Bagian 3
"Wah, sumpah seperti itu apa harga nya?" Bun Beng mendongkol sekali dan maklum bahwa sumpah kakek ini tidak boleh dipercaya. Diam-diam ia merasa geli juga. Kakek ini curang ataukah jujur? Mengapa kebiasaan melanggar sumpah dia katakan secara terus terang macam itu? Tidak curang tidak jujur, melainkan gila agaknya!
"Kalau begitu, biar kutarik putus tali ini!" katanya dan mulai menarik-narik lagi.
"Eit-eit-eiitt....! Jangan! Biarlah, tanpa sumpah-sumpahan. Kau boleh turun tanpa kuhalangi, akan tetapi kau harus memberitahukan namamu."
Bun Beng berpikir. Kabarnya ayahnya seorang datuk kaum sesat. Orang-orang Pulau Neraka tentulah bukan golongan bersih, maka apa salahnya kalau dia mengaku? Sesama kaum tentulah tidak ada pertentangan. "Baiklah, Locianpwe. Aku bernama Gak Bun Beng...."
"Astaga! Engkau bocah yang dulu kucari-cari? Bocah yang ditinggalkan Ibumu di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho? Ha-ha-ha, engkau putera Gak Liat Si Botak! Pantas saja aku seperti pernah melihat macammu, kiranya anak Si Gak Liat, Si Setan Botak. Ha-ha-ha-heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, tangan kanan memegangi tali layang-layang, tangan kiri menekan-nekan perutnya. Mengkal sekali rasa hati Bun Beng menyaksikan lagak kakek itu. "Kakek gila, engkau terlalu menghina orang! Siapa sih engkau yang begini sombong? Dan apa hubunganmu dengan Ayah Bundaku?"
"Ha-ha-heh-heh-heh!" Kakek itu masih terpingkal-pingkal bahkan saking geli hatinya, air matanya bercucuran di atas pipinya yang kuning. "Namaku Ngo Bouw Ek, di dunia kang-ouw aku dijuluki Kwi-bun Lo-mo akan tetapi aku baru beberapa tahun merantau. Dalam perantauanku yang pertama, kebetulan sekali aku bertemu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat Ayahmu, kami bertanding dan aku membuat dia payah sampai terkencing-kencing! Ha-ha, dia datuk kaum sesat, mengaku kalah dan dia mengangkat aku sebagai kakak
angkat! Lalu dia menceritakan bahwa yang membuat dia sering kali tak dapat tidur adalah perbuatannya atas diri Bhok Kim murid Siauw-lim-pai. Dia mendengar kabar bahwa wanita itu melahirkan seorang putera sebagai akibat perbuatannya yang memperkosa wanita itu. Dia berpesan agar aku kelak mengambil anaknya itu sebagai anak angkat. Ha-ha-ha, biarpun hasil perkosaan, namun Gak Liat amat sayang kepada anaknya karena memang dia tidak pernah punya keturunan. Demikianlah, ketika mendengar berita dia tewas bersama Ibumu, aku lalu menyuruh anak buahku untuk merampasmu, akan tetapi...."
"Anak buahmu keok semua oleh Pendekar Siluman! Sudahlah, aku tidak perlu mendengar lebih lanjut. Eh, apakah Locianpwe ini Majikan Pulau Neraka?"
Kakek itu mengangguk. "Aku memang Ketua Pulau Neraka.... eh, maksudku, bekas ketua." Bun Beng tidak ingin tahu lebih banyak tentang pulau itu, maka ia lalu melorot terus sambil berkata, "Sudahlah. Aku sudah mengaku namaku, sekarang aku akan turun."
"Wah, mana bisa? Kalau kau turun kemudian kau memutuskan tali layang-layang dari bawah, bukankah aku yang cia-lat?"
Bun Beng berhenti dan memandang ke atas, alisnya terangkat. "Apakah Locianpwe tidak percaya kepadaku? Aku bukanlah orang yang curang seperti Locianpwe!"
"Heh-heh-heh, siapa tahu? Engkau anak Setan Botak dan dalam hal kelicikan, kecurangan dan segala macam sifat busuk ini, di dunia tidak ada yang menyamai dia, siapa tahu sifat liciknya menurun kepadamu. Tunggu, aku pun akan turun!"
Bun Beng tidak peduli dan melanjutkan usahanya merosot turun melalui tali layang-layang, akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak.
"Wah, celaka tiga belas! Taufan datang....!" Teriakan itu dikeluarkan dengan suara keras dan penuh rasa kaget, membuat Bun Beng menengok. Dari jauh tampak awan hitam datang cepat sekali dan tak lama kemudian, layang-layang itu meliuk ke kiri dengan kekuatan yang hebat. "Lekas kita turun, Locianpwe!"
"Tidak bisa, terlambat! Lekas kau naik ke sini kalau mau selamat!" Bun Beng tidak mau menurut dan hendak merosot terus, akan tetapi tiba-tiba tali layang-layang itu menegang dan bergetar hebat sehingga hampir saja ia tidak kuat bertahan memeganginya karena telapak tangannya terasa nyeri bukan main. Maklumlah ia bahwa kakek itu tidak membohong, maka kini dia mulai merayap naik melalui tali layang-layang. "Cepat pegang tanganku!" Kakek itu berkata, napasnya agak terengah karena dia yang kini mengulurkan tangan untuk membantu Bun Beng naik, harus mengendalikan layang-layang yang menjadi liar itu dengan sebelah tangan saja. Bun Beng memegang tangan itu dan dia ditarik naik. "Berdiri di sini, dan pegang tali-temali di atasmu dengan tangan, hati-hati jangan banyak bergerak dan jangan terlalu erat. Turut dan contoh saja aku!" Kakek itu tidak dapat bicara banyak karena kini angin taufan telah mengamuk hebat, membuat layang-layang itu menjadi seperti seekor kuda binal dan tidak dapat dikendalikan lagi. Layang-layang itu kadang-kadang naik makin tinggi, tinggi sekali sampai melengkung seperti akan membalik dari arah angin, kemudian terdorong kembali ke belakang dan talinya menegang, meliuk ke kiri sampai seperti tak pernah berakhir, kemudian terdorong ke kanan dan ada kalanya menukik ke bawah secara mengerikan karena kecepatannya luar biasa. Suara angin bercuitan menulikan telinga, dan tali layang-layang itu juga mengeluarkan bunyi berdering-dering seperti sehelai tali yang-kim ditabuh, suaranya kadang-kadang rendah sesuai dengan tinggi rendahnya getaran yang disebabkan oleh tarikan layang-layang yang terbawa angin taufan. Kakek itu memaki-maki Bun Beng. "Sialan! Bodoh seperti kerbau engkau! Begini lho! Tekan kaki kanan ke depan, cepat. Bantu aku dong! Bagaimana sih? Setan cilik tolol kau! Dengar baik-baik, jangan sampai layang-layang terus menukik, dan jangan sekali-kali menentang arah angin langsung. Bisa celaka kita! Pindahkan tenaga ke kaki kiri, kaki kanan lepas, tangan kanan menarik tali di atas, cepat! Nah, sekarang kaki kanan yang menekan, tangan kiri menarik. Hayo, seperti bermain layar, akan tetapi jauh lebih sukar, seratus kali lebih sukar!"
Payah juga Bun Beng mengikuti gerakan dan perintah kakek itu. Tenaga yang dipergunakan untuk melawan kekuatan angin ini merupakan tenaga seluruhnya, itu pun hampir tidak ada artinya terhadap kekuatan angin yang maha dahsyat itu. Kini kakek itu memerintahkan agar tenaga dirobah-robah, bagaimana mungkin begitu mudah? Hampir beberapa detik harus dirobah lagi. Bun Beng merasa seluruh tubuhnya ngilu dan sakit-sakit, kedua kakinya menggigil dan kedua tangannya gemetar, hampir tak kuat memegang tali-temali layang-layang lebih lama lagi. "Tolol! Jangan berhenti! Aku sendiri mana kuat mengemudikan layang-layang ini? Kalau tidak ada engkau di sini, tentu aku dapat, akan tetapi ditambah beratmu, benar-benar repot!"
Sementara itu, angin bertiup makin keras, kini malah disertai kilat menyambar-nyambar, halilintar bermain-main di atas dan kanan kiri mereka. Cuaca menjadi gelap, bahkan kini percikan air-air halus yang amat kuat sehingga seperti berubah menjadi laksaan jarum-jarum kecil menerjang mereka.
"Celaka.... celaka....!" Kakek itu makin repot dan jelas bahwa dia ketakutan. Bun Beng yang biasanya senang menghadapi maut, menyaksikan sikap kakek itu ketularan rasa takut. Memang keadaan amat mengerikan, dibawa oleh layang-layang dan dipermainkan angin taufan, halilintar dan hujan seperti itu!
"Dengar baik-baik kalau kau tidak ingin mati turut perintahku dan pelajari agar jangan sampai gagal. Taufan ini berbahaya sekali, untuk turun sekarang tidak mungkin. Satu-satunya jalan hanya mengemudikan layang-layang ini sebaik mungkin agar tidak sampai menukik turun atau talinya putus." Kakek itu sukar sekali bicara dengan jelas karena kencangnya angin meniup terbang suaranya. Terpaksa ia lalu merangkul Bun Beng dan berteriak. "Rangkul aku dan dekatkan telingamu pada mulutku!"
Setelah Bun Beng melakukan perintah ini, Kwi-bun Lo-mo lalu membisikkan pelajaran sedikit demi sedikit caranya menggerakkan tenaga pada kaki dan tangan, mengatur bobot, memindah-mindahkan tenaga dalam untuk mengimbangi serangan angin yang amat dahsyat. Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian sekalian mempraktekkan pelajaran itu mencontoh gerakan kakek aneh dan membantunya mengemudikan layang-layang. Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan berbahaya itu dia telah menerima pelajaran ilmu rahasia yang amat hebat, yaitu Ilmu Hoan-sin-kang (Memindahkan Tenaga Sakti) yang tidak hanya dapat dipergunakan untuk mengemudikan layang-layang melawan serangan angin taufan yang maha dahsyat, akan tetapi juga merupakan ilmu yang dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan berat yang memiliki sin-kang amat kuat! Ilmu ini merupakan ilmu tingkat tinggi yang dimiliki Ketua atau Majikan Pulau Neraka, dan selain Si Ketua sendiri, hanya kakek inilah orang ke dua yang memilikinya, maka dia berani main-main dengan maut di tempat berbahaya itu, yaitu bermain dan mengemudikan layang-layang.
Mati-matian kedua orang itu bertempur dengan angin taufan, bersama-sama mengemudikan layang-layang yang mereka paksa untuk menuruti kehendak mereka, melawan kehendak angin. Sampai setengah hari lamanya angin taufan mengamuk dan selama setengah hari itu merupakan latihan yang amat hebat bagi Bun Beng, latihan terberat yang pernah ia alami selama hidupnya, akan tetapi karena keadaan yang memaksa, demi menolong nyawa, dalam ilmu sependek itu dia telah berhasil memetik inti dari ilmu ini!
Menjelang senja, barulah angin taufan itu mereda, hujan pun berhenti. Dengan pakaian basah kuyup, kedua orang itu terengah-engah berdiri di atas tali dan berpegang pada tali layang-layang yang juga basah semua dan luntur gambarnya. Mereka kehabisan tenaga dan kini hanya mengandalkan kaki tangan yang sudah gemetar karena penat, tubuh menggigil kedinginan dan kehabisan tenaga. Akan tetapi kakek itu menyeringai tersenyum lebar memandang Bun Beng. "Engkau hebat, orang muda. Ha-ha-ha, tidak percuma engkau menjadi putera Gak Liat, heh-heh-heh!"
Melihat betapa kakek itu bicara sebenarnya, tidak mengolok-olok dan memaki-maki lagi, Bun Beng berkata sungguh-sungguh. "Locianpwe yang hebat dan aku kagum sekali. Sebetulnya, macam apakah mendiang Ayah itu?"
"Gak Liat? Ya begitulah, seorang manusia seperti aku dan engkau ini," jawab kakek itu seenaknya. "Tapi, banyak orang menyebutnya seorang jahat. Dan Locianpwe sendiri tadi mengatakan dia seorang yang licik dan curang."
"Memang dia licik dan curang, nomor satu di dunia mengenai kelicikannya. Akan tetapi kalau tidak licik, mana mungkin dia menjadi datuk kaum sesat? Tanpa kelicikan, mana mungkin dapat menonjol di dunia hitam?" Biarpun kakek itu mulai memuji ayahnya, namun pujian ini mendatangkan rasa tak puas di hati Bun Beng. Bagaimana hatinya akan senang dan puas kalau ayahnya dipuji sebagai seorang yang paling licik di dunia, sebagai seorang tokoh, bahkan datuk kaum sesat?
"Sudahlah, Locianpwe. Terima kasih atas pertolonganmu, aku hendak turun sekarang." Setelah berkata demikian, Bun Beng merosot turun dan biarpun kedua telapak tangannya menjadi panas karena tenaganya sudah hambir habis, namun rasa nyeri itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan kesengsaraan selama setengah hari tadi dan ia merosot terus. "He, tunggu! Apa kaukira aku selamanya akan tinggal di sini? Aku pun mau turun!" Kakek itu bergegas turun pula dari tali layang-layang yang kini terbang dengan anteng dibawa angin se milir halus. Keduanya lalu merosot turun melalui tali layang-layang yang amat tinggi itu. Demikian tingginya layang-layang itu sehingga Bun Beng melihat pohon-pohon amat kecil di bawah, seperti rumput saja. Ia bergidik. Bukan main kakek bermuka kuning itu, main-main dengan maut seperti itu. Apa sih senangnya bermain-main dengan layang-layang yang begitu tinggi? Memang menegangkan, seperti seekor burung garuda terbang di angkasa, akan tetapi
bagaimana kalau tali layang-layang putus? Bagaimana kalau kehabisan angin dan layang-layang itu melayang turun? Benar-benar permainan yang berbahaya dan gila!
"Ha, Bun Beng, aku girang sekali dapat bertemu denganmu. Aku akan dapat memenuhi permintaan mendiang Ayahmu. Ikutlah bersamaku dan engkau akan memperoleh kepandaian hebat, apalagi kalau Pangcu kami bersedia membimbingmu. Ketua kami adalah seorang yang memiliki kepandaian seperti...."
"Iblis!" Bun Beng menyambung. "Ketua Pulau Neraka tentu seorang iblis."
"Ha-ha! Engkau seperti Ayahmu. Memang benar kepandaiannya hebat seperti iblis sendiri." Bun Beng tidak menjawab dan mencari akal bagaimana dia akan dapat membebaskan diri dari kakek yang melorot turun di atasnya itu. Dia tidak sudi menjadi anggauta Pulau Neraka seperti dia tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang. Biar dia dijanji akan diberi pelajaran ilmu yang tinggi, yang tidak diragukannya lagi, akan tetapi satu-satunya yang ia mau menjadi gurunya hanyalah Pendekar Siluman! Kalau Pendekar Siluman yang mengajaknya ke Pulau Es, tentu dia tidak akan menolak, bahkan akan menjadi girang sekali. Kini dia mencari akal bagaimana dapat melarikan diri dari kakek itu. Dia mempercepat gerakan kaki tangannya melorot turun, akan tetapi kakek itu tetap berada dekat di atas kepalanya!
Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil menggerak-gerakkan tangan ke bawah. "Heiii....! Bangkotan busuk, pengecut laknat, jangan curang kau! Tunggu sampai aku turun dan kita boleh bertanding sampai selaksa jurus!"
Bun Beng cepat memandang ke bawah dan ia juga terkejut sekali. Di bawah sana, ia melihat bahwa tali layang-layang itu oleh Si Kakek aneh diikatkan pada sebatang pohon besar dan ujung tali malah dikaitkan kuat-kuat pada sebuah batu karang yang kokoh. Kiranya setelah kakek itu berhasil menaikkan layang-layangnya sampai tinggi sekali, ia mengikat tali itu di sana kemudian agaknya kakek itu lalu memanjat ke atas melalui tali layang-layang untuk kemudian bermain-main di atas! Dan kini di dekat pohon itu tampak seorang kakek bersorban dengan tubuh dibelit-belit kain kuning seperti mendiang Kakek Nayakavhira pembuat pedang yang dahulu datang menunggang gajah dan juga pernah bertanding dengan kakek muka kuning ini! Di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki tampan dan yang membuat Bun Beng merasa terkejut adalah ketika melihat betapa kakek bersorban itu menghampiri tali layang-layang dan agaknya hendak memutus tali itu!
"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa bergelak dan agaknya Kwi-bun Lo-mo baru tahu bahwa kakek bersorban itu bukanlah kakek India penunggang gajah yang dulu pernah bertempur dengannya. Tentu saja Bun Beng mengerti bahwa kakek di bawah itu bukan Nayakavhira karena biarpun hampir sama, kakek di bawah itu lebih tinggi dan kurus, juga kulitnya lebih hitam. "Setan India! Jangan curang, tunggu aku turun kalau berani!" Kembali Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil melorot makin cepat mengikuti Bun Beng, akan tetapi jarak antara mereka dengan tanah masih terlampau tinggi sehingga kalau sekarang tali itu diputus, mereka akan celaka!
"Bun Beng, kau melorot sambil bergantung. Jangan menghalangi aku. Kalau dia berani memutus tali, akan kuarahkan jatuhku ketubuh si keparat itu!" Kwi-bun Lo-mo berseru dan Bun Beng melanjutkan gerakannya merosot sambil bergantung ke bawah.
"Ha-ha-ha, kalian berdua bermain-main dengan maut. Nah, mampuslah!" Orang India yang tertawa-tawa itu meloncat dekat dan menggerakkan tangan hendak memutus tali layang-layang. Bun Beng sudah merasa ngeri, apalagi setelah kini mengenal kakek India itu sebagai kakek sakti yang pernah bertanding melawan Pendekar Siluman, pertandingan yang amat luar biasa di mana kedua orang sakti itu mempergunakan ilmu sihir sehingga yang bertanding adalah bayangan atau semangat mereka! Celaka, pikirnya, andaikata mereka dapat turun juga, ia merasa ragu-ragu apakah Kwi-bun Lo-mo mampu menandingi kakek yang memiliki ilmu sihir itu! Dan laki-laki yang berada di belakang kakek bersorban itu pun dia kenal, karena laki-laki itulah yang dahulu pernah menculik Kwi Hong, laki-laki berpakaian sasterawan yang setengah gila dan yang mencuri pedang pusaka buatan Kakek
Nayakavhira!
Tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dibarengi bentakan halus, "Iblis tua keparat!" Muncullah seorang dara yang gerakannya gesit sekali. Bayangannya didahului sinar dari pedangnya yang ia pergunakan untuk menerjang kakek bersorban dengan gerakan luar biasa, pedangnya membentuk lingkaran pada ujungnya seolah-olah hendak mengguratkan lingkaran pada
dada kakek bersorban. Menghadapi serangan hebat ini, kakek ini berseru kaget dan cepat meloncat mundur, tidak mendapat kesempatan untuk memutus tali layang-layang. Namun dara itu terus menyerangnya dengan gerakan luar biasa, pedangnya lenyap menjadi sinar bergulung-gulung yang seolah-olah merupakan awan atau kabut menggulung tubuh kakek bersorban!
"Hayo cepat turun!" Kwi-bun Lo-mo berseru. Tanpa diperintah pun Bun Beng sudah mempercepat gerakannya merosot terun dan bukan main lega hatinya setelah kedua kakinya merasai tanah yang teguh dan kuat. Hampir saja ia terhuyung karena setelah kini menginjak tanah, tubuhnya masih terasa ringan seolah-olah tak berobah, seperti orang mabok arak. Akan tetapi semenjak tadi pandang matanya tidak terlepas dari dara yang masih menyerang kakek bersorban. Bukan main hebatnya terjangan gadis itu dan jantung Bun Beng berdebar tegang. Ketika ia mengenal dara itu. Biarpun kini telah me njadi seorang gadis dewasa yang amat cantik, namun tidak salah iagi, dia itu adalah Giam Kwi Hong, murid atau juga keponakan Pendekar Siluman! Kakek bersorban itu, yang Bun Beng tahu amat sakti, sampai terdesak mundur, repot mengelak dari sambaran pedang di tangan Kwi Hong. "Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau bukan tua bangka penunggang gajah!" Kwi-bun Lo-mo tertawa dan pada saat Maharya, kakek India itu mencelat ke kanan untuk menjauhi sinar pedang Kwi Hong dan berada dekat dengannya, Kwi-bun Lo-mo cepat menghantamnya dengan kedua lengan didorongkan ke depan. Terdengar bunyi bersuit dan angin menyambar ke arah kakek bersorban yang cepat mendorongkan pula kedua tangannya menangkis. "Dessss!" Dua tenaga sin-kang raksasa bertemu dan kedua orang kakek itu terpental ke belakang. "Wah-wah, kau hebat juga....!" Kwi-bun Lo-mo berseru kaget.
"Mundur kalian bertiga....!" Tiba-tiba Maharya membentak, suaranya menggeledek penuh wibawa yang aneh dan bagaikan menanti perintah yang tak dapat dibantah lagi karena segala kemauan hati mereka dikuasai perintah ini, Kwi-bun Lo-mo, Kwi Hong dan Bun Beng otomatis meloncat mundur sampai lima meter!
"Locianpwe, Nona Kwi Hong, awas dia mempunyai ilmu sihir! Jangan memandang matanya dan jangan mendengar suaranya!" Bun Beng cepat berteriak, kemudian ia mendahului menerjang laki-laki yang sejak tadi hanya menonton Maharya bertanding dengan Kwi Hong. Laki-laki ini bukan lain adalah Tan Ki atau Tan-siucai yang tadi bengong memandang Kwi Hong dengan penuh gairah. Dia tadi tidak membantu karena tentu saja ia percaya penuh akan kesaktian gurunya. Akan tetapi melihat betapa dua orang yang secara aneh turun dari tali layang-layang itu bukan orang sembarangan pula, apalagi kini Bun Beng meloncat maju dan menyerangnya dengan gerakan dahsyat, dia terkekeh, memandang rendah pemuda itu dan mengelak sambil balas menyerang. Bun Beng menjadi heran melihat gerakan lawan yang luar biasa, kedua kaki lawan tidak meninggalkan tanah, akan tetapi tubuhnya bisa meliuk-liuk dengan lemas, seperti sebatang pohon cemara pecut tertiup angin. Tubuh atas itu meliuk ke kiri, kemudian membalik sambil balas menyerang dengan tangan kanan menghantam perutnya. Ketika ia menangkis dan menggeser kaki kanan, tahu-tahu tangan kiri lawan sudah mencengkeram kepalanya, hal yang luar biasa sekali mengingat bahwa tangan kiri lawannya itu berada dalam posisi jauh. Tangan kiri itu tiba-tiba memanjang, seperti karet yang dapat mulur dan tahu-tahu jari-jarinya telah dekat dengan kepalanya.
"Eh....!" Ia berseru dan cepat meloncat mundur sambil melepas tendangan ke arah lengan yang sudah ditarik kembali oleh Tan-siucai sambil terkekeh-kekeh. Sementara itu Kwi Hong yang terheran-heran mendengar pemuda tampan itu menyebut namanya, teringat bahwa Maharya memang pandai ilmu sihir, maka otomatis ia pun mentaati peringatan pemuda itu, tidak mau memandang mata kakek bersorban dan dengan kekuatan batinnya ia "menulikan" telinga agar jangan mendengar bentakan Si Kakek tukang sihir yang mengandung penuh daya melumpuhkan itu. Ia sudah menerjang maju lagi dengan tusukan pedangnya, disusul serangkaian serangan hebat yang membuat Maharya kembali terdesak. Kwi-bun Lo-mo yang kini sudah dapat menguasai dirinya kembali setelah tadi terpengaruh sihir Maharya, merasa kagum kepada Bun Beng yang semuda itu sudah tahu akan ilmu kakek bersorban. Dia pun maklum bahwa ilmu sihir semacam I-hun-to-hoat untuk mempengaruhi pikiran orang mengandalkan kekuatan pandang mata dan getaran suara yang mengandung sin-kang kuat sekali, maka apabila dapat mengelakkan pandang mata dan suara itu tentu sihir itu tidak akan mempunyai daya kekuatan. Maka iapun menutup pendengaran dan menghindarkan pertemuan pandang mata, lalu tertawa mengejek. "Heh-heh-heh, kau dukun dari Himalaya yang busuk, tanpa sebab kau hendak memutus tali layang-layangku. Sekarang kau kena kutuk para dewa mu, bertemu dengan seorang pemuda yang cerdik, seorang dara yang lihai sekali, dan aku yang akan mengirim nyawamu kembali ke puncak Himalaya!"
Sambil mengejek demikian, Kwi-bun Lo-mo maju pula menerjang, membantu Kwi Hong. Karena tokoh Pulau Neraka ini pun maklum bahwa Maharya bukanlah seorang lemah, bukan hanya mengandalkan ilmu sihirnya melainkan memiliki ilmu kepandaian hebat pula dan bertenaga sin-kang kuat sekali, maka begitu menyerang ia pun mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus khas dari Pulau Neraka, kedua tangannya tiba-tiba berubah menjadi lunak seperti kapas, namun di balik telapak tangan yang menjadi lunak ini
tersembunyi kekuatan dahsyat yang akan merusak sebelah dalam tubuh lawan jika bertemu dengan tangan lunak ini. Sesuai dengan namanya yaitu Toat-beng-bian-kun (Tangan Lemas Mencabut Nyawa), ilmu ini adalah ilmu baru yang diterimanya dari Ketua Pulau Neraka. Karena ilmu pukulan tangan kosong ini telah digabung dengan ilmu khas keturunan Pulau Neraka, yaitu hawa dan tenaga beracun yang membuat warna kulit mereka berubah, maka tentu saja pukulan-pukulan tangan yang kelihatannya lemas tak bertenaga dan lunak itu mengandung bahaya mengerikan dan setiap gerakan merupakan maut bagi lawan! Maharya yang biasanya memandang rendah setiap lawan, kini terkejut sekali. Biarpun tadi ia kelihatan terdesak oleh gulungan sinar pedang Kwi Hong yang seperti kilat menyambar-nyambar, namun dia tidak gentar dan menghadapi dengan tangan kosong saja. Akan tetapi, setelah sekali menangkis dan lengannya tersentuh tangan Kwi-bun Lo-mo yang mengandunng Ilmu Toat-beng-bian-kun dan membuat lengannya panas dan gatal, ia terkejut bukan main, berteriak keras dan melompat mundur sambil menggerakkan kedua tangannya ke sebelah dalam pakaiannya. Kini ia telah memegang sepasang senjata yang amat aneh. Tangan kirinya kini telah memakai sarung tangan yang berkilauan seperti emas, sedangkan tangan kanannya memegang seekor ular putih yang kecil dan panjangnya hanya dua kaki, akan tetapi ular putih itu masih hidup!
"Ha-ha-ha, dukun hitam, apa engkau mau main sulap mencari uang kecil? Bukan di sini tempatnya, melainkan dipasar! Aku tidak mempunyai uang kecil sepeser pun, apalagi yang besar!" Sambil tertawa mengejek, Kwi-bun Lo-mo menerjang lagi dengan tangannya yang beracun, maklum bahwa pertemuan yang satu kali tadi, biarpun tentu saja tidak akan melukai lawan yang begitu pandai akan tetapi sedikitnya membuat hati lawan gentar. Kwi Hong yang tidak banyak bicara sudah menusukkan lagi pedangnya. Kini Maharya tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kiri yang bersarung tangan emas itu menangkap pedang. Bukan main kagetnya Kwi Hong karena merasa pedangnya tergetar. Ia menarik kembali pedangnya dan pada saat itu Maharya melepas pedang sambil menggunakan tenaga sin-kang mendorong.
"Aihhh!" Hanya dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik di udara sampai lima kali Kwi Hong dapat menghindarkan diri dari tolakan tenaga sin-kang yang dapat melukai isi dadanya itu! Ia terkejut dan maklum bahwa selain sarung tangan yang dipakai kakek India itu tidak mempan senjata, juga bahwa tenaga kakek itu masih jauh melampaui tenaganya sendiri! Kini Kwi-bun Lo-mo sudah menerjang maju menggunakan tangan kanan memukul dengan tangan lunaknya yang beracun untuk memberi kesempatan gadis berpedang itu memulihkan kedudukannya. Maharya mengangkat tangan kiri, menangkis pukulan itu dan tangan kanannya digerakkan.
"Plakkk!" Kedua tangan bertemu dan Kakek Kwi-bun Lo-mo terkejut karena tangan bersarung emas itu kiranya sanggup menerima pukulan Toat-beng-bian-kun, dan kini secara tiba-tiba ular yang dipegang ekornya itu melayang dan menyambar lehernya dengan mulut terbuka lebar, mendesis dan menggigit! Ia cepat miringkan kepalanya akan tetapi tetap saja ular itu dapat menggigit pundaknya.
"Mampus kau!" Maharya berseru girang. "Ha-ha-ha, gigitan cacing itu enak sekali rasanya, menambah vitamin di tubuhku. Suruh dia gigit lagi, dukun India! Ha-ha-ha!" Biarpun pundaknya mengeluarkan sedikit darah, akan tetapi Kwi-bun Lo-mo masih tertawa-tawa. Di dalam tubuhnya yang berkulit kuning itu telah mengalir darah yang penuh racun, mana dia takut akan segala gigitan ular beracun?
Kakek India itu kaget dan dengan marah ia lalu menyerang kedua orang pengeroyoknya, bukan hanya ularnya yang terayun-ayun mengancam lawan dengan gigitan beracun, juga tangan kirinya yang tidak takut menghadapi senjata tajam atau pukulan beracun itu merupakan tangan maut yang setiap saat menyambar hendak mencabut nyawa lawan.
Tan-siucai yang tadinya memandang rendah Bun Beng, menjadi terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar lihai sekali ilmu silatnya. Tadinya ia menganggap bahwa seorang muda seperti itu akan mudah ia robohkan dengan ilmunya "tangan panjang," yaitu lengan yang dapat ia ulur. sampai hampir dua kali panjang normal. Banyak sudah lawan yang roboh oleh ilmunya ini karena tidak menyangka-nyangka bahwa tangan itu dapat mulur seperti karet. Akan tetapi, pemuda itu hanya sebentar saja terkejut, kemudian sudah dapat menjaga diri dan mengirim serangan dengan jurus-jurus yang dahsyat, yang mendatangkan angin keras dan membuat Tan-siucai bingung. Maklum bahwa ia berhadapan dengan murid orang pandai, Tan-siucai berteriak keras dan tampaklah sinar hitam ketika ia mencabut pedangnya, sebatang pedang hitam yang mengeluarkan bau amis seperti telur itik membusuk. Dengan pedangnya ini ia menerjang dan mengobat-abitkan pedang, merupakan sinar yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Beng.
Bun Beng memang tadinya terkejut menyaksikan lengan yang bisa mulur panjang. Akan tetapi kemudian ia mendapat kenyataan bahwa lawannya itu biarpun bertenaga kuat dan memiliki ilmu aneh tidaklah seberat yang ia kira dan tidak memiliki dasar ilmu silat yang tangguh. Maka ia sudah mendesak dengan jurus-jurus Siauw-lim-pai yang kuat sehingga dua kali memukul bahu kanan dan menendang paha kiri lawan. Biarpun pukulan dan tendangan ini meleset dan tubuh lawan memiliki kekebalan setidaknya lawannya menjadi panik sehingga mencabut pedang hitam! Bun Beng tidak menjadi jerih, bahkan ia makin lega hatinya. Gerakan pedang itu lebih didorong rasa marah daripada gerakan ilmu pedang yang tinggi nilainya, maka baginya, pedang hitam itu tidaklah sebahaya tangan kosong yang dapat mulur mungkret tadi. Biarpun lengan itu masih dapat mulur, akan tetapi karena disambung pedang, lebih mudah dapat dilihat arah gerakannya, tidak seperti kalau kosong dapat mencengkeram, menangkap mendorong atau memukul, sukar sekali diduga. Namun, harus ia akui bahwa lawannya mainkan pedang secara aneh dan istimewa, dengan ilmu pedang yang tidak dikenalnya sama sekali. Pedang itu selalu datang menyerangnya dengan tiupan angin, dan bukan hanya pedang yang menyerangnya melainkan selalu dibarengi dengan pukulan atau tendangan, seolah-olah seluruh daya serang
lawan dikumpulkan untuk menghantamnya, Bun Beng harus mengandalkan kelincahan tubuhnya yang segera pulih kembali begitu ia menghadapi bahaya. Kalau begini terus, bagaimana aku bisa menang, pikirnya. Serangan lawan ini mengingatkan ia akan serangan angin taufan ketika ia berada di atas layang-layang bersama Kwi-bun Lo-mo. Serangan angin taufan! Tiba-tiba ia teringat akan pelajaran kakek Pulau Neraka itu untuk menghadapi serangan angin taufan. Perhatikan dari mana angin menyerang, jangan menentang, ikuti tiupannya akan tetapi harus dapat kau kendalikan sehingga mudah untuk menyimpang. Pindahkan hawa dan tenaga sakti sesuai dengan serangan angin, jangan biarkan kita terseret akan tetapi berusaha selalu berada di atasnya, menunggang angin. Demikianlah antara lain inti pelajaran yang ia terima di atas layang-layang sambil mencontoh gerakan kakek Pulau Neraka. Kini, serangan-serangan lawannya dengan pedang hitam itu seperti angin, mengapa tidak ia coba mengatasinya dengan pelajaran baru di atas layang-layang?
"Wuuuutttt!" Tan-siucai kembali menyerang dengan hebat, dengan semangat menyala dan keyakinan bahwa dia tentu akan dapat membunuh pemuda yang sudah tak mampu balas menyerang itu. Pedang hitamnya menusuk dada, tangan kirinya mendorong dengan pukulan ke arah pusar, dan kaki kanannya sudah siap menyusulkan tendangan!
Bun Beng tidak menggunakan cara mengelak seperti tadi. Dengan ilmu baru menundukkan angin taufan, tubuhnya yang tadinya miring, dengan kaki kanan di depan itu, ia pindahkan kaki dan tenaga pada kaki kiri, lalu kedua tangannya diangkat ke atas seolah-olah ia memegangi tali-temali layang-layang dan tubuhnya meloncat ke atas tinggi sekali sehingga pukulan dan tusukan lewat di bawah kakinya yang ditekuk ke dada. Tendangan lawan menyusul, ia terima dengan kedua kakinya, menginjak kaki lawan yang menendang dan meminjam tenaga ini ia ayun tubuhnya ke atas dan meluncur ke depan melalui atas kepala lawan, kemudian membalik dan memindahkan tenaga lagi ke kaki kiri yang turun menginjak lawan. "Plakk! Augg....!" pundak kanan Tan-siucai terkena injakan kaki Bun Beng, lumpuh rasa seluruh lengan kanannya dan pedang hitam itu terlepas. Bun Beng cepat turun menyambar dan pedang hitam telah berada di tangannya!
Tan-siucai membalik dan matanya merah saking marahnya memandang Bun Beng yang kini tersenyum-senyum memegang pedang hitam! Ia girang sekali karena dengan ilmu barunya itu ia berhasil! Pemuda ini memang cerdik sekali sehingga dia dapat menggunakan ilmu baru yang bagi orang lain tentu hanya dapat dipergunakan untuk mengendalikan layang-layang melawan angin taufan itu untuk melawan musuh yang lihai.
Sambil tersenyum, ia lalu menubruk maju dan menyerang Tan-siucai dengan pedang hitam. Tan-siucai memekik, tangan kirinya bergerak dan sinar putih yang amat terang menyilaukan mata berkelebat menangkis pedang. "Cringggg!" kini Bun Beng yang kaget bukan main karena pedang hitam rampasan itu telah patah menjadi dua!
"Hok-mo-kiam....!" Ia berseru keras dan cepat menjatuhkan diri bergulingan karena pedang putih yang kini berada di tangan lawan itu, setelah membabat patah pedangnya, sinarnya masih terus menerjangnya! Ia meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak. Tak salah lagi, tentu itulah Hok-mo-kiam, pedang yang dibuat oleh Kakek Nayakavhira dan yang dicuri oleh pemuda sinting ini bersama gurunya, Kakek Maharya! Gentar juga hati Bun Beng menyaksikan pedang bersinar putih yang mengandung penuh wibawa mujijat itu, dan ia siap siaga berkelahi mati-matian, mengandalkan kelincahannya karena apa artinya pedang buntung yang toh patah lagi kalau bertemu dengan Hok-mo-kiam? Ia tahu bahwa Pendekar Siluman dan mendiang Kakek Nayakavhira memberi nama Hok-mo-kiam (Pedang Penakluk Iblis) pada pedang itu, yang khusus dibuat untuk menundukkan Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Teringatlah ia akan sepasang pedang bersinar kilat yang ia simpan di dalam guha rahasia di tempat tinggal para pemuja Sun-go-kong.
"Kembalikan pedang itu!" Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah meninggalkan Kakek Maharya, menyerang Tan-siucai dengan pedang di tangannya. Serangan yang hebat sekali, dilakukan dengan tubuh masih melayang di udara, dengan kecepatan seperti kilat menyambar didorong oleh tenaga sin-kang yang kuat sekali.
Biarpun otaknya sinting, Tan-siucai mengenal serangan maut, dia lalu menggeser kaki ke kiri, menggerakkan pedangnya menangkis sambil mendorongkan tangan kirinya untuk mencegah dara perkasa itu memukulnya. "Tranggg!" Tampak bunga api muncrat dan Tan-siucai memekik kaget, pedangnya terlepas akan tetapi cepat-cepat ia sambar kembali karena gadis itu tidak sempat menyerangnya lagi. Ternyata bahwa kini Kwi Hong juga hanya memegang sebatang pedang buntung, persis seperti yang dialami Bun
Beng. Dengan mata terbelalak, Kwi Hong memandang pedangnya dan diam-diam ia merasa amat kagum akan keampuhan Hok-mo-kiam yang dibuat oleh Kakek Nayakavhira itu. Pedangnya adalah pemberian pamannya, sebatang pedang pusaka yang cukup ampuh, namun sekali bertemu dengan Hok-mo-kiam menjadi patah! Padahal sudah jelas bahwa dia menang tenaga dan pedang di tangan Tan-siucai itu sampai terlepas. Ia makin marah dan penasaran, bertekad untuk merampas kembali pedang yang dahulu dicuri oleh orang itu, tubuhnya menerjang maju dengan pukulan-pukulan kilat yang biarpun Tan-siucai memegang sebatang pedang pusaka, akan berbahaya sekali bagi sasterawan sinting itu. "Plakkk!" Pukulan Kwi Hong tertangkis oleh tangan Maharya yang bersarung tangan. Kiranya kakek ini sudah meloncat meninggalkan Kwi-bun Lo-mo untuk melindungi muridnya, terutama menjaga agar pedang pusaka itu tidak terampas lawan.
"Ho-ho, kau hendak lari ke mana, dukun keparat?" Kwi-bun Lo-mo tertawa dan melompat pula mengejar. Kini pertandingan menjadi kacau-balau dan akhirnya kini Bun Beng dan Kwi-bun Lo-mo mengeroyok Maharya, sedangkan Kwi Hong masih bertanding melawan Tan-siucai. Karena maklum bahwa gadis itu berbahaya sekali, Tan-siucai memutar pedangnya dan berlindung di balik gulungan sinar pedang. Benar saja, sinar pedang itu demikian hebat dan mengandung wibawa yang amat kuat sehingga biar Kwi Hong lihai, gadis ini tidak berani sembrono mendesak maju, melainkan berusaha mencari lowongan tanpa terancam sinar pedang yang ia tahu
amat ampuh.
"Nona yang perkasa! Bun Beng, mundur!" Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak keras dan terdengarlah ledakan disusul membubungnya asap hitam yang tebal, menggelapkan keadaan di situ. Ternyata kakek Pulau Neraka ini telah melempar sebuah senjata rahasia khas Pulau Neraka, senjata peledak yang mengeluarkan asap hitam beracun. Kwi Hong dan Bun Beng melompat mundur, melihat betapa di tempat berdirinya dua orang lawan itu kini tertutup oleh asap hitam. Ketika asap membuyar tertiup angin dan mereka
memandang, ternyata Tan-siucai dan Maharya telah lenyap dari tempat itu, tanpa meninggalkan bekas.
Kwi-bun Lo-mo mengerutkan alisnya, mengomel. "Sialan! Mereka benar-benar amat lihai dapat menyelamatkan diri dari asap beracun. Dukun India itu benar-benar merupakan lawan yang lebih tangguh daripada dukun penunggang gajah. Hayaa....!"
Kwi Hong melangkah maju dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu. "Tua bangka lancang! Kenapa kau melenyapkan mereka?" Tanpa menanti jawaban, dengan pedang buntungnya ia menyerang Kwi-bun Lo-mo. Serangannya hebat sekali dan pedang buntungnya itu masih amat berbahaya, membabat ke arah perut kakek itu yang tentu akan tersayat robek kalau sampai terkena.
"Aihhh....!" Kwi-bun Lo-mo meloncat ke belakang dengan mata terbelalak dan balas menyerang sambil memaki, "Gadis liar, siluman galak!" Kwi Hong miringkan tubuh dan membabat ke arah lengan yang memukulnya, akan tetapi kakek itu dapat menarik kembali lengannya.
"Tahan....!" Bun Beng berseru. "Nona Kwi Hong, dia bermaksud membantumu!"
"Membantu apa? Dia.... ah, mukanya berwarna, dia tentu iblis dari Pulau Neraka!"
"Hemm, memang aku dari Pulau Neraka, habis kau mau apa?" Kakek itu menantang dengan marah. "Aku mau membasmi orang-orang Pulau Neraka, dan engkau lebih dulu!" Kembali Kwi Hong menyerang. "Iblis betina tak tahu diri!" Kwi-bun Lo-mo mengelak lagi
dan diam-diam terkejut karena biarpun pedangnya sudah buntung, nona ini merupakan lawan yang amat tangguh, gerakannya cepat, ilmu pedangnya aneh dan tenaga sin-kangnya amat kuat, dapat diduga dari suara bercuitan ketika pedang buntung menyambar. Terpaksa dia mencelat lagi ke kanan untuk menghindar.
"Tahan! Locianpwe, dia itu adalah murid Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es!" Bun Beng berseru.
"Apa....?" Muka kakek itu berubah, matanya terbelalak. "Be.... betulkah....?"
"Aku mengenalnya, masa membohong?" Kwi Hong makin marah dan menuding dengan pedang buntungnya. "Kakek sialan! Apa kau pura-pura tidak mengenal aku yang pernah kalian culik ke Pulau Neraka?"
Kakek itu menggeleng kepala. "Aku mendengar akan peristiwa itu, akan tetapi aku sedang merantau keluar pulau, tidak tahu.... maaf.... aku tidak berani mengganggu murid Pendekar Siluman tanpa seijin To-cu kami...."
"Tidak peduli, kau harus mampus!" Kwi Hong menyerang lagi. Kwi-bun Lo-mo meloncat jauh ke belakang, kemudian melarikan diri! Kakek ini pernah merasai kelihaian Pendekar Siluman ketika ia bertanding melawan Nayakavhira, maka kini mendengar bahwa gadis ini murid pendekar sakti itu, dia menyangka bahwa tentu Pendekar Siluman berada pula di situ, pula tanpa seijin To-cu, Majikannya, mana dia berani mengganggu murid Majikan Pulau Es?
Kwi Hong hendak mengejar, akan tetapi Bun Beng meloncat menghadang dan berkata, "Sudahlah, Nona, perlu apa dikejar orang yang tidak mau melawan? Dahulu pun, Pamanmu tidak mengejarnya."
Kwi Hong berhenti, karena maklum bahwa dia pun tak dapat menyusul kakek yang lari seperti terbang cepatnya itu, apalagi kalau ia ingat bahwa kakek itu memiliki senjata rahasia peledak yang mengandung asap beracun berbahaya. "Hemm, aku mengenalmu sekarang," katanya sambil memandang wajah pemuda itu. "Engkau Gak Bun Beng...."
Bun Beng menjura sambil tersenyum. "Kuharap selama ini Nona dalam keadaan baik dan kulihat bahwa Nona telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari Pamanmu. Selamat!"
"Engkau mengejek?" Kwi Hong membentak marah. Bun Beng melongo dan memandang dengan mata terbelalak. Kenapa Nona ini marah-marah? Dia menggelengkan kepala tanpa dapat menjawab. "Engkau mengejek, ya? Karena aku tidak mampu merampas kembali pedang itu, karena pedangku patah, karena aku tidak mampu membunuh kakek Pulau Neraka!" Pandang mata itu seperti mengeluarkan api yang menyerang Bun Beng, dia mundur ketika dara itu melangkah maju dengan muka merah saking jengkel oleh kegagalannya. "Hayo katakan engkau mengejekku, biar aku mempunyai alasan untuk menyerangmu!"
"Tidak! Tidak....! Wah, siapa mengejek, Nona? Sama sekali aku tidak mengejek. Bukan salahmu kalau pedang Nona patah, dan kalau tidak dibantu gurunya, kakek India itu, tentu Si Siucai gila sudah mampus olehmu dan pedangnya terampas."
Mendengar kata-kata ini, agak berkurang kemarahan Kwi Hong. Ia membanting kaki dan memandang pedangnya yang buntung, lalu membantingnya ke atas tanah sambil mengomel. "Sialan! Tentu Paman akan marah kepadaku karena pedang ini!"
Melihat wajah cantik jelita yang menjadi merah, mata yang membayangkan penyesalan dan kedukaan besar, hati Bun Beng tergerak. Teringatlah ia akan sepasang pedang yang ditinggalkannya di guha rahasia di tempat para pemuja Sun-go-kong, maka serta merta ia berkata, "Harap Nona jangan berduka, aku mempunyai sepasang pedang pusaka yang hebat, bahkan yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw."
"Sepasang pedang yang.... Pedang Iblis?" Kwi Hong memotong, matanya terbelalak, kedukaannya lenyap seketika. Bun Beng mengangguk. "Agaknya benar Sepasang Pedang Iblis yang kudapatkan secara kebetulan sekali. Kini kusimpan di dalam guha rahasia. Kalau Nona suka, akan kuberikan sebatang kepada Nona, yang pendek. Pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang mendirikan bulu roma sehingga aku tidak berani mencabut seluruhnya, agaknya tidak kalah ampuh oleh pedang yang dicuri Tan-siucai tadi."
"Benarkah itu? Paman juga mencari-cari pedang itu! Benarkah akan kauberikan kepadaku?" Sikap Kwi Hong berubah sama sekali, agaknya dia tidak ingat lagi akan kemarahan dan kedukaan hatinya, wajahnya berseri dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya, amat indahnya seperti sepasang bintang pagi dalam pandangan Bun Beng. "Benar, Nona. Pedang itu sepasang, boleh untukmu sebatang dan untukku sebatang."
Tiba-tiba wajah yang cerah itu kembali agak muram oleh berkerutnya sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu. "Bun Beng, bagaimana engkau bisa mendapatkan Siang-mo-kiam? Seluruh dunia kang-ouw mencari dan memperebutkannya. Bagaimana tiba-tiba kau bisa mengatakan kepadaku bahwa engkau menemukan pedang-pedang itu?"
Dalam pertanyaan ini terkandung keraguan dan ketidakpercayaan.
"Aku mendapatkannya secara kebetulan saja, Nona. Terjadinya ketika aku terjatuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho." Dengan singkat Bun Beng menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi sengaja dia tidak menyebutkan tempat ia menyimpan sepasang pedang itu, juga tidak tentang kitab Sam-po-cin-keng. Kwi Hong mendengarkan dengan alis berkerut. "Jadi ketika kita saling bertemu itu engkau telah menemukan Siang-mo-kiam?"
"Benar, aku tidak sempat bercerita, pula pada waktu itu memang aku hendak merahasiakannya dari siapapun juga."
"Hemm, kalau begitu, mengapa sekarang mendadak engkau ingin memberikan sebatang kepadaku? Apa sebabnya?" Sambil berkata demikian, Kwi Hong memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Bun Beng kagum bukan main. Mata itu...., bukan kepalang indahnya! Sejenak ia menentang pandang mata itu penuh kagum, akan tetapi sinar mata itu seperti sepasang pedang iblis sendiri yang menusuk, menembus mata sampai ke jantung! Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.
"Mengapa....? Aihh, tak terpikir olehku.... hemm, agaknya karena melihat pedangmu patah, Nona. Karena melihat engkau berduka tadi...."
"Heh, omong kosong! Mengapa mendadak engkau menaruh perhatian seperti itu kepadaku? Apa hubungannya kedukaanku denganmu? Engkau merasa kasihan? Alasan yang dangkal dan kosong!" Kembali di dalam suaranya terkandung kecurigaan dan ketidakpercayaan.
Cepat Bun Beng membantah. "Tidak! Tidak hanya itu, Nona. Sesungguhnya.... pertama karena Nona telah menyelamatkan nyawaku tadi. Kalau tidak Nona keburu turun tangan, bukankah aku akan mati terjatuh dari atas kalau tali layangan itu diputus oleh kakek tadi? Untuk membalas budi Nona yang telah menyelamatkan nyawaku, apa artinya pemberian sebatang pedang? Pula, kedua memang aku merasa amat kagum kepada Paman Nona, dan satu-satunya orang di dunia ini yang aku ingin agar pedang yang diperebutkan itu dimilikinya, adalah Paman Nona, Pendekar Super Sakti. Maka, kebetulan sekali aku bertemu dengan Nona, bahkan Nona telah menolongku sehingga ada alasan bagiku untuk menyerahkan pedang."
Kwi Hong mengangguk-angguk, wajahnya kembali cerah dan ia mulai percaya kepada Bun Beng. Pemuda ini girang sekali menyaksikan perubahan wajah itu, memandang penuh kagum wajah cantik jelita yang matanya menunduk itu. Tiba-tiba wajah itu diangkat, pandang mata mereka saling bertaut dan dengan jantung berdebar Bun Beng melihat betapa alis yang bagus itu kembali dikerutkan, lalu terdengar suara gadis itu membentak marah.
"Aku tidak percaya kepadamu!" Mula-mula Bun Beng tertegun, kemudian ia menarik napas panjang, wajahnya membayangkan kekesalan dan kedukaan hati. "Hemm, agaknya Nona curiga kepadaku?"
"Siapa tahu kalau-kalau engkau ini amat licik dan curang dan sengaja hendak menipuku?" Bun Beng merasa jantungnya perih seperti ditusukpedang. Ia mengangguk dan menjawab, "Aku mengerti, Nona. Tentu Nona curiga kepadaku mengingat bahwa aku adalah anak seorang tokoh hitam yang amat licik dan curang? Sudah banyak aku mendengar makian itu."
"Tidak peduli! Aku tidak mengatakan begitu dan tidak berpikir begitu. Hanya siapa mau percaya kepada seorang yang telah gulang-gulung bergaul dengan seorang iblis Pulau Neraka? Engkau datang bersama dia, tentu sahabat baiknya, atau siapa tahu engkau sudah menjadi anggota Pulau Neraka. Mereka adalah iblis-iblis kejam, tentu engkau juga bukan orang baik-baik. Bagaimana aku dapat percaya?"
Lega hati Bun Beng. Nona ini satu-satunya orang yang tidak menyinggung ayahnya. Alasan yang diucapkan untuk kecurigaannya memang tepat. Maka ia cepat-cepat menuturkan pengalamannya semenjak ia ditawan oleh Thian-liong-pang sampai berhasil lolos, dikeroyok ikan, diterkam rajawali yang kemudian bertempur melawan garuda dan akhirnya terlepas.
"Ketika melayang jatuh itulah aku tersangkut pada tali layang-layang yang dikemudikan oleh kakek Pulau Neraka itu. Baru pertama itulah aku berkenalan dengan dia dan kami sama-sama turun setelah terhindar dari angin taufan dan terancam maut oleh kakek India yang akan memutus tali. Untung Nona muncul dan menyerangnya."
Penuturan Bun Beng yang amat luar biasa seperti terjadi dalam dongeng itu membuat Kwi Hong melongo. "Wah-wah.... hebat sekali pengalamanmu!" Ia duduk di atas rumput. "Engkau menjadi tawanan Thian-liong-pang? Buka main! Dan berhasil lolos? Eh, ceritakanlah, Bun Beng. Bagaimana kau bisa lolos dari Thian-liong-pang yang terkenal sekali amat kuat itu? Aku mendengar banyak orang pandai dan sakti di sana, bahkan tidak kalah saktinya oleh orang-orang Pulau Neraka!"
Melihat wajah itu betul-betul sudah percaya kepadanya, sudah cerah dan bekas-bekas kecurigaan dan ketidakpercayaan tidak tampak lagi, Bun Beng duduk pula di atas rumput. Mereka duduk berhadapan, bercakap-cakap dan merasa seperti telah menjadi sahabat lama.
Dengan terus terang Bun Beng menceritakan pengalamannya ketika berusaha menolong Ketua Bu-tong-pai dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw itu diadu oleh Ketua Thian-liong-pang untuk dicuri jurus simpanan mereka yang terpaksa digunakan dalam pertandingan itu. Kemudian betapa dia diaku sebagai cucu keponakan Si Muka Singa dan akan dijadikan anggauta. Akan tetapi ia menolak dan akhirnya di jebloskan dalam penjara di bawah tanah.
"Sama sekali aku tidak tahu bahwa dinding itu menembus ke sungai yang besar di mana banyak terdapat ikan raksasa yang hampir saja membunuhku. Kalau tahu begitu, agaknya belum tentu aku berani membobol dinding itu. Heran, sungai apakah itu?"
Kwi Hong yang tertarik sekali berkata. "Apakah kau tidak tahu? Kini kita berada di lembah Sungai Huang-ho, dan sarang Thian-liong-pang berada di kota Cie-bun, di sebelah utara kota Cin-an. Sudah lama aku mendengar akan perbuatan Thian-liong-pang menculik orang-orang kang-ouw. Sayang Paman melarang aku bentrok dengan orang Thian-liong-pang, kalau tidak aku akan menyerbu ke sana. Hemm.... kalau Paman mendengar bahwa orang-orang kang-ouw itu diculik untuk dicuri ilmu mereka tentu Paman akan tertarik sekali. Eh, Bun Beng, di manakah adanya guha rahasia di mana engkau menyembunyikan Siang-mo-kiam?"
"Aku tidak tahu namanya, hanya aku tahu jalan ke sana kalau sudah melihat bentuk gunungnya. Kalau tidak salah, dekat dengan laut karang ketika aku dibawa terbang burung rajawali yang kemudian bertanding dengan burung garuda yang kunaiki itu, dan aku terlepas ke bawah, aku jatuh ke dalam laut."
Kwi Hong memutar otaknya. "Hemm, tentu di Laut Utara. Mari kita cari ke sana. Sayang burung kami telah dibunuh oleh siucai sinting dan gurunya, kalau tidak, tentu dengan mudah kita bisa mencari sambil menunggang pek-eng."
"Apakah tidak ada garuda putih lagi di Pulau Es? Aku tadi melihat burung garuda putih menyerang rajawali yang mencengkeramku."
"Benarkah? Tentu burung garuda liar. Kami tidak mempunyai garuda lagi. Aku baru saja keluar dari Pulau Es, baru mendapat ijin dari Paman setelah berulang-ulang aku minta supaya diijinkan merantau. Aku ingin ke kota raja mencari dan menengok kuburan Ibuku. Akan tetapi sekarang bertemu denganmu, sebaiknya kita mencari Siang-mo-kiam, baru akan pergi ke kota raja. Marilah kita berangkat sebelum gelap, Bun Beng."
"Baiklah, Nona." Mereka bangkit dan Kwi Hong berkata mencela. "Jangan sebut Nona, kenapa kau begini merendah? Menjemukan benar!"
"Habis, aku harus menyebut apa?"
"Apa kau tidak tahu namaku? Kalau kau mau bersahabat denganku, jangan merendah seolah-olah engkau ini orang bawahanku di Pulau Es. Sebut saja namaku!"
"Baiklah.... Kwi Hong." Hati Bun Beng girang sekali. Dara ini cantik menarik dan membuat hatinya berdebar aneh, membuat ia ingin selalu berdekatan dan bercakap-cakap dengannya. Pula, gadis inilah satu-satunya orang yang tidak menyebut-nyebut tentang kejahatan ayahnya. Dan yang lebih dari semua itu, gadis ini adalah murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, orang yang dikagumi dan dipuja di dalam hati. "Tempat itu dahulu kutemukan setelah aku terjatuh ke dalam pusaran maut di Sungai Huang-ho, sebuah gunung yang aneh dan terletak dekat laut. Tentu tidak jauh dari muara sungai. Sebaiknya kita mencari jejak mulai dari pulau di tengah muara sungai dari mana aku terlempar dan jatuh ke dalam pusaran maut."
"Baik, memang mestinya begitu. Kalau tidak dapat menemukan tempat itu melalui darat, kita harus mengikuti jejakmu dahulu melalui pusaran maut."
Bun Beng terbelalak. "Apa....? Wah, itu berbahaya sekali, Kwi Hong!" Gadis itu memandangnya dan menggeleng kepala. "Engkaupun tidak mati, bukan? Nah, kalau di waktu masih kecil dahulu saja bisa sampai di tempat itu melalui pusaran maut dengan selamat, mengapa sekarang tidak?"
"Ah, dahulu lain lagi. Aku terlempar ke sana bukan atas kehendakku, dan aku setengah pingsan ketika terbawa pusaran, agaknya memang Tuhan tidak menghendaki aku mati diwaktu itu. Kalau sekarang aku harus terjun ke sana, hiiiiiih.... ngeri sekali, aku tidak berani."
Kwi Hong cemberut. "Kalau kau tidak berani, aku berani! Pedang Siang-mo-kiam itu terlalu penting untuk dibiarkan di tempat itu. Terlalu berharga untuk dicari dengan taruhan nyawa. Kalau bisa kudapatkan dan kuperlihatkan kepada Paman, tentu dia akan girang sekali karena Paman pernah bilang bahwa kalau sepasang pedang iblis itu sampai muncul di dunia dalam tangan orang-orang sesat, sukar untuk ditundukkan dan di dunia pasti akan kacau balau dan kejahatan merajalela. Nah, kau tahu betapa besarnya arti kedua pedang itu, dan betapa pentingnya untuk didapatkan kembali."
Mereka mulai melakukan perjalanan dan Kwi Hong yang menjadi penunjuk jalan sampai mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho. Akan tetapi malam sudah tiba ketika mereka sampai di tepi sungai.
"Kita bermalam di tepi sungai ini, besok baru kita melanjutkan," kata gadis itu. Bun Beng lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Tepi sungai itu sunyi senyap, akan tetapi menyenangkan sekali bagi Bun Beng. Tempatnya bersih, tanahnya tertutup rumput hijau seperti permadani, pohon-pohon dan bunga-bunga mendatangkan bau yang sedap dan segar, dan bulan hampir bulat muncul tak lama kemudian, membuat tempat itu menjadi indah, romantis, dan menyenangkan. Tentu saja ia tidak sadar bahwa yang membuat keadaan menjadi demikian indah adalah hadirnya Kwi Hong karena kalau tidak ada gadis itu di sana, belum tentu tempat sunyi ini akan tampak seindah malam itu!
Mereka duduk menghadapi api unggun. Enak dan nyaman, hangat. Bun Beng duduk melamun, merasa betapa selama hidupnya, baru sekarang inilah ia mengalami kebahagiaan, merasa betapa senangnya hidup!
"Eh, Bun Beng, kenapa melamun saja kau?" Bun Beng terkejut dan sadar dari lamunanpya yang mengangkatnya ke angkasa. Ia memandang dan tidak dapat menjawab karena sepasang mata yang terkena sinar api unggun itu kelihatan begitu indah dan tajam berkilau.
"Apa perutmu tidak lapar?" Gadis itu bertanya ketika melihat pemuda itu hanya melongo. Mendengar ini, kontan perut Bun Beng berbunyi, seolah-olah menjawab pertanyaan itu. Dengan gugup ia menekan perut dengan tangannya sambil memaki dalam hati kepada perutnya yang tak tahu malu. Memang ia merasa lapar sekali. Apalagi hawa begitu nyaman, pemandangan begitu indah, membuat perut yang kosong terasa sekali. "Heiii! Bagaimana?" Gadis itu kembali bertanya, menahan geli hatinya karena telinganya yang berpendengaran tajam dapat menangkap perut yang berkokok tadi. "He? Apa?" Bun Beng bertanya gugup, masih merasa malu oleh perutnya.
"Lapar tidak?"
"Lapar sekali, Kwi Hong tapi.... makan apa....?"
"Betapa bodohnya! Ikan berkeliaran di dalam sungai masih bertanya makan apa?" Bun Beng teringat dan meloncat bangun. "Tepat sekali! Mengapa aku begitu bodoh dan pelupa? Ikan-ikan yang mengeroyokku siang tadi! Aku harus membalas dendam, setidaknya kutangkap seekor, kupanggang sampai matang dan kita ganyang dagingnya!" Setelah berkata demikian, ia lari ke pinggir sungai dan langsung meloncat ke sungai. "Byurrrr!" Air muncrat tinggi dan Kwi Hong terbelalak, kemudian tertawa terpingkal-pingkal dan menggeleng-geleng kepala. "Sungguh orang aneh," gumamnya sambil berdiri di pinggir sungai menonton Bun Beng yang menyelam hendak menangkap ikan begitu saja dengan kedua tangan, lengkap dengan pakaiannya, bahkan sepatunya tidak dicopot! Akan tetapi ia kagum ketika tak lama kemudian Bun Beng sudah muncul lagi, memondong seekor ikan yang besarnya sebantal dan melemparkan ikan itu ke darat! Ikan itu menggelepar-gelepar di darat dan Bun Beng sudah berenang ke pinggir lalu mendarat pula, tersenyum lebar, pakaiannya basah kuyup, air menetes-netes dari seluruh pakaiannya, rambutnya pun basah kuyup dan kuncirnya melibat leher. "Aihh, ikan besar ini mana bisa kita menghabiskannya? Dan bagaimana pula membersihkan isi perutnya, kaulah yang melakukannya itu, nanti aku yang memanggangnya."
"Jangan khawatir, Kwi Hong. Kalau tidak ada pisau, batu karang pun cukup tajam dan runcing." Dengan gembira Bun Beng lalu mencari batu karang yang keras, menghampiri ikan. Sekali pukul dengan batu pecahlah kepala ikan itu dan ia segera membelah perut ikan dengan batu yang tajam, membuang isi perutnya ke sungai dan membersihkan kulit ikan yang tak bersisik itu dengan gosokan batu karang.
Kwi Hong sudah menyediakan sebuah ranting, menusuk ikan besar itu dari mulut sampai menembus ekor, kemudian memanggangnya di atas api unggun sambil menanti Bun Beng mencuci tangannya ke air sungai. Setelah pemuda itu duduk dekat api, dia mencela.
"Kau ini aneh sekali, mengapa menangkap ikan begitu saja dengan memakai pakaian lengkap? Lihat, pakaian dan sepatumu basah kuyup, tentu dingin sekali. Sebaiknya kaubuka dan peras pakaianmu, panggang dekat api biar kering."
Muka Bun Beng tiba-tiba berubah merah. Bagaimana dia bisa menanggalkan pakaian di depan gadis itu? "Biarlah, diperas begini pun bisa, dan kalau aku duduk dekat api, sebentar juga kering." Ia memeras rambut dan pakaiannya, melepas sepatunya dan menggeser duduknya dekat api. Beberapa kali Kwi Hong melirik kepadanya dengan pandang mata penuh rasa heran. Pemuda ini aneh sekali. Kadang-kadang pendiam dan canggung, akan tetapi gerak-geriknya amat menarik hatinya.
Bau sedap daging ikan dipanggang menusuk hidung, langsung merangsang selera mulut dan menambah lapar perut. Setelah matang, kedua orang itu lalu menyerbu daging ikan yang terasa sedap dan gurih sekali. Hanya separuh termakan oleh mereka. Terpaksa sisanya mereka buang lagi ke sungai. "Sayang air sungai begitu kotor, bagaimana bisa minum?" Kwi Hong bertanya sambil mencuci tangannya yang penuh minyak ikan, juga mengusap bibirnya dengan air sungai, kemudian menggosoknya dengan saputangan.
"Aku akan mencari buah!" Berkata demikian, Bun Beng meloncat dan lari pergi, mencari-cari pohon yang ada buahnya. Sampai jauh ia meninggalkan tepi sungai itu dan untung bahwa bulan bersinar terang sehingga akhirnya setelah payah mencari-cari, ia datang lagi membawa beberapa butir buah yang sudah masak.
Kemudian, keduanya duduk menghadapi api unggun yang menjadi makin besar setelah ditambah daun kering dan kayu oleh Kwi Hong. Hawa yang hangat, perut yang kenyang, membuat gadis itu merasa mengantuk dan ia menguap di belakang telapak tangannya.
"Ahhh, aku ingin tidur. Kau berjagalah dulu, Bun Beng sambil mengeringkan pakaianmu. Nanti aku giliran menjaga dan kau tidur. Di tempat seperti ini, apalagi baru saja kita bertemu dengan siucai sinting dan gurunya, tidak boleh kita berdua tidur semua tanpa ada yang menjaga."
"Baik, kau tidurlah, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan aku akan menjagamu." Kwi Hong mundur agak menjauhi api unggun, kemudian merebahkan dirinya, miring menghadapkan mukanya ke api unggun dan memejamkan kedua matanya. Bun Beng kini berani menatap wajah itu sepuas hatinya. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, menyaksikan wajah yang kemerahan, dengan rambut yang agak mawut dan sebagian terurai menutup pipi dan dahi, melihat bulu mata yang menjadi panjang dan tebal membentuk bayang-bayang di pipi, hidung yang mancung dan cupingnya bergerak sedikit ketika bernapas dalam-dalam, bibir yang merah dan mengkilap terkena minyak daging ikan, ia merasa terharu sekali. Ia membandingkan wajah ini dengan wajah Ang Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang pernah menarik hatinya. Keduanya sama cantik dan memiliki daya tarik masing-masing. Akan tetapi, melihat Kwi Hong tertidur tak jauh di depannya, ia harus mengaku bahwa Kwi Hong lebih cantik jelita. Teringatlah ia betapa dalam keadaan menghadapi maut, hanya tiga wajah orang yang terbayang olehnya. Wajah Kwi Hong, wajah Siok Bi dan wajah Milana! Akan tetapi, ketika itu ia membayangkan wajah Kwi Hong dan Milana di waktu mereka masih kecil. Betapa jauh perbedaannya setelah ia bertemu dengan Kwi Hong sekarang, demikian cantik dan menarik!
Tiba-tiba Bun Beng mengutuk diri sendiri di dalam batinnya. Mengapa ia membayangkan wajah wanita-wanita cantik? Celaka, inikah yang membuat ayahnya dahulu memperkosa ibunya? Ia bergidik ketika merasa betapa ada hasrat di hatinya untuk memeluk tubuh wanita yang berbaring di depannya itu, ingin mencium pipi itu, bibir itu! Keparat! Ingin ia menghantam kepalanya sendiri, menghancurkan kepala yang berisi pikiran busuk itu. Apakah ia mewarisi watak ayahnya? Tidak! Ayahnya telah disebut datuk kaum sesat, tentu merupakan seorang yang sesat kelakuannya. Buktinya sampai memperkosa ibunya! Dia tidak akan melakukan hal seperti itu! Biarpun dia tertarik akan wanita-wanita cantik, dia akan memerangi perasaannya sendiri dan mencegah agar jangan sampai ia melakukan perbuatan terkutuk! Ia harus memilih seorang di antara mereka, bukan untuk diperkosa, bukan untuk dipermainkan, melainkan untuk dijadikan isteri! Kwi Hong ini! Ah, betapa akan bahagia hatinya kalau ia dapat memperisteri Kwi Hong.
Kwi Hong mengeluh perlahan dan menghela napas panjang, agaknya mimpi. Keluhan lirih dan helaan napas itu membuat dara itu tampak makin menarik sehingga Bun Beng terpaksa membuang muka, tidak kuat memandang lebih jauh karena jantungnya sudah berdenyut keras.
Memang tidak terlalu dapat disalahkan kalau Bun Beng diamuk nafsu berahi dan cinta. Usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh dua tahun lebih. Dalam usia sebanyak itu, tentu saja timbul perasaan ini dan masih mengagumkan bahwa dia dapat menahan diri kalau diingat bahwa sejak kecil dia tidak pernah menerima pendidikan tentang susila, tidak pernah menerima pendidikan ayah bunda sendiri. Untung bahwa ia digembleng oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-pai sehingga batinnya cukup kuat, biarpun darahnya, darah ayahnya yang panas membuat ia condong untuk melakukan perbuatan menyeleweng. Namun, justeru nama buruk ayahnya membuat ia berkeras hati untuk menebus semua kesalahan ayahnya dengan perbuatan baik, bukan menambah kotor nama ayahnya dengan perbuatan seperti yang pernah dilakukan ayahnya. Betapa bahagianya kalau ia dapat menjadi suami Kwi Hong, pikirnya lagi setelah hatinya tenang dan dia berani lagi memandang wajah Kwi Hong. Gadis itu kini telah rebah terlentang sehingga nampak tonjolan dadanya yang turun naik kalau bernapas lembut. Bibir itu setengah terbuka, seperti tersenyum menantang!
Betapa cantik jelitanya, betapa gagah perkasanya. Tadi telah dia saksikan sendiri betapa lihai gadis ini. Dia sendiri meragukan apakah dia akan mampu melawan Kwi Hong. Betapa tidak gagah perkasa dan lihai kalau diingat bahwa dara ini adalah keponakan dan murid Pendekar Super Sakti! Tiba-tiba Bun Beng tertegun dan mengerutkan alisnya. Keponakan Pendekar Siluman! Aihhh, dia telah melamun terlalu jauh. Bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami keponakan Majikan Pulau Es? Mentertawakan! Dia, seorang anak yatim-piatu, bahkan disebut anak haram, putera mendiang datuk kaum sesat yang disebut Setan Botak, mana mungkin berjodoh dengan keponakan Majikan Pulau Es yang berkedudukan tinggi?
"Aihhhh, pikiran yang bukan-bukan," ia menarik napas panjang, berusaha mengusir keinginan hati yang tak mungkin terpenuhi itu. Ia memaksa diri untuk mengalihkan keinginan hatinya. Bagaimana kalau Milana? Lebih tak masuk diakal! Tanpa disengaja, ia telah menyaksikan peristiwa hebat yang mungkin menjadi rahasia Pendekar Siluman, Milana adalah puteri Pendekar Siluman itu! Puterinya dari seorang ibu yang amat cantik dan amat sakti! Lebih tidak mungkin lagi. Baik Kwi Hong, apalagi Milana, tidak mungkin menjadi jodohnya. Kedudukan mereka terlalu tinggi baginya, seperti merindukan bintang-bintang di langit saja! Tinggal seorang lagi, Ang Siok Bi! Dia itulah yang tidak begitu tinggi kedudukannya, akan tetapi hal ini kalau dibandingkan dengan Kwi Hong atau Milana, kalau dibandingkan dengan dia, bahkan Siok Bi masih terlalu tinggi untuknya. Puteri Ketua Bu-tong-pai! Aihh, dia mimpi di siang hari! Tidak ada harapan seujung rambutpun!
"Dasar manusia tak tahu diri engkau!" Bun Beng berbisik dan menjambak kuncirnya, merasa terpukul dan rendah. Ia merenung memandang api unggun, diam-diam mengeluh dan menyalahkan ayah bundanya yang telah tiada.
"Sudahlah, aku manusia yang tiada harganya. Akan tetapi akan kubuktikan kepada mereka semua, kepada dunia kang-ouw bahwa biarpun ayahku seorang manusia sejahat-jahat dan serendah-rendahnya, aku tidaklah serendah itu. Aku akan membuktikan bahwa aku mampu melakukan hal-hal yang layak dilakukan seorang pendekar besar!"
Pikiran ini sedikitnya menghibur hatinya yang perih. Terhiburlah dia bahwa kini dia akan menyerahkan sebuah di antara Siang-mo-kiam kepada murid dan keponakan Majikan Pulau Es. Sepasang pedang itu diperebutkan oleh orang sedunia kang-ouw, bahkan Pendekar Siluman sendiri mencari-cari tanpa hasil. Kini dia yang berhasil menemukannya dan menyerahkan sebuah di antaranya kepada murid dan keponakan Majikan Pulau Es, bukankah hal ini sudah merupakan jasa yang besar? Dan dia akan melangkah lebih jauh lagi. Dia akan melakukan hal-hal yang besar, biarpun saat itu dia belum tahu apa gerangan hal-hal yang besar itu. Bun Beng menambahkan kayu kering sehingga api unggun membesar. Pakaiannya sudah kering dan ia merasa tubuhnya hangat. Malam telah amat larut, akan tetapi dia tidak mau membangunkan Kwi Hong. Biarlah dia yang berjaga sampai pagi. Tidak tega dia mengganggu gadis itu yang tidur dengan nyenyaknya. Ia bersandar pada batang pohon, kadang-kadang menambah kayu pada api unggun, menjaga agar api itu tidak padam. Pada keesokan harinya ketika terdengar kokok ayam hutan dan kegelapan malam mulai terusir oleh sinar matahari pagi yang kemerahan, Kwi Hong bangun dari tidurnya. Ia mengusap kedua matanya dan begitu membuka mata melihat bahwa malam telah berganti pagi, melihat pula Bun Beng masih duduk bersandar pohon dekat api unggun, ia meloncat bangun dan membentak.
"Bun Beng, kau terlalu sekali!" Bun Beng tersenyum, dia tidak merasa aneh lagi menyaksikan sikap gadis yang begitu mudah berubah seperti angin ini, tiba-tiba saja marah, kemudian marahnya berganti sikap ramah. Benar-benar seorang gadis yang penuh semangat berapi-api, "Maaf, Kwi Hong, apakah salahku?"
"Masih bertanya apa salahnya lagi! Enak-enak duduk semalam suntuk, membiarkan orang tertidur sampai pagi. Mengapa tidak kaubangunkan aku agar aku berganti melakukan penjagaan?"
"Aah, tidak mengapa, Kwi Hong. Aku tidak mengantuk dan kau.... tidurmu enak benar, tidak tega aku membangunkanmu." Gadis itu memandang aneh. "Mengapa kau menyiksa diri untukku? Kau tidak tidur sama sekali?" Ucapan "karena aku cinta padamu" sudah berada di ujung lidah Bun Beng, namun cepat ditelannya kembali. "Aku duduk beristirahat sama dengan tidur. Urusan kecil ini masa mesti dibesar-besarkan?"
"Biarpun urusan kecil, akan tetapi aku tidak mau dikatakan tidak adil. Lain kali aku tidak mau begini, engkau harus tidur lebih dulu. Kau membikin aku merasa tidak enak saja!" Dengan uring-uringan Kwi Hong lalu pergi mencari sumber air untuk mencuci muka. Setelah ia kembali, ia melihat Bun Beng sudah mencuci muka di air Sungai Huang-ho.
"Mari kita melanjutkan perjalanan," kata Kwi Hong dan berangkatlah mereka menuju ke jurusan timur, ke arah muara Sungai Huang-ho. Tak lama kemudian Bun Beng mengenal daerah dimana dahulu dia dan suhunya, mendiang Siauw Lam Hwesio, berperahu menuju ke muara sungai. Peristiwa beberapa tahun yang lalu seperti terjadi kemarin saja dan teringat akan nasib gurunya, mukanya menjadi berduka dan ia menarik napas panjang.
"Mengapa kau berduka?" Tiba-tiba Kwi Hong bertanya tidak galak lagi seperti tadi, melainkan halus dan menaruh khawatir. "Aku teringat kepada mendiang Guruku, Siauw Lam Hwesio. Dia tewas secara menyedihkan sekali." Dia lalu menceritakan tentang kematian gurunya di tangan koksu negara dan kaki tangannya. Kemudian menutup ceritanya, "Aku harus membalas kematian Suhu. Kelak aku harus mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan tiga orang pembantunya yang ikut membunuh Suhu, Thian Tok Lama,
Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong!"
Kwi Hong mendengarkan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang. "Wah, musuh-musuhmu bukanlah orang sembarangan. Kedua orang pendeta Lama itu menurut Paman memiliki ilmu kepandaian tinggi apalagi Im-kan Seng-jin! Lawan-lawan yang amat berat dan sakti."
"Aku tidak takut dan aku harus mencari mereka."
"Aku pun tidak takut, hanya bilang bahwa mereka lihai. Kelak aku akan membantumu, Bun Beng." Bun Beng menoleh dan mereka berpandangan. Melihat sinar mata penuh rasa syukur dan berterima kasih dari pemuda itu, Si Dara membuang muka dengan perasaan jengah. "Biarpun mereka bukan musuhmu, aku pun akan menentang mereka dan Thian-liong-pang, dan Pulau Neraka!" katanya menambahkan, seolah-olah hendak mengalihkan perhatian Bun Beng bahwa dia menentang mereka bukan se mata-mata untuk membantu Si Pemuda. Mereka berjalan terus, berjalan cepat karena mereka kini mempergunakan ilmu lari cepat setelah Bun Beng mengatakan
bahwa pulau di muara sungai itu tidak jauh lagi. "Nah, itu dia pulaunya, dan di sanalah pusaran maut itu!" Bun Beng berteriak menuding dan mereka berlari cepat menghampiri pantai dari mana tampak pulau kecil di tengah muara yang dahulu menjadi medan pertempuran. Dari pantai itu tampak pula pusaran air dan Bun Beng masih bergidik ngeri melihat air berputar-putar itu, teringat akan pengalamannya beberapa tahun yang lalu.
"Lihat, Kwi Hong. Ketika terjadi pertandingan di pulau itu, aku terlempar dari atas tebing itu, tepat jatuh di pusaran maut."
Kwi Hong mengerutkan alisnya. "Hemmm...., dan setelah kau keluar dari lorong air kau mendarat di lambung gunung katamu dahulu? Gunung yang dekat dengan muara ini hanya sebelah sana itu. Kita harus menyeberang!"
Tempat itu sunyi sekali, akan tetapi dari jauh tampak layar-layar perahu nelayan pencari ikan. Bun Beng yang lebih senang kalau mencari pedang-pedang itu tidak melalui pusaran air, cepat berlari ke bawah dan akhirnya dapat memanggil seorang tukang perahu. Dengan biaya ringan mereka dapat diseberangkan oleh nelayan itu dan melanjutkan perjalanan mendaki gunung karang yang sukar dilalui. Namun berkat kepandaian mereka, mereka dapat juga mendaki dan setelah tiba di sebuah puncak batu karang yang tinggi, Bun Beng meloncat naik dan memandang ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya ia berseru giiang. "Nah, di sana itu agaknya, di seberang jurang lebar itu. Benar, tak salah lagi, itu yang tampak seperti gerombolan tentulah hutan-hutan di mana
mereka mencari akar dan daun obat! Dari sanalah aku diterbangkan rajawali. Nah, sungai berada di sana dan gunung yang puncaknya tinggi itulah tempat aku melayang.... ahhh, tidak salah lagi. Mari kita ke sana!"
Akan tetapi, kegirangan Bun Beng yang mengenal tempat itu harus ditebus mahal sekali untuk menjadi kenyataan. Perjalanan amat sukar. Kadang-kadang mereka harus menuruni jurang yang amat dalam, melalui perjalanan yang curam dan kadang-kadang mereka harus mendaki batu karang yang runcing tajam mengakibatkan luka-luka pada telapak tangan. Sepatu mereka juga pecah-pecah. Malam itu terpaksa mereka harus bermalam di antara batu-batu karang gundul dan terpaksa melalui malam dingin sekali tanpa api unggun karena di daerah dimana mereka bermalam itu tidak terdapat sepotong pun kayu. Juga perut mereka lapar bukan main, namun semangat mereka tetap tinggi. Kini Kwi Hong memaksa Bun Beng supaya tidur lebih dulu, akan tetapi betapa mendongkol dan menyesal hati Bun Beng ketika dia terbangun, ternyata hari telah menjadi pagi dan dara itu "membalas dendam" tidak mau membangunkannya dan berjaga semalam suntuk. Ia mendongkol dan juga terharu sekali. Mereka baru saja melakukan perjalanan yang
melelahkan namun gadis itu bersikeras berjaga semalam suntuk. "Aihh, Kwi Hong. Mengapa kau begini sungkan, sedangkan kita telah menjadi sahabat dan mengalami kesukaran bersama?"
"Tidak akan puas hatiku kalau belum membalas. Aku paling tidak suka kalau merasa diri tidak adil. Setelah membalas, tentu saja hatiku lega dan lain kali kau harus tidak bersikap mengalah dan sungkan pula seperti yang kaulakukan malam kemarin."
Mereka melanjutkan perjalanan. Makin dekat tempat itu, makin yakinlah hati Bun Beng bahwa dia tidak keliru. Lewat tengah hari, kedua orang muda ini mendaki tebing tinggi menuju ke daratan di atas di mana dahulu para pemuja Sun-go-kong menyerahkan keranjang-keranjang obat kepada burung-burung ra jawali dari Pulau Neraka! Baru saja mereka meloncat ke puncak yang datar itu, tiba-tiba menyambar banyak senjata rahasia yang ternyata adalah batu-batu karang kecil dari depan. Dengan mudah keduanya mengelak dan Bun Beng berteriak.
"Harap Cu-wi tidak menyerang! Aku Gak Bun Beng!" Dari balik semak-semak bermunculan delapan belas orang. Ketika mereka melihat Bun Beng, orang-orang itu berteriak sambil lari menghampiri dan semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu. "Ah, kiranya Gak-inkong yang datang! Kami bersyukur sekali, In-kong. Kami melihat betapa In-kong diterbangkan burung rajawali dan mengira Gak-inkong sudah tewas....!"
Bun Beng tersenyum lebar. "Memang nyaris aku tewas, syukur Tuhan belum menghendaki demikian. Apakah Cu-wi baik-baik saja?"
"Terima kasih, In-kong. Semenjak peristiwa dahulu itu, kami tidak lagi mengalami gangguan, agaknya Dewa Sun-go-kong melindungi kami."
Mendengar ini, Bun Beng melirik kepada Kwi Hong dan gadis ini yang sudah mendengar tentang para pemuja Siluman Kera itu tersenyum. Gadis ini sebagai murid Pendekar Super Sakti, berhati polos dan jujur, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata,
"Sun-go-kong hanyalah tokoh dalam dongeng See-yu, mengapa kalian menyembah dan memujanya? Betapa bodohnya kalian ini orang-orang tua memuja tokoh dongeng kanak-kanak!"
Delapan belas orang yang kini sudah bangkit berdiri memandang kepada Kwi Hong dengan alis berkerut tanda tidak senang hati. "Hemm, Nona yang masih muda...., kalau saja engkau tidak datang bersama Gak-inkong dan menjadi sahabatnya, tentu kami tidak membiarkan kau berkata selancang itu. Semua dewa yang dipuja memang hanyalah tokoh dongeng. Yang penting bukanlah tokoh dongengnya, melainkan hati si pemujanya! Gak-inkong, apakah Nona ini sahabatmu? Kalau bukan, dia tidak kami perkenankan berada di sini!"
Bun Beng diam-diam merasa menyesal mengapa Kwi Hong berlancang mulut, namun dia pun tidak dapat menyalahkan dara itu yang memang suka bicara terang-terangan menurutkan kata hatinya. "Dia sahabat baikku, harap Cu-wi suka memaafkannya."
Wajah delapan belas orang itu menjadi cerah kembali dan mereka sudah memaafkan Kwi Hong. Bahkan seorang di antara mereka, yang termuda, maju dan berkata sambil tertawa, "Sahabat baik Gak-inkong? Ha-ha cocok sekali. Cantik jelita dan patut menjadi sisihan In-kong yang tampan...."
"Plak! Aduh!" Orang itu terguling dan meraba pipinya yang sudah menjadi bengkak oleh tamparan Kwi Hong. Gerakan tangan dara itu cepat bukan main sehingga orang yang ditamparnya hampir tidak tahu bahwa dia ditampar, disangkanya ada halilintar menyambar pipinya! Teman-temannya menjadi marah dan mereka sudah mengepal tinju, siap mengeroyok Kwi Hong sungguhpun diam-diam mereka terheran-heran. Mereka telah mempelajari Ilmu Sin-kauw-kun-hoat yang diberikan oleh Dewa Sun-go-kong kepada mereka, dan ilmu silat ini mengutamakan kegesitan sehingga mereka semua adalah ahli-ahli mengelak pukulan. Mengapa teman mereka tadi begitu mudah kena ditampar oleh dara ini?
"Tahan, Cu-wi sekalian! Nona ini adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es, harap Cu-wi tidak menimbulkan pertentangan!"
"Murid Pendekar Siluman....?" Terdengar seruan-seruan mereka dan semua orang memandang dengan mata terbelalak. Sebagai pejuang, tentu saja mereka sudah mendengar nama Pendekar Siluman yang dulu pernah menggegerkan musuh di Se-cuan dan orang tertua dari mereka segera mengangkat tangan memberi hormat kepada Kwi Hong sambil berkata, "Mohon maaf, karena tidak mengenal kami bersikap kurang hormat kepada Lihiap." Kemudian ia menghadapi Bun Beng dan bertanya, "Setelah bertahun-tahun In-kong meninggalkan kami, sekarang In-kong datang dengan tiba-tiba, apakah yang dapat kami lakukan untuk membantu In-kong dan Lihiap ini?"
Bun Beng tersenyum. "Terima kasih atas kebaikan Cu-wi sekalian. Aku datang hanya untuk menengok dan terutama sekali untuk mengambil sesuatu yang dahulu kusimpan di tempat ini. Harap Cu-wi tidak repot dan aku bersama Nona ini akan mencari dan mengambil sendiri benda yang kusimpan itu."
Orang-orang itu saling pandang. Mereka tidak tahu benda apakah yang disimpan oleh Bun Beng di situ, akan tetapi orang tertua dari mereka menjawab, "Silakan In-kong."
"Mari, Kwi Hong!" kata Bun Beng dengan sikap gembira. Nona itu pun merasa gembira dan hatinya tegang, melompat dan mengikuti Bun Beng meninggalkan tebing itu, berlari-lari ke arah gunung di mana terdapat guha-guha batu yang sebagian besar tertutup alang-alang tinggi dan lebat. Dengan hati berdebar Bun Beng mengajak gadis itu pergi ke daerah guha ini yang jauh juga dari tebing sehingga sekumpulan orang pemuja Sun-go-kong itu tidak tampak lagi, kemudian dengan mudah ia mencari guha kecil yang ia tutup dengan tumpukan sehingga sama sekali tidak kelihatan dari luar. Tanpa berkata sesuatu ia membongkar batu-batu itu,
dibantu oleh Kwi Hong yang juga menjadi tegang hatinya. Siapa yang tidak berdebar hatinya kalau mengingat bahwa Sepasang Pedang Iblis itu berada di belakang tumpukan batu? Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan orang sedunia kang-ouw, bahkan yang dicari-cari tanpa hasil oleh pamannya! Setelah tumpukan batu yang menutupi guha itu terbongkar semua, Bun Beng berseru girang melihat bungkusan kain yang kuning dan kotor. Ia mengenal itu, sehelai baju yang dipakai membungkus sepasang pedang. Baju itu sudah rusak dan kotor sekali, akan tetapi dengan penuh gairah Bun Beng menariknya dan dengan kedua tangan gemetar ia membuka bungkusan kain butut. Ternyata sepasang pedang itu masih utuh, sebatang agak pendek, sebatang lagi lebih panjang, akan tetapi bentuk gagang dan sarung pedangnya serupa. Ia menyerahkan yang pendek kepada Kwi Hong tanpa bicara. Bersama-sama mereka meneliti pedang itu dan membaca huruf-huruf kecil yang terukir di dekat gagang.
"Yang pendek ini adalah Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)...." kata Kwi Hong setelah membaca huruf-huruf di pedangnya.
"Dan ini adalah Lam-mo-kiam (Pedang Iblis Jantan)...." kata Bun Beng.
"Tepat seperti yang diceritakan Paman, ini adalah sepasang...."
"Sepasang Pedang Iblis! Ha-ha-ha, harus diberikan kepadaku!" Bun Beng dan Kwi Hong terkejut bukan main mendengar suara di belakang mereka itu. Mereka cepat membalikkan tubuh dan ternyata yang tertawa dan bicara tadi adalah kakek India bersorban bersama muridnya Si Siucai Sinting! Bun Beng maklum bahwa mereka menghadapi bahaya besar dan dalam beberapa detik saja otaknya bekerja cepat, lalu ia berbisik kepada Kwi Hong. "Kau bawa semua pedang ini, serahkan Pamanmu, biar aku menahan...."
"Tidak...." Kwi Hong berbisik pula dan menolak pedang panjang yang diangsurkan kepadanya, "kita pergunakan pedang ini untuk melawan bersama. Pula, kalau kita masing-masing memegang satu, pedang itu berpencar dan kalau terampas orang tidak keduanya."
"Ha-ha-ha-ha! Orang-orang muda, sudah lama aku mencari Sepasang Pedang Iblis, dan melihat gerak-gerikmu kemarin, aku sudah curiga maka diam-diam kami membayangi kalian. Siapa kira, benar saja kalian telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, ha-ha-ha-ha!"
"Maharya!" Tiba-tiba Kwi Hong membentak marah. "Seorang tua bangka macam engkau ini apakah tidak tahu peraturan dunia kang-ouw? Dalam berlomba mencari pusaka, siapa yang mendapatkannya berarti sudah berjodoh! Kami sudah mendapatkannya dan pusaka ini adalah milik kami!"
"Ha-ha-ha, bocah perempuan sungguh tajam matamu, dapat mengenal aku! Akan tetapi engkau tidak tahu riwayat Sepasang Pedang Iblis. Sepasang pedang itu adalah hak milikku. Karena itu, sudah semestinya kalian berikan kepada Maharya!" kakek India yang kini sudah pandai bicara bahasa daerah itu berkata dengan lidah kaku.
"Sombong dan pembohong besar engkau! Sepasang Pedang Iblis ini adalah milik pribadi Pendekar Wanita Sakti Mutiara Hitam yang menjadi pujaan Pamanku, To-cu dari Pulau Es. Kemudian pusaka-pusaka ini diwariskan kepada kedua muridnya, kemudian ditemukan oleh Paman dan dikubur bersama jenazah kedua murid Mutiara Hitam. Setelah itu lenyap dan akhirnya kami yang menemukannya kembali. Bagaimana kau berani bilang menjadi milikmu? Tak tahu malu!"
Sasterawan sinting itu meloncat ke depan. "Ah, dia ini keponakan Suma Han si jahanam keparat? Guru, kita tangkap dia dan siksa sampai mati, biar terasa oleh Suma Han siluman keparat itu!"
Kwi Hong mendelik saking marahnya dan telunjuk kirinya menuding ke arah sasterawan itu. "Engkau Tan Ki orang gila! Paman sudah menceritakan kepadaku tentang engkau! Tunanganmu, Lu Soan Li tewas dalam perjuangan sebagai seorang wanita pendekar yang gagah perkasa, akan tetapi engkau ini manusia gila telah menyalahkan Paman, bahkan menjadi murid kakek iblis ini membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Sekarang harus kaukembalikan pedang pusaka itu atau kau akan mampus di tanganku!"
"Ha-ha-ha! Bocah ini sombong sekali! Eh, bocah yang manis dan galak, engkau tidak tahu. Biarpun Sepasang Pedang Iblis itu dibuat atas perintah Mutiara Hitam, akan tetapi pembuatnya adalah Kakekku Mahendra, maka akulah yang berhak memilikinya. Lebih baik kalian berikan sepasang pedang itu dan aku akan dapat membujuk muridku untuk membebaskan kalian berdua."
"Singggg!"
"Sratttt!"
Tampak dua sinar berkilat ketika Bun Beng dan Kwi Hong mencabut pedang masig-masing. Sinar ini amat terang sehingga mengejutkan Bun Beng dan Kwi Hong sendiri. Maharya terbelalak kagum dan tertawa lebar saking girangnya. "Sadhu! Sepasang Pedang Iblis yang mulia!" Ia berkata, kemudian menoleh kepada muridnya, "Pergunakan Hok-mo-kiam, mari kita rampas sepasang pedang ini!" Ia sendiri sudah memakai sarung tangan emas dan mengeluarkan senjata hidupnya, yaitu ular putih yang berbahaya.
"Kwi Hong, kauhadapi Siucai gila itu dan coba rampas pedangnya, biar aku menghalau kakek iblis ini!" kata Bun Beng dan tanpa menanti jawaban ia sudah menerjang maju, menyerang Maharya dengan Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar seperti kilat menyambar. Maharya terkejut dan cepat meloncat ke belakang tidak berani sembarangan menangkis karena ia maklum bahwa pedang buatan kakeknya itu benar-benar merupakan sebatang pedang yang amat ampuh. Bun Beng tidak memberi hati, meloncat ke depan dan
melakukan serangan bertubi-tubi. Dia harus dapat menahan kakek ini untuk memberi kesempatan kepada Kwi Hong menghadapi Tan-siucai yang lebih lemah dibandingkan dengan gurunya yang sakti ini. Sementara itu, Tan-siucai sudah mencabut Hok-mo-kiam
dan tampak sinar kilat yang lebih terang daripada sinar Sepasang Pedang Iblis, akan tetapi tidak mendatangkan wibawa yang mendirikan bulu roma seperti sepasang pedang itu yang telah menghisap darah entah berapa ribu manusia. Kwi Hong cepat menerjang maju dengan Li-mo-kiam di tangan, melakukan tusukan dan girang sekali ketika merasa betapa pedang itu seolah-olah menambah tenaga pada tangannya, begitu ringan dan seperti telah mendahului jurus yang ia mainkan untuk menyerang, seperti mempunyai nyawa dan terbang sendiri menuju ke arah lawan! Benar-benar sebatang pedang yang amat luar biasa!
"Cringggg....!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika Li-mo-kiam bertemu dengan Hok-mo-kiam dan Kwi Hong terkejut karena merasa betapa pedangnya tergetar, seolah-olah menggigil dan takut setelah bertemu dengan pedang lawan. Padahal dia merasa bahwa dia masih menang tenaga menghadapi Tan-siucai. Maka ia menjadi waspada dan teringat bahwa pamannya dan mendiang Kakek Nayakavhira memang sengaja menciptakan Hok-mo-kiam untuk menghadapi dan melawan Sepasang Pedang Iblis! Di lain pihak, Tan-siucai terkejut sekali. Pedangnya hampir terlepas dari tangannya ketika beradu dengan pedang lawan, lengannya tergetar dan ia maklum bahwa ia harus berhati-hati sekali menghadapi keponakan Pendekar Siluman yang memiliki sin-kang amat kuat itu.
Setelah kini bertanding satu lawan satu dengan Kakek Maharya, Bun Beng harus mengaku dalam hati bahwa tingkat kepandaiannya masih belum cukup untuk menandingi lawan yang sakti ini. Pantas saja kakek ini dahulu berani menghadapi Pendekar Siluman, kiranya memang memiliki gerakan aneh dan setiap gerakan tangannya mengandung hawa yang panas dan di balik hawa panas ini masih ada pengaruh mujijat yang membuat bulu tengkuk meremang seperti bukan manusia yang ia lawan, melainkan iblis sendiri. Bau harum aneh memuakkan yang keluar dari tubuh kakek tinggi kurus itu benar-benar membuat pikiran menjadi kacau. Untung bahwa sekali ini Bun Beng bersenjatakan Lam-mo-kiam yang juga memiliki wibawa amat mujijat seolah-olah dalam pedang itu ada penghuninya sehingga pengaruh pedang iblis ini sedikit banyak dapat mengimbangi pengaruh kakek India. Kalau dia tidak memegang senjata ampuh ini, agaknya dia tidak akan mampu melawan sampai lama menghadapi kakek yang selain mahir ilmu silat aneh juga mahir ilmu sihir itu. Bun Beng mainkan jurus-jurus ilmu pedang Siauw-lim-pai, mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan jurus-jurus pilihan yang jarang tandingnya, namun kakek itu selalu dapat mengelak dan menangkis dari samping dengan tangan kiri yang bersarung emas, sedangkan ular putih yang berbahaya itu menyambar-nyambar hendak menggigit, bahkan menyemburkan uap putih dengan suara mendesis-desis. Karena maklum bahwa semburan uap putih itu berbisa, Bun Beng kadang-kadang menahan napas dan mendorong dengan tangan kiri menggunakan hawa sin-kang untuk mengusir uap putih. Pertandingan berlangsung makin seru dan mati-matian. Bun Beng melihat mulut kakek itu berkemak-kemik, kemudian terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Ia terkejut bukan main, merasa betapa suara ketawa itu seolah-olah terdengar dari belakang punggungnya dan mendatangkan rasa dingin seperti es memasuki tulang punggung. Ia mengerahkan sin-kang untuk menahan perasaan itu, dan ketika ia memecah tenaganya, kakek itu mendesak dengan serangan kedua tangannya. Ia menjadi sibuk dan tiba-tiba ketika kakek itu kembali tertawa, ia terdorong oleh rasa yang amat kuat untuk ikut tertawa! Bun Beng yang cerdik masih ingat bahwa kakek ini mempergunakan sihir, maka ia melawan sekuat tenaga namun tetap saja mulutnya tersenyum!
Mendadak sekali, suara ketawa kakek itu berubah menjadi tangis dan Bun Beng merasa jantungnya seperti disayat-sayat, perasaan terharu meliputi seluruh hatinya dan betapapun ia bertahan kuat-kuat, dua titik air mata jatuh ke atas pipinya. Ia makin kaget dan diam-diam berseru "celaka!" Maklum dia bahwa dia tidak akan menang menghadapi kakek ini dan biarpun dengan pedang Lam-mo-kiam ia akan dapat mempertahankan diri sampai lama, namun akhirnya ia akan kalah juga. Ia amat khawatir, bukan mengkhawatirkan dirinya melainkan mengkhawatirkan diri Kwi Hong. "Kwi Hong....!" Ia berteriak, terengah-engah dan cepat membabat ke arah ular yang sudah mengancam leher. Ular itu ditarik kembali dan kini tangan yang bersarung emas itu mencengkeram ke arah pusarnya.
"Cringgg!" Pedangnya menangkis dan kakek Maharya berteriak kaget karena tangannya yang terlindung sarung tangan itu terasa panas.
"Kwi Hong, larilah cepat! Beri tahu Pamanmu....!" Bun Beng berteriak dan memutar pedangnya melindungi tubuh secepatnya. Ia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menulikan telinga terhadap suara yang keluar dari mulut Maharya, akan tetapi tidak mungkin ia menutup matanya sehingga kadang-kadang sinar matanya bersilang dengan sinar mata Maharya yang seolah-olah mengeluarkan api bernyala-nyala!
Kwi Hong mendengar teriakan Bun Beng, akan tetapi dia sama sekali tidak mau peduli. Mana mugkin dia melarikan diri? Dia sedang mendesak Tan-siucai yang biarpun memegang Hok-mo-kiam, namun tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh olehnya. Kalau Sasterawan sinting itu tidak memegang Hok-mo-kiam, tentu sudah sejak tadi mampus di ujung Li-mo-kiam. Apalagi ketika gadis ini mengerling dengan sudut matanya dan melihat betapa Bun Beng terdesak hebat oleh Maharya, dia makin tidak mau melarikan diri. Dia harus merobohkan Tan-siucai agar dapat membantu Bun Beng mengeroyok kakek yang sakti itu. Dia harus merampas Hok-mo-kiam dan hal ini amat penting, tidak kalah pentingnya dengan mempertahankan Sepasang Pedang Iblis, bahkan lebih penting daripada keselamatan Bun Beng yang terancam oleh kakek iblis yang sakti. Maka ia terus mendesak Tan-siucai yang kini memutar pedang Hok-mo-kiam sehingga berubah menjadi gulungan sinar kilat yang menyelimuti tubuhnya, membuat Kwi Hong agak sukar untuk menembusnya.
Tiba-tiba Tan-siucai tertawa aneh dan terdengar suaranya, "Ha-ha-hi-hi, Nona manis, engkau melawan siapa? Aku sudah lenyap, bayanganku tidak tampak olehmu, siapa yang kaulawan? Apakah kau gila?"
Kwi Hong terkejut bukan main karena benar-benar bayangan lawannya itu lenyap dan tidak tampak olehnya. Yang tampak hanya gulungan sinar pedang Hok-mo-kiam yang terang seperti cahaya sinar matahari. Hampir saja sinar pedang mengenai lehernya kalau ia tidak cepat-cepat menjatuhkan diri karena dalam keadaan kaget dan bingung mencari musuhnya tadi ia bersikap lengah. Terdengar suara tertawa Tan-siucai dan sukar bagi Kwi Hong untuk menentukan dari mana datangnya suara tertawa ini karena bayangan orangnya tidak kelihatan. Ia teringat bahwa sebagai murid kakek sakti ahli sihir itu Tan-siucai pandai pula main sihir, maka ia mengerahkan sin-kang sekuatnya, sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es sehingga ia dapat menggabungkan hawa Im dan Yang di tubuh, menguatkan hatinya dan kini tampaklah olehnya bahwa Tan-siucai masih berada di tempatnya yang tadi, memutar pedang dan mendesaknya. "Cring-trang-trang.... aihhh....!" Tan-siucai terkejut dan untung ia masih dapat menangkis sambil terhuyung ke belakang. Ia maklum bahwa gadis itu dapat melihatnya, maka ia mengerahkan seluruh ilmu sihirnya sehingga kini bayangannya kadang-kadang lenyap, kadang-kadang tampak oleh Kwi Hong. Hal ini membuat Kwi Hong terdesak hebat dan timbul rasa gentar di hatinya. Yang dilawannya memiliki ilmu setan, bagaimana ia dapat melawan orang yang pandai menghilang?
Sedikit saja ia mengurangi pengerahan sin-kangnya, bayangan lawan lenyap. Terpaksa ia membagi tenaganya, sebagian untuk melawan pengaruh sihir sehingga kadang-kadang ia dapat melihat bayangan lawan, kadang-kadang tidak.
"Kwi Hong, larilah cepat.... laporkan Pamanmu....!" Kembali ia mendengar teriakan Bun Beng.
"Ha-ha-ha, heh-heh, benar sekali. Kalau kau sudah mati nanti, terbangkan rohmu kepada Si Keparat Suma Han, suruh dia ke sini menerima kematian, ha-ha!"
"Iblis busuk!" Kwi Hong menyerang cepat sekali ketika ia dapat melihat bayangan Tan Ki yang tertawa-tawa. Siucai itu cepat menangkis, akan tetapi Kwi Hong hanya melakukan serangan tusukan sebagai pancingan saja, karena cepat sekali kakinya menendang.
"Desss! Aduhhh.... keparat!" Tan-siucai terkena tendangan di samping pinggulnya dan terlempar ke belakang. Kwi Hong cepat mengejar, akan tetapi karena tendangan itu tidak tepat kenanya dan hanya melemparkan tubuh Tan-siucai dan mengagetkan saja, maka Tan-siucai sudah dapat memutar pedang melindungi tubuhnya sambil meloncat bangun.
"Siapa yang kau serang? Aku lenyap sama sekali dari penglihatanmu!" Ucapan ini berulang kali diucapkan Tan-siucai dengan suara menggetar dan kembali Kwi Hong kadang-kadang kehilangan bayangan lawan, membuat ia terdesak lagi.
"Kwi Hong.... larilah.... lekas....!" Bun Beng yang sudah pening oleh pengaruh sihir Maharya, berteriak sekuat tenaga. Ia mengandalkan ilmu pedang Siauw-lim-pai, mainkan bagian yang bertahan sehingga tubuhnya terlindung gulungan sinar pedang kilat. Dia dapat menahan serangan ular dan tangan bersarung emas, akan tetapi tekanan kekuatan mujijat dari sihir Maharya benar-benar membuat dia pening dan hanya dengan kebulatan tekadnya dan kemauannya saja untuk mempertahankan diri, pedang Lam-mo-kiam dan terutama melindungi Kwi Hong maka ia masih dapat bertahan. Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan delapan belas orang pemuja Sun-go-kong yang mendengar pertempuran dan teriakan-teriakan Bun Beng kini telah berada di situ. Tanpa diminta dan tanpa komando, delapan belas orang ini sudah menerjang maju membantu Bun Beng dan Kwi Hong!
Akan tetapi, begitu sebagian besar mereka mengeroyok Maharya, kakek itu mengeluarkan gerengan keras yang menggetarkan seluruh urat syaraf, dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan dan lima orang sudah roboh susul-menyusul terkena hantaman tangan kiri bersarung emas sehingga pecah kepalanya dan sebagian terkena gigitan ular putih di tangan kanan kakek itu! Mereka yang mengeroyok Tan-siucai juga mengalami hal yang menyedihkan. Mereka menyerbu, tidak tahu akan keampuhan sinar pedang Hok-mo-kiam sehingga begitu kena disambar sinar ini, tiga orang roboh dan tewas seketika! Delapan belas orang maju dan dalam sekejap mata saja delapan orang dari mereka tewas! Sisanya, yang sepuluh orang, menjadi kaget, berduka dan marah bukan main menyaksikan teman-teman mereka tewas sedemikian mudahnya, maka dengan nekat mereka maju untuk membalas dendam atau untuk tewas sekalian. "Cu-wi, mundur....!" Bun Beng mencegah, akan tetapi sia-sia, mereka malah makin nekat.
"Ha-ha-ha, kalian yang sudah kehabisa tenaga dan setengah lumpuh, mau melawanku?" Maharya berteriak.
"Jangan dengarkan!" Bun Beng yang melihat kakek itu membuka mulut lebar memperingatkan, namun terlambat. Sepuluh orang itu tiba-tiba merasa kedua kaki mereka lemas tak bertenaga dan pada saat itu, menyambarlah sinar-sinar hitam dari tangan Tan-siucai dan Maharya. Itulah jarum-jarum hitam beracun dan tentu saja sepuluh orang yang sudah terpengaruh sihir itu tidak mampu mengelak lagi. Mereka mengeluh dan roboh dengan muka berubah menghitam dan nyawa melayang menyusul delapan orang teman mereka. Dalam sekejap mata saja, seluruh pemuja Sun-go-kong, bekas pejuang yang gigih tewas di tangan Maharya dan Tan-siucai
dengan amat mudah dan secara sia-sia!
"Kakek iblis yang kejam!" Bun Beng berteriak marah, dan tiba-tiba permainan pedangnya berubah, ia telah mainkan ilmu rahasia yang dipelajarinya dari Kitab Sam-po-cin-keng, dan ternyata akibatnya hebat sekali. Maharya berteriak kaget, berusaha menangkis dengan tangan kirinya karena lingkaran-lingkaran aneh yang dibuat oleh sinar pedang Bun Beng membuat dia menjadi bingung.
"Brettt....! Ihhh!" Kakek Maharya mencelat mundur, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, kemarahannya memuncak ketika ia melihat betapa sarung tangannya terobek sedikit dan telapak tangannya berdarah!
"Lihat api....!" Kakek itu membentak. Karena girang melihat hasil serangannya, Bun Beng menjadi lengah sehingga ia mendengar suara ini, melihat pula betapa kakek itu menggerakkan tangan kiri sambil mendorong ke arahnya dan.... ia melihat pula api berkobar meluncur ke arah tubuhnya. Bun Beng terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi bola api itu terus mengejarnya dari atas, Bun Beng cepat memutar pedangnya dan pada saat ia sibuk melawan bola api yang seperti hidup itu, tiba-tiba tangan bersarung emas telah menghantam punggungnya dengan sebuah tamparan keras.
"Plakkk!" Bun Beng berseru kaget dan tubuhnya terguling-guling, napasnya seperti tersumbat. Sadarlah dia bahwa kembali dia menjadi korban sihir, dan bola api itu sebetulnya tidak ada maka dia sampai kena dipukul. Dengan marah ia melompat bangun dan jurus pertahanan dari Sam-po-cin-keng telah menutup tubuhnya sehingga Maharya tidak dapat menyusulkan serangan maut kepada lawan yang telah terluka itu.
"Kwi Hong.... lari....!" teriakan Bun Beng sekali ini terdengar lirih karena dadanya sesak dan napasnya terengah. Kwi Hong terkejut sekali, menoleh dan melihat betapa pemuda itu makin terdesak hebat. Ia marah bukan main karena belum juga mampu mengalahkan Tan-siucai.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dari atas disusul menyambarnya bayangan hitam yang besar. Bunyi kelepak sayap bercampur dengan pekik melengking dan tertawa nyaring memenuhi udara ketika bayangan hitam itu menyambar ke arah Bun Beng dan Maharya yang sedang bertempur. Sinar putih panjang dua buah, seperti dua ekor ular putih yang amat panjang, menyambar ke arah tangan Bun Beng sedangkan paruh besar burung rajawali menyambar ke arah tangan Maharya yang memegang ular putih.
Bun Beng berteriak kaget ketika tiba-tiba tangan kanannya menjadi lemas terkena totokan sinar putih dan selagi dia belum sempat mengembalikan tenaga untuk memegang gagang pedang erat-erat, Pedang Lam-mo-kiam telah terlibat tali putih dan terlepas dari tangannya. Juga Maharya berseru keras ketika tiba-tiba ia diserang oleh pukulan sayap dan selagi ia mengelak, ular putih telah terlempar dari tangannya. Dua orang yang sedang bertanding ini melompat mundur, memandang ke atas dan tampaklah oleh mereka seorang pemuda tampan menunggang seekor rajawali raksasa sedang tertawa-tawa memegangi pedang Lam-mo-kiam di tangan kanan dan ular putih yang dirampas rajawali di tangan kiri!
"Iblis cilik dari Pulau Neraka!" Bun Beng memaki.
"Kembalikan pedangku!" Pemuda di atas punggung rajawali itu hanya tertawa mengejek dan pada saat itu, segumpal asap hitam yang dilepas oleh Maharya secara diam-diam menyerang muka Bun Beng. Pemuda ini gelagapan, menyedot asap hitam dan seketika kepalanya pening, pandang matanya gelap dan ia terhuyung-huyung.
"Desss!" Kembali punggungnya dihantam tangan kiri Maharya dan ia roboh terguling. Namun ia masih sempat berteriak, "Kwi Hong, lari....!" Kemudian ia merangkak bangun duduk bersila memejamkan mata dan berusaha mengusir pengaruh asap beracun yang membuatnya pening dan lemas, apalagi punggungnya yang telah dua kali dihantam oleh tangan kiri Maharya yang lihai membuat napasnya sesak.
Maharya yang tadinya menyangka bahwa pemuda di punggung rajawali yang datang itu mungkin akan mengeroyoknya, telah merobohkan Bun Beng lebih dulu, kemudian kini ia mengacungkan tangannya ke atas. "Bocah setan, tak peduli engkau dari Pulau Neraka, turunlah sebelum engkau dan rajawalimu mampus di tangan Pendeta Sakti Maharya!"
Pemuda itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera To-cu Pulau Neraka. Ia tertawa dan memainkan ular putih di tangan kirinya. "Heh-heh, setan tua. Ular putihmu ini baik sekali, tentu kdu dapatkan di Himalaya, bukan?" Diam-diam Maharya terkejut juga. Ular putihnya itu adalah seekor binatang yang racunnya ampuh sekali. Jarang ada orang sakti yang akan mampu menahan racun binatang itu dan sudah bertahun-tahun ia memelihara dan melatihnya sehingga ular itu akan menjadi ganas kalau dipegang orang lain. Mengapa kini di tangan pemuda itu, ularnya menjadi jinak sekali? Namun tidak peduli anak setan dari mana pemuda itu, dia harus merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan ular putih. Ia menggerakkan tangannya dan sinar hitam menyambar ke arah burung rajawali yang terbang rendah. Pemuda itu memutar pedang Lam-mo-kiam dan burung rajawali mengibaskan sayapnya, namun tetap saja ada sebatang jarum mengenai kaki burung itu sehingga burung itu memekik keras dan terhuyung.
"Crakk!" Pedang Lam-mo-kiam bergerak dan kaki burung yang terkena jarum hitam itu telah dibuntungi penunggangnya!
"Setan tua itu membikin kakimu putus, hek-tiauw (rajawali hitam), hayo kita bunuh dia!" Pemuda itu berseru dan rajawali itu sudah menyambar turun dengan penuh kemarahan. Disambar oleh cakar dan paruh, dihantam oleh sayap yang besar ditambah lagi serangan pedang Lam-mo-kiam dan ular putihnya sendiri benar-benar Maharya menjadi kaget bukan main. Ia menggulingkan tubuhnya ke atas tanah dan hanya dengan jalan bergulingan ini ia terbebas dari bahaya maut.
Sementara itu, ketika Kwi Hong melihat penunggang burung rajawali, mukanya berubah dan ia merasa gelisah sekali. Tentu saja dia mengenal Wan Keng In dan maklum bahwa pemuda Pulau Neraka itu merupakan musuh besar, sehingga tentu akan menambah lawannya. Saat itu ia melihat Bun Beng terguling dan mendengar pesan terakhir pemuda itu. Tidak baik melawan terus, pikirnya. Melawan berarti akan kalah dan pedang Li-mo-kiam akan terampas pula. Apa artinya melawan kalau tidak akan dapat menolong Bun Beng dan merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan Pedang Hok-mo-kiam? Lebih baik seperti yang diminta Bun Beng, melarikan diri selagi ada kesempatan, kemudian melapor kepada pamannya karena kalau bukan pamannya sendiri yang turun tangan, bagaimana mungkin pedang-pedang itu dapat dirampas kembali? Alisnya berkerut dan hatinya terasa sakit sekali ketika mengerling ke arah Bun Beng yang terpaksa harus ia tinggalkan. Ia berseru keras, pedangnya menyerang ganas sehingga Tan-siucai kaget dan meloncat mundur. Ketika ia memandang ke depan, gadis lawannya itu telah meloncat-loncat jauh dan melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar gurunya berteriak, "Tan Ki.... bantu aku....!"
Ia menengok dan terkejut sekali melihat pemuda yang menunggang burung rajawali itu sambil terkekeh-ke keh menyerang gurunya dari atas, menyambari gurunya seperti seekor burung mempermainkan tikus! Ia menjadi marah dan maju menyerang dengan pedangnya ketika pemuda di atas punggung rajawali itu kembali turun menyambar.
"Tranggg....! Bukk!" Pemuda di atas punggung rajawali itu berseru kaget dan rajawalinya memekik kesakitan dan terbang tinggi. Pemuda itu kaget karena pedang laki-laki yang menangkisnya itu ternyata dapat membuat Lam-mo-kiam terpental dan tangannya tergetar, sedangkan pukulan tangan kiri bersarung emas Maharya telah mengenai paha rajawali itu. Wan Keng In yang sudah memeriksa pedangnya dan maklum bahwa secara tidak terduga-duga dia telah mendapatkan sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang dicari-cari ibunya, tidak mau menempuh bahaya menghadapi dua orang di bawah yang ternyata lihai itu, apalagi kini rajawalinya terluka berat, sebelah kakinya buntung dan bercucuran darah sedangkan pahanya juga terluka oleh hantaman kakek sakti itu. Belum tentu rajawalinya akan kuat membawanya terbang ke Pulau Neraka, maka ia lalu menyuruh rajawalinya terbang tinggi dan kembali ke Pulau Neraka.
Maharya menyumpah-nyumpah. "Anak Iblis! Keparat jahanam! Dia membawa lari ularku!"
"Dan Lam-mo-kiam juga dirampasnya. Semua ini kesalahan pemuda sialan itu! Kita bunuh saja dia!" Ia melangkah lebar dan mengayun Hok-mo-kiam ke arah leher Bun Beng yang masih duduk bersila mengatur pernapasan. Karena tidak sanggup membela diri lagi, Bun Beng tetap tidak bergerak, menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.
"Jangan!" Tiba-tiba Maharya berteriak dan Tan Ki menahan pedangnya, menoleh dan memandang gurunya dengan heran. "Mengapa? Apakah Guru menaruh kasihan kepada bedebah ini?"
"Ha-ha-ha, hatiku sakit sekali karena gara-gara dia sarung tanganku robek, ularku lenyap dan Lam-mo-kiam juga hilang. Aku senang bukan main melihat dia mampus, akan tetapi amat enaklah kalau kau membunuhnya begitu saja. Kita harus membuat dia mati perlahan-lahan, biar dia menderita sampai empat puluh hari, mati tidak hidup pun bukan, baru benar-benar mampus, ha-ha-ha!" Tan-siucai tertawa geli. "Maksudmu bagaimana, Guru?"
"Begini!" Maharya menghampiri Bun Beng dari belakang dan tangan kirinya yang memakai sarung tangan bergerak, jari-jarinya menusuk. Bun Beng maklum bahwa dirinya diserang, akan tetapi tubuhnya lemas, tenaganya habis sehingga melawan pun hanya akan menyiksa diri, maka dia diam saja menerima hantaman maut.
"Cusss! Cusss!" Dua kali Maharya menggerakkan jari-jarinya yang menotok di belakang pinggang, kanan kiri tulang punggung. Bun Beng tidak merasakan sesuatu, hanya rasa pegal di tempat yang ditotok.
"Ha-ha-ha, aku mengacaukan jalan darahnya, menindas hawa pusar dan membalikkan hawa kundalini, dia akan keracunan, kedua kakinya akan lumpuh, darahnya perlahan-lahan akan kotor dan menghitam dan dia setiap hari akan menderita hebat, sedikit demi sedikit nyawanya terancam, sampai empat puluh hari. Dia mati sekerat demi sekerat, ha-ha!"
Tan-siucai juga tertawa-tawa, akan tetapi hatinya tidak puas ketika melihat betapa dua kali totokan gurunya itu tidak membuat Bun Beng kesakitan. "Terlalu enak kalau dia tidak diberi rasa, dan hatiku tidak puas kalau tidak menyiksanya tanpa membunuhnya."
Gurunya mengangguk. "Asal jangan kau pergunakan sin-kang agar tidak membunuhnya, sesukamulah."
"Kalau tidak gara-gara dia, kita tidak kehilangan dan tentu keponakan Pendekar Siluman sudah dapat kubekuk. Biar dia tahu rasa!" Tan-siucai mengayun kakinya, tanpa menggunakan tenaga sin-kang menendang ke arah ulu hati Bun Beng.
"Ngekkk!" Biarpun tidak menggunakan sin-kang, namun tendangan yang keras itu membuat Bun Beng terjungkal dan ia muntahkan darah segar.
"Desss!" Kini pipi kanan Bun Beng yang mukanya rebah miring itu diinjak sepatu. Ketika injakan yang keras ini membuat Bun Beng menggerakkan kepala sehingga bangkit duduk lagi, Tan-siucai menendang yang kiri. "Desss!" Tendangan keras sekali ini membuat tubuh Bun Beng terjengkang, kepalanya pening, bibirnya berlepotan darah segar, mukanya bengkak-bengkak dan membiru.
Tan-siucai tertawa-tawa girang akan tetapi ia masih belum puas. Dengan langkah lebar ia menghampiri Bun Beng, dua kali kakinya bergerak ke arah kedua lutut Bun Beng, menendang keras sekali.
"Krak! Krak!" Tanpa mengeluh Bun Beng terguling pingsan, sambungan kedua lututnya terlepas!
"Cukup, kalau terlalu berat dia tidak akan menderita sampai empat puluh hari. Mari kita pergi. Sayang sekali Sepasang Pedang Iblis terlepas dari tangan kita. Kita kejar bocah perempuan itu!" Guru dan murid itu sambil tertawa-tawa puas lalu berlari, bayangan mereka berkelebat dan tempat itu menjadi sunyi sekali. Tubuh Bun Beng menggeletak menelungkup dalam keadaan pingsan, sedangkan tak jauh dari situ delapan belas buah mayat para pemuja Sun-go-kong malang-melintang! Menyeramkan sekali keadaan di situ, apalagi ketika tampak beberapa ekor burung gagak hitam beterbangan dan berputaran di atas tempat itu, agaknya mereka sudah mencium bau mayat dan darah.
Bun Beng sadar dan membuka matanya ketika ia merasa pipinya sakit seperti ditusuk-tusuk pedang. Betapa mendongkol dan marah hatinya ketika ia melihat dua ekor burung gagak mematuki darah dari pipinya. Sekali mengibas dengan tangan, dua ekor burung itu terpental dan mati seketika. Gerakan ini membuat burung-burung gagak yang lain terbang ke atas dan Bun Beng bergidik. Burung-burung keparat itu pesta mematuki mayat-mayat, makan daging dan darah dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu. Dengan hati terharu ia memandang ke sekeliling. Hatinya merasa sengsara sekali menyaksikan delapan belas orang itu telah menjadi mayat, dan lebih sakit lagi hatinya karena dia tidak dapat mengubur jenazah mereka. Kedua kakinya tak dapat ia gerakkan, sambungan lutut kedua kakinya terlepas dan nyeri yang amat hebat menusuk tulang-tulangnya. Ia mengeluh dan bangkit duduk. Dengan jari tangannya ia menotok jalan darah di paha untuk melenyapkan rasa nyeri di lututnya, kemudian sedapat mungkin ia mengurut lutut-lututnya. Kemudian ia menggerakkan kedua tangannya, mengesot dan setengah merangkak meninggalkan tempat itu. Dia harus pergi dari situ, tidak tega ia menyaksikan mayat-mayat itu dimakan burung. Mereka telah mati dalam membelanya. Ia menoleh sebentar dengan air mata membasahi bulu matanya ia berbisik, "Sahabat-sahabatku sekalian, aku bersumpah kalau masih dapat sembuh dan hidup, aku akan membalas kematian kalian kepada Maharya dan Tan Ki." Kemudian ia merangkak terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit, terutama sekali dada dan perutnya. Ia maklum bahwa ia telah terluka hebat dan jalan darahnya menjadi kacau-balau, membuat setiap buku tulang terasa seperti ditusuki jarum. Susah payah Bun Beng merangkak. Bagaimana ia dapat menuruni bukit yang terjal itu? Ah, bagaimana pula nasib Kwi Hong? Mudah-mudahan dia dapat melarikan diri, pikirnya dan ia menjadi agak lega. Biarpun dia mati, tentu Pendekar Super Sakti akan membalaskan sakit hatinya. Bertambah pula musuh-musuhnya, musuh yang amat sakti. Musuh-musuh pertamanya, Koksu Negara Im-kan Seng-jin dan para pembantunya sudah merupakan lawan yang berat dan belum dapat ia jumpai, kini muncul pula musuh-musuh yang tidak kalah saktinya, yaitu Tan Ki dan gurunya yang pandai ilmu sihir! Dan dia maklum bahwa guru dan murid itu telah membuat dia menjadi seorang cacad dan tinggal menunggu maut. Pukulan beracun itu takkan dapat ia obati, apalagi dengan kedua kaki tak dapat dipakai berjalan, apa dayanya? Namun dia tidak putus asa, tidak mau putus asa. Selagi ia masih hidup, dia akan berusaha menyembuhkan luka-lukanya, berusaha pergi dari tempat berbahaya ini!
Malam itu Bun Beng mengalami malam yang paling sengsara. Ia berusaha duduk bersila bersiulian, namun tetap saja ia tidak dapat mengerahkan tenaganya. Begitu ia mengerahkan sin-kang, perutnya terasa panas seperti dibakar dan seluruh tubuh terasa gatal-gatal. Ia hanya dapat melatih pernapasan, menghirup udara segar, itu pun tidak dapat ia tarik ke pusar seperti biasa karena hal ini juga menimbulkan rasa nyeri yang sama. Semalam ia tidak tidur dan kalau ia teringat akan malam penuh bahagia bersama Kwi Hong, ia tersenyum pahit. Baru kemarin ia mengalami malam yang paling bahagia selama hidupnya, duduk menghadapi api unggun, menatap wajah gadis itu yang tidur nyenyak dan merasa betapa dunia menjadi amat indah. Kini perubahan itu seperti sorga dan neraka. Ia teringat akan wejangan Siauw Lam Hwesio bahwa memang demikianlah hidup. Sorga dan neraka penghidupan muncul dan lenyap saling berganti! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah terang tanah, Bun Beng melanjutkan usahanya menuruni bukit dengan merangkak perlahan-lahan. Betapa ia dapat melakukan perjalanan cepat kalau ia hanya mengandalkan kedua tangannya untuk menarik tubuhnya secara mengesot? Tubuhnya terasa makin panas. Darah yang mengalir kekepalanya seolah-olah membakar kepala dan menjelang tengah hari ia tidak kuat lagi. Ia rebah di bawah sebatang pohon dalam keadaan setengah pingsan. Ketika ia meletakkan pipinya yang masih membengkak dan nyeri berdenyut-denyut itu ke atas tanah berumput yang dingin basah, ia merasa betapa nikmatnya tidur seperti itu. Ingin ia tidak dapat bangun kembali, rebah seperti itu untuk selamanya!
Sebuah kaki bersepatu membalikkan tubuhnya yang menelungkup. Ia terlentang dan pandang matanya berkunang. Dalam keadaan setengah pingsan ia melihat beberapa orang berdiri mengelilinginya dan jantungnya berdebar penuh kemarahan ketika ia mengenal seorang di antara mereka adalah pemuda Pulau Neraka, si penunggang rajawali! Bagaimana pemuda ini bisa muncul kembali?
Pemuda yang datang bersama dua orang anggauta Pulau Neraka bermuka merah tua itu adalah Wan Keng In. Pemuda ini tadinya hendak kembali ke Pulau Neraka menunggang rajawali yang terluka parah. Hatinya girang mendapatkan Lam-mo-kiam, akan tetapi juga kecewa karena dia tidak dapat mengalahkan kakek India dan sasterawan yang menjadi murid kakek itu. Kecewa karena dia tidak bisa mendapatkan pedang Li-mo-kiam karena ibunya tentu akan girang sekali kalau dia bisa mendapatkan Sepasang Pedang Iblis itu, bukan hanya yang jantan, pula, dia pun ingin sekali mendapatkan pedang Si Sasterawan yang mampu menandingi Lam-mo-kiam.
Dengan hati girang Wan Keng In melihat seekor burung rajawalinya terbang di udara. Ia bersuit nyaring dan ketika rajawali itu terbang dekat, ia lalu pindah ke atas punggung rajawali yang sehat. Ketika ia terbang rendah di pantai, ia melihat sebuah perahu hitam, perahu Pulau Neraka. Cepat ia turun dan ternyata perahu itu adalah perahu yang ditumpangi dua orang anggauta Pulau Neraka bermuka merah. Biarpun ia agak kecewa mendapat kenyataan bahwa yang berada di perahu hanyalah dua orang anggauta rendahan yang tidak dapat banyak diandalkan, namun ia girang juga dan cepat mengajak mereka untuk pergi ke bukit itu. Dia harus menyelidiki bukit itu. Siapa tahu pusaka-pusaka yang yang lain berada di situ.
Demikianlah, ketika di tengah jalan ia melihat Bun Beng yang menggeletak setengah pingsan, alisnya berkerut. "Inilah orangnya yang memegang pedang yang kurampas. Kepandaiannya lumayan juga. Eh, orang yang terluka parah, aku akan mengobatimu sampai sembuh, akan tetapi katakanlah, dari mana engkau mendapatkan Siang-mo-kiam? Dan mana yang sebatang lagi?"
Mendengar pertanyaan ini, Bun Beng menggeleng kepala tanpa menjawab. Biarpun benar-benar pemuda Pulau Neraka ini akan dapat menyembuhkannya, dia tetap tidak sudi memberi tahu kepada pemuda yang dibencinya itu tentang sepasang pedang iblis yang kini telah dirampasnya sebatang. Lebih baik dia mati daripada memberi tahu bahwa pedang yang sebuah lagi dipegang Kwi Hong. Kalau pemuda ini naik burung rajawali mengejar dan mencari Kwi Hong dari atas, gadis itu bisa terancam bahaya!
"Apakah engkau mendapatkannya di bukit ini? Apakah ada pusaka lain lagi? Kitab pelajaran kuno? Kulihat engkau menderita pukulan beracun yang amat berbahaya!" Wan Keng In mendesak lagi, akan tetapi Bun Beng menggeleng kepala dan memejamkan mata, tidak menjawab. Keng In menggerakkan jari tangannya menotok pundak Bun Beng dan pemuda yang sudah terluka parah ini sama sekali tidak mampu bergerak. "Kalian bawa dia ke perahu dan bawa ke pulau, tentu Ibu akan mendapat akal untuk mengorek rahasia darinya. Dia lihai, akan tetapi dia terluka parah dan sudah kutotok. Akan tetapi, kalian harus tetap berhati-hati membawanya, jangan sampai gagal. Aku akan menyelidiki keadaan bukit ini dulu, cukup mencurigakan."
"Baik, Kong-cu (Tuan Muda)." Dua orang anggauta Pulau Neraka yang bermuka merah itu lalu mengangkat tubuh Bun Beng, menggotongnya dan membawanya turun dari bukit. Sementara itu, Wan Keng In lalu mendaki puncak dan mencari-cari. Akan tetapi dia hanya menemukan mayat delapan belas orang gagah itu dan biarpun dia telah mencari sampai sehari penuh, dia tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah kitab kecil pelajaran Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat. Biarpun yang ditemukan sama sekali bukan pusaka-pusaka yang diharapkan namun kitab ini ia kantongi dan ia bawa pergi setelah ia bersuit memanggil burung rajawali yang mengikuti perjalannya bersama dua orang anggauwnya dari atas. Sementara itu Bun Beng digotong oleh dua orang Pulau Neraka menuju ke pantai sunyi di mana mereka menyembunyikan perahu mereka, kemudian merebahkan Bun Beng di dekat perahu dan melayarkan ke laut. Bun Beng masih berusaha sedapat mungkin untuk membebaskan totokan. Dia memberontak di dalam hatinya. Tidak sudi ia dibawa ke Pulau Neraka! Dengan bujukan halus dari Kwi-bun Lo-mo saja dia masih tidak mau, apalagi menjadi tawanan yang luka berat seperti sekarang ini, dan dibawa ke sana hanya untuk dipaksa mengaku tentang Sepasang Pedang Iblis! Ia harus dapat melepaskan diri, karena kalau sampai ia dibawa ke Pulau Neraka, habislah harapannya. Bagaimana ia akan dapat keluar dari pulau itu? Daripada hidup tersiksa lahir batin di sana, lebih baik mati sekarang karena berusaha melepaskan diri. Memang sukar mencari jalan bebas mengingat akan luka-lukanya, tubuhnya yang lemah dan kakinya yang tak dapat dipergunakan. Akan tetapi dia tidak memusingkan hal itu, pertama-tama dia harus dapat membebaskan totokan itu lebih dulu. Kedua kakinya memang tak dapat dipergunakan, akan tetapi ia masih mempunyai kedua tangan!Lautan utara ini sunyi sekali. Hanya ada beberapa buah layar kecil tampak dari jauh, yaitu layar para nelayan yang untuk mencari nafkah hidupnya berani menempuh jarak jauh dan menentang ancaman bahaya maut di tengah laut yang kadang-kadang amat ganas itu. Setelah perahu meninggalkan pantai, barulah Bun Beng berhasil membebaskan diri dari totokan. Dia mengeluh karena setelah kini berada di perahu dan di tengah laut, andaikata ia dapat membebaskan diri dari dua orang itu sekalipun, habis apa yang dapat ia lakukan? Dengan hati-hati Bun Beng merangkak mendekati langkan di pinggir geladak, menggunakan kesempatan selagi dua orang itu sibuk dengan kemudi dan layar. Ia menjangkau langkan dan menarik tubuhnya ke atas untuk mengintai keluar. Sunyi di luar, tidak tampak perahu lain. Akan tetapi di kejauhan itu.... ah, ada sebuah perahu kecil di sana, dengan seorang penumpangnya.
Kalau saja ia dapat menarik perhatian orang itu, tentu orang itu seorang nelayan biasa yang akan suka menolongnya. Untung bahwa perahu layar Pulau Neraka ini sedang meluncur menuju ke perahu kecil di kejauhan itu. "Heeiii.... kau mau kemana....?" Seorang bermuka merah yang kumisnya panjang melintang berteriak sambil meloncat dekat. Ia takut kalau-kalau tawanan itu meloncat keluar perahu. Kalau sampai mereka kehilangan tawanan itu, hidup atau mati tentu kong-cu akan marah sekali dan mengingat akan hukumannya, mereka bergidik.
"Kau tidak boleh ke mana-mana, hayo kembali ke sini!" Si Muka Merah berkumis itu menggerakkan tangan hendak menangkap Bun Beng.
"Dessss! Augghhhh....!" Pukulan tangan kanan Bun Beng yang dilakukan secara tiba-tiba itu mengenai kepala Si Kumis Panjang dengan tepat. Biarpun Bun Beng terluka, namun pukulannya itu cukup kuat untuk memecahkan kepala anggauta Pulau Neraka tingkat rendahan itu sehingga tubuhnya terjerembab dalam keadaan tak bernyawa lagi!
"Heiii.... keparat, apa yang kaulakukan?" Orang ke dua cepat meloncat bangun tidak peduli lagi akan kemudi, perahu mulai terombang-ambing. Ia lari mendekati, kaget menyaksikan temannya telah tewas dan dengan marah ia mencabut golok lalu menyerbu Bun Beng yang masih duduk bersandar langkan. Melihat serbuan golok ini, Bun Beng maklum bahwa dia harus bekerja cepat. Ia tidak mempedulikan dada dan perutnya yang menjadi panas dan nyeri sekali, terpaksa ia mengerahkan tenaga seadanya dan tubuhnya mencelat ke atas, tangannya yang kiri memukul pergelangan tangan kanan lawan sehingga goloknya terlepas, tangan kanannya menampar pelipis. "Plakk!" Orang itu roboh tanpa mengeluh. Bun Beng juga terbanting jatuh di atas geladak. Ia melihat betapa perahu itu dengan layar berkembang tanpa kemudi, meluncur miring. Sekilas pandang ia melihat perahu kecil tadi tak jauh dari situ, maka sekali lagi ia mengerahkan tenaga, kedua tangannya menekan geladak dan tubuhnya mencelat ke atas keluar dari langkan.
"Jebuuuurrrr....!" Bun Beng terbanting ke permukaan air laut dengan kepala lebih dulu. Bun Beng gelagapan, berusaha untuk berenang, akan tetapi orang yang kedua kakinya sudah tak dapat digerakkan, yang tubuhnya sudah terluka berat macam dia, mana mungkin dapat berenang? Dia hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya karena pengerahan tenaga tadi membuat napasnya terengah dan tubuhnya lemah sekali, tetap saja gerakan tangannya kurang kuat dan beberapa kali ia tenggelam sehingga terpaksa minum air laut yang asin. Tiba-tiba Bun Beng merasa rambutnya dijambak ke atas dan tubuhnya timbul kembali ke permukaan air, kini tidak tenggelam lagi sehingga ia dapat menggunakan kedua tangan untuk menghapus mukanya yang gelagapan. Kuncir rambutnya terlibat dan dijambak ke atas, terasa pedas akan tetapi dia tidak marah karena hal ini malah menolongnya, membuat dia tidak tenggelam. Akan tetapi ketika perlahan-lahan tubuhnya ditarik ke belakang dan ia menoleh, matanya terbelalak dan ia mendongkol juga karena ternyata yang mengait rambutnya adalah ujung pancing yang tangkainya dipegang oleh seorang wanita di atas sebuah perahu kecil! Dia memang ditolong, akan tetapi cara menolong itu benar-benar menghina sekali, seolah-olah dia hanya sebuah benda tak berharga, bahkan dia seperti menjadi seekor ikan aneh yang terkena pancing! Betapapun juga, hatinya lega ketika tahu-tahu tubuhnya me layang dan terjatuh ke dala m perahu, di atas geladak yang sempit. Ia terengah-engah, memejamkan mata, terasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sehingga mau tak mau Bun Beng mengeluh lirih.
"Hemmm, engkau telah tiga perempat mati, rusak luar dalam.... hemmm, sungguh kasihan orang yang tak tahu diri, berani menentang Pulau Neraka. Aahh, kakinya lumpuh pula.... heran, dalam keadaan begini, bagaimana dia bisa membunuh dua orang Pulau Neraka bermuka merah?"
Suara itu halus dan merdu sekali sehingga Bun Beng merasa seolah-olah mimpi. Ia cepat membuka matanya dan.... segera dipejamkannya kembali. Sudah matikah dia? Beginikah rasanya mati dan bertemu bidadari? Kalau sudah mati, kenapa tubuhnya masih terasa nyeri semua dan kakinya masih tak dapat ia gerakkan? Kalau masih hidup, bagaimana mungkin ia bertemu bidadari di tengah lautan? Celaka, jangan-jangan dewi penjaga lautan. Kalau manusia biasa, tak mungkin begitu cantik seperti bidadari, begitu halus, suaranyapun tidak seperti suara manusia, begitu merdu seperti orang bernyanyi, dan mungkinkah seorang manusia semuda dan secantik jelita itu seorang diri saja di tengah lautan?
"Eh, aku seperti pernah mengenal orang ini, akan tetapi tidak mungkin, mukanya rusak begini mana bisa dikenal? Aihhhh, dia terkena pukulan beracun yang luar biasa! Aduh kasihan sekali, siapa sih orang yang malang ini....?"
Mendengar suara halus merdu itu yang menyatakan kasihan kepadanya, tak terasa pula kedua mata Bun Beng menjadi panas dan dua butir air mata bertitik turun. Tanpa membuka matanya ia berkata, "Mohon pertolongan Pouwsat (Dewi).... hamba masih belum ingin mati karena masih banyak tugas yang harus hamba laksanakan....! Harap Pouwsat tidak kepalang menolong hamba....!"
"Aihhhh.... otaknya sudah miring pula. Sungguh kasihan. Agaknya penderitaan yang hebat ini membuat otaknya menjadi berubah miring. Tidak mengherankan, jarang ada orang di dunia ini masih dapat hidup setelah mengalami luka-luka parah luar dalam seperti dia ini. Aihhhh, sungguh sialan. Memancing setengah hari tidak mendapat ikan besar, hanya beberapa ekor ikan kecil. Sekali dapat yang besar orang yang tidak waras luar dalam dan pikirannya, apa yang harus kulakukan dengan dia?"
Bun Beng menghentikan dugaannya yang bukan-bukan. Celaka dua belas, kiranya benar seorang manusia! Disangkanya Kwan Im Pouwsat! Mendengar ucapan terakhir itu, ia menghela napas dan berkata, "Kalau kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, nah, lemparkan aku kembali ke laut. Siapa sih yang minta pertolonganmu tadi?"
"Aihhh.... masih bisa marah? Jelas miring otaknya! Hemmm, mengapa nasibku selalu harus bertemu dengan orang yang jatuh kelaut? Sungguh aneh jaman sekarang ini banyak orang terapung-apung di laut."
Kini Bun Beng membuka matanya dan kebetulan dara itu pun memandangnya. Memang Bun Beng boleh dimaafkan kalau tadi menyangka wanita ini dewi laut atau bidadari karena memang dia seorang dara yang luar biasa cantiknya. Tubuhnya tinggi ramping dengan bentuk tubuh yang hebat, wajahnya begitu jelita seperti gambar, kulitnya putih halus seperti salju, gerak-geriknya ketika berdiri di geladak begitu lemah gemulai seperti batang pohon liu tertiup angin, pakaiannya indah sekali sesuai dengan orangnya, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu digelung tinggi di atas kepalanya, dihias dengan hiasan rambut terbuat dari mutiara. Seorang dara yang.... bukan main. Akan tetapi, begitu dua pasang mata itu saling pandang, hampir berbareng ke duanya berseru, "Nona Milana....!"
"Engkau.... Gak-twako.... aih, pantas aku seperti mengenalmu, kiranya engkau Gak Bun Beng! Aduh, bagaimana engkau sampai menjadi begini, Gak-twako?"
Bun Beng menarik napas panjang, lalu menggunakan kedua lengannya untuk bangkit duduk. Ia menyeringai kesakitan dan dengan sikap lemah lembut Milana membantunya duduk di atas geladak. Sejenak mereka saling pandang. Milana dengan penuh rasa kasihan. Bun Beng dengan penuh rasa kagum dan juga tidak enak hati karena ia berjumpa dengan dara yang sejak kecil berwatak halus ini dalam keadaan seperti itu. Dara itu kini telah dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mekar semerbak. Bukan main!
Seorang dara tujuh belas tahun yang seperti dewi kahyangan! Debar jantung Bun Beng mengatasi segala rasa nyeri dan pemuda ini cepat mengalihkan pandang matanya, menunduk dan menghela napas panjang.
"Panjang sekali ceritanya, Nona. Akan tetapi yang jelas.... aku dilukai oleh seorang kakek India bernama Maharya dan muridnya, Tan-siucai yang gila...."
"Ohhh? Mereka yang dulu membunuh Kakek Nayakavhira itu? Yang mencuri Pedang Hok-mo-kiam?"
"Benar, Nona Milana, engkau masih ingat itu semua? Ingat akan pengalaman kita bertahun-tahun yang lalu itu....?"
"Tentu saja aku ingat. Pengalaman hebat kita dengan kakek muka kuning, kemudian sampai kita berpisah kembali, selamanya tak dapat kulupa. Aihh, Gak-twako, kenapa mereka melukaimu seperti ini? Ini namanya sengaja menyiksa, mengapa kau tidak dibunuhnya akan tetapi disiksa seperti ini?"
"Gara-gara Sepasang Pedang Iblis...." jawabnya dan kembali ia merintih dan menyeringai karena dadanya terasa sakit sekali.
"Sepasang Pedang Iblis?" Milana berseru kaget sekali. "Benar dan aauuggghh...." Bun Beng tak dapat bertahan lagi. Pengerahan tenaga tadi ketika melawan dua orang itu membuat dadanya sakit sekali dan ia roboh pingsan!
Ketika Bun Beng siuman kembali, ia berada di atas kuda, di belakangnya duduk Milana. Rasa nyeri menguak ke seluruh tubuhnya, akan tetapi tidak dapat mengatasi debar jantungnya ketika ia merasa betapa tubuhnya setengah ditahan dan dipeluk oleh Milana. Bukan main! Di atas segala rasa nyeri, terasa olehnya kehangatan dan kelunakan tubuh dara itu, membuatnya cepat memejamkan mata kembali dan ingin pingsan terus!
Akan tetapi dara itu agaknya telah dapat mengerti bahwa dia telah siuman. Didorongnya tubuh Bun Beng ke depan. "Bagaimana, Gak-twako? Apakah kau kuat menunggang kuda bersamaku? Harap kaupertahankan, engkau harus mendapat perawatan yang baik. Agaknya Ibu akan dapat menolongmu...." Gadis itu bicara halus dan penuh iba. Bun Beng memaksa tubuhnya untuk duduk tegak di atas kuda yang berjalan perlahan. "Aihhh.... aku menyusahkan engkau saja, Nona. Ibumu seorang sakti, akan tetapi aku merasa sangsi apakah Beliau akan dapat menyembuhkan aku. Menurut kata kakek India itu, dalam waktu empat puluh hari aku akan mati sekerat demi sekerat. Melihat rasanya tubuhku, dia agaknya tidak membohong. Darahku telah keracunan, tidak ada yang akan dapat menyembuhkanku. Aahh, semua salahku sendiri, terlalu menurutkan kata hati tanpa mempertimbangkan dan tanpa menyadari bahwa kepandaianku masih amat rendah. Aku berani mengacau Thian-liong-pang.... itulah mula-mula segala malapetaka yang menimpa diriku...."
"Apa? Kau mengacau Thian-liong-pang?" Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Milana mendengar ini. Thian-liong-pang adalah tempat tinggalnya karena ibunya adalah Ketua Thian-liong-pang. Akan tetapi hal ini harus dipegang rahasia, dan dia tidak dapat menceritakannya kepada siapapun juga. "Mengapa kau memusuhi Thian-liong-pang?"
"Perkumpulan iblis busuk itu! Jahat sekali! Mereka menangkap tokoh-tokoh kang-ouw untuk dicuri ilmu mereka. Hemm, dan Ketuanya amat ganas, kejam, licik dan sakti. Kiranya hanya Ayahmu, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es saja yang akan dapat membasmi Thian-liong-pang....!"
"Gak-twako, orang tidak perlu mencampuri urusan orang lain kalau belum diketahuinya betul keadaannya. Apakah engkau sudah mengenal Ketua Thian-liong-pang sehingga dia kau maki ganas, kejam, licik dan sakti? Kurasa, orang seperti engkau sekalipun akan dapat salah sangka, maka sebaiknyalah kalau kau tidak mencampuri urusan orang-orang lain, terutama Thian-liong-pang atau Pulau Neraka. Mereka amat berpengaruh dan lihai, tidak ada perkumpulan lain atau seorang gagah pun berani lancang menentang mereka."
Bun Beng mengerutkan alisnya. Mengapa puteri Pendekar Super Sakti, yang tentu memiliki ilmu yang tinggi seperti tadi dia saksikan sendiri ketika menolongnya dengan kail, mengeluarkan ucapan begitu jerih terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka? Dia merasa penasaran melihat sikap Milana seperti ketakutan.
"Nona, kalau engkau takut terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, mengapa kau menolongku? Lebih baik kalau kautinggalkan aku di sini saja!"
Milana tersenyum sabar mendengar ucapan itu dan melihat betapa Bun Beng bergerak hendak turun dari kuda yang tentu merupakan hal yang sukar bagi pemuda itu karena kakinya lumpuh dan tenaganya habis. "Gak-twako, engkau benar-benar seorang yang amat tinggi hati! Aku menolongmu dengan hati tulus ikhlas dan kosong tanpa pamrih, hanya berdasarkan perasaan iba yang akan kulakukan terhadap siapapun juga yang membutuhkan pertolongan seperti engkau. Mengapa harus kudasarkan kepada perasaan takut
atau tidak? Twako, apakah engkau menganggap aku seorang pengecut dan penakut yang akan membiarkan orang terluka parah seperti engkau begitu saja tanpa berusaha mengobati dan menolongmu?"
Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang halus, sama sekali tidak mengandung kemarahan atau penyesalan sehingga diam-diam Bun Beng merasa terkejut dan teringatlah ia betapa ucapannya tadi kasar dan menyakitkan hati. Maka ia cepat berkata, "Maafkan aku, Nona. Bukan sekali-kali aku bermaksud bahwa Nona seorang penakut, hanya.... aku telah dianggap musuh oleh Thian-liong-pang, bahkan kaum Pulau Neraka agaknya juga memusuhiku. Oleh karena itu, betapa hatiku akan merasa berdosa dan menyesal kalau engkau akan dimusuhi mereka pula karena engkau telah menolongku! Aku tidak ingin kau terseret dalam bahaya besar. Biarlah aku saja yang menjadi korban keganasan mereka, jangan sampai engkau terancam pula oleh bahaya."
Milana tersenyum. "Jangan khawatir, Twako. Aku dapat menjaga diri, dan aku tidak akan membiarkan engkau dalam keadaan seperti ini terganggu oleh siapapun juga. Kurasa engkau belum mengenal betul Thian-liong-pang. Menurut pendapatku, Thian-liong-pang, kumaksudkan ketuanya, tidaklah begitu jahat seperti yang kau duga. Perbuatannya yang aneh seperti menculik tokoh-tokoh kang-ouw itu tentu ada latar belakangnya."
"Aku sudah tahu! Dia menculik mereka untuk diberi minum racun sehingga dalam keadaan mabok dan tidak ingat apa-apa mereka mau saja diadu agar mereka mengeluarkan jurus-jurus simpanan dan dapat dicuri oleh Ketua itu! Dan engkau keliru kalau menganggap Thian-liong-pang tidak jahat! Anak buahnya adalah iblis-iblis yang kejam, yang suka membunuh orang tanpa berkejap mata."
"Kurasa tidak demikian, Twa ko. Kalau anak buah Thian-liong-pang ada yang menyeleweng, hal itu tentu di luar pengetahuan Sang Ketua, karena tentu yang menyeleweng akan dihukum. Adapun Ketua itu sendiri, andaikata sampai membunuh orang, tentu ada sebab-sebabnya yang memaksanya. Aku tidak percaya bahwa dia jahat seperti iblis. Hanya engkaulah yang belum mengenalnya betul."
"Heii, kau seperti membelanya!" Bun Beng berkata penasaraan. "Engkau tidak tahu, aku telah ditahan dan dijebloskan dalam kamar tahanan di bawah tanah. Nyaris aku dibunuhnya kalau Si Kakek Muka Singa Sai-cu Lo-mo yang mengaku masih paman kakekku itu tidak membujuk Ketua Thian-liong-pang!"
"Ahhh, jadi begitukah?" Milana benar-benar terkejut. Baru sekarang dia mendengar bahwa pemuda ini adalah cucu keponakan Sai-cu Lo-mo!
"Nona, agaknya engkau mengenal betul keadaan Thian-liong-pang!"
"Sedikit banyak aku sudah mendengar tentang perkumpulan itu, Twa ko. Siapakah orangnya yang tidak mendengar tentang Thian-liong-pang yang terkenal?
Sudahlah, engkau perlu cepat diobati. Aku mempunyai obat penguat badan, pencuci darah dan penyambung tulang patah. Akan tetapi, racun yang mengancam keselamatan nyawamu tak dapat kuobati, agaknya Ibu akan dapat menolongmu, akan tetapi...." Milana menjadi bingung dan sangsi. Betapa mungkin ibunya akan suka menolong pemuda yang sudah memusuhi Thian-liong-pang ini?
"Akan tetapi apa, Nona?"
"Aku.... aku harus mendapatkan air panas untuk mencuci luka-lukamu, dan obatku harus kugodok, maka kita membutuhkan alat dapur. Di depan ada sebuah dusun, di sana kau dapat beristirahat, Twako."
Kuda itu dilarikan cepat dan Bun Beng yang tidak dapat melihat wajah gadis yang duduk di belakangnya itu tidak melihat betapa wajah itu penuh kekhawatiran. Juga keadaannya tidak memungkinkan dia setajam biasa, penglihatan maupun pendengarannya, sehingga dia tidak tahu bahwa mereka berdua dibayangi oleh beberapa orang. Akan tetapi Milana tahu akan hal ini maka gadis itu menjadi gelisah, apalagi karena dari gerakan dan tanda para pengejar itu dia tahu bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya!
Dalam keadaan setengah sadar karena menderita luka hebat itu, Bun Beng diturunkan dari atas kuda oleh Milana, dibantu oleh seorang petani yang rumahnya disewa gadis itu, dan dibaringkan di atas sebuah dipan kayu sederhana dalam ruangan rumah yang sederhana pula. Setelah petani itu meninggalkan rumahnya yang telah dibayar sewanya secara royal oleh Milana untuk waktu seminggu, Milana sibuk memasak obat, kemudian mencuci muka Bun Beng dengan air hangat, membersihkan darah dari pipi dan bibir, menaruh obat luka di tempat yang terobek sepatu Tan-siucai kemudian memberi obat yang telah dimasaknya.
Bun Beng menjadi terharu, bukan oleh pertolongan yang dianggapnya wajar karena hal itu dapat ia harapkan dari setiap orang manusia yang masih memiliki kasih sayang di antara manusia. Bukan, bukan pertolongan itu yang mengharukan hatinya, melainkan sentuhan-sentuhan jari tangan yang demikian lembut, pandang mata yang demikian halus, perhatian yang demikian penuh dicurahkan kepada dirinya. Kalau wajah itu tidak demikian cantik jelita dan masih amat muda, tentu dia tidak akan yakin bahwa yang merawatnya itu bukan ibunya! Hanya ibunya sendiri sajalah agaknya yang akan merawat anaknya seperti itu!
"Nah, biarpun obatku tak mungkin mengusir racun dari tubuhmu, setidaknya engkau akan merasa tenang dan tidak begitu menderita nyeri lagi, Twako. Dan obat yang kugosokkan pada lututmu itu, dalam waktu sepekan tentu akan memulihkan kembali sambungan kedua lututmu sehingga engkau akan dapat berjalan lagi."
"Nona Milana.... terima kasih. Engkau....!"
"Husshhh.... tidurlah, Twako. Aku akan masak bubur dan membuatkan minuman teh...." Gadis itu menjauhi dipan dan mulai sibuk membuat bubur dan membelakangi Bun Beng karena dia hendak menyembunyikan wajahnya yang penuh kegelisahan. Dia bukan seorang ahli pengobatan, namun sedikit pengetahuan yang dimilikinya cukup membuat dia tahu bahwa pemuda itu menderita luka keracunan yang amat hebat. Biarpun dia tahu ibunya sakti, namun ibunya sendiri pun belum tentu dapat menyembuhkan pemuda itu. Yang membuat dia gelisah bukan main adalah kenyataan bahwa Bun Beng memusuhi Thian-liong-pang! Mungkinkah ibunya suka menolongnya?
Bun Beng dapat tidur pulas berkat obat Milana yang agaknya mengandung pula obat tidur. Hari telah mulai gelap dan Milana menyalakan tiga batang lilin di tempat lilin kuno yang tergantung di sudut ruangan. Beberapa kali dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar rumah dan dia tahu bahwa itu adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya. Bahkan dia mengenal pula siapa yang memimpin rombongan delapan orang Thian-liong-pang itu, ialah sepasang kakak beradik kembar yang amat lihai. Dia tahu bahwa dua orang kembar itu, Su Kak Liong dan Su Kak Houw, adalah dua orang kepercayaan ibunya dan sudah sering diutus melakukan hal-hal berbahaya di luar perkumpulan yang selalu dilaksanakan dengan hasil baik. Sejak kecil Milana tidak pernah diberi tahu oleh ibunya akan urusan Thian-liong-pang, namun karena dia digembleng ilmu oleh ibunya sendiri, dia tahu bahwa kepandaian dua orang kembar ini hanya bertingkat sedikit di bawah tingkat pembantu-pembantu ibunya seperti Lui-hong Sin-ciang Chie Kang atau Sai-cu Lo-mo sendiri! Apalagi Su Kak Houw, setelah lengan kanannya lumpuh dalam sebuah pertempuran melawan orang pandai, menerima sebuah ilmu pukulan yang amat dahsyat dari ibunya. Ilmu ini didasari latihan khusus pada jari dan telapak tangan kiri dengan pengerahan sin-kang dan gerakan khusus pula, membuat tangan kiri Su Kak Houw ini luar biasa kuatnya, dapat dipakai menangkis senjata-senjata logam yang kuat dan tajam, bahkan tangan itu dapat dipakai membacok seperti sebatang golok tajam. Karena inilah maka dia terkenal sebagai Toat-beng-to (Golok Pencabut Nyawa). Sebuah julukan yang lucu dan aneh karena selamanya tokoh ini tidak pernah menggunakan golok dalam pertandingan, apalagi membunuh orang dengan golok. Dia hanya menggunakan lengan kirinya, namun lawannya yang terluka atau tewas, roboh dengan luka-luka seperti dibacok sebatang golok besar yang tajam!
Biarpun maklum bahwa pondok yang disewanya itu dikurung oleh sedikitnya delapan orang termasuk Si Kembar, Milana bersikap tenang-tenang saja. Dia merasa yakin bahwa selama Bun Beng berada bersamanya, tak ada seorang pun anggauta Thian-liong-pang yang akan berani turun tangan! Maka dia pura-pura tidak tahu akan kehadiran mereka, sungguhpun dia tahu pula bahwa Si Kembar itu sengaja beberapa kali bergerak di depan jendela supaya terlihat oleh Milana dan supaya ditegur oleh puteri Ketua Thian-liong-pang itu. Namun, dia tidak mau menegur mereka dan terus melanjutkan mempersiapkan makan dan minum sederhana untuk Bun Beng dan dia sendiri.
Dugaan Milana tepat sekali. Kedua orang kembar she Su itu memimpin enam orang anggauta Thian-liong-pang tingkat pertengahan, bertugas melakukan penyelidikan dan pengejaran terhadap Gak Bun Beng yang berhasil lolos dari tempat tahanan di bawah tanah. Dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati mereka ketika melihat pemuda itu dalam keadaan luka berat, naik kuda bersama puteri Ketua mereka! Tentu saja hal ini membuat mereka bingung dan tidak bergerak turun tangan, bahkan menegur saja mereka tidak berani! Mereka merasa ngeri memikirkan kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan Ketua Thian-liong-pang terhadap mereka kalau mereka mengganggu Milana! Sampai lama mereka memancing agar ditegur lebih dulu oleh Milana sehingga mereka dapat melapor akan tugas yang mereka terima dari Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi sungguh membuat mereka makin bingung ketika dara itu sama sekali tidak peduli seolah-olah tidak melihat mereka. Akhirnya, kedua orang saudara kembar itu mengambil keputusan untuk memasuki pondok dan langsung menghadap Milana! Ketika dua orang laki-laki yang mukanya menyeramkan, rambutnya awut-awutan itu muncul dari pintu pondok pada keesokan harinya, Bun Beng sudah bangun dari tidurnya,
merasa tubuhnya tidak begitu tersiksa lagi oleh rasa nyeri, sungguhpun kedua kakinya masih lumpuh tak dapat digerakkan. Tidur semalam dengan nyenyak memulihkan tenaga di tubuh bagian atas.
Tampak olehnya Milana sedang memasak air di sudut pondok. Bun Beng menarik napas panjang dan hal ini terdengar oleh dara itu yang segera menoleh memandang dan tersenyum manis.
"Engkau sudah bangun? Bagaimana tubuhmu?" Sejenak Bun Beng tak mampu menjawab, lehernya seperti tercekik. Sejak malam tadi, Milana kelihatan sibuk terus mengurus dan merawat dirinya. Apakah tidak tidur semalam? Dan melihat gadis itu di pagi hari ini, membuat Bun Beng terpesona. Belum pernah dia melihat wajah secantik itu. Bukan main! Meremehkan segala kecantikan yang pernah dilihat sebelumnya. Milana memiliki kecantikan yang aneh, tidak seperti biasa dan mengadung sesuatu khas yang takkan terdapat pada wajah selaksa orang gadis cantik lainnya. "Aihh, kenapa engkau diam saja, Twako?"
Bun Beng menjadi gugup dan kedua pipinya merah sekali. "Maaf.... eh, aku.... aku sedang memikirkan bahwa sesungguhnya tidak perlu engkau bersusah payah untuk aku, Nona. Engkau terlalu baik dan aku merasa tidak layak menerima kebaikan yang berlebihan ini, membuat aku berhutang budi dan.... bagaimana aku akan mampu membalasmu?"
Milana tersenyum lebar. "Ya jangan dibalas karena aku tidak menghutangkan apa-apa!" Sebelum pemuda itu menjawab, Milana mendahului dengan sikap dan suara bersungguh-sungguh, "Gak-twako, mengapa engkau masih saja memperlihatkan sikap sungkan? Bukankah kita berdua telah mengenal sejak kecil dahulu? Kalau seandainya aku yang tertimpa bencana seperti engkau sekarang ini dan bertemu denganmu, apakah engkau tidak akan sudi menolongku?"
"Ah, tentu saja!" jawab Bun Beng cepat. "Kalau melihat engkau sungkan-sungkan seperti ini, agaknya engkau pun tentu akan segan dan sungkan menolongku."
"Demi Tuhan! Tidak, Nona. Aku akan melaksanakan apa saja, kalau perlu mengorbankan nyawa untuk menolongmu!" Milana tersenyum lagi dan membungkuk. "Terima kasih, Twako. Nah, kalau begitu kita sama-sama, bukan? Tidak ada hutang-pihutang budi, yang ada hanya kebetulan saja engkau yang membutuhkan pertolongan dan aku yang dapat menolongmu dan.... ohhhh!" Milana cepat membalikkan tubuh memandang kepada dua orang pembantu ibunya yang memasuki pondok itu dengan sikap takut-takut. Bun Beng juga bangkit duduk di atas dipan, memandang kepada dua orang itu, sikapnya tenang.
"Kalian mau apa?" Milana yang merasa khawatir itu segera membentak. Dia tidak khawatir kalau orang-orang Thian-liong-pang ini menyerang Bun Beng, tentu tidak akan berani selama dia menjaga pemuda itu. Akan tetapi dia lebih khawatir kalau munculnya orang-orang itu akan membuka rahasianya, yaitu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, bahwa ibunya yang sudah dikenal Bun Beng sebagai isteri Pendekar Super Sakti itulah sesungguhnya Ketua Thian-liong-pang! Kedua orang itu cepat menjura dengan penuh kehormatan kepada Milana kemudian Su Kak Liong, yang tertua di antara mereka, tentu saja hanya lebih tua beberapa jam daripada Su Kak Houw, berkata hormat. "Harap Siocia (nona) sudi memaafkan kami yang lancang. Akan tetapi, karena kami melaksanakan perintah Pangcu terpaksa...."
"Cukup! Pergilah, aku tidak mau diganggu!" Milana membentak marah dan kedua orang itu menjadi pucat, saling memandang dengan bingung. Yang lebih bingung lagi adalah Bun Beng. Kini dia mengenal kedua orang itu yang hadir ketika dia berada di Thian-liong-pang. Tak salah lagi, mereka adalah dua orang tokoh Thian-liong-pang dan agaknya utusan dari Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi mengapa mereka bersikap begitu hormat dan takut-takut terhadap Milana? Su Kak Liong mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya, memperlihatkannya kepada Milana yang seketika menjadi pucat. Dara itu menutup mulut dengan jari tangan seolah-olah hendak menahan jeritnya, matanya terbelalak memandang ke arah benda kecil di atas telapak tangan Su Kak Liong yang ternyata adalah sebuah benda besi hitam berbentuk tengkorak kecil sekali.
"Ohhh.... tidak....!" Milana berseru lirih.
"Siocia maklum apa artinya perintah ini. Kami harus membunuh dan menghadapi rintangan apa pun, karena kegagalan kami harus kami tebus dengan nyawa. Sekali lagi, harap sudi memaafkan kelancangan kami yang hanya kami lakukan dengan terpaksa sekali, untuk melaksanakan perintah Pangcu. Houw-te (Adik Houw), bunuh dia!"
Su Kak Houw sudah siap sejak tadi. Si Lengan Buntung ini pun maklum bahwa sekali kakaknya mengeluarkan tanda perintah membunuh dari Ketua mereka, tentu puteri ketua ini sekalipun tidak akan berani menghalangi tugas mereka. Maka, begitu mendengar perintah kakaknya sebagai pemegang tanda perintah itu, dia cepat melompat mendekati pembaringan Bun Beng, dilanjutkan dengan terjangannya yang dahsyat, sekalipun menggunakan tangan kirinya membacok dengan gerakan dan pengerahan tenaga sakti. Bacokan tangan miring yang dapat membacok putus baja dan besi, yang membuat dia dijuluki Toat-beng-to karena seolah-olah tangan kirinya berubah menjadi sebuah golok pusaka yang luar biasa ampuhnya!
Menghadapi serangan yang amat dahsyat ini, Bun Beng kehabisan akal dan biarpun dia mengambil keputusan untuk melawan dan tidak menyerahkan nyawanya begitu saja, namun ia maklum bahwa dia terancam bahaya maut. Akan tetapi, angin pukulan yang amat hebat itu mengingatkan dia akan suara angin ketika dia bersama kakek muka kuning Pulau Neraka naik layang-layang dan di serang badai. Teringat ia akan pelajaran dari kakek itu cara menghadapi serangan badai dan cara menyelamatkan layang-layang berikut dirinya. "Menghadapi serangan angin yang lebih kuat, jangan sekali-kali melawannya secara langsung." demikian kakek muka kuning itu berteriak-teriak memberi petunjuk untuk mengatasi. "Kosongkan tenagamu dan turutilah gerak arus angin itu ke arah mana dia menyambar, kemudian belokkan dan buang ke depan. Pasti layang-layang ini akan dapat menguasainya."
Teringat akan pelajaran yang berkelebat di dalam benaknya pada detik nyawanya terancam maut itu, Bun Beng cepat membuat gerakan otomatis untuk melaksanakan pelajaran itu. Dia membatalkan niatnya hendak menangkis sambaran tangan kiri tokoh Thian-liong-pang itu, bahkan ketika tangan itu menyambar, didahului arus angin amat kuat menyambar ke arah lehernya, otomatis tubuhnya yang duduk itu meliuk ke belakang dan tenaganya sendiri cepat mengalir ke bagian tubuhnya yang kiri bersama arus tenaga yang datang itu. Ketika telapak tangan lawan itu sudah dekat dengan lehernya, tiba-tiba Bun Beng yang merasa betapa lengan di seluruh lengan kirinya sudah bergabung dengan tenaga yang datang tadi, persis seperti ketika mengemudikan layang-layang, dia cepat membuang tenaga itu melalui tangan kirinya ke depan, membabat turun dari atas ke arah lengan kiri lawan. "Crakkkk....!" Terdengar jerit mengerikan. Bun Beng melihat betapa Milana cepat meloncat ke samping dan tubuh lawannya terhuyung-huyung ke belakang. Dia ngeri sekali menyaksikan akibat dari gerakannya tadi, dan memandang dengan mata terbelalak ke arah lengan kiri lawan itu yang kini telah buntung! Ternyata bahwa babatan tangan kirinya tadi telah dapat membuat lengan lawan itu buntung sebatas pangkalnya! Tanpa disadari, Bun Beng telah dapat mewarisi dan menggunakan ilmu mujijat dari Pulau Neraka, yaitu ilmu "memindahkan tenaga" yang amat hebat. Adapun korban pertama dari ilmunya itu, yang terjadi tanpa ia sengaja, adalah Su Kak Houw tokoh Thian-liong-pang, sungguhpun tadi dia tahu bahwa hal itu dapat terjadi karena adanya bantuan dari Milana. Ketika tadi Su Kak Houw melancarkan serangan, Milana yang maklum akan kehebatan tangan kiri Su Kak Houw, cepat menyambar dari belakang dengan sebuah totokan kilat sehingga Su Kak Houw tadi terhenti. Andaikata tidak demikian, biarpun ilmu baru Bun Beng mujijat, namun pemuda itu tetap saja terancam bahaya terkena pukulan
sebelum lengan Su Kak Houw buntung! Su Kak Liong terkejut sekali, cepat meloncat ke depan dan menerima tubuh adik kembarnya yang pingsan, dan dia mengambil pula lengan kiri adiknya. Dengan muka pucat Su Kak Liong memandang kepada Milana karena dia menduga bahwa tentu puteri Ketuanya itulah yang membuat lengan adiknya buntung. Dia tidak dapat melihat dan tak akan mau percaya bahwa pemuda yang sudah lumpuh kedua kakinya itu yang membuntungkan lengan adiknya yang lihai. "Kami hanya melaksanakan tugas perintah Pangcu, akan tetapi Nona berlaku kejam. Kami tidak berani melawanmu, Nona, akan tetapi kami harus melaporkan peristiwa ini kepada Pangcu dan mohon pengadilan." Setelah berkata demikian, Su Kak Liong memondong tubuh adik kembarnya keluar dari pondok itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nona...." Bun Beng berkata, menahan-nahan rasa nyeri hebat yang menyesakkan dada. Milana menoleh kepadanya. "Aihh, Twako. Ilmu mujijat apakah yang kau pergunakan tadi....? Ehhh.... kau kenapa....?" Gadis itu meloncat dekat pembaringan di mana Bun Beng terengah-engah, kemudian pemuda itu menelungkupkan mukanya ke pinggir pembaringan untuk muntahkan darah segar!
"Kau.... kau terluka....!" Milana berseru khawatir, duduk di tepi pembaringan dan menyusuti darah dari bibir Bun Beng yang terengah-engah itu dengan saputangan. Bun Beng merasa makin berterima kasih dan tidak enak. "Sudahlah, Nona.... lebih baik kautinggalkan aku di sini.... pengerahan tenaga tadi memperhebat penyakitku, dan.... kau akan dimusuhi Thian-liong-pang.... tinggalkan aku, aku tidak mau kalau Nona sampai tersangkut dan terancam bahaya karena aku, seorang yang sudah tiga perempat mati."
"Tidak! Aku harus membawamu kepada orang yang akan dapat mengobatimu, dapat mengeluarkan racun dari tubuhmu. Kalau kau berada di bawah perlindunganku, jangankan orang-orang Thian-liong-pang, biar segala setan iblis di dunia ini akan mengganggu pasti akan kulawan!"
Biarpun dadanya terasa sesak dan nyeri, Bun Beng terpaksa tersenyum juga mendengar ucapan yang keluar dari mulut yang mungil dan manis itu. Ia memandang wajah itu melalui kunang-kunang yang menari di depan matanya.
"Terserah kalau begitu, Nona Milana. Akan tetapi.... aku hanya akan suka menerima budimu dengan hati berat kalau engkau suka berterus terang pula. Orang-orang Thian-liong-pang tadi bukanlah orang-orang yang berkedudukan rendah, dan ilmu kepandaian mereka yang tinggi membuktikan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Thian-liong-pang. Akan tetapi, mengapa mereka itu amat menghormati dan takut kepada Nona? Ada hubungan apakah antara Nona dengan Thian-liong-pang? Harap Nona suka berterus terang agar aku tidak menjadi bingung dan ragu-ragu."
Milana menjadi merah mukanya. Sampai lama dia saling berpandangan dengan Bun Beng dan melihat sinar mata tajam dan membayangkan kemauan yang kokoh kuat itu, tahulah dia bahwa tiada gunanya membohong terhadap pemuda ini, juga amat berbahaya kalau tidak berterus terang. "Gak-twako, sesungguhnya hal ini merupakan rahasia besar bagiku. Akan tetapi, karena engkau bukanlah orang luar, kumaksudkan bahwa dahulu di waktu kecil engkau telah mengetahui keadaan kami, dan mengingat akan keadaanmu sekarang, bahwa aku harus menolongmu dan engkau telah menyaksikan pula tadi sikap para tokoh Thian-liong-pang, sebaiknya keberitahukan rahasia besar ini, bahwa aku.... aku adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Ketua penuh rahasia yang mukanya selalu dikerudungi itu bukan lain adalah Ibuku sendiri."
"Ohhhh....!" Pengakuan ini merupakan pukulan yang amat hebat bagi Bun Beng sehingga ia terjengkang dan rebah pingsan di atas pembaringannya!
Ketika siuman kembali Bun Beng merasa dadanya masih nyeri akan tetapi tidak begitu sesak lagi dan kedua kakinya seolah-olah makin mati. Tubuhnya tergoncang-goncang dan ketika ia membuka mata, kiranya ia telah berada di atas punggung kuda lagi, dan Milana duduk di belakangnya.
"Ohhhh.... engkau hendak membawaku ke mana, Nona?"
"Gak-twako, kenapa engkau masih selalu bersikap sungkan dan menyebutku Nona seolah-olah kita bukan sahabat lama? Gak-twako, setelah aku menyebut Twako (Kakak) padamu mengapa engkau tidak tidak mau menyebutku Adik?"
"Aihhh, mana aku berani, Nona Milana? Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang amat terhormat, sakti dari mulia. Engkau juga puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia! Aihhhh.... Nona, sungguh aku terkejut setengah mati mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Ibumu. Sekarang.... ah, makin keras permintaanku agar engkau tidak menolongku, Nona."
"Hemm, kenapa? Karena engkau dimusuhi Thian-liong-pang? Tidak peduli! Aku tetap akan melindungimu dan mencarikan orang pandai yang akan dapat menyembuhkanmu." Suara dara itu tetap halus namun menyembunyikan tekad yang amat besar, kemauan yang tak mungkin dibelokkan oleh apapun juga.
"Tapi Thian-liong-pang....?"
"Peduli amat! Kalau mereka datang hendak memaksakan kehendak mereka membunuhmu, akan kuhadapi mereka semua!"
"Akan tetapi, Nona. Tak mungkin demikian! Apakah engkau akan melawan Ibumu sendiri? Para tokoh Thian-liong-pang itu hanya melaksanakan tugas perintah Ibumu!"
"Tidak peduli!" Ingin Bun Beng memandang wajah ga dis itu, akan tetapi karena Milana duduk di belakangnya, tentu saja tidak mungkin ia menoleh ke belakang karena hal itu akan terlalu tidak sopan dan muka mereka tentu akan saling berdekatan. Jantungnya berdebar tidak karuan ketika mendengar jawaban itu, maka untuk melepaskan keraguan hatinya yang berdebar tidak karuan itu, dia memberanikan diri berkata, "Nona Milana, engkau berkeras menolongku dan menghadapi Ibumu sendiri? Ah, mengapa begini? Engkau membuat aku merasa tidak enak sekali! Ibumu tentu akan marah sekali kepadamu, Nona."
"Biarlah, aku tidak takut." Hening sejenak, hanya suara derap kaki kuda yang mereka tunggangi itu terdengar memecah kesunyian hutan yang mereka lalui, namun bagi Bun Beng, detak jantungnya sendiri lebih keras daripada derap kaki kuda.
"Nona Milana...."
"Ah, telingaku menjadi sakit mendengar sebutanmu nona berkali-kali itu, Twako. Sebut saja namaku, tanpa nona."
"Maaf, aku tidak berani. Nona Milana, kita bersama lahir sebagai manusia yang sejak kecil digembleng ilmu kekerasan dan kita mengutamakan kejujuran dan kegagahan. Kini kita berdua menghadapi hal yang amat rumit, yang bahwa engkau sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang bertekad melindungi aku dari keinginan Ibumu sendiri yang mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Kuharap kau suka menjawab dengan terus terang dan jujur, Nona. Mengapa engkau bersikap seperti ini?"
Hening pula sejenak, kemudian terdengar Milana balas bertanya, "Apa maksudmu, Twako? Aku tidak mengerti."
"Nona, mengapa engkau lebih memberatkan aku daripada Ibumu? Jelas bahwa aku bersalah besar terhadap Ibumu sehingga kini Ibumu mengutus orang-orangnya untuk membunuhku. Akan tetapi mengapa engkau melindungiku mati-matian dan tidak enggan melawan Ibumu sendiri? Mengapa engkau lebih memberatkan aku daripada Ibumu?"
Kini suasana menjadi hening, agak lama karena Milana memandang ke atas dengan alis berkerut, agaknya sukar baginya menemukan jawaban untuk pertanyaan Bun Beng itu. Berkali-kali ia menghela napas panjang, kemudian terdengar ia menjawab, "Sukar sekali menjawab pertanyaanmu, Twako. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, agaknya aku sadar akan kekejaman Thian-liong-pang, sadar akan kesesatan Ibu dan kesalahannya terhadap engkau yang tak berdosa. Karena kesadaran itu maka aku berusaha menentang dan kebetulan bertemu denganmu yang terancam oleh Thian-liong-pang. Nah, puaskah kau dengan jawabanku, Twako?"
Bun Beng menggeleng kepala. "Aku tidak puas, Nona, karena jawaban itu terlalu dicari-cari, dan bukan itu sebabnya. Mengapa untuk menjadi sadar engkau harus menunggu sampai berjumpa denganku? Pula, untuk menyadarkan seorang ibu, tentu cukup dengan menegur dan mengingatkan. Masa sampai menentangnya dan membela orang lain. Maaf, Nona. Coba engkau bayangkan andaikata bukan aku yang kaujumpai, melainkan orang lain yang sama sekali tidak kau-kenal, apakah engkau juga akan membelanya dari Ibumu dan
Thian-liong-pang? Begitu banyak orang pandai, diculik oleh Thian-liong-pang untuk dicuri ilmunya, mengapa engkau mendiamkannya saja dan tidak ada seorang pun yang kaubela? Mengapa justru aku yang kaubela sehingga kau siap menghadapi pertentangan dengan perkumpulan Ibumu? Harap kau suka menjelaskan, dan mengaku secara jujur, apa sebabnya, Nona?"
Kini lebih lama lagi keadaan menjadi sunyi. Bun Beng mendengarkan dan menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi sunyi saja di belakangnya. Akhirnya terdengar Milana tertawa halus suara tertawa yang jelas sekali bagi Bun Beng adalah suara untuk menutupi kegugupannya. "Hi-hik, engkau ini aneh-aneh saja, Gak-twako. Aku sampai menjadi bingung. Sudahlah, aku tak dapat menjawab karena aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku tiba-tiba ingin membelamu mati-matian. Karena engkau bertanya dengan demikian mendesak, agaknya engkau yang tahu akan sebabnya, Twako. Maka tolonglah engkau yang menjawabkan untukku."
"Nona Milana, tidaklah mengherankan kalau engkau sendiri tidak tahu, karena memang hal ini amat sulit dimengerti, hanya terasa oleh hati. Engkau bertemu denganku, lalu timbul hasrat untuk menolongku, melindungiku mati-matian bahkan rela bertentangan dengan Ibu sendiri. Hal ini tidak lain adalah karena cinta!"
"Heiiiii.... aduuuhhh....!" Tubuh Bun Beng terbanting dari atas punggung kuda karena dalam keadaan kaget setengah mati mendengar ucapan pemuda itu, Milana mengeluarkan suara melengking nyaring yang membuat kudanya meringkik dan mengangkat kaki depan ke atas dan tergulinglah tubuh Bun Beng yang kedua kakinya lumpuh itu!
"Ohhh, Twako.... kau tidak apa-apa?" Milana cepat meloncat turun dan berlutut di dekat Bun Beng yang sudah rebah terlentang.
Pemuda itu menggeleng kepala dan berusaha tersenyum, lalu ia bangkit duduk dengan menekankan kedua tangan pada tanah. Mereka saling berpandangan. "Aku mohon maaf sebesarnya atas ucapanku tadi, Nona. Bukan niatku untuk menghinamu, aku hanya bicara menurutkan suara hati. Maafkanlah aku yang lancang mulut."
"Engkau orang aneh!" Milana menyambar kedua lengan Bun Beng dan membawanya melompat ke atas kuda lagi. "Aku yang membikin kau terjatuh dari kuda, malah engkau yang minta maaf."
"Tentu saja, karena aku jatuh oleh kagetnya kuda, kuda kaget oleh lengkinganmu, dan engkau melengking oleh ucapanku. Jadi biang keladinya adalah aku sendiri, maka aku yang bersalah dan aku yang minta maaf."
"Kata-katamu tadi tidak perlu dimintakan maaf. Akan tetapi, aku menjadi makin heran. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta. Cinta yang bagaimana yang kaumaksudkan? Yang ada dalam hatiku hanyalah perasaan ingin menolongmu. Apakah itu cinta yang mendorongnya ataukah perasaan lain, aku tidak tahu. Aku melihatmu, teringat akan masa lalu, dan aku kasihan kepadamu, maka aku ingin menolongmu, Twako. Kalau orang-orang Thian-liong-pang tadi kulawan, karena timbul penasaran dan kemarahan di hatiku, mengapa engkau yang sudah terluka dan dalam keadaan terancam maut ini masih mereka ganggu. Apakah ini semua sebab cinta? Aku tidak tahu dan tak dapat menjawab. Agaknya engkau adalah seorang ahli tentang cinta, Twako, maka tolonglah beri penjelasan dan kuliah tentang cinta."
Seketika merah kedua pipi Bun Beng dan ia menyeringai, tersenyum masam yang untung tidak tampak oleh dara yang duduk di belakangnya. "Wah, aku sendiri tidak tahu tentang itu, Nona, aku sendiri pun belum mengenal cinta...."
"Ah, kau bohong, Twako!"
"Sungguh mati!"
"Usia mu tentu telah banyak, setidaknya beberapa tahun lebih tua daripada aku yang baru tujuh belas tahun."
"Aku enam tahun lebih tua, Nona. Akan tetapi, aku.... aku belum pernah.... eh, maksudku mengalami cinta, dan.... eh, apa yang kita bicarakan ini? Sama-sama tidak tahu tentang cinta, akan tetapi sudah berani bicara. Mana bisa?" Bun Beng tertawa dan Milana juga tertawa. Tiba-tiba Bun Beng merasa betapa gembira hatinya. Aneh sekali! Dia tahu bahwa dirinya terancam maut, sedikit sekali harapan dapat tertolong. Mengapa dia tidak merasa takut, tidak merasa khawatir dan tidak merasa berduka, bahkan hatinya penuh rasa gembira? Kedua kakinya masih lumpuh, dadanya masih nyeri, akan tetapi rasa gembira mengalahkan semua ini.
"Kau benar, Twako. Sekarang lebih baik kau ceritakan semua pengalamanmu mengapa engkau sampai terluka hebat seperti ini, dan dari mana engkau datang, bagaimana pula engkau menjadi tawanan orang-orang Pulau Neraka di perahu itu."
"Hemm, semua itu gara-gara Sepasang Pedang Iblis...."
"Ehhhh? Sepasang Pedang Iblis? Di mana kedua pedang pusaka itu?" Bun Beng menarik napas panjang. Agaknya dara jelita ini
pun terkena pula wabah "demam Sepasang Pedang Iblis" yang diderita semua orang kang-ouw sehingga terjadi perebutan sejak dahulu. "Sayang pedang-pedang itu tidak berada di tanganku lagi, sungguhpun akulah yang menemukannya. Kalau tidak terampas orang tentu yang sebuah akan kuberikan kepadamu, Nona."
"Ahhh, suaramu itu! Apa kaukira aku terlalu ingin memperoleh pedang yang namanya saja begitu mengerikan? Tidak, Twako. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kalau Sepasang Pedang Iblis itu berada di tanganmu, sudah dapat ditentukan nyawamu akan tertolong!"
"Eh, kenapa begitu?"
"Ibu tentu akan girang sekali menerima sepasang pedang itu, dan akan berterima kasih kepadamu. Ibu tentu akan suka mengampunimu bahkan akan mengobatimu sampai sembuh. Betapapun juga kalau dapat mengatakan di mana adanya pedang-pedang itu saja, Ibu tentu sudah menjadi girang sekali. Ceritakanlah, Twako bagaimana pedang itu terampas orang dan bagaimana pula engkau terluka hebat?"
"Yang melukai aku adalah seorang sakti yang berilmu tinggi dari negeri barat, namanya Maharya dengan muridnya...."
"Aihhhh....! Tan-siucai dan gurunya yang dahulu mencuri pedang Hok-mo-kiam buatan Kakek Nayakavhira dan yang membunuh burung-burung garuda dari Pulau Es itu?"
Bun Beng mengangguk. "Ya, mengenai sepasang pedang itu, yang betina kuberikan kepada Nona Giam Kwi Hong dan...."
"Aihhhh! Enci Kwi Hong?" Milana berseru girang mendengar nama ini, akan tetapi suaranya tiba-tiba berubah lirih ketika melanjutkan, "Kau.... berikan pedang itu kepadanya?" Bun Beng tidak mendengar perbedaan suara ini dan ia mengangguk. "Pedang betina kuberikan kepadanya, dan pedang jantan yang kubawa telah terampas...."
"Oleh Tan Ki dan Maharya?"
"Bukan, oleh pemuda iblis dari Pulau Neraka."
"Ohhh....!" Kaget bukan main hati Milana mendengar ini. Ibunya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang amat diinginkan itu ternyata telah terjatuh ke tangan Pulau Es dan Pulau Neraka! "Bagaimana bisa demikian?"
Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak bersama Kwi Hong dia mengambil sepasang pedang itu dari tempat ia menyembunyikannya, kemudian betapa mereka bertemu dengan Tan Ki dan Maharya, kemudian muncul pemuda lihai dari Pulau Neraka yang berhasil merampas Lam-mo-kiam dari tangannya. Milana mendengarkan dengan hati tertarik bercampur kecewa.
"Untung bahwa aku telah memberikan Li-mo-kiam kepada Nona Kwi Hong sehingga dapat dibawanya lari. Sayang bahwa Lam-mo-kiam terampas oleh pemuda iblis itu, kalau tidak, aku tentu dengan girang akan memberikan Lam-mo-kiam kepadamu, Nona Milana."
Ucapan yang menutup penuturannya ini membuat Bun Beng terbayang akan wajah Kwi Hong dan teringatlah ia akan perjalanannya berdua dengan nona itu. Diam-diam ia membandingkan Kwi Hong degan Milana. Kwi Hong juga tidak mau disebut nona, bahkan marah-marah sehingga terpaksa dia menyebut murid Pendekar Super Sakti itu dengan namanya saja. Akan tetapi sikap dan sifat Milana lain. Dara ini amat halus tutur sapa dan gerak-geriknya sehingga dia merasa sungkan untuk menyebut namanya begitu saja. Dara ini dengan sikapnya yang halus lemah lembut, memiliki wibawa yang agung dan membuat dia tak berani untuk bersikap tidak hormat!
"Gak-twako, engkau tentu tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu menjadi rebutan seluruh dunia kang-ouw. Setelah secara kebetulan kau mendapatkan pusaka-pusaka itu, mengapa dengan mudah saja kauberikan sebuah kepada Enci Kwi Hong?"
Bun Beng termenung mendengar pertanyaan ini dan diam-diam mukanya berubah tanpa dapat dilihat Milana yang duduk di belakangnya. Sejenak Bun Beng tak dapat menjawab, mengerutkan ke ning berpikir, kemudian baru ia menjawab setelah berpikir lama, "Kurasa tidak aneh, Nona. Untuk apakah aku memiliki dua batang pedang? Tidak ada buruknya kalau aku menyerahkan sebatang kepada Nona Kwi Hong, dan mengapa kepada dia kuserahkan Li-mo-kiam? Pertama, karena kebetulan menemaniku mengambil Sepasang Pedang Iblis. Ke dua, karena dia adalah murid Pendekar Super Sakti yang amat kukagumi dan muliakan. Itulah sebabnya."
Hening sejenak sebelum Milana bertanya lagi. "Gak-twako, apakah engkau mencintai Enci Kwi Hong?"
"Hahh....?" Pertanyaan yang keluar dengan suara halus seperti berbisik itu benar-benar tak disangka-sangka, terlalu tiba-tiba datangnya membuat Bun Beng gelagapan seolah-olah dia dibenamkan ke dalam air. "Apa.... apa maksudmu, Nona....?"
"Twako, semenjak masih kecil dahulu, sudah tampak betapa engkau dan Enci Kwi Hong cocok dan akrab sekali. Kini Pedang Li-mo-kiam adalah sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw akan rela mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan sebatang di antaranya. Akan tetapi engkau dengan mudah saja menyerahkannya kepada Enci Kwi Hong. Kalau engkau mencinta Enci Kwi Hong, hal itu tidaklah aneh lagi. Aku hanya ingin tahu apakah engkau mencinta Enci Kwi Hong?"
"Ahhhh, Nona Milana! Engkau membuat aku malu saja. Orang macam aku ini mana ada hak untuk mencinta seorang seperti dia? Dia adalah murid Pendekar Super Sakti, bahkan dia adalah keponakan Beliau! Mana mungkin dan mana pantas aku jatuh cinta kepadaya? Tidak, Nona, harap tidak menyangka yang bukan-bukan. Aku menyerahkan Li-mo-kiam kepadanya hanya karena mengingat kepada gurunya dan pamannya, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulu Es yang kuhormati."
Tanpa terlihat oleh Bun Beng, pandang mata Milana termenung ketika ia mendengar jawaban itu. Sampai lama dia termenung sambil menjalankan kudanya menuruni lembah gunung, memasuki hutan kedua yang besar dan agak gelap. Hatinya tenang saja karena dia mengenal hutan ini, tahu bahwa dia sudah memasuki wilayah diluar kekuasaan Thian-liong-pang dan ia tahu benar bahwa ibunya melarang anak buahnya melakukan sesuatu di luar wilayah kekuasaannya untuk menjaga nama Thian-liongpang, kecuali utusan-utusan khusus yang ditugaskan untuk suatu keperluan. Dia bermaksud pergi ke kota Siang-bun di sebelah selatan hutan besar itu, di sana ia mendengar tinggal seorang tabib yang pandai. Siapa tahu barangkali tabib itu akan dapat menolong
Bun Beng. "Engkau merasa terlalu rendah untuk mencinta Enci Kwi Hong, Twako?"
Kembali pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan tidak tersangka-sangka, sehingga Bun Beng menjadi terkejut dan menjawab gagap, "Ya.... ya.... begitulah."
"Misalnya.... terhadap diriku, bagaimana? Apakah engkau juga merasa terlalu rendah untuk jatuh cinta kepadaku? Ini hanya umpamanya saja, Twako."
Bun Beng terbelalak, jantungnya berdebar keras. Betapa jujur dan polos hati dara ini! Mukanya menjadi panas seperti dibakar rasanya. "Ahhh.... mana aku berani, Nona? Lebih-lebih terhadapmu! Engkau adalah puteri Pendekar Super Sakti, puteri Ketua Thian-liong-pang! Sedangkan aku...., aku hanya anak yang tidak syah dari seorang tokoh hitam, datuk kaum sesat!"
Milana merasa terharu. "Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, Gak-twako. Bagiku, aku tidak menilai seseorang karena keturunannya, karena wajahnya maupun karena kepandaian atau kedudukannya. Cinta adalah urusan hati, bukan urusan mata, urusan batin, bukan urusan lahir."
Jantung Bun Beng makin berdebar. Kata-kata yang amat aneh terdengar olehnya, kata-kata yang sukar sekali untuk diselami dan dikenal bagaimana isi hati orang yang mengucapkannya. Dia menjadi ragu-ragu dan penasaran, maka dia memberanikan hatinya bertanya. "Maaf, Nona Milana. Sekali lagi aku bermulut lancang mengajukan pertanyaan ini. Apakah Nona mencintaku?"
Bun Beng dapat merasakan dengan punggungnya yang bersentuhan dengan tubuh dara itu betapa Milana agak gemetar mendengar pertanyaan itu, akan tetapi jawaban yang keluar dengan halus itu tetap tenang. "Aku tidak tahu, Twako. Bagaimana aku tahu kalau aku sendiri tidak mengerti apa artinya cinta itu sendiri? Aku merasa suka kepadamu, dan merasa kasihan kepadamu. Hanya itulah yang terasa di hatiku, yang membuat aku mengambil keputusan bulat untuk membela dan menolongmu. Aku tidak tahu apakah suka dan kasihan itu sama dengan cinta. Bagaimana pendapatmu, Twako? Tahukah engkau apa sebetulnya cinta?"
Bun Beng tidak dapat menjawab. Kuda itu berjalan terus, perlahan-lahan dan keduanya diam, seolah-olah tenggelam dalam lamunan tentang cinta. Bun Beng memandang ke depan ke arah pohon-pohon seolah-olah ingin mencari jawaban tentang arti cinta di antara daun-daun pohon, di antara sinar matahari dan bayangan benda-benda yang bersinar oleh cahaya matahari. Dahulu ketika ia mengenangkan wajah tiga orang wanita, wajah Kwi Hong, wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai, wajah Milana, ia pernah merenungkan tentang cinta. Kemudian, ketika ia masih kecil, pertemuan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai yang ternyata adalah ibu kandung Milana, juga membuatnya termenung dan mulailah ia berpikir tentang cinta. Cinta antara pria dan wanita, apa itu?
"Cinta adalah penyakit!" Tiba-tiba saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tidak hanya mengejutkan hati Milana, juga mengagetkan Bun Beng sendiri karena kata-katanya sendiri itu seperti terlompat keluar tanpa disadarinya. "Apa? Cinta adalah penyakit?" Milana berseru keras. Karena sudah terlanjur, Bun Beng melanjutkan, mengikuti suara hatinya yang timbul di saat itu. "Cinta adalah sumber penyakit yang menciptakan penyakit-penyakit baru. Cinta yang dikenal pria dan wanita, sebenarnya tidak patut disebut cinta, bahkan mungkin bukan cinta yang sesungguhnya! Seorang wanita dan seorang pria saling berjumpa, saling mengagumi keelokan masing-masing, saling tertarik. Kemudian timbul hasrat ingin saling memiliki. Itulah cinta! Bukankah keinginan itu hanya nafsu belaka? Nafsu mendapatkan sesuatu demi kesenangan dan kepuasan diri sendiri? Karena itu menjadi sumber penyakit. Kalau keinginan tidak terkabul, juga timbul penyakit-penyakit baru seperti cemburu, kecewa dan lain-lain. Ketidakcocokan pikiran dan watak mendatangkan pertengkaran dan kemana larinya cinta? Ketidakpuasan dalam hubungan satu sama lain menimbulkan kekecewaan, kemana larinya cinta? Cemburu yang menimbulkan kebencian, kemana larinya cinta? Cinta yang dikenal sekarang, terutama oleh kaum pria, hanyalah nafsu dan si wanita hanyalah dijadikan alat penyenang hati dan badannya. Kalau kenyataan sebaliknya, terbanglah cintanya."
Milana membelalakkan mata, bergidik ngeri. "Aihhh, kau terlalu kejam, Twako! Kurasa tidak demikian buruk seperti yang kausangka, atau karena kau belum mengenal, kau lalu mengawur saja tentang cinta. Cinta itu murni, halus, indah bagi wanita. Cinta itu bukan nafsu semata, lebih halus, lebih mendalam, mengenai perasaan hati. Wanita ingin dicinta, ingin dihargai, ingin dikagumi, ingin dimanja. Untuk itu, dia rela berkorban apa pun, rela menyerahkan badan dan nyawa untuk laki-laki yang mencintanya."
"Hemm, di mana ada keinginan, timbullah kekecewaan. Keretakan pun terjadilah seperti Ibu dan Ayahmu, eh, maaf....!" Bun Beng terkejut dan tiba-tiba saja terbukalah matanya mengenai keretakan hubungan antara Pendekar Super Sakti dan isterinya, Nirahai.
"Kau keliru. Kekecewaan pun akan diterima oleh wanita yang mencinta dan dicinta. Suka sama dinikmati, duka sama dipikul. Itulah cinta...."
Bun Beng menarik napas panjang. "Ahhh, memang ada perbedaan pendapat tentang cinta antara pria dan wanita, akan tetapi justeru perbedaan pendapat itulah yang menciptakan seninya, seni untuk menyesuaikan diri. Setiap perjuangan menghadapi kenyataan pahit dan usaha untuk mengatasinya, itulah seni hidup. Wanita lebih menggunakan perasaannya yang halus, karena itu cintanya lebih murni, tidak seperti pria yang menggunakan pikirannya sehingga timbullah dorongan-dorongan nafsu jasmani yang kadang-kadang berlebihan sehingga memancing datangnya pertentangan dan persoalan...."
"Sssstt.... ada orang...." Tiba-tiba Milana berbisik dan ketika Bun Beng mengangkat muka, ternyata muncul lima orang Thian-liong-pang yang sikapnya keren dan menyeramkan. Milana menahan kudanya dan menghadapi lima orang itu dengan pandang mata penuh wibawa. Ia menggunakan lengan kiri dilingkarkan di pinggang Bun Beng, karena maklum bahwa sekali terguncang hebat, pemuda yang masih setengah lumpuh dari pinggang ke bawah itu akan dapat terpelanting dari atas punggung kuda. Tangan kanan memegang kendali kuda dan ia berkata nyaring, "Kalian berlima menghadang perjalananku, ada maksud apakah?"
Seorang di antara mereka segera mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menjawab, "Harap Siocia suka memaafkan kami dan suka memaklumi kedudukan dan keadaan kami sebagai petugas dan utusan Pangcu. Kami diperintahkan untuk menangkap atau membunuh pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini, dan kami sangat mengharapkan agar Siocia suka menyerahkan kepada kami, mengingat bahwa kami adalah utusan-utusan Pangcu yang berkuasa penuh."
"Tidak. Aku juga bertugas sebagai manusia sudah mengambil keputusan melidungi Gak Bun Beng. Aku tidak mau menyerahkannya, dan tidak akan membolehkan kalian menangkap atau membunuhnya. Habis, kalian mau apa?"
"Srat-srat-sing-sing!" Tampak sinar kilat ketika lima orang itu mencabut golok masing-masing. "Maaf, Siocia. Tidak melaksanakan perintah Pangcu berarti nyawa kami melayang secara sia-sia. Kalau memaksa sehingga bertentangan dengan Siocia, andaikata kami tewas sekalipun, kami tewas dalam menjalankan tugas sebagai anggauta Thian-liong-pang yang setia. Tentu kami memilih mati sebagai anggauta setia daripada anggauta yang murtad tidak menurut perintah Ketua."
"Hemm, jadi kalian hendak melawanku?" Milana membentak.
"Bukan melawan Siocia, hanya menjalankan tugas kami."
"Nona Milana, tinggalkan aku, harap jangan engkau turun tangan melawan orang-orangmu sendiri," kata Bun Beng. "Tidak! Aku akan melindungimu dengan taruhah apapun juga."
"Kalau begitu, biarlah aku menghadapi mereka, kaularikan saja kuda ini!" bisik Bun Beng. Lima orang itu sudah berpencar mengurung kuda mereka dengan golok di tangan. Tiba-tiba seorang di antara mereka yang berada di sebelah kiri, menggerakkan goloknya membacok ke arah tubuh Bun Beng. Pemuda ini yang menggantungkan tubuh di lengan Milana yang menahan pinggang, cepat mengikuti gerakan golok, menggunakan ilmu barunya, yaitu ilmu memindahkan tenaga, menggerakkan tubuh kemudian tangan kirinya bergerak membuang ke depan cepat mengenai punggung golok itu.
"Krekkk!" Golok itu patah menjadi dua, bahkan tangan yang memegang gagangnya menjadi kaku sehingga sisa golok itu terlepas pula. Orangnya meloncat mundur sambit menjerit kaget. Orang ke dua menerjang, disusul orang ke tiga, ke empat dan ke lima. Gerakan mereka hebat, akan tetapi karena mereka itu tentu saja masih menjaga agar senjata mereka jangan sampai mengenai tubuh puteri Ketua mereka, maka gerakan mereka kaku dan tidak leluasa. Di lain pihak, Bun Beng yang melihat baik ilmunya yang baru itu, cepat menggunakan terus ilmu itu, tubuhnya mengikuti gerakan serangan golok dari atas, dari samping kanan atau kiri, kedua tangannya membabat dan memindahkan tenaga ayunan golok lawan untuk menyerang lawan itu sendiri.
Terdengar jerit-jerit kesakitan dan berturut-turut empat orang itu pun terhuyung, ada yang patah tulang lengannya. Ketika mereka meloncat bangun, kuda itu telah dikaburkan cepat-cepat oleh Milana! Mereka hanya berdiri bengong, terheran-heran karena mereka tidak tahu mengapa senjata mereka patah-patah dan tulang lengan mereka ada yang patah. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu seperti yang dimainkan pemuda yang hanya dapat menggerakkan tubuh bagian atas itu!
"Gak-twako, hebat bukan main ilmu pukulanmu tadi! Dalam keadaan lumpuh engkau masih mampu mengalahkan lima orang tokoh Thian-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau engkau tidak lumpuh, aku sendiri agaknya tidak akan kuat melawanmu!"
Bun Beng menarik napas panjang. "Ahhh, engkau terlalu memuji, Nona. Lihat di depan itu, sekarang kita bertemu lawan tangguh."
Dara itu memandang dan ketika melihat seorang kakek tua yang bermuka bengis dan muka itu berwarna merah muda seperti dicat, terkejut dan berkata, "Wah, bukankah warna mukanya itu menunjukkan bahwa dia seorang dari Pulau Neraka?"
"Tidak salah lagi, dia seorang dari Pulau Neraka. Nona, lebih baik kautinggalkan aku, biar aku hadapi sendiri orang-orang yang hendak menyerangku. Aku hanya menyeret engkau ke dalam pertentangan-pertentangan yang amat berbahaya, tidak hanya dengan kaum Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Ibumu sendiri bahkan dengan Pulau Neraka."
"Sudah! Jangan ulangi lagi permintaan seperti itu, Twako. Apa kaukira aku takut menghadapi Pulau Neraka? Kaulihat saja!" Sambil berkata demikian, Milana mempercepat larinya kuda menghampiri kakek yang berdiri tegak itu. "Berhenti!" Kakek itu membentak dengan pengerahan suara khi-kang sehingga terdengar suaranya melengking dan membuat pohon-pohon seperti tergetar dan tiba-tiba kuda itu meringkik dan menunduk, keempat kakinya gemetar, matanya liar ketakutan.
"Orang tua, apa kehendakmu menghentikan perjalananku?" Milana bertanya, sedikit pun tidak merasa takut. Kakek itu memandang agak heran melihat betapa dara muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bentakannya tadi, bahkan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Ia menudingkan tongkat hitamnya ke arah Bun Beng dan berkata, "Nona muda, aku menghendaki bocah itu! Ketahuilah bahwa Kongcu dari Pulau Neraka memerintahkan aku menangkap bocah ini, dan sebaiknya engkau tidak menentang kehendak Tuan Muda dari Pulau Neraka."
"Aku tidak peduli apakah engkau disuruh setan muda ataukah setan tua dari Pulau Neraka, dan aku tidak menentang siapa-siapa. Pemuda ini adalah seorang sahabatku, dan siapa pun tidak boleh mengganggunya. Pergilah dan jangan ganggu kami!"
Sinar mata kakek itu berapi-api, tanda bahwa dia marah sekali. Tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang berilmu tinggi saja tidak berani memandang rendah Pulau Neraka, akan tetapi nona muda ini berani mengeluarkan kata-kata merendahkan dan menghina. Melihat sikap ini, cepat Bun Beng yang bermaksud menyelamatkan Milana berkata, "Locianpwe dari Pulau Neraka agaknya tidak tahu siapa Nona ini. Dia adalah puteri dari Thian-liong-pangcu."
Sinar mata marah itu lenyap, terganti oleh keheranan dan kekagetan. "Aahhhh? Puteri Pangcu dari Thian-liong-pang?" Milana tersenyum. "Kalau benar, mengapa? Thian-liong-pang tidak pernah takut terhadap Pulau Neraka. Sahabatku yang sakit parah ini berada dalam perlindunganku, kalau kau hendak memaksa dan merampasnya, engkau harus dapat mengalahkan aku lebih dulu!"
Kakek bermuka merah muda itu menjadi bimbang. Biarpun dia tidak pernah takut terhadap lawan yang bagaimanapun, akan tetapi mendengar nama puteri Ketua Thian-liong-pang dia gentar juga. Kalau sampai ia salah tangan melukai puteri Ketua Thian-liong-pang, hal itu bukanlah persoalan kecil dan bukan main-main! Bahkan dia tentu akan mendapat teguran hebat atau hukuman dari Majikan Pulau Neraka yang sudah memesan agar para anak buahnya, di luar perintahnya, jangan sampai menimbulkan bentrokan dengan orang-orang Thian-liong-pang dan Pulau Es. Dan sekarang, dia melakukan perintah untuk menangkap Gak Bun Beng, ternyata pemuda itu dilindungi oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri. Andaikata bukan puteri Ketua Thian-liong-pang, melainkan seorang tokoh biasa saja dari Thian-liong-pang, persolannya tentu tidak akan seberat dan segawat ini.
"Maaf, Nona," akhirnya dia menjura, "Karena tidak tahu, aku bersikap kurang hormat. Aku tidak sekali-kali ingin bertentangan dengan Nona, akan tetapi orang muda ini amat dibutuhkan oleh Kongcu kami, oleh karena itu kuharap Nona suka menyerahkannya kepadaku. Kalau Kongcu mendengar laporanku akan kebaikan hati Nona, tentu Kongcu dan Majikan kami akan menghaturkan terima kasih kepadamu."
"Aku tidak butuh terima kasih Kongcumu yang jahat! Minggirlah!" Milana menyendal kendali kudanya dan Bun Beng sudah siap untuk menghadapi, apabila tokoh Pulau Neraka itu menyerangnya. Kakek itu tertawa bergelak, tiba-tiba tongkat hitamnya berkelebat, dipukulkan ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini cepat mengikuti gerakan itu dan siap mempergunakan ilmu memindahkan tenaga, akan tetapi tiba-tiba tongkat hitam itu tidak dilanjutkan menyerangnya, sebaliknya menghantam ke bawah.
"Prokkk!" Kepala kuda itu pecah dan Milana cepat meloncat sambil mengempit pinggang Bun Beng. Muka dara itu menjadi merah, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan, tangannya bergerak dan sinar merah menyambar dibarengi bau harum menyengat hidung. Itulah belasan batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang amat berbahaya. Sekaligus menyambar ke arah tujuh belas pusat jalan darah di tubuh kakek itu. Kakek muka merah muda itu terkejut sekali, cepat meloncat tinggi ke atas dan memutar tongkat, mengebutkan lengan baju kiri. Dengan gerakan ini barulah ia dapat terbebas daripada maut, akan tetapi ketika tubuhnya melayang turun, kembali tampak sinar-sinar merah menyambar dari tangan Milana.
"Ayaaa....!" Kakek itu berjungkir balik, memutar tongkatnya, namun tetap saja sebatang jarum menancap di rambutnya dan hampir saja menggores kulit kepala. Mukanya menjadi pucat sekali. Nyaris nyawanya melayang, hanya seujung rambut selisihnya! Ia mengeluarkan pekik melengking dan muncullah dua orang lain, seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya bermuka merah muda pula. Kiranya kakek itu memanggil bala bantuan karena menghadapi puteri Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu.
Melihat ini, Milana cepat meloncat sambil menggendong tubuh Bun Beng di belakangnya. Ia berlari cepat sekali seperti terbang dan Bun Beng merasa amat tidak enak. Dia tahu bahwa Milana amat lihai, agaknya tidak akan kalah kalau hanya menghadapi tiga orang Pulau Neraka tadi. Akan tetapi karena dara itu merasa tidak leluasa menghadapi lawan sambil melindunginya yang sudah lumpuh, maka gadis ini cepat membawanya melarikan diri. Yang paling membuat dia tidak enak, jengah dan terharu adalah betapa dara ini memaksanya untuk digendong di belakang punggung! Cepat sekali Milana melarikan diri, akan tetapi tiga orang Pulau Neraka itu mengejar terus. Biarpun mereka merasa segan untuk memusuhi puteri Ketua Thian-liong-pang, namun mereka bertekad untuk menangkap Bun Beng, pemuda yang tahu akan Sepasang Pedang Iblis yang hanya dapat dirampas sebatang oleh Kongcu mereka, dan pemuda ini malah telah membunuh dua orang Pulau Neraka. Mereka mengejar terus dengan cepat dan untung bagi mereka bahwa puteri Ketua Thian-liong-pang itu terhalang gerakannya karena menggendong tubuh Bun Beng. Andaikata tidak demikian, tiga orang itu maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat mengejar dara yang memiliki sin-kang sedemikian hebatnya itu.
"Nona, di depan itu kumelihat menara tinggi, tentu sebuah kuil. Larilah ke sana. Kalau tidak terhalang olehku, tentu Nona akan mampu menghadapi mere ka," kata Bun Beng yang tidak berani lagi menyatakan isi hatinya, yaitu bahwa Si Nona jangan melindunginya terus sehingga dia sendiri terancam bahaya. "Aku sedang menuju ke sana," jawab Milana "Lari mereka cepat sekali!"
Menara dari kuil tua itu sudah tampak akan tetapi jaraknya masih cukup jauh dan tiga orang pengejar itu makin dekat, berlari seperti terbang di sebelah belakangnya. Ketika Milana sudah tiba di dekat kuil tua yang ada menara tingginya itu, tiga orang Pulau Neraka sudah dekat sekali, bahkan seorang di antara mereka berseru. "Nona, lepaskan pemuda itu!" Dia sudah menggerakkan tangannya dan sebatang tali panjang seperti ular hidup menyambar dari belakang ke arah Milana, ujungnya menotok jalan darah. Bun Beng cepat menangkis dengan tangan ketika melihat tali seperti cambuk itu, akan tetapi begitu ditangkis, ujung tali itu bergerak membelit lehernya!
"Haiiiittt!" Milana sudah menghentikan kakinya, memutar tubuh dan tangannya cepat menangkap tali yang membelit leher Bun Beng, dengan mengerahkan tenaga sin-kang dia membetot dengan renggutan tiba-tiba. "Brettt!" Tali itu putus dan tubuh kakek Pulau Neraka terhuyung ke depan. Milana tidak mempedulikan lagi, cepat membalik dan hendak lari, sedangkan tiga orang itu sudah meloncat dekat, senjata mereka bergerak-gerak. Kakek yang terhuyung itu memutar sisa tali di tangannya sebagai senjata, kakek ke dua menggerakkan sebatang pedang, sedangkan kakek pertama menggerakkan tongkathya. "Cuat-cuat-cuattt!" Tampak tiga benda bersinar terang menyambar dari atas menara dan tiga batang hui-to (golok terbang) menancap tepat di depan kaki tiga orang kakek Pulau Neraka itu, hanya sejengkal selisihnya dari kaki mereka. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak, memandang gagang golok kecil yang bergoyang-goyang itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Milana yang menoleh dan melihat ini, menjadi kaget akan tetapi juga girang sekali. "Ibuku di sana....!" Ia berseru, kemudian mendaki sebuah tangga yang menuju ke atas menara. Menara itu tinggi sekali, akan tetapi puncaknya sudah rusak, tak terpelihara, hanya tinggal temboknya saja, agaknya atapnya sudah roboh. Ketika Bun Beng mendengar ini, jantungnya berdebar tegang. Dia menoleh ke bawah dan melihat betapa tiga orang kakek Pulau Neraka itu sudah lari dari tempat itu tanpa berani menoleh lagi. Tentu mereka mengenal senjata rahasia itu! Ia tahu bahwa yang turun tangan mengancam mereka adalah Ketua Thian-liong-pang. Memang hebat sekali golok-golok terbang tadi, agaknya sengaja dilepas untuk mengusir mereka sehingga menancap di depan mereka dalam jarak sejengkal. Kalau dikehendaki, tentu tiga batang hui-to itu sudah mengenai tubuh mereka dan merenggut nyawa mereka. Bun Beng teringat akan hui-to-hui-to yang dilepas oleh Ketua Thian-liong-pang ketika diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh besar dahulu di pulau Sungai Huang-ho. Hui-to yang berbentuk golok kecil atau pisau belati itu oleh Si Ketua yang berkerudung dipergunakan untuk menyerang Pendekar Super Sakti. Dia bergidik setelah kini teringat bahwa wanita berkerudung itu bukan lain adalah ibu Milana yang cantik jelita itu, isteri sendiri dari Pendekar Super Sakti! Diam-diam ia merasa heran sekali dan menaruh kasihan kepada Pendekar Siluman yang dipujanya. Mengapa hidupnya demikian penuh
duka sehingga dimusuhi oleh isteri sendiri. Ia membayangkan pertemuan pendekar sakti itu dengan isterinya, mengenang kembali percekcokan mereka dan diam-diam ia menimbang-nimbang, menyesuaikan ucapan Milana tadi tentang cinta. Sungguh aneh sekali hati wanita, terutama hati ibu Milana ini. Dan betapa anehnya sikap Pendekar Siluman yang jelas mencinta isterinya. Mengapa mereka saling berpisah? Mengapa si isteri yang tercinta itu seolah-oleh hendak memusuhi suami yang tercinta? Sungguh membuat dia bingung dan juga penasaran sekali. Seorang pria seperti Pendekar Super Sakti, kurang apakah sebagai suami? Berilmu tinggi, gagah dan tampan, berwatak mulia, memiliki kebaikan yang cukup berlebihan untuk menutupi cacadnya, yaitu kakinya yang buntung. Seorang suami seperti dia itu, mengapa tidak cukup membahagiakan hati seorang isteri? Tentu si isteri yang tidak benar! Tentu ibu Milana ini yang tidak benar. Dia menjadi penasaran dan kalau tadinya dia merasa gentar bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang, kini dia malah ingin berjumpa, ingin membela Pendekar Super Sakti yang ia anggap diperlakukan sewenang-wenang oleh ibu Milana! Dengan cepat namun hati-hati karena menggendong Bun Beng, Milana memanjat tangga itu dan setelah tiba di atas, tampaklah oleh Milana dan Bun Beng sesosok tubuh yang duduk bersila seperti sebuah arca di atas lantai menara. Tubuh ramping dengan kepala berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!
"Ibu....!" Milana menurunkan Bun Beng dari gendongan dan berlutut di depan ibunya. "Locianpwe...." Bun Beng juga memberi hormat dengan duduk karena dia tidak dapat berlutut. "Milana! Apa yang kaulakukan ini?" suara merdu halus yang keluar dari balik kerudung itu penuh teguran. "Kau berani menentang Thian-liong-pang dan melawan anak buah kita sendiri?"
"Ibu.... aku.... tidak mungkin membiarkan Gak-twako yang terluka hebat ini diganggu. Harap Ibu suka mengampunkannya. Dia luka parah, lumpuh, keracunan dan kalau Ibu tidak menolongnya, dia akan mati...."
"Biar saja mati anak setan ini! Kalau dia tidak mati keracunan, aku sendiri akan turun tangan membunuhnya!"
"Ibu, kasihanilah dia, ampunkanlah...." Milana berkata penuh permohonan. "Kau malah berani menyebut Ibu kepadaku di depan anak setan ini, Milana, apakah kau hendak membuka rahasia...."
"Locianpwe, harap jangan menyalahkan Nona Milana. Dia tidak membuka rahasia Locianpwe, akan tetapi melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang kepadanya, saya sudah dapat menduga bahwa dia puteri Locianpwe. Sungguh tidak saya sangka bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Locianpwe, isteri Pendekar Super...."
"Wuuutttt....!" Tangan wanita berkerudung itu bergerak dan angin pukulan yang amat hebat menyambar tubuh Bun Beng.
"Ibu....!" Milana menjerit dan Bun Beng sudah menggulingkan tubuhnya, bergulingan sehingga terhindar dari bahaya maut.
"Anak setan, kaukira aku tak dapat membunuhmu? Untuk kekacauan yang kaubuat di Thian-liong-pang, mungkin aku dapat mengempunimu. Akan tetapi engkau telah mengetahui rahasiaku, mengenal siapa Ketua Thian-liong-pang dan untuk hal itu engkau harus mati!"
Tiba-tiba tubuh yang duduk bersila itu meloncat ke atas, dalam keadaan masih duduk bersila, meluncur ke arah Bun Beng dan lengan baju yang lebar panjang itu menyambar ke arah kepala Bun Beng. Pemuda ini terkejut sekali, kembali melempar diri ke belakang dan sambil bergulingan, tiga kali lengannya menangkis.
"Plak-plak-plak...." Ia berhasil menangkis, namun lengan sampai ke pundaknya terasa nyeri dan hampir lumpuh. "Ibu.... jangan....!" Milana meloncat dan menghadang, akan tetapi sebuah dorongan membuat dara itu terlempar. Rasa penasaran yang berkumpul di dalam dada Bun Beng seperti akan meledak. Dia sudah siap, duduk dan memandang tajam, siap melawan sampai mati, namun dia tidak akan puas sebelum mengeluarkan isi hatinya.
"Locianpwe! Locianpwe adalah isteri Pendekar Super Sakti yang amat saya muliakan. Dia seorang pendekar sakti yang hebat, yang tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi mengapa Locianpwe sebagai isterinya malah membangun perkumpulan yang keji, menculik dan mencuri kepandaian orang lain? Semua itu masih belum hebat, akan tetapi Locianpwe menjauhkan diri daripadanya, membuat hatinya sengsara. Bukankah kewajiban seorang isteri harus ikut bersama suaminya kemana pun dia pergi? Di mana cinta kasih seorang isteri terhadap suaminya yang demikian mulus seperti Pendekar Super Sakti?"
"Anak setan, lancang mulut, keparat!" Wanita berkerudung itu membentak. "Locianpwe boleh membunuh saya. Saya tidak takut, apalagi saya telah terluka dan keracunan, tiada harapan hidup lagi. Akan tetapi saya tidak menyesal untuk mati, hanya menyesal sekali melihat Locianpwe selain membikin sengsara hati pendekar sakti yang saya mulia kan, juga merusak penghidupan puteri Locianpwe sendiri! Mengapa Locianpwe tidak membubarkan saja perkumpulan Thian-liong-pang yang keji itu dan mengajak Nona Milana menyusul ayahnya di Pulau Es, hidup bahagia dan damai di sana?"
"Gak Bun Beng, engkau anak datuk kaum sesat, mulutmu melebihi kejahatan Ayahmu!" Wanita itu marah sekali, ucapannya seperti menjerit dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas.
"Saya memang anak yang hina dan rendah, akan tetapi tidak membikin sakit hati orang lain, apalagi merusak hidup suami dan anak seperti yang Locianpwe lakukan!"
Tiba-tiba tubuh yang sudah mencelat ke atas itu turun lagi, duduk bersila dan dari balik kerudung itu terdengar suara menggetar, "Bocah setan! Kau tahu apa? Sebelum engkau mampus, buka dulu telingamu, dengarkan baik-baik! Pendekar Siluman yang kaupuja-puja itu, apakah dia seorang suami yang baik? Puhhhhh! Engkau tidak tahu urusannya sudah berani mencela aku memuji dia! Engkau tahu apa? Setelah menjadi suamiku, dia tidak mau mengikutiku, dia memisahkan diri. Bahkan dia tidak tahu ketika anaknya dilahirkan, dia tidak peduli, tidak mau mencari kami, tidak mempedulikan kami! Apakah aku harus menyembah-nyembah dan mengemis perhatiannya? Hemm, kaukira aku selemah itu? Tidak, aku akan menandinginya, aku akan membentuk perkumpulan yang lebih kuat daripada Pulau Es! Akan kuserbu Pulau Es dan kukalahkan dia dalam pertandingan! Akan tetapi kau.... kau anak Si Datuk Sesat Gak Liat Si Setan Botak, engkau telah mengetahui rahasiaku, dan engkau harus mampus!"
"Ibu! Jangan...., jangan....!" Tiba-tiba Milana menubruk dan melindungi tubuh Bun Beng. Nirahai, Ketua Thian-liong-pang yang berkerudung itu, memandang kaget dan heran, kemudian penuh kemarahan dan kekhawatiran membentak dari balik kerudungnya.
"Milana! Apa ini? Gak Bun Beng, berani engkau membuat anakku jatuh cinta?"
"Ibu....!"
"Locianpwe, engkau terlalu keji menuduh anakmu! Orang macam aku ini, keturunan seorang penjahat, mana berani kurang ajar mencinta puteri Pendekar Super Sakti? Nona Milana menolongku hanya karena kasihan, karena dia memiliki watak halus penuh budi luhur seperti ayahnya."
"Ibu, harap jangan bunuh dia.... ah, Gak-twako, kau bersumpahlah bahwa kau takkan membuka rahasia Ibu.... bersumpahlah, Twako...."
Bun Beng menarik napas panjang. "Nona, aku tidak takut mati, aku toh akan mati juga, perlu apa aku bersumpah hanya agar tidak dibunuh oleh Ibumu? Akan tetapi mengingat kebaikan-kebaikanmu, biarlah aku bersumpah. Selama hidupku, aku Gak Bun Beng tidak akan membuka rahasia bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, bahwa engkau adalah puteri mereka."
"Ibu, dia sudah bersumpah, ampunkanlah dia, Ibu." Melihat sikap puterimu ini, makin gelisah hati Nirahai. Dia melihat tanda-tanda tunas cinta kasih. Puterinya mencinta anak Gak Liat? Betapa rendahnya! Dia tahu betapa berbahayanya cinta kasih kalau sudah menguasai hati wanita. Maka jalan terbaik hanyalah membunuh Bun Beng sebelum terlambat, sebelum cinta kasih yang baru bertunas itu tumbuh dan berakar kuat.
"Minggir kau....!" Dia menggerakkan tangan dan Milana kembali terlempar ke samping. Ketua Thian-liong-pang ini lalu menerjang dengan tamparan yang amat kuat ke arah kepala Bun Beng, sekali ini tidak lagi menggunakan ujung lengan baju karena pemuda itu terlalu kuat dan pandai untuk diserang begitu saja, melainkan menggunakan tangannya yang ampuh. "Wuuuutttt!"
Bun Beng memang tidak takut mati, namun dia pantang menyerah begitu saja menyerahkan nyawa tanpa melawan. Hal itu bukanlah watak seorang gagah! Dia teringat akan ilmunya yang baru, yang telah dua kali menolongnya dari bahaya maut. Melihat datangnya tangan yang menyambar ke arah kepalanya dengan didahului angin pukulan luar biasa dahsyatnya, dia cepat mengikuti arus gerakan tangan lawan, menggerakkan tubuh miring ke kanan, kemudian tangannya sendiri yang dipenuhi aliran tenaganya sendiri ditambah tenaga lawan, dari samping menangkis dengan pukulan dahsyat.
"Dessss....!"
"Aihhhh, pukulan apa ini....!" Nirahai mencelat ke samping, menyentuh tangan kirinya yang tertangkis secara hebatnya tadi dan memandang Bun Beng dari balik kerudungnya. "Bukan main, kalau aku tidak ingin membunuhmu sekarang, ingin aku mempelajari gerakanmu yang mujijat tadi. Sekarang terimalah kematianmu!" Dia menerjang lagi, kini kedua tangannya bergerak dari dua arah berlawanan sehingga tidak mungkin lagi bagi Bun Beng untuk menggunakan ilmunya memindahkan tenaga. Apalagi, ilmu itu pun tadi telah dipergunakan dan tidak membawa hasil, lengan Ketua Thian-liong-pang itu tidak terluka sedikit pun. Maka jalan satu-satunya hanyalah menggulingkan tubuhnya. Karena maklum bahwa serangan Ketua Thian-liong-pang itu hebat bukan main, maka Bun Beng mengerahkan seluruh sin-kang di tubuhnya untuk menggulingkan tubuhnya. Tiga kali pukulan ketua yang amat lihai itu luput dan Bun Beng yang merasa pundaknya terlanggar angin pukulan yang amat kuat, mempercepat gerakannya bergulingan. Tiba-tiba tubuhnya meluncur ke bawah, ternyata dia telah bergulingan ke pinggir menara dan terlempar ke bawah dari tempat yang amat tinggi itu. Masih didengarnya jerit Milana dan selanjutnya ia hanya menyerahkan nasib di tangan Tuhan, maklum bahwa dalam keadaan tubuh bawah lumpuh itu dia tentu akan terbanting remuk di bawah sana! Bun Beng sudah memejamkan mata, menanti datangnya maut. Akan tetapi, ia mendarat dengan empuk, bukan terbanting ke atas tanah berbatu, melainkan tubuhnya tergantung dan ada sebuah tangan mencengkeram baju di punggungnya. Ketika ia membuka mata memandang, kiranya ia disambut oleh seorang laki-laki yang tampan, dicengkeram baju di punggungnya, seorang laki-laki yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut putih seperti benang perak, namun wajah itu tampan berwibawa, tenang dan tidak kelihatan tua. Wajah.... Pendekar Super Sakti yang memandangnya dengan senyum yang menyejukkan hati, dengan mata yang diliputi penderitaan batin yang mengharukan hati Bun Beng. Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Suma Han, Majikan Pulau Es itu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, agaknya menerima tubuh Bun Beng tadi amat ringan baginya, dan di sebelahnya berdiri Kwi Hong yang cantik jelita! "Taihiap....! Ah, Taihiap telah menolong nyawaku....!" Bun Beng berkata, terharu, girang akan tetapi juga penuh hati khawatir mengingat betapa Ketua Thian-liong-pang, yang ia tahu adalah isteri pendekar sakti ini, berada di atas menara.
"Bun Beng, mengapa engkau jatuh dari atas sana? Dan.... ahhh, kau terluka hebat...." Suma Han telah menurunkan Bun Beng yang duduk di atas tanah. "Engkau terkena pukulan beracun yang hebat sekali. Siapakah yang melukaimu? Apakah masih berada di atas
sana?"
Bun Beng ragu-ragu untuk menjawab, tidak ingin melihat pendekar ini berjumpa dengan Ketua Thian-liong-pang dan Milana. Tentu akan hebat akibatnya, dia pikir, maka dia menjadi bingung ketika mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba Kwi Hong mengayun tubuhnya meloncat ke atas tangga, kemudian mendaki tangga itu dengan cepat seperti berlarian ke atas.
"Kwi Hong, jangan lancang!" Suma Han berseru dan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang naik mendahului Kwi Hong yang mendaki tangga itu, melayang ke atas menara! Bun Beng kagum bukan main menyaksikan ini, matanya sampai berkunang melihat tubuh pendekar sakti itu mencelat ke atas, lalu berjungkir balik di udara dan melayang lebih tinggi sampai tiba di atas menara dan lenyap. Jantungnya berdebar tidak karuan. Apa akan terjadi kalau suami isteri itu berjumpa di sana, dan Pendekar Super Sakti mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterinya?
Ia melihat Kwi Hong juga sudah sampai di atas. Tak lama kemudian tampak Kwi Hong turun lagi, lalu gadis ini meloncat ke dekat Bun Beng sambil berkata, "Di atas tidak ada orang sama seka li. Bagaimana kau tadi sampai jatuh?"
Sebelum Bun Beng menjawab, Suma Han sudah melayang turun lagi. "Buka bajumu, biar kuperiksa dulu sebelum kau bercerita," katanya dengan suara halus. Bun Beng membuka baju atasnya dan sambil menekuk lutut kakinya yang tinggal sebuah, Suma Han memeriksa keadaan Bun Beng. Alisnya berkerut dan dia berkata, "Keji sekali! Siapa yang melukaimu seperti ini?" Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak ia bertemu dengan Tan Ki dan Maharya sehingga ia dilukai oleh Maharya.
"Ah, mengapa engkau menyuruh dan memaksa aku pergi?" Kwi Hong mencela dan membanting kakinya. "Kalau aku tidak pergi, tentu engkau tidak akan terluka seperti ini!"
"Kwi Hong, omongan apa itu? Bun Beng telah menyelamatkanmu, kalau tidak pergi mungkin engkau akan menderita lebih hebat lagi! Bun Beng, lanjutkan ceritamu."
Bun Beng melanjutkan ceritanya, betapa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera dari Pulau Neraka, dan betapa dia tadinya akan dijadikan tawanan, akan tetapi dia dapat menyelamatkan diri. Untuk mencegah agar dia tidak usah bicara tentang Ketua Thian-liong-pang, maka dia tidak menceritakan pertemuannya dengan Milana.
Suma Han mengerutkan alisnya, diam-diam hatinya amat gelisah. Menurut cerita Bun Beng, kongcu dari Pulau Neraka itu amat lihai dan kelihatan kejam. Apakah Lulu telah keliru mendidik puteranya? Dia tidak percaya bahwa putera Lulu dan Wan Sin Kiat menjadi seorang jahat! Akan tetapi, Lam-mo-kiam telah terampas oleh anak Lulu itu. Dia tidak memberi komentar, hanya menggeleng-geleng kepala dan hatinya makin berduka. Betapa tidak akan duka dan perih hatinya kalau ia teringat kepada Lulu? Adik angkatnya itu adalah satu-satunya wanita yang dicintanya, namun keadaan memaksa mereka berpisah, bahkan kini timbul rasa sakit hati dalam perasaan Lulu terhadapnya!
"Ahhh, engkau menderita bukan main, Bun Beng. Akan tetapi kenapa kau tadi jatuh dari atas menara?" Kwi Hong bertanya. Bun Beng menjadi bingung. "Aku...., aku dikejar-kejar orang-orang Pulau Neraka karena aku membunuh dua orang yang akan membawaku ke sana. Dalam keadaan kedua kakiku lumpuh, tentu saja sukar bagiku untuk melarikan diri. Akhirnya aku sampai di menara ini, bersembunyi di atas menara. Aku menderita sekali, tidak berani turun, dan lukaku tak mungkin dapat sembuh. Daripada perlahan-lahan menghadapi kematian yang menyiksa seperti yang dikatakan oleh Pendeta Maharya, aku.... aku mengambil keputusan terjun dan mati di sini!"
"Aihhh, pengecut!" Kwi Hong berteriak ngeri. "Kwi Hong, diamlah. Engkau tidak merasakan penderitaan orang, hanya pandai mencela!" kata Suma Han yang kemudian memandang Bun Beng. "Betapapun juga, cara melarikan diri dari penderitaan dengan jalan membunuh diri adalah perbuatan bodoh dan tidak tepat. Biarlah aku akan mencoba mengobatimu sedapat mungkin. Mari kita masuk ke dalam kuil itu."
Tanpa menanti jawaban, Suma Han menyambar tubuh Bun Beng dan dibawa memasuki kuil tua. Kwi Hong mengikuti dari belakang. Diam-diam hati Bun Beng lega karena ternyata Ketua Thian-liong-pang telah pergi dari atas menara itu. Ia memuji kelihaian dan kecerdikan Ibu Milana itu. Dapat dibayangkan betapa lihainya untuk dapat pergi bersama puterinya, tanpa dilihat oleh Pendekar Super Sakti yang demikian lihai? Dan betapa cerdiknya untuk cepat-cepat pergi, karena kalau sampai bertemu dengan majikan Pulau Es itu, kerudungnya tidak akan ada artinya lagi kalau pendekar ini melihat Milana dan tentu akan dapat menduga siapa adanya wanita di balik kerudung itu.
Suma Han cepat mengobati Bun Beng. Mula-mula menyambung kedua lutut kaki dan memberi obat, kemudian mulailah pendekar sakti ini mempergunakan sin-kangnya yang luar biasa kuatnya untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuh Bun Beng. Pemuda itu disuruh duduk diam tanpa baju dan Suma Han duduk di belakangnya, menempelkan ke dua telapak tangan di punggung pemuda itu. Sampai sehari lamanya Bun Beng merasa betapa dari kedua telapak tangan itu mengalir hawa yang berlawanan, dingin dan panas! Diam-diam dia kagum bukan main dan mengerti bahwa di dunia ini agaknya tidak ada keduanya dalam hal kekuatan sin-kang seperti yang dimiliki oleh Majikan Pulau Es ini!
Semalam suntuk menyusul dan Suma Han melanjutkan pengobatannya. Pada keesokan harinya, barulah ia menyudahi pengobatannya. Bun Beng yang membiarkan dirinya diobati, merasa betapa hawa berputar-putar di tubuhnya dan keluar melalui kepalanya. Dia merasa dadanya tidak sesak lagi dan begitu Suma Han menyatakan selesai, dia cepat menelungkup dan menghaturkan terima kasih. Suma Han mengangkatnya angun, duduk, dan sambil minum air hangat yang dibuat oleh Kwi Hong, Suma Han berkata, "Aku telah berhasil membersihkan semua hawa beracun dari dalam tubuhmu, Bun Beng. Akan tetapi, sayang bahwa aku bukanlah seorang ahli pengobatan. Padahal, racun telah memasuki jalan darahmu dan aku tidak mampu mengobatinya. Aku mendengar bahwa satu-satunya tetumbuhan obat yang dapat melawan semua keracunan darah, hanya terdapat di Pulau Neraka...."
"Ohhhh...!" Kwi Hong berteriak, terkejut sekali. "Paman, bagaimana kita bisa mengambil ke sana?" Suma Han menggeleng kepala. "Tak mungkin kita ke sana tanpa menimbulkan keributan. Akan tetapi, racun yang berada di tubuh Bun Beng ini amat hebat, biarpun dia tidak akan tersiksa seperti kalau hawa beracun masih di tubuhnya, namun dalam waktu paling lama setengah tahun, darahnya akan menjadi kotor penuh racun, dapat membuat dia menjadi gila atau mati, sedikitnya akan lumpuh seluruh tubuhnya!"
"Aihhh....!" Kembali Kwi Hong berseru. Akan tetapi Bun Beng bersikap tenang-tenang saja sehingga mengagumkan hati Suma Han yang memandangnya. "Pertolongan Taihiap sudah terlampau besar, biarpun Taihiap tak dapat mengobati, saya tidak merasa penasaran. Kalau memang sudah ditakdirkan saya mati karena racun dalam darah ini, saya akan menerimanya tanpa keluhan. Saya sudah merasa cukup berbahagia melihat kenyataan betapa seorang mulia seperti Taihiap sudi memperhatikan diri saya dan sudi mengulurkan tangan memberi pertolongan."
Suma Han mengerutkan alisnya. Terlalu sayang kalau pemuda seperti ini sampai mati sia-sia. Akan tetapi, betapapun juga, dia tidak memiliki keberanian untuk berhadapan dengan Lulu lagi, takut akan hatinya sendiri!
"Jangan putus harapan, Bun Beng. Akan kusediakan perahu untukmu, kuberi gambar petunjuk bagaimana engkau dapat mencapai Pulau Neraka dengan perahumu. Kau pergilah sendiri ke Pulau Neraka, membawa sepucuk suratku. Percayalah, dengan suratku itu, Majikan Pulau Neraka tentu akan suka menolong dan mengobatimu sampai sembuh."
"Akan tetapi.... Kongcu Pulau Neraka telah merampas Lam-mo-kiam, dan dia amat kejam. Tentu saya hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia ke sana, Taihiap!"
"Coba sajalah. Dengan suratku, engkau akan diterima dengan baik." Suma Han lalu mengeluarkan alat tulis dan menulis sepucuk surat dengan cepat, membungkus surat itu dan menyerahkannya kepada Bun Beng. "Sekarang, mari kuantar kau ke pantai dan mencari perahu!"
Bun Beng tidak mau membantah lagi dan dia pun percaya bahwa seorang yang luar biasa seperti Pendekar Super Sakti ini tidaklah aneh kalau suratnya mendapat perhatian dari Majikan Pulau Neraka! Kwi Hong juga tidak mau banyak cakap karena maklum bahwa hubungan antara pamannya dengan Pulau Neraka harus dia rahasiakan. Namun, diam-diam gadis ini merasa tidak setuju melihat betapa pemuda yang menderita luka berat itu disuruh pergi seorang diri ke Pulau Neraka. Biarpun belum terlalu lama dia mengenal Bun Beng, namun dia sudah dapat mengenal watak pemuda ini, watak yang keras dan tidak mau mengalah, apalagi kalau menghadapi kejahatan. Watak seperti itu akan mendatangkan bahaya kalau pemuda itu berada di Pulau Neraka yang penuh dengan orang-orang aneh dan lihai. Dan sekarang pamannya menyuruh Bun Beng seorang diri berlayar ke sana. Bukankah itu sama dengan menyuruh pemuda itu menghadapi bencana? Betapapun juga, Kwi Hong paling takut menghadapi pamannya, juga gurunya. Ia kehilangan watak galaknya kalau berhadapan dengan pamannya, maka semua kekhawatiran dan ketidaksetujuan hatinya hanya ia simpan saja di hati, tidak berani ia keluarkan melalui mulut. Ketika Suma Han sudah mendapatkan sebuah perahu layar dan Bun Beng sudah duduk di perahu itu, memegang kemudi dengan sepeti besar roti kering dan minuman sebagai bekal, Kwi Hong hanya memandang dan berkata perlahan, "Hati-hatilah, Bun Beng....!"
"Gak Bun Beng, secara kebetulan sekali engkaulah orangnya yang menemukan sepasang pedang itu. Sepasang Pedang Iblis yang dijadikan rebutan dunia kang-ouw. Akan tetapi sebatang di antaranya, Lam-mo-kiam, dirampas orang dari tanganmu pula. Karena itu, setelah engkau berhasil sembuh, menjadi kewajibanmulah untuk menjaga agar jangan sampai pedang itu dipergunakan orang untuk menimbulkan kekacauan di dunia ini. Sepasang Pedang Iblis itu adalah sepasang pedang yang amat ampuh, jarang dapat dicari tandingnya di dunia ini. Syukur bahwa yang sebatang telah kauberikan kepada Kwi Hong. Hanya Hok-mo-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menandingi Sepasang Pedang Iblis. Sayang bahwa Hok-mo-kiam terampas oleh Tan Ki yang gila dan gurunya yang lihai itu."
"Suma-taihiap, saya berjanji bahwa kalau saya dapat sembuh, saya akan mengerahkan seluruh akal dan tenaga untuk merampas kembali Hok-mo-kiam, untuk membasmi Tan-siucai dan gurunya yang jahat, dan tentu saja untuk membalas dendam atas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."
"Hemm, cita-cita hidupmu di masa depan penuh dengan bahaya dan permusuhan. Semoga engkau akan dapat mengatasi itu semua, Bun Beng. Nah, berangkatlah!"
Setelah memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan keponakannya dari atas perahu, Bun Beng mendayung perahunya ke tengah dan setelah angin bertiup membuat layarnya berkembang, perahu melaju cepat dan dua orang yang memandangnya dari pantai itu hanya tampak seperti dua buah titik dan akhirnya lenyap.
Bun Beng memeriksa peta yang ia terima dari Pendekar Siluman. Sungai lebar dimana perahunya sekarang berada akan bertemu dengan Sungai Huang-ho, melewati Terusan Besar untuk kemudian menuju ke laut. Ada petunjuk dan tanda-tanda di peta itu mengenai letak Pulau Neraka, jauh di utara, bahkan ada penjelasan bahwa dia akan melalui lautan yang banyak terdapat gunung-gunung es mengapung dan merupakan tempat berbahaya sekali. Bun Beng teringat akan tokoh-tokoh Pulau Neraka yang amat aneh dan lihai, juga kejam. Teringat akan pemuda tampan dari Pulau Neraka, hatinya penuh dengan rasa benci dan tak senang. Akan tetapi kalau ia teringat akan kakek muka kuning yang lucu aneh dan agak miring otaknya itu, yang dua kali ia temui ketika kakek itu menolqng dia dan Milana di atas perahu, kemudian ketika kakek itu menolongnya pula di atas layang-layang raksasa, dia tersenyum sendiri. Betapapun anehnya, betapapun tersohor jahatnya Pulau Neraka, dia tidak bisa membenci kakek muka kuning itu, biarpun dia tahu bahwa kakek itu adalah seorang tokoh besar dari sana! Dia rasa, kakek itu akan suka menolongnya dan memberi tetumbuhan obat anti racun. Ataukah.... jangan-jangan kakek muka kuning itulah Majikan Pulau Neraka? Ah, tidak mungkin. Bukankah pemuda tampan itu putera Majikan Pulau Neraka? Pemuda itu selain tampan juga pesolek, pakaiannya indah-indah, dan kakek muka kuning itu seperti orang gila, pakaiannya tidak karuan dan tak bersepatu. Betapapun juga, kakek muka kuning itu tentu bukan tokoh sembarangan dari Pulau Neraka. Dua hari dua malam lamanya Bun Beng berlayar dan akhirnya perahunya memasuki Sungai Huang-ho. Dia merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Super Sakti karena setelah diobati oleh pendekar itu, kedua kakinya yang lumpuh mulai dapat ia gerakkan dan kedua lututnya sudah hampir bersambung lagi, tidak begitu nyeri rasanya, juga dadanya tidak sesak lagi. Akan tetapi, selama dua hari itu, dia berpikir dan mengambil keputusan bulat untuk tidak pergi ke Pulau Neraka. Dia benci harus bertemu dengan pemuda Pulau Neraka itu yang dianggapnya amat sombong. Dia tidak sudi merengek minta obat ke sana, membayangkan betapa pemuda tampan itu akan memandangnya penuh ejekan dan hinaan. Hanya sedikit sekali harapan untuk bisa mendapatkan obat dari Pulau Neraka. Bukankah ia mendengar desas-desus bahwa Pulau Neraka tidak bersahabat dengan Pulau Es? Bukankah ketika ada pertemuan di pulau tengah Sungai Huang-ho dahulu, terjadi pula pertentangan dan persaingan antara Pulau Neraka, Thian-liong-pang dan Pulau Es? Kalau memang racun di dalam darahnya akan membuatnya mati, dia seratus kali lebih rela mati di mana saja daripada di Pulau Neraka, lebih dahulu harus mengalami penderitaan batin kalau dihina dan diejek orang-orang Pulau Neraka. Yang lebih hebat lagi, kalau surat dari Pendekar Super Sakti itu mereka tolak atau tidak mereka sambut dengan baik, betapa akan menyakitkan hatinya! Dan dia tentu takkan banyak berdaya terhadap penghuni-penghuni Pulau Neraka yang demikian lihainya. Tidak, dia tidak mau ke Pulau Neraka dan teringat akan Sungai Huang-ho, dia tahu kemana dia harus pergi. Ke tempat di mana dia menemukan Sepasang Pedang Iblis! Ke tempat dimana terdapat sahabat-sahabatnya terbaik selama ini, yaitu sekumpulan kera baboon dengan siapa ia pernah hidup selama berbulan-bulan lamanya! Tempat itulah yang menjadi tempat seorang manusia sakti, gurunya yang tak pernah dikenalnya, yang telah meninggalkan Sepasang Pedang Iblis itu dan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepadanya. Kalau dia kembali ke sana dan mati di sana, hanya sekumpulan kera baboon itu saja yang akan mengetahuinya, tiada seorang pun manusia lain yang akan melihat keadaannya.
Tiada seorang pun manusia pernah datang ke tempat itu, karena tidak ada yang tahu bagaimana caranya. Hanya dia seoranglah yang tahu. Caranya mudah sekali biarpun penuh bahaya maut, mempertaruhkan nyawa. Biasa saja, hanya terjun ke dalam pusaran maut, membiarkan pusaran itu yang menyeret tubuhnya ke bawah dan ia akan sampai di tempat itu. Tentu saja kalau Tuhan menghendaki, kalau tidak, sekali dibenturkan pada batu-batu di bawah air oleh tenaga pusaran air, tubuhnya akan remuk. Apa bedanya? Dia toh akan mati juga. Selama paling banyak setengah tahun, kata Pendekar Super Sakti!
Dengan keputusan hati yang bulat ini, Bun Beng berlayar menuju ke pulau di tengah muara Sungai Huang-ho. Sepekan lamanya setelah perahunya masuk sungai itu, sampailah dia dekat pulau dan langsung ia mengemudikan perahu menuju ke sebelah selatan pulau di mana terdapat pusaran maut. "Haiiii....! Orang muda, jangan ke sana.... berbahaya....!"
Beberapa orang nelayan dari perahu masing-masing berteriak-teriak memperingatkan Bun Beng, akan tetapi pemuda ini tersenyum geli melihat tingkah para nelayan itu yang memperingatkan dia agar jangan mendekati pusaran maut. Justeru pusaran air itulah tujuannya, tentu saja menggelikan sekali melihat mereka memperingatkan dia jangan mendekati tempat itu. Dia malah menurunkan layar dan mendayung perahunya cepat-cepat menuju ke pusaran air, diikuti pandang mata terbelalak dan muka pucat oleh para nelayan yang tentu saja sudah mengenal tempat itu yang amat ditakuti semua nelayan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kasihan ketika melihat perahu dengan orang muda itu dicengkeram pusaran air, perahunya berputar-putar dan tiba-tiba pemuda itu terlempar ke tengah pusaran sedangkan perahunya pecah berantakan mengeluarkan suara keras. Perahu itu hancur berkeping-keping dan tubuh pemuda itu lenyap ditelan pusaran air! Semua nelayan menahan napas, kemudian hanya menggeleng-geleng kepala melanjutkan pekerjaan mereka, diam-diam mencatat bahwa pusaran maut itu kembali telah menelan nyawa seorang manusia yang agaknya masih asing dengan daerah itu dan tidak tahu bahwa di situ terdapat pusaran air yang amat berbahaya.
Dalam keadaan setengah pingsan, setelah terjun dan menyelam, tubuh Bun Beng terbawa oleh pusaran air yang menyedotnya ke bawah. Ia merasa tubuhnya dihanyutkan oleh kekuatan yang amat dahsyat, yang membuat tubuhnya terpusing cepat sekali, ia merasa tubuhnya sakit-sakit akan tetapi sedikit pun dia tidak mau melawan karena dia maklum bahwa melawan berarti mati. Tenaga yang demikian dahsyatnya hanya dapat dihadapi dengan penyerahan total, tanpa perlawanan sedikitpun sehingga tubuhnya seperti sehelai daun yang menurut saja. Dalam keadaan pingsan, Bun Beng terus disedot ke bawah, dihanyutkan dan ketika ia siuman kembali, seperti dahulu ketika ia masih kecil terjun ke tempat ini, tahu-tahu ia mendapatkan dirinya telah berada di mulut sebuah guha. Tubuhnya terasa sakit-sakit dan pakaiannya robek-robek, kulitnya babak bundas, berdarah di sana-sini, agaknya karena terbentur dan tergurat batu-batu ketika pusaran air itu menghanyutkan tubuhnya. Sambil mengeluh Bun Beng bangkit duduk, memandang ke sekelilingnya yang hanya batu-batuan belaka, dalam cuaca yang remang-remang dan ternyata dia berada di mulut guha yang amat besar dan di sebelah kirinya terdapat air mancur yang mengeluarkan bunyi gemuruh. Ia menarik napas lega. Dua kali ia memasuki pusaran maut, dan dua kali secara mujijat dia selamat! Dengan penuh harapan dan penuh rindu ia memandang ke kanan kiri, menanti munculnya kera-kera baboon yang dahulu pernah mengeroyoknya kemudian menjadi sahabat-sahabatnya selama lebih dari setengah tahun. Akan tetapi sunyi saja di situ, tidak tampak seekor pun kera dan suara apa-apa kecuali bunyi air terjun yang bergemuruh. Ketika ia memandang penuh perhatian, ia merasa heran karena tempat dimana ia pertama kali didaratkan oleh pusaran air tidaklah seperti sekarang ini. Dahulu tidak ada air terjun yang demikian besar, dan ia dahulu didaratkan oleh gelombang air sungai yang mengalir di dalam gunung batu. Sekarang, tidak tampak air mengalir di depannya yang ada hanya air terjun itulah. Melihat letak dia mendarat, dia dapat menduga bahwa tentu dia tadi terbawa oleh air itu dan terjatuh ke bawah bersama air terjun itu. Ia bergidik. Benar-benar aneh. Kalau dia terjatuh bersama air itu, dengan kepala lebih dulu, tentu kepalanya akan pecah!
Tidak salah lagi. Bukan ini tempat dia dahulu pertama kali dihanyutkan pusaran air itu. Ini adalah tempat lain lagi. Ia mencoba untuk menggerakkan kedua kakinya. Sudah dapat digerakkan, akan tetapi masih terlalu lemah untuk dipakai berdiri. Ia merangkak dengan hati-hati memasuki guha itu yang ternyata amat dalam dan setelah merangkak sejauh dua mil lebih, tibalah ia di tempat terbuka, penuh batu-batu liar dan mata hari menyinari tempat terbuka yang luas itu. Sunyi sekali keadaan di situ, yang ada hanya batu-batu besar tanpa ada tetumbuhan atau pohon sebatang pun. Batu-batu yang agak basah dan licin. Tiba-tiba Bun Beng berhenti bergerak ketika ia melihat sebuah meja di tengah tempat terbuka itu! Meja kecil dari kayu, sebuah tempat lilin dekat meja dan di atas meja terdapat sebuah kitab! Tentu ada manusianya, karena lilin itu menyala, menyorotkan sinarnya ke atas meja yang tertutup bayangan batu dinding tinggi! Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari sebelah kiri, Bun Beng menahan napas ketika melihat bahwa orang itu adalah seorang wanita yang berkerudung mukanya. Ketua Thian-liong-pang! Celaka, pikirnya. Kiranya tempat ini adalah tempat rahasia, agaknya menjadi tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang!
Wanita itu agaknya yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, maka dengan tenang ia membuka kerudung mukanya. Jantung Bun Beng berdebar tegang. Ia segera mengenal wanita cantik ibu Milana yang pernah dilihatnya ketika wanita ini bertemu dengan Pendekar Super Sakti, memperebutkan anak mereka, Milana! Hatinya diliputi keheranan besar. Wanita itu amat cantik jelita, seperti Milana dan kelihatan masih muda. Mukanya berkulit putih halus, agaknya karena jarang terkena sinar matahari, dan sepasang matanya tajam luar biasa.
"Singgg....!" Wanita itu mencabut sebatang pedang, kemudian menghampiri meja dan membalik-balik lembaran kitab yang berada di atas meja. Agaknya dia mencari-cari dan setelah bertemu dengan halaman yang dicarinya, kitab itu dibiarkan terbuka, dibaca sebentar dengan alis berkerut, kemudian membuat gerakan dengan pedang perlahan-lahan seperti seorang mempelajari sebuah jurus ilmu pedang. Jurus yang aneh sekali dan biarpun digerakkan perlahan, pedang itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, naik turun suaranya ketika gerakan-gerakannya berubah sehingga seperti saling ditiup melagu! Kemudian wanita itu melangkah ke belakang tiga tindak dan mainkan jurus dengan cepat. Bukan main! Pandang mata Bun Beng menjadi silau karena pedang itu lenyap menjadi segulung sinar putih seperti kilat yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing aneh. Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran adalah persamaan jurus itu dengan jurus dari ilmu silat dalam kitab yang ditemukannya dahulu, dalam Sam-po-cin-keng!
Tiba-tiba dia melihat hal yang aneh terjadi pada diri wanita itu. Setelah bersilat pedang beberapa lamanya, mengulang-ulang jurus aneh itu, tiba-tiba wanita itu terhuyung ke depan dan terdengar suaranya penuh penyesalan. "Keparat! Selalu terserang pusing dan sesak bernapas setiap mainkan jurus ini! Apanya yang kurang?" Saking marah dan penasaran, tiba-tiba wanita itu sambil menahan keseimbangan tubuhnya, melontarkan pedang itu ke belakang tanpa menengok, melalui kepalanya.
"Wuuuttt.... singggg....!" Pedang terbang melayang ke arah Bun Beng!
"Ceppp!" Pedang itu menancap pada batu yang berada di depan Bun Beng, menancap sampai tembus, dan ujungnya hampir mengenai pelipis kiri Bun Beng, hanya kurang beberapa sentimeter lagi!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu yang cepat melemparkan tubuh ke belakang, terlentang dan tak berani bernapas, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Ia hanya terlentang tanpa berani berkutik, memandang ke arah ujung pedang itu. Terdengar olehnya langkah kaki agak diseret. Tentu wanita itu masih belum pulih keadaannya yang secara aneh seperti orang terserang dari dalam tubuh sendiri dan membuatnya tadi terhuyung.
"Sratttt!" Ujung pedang yang tampak oleh Bun Beng itu lenyap, tanda bahwa pedangnya telah dicabut orang dari batu itu, kemudian terdengar suara wanita itu penuh penasaran dan kecewa.
"Kitab yang mengandung ilmu iblis! Cara berlatih sin-kang telah kupelajari, gerakan pedangku pun menurut petunjuk dan sudah benar, mengapa kepalaku menjadi pening dan napas sesak seperti terpukul ketika mainkan jurus ke tiga belas itu? Mengapa tidak ada petunjuk cara mengatur napas? Gila benar! Setahun lebih mempelajarinya, macet pada jurus ke tiga belas!"
Dengan jantung masih berdebar tegang, Bun Beng bangkit lagi, mengintai dari celah-celah batu karang. Untung bahwa suara air terjun yang jauhnya dua mil lebih itu agaknya menerobos terowongan guha dan menimbulkan suara gemuruh sehingga gerakannya tidak dapat terdengar oleh wanita lihai itu. Kini ia melihat wanita itu menyimpan kembali pedangnya, memakai kerudung penutup kepala, kemudian dengan langkah perlahan dan lesu wanita itu meniup padam lilin, dan berjalan menuju ke sebuah pintu besi yang tertutup oleh beberapa buah batu besar. Wanita itu mendorong sebuah batu di ujung kanan dan terbukalah daun pintu itu. Wanita itu masuk dan daun pintu tertutup kembali.
Namun, sampai sejam lebih, Bun Beng belum berani keluar dari tempat sembunyinya, khawatir kalau-kalau wanita itu tiba-tiba muncul kembali. Tak dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau dia bertemu dengan wanita itu. Mungkin dia dibunuhnya mungkin disiksanya, siapa yang dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh wanita cantik jelita yang berwatak seperti setan itu?
Setelah hampir dua jam menanti dan merasa yakin bahwa wanita itu tidak akan muncul, Bun Beng merangkak keluar dari belakang batu menghampiri meja. Lututnya sudah tak terasa nyeri, hanya masih lemah, maka dengan berpegang pada meja, ia dapat mengangkat tubuh berdiri. Dengan tangan kiri menahan, menekan ujung meja, tangan kanannya memeriksa kitab yang terletak di atas meja itu. Kitab yang tidak berjudul, akan tetapi di dalamnya terkandung pelajaran samadhi menghimpun sin-kang yang aneh, dan di bagian belakangnya terdapat pelajaran ilmu silat pedang yang gerakan-gerakannya mirip dengan gerakan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng. Bun Beng tertarik sekali. Tanpa disengaja ia tiba di tempat itu, dan tidak ada jalan keluar baginya berarti bahwa agaknya dia harus tinggal di situ, sampai kematian merenggutnya. Daripada termenung memikirkan nasib, dia sebagai seorang penggemar ilmu silat, tentu saja kitab itu merupakan hiburan besar baginya, untuk mengisi kekosongan. Mulailah ia membaca bagian pertama, bagian berlatih sin-kang. Dia sudah banyak melatih sin-kang dengan cara samadhi yang berlainan, yang ia pelajari dari mendiang gurunya, Siauw Lam Hwesio, dan dari Siauw-lim-pai, di mana dia menerima tuntunan dari Ketua Siauw-lim-pai sendiri, yaitu Ceng Jin Hosiang. Kemudian ia pun mempelajari cara samadhi dan melatih sin-kang dari pelajaran yang dulu ia baca dari Kitab Sam-po-cin-keng. Kini, pelajaran dari kitab kuno itu mempunyai cara tersendiri, sungguhpun mirip dengan cara yang diajarkan di Sam-po-cin-keng, namun terdapat perbedaan cara perkembangannya. Setelah membaca dan menghafal bagian terdepan, yaitu cara bersamadhi, ia berhenti dan membuka kitab itu pada halaman seperti tadi sebelum dibacanya, yaitu halaman dua puluh, karena perutnya terasa lapar sekali. Dia mulai merasa bingung. Apa yang akan dimakannya untuk mengisi perutnya? Tidak ada sebatang pun pohon di situ, dan agaknya tidak ada seekor pun binatang. Dia mulai merangkak di antara batu-batu, dan mencari-cari. Akhirnya, di bagian yang tertutup bayangan, yang agak gelap dan hanya kadang-kadang saja terkena sinar matahari, dia menemukan banyak jamur yang bentuknya seperti payung, warnanya agak kemerahan dan baunya amis seperti darah. Bun Beng memetik sebuah kepala jamur dan membawanya ke tempat terang. Jamur itu warnanya merah dan bersih, kelihatan enak sekali, akan tetapi begitu ia dekatkan ke mulut, bau amis membuat ia muak dan dia tidak jadi memakannya. Kemudian ia teringat akan ucapan mendiang suhunya mengenai manusia, di antaranya tentang cara manusia makan. Terngiang di telinganya suara gurunya itu, "Bun Beng, manusia pada umumnya menderita dalam hidupnya, terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri karena seluruh gerak-geriknya dikuasai dan dikendalikan oleh nafsunya. Penggunaan panca indrianya sudah tidak pada tempatnya lagi. Lihat saja kalau manusia makan. Apakah sebetulnya maksud dari makan? Apakah manfaat dan kegunaannya?"
"Agar perut yang lapar menjadi kenyang, agar dia tidak mati kelaparan Suhu," jawabnya dahulu, ketika ia baru berusia belasan tahun. "Benar, dan agaknya semua manusia mengerti akan hal itu. Akan tetapi pengertian itu hanya menjadi hafalan kosong belaka, karena tidak demikianlah prakteknya dalam hidup. Manusia makan bukan untuk perut lagi, melainkan untuk mulut! Karena itu, bukan sang perut yang diingat di waktu makan, melainkan sang mulut! Bukan manfaatnya bagi sang perut lagi yang dipentingkan melainkan kelezatan bagi sang mulut sehingga hilanglah arti sesungguhnya daripada makan. Maka timbullah bermacam pertentangan batin, timbullah keinginan untuk mendapatkan yang enak-enak bagi sang mulut. Manusia tidak peduli lagi akan arti makan bagi perut, melainkan mencurahkan perhatiannya untuk mendapatkan makan yang enak bagi mulut, tidak menghiraukan lagi apakah makanan itu baik bagi perut atau tidak."
Sekarang dia baru mengerti akan tepatnya ucapan suhunya itu, dan ia mengingat akan wejangan selanjutnya. "Seperti juga dengan mulut, manusia menyalahgunakan mata, telinga, hidung dan semua panca indrianya. Lupa lagi akan tugas sesungguhnya daripada semua anggauta yang menjadi alat hidup itu sehingga semuanya dikuasai oleh nafsu ingin nikmat, ingin senang tanpa menjenguk faedahnya. Maka selalu mencari pemandangan yang indah-indah dan merangsang, yang enak bagi nafsu. Telinga selalu mencari pendengaran yang indah bagi nafsu, hidung pun ingin selalu mencium yang sedap-sedap bagi nafsu, tanpa mengingat lagi akan kemanfaatannya. Dengan demikian, hidup ini menjadi kosong dan tidak berarti, hanya menjadi gerak pemuasan sang nafsu, menjadi budak pengabdi keinginan nafsu belaka!"
Teringat akan ini, di tempat sunyi itu, dalam menghadapi maut, pikiran Bun Beng menjadi jernih dan dapat menangkap arti daripada ucapan suhunya itu, baru terbuka mata batinnya. Ia memandang lagi jamur di tangannya, kemudian dengan menekan nafsu yang menguasai hidupnya, lenyaplah bau amis dan lenyap pula kemuakannya, dan dimakanlah jamur itu. Dia tidak mempedulikan lagi rasanya karena tidak mau lagi dikuasai nafsu, yang diperhatikan hanyalah perutnya yang butuh isi. Setelah menghabiskan tiga buah jamur, perutnya menjadi kenyang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit seperti diremas-remas. Dia pergi sampai ke sudut dan membuang air besar di antara batu-batu basah, demikian hebat perutnya terkuras sampai dia jatuh pingsan, diam-diam dia mengeluh bahwa jamur yang dimakannya itu tentulah mengandung racun yang akan membunuhnya. Akan tetapi dia tidak merasa menyesal, juga tidak takut karena memang dia tahu bahwa dia sedang menghadapi kematian. Mati sekarang atau beberapa bulan lagi, apa bedanya? Bun Beng siuman kembali. Sebelum membuka mata, dia mendengar suara mengiang-ngiang diseling suara berdetak seperti tambur dipukul, ataukah kepalanya yang dipukuli dengan irama teratur? Dia membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di situ, dan kepalanya tidak dipukuli orang. Akan tetapi suara itu masih terus berbunyi, mengiang-ngiang dan berdetak-detak. Ketika ia memperhatikan, kiranya yang terdengar mengiang-ngiang adalah desir darahnya sendiri dan suara berdetak adalah denyut jantungnya! Wah, racun jamur bekerja dan aku akan mati, pikirnya. Akan tetapi, biarpun dia menanti datangnya maut sampai berjam-jam, maut tidak datang menjemput, bahkan suara itu makin lama makin melemah akhirnya lenyap. Jalan darahnya normal kembali. Ia bangkit duduk dan aneh, lututnya tidak selemas tadi! Perutnya tidak nyeri lagi, dan masih terasa kenyang.
Wajah pemuda itu berseri gembira. Ia teringat akan kata-kata suhunya lagi, dan dia tidak peduli. Karena yang ada hanya jamur, jamur pulalah yang akan dimakannya kalau perutnya membutuhkan. Dia tidak perlu khawatir akan kebutuhan air. Di banyak tempat terdapat air bertitik, bahkan ada yang mengucur kecil dari ce lah-celah batu. Dan jamur merah banyak sekali terdapat di situ, tidak akan habis dimakan bertahun-tahun karena tentu akan tumbuh lagi. Jamur itu yang jelas mengenyangkan perutnya.
Makin giranglah hatinya setelah mendapat kenyataan bahwa kini perutnya tidak mulas lagi, hanya ia selalu mesti buang air setelah makan jamur, dan kedua lututnya cepat sekali sembuh, tenaganya pulih. Pada hari ke tiga, Bun Beng mulai melatih diri dengan samadhi seperti yang diajarkan di dalam kitab kuno di atas meja itu. Untuk menjaga agar dia dapat bersembunyi dan mengetahui kalau wanita itu muncul, dia menumpuk beberapa batu sebesar kepalan tangan di depan pintu rahasia. Kalau wanita itu muncul, tumpukan batu itu tentu akan runtuh dan mengeluarkan bunyi yang dapat membuat dia cepat bersembunyi.
Kekuasaan Tuhan memang tak dapat terlawan oleh kekuasaan apa pun juga. Kalau Tuhan belum menghendaki seseorang mati, ada saja jalan yang ditempuh orang itu tanpa disadarinya. Demikianlah pula dengan keadaan Bun Beng. Pemuda ini sudah jelas keracunan darahnya, dan Pendekar Sakti Suma Han sendiri sudah memeriksa dan menyatakan bahwa kalau tidak mendapatkan obat, pemuda itu hanya akan dapat hidup paling lama setengah tahun saja! Akan tetapi, karena terpaksa, tidak ada makanan lain kecuali jamur merah, dan karena sadar akan wejangan mendiang suhunya, Bun Beng nekat makan jamur, sama sekali tidak tahu bahwa jamur itu mengandung racun yang amat kuat. Racun terhisap oleh darahnya dan bertemu dengan racun di dalam darahnya akibat perbuatan Pendeta Maharya dan betapa ajaibnya, kedua racun itu adalah racun yang sifatnya bertentangan sehingga saling membunuh! Andaikata Bun Beng tidak keracunan darahnya, tentu dia akan mati oleh racun jamur. Kini, racun jamur itu malah menjadi "obat" yang menghilangkan ancaman maut oleh racun yang berada dalam darahnya. Tentu saja Bun Beng tidak tahu akan hal ini, hanya dia merasa betapa kesehatannya pulih kembali dengan cepat.
Dengan hati-hati sekali ia menjaga diri agar jangan sampai ketahuan oleh Ketua Thian-liong-pang yang ternyata datang ke tempat itu kurang lebih sebulan sekali. Setiap kali datang melalui pintu rahasia itu, Bun Beng cepat bersembunyi dan mengintai, dan dia kembali menyaksikan betapa wanita sakti itu selalu macet kalau berlatih ilmu pedang sampai ke jurus tiga belas! Selalu terhuyung-huyung dan mukanya menjadi pucat, napasnya menjadi sesak.
Dengan tekun Bun Beng melatih sin-kang menurut petunjuk kitab itu. Tiga bulan kemudian pelajaran ini selesai dilatihnya dan dengan girang sekali ia mendapat kenyataan bahwa tenaga sin-kangnya meningkat secara luar biasa sekali, beberapa kali lipat lebih kuat daripada sebelum ia berlatih. Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, setelah melatih diri dengan sin-kang menurut petunjuk kitab itu, dia kini mampu melakukan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng dengan ringan dan mudah, bahkan dia dapat melakukan gerakan dengan cara ilmu memindahkan tenaga dengan tepat sekali. Untuk ilmu memindahkan tenaga ini ia berlatih dengan batu besar yang ia lontarkan ke atas. Ketika batu itu meluncur ke arah tubuhnya, ia mengikuti gerakan batu itu, mengerahkan sin-kang ke ujung tangan yang berlawanan kemudian ia memindahkan tenaga luncuran batu itu ditambah sin-kangnya sendiri menghantam dari samping, membuat batu itu pecah berantakan!
Setelah selesai melatih sin-kang, mulailah ia mempelajari ilmu pedang yang terdapat dalam kitab itu. Kembali ia tercengang. Ilmu pedang itu memiliki gerakan yang hampir sama dengan Sam-po-cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat melatih diri, menggunakan pedang-pedangan batu yang ia buat dari batu karang yang banyak terdapat di tempat itu. Ilmu pedang ini terdiri dari tiga puluh enam jurus dan dia melatih setiap jurus dengan teliti dan hati-hati sekali dan betapa herannya ketika ilmu pedang yang hampir serupa dengan Sam-po-cin-keng itu ternyata setiap jurusnya merupakan lawan dari jurus-jurus Sam-po-cin-keng! Agaknya ilmu pedang ini memang sengaja dicipta orang sakti untuk menandingi Sam-po-cin-keng!
Untuk setiap jurus ia latih sampai selama tiga hari, dan makin mendekati jurus ke tiga belas, dia makin berhati-hati. Akan tetapi ketika tiba saatnya ia melatih jurus ke tiga belas ini, dia da pat mainkan jurus itu dengan baik dan tidak terjadi sesuatu dengan dirinya, seperti yang diderita oleh Ketua Thian-liong-pang! Bun Beng menjadi tercengang dan termenung setelah selesai melatih jurus ke tiga belas ini. Mengapa dia bisa mainkan dengan baik sedangkan Ketua Thian-liong-pang yang jauh lebih lihai daripada dia itu tidak mampu? Pemuda ini tidak tahu bahwa kini ilmu sin-kangnya sudah amat tinggi, hampir menandingi sin-kang Ketua itu, dan tidak tahu bahwa Ketua itu gagal karena tidak menguasai peraturan pernapasan ketika mempelajari jurus ke tiga belas itu! Adapun Bun Beng sendiri, biarpun tidak mempelajari pernapasannya karena kitab itu tidak lengkap namun dia telah mempelajari pengaturan napas ketika mainkan Sam-po-cin-keng sedangkan ilmu pedang itu dasarnya sama dengan Sam-po-cin-keng, bahkan menjadi imbangannya. Dengan girang sekali Bu Beng mendapat kenyataan bahwa telah lima bulan lebih ia berada di tempat itu, dan kesehatannya terasa makin baik! Dia telah sembuh! Secara aneh dia telah sembuh! Kalau tidak, tentu dia sekarang telah mati seperti yang dikatakan Pendekar Super Sakti. Pendekar itu tidak mungkin membohonginya. Jamur itu! Kini ia dapat menduga bahwa tentu jamur-jamur itu yang menyembuhkannya, maka diam-diam ia menjadi girang dan bersyukur sekali. Sampai tiga bulan lebih ia mempelajari ilmu pedang dan akhirnya ia dapat mainkan semua jurus ilmu pedang itu dengan baiknya. Dia sendiri tidak sadar bahwa ketika ia mainkan batu kecil panjang seperti pedang itu, terdengar suara nyaring melengking dan tampak sinar berkelebatan yang mengandung hawa sebentar panas sebentar dingin!
Selama itu, dia selalu bersembunyi kalau Si Ketua Thian-liong-pang muncul. Dia kini telah selesai melatih diri, dan penyakitnya pasti telah sembuh, maka timbullah keinginan hatinya untuk keluar dari tempat itu. Tak mungkin dia selamanya akan tinggal di tempat itu setelah kini dia tidak terancam maut. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat keluar dari situ?
Dia bersikap sabar dan karena kini dia menduga bahwa jamur-jamur yang setiap hari dimakannya itu mengandung obat yang menyembuhkannya, maka kini dia mulai mencoba jamur lain karena selain jamur merah, di situ terdapat jamur putih, biru, hijau dan lain-lain. Selama ini yang dimakannya hanyalah jamur merah yang amis karena ternyata bahwa jamur itu selain mengenyangkan perut, juga dapat menahan dia sehingga tidak kelaparan. Kini setelah sembuh, timbul keinginan hatinya untuk mencoba jamur yang lain. Pertama-tama dia mencoba jamur yang putih. Jamur ini kepalanya berbentuk segi lima ujungnya meruncing seperti topi seorang petani, baunya tidak amis akan tetapi rasanya agak pahit. Begitu dia makan tiga buah, dia merasa mengantuk sekali, Bun Beng duduk bersandar batu karang dan merasa betapa selain mengantuk, juga tubuhnya makin lama makin terasa panas! Mula-mula rasa panas hangat-hangat ini nyaman sekali, dan ada perasaan girang luar biasa di dalam hatinya. Akan tetapi makin lama, terdapat perasaan yang amat aneh, yang membuat seluruh urat-urat syaraf menegang dan dia menjadi gelisah bukan main. Dorongan hasrat nafsu berahi yang amat hebat membakar tubuhnya, membuat dia menderita hebat sekali, gelisah dan bingung, mengerang-ngerang seperti orang dibakar perlahan-lahan, bergulingan ke sana-sini untuk melawan dan menekan hasrat yang meluap-luap itu. Terbayanglah di depan mata, di dalam otak dan di hatinya, wajah-wajah jelita dari Milana, Kwi Hong dan Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang manis itu. Terbayang olehnya betapa mereka itu berganti-ganti tersenyum, bersikap manis dan bergema di telinganya suara mereka yang seperti merayunya.
"Aduhhh.... gila! Aku telah gila....!" Ia menjambak rambutnya, menampari dahinya, namun tetap saja bayangan tiga orang dara jelita itu berganti-ganti menggodanya, membuat nafsu berahinya makan memuncak. Semalam suntuk Bun Beng mengalami penderitaan yang selama hidupnya belum perah dia alami. Dia merasa tersiksa sekali, akan tetapi juga diam-diam merasa beruntung bahwa pada saat itu dia berada seorang diri. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya, apa yang akan terjadi andaikata di waktu itu ada seorang di antara tiga orang gadis itu yang berada di dekatnya! Dia tak dapat bertahan lagi! Setelah matahari terbit pada keesokan harinya, barulah dia terbebas daripada siksaan menggila itu. Seluruh tubuhnya terasa lemah dan lelah sekali, akan tetapi tubuhnya tidak panas dan denyut jantungnya normal kembali. Ia cepat mandi di bawah air terjun di depan guha, membiarkan air terjun menyiram kepala dan seluruh tubuhnya sehingga dia kembali merasa segar.
Ketika dia kembali ke dalam, dia bergidik melihat jamur putih dan berjanji tidak akan mencoba-coba lagi makan jamur setan itu! Diam-diam ia merasa heran mengapa jamur-jamur di situ mengandung daya yang demikian mujijat. Ia kini melirik ke arah jamur biru dan jamur hijau. Akan dicobanya jugakah jamur-jamur ini? Bagaimana kalau mengandung racun yang lebih mengerikan lagi? Betapapun juga, hatinya takkan pernah merasa puas sebelum ia mencobanya. Dia telah makan jamur merah selama setengah tahun di tempat itu dan akibatnya malah menguntungkan dirinya. Dia telah pula mencoba jamur putih yang biarpun membuat dia tersiksa hebat semalam suntuk, namun pengalaman itu pun tidak merugikannya. Apa salahnya kalau dia mencoba jamur yang lain?
Dengan hati-hati ia makan sebuah jamur biru, sebuah saja karena dia sudah kapok, tidak berani makan banyak sehingga andaikata jamur itu beracun pula, pengaruh racunnya tidak terlalu hebat. Dan jamur ini lezat rasanya! Tidak berbau, dan rasanya gurih seperti digarami!
Dengan jantung berdebar dia duduk bersandar batu karang, menanti akibat dari jamur biru itu. Suara air terjun bergemuruh terdegar dari situ. Tiba-tiba ia terbelalak, kemudian memejamkan matanya. Apakah ini? Mabokkah dia? Suara air bergemuruh itu kini lain sekali didengarnya. Seperti berubah menjadi berlagu dan berirama! Begitu indahnya, seolah-olah bukan suara air terjun, melainkan selosin macam alat musik ditabuh oleh tangan orang-orang ahli! Seperti dalam mimpi, Bun Beng membiarkan pikirannya melayang-layang terbuai dan seolah-olah diayun dan dibawa terbang oleh suara air terjun yang berubah menjadi musik merdu itu.
"Aihh, jangan-jangan aku telah menjadi gila sekarang," pikirnya dan ia cepat membuka matanya. Ia terbelalak dan mulutnya ternganga melihat cahaya matahari yang kini menjadi berwarna-warni, seperti pelangi! Dan batu-batu itu, begitu indah bentuknya dan begitu penuh rasa seni! Benarkah semua ini? Te mpat itu dalam pandang matanya seolah-olah menjadi berbeda sekali, menjadi seperti.... ah, agaknya sorga begitulah macamnya! Dia menggerakkan kaki tangannya dan hampir dia berteriak. Dia seperti melayang-layang! Dia masih duduk di situ, akan tetapi merasa seolah-olah tubuhnya melayang, terbang di antara sinar matahari yang berwarna-warni indah sekali. Seperti dewa-dewa kalau terbang di antara mega-mega di angkasa.
Di antara keadaan sadar dan tidak sadar, Bun Beng mengalami hal yang benar-benar mentakjubkan, indah luar biasa, dan nikmat rasanya. Dia tidak sadar lagi akan keadaan sekitarnya, semua nampak indah, bahkan dia tidak kaget atau tidak takut ketika melihat pintu rahasia itu terbuka dan seorang wanita berkerudung meloncat keluar dari pintu, dan terdengar wanita itu berseru kaget dan meloncat cepat, tahu-tahu telah berdiri di depannya. Bun Beng memandangnya dengan tersenyum manis dan ramah, senyum sewajarnya seolah-olah dia bertemu dengan seorang sahabat lama, atau seorang bidadari kahyangan. Memang pantasnya bidadari! Bentuk tubuh yang amat indah, dan biarpun kepalanya ditutupi kerudung, namun kelihatannya pantas dan serasi dengan tubuhnya!
"Kau....? Gak Bun Beng....?" Ketua Thian-liong-pang itu membentak, penuh keheranan, kekagetan dan juga kemarahan. Bun Beng tersenyum lebar, bangkit berdiri dan memberi hormat. Suaranya penuh kegirangan dan kejujuran ketika ia berkata, "Benar, Locianpwe, saya Gak Bun Beng. Selamat bertemu dan semoga Locianpwe selalu bahagia dan sehat seperti saya!"
Agaknya jawaban ini membuat Ketua Thian-liong-pang sedemikian herannya sehingga lupa akan kemarahannya. "Bagaimana kau bisa berada di sini?"
"Saya? Saya terbang.... heh-heh, saya.... saya hanyut oleh air sorga, sampai di sini, senang sekali, Locianpwe. Betapa indahnya sorga ini.... heh-heh...."
Sepasang mata di balik kerudung itu berkilat dan Nirahai, wanita berkerudung itu, mengerutkan alisnya. Heran sekali, pikirnya, bagaimana bocah ini bisa masuk ke sini? Dia melihat sikap dan mendengar bicaranya, agaknya anak ini telah menjadi gila!
Pada dasarnya, Nirahai bukanlah seorang yang kejam. Sama sekali tidak. Dia dahulu adalah puteri Kaisar yang sejak kecil telah mempelajari segala macam dasar kebajikan dari kitab-kitab kesusasteraan kuno yang penuh filsafat di samping ilmu silat yang tinggi. Memang wataknya keras dan berdisiplin karena dialah dahulu menjadi panglima kerajaan ayahnya, memimpin pasukan pembasmi kaum pemberontak yang amat disegani. Memang wataknya berubah menjadi dingin karena tekanan batin setelah dia berpisah dari suaminya, Pendekar Super Sakti, dan rasa sakit hati karena merasa disia-siakan suaminya yang tercinta itu membuat dia menjadi makin keras dan dingin, namun hal ini sama sekali bukan mengubahnya menjadi seorang yang berwatak kejam. Dia tadinya bermaksud membunuh Bun Beng, karena pemuda ini selain telah mengacaukan Thian-liong-pang dan telah membunuh orang-orangnya, juga telah mengetahui rahasianya bahwa Ketua Thian-liong-pang yang selalu menyembunyikan keadaan dirinya di balik kerudung, sebetulnya adalah isteri Pendekar Super Sakti. Di samping itu, karena tahu pula bahwa pemuda ini adalah anak haram dari datuk sesat Gak Liat, maka dianggapnya bahwa anak itu pun keturunan seorang jahat yang berwatak rendah dan jahat pula. Akan tetapi, ketika tanpa disangka-sangkanya pemuda itu tahu-tahu muncul di dalam tempat rahasianya ini dalam keadaan seperti orang gila, dia menjadi tidak tega untuk membunuhnya dan merasa kasihan di samping keheranannya bahwa pemuda itu yang tadinya ia lihat lumpuh dan terluka hebat, masih belum mati, bahkan tidak lumpuh lagi.
"Bocah gila, berapa lama engkau berada di sini?"
"Ha-ha-ha, Lociapwe baru tahu sekarang, ya? Saya sudah lama sekali di sini, sudah setengah tahun. Ha-ha.... sudah habis kitab itu saya pelajari....!"
"Apa....? Kau....!" Nirahai meloncat ke depan, tangannya bergerak mencengkeram ke arah pundak Bun Beng. "Wuuutttt.... heeeiiihhh! " Dengan gerakan yang ringan dan mudah saja Bun Beng miringkan tubuhnya dan Nirahai berturut-turut melanjutkan cengkeramannya sampai tiga kali, tetap saja ia mencengkeram angin dan pemuda itu dapat mengelaknya dengan mudah. Diam-diam ia terkejut menyaksikan gerakan yang luar biasa ringan dan gesitnya itu. "Heii, tahan dulu, Locianpwe! Jangan main-main dengan pukulan berbahaya!" Bun Beng mengangkat tangan, sikapnya riang dan wajahnya berseri, tubuhnya bergoyang-goyang, karena terasa amat ringan, seolah-olah melayang-layang. Sedikitnya tidak ada pikiran takut, khawatir atau apa saja karena pikiran itu kosong, pandang matanya menjadi terang, pikirannya terang dan ia merasa seolah-olah dunia, semua benda, dirinya dan juga Ketua Thian-liong-pang itu telah berubah sama sekali, semua kelihatan menyenangkan hati! Inilah akibat dia makan jamur biru yang ternyata mengandung racun yang hebat dan luar biasa, lebih hebat daripada racun dan ganja dan madat! Racun jamur biru ini mempengaruhi syaraf dalam otak, membuat dia tidak memikirkan, tidak membayangkan sesuatu. Segala rasa khawatir, takut, marah dan lain-lain timbul dari pikiran dan ingatan. Pikiran menggambarkan rasa takut, khawatir, iri, dengki dan lain-lain. Maka setelah pengaruh racun itu melenyapkan bayangan ini, dalam keadaan kosong dan bersih pikiran mereka jadi terang, pandang mata pun tidak dipengaruhi nafsu yang timbul dari pikiran. Itulah sebabnya maka segala hal tampak, terdengar, dan terasa amat indah oleh Bun Beng, karena jauh berbeda daripada biasa. Pikiran yang dibebani segala macam kekhawatiran, ketakutan dan macam-macam perasaan lain mengeruhkan pandangan dan pendengaran, seperti yang diderita oleh semua manusia. Namun, dalam keadaan istimewa itu, Bun Beng menghadapi kenyataan yang lain daripada biasanya.
"Locianpwe, saya telah mempelajari semua isi kitab dengan baik. Bukankah itu menyenangkan sekali?" Nirahai yang sudah mengangkat tangan itu menurunkan lagi tangannya dan memandang tajam penuh keraguan. Jelas bahwa bocah ini lebih gesit daripada dahulu ketika membuat kekacauan di Thian-liong-pang, pikirnya. Melihat sikap dan bicaranya, seperti orang yang miring otaknya. Mana mungkin dia berada di sini selama setengah tahun tanpa dia ketahui? Apalagi mempelajari seluruh isi kitab. Akan tetapi, siapa tahu? "Kau sudah mempelajari se mua isi kitab dengan hasil baik? Juga ilmu pedangnya?" Ia bertanya, tertarik karena selama setahun lebih dia masih belum berhasil melatih ilmu pedang dari kitab itu, selalu gagal dalam jurus ke tiga belas dan seterusnya!
"Heh-heh, tentu saja, Locianpwe selalu gagal dan tersandung dalam jurus ke tiga belas dan ke empat belas."
"Apa....?" Mata Nirahai terbelalak dan kini dia mencurahkan perhatiannya. Kalau anak ini dapat tahu akan hal itu, berarti belum tentu dia membohong bahwa dia telah lama berada di sini dan telah mempelajari isi kitab!
"Dan engkau mengatakan telah berhasil mempelajari semua ilmu pedang itu? Ahh, siapa mau percaya omongananmu? Kulihat, sebatang pedang pun engkau tidak mempunyai."
"Saya mempergunakan pedang ini, Locianpwe." Bun Beng memungut batu kecil panjang menyerupai bentuk pedang dan mengangkat ke atas sambil tersenyum lebar. "Gak Bun Beng, kalau benar engkau telah dapat menguasai Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut...."
"Aihh, namanya Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit)? Bukan main! Locianpwe tentu ingin mengetahui bagaimana saya mainkan ilmu itu, bukan?"
Nirahai mengangguk, kagum akan kecerdikan pemuda yang seperti gila itu. "Terutama jurus ke tiga belas dan seterusnya, bukan?"
Kembali Nirahai mengangguk, kini kekagumannya bercampur keheranan. Pemuda itu seolah-olah dapat membaca isi hati dan pikirannya. Memang demikianlah, dalam keadaan terpengaruh racun jamur biru itu, ketika pikiran Bun Beng kosong bersih, pandang matanya menjadi tajam luar biasa.
"Nah, lihatlah, Locianpwe!" Pemuda itu lalu menggerakkan pedang batunya, bersilat pedang mulai dari jurus ke tiga belas. Gerakannya demikian gesit dan sempurna sehingga Nirahai memandang bengong, penuh keheranan dan iri hati karena dia mendapat kenyataan betapa Bun Beng benar-benar dapat mainkan jurus-jurus itu, ke tiga belas sampai terakhir, dengan lancar, sempurna, dan sama sekali tidak membawa akibat buruk seperti yang telah dialaminya. Pedang batu itu mengeluarkan bunyi berdesing, melengking seperti suling ditiup, dan terasalah olehnya hawa dingin dan panas silih berganti keluar dari angin pedang batu itu!
"Hebat....! Luar biasa....!" Nirahai berseru setelah Bun Beng menyelesaikan ilmu silat pedangnya dan melempar pedang batu ke bawah sambil tersenyum lebar. Tiba-tiba wanita itu meloncat ke depan dan secepat kilat tangannya bergerak menotok Bun Beng yang merasa seperti melayang-layang itu, agaknya tidak menyangka buruk sama sekali sehingga dia tidak mengelak maupun menangkis.
"Cuss!" Sebuah totokan yang amat tepat mengenai jalan darah di pundak kanannya dan robohlah pemuda itu dalam keadaan lemas dan lumpuh. Ia roboh terlentang akan tetapi masih memandang ke arah wanita itu dengan senyum menghias bibir, seolah-olah keadaan tertotok itu mendatangkan rasa senang yang luar biasa!
Setelah menotok Bun Beng, Nirahai lalu mencabut pedangnya, kemudian dia yang sudah menghafal jurus-jurus ilmu pedang itu lalu bermain silat pedang, mulai dari jurus ke tiga belas. Pemuda itu dapat memainkannya, masa dia tidak? Tingkat kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi daripada pemuda itu, buktinya pemuda itu dapat dirobohkannya sekali totok. Mungkin karena dia takut-takut, maka dia tidak pernah berhasil. Kini dia harus nekat, tidak menghentikan gerakannya kalau ada kepeningan dan sesak dada menyerangnya.
Dalam keadaan terpengaruh jamur biru itu, pandangan Bun Beng menjadi terang dan kini ia dapat melihat di mana letak kesalahan Ketua Thian-liong-pang itu, ialah di bagian pengaturan napas. Dia melihat dan mengetahui ini, akan tetapi karena dia kagum akan keindahan yang dilihatnya dalam keadaan terpengaruh dan mabok itu, dia diam saja, hanya memandang dengan mulut tersenyum. Nirahai bersilat dengan gerakan cepat dan kuat. Alisnya berkerut, kepalanya terasa pening dan dadanya sesak, akan tetapi dia nekat melanjutkannya dengan jurus ke empat belas. Dia agak terhuyung, napasnya terengah, namun dia masih dapat bermain sampai jurus ke dua puluh dan tiba-tiba ia mengeluarkan keluhan pajang, pedangnya terlepas, tubuhnya roboh dan wanita ini pingsan!
Bun Beng mengeluh perlahan. Pemandangan yang indah itu mulai berubah dan akhirnya ia sadar. Totokan itu tanpa disengaja oleh Nirahai, telah membuyarkan pengaruh racun jamur biru. Makin sadar, makin terkejutlah Bun Beng teringat akan semua yang telah terjadi tadi. Teringat pula dia akan keadaannya setelah makan jamur biru dan dia menjadi bengong. Bagaimana dia bisa begitu berubah? Mengapa dia berani bersikap seperti mempermainkan Ketua Thian-liong-pang dan sama sekali tidak menjadi takut? Kini timbul rasa takut dan ia cepat mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Tak lama kemudian ia berhasil membobol totokan dan jalan darahnya kembali normal kembali. Cepat ia meloncat dan menghampiri Ketua Thian-liong-pang yang masih rebah miring dalam keadaan pingsan. Ah, inilah kesempatan yang ditunggu-tunggunya, ia berpikir cepat. Dia ingin keluar dari tempat ini dan sekaranglah saatnya! Dia memutar otak sebentar, membayangkan kemungkinan dan bahaya-bahayanya. Setelah mencari akal, ia cepat melepaskan kerudung penutup muka Ketua Thian-liong-pang itu, juga menanggalkan jubah luar seperti mantel yang besar, agaknya dipakai oleh Ketua itu sebagai penahan dingin, tidak lupa mengambil pedang dan sarungnya, kemudian ia meloncat meninggalkan tubuh Ketua yang pingsan itu, menghampiri pintu rahasia. Dia sudah tahu akan alat rahasia pembuka pintu itu. Diputarnya batu di sudut dan pintu itu terbuka. Bun Beng cepat mengenakan kerudung menutupi kepalanya, mengenakan jubah luar yang lebar dan menyarungkan pedang Si Ketua yang telah diambilnya. Kemudian dengan tekad bulat ia memasuki pintu rahasia.
Ketika ia menengok ke arah tubuh yang masih belum bergerak, kemudian memandang ke arah jamur-jamur di sebelah kiri utuk penghabisan kali, dia bergidik. Jamur-jamur merah telah menolongnya, jamur putih membuat dia teragsang berahi hebat, dan jamur biru.... ah, dia bergidik kalau mengingatnya. Hampir saja dia celaka oleh jamur itu, ataukah sebaliknya? Bagaimana andakata dia dalam keadaan normal bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang? Agaknya, menurutkan akal waras, dia akan membela diri mati-matian, dan besar ke mungkinan dia akan terbunuh. Kalau begitu, belum tentu jamur biru itu mencelakakannya, bahkan
sebaliknya, telah menolongnya sehigga akibatnya Si Ketua tidak membunuhnya, roboh pingsan dan membuka kesempatan baginya untuk menyelamatkan diri keluar dari tempat itu.
Pintu rahasia itu bersambung dengan sebuah lorong di bawah tanah yang amat panjang, ada kalanya naik ada kalanya turun, terbuat dari anak tangga batu. Setelah berjalan cepat lebih dari satu jam, lorong itu mulai naik melalui tangga batu dan terus naik. Ketika ia keluar dari pintu terakhir, kiranya lorong itu menembus di sebuah lubang kuburan yang sudah terbuka! Sebuah kuburan tua di tengah-tengah tanah pekuburan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika di kanan kiri lobang kuburan itu berdiri belasan orang tokoh Thian-liong-pang tingkat tertinggi! Untung ia ingat akan penyamarannya, maka dia bersikap tenang. Satu-satunya yang akan dapat menggagalkan penyamarannya adalah suaranya. Akan tetapi, mengingat betapa anehnya watak
Ketua Thian-liong-pang, dia dapat diam saja tanpa mengeluarkan suara dan siapakah di antara mereka yang berani bertanya akan hal ini? Dia akan menutup mulut, tidak mengeluarkan kata-kata, seolah-olah Ketua Thian-liong-pang sedang berduka, marah, atau sedang bertapa.... bisu!
Melihat Ketua mereka muncul dari lubang, orang-orang Thian-liong-pang itu segera memberi hormat dengan membongkok, kemudian mereka mengangkat sebuah peti mati yang berada di situ, dimasukkan lagi ke dalam lubang, kemudian menutup papan besi yang atasnya penuh tanah dan rumput, ditutupkan lagi sehingga kini kuburan itu kelihatan seperti kuburan biasa. Melihat Ketua mereka diam saja dan hanya memandang dengan sinar mata tajam melalui lubang kerudung, Sai-cu Lo-mo mewakili temannya menjura dan berkata, "Harap Pangcu sudi memaafkan kami yang tanpa diperintah berani menanti keluarnya Pangcu dari tempat terlarang. Hal ini kami lakukan dengan amat terpaksa, karena tempat kita kedatangan tamu-tamu dari Pulau Neraka."
"Apa....?" Bun Beng meniru suara Nirahai yang karena dalam pertemuannya dengan wanita itu, sampai beberapa kali Nirahai berseru seperti itu. Dengan meniru sebuah kata-kata saja, dengan suara ditinggikan, Bun Beng tidak melihat adanya bahaya dikenal perbedaannya. "Mereka berjumlah lima orang, dari tingkat teratas, melihat dari warna muka mereka yang berwarna terang, dan agaknya mereka tidak mengandung maksud baik, memaksa hendak berjumpa dengan Pangcu sendiri. Sekarang mereka berada di dalam ruangan tamu dan dihadapi oleh Tang-kouwnio."
Bun Beng mengerti siapa yang dimaksudkan dengan Tang-kouwnio itu, tentulah Tang Wi Siang yang lihai, kepala pelayan dan orang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya, khawatir akan keselamatan Milana. Maka dia hanya mengangguk, kemudian menggerakkan kepalanya dan tangannya sebagai perintah agar mereka mengantarkan ke tempat tamu.
Sikap ini agak mengherankan para tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa Ketua mereka amat marah mendengar berita itu, dan tentu saja hendak muncul menemui tamu dengan sikap garang, dikawal dan diantar oleh para pembantunya. Maka Sai-cu Lo-mo lalu membuka jalan dan diikuti oleh Bun Beng yang sesungguhnya tidak tahu ke mana harus menuju karena dia tidak mengenal tanah kuburan ini. Kalau dia sudah sampai di dalam markas Thian-liong-pang yang terletak di lembah Sungai Huang-ho itu, tentu saja dia dapat mengenalnya karena dia pernah berada di situ sebagai "tamu" kemudian sebagai tawanan. Ketika tiba di ruangan tamu, Bun Beng tanpa bicara menghampiri kursi ketua yang kosong dan duduk dengan tenang. Lima orang yang mukanya berwarna aneh, hijau pupus, ungu muda, dan merah muda, bangkit berdiri dari tempat duduknya, menjura ke arah "Sang Ketua" dan seorang di antara mereka yang bermuka merah muda dan berkepala gundul kelimis seperti lilin, berkata, "Kami dari Pulau Neraka, sebagai utusan To-cu (Majikan Pulau) menghaturkan hormat kepada Thian-liong-pangcu."
Bun Beng hanya mengangguk, membiarkan mereka duduk kembali dan dia menggapai kepada Tang Wi Siang yang cepat menghampiri Ketuanya dan memberi hormat. Bun Beng tidak berkata-kata, hanya menggerakkan tangan menunjuk kepada para tamu dan menggerakan kepalanya diangkat sedikit, sebagai isyarat agar Tang Wi Siang yang mewakilinya bicara dengan para tamu itu.
Tang Wi Siang menganggap bahwa Ketuanya merasa terlalu tinggi untuk bicara dengan tamu-tamu Pulau Neraka yang hanya utusan-utusan itu, maka dia sebagai wanita yang cerdik sekali dia berdiri di belakang Ketuanya lalu berkata nyaring.
"Ketua kami yang mulia telah datang dan kalau kalian berlima dari Pulau Neraka masih dibiarkan duduk sebagai tamu, hal itu berarti bahwa Ketua kami sudah cukup murah hati dan menerima kedatangan kalian. Sekarang, harap kalian suka bicara setelah menghadap Ketua kami, apa keperluan kalian datang mengunjungi Thian-liong-pang!"
Lima orang Pulau Neraka itu mengerutkan alis dan diam-diam merasa mendongkol sekali. Mereka adalah orang-orang tingkat tinggi dari Pulau Neraka, pula mereka adalah utusan pribadi Ketua atau Majikan mereka, akan tetapi Ketua Thian-liong-pang menerima mereka tanpa mengucapkan sepatah kata, berarti memandang sangat rendah!
Si Kepala Gundul muka merah muda yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gemuk pendek, segera berkata, "Saya Kong To Tek bersama Sute Chi Song." Dia menuding ke arah orang muka merah muda ke dua yang tubuhnya gendut tinggi besar kepalanya kecil, kemudian melanjutkan, "ditemani tiga orang para sute yang satu dua tingkat lebih rendah sebagai utusan To-cu kami, selain datang menghaturkan hormat kepada Ketua Thian-liong-pang, juga kami mendengar bahwa Thian-liong-pangcu telah mempelajari semua ilmu yang ada di dunia ini. Karena itu, To-cu kami mohon agar Pangcu suka memberi petunjuk, mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri. Kalau ternyata Thian-liong-pangcu dapat melakukan hal ini, To-cu menawarkan kerja sama untuk menghadapi Pulau Es, akan tetapi kalau tidak, berarti benar bahwa Thian-liong-pangcu hanya mencuri ilmu-ilmu itu dari mereka yang telah diculik, maka tidak dapat mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri karena pihak kami belum pernah ada yang dapat diculik."
Keadaan menjadi hening dan orang-orang Thian-liong-pang memandang marah. Yang hadir di ruangan tamu itu hanyalah orang-orang tingkat tinggi dari Thian-liong-pang, Sang Ketua, Tang Wi Siang, Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin ciang Chi Kang, dan beberapa orang lagi yang kepandaiannya sudah tinggi. Mereka memandang ke arah Ketua mereka, menduga bahwa tentu Sang Ketua akan marah dan menghajar lima orang Pulau Neraka yang telah berani mengeluarkan kata-kata lancang itu. Akan tetapi, Bun Beng hanya menggerakkan tangan ke arah para pembantu Thian-liong-pang, kemudian menuding ke arah lima tamu itu. Jelas maksudnya bahwa "Sang Ketua" yang tiba-tiba menjadi "pendiam" itu memerintahkan agar para tokoh Thian-liong-pang mewakilinya menghadapi para tamu yang menantangnya berpibu.
"Ngo-wi (Tuan Berlima ) dari Pulau Neraka!" kata pula Tang Wi Siang dengan suara nyaring. "Andaikata To-cu dari Pulau Neraka sendiri yang datang, belum tentu Ketua kami yang mulia merasa cukup pantas untuk dilayaninya sendiri. Apalagi hanya utusan-utusan yang tingkatnya rendahan! Kalau memang Pulau Neraka berniat baik, mengapa mesti menantang? Kalau kalian sudah menantang, di sini cukup tersedia tenaga untuk melayani kalian, tidak perlu Ketua kami turun tangan, kami para pembantunya sudah cukup untuk membuka mata kalian bahwa Thian-liong-pang tidak boleh dibuat main-main!"
Bun Beng mengangguk-angguk tanda setuju dan Tan Wi Siang menjadi girang, maka dilanjutkannya, "Silakan mengajukan jago dari Pulau Neraka, dan kami akan menandingi!"
Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang gundul itu, mengangkat kedua alisnya dan berkata, "Aaahhh, Thian-liong-pangcu merasa terlalu tinggi untuk melawan kami? Cukup mengajukan anak buahnya? Baiklah, biar kita coba-coba sebentar agar Pangcu dari Thian-liong-pang menyaksikan sendiri bahwa kami dari Pulau Neraka sudah cukup berharga untuk ditandingi sendiri oleh Thian-liong-pangcu. Karena kedatangan kami sebagai utusan majikan kami untuk mencoba kepandaian Thian-liong-pangcu, bukan untuk mengadakan pibu (pertandingan silat), maka biarlah kami hanya mengajukan dua orang jago, yaitu Sute Chi Song dan saya sendiri. Sute, majulah dan perlihatkan bahwa kita cukup berharga untuk menerima petunjuk Thian-liong-pangcu sendiri."
Laki-laki gendut tinggi besar itu mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah maju ke tengah ruangan. Dia menghadapi "Ketua" Thian-liong-pang dan menjura sambil berkata, "Thian-liong-pangcu, saya Chi Song, orang dari kalangan tingkat tiga di Pulau Neraka, mohon petunjuk darimu." Tang Wi Siang tentu saja tidak berani lancang mengajukan jago, maka dia menoleh ke arah Ketuanya sambil bertanya, "Harap Pangcu suka menunjuk seorang di antara kami untuk meghadapinya."
Seingat Bun Beng, orang paling lihai sesudah Ketua Thian-liong-pang dalam perkumpulan itu, adalah Tang Wi Siang sendiri, kemudian mungkin sekali, Paman kakeknya, Sai-cu Lo-mo. Tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar ini, sebagai sute Si Gundul, tentu tidak selihai Si Gundul, maka sebaiknya kalau Chi Song ini dilawan oleh Sai-cu Lo-mo, sedang nanti Kong To Tek dilawan oleh Tang Wi Siang. Dia mengharapkan agar kedua orang "pembantunya" itu akan memperoleh kemenangan sehingga dia sendiri tidak usah maju turun tangan karena kalau dua orang itu kalah, apalagi dia sendiri! Dan kalau dia turun tangan, tentu akan terbuka rahasianya. Hal ini akan menimbulkan keributan, sebaliknya kalau dua orang tokoh Thian-liong-pang itu dapat "membereskan" kedua orang Pulau Neraka itu, tentu urusan menjadi selesai dan dengan mudah dia akan cepat meninggalkan tempat
berbahaya itu. Kalau sampai berlama-lama, kemudian muncul Milana, apalagi kalau sampai muncul ibu Milana sendiri yang tadi pingsan di dalam tempat rahasia, wah, tentu celaka dia! Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia lalu menudingkan telunjuknya ke arah Sai-cu Lo-mo. Kakek berusia enam puluh tahun lebih yang mukanya menyeramkan seperti muka singa ini, yang pakaiannya sederhana, rambutnya putih semua, tadinya duduk dan kelihatan lenggat-lenggut mengantuk setelah dia tadi mengantarkan Sang Ketua ke ruangan itu. Kini tiba-tiba ia meloncat bangun dan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Terima kasih, Pangcu. Memang sudah saya sangka bahwa tentu Pangcu akan memilih saya untuk memberi hadiah beberapa gebugan kepada Si Muka Merah ini!" Dia melangkah lebar ke tengah ruangan menghampiri Chi Song dan setelah berhadapan, keduanya saling pandang dengan sinar mata tajam menyelidik, seperti tingkah dua ekor ayam yang hendak bertanding.
Chi Song memandang kakek itu dari atas ke bawah, kemudian berkata, "Kalau tidak salah dugaanku, engkau ini tentulah Sai-cu Lo-mo yang amat terkenal itu!"
"Ha-ha-ha! Kalau sudah mengenal namanya, inilah orangnya dan kalau takut lebih baik lekas berlutut minta ampun kepada Pangcu kami dan cepat melingkarkan, buntutmu lalu angkat kaki dari sini!"
Chi Song bukanlah seorang yang mudah dibikin marah oleh ejekan dan kata-kata menghina. Dia adalah seorang tokoh yang cukup tinggi tingkatnya di Pulau Neraka, apalagi bersama suhengnya saat itu menjadi utusan Majikannya, tentu saja dia maklum bahwa kakek muka singa itu mengeluarkan kata-kata memancing panasnya hati karena kemarahan merupakan langkah yang keliru dan merugikan dalam menghadapi pertandingan melawan orang yang tak boleh dipandang ringan. Ia tersenyum dan berkata, "Kebetulan sekali, Sai-cu Lo-mo. Biarpun saya tidak berkesempatan, atau mungkin belum berhasil menerima petunjuk Pangcu kalian, kini berhadapan denganmu, seorang tokoh Thian-liong-pang yang terkenal, merupakan kehormatan besar sekali. Hanya aku khawatir, kalau sampai engkau kalah oleh seorang tak terkenal seperti Chi Song ini, hal itu tentu akan menimbulkan malu besar!"
"Ha-ha-ha, engkau boleh juga!" Sai-cu Lo-mo tertawa, maklum bahwa dia tak berhasil memanaskan hati lawan. "Nah, aku telah siap, majulah!"
Chi Song tersenyum menyeringai dan mukanya yang berwarna merah muda itu kelihatan berkilau. "Engkau lebih tua daripada aku, Sai-cu Lo-mo, sepatutnya aku mengalah. Mulailah!"
"Apa? Biarpun engkau lebih muda, akan tetapi engkau seorang tamu, sebagai pihak tuan rumah selayaknya kalau aku mengalah. Nah, seranglah!" Kedua orang ini memang cerdik dan tahu bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi, maka mereka segan untuk menyerang lebih dulu. Bagi seorang ahli silat kelas tinggi, menyerang lebih dulu tidak menguntungkan.
"Baik, sambutlah!" Chi Song Si Muka Merah Muda itu membentak dan tiba-tiba seluruh tubuhnya tergetar kedua tangannya bergerak perlahan, tadinya kedua tangan dirangkap di depan dada seperti orang memuja dewa, kemudian kedua telapak tangan saling membesut, yang kiri terus bergerak lurus ke atas, sampai tegak di atas kepala, yang kanan terus bergerak lurus ke bawah sampai menunjuk tanah di bawah perut, warna mukanya yang tadinya merah muda berubah agak tua, sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi dan perlahan-lahan terdengar suara berkerotokan dari buku-buku tulang tokoh Pulau Neraka ini. Melihat ini, Sai-cu Lo-mo terkejut, maklum bahwa lawan ini sedang mengerahkan sin-kang yang mujijat dan mengingat bahwa dia seorang tokoh Pulau Neraka, tidak akan anehlah kalau sin-kang lawannya itu mengandung hawa beracun yang dahsyat. Maka dia cepat memasang kuda-kuda, pandang matanya tak pernah meninggalkan gerakan lawan, siap menghadapi terjangan pertama dan karena maklum akan kelihaian lawan, kakek ini sudah memasang kuda-kuda dari ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Ketuanya, yaitu gabungan dari Ilmu Silat Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Iblis dan Ilmu Silat Sakti Delapan Dewa). Kedua kakinya terpentang lebar, tidak bergerak sama sekali, akan tetapi tubuhnya dari lutut ke atas membuat gerakan-gerakan, kadang-kadang naik turun dengan lutut ditekuk, juga berputar ke kanan kiri, namun matanya tak pernah meninggalkan lawan. Keadaan menjadi tegang sekali karena semua orang maklum bahwa dua orang ka kek itu sedang saling mencari sasaran. "Haiiiitttt....ttt!" Chi Song mengeluarkan teriakan nyaring dan panjang, tubuhnya sudah menerjang maju, kedua tangannya melakukan pukulan-pukulan dengan jari terbuka, menyambar atas dan bawah bertubi-tubi dan mengikuti arah tubuh lawan mengelak.
"Hiaaaahhhh!" Sai-cu Lo-mo juga melengking nyaring, tubuhnya mengelak ke kanan kiri, kedua kakinya mulai membuat gerakan melingkar menurutkan garis pat-kwa (segi delapan), kedua tangannya juga menangkis dengan pengerahan sin-kang, yaitu menangkis hawa pukulan lawan dengan hawa pukulan tangannya sendiri karena dia maklum betapa bahayanya pukulan itu, melihat betapa kedua tangan lawan mengeluarkan bau amis dan mengeluarkan uap tipis berwarna hitam!
Bun Beng terbelalak kagum menyaksikan pertandingan itu. Baginya, gerakan kedua orang itu kurang cepat, akan tetapi tenaga sin-kang yang terkandung dalam pukulan-pukulan mereka membuat ia bergidik. Dia sendiri tidak tahu bahwa tenaga sin-kangnya kini telah meningkat sangat hebat, dan mengira bahwa dia tidak akan sanggup menghadapi pukulan dengan tenaga sin-kang seperti yang dilakukan oleh Chi Song atau paman kakeknya. Pertandingan berjalan seru bukan main setelah kini Sai-cu Lo-mo membalas serangan lawan dengan totokan jari tangan yang dia ambil dari Ilmu Sin-coa-kun, juga hasil ajaran ketuanya. Ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Nirahai kepada para pembantunya adalah ilmu silat lama yang dahulu menjadi ilmunya pendekar wanita sakti Mutiara Hitam. Namun, berkat pengertian Nirahai akan banyak sekali ilmu silat tinggi, Ketua Thian-liong-pang ini telah mengubah ilmu-ilmu itu, disisipkan jurus yang diambilnya dari ilmu lain untuk memperlihai ilmu silat tua itu, dan mengurangi bagian-bagian yang tidak perlu. Dengan sendirinya, dibandingkan dengan kehebatan ilmu-ilmu itu ketika dimainkan oleh Mutiara Hitam dahulu, kini lebih dahsyat lagi!
"Plak-plak-dukkkk!" Kedua orang itu terlempar ke belakang ketika dua kali lengan mereka beradu dan disusul tumbukan tangan mereka saling mendorong. Sai-cu Lo-mo cepat menjatuhkan diri dan bergulingan kemudian meloncat bangun kembali, tepat pada saat lawannya yang tadi terlempar membuat gerakan berjungkir balik ke belakang sampai lima kali dan kini juga sudah berdiri kembali. Mereka berdiri tegak, saling pandang dalam jarak hampir sepuluh meter!
Chi Song menjadi penasaran sekali. Dia telah menggunakan pukulan yang mengandung hawa beracun, akan tetapi kakek bermuka singa itu mampu menangkisnya dengan tenaga yang amat besar, sama besarnya dan agaknya kakek itu tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang keluar dari tangannya! Hal ini tidak mengherankan karena kakek bermuka singa itu ketika mengadu lengan dan tangan, menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin, tenaga selaksa kati yang kosong sehingga tidak dapat terpengaruh oleh hawa pukulan beracun, namun yang memiliki kekuatan dahsyat sekali. "Ha-ha-ha, orang Pulau Neraka, kepandaianmu hebat seperti iblis. Engkau memang patut tinggal di neraka!" Sai-cu Lo-mo mengejek.
"Heaaaaaahhhhhhtt!" Tiba-tiba tubuh Chi Song meloncat ke atas, menerjang dari atas dengan tendangan kedua kakinya ke arah dada kakek muka singa. Inilah keistimewaannya Si Tinggi Besar muka merah muda itu, yaitu tendangan terbang! Sai-cu Lo-mo terkejut sekali, cepat mengelak, namun tendangan dari udara yang berantai itu tetap saja menyerempet pundaknya. Betapapun juga, kakek ini masih sempat menangkap kaki kiri dan membetot ke bawah sehingga biarpun dia terhuyung oleh tendangan itu, tubuh lawannya terbanting ke atas tanah sampai berdebuk dan kalau saja Chi Song tidak memiliki kekebalan tentu tubuhnya akan remuk. Chi Song menggelundung dan meloncat lagi, hampir berbareng dengan Sai-cu Lo-mo yang sudah dapat mengatur keseimbangan
tubuhnya. "Ha-ha-ha, tendangannya luar biasa sekali. Ahh, orang-orang Pulau Neraka memang hebat. Kalau tenaga Thian-liong-pang dan Pulau Neraka digabung untuk menghantam Pulau Es, tentu Pulau Es akan dapat dihancurkan!" Sai-cu Lo-mo
berkata memuji.
"Uhhh, kau pun hebat, Sai-cu Lo-mo, dan ucapanmu itu tepat sekali. Sayang Ketuamu tidak mau mencoba kepandaianku agar dapat kami lihat apakah dia patut bekerja sama dengan To-cu kami!"
Hati Bun Beng mendongkol sekali. Mana sudi dia diajak bersekongkol dengan Pulau Neraka untuk menyerang Pulau Es? Gila! lebih baik dia memusuhi keduanya ini daripada harus memusuhi Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es! Karena marah, ia sudah meloncat dari atas kursinya. Dia hampir berteriak karena loncatannya itu luar biasa cepat dan ringannya, sehingga hampir saja jaraknya terlewat kalau dia tidak cepat berjungkir balik sehingga dia dapat kembali dan turun tepat di depan Chi Song! Gerakannya amat indahnya, juga amat cepatnya, sehingga Chi Song mengeluarkan seruan kaget. Sai-cu Lo-mo sendiri girang melihat Ketuanya turun tangan, karena diam-diam dia mengharapkan agar mereka dapat bekerja sama dengan Pulau Neraka yang mempunyai banyak orang pandai, untuk menyerang Pulau Es yang amat mereka segani dan takuti.
"Bagus, Pangcu menganggap saya cukup berharga untuk dilayani oleh Pangcu sendiri? Apakah Pangcu hendak mengalahkan saya dengan ilmu kami sendiri?"
Bun Beng hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Karena sikap ini dianggap memandang rendah, Chi Song marah sekali. Dia berteriak keras dan cepat menubruk maju, menyerang dengan tangan kanan terbuka ke arah kepala yang berkerudung itu. Bun Beng teringat akan ilmu memindahkan tenaga, make dengan tenang dia menarik kepalanya ke belakang dan begitu tangan lawan menyambar dekat, dia mendahului dengan sampokan tangan kiri ke arah lengan lawan, namun dia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya. "Dukkk....!"
Tubuh Chi Song terputar-putar seperti gasing. Pukulan itu seperti mendorongnya dari belakang, mendorong tenaganya yang ia pergunakan untuk memukul tadi, maka ia tak dapat menahan lagi tubuhnya terputar-putar terbawa oleh tenaganya sendiri ditambah tenaga amat dahsyat dari "Ketua" Thian-liong-pang.
"Ehhhh...., bukankah itu ilmu dari Suheng Ngo Bouw Ek?" Si Kepala Gundul berseru dengan mata terbelalak. Chi Song sudah dapat berdiri tegak, meraba-raba lengannya yang seperti remuk rasanya. "Tidak salah lagi," katanya heran. "Itulah ilmu memindahkan tenaga dan di antara kami hanya Ngo-suheng Kwi-bun Lo-mo saja yang dapat melakukannya!"
Bun Beng menjadi girang sekali karena ilmunya itu berhasil. Dia tidak menjawab, hanya berdiri tegak, dan tidak peduli akan pandang mata pembantu Ketua Thian-liong-pang yang terheran-heran karena mereka itu pun tak pernah mendengar bahwa Ketua mereka telah berhasil memiliki sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Neraka!
"Aku masih penasaran, Thian-liong-pangcu!" Tiba-tiba Chi Song berkata lagi dan dia sudah melompat ke atas, hendak menggunakan ilmu yang diandalkannya, yaitu tendangan terbang! Melihat ini, Bun Beng juga meloncat dan sengaja membuang diri ke belakang ketika tendangan kedua kaki tiba, kemudian dari samping dengan cara memindahkan tenaga lawan, dia menendang betis kanan Chi Song. "Plakk! Aduhhhh....!" tubuh Chi Song terbanting ke atas tanah, lalu terpincang-pincang dia menghampiri kursinya, menjauhkan diri duduk di atas kursi, menyeringai kesakitan, dan mengangkat kaki kanannya, dipijit-pijitnya, karena selain tulang betisnya patah, juga urat-uratnya rusak sehingga terasa nyeri bukan main, menusuk-nusuk sampai ke jantung!
Kong To Tek meloncat turun dari kursinya, menghampiri Bun Beng dan menjura, "Pangcu benar-benar hebat sekali, telah mengalahkan Sute dengan menggunakan ilmu memindahkan tenaga yang merupakan ilmu simpanan dan hanya diketahui oleh To-cu kami dan Ngo-suheng saja. Patut mendapat penghormatan kami!"
Bun Beng kaget ketika tiba-tiba dari kedua kepalan tangan yang dirangkap dan diangkat ke depan dada itu menyambar hawa pukulan yang panas sekali! Akan tetapi, teringat bahwa dia adalah seorang "ketua" di saat itu, amatlah tidak baik kalau dia memperlihatkan kegugupan, maka dengan nekat ia lalu mengerahkan sin-kang yang dilatihnya selama enam bulan di dalam tempat rahasia Ketua Thian-liong-pang, menyalurkannya ke dada dan menerima hantaman tenaga sin-kang dari kedua tangan lawan itu.
Kong To Tek terkejut bukan main. Pukulan jarak jauhnya sama sekali tidak terasa oleh lawan, bahkan hawa pukulannya membalik dengan cepatnya, membuat dia agak terengah dan dadanya sesak!
Bun Beng tak berani membuka mulut, maka dia hanya mengibaskan lengan bajunya disertai tenaga sin-kang dan.... Si Gundul dari Pulau Neraka itu terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Diam-diam Bun Beng merasa kaget dan heran sendiri, hampir dia tidak percaya bahwa sin-kangnya telah meningkat sedemikian hebatnya! Dengan mukanya yang merah muda itu menjadi pucat, hampir putih, Kong To Tek mengatur keseimbangan tubuhnya dan memandang Ketua Thian-liong-pang dengan mata terbelalak.
Adu tenaga sin-kang ini tentu saja dapat dilihat para tokoh Thian-liong-pang dan para anggauta Pulau Neraka. Melihat betapa serangan Kong To Tek membalik, dan dengan kibasan lengan baju saja membuat Si Gundul itu terhuyung, Tang Wi Siang yang marah menyaksikan Si Gundul itu bertindak curang, cepat melangkah maju dan berkata, "Pangcu, serahkan setan gundul ini kepada saya. Kalau saya tidak dapat mengalahkan dia, barulah Pangcu maju. Untuk memukul seekor anjing kecil, perlukah menggunakan pentungan besar?" Ucapan terakhir ini bermaksud bahwa untuk menghajar seorang lawan tingkat rendah, tidak perlu kalau pangcunya yang bertingkat jauh lebih tinggi itu turun tangan sendiri, Bun Beng mengangguk dan kini dia yang sudah yakin akan kemajuannya, sengaja mendemonstrasikan sin-kangnya. Tidak tampak kakinya bergerak, hanya lengan bajunya dikebutkan dan.... tubuhnya melayang seperti terbang cepatnya, tahu-tahu telah duduk kembali ke atas kursi Ketua! Melihat ini, para anggauta Pulau Neraka menjadi giris hatinya, bahkan Tang Wi Siang dan yang lain-lain melongo karena mereka mendapat kenyataan betapa gerakan Ketua mereka menjadi lebih lihai daripada biasanya! Mereka girang dan mengira bahwa Ketua mereka tentu mendapatkan ilmu di tempat rahasia, melalui lorong yang pintu masuknya adalah kuburan tua itu.
Tang Wi Siang kini menghadapi Si Gundul dari Pulau Neraka, menudingkan telunjuknya dan memaki. "Setan gundul! Kau datang dengan omongan manis, akan tetapi kenyataannya engkau curang, berani engkau lancang menyerang Pangcu kami dengan serangan gelap! Pangcu kami tadi sudah mengampuni nyawa tak berharga sutemu itu!" Dia menuding ke arah Chi Song yang duduk di kursi dengan muka cemberut dan kaki kanan diangkat-angkat karena masih nyeri. "Akan tetapi agaknya aku tidak akan dapat mengampunimu!"
Si Gundul itu tersenyum lebar dan menjura. "Aih, maaf, karena kami memang sengaja hendak mohon petunjuk Pangcu kalian, maka tadi aku sengaja menyerangnya. Pangcumu hebat bukan main, namun sayang, dia menghadapi seranganku dengan ilmu lain, bukan ilmu dari kami seperti ketika dia mengalahkan Sute. Kalau engkau hendak mewakili Pangcumu, silakan. Akan tetapi jangan marah kalau aku sampai kesalahan tangan!"
"Chih, sombongnya! Kaukira akan mampu mengalahkan Tang Wi Siang, kepala pelayan Pangcu Thian-liong-pang? Majulah dan terima kematianmu!"
Si Gendut Gundul cemberut dan tampaknya tidak puas. "Aih, celaka sekali! Hari ini aku benar-benar menerima penghinaan besar sekali. Jauh-jauh datang hanya dihadapkan seorang pelayan. Kalau tidak bisa menang, memang aku tidak layak hidup lagi! Kouwnio, terimalah seranganku!" Tiba-tiba Si Gundul ini menerjang dengan gerakan yang cepat sekali. Sungguh tak disangka-sangka bahwa orang yang gendut pendek sehingga kelihatan seperti seekor katak itu, memiliki gerakan kaki tangan amat cepat sehingga dilihat begitu saja, kedua pasang tangan dan kakinya seolah-olah telah menjadi masing-masing tiga pasang! Namun, kalau hanya menghadapi kecepatan gerak, wanita setengah tua yang masih cantik dan bertubuh ramping itu sama sekali tidak gentar dan dalam hal gin-kang, kiranya Si Gundul itu kini bertemu gurunya! Justru dalam hal gin-kang inilah Wi Siang menerima gemblengan Nirahai karena memang dia mempunyai bakat. Oleh Ketua Thian-liong-pang yang sakti itu, Wi Siang diberi ilmu Yan-cu Sin-kun, ilmu silat yang mengandalkan gin-kang sehingga tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung terbang, sesuai dengan nama ilmu itu, ialah Yan-cu Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet). Maka keceliklah Kong To Tek ketika tiba-tiba bayangan lawannya berkelebat dan lenyap! Hanya ada angin bertiup melalui atas kepalanya ke belakang, maka cepat ia memutar tubuh dan benar saja, lawannya telah berada di belakangnya. Ia terkejut dan tidak mau lagi mengandalkan kecepatannya karena maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli gin-kang yang jauh lihai daripadanya. Kini dia melakukan serangan dengan kaki tangannya, tidak mengandalkan kecepatan lagi, melainkan mengandalkan tenaga sin-kangnya. Baik hantaman tangan maupun tendangan kakinya didahului angin yang mengeluarkan bunyi mencicit seperti sebatang golok atau pedang yang memecah angin! Hebat bukan main tenaga Si Gundul ini, Wi Siang juga maklum bahwa mungkin dia lebih cepat, juga ilmu silatnya lebih tinggi, namun belum tentu dia dapat menandingi ke kuatan sin-kang Si Gundul yang benar-benar kuat itu.
"Hehhh!" Kong To Tek mengirim pukulan dengan tangan terbuka miring ke arah lambung kiri Wi Siang. Wanita ini cepat mengelak dengan menggeser kaki ke belakang, akan tetapi tangan kiri orang gundul itu sudah menonjok atau mendorong dengan telapak kanannya ke arah dada! Wi Siang kembali mengandalkan kecepatan mengelak dengan miringkan tubuh, akan tetapi angin pukulan yang menyerempet pundaknya masih saja membuat dia terhuyung ke samping. Marahlah wanita ini, "Haiiikkk!" Ia mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya mencelat ke atas, melampaui kepala Si Gundul itu. Ketika Kong To Tek memutar tubuh, Wi Siang sudah membalas serangannya dengan pukulan Touw-sim-ciang (Pukulan Menembus Jantung) yang bukan main ampuhnya.
"Hehhh!" Kembali Si Gundul membentak dan menangkis dengan lengannya. "Dukk!" Tubuh Tang Wi Siang terhuyung, juga Si Gundul menjadi miring kuda-kudanya. "Keparat!" Wi Siang membentak marah sekali dan kini di mainkan ilmu silatnya dengan gerak cepat Yang-cu Sin-kun, dan mengirim pukulan Touw-sim-ciang yang kalau mengenai tubuh lawan dengan tepat, tentu akan merenggut nyawanya. Menghadapi kecepatan yang luar biasa dari Wi Siang, Si Gundul kewalahan, apalagi karena dia pun maklum kalau dadanya sampai terkena pukulan itu, kekebalannya takkan dapat melindunginya. Maka dia mulai terdesak hebat dan Bun Beng dapat melihat bahwa tak lama lagi Si Gundul itu akan roboh oleh "pelayannya" yang benar-benar amat tangkas dan lihai itu. Ketika Wi Siang yang sudah mendesak itu melancarkan pukulan-pukulan bertubi-tubi, tiba-tiba tubuh Si Gundul yang pendek itu merendah, seperti merangkak sehingga kedudukannya seperti seekor katak berkaki empat karena kedua tangannya menapak tanah, dan dari perutnya keluar suara melalui kerongkongan.
"Kok-kok-kok!" Tiba-tiba dari mulut Si Gundul yang terbuka itu keluar uap tebal berwarna putih kehitaman, lingkaran-lingkaran uap yang menyerang ke atas ke arah tubuh Wi Siang! Wanita ini kaget sekali. Dia mengelak, akan tetapi celana pada betis kanannya terkena uap dan terasa olehnya betapa kulit betisnya panas, perih dan gatal-gatal yang luar biasa, membuat dia ingin sekali menggaruk dan pada saat itu, kedua tangan Si Gundul yang menapak tanah itu tiba-tiba diangkat ke atas dan dua kali tangan itu digerakkan mendorong ke tubuh lawan dengan bunyi "kok-kok!" maka menyambarlah angin pukulan yang dahsyat bukan main ke arah Wi Siang! Wanita ini kembali menjadi kaget, mengelak dengan cara melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik beberapa kali. Dia dapat menghindarkan pukulan maut itu, akan tetapi kembali Si Gundul telah menyerangnya dengan tubuh merangkak seperti katak, mulutnya terus-menerus menyemburkan uap kehitaman dan kerongkongannya mengeluarkan bunyi seperti katak besar. Diserang seperti ini, Wi Siang menjadi repot. Dia mengandalkan gin-kangnya untuk melesat ke sana-sini, namun karena dia maklum akan bahayanya uap itu, dia tidak berani mendekat dan terpaksa harus mengelak terus tanpa dapat balas menyerang, sedangkan lawannya itu menyelingi semburan uapnya dengan pukulan-pukulan dari bawah yang mengandung tenaga mujijat! Bun Beng sendiri menjadi terkejut menyaksikan perubahan ini. Si Gundul itu benar-benar amat berbahaya, pikirnya dan dia tidak tega menyaksikan Wi Siang dengan muka gelisah harus meloncat ke sana ke mari menghindarkan diri dari uap-uap itu dan pukulan-pukulan maut yang dilancarkan oleh manusia seperti katak itu. Maka sekali lagi dia mencelat dari atas kursinya dan pada saat itu Wi Siang sedang meloncat pula ke atas menghindarkan sebuah pukulan. Betapapun cepat gerakan Wi Siang namun bagi Bun Beng kelihatannya biasa saja. Ketika tubuhnya dekat dengan tubuh Wi Siang di udara,
ia cepat menyambar dengan "pembantunya" itu dan sekali sentak tubuh Wi Siang terlempar melayang ke tempatnya tadi di mana Wi Siang turun dan cepat-cepat merobek celana bagian betisnya. Ternyata kulit betisnya telah "termakan" racun dalam uap tadi, kelihatan merah totol-totol. Cepat ia mengambil obat anti racun dan menggosok betisnya dengan obat itu. Namun rasa gatal, panas dan perih masih belum lenyap.
Ketika Kong To Tek melihat Si Ketua turun tangan sendiri, dia tidak mau membuang waktu. Ketika Bun Beng meloncat turun, ia sudah menyambut dengan serangan uap dari mulutnya, tubuhnya merangkak maju dengan "empat kaki", dari kerongkongannya keluar suara berkokok seperti katak buduk, dan uap kehitaman menyerang Bun Beng. Namun pemuda ini, mengingat akan niat orang-orang Pulau Neraka agar dikalahkan dengan ilmunya sendiri, cepat merendahkan diri seperti merangkak pula, mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan dia meniup ke arah uap yang melingkar-lingkar itu.
"Kok-kok-kok....!" Si Gendut berkokok. "Wush-wushhh-wushhh!" Bun Beng meniup dan uap kehitaman itu segera terdorong, kembali ke arah penyerangnya!
Tentu saja Kong To Tek sudah memakai obat penolak racunnya sendiri maka uap itu tidak mempengaruhi kulit tubuhnya, namun dia menjadi gelagapan ketika uap-uap itu membuyar dan menghantam mukanya sendiri. Cepat ia mengangkat kedua tangannya, melakukan pukulan ke depan mendorong dengan tenaga mujijat. Bun Beng juga mendorongkan kedua tangannya, akan tetapi terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga dorongan kakek gundul itu bukan mengandung sin-kang sewajarnya dan selain amat kuat juga mengandung hawa beracun yang mujijat pula. Tentu merupakan latihan sin-kang yang disertai penggunaan racun yang banyak terdapat di Pulau Neraka, pikirnya, maka ketika Bun Beng merasa betapa dorongan kakek itu dapat membahayakan, cepat ia membuang diri ke samping, menggunakan ilmu memindahkan tenaga, ketika hawa dorongan lewat ia cepat membarengi dengan kibasan
lengannya yang sudah menjadi berganda tenaganya itu ke arah muka Si Gendut Gundul. "Kok-kok!" Si Kakek Gundul mengangkat mukanya sehingga pundaknya yang terkena hantaman ujung lengan baju Bun Beng.
"Plakkk!" Kembali Bun Beng terkejut. Hantaman lengan bajunya yang disertai tenaga sin-kang berganda itu ketika mengenai pundak lawan yang mengeluarkan bunyi seperti katak, terasa seperti membentur benteng baja dan membalik! Sementara itu, Si Kakek Gundul yang merasa terlindung oleh ilmu kataknya yang mujijat, mempercepat bunyi berkokok di tenggorokannya dan siap menyerang lagi. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng berkelebat dan lenyap, tahu-tahu tubuh "ketua" ini sudah melayang turun ke atas punggung lawan yang sedang merangkak sambil berkokok itu. "Kok-kok-kok.... ngekkkk! Brooottt!" Kakek gundul itu yang tadinya mengeluarkan bunyi seperti katak, ketika kedua kaki Bun Beng menginjak punggung disertai tenaga sin-kang yang membuat tubuhnya seperti menjadi laksaan kati beratnya, tak dapat menahan sehingga terdengar suara "ngek!" dan tiba-tiba disambung suara memberobot keras sekali dari tubuh belakangnya! Kiranya Bun Beng dapat menaksir di mana letak kelemahan manusia yang berlagak katak ini, maka begitu punggung terinjak kuat, hawa sakti yang membuat kakek itu berkokok dan menghembuskan uap, terpencet keluar tanpa dapat ditahannya lagi dan hawa itu menerobos melalui mulut belakang. Terdengar suara di sana-sini dan semua orang menutupi hidungnya, kecuali orang-orang Pulau Neraka, karena hawa yang keluar dari "mulut belakang" kakek itu benar-benar amat hebat.... baunya! Akibat racun yang terkandung di dala mnya sehingga bau itu memenuhi ruangan tamu. Kakek gundul itu sudah roboh menelungkup dalam keadaan pingsan, kini digotong oleh teman-temannya ke pinggir, sedangkan Bun Beng sudah meloncat kembali ke kursinya dan duduk dengan tenang. Diam-diam ia merasa girang sekali dan kini yakinlah dia bahwa penderitaannya selama setengah tahun di dalam tempat rahasia itu telah menyembuhkan luka-lukanya sama sekali, juga telah membuat dia memperoleh kemajuan yang amat hebat, baik dalam gin-kang, sin-kang, dan ilmu silat! Maka tenanglah hatinya karena kini dia merasa dapat menjaga diri terhadap siapapun juga. Chi Song terpincang-pincang menghampiri "ketua" dan dengan kaki kanan berjinjit ia menjura. "Banyak terima kasih atas petunjuk yang diberikan oleh Thian-liong-pangcu. Biarlah kami kembali melaporkan semua peristiwa ini kepada To-cu kami."
Setelah memberi hormat sekali lagi, terpincang-pincang Chi Song memimpin tiga orang temannya yang menggotong tubuh suhengnya yang masih pingsan. Akan tetapi baru saja mereka itu tiba di pintu ruangan, tampak berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan halus nyaring. "Setan-setan Pulau Neraka berani mengacau di sini?"
Terdengar suara hiruk pikuk dan tiga orang yang menggotong tubuh Kong To Tek tadi terpelanting ke kanan kiri sehingga tubuh Si Gundul itu terlempar pula, akan tetapi malah membuatnya siuman dan ia mengeluh panjang. Chi Song yang melihat munculnya seorang dara yang amat cantik jelita dan yang datang-datang menerjang dan merobohkan orang-orangnya, menjadi kaget, apalagi ketika dara itu telah menerjang maju dan menonjok ke arah dadanya dengan pukulan yang cepatnya sukar diikuti pandang mata. Dia mengelak, namun karena kakinya pincang dan gerakan dara itu cepat sekali, bahunya terkena pukulan dan ia terpelanting.
Melihat betapa orang-orang Pulau Neraka itu telah bangkit kembali dan tidak tewas oleh pukulan-pukulannya dara itu menjadi marah. "Srattt!" Dara itu sudah mencabut pedangnya akan tetapi tiba-tiba lengannya diraba orang dan tahu-tahu Bun Beng sudah berada di situ, menyentuh lengannya untuk mencegahnya turun tangan membunuh orang-orang Pulau Neraka. Bun Beng terpaksa turun tangan mencegah ketika melihat betapa Milana, dara jelita itu, hendak melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para tamu yang tentu dianggap oleh dara itu mengacau di Thian-liong-pang, apalagi karena dara itu pernah bertanding dengan orang-orang Pulau Neraka ketika menggendongnya dahulu. Melihat sentuhan pada lengannya, Milana menoleh. "Ibu....!" Ia berkata dan menyarungkan pedangnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh lima orang Pulau Neraka untuk melarikan diri, pergi dari situ secepatnya. Bun Beng cepat kembali ke kursinya dengan jantung berdebar. Milana telah muncul! Dia harus cepat-cepat pergi dari situ tanpa menimbulkan keributan. Akan tetapi terlambat. Milana yang terheran-heran menyaksikan sikap ibunya, cepat menghampiri, memandang ke arah sepasang mata di balik lubang kerudung kepala itu dan tiba-tiba ia berseru hampir menjerit.
"Engkau.... engkau bukan Ibuku!" Dara ini menjadi pucat mukanya, dan semua tokoh Thian-liong-pang mencelat bangun dari tempat duduknya masing-masing. "Jubah itu jubah Ibuku, dan kerudung itu pun sebuah di antara kerudung Ibuku. Akan tetapi engkau bukan Ibuku! Siapa engkau? Dan.... ohhh.... di mana Ibu? Kauapakan dia....?"
Milana mencabut pedangnya dan terdengarlah suara berdesing ketika para tokoh Thian-liong-pang mencabut senjata masing-masing. Bahkan Tang Wi Siang lalu mengeluarkan suara bersuit keras sebagai tanda bahaya dan segera tempat itu dikurung oleh puluhan orang anggauta Thian-liong-pang yang masih bingung dan tidak mengerti mengapa Tang-kouwnio memberi tanda bahaya sedangkan tamu-tamu dari Pulau Neraka telah dikalahkan dan telah melarikan diri keluar dari Thian-liong-pang. Lebih-lebih lagi kaget dan heran hati mereka ketika melihat Milana dan para tokoh itu dengan senjata di tangan mengurung Sang Ketua sendiri!
"Buka kerudungmu!" Milana membentak lagi. "Hayo perlihatkan mukamu, manusia bosan hidup yang berani memalsukan Pangcu kami! "Tang Wi Siang membentak dan barulah para anak buah Thian-liong-pang dapat mengerti dengan hati penuh kaget dan heran bahwa orang yang berkerudung seperti Ketua mereka itu kiranya adalah orang palsu!
"Nona, maafkan aku....!" Bun Beng berkata sambil melepaskan kerudung yang menutupi kepalanya. "Kau....?" Milana berseru kaget sekali. Dia girang melihat Bun Beng yang disangkanya tentu telah mati oleh luka-lukanya biarpun ketika terjatuh dari menara ditolong oleh Pendekar Super Sakti, kini masih hidup! Dahulu ibunya cepat-cepat menyambarnya dan membawanya pergi ketika melihat betapa Bun Beng yang terjatuh itu disambar oleh Pendekar Super Sakti.
"Aku tdak mau bertemu dengannya di sini. Tidak mau!" Ibunya berbisik penuh duka dan marah ketika Milana berusaha menahan ibunya agar suka bertemu dengan ayah kandungnya itu, dan ibunya terus membawanya lari secepat kilat tanpa diketahui oleh Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es itu. Dan kini, Bun Beng berada di situ bahkan menyamar sebagai ibunya! Di samping rasa girang yang amat besar ini, timbul kekhawatirannya dan ia bertanya, "Engkau....? Bagaimana ini....? Di mana Ibu?"
"Maaf, Nona. Ibumu pingsan ketika berlatih silat di tempat rahasia di bawah sana, karena ingin membebaskan diri, terpaksa aku memakai kerudung dan jubah ini...., maafkan aku...."
Akan tetapi Milana sudah tidak menjawab lagi dan dia meloncat hendak mencari ibunya yang pingsan di tempat rahasia. Dia sudah tahu akan tempat rahasia itu dan sudah tahu jalannya sungguhpun dia dan siapapun juga dilarang dan tidak pernah pergi ke sana. Sementara itu, para tokoh Thian-liong-pang yang kini mengenal Bun Beng menjadi marah dan segera menyerangnya, karena dia dianggap sebagai musuh Thian-liong-pang, seorang pengacau dan bekas tahanan yang dapat lolos. Tentu saja hanya Sai-cu Lo-mo yang tidak bergerak dan memandang bengong kepada cucu keponakannva itu. Selain dia tidak mau membunuh cucu keponakan, satu-satunya keturunannya biarpun hanya cucu luar, juga dia kagum bukan main, teringat betapa tadi Bun Beng dapat mengalahkan tokoh-tokoh lihai dari Pulau Neraka secara demikian mudahnya! Padahal, hanya kurang lebih setahun yang lalu, pemuda itu masih belum sedemikian hebat ilmu kepandaiannya!
Tang Wi Siang yang bersenjata pedang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menggunakan pukulan badainya, dan dua orang tokoh lain yang bersenjata golok sudah menerjang Bun Beng dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat. Bun Beng yang menghadapi pengeroyokan ini cepat menggerakkan kaki tangannya, berkelebat ke sana-sini dan tangannya bergerak menangkis atau mendorong dan.... empat orang pengeroyok itu terjengkang dan ada yang terguling, ada pula yang terhuyung seperti pohon-pohon disapu angin ribut! Melihat akibat tangkisan dan dorongannya, Bun Beng terkejut sendiri dan dia menggunakan kesempatan ini untuk meloncat ke atas, melalui kepala orang-orang yang mengepungnya, menendangi senjata-senjata yang ditujukan ke arahnya dan terus melesat keluar dari ruangan itu melalui jendela.
"Kejar!" Tang Wi Siang berseru dan mereka bergerak mengejar keluar.
"Berhenti! Tahan senjata!" terdengar seruan melengking disusul masuknya seorang wanita berkerudung yang bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang sendiri, bersama Milana yang menggandeng tangan ibunya. "Jangan kejar dia, biarkan dia pergi.... ahhh....!" Nirahai terhuyung dan cepat dibimbing oleh puterinya menuju ke kursinya. Semua tokoh menghentikan gerakan mereka, menghadap Ketua mereka dan memandang penuh kekhawatiran karena melihat tanda-tanda bahwa Ketua mereka mengalami luka dan kelihatan lemah.
"Jangan memusuhinya! Betapa pun dia telah menimbulkan kekacauan, harus kalian akui bahwa di telah menyelamatkan nama baik Thian-liong-pang sehingga kita tidak sampai mengalami penghinaan dari Pulau Neraka!"
Bun Beng yang sudah berada di luar, ketika mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang itu, merasa malu sendiri. Dia lalu meloncat kembali memasuki ruangan itu, menjura di depan Nirahai sambil berkata, "Teecu mohon maaf sebesarnya telah berlaku lancang, berani memalsukan Locianpwe karena keadaan terpaksa. Teecu tidak mempunyai niat buruk kecuali ingin bebas dari dalam.... neraka di bawah sana."
Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Tidak apa, Bun Beng. Semua kesalahanmu kulupakan, mengingat engkau telah membela nama baikku dan nama baik Thian-liong-pang. Bahkan untuk jasamu itu, aku akan menghadiahkan apa yang kauminta. Ajukanlah permintaanmu, kalau engkau suka, dan aku akan berusaha memenuhinya."
Berdebar jantung Bun Beng mendengar ini. Dia telah dapat melenyapkan rasa permusuhan dari hati wanita aneh ini, Ibu Milana. Hal itu saja sudah merupakan suatu hadiah yang amat besar artinya baginya. Akan tetapi ia teringat akan keadaan para tokoh kang-ouw yang terculik, terutama sekali teringat akan Ang-lojin atau Ang Thian Pa, Ketua Bu-tong-pai, ayah dari Ang Siok Bi. Maka segera ia berkata, "Terima kasih atas kepercayaan dan kebaikan hati Locianpwe. Teecu tidak menginginkan sesuatu untuk teecu sendiri, melainkan.... kalau Locianpwe tidak keberatan, teecu mohon sudilah Locianpwe membebaskan para tokoh kang-ouw yang menjadi tamu di sini."
Kembali Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Permintaanmu cukup pantas, bahkan cocok dengan keinginan hatiku sediri. Aku sudah bosan mempelajari ilmu lain yang pada hakekatnya sama dasarnya, dan sekarang tinggal beberapa saja yang masih menjadi tamu kami. Wi Siang, bebaskan mereka dan biarkan mereka pulang sekarang juga, masing-masing beri kuda dan perbekalan secukupnya. Bun Beng, bangkitlah dan saksikanlah sendiri terpenuhinya permintaanmu."
Dengan hati girang bukan main Bun Beng bangkit dan berdiri, tak lama kemudian dia sudah keluar lagi mengiringkan lima orang "tamu", di antaranya Ang Thian Pa. Mereka ini adalah orang-orang yang selalu memperlihatkan sifat menentang sehingga masih belum dibebaskan oleh Thian-liong-pang. Akan tetapi setelah kini mereka dibebaskan, bahkan disertai perlengkapan dan kuda, mereka merasa lega dan berterima kasih kepada Ketua Thian-liong-pang yang selama ini memperlakukan mereka dengan baik sungguhpun mereka itu merupakan tamu yang terpaksa!
Seorang demi seorang menjura dengan hormat kepada Nirahai sambil berpamit dan mengucapkan terima kasih. Ketika tiba giliran Ang Thian Pa sebagai orang terakhir, kakek ini menjura dan berkata, "Selama berbuan-bulan saya menerima kebaikan Thian-liong-pangcu, mudah-mudahan di lain kesempatan Bu-tong-pai dapat membalas kebaikan-kebaikan itu."
"Kami yang minta maaf kepadamu, Ang-lojin," kata Nirahai. Tiba-tiba Ang Thian Pa melihat Bun Beng dan mukanya berubah merah, alisnya berkerut dan dia berkata kepada pemuda itu, "Dahulu kusangka seorang taihiap yang budiman, berani menentang kejahatan dan membela yang tertindas. Kiranya engkau adalah seorang di antara tokoh Thian-liong-pang agaknya. Hemm, benar-benar aku telah salah lihat....!" Ia menghela napas panjang penuh kekecewaan dan penasaran.
Wajah Bun Beng menjadi merah sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa. "Ang-lojin, memang engkau telah salah lihat dan salah menduga. Gak Bun Beng bukanlah orang Thian-liong-pang dan ketahuilah bahwa atas permintaannyalah maka saat ini engkau kami bebaskan."
Kakek itu terkejut, lalu menghampiri Bun Beng dan menjura penuh hormat. "Ahhh, maafkanlah mataku yang benar-benar telah lamur, Taihiap. Dan untuk menebus kebodohanku yang tak dapat menghargai kebaikan orang, biarlah kusampaikan apa-apa yang menjadi idaman hatiku semenjak aku berada di sini. Yaitu.... jika kiranya Taihiap belum berkeluarga dan sudi menerima, aku.... ingin menyerahkan puteri tunggalku sebagai jodoh Taihiap!"
Hampir saja Bun Beng mencelat dari tempat ia berdiri saking kagetnya mendengar ini. Mukanya menjadi makin merah dan terbayanglah wajah Siok Bi yang cantik manis. Dia dijodohkan dengan dara yang manis itu! Begitu saja! Akan tetapi, sambil menahan debaran jantungnya dia balas menjura dan berkata, "Ang-locianpwe.... banyak terima kasih atas kebaikan Locianpwe.... akan tetapi soal itu.... hemm.... soal jodoh.... eh, belum terpikir olehku, karenanya, bukan aku menolak, hanya.... tak mungkin aku dapat menerima hal yang amat penting bagi hidupku itu. Aku akan menganggap saja bahwa tadi Locianpwe tidak pernah bicara apa-apa tentang perjodohan."
Kakek itu menghela napas panjang. "Memang anakku tidak cukup berharga untuk seorang seperti engkau, Taihiap. Hanya aku masih menaruh harapan besar, kalau memang berjodoh kelak tentu akan terjadi. Aku dan anakku akan selalu menanti kunjunganmu, Taihiap." Setelah berkata demikian, sekali lagi kakek itu menjura kepada Nirahai lalu meninggalkan ruangan itu.
"Aku pun mohon diri, Locianpwe. Nona Milana, selamat tinggal. Banyak terima kasih atas semua kebaikan Locianpwe dan nona yang telah dilimpahkan kepada diriku, semoga kelak aku dapat membalas itu semua." Tergesa-gesa Bun Beng meloncat keluar dari tempat itu karena dia merasa tidak enak sekali akan "pinangan" Ketua Bu-tong-pai tadi yang disampaikan di depan banyak orang, terutama di depan Milana!
Nirahai yang masih belum sembuh benar akibat salah latihan segera membubarkan anak buahnya dan masuk ke dalam ruangan dalam digandeng oleh Milana yang merasa khawatir akan keadaan ibunya. Bubarlah para anggauta Thian-liong-pang dan mereka membicarakan Bun Beng dengan penuh kagum dan keheranan. Terutama sekali Sai-cu Lo-mo, termenung dengan hati tegang dan penuh kegembiraan ketika mendapat kenyataan betapa cucu keponakannya telah menjadi seorang yang amat lihai, dan betapa Ketuanya suka mengampunkan pemuda itu. Timbul pula pikirannya bahwa mengingat akan perlindungan dan pembelaan Milana terhadap cucu keponakannya itu seperti yang ia dengar dari para anak buah Thian-liong-pang yang melakukan pengejaran terhadap Bun Beng yang dipimpin oleh kedua orang saudara kembar Su Kak Liong dan Su Kak Houw, alangkah baiknya kalau cucu luarnya itu dijodohkan dengan puteri Pangcu! Biarpun dengan hati takut-takut dan berdebar tegang, beberapa hari kemudian dia memberanikan hatinya menghadap Nirahai dan menyampaikan niatnya itu, yaitu meminang Milana untuk cucu keponakannya Gak Bun Beng! Sampai lama Ketua Thian-liong-pang itu tidak bergerak dari kursinya, sedangkan Sai-cu Lo-mo yang menanti jawaban duduk menundukkan muka dengan hati berdebar. Dia tidak dapat menduga apa yang akan menjadi jawaban Sang Ketua yang wataknya aneh sekali itu, bahkan dia tidak akan merasa heran kalau sebagai jawaban, wanita berkerudung itu melancarkan serangan dan membunuhnya! Akhirnya terdengar wanita itu menjawab, suaranya halus akan tetapi dingin, membuat Sai-cu Lo-mo yang mendengarnya terasa sakit seperti tertusuk dan menjadi beku. "Sai-cu Lo-mo, sudah kaupikir masak-masak pinanganmu ini? Kalau mengingat akan dirimu, dan akan keponakanmu, mendiang Bhok Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal, memang tidak mengecewakan dan patut dipertimbangkan pinanganmu itu. Akan tetapi, apakah kau sengaja atau pura-pura lupa bahwa Gak Bun Beng adalah keturunan Si Setan Botak, datuk kaum sesat Gak Liat yang merupakan manusia iblis? Yang lebih dari itu pula, apakah kau pura-pura lupa bahwa Gak Bun Beng terlahir sebagai anak yang tidak syah, terlahir dari perbuatan keji, yaitu pemerkosaan yang dilakukan Gak Liat terhadap Bhok Khim? Dan engkau masih berani mengajukan lamaran untuk pemuda itu, melamar anakku?"
"Maafkan kelancangan saya, Pangcu...." Sai-cu Lo-mo berkata, suaranya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena kedukaan hatinya. Bukan saja lamarannya ditolak, bahkan ia diingatkan akan keadaan Bun Beng yang dianggap hina dan rendah. Di dalam hatinya ia memberontak. Apakah kesalahan cucu keponakannya itu dalam hal pemerkosaan dan kelahiran tidak syah? Apa hubungannya dengan seorang ayah seperti Gak Liat? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah.
Nirahai dapat mengerti kedukaan hati pembantunya ini, maka dia berkata lagi, "Lo-mo, engkau hanya mengenal aku sebagai Ketuamu, hanya mengenal aku sebagai puteri Kaisar. Kalau engkau tahu siapa Ayah puteriku, engkau akan berpikir seribu kali sebelum mengajukan lamaran itu. Nah, mundurlah!"
Jantung Sai-cu Lo-mo berdebar. Sering kali dia menduga-duga siapa sebenarnya suami Ketuanya ini. Dia memberi hormat dan mengundurkan diri keluar dari ruangan itu, dan hatinya terasa berat sekali. Sepanjang pengetahuannya, Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu belum pernah menikah! Akan tetapi dikabarkan secara bisik-bisik bahwa puteri itu melarikan diri dari istana bersama Pendekar Super Sakti! Apakah Milana puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai? Ia bergidik, ngeri memikirkan bahwa dia telah berani meminang anak dari Panglima Puteri Nirahai, puteri Kaisar, dan anak dari Ketua Pulau Es, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti! Tentu saja dia tidak akan berani melakukan pinangan itu sekiranya dia tahu bahwa Ketuanya masih merasa dirinya sebagai puteri Kaisar, dan sekiranya dia tahu bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti!
Baik Nirahai sendiri maupun Sai-cu Lo-mo tidak tahu bahwa percakapan mereka tadi terdengar oleh Milana. Dara ini tadinya hendak mengunjungi ibunya, dan dia berhenti mendengarkan dari luar ketika melihat Sai-cu Lo-mo menghadap ibunya. Ketika ia mendengar jawaban ibunya, Milana merasa jantungnya seperti ditusuk. Cepat-cepat dia meninggalkan tempat itu kembali ke kamarnya dan menghapus beberapa titik air mata yang membasahi pipinya. Dia menganggap ibunya terlalu menghina Bun Beng! Tidak ingatkah ibunya bahwa Gak Bun Beng tidak pernah minta untuk dilahirkan sebagai keturunan Gak Liat, sama seperti dia yang tidak pernah minta untuk dilahirkan sebagai puteri Pendekar Super Sakti dan cucu Kaisar? Mengapa ibunya masih memandang keturunan dan kedudukan, setelah kesengsaraannya yang dialami ibunya karena kedudukannya sebagai puteri Kaisar?
Milana tidak kecewa karena penolakan ibunya. Dia tidak terlalu ingin, bahkan tidak ada keinginan sama sekali menjadi isteri siapapun juga, tidak ingin menjadi isteri Bun Beng. Juga, dia tidak tahu apakah dia cinta kepada pemuda itu atau tidak. Yang jelas, dia suka kepada Bun Beng dan merasa kasihan kepadanya. Apalagi kini ibunya sendiri menghina pemuda itu, dia merasa penasaran sekali dan rasa kasihan di dalam hatinya makin mendalam. Melihat hati ibunya yang rela menderita dan memaksa memisahkan diri dari ayahnya, Pendekar Super Sakti, melihat sepak terjang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw sungguhpun kini usaha itu telah dihentikan ibunya dan semua tokoh telah dibebaskan, Milana merasa bosan tinggal di situ dan dia ingin sekali bertemu dengan Bun Beng, melakukan perjalanan bersama pemuda itu. Tiba-tiba ia teringat akan musuh-musuh Bun Beng, teringat pula betapa pedang Hok-mo-kiam terampas oleh Tan-siucai dan Maharya, teringat pedang Lam-mo-kiam yang terampas oleh putera Pulau Neraka. Betapa banyak tugas yang dihadapi Bun Beng. Akan senang sekali kalau ia dapat membantu pemuda itu.
Pada keesokan harinya, Nirahai tak melihat puterinya. Milana telah pergi dari situ tanpa pamit dan biarpun Nirahai menyebar anak buahnya untuk mencari, usahanya sia-sia belaka, Milana tetap lenyap tanpa memberi tahu ke mana perginya dan apa tujuannya. Nirahai hanya dapat menarik napas panjang dan menyesali sikapnya yang terlalu memanjakan anak itu. Hanya dia tidak khawatir karena maklum bahwa tingkat kepandaian puterinya itu sudah cukup tinggi sehingga takkan mudah diganggu orang jahat. Mengapa puterinya tidak berterus terang saja kalau ingin merantau? Tanpa pamit begini, sedikit banyak membuat dia tidak tenang.
******
Pendekar Super Sakti Suma Han dan Giam Kwi Hong keponakannya juga muridnya, berdiri di pantai laut. Sebuah perahu layar putih, perahu Pulau Es yang menjemput mereka, telah menanti. "Kwi Hong, pedang itu tidak patut kaubawa-bawa. Engkau tidak layak memegang senjata laknat seperti itu." Pendekar Super Sakti berkata halus sambil memandang pedang Lam-mo-kiam yang tergantung di punggung keponakannya. Kwi Hong mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, bukankah seluruh tokoh kang-ouw mencari Sepasang Pedang Iblis? Bahkan Paman sendiri dahulu pernah menyatakan kepadaku akan mencari Sepasang Pedang Iblis sampai dapat? Setelah sekarang sebatang di antaranya berada di tanganku, mengapa Paman berkata demikian? Harap beri penjelasan karena saya tidak mengerti."
Pendekar Super Sakti menarik napas panjang dan berdiri menekan tongkatnya. "Memang semua pendekar, baik dari golongan bersih
maupun kotor, ingin sekali memperoleh sepasang pedang yang ampuh dan mujijat itu, tentu saja dengan maksud agar sepasang pedang itu dapat membantu mereka mengangkat nama, mengandalkan keampuhannya. Akan tetapi aku mencari pedang itu dengan maksud untuk kulenyapkan selama-lamanya agar tidak menimbulkan keributan lagi di dunia."
Tangan kanan Kwi Hong mengelus sarung pedangnya, alisnya berkerut. "Mengapa, Paman? Mengapa hendak dilenyapkan?"
"Engkau tidak mengerti. Riwayat Sepasang Pedang Iblis itu busuk sekali. Sungguhpun yang membuatnya adalah atas perintah mendiang pendekar wanita Mutiara Hitam, namun sepasang pedang itu telah dimasuki pengaruh roh jahat dari pembuat-pembuatnya berdasarkan ilmu hitam sehingga sepasang murid Mutiara Hitam pun menjadi korban saling bunuh. Akulah yang mula-mula menemukan mereka saling bunuh, kasihan mereka...." Suma Han termenung, teringat akan masa lalu di waktu dia masih kecil dan mendapatkan Sepasang Pedang Iblis (baca cerita Pendekar Super Sakti). Akan tetapi bukan kakek dan nenek murid Mutiara Hitam yang terbayang olehnya, melainkan wajah Lulu, adik angkatnya, juga wanita yang paling dicintanya, yang sekarang menjadi Majikan Pulau Neraka, dia menghela napas panjang. "Aku menguburkan jenazah mereka berikut Sepasang Pedang Iblis. Kemudian sepasang pedang itu lenyap dan kini yang sebatang terjatuh di tanganmu. Bagaimana hatiku akan tenang kalau engkau bersenjata pedang jahat itu?"
"Akan tetapi, Paman, bukankah Paman pernah mengatakan bahwa tidak ada ilmu yang baik atau jahat? Saya rasa demikian pula dengan senjata. Baik atau jahatnya tergantung daripada si pemakai, bukankah demikian? Kalau pedang ini dipergunakan untuk kejahatan, maka jahatlah dia, kalau dipergunakan untuk kebaikan, apakah juga jahat namanya? Maaf, Paman, bukan sekali-kali saya hendak membantah kehendak Paman. Kalau Paman menghendaki, saya akan menanggalkan pedang ini dan terserah hendak Paman apakan pedang ini. Akan tetapi, pedang ini adalah pemberian Bun Beng, dan...." Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya dan
menundukkan mukanya. Suma Han memandang tajam, kemudian menarik napas panjang dan berkata, "Ah, hampir aku lupa bahwa engkau
bukan kanak-kanak lagi, Kwi Hong. Engkau telah dewasa, sudah terlalu dewasa malah. Anak baik, apakah engkau mencinta Bun Beng?"
Kwi Hong tidak menjawab, mukanya merah sekali, kemudian ia mengangkat muka berkata tanpa berani menentang pandang mata pamannya, "Saya tidak tahu, Paman. Hanya.... saya pikir.... tidak baik kalau menyia-nyiakan pemberian orang, apalagi kalau dilenyapkan begitu saja.... dan dia sudah begitu baik kepada saya ketika bertemu dengan Tan-siucai dan Maharya, rela mengorbankan diri terluka hebat. Aihhh, mungkin sekarang dia.... dia.... dia telah.... mati...."
"Jangan khawatir. Mati hidup manusia berada di tangan Tuhan. Kalau dia sampai di Pulau Neraka dan menyerahkan suratku, saya yakin dia akan tertolong. Nah, biarlah sementara ini kau bawa pedang itu, apalagi engkau harus menjaga keamanan Pulau Es. Aku hendak pergi mencari Tan-siucai dan Maharya, perlu kuambil kembali Hok-mo-kian, karena kalau ada pedang itu padaku, aku tidak khawatir lagi kalau-kalau Sepasang Pedang Iblis akan menimbulkan bencana. Nah, berangkatlah dan hati-hati menjaga pulau."
Kwi Hong berangkat naik perahu dan setelah perahu itu berlayar menuju ke utara sampai jauh sekali dan hanya tampak sebagai sebuah titik yang kadang-kadang lenyap oleh naik turunnya ombak, Pendekar Super Sakti lalu membalikkan tubuhnya dan melesat pergi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Diam-diam dia mengambil keputusan untuk menjodohkan Kwi Hong dengan Bun Beng. Dia melihat anak keturunan Gak Liat itu mempunyai watak yang baik sekali. Dia tidak mengingat akan keburukan watak ayah Bun Beng, karena bukankah ayah Kwi Hong sendiri, perwira Mancu, Giam Cu, tidak lebih baik daripada Si Setan Botak Gak Liat? Akan
tetapi, ia tahu bahwa pikiran itu terlalu jauh melayang karena keadaan Bun Beng sendiri belum diketahui bagaimana keadaannya, sedangkan lukanya amat berbahaya. Pada waktu itu, Kerajaan Mancu yang mendirikan Wangsa Ceng, mengalami kemajuan amat pesatnya, menjadi sebuah negara besar yang amat kuat. Bintang Kerajaan Mancu ini mulai naik dengan pesat, menjadi cemerlang ketika pemerintahannya berada di tangan Kaisar Kang Hsi (1663-1722). Kaisar ini ternyata adalah seorang yang berbakat dan ahli untuk menjadi pemimpin. Dia seorang jendral perang yang amat pandai mempergunakan tenaga-tenaga ahli, sehingga semua perlawanan rakyat, baik dari kaum patriot yang mempertahankan tanah air dari penjajahan bangsa Mancu, sampai gerombolan-gerombolan bersenjata yang sebetulnya hanyalah perampok-perampok yang berdalih perjuangan, dapat dihancurkan satu demi satu. Daerah Se-cuan yang dipertahankan oleh Bu Sam Kwi yang gigih melawan bangsa Mancu, juga dapat direbut dan semua perlawanan dipatahkan dalam tahun 1681. Setelah Se-cuan jatuh, maka kerajaan Mancu boleh dibilang menguasai seluruh Tiongkok, bahkan jauh lebih luas lagi daripada wangsa yang sudah-sudah.
Bangsa Mongol yang dahulunya membantu penyerbuan bangsa Mancu ke selatan, merasa kecewa oleh politik Bangsa Mancu dan merasa kurang diberi bagian keuntungan, lalu memberontak. Namun, pemberontakan-pemberontakan yang amat gigih dan kuat itu pun dapat dihancurkan oleh pemerintah Ceng di bawah Kaisar Kang Hsi dan akibat perang ini seluruh Mongolia jatuh dan dikuasai bangsa Mancu. Bahkan dalam mengejar sisa-sisa pasukan Mongol bala tentara Mancu memasuki daerah Tibet dan menguasai pula. Makin luaslah daerah kekuasaan Kerajaan Ceng. Batas-batasnya sampai di seluruh Mancuria, Mongolia luar, Sin-kiang, Tibet dan seluruh daerah selatan Tiongkok. Bahkan di dalam perang-perang perbatasan yang mendatang, Kerajaan Ceng ini telah menaklukkan negara-negara tetangga, di antaranya Afganistan, Kasmir, Nepal, Birma, Muangthai, Malaysia, Vietnam dan Kamboja. Negara-negara ini mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Tiongkok dan menyatakannya dengan membayar upeti!
Kaisar Kang Hsi bukan hanya pandai dalam hal kemiliteran, juga dalam urusan politik dan sipil dia ternyata seorang ahli. Kaum koruptor diberantas sehingga pemerintahannya bersih dari perbuatan korupsi dan penyuapan, hal yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya, yang tak pernah dapat diberantas oleh kerajaan-kerajaan yang lain. Pemerintahan yang sehat dan jujur disusun, kaum penjilat dienyahkan, hukuman-hukuman berat dikenakan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan jahat.
Di samping ini, Kaisar Kang Hsi menghargai kebudayaan Tiongkok. Kebudayaan itu diperkembangluaskan, bahkan dia mengundang sasterawan-sasterawan dan ahli-ahli pikir untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahannya. Tentu saja undangan dan sikap Kaisar ini mendapat sambutan yang hangat dari kaum terpelajar, dan sekaligus merobah pandangan mereka yang tadinya benci akan penjajahan terhadap bangsa Mancu ini. Membanjirlah kaum sasterawan dari pelbagai daerah ke Pe-king yang menjadi kota raja, dan mereka diterima oleh Kaisar Kang Hsi, diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian masing-masing. Bukan hanya kaum sasterawan yang mendapat kedudukan, juga Kaisar yang bijaksana ini memberi kesempatan kepada kaum kang-ouw, kepada ahli-ahli silat yang pandai, untuk membantu pemerintahnya, menerima mereka dan memberi kedudukan-kedudukan yang menjamin kemewahan dan kecukupan hidup mereka. Inilah sebabnya mengapa Kaisar ini mempunyai barisan yang amat kuat, yang bukan hanya terdiri dari pasukan-pasukan Mancu yang sudah tergembleng oleh perang, juga dibantu oleh orang-orang pandai dari dunia kang-ouw. Setelah keadaan dalam negeri menjadi aman, semua pemberontak telah ditumpas dan orang-orang kang-ouw banyak menggabung dan mengabdi kepada kerajaan baru ini, mulailah Kaisar Kang Hsi memperhatikan persoalan dalam istana. Sudah lama dia merasa tak senang dengan hilangnya puterinya, yaitu Nirahai yang pernah berjasa besar ketika Kerajaan Mancu sedang berhadapan dengan banyak orang pandai yang memberontak. Dan semua itu adalah gara-gara seorang pendekar bernama Suma Han, yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga dikenal sebagai Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.
Setelah Pulau Formosa dikalahkan dan diduduki oleh Kerajaan Ceng, Kang Hsi mulai memikirkan hal ini dan berkeinginan hendak mengirim pasukan menyerbu Pulau Es, menangkap Suma Han yang dianggap telah memperkosa dan mencemarkan nama dan kehormatan Kerajaan Ceng, dan menarik kembali Puteri Nirahai kelingkungan istana. Selain ini, Kaisar yang mempunyai banyak sekali pembantu terdiri dari orang-orang berilmu tinggi ini, mendengar akan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu dan Koai-lojin, yang kabarnya berada di Pulau Es. Pada suatu hari, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, yaitu orang yang diangkat menjadi koksu dalam urusan pengumpulan orang-orang kang-ouw, menghadap Kaisar bersama dua orang tamu. Bhong Ji Kun ini adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi kurus dan berkepala botak, seorang peranakan India yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dialah yang menjadi "orang pertama " di antara jagoan istana, bahwa dia pula yang membentuk barisan pengawal kaisar istana. Koksu ini mempunyai dua orang pembantu yang lihai pula, yaitu Thian The Lama dan Thian Li Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet yang jarang dapat menemukan tanding. Ketika Kaisar menerima kunjungan Koksunya, Kaisar memandang dengan wajah tertarik kepada dua orang yang datang bersama Bong Ji Kun itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, berwajah tampan dan bersikap halus berpakaian sebagai sasterawan, bersama seorang kakek India yang berpakaian sederhana, seperti biasa kaum pertapa India, hanya kain panjang yang dibelit-belitkan tubuh, bertelanjang kaki, dan bersorban. Ketika Kaisar mendengar bahwa kakek India itu yang bernama Maharya adalah paman guru Sang Koksu sendiri, bukan main girang hati Kaisar ini dan segera memerintahkan Bhong Ji Kun untuk menerima Maharya sebagai tamu agung dan memberi segala pelayanan, juga apabila dikehendaki mengangkatnya sebagai penasehat dalam urusan keamanan. Juga murid pendeta itu yang diperkenalkan sebagai Tan Ki, seorang siucai yang selain ahli dalam hal ilmu silat, juga ahli sastera, diberi kedudukan, mencatat dan mengurus keperluan semua pasukan pengawal. Tentu saja guru dan murid ini merasa girang sekali dan berlutut menyembah menghaturkan terima kasih. Dengan masuknya Maharya menjadi pembantu kerajaan, tentu saja kedudukan kerajaan menjadi makin kuat, apalagi selain Maharya dan Tan-siucai, banyak pula orang pandai dari pelbagai aliran dan golongan masuk menjadi pengawal-pengawal dan panglima-panglima pengawal. Setelah mendapat bantuan Maharya, Bhong Ji Kun baru merasa besar hatinya dan dia menerima perintah Kaisar dengan penuh kepercayaan, untuk menyerbu Pulau Es. Tadinya dia selalu menangguhkan niat Kaisar ini dengan alasan bahwa Pendekar Siluman dari Pulau Es amatlah saktinya dan pelayaran menuju ke pulau itu berbahaya sekali. Namun, kini dengan bantuan paman gurunya yang dalam ilmu kepandaian bahkan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan dia sendiri, dia menyanggupi perintah itu, lalu mempersiapkan pasukan yang amat kuat, terdiri dari pengawal-pengawal pilihan, dikepalai panglima-panglima pilihan pula. Dari barisan armada lautan, koksu menerima beberapa buah kapal yang cukup besar dan kuat, ditangani oleh anak buah yang ahli dalam pelayaran. Berangkatlah pasukan yang terdiri dari tigaratus orang itu, selain dipimpin oleh para panglima pilihan, juga dikepalai sendiri oleh Bhong Ji Kun, Maharya, Tan-siucai, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan beberapa orang pandai yang menjadi pembantu koksu itu. Lima buah kapal besar melayarkan mereka menuju ke utara, seolah-olah sebuah armada yang hendak menyerbu daerah musuh! Perintah Kaisar adalah, menawan Pendekar Super Sakti Suma Han berikut semua anak buahnya, atau membunuh kalau mereka melawan, menduduki Pulau Es, dan merampas semua pusaka yang berada di pulau itu! Tidaklah mudah bagi kapal-kapal perang Ceng itu untuk dapat menemukan Pulau Es, akan tetapi anak buah kapal-kapal itu dipimpin oleh nakhoda kapal yang berpengalaman, dan kapal-kapal itu menjelajah ke utara, di antara pulau-pulau yang banyak terdapat di sana. Mereka tidak tahu bahwa mereka telah terlalu jauh ke utara sehingga di utara pulau-pulau itu terdapat Pulau Neraka yang namanya menggetarkan dunia orang gagah!
Pulau Neraka hanya kelihatan sebagai sebuah pulau menghitam yang menyeramkan, dengan batu-batu karang menonjol di permukaan laut sekitar pulau sehingga amat berbahaya bagi kapal atau perahu yang berani mendekatinya. Namun, karena yang mereka cari adalah Pulau Es, maka lima kapal itu tidak memperhatikan pulau-pulau lain, hanya meneliti kalau-kalau terdapat pulau yang berwarna putih, yang permukaannya tertutup es dan salju. Setelah hilir mudik sampai tiga pekan lamanya, pada suatu malam, sewaktu kapal-kapal itu terpaksa membuang jangkar dan melewatkan malam yang dingin di bawah sinar bulan purnama, tiba-tiba terdengar teriakan dari atas tiang di mana terdapat penjaga-penjaga yang mempergunakan teropong. Pada waktu itu, teropong merupakan barang baru yang telah dimiliki oleh pasukan Kerajaan Ceng. Mendengar teriakan ini panglima pengawal Bhe Ti Kong yang kebetulan malam itu mengepalai penjagaan, cepat meloncat dan memanjat tangga tali menuju ke atas. "Apa yang kaulihat?" tanyanya. "Ciangkun, harap periksa di sebelah timur itu!" si penjaga berkata, menyerahkan teropongnya.
Bhe Ti Kong menerima teropong dan mengarahkan alat itu ke timur. Dia berseru kaget dan heran! "Lekas beritahu kepada Koksu!"
Penjaga itu cepat menuruni tangga tali dan melapor kepada Bhong Ji Kun yang sedang duduk makan minum dan bercakap-cakap dengan para pembantunya di ruangan kapal besar.
"Hamba melapor kepada Taijin bahwa di sebelah timur kelihatan benda mencorong yang aneh sekali. Hamba diutus Bhe-ciangkun untuk melapor kepada Taijin."
Mendengar ini, Im-kan Seng-jin, diikuti oleh Maharya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Tan-siucai bergegas keluar menghampiri tiang besar yang ujung atasnya dipergunakan untuk tempat penjaga memeriksa keadaan dengan teropong. Bergantian Bhong Ji Kun, Maharya, dan kedua orang Lama meloncat dan melayang ke atas untuk memeriksa benda aneh di timur itu dengan teropong, sedangkan Tan-siucai terpaksa naik seperti yang dilakukan Bhe Ti Kong tadi, yaitu dengan melalui tangga tali. Hanya bedanya, kalau Bhe Ti Kong memanjat biasa, adalah siucai itu naik cepat sekali, seperti berloncatan dibantu oleh tangga itu. "Ahh, tak salah lagi. Tentu itulah Pulau Es!" kata. Im-kan Seng-jin setelah turun kembali. Benda yang tampak oleh mereka itu adalah benda besar panjang yang mencorong tertimpa sinar bulan, berkilauan putih seperti kaca. Hanya pulau yang tertutup es sajalah yang dapat mengeluarkan pantulan sinar bulan seperti itu. Kalau siang tidak tampak karena sinar matahari terlaiu terang. Akan tetapi, sinar bulan yang lembut membuat cuaca remang-remang dan karena itu pantulan sinar bulan dapat tampak. "Besok pagi kita menuju ke sana. Kalau benar di sana letak Pulau Es, setelah mendekati, lima kapal harus dipencar dan mengurung pulau. Pasukan dibagi dan dari sekarang kita harus mengatur rencana," kata Bhong Ji Kun yang segera mengumpulkan semua pembantu dan para panglima pemimpin pasukan. Malam itu juga dia membagi pasukan menjadi lima bagian dipimpin oleh komandan masing-masing, juga masing-masing pembantunya mengepalai pasukan sekapal. Kapal pertama dipimpin oleh koksu sendiri, ke dua oleh Maharya, ke tiga dan ke empat oleh kedua orang Lama, sedangkan kapal terakhir oleh Tan-siucai. Malam itu juga, mereka yang ditugaskan pindah ke kapal masing-masing dan semua pasukan mempersiapkan diri, yang tidak tugas jaga diperbolehkan tidur agar besok menjadi segar jika menghadapi pertempuran.
******
Kwi Hong yang berlayar di atas perahunya, mengaso di dalam bilik perahu, membiarkan perahu-perahu itu dilayarkan oleh lima orang anak buah Pulau Es. Ketika perahu itu tiba di tepi pantai, sebuah perahu kecil meluncur cepat menyambutnya. Perahu ini didayung oleh seorang pemuda tampan bertubuh tinggi besar, dan di dalam perahu penuh dengan ikan besar. Pemuda ini adalah Thung Ki Lok, putera dari Thung Sik Lun tokoh Pulau Es, sute dari Yap Sun. Usianya sudah dua puluh lima tahun, tampan dan gagah perkasa, mewarisi ilmu kepandaian ayahnya. Di punggungnya tergantung sebatang golok besar yang tajam mengkilap, dan tangannya memegang sebuah jala ikan. Melihat perahu itu dan melihat Kwi Hong berdiri di kepala perahu, dia melempar jala di atas ikan-ikannya, kemudian mendayung perahunya cepat sekali menyambut. Ketika perahu besar yang ditumpangi Kwi Hong menempel di darat, pemuda itu meloncat ke atas perahu, membawa seekor ikan yang besarnya sepaha orang, ikan yang kulitnya keemasan dan amat gemuk sehingga dalam keadaan mentah saja sudah kelihatan enak!
"Selamat datang, Nona. Sungguh besar sekali untungmu, begitu pulang aku berhasil mendapatkan seekor kakap merah yang lezat. Nah, kupersembahkan ikan ini kepadamu, Nona!" kata Thung Ki Lok sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang kuat dan bersih.
Hati Kwi Hong yang sedang kesal karena selalu memikirkan Bun Beng yang dikhawatirkan keadaannya, menjadi makin sebal melihat penyambutan yang amat ramah ini. Dia tahu bahwa sudah bertahun-tahun pemuda putera pembantu pamannya ini menaruh hati kepadanya. Sungguhpun Ki Lok tidak pernah membuka rahasia hatinya dengan kata-kata, namun dari gerak-geriknya, dari pandang matanya, dari suaranya, jelas menyatakan bahwa pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini jatuh cinta kepadanya. Anehnya, hal ini membuat Kwi Hong selalu merasa jengkel dan tidak senang!
"Terima kasih, Lok-ko. Aku lelah dan ingin mengaso, malas untuk masak-masak," katanya sambil melompat ke darat. Sejenak Ki Lok melongo, namun dengan senyum yang tak pernah meninggalkan mukanya, dia meloncat pula mengikuti dan menghadang di depan Kwi Hong sambil berkata, "Biarkan kumasakkan untukmu, Nona. Engkau suka ikan panggang, bukan? Akan kupanggang untukmu, kuberi bumbu yang enak. Harap kau jangan makan dulu, tunggu sampai ikan ini matang dan...."
"Sudahlah, Lok-ko, kaumakan sendiri ikan yang dengan susah payah kautangkap itu, kau makan bersama ayahmu. Aku tiada nafsu makan. Terima kasih!" Kwi Hong lalu meloncat ke depan dan berlari ke tengah pulau. Tinggal Ki Lok yang berdiri dengan ikan di tangan, dipondong di atas kedua lengannya, dan berdiri melongo memandang bayangan gadis itu yang lenyap di antara pohon-pohon. "Thung-kongcu, wanita itu seperti burung dara, kalau didiamkan mendekat, kalau didekati terbang menjauh. Lihatlah...." Seorang di antara anak buah Pulau Es menuding ke arah pulau. Ki Lok sadar, mukanya menjadi merah dan ia menengok ke tengah pulau itu. Musim ini, di mana banyak sinar matahari, pulau itu ditumbuhi beberapa macam pohon sehingga kelihatannya lebih hidup daripada di musim dingin yang membuat pulau itu gundul sama sekali. Di antara pohon-pohon ia melihat Kwi Hong sedang berhadapan dengan seorang pemuda, bercakap-cakap. Ki Lok membalikkan tubuhnya, meloncat ke dalam perahu, melempar ikan kakap merah di antara tumpukan ikan-ikan lain lalu mendayung perahunya menjauhi perahu yang baru tiba. Lima orang tukang perahu itu hanya menghela napas panjang karena mereka pun maklum bahwa seolah-olah terjadi perebutan antara Thung Ki Lok dan Kwee Sui, seorang pemuda tampan anak keluarga Pulau Es yang diambil murid oleh Phoa-toanio, yaitu Phoa Ciok Lin wakil majikan Pulau Es untuk urusan dalam. Namun semua orang maklum bahwa terhadap kedua orang muda yang seolah-olah bersaing memperebutkan cinta gadis cantik murid Pulau Es itu, Kwi Hong bersikap acuh tak acuh, bahkan kadang-kadang memperlihatkan dengan jelas bahwa dia tidak senang menghadapi rayuan mereka.
Pemuda yang kini menyambut kedatangan Kwi Hong itu adalah Kwee Sui. Dia berusia dua puluh enam tahun, tubuhnya tidak tinggi besar seperti Ki Lok, akan tetapi sedang dan wajahnya tampan sekali, juga dalam hal bicara dan mengambil hati, dia lebih pandai daripada saingannya yang agak kaku. Memang sifat kedua orang pemuda itu jauh berlainan, sungguhpun keduanya sama tampan dan sama gagah. Semenjak kecil, Ki Lok suka bekerja di luar, yaitu mencari ikan menentang panasnya matahari dan melawan serangan ombak laut, berjuang melawan alam di samping mempelajari ilmu silat dari ayahnya. Wataknya terbuka dan jujur, pemberani dan agak kaku. Sebaliknya, Kwee Sui yang menjadi murid Phoa Ciok Lin, dapat mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi karena gurunya adalah wakil Pendekar Super Sakti, bahkan Phoa Ciok Lin adalah murid dari iblis betina Toat-beng Ciu-sian-li yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw. Di samping ilmu silat, Kwee Sui juga suka belajar ilmu sastera dan ia selalu mengenakan pakaian bersih dengan potongan seorang sasterawan.
"Hong-moi, engkau baru pulang? Dan di mana Pamanmu, Suma-taihiap, mengapa tidak ikut pulang?" demikian Kwee Sui menyambut dengan sikap ramah. Sebagai murid Phoa Ciok Lin, dia lebih dekat dalam pergaulannya dengan Kwi Hong dan menyebutnya moi-moi (adik), tidak seperti Ki Lok yang menyebutnya nona. Adapun semua anggauta Pulau Es, menyebut taihiap (pendekat besar) kepada Suma Han yang tidak pernah suka disebut To-cu (majikan pulau) atau pangcu (ketua perkumpulan).
"Paman masih banyak urusan, aku disuruh pulang lebih dulu."
"Ahh, engkau tentu lelah. Biar kusuruh koki menyediakan makanan yang paling kausukai, Hong-moi. Inginkah kau mandi air hangat? Biar kusuruh pelayan menyediakan...."
"Terima kasih, Sui-ko, tak usah repot-repot, kalau aku perlu, aku akan menyuruh sendiri," jawab Kwi Hong singkat, mulai tak senang hatinya. Datang-datang dia disambut oleh rayuan-rayuan kedua orang pemuda itu, betapa menyebalkan!
"Eh, engkau mendapatkan pedang baru, Hong-moi? Bukan main indahnya sarung pedang itu.... ihh, bolehkah aku melihatnya?" Kwi Hong meraba gagang pedangnya dan menghunusnya separuh.
"Ayaaaa....!" Kwee Sui meloncat ke belakang sampai tiga meter lebih dan mukanya berubah. Matanya silau ketika tadi melihat pedang yang baru dihunus setengahnya, dan ia bergidik setelah Kwi Hong menyarungkan kembali pedangnya. Gadis itu tersenyum, setidaknya dia girang betapa pemuda itu terkejut dan kagum bukan main melihat Li-mo-kiam. Dia merasa bangga akan pedang itu.
"Bukan main, Hong-moi. Pedang pusaka apakah itu? Luar biasa sekali, baru sinarnya saja agaknya sudah dapat membunuh orang!"
"Hemm, tentu saja ampuh. Pedang ini adalah Li-mo-kiam, sebuah di antara Siang-mo-kiam."
"Sepasang Pedang Iblis....?" Kwee Sui terbelalak dan matanya lebar memandang ke arah pedang yang tergantung dalam sarung pedang di pinggang Kwi Hong. "Yang sebatang lagi mana, Hong-moi? Apakah dibawa Taihiap?" Kwi Hong hanya menggeleng kepala. "Tidak perlu banyak bertanya, Sui-ko. Sudahlah, aku ingin bertemu Bibi Phoa kemudian beristirahat." Gadis itu lalu meninggalkan Kwee Sui yang masih berdiri terlongong.
"Sepasang Pedang Iblis...." Pemuda itu berbisik dan bergidik, akan tetapi hatinya ingin sekali melihat dan memegang pedang yang amat terkenal dan yang ia dengar diperebutkan oleh seluruh orang gagah di dunia kang-ouw itu. Setelah bertemu dengan Phoa Ciok Lin, Kwi Hong berkata, "Bibi, dalam pelayaranku pulang, aku melihat dari jauh lima buah kapal perang, tentu milik pemerintah dan entah apa yang mereka cari di daerah ini. Harap Bibi suka perintahkan anak buah melakukan penjagaan lebih ketat, aku amat lelah ingin beristirahat."
Phoa Ciok Lin mengerutkan alisnya mendengar penuturan ini. "Lima buah kapal perang pemerintah? Apa gerangan yang dicarinya di daerah ini?"
"Subo, biarlah teecu pergi menyelidiki!" Tiba-tiba terdengar suara Kwee Sui yang ternyata menyusul masuk dan mendengar percakapan gurunya dengan Kwi Hong itu. "Baiklah, lakukan penyelidikan dan usahakan untuk mengetahui apa kehendak mereka mendatangi daerah ini. Akan tetapi, jangan kau lancang memancing keributan dengan mereka. Taihiap tidak menghendaki kita terlibat dalam permusuhan dengan pihak manapun juga."
"Baik, Subo, teecu mengerti." Setelah Kwee Sui berangkat, Phoa Ciok Lin lalu mengumpulkan tokoh-tokoh Pulau Es terutama sekali Yap Sun dan Thung Sik Lun, juga Thung Ki Lok, untuk mengatur penjagaan yang lebih ketat menjaga di sekitar pulau, kalau-kalau ada pihak musuh yang akan mendarat. Maka sibuklah semua penduduk Pulau Es, mereka melakukan penjagaan dan siap menghadapi segala kemungkinan selagi majikan mereka tidak berada di pulau. Sementara itu, Kwee Sui seorang diri mendayung perahu kecil, meninggalkan pulau melalui celah-celah rahasia yang hanya diketahui oleh penghuni Pulau Es, biarpun pemuda ini
tidak sepandai Ki Lok dalam hal mendayung perahu, namun karena semenjak kecil dia berada di atas pulau yang dikelilingi lautan dan karena tenaga sin-kangnya amat kuat, maka perahu itu meluncur cepat sekali ketika ia menggerakkan dayungnya. Dia tidak melihat adanya perahu besar atau kapal di situ, maka setelah mengelilingi pulau sehingga malam tiba, Kwee Sui mendayung perahunya ke pinggir, kemudian turun ke laut sebelah barat yang sunyi lalu tertidur dalam perlindungan dua buah batu besar. Dia pulas dan mimpi bertemu dengan Kwi Hong yang dalam mimpi itu suka menyambut rayuan cinta kasihnya. Hal ini terjadi karena sebelum tidur hatinya penuh kekecewaan akan sikap gadis itu yang belum pernah sedikit pun mau menghargai sikap manisnya. Kadang-kadang timbul iri hatinya karena mengira bahwa dia kalah bersaing dengan Ki Lok, akan tetapi ketika tadi ia dalam persembunyiannya menyaksikan betapa sikap Kwi Hong juga dingin saja bahkan menolak mentah-mentah pemberian ikan oleh pemuda itu, hatinya menjadi lega dan harapannya timbul kembali.
Kwee Sui enak mimpi sehingga dia tidak tahu bahwa malam telah terganti pagi, dan tidak tahu pula bahwa di depannya telah berdiri seorang pendeta berkepala gundul dan bertubuh gendut bundar. Pendeta ini bukan lain adalah Thian Tok Lama yang amat lihai. Dia mendapat tugas memimpin kapal yang mendekati Pulau Es di pagi hari itu dari sebelah barat dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dengan dua potong papan diikatkan di bawah sepatunya, pendeta sakti ini dapat mendarat tanpa diketahui oleh seorang pun penjaga Pulau Es!
Para penjaga hanya melihat betapa lima buah kapal itu mendekati dan mengurung pulau, akan tetapi tidak berani mendarat. Tentu saja tak seorang pun di antara mereka menyangka ada orang dari kapal yang dapat "berjalan" di atas air seperti yang dilakukan Thian Tok Lama dengan bantuan dua potong papan di bawah kakinya. Apalagi pendeta Lama ini mendarat ketika cuaca masih gelap.
Melihat seorang pemuda tidur pulas di pantai dan sebuah perahu kecil terikat di situ, Thian Tok Lama merasa girang sekali. Dia memang ingin menangkap seorang penghuni Pulau Es untuk ditanyai keterangan dan dipaksa menjadi petunjuk jalan, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menotok jalan darah di belakang leher Kwee Sui. Pemuda ini terkejut, terbangun, akan tetapi tidak dapat bergerak lagi karena kedua pasang kaki tangannya lumpuh dan dia tidak dapat mengeluarkan suara! Thian Tok Lama memanggul tubuh pemuda itu kemudian meloncat ke air dan "meluncur" dengan ayunan tubuhnya sehingga kedua potong papan di kakinya itu seperti dua buah perahu kecil yang diinjaknya. Tenaga ayunan kedua lengannya yang digerakkan amat kuat sehingga dia meluncur cepat, kalau dilihat dari jauh tentu membuat orang menduga bahwa pendeta ini berlari di atas air! Kwee Sui sendiri terbelalak penuh keheranan menyaksikan kepandaian pendeta yang amat luar biasa ini. Jantungnya berdebar dan otaknya yang cerdik segera bekerja. Ia dapat menduga bahwa tentu pendeta ini datang dari kapal-kapal itu, tentu seorang tokoh kerajaan yang berilmu tinggi. Kalau yang datang itu adalah musuh dan memiliki orang-orang yang begini sakti, tentu akan celakalah penghuni Pulau Es, pikirnya. Apalagi pada waktu itu, Pendekar Super Sakti tidak berada di atas pulau. Dia harus berlaku cerdik dan akan menyaksikan dulu bagaimana perkembangannya karena itu ia masih belum mengerti mengapa pendeta lihai ini menawannya. langsung kepada Im-kan Seng-jin Bong Ji Kun. Ketika Kwee Sui melihat koksu yang berpakaian indah gemerlapan, melihat para panglima pengawal dan pasukan pengawal di kapal besar yang bertopi besi berpakaian perang dan bersenjata lengkap, hatinya menjadi gentar. Biarpun ilmu kepandaiannya cukup tinggi, namun pemuda ini belum ada pengalaman bertempur, pula, melihat kepandaian Thian Tok Lama, dia sudah menjadi ketakutan. Kalau sebuah kapal saja mempunyai pasukan yang lebih dari lima puluh orang jumlahnya, dan ada orang-orang yang berilmu begitu tinggi, apalagi kalau lima buah kapal itu datang menyerang semua. Dapat dipastikan bahwa Pulau Es akan hancur!
Koksu menggerakkan tangan dan hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan menyambar ke arah pundak Kwee Sui dan.... pemuda ini merasa betapa totokan di tubuhnya terbebas. Bukan main kagetnya. Ilmu semacam ini, gurunya sendiri pun tidak mampu melakukannya, kecuali barangkali Pendekar Super Sakti. Tahulah dia bahwa pembesar yang berpengaruh dan berwibawa ini tentu memiliki kepandaian lebih tinggi lagi daripada Si Pendeta yang menghormat ketika menceritakan betapa di pantai barat itu sunyi tidak tampak penjaga, dan hanya bertemu dengan pemuda yang sedang tidur lalu ditangkapnya itu. "Berlututlah engkau!" Seorang pengawal membentak dan menodongkan tombaknya di punggung Kwee Sui. "Engkau berhadapan dengan Koksu Pemerintah yang Mulia!"
Sebagai seorang terpelajar, tentu saja Kwee Sui mengerti apa artinya kedudukan koksu ini. Seorang yang amat berkuasa, boleh dibilang nomor dua sesudah raja di bidang keamanan, tentu saja seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali! Maka tanpa ragu-ragu ia lalu menjatuhkan diri berlutut. Pemuda ini banyak membaca tentang sejarah dan kesusasteraan, diam-diam dia ingin sekali menggunakan kepandaiannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan, menjadi seorang berpangkat yang dihormati ribuan orang, hidup serba mewah dan penuh kesenangan! Maka, begitu kini berhadapan dengan Koksu Negara, tentu saja dia bersikap hormat sekali.
"Harap Taijin sudi mengampunkan hamba yang entah telah melakukan kesalahan apa sehingga dihadapkan kepada Taijin," katanya dengan bahasa yang teratur baik. "Ha-ha-ha-ha!" Bhong Ji Kun mengelus jenggotnya dan ketika kepalanya bergerak naik turun, botaknya yang kelimis itu mengkilap tersinar cahaya matahari yang masuk melalui jendela di ruangan kapal itu. "Tadinya kusangka bahwa penghuni-penghuni Pulau Es adalah manusia-manusia setengah liar, atau seperti siluman-siluman sehingga pemimpinnya dijuluki Pendekar Siluman. Kiranya orang muda ini cukup tampan, berpakaian baik dan bersikap sopan dengan bahasa yang terpelajar. Eh, orang muda, engkau siapakah dan apa kedudukanmu di Pulau Es?"
"Nama hamba Kwee Sui, hamba hanyalah seorang biasa saja yang kebetulan mendapat kehormatan menjadi murid dari Subo Phoa Ciok Lin, wakil Taihiap untuk urusan pulau."
"Eh, kiranya engkau orang penting juga! Tentu kepandaianmu cukup hebat kalau engkau murid kuasa pulau. Akan tetapi mengapa ketika ditangkap engkau tidak melawan?" Bhong Ji Kun membentak curiga. "Hamba memang telah mempelajari sedikit ilmu, akan tetapi mana mungkin hamba dapat melawan Losuhu yang lihai ini? Selain hamba sedang tidur sehingga dapat ditotoknya, juga andaikata hamba tahu bahwa Losuhu adalah utusan Taijin, bagaimana hamba berani melawan?"
"Hemm, engkau pandai bicara. Katakan, mengapa engkau tidak berani melawan utusanku?"
"Setelah mengetahui bahwa Ta ijin adalah Koksu Negara, sampai mati pun hamba tidak akan berani melawan. Untuk apa hamba mempelajari sedikit kepandaian? Bukan lain hanya untuk memenuhi idam-idaman hati hamba, yaitu apabila ada kesempatan, hamba ingin mengabdikan diri kepada pemerintah."
Bhong Ji Kun membuka lebar matanya, kemudian mengangguk-angguk. "Hemm, demikiankah sesungguhnya? Nah, tentang kedudukan untukmu boleh kita bicarakan kemudian, sekarang yang terpenting, hendak kulihat apakah engkau benar-benar ingin mengabdikan diri. Apakah Pendekar Siluman berada di pulau?"
"Tidak, Taijin. Taihiap sedang bepergian, entah kemana." Wajah Koksu itu kelihatan girang. Tanpa adanya Pendekar Super Sakti yang ditakuti, tentu mudah menaklukkan penghuni pulau itu. Kelak, menghadapi Pendekar Siluman sendirian saja tanpa anak buah, tentu akan lebih mudah. Dan pemuda ini kelihatannya amat ingin memperoleh kedudukan, maka tentu akan dapat membantunya dengan baik. "Siapa yang sekarang berada di Pulau Es? Siapa tokoh-tokohnya yang menjaga keamanan di sana dan berapa banyak penghuninya?"
"Selain Subo Phoa Ciok Lin, juga tentu saja di sana terdapat Paman Yap Sun, Paman Thung Sik Lun, puteranya yaitu Thung Ki Lok, dan terutama sekali, di sana ada juga murid Taihiap, atau keponakannya sendiri, Nona Giam Kwi Hong. Hanya merekalah yang menjadi tokoh-tokoh terpandai di Pulau Es, selebihnya hanyalah anak buah yang jumlahnya laki perempuan dan tua muda kurang lebih seratus orang. Belasan orang di antara mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Subo dahulu sebelum menjadi penghuni Pulau Es, yaitu menurut Subo, adalah murid-murid Toat-beng Ciu-sian-li."
"Ah-ah! Murid-murid In-kok-san yang memberontak?" kata Koksu dengan kaget.
"Benar, Taijin. Akan tetapi sekarang, tidak ada sedikit pun niat memberontak dalam hati para penghuni Pulau Es. Bolehkah hamba mengetahui, mengapa Taijin membawa pasukan ke Pulau Es?"
Bhong Ji Kun memandang tajam kepada pemuda itu. Sekarang ujian terakhir bagi Kwee Sui dan Koksu itu sudah siap untuk mengirim pukulan apabila pemuda itu memperlihatkan sikap memberontak. "Kami hendak menangkap Pendekar Siluman dan pembantu-pembantunya, dan kami hendak menduduki Pulau Es."
"Ahhhh....!" Kwee Sui terkejut bukan main, dan kalau saja dia tidak sangat cerdik, tentu dia sudah mengamuk. Akan tetapi, pemuda ini hanya memperlihatkan kekagetan, kemudian bertanya, hati-hati. "Maaf, Taijin. Akan tetapi.... apakah kesalahan kami? Apakah dosa para penghuni Pulau Es?"
"Tak perlu kau tahu, ini adalah perintah Kaisar! Kalau mereka melawan, akan dibunuh! Bagaimana pendapatmu?"
"Taijin, hamba kira tidak akan ada yang melawan, kecuali kalau Taihiap berada di Pulau. Kalau sampai mereka melawan.... aihhh, hamba tidak dapat membayangkan akibatnya. Subo memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, juga kedua Paman Yap Sun dan Thung Sik Lun amat lihai, belum lagi belasan orang saudara seperguruan Subo. Dan terutama sekali Nona Kwi Hong.... ahhh, Taijin tidak tahu, dia luar biasa lihainya, telah mewarisi ilmu dari Suma-taihiap. Lebih lagi, baru-baru ini dia telah memperoleh Li-mo-kiam sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis."
"Sepasang Pedang Iblis?" Hampir semua tokoh yang hadir dalam kapal itu berseru, yaitu yang berada di kapal koksu itu adalah Sang Koksu sendiri, Thian Tok Lama yang menghadap, dan para panglima.
"Bagus sekali! Kami akan menundukkan atau membunuh mereka, pedang itu dan semua pusaka di Pulau Es harus dirampas untuk kerajaan!"
Tiba-tiba Kwee Sui memberi hormat dan berkata, "Mohon Koksu sudi mempercaya hamba. Hamba sanggup membantu, sehingga pasukan-pasukan pemerintah tidak mengalami kesukaran memasuki Pulau Es yang tidak mudah diserbu, dan hamba akan mencuri Li-mo-kiam dari tangan Nona Giam Kwi Hong, kemudian membantu Taijin menghadapi mereka yang melawan, dan akan membujuk agar mereka tidak melawan dan menyerah saja, akan tetapi hamba mohon janji Taijin."
"Ha-ha-ha, orang muda. Aku mengerti, jangan khawatir, kalau berhasil penyerbuan ini dan jasamu besar, tentu aku akan melapor kepada Kaisar dan engkau akan memperoleh anugerah pangkat sesuai dengan kepandaianmu."
"Hamba percaya akan hal itu, Taijin, akan tetapi ada satu hal yang hamba minta kepada Taijin sebelum Taijin mengerahkan pasukan menyerbu Pulau Es...."
"Hemmm, apa permintaanmu? Katakanlah, akan kami pertimbangkan."
"Hamba.... hamba mencinta Giam Kwi Hong, karena itu.... harap dia jangan dilukai apalagi dibunuh.... jika menjadi tawanan supaya diserahkan kepada hamba.... hamba akan berterima kasih sekali dan selamanya akan menyerahkan jiwa raga hamba mengabdi kepada pemerintah di bawah pimpinan Taijin."
Koksu itu tertawa bergelak dan tanpa banyak tanya lagi dia mengerti akan isi hati pemuda itu. Tak salah lagi, pikirnya, tentu cinta pemuda ini ditolak oleh murid Pendekar Siluman. Sungguh kebetulan sekali dan amat menguntungkan terlaksananya tugasnya karena andaikata tidak ada persoalan itu, belum tentu pemuda ini mau membantunya demikian mudah.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dari bawah kapal dan seorang pemuda tinggi besar yang pakaiannya basah semua, dengan sebatang golok besar di tangan kanan, telah berdiri di situ memandang ke arah Kwee Sui dengan mata terbelalak marah, kemudian menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Kwee Sui sambil membentak. "Manusia she Kwee yang berbudi rendah! Seekor anjing yang setiap hari diberi makan dan dipelihara, masih memiliki kesetiaan. Akan tetapi engkau ini manusia lebih hina daripada anjing, setelah segala kebaikan yang kau terima dari Majikan Pulau Es, sekarang pada kesempatan pertama hendak mengkhianatinya! Bedebah!"
Para pengawal sudah mengurung pemuda itu, dan Thian Tok Lama sudah melangkah maju, akan tetapi Im-kan Seng-ji Bhong Ji Kun berseru, "Tahan dan jangan serang dia!" Lalu Koksu ini menoleh kepada Kwee Sui, "Kwee-sicu, siapakah dia itu dan kenapa dia marah-marah kepadamu?"
Muka Kwee Sui sudah merah sekali saking malu dan marahnya. Tak disangkanya bahwa saingannya itu berada di sini dan mendengarkan ucapannya tadi. Sudah kepalang, pikirnya. Tentu saingannya menyelidiki kapal dengan jalan berenang karena memang dia seorang ahli renang yang luar biasa.
"Taijin, dia itulah Thung Ki Lok putera Paman Thung Sik Lun. Dia memang membenci hamba karena dia pun jatuh cinta kepada Giam Kwi Hong."
"Ha-ha-ha!" Bhong Ji Kun tertawa bergelak, di dalam hatinya dia mengejek Pendekar Siluman. Kiranya Pulau Es hanya dihuni oleh pemuda-pemuda macam ini, karena tergila-gila kepada seorang wanita, telah melakukan hal-hal yang bodoh, pikirnya. "Kwee-sicu, setelah engkau berjanji untuk membuat jasa kepada kerajaan. Nah, kuperintahkan engkau menghadapi dia!"
Kwee Sui melompat berdiri dan Thian Tok Lama menyerahkan pedangnya yang tadi dirampas oleh pendeta Lama itu. Dengan pedang di tangan, Kwee Sui menghampiri Ki Lok dan berkata, "Ki Lok, engkau memang sudah bosan hidup. Telah lama ingin sekali aku memenggal batang lehermu, akan tetapi karena di pulau, tidak ada kesempatan bagi kita mengadu nyawa. Sekarang, kita hanya berdua di sini, mari kita tentukan siapa di antara kita yang hendak hidup!"
"Hemm, manusia hina! Karena engkau telah menjadi anjing penjilat musuh, maka berani bicara besar! Apa kaukira aku takut menghadapi macammu dan para majikan barumu?"
"Tutup mulutmu yang busuk!" Kwee Sui marah sekali dan sudah menerjang dengan pedangnya. Ki Lok menangkis dengan goloknya.
"Tranggg....!" Tangan Kwee Sui tergetar dan memang dia maklum akan besarnya tenaga yang dimiliki Ki Lok, namun dia tidak gentar karena dia memiliki gerakan yang lebih cepat dan gesit. Segera ia menyerang lagi menggerakkan pedangnya dengan kecepatan luar biasa sehingga pedangnya berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar dan menyerang Ki Lok. Karena Kwee Sui digembleng oleh Phoa Ciok Lin yang lihai, tentu saja ilmu silatnya lebih lihai daripada Ki Lok. Tingkatnya lebih tinggi, terutama sekali gin-kangnya. Akan tetapi Ki Lok memiliki keberanian yang luar biasa, membuatnya selalu tenang dan biarpun gerakan goloknya tidak secepat gerakan pedang di tangan lawan, namun karena dia menggerakkannya dengan tenang dan dengan tenaga yang besar maka dia dapat melindungi tubuhnya dengan baik. Bhong Ji Kun menonton pertandingan ini dengan hati
girang. Dia mendapat kenyataan bahwa Kwee Sui memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, lebih tinggi kalau dibandingkan dengan kepandaian para panglimanya, bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Panglima Bhe Ti Kong yang dipercayanya. Boleh juga, pikirnya. Pemuda ini akan merupakan pembantu yang boleh diandalkan, hampir setingkat dengan kepandaian Tan-siucai! Dan pertandingan ini merupakan ujian terakhir bagi pemuda itu! Kalau pemuda she Kwee itu benar-benar bertekad bulat untuk menghambakan diri kepada kerajaan, tentu tidak akan segan-segan membunuh kawannya sendiri, kawan sepulau!
Pertandingan berlangsung mati-matian dan seru karena Ki Lok juga berusaha untuk membunuh Kwee Sui, bukan semata-mata karena memperebutkan Kwi Hong, sama sekali tidak. Demi nona itu yang diperebutkan cintanya, dia tidak akan begitu rendah untuk mengadu nyawa dengan Kwee Sui. Kalau dia sekarang berusaha membunuhnya adalah karena melihat kenyataan bahwa Kwee Sui hendak mengkhianati Pulau Es. Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya dan mulailah Ki Lok terdesak oleh sinar pedang Kwee Sui, dan ia hanya dapat menangkis dan mengelak tanpa dapat balas menyerang. Ki Lok mundur terus sampai di pinggir kapal, kakinya tersangkut tali dan ia terjengkang. Saat itu, dua kali sinar pedang berkelebat.
"Crat-crat!" Darah mengucur keluar dari pangkal lengan kanan dan dada kiri Ki Lok. Pemuda ini terjengkang ke belakang, goloknya terpental dan tubuhnya terlempar keluar kapal. Air muncrat ke atas dan tubuh pemuda tinggi besar itu tenggelam dan lenyap. Yang tampak hanya sedikit air lautyang berwarna merah oleh darahnya. Sejenak Kwee Sui memandang ke air, sambil menyimpan kembali pedangnya. Ketika mendengar suara Bhong Ji Kun tertawa, dia membalik dan menjatuhkan diri lagi berlutut di
depan koksu itu. "Bagus! Kepandaianmu lumayan dan engkau telah membuktikan kesetiaanmu. Nah, sekarang bagaimana baiknya menurut rencanamu agar kami dapat mendarat?"
"Perkenankan hamba kembali ke pulau. Hamba akan memberi tanda-tanda dengan sobekan-sobekan kain putih yang menunjukkan jalan masuk yang aman, bebas dari jebakan-jebakan. Akan hamba coba untuk membujuk mereka agar menyerah, akan tetapi kalau mereka tidak mau, terserah kalau Taijin hendak membunuh mereka yang melawan. Hamba akan berusaha mencuri Li-mo-kiam dan harap Taijin jangan lupa agar jangan membunuh Nona Kwi Hong andaikata dia nekat melawan."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Kalau dia melawan akan kami tawan dia untukmu. Akan tetapi selain pedang Li-mo-kiam, kau harus mengumpulkan pusaka-pusaka Pulau Es agar jangan sampai mereka sembunyikan atau hancurkan. Kelak engkau akan diberi anugerah besar dan kedudukan yang cukup tinggi."
"Baik, Taijin. Hamba mohon sebuah perahu kecil agar hamba dapat mendarat lebih dulu."
"Kau beri tanda dari lima penjuru, agar pasukan-pasukan kami yang terbagi lima dapat menyerbu dengan aman."
"Baik!" Kwee Sui lalu meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang sudah diturunkan oleh pasukan, kemudian mendayung perahu itu ke darat dengan jantung berdebar. Biarpun dia telah berhasil membunuh Ki Lok, namun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia telah bermain dengan api, dan kalau dia teringat kepada Pendekar Super Sakti, dia bergidik. Tidak apa, pikirnya, menghibur diri sendiri. Kalau serbuan itu berhasil dan dia tinggal di kota raja, membantu koksu yang memiliki banyak orang pandai, dia tentu aman dari pembalasan Pendekar Super Sakti. Dan Kwi Hong, si cantik manis yang membuatnya tergila-gila itu, setelah ditawan dan diserahkan kepadanya, hemm.... dia akan memaksanya menjadi isterinya, mau atau tidak! Kalau dia sudah mendapatkan kedudukan tinggi, aman dan terjamin keselamatannya, sudah memperoleh diri Kwi Hong yang dicintanya, mau apa lagi? Jauh lebih baik daripada "mati kering" di tempat dingin itu, di Pulau Es, hanya dapat memandang Kwi Hong dengan penuh rindu hati yang menyiksa perasaan. Setelah mendapatkan perahunya Kwee Sui cepat memasang tanda-tanda kain putih di tempat-tempat tertentu sebagai petunjuk jalan masuk pulau sebagaimana yang telah ia janjikan kepada Koksu. Sambil memasang kain putih dia memasuki pulau dan langsung menghadapi gurunya yang masih berunding dengan Kwi Hong bagaimana sebaiknya menghalau musuh kalau memang kapal-kapal yang mendekati pulau itu benar-benar musuh yang berniat buruk. "Wah, lama benar engkau melakukan penyelidikan, sampai kusuruh Ki Lok pergi menyusulmu. Di mana Ki Lok?" Begitu dia datang, gurunya menegurnya. "Celaka sekali, Subo." Tiba-tiba Kwee Sui menjatuhkan diri berlutut dan mengusap air matanya.
"Eh, ada apakah?" Phoa Ciok Lin membentak marah melihat muridnya begitu cengeng. "Lekas ceritakan!"
"Liok-te telah tewas mereka bunuh....!"
"Apa....?" Seruan ini keluar dari mulut Thung Sik Lun, ayah Ki Lok yang tentu menjadi terkejut sekali mendengar bahwa putera tunggalnya telah tewas dibunuh orang. "Bagaimana terjadinya?" Suaranya gemetar, akan tetapi kakek yang gagah perkasa ini sudah dapat menekan batinnya, hanya mukanya saja yang pucat sekali dan pandang matanya mengeluarkan kilat.
Karena khawatir kalau-kalau kebohongannya dapat dilihat oleh ayah Ki Lok, Kwee Sui kembali menghadapi gurunya sambil melirik ke arah Kwi Hong yang terbelalak kaget sampai tidak bisa bicara apa-apa ketika mendengar betapa pemuda yang menjadi sahabatnya sejak kecil itu telah terbunuh musuh.
"Teecu dapat mendekati sebuah di antara kapal mereka dan semalam suntuk teecu bersembunyi sambil berpegang pada rantai jangkar. Baru pagi tadi teecu dapat merayap naik dah selagi teecu hendak mencuri pembicaraan mereka, tiba-tiba tampak Lok-te meloncat naik ke kapal, dan mencaci-maki, mengusir kapal-kapal itu supaya menjauhi Pulau Es."
"Ahhh.... dia selalu keras hati dan terlalu berani...!" Terdengar Thung Sik Lun mengeluh sambil menggunakan kepalan tangannya mengusap dua titik air mata.
"Ahhh, kasihan Lok-ko. Kita harus membalas dendam atas kematiannya!" Kwi Hong mengepal tinju, suaranya nyaring penuh kemarahan dan sakit hati. "Lanjutkan ceritamu. Mereka itu siapakah?" Phoa Ciok Lin mendesak muridnya.
"Celaka sekali, Subo. Lima buah kapal itu adalah kapal pemerintah dan dipimpin sendiri oleh Koksu Negara yang amat sakti! Dia membawa tentara yang banyak sekali, ada tiga ratus orang-orang lihai sekali. Teecu menyaksikan sendiri betapa dalam satu jurus saja Lok-te telah roboh dan terlempar ke laut! Dari kata-kata Koksu itu kepada Lok-te teecu mendengar sendiri akan ancamannya untuk menduduki Pulau Es dan akan membunuh semua penghuninya apabila berani melawan. Maka teecu mengharap kebijaksanaan Subo dan Hong-moi agar mempertimbangkan, apakah perlu melawan pasukan besar yang dipimpin orang-orang sakti itu."
"Pengecut!" Phoa Ciok Lin membentak marah. "Kau sebagai muridku mengusulkan agar kita menakluk saja dan menyerahkan Pulau Es tanpa perlawanan?"
"Ohhh, tidak.... tidak.... mana teecu berani? Teecu hanya menyampaikan hasil penyelidikan teecu dan mohon pertimbangan Subo. Segala keputusan Subo dan Hong-moi tentu saja teecu taati dan teecu siap membantu dengan taruhan nyawa teecu!"
Phoa Ciok Lin hilang kemarahannya dan ia percaya kepada muridnya itu. Ia menoleh kepada Kwi Hong sambil bertanya, "Hong-ji (Anak Hong), karena Taihiap tidak ada di sini, bagaimana pendapatmu?"
Kwi Hong mengerutkan alis dan meraba gagang pedang Li-mo-kiam. "Bagaimana pendapatku? Adakah pendapat lain lagi setelah Lok-ko mereka bunuh, Bibi? Pendapat kita satu-satunya hanyalah mempertahankan pulau, melawan mati-matian! Bagaimana Paman Yap Sun dan Paman Thung?"
Dua orang kakek itu mengangguk. "Tidak ada jalan lain lagi," jawab Yap Sun.
"Saya siap untuk mengorbankan nyawa demi membela pulau kita, seperti yang telah dilakukan anakku!" kata Thung Sik Lun terharu. "Bagus, kita harus mengatur persiapan dan kuserahkan kepada Bibi!" kata Kwi Hong penuh semangat. Phoa Ciok Lin yang lebih berpengalaman daripada Kwi Hong karena dia adalah seorang bekas pejuang, cepat berkata, "Kita bagi anak buah menjadi empat. Aku sendiri memimpin anak buah menjaga pantai barat, engkau memimpin anak buah menjaga pantai timur, Hong-ji. Kau Sui-ji (Anak Sui), memimpin penjagaan di utara, Paman Thung memimpin penjagaan di selatan. Adapun Paman Yap memimpin sisa anak buah untuk menghadapi serbuan kapal ke lima, darimanapun datangnya. Kebetulan kita di sini berlima, jadi tepat untuk memimpin anak buah menghadapi lima buah kapal itu yang agaknya telah mengurung pulau. Mari kita berjuang membela pulau sampai titik darah terakhir!"
Mereka lalu keluar dari Istana Pulau Es dan mengumpulkan anak buah, membagi menjadi lima dan segera berangkat ke tempat penjagaan masing-masing. Ketika Kwi Hong sedang sibuk mengatur pasukannya, tiba-tiba Kwee Sui mendekatinya dan berkata, "Hong-moi, maafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah. Sekarang kita menghadapi musuh yang kuat dan entah kita akan dapat saling berjumpa lagi atau tidak. Maka sebagai ucapan selamat berpisah dan selamat berjuang, aku lebih dulu mohon kau suka memaafkan semua kesalahanku."
Kwi Hong tersenyum. Hatinya lega. Baru sekali ini pemuda itu tidak mengeluarkan kata-kata merayu dan mengambil hatinya, dan agaknya dalam ancaman bahaya ini Kwee Sui bersikap sungguh-sungguh, maka dia berkata halus, "Sui-ko, mengapa engkau berkata demikian? Tentu saja aku suka memaafkan kalau engkau bersalah, akan tetapi kau tidak bersalah apa-apa. Pula, siapa bilang bahwa kita akan kalah? Lihat saja kita akan hancurkan mereka semua!"
"Mudah bagimu, Moi-moi, karena engkau memiliki ilmu kepandaian setinggi langit. Juga mudah bagi Subo dan kedua Paman. Akan tetapi aku? Ah, tingkat kepandaianku masih amat rendah. Sedangkan, Lok-te saja demikian mudah terbunuh apalagi aku? Kalau saja aku mempunyai pusaka seperti pedangmu itu, Hong-moi, agaknya aku akan dapat mengamuk dan tidak akan mudah dikalahkan musuh!"
"Hemm, yang penting adalah orangnya, bukan pedangnya, Sui-ko."
"Kalau begitu, apakah engkau sudi meminjamkan pedangmu itu kepadaku? Percayalah aku akan menjaganya dengan nyawaku, dan dengan pedang itu di tangan, aku tidak takut menghadapi koksu sendiri sekalipun!" Kwee Sui berkata penuh semangat. "Pula, engkau telah memiliki Pek-kong-kiam pemberian Taihiap."
Kwi Hong ragu-ragu sejenak, akan tetapi karena dia menganggap ucapan pemuda itu tak dapat disangkal kebenarannya, dengan ramah ia lalu melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam dan menyerahkannya kepada Kwee Sui.
"Demi mempertahankan pulau, aku rela meminjamkan pedang ini kepada mu, Sui-ko. Akan tetapi hati-hatilah terampas musuh. Aku percaya, dengan pedang yang ampuh dan mujijat ini, kelihaianmu akan menjadi lipat ganda."
"Terima kasih.... terima kasih, engkau baik sekali, Hong-moi. Selamat berpisah, mudah-mudahan kita akan saling dapat berjumpa pula." Kwee Sui menerima Li-mo-kiam lalu lari menghampiri pasukannya dan dipimpinnya pasukan itu menuju ke pantai utara seperti yang ditugaskan subonya. Diam-diam ia tersenyum lega. Pasti kita akan saling berjumpa lagi, Moi-moi, berjumpa sebagai suami isteri baik engkau mau atau tidak!
Setelah membawa pasukannya ke utara dan menyuruh mereka berjaga sambil bersembunyi, Kwee Sui diam-diam meloloskan diri dan mulai bekerja sibuk memberi tanda kain putih di pantai itu, kemudian ia menyusup ke timur dan ke selatan untuk memberi tanda-tanda robekan kain putih. "Haiiii....!" Tiba-tiba muncul dua orang anak buah Pulau Es dari tempat sembunyinya dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka tegur itu adalah Kwee Sui, mereka terheran-heran.
"Kwee-kongcu.... apa yang sedang kaulakukan itu?" SEorang di antara mereka menegur. Kwee Sui terkejut dan ketika ia menoleh ke sana-sini dan tidak melihat adanya orang lain, secepat kilat dia mencabut pedang Li-mo-kiam.
Dua orang itu tak sempat berteriak karena sinar pedang itu saja sudah membuat mereka menggigil dan bergidik, tak dapat berkutik lagi. Di lain saat sinar kilat berkelebat dan kepala mereka menggelinding putus dari leher, terbabat Li-mo-kiam! Pedang yang sudah sekian lamanya tidak minum darah itu kini mulai melepaskan dahaganya dan ketika Kwee Sui memandang pedang itu dengan hati penuh kebanggaan, ia melihat pedang itu lebih bersinar-sinar lagi setelah mencium darah manusia. Hebatnya, pedang yang telah membabat putus dua leher manusia itu sedikit pun tidak ternoda merah, seolah-olah darah telah mencucinya lebih cemerlang dan bersih.
"Li-mo-kiam.... hebat....!" Kwee Sui mencium pedang itu lalu menyarungkannya kembali, kemudian menyeret dua orang itu ke balik batu dan menguruk mayat mereka berikut dua buah kepala mereka dengan salju. Noda darah di atas tanah bersalju ia hapus dengan injakan kakinya, kemudian ia melanjutkan pekerjaannya.
Baru saja ia selesai memberi tanda-tanda di semua jurusan, tiba-tiba terdengar sorak-sorai disambut teriakan-teriakan gegap gempita dan tahulah dia bahwa pasukan-pasukan pemerintah telah mulai menyerbu! Memang koksu telah mengabarkan kepada pimpinan kapal masing-masing bahwa di darat telah ada pembantu mereka yang memasang tanda kain-kain putih yang harus dijadikan petunjuk untuk menyerbu ke pulau itu.
Terjadilah perang yang hebat dan di lima penjuru pulau itu! Para pasukan pemerintah dapat menyerbu pulau itu dengan mudah karena mereka terbebas dari tempat-tempat yang dipasangi jebakan dan alat rahasia berkat petunjuk robekan kain-kain putih yang dipasang oleh Kwee Sui. Melihat ini, para penghuni Pulau Es terpaksa menyambut mereka dengan senjata dan terjadi perang yang mati-matian. Biarpun jumlah penghuni pulau kalah banyak dan ilmu silat para pasukan pengawal itu lebih tinggi, namun para penghuni menang kuat dalam tenaga sin-kang. Selama tinggal di pulau, mereka terbiasa oleh hawa dingin dan melatih sin-kang dengan menghimpun Im-kang sehingga tenaga mereka mengandung hawa dingin yang lebih kuat daripada para penyerbu. Para penyerbu rata-rata menggigil kedinginan, bukan hanya oleh hawa yang keluar dari bumi Pulau Es, akan tetapi juga karena benturan senjata dengan para penghuni Pulau Es itu dilandasi Im-kang yang membuat para lawan selalu terserang hawa dingin yang menusuk tulang. Serangan serentak dari lima buah kapal itu membuat para tokoh Pulau Es tidak dapat saling membantu karena mereka itu menghadang musuh masing-masing yang menyerbu dari lima jurusan. Bahkan Yap Sun sendiri kini bersama pasukannya telah menghadapi serbuan pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tan Ki atau Tan-siucai. "Ha-ha-ha, kakek tua bangka. Mengapa engkau tidak mau menakluk saja dan berani melawan pasukan pemerintah?"
"Selamanya Pulau Es tidak pernah mengganggu pemerintah, kalau sekarang pemerintah menyerang kami, terpaksa kami akan mempertahankan pulau mati-matian!" jawab kakek Yap Sun dengan suara keren.
"Ha-ha-ha! Kalian anak buah Pulau Es memang tidak berdosa terhadap pemerintah akan tetapi majikan kalian berdosa besar sekali, karena itu kalian pun ikut berdosa kalau melawan."
"Orang muda, engkau berpakaian seperti sasterawan namun memimpin pasukan! Terang bahwa engkau tergolong penjilat penjajah. Tak perlu banyak cakap lagi, siapa takut kepada engkau dan pasukanmu? Anak-anak, serang mereka!" Kakek Yap Sun memberi aba-aba dan berloncatan keluarlah anak buahnya yang berjumlah hanya tiga puluh orang menghadapi lawan yang jumlahnya dua kali lipat banyaknya. Dia sendiri sudah menerjang maju dengan tangan kosong menyerang pemuda berpakaian sasterawan itu.
Tan-siucai terkejut ketika merasakan hawa panas sekali menyambar dari kedua tangan kakek itu. Memang Yap Sun telah diberi Ilmu Pukulan Hwi-yang Sin-ciang oleh Pendekar Super Sakti. Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) merupakan ilmu pukulan sakti yang amat hebat, karena di dalam tenaga ini terkandung hawa sakti yang melebihi api panasnya, dapat menghanguskan lawan yang tidak kuat menerimanya.
"Bagus!" Tan-siucai berseru dan sekali tangan kanan bergerak, dia telah mencabut sebatang pedang yang berwarna hitam. Inilah senjatanya yang dibuat oleh gurunya sendiri, Pendeta Maharya, sebatang pedang yang ampuh karena diberi racun yang merendam pedang itu sampai bertahun-tahun sehingga pedang itu berwarna hitam! Sambil mencelat ke samping mengelak dari pukulan ampuh kakek itu, Tan Ki mengelebatkan pedangnya. Sinar hitam menyambar ke arah Yap Sun. Kakek ini pun maklum akan berbahayanya pedang itu yang mengeluarkan bau amis, namun dia tidak gentar. Dorongan tangan kirinya dengan jari terbuka mengeluarkan hawa pukulan yang dapat menangkis dan mendorong mundur sinar pedang itu sehingga Tan Ki terpaksa meloncat lagi dan menyerang dari lain juRusan. Sementara itu, pasukan kedua pihak sudah saling serang dengan hebat dan terjadilah perang tanding mati-matian di mana setiap orang anak buah Pulau Es dikeroyok dua orang lawan.
Ternyata hanyalah Kakek Yap Sun seorang dari pihak Pulau Es yang kebetulan bertemu lawan yang seimbang. Kawan-kawannya ternyata bertemu lawan berat dan keadaan mereka terdesak hebat. Phoa Ciok Lin, yang merupakan orang ke dua setelah Kwi Hong dalam hal kelihaian ilmu silatnya, bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Thai Li Lama, pendeta Lama kurus yang lihainya luar biasa itu. Phoa Ciok Lin terpaksa harus mengeluarkan semua ilmunya, mengeluarkan seluruh gin-kang dan ilmu silatnya untuk menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang mengandung campuran hawa mujijat dari ilmu hitam. Berkali-kali Thai Li Lama mengeluarkan bentakan-bentakan yang amat berwibawa, membuat wanita sakti itu kewalahan dan hampir celaka karena hampir saja dia tidak dapat menahan pengaruh bentakan-bentakan yang mengandung ilmu hitam I-hun-to-hoat (hypnotism) itu. untung bahwa sebagai pembantu istimewa yang telah digembleng oleh Pendekar Siluman, dia memiliki batin yang kuat sehingga dengan segala kekuatan batinnya dia masih berhasil mempertahankan diri. Namun jelas bahwa dia terdesak hebat, seperti juga anak buahnya yang terdesak oleh serbuan anak buah Thai Li Lama. Thung Sik Lun, tokoh Pulau Es yang bertubuh kurus dan yang memiliki keistimewaan gerak cepat, lebih payah lagi karena dia bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh pendeta India, Kakek Maharya yang tentu saja jauh lebih lihai daripada dia! Begitu kakek ini mendarat, Thung Sik Lun menyerangnya dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang dapat membikin beku darah di tubuh lawan. Namun Kakek Maharya menerima pukulannya dengan enak saja dan begitu tangan kiri Thung Sik Lun mendarat di dada yang kerempeng itu, tangan Thung Sik Lun tak dapat ditarik kembali, melekat dan tersedot oleh dada kerempeng itu! Thung Sik Lun terkejut, cepat menggerakkan tangan kanannya dengan pengerahan Im-kang sekuatnya memukul ke pusar. "Desss!" Kembali tangannya melekat di kulit keriput perut Maharya, tak dapat ditarik kembali.
"Heh-heh-heh!" Maharya terkekeh, sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menjambak rambut di ubun-ubun kepala Thung Sik Lun, mencengkeram dan begitu dia mencabut, kepala itu berikut kulit dan tulang kepala bagian ubun-ubun copot! Otak dan darah mengucur keluar dan Maharya membuka mulutnya menerima dan menggelogok darah campur otak segar itu seperti orang kehausan menerima air sejuk! Setelah darah berhenti mengucur dan Maharya melepaskan sin-kangnya, tubuh Thung Sik Lun yang sudah tak bernyawa lagi itu terguling! Tentu saja robohnya pimpinan ini membikin kacau para anak buah Pulau Es. Di antara mereka banyak yang roboh dan mereka bergidik ngeri menyaksikan kematian pimpinan mereka, maka mereka cepat mengundurkan diri ke tengah pulau sambil menahan majunya musuh-musuh dengan senjata rahasia mereka yang ampuh, yaitu butiran-butiran es yang dingin sekali, yang dapat mereka kumpulkan dan gali dari lorong bawah tanah di belakang Istana Pulau Es! Hujan butiran es yang dingin ini sedikit banyak menghambat kemajuan para penyerang dan memungkinkan mereka untuk mundur dan mengatur pertahanan lagi tanpa pimpinan.
Thian Tok Lama yang memimpin pasukannya disambut oleh anak buah Kwee Sui. Akan tetapi ketika anak buah Pulau Es melihat Kwee Sui menyambut kedatangan pendeta gundul itu tertawa-tawa dan mereka berdua itu bercakap-cakap sambil berjalan ke darat, mereka menjadi kacau. Apalagi ketika Kwee Sui berseru.
"Kita tidak boleh melawan pasukan pemerintah! Kita bukan pemberontak! Lebih baik menyerah saja tentu diampuni!" Mendengar ini, anak buah Pulau Es menjadi bingung. Akan tetapi mereka semua adalah orang-orang yang setia, bahkan di antara mereka banyak terdapat bekas pejuang yang menentang penjajahan Mancu, maka mendengar seruan ini, maklumlah mereka bahwa Kwee Sui menjadi pengkhianat. Maka mereka segera melawan sambil mundur ke tengah pulau, juga mempertahankan diri dengan serangan butiran-butiran es dingin. Yang berat seperti keadaan Thung Sik Lun adalah Kwi Hong sendiri. Gadis perkasa yang penuh semangat ini bertemu dengan induk pasukan musuh yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri! Biarpun Bhong Ji Kun masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan kelihaian paman gurunya, Maharya, namun bagi Kwi Hong dia telah merupakan lawan yang amat berat, apalagi tentu saja pasukan yang dipimpin Koksu ini adalah pasukan pengawal yang paling kuat! Kwi Hong juga terkejut ketika berhadapan dengan orang tinggi kurus berkepala botak yang memakai pakaian indah dan mentereng ini, dan dapat menduga bahwa tentu inilah orangnya yang disebut koksu oleh Kwee Sui. Cepat dia mencabut Pek-kong-kiam sehingga tampak sinar putih menyilaukan mata dari pedang yang berlapis perak ini. Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Hemm, agaknya engkaukah murid Pendekar Siluman, Nona? Pantas.... pantas...., banyak pemuda yang tergila-gila kepadamu. Kiranya engkau benar-benar cantik jelita, sungguh tidak disangka di pulau kosong seperti ini dapat tumbuh setangkai mawar yang begini cantik...."
"Keparat, tutup mulutmu yang busuk!" Kwi Hong marah sekali dan pedangnya menyambar menjadi sinar yang panjang dan besar.
"Hehhh....!" Bhong Ji Kun terpaksa mengelak cepat karena tak disangkanya bahwa nona itu dapat menggerakkan pedang sedemikian cepatnya. Baru ia teringat bahwa dara yang jelita ini adalah murid Pendekar Super Sakti. Dia sendiri merasa jerih terhadap pendekar itu, yang menurut pendapat paman gurunya memang memiliki kesaktian sukar dilawan. Kalau gurunya sedemikian hebatnya, tentulah muridnya tak dapat dipandang ringan, sungguhpun muridnya merupakan seorang gadis muda yang manis dan kelihatan lemah. Maka ia pun cepat memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu anak buah Pulau Es, dan dia sendiri sudah mengeluarkan sebuah di antara senjata-senjatanya yang aneh, yairu sebatang pecut kuda yang berwarna merah dan panjangnya ada tiga meter, gagangnya terbuat dari emas dihias permata! Koksu ini di waktu kecilnya, di India, pernah bekerja sebagai seorang penggembala kuda, maka dia suka sekali mempergunakan cambuk kuda, apalagi di waktu dia menyiksa lawan. Sebetulnya dia memiliki banyak senjata yang ia keluarkan sesuai dengan keadaan lawan. Melihat Kwi Hong cukup lincah dan lihai memegang pedang pusaka, maka dia pun mengeluarkan cambuknya. Cambuk ini digulung di dekat gagang dan jika perlu dapat dipergunakan menyerang lawan yang tiga meter jauhnya, juga amat cocok untuk menghadapi senjata tajam, untuk melibat dan merampas.
"Tar-tar-tar!" Cambuknya meledak-ledak di atas kepala dan meluncur turun, mengirim totokan-totokan berantai ke arah jalan darah di leher, tengkuk dan kedua pundak Kwi Hong. "Haiiiittt!" Kwi Hong melengking nyaring. Pedangnya diputar cepat di atas kepala, membentuk sinar seperti payung melindungi tubuh atasnya, dan tangan kirinya sudah menyodok ke depan, mengirim pukulan jarak jauh ke arah uluhati lawan. Bukan main kagetnya hati koksu itu. Gerakan pedang gadis itu benar-benar membendung serangan cambuknya, dan kini pukulan tangan kiri itu mengandung hawa dingin yang terasa menghantam dadanya, terus menyerang ke jantung!
"Hehhhh!" Ia mengerahkan sin-kang, mengeraskan perut dan dada, menahan pukulan jarak jauh itu sambil menarik pecutnya, dan sekali pergelangan tangannya bergerak, ujung pecutnya menyambar dari bawah hendak melibat kaki Kwi Hong.
Gadis ini melocat ke atas, cepat mainkan pedangnya yang merupakan pecahan dari Siang-mo Kiam-sut seperti yang diajarkan pamannya, dan tangan kirinya tidak lupa mengirim pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara bergantian. Koksu itu makin terheran-heran dan kagum. Bukan main gadis ini, pikirnya. Belum pernah ia menghadapi lawan seorang muda yang begini lihai. Yang membuatnya kagum sekali bukan hanya kegesitan dara itu, melainkan terutama sekali sin-kangnya yang kuat dan aneh. Betapa mungkin gadis semuda ini sudah dapat membagi kedua lengannya dengan saluran hawa Im-kang dan Yang-kang? Kalau tangan kanannya melancarkan pukulan berhawa dingin, pedangnya terasa mengeluarkan hawa panas. Sebaliknya kalau dari tangan kiri menyambar hawa panas, pedangnya menjadi dingin luar biasa! Timbul dalam pikiran koksu ini rasa sayang untuk membunuh gadis itu. Dia akan menawannya hidup-hidup, bukan hanya untuk memenuhi permintaan Kwee Sui yang telah berjasa, akan tetapi juga kalau dia dapat membujuk gadis itu membantu pemerintah tentu kaisar akan senang sekali! Soal Kwee Sui, mudah diselesaikan, karena baginya, gadis ini lebih berharga sepuluh kali dari pemuda itu! Akan tetapi, pikiran untuk menawan gadis itu hidup-hidup jauh lebih mudah daripada melaksanakannya. Tingkat kepandaian Kwi Hong sudah amat tinggi dan menghadapi Koksu itu, dia hanya kalah matang dan kalah pengalaman. Namun, gadis ini telah mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang sebetulnya kalau sudah dilatih sematang koksu itu, tidak akan mampu ditandingi oleh Bhong Ji Kun! Biarpun koksu itu jauh lebih berpengalaman dan lebih matang, namun dia harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk tidak roboh di tangan gadis ini, apalagi untuk menawannya hidup-hidup! Kwi Hong yang kini percaya akan laporan Kwee Sui bahwa kepandaian para penyerang benar-benar amat hebat, bersilat dengan hati-hati sekali. Diam-diam dia agak menyesal mengapa dia tadi menyerahkan Li-mo-kiam kepada Kwee Sui. Kalau dia menggunakan pedang mujijat itu, agaknya dia masih akan mampu mengalahkan lawan yang jauh lebih berpengalaman ini. Akan tetapi, dia lalu teringat akan keadaan pemuda itu sendiri, dan keadaan bibinya, dan kedua orang pamannya. Kalau mereka itu pun menghadapi lawan seberat ini, akan celakalah Pulau Es. Maka dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya agar dapat mengalahkan koksu ini dan dapat membantu kawan-kawannya. Namun, tidaklah mudah, karena sesungguhnya, tingkatnya masih kalah sedikit oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. Pada saat Pulau Es diserbu dan semua tokohnya mengalami ancaman bahaya itu, bahkan Thung Sik Lun telah tewas secara mengerikan, tak jauh dari pantai, tampak sebuah perahu kecil yang dijalankan dengan pesat, didayung oleh seorang pemuda tampan yang memandang ke arah Pulau Es penuh takjub, kemudian memandang ke arah kapal-kapal besar itu dengan alis berkerut. Pemuda ini bukan lain adalah Gak Bun Beng.
Setelah Bun Beng meninggalkan Thian-liong-pang, dia mengambil keputusan untuk mencari Pulau Neraka. Kini dia telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menghadapi siapa pun juga. Oleh karena itu, dia tidak takut pergi ke Pulau Neraka untuk mencari pemuda putera Majikan Pulau Neraka dan minta kembali pedang Lam-mo-kiam yang dahulu dirampasnya. Surat dan peta yang ia terima dari Pendekar Super Sakti telah lenyap ketika ia terjun ke pusaran maut, akan tetapi ia masih ingat sedikit gambaran itu. Pokoknya, di sebelah utara melewati sekelompok pulau kecil yang berjajar seperti baris!
Demikianlah, karena sama sekali tidak ada pengalaman berlayar, tanpa disadarinya pada siang hari itu layar perahunya yang terbawa angin membuat perahunya melaju cepat membawanya sampai ke dekat Pulau Es! Melihat pulau yang putih itu dan melihat kapal-kapal besar, dia terheran-heran dan menggulung layar, lalu mendayung perahunya dengan hati-hati mendekati pulau.
"Tolongggg....!" Tiba-tiba teriakan ini mengagetkan Bun Beng yang segera menoleh ke kiri dan menahan perahunya. Dilihatnya seorang laki-laki dengan susah payah berenang menuju ke perahunya. Ketika Bun Beng melihat bahwa orang itu ternyata luka parah, cepat ia mendayung perahunya mendekat, lalu menyambar baju di punggungnya dan menariknya ke atas perahu. Ternyata orang itu adalah Thung Ki Lok yang hampir saja tidak kuat lagi, lukanya oleh pedang Kwee Sui hebat dan ia telah kehilangan banyak darah. Ia memandang dengan napas terengah-engah kepada Bun Beng, lalu berkata. "Sahabat, siapa pun adanya engkau.... tolonglah.... tolonglah cari Taihiap...."
"Taihiap siapa? Dan engkau siapa?"
"Taihiap.... To-cu Pulau Es.... katakan.... ahhh, katakan.... pulau Es diserbu pasukan pemerintah.... Koksu Negara.... dan si pengkhianat Kwee Sui.... pulau kami terancam.... aaahhhh...." Pemuda yang gagah perkasa itu menghembuskan napas terakhir, tidak melihat betapa kagetnya Bun Beng mendengar ucapan tadi. Ia merebahkan kepala yang tadi dipangkunya, dan mengangkat mukanya memandang ke pulau itu. Itukah Pulau Es? Dan kapal-kapal itu milik pemerintah yang menyerbu Pulau Es di waktu Pendekar Super Sakti tidak ada? Dan Koksu Negara. Si laknat Bhong Ji Kun! Bun Beng cepat mendayung perahunya dengan pengerahan tenaga sehingga perahunya meluncur cepat sekali ke pulau itu. Ia kini mendengar suara hiruk-pikuk di atas pulau,
suara orang bertempur. Ketika ia melihat tanda robekan kain yang diikatkan pada tetumbuhan di pantai, ia lalu mendarat. Tentu itu merupakan tanda penunjuk jalan, pikirnya. Setelah mengikatkan perahu dan meninggalkan perahu di mana menggeletak mayat Ki Lok, Bun Beng melompat ke darat dan berlari cepat ke tengah pulau. Tepat seperti diduganya, ia melihat kain-kain putih dan segera memasuki pulau melalui jalan kecil di mana ada tanda-tanda kain putih itu sehingga sebentar saja dia telah berada di tengah pulau. Ia melihat pertempuran hebat, dan melihat betapa perajurit-perajurit seragam yang tentu adalah pasukan pemerintah mendesak dan mengejar penghuni pulau yang mengundurkan diri ke tengah pulau.
Pada saat itu, Kwi Hong telah tertawan. Ketika gadis ini bertanding mati-matian melawan Bhong Ji Kun, tiba-tiba muncul Thian Tok Lama dan Kwee Sui. Melihat betapa gadis itu mengadakan perlawanan yang hebat terhadap koksu, Thian Tok Lama segera meloncat dan membantu. Dikeroyok dua oleh koksu dan Lama itu, tentu saja Kwi Hong terdesak hebat. Tiba-tiba ia melihat Kwee Sui yang datang bersama Thian Tok Lama.
"Sui-ko, bantu aku....!" teriaknya, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri menonton sambil tersenyum. Seketika mengertilah Kwi Hong bahwa pemuda tampan ini telah berkhianat dan tadi sengaja meminjam pedang Li-mo-kiam. Maka kemarahannya memuncak, dan setelah memutar pedangnya membuat kedua orang lawannya mundur, ia lalu melompat ke arah Kwee Sui sambil memaki.
"Engkau pengkhianat hina!" Akan tetapi, tiba-tiba pecut di tangan Bhong Ji Kun berkelebat membelit lengannya yang memegang pedang dan sebelum Kwi Hong dapat membalikkan tubuh, Thian Tok Lama telah memukulnya dari belakang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang. "Desss!" Angin pukulan yang membawa uap hitam itu mengenai punggung Kwi Hong membuat gadis itu roboh pingsan dan pedangnya terampas oleh ujung pecut koksu. Dia memandang rendah Thian Tok Lama sehingga kena terpukul, tidak tahu bahwa ilmu kepandaian Lama itu setingkat dengan kepandaian Bhong Ji Kun.
"Ha-ha-ha, bawalah Nona pengantinmu ke kapal, jaga jangan sampai dia lolos," kata Bhong Ji Kun kepada Kwee Sui, "Dan pedang Li-mo-kiam....?"
"Sudah di sini!" jawab Kwee Sui, menepuk pedang di pinggangnya. "Baik, bawa ke kapal, jangan sampai dia lolos dan jangan sampai pedang itu hilang."
Kwee Sui girang sekali, cepat memondong tubuh Kwi Hong yang pingsan itu dan membawanya lari ke pantai, di mana terdapat perahunya, lalu ia membawa tubuh itu ke atas kapal besar.
Setelah Kwi Hong kena ditawan, anak buahnya mundur ke tengah pulau, dikejar oleh pasukan pemerintah. Yap Sun yang mengamuk dan menghadapi Tan-siucai dengan gigih, terpaksa roboh pula, ketika tiba-tiba muncul Kakek Maharya yang sudah mengejar sampai ke situ. Maharya marah sekali melihat betapa muridnya belum mampu merobohkan kakek itu. "Bodoh, kenapa tidak mempergunakan Hok-mo-kiam?" teriaknya sambil menonton pertandingan itu, tidak mau membantu muridnya.
Tan Ki yang mendengar seruan gurunya itu, tertawa, tangan kirinya mencabut pedang di pinggangnya. Sinar kilat berkelebat dan Kakek Yap Sun berteriak mengerikan ketika berbareng dengan sinar kilat pedang itu yang menangkis tangannya, lengannya sebatas siku menjadi buntung! Kakek itu menggigit bibir, menggunakan tangan kirinya menerjang terus, dan kembali sinar kilat berkelebat dan lengan kirinya juga terbabat buntung! Pedang mujijat itu berkelebat lagi, terdengar teriakan ngeri dan tubuh Yap Sun terjengkang ke belakang, dadanya tembus oleh pedang Hok-mo-kiam dan nyawanya melayang!
Tan Ki menyimpan pedang Hok-mo-kiam dan pedang hitamnya, menoleh kepada suhunya, "Saya memang sengaja mengajaknya berlatih, dia merupakan lawan yang boleh juga."
"Sudah, mari kita membantu Thai Li Lama yang masih belum mampu mengalahkan lawannya. Kulihat wanita itu lihai juga." Memang, hanya tinggal Phoa Ciok Lin seorang yang masih mengadakan perlawanan terhadap Thai Li Lama, bahkan wanita yang marah sekali ini mengamuk, mendesak pendeta itu dengan pedang yang sudah sejak tadi ia pergunakan karena dia tidak mampu mengalahkan lawan dengan tangan kosong. Tiba-tiba muncul Maharya dan Tan Ki. Tan Ki yang melihat bahwa Phoa Ciok Lin yang setengah tua itu masih cantik, segera meloncat maju. "Eh, manis, kenapa engkau nekat? Menyerahlah saja, hidup di kota raja tentu senang!"
Phoa Ciok Lin tidak menjawab, melainkan mengamuk lebih hebat, menangkis sinar pedang hitam yang dipergunakan Tan Ki. "Tranggg!" Pedang Ciok Lin patah ujungnya, akan tetapi Tan Ki terhuyung ke belakang dan seluruh lengan kanannya tergetar.
"Wah, lihai juga....!" serunya. "Hemmm....!" Maharya meloncat maju, tangan kirinya bergerak menampar dan angin pukulan yang kuat berhembus ke arah wanita itu. Ciok Lin menjerit dan terlempar ke belakang. Cepat ia menjatuhkan diri bergulingan, lalu
meloncat bangun lagi dan mengambil keputusan nekat untuk melawan musuh-musuh lihai itu sampai napas terakhir. Maharya memukul lagi, "Wuuuuttt! Plakkkk! Aahhh!" Maharya terhuyung ke belakang, memandang terbelalak kepada seorang pemuda tampan yang telah menangkis tamparannya itu dengan tangan. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang sanggup menangkis tamparannya dan membuat ia terhuyung ke belakang. Kalau yang menangkisnya itu Pendekar Siluman, dia tidak akan heran. Tadi pun ia mengira, bahwa Pendekar Siluman muncul, kiranya seorang pemuda yang bertangan kosong! "Toanio, harap lekas tarik mundur anak buahmu, biar aku yang melawannya!" kata Bun Beng.
"Eh, dia pemuda yang menemukan Sepasang Pedang Iblis!" Tiba-tiba Tan Ki berseru kaget. Maharya menjadi bengong. Dahulu pemuda ini tidaklah sedemikian hebat tenaganya, mengapa sekarang begini lihai? Dengan penuh hati penasaran, dia menerjang lagi, kini mengirim dorongan dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Bun Beng. Pemuda ini yang sudah percaya penuh akan kekuatan sendiri, kembali menyambut telapak tangan itu dengan dorongan telapak tangan pula.
"Plakkkk!" Dua telapak tangan bertemu, asap mengepul dari pertemuan telapak tangan itu yang seolah-olah melekat. Maharya berseru keras sebelah tangannya memukul lagi akan tetapi tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap. Demikian cepat gerakan pemuda ini yang sudah meloncat ke atas dan ujung sepatunya menotok ke arah ubun-ubun kepala Maharya. "Aeeehhhh....!" Maharya cepat melempar tubuhnya ke atas dan bergulingan, wajahnya yang berkulit hitam itu menjadi agak pucat, keringat dingin mengucur karena dia maklum bahwa hampir saja nyawanya melayang!
"Serbu....!" Tan Ki berseru dan kini dia bersama Maharya dan Thai Li Lama menerjang maju. Phoa Ciok Lin kini juga maju membantu Bun Beng yang belum ia kenal siapa adanya itu, sungguhpun wajah pemuda tampan itu seperti pernah dilihatnya. Tentu saja dia pernah melihat Bun Beng, yaitu ketika terjadi pertempuran di pulau muara Huang-ho. Akan tetapi ketika itu Bun Beng masih kecil sehingga dia tidak mengenalnya lagi. Sebaliknya Bun Beng masih mengenal Ciok Lin maka serunya.
"Phoa-toanio, mundurlah. Anak buahmu terdesak, bantulah mereka!" Ciok Lin melongo, dan tiba-tiba ia teringat. Ini adalah bocah yang dahulu diperebutkan di pulau muara Huang-ho, bocah yang oleh Pendekar Siluman akan dirampas dan dibawa ke Pulau Es. Gak Bun Beng, putera Gak Liat dan Bi-kiam Bhok Khim. Mendengar ucapan itu, dia menengok dan benar saja anak buahnya terdesak sehingga kocar-kacir dan banyak yang sudah roboh. Juga ia melihat betapa anak buah dari pantai lain telah mundur ke tengah pulau, mendekati Istana Pulau Es, dikejar pasukan pemerintah. Maka dia lalu meninggalkan Bun Beng dan mengamuk, membantu anak buahnya merobohkan banyak tentara pengawal pemerintah. "Hancurkan mereka, serbu Istana Pulau Es!" teriak Maharya. "Biar aku melayani bocah sombong ini!" Sambil berkata demikian, Maharya yang merasa bahwa pemuda itu tidak akan dapat ia kalahkan mengandalkan tenaga sin-kang, sudah mencabut keluar sebuah senjata yang aneh. Senjatanya itu bergagang pendek, dan berbentuk bulan sabit yang pinggirnya tajam sekali dan kedua ujungnya yang melengkung amat runcing.
"Sing-sing-sing....!" Tampak sinar kilat menyambar-nyambar ketika senjata itu dia pergunakan untuk menyerang. Namun Bun Beng dapat mengelak dengan tenang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut karena dia telah mainkan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng yang mujijat. Berkali-kali Maharya mengeluarkan seruan kaget dan heran. Pemuda itu benar-benar lincah dan memiliki ilmu silat yang amat ajaib, yang dia kenal mempunyai dasar-dasar ilmu silat golongan kaum sesat! Sementara itu, Bun Beng yang melihat betapa Thai Li Lama, Tan Ki bahkan ada Thian Tok Lama, dan Bhong Ji Kun mulai memimpin pasukan membakari rumah-rumah pondok sederhana tempat tinggal para anak buah Pulau Es yang kewalahan, menjadi khawatir sekali. "Orang muda, engkau merasa takut, lumpuh, hayo berlutut!" Tiba-tiba Maharya membentak, menggunakan kesempatan selagi perhatian Bun Beng terpecah karena mengkhawatirkan keadaan Pulau Es. Bun Beng otomatis jatuh berlutut dan dia merasa heran sekali. Baru ia teringat ketika kakek India membacok ke arah kepalanya dengan senjatanya yang aneh. Untung pada detik terakhir Bun Beng teringat lagi. Dia sudah mengerahkan sin-kang dan menghimpun tenaga batin, cepat ia melempar tubuh ke belakang sehingga bacokan itu luput. "Dar! Dar! Blengggg....!"
Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras, tampak tanah muncrat dan asep hitam bergulung-gulung. Beberapa orang perajurit pemerintah roboh, bahkan Maharya sendiri cepat meloncat ke belakang ketika ada sebuah benda hitam menyambar kepalanya. Sambaran itu luput dan benda itu menghantem tanah, meledak dan mengeluarkan asap hitam. Bun Beng meloncat bangun. Keadaan menjadi gelap karena asap hitam itu. Dia cepat berlari ke arah Istana Pulau Es dan di sepanjang jalan, terjadi ledakan-ledakan yang merobohkan perajurit pemerintah. Pasukan pemerintah menjadi kacau balau, lari bersembunyi, ada yang bertiarap. Bahkan Koksu dan rombongannya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Tan Ki, diserang oleh benda-benda hitam yang dapat meledak sehingga mereka sibuk mengelak ke sana sini. Bun Beng mengerti bahwa ada bantuan datang. Entah siapa, hanya dia mengenal alat-alat ledak itu seperti yang biasa dipergunakan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka! Dia tidak peduli dan cepat mengha mpiri rombongan anak buah Pulau Es yang dipimpin oleh Phoa Ciok Lin. Mereka ini sama sekali tidak diserang alat-alat peledak sehingga mudah diduga bahwa memang yang melempar-lemparkan alat peledak itu bermaksud membantu anak buah Pulau Es.
"Phoa-toanio....! Cepat bawa anak buah bersembunyi. Ada orang pandai membantu kita. Di mana adanya Kwi Hong?"
"Ahhh, menurut laporan anak buahnya, dia.... tertawan, dikhianati orang kita sendiri dan dibawa ke kapal di sebelah timur pulau."
"Kwee Sui....?" Bun Beng bertanya, teringat akan cerita pemuda di perahunya tadi. "Eh, bagaimana engkau tahu? Engkau.... Gak Bun Beng, bukan?"
"Benar, Toanio, lekas bawa anak buahmu bersembunyi, kalau tidak ada lain jalan, bawa keluar dari pulau ini. Aku akan berusaha menolong Nona Kwi Hong!" Baru saja habis ucapannya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ. Phoa Ciok Lin melongo saking kagum dan herannya, akan tetapi dia segera membawa anak buahnya memasuki istana dan bersembunyi di lorong bawah tanah istana. Dia sendiri bersama orang yang dapat diandalkan menjaga di depan, melihat betapa pasukan musuh kocar-kacir oleh ledakan-ledakan yang asapnya mengandung racun itu sehingga banyak anggauta pasukan yang roboh tewas. Akhirnya Bhong Ji Kun
terpaksa menarik mundur pasukannya dan memerintahkan kembali ke kapal masing-masing agar tidak jatuh lebih banyak korban sedangkan musuh yang melepas bahan-bahan ledakan itu tidak tampak sama sekali.
Bhong Ji Kun mengajak paman gurunya, Maharya, ke kapalnya untuk diajak berunding membicarakan munculnya Gak Bu Beng dan pelempar peledak yang asapnya hitam beracun itu. Begitu naik ke kapal dia menjenguk ke ruangan bawah, lega melihat betapa Kwi Hong telah terikat pada tiang, duduk di atas bangku dengan wajah muram, sedangkan Kwee Sui menjaga di situ bersama selusin orang perajurit. Gadis itu memaki-maki Kwee Sui, akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja dan berusaha membujuknya dengan suara manis. Melihat ini Bhong Ji Kun naik lagi dan berunding dengan Maharya di geladak kapal. Senja telah datang akan tetapi sinar keemasan matahari masih menerangi geladak kapal. Mereka duduk dan bicara dengan serius.
"Bocah itu hebat juga," terdengar Maharya berkata. "Sungguh mengherankan sekali, belum ada setahun aku melawan dia, kepandaiannya masih belum begitu hebat, bahkan aku telah melukainya, mestinya dalam waktu tiga bulan dia mampus. Bagaimana sekarang dia masih dalam keadaan sehat dan kepandaiannya malah demikian hebat?"
"Hemmm, mungkin dia menerima latihan dari Pendekar Siluman," jawab Bhong Ji Kun sambil mengelus jenggotnya. "Akan tetapi yang aneh adalah pelempar peluru peledak yang mengandung asap beracun itu. Apakah dia Pendekar Siluman sendiri? Dia tentu lihai bukan main."
"Ah, Pendekar Super Sakti tidak mungkin mau melakukan penyerangan gelap seperti itu," jawab Maharya. "Benar, dan sepanjang pendengaranku, yang bisa menggunakan senjata rahasia macam itu adalah orang Pulau Neraka."
"Akan tetapi, tidak mungkin," bantah Maharya. "Bukankah Pulau Neraka selalu bertentangan dengan Pulau Es?" Selagi dua orang ini bercakap-cakap, Bun Beng telah berhasil meluncurkan perahunya dan terjun ke air, berenang lalu bergantung kepada rantai jangkar. Dia merayap naik, akan tetapi melihat Maharya dan Bhong Ji Kun berada di situ, di atas geladak dia tidak berani naik. Melihat musuh-musuh besarnya ini, ingin sekali dia meloncat dan membuat perhitungan. Bhong Ji Kun telah membunuh gurunya, dan dengan Maharya dia mempunyai perhitungan lain. Akan tetapi, kedatangannya ini adalah untuk menolong Kwi Hong, kalau dia meloncat dan menerjang kedua orang yang dia tahu amat lihai itu, harapannya untuk menulong Kwi Hong tentu akan buyar. Maka dia menanti kesempatan baik dan bersembunyi di rantai jangkar, mepet di badan kapal. "Sebaiknya besok pagi kita sendiri bersama kedua orang Lama turun ke pulau melakukan penyelidikan," kata Maharya. "Kita harus mengetahui siapa orangnya yang begitu berani menyerang kita dengan peluru-peluru peledak itu."
"Kebakaran....!" terdengar teriakan bersama dengan datangnya ledakan yang tiba di atas bilik kapal dan tampak api berkobar. Maharya dan Bhong Ji Kun terkejut, apalagi ketika mendengar suara dari atas. "Akulah yang melepaskan alat-alat peledak, kalian manusia-manusia busuk mau apa?"
Keduanya meloncat bangun dan ketika memandang ke atas, jauh di atas, di tali-temali layar dekat tiang besar, tampak tubuh seorang wanita bergantung pada tali, bergantung dengan kedua kakinya sedangkan kepalanya tergantung di bawah, rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin. Di bawah sinar matahari senja, wanita berpakaian hitam yang bermuka putih sekali itu benar-benar amat menyeramkan, apalagi kehadirannya dengan cara bergantung terbalik seperti itu!
Baik Maharya maupun Bhong Ji Kun terkejut, bukan oleh kehadiran wanita yang bergantung seperti itu, yang hanya memperlihatkan kemahiran gin-kang luar biasa yang mampu mereka lakukan juga. Yang mengejutkan mereka adalah kehadiran wanita itu yang tidak mereka ketahui sama sekali! Siapakah wanita itu? Dia bukan lain adalah Majikan Pulau Neraka. Dia adalah Lulu, adik angkat Pendekar Super Sakti (baca cerita Pendekar Super Sakti)! Bagaimana Lulu yang menjadi majikan Pulau Neraka dapat hadir di situ, membantu anak buah Pulau Es yang diserbu pasukan pemerintah? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita meninjau keadaan Pulau Neraka di mana telah terjadi perubahan besar sekali.
Putera Lulu bernama Wan Keng In, telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas atau delapan belas tahun, tampan dan tinggi ilmunya karena semenjak kecil digembleng oleh ibunya sendiri. Lulu terlalu memanjakan puteranya itu, apalagi setelah ia mendengar bahwa ayah puteranya itu, Wan Sin Kiat, sengaja membunuh diri dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu.
Pada suatu hari, Keng In pulang dari perantauannya. Anak itu seringkali keluar dari Pulau Neraka menunggang burung rajawali dan biarpun berkali-kali Lulu memarahinya, namun anak itu yang amat manja selalu melanggar larangannya. Ketika Keng In pulang, dia menghampiri ibunya dan tertawa-tawa bangga, lalu menepuk pinggangnya di mana tergantung sebatang pedang bersarung indah sambil berkata, "Ibu, coba terka pusaka apa yang kudapatkan dalam perantauanku sekarang ini. Ibu selalu melarang aku merantau, kalau aku tidak merantau, mana mungkin mendapatkan pusaka ini?"
Lulu mengerutkan alisnya memandang. "Hemm, engkau mendapatkan sebatang pedang baru. Pedang apakah yang kaubanggakan itu?"
"Lihat, Ibu!"
"Singggg....!"
"Aihhhh....!" Lulu terkejut sekali menyaksikan sinar kilat keluar ketika pedang itu dicabut, dan ada hawa yang menyeramkan keluar dari sinar pedang itu. "Itu.... itu.... seperti Sepasang Pedang Iblis!"
"Ha-ha-ha! Pandangan Ibu tajam bukan main. Memang inilah Lam-mo-kian, pedang jantan, sebatang di antara sepasang Pedang Iblis yang berhasil kurampas!"
"Siang-mo-kiam....!" Lulu menghampiri anaknya, merampas pedang itu, lalu mendekap pedang itu dan menangis. "Han-koko....! Ah, Han-koko.... kita dahulu menemukan pedang-pedang itu.... Sepasang Pedang Iblis....!"
Keng In menarik napas panjang. "Kenapa Ibu menangis? Dan kenapa menyebut dia? Aku muak mendengarnya. Ibu selalu menyebut-nyebut nama Han-koko! Hemmm, tentu Si Pendekar Siluman yang bernama Suma Han itu, bukan? Dia telah banyak membuat Ibu menderita. Teringat olehku betapa dahulu, ketika aku masih kecil, Ibu sering mimpi dan menyebut-nyebut namanya. Aku telah mendapatkan pedang Lam-mo-kiam, aku akan mencari dia dan akan kubunuh dia dengan pedang ini agar tidak menyusahkan hati Ibu pula!"
"Keng In....!"
"Aku tahu, Ibu mencinta Suma Han. Akan tetapi laki-laki macam apa dia itu? Kakinya buntung, rambutnya putih seperti kakek-kakek. Dan kalau dia mencinta Ibu, mengapa dia membiarkan Ibu merana di sini? Dan mengapa pula Ibu seringkali menyatakan ingin memperdalam ilmu, ingin memperkuat Pulau Neraka agar kelak dapat menyerbu Pulau Es? Bagaimanakah sebenarnya Ibu ini? Mencinta ataukah membenci dia? Betapapun juga, Pendekar Siluman dari Pulau Es itu telah banyak membikin Ibu menderita, maka pada suatu hari aku pasti akan menantangnya dan akan membunuhnya dengan pedang ini."
"Keng In.... kau.... kau tidak mengerti.... jangan kau bicara demikian. Tak perlu engkau mencampuri urusan pribadiku dengan dia. Pula mudah saja kau bicara. Sedangkan kepandaianku sendiri masih belum ada setengahnya, apalagi engkau. Kaukira akan mudah saja mengalahkan Pendekar Super Sakti?"
Terdengar oleh telinga Keng In yang sedang marah itu betapa dalam menyebut nama Pendekar Super Sakti dan mengucapkan kalimat terakhir itu, terdengar nada bangga sekali dalam suara ibunya. Hati pemuda ini makin panas dan dia cepat menjawab, "Harap Ibu tidak memuji lawan merendahkan diri. Mungkin Ibu masih belum mampu menandingi dia, akan tetapi lihatlah Ibu, lihatlah ilmu pedang anakmu."
"Singggg.... cuit....!" Tampak sinar kilat menyilaukan mata dan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam, lalu dia bermain pedang dengan gerakan yang luar biasa hebat dan dahsyatnya. Tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar pedang yang kadang-kadang mencuat ke udara, kadang bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran yang saling menyambung, indah dan hebat bukan main sampai membuat Lulu melongo keheranan. Dia tidak mengenal ilmu pedang itu dan harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan puteranya itu betul-betul dahsyat sekali. Setelah Keng In menghentikan permainannya dan menyimpan kembali Lam-mo-kiam, dengan napas biasa dan wajahnya yang tampan berseri dia menghadapi ibunya dan bertanya, "Bagaimana pendapat Ibu? Apakah ilmuku tidak cukup untuk menghadapi Pendekar Siluman itu?"
Lulu masih terbelalak memandang wajah puteranya. "Keng In, anakku...., dari mana engkau mempelajari ilmu pedang itu?" Keng In tertawa, lalu berkata, "Bukan hanya ilmu pedang itu, Ibu, melainkan masih banyak lagi. Di antaranya ini, harap Ibu lihat!" Tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas, tinggi sekali dan berjungkir balik beberapa kali di udara. Ketika ia melayang turun dengan kecepatan kilat, kedua tangannya telah menangkap dua ekor burung walet kecil yang terkenal cepat terbangnya itu. Keng In tertawa-tawa, melepas lagi burung-burung itu, kemudian ia menghampiri sebatang pohon sambil berkata, "Dan Ibu saksikanlah pukulan ini!" Setelah berkata demikian, ia menggunakan tangan menampar batang pohon itu.
"Prakkkk!" Pohon itu tidak tampak terguncang, akan tetapi tak lama kemudian, biarpun hanya ada angin kecil bersilir, daun-daun pohon itu rontok semua sehingga tinggal batang dan cabang-cabang serta ranting-rantingnya yang gundul tanpa sehelai daun pun!
Lulu terkejut bukan main. Gin-kang yang diperlihatkan puteranya tadi sudah hampir melalui tingkatnya, atau setidaknya sudah setingkat, sedangkan pukulan tadi adalah semacam pukulan ganas sekali, akan tetapi juga amat dahsyat, membuktikan adanya sin-kang yang mengandung hawa beracun jahat!
"Keng In! Darimana engkau mempelajari semua itu? Hayo katakan!" Keng In duduk di atas batu depan rumah mereka dan berkata, "Ibu, sebetulnya aku harus merahasiakan ini, akan tetapi karena dalam penasaran tadi aku telah memperlihatkan ilmu-ilmuku kepadamu, terpaksa aku membuka rahasia. Ibu, telah beberapa tahun ini aku menjadi murid Cui-beng Koai-ong."
"Siapakah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)?" Keng In tertawa. "Ha-ha-ha, Ibu menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi tidak tahu siapa sebenarnya yang menjadi raja dari Pulau Neraka. Ibu, para kakek muka kuning termasuk Kakek Kui-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang ibu kalahkan itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat ke tiga saja dari Pulau Neraka. Masih ada dua orang lagi yang memiliki kesaktian luar biasa, melebihi dewa! Mereka berdua itulah yang sebenarnya menjadi tokoh-tokoh pertama dan ke dua dari Pulau Neraka, akan tetapi mereka itu adalah orang-orang aneh yang tidak pernah mau memperebutkan kedudukan, bahkan jarang berada di pulau, tak seorang pun melihat mereka."
"Hehh....? Benarkah kata-katamu ini?" Lulu bertanya, penasaran dan heran. Dia telah menundukkan orang-orang Pulau Neraka dan diangkat menjadi pemimpin selama bertahun-tahun, mengapa dia tidak pernah mendengar tentang dua orang itu? "Siapa mereka dan di mana mereka sekarang?"
"Ibu, mereka itu adalah dua orang saudara tua dari kakek yang bermuka kuning. Yang pertama adalah Cui-beng Koai-ong yang menjadi saudara tertua, dan kebetulan sekali aku bertemu dengan dia di tempat sembunyinya ketika beberapa tahun yang lalu dia kembali ke Pulau Neraka. Aku diangkat menjadi muridnya sehingga memperoleh kemajuan besar."
"Dan yang ke dua?"
"Menurut Suhu, orang ke dua itu adalah sutenya, seorang kakek yang aneh sekali, seperti orang gila, akan tetapi suka merantau dan bahkan jarang sekali muncul di Pulau Neraka. Suhu berpesan agar aku berhati-hati kalau bertemu dengan Susiok itu, julukannya Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah Tanpa Tanding)! Kata Suhu, wataknya aneh dan angin-anginan sehingga mungkin saja dia menentang Pulau Neraka hanya untuk mengumbar wataknya yang ugal-ugalan dan suka berkelahi!"
Lulu menjadi makin penasaran. "Dimana mereka? Aku ingin mencoba kepandaian mereka. Sebagai Majikan Pulau Neraka, aku harus mengalahkan semua tokoh Pulau Neraka."
"Jangan, Ibu. Ibu akan kalah, dan pula, tak mungkin Ibu dapat menjumpai mereka. Selain itu, bukankah mereka tidak mengganggu Ibu?"
"Ya, mengapa demikian? Kalau mereka berilmu tinggi, sebagai tokoh-tokoh pertama Pulau Neraka, mengapa mereka membiarkan saja aku berkuasa di sini?"
"Ha-ha-ha! Mereka itu tidak takut terhadap setan atau dewa, apalagi terhadap manusia lain, kecuali.... eh, terhadap Pendekar Super Sakti! Mereka sengaja membiarkan Ibu memimpin Pulau Neraka dan kelak kalau Ibu menyerang ke sana, tentu mereka akan turun tangan membantu. Mereka hendak mempergunakan permusuhan Ibu dengan Pulau Es untuk menantang Pendekar Siluman!"
"Ohhhh!" Lulu menjadi pucat wajahnya. Dia merasa tidak senang sekali bahwa urusan pribadinya dengan Suma Han diperalat oleh orang-orang lain. Dia sebetulnya bukan hendak memusuhi Suma Han. Betapa mungkin? Betapa mungkin dia memusuhi dan membenci orang yang ia cintai itu? Tidak. Kalau dia menghimpun kekuatan dan memperdalam ilmu, semua itu ia lakukan demi cintanya kepada Suma Han! Hendak ia perlihatkan kepada bekas kakak angkatnya yang tercinta itu bahwa dia bukanlah seorang wanita sembarangan, bahkan sudah patut untuk me mperoleh perhatian dan cinta kasih seorang pendekar besar seperti Suma Han. Apalagi
setelah ia mendengar bahwa Suma Han menjadi suami Nirahai, dia ingin memperlihatkan bahwa dia lebih hebat daripada Nirahai! Sekarang ternyata tokoh-tokoh yang utama dan sesungguhnya dari Pulau Neraka malah hendak memperalatnya dan puteranya, putera tunggal yang dia cinta dan manjakan, ternyata telah menjadi murid dari tokoh pertama Pulau Neraka! Tidak, dia tidak sudi diperalat tokoh-tokoh Pulau Neraka, yang menganggapnya sebagai boneka saja! Dia harus datang sendiri ke Pulau Es dan terang-terangan menantang Suma Han, seorang diri, tidak perlu mengandalkan orang-orang Pulau Neraka. Suma Han harus memilih, membunuh dia atau menerimanya sebagai isteri!
Dengan hati penuh duka dan penasaran, Lulu diam-diam meninggalkan Pulau Neraka tanpa memberi tahu siapa juga, bahkan puteranya sendiri pun tidak diberi tahu. Dengan sebuah perahu hitam kecil, Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka, yang kini berwajah putih dan berpakaian hitam, melakukan pelayaran mencari Pulau Es di mana dahulu di waktu kecil dia pernah tinggal berdua dengan Suma Han (baca cerita Pendekar Super Sakti).
Kedatangannya di Pulau Es bertepatan dengan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap pulau itu. Kemarahan dan rasa penasaran di hati Lulu terhadap Suma Han lenyap terganti oleh kemarahan terhadap para penyerbu yang mendahuluinya, yang dianggapnya pengecut, melakukan penyerbuan terhadap sebuah pulau yang sedang ditinggal majikannya. Maka dia lalu diam-diam membantu anak buah Pulau Es, melepas senjata rahasia peledak yang berhasil mengundurkan para penyerbu. Bahkan dengan hati penuh kemarahan diam-diam Lulu menyelundup naik ke atas kapal, melepas senjata rahasia pembakar dan memberitahukan kehadirannya dengan bergantung pada tali layar dengan tubuh berjungkir, kepada Koksu Bhong Ji Kun dan Maharya. "Wanita iblis....!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru marah. Maharya sudah menggerakkan tangan kanannya dan meluncurlah sebuah senjata rahasia berbentuk gelang yang berputar cepat ke arah kepala wanita yang menggantung di atas itu.
"Wiirrr.... singggg....!" Senjata rahasia yang dilepas oleh Maharya ini hanyalah gelang biasa berwarna putih, akan tetapi karena pelemparnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka berbahaya sekali. Gelang ini seperti peluru terkendali, kalau luput dapat berputar kembali dan menyerang lawan seperti benda hidup! Juga suaranya yang berdesing, mengaung seperti gasing berlubang itu dapat mendatangkan panik kepada lawan. Menghadapi serangan senjata rahasia gelang ini, Lulu tidak bergerak dan seolah-olah tidak melihatnya. Akan tetapi ketika gelang itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba ujung rambutnya yang riap-riapan itu seperti hidup, seperti ujung cambuk yang bergerak ke bawah menerima gelang itu, terus melibatnya sehingga gelang itu berhenti gerak luncurnya. Tiba-tiba, kepala Lulu bergerak sedikit dan gelang itu menyambar dengan kecepatan kilat ke bawah, ke arah Maharya! Pendeta India ini terkejut bukan karena diserang oleh senjatanya sendiri karena dengan mudah ia dapat mengelak sehingga gelang itu mengenai papan geladak dan amblas ke bawah, melainkan dia terkejut menyaksikan betapa lihainya wanita yang muncul secara aneh itu.
"Toanio, siapakah engkau?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menegur. Pembesar ini pun maklum bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan, maka dia mengambil siasat halus. "Dan mengapa pula Toanio membela Pulau Es dan menentang kami dari pemerintah?"
Lulu tersenyum. Wajahnya memang cantik sekali dan senyumnya amat manis sungguhpun usianya sudah hampir empat puluh tahun, akan tetapi karena keadaannya seperti itu dan mukanya berwarna putih sekali, maka dia seperti mayat tersenyum, menimbulkan rasa ngeri kepada mereka yang memandang dari bawah.
"Aku siapa tak menjadi soal, yang penting kalian telah mengganggu ketenteraman daerah ini, berlaku curang menyerang tempat yang sedang ditinggal pergi pemiliknya!"
"Wanita sombong! Bukankah engkau datang dari Pulau Neraka?" Maharya membentak marah. Lulu tidak menjadi heran akan dugaan yang tepat ini. Tentu saja orang telah mengenal senjata rahasianya. "Kalau benar demikian, engkau mau apa, Pendeta asing yang buruk?"
"Tak mungkin!" Bhong Ji Kun yang mendahului pendeta itu menjawab. "Pulau Neraka tak pernah saling bantu dengan Pulau Es, bahkan semenjak pertemuan di pulau muara Huang-ho telah saling bertentangan. Tidak mungkin kalau Toanio dari Pulau Neraka dan mau membantu penghuni Pulau Es!"
"Mengapa tidak! Kalau kalian berhasil menduduki Pulau Es, tentu kelak akan menyerbu pula Pulau Neraka!" Mendengar ini, marahlah koksu itu. "Perempuan pemberontak! Berani kau menentang pemerintah? Semua pulau di sini, termasuk Pulau Es dan Pulau Neraka, adalah wilayah ke kuasaan kerajaan! Tangkap pemberontak!"
Para panglima dan pasukan yang berada di geladak segera mengepung tiang itu, dan terdengar Lulu tertawa mengejek, tubuhnya yang bergantung di atac tiba-tiba melayang turun, seperti seekor burung menyambar. Para anak buah pasukan menggerakkan senjata, akan tetapi tiba-tiba mereka menjerit dan robohlah empat orang, tombak mereka patah-patah!
"Tar-tar-tar!" Cambuk di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar dengan serangan dahsyat, bahkan Maharya juga menyusul dengan serangan-serangan yang luar biasa, yaitu senjata aneh bulan sabit yang bergagang pendek. "Siuuuuttt.... singgg!"
Lulu bergerak cepat, berkelebat menghindar dan kakinya menendang roboh seorang perwira di belakangnya sehingga tubuh perwira itu terlempar. Ketika menendang, lengan kiri Lulu menjepit tombak perwira itu, kini tombak itu ia lontarkan menembus perut tubuh perwira yang masih melayang di udara! Semua perajurit menjadi gentar menyaksikan kelihaian wanita itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun dan Maharya sudah menerjang lagi dengan hebatnya. Seorang perwira cepat memberi isyarat kepada kapal-kapal lain untuk datang membantu, maka bergeraklah dua buah kapal yang berdekatan, mendekati kapal yang sedang terbakar itu. Sebagian para perajurit sibuk memadamkan api yang membakar bilik kapal. Cuaca sudah mulai gelap dan Lulu mengamuk. Dia maklum akan kehebatan cambuk di tangan Koksu dan senjata bulan sabit di tangan kakek India, maka ia selalu menghindar dengan gerakan lincah sekali, merobohkan banyak perajurit dengan pukulan dan tendangan. Ketika koksu kembali melancarkan serangan dengan cambuknya, Lulu berhasil menangkap ujung cambuk. Koksu malah melangkah dekat dan menghantamkan tangan kirinya dengan pengerahan sin-kang, Lulu menerima dengan ilmu sakti Toat-beng-bian-kun. "Cessss!" Dua tangan bertemu dan dengan kaget Koksu merasa betapa telapak tangan kirinya bertemu dengan tangan yang lunak sekali sehingga semua tenaganya amblas seperti tenggelam. Lulu telah melepaskan ujung cambuk dan tangan kirinya melayang ke arah pelipis kanan lawan. Koksu terkejut sekali, dan untung baginya bahwa pada saat itu Maharya telah datang menolong, membacok punggung Lulu dari samping. Sambaran angin senjata ini membuat Lulu terpaksa membatalkan pukulannya dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke belakang, kemudian dia terus berloncatan dan sekali melayang dari pinggir kapal, dia telah berada di kapal ke dua yang datang mendekat. "Dar-darrrr....!" Dua buah senjata rahasia dilepasnya mengenai bilik kapal ke dua sehingga menimbulkan kebakaran. Kapal kedua ini dipimpin oleh Thian Tok Lama. Pendeta ini menyambut kedatangan Lulu dengan serangan maut, sekaligus memukul dengan Ilmu Hek-in-hwi-hong-ciang. Tubuhnya merendah dan perutnya mengeluarkan bunyi. Lulu baru saja melontarkan senjata-senjata rahasianya, terkejut sekali dan cepat menangkis. Akan tetapi, karena dia kalah dulu, tangkisannya kurang tepat dan tubuhnya terhuyung, dadanya terasa agak sakit. Marahlah wanita ini dan dia menghadapi Lama itu dengan Ilmu Hong-in-bun-hoat yang amat lihai. Ilmu ini adalah ciptaan Bu Kek Siansu, amat indah seperti orang menulis di udara, sesuai dengan namanya, Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastera Angin dan Awan). Namun setiap coretan merupakan gerak tangkisan maupun serangan yang mengandung tenaga sin-kang mujijat. Thian Tok Lama segera terdesak dan kalau saja tidak cepat datang Maharya dan Bhong Ji Kun yang melompat ke kapal itu, tentu dia terancam bahaya hebat. Kini munculnya dua orang itu membuat Lulu yang terdesak dan kembali wanita ini mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini menyelinap di antara para pasukan dan merobohkan mereka. Adanya pasukan yang mengepungnya ini malah merupakan rintangan bagi tiga orang sakti itu, karena andaikata tidak ada anak buah pasukan, tentu Lulu akan dapat mereka kejar, kepung dan robohkan dengan pengeroyokan mereka bertiga. Selagi pertandingan yang kacau-balau mengejar dan mengepung Majikan Pulau Neraka itu terjadi di geladak tiga buah kapal di mana Lulu berpindah-pindah dengan loncatannya dan kini yang mengeroyoknya ditambah lagi dengan Thai Li Lama, di ruangan bawah kapal induk pimpinan Bhong Ji Kun tadi terjadi hal lain yang mendatangkan kegemparan baru.
Para perajurit yang selosin orang banyaknya, dipimpin oleh Kwee Sui, telah menerima perintah untuk tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan menjaga Kwi Hong yang dianggap seorang tawanan penting. Kwee Sui dan para penjaga yang selosin orang banyaknya itu tenang-tenang saja sungguhpun di geladak terjadi keributan, apalagi ketika mendengar bahwa yang mengacau hanyalah seorang wanita. Betapapun lihainya musuh itu, dia percaya takkan mampu menandingi koksu yang dibantu orang-orang sakti dan pula di atas terdapat banyak sekali pasukan. Maka dia enak-enak saja menjaga dan maki-makian Kwi Hong dilayani sambil tertawa saja. "Pengkhianat Kwee Sui! Ingatlah kau, begitu ada kesempatan, yang lebih dulu kuhancurkan adalah kepalamu!" Kwi Hong memaki-maki. "Hong-moi, manisku, mengapa engkau masih marah-marah terus? Kalau tidak ada aku, apa kaukira masih dapat hidup sampai sekarang ini? Kurasa semua tokoh Pulau Es sekarang telah menjadi mayat! Ingatlah, kita tidak mungkin melawan pemerintah, itu namanya pemberontakan! Tenanglah, dan mari kita bersama menikmati hidup di kota raja, di mana aku akan menjadi seorang pembesar dan engkau menjadi isteriku, menjadi nyonya besar yang terhormat dan kucinta, Manis."
"Keparat! Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang pengkhianat rendah macam engkau!" Kwee Sui tertawa, "Ha-ha-ha! Mau atau tidak, engkau akan menjadi isteriku!"
"Anjing, pengkhianat hina!" Akan tetapi Kwee Sui tidak mau melayaninya lagi, bahkan dia lalu merebahkan diri dengan senang hati, membayangkan kemuliaan dan kesenangan yang akan didapatnya, membayangkan betapa dia akan memperisteri gadis cantik yang dirindukannya itu, baik dengan jalan halus maupun dengan kekerasan. Selosin orang perajurit yang berjaga juga mengantuk. Mereka itu le lah sekali setelah bertempur sejak pagi dan kini masih harus menjaga untuk semalam suntuk. Kelelahan membuat mereka mengantuk dan mereka itu duduk melenggut, ada yang bersandar pada tombak yang mereka peluk, ada pula yang meletakkan kepala di atas meja. Sebentar saja di antara mereka sudah ada yang mendengkur, bahkan Kwee Sui juga mendengkur dengan enaknya. Kwi Hong yang tubuhnya masih lemas akibat totokan, melihat para penjaganya melenggut dan tertidur, mulai berusaha melepaskan ikatan kedua lengannya yang ditelikung ke belakang. Namun, selain ikatan itu kuat sekali, juga tenaganya belum pulih sehingga sia-sia saja ia meronta. Tiba-tiba Kwi Hong menghentikan usahanya ketika mendengar suara. Matanya terbelalak memandang papan ruangan itu yang bergerak. Penutup lubang papan itu yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan paling bawah, bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka dari bawah. Muncullah sebuah kepala orang. Hampir saja Kwi Hong berteriak kaget. Di bawah sinar lampu yang tergantung di situ, dia mengenal wajah Bun Beng!
"Sssttt....!" Bun Beng memberi tanda dengan telunjuk di depan mulutnya, menyuruh gadis itu diam. Ketika terjadi keributan di kapal, Bun Beng terkejut, akan tetapi juga girang sekali. Dia dapat menduga bahwa pembantu anak buah Pulau Es yang melepas senjata rahasia peledak itu muncul lagi dan membikin kacau di atas geladak. Kesempatan yang baik, pikirnya. Dia lalu menggunakan tenaganya, memecah papan di tubuh kapal, di atas permukaan air, dan setelah ia berhasil membongkar papan itu, dia merangkak masuk. Dia tiba di ruangan paling bawah yang sunyi, tak seorang pun tampak manusia di sini. Ruangan bawah itu penuh dengan bahan-bahan makan dan air minum, kiranya dijadikan tempat persediaan ransum pasukan itu. Melalui anak tangga, dia berjalan naik, kemudian membuka penutup papan dari bawah. Ketika ia melihat Kwi Hong, hatinya girang sekali. Dia tiba di tempat yang tepat, karena memang dia bermaksud untuk menolong gadis itu.
Kwi Hong menggerakkan mukanya, dengan dagunya menunjuk ke arah Kwee Sui yang tidur mendengkur. Bun Beng memandang dan melihat pakaian Kwee Sui seperti bukan seorang perajurit atau panglima, dia dapat menduga. Agaknya orang inilah yang mengkhianati Pulau Es. Dia meloncat dan pada saat itu, karena dia lupa menutupnya kembali penutup papan, penutup itu menutup
kembali, menimbulkan suara keras. Para penjaga terbangun, gelagapan dan ketika mereka melihat seorang pemuda tak dikenal di situ, mereka cepat meloncat bangun dan siap dengan tombak di tangan. Kwee Sui juga melompat bangun. Siapa kau....?" bentaknya. "Tangkap dia!" Dua orang penjaga me nubruk dengan tangan, mengira bahwa pemuda itu orang biasa saja. Bun Beng menggerakkan kedua tangannya dan dua orang perajurit itu roboh tanpa dapat berkutik lagi karena telah tewas! Penjaga-penjaga yang lain menjadi marah, dan baru mengerti bahwa pemuda itu seorang yang lihai, maka segera mereka gedebag-gedebug menyerang dengan tombak mereka. Akan tetapi, sekali ini tubuh Bun Beng berkelebatan dan terdengar pekik berturut-turut bersama robohnya empat orang perajurit terdepan. "Keparat!" Kwee Sui memaki dan "singgg....!" dia telah menghunus Li-mo-kiam!
Para perajurit sendiri terkejut menyaksikan cahaya kilat ini, dan Bun Beng berseru kaget, "Li-mo-kiam!"
"Betul, dia merampasnya dari tanganku dengan tipuan rendah!" Kwi Hong berseru. Mendengar ini, Bun Beng merobohkan lagi dua orang perajurit dan menerjang maju ke arah Kwee Sui. Pemuda ini sudah marah sekali. Biarpun dia tahu bahwa pemuda itu yang muncul secara tak terduga ini lihai, namun dia tidak takut. Dia adalah seorang murid Pulau Es yang berkepandaian tinggi, apalagi dia memegang sebatang pedang mujijat. Cepat dia menyambut terjangan Bun Beng dengan bacokan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan suara berdesing nyaring. Bun Beng cepat mengelak. Biarpun Kwee Sui memiliki ilmu silat tinggi, namun berhadapan dengan Bun Beng dia bukan apa-apa. Bun Beng tidak takut menghadapi ilmu kepandaian Kwee Sui, akan tetapi dia ngeri menyaksikan sinar kilat pedang Li-mo-kiam itu, sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang mempunyai wibawa menyeramkan. Melihat lawannya mengelak cepat seperti orang jerih, Kwee Sui tertawa dan merasa bangga, cepat ia menubruk maju lagi. Bun Beng kembali mengelak dan tiba-tiba dia tersandung mayat seorang perajurit, roboh terjengkang. Kwi Hong mengerti akan siasat ini, pandang matanya yang tajam dapat membedakan roboh buatan dan roboh sungguh-sungguh. Akan tetapi untuk membantu berhasilnya siasat Bun Beng, dia sengaja menjerit. Kwee Sui girang sekali, cepat menubruk. "Ceppp.... auggghhh....!"
Pedang Li-mo-kiam kembali minum darah sepuasnya, kini darah dari dalam dada dan jantung Kwee Sui! Ketika Kwee Sui menubruk dan menusukkan pedangnya, Bun Beng yang pura-pura jatuh tadi cepat miringkan tubuh kemudian kakinya melayang dari samping tepat mengenai lengan kanan Kwee Sui yang memegang pedang sehingga pedang itu terpental membalik dan masuk ke dalam dada Kwee Sui sampai menembus ke punggung!
Bun Beng cepat meloncat bangun,sebelum tubuh Kwee Sui roboh dia sudah menyambar gagang pedang dan mencabutnya. Darah mengucur seperti pancuran dari dada dan punggung Kwee Sui. Matanya terbelalak memandang ke arah Kwi Hong, kemudian robohlah pemuda yang khianat ini dengan mata masih terbelalak sungguhpun nyawanya telah melayang.
Bun Beng menggerakkan pedang itu. Sinar kilat yang lebih menyilaukan daripada ketika Kwee Sui menggerakkannya tampak dan sisa para penjaga yang tinggal empat orang itu roboh dengan tubuh putus menjadi dua potong. Tanpa membuang waktu lagi Bun Beng segera meloncat mendekati Kwi Hong, membabat putus belenggunya, kemudian melihat keadaan gadis yang lemas itu dia lalu menotok dua jalan darah di punggung dan pundak. Seketika Kwi Hong pulih kembali tenaganya dan dia.... menubruk Bun Beng sambil menangis!
Bun Beng gelagapan, terpaksa memeluk pundak gadis itu dan tanpa disadarinya, jari tangannya mengelus rambut yang halus itu, yang berada di dadanya. Ia merasa betapa air mata gadis itu membasahi baju dan menembus ke dada. "Tenanglah, Kwi Hong. Mengapa menangis?"
"Pulau kami.... ah.... bagaimana nasib mereka....?" Kwi Hong terisak, tiba-tiba ia sadar betapa lengan pemuda itu memeluknya dan betapa tangan itu membelai dan mengusap rambutnya dengan mesra. Teringat akan ini, cepat ia merenggutkan tubuhnya dari atas dada Bun Beng, melompat ke belakang dan memandang Bun Beng dengan mata terbelalak penuh kemarahan!
"Kenapa.... kenapa kau memelukku....?"
"Ehhh....!"
"Kenapa kau membelai rambutku?"
"Ohhh....!"
"Gak Bun Beng, kau.... hendak kurang ajar padaku, ya?" Bun Beng hanya melongo, memandang muka gadis itu dengan muka bodoh.
"Hayo jawab!"
"Ehh.... ohhh.... Kwi Hong, bagaimana ini? Kau.... kau menangis dan aku merasa bingung, ikut berduka dan terharu.... kenapa kau menuduhku kurang ajar?"
Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan, dan ia sadar kembali. Tadi kedukaan dan kebingungan yang menyusul kegelisahannya, bercampur dengan rasa kaget dan girang melihat kenyataan bahwa Bun Beng yang disangkanya mati ternyata masih hidup, bahkan lebih dari itu, telah menolongnya dan kelihatan begitu lihai. Semua perasaan ini teraduk menjadi satu, membuat dia bingung dan ketika merasa betapa pemuda itu memeluk dan membelai ra mbutnya, ia menjadi marah-marah tidak karuan. Setelah sadar ia mengeluh. "Ohhhh...." lalu menangis lagi. "Sudahlah, Kwi Hong. Ini pedangmu, dan mari kita cepat keluar dari sini sebelum mereka turun. Agaknya di atas geladak terjadi keributan, kurasa orang yang menolong anak buahmu di pulau sekarang telah turun tangan lagi membikin kacau di atas kapal-kapa l ini."
"Yang menolong anak buah Pulau Es? Siapa....?"
"Nanti kuceritakan, mari ikut denganku." Bun Beng lalu menyambar tangannya setelah menyerahkan pedang Li-mo-kiam, lalu mengajak gadis itu melarikan diri melalui penutup papan ruangan itu ke bawah. Kali ini Kwi Hong menurut saja, bahkan dia berbisik, "Bun Beng, kaumaafkan kelakuanku tadi...."
Mereka turun ke ruangan bawah kemudian keluar melalui lubang di badan kapal dan meloncat ke perahu kecil Bun Beng. Untung bahwa para pasukan yang berada di atas tiga buah kapal itu, dibantu oleh pasukan dari dua kapal lain yang sudah datang, sedang sibuk memadamkan kebakaran dan malam itu gelap sehingga Bun Beng dan Kwi Hong dapat mendayung perahu menuju ke pulau tanpa terlihat mereka. Agaknya mereka itu sibuk memadamkan kebakaran, akan tetapi tidak tampak lagi adanya pertempuran.
Ketika Bun Beng dan Kwi Hong mendarat di pulau, dan meloncat ke darat lalu berlari cepat, dari sebuah perahu hitam kecil tampak Lulu memandang mereka. Wanita ini menghela napas lalu mendayung perahunya meninggalkan perairan itu, kembali ke Pulau Neraka. Ketika mendengar penuturan Bun Beng tentang tewasnya Ki Lok yang jenazahnya ditinggalkan di pantai oleh Bun Beng, Kwi Hong menangis lagi. Gadis ini menjadi makin berduka ketika bertemu dengan Phoa Ciok Lin yang terluka sedikit pundaknya, mendengar betapa Yap Sun, Thung Sik Lun, dan banyak lagi paman-pamannya telah tewas dalam pertempuran. Anak buah Pulau Es yang tadinya berjumlah seratus orang lebih hanya tinggal lima puluh orang, termasuk anak-anak.
"Biarkan mereka datang lagi! Kita akan melawan mati-matian!" Kwi Hong berkata dengan air mata membasahi kedua pipinya, mengepal tinju dengan sebelah kiri dan pedang Li�mo-kiam berkilauan di tangan kanan. "Kurasa tidak bijaksana kalau begitu, Kwi Hong. Keadaan mereka kuat sekali, dan mereka dipimpin oleh orang-orang pandai."
"Apa kau takut? Kami mau mengharapkan bantuanmu, siapa kira engkau malah takut menghadapi mereka!" Kwi Hong sudah marah-marah lagi, lupa bahwa kalau tidak ada pertolongan Bun Beng entah bagaimana jadinya dengan anak buah Pulau Es, dan terutama dengan dia sendiri.
"Hong-ji, jangan begitu!" Phoa Ciok Lin berkata. "Bun Beng telah berbuat banyak sekali untuk kita, dan kurasa kata-katanya memang benar. Kalau kita melawan, biarpun dibantu Bun Beng yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu berarti akan mengorbankan semua sisa anak buah Pulau Es. Kita bertiga agaknya dapat melindungi diri sendiri, akan tetapi bagaimana dengan anak buah kita? Apakah masih kurang banyak jatuhnya korban di pihak kita? Lebih baik kita melarikan diri meninggalkan pulau ini sambil menanti kembalinya Taihiap."
"Lari....? Dan Istana....?"
"Kita bawa lari semua pusaka istana," kata pula Ciok Lin. "Memang itu benar sekali, Kwi Hong." Bun Beng berkata tenang. "Kalau kita melawan, selain anak buah Pulau Es dapat terbunuh semua oleh mereka tanpa kita dapat banyak melindungi karena kita sendiri tentu berhadapan dengan lawan-lawan tangguh, juga pusaka-pusaka Istana Pulau Es akan terampas oleh mereka. Agaknya itulah yang menyebabkan Koksu membawa pasukan datang menyerbu Pulau Es."
Menghadapi bantahan dua orang itu, Kwi Hong terpaksa menurut. Dia pun tidak ingin kelak dipersalahkan pamannya kalau sampai terjadi pusaka-pusaka dirampas pasukan pemerintah dan semua anak buah tewas. Maka, di bawah pimpinan Phoa Ciok Lin pergilah semua sisa penghuni Pulau Es, menggunakan semua perahu kecil yang tersembunyi. Mereka lari dengan perahu-perahu itu melalui utara, semua berjumlah sepuluh buah perahu kecil. Pada keesokan harinya, pelarian-pelarian yang tergesa sehingga tidak ada kesempatan menguburkan kawan-kawan mereka yang tewas, melihat bahwa lima buah kapal besar itu melakukan pengejaran. Mereka menjadi panik, akan tetapi Ciok Lin dengan tenang memberi aba-aba, menjadi petunjuk jalan paling depan. Perahu-perahu itu memasuki sekumpulan es terapung yang seperti bukit-bukit kecil. Mereka mengambil jalan berbelak-belok, jalan yang hanya diketahui oleh Ciok Lin. Lima buah kapal itu mengejar, namun terpaksa mereka menghentikan pengejaran mereka karena kapal-kapal yang besar itu terhalang oleh bukit-bukit es dan tidak mungkin memasuki jalan air sempit di antara bukit-bukit es itu. Dengan penasaran Bhong Ji Kun lalu memerintahkan anak buahnya mendarat lagi di Pulau Es. Yang ada di situ hanyalah mayat-mayat kedua pihak yang bergelimpangan. Pondok-pondok kecil dibakar, istana dirampok, dikuras habis benda-benda berharga dari istana itu, kemudian istana itu dibakar habis! Tamatlah istana Pulau Es, dan pulau itu kini tampak menyedihkan sekali, menjadi gundul karena pohon-pohon yang tidak berapa banyak tumbuh di situ ikut pula terbakar habis!
Dengan marah sekali karena semua usahanya gagal bahkan kehilangan banyak pasukan, kerusakan kapal-kapal, dan hanya mendapatkan barang-barang rampasan berupa harta benda yang tidak seberapa, tanpa ada benda-benda pusaka yang diharapkan, Bhong Ji Kun memerintahkan anak buahnya berlayar pulang ke daratan. Sementara itu, Phoa Ciok Lin membawa anak buahnya ke daratan pulau, akan tetapi sebelah utara dan mereka bersembunyi di pantai yang penuh dengan tebing-tebing curam dan guha-guha yang sunyi. Tempat persembunyian yang paling aman dan tempat itu pun hanya diketahui oleh Pendekar Super Sakti.
Setelah mengantar sisa anak buah Pulau Es ke tempat persembunyianya, Bun Beng lalu berpamit. Kwi Hong mengerutkan alisnya ketika dia dipamiti. Mereka berdiri di tepi laut dan wajah gadis itu masih muram penuh kedukaan memikirkan nasib Pulau Es.
"Engkau hendak pergi kemanakah, Bun Beng?" Tanyanya, suaranya gemetar dan pandang matanya sayu. Bun Beng hanya mengira bahwa sikap gadis ini karena kedukaannya. "Aku hendak pergi ke kota raja. Aku harus dapat merampas kembali Hok-mo-kiam yang dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya, juga aku harus membuat perhitungan dengan mereka yang telah membunuh Suhu. Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Bhe Ti Kong, bukan hanya karena telah membunuh Suhu, akan tetapi juga karena penyerbuan mereka ke Pulau Es."
Kwi Hong menghela napas panjang. Ingin sekali dia ikut bersama pemuda ini, akan tetapi dia maklum bahwa hal itu tidak pantas, maka dia lalu melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam dari pinggangnya, menyerahkannya kepada Bun Beng sambil berkata, "Kauterimalah kembali pedang ini, Bun Beng. Pedang ini perlu bagimu untuk melaksanakan tugasmu yang amat berbahaya itu. Mereka adalah orang sakti dan...."
"Tidak usah, Kwi Hong. Aku telah memberikan pedang itu kepadamu, bagaimana dapat kuterima kembali? Ataukah.... engkau tidak suka menerima pemberianku?"
"Tidak sama sekali, akan tetapi...."
"Sudahlah. Kau bersama Bibi Phoa menjaga di sini, melindungi sisa anak buah Pulau Es sambil menanti datangnya Suma-taihiap. Kalau bertemu di dalam perjalananku, tentu akan kusampaikan kepadanya akan segala peristiwa yang terjadi di Pulau Es. Selamat tinggal, sampai jumpa pula, Kwi Hong."
Kwi Hong mengangguk dan ketika pemuda itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, Kwi Hong berdiri memandang dan termenung. Tak disadarinya, dua titik air mata turun ke atas kedua pipinya. Mengapa hatinya terasa berat berpisah dengan pemuda itu? Apakah benar seperti pertanyaan pamannya dahulu bahwa dia mencinta Bun Beng? Dia merasa suka, kagum, kasihan kepada pemuda itu dan ingin selalu berdekatan, merasa berat ditinggalkan. Inikah cinta?
"Hong-ji, dia adalah seorang pemuda yang amat baik." Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan cepat pula menghapus dua titik air mata dari pipinya. Ia melihat Phoa Ciok Lin telah berdiri di situ. Jantungnya berdebar keras dan mukanya menjadi merah sekali.
"Apa.... apa maksudmu, Bibi....?"
Wanita itu menarik napas panjang menjawab. "Engkau cinta padanya, Hong-ji, dan aku tidak menyalahkanmu. Dia memang seorang pemuda yang baik, pantas mendapatkan cinta seorang gadis sepertimu, dan kurasa.... dia pun mencintamu, Hong-ji"
"Bibi....!"
"Jangan marah, aku bicara karena kenyataan dan aku cukup awas melihat keadaan kalian orang-orang muda. Cinta memang amat berkuasa dan aneh, Hong-ji." Kembali dia menarik napas panjang dan pandang matanya sayu seperti orang melamun. "Cinta dapat membuat orang menjadi halus perasaannya, menjadi seorang yang mau mengorbankan apa saja, sampai nyawanya. Akan tetapi mampu pula membuat orang menjadi kejam, menjadi mudah putus asa, akan tetapi juga dapat membuat orang menjadi tahan derita...."
Kwi Hong memandang wanita itu dengan terharu. "Seperti engkau sendiri, Bibi. Bukankah engkau mencinta Pamanku, mencinta dengan seluruh badan dan nyawamu?"
Phoa Ciok Lin menjatuhkan diri duduk di atas batu karang dan merenung ke arah lautan. Dia mengangguk dan terdengar suaranya lirih, "Benar, tak perlu kusembunyikan. Akan tetapi apa gunanya mencinta sebelah pihak? Salahku sendiri, orang yang tak tahu diri. Akan tetapi aku tidak kasihan kepada diriku sendiri, Hong-ji, melainkan kasihan kepada Pamanmu. Pamanmu jauh lebih sengsara dan menderita daripada aku, gara-gara dua orang wanita yang dicintanya.... hemmm.... cinta dapat mendatangkan neraka dunia bagi orang yang gagal. Semoga engkau kelak tidak gagal bersama Gak Bun Beng, Hong-ji...."
"Bibi....!" Kwi Hong maju menubruk dan merangkul wanita itu dan kedua orang itu saling peluk dan menangis, bukan hanya menangis karena urusan cinta, melainkan menangisi Pulau Es yang hancur berantakan.
******
Penyerangan ke Pulau Es dan hancurnya pulau itu oleh pasukan-pasukan pemerintah menggegerkan dunia persilatan. Ternyata koksu, atas nama pemerintah telah unjuk gigi dan terjadilah perubahan hebat di dunia persilatan. Kalau dahulu Pulau Es membuat semua orang kang-ouw gemetar, kini menjadi bahan tertawaan mereka. Kiranya Pulau Es tidaklah sekuat yang mereka duga. Kemudian Bhong Ji Kun yang merasa penasaran karena kegagalan di Pulau Es, hanya berhasil menghancurkan pulau itu, menimpakan kemarahannya kepada Pulau Neraka. Dia lalu berangkat lagi, membawa lima belas buah kapal dan seribu orang anggauta pasukan, berangkat lagi berlayar ke utara mencari Pulau Neraka! Dengan petunjuk jalan para nelayan di lautan utara, akhirnya dia berhasil menemukan Pulau Neraka, akan tetapi apa yang didapatinya? Pulau itu telah kosong! Semua penghuni Pulau Neraka telah lebih dulu menyingkirkan diri dan meninggalkan pulau itu, seolah-olah mengejek Koksu. Bhong Ji Kun marah, membakar pulau itu, kemudian kembali ke kota raja dengan tangan hampa. Memang Lulu telah lebih dulu mengungsikan anak buahnya ke daratan. Dia maklum bahwa tentara pemerintah pasti akan menyerbu Pulau Neraka, maka lebih dulu dia memerintahkan anak buahnya mengungsi ke daratan. Kini Pulau Es dan Pulau Neraka tidak ada lagi, atau lebih tepat kosong dan sudah terbakar, semua penghuninya telah lari dan semua orang menduga bahwa larinya tentu ke daratan dimana mereka dapat bersembunyi dengan mudah. Mendengar ini, Nirahai menjadi marah dan mendongkol sekali kepada Koksu. Bertahun-tahun dia menggembleng diri, memperkuat perkumpulan Thian-liongpang untuk sewaktu-waktu menyerang ke Pulau Es, untuk menandingi kekuatan Pulau Es dan kelihaian Suma Han. Kini didahului oleh pasukan pemerintah! Juga dia harus mengakui di dalam hatinya bahwa dia merasa sakit hati mendengar Pulau Es dibakar. Benar-benar watak wanita yang kecewa dalam cinta amat aneh. Dia sendiri ingin menyerbu Pulau Es, mengalahkan suaminya. Kini mendengar tempat suaminya diobrak-abrik orang lain, dia marah-marah dan sakit hati! Apalagi ketika ia mendengar bahwa pasukan Koksu itu atas perintah kaisar sendiri, mengertilah dia apa yang menjadi sebab penyerbuan itu. Tentu Kaisar, ayahnya sendiri, masih merasa dendam terhadap Suma Han yang melarikannya (baca cerita Pendekar Super Sakti), maka kini hendak menangkap Suma Han, atau agaknya lebih tepat lagi, hendak mencari dia! Diam-diam Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. Tentu ayahnya itu, Kaisar dan kaki tangannya, tidak pernah mimpi bahwa Ketua Thian-liong-pang yang penuh rahasia itu adalah Puteri Nirahai yang dicari-cari!
Ketika mereka mendengar akan penyerbuan tentara ke Pulau Neraka, dia makin penasaran lagi. Tadinya Thianliong-pang dianggap sebagai perkumpulan paling kuat dan yang menjadi tandingannya hanyalah Pulau Es dan Pulau Neraka. Kini kedua pulau itu telah dihancurkan pemerintah, siapa lagi yang akan menjadi tandingan Thian-liong-pang? Sekaranglah saatnya dia memperlihatkan kekuatan dan menjagoi dunia kang-ouw. Setelah berunding dengan para pembantunya, maka Thian-liong-pang membuat pengumuman dan mengundang seluruh partai dan semua golongan putih dan hitam, untuk memenuhi undangan Thian-liong-pang di mana akan diberi kesempatan kepada semua jago silat dunia untuk membuktikan siapa yang patut menjadi datuk pertama di dunia persilatan dan perkumpulan mana yang patut disebut perkumpulan terkuat. Untuk keperluan ini, Thian-liong-pang memilih tempat di kaki Pegunungan Ciung-lai-san, di daerah Se-cuan, bekas daerah pertahanan pemberontak Bu Sam Kwi. Daerah ini selain sunyi, juga merupakan daerah tandus seperti gurun pasir dan jauh dari kota maupun dusun. Beberapa hari sebelum hari yang ditentukan untuk pertemuan itu, pihak Thian-liong-pang telah berkumpul di tempat itu. Mereka membangun sebuah pondok gubuk yang tingginya dua puluh meter. Kemudian, lima puluh orang anggauta Thian-liong-pang pilihan, berkumpul dengan dipimpin oleh Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, Tang Wi Siang dan para wanita pelayan yang lihai, serta beberapa orang tokoh Thian-liong-pang lain seperti Su Kak Liong, saudara kembar yang kehilangan adiknya, karena adiknya, Toat-beng-to Su Kak Houw, telah tewas ketika hendak membunuh Bun Beng dan banyak orang yang menjadi tokoh Thian-liong-pang pula. Adapun Nirahai sendiri bersama Milana baru datang ke tempat itu sehari sebelumnya dan keduanya meloncat naik dan memasuki gubuk yang tinggi, menutupkan pintunya dan tidak tampak dari luar. Seperti diketahui, Milana meninggalkan ibunya tanpa pamit untuk mencari Bun Beng. Akan tetapi sebelum niat hatinya tercapai, dia mendengar pula berita akan dihancurkannya Pulau Es oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dara ini mengkhawatirkan ayahnya dan dia cepat pulang untuk mengabarkan hal itu kepada ibunya. Semenjak pagi pada hari yang ditentukan itu, datanglah berbondong-bondong pasukan orang-orang kang-ouw dari pelbagai aliran dan partai persilatan. Bahkan partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai yang terdiri dari belasan orang hwesio, dan Kun-lun-pai yang diwakili oleh kaum tosu, Bu-tong-pai yang dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu Ang-lojin atau Ang Thian Pa bersama puterinya yang menarik perhatian karena cantiknya, Ang Siok Bi. Hadir pula dari Partai Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain, yaitu dari partai-partai aliran bersih. Dari kaum perampok dan golongan hitam juga banyak yang hadir, di antaranya dari Hek-liong-pang, Hek-kai-pang perkumpulan pengemis baju hitam, dan Hui-houw-pai perkumpulan harimau terbang, Sin-to-pang perkumpulan ahli golok, Lam-hai-pang, dan masih banyak lagi. Akan tetapi karena sebagian besar di antara mereka itu sudah mengenal nama Thian-liong-pang, mereka menjadi jerih dan hanya datang untuk melihat-lihat, karena semenjak Pemerintah Mancu berdiri dan semenjak pertemuan di pulau muara Huang-ho, tidak ada perkumpulan kang-ouw yang berani lagi mengadakan pertemuan macam ini, apalagi pertemuan besar ini. Adapun pihak golongan bersih, hanya datang karena merasa sungkan kepada Thian-liong-pang, dan juga ingin menyaksikan sendiri seperti apa macamnya Ketua Thian-liong-pang yang disohorkan memiliki kepandaian seperti iblis, yang melampaui kehebatan para datuk golongan hitam maupun putih!
Karena tanah di tempat pertemuan itu tandus, setiap ada rombongan baru datang berkuda, tentu dari jauh tampak debu mengebul tinggi. Ada pula yang memikul ketua-ketua mereka dengan tandu, dan ada pula yang datang berkuda. Sebagian besar di antara mereka itu kini memelihara rambut yang dikuncir, sesuai dengan peraturan pemerintah baru. Akan tetapi ada pula yang tidak mau mentaati peraturan ini dan masih menyanggul rambutnya atau membiarkan saja panjang terurai seperti tampak pada para anggauta Thian-liong-pang dan para anggauta perkumpulan kaum sesat. Tentu saja peraturan ini tidak berlaku bagi para tosu yang semenjak dahulu mempunyai mode tersendiri dalam menyanggul rambut mereka, dan para hwesio yang semenjak dahulu memang tidak berambut kepalanya!
Kedatangan rombongan tamu dari segenap penjuru itu disambut oleh para anak buah Thian-liong-pang yang berkumpul mengelilingi gubuk tinggi, berbaris rapi menghadap keluar. Setiap tokoh yang melihat tamu datang dari depan, cepat menyambut dengan hormat sambil menjura. Di antara para orang kang-ouw itu, baik pihak tuan rumah maupun para tamu, tidak menduga sama sekali bahwa pertemuan orang dunia persilatan ini tidak luput dari pengawasan pemerintah. Bahkan banyak mata-mata pemerintah yang lihai menyeludup masuk, menyamar sebagai rombongan orang kang-ouw. Lebih hebat lagi, Koksu Bhong Ji Kun sendiri bersama pembantu-pembantunya telah siap menyerbu dengan pasukannya yang seribu orang banyaknya, begitu terdapat tanda dari para penyelidiknya. Bhong Ji Kun bukan seorang bodoh, dan tentu saja dia tidak akan memusuhi orang-orang kang-ouw, apalagi partai-partai besar yang oleh pemerintah, bankan diharapkan kerja sama mereka. Pemerintah yang telah berhasil memelihara keamanan setelah menundukkan semua kerusuhan, tidak akan memancing kekecewaan dan pemberontakan baru dengan jalan menindas orang-orang kang-ouw. Tidak, Bhong Ji Kun tidak akan mengganggu Thian-liong-pang yang merupakan perkumpulan besar yang berpengaruh, atau mengganggu tamu-tamunya. Akan tetapi, yang diincarnya adalah orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka. Kalau sampai mereka yang berhasil melarikan diri dari kedua pulau itu berani muncul di situ, barulah dia akan mengerahkan pasukan dan pembantu-pembantunya untuk menyerbu dan menangkapi mereka dengan dalih memberontak. Dengan menangkapi para penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka, dia mengharapkan akan dapat memaksa mereka menyerahkan pusaka-pusaka dari kedua pulau itu, terutama dari Pulau Es. Untuk maksud inilah Bhong Ji Kun menyiapkan pasukan dan pembantu-pembantunya. Akan tetapi, belum juga rencana ini memperoleh hasil, rombongan Koksu ini telah mengalami hal yang menggemparkan, yang membuat Bhong Ji Kun marah bukan main karena dia telah kehilangan dua orang pembantunya yang setia dan dapat diandalkan, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai, dan Thai Li Lama!
Hal itu terjadi ketika dia dan pembantu-pembantunya bersembunyi di dalam hutan-hutan di lereng Pegunungan Ciung-lai-san, mengurung dan mengawasi daerah tandus di kaki gunung yang dijadikan tempat pertemuan oleh Thian-liong-pang itu. Karena daerah pengawasan itu amat luas, mereka berpencar, demikian pula para pasukan yang hanya beristirahat di hutan-hutan sambil bersiap-siap menanti perintah kalau saat penyerbuan tiba. Sehari sebelum pertemuan tiba, pasukan pemerintah telah bersembunyi di hutan lereng Pegunungan Ciung-lai-san itu, di antara mereka tampak Tan-siucai. Tan-siucai yang masih penasaran karena belum berhasil membalas dendam kepada Suma Han yang dianggap telah menyebabkan kematian tunangannya, yaitu Lu Soan Li, sekali ini mengharapkan benar agar Suma Han muncul di tempat pertemuan. Dia maklum bahwa dia sendiri tidak akan mampu mengalahkan musuh besar yang dianggap telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya itu, namun dia percaya penuh kepada gurunya yang kini telah bergabung dengan orang-orang sakti seperti kedua Lama dan Koksu. Dengan hadirnya tokoh-tokoh sakti ini dibantu oleh seribu orang pasukan, mustahil kalau musuh besarnya itu akhirnya tidak akan tewas! Dia ingin sekali memberi pukulan maut terakhir kepada Suma Han, dengan tusukan kedua pedangnya, pedang hitam dan Hok-mo-kiam yang dibanggakannya.
Karena menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan, waktu dirasakan merayap amat lambat, Tan-siucai pergi berjalan-jalan seorang diri di dalam hutan yang dianggapnya tempat yang paling aman. Seribu orang pasukan menjaga di situ, dan dia sendiri memiliki kepandaian tinggi, tentu saja dia tidak takut akan munculnya ular atau harimau. Dengan wajah berseri penuh harapan, apalagi mengingat akan kedudukannya sebagai pembantu koksu yang membuat hidupnya terjamin dan penuh kemewahan dan kemuliaan, membuat dia dengan mudah memperoleh pakaian mewah dan indah, makanan serba lezat, tidak kekurangan uang, dan boleh dikata memungkinkannya untuk berganti teman wanita setiap malam. Tan-siucai melangkah perlahan mengagumi pohon-pohon dan kembang-kembang yang sedang mekar di dalam hutan itu. Dia berjalan perlahan, hati-hati agar pakaiannya yang indah dari sutera halus itu tidak sampai kotor oleh debu tanah atau tersangkut tetumbuhan berduri. Senja hampir tiba, sinar matahari tidak begitu panas lagi dan angin senja mulai bertiup seolah-olah menyampaikan selamat jalan kepada matahari yang mulai condong ke barat, sebentar lagi akan meninggalkan permukaan bumi sebelah sini. Karena dipenuhi harapan menggembirakan, Tan-siucai tersenyum-senyum, kemudian bersenandung. Akan terjadi penyerbuan, dan dia girang mendapat kesempatan lagi mengerjakan pedang hitamnya, memenggal leher orang, menusuk jantung lawan dari dada sampai menembus punggung, melihat darah segar menyemprot keluar! Ha, dia akan berpesta pora dengan pedangnya, di samping menyaksikan terlaksananya dendam terhadap Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Ha-ha, dia tertawa sendiri kalau teringat akan Pulau Es. Biarpun dia belum berhasil membunuh musuh besar ini, namun menyaksikan tempatnya dihancurkan dan dibakar, anak buahnya banyak yang tewas dan selebihnya terpaksa melarikan diri menjadi buronan, dia sudah merasa girang dan puas sekali.
"Tan-siucai, engkau kelihatan gembira sekali!" Tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari belakangnya. Tan-siucai menghentikan senandungnya dan mengira bahwa yang menegurnya tentu seorang di antara panglima pasukan, sambil membalikkan tubuh dia tertawa dan berkata, "Hidup hanya satu kali di dunia, mengapa tidak gembira?" Akan tetapi ketika melihat bahwa yang berhadapan dengannya adalah seorang pemuda tampan yang tersenyum-senyum, pemuda yang tubuhnya sedang, pakaiannya sederhana, kuncirnya tebal hanya sebuah bergantung ke depan melalui pundak, seorang pemuda yang sama sekali bukan panglima, bukan perajurit. "Engkau.... siapa....?" Tan-siucai agak tergagap karena heran, namun segera menyangka bahwa tentu orang ini
penduduk di lereng Pegunungan itu. Pemuda itu memperlebar senyumnya. "Aku setan penjaga gunung yang telah lama menanti kesempatan ini untuk mencabut nyawamu!"
Tan-siucai kaget dan marah mendengar ini, namun dia menjadi kaget lagi ketika tiba-tiba tangan kiri pemuda sederhana itu dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah mukanya, menyerang kedua matanya. Gerakan pemuda itu cepat bukan main, dan dari sambaran tangannya terasa hawa pukulan yang kuat! Tan-siucai tentu saja tidak membiarkan kedua matanya dicongkel orang begitu saja. Dia cepat menarik tubuh atas ke belakang. "Plakk! Rrrttt"
"Heiii....! Kembalikan pedangku!" Tan-siucai berseru marah dan kaget sekali ketika merasa betapa pedang Hok-mo-kiam yang selalu terselip di pinggangnya kini telah dirampas pemuda itu. Dia sendiri tidak tahu bagaimana sampai dapat diambil dari pinggangnya. Hanya terasa olehnya ketika ia menarik tubuh atas ke belakang untuk menghindarkan tusukan pada matanya pedang itu diserobot dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu pedang itu lenyap dari pinggangnya.
Dengan mata terbelalak marah Tan-siucai melihat pemuda itu tersenyum-senyum sambil mengikatkan sarung pedang ke punggungnya. Sikapnya demikian tenang sambil tersenyum-senyum, seolah-olah pemuda itu sedang memasang pedangnya sendiri, bukan bolehnya merampas punya orang lain.
"Kembalikan pedangku, keparat!" Tan-siucai membentak. Pemuda itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Seperti diceritakan di bagian depan, setelah berpisah dari Kwi Hong di pantai lautan utara, Bun Beng pergi ke kota raja untuk mencari musuh-musuhnya. Setibanya di kota raja, kebetulan sekali ia melihat pasukan besar dipimpin oleh musuh-musuhnya! Dia melihat Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Maharya, Tan-siucai, Bhe Ti Kong dan para panglima pengawal meninggalkan kota raja dengan berkuda dan melakukan perjalanan cepat sekali. Melihat ini, Bun Beng tak berani turun tangan. Tak mungkin dia turun tangan selagi orang-orang sakti itu berkumpul dan masih dilindungi oleh pasukan yang besarnya kurang lebih seribu orang! Maka Bun Beng lalu membayangi pasukan itu yang ternyata melakukan perjalanan jauh sekali sampai berpekan-pekan. Dan akhirnya pasukan itu bersembunyi di dalam hutan, di lereng Pegunungan Ciung-lai-san. Juga Bun Beng yang terus membayangi, mendengar akan pertemuan tokoh-tokoh dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang di kaki pegunungan itu. Diam-diam dia merasa heran. Apalagi yang akan dilakukan oleh Puteri Nirahai, ibu Milana dan isteri Pendekar Super Sakti yang telah menjadi Ketua Thian-liong-pang itu? Apakah yang akan dilakukan wanita sakti yang cantik jelita, yang menjadi aneh dan mengerikan sekali wataknya akibat terputusnya cinta dan mengalami kekecewaan itu?
Akan tetapi karena tujuan Bun Beng adalah mencari kesempatan untuk pertama-tama merampas kembali Hok-mo-kiam, baru kemudian mencari kesempatan untuk membuat perhitungan kepada musuh-musuhnya, maka dia tidak mempedulikan lagi urusan Thian-liong-pang. Akhirnya, setelah membayangi pasukan itu selama beberapa pekan, pada menjelang senja hari itu dia berkesempatan menemui Tan-siucai seorang diri dan berhasil merampas Hok-mo-kiam secara mudah setelah dia melakukan serangan pancingan dengan tangan kiri tadi, membuat Tan Ki menarik tubuh atas ke belakang dan pinggang depannya tidak terlindung.
"Heiii! Tulikah engkau? Kembalikan pedangku!" sekali lagi Tan Ki membentak. Bun Beng tersenyum tenang. "Pedangmu yang manakah? Hok-mo-kiam ini bukanlah pedangmu. Lupakah engkau bahwa engkau mencuri pedang ini dengan menipu Pendekar Super Sakti keluar meninggalkan pondok. Kemudian engkau bersama Gurumu Maharya itu bahkan membunuh Kakek Nayakavhira yang membuat pedang ini? Dan engkau sekarang masih berkulit muka tebal mengaku bahwa Hok-mo-kiam adalah pedangmu?"
"Setan! Siapa engkau....?" Tan Ki menjadi terkejut dan marah sekali mendengar ucapan itu, sekaligus dia mencabut pedang hitamnya.
"Tidak penting kauketahui aku siapa, Tan-siucai. Hanya perlu kauketahui bahwa pedang ini akan kuserahkan kembali kepada yang berhak, yaitu Suma-taihiap."
"Engkau ingin mampus!" Tan Ki membentak dengan pengerahan khi-kang sehingga suaranya menjadi nyaring dan terdengar sampai jauh. Memang, orang yang licik ini sengaja mengeluarkan suara keras agar terdengar oleh yang lain dan membantunya menghadapi perampas pedangnya. Setelah membentak, pedangnya berkelebat, sinar hitam menyambar ke arah tubuh Bun Beng. Tan-siucai bukanlah seorang lemah. Dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Kakek Maharya, dan selain ilmu pedangnya aneh dan cepat, diapun memiliki sin-kang yang sudah kuat sekali. Namun, bagi Bun Beng dia merupakan lawan yang ringan. Bun Beng yang melihat pedang hitam menyambar ke arah lehernya, hanya miringkan kepala sedikit, dan berbareng tangan kanannya menampar. "Plakkk!" Bun Beng menampar perlahan saja dan mengenai pipi kiri Tan-siucai, akan tetapi biarpun perlahan, cukup membuat Tan-siucai terbanting dan bergulingan. Ketika ia meloncat bangun lagi dengan kepala nanar, pipinya telah menjadi bengkak membiru dan semua giginya di pinggir kiri copot! Sambil meludahkan gigi dan darah, Tan Ki memandang dengan marah sekali, namun hatinya menjadi jerih karena dalam gebrakan pertama itu saja sudah terbukti betapa lihainya pemuda ini. Teringatlah ia akan cerita tentang pemuda yang membela penghuni Pulau Es, yang mengamuk dengan hebat, bahkan dapat melayani gurunya. Mukanya menjadi pucat teringat akan ini dan dia sudah menoleh ke kanan kiri dan menengok ke belakang, mengharapkan
datangnya bala bantuan. Tak salah lagi tentu inilah pemuda yang sakti itu!
"Tan Ki, tamparanku tadi hanya untuk hukumanmu mencuri Pedang Hok-mo-kiam. Semestinya mengingat akan pembunuhan terhadap Kakek Nayakavhira, kemudian penculikan terhadap Nona Giam Kwi Hong, ditambah lagi engkau ikut menyerbu dan membunuh anak buah Pulau Es, engkau sudah pantas dibunuh seratus kali! Akan tetapi, yang berhak memutuskan hukuman adalah Pendekar Super Sakti, dan aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, maka biarlah sekali ini aku tidak membunuhmu dan hanya merampas kembali Hok-mo-kiam. Nah, pergilah!"
Akan tetapi, tentu saja Tan Ki tidak mau pergi meninggalkan orang yang telah merampas Hok-mo-kiam, juga dia tidak berani menyerang lagi. Dia masih menanti datangnya bantuan dan pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan Thai Li Lama. Hatinya menjadi besar, keberaniannya bangkit dan dia membentak nyaring. "Engkau pembela Pulau Es! Engkau pula yang melarikan
murid Pendekar Siluman!" Sambil membentak demikian dia menyerang lagi dengan ganas, mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan jurus maut. Pedangnya berubah menjadi sinar hitam yang meluncur cepat dan kuat, menusuk ke arah tenggorokan Bun Beng terus digoreskan ke bawah untuk menyusul serangan itu kalau-kalau gagal. Menghadapi ini, dan melihat datangnya Thai Li Lama yang lihai, Bun Beng menjadi marah sekali. Kalau dia tidak cepat turun tangan dan cepat pergi dari situ sampai semua tokoh lawan datang dan pasukan dikerahkan, dia bisa celaka. Tangan kanannya bergerak ketika ia melangkah mundur untuk mengelak. Tampak sinar kilat yang luar biasa ketika Hok-mo-kiam terhunus, disusul sinar kilat menyambar ke depan. "Trakkk....!" Tan Ki menjerit nyaring dan roboh. Pedang hitamnya patah menjadi dua oleh Hok-mo-kiam dan sinar kilat itu masih terus menembus dadanya. Tan-siucai berkelojotan dan tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan kalau diingat bahwa dia dahulu adalah seorang sasterawan yang amat pandai, yang berwatak baik ketika menjadi tunangan Lu Soan Li. Sayang dendam kebencian membuat dia menyeleweng apalagi setelah dia menjadi murid Maharya dan ilmu yang dipelajarinya membuat dia menjadi tidak normal alias agak miring otaknya. Kebencian dapat menyeret manusia ke dalam kesesatan, karena kebencian menimbulkan perbuatan kejam, menimbulkan kekerasan dan kekeruhan batin.
"Jahanam....!" Teriakan ini keluar dari mulut Thai Li Lama, disusul dengan pukulan geledek, yaitu Ilmu Sin-kun-hoat-lek yang telah mengandung tenaga sin-kang kuat, juga mengandung hawa mujijat dari ilmu hitamnya. Bun Beng cepat meloncat ke belakang menghindar. Dilihatnya Thai Li Lama telah banyak berubah. Kepalanya masih tetap gundul, akan tetapi di bagian bawah kepala dibiarkan tumbuh. Dengan demikian, pendeta Lama yang dahulunya gundul kelimis itu kini seperti seorang yang botak, juga jubahnya yang merah terbuat dari kain sutera! "Haiiiittt, lihat siapa aku? Orang muda, berlututlah engkau di depan Thai Li lama, orang kepercayaan Koksu!" Suaranya amat berpengaruh, pandang matanya seperti menyeluarkan sinar mujijat. Bun Beng merasa tubuhnya menggigil dan matanya seperti melekat pada sepasang mata yang seperti mata setan itu, kakinya lemas dan lututnya tak dapat ditahannya lagi, tertekuk dan dia jatuh berlutut! Tiba-tiba berkelebat di otaknya bahwa ini tidaklah sewajarnya, seperti ketika ia berhadapan dengan Maharya. Teringat pula dia akan ilmu sihir yang dimiliki golongan sesat ini. Cepat ia menggigit bibirnya sampai berdarah dan rasa nyeri ini melepaskan dia daripada ikatan pandang mata yang melekat! Cepat ia mengalihkan pandang mata ke bawah, menulikan telinganya dari suara di luar dan keadaannya pulih kembali. Pada saat itu, dia merasa hawa yang amat panas menggerayang ke arah kepalanya, maklum bahwa dia terancam bahaya maut karena tangan kiri pendeta itu mencengkeram ubun-ubun kepalanya selagi dia berlutut!
"Hyyaaaaaahhhhh!" Bun Beng membentak nyaring melengking dan sinar kilat berkelebat dari bawah. "Crokk! Auggghhhh....!" Thai Li Lama mencelat ke belakang dan darah mengucur keluar dari lengan kirinya yang telah terbabat buntung oleh Hok-mo-kiam!
Sepasang mata Thai Li Lama mendelik dan ia mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas. Kemudian dia meloncat tinggi lalu meluncur ke arah Bun Beng dengan kedua kakinya bergerak-gerak melakukan tendangan-tendangan maut bertubi-tubi dari atas, menuju ke arah ubun-ubun, pelipis tenggorokan dan tengkuk. Sekali saja terkena tendangan itu, takkan dapat bertahan Bun Beng, biarpun dia memiliki tenaga sin-kang yang bagaimana kuatnya. Bun Beng maklum akan kedahsyatan serangan ini, dan
diam-diam merasa ngeri melihat kakek yang lengan kirinya buntung itu seolah-olah tidak merasakan nyeri, dan masih dapat menyerangnya sedemikian hebat. Cepat ia meloncat mundur ke kanan kiri menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu. Namun gerakan kedua kaki itu aneh sekali, sama sekali tidak dikenal oleh Bun Beng dan dia tidak tahu perkembangannya atau lanjutan geraknya, maka betapa pun cepatnya ia mengelak, tetap saja pundaknya terkena dorongan tumit kaki ketika kaki Thai Li Lama membalik yang merupakan lanjutan serangan tendangannya. Biarpun tulang pundaknya tidak patah, namun hawa dorongan itu membuat Bun Beng terpelanting dan roboh miring. Pundaknya terasa setengah lumpuh dan pada saat itu, Thai Li Lama yang terkekeh seperti iblis itu telah melayang turun, kaki kanannya bergerak menginjak ke arah perut Bun Beng, injakan maut karena dalam gerakan menginjak dari atas ini mengandung tenaga yang bukan main besarnya. Kalau sampai perut pemuda itu terkena injakan, tentu akan hancur isi perutnya!
"Crokkk....! Aaiiiihhhh!" Sinar kilat pedang Hok-mo-kiam yang digerakkan oleh Bun Beng dalam keadaan terancam maut itu, menyambar dan membabat kaki yang menginjak. Buntunglah kaki kanan itu sebatas betis dan Thai Li Lama berdiri dengan kaki kiri, matanya terbelalak berapi-api, mulutnya mengeluarkan busa, keadaannya mengerikan sekali. Darah mengucur deras dari pangkal lengannya yang buntung dan dari kaki kanan yang buntung di bawah lutut itu. Namun, dia masih dapat terpincang-pincang menghampiri Bun Beng! Bun Beng membenci pendeta Lama ini yang merupakan seorang di antara mereka yang telah membunuh Siauw Lam Hwesio, gurunya, akan tetapi kini menyaksikan keadaan Lama itu, dia merasa ngeri dan juga kasihan. Untuk menghentikan penderitaan orang yang menjadi musuhnya itu, dia cepat menubruk ke depan dan ketika sinar kilat berkelebat, pedang Hok-mo-kiam telah menembus ulu hati Thai Li Lama sampai menembus punggung. Bun Beng cepat hendak mencabut
kembali pedang itu, akan tetapi tiba-tiba pendeta Lama itu yang sudah buntung lengan kirinya, buntung pula kaki kanannya, dan tertusuk tembus dadanya, masih dapat mengeluarkan bentakan nyaring, dari mulutnya menyembur darah segar dan tangan kanan berhasil memukul punggung Bun Beng dengan tamparan yang mengandung ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek.
"Blukkk!"
"Auuuhhh....!" Darah segar menyembur keluar dari mulut Bun Beng dan pemuda ini terguling roboh, berbareng dengan robohnya tubuh Thai Li Lama yang telah menjadi mayat!
Bun Beng mengeluh panjang, rasa nyeri dari punggung sampai ke dada menyesakkan napasnya. Dia maklum bahwa pukulan dahsyat tadi telah melukainya akan tetapi pikirannya masih terang. Dia harus cepat pergi! Telah tampak bayangan para anak buah pasukan yang mendengar bentakan-bentakan tadi mendatangi di antara pohon-pohon. Cepat ia menghampiri mayat Thai Li Lama, bergidik menyaksikan bekas musuh ini, mencabut Hok-mo-kiam, kemudian melarikan diri dari tempat itu secepat mungkin, keluar dari hutan dan dilindungi kegelapan malam yang tiba, dia berhasil meninggalkan para pengejarnya. Setelah aman dan tidak ada pengejaran lagi Bun Beng duduk bersila di bawah pohon dalam hutan besar dekat puncak gunung, dan mengatur pernapasannya, mengumpulkan hawa murni dan mengerahkan sin-kangnya untuk mengobati luka di dalam dadanya yang terguncang oleh pukulan dahsyat itu. Setahun yang lalu, sebelum dia melatih sin-kang di dalam lorong rahasia dari kitab yang dipelaiari oleh Ketua Thian-liong-pang, kalau terkena pukulan seperti itu, tentu nyawanya telah melayang!
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa marah hati Im-kan Seng-in Bhong Ji Kun ketika ia mendapatkan dua orang pembantunya tewas seperti itu. Di tempat itu, dimana terdapat dia sendiri dan paman gurunya, Maharya yang sakti, bersama seribu orang perajurit pasukan pengawal, dua orang pembantunva yang dipercaya dan boleh diandalkan, terutama Thai Li Lama, tewas dalam keadaan mengerikan dan tak seorang pun tahu siapa yang telah membunuh kedua orang itu! Thian Tok Lama berduka sekali akan kematian sutenya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan marah dan siapakah yang akan dibalas kalau tak seorang pun mengetahui siapa pembunuh sutenya?
"Mudah saja! Pedang Hok-mo-kiam telah dirampasnya dari tangan muridku. Siapa yang memegang pedang itu, dialah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Aku bersumpah untuk membunuh iblis terkutuk itu!" Maharya yang juga amat berduka akan kematian muridnya, terutama sekali akan terampasnya Hok-mo-kiam oleh orang lain, mengepal tinju.
"Yang dapat melakukan ini tentulah orang yang berkepandaian tinggi sekali," kata Bhong Ji Kun setelah memerintahkan anak buahnya mengurus dan mengubur kedua jenazah itu. "Tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa, akan tetapi siapakah? Banyak tokoh kang-ouw sedang berada di sekitar tempat ini untuk menghadiri pertemuan besok pagi. Pasti seorang di antara mereka yang melakukannya."
Thian Lok Lama menggeleng kepalanya yang gundul. "Pinceng rasa bukan seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw. Tak mungkin mereka berani melakukan pembunuhan-pembunuhan ini karena mereka tahu bahwa Sute dan Tan-siucai adalah orang-orangnya pemerintah. Pinceng kira pembunuhnya tentulah orang-orang yang telah menentang kita di Pulau Es."
"Ahhh, wanita Pulau Neraka yang seperti setan itu?" Maharya bertanya. Thian Tok Lama mengangguk. "Mungkin dia, mungkin pula bocah yang sekarang telah menjadi lihai bukan main itu."
"Gak Bun Beng?" Bhong Ji Kun menyambung. Thian Tok Lama mengangguk. "Keturunan Gak Liat itu sekarang luar biasa ilmunya dan mengingat akan watak ayahnya yang liar, bisa saja dia melakukan hal-hal yang tidak lumrah."
"Hemmm, siapa tahu kalau-kalau Pendekar Siluman yang melakukan ini."
"Pendekar Siluman....?" Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun berseru, keduanya terkejut dan wajah mereka berubah. Mengapa mereka tadi tidak teringat akan Pendekar Super Sakti itu? Kalau dia yang datang, memang tidak perlu diherankan lagi kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai!
"Lebih banyak kemungkinan dia sendiri yang datang dan melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Dan dirampasnya pedang itu menebalkan keyakinanku bahwa Pendekar Super Sakti yang datang sore tadi. Akan tetapi, harap Taijin jangan khawatir. Memang kita sedang menunggu munculnya orang-orang Pulau Es dan orang-orang Pulau Neraka, bukan? Boleh jadi Pendekar Siluman lihai sekali, akan tetapi saya pernah menandinginya, dan ternyata dia tidaklah lebih lihai daripada saya, atau boleh dibilang tingkat kami sebanding. Kalau dibantu oleh Taijin dan Thian Tok Lama, tentu mudah saja mengalahkannya."
"Akan tetapi, Susiok (Paman Guru), bagaimana kalau dia dibantu oleh Gak Bun Beng dan oleh wanita Pulau Neraka itu?" Maharya menggeleng kepala. "Saya rasa wanita itu adalah Ketua Pulau Neraka yang disohorkan. Antara Pulau Neraka dan Pulau Es belum pernah ada kerja sama, dan kalau dia dahulu turun tangan, sama sekali bukan untuk membantu Pulau Es, hanya karena marah bahwa daerahnya dilanggar. Andaikata dia maju pula, bersama pemuda itu, tidak perlu kita takut. Para ciangkun memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, dan seribu orang pasukan merupakan kekuatan yang melebihi sepuluh orang Pendekar Siluman! "
Biarpun kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai merupakan pukulan yang cukup mengejutkan, namun hati para pimpinan pasukan pemerintah ini masih besar. Malam itu tidak ada peristiwa sesuatu dan pada keesokan harinya, setelah mengirim rombongan mata-mata yang menyamar sebagai orang-orang kang-ouw, Bhong Ji Kun dan para pembantunya mengintai tanah tandus yang dijadikan tempat pertemuan itu dari atas lereng terdekat, mempergunakan teropong dan memeriksa keadaan. Tang Wi Siang yang mewakili ketuanya, setelah semua tamu berkumpul, berkata dengan suara nyaring, "Cu-wi sekalian yang terhormat! Pangcu kami menghaturkan selamat datang pada Cu-wi sekalian. Maksud dari undangan Pangcu kami mengumpulkan Cu-wi sekalian yang dianggap mewakili dunia kang-ouw, adalah untuk mempererat persahabatan dan untuk mendengarkan usul Pangcu yang akan disampaikan oleh Pangcu sendiri. Silakan Cu-wi mendengarkan!"
Pintu pondok di atas itu terbuka perlahan dan muncullah Ketua Thian-liong-pang yang mukanya berkerudung. Melihat wanita itu, semua orang memandang dan mereka yang pernah diculik dan pernah berhadapan dengan ketua itu, memandang dengan muka merah masih merasa penasaran akan tetapi juga dengan hati jerih karena mereka tahu akan kelihaian wanita itu. Adapun mereka yang belum pernah bertemu dengan tokoh ini, memandang dengan hati penuh kengerian karena mereka hanya mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia, sedangkan orangnya pun begitu menyeramkan, mukanya dikerudung sehingga semua orang ingin melihat bagaimana wajah yang bersembunyi di balik kerudung itu. Sudah tuakah? Ah, tak mungkin, tubuh wanita itu biarpun tersembunyi di balik pakaian yang longgar, jelas bukan tubuh seorang wanita tua! Dan tangan yang tersembul dari balik lengan baju itu berkulit halus, berjari kecil meruncing dengan kuku yang kemerahan, terpelihara baik-baik! Sepasang mata yang memandang dari balik lubang kerudung penutup muka itulah yang menimbulkan rasa serem dan menundukkan hati orang, begitu terang, begitu tajam dan penuh wibawa, mata seorang manusia yang agaknya tidak mengenal bantahan! Nirahai, wanita berkerudung Ketua Thian-liong-pang itu, sejenak berdiri memandang sekeliling dan dengan pandang mata cepat ia menyapu tokoh yang hadir, mengenal mereka dan dapat menduga dari partai dan perkumpulan mana mereka itu. Dia merasa kecewa bukan main ketika tidak melihat adanya rombongan Pulau Neraka dan Pulau Es! Benar-benar menggemaskan, pikirnya. Mengapa Suma Han tidak muncul? Dan di mana adanya tokoh-tokoh Pulau Neraka? Tanpa mengalahkan keduanya itu, nama Thian-liong-pang takkan terangkat naik! Dan tiba-tiba ia melihat rombongan terdiri dari belasan orang yang tak dapat ia duga dari partai atau golongan mana. Matanya mengeluarkan sinar penuh kecurigaan, akan tetapi dia tidak menyatakan sesuatu, hanya mulai dengan bicaranya yang singkat, halus merdu namun terdengar sampai jauh karena ia keluarkan dengan pengerahan khi-kang yang luar biasa kuatnya.
"Cu-wi sekalian! Untuk mempersatukan dunia kang-ouw, kita harus menentukan perkumpulan mana yang patut menjadi perkumpulan induk, dan tokoh mana yang patut dijadikan pemimpin yang dapat disebut Bengcu (pemimpin rakyat). Kami setelah mempelajari dan meneliti keadaan, minta Cu-wi sekalian suka mengakui Thian-liong-pang sebagai perkumpulan induk, dan aku sendiri menjadi Bengcu, kecuali kalau ada di antara Cu-wi yang dapat membuktikan bahwa ada orang yang lebih patut menjadi Bengcu daripada aku. Kalau ada di antara Cu-wi yang tidak setuju, boleh maju!" Bukan main tekeburnya ucapan Ketua Thian-liong-pang ini sehingga semua orang memandang dengan alis berkerut dan merasa tidak setuju, sungguhpun tidak ada yang berani membantah dengan keras. Hanya terdengar suara-suara kontra, dan dari golongan para hwesio dan tosu terdengarlah ucapan-ucapan, "Omitohud...."
"Siancai....!" Nirahai bukanlah seorang bodoh, kalau dia tadi mengeluarkan ucapan itu memang dia sengaja untuk memancing sikap menentang sehingga orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi akan bangkit dan menentangnya. Setelah bertahun-tahun dia menggembleng diri, bahkan tidak segan-segan mencuri ilmu-ilmu dari lain partai, dia menganggap bahwa tidak akan ada orang lagi yang dapat menandinginya, dan satu-satunya yang dia anggap merupakan lawan berat kiranya hanyalah Suma Han dan Ketua Pulau Neraka yang belum pernah dia jumpai. "Cu-wi, negara telah aman, pemerintah tidak menghendaki pertentangan. Karena itu, kalau kita orang-orang dunia kang-ouw tidak bersatu dan tidak mempunyai seorang pemimpin yang mempersatukan kita, bagaimana kita semua dapat menghadapi urusan-urusan besar? Tanpa pemimpin selalu hanya akan timbul pertentangan-pertentangan di antara kita sendiri yang mengakibatkan kehancuran dan kelemahan, juga menimbulkan banyak korban. Karena itu, lebih baik sekarang kita berhadapan secara gagah, memilih seorang Bengcu yang tepat dan korban-korban dalam perebutan dan pemilihan ini tidak akan banyak, juga yang kalah dan tewas, mati sebagai seorang gagah. Aku sudah bicara, terserah kepada Cu-wi bagaimana menghadapinya!"
Setelah berkata demikian Nirahai mengibaskan lengannya dan memasuki pondok. Pintu pondok segera ditutup lagi. "Ibu, mengapa Ibu melakukan semua ini?" Di dalam pondok itu, Milana berbisik kepada Ibunya. Nirahai melepas kerudung dan menghapus keringat dari muka dan lehernya. Puterinya memandang wajah ibunya yang cantik itu berselimut awan kesengsaraan batin. "Untuk memancing datangnya Majikan Pulau Es dan Pulau Neraka." Jawabnya pendek lalu mengenakan kerudung kepalanya lagi. Milana menghela napas. Hening sejenak dan dara itu berbisik. "Ibu.... begitu.... begitu bencikah Ibu kepada Ayah....?"
Mata di balik kerudung itu memancarkan api. "Benci? Tidak ada orang yang lebih kubenci di dunia ini!" Milana merasa jantungnya tertusuk dan ia menunduk. Kembali keadaan hening dan tiba-tiba Milana mengangkat mukanya ketika mendengar isak tertahan. Ibunya telah terisak menangis! Milana terharu, menggerakkan tangan menyentuh tangan ibunya dan berbisik lagi "Ibu.... sangat cintakah kepada Ayah....?" Nirahai memejamkan matanya dan mengangguk. Milana mengerti, keduanya diam dan mencurahkan perhatian keluar pondok. Dari celah-celah dinding pondok mereka dapat melihat seorang hwesio tinggi kurus dari rombongan Siauw-lim-pai melangkah maju dan berkata nyaring sambil memandang pondok di atas. "Thian-liong-pangcu! Pinceng menerima tugas dari Ketua kami untuk menyampaikan penyesalan Siauw-lim-pai akan sepak terjang Thian-liong-pang selama ini yang melakukan penculikan-penculikan terhadap tokoh-tokoh kang-ouw. Siauw-lim-pai tidak mau ikut-ikut dalam soal pemilihan Bengcu, dan tidak akan mengakui Bengcu manapun juga karena Siauw-lim-pai tidak mau mengikatkan diri, juga tidak ingin menanam permusuhan. Hanya menjadi kewajiban Siauw-lim-pai untuk menegur perkumpulan yang bertindak sewenang-wenang, dan kalau teguran Siauw-lim-pai ini tidak menyenangkan hati Pangcu, pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai siap mempertanggungjawabkannya!"
Setelah hwesio tinggi kurus itu mundur, majulah seorang tosu berambut putih dari rombongan Hoa-san, dan dia pun berteriak nyaring. "Pinto mewakili Hoa-san-pai, juga memprotes penculikan atas diri sute kami Bhong Tek-cu yang dilakukan oleh Thian-liong-pang, dan pinto mewakili Hoa-san-pai untuk minta Thian-liong-pangcu mempertangungjawabkan perbuatan itu sekarang ini! Tentang pemilihan Bengcu, Hoa-san-pai tidak akan mencampurinya!"
Setelah melihat majunya wakil-wakil partai besar seperti Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, besarlah hati para tokoh kang-ouw, dan berturut-turut majulah Ang-lo-jin Ketua Bu-tong-pai yang berkata, "Saya sebagai ketua Bu-tong-pai merasa terhina atas perlakuan Thian-liong-pang yang lalu, maka saya minta pertanggungan jawab Thian-liong-pangcu di tempat terbuka ini!" Dan dengan alasan yang sama pula majulah wakil-wakil dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai. Melihat perkembangan ini, Tang Wi Siang merasa gelisah juga dan beberapa kali dia memandang ke atas seolah-olah mengharapkan ketuanya turun tangan. Tak lama kemudian terdengar suara Ketua Thian-liong-pang. "Wi Siang, sebutkan wakil-wakil dari mana saja yang minta pertanggungan jawabku?"
Dengan suara gemetar karena tidak mengira akan demikian banyaknya partai yang menentang ketuanya, Tang Wi Siang menjawab, "Dari Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Bu-tong-pai, Lam-hai-pang, Sin-to-pang dan Pek-eng-pai, semua enam partai!" Tiba-tiba pintu pondok terbuka dan muncullah Ketua Thian-liong-pang. "Hanya enam partai saja? Ataukah masih ada lagi? Harap Cu-wi yang ingin mencoba kepandaianku, tidak malu-malu, nyatakan saja terus terang!"
Setelah tidak ada yang menjawab, Nirahai berkata, "Para wakil dari enam partai yang minta pertanggungan jawab, persilakan maju!"
Dari Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai masing-masing maju seorang hwesio dan seorang tosu, dari Bu-tong-pai majulah Ang Siok Bi dan seorang suhengnya, murid dari ayahnya, sedangkan dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai, masing-masing maju tiga orang wakil yang merupakan murid-murid kepala. Ang-lojin tidak maju sendiri karena dia merasa malu hati dan tidak enak kalau sebagai ketua dia harus maju sendiri. Dengan demikian, wakil dari enam partai itu berjumlah tiga belas orang, murid-murid kepala dari partai-partai yang tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. "Bagus! Kulihat Cu-wi yang mewakili partai yang minta pertanggungan jawabku, ada tiga belas orang telah berkumpul. Dan untuk membuktikan bahwa aku sebagai calon Bengcu mempunyai tanggung jawab dan kepandaian untuk memimpin Cu-wi sekalian, aku akan menghadapi Cu-wi sekaligus. Bersiaplah, aku akan mengalahkan Cu-wi!" Setelah berkata demikian tampak tubuh wanita berkerudung itu melayang dari atas pondok yang tinggi itu bagaikan seekor burung garuda, langsung meluncur ke arah tiga belas orang itu. Mereka ini sudah siap dan tampak sinar senjata berkilauan ketika mereka mencabut senjata mereka. Namun Nirahai tidak menghunus pedangnya yang masih tergantung di punggungnya, tubuhnya terus meluncur dan bagaikan seekor burung walet menyambar ke arah mereka. Tiga belas orang itu menggerakkan senjata masing-masing menyambut bayangan tubuh yang menyambar-nyambar itu, demikian cepat gerakan wanita ini sehingga sukar diikuti pandangan mata. Tampak bayangan tubuhnya berkelebat di antara sinar senjata itu dan terdengarlah bunyi berkerontangan, senjata-senjata terpental dan ketiga belas orang mengeluarkan teriakan kaget disusul robohnya tubuh mereka seorang demi seorang, cepat sekali sampai ketiga belas orang itu semua terpelanting roboh! Dan tubuh wanita berkerudung itu berdiri di tengah tengah, antara mereka yang roboh ke kanan kiri, ada yang terlentang, ada yang menelungkup, ada yang miring. Tiga belas orang itu terkejut bukan main, demikian pula mereka yang menyaksikan kehebatan wanita berkerudung itu, hampir mereka tak dapat percaya betapa dengan tangan kosong, wanita berkerudung itu benar-benar telah mengalahkan mereka dan hebatnya mereka tidak terluka hebat, hanya roboh oleh dorongan-dorongan tenaga sin-kang yang amat kuat dan didahului kecepatan yang tidak tampak oleh mata mereka! Ang Siok Bi yang tadinya merasa penasaran karena ayahnya pernah diculik kini bangkit bersama yang lain-lain, memandang wanita berkerudung itu dengan muka pucat dan diam-diam mereka semua mengakui bahwa kalau wanita itu menghendaki, kalau wanita itu menggunakan senjata atau melakukan pukulan yang berat, tentu mereka roboh untuk tidak bangkit kembali!
"Nah, Cu-wi sudah menyaksikan bahwa aku telah berani mempertanggungja wabkan semua perbuatanku dan sepak terjang Thian-liong-pang. Ketahuilah bahwa semua tokoh yang pernah menjadi tamu kami, tidak ada yang diganggu, mengapa Cu-wi merasa penasaran? Sekarang, menggunakan kesempatan ini, aku mengajak siapa saja di antara Cu-wi yang masih penasaran untuk menguji kepandaian, terutama sekali kutujukan kepada Majikan Pulau Neraka dan Majikan Pulau Es!"
Tantangan ini tidak ada yang berani menjawab, dan mereka semua saling pandang, mencari ke kanan kiri mengharapkan munculnya dua jago yang selama ini namanya menggemparkan dunia kang-ouw, yaitu Ketua Pulau Neraka yang tak pernah ada yang melihatnya, dan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Namun, tidak tampak mata hidung kedua orang tokoh itu, bahkan tidak tampak seorang pun tokoh dari kedua pulau itu. Keadaan menjadi sunyi, semua orang masih seperti terpesona, menyaksikan kelihaian Ketua Thian-liong-pang, sedangkan tiga belas orang yang kalah tadi mengambil senjata masing-masing dan kembali ke kelompok mereka, tidak ada yang berani melawan lagi karena masing-masing maklum bahwa mereka bukanlah tandingan wanita berkerudung yang hebat bukan main itu. Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari rombongan orang yang tak dikenal Nirahai yaitu rombongan dari lima belas orang yang tadi dicurigainya. "Ha-ha-ha! Pulau Es sudah terbasmi, sedangkan Pulau Neraka pun penghuninya sudah melarikan diri semua, bukankah Ketua Thian-liong-pang sama dengan menantang angin kosong?"
Lima belas orang itu adalah mata-mata yang dikirim oleh Bhong Ji Kun. Mereka terdiri dari panglima-panglima yang berkepandaian tinggi, dan yang setelah tiba di situ sekarang berkumpul menjadi sekelompok. Hati mereka besar dan mereka berani bicara karena mengandalkan pasukan yang berada di sekeliling tempat itu. Pula, mereka sengaja mengeluarkan kata-kata menghina kedua pulau itu untuk memancing keluarnya toKoh-tokoh mereka seperti yang dikehendaki oleh Koksu. Nirahai memutar tubuhnya menghadapi rombongan itu, kemudian sekali kakinya tampak bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan mereka, mata di balik kerudung itu menyambar-nyambar tajam, "Kalian siapakah? Dari golongan dan partai apa?" tanyanya tiba-tiba, suaranya dingin. Seorang di antara mereka yang tinggi besar dan brewok, agaknya merasa tidak senang menyaksikan sikap Ketua Thian-liong-pang itu, maka dia menjawab sambil mengangkat dada, suaranya tegas dan nyaring, "Kami adalah orang-orang kang-ouw perantau yang tertarik mendengar pertemuan ini dan ingin melihat-lihat. Apakah hal ini dilarang?"
"Hemmm! Memang undangan kami ditujukan kepada semua orang kang-ouw, tentu saja tidak ada yang melarang orang menonton. Akan tetapi kalian telah berani menghina Pulau Neraka dan Pulau Es, agaknya kalian memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka! Aku akan suka sekali mencoba dan melayani kepandaian kalian yang telah berani bicara besar di sini."
Lima belas orang itu adalah panglima-panglima yang biasanya membagi perintah dan dihormati serta ditaati anak buah mereka. Kini menghadapi sikap Ketua Thian-liong-pang, mereka menjadi marah sekali. Tidak biasa mereka diperlakukan seperti itu oleh siapapun juga!
"Heiii! Thian-liong-pangcu! Kalau kami menghina Pulau Es dan Pulau Neraka, apa hubungannya itu dengan Thian-liong-pang? Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang berani melawan pemerintah, maka dihancurkan dan dibasmi! Kami rasa Thian-liong-pang tidaklah seperti iblis-iblis Pulau Neraka dan.... augghhhh....!"
Tiga orang di antara rombongan itu yang berdiri paling depan, roboh dan tewas seketika, terkena sambaran sinar hitam yang tiba-tiba saja melayang ke arah si pembicara dan dua orang temannya.
"Thian-liong-pangcu! Engkau berani membunuh orang-orang pemerintah?" Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thian Tok Lama telah
berada di situ! Nirahai cepat membalikkan tubuh dan "srattt!" Dia telah mencabut pedangnya, akan tetapi dia tidak memandang Thian Tok Lama, melainkan memandang ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh! Dia tahu bahwa yang menyambar dan menewaskan tiga orang tadi adalah gumpalan-gumpalan tanah yang disambitkan dengan tenaga dahsyat sekali! Tanpa menoleh ke arah Thian Tok Lama, dia berkata, "Thian Tok Lama, kiranya mereka ini adalah mata-mata pemerintah yang sengaja kaukirim untuk melakukan penyelidikan?" Suaranya dingin sekali akan tetapi matanya masih ditujukan ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh.
Thian Tok Lama terkejut bukan main. Benar-benar seorang yang aneh sekali Ketua Thian-liong-pang ini, selain kepandaiannya tinggi, ternyata begitu bertemu telah mengenalnya!
"Benar!" jawabnya. "Akan tetapi mereka dan kami bertugas untuk menyelidiki orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka, kalau mereka datang ke sini. Kiranya tiga orang penyelidik kami malah kau bunuh!"
Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Tanah yang bergoyang tadi pecah seperti meletus dan tampak debu dan uap mengepul tinggi. Tanah itu terbuka dan tampak.... sebuah peti mati yang perlahan-lahan terbuka dan dari dalam peti mati itu bangkit sesosok mayat yang seperti baru saja hidup kembali. Tubuh seorang kakek tua renta, berkepala botak, bertubuh kurus dan dalam keadaan.... telanjang bulat! Mukanya pucat, persis muka mayat yang tidak mempunyai darah sama sekali. Jangankan para tokoh yang berada di situ, sedangkan Nirahai sendiri, bahkan Thian Tok Lama, berdiri terpukau di tempatnya, memandang dengan mata terbelalak. "Mayat hidup" itu batuk-batuk lalu bangkit berdiri, telanjang seperti bayi, lalu meloncat keluar dari dalam peti mati. "Uhk-uhk-uhk.... anak-anak kecil berani menghina Pulau Neraka. Akulah orang Pulau Neraka dan yang membunuh, heh-heh.... malah semua yang berani menghina akan kubunuh." Tiba-tiba saja, mayat hidup yang kelihatan lemah, kurus kering itu "terbang" ke arah rombongan panglima yang tinggal sepuluh orang lagi. Kelihatannya seperti terbang karena gerakannya luar biasa sekali cepatnya, seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak tanah. Melihat gin-kang sehebat itu, Nirahai sendiri sampai terbelalak, dan Thian Tok Lama berkemak-kemik membaca doa dalam bahasa Tibet karena dia menyangka bahwa mayat hidup itu benar-benar siluman yang muncul dari bawah tanah!
Bukan main cepatnya kejadian itu, sekali sambar, mayat hidup itu telah merangkul empat orang panglima. Tangannya bergerak, mulutnya menyeringai dan.... dijambaknya rambut kepala mereka itu seorang demi seorang, diputarnya dan ditarik sehingga.... kepala itu coplok, lehernya putus, darah menyembur keluar. Tiga orang lainnya hanya melongo dan pucat, seolah-olah tak mampu bergerak dalam rangkulan mayat hidup itu, sehingga seorang demi seorang putuslah lehernya. Mayat mereka dilempar-lemparkan oleh Si Mayat Hidup yang sudah bergerak maju lagi ke arah sisa para panglima. Enam orang panglima sudah mendapatkan kembali kesadarannya, maklum akan datangnya bahaya mengancam, maka mereka itu sudah menghunus pedang atau golok masing-masing. Melihat Si Mayat Hidup menerjang maju, mereka membacok dan menusuk. Si Mayat Hidup sama sekali tidak mempedulikan dan enam batang senjata datang menghantamnya seperti hujan. "Tak-tok.... bak-buk....!" Senjata-senjata itu mengenai tubuh, akan tetapi semua terpental seperti mengenai tubuh dari karet yang ulat, kenyal dan keras! Dan kembali empat orang telah dirangkul, "dicopot" kepala mereka dari badan dan mayat mereka dilemparkan. Darah membanjir ke mana-mana, dan tubuh serta muka kakek itu telah berlumuran darah segar! Melihat ini, dua orang panglima sisa yang sepuluh orang tadi, membuang senjata mereka dan hendak lari. "Heh-heh, anak-anak nakal, hendak lari kemana? Kesinilah bersama Kakek!" Mayat hidup itu berkata, dan tangan kanannya menggapai ke arah dua orang panglima yang sedang lari dan.... sungguh aneh, kedua orang itu biarpun kelihatan masih menggerakkan kedua kaki untuk lari, namun mereka bukannya maju ke depan melainkan.... mundur ke belakang seolah-olah ada tenaga ajaib yang menarik dan membetotnya ke arah mayat hidup itu! Akan tetapi, sebelum dua orang itu sampai terpegang, Thian Tok Lama sudah meloncat ke depan dan sudah memasang kuda-kuda setengah berjongkok, perutnya berbunyi dan tangan kanannya berubah biru. Kemudian, dengan pengerahan tenaga sin-kang, dia memukul ke arah punggung mayat hidup itu.
"Dessss!" Mayat hidup itu terlempar sampai tiga meter, akan tetapi tidak roboh dan membalikkan tubuh, mulutnya menyeringai sedangkan Thian Tok Lama terkejut bukan main. Dia seolah-olah memukul benda kering yang hanya terlempar, akan tetapi tenaganya tidak dapat menembus tubuh itu!
Bersambung ke bagian 4 ...