Bagian 3

Mereka berdua menunggang kuda berdampingan dan membiarkan kuda mereka berjalan perlahan menuruni bukit. Lie Bouw Tek membeli dua ekor kuda di dusun yang baru mereka tinggalkan, di lereng bukit. Lan Hong berterima kasih dan ketika ia hendak membayar harga kuda untuknya, pendekar itu mencegahnya. Diam-diam Lan Hong semakin kagum kepada pendekar yang bertubuh tinggi besar itu. Lie Bouw Tek bukan saja gagah perkasa, pendiam, berwibawa dan tenang sekali, akan tetapi ternyata juga bersikap lembut dan sopan terhadap dirinya. Belum pernah pendekar itu menunjukkan sikap kasar ataupun melanggar kesopanan terhadap dirinya sepanjang melakukan perjalanan bersamanya, bahkan di waktu memandangnya, pendekar itu selalu membatasi diri. Karena senja telah tiba dan malam menjelang datang menggelapkan bumi, mereka terpaksa menghentikan perjalanan di kaki bukit itu. Mereka memilih sebuah guha didaerah yang penuh batu gunung itu sebagai tempat melewatkan malam. Mereka membuat api unggun di mulut guha dan setelah makan roti dan daging kering, minum anggur yang tidak begitu keras, mereka lalu duduk bercakap-cakap di dalam guha. Api unggun menghangatkan tubuh dan mengusir nyamuk. Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Melihat usia mereka, sepantasnyalah kalau ada orang melihat mereka akan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri. Keduanya termenung, seolah tenggelam dalam lamunan masing-masing. Padahal, diam-diam mereka itu saling memikirkan. Bagi Lan Hong, perasaannya yang amat kagum dan tertarik kepada pendekar itu merupakan pengalaman yang baru pertama kali ia rasakan. Semenjak masih remaja, hati dan badannya telah direnggut secara paksa oleh mendiang Yauw Sun Kok. Kalaupun akhirnya timbul perasaan cinta kepada Yauw Sun Kok, hal itu adalah karena keadaan. Ia telah menjadi isterinya, bahkan telah melahirkan anak keturunannya, maka ia anggap sudah semestinya dan sewajarnyalah kalau ia bersikap setia dan mencinta suaminya. Akan tetapi betapa seringnya hatinya menderita nyeri yang amat hebat melihat sikap suaminya, pertama sikap Suaminya terhadap adiknya, dan kedua kalinya ketika mereka kehilangan anak mereka sikap suaminya menjadi teramat buruk, bahkan mulai memaki dan memukulnya. Dan selama itu, sama sekali ia tidak pernah bergaul dengan pria lain, bahkan mengangkat

muka memandangpun tak pernah. Dan kini, setelah ia menjadi janda, setelah ia bebas, tiba-tiba saja, tanpa disangkanya, ia kini melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pendekar yang dalam segala-galanya jauh berbeda dengan mendiang suaminya! Seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, berjiwa satria, yang sopan santun dan lembut, namun keras dan jantan bagaikan seekor rajawali atau seekor naga jantan.

Di lain pihak, Lie Bouw Tek juga tiada habis herannya melihat kenyataan yang terjadi pada hatinya. Semenjak kegagalan cinta pertama, dia tak pernah mau bergaul dengan wanita, bahkan ada kecondongan menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa dibalik kehangatan dan kelembutan itu tersembunyi kepalsuan, dibalik keindahan itu tersembunyi racun yang jahat. Akan tetapi mengapa kini dia demikian tertarik kepada wanita yang sudah menjadi janda ini, yang biarpun tergolong cantik namun tidaklah luar biasa, bahkan kecantikannya sederhana? Mengapa timbul perasaan iba yang mendalam, juga perasaan kagum terhadap wanita ini yang mendorongnya untuk membela dan melindunginya, kalau mungkin selama hidupnya?

"Toanio, engkau mengasolah, biar aku yang berjaga disini," akhirnya Lie Bouw Tek berkata kepada wanita itu. "Aku belum mangantuk, taihiap. Engkau mengasolah biar aku yang berjaga. Masa setiap kali kita bermalam ditempat terbuka, engkau saja yang melakukan penjagaan dan aku yang disuruh tidur."

Lie Bouw Tek tersenyum. "Sudah sepantasnya begitu. Sudah menjadi kewajiban pria sebagai yang lebih kuat untuk selalu menjaga dan melindungl wanita yang lemah."

"Akan tetapi aku tidaklah sedemiklan lemahnya, taihiap." Lie Bouw Tek mengangkat muka menatap wajah itu. Mata itu! Mata yang indah akan tetapi sinaraya seperti matahari tertutup awan hitam. Dia menarik napas panjang. "Toanio, ada sedikit permintaan dariku, harap engkau tidak berkeberatan untuk memenuhi permintaanku itu.

"Lan Hong balas memandang, sinar matanya tajam menyelidik. Bagaimanapun percayanya kepada pendekar ini, pengalaman-pengalaman pahit selama dalam perjalanan karena ulah pria membuat ia berprasangka buruk dan berhati-hati. "Taihiap, permintaan apakah itu? Apa yang dapat kulakukan untukmu? Tentu saja aku bersedia memenuhi kalau permintaanmu itu wajar dan baik."

"Setiap kali engkau menyebut taihiap kepadaku, aku merasa amat tidak enak. Kita melakukan perjalanan bersama, berarti kita senasib seperjalanan, menghadapi segala bahaya dan segala kemungkinan berdua. Akan tetapi sebutan yang kaupakai itu membuat aku merasa seperti kita ini saling berjauhan dan asing."

"Ah, sungguh aneh. Aku sendiripun merasa tidak enak setiap kali engkau menyebut toanio kepadaku. Sebutan itu demikian menghormati aku dan merendahkan dirimu."

Mereka saling pandang, lalu keduanya tersenyum. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita saling sebut seperti dua orang sahabat baik, atau seperti anggauta keluarga? Kita seperti kakak dan adik, bagaimana kalau engkau menyebut aku toako (kakak) dan aku menyebutmu siauw-moi (adik perempuan)?"

Biarpun wajahnya berubah merah dan jantungnya berdebar agak keras, namun Lan Hong tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, toako. Sejak saat ini aku akan menyebutmu Lie Toako."

"Dan aku akan menyebutmu siawmoi Sie Lan Hong, atau cukup dengan Hong-moi (adik Hong) saja, bagaimana?" Kembali mereka saling pandang dan Lan Hong mengangguk. Lalu keduanya diam, seolah-olah mereka merasa sungkan dan rikuh setelah ada sedikit keakraban tadi. Akhirnya, merasa tersiksa oleh kediaman mereka itu, Lie Bouw Tek bertanya. "Hong-moi, aku masih merasa heran sekali mengingat ceritamu bahwa puterimu telah pergi. Apakah ia pergi bersama adikmu, Pendekar Bongkok itu?"

Lan Hong menggeleng kepalanya dan kedua matanya kelihatan semakin sedih. Kalau saja mereka pergi berdua, pikir Lan Hong, tentu hatinya tidak serisau sekarang ini. "Dia pergi sendiri,toako. Ia pergi untuk mencari pamannya yang pergi lebih dahulu."

"Hemm, sungguh berbahaya kalau begitu. Dan sungguh berani sekali puterimu itu. Seorang anak perempuan kecil pergi seorang diri mencari pamannya, ke arah Tibet pula!"

Tiba-tiba Lie Bouw Tek memandang dengan mata terbelalak melihat betapa wanita yang duduk di seberang api unggun itu tertawa geli sambil menutupi mulut dengan punggung tangannya.

"Eh? Kenapa engkau tertawa geli, Hong-moi?"

"Habis, engkau lucu sih, toako. Bi Sian bukan seorang anak kecil lagi! Dia sudah berusia delapan belas tahun dan ia bukan

pula seorang gadis lemah!"

"Ah, tidak mungkin! Aku tidak percaya!" Kini Lan Hong yang terbelalak dan memandang heran. "Apa maksudmu, toako? Engkau tidak percaya kepadaku? Apa kau kira aku membohong?" Dalam suaranya terkandung penasaran. Entah mengapa, hatinya terasa nyeri kalau tidak dipercaya oleh pendekar itu.

"Aku tidak mengatakan engkau membohong, Hong-moi, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa engkau mempunyai seorang puteri yang berusia delapan belas tahun? Anakmu sendiri ataukan anak tiri, atau anak angkat?"

"Eh? Kenapa begitu, toako? Tentu saja anakku sendiri!"

"Itulah yang tidak mungkin! Kalau puterimu itu berusia tujuh atau delapan tahun, baru masuk akal. Akan tetapi delapan belas tahun?"

Kini mengertilah Lan Hong dan senyumnya manis sekali, matanya bersinar dan untuk sejenak kedukaan yang membayang di dalamnya menipis. "Lie-toako, berapa kaukira usiaku sekarang?"

"Paling banyak dua puluh lima tahun." Kembali Lan Hong tertawa geli dan menutupi mulutnya dengan tangan, "Hi-hik, engkau lucu, toako. Umurku tahun ini sudah tiga puluh tiga tahun."

"Apa? Tidak mungkin sama sekali! Engkau.... sungguh tidak pantas berusia sebanyak itu!" Teriak Lie Bouw Tek penasaran sehingga Lan Hong tertawa geli. Wanita mana yang tidak akan senang sekali hatinya melihat orang lain, apalagi kalau orang itu seorang pria, yang dikaguminya pula, mengira ia jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya?

"Lie-toako, aku yang mempunyai usia itu, tentu aku yang lebih tahu dan tidak bohong."

"Aihhh.... maafkan aku. Sungguh mati sukar dipercaya bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tiga tahun, Hong-moi."

"Bahkan sudah hampir tiga puluh empat tahun, toako, mungkin malah lebih tua daripada mu."

"Ah, tidak, tidak!" jawab Lie Bouw Tek cepat. "Usiaku sudah tiga puluh enam tahun."

"Tentu engkau sudah mempunyai beberapa orang putera dan puteri, toako, Berapa banyak anakmu dan berapa usia anakmu yang pertama?"

Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya. "Aku tidak mempunyai anak, bahkan aku belum pernah menikah, Hong-moi."

"Ahh....!" Lan Hong menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi kemerahan dan ia memaki dirinya sendiri mengapa begitu tak tahu malu untuk merasa girang mendengar bahwa pendekar itu belum menikah! Ingatlah engkau, tak tahu malu, makinya pada diri sendiri, engkau sudah janda dan memiliki anak yang sudah dewasa, sedangkan dia ini masih perjaka, seorang pendekar besar yang budiman. Jangan mengharapkan yang bukan-bukan! Kembali keduanya berdiam diri seperti tenggelam kedalam lamunan yang lebih dalam lagi. Suasana semakin sunyi karena malam semakin larut. Ketika Lan Hong menambahkan kayu bakar pada api unggun, gerakannya itu seperti menghidupkan lagi suasana yang tadinya seperti mati. Lie Bouw Tek seperti sadar kembali dari lamunan.

"Hong-moi, berapakah usia adikmu yang berjuluk Pendekar Bongkok itu?"

"Dia masih muda, toako, baru dua puluh tahun lebih, paling banyak dua puluh satu tahun."

"He mm, sudah demikian lihainya walaupun masih amat muda. Kalau dia melakukan perjalanan seorang diri ke Tibet, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi puterimu itu siapa namanya tadi?"

"Bi Sian, Yauw Bi Sian."

"Nah, Bi Sian seorang gadis berusia delapan belas tahun, sungguh berbahaya melakukan perjalanan ke daerah ini. Sedangkan untuk engkau sendiri saja sudah amat berbahaya, apalagi untuk puterimu yang berusia delapan belas tahun."

Lan Hong tersenyum, senyum penuh kebanggaan. "Kurasa tidak, toako. Biarpun usianya baru delapan belas tahun, akan tetapi Bi Sian memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada aku, atau bahkan mendiang ayahnya, bahkan pula, kurasa tidak kalah jauh dibandingkan Sie Liong."

"Apa?" Kembali Bouw Tek terbelalak. Sudah terlalu sering dia mendengar hal-hal yang amat aneh dan tidak terduga dari janda muda yang manis ini. "Selihai Pendekar Bongkok? Wah, hebat! Murid siapakah puterimu itu, Hong-moi?" Didalam hatinya, sukar untuk dapat mempercayai keterangan Lan Hong tentang puterinya itu.

"Menurut pengakuannya, Bi Sian menjadi murid seorang pertapa sakti yang berjuluk Koay Tojin."

"Benarkah?" Kembali pandekar itu terkejut. "Nama besar Koay Tojin amat terkenal di daerah barat dan utara! Dia seorang pertapa sakti yang namanya sejajar dengan nama basar Pek-sim Sian-su."

"Memang benar, toako. Menurut keterangan Bi Sian, gurunya itu memang sute dari Pek-sim Sian-su guru Sie Liong."

Pendekar itu tertegun kagum, lalu menarik napas panjang. "Sungguh hebat sekali! Engkau memiliki keluarga yang hebat, Hong-moi. Aku jadi semakin tertarik untuk mengetahui riwayatmu dan keadaan keluargamu. Kalau boleh aku bertanya, kenapa suamimu meninggal dalam usia yang masih muda? Apakah karena penyakit?"

Sejenak Lan Hong menunduk dan berdiam diri. Bagaimana ia dapat menjawab? Sampai lama ia tak mengeluarkan suara. "Maafkan aku banyak-banyak, Hong-moi, kalau pertanyaanku tadi terlalu lancang dan tidak menyenangkan hatimu, maafkan dan engkau tidak perlu menjawabnya." Didalam suara itu terkandung keluhan. Lan Hong mengangkat mukanya menatap wajah pendekar itu. Tidak, ia tidak perlu menyembunyikannya. Bahkan ia perlu menceritakan kepada pendekar itu, orang yang telah mendapat keparcayaannya, bahkan yang bersedia mengantar dan membantunya sampai ia dapat bertemu dengan adiknya atau puterinya. Ia merasa bahwa pendekar yang duduk bersila di depannya itu bukan orang lain lagi, ia sudah merasa demikian akrab, apalagi setelah bercakap-cakap malam ini, setelah mereka saling menyebut toako dan siauw-moi. Akhirnya Lan Hong menarik napas panjang.

"Akulah yang minta maaf, toako, karena aku tadi telah meragukannya. Baiklah, akan kukatakan kepadamu. Suamiku itu.... tewas karena terbunuh orang."

"Ahhh!" Lie Bouw Tek mangepalkan tinju, memandang dengan penasaran dan kasihan sekali. "Siapakah penjahat yang telah berani melakukannya, Hong-moi? Bagaimana si jahat itu berani melakukannya kalau disana terdapat adik kandungmu dan puterimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi?"

Lan Hong me nggeleng kepalanya. "Tidak diketahui siapa pembunuhnya, Lie-toako."

"Aku akan menyelidikinya! Aku akan menangkap pembunuh jahanam itu untukmu, Hong-moi! Lalu.... mengapa adikmu malah pergi, juga puterimu? Apakah mereka berdua itu sudah pergi ketika peristiwa itu terjadi? Apakah mereka tidak tahu akan pembunuhan itu?"

Lan Hong menarik napas panjang. Karena Bouw Tek membantunya mencari adiknya dan puterinya, maka akhirnya ia tentu akan mengetahuinya, dan pendekar itu sudah terlibat dalam urusan keluarganya. "Mereka berdua tahu, toako. Justeru karena pembunuhan itulah mereka pergi meninggalkan rumah. Bi Sian, puteriku itu, menuduh bahwa adikku Sie Liong yang membunuh ayahnya. Karena tuduhan ini, Sie Liong melarikan diri dan anakku itu melakukan pengejaran, mencari pamannya untuk dibunuh, untuk membalas dendam kematian ayahnya."

"Ah.... ahh....!" Bouw Tek kini tidak mampu bicara lagi. Terlalu berat peristiwa yang menimpa keluarga janda ini, pikirnya

dan dia merasa terharu, juga bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi. Akhirnya dia hanya mengeluh, "Hong-moi....

sungguh kasihan sekali engkau. Keluargamu hebat, akan tetapi juga tertimpa malapetaka yang hebat pula. Sungguh membuat aku merasa penasaran, Hong-moi. Adikmu demikian lihai, juga puterimu, akan tetapi suamimu dapat dibunuh orang, dan sekarang puterimu malah mengejar-ngejar pamannya yang dituduh melakuken pembunuhan itu. Sebetulnya bagaimana duduknya perkara, Hong-moi? Maukah engkau menceritakan kepadaku? Percayalah, aku siap untuk membantu, sedapat mungkin akan kubongkar rahasia itu yang meliputi seluruh keluargamu. Menurut keterangan dua orang murid keponakanku, Pendekar Bongkok adalah seorang pendekar budiman yang hebat, bagaimana mungkin membunuh kakak iparnya sendiri?"

"Tadinya.... aku sendiri percaya bahwa dia yang membunuh suamiku, tapi.... tapi sekarang tidak lagi...."

"Lebih aneh lagi kalau begitu. Wahai, Hong-moi, ternyata dirimu dilingkari banyak rahasia sehingga membuat aku beberapa kali terheran-heran dan terkejut mendengar keteranganmu."

Sudah kepalang basah, pikir Lan Hong. Ia harus menceritakan segalanya. Terserah kepada pendekar ini kalau nanti akan berubah pandangan terhadap dirinya. Ia tertarik kepada pendekar ini dan kalau ia menghendaki pergaulan yang jujur, iapun harus terbuka dan jujur. Pendekar itu harus mengenal dirinya, mengenal riwayatnya dan ia tidak perlu menutupi rahasia, yang paling buruk sekalipun! Ia sudah nekat karena ia ingin dikenal benar oleh pendekar itu, dikenal semua keadaannya sehingga ia dapat melihat bagaimana nanti sikap pendekar itu terhadap dirinya. Berubahkah? Memandang rendahkah? Biarlah, ia akan menghadapi segala resikonya. "Lie-toako, terus terang saja, riwayat hidupku penuh dengan noda dan baru kepadamu seoranglah aku akan menceritakannya. Terserah kemudian bagaimana tanggapanmu. Riwayatku dimulai dengan terbunuhnya ayah dan ibu kami oleh seorang musuh besar. Ayah kami bernama Sie Kian atau juga disebut Sie Kauwsu, seorang guru silat bayaran di kota Tiong-cin. Karena ayah kami suka menentang kejahatan, maka dia banyak dimusuhi orang jahat dan pada suatu hari, seorang penjahat yang mendendam kepada ayah kami, telah datang dan membunuh ayah dan ibu kami. Ketika itu aku berusia lima belas tahun dan adikku, Sie Liong, berusia sepuluh bulan." Ia herhenti sebentar dan bergidik ketika membayangkan peristiwa itu.

Lie Bouw Tek yang sudah merasa kasihan mendengar wanita itu kehilangan suami yang dibunuh orang, kini memandang dengan terharu. Betapa buruk nasibnya, ketika remaja sudah kehilangan ayah bunda yang dibunuh orang. "Sungguh keji penjahat itu!" komentarnya. Sie Lan Hong tersenyum, senyum yang pahit sekali. "Lebih dari pada keji, toako. Setelah membunuh ayah ibu kami, dia bahkan memaksaku untuk melayaninya dengan mengancam akan membunuh adikku yang berusia sepuluh bulan itu kalau aku menolak keinginannya yang kotor. Melihat adikku yang masih bayi itu dibawah ancaman golok, apa yang dapat kulakukan selain menyerah? Aku menyerah. toako, demi menyelamatkan adikku."

Wajah yang jantan itu berubah menjadi kemerahan, matanya mengeluarkan sinar mencorong dan Bouw Tek mengepal tinju. "Jahanam keparat! Kalau aku bertemu dengan jahanam itu, akan kuhancurkan kepalanya!"

Melihat kemarahan pendekar itu, kembali Lan Hong tersenyum, dan senyumnya masih pahit sekali. "Sebaiknya kulanjutkan riwayatku, toako. Musuh itu lalu membawaku pergi meninggalkan kota kami, dan dia memaksa aku menjadi isterinya dengan ancaman yang sama, yaitu kalau aku menolak, Sie Liong akan disembelihnya. Aih, toako, kalau saja tidak ada adikku yang masih bayi terancam maut mengerikan, aku takkan takut menghadapi ancamannya, aku lebih suka mati daripada harus menyerah. Percayakah engkau, toako?"

"Aku percaya, aku percaya.... aih, si keparat!" kata Bouw Tek. "Setelah aku menjadi isterinya, dia meninggalkan pekerjaan sesat dan berdagang di kota Sung-jan, dan harus kuakui bahwa sikapnya terhadap diriku amat baik dan menyayang. Akan tetapi diapun maklum bahwa kalau dia mengganggu adikku, tentu aku akan membunuh diri. Sampai akhirnya aku melahirkan Bi Sian, puteriku itu...."

"He mm...." Bouw Tek mengerutkan alisnya dan tidak lagi berani memberi komentar. Bagaimana dia dapat memaki laki-laki yang telah menjadi suami Lan Hong, bahkan menjadi ayah kandung puterinya? Keadaan menjadi semakin membingungkan dan ruwet, dan dia merasa semakin kasihan kepada wanita didepannya itu. Bahkan untuk menghapus makian-makiannya tadi, dia berkata lirih, "Hemm, dia telah menjadi seorang suami dan ayah yang baik...." Lan Hong menggeleng kepalanya. "Nampaknya saja begitu, toako. Akan tetapi, dia tetap seorang yang amat jahat. Dia selalu merasa takut kalau-kalau kelak Sie Liong, adikku itu, akan tahu tentang pembunuban yang dilakukan terhadap orang tua kami, dia takut kalau Sie Liong kelak membalas dendam. Maka, kalau dia mengajarkan silat kepada Bi Sian, dia melarang Sie Liong belajar silat. Dan baru sekarang aku dapat menduga bahwa Sie Liong menjadi cacat, menjadi bongkok, tentu karena perbuatan dia pula! Yang kuketahui ketika itu hanya bahwa Sie Liong jatuh sakit keras dan setelah sembuh dia menjadi bongkok."

"Ahhh....! Hemmm....!" Tadinya Bouw Tek ingin memaki lagi, akan tetapi mengingat bahwa yang akan dimaki itu suami wanita ini, dia tidak jadi dan hanya menggeleng-geleng kepalanya.

"Agaknya, Sie Liong menyadari bahwa dia dibenci kakak iparnya, maka ketika dia berusia dua belas atau tiga belas tahun, dia minggat dari rumah kami dan tak lama setelah itu, puteri kami, Bi Sian, bertemu dengan Koay Tojin dan dibawa pergi sebagai muridnya. Nah, setelah adikku dan puteriku pergi, berubahlah kembali watak suamiku itu, toako. Dia seolah-olah seekor harimau yang menanggalkan kedok dombanya. Dia menjadi kejam, kasar dan suka mulai mabok-mabokan dan melacur. Dia mulai suka memaki dan memukuli aku. Ahh.... kalau saja tidak ingat kepada puteriku, mungkin tak kuat aku menahan derita itu...." Wanita itu berhenti dan menutupi mukanya, akan tetapi ia tidak menangis. Lie Bouw Tek memandang dengan tubuh diam tak bergerak, seperti patung. Dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana dan berkata apa.

Tak lama kemudian Lan Hong menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan wajahnya agak pucat, akan tetapi ia tidak menangis. Ketika ia memandang kepada Bouw Tek yang kelihatan diam seperti patung, ia melanjutkan. "Selama tujuh tahun aku menderita. Harta kamipun dihamburkan oleh suamiku itu dan akupun tidak berdaya. Aku seolah hanya hidup untuk menanti pulangnya anakku dan adikku. Dan pada suatu hari, setelah tujuh tahun lewat, muncullah Sie Liong yang telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun."

"Dan menjadi seorang pendekar yang sakti yang dijuluki Pendekar Bongkok?"

"Benar, dan melihat Sie Liong, suamiku menjadi marah dan hendak memukulnya. Akan tetapi dangan mudah Sie Liong mengalahkannya tanpa melukainya. Sama sekali suamiku tidak berdaya melawan Sie Liong yang menjadi sakti itu."

"Dan adikmu tidak tahu bahwa suamimu itu yang membunuh ayah ibu kalian?" Lan Hong menggeleng kepalanya. "Ketika peristiwa itu terjadi, dia baru berusia sepuluh bulan, dan ketika tubuhnya menjadi cacat, diapun masih kecil. Dia sama sekali tidak tahu, dan akupun tentu saja merahasiakan hal itu. Akan tetapi, Sie Liong melihat betapa harta kami telah habis dan betapa aku mendapatkan perlakuan buruk dari suamiku. Bahkan mereka bentrok ketika suamiku memukuliku dan Sie Liong melindungiku. Dan beberapa hari kemudian, tiba-tiba puteriku, Bi Sian pulang!" Wajah Lan Hong agak berseri ketika ia teringat akan peristiwa itu. "Dan ia telah menjadi seorang gadis yang sakti pula, murid Koay Tojin." kata Bouw Tek, mulai dapat menggambarkan keadaan keluarga wanita itu.

"Benar, toako. Ia berusia delapan belas tahun, menjadi seorang gadis yang cantik dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dan iapun gembira sekali bertemu dengan pamannya. Kautahu, toako, diantara adikku dan puteriku yang usianya hanya selisih dua tiga tahun itu terdapat hubungan yang amat akrab dan mereka itu saling menyayang karena mereka tumbuh besar bersama-sama. Bi Sian pulang ditemani sutenya yang bermalam diluar rumah kami, di rumah penginapan."

Wanita itu berhenti lagi dan Bouw Tek dengan tenang menanti kelanjutan cerita itu karena dia merasakan datangnya suatu peristiwa yang paling hebat, yaitu kematian suami wanita itu. "Kemudian, tiba-tiba saja terjadi peristiwa itu, toako," kata

Lan Hong seolah-olah dapat meraba pikiran pendekar itu dan menjawabnya. "Siang hari itu suamiku pergi dan pada malam harinya dia dibunuh orang." Kembali Lan Hong diam dan kini ia nampak demikian berduka.

"Dan engkau tentu sangat berduka, Hong-moi." Lan Hong mengangkat mukanya dan sejenak mereka saling pandang. Lan Hong lalu mengerutkan alisnya. "Mungkin engkau akan menganggap aku jahat, toako. Akan tetapi terus terang saja aku tidak berduka atas kematiannya. Akhir-akhir itu dia mendatangkan kesan buruk sekali dalam hatiku karena sikapnya selama tujuh tahun itu. Yang membuat aku berduka adalah karena Bi Sian menuduh Sie Liong yang melakukan pembunuhan itu dan ia menyerang Si Liong mati-matian untuk membalas dendam!"

"Hemm, sepatutnya gadis itu menyadari akan kejahatan ayahnya yang telah membunuh orang tua Pendekar Bongkok!" kata Bouw Tek penasaran. "Gadis itu puteriku, toako...."

"Ah, maafkan aku, Hong-moi, riwayatmu demikian mencekam hatiku sehingga aku lupa diri. Lalu bagaimana kelanjutannya, Hong-moi?"

"Ketika diserang Bi Sian, Sie Liong lalu pergi melarikan diri. Tak lama kemudian, Bi Sian juga pergi melakukan pengejaran."

"Dan puterimu itu tidak tahu bahwa ayahnya adalah pembunuh orang tua ibunya dan pamannya?" Lan Hong menggeleng kepalanya. "Bagaimana aku dapat menceritakan hal itu kepadanya, toako? Tentu hal itu akan menghancurkan hatinya, karena bagaimanapun juga, suamiku itu adalah ayah kandungnya."

Lie Bouw Tek termenung. Memang serba salah dan serba susah bagi wanita yang malang ini, pikirnya. "Akan tetapi, tentu Pendekar Bongkok sudah mengetahui rahasia itu maka dia membunuh musuh besarnya." Lan Hong menggeleng kepalanya. "Kurasa tidak begitu. Memang, setelah terjadi pembunuhan, akupun mengira demikian. Akan tetapi, dia tidak tahu akan rahasia itu, buktinya setelah kuceritakan, baru dia mangetahuinya! Dia menyangkal bahwa dia telah membunuh kakak iparnya, dan diapun baru tahu akan rahasia itu setelah aku bercerita kepadanya."

"Lalu bagaimana puterimu menuduh dia sebagai pembunuh ayahnya?"

"Karena sebelumnya, ayahnya mengatakan bahwa Sie Liong mmukulnya, dan dalam keadaan mabok dia minta agar Bi Sian membalaskan penghinaan itu. Dan pada saat terjadinya pembunuhan, Bi Sian melihat bayangan seorang yang bongkok di taman, seorang bongkok yang bertopeng, dan Bi Sian menemukan topeng itu. Maka, ia menuduh pamannya sebagai pembunuh. Ah, itulah yang menyusahkan hatiku, toako. Bagaimana kalau mereka saling jumpa dan anakku itu nekat menyerang dan hendak membunuh pamannya? Karena itulah, maka aku nekat melakukan perjalanan ini, untuk mencari mereka dan untuk membujuk puteriku agar jangan memusuhi Sie Liong karena sekarang aku yakin bahwa bukan Sie Liong yang membunuh suamiku."

"Eh? Bagaimana engkau bisa yakin, Hong-moi?" Lan Hong lalu menceritakan tentang penyelidikannya kerumah pelesiran, tentang segala keterangan yang diperolehnya dari para pelacur yang pada hari terakhir itu melayani suaminya. Lie Bouw Tek mendengarkan dengan penuh kagum. Wanita ini selain tabah, juga amat cerdik, pikirnya.

"Dari keterangan itu aku yakin bahwa adikku tidak membunuh kakak iparnya, toako. Kalau dia yang membunuh, tidak perlu dia bertopeng, dan tidak perlu pula dia berpura-pura kepadaku. Dia memang belum pernah mengetahui rahasia itu sebelum mendengar dariku. Kalau bukan dia yang membunuhnya, berarti si pembunuh sengaja menyamar sebagai seorang yang bongkok dan mengenakan topeng. Tidak sukar menyamar sebagai orang berpunuk dan bongkok, tinggal mengganjalkan sesuatu di punggungnya. Tentu saja dia bertopeng untuk menutupi wajahnya agar jangan ada yang tahu bahwa dia bukanlah Sie Liong. Jelas dia sengaja membunuh dan melempar fitnah kepada adikku. Dan penyelidikanku ke rumah pelacuran itu membuktikan bahwa memang ada yang membunuh suamiku. Dia bukan lain adalah sute dari Bi Sian."

"He mmm...." Lie Bouw Tek meraba-raba jenggotnya yang terpelihara rapi. "Pendapatmu itu memang nampaknya tepat Hong-moi. Teorimu juga masuk di akal. Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau benar seperti yang kausangka bahwa yang membunuh suamimu adalah sute dari puterimu, lalu apa alasannya? Mengapa dia membunuh suamimu yang baru dijumpainya?"

"Akupun sudah memikirkan hal itu dan menemukan jawabannya. Aku dapat melihat bahwa sute dari puteriku yang namanya kalau tidak salah Coa Bong Gan, yang usianya lebih tua dari puteriku walaupun dia sutenya, agaknya jatuh cinta kepada Bi Sian. Sebagai orang yang jatuh cinta dan mengharapkan cintanya terbalas, tentu saja dia ingin selalu kelihatan sebagai seorang pemuda yang baik, bukan?"

Bouw Tek mengangguk, menatap tajam karena dia mengikuti dengan penuh perhatian dan amat tertarik. "Nah, dalam penyelidikanku itu, aku mendengar bahwa Bong Gan itu juga berada di rumah pelacuran ketika suamiku kesana. Mereka saling melihat walaupun Bong Gan pura-pura tidak mengenalnya. Pertemuan itulah yang menjadi alasan mengapa pemuda itu membunuh ayah Bi Sian. Tentu dia khawatir kalau-kalau Bi Sian akan mendengar dari ayahnya bahwa dia melacur di rumah pelacuran! Dan karena dia pun memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Koay Tojin, maka dengan mudah dia melakukan pembunuhah itu dan

menyamar sebagai Sie Liong. Dengan memakai kedok dan mengganjal punggungnya menjadi bongkok, mudah saja dia menjatuhkan fitnah kepada Sie Liong. Nah, bagaimana pendapatmu, toako?"

Lie Bouw Tek masih memandang dengan kagum dan mendengar pertanyaan itu dia mengangguk-angguk. "Kuat juga alasan itu, Hong-moi. Dan mengapa engkau melakukan pencarian ke daerah Tibet? Apakah engkau sudah yakin bahwa adikmu dan puterimu itu pergi ke Tibet? Dan dimana pula adanya sute dari puterimu itu?"

"Coa Bong Gan pergi bersama Bi Sian, agaknya hendak membantunya menghadapi Sie Liong. Pernah Sie Liong bercerita kepadaku bahwa dia diberi tugas oleh para gurunya untuk melakukan penyelidikan terhadap para pendeta Lama di Tibet, entah untuk apa aku tidak tahu. Karena teringat akan keterangannya itulah aku mencari ke daerah ini dan hendak pergi ke Lasha."

Lie Bouw Tok diam-diam terkejut dan juga girang. Kiranya Pendekar Bongkok menerima tugas dari guru-gurunya dan tugasnya itu sama benar dengan tugas yang dia terima dari Kun-lun-pai, menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet yang memusuhi Kun-lun-pai! Diapun pernah mendengar dalam perantauannya di daerah ini bahwa para pendeta Lama diTibet memusuhi para pertapa dan terutama para tosu di Himalaya sehingga banyak tosu yang menyelamatkan diri meninggalkan Pegunungan Himalaya. Agaknya tugas Pendekar Bongkok yang menyelidiki para pandeta Lama itu ada hubungannya dangan hal itu.

"Setelah mendangar riwayatmu, aku sekarang jelas mengapa engkau pergi seorang diri mencari puterimu dan adikmu di daerah yang berbahaya ini, Hong-moi. Jangan khawatir, aku akan membantumu mencari mereka sampai dapat. Sukurlah kalau belum terjadi apa-apa antara adikmu dan puterimu. Akan tetapi menurut pengetahuanmu, siapa diantara mereka yang lebih lihai, Hong-moi?"

"Kukira Sie Liong lebih lihai, akan tetapi akupun yakin bahwa dia tidak mungkin mau melawan keponakan yang amat disayangnya itu. Aku khawatir sekali, toako."

"Kalau begitu, yang penting adalah mencari dan menemukan puterimu, Hong-moi. Engkau harus menceritakan semua rahasia itu kepadanya, tentang pembunuhan terhadap ayahnya yang dilakukan sutenya sendiri, bukan oleh pamannya."

Lan Hong mengangguk lemah. "Akan kulakukan itu, walaupun hal itu pasti akan sangat menyedihkan hatinya." Malam telah larut dan Lan Hong dipersilakan mengaso dan tidur, sedangkan Bouw Tek berjaga di depan guha, dekat api unggun. Dia semakin tertarik kepada Lan Hong. Tak dapat dia menyalahkan Lan Hong yang dahulu terpaksa menyerahkan diri kepada pembunuh orang tuanya itu untuk menyelamatkan adik kandungnya. Sungguh terkutuk perbuatan ayah Bi Sian itu, akan tetapi dia sudah mati dan memang sepatutnya kalau dia mati terbunuh. Orang yang amat jahat! Dan diapun menjadi semakin kagum kepada Pendekar Bongkok, dan ingin sekali mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan pendekar itu. Bukan saja untuk berkenalan, akan tetapi juga untuk.... membicarakan soal keputusan hatinya. Setelah mendengarkan riwayat Lan Hong, sudah bulat tekadnya untuk meminang janda ini menjadi isterinya!

***

Semua mata memandang, semua kepala menoleh ketika Sie Liong dan Ling Ling memasuki kedai makanan itu. Ling Ling adalah seorang gadis yang terlampau menarik untuk dilewatkan begitu saja oleh mata pria. Dan temannya, Sie Liong, juga seorang pemuda yang terlampau aneh dengan cacatnya, sehingga semua orang tertarik untuk memandangnya. Mereka memasuki sebuah kedai makan dikota Nam-leng yang berada di sebelah barat kota besar Lasha pada tengah hari itu untuk makan siang. Seorang pelayan

kedai menyambut mereka dan membawa mereka kesebuah meja kosong disudut kanan, diikuti pandang mata belasan orang tamu yang sedang duduk makan di kedai itu. Segera terdengar suara bisik-bisik, bahkan ada yang agak keras diselingi tawa sehingga terdengar sepenuhnya oleh pendengaran Sie Liong yang tajam terlatih, dan terdengar sebagian oleh Ling Ling.

"Amboi.... manisnya....!"

"Lihat bentuk tubuhnya.... seperti kijang emas....!"

"Matanya.... ah, begitu jeli seperti bintang kejora!"

"Kalau aku, yang paling menarik adalah mulutnya. Lihat, bibirnya tipis merah segar, seperti buah masak membikin gemes!"

"Sayang ya, gadis semolek itu ditemani seorang.... ha-ha, seekor monyet!"

"Bukan monyet, dia setan bongkok yang baru muncul dari kuburan, ha-ha!"

"Siapa tahu, dia hanya pelayannya saja!"

"Atau saudaranya!"

"Tidak mungkin dia suaminya atau pacarnya. Huh, seperti onta begitu, mana mungkin berpasangan bidadari?" Sie Liong diam saja, akan tetapi dia merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia tidak dapat merasa sakit hati lagi kalau dirinya diperolok orang. Dia sudah yakin sepenuhnya akan keburukan dirinya yang cacat. Dia pun tidak iri atau cemburu mendengar pria-pria itu memuji-muji kecantikan Ling Ling. Memang Ling Ling seorang gadis yang manis sekali. Akan tetapi semua olok-olok itu membuka matanya, menekan batinnya, membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak pantas bersanding dengan Ling Ling! Apalagi mencintanya! Sungguh dia tidak tahu diri. Pria cacat seperti dia mana pantas menjadi pacar atau suami seorang gadis semanis Ling Ling? Mereka itu benar dalam olok-olok mereka. Menjadi pelayan Ling Ling saja tidak patut kalau melakukan perjalanan bersama seperti itu. Hanya akan menyeret Ling Ling dalam kerendahan dan membuat Ling Ling menjadi bahan olok-olok orang lain. Ling Ling hanya dapat mendengar sebagian saja, akan tetapi cukup membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Ingin rasanya ia memaki-maki para tamu itu. Mereka berani merendahkan dan menghina Pendekar Bongkok! Ingin ia

membujuk Sie Liong agar menghajar mereka itu, agar terbuka mata mereka siapa adanya pemuda bongkok yang mereka pandang rendah dan hina itu! Akan tetapi ia sudah cukup mengenal watak Pendekar Bongkok, tahu bahwa bujukannya takkan berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah hati dan panyabar. Ketika ia melirik, ia melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh semua ejekan itu, seolah-olah tidak pernah mandengarnya. Diam-diam Ling Ling merasa penasaran, walaupun kagum. Untuk melampiaskan rasa penasaran hatinya, iapun berkata dengan suara agak dikeraskan kepada Sie Liong.

"Liong-ko, kedai disini cukup enak tempatnya, ya? Entah bagaimana dengan hidangannya, dan sayangnya, banyak sekali lalat kotor disini!"

Sie Liong memandang kepadanya dan menahan senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih, akan tetapi juga tidak banyak lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling dan dia mengerti bahwa gadis itu menjadi panas hatinya mendengar olok-olok para tamu itu. Di antara para tamu ada segerombolan pemuda berusia lebih dua puluh lima tahun yang duduk dimeja sebelah mereka, jumlah mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga mengeluarkan kata-kata pujian terhadap Ling Ling dangan sikap berani dan berandalan. Mendengar ucapan Ling Ling, seorang di antara mereka terkekeh.

"Wah, kita dianggap lalat kotor! Ha-ha, kalau aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap di pipinya untuk mencuri cium, atau dibibirnya yang akan kugigit dengan gemas!" Kawan-kawannya tertawa mendengar kelakar yang kurang ajar itu.

"Liong-ko, yang membikin aku tidak kuat dan muak tentang lalat-lalat itu adalah suaranya. Mari kita pergi mencari kedai

lain saja, Liong-ko!" kata pula Ling Ling, kini lebih marah lagi. "Ha-ha, kawan-kawan. Kita tiga ekor lalat akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?"

"Akur....!" seru teman-temannya pula.

Ling Ling tak dapat menahan lagi kemarahannya walaupun Sie Liong memberi isyarat dengan kedipan mata agar gadis itu diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil pelayan. "Hei, bung pelayan, kesinilah!"

Ketika pelayan datang, Ling Ling berkata sambil melirik kearah meja disebelah dimana tiga orang pemuda berandal itu duduk. "Bung pelayan, kalau engkau tidak mau mangusir lalat kuning disana itu, aku tidak jadi makan disini. Dia kotor sekali, menjijikkan!"

Sie Liong hendak mencegah, namun gadis itu sudah terlanjur bicara, bahkan kini terang-terangan Ling Ling memandang dengan mata melotot kepada pemuda berpakaian kuning, seorang di antara mereka bertiga itu. Tentu saja si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketika si baju kuning itu bangkit dengan marah dan bersama dua orang temannya menghampiri meja Ling Ling, pelayan itu mundur dan pergi ketakutan. Si baju kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum mengejek dia berkata.

"Nona manis, berani engkau menghinaku, ya? Kalau sekarang juga kupeluk kau, kucium pipimu dan kugigit bibirmu, engkau mau apa? Mau mengandalkan pengawalmu yang bongkok ini? Hayo minta maaf kepadaku, kalau tidak, akan kucium pipimu!"

Pada saat itu, Sie Liong bangkit berdiri karena dia khawatir kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali tangannya menjangkau, dia tentu akan dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan marah dan berani itu. "Harap sam-wi suka bersabar dan maafkan kami. Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian bertiga) tidak menyinggung kami, tentu kamipun tidak akan berani menyinggung sam-wi. Maafkanlah kami dan habiskan perkara yang tidak ada artinya ini sampai disini saja."

Sikap dan ucapan Sie Liong ini dinilai sebagai pernyataan takut oleh tiga orang pemuda berandal itu. "Apa kau bilang? Mana bisa kami memaafkan begitu saja! Nona ini harus minta maaf kepada kami, dan engkau ini onta bongkok harus berlutut minta maaf kepada kami, baru kami mau sudah!"

Sie Liong mangerutkan alisnya. Dia tidak ingin mencari keributan, akan tetapi kalau dia disuruh minta maaf sambil berlutut, tentu saja dia tidak sudi. "Harap sam-wi tidak bersikap begitu. Kami adalah pendatang yang tidak ingin mencari permusuhan."

"Onta bongkok, engkau mencari permusuhan aku tidak takut! Tidak mencari pun, kami yang mencari permusuhan denganmu! Hayo kesini rasakan hajaran kami!" kata si baju kuning.

Pada saat itu, terdengar suara yang parau dan dalam, namun nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu kedai makan itu.

"Ho-ho, siapa dia yang mencari permusuhan di sini? Hayo maju dan lawan aku!" Tiga orang pemuda berandalan itu menengok dengan marah. Mereka melihat seorang pria berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta akan tetapi pakaiannya butut seperti pengemis, dan tangan kirinya memegang sebuah hio-louw atau tempat abu sembahyang dari besi, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Melihat pakaiannya, orang-orang disitu tahu bahwa pria ini adalah sebangsa peminta derma untuk keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam pesuruh para pendeta dan akan menerima imbalan beberapa bagian dari hasil pemberian derma yang dikumpulkannya. Melihat seorang setengah pengemis yang menegur mereka, bahkan menantang, tiga orang pemuda berandalan itu tentu saja memandang rendah dan menjadi marah bukan main. Si baju kuning lalu melompat kedekat orang itu dan memaki. "Kau ini pengemis busuk, jembel tua berani menegur kami dan berani menentang? Nah, aku melawanmu, nih, makan pukulanku!" Si baju kuning langsung mangayun kepalan tangan kanannya kearah muka orang itu. Orang itu melihat mukanya dipukul, tidak mengelak, bahkan memutar mukanya dan menerima pukulan kepalan tangan itu dengan kepalanya yang berambut penuh uban, dibagian kiri atas telinga. "Dukkkk!" Pukulan itu keras sekali datangnya dan akibatnya, bukan yang punya kepala yang kesakitan melainkan si baju kuning yang menjerit kesakitan sambil terhuyung kebelakang dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Bukan main nyerinya tangan yang memukul tadi, seperti memukul besi dan seperti remuk rasanya semua buku tulang jari tangannya. Hal ini membuat kedua orang temannya menjadi marah. Mereka meloncat kedekat kawan mereka dan kini mereka bertiga sudah mencabut golok yang tersembunyi dibalik baju masing-masing. Dengan tiga batang golok ditangan, tiga orang pemuda berandalan itu mengepung.

Akan tetapi, penarik derma itu tersenyum mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih berdiri tegak dengan tongkat butut ditangan kanan. Tiga orang pemuda itu mengeluarkan teriakan garang lalu mereka menerjang dari tiga jurusan, sementara para tamu dikedai itu memandangi dengan gelisah, akan tetapi mereka tidak berani beranjak dari tempat masing-masing, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan. Tiga batang golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu menyerang dan biarpun gerakan mereka tidak menunjukkan gerakan silat tingkat tinggi, namun mereka masih muda dan tenaga mereka kuat, juga agaknya mereka sudah biasa berkelahi menggunakan kekerasan.

"Wuut-wuut-wuuut....!" Tiga batang golok menyambar.

"Trang-trang-trangggggg....!" Tiga batang golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar dan lepas dari tangan para pemegangnya. Tongkat itu masih terus menyambar-nyambar dan kaki tiga orang pemuda itu terbabat, membuat mereka roboh terpelanting!

Semua orang menjadi berisik dan tiba-tiba orang itu menurunkan hio-louw diatas meja kasir. Meja mengeluarkan suara berkeretekan saking beratnya hio-louw itu dan kini pemungut derma itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah hati tersulam dengan benang emas. "Kim-sim-pai....!" terdengar orang berbisik-bisik. Mendengar disebutkannya Kim-sim-pang (perkumpulan Hati Emas), semua orang terkejut dan semua orang sudah tahu bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan para pemberontak yang dipimpin oleh Kim Sim Lama. Sudah terkenal sekali bahwa anggauta pemberontak ini banyak, juga mereka mempunyai jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Ketika mendengar bisikan itu, tiga orang pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil menggosok-gosok tulang kering kaki mereka yang terasa nyeri sekali, kini memandang dengan maka pucat dan nyali mereka terbang entah kemana. "Ha-ha-ha, kalian cacing tanah busuk. Hayo cepat serahkan semua milikmu sebagai sumbangan untuk menebus dosa atau kalian masih ingin berkenalan dengan tongkatku?"

"Baik...., baik...." Tiga orang pemuda itu dengan tubuh gemetar segera mengeluarkan semua isi saku mereka, menyerahkan uang mereka kepada pengumpul derma itu dan memasukkan uang itu kedalam hio-louw yang besar itu. Melihat betapa tiga orang pemuda itu hanya mempunyai uang perak sebanyak tidak lebih dari sepuluh tail, pria tinggi besar itu menyeringai.

"Huh, nyawa kalian bertiga hanya kalian hargai sepuluh tail? Murah amat harganya nyawa kalian!"

"Maafkan kami, hanya itulah milik kami," kata si baju kuning sambil memberi hormat, diikuti dua orang kawannya.    "Sudahlah," kata pengumpul derma itu. "Sekarang semua yang berada disini, harap suka memberi derma kepada kami. Yang Mulia Kim Sim Lama tentu akan memberkahi kalian yang telah memberi derma. Silakan mengisi hio-louw ini!"

Para tamu saling pandang dan mereka semua sudah mendengar bahwa apabila permintaan derma orang-orang Kim-sim-pai ini tidak dipenuhi, mereka tentu akan menganggap bahwa yang tidak memberi derma adalah musuh, maka mereka akan manggunakan kekerasan untuk menghajarnya. Maka, bangkitlah para tamu itu dan merekapun mengeluarkan isi saku mereka dan memasukkan uang kedalam hio-louw. Biarpun tidak semua orang menyerahkan seluruh isi kantong mereka, akan tetapi tidak ada yang berani memberi sedikit sehingga belasan orang ditambah pemberian pemilik kedai makanan, memberi derma yang cukup banyak, hampir setengah hio-louw besar itu. Akan tetapi, Sie Liong dan Ling Ling tidak berdiri, melainkan melanjutkan makan hidangan yang mereka pesan dengan tenang. Melihat ini, si baju kuning yang telah mendapatkan malu besar didepan para tamu dan terutama sekali penghinaan yang dideritanya itu ditonton pula oleh Pendekar Bongkok dan nona manis itu, lalu menumpahkan kedongkolannya kepada Pendekar Bongkok.

"Heiii, onta bongkok! Engkau dan nonamu itu belum juga menyerahkan derma? Apakah engkau sudah bosan hidup? Losuhu, mereka berdua itu belum menyerahkan dana, bolehkah kalau aku yang memaksa mereka untuk memberi derma?" Untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, si baju kuning hendak menjilat si pengumpul dana dan hendak melakukan penghinaan terhadap Sie Liong dan Ling Ling. Mendengar permintaan si baju kuning, pengumpul dana yang mulai merasa gembira karena hasil pemungutan dana itu dapat dikatakan berhasil baik, lalu mengangguk. Si baju kuning dan dua orang temannya segera mencari golok mereka yang tadi terlepas dari tangan dan dengan lagak jagoan mereka bertiga menghampiri Sie Liong dan Ling Ling yang sedang makan.

Sementara itu, biarpun kelihatan tenang dan melanjutkan makan bersama Ling Ling seolah-olah semua keributan yang terjadi itu tidak menarik perhatiannya, namun sesungguhnya begitu si pengumpul dana itu mengeluarkan bendera kecil dan terdengar seruan orang tentang Kim-sim-pai, kemudian mendengar ucapan pria tinggi beser itu bahwa semua penyumbang akan diberkahi oleh Kim Sim Lama, dia sudah tertarik sekali. Nama Kim Sim Lama pernah didengarnya dari Coa Kiu orang ketiga dari Tibet Sam Sinto yang membantu Thai-yang Suhu tokoh Pek-lian-kauw ketika mereka menculik gadis-gadis dusun. Menurut pengakuan Cia Kiu, Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang pernah mengganggu guru-gurunya di pegunungan Kun-lun, adalah kaki tangan Kim Sim Lama yang hendak memberontak terhadap Dalai Lama! Dan orang ini, si tinggi besar yang mengumpulkan dana dengan kekerasan, adalah seorang diantara anak buah Kim Sim Lama! Maka, dia sudah memutar otak, mencari cara yang terbaik untuk menghubungi Kim Sim Lama melalui anak buahnya ini. Hanya dengan memasuki tempat gerombolan pemberontak Tibet itulah dia akan dapat memperoleh keterangan yang amat baik tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu di Himalaya. Tiga orang pemuda berandalan yang berlagak jagoan itu, selain ingin mengambil hati si pemungut dana yang amat lihai itu, juga ingin melampiaskan kemarahan mereka kepada Sie Liong dan kalau mendapat kesempatan tentu saja ingin juga menggoda Ling Ling yang manis. Dengan sikap digagah-gagahkan, dengan dada dibusungkan, mereka membawa golok mendekati Sie Liong dan Ling Ling. Si baju kuning menggebrak meja sehingga makanan diatas meja itu berloncatan.

"Brakk! Hei, onta bongkok! Apakah telingamu juga sudah tuli?" Sie Liong adalah seorang penyabar, akan tetapi sakarang dia dan terutama sekali Ling Ling diganggu orang selagi makan. Dia menoleh dan memandang kepada si baju kuning. "Hemm, sobat. Engkau tadi sudah dihajar oleh pemungut derma itu, apakah masih juga belum jera dan masih ingin menjual lagak disini? Pergilah dan jangan ganggu kami!"

"Keparat, kau berani melawanku?" Si baju kuning mengangkat goloknya dan diayun kearah telinga Sie Liong. Maksudnya jelas, untuk membuntungi sebelah telinga pemuda bongkok itu. Melihat ini, Sie Liong menanggalkan kesabaranhya. Tangan kanan yang memegangi sumpit bergerak menotok kearah pergelangan tangan si baju kuning. "Tukkk!" Golok itu terlepas dan sepasang sumpit itu masih terus meluncur kedepan, menotok kearah dada. Si baju kuning roboh berlutut dan sepakan kaki Sie Liong membuat dia terlempar dan terjengkang lalu terguling-guling! Melihat ini, dua orang temannya yang tak tahu diri menjadi marah. Mereka mengayun golok. Akan tetapi, sepasang sumpit itu kini berada di kedua tangan Sie Liong, masing-masing tangan memegang sebatang dan sekali kedua tangan itu bergerak, dua orang itupun roboh terpelanting keras sekali karena mereka sudah kehilangan tenaga dan lemas seketika. Seperti tadi, dua kali kaki Sie Liong menendang dan tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Setelah itu, Sie Liong membersihkan sepasang sumpitnya, lalu melanjutkan makan minum. Melihat ini, Ling Ling tersenyum gembira. Mampus kalian, pikirnya. Baru tahu ya siapa laki-laki yang bersama dengannya! Biarpun hatinya menjadi benar sekali, terasa mekar saking gembira dan bangganya, namun Ling Ling yang melihat Sie Liong kembali melanjutkan makan minum, iapun melanjutkan makan dengan sikap yang tenang sekali. Terlalu tenang, sambil tak dapat ditahannya ia melirik kesana sini sambil tersenyum-senyum. Sie Liong tentu saja melihat sikap gadis itu dan diam-diam dia merasa geli, akan tetapi juga senang karena dia melihat betapa gadis itu bergembira sekali.

Tiba-tiba Ling Ling terbelalak, mukanya pucat memandang kearah belakang Sie Liong dan ia berbisik, "Liong-ko, awas.... dia datang....!" Sie Liong memutar tubuhnya dan melihat pengumpul dana yang bertubuh tinggi besar itu sudah melangkah perlahan-lahan kearah mejanya. Sikap yang tenang dan langkah yang lambat itu bahkan mendatangkan keseraman, seolah-olah ada

seekor biruang besar datang menghampiri, mengandung ancaman maut. Sepasang matanya melotot dan agaknya dia marah sekali kepada Sie Liong. Sie Liong hanya sejenak saja memandang, lalu dia membalikkan tubuhnya lagi dan melanjutkan makan, seolah-olah tidak terjadi sesuatu! Melihat ini, Ling Ling juga menenang-nenangkan dirinya walaupun ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan gelisah. Ia tadi sudah melihat betapa lihainya si pemungut derma itu, dan agaknya dia kini marah kepada Pendekar Bongkok. Sementara itu, tiga orang pemuda yang tadi terkejut dan kesakitan terkena hajaran Pendekar Bongkok, kini sudah bangkit berdiri, agaknya siap membantu si pemungut dana. Mereka tidak merasa malu telah dihajar oleh si pemungut derma yang ternyata adalah orang Kim-sim-pai, nama yang amat terkenal dan ditakuti diseluruh Tibet. Akan tetapi dihajar oleh seorang pemuda asing yang bertubuh bongkok? Sungguh merupakan penghinaan yang memalukan sekali, apalagi si bongkok itu muncul bersama seorang gadis cantik! Kini, melihat orang Kim-sim-pai menghampiri si bongkok, mereka mengharapkan agar si bongkok itu dihajar oleh orang Kim-sim-pai itu agar mereka dapat membalas penghinaan tadi, terhadap si bongkok maupun terhadap si gadls manis!

"Orang muda bongkok, dan kau juga nona. Cepat keluarkan seluruh barang milik kalian dan karena kalian tadi berani menghina tiga orang yang membantuku, maka kalian harus juga menyerahkan pakaian yang menempel ditubuh kalian. Hayo cepat!"

Mendengar perintah ini, tiga orang pemuda yang berada dibelakang pendeta pemungut derma itu tertawa-tawa menyeringai, membayangkan betapa akan senangnya melihat nona manis itu dipaksa bertelanjang bulat di depan mereka, juga si bongkok! Akan tetapi kalau wajah Ling Ling berubah merah sekali mendengar ucapan orang Kim-sim-pai itu, sebaliknya Sie Liong bersikap tenang-tenang saja. Akan tetapi dia memutar tubuhnya dan masih duduk, menghadapi raksasa  yang berdiri jangkung didepannya itu.

"Lo-suhu, engkau seorang pendeta, akan tetapi permintaanmu itu sungguh tidak sewajarnya. Bagaimana kalau kami menolak permintaanmu itu?"

Orang tinggi besar itu terbelalak kemudian tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu terguncang dan suara ketawanya menggetarkan seluruh tamu yang berada disitu. "Ha-ha-ha! Orang muda bongkok! Engkau belum mengenal siapa aku? Aku disebut orang Si Biruang Hitam dan belum pernah ada orang berani menentang perintahku! Kalau kalian tidak mentaati aku dan berani menolak perintahku, terpaksa aku akan dengan paksa menelanjangi kalian disini, kemudian kubikin bongkokmu menjadi lurus!"

"Ha-ha-ha!" Tiga orang pemuda itu tertawa dan disambung oleh si baju kuning. "Lo-suhu, kalau bongkoknya diluruskan, berarti tulang punggungnya akan patah-patah dan dia akan mampus!"

"Kebetulan kalau begitu! Si manis ini kita yang merawat dan memeliharanya!" kata yang lain. Kedua pipi Sie Liong mulai berubah merah dan diapun bangkit berdiri. Memang dia nampak bongkok dan lemah didepan anggauta Kim-sim-pai yang tinggi besar dan menyeramkan itu, seperti seekor domba berhadapan dengan seekor biruang! Semua tamu memandang gelisah, bahkan Ling Ling juga agak pucat, khawatir kalau-kalau "jagonya" sekali ini akan kalah karena sikap orang Kim-sim-pai itu memang menyeramkan sekali.

"Lo-suhu, sungguh aku merasa heran sekali melihat sikap dan sepak terjangmu. Engkau berjubah pendeta dan engkau mengumpulkan dana untuk para pendeta dan kuil. Ini berarti bahwa engkau adalah seorang manusia yang menjauhkan diri dari kesesatan, menjauhkan diri dari kekuasaan iblis yang bekerja melalui pengaruh nafsu, mendekatkan diri dengan Tuhan dan selalu mengikuti jalan kebenaran. Akan tetapi mengapa sepak terjangmu seperti ini? Sebenarnya engkau ini pendeta ataukah penjahat? Sadarlah, losuhu, sebelum terlambat!"

Sepasang mata itu melotot, mulut itu ternganga karena anggauta Kim-sim-pang itu terheran-heran, hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bertubuh cacat bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya! Kalau yang berkata demikian itu atasannya di Kim-sim-pang, atau setidaknya seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi, atau seorang pejabat tinggi yang berkuasa, dia tidak akan merasa heran. Akan tetapi seorang pemuda biasa, asing pula, bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu, didepan umum pula? Dia merasa terhina bukan main dan api kemarahan seperti hendak membakar-hanguskan kepala dan dadanya!

"Demi semua dewa dan iblis! Siapakah engkau berani berkata seperti itu kepada Biruang Hitam? Hayo mengaku siapa engkau sebelum engkau terlanjur mampus dan menjadi mayat tanpa nama!" Berkata demikian, Si Biruang Hitam itu sudah menggerak-gerakkan sepuluh buah jari tangannya dun terdengar bunyi berkerotokan seolah-olah semua potongan tulang jari tangannya menjadi hidup dan berteriak-teriak. Sie Liong bersikap tenang saja. Dia tahu apa artinya bunyi berkerotokan pada buku-buku jari tangan orang itu. Seorang yang memiliki tenaga yang amat kuat dan jari-jari tangan itu telah terlatih, akan tetapi tenaga itu baginya tidak berbahaya, hanya merupakan tenaga luar yang nampaknya saja dahsyat.

"Namaku Sie Liong dan aku sama sekali tidak ingin memusuhimu, akan tetapi tentu saja aku akan menentang segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga."

"Bagus! Aku akan menelanjangimu, baru membunuhmu dan menyerahkan nona ini kepada tiga orang pemuda ini!" Berkata demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk kedepan, gerakannya memang mirip seekor biruang yang menyerang dahsyat. Namun, Sie Liong sudah siap siaga dan dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya menyelinap kekiri sehingga tubrukan itu luput.

"Hyaaaaahhhhh....!" Pendeta itu semakin marah ketika tubrukannya luput dan dengan bentakan nyaring, kedua lengannya yang tadi menjulur kedepan, segera dibabatkan kekanan mengejar bayangan Sie Liong dan kedua tangannya membentuk cakar harimau, mencengkeram kearah dada dan muka Pendekar Bongkok.

Karena serangan susulan ini amat cepat datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong menyambutnya dengan tangkisan lengan kanan yang diputar dari kiri bawah kekanan atas. "Desss....!!" Kedua lengan pendeta itu sekaligus tertangkis oleh lengan kanan Sie Liong yang mengerahkan sin-kang dan akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting dan jatuh terbanting menimpa meja! Sungguh sial baginya, mukanya berada dibawah dan tanpa dapat dicegahnya lagi, mukanya masuk kedalam mangkok besar yang masih terisi masakan! Seperti harimau terjebak, dia menggereng marah dan ketika dia meloncat bangkit lagi, mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat, nampak buruk, lucu, akan tetapi juga mengerikan! Pada saat itu, Sie Liong mendengar suara Ling Ling menjerit dan ketika dia menoleh, ternyata tiga orang pemuda itu seperti berlumba hendak menelanjangi dan menciumi Ling

Ling yang melawan mati-matian, mencakar dan menampar sejadi-jadinya.

"Pengecut-pengecut busuk!" Sie Liong membentak marah, tangannya meraih beberapa batang supit dari meja berdekatan dan begitu tangan itu bergerak, tiga batang sumpit meluncur bagaikan anak panah. Tiga orang pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu menjerit dan roboh sambil berteriak-teriak dan mengaduh-aduh kesakitan karena pangkal lengan mereka dekat pundak telah tertembus sebatang sumpit! Rasa nyeri membuat tubuh mereka panas dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas! Ling Ling yang marah bukan main kepada mereka,

segera menyambar barang seadanya diatas meja berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut sisa isinya keatas kepala tiga orang itu. Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya mangkok piring diatas kepala tiga orang pemuda itu yang menjadi semakin kesakitan. Nampak kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol! Kini perkelahian antara tokoh Kim-sim-pai dan Pendekar Bongkok berlangsung seru. Meja kursi berserakan dan pendeta itu sudah marah dan penasaran bukan main. Semua serangannya selalu dapat dielakkan lawan, bahkan setiap kali ditangkis, dia merasa seluruh lengannya nyeri dan tubuhnya tergetar hebat. Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya cukup tinggi, tahulah anggauta Kim-sim-pai itu bahwa pemuda bongkok itu sungguh memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi dan aneh. "Pemuda bongkok, sekarang saatnya engkau mampus!" bentak orang itu dan dia menyambar tongkat bututnya yang tadi dia letakkan diatas meja bersama hio-louw yang sudah terisi banyak uang sumbangan dari para tamu yang ketakutan tadi. Kalau tadi dia tidak mau mempergunakan tongkatnya adalah karena dia memandang rendah pemuda bongkok itu. Setelah semua serangannya gagal bahkan tiga kali dia terpelanting, akhirnya dia tidak mau sungkan lagi dan sudah menyambar tongkat bututnya dan sambil menggereng diapun menyerang dengan tongkatnya. Tongkat itu terbuat dari kayu hitam yang berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya selengan tangan dan panjangnya setinggi tubuh pemiliknya. Namun, ketika dipakai menyerang, tongkat itu berputar dan lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara bersiutan!

Melihat gerakan lawan yang menggunakan tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan itu cukup berbahaya. Maka, diapun tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia mengerahkan tenaganya dan kedua tangannya mengepulkan uap putih ketika dia bergerak dengan ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Put ih). Dengan berani dia menyambut gulungan sinar hitam itu dengan kedua tangannya, menangkis sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang. "Krakkkk!" Tongkat itu patah-patah menjadi tiga potong dan selagi anggguta Kim-sim-pai itu terkejut, tangan kiri Sie Liong sudah mendorongnya dengan pengerahan Swat-liong-ciang (Pukulan Naga Salju).

"Plakkk!" Nampaknya tidak terlalu keras telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada dekat pundak lawan, namun akibatnya sungguh hebat. Tubuh tinggi besar itu terjengkang menabrak meja kursi dan ketika akhirnya dia merangkak bangun, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil kedinginan! Demikian hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu, mengandung kekuatan sin-kang yang amat dingin menembus tulang! Masih untung bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak berniat membunuhnya sehingga membatasi tenaganya. Kalau dia menggunakan seluruh tenaga Swat-liong-ciang, tentu lawannya takkan mampu bangkit kembali, darahnya akan menjadi beku dan dia akan tewas seketika. Orang itu yang berjuluk Biruang Hitam, bangkit dan memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak. "Kau.... kau.... yang berjuluk Pendekar Bongkok....!" Akhirnya dia bertanya. Sie Liong tidak menjawab, hanya mengangguk. Kembali orang itu nampak terkejut dan dia lalu menghela napas panjang.

"Pendekar Bongkok, nama besarmu bukan kosong belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi urusan kita bukan berakhir sampai disini saja!" Kalimat terakhir itu mengandung ancaman dan diapun menghampiri hio-louw diatas meja dan mengangkatnya lalu melangkah hendak pergi.

"Biruang Hitam, tahan dulu! Engkau telah merusakkan banyak prabot rumah makan ini dan hendak pergi begitu saja membawa semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi hio-louw itu disini!" kata Sie Liong yang melihat banyak meja kursi patah-patah dan mangkok piring pecah-pecah. Biruang Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menyeringai pahit dan tiba-tiba dia berkata, "Nah, terimalah ini!" Dia melontarkan hio-louw yang amat berat itu kearah Sie Liong! Ling Ling terkejut sekali karena hio-louw yang berat itu menyambar kearah Sie Liong, juga para tamu dirumah makan itu terbelalak dan merasa tegang. Namun, dengan tangan kirinya, Sie Liong menyambut hio-louw itu, lalu menuangkan seluruh isinya keatas meja. Kemudian, dia melontarkan kembali hio-louw itu kearah Biruang Hitam sambil berseru.

"Bawalah pulang hio-louwmu ini dan jangan lagi mengganggu penduduk!" Hio-louw itu melayang kearah Biruang Hitam yang terpaksa menerimanya dengan kedua tangannya. Akan tetapi kini berat hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran yang amat kuat dari Sie Liong. Biruang Hitam terhuyung dan biarpun dia tidak sampai roboh, namun ketika akhirnya dia dapat bertahan berdiri dengan kedua kaki gemetar, dari ujung mulutnya mengalir darah segar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menerima lontaran kembali hio-louw kosong tadi, dia telah menderita luka dalam. Tanpa bicara lagi diapun melangkah pergi meninggalkan rumah makan itu. "Pendekar Bongkok....!" Kini para tamu berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka memandang kepada pemuda bongkok itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan juga gentar. Tiga orang pemuda yang tadi roboh terkena tusukan sumpit kemudian dihajar kepala mereka dengan mangkok piring oleh Ling Ling, kini merangkak dan dengan tubuh gemetar ketakutan mereka berlutut dan menghadap ke arah Sie Liong.

"Taihiap, harap, ampunkan kami...." katanya.

"Ampun, taihiap, mata kami seperti buta tidak melihat seorang pendekar sakti...." kata yang kedua.

"Taihiap.... Siocia (nona).... kami tidak berani lagi...." kata pemuda yang ketiga.

Melihat sikap tiga orang pemuda yang rupanya sudah tidak karuan itu, baju robek-robek, muka berlepotan kuah, masakan dan darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk sumpit, mengangguk-angguk sambil berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling pandang dan keduanya lalu tertawa geli.

"Liong-ko, biarkan tiga lalat ini terbang pergi!" kata Ling Ling gembira dan bangga bukan main karena kemenangan Sie Liong yang menimbulkan kekaguman kepada semua orang. Kalau tadi semua orang memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh, kini semua mata memandang kagum dan juga gentar!

Sie Liong lalu memandang kepada tiga orang itu. "Nah, kalian sudah mendengar? Hayo terbang pergi!" bentaknya. Tiga orang pemuda itu lalu bangkit dan dengan terhuyung-huyung mereka lari keluar dari rumah makan itu, diiringkan senyum bahkan suara ketawa beberapa orang tamu rumah makan.

Sie Liong memanggil pengurus rumah makan. "Engkau perhitungkan berapa kerugian karena kerusakan ini, lalu ambil dari uang diatas meja ini. Selebihnya, kembalikan kepada para tamu yang tadi dipaksa untuk memberi sumbangan." Dia lalu mengeluarkan uang membayar harga makanan dan minuman, kemudian memegang tangan Ling Ling dan menggandeng gadis itu keluar dari situ. Dengan bangga sekali Ling Ling memegang tangan pendekar itu dan ketika mereka berjalan keluar, ia merapatkan tubuhnya.

Akan tetapi ia tidak tahu betapa diam-diam Sie Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling Ling dengannya akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya dan terutama sekali bahaya besar bagi Ling Ling. Pula, tadi di rumah makan sudah terbukti jelas betapa gadis itu selama hidupnya akan menderita batin mendengar ejekan orang-orang kalau sampai menjadi teman hidupnya. Gadis yang semanis Ling Ling tidak pantas menjadi isteri seorang pria cacat seperti dia! Kalau dipaksakan, Ling Ling akan selalu mendengar ejekan orang. Masih baik kalau perasaan dan hatinya kuat, bagaimana kalau kelak sampai terguncang? Bukan tidak mungkin, dan dia pun tidak akan terlalu menyalahkan kalau kelak timbul penyesalan dalam hati Ling Ling, telah menjadi isteri seorang pria yang cacat! Siapa tahu kelak akan datang penggoda, seorang pria yang tampan dan baik, sehat dan tidak cacat, dan hati Ling Ling jatuh. Kalau terjadi demikian, dia tidak akan dapat menyalahkan Ling Ling walaupun hal itu akan menghancurkan hatinya. Daripada menghadapi bahaya seperti itu, jauh lebih baik menyingkiri bahaya itu. Dan satu-satunya jalan adalah berpisah dari Ling Ling! Hal itu sudah sejak lama dia pikirkan, sebelum mereka memasuki kota Lok-yang. Ling Ling adalah seorang gadis yang manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah jatuh cinta kepadanya. Masih banyak sekali pemuda yang tampan dan berbudi baik, yang pantas untuk menjadi jodoh gadis yang bernasib malang ini. Dia tahu bahwa diam-diam dia amat tertarik kepada Ling Ling, bahkan dapat dia mengaku bahwa dia telah jatuh cinta kepada Ling Ling dan akan merasa berbahagia sekali kalau selanjutnya dia hidup berdampingan dengan gadis itu sebagai suami isteri. Dan diapun dapat merasakan bahwa Ling Ling mencintanya! Akan tetapi, tentu cinta gadis itu timbul karena merasa berhutang budi dan merasa kasihan, bukan cinta seorang wanita yang tertarik oleh seorang pria.

"Tidak, aku tidak boleh merusak kehidupan Ling Ling!" demikian dia telah mengambil keputusan sebelum mereka memasuki Lasha. Dan begitu masuk kota itu, dalam rumah makan tadi, kembali mereka telah mengalami gangguan yang timbul karena Ling Ling berdekatan dengan dia! Andaikata Ling Ling memasuki rumah makan itu bersama seorang pria yang sepadan, seorang pemuda yang tampan dan gagah, tak mungkin timbul keributan tadi. Tentu tidak akan ada yang mengejek. Peristiwa itu membuat dia semakin teguh dalam niatnya untuk memisahkan diri dari Ling Ling. Dia sedang menunaikan tugas yang amat berbahaya. Banyak lawan yang lihai berada didepannya. Kalau dia diikuti oleh Ling Ling, hal itu tentu akan mendatangkan bahaya besar mengancam diri

Ling Ling. "Kita sekarang kemana, Liong-ko?" tanya Ling Ling dengan sikap manis.

"Kita kerumah penginapan dulu, Ling-moi. Engkau perlu beristirahat dan nanti aku akan pergi sebentar untuk melakukan penyelidikan, melaksanakan tugasku. Hanya kuminta agar engkau tidak keluar dari kamarmu sebelum aku pulang, karena seperti engkau lihat sendiri tadi, disini juga banyak berkeliaran orang jahat."

Mereka memilih sebuah rumah penginapan dan menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Setelah mendapatkan dua buah kamar, Sie Liong sekali lagi memesan kepada Ling Ling agar jangan keluar dari dalam kamar sebelum dia kembali.

"Baik, Liong-ko. Kalau aku tidak boleh ikut denganmu, aku akan menanti dalam kamar ini sampai engkau pulang. Biar setahun akan kunanti!" katanya setengah bergurau, lalu disambungnya cepat. "Akan tetapi, Liong-ko, kau nanti jangan terlalu lama, ya?"

Sie Liong mengangguk, kemudian meninggalkan kamar itu setelah menyuruh Ling Ling menutupkan daun pintu rapat-rapat. Sie Liong lalu pergi kembali kerumah makan tadi. Pengurus rumah makan menyambutnya dengan ramah dan penuh hormat.

"Ah, taihiap datang kembali? Apakah yang dapat kami bantu untuk taihiap?" tanya pemimpin rumah makan itu. "Dapatkah aku bicara empat mata denganmu, toako?" tanya Sie Liong kepada pemilik rumah makan yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu. Pemilik rumah makan itu memandang heran, akan tetapi dia mengangguk dan mempersilakan Sie Liong masuk kebagian belakang rumah makan itu yang merupakan rumah tinggalnya bersama isteri dan dua orang anaknya. "Begini, toako. Aku berani bicara denganmu karena engkaulah satu-satunya orang yang kukenal di Lasha ini, walaupun baru sekali kita bertemu yaitu ketika terjadi keributan tadi. Engkau sudah mengenal siapa aku dan kuharap engkau suka membantuku. Engkau sudah melihat nona yang datang bersamaku tadi?"

Pemilik rumah makan itu mengangguk, dan semakin heran. "Ia adalah seorang sahabat baikku, akan tetapi ia yatim piatu dan hidup sebatangkara, juga ia seorang gadis yang lemah. Aku sedang melaksanakan tugas penting dan tidak mungkin membawanya terus karena hal itu akan menimbulkan bahaya seperti yang kaulihat sendiri dalam peristiwa tadi. Mengertikah engkau, toako?"

Pemilik rumah makan itu mengangguk, akan tetapi mengerutkan alis karena dia tetap tidak mengerti mengapa pendekar ini menceritakan itu semua kepadanya. "Sebelum aku melanjutkan, aku hendak memperkenalkan diri kami lebih dahulu, toako. Namaku Sie Liong dan seperti engkau mendengar tadi, aku dijuluki orang Pendekar Bongkok. Adapun sahabatku itu bernama Sam Ling, biasa disebut Ling Ling. Ia yatim piatu dan menjadi tanggung jawabku. Nah, sekarang aku akan mencarikan sebuah tempat tinggal yang aman bagi Ling Ling, sebuah keluarga yang dapat kupercaya untuk ditumpangi gadis itu. Untuk sementara waktu saja, sampai aku menyelesaikan tugasku, entah berapa hari lamanya. Dan tentu saja aku akan membayar semua biaya yang dikeluarkan selama Ling Ling mondok pada keluarga itu. Demikianlah, toako, dapatkah engkau menolong kami?"

Pemilik rumah makan itu adalah seorang keturunan Han Tibet, seperti juga Ling Ling. Dia menarik napas panjang. "Taihiap, semua orang di Lasha tahu bahwa aku adalah seorang pemilik rumah makan ini sejak ayahku dahulu dan bahwa kami adalah orang-orang yang mencari penghasilan dengan jujur. Aku dapat mengerti keadaan taihiap dan nona itu, dan seandainya tidak terjadi peristiwa tadi, tentu dengan senang hati aku menerima nona Ling Ling untuk tinggal di rumah kami sementara waktu. Akan tetapi.... setelah peristiwa tadi terjadi, amatlah berbahaya kalau ia tinggal bersama kami, taihiap. Tentu semua orang akan tahu bahwa ia mondok bersama kami dan kalau hal ini terdengar oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, kemudian terdengar oleh Kim-sim-pai, tentu kami sekeluarga akan celaka! Taihiap tidak menghendaki kami sekeluarga celaka, bukan?"

Sie Liong menghela napas. Dia dapat mengerti alasan yang dikemukakan pemiliki rumah makan itu. "Tentu saja kami tidak menghendaki demikian. Akan tetapi barangkali engkau dapat menunjuk keluarga lain yang kiranya dapat kutitipi Ling Ling untuk sementara waktu...."

Pemilik rumah makan itu mengingat-ingat, kemudian dia memandang pendekar itu dengan senyum cerah. "Ah, memang ada dan tepat sekali, taihiap. Seorang bibiku yang sudah tua hidup seorang diri di kota ini, disudut kota dan dalam kampung yang tersembunyi dan sepi. Bibi Cili tentu akan suka menerima nona Ling Ling untuk sementara tinggal bersamanya. Ia bibiku sendiri, taihiap dan boleh percaya!"

Wajah Sie Liong berseri gembira. "Bagus! Sungguh aku berterima kasih sekali kepadamu, toako. Dapatkah kita sekarang pergi menemui bibi Cili untuk membicarakan masalah ini?"

Pemilik rumah makan itu dengan senang hati mengantar Sie Liong mengunjungi janda Cili dan benar saja seperti yang dikatakan pemilik restoran itu. Janda itu dengan senang hati menerima kehadiran Ling Ling dirumahnya berarti ia mempunyai seorang teman. Janda berusia lima puluh lima tahun ini ramah dan juga nampak sehat. Rumahnya tidak terlalu besar namun bersih dan pantas, karena janda ini hidup dari tunjangan para keponakannya, antara lain dari pemilik rumah makan itu.

Malam itu juga Sie Liong mangajak Ling Ling untuk pindah kerumah janda Cili.

"Akan tetapi kenapa kita harus pindah kamar malam ini juga, Liong-ko?" tanya Ling Ling ketika berkemas. "Bukan kita, Ling-moi, melainkan engkau sendiri."

Tangan yang tadinya sibuk mengemasi pakaian berhenti bergerak dan sepasang mata Ling Ling terbelalak menatap wajah Sie Liong. "Aku sendiri? Dan engkau....?"

"Aku harus melakukan penyelidikan melaksanakan tugasku, Ling-moi, engkau akan tinggal bersama bibi Cili untuk sementara waktu sampai selesai tugasku dan...."

"Tidak, Liong-ko, tidak..... Aku tidak mau berpisah.... aku tidak mau kautinggalkan! Aku ikut bersamamu, Liong-ko, kemanapun engkau pergi....!" Gadis itu memandang dengan wajah membayangkan kegelisahan. Sie Liong tersenyum dan memegang tangannya, tangan yang dingin dan gemetar, tangan seorang yang jelas amat membutuhkan perlindungannya.

"Tenanglah, Ling-moi. Tidak mungkin engkau ikut denganku selama aku mengadakan penyelidikan. Terlalu berbahaya. Ingat saja tadi, di rumah makan, sudah muncul ancaman bahaya. Apalagi kalau aku melakukan penyelidikan dan bertemu dengan banyak lawan yang tangguh...."

"Aku tidak takut, koko! Aku tidak takut! Biar sampai mati sekalipun aku rela asal dekat denganmu. Bersamamu, aku tidak takut menghadapi apapun juga, asal kita jangan saling berpisah...."

"Aku percaya bahwa engkau tidak takut, Ling-moi, akan tetapi akulah yang khawatir. Kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, aku akan selamanya menyesal. Karena itu, biarlah untuk sementara ini engkau tinggal bersama bibi Cili, seorang janda yang ramah. Nanti setelah tugasku selesai, aku akan menjemputmu. Bagaimanapun, engkau harus dapat membiasakan diri, Ling-moi. Tak mungkin kita akan selamanya berkumpul...."

"Liong-koko.... Aku ingin selamanya berkumpul denganmu.... ah, aku.... aku.... jangan tinggalkan aku, koko...." Dan Ling Ling menangis! Sie Liong mengerutkan alisnya, hatinya seperti diremas. Dia maklum akan isi hati gadis itu. Akan tetapi, dia harus mengeraskan hatinya. Demi kebahagiaan Ling Ling di kemudian hari. Sekarang ini, demi keamanan Ling Ling. "Ling-moi! Apakah engkau mulai sekarang membantah keinginanku? Apakah engkau ingin membuat aku bingung dan susah?" Tangis itu seketika berhenti dan gadis itu mengangkat mukanya, menatap wajah Sie Liong dengan muka pucat. Tangisnya terhenti akan tetapi mata yang terbelalak itu kemerahan dan masih berlinang air mata. "Maaf.... maafkan aku, koko. Aku tidak ingin membuatmu bingung dan susah.... aku taat.... aku patuh, aku hanya ingin selalu berada disampingmu. Mati bukan apa-apa bagiku, akan tetapi berpisah dari sampingmu.... ah, tak dapat aku membayangkan itu...." Ia menutupi mukanya, tidak menangis lagi melainkan seolah-olah hendak menutupi penglihatan bayangan yang menakutkan dan menyedihkan. Sie Liong membiarkan gadis itu menguasai dirinya kembali. Dia memang sudah menduga sebelumnya bahwa keputusannya yang disampaikan kepada Ling Ling tentu akan diterima dengan kaget dan sedih oleh gadis itu. Setelah dia melihat gadis itu menurunkan kedua tangannya dari depan mukanya, Sie Liong tersenyum kepadanya, senyum yang membesarkan hati, senyum yang ramah dan penuh pengertian.

"Ling-moi, kita manusia hidup di dunia ini harus selalu siap untuk menghadapi segala macam peristiwa tanpa menilainya sebagai suka dan duka. Semua adalah wajar saja, karena kita yakin bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, Ling-moi. Pertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan, hanya waktu saja yang berbeda dan menentukan, oleh karena itu, kita selalu harus siap siaga menghadapinya. Kalau aku mengambil keputusan agar engkau tinggal dulu bersama bibi Cili, hal itu hanya karena aku ingin melihat engkau berada dalam keadaan yang aman, tidak terbawa ancaman bahaya seperti kalau engkau ikut denganku."

"Tapi.... tapi.... hanya untuk sementara, bukan, Liong-ko? Kalau sudah selesai tugasmu, engkau tentu akan menjemputku, bukan? Dan memperbolehkan aku hidup disampingmu?"

Sie Liong menarik napas panjang. Dia merasa belum waktunya baginya untuk berterus terang kepada gadis ini akan perasaan rendah dirinya, akan keputusan hatinya bahwa gadis ini tidak akan menemukan kehidupan yang cerah kalau menjadi jodohnya, akan selalu menghadapi cemoohan dan penghinaan dari orang lain. Kelak saja, kalau perlu, setelah selesai tugasnya, dia akan memberitahu isi hatinya. Sekarang ini, Ling Ling sudah terlampau sedih oleh perpisahan sementara sehingga dia tidak tega untuk menambah lagi beban penderitaan batinnya dengan pengakuan yang akan menghancurkan hati gadis itu.

"Aku berjanji, Ling Ling, bahwa setelah selesai tugasku, aku tentu akan menjemputmu di rumah bibi Cili." Mendengar janji ini, seketika wajah yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan dan cerah kembali. Senyumnya muncul bagaikan matahari setelah awan gelap tercurah menjadi hujan. "Liong-ko, katakanlah, berapa lama aku harus menanti di rumah bibi Cili?"

Pertanyaan ini tidak disangka-sangka oleh Sie Liong sehingga dia menjadi agak bingung karena tidak tahu berapa lama dia akan dapat menyelesaikan tugas itu. Dia hanya mendengar pengakuan Coa Kiu, orang ketiga dari Tibet Sam Sinto bahwa Tibet Ngo-houw, lima orang yang harus diselidikinya itu merupakan tokoh-tokoh utama di Tibet, bahkan merupakan pendukung dari Kim Sim Lama yang menjadi pemimpin pemberontak terhadap Dalai Lama di Tibet! Dia tidak tahu berapa lama dia akan mampu menyelesaikan tugasnya. Mungkin seminggu, sebulan dan bukan tidak mungkin pula setahun baru selesai atau bahkan belum selesai! Apalagi kalau yang diselidikinya itu menyangkut soal pemberontakan!

Melihat pemuda pujaan hatinya itu nampak ragu-ragu untuk menjawab, Ling Ling merasa khawatir sekali. "Bagaimana, koko? Berapa lama aku harus menanti engkau datang menjemputku? Seminggu?"

"Aih, Ling-moi, urusan yang kuhadapi ini bukan mudah, membutuhkan waktu yang lebih lama. Kiranya tidak mungkin kalau hanya seminggu...."

"Kalau begitu, satu bulan? Satu bulan amat lama, koko. Tentu paling lama sebulan engkau akan datang menjemputku, bukan?"

Mendengar betapa suara gadis itu mengandung kegelisahan dan harapan, Sie Liong merasa tidak tega untuk mengecewakan hatinya. Andaikata selama sebulan dia belum dapat menyelesaikan tugasnya, setidaknya dia akan dapat berkunjung kerumah bibi Cili dan mengabarkan keadaannya kepada Ling Ling, mengatakan bahwa tugasnya belum selesai. Maka diapun mengangguk.

"Akan kucoba untuk menyelesaikan tugasku selama sebulan."

Wajah itu nampak lega dan tersenyum kembali, dan keharuan menyelinap didalam hati Sie Liong. Melihat senyum itu saja, ada perasaan melekat dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia akan tega meninggalkan gadis yang agaknya telah menyerahkan seluruh harapan hidupnya kepadanya itu? "Aku akan sabar menanti, koko."

Hati Sie Liong juga merasa lega. Setidaknya, walau belum terlepas benar dari gadis itu, dia sudah dapat memisahkan diri. Hal ini mengandung dua keuntungan. Pertama, dia dapat melakukan penyelidikan tanpa dibebani perlindungan kepada Ling Ling yang tentu kalau ikut dengannya akan merupakan halangan dan hambatan yang amat merepotkan, juga membahayakan. Kedua, biarlah mereka saling berpisah untuk sementara waktu agar gadis itu memperoleh kesempatan untuk berkenalan dan bergaul dengan pemuda lain, pemuda yang tidak cacat, yang pantas menjadi pendamping gadis itu. Diam-diam dia sudah berpesan kepada bibi Cili agar memberi kesempatan kepada "adik angkatnya" itu untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda yang baik karena dia ingin adiknya memperoleh seorang calon suami yang baik. Juga dia mengancam bahwa kalau terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap diri adiknya, dia kelak akan membuat perhitungan, sebaliknya kalau janda itu menjaga Ling Ling dengan baik, dia akan memberi hadiah yang layak. Pada hari itu juga, pergilah Sie Liong meninggalkan Ling Ling dirumah janda Cili, dan keberangkatannya diantar pandang mata sayu namun dengan senyum penuh kepercayaan, yang membuat langkah Sie Liong terasa berat sekali.

***

Bi Sian memasuki kota Lasha dengan wajah gembira. Bangunan-bangunan kuno dan besar megah dikota itu membuat dia kagum sekali. Sebuah kota yang lain daripada yang lain, terletak di daerah pegunungan yang hawanya dingin dan bangunan raksasa itu berderet-deret di lereng-lereng bukit. Bangunan raksasa yang berderet-deret itu adalah tempat tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang merupakan golongan yang paling berkuasa dan kuat di Tibet. Ia tidak tahu betapa kemunculannya menarik perhatian banyak orang, terutama kaum prianya karena ia adalah seorang gadis yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang tambal-tambalan itu sungguh aneh sekali. Tambal-tambal akan tetapi tidak butut, bahkan baru dan bersih! Bukan hanya mata para pria yang berada di jalan raya kota Lasha saja yang memandang kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari samping dan diapun kagum dan bangga. Melihat gadis itu berwajah demikian cerah dan gembira, sepasang matanya yang indah itu bersinar dan mulutnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan bagaikan menari, sungguh Bi Sian merupakan seorang wanita yang memiliki daya tarik amat besar. Dan dia berbangga hati karena dialah pria yang mendampingi gadis ini. Bahkan pandang mata iri dari para pria disitu menambah kebanggaan hatinya! Dia jatuh cinta kepada gadis ini dan biarpun Bi Sian belum menjawab secara meyakinkan, namun gadis itu tidak marah mendengar dia mengaku cinta. Gadis itu sudah tahu bahwa dia mencintanya dan ia tidak marah. Itu sudah lebih dari cukup untuk sementara ini.

Hanya, kadang dia merasa tersiksa sekali, apalagi kalau mereka terpaksa bermalam di hutan atau kuil tua, melihat gadis itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu birahinya membakar dirinya, dan dia tidak berani apa-apa, menyentuhpun tidak berani. Sama halnya dengan seorang kelaparan melihat dan mencium makanan lezat didepan hidung dan mulut, akan tetapi tidak boleh menjamahnya! Akan tetapi, melihat betapa gadis yang dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu memasuki kota Lasha, Bong Gan mengerutkan alisnya, teringat akan kemungkinan adanya Sie Liong di kota ini. Dia lalu menyentuh lengan Bi Sian dan ketika gadis itu memandang kepadanya, dia memberi isyarat agar dia itu mengikutinya, menyelinap diantara rumah penduduk dan berada dibalik sebuah rumah, tidak nampak dari jalan raya. "Ada apakah, sute?" tanya Bi Sian ketika mereka berada dibalik rumah itu dan tidak nampak oleh orang lain. "Aku baru saja teringat, suci. Kita mencari Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah lebih dahulu berada disini, maka sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu disini menarik perhatian orang."

Bi Sian menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut karena ia mengira bahwa ucapan pemuda itu keluar dari hati yang dibakar iri dan cemburu. Ia tadipun melihat betapa pandang mata para pria di kota itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum dan heran, dan agaknya ini yang membuat Bong Gan berkata seperti itu. "Hemm, mengapa tidak baik, sute?" tanyanya, suaranya

mengandung teguran. Bong Gan tersenyum. Dia dapat menduga mengapa sucinya itu bersikap tak senang, "Aih, suci. Aku sama sekali tidak merasa kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum kepadamu, bahkan aku merasa bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kauceritakan kepadaku, Pendekar Bongkok itu melarikan diri ketika kauserang dan agaknya dia tidak suka berkelahi denganmu. Hal ini berarti dia ingin menghindarkan diri darimu. Nah, andaikata dia sudah tiba disini lalu dia mendengar akan kemunculanmu, seorang gadis yang mudah dikenal dan memiliki ciri khas, yaitu cantik manis dengan pakaian tambal-tambalan yang aneh, tentu dia akan lebih dahulu melarikan diri sebelum sempat kita temui."

Bi Sian menarik napas panjang. "Ah, engkau benar, sute. Betapa cerobohnya aku! Benar sekali, kita masuk tanpa diketahui orang, dan lebih dahulu mencari keterangan tentang dirinya. Kiranya tidak akan sukar mencari orang dengan cacat bongkok seperti dia. Nah, kita masuk di rumah makan sana itu, sute, kita makan dan kita sekalian mencari keterangan disana."

Kembali Bi Sian yang memimpin seperti biasanya setelah ia disadarkan oleh sutenya. Dengan berindap kini, tidak menyolok, mereka lalu menuju kerumah makan, masuk dan memilih tempat disudut yang agak gelap dan tidak menyolok, juga tidak nampak dari pintu depan karena terhalang tihang. Tanpa banyak cakap mereka memesan makanan, dan minuman, lalu makan sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah makan itu. Siang hari itu, tidak banyak orang makan di situ. Karena Bi Sian sengaja duduk membelakangi ruangan menghadap dinding, maka Bong Gan yang bertugas sebagai mata-mata dan menyelidiki keadaan ruangan itu, juga beberapa orang tamu yang makan minum disitu. Hanya ada tiga meja yang terisi tamu, masing-masing empat orang sehingga selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang makan minum. Karena Bi Sian sengaja memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia tidak menarik banyak perhatian. Bong Gan tadinya menyapu para tamu dengan pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik, akan tetapi tiba-tiba sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar, kemudian pandang matanya melekat pada seseorang yang baru saja melangkah masuk. Jantungnya superti berhenti berdetak untuk beberapa saat lamanya, kemudian berdebar keras sekali. Apa yang dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar seketika, akan tetapi dia masih teringat bahwa Bi Sian duduk didepannya. Maka dia pun dapat menguasai perasaannya, agar jangan sampai nampak oleh suci-nya. Hanya ada satu yang dapat menarik perhatian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda ini, yalah wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk kedalam rumah makan itu lebih daripada cantik!

Gadis itu usianya sudah dewasa dan matang, setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya berbentuk bulat telur, kulitnya putih mulus agak kemerahan dan sebagian lengannya yang nampak karena lengan bajunya tergulung sebagian, juga berkulit putih halus, dengan bulu lembut. Wajah itu manis sekali, cantik jelita dengan daya tarik yang amat kuat. Kecantikan wajah seorang peranakan Kirgiz dan Han. Bentuk tubuhnya padat dan lemah gemulai, pinggangnya yang ramping itu seperti pohon yang-liu tertiup angin, lenggangnya mempesona, seperti lenggang seekor harimau kelaparan, dengan buah pinggul menari-nari, setiap kali melangkah, tepi lutut sebelah dalam saling bersentuhan. Pakaiannya ketat sekali, membuat lekuk lengkung tubuhnya yang padat berisi dan denok itu membayang jelas. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah punggungnya yang terhias sebatang pedang beronce merah!

Ketika memasuki restoran itu barsama seorang berpakaian pendeta tosu yang usianya sudah enam puluh tahun, pria yang bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah enam puluh tahun masih nampak tampan dan gagah, dengan jubah yang lebar membungkus tubuhnya, wanita itu segera menjadi perhatian para tamu pria yang duduk di rumah makan itu. Gadis itupun melayangkan pandang matanya kedalam ruangan rumah makan, dan ketika ia melihat Bong Gan yang memandang kepadanya dengan kagum, wanita itupun balas menatap dan sinar matanya memancarkan cahaya aneh, wajahnya yang berkulit putih mulus itu menjadi kemerahan, bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu mekar dalam senyum memikat, sepasang matanya lalu melepas kerling yang menyambar bagaikan kilat! Kemudian, gadis itu duduk menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat duduk Bong Gan dan sengaja ia duduk menghadap kearah Bong Gan. Temannya, pendeta tinggi besar itu dengan sikap acuh saja lalu duduk didepannya, membelakangi meja Bong Gan. Pelayan yang tadi juga menyambut Bong Gan dan Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan, kini menghampiri dua orang tamu baru itu dan Song Gan dapat melihat dengan jelas bahwa pelayan itu sudah mengenal mereka, nampak amat menghormat pendeta itu ketika menerima pesanan yang diucapkan oleh si gadis jelita dengan suara merdu.

Bi Sian dapat melihat betapa tadi sute-nya seperti tertarik oleh sesuatu, dan mendengar suara wanita yang merdu memesan makanan, iapun tertarik dan memutar sedikit tubuhnya agar miring dan iapun mengerling kearah meja itu. Melihat wanita yang amat cantik dengan sikap ramah terbuka, dengan pedang di punggung, tentu saja iapun amat tertarik, menduga bahwa tentu wanita itu seorang ahli silat, seorang wanita kang-ouw yang sudah biasa melakukan perantauan. Apalagi ditemani seorang pendeta tosu yang tinggi besar, maka tentu saja kehadiran dua orang itu memang amat menarik perhatian. Melihat betapa Bi Sian melirik kearah wanita itu, Bong Gan bersikap alim dan diapun menundukkan muka, tidak lagi menatap wanita itu. Wanita cantik manis itu tentu saja amat menarik dan memiliki daya tarik yang amat kuat karena ia bukan lain adalah Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz Han yang memang memiliki kecantikan istimewa. Yang berada disampingnya adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw yang tadinya adalah sahabat gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah menjadi sahabat dan juga gurunya pula mengajarkan ilmu sihir dan sebagai imbalannya, Pek Lan menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw yang masih nampak muda dan tampan gagah itu. Seperti telah diceritakan dibagian depan, Thai-yang Suhu mendapat tugas dari Pek-lian-kauw untuk mengumpulkan gadis-gadis dusun yang muda dan cantik untuk dijadikan pelayan di perkumpulan agama sesat

itu. Dalam pekerjaan ini, dia dibantu oleh Pek Lan yang menyamar sebagai "siluma n merah" dan menculiki gadis-gadis dusun yang cantik. Juga tokoh Pek-lian-kauw itu dibantu oleh Tibet Sam Sinto. Akan tetapi, ketika gerombolan ini yang bersembunyi di Bukit Onta sedang mengumpulkan gadis-gadis itu, muncul Pendekar Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka, bahkan membuat Pek Lan dan Thai-yang Suhu terpaksa harus melarikan diri, sedangkan dua orang di antara Tibet Sam Sinto tewas di tangan Pendekar Bongkok. Thai-yang Suhu dan Pek Lan lalu melarikan diri dengan hati gentar menghadapi Pendekar Bongkok yang terlalu kuat bagi mereka. Akan tetapi kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan ke Lasha karena Thai-yang Subu hendak mengabarkan tentang kemunculan Pendekar Bongkok itu kepada Kim Sim Lama, yaitu pimpinan pemberontak di Tibet yang bekerja sama pula dengan Pek-lian-kauw. Dan dalam rumah makan ini, dimana Thai-yang Suhu sudah dikenal oleh pelayannya, mereka melihat Bong Gan dan Bi Sian. Tentu saja Pek Lan segera tertarik bukan main melihat Bong Gan, seorang pemuda yang memang tampan dan gagah! Gairahnya segera bangkit, dan Pek Lan sudah menentukan pilihannya untuk bersenang-senang malam nanti! Gadis ini seperti telah dihinggapi penyakit. Biarpun ia melakukan perjalanan bersama Thai-yang Suhu yang menganggapnya sebagai kekasih, namun setiap kali bertemu seorang pria yang menarik hatinya, Pek Lan tentu akan berusaha untuk menundukkannya. Thai-yang Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan diapun tidak mampu mencegah, bahkan tosu ini acuh saja karena dia sendiripun menganggap Pek Lan hanya sebagai hiburan dan selingan saja! Maka, melihat betapa Pek Lan memperlihatkan kekagumannya kepada pemuda yang duduk di meja sebelah Thai-yang Suhu mengambil sikap tidak perduli. Setelah selesai makan, Bong Gan manggapai pelayan rumah makan untuk membayar harga makanan dan minuman. Sejak tadi, dia sudah main mata dengan gadis cantik itu dan dia melihat betapa gadis jelita itu memberi tanda-tanda dengan kerling mata dan senyumnya bahwa iapun menanggapi perasaan hati Bong Gan! Tentu saja Bong Gan menjadi semakin terpikat dan dia mengambil keputusan untuk malam nanti mancari kesempatan, meninggalkan Bi Sian kalau gadis itu sudah tidur di kamar lain dalam penginapan, untuk mencari gadis peranakan Kirgiz yang amat mempesona ini. Ketika pelayan menerima uang pembayaran dari Bong Gan, pemuda ini yang ingin mempercepat penyelidikan yang dilakukan Bi Sian, segera bertanya, "Kami mencari seorang pemuda yang punggungnya bongkok. Apakah engkau barangkali mengetahuinya? Mungkin dia pernah datang ke rumah

makan ini, atau engkau melihatnya dijalan?" Bi Sign tidak sempat mencegah Bong Gan mengajukan pertanyaan itu, dan iapun memperhatikan dan menanti jawaban si pelayan. Bagaimanapun juga, pertanyaan itu tidak akan mandatangkan kecurigaan kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau mereka bertanya-tanya tentang seorang pemuda bongkok. Akan tetapi, mereka melihat betapa wajah pelayan itu tampak terkejut bukan main. Matanya terbelalak dan sejenak dia memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab agak gugup.

"Kongcu.... eh, apakah dia.... eh, dia seorang pemuda bongkok yang sakti?" Tentu saja Bong Gan dan Bi Sian merasa girang bukan main mendengar pertanyaan itu. Tak salah lagi. Sie Liong yang dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada

orang bongkok yang sakti? Bong Gan mengangguk-angguk.

"Benar dia! Di manakah dia?"

"Dia....? Ah, saya tidak tahu, kongcu...." Pelayan itu menoleh kearah kamar pemilik rumah makan, yang juga dijadikan kantoran. "Saya tidak tahu, akan tetapi majikan saya mungkin tahu...." Dan dia kelihatan seperti orang ketakutan, lalu cepat meninggalkan meja itu sambil membawa uang pembayaran yang diberikan Bong Gan. Tentu saja Bi Sian merasa penasaran sekali. Dia bangkit dan berbisik kepada Bong Gan. "Mari kita bertanya kepada pemilik rumah makan...." Bong Gan mengangguk dan mengikuti sucinya. Ketika mereka melewati meja sebelah dan Bong Gan memandang, Pek Lan menghadiahi sebuah senyum manis dan kedipan mata penuh arti. Melihat ini, Bong Gan tersenyum dan mengangguk sedikit, untuk memberi isyarat bahwa dia dapat menangkap semua isyarat gadis manis itu dan merasa setuju kalau mereka dapat mengadakan hubungan yang lebih dekat!

Bi Sian yang sudah merasa tertarik sekali mendengar berita tentang Sie Liong, sudah langsung menuju ke kantor pemilik rumah makan. Pemilik rumah makan itu sudah mendengar dari si pelayan bahwa gadis cantik berpakaian aneh dan pemuda tampan itu bertanya-tanya tentang Pendekar Bongkok. Kini, melihat mereka mendatangi kantornya, sipemilik rumah makan menyambut dengan pandang mata penuh perhatian. Semenjak dia membantu Pendekar Bongkok, yaitu mencarikan tempat pemondokan untuk gadis peranakan Tibet Han yang menjadi adik angkat Pendekar Bongkok itu, dia tidak lagi pernah bertemu dengan Pendekar Bongkok.

"Apa yang dapat saya lakukan untuk ji-wi (kalian bordua)?" tanyanya ramah. Bi Sian yang sudah tidak sabar lagi untuk segera

mengetahui dimana adanya Sie Liong, segera langsung berkata, "Kami ingin mengetahui tentang seorang pemuda bongkok yang bernama Sie Liong dan yang terkenal dengan sebutan Pendekar Bongkok! Engkau tahu banyak tentang dia, maka kami harap engkau suka menceritakan dimana dia sekarang!"

Bagaimanapun juga, pemilik rumah makan itu bersimpati kepada Pendekar Bongkok yang pernah mengganti kerugiannya ketika terjadi keributan di rumah makan itu, dan bahkan adik angkat Pendekar Bongkok pernah tinggal bersama bibinya, yaitu bibi Cili. Maka, diapun merasa ragu apakah benar kalau dia bicara tentang Pendekar Bongkok kepada dua orang yang belum dikenalnya dan tidak diketahui maksud mereka mencari Pendekar Bongkok. "Maaf, kalau boleh saya mengetahui, siapakah ji-wi dan ada hubungan apakah antara ji-wi dengan Sie Taihiap?"

Kini Bi Sian sudah tidak ragu lagi bahwa pemilik rumah makan ini jelas mengenal Sie Liong dan tahu dimana dia berada, maka kesabarannya habis. Ia ingin segera mengetahui dimana adanya musuh besarnya itu! Ketika melihat ada sumpit-sumpit berdiri digelas tempat menyimpan sumpit, tangannya mengambil segenggam sumpit, lalu ia mengerahkan tenaganya pada jari-jari tangan yang menggenggam sumpit. "Krekk! Krekkk!" Sumpit-sumpit itu patah-patah dan remuk dalam genggaman tangan yang kecil dan berkulit halus lunak itu!

"Sobat, katakan saja cepat-cepat dimana adanya Sie Liong dan jangan berbohong!" kata Bi Sian, lirih dan wajah pemilik rumah makan itu berubah pucat. Hampir dia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Tangan yang kecil dan berkulit halus itu memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya!

"Saya.... saya tidak tahu dimana dia sekarang. Baiklah saya ceritakan perjumpaan saya dengan dia. Silakan duduk, silakan duduk...."

Bi Sian dan Bong Gan duduk dan pemilik rumah makan itu lalu berecrita. Diceritakannya betapa hampir dua bulan yang lalu, Sie Liong Si Pendekar Bangkok pernah makan bersama seorang gadis yang bernama Sam Ling dan diaku sebagai adik angkatnya, di rumah makan itu. Betapa kemudian terjadi keributan yang dilakukan oleh seorang anggauta Kim-sim-pai dan betapa kemudian semua orang baru mengetahui si bongkok itu adalah seorang sakti. "Setelah terjadi keributan itu, Sie Taihiap minta bantuanku untuk mencarikan tempat pemondokan bagi adik angkatnya dan saya menunjukkan rumah bibiku. Kemudian adik angkatnya itu tinggal bersama bibi Cili, akan tetapi Sie Taihiap pergi entah kemana. Sejak itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan dia."

"Apakah adik angkatnya itu masih tinggal disini?" tanya Bi Sian. Pemilik rumah makan itu menggerakkan pundaknya. "Sejak tinggal disana, baru satu kali saya pernah menengok. Dua minggu sejak ia tinggal disana dan sejak itu, saya tidak pernah lagi kesana karena repotnya pekerjaan."

"Hayo cepat antar kami kesana, sekarang juga!" kata Bi Sian dan pandang matanya penuh kepastian. Pemilik rumah makan itu tidak berani membantah, lalu memesan kepada para pelayannya bahwa dia akan pergi sebentar. Tak lama kemudian, keluarlah dia dari rumah makan itu, diikuti Bi Sian dan Bong Gan. Ketika hendak meninggalkan rumah makan, Bong Gan sempat menengok kearah gadis cantik itu dan melihat gadis itu dan pendeta yang menemaninya memandang padanya dengan penuh perhatian. Kembali gadis

cantik itu berkedip kepadanya. Bong Gan tersenyum dengan jantung berdebar. Sayang, pikirnya. Dia belum sempat membuat kencan dengan gadis manis itu. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa gadis itupun "ada hati" kepadanya dan tentu mereka akan dapat saling bertemu lagi dalam suasana yang lebih bebas, berdua saja!

Pemilik rumah makan itu mengantar Bi Sian dan Bong Gan ke rumah bibi Cili. Akan tetapi ketika mereka tiba disitu, gadis yang bernama Sam Ling atau oleh bibi Cili disebut nona Ling itu sudah tidak berada lagi disitu!

"Kurang lebih seminggu yang lalu, ia pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit!" kata bibi Cili ketika keponakannya datang bersama pemuda dan gadis cantik itu. "Aku sendiri tidak tahu kemana ia pergi karena memang tidak pamit." Tentu saja Bi Sian marasa kecewa sekali. "Akan tetapi, kenapa ia pergi tanpa pamit?"

Bibi Cili menggeleng kepalanya. "Mungkin karena ia hendak mencari kakak angkatnya, Sie Taihiap itu. Setelah sebulan tinggal disini, setiap hari ia menanti datangnya Sie Taihiap dan setiap malam ia menangis. Ia mengatakan kepadaku bahwa Sie Taihiap berjanji akan menjemputnya setelah satu bulan ia tinggal disini. Kemudian, seminggu yang lalu, setelah tinggal disini kurang lebih satu setengah bulan, ia pergi tanpa pamit."

Bi Sian mengerutkan alisnya. "Apakah selama ia berada disini, Pendekar Bongkok tidak pernah datang menjenguk?"

"Pendekar Bongkok....? Ah, nona maksudkan Sie Taihiap? Tidak, tidak pernah lagi. Semenjak meninggalkan adik angkatnya disini, dia pergi dan tak pernah muncul kembali."

"Apakah gadis itu tidak pernah menceritakan kepadamu kemana perginya Sie Taihiap itu?" Bi Sian mendesak terus. Wanita setengah tua itu mengerutkan alis dan mengingat-ingat, "Pernah ia bercerita bahwa kakak angkatnya itu seorang pendekar yang akan melakukan penyelidikan terhadap Kim-sim-pai...." menyebut nama perkumpulan ini, wanita itu kelihatan takut-takut, juga pemilik rumah makan itu kelihatan khawatir sekali dan memandang keluar pintu rumah, seolah takut kalau sampai terdengar orang lain bahwa mereka membicarakan Kim-sim-pai.

"Apa itu Kim-sim-pai dan dimana tempatnya?" Wanita itu semakin ketakutan dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu.... ah, aku tidak tahu...."

Pemilik rumah makan itu segera membantu bibinya. "Nona, sebetulnya kami semua merasa takut untuk menyebut nama itu, nama yang amat ditakuti seluruh penduduk Lasha. Kami hanya dapat memberitahukan kepadamu bahwa perkumpulan itu berada disekitar Telaga Yan-so disebelah selatan Lasha.... Sudahlah, kami tidak berani banyak bicara dan kami juga tidak tahu apa-apa lagl. Kalau nona hendak mencari Sie Taihiap, sebaiknya mencari kesana...."

Bi Sian mengerutkan alisnya. Ia tahu, bahwa pemilik rumah makan dan bibinya itu bicara sejujurnya dan memang mereka ketakutan. Pernah Sie Liong bercerita tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa di Himalaya, bahkan ada pendeta Lama yang melakukan pengejaran sampai ke Kun-lun-san untuk membunuhi para pertapa dan tosu yangg melarikan diri kesana. Juga gurunya, Koay Tojin, pernah bicara tentang para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa di Himalaya. Apakah penyelidikan yang dilakukan Sie Liong ada hubungannya dengan hal itu? Memang, jalan satu-satunya untuk mencari Sie Liong adalah mengejarnya kesarang perkumpulan Kim-sim-pai yang akan diselidiki Pendekar Bongkok itu! Sementara itu, Bong Gan yang cerdik segera bertanya kepada wanita itu. "Bibi, coba gambarkan bagaimana rupanya gadis bernama Sam Ling itu, agar kalau kami bertemu dengannya, kami akan mudah mengenalnya." Bi Sian menyetujui pertanyaan sutenya, karena kalau mereka mengenal Ling Ling, siapa tahu gadis itu akan dapat membawa mereka kepada Sie Liong. Diam-diam Bi Sian juga merasa heran bukan main mendengar bahwa pamannya itu mempunyai seorang adik angkat!

"Ia seorang gadis berusia delapan belas tahun yang amat manis, kulitnya agak gelap, sikapnya pendiam namun ia manis budi dan penurut. Sungguh aku sudah mulai merasa cinta kepada anak itu, dan aku khawatir sekali membayangkan betapa ia melakukan perjalanan seorang diri. Seorang gadis yang demikian manis dan menarik, tentu akan banyak mengalami ancaman bahaya...."

Diam-diam hati Bong Gan yang menjadi hamba nafsu birahinya itu sudah tertarik bukan main. Seorang gadis yang hitam manis!

"Apakah ia seorang gadis Tibet?" tanyanya. "Ia peranakan Tibet Han," jawab bibi Cili. Bi Sian dan Bong Gan lalu meninggalkan rumah itu. "Kita harus cepat mencari kedaerah Telaga Yan-so!" kata Bi Sian penuh semangat. Akan tetapi Bong Gan mempunyai rencana lain. Wajah cantik manis yang dijumpainya di rumah makan itu masih terus membayanginya. "Suci, kurasa kita harus bertindak hati-hati. Kita selidiki dulu perkumpulan macam apa sesungguhnya Kim-sim-pai yang ditakuti penduduk itu, dan dimana letak Telaga Yan-so. Hari telah sore, sebentar lagi gelap. Sungguh tiduk menguntungkan kalau kita meninggalkan kota ini dan berada dalam perjalanan yang asing di waktu malam gelap. Kita selidiki dulu, dan setelah jelas, baru kita berangkat mencari kesana. Bagaimana pendapatmu?"

"Baiklah, kita mencari rumah penginapan," kata Bi Sian singkat. Ia sudah ingin sekali dapat menemukan Sie Liong dan membalas dendamnya! Juga sungguh mengherankan, ia ingin sekali melihat seperti apa "adik angkat" pamannya itu, dan hubungan apa sesungguhnya yang ada di antara mereka!

Disebelah selatan kota Lasha terdapat sebuah telaga yang terkurung pegunungan yang amat luas. Telaga ini indah bukan main, akan tetapi juga sunyi karena jalan menuju ketelaga itu melalui bukit dan jurang. Apalagi semenjak beberapa tahun ini, daerah itu merupakan daerah yang rawan. Tidak ada orang berani melalui daerah itu yang kabarnya dihuni banyak orang jahat dan iblis. Juga dikatakan bahwa akhir-akhir ini, perkumpulan Kim-sim-pang berpangkal di daerah itu. Makin takutlah orang untuk melewati daerah itu. Kim-sim-pang atau Kim-sim-pai (Perkumpulan atau Partai Hati Emas) amat ditakuti. Menurut kabar angin, Kim-sim-pat dipimpin oleh seorang tokoh pendeta Lama yang pernah menjabat sebagai wakil Dalai Lama yang berjuluk Kim Sim Lama. Karena terjadi perbedaan paham dengan Dalai Lama, Kim Sim Lama lolos dari Lasha, kemudian dia membentuk perkumpulan Kim-sim-pai yang berdiri sendiri, terlepas dari kekuasaan Dalai Lama, terlepas dari kekuasaan pemerintah pusat Tibet. Karena tidak ada bukti-bukti bahwa Kim-sim-pai melakukan kejahatan apalagi pemberontakan, maka pemerintah Tibet tidak mengambil tindakan apapun. Hal ini adalah karena Dalai Lama mengingat akan jasa-jasa Kim Sim Lama ketika masih menjadi wakil Dalai Lama dahulu. Bahkan, Kim Sim Lama merupakan seorang tokoh besar, memiliki pengaruh yang besar pula dan jasanya sudah banyak. Kim Sim Lama merupakan seorang pendeta Lama yang tertua, dan Dalai Lama sendiripun dahulu diangkat menjadi Dalai Lama karena desakan Kim Sim Lama, dan atas pilihan Kim Sim Lama! Kim Sim Lama merupakan orang kedua paling berkuasa dan berpengaruh sesudah Dalai Lama. Karena dia tidak memiliki tanda-tanda sebagai reinkarnasi Dalai Lama yang meninggal dunia, maka tidak mungkin dia menjadi pengganti Dalai Lama dan karena itu, dia menjadi pendukung utama ketika Dalai Lama yang baru dipilih. Dalai Lama yang baru itu seorang anak dusun saja yang memiliki ciri-ciri sebagai penitisan Dalai Lama. Bahkan Kim Sim Lama tidak segan-segan mempergunakan kekerasan untuk memaksa bocah itu menjadi Dalai Lama yang baru, dan ketika para penduduk dusun menentang, dia tidak segan mengamuk dan membunuh mereka yang dianggapnya memberontak. Peristiwa ini membuat para pertapa dan para tosu di Himalaya menjadi marah. Malah Pek Thian Sian-su, guru dari Himalaya Sam Lojin, atau suheng dari Pek-sim Sian-su, turun tangan sendiri untuk membela penduduk dusun itu. Pertapa sakti ini bertanding melawan Pek Sim Lama yang dibantu oleh sembilan orang pendeta Lama yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pek Thian Sian-su berhasil merobohkan dan menewaskan tiga orang pendeta Lama, akan tetapi dia sendiri terluka dan anak itu tetap saja dibawa lari Kim Sim Lama. Karena ketika peristiwa itu terjadi Pek Thian Sian-su sudah berusia hampir delapan puluh tahun, maka luka yang dideritanya membuat dia tewas tak lama kemudian. Beberapa tahun lamanya tidak lagi terjadi keributan, akan tetapi setelah anak itu dewasa dan dijadikan Dalai Lama sudah berjalan dua tiga tahun, mulailah terjadi penyerbuan terhadap para tosu dan pertapa di pegunungan Himalaya. Banyak yang jatuh korban dan para tosu itu segera meninggalkan Himalaya dan pergi mengungsi ke pegunungan lain. Para pertapa menganggap bahwa Dalai Lama sungguh merupakan orang yang tidak mengenal budi. Dahulu dibela oleh para tosu, setelah menjadi Dalai Lama bahkan memusuhi para tosu!

Para tosu itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika Kim Sim Lama memilih Dalai Lama baru, dia beranggapan bahwa akhirnya dialah yang berkuasa di Tibet karena Dalai Lama baru tentu akan tunduk terhadap semua pimpinannya. Mula-mula memang demikian. Akan tetapi, setelah Dalai Lama yang baru itu mengerti urusan, dia tidak sudi dijadikan boneka! Dalai Lama yang baru itu lalu mempergunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk menentang semua kebijaksanaan Kim Sim Lama yang dianggapnya tidak bijaksana! Dan mulailah terjadi pertentangan antara Kim Sim Lama dan Dalai Lama. Karena kalah kedudukan, maka Kim Sim Lama tidak berani secara berterang memusuhi Dalai Lama yang banyak pendukungnya. Maka dia lalu mengundurkan diri dan membentuk Kim-sim-pang itu. Dan mulailah dilakukan pengejaran terhadap para tosu! Semua ini dilakukan oleh kaki tangan Kim Sim Lama, dengan maksud menjatuhkan nama baik Dalai Lama dan memancing agar para tosu memusuhi Dalai Lama sehingga kedudukan Dalai Lama menjadi semakin lemah. Sementara itu, diam-diam Kim-sim-pai juga mengadakan persekutuan dengan seorang pangeran pemberontak dari Nepal yang sudah diusir oleh Raja Nepal. Pangeran itu dengan pengikutnya yang ternyata cukup banyak, bergabung dengan Kim-sim-pai dan keduanya merencanakan pemberontakan-pemberontakan untuk bersama-sama mengusai Tibet dan Nepal. Di sebuah bukit dekat Telaga Yan-so, Kim-sim-pai menyusun kekuatan. Kim Sim Lama maklum bahwa kalau dia hanya mengandalkan anak buahnya dan pasukan Pangeran Nepal itu untuk menyerbu Lasha, dia akan mengalami kegagalan. Dalai Lama memiliki pasukan yang amat kuat, terdiri dari para pendeta Lama dan banyak di antara para pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak yang sakti. Maka, diapun tidak tergesa-gesa. Di samping  usaha yang dilakukan anak buahnya untuk memusuhi berbagai pihak dengan dalih diutus oleh Dalai Lama, juga dia mulai menyusupkan pengaruh kedalam istana dan kuil di Lasha untuk menghasut dan mempengaruhi tokoh-tokoh di pemerintahan Tibet. Bagaikan seekor laba-laba dengan amat tekun dan sabar Kim Sim Lama mulai menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan di Tibet. Pangeran Nepal itu sudah siap di perbatasan, sudah siap membantu gerakan Kim Sim Lama dengan janji bahwa kelak, kalau Kim Sim Lama sudah berhasil menguasai Tibet, maka dia akan membalas kebaikan pangeran itu dengan membantunya mengadakan pemberontakan di Nepal!

Dalam kedudukannya yang bagaimana pun juga, manusia tidak akan dapat terlepas dari nafsunya sendiri. Dia boleh berusaha dengan cara bagaimanapun, bertapa, menjauhi keramaian dunia, menyendiri, berpuasa, berpantang apapun, namun tetap sekali waktu dia akan dicengkeram dan dikuasai nafsunya sendiri. Semua usahanya itu hanyalah usaha yang dilakukan oleh akal pikirannya sendiri belaka, dan akal pikiran takkan mungkin membebaskan batin dari cengkeraman nafsu. Nafsu sudah melekat kepada kita, merupakan alat yang amat penting bagi kita, namun juga merupakan penggoda yang paling berbahaya, yang akan menyeret kita kedalam kesesatan dan perbuatan yang tidak benar. Kalau sudah begitu, maka nafsu tidak lagi menjadi alat kita, bahkan kita diperalat oleh nafsu! Semua usaha untuk membebaskan diri dari nafsu digerakkan oleh nafsu itu sendiri yang sudah menjadi satu dengan hati dan akal pikiran, bersatu dengan panca indera kita. Apapun yang kita lakukan melalui pikirin, tentu berpamrih. Nafsu selalu berpamrih, yaitu pamrihnya mencari senang atau yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan. Dan untuk semua perbuatan yang timbul dari dorongan nafsu, pikiran kita yang amat licik dan cerdik selalu sudah

mempersiapkan diri menjadi pembela, dengan segala daya akan mencari alasan untuk membenarkan tindakan kita itu. Nafsu memang penting bagi kita, sebagai pendorong agar kita dapat memenuhi semua keperluan hidup di dunia ini, keperluan jasmani kita, makan, pakaian, tempat tinggal, dan semua kebutuhan lain. Nafsu mutlak perlu untuk hidupnya jasmani kita, karena tanpa nafsu berarti mati. Akan tetapi, kalau nafsu sudah mencampuri urusan batin, maka nafsu hanya menjadi sebab timbulnya duka dan sengsara, nafsu mendatangkan iri, marah, benci, cemburu, dengki takut, malu dan segala macam perasaan. Nafsu bagaikan api, kalau terkendali menjadi pelayan yang baik sekali, sebaliknya kalau liar tak terkendali, dapat menimbulkan kebakaran dan kerusakan.

Kim Sim Lama adalah seorang yang sejak kecil hidup sebagai pendeta. Dia sudah biasa berlatih mengendalikan dan mengenal nafsu-nafsu badannya sendiri. Namun, pengendalian yang dilakukannya adalah pengendalian yang dilakukan dengan akal pikiran, dengan kemauan yang bukan lain adalah daya rendah pula. Yang dikendalikan nafsu, yang mengendalikannya juga bergelimang nafsu. Oleh karena itu, walaupun nampaknya dia hidup sebagai orang yang bebas dari cengkeraman nafsu, namun sesungguhnya nafsu masih menguasainya dan sekali waktu akan runtuh pertahanannya. Yang mendorong dia untuk menentang Dalai Lama, untuk dapat menguasai Tibet, apalagi kalau bukan nafsu? Namun, tentu saja pikirannya dapat melakukan pembelaan secara cerdik sehingga dia beranggapan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah suci murni, demi kebaikan, demi kesejahteraan rakyat, demi menentang pemerintah lalim dan sebagainya. Padahal, di dasar semua itu, mendekati nafsu ingin mendapatkan sesuatu yang dianggap akan menyenangkan hatinya, dalam hal ini kekuasaan!

Lalu bagaimana sebaiknya bagi kita? Kalau dibiarkan, nafsu merajalela dan menguasai kita, bagaikan api membakar dan merusak. Kalau dikendalikan, tidak akan berhasil karena yang mengendalikan juga pikiran bergelimang nafsu sehingga selalu berpamrih. Kalau dimatikan, orangnya harus mati pula! Apa yang dapat kita lakukan? Tidak ada apa-apa yang dapat kita lakukan! Tidak ada apa-apa, karena yang dapat mengatur nafsu, yang dapat mengatur alat-alat bagi kehidupan kita adalah yang menciptakannya, yang membuatnya. Dan penciptanya adalah Tuhan! Oleh karena itu, kita hanya dapat menyerah, hanya dapat pasrah, kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah sepenuhnya, sebulatnya, selengkapnya, penuh ketawakalan, kesabaran dan keikhlasan.

Badan ini hanya sebuah tempat, sebuah rumah. Semua daya rendah, panca indrya, hati, akal pikiran dan nafsu-nafsunya, hanya merupakan alat-alat dalam rumah. Penghuni rumah yang menguasai semua alat itu sesungguhnya adalah jiwa! Jiwa menjadi majikannya, nafsu, hati dan akal pikiran menjadi pelayan dan alat. Namun sungguh sayang, karena kita sudah lupa bahwa kita ini jiwa, lupa karena setiap hari dipermainkan oleh nafsu akal pikiran yang merajalela dan merebut kekuasaan menjadi majikan dalam badan kita. Kita ini bukan pikiran. Pikiran bisa mati namun badan tetap hidup. Sebaliknya, kalau jiwa meninggalkan badan, semua pelayan dan alat itupun akan mati. Dalam keadaan tidur atau pingsan, hati akal pikitan untuk sementara seperti mati, tidak bekerja. Namun, kita tetap hidup karena jiwa masih bersemayam didalam badan. Kita tidak pernah memiliki rasa diri ini, lupa akan keadaan yang lebih dalam karena kita selalu terseret oleh keadaan lahir yang dangkal saja, karena dipermainkan nafsu yang selalu mengejar kesenangan dangkal.

Kim Sim Lama memiliki banyak pembantu yang pandai. Dan pembantu-pembantu utamanya bukan lain adalah Lima Harimau Tibet! Seperti sudah kita ketahui, para pembantu utamanya inilah yang diutus untuk melakukan pengejaran terhadap para tosu dan pertapa Himalaya yang sudah melarikan diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Pengejaran dan pembunuhan yang dilakukan Lima Harimau Tibet terhadap para tosu itu bukan semata-mata karena mereka membenci para tosu, melainkan terutama sekali, dengan dalih sebagai utusan Dalai Lama, mereka hendak merusak nama Dalai Lama agar dibenci dan dimusuhi semua golongan, terutama golongan orang-orang sakti. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, sesosok tubuh berkelebat seperti terbang cepatnya, datang dari arah telaga Yam-so menuju ke bukit yang menjadi markas Kim-sim-pai. Melihat gerakannya yang cepat, larinya bagaikan terbang itu, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang yang memiliki gin-kang dan ilmu berlari cepat yang hebat. Orang akan merasa terkejut dan terheran-heran kalau melihat orangnya. Setelah dia berhenti dan menyelinap di bawah sebatang pohon, memandang keatas, kearah puncak bukit itu, baru nampak bahwa dia adalah seorang pemuda yang tubuhnya bongkok! Dia adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok! Setelah meninggalkan Ling Ling di rumah bibi Cili, hati Sie Liong merasa lega dan mulailah dia melakukan penyelidikan di Lasha tentang Kim-sim-pang. Ketika dia melihat munculnya pemungut derma di rumah makan membawa bendera Kim-sim-pai, teringatlah dia akan nama Kim Sim Lama yang pernah didengarnya dari pengakuan seorang di antara Tibet Sam Sinto. Tentu ada hubungan antara Kim-sim-pai dan Kim Sim Lama, pikirnya. Agaknya pemberontakan terhadap pemerintah Tibet seperti yang diceritakan Coa Kiu orang ke tiga Tibet Sam Sinto itu tentulah perkumpulan Kim-sim-pai itu yang dipimpin oleh Kim Sim Lama dan dibantu oleh Lima Harimau Tibet yang harus diselidikinya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa hampir semua orang yang ditanyanya tentang Kim-sim-pai menjadi ketakutan dan tidak berani menjawab. Yang berani menjawab mengatakan singkat bahwa Kim-sim-pai adalah perkumpulan orang-orang Tibet yang berpusat di sebuah bukit dekat Telaga Yam-so. Semakin jelas dan yakinlah hatinya bahwa jejak yang diikutinya benar. Memang di tempat itulah dia harus mencari keterangan tentang apa rahasianya maka para pendeta Lama memusuhi para pertapa dan tosu dari Himalaya.

Dari kaki bukit itu, yang nampak diatas hanyalah dinding tembok yang berwarna putih, panjang dan melingkar-lingkar seperti benteng. Akan tetapi, segera dia melihat beberapa orang mendaki bukit itu. Ada sebuah jalan besar yang cukup baik menuju keatas bukit dan kini terdapat beberapa orang menuju kepuncak, ada yang berjalan kaki, ada pula yang menunggaug keledai atau kuda. Akan tetapi mereka itu sama sekali bukan kelihatan sebagai pasukan atau pendeta, melainkan penduduk biasa dan mereka semua membawa perbekalan untuk sembahyang. Tentu saja dia merasa heran, akan tetapi diam-diam diapun lalu mendaki bukit, agak jauh dibelakang serombongan orang yang memanggul atau memikul sebuah kursi dimana duduk setengah rebah seorang yang nampaknya sedang sakit. Dari keadaan itu saja mudah diduga bahwa orang-orang ini sedang pergi kesuatu tempat untuk bersembahyang, agaknya kesebuah kuil. Dugaannya benar. Kini mereka tiba dipintu gerbang dinding tembok yang panjang itu. Bukan dinding tembok benteng, melainkan dinding yang melingkari sebuah kuil yang luas sekali. Terdapat banyak bangunan didalam kompleks atau perkampungan itu. Akan tetapi bangunan paling depan adalah sebuah kuil yang besar dan cukup megah. Di depan pintu kuil itu terdapat papan dengan tulisan tinta emas berbunyi: KUIL HATI EMAS. Kim-sim-tang? Apakah ini pusat Kim-sim-pai? Dan disini pula tinggal pemimpin pemberontak yang berjuluk Kim Sim Lama itu? Sungguh di luar dugaan sama sekali. Tempat ini sama sekali tidak menyeramkan seperti tempat yang menjadi sarang pemberontak. Bahkan merupakan sebuah kuil yang besar dan dimana datang banyak penduduk dusun untuk bersembahyang dan mohon sesuatu!

Akan tetapi dia segera teringat bahwa andaikata benar mereka itu pemberontak, mereka tetap saja adalah pendeta-pendeta yang biasanya memang berusaha untuk hidup saleh dan beribadat, menjauhi kejahatan dan mendekatkan diri dengan kebajikan. Merekapun bukan memberontak terhadap suatu kerajaan, melainkan terhadap Dalai Lama, seorang pimpinan pendeta pula. Mungkin saja suasananya menjadi lain dengan para pemberontak biasa yang biasanya terdiri dari orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, kejam dan liar. Dia mulai memperhatikan keadaan luar kuil. Setelah melalui pintu gerbang dinding tembok yang tingginya lebih dari dua meter, nampak kuil itu, jauhnya kurang lebih lima puluh meter dari pintu gerbang. Di kanan kiri kuil itu terdapat bangunan-bangunan besar seperti pengawal kuil dan terdapat banyak jendela yang tertutup. Agaknya itu merupakan asrama para pendeta, pikirnya. Di depan kuil terdapat halaman yang luas penuh dengan tanaman bunga-bunga dan juga tanaman yang mengandung khasiat pengobatan. Di sana sini terdapat arca-arca Buddha yang besar dan megah, juga pahatannya amat halus. Asap dupa mengepul tebal dari cerobong yang dipasang ditengah bangunan kuil, akan tetapi ada juga asap yang mengepul keluar dari pintu depan yang besar, dan membawa keharuman yang khas.

Sie Liong melangkah masuk ke dalam kuil. Dua orang pendeta Lama berdiri di kanan kiri pintu sebelah dalam dan menyambutnya dengan doa-doa yang tidak terdengar jelas, namun kedua tangan mereka yang dirangkap dan berada didepan dada selalu menyambut para pendatang dengan doa dan puja-puji. Ketika Sie Liong memandang kepada mereka, kedua orang pendeta Lama yang masih muda-muda itu nampak memejamkan mata dan mereka itu kelihatan alim dan sopan. Kuil itu penuh tumu dengan berbagai kesibukan sembahyang. Yang menyolok adalah tidak adanya seorangpun wanita disitu. Sungguh berbeda dengan kuil-kuil lain yang selalu dipenuhi wanita. Kemudian dia teringat bahwa kehidupan seorang pcndeta Lama memang amat keras dan satu di antara pantangan yang paling kuat adalah wanita. Karena kuil itu dilayani oleh para pendeta Lama, maka agaknya tidak ada tamu wanita diperkenankan masuk! Teringat dia akan kuil Siaw-lim-si yang juga pantang dimasuki wanita, apalagi wanita yang muda dan menarik. Di sebelah dalam kuil, terdapat pula pendeta-pendeta tua dan muda yang melayani semua kebutuhan mereka yang datang bersembahyang. Mereka semua rata-rata bersikap ramah, pendiam, sopan dan lembut. Sikap pendeta tulen, tidak nampak sikap keras dan liar sehingga orang takkan mau percaya kalau mendengar bahwa para pendeta Lama itu adalah pemberontak-pemberontak. Meja-meja sembahyang yang besar-benar penuh dengan perabot sembahyang, lilin-lilin besar bernyala. Pendeknya, kuil itu lengkap dan juga amat luas. Akan tetapi hanya merupakan sebagian kecil saja dari daerah perumahan yang luas sekali itu. Di kanan kiri ruangan besar tempat sembahyang itu terdapat pintu-pintu kayu tebal dan besar, akan tetapi kedua pintu itu tertutup dan terkunci. Memang tidak ada hubungan pintu itu dengan keperluan sembahyang. Dan disebelah  dalam, terdapat pintu yang lebar sekali. Ketika mendekati pintu yang menuju ke dalam ini, Sie Liong melihat bahwa disitu terdapat sedikitnya tujuh orang pendeta yang berjaga, ada yang bersila, ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Mereka itu tidak bergerak macam arca-arca saja, akan tetapi mata mereka tajam mengamati para tamu dan jelas bahwa tamu tidak diperkenankan masuk, karena jalan masuk itu tertutup atau terhalang oleh para penjaga ini. Sie Liong melihat betapa pintu itu menembus ke jalan lorong yang panjang, kemudian membelok kekiri sehingga dari situ tidak dapat melihat apa yang berada di belakang kuil itu. "Apakah kongcu hendak melakukan sembahyang dan belum membawa perlengkapan? Kami dapat membantumu." Sie Liong membalikkdn tubuhnya dan melihat seorang pendeta berusia empat puluhan tahun telah berdiri didepannya dengan kedua tangan terangkap didepan dada. Mendaki bukit berkunjung kekuil tidak aembahyang, tentu saja tidak masuk akal. Dia belum ingin memperkenalkan diri dan menjelaskan keinginannya bertemu dengan Tibet Ngo-houw. "Saya ingin bertanya tentang nasib diri saya," jawabnya karena memang dia tidak bermaksud untuk bersembabyang. Tadi dia melihat bagian kiri ruangan itu dan disana terdapat sebuah meja sembahyang dimana orang-orang bertanya tentang nasib mereka.

"Ah, mari kami bantu, kongcu. Bertanya nasibpun harus melakukan sembahyang dan kalau kongcu tidak membawa perlengkapan, dapat membeli disini, harganya tidak lebih mahal daripada kalau membeli di toko." kata pendeta itu dengan sikap ramah. "Terima kasih," kata Sie Liong dan diapun mengikuti pendeta Lama itu yang mengambilkan perlengkapan bersembahyang berupa lilin dan hioswa (dupa biting). Kemudian, dibawah petunjuk pendeta itu, Sie Liong melakukan sembahyang didepan meja sembahyang, kemudian dia, seperti para tamu lain, dipersilakan untuk mengocok ciam-si, yaitu batang-batang bambu sebesar jari tangan yang pada ujungnya bernomor. Batang-batang bambu kecil sepanjang satu kaki ini berada di dalam tabung bambu besar dan mereka yang menanyakan nasib, setelah sembahyang dan dalam hati mengajukan permohonan tentang apa yang ingin diketahui mengenai nasibnya, diharuskan memegang tabung bambu sambil berlutut didepan meja sembahyang dan mengguncang-guncang tabung itu. Batang-batang bambu itu akan terguncang dan setelah ada sebatang meloncat atau terloncat keluar, maka itulah batang bambu yang menjadi jawaban pertanyaannya.

Sie Liong mengguncang tabung itu dan berloncatlah sebatang bambu dari dalamnya. Akan tetapi hal itu belum menentukan bahwa pilihan jawaban itu benar. Dia harus pula melemparkan dua potong bambu yang permukaannya berbeda. Kalau dua potong bambu itu terjatuh keatas lantai lalu kedua permukaannya sama dengan yang lain, dengan ada tulisan BENAR, maka batang bambu yang terloncat itu sudah sah akan kebenarannya. Sebaliknya, andaikata dua potong bambu itu terletak dengan permukaan yang berbeda menghadap keatas, dia harus mengguncang sekali lagi dan memilih lagi. Juga apabila kedua potong bambu itu menghadapkan tulisan SALAH, dia harus memilih lagi. Setelah mendapat tanda BENAR, Sie Liong menyerahkan batang bambu itu kepada pendeta Lama yang bertugas dibagian pertanyaan nasib itu, dan setelah dicocokkan nomornya, pendeta itu memberinya sehelai kertas yang sudah ada tulisannya. Biasanya, kertas ini berisikan sajak atau syair yang merupakan jawaban dari permintaan orang yang bersembahyang dan minta sesuatu, dan karena sajak itu selalu mengandung perumpamaan dan maksud tersembunyi, maka ada pula pendeta yang bertugas memberi tafsirannya. Hal ini sudah pernah didengar dan diketahui Sie Liong walaupun baru sekarang dia sendiri mengocok batang bambu untuk mendapatkan ramalan nasibnya. Akan tetapi, ketika dia membuka gulungan kertas selembar itu, jantungnya berdesir. Disitu tertulis dengan jelas, dengan tulisan tangan yang indah, sebuah pesan untuknya! KALAU PENDEKAR BONGKOK INGIN BICARA DENGAN KAMI, SILAKAN MASUK SELATAN PINTU PAGAR BELAKANG.

Sie Liong mengangkat muka memandang kepada pendeta yang melayaninya, akan tetapi pendeta itu hanya merangkapkan kedua tangan depan dada dan menundukkan mukanya. Sie Liong merasa kagum sekali. Kiranya para pendeta Lama ini memiliki perkumpulan yang kuat dan dapat bekerja dengan rapi sehingga dia yang ingin melakukan penyelidikan, bahkan lebih dahulu menjadi bahan penyelidikan dan keinginannya sudah diketahui oleh mereka! Diapun segera keluar dari kuil itu, keluar dari pintu gerbang pagar tembok dan mengambil jalan memutar. Kalau pihak Kim-sim-pai sudah tahu akan keadaan dirinya, bahkan mungkin tahu pula akan maksud kedatangannya, diapun tidak perlu berpura-pura lagi. Memang lebih baik kalau bicara dengan sejujurnya, menuntut sikap para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya, yang kini mengungsi ke Kun-lun-san, daripada melakukan penyelidikan secara rahasia, hal yang amat tidak enak kalau sampai ketahuan pihak yang diselidiki. Dengan sikap tenang dan hati tabah Sie Liong menuju kearah belakang. Ternyata, memang tempat itu luas sekali, bentuknya memanjang kebelakang, seperti sebuah perkampungan saja. Ketika dia memutari pagar tembok itu, akhirnya disebelah belakang dia melihat sebuah pintu yang tidak besar, bukan pintu umum, melainkan pintu untuk keluar masuk para pendeta anggauta perkampungan itu sendiri. Di pintu kecil itu, Sie Llong disambut oleh dua orang pendeta Lama yang usiauya sekitar lima puluh tahun.

"Sie Ta ihiap, silakan masuk dan mengikuti kami. Para suhu telah menanti didalam," kata seorang di antara mereka berdua yang bersikap hormat.

Kembali Sie Liong kagum bukan main. Mereka itu agaknya telah lama mengikuti gerak geriknya dan sudah tahu benar siapa dia! Hal ini amat tidak menguntungkan bagi dia, karena tentu mereka yang sudah mengetahui akan kedatangannya itu telah membuat persiapan-persiapan, Bagaimanapun juga, dia telah tiba disitu dan tidak mungkin dapat mundur kembali. Maka, sambil mengucapkan terima kasih, diapun mengikuti mereka masuk ke dalam melalui sebuah taman yang indah. Ketika dia malewati sebuah bangunan besar, lapat-lapat dia mendengar suara ketawa wanita! Namun, segera suara ketawa itu terhenti dan diapun   pura-pura tidak mendengarnya. Sie Liong hanya mencatat didalam hatinya. Agaknya, sikap hormat dan sopan yang dia lihat dikuil tadi, sikap saleh dan beribadat para pendeta Lama yang melayani para tamu, masih perlu diselidiki lebih seksama lagi. Dari luarnya saja nampak bahwa pendeta itu hidupnya secara saleh dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi, namun disini dia mendengar suara ketawa wanita! Tak mungkin dia salah dengar.

Dua orang pendeta Lama itu membawanya kesebuah ruangan yang luas sekali. Sedikitnya lima ratus orang akan dapat berkumpul dalam ruangan yang luas itu. Ruangan itu terbuka dan disudut terdapat bangku-bangku mengelilingi beberapa buah meja yang dideretkan menjadi meja panjang dan disitu dia melihat belasan orang pendeta Lama duduk bagaikan arca-arca tak bergerak, hanya mata mereka saja yang mencorong tajam menyambut kedatangannya. Dua orang pendeta yang mengantarnya lalu memberi hormat dengan menyembah kepada belasan orang itu, kemudian mengundurkan diri membiarkan Sie Liong seorang diri berhadapan dengan tiga belas orang pendeta Lama itu. Sie Liong juga melayangkan pandang matanya kepada mereka. Segera dia mengenal lima orang di antara mereka yang duduk berjajar. Biarpun usia mereka kini sudah enam puluh tahun lebih, dan sudah tujuh delapan tahun yang lalu dia pernah bertemu dengan mereka, namun dia tidak melupakan lima orang pendeta Lama itu. Siapa lagi kalau bukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet) yang pernah datang ke Kun-lun-pai dan menyerang Himalaya Sam Lojin dahulu! Dan karena mereka berlima inilah maka kini dia datang ke Tibet, karena para gurunya minta kepadanya untuk menyelidiki mengapa Dalai Lama mengutus lima orang pendeta Lama ini untuk memusuhi para pertapa dan para tosu dari Himalaya, bahkan mengejar-ngejar mereka yang sudah melarikan diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Selain lima orang ini, delapan yang lain dia tidak mengenalnya. Akan tetapi, melihat seorang pendeta Lama yang usianya sudah tujuh puluh tahunan, tinggi kurus dengan muka kemerahan kekanak-kanakan, berjubah merah dan memegang sebatang tongkat pendeta yang berlapis emas, berwibawa dan duduk dikursi paling depan, juga kursinya berbeda dengan bangku-bangku yang lain, terbuat dari gading gajah, diapun dapat menduga bahwa mungkin kakek itulah yang berjuluk Kim Sim Lama!

"Orang muda, apakah engkau yang bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok?" kakek itu bertanya dan diam-diam Sie Liong terkejut. Ketika dia bicara, suaranya demikian tinggi dan tajam sekali, membuat jantungnya tergetar dan wajah yang kekanak-kanakan itu mengeluarkan sinar, dan matanya mengandung wibawa yang amat kuat. Bukan main, pikirnya. Kakek ini bukan orang sembarangan dan akan merupakan lawan yang amat berat. Akan tetapi dia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada belasan orang itu.

"Benar, losuhu, nama saya adalah Sie Liong dan adapun julukan itu mungkin hanya kelakar orang-orang yang melihat keadaan tubuh saya yang cacat saja."

"Sie Liong, engkau telah berada disini. Katakan apa yang kau kehendaki maka engkau datang ketempat kami."

Hemm, kakek ini demikian terus terang, maka diapun tidak perlu menyembunyikan lagi keperluannya. Sejenak dia memandang kearah lima orang pendeta Lama yang duduk disebelah kanan kakek itu, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab. "Losuhu, sesungguhnya saya datang ke Tibet untuk bertemu dgn bicara dengan Tibet Ngo-houw. Karena saya mendengar bahwa Tibet Ngo-houw berada disini, maka saya memberanikan diri untuk datang berkunjung, tanpa bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai."

Sambil berkata demikian, sepasang mata Sie Liong dengan tajam menatap kepada lima orang pendeta Lama yang dimaksudkannya itu. Namun, mereka berlima itu tetap duduk tak bergoyang seperti arca. Hanya mata mereka yang ditujukan kepadanya, seperti mata para pendeta lainnya, dan Sie Liong kini melihat betapa pandang mata itu sama sekali tidak bersahabat, bahkan nampak marah. "Hemm, orang muda. Kalau engkau tidak bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai, kenapa engkau menghina orang kami yang sedang mengumpulkan sumbangan di Lasha?" Kini suara kakek itu tidak lagi lembut, melainkan mengandung kemarahan dan lengkingan suara itu makin meninggi. Sie Liong kini merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya dan dia mulai merasa menyesal telah datang kesitu, namun hal ini agaknya telah terlambat karena dia melihat gerakan banyak orang diluar dan ketika dia menengok, ternyata ruangan itu telah dikepung oleh banyak sekali orang diluar. Bukan hanya pendeta-pendeta Lama berjubah merah, akan tetapi ada pula yang bukan pendeta Lama, dan jumlah mereka itu tentu mendekati lima puluh sampai seratus orang!

Namun, dia tetap bersikap tenang. "Losuhu, saya sama sekali tidak pernah menghina siapapun juga, apalagi menghina orang Kim-sim-pai yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya. Peristiwa di rumah makan itu adalah karena saya tertekan dan saya hanya membela diri, juga saya terpaksa mencegah pengumpulan sumbangan yang dilakukan dengan paksaan. Bukan hanya Kim-sim-pai, biar dari manapun, kalau saya melihat orang minta sumbangan secara paksa, sudah menjadi kewajiban saya untuk mencegahnya. Saya tidak bermaksud menghina Kim-sim-pai, dan harap para losuhu suka maafkan saya. Saya hanya ingin berurusan dengan Tibet Ngo-houw, tidak bermaksud berurusan dengan Kim-sim-pai. Tibet Ngo-houw, harap kalian cukup gagah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian di Kun-lun-san tujuh delapan tahun yang lalu!" Karena tahu bahwa ancaman bahaya terhadap dirinya datangnya dari Kim-sim-pai, maka Sie Liong sengaja menujukan tantangannya kepada Tibet Ngo-houw saja.

Tiba-tiba terdapat gerakan pada lima orang pendeta Lama itu yang sejak tadi diam seperti arca. "Omitohud, dia itu anak bongkok yang dahulu menggagalkan desakan kita terhadap Himalaya Sam Lojin!" Tiba-tiba seorang di antara mereka berlima yang bermata satu berseru. Dia adalah Thay Hok Lama, orang keempat dari Lima Harimau Tibet Itu. Mendengar seruannya ini, empat orang saudaranya juga teringat dan mereka semua merasa heran. Anak bongkok itu kini berani datang dan bersikap demikian tenang dan gagah!

"Benar sekali, Tibet Ngo-houw. Aku adalah anak bongkok yang dulu itu dan kini aku datang mencari kalian sebagai utusan dari Himalaya dan kini berada di Kun-lun-san. Sudah tiba saatnya kalian berlima mempertanggungjawabkan perbuatan kalian dahulu itu dan menjelaskan kepadaku apa yang menjadi sebab maka kalian memusuhi mereka yang sama sekali tidak berdosa."

"Omitohud.... betapa lancang dan sombongnya anak ini!" Tiba-tiba seorang di antara para pendeta yang hadir disitu berseru. Dia bukan seorang di antara Lima Harimau Tibet, melainkan seorang pendeta Lama Jubah Merah yang tubuhnya pendek kecil seperti kanak-kanak berusia belasan tahun. Akan tetapi melihat wajahnya, tentu usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Dia bangkit berdiri dan menjura kearah Kim Sim Lama. "Susiok (paman guru), perkenankan teecu (murid) menghajar bocah lancang yang sama sekali tidak menghormati kita ini. Bocah ini tidak pantas dilayani oleh para suheng berlima! "

Kakek tua renta itu mengangguk. Juga Tibet Ngo-houw diam saja karena merekapun merasa malu kalau harus melayani seorang pemuda yang bongkok pula. Akan menurunkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim-sim-pai! Pendeta Lama yang bertubuh pendek kecil itu bernama Ki Tok Lama dan dia pun merupakan seorang di antara "dua belas besar" yang menjadi para pembantu utama Kim Sim Lama. Sebagai seorang di antara para pembantu utama, tentu saja dia memiliki tingkat ilmu kepandaian yang cukup hebat. Dua belas orang pembantu utama itu masih terhitung murid-murid keponakan Kim Sim Lama sendiri, demikian pula Tibet Ngo-houw juga merupakan murid keponakannya, sehingga tingkat kepandaian mereka satu dengan yang lain tidak banyak berselisih. Hanya Tibet Ngo-houw sudah memiliki nama besar dan mereka berlima itu sudah biasa bertindak sebagai kelompok yang bekerja sama, maka merekalah yang menjadi pembantu-pembantu utama. Maka kedudukan mereka berlima itu agak leblh tinggi dibandingkan para pembantu lainnya.

Ketika Ki Tok Lama sudah berdiri didepan Sie Liong, pemuda ini maklum bahwa keadaannya sungguh tidak menguntungkan baginya. Dia bukan seorang pemuda yang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah terjebak, memasuki guha harimau yang amat berbahaya. Bagaimana mungkin dia yang seorang diri dapat menandingi lawan yang demikian banyaknya! Akan tetapi, untuk mundurpun tidak mungkin. Tempat itu telah terkepung. Jalan keluar telah buntu dan kalau dia nekat melarikan diri, tentu akan dikepung dan dikeroyok.

"Sie Liong!" Ki Tok Lama membentak, "Engkau masih bocah ingusan sudah berani memakai julukan pendekar, dan engkau berani menghina para suhengku Tibet Ngo-houw! Hemm, coba keluarkan semua ilmu kepandaianmu, hendak pinceng (saya) lihat apakah sepak terjangmu juga sehebat suara dan sikapmu. Majulah!" Setelah berkata demikian, pendeta Lama yang bertubuh katai ini memasang kuda-kuda yang aneh. Kedua kakinya berdiri diujung jari seperti berjingkat, tangan kanan miring didepan dada, sedangkan tangan kiri berada dibalik punggung dengan bentuk cakar. Melihat ini, diam-diam Sie Liong dapat menduga akan keadaan batin orang ini. Dengan berjingkat dia ingin mengangkat diri lebih tinggi sesuai dengan watak seorang yang masih dikuasai nafsu-nafsunya. Nampak dari depan, tangan kanannya seperti sikap seorang yang beribadat, yang menaruh tangan berdiri lurus didepan dada, akan tetapi diam-diam, tangan yang lain bersembunyi dipunggung dalam bentuk cakar. Ini menandakan bahwa dia seorang munafik, yang pura-pura alim akan tetapi sesungguhnya batinnya masih bergelimang nafsu sehingga siap untuk melakukan kekerasan. Tentu saja bukan demikian maksud Ki Tok Lama, hanya gerakannya itu mungkin saja tanpa disadarinya menggambarkan keadaan batinnya. Sie Liong memberi hormat dan berkata dengan sikap tenang dan suara lembut. "Losuhu, maafkan saya. Kedatangan saya ini untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw, bukan untuk bertanding dengan siapapun juga. Sudah saya katakan bahwa saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Kim-sim-pai...."

"Pengecut! Engkau sudah masuk kesini dan bersikap sombong dan sekarang engkau tidak berani menyambut tantangan pinceng?" "Bukan tidak berani, melainkan karena saya tidak melihat adanya suatu alasan apapun untuk menyambut tantangan ini."

"Ada alasan atau tidak, mau atau tidak, engkau harus menerima seranganku ini. Nah, sambutlah!" Ki Tok Lama tidak memperdulikan semua alasan Sie Liong dan tubuhnya sudah bergerak dan dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh itu sudah meluncur kedepan dan tangan kirinya yang membentuk cakar tadi, dari belakang telah melayang dari atas kedepan, dan karena tubuhnya tadi meloncat tinggi, maka tangan itu mencengkeram kearah ubun-ubun kepala Sie Liong!

"Hyaaaaattt....!" Dia mengeluarkan pekik melengking. Diserang seperti itu, tentu saja Sie Liong tidak mungkin dapat tinggal diam. Serangan itu merupakan serangan maut dan diapun terkejut melihat betapa cepatnya gerakan lawan. Tahulah dia bahwa lawannya yang cebol itu memiliki gin-kang yang tinggi. Namun, masih belum terlalu cepat gerakan itu baginya. Dengan mudah diapun menggeser tubuh kekiri dan terkaman itu luput. Ki Tok Lama menjadi semakin marah. Begitu tubuh turun, dia sudah membalik dan kembali dia sudah menyerang, kini lebih dahsyat, dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri. Sekali lagi Sie Liong mengelak dengan loncatan mundur. "Losuhu, aku tidak ingin bertanding denganmu!" katanya masih lembut, akan tetapi tidak begitu hormat lagi. Ki Tok Lama tidak perduli. Dua kali serangannya dengan jurus pilihan gagal. Hal ini saja sudah membuat dia merasa malu dan menganggap bahwa pemuda itu menghinanya. "Haiiiiiitttt....!" Dia menyerang lagi, kini dengan pukulan-pukulan yang bertubi dan tubuhnya yang ringkas itu bergerak-gerak bagaikan seekor tupai melompat-lompat dan setiap kali serangannya luput, sudah disusulkannya serangan berikutnya. "Losuhu, sekali lagi, aku tidak ingin berkelahi denganmu!"

Sie Liong berkata, suaranya semakin keras. Namun jawabannya adalah serangan yang lebih genas. Sie Liong merasa serba salah. Kalau dia tidak melayani, tentu orang ini akan terus menyerangnya dan tak mungkin dia hanya selalu mengelak. Kalau dia membalas, berarti dia sudah terpancing dan melibatkan diri dalam permusuhan, padahal dia berada didalam sarang Kim-sim-pai!

"Engkau sungguh memaksaku!" katanya dan ketika kedua lengan lawan menghantam dengan pengerahan sin-kang, dia pun menyambut dari samping, menangkis untuk membuktikan kepada lawan bahwa kalau dia mau, tidak begitu sukar baginya untuk mengalahkan si cebol itu. "Dukk!" Sie Liong membatasi tenaganya, tidak mempergunakan seluruh tenaga, akan tetapi akibatnya tubuh si cebol terpelanting dan dia terhuyung-huyung hampir roboh terbanting. Si cebol mengeluarkan teriakan melengking nyaring karena marahnya dan ketika dia melompat kedepan, dia telah memegang sepasang pedang, yaitu senjatanya yang selalu disembunyikan dibalik jubah merahnya yang lebar. "Hemm, losuhu, bagaimana seorang pendeta mau memegang sepasang senjata tajam?" Sie Liong memperingatkan. Sesungguhnya, merupakan pantangan bagi seorang pandeta untuk menggunakan senjata untuk membunuh, apalagi memegang senjata pedang untuk menyerang lawan tidak bersenjata! Agaknya Ki Tok Lama masih mengingat akan kedudukannya dan dia merasa sungkan juga. "Jangan banyak mulut, cepat kaukeluarkan senjatamu. Mari kita bertanding dengan menggunakan senjata!" tantangnya. "Losuhu, aku tidak pernah memegang senjata!" kata Sie Liong dengan harapan agar lawannya itu merasa malu dan mundur. "Sebaiknya kita hentikan saja ribut-ribut yang tiada gunanya ini dan membiarkan aku untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw."

"Tidak! Kaukalahkan dulu sepasang pedangku, baru engkau boleh bicara dengan kelima orang suheng Tibet Ngo-houw!" si cebol berkeras. Sie Liong menarik napas panjang. Ketika dia memandang kepada para pimpinan Kim-sim-pai, mereka itu diam tak bergerak seperti arca. Dia melihat sebuah rak senjata disudut, dan dengan perlahan dia menghampiri rak itu, mengambil sebatang tombak bergagang kayu dan mematahkan mata tombaknya. Gagang tombaknya saja yang berada ditangannya dan diapun berkata, "Baiklah, kalau engkau memaksa, losuhu, biar aku meminjam gagang tombak ini saja, agar tidak sampai melukaimu dengan senjata yang tajam atau runcing."

Sie Liong mempergunakan senjata itu bukan karena takut menghadapi sepasang pedang lawan, melainkan untuk berjaga diri. Kalau sampai terpaksa dia didesak dan dikeroyok, dia harus memiliki senjata untuk melindungi dirinya dan tidak ada senjata di dunia ini yang lebih baik baginya dari pada sebatang tongkat!

Jawaban Sie Liong itu membuat wajah Ki Tok Lama menjadi semakin merah karena jelas memandang rendah kepadanya. "Lihat pedang!" bentaknya untuk berlagak bahwa dia tidak menyerang lawan tanpa peringatan lebih dahulu. Dua gulungan sinar berkelebat ketika sepasang pedang ditangannya digerakkan secara cepat dan kuat sekali. Namun, dengan tenang Sie Liong bergerak mundur dan mengelak dari dua kali sambaran kilat dari sepasang pedang lawan. Tongkat ditangannya tidak tinggal diam dan ujung tongkat itu diputarnya sedemikian rupa sehingga ujungnya seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Dan ujung-ujung tongkat ini sekarang menyambar-nyambar kearah jalan darah diseluruh tubuh Ki Tok Lama! Pendeta Lama itu terkejut bukan main dan terpaksa dia memutar sepasang pedangnya untuk melindungi diri dari serangan banyak ujung tongkat itu! Akan tetapi, di antara ujung-ujung tongkat itu yang tentu saja sesungguhnya hanya memiliki dua ujung saja namun karena tongkat itu bergerak dengan menggetar, maka ujungnya nampak menjadi banyak, kini ada yang menyerang kearah pergelangan lengan lawan yang memegang pedang, sementara ada ujung-ujung lain yang masih mengancam jalan darah tubuh Ki Tok Lama. Tentu saja pendeta ini menjadi semakin kaget dan bingung. Dia lebih condong melindungi tubuh yang akan tertotok, maka tak dapat dihindarkan lagi, kedua pergelangan tangannya tertumbuk ujung tongkat secara aneh sekali dan kedua tangan itu tiba-tiba terasa lumpuh dan sepasang pedangnyapun terlepas dari tangannya. Akan tetapi Sie Liong menghentikan gerakan tongkatnya, berdiri tegak didepan Ki Tok Lama dan berkata, "Losuhu, silakan mengambil kembali sepasang pedangmu."

Dengan muka agak pucat dan mata terbelalak penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ki Tok Lama bergerak cepat, menyambar sepasang pedang itu dari atas lantai, kemudian memutar sepasang pedangnya, siap untuk melakukan penyerangan yang lebih dahsyat dan nekat lagi. "Tahan senjata!" tiba-tiba Kim Sim Lama berseru. "Ki Tok Lama, kau mundurlah!"

Ki Tok Lama hanya memandang melotot kearah Sie Liong sejenak, akan tetapi dia tidak berani membantah perintah susioknya dan diapun mundur sambil menyimpan kembali sepasang pedangnya dibalik jubah merah. Kiranya ketika Sie Liong mulai melayani Ki Tok Lama tadi, Kim Sim Lama yang memandang penuh perhatian, menjadi kagum dan tertarik. Dia berbisik-bisik kepada Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Setelah memerintahkan Ki Tok Lama untuk mundur, Kim Sim Lama lalu diam saja dan menyerahkan kepada Thay Ku Lama untuk menghadapi Sie Liong seperti yang mereka bisikkan tadi. Thay Ku Lama bangkit dari bangkunya, lalu menghampiri Sie Liong yang sudah siap siaga karena kini yang maju adalah orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Thay Ku Lama yang bertubuh besar dengan perut gendut itu menarik napas panjang. "Omitohud, sekarang pinceng ingat. Memang engkau adalah bocah yang dahulu itu, dan agaknya engkau telah menjadi murid para tosu pelarian itu. Bukankah ilmu tongkatmu tadi adalah Thian-te Sin-tung yang amat hebat dari Pek Sim Sian-su?" Sie Liong terkejut. Sungguh tajam pandang mata Thai Ku Lama ini, dan pengetahuannya tentang ilmu silat amat luas. Hal itu saja membuktikan bahwa lima orang Harimau Tibet ini memang tidak boleh dipandang ringan. "Sesungguhnya, losuhu, aku pernah menerima bimbingan dari suhu Pek Sim Sian-su," jawabnya jujur. "Hemm, begitukah? Nah, sekarang katakan, apa keperluanmu mencari kami Tibet Ngo-houw? Katakan saja terus terang karena yang hadir disini bukanlah orang-orang lain bagi kami." Sie Liong memandang kearah lima orang itu bergantian, kemudian dia berkata dengan suara lantang. "Tibet Ngo-houw, dengarlah baik-baik. Aku mewakili para locianpwe dan para pertapa yang selama ini kalian kejar-kejar, untuk bertanya kepada kalian, apa sesungguhnya yang mendorong kalian berlima untuk memusuhi mereka! Jawablah sejujurnya, benarkah kalian menjadi utusan Dalai Lama untuk membasmi para tosu dan pertapa asal Himalaya?"

Thay Ku Lama tertawa bergelak, perutnya yang gendut itu terguncang dan di antara suara ketawanya itu terdengar bunyi berkokok dari dalam perutnya, seperti suara katak besar. Pendeta Lama ini memang memiliki ilmu yang amat hebat, yang disebut Hek-in Tai-hong-ciang, suatu pukulan yang didorong oleh tenaga dari perut yang kalau dia pergunakan, selain dari perutnya keluar bunyi berkokok nyaring dan kedua kakinya ditekuk dalam-dalam seperti berjongkok, juga telapak tangannya itu mengeluarkan uap hitam. "Ha-ha-ha-ha-ha, tentu saja Dalai Lama yang mengutus kami untuk membasmi para pertapa Himalaya yang dianggap pemberontak!"

"Pemberontakan apakah yang telah dilakukan oleh para locianpwe, para pertapa terhadap Dalai Lama?" Sie Liong mengeluarkan pertanyaan yang pernah diperbincangkan para gurunya itu.

"Hemm, para tosu itu pernah membunuhi beberapa orang pendeta Lama, hal itu berarti pemberontakan!" kata pula Thay Ku Lama dengan sikap acuh. "Nanti dulu, losuhu. Pernah aku mendengar bahwa mendiang locianpwe Pek Thian Siansu, seorang pertapa Himalaya, membela penduduk yang diserbu para pendeta Lama. Terjadi perkelahian antara Pek Thian Siansu dan para pendeta Lama dan ada beberapa orang pendeta Lama yang tewas. Itukah yang menjadi sebab maka para pendeta Lama lalu memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya?" Sie Liong pernah mendengar cerita tiga orang gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin tentang guru mereka itu. "Ha, kiranya engkau sudah tahu? Nah, kenapa bertanya lagi? Para tosu itu mencampuri urusan kami para pendeta Lama, itulah maka mereka dianggap pemberontak."

"Akan tetapi, losuhu. Bukankah mendiang Pek Thian Siansu membela penduduk dusun yang mempertahankan seorang anak laki-laki yang hendak diculik oleh para para pendeta Lama itu? Dan anak itu yang kemudian menjadi Dalai Lama! Bagaimana mungkin Dalai Lama itu malah mengutus losuhu berlima untuk memusuhi para pertapa Himalaya? Padahal, para pertapa itu dahulu bahkan pernah membelanya! Dan juga, kalau suhu berlima menjadi utusan Dalai Lama, bagalmana pula ngo-wi (anda berlima) sekarang berada disini dan kudengar malah memusuhi Dalai Lama?"

Mendengar ucapan Sie Liong itu, Tibet Ngo-houw saling pandang dan They Ku Lama sendiri mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. Tak disangkanya bahwa pemuda bongkok itu agaknya telah mengerti akan segala rahasia mereka! Akan tetapi Kim Sim Lama yang sejak tadi mendengarkan saja, tiba-tiba mengeluarkan suara ketawa. "Ha-ha-ha! Omitohud.... Sie Taihiap agaknya mengetahui ekornya. Baiklah, pinceng yang akan memberi penjelasan kepadamu. Memang, dahulunya Tibet Ngo-houw ini, para murid keponakanku, hanya mentaati perintah Dalai Lama saja. Pinceng sudah mencoba untuk mencegahnya karena ketika itu

pinceng masih menjadi wakil Dalai Lama. Akan tetapi, memang dia telah tersesat dan lalim itulah maka kami semua meninggalkan Dalai Lama dan berdiri sendiri disini, dan kami memang bermaksud untuk menggulingkan penguasa yang lalim itu! Itulah sebabnya maka kini Tibet Ngo-houw berada disini membantu Kim-sim-pai dan kami mempersilakan engkau untuk bekerja sama dengan kami, Sie Taihiap. Kami menentang Dalai Lama karena dia seorang pemimpin lalim, sedangkan engkau membantu kami untuk membalaskan dendam para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah melepas budi kepada Dalai Lama akan tetapi malah dibalas dengan pengejaran dan pembunuhan! Dan masih banyak pula pihak-pihak yang memusuhi Dalai Lama. Gerakan kita pasti akan berhasil, Sie Taihiap!"

Sejak tadi Sie Liong mendengarkan saja, dan alisnya mulai berkerut. Tentu saja dia tidak dapat menerima dan percaya semua yang dikatakan pendeta ketua itu. Jelas bahwa Kim Sim Lama sedang memberontak terhadap Dalai Lama, maka tentu saja dia memburuk-burukkan nama Dalai Lama! Dia tidak mau percaya begitu saja, pula dia tidak ingin melibatkan diri dalam pemberontakan dan pertikaian di Tibet yang bukan negaranya.

"Terima kasih, losuhu. Akan tetapi tugas saya hanya bertanya kepada Tibet Ngo-houw mengapa dia dahulu memusuhi para pertapa pelarian dari Himalaya. Sekarang, setelah mereka menjawab bahwa mereka hanya utusan dari Dalai Lama, biarlah saya akan menghadap Dalai Lama sendiri untuk bertanya, mengapa beliau membalas budi kebaikan para tosu itu dengan pengejaran dan penumpasan. Selamat tinggal, para losuhu, saya hendak pergi sekarang." Akan tetapi, agaknya telah ada isyarat dari Kim Sim Lama, begitu dia malangkah kearah pintu ruangan luas itu, diambang pintu telah berdiri banyak pendeta Lama dengan berbagai macam senjata ditangan, menutup lubang pintu itu dengan sikap mengancam. Ketika dia melirik kearah jendela-jendela disekeliling ruangan, disanapun sudah tertutup oleh tubuh banyak pendeta Lama yang berjaga-jaga dan jelas mereka semua itu tidak akan memberi jalan keluar padanya. "Nanti dulu, orang muda!" Tiba-tiba Kim Sim Lama berseru, suaranya tidak begitu ramah lagi walaupun masih lembut. Sie Liong menatap tajam wajah pemimpin Kim-sim-pai itu. "Ada apalagi, losuhu?"

"Orang muda, engkau datang kesini tanpa kami undang, dan kami telah bersikap terus terang, menceritakan segala rahasia kami kepadamu. Oleh karena itu, kalau engkau mau bekerja sama dengan kami untuk menentang Dalai Lama, hal itu sudah sepatutnya. Akan tetapi, kalau engkau menolak dan hendak pergi begitu saja, membawa semua rahasia kami, sudah tentu kami merasa keberatan!"

Sie Liong maklum bahwa saatnya sudah tiba. Kim Sim Lama sudah membuka kartunya. Tadi dia sudah merasa khawatir bahwa dia telah terperangkap, dan inilah buktinya. Dia dipaksa untuk bekerjasama atau dia tidak diperkenankan pergi meninggalkan tempat itu!

"Losuhu, saya tidak ingin terlibat dalam pemberontakan! Tibet bukan negaraku dan saya tidak mempunyai urusan dalam pemberontakan. Saya hanya melaksanakan tugas untuk menyelidiki mengapa para pertapa di Himalaya dimusuhi oleh Dalai Lama."

"Sie Liong!" Kim Sim Lama membentak, kini terdengar marah. "Dengar baik-baik, pinceng pernah menjadi wakil Dalai Lama, merupakan orang kedua sesudah Dalai Lama yang berkuasa di negeri ini! Dan sekarang pinceng adalah calon Dalai Lama atau pemilik Dalai Lama yang baru! Sekali aku memerintahkan, engkau akan mati!"

"Losuhu, mati hidup bukan ditangan siapapun, melainkan ditangan Tuhan Yang Maha Kuasa! Kalau Tuhan sudah menghendaki aku harus mati, maka tidak ada kekuasaan apapun didunia ini yang akan mampu mencegahnya, sebaliknya, kalau Tuhan menghendaki aku hidup, tidak ada kekuasaan pula yang akan mampu membunuhku. Mati hidup ditangan Tuhan, akan tetapi baik buruknya langkah hidup berada ditangan kita masing-masing. Oleh karena itu, aku tetap akan melangkah melalui jalan kebenaran dan aku

menyerahkan jiwa ragaku kepada Tuhan. Aku tetap menolak untuk menjadi kaki tangan pemberontak, apapun yang akan menjadi akibatnya!"

Semua pendeta Lama yang berada disitu, diam-diam merasa kagum. Bahkan Kim Sim Lama juga merasa kagum. Pemuda ini, biarpun bongkok, ternyata jiwanya tidak bongkok dan semangatnya tegak lurus. Akan tetapi, betapapun kagum hatinya, dia tidak rela membiarkan Sie Liong pergi karena tentu semua rahasia akan ketahuan dan mereka terancam bahaya serbuan Dalai Lama sebelum mereka kuat benar. "Sie Liong, engkau masih muda akan tetapi selain memiliki ketabahan besar, juga kesombongan yang agak berlebihan. Agaknya engkau terlalu mengandalkan ilmu kepandaianmu sendiri sehingga merasa bahwa dikolong langit ini tidak ada orang yang akan mampu mengalahkanmu. Nah, ingin sekali pinceng melihat sampai berapa hebat kepandaianmu maka engkau berani menentang kami! They Ku Lama, pinceng ingin melihat seorang diantara kalian mengujinya!" kata Kim Sim Lama. Biasanya, kalau menghadapi lawan berat, Tibet Ngo-houw tentu maju berlima. Akan tetapi kini yang mereka hadapi hanya seorang pemuda bongkok, betapapun lihainya, kalau mereka maju berlima mengeroyok seorang pemuda bongkok, hal ini tentu saja amat merendahkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim Sim Lama! Bahkan Thay Ku Lama sendiripun merasa sungkan kalau harus bertanding melawan pemuda bongkok itu, maka dia memberi isyarat kepada Thay Bo Lama, saudara termuda diantara mereka berlima, untuk maju menandingi Sie Liong. Thay Bo Lama bertubuh kurus kering dan wataknya memang keras dan berangasan. Begitu menerima isyarat dari suhengnya, dia sudah melompat kedepan menghadapi Sie Liong. Tangan kirinya sudah memegang sebatang tombak karena tadi dia sudah menyambar tombaknya yang dia letakkan diatas lantai dibawah meja. Kini, dengan tombak berdiri disebelah kirinya, tangan kanannya bergerak kedepan, telunjuknya menuding kearah muka Sie Liong. "Orang muda sombong! Ketika masih kecil dahulu engkau sudah mengganggu kami, sekarang setelah dewasa, engkau masih datang mengganggu. Agaknya memang sudah dikehendaki Tuhan bahwa engkau akan mati ditanganku! Nah, engkau majulah, perlihatkan kepandaianmu kepada Thay Bo Lama!"

Sie Liong bersikap tenang. Dia sudah siap sedia menghadapi ancaman yang paling hebat karena dia maklum bahwa hanya dengan pertolongan Tuhan saja dia akan dapat lolos dari tempat ini, lolos dari ancaman bahaya maut. "Thay Bo Lama, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapapun juga disini. Maka, tentu aku tidak akan menyerang siapapun, dan hanya akan membela diri kalau aku diserang."

"Sombong! Sambutlah serangan tombakku ini!" Dia segera menggerakkan tombaknya dan terdengarlah suara bersiutan karena tombak itu bergerak dengan cepat dan kuat bukan main. Ketika menyerang dengan tusukan, tombak itu meluncur seperti anak panah saja, menusuk kearah dada Sie Liong! Sie Liong melihat gerakan ini dapat menduga bahwa lawannya yang kurus kering seperti cecak mati kering itu agaknya memiliki tenaga yang amat besar. Untuk meyakinkan dugaannya, diapun mengerahkan tenaganya pada tongkat yang dipegangnya, lalu dengan tubuh miring dia menangkis dari samping.

"Trranggg....!"

Dugaan Sie Liong memang tepat. Biarpun lawannya itu kurus kering dan kelihatan lemah, namun ternyata didalam lengan yang kecil dan hanya tulang terbungkus kulit itu terdapat tenaga raksasa yang mengejutkan. Untung bahwa dia telah menduga sebelumnya sehingga tidak merasa terkejut. Juga tidak sampai terpental karena diapun sudah mengerahkan tenaganya ketika menyambut dengan tangkisan tadi. Dilain pihak, Thay Bo Lama yang terkejut. Bocah bongkok itu mampu menangkis tombaknya dan tongkat yang dipegang bocah itu tidak sampai terpental atau patah, bahkan kedudukan kakinya sendiri yang menjadi goyah karena dia merasa seolah tombaknya bertemu dengan pagoda baja yang amat kuatnya!

"Bagus! Bocah bongkok kiranya engkau telah mewarisi sedikit ilmu dari Pek Sim Sian-su dan karenanya menjadi sombong! Akan tetapi awas, hari ini engkau akan mampus ditangan pinceng!" bentak Thay Bo Lama sambil melintangkan tombaknya didepan dada.

"Thay Bo Lama, ingatlah bahwa engkau yang memaksaku untuk berkelahi, bukan aku yang mencari permusuhan!" jawab Sie Liong dengan sikap yang amat tenang.

"Hyeeeeeehhhh.... haittt....!" Thay Bo Lama mengeluarkan teriakan nyaring, lengan kirinya membuat gerakan memutar didepan dada untuk mengumpulkan tenaga sakti yang dipusatkan dikedua lengan. Kakek yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun ini ternyata memang masih amat kuat sehingga dari kedua lengannya itu timbul getaran melalui tombaknya dan kini tombak itu bagaikan hidup menyambar kearah Sie Liong.

"Wyuuuuuutt.... singgggg....!"

Ketika dielakkan, senjata itu menyambar-nyambar dan melakukan serangan bertubi-tubi dan selain mendatangkan sambaran angin yang amat kuat, juga mengeluarkan suara bersiutan dan bardesing. Namun, Sie Liong dapat selalu menghindarkan diri dengan tidak terlampau sulit, menggunakan gerakan kedua kakinya yang lincah untuk membuat tubuhuya selalu meliuk-liuk dan menyusup-nyusup di antara sinar tombak, dan kadang-kadang tongkatnya menolak tombak dengan tangkisan yang demikian kuat sehingga beberapa kali tombak itu menyeleweng dan Thay Bo Lama sendiri terhuyung!

Sie Liong maklum bahwa dia berada di dalam bahaya, juga dalam keadaan serba salah. Kalau dia terlalu lama melayani Thay Bo Lama, tentu tenaganya akan terkuras karena disitu masih terdapat banyak lawan yang tentu akan maju satu demi satu. Sebaliknya, kalau terlalu cepat dia mengalahkan Thay Bo Lama, hal ini hanya akan membuat mereka menjadi semakin penasaran dan marah kepadanya! Jalan lari tidak mungkin lagi karena dia sudah terperosok kedalam sarang mereka. Bagaimanapun juga, dia harus menghadapi ancaman bahaya itu dengan gagah. Tiba-tiba dia mempercepat gerakan tongkatnya dan dia mainkan Thian-te Sin-tung di bagian yang menekan dan menyerang. Begitu Sie Liong mengubah gerakannya dan mulai menyerang, Thay Bo Lama terkejut. Dia melihat betapa tongkat itu seperti berubah menjadi banyak sekali. Sebagian menahan tombaknya, sebagian pula menyerangnya bagaikan gelombang lautan yang menyerbu dirinya! Beberapa kali tubuhnya nyaris terpukul dan dia terus memutar tombak, melindungi tubuhnya sambil terdesak mundur. Padahal, belum ada tiga puluh jurus dia melawan! Cepat dia mengerahkan

tenaga sakti dan mulutnya berkemak-kemik. Dia hendak menggunakan kekuatan sihir untuk mengalahkan lawan yang masih muda itu. "Hyaaaahh, orang muda berlututlah engkau!" Namun, biar masih muda, Sie Liong adalah murid yang dikasihi dan digembleng oleh Pek Sim Sian-su, maka tentu saja dirinya sudah "berisi" dan segala macam kekuatan sihir tidak akan mudah mempengaruhi batinnya yang sudah kuat. Dia merasakan getaran ilmu sihir itu, namun cepat Sie Liong mengerahkan sin-kang melindungi dirinya dan sekali tongkatnya berkelebat, dua lutut kaki lawan telah dicium ujung tongkatnya. Thay Bo Lama mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba kedua kakinya menjadi lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi, diapun jatuh berlutut! Ternyata jeritannya mengandung perintah tadi disusul dengan dirinya sendiri yang berlutut, bukan lawannya.

"Thay Bo Lama, tidak berani aku menerima penghormatan itu!" kata Sie Liong sambil melangkah mundur dan menghadap kesamping. Sikapnya wajar dan sedikitpun tidak menunjukkan ejekan. Justru sikap ini yang membuat Thay Bo Lama menjadi malu dan marah bukan main. Setelah rasa kesemutan yang membuat kedua lututnya lumpuh tadi lenyap, diapun bangkit berdiri dengan muka merah dan matanya mencorong memandang pemuda bongkok itu penuh kebencian.

"Hyaaatt-ahh....!" Tiba-tiba Thay Bo Lama, pendeta mata satu itu sudah menyerang Sie Liong dengan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang rantai baja yang panjang dan berat sekali. Rantai itu menyambar ganas kearah kepala Sie Liong. Pendekar Bongkok sudah mengenal sejak dahulu akan kelihaian Tibet Ngo-houw ini, maka melihat rantai menyambar ganas, diapun merendahkan tubuhnya dan rantai itu lewat diatas kepalanya, kemudian diapun melangkah maju mendekat. Rantai itu panjangnya ada tiga meter sehingga kalau berkelahi jarak jauh, dia akan rugi. Rantai lawan dapat mencapai dirinya sedangkan tongkatnya yang hanya satu setengah meter panjangnya tidak akan dapat mencapai lawan. Akan tetapi, Thay Bo Lama sudah menyambutnya dengan dorongan tangan kiri yang terbuka. Ada angin yang berbau amis manyambar kearah Sie Liong. Pemuda ini meloncat kekiri, maklum bahwa itu adalah pukulan yang mengandung racun. Memang, pendeta Lama yang matanya buta sebelah itu, selain amat lihai memainkan rantai bajanya yang panjang dan berat, juga terkenal memiliki pukulan beracun, juga pandai mempergunakan racun sebagai senjata atau alat untuk mengalahkan lawannya. Sambil melangkah maju, Sie Liong juga menggerakkan tongkatnya menusuk kearah perut lawan baru ini. Namun tiba-tiba rantai baja itu ditekuk menjadi dua dan ternyata pendeta Lama itu kini memegang rantai dibagian tengah dan rantai yang tadinya tunggal dan panjang itu berubah menjadi dua rantai pendek karena dipegang bagian tengahnya! Dan dua batang rantai itu berputar menangkis tongkat, bahkan membalas dengan serangan dari kanan kiri, dua helai rantai baja itu melakukan gerakan menggunting. Kembali Sie Liong melangkah kebelakang untuk menghindarkan diri dari guntingan sepasang rantai baja itu. Akan tetapi, dia mendengar angin bersiut kearah kepalanya dari belakang. Cepat dia merendahkan tubuh sambil memutar tongkat untuk menyambut penyerangnya dari belakang itu. Kiranya Thay Bo Lama yang sudah menyerangnya dengan curang sekali. Thay Bo Lama yang tadi menghantamkan tombaknya kearah kepala Sie Liong, kini berbalik malah diancam tongkat yang menusuk kearah lambungnya dari samping. Cepat dia melempar tubuhnya mengelak, akan tetapi kaki Sie Liong menyambar dan diapun terpelanting! Untung bahwa tendangan itu tidak mengenai dengan tepat sehingga tubuh Thay Bo Lama hanya terpelanting saja dan tidak terluka. Pada saat itu, Thay Hok Lama sudah pula menyerang dengan rantai bajanya. Ketika Sie Liong menggerakkan tongkat menangkis, ujung rantai yang panjang itu melibat tongkat! Maksud Thay Hok Lama tentu saja untuk merampas tongkat. Dia membetot keras untuk membuat tongkat ditangan pemuda itu terlepas. Akan tetapi Sie Liong mempertahankan dan dengan pengerahan sin-kangnya, diapun membalas, menarik dan..... tubuh Thay Hok Lama melayang terbawa tarikan itu, melambung keatas sehingga terpaksa Thay Hok Lama melepaskan belitan rantainya dan dia meloncat turun dengan muka berubah merah. Melihat betapa dua orang rekan mereka masih terdesak oleh Pendekar Bongkok, Thay Ku Lama memberi isyarat kepada dua orang sutenya, yaitu Thay Si Lama dan Thay Pek Lama. Tiga orang ini serentak berloncatan turun kegelanggang dan merekapun sudah menggerakkan senjata masing-masing melakukan pengepungan. Thay Ku Lama yang bermuka codet dan berperut gendut itu telah memegang goloknya, Thay Si Lama yang bermuka bopeng mempergunakan senjata cambuknya, sedangkan Thay Pek Lama yang bermuka pucat memegang sepasang pedang! Lengkaplah kini Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet) mengepung Pandekar Bongkok Sie Liong! Sie Liong tersenyum dan terbayanglah peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia masih kecil. Ketika itu, diapun melihat Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan tiga orang gurunya atau juga dapat disebut suhengnya, yaitu Himalaya Sam Lojin. Mereka adalah gurunya karena dia menerima gemblengan silat pertama dari mereka bertiga, akan tetapi merekapun kakak-kakak seperguruannya karena dia adalah murid Pek Sim Sian-su yang terhitung susiok (paman guru) dari Himalaya Sam Lojin. Masih terbayang olehnya betapa

Tibet Ngo-houw ini bertanding melawan Himalaya Sam Lojin, lima orang melawan tiga orang! Suatu pertandingan yang amat hebat dan dahsyat dan dia masih ingat betapa Himalaya Sam Lojin terdesak oleh Tibet Ngo-houw yang lihai itu. Untung ketika itu muncul Pek Sim Sian-su dan juga sute dari kakek sakti itu, Koay Tojin yang aneh dan Tibet Ngo-houw dapat dikalahkan dan diusir. Dan kini, dia seorang diri harus menghadapi pengeroyokan lima orang Lama yang amat lihai itu! Namun, dia sudah menerima gemblengan lahir batin dari Pek Sim Sian-su dan dia tidak merasa gentar sedikitpun juga. "Hemm, aku datang mewakili para tosu yang dimusuhi hanya untuk minta keterangan mengapa mereka yang tidak berdosa itu dimusuhi, dan ternyata sekarang Tibet Ngo-houw juga berusaha keras untuk mengeroyok aku! Apakah inipun termasuk perintah Yang Mulia Dalai Lama? Ataukah nama beliau itu hanya kalian pergunakan untuk menjatuhkan nama Dalai Lama? Bukankah ini juga merupakan suatu muslihat dalam pemberontakan kalian terhadap Dalai Lama? Sungguh bagus sekali!" Sie Liong berkata. Karena maklum bahwa dia telah masuk sarang harimau dan tidak dapat mengharapkan lolos, maka diapun tidak menyembunyikan perasaan dan dugaannya. Ucapan ini membuat lima orang pendeta Lama itu saling pandang dan tentu saja mereka merasa betapa janggalnya dan memalukan keadaan mereka disaat itu. Lima orang datuk besar persilatan yang namanya sudah menjulang tinggi, lima orang kakek sakti yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun dengan senjata-senjata pusaka andalan mereka ditangan, kini mengepung seorang pemuda yang cacat tubuhnya, bongkok dan hanya memegang senjata sebatang tongkat kayu pula! Betapa memalukan keadaan ini. Akan tetapi mereka berada disarang sendiri, tidak ada orang luar yang menyaksikan peristiwa memalukan itu. Yang hadir disitu hanyalah para rekan mereka, yaitu Kin Sim Lama, yang tentu maklum bahwa mereka harus maju bersama menghadapi musuh yang demikian lihainya, meskipun masih amat muda dan bongkok pula. Betapapun juga, ucapan Sie Liong tadi menyentuh perasaan harga diri mereka dan kini mereka berdiri berjajar, tidak lagi mengepung. Hal ini mereka lakukan atas isyarat Thay Ku Lama orang pertama di antara mereka. Mereka hendak menggunakan tenaga gabungan mereka untuk mengalahkan Sie Liong sehingga tidak akan kelihatan terlalu mengepung dan mengeroyok! Mereka berdiri berjajar sambil bergandeng tangan, Thay Ku Lama diujung kanan sebagai kepala dan Thay Si Lama disebelah kiri paling ujung sebagai ekor. Mereka membentuk suatu barisan yang mereka ciptakan sendiri dan nama barisan ini adalah Siang-thouw-coa (Ular Berkepala Dua). Memang barisan atau "tin" ini mirip gerakan ular yang berkepala dua. Mereka berlima dengan bergandeng tangan menghadapi lawan dengan gerakan melingkar-lingkar dan meliuk-liuk dan yang menjadi penyerang utama hanyalah sang kepala dan sang ekor yang keduanya dapat berganti tempat. Jadi penyerang utama hanya Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, sedangkan tiga orang Lama yang lain, karena kedua tangan mereka bergandeng untuk menyambung barisan itu, hanya membantu dengan tendangan-tendangan saja. Menghadapi lima orang lawan yang sudah menyimpan senjata masing-masing dan kini bergandeng tangan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama sakti yang amat berbahaya, lihai dan licik sekali. Maka, dia pun menduga bahwa mereka tentu akan mempergunakan suatu cara penyerangan yang istimewa, dan melihat cara mereka bergandeng tangan, diapun dapat menduga bahwa ini tentu semacam tin (barisan) dan cara bergandeng tangan itu menunjukkan bahwa mereka berlima tentu akan menyatukan tenaga sin-kang mereka. Ini berbahaya bukan main. Menghadapi mereka itu satu lawan satu, mungkin dia masih dapat menandingi kekuatan sin-kang mereka, bahkan mengatasi mereka. Akan tetapi kalau tenaga sin-kang mereka berlima disatukan, dia harus berhati-hati sekali, terutama kalau hendak mengadu tangan! "Sie Liong, bocah sombong! Hendak kami lihat apakah engkau mampu menandingi barisan kami!" teriak Thay Ku Lama dan "barisan" lima orang ini mulai bergerak, melenggang-lenggok dan seperti ular berjalan mengelilingi Sie Liong! Thay Ku Lama berada paling depan sebagai kepala dan Thay Si Lama paling belakang sebagai ekor. Melihat lima orang pendeta Lama ini berjalan beriringan sambil bergandeng tangan seperti itu, sungguh merupakan penglihatan yang aneh dan lucu, seperti melihat lima orang anak kecil bermain-main saja. Akan tetapi Sie Liong sama sekali tidak menganggap demikian. Dia tetap waspada, melintangkan tongkatnya didepan dada dan pandang matanya, juga pendengaran telinganya, tak pernah melepaskan gerakan lima orang lawan itu. Ketika lima orang itu mengelilinginya, dia tidak ikut memutar-mutar tubuh, hanya lenernya saja bergerak perlahan mengikuti mereka dan setelah mereka tiba dibelakang tubuhnya, diapun memutar leher dari arah lain dan mengikuti gerakan mereka lagi hanya dengan menggerakkan leher. Tak pernah dia menggeser kaki yang selalu siap bergerak dengan sikap bertahan dan menjaga diri. Pancingan pertama ini saja sudah tidak berhasil. Tadinya, Siang-thouw Coa-tin (Barisan Ular Kepala Dua) ini mengelilingi lawan memancing agar lawan ikut pula berputar. Kalau lawan melakukan ini, mereka akan berlari cepat mengelilinginya, memaksa lawan berputar demikian cepat dan dengan mengubah-ubah arah, berbalik-balik, maka lawan yang berputaran didalam lingkaran mereka tentu akan menjadi bingung dan juga pening sehingga kedudukannya menjadi lemah. Namun, Pendekar Bongkok itu tidak mau memutar tubuh, hanya mengikuti gerakan mereka dengan leher saja. Kalau dilanjutkan seperti itu, bukan Pendekar Bongkok yang menjadi bingung, pening dan lelah, melainkan mereka sendiri. Gerakan Siang-thouw Coa-tin itu kini berubah, mereka masih mengitari Sie Liong akan tetapi berganti arah, yang tadinya ekor menjadi kepala dan kepala menjadi ekor. Berubah lagi beberapa kali, kemudian, atas isyarat Thay Ku Lama yang melihat pemuda itu tidak terpancing dan tenang saja, Thay Si Lama melakukan penyerangan pertama. Tangan kirinya bergandeng dengan tangan Thay Pek Lama, kini dia mempergunakan tangan kanan untuk menghantam kearah kepala Sie Liong.

"Wuuuuuuttt....!" Sie Liong cepat mengelak karena dia merasa betapa pukulan itu mengandung angin pukulan yang amat dahsyat. Ketika pukulan itu melewati atas kepalanya, tiba-tiba barisan itu membalik dan kini "ekornya", yaitu Thay Ku Lama sudah berganti kedudukan menjadi kepala dan tangan kiri orang pertama dari Tibet Ngo-houw ini sudah mencengkeram kearah dada Sie Liong! Cepat dan tidak terduga sekali gerakan ini sehingga Sie Liong terkejut. Dia cepat membuang diri kebelakang sambil berjungkir balik.

"Brettt....!" Ujung baju didada Sie Liong tersentuh cengkeraman tangan kiri Thay Ku Lama dan terbukalah lubang di baju bagian dada itu, dan bekas robekan menjadi hangus! Sambil melompat menjauhi, Sie Liong yakin bahwa dugaannya benar. Lima orang itu menyatukan tenaga sin-kang dan dia seolah menghadapi seorang lawan yang memiliki kekuatan sin-kang yang amat hebat. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berpikir banyak karena pada saat itu, Siang-thouw Coa-tin telah bergerak lagi dan dengan dahsyat dan cepatnya, juga dengan cara yang aneh dan tidak dapat diduga sebelumnya, menyerangnya dengan hantaman-hantaman tangan yang mengandung sin-kang amat kuat. Sukar diduga siapa yang akan menyerangnya, Thay Ku Lama ataukah Thay Si Lama. Namun, Sie Liong sudah cepat mempergunakan langkah-langkah ajaib yang pernah dilatihnya dari Pek Sim Sian-su. Langkah-langkah yang menjadi dasar dari Thian-te Sin-tung dan yang membuat tubuhnya berkelebatan bagaikan bayang-bayang saja dan biarpun dia terdesak hebat, namun sampai belasan jurus lamanya, belum pernah ada pukulan lawan yang mampu menyerempetnya lagi.

Setelah dua puluh jurus dia selalu mengelak sambil memperhatikan gerakan barisan lima orang itu, akhirnya diapun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan Ular Kepala Dua adalah karena dua orang yang berada dikedua ujung itulah yang menyerangnya secara bergantian, dan mereka itulah kepala dan ekor, akan tetapi ekor dapat pula menjadi kepala dan sebaliknya. Justeru perubahan tiba-tiba inilah yang membingungkan lawan. Dan diapun melihat betapa tiga orang pendeta Lama lainnya yang menjadi penghubung dan penyalur tenaga sin-kang yang disatukan, tidak dapat banyak berbuat sebagai penyerang karena kedua tangan mereka saling gandeng. Hanya kadang-kadang saja tiga orang ini membantu dengan tendangan kaki, akan tetapi karena tubuh mereka tidak bebas, dengan kedua tangan saling bergandengan itu mereka seperti terikat oleh barisan, maka tendangan mereka itu pun tidak banyak artinya bagi Sie Liong. Dan pemuda yang cerdik inipun menemukan suatu kenyataan yang memberi harapan, yaitu bahwa dibagian "tubuh" atau tengah yang dimainkan tiga orang inilah bagian barisan itu yang paling lemah!

"Yaaaaattt....!" Thay Ku Lama sudah menyerang lagi dengan hantaman telapak tangan terbuka kearah dada Sie Liong ketika pemuda itu membalik dari elakan serangan sebelumnya. Bukan main kerasnya angin pukulan itu. Sie Liong yang sudah membuat perhitungan matang, lalu menggerakkan kedua tangan pula untuk menyambut pukulan itu dari jarak dua meter. Dia tentu saja tidak berani menyambut langsung, maklum betapa hebatnya tenaga gin-kang yang mendorong pukulan itu. Akan tetapi dalam jarak dua meter, dia berani mengambil resiko karena tidak terlalu berbahaya. Dia juga mengerahkan sin-kang yang lemas, tidak mau mengadu keras lawan keras karena tenaga sin-kang jelas jauh kalau dibandingkan tenaga lawan yang disatukan itu, jauh kalah.

"Desss....!" Dua pasang tangan itu tidak sampai bertemu, tidak saling sentuh, akan tetapi tenaga sin-kang yang menyambar sebagai kekuatan dahsyat itu telah saling bertemu dan bertumbuk diudara. Akibatnya hebat bukan main. Sie Liong merasa seperti didorong oleh angin taufan dan diapun terlempar! Namun, dia sudah memperhitungkan sehingga dia membiarkan dirinya terjatuh keatas tanah lalu dia bergulingan. Dengan cepat tubuhnya berguling-guling kesana-sini sehingga mematahkan tenaga luncuran sambil memperhatikan keadaan barisan lawan. Seperti yang diduganya, lima orang Tibet Ngo-houw itu mengira bahwa  dia tentu terluka, dan mereka itu sudah datang menghampiri dengan cepat, dengan gerakan lenggak-lenggpk seperti seekor ular. Tiba-tiba Sie Liong yang bergulingan itu tubuhnya menyambut dan setelah cukup dekat, dia meloncat dan mengeluarkan suara melengking nyaring, tongkatnya bergerak-gerak sehingga ujungnya menjadi banyak dan diseranglah tiga orang yang berada di tengah-tengah! Serangan yang tiba-tiba ini membuat Thay Pek Lama, Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang berada di tengah-tengah terkejut bukan main. Juga Thay Ku Lama dan Thay Si Lama yang menjadi kepala dan ekor barisan itu terkejut. Mereka tadi salah perhitungan. Mereka mengira bahwa Sie Liong terluka. Sungguh tak mereka sangka kini pemuda itu bahkan menyerang dengan hebat kearah bagian barisan yang lemah. Tiga orang sute mereka itu hanya mampu membantu dengan penyaluran tenaga, sama sekali tidak dapat menangkis atau mengelak karena mereka itu seperti terkait dan terjepit! Padahal, serangan tongkat ditangan pemuda bongkok itu dahsyat bukan main karena dia memainkan jurus-jurus Thian-te Sin-tung!

"Lepaskan ikatan!" bentak Thay Ku Lama yang melihat betapa tiga orang sutenya terancam bahaya maut oleh tongkat kayu yang digerakkan secara lihai sekali itu. Terlepaslah tangan mereka yang bergandengan dan kini tiga orang pendeta Lama yang diserang itu dapat menggunakan kaki tangan mereka untuk membela diri. Merekapun segera bargerak, ada yang mengelak dan ada yang menangkis. Namun, gerakan mereka melepaskan diri dari ikatan barisan tadi terlambat sedikit dan akibatnya, Thay Pek Lama terjengkang dengan pundak tertotok ujung tongkat, Thay Hok Lama juga terpelanting karena kakinya menjadi lumpuh sebelah ketika ujung tongkat singgah dilutut kirinya, sedangkan Thay Bo Lama terhuyung kebelakang, dadanya kena didorong tangan kiri Sie Liong sehingga terasa napasnya sesak dan dadanya nyeri. Masih untung bagi tiga orang pendeta Lama itu bahwa Sie Liong hanya berniat menghancurkan Siang-thouw Coa-tin itu saja, tidak berniat membunuh sehingga baik tongkat maupun tangan kirinya, menyerang dengan tenaga yang terbatas. Bagaimanapun juga, jelas bahwa barisan itu dapat dia pecahkan dan kini lima orang pendeta Lama itu berdiri dengan muka berubah merah karena malu dan marah. Tiga orang pendata Lama yang tadi terkena serangan, juga sudah dapat memulihkan tenaga dan mereka sudah menyambar senjata masing-masing, seperti juga yang dilakukan Thay Ku Lama dan Thay Si Lama!

Melihat ini, Sie Liong menjura. "Apakah ucapan Tibet Ngo-houw tidak dapat dipercaya lagi? Aku sudah menandingi barisanmu dan berhasil memecahkannya, kenapa kalian malah mengeluarkan senjata?"

"Pendekar Bongkok, apakah engkau takut?" Thay Ku Lama bertanya dengan suara mengejek, juga empat orang sutenya mengeluarkan suara mengejek, semua ini tentu saja untuk menghibur atau menutupi kekalahannya tadi yang membuat mereka merasa malu, penasaran dan marah. Mendengar ini, tiba-tiba saja Sie Liong menekuk punggungnya yang bongkok kebelakang dan dia menangadah, memandang langit-langit ruangan yang luas itu dan diapun mengeluarkan suara ketawa yang membuat semua orang disitu terkejut dan tercengang. Suara ketawa itu amat nyaring melengking, akan tetapi juga bergelak dan gemuruh seperti gelombang, mendatangkan getaran dahsyat yang seolah-olah akan meruntuhkan bangunan ruangan itu! Bahkan Kim Sim Lama sendiri memandang kagum. Belum pernah selamanya dia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini, yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali! Bukan hanya hebat ilmu kepandaiannya, akan tetapi juga luar biasa sekali tabah dan beraninya! Seorang diri memasuki sarangnya dan menyambut tantangan Tibet Ngo-houw! Sungguh hampir tak masuk akal dan sukar dipercaya! Kehebatan Sie Liong ini saja sudah mendatangkan perasaan sayang di dalam hatinya dan betapa akan senangnya kalau dia dapat mempunyai seorang pendukung atau pembantu seperti pemuda bongkok itu!

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Sie Liong menghentikan ketawanya yang bergelombang dan bergemuruh tadi, lalu menudingkan tongkatnya kearah muka Tibet Ngo-houw dan suaranya terdengar tidak seperti tadi, lemah lembut, melainkan tegas dan berani penuh kekuatan dan kegagahan. "Tibet Ngo-houw, bukan aku yang takut, melainkan kalian! Buktinya kalian mengeroyok aku! Seorang seperti aku ini, apa artinya takut? Aku seorang sebatangkara yang tidak memiliki apa-apa, tubuhpun cacat, dan kematian bagiku hanya kembali ketempat yang jauh lebih baik daripada didunia yang penuh kekotoran dan manusia busuk macam kalian ini! Bagiku, yang ada hanyalah berpegang kepada kebenaran dan keadilan. Demi kebenaran dan keadilan, matipun tidak apa-apa!

Kematian hanya pulang dan kembali kepada sumber kebenaran dan keadilan! Sebaliknya, kalian ini biarpun berpakaian pendeta, selalu menuruti nafsu angkara murka, menjadi setan sehingga kalian takut mati, karena kematian kalian akan menyeret kalian kepada kerajaan setan dan iblis!"

Seperti juga suara ketawanya tadi, kini ucapannya itu membuat banyak orang disitu merasa panas dingin dan bulu tengkuk mereka meremang. Akan tetapi, Tibet Ngo-houw yang sudah merasa malu dan penasaran, tidak memperdulikan semua itu dan atas isyarat Thay Ku Lama, mereka sudah bergerak mengepung dengan senjata masing-masing ditangan Sie Liong berada ditengah-tengah dan diapun sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kalau dia dikeroyok dengan pengepungan seperti ini, akan rugilah dia kalau hanya mempertahankan diri saja. Kalau sampai dia terdesak, akan sukarlah meloloskan diri dari kepungan, sukar untuk membalas serangan lawan yang tentu bertubi-tubi datangnya. Oleh karena itu, diapun mengambil keputusan untuk mendahului lawan dan mengambil sikap menyerang dan mengamuk!

Tiba-tiba dia mengeluarkan lengkingan dahsyat dan tubuhnya bergerak kekiri. Pemuda bongkok itu sudah menyerang Thay Bo Lama yang berada disebelah kirinya. Karena dia menggunakan jurus dari ilmu tongkat Thian-te Sin-tung, tentu saja serangannya itu hebat bukan main. Thay Bo Lama menggerakkan tombaknya menangkis, dan Thay Hok Lama yang berada disampingnya juga mengayun rantai baja untuk melindungi sutenya, juga untuk menyerang Sie Liong! Namun, begitu serangannya gagal, Sie Liong tidak membiarkan dirinya diserang. Serangan Thay Hok Lama itu dia hindarkan dengan loncatan kekanan dan dia sudah menotokkan ujung tongkatnya kearah leher Thay Si Lama.

"Tar-tar-tarrrr!" Thay Si Lama menggerakkan cambuknya meledak-ledak ketika ujung tongkat ditangan Sie Liong itu bagaikan seekor lalat menyambar-nyambar kearah lehernya. Dia tahu betapa hebatnya totokan itu kalau mengenai sasaran, maka dengan sibuk diapun melindungi dirinya dengan putaran cambuk. Sementara itu, Thay Pek Lama juga menggerakkan siang-kiam (sepasang pedang) untuk membantu suhengnya dan membalas serangan Sie Liong. Ketika pedang itu menyambar pinggang dan leher, Sie Liong melempar tubuh kebawah dan bergulingan kearah Thay Ku Lama. Begitu melompat, tongkatnya sudah menyerang dengan tusukan keperut orang pertama Tibet Ngo-houw itu! Lama ini cepat memutar golok menjaga dirinya. Akan tetapi Sie Liong sudah membalik kebelakang lagi untuk menyerang Thay Hok Lama! Amukan Sie Liong itu mangejutkan Tibet Ngo-houw. Gerakan pemuda itu demikian cepat, membagi-bagi serangan sehingga mereka tidak sempat menyusun kekuatan untuk mengepung dan menghimpit. Melihat ini, dengan muka merah dan hati panas sekali Thay Ku Lama berseru nyaring. "Ngo-heng-tin (barisan lima unsur)!" Mendengar bentakan ini, para sutenya sadar dan mereka segera berlompatan menjauhi Sie Liong dan membuat berisan segilima! Dan merekapun mulai bergerak mengelilingi Sie Liong, semakin lama semakin cepat dan lingkaran yang mereka buat itu semakin sempit. Sie Liong tidak berani lagi menyerang seperti tadi karena maklum bahwa begitu dia menyerang seorang diantara mereka, yang empat orang akan menubruk dan menyerangnya dari empat jurusan secara berbareng! Dia pernah mendengar dari Pek Sim Sian-su tentang beberapa tin (barisan) dan Ngo-heng-tin merupakan barisan yang berbahaya, apalagi karena lima orang anggautanya mempergunakan lima macam senjata sehingga sukar sekali diduga gerakan dan corak penyerangan mereka. Akan tetapi diapun teringat pelajaran yang diberikan oleh para gurunya. Antara lain Pek Sim Sian-su pernah menceritakan sifat dan kehebatan Ngo-heng-tin. "Dalam Ngo-heng-tin terdapat unsur Im-yang pula, demikian kata kakek sakti itu. Lima unsur itu saling bantu, sehingga kalau ada seorang anggauta diserang, selain dia sendiri dapat membela diri, juga ada anggauta lainnya yang melindunginya, sedangkan tiga orang lainnya tentu akan membarengi saat itu untuk menghantam lawan. Memang kalau lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu memiliki tenaga dan kepandaian yang setingkat denganmu, amat sukarlah mengalahkan mereka. Akan tetapi, dengan Thian-te Sin-tung dan langkah-langkah ajaib, tentu engkau akan dapat mepertahankan diri. Kalau engkau bisa memecahkan unsur yang paling membantu itu, baru engkau akan dapat mengacaukan pertahanan mereka. Usahakan agar engkau mengenal siapa diantara mereka itu yang saling melindungi, siapa yang memegang unsur air, api, kayu, tanah dan angin." Demikianlah petunjuk yang diperolehnya dari Pek Sim Sian-su. Terdengar seruan keras ketika Thay Ku Lama membuka serangan pertama! Golok ditangannya itu mula-mula diacungkan keatas, dan kedua kaki pendeta yang bertubuh gemuk dengan perut gendut itu ditekuk sehingga tubuhnya hampir berjongkok. Dari perutnya berbunyi suara berkokokan seperti suara katak besar dan perut yang gendut itu bergoyang-goyang, kemudian tubuhnya meloncat kedepan dan tangan kirinya dengan jari terbuka mendorong kearah Sie Liong. Uap hitam disertai angin keras menyambar kearah Sie Liong. Itulah pukulan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin Taufan Awan Hitam) yang amat berbahaya. Sie Liong mengenal pukulan ampuh, maka diapun melempar tubuh kekiri sehingga angin pukulan itu lewat. Ketika sinar golok ditangan kanan Thay Ku Lama menyambar, dia menggerakkan tongkatnya menangkis, lalu membalas dengan totokan-totokan kearah tujuh jalan darah utama dibagian depan tubuh lawan!  Menghadapi jurus hebat dari Thian-te Sin-tung ini yang membuat dirinya terancam maut oleh totokan-totokan, Thay Ku Lama menjadi sibuk dan cepat memutar goloknya untuk melindungi tubuhnya. Thay Si Lama cepat sekali memutar cambuknya, selain melindungi sehengnya, juga ujung cambuk itu berusaha membelit tongkat untuk merampasnya! Sie Liong mulai merasakan keampuhan barisan Ngo-heng-tin. Dengan otomatis, ketika Thay Ku Lama diserangnya, Thay Si Lama sudah berada di situ, melindunginya dan ikut pula menyerangnya. Dia meloncat tinggi melewati tubuh para pengepungnya dan tiba dibelakang Thay Hok Lama, akan tetapi begitu lima orang pengeroyoknya membuat gerakan berlari dan berlompatan, dirinya sudah dikepung lagi oleh barisan segilima itu. Dia cepat menubruk kedepan, menggerakkan pedangnya yang mula-mula menusuk kearah sepasang mata Thay Pok Lama, kemudian ujung tongkat digetarkan untuk menghantam leher dan ubun-ubun secara bergantian. Thay Hok Lama cepat mengeluarkan sepasang pedangnya menangkis, dan pada saat itu, secara otomatis pula Thay Hok Lama sudah menggunakan rantai bajanya melindungi Thay Pek Lama. Dan kedua orang pendeta Lama ini bergabung dan menyerang Sie Liong. Setelah mencoba untuk mengamuk beberapa belas jurus lamanya, tahulah Sie Liong bahwa benar seperti dikatakan gurunya, lima orang itu saling melindungi. Dia lalu mencari mata rantai yang tidak bersambung dalam barisan itu. Tiba-tiba dia menyerang Thay Si Lama dengan hebatnya. Dia tahu bahwa tentu Thay Pek Lama yang akan melindungi suhengnya itu. Dan benar saja, Thay Pek Lama secara otomatis telah melindungi Thay Si Lama, akan tetapi ketika mereka berdua hendak membalas serangan Sie Liong, pemuda itu telah membalik secara tiba-tiba dan diapun sudah menyerang Thay Bo Lama! Dia sudah memperhitungkan bahwa tentu Thay Ku Lama yang akan melindungi orang termuda dari Tibet Ngo-houw itu. Ketika Thay Ku Lama bergerak, diapun menarik kembali serangannya dan tiba-tiba dia menyerang Thay Hok Lama si mata satu! Serangannya sekali ini hebat bukan main, karena selain tongkatnya membuat serangan tusukan beruntun yang dahsyat, juga tangan kirinya dengan tenaga sin-kang sepenuhnya melakukan hantaman dengan ilmu Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung), ilmu pukulan sakti yang dia pelajari dari Hek Bin Tosu. Thay Hok Lama terkejut bukan main dan memutar rantai melindungi dirinya. Dia mengharapkan perlindungan Thay Bo Lama seperti telah menjadi bagian masing-masing dalam barisan itu, namun baru saja Thay Bo Lama bergerak mundur karena desakan Sie Liong yang ternyata hanya pura-pura itu, maka sekali ini, Thay Hok Lama harus melindungi diri sendiri dan tidak mempunyai pelindung lain. Akan tetapi, serangan Sie Liong itu terlampau hebat. Dia mampu menangkis tongkat, akan tetapi tidak mampu manghindarkan diri sama sekali dari tangan kiri Pendekar Bongkok yang memukulnya. Namun dia masih berusaha menangkis dengan tangan kirinya. "Desss....!" Tubuh Thay Hok Lama terpelanting keras dan terbanting sampai terguling-guling. Tentu saja para Lama yang lain menjadi terkejut bukan main. Tak pernah mereka bermimpi bahwa Ngo-heng-tin akan dapat dipecahkan sedemikian mudahnya oleh Pendekar Bongkok sehingga belum lewat tiga puluh jurus saja seorang dari mereka sudah roboh!

Tiba-tiba nampak bayangan merah berkelebat dan tahu-tahu Kim Sim Lama yang memegang sebatang tongkat pendeta telah berada di tempat dimana tadi Thay Bo Lama berdiri. "Ngo-seng-tin (Barisan Lima Bintang)!" serunya dengan suaranya yang lembut namun berwibawa. Empat orang Lama itupun bergerak dan dipimpin oleh Kim Sim Lama sendiri, mereka membentuk barisan Bintang Lima yang gerakannya aneh namun cepat, seperti bintang yang berkedap-kedip karena senjata mereka digerak-gerakkan berkilauan dan kedudukan mereka selalu berubah. Tiba-tiba mareka berlima itu menyerang dari lima penjuru! Sie Liong cepat memutar tongkatnya melindungi diri, dan tangan kirinya mendorong dengan pukulan yang dia ubah-ubah pula untuk membingungkan para pengeroyoknya. Tongkatnya membentuk benteng yang amat kuat sehingga semua senjata terpental kalau hendak menerobos kedalam lingkaran benteng sinar itu. Hanya tongkat di tangan Kim Sim Lama saja yang mampu membuat Sie Liong merasakan lengannya terguncang hebat dan kedudukan kakinya terhuyung.

"Trakkk!" Pertemuan antara tongkat di tangan Sie Liong dan tongkat pendeta berkepala naga yang besar ditangan Kim Sim Lama amatlah hebatnya. Bukan saja Sie Liong tergetar, juga Kim Sim Lama tercengang dan jelas nampak betapa wajahnya dibayangi kekaguman dan keheranan karena dia mendapatkan kenyataan bahwa pemuda itu mampu menandingi kekuatan sing-kangnya!

Sie Liong tidak membiarkan dirinya dilanda kekagetan, melainkan cepat dia menghindarkan diri dari sambaran tombak Thay Bo Lama yang menusuk kearah lehernya. Dia merendahkan dirinya dan tangan kirinya mendorong kearah penyerangnya itu, cepat sekali.

"Hyaaaattt....!" Hawa yang amat dingin menyambar ganas kearah dada Thay Bo Lama. Ternyata Pendekar Bongkok telah mempergunakan Swat-liong-ciang (Tangan Naga Salju) yang dilatihnya dari Swat Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin. Pukulan ini memang mengandung sin-kang yang berhawa dingin seolah-olah ada hawa salju yang menyambar ganas. Thay Bo Lama terkejut dan menangkis dengan lengan kirinya pula. "Plakkk!" Dan akibatnya, tubuhnya terguling dan diapun menggigil kedinginan! Saat itu dipergunakan oleh Thay Ku Lama untuk menyambarkan goloknya yang mengeluarkan suara berdesing! Sie Liong menundukkan mukanya dan menggerakkan tongkat menangkis. Pada saat yang sama, tongkat naga di tangan Kim Sim Lama kembali menyambar. Sie Liong yang maklum akan kehebatan pemimpin pemberontak ini, terpaksa menggunakan tongkat yang tadi membalik ketika menangkis golok Thay Ku Lama, untuk menghadapi sambaran tongkat naga Kim Sim Lama. "Dukkk! " Sekali ini, demikian kuatnya Kim Sim Lama menghantamkan tongkatnya, pula karena Sie Liong baru saja menangkis golok Thay Ku Lama sehingga tenaganyapun tidak sepenuhnya. Akibatnya Sie Liong terpelanting! Kesempatan itu dipergunakan oleh Thay Si Lama untuk manghantamkan cambuknya kearah kepala Sie Liong. Cambuk itu melecut dengan cepat seperti kilat menyambar! Sie Liong masih berhasil menggerakkan tongkatnya menangkis walaupun dia sudah terpelanting. Namun, ujung cambuk itu membelit tongkatnya dan terjadi tarik menarik. Sie Liong mengerahkan tenaga dan tangan kirinya mendorong dengan telapak tangan terbuka kearah Thay Si Lama. Thay Si Lama yang menguasai ilmu silat Sin-kun Hoat-lek, yaitu silat yang bukan saja mengandung tenaga sin-kang kuat, akan tetapi bahkan juga mengandung ilmu sihir itu, tidak gentar dan diapun menggerakkan telapak tangan kiri menyambut.

"Desss....!" Hebat bukan main pertempuran dua telapak tangan dan akibatnya, tubuh Thay Si Lama terjengkang dan diapun muntah darah! Sie Liong sendiri juga terjengkang karena kedudukannya tadi tidak menguntungkan ketika dia mengadu tenaga dalam dengan Thay Si Lama. Kuda-kudanya tidak kokoh karena dia tadi dalam keadaan terpelanting dan terhuyung. Pada saat dia terjengkang, ujung tongkat ditangan Kim Sim Lama menyambar dan menyentuh punggungnya. Sie Liong terkulai lemas dan roboh pingsan! Melihat betapa Thay Si Lama muntah darah, empat orang rekannya menjadi marah dan mereka sudah menggerakkan senjata untuk melumatkan tubuh Pendekar Bongkok. "Tahan!" Kim Sim Lama berseru dan tongkatnya diputar melindungi tubuh Sie Liong. Lima orang Harimau Tibet itu kini memandang heran kepada pemimpin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang mengusap darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.

"Maaf, susiok (paman guru), akan tetapi Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya kalau dia dibunuh!" katanya dengan nada tidak senang. "Hemm, kalian ini sudah berpengalaman luas, mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah dipengaruhi kemarahan dan dendam? Yang penting bagi kita adalah langkah yang kita perhitungkan, langkah yang pasti akan menguntungkan usaha kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa untungnya? Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup lihai untuk membuat kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja menghadapi kita? Sebaliknya, kalau dia tidak dibunuh, banyak pilihan bagi kita untuk memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan sebesarnya." Lima orang pendeta Lama itu memandang penuh perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sutenya bertanya, "Susiok, manfaat apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?"

"Ha-ha-ha-ha! Nah, kalian lihatlah," katanya kepada belasan orang pembantu utamanya. "Tanpa pimpinan pinceng, kalian sama seperti sekumpulan gajah kehilangan pembimbing. Biarpun kalian kuat, kalau tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak akan mencapai jauh! Dengarlah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini, biarpun masih muda dan tubuhnya bongkok, namun dia telah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua, kalau maju satu lawan satu, bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu gerakan kita."

"Akan tetapi, susiok! Dia adalah murid Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Sian-su. Dia musuh kita dan mana mungkin dia mau membantu gerakan kita?" Thay Si Lama mencela.

"Bagaimana kalau kita mempergunakan sihir agar dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?" kata Thay Hok Lama. Kim Sim Lama menggeleng kepalanya. "Memang benar bahwa kiranya takkan mungkin dia membantu kita, dan penggunaan sihirpun tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sin-kang sekuat itu."

"Pinceng dapat membuatkan racun perampas ingatan...." kata pula Thay Hok Lama si ahli racun. Kim Sim Lama tetap menggeleng kepalanya. "Biarpun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya tentu melarang dia untuk membantu kita. Dan apa artinya orang yang kehilangan ingatan untuk kita? Bahkan dia akan dapat menimbulkan kekacauan karena ketololannya. Tidak, agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu perjuangan kita dengan tenaganya."

"Lalu untuk apa lagi, susiok?" Thay Pek Lama bertanya. Kim Sim Lama tersenyum dan mukanya yang merah kekanak-kanakan itu kini kelihatan cerdik luar biasa. Matanya mencorong, berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek. "Kita dapat mempergunakan dia untuk memperuncing hubungan yang sudah memburuk antara Dalai Lama dan para tosu. Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai Lama, barulah kematiannya ada gunanya untuk kita."

Lima orang Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk dan merekapun melihat manfaat itu. "Akan tetapi, bagaimana caranya agar dia dapat terbunuh oleh Dalai Lama, atau agar para tosu menganggap kematiannya disebabkan oleh Dalai Lama?"

"Tentu saja satu-satunya jalan adalah agar dia mati didalam istana Dalai Lama di Lasha!" kata Kim Sim Lama. "Akan tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan dia kedalam istana?" tanya Thay Bo Lama. Kim Sim Lama tersenyum lagi. "Tidak percuma pinceng menyebar orang-orang ke dalam Lasha. Biarlah kita menanti kesempatan yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam penjara lebih dulu."

"Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali, susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup didalam penjara, bagaimana kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari dalam penjara?" Thay Ku Lama berseru khawatir. "Ha-ha-ha-ha, mengapa engkau begitu bodoh? Tentu saja kita harus membuat dia tidak berdaya lebih dahulu. Nah sekarang racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok Lama."

Thay Hok Lama merasa girang karena dia dapat berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir pel hitam. "Ingatannya dihilangkan sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?"

"Maksudmu bagaimana?" tanya Kim Sim Lama. "Pinceng mempunyai dua butir pel racun perampas ingatan. Kalau diminumkan sebutir, maka dia akan kehilangan ingatan selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir sekaligus dimasukkan keperutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya sehingga semua syaraf ingatan dikepalanya akan hangus dan diapun akan kehilangan ingatan untuk selamanya." Thay Hok Lama tertawa gembira karena bangga akan keahliannya tentang racun. "Berikan sebutir saja. Mungkin kita memerlukan dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau perlu, kita bisa meminumkannya sebutir lagi."

Thay Hok Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang masih pingsan, menotok lehernya sehingga dengan mudah dia membukakan mulut pemuda itu dan memaksakan sebutir pel kedalam kerongkongannya. Dengan arak yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu memasuki perut Sie Liong tanpa diketahui pemuda yang masih pingsan itu. "Ha-ha-ha, setelah siuman dia sudah akan lupa segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia didalam kamar tahanan?" tanya Thay Hok Lama. "Nanti dulu! Biarpun ingatannya hilang, kalau tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih membuat dia mampu bersilat, hal itu tetap saja membahayakan."

"Jangan khawatir, susiok. Pinceng mempunyai racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau dia mengerahkan sin-kangnya dia akan roboh sendiri," kata Thay Hok Lama dan kembali dia mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan kedalam perut Sie Liong melalui mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan kedalam sebuah kamar tahanan yang berpintu besi. "Ha-ha-ha, dalam keadaannya seperti itu, dia tidak berbahaya lagi, seperti orang biasa saja. Tidak perlu kita sendiri yang berjaga, cukup dijaga anak buah saja," kata Thay Hok Lama dan demikianlah, Sie Liong dilempar kedalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan diatas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar itu setelah menyuruh enam orang penjaga berjaga diluar pintu besi dengan senjata ditangan. Tidak perlu dijagapun, pemuda yang sudah makan dua macam obat beracun itu takkan mampu membebaskan diri dari dalam kamar penjara!

Bayangan itu berkelebat cepat sekali meninggalkan wuwungan rumah penginapan. Bulan sepotong sudah naik tinggi dan sinarnya yang remang-remang menyinari muka orang yang berkelebat turun dari wuwungan genteng rumah penginapan itu. Dia seorang pemuda tampan sekali, dengan wajahnya yang bulat bersih dan sepasang alis yang hitam lebat, hidungnya mancung dan matanya mencorong, mulutnya selalu tersenyum memikat dan pakaiannya mewah dan bersih. Dia tersenyum-senyum ketika berhenti dikebun rumah penginapan itu, menoleh kearah kamarnya yang berada dibagian tengah.

"Selamat tidur, suci yang manis," bisiknya sambil tersenyum. Pemuda ini adalah Coa Bong Gan, murid kedua Koay Tojin yang melakukan perjalanan bersama sucinya, Yauw Bi Sian ke Lasha untuk mencari Pendekar Bongkok Sie Liong. Seperti telah diceritakan dibagian depan, mereka memasuki kota Lasha dan dikota ini mereka berhasil mendapat keterangan tentang Pendekar Bongkok yang kabarnya akan melakukan penyelidikan kesarang Kim-sim-pai daerah Telaga Yam-so. Tentu saja Bi Sian segera akan melakukan pengejaran kesana, akan tetapi Bong Gan mencegahnya, mengingatkan bahwa mereka harus lebih dulu menyelidiki Kim-sim-pai yang amat ditakuti penduduk dan dimana adanya sarang perkumpulan yang akan didatangi Sie Liong itu. Selain alasan ini, juga ada alasan rahasia yang membuat Bong Gan menahan sucinya agar jangan hari itu juga pergi meninggalkan Lasha! Tadi, dirumah makan, dia bertemu dengan seorang wanita yang demikian cantik manis sehingga membuat hatinya jungkir balik! Yang membuat dia tergila-gila dan mengobarkan birahinya adalah ketika wanita yang cantik manis itu di rumah makan tadi jelas memberi tanda kepadanya dengan main mata! Kerling dan senyum wanita itu demikian memikatnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa dia tidak bertepuk tangan sebelah. Bukan dia saja yang bangkit birahinya, melainkan wanita itupun jelas tidak menyembunyikan perasaan hatinya yang tertarik kepadanya! Dia harus dapat bertemu dengan wanita itu, malam ini juga!

Sebelum dia dan sucinya meninggalkan Lasha, dia harus dapat mendekati wanita itu untuk mempererat hubungan, untuk berkenalan. Akan tetapi, setelah berhasil keluar dari rumah penginapan tanpa diketahui siapapun, dan sucinya tentu sudah tidur dikamar sebelah yang sudah gelap dan sunyi, dia menjadi bingung sendiri. Kemana dia harus mencari wanita itu? Ada sesuatu pada wajah wanita itu yang amat menarik hatinya, yang secara mendadak saja menimbulkan gairah cintanya. Tiba-tiba hidungnya kembang kempis. Keharuman mawar demiktan menyolok hidungnya. Apakah kebun ini banyak bunga mawarnya? Akan tetapi ketika dia menoleh kesekeliling, tidak ada pohon bunga mawar disitu. Akan tetapi keharuman itu demikian keras dan semakin keras lagi. Tiba-tiba ia merasa ada orang dibelakang. Cepat dia memutar tubuhnya dan.... benar saja, dalam jarak lima meter dia melihat sesosok tubuh yang ramping. Akan tetapi, jarak itu terlampau jauh dalam keremangan itu untuk dapat mengenal mukanya. Hanya terdengar suara kekeh wanita dan orang itupun meloncat dan berkelebat pergi.

Seorang wanita! Cepat Bong Gan melakukan pengejaran. Dia makin heran dan kagum. Wanita itu sungguh memiliki ilmu berlari cepat yang hebat! Dia mengejar terus. Wanita itu melalui jalan-jalan sunyi dan setelah tiba disebuah lapangan rumput dekat sungai kecil yang sunyi karena tempat itu merupakan pinggiran kota Lasha, dengan suara ketawa kecil masih terdengar, ia berhenti, seolah menanti. Bong Gan meloncat kedepan wanita itu dan dia terpesona, terbelalak dan sejenak dia bengong. Wanita itu adalah wanita cantik manis yang membuatnya tergila-gila tadi! Betapa manisnya wajah yang bulat telur dengan dagu runcing itu. Kulit muka dan leher itu putih mulus, manisnya bukan main! "Hi-hik, kenapa engkau mengejarku?" terdengar suaranya yang merdu dan penuh godaan.

"Karena aku tergila-gila kepadamu, nona. Pertemuan antara kita dirumah makan itu telah membuat aku jatuh cinta padamu, nona!" jawab Bong Gan yang masih belum hilang kekaguman dan keheranannya karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis cantik jelita yang membuatnya tergila-gila itu bukan wanita sembarangan saja, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu lari cepat yang agaknya tidak berada dibawah tingkatnya! Wanita itu bukan lain adalah Pek Lan. Sebagai seorang yang mata keranjang dan gila pria ganteng, begitu bertemu dengan Bong Gan tentu saja ia sudah tertarik bukan main. Ia merasa betapa wajah pemuda ganteng itu tidak asing baginya, namun ia lupa lagi entah dimana pernah bertemu pemuda yang gagah dan ganteng itu. Sayang pemuda itu sudah mempunyai pasangan, seorang gadis yang demikian cantik. Akan tetapi justeru hal ini bahkan menimbulkan gairahnya, karena ia merasa ada saingan dan ia harus menang! Ia sudah bosan dengan permainan cinta Thai-yang Suhu yang biarpun masih tampan dan gagah, namun sudah tua itu.

Malam itu, setelah ia tadi membayangi pemuda dan gadis itu dan mengetahui rumah penginapan mereka, ia lalu pergi mengunjungi rumah penginapan dan tanpa disangka-sangkanya, ia melihat bayangan melayang turun dari wuwungan rumah penginapan. Tentu saja ia terkejut dan heran, dan lebih besar lagi keheranannya ketika ia mengenal pemuda tampan yang digandrungi itulah bayangan yang amat gesit itu. Hatinya menjadi semakin bergairah. Kiranya seorang pemuda yang lihal! Ia semakin tertarik, dan ia lalu memancing pemuda itu keluar dari daerah ramai, menuju ketempat sunyi ditepi sungai kecil yang mengalir didekat tembok kota Lasha. Kini, mendengar pengakuan pemuda itu yang mengaku tergila-gila dan jatuh cinta padanya, Pek Lan tertawa. "Aih, benarkah engkau jatuh cinta padaku? Kalau begitu, aku harus mengujimu dulu apakah engkau cukup gagah untuk dapat berdekatan dengan aku. Sambut seranganku ini!" Dan tiba-tiba Pek Lan sudah melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga kuat sehingga terdengar angin berdesir. Timbul kegembiraan dihati Bong Gan. Kiranya bukan hanya pandai berlari cepat, pikirnya. Dia harus menunjukkan bahwa dia cukup jantan dan gagah untuk dapat "berdekatan" dengan wanita cantik yang menantang ini. Cepat dia pun mengelak untuk menghindarkan serangan orang dan diapun membalas. Ternyata wanita itu memiliki gerakan yang gesit dan serangan Bong Gan dapat pula ia elakkan dengan cepat, kemudian ia melancarkan serangan bertubi-tubi yang membuat Bong Gan diam-diam menjadi semakin kagum. Kalau tadinya dia masih tersenyum mengejek dan hendak main-main, kini dia tahu bahwa wanita itu sungguh lihai dan dia sama sekali tidak boleh memandang ringan! Segera dia mainkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu inti dari Koay Tojin. Ilmu silat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong, atau dapat pula dengan pedang, namun pada intinya ilmu silat ini adalah ilmu silat tongkat yang disebut Ta-kwi Tung-hoat (Silat Tongkat Pemukul IbliS). Begitu dia memainkan ilmu silat ini, kedua tangannya merupakan sepasang tongkat yang ampuh sekali dan memiliki gerakan yang aneh sehingga Pek Lan beberapa kali mengeluarkan seruan kagum. Namun, biarpun agak terdesak, ia masih dapat mengindarkan semua rangkaian serangan lawan. Karena ia memang sudah tertarik kepada pemuda itu, maka ia tidak mau mengeluarkan ilmu pukulan yang amat dahsyat, yaitu Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam). "Tahan dulu....!" serunya sambil melompat kebelakang. Bong Gan berdiri dan tersenyum, merasa menang karena betapapum juga, dia tadi sudah berhasil mendesak lawan dengan ilmu silat Pemukul Iblis dan wanita itu yang minta berhenti.

Akan tetapi Pek Lan sudah mengeluarkan pedangnya dan melintangkan pedang didepan dada sambil tersenyum. Manis dan gagah sekali. "Aku sudah melihat ilmu silat tangan kosongmu dan merasa kagum. Akan tetapi aku belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau bermain senjata. Nah, keluarkan senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum berkenalan, aku ingin mengenal kepandaianmu lebih dulu."

Ketika masih ikut Koay Tojin, baik Bong Gan maupun Bi Sian tidak pernah diperbolehkan menggunakan senjata tajam walaupun mereka diajar bermain ilmu tongkat Ta-kwi Tung-hoat yang dapat dimainkan dengan pedang. Bi Sian sendiri juga tidak pernah menggunakan pedang. Baru setelah ia mewarisi pedang Pek-lian-kiam dari ayahnya gadis itu membawa senjata tajam. Demikian pula Bong Gan hampir tidak pernah membawa senjata tajam karena kedua kaki tangannya saja sudah cukup ampuh untuk menghadapi lawan yang bersenjata sekalipun. Dia tidak gentar menghadapi gadis yang berpedang itu dengan tangan kosong, akan tetapi sebagai seorang laki-laki gila perempuan yang sudah banyak mengenal wanita, Bong Gan maklum akan watak wanita yang pada umumnya suka disanjung, suka dimanja dan dihargai. Kalau kini dia maju dengan tangan kosong tentu wanita itu akan tersinggung dan merasa dipandang rendah. Hal ini sungguh akan merugikan dirinya. Dia lalu mengambil sebatang ranting pohon sebesar lengannya, dan sambil melintangkan tongkat sepanjang hampir dua meter itu dia berkata, "Maaf, nona. Aku tidak pernah membawa senjata. Pula, kita adalah kenalan baru yang hendak mempererat hubungan, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata tajam melawanmu? Biarlah aku menggunakan tongkat ini saja." Pek Lan mengerutkan alisnya. "Engkau memandang rendah

kepadaku?" Bong Gan menahan senyumnya. Tepat seperti yang diduganya. Wanita ini tidak menyimpang dari watak wanita pada umumnya, tidak suka dipandang rendah dan ingin selalu dihargai. Maka diapun cepat berkata, "Aih, siapa berani memandang rendah kepadamu, nona? Dari pertandingan tangan kosong tadi saja aku tahu bahwa aku bukanlah tandinganmu! Apalagi kalau engkau berpedang, mana aku berani memandang rendah? Terus terang saja, satu-satunya senjata yang paling dapat kuandalkan adalah tongkat dan kalau ada tujuh belas macam senjata pilihan disini, aku tetap akan memilih sebatang tongkat."

Lenyap kerut di antara sepasang alis yang hitam panjang melengkung indah itu. "Bagus, kalau begitu, aku ingin melihat ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!" Dan iapun menyerang dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali. Bong Gan memang benar tidak berani memandang rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini hebat dan lihai sekali, maka diapun cepat menggerakkan tongkatnya dan memainkan Ta-kwi Tung-hoat yang merupakan ilmu inti yang diajarkan oleh Koay Tojin kepada dua orang muridnya. Dan begitu ada tongkat ditangannya dan setelah memainkan tongkat itu dangan ilmu Ta-kwi Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali. Tongkatnya itu bagikan seekor naga bermain diangkasa, berkelebatan dan manyambar-nyambar dengan ganasnya. Pek Lan telah digembleng oleh Hek-in Kui-bo, seorang datuk sesat yang berilmu tinggi. Namun, tingkat nenek itu masih kalah dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu yang telah diserap oleh Bong Gan juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan ilmu yang dikuasai Pek Lan. Kalau Pek Lan menggunakan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya, menggunakan senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mungkin ia dapat mengimbangi kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin melukai Bong Gan apalagi membunuhnya. Ia sudah menjadi semakin tertarik kepada pemuda tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang kawan dan rekan yang akan amat menyenangkan hati sebagai selingan kebosanannya harus melayani Thai-yang Suhu saja! Bong Gan juga kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu harus diakuinya amat hebat sehingga andaikata dia tidak menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan dangan tongkatnyapun, dengan ilmu tongkatnya, dia hanya dapat mengimbangi permainan pedang, mampu melindungi diri dan juga membalas dengan sama dahsyatnya. Pertandingan itu berjalan seru dibawah sinar bulan sepotong dan diam-diam keduanya merasa saling tertarik dan kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan seruan keras dan dia menggunakan jurus Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya itu bagaikan berubah menjadi banyak dan menusuk-nusuk kearah dada lawan, seperti hendak mematahkan setiap tulang iga didada

itu! Pek Lan terkejut bukan main. Ia sudah berusaha memutar pedangnya menangkis, namun ujung tongkat itu seperti hendak menyentuh dan menotok kedua payudaranya. Memang ia berhasil melindungi diri dengan sinar pedangnya sehingga ujung tongkat tidak sampai menyentuhnya, namun angin pukulan tongkat itu tetap menyambar-nyambar dan seperti jari tangan yang meraba-raba dadanya! Sejak tadi ia memang sudah kagum bukan main dan kini gairah birahinya bangkit, menyala dan barkobar. Sambil mengeluarkan suara melengking panjang, Pek Lan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk menempel. Pedang bertemu tongkat dan melekat! Pek Lan menggunakan tangan kirinya untuk mendorong kearah dada lawan, akan tetapi pada saat itu, Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya, memegang tongkat hanya dengan tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut dorongan tangan kiri Pek Lan. "Plakkk!" Dua buah tangan dengan jari terbuka itu bertemu dan saling melekat pula, seperti pedang dan tongkat! Mereka tak bergerak, saling pandang dalam jarak hanya satu meter lebih sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing cukup jelas.

Bong Gan tersenyum. "Nona, engkau sungguh cantik jelita...."

Pek Lan juga tersenyum. "Dan engkau perayu besar!"

"Tidak, nona. Aku bicara sejujurnya. Engkau memang cantik jelita dan manis sekali, dan ilmu kepandaianmu hebat, aku tergila-gila kepadamu, aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu, melainkan ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu yang manis itu...."

Senyum Pek Lan melebar. Gairah birahinya sudah berkobar membakar seluruh dirinya karena sikap dan ucapan Bong Gan bagaikan minyak bakar disiramkan pada api nafsu birahinya. Ia menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang digelung itu terlepas dan rambut yang panjang itu menyambar kedepan, melingkari leher Bong Gan. Ia menarik dan muka pemuda itu mendekat. Ketika dua mulut itu bertemu dalam ciuman yang penuh nafsu, pedang dan tongkat jatuh dan dua pasang lengan itu saling dekap, keduanya terguling keatas rumput! Mereka bagaikan dua orang yang mabok, mabok oleh nafsu birahi mereka sendiri. Kedua orang ini memang cocok, keduanya mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi hamba nafsu birahi. Mereka saling menumpahkan birahi mereka lewat kemesraan yang panas. Tiba-tiba, masing-masing terbelalak dan melepaskan rangkulan, bangkit duduk dengan napas masih terengah-engah dan keringat membasahi dahi dan leher, saling tatap seperti orang terkejut. "Kau.... kau.... Bong Gan....?"

"Kau.... Pek Lan....?

Tadinva mereka memang hanya merasa pernah saling bertemu akan tetapi keduanya sudah saling tidak mengenal. Hal ini dapat dimaklumi, karena ketika mereka dahulu menjadi kekasih masing-masing, usia Pek Lan baru tujuh belas tahun dan usia Bong Gan bahkan baru tiga belas atau empat belas tahun! Kini, Pok Lan telah menjadi seorang wanita cantik yang matang, sedangkan Bong Gan menjadi seorang pemuda tampan yang sudah dewasa, bukan lagi remaja setengah kanak-kanak seperti dahulu. Pula, dahulu keduanya sama sekali tidak dapat bersilat dan kini keduanya telah menjadi orang yang lihai ilmu silatnya. Akan tetapi, setelah keduanya bermesraan, barulah mereka saling mengenal dan tentu saja keduanya terkejut bukan main, terheran, juga marasa girang sekali!

"Pek Lan, ah kau Pek Lan, kekasihku...."

"Bong Gan, betapa aku rindu kepadamu....!"

Keduanya saling rangkul dan saling cium lagi, seperti dua orang kekasih yang sudah bertahun-tahun berpisah kini saling jumpa kembali. Mereka agaknya sudah lupa bahwa dalam pertemuan terakhir dahulu mereka saling serang dengan penuh kemarahan dan dendam, saling menyalahkan karena keduanya terpaksa harus pergi dari rumah gedung hartawan Coa karena tertangkap basah ketika mereka berdua melakukan hubungan gelap, berjina!

Kembali mereka tenggelam dalam gelombang nafsu birahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan menahan dada Bong Gan yang menggelutinya, lalu mendorong pemuda itu sehingga keduanya kembali bangkit duduk. "Ada apakah, Pek Lan, kekasihku? "Aku.... amat rindu kepadamu...." Bong Gan berbisik, terengah-engah. "Nanti dulu, aku melihat engkau bersama gadis cantik itu. Isterimukah ia?" tanya Pek Lan, bukan karena cemburu hanya ingin tahu saja. Bong Gan tersenyum lega. Disangkanya mengapa Pek Lan menghentikan percumbuan mereka, kiranya hanya untuk mengetahui hal itu. "Bukan, sama sekali bukan. Ia bernama Yauw Bi Sian dan ia adalah kakak seperguruanku."

"Suci-mu? Hemm, kalau begitu ia tentu lihai sekali."

"Sudahlah, kenapa membicarakan orang lain? Engkau mengganggu saja....!" Bong Gan merangkul dan kembali mereka tenggelam kedalam lautan kemesraan yang penuh nafsu birahi. Semalam suntuk, dua orang ini membiarkan diri mareka dipermainkan gelombang birahi. Mereka lupa diri, lupa susila dan lupa segalanya, karena yang terasa hanyalah gairah nafsu yang tak terkendalikan, nafsu yang menuntut pemuasan namun yang tak mengenal puas. Dan setiap kali mereka mendapat waktu luang untuk istirahat, mereka bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah.

"Sungguh aneh keadaan kita ini, Pek Lan," kata Bong Gan sambil membelai rambut kekasihnya dalam rangkulan. "Dahulu, ketika aku masih remaja, kita sudah saling jatuh cinta, kita bermain cinta. Kemudian, ketika kita terusir keluar dari rumah keluarga Coa, kita saling serang sampai engkau diambil murid Hek-in Kui-bo seperti yang kauceritakan tadi, dan aku menjadi murid Koay Tojin. Kemudian, begitu bertemu kita saling tertarik lagi tanpa saling mengenal, kemudian kita bertanding lagi, sebelum saling bermain cinta."

"Engkau memang sudah kucinta sejak dulu, Bong Gan," kata Pek Lan sambil mencium dagu pemuda itu. "Dan engkau sampai tiba di Lasha ada keperluan apakah?"

"Aku diminta suci-ku untuk membantunya mencari musuh besarnya."

"Hemm, siapakah musuh besarnya?"

"Dia bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok." Pok Lan melepaskan rangkulannya, bahkan bangkit duduk seperti orang terkejut. "Pendekar Bongkok? Dia....?"

Kalau gairah nafsu sudah terpuaskan dan mulai menipis, maka apa yang tadinya nampak amat indah menjadi berubah. Bong Gan tidak begitu merasakan bentuk tubuh Pek Lan yang bermandikan sinar bulan itu, tidak seindah tadi. Apalagi yang menjadi bahan percakapan kini menarik hatinya. "Engkau sudah mengenal dia, Pek Lan?"

"Mengenalnya....?" Pek Lan tersenyum getir. Tentu saja ia sudah mengenal Pendekar Bongkok, mengenalnya dengan cara yang paling pahit. "Aku pernah bertemu dengan dia. Dia.... hemm, lihai bukan main. Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?"

"Ya, musuh besar akan tetapi juga pamannya, adik ibu kandungnya."

"Ehh? Ceritakan kepadaku, mengapa begitu, Bong Gan," kata Pek Lan dan karena hawa mulai dingin menjelang subuh itu, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meskipun belum ia pakai sebagaimana mestinya. Bong Gan juga mulai mengenakan kembali pakaiannya. Dia tidak begitu bargairah lagi setelah semua nafsu yang bergelora disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai teringat akan hal-hal lain seperti Bi Sian dan perjalanan mereka ke Lasha. "Suci adalah keponakan Pendekar Bongkok karena Sie Liong itu adik kandung ibunya...."

"Tapi Pendekar Bongkok itu masih amat muda!"

"Memang selisih usia mereka tidak banyak. Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su, yaitu subeng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu hari, Pendekar Bongkok telah.... eh, dia membunuh ayah kandung suci. Karena itu, suci mendendam dan mencari Pendekar Bongkok, pamannya itu. Karena tahu akan kelihaian pamannya, maka dia minta bantuanku dan kami berdua mengikuti jejak Pendekar Bongkok sampai ke Lasha."

"Hemm, kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama. Akupun dimusuhi Pendekar Bongkok dan dia kami anggap sebagai musuh. Kalau engkau suka bergabung dengan kami, Bong Gan, tentu keadaan kita akan lebih kuat. Apalagi, setelah kini saling bertemu, aku tidak ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan engkau!"

Bong Gan mendekat dan mencium pipi wanita itu. "Engkau tahu perasaanku terhadapmu, Pek Lan, dan engkau tahu tidak ada kesenangan lebih besar bagiku melebihi kesenangan bekerja sama denganmu dan selalu berada didekatmu. Akan tetapi, bagaimana dangan suci? Kalau ia marah kepadaku dan menentang kita, ia akan menjadi penghalang besar dan menambah musuh yang amat berbahaya bagi kita."

"Kenapa menjadi musuh? Bukankah ia memusuhi Pandekar Bongkok? Ajak saja ia bergabung dangan kami. Thai-yang Suhu, guruku dalam ilmu sihir itu tentu akan suka pula bergabung dangan kalian."

"Maksudmu pendeta yang kulihat bersamamu di rumah makan itu?" Baru sekarang Bong Gan teringat akan pendeta itu. "Jadi dia itu gurumu yang baru?"

"Dia sahabat subo Hek-in Kui-bo dan kini mengajarkan ilmu sihir kepadaku, menjadi guruku pula."

"Dan kalian hendak pergi kemanakah? Mengapa sampai pula di Lasha?"

"Kami hendak pergi menghadap Kim Sim Lama, ketua Kim-sim-pai...."

"Ah! Sie Liong Si Pendekar Bongkok juga kesana!"

"Akan tetapi dia sebagai lawan Kim-sim-pai, sedangkan kami datang sebagai sahabat. Guruku, Thai-yang Suhu, adalah seorang sahabat Kim Sim Lama dan kami datang untuk menggabungkan diri dengan Kim-sim-pai yang mempunyai cita-cita besar."

"Cita-cita bagaimana?" Bong Gan mulai tertarik. "Menggulingkan Dalai Lama dan menjadi penguasa seluruh Tibet!"

"Wah, pemberontakan? Apa hubungannya itu dengan kita? Aku tidak mau menjadi pemberontak di negeri asing!"

"Bong Gan, engkau bodoh. Kaukira akupun suka membantu pemberontakan orang Tibet? Kita bukan ikut memberontak, melainkan membantu Kim-sim-pai mencapai cita-citanya. Kalau mereka berhasil, kita tinggal pilih. Kedudukan tinggi dan kekuasaan di Tibet, atau kita dapat pulang ketimur membawa kekayaan yang amat besar. Di sini tempat harta yang amat banyak, emas permata, dan benda-benda aneh yang tak ternilai harganya."

Bong Gan mengerutkan alisnya. "Jadi engkau dan Thai-yang Suhu hendak bersekutu dengan Kim-sim-pai, membantu pemberontakan mereka untuk mencari kedudukan tinggi atau harta benda?"

"Tentu saja, untuk apa lagi kalau bukan mencari keuntungan? Apa artinya hidup ini kalau tidak mencari keuntungan dan kesenangan?"

Bong Gan mengangguk-angguk. "Hem, aku tertarik sekali, Pek Lan. Akan tetapi. ... bagaimana dengan suci Yauw Bi Sian?"

"Kauajak saja ia bersama kami."

"Uh, engkau tidak tahu bagaimana wataknya! Ia keras hati dan sudah pasti ia tidak akan suka kalau mendengar kita membantu Kim-sim-pai untuk suatu pemberontakan di Tibet. Ia.... ia.... hemm, condong untuk menentang segala yang dianggapnya jahat."

"Hi-hik, kaumaksudkan ia seorang pandekar wanita?" Bong Gan mengangguk. "Begitulah! Guru kami, Koay Tojin, menentang segala bentuk kejahatan dan...."

"Dan kau sendiri?" Bong Gan menyeringai. "Aku lebih suka mencari kesenangan dan keuntungan seperti engkau, Pek Lan."

"Kalau begitu, tinggalkan saja suci-mu yang pura-pura alim itu. Engkau ikut dangan kami bergabung dengan Kim-sim-pai dan persetan dengan gadis itu!"

"Ah, tidak bisa begitu, Pek Lan. Meninggalkan ia begitu saja? Ah, aku.... aku...."

"Hemmm, aku tahu! Engkau jatuh cinta kepada sucimu yang cantik itu, bukan? Dasar mata keranjang kau!"

"Tidak banyak bedanya denganmu, Pek Lan." Bong Gan membalas.

"Hemm, kalau begitu. Bujuk dan rayu ia agar suka bergabung dengan kami. Kalau ia begitu lihai, kami lebih senang lagi dan Kim Sim Lama tentu akan suka menerima bantuannya."

"Itulah sukarnya, Pek Lan. Terus terang saja, pernah aku menyatakan cintaku kepadanya dan ia.... ia agaknya tidak menolak, akan tetapi dengan tegas mengatakan bahwa aku dilarang bicara tentang cinta sebelum kami bertemu Pendekar Bongkok dan berhasil membalas kematian ayahnya. Kalau saja ia suka menerima cintaku sekarang juga.... kalau saja ia dapat menjadi milikku sekarang, tentu akan mudah mengajaknya bekerja sama denganmu."

Pek Lan terkekeh genit dan merangkul leher kekasihnya. "Huh, kalau bukan aku yang mendengar ucapanmu itu, apakah orang tidak akan menjadi gila oleh cemburu? Engkau laki-laki mata ke ranjang! Baiklah, jangan khawatir, guruku Thai-yang Suhu tentu akan dapat membantumu menundukkan suci-mu itu. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu setelah engkau berhasil menundukkan suci-mu, engkau harus mengajaknya untuk bergabung dengan kami!"

Tentu saja Bong Gan merasa girang bukan main. "Baik, aku berjanji! Dan iapun tentu akan setuju karena bukankah dengan bekerja sama, akan lebih mudah untuk menghadapi Pendekar Bongkok?"

"Dan setiap saat aku menginginkan engkau harus melayaniku dengan taat!" Bong Gan tertawa. "Tentu saja, dengan segala senang

hati!"

"Nah, kalau begitu, sekarang aku menginginkan...." Keduanya tertawa dan kembali mereka menyelam kedalam lautan kemesraan yang panas dan memabokkan.

***

Mereka memasuki kota Lasha sambil menuntun kuda tunggangan mereka yang nampak lelah sekali. Sie Lan Hong memandang kekanan kiri, mengagumi bangunan-bangunan kuno yang kokoh dan megah dilereng bukit-bukit itu. Sungguh sebuah kota yang aneh dan juga asing baginya. Melihat daerah yang luas itu, perumahan yang berada dilereng-lereng bukit, orang-orang yang berlalu lalang dijalan-jalan lebar, iapun mengerutkan alisnya dan merasa khawatir. "Lie-toako, ditempat besar seperti ini, kemana kita harus mencari puteriku dan adikku?"

Lie Bouw Tek tersenyum, dan memandang wanita itu dengan sinar mata lembut dan menghibur. "Jangan khawatir, Hong-moi. Yang kita cari adalah dua orang Han, maka tentu tidak akan begitu sukar. Tidak banyak orang Han disini, maka kalau mereka berada disini, tentu ada yang melihat mereka."

"Sekarang, kita kemana toako?"

"Kita mencari tempat penginapan dulu, menyewa dua buah kamar, dan membiarkan kuda kita mendapat perawatan, kemudian kita membersihkan diri, lalu makan. Setelah itu, baru kita pergi menghadap atau berusaha agar dapat diterima menghadap Dalai Lama."

"Menghadap Dalai Lama? Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa kedudukan Dalai Lama amat tinggi, hampir seperti kaisar kita, dan tidak akan mudah menghadap beliau."

"Benar, akan tetapi aku yakin akan dapat diterimanya, Hong-moi. Aku mengenal beliau pribadi, karena aku pernah membantu beliau ketika ada segerombolan penjahat hendak membunuh beliau."

"Akan tetapi, adikku Sie Liong mungkin pergi mencari Tibet Ngo-houw, kenapa engkau hendak mengajak aku menghadap Dalai Lama?"

"Begini, Hong-moi. Aku sendiri menerima tugas dari Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw memusuhi para tosu, bahkan memusuhi pula Kun-lun-pai. Dan di sepanjang perjalanan kita mendengar akan adanya perkumpulan Kim-sim-pai yang kabarnya hendak memberontak. Maka, kupikir sebaiknya kalau aku langsung saja bertanya kepada Dalai Lama tentang sikap Tibet Ngo-houw itu. Aku yakin disana aku akan bisa mendapatkan keterangan yang lebih jelas. Dan tentang mencari adikmu dan puterimu, kukira orang-orang Dalai Lama akan lebih tahu, atau setidaknya akan lebih mudah kedua orang itu ditemukan kalau Dalai Lama membantu, menyuruh orang-orangnya untuk menyelidiki dan mencari."

Sie Lan Hang mengangguk-angguk. Memang ia tahu bahwa Lie Bouw Tek adalah seorang pria yang hebat, yang gagah perkasa, cerdik dan juga berpengalaman. Ia merasa lemah dan bodoh sekali berada disamping pria ini, dan ia merasa aman dan terlindung. Alangkah bedanya ketika ia masih menjadi isteri Yauw Sun Kok. Ia tak pernah merasa tenteram, tak pernah merasa aman bahkan selalu merasa gelisah, takut dan juga sakit hati. Lie Bouw Tek yang bukan apa-apanya, tidak ada hubungan apapun antara mereka telah bersikap demikian baiknya! Begitukah sikap setiap orang pendekar, ataukah ada sesuatu yang istimewa dalam hubungan di antara mereka? Mengingat akan hal ini, seringkali Lan Hong tersipu malu. Tidak, bantahnya kepada diri sendiri. Ia hanya seorang janda yang mempunyai seorang puteri lagi. Ia bukan seorang gadis muda! Sedangkan Lie Bouw Tek adalah seorang pendekar gagah perkasa dan budiman, seorang tokoh Kun-lun-pai yang terkenal! Betapa mungkin.... ah, ia telah

mengharapkan terlalu jauh, sungguh tidak tahu malu! Lan Hong menurut saja ketika Lie Bouw Tek mengajaknya mencari rumah penginapan. Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan dan menyerahkan dua ekor kuda mereka kepada pelayan untuk diberi makan. Setelah mandi, dengan tubuh terasa segar dan pakaian bersih menggantikan pakaian mereka yang penuh debu, keduanya lalu pergi ke rumah makan. Mereka tidak terlalu menarik perhatian, seperti sepasang suami isteri saja. Lie Bouw Tek sendiri walaupun dia seorang pendekar besar, namun dia tidak menonjolkan diri dan pedang pusakanyapun tersembunyi dibalik baju luarnya. Atas nasihat Lie Bouw Tek pula, Sie Lan Hong juga menyembunyikan pedangnya sehingga tidak terlalu menyolok. Pedang Lan Hong memang hanya pedang pendek, maka setelah diselipkan diikat pinggang, ujung sarung pedang masih tertutup baju, dan gagangnya juga tidak nampak walaupun ada kalanya ujung itu menonjol keluar. Setelah makan, merekapun pada pagi hari itu juga menuju ke istana Dalai Lama di lereng bukit. Suasana di bukit itu sungguh nyaman. Terdapat beberapa buah taman bunga yang indah, dan suasananya aman dan tenteram. Para pendeta Lama yang kadang-karang bersimpang jalan dengan mereka, bersikap hormat dan ramah. Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang memasuki daerah istana itu, beberapa orang pendeta Lama menghadang mereka. Biarpun sikap mereka hormat, namun mereka dengan tegas mengatakan bahwa orang luar tidak diperkenankan memasuki daerah itu tanpa ijin. "Harap kalian memaafkan kami," kata kepala jaga dengan sikap hormat. "Kalau hendak berjalan-jalan dan menikmati keadaan, harap lakukan itu diluar daerah istana. Tak seorangpun, tanpa ijin, diperbolehkan memasuki daerah dalam pintu gerbang."

Lie Bouw Tek tersenyum dan menjura dengan hormat, diikuti pula oleh Lan Hong. "Harap saudara sekalian suka memaafkan saya. Memang saya sengaja datang ke Lasha untuk menghadap Dalai Lama. Harap saudara sudi melaporkan kedalam dan mengatakan bahwa kami ingin menghadap Dalai Lama karena ada suatu keperluan yang amat penting."

"Omitohud....!" Kepala jaga itu berseru. "Apakah sicu (tuan yang gagah) mengira akan demikian mudah saja bertemu dengan beliau? Tanpa panggilan bagaimana sicu dapat diperkenankan menghadap? Pinceng (saya) sungguh tidak berani lancang mengganggu beliau di pagi hari ini, tanpa alasan yang cukup kuat."

"Sobat, harap sampaikan saja kedalam bahwa saya adalah utusan dari Kun-lun-pai yang ingin menyampaikan sesuatu yang teramat penting untuk Dalai Lama," kata pula Lie Bouw Tek dengan sikap dan suaranya yang tenang berwibawa. Mendengar disebutnya Kun-lun-pai, sikap para pendeta penjaga itu berubah dan kepala jaga memandang dengan sikap lebih hormat. "Omitohud, kiranya sicu utusan dari Kun-lun-pai? Harap sicu menyampaikan surat dari ketua Kun-lun-pai lebih dahulu kepada Dalai Lama melalui kami. Setelah surat itu kami sampaikan, tentu sicu diperkenankan masuk menghadap."

Akan tetapi Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya. "Sobat, sampaikan saja kepada Dalai Lama bahwa saya, Lie Bouw Tek murid Kun-lun-pai, mohon menghadap. Kalau mendengar nama saya, tentu beliau akan sudi menerimaku."

Pada saat itu, seorang pendeta Lama yang usianya sudah lima puluh tahun lebih berjalan tenang dari sebelah dalam. Begitu melihat Lie Bouw Tek, dia pun cepat menghampiri dan menjura dengan sikap hormat.

"Omitohud.... kiranya Lie Taihiap yang berada disini! Selamat datang, taihiap. Ada keperluan apakah gerangan yang membawa taihiap datang berkunjung ke Lasha?"

Lie Bouw Tek tidak mengenal pendeta Lama itu, akan tetapi dia tahu bahwa pendeta ini tentu seorang di antara mereka yang dulu tahu akan bantuan yang dia berikan kepada Dalai Lama. Diapun cepat memberi hormat dan berkata dengan lembut.

"Selamat bertemu, losuhu. Saya datang untuk mohon menghadap Dalai Lama karena ada suatu hal yang amat penting harus saya sampaikan kepada beliau. Tolonglah, harap mintakan ijin kepada beliau agar saya diperkenankan menghadap sekarang juga."

"Baik, taihiap. Tunggulah sebentar disini!" kata pendeta itu yang bergegas masuk kearah bangunan istana yang megah itu. Kini para pendeta jaga bersikap hormat dan ramah, bahkan mempersilakan Bouw Tek dan Lan Hong untuk duduk menanti didalam gardu penjagaan. Tak lama kemudian, muncullah enam orang pendeta Lama yang merupakan sebuah pasukan kecil berbaris menghampiri tempat itu. Mereka ditemani oleh pendeta Lama yang tadi menegur Bouw Tek, yang kini tersenyum ramah.    "Silakan, taihiap. Dalai Lama yang agung mengundang taihiap."

"Akan tetapi, saya datang bersama Sie-toanio ini, harap agar iapun diperkenankan menemani saya untuk menghadap Dalai Lama."

Pendeta itu mengerutkan alisnya. "Tidak biasanya Dalai Lama mau menerima tamu wanita. Akan tetapi karena toanio ini datang bersamamu, maka silakan masuk. Terserah kepada Dalai Lama sendiri nanti setelah ji-wi (kalian berdua) tiba diluar ruangan tamu, apakah toanio ini diperkenankan ikut masuk ataukah dipersilakan menunggu diluar ruangan."

Lie Bouw Tek mengangguk dan bersama Lan Hong, dia lalu mengikuti enam orang pendeta itu yang mengawal dan menjadi penunjuk jalan. Setelah mereka memasuki istana, tidak seperti Lie Bouw Tek yang pernah satu kali masuk keistana ini, Lan Hong memandang kekanan kiri dengan bengong. Ia terpesona menyaksikan segala keindahan yang terdapat diistana itu. Ukir-ukiran yang indah sekali, marmar, emas, perak, sutera beraneka warna! Ia merasa seperti memasuki sebuah istana dalam mimpi! Patung-patung logam, marmar, perak atau emas yang ukirannya amat indahnya, lukisan-lukisan. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah Lan Hong menyaksikan keindahan seperti itu. Ketika mereka tiba diluar sebuah pintu besar yang terjaga, enam orang pendeta pengawal itu mempersilakan mereka menanti sebentar. Seorang diantara mereka memasuki ruangan dibalik pintu besar itu, dari mana keluar keharuman cendana yang nyaman. Tak lama kemudian, pendeta itu keluar lagi dengan wajah cerah.

"Taihiap dan toanio dipersilakan masuk untuk menghadap Yang Agung Dalai Lama!"

Dengan wajah gembira Lie Bouw Tek lalu mengajak Sie Lan Hong memasuki ruangan itu. Akan tetapi Sie Lan Hong sendiri agak gemetar ketika melangkah masuk. Ruangan itu luas dan nampak sunyi karena kosong. Di sudut paling belakang, nampak ada seorang pria duduk diatas sebuah kursi yang besar dan terukir indah, mengenakan jubah dan kepalanya tertutup topi pendeta.

"Selamat datang, pendekar perkasa Lie Bouw Tek dan toanio! Silakan duduk!"

Lie Bouw Tek cepat maju memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam. Sie Lan Hong juga memberi hormat, akan tetapi ia merasa heran bukan main. Tadinya ia membayangKan bahwa Dalai Lama yang mengepalai para pendeta Lama di Tibet, tentu seorang kakek yang tua renta keriputan dan buruk. Akan tetapi ternyata sama sekali tidak demikian! Pendeta yang duduk menyendiri itu usianya hanya beberapa tahun saja lebih tua dari Lie Bouw Tek, dan wajahnya tampak bersih! Wajah yang cerah dengan sepasang mata yang terang dan jernih, senyum yang terbuka dan seluruh gerak geriknya membayangkan kesabaran, keagungan dan kebesaran hati.

Setelah Bouw Tek dan Lan Hong duduk diatas kursi yang agaknya sudah disediakan untuk mereka, menghadap kearah Dalai Lama, nampaklah oleh mereka bahwa dibelakang Dalai Lama terdapat sehelai kain sutera putih dan dibalik kain sutera itu berdiri beberapa orang pendeta Lama yang tak bergerak bagaikan arca-arca mati saja. Bouw Tok maklum bahwa sedikitnya sepuluh orang pendeta Lama berdiri disana, dan mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, yang merupakan pasukan pengawal yang melindungi keselamatan Dalai Lama. Dalai Lama sendiri memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ditambah penjagaan pasukan pengawal pribadi ini, dan adanya ratusan orang pendeta Lama di kompleks istana itu, maka tentu saja tempat itu amatlah kuatnya. Apalagi di benteng yang setiap waktu siap mentaati perintah Dalai Lama.

"Nah, menurut laporan tadi engkau datang sebagai utusan Kun-lun-pai, maka katakanlah semua keperluanmu berkunjung kesini, taihiap."

Dari tempat duduknya, Bouw Tek memberi hormat kepada orang pertama yang paling berkuasa di Tibet itu. "Mohon dimaafkan kelancangan saya. Karena para pimpinan Kun-lun-pai yang mengutus saya itu hanya menyampaikan pesan melalui beberapa orang murid yang menyusul saya, maka saya tidak membawa surat perintah tertulis. Sebetulnya, tugas saya dari Kun-lun-pai adalah untuk menyelidiki Tibet Ngo-houw, akan tetapi karena saya merasa yakin akan dapat paduka terima dengan baik, maka saya langsung saja menghadap paduka untuk mohon pertimbangan dan kebijaksanaan."

Dalai Lama masih tersenyum walaupun pandang matanya kehilangan cahaya kelembutannya sebentar mendengar disebutnya nama Tibet Ngo-houw tadi. "Tibet Ngo-houw? Taihiap, ada urusan apakah dengan Tibet Ngo-houw?"

Jelas bagi Bouw Tek bahwa pertanyaan itu memancing. Dia merasa heran. Sejak dahulu semua orang juga tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama yang terkenal sebagai pembantu-pembantu Dalai Lama yang dipercaya. Dan mungkin saja mereka kinipun berada dibalik sutera putih dibelakang Dalai Lama itu. Mengapa Dalai Lama masih bertanya lagi?

"Ampunkan saya, bukan maksud saya untuk mengadu, hanya saya diutus oleh para pimpinan Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw datang ke Kun-lun-san, bukan hanya mencari dan menyerang dengan maksud membunuhi para pertapa dan tosu yang berasal dari Himalaya dan kini bertapa disana, akan tetapi juga bahkan mereka berlima itu memusuhi Kun-lun-pai. Karena mereka itu mengaku diutus oleh paduka, maka saya kira lebih baik saya langsung saja bertanya kepada paduka mengenai sepak terjang Tibet Ngo-houw itu."

Dalai Lama mengangguk-angguk, agaknya sama sekali tidak heran atau terkejut mendengar ucapan Bouw Tek ini, bahkan terdengar dia berkata lirih, seperti kepada diri sendiri. "Hemm, sampai begitu jauh mereka berusaha memburukkan nama kami?" Dalai Lama bertepuk tangan dua kali dan muncullah seorang pendeta Lama dari balik kain sutera putih. Dia seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar, bersikap agung dan usianya sudah enam puluh tahun lebih, mukanya persegi seperti muka singa, membayangkan kekerasan dan kekokohan, akan tetapi sinar matanya lembut. Dia menjura didepan Dalai Lama, menanti perintah.

"Lie-taihiap, engkau tentu masih ingat kepada Kong Ka Lama yang bijaksana dan sakti ini. Nah, dialah yang akan menceritakan semuanya kepadamu. Maafkan, tiba saatnya bagi saya untuk melakukan meditasi, maka selanjutnya, rundingkanlah segalanya dengan Kong Ka Lama." Setelah berkata demikian, Dalai Lama bangkit berdiri. Bouw Tek cepat bangkit berdiri diikuti oleh Lan Hong dan setelah sedikit mengangguk kepada mereka Dalai Lama lalu melangkah masuk dari pintu di belakang sutera putih, meninggalkan Bouw Tek dan Lan Hong berdua dengan pendeta Lama yang bernama Kong Ka Lama itu. Setelah Dalai Lama dan para pendeta yang mengawalnya memasuki pintu yang segera tertutup kembali, barulah Kong Ka Lama menghadapi Bouw Tek dan Lan Hong, membuat gerakan dengan tangan menunjuk pintu samping dan berkata, "Taihiap dan toanio, mari kita bicara diruangan sebelah."

Mereka bertiga keluar dari ruangan itu, melalui pintu samping mereka memasuki sebuah ruangan lain yang tidak begitu besar. Ruangan inipun kosong dan hanya ada sebuah meja dan beberapa buah kursi. Kong Ka Lama mempersilakan dua orang tamu itu duduk dan dia sendiripun duduk menghadapi mereka.

Tentu saja Lie Bouw Tek masih ingat kepada pendeta Lama ini. Kong Ka Lama atau artinya Lama Salju Putih adalah seorang di antara jagoan Tibet yang mengawal Dalai Lama. Bahkan dulu, ketika Dalai Lama dalam perjalanan keluar Lasha dihadang para pemberontak yang menyerangnya, Kong Ka Lama yang mengepalai para pengawal melakukan perlawanan dan melindungi Dalai Lama yang berada di dalam tandu. Pada waktu itulah kebetulan dia melakukan perjalanan dan melihat peristiwa itu, lalu dia turun tangan membantu para pendeta Lama, menghalau para penghadang sehingga akhirnya Dalai Lama dapat diselamatkan. Kong Ka Lama adalah seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi dan masih saudara seperguruan dengan lima orang Tibet Ngo-houw, maka dapat dibayangkan kelihaiannya.

"Taihiap, pinceng (saya) memenuhi perintah Dalai Lama untuk memberi keterangan dan penjelasan kepada taihiap tentang sepak terjang Tibet Ngo-houw terhadap para tosu yang berasal dari Himalaya dan yang kini mengungsi ke Kun-lun-san itu. Mungkin taihiap sudah mendengar betapa yang mulia Dalai Lama dahulunya terlahir di sebuah dusun dan melihat bahwa beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang tua, maka para pendeta Lama yang ketika itu dipimpin oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama mengambil calon Dalai Lama baru itu secara paksa. Hal ini diketahui oleh seorang pertapa Himalaya dan terjadilah bentrokan ketika pertapa itu membela orang-orang dusun yang hendak mempertahankan anak itu sehingga akibatnya, tiga orang pendeta Lama tewas. Akan tetapi anak itu dapat dibawa kesini. Kemudian, dengan bimbingan Kim Sim Lama, anak itu diangkat menjadi Dalai Lama."

Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong mendengarkan dengan penuh perhatian. Lie Bouw Tek tidak merasa heran karena dia pernah mendengar sendiri dari Dalai Lama, yaitu ketika dia menolongnya baberapa tahun yang lalu bahwa Dalai Lama ketika kecilnya menimbulkan keributan karena dia dipaksa oleh para pendeta Lama ke Tibet sehingga timbul pertempuran antara para pendeta Lama dan orang-orang dusun yang mempertahankannya.

"Itulah yang aneh, lo-suhu," katanya. "Kalau sedikit banyak para tosu Himalaya sudah berjasa membela Dalai Lama ketika masih kecil, kenapa sekarang Dalai Lama yang mulia dan adil bahkan menyuruh Tibet Ngo-houw untuk membunuhi para tosu dari Himalaya, bahkan memusuhi para tosu Kun-lun-pai?"

Kong Ka Lama menarik napas panjang. "Omitohud.... memang demikianlan agaknya yang dikehendaki mereka yang hendak merusak nama baik yang mulia Dalai Lama. Dengarkah, taihiap, akan pinceng lanjutkan penjelasan itu." Kong Ka Lama berhenti sebentar, lalu melanjutkan ceritanya. "Karena ketika diangkat menjadi Dalai Lama, pemimpin kami itu masih belum dewasa, maka kekuasaan dipegang sementara oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama yang sudah berpengalaman. Adalah Kim Sim Lama ini yang dahulu mengamuk, mengirim para pendeta Lama ke Himalaya dan menyerang para tosu dan pertapa Himalaya. Tindakan itu dia lakukan karena dendam, yaitu karena kematian tiga orang pendeta Lama ketika terjadi pertempuran memperebutkan Dalai Lama ketika masih kecil. Perbuatan itu mendatangkan keributan dan banyak para tosu dan pertapa tewas, terluka dan lebih banyak lagi yang melarikan diri meninggalkan Himalaya. Di antaranya banyak yang mengungsi ke Kun-lun-san."

Lie Bouw Tek mengangguk-angguk. "Akan tetapi, kiranya peristiwa itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan plhak Kun-lun-pai, lo-suhu."

"Omitohud, memang tidak ada hubungannya. Harap taihiap dengarkan selanjutnya, nanti taihiap akan mengerti. Beberapa tahun kemudian, setelah Dalai Lama menjadi dewasa dan mengerti, beliau mendengar tentang segala sepak terjang Kim Sim Lama yang menjadi wakil, juga pembimbingnya ketika beliau masih kecil. Beliau terkejut sekali. Pertama, beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang selalu hidup suci, maka tentu saja beliau tidak suka mendengar tentang permusuhan, apalagi dendam kebencian dan bunuh membunuh. Apalagi yang dikejar-kejar adalah para pertapa, para tosu karena dahulu seorang di antara mereka pernah membantu penduduk dusun yang mempertahankan dirinya yang hendak dibawa dengan paksa oleh para pendeta Lama. Juga masih banyak kebijaksanaan yang diambil Kim Sim Lama tidak disetujuinya. Beliau menegur Kim Sim Lama dan terjadilah bentrokan!"

"Hemm, terjadi pemberontakan, begitukah maksud lo-suhu?" Pendeta Lama itu mengangguk. "Semacam itulah. Dalai Lama tidak suka meributkan peristiwa itu, karena hanya akan memukul nama baik Tibet sendiri. Kim Sim Lama dapat ditundukkan dan dia pun meninggalkan Lasha, tidak mau lagi membantu Dalai Lama. Bahkan dia membentuk suatu perkumpulan yang disebut Kim-sim-pai yang berpusat disekitar Telaga Yam-so, sebelah selatan Lasha. Akan tetapi, karena sampai sekarang mereka tidak pernah melakukan gerakan pemberontakan, Dalai Lama mendiamkan saja, bahkan memesan kepada kami semua agar tidak membuat keributan dengan Kim-sim-pai, apalagi mengingat bahwa Kim Sim Lama adalah seorang tokoh tua disini dan sudah banyak jasanya dahulu ketika menjadi wakil Dalai Lama."

"Akan tetapi, bagaimana dengan Tibet Ngo-houw yang mengamuk di Kun-lun-san?"

"Omitohud....! Sungguh hal itu sama sekali tidak kami ketahui sebelumnya, taihiap. Agaknya, Yang Mulia Dalai Lama terlalu memberi hati kepada mereka dan agaknya sudah tiba saatnya untuk menghentikan nafsu mereka yang merajalela. Hendaknya taihiap ketahui banwa Tibet Ngo-houw merupakan tokoh-tokoh Tibet yang juga menjadi anak buah Kim Sim Lama. Jelas bahwa perbuatan Tibet Ngo-houw itu sengaja mereka lakukan, bukan lagi untuk membalas dendam sekarang, melainkan terutama sekali untuk memburukkan nama baik Dalai Lama, atau untuk mengadu domba agar para tosu, dan juga Kun-lun-pai, memusuhi Dalai Lama."

"Ah, betapa liciknya!" Bouw Tek berseru. "Sekarang baru saya mengerti, lo-suhu. Untung bahwa saya langsung datang menghadap Dalai Lama sehingga memperolen keterangan yang teramat penting ini."

"Omitohud, sukurlah kalau taihiap sudah dapat mengerti. Harap taihiap sudi menyampaikan maaf kami kepada Kun-lun-pai dan para tosu di pegunungan Kun-lun-san dan suka memberitahukan keadaan yang sesungguhnya. Bahwa Dalai Lama sama sekali tidak memusuhi para tosu, dan bahwa semua itu, sejak dahulu, adalah tindakan yang diambil oleh Kim Sim Lama."

"Akan tetapi, apakah perbuatan itu harus didiamkan saja? Jelas bahwa Kim Sim Lama melakukan perbuatan menyeleweng dan jahat terhadap nama baik Dalai Lama...."

"Lie-taihiap, hal itu merupakan urusan dalam kami sendiri. Dalai Lama tentu akan mengambil kebijaksanaan dan apapun yang diambilnya, kebijaksanaan itu tidak ada hubungannya dengan pihak luar. Oleh karena itu, kami harap agar taihiap juga tidak mencampuri. Bahkan pinceng yakin bahwa yang mulia Dalai Lama sendirilah yang akan bertindak. Nah, kiranya cukup jelas, taihiap. Sekarang kami persilakan ji-wi kembali keluar istana, dan kalau mungkin secepatnya meninggalkan Lasha agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."

Pendeta Lama itu bangkit berdiri. Bouw Tek dan Lan Hong bangkit berdiri. "Maaf, lo-suhu. Ada sedikit lagi pertanyaan dari kami. Harap saja lo-suhu suka membantu kami."

"Hemm, urusan apakah itu, taihiap?"

"Sie-toanio ini datang ke Lasha untuk mencari dua orang, lo-suhu. Yang pertama adalah puterinya, seorang gadis bernama Yauw Bi Sian yang berusia kurang lebih delapan belas tahun, dan yang kedua adalah adiknya yang bernama Sie Liong dan terKenal dengan julukan Pendekar Bongkok. Kami perkirakan merekapun datang ke Lasha. Kalau barangkali lo-suhu dapat memberi keterangan tentang mereka...."

Pendeta Lama itu mengelus jenggotnya yang dibiarkan memanjang, alisnya berkerut dan dia mengangguk-angguk sambil memandang kepada Sie Lan Hong.

"Hemm, jadi, toanio ini kakak dari Pendekar Bongkok yang terkenal itu? Toanio, tentang puteri toanio ini, kami tidak pernah mendengarnya. Akan tetapi kalau Pendekar Bongkok.... hemm, namanya sudah sampai pula kedalam istana ini. Memang dia pernah berada di Lasha, kabarnya bersama seorang gadis peranakan Tibet Han. Dan kebetulan pula menurut kabar yang kami dengar, dia pernah bentrok dengan seorang anggauta Kim-sim-pai."

"Aih, terima kasih, lo-suhu. Dapatkah lo-suhu memberitahu, dimana dia sekarang?" tanya Lan Hong yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara.  "Menurut penyelidikan para anak buah kami yang diam-diam kami taruh dimana-mana untuk menjaga keamanan

Lasha, ada yang melihat PendeKar Bongkok mendatangi sarang Kim-sim-pai. Akan tetapi karena anak buah kami itu dipesan dengan keras agar jangan sampai terlibat dalam urusan Kim-sim-pai, dan karena tidak ada sangkut-pautnya dengan kami, maka kamipun tidak tahu apa yang terjadi disana. Nah, kiranya cukup keterangan kami, taihiap dan toanio."

Lie Bouw Tek tidak berani mengganggu lagi dan diapun menghaturkan terima kasih, lalu meninggalkan istana itu bersama Lan Hong. Wanita itu menahan-nahan perasaannya, dan baru setelah mereka keluar dari istana itu, Lan Hong berkata dengan suara mengandung kekhawatiran. "Aih, toako. Apa yang hurus kulakukan sekarang? Aku ingin cepat menyusul dan mencari Sie Liong. Aku harus lebih dahulu bertemu dia sebelum Bi Sian mendahuluiku. Aih, ngeri aku membayangkan mereka saling bertemu sebelum aku menemui adikku...."

"Tenanglah, Hong-moi. Biar aku akan melakukan penyelidikan ke daerah Telaga Yam-so untuk mencari Pendekar Bongkok dan aku akan mengajaknya kesini menemuimu."

"Tidak! Aku harus ikut, toako. Aku harus cepat menemukannya. Sekarang juga."

"Akan tetap hal itu berbahaya sekali, Hong-moi. Tentu engkau tadi sudah mendengar keterangan Kong Ka Lama. Daerah telaga Yam-so itu menjadi sarang Kim-sim-pai dan mereka adalah para pendeta Lama yang memberontak. Banyak terdapat orang sakti disana, Hong-moi. Lebih baik engkau menanti saja di rumah penginapan dan biarlah aku yang akan mencari adikmu disana."

"Toako, tidak boleh begitu. Yang mempunyai kepentingan adalah aku, bagaimana mungkin engkau yang susah payah menempuh bahaya dan aku yang enak-enak menanti sambil tiduran di kamar? Tidak, aku harus ikut! Aku tidak takut menghadapi bahaya dan aku juga dapat menjaga diriku sendiri, toako!"

"Akan tetapi, sungguh aku amat mengkhawatirkan keselamatan dirimu, Hong-moi. Bagaimana kalau sampai datang ancaman bahaya dan aku sampai tidak mampu melindungi dirimu? Aih, Hong-moi, tak dapat aku membayangkan hal itu terjadi...." Suara pendekar perkasa itu tiba-tiba agak gemetar. ".... tidak, aku tidak dapat membiarkan engkau terancam bahaya. Aku.... aku akan merasa menyesal selama hidupku!"

Melihat pendekar itu bicara seperti itu, seperti tanpa disadarinya bahwa dia membuka rahasia hatinya, tiba-tiba wajah Lan Hong berubah merah dan iapun tersipu. Kalau saja tidak sedang menghadapi keadaan yang menegangkan, tentu ia akan semakin tersipu malu, walaupun ada rasa bahagia dan bangga menyelinap di dalam hatinya. "Toako, banyak terima kasih atas perhatianmu kepada diriku, akan tetapi sebaliknya, toako. Kalau engkau pergi sendiri meninggalkan aku untuk mencari adikku, kemudian terjadi sesuatu dengan dirimu, maka akupun akan merasa menyesal selama hidupku, bahkan tak mungkin lagi aku menghadapi kehidupan yang kejam ini seorang diri saja...."

Keduanya menunduk dan dalam saat seperti itu, biarpun mereka tidak secara langsung mengucapkan pengakuan, namun keduanya merasa benar betapa keduanya saling membutuhkan, saling manyayang, saling mencinta dan merasa ngeri kalau-kalau saling kehilangan! "Baiklah, Hong-moi. Kita pergi bersama, akan tetapi kita harus berhati-hati dan membuat persiapan. Aku akan melakukan penyelidikan yang lebih seksama dulu. Besok baru kita berangkat ke Telaga Yam-so."

"Terima kasih, toako. Selama hidupku, aku tidak akan pernah dapat melupakan semua budi kebaikanmu ini," kata Lan Hong lirih dengan suara mengandung isak haru.

***

Telaga Yam-so merupakan sebuah telaga yang besar dan luas disebelah selatan. Orang Tibet menyebutnya dalam Bahasa Tibet sebagai Yamzho Yumco (Telaga Yamso). Letaknya disebelah selatan sungai besar Brahmaputra yang amat panjang. Sungai itu mengalir disepanjang negara Tibet sampai membelok keselatan dan berakhir diselatan negara Bangladesh sebelah timur India. Daerah inilah, dari Sungai Brahmaputra sampai keTelaga Yamso, menjadi daerah yang dikuasai Kim-sim-pai!

Daerah ini amat sunyi, penuh dengan hutan belantara yang liar, yang sambung menyambung sampai keselatan, sampai ke Pegunungan Himalaya. Dusun-dusun hanya dihuni orang-orang pribumi Tibet, dan ada pula peranakan Tibet Bhutan dan beberapa orang peranakan India. Namun mereka adalah orang-orang gunung yang sederhana, dan agaknya Kim-sim-pai tidak mengusik mereka yang hidup tenang dan damai karena setiap harinya mereka hanya mengurus mencari makan dengan jalan berburu, beternak kecil-kecilan, dan ada pula yang menjadi penangkap ikan di sepanjang Sungai Brahmaputra atau Telaga Yamso. Akan tetapi, akhir-akhir ini bermunculan banyak orang Nepal didaerah itu dan mulailah terdapat gangguan-gangguan yang mengusik kehidupan yang tadinya aman damai dari para penghuni dusun didaerah itu. Orang-orang Nepal ini adalah anak buah dari pangeran Nepal pelarian yang kini telah bersekutu dengan Kim-sim-pai. Pangeran itu, Janghar Singh, telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan dia berjanji untuk membantu gerakan para pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama itu, sedangkan pihak Kim-sim-pai juga berjanji bahwa kelak, kalau mereka telah menguasai Tibet, mereka akan membantu Pangeran Janghar Singh yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Nepal. Gangguan para orang Nepal itu kadang amat menggelisahkan penduduk. Kalau mereka itu kadang hanya minta dengan paksa beberapa ekor hewan ternak, hal itu masih dapat diberikan dengan hati sabar oleh para  penghuni dusun. Akan tetapi adakalanya, orang-orang Nepal itu mengganggu wanita! Karena itu, maka banyaklah wanita muda yang cantik atau bersih, diungsikan keluarga mereka ketempat yang jauh dari daerah itu, terutama mereka yang tinggal dilereng Pegunungan Himalaya yang menjadi perbatasan antara Tibet dengan Nepal. Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang menunggang kuda tiba dilereng bukit dekat Telaga Yam-so.

"Sute, berhenti dulu!" kata Bi Sian menahan kendali kudanya. Bong Gan juga menahan kudanya dan menoleh lalu menghampiri suci-nya.

"Ada apakah, suci?" tanyanya, sambil memandang kesekeliling dengan khawatir.

"Lihat, sute, betapa indahnya pemandangan disini. Lihat telaga dibawah itu, airnya seperti permadani biru dikelilingi bukit menghijau. Indah sekali!"

Bong Gan menarik napas lega. Dia sudah mengatur rencana bersama Pek Lan dan menurut rencana itulah pada pagi ini ia dan Bi Sian tiba dilereng bukit itu. Tadinya, ketika Bi Sian minta berhenti, dia khawatir kalau-kalau sucinya itu mencurigai sesuatu. Kiranya gadis itu hanya mengagumi alam yang memang amat indah itu. "Memang indah sekali tempat ini, suci. Hawanya nyaman dan sejuk sekali. Aahh, alangkah senangnya kalau kita dapat tinggal beberapa lamanya ditempat seindah ini!"

Bi Sian menoleh dan memandang pemuda itu yang mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup udara yang amat menyegarkan itu. Ia tersenyum. "Ih, sute. Lupakah engkau bahwa kita datang ketempat ini bukan untuk pesiar melainkan untuk mencari musuh besarku?"

"Wah, memang kadang-kadang aku lupa, suci. Perjalanan ini demikian menyenangkan bagiku. Siapa tahu, kita dapat cepat menemukan musuhmu dan membereskan perhitungan, agar kita mempunyai banyak waktu untuk menikmati tempat indah ini."

Tiba-tiba sepasang mata Bi Sian terbelalak. Bukan hanya matanya yang menangkap berkelebatnya banyak bayangan orang, akan tetapi juga pendengaran telinganya menangkap gerakan banyak orang disekitar tempat itu. "Ada orang....!" bisiknya.

"Mereka mengepung kita!" Bong Gan juga berbisik dan pemuda ini kelihatan terkejut. Padahal, didalam hatinya dia bersukur karena dia tahu bahwa ini merupakan siasat yang dijalankan oleh Pek Lan. Maka, diapun hanya berpura-pura ketika kelihatan terkejut, tidak seperti Bi Sian yang merasa benar-benar kaget karena melihat bahwa mereka telah dikepung oleh sedikitnya tiga puluh orang. Bukan orang Han, bukan pula orang Tibet, melainkan orang-orang yang aneh, rata-rata berkulit kehitaman dan gelap, bentuk tubuh mereka tinggi dan sebagian besar dari mereka menggunakan penutup kepala berupa sorban putih yang tebal. "Mereka orang-orang asing...." kata pula Bong Gan. Padahal dia sudah mendengar dari Pek Lan yang mengatur siasat itu bahwa yang akan mengepung mereka adalah orang-orang Nepal. Melihat banyak orang mengepung dan maju mendekat, dua ekor kuda yang mereka tunggangi menjadi panik. Bi Sian lalu melompat turun dari atas punggung kudanya dan berkata kepada Bong Gan, "Sute, turun saja dari atas kuda, agar kita dapat membela diri lebih leluasa!" Keduanya sudah melompat turun dari atas punggung kuda dan dengan sikap tenang namun penuh kesiapsiagaan, kakak adik seperguruan ini berdiri dengan saling membelakangi. "Sute, biarkan aku yang bicara dengan mereka," bisik Bi Sian dan diam-diam Bong Gan tersenyum. Memang sebaiknya begitu agar tidak akan terdengar suaranya yang sumbang. Kini, tigapuluh orang lebih perajurit Nepal itu sudah datang dekat dan seorang di antara mereka, yang melihat pakaiannya tentu merupakan komandannya berdiri didepan Bi Sian. Dia

seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, matanya cekung kedalam dan hidungnya yang panjang itu agak bengkok kekiri sehingga mulutnya kelihatan seperti mengejek selalu.

"Hei, kalian dengarlah baik-baik!" Bi Sian berseru dengan suara lantang. "Kami dua orang pelancong dari timur, tidak ingin bermusuhan dengan penduduk pribumi. Kenapa kalian menghadang dan mengepung kami yang tidak bersalah?"

Orang tinggi kurus itu memandang tajam, lalu menjawab. Dia dapat bicara dalam Bahasa Han, walaupun logatnya aneh dan lucu. "Kami biasa menghormati tamu yang datang diundang. Akan tetapi kalian berdua tidak diundang, telah melanggar wilayah kami. Sudah sepatutnya kalau kami membunuh kalian, akan tetapi mengingat kalian dua orang muda, dan seorang di antaranya bahkan wanita, kami tidak akan bersikap keras. Orang-orang muda, menyerahlah kalian dengan baik, agar kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami!"

Bi Sian menatap orang itu. Sikap mereka cukup gagah, pikirnya, tidak seperti gerombolan perampok atau penjahat yang kejam. Maka, iapun berkata lantang. "Maafkan kalau tanpa disengaja kami melanggar wilayah kalian. Akan tetapi kami tidak bersalah, harap biarkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak suka untuk ditawan."

Pemimpin tinggi kurus itu mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung panjang, dan dia berkata dengan tegas, "Di wilayah ini, kami yang berkuasa! Mau atau tidak mau, kalian harus menyerah untuk menjadi tawanan kami. Harap kalian menyerah dengan damai!"

"Kalau kami tidak mau menyerah?" tanya Bi Sian yang sudah mulai marah dan penasaran. "Terpaksa kami menggunakan kekerasan untuk menangkap kalian!"

"Singg....!" Nampak sinar putih berkilauan ketika ia mencabut pedang Pek-lian-kiam (Pedang Teratai Putih).

"Bagus! Andaikata aku mau menyerahpun, pedang ini yang tidak membolehkannya. Karena tidak merasa bersalah, tentu saja aku tidak mau menyerah dan kalau kalian hendak memaksaku dan menggunakan kekerasan, jangan salahkan aku kalau kalian menjadi korban pedangku!"

Bong Gan juga sudah menyambar sebatang dahan pohon diatasnya, membuangi ranting dan daunnya dan kini dia sudah memegang sebatang tongkat.

"Kalau kalian memaksa, kami akan melawan!" Diapun membentak dan sambil berdiri saling membelakangi dengan sucinya, dia melintangkan tongkatnya dan siap melakukan perlawanan.

"Kami tidak akan membunuh kalian, akan tetapi terpaksa harus menangkap kalian!" bentak pemimpin rombongan itu dan diapun mengeluarkan aba-aba dalam Bahasa Nepal. Tiga puluh orang lebih itu, dengan senjata tombak atau golok dan perisai, kini mengepung ketat dan kepungan itu makin mendesak.

"Sute, sedapat mungkin robohkan mereka akan tetapi jangan bunuh!" kata Bi Sian. Dara itu menganggap mereka itu bukan orang jahat, hanya akan menangkap dan tidak membunuh, oleh karena itu iapun tidak ingin sutenya melakukan pembunuhan sehingga menanam permusuhan yang semakin dalam.

"Baik, suci," kata Bong Gan. Pada saat kepungan itu sudah makin dekat dan dua orang murid Koay Tojin itu siap bergerak menyerang pengeroyok terdekat, tiba-tiba terdengar seruan nyaring suara seorang wanita.

"Tahan....! Jangan bertempur!" Para pengepung itu menahan senjata mereka dan mundur. Bi Sian dan Bong Gan menoleh kearah suara wanita itu dan mereka melihat seorang wanita yang berusia dua puluh empat tahun lebih, cantik manis dengan muka lonjong dan kulit putih mulus berambut keemasan, muncul bersama seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berkepala gundul, berjubah pendeta dengan gambar Teratai Putih di dadanya. Kakek itu masih nampak muda dan tampan, dengan tubuh tinggi besar. Begitu dua orang ini mendekat, semerbak bau keharuman bunga mawar.

Tentu saja Bong Gan mengenal wanita itu, wanita yang beberapa hari yang lalu, semalam suntuk berada dalam pelukannya. Wanita itu adalah Pek Lan dan kakek yang nampak muda itu adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw. Akan tetapi Bi Sian tidak mengenalnya. Melihat para pengepung itu mundur, Bi Sian mengerti bahwa ia berhadapan dengan pemimpin gerombolan orang

asing yang menghadangnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa dua orang itu telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan kini menjalankan siasat untuk menjebaknya! Dan para pengepung itu adalah orang-orang Nepal yang dipergunakan untuk membantu siasat itu, yang juga sudah diketahui oleh Bong Gan. Sambil memandang tajam wanita cantik yang sikapnya genit itu, Bi Sian berkata, pedang Pek-lian-kiam masih melintang didepan dadanya. "Hemm, kiranya kalian berdua, seorang gadis cantik dan seorang pendeta, yang memimpin gerombolan ini. Apa alasan kalian menghadang perjalanan kami dan orang-orangmu yang mengepung kami ini hendak menawan kami?" Suara Bi Sian penuh wibawa, tanda bahwa ia sama sekali tidak merasa gentar. Diam-diam Pek Lan kagum. Pantas Bong Gan tergila-gila kepada suci-nya sendiri dan ingin memperisterinya. Memang manis dan jelita sekali! Dan diam-diam Thai-yang Suhu mengamati pedang ditangan gadis itu. Pedang itu bersinar putih dan ada ukiran bunga teratai. Pedang Teratai Putih! Sungguh merupakan pedang yang cocok sekali kalau menjadi miliknya, bahkan kalau menjadi pusaka dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sekiranya pedang itu memang sebuah pusaka yang ampuh, bukan pedang biasa saja.

Pek Lan tersenyum dan memang ia memiliki deretan gigi yang rapi dan putih sehingga nampak menarik sekali ketika tersenyum, dan kerling matanya kearah Bong Gan penuh daya pikat. Diam-diam Bong Gan membandingkan dua orang wanita itu. Memang, biarpun Bi Sian amat manis, namun ia tidak mampu bergaya seperti Pek Lan sehingga daya tariknya tidak sekuat Pek Lan. Bagaimanapun juga, kalau harus memilih keduanya untuk menjadi isterinya, tanpa ragu-ragu dia akan memilih Bi Sian. Bi Sian seorang gadis yang masih perawan dan hatinya juga bersih, sebaliknya Pek Lan adalah seorang wanita yang matang dan juga genit sehingga sukar diharapkan dapat menjadi seorang isteri yang setia. Akan tetapi kalau untuk bersenang-senang, tentu Pek Lan akan lebih memuaskan dan menyenangkan. "Adik yang baik, engkau sungguh cantik jelita dan gagah berani. Jangan salah mengerti, kalau anak buah kami melakukan penghadangan, hal itu terjadi karena kalian telah melanggar wilayah kekuasaan kami. Akan tetapi, kami dapat pula menghargai orang-orang gagah. Melihat kalian berdua yang tidak gentar menghadapi pengepungan orang-orang kami, tentu kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kami ingin sekali berkenalan melalui adu silat. Kalau memang kalian pantas menjadi kenalan kami, tentu akan kami persilakan untuk menjadi tamu dari Sang Pangeran yang menjadi tuan rumah kami. Suhu, engkau ujilah kepandaian adik manis ini, biar aku yang menguji pemuda ini," katanya kepada Thai-yang Suhu. Memang Pek Lan cerdik. Ia sudah mendengar dari Bong Gan bahwa tingkat kepandaian Bi Sian bahkan lebih tinggi dibandingkan pemuda itu, padahal baginya, menghadapi Bong Gan saja ia hanya mampu mengimbangi. Berbahaya kalau ia menghadapi Bi Sian kemudian sampai kalah! Maka ia sengaja menyuruh Thai-yang Suhu yang menghadapi gadis itu sedangkan ia akan menghadapi Bong Gan yang tentu saja hanya akan main-main tidak bertanding sungguh-sungguh. Biarpun ilmu kepandaian silat dari tokoh Pek-lian-kauw itupun tidak jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri, namun setidaknya pendeta itu memiliki kekuatan sihir untuk melindungi diri.

Thai-yang Suhu memang sudah tertarik sekali, bukan kepada Bi Sian saja, melainkan terutama sekali tertarik melihat pedang ditangan gadis itu. Kini dia memperoleh kesempatan untuk menguji apakah pedang Teratai Putih itu sebuah pedang pusaka ampuh ataukah pedang biasa saja. Dia tidak menurunkan sepasang pedangnya karena sepasang pedangnya merupakan pedang yang baik dan dia khawatir pedangnya akan menjadi rusak kalau pedang ditangan gadis itu benar pedang pusaka ampuh. Maka diapun meminjam sebatang pedang yang dipegang oleh seorang perajurit Nepal, kemudian menghampiri Bi Sian.

"Siancai.... harap maafkan pinto (saya), nona. Kami memang hanya ingin menguji, karena hanya melalui pertandingan silat maka perkenalan menjadi erat. Nah, silakan, nona!"

Melihat sikap dua orang itu cukup hormat dan sopan, Bi Sian juga merasa tidak enak kalau ia bersikap keras. Biarpun tadi pasukan itu mengepungnya, namun mereka belum melakukan penyerangan. "Aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapapun juga, dan akupun tidak sengaja melanggar wilayah siapapun juga. Wilayah ini bukan pekarangan, tidak dipagari, melainkan pegunungan dan telaga. Bagaimana aku tahu bahwa tempat ini ada orang yang memilikinya? Akan tetapi, biarpun tidak mau bermusuhan, kalau dimusuhi, jangan dikira aku takut!"

"Siancai....! Nona memang gagah perkasa, karena itu pinto ingin sekali menguji kepandaianmu, bukan berkelahi atau bermusuhan. Nona, lihat pedang!" kata Thai-yang Suhu sambil menggerakkan pedang pinjamannya, mengirim serangan gertakan kearah kepala gadis itu. Bi Sian mengelak dengan cepat dan ketika tangannya bergerak, pedang Pek-lian-kiam sudah menyambar kedepan, menusuk kearah dada merupakan sinar putih berkelebat. Thai-yang Suhu terkejut dan cepat dia juga melompat kebelakang untuk menghindarkan diri, kemudian menyerang lagi dengan berhati-hati karena biarpun hanya menguji kepandaian, kalau ilmu pedang lawan itu terlalu berat, mungkin saja dia akan terluka. Dia tidak berani memandang ringan lawannya yang dapat membalas serangan sedemikian cepat dan kuatnya. Sementara itu, Bong Gan juga sudah menggerakkan ranting ditangannya dan menyerang Pek Lan yang menyambut dengan pedangnya. Merekapun bertanding dengan seru, tentu saja hanya nampaknya demikian karena hati mereka yang tahu bahwa mereka hanya bersandiwara dan tidak sungguh-sungguh bertanding. Thai-yang Suhu mendapatkan kesempatan untuk menguji keampuhan pedang ditangan Bi Sian. Ketika pedang bersinar putih itu menyambar dengan bacokan kearah lehernya, dia memutar tubuhnya dan mengerahkan tenaga sekuatnya, menggunakan pedang pinjaman itu untuk menangkis. "Trangggg....!" Terdengar bunyi nyaring disusul pijaran bunga api dan.... pedang di tangan pendeta Pek-lian-kauw itu tinggal sepotong! Pedang itu patah di tengah-tengah, padahal pedang prajurit Nepal itu merupakan pedang melengkung yang cukup berat dan tajam.

Thai-yang Suhu berseru. "Lihai sekali!" dan diapun melempar gagang pedangnya dan memberi hormat kepada Bi Sian. "Nona yang lihai, pinto kagum sekali kepadamu!"

Pada saat itu, Pek Lan juga mengeluarkan jerit tertahan dan iapun melompat kebelakang, lalu memberi hormat kepada Bong Gan. "Saudara sungguh gagah, membuat kami kagum sekali. Perkenalkanlah, kami berdua adalah sahabat-sahabat baik dari Pangeran Maranta Sing yang menguasai lembah ini. Namaku Pek Lan dan suhu ini adalah Thai-yang Suhu. Kalau kami boleh mengetahui, siapakah ji-wi (anda berdua) dan apa yang anda berdua cari ditempat ini? Ataukah sekedar melancong saja?"

Sebelum Bi Sian menjawab, dengan cepat sesuai dengan rencana Bong Gan sudah menjawab, "Kami kakak beradik seperguruan. Namaku Coa Bong Gan dan suci ini bernama Yauw Bi Sian. Kami datang ketempat ini bukan sekedar melancong, melainkan hendak mencari seorang musuh besar kami yang bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok....!"

Bi Sian memberi isyarat kepada sutenya agar diam, akan tetapi sudah terlambat karena sutenya telah memperkenalkan nama mereka dan juga menyebut nama Pendekar Bongkok. Dan tiba-tiba saja sikap kedua orang itu berubah, alis mereka berkerut akan tetapi sikap mereka bahkan semakin ramah. "Aih, kiranya ji-wi musuh Pendekar Bongkok? Kalau begitu, di antara kita terdapat ikatan yang kuat karena kamipun menganggap Pendekar Bongkok sebagai musuh besar kami! Adik Bi Sian dan adik Bong Gan, aku akan merasa senang sekali untuk bekerjasama dengan kalian menghadapi Pendekar Bongkok yang amat lihai itu!"

Akan tetapi Bi Sian mengerutkan alisnya. Biarpun Pek Lan dan Thai-yang Suhu memperlihatkan sikap yang ramah dan bersahabat, namun didalam hatinya ia merasa tidak suka kepada mereka. "Enci Pek Lan," kata Bong Gan yang agaknya hendak bersikap ramah karena Pek Lan menyebut adik kepadanya dan kepada Bi Sian, "Kami tidak ingin bekerjasama dengan kalian, dan kami akan cukup berterima kasih kalau engkau dapat memberitahu kepada kami dimana adanya Pendekar Bongkok. Tahukah engkau dimana dia?" Pertanyaan ini berkenan dihati Bi Sian dan iapun mengangguk, menyatakan setuju dengan pertanyaan sute-nya itu. Akan tetapi Pek Lan tersenyum manis sekali. "Kalian ini adik-adik yang gagah perkasa, mengapa sungkan dan ingin enak sendiri saja? Kalau kita hendak bekerja sama, tentu sebaiknya kalau ji-wi menerima undangan kami untuk mempererat perkenalan. Kalau kita sudah menjadi sahabat yang akrab, tentu kami tidak akan ragu lagi untuk membagi semua rahasia, termasuk dimana adanya Pendekar Bongkok. Nah, kami ulangi undangan kami kepada ji-wi." Bong Gan menoleh kepada sucinya seperti orang minta pertimbangan, lalu terdengar dia berkata, "Suci, kita tidak mengenal daerah ini, maka kalau enci Pek Lan ini sudah berbaik hati untuk menunjukkan dimana adanya musuh besar itu, kurasa tidak ada salahnya kalau kita memenuhi undangannya. Tidak tahu bagaimana pendapatmu?"

Bi Sian tidak melihat pilihan lain kecuali mengangguk. Ia menyarungkan pedangnya kembali. Thai-yang Suhu segera memberi hormat kepadanya. "Nona yang masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga sebatang pedang pusaka yang ampuh sekali. Kalau boleh pinto mengetahui apa nama pedang pusaka itu, nona."

Bi Sian merasa bangga dengan pedangnya. Ia menepuk gagang pedang di pinggangnya dan menjawab, "Totiang (bapak pendeta), pedangku ini adalah Pek-lian-kiam peninggalan ayahku." Makin giranglah rasa hati Thai-yang Suhu. Pek-lian-kiam, sebatang pedang yang patut menjadi miliknya, bahkan menjadi lambang dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw! Akan tetapi dia menyembunyikan kegirangan ini didalam hatinya saja. Bagaimanapun juga, pedang itu harus dapat menjadi miliknya!

Bong Gan dan Bi Sian merasa kagum sekali ketika memasuki gedung besar yang didirikan di antara pohon-pohon dalam hutan dilereng bukit itu. Sebuah gedung yang besar dan didalamnya mewah sekali, seperti rumah raja-raja saja layaknya. Dan disekeliling gedung itu terdapat banyak rumah-rumah, merupakan perkampungan yang dikelilingi tembok seperti sebuah benteng saja. Itulah tempat tinggal Pangeran Maranta Sing, pangeran Nepal yang menjadi buruan pemerintahnya, karena telah memberontak itu. Dia tinggal diperbatasan itu bersama anak buahnya, yaitu sisa-sisa para perajurit anggauta pasukan pemberontakan yang dipimpinnya dan telah gagal itu.

Bong Gan dan Bi Slan dijamu oleh Pangeran itu yang menyambut mereka dengan ramah dan hormat. Bong Gan memperlihatkan kegembiraannya dan Bi Sian akhirnya juga merasa gembira karena pihak tuan rumah sungguh ramah kepadanya. "Harap jangan khawatir tentang Pendekar Bongkok," kata Pangeran Maranta Sing sambil tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih dibalik mukanya yang kehitaman dan kumisnya yang melintang panjang itu bergerak-gerak ketika dia bicara. "Kalau dia berani datang kedaerah ini, sudah pasti kami dapat menangkapnya. Daerah ini telah kami kuasai bersama Kim-sim-pang, maka harap ji-wi tenang saja. Kita pasti akan dapat menangkapnya."

"Apa yang diucapkan Pangeran Maranta Sing ini benar, adik-adikku yang baik," kata Pek Lan. "Betapapun lihainya Pendekar Bongkok, dia tidak akan mampu menandingi Kim Sim Lama, apalagi disini terdapat ji-wi yang bekerja sama dengan kami. Nah, mari kita minum demi berhasilnya kita menangkap Pendekar Bongkok!"

Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dengan gembira. Dari percakapan itu tahulah Bong Gan dan Bi Sian bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang pangeran dari Nepal yang bersekutu dengan Kim-sim-pang, dan betapa Kim-sim-pang menentang pemerintah Dalai Lama di Tibet. Kalau diam-diam Bong Gan merasa amat tertarik oleh janji-janji dan harapan yang dibayangkan dalam percakapan itu oleh pangeran Nepal itu maupun Thai-yang Suhu dan Pek Lan, Bi Sian sendiri sama sekali tidak tertarik. Bahkan ia tidak ingin melibatkan diri dalam pemberontakan itu, karena yang terpenting adalah menemukan Pendekar Bongkok dan

membalas kematian ayahnya! "Nona, cicipilah masakan ini!" kata Pangeran Nepal itu ketika melihat Bi Sian belum mencicipi masakan yang warnanya merah. Bong Gan sudah memakannya, akan tetapi gadis itu agaknya tidak mau mencicipi masakan yang asing baginya itu. "Ini adalah masakan aseli dari Nepal, lezat sekali dan merupakan masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan!"

Bi Sian tertarik, dan merasa tidak enak untuk tidak memperhatikan karena dikatakan bahwa masakan itu adalah masakan kehormatan bagi tamu yang diagungkan! "Pangeran, masakan ini terbuat dari apakah?" tanyanya, masih merasa ragu untuk mencicipinya karena warnanya yang merah seperti darah walaupun baunya sedap dan masih mengepul panas. "Bahan masakan ini amat langka dan amat sukar diperoleh karena ini adalah sumsum didalam tulang punggung beruang salju yang besar, kuat dan ganas! Karena merupakan sumber kekuatan sebuah binatang raksasa, maka masakan ini selain lezat, juga mengandung khasiat yang luar biasa untuk kekuatan dan kesehatan. Marilah nona, sebagai tamu agung, nona harus mencicipinya!" Pangeran itu mempergunakan sebuah sendok yang bersih, mengambilkan masakan itu dan menaruhnya kedalam mangkok didepan Bi Sian. "Dan engkau juga, saudara Coa Bong Gan, mari ambil lagi masakan ini."

Bong,Gan tersenyum. "Sudah sejak tadi saya memakannya dan memang lezat sekali, suci. Rasanya seperti otak, akan tetapi masakannya memakai bumbu yang aneh dan sedap bukan main. Juga terasa hangat didalam dada dan perut. Cobalah, suci!" Bi Sian semakin tertarik, juga untuk menghormati tuan rumah yang demikian ramah dan hormat, ia lalu mencoba mencicipi masakan itu. Memang lezat! "Adik Yauw Bi Sian, harap jangan sungkan dan ragu. Ketahuilah bahwa Pangeran Maranta Sing ini adalah seorang ahli obat dan ahli masak! Masakan sumsum tulang punggung beruang itu memang hebat dan aku sendiripun sudah merasakan khasiatnya!" kata Pek Lan. "Siancai, memang benar sekali," kata pula Thai-yang Suhu. "Pinto yang makan masakan itu merasa seperti muda kembali! Masakan itu tentu dapat membuat orang berumur panjang, dan dapat memperkuat tenaga sin-kang!"

Mendengar ucapan kedua orang itu, Bi Sian semakin tertarik dan iapun tidak berkeberatan lagi untuk makan masakan itu cukup banyak. Karena ia dan Bong Gan yang menjadi tamu kehormatan, maka semangkok besar masakan merah itu diperuntukkan mereka berdua dan mereka pun memakannya sampai habis! Bi Sian mulai merasa bergembira dan merasa mendapatkan teman-teman yang menyenangkan. Maka iapun minum arak lebih banyak dari pada biasanya. Apalagi arak yang disuguhkan itu manis dan harum, terbuat dari anggur Nepal yang baik. Setelah makan minum sampai kenyang, wajah Bi Sian yang cantik itu telah berubah kemerahan dan mulutnya pun hampir tak pernah hentinya tersenyum manis. Akan tetapi, ketika ia memegang kepalanya dan kepala itu terkulai keatas meja, Bong Gan cepat bangkit dari tempat duduknya dan menghampirinya.

"Suci, kau kenapakah....?" katanya lembut sambil menyentuh pundak gadis itu. Bi Sian mengangkat muka, tersenyum dan pandang

matanya saja sudah jelas menunjukkan bahwa ia mabok! Dan juga pandang matanya itu aneh, begitu sayu dan penuh gairah.

"Sute.... aku.... ah, agaknya terlalu banyak minum anggur, kepalaku agak pening...." Pek Lan memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Bong Gan, lalu berkata, "Adik Bong Gan, kasihan itu adik Bi Sian mabok. Ia butuh istirahat. Mari kuantar kalian kekamar kalian."

Pek Lan bangkit berdiri dan membantu Bong Gan memapah Bi Sian menuju kesebelah dalam gedung itu, diikuti pandang mata Pangeran Maranta Sing yang tersenyum lebar dan Thai-yang Suhu mengangguk-angguk puas. Tidak percuma saja ia merupakan seorang ahli sihir dan ahli ramuan obat beracun. Ia telah mencampurkan pembius yang lembut pada anggur yang diminum Bi Sian, dan masakan yang disuguhkan Pangeran Maranta Sing itu mengandung pula obat perangsang yang amat kuat! Pek Lan membawa mereka ke sebuah kamar yang besar dan mewah, dimana terdapat sebuah tempat tidur yang lebar. Kembali Pek Lan memberi isyarat kedipan mata kepada Bong Gan dan pemuda ini mengerti. "Nah, inilah kamar kalian, adik Bong Gan. Biarkan adik Bi Sian beristirahat dan tidur, nanti peningnya tentu akan hilang. Dan engkau juga perlu beristirahat, engkaupun sudah minum terlalu banyak, adik Bong Gan. Kalian mengasolah!"

"Tapi, enci Pek Lan!" Bong Gan membantah. "Mengapa hanya satu kamar? Kamar ini untuk suci saja, akan tetapi dimana kamarku?"

"Pangeran hanya memberikan sebuah kamar saja untuk kalian berdua, dan kurasa kamar inipun cukup besar, tempat tidurnyapun cukup luas untuk kalian berdua. Nah, selamat tidur." Pek Lan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar sambil tersenyum kepada Bong Gan. Bi Sian hanya mendengar sayup-sayup saja apa yang mereka bicarakan. Ia telah terlalu pening sehingga tidak perduli lagi bahwa ia berada sekamar dengan sutenya. "Aku.... aku pening.... mau tidur....!" katanya dan ia hendak melangkah kearah pembaringan, akan tetapi ia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau tidak segera dirangkul oleh Bong Gan.

"Marilah, suci, mari kubantu engkau.... akupun agak pening.... mari kita beristirahat....!" Bong Gan memapah suci-nya ketempat tidur, lalu membantu sucinya berbaring. Dengan hati-hati dia lalu meraba kaki suci-nya melepaskan sepasang sepatunya. Bi Sian terbelalak ketika merasa kakinya diraba sute-nya dan sepatunya dilepaskan. "Sute.... kenapa.... kau disini....? Aku mau tidur, pergilah...."

Akan tetapi Bong Gan tidak mau tidur, bahkan duduk ditepi pembaringan sambil menatap wajah suci-nya yang rebah telentang. "Suci, kita mendapatkan satu kamar saja. Kamar ini untuk kita berdua." Dengan mata sayu Bi Sian menatap wajah pemuda itu.

Gairah yang tidak wajar membakar dirinya dan wajah sute-nya itu tampak tampan luar biasa. ".... kenapa begitu.... ah.... sudahlah, aku mau tidur...." Tiba-tiba Bi Sian membuka matanya lagi karena merasa betapa wajahnya dibelai tangan orang. Ketika ia melihat tangan sute-nya meraba dun membelai kedua pipi dan dagunya, ia tidak meronta hanya menegur lembut.

"Sute.... jangan begitu...."

"Suci, alangkah cantiknya engkau. Aih, suci, aku cinta sekali kepadamu, suci!" Dan Bong Gan sudah memeluk, mendekap dan menciumi muka gadis itu. Bi Sian dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi obat perangsang telah mulai menguasai dirinya. "Jangan, sute.... jangan...." mulutnya mendesah, akan tetapi kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu. Dan terjadilah apa yang selalu diharapkan dan dirindukan Bong Gan. Dia berhasil menguasai diri suci-nya, berhasil menggaulinya berkali-kali tanpa gadis itu menolak atau memberontak, bahkan gadis itu, diluar kesadarannya, telah membalas semua kemesraanya dengan penuh gairah. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, keduanya tidur pulas kelelahan, masih saling rangkul.

Pada keesokan harinya, ketika pengaruh obat bius dan obat perangsang meninggalkan kepala dan tubuh Bi Sian dan ketika gadis itu terbangun dari tidurnya, dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dirinya dalam keadaan bugil tidur berangkulan dengan sutenya yang juga berbugil! Dan seketika terasalah olehnya kelainan dalam dirinya, tahulah ia apa yang telah terjadi! Ia telah melakukan hubungan dengan sute-nya, hubungan suami isteri! Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, ia segera mengenakan pakaiannya, kemudian meloncat turun dari atas pembaringan. Sekali tendang, pembaringan itu roboh dan Bong Gan terbangun gelagapan. Dia melihat sucinya sudah berpakaian dan berdiri membelakanginya, dengan pedang Pek-liam-kiam terhunus di tangannya. "Sute, kenakan pakaianmu. Cepat!" Suara sucinya membentak dan jelas bahwa sucinya marah bukan main.    "Ehh.... kenapa kita.... kenapa aku di sini.... kenapa tidur disini dan.... eh, apa yang telah kita lakukan ini....?" Bong Gan bersandiwara, bicara dengan gagap dan gelisah. "Cepat pakai pakaianmu kataku!" Bi Sian membentak lagi. Bong Gan segera mengenakan pakaiannya dan turun dari atas pembaringan. "Sudah.... sudah kupakai, suci...."

Bi Sian membalik dan pedangnya menyambar, dan sudah menempel dileher Bong Gan. Pemuda itu terbelalak dan wajahnya pucat.

"Suci.... kenapa.... kau hendak membunuhku....?"

"Coa Bong Gan!" Bi Sian membentak marah. "Apa yang telah kaulakukan terhadap diriku selagi aku mabok? Hayo katakan! Apa yang telah kaulakukan? Keparat engkau!"

"Suci! Apa.... apa yang kulakukan....? Suci, seharusnya suci bertanya apa yang kita lakukan! Aku.... aku sendiri tidak tahu, suci, aku tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada kita...." lalu dengan hati-hati dia menambahkan, ".... suci, sayup-sayup aku teringat.... bukankah engkaupun.... eh, mendukung terjadinya peristiwa itu semalam....?"

Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan kini dari kedua matanya mengalir beberapa butir air mata. Akan tetapi pedangnya masih menempel di leher Bong Gan. "Aku.... aku berada dalam pengaruh obat bius dan obat perangsang, hal itu kini aku yakin sekali. Dan kau.... kau menggunakan kesempatan itu untuk.... untuk...."

"Suci, engkau sungguh tidak adil! Kalau aku sejahat itu, tidak perlu menanti kemarahanmu, aku akan membunuh diriku sendiri! Akan tetapi, suci, kalau engkau terbius, mengapa aku tidak? Akupun sama saja seperti keadaanmu, suci. Aku tidak ingat apa-apa lagi, dalam keadaan setengah sadar seperti dalam mimpi saja semua itu terjadi. Suci, kenapa engkau menyalahkan aku kalau keadaan kita sama? Kita berdualah yang bertanggung jawab, dan aku.... eh, cinta padamu, suci...."

"Jangan sentuh aku!" bentak Bi Sian ketika tangan Bong Gan hendak menyentuh lengannya dan iapun kini menangis terisak-isak. Ia kini melihat kenyataan itu. Sutenya tidak bersalah. Sutenya juga minum pembius dan obat perangsang yang sama! Pek Lan! Ini semua gara-gara Pek Lan, wanita genit itu!

"Hemm, perempuan jahat itu harus mampus!" katanya dan iapun melompat kearah pintu, mendorong daun pintu dan berlari keluar.

"Suci....!" Bong Gan berseru dan mengejar dari belakang. Akan tetapi Bi Sian tidak berhenti, tidak menoleh dan pada saat itu, kebetulan sekali ia melihat Pek Lan melangkah dengan tenangnya menuju kearah mereka. Sepagi itu, Pek Lan sudah nampak rapi dan cantik, sudah mandi dan mengenakan pakaian bersih seperti baru. Ketika melihat Bi Sian dan Bong Gan, Pek Lan tersenyum dan wajahnya berseri. "Ah, ji-wi (kalian) sudah bangun? Selamat pagi....!" katanya dengan suara merdu dan gembira. "Manusia jahat, cabut senjatamu dan lawanlah aku!" bentak Bi Sian dengan pedang melintang didepan dada. Pek Lan terbelalak. "Adik Bi Sian, ada apakah ini? Apa artinya sikapmu ini?"

Bi Sian menudingkan pedangnya kearah muka Pek Lan. "Tidak perlu berpura-pura lagi. Keluarkan senjatamu atau kalau tidak, aku akan membunuhmu begitu saja!"

"Tapi.... tapi kenapa, adik Bi Sian? Adik Bong Gan, kenapa kalian bersikap seperti ini terhadap aku? Bukankah sejak saling berkenalan, aku selalu bersikap baik terhadap kalian?" Pek Lan bertanya lagi, kini mendesak Bong Gan untuk memberi keterangan. Bong Gan segera berkata, "Enci Pek Lan. Siapa orangnya tidak akan menjadi marah? Kemarin kami kauundang untuk

makan minum. Setelah makan minum, kami berdua.... kehilangan kesadaran, terbius dan terangsang, sehingga.... kami melakukan pelanggaran...."

Bi Sian me mandang dengan mata mencorong penuh kemarahan. "Pek Lan, engkau menipu kami, engkau membius kami, penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!" Ia sudah siap bergerak mengangkat kedua tangan keatas. "Nanti dulu, kedua orang adikku yang baik! Bi Sian, jangan terburu nafsu dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Ingatlah, bahwa aku dan guruku Thai-yang Suhu juga hanya merupakan dua orang tamu saja disini! Bagaimana mungkin kami yang melakukan itu? Makanan dan minuman itu bukan dari kami. Dan apa gunanya kami melakukan hal yang membuat kalian berdua melakukan hubungan suami isteri diluar kesadaran kalian ini? Jelas, yang memberi obat bius dan obat perangsang dalam makanan dan minuman kalian bukan kami."

"Maranta Sing! Dialah yang melakukan itu, suci! Bukan enci Pek Lan. Sekarang aku yakin, Pangeran Nepal itulah yang meracuni kita!" kata Bong Gan kepada suci-nya. Bi Sian termenung, lalu iapun mengangguk-angguk, dan berkata, "Maafkan aku, enci Pek Lan. Kalau begitu, pangeran keparat itu yang harus kubunuh! Aku akan mencarinya dan...." Pek Lan menggeleng kepala. "Tahan dulu, adikku yang baik. Mari kita bicara di dalam kamarku. Harap jangan terburu nafsu. Ingat, kita berada di dalam benteng dimana terdapat ratusan orang perajurit Nepal! Mari, mari, dikamarku kita dapat bicara dengan leluasa," kata Pek Lan dan ia mendahului mereka menuju kekamarnya yang tidak jauh dari situ. Terpaksa Bi Sian menahan kemarahannya dan bersama Bong Gan iapun mengikuti Pek Lan masuk kedalam sebuah kamar. Kamar itu tidak seluas kamar mereka, akan tetapi juga mewah dan prabot kamarnya serba indah. Begitu memasuki kamar, Bong Gan dan Bi Sian mencium bau semerbak harum. Setelah mempersilakan kedua orang itu duduk, Pek Lan lalu duduk ditepi pembaringan, menghadapi mereka. "Ketahuilah kalian bahwa Pangeran Maranta Sing menyuguhkan makanan yang mengandung obat perangsang itu, bukan suatu kejahatan, bahkan dia sengaja melakukan hal itu untuk menyenangkan kalian yang dianggap sebagai tamu agung yang dihormati." Dua orang kakak beradik seperguruan itu terbelalak, lalu mereka saling pandang dengan penuh keheranan. "Akan tetapi, enci Pek Lan!" seru Bong Gan. "Bagaimana mungkin kami dapat percaya itu? Memberi obat bius dan perangsang kepada kami sehingga kami berdua melakukan pelanggaran? Dan itu merupakan suatu penghormatan? Mustahil...."

"Aku tidak percaya!" Bi Sian juga berseru. Pek Lan tersenyum. "Akan tetapi, sesungguhnyalah begitu, Memang lain bangsa lain pula kebiasaannya, lain negara lain pula peraturannya, dua orang adikku yang manis. Ketahuilah bahwa masakan sumsum tulang punggung biruang itu merupakan makanan langka yang luar biasa, dan mengandung daya rangsangan yang kuat. Biasanya hidangan ini diberikan kepada sepasang pengantin keluarga raja saja! Dan anggur merah itupun amat keras, hanya bekerjanya amat halus seperti obat bius. Akan tetapi keduanya merupakan hidangan yang mahal dan langka, hanya diperuntukkan tamu kehormatan."

"Akan tetapi, kalau pangeran itu tahu akan pengaruh makanan dan minuman itu, mengapa dia menyuguhkan kepada kami? Dan kami diberi satu kamar pula? Apa maksudnya kalau bukan hendak menjerumuskan kami dan menghina kami?"

Pek Lan menggeleng kepalanya. "Sama sekali dia tidak bermaksud menghina kalian. Karena kalian merupakan dua orang muda yang melakukan perjalanan bersama, maka dia menganggap bahwa tentu kalian memiliki hubungan yang lebih erat. Kalian dianggapnya sebagai suami isteri atau dua orang yang sedang berpacaran, sehingga hidangan itu bahkan dianggapnya membantu dan menyenangkan kalian."

"Akan tetapi dia sudah tahu bahwa kami adalah kakak dan adik seperguruan!" Bi Sian berseru. "Kami belum menikah....!"

"Itu menurut pendapat dan kebiasaan kalian! Akan tetapi menurut kebiasaan di Nepal, kalau seorang pemuda dan seorang gadis melakukan perjalanan bersama selama berbulan-bulan, maka tidak ada pendapat lain kecuali bahwa mereka adalah suami isteri, baik sudah menikah atau belum. Karena itu, adik-adikku, harap kalian tenang. Pangeran Maranta Sing tidak bermaksud buruk. Pula semua itu telah terjadi, dan kalau kulihat, kalian memang pantas untuk menjadi jodoh masing-masing. Kalau memang kalian saling mencinta, apa salahnya peristiwa yang terjadi semalam?"

"Tidak! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah! Pangeran Maranta Sing harus mempertanggung jawabkannya! Aku mau mencarinya!" Bi Sian berteriak dan ia sudah bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya. "Sabar dan ingatlah, adik Bi Sian! Selain pangeran itu tidak berniat jahat menurut pendapatnya, bahkan ingin berbuat menyenangkan tamu, juga kita berada disini, didalam bentengnya! Bagaimana mungkin engkau akan melawan ratusan orang perajurit Nepal! Bukankah itu sama halnya dengan bunuh diri?"

"Aku tidak perduli! Aku tidak takut! Bagiku, kehormatan lebih penting daripada nyawa!" Bi Sian berkata dengan air mata bercucuran kembali karena ia teringat akan nasibnya yang telah menderita aib. "Suci.... ah, harap dengarkan apa yang dikatakan enci Pek Lan, suci. Kita berada di tengah benteng mereka, kita tidak mungkin mampu melawan mereka...." Bong Gan berkata. Tiba-tiba Bi Sian membalik dan menghadapinya dengan mata berapi saking marahnya. "Sute! Engkau masih berani berkata demikian! Engkau takut mati! Huh, enak saja engkau. Engkau adalah seorang laki-laki, tentu tidak dapat merasakan penderitaan seorang wanita yang telah menderita aib dan noda seperti aku! Kalau engkau takut mati, biarlah aku sendiri yang akan menuntut kepada pangeran itu!"

Melihat sikap suci-nya itu, tiba-tiba saja Bong Gan menjatuhkan diri berlutut di depan suci-nya sambil menangis! "Suci, semua ini akulah yang bersalah! Aku telah menodaimu, aku mendatangkan aib bagimu. Akulah yang membikin celaka sehingga kini suci menghadapi bahaya maut. Aku telah menghancurkan kehidupanmu, suci. Sungguh aku merasa menyesal sekali. Engkau adalah satu-satunya orang yang kumiliki, satu-satunya orang yang telah menolongku, dan baik kepadaku. Engkau satu-satunya orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku dan sekarang.... aku pula yang mencelakakanmu. Aih, suci, kalau begitu, engkau bunuhlah aku lebih dulu agar aku tidak lagi melihat penderitaanmu."

"Sute, cukup....!" Bi Sian berseru dan tangisnya semakin menjadi-jadi. Melihat ini, Bong Gan maklum bahwa siasatnya berhasil baik, maka diapun memperkuat tangisnya. "Suci, bagaimana mungkin aku dapat hidup kalau melihat engkau sengsara karena aku? Sudahlah, kalau engkau tidak mau membunuhku, biar aku sendiri yang akan menghabiskan nyawaku agar rasa penasaran dihatimu berkurang, suci. Suci, selamat tinggal, suci....!" Bong Gan menyambar pedang milik Pek Lan diatas meja, mencabutnya dan menggerakkan pedang menggorok leher sendiri! Tentu saja semua ini sudah diatur sebelumnya dan merupakan siasat belaka. Pek Lan diam-diam sudah siap siaga mencegahnya kalau Bi Sian diam saja. Andaikata Bi Sian mendiamkan saja sute-nya membunuh diri, demikian siasat yang mereka atur sebelumnya, maka Pek Lan yang akan turun tangan mencegah sehingga bunuh diri itu nampak sungguh-sungguh. Akan tetapi, permainan sandiwara itu berhasil mengelabui mata Bi Sian. Melihat kenekatan sute-nya yang dalam hal ini juga sama-sama menjadi korban obat bius dan perangsang, cepat Bi Sian menendang kearah pergelangan tangan sutenya yang memegang pedang. Pedang itu terlepas dari pegangan dan Bong Gan menutupi mukanya sambil menangis. "Suci, kalau engkau tidak dapat menga mpuni aku, kenapa engkau tidak membiarkan saja aku membunuh diri?" ratapnya. Bi Sian tidak menjawab, hanya menangis sesenggukan, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia memang suka sekali kepada sute-nya ini, bahkan mungkin juga ada peraaaan cinta, karena sute-nya pandai mengambil hati. Iapun tahu bahwa sutenya amat mencintanya dan kini, sutenya telah memperlihatkan perasaan cintanya yang amat mendalam. Ia merasa terharu sekali dan agak meredalah kemarahannya. Bagaimanapun juga, yang menodainya adalah sutenya sendiri, orang yang amat mencintanya, dan yang besar kemungkinan akan menjadi suaminya kelak. Kini, setelah peristiwa itu, bukan mungkin lagi bahkan sudah pasti pemuda ini akan menjadi suaminya. "Aih, betapa mengharukan. Sudahlah, adik Bi Sian. Aku ikut terharu melihat besarnya cinta antara kalian, terutama sekali apa yang telah dibuktikan oleh adik Bong Gan. Sungguh, dia mencintamu dan biarpun dia itu sutemu, akan tetapi aku melihat bahwa dia lebih tua darimu dan kalian memang cocok untuk menjadi suami isteri kelak. Sebaiknya kalian berdua ikut bersama kami menghadap Kim Sim Lama. Kalau kalian bekerja sama dengan Kim-sim-pang, aku yang tanggung bahwa dalam waktu singkat kalian akan dapat bertemu dengan Pendekar Bongkok."

Bong Gan sendiri terkejut mendengar ini. Apakah Pek Lan sudah mendengar dari anak buahnya tentang Pendekar Bongkok? Nada suara Pek Lan demikian meyakinkan seolah-olah Pendekar Bongkok sudah berada dalam kekuasaannya! "Jangan main-main, enci!" kata Bi Sian sambil mengerutkan alisnya. "Aku baru mau bekerja sama denganmu atau rekan-rekanmu kalau benar kalian dapat menemukan Pendekar Bongkok. Benarkah engkau berani tanggung? Aku tidak mau tertipu!"

Pek Lan tersenyum manis. Tentu saja ia berani bertanggung jawab karena ia telah mendengar dari orang-orangnya bahwa Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan Kim Sim Lama! "Aku tanggung. Bahkan aku berani menanggung bahwa kami akan dapat menawan Pendekar Bongkok untukmu, adik Bi Sian."

Bi Sian memandang Bong Gan yang masih berlutut sambil menutupl mukanya. "Sute, bangunlah. Memang benar, semua nasib manusia telah digariskan Tuhan. Aku tidak dapat mengingkari dan tidak ada gunanya menyesali hal yang telah lalu. Baiklah, kini tidak mungkin lagi aku menolak cintamu, menolak pinanganmu. Aku bersedia menjadl isterimu...."

"Suci! Terima kasih....!" Bong Gan berseru gembira walaupun mukanya masih basah air mata. Dia masih berlutut akan tetapi tidak lagi menutupi mukanya. "Hemm, sudah sewajarnya kalau kita menjadi suami isteri. Akan tetapi tidak sekarang! Kelak, kalau kita sudah berhasil membunuh Pendekar Bongkok, baru kita melangsungkan pernikahan. Akan tetapi sebelum itu engkau tidak boleh menjamahku. Mengerti?"

"Baik.... baik...." Bong Gan kini bangkit berdiri dan menatap wajah suci-nya itu dengan pandang mesra. "Akan tetapi, setelah kini kita bertunangan, bolehkah aku menyebutmu Sian-moi (dinda Sian)? Dan maukah kau menyebut aku Gan-koko (kanda Gan)?"

Wajah Bi Sian menjadi kemerahan akan tetapi untuk mencegah agar persoalan itu tidak diperpanjang, iapun mengangguk. Melihat ini, Pek Lan girang bukan main dan iapun cepat memberi hormat kepada mereka bergantian sambil berseru, "Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!"

Biarpun wajahnya berubah kemerahan, Bi Sian terpaksa menerima pemberian selamat itu sambil menggumamkan terima kasih. Dan dengan wajah gembira bukan main Bong Gan juga menghaturkan terima kasih, ucapan terima kasih yang bukan sebagai basa-basi belaka karena dia bersungguh-sungguh merasa berterima kasih kepada Pek Lan. Pek lan yang telah mengatur kesemuanya itu, sehingga dia berhasil memiliki diri Bi Sian, dan dia berjanji didalam hatinya untuk membalas jasa Pek Lan itu dengan pelayanan semesra mungkin. "Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Untuk mencegah suasana tidak enak, ji-wi (kalian berdua) tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, biar kupamitkan nanti. Kalian bersiaplah, kita berangkat sekarang bersama suhu."

Bi Sian merasa senang bahwa ia tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, karena biarpun ia dapat mengerti bahwa pangeran itu tidak dapat terlalu dipersalahkan karena memang tidak berniat buruk, namun tetap saja kalau ia bertemu dengan pangeran itu, tentu ia akan sukar menahan kemarahannya. Mereka berdua berkemas dan tak lama kemudian Pek Lan dan Thai-yang Suhu datang menjemput mereka. Berangkatlah mereka meninggalkan istana dalam benteng dilereng bukit dekat telaga Yam-so. Mereka menunggang empat ekor kuda dan di sepanjang perjalanan, pemandangan alam yang amat indah membuat Bi Sian perlahan-lahan dapat melupakan peristiwa semalam yang  dianggapnya sebagai malapetaka. Ia dapat menerima kenyataan itu dan menganggap bahwa memang sudah menjadi jodohnya untuk bersuamikan Coa Bong Gan maka terjadi peristiwa memalukan itu. Tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa semua peristiwa itu adalah hasil rencana siasat yang telah diatur oleh Pek Lan dan Bong Gan, dibantu oleh Thai-yang Suhu dan Pangeran Maranta Sing!

***

Sie Liong duduk bersila didalam ruangan tahanan itu. Dia duduk bersila hanya karena naluri saja, atau karena tubuhnya sudah terbiasa dengan sikap duduk seperti itu. Dia duduk bersila seperti sebuah arca mati, tidak bergerak-gerak. Sudah hampir satu bulan lamanya dia menjadi seorang tawanan yang sama sekali tidak berdaya. Bukan hanya ingatannya hilang dan dia lupa segala, akan tetapi juga tubuhnya menjadi lemah dan dia kehilangan tenaga sin-kangnya, atau kalau dia mencoba untuk mengerahkan tenaga, dadanya seperti ditusuk rasanya. Pernah dia mancoba untuk keluar dari kamar tahanan itu, akan tetapi setibanya di pintu, seorang penjaga menghadangnya. "Hei, engkau tidak boleh keluar dari kamar ini tanpa ijin," kata si penjaga. "Hayo masuk kembali. Makanan dan minuman akan diantar dari luar, dan kalau engkau hendak kencing atau berak, baru boleh keluar dari sini, akan tetapi juga kami kawal!" Sie Liong tidak ingat mengapa dia berada disitu, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya dan bagaimana asal mulanya! Dia hanya tahu bahwa dia berada disebuah kamar yang asing, dan dijaga oleh penjaga yang jumlahnya sampai belasan orang, menJaga diluar pintu kamar itu. Dia sudah mencoba mengerahkan ingatannya, namun gagal. Yang diingatnya sejak dia sadar, seperti orang bangun tidur dan tahu-tahu sudah berada dalam kamar itu. "Aku mau keluar. Aku tidak suka disini. Biarkan aku keluar dari sini," katanya kepada penjaga. "Tidak boleh! Hayo kau kembali, atau harus kupaksa?"

Sie Liong tidak ingat lagi bahwa dia adalah Pendekar Bongkok. Tidak ingat bahwa dia seorang yang berilmu tinggi. Dan memang pada dasarnya dia berwatak lembut dan tidak suka berkelahi, maka biarpun dia merasa tidak senang dengan cegahan itu, dia tetap bersikap lembut. "Sobat, aku tidak mengenal engkau dan kawan-kawanmu itu. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian, maka kuharap engkau tidak menahanku lagi. Biarkan aku keluar," katanya dan dia nekat melangkah hendak keluar dari kamar tahanan itu. "Tidak boleh keluar! Kembali kedalam kamar!" bentak penjaga itu dan melihat Sie Liong nekat hendak melangkah keluar, dia lalu mendorong dada Sie Liong. Biarpun Sie Liong lupa bahwa dia pandai ilmu silat, namun naluri tubuhnya bergerak dan otomatis tenaga sin-kang dari pusar menerjang keatas, kearah dada. Akan tetapi, begitu tenaga sin-kang itu bergerak, dia mengeluh karena dadanya terasa nyeri dan otomatis dia membiarkan dirinya lemas lagi. Dorongan itu mengenai dadanya dan dalam keadaan tidak bertenaga itu, diapun terjengkang dan jatuh telentang kedalam kamar tahanan kembali! Penjaga itu tertawa. "Ha-ha-ha, jangan harap engkau dapat keluar tanpa ijin. Sekali lagi, aku bukan hanya mendorong melainkan memukulmu!"

Sie Liong tidak menjawab. Ada kenyataan baru yang diketahuinya, yaitu bahwa dia berada dalam tahanan, dijaga oleh orang-orang yang kasar dan galak, dan bahwa tidak mungkin dia melawan karena begitu mengerahkan tenaga, dadanya terasa nyeri. Maka, diapun tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit dan menyabarkan hatinya, lalu duduk bersila kembali diatas pembaringannya. Obat penghilang ingatan yang dipaksakan masuk kedalam perutnya oleh Thay Hok Lama mempunyai kekuatan selama

satu bulan. Dalam beberapa hari lagi Sie Liong akan memperoleh kembali ingatannya. Akan tetapi apa gunanya? Selain racun penghilang ingatan, juga Thay Hok Lama telah memberinya minum racun yang membuat dia akan merasa nyeri didada setiap kali mengerahkan sin-kang, dan kalau dipaksanya, berarti dia membunuh diri sendiri. Darahnya telah keracunan. Sambil duduk bersila, pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah agak menipis sehingga samar-samar Sie Liong mulai teringat akan dirinya sendiri. Dia mulai teringat bahwa namanya Sie Liong, bahwa dia ditangkap oleh para pendeta Lama. Hanya itu yang baru dapat diingatnya. Mungkin besok atau lusa, kalau pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah hilang, baru dia akan dapat mengingat seluruhnya atau sebagian besar dari hal-hal yang lalu. Akan tetapi, pada hari itu, datanglah Thai-yang Suhu, Pek Lan dan kedua orang muda yang hendak bekerja sama dengan Kim-sim-pang itu. Bi Sian dan Bong Gan melihat betapa tempat itu dari luar hanya seperti sebuah kuil biasa, kuil Kim-sim-pang yang dikunjungi banyak orang yang bersembahyang. Ketika mereka diajak masuk kebelakang kuil, melalui pintu yang terjaga oleh para pendeta Lama, barulah mereka tahu bahwa pusat Kim-sim-pang berada dibelakang kuil, merupakan perkampungan yang dihuni para pendeta Lama. Kim Sim Lama gembira sekali manerima dua orang tamunya, apalagi ketika mendengar laporan Pek Lan bahwa Bong Gan dan Bi Sian adalah dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi. Pek Lan sendiri sudah lebih dulu menggabungkan diri dengan Kim-sim-pang, dibawa oleh Thai-yang Suhu.

"Omitohud....! Kami sungguh merasa beruntung sekali dapat bekerja sama dengan ji-wi (kalian), dua orang muda yang lihai. Kalau perjuangan kami berhasil, tentu kami tidak akan melupakan jasa ji-wi dan akan memberi imbalan yang pantas," kata Kim Sim Lama yang mengira bahwa mereka berdua itu, seperti halnya Pek Lan dan Thai-yang Suhu, adalah dua orang petualang yang mengharapkan imbalan jasa yang besar.

Mendengar ini, Bi Sian mengerutkan alisnya. "Maaf, lo-suhu. Kami berdua datang dan menerima penawaran enci Pek Lan untuk bekerja sama bukan untuk mendapatkan imbalan. Kami tidak mencari imbalan jasa!"

Pek Lan cepat memberi penjelasan kepada Kim Sim Lama. "Hendaknya lo-suhu ketahui bahwa adik Bi Sian dan adik Bong Gan ini mengajak bekerja sama untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Bongkok! Sudah kujanjikan kepada mereka bahwa kita akan membantu mereka menangkap Pendekar Bongkok, dan sebagai gantinya, mereka akan membantu perjuangan kita."

Kim Sim Lama tertawa girang. "Ha-ha-ha, kiranya begitu? Bagus sekali! Ji-wi tidak datang ditempat yang keliru. Pinceng (saya) mempunyai berita yang amat baik bagi ji-wi. Apakah nona Pek Lan belum memberitakan kepada ji-wi tentang Pendekar Bongkok?"

Bi Sian menoleh kepada Pek Lan dan ia menggeleng kepala. Pek Lan tersenyum. "Adik Bi Sian, lupakah engkau ketika aku berkata bahwa aku yang tanggung akan tertangkapnya Pendekar Bongkok? Nah, ketahuilah bahwa Pendekar Bongkok sudah tertawan oleh lo-suhu Kim Sim Lama dan kini berada dalam tahanan."

Mendengar ini, Bong Gan menjadi girang bukan main. "Ah, benarkah itu? Kalau begitu, mari kita menemuinya, Sian-moi!

"Nanti dulu, aku masih belum percaya benar bahwa dia telah tertawan disini. Bagaimana demikian mudahnya?" Bi Sian meragu, khawatir kalau tertipu. Ia masih belum percaya benar kepada orang-orang yang baru dikenalnya. "Omitohud.... nona itu terlalu bercuriga dan berprasangka. Nona Yauw, kalau ingin bertemu dengan Pendekar Bongkok Sie Liong, mari pinceng ikut mengantarkan."

Bi Sian dan Bong Gan mengikuti Kim Sim Lama, Pek Lan dan Thai-yang Suhu menuju kebagian belakang sarang Kim-sim-pang itu. Setelah tiba diluar kamar tahanan, Kim Sim Lama tersenyum. "Nah, kalian berdua lihat baik-baik siapa yang berada didalam kamar tahanan itu!"

Bong Gan dan Bi Blan memandang kedalam kamar yang daun pintunya terbuka dan dijaga oleh beberapa orang pendeta Lama itu. Diatas pembaringan duduk seorang laki-laki bongkok yang bukan lain adalah Sie Liong!

"Tidak mungkin...." Bi Sian barkata lirih melihat Sie Liong yang katanya ditahan itu ditahan begitu saja didalam sebuah kamar yang dijaga beberapa orang pendeta Lama. "Bagaimana dia begitu.... begitu.... jinak?"

"Ha-ha-ha, tidak perlu heran, nona. Dia kehilangan ingatannya, dan juga kehilangan tenaganya. Dia menjadi seorang yang lemah, ha-ha!" Kim Sim Lama tertawa. Mendengar ini, Bong Gan memandang dengan mata mencorong. Dia amat takut dan benci kepada Sie Liong karena dia dapat merasakan bahaya mengancam dari orang bongkok itu. Kalau sampai rahasianya terbongkar, tentu dia akan celaka. Akan tetapi kalau Sie Liong sudah tewas, tentu akan aman rahasianya bahwa dia yang membunuh Yauw Sun Kok, bukan Sie Liong. Kini, mendengar bahwa pendekar itu kehilangan ingatan dan kehilangan tenaga, dia melihat kesempatan yang baik sekali untuk membunuhnya. Dilihatnya sebatang golok besar diatas meja depan kamar tahanan, agaknya itu adalah senjata milik seorang diantara para pendeta penjaga. "Keparat Sie Liong, engkau tidak layak dibiarkan hidup!" bentaknya dan sebelum semua orang dapat mencegah, dia sudah menyambar golok itu, menerobos masuk kedalam kamar tahanan melalui pintu terbuka.  Mendengar teriakan yang memanggil namanya ini, Sie Liong mumbuka mata. Dia terkejut melihat seorang laki-laki muda yang tidak dikenalnya, atau yang tidak diingatnya siapa, meloncat kearah pembaringan dan mengayun golok menyerangnya! Gerakan orang itu sedemikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mempunyai kesempatan untuk menyingkir lagi. Hanya dengan gerakan naluri Sie Liong mengangkat lengan kirinya untuk menangkis. "Jangan bunuh dia!" terdengar seruan Kim Sim Lama yang merasa terkejut sekali. Namun terlambat, golok ditangan Bong Gan itu sudah meluncur dengan cepatnya dan bertemu dengan lengan kiri Sie Liong yang menangkisnya. "Crokkkk!" Lengan kiri yang menangkis itu, lengan yang tidak mengandung tenaga sin-kang, mana mungkin kuat menahan golok besar yang amat tajam itu? Lengan itu terbabat buntung diatas siku, dan buntungan lengan terlempar keatas lantai. Sie Liong terbelalak, tidak mengeluarkan keluhan, hanya memandang kearah lengan kirinya yang buntung dan darah muncrat-muncrat dan diapun roboh pingsan diatas pembaringan! Bong Gan hendak menyusulkan serangan maut kearah tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu, akan tetapi nampak bayangan merah dan Kim Sim Lama telah memukul kearah lengan kanan Bong Gan. "Tranggg....!" golok yang berlumur darah itu terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa nyeri lengannya dan terkejut sekali.

"Aih, adik Bong Gan, kenapa engkau lancang menyerangnya? Losuhu Kim Sim Lama membutuhkan dia hidup!" tegur Pek Lan, sementara itu Bi Sian memandang dengan mata terbelalak kearah Sie Liong yang rebah pingsan diatas pembaringan, kini sedang diperiksa oleh Kim Sim Lama. Ia tidak melihat betapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada Bong Gan dan pemuda ini nampak gelisah. Di dalam hatinya, ada perasaan iba kepada pamannya itu, dan kemarahan kepada Bong Gan yang secara curang menyerang Sie Liong yang sedang kehilangan ingatan dan tenaga itu. Akan tetapi, ingatan bahwa Sie Liong membunuh ayahnya membuat perasaan iba itu menipis karena ia berkeras mengusirnya. Kim Sim Lama menotok jalan darah diketiak Sie Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar melalui lengan yang buntung, kemudian terdengar dia memanggil seorang penjaga dan menyuruhnya memanggil Camundi Lama dengan cepat. Setelah petugas itu pergi, Kim Sim Lama bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar matanya penuh penyesalan. "Orang muda, sungguh engkau lancang sekali. Bagaimanapun juga, Pendekar Bongkok ini adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak menyerangnya tanpa persetujuan kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan ingatan dan tenaga, kenapa engkau masih hendak membunuhnya?"

"Maafkan saya, Losuhu. Saya amat membencinya dan menjadi naik darah ketika melihatnya. Maafkan, saya mengaku salah. Akan tetapi, Losuhu, kalau dia tidak dibunuh, lalu untuk apa? Dia berbahaya sekali."

Kim Sim Lama menyeringai. "Untung pinceng masih sempat menghalangi kelancanganmu sehingga dia tidak sampai terbunuh. Karena lukanya, terpaksa rencana kami harus dipercepat. Kami hendak mempergunakan dia, maka sampai sekarang kami menahannya dan sedang mencari kesempatan baik untuk mempergunakan dia."

Karena Pendeta Lama yang tua itu jelas nampak tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi banyak bertanya. Apalagi ketika pendeta itu menggumam kepada Pek Lan. "Untung bahwa dia bermaksud membantu gerakan kita, kalau tidak, sukar bagi pinceng untuk memaafkannya."

Penjaga yang diutus tadi sudah datang bersama seorang pendeta Lama yang kurus tinggi dan gerak-geriknya lembut. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan pandang matanya lembut, akan tetapi dahinya penuh kerut merut seperti biasa terdapat pada wajah orang yang banyak menderita tekanan batin. "Camundi Lama, cepat engkau obati luka dilengannya yang buntung itu. Kami tidak ingin melihat dia cepat-cepat mati." Pendeta tua itu mengangguk tanpa menjawab, lalu menghampiri Sie Liong dan memeriksanya. Setelah memeriksa beberapa lamanya, dia menarik napas panjang. "Dia kehilangan cukup banyak darah, dan detik jantungnya amat lemah. Dia membutuhkan perawatan yang cermat. Pinceng akan merawatnya, harap kamar ini dikosongkan dan buntungan lengan itu disingkirkan. Juga bekas-bekas darah dibersihkan."

Kim Sim Lama mengangguk dan berkata kepada semua orang, "Kita tinggalkan dia bersama Camundi Lama, tabib kita yang pandai." Dan kepada para penjaga dia memerintahkan agar membuang buntungan lengan dan membersihkan percikan darah. Lalu dengan sikap masih tak senang Kim Sim Lama meninggalkan kamar itu.

Pek Lan memberi isyarat kepada Bong Gan dan Bi Sian untuk kembali kekamar mereka. Thai-yang Suhu juga kembali kekamarnya sendiri. Akan tetapi Pek Lan ikut masuk kedalam kamar Bong Gan dan Bi Sian. Didalam kamar yang disediakan untuk mereka berdua itu, Pek Lan diam-diam merasa geli. Disitu hanya ada sebuah saja tempat tidur, akan tetapi melihat betapa lantai kamar terdapat sebuah bantal, selimut dan buntalan pakaian Bong Gan, mengertilah ia bahwa Bi Sian memegang teguh pendiriannya, yaitu ia tidak sudi dijamah Bong Gan sebelum mereka menikah, yaitu setelah mereka berhasil menemukan Pendekar Bongkok. "Adik Bong Gan, yang sudah terjadi tadi sudahlah. Akan tetapi lain kali harap engkau suka bertanya-tanya dulu sebelum melakukan sesuatu. Untung bahwa Kim Sim Lama tidak marah tadi. Kalau dia marah, siapapun tidak akan mampu melindungi keselamatan nyawamu lagi."

Wajah Bong Gan menjadi kemerahan dan didalam hatinya, dia marah dan penasaran karena dipandang rendah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan kemarahannya, apalagi karena sejak tadi Bi Sian juga menghindarkan pertemuan pandang mata dengannya dan alis gadis itu selalu berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang. "Demikian lihaikah Kim Sim Lama itu?" dia bertanya, seolah-olah hendak membalas dan memandang rendah. Pek Lan tersenyum memandang penuda yang sejak masih remaja pernah menjadi kekasihnya itu. "Aihh, adik Bong Gan. Engkau tidak tahu siapa losuhu Kim Sim Lama! Dia pernah menjadi orang kedua di seluruh Tibet! Dan tentang kelihaiannya? Hemmm, biarpun kalian berdua juga amat lihai, namun aku pernah mencoba kalian dan menurut pendapatku, kita bertiga ini mengeroyok Kim Sim Lama seorang diripun kita akan kalah."

"Ah, demikian hebatkah dia?" Bong Gan berseru dan terbelalak kaget. Bi Sian melirik kepada pemuda itu dan berkata dengan nada suara kesal. "Kalau tidak lihai, mana mungkin dia dapat menawan Pendekar Bongkok? Tidak seperti engkau yang menyerang orang yang sudah kehilangan ingatan dan tenaganya!"

"Aihh, Sian-moi, kenapa engkau berkata demikian? Bukankah semua itu kulakukan demi engkau! Demi membalas sakit hatimu terhadap dia?"

Bi Sian bersungut-sungut. "Aku paling tidak suka perbuatan yang pengecut dan curang. Suhu pasti tidak akan suka melihat perbuatanmu tadi! Kalau aku membalas dendam, tentu akan kulakukan dengan cara orang gagah!"

"Sian-moi, engkau tidak adil...."

"Sudahlah, untuk apa kalian ribut-ribut dan bertengkar? Peristiwa itu sudah terjadi dan bagaimanapun, adik Bong Gan belum membunuhnya. Tahukah kalian mengapa Kim Sim Lama melarang Bong Gan membunuh Pendekar Bongkok?"

"Kenapa, enci Pek Lan?" Bi Sian bertanya karena iapun tertarik sekali. Ia mulai merasa heran mengapa kini kebenciannya terhadap Sie Liong hampir tak terasa lagi, terganti rasa iba dan khawatir! Yang terbayang di depan matanya bukan pembunuhan atas diri ayahnya, melainkan semua kebaikan dan sikap penuh kasih sayang dari pamannya itu kepadanya sejak mereka masih kecil! "Kim Sim Lama membutuhkan Pendekar Bongkok hidup karena dia ingin melihat Pendekar Bongkok mati di Lasha, bukan disini, sehingga Dalai Lama yang akan bertanggung jawab atas kematiannya, bukan Kim Sim Lama."

"Kenapa begitu?" Bi Sian bertanya sambil mengerutkan alisnya. Hatinya sudah merasa tidak senang karena perbuatan itu dianggapnya licik dan curang. Pek Lan tersenyum. "Kalian memang perlu diberi penjelasan agar kalian tahu siapa yang kalian bantu dan apa artinya perjuangan yang dilakukan Kim-sim-pang ini. Ceritanya panjang, akan tetapi sebaiknya kupersingkat saja. Ketika Dalai Lama masih kecil, Kim Sim Lama menjadi wakilnya dan semua urusan bahkan ditangani oleh Kim Sim Lama atas nama Dalai Lama. Akan tetapi setelah Dalai Lama semakin besar, semua tindakannya tidak cocok dengan pendapat Kim Sim Lama.

Bahkan Dalai Lama mengutus para pembantunya untuk membunuhi banyak pertapa di Himalaya. Para pembantu utamanya adalah Tibet Ngo-houw. Karena perbuatan itu sesungguhnya tidak disukai oleh Kim Sim Lama, maka akhirnya terjadi pertentangan dan Kim Sim Lama meninggalkan Lasha, membentuk Kim-sim-pang yang bertujuan menentang kelaliman Dalai Lama. Bahkan Tibet Ngo-houw akhirnya juga membantu perjuangan Kim Sim Lama."

"Kalau begitu, Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak?" Bi Sian bertanya. "Bagi Dalai Lama tentu begitu, akan tetapi bagi kami, kami sedang mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang kelaliman Dalai Lama."

"Akan tetapi, apa hubungannya dengan Pendekar Bongkok? Dan mangapa pula Kim Sim Lama menghendaki agar orang menduga bahwa Pendekar Bongkok terbunuh di Lasha oleh Dalai Lama?" Bi Sian mendesak karena ia merasa tertarik sekali.

"Pendekar Bongkok adalah utusan yang mewakili para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah dikejar-kejar dan dibunuhi atas perintah Dalai Lama. Karena Pendekar Bongkok hanya tahu bahwa yang melakukannya terutama sekali Tibet Ngo-houw, maka dia mencari Tibet Mgo-houw sampai kesini. Kim Sim Lama sudah menjelaskan bahwa Tibet Ngo-houw hanyalah petugas saja mentaati Dalai Lama, bahwa Dalai Lama yang bertanggung jawab. Bahkan Kim Sim Lama mengajak Pendekar Bongkok untuk bersama-sama membantu perjuangan menentang kelaliman Dalai Lama. Akan tetapi dia tidak mau bahkan menyerang Tibet Ngo-houw. Dia memang hebat, lihai bukan main dan baru dia dapat tertawan setelah Kim Sim Lama sendiri turun tangan. Begitulah keadaan yang sebenarnya. Karena Dalai Lama yang memusuhi para tosu, maka Kim Sim Lama tidak mau membunuh Pendekar Bongkok itu disini. Kesalahannya harus ditimpakan kepada Dalai Lama yang menjadi biang keladi."

Mendengar keterangan itu, diam-diam Bi Sian membayangkan keadaan pamannya itu. Jelas baginya bahwa pamannya seorang pendekar yang menjunjung perintah guru-gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su. Pamannya adalah seorang pendekar yang melaksanakan tugas di Tibet ini dan kini ditimpa malapetaka. Sedangkan ia? Ia dibantu Bong Gan hanya untuk melampiaskan nafsu dendamnya kepada pamannya itu. "Aih, paman," keluhnya didalam hatinya, "kenapa engkau tega membunuh ayahku?"

"Enci Pek Lan, kapan Pendekar Bongkok itu akan dibunuh, dan bagaimana dengan rencana pembunuhan yang akan dilakukan di Lasha itu?" tanya Bong Gan dan sekali ini suara dan isi pertanyaan pemuda yang menjadi sutenya dan juga tunangannya itu terdengar amat tidak sedap di telinga Bi Sian. Sedikit rasa suka dan kagum yang pernah mengeram di hatinya terhadap pemuda itu kini menipis, bahkan timbul kembali penyesalan yang mendalam bahwa ia dan sutenya itu menjadi korban obat bius dan perangsang sehingga ia terpaksa harus menjadi isteri Bong Gan karena dirinya telah ternoda oleh laki-laki itu!

Pertanyaan yang diajukan Bong Gan itu menarik pula perhatian Bi Sian yang kini ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pamannya itu. Melihat pamannya buntung lengan kirinya oleh sabetan golok Bong Gan dalam keadaan tak dapat melawan itu saja sudah membuat hatinya terasa sedih bukan main, bahkan kini ia merasa heran mengapa ia pernah begitu membenci pamannya dan ingin sekali membunuhnya! "Hal itu masih dirahasiakan Kim Sim Lama, Bong Gun. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan dia lakukan terhadap Pendekar Bongkok. Dan aku mengenal watak Kim Sim Lama, maka aku tidak berani bertanya. Hanya kalau kita dipanggil dan diberi tugas, kita harus melaksanakannya dengan baik. Nah, sekarang mengasolah dan harap jangan dilanjutkan pertengkaran yang tidak ada gunanya itu." Akan tetapi Bong Gan merasa benar betapa berubah sikap suci-nya stau calon isterinya itu terhadap dirinya setelah terjadi peristiwa pembacokan tadi. Bi Sian bersikap dingin, dan jarang sekali memandang kepadanya. Akan tetapi, diam-diam dia merasa girang karena setelah lengannya buntung, tentu makin tidak ada harapan bagi Sie Liong untuk melarikan diri. Dia tentu akan mati dibunuh Kim Sim Lama, dan amanlah rahasia pembunuhan yang dia lakukan terhadap Yauw Sun Kok itu. Betapapun juga, melihat sikap wanita yang pernah digaulinya, yang akan menjadi isterinya demikian dingin, hatinya merasa kesal dan mendongkol juga. Memang sejak terjadi hubungan badan antara mereka karena Bi Sian terpengaruh obat bius dan perangsang itu, dia selalu memegang janji dan tidak pernah dia berani menyentuh calon isterinya itu. Akan tetapi setidaknya, sikap Bi Sian biasa dan baik, tidak seperti malam ini. Kalau siang tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal, sehelai selimut di sudut kamar itu yang menjadi isyarat bahwa dia harus tidur di lantai malam itu, dia masih melihatnya dengan senyum saja. Akan tetapi sekarang, melihat Bi Sian rebah miring manghadap kedinding membelakangi dia yang duduk diatas lantai, hatinya menjadi semakin mendongkol.

Melihat tubuh Bi Sian yang membelakanginya, teringatlah Bong Gan akan peristiwa yang penuh kemesraan baginya di malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam keadaan setengah sadar, dia sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan dan diapun bangkit dan menghampiri pembaringan Bi Sian. "Sian-moi...." panggilnya lirih. Tubuh itu tidak bergerak, masih menghadap kedinding, membelakanginya. "Sian-moi...." kembali dia memanggil lembut dan sekali ini dia duduk ditepi pembaringan, menjaga agar jangan sampai tubuhnya menyentuh pinggul atau punggung Bi Sian. Sekali ini Bi Sian melirik. "Hem, mau apa engkau? Jangan duduk disini! "

"Sian-moi, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi? Aku merasa menyesal sekali, aku tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau tahu betapa benar cintaku kepadamu...."

"Sudahlah, jangan bicarakan urusan itu lagi. Pergi sana, tidur!"

"Sian-moi, jangan engkau begini kejam. Aku.... ah, betapa rinduku kepadamu, Sian-moi.... perkenankanlah aku menyentuhmu, aku.... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi. Bukankah kita akan menjadi suami isteri?"

Bi Sian bangkit duduk, matanya bersinar marah. "Apa? Engkau hendak melanggar janji? Sudah kukatakan sebelum kita menikah, angkau tidak boleh menyentuhku!"

Bong Gan terkejut dan bangkit berdiri. "Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang khawatir kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah Sie Liong tewas."

"Aku tidak sudi melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku dan mohon perkenan dan doa restunya, setelah itu baru kita melangsungkan pernikahan."

"Tapi, Sian-moi, biarkan aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar sudah tidak marah lagi kepadaku...." Pemuda itu masih memohon.

"Sudahlah, kalau engkau masih merengek dan berani menyentuhku, baru aku akan menjadi marah benar! Kau tidurlah!" Bong Gan sudah mengenal watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluarkan ancaman kosong belaka. Hatinya menjadl kecewa sekali dan timbul kekesalan hatinya. Dia adalah soorang pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang sudah jelas akan menjadi isterinya! Bukan hanya tidak boleh mencumbu rayu, bahkan menyentuhpun tidak diperkenankan. Sambil menarik napas panjang diapun mundur, lalu berkata dengan nada suara kesal.

"Daripada tersiksa tidur dilantai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur diluar kamar." Setelah berkata demikian, diapun keluar dari kamar itu, dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar. Tadinya Bi Sian tidak perduli Bong Gan akan tidur dimanapun juga. Akan tetapi, lapat-lapat ia mendengar suara ketawa lirih diluar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini menimbulkan kecurigaan hatinya. Juga ia khawatir kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong. Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia akan lebih dulu minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki ketika ia mencari Sie Liong. Bukan membunuhnya dalam keadaan yang tidak berdaya seperti itu.

Kecurigaan dan kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat meloncat turun dari atas pembaringan, dengan hati-hati sekali sehingga tidak mangeluarkan suara dan iapun manghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu, mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan didekat tikungan lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka menghilang di balik tikungan itu. Bi Sian menjadi bengong dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali kemarahan. Ia sama sekali tidak marah karena cemburu. Tidak! Ia tidak perduli apapun yang dilakukan Bong Gan kini. Akan tetapi mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa harus diterimanya sebagai calon suaminya itu ternyata adalah seorang laki-laki yang rendah dan hina! Sebagai tamu orang berani berjina dengan wanita lain! Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam dan iapun duduk disisi pembaringannya, melamun.

Tidak! Tidak mungkin ia menjadi isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah berani melakukan penyelewengan didepan matanya! Dan ia telah ternoda oleh pria macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua pipinya. "Tidak!" Ia menahan suaranya yang ingin berteriak. "Aku tidak sudi menjadi isterinya!" Dan kembali ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!

Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya. Tangisnya terhenti walaupun mukanya masih basah air mata. Terbayang betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ah, itu hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini memang pernah ada hubungan antara kedua orang itu. Dan peristiwa dimalam jahanam itu, ketika ia terbius dan terang-sang oleh racun yang dicampurkan dalam makanan dan minuman, sehingga ia menyerahkan diri kepada Bong Gan diluar kesadarannya, ketika hal itu terjadi Pek Lan berada pula didekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya. Agaknya ada sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah berjalan lama diluar pengetahuannya.

Bagaimana juga, ia sudah mengambil keputusan untuk tidak mau menjadi isteri Bong Gan! Bagaimana kalau pemuda itu menagih janji? Ah, mudah saja, pikirnya. Peritiwa malam ini dapat dijadikan alasan mengapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang kuat sekali. Bi Sian tersenyum walaupun mukanya masih basah air mata. Sungguh aneh. Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan iapun menyadari bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan! Kini, setelah ia memperoleh alasan kuat untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa ringan dan nyaman. Dan tak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya akan tetapi dengan mulut tersenyum manis!

"O mitohud.... Orang muda yang malang...." berulang kali Camundi Lama berbisik ketika dia mengobati dan merawat Sie Liong didalam kamar tahanannya. Camundi Lama adalah seorang pendeta yang usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan gerak geriknya lembut. Dia adalah seorang tabib yang amat pandai di Tibet dan dia sama sekali bukan seorang pendeta yang ingin memberontak terhadap Dalai Lama. Sama sekali tidak. Kalau dia kini berada disitu adalah karena dia memang diculik dan dipaksa oleh Kim Sim Lama untuk bekerja di situ. Karena dia tidak dilibatkan dalam pemberontakan, dan tugasnya hanya menjadi tabib untuk mengobati orang sakit, maka Camundi Lama juga menerima nasibnya dan menjadi tabib dalam Kim-sim-pang. Dia mendengar tentang beberapa perbuatan yang keras dan jahat dilakukan oleh orang-orang Kim-sim-pang, namun dia tidak mau ikut-ikut dan pura-pura tidak tahu saja. Akan tetapi, ketika dia mendengar tentang Pendekar Bongkok dan kini merawatnya, didalam hatinya timbul perasaan kagum dan iba. Seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok, akan tetapi memiliki keberanian yang luar biasa disamping ilmu silat yang kabarnya setingkat dengan kepandaian Kim Sim Lama sendiri! Dan dia merasa kasihan sekali melihat betapa pemuda bongkok itu kini sama sekali tidak berdaya. Selain keracunan darahnya sehingga dia tidak mampu mengerahkan tenaga, juga dia telah minum racun penghilang ingatan, dan kini ditambah lagi buntung lengan kirinya! "Kasihan, orang muda yang malang...." untuk kesekian kalinya pendeta Lama itu berbisik. Sie Liong membuka matanya. Ingatannya masih belum pulih sama sekali, akan tetapi pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah mulai berkurang. Walaupun dia belum ingat semua peristiwa yang lalu, namun dia mulai dapat mengingat apa yang terjadi dalam waktu dekat. Dia memandang kekanan kiri. "Ling Ling.... dimana Ling Ling...." Camundi Lama membungkuk untuk memeriksa pandang mata pemuda itu. Pandang mata itu sudah agak jernih, pikirnya. "Siapakah Ling Ling, orang muda?"

Kini Sie Liong memandang kakek itu. Samar-samar dia teringat bahwa kakek ini yang mengobatinya. "Ah, Ling Ling....? Ia.... ia aku tidak ingat lagi, akan tetapi aku selalu ingat namanya dan.... ah, sudahlah, aku tidak ingat lagi...." Pendeta Lama itu semakin iba. "Omitohud.... engkau sungguh seorang pemuda yang bernasib malang."

Sie Liong yang tadi memejamkan mata, membukanya kembali. Dia sudah tahu ketika siuman untuk pertama kalinya bahwa lengan kirinya buntung, dan dia teringat bahwa buntungnya lengan kirinya itu adalah karena dia menangkis bacokan golok seorang pemuda yang tidak dikenalnya. "Aku tidak bernasib malang, losuhu," katanya dan dengan susah payah diapun bangkit duduk bersila. "Ah? Tidak? Akan tetapi baru saja engkau kehilangan lengan kirimu, orang muda," kata Camundi Lama, terheran-heran melihat sikap pemuda itu yang tenang saja, seolah-olah kehilangan sebuah lengan kiri hanya kehilangan sesuatu yang tidak berharga, dan tidak apa-apa! Sie Liong memandang kearah pangkal lengan kirinya yang buntung dan diapun tersenyum. "Kalau memang sudah hilang, perlu apa disesali dan disedihkan, losuhu? Lengan itu tidak akan tumbuh kembali karena disedihkan. Lengan hanya merupakan satu diantara prabot-prabot perlengkapan badan saja."

"Omitohud....! Banyak orang mengeluarkan ucapan seperti itu, dan sudah sering pinceng (aku) mendengarnya akan tetapi semua ucapan mereka itu hanyalah pengertian teori belaka. Akan tetapi engkau, engkau benar-benar kehilangan lengan kirimu dan engkau masih dapat bersikap setenang dan seenak ini! Orang muda, engkau bukan hanya kehilangan lengan kiri, akan tetapi juga kehilangan ingatanmu, dan juga kehilangan tenagamu karena darahmu telah keracunan. Engkau tidak berdaya sama sekali, dan setiap saat nyawamu terancam. Nah, apakah engkau sekarang tidak akan merasa sedih dan menyesal?"

Sie Liong menggeleng kepala sambil tersenyum, demikian wajar dan tidak dibuat-buat. Semua penderitaan yang dialaminya itu seperti mendatangkan suatu penerangan baginya, membuat dia seperti hidup baru. "Kenapa sedih dan menyesal, loshu? Badan ini hanya seperti bayangan saja, setiap saat pasti akan lenyap. Bahkan kalau seluruh badan ini matipun tidak perlu disesalkan,

mengapa baru kehilangan yang sedikit itu harus berduka? Tidak, losuhu. Aku masih hidup dan akan tetap hidup, dan kalau Tuhan manghendeki, aku akan dapat mengatasi segala kesulitan."

"Omitohud.... semoga Sang Buddha memberi penerangan kepada seluruh manusia. Orang muda, ilmu apakah yang kaupergunakan, bagaimana caranya maka engkau dapat menerima segala derita sengsara ini dengan senyum dibibir?" Dia memandang penuh kagum.

"Tidak ada ilmunya, losuhu, hanya dengan cara penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerahkan segala-galanya kepada Tuhan sehingga apapun yang terjadi atas diriku adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada penyesalan apapun, yang ada hanya puji syukur karena semua ini sudah dikehendaki oleh Tuhan, dan segala kehendak Tuhan pun jadilah, dan tidak ada kekeliruan."

Tiba-tiba kakek itu tersedu dan merangkul Sie Liong. Ada beberapa butir air mata membasahi mata kakek itu. "Ah, orang muda, pinceng harus banyak belajar darimu.... jangan khawatir, pinceng akan mencoba untuk menolongmu. Racun penghilang ingatan itu sudah menipis dan akan lenyap sendiri pengaruhnya. Akan tetapi racun dalam darah yang membuat engkau terancam bahaya luka dalam kalau mengerahkan sin-kang, akan kucoba untuk menyembuhkannya. Nah, kauminumlah obat ini dulu, orang muda, untuk membuat luka dilenganmu cepat mengering, juga untuk mencegah luka itu keracunan dan membengkak. Aku akan membuatkan obat penawar racun ditubuhmu."

Dengan taat Sie Liong meminum obat itu, kemudian dia tetap duduk bersila sedangkan kakek itu sibuk pula membuat ramuan obat baru untuk menghilangkan racun yang berada dalam darah Sie Liong. Tiba-tiba terdengar langkah kaki diluar kamar tahanan itu. Bukan langkah kaki para pendeta Lama yang bertugas jaga, melainkan langkah kaki yang mantap dan ternyata yang memasuki kamar itu adalah Kim Sim Lama bersama lima orang Tibet Ngo-houw! Thay Si Lama, orang kedua dari Tibet Ngo-houw masih nampak agak pucat akan tetapi dia telah sembuh, disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari luka didalam tubuhnya ketika dia muntah darah dalam pertempuran mengeroyok Sie Liong tempo hari. Melihat munculnya Kim Sim Lama, Camundi Lama cepat memberi hormat. Satu-satunya orang yang dihormati Camundi Lama hanyalah Kim Sim Lama, bukan saja karena Kim Sim Lama yang memaksanya untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang, juga karena Kim Sim Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang pantas dihormati. "Bagaimana keadaannya?" tanya Kim Sim Lama sambil lalu, dan dia melangkah mendekati Sie Liong yang masih duduk bersila, seolah-olah hendak memeriksa luka dilengan kiri Sie Liong yang sudah dibalut kain putih oleh tabib itu. "Sudah hampir kering," jawab Camundi Lama. Tiba-tiba tangan kanan Kim Sim Lama bergerak monotok kearah pundak kiri Sie Liong. Pemuda itu melihat gerakan itu, akan tetapi karena lengan kirinya tidak ada, dia tidak mampu berbuat sesuatu dan begitu pundaknya terkena totokan jari tangan Kim Sin Lama, diapun terkulai lemas diatas pembaringan.

"Ehh? Kenapa....?" Camundi Lama berseru heran dan kaget. Melihat Sie Liong sudah terkulai dan pingsan, Kim Sim Lama segera berkata kepada Camundi Lama. "Camundi, sebagai seorang tabib, tentu engkau tidak akan menimbulkan kecurigaan kalau membawa janazah untuk dikuburkan ditanah kuburan di Lasha. Nah, engkau kami tugaskan untuk melaksanakan penguburan dikuburan umum di Lasha itu bersama beberapa orang yang akan memikul peti matinya. Jangan khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu dan melindungimu."

"Akan tetapi, siapakah yang meninggal dunia?" Camundi Lama bertanya heran. Kim Sim Lama menunjuk kearah tubuh Sie Liong yang terkulai diatas pembaringan. "Dia itu! Kami menghendaki agar tubuhnya dapat bertahan sampai beberapa hari lamanya, maka tidak ka mi bunuh dia. Dan engkau tidak perlu banyak bertanya, Camundi, semua ini demi berhasilnya perjuangan kita!"

Melihat sinar mata mencorong dari Kim Sim Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya dan mengangguk taat. Dia memang tidak berani membantah dan tidak berani menentang kehendak Kim Sim Lama. Dia sama sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Akan tetapi, dia dibuat tidak berdaya karena Kim Sim Lama mengancam akan membunuh seluruh keluarganya, saudara-saudaranya, keponakan-keponakannya, kalau sampai dia menentang kehendak Kim Sim Lama. Inilah yang membuat Camundi Lama tidak berdaya sama sekali dan selalu harus mentaati segala perintah bekas wakil Dalai Lama itu.

Empat orang pendeta Lama datang membawa sebuah peti mati yang tipis, dan atas pentunjuk Kim Sim Lama, tubuh Sie Liong yang pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu ditutup.

"Agar tubuh itu tidak cepat rusak, harus ada lubang untuk memasukkan hawa," kata Camundi Lama dengan sikap bersungguh-sungguh. Kim Sim Lama memenuhi permintaan ini dan dibuat sebuah lubang sebesar ibu jari kaki di peti itu, tepat diatas bagian kepala tubuh Sie Liong. Kemudian pada hari itu juga peti mati itu dipikul oleh empat orang pendeta, diiringkan belasan orang pendeta yang membaca doa dan diantara mereka itu terdapat Camundi Lama yang diharuskan memimpin penguburan. Camundi Lama memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai, maka tentu saja kalau dia yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tak seorangpun menaruh curiga. Karena orang-orang dapat menduga bahwa yang dimakamkan itu tentulah seorang anggauta Kim-sim-pang, maka tak seorangpun berani bertanya-tanya, bahkan mendekatpun tidak berani. Biarpun pihak pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak karena Dalai Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama, namun semua orang sudah tahu belaka bahwa Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang didirikan Kim Sim Lama dan perkumpulan ini menentang pemerintah, walaupun tidak secara terang-terangan. Peti mati itu dikubur. Para pendeta Lama yang melakukan penguburan itu tidak ada yang bicara, bekerja seperti robot saja. Hanya Camundi Lama yang diam-diam merasa berduka. Dia merasa kagum, iba dan suka sekali kepada pemuda bongkok itu, akan tetapi dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu. Tadi dia hanya memasukkan obatnya dengan paksa kepada Sie Liong yang masih pingsan, yaitu obat pemunah racun. Dia hanya mengatakan kepada Kim Sim Lama bahwa obat itu adalah obat untuk membuat tubuh itu tidak segera rusak kalau sudah menjadi mayat. Dan ketika penguburan berlangsung, Camundi Lama juga tidak dapat berbuat sesuatu

untuk mencegah, karena dia tahu bahwa secara sembunyi, lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw tentu mengamati pelaksanaan penguburan itu. Camundi Lama memasukkan sebuah tabung dari bambu yang sudah dilubangi ruasnya kedalam peti mati dan ujung bambu itu mencuat keluar dari tanah, tersembunyi diantara tumpukan batu yang sengaja diletakkan diatas tanah kuburan. "Tabung ini untuk memasukkan hawa agar mayatnya tidak lekas rusak seperti dikehendaki oleh Kim Sim Lama," katanya kepada para pendeta Lama yang mengerjakan penguburan itu dan mereka semua tidak ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib yang selalu menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu. Padahal, Camundi Lama melakukan semua itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong mempertahankon hidupnya dan kalau mungkin membebaskan dia dari cengkeraman maut. Akan tetapi manamungkin? Pemuda itu sudah kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka. Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah kepada Tuhan! Dan kalau sudah menyerah, lalu dikehendaki Tuhan bahwa Sie Liong masih dibiarkan hidup, apa anehnya? Tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Maha Kuasa! Dan kalau kita sudah menyerah, kalau kita sudah menyerah sepenuhnya seperti mati, tidak sedikitpun ada usaha yang timbul dari nafsu hati dan akal pikiran, maka yang bakerja adalah kekuasaan-Nya! Teringat akan ini, mulut yang tadinya cemberut sedih itu mengembangkan senyum penuh harapan. Para pendeta Lama itu segera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru itu dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa lamanya terus melakukan pengintaian sampai Camundi Lama dan para pendeta lainnya meninggalkan tanah kuburan. Kemudian, Tibet Ngo-houw juga pergi setelah menyuruh seorang anak buah mereka melakukan pengamatan dari jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian. Kemudian mereka kembali untuk memberi laporan kepada Kim Sim Lama. Sebelum peti mati itu diangkut keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan. "Dia sudah mati.... dia sudah mati...." katanya dengan wajah berseri. "Enci Pek Lan, siapa yang telah mati?" tanya Bong Gan, akan tetapi Bi Sian diam saja. Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak malam hari itu, akan tetapi ia tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya itu. "Pendekar Bongkok, dia telah mati!" kata Pek Lan. "Apa....?" Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak den muka agak pucat ia memandang kepada Pek Lan. "Siapa yang membunuhnya?" tanyanya dan suaranya agak gemetar.

Melihat ini, teringat akan sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur,"Sian-moi? Kalau dia matipun, mengapa? Mengapa engkau kelihatan pucat dan suaramu gemetar? Apakah engkau berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?"

"Tutup mulutmu!" Bi Sian membentak marah. "Aku merasa penasaran karena dia harus tewas ditanganku! Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya? Aku akan menanyakan kepadanya!" Bi Sian sudah berlari keluar dari dalam kamarnya. "Sian-moi....!" Bong Gan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disambar oleh tangan Pek Lan dan sekali tarik, tubuh pemuda itu sudah berada dalam rangkulannya.

"Biarkan dia pergi menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. Ada aku disini, perlu apa engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?" Bong Gan tertawa dan balas merangkul. Sementara itu, Bi Sian mencari Kim Sim Lama dan mendengar bahwa pendeta itu berada didalam ruangan samadhi dibelakang. Ia tidak perduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya, iapun melangkah masuk. Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersamadhi, dihadapi oleh lima orang pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw. Dengan sikap gagah Bi Sian masuk, akan tetapi iapun masih ingat bahwa ia seorang tamu disitu, maka iapun memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata. "Losuhu, maafkan saya mangganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu telah membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?"

Dengan sikap tenang Kim Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. Akan tetapi Tibet Ngo-houw menjadi marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk tetap tenang dan diapun berkata kepada gadis itu, "Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari kita bicara sebagai tuan rumah dan tamunya yang sudah saling bersahahat."

Bi Sian menyadari kekasarannya, maka iapun segera duduk diatas lantai karena ruangan samadhi itu tidak mempunyai kursi atau bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut tebal yang halus. "Nona Yauw, kalau benar pinceng membunuh Pendekar Bongkok, apakah hubungannya hal itu denganmu? Harap nona jelaskan," kata Kim Sim Lama. "Tentu saja ada hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku meninggalkan rumah demikian jauhnya hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang telah membunuh ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar dari dia mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku ingin membalas dendam kepadanya. Akan tetapi sekarang, tahu-tahu sekarang dia telah dibunuh!"

"Nona, dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami juga. Bukan hanya engkau yang ingin membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan ketika engkau datang hendak bekerjasama dengan kami, Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan kami. Kalau kami yang menawan, lalu sekarang kami yang membunuhnya, bukankah itu sudah menjadi hak kami? Kalau benar nona membencinya dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima kasih sekali kepada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa kami itu dengan bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau membalas jasa atas kematian Pendekar Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu hanya berarti bahwa nona sebenarnya tidak membenci Pendekar Bongkok, melainkan malah hendak membelanya!"

"Tidak! Dia memang musuh besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri dengan tanganku...."

Pada saat itu terdengar suara disebelah kiri, "Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok, bukan?" Bi Sian menengok kekiri dan ia bertemu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata mencorong dan ia merasa jantungnya bergetar hebat. Ia merasa dirinya lemah dan tidak berani menentang lagi karena lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi Tibet Ngo-houw telah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan tenaga dan mulai menguasainya. "Aku.... aku membenci Pendekar Bongkok...." Jawabnya seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar yang bertentangan dengan suara hatinya! Ia sendlri memang percaya bahwa ia membenci Sie Liong. Mengapa tidak! Sie Liong telah membunuh ayah kandungnya! Ia memaksa diri sendiri untuk membenci Sie Liong walaupun suara hatinya membisikkan lain. "Kalau begitu, engkau harus berterima kasih kepada Kim Sim Lama yang telah menawan dan membunuh musuh besarmu," kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara karena diantara lima orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir yang paling kuat.

Kemauan dalam batin Bi Sian menjadi lemah dan diluar kehendaknya sendiri, ia mengangguk dan berkata, "Aku berterima kasih...."

"Nona Yauw Bi Sian," kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup kedalam kepala dan jantung Bi Sian rasanya, "Untuk menyatakan terima kasihmu, mulai saat ini engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!"

"Aku akan membantu Kim-sim-pang...." kata pula Bi Sian. "Nona, engkau akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!" terdengar suara kecil melengking tinggi dari kanan. Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai-yang Suhu, pendeta Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia marasa setuju sekali dan iapun menjawab, suaranya bersungguh-sungguh. "Aku akan mentaati sagala yang diperintahkan Kim Sim Lama."

Gadis itu tidak tahu bahwa ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang amat kuat, karena pengaruh sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw, dan Thai-yang suhu. "Nah, sekarang engkau boleh kembali kekamarmu, nona Yauw," kata pula Kim Sim Lama. Bi Sian mengangguk, bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali kekamarnya sambil mulutnya berbisik-bisik seperti anak sekolah menghafalkan pelajarannya. "Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...." Bi Sian menjadi seperti boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan rambut kusut keluar dari kamarnya, ia bahkan sama sekali tidak perduli, masuk kedalam kamar, merebahkan diri dipembaringan dan memejamkan mata untuk tidur, mulutnya masih mengulang kedua kalimat itu, "Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...."

Bong Gan dan Pek Lan dapat mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng tangan menuju kekamar Pek Lan untuk melanjutkan kemesraan yang tadi terganggu dengan kembalinya Bi Sian.

***

Camundi Lama tidak tahu betapa tepat dan benarnya, kebenaran yang mutlak dan tidak dapat dibantah pula, bahwa kekuasaan Tuhan dapat melakukan apa saja yang menurut akal pikiran tidak mungkinpun dapat terjadi dengan mudahnya kalau Tuhan menghendaki. Kebenaran yang mutlak ini terjadi setiap saat dialam semesta, akan tetapi manusia tidak memperhatikannya, tidak sadar dan waspada sehingga mengira bahwa yang terjadi adalah akibat daripada usaha manusia. Camundi Lama hanya melihat kebenaran yang terkandung dalam ucapan Sie Liong, tidak melihat bahwa  kebenaran itu sedang terjadi, telah terjadi dan akan selalu terjadi disekelilingnya. Dia tidak menyadari bahwa dirinya pun telah menjadi alat yang dipergunakan Tuhan untuk menyelamatkan Sie Liong. Ketika Sie Liong siuman dan membuka kedua matanya, dia tidak melihat apa-apa. Gelap pekat saja yang nampak. Dia memejamkan kedua matanya kembali dan mengingat-ingat. Tepat pada hari itu habislah sudah seluruh sisa pengaruh racun penghilang pikiran dan ingatannya kembali lagi. Kewaspadaan timbul kembali, terasa diseluruh tubuh. Teringatlah dia bahwa dia sedang melaksanakan tugasnya menyelidik ke Kim-sim-pang, kemudian dia teringat akan perkelahian melawan Tibet Ngo-houw dan akhirnya dia roboh karena Kim Sim Lama membantu mengeroyoknya. Hanya sampai disitu saja ingatannya, kemudian dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Tahu-tahu dia berada disini! Dia membuka mata lagi, akan tetapi sia-sia saja. Semuanya gelap. Sudah butakah kedua matanya? Dia menggerakkan tangan, dan meraba-raba. Ternyata dia berada didalam sebuah peti! Dia meraba-raba kedua matanya. Tidak, dia tidak buta, hanya berada didalam sebuah peti yang teramat gelap. Kembali dia mencoba untuk mengingat-ingat dan samar-samar dia teringat bahwa dia ditawan dalam sebuah kamar, dijaga pendeta-pendeta Lama, dan teringat pula dengan hati terkejut bahwa dia pernah diserang seorang pria dengan golok, ditangkis dengan lengan kirinya dan lengan kiri itu buntung. Cepat tangan kanannya bergerak lagi meraba lengan kiri. Buntung! Lengan kirinya benar buntung! Tinggal sisa pangkal lengan saja sedikit.

"Ya Tuhan....!" Dia berseru lirih. Sampai beberapa lamanya dia berdiam diri, didalam hatinya bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa lengan kirinya harus buntung. Akan tetapi, kembali dia menyandarkan diri kepada kekuasaan Tuhan. Kalau memang Tuhan menghendaki, jangankan hanya sebuah lengan kirinya, biar seluruh tubuhnya dihancurkan, biar nyawanya dicabut, dia rela, dia menyerah penuh kepasrahan! Begitu ada penyerahan yang tulus ini, diapun merasa aman dan tenteram. Pikirannya menjadi terang dan tenang sekali. Tanpa mengingat sedikitpun lagi tentang lengan kiri yang buntung, dia menggunakan tangan kanan meraba-raba dan akhirnya dia menemukan lubang diatas kepalanya. Ada lubang sebesar ibu jari kaki pada peti itu dan ketika dia meraba dengan jari telunjuk, dia tahu bahwa lubang itu tersambung sebatang tabung keatas dan agaknya itulah yang menyebabkan dia tidak mati kehabisan napas. Hawa udara segar masuk dari tabung itu! Dia mencoba untuk menggerakkan tangan kanan dan kedua kakinya, untuk mencoba kekuatan peti itu. Akan tetapi ternyata tenaganya lemah sekali. Dan teringatlah dia bahwa sebelum ini, kalau dia mengerahkan tenaga, bukan saja tenaganya lemah, akan tetapi juga dadanya terasa nyeri. Agaknya penyakit itu telah sembuh! Akan tetapi tenaganya masih tetap lemah, seolah-olah semua tenaga sin-kanghya lenyap. Dan dia pun kini teringat bahwa ada orang yang mengobatinya. Camundi Lama! Pendeta yang kurus tinggi itu, yang mengobatinya didalam kamar tahanan. Ah, benar! Ketika itu tabib yang baik itu sedang mengobatinya, lalu muncul Kim Sim Lama dan Tibet Ngo-houw, dan Kim Sim Lama menotoknya! "Hemm, mereka memasukkan aku kedalam sebuah peti, seperti peti mati bentuknya, dan melihat gelapnya, dan mencium bau tanah ini, dengan tabung memasukkan udara segar, hemm.... agaknya peti ini berada didalam tanah!" Dia terbelalak, namun tetap saja gelap gulita. "Ah, mereka telah menguburkan aku. Mereka mengubur aku hidup-hidup!" Kembali perasaan khawatir dan takut menghantuinya, namun hampir berbareng, kesadaran menyerahkan diri kepada Tuhan mengusir itu semua. Dia harus pasrah, percaya sepenuhnya akan kekuasaan Tuhan. "Kekuasaan Tuhan berada dimanapun juga," demikian pernah Pek Sim Sian-su berkata, "ditempat yang paling tinggi maupun paling rendah, dalam benda yang paling besar sampai yang paling kecil, diatas langit maupun dibawah bumi...."

"Dibawah bumi.... ah, disini pun terdapat kekuasaan Tuhan! Ya Tuhan, hamba menyerah, hamba pasrah, apapun yang Tuhan kehendaki jadilah!" Hati Sie Liong bersorak dan pikirannya semakin terang. Dia mulai menggunakan pikirannya kembali. Jelas, dia berada didalam sebuah peti dan peti itu dikubur. Entah mengapa, petinya berlubang dan ada tabung yang memasukkan hawa udara segar. Orang tidak menghendaki dia cepat mati. Tentu ini parbuatan Kim Sim Lama, akan tetapi untuk apa dia tidak tahu dan tidak berniat menyelidiki karena hal itu akan sia-sia saja. Yang penting sekarang harus mencari jalan untuk keluar dari tempat ini. Kembali dia menggerakkan kedua kaki dan sebelah tangannya untuk mencoba memecahkan peti. Akan tetapi ruangan itu terlalu sempit, dan tenaganyapun terlalu kecil. Percuma saja, pikirnya. Dan pula, andaikata peti itu dapat dipecahkan, dia tetap masih didalam tanah. Lebih celaka, kalau sampai tabung hawa itu patah dan kemasukan tanah, tentu dia tidak akan dapat bernapas lagi dan itu berarti kematian yang mengerikan. Tidak, dia tidak boleh terburu nafsu, tidak boleh putus harapan. Kalau orang memasang tabung itu, berarti mereka tidak menghendaki dia mati dan tentu merekapun akan mengeluarkannya lagi sebelum dia mati. Dia mengingat-ingat percakapannya dengan tabib Tibet itu. Dia terkena racun penghilang ingatan, akan tetapi agaknya racun itu telah kehilangan daya kerjanya, maka sekarang dia dapat mengingat-ingat lagi. Dan menurut tabib itu, dia juga keracunan. Darahnya keracunan sehingga dia kehilangan tenaga sin-kangnya dan setiap kali mengerahkan tenaga, tadinya dadanya terasa nyeri. Sekarang, dada itu telah tidak nyeri lagi, namun tenaganya masih belum pulih. Tentu tabib itu telah berhasil mengobatinya, namun belum sembuh sama sekali sehingga baru rasa nyerinya yang hilang. Tenaga sin-kangnya belum kembali. Kembali dia menggerakkan tangan kanan, menekan kearah peti. "Krek.... krekk....!" Peti itu retak oleh dorongannya. Tenaga biasa, bukan tenaga sin-kang, akan tetapi karena memang dia memiliki tubuh yang terlatih, tenaganya cukup besar. Begitu terdengar suara berkeretekan, peti sedikit terbuka dan ada tanah dan pasir masuk dan menimpa mukanya! Dengan cepat dia memejamkan mata dan menggunakan tangan kanan membersihkan muka. Celaka, pikirnya. Kalau dia berhasil memecahkan peti itu, dia akan tertekan tanah dan pasir, dan akan mati kehabisan hawa udara. Kini dia malah tidak berani bergerak sama sekali karena setiap kali bergerak agak keras, ada tanah dan pasir jatuh kedalam peti yang sudah retak itu. Tenang, Sie Liong, tenanglah dan pergunakan akal budimu. Akal budi juga pemberian Tuhan yang harus  dipergunakan pada saat yang dibutuhkan, seperti sekarang ini! Dia memang sudah menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan

namun di samping itu dia harus berikhtiar, berusaha menggunakan segala alat yang ada padanya, pikirannya, akalnya, tenaganya yang ada pada seluruh tubuh. Kekuasaan Tuhan membimbing, akan tetapi bimbingan itupun tentu disalurkan melalui alat-alat yang ada padanya. Diapun mengingat-ingat. Dia berada didalam bumi! Didalam tanah. Dan tiba-tiba teringatlah dia akan pelajaran yang pernah diberikan Pek Sim Sian-su kepadanya, yaitu pelajaran tentang tenaga-tenaga mujijat yang berada dalam alam semesta ini. Tenaga dahsyat yang terdapat dalam api, dalam air, dalam hawa, dalam logam dan dalam tanah! Dalam tanah terdapat tenaga yang maha dahsyat, demikian kata gurunya itu. Tenaga Inti Bumi! Tenaga inilah yang menghasilkan segala zat, segala makanan, segala benda di dunia ini. Yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan, yang mengeluarkan hawa panas, yang mengeluarkan apa saja. Bumi nampak lemah dan diam. Namun segala yang nampak ini berasal dari bumi dan akan kembali ke bumi pada akhirnya! Bumi mengandung tenaga dan daya tarik yang hebat, mengandung energi yang maha dahsyat. Dalam bumi, dalam tanah, terdapat kekuasaan Tuhan, yaitu energi yang maha dahsyat itu! Dan dia hanya tinggal menyerah dengan pasrah, dan kalau Tuhan menghendaki, maka tentu dia akan kebagian sedikit tenaga dahsyat itu. Sedikit saja, cukup untuk membuat dia keluar dari dalam kurungan maut itu. Mulailah Sie Liong mengatur pernapasan melalui lubang dalam tabung itu, mulai dia menghimpun hawa murni dan membangkitkan tenaga saktinya. Perlahan-lahan, dengan penuh penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih, dia mulai merasakan adanya hawa yang hangat memasuki tubuh melalui napas yang dihisapnya. Hawa yang hangat ini berputar di dalam pusarnya, seolah membangkitkan kembali tenaga saktinya yang nampaknya tertidur itu, dan hawa murni yang terhisap olehnya itu kini bercampur dengan sesuatu yang belum pernah dirasakannya. Berbeda dengan hawa murni yang dihimpun ketika dia latihan diatas sana, diatas tanah. Kini ada sesuatu yang kadang panas kadang dingin, kadang menyesakkan dada, terbawa masuk kedalam tubuhnya, berkumpul didalam pusar. Dia tidak tahu bahwa tanpa disadarinya, tanpa disengaja, dia mulai menghimpun Tenaga Inti Bumi! Itulah kekuasaan Tuhan yang sudah diyakininya. Agaknya Tuhan menghendaki demikian sehingga tanpa disengaja, nampaknya secara kebetulan saja, Sie Liong dapat menghimpun Tenaga Inti Bumi sewaktu dia dikubur hidup-hidup dalam peti! Dan kebetulan sekali pula, sesungguhnya bukan kebetulan melainkan sudah digariskan dan diatur oleh kekuasaan Tuhan, pada saat itu racun dalam darahnya mulai dibersihkan oleh obat yang dimasukkan kedalam perutnya oleh Camundi Lama. Darahnya sudah bersih kembali dan ketika tenaga sin-kangnya perlahan-lahan pulih, kebetulan saat itu dari pengaturan pernapasan, dia menghimpun Tenaga Inti Bumi yang segera bersatu dengan tenaga sin-kang yang sudah ada dalam tubuhnya!

Namun Sie Liong tidak merasakan semua itu. Dia hanya memusatkan perhatian pada pernapasannya, sambil menyerahkan segalanya kepada Tuhan, bagaikan orang yang benar-benar sudah mati.

***

Lie Bouw Tek memang seorang pria yang gagah perkasa dan penuh keberanian. Dia berhasil menghadap Dalai Lama bersama Sie Lan Hong dan mendengarkan penjelasan. Kini tahulah dia bahwa semua peristiwa yang menimpa para tosu dari Himalaya yang mengungsi ke Kun-lun-san, juga yang menimpa Kun-lun-pai sendiri, adalah suatu muslihat belaka dari para pemberontak di Tibet untuk mengelabuhi mata umum dan melakukan fitnah kepada Dalai Lama, agar Dalai Lama dimusuhi banyak pihak! Akan tetapi dia tidak perduli akan semua itu. Dia tidak hendak mencampuri urusan pemberontakan di Tibet, tidak membela Dalai Lama, juga tidak membantu para pemberontak. Dia hanya ingin mengajak Sie Lan Hong bertemu dengan adiknya yang dicari-carinya, yaitu Sie Liong, dan juga mencari puterinya, Yauw Bi Sian. Karena tidak bermaksud mencampuri urusan pemberontakan melainkan urusan pribadi, maka Lie Bouw Tek tidak ragu-ragu atau takut-takut untuk mengunjungi sarang Kim-sim-pang yang memberontak terhadap Dalai Lama! Dia terpaksa mengajak Sie Lan Hong yang tidak mau ditinggal dan ingin pula mencari sendiri adik dan puterinya. Pria perkasa berusia tiga puluh enam tahun itu dan janda muda jelita berusia tiga puluh tiga tahun itu melakukan perjalanan dengan tenang dan tenteram. Mereka sudah yakin akan cinta kasih masing-masing, maka melakukan perjalanan berdua merupakan suatu hal yang selain membahagiakan, juga mendatangkan perasaan tenteram dan penuh damai. Melakukan perjalanan berdua merupakan suatu kebahagiaan yang membuat sinar matahari lebih cerah, warna-warna lebih terang, suara apapun menjadi lebih merdu. Dunia nampak lebih indah daripada biasanya!

Pada pagi hari yang cerah itu, mereka tiba dilereng sebuah bukit. Dari lereng itu mereka dapat melihat kebawah dan pemandangan alam dipagi hari itu teramat indahnya. Dari lereng bukit itu mereka dapat melihat telaga Yam-so dengan airnya yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Bukit-bukit disekitar telaga itu penuh dengan warna kehijauan dengan titik warna beraneka macam. Musim bunga telah tiba dan dibukit-bukit itu ditumbuhi banyak sekali pohon yang berbunga indah.

Dari Kong Ka Lama mereka telah mendengar keterangan jelas tentang letak sarang Kim-sim-pang. Mereka tahu bahwa sarang itu berada dibukit ini. Dan perhitungan mereka memang tidak salah. Selagi mereka menikmati keindahan pemandangan alam di bukit itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tempat itu sudah terkepung oleh belasan orang pendeta Lama yang memegang bermacam senjata. Wajah para pendeta ini tidak menyeramkan, namun cukup bengis.

Lie Bouw Tek berpura-pura kaget walaupun dia sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah anak buah Kim-sim-pang. Dia menjura kepada mereka semua, lalu berkata, "Maafkan kalau kami menganggu cu-wi suhu (para pendeta sekalian). Kami adalah dua orang yang bermaksud pergi bersembahyang kekuil Kim-sim-pang. Dapatkah cu-wi menunjukkan jalannya kekuil itu?" Dari Kong Ka Lama Lie Bouw Tek sudah mendengar bahwa sarang Kim-sim-pang itu tersembunyi dibelakang sebuah kuil Kim-sim-pang yang sesungguhnya hanya merupakan kedok belaka. Oleh karena itu, dia tadi mengajak Lan Hong untuk mengambil jalan memutar, tidak datang dari depan, melainkan hendak mencari jalan dari belakang kuil.

Mendengar ucapan Lie Bouw Tek, belasan orang pendeta Lama itu memandang dengan alis berkerut penuh kecurigaan, lalu seorang di antara mereka yang memimpin rombongan berkata, "Jalan menuju ke kuil adalah jalan raya yang sudah ada dari kaki bukit. Kenapa ji-wi tidak mengambil jalan itu melainkan berkeliaran ditempat ini? Disini merupakan wilayah kekuasaan kami, dan tidak seorangpun boleh berkunjung disini tanpa seijin kami."

Lie Bouw Tek mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Maafkan kami berdua. Kami tidak sengaja hendak melanggar wilayah kekuasaan cu-wi. Karena tertarik oleh pemandangan yang indah dari sini, maka kami berdua tidak melalui jalan raya dan...."

"Katakan apa keperluan ji-wi yang sesungguhnya, kalau tidak, terpaksa kami harus menangkap ji-wi dan kami ajak menghadap pimpinan kami yang akan menentukan selanjutnya."

Lie Bouw Tek sudah hendak marah, mukanya sudah menjadi kemerahan. Melihat ini, Lan Hong menyentuh lengannya dan iapun melangkah maju dan berkata dengan lembut. "Harap cu-wi suhu memaafkan. Kami sama sekali tidak hendak mengganggu cu-wi (kalian). Kami datang selain untuk bersembahyang, juga untuk mencari seorang adikku. Dia seorang pemuda bongkok bernama Sie Liong dan...."

"Pendekar Bongkok!" seru seorang di antara mereka karena kaget. Mendengar ini, Lan Hong dan Bouw Tek girang sekali. "Benar dia! Pendekar Bongkok! Dialah yang kami cari," kata Lie Bouw Tek. "Dapatkan cuwi memberitahu dimana dia?" Akan tetapi begitu mendengar bahwa yang datang ini adalah keluarga Pendekar Bongkok, para pendeta itu sudah memandang Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong sebagai musuh yang tentu datang dengan maksud membebaskan Pendekar Bongkok yang pernah menjadi tawanan Kim-sim-pang. Mereka sudah mengepung dan seorang dari mereka lari menuju kesarang untuk melapor. Melihat sikap mereka, mengacungkan senjata dan mengepung, Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Dia berdiri tegak dan berkata dengan suara lantang.

"Cu-wi tentulah orang-orang Kim-sim-pang! Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Bouw Tek, seorang murid Kun-lun-pai, dan ini adalah Sie Lan Hong, kakak perempuan Pendekar Bongkok. Kami sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Kim-sim-pang, kami hanya mencari adik kami itu!"

Akan tetapi, para pendeta itu mengepung semakin ketat. "Ji-wi harus menyerah untuk kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami. Hanya beliau yang akan menentukan apakah ji-wi bersalah ataukah tidak. Menyerahlah daripada kami harus menggunakan kekerasan!"

"Hemm, kalian ini orang-orang yang berpakaian pendeta, akan tetapi sikap dan tingkah laku kalian seperti perampok-perampok saja! Kami tidak bersalah apapun, bagaimana harus menyerah menjadi orang tangkapan? Kami tidak mau menyerah!" Berkata demikian, Lie Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang bersinar merah. Sie Lan Song juga mencabut pedangnya, karena ia tahu pula bahwa menyerah kepada orang-orang ini berarti membiarkan diri terancam bahaya. Mereka adalah pemberontak, kalau sudah menawan orang tentu tidak mudah melepaskannya lagi begitu saja. Iapun siap mengamuk disamping Lie Bouw Tek untuk membela diri. "Hemm, terpaksa kami menggunakan kekerasan!" bentak pemimpin rombongan dan empat orang sudah menerjang dengan senjata mereka kepada Lie Bouw Tek, dan dua orang juga menerjang kearah Sie Lan Hong.

"Trang-trang-tranggg....!" Bunga api berpijar ketika Lie Bouw Tek menggerakkan pedangnya menangkis. Sinar merah berkelebatan dan empat orang pendeta itu berseru kaget dan berloncatan mundur karena senjata mereka telah buntung ketika bertemu dengan pedang ditangan pendekar Kun-lun-pai itu! Dua orang yang menyerang Sie Lan Hong juga mendapatkan perlawanan keras. Bukan saja wanita cantik itu mampu mengelak dan menangkis, bahkan membalas dengan hebat dan sebuah tandangan kakinya sempat membuat seorang pengeroyok terhuyung dan memegangi perutnya. Para pendeta itu menjadi marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka itu menyerang lagi, tiba-tiba terdengar seruan yang amat berwibawa, "Tahan semua senjata....!"

Para pendeta mengenal suara Kim Sim Lama dan mereka segera berloncatan kebelakang dan menghentikan serangan mereka. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong cepat berdiri saling mendekati agar dapat saling bantu jika mereka dikeroyok lagi. Lie Bouw Tek yang amat mengkhawatirkan keselamatan Sie Lan Hong, menggunakan tangan kirinya menyentuh lengan wanita itu, seperti hendak menenangkan hatinya dan meyakinkan bahwa dia berada disitu dan akan selalu melindunginya. Dan kini mereka memandang kepada pendeta Lama yang tinggi kurus dan tua renta itu. Pendeta Lama itu biarpun sudah tua, mukanya kemerahan dan segar seperti muka kanak-kanak, hampir sama merahnya dengan jubahnya yang lebar. Lie Bouw Tek sudah mendengar pula keterangan dari Kong Ka Lama, pengawal Dalai Lama, maka dia dapat menduga dengan siapa dia kini berhadapan. Dia cepat mengangkat kedua tangan kedepan dada, memberi hormat dan melihat ini, Sie Lan Hong juga mencontohnya. Mereka memberi hormat kepada Kim Sim Lama, dan Lie Bouw Tek berkata dengan suara lantang namun mengandung penghormatan. "Kalau kami tidak salah duga, locianpwe tentulah yang terhormat Kim Sim Lama. Terimalah hormat kami, locianpwe."

Kim Sim Lama membungkuk sedikit. "Omitohud.... orang muda yang gagah sudah mengenal pinceng (aku) dan kalian berdua orang-orang muda secara berani sekali memasuki tempat larangan kami. Siapakah kalian dan ada keperluan apa kalian berkeliaran disini?" Tadi dia sudah mendengar pelaporan seorang anak buahnya. Karena mendengar bahwa pendekar yang dikeroyok itu seorang murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, diapun cepat keluar melerai perkelahian itu dan kini Kim Sim Lama ingin mendengar sendiri pengakuan Lie Bouw Tek. Dengan lantang Lie Bouw Tek memperkenalkan diri. "Saya bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai yang menerima perintah para suhu di Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa para pendeta Lama telah memusuhi Kun-lun-pai, disamping memusuhi para tosu dan pertapa lain. Dan sahabat saya ini bernama Sie Lan Hong, kakak kandung dari Pendekar Bongkok dan ia datang untuk mencari adiknya itu. Kini kami berhadapan dengan locianpwe Kim Sim Lama dan kami mengharap locianpwe akan sudi membantu kami dengan keterangan tentang kedua hal itu."

Kim Sim Lama mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara ketawa dikulum, lalu berkata, "Omitohud, tidak keliru kalau Lie-sicu berdua minta keterangan dari pinceng. Akan tetapi, tidak enak bicara diluar begini. Marilah, kalian ikut dengan pinceng, kita bicara didalam dan pinceng akan maberi keterangan yang selengkapnya tentang kedua hal yang kalian pertanyakan itu."

Biarpun dia maklum bahwa mereka berdua memasuki sarang harimau dan naga yang penuh bahaya, namun Lie Bouw Tek bersikap tenang. Dia yakin bahwa Kim Sim Lama tentu tidak akan melakukan tindakan yang sembarangan setelah mengetahui bahwa dia adalah utusan Kun-lun-pai. Bagaimanapun juga, dia yakin bahwa nama besar Kun-lun-pai masih memiliki wibawa yang cukup kuat.

Mereka diajak memasuki ruangan di belakang kuil dimana Kim Sim Lama mempersilakan mereka duduk. Kim Sim Lama duduk menghadapi mereka dan di belakang Kim Sim Lama duduk pula Tibet Ngo-houw dan Ki Tok Lama, sedangkan para pendeta lain tidak ada yang ikut mendengarkan. Setelah memperkenalkan enam orang pendeta Lama itu sebagai para pembantunya, Kim Sim Lama lalu berkata dengan suara tenang. "Sicu (orang gagah), sekarang pinceng ingin lebih dulu menjelaskan tentang sikap bermusuhan yang diperlihatkan oleh para tokoh Lama dari Tibet kepada para tosu, pertapa dan bahkan Kun-lun-pai. Untuk itu, sebagai saksi, biarlah pinceng mengundang seorang pertapa dan tosu untuk hadir disini. Ki Tok Lama, panggil Thay-yang Suhu kesini."

Ki Tok Lama, pendeta yang pendek kecil itu keluar dari ruangan dan tak lama kemudian dia sudah datang kembali bersama seorang tosu. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong memandang kepada tosu itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya hampir gundul dengan rambut pendek, berjubah seperti seorang tosu, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya tampan. Dipunggungnya nampak sepasang pedang. Thai-yang Suhu memberi hormat kepada Kim Sim Lama, lalu dipersilakan duduk disebelah kanannya oleh pemimpin itu. "Sicu Lie Bouw Tek dan toanio (nyonya) Sie Lan Hong, ini adalah sahabat kami yang bernama Thai-yang Suhu, dan dia adalah seorang tosu yang dahulu bertapa di Himalaya dan dia mengetahui segala hal yang telah terjadi."

"Locianpwe, terus terang saja, yang ingin saya ketahui hanyalah mengapa para pendeta Lama memusuhi Kun-lun-pai, yang selamanya tidak pernah mencampuri urusan para pendeta Lama di Tibet. Urusan lain dengan pihak lain, kami dari Kun-lun-pai tidak berhak mencampuri," kata Lie Bouw Tek.

"Omitohud, bersabarlah, sicu, semua ini ada hubungannya, dan karena pelaksana utama ketika Dalai Lama memusuhi para tosu, pertapa dan juga Kun-lun-pai hadir disini, sebaiknya kalau sicu mendengarkan sendiri keterangan mereka. Thay Ku Lama, engkau wakili Tibet Ngo-houw untuk memberi penjelasan tentang tugas kalian yang merupakan perintah Dalai Lama."

They Ku Lama yang berperut gendut, orang pertama dan tertua dari Tibet Ngo-houw, segera berkata dari tempat duduknya. "Sicu Lie Bouw Tek harap suka mendengarkan dengan sabar. Terus terang saja, sampai sekarang kami Tibet Ngo-houw masih merasa menyesal mengapa dulu itu kami mentaati perintah Dalai Lama yang makin lama menjadi semakin lalim itu. kami sudah mengingatkannya bahwa dahulu, di waktu masih kecil, dan dia ditunjuk sebagai calon Dalai Lama yang baru, dan pertapa Himalaya bermaksud membela penduduk dusun yang hendak mempertahankan dia. Bahwa para pertapa itu bermaksud baik walaupun dalam pertempuran itu akhirnya beberapa orang pendeta Lama tewas. Akan tetapi, dia tidak perduli dan memaksa kami untuk menuntut balas, menyerang dan membunuhi para pertapa di Himalaya. Bahkan kemudian, makin dewasa, Dalai Lama menjadi semakin buas dan dia memaksa kami untuk melakukan pengejaran terhadap para pertapa dan tosu Himalaya yang melarikan diri mengungsi ke Kun-lun-san. Karena itulah, maka kami sampai bentrok dengan Kun-lun-pai. Dan semua ini adalah gara-gara kelaliman Dalai Lama. Akhirnya kami menyadari hal itu dan kamipun meninggalkan Dalai Lama, bersama-sama membantu suhu Kim Sim Lama untuk menentang Dalai Lama yang lalim itu. Maka, ketahuilah bahwa kami hanyalah pelaksana, dan yang bertanggung jawab terhadap para tosu, pertapa maupun Kun-lun-pai, sepenuhnya adalah Dalai Lama!"

Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Sungguh keterangan ini merupakan kebalikan dari apa yang didengarnya dari Dalai Lama! Siapakah yang benar? Pada saat itu, Thai-yang Suhu berkata dengan suaranya yang lembut. "Semua yang diceritakan Thay Ku Lama itu benar, Lie-sicu. Pinto (saya) sendiri dahulu merupakan seorang di antara para tosu pertapa yang pernah melarikan diri mengungsi dan bahkan menjadi musuh Gobi Ngo-houw yang ketika itu menjadi petugas yang melaksanakan perintah Dalai Lama. Setelah mereka itu meninggalkan Dalai Lama, barulah kami bersahabat dan pinto menjadi saksi akan kelaliman Dalai Lama. Karena itulah maka pinto bersedia membantu gerakan Kim Sim Lama yang hendak menentang kelaliman Dalai Lama dan pinto harapkan agar para pertapa dan tosu membantu pula untuk menghadapi Dalai Lama yang jahat."

Lie Bouw Tek menjadi semakin ragu. Kalau Dalai Lama benar, kiranya tidak mungkin timbul pemberontakan dari para pendeta Lama ini. Apakah dia harus menghadapi lagi Dalai Lama dan bertanya kembali? Selagi dia meragu, Sie Lan Hong yang ingin sekali mendengar tentang adiknya, bertanya. "Locianpwe tadi mengatakan bahwa locianpwe tahu tentang adik saya, yaitu Pendekar Bongkok Sie Liong. Mohon petunjuk locianpwe, dimana adanya adik saya itu sekarang."

"Omitohud.... harap toanio menguatkan hati. Ada berita yang menyedihkan tentang Pendekar Bongkok. Dia, sudah tewas oleh Dalai Lama dan kaki tangannya."

"Ahhhhhh....!" Sepasang mata Lan Hong terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.

"Tida k mungkin....!" Lie Bouw Tek juga berseru kaget sekali. Dia mendengar dari Lan Hong bahwa Pendekar Bongkok juga membawa tugas yang sama dengan dia. Kalau dia bertugas menyelidiki mengapa para pendeta Lama memusuh Kun-lun-pai, pendekar itupun menyelidiki kenapa Dalai Lama memusuhi para tosu dan pertapa. "Omitohud.... pinceng selamanya tidak pernah berbohong. Pendekar Bongkok datang untuk membalaskan dendam para pertapa dan para tosu kepada Dalai Lama. Dia dikeroyok dan

tewas. Kalau ji-wi (kalian) hendak membuktikan, dapat kalian kunjungi makamnya."

"Ahhh.... Liong-te (adik Liong).... benarkah.... engkau sudah tewas....?" Lan Hong menahan tangisnya, kemudian bertanya kepada Kim Sim Lama, "Dimana kuburan adik saya?"

"Marilah, pinto antarkan kalau ji-wi hendak menyaksikan sendiri. Kuburannya masih baru!" kata Thai-yang Suhu. Mendengar ini, Lan Hong segera bangkit berdiri. "Lie toako, aku ingin menengok kuburan adikku!"

Lie Bouw Tok merasa iba sekali kepada wanita yang dikasihinya itu. Bersusah payah wanita itu melakukan perjalanan jauh untuk mencari adiknya, dan begitu bertemu hanya melihat kuburannya! Diapun mengangguk kepada Thai-yang Suhu.

"Totiang, terima kasih sebelumnya atas kebaikan totiang yang hendak mengantarkan kami. Mari kita berangkat." Keduanya memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian bersama Thai-yang Subu, mereka maninggalkan kuil itu lewat pintu samping. Di sepanjang perjalanan, Lan Hong diam saja, menahan tangisnya. Akan tetapi Lie Bouw Tek yang merasa penasaran, mencoba untuk mencari keterangan dari Thai-yang Suhu bagaimana sampai Pendekar Bongkok tewas di tangan Dalai Lama dan kaki tangannya.

"Siancai.... bagaimana pinto dapat mengetahuinya? Kami semua hanya mendengar saja bahwa Pendekar Bongkok menghadap Dalai Lama dan menuntut kepada Dalai Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu Himalaya yang mangungsi ke Kun-lun-san. Dan tahu-tahu, Pendekar Bongkok telah tewas dan pinto melihat sendiri ketika jenazahnya dimakamkan di kuburan itu. Hanya itulah yang pinto ketahui. Dalai Lama yang lebih mengetahui bagaimana matinya Pendekar Bongkok."

"Liong-te....!" Lan Hong mengeluh dan ia menggunakan ujung langan baju untuk mengusap air matanya. Akhirnya, mereka tiba di taman kuburan itu. Sunyi sekali disitu karena teman kuburan itu memang terletak diluar kota, dan pada waktu itu bukan hari bersembahyang, maka tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga yang berkunjung kesitu. Sebelum meninggalkan kuil tadi, Thai-yang Suhu sudah membawa hio-swa (dupa biting) dan beberapa batang lilin. Dia mengeluarkan alat sembahyang sederhana itu dan Lie Bouw Tek bersama Sie Lan Hong melakukan upacara sembahyang dengan sederhana, namun khidmat diiringi tangis Lan Hong perlahan-lahan. Melihat kedukaan wanita itu, Lie Bouw Tek berdiri tegak memandang gundukan tanah kuburan itu sambil mengepal kedua tinjunya. Dia merasa penasaran sekali. "Benarkah ini? Benarkah Pendekar Bongkok yang demikian terkenal itu tewas semudah ini? Benarkah yang berada dibawah gundukan tanah ini jenazah Pendekar Bongkok?"

Mendengar ucapan itu yang merupakan penumpahan rasa penamaran yang tanpa disadarinya telah keluar dari mulut pendekar Kun-lun-pai itu, Thai-yang Suhu mengerutkan alisnya. "Lie-sicu, apakah sicu masih meragukan kebenaran keterangan kami semua? Kalau sicu masih belum percaya, sekarang juga boleh sicu membongkar kuburan ini dan melihat apakah benar jenazah Pendekar Bongkok yang berada didalamnya atau bukan!"

Mendengar nada suara yang keras itu, Lie Bouw Tek memandang heran kepada tosu itu. Akan tetapi, Lan Hong sudah hanyut pula dalam keharuan dan penasaran, apalagi mendengar ucapan Lie Bouw Tek tadi. Ia menjatuhken diri berlutut didepan kuburan itu dan berkata dengan suara berduka.

"Adikku Sie Liong, kalau benar engkau telah mati, berilah tanda kepadaku agar hatiku tidak menjadi ragu lagi. Adikku.... ah, adikku Sie Liong....!" Dan sekali ini Lan Hong yang sejak tadi sudah menahan-nahan tangisnya kini terisak-isak. Sementara itu, dibawah gundukan tanah itupun terjadi peristiwa hebat yang tak diketahui seorangpun diluar. Sudah tujuh hari lamanya Sie Liong "bertapa" didalam tanah, dikubur hidup-hidup! Dia dapat bernapas melalui lubang yang sengaja dipasang oleh tabib Camundi Lama yang merasa iba kepadanya. Dan selama tujuh hari tujuh malam itu dia pasrah kepada kekuasaan Tuhan! Kekuasaan Tuhan berada dimanapun didalam yang paling dalam, diluar yang paling luar, didalam segala benda yang nampak maupun tidak, dan didalam tanah itupun terdapat pula kekuasaan Tuhan! Bahkan kekuasaan Tuhan amatlah kuatnya disitu. Bukankah segala sesuatu yang berada diatas bumi itu berasal dari tanah! Bukankah kehidupan segala macam tumbuh-tumbuban juga bersumber pada tanah! Bumi yang nampak lemah dan tak bergerak itu sesungguhnya mengandung gerakan hidup yang dahsyat, maha dahsyat. Bumi mengandung energi, mengandung kekuatan yang menyedot segala apapun kembali kepadanya. Ada Tenaga Inti Bumi yang hebatnya tiada lawan. Terkenang akan hal-hal yang pernah diajarkan oleh Pek Sim Sian-su kepadanya, tentang Tenaga Inti Bumi, tentang kekuatan dahsyat yang timbul melalui kepasrahan kepada kekuasaan Tuhan, selama tujuh hari itu Sie Liong menghimpun tenaga mujijat itu. Dia sudah pasrah. Tubuhnya lemah, lengan kirinya buntung, ingatannya hilang, darahnya keracunan. Dia pasrah dalam arti yang sedalam-dalamnya. Bukan pasrah namanya kalau didalam batin masih mengandung pamrih. Bukan pasrah namanya kalau didalam batin masih terdapat rasa takut. Pasrah berarti tidak bekerjanya hati dan pikiran, pasrah berarti tidak adanya nafsu. Yang ada hanya pasrah, penuh kesabaran, penuh ketawakalan, penuh keikhlasan, menyerah kepada kekuasaan Tuhan.

Tuhan Maha Kuasa! Tuhan Maha Kasih! Tanpa diketahuinya sendiri, terjadi keajaiban didalam tubuh Sie Liong, kemujijatan yang menjadi bukti kekuasaan Tuhan! Tenaga Inti Bumi, diluar kesadarannya, telah merasuk kedalam tubuhnya. Tenaga sakti yang dahsyat ini sekaligus mengusir semua hawa beracun, membersihkan darahnya, bukan saja memulihkan tenaga saktinya, bahkan menjadikannya beberapa kali lebih kuat. Mula-mula dia hanya merasa betapa tubuhnya seperti sebuah balon yang ditiup, terus ditiup sehingga rasanya menggembung, makin lama semakin kuat, sehingga rasanya seperti hendak meledak!

Dia tidak tahu betapa pada saat itu, diatas sana, kakak kandungnya, Sie Lan Hong, sedang menangis dan memanggil-manggil namanya, minta bukti dan tanda bahwa dia telah tewas. Dia hanya merasa tubuhnya seperti akan meledak, maka tanpa memperdulikan apapun yang akan terjadi, dia menggerakkan sebelah tangan dan kedua kakinya, meronta dan mendorong, menendang.

"Blaaaaarrrrr....!"

Dapat dibayangkan betapa kagetnya tiga orang yang berada didepan gundukan tanah kuburan itu ketika tiba-tiba terdengar suara keras seperti ledakan dan gundukan tanah itu pecah dan bagaikan ada bahan peledak yang amat kuat meledak dari dalam gundukan tanah, maka tanah dan batu berikil berhamburan. Sie Lan Hong menjerit, Lie Bouw Tek sudah menarik lengan wanita itu diajak bertiarap agar jangan terkena tanah dan batu kerikil yang muncrat berhamburan. Mereka masih melihat sesosok bayangan orang meloncat  keluar dari dalam lubang dibawah gundukan tanah itu, meluncur keatas dan berjungkir balik lima kali sebelum melayang turun keatas tanah. "Keparat....! Kau.... iblis....!" Terdengar Thai-yang Suhu membentak. Pendeta palsu inipun terkejut bukan main ketika melihat gundukan tanah itu tiba-tiba meledak dan dari dalamnya meloncat seorang yang dikenalnya sebagai Pendekar Bongkok! Masih presis Pendekar Bongkok seminggu yang lalu, hanya pakaian dan rambutnya kusut dan kotor berlumpur dan kini mukanya merah seperti udang direbus, matanya mencorong seperti bukan mata manusia. Melihat ini, Thai-yang Suhu yang khawatir kalau rahasianya terbuka, segera meloncat maju dan menerjang dengan sepasang pedangnya! Dia langsung saja melakukan serangan maut, menusukkan pedang kanan kearah tenggorokan dan pedang kiri kearah lambung Pendekar Bongkok! Pada saat itu, Sie Liong masih belum mendapatkan kembali ingatannya sepenuhnya dan dia bergerak tanpa perhitungan pikiran lagi, melainkan digerakkan oleh kekuatan mujijat yang terhimpun didalam dirinya. Ketika pedang ditangan Thai-yang Suhu itu meluncur kearah tenggorokan dan lambungnya, dia hanya mengeluarkan bentakan yang aneh, melengking panjang dan tangannya bergerak kearah sinar pedang yang menyambarnya. "Bresss....!" Tubuh Thai-yang Suhu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting dan tidak mampu bangkit kembali karena kedua pedang ditangannya yang tadi dia pergunakan untuk menyerang, entah bagaimana telah membalik dan menancap didada dan lehernya sendiri! Dia tewas seketika!

"Liong-te....!" Lan Hong meloncat menghampiri Sie Liong. Akan tetapi, dengan sekali lompatan yang jauh sekali, Sie Liong melarikan diri. Dia belum ingat siapa wanita itu, dan dia tidak ingin terjadi wanita itu tewas seperti orang yang menyerangnya tadi. Dan begitu melompat, dia terkejut sendiri karena lompatannya tidak seperti biasa, amat jauhnya seperti

terbang saja! Melihat adiknya melarikan diri dengan lompatan yang luar biasa itu, Lan Hong berseru memanggil-manggil dan

mengejar. "Liong-te, tunggu....! Liong-te....!" Akan tetapi dengan beberapa kali lompatan saja, bayangan Sie Liong telah lenyap dan Lan Hong berdiri bingung, tidak tahu kemana adiknya tadi pergi. Lie Bouw Tek sudah berada di dekatnya dan pendekar Kun-lun-pai ini berkata. "Sudahlah, Hong-moi. Tidak ada gunanya dikejar. Dia sudah jauh sekali, entah dimana. Dia.... dia.... seperti dapat terbang saja dan tidak mungkin bagi kita untuk dapat menyusulnya." Dia masih terpukau karena kagumnya menyaksikan kehebatan Pendekar Bongkok, adik wanita yang dikasihinya itu. Dia sudah mendengar bahwa Pendekar Bongkok memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi apa yang disaksikannya tadi jauh melampaui dugaannya. Terlalu dahsyat ilmu yang dimiliki Pendekar Bongkok itu, tidak lumrah manusia!

"Aih, Lie-toako.... apakah engkau tidak melihat lengan kirinya tadi? Dia.... dia buntung! Aihh, adikku, apa yang telah mereka lakukan kepadamu? Aku harus mencari Kim Sim Lama, aku harus membalaskan adikku, akan kuminta pertanggungan jawabnya!" Lan Hong menangis. "Tenanglah, Hong-moi. Yang penting, adikmu itu masih dalam keadaan selamat, bukan? Kalau kita kembali kesana, tentu mereka tidak akan menerina kita sebaik tadi. Apalagi Thai-yang Suhu telah tewas. Kita bahkan harus cepat pergi dari sini. Aku hendak menghadap Dalai Lama dan melaporkan segalanya. Kim Sim Lama dan para pengikutnya itu jelas hendak melempar fitnah kepada Dalai Lama dan dia berbahaya sekali. Mari, Hong-moi, mari kita pergi menghadap Dalai Lama. Kemudian baru kita mencari jejak adikmu Sie Liong dan puterimu...."

"Bi Sian....! Ah, dimana anakku Bi Sian? Apa yang telah terjadi dengannya? Melihat apa yang menimpa diri adikku, aku sungguh gelisah memikirkan anakku, toako."

"Hong-moi, kita tetap berusaha untuk mencarinya, dan sementara itu, serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di samping berusaha mencarinya, kita hanya dapat berdoa, Hong-moi. Dan tenangkan hatimu karena bukankah menurut ceritamu, puterimu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi? Kurasa ia mampu menjaga diri sendiri."

"Memang benar, toako. Ia lihai dalam ilmu silat. Akan tetapi, ia masih muda, kurang pengalaman, dan di dunia ini terdapat demikian banyak orang yang jahat dan keji."

Lie Bouw Tek menghiburnya. Mereka berdua menjenguk kedalam lubang bekas kuburan Sie Liong. Lubang dalam tanah itu kosong dan pendekar Kun-lun-pai itu menemukan sebuah tabung bambu yang sudah pecah-pecah. Dia mengerutkan alisnya, menduga-duga apa gunanya benda itu, lalu membuangnya jauh-jauh. Kemudian, dia menyeret mayat Thai-yang Suhu dan mendorongnya kedalam lubang bekas kuburan Sie Liong, kemudian, dibantu oleh Lan Hong, dia menimbuni lubang itu dengan tanah yang tadi berhamburan. Semua ini mereka kerjakan dengan tergesa-gesa karena khawatir kalau sampai ada yang melihatnya. Kemudian mereka cepat meninggalkan kuburan itu, pergi ke Istana Dalai Lama untuk menghadap pendeta kepala para Lama itu.

Gadis itu dikenal oleh semua orang yang biasa bekerja di Telaga Yam-so. Seorang gadis gila yang menjijikkan. Baru kurang lebih satu bulan ia muncul disekitar tepi telaga itu. Seorang gadis atau wanita yang sebetulnya masih muda, akan tetapi keadaannya kotor dan seperti seorang jembel gila. Pakaiannya butut, kotor dan dekil, berbau apak lagi. Rambutnya lekat dan kotor, awut-awutan seperti rambut siluman yang menakutkan, menutupi sebagian mukanya yang juga kotor sekali, penuh lumpur. Matanya kadang berputar-putar liar, kadang gelisah, kadang terbelalak menakutkan, ada kalanya merah karena tangis. Orang melihat ia kadang menangis tersedu-sedu, kadang tertawa seorang diri, bicara seorang diri dengan kata-kata yang tidak jelas bahkan tidak karuan. Sekali lihat saja orang sudah tahu bahwa ia seorang wanita muda yang hidup terlantar, terlunta-lunta, seorang jembel menjijikkan yang gila! Makin dipandang, orang akan merasa semakin jijik karena ulahnya. Tak seorang pria pun yang dapat merasa tertarik oleh seorang perempuan seperti wanita gila itu. Mereka bahkan menjauh, bukan saja jijik karena bau apak itu, melainkan juga jijik kalau-kalau wanita gila itu akan merangkul mereka! Ia makan apa saja yang ia temukan. Ikan-ikan kering, sisa yang ditinggalkan para nelayan. Ada kalanya ia meminta-minta dan hanya karena jijik, bukan karena iba, orang melemparkan makanan kepadanya. Tubuhnya kurus kering, sama sekali tidak menarik. Tak seorangpun tahu bahwa baru sebulan yang lalu, wanita itu merupakan seorang gadis berusia delapan belas tahun yang hitam manis, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan. Dan tak seorangpun tahu bahwa gadis itu memang sengaja berpura-pura gila dan menjadi jembel menjijikkan! Ia adalah Sam Ling Ling, gadis peranakan Tibet Han yang telah yatim piatu itu. Ia tadinya oleh Sie Liong dititipkan kepada Bibi Cili. Terpaksa Ling Ling membiarkan Sie Liong yang hendak melakukan penyelidikan itu pergi, walaupun ia merasa berat hati. Sie Liong berjanji dalam waktu bulan akan kembali menjemputnya. Setelah lewat sebulan dan Sie Liong belum juga datang, Ling Ling minggat dari rumah Bibi Cili dan pergi mencari Sie Liong, satu-satunya pria, bahkan satu-satunya manusia di dunia ini yang dicintainya! Ling Ling maklum bahwa di dunia ini banyak berkeliaran laki-laki jahat. Terutama sekali bagi seorang wanita yang lemah, apalagi yang memiliki kemudaan dan kecantikan, bahaya itu lebib besar lagi mengancam dirinya. Oleh karena itu, ia menggunakan akal, berpura-pura gila, mengotori tubuh dan pakaiannya, bahkan melumuri mukanya dengan lumpur, kadang-kadang ia sengaja bergaya seperti orang gila yang menjijikkan dan menakutkan. Dengan cara demikian, benar saja tidak seorangpun pria sudi mendekatinya, apa lagi mengganggunya. Ia berkeliaran di sekitar pantai telaga yang besar itu, setiap hari mencari-cari dan memperhatikan setiap orang. Akan tetapi makin hari semakin berduka karena tidak pernah ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu seorang pemuda yang punggungnya bongkok. Untuk bertanya-tanya, ia tidak berani karena ia maklum bahwa Pendekar Bongkok amat dikenal orang dan kalau ia bertanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan orang. Ia hanya mampu menangis dengan sedih, akan tetapi kalau ada orang melihat ia menangis, ia sengaja lalu memaksa diri untuk tertawa. Menangis, tertawa, menangis, tertawa agar ia disangka gila dan bebas dari gangguan orang. Makin hari ia semakin kurus karena makin berduka dan hampir tidak makan kalau tidak perutnya memaksanya sekali. Ia tidak pernah putus asa karena ia menaruh keyakinan besar bahwa Sie Liong tidak mungkin dapat melupakannya dan meninggalkannya begitu saja. Ia tahu bahwa Sie Liong hanya bongkok punggungnya, tidak bongkok hatinya. Ia tahu bahwa Sie Liong adalah seorang manusia yang berbudi luhur, dan ia sudah mengambil keputusan untuk hidup disamping Sie Liong selamanya, atau lebih baik ia mati kalau harus hidup tanpa pemuda bongkok itu. "Liong-ko.... ah, Liong-koko.... engkau berada dimana? Apakah engkau tidak merasakan dihatimu betapa aku mencarimu, betapa aku mengkhawatirkanmu, betapa aku merindukannu? Liong-koko...." demikian ia meratap-ratap sambil menangis kalau tidak ada orang melihatnya. Setiap hari ia mangharapkan. Kalau matahari muncul, muncul pula harapan baru dihatinya bahwa pada hari itu ia tentu akan bertemu dengan Sie Liong. Kalau malam tiba, iapun mengharap bahwa besok hari ia akan bertemu dengan pria yang dikenangkannya itu. Ia tidak pernah putus asa. Tidak, ia keturunan Tibet yang tinggal di pegunungan, dilingkungan yang keras dan sukar, dan keadaan lingkungan yang sukar itu menggembleng bangsanya menjadi bangsa yang tidak pernah putus harapan! Hanya orang yang tidak pernah hidup dalam kekurangan, kekerasan dan kesukaran sajalah yang mudah putus asa. Ia tidur dimana saja, jauh dari orang lain untuk menghindari gangguan. Di guha-guha, dibawah pohon dibalik semak belukar. Mula-mula ia merasa takut sekali, akan tetapi lambat laun rasa takutnya menghilang, terganti perasaan pasrah. Satu-satunya pelita yang menerangi hidupnya hanyalah harapannya bertemu dengan Sie Liong. Pada senja hari itu, ketika matahari mulai bersembunyi dibalik bukit, ia menuju kesebuah guha ditepi telaga. Guha kecil yang tertutup pohon dan ilalang, enak untuk melewatkan malam, tidak begitu dingin karena terlindung dari hembusan angin malam. Tubuhnya terasa nyaman karena sore tadi seorang pelancong sekeluarga yang membawa makanan dan makan di tepi telaga, memberikan sisa makanan bekal mereka kepadanya. Nasi putih dan lauk pauknya, cukup banyak. Ia makan dengan gembiranya. Karena perutnya kenyang, dan harapan baru muncul bahwa besok pagi ia akan melihat banyak orang dan siapa tahu diantara mereka terdapat Sie Liong. Karena hatinya penuh harapan dan tubuhnya segar, malam itu iapun tidur nyenyak. Bahkan ia bermimpi, bertemu dengan Sie Liong. Kalau ada yang dekat dengan guha kecil itu tentu dia akan mendengar betapa dalam mimpinya perempuan gila itu telah menangis terisak-isak. Tangis kebahagiaan yang dicurahkan diatas dada pria yang dikasihinya yang hanya terjadi dalam mimpi!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja matahari mengirim cahaya mudanya kepermukaan telaga, Ling Ling sudah berlutut ditepi telaga. Seperti biasa, ia hendak membersihkan badannya pada bagian tertentu saja. Ia tidak berani mandi sampai bersih. Bahkan setelah mencuci muka, segera ia melumuri kembali kedua pipi dan dahinya dengan lumpur! Ketika ia berlutut dan hendak memasukkan tangannya keair, tiba-tiba ia melihat bayangannya sendiri. Hampir ia menjerit saking kagetnya. Wajahnya demikian buruknya! Buruk sekali bahkan menjijikkan! Rambut itu! Muka itu! Seperti setan! Bagaimana kalau nanti Sie Liong melihatnya! Hari ini Sie Liong pasti dapat dijumpainya. Dan kalau Sie Liong melihat dirinya, tentu dia akan lupa dan bahkan mungkin akan jijik! Tak terasa, dua butir air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di kedua pipinya. Baru membayangkan Sie Liong jijik kepadanya saja, hatinya audah seperti diremas rasanya. Sakit bukan main! Tidak, Sie Liong tidak boleh melihat ia seperti ini! Sie Liong tidak boleh pangling padanya, tidak boleh jijik! Ia harus membersihkan dirinya pagi ini, karena nanti ia akan bertemu dengan Sie Liong!

"Liong-koko, engkau tidak boleh jijik padaku...." keluhnya dan seperti sudah berubah gila sungguh ia lalu meloncat kedalam air yang amat dingin itu! Ia memang pandai renang. Ia lupa segala ketika tubuhnya sudah terendam air. Lupa bahwa pakaian yang menempel ditubuhnya itulah pakaian satu-satunya! Dan ia terjun dengan pakaiannya! Rasa segar menyejukkan seluruh tubuhnya dan ia merasa gembira sekali, seolah-olah ia hendak mandi sebersihnya untuk menyambut perjumpaannya dengan Sie Liong. Ia mencuci rambutnya yang kotor penuh lumpur, bahkan ia menanggalkan pakaian butut itu dan mencucinya sekali. Tubuhnya yang padat dan ranum, biarpun agak kurus, kini nampak berkilauan, dengan kulit yang mulus dan agak gelap, hitam manis seperti tembaga digosok! Rambutnya kini tidak kumal dan kotor lagi, melainkan terurai panjang dan halus, dibiarkan terurai didepan tubuhnya menutupi payudaranya yang kini terbebas dari pakaian yang butut.

Dalam kegembiraannya karena ia hanya membayangkan pertemuannya yang amat membahagiakan dengan Sie Liong, Ling Ling lupa segala dan kehilangan kewaspadaannya. Ia tidak tahu betapa tak jauh dari situ, tiga orang pria muda yang baru pulang dari menjala ikan semalam suntuk berjalan beriringan lewat disitu, memanggul jala dan menjinjing keranjang ikan hasil pekerjaan mereka semalam. Ketika mereka lewat dekat guha kecil itu, mereka mendengar suara berkecipaknya air. Mereka menengok dan ketiganya berdiri bengong, terpukau seperti telah berubah menjadi tiga buah arca! Kemudian, mereka menyelinap dibalik batang pohon dan mengintai dengan mata melotot. "Gadis.... gila itu....!" bisik seorang diantara mereka. "Benar, gadis gila. Lihat ia mencuci pakaiannya yang butut."

"Tapi.... ia cantik! Lihat wajahnya itu. Alangkah manisnya. Dan rambutnya, halus hitam dan panjang. Dan tubuhnya itu! Ah, betapa menarik dia."

"Benar! Lihat dadanya itu.... hemmm....!" Ling Ling sudah selesai mandi dan mencuci pakaiannya. Ia menengok ke kanan kiri. Setelah melihat bahwa disekitar tempat itu tidak nampak ada manusia lain, ia lalu naik kedarat. Tubuhnya yang telanjang hanya ditutup rambut panjang terurai, dan pakaian yang basah dan sudah diperasnya itu dipergunakan untuk menutupi tubuhnya bagian depan. Lalu ia melangkah kearah guha nya. Tak tahu sama sekali ia betapa tiga pasang mata melahap ketelanjangannya dengan sinar mata yang berubah menjadi buas! Ling Ling membuat api unggun didalam guhanya. Api itu penting sekali, bukan saja untuk menghangatkan tubuhnya yang agak kedinginan, akan tetapi juga perlu untuk mengeringkan pakaiannya yang cuma satu-satunya itu. Pakaian itu masih jelek, robek sana sini, akan tetapi walaupun butut tidaklah sekotor tadi. Dengan bertelanjang bulat dan mengurai rambutnya agar kering pula, ia membeberkan pakaiannya dekat api agar kering. Wajahnya berseri dan sama sekali tidak berbekas lagi "kegilaannya". Tiba-tiba in terbelalak dan terpekik ketika tiga orang laki-laki muda itu berloncatan memasuki guhanya yang kecil. Otomatis kedua tangannya menutupi tubuh bagian depan yang bugil, matanya terbelalak ketakutan seperti mata seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau. Melihat keadaan gadis itu, tiga orang muda itu menelan ludah. Mereka bukanlah penjahat, melainkan nelayan-nelayan yang biasa mencari nafkah dari menjala atau mengail ikan. Kehidupan yang miskin dan sederhana. Mereka bukanlah orang-orang yang suka melakukan kejahatan, bukan pula pengganggu wanita. Akan tetapi, keadaan pada saat itu membuat mereka seperti gila oleh gairah nafsu yang mendadak berkobar menyala-nyala. Melihat betapa gadis yang biasanya dianggap gila itu, jembel gila menjijikkan, yang biasanya mereka

hindari, kini ternyata berubah menjadi seorang gadis yang memiliki wajah manis dan tubuh yang indah menggairahkan, seketika daya-daya rendah saling berebutan menguasai hati dan pikiran. Dan sekali nafsu sudah menguasai diri, segala pertimbanganpun lenyap. Baik buruk menjadi kabur, dan yang ada hanyalah gairah yang mendorong orang melakukan pelampiasan untuk memuaskan dan menyalurkan nafsu yang berkobar.

"He-he, engkau cantik menggairahkan!" kata tiga orang yang sudah lupa diri itu.

"Tidak, tidak! Aku jelek, aku orang gila....! Jangan ganggu aku!" Ling Ling berteriak-teriak, akan tetapi tiga orang itu sudah menubruk dan menangkapnya. Ada yang memegang lengan, ada yang memegang kaki, ada yang mencengkeram rambut panjang halus itu. Ling Ling ketakutan setengah mati. Ia menjerit-jerit, meronta, mencakar dan menggigit. Namun, perlawanannya ini tidak lagi menakutkan atau menjijikkan hati tiga orang pemuda itu, bahkan membuat nafsu birahi mereka semakin berkobar. Mereka tidak perduli lagi gadis ini gila atau tidak. Yang jelas bagi mereka, gadis ini cantik manis dan tubuhnya mulus!

Betapapun dengan nekatnya Ling Ling meronta, apa arti kekuatan seorang gadis berusia delapan belas tahun dibandingkan tenaga tiga orang pemuda yang kuat, yang setiap hari bekerja kasar? Tak lama lagi ia akan terkulai lemas, akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan menjadi mangsa tiga pemuda yang bagaikan tiga ekor harimau kelaparan memperebutkan seekor kelinci itu. Tenaga Ling Ling mulai lemah, akan tetapi mulutnya masih terus berteriak-teriak. "Jangan....! Lepaskan aku.... Aku orang gila, aku jelek.... aahhh.... toloooooong....!"

Seorang diantara tiga orang itu cepat mendekap mulut yang menjerit-jerit itu, dan pada saat bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut mengancam Ling Ling, pada saat terakhir ketika ia sudah ditelentangkan dilantai guha dan seorang di antara tiga pemuda buas itu menindihnya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat kedalam guha.

"Aduuuhh....!"

"Auhhh....!"

"Heiii, aduhh....!"

Demikian cepat terjadinya sehingga Ling Ling sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Tahu-tahu tiga pemuda itu telah melepaskan tangan-tangan mereka dari tubuhnya dan merekapun seperti terseret keluar dari dalam guha sambil mengaduh-aduh.

"Aku gila.... Jangan ganggu aku,..... aku jelek dan gila....!" Ia cepat meraih tanah dari sudut guha dan melumuri muka dan semua tubuhnya dengan tanah basah itu, juga rambutnya, bahkan ia menyambar pakaian yang sudah kering, menggosok-gosokkan pakaiannya pada dinding guha yang lembab, kemudian ia mengenakan kembali pakaiannya, dengan rambut yang kotor, muka yang kotor, lalu ia tertawa, menangis, berteriak-teriak, berlagak kembali seperti orang gila!

Tiga orang pemuda itu tentu saja terkejut dan merasa ngeri ketika tadi tiba-tiba pundak mereka terpukul, membuat kedua lengan mereka seperti lumpuh, dan sebelum mereka dapat melihat jelas siapa yang melakukan penyerangan terhadap diri mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak dan tubuh mereka diseret keluar dari dalam guha dengan kasar. Mereka meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia. Bahkan, semakin keras mereka meronta, semakin nyeri rasanya, rambut kepala mereka seperti akan copot bersama kulit kepala mereka. Oleh karena itu, mereka tidak berani meronta lagi dan diam saja diseret keluar dari dalam guha lalu terus diseret sampai jauh dari guha. Mereka merasa semakin ngeri ketika kini nampak bahwa yang menyeret mereka adalah seorang laki-laki yang tubuhnya bongkok, dan orang itu menggunakan sebelah tangan, yaitu tangan kanan, yang menjambak rambut mereka bertiga menjadi satu dan menyeret mereka dengan ringan saja! Melihat bahwa yang menyeret mereka hanyalah seorang laki-laki bongkok yang lengannya hanya sebelah, karena yang kiri nampaknya buntung, tiga orang pemuda itu menjadi marah sekali.

"Keparat busuk! Berani engkau! Lepaskan rambutku!" teriak mereka. Orang itu bukan lain adalah Sie Liong! Hari itu tepat merupakan hari terakhir bekerjanya racun perampas ingatan didalam kepalanya, dan dia kini mulai teringat siapa dirinya, teringat pula mengapa lengan kirinya buntung. Dia mulai teringat semuanya. Tadi, ketika dia berjalan perlahan-lahan ditepi telaga, kehilangan kebingungannya yang selama ini dideritanya, dia mendengar jerit wanita minta tolong. Dengan kecepatan yang sampai sekarang masih membuatnya sendiri terheran-heran, tubuhnya berkelebat dan ketika dia memasuki guha kecil itu dan melihat tiga orang pemuda sedang menggeluti seorang wanita yang bugil dan meronta-ronta, dia lalu turun tangan. Dengan ketukan perlahan saja, menggunakan tangan tunggalnya, tiga orang pemuda itu melepaskan calon korban mereka, dan dengan cepat, tangan Sie Liong sudah mencengkeram rambut kepala mereka dengan satu tangan, kemudian menyeret mereka keluar dari dalam guha. Mendengar bentakan mereka, Sie Liong melepaskan jambakan tangannya. Tiga orang pemuda nelayan itu berloncatan berdiri, kepala terasa nyeri dan pedas oleh jambakan tadi. Mereka marah bukan main, bukan saja karena kesenangan mereka terganggu dan gagal, akan tetapi juga karena mereka merasa diperlakukan dengan penghinaan. Tanpa banyak cakap lagi, tiga orang pemuda itu menerjang maju untuk menghajar pemuda bongkok yang lengannya hanya tinggal sebelah. Mereka mengeluarkan suara mendengus-dengus, dan serangan mereka itu penuh kemarahan. "Ehhh....?" Mereka terbelalak karena yang diserangnya itu

tiba-tiba saja lenyap dan yang nampak hanya bayangan berkelebat. Mereka membalik dan melihat bahwa pemuda bongkok itu sudah berada dibelakang mereka. Mereka bergerak untuk menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba Sie Liong menggerakkan lengan kanan. Tangannya menyambar dan tiga orang itupun terjengkang, terbanting keras!

"Hemm, kalian ini tiga orang jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!" terdengar Sie Liong berkata lirih. Tiga orang itu berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali tubuh mereka bergerak hendak bangkit, ujung lengan baju kiri yang kosong itu menyambar, mengenai pipi atau leher dan mereka merasa seperti disambar petir. Akhirnya, tiga orang itu menjadi ketakutan dan mereka berlutut minta-minta ampun.

"Ampunkan kami...., taihiap, jangan bunuh kami....!" Mereka berlutut dan mengangkat kedua tangan keatas, muka mereka sudah matang biru dan bengkak-bengkak. Sie Liong mengerutkan alisnya. "Kalian penjahat atau perampok?" tanyanya ragu karena dia melihat betapa mereka berpakaian seperti nelayan biasa. "Ampun, taihiap, kami.... kami bukan penjahat.... kami adalah nelayan yang baru pulang dari menjala ikan...."

"Huh, kalian jahat!" kata Sie Liong. Akan tetapi didalam hatinya, dia telah mengampuni mereka. "Pergilah!" Kakinya menendang tiga kali dan tiga orang itu terguling-guling, lalu mereka bangkit dan melarikan diri ketakutan. Dia teringat kepada wanita yang hampir diperkosa oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, maka kakinya melangkah perlahan menuju ke guha kecil ditepi telaga.

"Jangan ganggu.... aku jelek.... aku gila.... aku kotor, heh-heh-heh.... hi-hi-hik, jangan ganggu aku...." Terdengar suara wanita itu dalam guha itu. Sie Liong cepat menyelinap dibalik sebatang pohon. Dia mengintai ketika wanita itu keluar dari guha dan alisnya berkerut. Seorang wanita jembel gila! Rambutnya kotor kusut, mukanya sebagian tertutup rambut, muka yang kotor berlumpur pula. Pakaiannya butut dan kotor. Sungguh seorang wanita yang kotor menjijikkan, gila lagi! Dan wanita inikah yang nyaris diperkosa tiga orang pemuda tadi? Gilakah mereka itu? Bagaimana mungkin ada pria yang bangkit gairah berahinya melihat wanita jembel gila yang menjijikkan ini?

"Hi-hi-hik, aku gila.... ha-ha.... jangan ganggu aku.... ah, jangan ganggu aku....!" Wanita itu adalah Ling Ling. Setelah tiga orang pria yang mengganggunya tadi lenyap, dan setelah ia mengubah dirinya menjadi jembel gila lagi, baru ia berani keluar dan untuk melindungi dirinya dari gangguan, ia sudah tertawa-tawa lagi. Akan tetapi, setelah ia melihat bahwa disitu tidak ada orang, ia menghentikan tawanya dan terjatuhlah ia berlutut dan menangis sesenggukan! Ia teringat akan peristiwa mengerikan tadi. Hampir saja ia menjadi korban perkosaan dan teringat akan ini, ia menjadi ketakutan dan teringat ia betapa di situ tidak ada Sie Liong yang tentu akan selalu melindunginya. Sementara itu, Sie Liong dari tempat pengintaiannya tadinya juga mengira bahwa wanita itu memang jembel gila. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita itu menengok kekanan kiri, kemudian menghentikan tingkah gilanya dan suara ketawanya, bahkan lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis sesenggukan, dia memandang heran dan alisnya berkerut. Dia adalah seorang yang cerdik dan tidak mudah ditipu. Tahulah dia bahwa wanita itu hanya pura-pura gila! Ketawanya tadi adalah palsu, dan tangisnya yang sekarang inilah baru aseli! Dia mendengarkan dengan ketajaman pendengarannya ketika wanita yang menangis itu merintih dan mengeluh.

"Hu-huu.... Liong-ko.... ahhh, Liong-koko.... uhu-hu-hu.... kenapa engkau begitu tega.... Liong-ko.... uhu-huuu.... kalau ada engkau, tentu tidak ada.... yang berani mengangguku.... aih, Liong-koko.... dimana engkau....?"

Sie Llong merasa seperti kepala disambar kilat ketika dia mendengar rintihan dan keluh kesah ini. Bagaikan seekor kijang, tubuhnya sudah melompat dan meluncur kearah wanita yang berlutut sambil menangis itu. Dipegangnya pundak wanita itu, diangkatnya mukanya lalu tangan yang tinggal sebelah itu menyingkap rambut yang kusut menutupi muka. Dipandangnya muka yang kotor itu. Sinar matahari pagi menyinari muka itu. Sie Liong menggunakan tangannya untuk mengusap lumpur dari pipi dan dia terbelalak. "Ling-moi....! Ling Ling.... ah, Ling Ling.... kenapa engkau jadi begini....?" Sie Liong berlutut. Ling Ling terbelalak, wajahnya pucat sekali, diamatinya muka laki-laki itu, lalu pandang matanya menurun, kearah lengan kiri yang buntung.... lalu kearah wajah itu kembali. Matanya terbelalak terus tanpa berkedip, bibirnya bergerak-gerak, tak mampu bersuara hanya mewek-mewek kearah tangis dan butir-butir air mata menetes turun, dan dengan susah payah baru ia dapat bersuara. "Liong-ko....? Engkau.... engkau...." matanya memandang lengan kiri yang buntung. ".... engkau Liong-koko....?"

"Ling-moi, ini aku, Sie Liong...."

"Liong-koko....!" Gadis itu menubruk, merangkul leher Sie Liong dan roboh pingsan dalam pelukan lengan kanan Sie Liong yang memangkunya.

"Ling-moi, ah, Ling-moi.... kaumaafkan aku, Ling-moi....!" Sie Liong merangkul dan mencimm pipi yang kotor dengan lumpur itu, dan air matanya pun jatuh membasahi pipi itu. Kecerdikannya membuka pikirannya dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Ling Ling yang ditinggalkan pada bibi Cili, dan baru hari ini hal itu teringat olehnya lebih dari satu bulan, kurang lebih dua bulan yang lalu, tentu telah pergi meninggalkan rumah bibi Cili dan nekat pergi hendak mencarinya. Dan agaknya, dengan cerdik Ling Ling telah menyamar sebagai seorang jembel gila untuk menghindarkan godaan para pria yang jahat dan kurang ajar. Akan tetapi, mengapa tadi nyaris ia diperkosa tiga orang laki-laki muda, hal itu tidak dapat dia menduganya. Dengan perlahan dan hati-hati, setelah merebahkan tubuh Ling Ling diatas rumput, Sie Liong mengurut tengkuknya. Ling Ling siuman kembali dan begitu membuka kedua matanya dan dapat bergerak, ia sudah berseru gelisah, "Liong-ko, dimana engkau....?" Dan ia pun serentak bangkit duduk. Sie Liong merangkulnya dari samping. "Aku disini, Ling Ling...."

Ling Ling menoleh. "Aihhh, Liong-koko.... engkau benar Liong-koku....!"

Ia merangkul dan menangis seaunggukan diatas dada pemuda bongkok itu. Sie Liong membiarkan gadis itu menangis, membiarkan ia melepaskan semua kegelisahan dan kedukaan yang diderita selama ini agar larut bersama tangisnya.

Setelah tangisnya mereda karena kehabisan air mata, Ling Ling mengangkat mukanya dari dada Sie Liong dan memandang wajah pemuda itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan matanya kini bersinar, tidak layu dan muram seperti tadi. "Liong-koko, kenapa engkau pergi begitu lama? Ah, Liong-koko, jangan kau tinggal aku lagi. Lebih baik aku mati saja daripada harus kau tinggalkan lagi, Liong-koko...." Tiba-tiba in teringat, lalu memandang kearah lengan kiri pemuda itu. Wajahnya pucat kembali, matanya terbelalak dan dengan kedua tangannya ia menangkap lengan baju kiri yang kosong, meraba-raba, mencari-cari isi lengan baju itu. "Liong-ko.... dimana lengan kirimu? Liong-koko, apa yang terjadi....? Engkau.... lengan kirimu.... buntung....?"

Sie Liong mengangguk, akan tetapi dia tersenyum. Dia tahu bahwa dia kehilangan lengan kiri, akan tetapi diapun sebagai gantinya mendapatkan ilmu yang amat hebat, sehingga kini dia memiliki tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan sebelum kehilangan lengan kirinya. "Aku terjebak oleh musuh ketika melakukan penyelidikan. Mereka jahat dan kejam. Lengan kiriku buntung dan aku bahkan nyaris tewas. Tuhan masih melindungiku, Ling Ling, sehingga aku masih dapat bertemu denganmu."

"Liong-koko.... ah, Liong-koko, kasihan sekali engkau...." gadis itu meraba-raba, lalu menyingkap baju pemuda itu. Melihat betapa lengan kiri itu buntung sampai dekat pundak, dan bekas tempat lengan itu kini merupakan luka yang berkeriput, ia merangkul dan menangis sambil menciumi pundak yang tanpa lengan itu, menciumi bekas luka itu. Ia seolah hendak membersihkan luka itu dengan air matanya. Sie Liong merangkulnya dengan terharu. "Ling-moi, kenapa engkau masih selalu mengharapkan aku, ingin hidup bersamaku? Lihat baik-baik, aku seorang laki-laki yang cacat ganda, ya bongkok ya buntung lengan kiriku. Apa yang kaulihat pada diri seorang cacat seperti aku? Apa yang kauharapkan dari seorang seperti aku?"

"Liong-koko, aku.... aku cinta padamu, koko. Biar, aku tidak malu mengaku bahwa aku cinta padamu. Aku memujamu, dan engkaulah satu-satunya laki-laki yang kucinta, bahkan satu-satunya manusia yang kumiliki. Engkau memang cacat, cacat tubuhmu, akan tetapi engkaulah orang yang sebaik-baiknya bagiku. Engkau matahari hidupku. Tanpa engkau, hidupku akan gulita. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku disampingmu koko, tentu saja.... kalau.... kalau engkau sudi menerima aku, seorang gadis yang bodoh dan buruk, yatim piatu pula."

"Ling Ling...." Sie Liong merangkul dan mendekap muka itu pada dadanya penuh kebahagiaan. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang manusia lain yang demikian mencintanya. Dia dapat merasakan benar curahan kasih sayang Ling Ling melalui pandang matanya, melalui sikapnya, melalui suaranya, melalui sentuhannya. "Ling Ling, akupun cinta padamu. Aku.... aku ingin memperisterimu...."

"Liong-koko! Betapa bahagia hatiku. Aku mau melakukan apa saja asal boleh mendampingimu selama hidupku!" Sie Liong tersenyum. "Sekarang yang paling penting engkau membersihkan dirimu dulu dari lumpur itu, bereskan rambutmu dan pakaianmu. Nah, cepat, aku tunggu disini. Setelah itu, kita pergi kerumah bibi Cili dan bercakap-cakap." Ling Ling telah memperoleh kembali kegembiraannya. Ia bangkit, tersenyum penuh kebahagiaan, menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata membayangkan cinta kasih sepenuhnya, kemudian ia berlari-lari menuruni tepi telaga, dan membersihkan muka dan leher, dan tangannya dari lumpur. Juga rambutnya. Tak lama kemudian, mereka sudah pergi dari tempat itu. Biarpun pakaian Ling Ling masih butut, akan tetapi tidak terlalu kotor karena tadi sudah dicucinya, juga rambutnya disanggul. Karena Sie Liong sendiri juga belum sempat berganti sejak keluar dari dalan kuburan, maka keduanya kelihatan seperti dua orang petani yang baru kembali dari sawah ladang, dengan pakaian ternoda lumpur. Sambil berjalan menuju ke rumah bibi Cili di Lasha sambil bercakap-cakap       Ling Ling menceritakan semua pengalamannya, betapa karena gelisah memikirkan Sie Liong yang tak kunjung pulang, akhirnya ia melarikan diri meninggalkan rumah bibi Cili untuk mencari Sie Liong. Ia terpaksa menyamar sebagai seorang jembel gila untuk menghindarkan diri dari gangguan pria-pria jahat, presis seperti yang telah diduga oleh Sie Liong. Sampai kemudian dia diganggu tiga orang pemuda itu dan nyaris diperkosa. "Akan tetapi, engkau sudah menyamar sebagai seorang jembel gila, bagaimana tiga orang itu masih ingin mengganggumu?" Sie Liong bertanya heran. Ling Ling tersipu. "Salahku sendiri. Tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu, Liong-ko. Karena itu, aku merasa yakin bahwa hari ini aku akan bertemu denganmu. Pagi tadi, melihat bayanganku di air, aku merasa terkejut dan khawatir membayangkan bertemu denganmu dalam keadaan seperti jembel gila yang kotor. Karena keadaan sunyi, aku lalu mandi bersih dan mencuci pakaianku, lalu memasuki guha. Agaknya, ketika mandi itu, mereka telah melihatku, dan ketika aku memasuki guha, mereka lalu menyerangku dan hendak memaksaku...."

"Ah, kita harus berterima kasih kepada Tuhan atas segala berkah-Nya kepada kita!" seru Sie Liong dan gadis itu demikian terheran sehingga ia berhenti melangkah dan memandang wajah Sie Liong dengan heran. "Berkah? Koko, engkau nyaris tewas, lengan kirimu buntung, dan aku menderita sengsara, menjadi jembel gila kemudian nyaris diperkosa orang, dan engkau mengatakan bahwa kita berterima kasih kepada Tuhan atas segala berkahNya?"

Sie Liong juga memandang kepada kekasihnya dan tersenyum sambil mengangguk. "Benar, Ling-moi. Itulah berkah-Nya. Bagaimanapun juga ternyata kita berdua masih selamat dan masih dapat saling bertemu, dan yang lebih membahagiakan lagi bagiku, biarpun kini lengan kiriku buntung, engkau masih tetap mencintaku."

"Liong-koko...." Ling Ling berkata penuh haru. "Sampai matipun cintaku kepadamu tidak akan pernah berkurang, apalagi hilang. Akan tetapi pendapatmu tentang berkah Tuhan itu sungguh membingungkan hatiku. Jelas bahwa kita berdua baru saja tertimpa kesengsaraan, dan engkau masih menganggapnya sebagai berkah."

"Betapa tidak, Ling-moi? Kita hidup di dunia inipun merupakan berkah Tuhan! Lihat saja sinar matahari yang menghidupkan, hawa udara untuk bernapas, lihat air, angin dan tanah yang menumbuhkan segala keperluan hidup kita! Lihat panca indria kita, mata, telinga, hidung, mulut dan segala perasaan, masih dilengkapi lagi dengan hati akal pikiran. Semua itu berlimpah dengan berkah-Nya. Apapun yang terjadi kepada diri kita sudah dikehendaki oleh Tuhan! Dan segala kehendak Tuhan pun terjadilah! Dan segala kehendak Tuhan merupakan berkah. Otak kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengukur, untuk menilai,

untuk membuka tabir rahasia yang menyelubungi pekerjaan yang dilakukan kekuasaan Tuhan. Akal pikiran kita bergelimang nafsu daya rendah, maka apabila kita menilai, penilaian itupun bergelimang nafsu dan tentu saja hanya ingin senang sendiri. Penilaian seperti itu menimbulkan baik buruk, untung rugi. Kita tidak tahu apakah artinya suatu peristiwa yang menimpa diri kita. Yang nampak buruk belum tentu buruk, mungkin mengandung hikmah, mengandung berkah tersembunyi. Yang nampak baik belum tentu seperti yang dinilainya, mungkin mengandung ancaman. Jadi, apapun yang terjadi pada diri kita, mari kita serahkan kepada kekuasaan Tuhan dengan penuh kepasrahan, dan mari kita bersukur dan berterima kasih kepada Tuhan."

Ling Ling hanya mengangguk, akan tetapi ia masih bingung untuk dapat menerima maksud dari ucapan itu. Bibi Cili menerima mereka dengan gembira, akan tetapi juga dengan khawatir, takut kalau-kalau pemuda bongkok yang kini buntung pula lengan kirinya itu menjadi marah. Ia sudah tahu bahwa pemuda bongkok itu adalah Pendekar Bongkok yang lihai sekali. Walaupun kini lengan kirinya buntung, ia masih merasa takut. "Aih, taihiap, nona Ling ini membikin saya bingung setengah mati. Ia pergi tanpa pamit dan saya tidak tahu kemana ia pergi. Sekarang, tahu-tahu telah kembali dengan taihiap, dan.... ih, pakaiannya seperti ini...."

Sie Liong tersenyum. "Kami tidak menyalahkan engkau, bibi. Bahkan aku berterima kasih sekali kepadamu. Kedatangan kami ini pertama untuk minta bantuan agar mencarikan pakaian untuk kami, kedua kalinya sekali lagi aku akan menitipkan Ling-moi disini, hanya untuk beberapa hari saja."

"Liong-koko! Apa artinya kata-katamu ini? Engkau.... hendak menitipkan aku.... hendak meninggalkan aku lagi?" suara itu sudah mengandung isak dan wajah itu berubah pucat, matanya terbelalak penuh protes. Sie Liong tersenyum dan berkata kepada bibi Cili. "Pergilah, bibi. Carikan beberapa pasang pakaian untuk aku dan Ling-moi. Jangan khawatir, kalau urusanku sudah selesai, pasti harganya akan kuganti, juga akan kuberi imbalan tinggalnya Ling-moi disini."

"Aih, tidak usah sungkan, taihiap. Keponakanku pemilik rumah makan itu akan memberikan uang berapa saja yang kubutuhkan untuk keperluanmu." Bibi Cili lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah nyonya rumah pergi, barulah Sie Liong menarik tangan Ling Ling, dirangkulnya gadis yang masih nampak gelisah itu. "Ling-moi, dengarkan baik-baik. Engkau tahu bahwa kita menghadapi orang-orang yang selain amat jahat akan tetapi juga lihai bukan main. Aku tidak mungkin dapat mendiamkan saja segerombolan manusia itu mengumbar nafsu melakukan kejahatan. Sudah menjadi tugasku untuk menentang mereka yang melakukan kejahatan. Oleh karena itu, aku harus menemui Kim Sim Lama dan membasmi gerombolannya. Dan sungguh tidak mungkin kalau aku harus membawamu serta. Amat berbahaya bagimu. Nah, karena itulah terpaksa aku harus meninggalkanmu lagi di sini, bukan untuk waktu bulanan atau berhari-hari. Aku berangkat pagi, sorenya tentu kembali."

"Akan tetapi, Liong-ko.... setelah apa yang kita alami selama ini, tegakah engkau untuk meninggalkan aku lagi? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dirimu?"

"Aku dapat menjaga diri, Ling Ling. Andaikata terjadi apa-apa dengan diriku, hal itu tentu sudah dikehendaki oleh Tuhan dan engkau atau aku atau siapapun juga tidak akan mampu mencegahnya."

"Biarpun aku tidak dapat menolongmu, akan tetapi aku dapat melihatmu, koko! Biar aku harus matipun, kalau bersamamu, aku tidak takut dan aku rela! Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku...."

Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun masuk kedalam rumah itu dengan muka pucat dan napas memburu. Ling Ling mengenalnya sebagai anak laki-laki yang suka disuruh suruh bibi Cili, yaitu anak tetangga sebelah. "A-kian, ada apakah?" tanyanya melepaskan rangkulan Sie Liong dari pundaknya.

"Ci-ci.... celaka, cici.... bibi Cici.... bibi.... Cili...."

"Ada apa dengan bibi Cili?" Sie Liong bertanya kepada anak itu.

"Ia.... ia tadi ditangkap oleh beberapa orang dan dipaksa naik sebuah kereta dan dilarikan keluar kota...." Sie Liong segera dapat menduga siapa yang melakukan hal itu. Tentu anak buah Kim-sim-pang yang agaknya tahu akan hubungan antara dia dan bibi Cili, maka wanita itu ditangkap. "Ling-moi, aku harus menyelamatkan bibi Cili...." katanya dan sebelum Ling Ling mampu menjawab, Sie Liong sudah meloncat keluar dari rumah itu. Dia tahu kemana harus mengejar. Tak salah lagi, wanita malang itu tentu akan dibawa ke sarang Kim-sim-pang!

Sementara itu, anak yang membawa kabar segera meninggalkan Ling Ling karena dia ketakutan dan bersembunyi kedalam rumahnya sendiri. Ling Ling duduk termenung. Ucapan terakhir Sie Liong masih terngiang ditelinganya. Bagaimanapun juga, ia harus mengakui kebenaran ucapan itu. Bahkan kini sudah nampak bukti kebenarannya. Gerombolan penjahat itu telah menculik bibi Cili! Kalau Sie Liong diikutinya, tentu pendekar itu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa. Ia harus tahu diri. Ia harus dapat memaklumi tugas seorang pendekar! Ia telah terlalu mementingkin diri sendiri. Tidak mungkin seorang pendekar menjadi miliknya sendiri. Seorang pendekar adalah milik masyarakat, milik mereka yang tertindas, mereka yang lemah dan sengsara karena kejahatan orang lain. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh berkelebatnya bayangan orang. Tadinya dengan girang dan penuh harap ia bangkit menyambut karena disangkanya Sie Liong yang datang. Akan tetapi ternyata yang datang adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Seorang pemuda yang tampan dan memiliki sinar mata tajam dan aneh. Ling Ling hendak menjerit akan tetapi sekali pemuda itu menggerakkan tangan, ia roboh terkulai dalam keadaan tertotok lemas dan tidak mampu bersuara. Dilain saat, tubuhnya sudah dipondong oleh pemuda itu yang membawanya lari melalui pintu belakang dengan gerakan cepat sekali. Sie Liong melakukan pengejaran dengan cepat keluar kota. Tak lama kemudian, tepat diduganya, dia melihat sebuah kereta kecil yang ditarik dua ekor kuda dilarikan keluar kota. Dia mempercepat larinya dan sebentar saja dia sudah berhasil menyusul dan sekali dia melompat, dia telah berada didepan kuda yang menarik kereta dan biarpun dia hanya mempunyai sebuah tangan saja, namun tangan yang mengandung tenaga dahsyat itu sekali tangkap telah membuat kuda terbesar berhenti dan meringkik ketakutan. Dari dalam kereta berlompatan keluar empat orang laki-laki, juga kusir kereta itu melompat turun. Mereka berlima sudah memegang senjata golok dan tanpa banyak cakap lagi, mereka sudah menyerang dan mengeroyok Sie Liong! Akan tetapi, pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang kosong, tubuhnya berputar seperti sebuah gasing. "Plak-plak-plak-plak-pla k....!" Lima orang itu bergelimpangan dan roboh tak mampu bangkit kembali. Sambaran ujung lengan baju tadi telah membuat mereka mengalami patang tulang pundak atau rahang. Golok mereka beterbangan dan mereka hanya

mengaduh-aduh dan tidak mampu atau tidak berani bangkit lagi. Sie Liong tidak memperdulikan mereka, lalu menghampiri kereta dan membuka pintunya. Bibi Cili duduk di dalam kereta ketakutan dan menangis.

Sie Liong membimbingnya turun dari kereta. "Jangan takut, bibi. Mari kita pulang," katanya. Wanita itu hanya mengangguk, dan berjalan secepatnya untuk meninggalkan tempat itu dan pulang kerumahnya. Sie Liong mengikutinya. Mereka tidak bercakap-cakap. Bibi Cili masih ketakutan, dan Sie Liong menduga-duga, mengapa gerombolan itu hendak menculik bibi Cili.

Setelah mereka memasuki rumah bibi Cili, barulah Sie Liong tahu bahwa dia telah tertipu! Ling Ling telah lenyap! Dan sebagai gantinya, dia menda patkan sehelai kertas diatas meja, tertancap sebatang pisau belati. Cepat direnggutnya kertas itu dan dibaca tulisannya.

Pendekar Bongkok!

Kalau engkau menghendaki kekasihmu selamat, datanglah kekuil kami!

Kim Sim Lama

Sie Liong mengepal surat itu dalam tangan kanannya. Matanya mengeluarkan sinar mencorong dan dia berkata lirih, "Kim Sim Lama, kalau engkau mengganggu Ling Ling, demi Tuhan, kubunuh engkau!" Dan tubuhnya berkelebat lenyap dari depan bibi Cili yang menjadi semakin ketakutan.

***

"Omitnhud.... sampai sedemikian jauhkah tindakan yang dilakukan oleh Kim Sim Lama? Kalau begitu, demi keamanan dan ketertiban dalam kehidupan rakyat di Tibet, terpaksa kami harus mengambil tindakan."

Dalai Lama bicara dengan nada suara serius, setelah dia mendengarkan pelaporan Lie Bouw Tek yang datang menghadap bersama Sie Lan Hong. Setelah mereka meninggalkan kuburan, dimana mereka melihat kuburan Sie Liong meledak dan melihat Sie Liong yang kini buntung lengan kirinya itu membunuh Thai-yang Suhu kemudian melarikan diri, Lie Bouw Tek mengajak Sie Lan Hong untuk pergi menghadap Dalai Lama kembali. Dalai Lama adalah seorang pendeta kepala yang tentu saja tidak menuruti gejolak hati yang dikuasai amarah. Akan tetapi mendengar laporan dari Lie Bouw Tek tentang perbuatan Kim Sim Lama yang sengaja melempar fitnah kepadanya, apa lagi mendengar betapa Kim Sim Lama kini membentuk gerombolan pemberontak dan berbuat kejam terhadap rakyat, dia tidak dapat tinggal diam saja. Dalal Lama lalu memerintahkan Kong Ka Lama untuk memanggil semua tokoh Lama yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi. Berkumpullah puluhan orang Lama dan diam-diam Lie Bouw Tek kagum. Ternyata Dalai Lama memiliki banyak orang pandai. Dia dan Sie Lan Hong mendapat kehormatan untuk ikut dalam perundingan itu, karena pendekar Kun-lun-pai ini telah dianggap berjasa besar memberi keterangan tentang sepak terjang Kim Sim Lama. Tidak kurang dari duapuluh empat orang pimpinan Lama, dikepalai oleh Konga Sang sendiri, memimpin kurang lebih seratus orang pendeta Lama pilihan dan mereka lalu berangkat menuju ke sarang Kim-sim-pai. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong juga berada di antara para pimpinan. Dan dibelakang, menyusul kemudian lima ratus orang pasukan bergerak menuju ke sarang itu pula, mengambil jalan lain untuk melakukan pengepungan. Di pihak Kim-sim-pang juga para pimpinannya membuat persiapan, akan tetapi persiapan untuk menghadapi Pendekar Bongkok. Ketika Kim Sim Lama mendengar dari para penyelidik bahwa Thai-yang Suhu tewas dan berada didalam kuburan Pendekar Bongkok yang sudah kosong, sedangkan Pendekar Bongkok tidak nampak di sana, dia menyebar para penyelidik untuk mencari dimana adanya Pendekar Bongkok. Para penyelidik ini yang melihat kemunculan Pendekar

Bongkok ketika dia menolong wanita jembel gila dari gangguan tiga orang nelayan. Mereka melaporkan hal ini kepada Kim Sim Lama yang cepat mengatur siasat bersama para pembantunya yang lihai. Dia marah sekali mendengar bahwa Pendekar Bongkok masih hidup dan dapat keluar dari dalam kuburan! Bahkan telah membunuh Thai-yang Suhu! Tadinya, ketika mendengar bahwa mayat Thai-yang Suhu berada didalam kuburan dan mayat Pendekar Bongkok lenyap, dia manduga bahwa tentu tokoh Kun-lun-pai itu yang melakukan pembunuhan terhadap pembantunya itu dan melarikan mayat Pendekar Bongkok. Akan tetapi, ketika dia mendengar laporan para anak buahnya tentang kemunculan Pendekar Bongkok yang menolong gadis jembel gila, dia terkejut bukan main. Dia segera memanggil semua pembantunya untuk merundingkan hal itu.

"Ahh, bagaimana mungkin dia hidup kembali?" Thai Hok Lama, orang keempat Tibet Ngo-houw dan ahli racun itu berseru. "Mungkin saja dia dapat disembuhkan dari pengaruh racun, akan tetapi bagaimana mungkin dia hidup kalau dikubur dan tidak dapat bernapas selama beberapa hari? Ini tentu ada yang menolongnya ketika dia dikubur. Dan yang tahu akan hal itu tentu Camundi Lama!"

"Hemmm, benar sekali!" kata pula Ki Tok Lama, sute dari Lima Harimau Tibet itu. "Kami memang sejak dahulu tidak percaya kepadanya. Dia seorang yang setia kepada Dalai Lama. Hanya karena dia pandai ilmu pengobatan saja kita tidak membunuhnya."

Kim Sim Lama mengangguk-angguk. Diapun curiga kepada Camundi Lama. "Panggil Camundi Lama kesini!" teriaknya kepada pengawal. Sementara itu, mendengar akan lolosnya Pendekar Bongkok, bukan main kaget dan marahnya hati Coa Bong Gan. Lolosnya Pendekar Bongkok bukan saja membahayakan Kim Sim Lama karena rahasianya tentu akan bocor, akan tetapi juga amat berbahaya baginya sendiri. Dia telah membacok buntung lengan kiri pendekar itu, dan tentu dia tidak akan tinggal diam saja, dan tentu akan membalas dendam. Pendekar Bongkok harus didahului!

"Locianpwe, Pendekar Bongkok harus dapat dibasmi, dan saya tahu bagaimana caranya!" kata Coa Bong Gan. Yauw Bi Sian yang hadir disitu tidak banyak bicara. Memang ia masih merasa menyesal bahwa calon suaminya membuntungi lengan kiri Sie Liong, akan tetapi kini ia semangatnya lemah, dan pula bagaimanapun juga, Pendekar Bongkok adalah pembunuh ayah kandungnya.

"Bagaimana cara itu?" tanya Kim Sim Lama, tertarik. "Dia harus dipaksa datang kesini. Saya akan memancingnya keluar dari rumah pondokannya, kemudian saya akan menculik gadis jembel gila itu, dan kalau dia sudah tiba disini, mudah saja untuk membunuhnya!"

Kim Sim Lama tersenyum cerah. "Bagus sekali! Lengan kirinya sudah kaubuntungi, betapapun lihainya, dia tidak ada artinya lagi. Lakukanlah siasat itu sekarang juga!"

Coa Bong Gan cepat pergi sambil mengajak empat orang pendeta Lama, membawa pula sebuah kereta kecil. Untuk memancing Sie Liong keluar meninggalkan rumah bibi Cili, dia menyuruh empat orang pembantunya itu menculik bibi Cili ditempat ramai. Hal ini disengajanya agar Sie Liong diberitakan orang tentang penculikan itu. Dan tepat seperti yang telah dia perhitungkan, Sie Liong berlari cepat sekali dari dalam rumah ketika mendengar bahwa bibi Cili diculik orang. Kesempatan itulah yang dipergunakan Bong Gan untuk memasuki rumah dan menculik Ling Ling, sambil meninggalkan surat tantangan dari Kim Sim Lama kepada Sie Liong, Si Pendekar Bongkok. Ketika Camundi Lama dihadapkan kepada Kim Sim Lama, pendeta ahli pengobatan itu menghadap sambil tersenyum. Dia sudah mendengar berita tentang lolosnya Pendekar Bongkok dari dalam kuburan. Tidak sia-sialah usahanya menyelamatkan pendekar itu dan dia sudah tahu apa yang harus dilakukan kalau Kim Sim Lama mencurigainya.

"Camundi Lama!" bentak Kim Sim Lama dengan sinar mata tajam mencorong. "Engkau pengkhianat! Apa yang telah kaulakukan ketika engkau memimpin penguburan Pendekar Bongkok?"

Camundi Lama tersenyum dan merangkap kedua tangan didepan dadanya. "Omitohud.... pinceng (aku) hanya melakukan yang benar. Kim Sim Lama, engkau telah menjadi hamba kemurkaan dan kejahatan. Engkaulah yang menjadi pengkhianat, mengkhianati Dalai Lama, mengkhianati kebenaran, mengkhianati manusia dan Tuhan! Pinceng hanya mencegah terjadinya pembunuhan keji terhadap diri Pendekar Bongkok. Pinceng memasang tabung ketika dia dikubur hidup-hidup sehingga dia dapat bernapas melalui tabung."

"Keparat jahanam!" Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw berseru marah. Kim Sim Lama juga marah sekali mendengar pengakuan Camundi Lama itu. "Tangkap dia! Akan kusiksa sendiri dia sampai mati!"

Akan tetapi, ketika para pembantu Kim Sim Lama bangkit hendak bergerak, Camundi Lama tertawa. "Ha-ha-ha, tidak perlu kalian repot-repot. Sekarangpun pinceng akan meninggalkan kalian orang-orang yang menjadi hamba nafsu sendiri. Kim Sim Lama, engkau telah menyebar benih kejahatan yang kelak hanya akan meracuni dirimu sendiri lahir batin." Setelah berkata demikian, Camundi Lama roboh dan ketika semua orang memeriksanya, dia telah tewas! Ternyata ketika dipanggil menghadap, kakek ahli pengobatan ini telah mengambil keputusan untuk menelan racun yang kerjanya halus namun pasti.

Ketika Coa Bong Gan datang memondong Ling Ling, Kim Sim Lama menjadi girang sekali. "Ah, pantas kalau Pendekar Bongkok mencinta gadis ini," katanya sambil memandang Ling Ling yang nampak ketakutan. "Kiranya gadis ini bukan jembel gila, melainkan seorang gadis yang cantik dan manis. Coa-sicu, biar kami serahkan gadis ini dalam pengawasanau. Jangan sampai ia dapat lolos sebelum Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan kami."

Coa Bong Gan mengangguk girang dan membawa Ling Ling pergi kekamarnya. Yauw Bi Sian hanya memandang dengan alis berkerut, namun tidak perduli. Kini ia tidak perduli apa-apa lagi, tidak perduli apa yang dilakukan Coa Bong Gan. Ia tidak tahu bahwa semangatnya menjadi lemah karena ia selalu dikuasai oleh kekuatan sihir dari para pendeta Lama pengikut Kim Sim Lama yang selain ahli dalam ilmu silat, juga ahli dalam ilmu sihir. Sebetulnya, sebagai murid terkasih dari Koay Tojin tidak mudah gadis perkasa ini dikuasai ilmu sihir. Akan tetapi, pada saat itu, hatinya sedang risau dan bimbang, perasaannya kacau balau. Sebagian ia merasa dendam dan benci kepada Sie Liong, akan tetapi sebagian pula dari perasaannya ia merasa iba. Juga perasaannya terhadap Bong Gan bercampur aduk dengan kacau. Ada rasa suka yang timbul dari nafsu birahinya sendiri, akan tetapi juga perasaan muak dan benci, bukan saja melihat bahwa Bong Gan seorang pria yang cabul dan khianat, bermain gila dengan Pek Lan. Dan perasaan benci ini semakin kuat karena melihat kecurangan Bong Gan yang menyerang dan membuntungi lengan kiri Sie Liong selagi pemuda itu berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Kini Kim Sim Lama, dan para pembantunya, juga Bi Sian, menanti dengan hati diliputi ketegangan. Beranikah Pendekar Bongkok datang memenuhi tantangan Kim Sim Lama untuk menyelamatkan Ling Ling? Agaknya, Kim Sim Lama yakin akan hal ini. Akan tetapi Bi Sian sendiri diam-diam meragukannya. Begaimana Sie Liong akan berani datang? Selain Kim Sim Lama dan para pembantunya terlampau kuat bagi Sie Liong, juga kini Pendekar Bongkok telah buntung lengan kirinya sehingga tentu saja kelihaiannya berkurang banyak! Selain itu, mengapa pula pamannya itu akan mati-matian mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan seorang gadis peranakan Tibet yang juga tidak amat cantik itu, bahkan kulitnya agak gelap? Bagaimanapun juga, ia ikut merasa tegang menanti kemunculan Sie Liong, Si Pendekar Bongkok. Akhirnya, saat menegangkan yang mereka tunggu-tunggu itupun tibalah. Dan munculnya Pendekar Bongkok sungguh mengejutkan semua orang, termasuk Kim Sim Lama sendiri. Semenjak penculikan terhadap Ling Ling dilakukan dan semenjak kemunculan Sie Liong si Pendekar Bongkok dinanti, kuil Kim-sim-pang ditutup untuk sementara. Semua anak buah pendeta Lama dikerahkan untuk melakukan penjagaan ketat. Akan tetapi betapa mengejutkan! Ketika Kim Sim Lama dan para pembantunya sedang duduk di dalam ruangan belakang, ruangan luas yang juga dipergunakan sebagai ruangan berlatih silat, duduk berunding untuk mengatur siasat kalau Pendekar Bongkok berani muncul, tiba-tiba saja terdengar suara keras pecahnya genteng diatas ruangan itu dan sesosok bayangan melayang turun dari atas, melalui atap yang berlubang. Dan bayangan ini bukan lain adalah Pendekar Bongkok yang sudah buntung lengan kirinya! Sie Liong kini yakin bahwa pengalamannya di dalam kuburan telah mendatangkan suatu tenaga sakti yang luar biasa baginya. Dia telah dapat menyerap tenaga sakti Intisari Bumi! Dengan tenaga sakti yang dahsyat itu, dia mampu bergerak dangan kecepatan yang berlipat ganda dibandingkan sebelum dia menguasainya. Karena itu, maka dia merasa yakin akan dirinya karena walaupun sebelah lengannya telah buntung, namun keadaannya jauh lebih kuat daripada sebelum lengan kirinya buntung. Dengan tenaga sakti dahsyat itu, dia dapat bergerak ringan bagaikan burung sehingga dia mampu menyelinap cepat memasuki sarang para pemberontak itu tanpa diketahui para penjaga dan setelah mengetahui bahwa Kim Sim Lama dan para pembantunya berada di ruangan silat, diapun meloncat naik keatas

genteng, lalu memasuki ruangan itu melalui atap yang dijebolnya. "Kim Sim Lama, aku telah datang memenuhi undanganmu. Harap segera kau bebaskan Ling Ling!" kata Sie Liong, suaranya juga mengandung wibawa dan karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga sakti, maka suara itu melengking dan bergema di ruangan itu, mengandung tenaga yang menggetarkan isi dada Kim Sim Lama dan para pembantunya. Sikapnya tenang saja walaupun dia melihat hadirnya Bi Sian dan Bong Gan disitu. Dan  karena dia belum sempat berganti pakaian, maka pakaian yang melekat ditubuhnya masih pakaian ketika dia dikubur hidup-hidup, dan pakaian itu sudah kotor terkena lumpur. Lengan baju sebelah kiri tergantung lemas dan kosong. Sejenak, ucapannya itu bergema didalam ruangan dan setelah gema itu menghilang, suasana menjadi sunyi sekali, sunyi yang menegangkan. Akhirnya Kim Sim Lama dapat menguasai kekagetannya dan diapun mengeluarkan suara tertawa untuk mengusir ketegangan dan wibawa Pendekar Bongkok. Ketika tertawa, Kim Sim Lama bukan sembarang tertawa, melainkan mengisinya dengan khi-kang, sehingga suara ketawanya juga bergema dan menggetarkan jantung. "Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bongkok, atau sekarang menjadi Pendekar Buntung atau Pendekar Bongkok Buntung? Bagus sekali, engkau datang menyerahkan nyawamu. Sekarang hatiku akan yakin bahwa engkau akan benar-benar mati, karena sekali ini kami tidak ingin gagal. Engkau akan mati ditanganku sendiri!"

Biarpun menghadapi ancaman dan berhadapan dengan Kim Sim Lama bersama banyak sekali pembantunya, belum lagi anak buahnya yang puluhan orang banyaknya di luar ruangan, namun Sie Liong masih bersikap tenang. "Kim Sim Lama, engkau telah menculik Ling Ling, menggunakannya sebagai umpan untuk memancing aku datang. Nah, aku sudah datang memenuhi undanganmu. Bersikaplah sebagai laki-laki sejati, keluarkan Ling Ling!"

"Orang she Sie yang sombong!" Tiba-tiba Thay Bo Lama, orang termuda Tibet Ngo-houw yang terkenal berangasan itu sudah moloncat dan mema ki. "Tidak perlu engkau menjual lagak. Bukankah engkau datang ke Tibet untuk mencari Tibet Ngo-houw? Nah, kami berlima sudah berada didepanmu. Tidak perlu pemimpin kami yang maju. Hayo kami Tibet Ngo-houw yang mempertanggung jawabkan semua perbuatan kami. Engkau mau apa? Sekali ini engkau tentu akan mati, bahkan tidak kebagian kuburan lagi!"

Empat orang saudaranya sudah pula bangkit. Mereka semua setuju dengan sikap Thay Bo Lama. Biarpun pernah mereka berlima mengeroyok namun tidak dapat memperoleh kemenangan, dan baru setelah Kim Sim Lama yang maju mereka semua berhasil menangkap Sie Liong, akan tetapi kini mereka sama sekali tidak takut. Mereka bahkan memandang rendah pendekar itu dan mereka ingin menebus kekalahan mereka. Kini setelah pendekar itu kehilangan lengan kiri, mereka yakin bahwa mereka akan mampu merobohkan dan membunuh Pendekar Bongkok. Sie Liong memandang kepada mereka sejenak, kemudian dia menoleh kepada Kim Sim Lama. "Kim Sim Lama, apakah omongan Tibet Ngo-houw dan engkau sendiri dapat kupercaya? Tibet Ngo-houw hendak mengeroyok aku, apakah engkaupun akan turun tangan lagi membantu mereka? Lebih baik dari sekarang berterus terang apakah engkau ingin maju sendiri

dan mengeroyokku dengan semua pembantumu yang berada disini? Dan mengerahkan pula semua anak buahmu!" Sie Liong kini menyapa semua orang dengan pandang matanya dan sejenak pandang matanya hinggap di wajah Bi Sian. Wanita itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat. Nyeri rasa hati Sie Liong melihat kehadiran keponakannya sebagai seorang di antara anak buah Kim Sim Lama! Ucapan ini mengobarkan kemarahan dalam hati Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Memang dia harus mengakui bahwa seorang diri saja, dia pernah dikalahkan Pendekar Bongkok. Akan tetapi sekarang, Pendekar Bongkok kehilangan lengan kirinya! Jangankan dia maju berlima, bahkan seorang diripun agaknya dia akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok!

"Pendekar Bongkok, dengarlah! Kami, Tibet Ngo-houw, akan membunuhmu tanpa bantuan siapapun! Biarlah kami berlima mampus ditanganmu kalau sampai ada yang membantu kami. Kau yang sudah hampir mampus ini masih berani bertingkah dan mengeluarkan omongan besar! Nah, terimalah....!" Thay Ku Lama meloncat kedepan, dan tiba-tiba dia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok. Terdengar suara berkokokan dari dalam perutnya yang gendut itu. Kedua lengannya digerakkan menyilang dan selain

perutnya yang gendut, juga kedua kakinya mengeluarkan suara berkerotokan kemudian tiba-tiba saja dia meloncat kedepan, kedua lengannya menyerang dengan dorongan kedua telapak tangan kearah dada Sie Liong! Sesungguhnya, orang-orang dengan kepandaian setingkat Tibet Ngo-houw ini sudah langka sekali dan sukar dicari tandingan mereka. Tingkat ilmu mereka, baik ilmu silat atau ilmu batin, sudah amat tinggi. Dan ilmu pukulan yang dipergunakan Thay Ku Lama itu adalah Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Awan Hitam dan Badai). Kekuatan yang luar biasa terkumpul didalam perutnya yang gendut dan seperti seekor katak beracun, begitu kekuatan dari perut itu dilepaskan, maka terciptalah gerak serangan yang amat dahsyat. Seketika angin menyambar dahsyat dibarengi uap hitam mengepul ketika dua tangan yang terbuka itu meluncur kearah dada Sie Liong. Sejak tadi Sie Liong dapat menduga bahwa orang pertama Tibet Ngo-houw itu menyerangnya dengan pengerahan tenaga sakti yang hebat. Dia tidak merasa takut, bahkan tanpa mengelak dia lalu mendorongkan tangan kanannya menyambut.   "Desss....! Plakkk!" Lengan baju kiri itu menyusul dengan kecepatan kilat ketika tangan kanannya menyambut serangan lawan. Pertemuan tenaga sakti yang amat hebat terjadi ketika tangan kanan Pendekar Bongkok bertemu dengan kedua tangan Thai Ku Lama, dan pada saat itu, Thay Ku Lama terkejut sekali, wajahnya seketika pucat dan mulutnya menyeringai kesakitan. Dia merasa seolah semua tenaganya membalik dan menghantam isi perutnya sendiri. Pada saat itu, nampak sinar putih menyambar dan mengenai tengkuknya. Itulah sambaran lengan baju yang kosong, dan begitu terkena lecutan ujung lengan baju ini, Thay Ku Lama terjungkal dan muntah darah! Ketika empat orang adiknya memeriksa, ternyata orang pertama Tibet Ngo-houw itu telah tewas! Dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw, telah tewas ditangan Pendekar Bongkok yang hanya memiliki tangan tunggal, yaitu yang kanan saja. Empat orang pendeta Lama itu selain terkejut, juga marah bukan main. They Si Lama sudah mencabut cambuknya, Thay Pek Lama mencabut sepasang pedang. Thay Hok Lama melolos rantai bajanya, dan Thay Bo Lama juga menyambar tombaknya. Mereka berempat lalu mengepung dan menerjang dengan ganas.

Sementara itu, Kim Sim Lama memandang dengan wajah agak berubah. Apa yang baru saja terjadi sungguh mengejukan hatinya bukan main. Dia tahu betapa lihainya Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw dangan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang itu. Akan tetapi dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama tewas ditangan Pendekar Bongkok. Padahal, Pendekar Bongkok sudah tidak berlengan kiri lagi. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikirnya. Sebelum lengan kirinya buntungpun, Pendekar Bongkok tidak mungkin dapat menewaskan Thay Ku Lama seperti itu. Mungkinkah dia mendapatkan ilmu baru? Rasanya hal itu tidak mungkin terjadi. Baru beberapa hari saja lewat sejak Pendekar Bongkok buntung lengan kirinya. Bagaimana mungkin dalam waktu beberapa hari saja sudah memperoleh ilmu yang demikian dahsyatnya!

Akan tetapi, kini sepasang matanya terbelalak penuh kekagetan dan keheranan. Pendekar Bongkok memang jelas bukan Pendekar Bongkok yang tempo hari sebelum lengan kirinya buntung! Menghadapi hujan serangan empat orang yang sedang marah dan sakit hati itu, Pendekar Bongkok hanya menggerakkan tangan kanan yang mendorong-dorong, dan lengan baju kirinya menyambar-nyambar. Hebatnya, semua senjata empat orang Harimau Tibet itu selalu terdorong membalik sebelum bertemu dengan tangan kanan, dan setiap kali bertemu ujung lengan baju kiri, seolah-olah dari tubuh Pendekar Bongkok keluar semacam tenaga sakti yang dahsyat dan yang merupakan perisai yang melindungi tubuhnya. Setelah Pendekar Bongkok selalu menangkis pengeroyokan lawan seolah hendak menguji tenaga mereka, tiba-tiba Pendekar Bongkok mengeluarkan suara melengking tinggi dan

tubuhnya membungkuk kedepan, kaki kanan ditarik kebelakang dan tubuh atasnya yang bongkok itu lurus kedepan. Tangan kanannya mencengkeram kedepan, dan lengan baju kiri yang tadinya ditarik kebelakang, membentuk garis lurus seperti seekor naga meluncur, tiba-tiba ujung lengan baju kiri yang agaknya membentuk ekor naga itu menyambar kedepan.

Terdengar suara bersiutan dan disusul pekik dan robohnya empat orang pendeta Lama itu susul menyusul. Kim Sim Lama terbelalak ketika melihat betapa empat orang pembantunya itu roboh untuk tidak bangun kembali karena ternyata mereka telah tewas! Juga para pembantunya yang lain terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Betapa mungkin pemuda bongkok yang lengan kirinya sudah buntung itu mampu membunuh lima orang Tibet Ngo-houw yang terkenal sakti itu dalam waktu demikian singkatnya? Kim Sim Lama sendiri menjadi gentar melihat kesaktian luar biasa yang dimiliki Pendekar Bongkok. Kalau Tibet Ngo-houw roboh dalam waktu demikian singkatnya, dia sendiripun akan sukar untuk dapat menandingi Pendekar Bongkok. Maka tanpa malu-malu lagi dia lalu mengeluarkan aba-aba, memerintahkan para pembantunya untuk maju mengeroyok. Juga dia berseru agar pasukan yang berada diluar bersiap-siap mengepung!

"Kim Sim Lama, bebaskan Ling Ling dan aku tidak akan mencampuri urusanmu!" bentak Sie Liong, bukan khawatir akan pengeroyokan terhadap dirinya melainkan khawatir akan nasib Ling Ling yang terjatuh kedalam tangan para pemberontak Tibet ini. Akan tetapi tentu saja Kim Sim Lama tidak memperdulikan permintaan ini. Pemuda ini terlalu berbahaya baginya, apalagi

sudah membunuh Tibet Ngo-houw, pembantu-pembantu utamanya yang merupakan tangan kanan baginya. Pendekar Bongkok harus dibasmi! "Bunuh dia!" perintahnya sambil menggerakkan tangan, matanya berkilat marah. Semua pembantunya sudah menghunus senjata, kecuali Yauw Bi Sian. Ia hanya duduk termenung. Ia terkejut dan kagum bukan main melihat pamannya yang dapat membunuh Tibet Ngo-houw sedemikian mudahnya. Pamannya yang telah buntung lengan kirinya itu ternyata menjadi semakin sakti! Diam-diam ada perasaan girang menyelinap dihatinya. Ah, kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayah kandungnya, ingin rasanya ia mencabut senjata untuk membantu pamannya menghadapi pengeroyokan semua orang itu! Ia akan rela mengorbankan nyawanya untuk membela pamannya yang dikasihinya itu. Akan tetapi, pamannya telah menjadi musuh besarnya, telah membunuh ayahnya, kini ia termangu. Tidak mau ia ikut mengeroyok. Memang, ia telah bersumpah untuk membunuh Sie Liong, untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi ia tidak sudi mengeroyok Pendekar Bongkok bersama orang-orang yang sesat itu.

Akan tetapi pada saat Sie Liong menghadapi pengepung para pembantu Kim Sim Lama yang terdiri dari orang-orang pandai, diantaranya terdapat Coa Bong Gan, Pek Lan, Ki Tok Lama, dan belasan orang pendeta Lama lain, tiba-tiba terdengar sorak sorai gegap gempita diluar sarang gerombolan pemberontak itu, disusul suara pertempuran besar. Kim Sim Lama terkejut, apalagi ketika seorang perajurit tergopoh-gopoh melapor bahwa sarang mereka diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh para pendeta anak buah Dalai Lama, Kim Sim Lama cepat melompat keluar dari ruangan itu, diikuti oleh para pendeta Lama lainnya! Keadaan menjadi geger dan orang-orang agaknya demikian bingung dan panik mendengar bahwa tempat itu diserbu pasukan Dalai Lama sehingga mereka seperti telah melupakan Pendekar Bongkok. Sie Liong juga tidak tahu harus berbuat apa. Orang-orang itu berlompatan pergi, juga Coa Bong Gan dan yang tinggal disitu akhirnya hanya dia dan Yauw Bi Sian! Mereka berdiri saling pandang, dan melihat pandang mata penuh kebencian dari gadis itu, Sie Liong menghela napas panjang. "Bi Sian...." kata Sie Liong lirih. Akan tetapi, saat itu, ketika mereka berdiri hanya berdua saja didalam ruangan yang luas itu, Bi Sian teringat akan nasibnya, teringat betapa ayahnya terbunuh oleh pemuda bongkok ini. Bahkan pemuda bongkok ini yang membuat ia meninggalkan ibunya, merantau sampai bertemu dengan Bong Gan dan akhirnya ia ternoda oleh Coa Bong Gan, sutenya sendiri. Semua ini membuat hatinya terasa perih, dan semua ini gara-gara Sie Liong! Kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayahnya, tentu tidak akan sampai terjadi semua ini!

"Sie Liong, akhirnya kita dapat berhadapan satu lawan satu. Engkau harus menebus nyawa ayah, Bersiaplah!" Bi Sian mencabut pedang Pek-lian-kiam. Akan tetapi, Sie Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan sinar mata duka. Dia maklum bahwa Bi Sian masih menuduh dia sebagai pembunuh Yauw Sun Kok, ayah gadis itu, suami encinya. Percuma saja dia menyangkal.

"Bi Sian, tolonglah aku. Katakan dimana Ling Ling. Aku akan membebaskannya kemudian pergi dari sini." Pada saat itu, Bong Gan memasuki ruangan sambil berseru, "Suci, mari kita pergi!"

Melihat betapa pemuda itu memegang lengan Ling Ling, Sie Liong segera menghampirinya. "Lepaskan Ling Ling....!" Bong Gan tersenyum mengejek. "Mundur kamu, bongkok! Atau.... akan kubunuh gadis ini didepan matamu!"

Mendengar ancaman itu, Sie Liong terkejut dan diapun menahan langkahnya. Dia dapat menyerang Bong Gan, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau pemuda jahat itu akan lebih dulu membunuh Ling Ling. Melihat sutenya hendak menjadikan gadis peranakan Tibet itu menjadi sandera, Bi Sian mengerutkan alisnya. "Sute, lepaskan gadis itu!"

"Aih, tidak bisa, suci! Dia lihai sekali, kalau dia bergerak, aku akan bunuh gadis ini lebih dulu!" Tanpa malu-malu Bong Gan berseru. "Pengecut!" Bi Sian memaki. "Akupun tidak membutuhkan bantuanmu kalau engkau takut kepada Sie Liong. Biar aku sendiri yang akan menuntut balas atas kematian ayahku. Bebaskan gadis itu kataku!" Bong Gan memandang dengan bingung. Dia menoleh keluar dan mendengarkan suara pertempuran yang tengah berlangsung diluar. "Baiklah. Pendekar Bongkok, Sie Liong,

janjilah lebih dahulu bahwa engkau tidak akan menyerangku kalau aku bebaskan gadis ini!" Tentu saja dia merasa takut karena tadi dia melihat sendiri betapa Pendekar Bongkok telah dapat membunuh lima orang Tibet Ngo-houw dengan mudahnya. Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Pendekar Bongkok yang kini menjadi amat sakti itu. Dan dia sudah membuntungi lengan kiri Pendekar Bongkok, maka dia merasa jerih kalau-kalau Pendekar Bongkok akan membalas dendam dan membunuhnya.

Sie Liong menatap wajah Coa Bong Gan dengan sinar mata mencorong. "Kalau engkau tidak mengganggu gadis itu dan membebaskannya, aku tidak akan menyerangmu. Akan tetapi kalau engkau mengganggunya atau membunuhnya, demi Tuhan, lari kemanapun engkau, akan kukejar sampai dapat!"

Bong Gan bergidik melihat mata yang mencorong itu dan dia mendorong tubuh Ling Ling kearah Sie Liong. Gadis itu yang sejak tadi diam saja, hanya memandang kepada Sie Liong dengan suka pucat, terhuyung kearah Sie Liong yang segera menyambut dengan rangkulan penuh kasih sayang. "Ling Ling...."

"Liong-koko.... ahh, Liong-koko....!" Dan tiba-tiba saja Ling Ling menangis tersedu-sedan diatas dada Sie Liong. Air matanya membanjir seperti bendungan pecah. Kalau tadi ia hanya diam saja dengan muka pucat, kini tangisnya tak dapat ditahan lagi, membuatnya sesenggukan dan tersedu-sedu. "Suci, mari kita pergi. Pertempuran terjadi diluar. Dalai Lama dan pasukannya telah menyerbu. Kalau terlambat, kita celaka!" kata Bong Gan.

"Pengecut, engkau boleh pergi. Aku tidak akan pergi, aku harus membalaskan kematian ayahku. Dia telah membunuh ayah, maka dia harus menebus nyawa ayah, aku akan mati pula ditangannya!"

"Bi Sian, aku tidak membunuh ayahmu...." Sie Liong yang masih mendekap Ling Ling yang menangis itu, membantah lemah.

"Tidak perlu bohong! Tidak perlu menyangkal, Apakah engkau juga ingin menjadi pengecut yang tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatanmu? Sie Liong, engkau pembunuh ayahku, maka bersiaplah, mari kita selesaikan dengan mengadu nyawa!"

"Sie Liong bukan pembunuh ayahmu, Bi Sian!" Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dan muncullah Sie Lan Hong bersama Lie Bouw Tek di pintu ruangan itu! "Ibuuu....!" Bi Sian berseru, memburu kepada ibunya. Mereka saling rangkul. "Ibu, apa artinya ucapanmu tadi?"

"Bi Sian, anakku. Percayalah, Sie Liong bukan pembunuh ayahmu! Aku yakin akan hal itu!"

"Ibu....!" Bi Sian memandang kepada ibunya penasaran. "Kalau bukan dia yang membunuh ayah, habis siapa?"

"Engkau mau tahu siapa pembunuh ayahmu? Dialah orangnya!" Sie Lan Hong menunjuk kearah Coa Bong Gan yang seketika pucat dan terbelalak. Karena semua mata kini ditujukan kepadanya, dia menjadi gentar dan tanpa disadarinya, dia melangkah mundur sampai mepet kedinding.

"Ibu, apa artinya ini? Sute Coa Bong Gan yang membunuh ayah? Bagaimana pula ini? Ibu, aku bingung, aku tidak mengerti...." Bi Sian masih meragu karena hal itu dianggapnya tidak masuk akal.

"Tidak benar, suci, itu fitnah saja!" Bong Gan mencoba untuk membantah, walaupun wajahnya sudah menjadi pucat sekali.

"Diam kau!" bentak Bi Sian. "Ibu tidak akan menuduh dengan fitnah! Ibu, jelaskanlah agar aku dapat mengerti."

"Bi Sian, setelah engkau pergi, aku lalu melakukan penyelidikan tentang kematian ayahmu. Dan hasilnya sungguh mengejutkan. Malam itu, ayahmu pergi kerumah pelesir, tempat para pelacur dan ayahmu ditempat itu minum sampai mabok. Akan tetapi, menurut keterangan para pelacur disana, sebelum ayahmu tiba, disana ada seorang tamu lain. Ayahmu melihat tamu itu, dan tamu itulah yang telah membunuh ayahmu."

"Siapa...., siapa dia, ibu?"

"Tamu itu adalah dia, Coa Bong Gan ini!"

"Bohong!" teriak Bong Gan. "Apa perlunya aku membunuh ayahmu, suci?"

"Hemm, apa perlunya?" Sie Lan Hong berkata. "Suamiku telah melihatmu dirumah pelacuran. Dan engkau tentu merasa takut kalau sampai suamiku menceritakan kelakuanmu yang hina itu kepada puteriku. Engkau jatuh cinta kepada puteriku ini, bukan? Tentu engkau tidak ingin puteriku mendengar bahwa engkau berkeliaran dan bermain gila dirumah pelacuran, maka engkau membunuh suamiku yang sedang mabok. Dan untuk menghilangkan jejak, engkau menyamar sebagai adikku dan melempar kedok itu didekat kamar Sie Liong!"

"Aihh, pantas dia bersikeras untuk membunuhku, dan telah berhasil membuntungi lengan kiriku. Tentu untuk menghilangkan sama sekali jejaknya." kata Sie Liong yang masih merangkul Ling Ling. Bi Sian kini menjadi pucat, sepasang matanya terbelalak memandang kepada Bong Gan, saking kagetnya, herannya dan marahnya ia sampai merasa hampir pingsan. Ling Ling meronta lepas dari rangkulan Sie Liong ketika mendengar ucapan Sie Liong. "Liong-koko, jadi dia itulah yang telah membuntungi lenganmu? Keparat jahanam....!" Ling Ling berlari menghampiri Bong Gan dengan sikap seperti seekor singa betina yang hendak menyerang dengan cakaran dan gigitan.

"Ling Ling, ke sinilah....!" Namun, seruan Sie Liong itu terlambat. Bong Gan secepat kilat sudah menyambar lengan Ling Ling dan menelikungnya. Dia kini tersenyum menyeringai dan memandang kepada semua orang dengan sikap menantang. "Kalian semua mundur! Kalau ada yang berani maju, akan kubunuh gadis ini!"

Melihat betapa Ling Ling kembali menjadi tawanan Bong Gan, tentu saja Pendekar Bongkok tidak berani berkutik. Juga Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek yang keduanya sudah memegang pedang masing-masing, tidak berani maju. Akan tetapi, Bi Sian tidak perduli. Ia melangkah maju menghampiri sutenya, pedang Pek-lian-kiam masih ditangannya, matanya tak pernah berkedip, terbelalak memandang kepada pemuda itu.

"Coa Bong Gan.... kau.... kau..... yang telah membunuh ayah?" katanya lirih, seperti orang bertanya juga seperti orang meragu dan tidak percaya.

"Suci, mundur kau! Akan kubunuh gadis ini kalau engkau tidak mau mundur!" bentak Bong Gan. "Bunuh aku! Keparat jahanam kau! Bunuh aku!" Ling Ling meronta, lalu setelah lengan sebelah terlepas, ia nekat mencakar dan menggigit. "Hayo bunuh aku! Jahanam busuk kau, bunuh aku! Engkau telah membuntungi lengan Liong-koko! Hayo kau bunuh aku....!" Dan bagaikan gila Ling Ling menubruk kearah pedang yang dipegang Bong Gan. Pemuda ini kewalahan juga ketika Ling Ling meronta, mencakar dan menggigit. Ketika dia hendak menggerakkan tangan kiri untuk menotok, hal yang tidak mudah karena tubuh gadis itu meronta dan menggeliat-geliat, tiba-tiba Ling Ling dengan nekat menubruk kearah pedang. Pedang yang runcing itu memasuki perutnya dan darah muncrat ketika dengan lunglai, Ling Ling roboh. Bong Gan terbelalak dan meloncat kebelakang sambil menarik pedangnya. "Ling-moi....!" Secepat kilat Pendekar Bongkok meloncat dan menyambar tubuh Ling Ling yang mandi darah. Sekali

memeriksa, tahulah dia bahwa sia-sia saja menolong gadis itu. Gadis itu dalam sekarat!

"Ling Ling.... ahhh, Ling Ling.... kenapa kaulakukan itu....?" Sie Liong menangis, mengguncang tubuh gadis itu dan menciumi mukanya. Ling Ling menggerakkan bibirnya, berkata lirih. ".... aku.... aku lebih baik mati.... koko.... aku tidak berharga lagi.... dia.... dia telah monodaiku...." Dan iapun terkulai, tewas dan tak bernyawa lagi.

"Ling-moi.... Ling-moi....!" Sie Liong mendekap mayat yang masih hangat itu dan menangis sesenggukan diatas muka dan lehernya yang basah oleh air matanya. Dia tidak perduli betapa pakaian dan tubuhnya penuh darah yang mengalir keluar dari luka diperut Ling Ling. Dia merasa seolah-olah nyawanya sendiri yang melayang. Baru dia menyadari betapa dia amat menyayang gadis ini, betapa amat berat berpisahan dengannya. "Jahanam engkau, Coa Bong Gan!" sekali meloncat, Bi Sian telah berada didepan pemuda itu, sepasang matanya seperti dua bola api yang bernyala. "Engkau sungguh seorang manusia berhati iblis! Aku yang dahulu membujuk suhu untuk menolongmu dan mengambilmu sebagai murid! Ternyata engkau lebih rendah daripada seekor binatang! Eagkau telah membunuh ayahku, engkau telah membuntungi lengan kiri tangan kiri paman Sie Liong! Engkau telah menodai aku dengan tipu muslihat, kini aku tahu! Dan engkau masih begitu keji untuk menodai Ling Ling yang menjadi tawanan. Coa Bong Gan, kalau aku tidak membunuhmu, aku akan menjadi setan penasaran!"

Kini Bong Gan kelihatan ketakutan sekali. Dia tadi hendak mempergunakan LingLing sebagai sandera untuk menyelamatkan diri, akan tetapi tak disangkanya, Ling Ling dengan nekat membunuh diri. Dia menoleh ke arah satu-satunya pintu diruangan itu. Disitu telah berdiri Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek dengan pedang ditangan, siap untuk menghadangnya dan mencegah dia melarikan diri. Dan Pendekar Bongkok yang ditakutinya itu masih menangis sambil mendekap mayat Ling Ling! Kalau saja dia dapat merobohkan sucinya, masih ada harapan baginya untuk menyelamatkan diri selagi Pendekar Bongkok asyik menangisi kematian kekasihnya. Yang ditakuti hanya Pendekar Bongkok. Biarpun dia tahu akan kelihaian sucinya, bagaimanapun juga dia sanggup menandinginya. "Bi Sian, ingat, engkau sudah menjadi isteriku! Mari kita pergi dari sini, melupakan segalanya dan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia berdua...." Dia masih mencoba untuk membujuk, akan tetapi pada saat itu, pedangnya bergerak menusuk kearah dada Bi Sian. Memang pemuda ini curang sekali, dan amat licik. Dia sengaja bicara untuk membuat Bi Sian lengah dan hampir dia berhasil. Bi Sian yang mendengar ajakannya itu merasa begitu muak sehingga ia menjadi lengah dan ketika Bong Gan menusukkan pedangnya secara tiba-tiba, ia terkejut. Tidak ada kesempatan lagi untuk menangkis dan ia segera melempar diri kesamping untuk menghindar. Akan tetapi ujung pundak, pada pangkal lengan, masih tercium mata pedang yang membuat baju dan kulit dibagian itu terobek dan berdarah. "Jahanam!" Bi Sian memaki dan kini ia menyerang dengan pedangnya. Demikian marahnya Bi Sian sehingga serangannya amat ganas dan dahsyat. Bong Gan yang sebetulnya jerih itu, menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan pedang yang seru dan mati-matian antara suci dan sute ini, antara dua orang muda yang tadinya akan menjadi suami isteri. Bi Sian menggerakkan pedangnya penuh semangat dan penuh kebencian, dengan nafsu membunuh berkobar-kobar. Sebaliknya Bong Gan melawan dengan perasaan gentar dan bingung. Dia mengharapkan dapat bertahan cukup lama agar memberi kesempatan kepada kawan-kawannya untuk datang membantunya. Bong Gan sama sekali tidak tahu bahwa keadaan Kim Sim Lama dan anak buahnya tidak lebih baik daripada keadaannya. Mereka itu sudah terkepung dan kini Kim Sim Lama bahkan sudah dikeroyok oleh Kong Ka Lama sendiri yang dibantu banyak pendeta Lama yang berkepandaian tinggi. Dan anak buah pemberontak itupun sudah terhimpit oleh pasukan Dalai Lama, banyak yang roboh dan banyak pula yang terpaksa menyerah karena tidak mampu melawan lagi. Sie Liong telah mampu menguasai dirinya lagi. Dia masih

memangku mayat Ling Ling, dan kini dia tidak lagi menangis. Dia mengangkat muka memandang perkelahian yang terjadi antara Bi Sian dan Bong Gan. Dia merasa iba sekali kepada Bi Sian. Dia tadi mendengar pula pengakuan Bi Sian bahwa keponakannya itu telah pula dinodai oleh Bong Gan. Betapa jahatnya pemuda itu. Kalau saja pemuda itu tidak sedang berkelahi mati-matian melawan Bi Sian, tentu dia sudah menerjangnya. Pemuda itu terlampau jahat untuk dibiarkan hidup. Akan terlalu banyak orang yang akan menjadi korban kejahatannya. Akan tetapi, dia tidak bergerak untuk membantu Bi Sian. Dia dapat melihat betapa pemuda itu tidak akan mampu mengalahkan Bi Sian. Biarlah, biarlah Bi Sian yang akan menghukumnya. Gadis itu lebih berhak.

Sie Lan Hong yang berdiri di ambang pintu untuk menghadang larinya Bong Gan, ditemani oleh Lie Bouw Tek, memandang kearah perkelahian itu dengan mata basah dan wajah pucat. Iapun merasa iba kepada puterinya. Puterinya telah ditipu oleh sutenya sendiri yang jahat, bukan hanya puterinya memusuhi Sie Liong yang tidak berdosa, bahkan puterinya telah dinodai pemuda itu yang ternyata adalah pembunuh suaminya. Ia dapat merasakan betapa pedih hati puterinya. Tadi ia hendak meloncat dan membantu puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh Lie Bouw Tek. Ketika ia menoleh, pendekar Kun-lun-pai itu menggeleng kepalanya.

"Tingkat kepandaian mereka terlalu tinggi. Berbahaya bagimu dan bagi puterimu sendiri kalau engkau membantu. Kulihat puterimu tidak akan kalah," demikian kata Lie Bouw Tek. Dia sendiri juga tidak berani membantu karena kalau hal ini dia lakukan, dia bukan membantu Bi Sian, sebaliknya malah akan menjadi penghalang gerakan gadis yang amat lihai itu. Namun dia tetap berjaga-jaga dan tentu akan membantu kalau sampai puteri wanita yang dicintainya itu terancam bahaya kekalahan.

Pertempuran antara Bi Sian dan Bong Gan kini sudah mencapai puncaknya. Sudah empat puluh jurus mereka saling serang, dan walaupun Bi Sian selalu berada di pihak yang mendesak, namun Bong Gan masih mampu mempertahankan diri dan belum juga roboh walaupun paha kirinya telah terobek kulitnya, dan juga pangkal lengan kanannya sudah tersayat. Bi Sian sendiri hanya mengalami luka yang pertama tadi, ketika pangkal lengan kirinya robek kulitnya oleh serangan pertama yang curang. Kini pedang Pek-lian-kiam lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan yang menghimpit lawan sehingga sinar pedang yang dimainkan Bong Gan semakin menyempit. Pemuda itu didesak terus, berputar-putaran didalam ruangan yang luas itu. Dia maklum bahwa tidak ada jalan keluar melarikan diri, maka diapun melawan mati-matian dan dengan nekat.

"Haiiiittt....!" Untuk kesekian kalinya, pedang Pek-lian-kiam yang bergulung-gulung sinarnya itu meluncur dan mencuat kearah leher Bong Gan, kemudian bertubi-tubi pedang itu menusuk kearah dada pemuda itu. Dasar ilmu pedang yang dimainkan Bi Sian adalah ilmu tongkat Ta-kui tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Setan) dari Koay Tojin. Dan jurus yang dimainkannya itu adalah jurus yang disebut Menghitung Tulang Iga. Tentu saja Bong Gan juga mengenal jurus ini, dan dia sudah memutar pedangnya untuk melindungi bagian dada yang dihujani pedang suci-nya yang ditangkisnya, pada saat itu, Bi Sian menggerakkan

tangan kirinya dan dengan jurus pukulan Menghancurkan Kepala Setan, tangan kiri gadis itu dengan tenaga sepenuhnya menghantam kearah kepala Bong Gan!

"Plakkk!" Biarpun Bong Gan sudah miringkan kepalanya, tetap saja pelipisnya terkena hantaman itu. Dia mengeluarkan jerit mengerikan dan tubuhaya terpelanting. Saat itu, Bi Sian menubruk dan melihat ini, Sie Liong berseru kaget dan heran.

"Bi Sian, jangan....!" Namun terlambat, ketika Bi Sian menubruk, Bong Gan yang matanya melotot besar itu menusukkan pedangnya. "Cappp....!" Pedang itu menembus dada Bi Sian dan keduanya lalu roboh terkulai. Bong Gan tewas seketika, dan Bi

Sian merintih-rintih. "Bi Sian....!" Sie Lan Hong lari menubruk puterinya yang tidak merintih lagi, melainkan memandang kepada ibunya.

"Ibu.... maafkan.... aku...."

"Bi Sian.... anakku....!"

Sie Lan Hong menjadi lemas dan ia pun pingsan dalam rangkulan Lie Bouw Tek. Sie Liong juga sudah berlutut didekat Bi Sian dan kini ia memangku kepala Bi Sian seperti yang dilakukan kepada Ling Ling tadi. Setelah dia memeriksa, diapun menarik napas panjang. Pedang di tangan Bong Gan tadi telah masuk terlalu dalam dan sukar menyelamatkan nyawa gadis itu.

"Bi Sian, kenapa kaulakukan itu?" tegur Sie Liong. Dia tahu bahwa gadis itu sengaja membiarkan dadanya ditusuk pedang. Gerakan gadis yang tadi menubruk merupakan bunuh diri dan dia melihatnya dengan jelas.

"Aku.... untuk apa aku.... hidup lebih lama....? Paman.... kau.... kau mau memaafkan aku....?"

Sie Liong menunduk dan mencium dahi itu. "Tentu saja.... engkau keponakanku tersayang...."

Bi Sian tersenyum walaupun wajahnya pucat sekali. Terlalu banyak darah membanjir keluar dari dadanya. "Paman.... kalau aku hidup.... aku hanya akan menderita siksa batin.... menyesali kebodohanku.... aku.... aku ingin mati.... akan kuceritakan kepada ayah.... engkau tidak membunuhnya, engkau.... engkau pamanku yang baik...."

"Bi Sian...." Sie Liong memeluk dan mendekap kepala keponakannya itu. "Sudahlah.... jangan banyak cakap.... aku memaafkanmu, engkau keponakanku yang baik...."

"Paman, engkau amat mencinta.... Ling Ling....?" Diingatkan kepada Ling Ling yang menggeletak tak bernyawa didekat situ, Sie Liong menoleh lalu memejamkan mata. Beberapa butir air mata mengaliri kedua pipinya. Dia mengangguk. "Aku.... cinta padanya, Bi Sian. Aku.... aku cinta...."

"Dan.... aku? Kau.... sayang padaku, paman....? Bukan? Kausayang kepadaku....?"

Dalam ucapannya itu terkandung permohonan yang demikian mendalam sehingga bagi Sie Liong merupakan tusukan pedang yang membuatnya tak dapat menahan tangisnya. Dia mengangguk-angguk saja mengangguk-angguk tanpa mampu menjawab.

"Bi Sian anakku....!" Sie Lan Hong yang baru saja siuman, mengeluh dan menubruk Bi Sian yang masih dirangkul Sie Liong. Wanita ini menangis terisak-isak.

"Ibu.... katakanlah, engkau.... memaafkan aku, ibu. Paman.... paman Liong juga.... sudah memaafkan aku...." Bi Sian merangkul diantara isaknya ia berbisik. "Ibu memaafkanmu.... nak...." Dan terdengar Bi Sian melepas napas panjang seperti orang yang merasa lega, akan tetapi itu merupakan nafas terakhir.

"Bi Sian....!" Sie Lan Hong kembali jatuh pingsan.

***

Pertempuran telah selesai. Kim Sim Lama dalam keadaan luka-luka berat menjadi tawanan. Dia akan menjalani hukuman di dalam tempat hukuman khusus di Tibet. Dihukum dan dikeram sampai akhir hidupnya. Dalai Lama sendiri datang melayat ketika jenazah Bi Sian dan Ling Ling sudah dimasukkan peti mati dan disembahyangi.

Juga para pendeta Lama datang melayat ketika dua buah peti itu dimakamkan. Setelah semua pendeta Lama yang melayat berpamit dan meninggalkan tanah kuburan, yang tinggal disitu hanya Sie Liong, Sie Lan Hong dan Lie Bouw Tek.

Mereka masih duduk diatas tanah, di depan kedua makam itu. Mayat para pemberontak yang tewas dalam pertempuran ditanam disarang mereka yang kini berubah menjadi kuburan yang menyeramkan. Kini tiga orang itu duduk, tak berani mengeluarkan suara, tidak berani mengganggu keheningan saat itu, setelah semua orang yang berlayat pergi. Mereka melamun dalam alam pikiran masing-masing.

Sie Lan Hong melamun dan mengenangkan semua riwayat hidupnya yang penuh duri. Sejak ia seorang gadis remaja, dipaksa menjadi isteri Yauw Sun Kok, sampai melahirkan Bi Sian. Hidupnya hampir tak pernah bahagia. Bahkan akhir-akhir ini hidupnya menderita sengsara. Suaminya kembali kedalam kehidupannya yang sesat. Kemudian suaminya terbunuh. Puterinya yang tadinya lenyap dan kembali menjadi gadis perkasa, menuduh Sie Liong menjadi pembunuh ayahnya dan gadis itu minggat untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam. Betapa ia selalu gelisah dan berduka. Sampai ia berjumpa dengan Lie Bouw Tek dan timbul harapan baru dalam hidupnya. Akan tetapi, perjumpaannya dengan puterinya hanya untuk melihat puterinya tewas! Begitu pahit

dan penuh kesengsaraan batin. Akan tetapi, kini ia hidup sebatangkara, dan ada Lie Bouw Tek disampingnya. Akan datangkah masa bahagia dalam hidupnya? Ia melirik kearah pria itu. Lie Bouw Tek juga tengah melamun. Alangkah jantannya pria itu. Dan ia tahu betapa pendekar Kun-lun-pai itu amat menyayang dan mencintanya. Semoga jalan hidupnya didepan akan lancar dan mulus, penuh kebahagiaan untuk menebus masa lalu yang penuh derita.

Lie Bouw Tek juga melamun. Dia juga membayangkan keadaan Sie Lan Hong, janda menarik yang dicintanya. Sungguh malang nasibnya, dan dia merasa semakin sayang karena timbul iba hati terhadap wanita itu. Seorang wanita yang tabah, bertanggung jawab. Seorang wanita yang akan menjadi isteri yang amat baik. Dan sudah terlalu lama ia hidup menyendiri. Dia juga membutuhkan kelembutan seorang wanita, membutuhkan perhatian dan sentuhan cinta kasih seorang wanita. Selama ini dia tidak pernah tertarik kepada wanita, dan baru setelah bertemu Sie Lan Hong, dia bukan hanya tertarik, bahkan jatuh cinta. Pada diri Lan Hong dia menemukan segala syarat bagi seorang calon isteri! Dia ingin membahagiakan hidup wanita itu! Hidupnya kini mempunyai suatu arah, suatu tujuan. Ada seseorang yang membutuhkan dirinya! Dia merasa ada gunanya hidup didunia ini!

Betapa setiap orang manusia selalu INGIN menjadi sesuatu, ingin ada artinya, ingin menonjol, ingin diakui keadaan dan kepribadiannya. Betapa setiap orang manusia haus akan hal ini. Dari seorang kanak-kanak sampai tua renta, semua membutuhkan perhatian, membutuhkan pengakuan. Semua orang takut akan kehilangan arti dirinya, takut untuk menjadi sesuatu yang BUKAN APA-APA. Semua orang berlumba untuk menjadi apa-apa, menjadi yang terpenting, terpandai, terkuasa, tertinggi, terbesar. Justeru keinginan inilah yang menimbulkan konflik dalam kehidupan, menimbulkan konflik dan perebutan, persaingan dan permusuhan antara manusia. Justeru keinginan untuk menjadi yang "ter" inilah yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Ingin menjadi sesuatu yang berarti ini pekerjaan nafsu daya rendah. Keinginan nafsu daya rendah ini bagaikan air kotor yang memenuhi botol, sehingga air suci tidak dapat memasukinya. Mungkinkah selagi hidup ini tidak ingin menjadi sesuatu yang menonjol, tidak menginginkan sesuatu yang tidak ada, melainkan menerima apa adanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih? Mungkinkah membiarkan diri kosong dan bersih sehingga cahaya kekuasaan dan cinta kasih Tuhan dapat memenuhinya? Dengan penyerahan diri, menyerah dengan penuh keikhlasan, penuh kesabaran dan penuh ketawakalan? Mungkinkah selagi hidup ini memiliki kerendahan hati yang membuat kita sadar sepenuhnya bahwa kita ini sesungguhnya "bukan apa-apa", bahwa yang kita manjakan ini, yang kita namakan "aku" ini hanyalah segumpal darah daging penuh nafsu daya randah? Mungkinkah membersihkan semua kotoran itu dari jiwa yang ditimbuninya, agar jiwa yang berasal dari Tuhan itu dapat memperoleh kembali hubungan kontak dengan Tuhan? Kecerdikan pikiran jelas tidak akan mampu melakukan ini, karena pikiran hanyalah alat, alat untuk kehidupan jasmari, dan alat inipun sudah bergelimang nafsu daya rendah!

Sie Liong juga termenung. Selesailah sudah, pikirnya. Habislah sudah. Demikianlah hidup. Semua itu hanya bayangan, seperti awan berarak diangkasa, hanya selewat saja. Segala cita, segala harapan, segala kesenangan, hanya selewat. Bukan, bukan itulah hakekat hidup. Semua yang terjadi itu hanyalah permainan nafsu atas badan. Akhirnya, semua itu akan musnah, seperti gelembung-gelembung udara dalam air. Apa yang dicarinya dalam hidup ini? Dan apa yang telah diperolehnya selama ini? Hanya kepahitan, hanya penderitaan lahir batin. Dia tidak perlu mencari apa-apa. Yang dicari itu semua bukan, hanya khayalan kosong belaka. Bayangan kesenangan hanyalah muka kembar kedua dari kesusahan, mereka nampaknya bertolak belakang, namun tak

terpisahkan. Apakah dia harus menjadi patah semangat, menjadi mandeg dan mogok, malas melanjutkan kehidupan? Tidak, sama sekali tidak! Bahkan dia harus dapat menikmati kehidupan ini, saat demi saat. Dia harus hidup sepenuhnya, selengkapnya, seutuhnya. Dia akan berjalan terus dengan tegak dan mantap, tak mengharapkan apa-apa diluar jangkauannya, menikmati setiap langkah hidupnya. Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan, patut disyukuri, tak perlu dikeluhkan. Kehendak Tuhan jadilah! Dia melangkah terus dalam kehidupan, dengan batin sepenuhnya menyerah kepada Tuhan. Kekuasaan Tuhan akan menggantikan hati dan akal pikirannya. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbingnya, dan kekuasaan Tuhan yang akan membebaskannya dari pada kekuasaan natsu daya rendah. Kekuasaan Tuhan yang akan membangkitkan jiwanya, sehingga dia akan hidup sebagai seorang manusia yang seutuhnya, bukan sekedar segumpal darah daging yang dijadikan boneka oleh nafsu daya rendah.

"Sie-taihiap!" Panggilan itu menariknya kembali dari alam lamunan. Dia monoleh dan memandang. Lie Bouw Tek yang memanggilnya. Dia mengerutkau alisnya, tidak mengenal siapa laki-laki gagah perkasa ini. Dia hanya tahu bahwa pria ini datang bersama enci-nya, dan melihat pula betapa pria itu akrab dengan enci-nya, bersikap mencinta dan melindungi. "Maaf, aku belum mengenal siapa toako...." katanya ragu. Enci-nya menghampirinya, dan duduk di dekatnya, memegang lengan kanannya sambil mengamati pundak kiri yang tak berlengan itu. "Adikku, aku tadi belum sempat minta maaf kapadamu. Maafkan encimu ini yang pernah meragukan kebersihan hatimu, Liong-te. Aku pernah meragukan engkau yang kusangka telah membunuh ayah Bi Sian untuk membalas dendam kematian orang tua kita...."

Sie Liong menarik napas panjang dan seketika manghalau semua kenangan itu. Tidak ada gunanya! "Sudahlah, enci Hong. Tidak perlu kita membicarakan hal yang telah lalu. Bagaimana engkau bisa sampai ketempat sejauh ini dan siapa pula toako ini?"

Dengan singkat Lan Hong menceritakan tentang penyelidikannya kemudian tentang perjalannya ke Tibet untuk mencari adiknya dan puterinya. "Dalam perjalanan itu, ketika diserang oleh segerombolan penjahat, Lie-toako ini menyelamatkan aku, Liong-te. Bahkan kemudian Lie-toako mengantar aku sampai ke Lasha dan membantuku untuk mencari engkau dan Bi Sian. Lie-toako mewakili Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa Tibet Ngo-houw memusuhi Kun-lun-pai dan selanjutnya kita bertemu disini."

Sie Liong mengangguk-angguk, tidak tertarik lagi akan cerita masa lalu yang hanya terisi banyak kenangan yang menyedihkan hatinya. Dia lalu bangkit dan memberi hormat kepada Lie Bouw Tek sambil berkata, "Kalau begitu terimalah hormatku dan terima kasihku bahwa engkau telah menolong enciku, Lie-toako."

"Ah, jangan sungkan, taihiap. Sebagai seorang pendekar besar tentu engkau tahu bahwa tidak ada pertolongan, yang ada hanyalah pelaksanaan tugas menentang kejahatan dan membantu yang menjadi korban kejahatan."

"Lie-toako, setelah apa yang kaulakukan kepada enciku, harap jangan lagi menyebut taihiap kepadaku. Namaku Sie Liong."

"Baiklah, adik Liong, dan terima kasih atas keramahanmu. Kalau boleh aku bertanya, setelah semua peristiwa ini lewat, engkau lalu hendak pergi kemanakah?"

"Liong-te, mari kita pulang saja ketimur. Sudah terlalu lama kita enci dan adik berpisah, dan terlalu banyak kita berdua menderita kesengsaraan. Sudah tiba waktunya bagi kita berdua untuk hidup bersama dengan bahagia, adikku," Kata pula Sie Lan Hong dengan suara lembut membujuk. Akan tetapi Sie Liong menggeleng kepala dan manghela napas panjang.

"Maafkan aku, enci. Akan tetapi, aku ingin bebas. Aku ingin manuruti suara hatiku, aku ingin mengikuti gerak langkahku, aku pasrah kepada Tuhan kemanapun aku akan dibimbing."

"Akan tetapi, adikku. Aku ingin berdekatan denganmu. Aku ingin mencurahkan kasih sayangku sebagai enci-mu, ingin menghiburmu...."

Sie Liong tersenyum, bukan senyum bahkan wajahnya nampak cerah. "Pandanglah aku, enci. Apakah aku membutuhkan hiburan? Semua telah terjadi dan aku tidak merasa menyesal. Kehendak Tuhan terjadilah! Aku tidak tahu mengapa semua ini terjadi kepadaku, akan tetapi Tuhan sudah menghendaki demikian dan aku hanya dapat menerima, penuh keikhlasan dan ketawakalan. Enci Lan Hong, aku tidak khawatir meninggalkan engkau, karena aku melihat bahwa ada seorang yang patut kausayangi, kauhormati, dan kauharapkan perlindungannya." Sie Liong menatap wajah Lie Bouw Tek yang menjadi ke merahan. Pendekar Kun-lun-pai ini tersenyum malu-malu, lalu menarik napas panjang dan diapun kini menatap wajah Sie Liong dengan sinar mata jujur. "Liong-te, sungguh aku kagum sekali. Engkau selain memiliki ilmu yang amat hebat, juga memiliki kewaspadaan. Baiklah, aku ingin berterus terang saja. Tepat seperti yang agaknya telah dapat kauduga, aku jatuh cinta kepada enci-mu. Dan mengingat bahwa ia tidak memiliki anggauta keluarga lainnya, maka aku ingin menggunakan kesempatan terakhir ini untuk minta persetujuanmu. Setujukah engkau jika aku melamar adik Sie Lan Hong menjadi isteriku?"

Sie Liong tersenyum gembira dan diam-diam dia semakin suka dan kagum kepada Lie Bouw Tek. Seorang laki-laki yang jantan. Seorang pendekar yang gagah perkasa dan jujur. Cepat dia memberi hormat kepada pendekar itu. "Lie-toako, aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkau menjadi cihu-ku (kakak iparku). Tentu saja aku merasa setuju sepenuhnya. Akan tetapi, semua keputusan kuserahkan kepada enci Lan Hong. Harap engkau ajukan sendiri lamaranmu kepada enci Lan Hong."

Biarpun dia merasa rikuh bukan main, namun sebagai seorang laki-laki yang gagah dan jujur, Lie Bouw Tek lalu menghadapi Lan Hong yang sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.

"Hong-moi, engkau sudah mendengar sendiri percakapan antara aku dan adikmu. Nah, biar aku mempergunakan kesempatan ini, disaksikan oleh adikmu, untuk mengajukan pinangan kepadamu. Hong-moi, sudikah engkau menjadi isteriku?"

Kepala itu semakin menunduk, dan muka itu menjadi semakin kemerahan. Kemudian, ia mengangkat muka, memandang sedetik kepada Lie Bouw Tek, lalu ia menoleh kepada Sie Liong. Akhirnya, wanita itu lari dan menubruk Sie Liong sambil menangis!

Sie Liong merangkul dan menepuk-nepuk pundak encinya, tanpa bicara. Dia membiarkan encinya menangis dipundaknya, pencurahan dari semua keharuan dari hati encinya. Setelah tangis itu mereda, dia berbisik dekat telinga encinya.

"Enci Hong, aku percaya bahwa sekali ini engkau tidak salah pilih. Kionghi (selamat), enciku yang baik." Lan Hong mengusap air matanya. "Liong-te, marilah engkau ikut bersama kami, hidup berbahagia bersama kami..." Biarpun Lan Hong belum menjawab lamaran Lie Bouw Tek, namun ucapan "hidup bersama kami" itu saja sudah merupakan jawaban yang jelas.

Dengan lembut Sie Liong melepaskan rangkulan encinya. "Terima kasih, enci Hong. Aku harus melanjutkan perjalanan hidupku. Kuharap kalian dapat mengerti. Biarlah aku menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat kepada kalian. Semoga Tuhan selalu memberi berkah dan bimbingan kepada kalian. Cihu (kakak ipar), harap jaga baik-baik enciku yang kusayang ini, Enci Hong, selamat tinggal. Aku harus pergi sekarang."

"Liong-te....!" Lan Hong berseru akan tetapi ia dan Bouw Tek hanya melihat bayangan berkelebat dan Pendekar Bongkok sudah lenyap dari depan mereka. "Liong-te....!" Lan Hong berseru dengan isak, dan Bouw Tek sudah merangkul pundaknya.

"Sudahlah, Hong-moi. Biarkan dia menikmati kebebasannya dan jangan memberati dia dengan tangis. Mari, mari kita menyongsong hidup baru. Engkaupun berhak untuk menikmati kebahagiaan hidup, Hong-moi, bersamaku."

Mereka lalu perlahan-lahan melangkah pergi meninggalkan kuburan itu. Masa depan mereka terbentang luas dimana mereka dapat hidup berbahagia setelah masa lalu yang suram mereka lewati.

Pemberontakan yang dipimpin Kim Sim Lama itupun habis riwayatnya. Kim Sim Lama ditawan dan menjalani hukuman. Semua pembantunya, termasuk pula Pek Lan, tewas dalam pertempuran melawan para pendeta Lama dan pasukan pengikut Dalai Lama. Juga pasukan Dalai Lama menyerang dan memukul mundur pasukan pemberontak Nepal yang dipimpin Pangeran Maranta Sing dan mengusir mereka dari daerah Tibet. Daerah Tibet seluruhnya menjadi aman dan rakyat mulai dapat hidup tenteram.

Di lembah bukit-bukit yang sunyi, berjalanlah Pendekar Bongkok Sie Liong seorang diri. Keheningan menyelimuti seluruh alam disekitarnya, namun Sie Liong tidak merasa kesepian. Hening akan tetapi tidak kesepian. Dia merasa menyatu dengan alam sekitarnya. Kekuasaan Tuhan berada dimana-mana, didalam dan diluar dirinya sehingga dia tidak merasa terpisah, tidak merasa kesepian. Nama Pendekar Bongkok kemudian dikenal diseluruh dunia persilatan, walaupun jarang ada yang pernah bertemu dengan

dia. Hal ini adalah karena Pendekar Bongkok tidak pernah mau kembali keselatan. Dia merantau disepanjang gurun Gobi dan dimanapun dia berada, dia selalu menentang kejahatan, membela yang benar dan lemah. Para pedagang dan mereka yang melakukan perjalanan di daerah Gobi, yang pernah mendapatkan pertolongan Pendekar Bongkok ketika mereka mengalami marabahaya, ketika mereka diancam gerombolan perampok, mereka itulah yang mengabarkan nama besar Pendekar Bongkok di dunia kang-ouw diSelatan. Namun Pendekar Bongkok sendiri tidak pernah mau meninggalkan Gurun Gobi, bahkan dia tidak pernah mau memperkenalkan diri atau namanya sehingga orang-orang yang tidak mau mempergunakan julukan ejekan Pendekar Bongkok itu lalu menyebutnya Gobi Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari Gobi).

Sie Liong memang maklum sepenuhnya akan keadaan dirinya. Dia bukan saja bongkok, akan tetapi juga lengan kirinya buntung. Orang tapadaksa seperti dia hanya akan menerima ejekan dan penghinaan saja didunia ramai. Juga dia tidak lagi mengharapkan kasih sayang wanita, karena dia maklum sepenuhnya bahwa cinta antara pria dan wanita adalah cinta nafsu, cinta birahi yang selalu menuntut keindahan rupa, daya tarik lahiriah. Dan untuk itu, dia sudah tidak mempunyai daya tarik sama sekali. Tidak mudah menemukan seorang wanita seperti Ling Ling, atau seperti Bi Sian, yang tidak begitu terpengaruh oleh keindahan rupa.

Tidak, dia tidak akan melibatkan diri dengan seorang wanita! Tentu saja lain halnya kalau memang Tuhan menghendaki lain. Dia hanya pasrah. Hanya kalau nafsu daya rendah yang membentuk si-aku tidak lagi menguasai diri, hanya kalau hati dan akal pikiran tidak lagi bersimaharajalela, jiwa akan mendapatkan kembali kontaknya dangan kekuasaan Tuhan! Dan kalau sudah begitu, kekuasaan Tuban akan bekerja dalam diri. Keadaan seperti ini tidak mungkin dapat ditimbulkan karena usaha pikiran, karena pikiran adalah si-aku, yang lapuk, si-aku yang mengaku-aku. Hanya dengan melenyapkan diri yang mengaku-aku, merendahkan dan mengecilkan diri, hanya dengan pasrah yang tulus ikhlas, maka diri lahir batin akan dibersihkan oleh kekuasaan Tuhan, kemudian kekuasaan Tuhan akan bersemayam, membangkitkan jiwa. Hanya kalau sudah demikian, maka kita dapat hidup seutuhnya, bebas daripada cengkeraman nafsu daya rendah yang telah kembali kepada kedudukan dan tugasnya semula, yaitu menjadi alat dan pelayan. Demikianlah, kisah ini ditutup dengan harapan pengarang, semoga ada suatu manfaat yang dapat dipetik, dan semoga Tuhan memberkahi dan membimbing kita sekalian. Sampai jumpa dilain kisah.

TAMAT