Bagian 3
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui dan marilah kita mengikuti perjalanannya. Dengan hati yang dihimpit kedukaan, kekecewaan dan kemarahan gadis ini minggat dari rumahnya, meninggalkan sepucak surat untuk orang tuanya, mengatakan bahwa ia pergi hendak mencari dan membunuh Cin Liong. Hatinya dihimpit kedukaan dan kekecewaan mengingat akan perbuatan Cin Liong terhadap dirinya dan pernyataannya dalam surat bahwa ia hendak mencari dan membunuh Cin Liong tidak dilebih-lebihkan, karena memang pada saat itu satu-satunya keinginan hatinya adalah bertemu dengan Cin Liong, menantangnya dalam perkelahian yang akan berakhir dengan kematian Cin Liong atau kematian dirinya sendiri. Dan ia marah kepada ayahnya yang memaksanya berjodoh dengan Tek Ciang. Mengapa ayahnya tidak mau tahu bahwa ia tidak cinta kepada suhengnya itu dan tidak mungkin menjadi isterinya? Ia sudah memberi alasan dan mengajukan syarat agar Tek Ciang dapat mengalahkannya, akan tetapi ayahnya malah membantu Tek Ciang dengan menjanjikan untuk mewariskan semua ilmunya kepada pemuda itu agar dapat mengalahkannya. Ia sungguh marah dengan keputusan ayahnya itu!
Tentu saja tempat yang ditujunya untuk mencari Cin Liong adalah kota raja. Semua orang tahu siapa Jenderal Muda Kao Cin Liong dan di mana letak istananya. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika mendengar bahwa jenderal muda itu telah pergi ke barat memimpin pasukan untuk memerangi pasukan Nepal yang telah menguasai Tibet. Dengan nekat, gadis yang hidupnya menjadi pahit getir oleh rasa dendam ini menyusul ke barat, ke Tibet! Dapat dibayangkan betapa sudah payahnya perjalanan yang amat jauh itu. Apalagi dengan adanya perang di Tibet, keadaan di tengah perjalanan menjadi tidak aman. Orang-orang jahat yang suka mengail di air keruh mempergunakan kesempatan itu untuk beraksi. Banyak perampok bermunculan di jalan-jalan.
Suma Hui adalah seorang pendekar wanita yang sama sekali tidak gentar menghadapi semua gangguan di perjalanan. Akan tetapi, karena setiap kali bertemu penjahat ia tentu turun tangan dan membasminya, baru puas kalau ia sudah berhasil, maka perjalanannya menjadi makin lambat. Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan, barulah ia tiba di perbatasan Tibet.
Akan tetapi, betapa kecewa rasa hatinya ketika ia mendengar bahwa perang di daerah itu telah selesai dan kini pasukan pemerintah Ceng melakukan pengejaran terhadap pasukan musuh ke Negara Nepal! Biarpun Suma Hui seorang gadis yang keras hati dan tabah, bahkan selama perjalanan berbulan-bulan itu ia tidak pernah mau menyerah dengan keadaan yang sukar dan tetap tabah, sekali ini tidak dapat menahan air matanya karena kecewa. Ia meninggalkan perbatasan itu, kembali ke timur dan ketika ia berhenti di luar sebuah dusun yang sunyi, ia duduk di atas batu dan menangis.
Ia tidak dapat menghentikan kenangannya akan masa lalu, mengingat kembali nasib yang menimpa dirinya. Rasanya baru kemarin terjadinya. Mula-mula ia hidup dengan riang gembira bersama Ciang Bun dan Ceng Liong di Pulau Es. Akan tetapi dalam satu hari saja, berobahlah seluruh kehidupannya, dimulai dengan penyerbuan Pulau Es oleh para datuk sesat dan sejak hari itu, bermacam malapetaka menghantuinya. Cintanya dengan Cin Liong terhalang oleh tentangan ayahnya, kemudian yang terakhir sekali peristiwa terkutuk di malam jahanam itu ketika Cin Liong menghancurkan segala-galanya dalam dirinya, lahir batin. Semua itu masih ditambah beban batin lagi ketika ayahnya mendesaknya untuk menikah dengan Tek Ciang.
"Ya Tuhan.... apa yang harus kulakukan....?" Demikian gadis itu menangis dan merintih dalam batinnya. Kemudian timbul lagi semangatnya. Bagaimanapun juga, ia akan menanti sampai Cin Liong kembali dari perang, kemudian mencarinya dan menuntut balas. Kalau ia kalah dan tewas di tangan pemuda itu, hal yang ia merasa yakin pasti terjadi mengingat bahwa pemuda itu jauh lebih lihai daripadanya, maka hal itu baik sekali. Memang Cin Liong sama dengan telah membunuhnya, membunuh semua gairah hidupnya dengan melakukan perbuatan terkutuk memperkosanya itu. Akan tetapi kalau pemuda itu mengalah dan tidak melawan, ia akan membunuhnya! Dan setelah itu, entah apa yang akan dilakukannya! Setidaknya, ia masih mempunyai satu tujuan dalam hidupnya, yaitu menanti dan menemui Cin Liong untuk membalas dendam!
Dengan jalan pikiran ini, hatinya terasa lebih tenang dan tangisnya terhenti. Duka adalah permainan pikiran yang mengenang kembali hal-hal yang telah lalu atau membayangkan hal-hal yang belum terjadi sehingga terciptalah rasa iba diri yang menimbulkan rasa duka. Kenangan masa lalu tentang peristiwa-peristiwa yang merugikan dirinya lahir maupun batin, dan bayangan-bayangan masa depan yang suram dan tidak menyenangkan. Tanpa mengenangkan masa lalu atau membayangkan masa depan, melainkan menghadapi saja kenyataan saat ini dengan penuh kewaspadaan, akan melenyapkan rasa duka. Di dalam pengamatan penuh kewaspadaan akan saat ini, yaitu setiap saat dalam hidup ini, tanpa pamrih untuk menemukan sesuatu, hanya mengamati saja dengan waspada, tanpa prasangka, tanpa penilaian atau perbandingan, berarti kita hidup dalam arti kata yang sesungguhnya! Sesungguhnyalah bahwa hidup adalah saat ini, bukan kemarin dan bukan esok, bukan tadi dan bukan nanti. Ini bukan berarti bahwa setiap saat kita harus bersenang-senang atau mengejar kesenangan! Akan tetapi, apa manfaatnya membenamkan diri ke dalam
lembah duka dari kekecewaan? Setelah hatinya tenang, Suma Hui melanjutkan perjalanannya. Tiada gunanya baginya untuk menanti di daerah Tibet yang baru saja dilanda perang dan rakyatnya masih dalam keadaan panik dan sengsara itu. Ia kembali ke timur dan setelah melakukan perjalanan berbulan lamanya, pada suatu hari tibalah ia di kota Ceng-tu di Propinsi Se-cuan. Di sebelah selatan kota ini terdapat Omei-san, sebuah gunung yang indah dan menjadi tempat pesiar penduduk daerah itu. Karena tertarik, pada suatu pagi yang cerah, Suma Hui juga mendaki Omei-san untuk menikmati pemandangan indah di gunung itu di mana terdapat pohon-pohon yang ratusan tahun usianya dan bunga-bunga yang tidak dapat ditemukan di daerah timur.
Akan tetapi ia datang terlalu pagi agaknya. Tempat itu masih sunyi, belum ada pengunjung lain yang datang. Namun bagi Suma Hui, hal ini malah kebetulan karena orang yang sedang murung biasanya lebih suka menyendiri. Ia bahkan dapat menikmati matahari terbit muncul dari balik puncak tanpa terganggu oleh kehadiran orang lain.
Angin pagi pegunungan amat sejuk dan menyegarkan udara yang bersih itu. Cuaca amat lembut dengan cahaya matahari yang belum muncul sepenuhnya, mengecat segala sesuatu dengan warna keemasan yang cemerlang. Mutiara-mutiara embun bergantung di ujung daun-daun pohon berkilauan amat indahnya, juga ujung rumput-rumput hijau subur dihias mutiara embun sehingga sekilas pandang rumput-rumput itu seperti hiasan dari batu giok hijau yang dirias mutiara. Sinar matahari lembut yang menerobos celah-celah daun pohon menciptakan seberkas cahaya yang mempesonakan, seolah-olah merupakan bukti hubungan yang tak terpisahkan antara bumi dan langit. Apakah artinya bumi tanpa adanya cahaya matahari yang menghidupkannya dan yang membuatnya demikian indahnya? Sebaliknya, apa pula artinya cahaya matahari tanpa adanya bumi yang menampungnya? Kesatuan Im dan Yang ini menciptakan kemujijatan, kebesaran, keagungan, dan keindahan yang amat hebat dan mengharukan. Namun sayang, manusia terlalu disibukkan oleh hal yang remeh-remeh, yang kecil-kecil, yang bersumber kepada kepentingan dan kesenangan diri pribadi sehingga kemujijatan itu tidak pernah dapat dinikmati atau dikaguminya lagi.
Suma Hui duduk di atas batu besar dan pada saat itu, ia menikmati semua keagungan ini. Ia seperti ditelan oleh keheningan yang mempesona. Ia tidak merasa bahwa dirinya terpisah dari semua itu, tidak terpisah dari cahaya matahari, dari rumput-rumput dan mutiara- mutiara embun itu, dari burung-burung yang mulai berloncatan, beterbangan dan berkicau riang. Ia seperti kehilangan dirinya yang sudah dilebur menjadi satu dengan keheningan itu sendiri. Tidak ada duka, tidak ada kecewa, tidak ada sengsara, tidak ada apa-apa lagi. Yang ada hanyalah keheningan yang amat indahnya, bukan indah lagi karena sudah tidak dapat diukur oleh pikiran dan akal budi.
Tiba-tiba telinganya menangkap bentakan-bentakan disusul suara angin pukulan tanda-tanda orang berkelahi. Bagaikan diseret kembali ke dalam dunia kenyataan, Suma Hui menengok ke kiri, ke arah dari mana datangnya suara itu dan melihat seorang pemuda dikeroyok oleh tiga orang. Mereka adalah seorang pemuda dan dua orang gadis. Dari jauh Suma Hui melihat bahwa pemuda yang dikeroyok itu memiliki gerakan yang lebih mantep dan cepat, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu mengalah sehingga terdesak hebat oleh tiga orang pengeroyoknya yang kelihatan marah sekali itu. Akan tetapi, Suma Hui terkejut sekali dan tertarik hatinya ketika mengenal gerakan pemuda yang dikeroyok itu. Gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Cepat tubuhnya melesat dan iapun sudah berlari turun dari lereng itu menghampiri mereka yang sedang berkelahi. Setelah kini dapat melihat jelas, ia menjadi semakin kaget mengenal bahwa pemuda yang dikeroyok itu bukan lain adalah adiknya sendiri, Suma Ciang Bun!
Pada saat itu, Ciang Bun yang selalu mengalah, tidak pernah membalas itu terkena hantaman tangan kanan pemuda yang mengeroyoknya, terkena pukulan pada pundaknya sehingga tubuhnya terjengkang dan roboh. Akan tetapi, biarpun pukulan itu keras sekali, agaknya tidak sampai melukai tubuh Ciang Bun yang terlatih dan dengan sin-kangnya pemuda ini dapat melindungi tubuhnya. Maka diapun sudah dapat bangkit lagi sambil berkata, "Kenapa engkau memukulku....?"
Melihat ini, Suma Hui tidak dapat menahan sabarnya lagi. Adiknya dikeroyok tiga dan jelas bahwa adiknya mengalah. Kalau adiknya balas menyerang, ia merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak akan dapat bertahan lama. Maka iapun mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya meluncur ke depan, kaki tangannya bergerak cepat bukan main dan ia telah terjun ke dalam gelanggang perkelahian, menyerang tiga orang pengeroyok itu bertubi-tubi. Hebat bukan main serangan Suma Hui ini, terlampau cepat bagi tiga orang lawannya.
"Plak! Plak! Dukk!" Dua orang gadis pengeroyok itu telah kena ditamparnya sedangkan pemuda itu menerima tendangannya. Tubuh mereka terpelanting dan terdengar mereka mengaduh.
Masih untung bagi mereka bahwa Suma Hui tidak menggunakan semua tenaganya. Dara ini memang tidak bermaksud membunuh mereka. Ia belum tahu urusannya maka iapun hanya menyerang untuk menghentikan pengeroyokan mereka saja. Biarpun yang dikeroyok adiknya sendiri, akan tetapi sebelum ia tahu urusannya, ia tidak mau menurunkan tangan maut.
"Enci, jangan....!" Suma Ciang Bun berseru dan pemuda ini sudah memegangi lengan encinya, agaknya merasa khawatir kalau-kalau encinya akan melanjutkan serangannya menghajar tiga orang pengeroyok itu.
Suma Hui memandang adiknya dan merangkulnya. Sudah kurang lebih dua tahun ia tidak berjumpa dengan adiknya dan wajah adiknya yang tampan itu kini nampak kurus.
"Bun-te....!"
"Enci Hui.... aku mencarimu ke mana-mana tanpa hasil...."
"Bun-te apakah yang telah terjadi? Siapakah mereka ini?"
Agaknya Ciang Bun baru teringat akan tiga orang pengeroyoknya dan jawabannya sungguh membuat encinya terheran-heran, "Mereka.... adalah sahabat-sahabatku."
Tentu saja selain merasa heran, hati dara perkasa itu juga marah sekali. Ia melepaskan rangkulannya dari pundak adiknya dan melangkah maju, menghadapi tiga orang yang kini telah bangkit berdiri itu.
"Hemm, kalian ini manusia-manusia tak tahu malu. Kalian mendengar sendiri betapa adikku menyebut kalian sahabat-sahabat dan tadi jelas bahwa adikku mengalah. Kalau tidak, apa sukarnya bagi adikku untuk merobohkan atau membunuh kalian dalam sepuluh jurus saja?"
Dua orang gadis pengeroyok itu hanya cemberut dan Suma Hui kini melihat bahwa mereka adalah dua orang gadis yang cukup manis. Sedangkan pemuda yang tampan dan usianya antara dua puluh tahun itu menarik napas panjang, memandang Suma Hui dan berkata dengan nada suara sedih, "Kami tahu bahwa dia adalah seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, akan tetapi budinya tidak setinggi kepandaiannya sehingga kami melupakan kebodohan sendiri dan terpaksa menentangnya."
Suma Hui menoleh kepada adiknya. Ia ingin tahu persoalannya, akan tetapi ia lebih senang mendengarnya dari mulut adiknya dari pada mendengarkan keterangan fihak lawan. "Bun-te, apakah yang telah terjadi?"
Pemuda itu menundukkan mukanya dan menggeleng kepala. "Tidak apa-apa, enci Hui, akulah yang bersalah." Dan diapun tidak mau bicara apa-apa lagi, nampak sungkan dan malu.
Akan tetapi Suma Hui menjadi semakin penasaran. Tidak mungkin adiknya salah. Ia mengenal benar watak adiknya yang halus budi dan tidak mau melakukan hal-hal yang tidak betul. Maka iapun menoleh kepada pemuda tampan tadi dan bertanya, "Coba ceritakan, apa kesalahan adikku maka kalian bertiga secara tak tahu malu mengeroyoknya." Bagaimanapun juga, suara Suma Hui agak lunak melihat bahwa tiga orang itu sebenarnya mempunyai pedang yang tergantung di punggung masing-masing. Tadi ketika mereka mengeroyok Ciang Bun, mereka hanya menggunakan tangan kosong, hal ini saja membuktikan bahwa biarpun mereka marah-marah kepada Ciang Bun, akan tetapi mereka tidak berniat untuk membunuh.
Pemuda itu lalu bercerita. Akan tetapi bagaimanapun juga jujurnya, tentu saja ceritanya mengandung dasar memenangkan diri sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita mengikuti sendiri pengalaman Suma Ciang Bun sampai dia bertemu dengan mereka dan mengapa dia sampai dikeroyok oleh tiga orang muda itu.
Seperti kita ketahui, sepeninggal encinya, Ciang Bun merasa tidak betah di rumah dan tak lama kemudian diapun pergi meninggalkan rumahnya untuk mencari encinya. Dia merasa gelisah memikirkan encinya, dan juga dia merasa sakit hati mendengar bahwa ayahnya akan mewariskan semua ilmu keluarga mereka kepada Tek Ciang yang tidak disenanginya.
Akan tetapi, tidaklah mudah mencari jejak seorang gadis seperti Suma Hui yang melakukan perjalanan diam-diam dan cepat pula. Dengan susah payah Ciang Bun mencari encinya, sampai berbulan-bulan tanpa hasil. Bahkan diapun sudah pergi ke kota raja, karena dia menduga bahwa encinya yang pergi mencari Cin Liong tentu menyusul ke kota raja. Akan tetapi, di kota raja dia tidak dapat menemukan encinya. Dia mendengar bahwa Cin Liong juga tidak berada di kota raja karena jenderal muda itu memimpin pasukan untuk mengusir Bangsa Nepal yang menduduki Tibet. Pemuda yang cerdik ini berpendapat bahwa encinya seorang mencari Cin Liong. Kalau jenderal itu kini pergi ke Tibet, encinya yang keras hati itu besar kemungkinannya pergi menyusul ke Tibet pula. Dengan pikiran ini, diapun mengambil keputusan untuk pergi menyusul ke barat, akan tetapi kesempatan itu hendak dipergunakannya untuk menikmati keramaian kota raja.
Tidak mudah bagi Ciang Bun untuk mendapatkan sebuah kamar di rumah-rumah penginapan di kota raja. Pada waktu itu, kota raja dibanjiri pemuda-pemuda dari berbagai penjuru yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian dan mereka ini memenuhi rumah-rumah penginapan. Ujian itu berjalan selama kurang lebih satu bulan karena pengikutnya amat banyak sehingga perlu dilakukan giliran. Dan walau ujian sudah berjalan satu minggu lebih maka kota raja masih penuh dengan para pemuda itu. Di jalan-jalan raya banyak pemuda-pemuda berpakaian sasterawan hilir-mudik sehingga kota raja menjadi semakin ramai.
Karena tidak berhasil mendapatkan kamar di rumah-rumah penginapan yang penuh sesak, terpaksa Ciang Bun lalu mondok di sebuah kuil. Ternyata di sinipun penuh dengan para pemuda pelajar. Mereka terdiri dari para pelajar kurang mampu yang memilih tempat bermalam yang tidak usah bayar atau kalau mengeluarkan uangpun tidak banyak karena biasanya yang menginap di kuil-kuil hanya memberi sekedar sokongan saja kepada kuil itu.
Ketika memasuki ruangan belakang kuil di mana berkumpul belasan orang pemuda pelajar yang datang dari berbagai kota itu, Ciang Bun merasa gembira sekali. Dia merasa kagum kepada mereka yang bersikap lembut dan sopan, wajah-wajah tampan halus yang membayangkan kecerdasan. Dia sendiri merasa seperti seekor burung gagak masuk di antara kelompok burung merpati. Dibandingkan dengan mereka, pengetahuannya tentang sastera amatlah dangkalnya, dan makin terasa olehnya bahwa dia adalah seorang kasar yang sejak kecil lebih banyak belajar ilmu silat yang kasar!
Ketika Ciang Bun memasuki ruangan, para pemuda itu tengah asyik bercakap-cakap tentang sastera dan tentang mata ujian yang diadakan di kota raja. Mereka hanya menengok sebentar kepada Ciang Bun, lalu melanjutkan percakapan mereka. Dia lalu mencari tempat di sudut yang masih kosong, menurunkan buntalan pakaiannya lalu duduk bersandar dinding ruangan itu.
Seorang pemuda jangkung yang tampan mengangkat mukanya dari buku yang dibacanya dan memandang kepada Ciang Bun, wajahnya membayangkan keramahan dan mulutnya tersenyum. Wajah yang tampan dan menarik, pikir Ciang Bun. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Diapun balas tersenyum dan mengangguk.
"Maaf," kata pemuda itu, "Saudara baru datang? Dari kota manakah dan kapan mulai mengikuti ujian?"
Melihat keramahan orang yang mengajukan pertanyaan bertubi itu, Ciang Bun tersenyum. Dia sendiri seorang pemuda yang tidak bisa banyak cakap, termasuk serius dan pendiam walaupun dia dapat pula bersikap ramah.
"Ya, aku baru datang, tempat tinggalku di Thian-cin dan aku tidak mengikuti ujian, melainkan hanya melancong saja ingin melihat-lihat kota raja."
Pemuda itu menutup bukunya dan menyimpannya dalam buntalan, kemudian menggeser duduknya mendekati Ciang Bun. Matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri ketika dia berkata, "Ah, betapa senangnya engkau! Kalau saja aku bisa sepertimu, bebas dan tidak harus banyak menghafal dan mengikuti ujian yang amat sukar ini!"
Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. "Aih, mengapa demikian? Justeru aku yang merasa kagum dan iri kepada kalian yang memperoleh kesempatan menguji ilmu sastera dan mengikuti ujian kota raja untuk meraih gelar siucai!"
Tiba-tiba pemuda itu tertawa dan wajahnya nampak semakin tampan ketika dia tertawa. "Ha-ha-ha, memang demikianlah kita ini, saudara yang baik! Saling pandang, saling mengiri dan mengira bahwa keadaan orang lebih baik dan menyenangkan daripada keadaan kita. Aku jadi teringat akan dongeng perumpamaan tentang dua ekor burung. Yang terbang bebas merasa iri hati terhadap seekor burung lain yang hidup dalam kurungan dan siang malam di situ tersedia makanan dan minuman tanpa susah payah mencari dan bebas dari gangguan dan ancaman, dianggapnya kehidupan burung dalam kurungan lebih nikmat dan aman daripada kehidupannya di luar kurungan. Sebaliknya, burung dalam kurungan merasa iri melihat betapa burung yang lain itu dapat terbang bebas ke manapun ia suka, tidak seperti dia yang gerakannya terbatas dalam kurungan."
"Akan tetapi kita bukan burung...."
"Ha-ha, apa bedanya? Engkau yaug bebas ingin seperti aku, sebaliknya aku yang terikat oleh segala macam buku pelajaran dan aturan ujian tentu saja ingin bebas seperti engkau. Sudahlah, keadaan tidak mungkin dapat dirobah semau kita. Saudara yang baik, perkenalkan, aku she Tan bernama Hok Sim. Bolehkah aku mengetahui namamu?"
"Namaku Suma Ciang Bun," jawab Ciang Bun sederhana, dalam hatinya khawatir kalau-kalau she-nya itu akan memancing banyak pertanyaan. Akan tetapi, Tan Hok Sim adalah seorang pemuda pelajar, bukan seorang kang-ouw maka she yang akan menarik perhatian kalangan kang-ouw ini, baginya tidak terlalu istimewa.
Perkenalan itu sebentar saja membuat mereka menjadi sahabat yang akrab karena Tan Hok Sim pandai bergaul, ramah-tamah dan agaknya suka kepada Ciang Bun. Ketika mereka bicara tentang ujian, Hok Sim lalu mengajak Ciang Bun untuk keluar dari ruangan itu menuju ke pelataran belakang kuil yang sunyi.
"Tidak enak bicara di sana," kata Tan Hok Sim. "Yang akan kuceritakan kepadamu ini adalah suatu rahasia. Tentu saja sebagian dari mereka ada yang sudah tahu, akan tetapi kalau sampai terdengar orang luar dapat mengakibatkan hal yang tidak enak pula."
"Rahasia apakah, twako?" tanya Ciang Bun yang menyebut kakak kepada Tan Hok Sim yang tiga empat tahun lebih tua darinya.
"Tentang ujian. Tahukah engkau bahwa ujian itu dikendalikan oleh pembesar yang memperkaya diri secara berlebihan setiap kali diadakan ujian?"
"Tukang korupsi?"
Hok Sim mengangguk. "Betapapun pandainya engkau, tanpa ada uang sogokan yang amat besar, takkan mungkin dapat lulus! Kecuali kalau di kota raja ini engkau mempunyai keluarga yang berpengaruh, karena kedudukannya atau hartanya, jangan harap akan dapat lulus."
"Eh, mengapa begitu?" tanya Ciang Bun heran dan penasaran. "Kalau yang pandai tidak diluluskan sedangkan yang bodoh asal bisa nyogok diluluskan, itu bukan ujian namanya."
"Memang bukan kepandaian yang diuji, melainkan isi kantongnya." Tan Hok Sim menjawab marah.
"Lalu bagaimana dengan engkau, twako?"
"Hemm, aku tidak mempunyai harapan lagi walaupun besok masih akan kulanjutkan mengikuti ujian. Aku yakin akan dapat lulus, walanpun tidak mencapai angka terbaik, kalau saja para penguji tidak hijau matanya oleh uang. Kalau disuruh menyogok, mana aku mampu? Aku belum bekerja, sedangkan ayahku hanyalah seorang guru silat...."
"Ayahmu seorang guru silat!" Ciang Bun berseru kaget dan gembira. "Ah, kalau begitu engkau tentu pandai ilmu silat!"
"Ah, pandai sih tidak. Keluarga kami tinggal di Ceng-tao, jauh di barat dan di daerah kami, ilmu silat amat diperlukan untuk berjaga diri. Ayahku seorang guru silat bayaran dan engkau tahu, berapa hasil seorang guru silat. Karena itu maka ayahku setengah memaksa aku dan adik perempuanku untuk lebih tekun mempelajari bun (sastera) dari pada bu (silat). Engkau sendiri, karena tidak banyak mempelajari bun, tentu mahir sekali ilmu silat, bukan?"
"Aku suka merantau dan banyak menghadapi kesukaran di perjalanan, memang pernah mempelajari silat, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Twako, sebetulnya, siapakah yang berhak memutuskan lulus tidaknya ujian kota raja itu?"
"Di sana terdapat pengawas-pengawas dan mereka inilah yang harus disogok. Akan tetapi, tentu saja para pengawas itupun harus menyogok atasan mereka dan orang yang paling berwenang dalam hal ujian itu tentu saja menteri."
"Hemm, tentu menteri bagian kebudayaan atau pendidikan."
"Kurasa begitulah. Akan tetapi mengapa engkau menanyakan hal itu?"
"Mengapa engkau tidak mendatangi saja menteri itu dan melaporkan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh para pengawas?" tanya Ciang Bun.
Tan Hok Sim membelalakkan matanya. "Wah, mana aku berani? Kalau aku melakukan perbuatan nekat itu, selain tidak mungkin diluluskan, juga aku tentu akan ditangkap, dipenjara atau mungkin dibunuh. Siapa yang akan dapat melindungiku?"
Ciang Bun menarik napas panjang. "Tan-twako, dalam hal ujian ini, yang terhimpit dan dirugikan adalah kalian para pemuda pelajar. Kalau kalian sebagai orang-orang yang terkena ketidakberesan itu diam-diam saja, lalu siapa yang akan mampu memperbaiki keadaan? Kenapa eugkau tidak mengajak semua pelajar itu untuk memprotes kepada menteri dan melaporkan kecurangan para pengawas itu?"
Hok Sim menunduk dan mengerutkan alisnya. Ucapan Ciang Bun menggerakkan hatinya. Dia tahu bahwa di dalam hatinya, dalam hati semua pemuda pelajar yang mengalami nasib yang sama, memang ada api pemberontakan itu untuk menentang kecurangan para pengawas, akan tetapi siapa yang berani? Para pengawas itu dilindungi oleh pasukan dan menterinya sendiri belum tentu jujur. Bagaimana kalau para pembesar itu bersekongkol dan melindungi anak buah mereka?
"Hal itu tidak mungkin dilakukan, adik Bun. Bahkan sebagian besar para pengikut ujian sendiri, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang berada, lebih suka kalau keadaannya seperti sekarang ini. Terus terang saja, aku sendiri kalau mempunyai uang, juga lebih senang mengeluarkan uang dan ujianku lulus, daripada bersusah payah memeras otak akan tetapi hasilnya belum tentu, bahkan harapannya sedikit sekali."
Ciang Bun diam saja. Dia merasa penasaran akan tetapi diapun maklum bahwa kegetiran membuat semua pemuda berpendapat seperti Hok Sim itu. Kalau dengan uang dapat lulus dengan mudah, perlu apa repot-repot memeras otak yang akhirnya toh tidak akan diluluskan kalau tanpa uang?
"Kalau begitu, biarlah aku yang akan mengajukan protes itu. Aku tidak ikut ujian maka aku tidak khawatir tidak diluluskan."
Tan Hok Sim memandang dengan mata terbelalak dan dia memegang lengan sahabat barunya itu. "Bun-te, apa yang hendak kaulakukan?"
Ciang Bun tersenyum. "Tenanglah dan tunggu saja hasilnya. Kuharap besok pagi sudah akan ada perobahan. Nah, kau masuklah dulu, twako dan tunggu saja aku di dalam kuil."
Setelah berkata demikian, Ciang Bun meninggalkan sahabatnya itu yang berdiri melongo mengikutinya dengan pandang mata heran akan tetapi tidak percaya. Apa yang akan dapat dilakukan oleh pemuda itu terhadap pemerintah? Urusan ujian yang kotor dan bergelimang korupsi itu sudah berjalan puluhan tahun, sepanjang pendengarannya, mana mungkin kini akan dirobah hanya oleh tindakan seorang pemuda seperti Suma Ciang Bun? Dia amat mengkhawatirkan pemuda itu. Bagaimanapun juga, sahabat barunya itu menarik hatinya dan dia akan merasa menyesal sekali kalau karena percakapan mereka, Ciang Bun melakukan tindakan yang mustahil dan akhirnya akan ditangkap dan dihukum! Diapun lalu kembali ke dalam ruangan belakang kuil itu, mendekati teman-temannya dan berbisik-bisik menceritakan tentang pemuda kenalan barunya yang aneh itu. Teman-temannya tentu saja terkejut, ada yang merasa gembira dan penuh harapan, yaitu mereka yang hendak menghadapi ujian dengan pengetahuan mereka saja karena mereka tidak mampu membayar. Ada juga di antara mereka yang tidak senang dan mereka ini adalah pelajar-pelajar yang mengharapkan lulus dengan pengaruh uang atau pengaruh kenalan atau keluarga di kota raja. Apapun tanggapan mereka, berita tentang seorang pemuda bukan pengikut ujian yang hendak melaporkan kecurangan para pengawas itu kepada menteri, menjadi bahan percakapan mereka dan menimbulkan ketegangan.
Siang hari itu di gedung besar Menteri Ciong nampak sunyi. Sang menteri telah pulang dari persidangan di istana dan kini pembesar itu beristirahat. Malam saat seperti itu, dia tidak mau diganggu dan para penjaga di luar gedungpun tidak berani banyak membuat gaduh agar tidak mengganggu sang menteri yang sedang beristirahat di dalam kamarnya.
Oleh karena itu, para penjaga ini menolak dengan keras ketika Suma Ciang Bun datang dan minta kepada mereka untuk melaporkan kepada Ciong-taijin bahwa dia minta diterima menghadap.
"Orang muda! Siapakah engkau dan ada urusan apakah engkau berani minta untuk menghadap taijin?" bentak kepada jaga yang brewok dan bertubuh tinggi besar sambil bertolak pinggang. "Tidak sembarang orang boleh begitu saja mengganggu waktu taijin!"
"Aku mempunyai urusan pribadi dengan menteri, hendak membicarakan soal ujian para pelajar yang diadakan di kota raja sekarang ini."
Kepala jaga itu mengerutkan alisnya. "Huh, kaukira menteri hanya seperti petugas kecil saja yang dapat ditemui setiap saat? Kalau engkau ada urusan, dapat menghadap ke kantor beliau dan melapor kepada petugas-petugas di sana, bukan datang ke rumah beliau dan mengganggu beliau!"
"Akan tetapi, aku ingin menghadap beliau sendiri, urusan penting...."
"Cukup!" Kepala jaga itu menghardik. "Lekas pergi dari sini atau akan kugunakan kekerasan untuk melemparmu keluar dari sini. Mengerti?"
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan matanya berkilat ketika dia mengangkat muka memandang wajah si brewok tinggi besar itu. "Beginikah sikap seorang petugas keamanan terhadap rakyat? Seperti penjahat saja...."
"Keparat! Setan cilik! Agaknya ayahmu tidak pernah menghajarmu. Panggil ayahmu ke sini, akan kuhajar dia agar dapat mendidik anaknya!"
Ciang Bun tidak dapat menahan dirinya lagi. "Ucapanmu lancang dan mulutmu busuk, engkaulah yang perlu dihajar!"
Orang-orang yang rendah pangkatnyalah yang biasanya suka tinggi hati. Demikian pula kepala jaga itu. Terhadap atasannya dia menunduk dan merangkak-rangkak menjilat-jilat, dan terhadap bawahannya, yaitu rakyat, dia bersikap seperti kaisar saja. Maka, begitu melihat seorang pemuda biasa berani mengeluarkan ucapan seperti itu kepadanya, kemarahannya memuncak dan sambil mengeluarkan suara gerengan, kepalan tangannya yang hampir sebesar kepala Ciang Bun itu melayang dan menyambar ke arah kepala
pemuda itu.
Ciang Bun tenang-tenang saja, tanpa bergerak dari tempatnya dia mengangkat tangan kiri dan secepat kilat tangan kirinya itu melakukan tiga gerakan susul-menyusul, mula-mula menangkis pergelangan lengan tangan yang memukul, disusul totokan pada pundak lengan itu dan diakhiri dengan tamparan pada muka si brewok.
"Dukk! Tukk! Plakkk! "
Tamparan itu cukup keras. Mula-mula tangkisan membuat lengan terpental, lalu totokan membuat si tinggi besar itu merasa lumpuh sebelah badannya dan tamparan itu mengenai pelipis, membuat dia terpelanting dan roboh. Kepalanya terasa tujuh keliling dan matanya menjuling. Dia mengoyang-goyang kepalanya dan setelah bintang-bintang yang berjatuhan dan menari-nari di depan matanya itu mengabur, dia bangkit lagi dengan marah. Agaknya, tamparan itu tidak membuatnya menjadi jera, bahkan seperti minyak bakar disiramkan ke atas api kemarahamaya. Dia kini menubruk dan kedua tangannya membentuk cengkeraman, seperti seekor biruang dia menubruk kepada pemuda itu, penuh geram.
Kembali Ciang Bun menghadapinya dengan tenang. Begitu tubuhnya yang besar itu menubruk dekat, tiba-tiba pemuda ini berjongkok atau setengah berjongkok, membiarkan tubuh atas lewat, lalu secepat kilat dia meraih, menangkap lengan dan mempergunakan tenaga lawan, dia mengangkat dan membanting.
"Desss. ...!" Debu mengebul dan si tinggi besar mengeluh, menggeliat dan mencoba untuk bangkit, tapi terjatuh kembali dan mengaduh-aduh. Agaknya terjadi salah urat pada punggungnya ketika dia terbanting tadi, yang membuatnya tidak mampu bangun kembali dan hanya mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat. Melihat komandan jaga mereka roboh, setelah kehilangan rasa kaget mereka, para penjaga memburu.
"Berani engkau melawan tentara?" bentak seorang di antara mereka sambil menodongkan tombaknya.
"Tahan!" Ciang Bun berseru, suaranya lantang dan berwibawa, tidak seperti seorang pemuda remaja. "Urusan ini tidak ada hubungannya dengan ketentaraan! Urusan kami adalah urusan pribadi, urusan orang yang dihajar karena bersikap kurang ajar terhadap lain orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan ketentaraan." Setelah berkata demikian, Ciang Bun membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan mereka. Para penjaga itu bengong. Merekapun melihat sendiri betapa komandan jaga mereka menghina pemuda itu dari melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu merobohkan komandan mereka, merekapun tidak berani sembarangan turun tangan. Apalagi merekapun mulai ragu-ragu. Kalau seorang muda seperti itu ingin bertemu dengan menteri, siapa tahu ada hubungan antara dia dan pembesar itu. Membayangkan kemungkinan ini, mereka menggigil dan mereka tidak lagi memperdulikan pemuda itu melainkan menolong kepala jaga yang masih juga belum mampu bangkit berdiri.
Ciang Bun tidak pergi jauh melainkan mengambil jalan memutar dan menghampiri dinding pagar tembok yang mengelilingi gedung sang menteri. Dengan ringan dia mengayun tubuhnya ke atas tembok, kemudian meloncat ke dalam. Cepat dia menyelinap di antara tembok bangunan dan dengan mudahnya dia meloncat lagi ke atas genteng dan mengintai, mencari-cari di mana adanya sang pembesar yang hendak ditemuinya.
Akhirnya dia melihat seorang pembesar yang bertubuh gendut, berpakaian tidur berupa jubah lebar, sedang rebah terlentang seenaknya di atas sebuah dipan dan dipijati oleh tiga orang wanita muda cantik. Mata pembesar yang usianya kurang lebih enam puluh tahun ini meram melek keenakan, dan seorang di antara tiga wanita itu kadang-kadang menyuapkan sepotong kueh dengan sumpit ke mulutnya. Melihat ini, Ciang Bun dapat menduga bahwa tentu inilah menteri yang dicarinya itu. Hidungnya mendengus jijik melihat keadaan hidup pembesar ini. Setelah membuka genteng, dia lalu meloncat turun dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan itu. Bagaikan seekor burung besar, dia hinggap di atas lantai dalam ruangan, hampir tidak terlihat atau terdengar oleh mereka berempat yang berada di dalam ruangan. Ketika seorang di antara tiga wanita muda itu menoleh dan melihat seorang pemuda tahu-tahu telah berada di tengah kamar seperti setan, ia menjerit dan sepasang sumpit itupun terlepas dan jatuh berkerontang di atas lantai. Teman-temannya menoleh dan menjerit juga. Sang pembesar membuka mata dan menoleh, lalu bangkit dengan marah. "Siapa engkau?" bentaknya.
Dengan tenang Ciang Bun menjura. Selama ini belum pernah dia melakukan perbuatan sebagai pendekar seperti yang dilakukan sekarang, akan tetapi karena dia adalah keturunan Pulau Es, darah pendekar mengalir di dalam tubuhnya, maka diapun tidak merasa asing atau ragu-ragu, tidak merasa gentar ketika berkata, "Taijin, saya menganggap diri sebagai wakil para pelajar dan saya ingin menghadap dan bicara dengan paduka tentang ujian yang diadakan sekarang."
Tentu saja pembesar itu menjadi marah sekali. Apalagi ketika dia melihat enam orang pengawal yang tadinya berjaga di ruangan lain telah dikejutkan oleh jeritan-jeritan tadi dan kini memasuki ruangan itu dengan golok di tangan, hatinya menjadi semakin tabah.
"Engkau masuk seperti maling! Pengawal, tangkap bocah ini!"
Dua orang pengawal menyarungkan golok dan menyergap ke depan untuk menangkap pemuda itu. Akan tetapi, dua kali kaki Ciang Bun bergerak menyambut dengan tendangan yang mengenai dada mereka dan dua orang pengawal itu terjengkang. Untung bahwa Ciang Bun hanya mempergunakan tenaga sedikit saja sehingga mereka tidak terluka, hanya merasa sesak napas mereka. Mereka bangkit kembali dan kini menggunakan golok untuk menyerang. Kembali Ciang Bun menggerakkan kakinya, menendang pergelangan tangan diteruskan ke lambung dan untuk kedua kalinya, dua orang pengawal itu roboh dan sekali ini tidak dapat segera bangkit karena tendangan yang mengenai lambung itu membuat perut mereka terasa mulas!
"Taijin, kedatangan saya ini bukan untuk melakukan kekerasan. Percuma saja kalau paduka menggunakan kekerasan, karena terpaksa saya akan lebih dulu turun tangan terhadap paduka!" Sekali loncat, pemuda itu telah tiba di dekat sang pembesar yang kini menggigil ketakutan sampai jubah tidurnya merosot dan nampak perutnya yang gendut itu telanjang bulat.
"Ampun...." rintihnya.
Melihat seorang pembesar berpangkat menteri merengek minta ampun, padahal tidak diapa-apakan, Ciang Bun merasa muak. Beginikah watak seorang yang dinamakan pemimpin? Menghadapi bahaya sedikit saja sudah merengek ketakutan! Pengecut seperti ini dijadikan pemimpin dan hendak memimpin rakyat? Pengecut seperti ini kalau berada dalam bahaya, disuruh apapun tentu akan taat, disuruh menjual negara sekalipun atau mengkhianati bangsa tentu akan taat, asal nyawanya diampuni, asal dirinya tidak diganggu. Seorang yang selalu mementingkan diri pribadi tentu penakut dan pengecut di samping menjadi penindas kejam sewaktu jaya.
"Taijin, saya tidak akan melakukan kekerasan asal taijin suka mendengarkan kata-kata saya. Harap taijin menyuruh semua orang pergi agar kita dapat bicara berdua saja di kamar ini."
Pada saat itu, para pengawal sudah memasuki daun pintu yang terbuka dari luar, akan tetapi melihat pemuda itu berdiri dekat pembesar yang kelihatan pucat dan tubuhnya menggigil, juga celananya menjadi basah, mereka tidak berani sembarangan bergerak.
"Kalian pergilah, tinggalkan kami berdua," kata pembesar itu dengan suara gemetar kepada para pengawal, juga kepada tiga orang selirnya yang tadi melayaninya. Para pengawal itu memandang ragu, akan tetapi dengan gerakan tangannya pembesar gendut itu mengusir mereka dan tiga orang selirnya sudah sejak tadi cepat-cepat keluar dari kamar itu. Setelah mereka pergi, Ciang Bun menutupkan daun pintu, lalu dia duduk di atas kursi menghadapi pembesar itu yang duduk di atas dipan, menyelimuti dirinya karena dia merasa malu melihat celananya basah, akibat rasa takut yang melandanya tadi.
"Taijin, maafkan kalau saya mengganggu. Saya terpaksa menghadap paduka secara ini karena tadi saya ditolak oleh para penjaga di luar gedung."
Kini debar jantung di dalam dada pembesar itu sudah mulai tenang, dan diapun merasa lega melihat sikap yang halus dan sopan dari orang muda ini. Pengalamannya sebagai seorang pembesar dapat membuat dia melihat bahwa dia sebenarnya berhadapan dengan seorang pemuda yang tidak jahat, akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda ini yang membuat dia jerih, mungkin pada sinar mata yang mencorong itulah. Dia dapat mengerti bahwa pemuda ini adalah seorang muda yang berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tentu seorang pendekar, bukan seorang perampok yang datang untuk merampok harta benda.
"Tidak mengapa, taihiap. Katakanlah, apakah keperluan taihiap hendak bicara dengan kami?"
Mendengar betapa seorang menteri menyebutnya taihiap, Ciang Bun tersenyum, akan tetapi dia lalu berkata, "Kalau saya tidak salah duga, taijin adalah pejabat yang berwenang atas penyelenggaraan ujian para calon siucai di kota raja. Benarkah?"
Kini pembesar itu dapat tersenyum dan mukanya berseri. "Ah, apakah taihiap hendak memasuki ujian? Ataukah ada sanak saudara atau sahabat taihiap...."
"Tidak!" Ciang Bun memotong cepat sambil menggerakkan tangan ke depan muka. "Justeru inilah yang akan saya bicarakan. Taijin tentu tahu bahwa para pengawas ujian itu adalah petugas-petugas yang korup, yang makan uang sogokan. Biarpun pengikut ujian bodoh, kalau dapat menyogok uang, tentu akan lulus. Sebaliknya, betapapun pintar seorang pelajar, kalau tidak mampu menyogok,
ujiannya akan selalu gagal. Benarkah demikian, taijin?"
Wajah yang tadinya sudah berseri itu berobah pucat kembali, sepasang mata itu membayangkan ketakutan lagi. "Ini.... ini.... kami tidak tahu...."
"Baru saja taijin bertanya apakah saya hendak ikut ujian atau sanak keluarga saya, tentu kalau demikian halnya, taijin akan meluluskan saya, bukan? Tak mungkin paduka tidak tahu akan kebusukan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Bayangkan saja, kalau yang diluluskan hanya orang-orang bodoh yang mampu membayar, sedangkan yang pandai-pandai tidak diluluskan, negara akan penuh dengan pembesar-pembesar tolol yang pandainya hanya menerima sogokan-sogokan. Akan menjadi apakah negara kita ini? Paduka tahu atau tidak, pendeknya saya menuntut agar mulai besok pagi, semua pengawas diganti dan praktek penyogokan itu harus lenyap sama sekali. Kalau masih ada, aku akan kembali dan turun tangan terhadap paduka dengan caraku sendiri!"
Menteri Ciong mengangguk-angguk dan matanya melirik cerdik. Biarlah saat ini dia mengalah, pikirnya. Akan tetapi sekali engkau keluar dari sini, aku akan memberi hajaran kepadamu! "Baiklah, perintah taihiap akan kami laksanakan."
Ciang Bun masih muda, akan tetapi pandang matanya tajam. Dia dapat menduga apa yang bersembunyi di dalam hati pembesar itu, maka diapun bangkit berdiri dan berkata lagi, "Ciang-taijin, jangan dikira bahwa engkau akan dapat mempergunakan kekerasan dan kekuatan pasukan pengawalmu untuk melindungi dirimu. Aku bukan mengeluarkan ancaman kosong belaka. Aku bernama Suma Ciang Bun, dan ketahuilah bahwa bekas Panglima Wanita Milana adalah bibiku, juga jenderal Muda Kao Cin Liong adalah sahabat baikku. Nah, renungkan baik-baik sebelum engkau mengambil tindakan. Selamat tinggal!" Pemuda itu lalu menggunakan gin-kangnya, mengenjot tubuhnya ke atas menerobos atap melalui lubang yang dibuatnya tadi. Di atas genteng telah menanti pasukan pengawal yang segera mengepungnya, akan tetapi dari dalam kamar itu terdengar bentakan Ciong-taijin, "Jangan ganggu dia! Biarkan Suma-taihiap pergi dengan aman!"
Tentu saja para pengawal tidak berani membantah dan mereka berdiri diam saja ketika Ciang Bun meloncat turun dari atas genteng, berlari menuju pagar tembok lalu keluar dari tempat itu melalui pagar tembok yang dilompatinya.
Sementara itu, di dalam kamar, Menteri Ciong menjambak-jambak rambutnya. "She Suma? Keponakan Puteri Milana? Celaka, dia tentu keluarga Pulau Es!"
Pada keesokan harinya, terjadi kehebohan di kalangan para pengikut ujian. Mereka yang sudah terlanjur memberi uang sogokan, kehilangan pengawas-pengawas yang telah mereka sogok dan terpaksa mereka harus mengikuti ujian secara betul-betul. Tentu saja mereka yang hanya mengikuti ujian karena mengejar keinginan agar lulus dan dapat memperoleh gelar siucai ini tidak mampu mengerjakan dengan baik dan hampir semua di antara mereka ini gagal. Sebaliknya, para pengikut ujian yang tidak mampu bayar, kini benar-benar diuji kemampuan mereka dan mereka ini merasa gembira sekali, termasuk Tak Hok Sim. Diapun lulus walaupun bukan dengan angka yang baik. Gegerlah tempat ujian itu dan semua orang membicarakan peristiwa digantinya semua pengawas dan dihapusnya semua sistim sogokan. Hok Sim dikerumuni teman-temannya dan kini baru mereka percaya akan cerita pemuda itu bahwa teman barunya menjanjikan untuk memprotes sistim sogokan itu kepada menteri. Biarpun semalam Ciang Bun tidak bercerita sesuatu kepadanya dan diapun tidak menanyakan karena siang tadi dia menganggap teman barunya itu membual, ternyata kini terjadilah hal yang jelas menjadi hasil daripada "bualan" teman barunya itu!
Setelah selesai pengumuman, Hok Sim segera berlari ke kuil untuk menemui Ciang Bun. Dengan wajah berseri-seri dia merangkul sahabatnya itu. "Wah, Bun-te, terima kasih padamu. Aku telah berhasil! Dan banyak kawan-kawan berhasil berkat usahamu! Engkau sungguh hebat. Bintang penolong kami! Eh, bagaimana engkau dapat berhasil merobah keadaan ujian sehingga para pengawas diganti dengan petugas-petugas baru yang tidak makan uang sogokan?"
Ciang Bun tersenyum girang mendengar bahwa Menteri Ciong benar-benar memenuhi janjinya. "Ah, biasa saja, twako. Aku pergi menghadap menteri yang berwenang dan menyampaikan protes atas nama semua pengikut ujian yang jujur. Dan beliau sudah menjanjikan untuk merobahnya dan mengganti semua pengawas. Syukurlah kalau semua berjalan dengan baik."
"Semua berlangsung dengan baik bagi kami para pelajar yang benar-benar hendak menguji ilmu kepandaian. Akan tetapi amat tidak baik bagi mereka yang datang hanya untuk membeli gelar! Ha-ha, mereka sudah mengeluarkan banyak uang dan akhirnya ujian mereka gagal! Eh, Bun-te, engkau tentu seorang yang luar biasa, bukan? Kami semua merasa yakin bahwa engkau bukan orang sembarangan, tentu engkau seorang yang luar biasa!"
Ciang Bun tersenyum. Bagaimanapun juga, hatinya ikut merasa gembira bukan main melihat pemuda pelajar ini begitu girang dan lulus, juga bahwa semua pelajar yang baik telah lulus ujian. "Ah, harap jangan menduga yang bukan-bukan, twako. Aku seorang pemuda biasa saja, bahkan bodoh, tidak terpelajar seperti engkau."
"Mustahil seorang pemuda biasa saja mampu mempengaruhi menteri untuk merobah jalannya ujian, menghapuskan semua sistim sogokan yang sudah berkarat dan berpuluh tahun mengotori sistim ujian di kota raja."
"Mungkin karena beliau sadar oleh protesku, itu saja."
"Bagaimanapun juga, engkaulah bintang penolongku, Bun-te. Aku girang sekali, tidak percuma aku melakukan perjalanan amat jauh dengan sudah payah. Biarpun aku tidak mendapat gelar karena hasil ujianku tidak mencapai angka-angka tertinggi, akan tetapi tanda lulus ini tentu akan menggirangkan hati ayahku. Ah, aku ingin pulang sekarang juga, sore ini jaga agar dapat cepat sampai ke rumah."
"Aku pergi bersamamu, twako. Akupun ingin melakukan perjalanan ke barat untuk mencari seseorang."
Pernyataan ini tentu saja menggirangkan hati Hok Sim sehingga dia tidak bertanya lagi siapa yang dicari oleh pemuda itu. Hatinya girang dan merekapun cepat berkemas, kemudian melakukan perjalanan meninggalkan kota raja pada sore hari itu juga menuju ke barat.
Malam itu mereka menginap di dalam sebuah dusun tak jauh dari kota raja dan di sebelah utara kota Pao-ting. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Akan tetapi, baru saja matahari naik dan mereka tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya sudah sejak tadi menanti di situ. Buktinya, kalau tadinya lima orang itu duduk di tepi jalan dengan santai, begitu dua orang pemuda itu muncul, mereka serentak bangkit dan berdiri menghadang di tengah jalan. Melihat sikap mereka, tahulah Ciang Bun bahwa lima orang itu sengaja menghadang mereka dan hendak mengganggu. Tidak mungkin di tempat ini ada perampok, pikirnya. Masih terlalu dekat dengan kota, dan pula, apa yang diharapkan oleh perampok-perampok dari dua orang pemuda miskin yang melakukan perjalanan pulang dari ujian? Tentu ada hal lain yang menyebabkan adanya penghadangan ini dan mudah saja menduganya bahwa pencegatan ini tentu ada hubungannya dengan kunjungannya kepada Menteri Ciong kemarin dulu. Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan diapun melihat betapa sikap Tan Hok Sim tenang saja walaupun kedua alis pemuda itu berkerut dan wajahnya membayangkan keheranan dan kekhawatiran. Pemuda pelajar ini sudah meraba-raba pedang yang disembunyikan di dalam buntalan pakaian. Ciang Bun sudah tahu bahwa temannya itu diam-diam menyembunyikan pedang.
"Tenanglah, twako." Dia berbisik dan temannya itu tidak jadi mengeluarkan pedang dan merekapun maju terus sampai akhirnya terpaksa berhenti karena tengah jalan itu dipenuhi oleh lima orang tadi.
Seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, berkata dengan suara lantang dan sikap kasar, "Siapakah di antara kalian yang kemarin mengikuti ujian di kota raja dan bernama Tan Hok Sim?"
"Akulah orangnya!" jawab Hok Sim sambil melangkah maju.
"Bagus! Dan inikah temanmu yang lancang sekali memprotes sistim ujian dan yang membuat pembesar atasan turun tangan mengganti semua petugas pengawas ujian?"
"Benar, akulah orangnya," kini Ciang Bun yang menjawab.
"Ha-ha-ha, kiranya bocah ingusan! Twako, kita bunuh saja mereka sekarang!" Lima orang itu sudah bergerak maju mengepung, akan tetapi si muka hitam mengangkat kedua tangannya.
"Kalian berempat mundurlah. Sungguh memalukan kalau hanya membereskan dua ekor kelinci muda ini harus kita semua turun tangan. Eh, bocah-bocah sial, bersiaplah kalian untuk mampus!" bentak si muka hitam sambil melangkah maju.
"Tahan!" Tiba-tiba Tan Hok Sim dengan sikap gagah melangkah maju di depan Ciang Bun, melindungi pemuda ini. "Aku tahu bahwa kalian tentu utusan para pengawas korup itu untuk membalas dendam kepada kami. Akan tetapi, sahabatku ini tidak bersalah. Dia hanya mewakili kami, para sasterawan muda yang miskin, untuk mengajukan protes dan ternyata berhasil baik. Kalau kalian hendak membalas dendam, balaslah kepada kami dan jangan mengganggu sahabatku yang tidak berdosa ini!"
Diam-diam Ciang Bun merasa kagum dan terharu juga melihat pembelaan Hok Sim atas dirinya, akan tetapi dia diam saja. Sementara itu, si muka hitam tersenyum menyeringai. "Heh-heh, engkau kutu buku masih ingin bersikap gagah-gagahan? Nah, kalau sudah bosan hidup, engkau matilah lebih dulu, baru kemudian dia memperoleh bagiannya." Sambil berkata demikian, tangan kirinya yang berlengan panjang dan besar itu menyambar ke arah kepala Hok Sim. Tangan itu adalah tangan yang terlatih. Kulit tangan di telapakan sudah menebal dan ada tanda-tanda hangus, juga buku-buku jarinya menebal, tanda bahwa orang ini telah melakukan latihan memperkeras tangannya dengan cara latihan tenaga luar. Tangan seperti itu berbahaya sekali dan sekali tampar saja, kalau mengenai sasaran, akan membuat kepala pemuda itu pecah!
"Huhh....!" Hok Sim cepat mengelak dan ternyata putera guru silat di Ceng-tao ini cukup gesit ketika mengelak sehingga Ciang Bun yang sudah siap menyelamatkannya, kini menjadi agak lega dan hanya mempersiapkan diri untuk menolong pemuda itu sekiranya terancam bahaya.
Si muka hitam merasa penasaran sekali. Disangkanya tadi dengan yakin bahwa sekali pukul saja dia akan berhasil menghancurkan kepala bocah itu. "Hemm, kiranya selain menjadi kutu buku engkau bisa juga sedikit ilmu silat, ya? Bagus, aku jadi tidak malu membunuhmu!" Berkata demikian, raksasa yang usianya mendekati lima puluh tahun ini sudah melakukan serangan berantai dengan kaki tangannya. Tentu saja Hok Sim menjadi repot sekali. Selain sejak kecil dia lebih banyak disuruh belajar membaca daripada ilmu silat oleh ayahnya, juga andaikata ayahnya sendiri yang maju, maka ayahnya itupun tidak akan dapat menandingi si muka hitam yang lihai itu. Mula-mula Hok Sim mengandalkan kegesitannya mengelak ke sana-sini, berloncatan, akan tetapi akhirnya terpaksa dia mengangkat lengan menangkis ketika sebuah pukulan menyambar dan posisinya tidak memungkinkan lagi kepadanya untuk mengelak.
"Dukkk!" Lengan Hok Sim yang kecil itu bertemu dengan lengan besar si muka hitam dan akibatnya, pemuda itu roboh terjengkang dan lengan kanannya yang menangkis terasa ngilu seperti hendak patah tulangnya! Pemuda itu terus menggulingkan tubuhnya mendekati buntalan pakaiannya yang tadi dilemparkannya ke atas tanah. Dia sudah meraih dan mencabut pedangnya dari buntalan ketika tiba-tiba Ciang Bun sudah berada di sampingnya dan memegang pundaknya.
"Tenanglah, twako. Simpan kembali pedangmu."
"Tidak, aku tidak mau mati konyol. Aku harus melawannya sampai mati!" bantah Hok Sim.
"Twako, kalau engkau melawan, engkau akan mati konyol. Engkau takkan menang, serahkan saja babi itu kepadaku. Apakah engkau masih belum percaya kepadaku?" Berkata demikian, Ciang Bun meninggalkannya dan membalikkan tubuh sambil melangkah maju menghadapi si muka hitam yang berdiri sambil tersenyum menyeringai.
"Hui-to Ngo-houw, pergilah kalian dan jangan ganggu kami lagi!" kata Ciang Bun dengan sikap masih tenang sekali.
Si muka hitam dan kawan-kawannya terkejut mendengar nama julukan mereka disebut oleh pemuda itu. Mereka memang terkenal sebagai Hui-to Ngo-houw (Lima Harimau Golok Terbang), tukang-tukang pukul yang ditakuti dari kota Pao-ting. Tentu saja Ciang Bun mengenal mereka. Pemuda ini tinggal di Thian-cin, tidak jauh dari Pao-ting dan biarpun dia belum pernah jumpa dengan lima orang tukang pukul ini, namun dia sudah banyak mendengar dari ayah ibunya tentang tokoh-tokoh dunia persilatan di sekitar Thian-cin dan kota raja. Dari ciri-ciri yang ada pada kelima orang ini, terutama golok yang tergantung di punggung mereka, dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah Hui-to Ngo-houw yang terkenal itu. Dan mereka tentu diutus oleh orang-orang yang dirugikan karena dihapuskannya sistim sogok di dalam ujian kota raja. Tentu kalau bukan para pengawas lama, mungkin saja Menteri Ciong sendiri yang mengutus mereka, untuk menghadang dan membunuhnya bersama Hok Sim yang dianggap biang keladi peristiwa itu.
"Bocah lancang, siapakah engkau maka engkau mengenal nama julukan kami? Hayo mengaku sebelum engkau menjadi mayat tanpa nama!" Si muka hitam membentak marah, akan tetapi wajahnya membayangkan keheranan dan keraguan. Mereka yang mengutus dia berlima tidak menyebutkan nama pemuda ini, hanya menyebut nama si pelajar she Tan itu saja.
"Namaku tidak ada artinya bagi kalian dan tidak perlu kalian kenal. Akan tetapi kuharap kalian suka meninggalkan kami. Kuperingatkan, kalau kalian bersikap nekat hendak menggunakan kekerasan dan hendak membunuh kami, terpaksa aku akan menyingkirkan kalian dari permukaan bumi ini agar tidak mengganggu manusia lain yang tidak berdosa."
Ucapan ini tentu saja membuat Tan Hok Sim menjadi terkejut setengah mati, akan tetapi lima orang tukang pukul itu tertawa geli. Memang lucu kedengarannya kalau seorang pemuda remaja berusia enam belas atau tujuh belas tahun berani mengancam hendak membunuh mereka, lima orang jagoan yang namanya sudah terkenal di seluruh Pao-ting, bahkan terkenal sampai jauh keluar kota! Mereka tertawa geli, akan tetapi juga marah sekali. Si muka hitam yang sedang tertawa bergelak itu tiba-tiba saja melakukan serangan dan memang demikianlah kelicikan para tokoh hitam. Menyerang seorang pemuda remaja saja dia masih menggunakan kecurangan, apalagi menyerang orang yang dianggapnya lebih lihai. Suara ketawanya masih bergema ketika kedua lengannya yang panjang itu tiba-tiba saja menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ciang Bun. Sebelum kedua lengan itu menyerang, dari gerakan pundak lawan saja Ciang Bun sudah mengetahui terlebih dahulu dan pemuda ini bukannya mengelak, menangkis atau mundur, bahkan dia menggerakkan kakinya maju mendekat. Secepat kilat kedua tangannya bergerak ke depan dan tahu-tahu jari tangannya yang dibandingkan dengan lawan amatlah kecilnya itu telah menotok kedua pundak lawan sebelum kedua tangan lawan mengenai tubuhnya.
"Tuk! Tukk!" Pada saat itu, kedua tangan yang besar itu masih menerkam dari atas dan tiba-tiba saja kedua tangan itu berhenti di tengah jalan dan si muka hitam nampak lucu sekali, seperti patung dengan gaya seperti burung hendak terbang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan matanya terbelalak.
"Desss. ...!" Kaki Ciang Bun menendang dan si muka hitam itu terjengkang sampai terbanting ke atas tanah. Akan tetapi totokan itu hanya melumpuhkannya selama dua tiga detik saja maka diapun bangkit lagi dengan muka sebentar merah sebentar pucat, dan sekali tangannya bergerak, golok di punggungnya telah dicabutnya! Empat orang temannya juga sudah menghunus golok dan kini Lima Harimau Golok Terbang itu maju dengan golok di tangan dan sikap mereka beringas penuh ancaman.
"Bun-te, kaupakailah pedangku ini!" Tan Hok Sim berteriak setelah dapat menenangkan hatinya yang berdebar tegang sejak tadi. Kini diapun tahu bahwa pemuda yang menjadi sahabat barunya itu ternyata adalah seorang ahli silat yang pandai! Betapapun juga, melihat pemuda itu dihadapi lima orang yang memegang golok, hatinya menjadi gelisah dan dia menawarkan pedangnya.
"Tidak usah, twako, hanya akan mengotorkan pedangmu saja," jawab Ciang Bun dan mendengar ini, Hok Sim hanya berdiri seperti patung sambil memegang pedangnya dan memandang dengan jantung berdebar tegang. Kini lima orang itu sudah mengurung Ciang Bun dengan golok di tangan. Agaknya merekapun ingin melihat senjata apa yang hendak dipergunakan oleh pemuda itu. Akan tetapi karena Ciang Bun hanya berdiri seenaknya dengan tangan kosong, dan di tubuhnya tidak nampak dia menyembunyikan suatu senjata,
lima orang itu merasa semakin penasaran. Mereka berlima yang kini memegang senjata golok andalan mereka, yang mengangkat nama mereka menjadi Hui-to Ngo-houw, kini dilawan oleh seorang pemuda remaja yang bertangan kosong! Betapa akan memalukan kalau hal ini diketahui atau didengar oleh dunia kang-ouw.
"Bunuh setan cilik ini dan pelajar itu!" teriak si muka hitam dan dia mendahului teman-temannya, goloknya berkelebat ke arah leher Ciang Bun. Akan tetapi golok itu hanya menyambar tempat kosong saja karena lebih cepat lagi Ciang Bun sudah menggerakkan tubuh mengelak. Dia disambut bacokan-bacokan dari empat orang teman si muka hitam yang merasa penasaran sekali. Ciang Bun mengeluarkan suara melengking dan ketika kedua tangannya menyambut, dengan gerakan-gerakan aneh, terasa oleh semua lawannya ada hawa panas luar biasa menyambar ke tubuh mereka.
"Plak-plak-plak! Desss....!" Tiga orang meloncat ke belakang sambil mengaduh karena lengan mereka yang bertemu dengan tangan pemuda itu seperti terbakar rasanya dan ada tapak hangus pada kulit lengan mereka, sedangkan orang ke empat terpukul tangannya yang memegang golok. Golok itu terlepas dan Ciang Bun cepat mengibasnya dengan jari-jari tangan kirinya, "Tringgg.... wuuutt, crottt....!" Pemilik golok itu menjerit ketika tiba-tiba goloknya yang terlepas tadi menyambar dan menancap di dadanya sampai tembus ke punggung. Dia roboh dan tak dapat bangun kembali, tewas oleh goloknya sendiri. Bukan main kaget dan marahnya si muka hitam dan tiga orang kawannya. Mereka mengeluarkan suara menggereng seperti harimau-harimau kelaparan dan merekapun berloncatan menerjang dari berbagai jurusan, mengeluarkan ilmu mereka yang membuat mereka disebut dengan julukan Lima Harimau Golok Terbang. Namun, Ciang Bun yang kini menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, menghadapi mereka dengan tenang. Selama ini, Ciang Bun tidak pernah malas untuk melatih Hwi-yang Sin-ciang sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Ilmu pukulan yang mengandalkan tenaga sin-kang yang panas ini memang hebat sekali dan menjadi satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari keluarga Pulau Es. Kebalikan dari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) ini, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) lebih sukar dilatih dan diapun sudah menguasai teorinya, namun belum dapat melatihnya secara sungguh-sungguh, tidak seperti encinya, Suma Hui yang sudah menguasai ilmu itu cukup kuat. Namun, dengan Hwi-yang Sin-ciang, sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Es, mana mungkin penjahat-penjahat kasar macam Hui-to Ngo-houw itu mampu menandinginya? Sebuah pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga mujijat itu, dengan tangan terbuka, mengenai dada seorang di antara mereka.
"Plakk!" Orang itu tidak sempat mengaduh, melainkan roboh terjengkang dan bajunya di bagian dada hangus sedangkan pada kulit dadanya terdapat telapak tangan pemuda itu dan isi dadanya sudah hancur oleh hawa pukulan panas itu, dan tewaslah dia.
Melihat ini si muka hitam berobah pucat dan gentar. Dia meloncat ke arah Hok Sinm yang berdiri di pinggir dengan pedang di tangan. Maksudnya jelas. Dia hendak menaklukkan dan menangkap pemuda sasterawan ini untuk dijadikan sandera, untuk membuat Ciang Bun yaug lihai itu tidak berdaya. Akan tetapi, Hok Sim bukan seorang penakut dan diapun sudah menggerakkan pedangnya menyambut penjahat itu dengan tusukan pedangnya.
"Tranggg....!" Golok si muka hitam menangkis amat kuatnya sehingga pedang itu terpental dari tangan Hok Sim! Si muka hitam menyeringai dan menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram dan menangkap Hok Sim, akan tetapi Hok Sim memukulkan tangan kanannya ke arah muka orang itu.
"Dukk!" Tangkisan si muka hitam membuat Hok Sinm terpelanting roboh. Si muka hitam menyeringai dan menubruk, akan tetapi pada saat itu, nampak sinar putih berkelebat.
"Crottt.... aughhh....!" Sebatang golok terbang dan menancap di lambung si muka hitam. Dia melepaskan goloknya, menoleh dan melihat betapa dua orang temannya sudah roboh tewas dan betapa golok yang menancap di lambungnya itu dilemparkan oleh pemuda lihai itu setelah merampasnya dari tangan seorang temannya. Si muka hitam roboh terguliug, dan memegangi lambung yang tertusuk golok.
Hok Sim meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian. Lima orang itu kini telah roboh semua dan tempat itu menjadi mengerikan oleh darah yang keluar dari luka di tubuh mereka. Ciang Bun menghampiri Hok Sim dan pada saat itu, si muka hitam masih dapat merintih dan mengangkat muka memandang kepada wajah pemuda remaja yang telah merobohkan dia dan empat orang kawannya itu.
"Orang muda, siapakah namamu....?"
Ciang Bun maklum bahwa orang ini sebentar lagi akan mati, maka dengan suara dingin dia menjawab. "Namaku Suma Ciang Bun."
Mata yang sudah sayu itu terbelalak. "Suma....? Pendekar.... Pulau.... Es....?" Dan diapun mengeluh panjang, lehernya terkulai dan tewaslah kepala Hui-to Ngo-houw itu.
Hok Sim bergidik. Biarpun ayahnya seorang guru silat dan dia pernah belajar silat, akan tetapi belum pernah dia melihat pembunuhan terjadi di depan matanya, apalagi sekaligus ada lima orang tewas dalam keadaan terluka mengerikan seperti itu.
"Kenapa. ... kenapa mereka.... harus dibunuh....?" Dia bertanya dengan suara membayangkan kengerian.
Dengan sikap tenang dan dingin Ciaug Bun melirik ke arah mayat-mayat itu dan berkata. "Ada dua hal yang menyebabkan aku terpaksa membunuh mereka. Pertama, mereka adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang amat kejam dan jahat dan mereka tadi jelas sekali hendak membunuh kita berdua maka sudah sepatutnya mereka dienyahkan dari permukaan bumi. Ke dua, mereka tentu diutus oleh seseorang dan kalau mereka itu dibiarkan kembali ke atasan mereka, tentu atasan mereka takkan tinggal diam dan akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi untuk mengejar dan membunuh kita."
Hok Sim memandang dengan sinar mata penuh kagum. Baru dia tahu sekarang bahwa sahabatnya ini adalah seorang pendekar besar, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng dan cerita ayahnya.
"Ah, kiranya engkau.... engkau adalah seorang pendekar, seorang taihiap.... maafkanlah bahwa selama ini aku kurang hormat...." Hok Sim lalu menjura dengan hormat.
Ciang Bun tersenyum dan memegang kedua lengan sahabatnya. "Aih, twako, aku tidak mau engkau bersikap seperti itu! Kita adalah sahabat, bukan? Dan bagimu aku tetap Bun-te, tidak ada taihiap-taihiapan segala!" Mereka lalu tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Di tengah perjalanan, Hok Sim tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.
"Bun-te, sekarang aku tahu mengapa sistim ujian itu dirobah. Tentu engkau telah mempergunakan ilmu kepandaianmu untuk memaksa menteri itu, bukan?"
Ciang Bun hanya tersenyum. "Hal itu terjadi karena kesadarannya...." Hanya demikian dia menjawab, akan tetapi hatinya masih bertanya-tanya, siapa biang keladi penghadangan oleh Hui-to Ngo-houw tadi. Menteri Ciong itukah? Ataukah para pengawas lama?
Semenjak terjadi peristiwa itu, hubungan antara Hok Sim dan Ciang Bun menjadi semakin akrab. Apalagi perjalanan menuju ke kampung halaman Hok Sim amatlah jauhnya, memakan waktu berbulan-bulan dan melalui perjalanan yang amat sukar. Hok Sim menganggap Ciang Bun sebagai penolongnya dan juga sebagai seorang pendekar gagah perkasa yang mengagumkan hatinya.
"Bun-te, aku ingin sekali engkau berkenalan dengan seorang adikku. Kami hanya dua orang saudara kakak beradik. Adikku itu sebaya denganmu, ia seorang gadis yang.... hemm, amat cantik manis dan juga ilmu silatnya tidak kalah olehku. Namanya Tan Seng Nio dan aku sayang sekali padanya."
Akan tetapi, Ciang Bun menyambut penawaran berkenalan ini dengan sikap dingin saja, tidak menjawab dan hanya tersenyum tak acuh. Akan tetapi, selama dalam perjalanan, sikapnya semakin manis terhadap Hok Sim yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang amat baik, halus budi akan tetapi juga gagah berani walaupun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi. Mulailah Hok Sim merasa heran dan kadang-kadang terkejut juga menyaksikan sikap pemuda pendekar yang dikaguminya itu. Dia melihat betapa Ciang Bun selalu berpakaian rapi dan pesolek, menjaga kebersihan dan wataknya halus sekali. Bahkan kadang-kadang dia merasa betapa sikap Ciang Bun terlalu lunak dan halus perasa, bahkan kadang-kadang terlalu lemah-lembut seperti wanita, juga sikapnya terhadap dirinya kadang-kadang nampak kemesraannya dan kewanitaan!
Ciang Bun tidak sadar akan sikapnya sendiri. Dia sudah lupa lagi akan pengalamannya dengan Lee Siang dan Lee Hiang, kakak beradik yang tinggal di Pulau Nelayan itu, kakak beradik yang mula-mula membuat dia membuka mata melihat kelainan yang ada pada dirinya.
Tanpa disadarinya, dia merasa suka sekali kepada Hok Sim. Bukan, sama sekali bukan jatuh cinta seperti yang pernah dirasakannya ketika dia berdekatan dengan Lee Siang, melainkan suka sebagai seorang sahabat saja. Dia tidak sadar sama sekali betapa sikapnya amat mesra dan kadang-kadang terlalu kewanitaan terhadap Hok Sim, dan dia menganggap sikapnya itu wajar.
Pada suatu hari tibalah mereka di kota Wang-sian, sebuah kota di tepi Sungai Yang-cee-kiang. Mereka bermalam di sebuah penginapan setelah memilih-milih dan berputar kota itu. Telah hampir dua bulan mereka melakukan perjalanan dan mereka merasa lelah sekali. Akan tetapi, kota Wang-sian sudah termasuk dalam Propinsi Se-cuan dan kota Ceng-to tinggal tak berapa jauh lagi, dapat tercapai dalam beberapa hari saja.
"Aku ingin besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan. Aku sudah ingin segera sampai di rumah, Bun-te," kata Hok Sim setelah mereka berdua merebahkan diri di dalam kamar itu.
"Engkau agaknya sudah amat rindu kepada adikmu dan ayah bundamu, twako."
"Kepada mereka juga, akan tetapi terutama sekali kepada Loan-moi...." Dan suara pemuda itu terdengar penuh kemesraan.
Ciang Bun mengangkat muka lalu bangkit duduk, memandang kepada sahabatnya itu sambil bertanya, "Loan-moi....? Siapa itu....? Engkau belum pernah menyebutnya selama ini."
Wajah Hok Sim berobah menjadi merah dan diapun bangkit duduk lalu memandang sahabatnya. "Maaf, Bun-te, sesungguhnya aku merasa malu untuk menyebutnya, akan tetapi karena engkau sudah kuanggap sebagai saudaraku dan anggauta keluarga, biarlah kuceritakan juga. Ia bernama Su Ci Loan dan gadis itu adalah.... tunanganku, calon isteriku.
Sesungguhnya kami hanya menanti sampai aku lulus ujian, baru kami akan melangsungkan pernikahan. Dan sekarang ia tentu sudah menanti-nanti di rumah kami pula karena rumahnya berada di sebelah rumah kami. Kami tetangga...."
Pemuda itu kelihatan girang sekali mengenangkan tunangannya sehingga dia tidak melihat betapa wajah sahabatnya itu tidaklah nampak segembira wajahnya.
Mengapa Ciang Bun tidak merasa gembira mendengar akan kebahagiaan sahabat yang disukainya itu? Iri hati? Cemburu? Sama sekali tidak. Dia menganggap Hok Sim sebagai seorang sahabat yang amat disukanya dan dia tentu akan merasa girang melihat sahabatnya itu berbahagia. Akan tetapi, cerita Hok Sim tentang tunangannya itu, secara tiba-tiba telah mengingatkan dia kembali akan keadaannya sendiri yang berbeda dengan keadaan Hok Sim, berbeda dengan keadaan para pemuda lainnya, dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram dan hatinya menjadi getir.
Setelah melakukan perjalanan yang cepat, sepekan kemudian tibalah mereka di kota Ceng-tao dan seperti telah digambarkan lebih dulu oleh Hok Sim, kedatangan mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh ayah bunda Hok Sim dan juga adiknya yang bernama Tan Seng Nio, akan tetapi terutama sekali disambut dengan malu-malu dan juga dengan rasa bahagia oleh Su Ci Loan, tunangan Hok Sim.
Ketika Hok Sim menceritakan kepada keluarganya, juga kepada tunangannya tentang kehebatan Ciang Bun menaklukkan dan merobohkan lima orang penjahat besar dan juga betapa pemuda itu telah memaksa menteri untuk menghentikan korupsi di tempat ujian, tentu saja mereka semua merasa kagum bukan main kepada Ciang Bun. Ayah Hok Sim adalah seorang guru silat, seorang murid Kun-lun-pai, maka dia merasa kagum sekali. Ketika Hok Sim tanpa dapat dicegah oleh Ciang Bun, menceritakan ucapan terakhir dari si muka hitam, kepala dari Hui-to Ngo-houw yang menyebut Suma Ciang Bun sebagai pendekar Pulau Es, ayahnya terkejut bukan main dan cepat bangkit berdiri lalu menjura kepada Ciang Bun.
"Ah, kiranya taihiap adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?" Dia hanya mendengar nama itu dalam dongeng dunia kang-ouw saja, belum pernah berjumpa sendiri dengan para pendekar keluarga Pulau Es, akan tetapi dia sudah merasa amat kagum dan hormat terhadap nama keluarga pendekar besar itu.
"Sudahlah, paman, harap jangan memakai terlalu banyak peraturan sehingga akan membuat saya merasa sungkan saja, " Ciang Bun berkata dan guru silat itu menarik napas panjang. Semakin kagumlah hatinya terhadap pemuda ini. Seorang pemuda yang demikian halus dan rendah hati akan tetapi mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi keturunan penghuni Pulau Es. Ingin sekali dia bertanya banyak tentang keluarga itu, akan tetapi khawatir membuat hati pemuda yang pendiam itu menjadi tidak enak, guru silat Tan inipun tidak berani mendesak. Malamnya, diam-diam dia bicara dengan puteranya, akan tetapi diapun kecewa karena puteranya juga tidak tahu banyak tentang Ciang Bun.
"Ah, betapa akan bahagia hatiku kalau dia dapat bcrjodoh dengan adikmu...." kata ayah ini.
Hok Sim tersenyum. "Kita akan merasa seperti kejatuhan bulan, ayah. Akan tetapi biarlah akan kuatur agar mereka dapat bersahabat karib."
Akan tetapi, dalam hal ini Hok Sim tidak perlu bekerja keras. Begitu diperkenalkan olehnya, Seng Nio, adiknya, bahkan Ci Loan, tunangannya, merasa suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa namun amat halus budi itu. Ketika Hok Sim menemui tunangannya dan membisikkan kehendak ayahnya, Ci Loan menyatakan kesanggupannya untuk membantu agar Seng Nio dapat bergaul erat dengan Ciang Bun.
Demikianlah, atas permintaan Hok Sim, Ciang Bun menyatakan tidak keberatan untuk tinggal di rumah keluarga Tan selama dua pekan, baru dia akan melanjutkan perjalanannya mencari jejak encinya. Apalagi karena dia mendengar bahwa pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong kini melanjutkan gerakannya menyerbu ke Negara Nepal. Dia merasa yakin bahwa dengan adanya peristiwa itu, encinya tentu belum mungkin dapat menyusul Cin Liong dan sebaiknya kalau dia menanti di tempat ini,
karena betapapun juga, untuk pergi ke Tibet dari timur tentu akan melewati daerah ini. Karena dia memperoleh kesempatan yang banyak, yang telah diatur oleh pihak keluarga itu di luar tahunya, dia banyak bergaul dengan Seng Nio dan Ci Loan.
Di lubuk hatinya, Ciang Bun tidak mempunyai perasaan benci terhadap wanita. Sama sekali tidak, bahkan dia dapat pula menaruh rasa sayang kepada wanita. Akan tetapi perasaan ini hanya terbatas sebagai perasaan persahabatan belaka, sama sekali tidak mendalam, bahkan tidak terasa kemesraan dalam hatinya seperti kalau dia bergaul dengan pemuda yang menarik hatinya. Dia jauh lebih senang bergaul dengan Hok Sim daripada dengan Seng Nio atau dengan Ci Loan yang cantik.
Dan dalam pergaulan yaug beberapa hari ini dia mendapatkan sesuatu yang membuat perasaannya terganggu dan hatinya menjadi tidak senang. Dia melihat betapa sikap Seng Nio kepadanya tidak wajar, seperti orang yang mencari muka dan memikat-mikat. Dan diapun melihat betapa sinar mata Ci Loan kepadanya juga tidak wajar, dan biarpun tunangan Hok Sim ini terhadap dirinya selalu bersikap sopan, namun kerling matanya dan senyumnya itu menyembunyikan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dia dapat merasakan betapa dua orang gadis itu seperti orang yang jatuh hati kepadanya! Hatinya merasa tidak senang sekali. Harus diakuinya bahwa Seng Nio adalah seorang gadis yang cantik, dan Ci Loan lebih manis lagi. Akan tetapi, sikap mereka terhadapnya mendatangkan rasa tak senang dan melenyapkan rasa sukanya sebagai sahabat. Apalagi terhadap diri Ci Loan, dia merasa tak senang dan dia diam-diam merasa marah. Dara itu sudah menjadi tunangan Hok Sim, calon isterinya, mengapa sinar matanya dan senyumnya jelas membayangkan hal yang serong, hati yang tertarik kepadanya sebagai seorang pria lain?
Dari Ci Loan, Hok Sim mendengar bahwa perkembangan antara hubungan Ciang Bun dengan Seng Nio masih juga belum mengalami "kemajuan" seperti yang diharapkan keluarga itu.
"Loan- moi, Seng-moi suka ilmu silat, bahkan engkau sendiripun banyak belajar ilmu silat. Bagaimana kalau besok pagi engkau dan Seng Nio mengajak Bun-te pergi berpesiar ke gunung Omei-san? Kalian boleh minta petunjuknya dalam ilmu silat, dan tempat itu amat romantis, amat indah. Berilah kesempatan mereka agar dapat berdua saja dan mudah-mudahan akan ada kemajuan di antara mereka," kata Hok Sim kepada tunangannya.
"Baiklah, Sim-koko," jawab tunangannya dengan gembira. Hok Sim tidak tahu bahwa kegembiraan wajah tunangannya itu bukan hanya karena ingin memberi kesempatan kepada adik iparnya dan pemuda itu, melainkan karena diam-diam Ci Loan sendiri merasa suka sekali kepada pemuda pendekar yang menjadi tamu mereka. Ada sesuatu pada diri Ciang Bun yang tidak dimiliki tunangannya. Bukan hanya kepandaian silat tinggi sebagai seorang pendekar, dan bukan hanya sebagai keturunan keluarga Pulau Es, akan tetapi juga suatu sifat yang amat menarik hatinya. Ia sendiri tidak tahu persis sifat baik apakah yang amat menarik hatinya itu. Mungkin kelembutan Ciang Bun, sikapnya yang halus, gerak-geriknya yang lemah lembut.
Akan tetapi, Ciang Bun baru mau diajak pesiar ke Omei-san ketika Hok Sim menyatakan pergi juga. Pagi-pagi benar mereka berempat sudah berangkat ke pegunungan yang indah itu. Karena hari masih amat pagi, tempat pesiar itu masih kosong dan belum ada tamu lain. Dengan cerdik, Hok Sim pura-pura kelupaan sesuatu.
"Aku harus kembali dulu ke rumah. Biarlah kalian bertiga mendaki puncak lebih dulu. Aku nanti menyusul!" katanya sambil cepat-cepat meninggalkan mereka. Tentu saja dia tidak terus pulang melainkan mengambil jalan memutar karena maksudnya hanya untuk membiarkan mereka bertiga saja dan dia ingin mengintai sendiri dari kejauhan, melihat sampai di mana hasil rencananya yang dijalankan oleh tunangannya itu. Kalau dia tadi mengajak tunangannya untuk kembali dan membiarkan Ciang Bun berdua saja dengan Seng Nio, maka kesengajaan itu terlalu kasar dan tentu akau menimbulkan kecurigaan di hati Ciang Bun.
Ciang Bun bersama dua orang gadis itu mendaki puncak dan pendekar muda ini merasa gembira sekali. Tempat itu memang indah bukan main, apalagi di waktu pagi ketika sinar matahari yang keemasan memulas semua yang ada di permukaan bumi dengan cahayanya yang indah cemerlang. Ketika tiba di puncak dan melihat di situ terdapat sebuah dataran yang penuh dengan pohon-pohon bunga, Ciang Bun mengucap pujian.
"Hebat.... indah.... mempesona, seperti untaian sajak....!" Dia berkata seperti kepada diri sendiri, lupa bahwa di dekatnya terdapat dua orang gadis cantik.
"Suma-taihiap, kakakku bilang bahwa engkau pandai bersajak. Tempat ini begini indah, suasananya begini tenang dan damai, kuharap engkau suka membuatkan sajak untuk kami," kata Seng Nio dengan suara halus dan sikap manis.
"Benar sekali! Suma-taihiap, akupun ingin sekali mendengar sajak buatanmu mengenai keindahan Omei-san!" kata Ci Loan dengan gembira. Suma Ciang Bun memang sedang bergembira dan terpesona oleh keindahan alam di tempat itu, maka diapun berkata, "Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin sebaik kalau Tan-twako yang membuatnya."
"Aih, janganlah taihiap terlalu merendahkan diri!" Seng Nio berkata. Ciang Bun lalu berdiri memandang ke bawah puncak. Pemandangan sungguh indah dan diapun mulai bersajak bebas:
"Segalanya nampak indah di Omei-san,
tirai-tirai cahaya putih
menembos celah-celah daun
awan menjadi penghias matahari
daun kering berserakan
menyuburkan bumi
Bunga gugur
membawa keindahan mengharukan
berbahagialah mata
memandang semua ini!
Harum bunga semerbak dihembus angin lalu
sedapnya rumput dan tanah
menyentuh kalbu
berbahagialah hidung
mencium semua ini!
Kicau burung dan dendang air terjun
desir angin pagi
mempermainkan daun-daunan
berbahagialah telinga
mendengar semua ini!"
"Bagus sekali!" Ci Loan yang mengerti tentang sajak memuji. "Sajakmu sederhana namun berhasil menggambarkan keindahan yang mendalam, taihiap."
"Wah, enci Loan. Aku hanya tahu sajak itu indah dan sedap didengar, akan tetapi aku tidak begitu mengerti apa artinya pujianmu tadi. Di manakah letak keindahannya?" Seng Nio yang tidak begitu mengerti akan sajak bertanya sedangkan Ciang Bun hanya tersenyum saja.
"Suma-taihiap merobah benda-benda yang biasanya mendatangkan kesan buruk berbalik menjadi indah. Awan yang biasanya menjadi pengganggu sinar matahari malah menjadi penghiasnya. Daun kering lambang kematian malah menyuburkan bumi dan bunga gugur juga dilukiskan sebagai hal yang indah mengharukan. Harumnya bunga, sedapnya rumput dan tanah, bunyi-bunyian seperti kicau burung,
dendang air terjun dan desir angin pagi. Sungguh melukiskan keindahan alamiah yang aseli!" sambung Ci Loan.
Gembira juga hati Ciang Bun mendengar ucapan gadis itu, bukan karena pujiannya, melainkan karena ucapan itu membuktikan bahwa Ci Loan mampu mengerti isi sajak. Maka diapun menjura kepada dua orang gadis itu.
"Ah, kiranya nona adalah seorang ahli tentang sajak," katanya.
Ci Loan tersenyum manis lalu berkata. "Aku ingin mengambil bunga-bunga mawar yang kusukai. Banyak mawar tumbuh di bagian sana. Harap kalian menunggu di sini saja." Tanpa menanti jawaban Ci Loan lalu meninggalkan mereka. Karena memang sebelumnya sudah ada permufakatan antara kedua orang gadis itu, maka Seng Nio juga tidak menahan kepergian calon kakak iparnya itu.
Ditinggalkan berdua saja dengan Seng Nio di tempat sunyi dan romantis itu, Ciang Bun tidak merasa canggung, hanya merasa kurang enak. Dia lalu duduk di atas batu hitam yang besar. Ketika Seng Nio melangkah mendekatinya, dia pura-pura tidak tahu dan memandang ke bawah puncak yang kini menjadi semakin terang oleh sinar matahari yang makin meninggi.
Sejak tadi Seng Nio memandang kepada pemuda itu dengan jantung berdebar tegang. Dari calon kakak iparnya ia sudah mendengar bahwa kakaknya, juga ayahnya, menginginkan sekali agar ia dapat berjodoh dengan Suma Ciang Bun! Dan bahwa pagi hari ini, atas anjuran kakaknya, Ci Loan sengaja mengajaknya ke tempat itu dan sengaja pula meninggalkan ia berduaan saja dengan pemuda itu. Tentu saja ia tidak perlu ditanya dua kali untuk menjadi jodoh Suma Ciang Bun! Begitu bertemu ia sudah merasa kagum dan tertarik sekali. Pemuda ini adalah seorang pendekar keturunan keluarga Pulau Es, seorang pemuda yang menurut kakaknya memiliki ilmu kepandaian sangat hebat! Selain itu, juga cukup pandai dalam hal kesusasteraan, ditambah lagi wajahnya yang tampan dan wataknya yang budiman dan lemah lembut!
"Taihiap...."
Ciang Bun sadar dari lamunannya dan menoleh ketika mendengar suara yang halus itu di sampingnya. Gadis itu sudah berdiri dekat dengannya dan Ciang Bun mengerutkan alisnya melihat betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata begitu mesra dan mengandung daya pikat yang kuat.
"Ada apakah, nona?"
"Suma-taihiap, aku.... aku mohon sesuatu darimu, kalau boleh...."
Melihat sikap nona yang ragu-ragu dan takut-takut itu, Ciang Bun tersenyum menenangkan. "Engkau minta apakah, nona? Katakanlah, sebagai seorang sahabat, kalau memang aku dapat memenuhinya, tentu takkan kutolak permintaanmu."
"Aku hanya.... mohon petunjuk tentang ilmu silat...."
Ciang Bun tersenyum. "Nona, ayahmu adalah seorang guru silat yang berpengalaman, tentu dia lebih pandai membimbingmu dalam ilmu silat.... "
"Tapi, ayah dan Sim-ko mengatakan bahwa ilmu silatmu jauh lebih tinggi daripada tingkat ayah. Maka, aku mohon padamu, berilah sedikit petunjuk.... dan tempat ini amat baik untuk berlatih silat, bukan? Maukah engkau, taihiap?"
Tentu saja Ciang Bun merasa tidak enak kalau harus menolak begitu saja. Gadis ini dan sekeluarganya telah menerimanya sebagai tamu terhormat dan sudah bersikap amat ramah dan baik kepadanya. Wajarlah kalau sekarang dia memberi petunjuk ilmu silat kepada Seng Nio sekedar untuk membalas kebaikan mereka. Tentu saja tidak mungkin mengajarkan ilmu silat dalam waktu singkat. Maka diapun berkata ramah. "Baiklah, aku akan memberi sedikit petunjuk. Untuk itu engkau harus mainkan jurus-jurus silatmu dan aku akan mencoba untuk memperbaiki jurus-jurus itu."
"Terima kasih, taihiap. Engkau baik sekali. Nah, sambutlah jurus-jurus ini dan tunjukkan mana yang kurang betul!" Seng Nio tidak menanti jawaban dan langsung saja mulai menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Ia merasa gembira sekali mendapatkan kesempatan berlatih silat dengan pemuda yang dikaguminya ini dan mengharapkan dari latihan ini akan bukan saja dapat bersentuhan akan tetapi juga dengan harapan akan dapat meningkatkan keakrabannya.
Sebetulnya bukan maksud Ciang Bun agar gadis itu menyerangnya. Dengan melihat gadis itu bermain silat saja dia sudah akan dapat mengetahui bagian-bagian yang lemah. Akan tetapi karena Seng Nio telah menyerangnya, tentu saja diapun mengelak sambil memperhatikan. Dia melihat bahwa gadis ini tidak mengecewakan menjadi puteri seorang guru silat karena gerakan-gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga lumayan. Dia memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menyerangnya beberapa jurus sambil
memperhatikan. Tiba-tiba dia menangkap lengan Seng Nio.
"Tahan....!" Ciang Bun melepaskan lengan gadis itu dan melanjutkan. "Nona, jurusmu yang terakhir ini tadi mengandung kelemahan yang dapat merugikan dirimu. Maukah engkau mengulang agar dapat aku memberi contoh dan pembetulan?"
Seng Nio memandang dengan wajah berseri dan iapun mengulang serangannya yang terakhir, yaitu jurus Sian-jin-ci-louw (Dewa Menunjukkan Jalan). Serangan ini dilakukan dengan tangan kiri, menggunakan dua buah jari menusuk ke arah leher lawan dengan gerakan cepat.
Ciang Bun mengelak ke kanan dan dari kanan tangannya "masuk" melalui bawah ketiak gadis itu, menggunakan kesempatan selagi lengan gadis itu menyerang lurus sehingga dada di bawah lengan ini terbuka, tahu-tahu tangannya sudah membuat gerakan memukul ke arah dada di bawah ketiak, dekat buah dada kiri gadis itu.
"Ihhhh....!" Seng Nio menjerit manja dan mukanya berobah merah. Tentu saja Ciang Bun tidak sampai menyentuh dada itu. Tanpa memperdulikan muka gadis itu yang berobah merah seperti orang malu-malu, Ciang Bun memberi petunjuk. "Jurus seranganmu itu cukup baik dan cepat, akan tetapi dengan serangan itu harus diketahui bahwa di bawah lenganmu menjadi terbuka dan pertahananmu lemah. Setiap serangan memang berarti membuka satu bagian pertahanan, karena itu cara menusukkan jari tangan itu tadi harus dilakukan cepat dan jangan sampai terulur sepenuhnya. Dengan demikian, andaikata serangan gagal dan lawan memasuki bagian yang lowong, lenganmu dapat cepat ditarik dan siku lengan dapat menangkis serangan lawan. Coba ulangi lagi, sekarang dengan lengan tidak terulur sepenuhnya dan siap membagi sedikit kewaspadaan untuk menjaga bagian yang terbuka."
Dengan gembira Seng Nio mengulang serangan dengan jurus Sian-jin-ci-louw itu. Pada saat lengannya meluncur dan jari tangannya menusuk ke arah leher Ciang Bun, pemuda ini mengelak dan seperti tadi, membalas dengan cepat, sekali ini bukan memukul melainkan menendang ke arah lambung yang terbuka.
"Dukk!" Seng Nio yang kini sudah waspada dan tidak menggunakan seluruh kekuatan pada serangannya tadi, menekuk siku dan lengannya menangkis ke bawah sehingga tendangan itu dapat tertangkis.
"Bagus! Sekarang lanjutkan, nona."
Dengan gembira Seng Nio melanjutkan dengan beberapa jurus, menyerang pemuda itu dengan sungguh-sungguh karena selain ingin memperoleh petunjuk, juga ia ingin bersentuhan dengannya. Kembali ada jurus yang diperbaiki dan sekali ini, pukulan Seng Nio menurut petunjuk Ciang Bun harus dilanjutkan atau dirobah menjadi cengkeraman untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan.
"Begini sebaiknya, nona." kata Ciang Bun memberi contoh dengan pukulan seperti tadi dan ketika si nona menangkis, pukulan itu berubah menjadi cengkeraman dan tahu-tahu pergelangan tangan gadis itu telah ditangkapnya. "Nah, sekarang engkau cobalah meniru gerakanmu tadi."
Seng Nio menirunya, menyerang dengan jurus yang sudah diperbaiki tadi, ketika Ciang Bun menangkis, cepat pukulannya berubah cengkeraman dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan pemuda itu. Akan tetapi ia mencengkeram dengan kuat, tidak mau melepaskannya lagi sehingga Ciang Bun berseru kaget dan menarik lengannya. Karena tangannya memang jauh lebih besar, tarikan yang tiba-tiba itu membuat tubuh Seng Nio terguling! Tentu gadis itu akan roboh terbanting, kalau saja Ciang Bun tidak cepat-
cepat menangkap dan merangkulnya.
Ciang Bun merangkul gadis itu hanya untuk menghindarkan tubuh gadis itu jatuh terbanting. Akan tetapi Seng Nio membiarkan dirinya dirangkul, bahkan menyandarkan kepalanya ke dada pemuda itu!
"Eh, nona, maafkan aku tidak sengaja. ..."
"Ah, tidak mengapa, taihiap, aku.... aku justeru senang sekali begini...." dan kini kedua lengan Seng Nio merangkul leher!
"Eh.... Tan-siocia, apa artinya ini....?" Ciang Bun menegur heran dan kaget, dengan lembut hendak melepaskan kedua lengan yang merangkul lehernya. Akan tetapi gadis itu memperkuat rangkulannya.
"Taihiap.... koko.... masih perlukah aku bicara....? Aku kagum padamu, aku jatuh cinta kepadamu...."
"Ihhh....!" Dengan sentakan agak keras Ciang Bun merenggutkan dirinya dan gadis itu terhuyung hampir jatuh.
"Nona, jangan bersikap tidak sopan!" Wajah Seng Nio berubah pucat dan kedua matanya memandang terbelalak.
"Tapi.... tapi aku cinta...."
"Jangan bicara tentang cinta! Aku tidak mencinta siapapun!" Ciang Bun membentak marah. "Sikapmu sungguh tidak tahu malu....!"
Wajah yang pucat itu kini berubah merah sekali dan dengan isak perlahan Seng Nio meninggalkan Ciang Bun, lari mencari Ci Loan yang tadi sengaja menjauhkan diri dan memetik kembang yang sebenarnya hanya merupakan alasan yang dicari-cari saja. Melihat gadis ini lari sambil menangis, Ciang Bun lalu duduk di atas batu dan termenung. Baru terasa olehnya betapa kasarnya sikapnya tadi terhadap Seng Nio. Kekasaran yang tidak disengaja karena dia terkejut dan juga tidak senang mendengar pengakuan cinta gadis itu. Dan diapun termenung dengan bingung dan menyesal. Dia tahu bahwa kalau Seng Nio jatuh cinta kepadanya, hal itu sudahlah wajar. Akan tetapi dia, sebagai seorang pemuda, menerima pernyataan cinta seorang gadis dengan hati yang muak dan
tidak suka, ini baru namanya tidak wajar dan dia merasa menyesal sekali. Akan tetapi, apa yang harus dilakukannya? Dia tadi bicara dan bergerak menurutkan naluri atau perasaan hatinya, tanpa disengaja dan baru sekarang dia tahu betapa dia telah menyakiti hati Seng Nio! Sampai lama dia termenung memikirkan keadaan dirinya sendiri dan makin banyak dia melihat kelainan pada dirinya, terutama dalam hal perasaan hatinya terhadap pria dan wanita.
"Suma-taihiap...."
Suara wanita yang halus ini menyadarkannya dari lamunan dan ketika dia menoleh, dilihatnya Ci Loan telah berdiri di dekatnya. Diapun cepat bangkit berdiri.
"Suma-taihiap, mana adik Seng Nio?" Ci Loan bertanya sambil tersenyum manis sekali. Senyum gadis ini memang manis sekali, pikir Ciang Bun. Akan tetapi senyum dibarengi pandang mata seperti itu selayaknya hanya diberikan oleh gadis ini kepada tunangannya saja, jangan kepada pria lain! Akan tetapi pertanyaan gadis ini tentang Seng Nio membuat dia gugup juga.
"Tan-siocia.... telah pergi...."
"Pergi? Eh, kenapa? Bukankah ia tadi belajar silat darimu, taihiap?"
"Ya, akan tetapi ia sudah pergi...."
"Kenapa dan ke mana?"
"Entah.... aku tidak tahu...." Kini Ciang Bun duduk kembali di atas batu karena merasa bingung dan khawatir kalau-kalau gadis ini tahu tentang peristiwa tadi. Sungguh tidak enak kalau diketahui orang lain, apalagi kalau sampai Hok Sim juga mengetahuinya.
Akan tetapi kembali dia terkejut ketika melihat bahwa Ci Loan, tunangan sahabatnya itu, kini menghampirinya dan duduk pula di atas batu di sampingnya. Dia merasa kikuk sekali, akan tetapi sebaliknya Ci Loan kelihatan begitu ramah dan akrab.
"Taihiap, kenapa engkau nampak seperti orang marah-marah?" Gadis itu bertanya dan dari samping ditatapnya wajah Ciang Bun dengan tajam.
Ciang Bun menggeleng kepala. "Tidak apa-apa...."
"Apakah adik Seng Nio membuatmu marah? Kalau begitu maafkanlah, taihiap."
"Tidak apa-apa...."
Hening sejenak dan Ciang Bun tidak berani menoleh, hanya mengerutkan alisnya karena duduk bersanding dengan gadis ini sungguh membuat hatinya merasa tidak tenang.
"Suma-taihiap, kalau boleh aku bertanya, apakah.... engkau sudah bertunangan dengan seorang gadis?"
Sungguh sebuah pertanyaan yang tak diduga-duganya dan membuatnya terkejut. Kalau saja dia tidak ingat bahwa Ci Loan adalah tunangan Tan Hok Sim yang telah menjadi sahabat baiknya tentu dia akan menganggap pertanyaan itu amat tidak sopan dan tidak tahu malu. Mana ada gadis bertanya demikian kepada seorang pemuda?
"Belum...." katanya lirih sambil menggeleng kepala tanpa menengok wajah di sampingnya itu.
"Tapi, tentu hatimu sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang gadis cantik, tentu engkau telah mempunyai seorang kekasih."
Kembali jantung di dalam dada Ciang Bun berdebar keras. Sungguh semakin tak tahu sopan saja pertanyaan gadis ini. Akan tetapi dia masih bersabar dan kembali dia menggeleng kepala tanpa menjawab.
"Akan tetapi itu sungguh aneh luar biasa! Kenapa, taihiap? Kenapa engkau belum bertunangan, bahkan belum mempunyai pacar?"
Terlalu, pikir Ciang Bun. Dia ingin marah dan mendamprat gadis itu, akan tetapi dia masih teringat betapa tadi dia telah bersikap keras terhadap Seng Nio. Dia tidak mau menambah kesalahan itu lagi dengan bersikap tidak manis terhadap tunangan sahabatnya ini.
"Hmmm, siapa suka kepadaku?" jawabnya sekedarnya dan diapun turun dari batu dan bangkit berdiri.
Ci Loan melompat turun dan menghampirinya. "Siapa yang tidak suka? Aihh, taihiap, engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, pandai, budiman dan tampan, seorang pendekar muda pilihan, keturunan keluarga Pulau Es pula. Dan engkau bertanya siapa suka kepadamu? Setiap orang gadis akan berlumba untuk menjadi kekasihmu, Suma-taihiap, bahkan akupun.... aku amat suka kepadamu.... dan seandainya aku belum bertunangan...."
Ciang Bun terbelalak. Alangkah beraninya gadis ini, bahkan lebih berani, lebih kurang ajar, lebih tidak sopan daripada Seng Nio tadi! Melihat kalimat terakhir yang ditahan, diapun merasa penasaran dan bertanya. "Kalau belum bertunangan bagaimana?"
Gadis itu memegang kedua tangannya, menarik kedua tangannya ke dada sehingga dia merasa betapa jari-jari tangannya menyentuh dada yang menonjol. "Kalau saja aku belum bertunangan, aku akan berbahagia sekali menjadi pacarmu...."
"Keparat!" Ciang Bun tak dapat menahan kemarahannya lebih lama lagi. Dia merenggutkan kedua tangannya terlepas dan hampir saja dia menampar muka gadis itu. Akan tetapi dia menahan diri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Loan. "Engkau perempuan tak tahu malu! Engkau tidak patut menjadi tunangan Tan Hok Sim. Pergi engkau dari sini sebelum kuhajar engkau, perempuan rendah!"
Seketika wajah Ci Loan yang cantik menjadi pucat sekali. Tak disangkanya bahwa Ciang Bun akan dapat bersikap segalak itu, apalagi sampai memakinya. Tadi ia mendapat laporan Seng Nio betapa pemuda itu menghina Seng Nio dan menolak cintanya. Maka ia menghibur Seng Nio dan hendak mendekati pemuda itu, akan tetapi karena memang di lubuk hatinya ia telah jatuh cinta kepada pendekar muda yang mengagumkan itu, setelah tiba di depan Ciang Bun, ia lupa akan tugasnya hendak menjodohkan adik ipar itu dengan Ciang Bun, dan sebaliknya ia sendiri malah merayunya! Dan akibatnya, ia dimaki-maki. Karena malu iapun menjadi marah sekali.
"Manusia tak tahu diri, tidak mengenal budi!" Dan Ci Loan sudah menyerangnya dengan pukulan kilat.
"Plakkk!" Ciang Bun menangkis dengan pengerahan tenaga dan akibatnya tubuh Ci Loan terpelanting dan roboh terbanting di atas tanah!
"Manusia kejam Suma Ciang Bun, berani engkau memukul kakak iparku?" Tiba-tiba muncullah Seng Nio dan agaknya kini gadis ini memperoleh alasan untuk membalas sakit hatinya ketika cintanya ditolak mentah-mentah bahkan ia dihina oleh Ciang Bun tadi. Melihat Ci Loan terpelanting, iapun lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ciang Bun dengan marah. Tentu saja Ciang Bun cepat mengelak dan ketika dia melihat Ci Loan juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedang, Ciang Bun lalu melarikan diri untuk kembali ke rumah keluarga Tan dan kemudian dia hendak cepat meninggalkan keluarga itu.
"Manusia rendah, engkau hendak lari ke mana?" Dua orang gadis itu dengan pedang di tangan dan nyeri di hati melakukan pengejaran dari belakang secepatnya.
Tentu saja Ciang Bun dapat berlari jauh lebih cepat daripada mereka dan agaknya dia akan dapat cepat meninggalkan rumah keluarga itu sebelum kedua orang gadis yang mengejarnya tiba di rumah. Akan tetapi, tiba-tiba muncul Tan Hok Sim di tengah jalan. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini diam-diam menyusul ke Omei-san setelah tunangan dan adiknya pergi bersama Ciang Bun lebih dulu ke puncak dan dia sengaja turun lagi dengan alasan ada yang ketinggalan.
"Heiii.... Bun-te.... engkau hendak ke mana dan mengapa berlari-lari?" tegur Hok Sim. Melihat munculnya Hok Sim, terpaksa Ciang Bun menghentikan larinya. Dia hendak menyembunyikan semua peristiwa itu dari Hok Sim, tentu saja kalau dia nekat melarikan diri, pemuda sasterawan itu akan menjadi curiga. Akan tetapi setelah dia berhenti berlari dan berhadapan dengan Hok Sim, dia bingung sendiri harus bicara apa!
"Bun-te, apakah yang telah terjadi? Di mana Loan-moi dan adikku Seng Nio?" Hok Sim bertanya dengan hati khawatir. Dia melihat sesuatu pada wajah pemuda pendekar itu dan hatinya gelisah sekali.
"Mereka.... mereka di belakang...." jawabnya gugup.
"Tapi kenapa....?" Tiba-tiha dia melihat bayangan kedua orang gadis itu mengejar dan menuruni lembah. "Eh, itu mereka....! Kenapa mereka juga berlari-lari mengejarmu?"
"Kami.... main kejar-kejaran...."
Hok Sim tertawa dan dia masih belum curiga mendengar alasan yang lucu itu. Main kejar-kejaran? Seperti anak-anak kecil saja.
"Eh....? Kenapa mereka membawa pedang?" tanyanya kaget ketika melihat dua orang gadis itu sudah datang dekat. Dan dia menjadi lebih kaget lagi ketika melihat Seng Nio dan Ci Loan bermuka merah penuh kemarahan.
"Sim-ko, manusia keparat itu telah membuat aku terpelanting roboh!" teriak Seng Nio.
"Dan dia.... dia memaki-maki aku....!" sambung Ci Loan.
"Eh, kenapa? Mengapa begitu?" Hok Sim bingung.
"Agaknya dia.... dia hendak memperkosa kami!" kata Seng Nio yang sudah kepalang tanggung, malu karena cintanya ditolak dan karena dihina maka kini dia hendak membalas dendam.
"Ahh? Benarkah itu?" bentak Hok Sim.
"Benar, dia memang manusia berwatak rendah!" Ci Loan menambahkan dan kini Hok Sim tidak ragu-ragu lagi. Kalau adiknya sendiri dan tunangannya sudah begitu marah dan keterangan mereka sudah meyakinkan, apakah perlu diragukan lagi? Mendengar betapa pemuda itu hendak mengganggu tunangannya, hati Hok Sim berkobar dengan api kemarahan dan diapun mencabut pedangnya.
"Dengarkan dulu...." kata Ciang Bun akan tetapi Hok Sim sudah menjawabnya dengan tusukan pedangnya. Dua orang gadis itupun sudah menyerang pula dengan pedang mereka sehingga terpaksa Ciang Bun hanya menghindarkan diri dari keroyokan tiga orang berpedang itu. Melihat Hok Sim ikut mengeroyok, Ciang Bun merasa serba salah dan kalau saja dia menghendaki, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia merasa tidak tega kepada Hok Sim yang hanya salah sangka terhadap dirinya, maka diapun hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran tiga batang pedang yang mengeroyoknya.
Seperti telah kita ketahui, pada saat Ciang Bun dikeroyok oleh tiga orang itulah muncul Suma Hui! Tentu saja dengan mudah Suma Hui dapat mengakhiri pengeroyokan itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Tan Hok Sim dimintai keterangan oleh Suma Hui mengapa dia bersama dua orang gadis itu mengeroyok Ciang Bun.
"Siapa yang tidak marah? Suma Ciang Bun telah kami anggap sebagai seorang pendekar budiman dan kami terima sebagai seorang tamu agung, yang kami hormati. Akan tetapi dia telah melakukan perbuatan kotor terhadap tunangan dan adikku! Dia menghina adikku dan hendak memperkosa tunanganku!" demikian Hok Sim menutup ceritanya yang tentu saja berbeda dengan kenyataan itu kepada Suma Hui.
"Hemm, benarkah keterangan itu bahwa engkau hendak memperkosa tunangan orang dan menghina seorang gadis lain? Benarkah itu, adikku?" Suma Hui bertanya heran dan penuh ketidakpercayaan sambil memandang kepada Ciang Bun.
Ciang Bun menghela napas panjang. Dia merasa menyesal sekali bahwa Hok Sim yang tidak bersalah apa-apa terpaksa akan menderita tekanan batin kalau mengetahui persoalannya. Dia tidak ingin melihat pemuda yang disukanya itu menderita.
"Aku tidak perlu bercerita. Silahkan kedua orang nona ini saja yang bercerita, dan kuharap mereka akan menceritakan hal yang sebenarnya." Sambil berkata demikian, sepasang matanya mencorong seperti mata naga menatap wajah Seng Nio dan Ci Loan, dan kedua orang gadis itu menjadi pucat.
Kini timbul keraguan dalam hati Hok Sim melihat sikap Ciang Bun dan kedua orang gadis itu timbul keraguannya karena rasanya memang sukar dapat dipercaya bahwa seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun sampai melakukan hal yang demikian rendahnya!
"Seng-moi, hayo ceritakan yang sesungguhnya apa yang terjadi! Engkau tadi bilang bahwa engkau dihina dan dipukul, hayo ceritakan mengapa demikian dan yang sesungguhnya terjadi bagaimana? Jangan membohong!"
Wajah Seng Nio menjadi merah sekali. Ia merasa serba salah. Ia tahu bahwa Ciang Bun adalah seorang pendekar sakti dan agaknya kakak perempuannya inipun seorang pendekar yang lihai sekali. Berbohong takkan berguna, apalagi bukankah kakaknya sendiri yang mendorongnya agar ia berusaha mendekati Ciang Bun?
"Aku hanya menyatakan perasaan hatiku kepadanya, Sim-ko. Bukankah ayah dan engkau sendiri menghendaki agar aku berjodoh dengan Suma-taihiap? Aku menyatakan.... cinta dan.... dan dia marah-marah.... dan dia memaki aku tidak sopan dan tidak tahu malu!"
Hok Sim mengerutkan alisnya. Tahulah dia mengapa Ciang Bun marah-marah. Tentu Seng Nio "mendesak" dengan cintanya dan pemuda pendekar itu menganggap Seng Nio sebagai seorang gadis tidak tahu malu. Dia mengeluh dalam batinnya. Jelaslah bahwa Ciang Bun tidak dapat membalas cinta kasih Seng Nio.
"Dan engkau, Loan-moi? Apa yang terjadi?" kini Hok Sim menoleh kepada Ci Loan. Wajah gadis ini menjadi pucat sekali. Ia mengerti bahwa apa yang terjadi antara ia dan Ciang Bun hanya diketahui oleh mereka berdua saja. Bahkan Seng Nio juga tidak mengetahuinya. Kalau ia mengaku, maka tentu pertunangannya dengan Hok Sim akan putus. Ia melirik ke arah Ciang Bun dan pendekar ini hanya berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang. Kini tergantung kepada pendekar itu, pikirnya.
"Aku menerima laporan adik Seng yang menangis dan merasa terhina. Lalu kudatangi Suma-taihiap dan kutegur, akan tetapi dia.... dia bersikap kasar sehingga kami cekcok dan aku menyerangnya, lalu datang adik Seng yang membantuku. Dia lari dan kami kejar sampai bertemu denganmu, koko."
Hok Sim membanting kakinya dan menarik napas panjang. "Ah, akulah yang bodoh dan terburu nafsu, tidak bertanya dulu, lalu percaya saja kepada omongan perempuan dan menyerangmu. Suma-taihiap, maafkan aku, maafkan kami....""Sudahlah, mari kita pergi, enci Hui!" kata Ciang Bun.
"Aku akan mengambil pakaianku lebih dulu di rumah, Tan-twako."
Kakak beradik itu sekali berkelebat lenyap dari situ, membuat Hok Sim dan kedua orang gadis itu melongo dan semakin gentar. Lalu Hok Sim mengomel, "Ah, kalian yang kurang waspada dan ceroboh sekali. Kalau sampai Seng-moi tidak berjodoh dengan dia masih tidak mengapa. Akan tetapi kita kehilangan seorang sahabat yang amat baik dan gagah perkasa. Sekarang, keluarga Pulau Es itu marah kepada kita, semua ini karena kalian berdua kurang hati-hati." Dua orang gadis itu hanya menundukkan mukanya, diam-diam merasa malu sekali atas kelakuan mereka terhadap Ciang Bun tadi.
"Tapi, aku melihat sikapnya kepadamu amat akrab!" tiba-tiba Seng Nio berkata.
"Bahkan kadang-kadang amat mesra!" tambah Ci Loan.
"Kami sering membicarakan hal ini, dan kami merasa heran mengapa sikapnya jauh lebih mesra terhadapmu daripada terhadap kami."
Diam-diam Hok Sim terkejut dan teringat bahwa memang demikian keadaannya. Ciang Bun kadang-kadang bersikap terlalu mesra kepadanya! Bahkan sekarang dia teringat bahwa andaikata Ciang Bun seorang wanita, agaknya dia akan menjadi saingan Ci Loan!
"Sikapnya itu kadang-kadang membuat aku curiga, jangan-jangan dia itu seorang gadis yang menyamar pria!" kata pula Seng Nio.
"Ahhh....! Kalian bicara yang bukan-bukan karena sedang marah saja. Sebetulnya dia itu laki-laki sejati, seorang pendekar budiman yang gagah perkasa. Mungkin saja dia.... eh, agaknya pemalu dan tidak biasa bergaul dengan wanita sehingga begitu dekat dengan kalian dia merasa canggung dan malu-malu. Sudahlah, betapapun juga, kita kehilangan seorang sahabat yang luar biasa!" Merekapun pulang dengan hati kecewa dan menyesal.
******
"Bun-te, engkau terlalu lemah. Kenapa engkau tidak hajar saja kedua orang gadis yang tidak tahu malu itu?" Suma Hui menegur adiknya ketika mereka melakukan perjalanan dan di tengah jalan Ciang Bun terpaksa menceritakan persoalannya dengan dua orang gadis tadi.
"Ah, aku kasihan kepada mereka, enci. Apalagi, Tan Hok Sim begitu baik kepadaku. Kalau aku berterus terang, tentu akan mengakibatkan terputusnya tali perjodohan antara dia dan tunangannya. Pula, aku tidak menganggap mereka yang.... eh, suka kepadaku itu sebagai suatu kesalahan, hanya aku yang tidak dapat membalas cinta mereka...."
"Hemmm, engkau memang aneh. Kulihat mereka itu cantik-cantik, kenapa engkau tidak suka dan bahkan bersikap keras kepada mereka?"
"Aku.... aku memang tidak pernah suka kepada gadis-gadis...." Ciang Bun agaknya menemui wadah penuangan perasaannya melalui encinya.
"Ehh....! Bun-te, engkau sudah cukup dewasa, perasaanmu tidak pernah suka kepada gadis itu sungguh tidak wajar," kata Suma Hui prihatin sambil menghentikan langkahnya, memegang kedua pundak adiknya dan menatap wajah adiknya itu dengan penuh selidik.
Ciang Bun balas memandang dan dia melihat seolah-olah sinar mata encinya itu menembus dadanya dan menjenguk ke dalam. Selama ini, dia melihat kelainan pada dirinya dengan penuh kecemasan, menyimpannya sebagai rahasia dan dia tidak berani membicarakannya kepada siapapun juga. Akan tetapi kini dia berhadapan dengan encinya, satu-satunya orang yang dekat dengan dia, satu-satunya orang yang benar-benar amat disayangnya karena sejak kecil dia bergaul dengan encinya siang malam. Ayahnya dianggapnya terlalu keras dan menakutkan, ibunya terlalu memanjakannya, hanya encinya ini yang selalu bersikap terbuka dan jujur. Tiba-tiba saja ada keharuan menyelinap di hati pemuda ini dan seperti bendungan pecah, diapun menangis terisak!
Bukan main kaget rasa hati Suma Hui. Adiknya ini sejak kecil pendiam dan serius, tak banyak bicara akan tetapi sama sekali tidak cengeng! Belum pernah ia melihat adiknya menangis seperti ini, apalagi sekarang sudah berusia tujuh belas tahun, sudah dewasa! Ciang Bun menangis terisak-isak? Sukar ia membayangkannya, akan tetapi kini hal itu terjadi di depannya. Tentu saja ia merasa kaget dan juga khawatir dan dirangkulnya adiknya itu, seperti ketika mereka masih kecil dan dituntunnya Ciang Bun, diajak duduk di bawah pohon yang rindang. Tempat itu sunyi tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
"Bun-te, tenanglah. Ingat, tidak baik seorang pendekar gagah seperti engkau ini menangis. Hapus air matamu dan mari kita bicara secara dewasa. Ceritakanlah apa yang merisaukan hatimu sampai engkau menangis. Aku encimu, saudara tunggalmu, aku akan membelamu lahir batin!"
"Enci Hui, tolonglah aku, enci...." Suma Ciang Bun mencoba untuk menghentikan tangisnya. Semua kegelisahan hatinya tumpah pada saat itu melalui air mata dan akhirnya dia merasa dadanya agak lega.
"Hemm, tentu saja aku akan menolongmu, adikku, kalau perlu dengan taruhan nyawaku. Nah, ceritakan, apakah masalah itu?"
Ciang Bun mengusap air matanya dan kini dia dapat memandang wajah encinya dengan mata agak merah. "Enci Hui, tadi engkau mengatakan bahwa aku tidak wajar...."
"Aihh....! Itu? Aku hanya main-main. Mungkin engkau masih terlalu kekanak-kanakan, tidak biasa bergaul dengan wanita sehingga engkau masih belum dapat menyukai gadis-gadis. Hal itu tidak aneh, kenapa dirisaukan?" Suma Hui tersenyum, merasa lega karena ternyata yang dirisaukan adiknya itu hanyalah persoalan sepele saja.
Akan tetapi Ciang Bun menggeleng kepala. "Bukan, bukan hanya itu, enci. Ketahuilah, memang aku.... ada sesuatu yang tidak wajar kepadaku, di dalam hatiku...."
Suma Hui mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada adiknya. "Hemmm, apa maksudmu, adikku? Ada ketidakwajaran apa dalam hatimu? Engkau sungguh membikin aku heran dan cemas."
"Enci, kalau tidak ada engkau, tentu rahasia ini akan kubawa mati. Kepada ayah dan ibu sendiri aku enggan bercerita. Ketahuilah, memang ada ketikdakwajaran di dalam hatiku, ada suatu kelainan yang terasa amat menakutkan hatiku. Sejak dahulu, aku.... aku tidak pernah merasa suka kepada wanita, akan tetapi aku.... aku malah tertarik kepada pria, kepada pemuda...."
"Ehhh....?" Sepasang mata Suma Hui terbelalak dan ia memandang adiknya seperti melihat hantu di siang hari.
"Enci Hui, jangan.... jangan memandang padaku seperti itu....!" Suma Ciang Bun mengeluh. "Jangan engkau juga menganggap aku seperti setan...."
"Bun-te....!" Suma Hui maju merangkul adiknya dan beberapa lamanya enci dan adik ini saling rangkul dengan hati nelangsa. Suma Hui teringat akan nasib dirinya sendiri dan kini ia melihat adiknya menghadapi masalah yang lebih rumit lagi.
"Bagaimana.... bagaimana bisa begitu....? Aku.... aku tidak mengerti, adikku, sungguh, aku belum mengerti...." Suma Hui meragu. "Mungkinkah itu bahwa engkau.... engkau adalah seorang pria pembenci wanita....?"
"Tidak, enci. Aku sama sekali tidak membenci wanita. Aku kira.... aku akan dapat bersahabat dengan wanita, sahabat baik, seperti aku dengan engkau ini.... akan tetapi, hanya sampai di situ saja. Persahabatan biasa, tidak ada daya tarik menimbulkan gairah berahi. Pendeknya, aku tidak pernah berani melihat wanita, enci, semua wanita kupandang seperti aku melihatmu, seperti saudara, seperti sahabat."
"Apa salahnya dengan itu?" Suma Hui menegas karena ia belum mengerti dan selama hidupnya baru sekarang ia mendengar hal seperti ini.
"Memang tidak salah, akan tetapi.... aku.... aku tertarik oleh pria, oleh pemuda, merasa mesra berdekatan dengan pemuda dan timbul gairah berahiku. Aku.. .. aku hanya dapat jatuh cinta kepada pemuda, enci...."
"Hehh....?" Suma Hui terbelalak, melepaskan rangkulannya, lalu mendekat lagi dan menjamah dahi adiknya seperti hendak melihat apakah adiknya tidak sedang terserang demam sehingga mengigau.
Ciang Bun tersenyum sedih melihat encinya meraba dahinya. Dengan halus dia menjauhkan tangan encinya. "Enci Hui, aku tidak gila.... biarpun kadang-kadang aku sendiri bertanya-tanya apakah aku sudah gila. Tidak, aku belum gila dan mudah-mudahan tidak akan gila. Akan tetapi, aku melihat kenyataan yang menakutkan ini pada diriku. Aku.. .. aku agaknya mempunyai selera seperti wanita. Tubuhku pria, segala-galanya, akan tetapi seleraku, juga terutama sekali dalam hal selera berahi, aku seperti.... seperti wanita...."
"Ahhh....!"
"Enci Hui, jangan ber-ah-eh-uh saja. Tolonglah aku!"
Suma Hui menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah dengan tubuh lemas. Ia merasa tidak berdaya sama sekali, bahkan bingung. "Bagaimana aku harus menolongmu, Bun-te?"
"Mungkin ada obat. ..."
"Kita bicarakan saja dengan ayah dan ibu, minta nasihat mereka...."
"Tidak! Aku akan malu sekali kalau engkau menceritakan hal itu kepada mereka, aku akan lari minggat!"
Gadis itu merasa prihatin sekali sehingga memikirkan keadaan adiknya, ia dapat sedikit melupakan kedukaan hatinya sendiri. Ia kecewa bahwa ia tidak dapat bertemu dengan Cin Liong yang memimpin pasukan menyerbu ke Nepal dan ia merasa nelangsa selama ini. Akan tetapi kini semun keprihatinan hatinya ditujukan untuk Ciang Bun.
"Aku akan bantu memikirkan keadaan dirimu, adikku. Engkau tenang sajalah dan jangan terlalu menyedihi keadaanmu, kelak tentu akan ada jalan baik untukmu. Mari kita pulang dulu, sudah terlalu lama kita meninggalkan ayah dan ibu, tentu mereka merasa cemas dan berduka."
Merekapun melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan itu mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing selama mereka berpisah. Ciang Bun juga merasa prihatin melihat encinya berduka dan kecewa karena belum juga dapat bertemu dengan Kao Cin Liong.
Setelah melakukan perjalanan yang jauh dan memakan waktu yang lama sekali, tanpa ada halangan yang berarti, tibalah kedua kakak beradik ini pada suatu siang di kota Thian-cin, tempat tinggal orang tua mereka! Berdebar juga hati mereka ketika mereka tiba di kota yang mereka kenal sejak kecil ini dan perasaan mereka bercampur aduk ketika mereka melihat rumah mereka dari jauh. Ada rasa gembira karena hendak bertemu kembali dengan ayah bunda mereka yang sudah lama mereka tinggalkan. Ada perasaan takut-takut karena mereka dapat menduga bahwa ayah mereka tentu akan marah sekali kepada mereka. Ada perasaan terharu karena mereka teringat akan segala peristiwa yang terjadi di tempat tinggal mereka ini. Bagaimanapun juga, akhirnya kampung halaman merupakan tempat yang paling indah di dunia ini.
Pada siang hari itu, sekitar rumah keluarga mereka nampak sunyi. Dengan jantung berdebar tegang, Suma Hui dan Suma Ciang Bun memasuki pekarangan rumah yang amat mereka kenal itu. Seorang pelayan tua yang melihat mereka datang, segera berteriak dan lari masuk ke dalam sambil berteriak-teriak.
"Siocia dan kongcu pulang....!"
Seruan ini membuat tiga orang keluar menyambut. Mereka adalah Suma Kian Lee, Kim Hwee Li, dan Louw Tek Ciang!
Sejenak dua orang kakak beradik yang baru tiba itu berdiri saling pandang dengan mereka yang menyambut. Ada keharuan di dalam hati mereka semua. Suma Ciang Bun memperhatikan ayah ibunya. Ayahnya yang kini berusia kurang lebih lima puluh satu tahun itu kelihatan semakin tua. Agaknya selama kurang lebih dua tahun ini Suma Kian Lee menderita tekanan batin yang membuat wajahnya dihias banyak garis-garis yang dalam, juga rambutnya kini banyak ubannya. Ibunya masih kelihatan muda dan sama saja, masih cantik dan wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar. Di sebelah ayahnya dia melihat suhengnya yang tak disenanginya, yaitu Louw Tek Ciang walaupun harus diakuinya bahwa selama dua tahun ini nampak kemajuan pada diri pemuda itu. Tek Ciang semakin tampan dan gagah, nampak lebih matang dan sepasang matanya itu jelas membayangkan kecerdikan dan senyumnya kini terkendali,
menunjukkan kematangan!
"Ayah....! Ibu....!" Kakak beradik itu berseru sambil menghampiri ke depan dan memberi hormat.
"Kalian baru pulang....!" Kim Hwee Li meloncat dan merangkul mereka. Sepasang mata ibu yang juga banyak memikirkan mereka ini membasah. Akan tetapi, Suma Kian Lee tetap bersikap tenang, seolah-olah pulangnya kedua orang anaknya itu tidak mendatangkan perobahan pada hatinya. Memang pendekar ini pandai menyimpan perasaannya yang pada waktu itu penuh dengan kegirangan melihat anak-anaknya selamat dan pulang, juga penuh kemarahan, terutama sekali terhadap Suma Hui.
"Mari kita masuk dan bicara di dalam," katanya dan suaranya begitu datar, membuat hati kakak beradik itu berdebar.
"Sumoi dan sute, selamat datang!" kata Tek Ciang dengan suara gembira dan agaknya dia tidak tersinggung ketika kedua orang kakak beradik itu hanya memandang kepadanya dan mengangguk tanpa menjawab.
Mereka semua mengikuti Suma Kian Lee yang sudah melangkah lebar menuju ke ruangan dalam yang luas, yang menjadi ruangan duduk atau ruangan keluarga. Tanpa banyak cakap Suma Kian Lee duduk menghadapi meja dan semua keluarganya juga mengambil tempat duduk. Kim Hwee Li duduk di sebelah kanannya, Tek Ciang mengambil tempat duduk agak jauh di belakang, sedangkan Ciang Bun dan Suma Hui duduk di depan ayah mereka dengan muka tunduk.
Keadaan amat hening dan semua orang merasakan keheningan yang mencekam itu. Semua orang tahu bahwa pendekar setengah tua itu dalam keadaan marah sekali. Udara di dalam ruangan itu seolah-olah terbakar panas oleh kemarahan Suma Kian Lee ketika duduk menghadapi kedua orang anaknya dan memandang wajah putera dan puterinya itu bergantian. Ciang Bun, Suma Hui dan Tek Ciang tidak berani berkutik, menguasai diri sepenuhnya agar jangan mengeluarkan suara. Bahkan Kim Hwee Li yang merupakan satu-satunya orang di dunia yang dapat mencairkan kebekuan dan kemarahan hati Suma Kian Lee, saat itupun berdiam diri. Isteri ini ikut prihatin dan ia menghormati perasaan suaminya, tahu benar betapa penasaran, marah dan kecewa hati suaminya terhadap anak-anak mereka.
Tiba-tiba pendekar itu mengeluarkan suara dan biarpun kata-katanya tidak kasar atau keras, namun terdengar dingin menyeramkan.
"Hemm, setelah kalian ingat untuk pulang ke rumah sini, apa yang hendak kalian katakan sekarang?"
Suma Hui dan Ciang Bun tidak berani menjawab, tidak berani mengangkat muka karena mereka maklum bahwa ayah mereka itu benar-benar sedang marah sekali.
"Brakkkk....!" Kian Lee menggebrak meja di depannya dan seluruh ruangan itu seperti tergetar. "Kenapa kalian tidak menjawab? Apakah tuli dan bisu? Kalian pergi meninggalkan rumah tanpa pamit, orang tua kalian anggap sampah saja! Begitukah watak anak-anak yang berbakti kepada orang tua? Apalagi engkau, Hui-ji, engkau sebagai seorang anak perempuan sungguh tidak patut pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Kalian ini sungguh hanya dapat membikin susah hati orang tua saja. Begitukah kalian membalas budi orang tua, dengan cara merusak hati kami berdua? Begitukah?"
Suma Hui makin menunduk dan biarpun ia tidak mengeluarkan suara, namun kedua matanya menjadi basah oleh air mata. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia teringat akan nasib dirinya, akan aib yang menimpa dirinya, akan dendam sakit hatinya terhadap Cin Liong yang belum dapat dibalas. Ia telah pergi tanpa pamit karena hendak membalas dendam, mencari orang yang telah merusak kebahagiaan hidupnya. Kepergiannya sia-sia, tanpa hasil dan setelah pulang, dimaki-maki ayahnya sebagai anak puthauw (tidak berbakti)! Hampir semua orang tua mengharap agar anak mereka berbakti kepada mereka. Bahkan sejak kecil,
anak-anak ditekankan dan diajar agar berbakti kepada orang tuanya. Berbakti adalah sikap yang timbul dengan sendirinya karena rasa sayang, dan perasaan sayang tidak mungkin dipelajari, tidak mungkin dilatih. Berbakti yang dilakukan karena latihan berarti merupakan suatu sikap yang dipaksakan dan sikap apapun kalau dipaksakan, berarti palsu. Sikap berbakti yang dipaksakan bukanlah kebaktian lagi namanya, melainkan penjilatan atau bermuka-muka. Berbakti, menghormati, menyayang, menaruh rasa iba, kesemuanya itu ada dengan sendirinya apabila terdapat rasa cinta kasih di dalam hati. Kalau ada cinta kasih di dalam hati seorang anak, maka tidak perlu lagi anak itu diajari untuk berbakti dan sebagainya. Sebaliknya, kalau batin si anak kosong dari cinta kasih, maka semua kebaktian yang dilakukannya itu hanyalah palsu belaka, mengandung pamrih dan sama dengan penjilatan.
Orang tua yang mengharapkan anaknya berbakti atau membalas budi, bukanlah orang tua yang mencinta anaknya. Cintanya hanya cinta dagangan, dengan perhitungan untung rugi, memberi hutang dan menagih hutang berikut bunga-bunganya. Cintanya hanya berupa penanaman budi agar kelak dapat memetik buahnya. Cinta macam ini hanyalah cinta nafsu, yang berarti cinta kepada diri sendiri belaka, si anak hanya dijadikan jembatan untuk menikmati kesenangan dirinya sendiri. Karena itulah, maka cinta seperti ini baru dapat bertumbuh subur kalau si anak dapat menyenangkan hatinya, sebaliknya, begitu si anak tidak menyenangkan hatinya atau malah menyusahkan, cintanya menjadi kabur dan mungkin saja berobah menjadi kebencian. Dan untuk menjamin kesenangan yang hendak direguknya melalui diri si anak, orang tua tidak segan-segan untuk mempergunakan senjata
berupa sebutan hauw (kebaktian). Anak yang tidak menyenangkan hatinya disebut puthauw (tidak berbakti atau durhaka) dan pada umumnya di Tiongkok orang-orang paling takut disebut puthauw. Sebutan ini seperti semacam kutukan baginya.
Khong Cu menekankan pentingnya hauw (kebaktian) ini. Akan tetapi pelajaran beliau itu ditujukan untuk orang-orang dalam kedudukannya sebagai anak. Sayangnya, orang-orang dalam kedudukan sebagai anak tidak begitu memperhatikan pelajaran itu, sebaliknya kalau sudah menjadi orang tua, hendak mempergunakan pelajaran itu sebagai senjata agar anak-anak mereka berbakti kepadanya! Berbakti yang tentu saja berarti menyenangkan hatinya! Kita manusia ini memang ingin enaknya saja, dalam segala bidang, bahkan dalam bidang kerohanian atau agamapun, kita mau yang enaknya saja untuk diri kita.
Kalau di dalam batin orang tua dan anak terdapat cinta kasih, maka segala macam pelajaran tentang hauw, tentang penghormatan, tentang kelakuan baik dan sebagainya itu tidak dibutuhkan lagi! Cinta kasih merupakan landasan mutlak bagi semua tindakan, semua sikap dan perbuatan apapun. Cinta kasih merupakan sinar terang yang akan membuat segala perbuatan menjadi bersih dan suci, tanpa pura-pura, tanpa pamrih demi kesenangan diri sendiri, tanpa harapan untuk dibalas.
Suma Kian Lee adalah seorang pendekar besar, putera mendiang Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es. Numun, dia tetap hanya seorang manusia biasa dengan segala kelemahannya seperti juga kita dan kekeliruan dalam sikapnya terhadap anak-anaknya itu merupakan kekeliruan kita pada umumnya yang kita lakukan seperti dengan sendirinya dan tanpa disadari lagi. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata mempelajari batin kita sendiri, mengamati sikap kita terhadap keluarga, terhadap isteri, anak, orang tua, sahabat-sahabat, maka akan nampaklah dengan jelas segala kepalsuan yang terkandung di dalamnya!
"Hayo jawab, jangan diam saja!" Suma Kian Lee membentak, kemarahannya makin berkobar karena kedua orang anaknya diam saja. Melihat ayah mereka marah, Suma Hui dan Ciang Bun tidak berani berkata apa-apa. Mereka berdua sudah merasa salah, maka apa lagi yang hendak dikatakan? Akan tetapi, merekapun penasaran karena biarpun bersalah, mereka sama sekali tidak berniat untuk
menyusahkan hati orang tua mereka. Suma Hui pergi karena didorong oleh dendam sakit hatinya dan dia pergi untuk mencari musuh besarnya, sedangkan Suma Ciang Bun pergi karena selain hatinya sakit melihat betapa ayahnya telah mengangkat ahli waris ilmu silat keluarga mereka kepada orang lain juga ingin menyusul encinya. Mereka bersedia untuk ditegur dan dimarahi, akan tetapi mereka tidak mau minta ampun!
Melihat kemarahan Suma Kian Lee, tiba-tiba Tek Ciang yang sejak tadi mendengarkan tanpa mengeluarkan suara, lalu turun dari tempat duduknya dan menjatuhkan dirinya berlutut menghadap suhunya. "Suhu dan subo, sudilah kiranya suhu dan subo mengampunkan sumoi dan sute, mengingat bahwa usia mereka masih amat muda. Teecu mohon agar suhu dan subo bersabar dan sudi mengampuni mereka."
Suma Hui mengerutkan alisnya dan dengan sinar mata berapi ia memandang kepada pemuda itu, lalu terdengar ia membentak, "Louw-suheng, siapa membutuhkan pembelaanmu? Aku tidak ingin dikasihani dan sungguh engkau lancang mencampuri urusan orang!"
"Hui-ji....!" Suma Kian Lee bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada puterinya dengan mata bersinar-sinar.
"Tidak patut sekali sikapmu ini! Suhengmu telah memperlihatkan sikap yang amat baik, mintakan ampun untukmu dan engkau malah berani mengeluarkan ucapan yang kasar itu. Sungguh tak mengenal budi! Pula, dia adalah suhengmu dan calon suamimu!"
Kalau tadi ketika dimarahi ayahnya Suma Hui diam saja, kini mendengar ucapan ayahnya itu tiba-tiba ia membantah dengan suara yang cukup lantang. "Ayah, dia bukan calon suamiku!"
Suma Kian Lee terkejut juga mendengar bantahan yang lancang itu dan diam-diam Kim Hwee Li tersenyum dalam hatinya. Itulah puterinya dan ia bangga melihat sikap puterinya! Wanita ini memang paling tidak suka melihat kelemahan karena ia sendiri adalah seorang wanita yang keras hati dan penuh keberanian, kagum melihat kegagahan.
Akan tetapi Suma kian Lee mengerutkan alisnya dan sejenak dia beradu pandang mata dengan puterinya. "Bagus sekali! Apakah engkau sudah lupa akan janjimu sebelum engkau pergi? Engkau bilang bahwa engkau mau menjadi isteri Tek Ciang kalau dia dapat mengalahkanmu dalam ilmu silat. Nah, apakah engkau sekarang hendak menjilat ludah kembali seperti seorang pengecut?"
Suma Kian Lee sengaja menyentuh hal ini karena dia memang sudah mengenal watak puterinya. Suma Hui, seperti juga Kim Hwee Li, merupakan seorang gadis yang paling pantang dikatakan pengecut. Seorang wanita gagah seperti Suma Hui atau ibunya itu lebih baik mati daripada menjadi pengecut! Maka, mendengar ucapan ayahnya, Suma Hui meloncat bangun dari tempat duduknya dan memandang kepada Tek Ciang.
"Aku tidak akan mengingkari janjiku. Louw Tek Ciang, kalau engkau memang ada kepandaian, mari kaurobohkan aku!" Dara itu langsung menantang dengan suara geram, dan dalam kemarahannya ia tidak menyebut suheng kepada pemuda itu melainkan langsung menyebut namanya begitu saja. Wajah Tek Ciang berobah merah akan tetapi dia masih pandai bersikap merendah.
"Aih, sumoi, mana aku berani.. ..?"
"Ucapan seorang gagah tidak akan diingkarinya sendiri. Hui-ji sudah mengucapkan janjinya dan kini tantangannya. Hayo kalian selesaikan ketentuan urusan ini di lian-bu-thia!" kata Suma Kian Lee sambil melangkah menuju ke ruangan silat. Dengan langkah tegap dan muka merah karena marah Suma Hui melangkah mengikuti ayahnya. Barulah Tek Ciang melangkah perlahan dengan sikap ragu-ragu dan sungkan-sungkan. Di belakangnya, Kim Hwee Li dan Ciang Bun juga berjalan memasuki lian-bu-thia.
Ciang Bun yang melihat ayahnya membersihkan ruangan bermain silat itu, lalu membantunya. Ruangan itu cukup luas karena memang sengaja dibangun untuk berlatih silat dan kini Suma Hui sudah berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Setelah mengikatkan sabuknya lebih erat, dara ini berdiri dengan kedua kaki terpentang dan sikap menantang.
Sebaliknya, Tek Ciang bersikap hati-hati dan ragu-ragu. Dia melepaskan jubah luarnya dan ternyata di sebelah dalamnya, dia sudah siap dengan pakaian ringkas sekali dan dalam pakaian itu dia nampak gagah dan tampan. Pemuda ini memang pandai berdandan. Tentu saja diam-diam Ciang Bun mengharapkan encinya akan menang karena dia sendiripun tidak setuju kalau encinya menjadi isteri orang ini. Akan tetapi, Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li berpikir lain. Suami isteri ini tahu bahwa selama dua tahun menerima gemblengan, Tek Ciang telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Anak itu memang berbakat dan cerdik sehingga ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es dapat diserapnya dan dapat dilatihnya dengan baik. Bahkan dia telah mempelajari dua ilmu inti dari Pulau Es, yaitu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang. Walaupun kedua ilmu ini belum dapat dikuasainya dengan baik dan dia masih kurang latihan, namun dia sudah mampu mempergunakannya dan tenaganya cukup hebat! Tentu saja suami isteri pendekar ini sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa selain menerima gemblengan ilmu dari Suma Kian Lee, diam-diam Tek Ciang
juga menerima dan mempelajari ilmu-ilmu dari Jai-hwa Siauw-ok!
Suma Hui tidak mau membuang banyak waktu lagi. Begitu melihat Tek Ciang melangkah masuk ke ruangan dan menghampirinya, ia lalu mengeluarkan bentakan nyaring, "Lihat serangan!" dan tubuhnya sudah meluncur maju dan ia sudah mengirim serangan kilat yang cukup hebat.
Melihat datangnya serangan, Tek Ciang cepat mengelak. Akan tetapi, Suma Hui terus menghujankan serangan dan mainkan Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun (Silat Kapas Pencabut Nyawa). Ilmu silat ini diwarisi Suma Kian Lee dari mendiang Lulu, ibunya dan merupakan ilmu silat yang gerakan-gerakannya halus akan tetapi di balik kehalusan itu mengandung jurus-jurus mematikan. Tek Ciang sudah mempelajari ilmu silat ini, maka diapun dapat menghadapinya dan mengelak ke sana-sini sambil kadang-kadang menangkis.
Lewat tiga puluh jurus, Tek Ciang hanya menangkis dan mengelak saja tanpa pernah membalas. Akan tetapi diam-diam Suma Hui terkejut juga karena tenaga yang ia kerahkan dengan tenaga sin-kang Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, dapat ditangkis oleh pemuda itu dan ia merasa betapa lengan yang ditangkis menjadi tergetar dan agak nyeri, tanda bahwa tenaga pemuda tidak kalah kuat olehnya!
Suma Hui merasa penasaran dan iapun merobah-robah ilmu silatnya, namun ilmu silat apa pun yang dikeluarkannya, dapat dihadapi dengan baik oleh Tek Ciang. Hanya kadang-kadang saja, kalau sudah terlampau terdesak, Tek Ciang terpaksa membalas serangan, hanya untuk membuyarkan desakan Suma Hui saja.
"Tek Ciang, jangan main-main! Balas serang!" Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru, tidak sabar melihat ulah Tek Ciang yang banyak mengalah itu. Tek Ciang terkejut dan diapun tidak berani membantah, lalu mulailah dia balas menyerang. Suma Hui melindungi dirinya dan berusaha membalas, namun ternyata kini gerakan Tek Ciang cepat sekali sehingga ia tidak memperoleh waktu untuk membalas. Maka segera ia terdesak hebat oleh pemuda itu.
Agaknya Tek Ciang memang tidak mau mengalahkan Suma Hui, atau tidak ingin membuat malu gadis itu. Pemuda ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa Suma Hui masih belum mau tunduk kepadanya, maka diapun ingin menundukkan hati gadis itu dengan sikap baiknya. Kalau dia secara langsung mengalahkan gadis itu, mungkin gadis itu akan menjadi semakin penasaran dan bahkan mungkin akan membencinya. Maka, dia bersikap cerdik dan tidak mau terlalu mendesak, membiarkan pertandingan itu berjalan seru dan seimbang. Padahal, kalau dia mau, tidak terlalu sukar baginya untuk mengalahkan Suma Hui karena selain telah mewarisi ilmu keluarga gadis ini, juga dia telah digembleng oleh gurunya yang lain, yaitu Jai-hwa Siauw-ok yang juga lihai sekali. Memang Tek Ciang cerdik. Sikapnya yang banyak mengalah itu setadaknya telah membuat Suma Kian Lee semakin suka kepadanya. Bahkan seorang wanita yang amat cerdas seperti Kim Hwee Li juga kena diakali dan kini wanita ini tidak lagi begitu tidak suka kepada Tek Ciang yang selalu bersikap baik, jujur dan halus. Apalagi menyaksikan pertandingan ini, diam-diam Kim Hwee Li halus mengakui bahwa Tek Ciang benar-benar mengalah dan hal ini dianggapnya sebagai tanda cinta pemuda itu kepada Suma Hui. Ciang Bun sendiri menggigit bibir dan mengepal tinju, maklum bahwa tingkat kepandaian Tek Ciang kini sudah amat hebat, lebih tinggi daripada tingkat kepandaian encinya dan dia dapat menduga bahwa tentu encinya akan kalah dan akan terpaksa menjadi isteri Tek
Ciang.
Akan tetapi, tiba-tiba terjadi perobahan dalam perkelahian itu dan Kim Hwee Li mengeluarkan seruan tertahan. Tiba-tiba Suma Hui merobah gerakannya dan Tek Ciang nampak terkejut dan bingung, lalu berbalik terdesak! Kiranya kini gadis itu memainkan Ilmu Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Roh)! Ilmu ini adalah ilmu silat istimewa terdiri dari delapan jurus yang dimiliki Kim Hwee Li dan telah diturunkan kepada puterinya. Tentu saja Tek Ciang belum pernah mempelajari ilmu ini dan tidak mengherankan kalau dia merasa bingung karena ilmu itu, biarpun hanya delapan jurus banyaknya, akan tetapi merupakan ilmu silat tinggi pilihan. Kim Hwee Li memperoleh ilmu silat yang sakti itu dari mendiang Dewa Bongkok dari Gurun Pasir! Apalagi kini dimainkan oleh Suma Hui yang bersemangat penuh untuk merobohkan lawan. Tek Ciang terdesak mundur dan hampir saja terkena pukulan sampai dia terhuyung. Melihat betapa lihainya ilmu silat yang dimainkan Suma Hui, Tek Ciang tidak ingin kalah dan tiba-tiba diapun menggerakkan tubuh lebih cepat lagi, tangannya mencengkeram ke arah leher Suma Hui!
Suma Kian Lee sendiri sampai mengerutkan alisnya. Jurus apa yang dimainkan muridnya itu? Demikian keji dan tak tahu malu kalau dipergunakan menyerang lawan wanita. Tangan kanan Tek Ciang mencengkeram ke arah leher sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada! Juga Kini Hwee Li terkejut dan heran.
Akan tetapi, Tek Ciang yang tadi tanpa disadarinya memainkan jurus dari ilmu silat yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, segera tersadar ketika Suma Hui mengeluarkan seruan kaget. Betapa bodohnya dia, pikirnya dan cepat dia merobah gerakannya, kini menggunakan jurus dari Ilmu Silat Hong-in Bun-hwat melanjutkan cengkeramannya menjadi totokan dan tangan kanan yang tadi mencengkeram ke arah leher digerakkan ke atas dan tahu-tahu tusuk konde Suma Hui telah dapat dicabutnya!
"Hyaaaattt....!" Suma Hui marah sekali dan menendang. Akan tetapi sekali ini Tek Ciang memperlihatkan kelihaiannya. Dia tidak mengelak ke belakang menghadapi tendangan itu, sebaliknya dia malah maju dan memiringkan tubuh, tusuk kondenya dipakai menotok atau menusuk ke arah lutut yang menendang. Melihat ini, Suma Hui menahan tendangannya dan inilah yang dikehendaki Tek Ciang karena secepat kilat tangan kirinya menyambar ke depan dan.... sepatu kaki yang menendang itupun copot, terampas oleh tangan kiri Tek Ciang.
Suma Hui terbelalak dan menubruk ke depan, tangan kirinya dikepal menghantam dada lawan. Tek Ciang yang sudah berhasil merampas tusuk konde dan sepatu, yang berarti menang mutlak, menyambut pukulan ke dadanya itu sambil tersenyum dan tidak mengelak atau menangkis.
"Dukk....!" Tubuh Tek Ciang terjengkang dan ketika dia bangkit kembali, bibirnya berdarah. Agaknya, biarpun dia telah menggunakan sin-kang untuk menahan pukulan itu, tetap saja getaran pukulan membuat dia menderita sedikit luka di dalam tubuhnya. Akan tetapi dia tetap tersenyum dan menghampiri Suma Hui sambil berkata, "Engkau semakin lihai saja, sumoi. Maafkan aku!" Dan dia menyerahkan kembali sepatu dan tusuk konde Suma Hui menerimanya dengan renggutan, lalu mengenakan sepatunya.
"Hui-ji, apakah engkau masih tidak mau mengaku menang?" Suma Kian Lee menegur puterinya. Suma Hui bukan anak kecil, bukan pula bodoh. Sepatu dan tusuk kondenya terampas lawan, itu berarti kalah mutlak. Iapun tahu bahwa pukulannya yang mengenai dada Tek Ciang tadi adalah pukulan yang sengaja diterima pemuda itu untuk "memberi muka " kepadanya.
"Sudahlah, aku mengaku kalah!" katanya dengan suara lirih.
"Dan engkau tidak mengingkari janji, mau berjodoh dengannya?" ayahnya mendesak.
"Terserah kepada ayah sajalah, aku hanya mentaati ayah." Setelah berkata demikian, tanpa menoleh kepada Tek Ciang, Suma Hui lalu lari meninggalkan ruangan itu, langsung masuk ke kamarnya dan membanting tubuhnya di atas pembaringannya lalu menangis terisak-isak, menutupi muka dengan bantal untuk menyembunyikan tangisnya. "Enci...."
Suara halus Ciang Bun dan sentuhan lembut pada pundaknya membuat Suma Hui semakin terharu dan tangisnya semakin mengguguk. Ciang Bun duduk dengan muka pucat dan alis berkerut, membiarkan encinya menangis sepuasnya. Setelah encinya dapat menenangkan hatinya, diapun berbisik.
"Enci Hui, kalau engkau tidak suka menjadi jodohnya, jangan memaksa diri. Tolak saja, jangan mau!" Ciang Bun berkata penasaran dan merasa kasihan sekali kepada encinya.
Suma Hui bangkit duduk dan menarik napas panjang. Setelah isaknya terhenti dan ia dapat menguasai kembali hatinya, ia berkata, "Adikku, sekali ini tidak mungkin aku mengelak. Mau tidak mau aku harus mentaati perintah ayah dan rela menjadi isteri Louw Tek Ciang."
"Hemm, mengapa begitu, enci? Apakah alasanmu?"
"Pertama, sudah banyak aku membikin susah hati ayah dan ibu dan aku tidak mau lagi mengulanginya. Ke dua, aku tidak mau kalau sampai orang tuaku melanggar janji kepada keluarga Tek Ciang. Ke tiga, aku sendiri mana sudi menjilat ludah, aku harus berani mempertanggungjawabkan semuanya dan memenuhi janjiku. Ke empat, aku sudah tidak mempunyai ikatan hati dengan siapapun, engkau tahu betapa benciku sekarang kepada orang yang pernah kucinta. Ke lima, aku bisa minta bantuan Tek Ciang dalam menghadapi si keparat Cin Liong karena sekarang ilmu kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan hebat. Dan ke enam, melihat sikapnya tadi, betapa dia mengalah, harus diakui bahwa sesungguhnya Tek Ciang berhati baik."
Ciang Bun mengangguk-angguk. "Terlalu baik, dia itu.... terlalu baik....!"
******
Pesta pernikahan yang diadakan tiga bulan kemudian di rumah pendekar Suma Kian Lee di Thian-cin itu amat meriah. Pestanya sendiri sederhana saja karena keluarga ini bukan keluarga kaya, akan tetapi karena nama besar pendekar Suma Kian Lee sudah amat terkenal, apalagi sebagai keturunan keluarga pendekar Pulau Es, maka banyaknya para tamu yang datang membuat perayaan itu menjadi meriah dan megah. Bukan hanya para pendekar di dunia kang-ouw yang membanjiri perayaan itu di samping para pembesar, akan tetapi bahkan tokoh-tokoh dunia hitam ada pula yang muncul sebagai tamu karena menghormati keluarga Pulau Es. Dan sebagian besar yang datang itu tidak menanti undangan. Orang kang-ouw yang mendengar bahwa keluarga Suma mempunyai kerja, merasa tertarik dan datang begitu saja sebagai tamu tak diundang! Akan tetapi, Suma Kian Lee sekeluarga menerima kedatangan semua tamu tanpa pandang bulu, menyambut mereka dengan sikap hormat dan tidak membeda-bedakan.
Perayaan itu menjadi amat meriah karena kesempatan itu dipergunakan oleh para pendekar Pulau Es untuk berkumpul. Bertemulah semua keluarga mendiang Pendekar Super Sakti di rumah Suma Kian Lee di Thian-cin dan tentu saja pertemuan keluarga ini mendatangkan suasana gembira dan juga terharu. Mereka bergembira karena dapat memperoleh kesempatan saling bertemu dan berkumpul sekeluarga besar, dan mereka terharu karena mereka bersama kehilangan orang tua yang mereka hormati dan sayang, yaitu Pendekar SuperSakti dan kedua orang isterinya yang tewas di Pulau Es, hanya disaksikan oleh tiga orang cucu Pendekar Super Sakti, yaitu Suma Hui yang kini menikah, Suma Ciang Bun dan Suma Ceng Liong yang pada kesempatan itu belum juga pulang!
Kakak kandung Suma Kian Bu, yaitu satu-satunya puteri Pendekar Super Sakti yang bernama Milana, tidak dapat datang. Puteri Milana dan suaminya kini telah menjauhi keramaian dunia dan bertapa di puncak Beng-san yang bernama Puncak Telaga Warna. Akan tetapi suami isteri yang tidak lagi mau berurusan dengan keramaian dunia ini telah diwakili oleh putera kembar mereka, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Seperti telah diceritakan dalam kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN, pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana, hanya mempunyai sepasang anak kembar itu. Pada waktu mereka berdua datang berkunjung ke dalam pesta pernikahan Suma Hui, usia mereka sudah kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi keduanya masih belum menikah! Agaknya ada keistimewaan pada sepasang pendekar kembar ini, yaitu mereka agaknya tidak rela kalau saudaranya menikah dengan wanita lain! Padahal, agaknya sukar dilaksanakan kalau mereka harus menikah hanya seorang isteri saja. Persoalan sepasang pendekar kembar inilah yang membuat suami isteri Gak Bun Beng menjadi kecewa dan mereka lebih banyak mengasingkan diri di puncak Gunung Telaga Warna. Adapun dua orang pendekar kembar itu sendiripun agaknya sudah putus asa untuk mendapatkan jodoh yang cocok.
Suma Kian Bu dan isterinya juga hadir. Sepasang suami isteri pendekar inipun berada dalam keadaan yang tidak begitu gembira, bahkan mereka menahan dan menyembunyikan kegelisahan hati mereka. Sampai sekian lamanya mereka belum berhasil menemukan kembali putera mereka, yaitu Suma Ceng Liong, walaupun keduanya sudah mengikuti jejak Hek-i Mo-ong sampai jauh ke barat dan kemudian kehilangan jejak orang itu di Pegunungan Himalaya! Suma Kian Bu dan isterinya tentu saja merasa heran melihat bahwa Suma Hui menikah dengan seorang pemuda yang menjadi murid Kian Lee, padahal mereka pernah melihat hubungan asmara antara Suma Hui dengan Kao Cin Liong yang masih terhitung keponakan sendiri dari Suma Hui. Akan tetapi tentu saja mereka menekan keheranan mereka ini dan tidak berani bertanya, takut kalau-kalau menyinggung.
Keluarga Kao Kok Cu tidak muncul. Tentu saja mereka yang juga mendengar tentang pernikahan itu merasa canggung dan tidak enak untuk muncul setelah pinangan mereka terhadap diri Suma Hui ditolak, bahkan setelah terjadi keributan dengan adanya tuduhan bahwa putera mereka, Kao Cin Liong, telah memperkosa Suma Hui. Sejak itu, ada ganjalan mendalam di antara kedua keluarga ini dan bagaimanapun juga, tidak mungkin Kao Kok Cu dan isterinya berani datang berkunjung sebagai tamu.
Di antara para tokoh pendekar yang kenamaan, yang hadir dalam perayaan pernikahan itu, nampak pula seorang pendekar tua yang gagah perkasa, wajahnya tampan, sikapnya ramah dan simpatik dan semua orang yang berada di situ memandang ketika rombongan tamu ini datang memasuki ruangan. Dia adalah Bu-taihiap, seorang pendekar kenamaan berusia lima puluh delapan tahun, namun masih nampak gagah, diiringkan tiga orang wanita cantik yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Tiga orang wanita cantik ini adalah isteri-isterinya dan pendekar bernama Bu Seng Kin itu memang terkenal sebagai seorang pria romantis yang semenjak muda dicinta banyak wanita dan bahkan mempunyai isteri di mana-mana! Tiga orang isterinya itupun bukan wanita sembarangan. Yang tertua, berusia lima puluh satu tahun, adalah seorang puteri peranakan Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal, ilmu silat dan ilmn perangnya cukup hebat dan namanya terkenal sebagai Puteri Nandini. Yang ke dua, berusia empat puluh delapan tahun, masih nampak cantik manis, adalah seorang wanita berpakaian nikouw akan tetapi memelihara rambut dan iapun menjadi isteri pendekar petualang asmara itu, bernama Ga Cui Bi. Yang ke tiga, mungkin yang paling lihai di antara tiga orang isteri itu, juga termuda, dua tiga tahun lebih muda daripada nikouw itu, adalah seorang wanita cantik genit bernama Tan Cun Ciu yang
berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa).
Dia sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu silat amat tinggi, jarang dapat ditemukan tandingan, masih ada tiga orang isterinya yang kesemuanya lihai-lihai selalu berada di sampingnya! Tentu saja jarang ada pihak yang berani mengganggu keluarga jagoan ini. Masih banyak sekali tamu yang terdiri dari orang-orang kenamaan. Bahkan Kaisar Kian Liong sendiri mengirim utusan pribadi dan mengirim sumbangan, suatu kehormatan yang besar sekali! Maka, suasana pesta pernikahan itu menjadi meriah, megah dan gembira sekali. Suma Kian Lee dan isterinya sibuk menyambut dan melayani para tamu, menerima ucapan-ucapan selamat dan mereka merasa gembira bukan main. Tak mereka sangka bahwa pernikahan puteri mereka yang diawali dengan hal-hal amat menggelisahkan itu kini dapat berlangsung dengan lancar. Suma Hui sendiripun tidak banyak rewel, dan memang gadis ini benar-benar telah menyerahkan kesemuanya kepada ayahnya tanpa membantah. Agaknya sudah bulat tekadnya yang bertujuan satu, ialah, mengajak suaminya untuk membantunya membalas dendam dan membunuh Kao Cin Liong kelak! Untuk itu ia siap mengorbankan diri dan hati dan akan menerima nasib menjadi isteri Louw Tek Ciang! Baginya toh sama saja menjadi isteri siapapun, hanya pada diri Louw Tek Ciang ia dapat mengharapkan bantuan menghadapi Cin Liong. Dan bagaimanapun juga, Tek Ciang adalah suhengnya sendiri dan sudah dipercaya oleh ayahnya. Ia boleh salah pilih, akan tetapi agaknya ayahnya cukup teliti sehingga tidak akan salah memilihkan suami untuknya. Dengan pikiran ini, Suma Hui dapat melaksanakan segala upacara pernikahan itu dengan tenang dan diam saja. Tidak nampak senyum di wajahnya, juga tidak nampak duka. Ia hanya menunduk dan menutup semua panca indera terhadap hal lain, dan mengikuti upacara secara membuta saja.
Kiranya hanya Ciang Bun seorang yang dapat menyelami hati encinya. Pemuda yang halus perasaan ini mengerti sepenuhnya bahwa encinya itu bagaimanapun juga masih mencinta Cin Liong dan bahwa encinya melaksanakan pernikahan itu dengan memaksakan diri. Dia dapat membayangkan betapa hancur hati encinya dan diam-diam diapun merasa menyesal dan berjanji dalam hatinya untuk kelak menegur dan membalas dendam kepada Cin Liong yang dianggapnya tidak bertanggung jawab dan telah menghancurkan kebahagiaan hidup encinya.
Perayaan pernikahan itu berjalan lancar sampai selesai. Meriah dan tidak terjadi sesuatu yang tidak baik, seperti yang sering terjadi dalam perayaan di rumah seorang pendekar. Agaknya, hadirnya para pendekar gagah membuat kaum pengacau menjadi gentar dan tidak ada yang berani mencoba-coba. Setelah semua tamu bubaran, Suma Kian Bu dan isterinya juga berpamit karena mereka hendak kembali ke rumah mereka yang sudah terlalu lama mereka tinggalkan dalam usaha mereka mencari Ceng Liong. Sepasang pendekar kembar she Gok juga berpamit dari paman mereka. Tinggallah kini keluarga tuan rumah yang mempunyai kerja. Seperti biasa pada semua keluarga yang mempunyai kerja, di waktu pesta terlaksana tidak terasa apa-apa, akan tetapi begitu pesta selesai, terasalah betapa lelahnya badan! Keluarga itu menyerahkan semua pemberesan perabot-perabot dan pembersihan tempat kepada tenaga-tenaga bantuan, dan mereka sendiri sore-sore telah memasuki kamar masing-masing. Juga sepasang pengantin sudah memasuki kamar mereka.
Malam itu sungguh sunyi setelah pada siang harinya tempat itu demikian meriah dikunjungi banyak orang. Tidak terdengar suara berisik, bahkan para tenaga bantuan yang masih bekerja membersihkan tempat, bekerja dengan hati-hati dan tidak berani berisik. Setelah hari gelap benar, merekapun menghentikan pekerjaan mereka dan mengaso di bagian belakang rumah keluarga Suma itu. Suma Kian Lee dan isterinya telah merebahkan diri beristirahat. Ciang Bun bergulingan gelisah di atas tempat tidurnya. Tak dapat dia melepaskan pikirannya dari membayangkan keadaan encinya. Dia menjadi gelisah dan sedih.
Sementara itu, di dalam kamar pengantin sendiri, sepasang pengantin sudah bertukar pakaian. Suma Hui duduk termenung di atas kursi. Kamar yang terhias indah itu, dengan bau semerbak harum kamar pengantin, seperti tidak dirasakannya. Ia merasa seperti ada kelumpuhan di dalam batinnya, dan kadang-kadang ia tersentak kaget dan memejamkan mata membayangkan orang yang juga berada di kamar ini, yang kini menjadi suaminya dan yang harus dilayaninya! Ngeri ia membayangkan semua itu, akan tetapi ia maklum bahwa bagaimanapun juga, ia harus taat! Tek Ciang sendiri nampak gugup dan canggung. Pengantin pria inipun sudah berganti pakaian yang longgar, pakaian dari sutera biru yang membuat dia nampak tampan.
Ketika Tek Ciang menghampirinya dan menyentuh pundaknya, Suma Hui merasa tubuhnya seperti dimasuki ratusan ekor semut yang membuatnya gemetar dan bulu tengkuknya meremang. Mengerikan, pikirnya. Akan tetapi ia adalah seorang wanita pendekar, seorang gagah yang tidak akan mengingkari janji. Apapun yang terjadi, ia sudah menyerah dan ia harus mempertanggungjawabkan semua itu.
"Hui-moi.... Hui-moi...." terdengar suara Tek Ciang, suara yang kedengaran aneh bagi telinga Suma Hui. Biasanya, kalau memanggilnya sumoi dan kalau bicara kepadanya, di dalam suara Tek Ciang mengandung suara halus merayu dan juga perendahan diri. Kini, suara itu selain mengandung rayuan juga kekuasaan! Maka aneh kedengarannya. Namun ia menoleh dan menjawab lirih, "Ada apakah?"
Tentu saja jawaban ini membuat Tek Ciang menjadi agak gugup. Dia bukan orang yang tidak biasa berdekatan dengan wanita. Banyak sudah dia mendekati wanita dan berhubungan dengan wanita, yang dilakukan secara diam-diam selama ini. Akan tetapi, dia harus mengakui bahwa berdekatan dengan Suma Hui ini lain lagi, ada sesuatu yang membuatnya merasa agak gentar. Tadi, panggilannya sudah jelas maknanya, panggilan seorang suami untuk isterinya, seorang pengantin pria kepada mempelainya, yang bernada rayuan, tuntutan atau pembuka jalan. Akan tetapi, isterinya itu langsung bertanya terang-terangan ada keperluan apa, maka tentu saja dia menjadi canggung.
Diapun membelai tangan Suma Hui yang dipegangnya. Tangan yang memiliki jari-jari tangan kecil runcing dan berkulit halus, akan tetapi agak dingin dan Tek Ciang tahu betapa berbahayanya jari-jari tangan berkulit halus ini! Suma Hui mendiamkan saja ketika tangannya dibelai, hanya jantungnya berdebar demikian kencangnya sampai kedua telinganya dapat mendengar detak jantungnya sendiri.
"Moi-moi, engkau tentu lelah. Mari kita mengaso di pembaringan...."
Suma Hui melirik ke arah lilin di atas meja, lalu bangkit berdiri dan berkata lirih seperti berbisik, "Padamkan dulu lilinnya. ..."
Tek Ciang tersenyum gembira, melepaskan tangan itu dan menghampiri meja. Sementara itu, Suma Hui mendahuluinya menuju ke pembaringan dan segera menyingkap kelambu dan naik ke atas pembaringan yang berbau harum itu. Detak jantungnya makin menghebat. Lilin padam dan kamar itu hanya remang-remang saja, mendapat sedikit penerangan yang menerobos masuk melalui celah-celah atas jendela dari luar. Detak jantung di dalam dada Suma Hui hampir disusul jerit yang ditahan ketika ia merasa betapa Tek Ciang naik ke atas pembaringan pula dan merangkulnya, menindihnya dan menggelutinya, menciumi seluruh mukanya, matanya, pipinya, hidungnya dan mengecup bibirnya. Akan tetapi ia tidak mengelak, tidak menolak, tidak pula menyambut, hanya diam saja bergumul dengan perasaan hatinya sendiri. Hatinya ingin menolak, akan tetapi dengan kekerasan kemauan ia melumpuhkan keinginan hatinya sendiri dan menyerah saja, bahkan memejamkan matanya, hanya merasakan apa yang diperbuat oleh Tek Ciang atas dirinya.
"Moi-moi.... ah, Hui-moi.... akhirnya engkau menjadi isteriku.... ah, betapa aku cinta padamu...." Dengan bisikan tersendat-sendat dan jari-jari tangan gemetar Tek Ciang menggeluti isterinya.
Tiba-tiba terdengar jerit melengking keluar dari mulut Suma Hui. Tanpa disengaja tangannya meraba punggung suaminya yang tidak berpakaian lagi itu dan jari tangannya meraba benjolan daging di punggung kiri. Tonjolan daging sebesar telur burung yang ditumbuhi rambut!
"Engkau....!" Dan iapun menghantamkan tangannya ke arah kepala suaminya! Tek Ciang kaget setengah mati. Akan tetapi dia masih
sempat menggulingkan tubuhnya dari atas pembaringan sehingga terhindar dari hantaman maut.
"Hui-moi, ada apakah....?"
"Keparat jahanam! Kiranya engkau malah orangnya....?" Suma Hui menjerit sambil menangis dan cepat membereskan kembali pakaiannya yang tadi sudah hampir tertanggal seluruhnya oleh jari-jari tangan Tek Ciang. Tek Ciang sendiri dalam kekagetannya cepat membereskan pakaiannya sendiri, lalu menyalakan lilin. Kamar itu menjadi terang kembali dan Suma Hui meloncat turun dari atas pembaringan, menghadapi suaminya dengan sepasang mata berapi-api walaupun ada air mata menetes-netes turun.
"Engkau....!" Telunjuknya menuding ke arah muka Tek Ciang yang memandang dengan mata terbelalak. "Engkaulah orangnya! Jahanam terkutuk, engkaulah orangnya yang telah memperkosaku dahulu!" Setelah berkata demikian, dengan kemarahan meluap Suma Hui menerjang ke depan dan menyerang dengan sekuat tenaganya, menghantam ke arah dada Tek Ciang dengan tangan terbuka. Akan tetapi Tek Ciang mengelak dan meloncat ke belakang.
"Hui-moi, apa yang kaukatakan ini....? Sudah jelas perbuatan terkutuk itu dilakukan oleh Kao Cin Liong...."
"Tutup mulutmu yang busuk! Baru sekarang aku mengerti! Ternyata engkau adalah seekor ular busuk yang amat jahat, khianat, curang dan pengecut! Engkaulah yang melakukan perbuatan terkutuk itu, dan engkau menimpakan kesalahan kepada orang lain! Tak perlu menyangkal, daging menonjol dan berambut yang tumbuh di punggungmu itulah saksinya." Suma Hui menyerang lagi dengan sengit.
"Kau salah sangka...." Tek Ciang membela diri akan tetapi suaranya gemetar dan lemah karena dia kehabisan akal setelah rahasianya terbuka. Dia merasa menyesal sekali mengapa di punggungnya tumbuh daging jadi itu, dan mengapa pula sampai Suma Hui mengetahui tentang tonjolan daging itu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa dahulu ketika dia memperkosa Suma Hui, biarpun gadis itu berada dalam keadaan terbius, namun Suma Hui masih setengah sadar ketika tangannya bergerak dan jari-jari tangannya menyentuh punggung yang telanjang dan bertemu dengan tonjolan daging berambut itu. Dia menyimpan rahasia itu di dalam hatinya. Hanya itulah satu-satunya tanda yang dikenalnya dari tubuh pemerkosanya. Sungguh tak pernah dia mengira bahwa yang
punggungnya menonjol itu adalah Tek Ciang!
Suma Hui menyerang dengan beringas dan kini Tek Ciang juga berusaha untuk menundukkan. Pria ini maklum bahwa rahasianya sudah terbuka dan dia hendak menundukkan Suma Hui melalui kekerasan. Maka, sambil mengelak diapun balas menyerang dan sebuah tendangan mengenai paha Suma Hui, membuat wanita ini terguling.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara keras dan daun pintu jebol. Muncullah Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li. Suami isteri ini terkejut sekali mendengar suara gaduh di kamar pengantin dan ketika mereka keluar dari kamar menghampiri kamar pengantin, mereka mendengar perkelahian itu, bahkan mereka sempat mendengarkan kata-kata Suma Hui yang terakhir tadi yang membuat mereka terkejut setengah mati. Ketika perkelahian menghebat, Suma Kian Lee tidak sabar lagi dan sekali dorong robohlah daun pintu.
Mereka melihat Suma Hui baru merangkak hendak bangkit dan Louw Tek Ciang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.
"Apa yang telah terjadi?" Suma Kian Lee bertanya, suaranya marah, penuh selidik.
"Hui-ji, apa artinya kata-katamu tentang pemerkosaan dan daging tumbuh di punggung tadi?" Kim Hwee Li juga bertanya.
Tendangan tadi tidak mendatangkan luka berat, akan tetapi tetap saja Suma Hui melangkah dengan terpincang-pincang menghampiri ibunya. Air matanya bercucuran.
"Ibu.. .. ayah.... dia.... dialah.... iblis terkutuk yang dahulu memperkosaku! Buktinya adalah tonjolan daging berambut di
punggungnya.... dahulu aku mengetahui tanda itu secara tidak disengaja dan tadi.... tadipun hanya kebetulan saja. ... dialah
jahanam busuk itu!"
"Aihhhh....!" Kim Hwee Li menjerit.
"Hahhh.. ..?" Suma Kian Lee juga berteriak kaget dan dia lalu melangkah maju menghampiri muridnya. Tek Ciang menjadi semakin pucat dan dia sudah melirik ke arah jendela dan pintu, seperti tikus tersudut hendak mencari jalan keluar untuk melarikan diri.
"Tek Ciang! Apa artinya ini? Benarkah apa yang diceritakan Hui-ji?" Suma Kian Lee bertanya ragu karena dia belum mau percaya begitu saja akan hal yang demikian jauh berlawanan dengan perkiraan dan harapan hatinya.
"Ti.... tidak.... suhu...." Jawab Tek Ciang gugup dan suaranya gemetar.
"Kalau tidak, buka bajumu dan perlihatkan kepada kami apakah benar ada tonjolan daging jadi di punggungmu!" Kim Hwee Li membentak dan kini wanita yang ccrdik itupun sudah dapat menduga dan membayangkan apa yang dahulu telah terjadi. Suma Kian Lee hanya berdiri terbelalak, sampai tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking hehatnya perasaan memenuhi hatinya. Marah, heran, ragu-ragu, menyesal dan malu bercampur aduk menjadi satu. Dialah yang setengah memaksakan terikatnya perjodohan antara puteri tunggalnya dan Tek Ciang, bahkan dia telah mengangkat Tek Ciang menjadi murid utama, murid yang mewarisi ilmu-ilmu keluarga Pulau Es dan kini, ternyata pemuda ini yang telah memperkosa Suma Hui! Tentu saja sukar baginya untuk dapat menerima kenyataan ini.
"Ayah, aku sekarang mengerti semuanya!" Suma Hui berteriak lantang. "Ayahnya telah tewas karena bersama penjahat bayaran bermaksud membunuh Cin Liong, dan penyerangan itu tentu dilakukan karena mereka ingin menyingkirkan Cin Liong yang dianggap menghalangi niatnya untuk menarik kita sebagai keluarga. Keparat ini mendendam kepada Cin Liong atas kematian ayahnya maka dia merencanakan perbuatan terkutuk itu dengan mempergunakan nama Cin Liong untuk memfitnah. Cin Liong kita musuhi sedangkan dia sendiri, si keparat busuk ini, tampil sebagai pahlawan yang membela nama baik keluarga kita! Dia memperoleh keuntungan ganda. Dapat membalas dendam kepada Cin Liong dengan fitnah itu, dapat menguasai diriku, dan dapat mewarisi ilmu keturunan keluarga kita, ayah...."
"Louw Tek Ciang! Jawablah dan coba sangkal semua itu dengan penjelasan yang tepat kalau memang engkau bukan seorang iblis terkutuk seperti yang digambarkan oleh Hui-ji!" Suma Kian Lee membentak dan mukanya berobah merah sekali.
"Suhu, teecu...." Tek Ciang berkata gagap karena memang apa yang dikatakan Suma Hui itu tepat sekali, menelanjangi seluruh perbuatannya sehingga dia tidak dapat menyangkal lagi.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara ketawa seorang laki-laki. "Ha-ha-ha, Tek Ciang, apakah engkau bukan laki-laki lagi yang
tidak berani menghadapi semua ini?"
Mendengar suara yang amat dikenalnya ini, suara Jai-hwa Siauw-ok, gurunya yang lain, guru rahasia, wajah Tek Ciang menjadi cerah. Datangnya bantuan ini sungguh di waktu yang tepat sekali. Dia mengangkat dadanya dan berkata, "Suhu, semua itu benar dan setelah sekarang aku menjadi suami Hui-moi...."
"Jahanam!" Suma Kian Lee sudah menubruk maju dan melakukan pukulan maut dengan tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Angin keras yang amat panas menyambar ke depan. Tek Ciang tentu saja mengenal pukulan ini dan tahu betapa hebat dan berbahayanya serangan gurunya. Akan tetapi karena hatinya sudah menjadi besar dengan datangnya Jai-hwa Siauw-ok, diapun mengerahkan tenaganya dan sambil mengelak, diapun menangkis, mengerahkan tenaga sambil membongkokkan tubuhnya dan ketika lengannya menangkis, terdengar suara aneh seperti suara katak dari perutnya.
"Desss. ...!" Tubuh Tek Ciang terhuyung, akan tetapi dengan menggulingkan tubuhnya, dia dapat meloncat bangkit kembali. Suma Kian Lee terbelalak. Tenaga tangkisan itu tadi cukup kuat dan bukan dari ilmu keluarganya, melainkan ilmu aneh yang mirip Ilmu Hoa-mo-kang atau Ilmu Katak Buduk. Memang dugaannya benar. Ketika menangkis tadi, Tek Ciang mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, untuk menyatakan bahwa mulai saat itu dia adalah lawan keluarga Suma, pula kalau dia mengeluarkan Hwi-yang Sin-ciang pula, jelas dia kalah kuat oleh gurunya.
Kim Hwee Li dan Suma Hui sudah menerjang maju pula, akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan dari luar, "Tek Ciang, keluarlah!"
Tek Ciang menggerakkan tangan, melemparkan sesuatu ke tengah kamar itu. Terdengar bunyi ledakan keras dan asap memenuhi kamar. "Awas asap beracun!" teriak Suma Kian Lee untuk memperingatkan anak isterinya dan dia sendiri cepat melompat ke arah jendela darimana tadi dia melihat tubuh Tek Ciang berkelebat keluar. Setibanya di luar, dia melihat pemuda itu telah meloncat ke atas genteng dan di atas wuwungan telah berdiri seorang laki-laki yang berusia lima puluh tahun lebih, berpakaian indah pesolek dan wajahnya ganteng. "Iblis busuk, jangan lari!" Suma Kian Lee yang kini merasa marah bukan main itu kembali menyerang Tek Ciang. Serangannya lebih hebat daripada tadi karena dia menggunakan kedua tangan menyerang secara beruntun, tangan kanan mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan tangan kiri menghantam dengan pengerahan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang yang amat dingin. Pendekar ini, walaupun belum mampu menggabungkan kedua tenaga yang berlawanan intinya itu, ternyata kini sudah sedemikian mahirnya untuk mempergunakannya secara beruntun dengan kedua tangan. Tentu saja Tek Ciang menjadi gentar. Dia maklum akan kehebatan gurunya ini, dan dia sendiri walaupun sudah mempelajari kedua ilmu mujijat itu, namun latihannya belum matang dan tentu saja dia belum mampu mempergunakannya secara berbareng pada kedua lengannya.
Melihat serangan hebat ditujukan kepada muridnya, Jai-hwa Siauw-ok mendengus dan berkata, "Mana ada murid dibunuh gurunya sendiri?" Dan diapun melangkah maju menangkis dari kiri sedangkan Tek Ciang menangkis dari kanan.
"Dess! Desss!" Kedua orang itu menangkis dua macam pukulan dan Tek Ciang yang menangkis pukulan Swat-im Sin-ciang itu merasa tubuhnya kedinginan dan dia terhuyung ke belakang. Akan tetapi, tangkisan Jai-hwa Siauw-ok membuat dia dan Suma Kian Lee melangkah mundur, tanda bahwa kekuatan mereka berimbang.
"Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan antara guru dan murid?" bentak Suma Kian Lee, terkejut melihat bahwa orang ini lihai pula.
"Ha-ha, dia muridku, tentu saja kubela dia," kata Jai-hwa Siauw-ok sambil membalas serangan lawan. Kedua tangannya bergerak, jari-jari tangan terbuka dan terdengar suara bercicitan ketika jari-jari tangan itu meluncur cepat sekali mendatangkan hawa dingin.
"Cuiiiittt....!" Jari tangan Jai-hwa Siauw-ok kembali menyambar ke arah dada Suma Kian Lee dan pada saat itu, Tek Ciang juga menyerangnya dengan pukulan Toat-beng Bian-kun!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Suma Kian Lee melihat muridnya sendiri berani menyerangnya dengan pukulan maut. Bahkan mengeroyoknya bersama seorang tokoh jahat, dan menggunakan ilmu keluarga Pulau Es untuk menghantamnya.
"Iblis murtad!" bentaknya dan dia menyambut pukulan Tek Ciang dengan pengerahan tenaga untuk merobohkan murid itu. Akan tetapi, sambaran jari tangan Jai-hwa Siauw-ok sudah tiba dan biarpun Kian Lee mengelak dan membatalkan niatnya merobohkan Tek Ciang, melainkan hanya menangkis serangan pemuda itu, tetap saja jari tangan Jai-hwa Siauw-ok menyerempet bajunya.
"Brettt....!" Dan baju di dada Kian Lee terobek, kulitnya tergurat sehingga terasa perih seperti tergurat pedang. Dia terkejut dan maklum bahwa itu adalah ilmu yang disebut Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat lihai.
Pada saat itu, Suma Hui dan Kim Hwee Li berlompatan naik ke atas genteng. Ketika Suma Hui melihat kakek pesolek itu, ia terkejut dan membentak, "Jai-hwa Siauw-ok manusia iblis! Engkau datang mengantar kematian!"
Suma Hui sudah menerjang ke depan membantu ayahnya, juga Kim Hwee Li yang melihat bahwa lawan suaminya seorang lihai, cepat membantu suaminya. Kian Lee dan isterinya terkejut mendengar bentakan puteri mereka itu. Baru mereka tahu bahwa yang datang membantu Tek Ciang adalah datuk sesat yang pernah menculik dan melarikan Suma Hui itu.
Marahlah hati Kian Lee. Kini makin jelas baginya. Kiranya sejak dahulu, Tek Ciang adalah seorang yang palsu, dan diam-diam mengelabuhinya, dengan sikap pura-pura baik, sehingga bukan hanya berhasil mempelajari ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga malah berhasil memperisteri Suma Hui setelah memperkosanya! Berhasil pula mengadu domba antara keluarganya dan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir!
"Bedebah!" bentaknya dan dia bersama isteri dan puterinya mengamuk. Melihat keluarga yang lihai itu sudah keluar semua karena kini nampak pula bayangan Ciang Bun membawa pedang, Jai-hwa Siauw-ok berseru. "Tek Ciang, mari kita pergi!"
Guru dan murid itu menggerakkan tangan dan terdengar ledakan-ledakan diikuti asap tebal ketika mereka membanting benda-benda bulat ke atas wuwungan. Di dalam kegelapan asap tebal ini merekapun menghilang. Kian Lee, Hwee Li, Suma Hui dan Ciang Bun berusaha untuk melakukan pengejaran, akan tetapi malam gelap telah menelan dua orang itu.
"Jangan kejar secara terpisah, mereka itu berbahaya." Kian Lee memperingatkan sehingga dengan mengejar berkelompok, mereka tidak berhasil dan akhirnya terpaksa kembali ke rumah mereka.
Suma Hui menangis dalam rangkulan ibunya. "Uhh, ibu.. .. aku berdosa besar sekali.... aku telah memaki, menghina dan membenci Cin Liong.. .. padahal dia sama sekali tidak berdosa.... ah, ibuuu...." Ingin rasanya Suma Hui menjerit-jerit ketika ia membayangkan pemuda yang dicintanya itu. Dapat dibayangkan betapa sakit dan sengsaranya hati Cin Liong dan betapa sakit pula hati orang tuanya menerima tuduhan yang keji itu. Ibunya hanya dapat merangkul dan menciuminya dengan hati penuh iba.
Suma Kian Lee duduk di atas kursi, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Perasaan menyesal yang amat hebat seperti gelombang menyeretnya, dan di antara celah-celah jari tangannya ada beberapa tetes air. Terdengar suaranya penuh getaran dan tubuhnya menggigil ketika dia bicara dari balik kedua telapak tangan yang menutupi mukanya.
"Aku.... aku telah merusak anak sendiri.... aku telah mengkhianati ilmu keluarga sendiri.... aku telah berdosa terhadap keluarga Kao.... ah, orang bodoh macam aku layak mati.... layak mati....!" Pendekar ini mengeluh panjang dan tubuhnya lalu terguling.
"Ayaaahhh....!" Ciang Bun menubruk dan merangkul sehingga tubuh ayahnya tidak sampai terguling jatuh. Ternyata pendekar itu telah roboh pingsan saking hebatnya guncangan batin yang dideritanya.
Kim Hwee Li menjerit dan melepaskan rangkulan pada puterinya, kemudian menubruk suaminya sambil menangis dan mengguncang-guncang pundak suaminya yang pingsan itu. Setelah dipijat bagian leher dan bawah lengannya, Kian Lee siuman kembali. Melihat dia rebah di pembaringan ditangisi oleh isterinya dan kedua orang anaknya, pendekar ini sadar lalu bangkit duduk. Dia memandang kepada Suma Hui yang berlutut di depan pembaringannya sambil menangis. Melihat puterinya ini, tak dapat lagi Suma Kian Lee menahan hatinya.
"Hui-ji....!" Dia menubruk dan merangkul, mendekap kepala puterinya itu, air matanya bercucuran. "Hui-ji, kaumaafkan aku...."
"Ayaahh.... ayaahhh....!" Suma Hui juga hanya dapat menangis tersedu-sedu di dada ayahnya. Suasana sungguh amat mengharukan ketika empat orang anggauta keluarga itu membiarkan diri mereka tenggelam dalam kedukaan, penyesalan yang amat mendalam.
Akan tetapi Kim Hwee Li yang pada dasarnya memiliki watak keras itu, dapat lebih dahulu menguasai dirinya dan iapun berkatalah. "Sudahlah, apa gunanya penyesalan yang berlarut-larut ini? Lebih baik kita melihat apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki semua kesalahan."
"Ayah, yakinkah ayah sekarang bahwa Cin Liong tidak berdosa?" Dengan halus akan tetapi suaranya membayangkan kesedihan Suma Hui bertanya.
Suma Kian Lee mengangguk dan pendekar itu tiba-tiba saja nampak jauh lebih tua daripada biasanya. "Aku pernah lupa bahwa dia adalah keturunan Naga Sakti Gurun Pasir...."
"Dan ayah.... ayah masih berkeberatan terhadap hubungan antara kami?" tanya pula Suma Hui.
Suma Kian Lee menarik napas panjang. "Aku bersalah.... tadinya memang kuanggap tidak baik melakukan ikatan jodoh antara keluarga sendiri. Aku lupa bahwa urusan jodoh adalah urusan yang mutlak menyangkut diri kedua orang itu sendiri.... akan tetapi aku telah menggagalkan segalanya, aku telah merusak kebahagiaanmu. Hui-ji."
"Disesalkanpun tiada gunanya lagi," Suma Hui menyusut air matanya. "Aku tidak patut lagi mendekatinya. Hidupku hanya untuk dua tujuan kini. Pertama, menemui Cin Liong dan minta agar dia sudi mengampuni dosaku, dan ke dua, aku belum mau mati sebelum dapat membunuh si jahanam Louw Tek Ciang!"
"Hemmm, aku sendiri yang akan menanganinya!" kata Suma Kian Lee penuh geram.
"Tidak, ayah. Harus aku sendiri yang membunuh jahanam itu!" kata pula Suma Hui.
"Dan aku akan membantumu, enci Hui!" kata Ciang Bun yang juga ikut merasa dendam.
Suma Kian Lee mengangguk. "Kita semua akan maju karena jahanam itu berkawan dengan tokoh-tokoh sesat yang pandai. Akan tetapi, kepandaian kalian masih belum cukup untuk menandinginya, maka mulai sekarang, biar kuajar semua ketinggalan, akan kucurahkan seluruh waktu dan perhatianku untuk mewariskan semua ilmu keluarga kita kepada kalian."
Demikianlah, peristiwa hebat yang mengguncang keluarga pendekar ini bahkan membuat ayah dan anak menjadi akrab, dan mulai hari itu, Suma Hui dan Ciang Bun digembleng oleh ayah mereka secara tekun dan keras. Suma Kian Lee yang merasa bersalah kepada dua orang anaknya karena dia telah mengambil murid dan ahli waris dari luar yang ternyata seorang penjahat itu, kini hendak menebus kesalahannya dengan menguras seluruh kepandaiannya untuk diwariskan kepada mereka. Sebaliknya, Suma Hui dan Ciang Bun yang bertekad untuk menandingi Tek Ciang, berlatih dengan sungguh-sungouh sehingga dalam waktu dua tahun lebih mereka tidak pernah meninggalkan rumah dan tempat latihan!
Segala macam peristiwa yang terjadi dan menimpa diri kita adalah kenyataan-kenyataan yang tak dapat dirobah lagi dan kesemuanya itu tentu mengandung sebab. Sebab-sebab itupun tidak akan jauh dari pada diri kita sendiri, dan sumber segala peristiwa yang menimpa diri kita berada di dalam diri kita sendiri. Menyesalkan peristiwa yang terjadi sungguh tidak ada gunanya sama sekali, karena penyesalan itu hanya akan mendatangkan duka dan karenanya pikiran bahkan menjadi keruh dan tidak dapat bekerja dengan baik. Lebih baik kita membuka mata melihat kenyataan itu, karena semua peristiwa yang terjadi adalah suatu kenyataan, suatu fakta. Pengamatan yang mendalam dan terbuka terhadap suatu peristiwa akan membuka mata kita, membuat kita waspada dan di dalam setiap peristiwa terkandung pelajaran kehidupan yang amat berharga.
Hujan yang jatuh tak mungkin ditahan dan diminta untuk terbang ke atas lagi. Hujan turun merupakan satu di antara peristiwa-peristiwa yang terjadi, suatu kenyataan yang wajar, tidak baik tidak buruk. Tidak ada manfaatnya sama sekali kalau kita bermurung atau marah-marah oleh turunnya hujan karena kita merasa dirugikan. Juga berbahaya kalau sebaliknya kita bersenang-senang melampaui batas karena kita merasa diuntungkan oleh turunnya hujan itu karena segala macam kesenangan setiap saat bisa saja berobah menjadi kedukaan. Para petani yang merasa diuntungkan oleh turunnya hujan tidak akan bersenang hati saja, melainkan waspada menjaga agar jangan sampai air hujan itu terlalu membanjiri sawahnya sehingga bahkan merusak jadinya.
Anak-anak yang bergembira dan bermain dalam hujanpun harus diamati dengan waspada, jangan sampai mereka menjadi kedinginan bahkan sebaliknya lalu menjadi sakit. Jadi, dalam setiap peristiwa tentu terkandung segi baik buruknya, kalau kita sudah membiarkan diri terseret dalam perhitungan untung rugi. Lalu apa yang kita lakukan menghadapi setiap peristiwa, setiap kenyataan? Apakah lalu berdiam diri saja, masa bodoh dan tidak perduli? Sama sekali tidak bijaksana kalau begitu! Alangkah baiknya kalau dalam menghadapi setiap periswa yang menimpa diri, kita bersikap waspada, membuka mata dan menghadapi kenyataan tanpa dipengaruhi untung rugi. Misalnya hujan turun di waktu kita hendak keluar. Perlu apa mengeluh? Yang penting, akal budi kita pergunakan untuk mengatasi halangan itu, menggunakan payung, kendaraan, atau berteduh. Tindakan ini yang penting, bukan keluhan. Keluhan muncul kalau pikiran kita sibuk menimbang-nimbang untung rugi. Dan ini tidak ada manfaatnya sedikit juga. Demikian pula, seperti peristiwa hujan turun, dalam menghadapi segala peristiwa apapun dalam hidup, kewaspadaan dan pengamatan yang mendalam akan menciptakan tindakan-tindakan yang tepat!
******
Kao Cin Liong bukan hanya seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi juga sudah digembleng oleh banyak pengalaman, baik dalam kehidupannya sebagai seorang pendekar yang berkecimpung di dunia kang-ouw maupun sebagai seorang panglima muda yang berkecimpung di dalam kancah-kancah peperangan. Semua pengalaman pahit dalam hidupnya membuat pemuda ini matang dan dia dapat menghadapi segala peristiwa dengan tenang. Akan tetapi, ketika pemuda yang kini usianya sudah tiga puluh dua tahun itu pulang dari tugasnya membebaskan Tibet dari pasukan Nepal, bahkan kemudian dia menyerang Nepal dan berhasil menundukkan negara ini sehingga Kerajaan Nepal terpaksa harus mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng yang kuat itu, dia menghadapi hal yang membuatnya tertegun. Setelah kembali ke kota raja dan menerima hadiah dan anugerah Kaisar Kian Liong yang memuji-mujinya, Jenderal Kao Cin Liong lalu berpamit meminta cuti untuk menengok orang tuanya di utara. Akan tetapi, begitu dia memasuki rumahnya dan menghadap ayah bundanya, jenderal muda itu tertegun melihat sikap ayah bundanya terhadap dirinya. Ayahnya memandang dengan mata mencorong sedangkan ibunya menyambutnya dengan mata merah dan basah! Cin Liong dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, maka cepat dia menjatuhkan diri berlutut depan kedua orang tuanya yang duduk di kursi panjang.
"Ayah, ibu, aku datang membawa berita kemenangan dan berhasilnya tugas yang kupikul. Akan tetapi, mengapa ayah dan ibu nampak marah dan duka? Harap ayah dan ibu suka mengampunkan kalau aku membuat kesalahan, dan harap memberitahu kesalahan apa gerangan yang telah kulakukan?"
"Cin Liong, karena ulahmu, atau setidaknya karena engkaulah maka kami berdua, ayah bundamu menerima penghinaan dan makian orang," kata Kok Cu. Pendekar ini sudah hampir enam puluh tahun usianya, namun masih nampak gagah perkasa dan buntungnya sebelah lengannya sama sekali tidak membayangkan kelemahan, bahkan menambah kegagahannya, kegagahan yang aneh. Sikapnya tenang dan serius, sepasang matanya mencorong seperti mata naga sehingga patutlah kalau dia dikenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir. Di sampingnya duduk isterinya, Wan Ceng yang kini sudah berusia lima puluh tiga tahun. Nenek yang biasanya gembira itu nampak muram dan ketika ia memandang kepada puteranya, hampir ia tidak dapat menahan air matanya.
Tentu saja Cin Liong merasa terkejut sekali mendengar teguran ayahnya itu. Akan tetapi sebagai seorang yang sudah matang dan berpengalaman, dia tetap tenang. Dia lalu bangkit duduk menghadapi ayah bundanya, dan sambil memandang kepada mereka bergantian dengan sinar mata penuh selidik, diapun bertanya. "Ayah dan ibu, apakah yang telah terjadi? Harap suka segera memberitahu kepadaku."
Wan Ceng yang tetap tidak mau percaya akan kesalahan puteranya, segera mendahului suaminya. "Liong-ji, kami telah pergi ke Thian-cin...."
"Ahh....!" Cin Liong teringat akan urusannya dengan Suma Hui dan tentang permintaannya kepada ayah bundanya untuk mengajukan pinangan. "Lalu bagaimana, ibu?"
"Kami tiba di Thian-cin, berhasil menemui paman Suma Kian Lee dan keluarganya, dan kami telah mengajukan pinangan terhadap diri Suma Hui seperti yang kauminta." Wan Ceng berhenti karena suaminya memotong.
"Pinangan yang janggal karena masih keluarga, dan menurut hitungan, kita kalah tua lagi, dan berakhir dengan aneh dan memalukan pula."
"Ibu, apakah yang terjadi selanjutnya?"
"Singkatnya, pinangan kita ditolak, bahkan kami berdua dihina dan dimaki!" kata Wan Ceng cemas.
Cin Liong bangkit berdiri dan mengepal tinju, alisnya berkerut. "Ah, sungguh tidak pantas! Mereka boleh saja menolak pinangan, akan tetapi mengapa harus memakai penghinaan dan makian? Sungguh tidak patut, apakah mereka itu begitu tinggi hati karena merasa sebagai keluarga Pulau Es?"
"Cin Liong, lupakah engkau bahwa segala macam penilaian adalah palsu karena penilaian didasari pendapat sendiri yang muncul dari perhitungan untung rugi? Dapatkah kita menilai orang dari keadaan luarnya? Memang, menolak pinangan sambil marah-marah tidak patut sekali, akan tetapi engkau harus menyadari bahwa setiap sikap dan perbuatan itu tentu ada sebab-sebabnya! Jadi, tanpa mengetahui sebab-sebabnya, kita sama sekali tidak berhak menilai sikap atau perbuatan orang lain!"
"Maaf, ayah. Aku terbawa oleh perasaan penasaran mendengar betapa ayah dan ibu sudah ditolak pinangannya masih juga dihina dan dimaki. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi, ayah? Mengapa keluarga Suma marah-marah kepada kita?"
"Nah, begitu lebih tepat. Setiap menghadapi persoalan, amatilah diri sendiri dan cari tahu mengapa demikian, cari sebab-sebabnya sehingga kita tidak hanya berbuat menuruti perasaan hati dan nafsu belaka. Ketahuilah, Cin Liong, ketika kami mengajukan pinangan, paman Suma Kian Lee dan isterinya menolak. Bukan hanya itu, bahkan Suma Hui dengan lantang mengatakan bahwa engkau telah memperkosanya!"
"Ahhh....!" Cin Liong terbelalak kaget dan untuk kedua kalinya dia bangkit berdiri, sekali ini dengan muka menjadi pucat dan pandang mata penuh keheranan.
"Kami tidak pernah meragukan dirimu, anakku," kata Wan Ceng. "Tentu saja kami tidak percaya dan hampir terjadi kesalahpahaman. Akan tetapi, kiranya tidak mungkin pula kalau Suma Hui mengada-ada hendak menjatuhkan fitnah kepadamu. Sebetulnya ada apakah antara engkau dan Suma Hui?"
Cin Liong sudah terduduk kembali dan menutupi muka dengan kedua tangannya, mulutnya menggumam heran, "Diperkosa.... dan.... dan aku yang memperkosanya? Ya Tuhan, apa artinya semua ini? Ibu dan ayah, aku tidak perlu bersumpah kiranya bahwa aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Tidak kepada Suma Hui dan tidak pula kepada siapapun juga. Melihat penjahat memperkosa wanita, aku akan turun tangan membunuhnya. Kalau aku sendiri yang melakukan perbuatan keji itu, tentu aku akan membunuh diriku sendiri. Tidak, aku tidak pernah melakukan itu. Dan sekarang baru aku mengerti, kiranya ada hubungannya dengan itu maka sikap Suma Hui dahulu itu demikian aneh."
"Apa yang kaumaksudkan?" tanya ibunya.
"Seperti pernah kuceritakan kepada ayah ibu, antara aku dan Suma Hui sudah terjalin tali cinta kasih. Kami saling mencinta dan biarpun kami tahu akan besarnya halangan di antara kami karena ikatan keluarga, kami berdua sudah bertekad untuk bersama-sama menghadapinya. Akan tetapi, ketika aku pergi ke kota raja dan sebelum menerima perintah kaisar aku pergi ke Thian-cin, ketika bertemu denganku, secara aneh dan tiba-tiba saja ia menyerangku dan hendak membunuh! Ia begitu marah sehingga sukar diajak bicara, maka aku lalu pergi meninggalkannya. Kemudian, aku terikat tugas dan sampai demikian lamanya tak pernah bertemu dengannya, dan selama ini aku memang bertanya-tanya bagaimana jadinya dengan pinangan ayah berdua."
Ayahnya mengangguk-angguk, "Aku makin yakin bahwa tentu ada sesuatu di balik semua itu. Suma Hui menuduhmu memperkosa, bahkan berusaha membunuhmu. Dan engkau tidak merasa sama sekali telah melakukan perbuatan keji itu. Tentu terselip suatu rahasia di antara kedua perbedaan yang saling berlawanan itu."
"Sudah menjadi kewajibanku untuk membikin terang persoalan ini, ayah. Aku akan segera berangkat ke Thian-cin dan aku akan bicara terus terang dengan mereka."
"Akau tetapi, keluarga Suma sudah begitu marah kepadamu...." kata ayahnya sambil mengerutkan alisnya.
"Ayah. Kita semua tahu bahwa Suma Kian Lee locianpwe adalah seorang pendekar besar. Aku yakin bahwa kalau kuajak dia terus terang membicarakan persoalan itu dan menyelidiki rahasianya, dia akan dapat menerimanya."
"Tapi, Cin Liong.. .." Suara Wan Ceng menjadi lembut dan pandang matanya penuh iba kepada putera tunggalnya. "Engkau terlambat sudah.... karena tak lama setelah engkau pergi, Suma Hui telah menikah...."
Ciu Liong adalah seorang pemuda yang amat kuat batinnya. Berita yang diucapkan dengan lembut oleh ibunya ini sebetulnya amat hebat menikam jantungnya. Akan tetapi hanya mukanya saja yang sedikit pucat dan matanya tergetar sedikit, akan tetapi selanjutnya dia nampak tenang.
"Ah, begitukah....?"
"Kami tidak datang karena.... engkau tahu sendiri, tentu tidak enak bagi kami untuk hadir setelah peristiwa peminangan dahulu itu," kata Kao Kok Cu.
"Kami mendengar bahwa ia menikah dengan suhengnya sendiri, murid tunggal paman Suma Kian Lee," sambung Wan Ceng.
"Ah, tentu Louw Tek Ciang itu! Hemmm.... syukurlah kalau begitu, karena pemuda itu kelihatan baik dan berbakat." Cin Liong menunduk, tidak tahan melihat pandang mata ibunya yang penuh iba. Dia telah gagal lagi dalam asmara!
"Engkau tentu tidak jadi ke Thian-cin, bukan?" tanya ibunya.
Cin Liong mengangkat muka, memandang kepada ibunya dengan senyum. Senyum layu!
"Tentu saja, ibu. Aku pergi untuk menjernihkan kekeruhan antara keluarga kita dengan keluarga Suma. Bagaimanapun juga, di antara kita masih ada hubungan keluarga, maka tidaklah baik kalau sampai awan hitam itu tidak dijernihkan. Aku harus dapat menyadarkan mereka bahwa aku kena fitnah, bahwa aku tidak melakukan perbuatan itu."
"Tapi.... tapi Suma Hui telah menjadi isteri orang. Tidak baik kalau sampai urusannya yang mendatangkan aib itu dibicarakan." Kao Kok Cu memperingatkan.
"Aku akan membicarakannya dengan Suma-locianpwe dan isterinya. Pula, ketika terjadi keributau, Louw Tek Ciang juga mengetahui sehingga diapun telah mengetahui segala-galanya. Diapun sudah mengenalku."
Karena memang masalah yang merisaukan itu perlu dijernihkan, akhirnya Kao Kok Cu dan Wan Ceng tidak dapat membantah dan setelah bermalam di rumah orang tuanya selama sepekan, berangkatlah Cin Liong kembali ke selatan, hendak pergi ke Thian-cin.
Pada suatu hari tibalah dia di dusun Pei-san yang terletak di kaki Pegunungan Tai-hang-san, tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat. Karena hari sudah lewat senja dan diapun merasa lelah setelah pada hari itu sejak pagi dia melakukan perjalanan jauh naik turun gunung, maka Cin Liong ingin bermalam di dusun itu. Biarpun dusun Pei-san berada tidak jauh dari kota raja, akan tetapi Cin Liong belum pernah lewat dusun ini. Dia kini memang sengaja mengambil jalan lain di sepanjang kaki Gunung Tai-hang-san ketika dia menuju ke Thian-cin, untuk melihat-lihat keadaan dan dia memang hendak mengambil jalan memutar agar jangan melalui kota raja. Kalau dia melalui kota raja, dia khawatir kalau dia mendengar sesuatu yang membuat dia menunda kepergiannya ke Thian-cin. Kalau urusannya dengan keluarga Suma sudah selesai, barulah dia akan kembali ke kota raja menunaikan tugasnya sebagai panglima kembali. Dan karena jenderal muda ini bepergian dengan pakaian preman, tidak ada pejabat atau petugas yang mengenalnya sehingga dia dapat melakukan tugasnya secara bebas kalau dia sedang melakukan penyelidikan. Baru dia mengenakan pakaian kebesaran kalam dia memimpin pasukan dengan resmi.
Pei-san merupakan sebuah dusun di lereng bukit Pegunungan Tai-hang-san. Sebuah dusun yang cukup makmur karena tanahnya yang subur karena letaknya yang dekat dengan kota raja, di sebelah baratnya sehingga dusun ini menjadi semacam pintu masuk atau jembatan, juga menjadi tempat perhentian mereka yang datang dari barat hendak menuju ke kota raja. Para pedagang yang datang dari barat atau pergi ke barat, selalu singgah di dusun ini, untuk mengaso, atau makan, atau juga untuk melewatkan malam kalau mereka kemalaman di jalan. Tidaklah mengherankan apabila di dusun itu bertumbuhan usaha penginapan dan kedai-kedai makan minum.
Ketika Cin Liong memasuki dusun Pei-san, kesan pertama dalam hatinya adalah bahwa dusun ini amat ramai dan sibuk. Akan tetapi, penglihatannya yang tajam dapat menangkap bayangan-bayangan ketakutan tersembunyi di balik senyum dan pandang mata para penduduk. Agaknya ada sesuatu, atau telah terjadi sesuatu yang membuat hati penghuni dusun itu dicekam ketakutan.
Kesan ini dirasakannya pula ketika Cin Liong memasuki sebuah kedai makan yang tidak begitu ramai dan terletak di ujung jalan raya. Perutnya lapar dan tubuhnya lelah sekali. Dia tidak suka memasuki kedai makan yang penuh sesak oleh tamu, melainkan memilih kedai yang sepi itu. Dalam keadaan lapar, tidak perlu terlalu memilih makanan yang enak. Segala macam makanan terasa enak di mulut kalau perut sedang lapar.
Di kedai itu ada beberapa orang tamu yang duduk berpencaran. Cin Liong memilih sebuah meja di sudut dalam. Seorang pelayan tua segera menghampirinya dan dengan ramah lalu bertanya makanan apa yang hendak dipesan oleh pemuda itu. Cin Liong juga melihat betapa di wajah kakek pelayan inipun terbayang rasa cemas seperti yang dilihatnya pada wajah orang-orang lain itu.
Dia memesan makanan dan ketika pelayan tua itu datang membawakan makanan, Cin Liong lalu berkata, "Lopek, aku melihat wajahmu seperti orang ketakutan, dan juga pada wajah penghuni dusun ini ada bayangan ketakutan seperti itu. Apakah yang telah terjadi, lopek?"
Kakek pelayan itu memandang dengan muka pucat, lalu dia menoleh ke kanan kiri, nampaknya semakin takut, akan tetapi juga ada pandang mata heran mengapa ada orang menanyakan hal itu, karena bukankah semua orang sudah tahu?
"Lopek, aku bukan orang sini, dan aku baru saja masuk ke dusun Pei-san ini. Ada peristiwa apakah?" tanya pula Cin Liong secara sambil lalu seperti lumrahnya seorang tamu yang ingin tahu dan diapun makan hidangan yang diantarkan oleh pelayan itu.
"Tidak ada apa-apa, tuan.... tidak ada apa-apa...." Cin Liong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengerling ke arah para tamu yang duduk di situ. Akan tetapi para tamu itu tidak memperlihatkan suatu ketidakwajaran. Mereka duduk, ada yang sedang makan minum, ada yang sedang bercakap-cakap urusan perdagangan dan pekerjaan mereka. Dia tahu bahwa kakek ini membohong dan takut bicara.
"Lopek, jangan takut. Ceritakanlah, kalau ada apa-apa aku yang akan tanggung. Kalau terjadi kesukaran menimpa dusun ini, tentu aku akan berusaha untuk membereskannya," kata pula Cin Liong lirih agar tidak sampai terdengar oleh orang lain.
Pelayan itu memandang dengan ragu, akan tetapi matanya terbelalak ketika dia melihat betapa tangan tamunya itu meremas sebuah sendok batu yang menjadi hancur seperti tepung di antara jari-jari tangannya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Tahulah pelayan itu bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar.
"Di.... di dusun ini semenjak dua pekan yang lalu ada.... ada.... Eng-jiauw-pang...."
Hanya sampai di situ saja pelayan itu berani bicara karena diapun cepat meninggalkan Cin Liong sambil menoleh ke kanan kiri penuh rasa cemas. Cin Liong tidak mendesak lebih jauh, lalu melanjutkan makan sambil termenung. Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda)? Dia penrah mendengar nama itu. Kalau dia tidak salah ingat, Eng-jiauw-pang adalah perkumpulan orang jahat, perkumpulan para perampok yang amat lihai, terkenal dengan anggauta-anggauta mereka yang mempergunakan sarung tangan kuku garuda yang selain ahli dalam ilmu silat, juga lihai dalam penggunaan racun. Akan tetapi, perkumpulan perampok Eng-jiauw-pang itu berada di daerah Se-cuan, jauh di barat. Bagaimana bisa muncul di tempat ini dan apa yang telah mereka lakukan sehingga orang-orang menjadi ketakutan?
Tiba-tiba terdengar jeritan lemah dan Cin Liong cepat menoleh. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat kakek pelayan yang tadi melayaninya, tiba-tiba jatuh terpelanting dan mangkok-mangkok terisi makanan dalam baki yang dibawanya ikut terbanting dan menimbulkan suara gaduh. Gegerlah di rumah makan itu. Para pelayan lain dan para tamu segera menghampiri. Cin Liong tidak ketinggalan, malah dia paling dulu menghampiri kakek ini, lalu dia berlutut dan memeriksa. Ternyata pelayan itu telah tewas dengan muka berobah kebiruan, sedangkan di leher sebelah kanan nampak tiga guratan yang masih mengeluarkan darah. Guratan tanda kuku garuda! Dan sekali lihat saja maklumlah Cin Liong bahwa kakek ini tewas keracunan yang memasuki tubuhnya melalui guratan-guratan pada leher itu. Dia menjadi marah sekali dan memandang kepada semua orang yang berada di situ penuh selidik. Akan tetapi, karena dia tidak melihat sendiri penyerangan itu, siapa yang hendak dituduhnya? Pula, melihat kenyataan bahwa tidak ada orang yang melihat bagaimana caranya kakek itu diserang dan dibunuh, menjadi bukti bahwa penjahat itu lihai sekali, juga bahwa penjahat itu dapat mendengar atau mengetahui bahwa kakek pelayan tadi telah menceritakan sedikit tentang Eng-jiauw-pang kepadanya, membuktikan bahwa gerombolan penjahat itu benar-benar lihai.
Dia lalu bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. "Siapa di antara saudara sekalian yang tahu di mana adanya sarang gerombolan Eng-jiauw-pang?" tanyanya, suaranya halus akau tetapi penuh ancaman dan kemarahan yang ditahan. Ada kejahatan kejam terjadi di depan hidungnya, sungguh hal ini menjengkelkan sekali, merupakann tantangan kepadanya. Dia merasa menyesal mengapa tadi dia tidak memperhatikan kakek pelayan itu sehingga dia akan dapat mengetahui kalau kakek itu diserang orang. Akan tetapi siapa pula mengira bahwa di situ akan terjadi pembunuhan?
Begitu Cin Liong mengeluarkan pertanyaan ini, semua orang terbelalak, muka mereka menjadi pucat dan cepat-cepat mereka menjauhkan diri, meninggalkan tempat itu seperti orang ketakutan, juga para pelayan yang lain menggelengkan kepala, tanpa menjawab pertanyaan itu.
"Wiirrr.... singgg....!" Cin Liong dengan tenang mengelak dan tangannyya bergerak menangkap benda hitam yang meluncur di dekat telinganya, yang tadinya menyambar ke arah lehernya. Dengan ibu jari dan telunjuk, ditangkapnya benda itu yang ternyata adalah sebatang senjata rahasia berbentuk paku yang biasanya disebut Touw-kut-ting (Paku Penembus Tulang) akan tetapi melihat warnanya yang hitam kehijauan, mudah diduga bahwa paku ini mengandung racun yang amat berbahaya! Begitu menangkap senjata rahasia itu, Cin Liong meloncat ke pintu, akan tetapi dia tidak melihat bayangan siapapnn yang boleh disangka melakukan penyerangan itu. Akan tetapi di daun pintu nampak sehelai kain yang tertancap pisau belati, di mana terdapat tulisan dengan huruf merah. ENG-JIAUW-PANG MENANTI DI KUIL TUA HUTAN CEMARA SEBELAH TIMUR DUSUN.
"Hemm....!" Cin Liong merasa penasaran sekali dan marah. Kiranya dia berhadapan dengan perkumpulan yang mempunyai orang-orang pandai dan kejam sekali. Tentu penyerangan senjata rahasia tadi mereka maksudkan untuk mengujinya dan kalau dia lulus ujian, tidak mati oleh serangan itu, maka dia dianggap cukup berharga untuk berkunjung ke sarang perkumpulan itu! Dia tahu betapa bahayanya mendatangi sarang itu, karena para penjahat tentu telah siap siaga menanti kedatangannya. Akan tetapi, Cin Liong adalah seorang pendekar yang selain banyak pengalaman dan cukup waspada, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ketabahan luar biasa.
Cin Liong melemparkan paku itu dengan pengerahan tenaga sampai amblas ke dalam tanah, lalu dia meninggalkan rumah makan itu, langsung menuju ke arah timur dan keluar dari dusun itu melalui pintu gerbang sebelah timur. Tidak sukar mencari hutan cemara itu karena begitu keluar dari pintu gerbang, hutan itu sudah nampak di sebuah lereng bukit di kaki Pegunungan Tai-hang-san.
Sebenarnya, perkumpulan apakah yang menamakan dirinya Eng-jiauw-pang dan menjadi momok bagi para penghuni dusun itu? Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda) sebetulnya adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang tadinya dipimpin oleh seorang tokoh yang condong kepada golongan hitam atau kaum sesat. Mereka itu kadang-kadang suka melakukan perampokan, walaupun perampokan kaliber besar, bukan sembarangan perampok dan maling kecil saja. Mereka hanya melakukan perampokan terhadap rombongan besar para pedagang kaya atau pembesar tinggi yang melakukan perjalanan. Karena nama Eng-jiauw-pang sudah dikenal dan ditakuti, maka para piauwkiok (perusahaan pengawal barang kiriman) mendekatinya dan mengirim upeti-upeti sehingga perjalanan mereka tidak akan diganggu oleh perkumpulan ini. Upeti-upeti yang cukup banyak itulah yang menjadi sumber nafkah perkumpulan ini di samping hasil-hasil perampokan mereka terhadap rombongan-rombongan yang tidak mangirim upeti kepada mereka.
Perkumpulan Eng-jiauw-pang memang tadinya berasal dari barat, dari daerah Se-cuan. Akan tetapi semenjak pendirinya, yaitu Eng-jiauw Siauw-ong, tewas, perkumpulan itu meninggalkan Se-cuan dan di bawah pimpinan ketua mereka yang baru, mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, pindah ke timur dan kini sedang mencari-cari tempat yang baik sampai mereka tiba di hutan cemara di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu.
Cin Liong memasuki hutan cemara dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa dia memasuki sarang harimau atau guha naga. Untung baginya bahwa hutan cemara itu tidaklah begitu liar atau gelap karena pohon-pohon itu tidak lebat. Tak lama kemudian setelah dia memasuki hutan cemara itu, nampaklah dinding kuil yang putih, agaknya tembok dinding itu baru mengalami perbaikan dan pengecatan baru. Juga pekarangannya nampak bersih, genteng-gentengnya ada pula sebagian yang baru, agaknya genteng-genteng tua yang jebol telah diganti dan diperbaiki. Akan tetapi, tempat itu kelihatan sunyi saja. Biarpun begitu, Cin Liong tidak tertipu oleh keadaan yang sunyi dan dia tetap waspada, yakin bahwa pada saat itu, mata pihak musuh tentu sedang mengamati gerak-geriknya. Selagi dia merasa heran mengapa pihak musuh yang biasanya suka bertindak curang itu belum juga turun tangan menyerangnya, tiba-tiba dia melihat gerakan di sekelilingnya dan tahu-tahu tempat itu sudah terkurung oleh sedikitnya dua puluh orang yang kesemuanya nampak beringas dan kejam. Dengan perasaan heran Cin Liong melihat betapa pada sinar mata dua puluh orang lebih itu terbayang kemarahan dan dendam kebencian yang mendalam kepadanya! Sungguh aneh pikirnya. Mengapa orang-orang Eng-jiauw-pang ini memusuhinya? Padahal, dia baru saja datang ke dusun itu dan hanya bertanya tentang Eng-jiauw-pang kepada pelayan rumah makan yang kemudian dibunuh oleh orang-orang Eng-jiauw-pang sendiri. Akan tetapi, hal ini
tidak membuat pendekar ini merasa gentar dan diapun mencari dengan matanya. Melihat lima orang tinggi besar yang nampak keren dan agaknya menjadi pemimpin mereka semua, dia lalu menghadapi lima orang itu dan memandang tajam ke sekeliling.
"Kao Cin Liong, engkau datang mengantar kematian. Sungguh bagus dan memudahkan kami untuk membuat perhitungan denganmu!" Seorang di antara mereka yang berkumis lebat berkata.
Cin Liong mengerutkan alisnya. "Apakah kalian ini yang disebut Eng-jiauw-pang?"
"Benar!" jawab si kumis lebat.
"Kami adalah para anggauta Eng-jiauw-pang yang hendak membalas kematian ketua kami!"
Cin Liong memandang heran. "Aku hanya lewat di dusun itu dan mendengar bahwa perkumpulan Eng-jiauw-pang mengacau penduduk, melakukan kejahatan sehingga para penghuni dusun hidup dicekam ketakutan. Akan tetapi sekarang kalian mengatakan hendak membalas kematian ketua kalian. Apa artinya ini?" Dia memandang si kumis dan melanjutkan pertanyaannya. "Dan bagaimana kalian dapat mengenal namaku?"
"Jenderal Kao Cin Liong, tidak perlu berpura-pura tanya lagi. Engkau telah membunuh ketua kami dan saat ini engkau akan menebus kematian ketua kami dengan nyawamu."
"Dan siapakah ketua kalian itu?"
"Ketua kami adalah mendiang Eng-jiauw Siauw-ong Liok Cau Sui! Engkau telah membunuhnya di Pulau Es...."
"Ahh!" Kini Cin Liong teringat. Ketika rombongan para datuk kaum sesat menyerbu Pulau Es, dia membela Pulau Es dan dalam pertempurau mati-matian itu dia telah merobohkan dan menewaskan seorang kakek yang memakai sarung tangan kuku garuda, yang merupakan lawan yang amat tangguh dan lihai. Kiranya kakek bersarung tangan kuku garuda itu adalah ketua dari gerombolan ini! "Kiranya kakek jahat itu ketua kalian? Memang, aku telah menewaskannya karena dia bersama orang-orang jahat lainnya melakukan penyerbuan kepada keluarga Pulau Es. Nah, kalian mau apa? Apakah kalian hendak menyusul ketua kalian itu ke neraka jahanam?"
Tentu saja dua puluh orang lebih yang mengurung pemuda itu menjadi marah mendengar ucapan ini, terutama sekali lima orang pemimpin mereka yang merupakan murid-murid utama dari mendiang Eng-jiauw Siauw-ong.
"Bocah sombong! Kematian sudah berada di depan mata dan engkau masih besar mulut!" teriak si kumis yang agaknya merupakan pemimpin nomor satu dan memang sesungguhnya dia adalah murid kepala atau twa-suheng dari semua murid Eng-jiauw Siauw-ong. Setelah memaki, lima orang itu lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan kuku garuda, diturut oleh semua anggauta gerombolan itu dan kini semua tangan mereka telah mengenakan sarung kuku garuda yang terbuat daripada baja. Setelah mengenakan sarung tangan kuku garuda, mereka itu nampaknya menjadi bertambah bengis. Kemudian, atas isyarat si kumis, kepungan mereka makin merapat dan tiba-tiba beberapa orang anggauta gerombolan yang berdiri di belakang Cin Liong, menubruk dengan serangan mereka menggunakan kedua cakar garuda itu untuk mencengkeram. Mulut mereka mengeluarkan suara seperti teriakan parau burung garuda dan gerakan-gerakan mereka juga seperti burung yang mencakar-cakar. Kedua lengan mereka kadang-kadang dikembangkan dan mereka meloncat dengan gesitnya, menubruk dari atas seperti gerakan burung menyambar dari angkasa, menggunakan kedua cakar baja yang amat runcing itu. Akan tetapi, yang mereka serang adalah Kao Cin Liong, pendekar muda yang memiliki kesaktian, putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Begitu pemuda perkasa ini memutar tubuh dan menggerakkan kedua lengannya sambil membentak, tiga orang penyerang sudah terpelanting dan terbanting ke atas anah dengan keras, membuat mereka tidak dapat segera bangun kembali karena merasa kepala mereka pening. Akan tetapi, teman-teman mereka sudah menyerang dari empat jurusan sehingga Cin Liong terpaksa harus mengeluarkan kepandaiannya karena pengeroyokan para anggauta Eng-jiauw-pang itu, terutama lima orang pimpinan mereka, bukan merupakan lawan yang lunak!
Kao Cin Liong adalah seorang pendekar gemblengan yang berjiwa gagah perkasa, selalu siap untuk membela yang lemah menentang yang jahat tanpa dipengaruhi perasaan benci. Yang ditentangnya adalah perbuatan yang jahat dan mencelakakan orang lain, akan tetapi dia tidak pernah membenci orangnya. Oleh karena itu, dalam sepak terjangnya menghadapi kejahatan, selalu dia berniat untuk menghukum dan mendidik, tidak mau sembarangan membunuh orang. Tentu saja kalau dia sudah berpakaian jenderal, sikap dan
tindakannya lain lagi. Sebagai perajurit tentu saja dia harus membasmi musuh negara sesuai dengan hukum yang berlaku.
Menghadapi Eng-jiauw-pang ini, diapun tadinya bermaksud untuk menghajar dan menghukum mereka agar bertobat dan tidak berani mengacau rakyat lagi. Akan tetapi setelah mereka mengeroyok, dia terkejut dan mendapat kenyataan betapa para anggauta perkumpulan ini benar-benar memiliki kepandaian silat yang kuat. Apalagi lima orang pemimpin mereka itu sungguh merupakan lawan berbahaya setelah mereka maju bersama, dan pengeroyokan kurang lebih dua losin orang itu membuatnya repot juga. Untuk dapat menghajar lawan sedemikian banyaknya dia harus memiliki tingkat jauh lebih tinggi daripada para lawan itu. Akan tetapi
kenyataannya dialah yang terdesak karena dia tadinya tidak ingin membunuh dan hanya menggunakan ilmu silat biasa saja. Melihat betapa dia malah terdesak, terpaksa Cin Liong merobah permainannya dan demi keselamatannya sendiri, kalau perlu dia harus merobohkan beberapa orang lawan yang mungkin saja dapat menewaskan lawan karena dia akan mengeluarkan ilmu simpanannya.
"Hyaaaattt....!" Si kumis tebal menyerang dengan ganasnya, kedua tangan cakar bajanya menyambar cepat dan yang nampak hanya sinar hitam dua gulung menyambar ke arah muka dan dada Cin Liong. Serangan ini disusul oleh serangan empat orang kawannya dari kanan kiri dan belakang. Cin Liong meloncat dan tubuhnya melesat keluar dari kepungan lalu tiba-tiba tubuhnya mendekam setengah menelungkup di atas tanah. Para pengeroyok merasa girang sekali, mengira bahwa pemuda itu lelah atau kehabisan tenaga atau terjatuh. Belasan orang anak buah Eng-jiauw-pang seperti berebut menubruk musuh yang sedang mendekam di atas tanah itu.
"Haiiiitt!" Tiba-tiba Cin Liong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya yang tadi mendekam secara tiba-tiba bergerak, kaki tangannya mencuat ke sekelilingnya dan angin yang dahsyat menyambar seperti badai mengamuk. Para pengeroyoknya terkejut sekali, mereka berteriak kaget dan kesakitan dan belasan orang itupun terpelanting berjatuhan dengan terbanting keras dan ada yang terlempar sampai beberapa tombak jauhnya! Dalam segebrakan itu saja, empat orang pengeroyok tewas seketika, empat orang lain terluka parah dan beberapa orang lagi hanya terlempar dan mengalami kekagetan saja, hanya lecet-lecet karena terbanting dan terguling-guling. Tentu saja para anggauta Eng-jiauw-pang terkejut sekali. Mereka tidak tahu bahwa ketika mendekam tadi, Cin Liong mengeluarkan ilmu simpanan yang dipelajarinya dari ayahnya, Si Naga Sakti Gurun Pasir. Itulah Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam Di Tanah) dan ketika dia mendekam sebetulnya dia sedang mengerahkan sin-kang yang mengambil tenaga inti dari bumi. Ketika belasan orang pengeroyok itu menyerang dan menubruknya seperti hendak berlomba mencengkeramnya, Cin Liong mempergunakan Ilmu Sin-liong-cian-hoat (Silat Naga Sakti), maka akibatnya sedemikian hebat. Lima orang pemimpin Eng-jiauw-pang dan sisa anak buah mereka melihat kehebatan pemuda ini menjadi gentar. Mereka tahu bahwa kalau dilanjutkan pengeroyokan itu, akhirnya mereka semua akan roboh dan tewas. Maka lima orang pemimpin itu mengeluarkan seruan memberi isyarat kepada para anak buahnya untuk melarikan diri. Merekapun berloncatan pergi sambil menyeret teman-teman yang tewas atau terluka.
Cin Liong sendiri masih tertegun melihat akibat dari ilmunya tadi. Jarang dia menggunakan ilmu simpanan itu dan dia selalu merasa tertegun menyaksikan kehebatan ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya. Dia termangu-mangu, mempertimbangkan apakah sepak terjangnya tadi tepat, dalam segebrakan saja dia telah membunuh dan melukai banyak orang. Karena dia sendiri merasa agak menyesal, maka ketika melihat semua lawan melarikan diri, diapun tidak mau mengejar dan hanya berdiri memandang sampai mereka
semua lenyap dari pandang matanya. Setelah menarik napas panjang, Cin Liong lalu melangkah memasuki hutan itu lebih dalam karena dia ingin mencari kuil tua yang menjadi sarang Eng-jiauw-pang. Dia tadi sudah memberi hajaran kepada mereka, akan tetapi dia harus menemukan sarang mereka dan membasmi sarang itu agar mereka bertobat dan tidak berani lagi beraksi mengumbar kejahatan mereka. Kuil tua itu ternyata sudah mengalami banyak perbaikan. Temboknya dicat baru, gentengnya banyak yang diganti baru dan dari luar saja sudah nampak bahwa kuil tua itu kini sudah menjadi bersih dan terawat. Bahkan di pekarangan kuil itu banyak ditanami kembang dan juga nampak bersih, tanda bahwa setiap hari tentu disapu. Akan tetapi ketika Cin Liong menghampiri kuil itu, kelihatan sunyi sekali. Tentu mereka sudah melarikan diri semua, pikirnya. Mereka agaknya dapat menduga bahwa aku tentu akan mendatangi sarang mereka.
Namun dia tetap bersikap hati-hati dan waspada ketika memasuki kuil. Dia tahu bahwa menghadapi musuh seperti Eng-jiauw-pang itu, dia harus bersikap hati-hati karena mereka tentu tidak segan-segan menggunakan kecurangan dan dia tidak akan merasa heran andaikata mereka kini memasang perangkap untuknya di dalam kuil ini. Maka, diapun melangkah dengan hati-hati ke dalam kuil yang sudah tidak dipergunakan sebagai tempat sembahyang itu. Ruangan depan kosong, juga ketika dia memeriksa ke ruangan dalam dan kamar-kamar di sekitarnya, tidak menemukan seorangpun. Akan tetapi Cin Liong tetap curiga. Dia melihat sesuatu yang tidak wajar dalam kekosongan kuil ini. Biasanya, kalau orang-orang meninggalkan sarang mereka dengan tergesa-gesa karena mengira bahwa sarang itu akan diserbu musuh, tentu para penghuninya pergi membawa barang-barangnya dan kamar-kamar itu tentu akan mawut, barang-barang ada yang kececeran dan dibiarkan porak-poranda. Akan tetapi di dalam ruangan dan kamar-kamar di kuil ini tidak nampak tanda-tanda demikian itu. Semua kamar tetap bersih dan barang-barang seperti tempat pakaian dan lain-lain masih utuh, juga tidak ada tanda-tanda orang membawa pergi barang-barang dengan tergesa-gesa. Apakah para anggauta Eng-jiauw-pang itu langsuug melarikan diri tanpa singgah dulu di sarang mereka saking takutnya? Nampaknya begitulah atau.... ada maksud tertentu dari mereka. Kalau benar tidak ada orangnya dan tempat ini sudah ditinggalkan para penjahat itu, sebaiknya dibakar saja, pikir Cin Liong.
Tiba-tiba Cin Liong tak bergerak dan mencurahkan perhatian kepada suara yang didengarnya. Suara itu datang dari arah belakang kuil itu, suara ah-ah-uh-uh, bukan seperti suara manusia, diselingi suara berdebukan seperti benda dipukul-pukulkan di lantai. Dengan hati-hati sekali dan penuh kewaspadaan, seluruh syaraf di tubuhnya menegang dan siap bergerak melindungi diri, Cin Liong lalu menuju ke ruangan belakang, satu-satunya ruangan yang belum dimasukinya. Daun pintu yang menembus dari ruangan tengah ke ruang belakang itu tertutup dan dengan perlahan dan hati-hati Cin Liong mendorongnya terbuka.
"Uhhh.... uhhhh....!"
Cin Liong melihat seorang gadis cantik yang terbelenggu kaki tangannya, diikat di atas sebuah dipan kayu. Mulut gadis itu ditutup pula dengan sebuah saputangan yang diikatkan ke belakang kepala sehingga mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh dan gadis itu mencoba melepaskan diri, meronta-ronta dengan keras. Akan tetapi belenggu kaki tangannya itu terlampau kuat sehingga kaki dipan kadang-kadang terangkat sedikit dan memukul-mukul lantai mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk.
Biarpun apa yang dilihatnya itu sudah jelas, yaitu seorang gadis tawanan yang ditinggalkan di dalam ruangan belakang kuil itu, namun Cin Liong tidak tergesa-gesa menghampiri, melainkan menoleh ke kanan kiri dan meneliti keadaan sekitar tempat itu. Dia tidak mau kalau sampai terjebak memasuki perangkap yang dipasang para penjahat. Melihat pintu terbuka dan muncul seorang pemuda tampan, gadis itu menghentikan gerakannya meronta-ronta tadi dan kini ia memandang kepada Cin Liong dengan kedua mata basah. Gadis itu menangis dan sinar matanya mewakili mulutnya untuk minta tolong kepada Cin Liong.
Setelah meneliti keadaan dan merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali dia sendiri dan gadis yang dibelenggu itu, Cin Liong melangkah masuk dan menghampiri gadis itu sambil memperhatikannya. Seorang gadis yang cantik sekali, usianya tentu sudah dua puluh tahun lebih, dengan bentuk tubuh yang matang dan padat. Agaknya gadis itu menjadi tawanan baru dan belum diganggu oleh para penjahat. Hal ini dapat diduga melihat betapa pakaian gadis itu masih lengkap dan utuh. Melihat pakaiannya yang serba mewah, dapat diduga pula bahwa gadis ini tentulah puteri seorang hartawan atau bangsawan. Pakaian itu belum diganggu, bahkan jubah luar terbuat daripada bahan kain indah berwarna merah itupun masih menempel di tubuhnya. Akan tetapi, kaki tangannya dibelenggu amat kuatnya, dengan menggunakan pintalan kain sebagai tali. Halus dan tidak menyakitkan kaki tangan, akan tetapi ulet dan sukar untuk melepaskan diri dari belenggu pintalan kain ini.
Cin Liong kini cepat menghampiri dan pertama-tama dia melepaskan saputangan yang menutupi mulut dan diikatkan ke belakang kepala itu. Begitu bebas, gadis itu lalu berkata dengan suara memohon, "Ah, tolonglah aku.... tolonglah aku.... mereka membelengguku dan meninggalkan aku di sini, sebentar lagi mereka tentu datang kembali. Tolong lepaskan belenggu kaki tanganku...."
Tanpa diminta sekalipun tentu saja Cin Liong bermaksud membebaskannya. Dia lalu melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan merasa kasihan karena ternyata ikatan itu kuat sekali sehingga ketika dilepaskan, kulit kaki di pergelangan yang halus putih itu menjadi merah kebiruan! Diapun cepat melepaskan tali pengikat kedua lengan. Akan tetapi begitu dilepaskan kedua tangannya, tiba-tiba gadis itu mencengkeram ke arah perut sendiri. Wajahnya berobah pucat, keringat membasahi muka dan lehernya dan diapun mengeluh, "Aduhhh.... perutku....aduhhh...."
Cin Liong terkejut se kali. "Perutmu kenapa, nona...."
"Aduhh.... di antara mereka tadi.... ada yang menampar ke arah perutku.... tadi tidak begitu terasa, akan tetapi sekarang.... aduhhhh.... seperti terbakar rasanya...." Dan gadis itupun menangis, kedua tangannya mencengkeram ke arah perutnya dan tubuhnya berkelojotan seperti dalam keadaan yang amat nyeri.
Cin Liong teringat bahwa orang-orang Eng-jiauw-pang pandai mempergunakan racun. Agaknya gadis ini terluka atau terkena racun. "Maaf, biarkan aku memeriksanya, nona, mungkin aku dapat menolongmu...." katanya dengan perasaan kasihan kepada gadis itu dan marah kepada para penjahat. Agaknya orang-orang Eng-jiauw-pang itu telah menaruhkan racun entah apa yang akan terasa apabila gadis itu terbebas dari belenggunya. Racun yang aneh dan jahat sekali. Karena khawatir kalau-kalau keadaan gadis sudah parah dan sukar ditolong lagi, Cin Liong mengesampingkan segala perasaan malu dan canggung. Dengan hati-hati dia menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan kancing baju gadis itu di bagian perut, untuk memeriksa keadaan perutnya yang agaknya terluka hebat itu, entah luka di luar ataukah di dalam. Pada saat dia berdiri membungkuk dengan kedua tangan bekerja membuka kancing dan mukanya menunduk, matanya memandang penuh perhatian ke arah perut, tiba-tiba kedua tangan gadis itu bergerak dan jubah merahnya mengebut. Bubuk merah halus yang seperti asap memenuhi udara dan sebagian besar menimpa muka Cin Liong. Pemuda ini sama sekali tidak menyangka. Tadi ketika dia melepaskan belenggu dan berada di dekat nona itu, memang dia mencium bau harum yang aneh. Akan tetapi karena keadaan gadis itu sebagai seorang tawanan yang dibelenggu kuat-kuat dan kemudian bahkan menderita nyeri yang hebat, keraguan dan kecurigaan sedikitpun terhadap gadis itu tidak ada. Maka, betapapun lihainya, dalam keadaan berdiri bungkuk seperti itu, dan dekat sekali dengan nona yang ditolongnya, ketika nona itu menyerang dengan bubuk merah yang agaknya memang sudah sejak tadi memenuhi jubah merahnya, pendekar ini sama sekali tidak mampu menghindarkan diri dan mukanya terkena bubuk merah yang harum.
"Hehhh.. ..!" Dia masih dapat mencengkeram ke depan, maksudnya untuk menangkap gadis yang telah mengkhianatinya itu. Akan tetapi, dengan gerakan yang luar biasa gesitnya, gadis cantik itu menangkis dan meloncat jauh.
"Dukk!" Gadis itu terlempar dan Cin Liong juga merasa betapa tangkisan itu mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Tahulah dia bahwa gadis itu memang seorang pandai yang pura-pura tertawan sehingga dia terkecoh. Akan tetapi terlambat. Kepalanya terasa ringan dan tiba-tiba saja semuanya gelap baginya. Tanpa diketahuinya, dia roboh terkulai di atas pembaringan itu dalam keadaan pingsan.
Cin Liong tidak tahu berapa lama dia tidak sadar. Akan tetapi ketika dia siuman, dia mendapatkan dirinya berada di dalam ruangan yang sama. Akan tetapi kini dialah yang terikat dan terbelenggu di atas dipan dan ketika dia memandang, ternyata gadis cantik berpakaian mewah tadi juga berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dan sedang memandang kepadanya dengan sepasang mata tajam penuh selidik. Mata itu amat tajam bersinar-sinar. Sukarlah membaca perasaan yang berada di balik sinar mata itu. Dan tiga batang lilin di atas meja menandakan bahwa hari telah malam! Juga suasana kuil yang tadinya sunyi kini berobah. Dia mendengar suara orang-orang di luar ruangan itu dan tak lama kemudian, daun pintu yang menembus ruangan itu dari belakang terbuka. Muncullah dua orang pria datang membawa baki-baki terisi hidangan makanan dan minuman. Dengan sikap hormat mereka mengatur hidangan itu di atas meja. Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak melirik, tidak memperdulikan dan pandang matanya masih terus ditujukan kepada Cin Liong dengan pandang mata yang aneh. Cin Liong tahu bahwa dua orang pria itu adalah anggauta-anggauta Eng-jiauw-pang, karena di pinggang mereka tergantung sepasang sarung tangan cakar baja itu.
"Siocia (nona), silahkan makan dulu, hari sudah malam!" kata seorang di antara mereka dengan sikap hormat dan juga penuh rasa sayang. Gadis itu hanya mengangguk, lalu memberi isyarat dengan tangannya agar dua orang itu pergi lagi meninggalkannya sendirian di ruangan itu. Dua orang itu menjura, lalu keluar dan menutupkan daun pintu tembusan ke dapur itu dengan perlahan dan hati-hati.
Cin Liong yang sudah siuman itu sejak tadi pura-pura masih belum sadar, dan hanya mengintai dari balik bulu matanya saja. Kini dia melihat nona itu menghadapi hidangan dan mulai makan. Akan tetapi, agaknya hidangan yang banyak macamnya dan kelihatan lezat sehingga menimbulkan selera bagi Cin Liong yang memang lapar sekali, agaknya tidak membuat nona itu bernafsu untuk makan. Hanya sedikit ia makan, lalu ia menenggak tiga cawan arak.
Cin Liong kini sadar bahwa dia sudah terperosok ke dalam perangkap yang dipasang oleh gadis ini secara cerdik sekali. Dia menduga-duga siapa gerangan gadis ini. Tak mungkin anggauta biasa dari Eng-jiauw-pang karena dua orang anggauta perkumpulan itu tadi bersikap hormat kepadanya dan menyebutnya nona. Tentu seorang tokoh pimpinan. Dan kecantikan seorang wanita dengan sikapnya yang pendiam dan halus itu bahkan lebih mengerikan dan berbahaya daripada sikap seorang musuh yang kasar dan bengis seperti orang-orang gerombolan Eng-jiauw-pang. Diam-diam dia mengerahkan tenaga untuk menggunakan sin-kangnya menembus jalan darah yang tertotok. Dia terkejut. Totokan itu istimewa sekali dan betapapun dia mengerahkan sin-kang, tetap saja dia tidak mampu menggerakkan pusarnya dan hawa di dalam pusarnya tetap dalam keadaan tidur karena tidak ada yang menggerakkan keluar. Celaka, pikirnya. Kalau dia tidak dapat mengerahkan sin-kangnya, tentu dia tidak dapat melindungi dirinya. Tali-tali belenggu itu bukan apa-apa baginya kalau dia mampu mengerahkan tenaga sin-kangnya. Dia harus bersabar sampai pengaruh totokan itu menghilang atau menjadi lemah.
Tiba-tiba Cin Liong mendengar langkah-langkah kaki dan diapun memejamkan matanya kembali dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Daun pintu sebelah depan terbuka dan muncullah lima orang laki-laki dipimpin oleh sikumis tebal. Mereka ini adalah pimpinan gerombolan Eng-jiauw-pang! Diam-diam Cin Liong merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Agaknya bukan hanya dia yang terkejut melihat munculnya lima orang tokoh Eng-jiauw-pang yang lihai itu, juga gadis cantik itu bangkit berdiri dan memandang kepada mereka dengan alis berkerut.
"Suheng berlima datang memasuki ruangan ini mau apakah?" tanyanya dengan suara dingin.
Si kumis tebal melangkah maju. "Sumoi, kami datang karena khawatir akan dirimu dan ingin melihat tampangnya musuh besar kita ini. Dia harus dibunuh secepatnya, sumoi, karena kalau dibiarkan hidup lebih lama lagi, dia bisa mendatangkan bencana bagi kita. Dia amat lihai dan berbahaya."
"Twa-suheng, sudah kukatakan kepada kalian bahwa selama semalam ini, dia menjadi tawananku dan boleh kuperlakukan sesuka hatiku. Tidak boleh ada orang lain mencampuriku! Besok barulah kalian boleh bicara mengenai dia dan boleh kalian lakukan sesuka hati kalian. Nah, sekarang keluarlah, jangan mengganggu aku yang sedang termenung!"
"Akan tetapi, kita semua amat benci dan sakit hati kepadanya. Ah, betapa ingin aku menggorok lehernya dan minum darahnya untuk memuaskan hatiku. Siang tadi dia menambah sakit hati kita dengan membunuh empat orang anak buah dan melukai beberapa orang lagi. Dia harus mati!" kata orang ke dua yang kepalanya botak.
"Ji-suheng!" gadis itu berkata, nada suaranya marah. "Bagaimanapun juga, orang itu telah membunuh ayahku. Engkau hanyalah murid ayah, akan tetapi aku puterinya! Dendam sakit hatiku jauh lebih mendalam dibandingkan denganmu, maka janganlah bicara tentang dendam kebencian itu dengan aku!"
"Bagaimanapun juga, dia harus kupatahkan dulu siku dan lututnya, barulah hatiku lega," kata pula orang pertama yang disebut twa-suheng dan yang berkumis tebal itu. "Kalau sudah kupatahkan lutut dan sikunya, tentu dia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dan tidak akan membahayakan dirimu, sumoi."
"Twa-suheng dan suheng sekalian. Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Ingat, siapa yang telah menawannya? Kalian berlima, dibantu oleh para anak buah, masih tidak mampu menangkapnya, bahkan mengorbankan nyawa empat orang anak buah. Sedangkan aku seorang diri saja mampu membekuknya. Akulah yang menangkapnya dan aku yang berhak memutuskan apa yang haris dilakukan dengan dia! Aku pula keturunan tunggal dari ayah. Sudahlah, aku hanya ingin bersama musuh besarku semalam ini, biarkan aku melampiaskan dendam pribadiku dengan caraku sendiri. Besok baru kita bicarakan hukuman apa yang akan kalian berikan kepadanya. Keluarlah sebelum aku marah!"
Lima orang itu saling pandang, lalu terpaksa mereka pergi meninggalkan ruangan itu. Seorang di antara mereka, yang tubuhnya pendek kecil kurus, meludah ke arah Cin Liong ketika mereka pergi, dan daun pintu mereka tutupkan dari luar dengan agak keras, tanda bahwa hati mereka tidak puas dengan sikap gadis itu. Diam-diam Cin Liong yang mengikuti semua ini harus mengakui bahwa pada saat itu, gadis cantik inilah yang telah menyelamatkannya. Karena, kalau tidak dicegah oleh gadis itu, tentu dia sudah dibunuh atau setidaknya dibikin cacat oleh lima orang itu tanpa dia mampu melawan sama sekali. Dia menarik napas lega.
Tiba-tiba gadis itu menoleh kepadanya. "Kao Cin Liong, apakah engkau masih hendak pura-pura belum sadar?"
Cin Liong membuka matanya, menoleh dan memandang. Dia mampu menggerakkan tubuhnya, akan tetapi tidak dapat mengerahkan sin-kangnya. Kemudian dia menarik napas panjang.
"Nona, kalau orang-orang seperti anggauta gerombolan Eng-jiauw-pang memusuhi aku, hal itu tidaklah aneh karena mereka adalah orang-orang jahat. Akan tetapi kalau sampai seorang gadis cantik dan pandai seperti engkau memusuhiku, sungguh membuat aku heran dan penasaran sekali!"
Gadis itu mengejek. "Manusia sombong! Engkau hendak mengatakan bahwa seorang pendekar besar, seorang jenderal dan panglima muda seperti engkau tidak pantas dimusuhi oleh orang baik-baik, begitukah?"
"Aku tidak biasa memuji diri sendiri, nona. Akan tetapi aku selalu hanya menentang kejahatan, dan engkau sama sekali tidak kelihatan sebagai orang jahat. Maka aku merasa heran melihat engkau menjebakku dan menawanku seperti ini."
"Engkau tidak usah heran. Bukankah engkau yang telah menewaskan Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui? Nah, aku adalah Liok Bwee, puterinya. Ayahku kaubunuh dan aku berusaha membalas dendam itu. Apa anehnya?"
"Aneh, sungguh aneh dan sukar dipercaya....!" Cin Liong berkata, disengaja untuk mengulur waktu dan mencari kesempatan membebaskan diri.
"Apanya lagi yang aneh?" Liok Bwee bertanya penasaran.
"Mendiang Eng-jiauw Siauw-ong adalah orang jahat yang telah diperalat oleh Hek-i Mo-ong dan antek-anteknya, para datuk sesat, untuk menyerang Pulau Es, menyerang keluarga Pendekar Super Sakti. Dan engkau, nona, engkau mengaku puterinya, sungguh tidak pantas dan aneh sekali bahwa seorang datuk sesat seperti dia mempunyai seorang puteri yang cantik dan gagah perkasa seperti engkau...."
Wajah itu sebentar merah sebentar pucat dan sepasang mata yang bening itu menatap wajah Cin Liong yang tampan. "Sudahlah, bagaimanapun juga, aku adalah puterinya dan aku harus membalas dendam kematiannya itu."
"Nona Liok Bwee, ayahmu tewas karena kesalahannya sendiri. Andaikata dia tidak kebetulan tewas karena berkelahi melawan aku yang membela keluarga Pulau Es, tentu dia akan tewas pula oleh keluarga yang sakti itu."
"Cukup! Apakah kaukira aku mau menjadi anak yang tidak berbakti?" Dan di dalam suara gadis ini terkandung kesedihan yang besar.
"Aku sudah terjatuh ke tanganmu, terserah kepadamu, nona. Aku tidak takut mati. Hanya aku merasa sayang sekali, mengapa seorang gagah perkasa seperti engkau ini sampai menggunakan akal busuk untuk menangkapku. Aku tahu bahwa engkau seorang gagah perkasa, sehingga engkau tidak membolehkan ketika para suhengmu hendak membunuhku tadi. Akan tetapi, kalau engkau membunuhku dalam keadaan aku sudah terjebak begini, sungguh aku merasa amat sayang, nona. Tidak patut seorang seperti nona ini melakukan
pembunuhan keji secara curang, tanpa memberi kesempatan orang itu untuk membela diri. Jauh lebih baik mati sebagai seorang gagah daripada hidup sebagai seorang pengecut."Gadis itu memejamkan matanya dan dari kedua matanya itu menitik turun beberapa butir air mata. "Betapa kejamnya engkau.... betapa kejamnya engkau menusuk-nusuk perasaan hatiku. Aku memang selamanya tidak setuju dengan sepak terjang ayah. Ibu sampai meninggal dunia karena sedih memikirkan ayah yang suka bergaul dengan kaum penjahat. Sepeninggal ibu, ayah menjadi semakin nekat, bahkan mengangkat diri menjadi seorang di antara datuk kaum sesat. Ah, aku malu.... aku menyesal sekali. Ketika ayah diajak Hek-i Mo-ong, aku sudah mencegahnya, menangis, akan tetapi percuma saja. Ketika aku mendengar bahwa ayah tewas di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong, tentu saja aku merasa sakit hati. Akan tetapi apa dayaku? Aku mendengar bahwa Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir! Akan tetapi, para suhengku tak pernah putus asa dan pada suatu hari mereka menemukan jejakmu. Akan tetapi mereka semua kalah olehmu. Ah, betapa kagum hatiku. Selama hidupku, belum pernah aku melihat pendekar seperti engkau, yang dapat memukul mundur lima orang suhengku berikut semua
anak buah! Akan tetapi, aku harus membalas kematian ayahku, maka aku.... aku...."
Cin Liong diam-diam merasa girang. Tidak keliru dugaannya. Gadis ini mempunyai kelemahan, dan pada dasarnya bukanlah seorang jahat atau kejam. Akan tetapi keadaan yang memaksanya karena ia puteri ketua Eng-jiauw-pang. Maka diapun tersenyum.
"Nona, aku tidak takut mati dan mati di tanganmu jauh lebih menggembirakan daripada mati di tangan orang-orang Eng-jiauw-pang itu. Kalau engkau menganggap sudah sepatutnya aku mati karena membela kebenaran, nah, bunuhlah, jangan ragu-ragu lagi. Kalau nona ragu-ragu dan melakukan tindakan yang berlawanan dengan suara hati kecil, nona akan merasa menyesal selama hidup."
Gadis itu mengusap air matanya dan dengan mata basah memandang kepada Cin Liong, lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak.... tidak.... sejak aku berhasil meringkusmu di sini dan sampai sekarang, aku tiada hentinya menatap wajahmu dan terjadi perang di hatiku.... membuat aku gelisah dan bingung. Tidak, Kao Cin Liong, aku tidak mungkin dapat membunuhmu...."
Cin Liong tersenyum. "Sudah kuduga, nona Liok Bwee. Seorang gadis sepertimu ini, tidak mungkin menjadi seorang yang jahat atau curang. Tak mungkin engkau mau membunuh orang begitu saja. Engkau gagah dan baik...."
"Bukan....bukan begitu.... kalau bukan engkau musuh besarku, tentu sudah kubunuh sejak tadi!"
Cin Liong mengerutkan alisnya. Wanita ini sungguh aneh, pikirnya. Dan memang kalau tadi dia memuji-muji, hal itu hanya dilakukannya untuk mengulur waktu sedangkan diam-diam dia terus berusaha untuk memulihkan tenaganya, untuk membuyarkan jalan darahnya yang buntu tertotok. Dia sendiri tidak mungkin dapat mengharapkan puteri seorang datuk sesat dapat menjadi seorang yang berbudi mulia dan baik. Watak seseorang amat dipengaruhi oleh lingkungannya, bahkan hampir dapat dipastikan bahwa watak dibentuk oleh lingkungan. Kalau sejak kecil terlahir dan tumbuh di dalam lingkungan penjahat, mana mungkin gadis ini tidak menjadi jahat pula?
"Apa yang kaumaksudkan, nona?" tanyanya dengan hati berdebar tegang dan tidak enak.
"Kao Cin Liong, aku.... sejak kecil aku bertemu dengan orang-orang kasar, setelah aku dewasa, ayahku berkali-kali mendesak agar aku suka menikah. Akan tetapi, di antara pemuda-pemuda kasar dan jahat itu, mana ada yang dapat menarik perhatianku? Sejak dewasa aku seringkali membayangkan dan mengimpikan jodoh seorang pemuda yang gagah perkasa, halus budi dan seperti pendekar-pendekar yang digambarkan dalam dongeng. Maka, begitu melihatmu dikeroyok oleh para suhengku dan dengan gagah perkasa engkau mengalahkan mereka, melihat sikapmu yang halus, wajahmu, gerak-gerikmu.... sejak pertama kali melihatmu aku sudah jatuh cinta padamu, dan aku.... aku menganggapmu sebagai seorang taihiap yang patut untuk kulayani selama hidupku. Kao-taihiap.... aku cinta padamu.... dan aku tidak akan mengingat lagi tentang permusuhan antara kita kalau saja engkau sudi menerimaku.... menerima cintaku.. .."
Cin Liong kaget bukan main. Sungguh tidak disangkanya bahwa urusan akan membelok ke arah itu. Mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar. Cinta? Betapa anehnya bicara tentang cinta pada waktu seperti itu, dalam keadaan seperti itu, di waktu nyawanya bergantung pada sehelai rambut.
"Nona Liok, maksudmu...."
"Terimalah aku sebagai isterimu, taihiap. Hanya kalau aku menjadi isterimu saja aku akan dapat menghabiskan seluruh permusuhan antara kita. Cinta seorang isteri lebih kuat daripada bakti kepada ayah yang sudah meninggal...."
"Ah, tidak mungkin, nona. Kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin bagiku untuk bicara soal cinta?"
"Tapi aku cinta padamu, taihiap, aku cinta padamu...." Gadis itu mendekat, duduk di tepi pembaringan dan tiba-tiba iapun sudah menjatuhkan dirinya di atas dada Cin Liong dan menciumi muka pemuda itu, dengan malu-malu akan tetapi juga dengan nekat dan penuh perasaan.
Tentu saja Cin Liong menjadi bingung. Dia hanya dapat membuat gerakan lemah, akan tetapi tidak mampu menolak dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya seperti itu. Dan ketika bibir yang lunak itu mencium bibirnya, bagaimanapun juga darah mudanya tersirap, jantungnya berdebar dan seperti otomatis, bibirnya juga membalas, menyambut ciuman itu. Hal ini terasa oleh Liok Bwee yang mengeluarkan keluhan, mendekap lebih kuat dan mencium penuh nafsu sampai keduanya terengah-engah.
"Taihiap.... terimalah aku, aku mencintamu.... dengan seluruh jiwa ragaku.. .. aku akan menjadi seorang isteri yang mencinta, setia dan akan melakukan apa saja yang kaukehendaki...."
"Nona, tenanglah dan mari kita bicara baik-baik. Cinta adalah urusan hati, tidak mungkin orang dipaksa untuk mencinta atau membenci. Bebaskan dulu totokanku dan mari kita bicara dengan hati terbuka...."
Gadis itu menggeleng kepalanya. "Tidak, taihiap. Aku hanya mempunyai dua pilihan. Kalau engkau berjanji mau menerima cintaku, berjanji akan mengambilku sebagai isterimu, baru aku akan membebaskan totokanmu, bahkan akan membebaskanmu dari sini, dari ancaman para suhengku dan para anak buah Eng-jiauw-pang."
"Dan kalau aku menolak, engkau akan membunuhku?"
Kembali Liok Bwee menggeleng. "Tidak, aku cinta padamu, aku tidak tega untuk membunuhmu. Kalau engkau menolak, aku akan menjagamu semalam ini, akan tetapi besok aku tak mungkin dapat mencegah kalau para suhengku datang membunuhmu."
"Nona, tidak dapatkah engkau melihat betapa tak masuk akalnya maksudmu ini? Mana mungkin engkau memaksa seseorang untuk mencinta? Mana mungkin pertalian cinta dihubungkan dengan pemerasan seperti yang kaulakukan ini! Engkau seolah-olah hendak menukar nyawaku dengan janji cintaku. Apakah engkau tidak melihat bahwa kalau aku berjanji menerima cintamu karena aku takut dibunuh, maka janji dan cintaku itu adalah palsu, sekedar untuk alat menyelamatkan diri? Nona, janganlah engkau membiarkan dirimu ikut tersesat. Bebaskan totokanku dan mari kita bicara. Bagaimanapun juga, sudah jelas bahwa engkau adalah seorang yang baik, dan di antara kita terdapat pertalian persahabatan...."
"Aku membutuhkan cinta, bukan persahabatan."
"Nona, cinta timbul kalau hati tertarik, terutama oleh budi bahasa dan kelakuan yang baik. Kalau hati ditekan, tak mungkin timbul cinta. Tidakkah kau dapat menyadari hal ini? Kalau kita bersahabat, mungkin dari situ tumbuh perasaan cinta, bukan dari paksaan."
Tiba-tiba gadis itu menangis dan merangkulnya kembali. "Ah, taihiap, aku takut.... aku takut kalau aku membebaskanmu, kau lalu meninggalkan aku tanpa janji.... dan aku.... hidupku akan kehilangan pegangan lagi...."
"Akan tetapi kalau engkau mempergunakan kesempatan ini untuk memerasku, untuk memaksaku membalas cintamu, sikapmu ini saja sudah menjauhkan hatiku, nona. Apakah engkau tidak menyadari akan hal ini? Dan seorang gadis seperti engkau, betapa mudahnya mencari seorang suami yang akan sungguh-sungguh mencintamu, asal saja engkau tidak mengikuti jejak lingkunganmu yang sesat."
"Kao-taihiap.... aku.... aku takut untuk menerima cinta pria lain, aku belum pernah bertemu dengan pria sepertimu.... aku hanya menginginkan engkau seorang.. .." Gadis itu kembali menciuminya dengan penuh kemesraan dan rasa cinta yang bercampur dengan nafsu berahi.
"Braaakkk....!" Tiba-tiba daun pintu ruangan itu pecah berantakan dan muncullah lima orang suheng gadis itu dengan muka merah saking marahnya. Kedua tangan mereka masing-masing telah memakai sarung tangan cakar garuda, menandakan bahwa mereka telah berada dalam keadaan siap tempur! Liok Bwee terkejut dan melepaskan rangkulannya dari tubuh Cin Liong, dengan marah menghadap lima orang suhengnya itu.
"Kalian sungguh tidak tahu aturan, tidak pantas kuanggap sebagai saudara tua!" bentaknya
Si kumis tebal menudingkan telunjaknya ke arah muka gadis itu. "Dan engkau sungguh tidak tahu malu dan amat merendahkan dirimu seperti pengemis cinta, lebih rendah daripada seorang pelacur! Mendiang suhu menunjuk seorang di antara kami sebagai calon suamimu dan engkau tinggal memilih seorang di antara kami. Akan tetapi engkau menolak kami semua dan kini mengemis cinta dari seorang musuh besar, pembunuh ayahmu sendiri!"
"Tutup mulutmu!" bentak Liok Bwee. "Apa perdulimu dengan urusan pribadiku? Aku tidak sudi menjadi isteri seorang di antara kalian dan kalian menjadi sakit hati. Cih, tak tahu malu. Aku memilih siapapun untuk menjadi suamiku, apa hubungannya dengan kalian?"
Si kumis tebal menyeringai dan empat orang suhengnya juga tersenyum mengejek. Memang mereka merasa sakit hati karena ditolak sumoi mereka itu. "Sumoi, kami tidak perduli engkau mau memilih orang macam apa untuk menjadi suamimu. Engkau hendak memilih anjing Kao Cin Liong inipun terserah, bukan urusan kami. Akan tetapi, si keparat Kao Cin Liong ini adalah pembunuh suhu dan kami sudah bersumpah untuk membalas dendam atas kematian suhu. Maka, sekarang juga dia harus mati di tangan kami. Engkau boleh menikah dengan bangkainya saja!" Berkata demikian, si kumis menubruk ke arah Cin Liong yang belum mampu melawan itu,
kedua tangan cakar baja itu terulur.
"Tahan!" Liok Bwee berteriak sambil bergerak ke samping, kedua lengannya menangkis serangan maut dari twa-suhengnya itu. "Plak! Plak!"
Tubuh Liok Bwee terhuyung akan tetapi serangan si kumis tebal gagal. Marahlah murid pertama dari ketua Eng-jiauw-pang itu. "Sumoi, engkau hendak membela musuh besar, melindungi pembunuh ayahmu sendiri?"
"Dia adalah tawananku, siapapun tidak boleh mengganggunya!" bentak Liok Bwee dengan sikap garang dan ia sudah meloncat ke depan tempat tidur itu, melindungi Cin Liong.
Melihat ini, lima orang murid kepala Eng-jiauw-pang itu menjadi marah bukan main. Mereka melangkah maju dengan sinar mata penuh ancaman.
"Sumoi, menyingkirlah. Biarkan kami membalas dendam kepada musuh besar kita, dari selanjutnya kami tidak akan mencampuri urusanmu lagi," kata pula seorang di antara mereka.
"Tidak!"
Si kumis tebal melangkah maju. "Sumoi, sekali lagi kuperingatkan, jangan melindungi musuh. Menyingkirlah!"
"Tidak. Siapapun tidak boleh mengganggunya selama aku masih hidup!"
"Sumoi, itu berarti pengkhianatan! Kami akan menganggap engkau berpihak kepada musuh dan terpaksa kami akan menggunakan kekerasan terhadapmu!"
"Terserah! Kalian orang-orang berwatak pengecut, beraninya hanya pada orang yang sudah tidak mampu melawan. Kalian harus melangkahi mayatku untuk dapat menjamahnya!" gadis itu berkata dengan nekat.
"Engkau anak durhaka! Murid murtad!" Si kumis tebal berteriak marah dan diapun sudah menyerang sumoinya sendiri dengan gerakan yang amat cepat dan kuat. Liok Bwee mengelak dan balas menyerang. Biarpun ia puteri mendiang Eng-jiauw Siauw-ong, akan tetapi ia tidak pernah memakai sarung tangan cakar garuda. Sejak kecil ia merasa tidak senang dan jijik dengan senjata ini, maka oleh ayahnya yang lihai ia dilatih ilmu silat tangan kosong, terutama sekali ilmu menotok. Ilmu inilah yang kini ia pergunakan untuk melawan dua tangan baja twa-suhengnya. Totokan-totokan jari kedua tangannya menyambar dan menyambut serangan lawan dan karena ilmu menotok jalan darah ini memang diciptakan oleh Eng-jiauw Siauw-ong untuk mengganti ilmu cakar baja yang
tidak disukai puterinya, maka tentu saja ilmu menotok ini tepat sekali untuk menghadapi cakar baja itu. Terjadilah perkelahian yang seru, ramai dan mati-matian antara sumoi dan twa-suhengnya itu. Empat orang suhengnya yang lain hanya berdiri menonton karena mereka merasa yakin bahwa twa-suheng itu tentu akan dapat mengalahkan sang sumoi.
Dari tempat dia rebah, Cin Liong memperhatikan perkelahian itu dan diapun dapat melihat bahwa kalau hanya satu lawan satu, ilmu silat tangan kosong yang disertai ilmu totokan lihai dari Liok Bwee itu akan mampu menandingi cakar baja dari si kumis tebal. Akan tetapi di situ masih ada empat orang suheng gadis itu yang dia tahu setiap saat dapat turun tangan membantu si kumis. Maka dia amat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang mempertahankan nyawanya dan membelanya mati-matian itu. Cin Liong kembali mengerahkan tenaga sin-kangnya, namun tetap saja jalan darahnya belum pulih dan tenaga sin-kangnya tidak mau timbul, hanya dia mampu menggerakkan tubuhnya agak lebih kuat daripada tadi. Betapapun juga, dengan kekuatan otot biasa, tidak mungkin melepaskan diri dari belenggu kaki tangan itu dan ini berarti bahwa dia tidak akan mampu melindungi diri sendiri, apalagi membantu Liok Bwee.
"Nona, bebaskan totokanku!" Tiba-tiba dia berseru karena kiranya hanya nona itu yang akan mampu membebaskannya. Sekali terbebas, tidak sukar baginya untuk mematahkan belenggu dan menghajar lima orang tokoh Eng-jiauw-pang itu.
Liok Bwee yang sedang berkelahi mati-matian melawan twa-suhengnya, mendengar teriakan ini dan teringatlah ia bahwa pria yang dicintanya itu terancam bahaya maut dan hanya akan selamat kalau totokan yang membuatnya tidak berdaya itu dibebaskan. Iapun tahu akan kesaktian pemuda itu dan dapat menduga bahwa sekali totokannya dibebaskan, pemuda itu akan mampu melepaskan diri dari belenggu dan sekali terlepas, lima orang suhengnya ini bukanlah lawannya. Maka iapun cepat mengelak dari sambaran cakar besi twa-suhengnya yang agaknya sudah marah sekali kepadanya dan mengirim serangan maut yang bermaksud merobohkan dan menewaskan itu, kemudian cepat sekali Liok Bwee meloncat ke samping, ke arah pembaringan di mana Cin Liong rebah dengan maksud untuk membebaskan totokannya atas diri pemuda itu. Akan tetapi, empat orang suhengnya yang sudah tahu akan maksudnya, cepat menubruknya dari kanan kiri sebelum ia sempat mendekati Cin Liong. Delapan buah cakar baja menyerangnya dan tentu saja Liok Bwee tidak dapat melawan serangan empat orang ini sehingga kedua lengannya telah kena dicengkeram!
"Lepaskan aku! Keparat! Lepaskan aku!" teriaknya dan meronta sehingga kuku-kuku baja itu merobek baju dan kulit lengannya sehingga berdarah. Akan tetapi empat orang itu tidak mau melepaskannya dan pada saat itu, si kumis tebal yang agaknya sudah marah dan benci sekali kepada sumoi yang bukan saja menolak cintanya akan tetapi kini malah mencinta dan melindungi musuh besar Eng-jiauw-pang, agaknya sudah tidak dapat menahan panasnya hati lagi. Pada saat itu dia menubruk sambil menggerakkan kedua cakar bajanya.
"Crott! Crottt!" Cakar baja yang runcing itu telah mencengkeram tengkuk dan punggung Liok Bwee.
"Aihhhhh....!" Liok Bwee menjerit saking nyerinya ketika kuku-kuku baja yang tajam itu menusuk kulit dagingnya. Melihat ini, empat orang suhengnya yang lain melepaskannya dan twa-suhengnya, si kumis tebal itu agaknya juga terkejut sendiri melihat betapa dia telah mencengkeram tubuh sumoinya yang pernah dicintanya! Maklum bahwa dia telah membunuh sumoinya, kemarahannya ditumpahkan kepada Cin Liong. Dia mengangkat tubuh sumoinya yang sudah tak berdaya itu ke atas kepalanya, dengan masih mencengkeram tengkuk dan punggung, lalu dilontarkannya tubuh sumoinya itu dengan penuh geram ke arah Cin Liong yang rebah di atas pembaringan.
"Nih, ambillah sebelum engkau kucincang!" bentaknya. "Brukkkk....!" Tubuh Liok Bwee yang sudah lunglai itu menimpa Cin Liong di atas pembaringan dan dipan inipun runtuh terguling. Tentu saja tubuh pemuda itu terbawa pula, terguling di atas lantai dalam keadaan menelungkup.
Dengan wajah beringas dan pandang mata bengis, lima orang itu kini menghampiri Cin Liong dengan cepat, seolah-olah mereka hendak berlomba membunuh atau menyiksa musuh besar yang sudah tidak berdaya, rebah menelungkup dengan kaki tangan terbelenggu dan tubuh tertotok itu. Tubuh Liok Bwee juga terlempar sampai ke sudut ruangan di mana ia mengge letak mandi darah, tidak mampu bergerak lagi.
"Jangan bunuh dia terlalu cepat!" Si kumis tebal memperingatkan para sutenya. Musuh besar ini amat dibencinya dan sudah mendatangkan banyak sekali kerugian. Bukan hanya kematian suhu mereka, akan tetapi juga kematian empat orang anak buah, bahkan kini matinya Liok Bwee juga dia timpakan kepada pemuda yang amat dibencinya itu. Para sutenya mengerti dan setuju, maka mereka menubruk dengan maksud mencengkeram dan menyiksa musuh besar itu agar mati perlahan-lahan dan mengalami penderitaan yang amat hebat.
Akan tetapi, pada saat mereka berlima menubruk ke arah tubuh yang menelungkup tak berdaya itu, tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dari mulut Cin Liong dan tubuhnya yang menelungkup itu tiba-tiba saja bergerak, membalik dan kedua tangannya yang tadinya terbelenggu itu tiba-tiba saja bergerak, belenggu terlepas dan kedua tangannya mendorong dengan kekuatan yang dahsyat. Juga belenggu pada kedua kakinya putus semua pada saat itu juga!
"Blaaarrrr....!" Hebat bukan main tenaga yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu, seperti ada kilat meledak dan akibatnya, lima orang yang tadi menubruknya itu terlempar dan terjengkang semua, lalu terbanting keras ke atas lantai! Seketika itu dua orang di antara mereka tidak mampu bergerak lagi karena kepala mereka pecah. Mereka berdua inilah yang paling dekat dan langsung menerima hantaman kedua tangan Cin Liong. Tiga orang yang lain hanya kena disambar hawa pukulan saja, akan tetapi hal itu cukup membuat mereka terjengkang dan terbanting keras. Mereka masih dapat bangkit dengan kepala pening dan muka mereka pucat, mata terbelalak saking kagetnya. Sama sekali mereka tidak mengetahui bahwa ketika tubuh Cin Liong terlempar dari atas dipan tadi dan jatuh menelungkup di atas lantai, pada saat itu Cin Liong dapat meminjam tenaga inti bumi, dengan Ilmu Sin-liong-hok-te dia dapat menggerakkan hawa sakti dari pusarnya dan seketika jalan darahnya pulih kembali diterjang oleh hawa sin-kang yang berputar dari pusar. Maka, ketika para pengeroyoknya menubruk, dengan Sin-liong-ciang-hoat
dia menyambut dan karena sin-kangnya masih sedang penuh-penuhnya menguasai kedua lengannya, maka tentu saja lima orang musuh itu tidak kuat menahan, bahkan yang terkena hantaman langsung seketika mati dengan kepala pecah sedangkan yang lain, termasuk si kumis tebal, terguncang hebat sehingga ketika mereka bangkit lagi, mereka merasa kepala mereka pening!
Cin Liong sudah bangkit dan pertama kali yang dilakukannya adalah meloncat ke dekat tubuh Liok Bwee, berlutut dan memeriksa gadis itu tanpa memperdulikan akibat sambutan terhadap lima orang pengeroyok itu. Dia melihat betapa punggung dan tengkuk gadis itu luka-luka, demikian pula kedua lengannya, terkena cakar-cakar baja yang mengandung racun! Cepat dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan jalannya racun ke jantung, dan menotok jalan darah untuk mengurangi rasa nyeri.
Pada saat itu, si kumis dan dua orang sutenya melihat kesempatan baik selagi pemuda itu memeriksa dan mengobati Liok Bwee. Dua orang sute si kumis tebal sudah menubruk dari kanan kiri. Cin Liong maklum bahwa dirinya diserang oleh dua orang dari kanan kiri, maka diapun dengan hati-hati menurunkan lagi tubuh Liok Bwee dan secepat kilat membalik, kedua tangannya menyambut dengan dorongan, menyambut dua orang yang menyerangnya.
"Dess! Desss. ...!" Dua orang itu tidak sempat mengeluarkan teriakan lagi karena tubuh mereka terlempar ke atas dan sudah putus nyawanya sebelum tubuh mereka itu terbanting ke atas lantai! Melihat ini, si kumis tebal terbelalak dan diapun meloncat.... menjauhkan diri dan hendak lari dari ruangan itu.
"Pengecut....!" Cin Liong memaki dan diapun mengejar. Akan tetapi si kumis tebal sudah berteriak memanggil anak buahnya, maka begitu tiba di luar ruangan itu, Cin Liong sudah dikepung oleh sisa anak buah Eng-jiauw-pang yang jumlahnya masih ada hampir tiga puluh orang! Mereka semua mempergunakan cakar garuda pada tangan mereka dan dengan dipimpin oleh si kumis tebal, mereka menyerbu dan mengeroyok Cin Liong dengan mati-matian. Karena mereka semua tahu bahwa pemuda itu adalah musuh besar, pembunuh mendiang Eng-jiauw Siauw-ong, bahkan kini si kumis tebal berteriak-teriak memberitahukan bahwa empat orang sutenya dan sumoinya juga sudah tewas di tangan musuh ini, maka semua anggauta mengeroyok mati-matian untuk membalas dendam. Si kumis tebal sendiripun selain memberi komando, ikut pula mengeroyok, mengerahkan seluruh tenaganya karena sekarang merupakan pengeroyokan dan harapan terakhir baginya, karena itu harus berhasil.
Akan tetapi, panglima muda putera pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu memang hebat sekali kepandaiannya. Cin Liong juga sudah marah dan juga dia melihat kenyataan betapa kejam dan jahatnya gerombolan ini, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Kini dia tidak ragu-ragu lagi dan dia mengerahkan sin-kangnya, memainkan Sin-liong-ciang-hoat dan tentu saja anak buah gerombolan itu merupakan makanan yang amat lunak bagi ilmu silatnya yang amat ampuh dan tenaganya yang mujijat itu. Setiap kali dia menyerang, tiga empat orang roboh dan tewas seketika sehingga tanpa memakan waktu lagi, para pengeroyok itu roboh berturut-turut dan akhirnya habislah mereka. Tempat itu penuh denyan mayat yang malang melintang dan tumpang tindih! Hanya tinggal si kumis tebal seorang saja yang belum roboh karena tadi melihat kehebatan lawan, dia menyingkir ke belakang anak buahnya dan memberi komando saja. Melihat betapa semua anak buahnya roboh, si kumis ini menjadi ketakutan dan dia membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri dari tempat itu. Namun, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu musuh besar itu telah berada di depannya, menghadang dengan berdiri tegak dan sepasang mata pemuda itu mencorong seperti mata seekor naga sakti! Karena tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, si kumis tebal menjadi nekat.
"Haittt....!" Dia menyerbu dengan ganas, kedua tangannya membentuk cakar garuda dau tubuhnya meloncat ke atas lalu melayang turun, persis seperti seekor burung garuda yang terbang turun menyambar seekor kelinci. Namun, yang diserangnya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan Cin Liong juga mengulur kedua lengannya dan kedua tangannya menyambut cengkeraman lawan!
"Plakk! Plakk!" Kedua tangan itu bertemu dan secepat kilat Cin Liong mengerahkan sin-kang pada jari-jari tangannya lalu dia membuat gerakan mematahkan.
"Krekk! Krekk!" Si kumis tebal menjerit mengerikan dan tubuhnya terkulai, akan tetapi kedua cakar garuda itu tertinggal dalam genggaman tangan Cin Liong karena kedua pergelangan tangannya patah tulangnya, kemudian putus sama sekali berikut daging, otot dan kulitnya karena Cin Liong membuat gerakan mematahkan dengan kekuatan yang amat dahsyat! Kedua lengan itu buntung sebatas pergelangan tangan dan darah muncrat-muncrat. Si kumis tebal itu masih belum pingsan, melolong-lolong karena nyerinya sambil berlutut dan memandang kepada kedua lengannya yang buntung sambil menangis. Cin Liong membalikkan kedua cakar itu, lalu menghantamkan kedua senjata itu ke arah pemiliknya.
"Crott! Crott!" Si kumis roboh terjengkang dan kedua cakar garuda itu telah menancap dalam-dalam di kerongkongannya dan dadanya. Agaknya ketika menyerang tadi, Cin Liong teringat akan apa yang dilakukan orang ini kepada Liok Bwee. Sejenak Cin Liong memandang tubuh lawan yang sudah tak dapat bergerak, kemudian dia meloncat masuk kembali ke dalam ruangan belakang.
Liok Bwee yang sudah membuka kedua matanya itu, nampak tersenyum ketika melihat siapa yang berlutut di dekatnya. Apalagi ketika Cin Liong mengangkat tubuh atasnya dan memangkunya, sinar matanya berseri gembira.
"Mereka.... mereka tewas semua....?" tanyanya lirih.
Cin Liong mengangguk.
"....aku.... aku akan mati.... ah, bagaimana aku nanti dapat menemui ayah di alam baka....?"
Melihat kesedihan gadis itu, Cin Liong terharu. Bagaimanapun juga, gadis ini telah menyelamatkan nyawanya dan kini gadis ini kehilangan segala-galanya, mula-mula kehilangan ayahnya, lalu kehilangan para suhengnya dan anak buahnya, dan kini akan kehilangan nyawanya pula. Semua gara-gara dia! Dan gadis itu merasa takut untuk bertemu dengan ayahnya yang sudah meninggal lebih dahulu karena merasa telah mengkhianati Eng-jiauw-pang.
"Nona, kau.... maafkanlah aku...." katanya lirih.
Alis yang berkerut itu cerah kembali. "Ah, tidak apa. Akan kuhadapi dia, biar di alam baka sekalipun, karena dia yang bersalah, anak buahnya yang jahat. Taihiap.... engkau.... engkau tidak benci kepadaku....?"
Cin Liong terbelalak memandang wajah yang cantik itu. Benci? Ah, bagaimana dia dapat membenci gadis seperti ini?
"Tidak, nona. Aku.... sama sekali tidak benci kepadamu, aku bahkan.... suka sekali kepadamu...." Dia mempererat dekapannya seolah-olah hendak membuktikan kata-katanya karena memang sesungguhnya tumbuh suatu perasaan sayang dan suka sekali dalam hatinya terhadap gadis yang malang nasibnya ini.
Wajah itu berseri dan senasang mata itu berkilat. "Aih, terima kasih, taihiap.... kata-katamu itu akan menjadi sinar terang yang mengantarku ke alam sana.... terima kasih, aku sungguh cinta padamu, Kao-taihiap.... sungguh...."
Cin Liong semakin terharu dan seperti ada dorongan yang amatkuat dia mendekatkan mukanya. "Liok Bwee. ... kau.... kau gadis yang malang....!" Dan diapun lalu menempelkan bibirnya pada mulut itu. Seperti tersentak kaget tubuh gadis itu mengejang, mulutnya terbuka dan Cin Liong lalu menciumnya dengan sepenuh hatinya, dengan sepenuh rasa sayangnya.
Ketika dia melepaskan ciumannya dan memandang, wajah itu pucat sekali, akan tetapi berseri dan air mata mengalir di kedua pipinya yang pucat. "....terima kasih, aku cinta padamu.... terima kasih...." Dan kepala itu terkulai, matanya terpejam dan napasnya putus. Gadis itu menghembuskan napas terakhir dengan senyum di mulut!
Cin Liong tahu bahwa gadis yang dipangkunya itu telah meninggal dunia. Hal ini terasa begitu menusuk perasaan hatinya, membuatnya merasa kesepian dan kehilangan. Dia mendekap kepala itu dengan eratnya, memandangi wajahnya, menciuminya dengan air mata berlinang. Terasa sekali olehnya betapa dia membutuhkan Liok Bwee, betapa dia membutuhkan wanita, membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan cinta kasih wanita. Dia merasa seperti setangkai bunga kekeringan, sebatang pohon kehausan.
"Bwee- moi.... ah, Bwee-moi...." keluhnya, akan tetapi ketika dia memejamkan matanya, terbayanglah wajah Suma Hui dan hatinya menjadi semakin berduka.
Tak dapat disangkal lagi bahwa telah menjadi pembawaan manusia betapa pria dan wanita saling membutuhkan dan keduanya diciptakan seolah-olah memang sudah harus saling mengisi. Wanita selalu mendambakan kasih sayang pria dan rasanya tidak lengkap hidupnya tanpa adanya pria yang menyayangnya, melindunginya dan memanjakannya, membutuhkan dan mementingkan dirinya. Di lain fihak, bagi seorang pria, kebutuhan akan adanya seorang wanita dalam hidupnya adalah mutlak. Dia selalu membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan getaran dalam cinta kasih seorang wanita yang nampak dalam pandang matanya, dalam senyumnya, dalam suaranya dan dalam sentuhannya. Tanpa adanya seorang wanita yang menyayanginya seperti itu, seorang pria akan selalu merasa kehausan dan kekeringan, akan selalu merasa betapa hampa hidupnya. Pria dan wanita memang merupakan dua keadaan yang saling mengisi, saling melengkapi dan bersatunya kedua unsur Im dan Yang inilah yang menciptakan kehidupan, keindahan, dan keserasian, seperti matahari dengan bumi. Adanya yang satu tanpa adanya yang ke dua adalah pincang, janggal, dan tidak lengkap. Dan ketimpangan ini, kesepian dan ketidaklengkapan ini mulai terasa mengganggu batin Cin Liong semenjak dia gagal dalam hubungan cinta kasihnya dengan wanita, pertama dengan seorang pendekar wanita bernama Bu Ci Sian, kemudian kedua kalinya dengan Suma Hui dan kegagalan yang kedua kalinya ini lebih parah! Tidak saja Suma Hui memutuskan hubungan itu dengan tiba-tiba, bahkan dia kemudian mendengar bahwa pemutusan hubungan itu ditambah lagi dengan sebuah fitnah yang amat menyakitkan hatinya, yaitu bahwa dia dituduh memperkosa Suma Hui!
Cin Liong mengubur jenazah Liok Bwee dengan kedukaan yang mendalam, kemudian dia melapor kepada kota yang berdekatan, kepada komandan kota itu sebagai seorang panglima muda agar komandan itu suka mengerahkan anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat para anggauta gerombolan Eng-jiauw-pang. Dia sendiri lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Thian-cin untuk mencari Suma Hui!
Biarpun dia seorang pendekar sakti yang sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegang kan bahkan ancaman-ancaman nyawa sehingga batinnya tergembleng dan dia memiliki ketabahan yang jarang dimiliki pendekar lain, namun ketika dia memasuki pekarangan rumah keluarga Suma, jantungnya tetap saja berdebar tegang dan hatinya tidak urung merasa gelisah sekali. Dia telah mendengar dari orang tuanya betapa orang tuanya telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, bahkan hampir saja orang tuanya bentrok dengan keluarga ini. Dan dia mendengar pula betapa dia telah difitnah, dituduh telah memperkosa Suma Hui. Hal inilah yang harus dibereskannya dan dibikin terang. Kalau toh keluarga Suma hendak menolak pinangannya terhadap Suma Hui, hal
itu adalah hak mereka. Akan tetapi kalau mereka hendakmenjatuhkan fitnah bahwa dia telah memperkosa Suma Hui, hal ini tidak boleh dibiarkan saja dan dia harus menerangkan persoalan yang amat gawat ini. Di sepanjang perjalanannya menuju ke Thian-cin, tiada hentinya dia merenungkan fitnah yang amat aneh itu. Kiranya, keluarga seperti itu, keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es yang terkenal itu, tidak mungkin menjatuhkan fitnah sembarangan saja, apalagi fitnah berupa kejahatan perkosaan! Akan tetapi, mungkinkah seorang dara seperti Suma Hui itu berani atau sudi membohong? Kalau ia tidak benar-benar menjadi korban perkosaan, apa artinya menuduh dia memperkosa? Benarkah gadis itu menjadi korban perkosaan? Ataukah Suma Hui sengaja berpura-pura dengan pamrih lain di balik itu? Pamrih yang bagaimana? Kalau benar terjadi peristiwa laknat itu, siapa orangnya yang akan dapat memperkosa seorang dara seperti Suma Hui? Akan tetapi dia lalu teringat kepada Jai-hwa Siauw-ok. Datuk sesat itupun pernah hampir dapat memperkosa Suma Hui kalau saja dia tidak muncul di saat yang tepat!
Pendeknya, apapun yang terjadi, dia harus menemui Suma Hui, menemui keluarga Suma untuk menerangkan semua persoalan dan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengganggu pikirannya itu. Ketila pelayan mempersilahkannya duduk di ruangan tamu sementara pelayan itu melaporkan kepada tuan rumah, Cin Liong duduk dengan hati berdebar tegang. Apa yang harus dikatakannya kepada Suma Kian Lee dan isterinya kalau mereka keluar menemuinya? Rasanya tidak patut kalau begitu datang dia langsung bicara tentang hal yang merupakan aib bagi keluarga itu. Lalu, apa yang harus dikatakannya? Bagaimana kalau begitu muncul, suami isteri sakti itu langsung menyerangnya? Haruskah dia melawan? Akan tetapi dia teringat bahwa kini Suma Hui sudah menikah. Ah, itulah yang dapat dijadikannya alasan. Dia datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan itu!
Langkah kaki tegap yang menuju ke ruangan tamu itu terdengar demikian kerasnya oleh Cin Liong, menyaingi degup jantungnya. Dia sudah berdiri ketika daun pintu kamar tamu yang menembus ke ruangan dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki setengah tua gagah perkasa yang bukan lain adalah Suma Kian Lee. Sudah kurang lebih empat tahun dia tidak bertemu dengan pendekar ini dan nampak oleh Cin Liong betapa waktu empat tahun itu menambah usia sang pendekar seperti sepuluh tahun saja! Pendekar itu nampak jauh lebih tua, rambutnya sudah hampir putih semua dan banyak garis-garis prihatin menghias mukanya, menjadi keriput-keriput mendalam. Matanya yang lebar itu masih tenang seperti dulu, juga masih tajam, akan tetapi ada bayangan duka di balik ketenangannya. Pada saat itu, sepasang mata itu terbelalak membayangkan kekagetan sehingga mengherankan hati Cin Liong yang sudah cepat menjura dengan sikap hormat.
"Kao Cin Liong.. ..!" kata pendekar itu dengan suara jelas membayangkan rasa kaget melihat pemuda itu yang agaknya sama sekali tidak disangkanya akan muncul di kamar tamunya. "Engkau.... datang.... dengan maksud apakah...."
Memang sejak dari pertemuan dengan ayah bundanya, Cin Liong sudah membawa ganjalan hati. Ayah bundanya telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, mungkin juga penghinaan itu berlangsung di dalam ruangan tamu ini. Akan tetapi dia datang bukan untukme lampiaskan perasaan marah dan penasaran itu, melainkan untuk menjernihkan segala kekeruhan dan menerangkan semua kegelapan dalam perkara itu. Maka dia masih bersabar walaupun alisnya berkerut dan pandang matanya berkilat.
"Locianpwe, maafkan kalau kedatangan saya mengganggu. Saya datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan bibi Suma Hui. Sayang saya sedang bertugas sehingga tidak dapat menghadiri pesta pernikahan itu. Juga saya menyampaikan ucapan selamat dari ayah dan ibu." Cin Liong sengaja menyebut locianpwe agar tidak menonjolkan hubungan keluarga di antara mereka, akan tetapi dia tetap menyebut bibi kepada Suma Hui mengingat bahwa gadis itu telah menikah dan tidak enaklah kalau dia tetap menyebut adik seperti biasa.
Akan tetapi, ucapan selamat dari Cin Liong ini terasa seperti pisau beracun menusuk hati pendekar itu. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan sepasang matanya menatap wajah Cin Liong penuh selidik. Diapun lupa untuk mempersilahkan tamunya duduk dan mereka masih berdiri saling berhadapan.
"Terima kasih," jawab Suma Kian Lee dengan suara lirih menahan perasaan yang bergolak. "Lalu apalagi keperluanmu mengunjungi kami?"
Kerut-merut di antara alis pemuda itu makin mendalam. Sungguh angkuh dan sombong sekali orang ini, pikirnya. Beginikah sikap putera dari mendiang Pendekar Super Sakti? Tentu saja dia tidak tahu bahwa sikap yang diperlihatkan oleh Suma Kian Lee itu sungguh sama sekali bukan sikap aselinya. Pendekar ini telah mengalami musibah, seteguh-teguhnya batu karang seperti dia telah dilanda badai yang amat hebat sehingga membuat kekokohan batinnya menjadi goyah.
"Memang ada lagi keperluan lain, locianpwe. Saya datang untuk membikin jernih kekeruhan yang terjadi antara keluarga locianpwe dan keluarga kami."
"Bagus!" Suma Kian Lee berkata tegas dan mulutnya membayangkan senyum pahit. "Seorang gagah harus menghadapi segala keadaan dengan sikap gagah pula. Engkau datang karena merasa bahwa keluarga Kao telah menerima penghinaan dari keluarga kami?"
Kao Cin Liong mengangguk. "Setidaknya menerima perlakuan yang tidak semestinya kami terima."
"Bagus!" kembali pendekar itu berseru. "Mari kau ikut denganku, Kao Cin Liong!"
Melihat sikap yang tegas dan kaku itu, diam-diam di dalam hati Cin Liong sudah timbul penasaran dan hatinya semakin terbakar. Maka tanpa banyak cakap dia mengangguk dan mengikuti tuan rumah itu yang berjalan melalui lorong di samping rumah, menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dia pernah mengunjungi rumah ini dan sedikit banyak sudah mengenal keadaannya, maka diapun hanya mengikuti saja dengan hati penasaran ketika tuan rumah membawanya ke ruangan itu. Ruangan yang luas itu kosong dan keadaan amat sunyi, membuat hati Cin Liong menduga-duga ke mana perginya anggauta keluarga lainnya. Kini mereka berdiri saling berhadapan di lian-bu-thia dan Suma Kian Lee, aneh sekali, kini berseri-seri memandang wajah pemuda itu. "Seorang gagah akan menyelesaikan urusan dengan cara yang gagah pula. Keluarga Kao telah merasa terhina oleh keluargaku dan engkau datang untuk membuat perhitungan, itu sudah adil sekali. Dan aku sebagai orang yang bertanggung jawab atas keluarga Suma, sudah berdiri di hadapanmu, siap untuk menebus kesalahan dengan cara yang gagah pula. Kao Cin Liong, aku sudah siap, majulah!" Suma Kian Lee memasang kuda-kuda dengan sikap yang gagah.
Cin Liong terkejut dan juga marah. Sungguh sombong, pikirnya. Akan tetapi dia masih ingat bahwa sungguh amat tidak baik menanam permusuhan dengan keluarga Suma, apalagi kalau diingat bahwa ibunya masih terhitang anggauta keluarga Pulau Es pula. Dia datang untuk menjelaskan perkara, untuk mencari kebenaran, bukan untuk menuntut keadilan dengan membalas dendam.
"Akan tetapi, locianpwe, kedatangan saya bukan untuk berkelahi!" bantahnya.
"Kao Cin Liong, siapa yang mau berkelahi? Kita bertanding untuk membuat perhitungan yang ada. Aku tahu bahwa engkau adalah putera Si Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau telah memiliki tingkat kepandaian yang setanding dengan aku, maka akupun tidak malu untuk menandingimu. Mari, aku sudah siap. Kecuali kalau engkau seorang penakut, nah, tak perlu banyak cakap, pergilah."
"Locianpwe terlalu tinggi hati dan terlalu memaksa!" bentak Cin Liong marah.
"Memang! Majulah, orang muda!" Anehnya, suara pendekar ini semakin gembira.
Melihat betapa lawannya sudah memasang kuda-kuda, Cin Liong yang tidak sudi disebut pengecut itu sudah menerjang sambil mengeluarkan teriakan peringatan. Hantamannya amat kuat dan cepat, namun dengan indahnya serangan pertama itu dapat dihindarkan oleh Suma Kian Lee yang juga memiliki gerakan yang mantap dan kuat. Suma Kian Lee mengelak sambil membalas serangan dengan tidak kalah kuatnya, akan tetapi Cin Liong juga dapat mengelak dengan cepat. Terjadilah serang-menyerang dengan serunya dan diam-diam kedua orang pendekar tua dan muda ini saling agum akan kehebatan dan kegesitan lawan. Ilmu silat mereka berbeda sekali, dari sumber yang berlainan, akan tetapi keduanya sama kuatnya, sama indahnya dan sama mantapnya. Mungkin saja Kian Lee menang latihan dan menang matang, akan tetapi Cin Liong yang menang muda itu tentu saja menang napas dan menang cepat gerakannya.
"Lihat pukulan!" Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru setelah mereka bertanding lebih dari tiga jurus dan hanya mengandalkan kecekatan mereka untuk saling mengelak dan saling membalas. Kini pendekar Pulau Es itu mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang dan menghantam dengan kecepatan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh lawan. Cin Liong terkejut, mengenal pukulan ampuh yang hawanya mengandung dingin luar biasa ini. Dia sudah mendengar bahwa para pendekar Pulau Es memiliki dua macam ilmu andalan, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) dan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api), maka merasa betapa dinginnya pukulan ini, dia dapat menduga bahwa ini tentulah pukulan Tenaga Sakti Inti Salju itu. Diapun cepat mengerahkan tenaganya dan karena maklum bahwa kekuatan lawan amat hebat, diapun tidak mau membahayakan dirinya dan langsung saja dia mempergunakan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dengan mempergunakan tenaga inti bumi dalam pengerahan tenaga Sin-liong-hok-te. Tubuhnya tiba-tiba menelungkup dan ketika pukulan datang, diapun meloncat dan menerima pukulan kedua tngan itu dengan kedua telapak tangannya sendiri.
"Desss. ...!" Dua tenaga raksasa bertemu di tengah udara dan akibatnya, tubuh Cin Liong terpental ke belakang sampai tiga tombak, akan tetapi sebaliknya Suma Kian-Lee terhuyung, mukanya menjadi pucat dan mulutnya mengeluarkan sedikit darah segar!
Cin Liong terkejut bukan main. Dia tidak merasa terluka walaupun tubuhnya terlempar, dan kini dia menghampiri lawannya, bermaksud untuk memeriksa kalau-kalau lawannya terluka parah. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika kini Suma Kian Lee membentak lagi, "Lihat pukulan....!"
Sekali ini, pukulan pendekar Pulau Es itu membawa hawa yang panas dan tahulah Cin Liong bahwa pukulan ini tentulah Hwi-yang Sin-ciang. Maka diapun cepat mengumpulkan tenaganya dan menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangan. Untuk mengelakkan pukulan sakti seperti itu jauh lebih berbahaya lagi.
"Blaarrr....!" Cin Liong terlempar lagi dan terbanting keras, seluruh tubuhnya terasa panas dan dia terkejut bukan main. Akan tetapi hanya kepalanya yang terasa pening dan dia bangkit kembali, menggoyang-goyangkan kepalanya mengusir kepeningan, dan ketika dia memandang, dia melihat lawannya berdiri tegak, namun tubuhnya bergoyang-goyang dan dari mulutnya mengalir darah segar lebih banyak lagi. Dan pendekar tua itu tersenyum!
"Bagus! Tidak memalukan engkau menjadi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau memang pantas mencuci penghinaan atas nama keluargamu. Aku tidak malu roboh di tanganmu. Mari lanjutkan.. ..!" Dan Suma Kian Lee sudah melangkah maju lagi walaupun terhuyung-huyung.
Cin Liong kebingungan. Dia tahu bahwa lawannya terluka parah. Akan tetapi, lawannya masih hendak menyerang lagi, maka terpaksa diapun cepat memasang kuda-kuda dengan waspada karena maklum bahwa para pendekar Pulau Es merupakan gudang-gudang ilmu silat tinggi yang amat hebat.
"Kao Cin Liong, terimalah seranganku!" kata Suma Kian Lee, akan tetapi pada saat dia melangkah maju, siap menerjang, terdengar jeritan nyaring.
"Tahan....!" Dan sesosok bayangan meluncur datang, lalu memeluknya dari belakang. "Suamiku, apa yang kaulakukan ini? Ya Tuhan.... engkau.... engkau terluka....!" Wanita itu adalah Kim Hwee Li yang segera memapah suaminya diajak duduk di atas bangku di sudut ruangan yang luas itu.
Ditangani isterinya, Kian Lee tidak banyak membantah. Diapun segera duduk bersila di atas lantai seperti yang diminta isterinya dan Kim Hwee Li sudah menempelkan kedua tangannya ke dada suaminya.
"Kao Cin Liong, ke sinilah dan bantu aku mengobati suamiku. Cepat!" kata wanita itu.
Cin Liong cepat menghampiri. Biarpun dia bingung sekali, akan tetapi dia tidak ragu-ragu untuk cepat duduk bersila di belakang kakek itu dan menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Kian Lee sambil mengerahkan sin-kang perlahan-lahan. Diapun tahu cara pengobatan dengan sin-kang untuk menyembuhkan luka sebelah dalam tubuh orang. Setelah diobati oleh pengerahan sin-kang kedua orang itu, akhirnya wajah Kian Lee menjadi merah kembali dan pernapasannya menjadi tenang dan pulih. Dia menarik napas berkali-kali lalu ber kata, "Sudah, cukuplah...."
Kim Hwee Li melepaskan tangannya dan diturut pula oleh Cin Liong yang cepat bangkit berdiri mundur beberapa langkah, menanti dengan sikap hormat. Kim Hwee Li mengajak suaminya bangkit duduk di atas bangku dan nyonya itu setelah memandang wajah suaminya dan Cin Liong berganti-ganti, lalu membanting kakinya.
"Suamiku ini semakin tua semakin bandel dan keras kepala!" Lalu nyonya itu menangis, mengusap air matanya dengan punggung tangan. Mengharukan sekali melihat nyonya ini menahan tangisnya seperti anak kecil yang sedih sekali.
Suma Kian Lee kembali menghela napas. "Isteriku, kenapa engkau tidak membiarkan aku mati terhormat seperti orang gagah? Apa artinya hidup akan tetapi menanggung malu dan telah melakukan kesalahan memalukan yang besar sekali terhadap keluarga Kao? Aku hanya akan menjadi bahan ejekan orang saja." Kedua mata pendekar ini menjadi basah dan beberapa kali dia memejamkan mata untuk menahan runtuhnya air matanya.
Dengan air mata masih menetes di sepanjang pipinya, Kim Hwee Li bangkit berdiri dan menepuk dada, membanting kakinya. "Hendak kulihat siapa orangnya yang berani mengejek suamiku! Ingin kulihat siapa berani! Siapa....?" Ia menantang-nantang seolah-olah di depannya berdiri seluruh manusia di dunia yang berani lancang mengejek suaminya yang dicintanya sepenuh hati. Diam-diam Cin Liong kagum melihat nyonya ini dan dapat merasakan besarnya cinta yang terkandung dalam dada nyonya itu terhadap suaminya.
"Maaf.... ji-wi locianpwe.... sesungguhnya saya menjadi bingung sekali.... saya datang untuk menjernihkan suasana, akan tetapi kiranya malah diterima salah dan kalau kedatangan saya hanya makin mengeruhkan keadaan, harap sudi memberi penjelasan dan saya bersedia untuk minta maaf," katanya merendah.
Kim Hwee Li menarik napas panjang. "Duduklah Cin Liong. Suamiku ini memang keras kepala dan keras hati pula. Dia sedang dalam keadaan sakit yang cukup parah karena guncangan batin. Dia tahu akan keadaannya itu maka agaknya menantangmu agar dia dapat mati di tanganmu."
"Locianpwe....!" Cin Liong berseru terkejut sekali sambil memandang kepada Suma Kian Lee. Jadi itukah gerangan sebabnya mengapa pendekar itu menantangnya dan membiarkan dirinya terluka dalam pertemuan tenaga sakti? Kiranya sedang menderita sakit sehingga lemah dan mencari kesempatan tewas dalam pertandingan itu! Dia bergidik. Tanpa disadarinya hampir dia menjadi pembunuh orang yang sedang lemah dan sakit! "Apa.... apa artinya semua ini?"
Suma Kian Lee menarik napas panjang dan memandang pemuda itu. Kemuraman dan kedukaan membayang di wajahnya, sungguh berbeda dengan tadi ketika menghadapi maut, wajah pendekar itu berseri gembira. "Kami telah menghina keluarga Kao, bahkan telah menjatuhkan fitnah keji atas dirimu yang ternyata tidak berdosa. Aku merasa malu sekali. Maka ketika engkau datang, mewakili keluargamu, sungguh kebetulan bagiku karena aku dapat menebus dosaku itu. Kekuatan kita seimbang, akan tetapi aku sedang sakit dan kalau aku tewas di tanganmu dalam sebuah pertandingan yang adil, aku.... aku tidak perlu malu bertemu dengan ayah bundamu...."
"Tapi, locianpwe. Kami sekeluarga sama sekali tidak mendendam atas perlakuan ji-wi locianpwe sekeluarga karena ayah juga merasa yakin bahwa ada sesuatu di balik semua itu. Begitu saya kembali ke rumah, ayah dan ibu menegur saya tentang.... eh, tentang.... perkosaan yang katanya saya lakukan. Karena itulah saya penasaran, locianpwe, dan ingin membikin terang duduknya persoalan, bukan karena dendam oleh penghinaan itu. Kalau toh ada penghinaan itu terhadap keluarga kami, tentu terjadi karena kesalahpengertian di pihak locianpwe sekeluarga."
"Memang sebenarnya demikianlah, Cin Liong. Ada salah pengertian besar di pihak kami yang baru kami ketahui setelah terlambat...." kata Kim Hwee Li dengan suara berat.
"Akan tetapi, locianpwe, sebetulnya.... apakah yang telah terjadi dengan.... Hui-i (bibi Hui)? Ji-wi locianpwe mengetahui perasaan saya terhadap Hui-i, dan maafkan kalau pertanyaan saya itu terlalu mendesak, mengingat bahwa Hui-I kini telah menikah dengan bahagia...."
"Tida k! Dia.... dia.... ahhh...." Suma Kian Lee tidak melanjutkan kata-katanya dan menunduk dengan muka muram.
Cin Liong menatap wajah pendekar itu, lalu menoleh kepada isteri pendekar itu. Akan tetapi keduanya tidak melanjutkan keterangan mereka dan nampaknya berat sekali untuk bicara. Akhirnya Kim Hwee Li berkata, "Cin Liong, kami tidak dapat memberi tahu kepadamu...."
Cin Liong menunduk, merasa terpukul hatinya. Dia seperti diingatkan bahwa dia bukanlah apa....apa, bukan keluarga dan tentu saja tidak berhak bertanya-tanpa tentang diri Suma Hui. Dia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara berat, "Maaf.... saya telah bersikap lancang...."
"Tidak, Cin Liong. Engkau telah kejatuhan fitnah, biarpun kini kami mengaku telah salah paham menjatuhkan fitnah keji, namun engkau berhak mengetahui apa yang telah terjadi maka sampai kami menuduhmu. Akan tetapi.... karena hal ini menyangkut pribadi Hui-ji, maka sebaiknyalah kalau engkau mendengarnya dari mulutnya sendiri, kalau ia mau menceritakan...."
"Tapi.... tapi.... Hui-i sudah...."
"Temui saja ia, Cin Liong," kata wanita itu. "Ia sedang berlatih di telaga kecil sebelah barat di luar kota ini. Temuilah saja dan lihat saja perkembangannya nanti."
Cin Liong sudah tahu di mana letaknya telaga kecil itu. Dia lalu memberi hormat kepada kedua orang tua itu, kemudian tanpa bicara lagi dia lalu keluar dan berlari cepat keluar dari kota Thian-cin menuju ke barat, ke arah telaga itu, tanpa memperdulikan orang-orang yang memandang heran melihat seorang pemuda berlari-lari secepat itu.
Seorang gadis dan seorang pemuda sedang berlatih silat di tepi telaga kecil itu. Latihan mereka sungguh akan mentakjubkan orang yang melihatnya. Akan tetapi tempat itu sunyi dan seandainya ada orang yang melihatnya, kiranya kedua orang muda itu tidak akan melakukan latihan di tempat itu. Tadinya mereka berlatih silat tangan kosong, saling serang dengan hebatnya dan dari sambaran kedua tangan mereka, ada hawa pukulan yang amat kuat menyambar-nyambar, menimbulkan angin pukulan yang membuat pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras. Kadang-kadang pukulan mereka itu mengeluarkan bunyi
bercicitan, bahkan ada kalanya pukulan mereka mengeluarkan uap yang dingin sekali, kemudian berganti menjadi uap yang luar biasa panasnya! Keduanya sama tangkas, sama cepat dan pukulan-pukulan mereka sungguh menggiriskan hati siapa yang melihatnya. Setelah berlatih silat tanqan kosong, saling serang sampai seratus jurus lebih, mereka beristirahat sebentar, kemudian mereka berlatih di tepi telaga. Bergantian mereka mengirim pukulan-pukulan ke arah air telaga dan bukan main hebatnya pukulan itu. Pukulan yang mengandung hawa dingin aneh sekali sampai air yang terlanda pukulan mereka menjadi beku seperti salju dan es! Kemudian, dengan pukulan yang hawanya panas mereka mencairkan kembali gumpalan-gumpalan salju itu, bahkan nona itu memasukkan
lengannya ke air, menggerakkannya dengan pengerahan tenaga, mengirirn getaran-getaran melalui tangannya dan air di sekeliling lengannya menjadi panas!
Mereka itu adalah Suma Hui dan Suma Ciang Bun, dua orang putera dan puteri pendekar Suma Kian Lee. Seperti telah kita ketahui, Suma Kian Lee merasa menyesal bukan main akan aib dan musibah yang menimpa diri puterinya, merasa menyesal bahwa dia telah salah pilih, telah menaruh kepercayaan yang amat besar kepada seorang pemuda seperti Louw Tek Ciang yang kemudian ternyata adalah seorang penjahat cabul murid Jai-hwa Siauw-ok! Dia bukan hanya mempercayai pemuda itu, bahkan telah mengambilnya sebagai murid, sebagai ahli waris ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es dan juga telah memilihnya sebagai mantu! Setelah diketahuinya bahwa pemuda bejat ahlak itu seorang penjahat licik yang telah memperkosa Suma Hui kemudian menggunakan nama Cin Liong untuk menjatuhkan fitnah, Suma Kian Lee baru sadar akan kebodohan dan ke keliruannya. Dia melarang kedua orang anaknya melakukan pencarian. Louw Tek Ciang sudah terlampau lihai bagi mereka, apalagi di sampingnya masih terdapat seorang datuk sesat seperti Jai-hwa Siauw-ok! Maka, dia lalu menggembleng kedua orang anaknya itu siang malam tanpa mengenal lelah. Dua orang muda itupun berlatih dengan amat tekunnya sehingga lewat dua tahun saja, mereka yang memang sudah mempunyai
dasar ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, telah menguasai kedua Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang amat hebat itu.
Sejak mengalami peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya, yaitu pemerkosaan terhadap dirinya yang disusul dengan guncangan-guncangan lain, Suma Hui kini nampak matang dan ada garis-garis penderitaan di ujung bibir dan ujung matanya. Usianya baru dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun, akan tetapi ia kelihatan lebih matang. Ia telah digembleng pengalaman-pengalaman yang amat mengguncangkan batinnya. Pemerkosaan atas dirinya merupakan aib yang hebat, akan tetapi persangkaan yang sudah yakin bahwa pemerkosanya adalah Kao Cin Liong, pemuda yang dicintanya, benar-benar menghancurkan batinnya dan membuat ia hampir putus asa. Kemudian, semua ini masih disusul lagi oleh peristiwa keributan antara keluarganya dan keluarga Kao, dan yang kemudian sekali, kenyataan bahwa pemerkosanya ternyata sama sekali bukanlah Kao Cin Liong melainkan Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suhengnya dan juga suaminya sendiri, benar-benar merupakan pukulan terakhir baginya. Pukulan terakhir ini melandanya dengan perasaan-perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa girang bahwa pemuda yang dicintanya, Kao Cin Liong, ternyata bukanlah seorang jahat dan sama sekali tidak melakukan perbuatan laknat itu! Rasa girang ini bercampur rasa penyesalan besar sekali karena ia telah menuduh pemuda itu, menuduhnya dan hampir membunuhnya, bahkan menuduhnya di depan orang tuanya yang mendatangkan penghinaan kepada keluarga Kao! Di samping rasa girang dan sesal yang hampir tak tertahankan olehnya ini, ada lagi rasa marah dan dendam yang berkobar-kobar terhadap Louw Tek Ciang! Dendam inilah yang membuat Suma Hui berlatih dengan amat tekunnya, tidak ingat waktu, tidak mengenal lelah, seolah-olah tujuan hidupnya hanya tinggal belajar silat sepandai-pandainya untuk kemudian mencari dan membunuh Louw Tek Ciang si jahanam! Suma Ciang Bun juga berlatih dengan sama giatnya. Bukan saja karena semangat belajar encinya itu menular kepadanya, akan tetapi juga pemuda ini mengalami ketegangan dan guncangan batin karena konflik-konflik yang terjadi di dalam dirinya sendiri. Melihat kelainan yang melanda batinnya, Ciang Bun menjadi gelisah sekali. Encinya merupakan orang pertama, bahkan satu-satunya orang yang dipercayanya dan yang mengetahui keadaan dirinya. Akan tetapi encinya juga bingung dan tidak mampu menolongnya, bahkan tidak mampu memberi nasihat sehingga Ciang Bun lalu mencari pelarian dalam berlatih mati-matian. Dengan melatih diri mati-matian tanpa mengenal lelah itu, sedikitnya dia dapat melupakan kegelisahannya dan karena dia tidak banyak bergaul, maka kelainan itupun tidak terlalu mengganggunya.
Demikianlah, dengan latar belakang dorongan masing-masing, kedua orang enci dan adik ini berlatih dengan amat giatnya dan pada waktu itu, latihan-latihan mereka sudah mencapai tingkat terakhir dan hanya tinggal mematangkan saja dengan latihan selanjutnya. Ayahnya telah menuangkan semua ilmunya kepada mereka, juga ibu mereka. Saking besarnya semangat belajar mereka, Suma Hui bahkan mempelajari ilmu-ilmu aneh dari ibunya, yaitu ilmu pawang ular, ilmu untuk menaklukkan ular-ular yang dikuasai oleh ibunya, juga memperdalam ilmu pukulan Cui-beng Pat-ciang yang hanya delapan jurus akan tetapi amat hebatnya itu dari ibunya. Bahkan, menurut petunjuk ibunya, gadis ini sudah berhasil memperoleh ular kalung emas, seekor ular yang amat berbisa, dan memeliharanya sehingga ular yang amat ganas itu jinak sekali terhadap Suma Hui, akan tetapi merupakan senjata yang amat ampuh terhadap lawan. Ayahnya kurang setuju, karena ilmu seperti itu, kalau dipergunakan untuk menghadapi lawan, termasuk ilmu sesat, akan tetapi Suma Hui berjanji bahwa ia akan mempergnuakan senjata ular dan ilmunya memanggil ular-ular itu hanya apabila menghadapi Tek Ciang dan kawan-kawannya, kaum sesat.
Suma Ciang Bun juga tidak mau kalah. Pemuda ini telah memilih ilmu yang diwarisi ayahnya dari mendiang neneknya, yakni nenek Lulu. Di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, pemuda ini mewarisi Ilmu Toat-beng Bian-kun dan Hong-in Bun-hoat. Kemudian, dari ibunya dia mempelajari ilmu melempar senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang harum baunya. Melihat betapa puteranya ini berbakat sekali bermain pedang, ayahnya memberi kepadanya sepasang pedang yang amat baik buatannya, dari baja murni dan pedang itu amat indah, terukir bunga teratai dan pedang itu bernama Lian-hwa Siang-kiam (Sepasang Pedang Bunga
Teratai). Ciang Bun suka sekali dengan sepasang pedang yang tipis ini, yang dimasukkan dalam satu sarung, gagangnya terukir indah dan dihias emas permata, juga gagangnya diukir indah dengan gambar bunga-bunga teratai putih dan merah. Memang pada dasarnya Ciang Bun suka bersolek, maka sepasang pedang yang indah ini amat disukanya. Dari ayahnya dia mempelajari ilmu pedang pasangan yang bernama Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).
Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik yang sedang berlatih silat di tepi telaga itu. Sejak tadi Cin Liong sudah tiba di situ dan hatinya diliputi rasa haru yang amat benar ketika dia melihat Suma Hui berlatih bersama Ciang Bun. Suma Hui! Hatinya menjerit-jerit memanggil nama gadis itu dan rasa rindunya yang sudah mendalam itu membuat dia hampir tidak dapat menahannya. Ingin dia mendekati gadis itu, merangkulnya, menciumnya, dan membisikkan kata-kata cinta kepadanya. Saat itu terasa benar olehnya betapa dia sangat mencinta gadis itu! Betapa dia akan sukar untuk dapat melupakan gadis itu selama hidupnya dan betapa akan sukarnya mencari penggantinya.
"Hui-moi....!" Jeritan hatinya ini tanpa disadarinya lagi telah terlontar lewat mulutnya sendiri. Suma Hui yang kini berada di tepi telaga itu bukan lagi Suma Hui kekasihnya dahulu. Dia sudah tidak bebas lagi karena telah menjadi isteri orang! Biarpun teriakannya tadi tidak begitu keras dan jaraknya masih jauh, akan tetapi agaknya suaranya terdengar oleh kedua orang kakak beradik itu, atau mungkin juga mereka merasakan kehadirannya. Keduanya menoleh dan melihatnya.
Yang pertama kali berseru adalah Suma Ciang Bun. Pemuda itu sedemikian girangnya ketika melihat Cin Liong sehingga dia melompat dan menghampiri pemuda itu, lalu merangkulnya.
"Cin Liong, ke mana sajakah engkau selama ini? Ah, engkau kurus benar!"
Cin Liong hanya tersenyum dan memandang ke arah Suma Hui yang masih berdiri saja seperti telah berobah menjadi patung dan dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali.
"Paman Ciang Bun, engkau kini sudah kelihatan dewasa. Ah, ilmu silatmu tentu sudah tinggi sekali sekarang!" kata Cin Liong menanggapi kegembiraan yang diperlihatkan Ciang Bun.
"Cin Liong, kebetulan engkau datang. Kami memang sedang berlatih. Mari, kauberi petunjuk padaku agar aku dapat melihat di mana letak kekurangan dan kesalahanku!" berkata demikian, Ciang Bun lalu maju menyerang.
Melihat kegembiraan pemuda itu, Cin Liong merasa tidak tega menolak, maka sambil tertawa diapun mengelak dan balas menyerang. Segera mereka mulai berlatih dengan saling serang. Akan tetapi ketika Cin Liong menangkis, dia terkejut sekali mendapat kenyataan betapa kuatnya lengan pemuda itu, betapa besar tenaga sin-kang yang menggerakkan lengan itu! Diapun terseret ke dalam kegembiraan dan bersilat dengan sungguh-sungguh karena dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali. Sementara itu, Suma Ciang Bun iuga merasa amat gembira, bukan hanya bertemu dengan keponakan yang
amat dikagumi dan disukainya itu, melainkan karena kini dia memperoleh kesempatan berlatih dengan seorang lawan yang pandai. Biasanya, dia hanya dapat berlatih melawan encinya, ayahnya atau ibunya saja. Ilmu silat mereka sama, maka tentu saja dia menjadi bosan karena dia sudah tahu akan ke mana arah serangan mereka yang sekeluarga itu. Akan tetapi, kini menghadapi Cin Liong, dia seperti menghadapi seorang lawan yang sungguh-sungguh. Dia harus berhati-hati karena dia belum mengenal gerakan lawan dan ini merupakan latihan yang amat baik dan menarik. Serang-menyerang terjadi dan makin lama Cin Liong semakin kagum. Tak disangkanya bahwa selama beberapa tahun ini, Ciang Bun telah memperoleh kemajuan yang demikian pesatnya dan memiliki banyak macam ilmu silat yang mutunya tinggi sekali. Dia harus membalas serangan, karena kalau dia hanya bertahan, bukan tidak mungkin dia akan kalah oleh pemuda ini! Tanpa mereka rasakan, mereka telah bertanding atau berlatih sampai lima puluh jurus!
Suma Hui dapat bernapas lega. Ketika tadi ia melihat munculnya Cin Liong secara mendadak, ia merasa jantungnya terguncang hebat dan hampir saja ia melarikan diri atau roboh lemas. Kiranya ia tidak akan mampu menghadapi Cin Liong pada saat pertemuan itu, maka ketika adiknya mengajak pemuda itu berlatih silat, dia mempunyai banyak kesempatan untuk mengatur pernapasannya dan meredakan jantungnya yang bergelora tadi. Mukanya yang tadinya pucat sekali itu perlahan-lahan berobah merah dan kedua matanya terasa panas. Ia menahan-nahan tangisnya melihat pemuda yang dicintanya itu. Betapa kurusnya muka Cin Liong! Ah, betapa sesungguhnya ia amat mencinta pemuda itu. Baru kini terbuka matanya bahwa ia tidak pernah membenci Cin Liong, tidak pernah dapat membencinya. Kalau dulu ia bertekad untuk mencari dan membunuh Cin Liong, hal itu bukan karena benci melainkan karena kecewa mengapa pemuda yang dicintanya itu menghancurkan segala harapannya. Dan kini? Ternyata pemuda itu sama sekali tidak bersalah. Pemuda itu telah difitnahnya! Dituduhnya melakukan hal yang demikian kotor dan rendah! Baru kini ia merasa menyesal sekali mengapa ia sampai begitu bodoh. Mana mungkin seorang pendekar gagah perkasa seperti Cin Liong, putera Naga Sakti Gurun Pasir, seorang panglima muda yang dipercaya kaisar, mau melakukan perbuatan serendah itu? Kenapa ia dahulu tidak bicara terang-terangan saja dengan Cin Liong dan menceritakan segalanya tanpa menuduhnya seperti itu?
"Cukup, paman Ciang Bun, cukup.... wah, engkau lihai sekali....!" Cin Liong meloncat ke belakang. Ciang Bun menghentikan serangannya dan keduanya saling pandang sambil tertawa dan mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi.
"Wah, setelah berlatih mati-matian selama beberapa tahun, masih saja aku belum mampu mengimbangimu, Cin Liong, apalagi menandingimu."
"Engkau terlalu merendah, paman. Kepandaianmu hebat, hampir-hampir aku tidak kuat menahannya," kata Cin Liong memuji.
Suma Hui kini melangkah maju menghampiri. Sejenak ia berdiri bertukar pandang dengan Cin Liong yang cepat memberi hormat. "Hui-i, maafkan kalau aku datang mengganggu," katanya dengan suara gemetar.
Suma Hui tak mampu menjawab, hanya memandang dan dua titik air mata yang sejak tadi sudah memenuhi pelupuk matanya, kini menetes turun ke atas pipinya. Ia lalu menoleh kepada adiknya dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, "Bun-te, tinggalkan kami sendirian...."
Ciang Bun mengangguk maklum dan pemuda inipun lalu pergi dan lari dari tempat itu. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi bayangannya, barulah Suma Hui memutar tubuh menghadapi Cin Liong. Kembali mereka saling berpandangan, lalu terdengar suara gadis itu lirih, "Cin Liong, engkau datang.... mau apakah....?"
Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh ayah gadis ini, pikir Cin Liong dengan hati terpukul. Akan tetapi dia harus berani menghadapi semua ini. Dia harus mengetahui segala yang terjadi atas diri wanita yang dicintanya ini. Dia tidak akan mengganggu, tidak berani, karena bukankah wanita ini telah menjadi isteri orang?
"Bibi Hui.... aku datang untuk.... untuk menanyakan kesalahanku, kesalahan kami sekeluarga kepada ayah bundamu. Aku sudah menghadap mereka dan.... dan mereka menyuruhku bertanya kepadamu sendiri."
Suma Hui mengerutkan alisnya dan memejamkan matanya sebentar untuk mengusir semua kenangan pahit yang telah dideritanya selama ini. Kemudian, ia melolos sepasang pedangnya. Melihat ini, Cin Liong terkejut bukan main.
"Hui-i, kalau sekali ini engkau menyerangku lagi, biarlah aku mati di tanganmu, dan aku tidak akan melawanmu."
Sepasang mata itu terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan beberapa butir air mata mengalir turun. Sepasang pedang itu dilemparkannya ke dekat kaki Cin Liong dan suaranya berbisik gemetar, "Cin Liong, aku telah bersalah kepadamu, kepada keluargamu, dosaku besar sekali dan aku layak mati. Nah, bunuhlah aku, boleh kaupergunakan pedangku yang pernah kupakai menyerang dan melukaimu dahulu itu."
"Hui-i...." Cin Liong terkejut bukan main. Cepat dia mengambil sepasang pedang itu dan melangkah maju, mengangsurkan sepasang pedang itu, mengembalikannya kepada pemiliknya. "Mengapa begitu? Simpanlah kembali pedangmu...."
Akan tetapi Suma Hui tidak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan iapun menjatuhkan dirinya, bersimpuh ke atas tanah berumput di tepi telaga itu. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sedih, menahan isaknya dan hanya guncangan kedua pundaknya saja dan air mata yang mengalir melalui celah-celah jari tangannya yang menunjukkan bahwa gadis perkasa ini sedang menangis.
Cin Liong berlutut di dekatnya, meletakkan sepasang pedang itu di sisi pemiliknya. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul, akan tetapi ingatan bahwa wanita ini adalah isteri orang lain menahan gelora hatinya.
"Hui-i.... harap jangan menangis. Di manakah.... eh, suamimu?"
Pertanyaan ini agaknya amat mengejutkan Suma Hui. Ia menurunkan kedua tangannya, mukanya pucat dan matanya merah basah, kini memandang kepada wajah pemuda itu seperti orang, merasa heran dengan pertanyaan itu. "Engkau.... engkau belum mengetahuinya dari ayah dan ibuku?"
"Belum. Ketika aku menghadap mereka, mereka hanya menyuruh aku menemuimu di sini dan minta penjelasan darimu. Hui-i, sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Aku merasa bingung dan gelisah sekali. Engkau dahulu ingin membunuhku, kemudian orang tuaku yang datang meminang menerima penghinaan dan aku dituduh melakukan.... perkosaan. Apakah artinya semua itu? Dan di mana adanya suamimu? Bukankah engkau telah menikah dengan.... suhengmu sendiri itu?"
Menerima pertanyaan bertubi-tubi itu, Suma Hui memejamkan matanya, dan hanya air matanya saja yang menyatakan betapa hancur perasaan hatinya. Melihat keadaan wanita ini, Cin Liong merasa terharu sekali. Ingin dia mengulur tangan merangkul, mendekap kepala itu dan menyembunyikan muka itu di dadanya, menghiburnya dan mengusap air matanya. Akan tetapi dia tidak berani selancang itu terhadap wanita yang sudah bersuami. Dan diapun tahu bahwa agaknya baru sekarang Suma Hui dapat melampiaskan perasaannya maka dia membiarkan saja wanita itu menangis sepuasnya. Bagi kebanyakan orang, terutama bagi wanita yang halus perasaannya, kadang-kadang tangis merupakan obat mujarab bagi ganjalan hati.
Akhirnya Suma Hui dapat meuguasai hatinya. Tangisnya mereda dan setelah menghapus air mata dengan ujung lengan bajunya yang menjadi basah, iapun berkata, "Sudah sepatutnya engkau mendengar semua itu dari mulutku sendiri. Malapetaka telah menimpaku. Semua dimulai pada malam jahanam itu.... malam itu aku menjadi korban asap pembius yang ditiupkan ke dalam kamarku. Kemudian, dalam keadaan setengah sadar, aku.... aku menjadi korban perkosaan orang.... dan dia.... dia menirukan suaramu. Karena kamar itu gelap dan suara itu mirip benar dengan suaramu, aku tertipu dan merasa yakin bahwa engkaulah yang melakukan perkosaan terhadap diriku itu."
Suma Hui tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menahan tangisnya sambil menghapus air matanya yang kembali membanjir keluar.
Cin Liong mengepal tinjunya. "Hemm, jadi benar-benar ada yang melakukan perbuatan hina itu terhadap dirimu! Pantas engkau menyerangku dan hendak membunuhku, kemudian ketika orang tuaku datang meminang, mereka menerima penghinaan dari keluargamu. Aku tidak merasa heran sekarang. Akan tetapi mengapa engkau tidak mau berterus terang saja menegurku waktu itu sehingga aku mengetahui duduknya persoalan, Hui-i?"
Suma Hui menunduk. "Aku begitu yakin bahwa engkaulah orang itu.... maka kuanggap tidak perlu banyak bicara lagi. Aku begitu kecewa.... begitu hancur hatiku.... sehingga aku.... aku bersumpah.... untuk membunuhmu!"
Cin Liong mengangguk-angguk. "Aku tidak menyalahkanmu, Hui-i. Tapi.... lalu bagaimana engkau tahu bahwa sebetulnya bukan aku pemerkosa biadab itu?"
"Dengarkan ceritaku. Di dalam noda dan aib itu, muncullah Louw Tek Ciang...."
"Suhengmu?"
"Ya, ayah sendiri tertipu oleh sikapnya yang baik sehingga ayah berkenan mengangkatnya sebagai murid, bahkan menurunkan semua ilmu keluarga kami kepadanya. Tek Ciang dengan sikapnya yang halus dan lembut penuh kesopanan itu muncul sebagai bintang penolong untuk menyelamatkan aku dari aib. Biarpun dia sudah diberitahu bahwa aku telah diperkosa orang, tetap saja dia bersedia untuk menjadi suamiku."
"Ahhh....!"
"Aku tidak suka dan membencinya, dan untuk menolak desakan ayah aku mengatakan bahwa aku hanya ingin menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku. Ayah telah tergelincir oleh kelicikan Tek Ciang, ayah menggemblengnya sehingga dia menjadi lihai sekali. Aku pergi selama dua tahun lebih, mencarimu sampai ke kaki Pegunungan Himalaya, dengan maksud untuk menantangmn dan mengajakmu bertanding sampai aku mati di tanganmu...."
"Hui-i....!" Cin Liong berseru kaget dan memandang penuh iba. Suma Hui mengusap kembali air matanya.
"Karena mendengar bahwa engkau memimpin pasukanmu menyerbu ke Nepal, aku kembali ke timur dan setibanya di sini, Tek Ciang telah menjadi lihai sekali. Kembali ayah mendesak aku tentang pernikahan. Aku tetap mempertahankan bahwa aku hanya mau menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku."
"Dan dia dapat mengalahkanmu?" tanya Cin Liong ketika gadis itu menghentikan ceritanya.
Suma Hui mengangguk. "Aku tidak dapat mengingkari janjiku. Aku dikalahkan dan aku terpaksa menurut kehendak ayahku. Apalagi aku berpikir bahwa setelah dia lihai, dia dapat kumintai bantuan untuk mencarimu dan membunuhmu...."
"Hemm.... wajar sekali itu. Lalu, bagaimana?" Hati Cin Liong mulai tertarik sekali. "Pernikahan dirayakan dan dihadiri oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan orang-orang penting...."
"Sayang kami tidak dapat hadir...."
"Tentu saja keluarga Kao tidak diundang.... ah, betapa bodohnya kami, dan semua itu karena kesalahanku...."
"Sudahlah, Hui-i, penyesalan tidak ada gunanya lagi dan sebetulnya bukan karena kesalahanmu, atau andaikata engkau melakukan kesalahan, maka engkau melakukannya tanpa kausadari. Lalu bagaimana?"
"Malam pengantin itulah yang membuka rahasia busuk itu! Seperti kukatakan tadi, ketika terjadi peristiwa di malam jahanam itu, aku tidak dapat melihat wajah pemerkosa, hanya mendengar suaranya saja yang sama dengan suaramu,juga cara bicaranya kepadaku persis kalau engkau bicara. Akan tetapi ada satu hal lagi yang menjadi rahasiaku, tidak kuberitahukan kepada siapa juga, yaitu bahwa secara kebetulan dalam keadaan setengah sadar itu aku menyentuh punggung jahanam itu dan aku mendapatkan adanya suatu cacat di punggung, suatu benjolan daging...."
"Ah, makin menarik! Dan untuk membuktikan bahwa orang itu bukan aku, sebaiknya engkau melihat punggungku!" Tanpa menanti jawaban, Cin Liong membuka baju atasnya dan membalikkan tubuh, memperlihatkan punggungnya yang berkulit putih bersih tanpa ada cacat benjolan daging itu kepada Suma Hui yang menjadi merah sekali mukanya.
"Cin Liong, tanpa kauperlihatkan punggungmu, akupun kini sudah percaya, karena aku telah menemukan orangnya."
"Ahhh....? Benarkah? Siapa si keparat itu?" tanya Cin Liong sambil mengenakan lagi bajunya.
"Siapa lagi kalau bukan si jahanam Louw Tek Ciang!"
"Hehh....?" Cin Liong yang sedang mengancingkan bajunya itu berhenti setengah jalan, matanya terbelalak memandang kepada wajah Suma Hui, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. "Apa.... apa maksudmu? Dia....? Suhengmu...., suamimu itu....? Bagaimana pula ini?"
"Benar, dialah jahanam pemerkosa itu! Kebetulan aku melihat benjolan daging di punggungnya. Tentu saja aku segera menyerangnya dan malam pengantin itu berobah menjadi malam perkelahian mati-matian. Sudah kukatakan dia lihai sekali dan aku bukan lawannya. Akan tetapi, ayah dan ibu muncul mendengar suara ribut-ribut."
"Tentu dia sudah dapat dibekuk atau dibunuh!" kata Cin Liong penuh semangat.
"Sayang, dia yang sudah tersudut itu diselamatkan orang lain."
"Siapa yang menyelamatkannya?"
"Kenalan lama kita. Dia adalah Jai-hwa Siauw-ok yang ternyata juga telah menjadi guru Tek Ciang."
Kembali Cin Liong terperanjat. "Jai-hwa Siauw-ok....?"
"Ya, dan munculnya datuk sesat itu menerangkan segalanya. Engkau tentu tahu bahwa Jai-hwa Siauw-ok termasuk seorang di antara para datuk sesat yang menyerbu Pulau Es, yang memusuhi keluarga Pulau Es. Agaknya dia hendak mencelakakan kami dengan cara lain. Tentu dia yang mengatur semua itu bersama Tek Ciang, dan Jai-hwa Siauw-ok yang melepaskan asap pembius, kemudian Tek Ciang yang melakukan pemerkosaan dan menyamar seperti engkau, tentu dengan maksud untuk mengadu antara keluarga Suma dengan keluarga Kao. Demikianlah, Cin Liong, maka kami memusuhi keluargamu.... aku telah bersikap bodoh sekali...."
"Dimana jahanam itu sekarang?" Cin Liong bangkit dan mengepal tinju, mukanya berobah merah. "Aku akan menghancurkannya bersama Jai-hwa Siauw-ok!"
"Tidak perlu, Cin Liong. Selama ini, ayah yang juga merasa menyesal sekali telah mencurahkan seluruh tenaga dan waktu untuk menggembleng kami berdua, dan aku sendiri yang akan mencari jahanam itu!"
"Hui-moi.... sungguh kasihan sekali engkau, Hui-moi...."
Mendengar suara yang menggetar itu dan mendengar sebutan itu, wajah Suma Hui menjadi pucat lalu berobah merah sekali. Air matanya bercucuran lagi ketika ia memandang kepada laki-laki yang selalu menempati hatinya itu.
"Cin Liong.. .. maafkan.... kaumaafkan aku...." ratapnya.
"Hui-moi....!" Cin Liong melangkuh maju dan menubruknya, merangkuluya dengan hati yang penuh rindu. Seperti tanaman bunga yang sudah kekeringan lalu tiba-tiba menerima siraman hujan, Suma Hui mengembangkan kedua lengannya dan merangkul leher Cin Liong sambil menangis sesenggukan di atas dada pemuda yang dicintanya itu. Sampai lama mereka hanya saling dekap dan saling rangkul, Suma Hui menangis dan Cin Liong mengusap-usap rambutnya, menciumi mukanya dan mengisap air matanya.
Tiba-tiba Suma Hui melepaskan rangkulan Cin Liong dan meronta, menjauhkan dirinya, memandang dengan mata terbelalak. "Tidak....! Tidak....! Jangan....! Aku.... aku sudah tidak berharga untukmu, Cin Liong.. ..!" Dia menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangan.
"Hui-moi, jangan berkata begitu. Aku tetap mencintamu, apapun yang telah dan akan terjadi!" kata Cin Liong sambil melangkah menghampiri dan hendak merangkul lagi.
Akan tetapi Suma Hui mengelak dan sambil mengusap air matanya ia berkata, "Tidak, engkau jangan mengotorkan tanganmu dengan menjamahku, Cin Liong. Aku sudah kotor dan tidak berharga lagi. Aku bukan perawan lagi...."
"Hushh, anak bodoh! Aku mencinta Suma Hui, aku mencinta dirimu, bukan hanya mencinta keperawanan. Aib yang menimpa dirimu bukan karena kesalahanmu. Aku tetap cinta padamu dan aku akan meminangmu sekali lagi untuk menjadi isteriku. Hui-moi, aku cinta padamu, aku.... aku membutuhkanmu.... aku rindu padamu...."
"Tidak, Cin Liong. Bukan hanya bahwa aku telah ternoda, akan tetapi, di mata dunia, disaksikan oleh para tokoh kang-ouw, aku telah menjadi isteri jahanam Louw Tek Ciang! Aku harus mencarinya, aku harus membunuhnya lebih dulu!"
"Ah, kalau engkau sudah membunuhnya baru berarti engkau bebas ikatan, ikatan pernikahan dan ikatan dendam, dan engkau.... engkau akan mau menerimaku?"
"Jangan berkata demikian, Cin Liong. Aku.. .. aku selalu mencintamu, tapi aku sekarang tidak berharga.... nanti kalau aku sudah berhasil, kalau engkau masih sudi menerimaku...."
Cin Liong menangkap tangan wanita itu, dikepalnya dengan erat dan jari-jari tangan mereka saling cengkeram. Ada getaran dari hati mereka terasa melalui jari-jari tangan itu. "Hui-moi, aku akan membantumu...."
"Tapi, engkau adalah seorang panglima, terikat oleh tugasmu."
"Tidak, aku akan meletakkan jabatan. Setelah engkau berhasil membalas dendam, dan aku mengambilmu sebagai isteri, kita akan hidup menjauhkan diri dari segala keributan, agar engkau tidak perlu mendengarkan omongan orang-orang yang suka membicarakan urusan dan keadaan orang lain."
Suma Hui tersenyum melalui air matanya. "Ah, betapa akan bahagianya kalau begitu, Cin Liong. Akan tetapi.... aih, bagaimana aku mungkin dapat menerimanya? Aku telah ternoda dan aku telah menjatuhkan fitnah keji kepadamu, kemudian keluargaku telah melakukan penghinaan kepada keluargamu, ditambah lagi bahwa aku telah menikah dengan orang lain. Engkau dan keluargamu suka memaafkan kami saja berarti sudah merupakan suatu berkah bagi kami, engkau tidak membenciku saja sudah merupakan suatu kemurahan darimu. Mana mungkin semua ini ditambah lagi dengan.... dengan engkau sudi mengambilku sebagai isterimu. Ah, terlalu langka dan muluk bagiku, aku.... sudah tidak berharga lagi untukmu...." Suma Hui lalu lari meninggalkan Cin Liong,
sambil menangis.
"Hui-moi....! Hui-moi....!" Cin Liong mengejar.
Akan tetapi baru beberapa jauhnya dia mengejar, muncul Suma Ciang Bun menghadangnya. "Cin Liong, jangan mendesaknya. Kegirangan hati kadang-kadang sukar dapat diterima dengan tenang. Enci Hui telah mengalami penderitaan batin selama bertahun-tahun, biarlah kebahagiaan mendatanginya dengan perlahan-lahan, kalau secara tiba-tiba dan dipaksakan, bahkan berbahaya bagi batinnya."
Cin Liong menatap wajah pemuda itu. Hampir tak percaya dia akan ucapan pemuda ini. Dalam beberapa tahun saja pemuda ini sudah menjadi dewasa dan matang, dan diapun melihat adanya bayangan duka di wajah yang tampan itu. Akan tetapi dia tidak tahu entah apa dan mengapa.
"Aku hanya ingin membantunya mencari dan membalas dendam kepada musuh besarnya," katanya.
"Si jahanam Tek Ciang?" Suma Ciang Bun tersenyum pahit. "Sejak semula aku tidak suka kepada orang yang menjilat-jilat itu. Sayang ayah terpedaya. Tapi sudahlah, penyesalan tiada gunanya. Dan dia sekarang sudah amat lihai. Selain mewarisi ilmu-ilmu keluarga kami, juga mendapat pelajaran dari Jai-hwa Siauw-ok. Biarpun demikian, enci Hui dan aku akan sanggup menghadapi dan mengalahkannya. Ini adalah urusan pribadi. Urusan dendam keluarga. Kalau engkau hendak membantu, jangan lakukan itu dengan berterang, Cin Liong. Engkau hanya akan membuat enci Hui merasa lebih rendah lagi. Biarlah ia mengangkat kembali kehormatannya dengan membalas dendam kepada orang yang merenggutnya. Dan akulah satu-satunya orang yang boleh membantunya. Kami sudah siap dan sudah bersepakat akan mulai pergi mencari musuh itu besok pagi."
Bersama Ciang Bun, Cin Liong lalu pergi ke rumah keluarga itu menghadap Suma Kian Lee dan isterinya. Pemuda ini langsung menghadap dan tanpa sungkan-sungkan lagi lalu berkata, "Ji-wi locianpwe. Saya telah bertemu dan bicara dengan Hui-i, telah mendengar akan semua yang telah terjadi. Dan saya mempergunakan kesempatan ini, mendahului ayah bunda saya, untuk sekali lagi mengajukan pinangan terhadap diri Hui-moi, untuk menjadi isteri saya."
Sungguh ucapan ini sama sekali tak pernah disangka oleh Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li. Suma Kian Lee menjadi pucat wajahnya dan sejenak dia memejamkan mata sambil menundukkan mukanya. Penyesalan besar menyelinap di hatinya. Pernah ada seorang pemuda yang berbaik hati, mau menerima Suma Hui sebagai isteri walaupun sudah mendengar bahwa gadis itu sudah diperkosa orang. Akan
tetapi ternyata pemuda itu, Louw Tek Ciang, adalah seorang penjahat besar yang ternyata menjadi pemerkosanya sendiri.
Akan tetapi pemuda ini, Kao Cin Liong, seorang pendekar besar, seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, kini mau menerima Suma Hui sebagai isteri, setelah mendengar Suma Hui diperkosa orang, setelah menerima penghinaan dan fitnah, sungguh hal ini amat sukar diterima dan dimengertinya. Juga hal itu membuka matanya betapa tinggi nilai cinta yang berada di hati pemuda ini terhadap Suma Hui.
"Tapi.... tapi.... kami telah...." katanya gagap dan isterinya menolongnya.
"Cin Liong, kami sebagai orang tua pernah membuat kesalahan dan kami tidak mau lagi mengulang kesalahan yang sama. Urusan pernikahan Suma Hui adalah urusan pribadinya, oleh karena itu, kalau engkau memang benar mencintanya seperti yang kupercaya sepenuhnya, bicarakanlah hal itu dengan Hui-ji sendiri. Kalau ia setuju, kami berduapun akan menyetujuinya dengan penuh kebahagiaan hati."
"Saya sudah bicara dengan Hui-moi dan ia.... ia menangguhkannya sampai ia berhasil membalas dendam kepada musuh besar itu."
"Kalau begitu, tidak ada persoalan lagi!" kata Kim Hwee Li dengan wajah berseri.
"Biarlah kami yang akan mendatangi orang tuamu untuk membicarakan soal perjodohan ini dan sekalian minta maaf atas kesalahan kami sekeluarga," akhirnya Suma Kian Lee berkata dengan hati lega.
Sampai Cin Liong berpamit pergi, dia tidak dapat berjumpa dengan Suma Hui yaug agaknya sengaja menjauhkan diri. Akan tetapi pemuda ini sudah memperoleh kembali kegembiraannya dan dia yakin bahwa gadis itu masih mencintanya. Maka diapun berpamit dari keluarga Suma dan langsung dia pergi ke kota raja dengan maksud hati hendak meletakkan jabatannya, kemudian akan menyusu1 dan
membantu Suma Hui menghadapi Louw Tek Ciang yang dibantu oleh datuk sesat.
Pada keesokan harinya, Suma Hui berdua Suma Ciang Bun juga mendapat perkenan orang tua mereka untuk berangkat meninggalkan rumah, untuk mulai dengan usaha mereka mencari jejak Tek Ciang, musuh besar yang amat dibencinya itu.
******
Sudah lama kita meninggalkan Ceng Liong. Selama beberapa tahun ini, Ceng Liong yang digembleng oleh Hek-i Mo-ong telah dapat mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu. Dia memang berbakat baik sekali dan juga amat suka mempelajari ilmu silat. Otaknya cerdas dan dengan mudah dia dapat menangkap semua pelajaran yang bagaimana sukarpun. Kekuatan ingatannya mengagumkan. Setiap ilmu yang diajarkan kepadanya, baru berulang dua kali saja sudah dapat dihafalnya dengan baik, dari awal sampai akhir dan tinggal mematangkannya dalam latihan saja!
Bukan main girang hati Hek-i Mo-ong dengan murid tunggalnya ini. Dia merasa bangga memiliki murid ini dan akhirnya kakek ini amat mencinta Ceng Liong. Dia mencinta dengan penuh kasih sayang, dan dia bukan hanya menganggap Ceng Liong sebagai murid, bahkan menganggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri.
Hek-i Mo-ong telah gagal dalam pengejaran ambisinya. Sudah terlalu sering dia gagal dan kegagalan terakhir kalinya ini membuat dia menjadi jemu untuk mengulangnya. Dia merasa sudah terlalu tua untuk mengejar kesenangan berupa kedudukan tinggi. Maka diapun mengajak Ceng Liong untuk hidup menyendiri di tempat sunyi, di lembah Sungai Ceng-ho di Propinsi Shen-si. Lembah itu sunyi sekali, dan penuh dengan hutan liar sehingga jarang didatangi manusia. Di sini mereka berdua hidup dari hasil tanah dan sungai. Setiap hari Hek-i Mo-ong mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Ceng Liong.
Perasaan cinta mengandung getaran yang amat kuat. Pada lahirnya, Ceng Liong bersikap tidak acuh terhadap kakek itu, dan tidak memperlihatkan sikap hormat, bahkan menyebutnya Mo-ong begitu saja. Dia menganggap Hek-i Mo-ong sebagai seorang datuk sesat, sedangkan dia menganggap diri sendiri sebagai keturunan para pendekar. Akan tetapi, agaknya rasa cinta dari kakek itu terhadap dirinya terasa olehnya sehingga Ceng Liong juga merasa sayang dan kasihan kepadanya. Melihat kakek yang sudah tua renta ini bersusah-payah mengajarnya, bahkan tanpa ragu-ragu menurunkan segala ilmunya kepadanya, membuat Ceng Liong kadang-kadang merasa terharu juga. Dia tahu bahwa kakek itu amat sayang kepadanya. Maka, tanpa diminta, Ceng Liong juga giat bekerja di ladang, juga setiap hari mencari ikan untuk dimasak dan dihidangkan kepada kakek itu. Waktu kosong mereka selalu diisi dengan latihan-latihan ilmu silat sehingga dalam waktu lima enam tahun semenjak dia ikut kakek itu, Ceng Liong telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Pemuda remaja ini memiliki tubuh tinggi besar, dengan wajah yang ganteng dan gagah, akan tetapi pandang mata dan senyumnya mengandung kebengalan kanak-kanak.
Demikian sayangnya Hek-i Mo-ong kepada Ceng Liong sehingga dia bukan hanya mengajarkan ilmu ciptaannya yang terakhir dan mujijat, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi juga membantu pemuda remaja itu berlatih, menuntunnya sehingga akhirnya dalam hal penggunaan kedua ilmu ini, Ceng Liong telah menyamai tingkat gurunya, bahkan lebih cekatan karena dia masih muda dan Hek-i Mo-ong telah berusia delapan puluh tahunan. Ilmu silat kipas yang mengandung kekuatan sihir dari Hek-i Mo-ong juga dipelajarinya, akan tetapi dia tidak mau mencontoh gurunya dalam memilih senjata. Kalau Hek-i Mo-ong biasa mempergunakan senjata tombak Long-ge-pang yang kelihatan mengerikan, Ceng Liong memilih senjata kipas dan pedang. Di samping mempelajari ilmu-ilmu silat yang aneh dari Hek-i Mo-ong, juga Ceng Liong kadang-kadang suka berlatih ilmu silat dari keluarganya sendiri, akan tetapi karena tidak ada yang memberi petunjuk dalam ilmu-ilmu silat itu, maka diapun hanya dapat memperdalam beberapa ilmu silat yang pernah dipelajarinya saja, antara lain tendangan Soan-hong-twi dan Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti). Dia hanya tahu teorinya saja tentang ilmu-ilmu sakti Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi tanpa petunjuk dari yang ahli, dia tidak berhasil menguasai kedua ilmu ini.
Ketika itu, usia Ceng Liong sudah hampir enam belas tahun, akan tetapi karena tubuhnya besar, dia kelihatan sudah dewasa benar. Dan tingkat kepandaiannya sudah hebat, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri kadang-kadang merasa kewalahan kalau berlatih melayani muridnya ini. Pada suatu hari, pagi-pagi setelah sarapan, Hek-i Mo-ong bercakap-cakap dengan muridnya dan tidak seperti biasanya, wajah kakek tua renta ini nampak serius sekali.
"Ceng Liong, tahukah engkau, berapa lama engkau ikut bersamaku mempelajari ilmu silat?"
Ceng Liong memandang wajah keriputan itu dengan heran, ingin tahu apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu. Akan tetapi dia menjawab juga, "Mungkin antara lima dan enam tahun. Ada apakah engkau menanyakan hal itu, Mo-ong?"
"Engkau menjadi muridku sejak engkau masih kecil sampai kini menjelang dewasa. Dan tanpa kusadari, usiaku telah menggerogoti tubuhku. Aku menjadi semakin lemah dan aku khawatir sekali kelak aku akan mati dengan mata tak dapat terpejam sebelum aku dapat menebus kekalahanku terhadap seorang musuh besarku. Sekarangpun aku sudah mulai merasa betapa tenagaku sudah banyak berkurang, terutama sekali pernapasanku menjadi pendek, sedangkan musuh besarku itu memiliki kepandaian yang hebat."
Ceng Liong adalah seorang yang cerdik. Dia sudah dapat menduga ke mana arah perkataan gurunya itu. Dan dia sendiripun sudah beberapa lamanya, sejak berbulan-bulan, ingin meninggalkan tempat sunyi itu dan melanjutkan perantauannya seorang diri, terutama lebih dahulu pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi dia selalu merasa ragu betapa Hek-i Mo-ong sudah semakin tua dan lemah dan amat memerlukan bantuannya. Kini terbuka kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Hek-i Mo-ong dengan bantuan terakhir, yaitu menghadapi musuh besar ini.
"Mo-ong, apakah engkau menghendaki agar aku menghadapi musuhmu itu?" Tanyanya langsung saja.
Hek-i Mo-ong tertawa. "Heh-heh-heh, engkau memang anak baik dan cerdik. Benar, Ceng Liong, hanya dengan bantuanmu sajalah kiranya aku dapat menebus kekalahanku terhadap musuh besar itu. Ketika aku mulai menciptakan Ilmu Coan-kut-ci dan Tok-hwe-ji, aku merasa yakin bahwa kalau kedua ilmu itu sudah kulatih sampai mendalam, pasti aku akan dapat melawan dan mengalahkan musuh besar itu. Akan tetapi, waktuku telah kuhabiskan untuk menggemblengmu siang malam tanpa mengenal waktu sehingga kini aku merasa kesehatanku sangat mundur."
"Mengapa engkau bermusuh dengan orang itu, Mo-ong?"
"Tidak ada persoalan pribadi, hanya bentrokan yang mengakibatkan perkelahian dan aku telah dikalahkannya! Nah, kekalahan itulah yang membuat aku menderita, dan hatiku takkan merasa tenteram sebelum aku dapat menebus kekalahan itu."
Diam-diam Ceng Liong mengeluh. Kakek ini memang amat suka berkelahi dan dahulunya terlalu mengagulkan diri, mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih pandai daripadanya, dan karena pendirian itulah maka kalau dikalahkan orang kakek ini merasa penasaran setengah mati dan kekalahan itu cukup menumbuhkan dendam di dalam hatinya.
"Hemm, kalau begitu, persoalannya hanyalah dikalahkan dalam pertandingan. Baik, aku akan membantumu mengalahkan kembali orang itu sebagai tebusan kekalahanmu dahulu. Aku tidak mau kalau harus membunuh orang tanpa sebab tertentu."
"Heh-heh-heh, Ceng Liong. Orang itu lihai bukan main. Dia telah menjadi ahli waris dari Pendekar Suling Emas! Maka, kalau engkau bisa mengalahkan dia saja, hatiku sudah akan merasa puas sekali, dan mata dunia akan terbuka bahwa aku dan muridku telah membuktikan bahwa kita tidak kalah oleh keturunan Pendekar Suling Emas. Ha-ha-ha!"
Ceng Liong terkejut. Pendekar Suling Emas pernah dia mendengar nama ini dari ayah ibunya dahulu, nama seorang pendekar sakti di jaman dahulu. Akan tetapi, dia tidak perduli. Siapapun adanya musuh besar gurunya itu, bukankah dia menyanggupi hanya untuk membantu gurunya menebus kekalahan saja? Itupun kalau dia dan gurunya akan sanggup mengalahkan musuh yang tentu amat lihai itu! Dan dia tidak mewarisi pendirian gurunya bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia ini. Tidak, dia tidak gila dan dia mengerti bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Dia sudah banyak bertemu dengan orang-orang sakti di Pegunungan Himalaya, maka dia tidak lagi berani memandang diri sendiri terlalu tinggi.
"Siapakah nama musuh itu, Mo-ong? Dan di mana tinggalnya?"
"Namanya Kam Hong dan dia tinggal di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, tidak sangat jauh dari tempat kita ini. Kalau engkau sudah siap membantuku, mari kita berangkat hari ini juga."
"Baiklah, Mo-ong. Aku akan berkemas dan kita berangkat."
Setelah berkemas dan membawa buntalan pakaian, berangkatlah Ceng Liong bersama kakek itu naik perahu mengikuti arus Sungai Ceng-ho menuju ke timur. Hati Ceng Liong merasa gembira sekali karena memperoleh kesempatan meninggalkan tempat sunyi itu dan melihat dunia ramai. Dia mengenakan pakaian sederhana seperti seorang petani biasa, dengan sebuah caping lebar, dan buntalan pakaian berada di punggungnya. Pedangnya, sebatang pedang pemberian Mo-ong, pedang pendek terbuat dari baja yang murni, terselip di pinggang dan ditutupi jubah luarnya sehingga tidak nampak menyolok. Adapun Hek-i Mo-ong sendiri, seperti biasa,
mengenakan pakaian serba hitam yang juga sederhana berpotongan petani. Tubuhnya yang tinggi besar itu amat kurus dan agak bongkok, dan rambutnya yang sudah putih semua itu nampak kontras sekali dengan bajunya yang hitam. Orang-orang yang melihat kakek dan pemuda remaja ini tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian hebat, apalagi menyangka bahwa kakek itu adalah Hek-i Mo-ong yang namanya saja sudah membuat orang-orang kang-ouw bergidik. Mereka berdua tentu akan disangka dua orang petani biasa saja. Siapakah orang bernama Kam Hong yang oleh Hek-i Mo-ong disebut sebagai musuh besarnya itu? Hek-i Mo-ong memang orang yang amat aneh. Dalam urusan-urusan besar seperti kegagalannya dalam usaha pemberontakan yang lalu, yang menghancurkan seluruh harapan dan ambisinya, dia sama sekali tidak merasa sakit hati dan tidak mendendam kepada siapapun juga. Akan tetapi rupa-rupanya ada suatu pantangan bagi kakek ini, yalah kekalahan. Dia tidak pernah dapat melupakan kekalahan dalam adu ilmu silat. Selama hidupnya sebagai seorang datuk sesat, jarang dia menderita kekalahan. Satu-satunya kekalahan mutlak harus diakuinya adalah kekalahannya ketika dia berhadapan dengan Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Akan tetapi pendekar itu telah tiada dan dia tidak menaruh hati dendam kepada siapapun. Akan tetapi, di antara kekalahan-kekalahannya yang hanya dapat dihitung dengan jari tangan itu, dia sukar untuk dapat melupakan kekalahannya terhadap seorang pendekar yang pada waktu itu baru saja muncul di dunia persilatan. Pendekar itu adalah Kam Hong.
Para pembaca kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN tentu masih mengenal siapa pendekar Kam Hong ini. Pendekar Kam Hong adalah keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan pendekar ini menjadi pewaris pula dari semua ilmu keluarga Suling Emas. Bahkan secara kebetulan sekali, di daerah Himalaya, pendekar ini menemukan dan mewarisi suling emas berikut Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling emas yang amat hebat. Pendekar ini akhirnya berjodoh dengan seorang gadis yang masih terhitung sumoinya sendiri karena gadis itu yang bernama Bu Ci Sian adalah kawan sependeritaan di Himalaya ketika mereka berdua menemukan benda pusaka berupa suling emas dan ilmunya itu, sehingga keduanya berhak untuk mempelajarinya. Kisah mereka yang amat menarik dapat diikuti dalam seri kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN.
Setelah menikah, Kam Hong dan Bu Ci Sian lalu tinggal di sebuah bangunan tua di puncak Bukit Nelayan. Bangunan ini sudah kuno akan tetapi kokoh dan besar, sedangkan di sebelah dalamnya menyerupai istana tua yang kuno. Letaknya di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai di Pegunungan Tai-han-san. Istana ini dahulu menjadi pusat dari perkumpulan Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) yang dipimpin sejak turun-menurun oleh keluarga Yu. Keturunan terakhir bernama Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis Bermuka Singa). Akan tetapi perkumpulan itu sendiri sudah lama bubar. Sai-cu Kai-ong inilah yang menjadi guru pertama dari pendekar Kam Hong, menggemblengnya dengan ilmu-ilmu keluarga ketua Khong-sim Kai-pang. Kam Hong sudah dianggap sebagai anak atau cucu sendiri oleh Sai-cu Kai-ong. Maka, setelah kakek bermuka singa yang gagah perkasa ini meninggal dan bangunan itu kosong, Kam Hong lalu mengajak isterinya untuk tinggal di situ dan hidup sebagai petani dan nelayan di tempat yang indah dan sunyi itu, di antara dusun-dusun di sekitarnya yang ditinggali oleh petani-petani miskin dan sederhana.
Pada waktu itu, suami isteri pendekar ini telah mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Anak ini mirip sekali dengan ibunya di waktu muda, baik wajahnya yang bulat manis itu, maupun kelincahannya, kejenakaannya dan keberanian atau kebengalannya. Akan tetapi, dalam hal berpakaian, ia meniru ayahnya, sederhana dan seadanya. Juga anak ini berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dalam usia hampir lima belas tahun, ia telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, dan juga ayahnya yang memperoleh pendidikan sastera telah mendidiknya dalam ilmu baca tulis sehingga dalam usia lima belas tahun Bi Eng telah pandai menulis sajak dan kepandaian lain seperti menyulam, menabuh yang-kim, menyuling, bahkan menyanyi dan menari! Di antara para penghuni dusun di sekitar tempat itu, ia dikenal sekali dan orang-orang menyebutnya Kam-siocia.
Kam Hong sendiri telah menjadi seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. Dia selalu bersikap tenang dan halus, pakaiannya sederhana berpotongan sasterawan, akan tetapi biar sederhana dia selalu bersih dan rapi. Wajahnya tampan belum nampak tua dalam usia hampir setengah abad itu, bahkan rambutnya belum bercampur uban. Hanya garis-garis di sekitar bibir dan matanya menunjukkan bahwa dia tidaklah muda lagi. Sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan ini mendatangkan kewibawaan yang kuat pada dirinya. Banyaklah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasai pendekar ini karena dia mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, nenek moyangnya, melalui Sin-siauw Seng-jin yang dahulu menjadi pembantu keluarga Suling Emas yang dipercaya menyimpan ilmu-ilmu itu untuk kemudian disampaikan kepada keturunan terakhir keluarga Suling Emas. Dari kakek bekas pembantu ini dia mempelajari ilmu-ilmu keluarganya, yaitu antara lain Hong-in Bun-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Kim-kong Sim-in. Selain ini, dia pernah digembleng oleh Sai-cu Kai-ong keturunan ketua Khong-sim Kai-pang dan mewarisi ilmu-ilmu Khong-sim Sin-ciang dan Sai-cu Ho-kang. Semua ilmu yang termasuk ilmu silat tingkat tinggi ini masih ditambah lagi dengan ilmu yang diperolehnya bersama isterinya di Pegunungan Himalaya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan pengerahan khi-kang tingkat tinggi. Kalau sudah memegang suling dan kipasnya, pendekar ini tiada ubahnya seperti mendiang Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya, gagah perkasa dan sukar ditandingi!
Isterinya, Bu Ci Sian, juga bukan seorang sembarangan. Ketika masih gadis remaja ia pernah digembleng oleh seorang tokoh aneh dari Himalaya yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dari Barat). Dari si raja ular ini ia memperoleh Ilmu Sin-coa Thian-te-ciang dan ilmu pawang ular. Kemudian, ia masih memperoleh hadiah dari Pendekar Suma Kian Bu yang melatih penggabungan sin-kang Im dan Yang kepadanya. Selain itu, Bu Ci Sian ini adalah puteri dari Bu-taihiap, pendekar yang amat terkenal beberapa puluh tahun yang lalu sebagai seorang pendekar besar yang banyak isterinya!
Memiliki ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi. Apalagi ilmu memainkan suling sebagai senjata. Ibunya juga mempelajari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan ilmu meniup suling, bahkan ibunya juga memiliki senjata suling emas yang persis milik ayahnya, hanya lebih kecil. Dan ia sendiripun telah dibuatkan sebuah suling emas seperti milik ibunya dan gadis ini sudah pandai pula mempergunakan sulingnya sebagai senjata, baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya untuk mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan nyanyian-nyanyian merdu.
Demikianlah serba singkat tentang keadaan keluarga Kam yang tinggal di istana tua bekas milik Raja Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tidak pernah mendapat gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang mereka menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri dengan urusan dunia ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup tenteram di antara orang-orang dusun di sekeliling tempat itu, hidup sederhana namun sehat dan tenteram.
Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya besar mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin perlahan-lahan menuju ke tempat sunyi itu.
Siapakah yang datang menuju ke istana kuno pada siang hari itu? Bukan hanya Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena selain dua orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru dan murid ini. Dan mereka itu bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang! Bagaimanakah dua orang jahat ini dapat bergabung dengan Hek-i Mo-ong?
Seperti telah kita ketahui, Hek-i Mo-ong berhasil membujuk Ceng Liong untuk membantunya menghadapi musuh besarnya, yaitu Kam Hong. Guru dan murid itu melakukan perjalanan naik perahu menuju ke timur. Arus air yang deras itu mempercepat perjalanan mereka dan beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan sungai yang terus mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar menuju ke laut timur. Mereka sendiri melanjutkan perjalanan dengan melalui darat, menuju ke utara, ke arah Pegunungan Tai-hang-san yang sudah nampak puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.
Siang itu matahari yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung Tai-hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki hutan dan dari luar hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang agaknya terlantar dan tidak dipergunakan lagi oleh orang sebagai tempat pemujaan. Akan tetapi, ketika guru dan murid itu lewat di depan kuil, mendadak Ceng Liong menahan langkahnya dan memandang ke arah kuil dengan alis berkerut. Dia mendengar isak tangis wanita dari dalam kuil itu. Tentu saja Hek-i Mo-ong juga mendengarnya.
Di antara isak tangis itu, terdengar suara wanita berkata dengan suara memohon. "....aku ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang...."
Ceng Liong makin penasaran, akan tetapi Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata, "Cin Liong, perlu apa mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan orang? Hayo kita lanjutkan perjalanan kita."
Ceng Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Aku tidak ingin mencampuri urusan orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita itu menangis dan suaranya berduka. Siapa tahu aku akan dapat menolongnya." Dan pemuda inipun melangkah mendekati kuil.
"Heh-heh, engkau cari perkara saja!" kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi kakek ini tidak mencegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar ketika muridnya memasuki kuil tua itu.
Ruangan depan kuil itu kator karena gentengnya sudah banyak yang berlubang sehingga ruangan itu kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi isak tangis itu datang dari arah belakang. Ceng Liang terus memasuki kuil dengan perlahan-lahan karena dia tidak mau mengagetkan wanita yang sedang menangis itu.
Tiba-tiba dia berhenti melangkah ketika mendengar suara laki-laki tertawa mengejek, agaknya tertawa kepada wanita itu. "Kau ingin pulang? Pulang ke akhirat? Ha-ha, jangan khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat kalau aku sudah bosan padamu!"
"Cici....!" Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.
"Siauw-moi, bersabarlah....!" Terdengar suara wanita ke dua, akan tetapi wanita inipun menangis sehingga kini terdengar suara dua orang wanita sesenggukan.
Ceng Liong semakin penasaran dan kini dia mempercepat langkahnya memasuki ruangan belakang kuil itu yang gentengnya masih utuh sehingga lantainyapun agak bersih. Ketika dia melangkahi pintu tanpa daun itu masuk, dia melihat ke atas lantai dan mukanya seketika berobah merah karena malu. Di lantai itu terdapat dua orang laki-laki, seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah dan wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki ke dua masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah dan wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing memangku seorang gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua orang laki-laki itu sedang mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan menciuminya. Dua orang gadis itu menangis, akan tetapi tidak melawan. Wajah mereka pucat dan melihat mata mereka yang merah dan agak bengkak, mudah diduga bahwa mereka itu banyak menangis.
Melihat betapa dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng Liong menjadi malu dau kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran karena keadaan dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat dibilang gembira dengan kemesraan yang diperlihatkan dua orang pria itu. Kalau saja dia tahu bahwa dia akan menemukan pemandangan seperti ini, tentu dia tidak akan sudi masuk. Akan tetapi dia sudah terlanjur masuk dan hatinyapun menjadi penasaran. Hanya, apa yang harus dikatakan atau dilakukan setelah dia masuk? Biarpun usianya sudah hampir enam belas tahun dan dia menjadi murid seorang datuk sesat, rajanya
kaum penjahat, namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya bergaul dengan para penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di depan matanya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang mempunyai kecerdikan, maka dalam keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja dapat bicara dengan tenang.
"Apakah yang sedang terjadi di sini?" Pertanyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri, bukan pada seorang tertentu di
antara empat orang yang berada di dalam ruangan itu.
Dua orang pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja itu, namun agaknya mereka asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang menyenangkan dan sama sekali tidak memperdulikan Ceng Liong. Ketika Ceng Liong mengeluarkan pertanyaan itu, pria muda itu mengangkat mukanya dari dada wanita yang dipangkunya, menoleh dan memandang kepada Ceng Liong sambil tersenyum! Akan
tetapi senyum pada wajah yang tampan itu amat tidak menyenangkan hati Ceng Liong. Senyum yang licik, pikirnya, maka diapun menentang pandang mata pria itu dengan tajam penuh selidik. Agaknya pria itupun tercengang melihat penegurnya seorang pemuda remaja yang demikian tampan walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang petani muda.
"Eh, bocah ingusan! Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di sini? Apakah engkau belum pernah melihat orang bermain cinta? Setidaknya ayah ibumu sendiri? Kami berdua sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak lihat?"
Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi hanya mengeluarkan pertanyaan itu untuk menutupi rasa malu dan kikuknya. Akan tetapi kini, setelah dia melihat benar keadaan dua orang gadis itu, gadis-gadis muda yang mungkin baru lima belas tahun usianya, yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak merah dan ketakutan seperti mata kelinci dalam cengkeraman harimau, rasa malu dan kikuknyapun lenyap. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini, pikirnya. Orang bercintaan dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut dan duka seperti itu!
"Aku tadi mendengar suara tangis dan orang minta pulang...." katanya lagi sambil menatap wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis, akan tetapi amat pucat dan seperti orang kurang makan, nampak lemas.
"Kamu hendak mencampuri urusan kami?" bentak orang muda itu, kini senyumnya menghilang dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Tidak, tapi kalau ada orang menangis dan perlu kutolong...."
"Ha-ha-ha!" Tiba-tiba orang muda itu tertawa, sedangkan orang yang tua sama sekali tidak perduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu, seolah-olah di situ tidak terdapat orang lain. Gadis yang dipangkunya menggeliat-geliat, lalu menangis dan berkata, ditujukan kepada Ceng Liong.
"Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik...."
Barulah Ceng Liong mengerti dan diapun tahu bahwa dua orang itu adalah penculik dan pemerkosa wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga). Maka seketika mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. Agaknya, penculik yang muda itu dapat mengerti bahwa pemuda remaja itu menjadi marah, maka diapun tertawa lagi.
"Ha-ha-ha, memang engkau dapat menolong mereka berdua ini, bocah lancang. Engkau antarkan mereka ke akhirat. Nah, kau berangkatlah lebih dulu!" Tangannya bergerak ke depan, ke arah Ceng Liong.
"Singgg....!" Sinar perak menyilaukan mata menyambar ke arah leher Ceng Liong dan ternyata yang disambitkan oleh penjahat muda itu adalah sebatang pisau terbang yang amat tajam dan runcing. Kalau bukan Ceng Liong yang diserang seperti itu, tentu di lain saat dia sudah menggeletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau itu! Akan tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.
"Huhhh!" Tangan kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba saja jari telunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau terbang itu dengan gerakan yang sedemikian tenangnya seolah-olah apa yang dilakukannya tadi merupakan pekerjaan yang teramat mudah! Kemudian, jari-jari kedua tangannya menekuk dan terdengar suara "krekk!" lalu pisau yang sudah menjadi empat potong itu dilemparkannya ke atas lantai!
Pemerkosa muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah Jai-hwa Siauw-ok. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw Tek Ciang ketika dia melihat betapa pemuda remaja yang disangkanya tentu akan roboh dengan leher putus sehingga dia dapat menikmati pemandangan ketika darah muncrat-muncrat dari leher pemuda itu ternyata dengan amat mudahnyadapat menangkap hui-to (pisau terbang) dengan jepitan dua buah jari, kemudian mematah-matahkan pisaunya itu seperti orang mematah-matahkan sebatang ranting belaka! Dia bangkit berdiri setelah melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke samping seperti orang membuang kain kotor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada Ceng Liong seperti hendak menelan pemuda remaja itu bulat-bulat. Kemudian, dengan suara lantang dia berseru, "Bocah setan, siapakah engkau? Berani engkau mencampuri urusan pribadi kami?"
Ceng Liong tersenyum mengejek dan menggerakkan pundaknya. "Siapa mencampuri urusan pribadi kalian? Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku bertanya. Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan urusan pribadimu lagi."
Louw Tek Ciang tentu saja tidak memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit kepandaian menangkap dan mematahkan pisau sedemikian saja, tentu tidak akan membuat dia menjadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!
"Setan cilik! Kau mau apa?"
"Setan besar!" Ceng Liong balas memaki sambil tersenyum karena memang dia merasa geli melihat lagak orang di depannya itu. "Aku mau agar kalian membebaskan dua orang nona itu, kemudian engkau makan potongan-potongan pisaumu ini sampai habis, baru aku mau sudah!"
Tek Ciang terbelalak. Alangkah beraninya bocah ini! Wajahnya menjadi merah saking marahnya. Dia akan membuat anak ini menyesal tujuh turunan telah berani bersikap sedemikian kurang ajar kepadanya. "Keparat kau!"
"Jahanam kau!" Ceng Liong balas memaki, makin gembira melihat tingkah orang ini. Dia tahu orang ini marah besar, dan justeru inilah yang menggembirakan hatinya. Wataknya yang suka menggoda orang timbul. "Eh, apakah bisamu hanya membikin susah wanita, melempar-lemparkan pisau dan maki-maki orang saja?"
Louw Tek Ciang yang biasanya pandai bicara, cerdik dan licik itu, kini saking marahnya kehabisan akal untuk balas mengejek dan memaki. Dia lalu mengerah kan tenaganya dan menghantam dengan tangan kanan terbuka ke arah Ceng Liong. "Mampuslah!" bentaknya sambil mengerahkan tenaganya dalam pukulan itu.
Ceng Liong cepat mengelak dan kini matanya terbelalak. "Wuuutt!" Pukulan yang mengandung hawa panas sekali itu lewat di sampingnya dan kini Tek Ciang yang juga kaget melihat betapa anak itu dengan mudahnya dapat mengelak dan menghindarkan diri dari pukulannya, sudah menyusulkan pukulan ke dua yang lebih panas lagi. Dan kini Ceng Liong benar-benar terkejut. Dia mengenal pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biarpun belum dikuasainya akan tetapi sudah amat dikenal teorinya itu. Orang ini menyerangnya dengan Hwi-yang Sin-ciang! Karena dia maklum betapa berbahayanya pukulan ke dua ini dan sukar pula untuk dielakkan, terpaksa diapun mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menangkis pukulan dengan sambutan telapak tangannya pula.
"Desss. ...!" Dua tenaga sin-kang yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, keduanya terpental mundur sampai tiga langkah! Tentu saja Tek Ciang lebih kaget lagi. Tidak disangkanya bahwa pemuda remaja itu akan sanggup menahan pukulannya dengan tenaga yang demikian dahsyatnya. Baru terbuka matanya bahwa pemuda remaja yang disangkanya seorang yang usil dan lancang hendak mencampuri urusannya dan hendak mengganggu kesenangannya itu ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu menahan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Sementara itu, kakek yang tadinya bersenang-senang mempermainkan gadis ke dua, kini juga memandang penuh perhatian dan diapun terkejut melihat kehebatan pemuda remaja itu. Tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Siapa tahu pemuda remaja itu tidak datang sendiri saja dan masih ada kawannya yang lebih lihai di luar kuil. Maka Jai-hwa Siauw-ok segera melakukan tindakan pengamanan. Yang terpenting, dua korban itu harus dibunuh dulu agar tidak dapat menjadi saksi. Dia bangkit berdiri, tangannya bergerak cepat. Terdengar suara mencicit seperti tikus terjepit dan ada sinar menyambar ke arah dua orang gadis itu yang sudah terlempar ke lantai. Dua orang gadis itu menjerit kecil dan tewas seketika karena mereka telah menjadi korban serangan
Kiam-ci (Jari Pedang) yang dilakukan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Setelah itu, Jai-hwa Siauw-ok menyerang Ceng Liong dengan Kiam-ci.
Ketika Ceng Liong mendengar bunyi mencicit dan sinar tangan menyambar ke arahnya, dia mengenal serangan ampuh dan cepat dia mengelak ke kiri. Dari kiri, tangan Tek Ciang menyambar dan menghantamnya. Kini Tek Ciang mempergunakan pukulan Swat-im Sin-ciang yang tentu saja dikenal pula oleh Ceng Liong. Pemuda ini penasaran sekali dan kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Desss. ...!" Keduanya terpental lagi, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga yang seimbang. Bukan hanya Tek Ciang yang merasa heran, bahkan Jai-hwa Siauw-ok juga kaget sekali. Guru dan murid ini yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, cepat bergerak hendak maju berbareng.
"Heh-heh-heh-heh, Siauw-ok, tidak malu engkau mengeroyok muridku?" Dan muncullah Hek-i Mo-ong di ambang pintu tak berdaun ruangan itu. Melihat Hek-i Mo-ong, tentu saja Jai-hwa Siauw-ok terkejut bukan main dan wajahnya berobah pucat.
"Hek-i Mo-ong....!" serunya dan seruan ini ditujukan kepada muridnya agar muridnya mengenal kakek yang pernah diceritakannya kepada muridnya sebagai raja datuk sesat itu. Dan Tek Ciang juga teringat akan cerita itu, maka pemuda inipun cepat melangkah mundur dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
"Ah, kiranya dia ini muridmu sendiri, Mo-ong? Maaf, karena kami tidak mengenalnya maka terjadi kesalahpahaman," kata Jai-hwa Siauw-ok merendah.
Tek Ciang adalah seorang yang cerdik. Dia sudah mendengar dari gurunya bahwa Hek-i Mo-ong memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai daripada Jai-hwa Siauw-ok. Tentu saja dia tidak takut karena kepandaiannya sendiripun tidak kalah dibandingkan dengan Siauw-ok, akan tetapi melihat betapa murid kakek itu juga lihai, dia pikir lebih aman kalau bersahabat dengan mereka ini. Apalagi, bukankah mereka itu segolongan? Maka diapun cepat menjura dengan sikap hormat dan merendah sekali kepada Hek-i Mo-ong.
"Ah, kiranya saya memperoleh keberuntungan dapat menghadap locianpwe yang namanya menjulang tinggi di angkasa dan sudah lama saya kagumi itu. Dan murid locianpwe yang masih amat muda ini sungguh lihai bukan main ilmunya, menjadi bukti betapa hebatnya kepandaian locianpwe sebagai gurunya.
"Suasana penuh dengan ketegangan dan kegelisahan bagi Jai-hwa Siauw-ok. Dia sudah mengenal baik watak Hek-i Mo-ong. Teringat dia betapa dia pernah membantu Mo-ong dan kawan-kawan yang menjadi sekutunya menyerbu Pulau Es dan dia sendiri melarikan diri
untuk menyelamatkan diri sendiri sambil membawa gadis cucu Pendekar Super Sakti sebagai tawanan. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk membunuhnya! Dan kini mereka bertemu di sini, malah timbul perkelahian antara dia dan muridnya melawan murid Mo-ong. Ini merupakan alasan ke dua yang cukup untuk membuat Raja Iblis itu turun tangan membunuh dia dan muridnya. Tentu saja dia tidak akan menyerahkan nyawa begitu saja. Muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin malah lebih kuat daripadanya, dan dengan kepandaian mereka berdua, mungkin saja mereka akan dapat menandingi Hek-i
Mo-ong. Akan tetapi di situ terdapat murid Hek-i Mo-ong yang biarpun masih remaja namun sudah lihai itu dan hal ini membuatnya semakin gelisah. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan dia sudah siap-siap untuk melawan apabila Hek-i Mo-ong turun tangan menyerang seperti yang diduganya.
Dugaan Jai-hwa Siauw-ok memang tidak berlebihan. Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk besar yang berjuluk Raja Iblis.
Kesalahan sedikit saja sudah cukup baginya untuk mencabut nyawa orang lain. Apalagi kesalahan yang diperbuat oleh Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu terlalu besar. Siauw-ok telah berkhianat dalam penyerbuan di Pulau Es, lari menyelamatkan diri sendiri tanpa memperdulikan kawan-kawan. Dan kini, Siauw-ok dan muridnya malah berani mengeroyok Ceng Liong. Dalam keadaan biasa, tentu apa yang diduga oleh Siauw-ok itu akan terjadi. Hek-i Mo-ong tentu akan turun tangan "menghukum" mereka. Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong malah tersenyum memandang kepada Tek Ciang.
"Siauw-ok, dia ini muridmukah? Sungguh murid yang baik sekali!"
Jai-hwa Siauw-ok hampir tidak dapat mempercayai mata dan telinganya. Hek-i Mo-ong tersenyum, bersikap ramah dan malah memuji Tek Ciang! Diapun merasa girang dan cepat berkata, "Mo-ong, terima kasih atas pujianmu!"
"Aaah, kita di antara teman sendiri, tidak perlu banyak sungkan. Kesalahpahaman tadi adalah biasa, dan baik sekali bagi muridku untuk berlatih."
"Muridmu hebat, Mo-ong. Masih begini muda akan tetapi sudah hebat ilmunya."
"Ha-ha-ha, tentu saja! Kalau benar dipertandingkan, engkau sendiripun tentu akan kalah oleh dia. Akan tetapi, muridmu itupun bukan barang murahan. Siauw-ok, kenapa engkau dan muridmu berada di sini? Apakah kebetulan saja? Ataukah ada hubungannya dengan puncak Bukit Nelayan?"
"Bukit Nelayan....? Eh, Mo-ong, bagaimana.... bagaimana engkau bisa mengetahuinya....?"
"Heh-heh, jangan mengira aku sudah pikun karena tua. Engkau hendak pergi ke sana untuk mencari Bu Ci Sian, bukan?"
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk-angguk. "Agaknya Mo-ong telah mengetahui segalanya."
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa "Tentu saja aku tahu. Coba kauingat di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat) yang menjadi guru-gurumu, bukankah Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu tewas di tangan Bu Ci Sian?"
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk, dan Hek-i Mo-ong melanjutkan, "Dan kini Bu Ci Sian telah menikah dan tinggal di puncak Bukit Nelayan maka melihat engkau di sini bersama muridmu yang lihai, ke mana lagi engkau hendak pergi kalau bukan ke bukit itu? Dan agaknya engkau dan muridmu sudah membawa bekal.... ha-ha, agaknya muridmu itu bukan hanya mewarisi ilmu-ilmumu, melainkan juga kebiasaanmu!" Hek-i Mo-ong memandang ke arah mayat dua orang gadis belasan tahun itu.
Jai-hwa Siauw-ok tersenyum. "Ah, hanya kesenangan laki-laki biasa saja, Mo-ong. Semua dugaanmu memang benar. Kami berdua hendak ke sana dan kalau mungkin, kami hendak membalas dendam kematian guru-guruku."
"Ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba Hek-i Mo-ong tertawa bergelak dan Jai-hwa Siauw-ok mengerutkan alisnya. Jelas bahwa Raja Iblis itu mentertawakannya, akan tetapi dia menanti keterangan dengan sabar karena maklum bahwa Raja Iblis ini berwatak kejam sekali, sedikit-sedikit mudah saja membunuh orang, baik orang itu sekutunya maupun musuhnya. Dan memang Hek-i Mo-ong melanjutkan kata-katanya yang diawali suara ketawa mengejek ini. "Dan engkau bersama muridmu hanya pergi mengantar nyawa dengan sia-sia belaka, untuk mati konyol, ha-ha ha!"
Kini Jai-hwa Siauw-ok menjadi penasaran, bahkan Louw Tek Ciang juga memandang tajam dengan alis berkerut. Bagaimanapun juga, kakek ini memandang rendah kepada dia dan gurunya dan biarpun kakek ini Hek-i Mo-ong, dia tidak berhak memandang rendah orang segolongan seperti itu.
"Harap locianpwe suka menjelaskan!" katanya penasaran, sementara itu, Ceng Liong sejak tadi hanya mendengarkan, akan tetapi matanya sering tertuju kepada dua buah mayat gadis itu.
"Ha-ha-ha, apakah kalian belum tahu dengan siapa Bu Ci Sian menikah? Dan apa macam suaminya? Ha-ha, suaminya itu adalah Kam Hong si Pendekar Suling Emas!"
Jai-hwa Siauw-ok terbelalak, sedangkan Tek Ciang tidak perduli karena memang pemuda yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw ini belum pernah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas yang merupakan tokoh tua dalam dongeng persilatan, lebih tua daripada nama keluarga Pulau Es. Sebaliknya, Jai-hwa Siauw-ok sudah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, maka dia terbelalak dan bertanya dengan suara terheran.
"Ah, jangan berkelakar, Mo-ong. Bukankah Pendekar Suling Emas hidup di jaman puluhan tahun yang lalu, lebih seratus tahun yang lalu? Mana mungkin Bu Ci Sian menikah dengan dia yang sudah lama mati."
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa, tertawa gembira, tawa seorang yang merasa unggul dan lebih tahu. "Bodoh, tentu saja bukan dengan Pendekar Suling Emas yang pertama, melainkan dengan keturunannya. Dan Kam Hong adalah keturunannya yang telah mewarisi semua ilmu kepandaian keluarga Suling Emas. Maka, kalau kalian ke sana, selain berhadapan dengan Bu Ci Sian, juga akan berhadapan dengan suaminya itu yang sepuluh kali lebih lihai daripada Bu Ci Sian."
Jai-hwa Siauw-ok tertegun dan saling pandang dengan muridnya. Hal ini memang sama sekali tidak pernah disangkanya. Menurut penyelidikannya, Bu Ci Sian hidup di puncak Bukit Nelayan itu bersama suaminya dan seorang anaknya yang sudah remaja puteri. Sama sekali dia tidak pernah memperhitungkan bahwa suaminya malah lebih lihai daripada pendekar wanita itu. Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok adalah seorang cerdik. Diapun mempunyai dugaan bahwa kedatangan orang macam Hek-i Mo-ong ke tempat itu sudah
pasti tidak sia-sia, bukan sekedar jalan-jalan saja, tentu ada maksudnya tertentu yang amat penting.
"Mo-ong, apakah engkau dan muridmu juga hendak pergi ke sana? Barangkali kalian hendak mencari.... eh, orang she Kam yang lihai itu?"
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak, nampak giginya yang tinggal tiga buah di dalam rongga mulutnya. "Ha-ha-ha, engkau cerdik seperti srigala! Memang benar, aku hendak membuat perhitungan pribadi dengan Kam Hong."
Kini mengertilah Jai-hwa Siauw-ok mengapa Mo-ong tidak membunuh dia dan muridnya. Kiranya Raja Iblis inipun hendak menyerbu puncak Bukit Nelayan dan agaknya si Raja Iblis ini masih ragu-ragu apakah akan mampu mengalahkan keturunan Pendekar Suling Emas. Inilah sebabnya maka Hek-i Mo-ong tidak mengganggunya, bahkan mendekatinya untuk diajak bersekutu lagi, kini bukan menyerbu Pulau Es, melainkan menyerbu puncak Bukit Nelayan! Persekutuan yang saling menguntungkan, yang satu pihak hendak memusuhi isterinya dan pihak yang lain memusuhi suaminya. Jadi dapat saling bantu! Maka diapun berani tertawa bergelak dan wajahnya yang tua akan tetapi masih tampan itu nampak jauh lebih muda kalau tertawa.
"Bagus sekali, Mo-ong. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa kita akan menjadi sekutu dan sekawan dalam menghadapi apapun. Engkau dan muridmu menyerbu suaminya, aku dan muridku meringkus isterinya dan anak mereka, dan pekerjaan kita menjadi jauh lebih ringan, bukan?"
Hek-i Mo-ong tertawa. "Huh, engkau dan muridmu, yang dipikirkan hanya perempuan saja. Nah, mari kita berangkat, berjalan sambil merencanakan siasat yang baik...."
Kakek ini menghentikan kata-katanya ketika dia menoleh dan melihat Ceng Liong sedang bekerja menggali tanah dengan kedua tangannya. Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak. Sungguh mengejutkan melihat cara pemuda remaja itu menggunakan kedua tangannya menggali tanah. Kedua tangannya itu seperti berubah menjadi cangkul baja saja ketika jari-jari tangannya menghunjam ke dalam tanah dan menggali dengan cepatnya. Itulah kekuatan Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang amat hebat. Sebentar saja Ceng Liong sudah dapat menggali tanah yang cukup lebar dan panjang.
"Eh, apa yang kaulakakan?" Hek-i Mo-ong bertanya kaget dan heran.
Tanpa menoleh dan tanpa menghentikan pekerjaannya Ceng Liong menjawab, "Mo-ong, aku tidak mau pergi sebelum mengubur mayat dua orang wanita ini." Dan diapun menggali semakin cepat, seolah-olah hendak melampiaskan kemarahannya kepada tanah di depannya. Setelah lubang itu cukup besar, diapun lalu mengangkat dua mayat gadis itu ke dalam lubang, lalu ditimbuninya lubang itu dengan tanah. Sebentar saja dua orang gadis bernasib malang yang telah menjadi mayat itu telah dikuburkan dengan sederhana namun cukup pantas.
"Ha-ha-ha, Mo-ong, muridmu yang gagah perkasa ini sayang sekali berhati lemah!" Jai-hwa Siauw-ok tertawa dan Tek Ciang juga melempar senyum sinis.
"Jai-hwa-cat! Kau majulah dan kaucoba kelemahanku!" Tiba-tiba Ceng Liong membentak, memasang kuda-kuda dan kedua lengannya masih hitam terkena lumpur, sepasang matanya mencorong ketika dia memandang kepada Jai-hwa Siauw-ok.
Dimaki sebagai jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) orang itu sama sekali tidak marah, bahkan tertawa senang karena julukan itu baginya sama dengan pengakuan dan pujian! Bagaimanapun juga, andaikata dia tidak ingat bahwa pemuda itu murid Hek-i Mo-ong dan terutama sekali pada saat itu Hek-i Mo-ong hadir di situ, tentu dia tidak akan tinggal diam ditantang oleh seorang muda.
"Hemm, orang muda, gurumu dan aku adalah sekutu yang sama-sama akan menghadapi lawan tangguh. Tidak baik kalau urusan kecil kita harus bentrok sendiri dan melemahkan kedudukan kita sendiri," katanya.
"Ceng Liong, musuh kita adalah penghuni istana di puncak Bukit Nelayan, bukan Jai-hwa Siauw-ok. Jangan engkau layani ocehannya tadi, karena memang dia bermulut cerewet seperti perempuan!" Mo-ong sengaja balas menghina untuk meredakan kemarahan Ceng Liong yang dikatakan berhati lemah tadi. Dan Jai-hwa Siauw-ok yang mengerti maksud ucapan Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja, walaupun Tek Ciang memandang marah mendengar gurunya dimaki.
Empat orang itu lalu melanjutkan perjalanan. Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok berbincang-bincang membicarakan musuh-musuh mereka. Memang terdapat permusuhan antara keluarga yang tinggal di istana tua Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan itu dengan mereka berdua. Kam Hong pernah bentrok dengan Hek-i Mo-ong dan kakek iblis ini telah dihajarnya, dan terpaksa mengakui keunggulan pendekar itu. Hal ini membuat dia merasa penasaran sekali dan hatinya takkan puas sebelum dia dapat membalas kekalahan itu. Adapun Jai-hwa Siauw-ok mempunyai dendam sakit hati kepada Bu Ci Sian, pendekar wanita yang kini telah menjadi
nyonya Kam Hong. Bu Ci Sian pada belasan tahun yang lalu telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Hal ini amat menyakitkan hati Jai-hwa Siauw-ok, terutama sekali kematian Ji-ok karena Ji-ok adalah gurunya dan juga kekasihnya. Dendam kedua orang datuk sesat itu terjadi belasan tahun yang lalu dan mereka selalu menanti kesempatan untuk dapat membalas dendam (baca kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN).
Gedung yang nampak kokoh kuat di puncak itu adalah bekas istana kuno yang di jaman dahulu terkenal sebagai pusat perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Di jaman dahulu, perkumpulan itu terkenal sekali dan mempunyai anggauta-anggauta yang berilmu tinggi. Bangunannya kuno dan kokoh, temboknya tebal. Akan tetapi, walaupun dari luar nampak tua dan kuno, namun di sebelah dalamnya bersih dan rapi, tanda bahwa tempat itu terawat dengan amat baik. Di ruangan khusus keluarga terhias gambar-gambar lukisan dari nenek moyang atau keturunan Suling Emas, yang menjadi sahabat baik nenek moyang Khong-sim Kai-pang.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, yang tinggal di dalam istana tua itu adalah pendekar sakti Kam Hong, dan isterinya yang bernama Bu Ci Sian. Kam Hong adalah keturunan Suling Emas, akan tetapi dia berhak menempati istana ini karena selain dia pernah menjadi anak angkat dan juga murid tokoh terakhir dari Khong-sim Kai-pang, juga keturunan terakhir dari Khong-sim Kai-pang yang bernama Yu Hwi, kini telah menikah dengan seorang pendekar she Cu yang tinggal di Pegunungan Himalaya, di Lembah Naga Siluman. Untuk memperkenalkan keadaan Kam Hong di waktu mudanya kepada para pembaca yang belum membaca kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN, marilah kita menjenguk riwayat singkat pendekar sakti ini.
Kam Hong adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas dan sejak kecil dia diserahkan oleh seorang pelayan keluarga itu kepada Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek tokoh terakhir Khong-sim Kai-pang. Dia diperlakukan sebagai anak atau cucu sendiri dan digembleng ilmu-ilmu keluarga itu. Bahkan diapun telah ditunangkan dengan cucu Sai-cu Kai-ong yang merupakan keturunan terakhir keluarga Yu pendiri Khong-sim Kai-pang, yang bernama Yu Hwi. Akan tetapi, agaknya Tuhan menghendaki lain. Kam Hong dan Yu Hwi yang sejak kecil telah ditunangkan oleh keluarga yang sejak jaman dahulu telah saling bersahabat erat itu, setelah menjadi dewasa, menemukan jalan hidup masing-masing, bahkan menemukan pilihan hati masing-masing. Karena itulah, usaha kedua
keluarga untuk menjodohkan mereka gagal. Kam Hong bertemu dengan Bu Ci Sian, saling jatuh cinta dan akhirnya mereka menjadi suami isteri. Sebaliknya, Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia itu bertemu dengan Cu Kang Bu, seorang di antara pendekar-pendekar keluarga Cu pencipta suling emas aseli, saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri pula. Kini Yu Hwi, yang sebenarnya merupakan keturunan terakhir dari para pemimpin Khong-sim Kai-pang dan menjadi ahli waris dari istana tua di Puncak Nelayan, ikut suaminya tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Dan istana tua itu kini dirawat dan ditinggali oleh Kam Hong yang dahulu menjadi tunangannya.
Demikianlah sekelumit riwayat Kam Hong yang berhubungan dengan istana tua itu. Dia hidup rukun dan penuh kebahagiaan bersama isterinya dan seorang anaknya, anak tunggal yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Selain mereka bertiga, juga di situ terdapat enam orang pembantu atau juga dapat dinamakan murid pendekar itu, tiga orang pria dan tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Karena bantuan enam orang inilah maka istana tua itu selalu dalam keadaan bersih dan terawat baik.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian untuk berjalan-jalan di waktu pagi sekali sebelum matahari terbit. Mereka berdua akan berdiri di puncak bukit, menanti sampai matahari muncul di balik gunung, menikmati udara sejuk dan sinar matahari pagi yang segar. Pada pagi hari itu, seperti biasa mereka berdua bergandeng tangan mendaki puncak sebelah timur untuk menyambut munculnya matahari di pagi yang cerah itu. Kadang-kadang Bi Eng ikut kedua orang tuanya karena berjalan mendaki puncak di pagi hari, selain amat baik untuk latihan, menyehatkan badan dan batin, juga keindahan alam yang luar biasa akan dapat dinikmati dan tidak pernah membosankan. Akan tetapi, pada pagi hari itu Bi Eng tidak ikut bersama ayah bundanya. Ia sedang berlatih silat seorang diri di taman bunga di samping istana dengan asyikya. Taman itu indah, terawat olehnya sendiri, bersama ibunya dan dibantu oleh tiga orang pelayan wanita. Dan pada pagi hari itu Bi Eng melatih ilmu yang menjadi inti ilmu ayah bundanya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas). Seperti ayah bundanya, ia juga memainkan ilmu ini dengan sebatang suling emas. Suling ini terbuat dari emas tulen, merupakan tiruan dari suling emas aseli di tangan ayahnya, seperti juga yang dijadikan senjata ibunya. Mula-mula Bi Eng memainkan suling di tangannya secara lambat dan perlahan, nampak seperti orang menari saja, tarian yang indah dan aneh. Akan tetapi, lambat-laun suling di tangannya bergerak semakin cepat dan mulailah terdengar suara melengking keluar dari suling itu dan bentuk sulingpun lenyap berobah menjadi gulungan sinar emas yang indah menyilaukan mata. Semakin lama, suara melengking itu semakin nyaring, naik turun seperti melagu. Tubuh yang berkelebatan gesit itu terbungkus galungan sinar emas, amat indahnya. Bi Eng tidak tahu bahwa pada saat itu, empat pasang mata memandang dengan penuh kagum. Empat orang itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, Ceng Liong, Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang menonton dari luar taman. Pandang mata Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang mata keranjang itu sudah berminyak menyaksikan seorang dara belasan tahun yang berwajah cantik jelita dan bertubuh padat dan bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar itu memainkan suling sedemikian indahnya.
Akhirnya Bi Eng menghentikan gerakan silatnya, lalu duduk bersila di atas tanah mengatur pernapasan. Setelah pernapasannya pulih kembali, dara itu, tanpa menyadari bahwa ada empat orang selalu mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata kagum, lalu menempelkan lubang suling di depan mulutnya dan mulailah ia meniup suling itu, dan keluarlah suara suling yang amat merdu, meninggi dan merendah dengan indahnya.
Akan tetapi, empat orang yang mendengarkan itu terkejut bukan main. Bukan hanya indah dan merdu suara suling itu, akan tetapi juga mengandung getaran hebat yang membuat mereka itu tergetar! Tahulah mereka bahwa nona itu meniup suling bukan untuk melagu santai, melainkan meniup untuk melatih khi-kang yang amat kuat dan agaknya menjadi satu di antara keistimewaan ilmu keluarganya. Dan memang sesungguhnyalah. Tiupan suling Bi Eng itu masih dalam rangka berlatih ilmu dan tiupan itu dinamakan Kim-kong Sim-in, yaitu suara yang mengandung getaran dan dapat menyerang lawan! Empat orang itu cepat mengerahkan sin-kang untuk melawan daya serang suara itu yang semakin lama menjadi semakin kuat menusuk-nusuk telinga.
Tek Ciang sudah tidak kuat lagi menahan gelora hatinya melihat dara jelita itu. Nafsu berahinya timbul dan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya. Dara itu amat menarik hatinya dan dia seperti lupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu. Siapapun adanya gadis itu harus dia dapatkan!
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah enam orang, tiga orang pria dan tiga wanita. Mereka adalah para pembantu keluarga Kam dan tadi seorang di antara mereka melihat munculnya empat orang asing di dekat taman. Cepat dia memberitahukan teman-temannya dan kini mereka semua datang dan menegur.
"Siapakah kalian dan ada urusan apakah datang ke tempat kami?" tegur seorang di antara para pembantu keluarga Kam.
"Kami mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian. Apakah kalian keluarga mereka?" tanya Tek Ciang tanpa mengalihkan pandang matanya kepada Bi Eng yang kini sudah menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan alis berkerut.
"Majikan kami sedang keluar berjalan-jalan dan kami adalah pelayan-pelayan mereka. Kalau memang su-wi ada keperluan dengan majikan kami, harap menunggu di kamar tamu sampai mereka kembali dari jalan-jalan."
"Ha-ha-ha, kiranya hanya pelayan-pelayan yang harus mampus!" kata Jai-hwa Siauw-ok.
Kini Bi Eng sudah bangkit berdiri dan kerut-merut di alisnya makin mendalam ketika ia mendengar kata-kata itu.
"Ada keperluan apakah kalian dengan ayah ibuku? Orang tuaku tidak mempunyai kenalan orang-orang kasar seperti kalian!" katanya dengan suara merdu akan tetapi tajam dan menusuk. Bi Eng memang menuruni watak ibunya yang lincah jenaka, akan tetapi juga dapat bersikap berani, bengal dan galak.
"Ehh, kiranya engkau nona Kam, puteri Kam Hong dan Bu Ci Sian? Bagus, mari ikut aku bersenang-senang, nona manis!" kata Tek Ciang dan mendengar kata-kata ini, melihat sikap ini, diam-diam Ceng Liong sudah merasa mendongkol sekali, Akan tetapi dia diam saja hanya memandang.
Enam orang pelayan itupun marah mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Mereka dapat menduga bahwa tentu kedatangan empat orang ini tidak mengandung niat baik, maka rasa setia terhadap majikan mereka membuat mereka serentak maju mengepung dan menyerang. Karena yang berada paling depan adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang, maka guru dan murid inilah yang lebih dahulu menghadapi serangan mereka. Sambil tertawa mengejek, Tek Ciang menggerakkan tangannya menampar, demikian pula Jai-hwa Siauw-ok. Dua orang pelayan pria mencoba untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi hawa pukulan itu saja sudah membuat mereka seperti lumpuh dan terdengar suara keras ketika kepala mereka terkena tamparan. Mereka hanya sempat menjerit satu kali lalu roboh dan tewas seketika! Empat orang kawan mereka terkejut dan marah. Mereka mencabut pedang dan menerjang maju. Akan tetapi, hanya dengan beberapa kali menggerakkan tangan, Tek Ciang dan Jai-hwa Siauw-ok yang menyambut mereka itu telah berhasil menggulingkan mereka. Mereka roboh dengan kepala retak dan tewas seketika dalam beberapa gebrakan saja!
"Ha-ha-ha-ha!" Mo-ong tertawa bergelak. "Hanya begini sajakah kekuatan pasukan yang dididik Kam Hong? Ha-ha-ha!" Hatinya senang melihat betapa para anak buah musuhnya, dalam waktu singkat telah roboh dan tewas oleh sekutunya. Ceng Liong mengepal tinju, akan tetapi tidak bergerak. Dia merasa penasaran sekali. Dia mau ikut gurunya dan berjanji membantunya, akan tetapi hanya untuk mengalahkan lawan, menebus kekalahan gurunya. Dia sama sekali tidak mau terlibat atau membantu untuk membunuh orang. Dan kini dia melihat sekutu gurunya membunuhi orang secara kejam. Orang-orang itu mungkin hanya pelayan-pelayan yang tidak berdosa, tanpa bersalah apa-apa mengapa dibunuh sedemikian kejamnya? Akan tetapi karena dia tidak mempunyai sangkut-paut apa-apa, dia hanya memandang saja dengaan tangan terkepal dan alis berkerut tak senang.
Sementara itu, melihat betapa enam orang pelayannya roboh dan tewas seketika, Bi Eng menjadi terkejut bukan main. Enam orang pelayannya itu memang belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi, mereka itu jauh lebih kuat daripada orang-orang biasa. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja mereka telah roboh dan tewas oleh dua di antara empat orang ini, maka dapat diduga bahwa mereka berempat itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, kemarahannya tidak memungkinkan ia untuk bertanya-tanya lagi. Sambil mengeluarkan bentakan halus, iapun sudah menerjang ke depan dengan suling emasnya.
"Ha-ha, biar aku yang menjinakkan kuda betina yang muda dan liar ini!" Tek Ciang berkata sambil menyambut terjangannya. Akan tetapi, bukan main kagetnya hati jai-hwa-cat muda ini ketika dia menggerakkan tangan hendak menangkap suling di tangan si nona, tiba-tiba saja suling itu mengelak dan tendangan kaki kiri nona itu tahu-tahu sudah menyambar dan nyaris mengenai lambungnya kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang! Nona itu dapat menghindarkan suling yang akan dirampasnya, bahkan dalam segebrakan hampir saja dapat menendang lambungnya. Dan dari angin tendangan itu, tahulah Tek Ciang bahwa kalau dia tadi terkena tendangan, belum tentu dia akan dapat menahannya! Tadinya dia berniat mempermainkan dara ini sebeluan menangkapnya dan mempermainkan sepuas hatinya. Akan tetapi, kini gadis itu mendesaknya dan serangan yang bertubi-tubi dengan suling itu membuat semua lamunan untuk mempermainkan gadis itu lenyap seperti asap tipis dihembus angin. Jangankan untuk mempermainkan, bahkan dia sendiri harus mempergunakan seluruh kepandaian dan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari totokan-totokan ujung suling yang luar biasa cepat dan kuatnya itu! Dan semua itu masih ditambah lagi dengan lengkingan suara suling yang keluar dari suling yang digerakkan untuk menyerang, membuat dia merasa bising dan bingung juga. Untung dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi, telah digembleng oleh Suma Kian Lee sehingga dengan ilmu gabungan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang dia dapat memperbaiki keadaannya dan dapat membendung datangnya serangan bertubi-tubi seperti air bah dari gadis itu. Perlahan-lahan dia dapat menguasai keadaan dan dapat membalas dan kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Kini Tek Ciang sama sekali tidak berani main-main lagi, maklum bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada di bawah tingkatnya, bahkan gadis itu memiliki ilmu silat suling yang benar-benar aneh, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya.
Hampir saja Ceng Liong berseru kaget ketika dia mengenal gerakan ilmu silat keluarganya dimainkan oleh murid Jai-hwa Siauw-ok yang bernanna Tek Ciang itu. Bagaimanakah penjahat muda yang menjijikkan ini mampu memainkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang sedemikian mahirnya? Bahkan setiap kali bergerak, muncullah hawa panas sekali atau dingin sekali dari kedua lengannya, tanda bahwa orang itu telah benar-benar menguasai kedua ilmu keturunan keluarga Pulau Es itu! Juga Hek-i Mo-ong diam-diam terkejut dan kagum. Murid dari sekutunya benar-benar hebat dan tidak boleh dipandang ringan, mungkin lebih hebat daripada gurunya. Sedang Jai-hwa Siauw-ok hanya tersenyum-senyum bangga. Tek Ciang adalah muridnya dan dia tahu bahwa muridnya itu telah menguasai ilmu-ilmu keturunan keluarga Pulau Es!
Akan tetapi, di lain pihak mereka juga kagum sekali melihat dara remaja yang jelita itu. Ilmu silatnya tinggi, sulingnya benar-benar amat lihai sehingga dengan gulungan sinar emas, gadis itu mampu membendung semua serangan balasan lawan. Diam-diam gadis itu sendiripun kaget betapa lawannya amatlah tangguhnya. Maka iapun tidak mau kalah dan mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya. Ilmu Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mujijat, akan tetapi ia belum menguasai secara mendalam, hanya menguasai teorinya dan baru berlatih selama beberapa bulan. Kepandaiannya dalam ilmu silat ini belum matang dan menurut ayahnya, kematangan itu membutuhkan ketekunan dan latihan yang lama dan tepat. Maka, iapun mengeluarkan bermacam ilmu yang dipelajarinya dengan penuh semangat dari ayah bundanya. Sulingnya berkelebatan, bergulung-gulung memainkan ilmu-ilmu pedang
yang langka di dunia ini. Di antaranya ia memainkan Pat-sian Kiam-hoat, Hong-in Bun-hoat dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut sendiri.
Karena merasa memperoleh kesukaran untuk mengalahkan lawannya dengan mengandalkan ilmu silat dan kecepatan, Tek Ciang merasa penasaran dan dia hendak mengadu tenaga. Dia maklum bahwa lawannya ini memiliki tenaga sin-kang yang kuat, akan tetapi dia tidak percaya kalau dia kalah kuat. Bagaimanapun juga, lawannya hanyalah searang dara remaja! Maka, ketika untuk kesekian kalinya suling itu berkelebat dan ada gulungan sinar emas menyambar ke arah dadanya, dia tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanan menangkis dengan usaha menangkap itu sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
"Plakkk!" Telapak tangan Tek Ciang bertemu dengan suling. Jangankan menangkap, telapaknya malah terasa seperti dibakar. Cepat dia mengerahkan Hwi-yang Sin-kang untuk melawannya, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, sedangkan dara itu hanya melangkah mundur dua langkah saja! Dari pertemuan ini, ternyatalah bahwa dara itu lebih kuat dalam tenaga sin-kang daripadanya! Sesungguhnya tidaklah demikian. Kalau saja Tek Ciang bukan seorang jai-hwa-cat yang hampir setiap malam menghamburkan tenaganya dengan mempermainkan wanita yang diculik dan diperkosanya, tentu dia tidak kalah kuat, bahkan mungkin
lebih kuat dari Bi Eng. Akan tetapi, dia malas berlatih, malah memboroskan tenaganya dengan perbuatan jahat menculik dan memperkosa wanita seperti yang dilakukan pula oleh Jai-hwa Siauw-ok.
Benturan tenaga sin-kang yang membuat Tek Ciang terhuyung itu membuat orang ini merasa malu, penasaran dan marah sekali. Bagaimanapun juga, sejak tadi masih belum ada niat di dalam hatinya untuk membunuh atau mencelakai gadis ini. Ingin dia membuat gadis itu tidak berdaya, mengalahkannya tanpa membunuhnya agar dia dapat lebih dulu mempermainkannya sebelum membunuhnya kelak. Akan tetapi, sikapnya yang mengalah ini bahkan hampir mencelakakan dirinya sendiri.
"Ciiiattt.... ciiiattt....!" Tek Ciang menyerang ganas dan kini tusukan-tusukan jari tangannya yang mempergunakan Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) mengeluarkan bunyi mengerikan. Bi Eng terkejut. Belum pernah ia melihat ilmu yang ganas dan aneh seperti itu. Ketika ia mengelak dan tusukan jari tangan itu melanggar ujung sabuknya, maka ujung sabuknya itu terbabat putus seperti disambar pedang! Cepat ia mengandalkan kelincahannya sambil membalas dengan sulingnya.
Tiba-tiba Tek Ciang tergelincir dan roboh miring. Kalau saja Bi Eng sudah berpengalaman dalam perkelahian, apalagi kalau saja ia sudah sering berhadapan dengan lawan dari golongan sesat, tentu ia akan bersikap waspada karena ia tentu tahu bahwa golongan sesat tidak segan mempergunakan siasat curang untuk memperoleh kemenangan. Ia tidak mengira bahwa Tek Ciang mempergunakan siasat itu. Maka sulingnya menyambar dalam kemarahannya hendak membalaskan kematian enam orang pelayannya. Pada saat ia menubruk itu, tiba-tiba Tek Ciang mengeluarkan suara berkokok dan dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah Bi Eng, sambil mengerahkan ilmu pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok. Ilmu pukulan ini dahulu merupakan ilmu pukulan yang ampuh dari Su-ok, orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok yang berhasil dicuri oleh Jai-hwa Siauw-ok melalui Ji-ok dan telah dipelajari dengan baik oleh Tek Ciang.
"Desss. ...!"
Bi Eng yang sama sekali tidak pernah menyangka lawan yang sudah tergelincir itu akan mampu melakukan pukulan sehebat itu, terlanda pukulan Hoa-mo-kang dan tubuhnya terpelanting roboh dalam keadaan pingsan! Memang kehebatan ilmu pukulan Hoa-mo-kang itu adalah cara penggunaannya dari bawah, dari dalam keadaan rebah miring atau berjongkok. Bau amis tercium ketika ilmu pukulan ini dilakukan dan Bi Eng yang roboh pingsan itu mukanya berobah agak kehijauan karena ia telah terkena pukulan beracun amat hebat.
"Tolol kamu....!" Hek-i Mo-ong melangkah maju dan memaki Tek Ciang yang cepat melangkah mundur dengan muka pucat. Biarpun dia telah berhasil, akan tetapi pukulannya tadi bertemu dengan kekuatan sin-kang yang membuatnya merasa tergetar jantungnya dan kini dia dibentak dan dimarahi, maka dia menjadi khawatir.
"Mo-ong, kenapa engkau marah-marah? Bukankah muridku telah berhasil...."
"Berhasil apa? Apa sukarnya mengalahkan anak perempuan itu? Ia merupakan sandera yang paling berharga, kenapa malah dibunuh? Kalau ia ditangkap dalam keadaan hidup dan sehat, kita akan mudah menundukkan ayah ibunya!"
Jai-hwa Siauw-ok baru mengerti dan diapun menyesal. "Bagaimanapun juga, dara itu belum mati, dan menghadapi suami isteri itu, kita berempat tentu akan mampu mengalahkan mereka."
"Hei, ke mana engkau akan membawanya?" Tiba-tiba Tek Ciang berteriak. Semua orang menengok dan ternyata Ceng Liong sudah memanggul tubuh Bi Eng yang sudah lemas tak berdaya itu.
"Mo-ong, aku akan mencoba untuk mengobati dan menyembuhkannya," Ceng Liong berkata, ditujukan kepada Hek-i Mo-ong dan sama sekali tidak memperdulikan teriakan Tek Ciang.
"Tahan dulu....!" Tek Ciang hendak mengejar.
"Diam kau....!" Jai-hwa Siauw-ok membentak muridnya. Tek Ciang menoleh dan melihat betapa kakek iblis Hek-i Mo-ong memandang kepadanya dengan marah. Tahulah dia mengapa gurunya menghardik karena kalau dia mengejar murid iblis itu, siapa tahu Hek-i Mo-ong akan membunuhnya. Watak dan sikap kakek iblis itu memang sukar diselami, maka diapun mengalah, bahkan diam-diam tersenyum mengejek. Biarlah, biarlah dicobanya oleh anak setan itu untuk mengobati bekas tangannya dengan pukulan Hoa-mo-kang
tadi, pikirnya. Dia sendiri tidak tahu bagaimana cara mengobatinya, akan tetapi sebelum dara itu mati, ingin dia mempermainkannya lebih dahulu. Sayang kalau dara yang cantik jelita dan sedang mekar itu dibiarkan mati tanpa diganggu.
"Sudahlah, mari kita mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian," kata Hek-i Mo-ong, kemarahannya mereda ketika Jai-hwa Siauw-ok memperlihatkan rasa takut kepadanya. "Biar nanti muridku menyusul dan biarkan dia mencoba untuk menyembuhkan sandera kita."
"Locianpwe, gadis itu tadi akulah yang merobohkannya, maka aku yang berhak untuk menikmatinya, bukan murid locianpwe," kata Tek Ciang yang masih merasa penasaran, akan tetapi suaranya menghormat karena dia takut kalau-kalau kakek iblis ini akan menjadi marah.
"Cihh! Jangan samakan muridku dengan manusia gila perempuan macam engkau! Muridku adalah laki-laki sejati. Kalau dia bilang mau mencoba mengobati, tentu dia akan mengobati saja dan tidak melakukan hal lain! Mari kita pergi!"
Jai-hwa Siauw-ok berkedip kepada muridnya dan Tek Ciang tidak berani banyak cakap lagi. Bagaimanapun juga, hatinya masih mendongkol karena dia membayangkan betapa Ceng Liong tentu akan mempergunakan kesempatan itu untuk menguasai gadis cantik yang sudah pingsan itu! Memang, orang yang sudah biasa melakukan penyelewengan di dalam kehidupannya, akan selalu menganggap orang lain sama seperti dia sendiri dan dia tidak akan dapat mempercayai orang lain. Demikian pula dengan Louw Tek Ciang ini. Dia dan gurunya adalah dua orang jai-hwa-cat, maka dia menganggap bahwa semua orang laki-laki tentu mempunyai watak seperti dia pula dan timbul cemburu dan tidak percaya ketika Ceng Liong membawa pergi gadis cantik yang pingsan itu.
Hek-i Mo-ong sendiri tentu saja sudah mengenal watak muridnya. Kadang-kadang, kalau dia sedang melamun, dia merasa malu sendiri kepada muridnya. Jelas nampak olehnya bahwa biarpun selama bertahun-tahun Ceng Liong menjadi muridnya, namun anak itu sungguh memegang teguh janjinya, yakni hanya belajar ilmu saja kepadanya dan tidak mau belajar menjadi manusia sesat! Dia kadang-kadang merasa malu mengapa anak itu dapat memiliki watak gagah, seorang pendekar tulen! Kadang-kadang timbul penyesalan di dalam hatinya mengapa dia, yang di waktu mudanya juga mempelajari banyak tentang kebatinan, kemudian dapat menyeleweng dan sekali menceburkan diri ke dalam jurang kesesatan, sukarlah untuk keluar dari situ. Dia sudah merasa terlanjur menjadi tokoh kaum sesat dan dia akan merasa malu kalau keluar dari lingkungan itu. Dia tahu bahwa sekali berkata hendak mengobati gadis yang terkena pukulan murid Jai-hwa Siauw-ok itu, tentu hal ini akan dilaksanakan oleh Ceng Liong dan tak mungkin ada sedikitpun niat buruk lain di dalam hati muridnya. Diam-diam kakek iblis ini malah merasa bangga sekali bahwa muridnya adalah seorang pendekar, bahkan bukan sembarangan pendekar melainkan cucu aseli dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Diapun tahu bahwa korban pukulan macam yang dilakukan oleh Tek Ciang itu sukar sekali ditolong, apalagi muridnya tidak pernah mempelajari cara menyembuhkan korban seperti itu, maka tentu muridnya akan gagal, gadis itu akan tewas dan tak lama kemudian muridnya tentu akan menyusulnya.
Akan tetapi, dia merasa kehilangan muridnya ketika tiba-tiba dia dan dua orang kawannya mendengar bunyi suling ditiup secara aneh. Mereka berhenti serentak, saling pandang dan jelas betapa wajah mereka menjadi tegang. Bahkan Tek Ciang yang biasanya bersikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, agak berubah air mukanya mendengar suara suling itu. Suara suling itu aneh sekali, tidak seperti suara suling biasanya. Melengking-lengking naik turun, dan terdengar dua suara suling yang saling susul, saling belit dan saling mengisi. Kadang-kadang terdengar seperti nyanyian lagu gembira, kadang-kadang seperti berbisik-bisik, seperti sepasang kekasih sedang memadu asmara, dan ada kalanya berabah menjadi gegap-gempita seperti ada perang di sana. Dan dalam nada bagaimanapun juga, selalu ada getaran yang amat kuat, yang membuat tiga orang itu harus mengerahkan sin-kang untuk melawannya. Kemudian suara suling itu merendah, sampai rendah sekali dan jantung tiga orang itu terasa seperti dipukuli palu godam yang amat berat, berdentang-dentang dan dada seperti akan pecah rasanya. Hanya dengan pengerahan sin-kang saja mereka dapat bertahan. Tiba-tiba, suara yang amat rendah itu melengking, makin lama makin tinggi dan tiga orang itu hampir tak kuat bertahan, lalu mereka duduk bersila dan mengerahkan sin-kang. Suara itu melengking terus sampai tinggi sekali, sampai lenyap suaranya tak dapat tertangkap lagi oleh pendengaran, akan tetapi getarannya amat kuatnya seperti jarum menusuk-nusuk jantung mereka rasanya.
Akhirnya, suara itu berhenti dan lenyap. Legalah hati mereka dan mereka membuka mata, saling pandang dan muka mereka menjadi agak pucat. Bukan main hebatnya suara tadi dan tanpa bicarapun mereka dapat menduga siapa yang meniup suling seperti itu. Dugaan mereka terbukti dengan munculnya dua orang dari puncak, jalan bergandengan tangan dan suling yang mereka bunyikan tadi, yang menciptakan suara aneh, kini terselip aman di ikat pinggang mereka. Yang seorang laki-laki, berpakaian sasterawan sederhana, dengan jubah luar yang terlalu lebar kedodoran. Usianya antara lima puluh tahun, namun masih nampak tampan dan anggun, halus gerak-geriknya dan mulutnyapun membayangkan keramahan dan kehalusan budi. Hanya sepasang matanya yang tak dapat dicuri memiliki sinar mencorong seperti naga. Kumis dan jenggotnya tidak begitu panjang dan terawat baik. Seorang sasterawan yang tampan dan halus! Dan di sebelahnya berjalan seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, masih nampak cantik dan manja, kadang-kadang menggandeng lengan pria itu dan kalau bicara melirik dan tersenyum, kadang-kadang memandang wajah pria itu dengan perasaan cinta dan sayang dan manja! Itulah pendekar sakti Kam Hong, keturunan dari keluarga Pendekar Suling Emas, bersama isterinya, Bu Ci Sian yang juga menjadi sumoinya dalam mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup suling dengan khi-kang yang amat tinggi.
Mereka kelihatan begitu rukun dan saling mencinta. Melihat musuh besarnya, Hek-i Mo-ong lupa akan rasa gentarnya dan dia sudah memandang dengan mata mendelik dan napas memburu, didorong oleh hawa amarah yang menyesak dada. Adapun Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya memandang ke arah wanita itu. Seorang wanita cantik yang sudah matang dan agaknya inilah musuh besarnya, pikir Jai-hwa Siauw-ok dengan jantung berdebar. Kalau saja dia mampu membalaskan sakit hati guru-gnrunya! Dengan mengalahkan wanita ini, merobohkannya, memperkosanya sepuas mungkin baru menyiksa dan membunuhnya! Alangkah akan puas rasa hatinya.
Kini sepasang suami isteri yang bukan lain adalah Kam Hong dan Bu Ci Sian itu, melihat adanya tiga orang laki-laki yang berdiri menghadang di jalan dan mereka merasa heran dan kaget. Biasanya, setelah berjalan-jalan dan menikmati matahari terbit, mereka suka iseng-iseng dan berlatih suling. Tadipun mereka berlatih dan mereka tahu bahwa di sekitar tempat itu sunyi tidak ada orang lain. Kini, tahu-tahu ada tiga orang dan melihat betapa tiga orang itu agaknya tidak mengalami sesuatu oleh suara suling mereka, mudah diduga bahwa tiga orang ini tentu "berisi". Akan tetapi, keheranan hati mereka segera lenyap ketika mereka mengenal kakek berpakaian hitam yang sedang berdiri tegak sambil mengipas-ngipaskan tubuhnya dengan sebuah kipas merah itu. Hek-i Mo-ong! Siapa lagi kalau bukan kakek iblis itu yang kini berdiri dengan kipas merahnya yang amat berbahaya itu? Ketika mengerling kepada dua orang laki-laki di dekat Hek-i Mo-ong, Kam Hong dan isterinya tidak mengenal mereka, akan tetapi dapat menduga bahwa dua orang yang datang bersama seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong, mudah diduga tentu juga bukan orang-orang baik dan juga tentu memiliki kepandaian yang tinggi.
Sikap Kam Hong amat tenang ketika sambil tersenyum dia menjura. "Ah, kiranya Hek-i Mo-ong yang datang berkunjung! Sudah belasan tahun tidak bertemu, apakah engkau dalam keadaan sehat, Mo-ong?"
Sungguh tidak dapat dimengerti oleh Tek Ciang bagaimana seorang yang dianggap musuh menyambut Hek-i Mo-ong dengan keramahan seperti itu, seolah-olah bertemu dengan seorang sahabat lama saja. Dan Hek-i Mo-ong juga menjawab dengan suara wajar, akan tetapi mengandung penuh ancaman.
"Orang she Kam, selama belasan tahun ini aku menjaga diriku baik-baik agar aku dapat bertemu lagi denganmu dan menebus kekalahanku dahulu. Nah, sekarang kita bertemu di sini. Bersiaplah untuk menebus dan membayar hutangmu dahulu!"
Kam Hong menarik napas panjang. "Mo-ong, seorang tua seperti engkau ini, pantaskah untu meracuni batin dengan dendam yang hanya disebabkan oleh kekalahan dalam suatu perkelahian? Sungguh kasihan!"
Saat itu dipergunakan oleh Jai-hwa Siauw-ok untuk menudingkan telunjuknya ke arah muka wanita cantik itu sambil bertanya, "Apakah engkau yang bernama Bu Ci Sian dan dahulu telah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu?"
Bu Ci Sian memandang laki-laki yang usianya sedikit lebih tua dari suaminya itu, yang berwajah ganteng berpakaian pesolek, mengamatinya akan tetapi ia tidak ingat pernah berkenalan dengan orang ini. Juga, mendengar pertanyaannya, jelas bahwa laki-laki inipun baru sekarang bertemu dengannya.
"Benar, siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Im-kan Ngo-ok?" tanyanya, suaranya juga tenang karena wanita ini telah menerima gemblengan dari suaminya sendiri dan kini menjadi seorang wanita yang jauh lebih lihai dibandingkan dahulu sebelum ia menjadi isteri Kam Hong. Sikap seorang yang penuh kepercayaan akan diri sendiri.
"Namaku Ouw Teng dan orang mengenalku sebagai Jai-hwa Siauw-ok. Im-kan Ngo-ok adalah guru-guruku. Maka tidak perlu kiranya kujelaskan apa maksud kedatanganku ini."
Bu Ci Sian tersenyum dan menoleh kepada suaminya, saling pandang, lalu berkata kepada suaminya, sikapnya tak acuh, "Aihh, sudah belasan tahun kita tidak pernah mencampuri urusan dunia, siapa tahu kini bajingan-bajingan ini malah yang datang mengantar nyawa. Sungguh tidak dapat disalahkan peribahasa ular mencari penggebuk!"
Kam Hong mengerti bahwa isterinya sengaja mengejek para datuk sesat itu, maka diapun hanya mengangkat pundak mengembangkan kedua tangan, "Apa boleh buat. Akan tetapi berhati-hatilah, isteriku. Orang yang sudah berani datang mengantar nyawa tentu telah memperhitungkan sebelumnya dan agaknya mereka ini sudah membawa bekal yang cukup memadai." Setelah berkata demikian, pendekar ini berdiri membelakangi isterinya beradu punggung. Isyarat ini dapat dimengerti oleh Bu Gi Sian. Suaminya bersikap hati-hati dan karena lawan mereka bertiga, sedangkan mereka belum mengenal sampai di mana kepandaian mereka bertiga itu, suaminya minta agar ia berhati-hati dan saling jaga dengan berdiri saling membelakangi. Ia sudah mencabut sulingnya yang tadi terselip di pinggang dan memasang kuda-kuda dengan melintangkan suling di depan mulut, persis seperti orang yang hendak meniup suling! Akan tetapi, suaminya berdiri seenaknya, bahkan belum mencabut sulingnya, seolah-olah hendak menjajaki dulu sampai di mana kelihaian lawan. Akan tetapi karena Kam Hong menduga bahwa di antara tiga orang lawan itu yang terlihai adalah Hek-i Mo-ong maka diapun sengaja berdiri menghadapi kakek iblis itu dan membiarkan isterinya menghadapi dua orang lawan lainnya.
Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sudah bernafsu sekali untuk dapat segera merobohkan wanita musuh besarnya itu, maka dia sudah memberi isyarat kepada muridnya untuk maju bersama mengeroyok wanita itu. Sedangkan Hek-i Mo-ong ketika melihat sikap Kam Hong yang demikian tenangnya, muncul kembali rasa gentar di hatinya. Memang benar bahwa dia sudah menguasai ilmu baru seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dan Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), akan tetapi diapun dapat menduga bahwa selama ini tentu Kam Hong juga memperdalam ilmunya! Baru tiupan sulingnya tadi saja sudah membuat dia dapat mengerti akan kelihaian lawan ini. Maka teringatlah dia akan muridnya yang diandalkan dan cepat dia mengerahkan khi-kangnya. Suaranya hanya terdengar lirih, akan tetapi sebenarnya suara itu dibawa oleh tenaga khi-kang sampai jauh sekali.
"Ceng Liong, cepat engkau ke sinilah....!"
Kam Hong tersenyum. "Mo-ong, apakah tiga lawan dua masih belum cukup untukmu? Haruskah engkau mendatangkan teman lagi untuk mengeroyok kami?"
Ucapan yang halus ini lebih menusuk daripada makian. Hek-i Mo-ong menjadi merah mukanya dan diapun mengeluarkan suara gerengan. Akan tetapi sebelum dia menggerakkan tubuhnya, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya sudah lebih dulu maju menyerang Bu Ci Sian. Begitu maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya mengeluarkan ilmunya yang istimewa, yaitu Kiam-ci yang merupakan ilmu andalan mendiang gurunya, Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Suara mencicit terdengar ketika jari-jari tangannya menyambar ke arah lawan. Ci Sian sudah mengenal ilmu ini dan tahu akan kehebatannya, maka iapun sudah mengebutkan sulingnya menghalau dan balas menotok. Dari samping, Tek Ciang mengirim serangan hebat karena pemuda ini menggunakan Ilmu Thian-te Hong-i (Badai Langit Bumi) yang dahulu pernah menjadi ilmu andalan dari Sam-ok Ban Hwa Sengjin. Tubuhnya berpusingan dan dari pusingan itu mencuat lengannya yang mengirim serangan amat cepat dan kuatnya! Ci Sian terkejut, tidak mengira bahwa laki-laki muda ini demikian hebat sudah menguasai ilmu andalan dari Sam-ok yang pernah menjadi musuh lamanya, maka iapun cepat menyambut lengan lawan yang menyerang dengan totokan ke arah pergelangan tangan. Melihat kecepatan wanita ini, Tek Ciang terpaksa menarik kembali lengannya. Dia tahu bahwa betapapun cepat serangannya tadi, kalau dilanjutkan, dia kalah cepat dau sebelum tangannya mengenai tubuh lawan, tentu pergelangan tangannya akan tercium ujung suling dan akibatnya tentu hebat.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga sudah menyerang Kam Hong. Karena maklum akan kelihaian pendekar itu, begitu menyerang Hek-i Mo-ong sudah mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya. Dia tidak mau mencoba untuk menggunakan kekuatan sihirnya, maklum betapa kuatnya sin-kang dan khi-kang pendekar itu yang tidak akan dapat ditundukkan oleh kekuatan sihirnya. Maka diapun sudah menyerang dengan hebat, menggunakan tombaknya menyerang dan kipas merahnya menyambar ke arah muka, mendahului tombak yang menusuk ke arah perut. Serangan ini amat hebatnya karena Hek-i Mo-ong tidak mau berlaku sungkan dan begitu menyerang telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya!
"Tringg.... trakkk....!" Hebat sekali cara Kam Hong mencabut suling dan mempergunakannya. Sekali bergerak, suling itu menangkis tombak dan kipas berturut-turut dan lawannya terdorong dua langkah ke belakang! Hek-i Mo-ong terkejut, jelaslah bahwa selama ini Kam Hong telah melatih diri dan tenaga sin-kangnya menjadi jauh lebih hebat daripada dahulu. Dia harus mengakui bahwa dia kalah kuat dalam mengadu tenaga sin-kang.
"Hiyeeeeehhhh!" Dia mengeluarkan bentakan aneh dan tangan kiri yang sudah menyimpan kipasnya itu kini menyambar ke depan dengan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala. Gerakan itu sedemikian hebat dan cepatnya dan mengandung hawa yang menyeramkan, seperti digerakkan oleh tenaga mujijat. Itulah Ilmu Coan-kut-ci yang selama itu dilatih secara tekun oleh kakek ini bersama muridnya! Entah sudah berapa banyak tengkorak yang menjadi bulan-bulan jari-jari tangannya ketika dia berlatih. Dan sebelum serangan dengan ilmu menyeramkan ini dilakukan, tombaknya juga sudah menyambar lebih dahulu ke arah lambung lawan!
Kini Kam Hong terkejut bukan main. Dia tidak mengenal ilmu serangan aneh itu, akan tetapi dengan tenang dia menghantamkan lengan kirinya menyambut tombak, sambil mengerahkan sin-kang sekuatnya. Karena pada saat itu Hek-i Mo-ong lebih mencurahkan tenaganya pada tangan kiri yang mencengkeram dengan Ilmu Coan-kut-ci, maka pegangan pada tombaknya tidak begitu kuat, dan tombaknya itupun tadi hanya menggertak saja, sedangkan serangan dipusatkan pada tangan kiri yang mencengkeram ke arah ubun-ubun itu. Karena itu, begitu kena dihantam oleh lengan kini Kam Hong, tombaknya terlepas dan terlempar jauh. Akan tetapi jari-jari tangan kirinya sudah menyambar ke arah kepala dengan kedahsyatan yang mengerikan. Akan hancurlah kepala itu kalau terkena cengkeraman itu!
Kam Hong mengenal bahaya. Tangan kirinya sudah mencabut kipasnya dan kini sekali bergerak, kipasnya yang berkembang menyambut cengkeraman sedangkan dia sendiri melempar kepala ke belakang.
"Bretttt....!" Kipas itu hancur berkeping-keping terkena cengkeraman Coan-kut-ci dan Kam Hong terpaksa melanjutkan lemparan tubuhnya ke belakang, bergulingan dan meloncat bangun. Kipasnya hancur dan dia melemparkan kipasnya. Keadaan mereka seperti satu lawan satu. Tombak Hek-i Mo-ong terlempar dan kipas Kam Hong juga hancur. Kam Hong tersenyum gembira. Ternyata lawannya ini jauh lebih lihai daripada dahulu dan tentu saja memperoleh lawan yang demikian kuatnya, timbul kegembiraannya.
"Mo-ong, engkau makin tua makin hehat saja!" katanya dengan tenang dan gembira, seolah-olah dia baru saja tidak terancam bahaya dan nyaris pecah kepalanya! Kini Kam Hong menerjang dengan sulingnya. Demikian hebat terjangannya sehingga Hek-i Mo-ong terpaksa meloncat ke sana-sini sambil terus mengerahkan Ilmu Coan-kut-ci yang hebat itu. Ketika dia terdesak oleh gulungan sinar emas suling, tiba-tiba dia membuka mulutnya dan uap putih yang amat panas menyambar ke arah muka Kam Hong! Kembali pendekar ini terkejut. Dia tidak mengenal Ilmu Tok-hwe-ji itu, tapi dia tahu bahwa uap itu berbahaya sekali. Cepat dia meloncat ke samping dan dari samping dia memutar sulingnya. Untung dia melakukan ini karena serangan Tok-hwe-ji tadi sudah disusul dengan cengkeraman tangan maut itu lagi. Pemutaran suling menahan serangan ini karena Hek-i Mo-ong juga maklum bahwa sekali tubuhnya tertotok suling, tentu dia akan celaka. Mereka bertanding lagi dengan hati-hati karena maklum bahwa lawan masing-masing sungguh tak boleh dihadapi dengan ceroboh.
Sementara itu, Bu Ci Sian juga mendapat kenyataan bahwa dua orang pengeroyoknya itu lihai bukan main, dan terutama sekali yang muda! Tak disangkanya bahwa laki-laki muda itu malah jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan Jai-hwa Siauw-ok! Yang membuat ia terheran-heran adalah ketika mengenal pukulan-pukulan dari ilmu silat keluarga Pulau Es! Ia sendiri pernah menerima pelajaran penggabungan tenaga Im dan Yang dari Suma Kian Bu, dan kini ia melihat betapa laki-laki muda yang mengeroyoknya itu bahkan pandai sekali memainkan ilmu sakti dari Pulau Es yang pernah dilihatnya, yaitu Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang! Ia terheran-heran mengapa ada murid Pulau Es yang membantu penjahat macam murid Im-kan Ngo-ok ini. Akan tetapi karena tidak ada kesempatan lagi bertanya, iapun mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menghalau setiap serangan dengan memutar sulingnya yang memiliki kecepatan dan kekuatan luar biasa itu.
Melihat betapa dia dan gurunya dapat menandingi wanita yang hebat ini, timbul kegembiraan di hati Tek Ciang dan laki-laki yang cerdik ini lalu mempergunakan siasat untuk memancing kemarahan Ci Sian.
"Ha-ha, suhu, perempuan ini lebih montok daripada puterinya. Biarlah ia nanti diserahkan kepadaku saja. Timbul berahiku melihatnya, suhu!" Mendengar ucapan ini, Jai-hwa Siauw-ok maklum akan akal muridnya dan iapun tertawa bergelak untuk memanaskan hati lawan.
Akal muslihat Tok Ciang ini memang baik sekali untuk memanaskan hati lawan dan orang yang sedang bertanding, sungguh merupakan pantangan besar untuk membiarkan hatinya panas dan marah. Kemarahan mengurangi kewaspadan. Akan tetapi tentu saja kalau akal itu ditujukan kepada orang lain baru akan berhasil. Terhadap suami isteri itu, akal Tek Ciang malah mendatangkan malapetaka bagi dia dan kawan-kawannya sendiri. Tadinya, Kam Hong dan Ci Sian hanya mengerahkan ilmu dan tenaga mereka yang biasa saja untuk menghadapi lawan karena memang mereka yang sudah belasan tahun menjauhkan pertikaian itu tidak berniat untuk
mencelakai lawan. Cukup asal dapat menahan mereka dan mengusir mereka saja. Akan tetapi, ucapan Tek Ciang yang amat menghina tadi sama sekali tidak dapat memanaskan hati Ci Sian atau Kam Hong, hanya mendatangkan rasa khawatir karena mereka berdua teringat akan puteri mereka yang disebut oleh Tek Ciang tadi. Mereka khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan puteri mereka. Siapa tahu apa yang dilakukan oleh orang-orang sesat ini! Dan kekhawatiran inilah yang membuat suami isteri itu merobah gerakan mereka. Mereka hendak mengakhiri perkelahian itu secepatnya untuk dapat segera menengok puteri mereka yang berada sendirian saja, hanya ditemani enam orang pelayan di dalam istana tua.
Kini terjadilah keajaiban. Bukan hanya permainan suling mereka yang berobah, akan tetapi terdengarlah bunyi suara melengking-lengking dari suling mereka. Terutama sekali suling di tangan Kam Hong mengeluarkan bunyi melengking demikian kuatnya sehingga Hek-i Mo-ong merasa kedua telinganya seperti ditusuk-tusuk pedang. Dia terkena pengaruh yang paling hebat, sedangkan dua orang kawannya juga menjad i pusing oleh serangan suara suling yang melengking-lengking itu. Permainan silat mereka kacau-balau dan kesempatan ini dipergunakan oleh suami isteri pendekar itu untuk mendesak.
Mula-mula Hek-i Mo-ong yang terkena pukulan suling pada dadanya. Tidak begitu keras, akan tetapi akibatnya, kakek ini muntah darah dan roboh, terus bergulingan sampai jauh. Kam Hong tidak mengejarnya, melainkan membantu isterinya dan dengan cepat mereka juga telah mengalahkan dua orang lawannya. Suling di tangan Ci Sian berhasil menotok lambung Tek Ciang. Pemuda ini berteriak kesakitan dan terjengkang lalu bergulingan, sedangkan pundak Jai-hwa Siauw-ok juga terkena hantaman suling Kam Hong. Tulang pundaknya remuk dan diapun terpelanting jauh.
"Mari pulang!" kata Kam Hong kepada isterinya dan tanpa memperdulikan tiga orang yang sudah terluka parah itu, suami isteri ini mempergunakan ilmu lari cepat seperti terbang menuju ke istana tua tempat tinggal mereka.
Mereka memasuki semua ruangan akan tetapi rumah besar itu kosong. Ketika mereka berlari-larian memasuki taman, mereka berseru kaget melihat tubuh keenam orang pelayan mereka malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi. Akan tetapi seorang di antara mereka masih merintih. Cepat Kam Hong dan Ci Sian berlutut di dekat orang itu. Sekali pandang saja tahulah mereka bahwa orang inipun tak mungkin tertolong lagi karena kepalanya retak.
"Mana.... mana nona?" tanya Ci Sian.
Orang itu mengumpulkan kekuatan terakhir. "Nona.. .. nona.... dilarikan.... seorang di antara.... mereka, seorang pemuda...." dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan terkulai, tewas.
Tentu saja suami isteri pendekar itu terkejut bukan main. Mereka tidak tahu ke mana puteri mereka dilarikan orang dan siapa pula yang melarikannya. Bagaimana mereka akan dapat melakukan pengejaran?
"Iblis-iblis itu! Mereka tentu tahu ke mana Bi Eng dilarikan!" tiba-tiba Kam Hong berkata dan diapun meloncat dan lari, diikuti isterinya.
"Kulumatkan kepala orang-orang itu kalau anakku diganggu!" teriak Bu Ci Sian yang teringat bahwa laki-laki pesolek setengah tua itu berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang penjahat pemerkosa wanita!
Dengan kecepatan seperti terbang saja, suami isteri pendekar perkasa itu lalu lari ke tempat di mana mereka merobohkan tiga orang lawan tadi. Akan tetapi, betapa kaget, gelisah dan marah rasa hati mereka ketika mereka tidak menemukan tiga orang bekas lawan yang telah mereka lukai tadi di tempat itu. Mereka mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak mereka. Tentu saja suami isteri ini menjadi bingung sekali dan mereka lalu mencari di sekitar puncak Bukit Nelayan, bahkan setelah gagal mereka lalu menjelajahi Pegunungan Tai-hang-san untuk mencari puteri mereka yang dilarikan orang. Sebelumnya, mereka minta bantuan penduduk yang tinggal di dusun terdekat untuk mengurus mayat enam orang pelayan mereka, sedangkan mereka sendiri terus mencari-cari tanpa jejak dan tujuan tertentu. Selama belasan tahun hidup dalam keadaan aman dan tenteram, baru sekaranglah suami isteri pendekar itu mengalami bencana yang menggelisahkan hati mereka.
******
Ceng Liong memang tidak pergi jauh. Setelah melihat betapa dara remaja yang lihai itu terpukul roboh oleh Tek Ciang yang mempergunakan siasat curang, hatinya merasa penasaran sekali. Hanya karena sungkan kepada gurunya maka dia tidak mau mencampuri perkelahian itu, akan tetapi hatinya berfihak sepenuhnya kepada gadis yang tidak berdosa itu dan diam-diam dia merasa tidak suka sekali kepada Tek Ciang yang dianggapnya tak tahu malu dan jahat. Maka begitu melihat nona itu terpukul roboh dan pingsan, dia lalu mendekati lalu menyambar tubuh dara itu, dipanggul dan dibawanya pergi. Dia tidak memperdulikan teguran Tek Ciang dan hanya berkata kepada gurunya bahwa dia hendak berusaha mengobati dara itu. Dia sudah memperhitungkan bahwa andaikata Tek Ciang menghalanginya, tentu dia akan menyerang murid Jai-hwa Siauw-ok itu dan menghajarnya. Akan tetapi, berkat kehadiran Hek-i Mo-ong, Tek Ciang dan gurunya tidak berani menghalanginya maka Ceng Liong cepat membawa tubuh yang pingsan itu menuruni lereng.
Setelah tiba di tempat sunyi, dia menurunkan tubuh itu di bawah sebatang pohon. Dengan hati-hati dia merebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas tanah dan memeriksanya sejenak. Dilihatnya wajah yang jelita itu pucat kehijauan, napasnya tinggal satu-satu dan detik jantungnya lemah, juga tubuhnya lunglai dan lemas tak berdaya sama sekali. Ketika dia membuka kelopak mata, ternyata mata itu kehilangan cahayanya.
Baju di pundak kanan nona itu hancur dan kulit pundak kanan nampak matang biru kehijauan. Agaknya pukulan ampuh dari Tek Ciang tadi mengenai pundak kanan ini. Ketika disentuhnya pundak itu, Ceng Liong merasa betapa bagian itu amat dinginnya, seperti ada esnya di bawah kulit. Hemm, kiranya pukulan ampuh itu mengandung hawa dingin, pikirnya. Dia bukan ahli pengobatan, akan tetapi merantau selama bertahun-tahun dengan seorang sakti seperti Hek-I Mo-ong, sedikit banyak membuka matanya dan diapun tahu bahwa dara itu menjadi korban pukulan yang memiliki dasar tenaga sakti Im. Maka diapun lalu meletakkan telapak tangannya pada pundak dan perut dara itu, kemudian perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga panas Hwi-yang Sin-kang disalurkan melalui kedua telapak tangannya. Tangan yang menempel di pundak berusaha untuk mengusir hawa dingin yang meracuni tubuh nona itu, sedangkan yang menempel di perut dimaksudkan untuk mengalirkan sin-kangnya ke dalam pusar nona itu untuk membantu nona itu membangkitkan kembali sin-kangnya.
Dengan hati-hati dan penuh ketekunan Ceng Liong menyalurkan sin-kangnya yang panas, dan tiba-tiba nona itu mengeluarkan suara rintihan. Giranglah hatinya ketika melihat betapa tubuh itu mulai dapat bergerak dan pernapasannya mulai kuat, juga telapak tangannya merasa betapa detak jantung nona itu tidak selemah tadi. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut dan gelisah adalah ketika melihat bahwa warna kehijauau pada wajah dara remaja itu menjadi semakin gelap! Pemuda remaja ini sama sekali tidak tahu bahwa Hwi-yang Sin-kang yang disalurkan pada tubuh dara itu memang benar mampu mengusir hawa dingin dari pukulan Hoa-mo-kang, akan tetapi sama sekali tidak mampu mengeluarkan racun yang terkandung dalam hawa dingin itu. Maka, nona itu hanya terbebas dari rasa nyeri saja, akan tetapi tidak terbebas dari racun yang kini ditinggalkan hawa dingin dan mulai meracuni jalan darahnya!
Betapapun juga, ada rasa girang di hati Ceng Liong ketika melihat nona itu membuka kedua matanya. Sesaat dua pasang mata itu bertemu dan bertaut. Nona itu kelihatan terkejut dan hendak meronta, akan tetapi ketika merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya dari pundak dan perut, puteri suami isteri pendekar sakti inipun mengerti bahwa pemuda yang duduk bersila di dekatnya ini sedang berusaha mengobatinya. Maka iapun diam saja, bahkan ia lalu menerima hawa panas yang memasuki perutnya itu dan mencoba untuk membangkitkan hawa sin-kangnya sendiri dari dalam tiantan (pusar). Akan tetapi, begitu ia mencoba mengerahkan sin-kang, ia merasakan kenyerian hebat di perutnya dan iapun mengeluh.
"Aduuuhhh....!"
Mendengar keluhan ini dan mendengar pula perut dara itu mengeluarkan bunyi berkeruyuk, Ceng Liong terkejut dan melepaskan kedua tangannya, lalu bangkit sambil membantu nona itu bangkit duduk.
"Bagaimana? Sakitkah rasanya? Mana yang sakit?" tanyanya dengan wajah khawatir.
Bi Eng adalah seorang dara lincah dan tabah. Ia segera teringat bahwa mengeluh merupakan suatu kecengengan dan tidak pantas bagi seorang gagah, maka sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri yang mengaduk perutnya, ia menggeleng kepala. "Tidak sangat nyeri.... eh, bukankah engkau yang datang bersama iblis-iblis itu?"
Ceng Liong menarik napas panjang dan menundukkan mukanya sebentar, lalu diangkatnya lagi memandang wajah yang masih kehijauan itu. "Benar, aku adalah.... eh, murid Hek-i Mo-ong."
Wajah yang gelap kehijauan itu nampak kaget. Memang, Bi Eng sering mendengar cerita ayah ibunya tentang dania kang-ouw, juga tentang tokoh-tokoh sesat dan Hek-i Mo-ong pernah disebut oleh ayahnya sebagai seorang di antara para datuk sesat yang paling berbahaya dan lihai. Akan tetapi menurut ibunya, tokoh ini pernah dikalahkan oleh ayahnya dan sekarang pemuda itu menyebut nama Hek-i Mo-ong. Dara inipun teringat akan kakek berjubah hitam yang tua renta tadi. Seperti itulah penggambaran orang tuanya tentang diri Hek-i Mo-ong.
"Jadi kakek berjubah hitam tadi Hek-i Mo-ong dan engkau muridnya? Lalu mengapa engkau.... berusaha mengobati dan menolongku?"
Melihat betapa dara itu memandang kepadanya dengan sinar mata amat tajam penuh selidik, Ceng Liong menunduk lagi. Dara itu memiliki sepasang mata yang amat indah dan tajam, membuat dia merasa tidak enak untuk menentang pandang matanya, apalagi karena dia merasa malu akan sekutunya.
"Mo-ong dan aku sudah berjanji bahwa aku hanya belajar ilmu silat darinya, bukan mempelajari kejahatannya. Aku melihat engkau tidak berdosa dan engkau dirobohkan secara curang oleh murid Jai-hwa Siauw-ok itu, maka aku membawamu ke sini untuk mengobatimu, akan tetapi aku bodoh dan tidak tahu bagaimana caranya...."
Hati Bi Eng merasa tertarik sekali. "Aneh.... engkau menjadi murid iblis itu dan engkau.... berani menentangnya?"
"Mo-ong baik kepadaku, sayang aku tidak dapat merobah wataknya.... tapi.... aku menjadi bingung bagaimana aku harus mengobatimu, nona?"
"Engkau sudah berhasil, aku sudah siuman dan tidak merasa sangat nyeri lagi...."
"Tapi.... wajahmu masih berwarna gelap kehijauan, tanda keracunan. Aku khawatir sekali."
Bi Eng memaksa senyum. "Bagaimanapun juga, engkau sudah menyelamatkan dan menolongku, mungkin tanpa kau turun tangan, aku sudah mereka bunuh. Tentang pengobatan, biarlah ayah ibuku yang akan mengobatiku. Eh, siapa namamu?"
"Namaku Ceng Liong.. .. dan.... dan engkau, nona?"
"Aku Kam Bi Eng dan orang tuaku.. .."
"Aku sudah tahu dan mendengar dari mereka. Ayahmu seorang pendekar keturunan keluarga Pendekar Suling Emas, bernama Kam Hong, dan ibumu bernama Bu Ci Sian."
"Ah, mereka itu sedang mencari ayah dan ibu! Mari kita kembali ke sana...." Dara remaja itu bangkit berdiri, akan tetapi ia segera memegangi kepalanya dan memejamkan matanya, terhuyung-huyung sehingga terpaksa Ceng Liong menangkap lengannya agar dara itu tidak sampai jatuh.
"Kenapa, nona....?"
"Kepalaku.... ah, kepalaku pening sekali...." Terpaksa Bi Eng duduk kembali dan setelah duduk barulah ia dapat membuka kedua matanya walaupun masih agak pening. Sepasang matanya nampak kemerahan dan Ceng Liong menjadi semakin khawatir.
"Bagaimana rasanya, nona? Apakah engkau tidak dapat berjalan....?"
Bi Eng menggeleng kepala. "Jangankan berjalan, baru berdiri saja rasanya tanah sekelilingku berombak dan kepalaku pening bukan main."
"Kalau begitu, mari kupondong engkau...."
"Ihh! Tidak sudi! Jangan kurang ajar engkau, Ceng Liong!" Tiba-tiba Bi Eng menghardik. Pemuda remaja itu memandang dengan mata terbelalak. Selama ini sudah beberapa kali dia bertemu anak perempuan dan selalu sikap mereka itu aneh-aneh. Agaknya nona inipun tidak terkecuali, baru bertemu sudah membuat dia bingung karena wataknya yang aneh.
"Apa salahnya? Bukankah ketika membawamu ke sini akupun memanggulmu, nona? Apanya yang kurang ajar?" dia membantah penasaran.
Agaknya Bi Eng menyadari bahwa dengan tergesa-gesa ia telah menuduh orang. Ia teringat betapa Ceng Liong telah berusaha mengobatinya dan sedikitpun tidak memperlihatkan tanda-tanda atau sikap kurang ajar. Iapun tersenyum. "Maafkan, Ceng Liong, dan jangan engkau menyebut nona-nonaan segala kepadaku. Nama ku Bi Eng, lupakah engkau?"
Ceng Liong semakin heran. Dara ini sikapnya berubah-ubah seperti angin di musim hujan! Akan tetapi dia tidak membantah dan mengangguk. "Baiklah, Bi Eng. Bagaimana sekarang baiknya? Engkau harus cepat diobati oleh ahli dan kalau orang tuamu dapat mengobatimu, itu baik sekali. Akan tetapi engkau tidak dapat berjalan sendiri, dan tidak mau kupondong...."
"Siapa bilang tidak mau?"
"Engkau tadi...."
"Bukankah aku sudah minta maaf? Kalau memang perlu kaupondong dan engkau memondongnya dengan sungguh-sungguh, bukan untuk main-main, tentu saja aku mau."
Ceng Liong menggeleng-gelengkan kepala dan mengangkat pundak, merasa bodoh dan tidak dapat menyelami hati wanita. "Kalau begitu marilah, non.... eh, Bi Eng." Dia lalu menggunakan kedua lengannya untuk memondong tubuh dara remaja itu, bukan memanggulnya seperti tadi. Kini Bi Eng tidak pingsan, tentu saja tidak baik kalau dipanggulnya seperti tadi. Dan begitu dipondong, tanpa ragu-ragu lagi Bi Eng juga merangkulkan lengan kanannya pada pundak dan leher Ceng Liong.
"Tidakkah terlalu berat, Ceng Liong?" tanya Bi Eng, tidak enak hati karena ia merasa mengganggu pemuda itu. "Engkau? Berat? Tidak, engkau ringan sekali, Bi Eng. Sepuluh kali beratmupun aku masih mampu mengangkatnya."
"Hemm, jangan sombong. Kalau saja aku tidak keracunan dan dapat mengerahkan sin-kang, hendak kulihat apakah engkau akan mampu memondongku...."
Tiba-tiba Ceng Liong menghentikan langkahnya ketika melihat tiga orang sekutunya berlari turun dari puncak dan wajah mereka nampak pucat. Tadi ketika dia sedang mengobati Bi Eng, dia mendengar suara suhunya memanggil, akan tetapi dia sengaja diam saja tidak menjawab karena hatinya masih mendongkol melihat kecurangan Tek Ciang dan juga dia sedang mengobati Bi Eng sehingga tidak ada waktu untuk memenuhi panggilan gurunya. Kini dia melihat mereka turun dan melihat gelagatnya, mereka bertiga itu sedang menderita luka.
Memang demikianlah. Tiga orang itu, Hek-i Mo-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang melarikan diri dari puncak dalam keadaan menderita luka oleh pukulan-pukulan suling suami isteri yang sakti itu.
Begitu melihat nona yang dirobohkannya itu dipondong dengan amat mesranya oleh Ceng Liong, Tek Ciang menjadi marah sekali. Dia yang merobohkan, pemuda ingusan itu yang menikmati hasilnya sedangkan dia dan gurunya terluka oleh orang tua gadis itu!
"Ceng Liong, ia milikku, berikan kepadaku!" kata Tek Ciang sambil menyerang ke depan, menubruk dan hendak merampas tubuh Bi Eng dari pondongan Ceng Liong. Namun dengan sigapnya Ceng Liong meloncat dan menghindarkan tubrukan Tek Ciang.
"Berikan sandera ini kepadaku!" Jai-hwa Siauw-ok juga berteriak dan kakek cabul ini menubruk pula ke depan. Ceng Liong terkejut dan kembali dia melompat ke kiri untuk mengelak. Kini guru dan murid itu menghadapinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam. Ceng Liong menjadi bingung. Melawan mereka dia tidak takut. Akan tetapi kalau kedua lengannya memondong tubuh Bi Eng, bagaimana dia akan mampu melawan mereka yang lihai itu? Dan menurunkan dulu tubuh Bi Eng lalu menghadapi mereka, dia khawatir kalau-kalau seorang di antara mereka akan merampas dan mencelakai dara itu. Dia sudah mengenal watak mereka yang cabul dan jahat.
"Perlahan dulu!" Tiba-tiba Hek-i Mo-ong melangkah maju menghadapi guru dan murid itu. Ceng Liong melihat betapa gerakan gurunya ini lemah bahkan wajah gurunya amat pucat, napasnya juga memburu tanda bahwa gurunya itupun terluka, mungkin lebih parah daripada luka yang diderita oleh guru dan murid cabul itu. Dan memang sesungguhnya begitulah. Luka dalam yang diderita oleh Hek-i Mo-ong paling parah. Akan tetapi, melihat muridnya diancam oleh kedua orang itu, Hek-i Mo-ong menjadi marah dan membelanya.
Melihat Hek-i Mo-ong maju, Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya menjadi marah. Mereka kini tidak merasa takut lagi karena mereka berdua maklum bahwa iblis tua itu telah menderita luka yang lebih parah daripada mereka.
"Mo-ong, sandera ini harus kutawan untuk memaksa ibunya tunduk kepadaku!" katanya.
"Aku yang tadi merobohkannya, maka akulah yang berhak memilikinya!" kata pula Tek Ciang.
Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. "Siauw-ok, kalau muridku tidak membolehkannya, berarti akupun tidak membolehkan kalian merampas gadis ini. Pergilah dan jangan ganggu kami lagi!"
Akan tetapi, sekali ini Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya tidak mau mentaati perintah kakek iblis itu. Mereka melawan bukan hanya karena ingin memiliki gadis itu, melainkan terutama sekali mengingat akan keselamatan mereka sendiri. Setelah mereka dihajar oleh suami isteri dari Istana Khong-sim Kai-pang, mereka menjadi gentar sekali. Kalau suami isteri itu mengetahui bahwa puteri mereka terculik, apalagi terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok, tentu mereka berdua akan melakukan pengejaran dan celakalah kalau sampai suami isteri itu dapat mengejar atau menyusul. Maka, gadis itu harus mereka kuasai untuk dijadikan sandera kalau-kalau orang tua gadis itu dapat menyusul mereka. Inilah sebabnya mengapa mereka berkeras hendak merampas Bi Eng dari tangan Ceng Liong.
"Mo-ong, kami sama sekali tidak ingin mengganggumu, akan tetapi muridmulah yaug merusak rencana kita. Kalau tadi dia datang membantu, tentu keadaan kita lebih kuat dan belum tentu kita kalah. Dan sekarang gadis itu dirobohkan oleh muridku, maka kami berdualah yang berhak memilikinya. Serahkan gadis itu kepada kami dan kami akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi," kata Jai-hwa Siauw-ok sambil memandang dengan mata disipitkan.
"Setan, berani engkau menentangku, manusia rendah ?" Hek-i Mo-ong marah sekali dan tubuhnya bergerak ke depan, tangannya membentuk cakar menyambar ke arah ubun-ubun kepala Jai-hwa Siauw-ok. Hebat sekali serangan dengan Ilmu Coan-kut-ci ini, akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok yang sudah tahu akan kelihaian lawan, cepat meloncat ke belakang, kemudian bersama muridnya dia maju membalas dan mengeroyok Hek-i Mo-ong!
Hek-i Mo-ong sudah terluka parah oleh pukulan suling dari Kam Hong tadi. Dadanya terasa sesak dan napasnya memburu, akan tetapi dia adalah seorang datuk sesat yang lihai sekali. Biarpun sudah terluka parah, dia menghadapi dua orang pengeroyoknya dengan gagah. Apalagi keadaan Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya juga sudah terluka, walaupun tidak separah luka yang diderita Hek-i Mo-ong namun setidaknya mengurangi kekuatan mereka.
Karena dikeroyok dua, Hek-i Mo-ong terkena pukulan Jai-hwa Siauw-ok yang menggunakan Ilmu Kiam-ci. Jari tangan yang tajam seperti pedang itu menyerempet lambungnya, merobek baju dan kulit lambung sehingga mengeluarkan darah dan pada saat itu juga, hantaman tangan Tek Ciang yang disertai tenaga Hwi-yang Sin-ciang mengenai punggung kakek iblis itu.
"Dukkk....!" Hek-i Mo-ong terpelanting roboh. Melihat ini, giranglah hati Jai-hwa Siauw-ok. Kakek iblis ini harus ditewaskan dulu, baru dengan mudah akan dapat mereka hadapi muridnya dan merampas gadis itu. Diapun menubruk ke bawah, hendak menghabisi nyawa Hek-i Mo-ong dengan Kiam-ci. Akan tetapi, pada saat itu, tiba-tiba saja Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan nyaring sekali.
"Diam kau....!" Dibentak dengan kekuatan sihir ini, seketika Jai-hwa Siauw-ok terdiam dan tubuhnya seperti menjadi kaku.
Pengaruh bentakan itu hebat sekali dan biarpun hanya beberapa detik dia berhenti, sudah cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk melontarkan serangannya. Jari tangan kirinya mencengkeram, terdengar suara berbeletok ketika jari-jari tangan itu terhunjam ke dalam kepala Jai-hwa Siauw-ok dan penjahat cabul ini menjerit mengerikan, tubuhnya terjengkang roboh dan dari kepala yang berlubang-lubang itu mengalir keluar darah bercampur otak!
Melihat ini, wajah Tek Ciang menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan tanpa menoleh lagi ke arah mayat gurunya, pemuda pengecut inipun sudah meloncat jauh dan melarikan diri tunggang-langgang! Hek-i Mo-ong bangkit berdiri, terhuyung-huyung dan dari mulutnya dia muntahkan darah segar! Kiranya tenaga yang diperas dalam perkelahian itu, apalagi pukulan-pukulan lawan, membuat luka yang dideritanya semakin parah. Diapun cepat menjatuhkan dirinya duduk bersila dan mengatur pernapasan.
Ceng Liong menurunkan tubuh Bi Eng. Setelah Jai-hwa Siauw-ok tewas dan kini tinggal Tek Ciang yang juga sudah melarikan diri, dia tidak khawatir lagi menurunkan dara itu. Andaikata Tek Ciang datang lagi, dia dapat menghadapinya tanpa mengkhawatirkan keadaan Bi Eng. Kemudian Ceng Liong menghampiri gurunya yang duduk mengatur pernapasan. Tadi dia tidak membantu Hek-i Mo-ong karena melihat bahwa gurunya belum perlu dibantu. Ketika gurunya terjatuh, diapun sudah tahu bahwa jatuhnya kakek itu setengah disengaja untuk memancing lawan dan ternyata akalnya itu berhasil. Akan tetapi diapun tahu bahwa luka di dalam tubuh gurunya semakin hebat.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Ceng Liong bersila di depan gurunya, menempelkan kedua tangannya di dada dan pundak, lalu diapun mengerahkan sin-kangnya untuk membantu gurunya. Ketika Hek-i Mo-ong merasa ada saluran hawa panas memasuki tubuhnya, dia membuka matanya dan melihat betapa muridnya yang membantunya, diapun tersenyum lebar dengan wajah berseri gembira.
"Heh-heh, manusia macam Ouw Teng itu berani melawan aku? Hah, dia bosan hidup!" katanya terengah-engah.
"Mo-ong, tenanglah dan beristirahatlah. Biarkan aku membantumu meringankan penderitaanmu," kata Ceng Liong dengan halus. Kakek itu terdiam dan beberapa lamanya mereka duduk bersila, berhadapan dan Ceng Liong membantu gurunya dengan penuh ketekunan. Bi Eng melihat semua itu dengan sinar mata penuh keheranan. Jelas bahwa Ceng Liong bukan orang jahat, akan tetapi bagaimana seorang pemuda seperti ini bisa menjadi murid datuk sesat yang demikian mengerikan seperti Hek-i Mo-ong?
Akhirnya Hek-i Mo-ong berkata, "Cukup untuk sementara ini. Ceng Liong, lekas bawa aku pergi dari sini....!" Di dalam ucapan itu terkandung rasa gentar.
"Akan tetapi.... aku ingin membawa nona Kam kepada orang tuanya agar dapat memperoleh pengobatan," Ceng Liong membantah.
"Apa engkau ingin melihat aku dibunuh mereka? Aku sudah terluka dan tidak mungkin melakukan perlawanan."
"Tapi, luka nona Kam Bi Eng juga parah...."
"Bawa ia bersama kita, aku dapat mengobati luka akibat pukulan Hoa-mo-kang," kata kakek itu.
Melihat keraguan Ceng Liong, Bi Eng ber kata, "Turutilah permintaannya, Ceng Liong, karena kalau ayah dan ibu melihatnya tentu mereka akan turun tangan membunuhnya, membikin aku merasa tidak enak kepadamu. Mari kita pergi."
Ceng Liong memandang heran. Sungguh makin tidak mengerti saja dia terhadap watak gadis ini. Akan tetapi diapun menjadi girang dan tanpa banyak cakap dia memondong tubuh Bi Eng dan bersama gurunya diapun lari meninggalkan tempat itu. Gurunya yang mencari jalan dan ternyata Hek-i Mo-ong yang banyak pengalamannya itu amat cerdik. Dia menuruni kaki gunung dan meninggalkan Pegunungan Tai-hang-san karena dia dapat menduga bahwa Kam Hong dan isterinya yang tidak tahu harus mengejar ke mana itu tentu akan mencari-cari di sekitar Pegunungan Tai-hang-san dan untuk mencari daerah yang luas itu membutuhkan waktu sedikitnya tiga hari! Maka dia meninggalkan daerah Tai-hang-san. Kalau tidak cerdik, tentu dia memilih yang dekat, dan dianggap aman, yaitu di dalam hutan-hutan yang lebat dari daerah itu dan kalau dia berbuat demikian, tak mungkin dia dapat menghindarkan diri dari suami isteri yang luar biasa lihainya itu.
Pada keesokan harinya, di dalam sebuah hutan di luar Tai-hang-san, di tepi pantai Sungai Huang-ho, mereka beristirahat. Seperti yang telah dijanjikannya, Hek-i Mo-ong mencarikan obat untuk Bi Eng. Obatnya aneh karena dia menyuruh Ceng Liong mencari anak-anak katak yang banyak terdapat di tepi sungai. Puluhan ekor katak kecil itu diremas-remas oleh Hek-i Mo-ong, air perasan ditampung dan dicampur dengan obat pulung yang dibawanya. Hampir tidak dapat Bi Eng menelannya karena baunya yang amis, akan tetapi Ceng Liong membujuknya dengan halus.
"Minumlah, Bi Eng. Ini obat dan aku yakin bahwa obat dari Hek-i Mo-ong tentu manjur. Minumlah."
Bi Eng teringat akan puluhan ekor anak katak yang diperas dan ia bergidik. Akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada Ceng Liong dan sambil memejamkan kedua matanya iapun menuang obat cair itu ke dalam perut dan terus ditelannya. Dengan menutup hidungnya, obat itu tidak terasa apa-apa, bahkan baunya yang amispun tidak terasa. Baru setelah obat itu memasuki perutnya dan ia melepaskan jari tangan yang menutup hidung, tercium bau amis yang hampir membuat ia muntah. Akan tetapi, dara remaja yang sejak kecil menerima gemblengan orang tuanya itu cepat mengerahkan tenaga mencegah muntah.
Akan tetapi, dorongan dari dalam hampir tak dapat dikuasainya lagi dan pada saat wajahnya menjadi pucat sekali menahan rasa hendak muntah, terdengar suara Hek-i Mo-ong, "Ha-ha, nona kecil, kalau engkau muntah, engkau akan langsung mati, dan kalau engkau menahan muntah itu, engkau akan mati dalam waktu tiga hari lagi, ha-ha-ha!"
Dapat dibayangkan betana kagetnya hati Bi Eng mendengar ucapan itu dan seketika rasa hendak muntah itu hilang. Tentu saja ia tidak mau muntah langsung mati! Biarpun demikian, wajahnya menjadi semakin pucat karena nyawanya hanya tinggal tiga hari saja.
Kekagetan hati Bi Eng kiranya tidak sehebat Ceng Liong ketika dia mendengar ucapan gurunya. Dia meloncat ke depan kakek itu, matanya mencorong menakutkan. "Mo-ong, apa artinya kata-katamu itu ?" tanyanya dengan suara membentak.
"Heh-heh, Ceng Liong. Kata-kataku sudah jelas bukan? Gadis ini akan mati seketika kalau muntah, dan akan mati tiga hari kemudian kalau tidak muntah."
"Mo-ong, engkau sengaja meracuni Bi Eng?" Ceng Liong berkata lagi dan dia mengepal kedua tangannya.
Kakek itu mengangguk dan tertawa. "Ha-ha, aku melakukan demi engkau, muridku yaug baik."
Keheranan yang amat besar melanda hati Ceng Liong, membuat dia melupakan rasa marahnya. "Apa.... apa maksudmu....?"
"Heh-heh, kau tunggulah saja." Kakek itu lalu memandang Bi Eng yang masih duduk dengan muka pucat dan memegangi perutnya yang mual. "Nona, nyawamu tergantung kepada keputusanmu sendiri. Yang kaumakan tadi menambah hebatnya pengaruh pukulan Hoa-mo-kang dan engkau tentu akan mati dalam waktu tiga hari. Tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkanmu kecuali obat dari pemilik ilmu Hoa-mo-kang atau.... obat dariku. Sekarang, aku mau menukar nyawamu itu dengan sebuah janjimu."
Bi Eng merasa marah sekali, akan tetapi karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan kakek itu, ia menjawab dengan ketus, "Kakek iblis berhati keji! Janji apakah yang kau kehendaki dariku maka engkau tidak segan melakukan kekejian yang kotor ini?"
"Berjanjilah bahwa engkau kelak akan menjadi isteri Ceng Liong, dan aku akan mengembalikan nyawamu!"
"Ahhhh....!" Teriakan ini keluar dari mulut Ceng Liong yang sudah menerjang gurunya dengan pukulan keras.
"Dukkk! " Hek-i Mo-ong menangkis dan terjengkang, dari mulutnya keluar darah segar lagi karena untuk menangkis pukulan hebat tadi dia harus mengeluarkan tenaga sin-kang sekuatnya, padahal luka di dalam tubuhnya belum sembuh benar.
"Ahhh...." kembali Ceng Liong berseru, kini bukan karena marah melainkan karena kaget melihat suhunya terjengkang lalu bangkit berdiri sambil terhuyung. Cepat dia menubruk dan merangkul suhunya, dipapahnya duduk di atas rumput. "Heh-heh-heh....!" Hek-i Mo-ong terkekeh melihat betapa muridnya yang tadinya memukulnya itu kini malah memapahnya.
"Engkau murid yang baik, heh-heh.... selama menjadi muridku, baru sekarang berani memyerangku, kusangka tadinya engkau lemah, kiranya berani memukulku. Hebat...."
Ceng Liong sudah lama hidup di dekat kakek iblis itu dan sudah mengenal wataknya yang amat aneh, tidak lumrah manusia. Diapun tahu bahwa kakek itu dalam pandangan umum tentu merupakan iblis yang kejam dan ganas, akan tetapi dia sendiri mengenalnya sebagai seorang kakek yang wataknya aneh dan kekejaman-kekejamannya itupun termasuk satu di antara keanehan-keanehannya yang tidak normal. Kadang-kadang dia berpikir bahwa gurunya ini sebenarnya menderita suatu penyakit dalam otaknya atau jiwanya, sudah gila sehingga segala yang dilakukannya itu sama sekali bukan karena kekejaman, melainkan karena pandangannya yang berbeda, bahkan kadang-kadang terbalik dari pandangan umum. Kinipun gurunya telah melakukan hal yang amat luar biasa. Guru ini dapat tertawa bergelak kesenangan melihat muridnya berani melawan dan memukulnya. Mana ada guru macam ini di seluruh dunia ini? Dan dia sendiri merasa amat menyesal. Dia dapat merasakan cinta yang mendalam di hati gurunya terhadap dirinya, dan kini dia berani memukul gurunya yang sedang terluka parah itu! Diapun merasa tidak perlu minta maaf walaupun hatinya menyesal. Bagi orang seperti Hek-i Mo-ong, tidak ada kata maaf!
"Mo-ong, mengapa kaulakukan itu? Terlalu sekali engkau!"
"Apanya yang terlalu? Sudahlah, kau diam saja dan biarkan aku menyelesaikan urusanku denggan gadis itu!" Kakek itu masih bersila, akan tetapi kini sambil mengatur pernapasan, dia memandang kepada Bi Eng yang berdiri bengong terlongong, sebentar memandang kepada Ceng Liong dan sebentar pula kepada kakek iblis itu, mukanya yang tadi pucat tiba-tiba berobah merah, lalu pucat kembali. "Bagaimana, nona cilik? Jawablah sebelum terlambat. Kalau racun itu keburu bekerja, engkau takkan bisa menjawab lagi."
"Kakek iblis! Kaukira aku ini orang macam apa? Kaukira aku takut mampus? Lebih baik mati daripada menuruti kehendakmu yang hina!"
"Eh-eh-eh, bocah sombong! Kaubilang hina kalau aku minta engkau menjadi calon isteri Ceng Liong? Ha-ha-ha, bercerminlah. Sepuluh kali engkaupun belum tentu pantas menjadi isteri muridku, tahu?"
"Mo-ong....!" Ceng Liong memprotes.
"Diamlah dan jangan mencampuri urusanku!" kakek itu membentak muridnya dan Ceng Liong terdiam sambil cemberut. Sungguh keterlahuan gurunya ini. Membicarakan urusan perjodohannya dan mengatakan bahwa dia tidak boleh mencampuri urusannya. Diam-diam dia merasa geli. Biarkan saja kakek gila ini melanjutkan kehendaknya. Masih ada batu penghalang besar bagi keinginannya yang gila itu. Kalau gurunya itu nanti hendak melanjutkan niatnya, masih ada dia yang tentu saja boleh dan berhak menolak! Kalau gadis itu tidak mampu menolak karena tertekan dan terancam nyawanya, masih ada dia yang dapat menolak dan dia tidak terancam apapun!
"Iblis tua, kenapa engkau mempunyai pikiran yang gila ini, tanpa sebab menyuruh aku berjanji.... seperti itu?" Bi Eng yang menjadi tertarik dan ingin tahu, mengajukan pertanyaan sebelum mengambil keputusan, walaupun dara ini tadi sudah menunjukkan ketidaksetujuannya tanpa memperdulikan ancaman nyawa.
"Heh-heh, kenapa aku ingin menjodohkan muridku denganmu, begitukah maksud pertanyaanmu? Karena.... karena dia mencintamu, anak bodoh!"
"Ahhhh....!" Kembali Ceng Liong yang berteriak mendengar ini dan matanya melotot, mukanya menjadi merah sekali dan dia memandang gemas kepada gurunya, namun teringat bahwa dia harus membiarkan gurunya itu menyelesaikan "urusannya" dengan gadis itu.
Bi Eng memandang kepada Ceng Liong dan berjebi, tersenyum mengejek. Perbuatan kakek itu otomatis membuat dia juga membenci pemuda yang menjadi murid kakek iblis ini. Bahkan kini timbul dugaannya bahwa Ceng Liong menolongnya dengan niat buruk, mungkin sudah diatur terlebih dahulu dengan gurunya! Siapa tahu sikap pemuda itupun hanya pura-pura, hanya sandiwara saja!
"Kakek iblis, kaukira aku sudi menjadi isteri murid seorang iblis macam engkau? Lebih baik seribu kali mati dari pada....
aukhhh....!" Dara remaja itu hampir muntah. Ia menekuk tubuhnya dan menekan perutnya yang terasa mual. Sekali meloncat, Ceng Liong sudah berada di dekatnya dan menyentuh pundak dara itu.
"Bi Eng, jangan muntah...." katanya khawatir sekali. Sekali muntah, dara ini akan tewas! Betapa mengerikan bayangan ini.
"Ha-ha-ha, bocah sombong kau! Kau belum tahu siapa muridku ini, hah? Dia adalah Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan kau bilang seribu kali lebih baik mati daripada menjadi isterinya?"
"Mo-ong....!" Ceng Liong meloncat dan kembali dia memukul ke arah gurunya karena tidak dapat menahan kemarahan hatinya. Gurunya ini sungguh amat menghina Bi Eng dan seolah-olah memaksa gadis itu agar mau berjanji menjadi isterinya!
"Desss. ...!" Dalam keadaan bersila itu, Hek-i Mo-ong menangkis hantaman muridnya yang tertuju ke arah kepalanya dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia bangkit duduk, dia tertawa-tawa sambil muntahkan darah segar lagi.
"Ahhh!" Ceng Liong terkejut dan cepat menghampiri, berlutut dan membantu pernapasan gurunya dengan saluran sin-kang dari telapak tangannya.
"Heh-heh-heh," Hek-i Mo-ong merangkulnya penuh kasih sayang. "Tahukah engkau bahwa baru ini engkau memukulku? Semua terjadi karena engkau mencinta gadis itu, tahukah engkau?"
Ceng Liong terkejut bukan main. Memang aneh. Dia merasa berhutang budi kepada kakek ini, bahkan tanpa disadarinya, dia merasa sayang kepadanya. Dan memang benarlah, dia menyerang gurunya sampai dua kali karena kemarahan melihat gurunya menghina Bi Eng!
"Tapi, Mo-ong, kenapa kau lakukan ini? Kenapa....?"
"Uakhhhh....!" Mendengar suara muntah ini, Ceng Liong menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat Bi Eng tak dapat menahan lagi muntahnya, dan sudah mulai hendak muntah. Melihat ini, sekali meloncat tubuh Ceng Liong mencelat ke dekat Bi Eng dan tangannya bergerak menotok. Bi Eng yang sedang dilanda rasa muak hehat itu tidak sempat mengelak dan roboh terkulai. Ceng Liong cepat memondongnya dan merebahkannya di atas rumput. Dalam keadaan tertotok pingsan, dara itu tidak jadi muntah.
Kini Ceng Liong kembali meloncat ke dekat gurunya. "Mo-ong, cepat, sembuhkan Bi Eng! Cepat sebelum ia muntah!" teriaknya kepada gurunya sambil memegang pundak gurunya.
"Heh-heh-heh....!" Kakek itu hanya tertawa.
"Cepat, Mo-ong!" Ceng Liong mengguncang-guncang pundak itu sehingga tubuh Hek-i Mo-ong bergoyang-goyang keras.
"Heh-heh, kalau aku tidak mau mengobatinya?"
Tangan yang mengguncang pundak itu mencengkeram makin kuat. "Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!" bentak Ceng Liong.
"Ha-ha-ha, muridku yang pandai. Dengan cara bagaimana....?"
Ceng Liong kehabisan akal dan tidak mampu menjawab. Bagaimana mungkin dia akan dapat memaksa kakek iblis ini? Gertakan-gertakannya tentu hanya akan disambut dengan ketawa geli saja. Menghadapi kakek iblis ini dia merasa kalah segala-galanya.
"Ha-ha-ha, engkau paling-paling hanya dapat membunuhku! Dan kalau engkau membunuhku, gadis itupun akan mati dan engkau ditinggalkan dua orang yang mencintamu, atau setidaknya ditinggalkan aku yang mencintamu dan gadis itu yang kaucinta. Ha-ha, apa enaknya hidup begitu? Masih lehih enak aku yang mati!"
Melihat bahaya mengancam nyawa Bi Eng dan mendengar ucapan gurunya yang menutup semua harapan dan jalan keluar, tiba-tiba Ceng Liong menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya! "Suhu, kau tolonglah Bi Eng.. ..!"
Tiba-tiba sepasang mata Hek-i Mo-ong terbelalak dan dia meloncat berdiri, mukanya yang tadinya pucat itu berobah merah. Memang seorang manusia yang luar biasa kakek ini! Menerima penghormatan seperti itu dia malah merasa tersinggung dan marah, sedangkan kalau muridnya bersikap tak acuh dan tidak menghormat, menyebutnya Mo-ong saja dia malah merasa girang!
"Enak saja! Aku baru mau mengobatinya kalau kau mau berjanji. Kalau tidak, biar kau membunuhku, aku tidak akan sudi mengobatinya!"
"Baiklah, suhu, aku akan memenuhi semua permintaanmu."
"Nah, berjanjilah bahwa kelak engkau akan menjadi suami gadis ini!"
Ceng Liong terbelalak. Bi Eng sendiri yang rebah tak berdaya juga terkejut mendengar permintaan aneh itu.
"Hayo cepat berjanji sebelum aku berobah pikiran dan menolak pengobatan atas diri gadis ini!" Hek-i Mo-ong mengancam.
Tidak ada lain jalan bagi Ceng Liong. "Baiklah, aku berjanji kelak akan menjadi suami gadis ini...."
"Sebutkan namamu dan nama nona itu!"
"Aku Suma Ceng Liong berjanji kelak akan menjadi suami nona Kam Bi Eng...." katanya dengan suara terpaksa sekali. Sementara itu, wajah Bi Eng berobah merah, akan tetapi nona ini tidak mampu berkutik. Kalau ia bisa berkutik, tentu ia akan mengamuk dan menyerang guru dan murid itu kalang kabut. Akan tetapi ada keheranan besar di dalam hatinya, keheranan yang muncul ketika ia mendengar bahwa Ceng Liong she Suma dan cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es. Benarkah itu? Menurut penuturan ayahnya, Pendekar Super Sakti adalah seorang pendekar yang amat tinggi ilmunya, seorang pendekar terkenal yang memiliki keluarga hebat terdiri dari pendekar-pendekar budiman. Mengapa kini cucu pendekar itu malah menjadi murid seorang datuk sesat
macam Hek-i Mo-ong? Benar-benar ia tidak mengerti sama sekali.
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Ingat, seorang gagah harus memegang teguh janjinya sampai mati!" kata kakek itu dengan girang bukan main.
"Suhu...."
"Heh? Apakah engkau sudah lupa bahwa aku ini Hek-i Mo-ong dan tidak menyebutku Mo-ong lagi?"
"Tidak, engkau adalah guruku dan sudah sepatutnya kusebut suhu. Nah, suhu, sekarang cepatlah obati Bi Eng agar sembuh dan tidak terancam nyawanya."
"Ha-ha-ha, siapa yang mengancam nyawanya? Ia sudah sembuh kalau engkau tidak usil tadi. Bebaskan totokan itu dan biarkan ia muntah-muntah, tentu sembuh!"
Ceng Liong melongo. "Ehh....? Jadi...."
"Jadi apa? Yang kuminumkan tadi memang obatnya, dan memang wajar kalau ia mau muntah karena racun itu sudah terkumpul dan tersedot oleh obat, kini tinggal muntahkan saja dan sembuh!"
Ceng Liong tertegun. Kiranya kakek ini tidaklah sekejam yang disangkanya. Sama sekali kakek ini bukan hendak mencelakai Bi Eng! Dia percaya sepenuhnya dan cepat dia menotok tubuh Bi Eng sehingga gadis itu dapat bergerak kembali. Begitu bangkit duduk, Bi Eng muntah-muntah! Dan yang dimuntahkan adalah gumpalan-gumpalan darah hitam! Ceng Liong mendekatinya, berlutut dan menekan-nekan tengkuk dan mengelus punggung gadis itu untuk membantunya mengeluarkan semua racun dari dalam tubuhnya. Mula-mula Bi Eng yang dirangsang muntah itu membiarkan saja, akan tetapi setelah ia berhenti muntah-muntah, ia menepiskan tangan Ceng Liong, meloncat bangun berdiri dengan sinar mata galak. Ia merasa kepalanya agak pening dan tubuhnya gemetar, wajah dan lehernya penuh keringat, akan tetapi dalam tubuhnya terasa ringan dan enak. Ia benar-benar telah sembuh. Dengan pikiran tidak karuan, bercampur aduk antara rasa girang dan marah, terima kasih dan dendam, ia memandang kepada guru dan murid itu, kehabisan akal harus bicara apa dan bertindak bagaimana. Mereka telah menghinanya, menipunya, akan tetapi juga telah menyelamatkan nyawanya! Apa yang harus dilakukannya untuk mengimbangi semua perbuatan mereka? Mendadak ia memejamkan matanya karena rasa pusing membuat pandangan matanya berputar melihat segala di sekelilingnya.
"Calon mantuku, engkau baru saja terbebas dari serangan racun yang amat berbahaya. Duduklah dan bersilalah menghimpun hawa murni." kata Hek-i Mo-ong dan seperti mimpi Bi Eng duduk bersila dan ia memejamkan mata, menaati perintah itu karena sebagai puteri seorang pendekar sakti iapun tahu bahwa nasihat itu amat tepat baginya. Begitu bersila dan mengatur pernapasan, tubuhnya terasa amat enak dan nyaman. Akan tetapi pikirannya tidak mau diam, melayang-layang tidak karuan. Penyebab kacaunya pikiran itu adalah ingatan tentang keadaan Ceng Liong seperti yang dikatakan oleh kakek iblis itu tadi. Cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Hal inilah yang mengganggu pikirannya.
Pada saat itu terdengar bentakan orang. "Hek-i Mo-ong, akhirnya aku dapat juga menemukanmu setelah mencari bertahun-tahun lamanya!"
Hek-i Mo-ong saat itu sudah duduk bersila dan mengatur pernapasannya. Dia telah menderita luka yang cukup berat. Pukulan yang diterimanya dari mendiang Jai-hwa Siauw-ok membuat luka dalam yang dideritanya ketika dia melawan Pendekar Suling Emas Kam Hong makin menghebat dan dalam keadaan luka parah sekali itu dia masih mengadu tenaga dengan muridnya sendiri. Kalau bukan Hek-i Mo-ong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, tentu dia sudah roboh dan tewas oleh pukulan sakti yang melandanya bertubi-tubi itu. Maka ketika terdengar bentakan itu, walaupun telinganya dapat menangkapnya, dia masih saja duduk bersila dengan mata terpejam dan dia sibuk mengatur pernapasan. Juga Bi Eng masih duduk bersila dan mengatur pernapasan mengusir kepeningan kepalanya. Tinggal Ceng Liong seorang yang begitu mendengar bentakan ini lalu membalikkan tubuh menghadapi orang yang baru datang itu.
Ternyata yang muncul itu seorang pemuda yang usianya antara sembilan belas atau dua puluh tahun. Seorang pemuda bertubuh jangkung, dengan punggung agak bongkok, pakaiannya sederhana dan sikapnya juga sederhana seperti orang biasa. Akan tetapi sepasang mata yang mencorong itu, dan wajah yang mengandung bayangan dendam penuh kebencian, membuat Ceng Liong cukup waspada karena dia dapat menduga bahwa orang ini datang bukan dengan niat hati yang baik. Dengan penuh perhatian dia mengamati wajah pemuda itu karena dia merasa seperti pernah mengenal wajah ini, akan tetapi telah lupa lagi kapan dan di mana.
Pemuda itu agaknya tidak memperhatikan Ceng Liong karena pandang matanya ditujukan terus kepada Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila. Kemudian, dengan sikap perlahan dan tenang namun penuh ketegasan, dia melolos pedang dari balik jubahnya dan terkejutlah Ceng Liong ketika dia mengenal sebatang pedang pusaka yang ampuh. Pedang itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dicabut dan tahulah dia bahwa pedang itu bukan pedang sembarangan, melainkan sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang amat baik dan ampuh.
"Hek-i Mo-ong, jangan berpura-pura tidak tahu. Bangkitlah dan lunasi hutangmu!" pemuda itu membentak dan dengan langkah perlahan dia menghampiri Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila tanpa membuka kedua matanya.
"Perlahan dulu, sobat!" Tiba-tiba Ceng Liong berseru dan sekali menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya sudah mencelat ke depan pemuda berpedang itu dan dia bertolak pinggang menghadang.
"Mau apa engkau datang menghampiri guruku dengan menghunus pedang?"
Pemuda itu tertegun, mengamati wajah Ceng Liong dan akhirnya dia berkata setelah menarik napas panjang. "Aih, jadi engkau ini murid Hek-i Mo-ong, bocah setan itu? Bagus, membasmi pohon beracun harus dengan akar-akarnya agar tidak tumbuh lagi!"
Ceng Liong mengerutkan alisnya dan kini dia melihat sesuatu yang menggugah ingatannya. Tahi lalat di ujung bawah telinga kiri itu! Terbayanglah dia ketika anak laki-laki berusia tiga belas tahunan itu memondong jenazah Yang I Cin-jin yang tewas di tangan Hek-i Mo-ong, pandang mata anak laki-laki itu yang penuh dendam kebencian kepada Hek-i Mo-ong!
"Ah, kiranya engkau murid mendiang Yang I Cin-jin....!"
Pemuda itu tersenyum. "Dan engkau murid Hek-i Mo-ong yang memiliki ingatan baik sekali. Memang, aku Pouw Kui Lok, murid suhu yang dahulu membawa pergi jenazah suhu ketika suhu terbunuh oleh gurumu. Dan sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk!"
Ceng Liong melihat betapa sikap pemuda ini gagah dan tidak kelihatan jahat. Diapun teringat kepada mendiang Yang I Cin-jin yang juga lebih pantas menjadi seorang pendekar daripada seorang sesat, walaupun pada waktu itu Yang I Cin-jin agaknya ikut pula bersekutu dengan para pemberontak. Diapun menarik napas panjang.
"Pouw Kui Lok, urusan antara guruku dan gurumu dahulu itu adalah urusan pribadi. Tentu engkau pada waktu itu mengetahui juga bahwa yang menyerang lebih dahulu adalah gurumu dan mereka lalu berkelahi secara adil. Kalau seorang di antara mereka kalah dan tewas, bukankah hal itu wajar saja? Urusan di antara mereka, kenapa engkau harus mencampurinya?"
Diam-diam Pouw Kui Lok tertegun mendengar ucapan ini. Sama sekali tidak disangkanya bahwa murid seorang iblis seperti Hek-i Mo-ong itu mempunyai pandangan seperti itu! Maka, kemarahannya terhadap Ceng Liong sebagai murid Hek-i Mo-ong mereda dan suaranyapun terdengar lembut.
"Orang muda, urusan antara aku dan gurumu juga urusan pribadi. Engkau tidak tahu berapa banyak hutang gurumu kepadaku. Dia pernah membunuh mendiang kakek guruku yang bernama Thian Teng Losu, kemudian membunuh paman guruku Yang Heng Cin-jin dan memperkosa isterinya. Kemudian, ketika guruku mencoba untuk membalas dendam, guruku malah tewas di tangannya. Sebagai muridnya, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Selama ini aku menggembleng diri tak kenal lelah, semua kulakukan hanya untuk hari ini, untuk membalas semua itu kepada gurumu. Sebaiknya engkau jangan mencampuri, dan aku tidak akan mengganggumu. Biarlah permusuhan habis di sini saja setelah gurumu atau aku tewas dalam suatu perkelahian yang adil!"
Sikap Pouw Kui Lok gagah sekali dan diam-diam Ceng Liong merasa menyesal mengapa dia harus berdiri di situ sebagai murid Hek-i Mo-ong, sehingga dia terpaksa terlibat dalam urusan permusuhan pribadi yang tidak menyenangkan itu, karena bagaimanapun juga dia dapat merasakan bahwa permusuhan itu diawali oleh perbuatan gurunya yang tidak benar.
"Pouw Kui Lok, adalah hakmu untuk menuntut balas kematian gurumu. Aku tidak akan mencampuri urusan permusuhan pribadi, akan tetapi pada saat ini Hek-i Mo-ong sedang dalam keadaan sakit, maka aku akan melarangmu kalau engkau hendak menyerangnya. Aku terpaksa mencampuri karena melihat ketidakadilan...."
"Ho-ho-ho, siapa bilang aku sakit? Ha-ha, kalau hanya murid Yang I Cin-jin, jangankan hanya seorang, biar ada sepuluh orang aku masih sanggup untuk membunuhnya satu demi satu!" Tiba-tiba Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan tertawa-tawa dengan sikap mengejek.
"Suhu....!" Ceng Liong berseru kaget dan juga marah karena dia tahu bahwa suhunya hanya berpura-pura saja karena sebenarnya suhunya terluka parah dan tidak mungkin dapat menghadapi lawan tangguh.
"Heh-heh, Ceng Liong. Sejak kapan gurumu ini gentar menghadapi ancaman musuh? Jangan kau turut campur, biar kuhabiskan riwayat bocah sombong itu!"
Mendengar ini, Pouw Kui Lok menjadi marah. Kalau tadinya dia merasa agak ragu-ragu mendengar bahwa musuh besarnya berada dalam keadaan sakit, kini mendengar ucapan dan tantangan Hek-i Mo-ong, tentu saja dia merasa lega. Dengan pedang di tangan, dia lalu mengeluarkan suara geraman nyaring menyerang ke arah Hek-i Mo-ong. Akan tetapi, bayangan Ceng Liong berkelebat dan pemuda remaja ini sudah menghadangnya dan memandangnya dengan tajam.
"Guruku sedang sakit, engkau tidak boleh mengganggunya sekarang!"
"Bocah tolol, minggirlah dan jangan mencampuri urusanku!"
Akan tetapi Ceng Liong tidak mau minggir sehingga terpaksa Pouw Kui Lok menusukkan pedangnya. Ceng Liong mengelak dan membalas dengan tendangan kilat, membuat Pouw Kui Lok terkejut dan meloncat ke samping. Pada saat itu, muncullah dua orang tosu berpakaian kuning dan mereka segera menghadapi Ceng Liong dari kanan kiri sambil berkata, "Pouw-taihiap, biar pinto berdua menghadapi iblis muda ini!" Dan merekapun langsung menyerang Ceng Liong dengan tangan kosong.
Ceng Liong melihat betapa gerakan kedua orang tosu ini cukup lihai. Mereka bertangan kosong akan tetapi ketika mereka menyerang, ujung kedua lengan baju mereka menyambar dahsyat dengan kekuatan yang cukup ampuh. Tahulah dia bahwa dua orang tosu ini bukan lawan yang lunak, maka diapun cepat mengelak dan menangkis pukulan tosu ke dua untuk mengukur tenaganya.
"Dukk!" Tosu itu hampir terjengkang dan melangkah sampai lima langkah ke belakang dengan muka berobah.
"Siancai....! Iblis muda ini berbahaya....!" katanya dan mereka berdua bersikap hati-hati sekali menahan Ceng Liong agar pemuda ini tidak dapat membantu gurunya yang sudah diserang oleh Pouw Kui Lok.
Hek-i Mo-ong memang seorang aneh. Dia sengaja tadi mengejek dan menantang musuhnya, hanya untuk melihat sampai di mana kesetiaan muridnya kepadanya! Padahal, sikapnya ini amat membahayakan dirinya. Gerakan Pouw Kui Lok amat cepat dan kuat, pedangnya lenyap bentuknya berobah menjadi sinar terang yang menyambar laksana kilat. Memang sesungguhnya pemuda ini telah menggembleng diri dan telah berhasil mewarisi ilmu pedang mendiang Yang I Cin-jin, bahkan telah memperdalam ilmu pedangnya di Kun-lun-pai sehingga dia menjadi seorang ahli pedang yang lihai. Yang I Cin-jin adalah seorang tosu, dan biarpun bukan menjadi pendekar budiman yangg terkenal, setidaknya bukan penjahat dan sudah kenal baik dengan para tosu Kun-lun-pai. Inilah sebabnya ketika Pouw Kui Lok menceritakan tentang kematian gurunya di tangan datuk sesat Hek-i Mo-ong, mereka mau membantunya, menggemblengnya, bahkan ketika pemuda ini mencari musuh besarnya, dua orang tosu Kun-lun-pai yang menjadi para suhengnya menemaninya. Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, dua orang tosu itu tidak berniat mengeroyok Hek-i Mo-ong karena urusan antara Hek-i Mo-ong dan Pouw Kui Lok adalah urusan pribadi. Akan tetapi mereka menemani pemuda itu karena ingin membantunya kalau-kalau sute mereka yang ilmu pedangnya amat lihai itu dikeroyok oleh kawan-kawan atau anak buah Hek-i Mo-ong. Inilah sebabnya ketika Ceng Liong maju, mereka berdua langsung turun tangan mencegah Ceng Liong membantu gurunya dan memberi kesempatan kepada Pouw Kui Lok untuk bertanding secara adil melawan musuh besarnya.
Biarpun kini tingkat kepandaian Pouw Kui Lok sudah lebih tinggi dari mendiang gurunya, akan tetapi andaikata keadaan Hek-i Mo-ong seperti biasa, sehat dan tidak sedang menderita luka yang amat parah, jangan harap pemuda itu akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi saat itu Hek-i Mo-ong memang sudah payah sekali. Dipakai bernapas saja dadanya terasa nyeri, apalagi kalau dia mengerahkan sin-kang, rasanya seperti ditusuk-tusuk jantungnya. Dan penyerangnya yang muda itu benar-benar amat lihai. Pedangnya membuat sinar bergulung-gulung dan repotlah Hek-i Mo-ong mengelak ke sana sini. Dia tidak berani mempergunakan kekebalannya untuk menghadapi pedang lawan. Pertama karena pedang lawan amat ampuh dan kuat, kedua kalinya karena dia tidak berani mengerahkan terlalu banyak tenaga sin-kang.
Hal ini bisa membuat lukanya menjadi semakin parah. Maka tidaklah mengherankan apabila dia terdesak hebat dan main mundur terus, mengelak ke kanan kiri dan terhuyung-huyung.
Hek-i Mo-ong bukanlah seorang tolol yang ingin membiarkan dirinya mati konyol. Kalau dia tahu bahwa pemuda musuh besarnya itu dibantu oleh dua orang tosu Kun-lun-pai yang demikian lihai, tentu dia tidak mengeluarkan ejekan dan tantangan tadi. Kini, dia terkejut melihat betapa muridnya dihadang dua orang tosu itu sehingga tentu saja Ceng Liong tidak dapat membantunya. Dia harus menghadapi sendiri amukan Pouw Kui Lok dan ternyata pemuda ini lihai bukan main ilmu pedangnya. Lewat beberapa puluh jurus saja, sudah dua kali tubuhnya terserempet ujung pedang sehingga bajunya robek dan kulitnya juga robek. Darah bercucuran!
Sejak tadi Bi Eng menonton perkelahian itu dengan mata terbelalak dan bingung. Dara ini tidak mengenal siapa adanya pemuda dan dua orang tosu yang memusuhi Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Akan tetapi, iapun cukup mengerti bahwa biasanya, tosu adalah pendeta yang mengutamakan kebaikan. Bagaimanapun juga, ia adalah puteri Pendekar Suling Emas dan ayahnya sudah seringkali memperingatkan kepadanya bahwa ia tidak boleh menilai orang dari keadaan lahirnya. Manusia tidak dapat dinilai dari pakaiannya, kekayaannya, kepandaiannya, agamanya dan sebagainya. Semua itu hanya pakaian. Yang penting adalah manusianya itu sendiri, lepas dari pada semua pakaiannya yang kadang-kadang hanya dipakai untuk menutupi dan menyembunyikan kekotoran dan keburukannya.
Ternyata dua orang tosu itu lihai sekali, walaupun mereka behum juga dapat mendesak Ceng Liong. Melihat betapa pemuda itu mampu menahan dua orang tosu yang demikian lihainya, diam-diam Bi Eng menjadi semakin kagum saja kepadanya. Dan ketika dara remaja ini menoleh dan memandang kepada Hek-i Mo-ong, ia mengerutkan alisnya. Kakek itu sedang terluka parah dan kini didesak amat hebatnya oleh pemuda berpedang. Sudah terluka di sana-sini dan tubuhnya berlumuran darah. Akan tetapi, Bi Eng mempunyai harga diri. Ia tidak mungkin danat turun tangan membantu Hek-i Mo-ong. Hal itu akan berarti pengeroyokan dan ia sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan pribadi dua orang itu. Bagaimanapun juga, kakek iblis itu telah menyelamatkan nyawanya, kalau kini ia mendiamkan saja kakek itu terancam bahaya, kalau sampai kakek itu dibunuh orang di depan matanya tanpa ia berusaha menyelamatkannya, sungguh ia akan menjadi orang yang tidak mengenal budi sama sekali! Secara otomatis, matanya mulai mencari-cari senjata karena suling emasnya telah hilang ketika ia berkelahi melawan Louw Tek Ciang.
Melihat keadaan Hek-i Mo-ong makin lemah, Pouw Kui Lok memperhehat desakannya. Pedangnya membentuk sinar bergulung-gulung yang seperti tali-temali melibat-libat tubuh Hek-i Mo-ong.
"Cetttt....!" Kembali ujung pedang itu merobek pundak kiri Hek-i Mo-ong. Kakek itu terhuyung dan terjengkang. Melihat ini, Pouw Kui Lok menubruk ke depan dengan serangan kilatnya. Demikian hebat serangannya itu sehingga tahu-tahu pedangnya telah amblas ke dalam dada Hek-i Mo-ong.
"Cratttt....!" Kakek itu meregang, akan tetapi tangan kirinya dengan membentuk cakar menyambar ke arah kepala Pouw Kui Lok. Pemuda ini terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa kakek yang sudah ditembusi pedang dadanya itu masih mampu melakukan serangan sedemikian hebatnya! Itulah ilmu mujijat Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) dari Hek-i Mo-ong! Kalau tadi kakek itu tidak mengeluarkan ilmu ini adalah karena ilmu ini membutuhkan pengerahan sin-kang yang amat kuat dan untuk mengerahkan ini, sama saja dengan membunuh diri karena luka di dalam tubuhnya tentu akan makin menghebat. Maka baru sekarang, setelah pedang lawan menembus dadanya, dia mengeluarkan ilmu ini.
"Crokkk....!" Betapapun lihainya Pouw Kui Lok dan biarpun dia sudah berusaha untuk mengelak, dia hanya berhasil menyelamatkan kepalanya saja dan jari-jari tangan kakek itu tetap saja mencengkeram pundaknya sehingga kulit dan daging pundak itu menjadi hancur, dan ujung tulang pundak juga patah! Pouw Kui Lok mengeluh kesakitan dan meloncat ke belakang. Pundak kirinya terluka parah dan lengan kirinya lumpuh sama sekali. Akan tetapi melihat kakek itu masih belum tewas, dia menjadi nekat dan maju lagi untuk memberi tusukan-tusukan lagi. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan sebatang ranting digerakkan secara istimewa
menyerangnya dari samping!
Pouw Kui Lok terkejut dan menangkis dengan pedangnya. "Trakkk!" Ranting itu tertangkis, akan tetapi melesat dengan gerakan menyerong dan tahu-tahu ujung runting hampir menusuk matanya! Pouw Kui Lok berseru kaget dan melempar tubuhnya ke belakang, terus bergulingan. Dia selamat, akan tetapi keringat dingin membasahi lehernya karena nyaris matanya buta oleh tusukan ranting tadi. Ketika dia meloncat dan menyeringai kesakitan karena pundak yang terluka tadi terasa nyeri sekali ketika dipakai bergulingan, dia melihat dengan heran bahwa yang menyerangnya dengan ranting hanyalah seorang gadis remaja yang wajahnya masih pucat, agaknya baru sembuh dari sakit.
"Suheng, pergi....!" Pouw Kui Lok berseru. Dia sudah terluka parah, dan dia sudah berhasil menusuk tembus dada musuhnya sehingga dia merasa yakin bahwa musuh besarnya pasti akan mati, dan di situ selain ada murid Hek-i Mo-ong yang amat lihai, terdapat pula gadis remaja yang memiliki ilmu silat istimewa pula. Dua orang tosu yang memang kewalahan menghadapi Ceng Liong, meloncat jauh ke belakang dan mereka bertiga melarikan diri.
"Suhu....!" Ceng Liong berseru ketika melihat kakek itu berdiri dengan mendekapkan tangan kiri ke dadanya, wajahnya berseri akan tetapi pucat sekali dan berdirinya terhuyung-huyung. Ketika Ceng Liong merangkul gurunya, kakek itu tertawa.
"Ha-ha-ha, dalam saat terakhir, muridku membelaku dan calon isterinya juga membantuku. Aku puas sudah.... ha-ha-ha, Hek-i Mo-ong.... hari akhirmu diantar oleh hati orang-orang muda yang sayang kepadamu.... ha-ha!" Dan kakek itu tentu terguling kalau tidak cepat dipondong oleh Ceng Liong. Gurunya setengah pingsan dan ketika Ceng Liong memondongnya dan merebahkannya di atas rumput, terasa oleh Ceng Liong betapa kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu kini amatlah kurusnya dan amat ringannya. Hatinya merasa terharu, apalagi ketika melihat bahwa gurunya telah menderita luka parah sekali. Dada dan punggungnya berlubang dan mengucurkan darah, napasnya tinggal satu-satu. Bi Eng juga berlutut di dekat tubuh kakek itu yang dengan lemah memandangi mereka berdua.
Pada saat itu ada angin menyambar dan berkelebat dua bayangan orang. Tahu-tahu di situ telah berdiri Kam Hong dan isterinya! Akhirnya, suami isteri ini dapat juga menyusul dan betapa kaget, heran dan juga girang rasa hati mereka melihat Bi Eng berada di tempat itu dalam keadaan selamat, akan tetapi gadis itu berlutut di dekat tubuh Hek-i Mo-ong yang terluka parah, bersama seorang pemuda yang tampaknya sedang berusaha menotok beberapa jalan darah di tubuh kakek itu untuk menghentikan darah yang bcrcucuran dan menghilangkan rasa nyeri.
Akan tetapi begitu melihat siapa yang datang, Hek-i Mo-ong mendorong tangan muridnya dengan halus dan diapun seperti memperoleh kekuatan baru, bangkit duduk lalu berdiri menghadapi Pendekar Suling Emas dan isterinya! "Heh-heh-heh, orang she Kam! Engkau datang untuk melanjutkan perkelahian denganku? Baik, hayolah, aku sudah siap!" katanya menantang.
Tentu saja Kam Hong menjadi marah. Gara-gara kakek ini dan kaki tangannya, dia kehilangan nyawa beberapa orang murid, bahkan puteri merekapun terculik dan nyaris celaka.
"Hek-i Mo-ong, orang seperti engkau ini adalah iblis jahat yang sudah sepatutnya dienyahkan dari muka bumi!" bentak Kam Hong, siap untuk menyerang.
"Ha-ha-ha, biar jahat seperti aku atau baik seperti engkau, kita semuapun pada akhirnya akan lenyap dari muka bumi! Hayo, sudah lama aku menanti saat ini, dan aku tidak akan merasa penasaran kalau engkau yang mengantar kematianku, orang she Kam, karena engkaulah yang berhasil mengalahkan aku!" Keadaan kakek itu sebetulnya sudah payah sekali, bicarapun sudah terengah-engah, sudah lebih mendekati mati daripada hidup. Akan tetapi dia kelihatan gembira menghadapi kematiannya dan dengan kedua tangannya membentuk cakar penuh pengerahan hawa sakti dari Ilmu Coan-kut-ci, dia berdiri menghadapi musuh besarnya.
Akan tetapi, Kam Hong adalah seorang pendekar besar yang pantang melakukan hal-hal yang rendah atau licik. Dia sudah melihat betapa payah keadaan musuhnya, maka biarpun dia marah sekali mengingat betapa kakek iblis ini telah menyebabkan tewasnya para pelayannya yang dianggap sebagai murid-murid pula, namun dia nampak ragu-ragu untuk menyerang orang yang sudah tidak mampu melawan lagi.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda remaja telah berdiri menghadang antara pendekar ini dan kakek iblis itu. Pemuda yang bertubuh tinggi tegap, wajahnya cerah dan gagah, sinar matanya mencorong aneh, akan tetapi belum dewasa benar sehingga nampak lucu bahwa seorang pemuda remaja yang masih hijau itu berani berdiri menghadapi dan menentang seorang pendekar seperti Kam Hong!
"Suhuku sudah terluka dan tidak dapat melawan, biarlah aku yang menggantikannya menghadapimu kalau engkau hendak menyerangnya." kata Ceng Liong dengan sikap tenang sekali, menandakan bahwa nyalinya amat besar dan dia tidak takut menghadapi lawan yang berpakaian sasterawan sederhana ini. Diapun tahu dari ucapan gurunya tadi bahwa sasterawan inilah musuh besar gurunya yang dapat diduganya tentu lihai bukan main.
Kam Hong mengerutkan alisnya. Kini dia tahu bahwa tentu pemuda ini yang mengaku murid Hek-i Mo-ong yang telah menculik Bi Eng. "Hemm, tidak patut aku menyerang seorang bocah, akau tetapi mengingat engkau murid iblis tua ini, sudah semestinya kalau aku mengenyahkan engkau pula yang tentu akan menjadi lebih jahat daripada gurunya kelak!"
Akan tetapi anak muda itu hanya berdiri memandangnya dan tidak juga bergerak menyerang. "Majulah," kata Kam Hong. "Engkau boleh mewakili gurumu menghadapiku!"
Akan tetapi Ceng Liong menggeleng kepala. "Aku tidak ingin memusuhi siapapun juga, akan tetapi aku harus melindungi guruku dari serangan siapapun juga!"
Kerut di antara alis pendekar itu mendalam dan dia mengeluarkan dengus mengejek dari hidungnya. "Hemm, seorang murid yang berbakti, ya? Murid iblis tua tentu menjadi calon iblis pula!"
"Heh-heh-heh, muridku yang baik! Tidak percuma aku mendidikmu bertahun-tahun dan mewariskan semua ilmuku kepadamu. Lebih baik menjadi murid iblis akan tetapi berbakti daripada menjadi murid pendekar akan tetapi murtad, heh-heh!" Hek-i Mo-ong terkekeh, akan tetapi terpaksa dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena kata-katanya dan tawanya tadi membuat darah mengucur keluar dari luka di dadanya.
"Hahh!" Kam Hong sudah menyerang dengan tamparan kilat ke arah leher Ceng Liong. Tamparan yang selain amat cepat, juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat sehingga terdengar suara angin mendesis.
"Dukk! Dukk! Dukkk!" Tiga kali Kam Hong melakukan tamparan bertubi yang amat hebat, akan tetapi semua serangan itu dapat ditangkis dengan baiknya oleh Ceng Liong. Barulah mata Kam Hong terbelalak ketika dia merasa betapa tangkisan-tangkisan itu selain cepat dan tepat, juga mengandung tenaga yang hebat, yang mampu menahan tenaganya sendiri! Tahulah dia bahwa ucapan Hek-i Mo-ong tadi tidaklah bualan belaka. Anak ini, biarpun masih muda, telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakek iblis itu! Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya, pada saat itu, andaikata diadukan antara Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong, agaknya kakek itupun belum tentu akan mampu mengalahkan muridnya, terutama sekali dalam hal tenaga sakti. Seperti kita ketahui, Suma Ceng Liong telah mewarisi tenaga sakti dari kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti Suma Han. Selain itu, juga semua ilmu yang dimiliki Hek-i Mo-ong telah diwarisinya.
Setelah merasa yakin akan kelihaian lawan yang amat muda ini, Kam Hong tidak mau membuang waktu lagi dan diapun mencabut suling emasnya. Sinar emas berkilat menyilaukan mata ketika suling tercabut dan melihat ini, tiba-tiba saja Bi Eng melompat ke depan. Gadis ini sejak tadi dirangkul oleh ibunya yang merasa lega dan girang sekali melihat bahwa puterinya dalam keadaan sehat dan selamat. Tadinya, Bi Eng juga diam saja tidak mau mencampuri urusan antara Hek-i Mo-ong dan ayahnya karena iapun tahu bahwa Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya datang untuk memusuhi dan menyerbu keluarga ayahnya sehingga mengakibatkan
tewasnya para pelayan. Akan tetapi ketika ia melihat ayahnya menyerang Ceng Liong, kemudian ayahnya mencabut suling emas, hatinya merasa ngeri. Ia tahu akan kehebatan suling emas di tangan ayahnya dan ia tidak ingin ayahnya membunuh Ceng Liong yang telah begitu baik terhadap dirinya.
"Ayah....! Jangan....!" teriaknya sambil melompat.
Kam Hong terkejut, juga heran sekali me lihat puterinya mencegahnya menyerang murid musuh besar yang berbahaya itu. Dia menunda gerakannya, berdiri dan memandang puterinya dengan mata tajam dan alis berkerut tak senang.
"Bi Eng! Kau kenapakah?" bentak ayah ini. Tentu saja dia marah. Bukankah para pelayannya telah terbunuh oleh musuh, bahkan Bi Eng sendiri diculik. Sekarang, anaknya itu malah melarangnya membunuh musuh yang jahat ini!
Bi Eng maklum apa yang dipikirkan ayahnya, maka ia dengan cepat maju dan berdiri di dekat Ceng Liong dengan sikap seperti hendak melindungi pemuda itu dari kemarahan ayahnya.
"Ayah, jangan serang dia! Ceng Liong tidak bersalah apa-apa....!"
"Hemm, bukankah dia murid iblis tua itu?" tanya Kam Hong meragu.
"Benar, akan tetapi dialah yang menyelamatkan aku, ayah. Aku roboh oleh penjahat cabul dan tentu akan celaka kalau tidak dibawa lari dan diobati oleh Ceng Liong ini. Ayah, dia telah menyelamatkan puterimu, apakah sekarang, sebagai imbalannya ayah hendak membunuhnya?"
Kam Hong menjadi bingung. Tentu saja dia merasa heran. Pemuda yang lihai ini adalah murid Hek-i Mo-ong, lalu bagaimana dia harus bersikap kalau murid musuh besarnya itu menolong puterinya.
"Tapi.... tapi mereka membunuh para pelayan kita....!"
"Bukan Ceng Liong yang membunuh, melainkan penjahat cabul itu dan gurunya!" Bi Eng membela.
Kam Hong mengangguk-angguk. Dia tahu siapa yang dimaksudkan puterinya dengan penjahat cabul itu. Tentu pemuda lihai yang menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok itu. Kalau memang pemuda remaja ini tidak ikut melakukan pembunuhan, dan sudah menyelamatkan Bi Eng, memang tidak layak kalau dia membunuhnya.
"Baik," katanya, "akan tetapi suruh dia minggir agar aku dapat membunuh raja iblis jahat Hek-i Mo-ong itu." Diapun melangkah maju dengan suling di tangannya.
"Siapapun hanya dapat menyerang suhu dengan melangkahi mayatku!" kata Ceng Liong, sikapnya tenang akan tetapi suaranya terdengar tegas. Sikap pemuda ini kembali membangkitkan kemarahan di hati Kam Hong. Siapa orangnya tidak akan marah kalau menghalangi dia menghukum iblis yang telah menyebar maut di tempat tinggalnya?
"Ayah, Hek-i Mo-ong juga telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan.... dia berkorban nyawa untuk membelaku...."
"Apa....?" Ayahnya bertanya, terkejut juga kini karena pernyataan puterinya itu sungguh tak disangkanya.
"Aku dirobohkan oleh penjahat cabul lalu ditolong oleh Ceng Liong. Akan tetapi aku terluka parah karena pukulan beracun penjahat itu. Ketika penjahat-penjahat guru dan murid itu hendak merampasku, kakek ini mempertahankan dan dia membunuh guru penjahat itu akan tetapi dia sendiri terluka. Dan luka beracun di tubuhku juga diobati oleh Hek-i Mo-ong."
Kembali Kam Hong menjadi bingung, tak tahu harus berbuat apa. Dia tahu benar bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk kaum sesat, seorang penjahat besar yang kejam dan ganas. Entah berapa banyak orang yang celaka atau tewas di tangannya. Akan tetapi, kakek itu telah menyelamatkan puterinya. Kalau kini dia menyerang dan membunuhnya, apakah dia tidak akan merasa menyesal selama hidupnya? Akan tetapi, kalau dia tidak turun tangan, berarti pula bahwa dia membiarkan saja penjahat keji berkeliaran dan ini bertentangan dengan watak seorang pendekar.
Hek-i Mo-ong yang duduk bersila itu kini membuka matanya memandang, mulutnya menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum mengejek, akan tetapi dia tidak berani tertawa karena luka di dalam tubuhnya amat parah. Dengan mengerahkan kekuatan terakhir yang masih bersisa, dia berkata, "Orang she Kam, lihat bagaimana seorang jahat dan sesat seperti aku dibela oleh dua orang muda yang gagah! Dan yang seorang puterimu sendiri malah. Hati siapa takkan bangga dan senang? Jangan khawatir, tanpa kau turun tanganpun aku takkan hidup lama lagi. Akan tetapi sebelum mati aku ingin memberitahu kepadamu bahwa puterimu ini akan menjadi isteri muridku...."
"Apa? Tidak mungkin! Hek-i Mo-ong, aku tidak akan membunuhmu karena engkau pernah menolong puteriku, akan tetapi jangan harap lebih daripada itu. Sampai mati kami tidak sudi berbesan denganmu!"
"Tapi.... tapi.... puterimu telah berjanji untuk menjadi isteri Ceng Liong muridku ini!"
Kam Hong dan isterinya terkejut dan Bu Ci Sian yang sejak tadi hanya menonton saja, tiba-tiba menjadi marah. "Bi Eng! Apa artinya ini? Benarkah engkau berjanji seperti itu?"
"Tidak, ibu. Aku tidak pernah berjanji!" jawab Bi Eng dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi Bu Ci Sian yang biasanya berwatak keras, hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja ia dapat merobah kekerasannya di bawah pimpinan suaminya, masih belum puas dengan jawaban itu. Hati ibu ini sungguh merasa khawatir membayangkan puterinya akan menjadi isteri murid seorang datuk seperti Hek-i Mo-ong, walaupun ia harus mengakui bahwa pemuda remaja itu gagah, tampan dan juga berilmu tinggi seperti yang dilihatnya tadi ketika pemuda itu mampu menahan serangan suaminya.
"Bi Eng, katakanlah, apakah engkau mau menjadi mantu seorang penjahat terkutuk seperti Hek-i Mo-ong itu? Apakah engkau mau menjadi calon isteri murid orang sesat ini?"
Didesak oleh ibunya seperti itu, Bi Eng menggeleng kepalanya. Ia sendiri sebetulnya tidak pernah mempertimbangkan hal itu. Ketika Hek-i Mo-ong mengajukan syarat agar ia berjanji mau menjadi calon isteri Ceng Liong untuk diobati, ia menolak keras, bukan karena ia membenci Ceng Liong melainkan karena ia tidak sudi ditekan dan ia tidak mau tunduk. Akan tetapi, mengenai perjodohannya, sama sekali ia tidak pernah memikirkan. Biarpun demikian, ketika didesak ibunya, dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia merasa tidak enak dan jalan satu-satunya bagi Bi Eng hanyalah dengan menolak.
"Tidak, ibu, aku tidak mau."
Hening sejenak setelah dara itu memberikan jawabannya dan diam-diam Ceng Liong merasa sesuatu yang amat tidak enak dalam hatinya. Dia sendiri sama sekali belum pernah memikirkan tentang perjodohan dan perasaannya terhadap Bi Eng hanyalah perasaan suka biasa saja. Kalau dia bersikeras menolong dara itu adalah karena terdorong rasa iba dan karena pada dasarnya dia memang tidak senang melihat kejahatan dilakukan orang di depan matanya. Biarpun demikian, melihat dan mendengar betapa dara itu dan ayah bundanya jelas memperlihatkan sikap tidak suka kepadanya merupakan suatu hal yang amat tidak enak. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau membuka mulut dan hanya memandang kepada suhunya dengan hati kasihan. Dia sudah berjanji kepada gurunya untuk kelak menjadi suami dara ini, bukan karena memang dia sudah mengambil keputusan itu, melainkan hanya untuk menyenangkan hati gurunya dan agar kakek itu mau mengobati Bi Eng.
"Hemm, kakek iblis! Engkau mendengar sendiri bahwa puteriku tidak sudi menjadi isteri muridmu!" kata nyonya itu dengan hati lega.
Hati Ceng Liong diliputi rasa iba melihat betapa gurunya yang sudah tua itu kini memandang dengan mata sayu dan wajah kakek yang biasanya keras itu kini nampak begitu kecewa sehingga mewek-mewek seperti anak kecil yang mau menangis. Sepasang mata kakek itu yang sudah kehilangan sinarnya memandang kepada Ceng Liong, kemudian kepada Bi Eng dengan penuh duka, kemudian kepada suami isteri pendekar itu.
"Tapi.... tapi.... muridku sudah berjanji akan menjadi suaminya.... dan aku.... ah, aku tidak akan dapat mati dengan tenang kalau mereka belum terikat jodoh...." Seluruh sikap dan kata-kata, terutama pandang mata kakek itu penuh diliputi kekecewaan dan penyesalan yang amat menyedihkan. Akan tetapi, tentu saja hal ini hanya terasa oleh Ceng Liong. Bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian, sikap itu tentu saja malah menjengkelkan. Puteri tunggal mereka hendak dijodohkan dengan murid datuk sesat itu? Sungguh merupakan suatu penghinaan besar! Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu pernah menyelamatkan Bi Eng dan kini berada dalam keadaan luka parah sekali, tentu Kam Hong atau Bu Ci Sian sudah menyerangnya.
"Hek-i Mo-ong," kata Kam Hong dengan sikap tenang, mendahului isterinya yang dikhawatirkannya akan mengeluarkan kata-kata keras. "Engkau tentu tahu bahwa kami sekeluarga tidak sudi mengikat pertalian keluarga denganmu. Puteri kami tidak suka menjadi calon isteri muridmu, juga kami berdua sebagai ayah bundanya tidak sudi. Maka, tidak perlu kau melanjutkan mimpi kosongmu itu. Bi Eng, mari kita pulang!" kata Kam Hong mengajak puterinya dan isterinya untuk meninggalkan tempat itu.
"Kam Hong, kau.... kau....!" Hek-i Mo-ong meloncat bangun berdiri dan menerjang ke depan, maksudnya untuk menyerang pendekar itu yang sudah melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan roboh terguling.
"Suhu....!" Ceng Liong dengan sigap merang kulnya dan ternyata kakek itu terkulai lemas dalam pelukannya, tak bernapas lagi! Kakek itu tewas dengan muka membayangkan kekecewaan dan kedukaan, juga matanya terbuka melotot penuh rasa penasaran! Setelah merasa yakin bahwa kakek itu sudah tidak bernyawa lagi, Ceng Liong merebahkannya di atas tanah dengan sikap tenang.
Kam Hong bertiga tidak jadi pergi dan mereka memandang kepada Ceng Liong. Kemudian Kam Hong melangkah maju. "Orang muda, ketahuilah bahwa permusuhan antara Hek-i Mo-ong dan kami dimulai oleh kejahatan kakek yang menjadi gurumu itu. Kini, di akhir hidupnya dia masih membawa teman-teman menyebar maut sehingga menewaskan para pelayan yang juga menjadi murid-muridku. Akan tetapi, karena dia telah menyelamatkan puteri kami, maka aku sudah membuang rasa permusuhan itu. Kini dia sudah mati, engkaulah murid yang mewarisi kepandaiannya. Nah, kalau memang engkau mempunyai dendam terhadap kami dan ingin melanjutkan sikap bermusuh mendiang gurumu, silahkan agar urusan itu dapat diselesaikan sekarang juga." Jelaslah bahwa sikap dan ucapan Kam Hong merupakan tantangan. Sebenarnya bukan ini maksud hati pendekar itu. Dia dapat melihat betapa pemuda remaja itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan kalau kelak sudah dewasa dan matang, akan merupakan lawan yang amat berbahaya sekali. Selain itu, juga sikap pemuda itu sama sekali tidak mirip penjahat, maka kini dia mempergunakan kesempatan itu untuk menyelesaikan dan menghabiskan permusuhan antara dia dan pihak Hek-i Mo-ong sampai di situ saja. Dia mengharapkan pemuda itu agar mau menyadari keadaan, bahwa setelah raja iblis itu tewas maka tidak ada lagi persoalan yang perlu dijadikan bahan permusuhan, akan tetapi kalau pemuda itu masih mendendam, tentu saja dia ingin segera diadakan perhitungan agar beres.
Bagaimanapun juga, Ceng Liong adalah seorang pemuda yang darahnya masih panas. Bertahun-tahun lamanya dia ikut Hek-i Mo-ong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa menegangkan bersama gurunya itu, dan dia merasakan betul kasih sayang gurunya terhadap dirinya. Gurunya telah mewariskan semua kepandaiannya kepadanya dan gurunya telah menunjukkan cintanya dengan berbagai cara, membelanya mati-matian. Biarpun dia tahu bahwa gurunya adalah seorang tokoh bahkan datuk kaum sesat, namun dia
tidak pernah melihatnya melakukan kejahatan, dan terhadap dirinya amat baik. Memang dia melihat dan mengalami sendiri betapa gurunya dengan bersekongkol dengan datuk-datuk lain telah menyerbu Pulau Es dan menyebabkan terbasminya kakek dan para neneknya di pulau itu. Akan tetapi hal itu terjadi karena ada dendam permusuhan antara mereka. Dia sendiri tidak menyetujui cara hidup gurunya, dan andaikata suhunya tidak menolong dan menyelamatkan nyawanya berkali-kali, tentu dia sendiri akan memusuhi Hek-i Mo-ong sebagai musuh besar keluarganya. Kini, melihat Hek-i Mo-ong membela dia dan Bi Eng sampai berkorban nyawa, hatinya terharu dan berduka juga. Dan mendengar tantangan Kam Hong, hatinya terasa panas. Pendekar ini telah memperlihatkan sikap angkuh dan menghina terhadap Hek-i Mo-ong. Dia sendiri tidak menyesal kalau tidak diperbolehkan berjodoh dengan Bi Eng karena hal itu adalah kehendak gurunya, bukan kehendaknya sendiri, akan tetapi cara penolakan keluarga Kam itu terhadap gurunya sungguh menghina. Dan kini dia ditantang!
"Kam-locianpwe," katanya dengan sikap dan nada suara menghormat. "Aku tidak pernah mencampuri urusan pribadi suhu dan ini memang telah menjadi janji antara kami. Kalau aku membelanya di waktu dia masih hidup, hal itu adalah sepatutnya mengingat dia guruku. Kini dia telah tewas, dan aku tidak mendendam kepada siapapun juga. Akan tetapi, pernyataanku ini bukan sekali-kali berarti bahwa aku takut. Kalau ada yang masih hendak memperlihatkan rasa bencinya kepada suhu, dan setelah suhu meninggal kini hendak memperlihatkannya melalui aku sebagai muridnya, akupun tidak akan mengelak. Kalau locianpwe hendak memusuhi aku sebagai murid suhu, akupun tidak akan melarikan diri."
Ucapan pemuda ini terdorong oleh rasa panas mendengar tantangan Kam Hong tadi, walaupun dia bersikap hormat. Ucapannya mengandung penyambutan tantangan!
Kam Hong tersenyum dan dia akan merasa malu kalau harus mundur. Apalagi dia didahului isterinya yang berkata, "Kalau gurunya seperti Hek-i Mo-ong, mana mungkin muridnya orang baik-baik? Aku khawatir anak ini kelak akan lebih jahat dari pada gurunya!" Bu Ci Sian memang sejak gadis memiliki watak keras dan hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja dia tidak begitu binal lagi. Akan tetapi ia sudah biasa mengeluarkan semua isi hatinya melalui kata-kata tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Hemm, orang muda. Engkau telah kematian gurumu, akan tetapi akupun kematian enam orang muridku. Biarpun para muridku itu bukan tewas di tangan gurumu, akan tetapi sesungguhnya gurumulah yang menjadi biang keladinya sehingga mereka tewas. Agaknya biarpun di antara kita pribadi tidak ada dendam, namun kita telah berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Daripada berlarut-larut, marilah kita selesaikan urusan itu sekarang saja. Nah, kau majulah, orang muda!"
Ini merupakan tantangan terbuka bagi Ceng Liong. Lebih dari itu malah, pendekar itu telah mencabut suling emasnya dan memegang senjata itu dengan sikap siap tempur. Wajah Ceng Liong berobah merah dan dia menahan kemarahannya. Gurunya seringkali mengatakan bahwa kalau kaum sesat dianggap jahat, sebaliknya kaum pendekar amat angkuh dan tinggi hati, selalu memandang rendah kepada golongan lain yang dianggap sesat dan jahat. Dia sendiri memang tidak membenarkan orang-orang yang suka melakukan kejahatan seperti mendiang Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu, akan tetapi sikap para pendekar yang tinggi hati seolah-olah menyudutkan golongan lain itu sehingga mereka tidak akan dapat merobah jalan kehidupan mereka, bahkan sikap para pendekar itu akan membuat mereka menjadi semakin menjauh dan ganas.
"Locianpwe, sekarang aku sudah bebas, berdiri sendiri. Maka, kalau locianpwe menantangku, maka tantangan itu langsung kuterima pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Hek-i Mo-ong. Dan karena locianpwe menantang, akupun tidak akan mundur selangkahpun. Siapa yang menantang dia yang harus menyerang dulu. Nah, silahkan!" Diapun sudah siap memasang kuda-kuda dan karena selama ini memang dia tidak pernah memegang senjata, maka diapun menghadapi pendekar itu dengan tangan kosong saja! Melihat sikap pemuda yang menantangnya seperti itu, wajah Kam Hong juga menjadi merah.
"Bagus, orang muda. Kuhargai kegagahanmu. Nah, keluarkanlah senjatamu!"
Aku hanya memiliki sepasang lengan dan sepasang kaki, itulah senjataku!"
Tentu saja Kam Hong merasa malu kalau harus menghadapi seorang lawan muda dengan suling emasnya, maka diapun menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya, kemudian dengan kedua tangan di pinggang, dia maju menghampiri Ceng Liong.
"Orang muda, lihat seranganku!" katanya dan diapun menerjang dengan amat cepatnya. Pada waktu itu, tingkat kepandaian Kam Hong sudah amat tinggi dan serangannya itu membawa hawa pukulan yang dahsyat sehingga angin pukulannya sudah terasa oleh Ceng Liong, menyambar dan mengeluarkan suara bersiutan. Hebatnya, bukan hanya tangan kiri itu saja yang menyambar sebagai alat penyerang ampuh, juga ujung lengan baju yang panjang itu mendahului tangan menyambar, membuat totokan ke arah leher Ceng Liong, sedangkan jari-jari tangan itu menampar ke dada.
Melihat dahsyatnya pukulan orang, Ceng Liong yang memang sudah tahu betapa lihainya lawan, cepat mengelak dengan geseran-geseran kaki ke kiri, masih belum mau balas menyerang, karena dia harus mempelajari dulu bagaimana perkembangan serangan lawan yang lihai ini. Akan tetapi, ujung lengan baju dan tangan pendekar she Kam itu tidak melanjutkan pukulannya. Tangan kiri ditarik mundur dan kini tangan kanan yang menyambar, mengikuti arah elakan Ceng Liong. Dan kini tangan kanan yang memukul itu melayang tanpa suara, tidak membawa angin seolah-olah tidak mengandung tenaga sedikitpun. Heranlah hati pemuda itu. Mengapa pendekar selihai ini menggunakan pukulan yang sama sekali tidak mengandung sin-kang, seperti pukulan orang biasa saja, bahkan lebih lembut dan lunak? Apakah pendekar itu memandang rendah kepadanya sehingga sengaja melakukan serangan seperti itu ringannya? Dia merasa penasaran kalau dipandang rendah, maka diapun kini menangkis dengan pengerahan tenaga untuk membuat lengan lawan yang lemah itu terpental.
"Dukk!" Dan tubuh Ceng Liong terpental ke belakang, sebaliknya Kam Hong terpaksa melangkah dua tindak. Keduanya terkejut. Kam Hong tidak mengira bahwa pemuda itu akan mampu membuatnya terdorong mundur dua langkah. Sebaliknya, Ceng Liong terkejut dan merasa heran. Jelas bahwa pukulan lawannya tadi tidak mengandung tenaga sin-kang akan tetapi begitu ditangkisnya, dia merasa betapa tenaga tangkisannya membalik dan membuat dia terpental tanpa dapat dipertahankannya lagi. Akan tetapi dengan ringan dia mampu berjungkir balik dan tidak sampai terhuyung. Dia makin waspada. Memang tadi Kam Hong mempergunakan Ilmu Khong-sim Sin-ciang, ilmu pukulan wasiat dari Khong-sim Kai-pang. Keistimewaan ilmu ini adalah seperti Ilmu Silat Bian-kun (Silat Kapas) yang mengutamakan kekosongan dan kelembutan untuk melawan kekerasan. Maka Ceng Liong yang mempergunakan sin-kang tadi terpukul oleh kekuatannya sendiri yang membalik.
Ceng Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Begitu bertemu tenaga, diapun maklum akan sifat ilmu yang dipergunakan lawan. Kini dia membalas serangannya yang dahsyat. Karena maklum bahwa menghadapi lawan seperti Kam Hong ini dia tidak boleh memandang ringan sama sekali, begitu menyerang diapun mempergunakan ilmunya yang paling ampuh dan paling baru, yaitu Coan-kut-ci!
Melihat serangan dengan jari-jari tangan yang meluncur demikian cepatnya, sambil mengeluarkan bunyi bercicitan, Kam Hong terkejut. "Ilmu keji....!" Serunya dan diapun tidak berani sembarangan menangkis melainkan mengelak. Akan tetapi, ilmu ini memang hebat, bukan hanya ampuh karena dipenuhi tenaga kuat, melainkan juga mujijat dan mengandung hawa mengerikan karena ketika melatih, yang dipergunakan sebagai sasaran adalah tulang-tulang dan tengkorak manusia. Jari-jari tangan ilmu ini seolah-olah dapat mencium tulang dan seperti ada daya tarik sembrani. Maka, biarpun Kam Hong sudah bergerak mengelak, jari-jari tangan Ceng Liong tetap saja menyambar dan mengikuti ke mana arah elakan lawan dengan cepat sekali, seolah-olah setiap batang jari hidup sendiri-sendiri seperti ular-ular yang ganas.
"Plak-plak-plakk!" Terpaksa Kam Hong menangkis beberapa kali untuk memunahkan daya serang lawan. Agaknya, mengelak saja dari serangan Coan-kut-ci ini amat berbabaya dan setelah berturut-turut dia menangkis dengan pengerahan sin-kang, barulah daya serang jari-jari tangan itu dapat ditolak. Kembali kedua pihak merasa lengan mereka tergetar hebat oleh beradunya kedua tangan itu.
"Ayah, jangan serang dia! Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Dia adalah Suma Ceng Liong, keluarga para pendekar Pulau Es!" Tiba-tiba Bi Eng berteriak karena dara ini merasa khawatir melihat perkelahian antara ayahnya dan Ceng Liong.
Mendengar ini, Kam Hong dan juga Bu Ci Sian mengeluarkan seruan kaget, bahkan Kam Hong sudah meloncat ke belakang seperti diserang ular. Matanya terbelalak memandang wajah pemuda remaja yang tampan itu dan alisnya berkerut.
"Apa katamu....?" Dia berseru kepada puterinya, akan tetapi matanya tetap menatap wajah Ceng Liong. "Dia.... dia she Suma....?"
"Ayah, Ceng Liong adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, Hek-i Mo-ong yang memberitahu padaku," kata Bi Eng.
Kam Hong masih memandang heran. Sikapnya sudah berbeda, tidak lagi siap tempur. Bahkan dia kini bertanya halus. "Orang muda, benarkah engkau cucu Suma Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalau benar demikian, bagaimana engkau dapat menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong? Sungguh sukar dipercaya...."
Ceng Liong mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara tegas, "Kam-locianpwe, orang tidak dapat dinilai begitu saja dari namanya. Urusan aku menjadi murid Hek-i Mo-ong adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Kam-locianpwe, selamat tinggal!" Dia lalu menghampiri mayat Hek-i Mo-ong, mengangkat dan memondongnya, kemudian meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa mau menoleh lagi.
"Ceng Liong.. ..!" Bi Eng memanggil, akan tetapi pemuda itu tetap tidak menoleh dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Dara remaja itu merasa kecewa dan menyesal. Ia sudah merasakan benar kebaikan-kebaikan pemuda yang menjadi sahabat barunya itu dan merasa berhutang budi. Maka, tentu saja ia merasa menyesal sekali melihat penolongnya itu berkelahi melawan ayahnya dan pergi dalam keadaan tidak bersahabat.
"Bi Eng, sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Dan mana mungkin seorang cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong?" kini Bu Ci Sian bertanya.
Bi Eng lalu menceritakan semua yang telah dialaminya sejak ia dirobohkan oleh Louw Tek Ciang secara curang, kemudian ia diselamatkan oleh Suma Ceng Liong dan Hek-i Mo-ong. "Entah, ayah dan ibu, dalam pandanganku, biarpun ia berwatak aneh, akan tetapi Hek-i Mo-ong tidak jahat kepadaku. Dan Ceng Liong amat baik."
Kam Hong mengangguk-angguk dan mengelus dagunya. "Hemmm, sungguh aneh sekali, sukar dipercaya bahwa cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid Hek-i Mo-ong! Setahuku, Pendekar Super Sakti mempunyai tiga orang keturunan. Pertama adalah Puteri Milana yang menikah dengan pendekar sakti she Gak, kemudian dua orang puteranya adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Entah yang mana di antara kedua pendekar itu yang menjadi ayah Suma Ceng Liong. Dan bagaimana sampai bisa menjadi murid datuk sesat yang julukannya saja Raja Iblis itu? Sungguh sukar dimengerti...."
"Dan bagaimana tentang perjodohan seperti dikatakan oleh iblis itu tadi?" Bu Ci Sian bertanya, nada suaranya masih penasaran walaupun kini nadanya agak lunak karena pemuda yang menjadi murid iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti! Kita dapat memaafkan sikap Ci Sian ini karena kalau kita membuka mata memandang kehidupan masyarakat kita ini, di mana termasuk juga diri kita, bukankah kita semua telah mempunyai penyakit yang sama? Kedudukan dan nama seorang amat penting bagi kita sehingga kita tidak lagi memandang orangnya, manusianya, melainkan kedudukannya, hartanya, kepandaiannya, namanya, agamanya, dan sebagainya lagi. Ketika mendengar puterinya akan dijodohkan dengan murid Hek-i Mo-ong yang dikenalnya sebagai seorang datuk sesat, hati nyonya ini menjadi marah karena merasa direndahkan atau terhina dan tentu saja seratus prosen ia menentang. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa murid kakek iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti, terdapatlah suatu perasaan lain! Kalau keturunan Para Pendekar Pulau Es yang hendak berbesan dengannya, hal itu menjadi lain sama sekali!
"Ibu, mengenai perjodohan itu adalah satu di antara keanehan watak Hek-i Mo-ong. Dia berpura-pura tidak mau mengobatiku kalau aku tidak mau berjanji kelak akan menjadi isteri Ceng Liong. Tentu saja aku menolak dan aku tidak sudi berjanji seperti itu. Dan ternyata dia mengobatiku juga sampai sembuh, hanya dia memaksa Ceng Liong yang berjanji agar kelak mau menjadi suamiku. Ceng Liong berjanji karena ingin agar gurunya menyembuhkanku."
Suami isteri itu saling pandang, tidak tahu harus bicara apa. "Sudahlah, memang orang-orang sesat memiliki watak yang aneh-aneh, akan tetapi dia sudah mati dan tentu saja tidak ada ikatan apa-apa antara Bi Eng dari pemuda itu. Mari kita pulang untuk mengurus jenazah para pelayan."
******
Bersambung ke bagian 4 ...