Hatinya merasa senang bukan main, bukan saja senang karena dia tidak mati konyol menjadi mangsa harimau, akan tetapi karena ternyata gadis itu tidaklah sejahat yang ingin diperlihatkannya. Ternyata gadis itu tidak meninggalkannya seperti ancamannya tadi, melainkan bersembunyi dan menjaganya, bahkan menyelamatkannya.

"Terima kasih, Lili ......" katanya lirih.

Lili menyisipan pedangnya, lalu membalik dan menghadap pemuda itu. Alisnya berkerut karena ucapan Sin Wan yang lembut itu, wajah pemuda itu yang tersenyum penuh syukur kepadanya, seolah menusuk jantungnya.

"Aku telah memukulimu, menghinamu, memakimu dan menyiksamu, dan engkau tidak mendendam kepadaku?" tanyanya penasaran.

Sin Wan sudah dapat menggoyang kepalanya. "Kenapa aku harus mendendam? Sebelas tahun yang lalu aku juga pernah memukuli pinggulmu, dan sekarang aku hanya membayar hutangku. Aku dahulu terlampau keras kepadamu Lili dan sudah sepatutnya engkau membalas."

Sepasang mata itu tertegun, senyum sadis itu perlahan-lahan berubah seperti orang hendak menangis. Semua ini dapat dilihat Sin Wan karena kebetulan sinar bulan dapat menerobos celah-celah daun dan menerangi mereka. Lili memandang wajah pemuda itu, menatap ke arah pipi kiri Sin Wan yang membengkak. Ia menghampiri lebih dekat, tangan kanannya diangkat ke atas. Sin Wan tidak siap menerima tamparan lagi, akan tetapi sekali ini, tangan itu tidak menampar, melainkan mengusap dan membelai pipi yang membengkak itu.

"Sin Wan .... " suara itu seperti rintihan tangis dan mulut gadis itu mendekati pipi yang bengkak, menyentuh telinga dan terdengar ia berbisik, "Sin Wan aku cinta padamu...... ah, aku benci padamu ......!" dan iapun menggerakkan tangan menotok, membebaskan Sin Wan dari pengaruh totokannya, tadi dan sekali berkelebat iapun lenyap dari situ.

Sin Wan dapat menggerakkan kembali kaki tangannya. Sejenak dia diam saja, membiarkan jalan darahnya pulih kembali dan sikap Lili tadi masih membuat dia tertegun. Gadis itu cinta padanya dan juga benci padanya! Bagaimana ini? Bagaimana mungkin ada orang mencinta sekaligus membenci? Dia menggeleng kepalanya, lalu mengerahkan tenaga Sin-kang dan dengan mudah saja dia melepaskan tali pengikat kaki dan tangannya. Dia memegangi potongan kain sabuk sutera itu, mengamatinya dan menggeleng-geleng kepala lagi.

"Lili ...., Lili ....., sungguh aku tidak mengerti." Dia lalu meninggalkan tempat itu, keluar dari hutan dan memasuki kota Lok-yang. Kakek Bu Lee Ki sudah memberitahu kepadanya bahwa kakek itu dan Kui Siang akan menyewa kamar di losmen Ho-peng yang berada di ujung barat kota itu.

Tidak sukar untuk menemukan losmen di sebelah barat dalam kota itu dan ketika Sin Wan minta keterangan dari pelayan losmen tentang kakek Bu Lee Ki dan Kui Siang, pelayan itu ternyata telah mendapat pesan dari Bu Lee Ki dan segera mengantar pemuda itu ke kamarnya.

"ltulah dua kamar kakek dan nona itu," kata pelayan.

Sin Wan mengetuk pintu kamar Bu Lee Ki dan kakek itu membukakan pintu. Dia agak terkejut melihat celana Sin Wan yang robek, pahanya yang terluka goresan memanjang, langkahnya yang agak pincang dan pipi kirinya yang merah membengkak.

"Ehh ? Apa yang terjadi?" tanyanya ketika mereka masuk kamar dan pintunya ditutupkan kembali oleh Bu Lee Ki.

Sin Wan merasa serba salah. Kalau dia bercerita tentang Lili, tentu dia harus menceritakan segalanya dan dia merasa malu, tidak ingin peristiwa di hutan tadi diketahui siapapun. Akan tetapi kalau tidak diceritakan, bagaimana pula karena keadaannya seperti itu. Dia teringat akan harimau itu lalu berkata, "Locianpwe, saya tersesat ke dalam hutan dan diserang seekor harimau yang besar dan ganas. Saya berhasil membunuhnya, akan tetapi saya juga terluka, dicakar paha saya dan........ begitulah." Dia tidak banyak bicara lagi, lalu membersihkan diri di kamar mandi dan bergantl pakaian.

"Di mana sumoi?" tanyanya setelah berganti pakaian.

Kakek itu nampak termenung setelah mendengar ceritanya. Jelas bahwa kakek itu tidak puas, dan agaknya tahu bahwa dia menyembunyikan sesuatu dan tidak mau berterus terang. Akan tetapi kakek itu tidak mendesak dan mendengar pertanyaan itu, diapun tersenyum.

"Kalian ini orang-orang muda memang petualang-petualang yang aneh. Tadi Kui Siang pulang dan tidak bicara apa-apa kepadaku. Ia langsung memasuki kamarnya dan aku mendengar betapa ia gelisah di kamarnya, bahkan aku seperti mendengar ia terisak menangis. Ahhh, sungguh lucu dan aneh. Dan engkau datang-datang seperti ini, baru saja berkelahi dengan harimau! Kalian orang-orang muda yang aneh?"

Kakek itu tidak mendesak dan Sin Wan lalu merebahkan diri di pembaringan kecil di sudut kamar yang mempunyai dua buah pembaringan itu. Dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas karena dia memang merasa lelah, lemas dan terutama sekali pinggulnya masih berdenyut-denyut, berlumba dengan denyut jantungnya.

Pada keesokan harinya, setelah mandi pagi dan merasa tubuhnya lebih segar walaupun rasa nyeri di pinggulnya masih terasa, Sin Wan yang tidak melihat Kui Siang bertanya kepada Bu Lee Ki di mana adanya gadis itu.

Kakek itu mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala. "Entah apa yang telah terjadi dengan Kui Siang. Semalam ia pulang langsung ke kamarnya, dan setelah semalam gelisah, pagi ini ia juga tidak keluar dari dalam kamar. Aku tadi sudah mengetuk daun pintu kamarnya dan bertanya. Ia membuka pintu dan mengeluh tidak enak badan, lalu rebah kembali. Pergilah engkau melihatnya. Sin Wan, aku khawatir ada apa-apa terjadi dengan sumoimu. Biasanya ia tidak seperti itu."

Sin Wan merasa khawatir. Dia lalu menghampiri kamar sumoinya dan mengetuk daun pintu kamarnya. Beberapa kali dia mengetuk. Tidak ada jawaban.

"Sumoi, harap buka pintu. Ini aku, Sin Wan ingin menjengukmu," katanya.

Juga tidak ada jawaban, akan tetapi pendengarannya yang tajam dapat menangkap isak tangis tertahan. Tentu saja dia menjadi semakin khawatir dan didorongnya daun pintu itu perlahan. Ternyata tidak dikunci dari dalam dan diapun memasuki kamar itu. Dilihatnya sumoinya duduk di pembaringan sambil menutupi mukanya dan menangis menyembunyikan tangisnya di balik bantal yang ditutupkan pada mukanya.

"Sumoi ......! Engkau kenapakah?" tanya Sin Wan dengan kaget dan dia cepat menghampiri gadis itu, berdiri di depannya dan dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu.

Mendengar ucapan itu dan merasa pundaknya disentuh tangan Sin Wan, tangis Kui Siang semakin mengguguk dan pundaknya sampai bergoyang-goyang. Tentu saja Sin Wan menjadi semakin khawatir.

"Sumoi, katakanlah. Apa yang telah terjadi denganmu?" Perlahan-lahan Sin Wan menurunkan bantal itu dari muka sumoinya dan dia terkejut melihat muka yang pucat dan basah air mata, sepasang mata yang menjadi merah dan agak bengkak karena terlalu banyak menangis itu.

"Sumoi, engkau kenapakah, sumoi? Kenapa engkau berduka seperti ini?" tanya pula pemuda itu dengan suara yang penuh kegelisahan, tangan kiri masih memegang pundak, jari tangan kanan menyingkap rambut yang menutupi sebagian muka yang basah itu.

"Suheng .......!" Kui Siang mengeluh dan iapun menjatuhkan diri ke depan, merangkul pinggang suhengnya dan menjatuhkan kepalanya di dada pemuda itu.

Sin Wan semakin kaget. Dia merangkul sumoinya yang kini menangis di dadanya, dan sejenak dia membiarkan sumoinya menumpahkan kedukaannya, membiarkannya menangis di dadanya. Perlahan-lahan, terasa olehnya air mata yang hangat membasahi kulit dadanya, menembus bajunya.

"Tenangkan hatimu, sumoi dan katakanlah, apa yang telah terjadi, yang membuatmu sesedih ini?"

Setelah tangisnya terhenti, hanya tinggal sesenggukan jarang, sisa isak yang melepas sisa ganjalan di hatinya, akhirnya dengan muka masih disembunyikan di dada Sin Wan, Kui Siang berkata lirih, "Suheng, betapa tega hatimu menghancurkan kebahagiaanku, memusnahkan semua harapanku .........."

"Ehh ? Apa maksudmu, sumoi? Aku tidak mengerti ......!"

"Tidak kusangka bahwa engkau mempunyal seorang kekasih, suheng, mempunyai seorang pacar ......" Suara itu bercampur isak.

Sin Wan membelalakkan matanya. "Heiiii! Apa pula ini, sumoi? Aku tidak mempunyai pacar!"

Kui Siang mengangkat mukanya dari dada Sin Wan, sepasang matanya yang merah membendul itu mengamati wajah Sin Wan dan mulutnya cemberut. "Tidak ada gunanya menyangkal lagi, suheng. Semalam engkau berpacaran dengan seorang gadis cantik! Siapa gadis yang tertidur di pangkuanmu itu?"

Sin Wan terkejut bukan main. "Kau ....... kau tahu itu? Bagaimana engkau bisa tahu, sumoi?" Akan tetapi dia segera menyadari bahwa pertanyaannya ini sama saja dengan pengakuan bahwa dia benar-benar berpacaran dengan seorang gadis, maka cepat disambungnya, "Aku tidak berpacaran, sumoi. Ia bukan kekasihku, bukan pacarku."

Mata yang kemerahan itu mengeluarkan sinar marah. "Suheng, selama ini aku mengenalmu sebagai seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang tidak berwatak pengecut dan berani mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi sekarang kenapa engkau menyangkal? Suheng, dengan mataku sendiri aku melihat gadis cantik itu tertidur di pangkuanmu, bersandar pada dadamu dan engkau memeluknya, dan engkau masih berani menyangkal ........?"

Mengertilah Sin Wan bahwa sumoinya semalam telah menyaksikan peristiwa yang terjadi antara dia dan Lili, dan sayangnya, sumoinya hanya melihat ketika Lili tertidur di pangkuannya, tidak melihat yang lain, tidak melihat ketika Lili menyiksanya, hampir membunuhnya.

"Sumoi, aku tidak menyangkal semua itu, yang kusangkal adalah bahwa ia itu pacarku. Sama sekali tidak, sumoi. Dengarlah ceritaku ini. Sebelas tahun yang lalu, ketika tiga orang suhu kita mengantarkan pusaka-pusaka istana bersama aku dengan kereta menuju ke kota raja, di tengah perjalanan kami bertemu Bi-coa Sian-li dan seorang muridnya. Bi-coa Sian-li hendak merampas pusaka, akan tetapi gagal dan ia dikalahkan tiga orang guru kita. Dan anak perempuan itu, yang berusia sembilan tahun, murid Bi-coa Sian-li, berkelahi denganku dan aku menghajarnya, kuhukum seperti anak kecil dengan tamparan pada pinggulnya sampai sepuluh kali."

Kui Siang mengerutkan alisnya. "Apa hubungannya cerita itu dengan kemesraan di hutan itu?" suaranya jelas mengandung kemarahan.

Diam-diam Sin Wan merasa heran. Kenapa sumoinya kelihatan marah sekali melihat Lili tertidur di pangkuannya dan kelihatan seolah dia dan Lili bermesraan dan berpacaran? Hubungannya erat sekali, sumoi.

"Dengarlah ceritaku selanjutnya. Sore tadi aku melihat seorang gadis dikeroyok oleh orang-orang lihai sebanyak enam orang. Gadis itu juga lihai, akan tetapi enam orang lawannya itu selain lihai juga amat licik dan gadis itu akhirnya tertawan dalam sehelai jala yang ada kaitannya beracun. Melihat gadis itu dalam ancaman bahaya, aku lalu menolongnya dan enam orang penjahat itu melarikan diri. Gadis itu keracunan, maka aku lalu mengobatinya dan mengusir racun dari tubuhnya. Mungkin karena kepayahan, gadis itu bersandar dan tertidur dan agaknya saat itulah engkau melihat kami dan menyangka bahwa kami bermesraan dan berpacaran. Pada hal tidaklah demikian. Bahkan kelanjutannya sayang sekali engkau tidak melihatnya, karena kalau engkau melihatnya, tentu akan lain sekali sikapmu."

Sinar mata itu mulai terang dan tertarik, karena bagaimanapun juga, Kui Siang amat menghormati dan percaya kepada suhengnya itu. "Lanjutannya bagaimana?" tanyanya, suaranya masih parau karena tangis semalam suntuk, akan tetapi matanya tidak sesayu tadi.

"Setelah gadis itu sembuh dan terbangun, kami bicara dan setelah aku mengaku sebagai murid Sam-sian, gadis itu terkejut dan tiba-tiba saja ia menotokku sehingga aku tidak mampu bergerak lagi. Kiranya ia adalah anak perempuan yang sebelas tahun lalu pernah kuhajar itu!"

"Murid Bi-coa Sian-li, pembunuh kedua orang guru kita?" Sin Wan mengangguk. "Benar, ia bernama Lili dan ia lihai sekali. Aku ditotoknya dan aku menjadi lumpuh."

"Lili ........?"

Sin Wan teringat. "Eh, nama lengkapnya Tang Bwe Li."

"Engkau sudah memanggilnya demikian akrab, suheng? Teruskanlah, bagaimana selanjutnya." Kata pula Kui Siang dan suaranya terdengar kaku.

"Ia membalas dendamnya sebelas tahun yang lalu. Ia membalas memukuli pinggulku sampai puluhan kali. Kemudian ia mengikatku pada pohon dan meninggalkan aku agar dimakan binatang buas."

Gadis itu membelalakkan matanya. "Betapa kejamnya! Gadis keparat!"

"Setelah ia pergi dan aku belum mampu menggerakkan kaki tanganku, muncullah seekor harimau besar, sumoi. Binatang itu menghampiri aku, mengendus dan sempat mencakar robek celanaku dan melukai paha. Kemudian ia menerkam dan aku sudah pasrah karena tidak mampu bergerak melawan ......."

"Lalu bagaimana, suheng? Lalu bagaimana?" Kini Kui Siang bangkit berdiri dan memegang kedua lengan suhengnya, nampak khawatir bukan main.

"Pada saat harimau menerkam aku, ketika tubuhnya meloncat di udara, ia disambut tusukan pedang dan tewas seketika, sumoi. Aku telah ditolong dan diselamatkan ........"

"Siapa yang menolongmu, suheng?" tanya Kui Siang, ingin sekali tahu siapa penolong yang telah merenggut nyawa suhengnya dari ancaman maut.

"Gadis itu, sumoi. Lili yang menyelamatkan aku."

   "Ahhhhh .......!" Kedua tangan yang tadi memegang lengan Sin Wan dengan kuat, tiba-tiba menjadi lemas dan terlepas. Jelas bahwa Kui Siang nampak terpukul dan kecewa bukan main mendengar bahwa yang menyelamatkan suhengnya adalah gadis itu pula.

"Aku sendiri terheran-heran, sumoi. Tadinya ia demikian kejam dan ganas, menyiksaku, hampir membunuhku, sengaja mengikatku agar dimakan binatang buas, akan tetapi ketika aku nyaris dimakan harimau, ia pula yang menolongku."

"Itu hanya berarti ..... ah, suheng. Apakah engkau cinta padanya?" tiba-tiba gadis itu kembali menatap tajam wajah suhengnya.

Sin Wan menggeleng kepala. "Tidak, sumoi. Kami baru bertemu beberapa jam saja, bagaimana aku dapat mencintanya? Apa lagi ia hampir saja membunuhku, dan ia menyiksaku, sampai sekarangpun rasa nyeri di pinggulku masih berdenyut-denyut. Tidak, aku tidak dapat cinta kepadanya, sumoi."

Aneh sekali. Sumoinya, yang masih marah matanya, kini memandang kepadanya dengan senyum tipis!

"Benarkah, suheng?" sumoinya bertanya.

Sin Wan memegang kedua pundak sumoinya, "Aku tidak pernah bohong, sumoi. Sekarang aku ingin bertanya dan harap engkau tidak berbohong pula. Aku bersumpah bahwa aku tadi tidak berpacaran dengan Lili, akan tetapi andaikata benar demikian, lalu kenapa engkau menjadi begitu bersedih? Kenapa?"

Wajah itu berubah merah dan sampai sejenak lamanya Kui Siang tidak mampu menjawab. Kemudian, dengan muka ditundukkan, iapun berkata lirih, "Suheng, aku tahu bahwa aku tidak berhak mencampuri urusan pribadimu, aku tahu bahwa tidak sepantasnya aku menjadi marah dan bersedih melihat engkau dan gadis itu di hutan ......." suaranya menjadi gemetar dan ia menangis lagi.

"Sumoi, kenapa? Katakan, kenapa?" Sin Wan mengguncang kedua pundak sumoinya itu.

"Karena ..... karena hatiku dibakar dan ditusuk-tusuk oleh rasa cemburu yang hebat, Suheng, maafkan aku ........"

"Sumoi .....!" Sin Wan terkejut dan Kui Siang menangis sambil merangkul pinggang pemuda itu, menangis di dadanya seperti tadi.

"Maafkan aku, suheng ........ karena aku tidak ingin kehilangan engkau, aku takut kehilangan engkau, aku tidak ingin berpisah darimu selama hidupku, suheng ..... aku cinta padamu ....," dan iapun menangis tersedu-sedu.

Sin Wan tertegun dan diapun merangkul. Sejenak dia bengong. Dalam waktu semalam saja, dua orang gadis mengaku cinta padanya. Lili mengaku benci akan tetapi cinta. Kui Siang mengaku cemburu akan tetapi cinta!

Haruskah cinta seorang wanita itu disertai cemburu dan dapat berubah menjadi benci? Apakah cinta itu mengandung cemburu dan benci? Dia merasa bingung. Akan tetapi tidak bingung kalau harus memilih di antara keduanya. Kui Siang telah bergaul dengan dia selama sepuluh tahun lebih dan ia sudah mengenal benar watak yang baik dari sumoinya ini. Kui Siang cantik, gagah perkasa, berbudi dan lembut, pasti akan menjadi seorang isteri dan seorang ibu yang baik. Lili juga sama cantiknya, sama gagah perkasanya, akan tetapi gadis itu liar dan ganas, berhati keras bahkan dapat menjadi kejam. Mudah saja memilih di antara keduanya. Tentu saja dia memilih Kui Siang! Memang jauh sebelum dia bertemu dengan Lili, dia sudah merasa amat sayang kepada sumoinya, rasa sayang merupakan tunas cinta. Kini sumoinya berterus terang menyatakan cinta kepadanya!

"Sumoi, akupun cinta padamu," bisiknya sambil merangkul dan sejenak mereka saling peluk dengan ketatnya seolah tidak ingin melepaskan lagi.

Suara batuk-batuk di luar kamar itu membuat mereka berdua terkejut dan cepat saling melepaskan rangkulan. Muncullah kakek itu setelah membuka daun pintu dan dia tersenyum lebar.

"Wah, engkau sudah tersenyum lagi, Kui Siang? Ha..ha..ha, peristiwa ini patut dirayakan dengan makan enak. Mari keluarlah kalian, kita makan pagi yang istimewa, heh ..Heh..heh!"

Wajah Kui Siang menjadi merah sekali. Hatinya penuh bahagia karena bukankah di telinganya tadi suara Sin Wan berbisik menyatakan cinta? la sudah menyatakan perasaan cintanya dan ternyata dibalas oleh suhengnya! Peristiwa semalam dengan Lili sudah seketika lenyap dari ingatannya. "Nanti dulu, locianpwe, saya ingin mandi dan bertukar pakaian lebih dulu."

"Heh..heh, baiklah. Kita tunggu di luar, Sin Wan."

Dua orang pria itu keluar dan Kui Siang segera mandi dan bertukar pakaian. Sekali ini, ia berdandan dan menyisir rambutnya agak lebih teliti dari pada biasanya. Ia harus selalu nampak rapi dan cantik di depan kekasihnya!

Sementara itu, ketika mereka duduk menanti Kui Siang, kakek Bu Lee Ki berkata kepada pemuda itu. "Sin Wan, engkau dan Kui Siang memang cocok sekali menjadi suami isteri. Kalian berjodoh, kenapa setelah saling mencinta tidak segera menikah saja. Kulihat usia kalian sudah cukup dewasa."

Wajah Sin Wan berubah kemerahan dan dia tersenyum. "Aih, locianpwe, bagaimana mungkin kami menikah! Saya seorang yatim piatu yang miskin dan tidak ada yang mewakili saya, sedangkan Kui Siang, biarpun yatim piatu pula, ia bangsawan dan kaya raya, dan masih mempunyai banyak keluarga di kota raja."

"Hemm, apa salahnya itu? Yang penting, kalian saling mencinta. Tentang wakilmu, biar aku yang mewakilimu, mengajukan pinangan kepada keluarga Kui Siang di kota raja kelak setelah urusan pemilihan pemimpin kai-pang di sini selesai. Bagaimana pendapatmu?"

"Terima kasih atas kebaikan hati locianpwe. Marilah nanti saja hal itu kita bicarakan karena selain urusan di sini belum beres, juga saya sendiri masih ragu-ragu untuk membangun rumah tangga. Keadaan saya masih begini, locianpwe, kehidupan diri sendiri saja masih belum menentu, tiada pekerjaan dan tiada rumah tinggal, bagaimana dapat memikirkan pernikahan?"

"Heh..heh, justeru pernikahan yang akan memaksamu untuk mendapatkan tempat tinggal dan mata pencaharian yang tetap. Tanpa adanya kebutuhan itu, tentu akan selalu hidup bebas seperti seekor burung di udara." Kakek itu terkekeh, lalu melanjutkan. "Kalau kalian sudah saling mencinta, hal itu menunjukkan bahwa kalian sudah siap untuk membangun keluarga bersama, hidup bersama sebagai suami isteri. Cinta asmara merupakan tali pengikat yang paling kuat dalam hubungan itu dan kalian sudah saling mencinta. Mau tunggu apa lagi? Cinta berarti hidup bersama dalam keadaan apapun juga, dalam suka dan duka, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, suka sama dinikmati, duka sama ditanggung."

"Tapi ...... tapi saya sendiri masih belum mengerti benar tentang cinta, locianpwe. Mohon petunjuk, apakah cinta harus disertai dengan cemburu? Apakah cinta dapat berubah menjadi benci?"

Kakek itu tertawa. "Cinta adalah suatu keadaan yang mulia dan suci, Sin Wan. Cinta adalah sifat dari Tuhan Yang Maha Kasih. Akan tetapi, kita manusia merupakan mahluk yang lemah terhadap nafsu-nafsu kita sendiri. Cinta kita selalu diboncengi nafsu, dan nafsu inilah yang mendatangkan perasaan cemburu, benci dan sebagainya. Nafsu sifatnya selalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan diri sendiri. Oleh karena cinta kita diboncengi nafsu, maka biar orang yang kita cinta, kalau melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan atau merugikan kita, maka dapat saja berubah menjadi benci dan dapat menimbulkan cemburu. Nafsu membuat kita ingin memiliki dan menguasai orang yang kita cinta seluruhnya, sehingga sekali saja terdapat kecenderungan kekasih kita kepada orang lain, timbullah cemburu. Nafsu membuat kita ingin memperalat orang yang kita cinta itu sebagai sumber kesenangan diri kita sendiri."

"Kalau begitu, locianpwe, nafsu menjadi biang keladi sehingga cinta menjadi kotor dan buruk, dapat mendatangkan kejahatan dan malapetaka. Kalau begitu, antara suami isteri seharusnya ada cinta tanpa nafsu ........"

"Ha..ha..ha..ha, tidak mungkin, Sin Wan. Nafsu memang berbahaya kalau ia menguasai kita, kalau ia menjadi majikan yang kejam kalau ia memperalat kita. Akan tetapi sebaliknya, tanpa nafsu kita tidak mungkin dapat hidup. Nafsu yang membonceng dalam cinta antara pria dan wanita merupakan suatu keharusan, karena nafsu yang menimbulkan daya tarik antar kelamin, nafsu pula yang memungkinkan manusia berkembang biak. Kalau pernikahan dilakukan tanpa adanya nafsu berahi, suami isteri akan hidup bersama seperti kakak beradik dan tidak akan ada anak, terlahir dan perkembangan biakan manusia akan terhenti."

Sin Wan menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal. Dia sudah banyak membaca kitab tentang kehidupan, akan tetapi baru sekarang dia mendengar tentang hubungan antara pria dan wanita, tentang bekerjanya nafsu berahi dalam cinta kasih!

"Lalu bagaimana baiknya, locianpwe? Nafsu amat berbahaya bagi kehidupan batin kita, akan tetapi juga teramat penting bagi kehidupan bahkan tidak mungkin dapat kita lenyapkan."

"Segala macam nafsu yang berada pada kita merupakan anugerah pula dari Tuhan kepada kita, Sin Wan. Nafsu-nafsu itulah peserta jiwa dalam badan, untuk kepentingan kehidupan di dunia ini. Nafsu merupakan alat, merupakan pelengkap, merupakan pembantu yang teramat penting. Dalam hal perjodohan, nafsu bekerja sebagai berahi yang menimbulkan perasaan saling suka dan saling tertarik. mungkin melalui keindahan bentuk wajah dan tubuh yang menyenangkan dan cocok, mungkin melalui sikap dan prilaku yang sesuai dengan selera. Pendeknya nafsu berahi selalu ada di dalam cinta antara pria dan wanita yang ingin hidup bersama. Akan tetapi, karena nafsu mendatangkan pula cemburu yang mungkin menimbulkan kebencian, maka kita harus ingat bahwa sekali nafsu berahi yang menjadi majikan, yang menguasai kita, keutuhan perjodohan terancam retak. Nafsu berahi juga mendatangkan bosan."

"Lalu bagaimana kita dapat menguasai nafsu kita sendiri, locianpwe? Dapatkah dikuasai dengan samadhi, dengan latihan pernapasan, dengan bertapa?"

Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. "Semua usaha itu juga masih berada dalam lingkungan atau ruang pekerjaan akal budi, pada hal akal budi kita sudah dicengkeram nafsu. Usaha itu juga terbimbing oleh nafsu. Karena kita melihat kerugian yang diakibatkan oleh pengaruh nafsu, maka kita ingin menguasai nafsu. Siapa yang rugi? Kita si akal budi, dan siapa yang ingin menguasai nafsu. Juga kita sendiri, si akal budi yang sudah bergelimang nafsu. Jadi, nafsu menguasai nafsu, menguasai hasilnya tentu masih nafsu pula, hanya berbeda nama, akan tetapi pada hakekatnya sama, yaitu nafsu yang ingin menyenangkan diri sendiri, ingin menjauhkan diri dari kesusahan, ingin ini dan ingin itu yang pamrihnya pementingan diri. Usaha itu hanya akan mendatangkan hal yang nampaknya berhasil, namun pada luarnya saja. Kalau sekali waktu kebutuhan mendesak, nafsu yang nampaknya dapat "ditidurkan" melalui semua usaha itu, akan bangun kembali bahkan lebih kuat dari pada yang sudah!

Satu-satunya kekuasaan yang akan mampu mengatur nafsu dan mendudukkan kembali nafsu di tempat yang sebenarnya sebagai abdi-abdi jiwa dalam kehidupan manusia, hanyalah kekuasaan Sang Pencipta, yang menciptakan nafsu itu. Karena itu, kita hanya dapat menyerahkan diri kepada Tuhan Maha Kasih, penyerahan total yang penuh kesabaran, ketawakalan dan keikhlasan. Kekuasaan Tuhan yang akan bekerja dalam diri kita. Nafsu-nafsu, termasuk nafsu berahi, akan tetap bekerja, namun sebagai pembantu yang setia, bukan sebagai majikan yang kejam."

Sin Wan mengangguk-angguk. "Kalau sudah begitu, maka perjodohan akan menjadi indah dan penuh kebahagiaan, locianpwe?"

"Ho..ho..heh..heh, nanti dulu, orang muda! Perjodohan adalah suatu segi kehidupan yang paling rumit! Bercampurnya dua orang manusia yang berbeda watak dan selera, berbeda keturunan, untuk hidup bersama selamanya, dalam sebuah pernikahan, dimaksudkan untuk bersama-sama membangun keluarga, terutama sekali bersama-sama merawat dan mendidik anak-anak yang lahir dari pernikahan itu. Dan mempertahankan kebersamaan selama puluhan tahun antara kedua orang manusia ini membutuhkan kepribadian yang luhur dan kesadaran serta kebijaksanaan yang tinggi. Apakah cukup dengan cinta kasih saja? Memang itulah dasarnya, akan tetapi tidak cukup dengan itu, Sin Wan. Di samping kasih sayang, harus pula terdapat kebijaksanaan,  kesetiaan, bertanggung jawab dan memenuhi kewajiban masing-masing. Kewajiban sebagai seorang suami atau isteri kemudian kewajiban sebagai seorang ayah atau ibu. Dan semua itu baru akan berjalan mulus kalau didasari penyerahan kepada Tuhan sehingga kekuasaan Tuhan yang akan menjadi penuntun dan pembimbing."

Percakapan terhenti karena munculnya Kui Siang. Gadis itu nampak segar walaupun kedua matanya masih kemerahan. Wajahnya tidak pucat lagi dan bibirnya tersenyum manis, wajahnya cerah. Gadis itu membelalakkan mata terkejut gembira melihat meja penuh hidangan yang masih panas.

"Aih, benar-benar locianpwe mengadakan pesta!" serunya sambil duduk di sebelah Sin Wan seperti biasanya menghadapi meja makan.

"Tentu saja! Peristiwa menggembirakan harus disambut dan dirayakan!"

"Peristiwa menggembirakan yang manakah locianpwe?"

"Heh..heh, Kui Siang, masih pura-purakah engkau? Tentu saja peristiwa menggembirakan antara kalian, pertunangan kalian!"

Wajah gadis itu berubah merah sekali dan ia menundukkan muka sambil mengerling ke arah Sin Wan.

"Sumoi, locianpwe telah mengetahui apa yang terjadi antara kita. Beliau seperti guru kita sendiri, tidak perlu lagi kita bersungkan kepadanya."

"Heh-heh, benar sekali itu, Kui Siang. Bahkan aku kelak ingin mewakili Sin Wan mengajukan pinangan atas dirimu kepada keluargamu di kota raja."

Kui Siang bangkit dan memberi hormat kepada kakek itu. "Terima kasih atas kebaikan budimu, locianpwe. Akan tetapi, sebaiknya hal itu tidak usah kita bicarakan sekarang."

Gadis yang bijaksana, pikir Sin Wan bangga. "Ha, engkau benar. Mari kita makan minum dan bergembira."

Mereka makan minum dan saling memberi selamat melalui cawan arak.

Setelah selesai makan, mereka bercakap-cakap dan Sin Wan berkata, "Locianpwe, saya kira pertemuan yang akan diadakan untuk memilih pimpinan kai-pang ini akan menjadi ramai. Apakah locianpwe sudah mendapatkan keterangan tentang tempat dan waktunya?" tanya Sin Wan.

"Sudah, akan diadakan nanti lewat tengah hari, dan tempatnya di gedung milik pemerintah, yaitu di gedung pertemuan bagian dari bangunan gedung kepala daerah Lok-yang."

Sin Wan memandang heran. "Di gedung pemerintah?"

"Tentu saja, dan aku girang sekali dengan itu, Sin Wan. Agaknya pemerintah mencampuri dan pemerintah benar-benar ingin melihat para kai-pang menggalang persatuan. Hal ini membangkitkan semangatku, karena dengan bantuan dan kerja sama dengan pemerintah, maka persatuan itu akan lebih mudah dipulihkan seperti jaman perjuangan melawan penjajah Mongol."

"Akan tetapi, saya kira tidak akan semudah itu, locianpwe," kata Sin Wan. "Saya kira Bi-coa Sian-li akan hadir, dan saya melihat pula seorang muda, mungkin berkebangsaan Jepang, yang memiliki kepandaian lihai sekali. Anak buahnya pandai menggunakan jala sebagai senjata."

"Ahhh? Bi-coa Sian-li muncul, mungkin ia mewakili ayahnya, yaitu See-thian Coa-ong, dan kalau muncul pemuda Jepang lihai dan orang-orang yang pandai menggunakan jala, tentu mereka itu mewakli golongan bajak yang dikepalai oleh datuk timur Tung-hai-liong! Wah, akan ramai kalau datuk barat dan datuk timur itu muncul. Kita harus bersiap-siap dan mari engkau matangkan latihan ilmu-ilmu yang sudah kuajarkan kepadamu, Sin Wan."

Memang selama ini, hampir setiap kesempatan dipergunakan oleh kakek Bu Lee Ki untuk mengajarkan ilmu-ilmu simpanannya kepada pemuda yang sudah lihai itu.

                            0oo0

Ruangan yang luas itu telah penuh orang yang pakaiannya aneh-aneh. Demikian banyaknya orang yang hadir, tidak kurang dari limapuluh orang, dan mereka semua memakai pakaian yang pasti ada tambalannya! Ada pakaian kembang-kembang, ada pakaian warna-warni yang kainnya masih baru, akan tetapi tetap saja ada tambalan pada pakaian itu. Inilah tandanya bahwa mereka itu adalah orang-orang kai-pang (perkumpulan pengemis).

Tentu saja yang hadir hanyalah para pimpinan, maka mereka yang berada di ruangan itu adalah orang-orang yang lihai. Di antara semua kai-pang yang diwakili pimpinan masing-masing, yang menonjol penampilannya hanya empat rombongan, yaitu rombongan Ang-kin Kai-pang yang menjadi pimpinan seluruh kai-pang di daerah utara dan dipimpin oleh Thio Sam Ki dan Ciok An, Lam-kiang Kai-pang perkumpulan terbesar dari selatan yang dipimpin oleh ketuanya yang bernama Kwee Cin, lalu perkumpulan terbesar di timur Hwa I Kai-pang yang dipimpin oleh ketuanya yang bernama Siok Cu yang diikuti beberapa orang, di antaranya seorang pemuda Jepang yang pakaiannya menyolok karena berbeda dengan pakaian para pimpinan kai-pang, kemudian dari barat Hek I Kai-pang yang dipimpin ketuanya, Souw Kiat yang ditemani pula oleh dua orang wanita yang tentu saja amat menarik perhatian semua orang karena dua orang wanita itu selain cantik jelita, juga pakaian mereka sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah golongan pengemis!

Selain para pimpinan empat kai-pang itu, semua adalah pimpinan para kai-pang yang lebih kecil dan yang dalam banyak hal mengekor saja kepada empat kai-pang besar itu.

Karena rapat besar itu diadakan di Lok-yang, di mana yang berkuasa adalah Hwa I Kai-pang, maka perkumpulan inilah yang bertindak sebagai tuan rumah, bahkan kepala daerah Lok-yang meminjamkan gedung pertemuan itupun kepada Hwa I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang).

Siok-Pangcu (Ketua Siok) yang bertubuh pendek gemuk, yaitu Siok Cu ketua Hwa I Kai-pang, duduk di bagian tuan rumah, ditemani lima orang pembantu ketua dan pemuda Jepang yang menjadi tamu kehormatan. Pemuda itu bukan lain adalah Maniyoko, murid Tung-hai-liong yang mewakili gurunya untuk merebut pimpinan para kai-pang agar kelak dalam pemilihan Beng-cu (pemimpin rakyat) Tung-hai-liong Ouwyang Cin memperoleh dukungan dari para kai-pang. Menghadapi datuk timur itu, Siok Cu dan para pimpinan Hwa I Kai-pang tidak mampu melawan dan terpaksa diapun menyerah, walau dalam hati para pimpinan kai-pang tentu saja tidak suka melihat para kai-pang dipimpin oleh seorang yang bukan golongan pengemis, apa lagi seorang Jepang! Mereka setuju setelah mendengar bahwa Tung-hai-liong dan muridnya sama sekali tidak menginginkan pimpinan kai-pang, melainkan hanya membutuhkan dukungan kai-pang agar kelak dapat menjadi calon beng-cu yang memimpin seluruh dunia persilatan seperti dikehendaki pemerintah. Kalau kedudukan beng-cu sudah diperoleh, tentu saja Tung-hai-liong dan muridnya tidak suka menjadi pemimpin para pengemis!

Siok Cu sebagai tuan rumah bangkit berdiri dan dia memperkenalkan dua orang yang berpakaian perwira tinggi dan yang duduk di tempat kehormatan dekat rombongannya. "Kedua orang ciang-kun ini adalah wakil dari pemerintah, dikirim oleh kepala daerah untuk menyaksikan pemilihan pimpinan para kai-pang agar berjalan dengan tertib. Sekarang kami harap saudara sekalian suka mengajukan calon masing-masing, setelah semua calon diajukan, baru kita akan mengadakan pemilihan dan pemungutan suara."

Souw Kiat, ketua Hek I Kai-pang yang mewakili para kai-pang dari daerah barat bangkit berdiri. "Kami mengajukan usul agar pemilihan seorang pemimpin besar kai-pang bukan hanya berdasarkan banyaknya suara pemilih karena hal itu dapat saja diatur lebih dahulu. Yang penting, seorang pemimpin baru dapat kita hormati dan taati kalau dia berwibawa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka dia harus lebih lihai dari para calon lainnya. Jadi, harus diadakan adu kepandaian untuk menentukan pemenangnya!"

Siok Cu yang sudah mendapat perintah dari Maniyoko, bangkit dan menyatakan persetujuan. "Kami dari Hwa I Kai-pang dan para kai-pang di daerah timur setuju dengan usul dari Hek I Kai-pang. Bagaimana dengan para saudara dari selatan dan utara?"

Kwee Cin, ketua Lam-kiang Kai-pang dari selatan, bangkit. "Sebelum dilakukan pemilihan, kami ingin bertanya, mengapa diadakan pemilihan lagi kalau kita dahulu sudah mempunyai seorang pimpinan? Bukankah semua kai-pang sudah mempunyai pimpinan, yaitu locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki? Bukankah beliau yang dahulu memimpin kita semua membantu perjuangan mengenyahkan penjajah Mongol? Biarpun sudah bertahun-tahun beliau tidak aktip, akan tetapi beliau belum berhenti atau diperhentikan sebagai pimpinan, kenapa sekarang kita melakukan pemilihan pimpinan baru?"

Mendengar ini, Thio Sam Ki bangkit berdiri pula dan mengacungkan tangan.

"Kami dari utara juga setuju dengan pendapat ketua Lam-kiang Kai-pang tadi. Kami mempertahankan locianpwe Pek-sim Lo-kai sebagal pimpinan para kai-pang!"

Ucapan kedua orang ketua itu disambut meriah dan ternyata sebagian besar para pangcu yang hadir menyetujui pendapat itu. Souw Kiat yang sudah ditekan oleh Bi-coa Sian-li, membantah.

"Sudah bertahun-tahun sejak penjajah kalah, Pek-sim Lo-kai menghilang. Kita tidak tahu apakah beliau masih hidup ataukah sudah mati. Bagaimana kita dapat bersatu tanpa pimpinan? Kita harus mengadakan pemilihan pimpinan baru."

"Kami setuju! Andaikata Pek-sim Lo-kai masih hidupun, jelas dia telah meninggalkan kewajibannya, telah mengacuhkan kita semua. Tidak pantas dia dipertahankan," kata Siok Cu dari Hwa I Kai-pang yang sudah terpengaruh oleh Maniyoko.

Diam-diam Thio Sam Ki dan wakilnya, Ciok An, memandang ke sekeliling dengan gelisah. Kenapa orang yang mereka tunggu-tunggu tidak muncul? Bagaimana mungkin mereka dapat mempertahankan dan menjagoi Pek-sim Lo-kai kalau orangnya tidak hadir? Akan tetapi, ketika semua pangcu dipersilakan mengajukan nama calon masing-masing, Ang-kin Kai-pang tetap mengajukan nama Pek-sim Lo-kai sebagai calon. Juga Kwee Cin ketua Lam-kiang Kai-pang berkeras menjagoi dan mempertahankan Pek-sim Lo-kai.

Siok Cu sebagai tuan rumah dan penyelenggara rapat, lalu mengumumkan dengan suara lantang bahwa yang diajukan oleh para peserta rapat ada enam calon. Pertama adalah Pek-sim Lo-kai yang tidak hadir akan tetapi ketika nama ini diumumkan, lebih dari separuh jumlah yang hadir menyambut dengan tepuk tangan. Calon kedua adalah Maniyoko murid dari Tung-hai-liong Ouwyang Cin, datuk timur yang namanya sudah dikenal semua orang."

"Kami tidak setuju!" seru Thio Sam Ki. "Bukan kami memandang remeh kepada locianpwe Tung-hai-liong Ouwyang Cin, akan tetapi beliau dan muridnya bukan golongan pengemis, bagaimana mungkin menjadi pemimpin kita?"

"Thio-pangcu, pengemis atau bukan hanya ditandai oleh pakaiannya, apa sukarnya bagi calon kami untuk mengenakan pakaian pengemis? Yang penting bukan pakaiannya, akan tetapi kepandaiannya dan kemampuannya! Kami melanjutkan dengan calon-calon yang lain," kata Siok Cu dengan lantang, "Calon ke tiga adalah Bi-coa Sian-li Cu Sui In puteri dari locianpwe See-thian Coa-ong Cu Kiat."

"Wah, kami keberatan! kini Kwee Cin ketua Lam-kiang Kai-pang, "Bagaimana mungkin kita akan dipimpin seorang wanita? Kami semua sudah mengenal nama Bi-coa Sian-li, apalagi See-thian Coa-ong, akan tetapi mereka adalah golongan lain, tidak ada sangkut-pautnya dengan para kai-pang!"

Souw Kiat bangkit dan membela calonnya, tentu saja karena dia ditekan oleh Sui In. "Seperti juga calon kedua tadi, calon ketiga pun pantas menjadi pemimpin karena kemampuannya. Untuk apa dipimpin seorang berpakaian pengemis kalau dia tidak mampu? Siok Pangcu, lanjutkan dengan nama para calon lainnya!"

Ada tiga orang calon lainnya yang diajukan oleh para kai-pang. Mereka adalah tiga orang pengemis berusia enampuluhan tahun yang merupakan tokoh-tokoh dalam dunia pengemis, dihormati karena mereka adalah orang-orang yang gagah walaupun mereka tidak pernah mau menjabat kedudukan ketua.

Mereka adalah orang-orang yang hanya dikenal julukan mereka saja di dunia para pengemis, yaitu Koai-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Aneh), Hek-bin Lo-kai (Pengemis Tua Muka Hitam) dan Ta-kau Sin-kai (Pengemis Sakti Pemukul Anjing). Mereka adalah pengemis-pengemis petualang yang tidak tergabung dalam salah satu kai-pang, nama mereka dikenal dan dihormati semua pengemis. Para calon dipersilakan naik ke panggung yang sudah dipersiapkan diruangan itu dan begitu mereka berdiri berjajar, nampaklah perbedaan yang menyolok.

Tiga orang calon yang berpakaian butut adalak kakek-kakek tua yang nampak buruk sekali diapit dua orang muda yang elok. Maniyoko yang berdiri di ujung kiri nampak tampan walaupun agak pendek, dan gagah dengan cambang tebal sampai dagu dan pedang samurai tergantung di belakang punggung. Sedangkan di ujung kanan berdiri seorang gadis yang amat cantik, yang bukan lain adalah Lili! Begitu maju, ia tadi berkata dengan suara lantang kepada semua yang hadir.

"Aku Tang Bwe Li mewakili suci (kakak seperguruan) Cu Sui In untuk mengalahkan semua calon!" Sambil berkata demikian, ia memandang kepada Maniyoko dengan sinar mata mencorong penuh kebencian, dan sinar mata itu jelas menyatakan betapa Lili ingin membalas dendam karena ia pernah dicurangi, dikeroyok dan ditangkap oleh pemuda Jepang itu! Pemuda itu tersenyum saja, senyum tenang mengejek karena dia sama sekali tidak gentar menghadapi gadis cantik itu.

Melihat ini, Thio Sam Ki segera bangkit dan berteriak, "Ini sudah menyalahi peraturan! Calonnya sendiri yang harus maju, tidak boleh diwakili orang lain!"

Lili memandang kepada ketua Ang-kin Kai-pang itu dan tersenyum manis, lalu berkata lantang. "Pangcu, engkau sendiri mengajukan Pek-sim Lo-kai sebagai calon, mana orangnya? Suci terlalu tangguh untuk dihadapi calon-calon ini. Akupun sudah cukup. Nanti kalau Pek-sim Lo-kai sendiri muncul, barulah ada harganya untuk menandingi suciku!"

Siok-Pangcu menengahi dan mengijinkan Lili mewakill sucinya, dengan catatan bahwa kalau Lili kalah, berarti sucinya dinyatakan gagal. Kemudian dia membuat undian dan memang sudah diaturnya, yang keluar sebagai orang-orang yang harus bertanding pertama kali adalah Maniyoko melawan Koai-tung Lo-kai.

Sebelum pertandingan pertama dimulai, dia mengumumkan. "Karena seorang calon tidak hadir, maka namanya dicoret dari daftar calon terpilih!"

"Nanti dulu, kami tidak setuju!" teriak Thio Sam Ki. "Kami yang menanggung bahwa Pek-sim Lo-kal pasti akan hadir. Kalau pertandingan ini selesai dan beliau belum hadir, boleh saja beliau dinyatakan gagal!"

Para pendukung Pek-sim Lo-kai memberikan suara setuju mereka dan terpaksa Siok Cu mengalah dan menerima usul itu. Pertandingan antara Maniyoko dan Koai-tung Lo-kai segera dimulai dan para calon lain kembali ke tempat duduk masing-masing. Maniyoko bertangan kosong saja menghadapi Koai-tung Lo-kai yang mempergunakan tongkatnya. Sebetulnya, Koai-tung Lo-kai, seperti dua orang kakek pengemis lainnya, tidak berambisi untuk menjadi pimpinan kai-pang. Akan tetapi orang yang mereka pandang dan harapkan, yaitu Pek-sim Lo-kai, tidak hadir. Terpaksa mereka maju, bukan saja untuk memenuhi pilihan para kai-pang, juga untuk mencegah agar dua orang muda itu tidak sampai merebut kedudukan pemimpin kai-pang!

Akan tetapi ternyata tingkat kepandaian Koai-tung Lo-kai yang hanya lebih sedikit dibandingkan tingkat para ketua kai-pang, bukan lawan Maniyoko yang lihai itu. Dalam waktu kurang dari duapuluh jurus saja, tongkat di tangan Koai-tung Lo-kai telah dapat dirampas Maniyoko dan sebuah tendangan kilat membuat kakek itu terlempar turun panggung! Maniyoko tertawa dan melemparkan tongkat itu ke bawah panggung, di mana Koai-tung Lo-kai dibantu bangkit oleh para pengemis yang mencalonkannya.

"Ha..ha..ha, hanya sebegitu saja kepandaian seorang calon yang hendak memimpin para kai-pang di seluruh negeri? Sungguh lucu! Orang begitu lemah bagaimana akan mampu memimpin seluruh kai-pang? Hayo, silakan calon lain maju karena pertandingan yang tadi sama sekali tidak membuat aku berkeringat!" kata Maniyoko dengan nada dan lagak sombong.

Hek-bin Lo-kai yang menjadi sahabat baik Koai-tung Lo-kai dan yang memiliki watak keras, mendengar ucapan Maniyoko menjadi marah dan diapun meloncat ke atas panggung. "Engkau ini orang Jepang berani mencampuri urusan kai-pang dan berlagak sombong! Aku yang akan menghadapimu, keparat!"

Kalau saja tidak ingat bahwa di situ hadir dua orang panglima dari pemerintah dan disitu berkumpul pula seluruh pimpinan kai-pang, tentu Maniyoko sudah menjadi marah dan membunuh kakek bermuka hitam di depannya. Akan tetapi dia sudah mendapat pesan gurunya agar tidak menimbulkan kekacauan, maka dia tersenyum menghadapi kakek bermuka hitam itu.

"Hek-bin Lo-kai, orang lain boleh merasa gentar melihat mukamu yang hitam menakutkan, akan tetapi aku tidak. Majulah dan perlihatkan kepandaianmu!" Maniyoko menantang.

Hek-bin Lo-kai mengeluarkan bentakan nyaring dan diapun sudah menyerang dengan tangan kosong. Dia terkenal sebagai seorang kakek yang memiliki tenaga besar.

Namun, Maniyoko menyambut dengan gerakannya yang amat ringan dan gesit sehingga semua terkaman, hantaman dan tendangan kakek bermuka hitam itu tak pernah menyentuh tubuhnya.

Kembali belasan jurus lewat dan ketika Hek-bin Lo-kai kembali memukul ke arah kepala lawan, Maniyoko merendahkan tubuhnya dan begitu tangan kakek itu meluncur lewat di atas kepalanya, dia menangkap pergelangan tangan kanan kakek itu dan sekali dia membuat gerakan merendah, membalik dan membanting, tubuh kakek itu terlempar keluar panggung dan jatuh terbanting ke atas lantai di bawah panggung!

Terdengar sorak sorai dari para pimpinan Hwa I Kai-pang dan para kai-pang pengikutnya di daerah timur yang menjagoi Maniyoko.

Maniyoko tertawa, "Masih ada lagikah?" teriaknya dengan lagak semakin sombong.

"Orang Jepang, akulah lawanmu!" terdengar bentakan dari Ta-kau Sin-kai, kakek pengemis ketiga, meloncat naik ke atas panggung sambil memutar tongkatnya. Akan tetapi dari lain jurusan, nampak berkelebat bayangan lain dan tahu-tahu di situ telah berdiri Lili!

"Nona, biarkan aku menghajar orang Jepang sombong ini!" teriak Ta-kau Sin-kai.

Lili tersenyum. "Kakek pengemis, engkau berjuluk Ta-kau Sin-kai (Pengemis Sakti Pemukul Anjing). Memang dia ini seperti anjing yang layak dipukul, akan tetapi engkau tidak akan menang dan engkau bahkan akan digigit olehnya. Dia ini anjing gila, kalau menggigit berbahaya. Biarlah aku yang akan menghajarnya!"

"Tidak, nona!" kata Ta-kau Sin-kai yang merasa penasaran melihat dua orang rekannya tadi dikalahkan, dan dia sudah memutar tongkatnya menyerang Maniyoko. Akan tetapi, Lili menghadangnya sehingga kini di atas panggung terdapat tiga orang dan suasana menjadi agak kacau. Kakek itu ingin menyerang Maniyoko, akan tetapi gadis itu selalu menghalanginya.

Tiba-tiba terdengar seruan lantang dari seorang panglima yang hadir di situ. "Tidak boleh seperti itu! Calon dari daerah timur harap turun karena sudah dua kali bertanding dan biarkan calon dari barat, nona itu bertanding melawan Ta-kau Sin-kai!"

Mendengar ini Maniyoko tertawa dan diapun kembali ke tempat duduknya sehingga Lili berhadapan dengan Ta-kau Sin-kai. Gadis itu cemberut memandang kepada kakek pengemis itu. "Kek, engkau hanya menghalangi aku untuk menghajar manusia sombong tadi. Kenapa engkau tidak cepat kembali saja ke tempatmu semula dan mengaku kalah!"

Kalau tadi Ta-kau Sin-kai marah kepada Maniyoko, kini menghadapi Lili dia tersenyum. "Nona, aku biarpun tua telah dipilih oleh beberapa pimpinan kai-pang, bagaimanapun juga, aku harus menghargai mereka dan berusaha untuk memenangkan pemilihan ini. Nah, marilah kita menguji kepandaian masing-masing nona."

"Hemm, engkau mencari penyakit. Lihat seranganku!" kata Lili dan tubuhnya sudah bergerak cepat, bagaikan seekor ular saja tangan kirinya sudah meluncur ke depan, tangannya membentuk kepala ular dan tangan itu menyambar ke arah muka Ta-kau Sin-kai. Kakek itu mengelak dengan kaget, akan tetapi tangan kanan gadis itu menyusul dan serangannya bertubi-tubi, seperti dua ekor ular yang menyerang bergantian, semua serangan ditujukan ke arah jalan darah, merupakan totokan yang amat cepat. Saking cepatnya gerakan kdua tangan Lili, kakek itu sama sekali tidak mampu membalas, hanya mengelak dan akhirnya terpaksa dia menangkis dengan tongkatnya. Tidak mungkin dia menggunakan ilmunya memukul anjing karena yang dihadapinya adalah lawan yang gerakannya seperti ular! Dan ketika dia menangkis, itulah kesalahannya karena memang Lili menghendaki lawan menangkis.

"Plakkk!" tongkat bertemu tangan yang membentuk kepala ular dan seperti seekor ular, pergelangan tangan gadis itu memutar dan tahu-tahu tongkat itu telah terbelit pergelangan dan tangan, lalu tangan kirinya menotok ke depan.

Ta-kau Sin-kai terkejut karena tahu-tahu tubuhnya menjadi kaku tak mampu bergerak, sedangkan tongkatnya berpindah tangan! Dia menjadi pucat, maklum bahwa dia akan menderita malu, akan tetapi gadis itu berseru, "Terimalah kembali tongkatmu!" dan tongkat itu bergerak cepat memulihkan totokannya dan telah berada di tangannya kembali!

Tentu saja dia menjadi kagum dan maklum bahwa tingkat kepandaian gadis ini luar biasa tingginya, dan sama sekali bukan lawannya. Dengan muka merah dia lalu memberi hormat.

"Aku mengaku kalah!" Diapun melompat turun dari panggung dengan hati bersyukur karena gadis itu telah menghindarkan ia dari malu. Kalau bukan orang yang berniat baik, tentu dia telah dibunuh atau setidaknya dilukai, demikian pikir Ta-kau Sin-kai.

Pada saat Lili hendak menantang Maniyoko sebagai lawan tunggal, tiba-tiba suasana menjadi kacau dan semua orang berdiri memandang ke arah tiga orang yang baru masuk. "Pek-sim Lo-kai telah tiba!"

"Hidup Thai-pangcu ( Ketua Besar)!"

"Pimpinan kita telah kembali!"

Teriakan-teriakan penuh kegembiraan menyambut munculnya Bu Lee Ki yang diiringkan Sin Wan dan Kui Siang. Ketika Lili melihat munculnya Sin Wan, wajahnya berubah merah. Tadi ia sudah menyatakan bahwa ia mewakili sucinya yang hanya pantas keluar turun tangan sendiri kalau Pek-sim Lo-kai muncul, maka kini ia menjadi bingung dan ia segera meloncat mendekati sucinya yang juga memandang tajam ke arah kakek yang memasuki ruangan itu sambil tersenyum-senyum penuh keharuan. Memang hati Bu Lee Ki terharu melihat penyambutan itu, tanda bahwa dia masih dihargai dan diharapkan kepimpinannya.

Sementara itu, melihat munculnya orang yang tidak disangka-sangkanya itu. Maniyoko sudah meloncat ke tengah panggung. "Tadi Pek-sim Lo-kai dicalonkan menjadi pemimpin baru, sekarang aku menantangnya untuk tampil ke depan mengadu kepandaian!"

Teriakan ini disambut oleh para pendukungnya. Para pendukung adalah mereka yang merasa telah melakukan penyelewengan sehingga mereka khawatir bahwa kalau Pek-sim Lo-kai yang terkenal keras berdisiplin menduduki jabatannya kembali, tentu mereka akan dihukum atau setidaknya, tidak akan bebas melakukan apa yang mereka suka.

Melihat pemuda Jepang yang pernah dihadapinya untuk menolong Lili yang tertawan, Sin Wan berbisik kepada Bu Lee Ki. Kakek itu mengangkat muka memandang dan dia mengangguk. Dengan tenang Sin Wan lalu menghampiri panggung dan melompat ke atasnya, berhadapan dengan Maniyoko.

Sin Wan menghadap ke arah rombongan tuan rumah, lalu memberi hormat ke sekeliling. Dia bersama sumoinya dan kakek Bu Lee Ki sejak tadi mengintai dan sudah mendengar dan melihat apa yang terjadi, dan baru muncul setelah kakek itu memberi isarat.

"Cu-wi (anda sekalian) hendaknya mengenal saya sebagai wakil locianpwe Pek-sim Lo-kai menghadapi pemuda Jepang ini! Beliau terlalu tinggi kedudukannya untuk melayani segala macam pengacau seperti ini."

Mendengar ini, Maniyoko menjadi marah sekali. "Singgg ......!!" nampak sinar menyilaukan mata ketika pedang samurai di punggung itu dicabutnya. "Keparat sombong, keluarkan Senjatamu!" bentak Maniyoko sambil mengelebatkan pedangnya yang amat tajam menyeramkan itu.

Sin Wan yang sudah tahu akan kedahsyatan ilmu pedang lawan, mencabut pedangnya dan semua orang tertegun. Sebatang pedang yang buruk dan tumpul.

Melihat ini, para pendukung Maniyoko tertawa dan ada yang berteriak mengejek. "Pedang Tumpul! Pedang Tumpul yang buruk!"

Kakek Bu Lee Ki yang sudah disambut dengan hormat oleh Thio Sam Ki dan Kwee Cin ketua Lam-kiang Kai-pang, dipersilakan duduk, kini berseru dari tempat duduknya, "Ha..ha, memang dia itu Pendekar Pedang Tumpul, dan jangan pandang rendah pedangnya itu heh..heh!"

Akan tetapi Maniyoko sudah mempergunakan kesempatan yang menguntungkan itu, selagi para pendukungnya mengejek dan mentertawakan lawan, dengan cepat berteriak, "Sambut pedangku!" dan diapun menyerang dengan dahsyatnya.

Sin Wan cukup waspada dan diapun mengelak dengan geseran kakinya.

Maniyoko sudah pernah menyerang Sin Wan dan tahu akan kecepatan gerakan pemuda ini, maka dia tidak mau memberi kesempatan kepada lawan. Samurainya menyambar-nyambar, sambung menyambung dan setiap kali samurainya luput menyambar lawan, pedang itu sudah membalik dengan serangan yang lebih hebat. Dia mempergunakan kedua tangannya dan mengerahkan seluruh tenaga sehingga terdengar bunyi berdesing-desing ketika samurai itu berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar.

Karena dia belum mengenal ilmu pedang lawan yang aneh Sin Wan lalu mempergunakan ilmu langkah ajaib yang baru-baru ini dipelajarinya dari kakek Bu Lee Ki, yaitu Langkah Angin Puyuh, membuat tubuhnya berputar-putar dengan cepat akan tetapi selalu dapat menghindar dari sambaran pedang samurai itu.

Setelah lewat belasan jurus, Sin Wan dapat melihat jalannya ilmu pedang lawan, bahkan mengetahui bagian-bagiannya yang lemah. Setelah yakin bahwa dia dapat mengetahui ilmu pedang lawan, barulah pedang tumpul di tangannya menyambar dari samping.

"Tangggg .......!!!" Nampak bunga api berpijar dan nampak pula betapa tubuh Maniyoko hampir terpelanting. Dia terhuyung, akan tetapi dengan cekatan dia dapat berjungkir balik tiga kali sehingga tidak sampai terbanting roboh.

Cepat dia memeriksa samurainya dan matanya terbelalak melihat betapa ujung samurainya patah beberapa sentimeter! Samurainya dapat patah! Hanya oleh pedang tumpul dan buruk saja! Kalau tidak mengalaminya sendiri, pasti dia tidak akan percaya. Akan tetapi di samping kekagetan dan keheranan ini, Maniyoko menjadi marah bukan main.

Jilid 10 Tamat

"HYAAAATTT .......!!" Dia mengeluarkan pekik melengking panjang dan tubuhnya sudah menerjang dengan cepat, menyerang dengan samurainya yang menyambar ke arah leher Sin Wan.

"Singgg ...... singgg ...... singgg ........!!" Pedang samurai itu menyambar-nyambar dan biarpun ujungnya sudah patah, namun senjata itu masih berbahaya sekali. Jangankan tubuh seorang manusia, biar sebatang pohon yang kokohpun, sekali terkena sambaran samurai ini tentu akan tumbang!

Namun, Sin Wan yang sudah waspada, menggunakan kecepatan gerakannya mengelak dan ketika dia berhasil berkelebat ke samping kiri Maniyoko, pedang tumpulnya menusuk dan karena pedang itu tumpul, maka dapat dia pergunakan untuk menotok punggung lawan.

"Dukkk!" Maniyoko merasa betapa tubuhnya kejang-kejang. Dia berusaha untuk membuyarkan pengaruh totokan itu dengan bergulingan. Tubuhnya bergulingan dan akhirnya dia jatuh ke bawah panggung dan samurainya terlepas ketika dia terjatuh, dan tubuhnya masih lemas sehingga dia perlu dibantu oleh para anak buahnya, dipapah kembali ke tempat duduknya. Matanya melotot dan mukanya berubah merah, apalagi ketika terdengar suara sorak dan tepuk tangan meledak, menyambut kemenangan pemuda yang mewakili Pek-sim Lo-kai itu.

"Hidup Pendekar Pedang Tumpul .......!!" teriak mereka.

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan Lili telah berdiri di depan Sin Wan. Semua orang memandang dengan hati berdebar penuh ketegangan. Mereka tadi sudah melihat kelihaian gadis cantik itu yang dengan amat mudahnya mengalahkan kakek pengemis Ta-kau Sin-kai yang terkenal.

Sementara itu, Sin-Wan menghadapi Lili dengan alis berkerut pula. Sama sekaii tidak disangkanya bahwa gadis ini terlibat pula dalam urusan pemilihan pimpinan kai-pang, dan diapun melihat Bi-coa Sian-li hadir di sana.

"Hemm, kiranya engkau Pendekar Pedang Tumpul yang ingin menjadi pemimpin kaum jembel, ya?" Lili berkata mengejek.

"Lili, mungkin kehadiranku sama dengan kehadiranmu, hanya menjadi wakil. Kuharap engkau tidak menentangku, karena kiranya kurang pantas kalau seorang gadis seperti engkau ikut terlibat dalam pemilihan pemimpin kai-pang seperti ini."

"Sin Wan, tidak perlu banyak cakap lagi!" kata Lili dengan muka merah. "Ada tiga perkara yang mengharuskan aku menentangmu dan di sinilah kita akan menentukan siapa lebih unggul. Pertama, engkau tadi lancang maju melawan si Jepang itu sehingga aku kehilangan kesempatan menghajarnya. Ke dua, engkau dan aku sama-sama mewakili calon pemimpin kai-pang, dan ke tiga, karena aku ...... aku benci padamu! Nah, cabutlah pedangmu!" Gadis itu sudah mencabut sebatang pedang dan nampak sinar putih berkelebat menyilaukan mata.

Sin Wan tadi telah menyarungkan kembali pedangnya setelah mengalahkan Maniyoko, sekarang dia ragu-ragu untuk mencabut pedang melawan Lili, gadis yang mendatangkan kesan mendalam di hatinya itu.

Melihat keraguan Sin Wan sedangkan gadis itu sudah mencabut pedang dan siap siaga, Kui Siang yang sejak tadi memandang penuh perhatian karena ia mengenal gadis itu sebagai gadis yang pernah dilihatnya tertidur di pangkuan Sin Wan, segera berseru dari tempat duduknya. "Suheng, kalau engkau lelah, biar aku yang mewakilimu menghadapinya!"

Sin Wan terkejut. Dia teringat betapa sumoinya pernah melihat Lili, bahkan sampai cemburu, maka kalau sumoinya yang maju, tentu akan terjadi pertandingan mati-matian. Tidak, dia tidak boleh membiarkan dua orang gadis itu berhadapan sebagai lawan, maka cepat dia mencabut pedangnya dan menoleh ke arah Kui Siang.

"Sumoi, tidak perlu engkau turun tangan. Aku yang mewakili Bu-locianpwe," katanya sambil menghadapi Lili dengan sikap tenang.

"Kalau engkau mendesak, apa boleh buat. Majulah, aku sudah siap."

"Sin Wan, sekali ini engkau akan mati ditanganku!" gadis itu berseru penuh kemarahan. Akan tetapi aneh, suaranya lirih dan mengandung suara serak seperti isak tertahan! Akan tetapi pada saat itu, sinar putih menyambar-nyambar dan sinar itu bergulung-gulung dengan dahsyat sekali.

Sin Wan bersikap waspada dan diapun berloncatan ke belakang sambil mengatur langkah untuk menghindarkan diri. Diapun kagum dan terkejut. Pedang putih yang dimainkan gadis itu memang hebat bukan main, seperti gerakan seekor ular yang amat ganas!"

Itulah Pek-coa-Kiam-sut (Ilmu Pedang Ular Putih) yang biarpun pada dasarnya sama dengan Ilmu pedang Hek-coa Kiam-sut (Iimu Pedang Ular Hitam) yang dikuasai Cu Sui In, akan tetapi ilmu pedang ciptaan See-thian Coa-ong ini dapat berkembang sesuai dengan watak orang yang menguasainya. Dasarnya adalah gerakan ular cobra dan setelah dikuasai Lili, maka gerakan itu mengandung keganasan yang terbuka, sebaliknya Sui In mempunyai gerakan yang penuh tipu muslihat. Bagaimanapun juga, karena diciptakan seorang ahli yang amat lihai, maka ilmu pedang itu dahsyat sekali dan mengejutkan hati Sin Wan.

Namun, pemuda ini telah menerima gemblengan yang masak dari Sam-sian, apalagi setelah mengusai Sam-sian Sin-kun, maka Sin Wan seolah-olah kini teiah menguasai kepandaian ketiga orang gurunya digabung menjadi satu! Ini semua masih disempurnakan oleh gemblengan kakek Bu Lee Ki yang walaupun hanya mengajarnya selama beberapa hari saja, namun jurus-jurus simpanan yang ampuh telah diajarkan kepada Sin Wan. Dengan bekal kepandaian yang hebat itu, ditambah sebatang pedang mustika seperti Pedang Tumpul, maka tentu saja tingkat kepandaian Sin Wan sudah mencapai ketinggian yang tidak dapat ditandingi oleh Lili.

Akan tetapi, hati Sin Wan gelisah juga. Dia harus menangkan pertandingan ini demi kakek Bu Lee Ki. Dia harus dapat menangkan Lili, akan tetapi dia tidak ingin menyinggung perasaan gadis itu, apa lagi melukainya! Dia merasa kasihan kepada gadis ini, dan dia dapat merasakan bahwa pada dasarnya, Lili bukanlah seorang gadis yang berhati jahat. Dia gagah dan baik. Akan tetapi sikapnya ganas dan hal ini mudah dimengerti kalau gadis itu sejak kecil bergaul dengan seorang datuk sesat seperti Bi-coa Sian-li!

Dia harus memenangkan pertandingan ini tanpa melukai badan dan perasaan hati Lili, dan inilah yang sukar! Maka, dia lalu memutar pedangnya untuk membuat pertahanan sekuatnya sehingga sinar pedang putih bergulung-gulung itu tidak akan mampu mengenai dirinya sambil diam-diam dia memutar otak menanti kesempatan dan mencari cara yang sebaiknya agar dapat menang tanpa melukai.

Semua orang menonton dengan hati kagum. Yang nampak hanya dua gulungan sinar, yaitu sinar putih yang gerakannya amat lincah, menyambar-nyambar, dan gulungan sinar kehijauan yang membentuk lingkaran. Indah sekali, akan tetapi juga menegangkan hati.

Akan tetapi yang merasa gemas sehingga hampir menangis adalah Lili! Ia sudah memainkan Pek-coa-kiam dengan pengerahan tenaga sekuatnya, akan tetapi ia merasa seperti menghadapi benteng baja yang amat kuat, dan ke manapun sinar pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan benteng itu dan pedangnya membalik setelah terdengar suara berdencing dan ia merasa betapa telapak tangannya panas dan lengan kanannya tergetar hebat!

Tahulah ia bahwa pemuda itu hanya bertahan diri, tidak membalas serangannya, namun ia kehabisan akal karena pedangnya tidak mampu menembus gulungan sinar kehijauan yang membentuk benteng itu. Ia tidak akan merasa begitu gemas dan ingin menangis kalau saja Sin Wan mau membalas serangannya. Memang ia sudah tahu bahwa pemuda ini amat lihai, dan ia tidak akan merasa penasaran kalau kalah, akan tetapi sikap Sin Wan yang hanya bertahan dan membuat ia tidak berdaya itu sungguh dianggapnya terlalu merendahkannya!

Telah hampir limapuluh jurus lewat dan belum juga ujung pedang Lili mampu menyentuh ujung baju Sin Wan! "Keparat, balaslah!" Lili menghardik dengan suara berbisik, mendongkol bukan main. Tubuhnya sudah basah oleh keringat dan napasnya agak memburu karena ia terus menerus melakukan penyerangan dengan nafsu menggelora, penuh kemarahan.

Sejak tadi Sin Wan sudah mempelajari Gerakan yang seperti ular itu, dan dia tahu bahwa hanya dengan gerakan seperti seekor burung dari udara sajalah dia akan mampu mematahkan serangan gadis itu dan membalas dengan serangan yang akan mengalahkannya tanpa melukainya. Maka, ketika pedang bersinar putih itu menyambar lagi, tubuhnya melayang ke atas, lalu menukik ke bawah dan dia menyerang dengan dahsyat. Pedang Tumpul di tangannya itu mengeluarkan suara mengaung nyaring.

Lili terkejut sekali dan cepat la memutar pedangnya ke atas, seperti seekor ular cobra yang mengangkat tubuh atas untuk melawan musuh dari atas.

"Trakkkk!" Pedang di tangan Lili bertemu dengan Pedang Tumpul dan ia tidak dapat menggerakkan pedangnya yang seolah menempel dan tersedot oleh pedang buruk itu, dan pada saat itu, tangan kiri Sin Wan bergerak cepat ke arah kepalanya dan rambut gadis itu yang panjang dan hitam, terlepas dari sanggul dan ikatannya, terurai riap-riapan menutupi kedua pundak dan punggung!

Lili menjerit dan melompat ke belakang, meraba kepalanya. Ternyata tusuk sanggul batu kemala berikut tali suteranya telah lenyap dan berada di tangan kiri Sin Wan yang sudah meloncat turun dan berdiri tegak di depannya.

Demikian cepat gerakan pemuda itu sehingga jarang ada yang dapat melihat bahwa pemuda ltu telah mencabut tusuk sanggul dan pita. Mereka yang menonton pertandingan itu hanya melihat betapa rambut gadis itu tiba-tiba saja terurai lepas sehingga pertandingan terhenti.

"Maafkan aku, Lili ......." kata Sin Wan lirih.

Wajah gadis itu tadi berubah pucat karena ia tahu apa yang terjadi, kini wajah itu menjadi merah sekali dan ia sudah memutar pedangnya hendak menyerang lagi. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan orang, seperti seekor burung saja bayangan itu melayang ke atas panggung.

"Sumoi, mundurlah .........!" Dan tahu-tahu di situ telah berdiri Bi-coa Sian-li Cu Sui In. Lili memandang sucinya, tahu bahwa sucinya memaklumi apa yang telah terjadi, maka dengan alis berkerut ia menatap wajah Sin Wan, lalu terdengar suaranya lirih namun ketus.

"Kelak akan kutebus semua ini!" dan iapun meloncat turun dan kembali ke tempat duduknya dengan wajah muram.

"Sin Wan, engkau turunlah!" Kakek Bu Lee Ki berjalan perlahan menuju ke panggung itu dan Sin Wan mengangguk, lalu mengundurkan diri. Kini kakek Bu Lee Ki berdiri berhadapan dengan Sui In.

Akan tetapi pada saat itu, dua orang panglima tadi bangkit berdiri dan seorang di antara mereka berseru nyaring.

"Hentikan semua pertandingan!"

Tentu saja Sui In merasa penasaran dan ia memandang kepada mereka itu. Juga kakek Bu Lee Ki memandang kepada mereka. Panglima yang bertubuh tinggi kurus lalu berkata dengan suara lantang.

"Baru saja kami menerima berita bahwa menurut keputusan yang merupakan perintah dari Raja Muda Yung Lo di Peking, kedudukan pemimpin kai-pang diserahkan kembali kepada Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki. Hal itu mengingat bahwa dia yang dahulu menjadi pemimpin, bahkan dia pula yang memimpin seluruh kai-pang menbantu perjuangan mengusir penjajahan Mongol. Dan melihat hasil pertandingan adu kepandaian, ternyata wakil dari Bu-Locianpwe yang menang. Oleh karena itu, kami sebagai wakil pemerintah memutuskan dan menganjurkan agar pertandingan dihentikan dan locianpwe Bu Lee Ki diangkat kembali menjadi pemimpin para

kai-pang!"

Terdengar sorak sorai menyambut ucapan ini.

Panglima itu mengangkat kedua tangan ke atas dan semua orang berdiam diri, "Agar pemilihan ini adil, maka kami minta pendapat empat buah kai-pang yang terbesar, yang mewakili seluruh kai-pang di empat penjuru. Ang-kin Kai-pang wakil utara, bagaimana pendapat kalian?"

Thio Sam Ki bangkit berdiri dan mengangkat tangan kanannya. "Kami setuju sepenuhnya kalau locianpwe Bu Lee Ki menjadi pemimpin kai-pang!"

"Lam-kiang Kai-pang wakil selatan, bagaimana pendapat kalian?" Kwee Cin bangkit dan dengan wajah berseri berkata, "Kami setuju!"

"Bagaimana dengan Hek I Kai-pang wakil barat?"

Souw Kiat bangkit dia dengan suara lantang yang mengejutkan Sui In dan Lili, ketua Hek I Kai-pang ini berkata, "Kami juga setujui"

Ketua Hek I Kai-pang ini bangkit semangatnya dan tidak takut lagi terhadap Sui In setelah melihat munculnya Pek-sim Lo-kai dan Sin Wan yang lihai itu.

"Dan bagaimana dengan Hwa I Kai-pang wakil timur?" Biarpun dengan terpaksa, Siok Cu juga berseru, "Kami setuju!"

Dia tadi telah melihat kekalahan Maniyoko, maka biarpun dia takut terhadap guru pemuda itu, akan tetapi di situ ada Pek-sim Lo-kai yang tentu akan melindungi Hwa I Kai-pang kalau diganggu oleh Tung-hai-liong dan anak buahnya.

"Bagus, kalau begitu, dengan suara bulat locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki ditetapkan menjadi pemimpin besar para kai-pang kembali!" kata panglima itu.

Semua orang bersorak.

Wajah Sui In menjadi merah karena marahnya. Akan tetapi, ia maklum bahwa kalau sekarang ia menyatakan tidak setuju, maka bukan saja ia akan dimusuhi oleh seluruh kai-pang, bahkan pemerintah juga akan menetapnya sebagai pengacau. Hal ini tentu saja tidak dikehendaki gurunya. Maka iapun berkata kepada Bu Lee Ki dengan suara lirih namun penuh tantangan, "Pek-sim Lo-kai, lain kali aku akan membuat perhitungan denganmu!" Setelah berkata demikian, iapun melompat turun dan memberi isyarat kepada Lili untuk meninggalkan tempat itu.

Para kai-pang menyambut pengangkatan kembali Bu Lee Ki sebagai pemimpin mereka dengan gembira dan Hwa I Kai-pang yang kini sepenuhnya mendukungnya, mengadakan pesta untuk merayakan peristiwa ini. Dan baru sekaranglah, semua ketua kai-pang berkumpul dan makan minum bersama dalam suasana yang akrab.

Dua hari kemudian, kakek Bu Lee Ki menemani Sin Wan mengantar Kui Siang ke Nan-king, di mana gadis itu akan menemui keluarganya sebelum kembali ke Peking untuk memenuhi permintaan Raja Muda Yung Lo, yaitu menjadi pengawal keluarga raja muda itu.

                              0oo0

Mereka semua berkumpul di gedung yang dahulu menjadi tempat tinggal pembesar Lim Cun. Tiga orang paman dan dua orang bibi dari ayah dan ibu Kui Siang datang bersama isteri dan suami mereka, bahkan anak-anak mereka sehingga di situ berkumpul tidak kurang dari duapuluh lima orang anggauta keluarga Kui Siang!

Ketika gadis ini menghadap Ciang-Ciangkun dan memperkenalkan diri, Ciang-Ciangkun yang sebelas tahun lalu diserahi oleh Dewa Arak untuk menjaga dan mengurus rumah dan harta peninggalan Lim-Taijin (pembesar Lim) untuk Kui Siang, menyambut gadis itu dengan gembira bukan main.

Dia seorang perwira yang jujur dan amat menghormati Dewa Arak, maka selama sebelas tahun ini dia menjaga rumah keluarga Lim dengan baik, bahkan mempertahankan pelayan-pelayan yang lama di rumah itu, dan menyimpan semua harta peninggalan keluarga itu untuk Kui Siang.

Ciang-Ciangkun pula yang memberi kabar kepada keluarga Kui Siang tentang pulangnya gadis itu sehingga pada malam hari itu, mereka semua datang berkunjung dan berkumpul di rumah gedung yang kini menjadi milik Kui Siang. Selain para anggauta keluarga, hadir pula di situ Ciang-Ciangkun yang menerima undangan Kui Siang sebagai tamu kehormatan yang telah berjasa besar, dan hadir pula Sin Wan dan kakek Bu Lee Ki.

Kui Siang menyuruh para pelayan yang juga menyambutnya dengan gembira untuk mengatur sebuah pesta untuk merayakan perjumpaan kembali ini.

Gadis yang kini menjadi dewasa dan cantik itu dihujani pertanyaan oleh para paman dan bibinya yang dalam pandangan Sin Wan jelas menunjukkan sikap kebangsawanannya! Mereka itu rata-rata bersikap angkuh, penuh sopan santun dan semua gerak gerik mereka terkendali dan teratur, membuat dia merasa sungkan dan rikuh. Tidak demikian dengan Bu Lee Ki yang bersikap biasa saja, minum sesenangnya dan tersenyum-senyum mengacuhkan mereka.

Kui Siang yang merasa kewalahan menghadapi hujan pertanyaan, akhirnya berkata dengan suara lantang kepada mereka semua.

"Para paman dan bibi dan saudara sepupu, saudara misan, aku sampai lupa untuk memperkenalkan dua orang tamu yang datang bersamaku, bahkan yang mengantar aku sampai ke rumah. Perkenalkan, locianpwe ini adalah Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki. Beliau seperti guruku sendiri dan beliau ini adalah pemimpin besar seluruh perkumpulan pengemis di empat penjuru!"

Bu Lee Ki yang diperkenalkan, senyum-senyum saja, mengangkat cawan arak kepada mereka semua lalu minum tanpa memperdulikan kenyataan bahwa tidak ada seorangpun yang menyambutnya.

"Pengemis ........!?" terdengar seruan-seruan tertahan dan semua anggauta keluarga itu memandang ke arah Bu Lee Ki dengan alis berkerut dan mereka kelihatan jijik kepada kakek yang berpakaian tambal-tambalan itu.

Diam-diam Sin Wan memperhatikan mereka dan dia merasa perutnya panas. Betapa sombongnya keluarga ini, pikirnya. Kakek Bu Lee Ki bahkan pernah menjadi tamu yang dijamu makan minum oleh Raja Muda Yung Lo, pangeran dan putera kaisar! Akan tetapi orang-orang ini, yang mungkin hanya merupakan bangsawan-bangsawan kecil, bersikap demikian angkuh dan tinggi hati!

Apakah selalu demikian sikap orang yang tanggung-tanggung? Yang sedikit mempunyai kedudukan menjadi besar kepala, yang mempunyai sedikit kepandaian menjadi sombong dan merasa diri paling pintar, dan seterusnya?

Tentu saja Kui Siang juga melihat dan mendengar sikap dan ucapan para keluarganya itu, akan tetapi ia tidak perduli. "Dan ini adalah suhengku bernama Sin Wan. Dialah yang telah banyak membantuku selama ini."

Berbeda dengan Bu Lee Ki yang ketika diperkenalkan tetap duduk saja hanya mengangkat cawan ke arah mereka semua, Sin Wan bangkit berdiri, mengangkat ke dua tangan memberi hormat kepada mereka semua. Hal ini dia lakukan terutama sekali untuk menghargai Kui Siang yang memperkenalkan dia kepada keluarga gadis itu.

Akan tetapi, hanya beberapa orang saja yang membalas penghormatan Sin Wan, itupun hanya dengan anggukan kepala atau senyum. Bahkan Sin Wan melihat banyak pasang mata pria-pria muda yang menjadi saudara misan Kui Siang memandang kepadanya dengan tak senang.

"Adik Kui Siang," kata seorang pemuda yang usianya sekitar duapuluh lima tahun, tampan dan pesolek, "kulihat suhengmu ini seperti bukan orang Han, benarkah?"

Kui Siang tersenyum. "Penglihatanmu tajam, toako (kakak). Memang suheng seorang bersuku Bangsa Uighur."

Kembali banyak di antara mereka saling pandang dan terdengar seruan tertahan seperti tadi, dan terdengar pula kata penuh ragu, "Uighur .....!?"

Tiba-tiba kakek Bu Lee Ki tertawa bergelak sehingga semua orang memandang kepadanya dengan alis berkerut. "Ha..ha..ha..ha, aku sudah makan dan minum kenyang, Kui Siang. Karena kini semua keluargamu berkumpul, aku ingin bicara dengan mereka tentang urusanmu dengan Sin Wan."

Tiba-tiba wajah Kui Siang berubah kemerahan dan iapun menundukkan mukanya, mengangguk dan suaranya terdengar lirih, "Silakan, locianpwe." Ia melirik ke arah suhengnya dan melihat betapa Sin Wan juga menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi sepasang alis Sin Wan berkerut karena pemuda ini merasa khawatir sekali. Bagaimana kakek itu berani membicarakan urusan perjodohan kepada keluarga yang jelas sekali memperlihatkan sikap angkuh dan tidak suka kepada dia dan kakek itu?

Kini Bu Lee Ki bangkit berdiri dan setelah mengamati wajah mereka yang duduk di ruangan itu, lalu tersenyum dan suaranya terdengar lantang. "Heh.. heh.. heh, tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang merasa menjadi wakil orang tua Lim Kui Siang yang sudah tiada, aku dalam hal ini menjadi wali dari Sin Wan muridku, untuk mengajukan pinangan, yaitu kami ingin menjodohkan Kui Siang dengan Sin Wan. Kami mengharap persetujuan anda sekalian sebagai pengganti keluarga Kui Siang."

Suasana menjadi gaduh sekali setelah kakek itu selesai bicara. Mata dibelalakkan, seruan-seruan protes dan bahkan kemarahan terdengar.

"Gila betul! Berani melamar keponakan kita?"

"Tak tahu diri!"

"Kui Siang dijodohkan dengan seorang Uighur? Tidak!"

Kakek itu terkekeh. "Heh..heh..heh, begini kacau balau! Aku minta jawaban diwakili seorang saja, kalau mungkin paman tertua dari Kui Siang, agar tidak simpang siur seperti dalam pasar!"

Seorang laki-laki berusia limapuluh tahun lebih bangkit dari duduknya dan sejenak dia memandang ke arah Kui Siang dengan alis berkerut, lalu menghadapi kakek Bu Lee Ki. Dia seorang laki-laki tinggi kurus yang pakaiannya mewah dan sikapnya seperti bangsawan tulen, dahinya lebar dan ketinggian hatinya nampak pada lekuk bibir dan gerakan cuping hidungnya. "Kami seluruh keluarga nona Lim Kui Siang menyatakan sepenuhnya menolak pinangan ini!"

Kui Siang mengangkat muka dengan alis berkerut, akan tetapi ia tidak dapat mengeluarkan suara karena tidak ingin memancing keributan di depan Sin Wan dan kakek Bu.

Pek-sim Lo-kai terkekeh lagi. "Heh..heh..heh, tegas dan jelas penolakan itu, akan tetapi setiap penolakan sepatutnya disertai alasannya. Kenapa anda sekalian menolak pinangan kami? Ingat, kedua orang muda itu saling mencinta dan telah bersepakat untuk hidup bersama sebagai suami isteri."

"Tidak!" kata laki-laki itu dengan angkuh. "Kami menolak. Pertama, keponakan kami Kui Siang telah kami jodohkan dengan seorang keponakan kami yang lain. Ke dua Kui Siang tidak akan menikah dengan seorang yang tidak sederajat dengannya. Ke tiga, muridmu, itu adalah seorang Suku Bangsa Uighur, suku asing yang tentu tidak mengenal peradaban Bangsa Han kami! Dan masih banyak lagi alasan kami menolak, akan tetapi sudah cukuplah dan harap jangan bicarakan lagi urusan pinangan yang tak masuk akal itu!"

"Cia-Supek (Uwa Ciu), engkau sungguh melewati batas!" Tiba-tiba Kui Siang berteriak marah. "Aku tidak pernah minta engkau atau siapapun mewakili orang tuaku!"

"Sumoi ......!" Sin Wan memperingatkan sumoinya agar tidak bersikap kasar kepada keluarga sendiri.

Teringat akan hal ini, Kui Siang lalu menghadapi Sin Wan dan kakek Bu Lee Ki. "Harap locianpwe dan suheng suka meninggalkan kami. Malam ini aku akan berurusan dengan mereka ini, dan besok pagi aku akan menemui kalian di rumah penginapan Lok-an."

"Baiklah, sumoi, akan tetapi harap engkau bersabar. Mari, locianpwe, kita pergi mencari kamar di hotel Lok-an!" Sin Wan mengajak kakek yang tersenyum-senyum itu keluar dari tempat itu, diikuti pandang mata penuh kebencian oleh para keluarga Kui Siang.

Setelah dua orang itu pergi, Kui Siang menyuruh semua pelayan keluar dari dalam ruangan itu. Kemudian ia menutupkan daun pintu ruangan itu dan dengan mata, mencorong ia memandang kepada semua keluarga yang berkumpul di situ.

"Kalian ini sungguh orang-orang yang tidak sopan! Apakah hak kalian untuk menentukan jalan hidupku? Aku masih menghargai kalian dan malam ini mengumpulkan kalian di sini sebagai keluarga dan tamu yang kuhormati. Akan tetapi ternyata kalian menyia-nyiakan itikad baikku dengan bersikap lancang dan tidak sopan terhadap orang yang kuhormati seperti Bu-locianpwe dan orang yang kucinta seperti suhengku! Kalian tidak berhak mewakili aku menolak secara kasar pinangan mereka terhadap diriku!"

Kui Siang yang biasanya pendiam dan halus itu kini menjadi galak karena merasa sakit hati dan marah, timbul dari perasaan iba terhadap Sin Wan yang mengalami penghinaan dari mereka ini.

"Tapi, Kui Siang! Engkau adalah puteri tunggal mendiang kakanda Lim Cun yang berkedudukan tinggi, seorang bangsawan yang berdarah bersih! Bagaimana kami tidak marah mendengar engkau dilamar seorang pemuda dusun Bangsa Uighur? Itu suatu penghinaan namanya! Suku Uighur tiada bedanya dengar suku-suku liar dan biadab lainnya seperti Mongol, Kasak dan lain-lain. Bukankah ayahmu juga dibunuh oleh si Tangan Api, orang Kasak?"

"Paman Lui!" bentak Kui Siang kepada adik ayahnya itu. "Baik buruknya seseorang bukan ditentukan oleh bangsanya, kedudukannya, kepintarannya atau kekayaannya! Bangsa atau suku apapun berdarah sama, darah manusia, kotor dan bersihnya ditentukan oleh sepak terjangnya dalam hidup! Jangan kalian menghina seorang manusia karena keadaan, lahiriahnya! Banyak sekali bangsawan yang terhormat, pintar dan kaya raya, busuk hatinya, sebaliknya rakyat kecil yang dianggap bodoh dan miskin, berhati mulia!"

Para paman dan bibi itu menjadi ribut-ribut dan suasana menjadi gaduh sekali. Mereka menganggap Kui Siang seorang gadis yang menyeleweng dan merendahkan keluarga bangsawan sendiri.

Melihat ini, Ciang-ciangkun yang menjadi tamu kehormatan dan bukan anggauta keluarga, segera bangkit berdiri dan berkata dengan nyaring, mengatasi semua kegaduhan.

"Kami mohon diri karena tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan keluarga. Banyak terima kasih atas undangan dalam pesta kekeluargaan ini, dan sebagai ucapan selamat tinggal, harus kami nyatakan bahwa kami amat menghormat semua pendapat dalam ucapan nona Kui Siang. Mendiang ayahnya, sahabat baikku Lim Cun, tentu akan merasa bangga kalau mendengar ucapannya tadi, Selamat malam!" Perwira tinggi itu lalu memberi hormat dan meninggalkan ruangan tamu itu.

Keluarga itu masih terus ribut. Tak seorangpun di antara mereka yang dapat menyetujui pendapat Kui Siang dan mereka semua berkeras menolak kalau Kui Siang akan berjodoh dengan pemuda Uighur itu. Satu demi satu para paman dan bibi itu memberi nasihat panjang lebar kepada Kui Siang.

Gadis ini merasa penasaran, sedih dan juga marah. Ia membiarkan mereka itu bicara sampai habis yang memakan waktu berjam-jam. Kemudian, setelah semua orang merasa lelah, Kui Siang berkata kepada mereka dengan suara yang tenang karena ia berusaha menguasai hatinya, namun suaranya tegas dan nyaring.

"Paman dan bibi, terima kasih atas semua nasihat dan anjuran kalian yang tentu dilakukan karena rasa sayang kalian kepadaku. Akan tetapi maaf, aku tidak mungkin dapat menyetujui. Bagiku, perjodohan haruslah didasari cinta dan suheng Sin Wan mencintaku seperti juga aku mencintanya. Dan cinta tidak mengenal suku, tidak mengenal bangsa, tidak mengenal derajat dan pangkat, kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Tentu para paman dan bibi yang sudah lebih tua dan berpengalaman, maklum akan hal itu."

"Budak Uighur itu mengaku cinta? Hemm, Kui Siang, cintanya itu palsu! Dia tentu saja cinta padamu karena engkau cantik dan terutama karena engkau seorang gadis bangsawan yang kaya raya. Dia mengaku cinta untuk dapat menguasai hartamu!"

Perlahan-lahan Kui Siang bangklt berdiri, wajahnya berubah pucat dan matanya mencorong. Tak mungkin ia dapat menahan kesabarannya lagi. Orang-orang ini terlalu menghina Sin Wan!

"Paman, hentikan ucapan kotor itu!" bentaknya dan ia memandang kepada mereka semua, satu demi satu dengan sinar mata mencorong. "Kalian mengukur watak orang lain dengan watak kalian sendiri! Apakah kalian tidak menyadari bahwa sejak dahulu aku telah tahu benar bahwa sesungguhnya kalianlah yang mengincar harta kekayaan warisan orang tuaku? Kalianlah yang menginginkan harta warisan ayahku, bukan suheng Sin Wan!"

"Kui Siang!" pamannya membentak dam menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu. "Pendeknya, apapun yang terjadi, kami tidak sudi menyetujui perjodohanmu dengan budak Uighur itu. Kalau kami tidak sudi menjadi walimu, hendak kami lihat apakah engkau akan melakukan pernikahan secara liar, tanpa direstui keluarga? Engkau berarti akan mencemarkan nama baik mendiang orang tuamu!"

"Tidak perduli! Aku tidak membutuhkan restu kalian!" Kui Siang menjerit dan kini ia tidak dapat menahan berlinangnya air matanya. "Pergi kalian dari sini! Pergi!" Ia menuding ke arah pintu.

Semua paman dan bibinya tertegun dan seorang paman menghampiri Kui Siang dengan marah. "Kui Siang! Berani engkau mengusir kami, paman-paman dan para bibimu sendiri Beginikah yang kaudapatkan dalam mengejar ilmu selama ini?"

"Kenapa tidak berani? Kalian bukan manusia! Pergi kataku!" Tangan Kui Siang menyambar sumpitnya yang tadi terletak di atas meja dan sekali tangan itu bergerak, sepasang sumpit itu meluncur dan menancap pada dinding, amblas hampir seluruhnya.

Semua orang terbelalak. Kalau sambitan itu mengenai tubuh mereka, tentu akan tembus! Bergegaslah mereka berlari keluar dari ruangan itu, meninggalkan Kui Siang yang duduk seorang diri bertopang dagu.

Akhirnya ia hanya dapat menangis, kemudian ia pergi ke kamar sembahyang di mana terdapat meja abu ayah dan ibunya, dan iapun berlutut di depan meja itu dan menangis, dalam hati ia melaporkan nasibnya kepada orang tuanya.

Akhirnya gadis itu menggeletak tertidur di atas lantai depan meja sembahyang. Seorang pelayan wanita tua yang merasa kasihan kepada nonanya, tidak berani membangunkan, hanya mengambil selimut dan menyelimuti tubuh nonanya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kui Siang sudah keluar dari rumahnya, pergi ke rumah penginapan Lok-an. Pagi itu masih gelap, cuaca remang-remang. Ketika ia tiba di jalan raya luar rumah penginapan itu, ia melihat Sin Wan berhadapan dengan belasan orang dan agaknya mereka bercekcok. Hatinya tertarik dan cepat Kui Siang menyelinap dekat dan mengintai.

Dilihatnya Sin Wan berdiri tegak dan bersikap tenang, dihadapi tigabelas orang pria berusia antara empatpuluh sampai limapuluh lima tahun lebih yang kelihatan menyeramkan. Tigabelas orang itu dipimpin oleh seorang kakek tinggi kurus yang usianya tentu sudah mendekati enampuluh tahun. Di punggung pria ini nampak sepasang pedang dan yang lainpun semua membawa senjata di punggung atau pinggang.

"Hemm, kiranya kalian ini adalah kaki tangan pemuda Jepang Maniyoko itu, ya? Nah, katakan, apa maksud kalian pagi-pagi begini mencariku di sini," kata Sin Wan dengan sikap tenang.

"Eh, toa-ko (kakak)! Aku seperti pernah melihat bocah ini!" Tiba-tiba seorang di antara tigabelas orang itu, yang berkepala botak dan bertubuh pendek, di kanan kiri mulutnya terdapat bekas luka seolah mulut itu pernah terobek, maju dan menuding ke arah Sin Wan. "Tidak salah lagi, ini tentu bocah itu, anak Iblis Tangan Api Se Jit Kong!"

"Ah, benar dia! Kita mana bisa melupakan iblis kecil ini?" teriak yang lain.

Si tinggi kurus yang memimpin gerombolan itu memandang Sin Wan dengan penuh perhatian. "Benarkah engkau putera Iblis Tangan Api Se Jit Kong?" tanyanya.

Kini Sin Wan teringat. Dahulu pernah ada tigabelas orang menyerbu rumah ayah tirinya itu untuk merampas pusaka istana yang dicuri ayah tirinya. Dialah yang pertama kali menyambut kunjungan mereka ini, bahkan si pendek botak itu menyerangnya dengan sambitan pisau terbang, kemudian si botak ini karena menghina ibunya, dihancurkan mulutnya oleh ayah tirinya.

"Ah, kiranya kalian Bu-tek Cap-sha-kwi (Tigabelas Iblis Tanpa Tanding) itu? Tidak salah penglihatan kalian. Aku Sin Wan adalah putera mendiang Se Jit Kong. Habis, kalian mau apa?"

Di tempat sembunyinya, wajah Kui Siang mendadak menjadi pucat dan jantungnya berdebar keras. Sin Wan, suhengnya itu, putera Se Jit Kong? Tidak mimpikah ia? Sin Wan itu putera dari musuh besarnya, yang telah membunuh ayahnya dan menyebabkan kematian ibunya pula? Se Jit Kong yang menghancurkan keluarganya, dan selama ini ia bergaul dengan putera musuh besarnya itu? Sin Wan, suhengnya yang dicintanya!

Hampir ia tidak percaya. Suhengnya memang tidak pernah menceritakan riwayat hidupnya atau asal usulnya dengan jelas, hanya menceritakan bahwa ayah ibunya adalah Bangsa Uighur dan keduanya sudah meninggal dunia. Kiranya dia putera Iblis Tangan Api Se Jit Kong! Menggigil rasanya kedua kaki gadis itu, dan tubuhnya gemetar.

"Bagus!" Si tinggi kurus mencabut sepasang pedangnya. "Kalau begitu, kami bukan hanya akan membalaskan kekalahan Maniyoko darimu, akan tetapi juga karena ayahmu sudah mampus, kami dapat membalas kekalahan kami dahulu kepadamu, puteranya!"   Tigabelas orang itu sudah mencabut senjata mereka masing-masing dan mengepung Sin Wan. Pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan tokoh-tokoh sesat yang lihai dan amat kejam, yang mungkin sejak kalah dari Se Jit Kong telah memperdalam ilmu mereka sehingga menjadi lihai sekali, maka diapun segera menghunus senjatanya. Melihat sebatang pedang yang buruk dan tumpul, si botak pendek tertawa.

"Ha..ha..ha..ha, lihat, bocah setan ini mempergunakan sebatang pedang buruk dan tumpul. Ha..ha..ha!"

"Bodoh!" bentak si tinggi kurus yang berjuluk Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding). "Itulah pedang pusaka yang disebut Pedang Tumpul, sebuah mustika yang langka, satu di antara benda-benda pusaka istana!"

"Wahhh .....? Kalau begitu kita harus merampasnya!" kata si botak dan diapun sudah menyerang dengan ganas, mempergunakan goloknya. Namun, dengan mudah Sin Wan mengelak dan kini para pengeroyoknya menyerbu serentak sehingga Sin Wan dihujani senjata yang rata-rata digerakkan dengan kuat dan ganas sekali.

Namun Sin Wan tidak menjadi gentar atau gugup, dengan tenangnya diapun menggerakkan Pedang Tumpul dan nampak sinar kehijauan bergulung-gulung. Pemuda yang pantang membunuh ini mengerahkan sin-kangnya dan memainkan ilmu Sam-Sian Sin-kun. Gulungan sinar hijau itu menyambar-nyambar dan terdengarlah suara berkerontangan disusul teriakan-teriakan kaget ketika tigabelas orang itu terpaksa melepaskan senjata masing-masing.

Tidak kuat mereka menahan getaran tenaga dahsyat yang membuat tangan mereka, terasa nyeri, dan banyak pula senjata mereka yang patah begitu bertemu dengan pedang di tangan Sin Wan! Mereka terkejut sekali karena selama ini mereka sudah memperdalam ilmu kepandaian mereka. Siapa kira, pemuda itu bahkan kini tidak kalah lihainya dibandingkan Iblis Tangan Api Se Jit Kong sendiri!

"Lari!" teriak si tinggi kurus memberi aba-aba dan tigabelas orang yang tidak terluka itu, segera melarikan diri cerai berai

karena takut kalau sampai dirobohkan.

Sin Wan tidak mengejar, bahkan cepat menyimpan kembali pedangnya. Untung pagi itu masih sunyi sehingga agaknya tidak ada orang yang melihat perkelahian singkat itu. Akan tetapi, langkah-langkah yang lembut membuat dia menengok.

"Sumoi .....!" Sin Wan berseru dan lari menghampiri. Akan tetapi ketika dia hendak memegang tangan gadis itu, Kui Siang menarik tangannya dan pandang mata gadis itu membuat Sin Wan undur selangkah. "Sumoi, kau kenapakah?"

"Jadi engkau adalah putera Iblis Tangan Api Se Jit Kong?!?" Mendengar pertanyaan itu, Sin Wan terkejut dan mengertilah dia bahwa tadi Kui Siang telah mendengar percakapan antara dia dan Cap-sha-kwi. "Sumoi, aku ........"

Tiba-tiba terdengar suara orang di depan rumah penginapan itu. "Orang muda, sebaiknya engkau berterus terang! Apakah engkau putera Se Jit Kong?"

Sin Wan menoleh dan terkejut melihat bahwa yang mengajukan pertanyaan itu bukan lain adalah Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki! Dan suaranya itu! Sungguh berbeda dari biasanya yang lembut, kini suara itu tegas dan ketus.

"Locianpwe, sumoi, agaknya perlu aku memberi penjelasan. Marilah kita bicara di dalam saja agar tidak terdengar orang lain," kata Sin Wan dan sikapnya masih tetap tenang karena dia tidak merasa bersalah atau menyembunyikan sesuatu.

Kakek itu mengangguk dan tanpa bicara mereka bertiga memasuki rumah penginapan dan menuju ke kamar Bu Lee Ki. Setelah mereka masuk kamar, kakek itu menutupkan daun pintu dan merekapun duduk menghadapi meja dan Sin Wan menghadapi kedua orang itu, merasa seperti seorang tertuduh dihadapkan kepada dua orang hakim!

"Maaf bahwa selama ini aku tidak berterus terang karena aku ingin melupakan semua pengalaman hidup yang teramat pahit itu." Sin Wan memulai.

"Katakan, benarkah engkau putera Se Jit Kong!?" Bu Lee Ki bertanya, sinar matanya tajam penuh selidik menatap wajah Sin Wan.

"Bukan anak kandung, melainkan anak tiri. Harap locianpwe dan sumoi dengarkan baik-baik, aku akan menceritakan segalanya. Se Jit Kong bukan ayah kandungku, bahkan dialah yang membunuh ayah kandungku yang bernama Abdullah. Kemudian ibuku menjadi isteri Se Jit Kong dan sejak terlahir sampai berusia sepuluh tahun, aku dirawatnya dan aku menganggap dia ayah kandungku sendiri."

"Ayahmu dibunuh dan ibumu malah menjadi isteri Se Jit Kong?" tanya Bu Lee Ki dengan muka membayangkan kejijikan.

Wajah Sin Wan berubah merah. "Harap locianpwe tidak salah sangka dan kasihanilah ibuku. Ibu pasti membunuh diri begitu ayah kandungku dibunuh Se Jit Kong. Akan tetapi, ketika hal itu terjadi, aku berada dalam kandungan ibu. Demi untuk menyelamatkan diriku, anak tunggalnya, maka ibu terpaksa mengorbankan diri. Dengan batin menderita, ibu menjadi isteri Se Jit Kong dengan syarat bahwa Se Jit Kong tidak akan menggangguku, bahkan menganggap aku anaknya sendirl. Dia sayang kepadaku dan ketika itu akupun sayang kepadanya yang kuanggap ayah kandung sendiri."

"Hemm, lalu bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa dia bukan ayah kandungmu dan dia bahkan membunuh ayahmu?" Bu Lee Ki mendesak.

"Ketika Se Jit Kong tewas di tangan Sam-sian, ibuku yang merasa bahwa aku tidak terancam lagi dengan kematian Se Jit Kong, lalu menebus dosa dan membunuh diri, sehabis membuka rahasia itu kepadaku. Ketika Cap-sha-kwi menyerang Se Jit Kong, ketika itu aku masih merasa sebagai anak Se Jit Kong. Nah, demikianlah riwayatku. Ketika Sam-sian mengetahui riwayatku, maka Sam-sian lalu mengambilku sebagai murid. Terserah kepadamu, sumoi, dan kepadamu locianpwe, bagaimana kalian akan menilai diriku."

"Ya Tuhan, siapa sangka ......?" Bu Lee Ki bangkit, mondar-mandir di kamar dan berulang kali menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Kemudian dia berhenti dan duduk kembali di depan Sin Wan, memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam dan suaranya terdengar sungguh-sungguh. "Aku percaya bahwa Sam-sian tidak akan salah memilih engkau sebagai murid, Sin Wan. Akan tetapi bagaimanapun juga, engkau dikenal sebagai putera Se Jit Kong, berarti namamu sudah tercemar lumpur kejahatan. Cap-sha-kwi tentu tidak akan tinggal diam dan akan menyiarkan bahwa Sin Wan adalah putera Se Jit Kong! Engkau akan dimusuhi seluruh pendekar. Hanya ada satu jalan bagimu, yaitu sebagai Pendekar Pedang Tumpul, engkau harus mencuci kecemaran namamu itu dengan perbuatan-perbuatan yang nyata. Engkau harus dapat membuktikan bahwa dirimu tidak jahat seperti Se Jit Kong walaupun engkau anaknya atau anak angkatnya. Adapun aku ....... ah, engkau tahu bahwa aku dipercaya menjadi pimpinan para kai-pang, kalau diketahui bahwa aku bergaul dengan putera Se Jit Kong, sebelum engkau mencuci nama, aku akan kehilangan muka. Terpaksa kita akan berpisah di sini, sekarang juga. Nah, kalian jaga diri kalian baik-baik, aku akan pergi." Kakek itu lalu menyambar buntalannya dan meninggalkan kamar itu dengan cepat.

Sin Wan bangkit berdiri seperti juga Kui Siang, mukanya pucat ketika dia memandang kepada Kui Siang.

"Sumoi, bagaimana dengan engkau?" tanyanya, penuh harap. Kui Siang mengusap kedua matanya untuk menghapus beberapa butir air mata yang tadi jatuh di atas pipinya. "Engkau tahu bahwa keluargaku hancur oleh kejahatan Se Jit Kong. Dan ternyata engkau ...... puteranya, walaupun putera tiri. Aku ..... aku ...... bagaimana mungkin berdekatan denganmu? Suheng, maafkan aku ini ..... aku .... aku akan ke Peking dan aku ..... ahhh ....." Gadis itu terisak dan cepat berlari keluar.

Sin Wan berdiri seperti patung. Mukanya pucat sekali. Jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Kedua tangannya menekan meja dan dia memejamkan matanya, "Engkau benar, sumoi, engkau benar. Aku hanyalah seorang suku biadab Uighur, keturunan orang jahat, aku hanya seorang dusun yang pandir dan miskin, berlepotan nama busuk Iblis Tangan Api Se Jit Kong. Memang sebaiknya engkau menjauhkan diri dariku, sumoi, agar jangan ikut tercemar ......"

Dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan merebahkan kepala di meja, sampai lama dia berdiam dalam keadaan seperti itu.

Sesosok bayangan berkelebat masuk kamar itu, ringan sekali gerakannya. Namun tidak cukup ringan bagi Sin Wan untuk tidak mengetahuinya. Dia menoleh dan ternyata seorang gadis cantik telah berdiri di kamar itu. Timbul harapannya ketika dia mengira bahwa gadis itu sumoinya. Akan tetapi ketika dia memandang lebih jelas, ternyata gadis itu adalah Lili!

"Lili, kau ........?"

Lili tersenyum, lalu duduk di atas kursi yang tadi diduduki Kui Siang. Memang ada persamaan antara kedua orang gadis itu. Sama cantiknya!

"Sin Wan, kenapa engkau harus berduka! Seorang gagah tidak akan mudah membiarkan diri terbenam dalam duka. Kalau mereka pergi meninggalkanmu, biarkanlah. Di sini masih ada aku, Sin Wan. Aku akan siap menerimamu sebagai sahabatmu. Marilah kita berdua bertualang di dunia yang luas ini. Dengan kepandaian kita berdua, kita akan dapat berbuat banyak!"

Sin Wan bangkit, kemarahannya timbul. Dia akan diajak oleh gadis ini ke dalam dunia sesat? Dia akan diajak mengikuti jejak ayah tirinya? Sebelum mati, ibunya berpesan agar dia tidak mengikuti jejak Se Jit Kong.

"Tidak!" bentaknya kepada Lili dan dia menuding ke arah pintu. "Pergilah kau, jangan bujuk aku. Pergi .....!" Lili bangkit berdiri, tersenyum manis. "Engkau sedang dalam keadaan kacau dan berduka. Baiklah, aku pergi, akan tetapi aku selalu menantimu di Puncak Bukit Ular, di Pegunungan Himalaya. Datanglah ke sana kalau engkau teringat kepadaku dan suka menerimaku sebagai sahabat. Selamat tinggal! Jangan terlalu bersedih, Sin Wan. Orang berduka cepat menjadi tua! Gadis itu terkekeh lalu pergi dari situ.

Sin Wan kembali menjatuhkan diri duduk di atas kursi. Habislah sudah! Kakek Bu Lee Ki yang dihormatinya sebagai gurunya, sumoinya yang dicintanya dan dianggap sebagai calon isteri, kini memisahkan diri, meninggalkannya dan menjauhinya. Dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Lili! Tidak, dia tidak mau terseret ke dalam dunia sesat. Tiba-tiba dia meloncat berdiri.

"Suhu Ciu-sian!" dia berseru. Ah, kenapa dia sampai melupakan gurunya itu? Di dunia ini masih ada gurunya, Si Dewa Arak. Dia akan pergi ke Pek-in-kok, lembah Gunung Ho-lan-san itu.

Diapun teringat akan pesan Raja Muda Yung Lo di Peking. Akan diterimakah kedudukan panglima yang ditawarkan raja muda itu! Kenapa tidak? Dengan kedudukannya itu, dia akan dapat berbuat banyak untuk bangsa dan negara sehingga dia akan dapat mencuci noda yang dicemarkan oleh nama busuk Se Jit Kong.

Akan tetapi, di sana ada Kui Siang! Sungguh tidak enak kalau harus bekerja dekat sumoinya, juga kekasihnya yang telah menjauhkan diri darinya itu. Dia akan menghadap dulu gurunya, Si Dewa Arak yang periang, dan mohon nasihatnya.

Yang pasti, dia akan menunjukkan kepada dunia, bahwa hidupnya tidak sia-sia. Tuhan telah menciptakan dia, menurunkan dia ke dunia bukan hanya untuk menjadi permainan nasib, bukan untuk membenamkan diri dalam duka. Dia harus menjadi seorang manusia yang berguna agar tidak sia-sia Tuhan menciptakannya. Dia harus mengabdi kepada Tuhan kalau ingin membuktikan penyerahannya yang tulus ikhlas dan tawakal. Dan mengabdi kepada Tuhan hanya dapat dibuktikan dengan pengabdian kepada manusia, kepada dunia, dengan membela kebenaran dan keadilan.

Dia akan membuktikan kepada dunia bahwa dia adalah putera ibunya yang dia tahu berhati mulia, bahwa dia tidaklah sama dengan Se Jit Kong yang menjadi hamba nafsu-nafsunya dan menjadi tokoh sesat, bahkan datuk sesat!

"Suhu Ciu-sian, tunggulah teecu (murid) yang akan menghadapmu!" Sin Wan berteriak lalu dia meninggalkan kamar itu.

Malam telah berganti pagi. Kegelapan mulai ditembusi cahaya terang. Sinar matahari menjanjikan hari yang cerah bagi mereka yang pagi-pagi telah terbangun dari tidurnya.

TAMAT