Bagian 3

Akan tetapi Ban Hwa Sengjin terang tidak bijaksana. Dia sudah dihinggapi penyakit angkuh dan menganggap diri sendiri orang terpandai di dunia ini. Dan memang ilmu kepandaiannya hebat dan bahkan Sai-cu Kai-ong yang merupakan ahli waris dari ilmu keturunan yang amat mujijat itu ternyata kalah kuat dibandingkan dengan Ban Hwa Sengjin sehingga setelah lewat seratus jurus, Raja Pengemis itu terdesak hebat dan dalam satu pertemuan tenaga ketika kedua tangan mereka bertemu, Sai-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Napasnya menjadi sesak dan kepalanya pening, tanda bahwa dia telah mengalami luka walaupun tidak sangat berat, akan tetapi dia harus berdiam diri. dan cepat mengumpulkan hawa murni untuk menyembuhkan lukanya.

Siluman Kecil atau Suma Kian Bu menyerahkan Kian Lee kepada Siauw-hong. Dia akan maju sendiri. "Hati-hati, Bu-te. Dia memang lihai sekali, aku sendiri pernah melawan dia dan hampir aku celaka...." bisik Kian Lee kepada adiknya ketika dia diserahkan kepada Siauw-hong untuk dipondong karena dia tidak kuat untuk berdiri sendiri. Kian Bu mengangguk dengan sikap tenang

"Jangan khawatir, Koko."

Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri Ban Hwa Sengjin. Koksu Nepal yang sudah memperoleh kemenangan itu menjadi makin sombong sikapnya. Melihat bahwa yang maju hanya seorang pemuda, tentu saja dia memandang rendah. Kakek yang berjuluk Raja Pengemis dan yang benar-benar sakti tadi saja tidak kuat melawannya. Apalagi pemuda ini? Masih begini muda, pantas menjadi anaknya, bahkan cucunya, biarpun rambut pemuda ini sudah putih semua!

"Kau mau apa?" tanyanya dengan sikap memandang rendah.

"Ban Hwa Senjin, kalau aku mampu mengalahkanmu, bagaimana?" Kian Bu bertanya.

"Kau? Mengalahkan aku? Ha-ha-ha, tidak mungkin, orang muda!"

"Kalau aku kalah, kami semua menyerah kepadamu, Ban Hwa Sengjin. Akan tetapi, bagaimana kalau kau yang kalah?"

"Ha-ha, bocah lancang. Dengar baik-baik. Kalau kau mampu mempertahankan diri terhadap seranganku selama dua puluh jurus saja, biarlah aku mengaku kalah dan kalian boleh lewat!

"Engkau adalah Ban Hwa Sengjin, jagoan besar dan koksu dari Kerajaan Nepal. Akan tetapi apakah omongan seorang koksu dari Nepal dapat dipercaya sepenuhnya? Apakah nanti engkau tidak akan menarik kembali omonganmu, menjilat kembali ludah yang telah dikeluarkan, dan benar-benar kalau aku mampu mempertahankan diri terhadap seranganmu selama dua puluh jurus, engkau mengaku kalah dan kami semua boleh lewat?" tanya Siluman Kecil yang sengaja menekankan hal pelanggaran janji itu agar menyinggung kehormatan koksu yang kelihatan lihai sekali ini.

Dan anak panah yang dilepaskan berupa kata-kata ini tepat mengenai sasarannya. Wajah Ban Hwa Sengjin menjadi merah sekali, seluruh muka sampai kekepalanya yang botak menjadi merah, semerah mantelnya dan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan. Dia menjadi marah dan tersinggung.

"Bocah bermulut lancang! Kaukira, aku orang macam apa? Orang-orang seperti aku, janji lebih berharga daripada nyawa, mengerti? Akan tetapi, sebaliknya kalau dalam dua puluh jurus kau tidak mampu mempertahankan diri, kalau kau tidak sampai kupukul mampus, engkau dan semua temanmu selain harus menyerah dan tunduk, juga harus mentaati semua perintahku!"

Siluman Kecil diam-diam merasa girang dan kini dia yakin bahwa tentu si botak tinggi besar ini tidak akan ada muka lagi untuk melanggar janjinya sendiri. "Baik, kalau sampai aku roboh sebelum dua puluh jurus, engkau memang pantas menjadi kakek buyutku yang harus kutaati!"

"Nah, sambutlah ini jurus pertama!" Ban Hwa Sengjin berseru, dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah bergerak cepat ke depan, demikian cepat gerakannya sehingga mantelnya yang merah itu sampai berkibar di belakangnya seperti layar perahu tertiup angin. Kedua tangannya sudah melancarkan serangan dahsyat sekali, tangan kiri membentuk cakar garuda mencengkeram ke arah batok kepala Siluman Kecil atau Kian Bu, sedangkan tangan kanannya dengan jari tangan terbuka menghantam ke arah dada! Cakaran tangan kiri itu kelihatannya amat menyeramkan dan agaknya kalau mengenai kepala, akan remuklah kepala itu, dan dilakukan dengan amat cepat sedangkan tangan kanan yang menghantam ke arah dada itu sebaliknya gerakannya lambat dan perlahan. Namun, Kian Bu yang sejak kecil menerima gemblengan ilmu-ilmu yang amat tinggi sudah tahu bahwa cakaran itu hanya merupakan kembangan saja atau gertakan, sedangkan serangan yang sesungguhnya dan merupakan inti pukulan adalah yang dilakukan oleh tangan kiri itu, karena tangan kiri kakek raksasa itu melakukan pukulan yang mengandung tenaga mujijat yang dapat disebut Hun-kin Coh-kut (Memutuskan Otot dan Melepaskan Tulang). Kalau pukulan itu mengenai dadanya dengan tepat, tentu akan,

copot semua tulang iganya!

Karena maklum akan hebatnya serangan jurus pertama inj, Kian Bu cepat melindungi dirinya dengan Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti). Kedua lengannya bergerak cepat dan meliuk-liuk seperti gerakan ular dan tubuhnya juga dapat meliuk cepat, sekali sehingga tidak sukarlah baginya untuk mengelak dan menangkis dua lengan lawan itu dari samping dengan meminjam tenaga pukulan lawan. Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat ini adalah merupakan satu di antara banyak ilmu-ilmu silat yang tinggi dari ibunya, yaitu Puteri Nirahai, yang telah diwariskan kepada Kian Bu. Tentu saja, gerakan ilmu silat yang bagaimana tinggi pun tidak akan banyak manfaatnya tanpa dilandasi tenaga sinkang yang kuat, maka gerakan Sin-coa Kun-hoat ini oleh Kian Bu didorong dengan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang panas.

"Plak-plak....!" Kedua lengan kakek raksasa botak itu kena ditangkis sehingga menyeleweng karena tangkisan dari samping itu mendorong tenaga serangannya dan dia merasa kedua lengannya panas sekali.

"Ehhh....!" Ban Hwa Sengjin terkejut. Kalau pemuda itu hanya dapat mengelak atau menangkis serangannya yang pertama itu, tidaklah amat mengejutkan karena seorang pemuda yang sudah berani menghadapinya tentulah mempunyai juga sedikit kepandaian. Akan tetapi, tangkisan pemuda itulah yang membuat dia tanpa disadarinya mengeluarkan seruan kaget karena dia merasakan adanya tenaga mujijat yang panas sekali menyerang dirinya melalui pertemuan kedua lengan itu.

Sebagai seorang yang sudah berpengalaman banyak, Ban Hwa Sengjin segera dapat mengenal sifat gerakan lawan. Dia mengenal ilmu silat yang mendasarkan gerakannya dan sifatnya dengan sifat dan gerakan ular. Semua ilmu silat yang mendasarkan gerakan dan sifatnya dengan ular adalah gerakan yang memupuk tenaga Khi (hawa) yang dilatih dengan aturan pernapasan. Karena tenaga Khi inilah maka seekor ular kelihatan lunak dan lembut tanpa tenaga kalau tubuhnya menyentuh sesuatu, akan tetapi dia dapat menarik kekuatan hebat luar biasa setiap saat! Seperti baja yang terbaik, dapat menjadi benda yang paling keras, akan tetapi juga dapat dibuat menjadi kawat yang paling lembut dan lemas. Gerakan ilmu silat ular amat lemas dan cekatan, terus-menerus bergerak lembut namun kuat. Kedua jari telunjuk dan jari tengah mematuk-matuk seperti lidah ular dan merupakan serangan totokan yang ampuh.

Karena sudah mengenal sifat Sin-coa Kun-hoat, maka Ban Hwa Sengjin tahu bagaimana harus menghadapinya. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, seperti seekor burung garuda hendak menyerang seekor ular dia menerjang dan menyerang Kian Bu dengan jurus yang ke dua.

Akan  tetapi, Kian Bu adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat cara penyerangan lawan, dia pun maklum bah-wa menggunakan Sin-coa Kun-hoat untuk menyambut serangan dari atas itu amat berbahaya, maka secara otomatis dia sudah mengubah gerakan tubuhnya, kini dia bergerak menurut Ilmu Silat Pat-mo Kun-hoat, juga ilmu warisan dari ibunya yang memang kaya dengan segala macam ilmu silat itu. Gerakannya menjadi kacau-balau tidak karuan, membingungkan lawan akan tetapi di dalam kekacauan ini terdapat gerakan inti yang amat tertib.

"Des-des-plakkk!" Kini tubuh Ban Hwa Sengjin yang masih di udara itu terpental dan dia meloncat turun dengan mata terbelalak lebar dan muka makin merah karena penasaran dan marahnya. Ternyata jurus ke duanya itu dihancurkan oleh pemuda itu dengan amat mudah dan aneh sekali, seolah-olah pemuda itu tahu kemana dia hendak menyerang dan mendahuluinya dengan tusukan sehingga terpaksa dia menangkis sampai dua kali dan akhirnya terpental karena tahu bahwa kalau dia tidak cepat-cepat menjauhkan diri, dia malah yang terancam bahaya, maka dalam pertemuan tangkisan berikutnya dia telah meminjam tenaga lawan dan melemparkan dirinya ke belakang sehingga terpental.

"Hemmm, kau boleh juga!" katanya dengan tenang untuk menutup rasa kagetnya, kemudian sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau terluka, dia sudah menyerang dan kini dia bergerak cepat sambil memutar tubuhnya seperti gasing! Itulah ilmunya yang amat diandalkan oleh koksu dari Nepal ini. Ilmu ini adalah ilmu yang dinamakan Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) yang diumpamakan seperti mengamuknya angin taufan yang mengandung angin puyuh berputaran, seperti badai dahsyat yang amat mengerikan. Dan memang hebat bukan main gerakan dari kakek botak ini. Tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua lengannya yang panjang bergerak-gerak dan dalam putaran itu seolah-olah kedua tangan telah berubah menjadi puluhan maut yang amat cepat tidak terduga dan dari gerakan memutar itu meniup angin yang seperti angin puyuh ke arah lawan. Hebat bukan main dan bahkan Suma Kian Bu sendiri sampai terkejut sekali. Selama ini, baru dua kali dia bertemu lawan yang benar-benar amat hebat, yaitu yang pertama adalah Sin-siauw Seng-jin yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Sakti Suling Emas, dan ke dua adalah koksu dari Nepal inilah. Tentu saja perlawanannya ketika menghadapi kakaknya sendiri tidak masuk hitungan.

Agaknya Ban Hwa Sengjin setelah melihat kelihaian lawan selama dua jurus tadi, merasa khawatir kalau-kalau dia sampai kalah, maka langsung saja dia mainkan ilmu silat kosong yang menjadi andalannya itu untuk mencoba merobohkan lawan. Dan memang Kian Bu menjadi kaget sekali. Masih banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, baik yang diwarisi dari ayahnya maupun dari ibunya. Namun dia maklum bahwa menghadapi ilmu silat lawan yang amat aneh dan dahsyat ini, dia tidak boleh percaya kepada ilmu-ilmu silat lain yang dikuasainya, karena hal itu dapat membahayakan dirinya. Sukar sekali untuk menghadapi serangan dari bayangan yang berpusing seperti gasing itu sehingga dia tidak lagi dapat melihat jelas bagian-bagian tubuh lawan, bahkan serangan-serangan lawan yang mencuat dari pusingan itu sukar pula diduga-duga. Maka terdengarlah suara melengking dari mulut

Siluman Kecil ini dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat dan lenyap dari pandangan para pengikut Ban Hwa Sengjin dan yang lain-lain. Demikian cepatnya gerakan Kian Bu yang tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti kilat menyambar-nyambar sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata. Itulah ilmunya yang baru, ilmu ciptaannya sendiri yang disebut Sin-ho-coanin. Dengan gerakan seperti itu, semua serangan dari Ban Hwa Sengjin menjadi gagal!

Ban Hwa Sengjin amat terkejut. Setiap kali tubuhnya yang berpusing itu menyerang dengan pukulan tangan yang cepat tak terduga, tiba-tiba saja tubuh lawan itu melesat dan lenyap! Dan berturut-turut dia telah menyerang sampai sembilan belas jurus! Kurang satu jurus lagi dan dia akan kalah! Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang selain lihai sekali, juga amat cerdik. Pemuda itu sama sekali tidak mau balas menyerang! Dengan demikian, pemuda itu dapat memusatkan seluruh perhatiannya pada perlindungan diri saja sehingga akan dapat melewati dua puluh jurus dan tidak dapat dirobohkan, berarti menang! Kalau pemuda itu balas menyerang, tentu pertahanan dirinya menjadi berkurang kuatnya, akan tetapi satu kalipun Kian Bu tidak mau membalas serangan lawan.

Tentu saja Ban Hwa Sengjin menjadi khawatir sekali. Tentu kalah dia kalau dalam jurus terakhir ini dia tidak mampu mengalahkan atau merobohkan pemuda ini. Dia harus menggunakan sihirnya! Dari sepasang matanya memancarkan cahaya amat aneh berpengaruh, dia menarik napas panjang mengumpulkan kekuatan mujijat lalu terdengar suara yang dalam dan berpengaruh sekali, mengandung kumandang aneh, berseru, "Lihat nagaku menerkammu!"

Kian Bu terkejut bukan main dan terbelalak memandang ke atas ketika tiba-tiba saja dia melihat seekor naga hitam yang menyemburkan api menyerangnya dari atas udara. Tentu saja menghadapi ancaman hebat ini, seluruh perhatiannya tercurah ke atas dan dia tidak tahu bahwa pada saat itu Ban Hwa Sengjin siap melancarkan serangan jurus terakhir! Semua orang, termasuk Kian Lee, menjadi khawatir sekali melihat adiknya itu tiba-tiba saja berdiri bengong memandang terbelalak ke atas, seolah-olah tidak lagi mempedulikan lawannya yang sudah siap untuk menerjangnya!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, tertawa merdu halus akan tetapi juga nyaring dan mengandung pengaruh yang mujijat. Lalu oleh Kian Bu yang seperti baru sadar ketika mendengar suara ketawa itu, tampak seekor naga merah yang menyambar dan menerkam naga hitam itu. Terdengar suara keras dan naga hitam itu lenyap bersama naga merah dan sadarlah Kian Bu bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir. Marahlah Siluman Kecil dan dia mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya, menggabungkan tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, lalu dia menyambut kakek itu yang sudah menyerangnya dengan ganas, serangan

dari jurus terakhir!

"Desss. ...!" Ban Hwa Sengjin terpental dan terbanting roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Untung dia memiliki tenaga mujijat karena kalau tidak, tentu dia sudah mengalami luka-luka seperti tersiram air panas seperti yang diderita oleh Kian Lee. Dia hanya terbanting roboh dan pingsan saja, sebagian besar karena terpukul oleh kekuatan mujijatnya sendiri yang dipergunakan untuk menyihir dan ternyata membalik karena campur tangan wanita yang mengeluarkan suara ketawa tadi.

Kian Bu cepat menengok ke kanan dan dia melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang berdiri lemas seperti batang pohon yang-liu, dan mulutnya tersenyum mengejek memandang kepadanya, seorang yang cantik manis, pakaiannya serba indah dan di bawah ketiak kirinya mengempit sebuah payung hitam. Dia merasa seperti pernah mengenal dara ini, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Karena dia menduga bahwa tentu gadis ini yang telah menolongnya tadi dari bahaya maut akibat pengaruh sihir, maka dia lalu menjura ke arah gadis itu sambil berkata, "Terima kasih!" Akan tetapi pada saat itu, Sai-cu Kai-ong sudah cepat berkata,

"Mari kita cepat pergi dari sini!" dan dia sudah mendahului Kian Bu dengan menggendong Pangeran Yung Hwa. Kian Bu sadar bahwa memang mereka harus cepat pergi selagi Ban Hwa Sengjin yang lihai itu tidak berdaya, maka dia pun segera berkata kepada Siauw Hong, "Cepat kau ikuti Suhumu, biar aku yang menjaga dari belakang."

Siauw Hong mengangguk dan sambil memondong tubuh Kian Lee, pemuda remaja ini pun cepat berlari pergi mengejar suhunya, sedangkan Kian Bu berlari paling belakang untuk menjaga dua orang yang memondong Pangeran Yung Hwa dan kakaknya itu. Akan tetapi setelah melihat Ban Hwa Sengjin roboh, dan mengenal pula Siluman Kecil, para pengawal Gubernur Ho-nan itu sama sekali tidak berani bergerak dan membiarkan mereka pergi.

Gadis cantik jelita yang tadi tersenyum-senyum, sekali berkelebat juga lenyap dari situ. Gadis ini tentu saja bukan lain adalah Siang In! Seperti kita ketahui, gadis ini masih terus mencari Syanti Dewi yang lenyap dari puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san, dari sarang Hwa-i-kongcu Tang Hun secara aneh, dan kebetulan saja dia menyaksikan pertandingan hebat antara Siluman Kecil dan koksu dari Nepal itu. Andaikata koksu itu tidak mempergunakan ilmu sihir, tentu Siang In tidak akan mencampuri pertandingan hebat itu, bahkan dia sendiri menonton dari kejauhan dengan kagum sekali karena maklum, bahwa yang sedang bertanding itu adalah dua orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri. Akan tetapi begitu melihat kakek raksasa botak itu mempergunakan ilmu hitam, tentu saja hatinya tertarik dan dia menjadi penasaran maka tanpa diminta dia lalu turun tangan membuyarkan pengaruh sihir itu. Bukan sengaja untuk mendukung orang muda yang rambutnya putih dan aneh itu, melainkan hanya karena dia selalu tertarik oleh pertunjukan ilmu sihir karena dia sendiri adalah seorang ahli sihir! Dia pangling terhadap Kian Bu karena pemuda itu kini rambutnya sudah menjadi putih semua dan dia pun hanya melihat wajah pemuda itu dari jarak yang cukup jauh. Padahal, telah lama dia mencari pemuda ini!

Akhirnya tibalah mereka di perkemahan pasukan yang dipimpin oleh Sai-cu Kai-ong dari kota raja itu. Legalah hati Sai-cu Kai-ong karena kini dia yakin bahwa dia telah berhasil menyelamatkan Pangeran Yung Hwa dari bahaya maut. Maka begitu mereka tiba di ruangan dalam dari kemah induk yang ditinggali oleh Sai-cu Kai-ong, kakek yang gagah perkasa ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Yung Hwa untuk memberi hormat.

Dengan hati terharu pangeran yang rendah hati dan selalu ramah ini memeluk dan mengangkat bangun kakek itu sambil berkata, "Locianpwe, jangan menggunakan terlalu banyak sikap sungkan terhadap saya. Pada saat ini saya hanyalah seorang yang telah berhutang budi dan nyawa kepada kalian semua. Sebaiknya Locianpwe cepat-cepat menolong Suma Kian Lee yang terluka parah itu."

Sai-cu Kai-ong mengangguk dan merasa girang karena kini dia memperoleh kenyataan akan kebenaran berita di luaran tentang sikap Pangeran Yung Hwa yang bijaksana dan baik terhadap siapa saja. Di samping merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membantu kerajaan, juga dia merasa girang telah membantu seorang pangeran yang begitu menyenangkan sikapnya. Cepat dia lalu menghampiri Kian Lee yang sudah direbahkan di atas pembaringan dan cepat dia melakukan pemeriksaan dengan teliti. Setelah melakukan pemeriksaan agak lama, Sai-cu Kai-ong lalu berkata kepada Kian Bu yang mengikuti pemeriksaan itu penuh perhatian.

"Taihiap, sungguh baru satu kali ini aku melihat kehebatan-kehebatan yang amat luar biasa. Akibat pukulan darimu amat mengerikan, akan tetapi daya tahan kakakmu ini juga amat luar biasa. Kalau bukan dia yang mengalami pukulan seperti ini, agaknya dia akan kehilangan seluruh sumber tenaga murninya dan akan menjadi seorang penderita cacad selama hidupnya"

"Ahhh, Locianpwe....!" Kian Bu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Harap Locianpwe sudi mengusahakan agar kakakku dapat sembuh....!" Dia berkata dengan muka pucat dan hati menyesal bukan main.

Sai-cu Kai-ong tersenyum dan membangunkan pemuda itu. "Jangan khawatir, Taihiap. Kakakmu ini memiliki dasar kekuatan yang tidak lumrah manusia berkat sinkang yang selama hidup belum pernah kusaksikan demikian kuatnya sehingga dia hanya mengalami luka yang tidak membahayakan nyawanya. Akan tetapi, luka itu kalau kuobati dengan obat-obat biasa, akan memakan waktu berbulan-bulan. Hanya ada semacam obat yang kutahu akan dapat menyembuhkannya secara cepat sekali, akan tetapi aku sangsi apakah kita akan dapat memperoleh obat itu...."

"Di mana tempatnya? Locianpwe, aku sendiri akan mencari obat itu!" Kian Bu berseru.

Kakek itu mengerutkan alisnya, "Obat itu adalah semacam jamur yang amat mujijat dan tidak ada ke duanya di dunia ini. Jamur panca warna yang hanya nampak warnanya kalau berada di tempat gelap, karena di dalam tempat gelap itu jamur ini mengeluarkan sinar mencorong dan kelihatanlah warnanya seperti warna pelangi. Kalau terkena sinar terang, jamur itu menutupkan kelopaknya seperti jamur mati dan hanya di waktu gelap saja dia mekar, mengeluarkan sinar dan warnanya."

Kian Bu mengangguk-angguk. "Sudah saya catat dalam hati tentang keadaan jamur itu, Locianpwe, lalu di mana tempatnya?"

"Itulah sukarnya. Aku sendiri pun belum pernah ke sana, dan hanya mendengar penuturan seorang pendeta yang pernah tersesat ke sana. Tempat itu agaknya tidak mungkin didatangi orang. Pernah aku sendiri mencapai tebing itu, akan tetapi tidak melihat jalan turun saking terjal dan licinnya. Akan tetapi, melihat kesaktian Taihiap, siapa tahu kalau-kalau Taihiap dapat menuruninya. Pendeta yang kini telah meninggal itu pun hanya karena tersesat saja, karena kecelakaan dan terguling ke dalam jurang lalu mencoba mencari jalan keluar, maka dapat tiba di tempat itu dan dia pun sudah tidak tahu lagi bagaimana dia dapat sampai ke tempat itu. Dialah yang membawa jamur aneh itu dan memberikan kepadaku, sayang bahwa jamur itu sudah habis kupakai mengobati orang.

Tempatnya di tepi Sungai Huang-ho. Mari kubuatkan gambaran petanya."

Kakek yang gagah perkasa itu lalu memberi petunjuk kepada Kian Bu tentang letaknya tebing yang curam di pegunungan dekat muara Sungai Huang-ho itu sampai pemuda ini jelas benar akan tempat yang hendak dikunjunginya untuk mencarikan obat bagi kakaknya. Setelah merasa yakin bahwa dia akan dapat mencari tempat itu, Kian Bu lalu berpamit kepada kakaknya.

"Lee-ko, harap tenangkan hatimu. Aku akan mencarikan obat jamur panca warna itu untukmu, dan percayalah, aku pasti akan bisa mendapatkan jamur itu. Harap kau baik-baik menjaga diri dan biarlah Sai-cu Kai-ong locianpwe yang akan merawatmu."

Kian Lee memegang tangan adiknya. "Jangan terlalu lama, Bu-te. Kita belum puas bicara, bahkan aku belum tahu bagaimana riwayatmu sehingga selama lima tahun engkau menghilang dan tahu-tahu rambutmu telah menjadi putih semua dan ilmu kepandaianmu meningkat sedemikian hebatnya," kata Kian Lee dengan pandang mata penuh kasih sayang kepada adiknya.

"Nanti saja kalau aku sudah kembali kita bicara sebanyaknya, Koko. Yang terpenting sekarang adalah obat untukmu."

"Suma-taihiap, kalau engkau kembali dan melihat kami sudah tidak berada di sini, berarti pasukan kami telah ditarik mundur kembali ke kota raja dan aku akan membawa kakakmu ke tempat tinggalku di puncak Bukit Nelayan untuk beristirahat dan diobati. Kami mempunyai pondok di sana, di puncak Bukit Nelayan di tepi sungai, sebelah selatan kota Pao-teng."

"Hati-hatilah mencari obat yang amat sukar didatangi tempatnya itu, Taihiap," kata Pangeran Yung Hwa yang hadir pula di situ. "Apakah perlu kiranya kau dikawal oleh pasukan? Mereka dapat membantumu"

Terima kasih, saya kira tidak perlu," jawab Kian Bu. Maka berangkatlah pemuda perkasa ini meninggalkan perkemahan pasukan itu, menggunakan kepandaiannya berlari cepat sekali menuju ke tempat yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya. Apapun yang akan dihadapinya, apa pun yang akan menimpanya, dia harus mendapatkan obat untuk kakaknya itu, demikian dia mengambil keputusan di dalam hatinya.

******

Para pembaca yang pernah mengikuti pengalaman-pengalaman pendekar sakti Gak Bun Beng di waktu dia masih kecil, yaitu dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, mungkin masih ingat ketika pendekar sakti itu di waktu masih kecil terlempar ke dalam air Sungai Huang-ho yang amat deras, kemudian dia diseret oleh pusaran air, disedot ke bawah dan dihanyutkan melalui terowongan aneh sampai dia mendarat di lambung gunung! Terowongan yang menembus dalam tubuh gunung itu merupakan terowongan maut dan hanya secara "kebetulan" saja dia dapat selamat dan tiba di tempat yang luar biasa anehnya, tempat yang penuh dengan binatang

setengah kera setengah anjing (baboon) di mana dia menemukan sepasang pedang iblis dan kitab-kitab Sam-po Cin-keng yang mujijat.

Di tempat luar biasa itulah adanya jamur panca warna yang dimaksudkan oleh Sai-cu Kai-ong. Dan memang benar seperti yang dituturkan oleh Sai-cu Kai-ong, tempat itu tidak pernah atau tidak mungkin didatangi manusia. Pendeta Buddha yang kebetulan dapat tersesat ke situ adalah seorang hwesio pencari daun-daun obat yang hanya kebetulan saja dapat tiba di situ. Hwesio ini ketika sedang mencari obat di tebing dan menginjak sebuah batu telah tergelincir dan dia terjatuh ke dalam jurang yang amat terjal itu. Akan tetapi secara aneh, tubuhnya yang pingsan itu "diterima" oleh sebatang pohon yang tumbuh di tebing. Tubuh itu ditangkap oleh cabang, ranting dan daun-daun pohon dan pohon kecil itu jebol, terbawa melayang turun dan akhirnya setelah mencelat ke sana-sini, tubuh itu terjatuh ke air! Itulah air anak sungai yang terbentuk dari air hujan dan yang mengalir masuk ke air terowongan yang dulu menghanyutkan pendekar sakti Gak Bun Beng! Dan karena kebetulan yang luar biasa ini hwesio itu dapat berada di situ. Setelah siuman dia lalu mencari jalan keluar, menemukan jamur panca warna yang belum diketahui khasiatnya dan hanya diambil karena sifatnya yang luar biasa. Setelah dia berusaha mati-matian sampai berbulan dan sampai lupa jalan, akhirnya dapat juga dia keluar dari tebing maut itu, melalui perjalanan yang amat jauh dan yang tidak dapat diingatnya kembali karena perjalanan itu menyusup-nyusup, naik turun jurang kecil dan memakan waktu sampai sebulan lebih baru dia dapat "keluar" dari sana!

Akan tetapi Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil bukanlah seorang manusia biasa, melainkan seorang pemuda yang telah memiliki kepandaian amat hebat. Maka setelah dia tiba di tempat yang dimaksudkan, dia menjenguk ke tepi tebing dan mengerutkan alisnya. Memang tidak mungkin bagi seorang manusia untuk menuruni tebing itu, tepat seperti yang dikatakan oleh Sai-cu Kai-ong. Agaknya keturunan pengemis sakti pendiri Khong-sim Kai-pang itu telah pula berdiri di tepi tebing ini, pikir Kian Bu. Dia sendiri kalau dalam keadaan biasa, tentu lebih baik cepat-cepat menjauhkan diri dari tebing itu, apalagi harus mencari jalan turun! Akan tetapi dalam keadaan seperti saat itu, untuk mencarikan obat bagi kakaknya, jangankan hanya tebing yang curam, biar lautan api pun tentu akan ditempuhnya!

Dengan mempergunakan ketajaman pandang matanya, Kian Bu dapat mengerti mengapa tidak mungkin ada orang dapat menuruni tebing itu. Kalau hanya curam saja, asalkan ada tempat untuk berpijak kaki dan berpegang tangan, pasti dia akan mampu menuruninya, betapa terjal sekalipun. Atau biarpun amat terjal, kalau dia sudah tahu bagaimana keadaan dasar tebing itu, tentu dia pun akan berani mempergunakan ilmunya Sin-ho-coan-in untuk berloncatan ke bawah dengan menggunakan dinding tebing sebagai penahan luncuran dan tempat menjejakkan kakinya. Akan tetapi tanpa mengetahui keadaan dasar tebing, padahal tenaga luncuran berat tubuhnya tentu akan luar biasa kuatnya dari tempat setinggi itu, berarti mempertaruhkan nyawa secara konyol. Dia dapat pula menggunakan Ilmu Pek-houw-yu-jong (Cecak Bermain-main di Tembok) dengan sinkang yang mengeluarkan daya sedot pada kaki tangannya yang telanjang untuk merayap menuruni tebing. Akan tetapi tentu saja ilmu itu hanya dapat dipergunakan untuk pendakian yang tidak begitu tinggi atau penurunan yang tidak securam tebing ini. Dia tentu sudah akan kehabisan tenaga sebelum mencapai seperempat jarak tebing itu dan kehabisan tenaga berarti akan melayang jatuh dan mati dalam keadaan tubuh hancur lebur! Menggunakan tali? Mana mungkin mencari tali yang panjangnya seperti itu? Pula, merayap turun ke tebing menggunakan tali berarti menggantungkan nyawa pada tali itu, padahal tali itu terikat di atas tebing. Sekali bacok saja tali di atas tebing itu oleh musuh, nyawanya akan melayang.

Kian Bu duduk termenung di tepi tebing dengan alis berkerut. Betapapun juga, dia tidak akan menyerah begitu saja! Dia harus mencari akal dan kembali dia menjenguk ke bawah. Memang terjal bukan main sampai dia tidak dapat melihat jelas keadaan di bawah sana. Jangankan seorang manusia, bahkan seekor monyet sekalipun kiranya tidak akan mungkin menuruni tebing ini, pikirnya. Kadang-kadang ada kabut melayang di bawah sehingga menutupi keadaan bawah tebing sama sekali. Tiba-tiba dia melihat seekor burung terbang melayang. Seekor burung walet hitam dan dia memandang dengan penuh iri. Kalau aku bersayap seperti burung itu! Alangkah akan mudahnya menuruni tebing ini, pikirnya. Jangankan baru tebing ini, biar naik ke langit pun tiada sukarnya bagi seekor burung yang bersayap!

Kembali dia menjenguk ke bawah, bahkan tubuh atasnya condong ke tepi tebing. Dia tidak melihat bahwa ada bayangan hitam berkelebat di belakangnya. Kalau saja perhatiannya tidak tercurah sepenuhnya ke bawah tebing dan untuk mencari jalan turun ke bawah, tentu pendengarannya yang sudah terlatih dan menjadi tajam luar biasa berkat sin-kangnya itu akan dapat menangkap gerakan si bayangan hitam ini, betapapun cekatan dan ringan gerakan si bayangan hitam ini.

"Heiii, jangan coba bunuh diri....!" Tiba-tiba terdengar seruan halus dan nyaring itu yang membuat Kian Bu terkejut bukan main. Dalam keadaan melamun dan menjenguk ke dalam tebing seperti itu lalu tiba-tiba mendengar bentakan yang demikian nyaring, benar-benar amat membahayakan. Seorang yang lemah jantungnya tentu akan terperanjat dan dapat saja terjungkal ke dalam jurang! Dia cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak memandang, kemudian dia mengerutkan alisnya dengan hati mengkal. Kiranya di situ telah berdiri gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang membawa-bawa ular dahulu itu, yang pernah menyerangnya kalang-kabut hanya karena berbeda pendapat tentang diri Cui Lan dan karena menyangka bahwa dia mengejar-ngejar gadis ini!

Setelah dia membalik, gadis itu pun terkejut, lalu tersenyum mengejek. Begitu tersenyum, seketika tercipta dua lesung pipit di kanan kiri bibirnya. Manis bukan kepalang! Lalu bibir itu merekah membentuk senyum sehingga deretan gigi kecil yang putih bersih berkilau sesaat di antara belahan bibir yang merah basah. Cantik sekali!

"Ya ampuuunnnnnn....! Kiranya engkau ini? Aha, kalau begitu lanjutkan usahamu itu, Siluman Kecil. Lanjutkan selagi aku menjadi saksi di sini. Aihhh, betapa akan senangnya menjadi orang satu-satunya yang menyaksikan betapa Siluman Kecil yang tersohor itu ternyata hanyalah seorang laki-laki yang berhati kecil pula seperti julukannya, seorang pengecut yang mudah patah hati, seorang laki-laki cengeng yang mudah mendapat dorongan hasrat untuk membunuh diri. Hi-hik, teruskanlah bunuh diri di depan ku, aku akan senang sekali!"

Kian Bu bangkit berdiri dan memandang dengan melongo, lalu dia maju beberapa langkah, memandang wajah cantik jelita dan manis itu penuh selidik. Melihat sinar mata, yang mencorong dari pemuda berambut putih itu, diam-diam gadis itu bergidik. Gadis itu tentu saja adalah Hwee Li, puteri ketua Pulau Neraka!

"Ihhh! Kenapa kau memandang aku seperti itu?" bentaknya dengan suara dibikin galak untuk menutupi rasa ngerinya. Dia sebenarnya merasa ngeri terhadap pemuda berambut putih ini yang dia tahu memiliki kepandaian amat tinggi sehingga dia sama sekali tidak akan mampu menang melawannya. Kalau dia bersikap angkuh dan berani, hal itu hanya dilakukan agar dia jangan dipandang rendah saja! Memang, biarpun dia sudah dewasa, Hwee Li masih belum dapat menghilangkan sifat kekanak-kanakannya.

Suma Kian Bu dahulunya adalah seorang pemuda yang berwatak penuh keriangan, gembira dan jenaka, juga bengal dan pandai bicara, pandai berdebat dan suka menggoda orang (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Setelah dia mengalami pukulan batin karena cinta kasihnya terhadap Puteri Syanti Dewi menemui kegagalan dan kekecewaan, kemudian ditambah lagi oleh latihan ilmu penggabungan tenaga Im dan Yang dari Pulau Es yang membuat rambutnya mengalami perubahan warna, dia menjadi seorang pendiam yang penuh rahasia. Pendiam karena dia seperti terbenam dalam tumpukan kedukaan dan kekecewaan yang membuat dia menjadi pemurung, kadang-kadang ganas akan tetapi tentu saja sebagai seorang yang berjiwa satria, keganasannya hanya ditujukan kepada kaum penjahat saja. Kini dia telah berjumpa dengan kakaknya dan hal ini membangkitkan atau setidaknya sedikit membongkar sifatnya yang tadinya sudah tertimbun oleh kedukaan itu, mengingatkannya akan keluarganya sehingga timbul kembali gairah hidupnya. Kini, bertemu dengan gadis berpakaian hitam yang amat lincah jenaka dan galak ini sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan wajahnya mulai agak berseri, seolah-olah mulai ditanggalkanlah sedikit demi sedikit topeng kedukaan yang selama ini menutupi wajah aselinya.

"Nona, apakah otakmu miring?" Tiba-tiba Kian Bu yang sudah mulai "menemukan" kembali sifat kegembiraannya itu bertanya sambil memandang tajam. Dia bukan sekedar menggoda atau balas mengejek, melainkan bertanya sungguh-sungguh karena memang dia mulai menyangka dengan perasaan sayang bahwa gadis yang demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi itu agaknya gila. Buktinya, dulu pun sudah mencari keributan dengan dia untuk perkara yang bukan-bukan saja, dan sekarang bicaranya begitu tidak karuan!

Hwee Li merasa seperti disengat kalajengking ketika mendengar pertanyaan itu. Ada rasa kaget, heran akan tetapi marahlah yang lebih besar menguasainya sehingga biarpun matanya terbuka lebar amat indahnya, namun bibirnya cemberut meruncing dan sepasang alis yang hitam kecil panjang itu berkerut.

"Siluman Gila! Engkau adalah seorang gila, bunuh diri merupakan perbuatan gila, dan kau masih mengatakan orang lain gila. Sungguh gila!" Hwee Li memberi tekanan kepada setiap kata "gila" sehingga dia seolah-olah telah membalas dengan makian gila kepada Siluman Kecil sampai empat kali gila!

Melihat cara gadis ini melampiaskan rasa mendongkolnya, Kian Bu tak dapat menahan diri lagi dan dia tersenyum. Senyum pertama semenjak dia berjuluk Siluman Kecil! Sebelum ini, kalau toh dia tersenyum, maka senyumnya itu tentulah hanya senyum untuk bersopan-sopan saja, senyum paksaan. Akan tetapi baru sekali ini dia tersenyum yang terdorong oleh kegembiraan hati.

"Nona ular...."

"Engkau makin kurang ajar!" Hwee Li membanting kaki kanannya.

"Harus disebut apa kalau tidak mau dinamakan nona ular? Engkau kemana-mana membawa ular yang menjijikkan!"

Tidak lebih menjijikkan daripada manusia, apalagi yang gila seperti engkau!" Hwee Li balas menyerang.

"Hemmm....kau mengingatkan aku akan sebuah syair...."

"Wah, orang gila mau bersyair, coba kudengarkan sampai di mana kegilaannya!"

"Manusia adalah mahluk gila yang tidak mengenal kegilaannya! Yang gila mengaku waras yang waras dimaki gila! Adakah yang lebih gila daripada manusia?"

Hwee Li bersorak. "Bagus, bagus! Nah, syair itu menggambarkan keadaan dirimu sendiri, hi-hik! Sudah kusangka bahwa engkau memang Siluman Gila, Siluman Gila yang kecil!"

Kian Bu yang belum pulih semua kelincahannya merasa kewalahan juga menghadapi dara yang ternyata pandai sekali berdebat ini. "Nona, kau tadi datang-datang membentak sampai aku kaget, lalu tiada hujan tiada angin kau memaki aku pengecut, cengeng, rendah dan gila yang akan membunuh diri. Sikapmu itulah yang membuat aku mengira engkau berotak miring."

"Habis, mau apa engkau melongok-longok ke bawah tebing securam itu kalau bukan untuk bunuh diri? Ataukah engkau bercanda dengan kabut yang melayang di bawah kaki? Nah, itu pun merupakan tanda-tanda bahwa engkau gil...."

"Sudahlah, jangan engkau mengobral makian. Sungguh tidak pantas maki-makian keluar dari mulut yang begitu indah."

Sepasang mata itu terbelalak, lalu dia mengangguk-angguk. "Hemmm, sekarang baru aku mengerti mengapa Cui Lan jatuh hati kepadamu. Kiranya engkau adalah seorang laki-laki yang selain berkepandaian tinggi, berwajah tampan dan berambut aneh, juga pandai merayu!"

Kian Bu bengong. "Aku? Merayu?"

"Menyangkal lagi! Baru saja kau bilang mulutku indah...."

"Kalau memang benar mulutmu indah, harus berkata bagaimana aku ini? Lihat, bentuk bibirmu amat indah, kemerahan dan segar, kalau tersenyum gigimu kecil berderet rata dan putih berkilau, dan lesung pipit di kanan kiri mulutmu mengintai. Benar indah mulutmu. Apakah aku harus bilang mulutmu buruk dan jelek? Aku tidak merayu, hanya bicara sebenarnya. Salahkah itu?" Kian Bu mulai menemukan kembali kepandaiannya berdebat dan kini Hwee Li yang menjadi bengong, mencari-cari jawaban yang tepat. Akan tetapi sekali ini sukar dia membantah. Wanita mana yang tidak suka akan pujian? Dan pujian dari Siluman Kecil itu begitu wajar dan terbuka, begitu langsung dan jelas bukan pujian kosong! Tan-pa disadarinya, warna kemerahan menjalar di kedua pipi yang halus putih itu.

"Sudahlah!" katanya gemas karena tidak berdaya untuk menangkis. "Ketahuilah, Siluman Kecil, hatiku masih penasaran dan benci kepadamu kalau aku teringat kepada Cui Lan!"

"Hemmm, mengapa tidak kaulupakan saja dia?"

"Huh, pantas! Apa kau tidak peduli betapa dara yang cantik jelita dan halus budi pekertinya itu jatuh cinta kepadamu? Dia tergila-gila kepadamu, sungguh tolol mengapa seorang gadis seperti dia bisa tergila-gila kepada seorang sepertimu ini. Dia tergila-gila kepadamu, hatinya merana penuh kerinduan kepadamu, dan kau bersikap tidak peduli kepadanya! Bukankah hal itu membuktikan bahwa engkau sebenarnya adalah seorang yang kejam, keji, dan jahat, suka melihat kesengsaraan yang diderita seorang wanita?"

Melihat dara itu hendak nerocos terus menyerangnya dengan kata-kata tajam, Kian Bu cepat mengangkat tangan ke atas. "Stop! Engkau salah mengerti dan tidak mengerti, Nona. Aku memang pernah menolong Nona Cui Lan. Dan dia jatuh cinta kepadaku, hal ini aku mengetahuinya. Akan tetapi, salahkah aku kalau ada seorang gadis jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak membalas cintanya? Engkau sungguh tidak mengerti. Hanya karena aku merasa amat kasihan kepadanya sajalah maka aku sengaja bersikap tidak peduli dan kasar kepadanya. Memang sikap itu kusengaja!"

Sepasang mata yang bening itu melotot. "Coba, betapa gilanya! Kasihan kepada orang dan menyatakan rasa kasihan itu dengan sikap tidak peduli dan kasar! Seperti baris terakhir dari syair gilamu itu: Adakah yang lebih gila daripada itu?"

"Engkau seperti anak kecil saja, dan memang engkau seorang anak-anak yang belum tahu tentang seluk-beluk cinta."

Makin meradang hati Hwee Li. "Engkau makin besar kepala dan sombong saja. Baiklah, Guru Besar, berilah kuliah kepada hamba tentang cinta karena Guru Besar tentu merupakan seorang yang berpengalaman dan ahli tentang cinta!" Hwee Li menjura dengan sikap mengejek.

Akan tetapi Kian Bu tidak mempedulikan sikap ini. "Aku sengaja bersikap kasar kepadanya agar dia membenciku! Aku tahu betapa sengsaranya hati yang menderita karena cinta gagal, dan kurasa penderitaannya itu hanya akan berakhir kalau cintanya terhadap aku berubah menjadi benci. Dengan demikian barulah dia akan dapat melupakan aku dan itulah sebabnya aku bersikap kasar kepadanya!" Kian Bu bicara penuh semangat dan Hwee Li menjadi bengong melihat betapa wajah tampan yang tadinya mulai berseri dan bersemangat itu kini kembali menjadi muram sekali, penuh duka yang membayang di dalam sinar mata dan tarikan mulutnya.

"Ohhh.... begitukah? Kenapa kau tidak dapat mencintanya? Dan bagaimana kau tahu bahwa cinta gagal menimbulkan penderitaan hebat!"

"Karena aku sendiri.... ah, sudahlah, Nona. Harap kau tidak lagi menggangguku. Aku sedang menghadapi kepentingan yang amat besar di sini dan kedatanganmu hanya mengganggu terlaksananya kepentingan besar itu. Maaf, aku tidak dapat lama-lama menunda urusanku."

Akan tetapi gadis itu tentu bukan Hwee Li kalau dapat "digebah" sedemikian mudahnya. Dia adalah seorang dara yang keras kepala, lebih keras daripada baja sehingga dia tidak akan mudah saja disuruh pergi sebelum dia sendiri menghendakinya untuk pergi!

"Eh, apakah tempat ini milikmu maka kau berani mengusir aku pergi dari sini? Kalau aku tidak mau pergi, kau mau apa?" tantangnya.

Siluman Kecil melirik dan menarik napas panjang. Dia tahu bahwa kalau dilayani, hal itu hanya akan berkepanjangan dan mungkin sekali mereka akan bertarung lagi. "Terserah kepadamu, akan tetapi jangan ganggu aku dengan bicaramu lagi." Setelah itu, dia lalu menghampiri tepi tebing, merenung kembali sambil mengasah otaknya, mencari jalan bagaimana dia dapat turun ke dasar tebing itu.

Setiap orang manusia tentu mempunyai sifat ingin tahu. Hwee Li tidak terkecuali. Melihat pemuda itu longak-longok memandang ke bawah tebing, dia tidak dapat menahan lagi hasrat ingin tahunya dan dia pun lalu menghampiri tepi tebing dan mulai pula ikut longak-longok memandang ke bawah tebing, seolah-olah hendak mencari sesuatu yang sedang dicari-cari pula oleh pemuda itu.

Kian Bu sudah tenggelam dalam renungannya mencari-cari akal maka dia tidak peduli, bahkan hampir tidak sadar bahwa tak jauh dari situ ada seorang gadis yang juga longak-longok seperti dia menjenguk ke bawah tebing. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menggeleng kepala, dan seperti dalam mimpi dia melihat Hwee Li juga menjenguk ke bawah tebing lalu gadis itu mengangkat muka memandangnya. Mereka saling bertemu pandang dan Hwee Li bertanya secara otomatis, "Sudah ketemu?"

Secara otomatis pula Kian Bu menggeleng kepala sambil menjawab, "Belum...." baru dia terkejut dan sadar, maka sambungnya dengan bentakan. "Ketemu apanya?"

"Tentu barang yang kaucari-cari itu, apa lagi? Tentu buntalan pakaianmu tadi terjatuh ke bawah tebing ini, bukan? Maka kau sejak tadi mencari-cari. Ku rasa tidak mungkin dapat kelihatan dari sini buntalan itu dan...."

"Buntalan hidungmu!" Kian Bu membentak dengan hati mengkal karena dia merasa digoda terus-terusan.

Hwee Li meloncat berdiri dan kedua tangannya bertolak pinggang. Hampir bertemu jari-jari kedua tangannya di sekeliling pinggang itu saking rampingnya pinggang gadis ini. Mukanya merah dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.

"Sombong, benar! Engkau berani menghidung-hidungkan orang, ya? Aku sudah susah payah ikut mencari-cari, engkau malah memaki orang sebagai balasan! Hayo berdirilah dan kita selesaikan penghinaan ini di ujung kedua kaki tangan!"

Kian Bu menarik napas panjang. "Sudahlah, Nona. Kita ribut-ribut untuk urusan kosong belaka. Aku tidak mencari buntalan apa pun, tidak ada kehilangan apa pun. Aku sedang mencari akal bagaimana aku dapat turun ke dasar tebing ini. Nah, Nona manis, sudah puaskah engkau sekarang dan sudikah engkau meninggalkan aku untuk melanjutkan usahaku ini?"

Hwee Li kembali menjenguk ke bawah tebing, lalu mendengus. "Huh, disebut gila tidak mau akan tetapi mau turun ke dasar tebing! Mau apa sih engkau hendak turun ke sana?"

Dengan setengah hati Kian Bu terpaksa menjawab, dengan maksud agar dara itu cepat pergi setelah rasa penasarannya dipenuhi, "Aku hendak mencari obat untuk kakakku yang terluka parah, dan obatnya hanya terdapat di dasar tebing itu. Nah, sudah cukupkah penyelidikanmu, Nona? Silakan meninggalkan aku sekarang."

Tiba-tiba Hwee Li tertawa dan Kian Bu mengerutkan alisnya. Terjadi perang di dalam hatinya melihat dara itu tertawa. Di satu fihak, ingin dia menempiling perawan ini, di lain fihak dia kagum melihat wajah itu ketika tertawa. Bukan main indah dan cantiknya ketika tertawa, seperti matahari di senjakala! Cerah namun tidak menyengat! Karena tertawa dara itu tidak dibuat-buat melainkan wajar, maka dia bertanya, "Kenapa kau tertawa?"

"Karena sekarang engkau harus bersikap sopan dan ramah kepadaku kalau engkau ingin dapat turun ke dasar tebing sana."

"Hemmm, apa maksudmu?"

"Karena, biarpun engkau berjuluk Siluman Kecil, biarpun engkau memiliki kepandaian amat tinggi sehingga engkau mampu mengalahkan Sin-siauw Seng-jin, namun engkau tidak akan mungkin turun ke dasar tebing ini kecuali kalau kau hendak membunuh diri. Karena, hanya aku seoranglah yang dapat menolongmu turun ke sana dengan selamat."

"Jangan main-main, Nona!"

"Siapa main-main? Aku berani bertaruh potong leher bahwa aku dapat membawamu dengan selamat sampai di bawah tebing sana."

Kian Bu mengerutkan alisnya. "Nona, jangan main-main. Aku menghadapi urusan yang amat penting dan aku tahu bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi sedikit banyak aku telah mengukur kepandaianmu itu dan aku yakin bahwa engkau tidak mungkin dapat menggunakan kepandaianmu itu untuk menuruni tebing ini."

"Tentu saja! Siapapun tidak mungkin dapat menuruni tebing ini, akan tetapi dengan terbang, betapa akan mudahnya!"

"Terbang? Jangan biiang bahwa kau pandai terbang...."

"Aku sih bukan kupu-kupu yang mempunyai sayap. Akan tetapi burung garudaku tentu bisa!"

Kian Bu terbelalak. "Kau....   kau mempunyai burung garuda?"

"Tentu saja, kalau tidak, perlu apa aku banyak bicara kepadamu?" Gadis itu lalu bangkit berdiri, menaruh kedua tangan di kanan kiri mulutnya kemudian terdengarlah bunyi lengking aneh seperti suara burung dari mulut yang dilindungi dua tangan itu. Kian Bu terkejut. Lengking itu memang bunyi lengking untuk memanggil burung seperti rajawali atau garuda! Berkali-kali Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring itu dan tiba-tiba dia menuding ke atas. "Nah, itu dia garudaku!"

Benar saja. Seekor burung garuda yang besar menukik turun dan terbang berputaran di atas kepala mereka. Berdebar jantung Kian Bu. Memang inilah jalan satu-satunya turun ke sana. Naik punggung garuda! Dan dia bukanlah seorang yang asing dengan pengalaman seperti itu. Dia sudah sering kali naik punggung rajawali ketika dia masih berada di Pulau Es.

"Ah, sungguh hebat kau, Nona! Maafkan semua kekasaranku tadi dan sekarang aku percaya. Kautolonglah aku, Nona. Biarkan aku meminjam burungmu itu untuk turun ke sana mencarikan obat untuk kakaku."

"Enaknya! Pinjam! Apa kaukira akan dapat menguasai Sin-eng-cu (Garuda Sakti)? Kau boleh kuboncengkan ke bawah sana, asal engkau mau minta maaf kepadaku dan mengatakan siapa adanya kakakmu yang terluka itu. Aku hampir tidak percaya bahwa seorang yang berjuluk Siluman Kecil masih mempunyai seorang kakak."

Karena Kian Bu tahu bahwa hanya dengan pertolongan gadis ini sajalah dia akan dapat memperoleh obat untuk kakaknya itu dengan cepat dan pasti, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjura dan berkata halus, "Nona, harap kau suka maafkan semua kesalahanku. Kakakku menderita luka dalam yang cukup hebat, kini dirawat oleh Sai-cu Kai-ong, obatnya hanya terdapat di daerah bawah tebing itu. Kakakku bernama Suma Kian Lee dan...."

"Kian Lee....? Aihhh, kenapa tidak dari tadi-tadi kau bilang....!" Hwee Li melonjak kaget dan cepat dia melengking keras memanggil garudanya. Burung itu menukik dan hinggap di atas tanah di depan gadis itu, mengeluarkan suara nguk-nguk manja, kemudian mendekam.

"Hayo cepat, nanti saja kauceritakan bagaimana Suma Kian Lee sampai terluka hebat. Kau boleh duduk di belakangku. Sin-eng-cu, kauantarkan kami ke bawah sana!" Berkata demikian, Hwee Li melompat ke punggung garuda itu lalu menggeser ke depan sedikit untuk memberi tempat kepada Kian Bu. Pemuda itu yang sudah biasa menunggang burung besar, lalu meloncat dengan ringan agar tidak mengejutkan burung itu dan dia telah duduk di belakang Hwee Li.

"Sin-eng-cu, berangkatlah!" Hwee Li menepuk leher burung itu yang mengeluarkan suara keras, menggerakkan kedua sayapnya, kedua kakinya menggenjot dan melayanglah dia ke atas, lalu terbang melayang ke bawah tebing.

"Sekarang ceritakan, benarkah kakakmu itu Suma Kian Lee?"

"Benar," jawab Kian Bu dan jantungnya mulai berdegup tidak karuan. Punggung garuda itu agak melengkung di tengah-tengahnya, sehingga dia yang duduk di bagian belakang, tentu saja selalu melorot ke depan sehingga tubuhnya merapat dengan tubuh belakang dara itu. Rambut dara itu tertiup angin dan menyapu-nyapu muka dan hidungnya, selain mendatangkan rasa geli juga bau harum menyergap hidungnya dan rambut halus itu mengusap-usap mukanya seperti membelainya!

"Sungguh aneh! Engkau Siluman Kecil dan kakakmu Suma Kian Lee. Lalu siapa namamu sebenarnya?

"Namaku Suma Kian Bu.... "

"Ahhh....!" Gadis itu berseru demikian keras sehingga burungnya terkejut dan agak miring. Hwee Li cepat menepuk-nepuk punggungnya menenangkan.

"Jadi engkau dan kakakmu itu putera-putera Pulau Es?

Kian Bu kini yang terkejut. Bagaimana gadis ini dapat mengenal kakaknya dan tahu pula bahwa dia dan kakaknya itu dari Pulau Es? Akan tetapi karena dia mengharapkan bantuan gadis itu, dia tidak mau banyak bertanya lebih dulu.

"Benar, Nona."

"Pantas engkau begini lihai!"

"Hemmm...."

"Dan pantas saja engkau agaknya sudah biasa menunggang garuda."

"Memang kami juga mempunyai rajawali di sana...."

Hwee Li mengangguk. "Aku tahu...."

Hening sejenak dan terdengar oleh Kian Bu gadis itu bicara kepada diri sendiri, lirih, "Kiranya dari Pulau Es...."

Tak lama kemudian gadis itu berkata lagi, "Aku tahu bahwa Suma Kian Lee juga amat lihai seperti engkau, bagaimana dia sampai dapat menderita luka parah?"

Kian Bu hampir tidak dapat menjawab pertanyaan itu karena dia sekarang makin gelisah duduknya. Sejak tadi jantungnya sudah berdebar keras tidak karuan dan makin lama makin hebat gelora di dalam hatinya. Dia duduk begitu rapat sehingga tubuh depannya menempel ketat pada tubuh belakang gadis itu! Dan kehangatan tubuh itu sampai terasa olehnya kelunakan dan kehalusan kulit di balik pakaian itu, tercium olehnya bau keringat, bau badan yang khas, dan mulailah dia membayangkan yang bukan-bukan. Teringatlah dia ketika dia mengalami permainan cinta yang amat mesra dan hebat ketika dia untuk beberapa lamanya dahulu terpikat oleh seorang wanita cantik yang berwatak cabul, yaitu Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, si Siluman Kucing. Membayangkan semua pengalamannya dengan Lauw Hong Kui yang lalu, sedangkan di depannya duduk seorang dara yang malah jauh lebih cantik menarik daripada Lauw Hong Kui, lebih muda, lebih menggairahkan, maka seketika naiklah darah ke kepala Kian Bu dan sejenak menggelapkan mata batinnya. Dia memejamkan mata akan tetapi makin terbayanglah adegan-adegan mesra antara dia dan Lauw Hong Kui ketika bermain cinta, dan wajah Hong Kui itu berubah menjadi wajah dara yang duduk di depannya! Dia berusaha untuk menekan perasaan ini dan mengusir bayangan-bayangan itu, maka terjadilah perang hebat di dalam hati dan pikirannya pada saat itu.

Tidak salah lagi, timbulnya segala macam nafsu keinginan, termasuk nafsu birahi adalah dari ingatan yang bertumpuk di dalam pikiran. Biarpun kita duduk dikelilingi oleh puluhan orang wanita cantik manis, kalau kita menghadapi mereka dengan wajar dan dengan pikiran bebas, tidak akan terjadi sesuatu dalam batin kita. Akan tetapi, begitu pikiran mengusik dan mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu, baik pengalaman itu kita alami sendiri dengan wanita maupun pengalaman orang lain yang kita dengar atau baca, terbayanglah adegan-adegan mesra antara kita dengan wanita atau laki-laki lain dengan wanita. Dan kalau sudah begitu, timbuliah keinginan untuk menikmati kesenangan itu, bangkitlah nafsu berahi, timbul nafsu untuk memiliki. Seorang pertapa yang duduk samadhi seorang diri di puncak gunung, biarpun dalam jarak ratusan li jauhnya tidak ada wanita, namun kalau pikirannya membayangkan permainan cinta yang pernah dialaminya atau dialami orang lain dengan wanita, akan timbul pula nafsu berahinya.

Demikian pula dengan Suma Kian Bu. Selama lima tahun lebih ini dia tidak pernah mengalami hal seperti saat itu. Ketika dia duduk di atas punggung burung garuda bersama Hwee Li, duduk demikian dekatnya dan merapat ketat karena punggung itu miring sehingga tubuh depannya menempel rapat ke tubuh belakang Hwee Li, mula-mula tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, setelah dia membayangkan adegan-adegan mesra yang pernah dialaminya bersama Lauw Hong Kui, maka mulailah terasa olehnya betapa dia seakan-akan sedang memeluk dara cantik jelita di depannya itu, memeluk dari belakang sehingga terasa dan tercium segala-galanya, kelembutannya, kepadatan tubuhnya, kehalusannya, kesedapannya, dan bangkitlah berahinya!

Karena sampai, lama tidak memperoleh jawaban, Hwee Li menoleh dan bertanya, "Heiii, katakanlah, siapa yang melukai Suma Kian Lee?"

Ketika Hwee Li menoleh, muka mereka begitu berdekatan dan napas hangat dara itu menghembus di pipinya, membuat Kian Bu hampir tak kuat bertahan pula dan berahinya makin berkobar.

"Ihhhhh....!" Tiba-tiba Hwee Li berseru dengan kaget dan geli dan pada saat itu Kian Bu menjawab gugup karena dia maklum mengapa dara itu menjerit.

"Akulah yang memukulnya...."

"Ahhhhh....!" Kembali Hwee Li berseru kaget dan sekali ini seruannya adalah karena dua hal, pertama karena dia merasakan keadaan pemuda itu yang sedang diamuk berahi dan kedua kalinya mendengar bahwa pemuda itu yang memukul dan melukai Suma Kian Lee. Berbareng dengan seruannya itu, tangannya bergerak dan dua ekor kepala ular mematuk dari kanan kiri ke arah leher dan dahi Kian Bu.

"Heiii....!" Kian Bu berteriak keras dan cepat dua tangannya menangkis dengan pengerahan tenaga.

"Plak! Plak! Bukkkkk....!" Dua ekor ular itu ditangkis remuk kepalanya, akan tetapi tangan Hwee Li telah mendorong dadanya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kian Bu terguling jatuh dari atas punggung garuda!

Untung bagi Kian Bu bahwa pada saat itu, mereka telah tiba di atas dasar tebing itu, tidak begitu tinggi lagi sehingga ketika dia terguling, dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan meloncat ke arah sebatang pohon yang tumbuh di bawah itu dan menyambar cabang pohon sehingga dia dapat mendarat dengan selamat. Cepat dia lalu meloncat turun ke atas tanah dan peristiwa berbahaya itu sekaligus mengusir semua bayangan yang tadi membuat dia kehilangan kesadaran dan diamuk oleh nafsu berahi. Mukanya menjadi merah sekali ketika dia teringat dan dia melihat kini burung garuda yang ditunggangi oleh Hwee Li itu terbang berputaran di atas kepalanya.

"Kau laki-laki cabul! Kau laki-laki kurang ajar, tidak tahu kesusilaan dan kau laki-laki porno!" terdengar Hwe Li memaki-maki sambil menjenguk dari atas punggung garudanya, suaranya penuh dengan kemarahan. "Dan engkau juga laki-laki kejam dan durhaka, memukul kakak sendiri!"

Kian Bu merasa malu bukan main mengingat apa yang terjadi di atas punggung garuda tadi. Tentu saja dara itu menjadi kaget kemudian menjadi geli dan jijik! Tentu saja dara itu merasa dan tahu bahwa dia diamuk berahi karena tubuh mereka begitu rapat seolah-olah dara itu tadi setengah dipangkunya!

"Nona.... kaumaafkanlah aku...." Dia berkata dengan pengerahan khikang sehingga suaranya pasti dapat terdengar dari atas punggung garuda yang terbang berputaran di atas kepalanya beberapa tombak tingginya itu. "Engkau.. .. engkau begitu cantik dan kita duduk begitu berdekatan dan aku.... aku hanya orang lemah...." Kian Bu menunduk, kemudian berkata lagi, "Aku menyesal sekali, Nona. Percayalah!" Pemuda ini memang benar-benar merasa malu dan amat menyesal mengapa dia tadi membiarkan saja pikirannya melamun dan mengingat-ingat hal yang dapat membangkitkan berahinya.

Dia tidak tahu betapa di atas punggung garuda, Hwee Li yang marah-marah itu menjadi merah mukanya karena jengah atau malu teringat akan keadaan pemuda itu tadi yang duduk mepet di belakangnya sehingga pinggulnya dapat merasakan kebangkitan berahi pada pemuda itu. Mendengar ucapan Kian Bu, diam-diam Hwee Li memuji kejujuran pemuda itu dan dia memang sudah memaafkannya karena bukankah sesungguhnya pemuda itu tidak melakukan sesuatu terhadap dirinya? Kalau pemuda itu sudah menggerakkan tangan untuk merabanya misalnya, barulah hal itu dapat dianggap sebagai suatu kekurangajaran. Yang membuat dia penasaran adalah ketika mendengar betapa Siluman Kecil itu memukul dan melukai Suma Kian Lee. Berahi yang timbul pada diri Siluman Kecil tadi

bahkan membuktikan bahwa dia memang mempunyai kecantikan dan daya tarik istimewa sehingga seorang tokoh besar seperti Siluman Kecil, yang dia melihat sendiri menolak cinta kasih seorang gadis cantik jelita seperti Cui Lan, ternyata timbul berahinya terhadap dia!

"Aku tidak mau bicara tentang itu!" bentak Hwee Li dari atas dan dia membiarkan garudanya terus beterbangan perlahan mengelilingi pemuda itu. "Akan tetapi engkau telah memukul Suma Kian Lee, padahal, dia kakakmu sendiri!"

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, lima enam tahun yang lalu, Kim Hwee Li pernah bertemu dengan Suma Kian Lee ketika pemuda ini terluka pahanya oleh senjata rahasia peledak yang dilepas oleh Mauw Siauw Mo-Li dan Kim Hwee Li yang ketika itu baru berusia sebelas dua belas tahun, telah menolong pemuda itu, menyembunyikannya dan mengobatinya. Melihat Suma Kian Lee yang tampan dan gagah, di dalam hati gadis kecil yang ketika itu baru menjelang dewasa, telah terdapat perasaan kagum dan memuja, dan Kian Lee merupakan pemuda atau pria pertama yang pernah menggoncangkan perasaan wanitanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa Kian Lee terluka parah dan yang memukulnya adalah pemuda yang mengaku adiknya itu sendiri, tentu saja dia menjadi marah bukan main. Apa lagi, ketika menangkis serangan ular-ularnya tadi, Siluman Kecil telah memukul mati kedua ularnya!

Kian Bu mengerti bahwa hanya dengan bantuan gadis itu dia dapat mencapai dasar tebing, dan juga tanpa bantuan gadis dengan garudanya itu, agaknya akan sukar bahkan tidak mungkin baginya untuk mendaki tebing yang amat tinggi itu. Dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya terkurung di situ, akan tetapi kalau tidak dibantu, tentu dia akan terlambat sekali membawa obat untuk kakaknya. Maka dia mengambil keputusan untuk mengaku terus terang kepada gadis yang aneh itu. Siapa tahu gadis yang aneh itu mempunyai watak gagah yang dapat mempertimbangkan keadaan dengan adil. Buktinya gadis itu pun telah menghabiskan saja urusan yang timbul karena bangkitnya nafsu berahinya tadi, dan hal ini saja sudah menunjukkan bahwa gadis itu mempunyai kebijaksanaan dan kegagahan.

"Nona dengarlah baik-baik. Kakakku itu kena pukulanku karena kami berdua berkelahi dalam keadaan saling menyamar. Aku menyamar sebagai kakek-kakek dan dia menyamar sebagai seorang jagoan Gubernur Ho-nan sehingga kami tidak saling kenal dan saling serang. Setelah dia roboh dan penyamarannya terbuka, barulah kami saling mengenal. Melihat dia terluka parah, aku pergi ke sini untuk mencarikan obat penyembuhnya. Nah, terserah apakah engkau mau percaya atau tidak. Aku hendak mencari obat itu sekarang juga." Dia lalu membalikkan tubuhnya dan tidak lagi mempedulikan nona itu, melainkan meneliti keadaan di situ untuk mencari anak sungai seperti yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya. Biarpun dia maklum bahwa dia membutuhkan bantuan nona itu dan burung garudanya untuk dapat menyampaikan obat, kalau sudah ditemukannya, kepada kakaknya, namun bukanlah watak Suma Kian Bu untuk mengemis-ngemis bantuan orang. Maka dia pun tidak merasa kecewa ketika melihat burung itu terbang naik meninggalkan dirinya, dan dia melanjutkan penyelidikannya.

Akhirnya ditemukanlah anak sungai tidak jauh dari situ dan tepat seperti yang digambarkan oleh kakek itu dari hwesio yang secara kebetulan menemukan tempat itu, dan Kian Bu cepat mengikuti aliran sungai kecil itu sampai anak sungai itu memasuki sebuah gua yang gelap. Tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu turun ke air sungai yang dalamnya hanya selutut itu karena untuk mengikuti aliran sungai dari tepi sudah tidak mungkin lagi sekarang. Ketika dia hendak memasuki gua, dia melihat burung garuda itu menukik dan nona yang duduk di atas punggung burung itu memandang penuh perhatian, akan tetapi dia tidak mau mempedulikan lagi dan terus memasuki gua yang gelap.

Dia tidak tahu berapa jauhnya dia menempuh jalan yang amat gelap dan sukar itu karena dia harus terus berjalan di dalam sungai dengan air kadang-kadang sampai sedalam dadanya dan dasar sungai itu kadang-kadang amat licin dan kadang-kadang penuh dengan batu-batu runcing. Akan tetapi, setelah melewati waktu yang agaknya tiada habisnya itu, akhirnya Kian Bu melihat cahaya terang di sebelah depan dan tibalah dia di daerah terbuka. Dia lalu mendarat di tepi sungai yang penuh dengan batu-batu besar hitam dan hatinya lega ketika dia melihat bahwa tempat itu terbuka, langit dapat kelihatan dari situ sungguhpun daerah itu merupakan sumur raksasa yang amat dalam dan sekeliling tebingnya terjadi dari dinding batu yang amat licin dan tidak mungkin sama sekali untuk mendaki naik. Akan tetapi di bawah dinding licin yang amat tinggi itu terdapat banyak batu-batu karang besar dan terdapat pula gua-gua yang besar dan hitam sehingga tempat yang terpencil itu kelihatan menyeramkan sekali.

Kian Bu menjadi bingung. Menurut petunjuk Sai-cu Kai-ong, setelah tiba di tempat terbuka, dia harus memasuki sebuah gua karena di dalam gua yang katanya merupakan terowongan panjang itulah dia akan menemukan jamur panca warna yang akan menjadi obat bagi kakaknya. Akan tetapi gua yang mana? Dilihat dari tempat dia berdiri, agaknya di sekeliling tempat yang merupakan lambung gunung terhimpit tebing itu terdapat ratusan buah gua! Mana dia bisa tahu gua yang manakah yang benar? Dia tidak menyalahkan Sai-cu Kai-ong karena kakek itu sendiri belum pernah tiba di tempat ini dan hanya mendengar dari orang lain.

Tiba-tiba ada bayangan hitam didekat kakinya. Cepat dia melihat ke atas dan benar saja, jauh sekali di atas tebing tebing itu nampak titik hitam yang bukan lain adalah burung garuda tadi! Tentu saja seekor burung yang terbang dapat memeriksa keadaan sekeliling itu dan dapat menemukan "sumur raksasa" ini, akan tetapi kalau harus mendatangi tempat ini melalui atas, dengan jalan kaki sungguh merupakan hal yang sama sekali tidak mungkin. Burung itu lewat dan samar-samar dia melihat gadis aneh yang duduk di punggung burung itu menjenguk ke bawah. Akan tetapi dia tidak mempedulikan gadis pemarah itu karena dia masih menghadapi pekerjaan yang banyak dan sukar sekali. Tanpa membuang banyak waktu lagi, mulailah Kian Bu memeriksa dan memasuki gua itu satu demi satu! Sungguh hal ini merupakan pekerjaan yang amat sukar dan melelahkan. Gua-gua itu ternyata banyak sekali yang amat dalam, merupakan terowongan-terowongan panjang dan berliku-liku, akan tetapi setelah dimasuki dan diikuti, ternyata hanya merupakan gua-gua kosong dan buntu, tidak ada nampak jamur sama sekali di situ. Karena tidak dimasuki sinar matahari, lumut pun tidak nampak, apalagi jamur panca warna!

Baru belasan lubang gua yang diperiksanya dengan sia-sia, hari telah mulai gelap. Kian Bu merasa heran sekali ketika keluar dari gua dan melihat matahari telah lenyap dan tempat itu cepat sekali gelap. Tadi ketika dia membonceng gadis itu turun, hari masih pagi dan dia membuang waktu untuk memeriksa gua-gua itu hanya makan waktu empat lima jam saja. Mengapa sekarang tahu-tahu telah menjadi remang-remang, menjadi senja dan hampir malam? Akan tetapi ketika dia berdongak memandang ke sekeliling di atas tempat yang seperti sumur raksasa itu, mengertilah dia. Tentu saja di tempat ini, waktu yang diukur dengan sinar matahari amatlah berbeda dengan di atas sana, di lapangan terbuka di mana sinar matahari dapat bercahaya sepenuhnya. Di sini, matahari cepat lenyap terhalang ujung tebing di barat dan biarpun di dasar tempat itu sudah gelap, namun dia dapat menduga bahwa di atas sana tentu masih terang dan baru lewat tengah hari!

Karena gelap, terpaksa Kian Bu menunda pekerjaannya memeriksa gua-gua itu. Dia duduk di atas batu yang halus permukaannya dan banyak terdapat di tempat itu, sambil termenung dan memandang ke sekeliling. Di tempat ini tidak ditumbuhi pohon karena lantainya penuh dengan batu. Ada pohon-pohon tumbuh di lereng tebing dan pohon-pohon itu merupakan pohon-pohon liar yang tidak mengandung buah yang dapat dimakan. Akan tetapi, dia tidak lapar dan sebagai seorang yang terlatih, tidak makan beberapa hari saja bagi pemuda Pulau Es ini tidaklah merupakan hal yang menyiksa. Juga dia tidak perlu membuat api unggun karena hawa dingin tidak akan mengganggu tubuhnya yang sudah biasa dengan hawa yang jauh lebih dingin ketika dia berlatih di Pulau Es. Maka duduklah Suma Kian Bu di atas batu itu, bersila dan mulai melakukan siulan untuk mengumpulkan hawa murni, memulihkan tenaga dan memberi kesempatan kepada tubuhnya untuk mengaso.

Kegelapan kini menyelimuti tempat itu dan hanya sinar bintang-bintang di langit yang hanya seperempat luasnya daripada langit biasanya di tempat terbuka, yang mendatangkan cahaya remang-remang. Sunyi sekali di sekitar tempat itu, kesunyian yang makin terasa karena adanya suara gemercik air yang tiada hentinya dan yang kini terdengar amat jelas.

Berbeda dengan waktu siangnya yang harinya pendek sekali, sebaliknya waktu malamnya di tempat itu amat panjang dan lama karena matahari yang di permukaan bumi sudah muncul dan naik tinggi, di dasar sumur raksasa itu masih belum nampak! Kian Bu sudah tidak melihat adanya bintang-bintang di langit yang sudah disapu bersih oleh sinar matahari, namun tempat itu masih gelap. Tiba-tiba dia mendengar suara, di belakangnya. Cepat dia menoleh dan biarpun Kian Bu merupakan seorang pemuda gemblengan, seorang pendekar sakti yang berkepandaian tinggi, tidak urung bulu tengkuknya meremang. ketika dia melihat sesosok tubuh berindap-indap keluar dari sebuah di antara ratusan gua itu. Akan tetapi segera dia melenyapkan rasa takut itu dengan dugaan bahwa tentu orang itu adalah dara cantik yang tentu saja dapat turun dengan bantuan garudanya. Maka dia pun bersikap dingin saja dan melanjutkan siulannya.

Bayangan orang itu dapat bergerak cepat dan kini telah tiba di dekat Kian Bu, lalu tiba-tiba saja bayangan itu menyerang dengan cengkeraman dari belakang ke arah tengkuk dan kepala pemuda itu. Kian Bu terkejut dan cepat dia meloncat ke depan sehingga cengkeraman itu luput. Akan tetapi orang itu dengan marah menerjangnya terus dengan pukulan-pukulan yang aneh.

"Nona, berhenti dulu! Mengapa kau menyerangku? Nona....!" Kian Bu mengelak ke sana-sini dan dia makin terheran ketika memperoleh kenyataan bahwa gerakan orang ini sungguh jauh berbeda daripada gerakan nona pemilik garuda. Dara cantik pemilik garuda itu memiliki gerakan yang berdasarkan gerakan ilmu silat tinggi, lihai sekali, akan tetapi sebaliknya orang ini menyerangnya dengan gerakan kasar, hanya gerakannya lebih nekat dan liar.

"Heh-heh-heh, hi-hik, kau menyebutku Nona? Hi-hi-hik!" Wanita itu terkekeh dan Kian Bu makin terkejut dan terheran ketika dia mendapat kenyataan dari suara wanita ini bahwa dia sama sekali bukanlah dara pemilik burung garuda! Akan tetapi cuaca masih terlalu gelap untuk dapat mengenal orang ini yang hanya tampak bayangannya saja.

"Siapakah kau? Dan kenapa kau menyerangku?" tanyanya.

"Hik-hik, kau pembunuh keji! Kau manusia jahat, masih tanya mengapa aku menyerangmu? Heh-heh, aku hendak membunuhmu untuk membalaskan kematian nyonya majikanku!" Dan wanita itu menyerangnya lagi. Kian Bu kembali mengelak ke sana ke mari dengan amat mudahnya karena ternyata kini bahwa serangan-serangan itu hanya sembarangan saja dan sama sekali tiada artinya bagi dia. Akan tetapi dia merasa tidak enak untuk merobohkan seorang wanita, apalagi seorang wanita yang agaknya tidak waras otaknya.

"Aku tidak membunuh nyonya majikanmu! Siapa sih nyonya majikanmu itu?" tanya lagi Kian Bu sambil tetap mengelak ke sana-sini dan terus main mundur. Wanita itu terus mengejar dan mendesaknya, melancarkan serangan-serangan nekat dan membabi-buta.

"Huh, engkau masih pura-pura lagi bertanya? Nyonyaku tentu saja Ang Siok Bi, siapa lagi? Dan dia sudah kalian bunuh secara kejam, dan kalian telah melemparkan aku ke sungai, ke pusaran maut. Heh-heh, akan tetapi kalian keliru, aku tidak mati dan sekarang aku akan membalaskan kematian majikanku, hik-hik!"

Kian Bu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh wanita ini. Sementara itu, cahaya matahari mulai menerangi tempat itu dan akhirnya dia dapat melihat bahwa yang menyerangnya mati-matian itu adalah seorang wanita yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya juga seperti pakaian seorang jembel terlantar, seluruh tubuhnya menunjukkan bahwa wanita itu telah lama menderita di tempat ini. Sepasang matanya yang berputar-putar itu menandakan bahwa wanita ini memang tidak waras lagi otaknya.

Kian Bu mengelak ke samping dan kini jari tangannya menyambar. Robohlah wanita itu terkena totokannya. Setelah Kian Bu, dapat melihat keadaan wanita itu, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk merobohkannya dengan totokan yang tidak berbahaya, hanya membuat kaki tangan wanita itu lumpuh.

Wanita itu memandang kepada Kian Bu dengan mata terbelalak, kemudian menangis. "Hu-hu-huuukkkkk.... kiranya engkau adalah Tuan Muda Ang Tek Hoat....! Hu-huuuk, Tuan Muda, Ibumu telah mati dibunuh orang....!"

Kini Kian Bu terkejut bukan main mendengar wanita ini menyebut nama Ang Tek Hoat. Tentu saja dia mengenal nama ini, mengenalnya dengan baik sekali. Bukankah Ang Tek Hoat ini yang telah menjadi penyebab kehancuran hatinya dan kehancuran kehidupannya? Dia telah jatuh cinta kepada Puteri Syanti Dewi, mencinta puteri itu dengan seluruh jiwa raganya, kemudian hatinya hancur berkeping-keping ketika dia mendapat kenyataan bahwa puteri yang dicintanya itu ternyata mencinta Ang Tek Hoat, pemuda yang tadinya amat jahat itu! Pemuda yang sebenarnya masih terhitung keponakannya sendiri, karena Ang Tek Hoat adalah cucu dari ibu Suma Kian Lee (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dan wanita ini menyebut Ang Tek Hoat sebagai tuan muda, dan mengatakan bahwa ibu Ang Tek Hoat mati dibunuh orang!

Kian Bu maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menghadapi seorang gila adalah melayani kegilaannya. Dia disangka Tek Hoat, maka akan percuma saja kalau dia menyangkal di depan seorang gila. Biarlah dia berpura-pura menjadi Tek Hoat untuk mendengar tentang kematian ibu Tek Hoat itu.

"Bibi yang baik, engkau siapakah? Aku sudah lupa lagi," katanya sambil duduk di atas batu dan membebaskan totokannya sehingga wanita itu kini dapat bergerak dan duduk pula di atas batu sambil menangis.

"Ah, Kongcu (Tuan Muda), engkau sudah lupa lagi kepadaku? Aku Cui-ma, pengasuhmu di waktu kau masih kecil."

"Hemmm, Cui-ma, tentu saja aku lupa karena sekarang engkau menjadi seperti ini. Ceritakanlah, Cui-ma, kenapa kau bisa berada di sini dan apa yang telah terjadi dengan.... Ibuku?"

Dengan sikap seorang gila yang mengerikan, kadang-kadang menangis, kadang-kadang tertawa, mulailah wanita itu bercerita yang didengarkan oleh Kian Bu dengan penuh perhatian. Karena cerita itu menyangkut Ang Siok Bi, ibu dari Ang Tek Hoat seorang di antara tokoh-tokoh besar cerita ini, maka sebaiknya kalau kita mengikuti sendiri apa yang telah dialami oleh wanita she Ang itu, daripada mendengarkan cerita Cui-ma yang tidak karuan.

******

Seperti telah diceritakan di bagian terdepan dari cerita ini, Ang Siok Bi, ibu dari Ang Tek Hoat, menyusul puteranya ke Kerajaan Bhutan. Setelah wanita yang bernasib malang itu mengetahui bahwa dugaannya selama ini keliru, yaitu yang memperkosa dia di waktu dia masih gadis dahulu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali dan Sepasang Pedang Iblis) bukanlah Gak Bun Beng seperti yang selama itu disangkanya, melainkan Wan Keng In putera dari Lulu, isteri ke dua majikan Pulau Es, maka sakit hatinya berpindah kepada keluarga Pulau Es! Dan untuk membalas dendamnya kepada keluarga Pulau Es, tentu saja dia merasa tidak mampu dan dia hendak menyuruh puteranya yang kini telah menjadi seorang sakti untuk membalas dendamnya kepada keluarga Pulau Es yang lihai itu.

Akan tetapi, Ang Tek Hoat yang sudah memperoleh kedudukan baik di Bhutan, sebagai panglima muda dan lebih-lebih lagi sebagai tunangan puteri raja, yaitu Puteri Syanti Dewi, menolak bujukan ibunya sehingga Ang Siok Bi menjadi marah. Ang Siok Bi lalu menemui Raja Bhutan dan membuka rahasianya sendiri bahwa calon mantu raja itu, puteranya yang bernama Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram tanpa ayah. Setelah meninggalkan kata-kata beracun yang kemudian berakibat hebat itu, Ang Siok Bi lalu meninggalkan Bhutan, kembali ke tempat tinggalnya di puncak Bukit Angsa, di lembah Huang-ho di mana dia hidup mengasingkan diri, hanya ditemani oleh seorang pembantunya yang setia, yaitu Cui-ma, seorang janda yang telah lama ikut bersama dia.

Sebagai teman satu-satunya, tentu saja dia mengajarkan ilmu silat kepada Cui-ma, sekedar untuk menjaga kesehatan dan untuk dipakai bela diri apabila perlu. Cui-ma ini yang selalu menemaninya dalam semua kesengsaraannya hidup menyendiri itu.

Ketika melihat Ang Siok Bi pulang dan begitu tiba di pondoknya lalu menangis sejadi-jadinya, penuh kedukaan dan kekecewaan, Cui-ma cepat memeluknya dan menghiburnya, akan tetapi pelayan dan teman yang setia ini pun ikut menangis ketika mendengar cerita nyonya majikannya betapa Ang Tek Hoat, kongcu yang ditunggu-tunggu kedatangannya, yang diharap-harapkan akan dapat menghibur ibunya itu, ternyata menolak ajakan ibunya untuk meninggalkan Bhutan.

"Cui-ma, mulai saat ini kita harus berhati-hati...." Setelah tangisnya mereda, Ang Siok Bi berkata, lalu cepat-cepat dia menutupkan daun pintu yang tadi terbuka, menutupkan pula semua daun jendela pondoknya yang terbuka.

Melihat sikap nyonya majikannya ini, Cui-ma terkejut dan merasa heran. Tempat itu biasanya sunyi dan selama ini keamanan mereka tidak pernah terganggu orang maupun binatang. Kenapa sekarang nyonya majikannya kelihatan begitu gelisah dan menutupi daun pintu dan jendela seperti orang ketakutan? Padahal, andaikata ada bahaya mengancam sekalipun, apa yang perlu ditakutkan? Bukankah nyonya majikannya memiliki kepandaian yang lihai?

"Toanio, apakah yang telah terjadi? Siapa yang mengancam keselamatan kita?"

"Panglima dari Bhutan.... kalau tidak salah, Mohinta namanya, putera panglima tertinggi di Bhutan. Beberapa hari yang lalu aku melihat dia, dan dia bersama orang-orangnya berusaha untuk menangkap aku, melihat gelagatnya dia agaknya bertekad untuk membunuhku. Kita harus siap menghadapi mereka, Cui-ma."

"Mengapa, Toanio? Siapa mereka dan mengapa?"

"Mereka orang-orang Bhutan yang telah menjebak puteraku, mengikat puteraku dan agaknya mereka itu diperintah oleh raja mereka untuk membunuh aku karena aku dianggap menghalangi rencana mereka mengikat anakku Tek Hoat...." Dengan cemas karena maklum bahwa dia menghadapi orang-orang yang sudah merencanakan kematiannya, mulai hari itu Ang Siok Bi dibantu oleh Cui-ma lalu mengatur persiapan untuk menghadapi musuh-musuh itu. Ang Siok Bi adalah seorang wanita yang berani dan berhati baja, maka biarpun dia sering kali kelihatan gelisah, namun dia membuat persiapan yang teliti, bahkan di balik daun pintu dan jendelanya dia pasangi alat-alat rahasia yang akan secara otomatis menggerakkan jarum-jarum hitam yang dipasangnya menyerang siapa saja yang membuka pintu atau jendela dari luar dengan paksa!

Tiga hari tiga malam Ang Siok Bi berjaga-jaga, tidak berani tidur, jarang makan dan tidak pernah berganti pakaian sejak dia pulang. Cui-ma menjadi khawatir sekali melihat keadaan nyonya majikannya itu. Pada malam yang ke dua rumah itu telah diserbu orang ketika mereka tertidur saking lelahnya. Terdengar suara gedebugan dan ketika mereka memeriksa pada keesokan harinya, jelas nampak bekas kaki orang di luar pintu, daun pintu terbuka dan ada darah berceceran di situ. Jelas bahwa anak panah yang dipasang pada belakang daun pintu telah mengenai korbannya, yaitu orang-orang yang membuka pintu itu semalam. Sejak itu, Siok Bi dan Cui-ma tidak lagi berani tidur!

"Cui-ma, dengar baik-baik. Tidak boleh kita berdua mati di sini. Kalau kita berdua berjaga di sini sampai akhirnya musuh dapat menerjang masuk dan kita berdua mati, tentu anakku tidak akan tahu apa yang telah terjadi dengan ibunya. Kau harus pergi dari sini!"

"Ah, lebih baik kita pergi berdua saja, Toanio. Mengapa kita harus menanti datangnya musuh di sini? Marilah kita pergi dan bersembunyi di lain tempat."

Ang Siok Bi menggeleng kepala. "Percuma, mereka sudah membayangi dan mengejarku sejak dari Bhutan. Hendak bersembunyi ke mana? Tentu akhirnya akan mereka dapatkan juga. Dan kalau aku mati di tangan mereka, aku ingin mati di rumahku sendiri dan dapat melakukan perlawanan sebaiknya, daripada mati di tempat asing. Kau pergilah, Cui-ma...."

"Tidak, Toanio. Kalau Toanio tidak mau pergi, biar aku mati bersamamu di sini."

"Jangan banyak membantah!" Siok Bi membentak marah. "Aku sudah cukup mengenal kesetiaanmu. Aku menyuruh kau pergi bukan karena sayang nyawamu atau tidak percaya kepada kesetiaanmu. Justeru kalau engkau setia, engkau harus pergi, harus hidup dan kelak kauceritakan kepada Ang Tek Hoat anakku bagaimana ibunya mati dan oleh siapa. Mengertikah engkau? Katakan bahwa yang membayangi ibunya adalah Mohinta dan anak buahnya, orang-orang dari Bhutan. Mengerti?"

Sambil menangis akhirnya Cui-ma mentaati perintah majikannya dan sore hari itu pergilah dia meninggalkan rumah sewaktu menjelang senja dan cuaca sudah mulai gelap. Ang Siok Bi berjaga-jaga seorang diri di dalam kamarnya, matanya menatap ke arah pintu dan jendela kamarnya secara bergantian. Di balik pintu telah dia pasangi anak panah dan kalau pintu itu terbuka dari luar, tentu anak panah akan menyambar keluar. Sedangkan di jendela kamarnya dia pasangi jarum-jarum hitamnya yang juga akan menyambar keluar apabila daun jendela dibuka dengan paksa dari luar. Dia sen diri rebah terlentang melepaskan lelah dengan pedang terhunus di atas mejanya.

Malam itu sunyi sekali. Rasa kantuk hampir tak tertahankan lagi, namun Ang Siok Bi mempertahankan rasa kantuk itu dengan mencoret-coret pada kayu pembaringannya, menggunakan jarum hitamnya menuliskan huruf-huruf kecil di kayu itu dengan cara menggores-goreskannya.

"Tiga malam aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan mampus...."

Tiba-tiba dia menghentikan goresan jarumnya karena dia mendengar sesuatu di luar kamarnya. Siok Bi cepat meloncat turun dan dengan pedang di tangan, matanya memandang tajam ke arah jendela dan pintu, juga dia melirik ke atas, kalau-kalau ada musuh yang datang masuk melalui genteng. Akan tetapi suara itu lenyap dan selanjutnya tidak ada gerakan apa-apa lagi. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi lalu dia tenang kembali. Tentu hanya tikus, pikirnya dan dia merebahkan diri lagi di atas pennbaringan, meletakkan pedang di dekat pembaringan, di atas meja sehingga sewaktu-waktu dia dapat menyambarnya. Gangguan suara yang mencurigakan itu menambah semangat dan mengusir rasa kantuknya yang tadi hampir tidak dapat ditahankannya lagi itu.

Dia membayangkan puteranya dan tak terasa air matanya berlinang. Harapan satu-satunya hanya kepada puteranya. Dia telah menderita tekanan batin belasan tahun lamanya. Dia merasa sakit hati semenjak ada orang memperkosanya, orang yang disangkanya semula adalah pendekar sakti Gak Bun Beng akan tetapi yang ternyata bukan pria yang pernah menjatuhkan hatinya itu, melainkan Wan Keng In, putera dari Lulu yang kini menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es. Dan Tek Hoat, puteranya yang diharap-harapkan akan dapat menebus penghinaan dan membalaskan sakit hatinya itu, ternyata telah mengecewakan! Bahkan kini dia dikejar-kejar oleh rombongan orang-orang Bhutan yang dipimpin oleh panglima Mohinta itu! Jangan-jangan rombongan itu disuruh pula oleh puteranya! Mungkinkah itu? Dia menggigit bibir dan teringatlah dia akan dongeng kuno tentang seorang janda yang puteranya setelah menjadi seorang besar lalu melupakan ibunya. Bukan hanya melupakan ibunya yang miskin, bahkan karena tidak ingin orang mengetahui bahwa wanita janda miskin itu adalah ibunya, si anak yang telah menjadi orang besar itu menyuruh membunuh ibunya sendiri! Akan demikian pulakah nasibnya? Sedemikian jahat dan durhakakah puteranya? Membayangkan kemungkinan yang dibantahnya sendiri ini, Ang Siok Bi tidak dapat menahan lagi tangisnya dan air matanya bercucuran.

Akan tetapi, dia merasa mengantuk sekali. Rasa kantuk yang tidak dapat ditahannya lagi dan karena menangis tadi, maka dia menjadi lengah, tidak melihat betapa ada asap halus memasuki kamarnya dari lubang di dekat pintu! Setelah asap itu mengenai mukanya, timbuliah rasa kantuk yang amat hebat, yang tidak dicurigainya karena selama tiga hari tiga malam boleh dibilang dia tidak berani memejamkan mata. Dan sekarang, bersedih karena membayangkan kemungkinan puteranya akan berbuat keji dan durhaka terhadap dirinya, Siok Bi menjadi lemah dan bersikap masa bodoh, maka dia pun tidak melawan rasa kantuk itu dan akhirnya tertidurlah wanita ini dengan nyenyaknya.

Tak lama kemudian ada suara gerakan di atas kamar itu. Genteng dibuka dan sesosok bayangan melayang masuk. Ketika bayangan itu melihat betapa Siok Bi telah tidur, dia tertawa di balik saputangan yang dipergunakan sebagai kedok menutupi mulut dan hidungnya, kemudian dia mengeluarkan suara suitan perlahan. Dari atas genteng melayang turun lagi seorang yang juga memakai kedok sapu tangan dan orang ini mengangguk-angguk.

"Dia sudah pulas, Tuan Muda Mohinta," kata orang pertama dalam bahasa Bhutan.

Laki-laki ke dua yang ternyata adalah Mohinta itu, mencabut pedangnya dan dengan tenang saja dia menggerakkan tangannya. Pedang meluncur dan menusuk dada Ang Siok Bi, tepat mengenai ulu hatinya dan menembus sampai ke punggung! Cepat Mohinta mencabut pedang itu dan tubuh Ang Siok Bi berkelojotan, darah muncrat-muncrat dari dada dan punggungnya, lalu dia terdiam dan tewas tanpa dapat bersuara lagi, hanya matanya yang terbelalak memandang kepada dua orang yang membunuhnya secara curang itu.

Dua orang laki-laki itu lalu meloncat keluar melalui genteng, di mana terdapat beberapa orang teman mereka dan pergilah mereka menghilang ditelan kegelapan malam. Tidak ada seorang pun yang menyaksikan pembunuhan keji itu.

Demikianlah peristiwa pembunuhan atas diri Ang Siok Bi dan ketika Ang Tek Hoat muncul di dalam pondok ibunya, dia hanya mendapatkan kerangka ibunya, coretan tulisan di atas kayu pembaringan, dan pedang ibunya, tanpa dapat mengerti siapa yang telah membunuh ibunya.

Tentu saja cerita yang disampaikan oleh Cui-ma kepada Suma Kian Bu tidak lengkap, dan dia hanya bercerita tentang Ang Siok Bi sampai dia disuruh pergi oleh majikannya di waktu senja itu, kemudian dia menangis lagi sesenggukan.

"Lalu bagaimana, Cui-ma? Bagaimana dengan.... Ibuku?" Suma Kian Bu mendesah, masih terus bersandiwara melayani si gila itu yang menyangka dia adalah Ang Tek Hoat putera dari Ang Siok Bi.

"Karena tidak berani membantah, sore hari itu aku meninggalkan rumah, akan tetapi aku tidak pergi jauh dan pada keesokan harinya, aku kembali ke pondok. Aku tidak berani membuka pintu atau jendela yang dipasangi senjata rahasia, maka aku mengintai dan aku melihat nyonya majikan.... Ibumu itu hu....huuukkk.... dia telah tewas...."

Kian Bu terkejut juga, terkejut dan marah walaupun dia tahu bahwa yang diceritakan itu bukanlah ibunya sendiri. "Celaka!" serunya sambil mengepal tinju. "Siapa yang membunuhnya, Cui-ma? Siapa?"

"Tadinya aku pun tidak tahu siapa.... hu-hukkk.... akan tetapi tiba-tiba mereka itu muncul dan menangkapku.

"Mereka siapa?"

"Orang-orang Bhutan itu, yang dipimpin oleh Mohinta, seperti diceritakan Toanio kepadaku. Mereka menangkapku, membawaku dengan paksa ke sungai dan melemparkan aku ke pusaran air maut di Huang-ho...."

"Pusaran maut?"

"Ya, aku tidak berdaya. Aku dilempar di air dan pusaran air menyedot dan menarikku. Aku tidak tahu apa-apa lagi dan ketika aku sadar, ternyata aku telah berada di sini....di tepi sungai yang memasuki terowongan itu...." Kembali dia menangis.

Suma Kian Bu tertegun dan terheran-heran. Kiranya di samping hwesio yang tergelincir ke dalam jurang dan menemukan tempat ini secara aneh, juga dia yang dapat turun dibantu oleh gadis yang memiliki burung garuda, ada seorang lain yang dapat tiba di sini secara lebih aneh lagi, yaitu Cui-ma ini. Melalui pusaran air dan sungai yang memasu ki terowongan! Kemudian dia teringat akan keperluannya sendiri. Mungkin Cui-ma ini mengetahui tentang jamur panca warna!

"Cui-ma, setelah mendengarkan ceritamu, maukah engkau menolongku?"

"Tentu saja, Kongcu. Akan tetapi engkau harus membalaskan kematian Ibumu."

"Sudah pasti akan kulakukan itu, Cui-ma. Sekarang katakanlah, apa engkau tahu di mana adanya jamur panca warna yang berada di dalam satu di antara gua-gua ini?" tanya Kian Bu sambil memandang wanita itu penuh harapan.

"Jamur panca warna....?" Wanita itu memandang kepada Kian Bu dengan sinar mata tidak seliar tadi. Agaknya pertemuannya dengan pemuda yang disangka putera majikannya itu, dan cerita yang dituturkan sambil menangis, telah banyak mengurangi tekanan batinnya.

"Ya, jamur panca warna untuk obat." Kemudian Kian Bu teringat bahwa mungkin Cui-ma tidak mengenal nama jamur itu.

"Jamur itu kalau siang biasa saja, akan tetapi kalau malam mengeluarkan sinar lima macam seperti pelangi dan berada di dalam satu di antara gua-gua itu."

Tiba-tiba Cui-ma nampak ketakutan dan bergidik seperti melihat sesuatu yang mengerikan. Dia memandang ke kiri, ke arah sebuah gua besar dan berkata, "Kau.... kaumaksudkan.... ihhhhh.... mata-mata iblis itu, mata setan yang kalau malam mengejar-ngejarku.... hiiihhhhh, sungguh mengerikan, di gua tengkorak itu penuh tengkorak bayi dan anak kecil, di situ terdapat pula mata iblis yang hidup kalau malam aku takut, Kongcu, aku takut....!" Wanita yang mengalami banyak tekanan dan penderitaan batin itu menjerit dan melompat hendak lari. Akan tetapi Kian Bu lebih cepat lagi dan sudah memegang lengannya.

"Tenanglah, Cui-ma, tidak ada apa- apa dan jangan takut. Ada aku di sini. Yang kaumaksudkan dengan gua tengkorak itu yang mana? Yang besar itu? Yang di depannya ada tumpukan tiga buah batu besar itu?" Dia menuding ke arah kiri di mana terdapat sebuah gua yang agak besar.

Wanita itu menoleh dan memandang ke arah gua itu dan matanya makin terbelalak berputaran. Gilanya kumat lagi. "Benar.... benar.... aku takut.... takuttt....!" Dan dia menangis terisak-isak dalam pelukan Kian Bu yang merasa kasihan sekali kepada wanita ini.

"Hemmm, katanya mencari jamur, kiranya hanya mencari perempuan untuk dicumbu-rayu. Huh, dasar laki-laki cabul!"

Kian Bu terkejut bukan main. Dia menoleh dan kiranya dara cantik jelita itu telah berdiri di atas batu dan burung garudanya hinggap di pohon yang tumbuh tinggi di dinding tebing. Tentu saja sukar mendengarkan suara halus dari gerakan sayap yang menahan peluncuran mereka tadi dan tahu-tahu gadis itu telah berada di situ, mengeluarkan kata-kata yang mengejek dan dengan pandang mata yang marah dan mengandung hinaan pula.

"Ah, jangan sembarangan bicara!" bentaknya marah, akan tetapi tentu saja dengan perasaan tidak enak dia melepaskan pelukannya yang tadi dilakukan untuk mencegah Cui-ma lari dan membiarkan wanita itu menangis.

Tiba-tiba Cui-ma menjerit nyaring sekali. "Siluman.... datang hendak mencabut nyawaku....!" Dia menoleh ke arah dara itu, lalu melarikan diri dengan cepat berloncatan ke atas batu-batu yang besar-besar dan berserakan di tempat itu. "Cui-ma....!" Kian Bu berteriak mengejar. Akan tetapi seperti orang nekat Cui-ma telah lari cepat berloncatan membabi-buta. Tiba-tiba dia tergelincir dan terbanting jatuh ke depan. Terdengar suara "prakkk" dan tubuhnya terguling, tidak bergerak lagi.

"Cui-ma....!" Kian Bu melompat dan cepat berlutut di atas batu di mana Cui-ma roboh tadi. Dia memeriksa dan menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah dara cantik yang masih berdiri itu. "Dia telah mati...." katanya seperti orang mengeluh.

"Mati....?" Gadis itu cepat berlari menghampiri dan terbelalak memandang wanita setengah tua yang kini kepalanya pecah berlumuran darah. Kiranya ketika terjatuh tadi, kepalanya menimpa batu keras dan pecah sehingga dia tewas seketika! Dan baru sekarang Hwee Li mendapat kenyataan bahwa wanita yang dipeluk oleh Kian Bu tadi ternyata adalah seorang wanita setengah tua yang mukanya kotor menjijikkan dan yang agaknya adalah seorang wanita yang tidak waras otaknya.

"Dia siapa? Kenapa?" tanyanya sambil memandang kepada Kian Bu. Akan tetapi Kian Bu masih merasa marah, sedih dan kecewa melihat nasib Cui-ma sehingga dia tidak menjawab pertanyaan gadis itu, malah tidak mempedulikannya lagi dan dia memondong mayat Cui-ma, dibawanya ke tempat yang ada tanahnya. Dia menggali lubang tanpa bicara sepatah kata pun, kemudian mengubur mayat Cui-ma di situ, di depan sebuah gua. Akhirnya dia membersihkan kedua tangannya sambil menghela napas.

"Suma Kian Bu, kau menganggap dirimu ini siapa sih? Sikapmu begitu sombong!" Hwee Li yang sejak tadi diam saja dan menonton semua yang dilakukan Kian Bu sambil duduk di atas batu besar, kini menegur dengan wajah cemberut karena dia merasa sama sekali tidak diacuhkan oleh pemuda itu.

Kian Bu menengok dengan alis berkerut. "Engkau telah membuat dia ketakutan dan menjadi sebab kematiannya, dan kau sama sekali tidak menyesal?"

"Eh, eh! Siluman Kecil, ngawur saja bicaramu! Bagaimana duduk perkaranya maka kaukatakan bahwa aku menjadi sebab kematiannya? Hwee Li berseru sambil bangkit berdiri dan bertolak pinggang, wajahnya merah karena marahnya.

Hemmm, pemarah benar gadis ini, pikir Kian Bu. Akan tetapi dia tidak mau kalah karena memang dia merasa kasihan sekali kepada Cui-ma dan mendongkol melihat kedatangan gadis itu yang mengejutkan Cui-ma.

"Kau telah mengejut kan dia, mengira engkau siluman maka dia lari lalu terjatuh. Apa kau tidak melihat itu?"

"Huh, kalau dia menganggap aku siluman, apakah itu kesalahanku? Kalau dia takut melihat aku lalu lari seperti gila, apakah itu juga kesalahanku? Kalau kau yang dekat dengan dia tidak mampu mencegah dia lari, apakah itu pun kesalahanku? Kalau memang wajahku jelek sekali seperti siluman sehingga membikin dia takut, apakah itu juga kesalahanku?" Diberondong oleh ucapan yang nadanya menantang dan mengejek, namun tak dapat dibantah kebenarannya itu membuat Kian Bu merasa tidak enak dan serba salah. Memang kalau dipikir benar-benar, tentu saja munculnya gadis itu tidak salah dan tidak sengaja hendak mengagetkan Cui-ma.

"Kau tidak berwajah jelek...." saking bingungnya dia membantah kalimat terakhir itu.

"Sudah jelas dia menyangka aku siluman sehingga dia ketakutan! Wajahku jelek seperti siluman, dan apa dayaku?"

Kalau dia diserang dengan kata yang mengandung kemarahan, agaknya Kian Bu akan dapat membalas karena dia pun terhitung seorang yang pandai bicara, bahkan dulu sebelum dia menjadi Siluman Kecil, dia adalah seorang pemuda yang lincah jenaka dan pandai menggoda orang lain dengan kata-kata, akan tetapi kini melihat dara itu memburuk-burukkan diri sendiri, dia menjadi makin tidak enak.

"Tidak, tidak...., sebaliknya malah, kau cantik sekali...."

"Huh, sudah keluar pula sifat cabulnya!" Hwee Li mengejek. Kian Bu makin bingung. Celaka, gadis ini benar-benar membikin orang menjadi kewalahan dan mendongkol sekali!

"Maksudku, kau tidak jelek dan karena cantik itu agaknya dia menyangka kau siluman. Tentu saja bukan salahmu, akan tetapi, ah, aku kasihan sekali padanya. Nasibnya demikian Buruk sampai matinya...." Dan pemuda itu memandang ke arah gundukan tanah campur batu yang menjadi kuburan Cui-ma itu.

Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari pemuda itu, Hwee Li juga mereda rasa penasarannya dan dia bertanya sambil memandang ke arah kuburan itu, "Siapakah dia itu?"

"Namanya Cui-ma, dia pelayan dari Ang Siok Bi yang telah menjadi gila karena tekanan batin yang hebat dan dia sampai di sini karena dilempar ke Sungai Huang-ho dan hanyut oleh pusaran air."

"Ihhh....! Siapa yang melakukannya dan kenapa? Siapa pula itu Ang Siok Bi?

"Dia adalah ibu Ang Tek Hoat."

"Tek Hoat....? Tek Hoat? Serasa pernah aku mendengar nama itu!" Hwee Li mengerutkan alisnya sambil mengingat-ingat.

"Mungkin saja. Dia pernah terlibat dalam urusan pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong. Dia terkenal dengan julukannya si Jari Maut, Ang Tek Hoat."

"Ahhh....! Benar! Wah, dia terkenal sekali dan orang itu amat menarik. Kau bilang bahwa wanita tadi adalah pelayan ibu si Jari Maut?"

Melihat betapa Hwee Li amat tertarik, maka dengan singkat Kian Bu lalu menuturkan tentang pertemuannya dengan Cui-ma dan tentang cerita Cui-ma bahwa ibu dari Tek Hoat telah dibunuh oleh orang-orang Bhutan yang dipimpin oleh orang yang bernama Mohinta, seorang panglima dari Bhutan yang lihai. Hwee Li mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia kembali memandang ke arah kuburan itu.

"Maafkan aku, tadinya kusangka...."

"Kausangka apa? "

"Dari atas kulihat engkau memeluk seorang wanita, kelihatan kalian seperti sedang bercinta-cintaan dan bermesra-mesraan."

Kian Bu sudah mendapatkan kembali sifatnya yang nakal dan suka menggoda orang. "Andaikata benar demikian, mengapa?"

Kedua pipi itu berubah merah dan matanya bersinar marah. "Aku sih tidak peduli! Akan tetapi karena kau bilang hendak mencarikan obat untuk Suma Kian Lee, dan melihat kau bermain gila, maka aku sudah menegurmu."

"Obat? Ah, benar! Agaknya aku sudah menemukan tempatnya, berkat petunjuk dari Cui-ma," berkata demikian, Kian Bu lalu melangkah menuju ke gua yang ditunjuk oleh Cui-ma tadi.

Hwee Li cepat mengikutinya dan mereka berdiri di depan gua besar yang agak gelap karena sinar matahari tidak dapat langsung masuk ke dalamnya. Akan tetapi lambat-laun mata mereka sudah menjadi biasa dan ketika mereka memasuki gua, kelihatanlah oleh mereka banyak sekali kerangka kecil di situ.

"Hemmm, Cui-ma bilang bahwa gua ini penuh tengkorak bayi dan anak kecil. Agaknya inilah gua tengkorak itu...." kata Kian Bu sambil memandang tengkorak dan tulang-tulang berserakan.

"Tidak ada tengkorak bayi atau anak kecil. Ini adalah tengkorak dan kerangka binatang, semacam monyet, hanya mukanya seperti anjing. Hemmm, tidak salah lagi, ini adalah kerangka binatang baboon yang tubuhnya monyet dan mukanya anjing. Ini agaknya menjadi kuburan mereka."

"Dan Cui-ma bilang di sini terdapat mata iblis...." kata pula Kian Bu.

Mereka masuk terus ke dalam gua yang agak panjang itu. Tiba-tiba Hwee Li berseru, "Ihhhhh...." dan otomatis tangannya memegang tangan Kian Bu. Pemuda ini pun terkejut sehingga dia pun membalas pegangan tangan itu. Mereka saling berpegang tangan dan jantung mereka berdebar tegang. Jauh di sebelah dalam, di tempat gelap, nampak banyak mata yang mencorong dan bersinar-sinar memandang ke arah mereka! Bukan mata manusia, bukan pula mata binatang, dan agaknya itulah mata iblis yang ditakuti oleh Cui-ma.

Tiba-tiba Hwee Li tertawa dan melepaskan tangannya. "Ah, memang benda yang berkilau dan mengeluarkan sinar, akan tetapi lihat, sinarnya tidak pernah bergerak. Bukan mata, melainkan benda -benda bersinar."

"Benar engkau, Nona. Dan agaknya inilah yang kucari. Lihat, bukankah sinarnya berubah-ubah dan seperti warna pelangi? Inilah jamur panca warna itu! Menurut penuturan Sai-cu Kai-ong, jamur itu hanya mengeluarkan sinar di tempat gelap, kalau di tempat terang tidak ber sinar." Kian Bu mendekat, berjongkok dan menggunakan tangannya mencabuti jamur-jamur itu. Jamur-jamur itu masih bersinar-sinar di tangannya ketika dia bawa keluar, akan tetapi setibanya di luar, jamur-jamur itu kehilangan sinarnya dan berubah sebagai jamur biasa saja!

"Inilah obatnya, tidak salah lagi!" Kian Bu berseru dan menoleh ke arah kuburan Cui-ma sambil berkata, "Terima kasih, Cui-ma, engkau telah menyelamatkan kakakku."

"Belum tentu," tiba-tiba Hwee Li berkata. "Kalau kau tidak dapat keluar dari sini dan cepat-cepat memberikan jamur itu kepada kakakmu, mana bisa dia tertolong? Mari, kuantar kau naik."

Hwee Li mengeluarkan suara melengking dan burung garuda itu menyambar turun lalu hinggap di atas batu di depan gadis itu. "Siluman Kecil...."

"Namaku Suma Kian Bu, Nona."

"Sebaiknya sekarang kukenal sebagai Siluman Kecil saja. Kau akan kubantu agar dapat naik ke sana."

"Terima kasih, Nona. Akan tetapi...." Kian Bu meragu karena dia merasa "ngeri" kalau harus duduk membonceng lagi. Dia tidak berani tanggung kalau tidak akan bangkit berahinya lagi duduk berhimpitan dengan nona yang amat cantik itu.

"Kaukira akan membonceng? Aku pun tidak mau....!

"Kalau aku duduk di depan.. .."

"Huh, di depan pun berbahaya. Seorang cabul seperti engkau!"

"Kalau begitu tinggalkan saja aku di sini, Nona, aku akan mencari jalan keluar sedapatku dan aku tidak mau menyusahkanmu."

"Sombong!" Hwee Li meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas punggung garudanya dan burung itu pun terbang ke atas. Hwee Li menjenguk ke bawah sambil berteriak, "Kau bergantunglah pada ini!" Dan sehelai sabuk sutera merah muda meluncur ke bawah.

Kian Bu tersenyum. Memang banyak akalnya nona ini, pikirnya dan karena dia harus cepat-cepat dapat kembali ke kakaknya, maka dia pun lalu meloncat dan menangkap ujung sabuk sutera itu, bergantung di udara. Gadis itu mengeluarkan suara melengking dan burungnya terbang ke atas dengan cepat sekali. Tubuh Kian Bu tetap bergantung dan diam-diam pemuda perkasa ini merasa ngeri juga. Dia tahu bahwa nyawanya berada di telapak tangan nona itu karena sekali saja nona itu melepaskan sabuk, betapapun tinggi kepandaiannya, dia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan nyawanya lagi.

Untuk keluar dari tempat itu, belum tentu akan dapat dilakukannya dalam waktu berhari-hari karena dia harus akan mencari-cari jalan lebih dulu, akan tetapi dengan menggantung pada sabuk sutera itu, dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tiba di atas tebing dan dia meloncat turun. Burung garuda itu terbang perlahan berputaran di atas kepalanya dan gadis itu menjenguk ke bawah. "Siluman Kecil, kau cepat bawa obat itu kepada kakakmu!"

Kian Bu menjura ke arah gadis itu dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, "Engkau sungguh amat baik, Nona. Engkau telah menolong aku dan berarti engkau telah menyelamatkan nyawa kakakku. Aku menghaturkan terima kasih atas bantuanmu."

"Aku tidak membantumu! Kalau tidak ingat kepada kakakmu, apa kaukira masih hidup setelah apa yang kaulakukan di atas punggung garuda kemarin?"

Wajah Kian Bu terasa panas dan menjadi merah sekali. "Nona, semua itu terjadi tanpa kusengaja, apakah kau tidak dapat memaafkan aku?"

"Sudahlah, cepat pergi dan obati kakakmu."

"Tapi tinggalkan dulu namamu, Nona."

"Aku tidak ingin menjadi kenalanmu."

"Tidak, akan tetapi kalau kakakku bertanya siapa adanya dewi kahyangan yang menolongnya bagaimana aku akan menjawab?"

Disebut dewi kahyangan, Hwee Li tersenyum. "Engkau memang perayu besar! Katakan saja bahwa lima enam tahun yang lalu aku pernah mengobati luka di paha kakakmu!" Setelah berkata demikian, dia menepuk punggung garudanya yang terbang cepat ke atas.

Kian Bu menjadi bengong. Pernah kakaknya dahulu bercerita betapa ketika kakinya terluka parah, terkena ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, paha kakaknya yang terluka itu diobati dan disembuhkan oleh seorang gadis cilik yang bernama Kim Hwee Li, yaitu puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Jadi gadis cantik jelita itu adalah puteri ketua Pulau Neraka!

"Engkau Kim Hwee Li dari Pulau Neraka?" Dia berseru nyaring ke arah burung garuda yang sudah terbang tinggi. Tidak ada jawaban kecuali suara melengking nyaring yang makin menjauh, entah lengking gadis aneh itu ataukah lengking garuda.

******

Kian Bu melakukan perjalanan cepat sekali, akan tetapi ketika dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan di mana tempo hari pasukan kerajaan berada, kini tempat itu telah menjadi sunyi dan tahulah dia bahwa pasukan itu telah meninggalkan tempat itu. Dan hal itu memang benar. Setelah Pangeran Yung Hwa selamat sampai di istana kaisar, kaisar lalu memerintahkan agar pasukan kembali ke kota raja. Kaisar tidak ingin melihat timbulnya perang saudara yang baru, karena pasukan lebih diperlukan untuk menjaga perbatasan dengan negara tetangga dan melindungi tanah air dari serbuan orang-orang liar terutama dari utara dan barat, daripada dipergunakan untuk perang saudara. Adapun mengenai tanda-tanda dan sikap-sikap memberontak dari para gubernur, akan diserahkan kepada orang-orang pandai dari kerajaan untuk mengatasi dan membereskannya.

Setelah mendapatkan kenyataan bahwa pasukan telah meninggalkan tempat itu, Kian Bu teringat akan pesan Sai-cu Kai-ong, maka tanpa membuang waktu lagi dia langsung pergi dengan cepat menyusul ke puncak Bukit Nelayan, yaitu bukit di tepi sungai sebelah selatan kota Pao-teng di mana Sai-cu Kai-ong tinggal.

Beberapa hari kemudian, setelah dia tiba di puncak Bukit Nelayan, benar saja dia bertemu dengan Sai-cu Kai-ong dan kakaknya juga berada di situ, berbaring di dalam sebuah kamar dan keadaannya tidaklah separah ketika dia tinggalkan berkat perawatan yang baik dari seorang ahli pengobatan yang pandai, yaitu Sai-cu Kai-ong. Kakek itu girang dan kagum sekali menerima jamur panca warna dari Kian Bu.

"Benar...., benar inilah jamur yang mujijat itu.... aihhh, Suma-taihiap, sungguh engkau hebat sekali, dan kakakmu tentu akan sembuh dengan cepat berkat obat ini," kata kakek itu sambil membawa masuk jamur itu untuk dibuatkan ramuan obat.

Kian Bu memandang girang dan menoleh ketika kakaknya berkata, "Bu-te, engkau telah bersusah-payah untukku. Aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu, adikku."

Kian Bu duduk di atas bangku dekat pembaringan kakaknya, wajahnya berseri gembira dan dia berkata, "Lee-ko, kau tidak semestinya mengucapkan terima kasih kepadaku, karena yang berjasa mendapatkan jamur mujijat itu bukanlah aku...."

"Aku tahu, memang Locianpwe Sai-cu Kai-ong juga telah melimpahkan budi kepadaku, akan tetapi engkau yang bersusah payah mendapatkannya, padahal menurut cerita Locianpwe itu, amat sukarlah mendapatkannya dan kau telah berhasil dalam waktu singkat."

"Ah, sama sekali bukan aku. Kalau tidak ada pertolongan orang itu, kiranya belum tentu satu bulan lagi aku sudah dapat kembali, bahkan belum tentu bisa mendapatkan jamur itu."

"Ah, begitukah? Siapakah penolong yang budiman itu, adikku?"

"Dia adalah seorang yang amat kau kenal baik, Koko."

"Siapa?"

"Pacarmu!"

Kian Lee terkejut dan mengerutkan alisnya memandang wajah adiknya yang berseri dan kemudian dia tersenyum. Biarpun adiknya ini telah mengalami banyak sekali perubahan, rambutnya putih semua persis seperti keadaan ayah mereka si Pendekar Super Sakti, wajah adiknya itu sudah nampak dewasa dan "matang", namun ternyata adiknya masih belum kehilangan sifat kebengalannya!

"Kian Bu, jangan main-main kau!" katanya menegur karena dia mengira bahwa yang dimaksudkan oleh Kian Bu itu tentulah Ceng Ceng, atau Lu Ceng, atau kini telah menjadi isteri Kao Kok Cu putera sulung Jenderal Kao Liang yang dulu berjuluk Topeng Setan. Begitu mendengar adiknya menyebut "pacarmu", terbayanglah wajah Ceng Ceng, akan tetapi Kian Lee cepat mengusir bayangan itu karena maklum bahwa tidak semestinyalah kalau dia membayangkan wajah isteri orang lain!

Melihat wajah kakaknya menjadi agak muram, Kian Bu segera teringat dan maklum, maka cepat-cepat dia menyambung, "Bukan dia maksudku, Lee-ko, akan tetapi dara cantik jelita yang menjadi pacarmu dalam cinta pertamamu. Hayo, masa kau lupa lagi siapa yang menerima cinta pertamamu?"

Kian Lee masih mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa adiknya ini bengal dan suka menggoda orang, terutama menggoda wanita-wanita muda. Dia sendiri jarang bergaul dengan wanita, dan selama hidupnya, baru satu kali dia jatuh cinta, jatuh cinta benar-benar dan ternyata yang dicintanya itu, Ceng Ceng, keponakan tirinya sendiri! Ceng Ceng adalah puteri gelap dari mendiang Wan Keng In, sedangkan Wan Keng In itu adalah anak kandung dari ibunya sendiri, jadi satu ibu lain ayah dengan dia! Tentu saja tidak mungkin dia berjodoh dengan Ceng Ceng dan kenyataan itu sebenarnya banyak menolongnya, karena kalau tidak, tetap saja dia akan patah hati, malah lebih parah lagi karena ternyata Ceng Ceng mencinta seorang laki-laki lain, yaitu Kao Kok Cu!

"Aku tidak mengerti siapa yang kau maksudkan itu, Bu-te," katanya menggeleng kepala.

Kian Bu tertawa. "Dia sendiri tidak mau memperkenalkan namanya. Akan tetapi dia adalah seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali Koko, galak dan lincah, menunggang seekor garuda, pakaiannya serba hitam dan ilmu kepandaiannya hebat."

Kian Lee tetap tidak dapat menduga siapa adanya gadis itu. "Siapakah dia, Bu-te? Katakanlah, siapa dia dan mengapa kau tadi mengatakan bahwa dia adalah pacarku."

"Dia tidak bilang begitu, Koko, maafkan aku. Akan tetapi dia hanya mengatakan bahwa dia dahulu pernah menolongmu dan mengobati pahamu yang terluka parah lima enam tahun yang lalu...."

"Aihhh....! Dia....?" Tentu saja Kian Lee teringat baik akan peristiwa itu. Lima tahun lebih yang lalu dia terluka oleh ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, dan dia tentu akan tertawan musuh dan tidak berdaya dalam keadaan luka itu kalau tidak ditolong oleh seorang gadis cilik yang manis dan mungil, murid keponakan Mauw Siauw Mo-li sen diri, gadis yang muncul bersama banyak kucing, Kim Hwee Li atau puteri tunggal dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka!

Terbayanglah dia wajah anak yang cantik itu.

"Benar dia, tentu kauingat sekarang bukan, Koko?" tanya Kian Bu sambil tersenyum dan menyelidiki wajah kakaknya. Dia tahu bahwa kakaknya telah patah hati karena kasih tak sampai dan dia akan senang kalau kakaknya ini mendapatkan seorang pacar baru, dan gadis pakaian hitam itu memang hebat!

"Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?" Kian Lee menegaskan.

"Benar, dialah orangnya yaang memungkinkan aku secepat ini memperoleh jamur itu untukmu, Koko." Kian Bu lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia mencari jamur dan bertemu dengan Hwee Li yang memboncengkannya turun ke bawah tebing itu. Tentu saja dia tidak berani menceritakan tentang peristiwa memalukan dan lucu ketika dia terserang oleh nafsu berahi yang bangkit ketika dia dibonceng di belakang tubuh Hwee Li dan betapa Hwee Li menjadi marah-marah dan menyerangnya sehingga dia terjatuh ke bawah. "Dia.... dia cinta padamu, Koko."

"Hushhhhh....!" Kian Lee membentak dengan muka berubah merah. "Jangan menyalahtafsirkan kebaikan orang, Bute. Apakah karena dia dahulu pernah mengobati pahaku, kemudian sekarang membantumu mencari jamur panca warna, lalu kauanggap kebaikan hatinya itu sebagai tanda jatuh cinta? Kau sungguh terlalu merendahkan kebaikan orang, Bu-te."

"Bukan begitu, Lee-ko. Aku tentu saja tidak akan sembarangan bicara kalau tidak ada bukti-bukti nyata. Buktinya menyatakan bahwa dia cinta kepadamu."

"Hemmm, kau masih bengal seperti dulu, Kian Bu. Hayo apa buktinya?" Kian Lee mendesak.

"Ketika dia mengobati pahamu dahulu tentu saja aku tidak dapat membuktikannya, apalagi ketika itu dia tentu masih kecil, belum dewasa, maka tidak patut bicara tentang cinta. Akan tetapi sekarang, hemmm.... dia telah menjadi seorang dara dewasa yang cantik jelita dan manis sekali, Koko...."

"Hal itu belum menjadi bukti bahwa dia cinta padaku, agaknya padamulah dia jatuh hati, Bu-te, karena engkau selalu pandai merayu wanita!"

"Tidak, Lee-ko, dengarlah dulu ceritaku. Kukatakan tadi bahwa dia menolongku membonceng garudanya turun ke dasar tebing. Nah, dalam penerbangan itu dia bertanya mengapa kau terluka, dan dia tadinya sudah menunjukkan pula bahwa hanya karena mendengar Suma Kian Lee terluka saja maka dia mau membantuku. Ketika aku berterus terang mengatakan bahwa kau terluka oleh pukulanku, sebelum aku sempat menceritakan bahwa hal itu kulakukan tanpa sengaja dia sudah menjadi begitu marah dan dia menyerangku sampai aku terjungkal dari atas punggung garudanya!"

"Ahhh....!" Kian Lee terkejut sekali

"Untung burung itu telah terbang rendah dan hampir sampai di dasar tebing sehingga aku selamat. Akan tetapi bukankah hal itu jelas membuktikan bahwa dia cinta padamu sehingga ketika dia mendengar engkau luka terpukul olehku dia lalu marah dan hendak membunuhku?"

"Hemmm, dia ganas....!" Kian Lee berkata lirih. Tentu saja dia tidak memikirkan gadis itu, melainkan memikirkan bahaya yang mengancam adiknya.

"Akan tetapi dia sudah kuceritakan bahwa perkelahian antara kita adalah karena tidak tahu, maka dia berbaik kembali dan mau mengantarku naik dengan garudanya setelah aku berhasil menemukan jamur itu."

"Karena petunjuk wanita gila itu seperti yang kauceritakan tadi? Ah, sungguh hebat pengalamanmu, adikku. Siapa kira di tempat itu kau bertemu dengan pelayan Ibu Tek Hoat yang menceritakan peristiwa hebat yang menimpa diri Ang Siok Bi itu. Entah Tek Hoat sudah mendengar atau belum bahwa ibunya dibunuh oleh Mohinta dan teman-temannya dari Bhutan."

Percakapan mereka terhenti karena munculnya Sai-cu Kai-ong yang datang bersama Siauw Hong dan Gu Sin-kai. Siauw Hong membawa periuk obat yang terisi godokan obat yang berwarna hijau.

"Ah, Suma-taihiap," kata Sai-cu Kai-ong kepada Kian Bu. "Kakakmu tidak boleh diajak bicara terlalu banyak. Dia harus banyak istirahat karena luka yang dideritanya amat hebat. Jamur panca warna ini akan menyelamatkannya, namun dia harus banyak beristirahat." Kakek ini lalu mengambil periuk dari tangan Siauw Hong dan memberi minum ramuan jamu panca warna yang telah digodok dengan obat-obat lain itu kepada Kian Lee. Rasanya pahit dan baunya tidak sedap, agak amis dan wengur, akan tetapi ada hawa yang hangat menjalar dari perut setelah Kian Lee menghabiskan obat semangkok itu.

"Sekarang, beristirahatlah, Taihiap," kata Sai-cu Kai-ong kepada Kian Lee. "Setiap hari Taihiap harus minum obat, ramuan ini tiga mangkok, pagi siang dan sore." Maka mulailah  Kian Lee minum obat campur jamur mujijat itu, dilayani oleh Siauw Hong yang menggodokkan obatnya dan Kian Bu yang menjaganya siang malam.

Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali atas perkenan Sai-cu Kai-ong, Kian Bu memondong tubuh Kian Lee yang belum boleh banyak bergerak itu keluar dari kamar, menuruni puncak dan menuju ke tepi sungai. Kian Bu menurunkan tubuh kakaknya di atas rumput hijau. Hawa amat nyaman di pagi hari itu, apalagi setelah matahari pagi yang murni dan jernih itu mulai melimpahkan cahayanya yang keemasan.

"Sekarang tiba saatnya engkau menceritakan semua pengalamanmu, Bu-te. Mengapa selama lima tahun ini engkau tidak pernah pulang ke Pulau Es dan ke mana saja engkau pergi? Mengapa pula rambutmu menjadi putih semua seperti itu? Apakah memang karena engkau mewarisi warna rambut Ayah, ataukah ada terjadi hal lain?"

Mendengar pertanyaan kakaknya itu, tiba-tiba saja wajah Siluman Kecil itu menjadi muram kembali. Kalau tadinya semenjak dia mencari obat jamur dan bertemu dengan Hwee Li, hampir pulih kembali kegembiraannya dan hampir nampak kembali sifat-sifat Kian Bu yang lincah gembira, kini dia kembali muram seperti wajah Siluman Kecil selama ini! Dia menarik napas panjang dan berkata lirih dan lambat, "Aku telah tenggelam di dalam kedukaan hebat, Koko. Semenjak aku melihat pencurahan kasih sayang dari Puteri Syanti Dewi kepada Ang Tek Hoat di dalam hutan, semenjak aku melihat kenyataan bahwa puteri yang kucinta dengan sepenuh jiwa raga itu ternyata mencinta orang lain, aku tidak dapat menahan guncangan batin karena kecewa dan duka, dan aku tenggelam di dalam kesedihan seperti hampir gila dan tidak ingat apa-apa lagi...."

Kian Lee menarik napas panjang dan memegang tangan adiknya penuh kasih sayang dan belas kasihan. "Aku tahu, adikku. Aku telah mengenal pula perasaan itu. Lanjutkanlah ceritamu."

"Aku seolah-olah menjadi bosan hidup. Alam di sekelilingku berubah seperti neraka dan aku tidak ingin kembali ke Pulau Es, tidak ingin bertemu siapapun juga kecuali bertemu dengan malaikat maut yang boleh mencabut nyawaku. Aku pergi merantau ke manapun kakiku membawaku, tanpa tujuan, tanpa kemauan dan yang ada hanya perasaan merana dan sengsara."

"Ah, kasihan sekali kau, Bu-te. Tidak kusangka seorang yang segagah dan selincah engkau, yang selalu gembira dan nakal, ternyata begitu lemah setelah tertimpa kekecewaan cinta...." Kian Lee memandang dengan sinar mata terharu sekali.

"Aku sendiri pun merasa heran, Koko. Tadinya kuanggap bahwa cinta terhadap wanita hanya merupakan permainan belaka. Akan tetapi cintaku terhadap Shanti Dewi sungguh lain sama sekali. Puteri itu telah menguasai seluruh jiwa ragaku, setiap bulu di tubuhku seperti telah mencintainya dan tidak mau berpisah lagi dari sisinya, maka begitu terjadi perpisahan dan kenyataan bahwa aku tidak dapat mendekatinya, aku jatuh dan hancur lebur. Akan tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku agar tidak membosankan engkau yang mendengar aku merengek-rengek tentang cintaku yang gagal, Koko. Dengarlah."

Kian Bu lalu bercerita. Dengan hati patah dan hancur dia lalu merana, naik turun gunung, menyeberangi sungai dan telaga, masuk keluar hutan-hutan besar dan lebat, sama sekali tidak mempedulikan lagi dirinya sehingga pakaiannya compang-camping, tubuhnya kurus dan wajahnya pucat, rambutnya terurai riap-riapan tanpa pernah dibereskan. Karena membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sedemikian rupa, dan mungkin karena ditambah dengan keturunan, dalam waktu beberapa bulan saja sudah tumbuh rambut putih di kepalanya.

Pada suatu hari, tanpa disadarinya dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-pei sebelah selatan dan mendaki sebuah bukit. Karena dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, maka dia tidak peduli pula akan cegahan orang-orang ketika dia tiba di bawah bukit. Orang-orang itu memperingatkannya agar tidak naik ke bukit itu, karena menurut mereka, bukit itu berada di bawah kekuasaan kakek dewa yang menghuni di gedung tua di puncak bukit itu dan kakek dewa itu amat galak, tidak memperkenankan sembarangan orang mendekati gedungnya.

Akan tetapi Kian Bu tidak mempedulikan itu semua, bahkan dia seperti sengaja hendak menempuh bahaya karena baginya pada waktu itu, kalau kematian datang, hal itu dianggapnya baik sekali! Dia seperti orang nekat dan dengan sembarangan saja dia lalu mendaki bukit yang sunyi itu pada waktu matahari mulai tenggelam. Senjakala mendatangkan sinar layung yang kemerahan di permukaan bukit, membuat segala sesuatu seperti menyala kekuningan, terang sekali dan sesungguhnya amatlah indahnya. Namun bagi seorang yang sedang dilanda kedukaan hati dan pikirannya sendiri, tidak ada apa-apa yang indah, adanya hanya mengesalkan dan menjemukan hati belaka. Jelaslah bahwa indah dan buruk hanyalah penilaian yang sesuai dengan keadaan hati seseorang belaka. Kenyataannya tidaklah baik atau buruk, melainkan ya sudah begitu, apa adanya, tidak baik tidak buruk, tidak indah tidak jelek. Hanya pikiran dan hati sendirilah yang memberi penilaian, sesuai dengan suka dan tidak suka, menyenangkan dan tidak menyenangkan, menguntungkan dan merugikan.

Ketika malam mulai datang, gelap menyelimuti cahaya terakhir dari matahari, Kian Bu menghentikan langkahnya dan duduklah dia di atas batu di tepi jurang, melamun, kadang-kadang merenung ke dalam kegelapan, kadang-kadang pula dia berdongak memandang langit yang terhias bintang-bintang muda yang berkedap-kedip lemah di langit yang masih muda warnanya. Pikirannya kosong, melayang-layang tanpa arah tujuan tertentu, suasana menjadi lengang dan kesepian menyelimutinya, menimbulkan ketrenyuhan hati

yang makin merana.

Dia tidak tahu di mana dia berada. Sebenarnya pada saat itu dia telah berada di Pegunungan Tai-hang-san, di sebuah di antara puncak bukit-bukit di sekitar pegunungan itu. Tiba-tiba terdengar suara suling melengking, memecah kesunyian malam, menyelinap di antara suara belalang dan jengkerik serta binatang-binatang kecil yang biasa meramaikan suasana keheningan malam.

Kian Bu tertarik oleh suara suling itu. Sungguh nyaring sekali suara suling itu, peniupnya tentu seorang yang pandai. Seperti ada daya tarik luar biasa pada suara suling itu. Kian Bu lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke arah suara itu. Sementara itu, bintang-bintang di langit mulai nampak lebih terang karena langit makin tua warnanya, dan bintang-bintang itu kelihatan seperti permata-permata indah tergantung pada beludru hitam yang bersih. Tidak begitu gelap keadaan di tempat itu sehingga Kian Bu dapat melihat seorang kakek yang duduk bersandarkan batang pohon dan meniup suling.

Suara suling itu terhenti seketika dan kakek itu meloncat, di tangan kanannya nampak sebatang tongkat dan sebatang suling yeng putih berkilau telah diselipkan di ikat pinggangnya. Kakek itu tinggi kurus dan usianya tentu sudah enam puluh lima tahun lebih. Sikapnya agung dan gagah ketika dia berdiri dengan kaki terpentang lebar, tongkatnya melintang dan matanya memandang Kian Bu penuh perhatian dan kecurigaan.

"Siapa kau? Mau apa naik ke bukit ini yang berada di bawah kekuasaan kami? Hayo cepat kau pergi dari sini sekarang juga!" bentak kakek itu.

Kian Bu mengerutkan alisnya. "Apakah engkau ini yang dinamakan orang di bawah sana sebagai kakek dewa?" tanyanya.

Kakek itu mendengus dan menggerakkan tongkatnya yang panjahg. "Kalau benar mau apa?"

"Hemmm, kalau benar begitu, namamu saja kakek dewa, akan tetapi sikapnya lebih menyerupai kakek iblis."

"Bocah keparat! Berani engkau memaki Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak)? Hayo pergi, aku masih sabar dan dapat mengampunimu. Aku tidak mau ribut dengan seorang bocah masih ingusan." Kian Bu yang memang sedang murung itu, menjadi marah.

"Kakek sombong, kalau aku tidak dapat mengalahkan engkau lebih baik aku mati saja!"

Ucapan yang sebenarnya keluar dari hati yang kesal itu tentu saja membuat Gin-siauw Lo-jin menjadi marah bukan main. "Bocah tak tahu diri! Pergi!" bentaknya, dan tangan kirinya menampar. Dia mengira bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda ugal-ugalan dari bawah gunung, maka dia bermaksud untuk menapar pundaknya agar pemuda itu takut dan lari. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat pemuda itu tidak mengelak atau menangkis.

"Plakkk!" Tubuh kakek itu terhuyung dah hampir roboh! Maklumlah kakek itu bahwa dia berhadapan dengan seorang pandai yang agaknya memang datang untuk mengacau, maka sambil berseru keras dia sudah menggerakkan tongkat panjangnya menyerang.

"Wuuuuuttttt....! Wirrrrr...."

Kian Bu juga kaget. Bukan main lihainya tongkat itu, gerakannya cepat dan mengandung angin pukulan yang dahsyat. Ternyata bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang benar-benar amat lihai, maka dia pun tidak mau mengalah begitu saja. Cepat dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang seru dan kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget ketika melihat betapa tongkatnya membalik dan telapak tangannya panas ketika bertemu dengan lengan pemuda itu.

"Keparat!" bentaknya dan dengan sepenuh tenaganya karena penasaran, dia mengarahkan hantaman tongkatnya pada kepala Kian Bu. Sekali ini dia menyerang untuk membunuh! Kian Bu menanti sampai tongkat itu menyambar dekat, lalu dia menggerakkan kedua lengannya memapaki dari kanan kiri dengan gerakan menggunting.

"Krekkk-krekkkkk!" Tongkat panjang itu patah-patah menjadi tiga potong dan bagian tengahnya terlempar jauh.

"Ehhhhh....!" Kakek yang mengaku berjuluk Gin-siauw Lo-jin itu berseru keras saking kagetnya dan marahnya. Dia adalah murid pertama dari Sin-siauw Seng-jin (Kakek Dewa Seruling Sakti) yang menjadi ahli waris dari pendekar sakti Suling Emas, dan tongkatnya itu adalah sebuah benda pusaka yang selama puluhan tahun berada di dalam tangannya dan belum pernah terkalahkan. Akan tetapi kini patah menjadi tiga bertemu dengan lengan pemuda ini! Tentu saja dia menjadi penasaran, malu dan hal ini membuat ia marah bukan main. Kemarahan sudah pasti timbul karena penonjolan kepentingan pribadi tersinggung, dan penonjolan kepentingan pribadi selalu mengejar kesenangan baik lahir batin. Satu di antara kesenangan batin adalah bayangan betapa pandainya diri sendiri. Membayangkan bahwa diri sendiri pandai, gagah perkas, berkuasa dan sebagainya adalah menyenangkan dan

kalau bayangan ini dirusak oleh kenyataan, maka akan menjadi marahlah batin. Demikian pula halnya kakek Gin-siauw Lo-jin itu. Selama ini dia merasa dirinya amat hebat, tongkatnya amat hebat, akan tetapi kenyataan bahwa tongkatnya patah-patah bertemu dengan lengan pemuda itu membuatnya marah bukan main.

"Bocah setan, kau datang mengantar nyawa!" serunya dan nampak sinar putih berkelebat ketika dia mencabut suling perak dari ikat pinggangnya.

Ketika dia dan Suma Kian Lee, kakaknya, meninggalkan Pulau Es untuk pergi ke kota raja mencari encinya, yaitu Puteri Milana, oleh ayah ibu mereka di Pulau Es, mereka dilarang membawa senjata. Dan memang dua orang pemuda Pulau Es itu tidak lagi membutuhkan senjata. Seorang yang sudah memiliki ilmu kepandaian setingkat mereka memang sebenarnya tidak memerlukan lagi senjata. Selain kedua lengan dan kedua kaki mereka merupakan senjata yang ampuh, bahkan setiap buah jari tangan mereka merupakan senjata ampuh, juga setiap benda yang mereka temukan dapat saja mereka pergunakan sebagai senjata. Kini, melihat

kakek itu mencabut suling perak yang tadi ditiupnya, Kian Bu bersikap waspada. Dia adalah seorang yang sedang tenggelam ke dalam kekecewaan dan kedukaan, tentu saja melihat orang yang dianggapnya keterlaluan itu dia menjadi marah.

"Sing-sing-singgggg....!" Sinar perak berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar dahsyat, disertai bunyi berdesingan yang nyaring.

"Bagus!" Kian Bu berseru kagum karena memang hebat gerakan suling itu. Cepat dia mengelak ke sana-sini dan kemudian terkejutlah dia ketika dia melihat cara suling itu digerakkan. Dia mengenal gerakan itu. Cepat dia menghindarkan diri dan karena penasaran dia tidak balas menyerang melainkan mengelak ke sana-sini untuk mempelajari gerakan lawan lebih lanjut. Tidak salah lagi, itulah gerakan dari jurus-jurus Pat- sian Kiam-hoat! Dan ilmu ini adalah sebuah di antara ilmu-ilmu keistimewaan kakaknya, Suma Kian Lee, yang mewarisinya dari ibunya, yaitu Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka, bahkan yang mewarisi kitab-kitab ilmu silat peninggalan pendekar sakti Suling Emas! Dia sendiri mengenal dan dapat memainkan Ilmu Pat-sian Kiam-hoat karena selain dia menerima petunjuk dari ibu tirinya itu, juga ibunya sendiri, Puteri Nirahai adalah seorang wanita yang serba bisa dan telah mempelajari semua Ilmu, termasuk ilmu dari Suling Emas ini!

Setelah kakek itu menyerangnya sampai sepuluh jurus dan dia yakin bahwa ilmu yang dimainkan itu adalah Pat-sian Kiam-hoat, dia meloncat ke belakang sambil berseru, "Bukankah yang kaumainkan itu Pat-sian Kiam-hoat?"

Kakek itu tertegun dan memandang kepadanya dengan heran, kemudian tersenyum mengejek karena mengira bahwa pemuda yang lihai itu merasa takut. "Hemmm, kau sudah mengenal ilmu silatku yang hebat? Bagus, kalau begitu lekas kau berlutut minta ampun dan mengenalkan dirimu agar engkau tidak akan menjadi setan penasaran tanpa nama, tewas di ujung suling mautku," kata kakek itu yang merasa mendapatkan kembali harga dirinya.

"Hemmm, maling hina! Dari mana kau mencuri Ilmu Pat-sian Kiam-hoat?" Kian Bu membentak marah.

Kakek itu terkejut dan tentu saja dia menjadi marah sekali. Dikiranya pemuda itu menjadi gentar mengenai ilmunya, tidak tahu malah menghinanya dan mengatakannya maling! Terngiang bunyi di dalam telinganya, merah pandang matanya karena darahnya sudah naik ke kepala saking marahnya.  

"Bocah lancang bermulut busuk, mampuslah!" bentaknya dan dia sudah menggerakkan lagi suling peraknya, kini dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi sampai suling itu mengeluarkan suara melengking nyaring seperti ditiup mulut!

Kian Bu cepat mengelak akan tetapi kini dia mengelak lalu membalas serangan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang.    "Wusssss...." Kakek itu pun mengelak karena kaget sekali betapa hawa yang menyambarnya membawa rasa dingin yang menyusup tulang, lalu sulingnya kembali menghujankan serangan.

Pertandingan itu cukup hebat karena memang suling kakek itu amat lihai. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia bertemu dengan pemuda Pulau Es, putera Pendekar Super Sakti yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali, maka lewat tiga puluh jurus lebih, hawa sakti dari Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu menyambar dadanya dan Gin-siauw Lo-jin berteriak keras dan roboh terguling dalam keadaan pingsan dan dengan suling masih tergenggam tangan.

Kian Bu memandang tubuh yang rebah pingsan itu, diam-diam merasa heran bagaimana kakek ini dapat menguasai ilmu simpanan dari ibu tirinya yang mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, kemudian dia menghapus peluhnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Dia sudah tidak mempedulikan lagl kakek itu karena sudah mulai tenggelam lagi dalam kedukaannya.

Akan tetapi ketika dia berjalan di lereng bukit itu, di bawah sinar bintang-bintang di langit, peristiwa pertemuannya dengan kakek yang pandai ilmu peninggalan Suling Emas itu membuat dia ingat kepada Suma Kian Lee, kepada ibu tirinya, kepada ayah bundanya sendiri dan kepada Pulau Es dan bangkitlah rasa rindu di dalam hatinya. Teringat kepada mereka semua yang tercinta membuat hatinya makin merasa prihatin, merasa betapa sunyi hidupnya, betapa sengsara hatinya dan pemuda ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, terasa lemah seluruh tubuh dan dia duduk bersamadhi sampai pagi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah disadarkan oleh kicau burung yang riang gembira menyambut datangnya pagi yang cerah dan indah. Akan tetapi tidak terasa keindahan itu di hati Kian Bu yang sedang gundah-gulana. Dia teringat akan kakek yang dirobohkannya semalam dan hatinya segera merasa menyesal. Tidak ada persoalan hebat antara dia dan kakek itu, namun dia telah merobohkannya dan meninggalkannya rebah pingsan. Jangan-jangan kakek yang sudah tua itu akan tewas karenanya. Dia menyesal sekali. Bukan wataknya untuk membunuh orang begitu saja, padahal tidak ada persoalan penting di antara mereka. Teringat akan ini Kian Bu cepat bangkit dan pergi mendaki bukit itu lagi menuju ke tempat di mana dia berketahi dengan kakek itu semalam.

Akan tetapi ketika dia tiba di tempat itu, di situ sunyi saja dan kakek itu sudah tidak ada lagi di tempat dia rebah semalam. Yang ada hanya burung-burung beterbangan sambil berkicau riuh-rendah. Padahal dia tahu betul bahwa di situ tempatnya, bahkan tongkat panjang yang patah-patah milik Gin-siauw Lo-jin pun masih berada di situ. Sudah siuman agaknya kakek itu lalu pergi dari situ. Kian Bu menarik napas lega. Baik kalau kakek itu tidak mati! Akan tetapi belum puas hatinya kalau belum dapat bertemu untuk menyatakan penyesalannya dan minta maaf. Lebih baik dia berkenalan dengan kakek itu dan bertanya secara baik-baik tentang Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat itu. Siapa tahu masih ada hubungan atau pertalian perguruan antara kakek itu dengan ibu tirinya! Kalau benar demikian, bukankah berarti bahwa dia telah merobohkan kerabat atau kawan sendiri? Dia merasa makin menyesal dan mulailah dia mencari-cari di sekitar tempat itu. Akan tetapi sunyi saja di sekeliling situ, sunyi yang amat indah karena pagi itu memang cerah sekali.

Tiba-tiba dia mendengar suara orang bersenandung, lapat-lapat terdengar o1ehnya. Cepat Suma Kian Bu melangkah menuju ke arah suara itu yang makin lama makin nyata. Kiranya itu adalah suara wanita yang amat merdu dan kiranya bukan nyanyian yang disenandungkan itu, melainkan doa yang dinyanyikan dengan suara yang amat merdu dan halus. Tak lama kemudian nampaklah orangnya yang berdoa itu dan kiranya dia adalah seorang nikouw (pendeta Buddha wanita) yang sedang memetik daun obat. Nikouw itu sudah tua, tentu sudah hampir enam puluh tahun usianya. Tubuhnya masih ramping, wajahnya masih berkulit halus dan putih, masih nampak nyata bekas kecantikan seorang wanita, dan kini wajah itu nampak agung dan suci, di bawah kerudung yang berwarna kuning. Seorang nikouw tua yang berwajah lembut, yang memetik daun obat sambil berdoa, begitu bahagia nampaknya. Tiada bedanya antara dia dan burung yang sedang berkicau di atas dahan pohon, asyik dengan keriangan menyambut pagi yang indah!

Ah, nikouw itu agaknya tidak asing dengan tempat ini. Tentu dia tahu di mana dia dapat bertemu dengan Gin-siauw Lo-jin! Berpikir demikian, Kian Bu lalu membalikkan tubuh hendak menghampiri, akan tetapi pada saat itu, nikouw tadi pun agaknya sudah selesai memetik daun obat dan melangkah pergi. Dan terkejutlah pemuda Pulau Es itu. Sekali berkelebat, nikouw tua itu seperti terbang saja cepatnya meninggalkan tempat itu! Bukan main cepat dan ringannya gerakan kedua kaki nikouw itu yang seolah-olah dapat terbang di atas rumput, pergi sambil terus bersenandung!

Tentu saja Kian Bu menjadi kagum bukan main. Mengapa bermunculan begitu banyak orang pandai di tempat ini, pikirnya. Gin-siauw Lo-jin itu sudah hebat, bahkan pandai memainkan ilmu silat tinggi Pat-sian Kiam-hoat. Dan nikouw ini pun bukan main ilmu ginkangnya, seolah-olah pandai terbang saja. Dia menjadi penasaran dan mengerahkan ginkangnya untuk lari mengejar. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu menandingi kecepatan gerakan nikouw itu! Nikouw itu seperti terbang di atas rumput-rumput, mendaki bukit dan dia terus mengejar, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena Kian Bu merasa penasaran sekali. Dia telah dilatih ginkang oleh ayah dan ibunya sendiri, padahal ayahnya adalah seorang ahli dalam Ilmu Soan-hong-lui-kun, yaitu gerakan kijang yang kecepatannya tiada ke duanya di dunia ini! Biarpun dia sendiri tidak mungkin dapat mewarisi Ilmu Soan-hong-lui-kun yang hanya dapat dimainkan oleh seorang yang berkaki tunggal seperti ayahnya, namun dia telah memiliki ginkang yang hebat, tidak kalah oleh kecepatan ibunya, Puteri Nirahai yang terkenal itu. Namun, kini dia tidak mampu menyusul nikouw tua itu!

Kian Bu merasa malu dan heran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya, namun maklumlah dia bahwa dia benar-benar jauh kalah cepat. Akan tetapi nikouw itu berhenti di dekat puncak bukit dan mulai memetik daun-daun obat yang lain lagi, tetap sambil bersenandung seolah-olah larinya yang amat cepat tadi sama sekali tidak membuatnya lelah, padahal Kian Bu sendiri agak terengah karena mengerahkan seluruh tenaga. Teringatlah pemuda ini akan niatnya bertanya kepada nikouw itu tentang Gin-siaw Lo-jin. Kini lebih mantap lagi hatinya bahwa dia harus minta maaf kepada kakek itu karena ternyata bahwa bukit ini benar-benar dihuni oleh orang-orang pandai sekali.

"Maafkan saya, Suthai...."

Nikouw itu menoleh dan tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat dan keranjang terisi daun obat itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas tanah, menggelinding sampai ke dekat kaki Kian Bu! Sejenak nikouw itu hanya berdiri bengong memandang wajah Kian Bu, lalu dia berkata lirih, "Omitohud....!" Seruan ini agaknya menyadarkannya dari kekagetan atau keharuan itu dan dia tersipu-sipu memandang ke arah keranjang yang isinya tumpah semua itu.

"Maaf, Suthai, saya telah mengagetkan Suthai...." kata Kian Bu yang cepat-cepat mengambil keranjang itu dan mengumpulkan dauh-daun yang berserakan, memasukkannya kembali ke dalam keranjang, lalu menyerahkannya kepada nikouw itu penuh hormat. Nikouw itu memandang dengan mata tetap membayangkan keheranan dan penuh rasa tertarik, memandang Kian Bu sejak tadi dari atas ke bawah, lalu menarik napas panjang dan bibirnya berkemak-kemik membaca doa yang tidak terdengar.

"Ah, tidak.... sama sekali tidak. Sicu siapakah?" Suara itu halus sekali dan sinar mata itu penuh kelembutan sehingga Kian Bu seketika merasa suka dan hormat sekali kepada nikouw tua ini. Akan tetapi dia yang sudah melakukan kelancangan merobohkan orang di tempat yang dihuni orang-orang pandai ini segera menjura tanpa berani memperkenalkan namanya, melainkan bertanya. "Kalau saya boleh mengganggu kesibukan Suthai, saya ingin bertanya apakah Suthai tahu di mana saya dapat bertemu dengan Gin-siauw Lo-jin?"

"Gin-siauw Lo-jin? Ah, di puncak itulah tempat tinggalnya " jawab nikouw itu sambil menuding ke arah puncak bukit akan tetapi matanya tetap saja tidak pernah meninggalkan wajah Kian Bu yang rambutnya panjang terurai dan dibiarkan awut-awutan itu.

Kian Bu menjadi girang sekali dan kembali dia menjura, "Banyak terima kasih atas petunjuk Suthai dan sekali lagi maaf atas kelancangan saya mengganggu kesibukan Suthai." Setelah berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuh dan berjalan mendaki puncak.

"Nanti dulu.... Sicu.... siapakah Sicu?" terdengar nikouw itu bertanya.

Kian Bu menoleh dan merasa tidak enak. Dia telah berbuat salah di tempat itu, bagaimana harus memperkenalkan nama? Akan tetapi, nikouw itu demikian ramah dan halus budi, tidak mungkin pula tidak menjawab. "Suthai, saya she Suma...., maaf!" Dia lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat naik ke atas puncak. Sama sekali dia tidak tahu betapa jawaban itu membuat nikouw ini kembali menjadi pucat sekali wajahnya, matanya terbelalak dan tangan kirinya otomatis menyentuh dada kiri.

"Omitohud.... omitohud.... omitohud...." berulang-ulang dan memuji dan tidak mempedulikan lagi keranjangnya yang jatuh untuk kedua kalinya dan kini dia telah melangkah perlahan-lahan naik ke puncak, sepasang matanya memandang ke arah bayangan Kian Bu dan mulutnya masih terus menyerukan pujian untuk Sang Buddha.

Sementara itu, Kian Bu sudah mendaki puncak dengan cepat dan tibalah dia di depan sebuah rumah yang besar dan kuno. Rumah itu kelihatan sunyi saja seperti tidak ada penghuninya, akan tetapi ketika dia menghampiri pintu depan, terdengarlah suara dari dalam, suara yang berwibawa dan mengandung tenaga khikang amat kuat, "Inikah pemuda yang kauceritakan itu?"

"Benar, Suhu."

Kian Bu terkejut. Suara yang menyebut "suhu" itu adalah suara Gin-siauw Lo-jin! Dan kini keluarlah dua orang dari dalam rumah kuno itu yang bukan lain adalah Gin-siauw Lo-jin bersama seorang kakek yang lebih tua lagi, yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh lima tahun, namun masih bersikap agung dan gagah. Kian Bu merasa tidak enak sekali melihat dua orang kakek itu memandang kepadanya dengan muka membayangkan kemarahan, maka cepat-cepat dia menjura dengan sikap hormat.

"Locianpwe, saya Suma Kian Bu datang untuk minta maaf atas semua kejadian malam tadi," katanya dan ucapan ini ditujukan kepada Gin-siauw Lo-jin.

Akan tetapi yang menjawabnya adalah kakek yang lebih tua itu, yang berkata dengan suara keren, "Orang muda, engkau semalam telah mengalahkan muridku yang pertama, berarti bahwa engkau sungguh sangat lihai. Dan sekarang engkau muncul pula di sini, sungguh engkau bernyali besar. Apakah engkau hendak menyatakan bahwa engkau berani pula bertanding ilmu melawan kami yang mewarisi ilmu dari pendekar maha sakti Suling Emas?"

Kian Bu mengerutkan alisnya. Dia sudah merendahkan diri, sudah mengalah dan datang untuk minta maaf, akan tetapi ucapan dari kakek tua ini sungguh di luar dugaannya. Tersembunyi kesombongan besar dalam ucapan itu! Dan juga dia merasa penasaran dan curiga. Bukankah pewaris ilmu-ilmu dari Suling Emas adalah orang tuanya di Pulau Es? Bukankah kitab-kitab ilmu dari pendekar Suling Emas terjatuh ke tangan ibu Lulu, ibu tirinya dan bahkan pusaka suling emas menurut ibunya pernah dipakai sebagai senjata oleh ibunya sendiri? Mengapa kakek ini sekarang mengaku sebagai pewaris pusaka Suling Emas? Namun, sebagai seorang pemuda yang terdidik baik, dia masih mampu menahan diri.

"Maaf, Locianpwe, saya datang bukan untuk mengajak bertanding ilmu dengan siapapun juga," jawabnya dengan suara agak kaku.

"Hemmm, kalau begitu kau takut?"

Sepasang mata Kian Bu bersinar dan mengandung kemarahan ketika dia memandang kepada kakek tua itu. Benar-benar besar kepala dan sombong si tua bangka ini, pikirnya gemas.

"Tidak ada soal takut atau berani, Locianpwe. Saya datang untuk menyatakan penyesalan saya atas peristiwa yang terjadi semalam dan saya mau minta maaf."

"Hayo lekas kau berlutut dan minta ampun dengan pai-kwi (menyembah dengan berlutut) sebagai delapan kali, baru kami pikir-pikir apakah dapat mengampunimu!" Kakek itu membentak lagi.

Berkobar kemarahan di dalam hati Kian Bu. Dia mengangkat dada dan berdiri dengan sikap menantang. "Saya Suma Kian Bu selama hidup tidak pernah bersikap pengecut! Saya selalu berani menanggung semua perbuatan saya. Jangan harap Locianpwei akan dapat melihat saya merendahkan diri seperti itu!"

"Ha, kau menantang?"

"Terserah penilaian Locianpwe kepada saya."

"Orang muda, engkau memang bernyali besar. Hemmm, engkau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah Sin-siauw Seng-jin, dan dia ini adalah muridku yang pertama. Aku adalah pewaris dari pendekar maha sakti Suling Emas dan biasanya, sekali aku turun tangan tentu lawan ku akan mati. Aku masih menaruh kasihan kepadamu...."

"Cukup, Locianpwe. Aku tidak takut akan segala ancaman, tidak takut mati. Akan tetapi tentang mewarisi pusaka pendekar Suling Emas, hal itu kiranya masih harus diselidiki lebih dulu! Kalau memang benar pusaka itu ada pada tangan Locianpwe, maaf kalau saya berani mengatakan bahwa Locianpwe tentu telah mencurinya!"

"Keparat!" Gin-siauw Lo-jin marah sekali dan sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan.

"Desssss....!" Tubuh Gin-siauw Lo-jin terpental dan tentu dia sudah terbanting ke atas tanah kalau saja tangan kiri Sin-siauw Seng-jin tidak diulur dan dengan cekatan sekali kakek ini menangkap leher baju muridnya dan mencegah muridnya terbanting. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengagumkan Kian Bu, sebaliknya Sin-siauw Seng-jin juga terbelalak melihat betapa tangkisan orang muda itu membuat muridnya terpental!

"Orang muda, engkau benar-benar berani sekali. Terpaksa aku tidak memandang lagi usia, dan bersiaplah untuk menandingi pewaris ilmu-ilmu Suling Emas!"

Orang ini terlalu menonjol-nonjolkan diri sebagai pewaris Suling Emas, pikir Kian Bu dengan hati mendongkol. Jelas bahwa dia telah mengaku-aku saja, atau kalau melihat betapa muridnya dapat mainkan Pat-sian Kiam-hoat, agaknya kakek ini telah mencuri kitab-kitab itu dari Pulau Es! "Baiklah, ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu-ilmu yang palsu itu."

Sin-siauw Seng-jin sudah marah sekali dan karena dia maklum betapa lihainya pemuda itu, maka dia sudah mencabut suling emas yang terselip di pinggangnya dan menerjang maju.

"Swinggggg.... singgggg....!"

Kian Bu terkejut. Sinar emas berkilauan itu memang hebat bukan main dan dia terbelalak memandang ke arah suling emas di tangan kakek itu yang tadi hampir saja mengenai kepalanya kalau dia tidak cepat-cepat mengelak. Dari mana kakek ini mendapatkan senjata pusaka ampuh itu? Apakah benar itu suling emas, senjata dari pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lalu, seperti yang diceritakan olah ibunya?

Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berheran-heran lebih lama lagi karena sinar emas itu bergulung-gulung dan sudah menerjangnya dari segala jurusan dengan amat dahsyat! Kian Bu cepat mengelak dan membalas dengan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Namun ternyata kakek itu gesit sekali, juga ketika dengan lengan kiri menangkis, dari lengannya menyambar hawa sinkang yang amat kuat, bahkan tidak kalah kuatnya dari tenaga sinkang yang dikuasai oleh Kian Bu sendiri sehingga keduanya terhuyung ke belakang! Kakek itu makin terkejut, akan tetapi juga Kian Bu merasa kaget dan berhati-hati.

Makin lama, makin terheran-heranlah Kian Bu melihat betapa kakek itu dengan suling emasnya memainkan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai Kun-hoat, dan yang terakhir suling itu mengeluarkan suara melengking dan mendengung-dengung seperti ditiup orang ketika kakek itu membuat gerakan corat-coret aneh sekali. Kian Bu mengenal gerakan ini sebagai ilmu mujijat Hong-in Bun-hoat, ilmu yang amat ampuh dari pendekar Suling Emas, yang amat sukar dipelajari, bahkan ibu tirinya, Lulu, sendiri pun belum dapat menguasainya secara sempurna! Ilmu ini didasari kepandaian sastra, kepandaian menulis huruf indah dan dari gerakan corat-coret huruf inilah maka diciptakan ilmu silat yang amat mujljat ini.

"Kau kau pencuri....!" teriaknya kaget dan terpaksa dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena kakek itu ternyata amat lihai. Setiap huruf yang digerakkan oleh sulingnya mengandung tenaga dahsyat dan mengeluarkan bunyi lengkingan aneh sekali. Beberapa kali Kian Bu sampai terhuyung karena terdorong oleh hawa yang amat tajam dan aneh. Dia sudah berusaha untuk membalas dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara berselang-seling, namun kakek yang lihai itu dapat pula menghindarkan diri.

Bukan main hebatnya pertandingan itu. Mati-matian dan seru, sama kuat dan seratus jurus lewat dengan cepatnya. Kian Bu menjadi penasaran dan juga terheran-heran. Tidak banyak dia menemui lawan berat selama perantauannya, dan ternyata kakek ini hebat sekali, sungguhpun dia masih tidak percaya bahwa ilmu-ilmu Suling Emas yang dimainkannya itu adalah ilmu-ilmu aseli, karena pada dasarnya terdapat beberapa perbedaan dengan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai ilmu-ilmu peninggalan Suling Emas. Menurut ibunya, kemujijatan Ilmu Hong-in Bun-hoat terletak pada bunyi suling yang ketika dimainkan seperti ditiup orang dan mengeluarkan lagu yang amat indah dan hal ini amat mempengaruhi lawan. Akan tetapi, walaupun suling emas di tangan kakek ini juga mengeluarkan suara melengking-lengking dan seperti berlagu, namun sama sekali tidak dapat disebut indah karena bagi telinganya terdengar sumbang! Betapapun juga, harus diakuinya bahwa sukar baginya untuk dapat mengimbangi kecepatan kakek itu dan dia mulai terdesak hebat.

Maklum bahwa kalau dilanjutkan, tentu dia yang akan celaka akibat kalah cepat oleh gerakan suling, maka Kian Bu lalu mengambil keputusan untuk menggunakan pukulannya yang paling ampuh dan paling hebat. Kalau dia tidak dapat merobohkan lawan, tentu dia yang akan roboh. Gulungan sinar emas itu terlalu cepat baginya! Maka tiba-tiba pemuda ini lalu mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking nyaring, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan dengan inti tenaga sinkang yang bertentangan, yaitu yang kanan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan sedetik kemudian yang kiri mendorong dengan pukulan Swat-im Sin-ciang. Bukan main hebatnya dua pukulan ini yang sedemikian hebatnya sehingga pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu mampu untuk memukul hangus lawan, sedangkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dingin dapat membikin beku darah dalam tubuh lawan.

"Ihhhhh....!" Kakek itu berseru keras, dia pun mendorongkan kedua lengannya untuk menahan serangan hawa pukulan mujijat itu, dan sulingnya dia sambitkan ke depan pada saat dia mendorongkan kedua tangannya. Suling Emas itu meluncur melalui bawah lengan kiri Kian Bu seperti kilat menyambar.

"Desssss.... tukkkkk....!"

Tubuh kakek itu terlempar ke belakang dan dia menggigil, sedangkan Kian Bu sendiri terpelanting dan roboh terguling karena suling itu dengan kuatnya telah menotok ketiak kirinya sehingga dia roboh dan merasa betapa separuh tubuhnya yang kiri menjadi lumpuh sama sekali!

"Ughhh.... ughhh....!" Sin-siauw Seng-jin terbatuk dan dia muntahkan darah segar, akan tetapi dia segera memejamkan mata dan mengatur pernapasan sehingga sebentar saja pulih kembali kekuatannya. Dia membuka mata dan menghampiri Kian Bu yang masih rebah miring dengan sinar mata penuh keheranan dan penasaran. Suling Emasnya yang menggeletak di atas tanah lalu dipungutnya kembali dan diamat-amatinya.

"Saya.... saya.... mengaku kalah, akan tetapi.... tunggu lima tahun lagi.... saya pasti akan mencari Locianpwe dan membuat perhitungan.... ahhhhh...." Kian Bu mengeluh karena totokan itu hebat bukan main dan agaknya bukan hanya menghentikan jalan darahnya, melainkan merusak banyak jalan darah di tubuhnya yang sebelah kiri.

Mendengar ucapan Kian Bu itu, Sin-siauw Seng-jin mendengus, lalu berkata, "Orang muda ini terlalu berbahaya...." seperti berkata kepada muridnya atau kepada dirinya sendiri, lalu nampak sinar emas berkelebat dan sulingnya sudah menyambar ke arah tubuh Kian Bu yang sudah tidak berdaya itu. Kian Bu berusaha menangkis dengan tangan kanannya yang masih dapat digerakkan, namun suling yang mengarah kepala itu tertangkis meleset dan masih mengenai tengkuknya.

"Desss. ...!" Kian Bu mengeluh dan roboh pingsan!

"Omitohud....!" Sesosok bayangan berkelebat dan demikian cepat gerakan bayangan ini sehingga tahu-tahu nikouw itu telah berada di situ, berlutut dan memeluk tubuh Kian Bu yang sudah tidak bergerak lagi, dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah!

Kakek itu dan muridnya terkejut, akan tetapi mengenal siapa adanya orang yang demikian cepat gerakannya itu, Sin-siauw Seng-jin lalu berkata, "Kiranya Kim Sim Nikouw dari Kwan-im-bio. Hemmm, mengapa kau mencampuri urusan kami?"

"Siancai, siancai, siancai....!" Kim Sim Nikouw berkata halus. "Seorang yang gagah perkasa seperti Locianpwe, mengapa bisa berlaku rendah, menyerang orang yang sudah tidak berdaya lagi? Mengapa di hari tua tidak mencari jalan terang, melainkan menambah kegelapan yang kelak hanya akan menggelapkan perjalanan sendiri. Omitohud.... semoga semua manusia sadar akan dosa-dosanya.... Omitohud....!"

Wajah kakek itu menjadi pucat, lalu merah dan tanpa berkata apa-apa dia memasuki rumah gedungnya, diikuti oleh muridnya. Terdengar daun pintu dibanting keras dan nikouw itu lalu memondong tubuh Kian Bu dan dibawa pergi. Agak berat juga baginya memondong tubuh pemuda itu, maka lalu dipanggulnya dengan gerakan kaki yang cepatnya luat biasa, nikouw itu lalu berlari seperti terbang menuju ke lereng sebelah barat dari Gunung Tai-hang-san, tidak begitu jauh dari puncak bukit itu.

Perlahan-lahan Kian Bu membuka matanya akan tetapi lalu ditutupnya kembali karena pandang matanya berkunang dan dia melihat cahaya merah kuning biru menari-nari menyilaukan matanya.

Sentuhan jari tangan halus di dahinya dirasakan hangat dan menenangkan, lalu dibukanya kembali kedua matanya. Tubuhnya lemah sekali dan dia segera teringat akan keadaan dirinya. Dia teringat bahwa dia telah roboh oleh Sin-siauw Sengjin. Tubuhnya mati sebelah! Kini pandang matanya berusaha menembus kesuraman itu dan nampaklah segores wajah yang lembut, sepasang mata yang memandangnya penuh kasih sayang. Mata ibunya? Siapa lagi orangnya yang memiliki mata sebening dan seindah itu, semesra itu memandangnya kalau bukan mata ibunya? Siapa lagi yang dapat mengangkatnya dari jurang maut kalau bukan tangan ibunya? Jari tangan siapa yang menyentuh demikian halus dan lembutnya di dahinya tadi, yang mengusir semua kepeningan kalau bukan jari tangan ibunya?

"Ibuuu...." Dia memanggil dengan suara bisikan panjang. Mulut itu tersenyum dan dua buah mata yang bening itu menjadi basah! Ibunya menangis? Belum pernah dia melihat mata ibunya menjadi basah. Ibunya bukan orang cengeng, melainkan seorang wanita perkasa yang belum pernah dilihatnya menangis! Kian Bu membuka lebar matanya dan kini dia dapat melihat lebih terang. Kiranya bukan ibunya yang duduk di tepi pembaringannya, melainkan seorang nikouw yang berkerudung kain kuning. Seorang nikouw yang pernah dijumpainya di lereng bukit, nikouw pemetik daun obat yang memiliki ginkang amat luar biasa itu, yang seolah-olah pandai terbang!

"Suthai...." Kian Bu memanggil lirih.

"Omitohud.... terima kasih kepada kemurahan Sang Buddha....! Engkau sudah siuman, Suma-sicu? Aihhh, betapa khawatir hati pinni (aku) melihat engkau menggeletak begitu lama seperti.... seperti.... sudah tak bernyawa lagi...." Nikouw itu menghapus dua titik air mata dari bawah matanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar. Ketika Kian Bu hendak bangkit duduk dia mengeluh karena tubuhnya yang separuh tidak dapat digerakkan, nikouw itu lalu cepat mencegah dengan menggerakkan tangan dan memegang pundaknya, merapatkan duduknya.

"Jangan bergerak dulu.... lukamu amat parah dan hebat...."

"Ouhhhhh....!" Kian Bu mengeluh lagi. Kini pandang matanya sudah terang dan pulih kembali dan dia teringat akan semuanya. "Sudah berapa lama saya berada di sini, Suthai?"

"Sudah tiga hari tiga malam engkau rebah tak bergerak, seperti mati. Syukur pagi hari ini kau siuman, itu pertanda baik sekali."

"Jadi.... Suthai yang menolong saya....?"

Nikouw itu menaruh telunjuk ke depan mulut. "Ssst.... jangan banyak bicara dulu, anakku. Kau harus beristirahat dan memulihkan kembali kesehatanmu. Jangan khawatir, selama berpuluh tahun ini tidak percuma pinni mempelajari ilmu pengobatan. Pukulan keji Sin-siauw Sengjin tidak akan membunuhmu. Pinni yang membawamu ke sini, anakku, dan sekarang beristirahatlah."

Nikouw itu cepat mengambil sebuah mangkok dari meja dan membantu Kian Bu untuk bangkit duduk dengan merangkul pundak pemuda itu dan memberinya minum tajin dari mangkok itu sampai habis.

"Nah, kau tidurlah sekarang, aku akan mengumpulkan dan memasak obat untukmu," kata nikouw itu setelah merebahkan kembali Kian Bu dan menyelimutinya. Kian Bu memaksa senyum dan memejamkan matanya, sebentar kemudian dia pun sudah tidur pulas.

Beberapa hari kemudian, Kian Bu sudah sadar benar, namun tubuhnya masih setengah lumpuh biarpun dia sudah dapat bangkit duduk namun dia belum dapat turun dan belum dapat menggerakkan kaki dan tangan kirinya. Ketika pagi hari itu dia melihat nikouw itu datang dan seperti biasa melayaninya untuk makan bubur, buang air dan sebagainya, Kian Bu tak dapat menahan rasa keharuan dan terima kasihnya. Ingin dia menjatuhkan diri berlutut di depan nikouw itu, namun kaki kirinya tidak mengijinkannya. Melihat setiap hari nikouw itu merawatnya, membuangkan air kencing dan kotorannya, membersihkan tubuhnya, menyuapkan makanan, memberi obat, sungguh tiada ubahnya seperti seorang ibu sendiri! Dan nikouw itu selalu menyebutnya "anakku"!

"Nah, sekarang bahaya telah lewat!" pada pagi hari itu nikouw tua itu berkata dengan wajah berseri. "Engkau sudah tidak terancam maut lagi dan tinggal memulihkan tenaga."

"Akan tetapi kaki tangan kiri saya belum dapat bergerak...."

"Jangan khawatir. Memang pukulan-pukulan itu hebat sekali, dapat menghancurkan seluruh rangkaian urat-uratmu. Untung Swat-im Sin-kang di tubuhmu melindungimu, anakku. Pinni yakin engkau akan sembuh kembali sama sekali."

"Betapa, besar budi Suthai kepada saya...." Kian Bu berkata dan matanya terasa panas karena dia merasa terharu sekali. Nikouw tua itu kini duduk di tepi pembaringan dan memegang lengannya. "Sekarang engkau sudah tidak terancam bahaya. Boleh kita bicara. Suma Kian Bu, katakanlah sejujurnya, siapa nama ayahmu?"

"Ayah? Ayah bernama Suma Han...."

"Han Han....ah, sudah kuduga.... wajahmu, sikapmu.... dan Swat-im Sin-ciang itu....! Dugaanku tidak salah.... ah, Han Han...." Dan nikouw itu menghapus air matanya, mulutnya tersenyum ketika dia memandang pemuda itu melalui air matanya. "Engkau puteranya! Hemmm, sudah pinni duga dan engkau anakku, Suma Kian Bu, engkau anakku...."

"Apa maksudnya ini, Suthai?" Kian Bu bertanya penuh keheranan. Dia adalah anak Suma Han dan Puteri Nirahai, mengapa nikouw ini mengaku dia sebagai anaknya? Nikouw itu kembali menghapus air matanya dan melihat betapa mulutnya tersenyum di antara tangisnya, mengertilah Kian Bu bahwa tangis wanita itu bukan karena berduka, melainkan karena terharu dan gembira!

"Jangan salah mengerti anakku. Tentu saja engkau anak dari Suma Han dan .... eh, siapa ibumu?"

"Ibu adalah Puteri Nirahai."

"Hemmm, pantas.... pantas....! Kuulangi lagi, jangan kau salah mengerti. Tentu saja engkau anak ayah bundamu itu, dan aku.... aku hanyalah bekas sahabat baik ayahmu, bahkan dahulu.... dahulu sekali puluhan.. .. tahun yang lalu, ketika namaku masih Kim Cu, antara ayahmu dan aku masih ada pertalian saudara seperguruan. Karena itu aku mengenal pukulan Swat-im Sin-ciang yang kaugunakan tadi. Dan dahulu.... dahulu.... sekali.... aku dan ayahmu senasib sependeritaan, dan aku.... aku mencintanya. Namun nasib memisahkan kami, dan kini nasib pula yang mempertemukan aku dengan engkau, puteranya! Karena engkau adalah puteranya, maka engkau seakan-akan anakku sendiri, Kian Bu."

Kian Bu mendengarkan penuh keharuan. Nikouw ini di waktu mudanya tentu cantik jelita. Dan mencinta ayahnya! Akan tetapi mereka dipisahkan oleh nasib!

"Bagaimana keadaan ayahmu, Kian Bu?" tanya nikouw itu sambil mengusap air matanya untuk ke sekian kalinya.

"Baik, Suthai. Baik sekali. Ayah dan ibu dan semua keluarga berada di Pulau Es, dan saya.... telah beberapa lama meninggalkan Pulau Es.

"Jadi ayahmu hidup bahagia?" Kian Bu mengangguk.

"Terima kasih kepada Sang Buddha yang maha kasih! Nikouw itu berseru. "Betapa bahagianya mendengarkan dia dalam keadaan sehat dan bahagia!"

Kian Bu memandang wanilta itu dan ada sesuatu yang membuatnya terharu sekali, dan yang memaksanya bertanya, "Di wakktu muda dahulu, Suthai.... mencinta ayahku?"

Nikouw itu memandangnya, mengangguk dan menarik napas panjang. "Sampai detik ini tak pernah aku berhenti mencintanya."

"Dan ayah.... apakah ayah juga membalas cinta kasih Suthai?"

Nikouw itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Dia suka dan kasihan kepadaku, akan tetapi cinta? Mungkin sekali, ya aku yakin bahwa dia tidak mencintaku seperti aku mencintanya...."

"Dan Suthai tidak menderita sengsara? Tidak berduka, bahkan bergembira mendengar berita tentang ayah?" Kian Bu makin terheran.

"Puluhan tahun aku menderita, akan tetapi sudah lama pinni sadar bahwa semua penderitaan itu bukan akibat cinta, melainkan akibat dari iba diri. Seorang yang mencinta, barulah benar-benar di katakan bahwa cintanya itu murni, apa bila dia merasa bergembira kalau melihat orang yang dicintanya itu bahagia, baik orang itu menjadi jodohnya ataupun tidak. Pinni gembira mendengar dia bahagia, Han Han seorang yang amat baik...." dia berhenti sebentar. "Entah berapa puluh tahun setiap hari pinni bersembahyang mohon belas kasihan dari Kwan Im Pouwsat agar kehidupan Han Han diberkahi dan dia dapat hidup berbahagia. Ternyata doa pinni terkabul, dia hidup berbahagia dan mempunyai putera yang seperti engkau. Tentu saja pinni merasa gembira sekali...."

"Ah, betapa mulia hatimu, Suthai. Cintamu terhadap ayah demikian suci murni....dan sekarang Suthai telah menyelamatkan nyawa saya....ah, bagaimana saya akan dapat membalas semua budi Suthai ini, budi Suthai yang telah dilimpahkan dalam cinta kasih yang demikian suci murni terhadap ayah dan dalam pertolongan kepada saya?"

"Budi? Membalas budi? Omitohud.... manusia selalu mengikat dan melibatkan diri dalam budi dan dendam, itulah biang segala pertentangan! Akan tetapi, karena hal itu telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai tingkat kemanusiaan, maka agar hatimu jangan merasa penasaran dan jangan merasa berhutang budi, baiklah kaubalas dengan cara.... mau

kuanggap sebagai anakku. Ketahuilah Kian Bu, ketika engkau baru siuman tempo hari dan menyebut ibu kepadaku, aku seperti lupa diri, lupa bahwa aku adalah seorang nikouw, dan aku merasa seolah-olah engkau adalah anakku sendiri."

Kian Bu menggigit bibirnya. Bukan main wanita tua ini! Demikian halus perasaannya, demikian mulia hatinya dan siapakah yang tidak akan merasa bangga kalau mempunyai seorang ibu seperti wanita tua ini? Tanpa ragu-ragu dia lalu menggerakkan tangan kanannya menyentuh dada sambil berkata, "Ibu...."

Kim Sim Nikouw merangkulnya dan menangis!

Sampai lama nikouw itu menangis sambil memeluk Kian Bu, kemudian dia dapat menekan perasaannya, duduk dan dengan muka basah air mata namun bibirnya tersenyum dan sinar matanya bercahaya, dia mengelus dahi pemuda itu. "Terima kasih, anakku, terima kasih. Percayalah, aku akan menyembuhkanmu, engkau akan dapat bergerak lagi seperti sediakala."

"Terima kasih, Ibu. Akan tetapi sungguh aneh, aku belum mengetahui nama Ibu."

Kian Bu tertawa, Kim Sim Nikouw juga tertawa dan suasana menjadi gembira.

"Dahulu aku bernama Kim Cu, anakku, akan tetapi sekarang aku adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio ini dengan beberapa orang nikouw pembantu yang menjadi murid-muridku dalam hal keagamaan dan melayani orang-orang yang datang bersembahyang ke kuil ini"

"Aku ingin sekali cepat sembuh, Ibu."

"Jangan khawatir, akan tetapi kita harus bersabar, anakku. Kiranya tidak percuma aku mempelajari pengobatan selama puluhan tahun ini."

"Aku harus cepat sembuh agar dapat mencari Sin-siauw Sengjin" kata Kian Bu sambil mengepal tinju kanannya.

Kim Sim Nikouw mengerutkan alisnya dan memandang wajah anak angkatnya itu. "Kau mendendam karena kekalahan itu dan hendak membalasnya?"

Kian Bu juga memandang dan ketika bertemu pandang mata yang sinarnya lembut dan penuh teguran itu, dia cepat menggeleng kepalanya, "Tidak, Ibu. Bukan karena kekalahan itu, melainkan karena aku harus merampas kembali kitab-kitab peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang telah dicurinya."

Kim Sim Nikouw membelalakkan matanya. "Apa maksudmu?"

"Jelas bahwa Sin-siauw Sengjin itu seorang penipu atau seorang pencuri. Dia dapat memainkan ilmu-ilmu dari Suling Emas, padahal sepanjang pengetahuanku, ilmu-ilmu itu terjatuh ke tangan ibu tiriku yang berada di Pulau Es. Tentu dia telah mencurinya, atau mungkin juga memalsukan ilmu-ilmu itu. Maka, setelah sembuh aku harus menghadapinya lagi dan membongkar rahasia ini."

Nikouw itu mengerutkan alisnya. "Ah, dia amat lihai. Bahkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang kau-pergunakan pun tidak mampu mengalahkannya."

"Betapapun, setelah sembuh, akan kucoba lagi menandinginya, Ibu."

"Kau dapat belajar, anakku! Dan jangan kira bahwa ibumu ini selama ditinggalkan oleh ayahmu, selama puluhan tahun ini, hanya menganggur saja! Tidak, aku telah mempelajari teori ilmu-ilmu baru, anakku."

"Aku telah melihat bahwa ginkang ibu amat luar biasa."

"Itu satu di antaranya. Aku telah mempelajari ilmu meringankan tubuh itu dan telah menciptakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), akan tetapi itu belum dapat diandalkan untuk menandingi kakek itu. Dahulu aku bersama ayahmu pernah mempelajari Ilmu Swat-im Sin-ciang dari Ma-bin Lo-mo, dan aku tahu bahwa ayahmu telah pula mempelajari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang yang menjadi lawannya. Biarpun aku bukan ahli Hwi-yang Sin-ciang, namun aku tahu akan sifat-sifatnya dan aku telah mencoba untuk menggabungkan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sendiri tidak berhasil melatihnya, akan tetapi menurut perhitunganku, maka baik Hwi-yang Sin-ciang maupun Swat-im Sin-ciang tidak akan mampu menandinginya."

"Ah, kalau begitu Ibu harus mengajarkannya kepadaku!" Kian Bu berseru dengan girang sekali, akan tetapi alisnya lalu berkerut karena ketika dalam kegirangannya itu dia mencoba bergerak, ternyata kaki tangan kirinya masih lumpuh. "Ah, mana mungkin aku dapat belajar dalam keadaan begini?"

"Kau harus bersabar, anakku. Keadaanmu memang parah dan kurasa dalam waktu setahun barulah boleh diharapkan engkau akan sembuh. Dan mempelajari Jouw-sang-hui-teng bukanlah hal yang mudah, memerlukan waktu lama, latihan dan ketekunan. Apalagi melatih penggabungan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sudah mencoba sampai belasan tahun belum juga berhasil."

"Ah, kalau begitu akan sukar sekali! Dan aku ingin secepatnya menemui Sin-siauw Sengjin!"

"Hemmm, lupakah kau bahwa engkau berjanji akan menemuinya lagi setelah lewat lima tahun?"

"Apa? Apakah maksudmu, Ibu?" Kian Bu berseru kaget.

Nikouw itu tersenyum. "Agaknya pukulan kakek itu hebat sekali sehingga engkau sampai tidak ingat lagi apa yang kauucapkan. Engkau telah berjanji kepadanya bahwa engkau mengaku kalah dan dalam waktu lima tahun lagi engkau akan membuat perhitungan."

"Ah, kenapa begitu lama?"

"Sebaiknya begitu malah, anakku. Engkau dapat menunggu sampai sembuh sama sekali, lalu engkau masih banyak waktu untuk berlatih dan meningkatkan kepandaianmu agar kelak kalau engkau menghadapinya, engkau tidak akan kalah lagi. Pula, janji seorang pendekar pasti tidak akan diingkari sendiri, bukan?"

Kian Bu menarik napas panjang dan terpaksa dia membenarkan kata-kata ibu angkatnya itu dan semenjak hari itu, dia dirawat dan diobati oleh Kim Sim Nikouw yang amat tekun itu.

"Demikiahlah, Lee-ko, riwayatku semenjak kita saling berpisah dan itu pula sebabnya mengapa aku tidak pernah pulang ke Pulau Es." Kia Bu mengakhiri ceritanya. "Selama kurang lebih tiga tahun aku memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan ibu angkatku itu, Kim Sim Nikouw dan selain aku dapat sembuh sama sekali, aku juga dapat menguasai Jouw-sang-hui-teng. Dari ilmu ginkang yang diajarkan oleh ibu angkatku ini, aku lalu menciptakan Ilmu Sin-ho-coan-in (Bangau Sakti Menerjang Mega), yaitu ginkang istimewa itu kugabungkan dengan dasar-dasar gerakan dari ilmu ayah Soan-hong-lui-kun."

Semenjak tadi, Kian Lee mendengarkan penuh perhatian, dengan hati terharu dan kagum.

"Dan pukulanmu yang membuat tubuh seperti disiram air panas itu....?" tanyanya kagum.

"Itulah hasil dari melatih diri menggabungkan dua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, yang teorinya diberikan oleh ibu angkatku. Memang amat sukar dan berbahaya sekali melatih penggabungan itu sehingga engkau dapat melihat sendiri rambutku."

"Hemmm, rambutmu lalu menjadi putih semua?" Kian Lee memandang kepala adiknya itu. "Itu disebabkan melatih sinkang mujijat itu?"

"Sebagian dari sebab itu, sebagian pula mungkin karena akibat pukulan Sin-siauw Sengjin, dan sebagian pula karena kedukaan yang menyiksaku selama itu. Setelah selesai berlatih selama tiga tahun dan berhasil, aku masih harus menanti dua tahun lagi untuk memenuhi janjiku terhadap Sin-siaw Sengjin. Maka dalam waktu dua tahun itu aku berusaha untuk menentang kejahatan di sekitar daerah Ho-nan sehingga banyak orang kang-ouw mulai mengenalku dan memberi julukan Siluman Kecil kepadaku."

Kian Lee mengangguk-angguk. "Sudah lama aku mendengar dan mengenal namamu itu, Bu-te. Semenjak aku mendengar nama itu memang aku sudah ingin sekali bertemu dengan orangnya, sungguhpun aku sama sekali tidak menyangka bahwa kaulah orangnya. Pertama-tama, aku ingin bertemu karena ketika aku terancam bahaya, orang-orang yang tunduk kepadamulah yang menolongku, dipimpin oleh Nona Phang Cui Lan. Dan kedua kalinya aku ingin sekali bertemu dengan Siluman Kecil untuk menegurnya."

Kian Bu memandang kepada kakaknya dengan heran. "Menegurnya?"

"Benar, dan sekarang aku akan langsung menegurmu, Bu-te. Aku mengenalmu sebagai seorang yang suka menggoda orang, terutama sekali kepada wanita. Akan tetapi apa yang kaulakukan terhadap Nona Cui Lan sungguh keterlaluan!"

"Eh, ada apa dengan dia?" Kian Bu bertanya dengan mata terbelalak.

"Dia seorang gadis yang begitu baik, lemah lembut, halus budi pekertinya, hatinya penuh dengan cinta kasih yang murni terhadap dirimu, akan tetapi engkau melupakan dia begitu saja dan membiarkan dia merana. Bagaimana engkau dapat bersikap demikian kejam terhadap seorang gadis yang sebaik dia, Bu-te?" Kian Lee lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Cui Lan di istana Gubernur Ho-nan, kemudian tentang keberanian gadis itu ketika menolong Gubernur Ho-pei dan ketika mengerahkan teman-teman untuk menyelamatkannya, tentang pengakuan gadis itu kepadanya, akan cinta kasihnya terhadap Siluman Kecil yang dinyatakan dalam nyanyiannya yang penuh kerinduan.

Mendengar semua penuturan Kian Lee yang disertai teguran keras itu, Kian Bu menundukkan mukanya dan berulang kali dia menarik napas panjang. Setelah Kian Lee berhenti bercerita dan menegurnya, dia berkata, "Justeru karena aku tahu bahwa dia mencintaku maka aku sengaja menjauhkan diriku, Koko. Aku sudah tahu dari semula ketika aku menolongnya bahwa gadis itu jatuh cinta kepadaku, maka aku segaja menjauhkan diri bahkan bersikap tidak manis kepadanya dengan maksud agar dia membenciku karena hanya itulah yang kukira dapat mengobati cintanya yang hanya sepihak. Koko yang baik, salahkah aku kalau Cui Lan jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak dapat membalas cintanya? Salahkah aku kalau sampai saat ini pun aku masih mencinta Syanti Dewi dan tidak mungkin jatuh cinta kepada orang lain? Koko, apakah hanya untuk tidak merusak hati Cui Lan aku harus pura-pura membalas cintanya dan bersikap palsu?"

Kian Lee menjadi terharu dan memegang tangan adiknya yang menjadi agak pucat wajahnya. Dia menghela napas. "Tentu saja tidak, adikku. Asal engkau tidak mempermainkannya, dan mendengar ceritamu, agaknya memang engkau tidak pernah menggodanya dan bukan

salahmu kalau dia mencintamu tanpa dapat kaubalas karena engkau mencinta orang lain. Aihhh, mengapa kita berdua menjadi korban cinta dan mengalami banyak kesengsaraan karena cinta? Sungguh kasihan sekali Nona Phang Cui Lan, dan kasihan pula engkau, adikku...."

"Lee-ko, tidak perlu engkau mengasihani dia atau aku. Dan setelah aku bertemu dengan ibu angkatku, Kim Sim Nikouw, baru terbuka mataku bahwa memang selama ini kita berdua amat lemah, bahkan sampai saat ini pun aku masih melihat kelemahanku sendiri dalam persoalan cinta. Kita sebenarnya bukanlah mencinta orang lain melainkan mencinta diri sendiri, Koko. Karena itulah maka kita menderita ketika orang yang kita cinta tidak membalas cinta kita, dan kita berduka karena kita kehilangan orang yang kita cinta. Cinta kasih seperti yang terdapat dalam hati ibu angkatku, itulah baru cinta kasih yang suci murni namanya, dan sungguh ayah kita berbahagia sekali dicinta oleh seorang seperti ibu angkatku itu"

"Memang luar biasa sekali Kim Sim Nikouw seperti yang kauceritakan itu, adikku. Dan agaknya seperti dia pulalah Nona Phang Cui Lan, dan mudah-mudahan dapat pula mengatasi tekanan batinnya karena cinta tidak terbalas seperti nikouw itu. Dan aku girang mendengar bahwa engkau tidak menggodanya, Bute"

"Ah, aku bukan lagi adikmu yang suka menggoda orang seperti lima tahun yang lalu, Lee-ko. Aku sudah cukup banyak menderita karena wanita, dan agaknya akan sukar bagiku untuk jatuh cinta lagi kepada wanita lain." Biarpun mulutnya berkata demikian, namun tanpa disadarinya sendiri, tahu-tahu wajah Hwee Li yang amat cantik itu terbayang di depan matanya! Dia cepat melawan ini dengan kata-kata, "Dan aku akan mencontoh ibu angkatku, aku akan berbahagia sekali kalau mendengar bahwa Syanti Dewi hidup berbahagia di samping orang yang dicintanya, yaitu Ang Tek Hoat. Kasihan dia, mungkin dia belum tahu bahwa ibunya telah tewas oleh orang-orang Bhutan." Dia lalu menceritakan lagi tentang wanita gila, bekas pelayan dari Ang Siok Bi, ibu Ang Tek Hoat itu.

Mendengar penuturan ini, Kian Lee menarik napas panjang. "Sungguh aku khawatir sekali bahwa kenyataannya tidak seperti yang kauharapkan itu, adikku."

"Apa maksudmu, Lee-ko?"

"Tentang kebahagiaan Syanti Dewi di samping Tek Hoat itu. Belum lama ini aku bertemu dengan Ang Tek Hoat, dan agaknya dia telah tersesat lagi. Dia membantu orang-orang jahat, bahkan dia tidak segan-segan untuk mengeroyok aku di tempat kediaman penjahat-penjahat." Kian Lee lalu menceritakan semua pengalamannya, tentang perjalanannya mencari adiknya itu, kemudian pertemuannya dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang menyerangnya dan menuduhnya mencuri harta pusaka Jenderal Kao dan menculik keluarganya. Kemudian tentang pengalamannya ketika dia berada di istana Gubernur Ho-nan, dan selanjutnya ketika dia mengawal Phang Cui Lan dan Gubernur Ho-pei sampai pertemuannya dengan Tek Hoat dan dia dikeroyok dan dirobohkan.

Mendengar cerita kakaknya itu bermacam perasaan mengaduk di hati Kian Bu. Dia terharu sekali mendengar akan sepak terjang Phang Cui Lan yang patut dipuji, dan dia marah dan khawatir mendengar betapa Ang Tek Hoat membantu Hek-eng-pangcu, dan betapa Tek Hoat telah menjatuhkan fitnah kepada dirinya yang dikatakan merampas harta benda keluarga Kao Liang. Akan tetapi kekhawatirannya lebih besar daripada kemarahannya terhadap Tek Hoat, yaitu khawatir tentang diri Syanti Dewi.

"Apakah yang telah terjadi dengan Syanti Dewi?" katanya dengan alis berkerut. "Andaikata Syanti Dewi berada di sisi Tek Hoat, tidak mungkin orang itu melakukan penyelewengan! Kalau Tek Hoat sudah kumat lagi gilanya, hal itu tentu berarti bahwa Syanti Dewi tidak lagi berada di dekatnya. Tentu telah terjadi sesuatu!" Dia mengepal tinju dan kelihatan gelisah. "Dan aku sendiri yang akan menghajar Tek Hoat kalau dia menghancurkan kehidupan Syanti Dewi!"

"Tenanglah, Bu-te. Dalam keadaan seperti kita sekarang yang belum tahu semua persoalannya, tidak baik untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan dan dugaan-dugaan, apalagi mengandung kemarahan di dalam hati terhadap seseorang. Bahkan aku sendiri yang sudah dia jatuhkan dalam pengeroyokan, aku masih ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu, karena aku yakin bahwa tentu ada sesuatu yang mendorongnya berbuat demikian."

"Hemmm, aku sudah tahu bahwa dia jahat, Koko. Akan tetapi...." Kian Bu tidak melanjutkan kata-katanya karena dia maklum bahwa Tek Hoat adalah keponakan kakaknya ini, keponakan langsung dari ibunya, karena Tek Hoat adalah cucu kandung dari ibu Kian Lee. Karena teringat akan hal ini maka dia diam saja.

Mereka lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing selanjutnya. Kian Bu bercerita tentang pembalasannya yang berhasil terhadap Sin-siauw Sengjin, dan tentang pusaka-pusaka Suling Emas yang agaknya sebagian telah dicuri oleh Ang-siocia dan menurut tantangan gadis itu, dia akan menanti di pantai Po-hai di teluk sebelah utara. "Hemmm, banyak persoalan kita hadapi, adikku. Urusan Jenderal Kao Liang masih belum beres, muncul pula urusan warisan Suling Emas yang juga harus kita jernihkan."

"Akan tetapi engkau belum sehat benar, Lee-ko. Biarlah kita menanti sampai engkau sudah sehat benar, nanti kita bersama menyelidiki persoalan-persoalan itu sampai beres. Nah, itu dia tabibmu sudah menyusul!"

Benar saja, munculiah Sai-cu Kai-ong. "Wah, jangan lama-lama membiarkan diri ditiup angin sejuk, Kian Lee taihiap!" Kakek itu menegur. "Mari kita pulang dan sudah waktunya Taihiap minum obat!" Kemudian dia berkata kepada Kian Bu, "Dan aku membutuhkan beberapa macam ramuan obat yang telah habis dan obat-obat itu hanya bisa dibeli di kota besar. Maka, kuharap engkau suka menemani Siauw Hong untuk mencari dan membelikan ramuan obat untuk kakakmu itu, Kian Bu taihiap."

"Tentu saja saya akan suka sekali pergi, Locianpwe. Akan tetapi, Locianpwe, kami kakak beradik yang menerima banyak budi Locianpwe, menganggap Locianpwe sebagai paman sendiri, maka harap buang saja sebutan taihiap kepada kami," kata Kian Bu.

"Benar apa yang dikatakan adikku, Locianpwe," sambung Kian Lee.

"Ha, kalau begitu kalian harus membuang sebutan locianpwe dan sebut saja paman kepadaku." Mereka bertiga tertawa dan Kian Lee lalu dipondong lagi oleh adiknya, kembali ke tempat tinggal kakek itu yang seperti istana kuno dikelilingi tembok tebal seperti benteng. Ketika tiba di pintu gerbang dan melihat dua orang kakak beradik itu memandang kagum, Sai-cu Kai-ong berkata, "Biarlah kelak kalau Kian Lee telah sembuh, kalian akan kubawa berkeliling dan melihat-lihat rumah peninggalan nenek moyangku ini."

Mereka memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang anak buah Sai-cu Kai-ong yang berpakaian pengemis dan setelah merebahkan kakaknya di atas pembaringan dalam kamar, Kian Bu lalu berangkat bersama Siauw Hong mencarikan obat-obat yang dibutuhkan oleh kakek itu.

******

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Puteri Syanti Dewi yang bernasib malang itu. Kita melihat dia yang terakhir berada di dalam gedung dari Hwa-i-kongcu Tang Hun, majikan Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san dekat belokan Sungai Huang-ho. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tang Hun sastrawan yang juga ahli silat dan sihir murid Durganini ini tergila-gila kepada Syanti Dewi dan memaksa puteri itu untuk menikah dengan dia.

Akan tetapi di tengah-tengah keramaian pesta pernikahan itu, secara aneh sekali Syanti Dewi telah hilang tanpa diketahui jejaknya! Bahkan Siang In, dara jelita yang gagah perkasa dan pandai ilmu sihir yang berusaha menolong dan membebaskan Syanti Dewi, juga tidak tahu kemana perginya puteri itu. Bukan dia saja, malah Ang Tek Hoat, yang dengan bantuan anak buah Hek-eng-pang berusaha membebaskan Syanti Dewi, juga hanya dapat membebaskan Syanti Dewi palsu, sedangkan dia pun tidak tahu ke mana lenyapnya Syanti Dewi yang aseli!

Kemanakan perginya Syanti Dewi? Dan bagaimana caranya dia dapat lenyap dari penjagaan yang amat ketat itu, bahkan lenyap dari pengejaran seorang dara perkasa seperti Siang In, dan dari pencarian seorang sakti seperti Ang Tek Hoat yang masih dibantu oleh banyak anak buah Hek-eng-pang? Mari kita ikuti pengalaman Syanti Dewi semenjak dia berada di dalam kamar sebagai calon pengantin itu.

Seperti kita ketahui, Syanti Dewi merasa gembira dan lega ketika bertemu dengan Siang In yang mengunjunginya di dalam kamarnya. Kalau dalam beberapa hari itu dia selalu termenung berduka, tidak mau mandi, tidak mau makan, tidak mau berganti pakaian, setelah Siang In mengunjunginya dan tahu bahwa gadis yang luar biasa itu akan menolong dan membebaskannya, kegembiraan membuat dia seketika merasa lapar sekali dan dia segera memesan makan minum kepada pelayan-pelayannya sehingga para pelayan itu menjadi heran dan juga girang sekali.

Dari dapur yang khusus didatangkan hidangan-hidangan, diantar oleh seorang koki tua agak gemuk yang berwajah riang dan dibantu oleh para pelayan yang menghidangkan masakan-masakan istimewa di atas meja dalam kamar sang puteri atau calon pengantin wanita itu. Syanti Dewi yang memang sudah lapar itu cepat makan dan minum, akan tetapi terkejutlah dia ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik di telinganya, "Perut kosong jangan terlalu cepat diisi, dan jangan terlalu banyak."

Dia menoleh ke kanan kiri. Di situ hanya ada lima enam orang pelayan wanita, dan koki itu ternyata masih berdiri di sudut tanpa dipedulikan oleh para pelayan. Ketika dia bertemu pandang dengan kakek yang berpakaian koki itu, tiba-tiba kakek itu mengedipkan sebelah matanya. Syanti Dewi terkejut dan dia seperti sudah mengenal wajah koki itu. Tahulah dia bahwa suara bisikan yang didengarnya tadi, tentu adalah suara koki itu yang entah bagaimana dapat menjadi bisikan di dekat telinganya tanpa didengar oleh para pelayan agaknya. Akan tetapi sebagai seorang yang sudah banyak bergaul dengan orang-orang yang memiliki kesaktian hebat, seperti pendekar sakti Gak Bun Beng, bekas tunangannya Ang Tek Hoat, puteri sakti Milana, dan banyak lagi orang dari golongan hitam yang berilmu tinggi, Syanti Dewi tidak lagi merasa heran dan tahulah dia bahwa koki itu adalah seorang yang berilmu tinggi!

"Harap kausuruh mereka itu keluar, kecuali pelayan yang berbaju biru itu," kembali terdengar bisikan tadi.

Syanti Dewi tentu saja tidak mempercayai suara itu begitu saja biarpun dia seperti pernah mengenal wajah koki itu, akan tetapi anehnya, ada pengaruh mujijat yang membuat dia tidak dapat menolak lagi! Seperti di luar kehendaknya sendiri, dia lalu berkata, "Kalian semua keluarlah, kecuali engkau yang baju biru. Aku tidak suka makan ditunggu banyak orang."

Para pelayan itu tersenyum dan mereka pun pergi meninggalkan kamar itu, tanpa mempedulikan koki tua yang masih berdiri seperti arca di sudut kamar."

"Kaututupkan daun pintunya, kunci dari dalam." Kembali Syanti Dewi berkata kepada pelayan baju biru seperti bukan atas kehendaknya sendiri. Pelayan baju biru yang cantik itu mengangguk, lalu menutupkan daun pintu dan menguncinya, kemudian dia kembali duduk di dekat sang puteri untuk melayaninya.

Kini kakek yang berpakaian koki itu melangkah maju mendekati meja, dipandang penuh perhatian dan dengan hati mulai curiga oleh Syanti Dewi. Agaknya baru sekarang pelayan baju biru itu melihat kakek ini. Dia terkejut dan heran. "Ihhh, kau masih di sini? Tidak boleh, hayo cepat keluar.. .."

Akan tetapi tiba-tiba tangan kakek itu bergerak ketika melihat kenyataan pelayan itu lari ke pintu, dan tahu-tahu dia telah menjambak rambut pelayan itu, diseretnya mendekati meja di mana Syanti Dewi masih bengong, lalu terdengar kakek itu berkata lirih namun dengan nada penuh ancaman, "Jangan berteriak, jangan banyak ribut, kalau tidak akan kuhancurkan kepalamu! Kau diam dan menurut saja kalau ingin selamat!"

Tiba-tiba sebuah totokan di tengkuk pelayan tua membuatnya lemas dan tidak dapat bergerak lagi, hanya matanya saja yang terbelalak memandang dengan penuh rasa takut. Dicobanya untuk mengeluarkan suara, akan tetapi sekali tekan pada leher wanita itu oleh jari tangan kakek aneh tadi, si pelayan tidak dapat mengeluarkan suaranya sama sekali seperti orang gagu!

"Hemmm, apa artinya ini? Siapa engkau?" Syanti Dewi bangkit berdiri dan memandang tajam.

"Heh-heh, kau lupa lagi kepadaku, Puteri?" Kakek itu melepaskan penutup kepalanya seperti yang biasa dipakai oleh koki untuk mencegah rambut kepalanya rontok dan masuk ke dalam masakan. Kini kelihatan kepalanya yang botak dan sedikit rambutnya yang putih. Biarpun sudah lima tahun tidak berjumpa lagi dengan kakek ini dan biarpun kakek ini sekarang agak gendut perutnya, namun melihat wajah yang tersenyum-senyum itu teringatlah Syanti Dewi.

"Ah, bukankah Locianpwe ini guru Siang In? Locianpwe See-thian Hoatsu....?" tanyanya dengan heran.

"Ha-ha-ha, ternyata ingatanmu kuat sekali, Puteri! Benar, Siang In adalah muridku."

Hati Syanti Dewi girang sekali. Beberapa tahun yang lalu ketika dia dikejar-kejar oleh Raja Tambolon dan anak buahnya, dia pernah ditolong dan diselamatkan oleh kakek yang pandai ilmu sihir ini dan dari percakapannya dengan Siang In dia tahu bahwa kakek ini adalah guru Siang In ( baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Maka tentu saja dia menjadi girang dan menaruh kepercayaan kepada kakek ini."

"Locianpwe, baru saja Siang In juga datang dan berjanji hendak membawaku keluar dari sini...."

"Itulah sebabnya aku datang sendiri, Puteri Syanti Dewi. Keadaan di sini amat berbahaya dan terlalu banyak orang pandai menghendaki dirimu. Rencana Siang In tentu akan gagal kalau aku tidak cepat turun tangan. Sekarang kau diamlah saja dan menurut segala petunjukku."

Syanti Dewi tidak terkejut mendengar itu karena dia maklum bahwa dia berada di tempat berbahaya, maka dia lalu mengangguk.

"Cepat kautanggalkan pakaian luarmu," bisik kakek itu dan ketika, Syanti Dewi melihat kakek itu mulai menanggalkan pakaian luar pelayan yang ditotoknya itu, mengertilah dia maksudnya dan tanpa ragu-ragu lagi dia membalikkan tubuhnya dan menanggalkan pakaian luarnya. Dia tidak perlu merasa malu dalam keadaan seperti itu, apalagi yang melihat dia dalam pakaian dalam yang tipis itu hanya seorang kakek sakti yang sudah amat dipercaya.

"Aih, sukarnya....!" Kakek itu mengomel ketika dia mencoba untuk mengenakan pakaian luar Syanti Dewi pada pelayan itu sehingga Syanti Dewi yang cepat sudah mengenakan pakaian luar pelayan itu segera membantunya. Kakek itu memang cerdik. Yang dipilihnya adalah seorang pelayan yang selain cantik juga memiliki bentuk tubuh yang hampir sama dengan bentuk tubuh Syanti Dewi sehingga ketika pakaian mereka saling ditukar, dapat pas sekali.

Setelah selesai, kakek itu lalu berbisik, "Cepat kauatur rambutnya seperti sanggul rambutmu dan tambah bedak di mukanya biar wajahnya seputih wajahmu."

Syanti Dewi cepat melakukan semua perintah itu, kemudian See-thian Hoat-su sendiri menggunakan alat penghias yang terdapat di dalam kamar itu untuk mengubah bentuk bibir dan alis serta mata Syanti Dewi dengan menggunakan pemerah bibir dan penghitam. Sebentar saja, ketika dia selesai dan Syanti Dewi melihat bayangannya sendiri dalam cermin, puteri ini hampir tertawa geli melihat betapa dia sudah berubah menjadi seorang wanita yang bermata sipit, alisnya tebal dan mulutnya lebar, mukanya ada beberapa totol hitam yang melenyapkan semua kemanisannya.

"Mari cepat...." kata kakek itu dan dia segera menarik pelayan yang sudah mengenakan pakaian Syanti Dewi, mendudukkannya di atas kursi, lalu dia memandangnya dengan sinar mata penuh pengaruh yang amat kuat sambil berkata, "Kau tidak akan dapat bicara semalam ini dan akan menurut saja apa yang dilakukan orang-orang kepada dirimu!" Setelah menanamkan kata-kata ini melalui sihir ke dalam benak pelayan itu, See-thian Hoat-su lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan di bawa menyelinap ke luar melalui jendela, tidak lupa untuk leblh dulu meniup padam lilin yang bernyala di atas meja.

Akan tetapi baru saja mereka meloncat keluar dan menutupkan daun jendela, Syanti Dewi menahan seruan kaget dan memegang lengan kakek itu. Dua orang pengawal berjalan dengan langkah tegap ke arah mereka! Akan tetapi, kakek itu sudah menggerakkan kedua tangannya ke arah dua orang pengawal itu. Mereka memandang, terkejut dan berdiri seperti patung dengan mata terbelalak, sama sekali tidak dapat bergerak sampai kakek itu menggandeng tangan Syanti Dewi dan menariknya pergi dari situ.

Setelah kakek dan puteri itu lenyap, barulah keduanya sadar, saling pandang dan merasa terheran-heran.

"Eh, kenapa kita berdiri bengong di sini?" tanya yang seorang.

"Heran, aku merasa seperti baru saja terjadi sesuatu, akan tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Seperti mimpi saja," kata yang ke dua.

"Hemmm, agaknya kita tadi terlalu banyak minum arak." Dan mereka melanjutkan perondaan mereka.

Sementara itu, See-thian Hoat-su mengajak Syanti Dewi bersembunyi di tempat gelap, di ruangan dekat dapur yang penuh dengan pot-pot bunga dan pohon katai. Hwa-i-kongcu Tang Hun memang mempunyai kegemaran mengumpulkan bunga-bunga dan pohon-pohon katai yang aneh dan indah dalam pot-pot kuno dan dikumpulkan di ruangan itu. Bukan ruangan tertutup, akan tetapi cukup gelap dan Syanti Dewi merasa heran sekali mengapa penolongnya itu mengajaknya bersembunyi, dan di tempat terbuka seperti itu.

"Kenapa kita tidak lari....?" bisiknya.

"Sssttttt.... kita tunggu sampai terjadi keributan," jawab See-thian Hoat-su. Syanti Dewi hendak bertanya mengapa mereka bersembunyi di tempat terbuka seperti itu, akan tetapi dia mengurungkan niatnya bicara karena pada saat itu muncul tiga orang yang berjalan ke arah tempat itu. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap, dan ternyata mereka adalah dua orang tamu yang agaknya melihat-lihat, diantar oleh seorang pengawal.

"Ini adalah kumpulan-kumpulan bunga-bunga aneh dan pohon-pohon katai yang disayang sekali oleh Kongcu," si pengawal menerangkan. Mereka melihat-lihat bunga itu, bahkan seorang dari mereka mendekati Syanti Dewi dan mencium-cium, mendengus-dengus.

"Hemmm, wangi....!" katanya. "Sayang agak gelap tempat ini sehingga kita tidak dapat mengagumi bunga-bunga ini dengan jelas."

"Besok saja kita melihat-lihat lagi ke sini," kata tamu ke dua dan mereka berjalan pergi.

Syanti Dewi sudah gemetar saking tegang dan gelisahnya. Rambutnya tadi dicium-cium oleh orang itu dan dia disangka bunga! Dia terheran-heran akan tetapi ketika dia menoleh kepada kakek itu yang terkekeh geli, mengertilah dia bahwa peristiwa aneh itu adalah akibat permainan sihir kakek ini. Tentu tiga orang yang tadi datang telah melihat mereka berdua seperti bunga dalam pot, maka rambutnya dicium oleh seorang di antara mereka. Teringatlah dia akan permainan sihir dari Siang In yang membuat dara itu kelihatan seperti sebuah kursi bagi orang lain!

"Kenapa kita harus menunggu sampai terjadi keributan, Locianpwe?" Dia berbisik.

Kakek itu menarik napas panjang. "Siang In terlalu sembrono. Dia tidak melihat bahwa di sini hadir orang dari Nepal yang memiliki kekuatan sihir lebih hebat daripada dia. Kalau kita lari sekarang dan ketahuan, banyak bahayanya akan gagal karena di depan orang itu tentu saja tidak mungkin mengandalkan kekuatan sihir."

Saat yang dinanti-nanti oleh kakek See-thian Hoat-su itu ternyata tidak lama. Tiba-tiba terdengarlah canang dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan disusul teriakan-teriakan nyaring. Dari tempat sembunyi itu, mereka melihat berkelebatnya banyak wanita-wanita pelayan dan melihat pula seorang pelayan wanita tua yang cantik memondong Syanti Dewi palsu tadi dengan gerakan ringan sekali. Lalu terdengar keributan di ruangan pesta, disusul padamnya lampu-lampu dan ributnya suara orang bertempur!

"Sekarang....!" Kakek itu berbisik dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya melarikan diri melalui jalan belakang.

"Heiii, siapa....?" Akan tetapi dua orang itu sudah jatuh terjungkal oleh kakek See-thian Hoat-su sebelum dua orang pengawal itu dapat melihat jelas. Dengan cepat See-thian Hoat-su lalu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya melompati pagar tembok di taman belakang. Tanpa banyak halangan karena semua orang sedang sibuk berkelahi dan mengejar-ngejar penculik Syanti Dewi palsu, See-thian Hoat-su dapat membawa pergi puteri itu dari puncak Bukit Naga Api.

Setelah pergi jauh, Syanti Dewi berkata, "Locianpwe, bagaimana dengan Siang In? Kenapa kita tidak menanti dia?"

Kakek itu menurunkan tubuh Puteri Bhutan dan menyeka peluhnya, lalu memandang ke angkasa yang indah penuh bintang. "Ahhh, dia bukan anak kecil lagi, tentu dapat menjaga diri sendiri."

"Akan tetapi.... tentu dia akan mencari-cari Locianpwe dan saya...."

"Dia tidak tahu bahwa aku berada di sini, dan biarlah dia mencarimu untuk meluaskan pengalamannya, ha-ha!" Kakek yang aneh itu tertawa dan Syanti Dewi tidak membantah lagi. Kakek ini mempunyai watak yang luar biasa anehnya dan dia tahu bahwa memang orang-orang sakti di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang kadang-kadang mendekati watak orang gila!

"Lalu.... lalu kita akan pergi ke mana, Locianpwe?" tanyanya penuh keraguan.

"Ke tempatku di pantai Po-hai. Akhirnya Siang In tentu akan ke sana pula kalau dia tidak berhasil mencarimu. Dan kulihat engkau diperebutkan banyak orang, Puteri, maka untuk sementara waktu ini, kiranya akan lebih aman kalau kau berada di sana bersamaku.

Syanti Dewi tidak membantah lagi. Dia meninggalkan Bhutan bersama Siang In, dan biarpun dia berniat mencari Tek Hoat, namun mencari seorang diri saja mana mungkin berhasil? Di bagian dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat yang amat lihai, dan tanpa seorang teman seperjalanan yang sakti seperti Siang In, dia merasa ngeri dan tidak sanggup untuk mencari Tek Hoat sendirian saja. Pula, kini dia ikut bersama guru dari Siang In, berarti dia berada di tangan yang aman dan tentu banyak harapan akan berjumpa kembali dengan gadis ahli sihir itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, peristiwa penculikan atas diri Syanti Dewi dari gedung Hwa-i-kongcu Tang Hun itu menimbulkan kegegeran hebat. Rombongan Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Yang-liu Nio-nio sendiri berhasil menculik Syanti Dewi tanpa mereka sadari bahwa yang mereka culik adalah yang palsu. Mereka telah mengorbankan banyak anak buah dan Syanti Dewi telah diserahkan kepada Ang Tek Hoat yang melarikannya, akan tetapi kemudian ternyata Syanti Dewi itu hanyalah seorang pelayan! Seperti kita ketahui, saking marahnya Yang-liu Nio-nio membunuh pelayan itu dan kemudian mayatnya dilemparkan kepada Siang In oleh Tek Hoat yang merasa gemas dan berkhawatir akan diri kekasihnya. Siang In sendiri juga terkejut ketika melihat mayat yang disangkanya Puteri Bhutan itu ternyata hanya seorang pelayan. Tahulah, dia bahwa Syanti Dewi telah lenyap tanpa dia ketahui siapa penculiknya. Jelas bukan Tek Hoat, bukan pula rombongan Hek-eng-pang, akan tetapi jelas telah lenyap dari rumah Hwa-i-kongcu. Habis, siapa yang telah menculiknya? Dia merasa penasaran sekali dan mulai melakukan pengejaran dan penyelidikan.

Sementara itu, seperti telah diceritakan pula di bagian depan, di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu itu terdapat pula seorang tamu yang amat lihai, bahkan tamu itu telah membuyarkan kekuatan sihir dari Siang In ketika gadis yang menyamar sebagai penari dan pemain sulap ini memperlihatkan kepandaiannya. Orang itu adalah Gitananda, kakek tokoh Nepal yang tinggi besar, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut itu. Seperti kita ketahui, Gitananda juga mencoba untuk menahan diri Yang-liu Nio-nio yang dianggapnya telah menculik pengantin perempuan, akan tetapi Yang-liu Nio-nio yang dibantu banyak anak buahnya itu dapat meloloskan diri dan Gitananda tidak berani melakukan pengejaran dalam gelap karena dia tahu bahwa hal itu amat berbahaya, mengingat bahwa rombongan penculik itu terdiri dari orang-orang pandai.

Gitananda adalah seorang di antara pembantu-pembantu Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang mengemban tugas untuk menghubungi pembesar-pembesar yang condong untuk menentang kekuasaan kaisar. Koksu Nepal yang cerdik itu maklum bahwa untuk memperkuat kedudukannya, dia harus menghubungi tokoh-tokoh kang-ouw di dunia timur ini, dan sedapat mungkin berbaik dengan tokoh-tokoh dari golongan hitam. Oleh karena itulah, maka dia menyebar para pembantunya, dan ketika mendengar akan pernikahan di puncak Naga Api, yaitu pernikahan dari Hwa-i-kongcu Tang Hun yang didengarnya sebagai ketua Liong-sim-pang, seorang pemuda yang selain kaya raya, juga amat lihai bahkan akhir-akhir ini kabarnya menjadi murid Durganini, tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu dan mengutus Gitananda mewakilinya dan menghadiri pesta itu. Durganini adalah seorang nenek ahli sihir dari India dan Ban Hwa Sengjin sudah mengenalnya.

Sebetulnya, ketika Gitananda mendengar bahwa yang menjadi pengantin puteri adalah Syanti Dewi dari Bhutan, dia terkejut sekali. Betapa akan senangnya koksu kalau sampai dia bisa mendapatkan puteri itu. Puteri itu dapat dipergunakan untuk memaksa Pemerintah Bhutan tunduk kepada Nepal! Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh membikin marah Hwa-i-kongcu, lebih-lebih Durganini, maka Gitananda juga tidak mau mengganggu pengantin puteri. Akan tetapi ketika terjadi penculikan atas diri pengantin puteri, tentu saja Gitananda melihat kesempatan yang amat baik! Puteri itu diculik orang, kalau saja dia bisa merampasnya kembali dari tangan penculik. Bukan untuk diserahkan kembali kepada Hwa-i-kongcu, sungguhpun hal itu akan berarti melepaskan Liong-sim-pang sebagai sahabat. Kiranya akan lebih penting lagi diri Puteri Bhutan itu bagi Nepal, daripada persahabatan Liong-sim-pang. Pula, kalau dia bisa mendapatkan puteri itu di luar tahu Liong-sim-pang, bukankah tetap akan menjadi sahabat untuk dapat bekerja sama sewaktu-waktu jika keadaan membutuhkan karena Hwa- i-kongcu sudah melihat sendiri betapa dia telah membantu untuk melawan para penculik, biarpun tidak berhasil.

Dia harus dapat mengejar penculik dan merampas kembali Puteri Bhutan tanpa diketahui oleh Hwa-i-kongcu! Maka setelah para penculik itu kabur, Gitananda melakukan pengejaran seenaknya karena dia perlu untuk diam-diam kembali ke kamarnya, lalu pergi lagi turun dari puncak ke tempat yang sunyi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gitananda melepaskan seekor burung berwarna hijau yang paruhnya merah, burung kecil yang menjadi burung peliharaannya, amat terlatih dan merupakan burung yang amat cerdik. Dengan dalih memeriksa kamar pengantin wanita yang terculik malam tadi dia berhasil memasuki kamar pengantin dan berhasil pula memperoleh sehelai saputangan yang tadinya dipakai oleh Syanti Dewi, dari seorang pelayan yang disogoknya dengan sepotong emas! Kini, dia melepaskan burung itu yang membawa robekan saputangan di antara paruhnya yang merah dan kuat.

"Carilah sampai dapat!" teriak Gita nanda sambil melepaskan burung itu. Burung hijau itu terbang seperti kilat cepatnya ke atas, tinggi sekali lalu mulai terbang tinggi berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin luas. Binatang yang cerdik itu mulai mencari-cari, menggunakan nalurinya mengandalkan benda yang berada di paruhnya. Sepasang matanya yang kecil melirak-lirik ke bawah, tajam sekali.

Gitananda menanti sampai hampir menjelang tengah hari. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya di atas rumput ketika dia melihat sinar hijau melayang telah kembali! Benar saja, terbang sampai tiba di atas melepaskan robekan sapu tangan dan mengeluarkan suara mencicit.

"Burung yang baik, kau telah menemukan dia?"

Burung itu mencicit dan terbang ke atas lagi. Gitananda lalu mengikutinya dan burung itu sengaja terbang tidak terlalu cepat sehingga Gitananda yang memiliki ilmu berlari cepat itu dapat mengikutinya dari bawah! Dan burung itu terbang menuju ke timur! Jenggotnya yang panjang berkibar-kibar, ujung sorbannya juga berkibar sehingga kakek ini nampak gagah dan juga aneh, seperti seorang dewa dalam dongeng.

Sementara itu, See-thian Hoat-su yang sedang berjalan seenaknya bersama Syanti Dewi, ketika keluar dari sebuah hutan kecil, tiba-tiba melihat seekor burung hijau terbang berputaran di atas mereka. Mula-mula Syanti Dewi yang melihat burung itu. Dara bangsawan ini sedang memandang ke atas, seolah-olah hendak mencari berita dari awan-awan di angkasa di mana adanya Ang Tek Hoat pada saat itu.

"Eh, burung apakah itu demikian aneh?" katanya sambil menuding ke atas.

See-thian Hoat-su juga memandang ke atas dan dia mengerutkan alisnya. Biarpun usianya jauh lebih tua, akan tetapi kakek ini memiliki sepasang mata yang terlatih baik sekali dan dia dapat mengerahkan kekuatan pandang matanya untuk melihat jauh sehingga burung itu nampak jelas olehnya.

"Puteri, katakan, apakah engkau mempunyai sehelai saputangan kuning?" tiba-tiba dia bertanya sambil memandang ke arah burung hijau yang terbang berputaran itu.

"Saputangan kuning.. ..?" Tentu saja Syanti Dewi merasa kaget dan heran mendengar pertanyaan tiba-tiba yang janggal itu.

"Ya.... ya, saputangan sutera kuning. Apakah engkau memakai benda itu ketika berada di puncak Naga Api, di tempat tinggal Hwa-i-kongcu?"

"Benar.... akan tetapi kutinggalkan di kamar...."

Ah, celaka....! Benar, dia tentu burung mata-mata!" teriak See-thian Hoat-su dengan kaget, apalagi ketika dia melihat burung itu tiba-tiba saja meluncur cepat sekali ke barat, tentu akan melapor kepada majikannya bahwa dia telah menemukan orang yang dicarinya! "Kita harus cepat pergi dari sini!" Berkata demikian, kakek itu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya berlari cepat sekali sehingga Syanti Dewi memejamkan matanya karena merasa ngeri. Saking khawatirnya kalau-kalau dia akan tersusul oleh para pengejarnya yang dia tahu tentu terdiri dari orang-orang pandai sehingga membahayakan keadaan Syanti Dewi, maka See-thian Hoat-su tidak mempedulikan pandangan para penghuni dusun-dusun yang dilewatinya. Tentu saja orang-orang dusun itu terkejut dan terheran-heran melihat seorang dara cantik jelita dipondong dan dibawa lari oleh seorang kakek botak yang larinya seperti setan!

Lebih-lebih lagi keheranan mereka ketika beberapa lama kemudian, muncul pula. seorang kakek berkulit hitam, tinggi besar, kepalanya memakai sorban, jenggotnya panjang sampai ke perut dan dengan suara kaku dan asing kakek ini bertanya kepada mereka apakah mereka melihat seorang dara yang cantik jelita, yang kulitnya putih kemerahan, matanya lebar seperti sepasang bintang, sikapnya lemah lembut, halus budi dan agung, lewat di dusun itu.

"Ah, kami melihat seorang dara cantik jelita, akan tetapi dia dipondong dan dibawa lari seorang kakek botak...."

"Yaaa! Itulah dia! Kemana mereka pergi?" Gitananda bertanya dengan girang karena dia tidak merasa ragu lagi bahwa itulah dara yang dicarinya dan benar saja, agaknya Sang Puteri Bhutan itu dilarikan seorang penculik!

Kini para penghuni dusun merasa ragu-ragu karena mereka kurang percaya kepada orang asing bersorban yang bicaranya kaku ini, akan tetapi Gitananda cepat berkata, "Agaknya kalian belum tahu. Kakek botak itu adalah seorang penjahat besar, seorang penculik! Dan dara yang diculik itu adalah seorang puteri! Puteri Raja Bhutan dan aku adalah seorang petugas yang akan menolong sang puteri. Harap kalian cepat memberi tahu, ke mana mereka itu pergi?"

Tentu saja para penghuni dusun merasa kasihan sekali kepada sang puteri dan berfihak kepada orang asing ini yang hendak menolong sang puteri yang terculik penjahat, maka berebutlah mereka memberi tahu ke mana arah larinya kakek botak yang memondong dan menculik sang puteri. Setelah mendengar bahwa kakek botak itu melarikan sang puteri menuju ke timur. Gitananda cepat melakukan pengejaran bersama burung hijaunya. Maka ramailah para penghuni dusun itu membicarakan peristiwa yang aneh itu sehingga cerita tentang kakek botak yang seperti iblis menculik Puteri Bhutan lalu dikejar oleh kakek seperti dewa hitam tersiar luas di dusun itu dan bahkan keluar sampai ke dusun-dusun lain.

Sementara itu. See-thian Hoat-su yang memondong tubuh Syanti Dewi, melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke timur dan akhirnya, beberapa hari kemudian setelah melakukan perjalanan yang hampir tidak pernah ditundanya kecuali kalau malam gelap sekali dan untuk makan, tibalah kakek ini bersama Syanti Dewi di Gua Tengkorak. tempat pertapaan See-thian Hoat-su selama bertahun-tahun ini!

Syanti Dewi merasa lega ketika kakek itu mengatakan bahwa mereka telah tiba di tempat pertapaan yang tersembunyi. dan dia lalu memeriksa tempat itu. Tempat yang amat indah akan tetapi juga menyeramkan. Gua besar itu dalamnya seperti sebuah rumah saja, amat lebar dan dibagi-bagi menjadi beberapa buah kamar, bahkan ada tempat dapurnya yang terisi perabot dapur lengkap. Gua itu terletak di antara batu-batu karang yang besar-besar sehingga tersembunyi, dan menghadap keluar Teluk Po-hai. Suara ombak memecah di batu-batu karang terdengar setiap saat siang malam, merupakan dendang yang tidak hentinya dan menciptakan suasana yang aneh dan berbeda sekali dari suasana di darat dan pegunungan. Angin bersilir terus jarang berhenti, dan di atas gua itu adalah sebuah bukit batu karang yang di bagian atasnya ditumbuhi bermacam pohon yang tahan hidup di tepi pantai. Di sebelah kiri gua terdapat air tawar yang bercucuran dari celah-celah batu yang pecah oleh akar-akar pohon, air yang merupakan berkah bagi penghuni gua karena memudahkan pengambilan air tawar yang amat dibutuhkan. Gua itu sendiri kalau dilihat dari jauh memang berbentuk seperti tengkorak manusia.

"Jangan terlalu jauh meninggalkan gua," kata See-thian Hoat-su yang memanggil kembali Syanti Dewi yang berjalan-jalan di sekitar tempat itu sampai ke pantai Po-hai. "Sekarang belum aman benar. Siapa tahu orang yang mempunyai burung hijau dapat mengejar sampai ke sini. Siapapun mereka, jangan harap akan dapat merampasmu dari sampingku, Puteri. Akan tetapi kalau kau berkeliaran terlalu jauh, dan mereka menculikmu, tentu saja aku tidak tahu dan tidak berdaya untuk mencegah mereka."

Mendengar itu, Syanti Dewi tidak lagi berani pergi jauh dan mulailah puteri ini membersihkan gua, kemudian memasak air dan menanak nasi yang semua bahannya terdapat di tempat itu. Biarpun dia seorang puteri raja, namun pengalaman beberapa tahun yang lalu ketika dia meninggalkan Kota Raja Bhutan (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali) membuat dia tidak canggung untuk melakukan pekerjaan rumah, bahkan untuk hidup secara sederhana sekali. Melihat kecekatan puteri ini, diam-diam See-thian Hoat-su merasa kagum sekali. Seorang puteri raja namun demikian gapah memainkan sapu dan pengebut bulu ayam, dan demikian cekatan untuk bergaya di dalam dapur!

Malam itu Syanti Dewi menyalakan lilin sebagai penerangan di dalam gua. Heran dia mengapa di sebelah dalam gua itu tidak ada angin, padahal kalau dia berdiri di depan gua, angin bersilir tiada hentinya. Namun di dalam gua, api lilin tidak bergoyang sedikit pun, tanda bahwa di situ tidak dimasuki angin sama sekali! Tentu saja dara ini tidak tahu bahwa hawa bersifat seperti air, hanya akan mengalir masuk tempat yang berlubang dan ada tembusannya. Gua itu merupakan lubang yang rapat di bagian belakangnya sehingga telah penuh dengan hawa dan tidak memungkinkan lagi hawa dari luar mengalir masuk.

Setelah mereka makan dengan sederhana, yaitu hanya nasi dengan lauk panggang ikan yang ditangkap oleh See-thian Hoat-su dari teluk, makan malam sederhana yang amat lezat karena hati tenang dan perut lapar ditambah tubuh lelah, mereka lalu mengaso. Saking lelahnya setelah berlari sambil memondong Syanti Dewi beberapa hari lamanya, sebentar saja See-thian Hoat-su sudah tidur mendengkur. Akan tetapi, Syanti Dewi tidak dapat tidur. Hatinya gelisah memikirkan nasibnya. Memang benar bahwa dia telah selamat dan aman di tangan guru Siang In, akan tetapi kapankah dia dapat berjumpa dengan Siang In? Dan terutama sekali,

kapankah dia akan dapat bertemu dengan Tek Hoat dan bagaimana sikap Tek Hoat kalau berhadapan dengan dia? Teringat akan semua pengalamannya, Syanti Dewi menarik napas panjang. Apakah yang akan dialaminya selanjutnya.?

Baru beberapa bulan yang lalu dia masih menjadi seorang puteri di istana ayahnya, hidup bahagia sekali dan menghadapi masa depan gilang gemilang, dengan Ang Tek Hoat sebagai tunangannya yang gagah perkasa dan amat dicintanya, dan pernikahan antara mereka hanya tinggal menanti saatnya saja. Akan tetapi tiba-tiba saja terjadi malapetaka yang amat hebat, yaitu datangnya ibu kandung Tek Hoat yang membikin marah ayahnya dengan pengakuannya yang menggemparkan, yaitu bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram. Ayahnya marah dan memutuskan pertunangan itu sehingga Tek Hoat merasa malu dan lolos dari Bhutan! Dia menarik napas panjang. Dia mencinta Tek Hoat, mencinta pribadinya. Apa artinya riwayat hidup keluarga pemuda itu baginya? Dia dulu pun sudah tahu bahwa Tek Hoat pernah menjadi seorang tersesat, bahkan membantu pemberontak. Akan tetapi, bukankah pemuda itu sudah sadar dan kembali ke jalan benar? Betapapun juga, dia mencinta Tek Hoat, dan dia tidak peduli apa pun yang menjadi latar belakang riwayat hidup ayah dan ibu pemuda itu.

"Syanti Dewi....!" Tiba-tiba dia mendengar suara halus datang dari luar Gua Tengkorak. Suara seorang wanita yang halus memanggilnya! Mimpikah dia? Syanti Dewi bangkit duduk dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika dia melirik ke arah kamar di sebelah kamarnya, dia masih mendengar suara dengkur See-thian Hoat-su. Dia harus berhati-hati. Bukankah kakek itu mengatakan bahwa boleh jadi orang-orang jahat yang hendak merampasnya kembali datang ke tempat itu?

"Enci Syanti Dewi....!" Kembali terdengar bisikan yang terdengar olehnya seperti desis seekor ular. Siapakah dia? Siang In? Hanya Siang In yang menyebutnya enci Syanti Dewi! Akan tetapi mungkinkah Siang In? Dia curiga. Kalau benar Siang In, mengapa harus memanggilnya dengan suara lirih dari luar gua? Bukankah gua ini tempat tinggal See-thian Hoat-su, kakek yang menjadi gurunya sendiri? Mengapa gadis itu tidak langsung masuk saja menemuinya dan memanggil dari luar secara mencurigakan? Syanti Dewi sudah banyak mengalami hal-hal hebat dan tahulah dia bahwa orang-orang jahat di dunia kang-ouw amat licik dan curang, maka dia tetap saja diam saja mendengarkan, tidak mau tergesa-gesa keluar. Kembali sunyi keadaannya, sunyi yang menegangkan hati Puteri Bhutan itu. Tak lama kemudian, terdengarlah lagi suara itu, kini agak keras biarpun masih dengan suara mendesis agar tidak terlalu nyaring dan terdengar oleh kakek yang sedang tidur.

"Kalau benar bahwa yang berada di dalam itu Puteri Syanti Dewi, harap keluar, adikmu Candra Dewi berada di sini!"

Syanti Dewi terkejut, jantungnya berdebar keras. Candra Dewi! Ceng Ceng! Dia tidak ragu-ragu lagi karena dia mengenal suara itu. Turunlah dia dari atas pembaringan dan dengan berindap-indap dia keluar dari kamarnya, terus berjalan keluar gua yang gelap karena penerangan hanya ada di dalam kamarnya dan di kamar See-thian Hoat-su saja. Di luar gua juga gelap, remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit. Dia melihat sesosok tubuh seorang wanita berdiri di luar gua itu. Syanti Dewi tidak berani segera ke luar, mengintai dulu dan jantungnya berdebar penuh kegirangan ketika dia mengenal bahwa orang itu memang Candra Dewi atau Ceng Ceng adanya!

Wanita itu memang benar Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau nyonya Kao Kok Cu si Naga Sakti dari Gurun Pasir! Dahulu, ketika dia masih tinggal di Bhutan, Ceng Ceng diakui adik oleh Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi (baca Kisah Sepasang Rajawali). Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita perkasa ini bersama suaminya, si Naga Sakti dari Gurun Pasir Kao Kok Cu, terpaksa meninggalkan tempat mereka yang terasing dari dunia ramai, jauh di utara di gurun pasir, memasuki dunia ramai di selatan untuk mencari putera mereka yang hilang! Mereka mencium jejak putera mereka itu dibawa orang ke selatan, namun sampai sekian lamanya belum juga mereka berhasil menemukan kembali Kao Cin Liong, putera mereka yang berusia lima tahun itu. Kini Ceng Ceng kembali melakukan penyelidikan dengan terpisah dari suaminya, karena dengan melakukan penyelidikan terpisah, lebih banyak harapan untuk mendapatkan kembali jejak yang hilang itu.

Di dalam perjalanannya melakukan penyelidikan dan mencari puteranya itulah Ceng Ceng mendengar desas-desus di dalam dusun-dusun yang dilaluinya tentang seorang puteri yang terculik oleh seorang penjahat dan dikejar-kejar oleh seorang kakek seperti dewa. Ketika dia mendengar bahwa ada "Puteri Bhutan" dilarikan iblis dan dikejar dewa, dia masih belum menduga bahwa itu adalah Syanti Dewi. Akan tetapi ketika dia teringat bahwa beberapa hari yang lalu dia melihat Mohinta, putera panglima tua di Bhutan yang pernah dikenalnya, berkeliaran dengan beberapa orang pembantunya, mulailah dia curiga. Jangan-jangan Syanti Dewi yang lagi-lagi menimbulkan geger di tempat ini! Karena hatinya merasa penasaran, dia lalu melakukan pengejaran pula dan akhirnya dia tiba di depan Gua Tengkorak pada malam hari itu. Dia tidak berani lancang menyerbu ke dalam, maka dia lalu menggunakan tenaga khikangnya untuk memanggil, karena wanita sakti ini yakin bahwa kalau mendengar suaranya, tentu Syanti Dewi akan keluar, kalau memang benar Syanti Dewi puteri yang terculik itu.

"Adik Ceng.. ..!" Syanti Dewi yang kini tidak ragu-ragu lagi itu berseru sambil lari keluar.

"Enci Syanti....!"

Dua orang wanita ini saling rangkul. "Aih, kiranya benar engkau, Enci Syanti!"

"Adik Candra.... betapa girangnya hatiku bertemu denganmu...."

Pada saat itu, dari balik batu besar meloncat sesosok bayangan yang tinggi besar dan bayangan ini langsung menerkam ke arah Ceng Ceng. Wanita perkasa ini cepat mendorong tubuh Syanti Dewi, "Enci, menjauhlah!" katanya dan dia cepat membalik, menggerakkan lengannya untuk menangkis karena mengelak sudah tidak sempat lagi. Serangan bayangan hitam itu cepat bukan main.

"Desss. ...!" Tangkisan Ceng Ceng yang dilakukan dengan cepat itu mengandung tenaga sinkang mujijat. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa nyonya ini di waktu belum menikah dahulu, bersama Topeng Setan yang ternyata adalah Kao Kok Cu yang kini menjadi suaminya, telah berhasil memperoleh anak naga yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw di Telaga Sungari, biarpun untuk itu Kao Kok Cu telah mengorbankan sebelah lengannya yang dicaplok oleh naga di telaga itu. Setelah Ceng Ceng minum darah anak naga untuk mengobati luka dan penyakit yang dideritanya, tidak saja dia sembuh dari lukanya di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga dia memperoleh tenaga mujijat dari khasiat darah anak naga itu. Tentu saja setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, dia telah dilatih oleh suaminya yang sakti itu dan kini dia telah dapat menguasai tenaga mujijat itu dengan baiknya, di samping ilmunya yang sudah memperoleh kemajuan pesat sekali.

Tubuh Gitananda, kakek tinggi besar yang menyerangnya itu, sampai terlempar jauh ketika lengan mereka saling bertemu dengan kerasnya. Kakek itu terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa wanita yang diserangnya memiliki sinkang sedemikian dahsyatnya. Tadi, kakek ini hanya mengintai dan menanti kesempatan baik untuk merampas Syanti Dewi. Dia tidak berani sembrono menyerbu ke dalam gua dan hanya menanti saat baik selagi puteri itu keluar sendiri. Munculnya seorang wanita yang memanggil-manggil dari luar gua membuat dia terheran-heran, akan tetapi giranglah hatinya melihat Syanti Dewi benar-benar keluar dari dalam gua dan cepat dia lalu menerjang wanita itu dengan maksud merobohkannya kemudian melarikan Syanti Dewi. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika wanita itu menangkis dengan tenaga yang demikian hebatnya sehingga tubuhnya terlempar ke belakang sampai jauh!

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan Ceng Ceng harus cepat mengelak karena dari dalam gua sudah muncul seorang kakek yang menyerangnya kalang-kabut dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berputaraan. Tahulah dia bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka Ceng Ceng lalu membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya yang ampuh. Terjadilah pertempuran yang amat seru dan dahsyat di depan gua, di dalam cuaca yang remang-remang itu dan mereka berdua lebih mengandalkan ketajaman

pendengaran mereka untuk mengikuti gerakan lawan daripada ketajaman pandangan mata yang tentu saja amat berkurang di dalam cuaca remang-remang itu.

Syanti Dewi tadi merasa terkejut sekali ketika dia didorong ke pinggir oleh Ceng Ceng, dan dia melihat betapa Ceng Ceng tadi diserang oleh kakek tinggi besar. Kemudian, melihat Ceng Ceng diserang kakek botak dari dalam gua, dia terkejut. Kakek itu adalah See-thian Hoat-su! Dia segera melangkah maju dan bibirnya telah bergerak untuk berseru agar mereka berhenti berkelahi karena mereka bukanlah musuh, akan tetapi tiba-tiba ada bayangan hitam menyambar. Syanti Dewi berusaha untuk mengelak, akan tetapi tingkat kepandaian silatnya jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Gitananda dan sekali kakek itu menepuk tengkuknya, tubuh Syanti Dewi menjadi lemas dan pingsanlah puteri itu. Gitananda cepat memondongnya dan menyelinap pergi di dalam kegelapan malam.

Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su yang sedang bertanding dengan hebat itu sama sekali tidak melihat bahwa Syanti Dewi dirobohkan dan dibawa pergi orang lain. Mereka masih saling serang dengan hebat dan sungguh-sungguh karena mereka mendapatkan kenyataan bahwa lawan masing-masing amat lihai.

"Plak-plakkk!" Untuk ke sekian kalinya kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan tubuh Ceng Ceng terdorong mundur, akan tetapi See-thian Hoat-su juga merasa betapa tubuhnya tergetar hebat! Dia terkejut sekali, maklum bahwa wanita yang dilawannya memiliki sinkang yang amat mujijat dan kalau pertandingan itu dilanjutkan beberapa kali mengadu tenaga seperti itu, amatlah berbahaya bagi jantungnya yang dapat tergetar dan rusak! Maka dia lalu mulai berkemak-kemik, hendak menggunakan ilmu sihir untuk mengalahkan lawannya. Kalau saja cuaca tidak segelap itu, dengan pengaruh pandang matanya agaknya dengan mudah, dia akan dapat menguasai lawan ini. Akan tetapi cuaca amat gelap dan dia kini hendak menggunakan sihir, akan tetapi justeru pada saat itu lawannya mendesaknya dengan pukulan-pukulan ampuh sehingga belum beranilah kakek ini membagi tenaganya untuk menggunakan sihir karena sekali saja terkena pukulan wanita itu tanpa dilawan dengan sinkang sepenuhnya, amatlah berbahaya baginya.

Sementara itu, Ceng Ceng juga makin terkejut dan heran. Disangkanya bahwa yang menculik Puteri Bhutan itu seorang penjahat biasa saja. Kiranya puteri itu benar Syanti Dewi dan penculiknya ternyata adalah seorang yang berkepandaian tinggi! Hal ini membuat dia menjadi marah bukan main dan dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, hijau kehitaman. Itulah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang bukan main ampuhnya. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa Ceng Ceng menerima pedang itu dari seorang iblis betina berjuluk Ban-tok Mo-li dan betapa pedangnya itu pernah terampas oleh Tambolon dan kawan-kawannya tewas dalam perang oleh Tek Hoat dan para orang gagah, Ceng Ceng akhirnya berhasil memperoleh pedangnya kembali dan semenjak dia menikah, pedang itu selalu disimpannya saja dan tidak pernah dipergunakannya. Hanya ketika puteranya lenyap, dan dia bersama suaminya meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencarinya, dia membawa Ban-tok-kiam, hanya untuk berjaga-jaga saja karena dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, sebenarnya dia tidak usah memerlukan bantuan pedangnya. Akan tetapi, melihat ada orang menculik Syanti Dewi dan orang itu sedemikian lihainya, Ceng Ceng menjadi marah dan mencabut Ban-tok-kiam yang mengerikan itu.

"Ihhhhh....!" See-thian Hoat-su adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, juga seorang ahli sihir yang amat pandai, akan tetapi dia bergidik juga ketika melihat berkelebatnya cahaya hijau kehitaman yang mendirikan bulu roma itu.

"Penculik hina dina!" Ceng Ceng memaki. "Engkau telah berani menculik kakakku, Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, maka engkau akan tewas di tanganku!" Berkata demikian, wanita perkasa itu sudah menerjang dan terdengar suara bercicit nyaring ketika Ban-tok-kiam meluncur ke depan mencari korban dengan ganasnya!

"Heiii.... nanti dulu....!" See-thian Hoat-su mencelat ke belakang, berjungkir balik sampai empat kali dan ketika dia turun, dia mengangkat kedua lengan ke atas sambil berseru, "Nanti dulu, nanti dulu!"

"Kau mau bicara apalagi?" Ceng Ceng membentak, matanya memandang tajam dan mengeluarkan sinar seperti mata seekor naga berapi sehingga kembali See-thian Hoat-su terkejut dan merasa ragu-ragu apakah dia akan mampu menguasai lawan yang memiliki mata seperti itu dengan sihirnya.

"Engkau mengaku kakak kepada Syanti Dewi? Dan menuduh aku menculiknya? Sungguh aneh sekali. Heiii, Sang Puteri, ke sinilah dan coba jelaskan keanehan ini! Benarkah aku penculik? Dan benarkah dia ini adikmu?"

Akan tetapi, tentu saja tidak ada jawaban terhadap teriakan See-thian Hoat-su itu karena Syanti Dewi sudah tidak berada di tempat itu lagi. Mendengar kata-kata kakek itu, Ceng Ceng juga terkejut, lalu dia menoleh dan mencari Syanti Dewi.

"Enci Syanti Dewi....! Enci Syanti, di mana kau? Keluarlah!" teriaknya pula.

Akan tetapi sia-sia belaka. Mereka berdua berteriak memanggil-manggil dan mencari-cari, namun Puteri Bhutan itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.

"Celaka....!" See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya. "Selagi kita berdua saling hantam, ada orang ke tiga yang datang dan membawanya lari!"

Ceng Ceng terkejut dan membenarkan dugaan itu. "Dia tentu belum lari jauh. Mari kita berpencar dan mengejar!" Tanpa menanti jawaban, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. See-thian Hoat-su juga meloncat dan mencari-cari.

Sia-sia saja mereka berdua mengejar dan mencari sampai malam terganti pagi. Akhirnya mereka kembali ke depan gua dan saling berjumpa di depan gua dengan alis berkerut. Kini mereka dapat saling memandang dengan jelas dan Ceng Ceng merasa seperti pernah melihat wajah kakek botak berambut putih itu.

"Siapakah Locianpwe? Dan bagaimanakah Locianpwe dapat membawa Enci Syanti ke sini?" tanyanya sambil memandang tajam.

See-thian Hoat-su bersungut-sungut. "Kalau kau benar adiknya, mengapa datang malam-malam seperti pencuri? Kalau datangmu biasa saja di waktu siang hari, tentu aku tidak menyerangmu dan Sang Puteri tidak akan lenyap. Akan tetapi sudahlah! Aku adalah See-thian Hoat-su, dan siapakah Nona yang masih muda akan tetapi memiliki kepandaian hebat sekali dan memiliki pedang yang demikian mengerikan?"

Ceng Ceng membelalakkan matanya. "Aihhh! Kiranya Locianpwe See-thian Hoat-su!" Tentu saja dia pernah mendengar nama ini, bahkan pernah pula melihat orangnya ketika terjadi perang melawan Tambolon dan pasukannya, karena kakek inilah yang merobohkan nenek Durganini dan membawanya pergi. "Saya adalah adik angkat dari Enci Syanti Dewi, yaitu dahulu ketika saya masih tinggal di Bhutan. Sekarang, saya telah menjadi isteri dari suami saya yang dikenal sebagai si Naga Sakti dari Gurun Pasir."

"Aaahhhhh....!" Kiranya begitukah? Pantas saja kepandaianmu hebat sekali, Toanio! Dan maafkan kalau aku menyerangmu tadi karena kusangka engkau adalah penculik yang membayangi kami sampai di sini."

"Sayalah yang harus minta maaf, Locianpwe, dan saya menyesal sekali karena saya tahu sekarang, bahwa saya salah duga dan saya yang menyebabkan lenyapnya Enci Syanti Dewi. Tidak salah lagi, tentu ini perbuatan dewa hitam itu!"

"Dewa hitam? Apa maksudmu, Toanio?" See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi melihat wajah nyonya muda itu nampak lesu dan muram, juga kelihatan lelah sekali, dia cepat berkata, "Mari kita bicara di dalam, Toanio. Agaknya banyak hal yang perlu saling kita tuturkan."

Memang Ceng Ceng merasa lesu dan muram wajahnya, hal ini karena dia selama ini berada dalam kecemasan memikirkan nasib puteranya yang lenyap dan belum juga dapat dia temukan. Kini ditambah lagi menghadapi urusan Syanti Dewi lenyap diculik orang, tentu saja dia merasa makin gelisah dan berduka. Maka ketika kakek itu mempersilakan dia masuk ke dalam gua besar, dia Mengangguk dan mereka lalu memasuki tempat itu.

Setelah duduk berhadapan, Ceng Ceng lalu menceritakan betapa dia mendengar tentang Syanti Dewi dari orang-orang dusun di sepanjang jalan yang menceritakan bahwa mereka melihat seorang dara cantik dipondong dan dilarikan oleh seorang kakek, dan betapa kemudian muncul seorang kakek hitam bersorban yang memberi tahu mereka bahwa puteri itu adalah Puteri Bhutan yang diculik oleh seorang jahat. Penghuni dusun lalu menyebarluaskan berita itu dengan cerita bahwa Puteri Bhutan diculik setan dan dikejar oleh seorang dewa hitam yang hendak menolong sang puteri.

"Mendengar puteri itu disebut Puteri Bhutan, saya sudah merasa tertarik sekali, menduga Enci Syanti Dewi yang dimaksudkan, maka saya pun lalu melakukan pengejaran. Ketika saya memanggil Enci Syanti Dewi keluar, kami bertemu dan berangkulan. Pada saat itulah saya diserang orang dari belakang. Saya mendorong Enci Syanti Dewi ke pinggir dan menangkis serangan orang itu sehingga dia terlempar ke belakang. Akan tetapi lalu Locianpwe muncul menyerang saya. Karena mengira bahwa tentu Locianpwe adalah sekutu penyerang pertama itu, maka saya tidak mempedulikan dia lagi dan melayani Locianpwe yang ternyata lebih lihai. Siapa kira, agaknya orang itulah yang disebut dewa hitam dan yang mempergunakan kesempatan selagi kita bertempur, lalu dia melarikan Enci Syanti."

See-thian Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. "Orang hitam bersorban? Siapa gerangan dia? Apakah dia datang dari pesta itu dan terus membayangiku?"

"Pesta apa yang Locianpwe maksudkan?" Ceng Ceng bertanya.

Kakek itu menarik napas panjang. "Sebaiknya kuceritakan dari permulaan nya," katanya. "Ketika itu aku sedang bertapa dan mengundurkan diri di gua ini setelah muridku yang bernama Siang In kuperbolehkan untuk merantau dan meluaskan pengalaman. Akan tetapi tiba-tiba datanglah nenek gila yang pernah menjadi isteriku itu...." dia berhenti dan menghela napas panjang.

"Nenek Durganini....?" Ceng Ceng bertanya menegaskan, karena sesungguhnya dia sudah tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah nenek itu.

"Siapa lagi kalau bukan dia?" Nenek gila itu mengganggu aku yang sedang siulian, datang-datang mengamuk dan hampir saja membunuhku kalau aku tidak segera sadar dari siulian. Dia datang dan marah-marah, katanya dia mendengar dari muridku bahwa aku hendak menghajarnya, maka dia datang dan menantang-nantang! Aku maklum bahwa tentulah muridku yang bengal itu yang menjadi gara-gara, akan tetapi aku pun mengerti bahwa tentu ada sebabnya yang amat memaksa maka Siang In sampai menggunakan akal itu untuk memancing Durganini datang ke sini. Maka aku berhasil menyabarkan hatinya dan si nenek gila itu mulai bercerita tentang Syanti Dewi."

"Ahhh....? Sungguh heran mengapa Enci Syanti yang sudah pulang ke negerinya itu tiba-tiba dapat berada di sini lagi."

"Aku pun baru mendengar tentang itu dari Puteri Syanti Dewi ketika aku membawanya lari ke sini. Akan tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku. Durganini menceritakan bahwa dia telah mempunyai seorang murid baru, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang yang tinggal di puncak Bukit Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san. Secara kebetulan saja Tang Hun ini bertemu dengan muridku, Siang In, yang melakukan perjalanan bersama Puteri Syanti Dewi. Tang Hun jatuh cinta dan menangkap Syanti Dewi dan hendak dijadikan isterinya. Siang In tidak mampu melindunginya karena di situ terdapat isteriku si nenek gila itu, maka Siang In lalu menggunakan akal, membohongi nenek itu dan mengatakan aku berada di sini dan hendak menghajarnya." Kakek itu menarik napas panjang dan tersenyum geli teringat akan kenakalan muridnya.

"Nenek gila itu paling benci mendengar aku mengancamnya, maka dia lalu lari ke sini dan mengamuk. Dia menceritakan bahwa Syanti Dewi hendak diperisteri oleh Tang Hun dan mendengar ini, aku mengkhawatirkan keadaan muridku dan juga puteri itu. Aku lalu maninggalkan nenek gila itu dan pergi ke puncak Naga Api menyelidik. Ternyata cerita itu benar dan aku melihat betapa banyak orang bersiap-siap hendak menculik Syanti Dewi, di antaranya adalah muridku yang berusaha menolongnya. Akan tetapi karena aku melihat banyak orang lihai di situ, maka aku sendiri turun tangan dan membawa Sang Puteri lari sampai ke sini. Aku hendak menanti datangnya Siang In di sini, akan tetapi ternyata engkau datang lebih dulu dan Syanti Dewi terculik lagi."

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Dan bagaimana Enci Syanti Dewi meninggalkan negaranya dan berada di tempat ini?"

"Dia menceritakan kepadaku ketika dalam perjalanan menuju ke sini. Katanya terjadi keributan di negerinya, Raja Bhutan, yaitu ayahnya memutuskan tali pertunangan ltu sehingga tunangannya, Ang Tek Hoat pergi dari Bhutan. Puteri Syanti Dewi ingin sekali menyusul, kebetulan Siang In datang mengunjunginya dan muridku itulah yang membantunya lolos dari istana Bhutan dan hendak mencari Tek Hoat, akan tetapi sebelum dapat bertemu telah ditangkap oleh ketua Liong-sim-pang."

"Hemmm, sungguh kasihan Enci Syanti. Siapa kiranya yang kini menculiknya malam tadi?"

Kakek itu mengepal tinjunya. "Salahku! Aku kurang hati-hati, Akan kuselidiki sampai dapat. Akan tetapi, Toanio, engkau yang tinggal di lstana Gurun Pasir, tempat rahasia yang seperti hanya terdapat dalam dongeng, mengapa pula kau berada di sini, kalau aku boleh bertanya?"

Ceng Ceng menarik napas panjang, teringat akan puteranya yang lenyap. "Sudah berbulan-bulan saya dan suami saya meninggalkan Istana Gurun Pasir dan menjelajahi Tiong-goan, Locianpwe. Kami suami isteri juga sedang tertimpa malapetaka. Putera kami telah hilang."

"Hilang?"

"Ya, hilang tanpa meninggalkan jejak. Tentu diculik orang pula, seperti halnya Enci Syanti Dewi. Kami telah mencari dan kadang-kadang menemukan jejaknya, akan tetapi lalu hilang lagi sehingga sampai kini kami belum berhasil."

"Aihhh, manusia mana yang berani main gila menculik puteri si Naga Sakti dari Gurun Pasir? Iblis pun akan berpikir panjang untuk melakukan hal itu," kata See-thian Hoat-su dengan heran. Nama besar si Naga Sakti ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw seperti juga nama besar lainnya, misalnya Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Juga Naga Sakti tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw, bagaimana ada orang berani menculik puteranya?

"Buktinya ada yang menculiknya!" kata Ceng Ceng gemas.

"Kalau saja aku dapat menangkap penculik hina itu!" Dan dia mengepal tinjunya. See-thian Hoat-su sendiri bergidik mendengar ancaman yang terkandung dalam suara itu. Dia tadi sudah merasakan kelihaian nyonya muda ini, apalagi pedangnya yang mengerikan itu. Baru nyonyanya sudah demikian hebat, entah bagaimana si Naga Sakti sendiri! Benar-benar si penculik itu mencari penyakit!

"Aku akan mencari Puteri Syanti Dewi, akan tetapi juga akan membuka mata dan telinga untuk membantumu mencari puteramu, Toanio. Berapakah usianya dan bagaimana ciri-cirinya?"

"Banyak terima kasih atas kebaikan hati Locianpwe," kata Ceng Ceng yang sebagai seorang ibu, hatinya gelisah sekali dan tentu akan terasa bersyukur kalau ada orang membantunya menemukan puteranya. "Nama putera kami adalah Kao Cin Liong, usianya sekitar lima tahun, mukanya bundar putih dan matanya lebar, di bawah telinga kirinya terdapat sebuah tahi lalat kecil. Hanya itu ciri-cirinya."

"Baik, aku akan membuka mata dan telinga. Sekarang pun aku berangkat hendak mencari jejak Syanti Dewi sambil mendengarkan tentang puteramu."

"Terima kasih, Locianpwe."

Mereka keluar dari dalam gua dan keduanya lalu pergi mengambil jalan terpisah. Di sepanjang jalan See-thian Hoat-su mengeluh panjang pendek. Dia sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya, sudah bosan dengan urusan dunia yang hanya menimbulkan banyak persengketaan dan permusuhan. Tadinya, setelah muridnya, Siang In, meninggalkannya dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai, bahwa dia boleh menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan tenang dan tenteram di dalam tempat pertapaannya, di Gua Tengkorak dan hidup penuh damai dengan diri sendiri dan dengan alam di tempat sunyi itu sampai dia mati. Siapa kira, belum ada setahun saja dia sudah terseret lagi dalam urusan dunia! Dan setelah kini melihat Syanti Dewi diculik orang dari tangannya, tentu saja dia akan selalu merasa salah dan menyesal sebelum dia dapat menyelamatkan Puteri Bhutan itu kembali.

"Uuuuuhhh, sialan kau, tua-tua tidak dapat menikmati hidup damai...." gerutunya, namun tetap saja dia melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Puteri Bhutan itu. Dari jejak-jejak kaki di dekat guanya, dia melihat jejak kaki itu menuju ke utara, maka dia pun tidak membuang waktu dan mengejar ke utara.

******

Warung nasi itu penuh dengan orang yang makan siang. Warung itu terkenal menjual nasi tim dan masakan-masakan yang cukup lezat dan terutama sekali murah harganya dibandingkan dengan harga makanan di restoran-restoran lain, maka selalu penuh dengan tamu, apalagi di waktu siang dan malam, waktunya orang-orang makan siang dan makan malam.

Siang itu hawanya panas bukan main, apalagi di dalam restoran kecil atau warung nasi itu, seolah-olah merupakan pertanda bahwa di situ akan terjadi hal-hal yang hebat. Selagi banyak orang makan minum sambil bercakap-cakap, masuklah seorang wanita dan seorang pemuda. Wanita yang usianya mendekati empat puluh tahun namun masih kelihatan muda, cantik jelita dengan lirikan mata dan gerak bibir tersenyum genit, pakaiannya serba indah dan pesolek, bibirnya yang memang baik bentuknya itu kemerahan oleh gincu, juga kedua pipinya ditambahi bedak dan pemerah pipi, di punggungnya tergantung pedang. Wanita ini memasuki restoran dengan lenggang yang lemah gemulai, kedua bukit pinggulnya yang terbungkus ketat oleh celana biru dari sutera itu menari-nari ketika dia melenggang, membuat beberapa orang yang sedang makan mi terpaksa harus menjulur-julurkan lehernya karena mi panjang yang ditelannya itu nyasar, mata mereka melotot dan melekat kepada buah pinggul yang menari-nari. Pemuda di sebelah wanita itu masih muda, dua puluh tiga tahun kurang lebih, tampan dengan muka yang membayangkan kekerasan, agak muram dengan mata tajam dingin, mulutnya tertarik seperti orang mengejek, dan sikapnya tidak mempedulikan siapa pun.

Wanita itu adalah Lauw Hong Kui, tokoh sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li atau Siluman Kucing, dan yang berjalan di sebelahnya adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan dari kisah ini, mereka meninggalkan sarang perkumpulan Hek-eng-pang untuk mencari jejak Syanti Dewi. Seperti kita ketahui, Ang Tek Hoat yang dibantu oleh Yang-liu Nio-nio, ketua Hek-eng-pang, telah menyerbu puncak Naga Api dan berusaha merampas Puteri Syanti Dewi dari tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Akan tetapi, ternyata yang mereka rampas dan mereka kira Syanti Dewi itu sebenarnya hanyalah seorang pelayan! Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka menjadi korban kenakalan kakek See-thian Hoat-su yang telah membawa lari Syanti Dewi. Dan ketika Tek Hoat hendak pergi meninggalkan Yang-liu Nio-nio, Mauw Siauw Mo-li mengatakan bahwa dia melihat ada seorang gadis mencari-cari Puteri Syanti Dewi dan menawarkan bantuannya kepada Tek Hoat untuk membantu pemuda itu mencari kekasihnya.

Demikianlah, hari itu mereka tiba di kota di mana Mauw Siauw Mo-li berjumpa gadis yang mencari-cari Syanti Dewi, dan memasuki restoran di mana dia beberapa hari yang lalu melihat gadis itu. Dan Mauw Siauw Mo-li memang tidak berbohong. Di restoran ini, beberapa hari yang lalu ketika dia pergi mengunjungi muridnya, Yang-liu Nio-nio, dia memang melihat seorang gadis cantik yang mencari-cari Syanti Dewi dan gadis ini bukan lain adalah Siang In yang masih terus menyelidiki dan mencari sahabatnya itu. Tentu saja Mauw Siauw Mo-li bukanlah seorang yang demikian baik hatinya untuk membantu orang lain tanpa ada pamrih lain di dalam hatinya. Begitu dia bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat, pemuda yang pernah membangkitkan gairah berahinya lima tahun yang lalu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali), maka timbullah hasratnya untuk mendekati pemuda tampan dan gagah ini. Maka dia menawarkan bantuannya yang hendak dipergunakan menjadi jalan agar dia dapat mendekati Si Jari Maut, pendekar muda yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu.

Akan tetapi selama tiga hari tiga malam ini, dia sama sekali belum berhasil "mendekati" Ang Tek Hoat yang bersikap dingin dan tak acuh kepadanya! Bahkan pagi hari tadi, ketika mereka melewatkan malam di hutan dan pagi tadi dia sengaja mandi di sumber air dengan bertelanjang bulat dan berusaha menarik perhatian Tek Hoat, pemuda itu malah marah- marah dan berdiri membelakanginya, sedikit pun tidak pernah mau melirik, apalagi mengagumi keindahan bentuk tubuhnya! Diam-diam Mauw Siauw Mo-li menjadi gemas dan marah sekali, hatinya terasa sakit sekali. Tidak mengindahkan dan tidak menyatakan kagum terhadap keindahan tubuhnya merupakan penghinaan! Dan kalau saja bukan Tek Hoat, tentu dia sudah akan membunuh pria yang berani menghinanya seperti itu. Akan tetapi terhadap Tek Hoat dia tidak berani main-main karena dia maklum betapa lihainya pemuda ini dan betapa berbahayanya untuk memusuhi Si Jari Maut di tempat sunyi itu tanpa pembantu. Maka dia menahan kesabarannya dan mengambil keputusan untuk berhati-hati dan bersikap cerdik menghadapi pemuda ini, akan perlahan-lahan memasang jaringnya untuk menjebak Tek Hoat ke dalam pelukannya.

Semua mata para tamu yang terdiri dari kaum pria itu tidak ada yang tidak memandang kepada Mauw Siauw Mo-li, atau setidaknya tentu mengerling kagum. Seorang wanita yang cantik manis dan sudah matang! Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mempedulikan mereka, melainkan tersenyum bangga dan sadar akan kekaguman yang membanjiri dirinya dan matanya memandang ke arah seorang pelayan gendut lalu dia menggapai ke arah pelayan itu. Pelayan itu sedang membawa baki melayani beberapa orang tamu, ketika melihat Mauw Siauw Mo-li menggapai kepadanya, dia cepat-cepat menyerahkan baki berisi masakan kepada seorang rekannya dan dia sendiri tergesa-gesa menghampiri wanita cantik itu dan terbongkok-bongkok dan tersenyum-senyum dengan sikap penuh hormat dan penjilatan.

"Ahhh.... apakah Toanio dan Kongcu yang terhormat ingin makan? Mari, saya pilihkan tempat yang kosong dan enak bagi Ji-wi (Anda berdua)."

Mauw Siauw Mo-li mengangguk dan pelayan itu dengan terbongkok-bongkok lalu mengantar mereka ke sudut di mana terdapat meja kosong yang cepat dibersihkannya dengan kain yang selalu tergantung di pundaknya.

"Toanio hendak pesan apa? Dan Kongcu?" tanyanya ramah.

"Keluarkan mi, daging dan sayur terbaik untuk dua orang, kemudian harus engkau sendiri yang melayani kami karena kami ingin bicara denganmu."

Pelayan itu membelalakkan matanya yang kecil sipit, akan tetapi lalu tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk seperti seekor ayam sedang makan beras. "Baik, Toanio, baik...." dan dia lalu mengundurkan diri untuk memenuhi pesanan Mauw Siauw Mo-li itu.

"Dialah yang ketika itu ditanyai oleh gadis yang kumaksudkan, maka aku minta dia yang melayani klta," bisik wanita cantik itu kepada Tek Hoat yang hanya mengangguk.

Pelayan itu datang membawa masakan dan arak yang dipesan, kemudian setelah mengatur semua itu di atas meja, dia berdiri tak jauh dari situ sambil tersenyum-senyum dan siap untuk melayani dua orang ini kalau-kalau membutuhkan sesuatu.

Mauw Siauw Mo-li mengajak Tek Hoat makan minum tanpa berkata-kata. Baru setelah dia merasa kenyang dan menyusut bibirnya yang merah dan berminyak itu dengan saputangan, dia memberi isyarat kepada pelayan itu untuk mendekat. Si pelayan mendekat dan membongkokkan tubuhnya agar kepalanya lebih dekat dengan wanita itu untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan wanita itu.

"Aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu dan kau harus menjawab sejujurnya dan sebenarnya. Kalau kau memberi keterangan yang menyenangkan, jangan khawatir, aku akan memberi hadiah kepadamu. Akan tetapi kalau kau membohong atau menyembunyikan sesuatu, pedangku tidak akan segan-segan untuk menyembelih lehermu."

"Uhhhhh....! Ti.... tidak.... mana saya berani...." Pelayan gendut itu berkata dan tubuhnya menggigil. Mauw Siauw Mo-li terkekeh sehingga empat orang pria yang duduk di meja yang tidak jauh dari situ menoleh semua. Melihat wanita cantik itu terkekeh genit dan matanya mengerling penuh daya tarik kepada mereka, empat orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentu terdiri dari kongcu yang beruang itu juga tersenyum-senyum. Bahkan seorang di antara mereka yang termuda, usianya paling banyak tiga puluh tahun, pakaiannya rapi dan indah, mengedipkan mata kepada Mauw Siauw Mo-li. Sambil terkekeh genit wanita ini membalas dengan kedipan mata kanan sehingga laki-laki itu kelihatan girang bukan main lalu minum araknya lalu mereka berempat tertawa-tawa dan berbisik-bisik. Tek Hoat melihat ini semua dengan hati muak, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan diam saja, hanya memandang kepada pelayan gendut itu.

Setelah sedikit gangguan main mata dengan empat orang pria itu, Mauw Siauw Mo-li kembali menghadapi pelayan dan mulailah dia bertanya, "Beberapa hari yang lalu aku juga makan di sini...."

"Ah, saya ingat, Toanio. Saya ingat, maka ketika Toanio datang tadi, saya cepat menyambut karena saya merasa pernah melihat Toanio...." pelayan itu cepat berkata.

"Dan pada waktu itu, engkau melayani seorang gadis cantik berbaju sutera merah indah dan membawa payung. Dia bertanya kepadamu tentang seorang gadis cantik yang dibawa dengan paksa oleh seorang kakek." Mauw Siauw Mo-li membiarkan pelayan itu mengerutkan alis mengingat-ingat. Ketika dia membayangi gadis yang dijumpainya di tepi jalan di dusun Khun-kwa tak jauh dari kota ini, dia terus mengikuti gadis itu sampai gadis itu memasuki rumah makan di kota ini. Akan tetapi karena pada waktu itu terdapat banyak sekali tamu dan suasana amat berisik, maka dia tidak dapat mendengarkan percakapan antara gadis itu dan pelayan gendut ini dengan jelas, hanya melihat si gendut ini menggerak-gerakkan tangan. Pada waktu itu dia tidak begitu memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan urusan itu, akan tetapi setelah dia berniat membantu Tek Hoat, barulah dia teringat bahwa yang dimaksudkan oleh gadis itu tentulah Puteri Syanti Dewi.

"Ah, sekarang saya ingat, Toanio. Benar...., gadis membawa payung...."

"Nah, dengarlah. Aku juga ingin mencari gadis yang dibawa oleh kakek itu. Kemanakah mereka?" Lalu dia menambahkan,

"Awas, jangan berbohong kau!"

"Aihhh, mana saya berani berbohong? Saya akan menceritakan kepada Toanio seperti yang saya ceritakan kepada nona itu, seperti yang saya ketahui. Memang ada kakek dan gadis seperti yang dimaksudkan itu makan di sini, akan tetapi tentu saja saya tidak tahu ke mana mereka pergi. Hanya di waktu makan, saya mendengar kakek itu menyebut-nyebut pantai Laut Po-hai. Hanya itulah yang saya ketahui dan demikian pula saya ceritakan kepada gadis itu, Toanio."

"Pantai Lautan Po-hai?" Tek Hoat mengulang dan alisnya berkerut. "Kalau begitu, aku akan menyusul ke sana!" katanya dan alisnya berkerut makin dalam ketika dia melihat Mauw Siauw Mo-li sudah tersenyum-senyum dan bermain mata lagi dengan laki-laki berbaju kuning di meja lain itu. Ternyata Siluman Kucing ini sama sekali tidak mendengarkan atau mempedulikan keterangan si pelayan, melainkan asyik bermain mata dengan laki-laki itu!

Tiba-tiba laki-laki itu yang agaknya sudah setengah mabuk dan tidak kuat menyaksikan permainan mata dan bibir Mauw Siauw Mo-li, berdiri dan dengan langkah agak terhuyung dia menghampiri meja wanita itu, berpegang pada ujung meja dan dengan berdiri tidak lurus, agak tergoyang-tergoyang, dia tersenyum lebar kepada Mauw Siauw Mo-li.

"He-he-he, engkau.... he-he, cantik seperti bidadari.. .. marilah kita makan minum bersama.... he-he-he, tentu kita berdua akan senang sekali...."

"Prattt....!" Laki-laki itu menjerit dan menutupi mukanya yang disiram kuah panas oleh Mauw Siauw Mo-li. Bukan hanya karena kuah itu panas yang membuat laki-laki itu kini berggulingan dl atas lantai sambil menjerit-jerit, akan tetapi karena kuah itu dilemparkan dengan pengerahan tenaga sakti oleh Mauw Siauw Mo-li yang kini tertawa terkekeh-kekeh dan suara ketawa ini mengandung suara seekor kucing! Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi duduk saja dengan tenang.

Tentu saja tiga orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah menjadi terkejut dan marah sekali melihat teman mereka bergulingan seperti itu. Mereka menyangka bahwa teman mereka itu dipukul atau terkena senjata lain karena kalau hanya kuah, tidak mungkin teman mereka sampai menderita seperti itu. Serentak mereka bangkit dan lari menghampiri meja Mauw Siauw Mo-li.

"Kauapakan teman kami?" bentak mereka.

"Hi-hik, dia terlalu mabuk dan kalian juga!" Kini berhamburanlah mangkok-mangkdk dan sumpit-sumpit dari atas meja di depan wanita itu dan terdengar suara berteriak-teriak kesakitan dan tiga orang laki-laki ini pun terpelanting dan roboh bergulingan seperti teman mereka yang pertama. Muka mereka luka-luka, ada yang tertusuk sumpit matanya, ada yang pecah pelipisnya terkena sambaran mangkok yang menghantam kepala sampai pecah mangkok itu dan pecahannya melukai muka. Tentu saja restoran itu menjadi

geger dan para tamu banyak yang lari keluar.

Melihat ini, hati Tek Hoat terasa muak dan dia lalu bangkit berdiri, terus keluar dari tempat itu tanpa mempedulikan Mauw Siauw Mo-li lagi. Wanita ini Cepat memburu. "Eh, nanti dulu, Ang sicu....!" Dia mengejar, akan tetapi Tek Hoat tidak menengok lagi, bahkan tidak peduli ketika Mauw Siauw Mo-li melangkah di sampingnya dan mereka keluar dari kota itu.

Setelah mereka jauh meninggalkan pintu gerbang kota, dan melihat Tek Hoat sama sekali tidak mempedulikannya, Mauw Siauw Mo-li berkata, "Ang-sicu, apakah kau marah kepadaku?"

Tek Hoat tidak menjawab dan ketika untuk kedua kalinya Mauw Siauw Mo-li bertanya sambil memegang tangannya, Tek Hoat mengibaskan tangan itu terlepas dan membalik, matanya memancarkan sinar berkilat. "Pergilah dan jangan membikin aku marah!" hardiknya, Dia sudah siap untuk menyerang!

"Eh, eh, Ang Tek Hoat!" Mauw Siauw Mo-li berkata dengan alis berkerut. "Berhari-hari aku selalu bersikap hormat dan baik kepadamu, akan tetapi mengapa engkau sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadaku? Lupakah engkau bahwa aku berada di sampingmu karena hendak membantumu mencari Syanti Dewi?"

Tek Hoat menghela napas. Benar juga, betapapun wanita ini telah berusaha membantunya menemukan kembali jejak Syanti Dewi. Kembali dia menarik napas panjang dan kemarahannya mereda."Sepak terjangmu membuat aku kesal dan marah."

Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Mulut yang bibirnya merah basah itu terbuka sehingga nampak deretan gigi yang rapi dan putIh, rongga mulut yang merah seperti dagIng mentah yang masih segar. Melihat pemuda itu reda kemarahannya, hati wanita ini menjadi gembira kembali.

"Sepak terjangku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?" tanyanya halus, sikapnya merendah.

Tek Hoat merasa tidak enak hatinya. Mengapa dia mempedulikan benar apa yang dilakukan oleh wanita ini? "Perbuatanmu terhadap empat orang di restoran itu memuakkan hatiku!" akhirnya dia berkata dengan terus terang menyatakan isi hatinya.

"Ehhh?? Hi-hik, Ang-sicu yang baik. Mereka adalah laki-laki tak berharga yang sudah sepantasnya dihajar! Perlukah orang-orang macam mereka itu diperlakukan dengan baik dan dihormati?"

Mereka saling pandang sejenak dan Tek Hoat mendengus lalu membuang muka. "Aku tidak membela mereka atau siapapun juga. Akan tetapi, engkau telah bermain mata dengan mereka, lalu menyiksa mereka. Siapa tidak menjadi sebal melihatnya?"

Senyum itu melebar, mata yang masih indah itu terbelalak dan dari kerongkongannya terdengar suara lembut seperti suara seekor kucing kalau dibelai. "Jadi engkau.... engkau memperhatikan semua itu? Dan hatimu tidak senang melihat aku bermain mata dengan mereka?" Pandang mata itu kini penuh selidik. Wajah Tek Hoat menjadi merah.

"Sudahlah! Aku tidak peduli apa yang akan kaulakukan, akan tetapi di depanku selama kita melakukan perjalanan bersama, kau tidak boleh bertindak seperti itu yang hanya menimbulkan kekesalan hatiku."

"Aihhh.... Sicu. Sungguh aneh sekali mendengar ini dari mulutmu. Bukankah aku berhadapan dengan Si Jari Maut? Bukankah dalam hal kekerasan, aku sendiri masih boleh berguru kepada Si Jari Maut? Kita berdua adalah orang-orang dari golongan hitam, tindakan kekerasan merupakan kesenangan kita, kepandaian dan kekerasan merupakan hukum kita. Ataukah terjadi hal mujijat di mana Si Jari Maut telah berubah menjadi lemah dan lunak, si harimau ganas yang gagah perkasa telah berubah menjadi seekor domba yang jinak?"

"Sudahlah! Jangan sebut-sebut tentang Si Jari Maut.... Aku benci kepadanya! Aku benci....! Tek Hoat lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya ke timur. Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan mengikutinya terus tanpa berani bicara apa-apa lagi sampai mereka berdua berhenti di dalam hutan karena malam telah tiba dan malam itu gelap sekali tiada bulan, hanya ada sedikit bintang yang tidak cukup terang untuk memungkinkan mereka melakukan perjalanan melewati hutan lebat itu.

Seperti biasa, Tek Hoat tidak pernah mau repot-repot dan setelah bersamadhi beberapa lama lalu tidur sambil bersandar pada batang pohon, dan kembali Mauw Siauw Mo-li yang bekerja mengumpulkan kayu dan daun kering, membuat api unggun dan duduk melamun. Sampai lama wanita ini memandang ke arah Tek Hoat yang sudah tidur pulas karena kehangatan api unggun mendatangkan kantuk pada matanya yang dibayangi kedukaan dan kekhawatiran dan pada tubuhnya yang lelah. Berkali-kali Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, mengamati wajah yang ditimpa api unggun itu, wajah seorang pemuda yang kelihatan masih remaja kalau sedang tidur memejamkan mata seperti itu. Lenyaplah garis-garis kekerasan di wajah Tek Hoat. Di waktu tidak tidur, maka tarikan dagu yang mengeras, pandang matanya yang memancarkan ketajaman yang menusuk, bayangan muram pada wajah yang kelihatannya tidak acuh, semua itu membuat wajah Si Jari Maut menjadi matang dan menyeramkan. Akan tetapi di waktu tidur seperti itu, lenyaplah sifat-sifat Si Jari Maut dan wajah itu membayangkan seorang pemuda yang patut dikasihan! Teringat betapa selama berhari-hari dia tidak berhasil "mendekati" pemuda ini, Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang penuh penyesalan, kekecewaan dan juga penasaran. Jarang ada pria yang sanggup bertahan terhadap rayuan mautnya. Baru kerling dan senyumnya saja tadi telah membuat empat orang laki-laki di restoran itu tergila-gila. Dan rayuan-rayuannya dahulu pernah menundukkan putera dari Pendekar Siluman!

Kalau dia mengenang kembali peristiwa itu, terdapat rasa kebanggaan yang luar biasa di dalam lubuk hatinya. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu orang pria yang jatuh bertekuk lutut di depan kakinya, yang mabuk kepayang dalam pelukan dan belaiannya, namun kalau dia terkenang kepada Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, jantungnya berdebar penuh kebanggaan! Betapa bangganya mengenangkan betapa pemuda Pulau Es itu, yang tampan sekali dan gagah perkasa, pernah mabuk kepayang di dalam pelukan dan belaiannya, pernah menjadi kekasihnya. Dialah yang memperoleh perjakanya pemuda sakti itu!

Kembali dia memandang wajah Tek Hoat. Pemuda ini tidak banyak selisihnya dengan Suma Kian Bu. Sama muda, sama tampan, dan sama gagah perkasa. Ada perbedaannya, yaitu kalau Suma Kian Bu adalah seorang tokoh dari golongan putih yang selalu menentang kejahatan, adalah Tek Hoat sebaliknya seorang tokoh hitam yang mengerikan, yang berjuluk Si Jari Maut! Jadi lebih cocok dengan dia!

"Aihhh.... mengapa engkau begitu angkuh....?" keluhnya, membayangkan betapa akan nikmatnya kalau malam itu dia dapat terbuai dalam pelukan pemuda itu. Sudah berhari-hari dia tidak pernah berdekatan dengan pria, padahal Tek Hoat si pemuda ganteng ini setiap hari berada di sampingnya. Sungguh keadaannya seperti seekor kucing kelaparan yang dekat dengan daging segar akan tetapi tidak dapat menerkam daging yang menggairahkan itu!

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mendengar suara yang tidak wajar. Dia lalu bangkit dan melirik ke arah Tek Hoat. Masih tidur nyenyak pemuda itu. Dengan gerakan ringan dan tanpa mengeluarkan suara, Mauw Siauw Mo-li meninggalkan api unggun, menyelinap di antara pohon pohon yang gelap. Tak lama kemudian dia melihat lima orang laki-laki dan di antara mereka terdapat dua yang dikenalnya, karena dua orang ini adalah dua orang di antara empat orang yang tadi dihajarnya di restoran. Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Dia sedang "haus" dan kini datang lima orang laki-laki. Setidaknya ada dua orang di antara mereka yang masih cukup muda dan tidak buruk. Lumayan untuk memuaskan kehausannya yang menyiksa karena selalu dekat dengan Tek Hoat yang tidak mempedulikannya. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan senyumnya melebar. Mengapa tidak? Mungkin ini merupakan jalan dan siasat yang amat baik, pikirnya. Cepat dia membuka kancing bajunya luar dalam sehingga dadanya kelihatan terbuka dan sebagian dari bukit-bukit dadanya nampak. Lalu dia berjalan memapaki lima orang itu.

"Ohhh....!" Dia menahan seruannya ketika sudah berhadapan dengan mereka.

Lima orang laki-laki itu terkejut, akan tetapi seorang dari mereka yang mengenal Mauw Siauw Mo-li berseru, "Ini dia siluman itu!"

Dan mereka berlima lalu menyerbu Mauw Siauw Mo-li? Wanita ini mengelak ke sana-sini dan menangkis, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan mengenal pundaknya dan dia terhuyung. Lima orang itu menerkam dan Mauw Siauw Mo-li mempertahankan diri mati-matian sehingga pakaiannya koyak-koyak.

"Toloooooonggggg....! Tolooonggggg.... Ang-sicu....!" Terdengar dia menjerit-jerit.

Tek Hoat terbangun dan terkejut mendengar jeritan itu. Otomatis dia meloncat dalam keadaan sadar sepenuhnya dan di lain saat dia telah berlari cepat menuju ke arah datangnya suara itu. Dan ketika dia tiba di tempat itu, apa yang dilihatnya membuat Tek Hoat mengerutkan alis saking marahnya. Dia melihat Mauw Siauw Mo-li rebah terlentang di atas tanah, pakaiannya tidak karuan dan di sana-sini terbuka, sedangkan lima orang laki-laki sedang memegangi tubuh yang meronta-ronta itu! Dia tidak tahu betapa di dalam gelap itu, Mauw Siauw Mo-li masih sempat melirik ke arah Tek Hoat.

"Uhhh.... uhhhhh.... keparat kalian.... iiihhhhh, tolooonggggg....!"

"Jahanam....!" Tubuh Tek Hoat mencelat ke tempat itu, kemudian kaki tangannya bergerak-gerak, jari tangannya seperti senjata ampuh menyambar-nyambar lima kali dan lima orang laki-laki itu terlempar ke sana-sini dan roboh tak dapat bangkit kembali, di dahi dan muka yang tercium jari-jari tangan itu kini terdapat bekas tapak tangan menghitam dan tubuh mereka tidak bernyawa lagi!

"Uuuhhhhh.... hu-huuuk, Sicu....!" Mauw Siauw Mo-li mengeluh, bangkit berdiri lalu lari menubruk Tek Hoat sambil menangis. Kedua lengannya merangkul leher pemuda itu dan mukanya menangis di atas dada Tek Hoat.

Pemuda ini tertegun dan bengong memandang ke arah lima orang laki-laki yang telah menjadi mayat itu. Dia menuduk, memandang ke arah muka yang tersembunyi di dadanya sambil bertanya, "Kenapa.... apa yang terjadi....?" Akan tetapi tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mengangkat mukanya dan menyambut muka pemuda yang menunduk itu dengan ciuman pada mulutnya!

Sejenak saking kagetnya Tek Hoat tak dapat berbuat apa-apa dan sepenuhnya merasakan ciuman yang berapi-api itu. Bibir Mauw Siauw Mo-li terasa basah dan panas sekali. Akan tetapi ketika Tek Hoat merasakan lidah wanita, itu menjilat-jilat, dia cepat melepaskan rangkulan wanita itu dan melangkah mundur, memandang kepada wajah yang merah itu, mata yang meredup seperti mengantuk, cuping hidung yang kembang-kempis, pernapasannya yang memburu, terengah-engah dan mulut yang agak terbuka itu.

"Apa yang kaulakukan ini?" dia membentak.

"Tek Hoat.... ahhh, Tek Hoat...." Mauw Siauw Mo-li mengembangkan kedua lengannya, akan memeluk lagi, akan tetapi Tek Hoat memandangnya dengan bengis dan melangkah mundur lagi.

"Mo-li, apa yang kaulakukan ini?" kembali dia membentak.

"Tek Hoat.... ahhh, betapa besar rasa bahagia dan terima kasihku.... engkau telah menyelamatkan aku daripada penghinaan.... lihatlah pakaianku.... dan mereka.... mereka.... jahanam-jahanam itu...." Mauw Siauw Mo-li meraba dadanya yang hampir telanjang sama sekali, menggerakkan jari-jarinya seperti membelai dadanya sendiri.

Tek Hoat membuang muka. "Huh, kau.... kau telah menipuku, Mo-li!" Tek Hoat berseru marah dan kini dia memandangi lima orang yang telah menjadi mayat itu. "Kau pura-pura kalah oleh mereka, memancingku agar aku turun tangan"

"Tidak.... tidak.... aku.... aku hampir...."

"Cukup! Tak perlu bersandiwara lagi! Mereka itu hanyalah laki-laki lemah, sekali serang mereka roboh dan tewas. Engkau yang berkepandaian tinggi, jangankan baru dikeroyok lima orang seperti ini, biar ada lima puluh orang engkau tidak akan kalah. Akan tetapi engkau sengaja mengalah dan aku.... si tolol.... aku terlebak! Engkau wanita iblis! Siluman betina kejam!"

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li terkekeh genit. "Hi-hik, dan engkau Si Jari Maut telah memperlihatkan kehebatanmu! Lihat tapak jarimu di dahi dan pipi mereka, Tek Hoat. Bukankah engkau masih Si Jari Maut dan aku adalah Mauw Siauw Mo-li? Kita berdua memang cocok sekali bukan? Kita satu golongan dan pantas menjadi kawan akrab, bukan? Mana aku cocok dengan laki-laki macam mereka, yang lemah? Kita seperti sajak dengan nyanyian, apakah tidak terasa olehmu betapa tubuh kita saling membutuhkan, betapa nikmat ciuman tadi, Tek Hoat?"

"Wuuuuuttttt....!" Jari tangan Tek Hoat menyambar namun dengan gesit Mauw Siauw Mo-li dapat mengelak dari sambaran jari tangan maut itu.

"Perempuan tak tahu malu!" Tek Hoat memaki karena marah sekali, marah yang ditimbulkan oleh penyesalan mengapa dia tadi menyambut ciuman itu dengan sepenuh hatinya, mengapa tadi bibirnya menyambut dengan kecupan penuh rangsangan nafsu berahi! Tadi, ketika mulutnya bertemu dengan mulut Mauw Siauw Mo-li, seluruh kerinduannya terhadap Syanti Dewi tertumpahkan dan tersalurkan dalam ciuman itu dan tentu saja hal itu terasa oleh Mauw Siauw Mo-li.

"Hi-hik, Tek Hoat. Tak perlu engkau mengingkari suara hatimu sendiri, kebutuhan jasmanimu sendiri. Marilah, Tek Hoat, marilah ke dalam pelukanku. Sudah lama aku tergila-gila dan rindu kepadamu!"

"Wuuuttttt.... brakkkkk!" Sebatang pohon roboh oleh hantaman tangan Tek Hoat, kemudian pemuda ini membalikkan tubuhnya dan dengan muka panas dia meninggalkan hutan itu. Mauw Siauw Mo-li mengejarnya, namun Tek Hoat tidak mau berhenti dan terus melangkah maju, meraba-raba dalam gelap, melawan hambatan duri-duri dan cabang-cabang pohon yang menjuntai ke bawah, tersaruk-saruk dalam kegelapan malam.

Pada keesokan harinya, dia berhasil keluar dari hutan itu.

"Tek Hoat tunggu....!" Terdengar teriakan dari belakang.

"Keparat....!" Tek Hoat berhenti dan membalikkan tubuh, matanya bernyala dan dia mengambil keputusan untuk membunuh wanita itu.

Mauw Siauw Mo-li menghampiri dan ketika dia melihat sikap Tek Hoat, melihat sinar maut dalam mata pemuda itu, dia berhati-hati dan tidak mau terlalu mendekat. Tangannya sudah siap di pinggangnya di mana tersimpan senjata rahasianya yang amat hebat, yaitu bahan peledak.

"Tunggu, Tek Hoat. Aku tidak akah main-main lagi, aku bicara dengan sungguh-sungguh. Dengarlah, engkau tidak akan berhasil menemukan Syanti Dewi tanpa bantuanku. Kaukira di mana engkau akan dapat menyusul Syanti Dewi?"

Bicara tentang Syanti Dewi, tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sungguhpun dia masih marah. "Di pantai Po-hai, di mana lagi? Dan aku tidak butuh bantuanmu."

"Hemmm, jangan sombong kau, Tek Hoat. Pantai Po-hai merupakan pantai yang amat luas, apakah kau hendak menjelajahi seluruh pantai di sepanjang teluk itu? Sampai berapa tahun kau akan berhasil? Sebaliknya, kalau kau mau menerima bantuanku, aku tahu dan mengenal seorang kakek yang tinggal di pantai Pohai, seorang kakek yang lihai dan aku berani bertaruh bahwa agaknya kakek itulah yang dimaksudkan orang, kakek yang singgah di restoran itu bersama Syanti Dewi."

Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali, akan tetapi dia masih curiga dan tidak mau percaya begitu saja. "Mo-li, kalau engkau mempermainkan aku sekali ini, demi Tuhan, aku tentu akan membunuhmu!"

"Hi-hik, kaukira aku wanita macam apa mudah saja kaubunuh? Pula, perlu apa aku main-main denganmu kalau aku benar-benar cin.... eh, suka kepadamu?"

"Kalau begitu, katakan siapa kakek itu dan di mana tempat tinggalnya!"

"Hemmm, nanti dulu, jangan mau enaknya saja. Sudah kukatakan bahwa aku suka sekali kepadamu, Tek Hoat. Engkaulah satu-satunya pria yang cocok berada di sampingku, sebagai.... apa pun, pendeknya, sebagai sahabat. Karena itu, tidak mungkin aku memberi tahu kepadamu lalu engkau pergi meninggalkan aku begitu saja. Kalau kau mau berbaik denganku, mau melakukan apa yang kuminta, aku akan mengantarmu ke tempat kakek itu dan aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan kembali Puteri Syanti Dewi. Bagaimana?"

Tek Hoat mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Dia tidak mungkin dapat memaksa wanita ini untuk mengaku. Andaikata dia dapat mengalahkan Mauw Slauw Mo-li sekalipun, agaknya wanita seperti dia itu tidak akan mau mengaku biar dibunuh sekalipun. Lebih menguntungkan berbaik dengan orang seperti ini daripada memusuhinya, apalagi dia memang amat membutuhkan petunjuknya agar dapat menemukan kembali Syanti Dewi yang hilang.

"Baiklah, Mo-li, akan tetapi engkau pun tahu bahwa orang macam aku tidak akan menuruti permintaanmu begitu saja kalau permintaan itu tidak cocok dengan rasa hatiku. Seperti juga engkau, aku pun tidak takut mati. Kita bersahabat, cukup sekian saja, jangan mengharapkan yang bukan-bukan."

Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita yang sudah banyak mengenal pria, sudah memiliki banyak sekali pengalaman, maka jawaban ini tidak mengecilkan hatinya. Dia maklum bahwa dalam hubungan antara pria dan wanita, yang terpenting adalah keakraban lebih dulu, karena dari keakraban ini mudah sekali berubah menjadi cinta! Pendekatan antara minyak dengan api memang tidak begitu saja menimbulkan kebakaran, akan tetapi setidaknya membuka kesempatan besar sekali untuk terjadinya kebakaran itu, dan dengan

pengalamannya, dengan kecantikannya dan tubuhnya yang masih padat dan nampak muda, dia akan dengan mudah menimbulkan kebakaran itu!

"Baiklah, Tek Hoat. Dan langkah pertama setelah kita menjadi sahabat adalah agar engkau jangan menyebutku Mo-li (lblis Betina) lagi. Betapa tidak enaknya mendengar sebutan itu dari mulut seorang.... sahabat. Namaku adalah Lauw Hong Kui. Nama yang indah sekali, bukan? Memang mendiang orang tuaku pandai memilih nama untuk anaknya. Nah, mulai sekarang kausebut saja namaku seperti aku menyebut namamu."

Tentu saja hal semacam itu tidak terlalu dipedulikan benar oleh Tek Hoat. "Baiklah, Hong Kui. Dan mari kita melanjutkan perjalanan."

Mauw Siauw Mo-li tersenyum manis, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan mendengar namanya disebut oleh Tek Hoat. "Mari, Tek Hoat, mari kita datangi kakek itu!"

Kedua orang itu melanjutkan perjalanan, jalan berendeng dan kalau dilihat dari jauh memang mereka itu serasi sekali. Yang pria tampan gagah, yang wanita cantik manis. Hanya kalau dilihat dari dekat dengan penuh perhatian baru dapat diketahui bahwa yang wanita jauh lebih tua dan memang banyak berbeda usia mereka. Tek Hoat berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, sedang Lauw Hong Kui, Siluman Kucing itu, sedikitnya berusia tiga puluh lima tahun. Mereka melakukan perjalanan menuju ke timur, menuju ke pantai Teluk Po-hai.

******

Setelah berhasil memperoleh ramuan obat seperti yang dipesan oleh Sai-cu Kai-ong untuk mengobati kakaknya, Kian Bu dan Siauw Hong dengan cepat meninggalkan kota kecil di perbatasan Ho-pei sebelah barat itu untuk kembali ke puncak Nelayan di pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Obat yang dicarinya itu agak sukar sehingga mereka berdua telah melewati beberapa buah kota, barulah dapat membeli di toko obat dalam kota di perbatasan itu, setelah melakukan perjalanan dua hari! Maka kini, khawatir kalau ditunggu-tunggu oleh Sai-cu Kai-ong, dua orang muda ltu bergegas pulang. Dalam perjalanan ini, Kian Bu mencoba ilmu kepandaian berlari cepat dari pengemis muda yang kini telah berpakaian biasa itu, dan dengan kagum dia mendapatkan kenyataan bahwa Siauw Hong benar-benar merupakan seorang pemuda remaja yang memiliki dasar ilmu kepandaian tinggi yang hanya perlu dimatangkan saja.

Ketika mereka melewati jalan sunyi dan berbatu-batu di luar sebuah dusun, ditimpa terik matahari lewat tengah hari yang masih bersinar sepenuh kekuatannya, tiba-tiba pada suatu tikungan jalan Siauw Hong berseru, "Eh, ada orang berkelahi....!"

Kian Bu juga sudah melihatnya. Agak jauh di depan, dia melihat dua orang sedang berkelahi dan dari jauh sudah dapat dilihat bahwa dua orang yang sedang berkelahi itu keduanya menggunakan ilmu silat yang cukup hebat. Dan di tepi jalan nampak rebah seorang laki-laki yang bergerak-gerak lemah.

"Siauw Hong, jangan sembarangan mencampuri urusan mereka sebelum kita mengetahui duduk persoalan, bisik Kian Bu dan Siauw Hong mengangguk.

Setelah mereka tiba di tempat itu, Siauw Hong melihat bahwa yang rebah itu adalah seorang laki-laki tua yang gagah kelihatannya, dan agaknya dia itu telah terluka. Dia menggigit bibir dan menahan rasa nyeri, akan tetapi tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya.

Ketika dia melihat mereka yang berkelahi, Siauw Hong terkejut karena dia mengenal bekas teman seperjalanannya, yaitu Kang Swi, si pemuda royal yang menjadi pengawal dari Gubernur Ho-nan! Adapun yang menjadi lawan Kang Swi adalah seorang gadis cantik berbaju hijau yang hidungnya mancung. Siauw Hong tertarik sekali. Dia maklum betapa lihainya Kang Swi karena dia pernah bertanding dengan pemuda kaya raya itu di atas panggung lui-tai ketika diadakan sayembara pemilihan pengawal oleh Gubernur Ho-nan dan dia harus mengakui keunggulan Kang Swi. Akan tetapi kini, Kang Swi seperti terdesak oleh wanita baju hijau yang amat lihai itu!

Kian Bu juga memandang dengan tertarik dan kagum. Dia mengenal gadis baju hijau yang hidungnya mancung itu. Pernah dia bertemu dengan wanita ini di dalam restoran. Bahkan wanita ini pernah menjamu para tamu dan membayar harga makanan dan minuman mereka, termasuk dia. Dan kemudian muncul seorang pemuda yang kulitnya putih, matanya agak biru dan rambutnya coklat yang diakui sebagai suheng oleh wanita hijau itu dan mereka berdua kemudian terluka dan pingsan oleh jarum-jarum beracun dari huncwe yang dilepas oleh Boan-wangwe. Benar, dia mengenal wanita itu dan kini diam-diam dia memperhatikan betapa Kang Swi repot juga menghadapi wanita baju hijau yang gerakannya amat cepat dan aneh itu, mengandung gerakan liar yang tidak dia kenal. Entah dari cabang persilatan apakah ilmu silat yang dimainkan oleh wanita baju hijau ini.

Melihat Kang Swi terdesak dan gerakan pemuda tampan itu agak kaku, Kian Bu menarik napas panjang. Dia tahu bahwa pemuda tampan itu masih menderita luka akibat bentrok dengan dia ketika mereka memperebutkan Pangeran Yung Hwa di gubernuran Ho-nan. Beberapa kali Kang Swi terdesak dan terhuyung sambil menyeringai tanda bahwa dia merasa nyeri di dalam tubuhnya. Akan tetapi baik dia sendiri maupun Siauw Hong, kini telah menganggap Kang Swi sebagai musuh karena pemuda itu telah menjadi kaki tangan Gubernur Ho-nan yang dianggap memberontak, maka mereka berdua hanya menonton saja ketika melihat Kang Swi terdesak.

Sementara itu, ketika Kang Swi melirik dan mengenal Kian Bu dan Siauw Hong, mukanya menjadi merah karena marahnya. Dua orang itu tadinya adalah sahabat-sahabat baiknya, yang tidak saja pernah melakukan perjalanan dengan dia, malah di dalam perjalanan mengobrol dan bergurau sebagai sahabat, bukan itu saja, malah dia telah membelikan kuda tunggangan untuk mereka! Akan tetapi kini mereka hanya menonton, padahal dia terdesak oleh lawan yang lihai ini. Hatinya terasa mendongkol bukan main dan kemarahannya memuncak, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan menerjang ke arah lawan dengan pukulan tangan kanan yang dimiringkan.

Melihat serangan dahsyat ini, Kian Bu terkejut. Dia mengenal pukulan sakti, maka karena dia mengkhawatirkan keselamatan gadis baju hijau itu, dia berseru, "Awasss....!"

Namun terlambat sudah. Pukulan itu datang dengan dahsyatnya dan tidak mungkin dapat dielakkan lagi, kecuali ditangkis. Dan wanita baju hijau itu pun agaknya tidak takut menghadapi pukulan itu. Dia mengangkat lengannya menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya, apalagi karena mendengar seruan Kian Bu.

"Desssss....!" Hebat sekali pertemuan antara dua lengan yang mengandung tenaga sinkang dahsyat itu. Akibatnya, tubuh Kang Swi terpelanting dan dia terbanting jatuh berdebuk, sedangkan kedua kaki gadis baju hijau itu ambles ke dalam tanah sampai setengah lutut dalamnya!

Sambil menyeringai, gadis berbaju hijau itu menarik kedua kakinya dari dalam tanah dan menggoyangkan lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan tadi karena terasa ngilu dan panas.

"Rettt....!" Kagetnya bukan main melihat betapa lengan bajunya sebatas siku terlepas dan ternyata lengan baju itu robek dan putus seperti digunting dan copot dari lengannya. Dia cepat memeriksa lengannya dan di bagian lengan yang tadi bertemu dengan lengan lawan nampak terluka melintang dan mengucurkan darah, kulitnya robek seperti terkena bacokan pedang atau golok. Bukan main kaget dan herannya. Dia tahu jelas bahwa lawannya itu tadi ketika memukul tidak mempergunakan senjata apa pun, akan tetapi lengannya yang dipakai menangkis terluka, bahkan lengan bajunya terobek.

Memang jarang sekali orang menyaksikan ilmu seperti yang dipergunakan oleh Kang Swi tadi. Dia sendiri pun jarang mempergunakannya, bahkan ketika dia bertanding di atas panggung lui-tai, dia tidak mau mempergunakannya. Itulah ilmu pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) Biar pun dia belum melatihnya secara sempurna dan belum menguasai sepenuhnya, namun sudah demikian lihai dan berbahaya.

Wanita baju hijau itu menjadi marah sekali. Lawannya telah menurunkan tangan kejam, maka dia cepat menghadapi Kang Swi yang sudah bangkit berdiri lagi. Dengan sepasang mata mengeluarkan sinar berapi, wanita baju hijau itu kini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, lalu kedua tangan digerak-gerakkan dengan lingkaran-lingkaran di depan dadanya. Kang Swi yang melihat betapa pukulannya tadi telah berhasil melukai lengan lawan, biarpun tangkisan itu membuat dia terbanting keras, kini memandang rendah kepada lawannya. Sambil mengeluarkan lengking panjang lagi, dia hendak mengulangi pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang dan menerjang dengan dahsyatnya. Gadis berbaju hijau itu menyambutnya dengan dorongan kedua tangan yang terbuka jari-jarinya.

Kian Bu terkejut bukan main. Dia mengenal pukulan hebat dari gadis berbaju hijau itu, karena dia pernah melihat suheng dari si nona baju hijau itu dahulu di restoran juga mempergunakan pukulan dahsyat ini terhadap para lawannya. Maklumlah dia bahwa Kang Swi yang tidak menduga apa-apa itu terancam bahaya maut. Dia tidak begitu suka kepada pemuda tampan yang banyak lagak ini biar pun pemuda itu telah bersikap baik sekali kepadanya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin melihat Kang Swi terkena hantaman yang demikian ampuh dan kejamnya, maka dari tempat dia berdiri, dia lalu mendorong dengan pukulan jarak jauh untuk membuyarkan tenaga serangan gadis baju hijau terhadap Kang Swi.

Hebat bukan main pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Kian Bu. Kedua orang yang sedang saling adu tenaga ini merasa seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat yang tak tampak, yang membuat tenaga mereka seperti tersedot lenyap.

Oleh karena itu, ketika kedua tangan mereka bertemu, kekuatan mereka tidak sepenuhnya lagi.

"Plakkk!"

Biarpun tenaga gadis berbaju hijau dan Kang Swi hanya tinggal beberapa bagian saja karena telah dibuyarkan oleh tenaga sinkang yang didorongkan oleh Kian Bu, namun akibatnya masih parah bagi Kang Swi yang sudah terluka. Dia terjengkang dan terbanting, bergulingan dan rebah pingsan. Mukanya kelihatan biru seperti orang kedinginan.

Melihat Kang Swi roboh seperti orang mati, Siauw Hong tiba-tiba menjadi marah. Dia teringat akan kebaikan pemuda tampan itu dan kini melihat pemuda itu dipukul mati, dia berteriak marah dan membentak, "Berani kau membunuh orang?"

Akan tetapi sebelum serangannya disambut oleh gadis berbaju hijau yang kelihatan sedang mengumpulkan kekuatan karena benturan tenaga dengan Kang Swi tadi membuat dia terengah sedikit, dari samping muncul seorang laki-laki bermata kebiruan dan berkulit agak putih, gerakannya tangkas ketika dia menangkis pukulan Siauw Hong yang ditujukan kepada gadis baju hijau tadi. Mereka segera berkelahi dan dari tangkisan-tangkisannya, tahulah Siauw Hong bahwa laki-laki yang seperti orang asing ini memiliki tenaga yang amat kuat maka dia berlaku hati-hati dan memusatkan perhatian kepada gerakan-gerakannya.

"Tahan...., Siauw Hong, mundurlah dan jangan berkelahi!" Kian Bu berseru. Mendengar ini, Siauw Hong lalu meloncat mundur dan cepat dia menghampiri Kang Swi yang masih menggeletak dengan muka biru.

Melihat Kian Bu, gadis baju hijau dan laki-laki asing itu segera mengenalnya dan cepat mereka berdua menjura. "Kiranya Taihiap yang berada di sini...." Gadis baju hijau itu berkata dan sikapnya agak canggung dan gugup.

"Mengapa Ji-wi berkelahi dengan dia?" Kian Bu bertanya sambil memandang tajam, tanpa menoleh kepada Siauw Hong yang sudah memondong tubuh Kang Swi. Siauw Hong merasa kasihan sekali melihat Kang Swi rebah seperti mati, mukanya menjadi biru pucat, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Kang Swi masih bernapas, sungguhpun napas yang senin-kemis, dia lalu memondongnya dan membawanya ke tempat teduh di bawah sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat perkelahian itu. Dia tidak lagi mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan oleh Kian Bu dan dua orang itu.

Melihat napas yang empas-empis dan muka yang pucat kebiruan, tahulah Siauw Hong bahwa bekas temannya ini menderita luka dalam yang cukup berbahaya dan tentu akan dapat menyebabkan kematian kalau tidak cepat diobati. Sebagai murid terkasih dari Sai-cu Kai-ong si ahli obat, tentu saja Siauw Hong juga mempelajari ilmu pengobatan dan terutama sekali ilmu mengobati luka-luka bekas pukulan, baik luka luar maupun luka dalam. Tahulah dia bahwa tanpa bantuan dari luar, Kang Swi terancam bahaya maut karena dalam keadaan setengah pingsan itu tentu saja Kang Swi tidak dapat menyalurkan sinkang untuk mengobati lukanya.

Tanpa ragu-ragu lagi dan tanpa mempedulikan Kian Bu yang kelihatan masih bercakap-cakap dengan dua orang itu, Siauw Hong lalu membuka kancing baju Kang Swi. Dia melihat betapa di balik baju itu terdapat pula baju dalam. Hemm, pikirnya. Dasar pemuda royal dan banyak lagak, pakaian saja sampai berangkap-rangkap dan pakaian dalamnya menutupi tubuh dari leher ke bawah! Karena melihat bahwa baju dalam itu tidak dapat dibuka semua, hanya terdapat kancing kecil di bagian pembukaan yang menyerong ke pundak, dia membuka dua buah kancing itu, lalu tangan kanannya menyusup ke dalam untuk meraba dada mendekati ulu hati Kang Swi agar dia dapat menyalurkan sinkang melalui telapak tangannya dan membantu pemuda tampan itu mengobati luka di dalam dadanya yang agaknya tergoncang oleh pertemuan tenaga dahsyat tadi.

"Ehhh....! Dia menahan seruannya dan seperti orang menyentuh api, tangannya yang menyusup di balik pakaian dalam Kang Swi itu ditariknya keluar, lalu dia memandang wajah yang pingsan kebiruan itu dengan bengong terlongong. Wajah yang amat tampan, terlalu tampan malah. Dia bengong seperti tidak percaya akan apa yang dialaminya. Setelah meragu sejenak dia kembali memasukkan tangannya untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang dialaminya bukan dalam mimpi.

"Uhhh....!" Kembali tangannya dicabut keluar dan seluruh mukanya dari bawah rambut kepala sampai leher menjadi merah sekali. Tidak salah lagi. Tangannya yang menyusup tadi memang meraba sesuatu yang aneh! Dia menoleh dan melihat betapa Kian Bu masih bicara dengan tegang bersama empat orang. Entah dari mana datangnya dan kapan, di situ kini telah terdapat dua orang lakilaki muda lain lagi dan mereka semua kelihatan bercakap-cakap dengan sikap tegang.

"Heemmm.... aneh...." dia berbisik dan kembali dia menatap wajah Kang Swi yang tampan. "Kalau tidak cepat kutolong, dia bisa tewas. Akan tetapi dia.... tidak boleh aku menjamahnya.... ah, tapi dia bisa mati.... dia...."

Terjadi perang hebat di dalam hati pemuda remaja ini. Akan tetapi, melihat wajah yang pucat kebiruan itu, napas yang tersendat-sendat, Siauw Hong makin khawatir dan semua perasaan lain disapu bersih oleh rasa khawatir ini, maka dia memutuskan untuk cepat menolong Kang Swi dan membuktikan dugaannya. Dia membukai semua kancing, lalu menarik baju dalam itu ke bawah sehingga terobek sedikit dan dia memejamkan mata dan membuang muka ketika melihat dua buah bukit tersembul keluar dan nampaklah dada putih yang dihias dua bukit dada itu. Kedua tangannya menggigil, akan tetapi cepat Siauw Hong menutupkan kembali baju dalam itu, menutupi dada dan juga menutupi tangan kanannya yang menempel di dada itu, tepat di tengah-tengah di antara dua buah bukit dada yang ranum. Dengan jantung berdebar Siauw Hong mengerahkan sinkangnya namun tetap saja seluruh tubuhnya panas dingin dan agak menggigil biarpun dia sudah menenteramkan hatinya.

"Ahhh.... ohhhhh.... tolol kau....!"

Dia memaki diri sendiri dalam hatinya. "Biar dia perempuan, laki-laki atau banci, peduli apa kau? Yang penting adalah mengobatinya agar dia terbebas dari cengkeraman maut, jangan memikirkan dada yang indah itu!"

Akan tetapi, suara hatinya berhenti pada kalimat "dada yang indah itu" dan terus saja dada yang putih dengan sepasang bukit yang bentuknya indah itu terbayang di depan matanya, walaupun dia telah memejamkan kedua matanya. Mulailah Siauw Hong mengobati Kang Swi sambil memejamkan matanya dan memerangi sendiri ketegangan hatinya yang timbul ketika dia memperoleh kenyataan bahwa Kang Swi adalah seorang dara muda!

Sementara itu, Kian Bu sedang sibuk melerai orang-orang yang sedang ngotot dan hendak saling serang. Siapakah dua orang pemuda yang baru datang itu? Mereka ini bukan lain adalah Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, dua orang putera dari Jenderal Kao Liang! Sedangkan laki-laki gagah yang rebah terluka tadi adalah Jenderal Kao Liang sendiri.

Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya ini telah kehilangan seluruh keluarga mereka ketika keluarga mereka itu bersama harta benda mereka diculik dan dicuri orang tanpa mereka ketahui dengan pasti siapa yang melakukannya. Hanya akhirnya mereka yakin bahwa yang memusuhi mereka tentulah keluarga Pulau Es, yaitu putera-putera dari Suma Han yang mereka duga tentulah diperalat oleh kaisar untuk menyingkirkan atau membasmi mereka mengingat bahwa ayah mereka itu adalah mantu kaisar! Karena mereka merasa tidak kuat menghadapi keluarga Suma yang amat sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari putera sulung jenderal itu yaitu Sin-liong Kao Kok Cu, di Naga Sakti dari Gurun Pasir. Hanya putera sulungnya itulah yang akan mampu menghadapi musuh-musuh tangguh itu, pikir Jenderal

Kao.

Akan tetapi, di tengah perjalanan ayah dan anak ini bertemu dengan rombongan gadis baju hijau dan suhengnya yang bule dan bermata kebiruan itu bersama lima orang anak buah mereka. Dan tanpa bicara apa-apa lagi, gadis berbaju hijau dan suhengnya itu, dibantu oleh orang-orang mereka, langsung saja menyerang Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya! Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi dan selain kalah banyak, juga jenderal dan dua orang puteranya itu kalah lihai. Akhirnya jenderal atau lebih tepat lagi bekas Jenderal Kao Liang tertawan akan tetapi sebelum roboh dan tertangkap dia meneriaki dua orang puteranya untuk cepat melarikan diri dan minta bantuan kakak mereka.

Kok Tiong dan Kok Han terpaksa lari karena maklum bahwa ayahnya benar. Kalau mereka terus melawan, akhirnya mereka akan roboh juga sehingga selain tidak ada yang akan dapat melapor kepada kakak mereka, juga tidak ada harapan lagi menolong keluarga mereka. Akan tetapi, ketika mereka melihat ayah mereka dibawa pergi, mereka tidak tega meninggalkan, dan diam-diam mereka membayangi rombongan gadis baju hijau yang menawan ayah mereka itu.

Akhirnya, pada hari itu, rombongan yang menawan Kao Liang bertemu dengan Kang Swi. Melihat orang tua gagah itu ditawan serombongan orang, Kang Swi menegur dan terjadi bentrok antara dia dan gadis baju hijau. Si gadis baju hijau yang merasa memiliki kepandaian tinggi, melarang suhengnya dan lima orang anak buahnya untuk membantunya dan dia melawan sendiri pemuda tampan itu sehingga mereka berkelahi dengan seru sampai muncul Siluman Kecil atau Suma Kian Bu yang cepat melerai mereka. Ketika melihat munculnya pendekar yang ilmunya amat tinggi itu, baik si gadis baju hijau maupun Kang Swi yang sudah mengenalnya menjadi kaget dan jerih untuk melanjutkan pertandingan itu.

Kao Liang yang terluka itu kini dapat bercerita kepada Kian Bu setelah pemuda ini bertanya dengan suara tenang. "Kalian berdua telah mengenal aku dan tahu bahwa Siluman Kecil selalu mencegah terjadinya permusuhan di antara orang-orang sendiri. Kalau kalian berdua mempunyai urusan dan di antara kalian terdapat penasaran, mari kita perbincangkan dengan seadilnya."

Kao Liang yang sudah bangkit berdiri itu melihat betapa gadis baju hijau dan penolongnya si pemuda tampan itu kelihatan jerih terhadap pemuda berambut putih yang baru tiba, apalagi mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, dia terkejut dan cepat-cepat dia lalu menceritakan pengalamannya itu. Betapa dia dan putera-puteranya sama sekali tidak mengenal gadis baju hijau yang menangkap mereka, dan betapa pemuda tampan itu datang untuk menolongnya. Kao Liang dan kedua orang puteranya juga menghaturkan terima kasih kepada Kang Swi yang telah mencoba untuk menolong orang tua itu, kemudian bekas jenderal itu menudingkan telunjuknya kepada muka gadis baju hijau sambil berkata, "Dia ini tentulah seorang di antara kaum sesat karena hanya orang-orang dari golongan hitam sajalah yang akan memusuhi keluarga kami!"

Tentu saja Kian Bu mengenal Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang agaknya tidak mengenalinya karena rambutnya putih semua itu menutupi sebagian dari mukanya. Akan tetapi, bukanlah menjadi watak Kian Bu untuk membantu orang yang telah dikenalnya begitu saja tanpa menyelidiki lebih dulu urusannya. Maka dia lalu menghadapi wanita baju hijau itu dan bertanya, "Nona, benarkah cerita mereka bahwa Nona menyerang dan menawan Paman ini tanpa sebab?"

Wanita baju hijau itu tersenyum dingin. "Nama Siluman Kecil telah menggemparkan kolong langit dan kami berdua saudara seperguruan sudah lama merasa kagum, apalagi semenjak peristiwa di restoran itu. Karena Taihiap yang datang, meleraikan, maka memandang muka Taihiap, kami menyabarkan diri. Akan tetapi hendaknya Taihiap ketahui bahwa dia itu," sampai di sini gadis baju hijau itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Kao Liang dan memandang dengan penuh kebencian. "Dia itu adalah bekas Jenderal Kao Liang. Dialah yang telah membasmi seluruh keluargaku. Seluruh keluarga, tua muda laki perempuan, semua dihukum mati karena dia, dan hanya secara kebetulan saja ketika itu aku masih berada di tempat Subo sehingga tidak sekalian dibunuh. Kao Liang, urusan lima enam tahun yang lalu di utara, ketika engkau membasmi keluarga Kim, aku tidak akan dapat melupakannya begitu saja!"

Jenderal Kao Liang terbelalak. "Keluarga Kim....?" Dia mengingat-ingat. "Maksudmu keluarga pemberontak dan pengkhianat Kim Bouw Sin?"

"Tutup mulutmu!" Gadis baju hijau itu membentak marah.

"Engkau sudah membasmi keluargaku dan kau masih berani memaki ayahku?" Kini kedua mata gadis itu menjadi basah.

"Ahhhhh.... kiranya Nona adalah puteri dari Kim Bouw Sin?" Kao Liang menarik napas panjang dan mengangguk-angguk, lalu meraba-raba jenggotnya. "Pantas....! Pantas engkau marah-marah dan membenci kami sekeluarga. Akan tetapi agaknya karena engkau tidak tahu akan duduknya persoalan yang sebenarnya, Nona. Kulihat engkau seorang yang berkepandaian tinggi, tentu berwatak gagah dan dapat mempertimbangkan keadaan. Baik kaudengar penuturanku mengapa keluarga ayahmu sampai terhukum semua. Semua itu adalah gara-gara perbuatan mendiang ayahmu."

Bekas Jenderal Kao Liang lalu bercerita tentang peristiwa yang terjadi lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, Kao Liang masih menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal gagah perkasa yang amat ditakuti oleh para pemberontak dan musuh-musuh negara yang berada di luar tapal batas. Jenderal Kao Liang bermarkas besar di utara karena pada waktu itu, musuh yang paling ditakuti adalah suku-suku liar dari utara, di luar tembok besar. Yang menjadi pembantunya, bahkan menjadi wakil panglima di utara itu adalah Kim Bouw Sin, seorang panglima yang lebih muda dan yang pandai pula, dipercaya sebagai wakil oleh Jenderal Kao.

Akan tetapi, seperti banyak di antara para pembesar, Panglima Kim Bouw Sin dapat dibujuk oleh dua orang pangeran yang merencanakan pemberontakan, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Panglima Kim Bouw Sin dijanjikan kedudukan tertinggi oleh dua orang pangeran yang memberontak itu sehingga dia tertarik dan memberontaklah panglima ini, berusaha menguasai bala tentara yang berada di bawah kekuasannya di utara (baca cerita Sepasang Rajawali).

Usahanya itu ternyata gagal sama sekali, dan tentu saja sebagai seorang pemberontak, dia seke1uarganya dijatuhi hukuman mati.

"Demikianlah," Jenderal Kao Liang mengakhiri penuturannya secara singkat itu. "Keluargamu terbasmi karena gara-gara pengkhianatan ayahmu terhadap kerajaan, Nona. Tidak ada permusuhan pribadi antara kami dan ayahmu. Ayahmu terkena bujukan Pangeran Liong Khi Ong dan Pangeran Liong Bin Ong. Dua orang pangeran khianat itulah yang menjadi biang keladi pemberontakan dan penyelewengan ayahmu."

"Orang she Kao! Kalau engkau tidak berhenti memaki ayahku, terpaksa aku akan menghancurkan mulutmu!" Tiba-tiba pemuda berkulit putih dan bermata kebiruan itu melangkah maju dan mengepal tinju mengancam Kao Liang.

Dua orang putera bekas jenderal itu cepat maju untuk melawan.

Kian Bu melerai dan menyuruh kedua fihak mundur.

Kao Liang kini memandang pemuda asing itu dengan alis berkerut. "Orang asing, apakah maksudmu?" tanyanya.

"Hemmm, Kao Liang, engkau tadi memaki ayahku. Pangeran Liong Bin Ong adalah ayah kandungku. Ibuku adalah seorang puteri Mongol yang berdarah orang kulit putih. Dengarlah, orang she Kao. Kami, aku dan Sumoiku ini menyadari akan kesalahan orang-orang tua kami yang melakukan pemberontakan terhadap kerajaan, maka kami tidak akan mengulang kesalahan mereka. Akan tetapi, sebagai anak-anak yang berbakti, kami harus membalaskan kematian keluarga kami itu kepada yang bersangkutan! Karena hancurnya keluarga Kim-sumoi ini adalah karena engkau, maka Sumoi hendak membalaskan dendam keluarganya kepadamu!"

Mendengar bahwa pemuda asing ini adalah putera mendiang pemberontak Liong Bin Ong, semua orang tercengang. "Ahhh.... sungguh aneh dan luar biasa. Mengapa anak-anak mereka juga dapat menjadi saudara-saudara seperguruan?" Kao Liang berseru heran.

"Kao Liang, dalih apa pun yang kaukemukakan, tetap saja kuanggap bahwa engkau menjadi biang keladi terbasminya keluargaku, oleh karena itu aku harus membalas kepadamu!" Gadis baju hijau itu berseru. "Aku Kim Cui Yan bersumpah takkan mau sudah sebelum musuh besar keluargaku dapat terbasmi pula!"

Sepasang matanya memandang penuh kebencian kepada Kao Liang dan dua orang puteranya itu yang sudah siap lagi untuk menghadapi terjangan wanita yang menjadi berbahaya karena sakit hati itu.

"Dan mengingat bahwa engkau dahulu pun merupakan musuh dari mendiang ayahku, maka aku akan selalu membantu Sumoi menghadapi engkau dan keluargamu, orang she Kao!" si pemuda asing berseru. "Aku Liong Tek Hwi juga sudah bersumpah akan membasmi musuh-musuh orang tuaku!"

Melihat kedua fihak sudah mau bergerak saling serang lagi, Kian Bu cepat melangkah maju dan membentak. "Cukup! Selagi aku berada di sini, aku tidak akan membiarkan pertempuran lagi. Aku tidak membantu siapapun juga, akan tetapi aku akan menghadapi siapa saja yang hendak memamerkan kepandaian!" bentaknya keras dan sikapnya menyeramkan sehingga Kim Cui Yan dan Liong Tek Hwi yang berkepandaian tinggi itu menjadi gentar. Mereka bukan penakut, akan tetapi mereka merasa segan untuk melanggar larangan Siluman Kecil yang selain hebat kepandaiannya, juga pernah menolong mereka. Juga, nama Siluman Kecil sudah cukup membuat mereka tunduk dan mengalah.

Kim Cui Yan menjura kepada Kian Bu. "Baiklah, Taihiap. Memandang muka Taihaip dan nama Siluman Kecil, biarlah kami mengalah dan tidak akan menggunakan kekerasan di depan Taihiap." Lalu dia menoleh kepada bekas jenderal itu. "Akan tetapi, orang-orang she Kao, ingatlah bahwa selama aku Kim Cui Yan masih hidup, jiwa kalian selalu akan dibayangi oleh pembalasanku! Liongsuheng, mari kita pergi!"

Dua orang itu lalu melangkah pergi diikuti oleh lima orang anak buahnya, berjalan cepat tanpa menoleh lagi. Jenderal Kao Liang mengelus jenggotnya dan berkata seperti kepada diri sendiri namun cukup jelas terdengar oleh orang lain yang berada di situ. "Aihhh...., kekerasan...., kekerasan...., dalam bentuk apa pun juga, tentu mendatangkan kekerasan yang lain lagi, sebab akibat, balas-membalas tiada berkeputusan seperti lingkaran setan. Betapa menyedihkan....!"

"Aduhhhhh....!"

Kian Bu dan tiga orang ayah dan anak itu terkejut dan cepat menengok ke arah datangnya suara itu. Kian Bu melihat Siauw Hong terlempar dan roboh terbanting, pingsan! Sedangkan Kang Swi lari pergi dari bawah pohon sambil menangis terisak-isak, sebentar saja lenyap di antara pohon-pohon.

Kian Bu terkejut dan heran. Bukankah tadi Siauw Hong memondong tubuh Kang Swi yang terluka parah itu ke bawah pohon dan mengobatinya? Apa yang terjadi? Mengapa kini Siauw Hong terpukul sampai pingsan dan mengapa pula pemuda tampan yang kaya raya itu melarikan diri sambil menangis terisak-isak seperti itu? Kian Bu cepat meloncat dan berlutut memeriksa Siauw Hong. Tidak terluka parah dan dengan beberapa kali pijatan di kedua pundaknya dan tengkuknya, pemuda remaja itu telah siuman kembali. Begitu siuman, Siauw Hong bangkit duduk, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.

"Kau mencari siapa?" Kian Bu bertanya.

"Dia.... mana dia...." Siauw Hong bertanya.

"Kang Swi? Dia telah lari dan anehnya, dia lari sambil menangis seperti anak kecil. Siauw Hong, apakah yang telah terjadi?" Kian Bu bertanya.

Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya. Terbayanglah semua yang telah terjadi tadi. Biarpun dia merasa malu dan sungkan, akan tetapi demi untuk menyelamatkan Kang Swi yang ternyata adalah seorang dara remaja itu, terpaksa dia menempelkan telapak tangannya di dada itu, dada yang putih dan tangannya diapit-apit sepasang bukit indah, menyalurkan sinkangnya dan perlahan-lahan memulihkan keadaan rongga dada yang terluka akibat guncangan pukulan tadi. Selagi dia melakukan pengobatan, tiba-tiba saja Kang Swi membuka matanya. Dara itu menahan jeritnya lalu menghantam ke arah muka Siauw Hong. Pemuda ini terkejut, miringkan kepalanya sehingga hantaman itu meleset dan mengenai lehernya. Dia terlempar dan pingsan.

"Apa yang telah terjadi, Siauw Hong?" tanya pula Kian Bu mendesak ketika dilihatnya pemuda itu menunduk saja tanpa menjawab.

Siauw Hong menggeleng kepala "Tidak apa-apa.... tidak apa....,dia memang orang aneh...." jawabnya. Tentu saja Siauw Hong merasa sungkan sekali untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Pula terdapat perasaan aneh di dalam hatinya terhadap Kang Swi. Kalau Kang Swi ternyata seorang dara yang menyamar tentu berarti dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia seorang gadis. Nah, biarlah tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia!

Sementara itu, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang tidak mau mencampuri urusan mereka, kini menghampiri Kian Bu dan orang tua gagah itu menjura sambil berkata, "Kami telah menerima bantuan Sicu yang amat berharga. Kalau tidak ada Sicu, kiranya kami sudah terbunuh oleh wanita puteri pemberontak itu. Dan saya merasa seperti pernah mengenal wajah Sicu. Kami juga sudah mendengar akan nama besar Siluman Kecil, akan tetapi, bolehkah kami mengetahui nama Sicu?"

Pada saat itu, Kian Bu masih memandang kepada Siauw Hong dengan pandang mata penuh selidik. Dia mengerti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang aneh antara Kang Swi dan Siauw Hong, dan dia ingin tahu apa adanya peristiwa itu. Melihat pandang mata Kian Bu kepadanya Siauw Hong juga maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menyembunyikan rahasia kalau didesak oleh Siluman Kecil, maka mendengar pertanyaan bekas jenderal itu, untuk mengalihkan perhatian dan mengubah percakapan, dia cepat menjawab, "Nama Taihiap ini adalah Suma...."

"Siauw Hong!" Kian Bu berseru sehingga Siauw Hong menjadi kaget dan tidak melanjutkan kata-katanya.

Akan tetapi, sebutan she Suma itu sudahlah cukup bagi Kao Liang dan dua orang puteranya. Bekas jenderal itu melangkah maju, menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata tajam dan di baliknya terkandung kemarahan yang mengherankan hati Kian Bu. "Jadi engkau adalah putera keluarga Pulau Es?" bentak bekas jenderal itu.

Dengan pandang mata masih terheran-heran, Kian Bu mengangguk karena tidak perlu lagi untuk menyembunyikan diri setelah she-nya diketahui orang.

"Keparat!" Tiba-tiba saja jenderal itu bersama dua orang puteranya telah maju menyerang kalang-kabut!

"Ehhh....! Lhohhh....! Bagaimana pula ini....?" Siauw Hong kebingungan dan berteriak-teriak. Akan tetapi tiga orang itu tetap saja menyerang terus sungguhpun orang yang diserangnya itu terus mengelak dengan mudah. Melihat ini, Siauw Hong hendak menyerbu dan membantu Kian Bu, akan tetapi Kian Bu melarangnya.

"Mundurlah kau, Siauw Hong! Paman dan Saudara-saudara Kao, hentikan serangan kalian! Ketahuilah bahwa aku bukan orang yang menculik keluarga Kao maupun mencuri harta benda keluarga kalian!"

Mendengar ini, Jenderal Kao dan dua orang puteranya menghentikan serangan, namun mereka masih memandang dengan penuh kecurigaan dan kemarahan. "Apa maksudmu? Dan bagaimana kau bilang bahwa kau bukan orang yang melakukannya kalau kau mengetahui semua itu?"

Kian Bu menghela napas. "Aku mendengar dari kakakku, Suma Kian Lee yang juga telah menceritakan betapa dia kalian serang kalang-kabut seperti tadi. Jelas bahwa kami berdua kakak beradik difitnah orang sehingga engkau menyangka kami yang melakukan semua itu, Paman Kao Liang. Sungguh aneh, Paman Kao tentu sudah mengenal baik keadaan kami sekeluarga. Apakah Paman dapat percaya begitu mudahnya mendengar bahwa kami kakak beradik dari Pulau Es kini menjadi perampok dan penculik? Begitu rendahkah Paman memandang kami berdua?

Wajah bekas jenderal itu menjadi merah. Dia menarik napas panjang dan menjawab, "Kalau keadaan tidak seperti ini, tentu sampai mati pun kami tidak akan percaya. Akan tetapi, banyak bukti menunjukkan bahwa yang melakukan semua kekejian terhadap keluarga kami adalah orang-orang she Suma. Dan mengingat bahwa kami tidak terpakai lagi oleh kerajaan, mengingat bahwa ayah kalian adalah mantu kaisar, maka besar kemungkinannya keluarga kalian yang dipergunakan oleh sri baginda atau mereka yang berkuasa untuk membasmi kami. Bukan sebagai penculik atau perampok, melainkan sebagai pengemban perintah atasan." Lalu diceritakanlah semua pengalaman yang menimpa dia sekeluarganya itu kepada Kian Bu, dari awal sampai saat itu mereka belum juga dapat menemukan keluarga mereka.

"Demikianlah, Sicu. Semua bukti menunjukkan bahwa keluarga Suma yang melakukan ini, dan sekarang Sicu bersikap seperti ini. Sungguh membuat kami meragu dan bingung. Katakanlah, demi keadilan, demi kegagahan dan demi nama baik Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, katakanlah Suma-sicu, demi persahabatan antara keluarga kita, apakah kalian yang melakukan penculikan keluarga kami ataukah bukan?"

Melihat wajah yang pucat dan muram penuh kekhawatiran dan kedukaan itu, melihat pandang mata yang penuh harapan itu, Kian Bu merasa terharu dan dengan tegas dia menjawab, "Bukan kami, demi kehormatan keluarga kami!"

"Ohhh....!" Dan bekas jenderal itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Dua orang puteranya cepat berlutut dan memegang lengan ayah mereka.

"Ayah....!" Kok Han mengeluh.

"Ayah, kuatkanlah perasaan Ayah" kata Kok Tiong, dia sendiri menjadi pucat mukanya dan menahana ir matanya. Hati siapa tidak akan menjadi gelisah memikirkan lenyapnya isterinya di antara keluarga itu, juga dua orang anaknya?

Kao Liang menurunkan kedua tangannya. Pipinya basah akan tetapi dari kedua matanya tidak lagi ada air mata mengalir. "Hatiku lega mendengar bahwa bukan keluarga Suma yang melakukan perbuatan biadab itu," katanya setelah dia berdiri lagi. "Akan tetapi bersama dengan kelegaan itu hatiku menjadi makin khawatir karena kami sama sekali tidak tahu siapa gerangan pelakunya."

"Ayah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan mencari Twako," kata Kok Tiong.

Ayahnya mengangguk-angguk. "Benar, akan tetapi tempat tinggal kakakmu terlalu jauh, aku khawatir kalau-kalau akan terlambat...."

Tiba-tiba Kian Bu berkata, "Paman, jangan khawatir. Aku dan kakakku sudah memperbincangkan urusan kalian itu dan kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membongkar rahasia ini. Bukan hanya untuk menolong keluargamu dan mencari harta bendamu, melainkan juga untuk membersihkan nama kami yang difitnah orang. Kakakku menderita sakit, terluka parah dan sedang berobat, bahkan sekarang pun aku sedang membelikan obat untuknya. Tunggu kalau dia sudah sembuh, kami berdua tentu akan menyelidiki hal ini dan menangkap orangnya yang telah melakukan semua perbuatan secara sembunyi itu dan menggunakan nama kami!" Kian Bu bicara penuh semangat.

"Ah, kami menyesal sekali, kami pernah pula menyerang kakakmu. Hal itu adalah karena kami masih mengira...."

"Sudahlah, Paman Kao. Kakakku juga mengerti bahwa kalian salah paham dan tidak menaruh penyesalan."

"Betapapun juga, kami harus menengoknya."

"Kalau begitu, marilah, Paman."

Berangkatlah Kian Bu, Siauw Hong, diiringkan oleh Kao Liong dan dua orang puteranya itu, menuju ke puncak Nelayan yang tidak berapa jauh lagi dari situ. Siauw Hong merasa girang dan lega sekali karena percakapan yang serius antara Kian Bu dan keluarga Kao tadi agaknya membuat semua orang, terutama Kian Bu, lupa akan keadaan Kang Swi sehingga tidak lagi bertanya-tanya. Mereka melakukan perjalanan cepat mendaki puncak dan matahari sudah mulai berkurang panasnya.

******

Ketika mereka tiba di lembah bawah puncak Nelayan, tiba-tiba terdengar seruan, "Sute....!"

Kian Bu dan Siauw Hong cepat menengok dan cepat pula mereka berlari ke arah datangnya suara itu, diikuti oleh Kao Liang dan dua orang puteranya yang merasa terheran-heran melihat bahwa yang memanggil itu adalah seorang berpakaian pengemis yang usianya sudah enam puluh lima tahun lebih. Pengemis ini berdiri bersandarkan batang pohon dan terikat pada batang pohon itu dari dada sampai ke kaki, sama sekali tidak mampu bergerak!

"Suheng....! Kau kenapa....?" Siauw Hong bertanya penuh keheranan dan cepat dia bersama Kian Bu melepaskan ikatan itu.

Wajah Gu Sin-kai, pengemis itu, menjadi merah sekali. "Celaka," katanya. "Gadis setan itulah yang melakukannya!"

Siauw Hong terkejut. "Seorang gadis? Dan dia mampu mengalahkanmu dan membelenggumu seperti ini, Suheng?" Tentu saja Siauw Hong kaget bukan main. Suhengnya itu, Gu Sin-kai, adalah murid pertama dari gurunya, ilmu kepandaiannya tinggi, akan tetapi kini dapat dibelenggu oleh seorang gadis!

Melihat pengemis itu ragu-ragu dan kelihatan seperti malu untuk menceritakan karena di situ terdapat banyak orang, Kian Bu lalu berkata, "Gu Sin-kai, harap kau tidak ragu-ragu untuk menceritakan semuanya. Mereka ini bukan orang lain, melainkan Paman bekas Jenderal Kao Liang yang terkenal itu dan dua orang puteranya."

Memang nama Kao Liang amat terkenal, apalagi hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw mengenal nama ini dengan perasaan hormat, maka begitu mendengar bahwa kakek gagah perkasa yang datang bersama sutenya dan Siluman Kecil itu adalah bekas panglima yang amat terkenal itu, dia cepat menjura dengan hormat. "Ah, kiranya Kaotai-ciangkun...."

Kao Liang tersenyum. "Jangan menyebutku Tai-ciangkun karena aku sekarang bukan lagi seorang panglima, bahkan perajurit pun bukan."

Gu Sin-kai mengangguk. "Maafkan saya, Kao-enghiong." Lalu dia bercerita kepada Kian Bu dan Siauw Hong. "Tadi ada seorang gadis remaja yang liar naik ke sini. Ketika bertemu denganku, dia mengatakan bahwa dia hendak bertemu dengan Taihiap Suma Kian Lee. Aku merasa curiga dan mengatakan bahwa tidak boleh sembarangan bertemu dengan Suma-taihiap, akan tetapi dengan lagak sombong dia mengatakan bahwa kalau aku tidak mau menunjukkan, dia akan memukulku. Tentu saja aku makin curiga dan marah. Kami bertempur dan ternyata dia lihai bukan main...."

"Hemmm, gadis itu apakah pakaiannya serba hitam?" tiba-tiba Kian Bu bertanya.

"Ya benar! Apakah kau mengenalnya, Taihiap ?" tanya Gu Sin-kai.

Kian Bu menahan senyumnya dan membayangkan wajah Hwee Li. Siapa lagi kalau bukan gadis liar yang lihai itu yang dapat membelenggu Gu Sin-kai? Gadis itu liar, ganas, aneh dan ilmu kepandaiannya tinggi. Sukar diduga apa saja yang akan dilakukan oleh seorang dara seperti Hwee Li.

"Mari kita cepat naik ke puncak!" katanya tanpa menjawab pertanyaan Gu Sin-kai tadi. Semua orang mengikutinya dan mereka mendaki puncak dengan cepat.

Apa yang dikhawatirkan oleh Kian Bu memang benar terjadi. Ketika dia dan yang lain-lain tiba di depan pintu gerbang tempat tinggal Sai-cu Kai-ong, mereka melihat keributan sedang terjadi di situ. Dari jauh sudah nampak dua orang sedang bertanding dengan serunya. Para pengemis yang menjadi anak buah Sai-cu Kai-ong hanya mengurung dengan senjata di tangan, tidak berani turun tangan. Kian Bu maklum bahwa Sai-cu Kai-ong adalah seorang tua yang angkuh dalam hal pertandingan, sama sekali tidak memperbolehkan anak buahnya melakukan pengeroyokan. Padahal dia terdesak hebat dalam perkelahian itu! Di dekat situ nampak Hwee Li berdiri sambil meringis kesakitan memegangi lengan kanannya yang agaknya terluka.

Pertempuran itu memang hebat sekali. Kian Bu menjadi bengong dan kagum. Lawan dari Sai-cu Kai-ong adalah seorang wanita muda yang amat luar biasa gerakannya. Melihat betapa Sai-cu Kai-ong sampai mempergunakan tongkatnya melawan wanita yang bertangan kosong itu, dan masih terdesak, dapat diduga betapa lihainya wanita ini, wanita cantik yang pandang matanya tajam mencorong namun alisnya berkerut seperti orang sedang marah atau berduka.

Kian Bu, Siauw Hong, Kao Liang dan dua orang puteranya itu segera mengenal wanita itu.

"Ceng Ceng....!" Terdengar bekas jenderal itu menahan seruannya ketika dia mengenal mantunya. Kian Bu yang tadinya teringat bahwa wanita itulah yang disebut "subo" oleh Hwee Li, mendengar disebutnya nama ini menjadi terkejut sekali dan kini dia pun teringatlah bahwa guru Hwee Li itu adalah Ceng Ceng! Adapun Siauw Hong juga mengenal wanita perkasa itu ketika Ceng Ceng dan suaminya, Kao Kok Cu, berada di dalam restoran di mana Kok Cu membagi-bagikan masakan kepada para pengemis.

Melihat bahwa wanita itu adalah Ceng Ceng, yang baru sekarang diingatnya, Kian Bu cepat meloncat ke depan dan berseru. "Tahan....! Kita berada di antara teman sendiri!"

Ceng Ceng menahan gerakannya dan kini dia berdiri tegak, sepasang matanya mencorong memandang ke arah pemuda berambut putih yang berdiri di depannya. Sejenak mereka berpandangan dengan sinar tajam penuh selidik, kemudian terdengar Kian Bu berkata lirih, "Ceng Ceng, Lupakah kau kepadaku? Aku Suma Kian Bu...."

"Ohhh....!" Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu tersenyum dan dia cepat menjura. "Ahhh, kiranya Paman...." katanya agak gagap karena memang belum terbiasa olehnya menganggap pemuda dari Pulau Es ini sebagai pamannya.

"Ceng Ceng....!"

Wanita itu terkejut dan menengok. Bukan main kagetnya ketika dia melihat bahwa ayah mertuanya berada di situ pula.   "Twa-so....!" Kok Tiong dan Kok Han juga berseru.

"Ayah....! Adik Tiong dan Adik Han....!" Ceng Ceng cepat menghampiri dengan wajah berseri. "Ayah di sini?" Dia cepat memberi hormat.

"Ceng Ceng, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Mana suamimu? Kami sedang hendak mencari kalian di utara"

"Kami sudah lama meninggalkan utara, Ayah. Puteramu tidak jauh dari sini dan kami.... ah, panjang ceritanya, Ayah. Akan tetapi mengapa Ayah dan kedua adik berada di sini?"

Bekas jenderal itu menarik napas panjang. Ceritanya juga panjang, nanti kuceritakan semua kepadamu...." Dia menoleh ke arah Kian Bu. "Ceng Ceng, sebaiknya urusanmu di sini dibereskan dulu. Apa yang terjadi dan kenapa kau berkelahi?"

"Benar, Ceng Ceng, kenapa kau berkelahi dengan Paman Sai-cu Kai-ong? Paman, apakah yang telah terjadi dan mengapa kalian berdua bertempur?" Kian Bu juga bertanya.

"Ahhh, semua adalah gara-gara Hwee Li yang bengal! Hwee Li, hayo kauceritakan semua perbuatanmu yang mengakibatkan aku sampai bertempur dengan Locianpwe ini!" Ceng Ceng berkata kepada Hwee Li sambil menghampiri muridnya itu dan memeriksa luka di lengan muridnya, mengobatinya dan membalutnya dengan saputangan.

Mulut yang indah bentuknya itu cemberut, matanya yang tajam menyambar ke kanan kiri, mengamati semua orang dan agak lama berhenti di wajah Kian Bu. Lalu dia berkata kepada Kian Bu, "Eh, kau sudah kubantu mendapatkan obat untuk kakakmu, apakah engkau juga akan menyalahkan aku dan membantu tuan rumah yang galak ini?" Dia menuding ke arah Sai-cu Kai-ong.

Kian Bu menahan senyumnya. Dara itu sebenarnya bukan kanak-kanak lagi, baik dilihat dari wajahnya yang cantik jelita maupun bentuk tubuhnya, akan tetapi sikapnya benar-benar seperti seorang anak kecil! "Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, kita berada di antara orang-orang sendiri, maka sebaiknya semua kesalahfahaman diselesaikan dengan damai. Hwee Li, mengapa engkau membelenggu Gu Sin-kai ini di bawah sana, mengikatnya pada sebatang pohon?"

Hwee Li tersenyum. "Siluman Kecil, kau sudah tahu namaku sekarang?"

"Tentu saja! Dan Lee-koko sangat berterima kasih kepadamu."

"Ah, bagaimana dengan dia? Ketahuilah, ketika aku mendengar darimu bahwa.... dia terluka parah, aku lalu menyusul ke sini dan aku ingin sekali menengoknya. Aku pernah mengenalnya, pernah mengobati pahanya dan kini mendengar dia menderita luka parah, aku ingin menengoknya. Salahkah itu? Akan tetapi.... para jembel ini...."

"Hwee Li!" Ceng Ceng menghardiknya.

Hwee Li melirik ke arah Ceng Ceng dengan mulut cemberut. "Subo, harap Subo lihat pakaian mereka," dia menuding ke arah anak buah Sai-cu Kai-ong, "Bukankah mereka itu pengemis semua dan bukankah pengemis juga boleh disebut jembel?"

"Hemmm, bocah bengal! Jangan kurang ajar kau!" kembali Ceng Ceng menghardik. Sering kali nyonya muda ini merasa kewalahan menghadapi muridnya yang bengal dan pandai bicara itu, dan sering dia memarahi Hwee Li sungguhpun di dalam hatinya dia sayang sekali kepada dara ini dan hal ini pun diketahui oleh Hwee Li sehingga murid ini tidak pernah merasa sakit hati dimarahi oleh subonya.

"Baiklah, Subo. Siluman Kecil, ketahuilah, ketika aku hendak menengok kakakmu, aku dilarang naik ke puncak oleh jem.... eh, oleh kakek itu." Dia menuding ke arah Gu Sin-Kai. "Kami bertempur dan dia lalu kuikat di pohon agar tidak menghalangiku. Masih baik aku tidak mengetuk kepalanya....!" Dia melerok ke arah Gu Sin-kai yang hanya menundukkan mukanya dan masih terheran-heran dan penasaran bagaimana dia telah dikalahkan oleh dara remaja yang sikapnya masih seperti anak kecil itu!

"Kemudian, ketika tiba di depan pintu gerbang ini, muncul jem.... eh, kakek tua yang lihai ini. Aku kalah dan untung datang Subo yang membantuku setelah lenganku terluka oleh tongkat bututnya."

"Aku tadinya tidak tahu akan duduk perkaranya, akan tetapi melihat Hwee Li terluka oleh Locianpwe ini, tentu saja aku lalu membelanya, Paman," kata Ceng Ceng kepada Kian Bu sehingga Sai-cu Kai-ong dan para murid serta anak buahnya terheran-heran mengapa nyonya muda itu menyebut paman kepada Kian Bu, padahal usia mereka sebaya. Tentu saja bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah cucu isteri Pendekar Super Sakti, tahu akan hubungan mereka dan tidak menjadi heran.

"Ahhh, sungguh kesalahan terletak pada kami," Sai-cu Kai-ong berkata dan menjura ke arah Ceng Ceng. "Kepandaian Toanio sungguh amat hebat luar biasa dan harap suka memaafkan kami yang terlalu mencurigai orang. Suma Kian Lee sedang terluka parah dan tidak boleh sembarang ditengok orang, apalagi kami belum mengenal muridmu ini, maka kami melarangnya."

Akan tetapi Ceng Ceng sudah tidak memperhatikan lagi kata-kata itu. Dia menoleh kepada Kian Bu dan bertanya dengan wajah agak berubah, "Paman Kian Lee terluka parah....?" Dia bertanya.

"Benar, Subo. Dan aku yang mencarikan obatnya. Kalau tidak ada aku, tidak mungkin Siluman Kecil bisa mendapatkannya dengan mudah."

"Kenapa kau tidak menceritakan kepadaku? Ah, bocah bodoh. Hayo kita cepat menengok Paman Kian Lee!"

Kian Bu cepat memperkenalkan mereka semua, keluarga Jenderal Kao Liang dan Ceng Ceng serta muridnya kepada Sai-cu Kai-ong. Kakek ini terkejut sekali mendengar bahwa para tamunya adalah orang-orang yang telah lama dikagumi dan dijunjung tinggi namanya, apalagi nama bekas Jenderal Kao Liang, dan dia terkejut mendengar bahwa nyonya muda bekas lawannya itu adalah isteri dari pendekar si Naga Sa kti dari Istana Gurun Pasir! Dengan ramah dan penuh hormat dia lalu mempersilakan mereka semua masuk dan mereka langsung mengunjungi Suma Kian Lee yang masih rebah di atas pembaringan di dalam kamar. Akan tetapi setelah tiba di luar pintu, Sai-cu Kai-ong menahan mereka dan berkata halus, "Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan saya. Biarpun Kian Lee telah terbebas dari bahaya maut, akan tetapi tubuhnya masih lemah sekali, maka kunjungan banyak orang tentu akan mengejutkannya dan melelahkannya. Oleh karena itu, sebaiknya kunjungan dilakukan secara bertahap dan terpisah, dan sebaiknya kalau satu demi satu?"

"Aku akan, menengoknya lebih dulu!" Hwee Li sudah melangkah maju. Melihat ini, yang lain mengalah dan diam-diam Ceng Ceng mengerutkan alisnya menyaksikan sikap muridnya itu. Akan tetapi di depan banyak orang, dia diam saja tidak mencegah dan pintu kamar itu dibuka oleh Sai-cu Kai-ong yang membiarkan Hwee Li menyelinap masuk.

Hwee Li melangkah perlahan mendekati pembaringan di mana Kian Lee rebah terlentang dengan mata terpejam. Wajahnya yang tampan masih agak pucat dan tubuhnya agak kurus. Hwee Li berdiri dekat pembaringan, pandang matanya menatap wajah itu tanpa berkedip. Selama bertahun-tahun ini, semenjak dia mengobati paha Kian Lee ketika terluka dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali), dia tidak pernah melupakan Kian Lee yang dikaguminya. Kini, melihat pemuda itu, jantungnya berdebar aneh dan baru pertama kali ini selama hidupnya Hwee Li yang keras hati itu merasa terharu dan hampir saja dia meneteskan air mata kalau dia tidak cepat-cepat memejamkan mata dan mengeraskan hati menekan perasaan. Ketika dia membuka kembali matanya, dia melihat bahwa Kian Lee telah sadar dan menengok kepadanya, memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Akan tetapi segera Kian Lee tersenyum dan mengenalnya, bahkan sudah bangkit duduk.

"Ahhh, kiranya engkau yang datang, Hwee Li," kata Kian Lee wajah gembira.

Hwee Li cepat duduk di atas bangku dekat pembaringan. "Kau masih mengenal aku?" Suaranya agak gemetar karena dia masih terharu.

"Tentu saja, apalagi karena adikku telah menceritakan betapa engkau yang membantunya mencari jamur panca warna. Hwee Li, beberapa tahun yang lalu engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika pahaku terluka oleh bibi gurumu, dan kini kembali engkau menyelamatkan nyawaku dengan bantuanmu mendapatkan jamur panca warna. Sungguh aku berhutang budi kepadamu, Hwee Li."

"Ahhhhh, siapa ingin bicara tentang budi? Mukamu pucat sekali, Kian Lee, tubuhmu kurus dan kau kelihatan lemah sekali. Hemmm, sungguh keji sekali Siluman Kecil adikmu itu! Ingin aku mengetuk kepalanya karena dia berani memukulmu seperti ini!"

Kian Lee tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Melihat dan mendengar kata-kata gadis ini benar-benar mendatangkan semangat dan gairah hidup, seolah-olah ada cahaya matahari cerah memasuki kamarnya dari jendela.

"Sudah cukup kau menghajarnya, Hwee Li. Kasihanilah dia karena dia memukul aku tanpa disengaja. Kami berkelahi karena kami berdua dalam penyamaran dan tidak saling mengenal. Eh, kau dari mana saja, Hwee Li? Selama lima enam tahun tidak berjumpa, engkau kini telah menjadi seorang gadis yang lihai dan sudah dewasa."

Sepasang mata itu bersinar-sinar amat indahnya. "Benarkah kau tidak melupakan aku? Aku telah banyak merantau, Kian Lee, sampai di gurun pasir, bahkan melintasi lautan bersama burung garuda. Akan tetapi aku tidak pernah bertemu denganmu, dan baru secara kebetulan aku bertemu dengan Siluman Kecil yang ternyata adalah Kian Bu, adikmu."

Selama ini Kian Lee banyak menanggung penderitaan batin sehingga dia selalu murung dan kurang gembira. Baru sekarang dia merasa gembira sekali memandang dan bicara dengan gadis ini. Sungguh, luar biasa lucu dan menggembirakannya melihat gadis ini bicara, menyebut namanya dan nama adiknya begitu saja seolah-olah Hwee Li merasa lebih tua, lebih pandai dan lebih segala-galanya! Akan tetapi di dalam semua itu terdapat kewajaran yang menyegarkan, sehingga orang tidak akan merasa tersinggung oleh sikapnya yang polos, wajar dan jujur sehingga agak kasar itu. Tidak ada bosannya mendengar Hwee Li bercerita panjang lebar dengan gerakan kedua tangannya dan bibir itu bergerak-gerak dengan kenesnya, mata itu bersinar-sinar. Dari cerita ini Kian Lee mendengar bahwa Hwee Li telah berguru kepada Ceng Ceng yang kini menjadi nyonya Kao Kok Cu, tinggal di Istana Gurun Pasir dan mempunyai seorang anak laki-laki yang telah lenyap!

"Subo dan Suhu sekarang mencari-carinya...."

Pada saat itu, pintu kamar terbuka dan masuklah Sai-cu Kai-ong. "Nona, harap Nona menyudahi kunjungan Nona karena yang lain-lain juga ingin masuk. Maaf, dia tidak boleh diganggu terlalu lama."

"Akan tetapi siapa yang mengganggunya? Aku sama sekali tidak mengganggunya! Bukankah aku tidak mengganggumu, Kian Lee?" Hwee Li membantah.

Kian Lee menggeleng kepala lalu bertanya kepada kakek itu, "Paman, siapakah yang akan mengunjungi aku?"

"Ada Panglima Kao Liang di luar...."

"Ahhh!" Kian Lee terkejut dan dia lalu berkata kepada Hwee Li, "Hwee Li, maafkan aku. Harap kau suka keluar dulu dan membiarkan Jenderal Kao masuk."

"Huh, jadi kau lebih suka bercakap-cakap dengan segala macam jenderal, ya? Kau lebih senang bicara dengan dia daripada dengan aku?"

Kian Lee tersenyum. "Tidak begitu, Hwee Li, akan tetapi kasihan dia yang sudah menanti sejak tadi."

Dengan mulut cemberut Hwee Li terpaksa meninggalkan kamar itu dan ketika di pintu kamar dia bertemu dengan Kao Liang, dia mencibirkan bibirnya kepada bekas panglima besar itu!

Bekas Jenderal Kao Liang memasuki kamar. Kian Lee memandangnya dan mempersilakan duduk dengan tangannya. Kao Liang duduk dan berkata, "Kedua orang puteraku berada di luar pula, akan tetapi karena kami tidak ingin banyak mengganggu Sicu yang sedang sakit, maka aku mewakili mereka untuk menengok dan sekalian minta maaf kepada Sicu atas sikap kami tempo hari."

"Ah, Lo-ciangkun terlalu sungkan...."

"Sicu, saya bukan panglima lagi. Kami telah bertemu dengan adikmu dan barulah kami tahu bahwa Sicu berdua sama sekali bukan orang yang telah mengganggu keluarga kami, maka maafkanlah kami atas penyerangan kami terhadap Sicu tempo hari karena kami tadinya mengira bahwa...."

"Sudahlah Lo-enghiong. Aku pun sudah mengerti dan sudah menduga bahwa terjadi kesalahfahaman di sini. Bahkan aku dan adikku sudah bersepakat untuk kelak setelah aku sembuh, membantu keluarga Lo-enghiong dan membongkar rahasia itu, menghukum penjahatnya yang telah menjatuhkan fitnah kepada kami."

Kao Liang lalu bangkit berdiri dan menjura. "Terima kasih, Sicu. Sungguh bodoh sekali bahwa saya pernah meragukan kemuliaan budi dan kegagahan keluarga Pulau Es. Perkenankan saya keluar dan harap Sicu menjaga diri baik-baik agar cepat sembuh."

"Terima kasih."

Kao Liang lalu keluar dan tak lama kemudian pintu itu terbuka kembali dan masuklah seorang wanita cantik ke dalam kamar itu.

Sejenak mereka berpandangan ketika wanita itu berdiri di tengah kamar. Wajah Kian Lee sebentar pucat sebentar merah ketika dia memandang wajah cantik yang selama ini sukar untuk dilupakannya itu, wajah wanita satu-satunya di dunia ini yang pernah mencengkeram hatinya, yang telah merampas cinta kasihnya akan tetapi juga yang kemudian menghancurkan hatinya karena wanita ini tidak mungkin menjadi jodohnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Ceng Ceng akan memasuki kamarnya.

"Kau.... kau.... Ceng Ceng....?" Dia berkata lemah dan gugup, lirih seperti bisikan saja.

Sejenak hati Ceng Ceng seperti diremas oleh rasa haru. Dia tahu apa yang terjadi di dalam hati pemuda perkasa ini. Melihat betapa pemuda ini demikian kurus dan pucat, dan wajahnya tampan itu jelas membayangkan banyak penderitaan batin, dia merasa terharu karena merasa bahwa dialah yang berdosa telah mengecewakan hati pemuda yang amat baik ini. Dari pandang mata Kian Lee, dia dapat mengukur isi hatinya dan makin perih rasa hatinya melihat betapa besar sinar kemesraan dari cinta kasih masih saja terpancar dari sepasang mata itu yang kini memandangnya.

"Paman....!" Cepat Ceng Ceng menghampiri pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kian Lee yang duduk di atas pembaringan. "Keponakanmu Ceng Ceng memberi hormat dan mengharapkan kesembuhan bagimu, Paman Suma Kian Lee."

"Eh.... eh...., Ceng Ceng, bangunlah....!" Kian Lee berseru gugup. "Ha ha, hampir saja aku lupa bahwa engkau adalah keponakanku! Ceng Ceng, bangunlah dan duduklah di atas bangku itu...."

Mendengar ini, barulah Ceng Ceng bangkit dan duduk di atas bangku, mukanya menjadi merah sekali, mungkin karena dia berlutut tadi demikian anggapan Kian Lee, padahal wanita ini dengan sekuat tenaga menahan air matanya. Hati Ceng Ceng menjadi lega melihat pemuda itu kini memandangnya tidak seperti tadi lagi, bahkan ada senyum di bibir pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan. "Terima kasih, Ceng Ceng, terima kasih atas kunjungan ini dan sikapmu yang ramah. Bagaimana keadaanmu? Mana, suamimu dan apakah engkau kini telah menjadi seorang ibu yang baik?"

Ceng Ceng mengangguk-angguk lalu bangkit berdiri, menghampiri pembaringan. "Paman, keadaan kami baik-baik  saja dan kami telah mempunyai seorang anak laki-laki. Akan tetapi biarlah kita bicara tentang hal itu kelak saja karena aku datang mendengar engkau terluka parah dan aku ingin mengobatimu, Paman."

Kian Lee tersenyum. "Aku sudah sembuh, Ceng Ceng, setidaknya, sudah hampir sembuh berkat pengobatan Sai-cu Kai-ong."

"Aku tahu, Paman, aku sudah mendengar penuturan orang tua itu dan Paman Kian Bu, akan tetapi selama ini aku memperdalam ilmu pengobatan dengan penggunaan sinkang dan kim-ciam (jarum emas) dari guru suamiku."

"Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir?" Ceng Ceng hanya mengangguk.

"Hebat sekali!"

"Marilah kuperiksa keadaanmu, Paman. Harap kau suka rebah terlentang," kata Ceng Ceng dan Kian Lee tidak membantah, lalu dia rebah terlentang dan hanya memandang ketika dengan cekatan jari-jari tangan itu menanggalkan semua kancing bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Dengan teliti dari halus, jari-jari tangan Ceng Ceng memeriksa dada dan sekitarnya, menekan sana-sini, meraba sana-sini, dipandang dengan sinar mata penuh keharuan oleh Kian Lee.

Dia merasa amat terharu melihat betapa wanita yang selama bertahun-tahun ini dirindukannya, membuat dia merana, kini memeriksanya dengan sikap begitu lembut dan teliti, membuatnya teringat benar bahwa wanita ini adalah keponakannya sendiri! Kian Lee yang melihat betapa wanita yang selama ini merampas semangat hidupnya itu memeriksanya, wajahnya demikian dekat sehingga dia melihat wajah itu sejelasnya, merasakan benar kehadirannya, dan merasakan betapa jari-jari itu dengan amat teliti memeriksanya, memejamkan mata dan merasa malu kepada diri sendiri mengapa dia tidak mau melihat kenyataan bahwa wanita ini adalah keponakannya, masih ada hubungan darah daging dengan ibunya sendiri, cucu dari ibunya!

Kini jari-jari yang cekatan itu mengancingkan kembali bajunya dan terdengar Ceng Ceng berkata, "Seperti yang telah kuduga, Paman. Memang obat dari Sai-cu Kai-ong amat manjur dan telah menyelamatkanmu dari bahaya, akan tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenagamu secara cepat dan tepat, kiranya hanya dapat dilakukan dengan bantuan sinkang dari luar dan tusukan jarum emas. Dan mengingat bahwa engkau memiliki dasar tenaga sinkang yang amat kuat, maka diperlukan tenaga yang jauh lebih kuat darimu, dan untuk itu kiranya kalau aku menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, engkau akan dapat mudah tertolong sehingga cepat sembuh dan pulih seperti biasa kembali."

Kian Lee sudah bangkit duduk dan memandang kepada Ceng Ceng sambil tersenyum. "Sungguh bahagia mempunyai seorang keponakan seperti engkau, Ceng Ceng. Dan tentu saja aku suka sekali dapat segera sembuh dan kuat mengingat banyaknya persoalan yang kuhadapi."

Ceng Ceng lalu membuka daun pintu dan memanggil masuk Suma Kian Bu dan Sai-cu Kai-ong. Kedua orang itu bergegas masuk dan kepada mereka Ceng Ceng lalu menceritakan hasil pemeriksaannya. "Harap Sai-cu Kai-ong suka memaafkan kelancanganku. Pengobatanmu memang luar biasa sekali dan engkau telah menyelamatkan nyawa Paman Kian Lee, akan tetapi untuk dapat memulihkan kesehatan dan tenaga secara cepat, pengobatan dengan mengandalkan ramuan obat itu kurang cepat. Paman Kian Lee terluka oleh pukulan sinkang, maka pengobatan satu-satunya yang tepat dan cepat hanyalah dengan penggunaan sinkang pula, dibantu dengan penusukan jarum emas untuk menahan dan membuka jalan-jalan darah tertentu."

Sebagai seorang ahli pengobatan, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Sayang aku tidak pandai ilmu tusuk jarum, dan tentang pengobatan dengan sinkang, siapakah yang mampu menembus tubuh Kian Lee yang penuh dengan sinkang amat kuat itu?"

"Aku akan menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, Kai-ong, dan tentang penggunaan jarum emas, kebetulan sekali aku telah mempelajarinya dari guru suamiku."

"Bagus sekali kalau begitu!" Sai-cu Kai-ong berseru girang dan kagum. Juga Kian Bu merasa girang sekali dan cepat-cepat dia membantu Ceng Ceng membuka baju Kian Lee, kemudian pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan. Ceng Ceng lalu mengeluarkan empat batang jarum emas. Dengan gerakan hati-hati namun cekatan, dia lalu menancapkan jarum-jarum itu pada dahi di antara kedua mata, di tengkuk, dan di kedua pundak Kian Lee yang sama sekali tidak merasakan nyeri. Kemudian, Ceng Ceng menyuruh Kian Bu duduk bersila di belakang Kian Lee, sedangkan dia sendiri duduk bersila di depan pemuda yang diobati itu, kemudian mereka berdua mengulur lengan, menempelkan telapak tangan di punggung dan dada Kian Lee menurut petunjuk Ceng Ceng. Mulailah mereka mengerahkan tenaga sinkang mereka dari pusar, sesuai dengan petunjuk nyonya muda yang lihai itu.

Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa sebelum menjadi isteri Kao Kok Cu, Ceng Ceng pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li, seorang nenek iblis ahli racun yang amat lihai dalam hal ilmu terrtartg racun dan dari nenek ini Ceng Ceng telah mempelajari ilmu-ilmu yang mujijat tentang segala macam racun yang dipergunakan oleh dunia persilatan. Tentu saja, selain pandai menggunakan racun, dia pandai pula mengobati segala macam penyakit akibat racun. Setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, melihat keahliannya ini. Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Istana Gurun Pasir lalu menurunkan pelajaran ilmu pengobatan dari golongan putih yang mempergunakan sinkang dan jarum emas untuk mengubah keahlian yang berdasarkan ilmu kaum sesat itu menjadi ilmu yang bersih pula.

Karena hawa pukulan yang melukai tubuh Kian Lee adalah penggabungan antara tenaga yang sifatnya panas dan dingin seperti yang dilatih oleh Kian Bu, maka cara pengobatannya juga menyalurkan dua macam tenaga. Ceng Ceng menyuruh Kian Bu menggunakan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan dia sendiri mempergunakan sinkang yang berhawa panas. Dengan dua macam hawa sakti itu, mereka berdua mengalirkan tenaga mereka ke dalam tubuh Kian Lee. Dan jarum-jarum emas itu melakukan tugasnya untuk mencegah masuknya hawa-hawa yang amat kuat ini ke bagian-bagian tertentu yang lemah dan untuk mengurung tenaga sinkang Kian Lee sendiri agar jangan bangkit melakukan perlawanan.

Terasalah oleh Kian Lee betapa tubuhnya disusupi dua macam hawa yang amat dingin dan amat panas, dua hawa yang saling bertentangan dan yang mula-mula membuat tubuhnya kadang-kadang menggigil kedinginan dan kadang-kadang berkeringat kepanasan, akan tetapi lambat-laun dua tenaga itu seperti dapat bersatu dan membuat dia merasa nyaman sekali. Tanpa disadarinya, Kian Lee tertidur dan melihat ini, Ceng Ceng memberi tanda kepada Kian Bu untuk perlahan-lahan menarik kembali tenaganya. Kemudian nyonya muda ini dibantu oleh Kian Bu merebahkan Kian Lee yang pulas itu ke atas pembaringan setelah dia mencabuti kembali empat batang jarum emas tadi.

"Biarkan dia tidur. Pengobatan ini diulang sekali lagi dan dia akan sembuh sama sekali," kata Ceng Ceng setelah mereka semua meninggalkan kamar itu dan menutupkan daun pintunya. Bukan main girangnya hati Kian Bu mendengar ini. Dia memegang tangan Ceng Ceng, mengepalnya erat-erat dan berkata, "Terima kasih, engkau benar-benar keponakanku yang amat hebat!" katanya. Ceng Ceng hanya tersenyum akan tetapi merasa betapa matanya menjadi basah.

Sambil menanti sehari semalam lamanya untuk mengobati Kian Lee lagi, mereka semua bercakap-cakap di ruangan tamu yang luas. Kesempatan ini mereka pergunakan untuk saling menceritakan pengalaman mereka dan tentu saja masing-masing menjadi terkejut, marah, penasaran dan berduka sekali ketika mendengar malapetaka yang menimpa diri masing-masing. Bekas Jenderal Kao mengepal tinju dan matanya yang lebar terbelalak.

"Brakkk!" Untung meja itu tidak pecah oleh hantaman tinjunya ketika orang tua ini dengan gemas menampar dengan tangannya ke atas meja di depannya. "Jahanam manakah berani menculik cucuku? Aihhh, jangan-jangan cucuku itu bukan diculik orang melainkan pergi sendiri dan hilang seperti yang dialami oleh ayahnya di waktu kecil?"

Ceng Ceng menggeleng kepalanya. "Tidak, Ayah. Kami berdua sudah menyelidiki dan beberapa kali kami menemukan jejak Cin Liong diajak seseorang. Akan tetapi anehnya, orang yang mengajaknya itu selalu berganti-ganti sehingga kami menjadi bingung dan sampai sekarang kami berdua belum berhasil menemukannya." Nyonya muda itu mengusap air mata yang menetes turun. Betapapun gagahnya Ceng Ceng, namun sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya seperti disayat-sayat oleh kekhawatiran kalau dia nengingat akan puteranya yang hilang.

Kini tiba giliran Kao Liang menceritakan tentang keadaannya yang dipecat atau istilah halusnya dipensiun dan betapa ketika dia sekeluarga hendak pulang ke kampung halaman, di tengah jalan terjadi malapetaka sehingga harta bendanya dicuri orang dan semua anggauta keluarganya diculik orang.

"Ehhh....!" Kini Ceng Ceng yang bangkit berdiri dengan muka pucat. "Siapakah mereka yang begitu jahat?"

Dia duduk kembali dan mendengarkan penuturan ayah mertua dan dua orang adik iparnya itu dan dia menggeleng-geleng kepala ketika mendengar betapa ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya pernah menyangka keluarga Pulau Es yang melakukannya, bahkan mereka pernah menyerang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu karena mengira bahwa mereka inilah yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka.

"Akan tetapi, baru kemarin kami bertemu dengan Sicu Suma Kian Bu dan kami sadar bahwa bukan mereka yang melakukannya, bahkan mereka berjanji hendak membantu kami." Kakek itu menutup penuturannya sambil menarik napas panjang.

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Memang tidak mungkin kalau kedua orang Paman Suma yang melakukan kejahatan seperti itu. Ayah, kini timbul dugaanku bahwa sangat boleh jadi hilangnya Cin Liong ada hubungannya dengan penculikan terhadap keluarga kita itu!"

"Ahhh....!" Kao Liong dan dua orang puteranya berseru kaget.

"Saya dan puteramu telah mengunjungi semua orang yang agaknya dipandang sebagai orang-orang yang memusuhi Istana Gurun Pasir, akan tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang melakukan penculikan atas diri Cin Liong. Oleh karena itu, agaknya hanya orang-orang yang memusuhi Ayah saja yang akan melakukannya, tahu bahwa Cin Liong adalah cucu Ayah. Mengingat akan kedudukan Ayah dahulu, tentu banyak sekali orang-orang yang memusuhi Ayah."

"Ahhh.... kiranya benar dugaanmu itu, mantuku. Benar sekali! Bahkan tempo hari kami bertiga pun hampir celaka oleh puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin. Sama sekali tidak pernah kusangka-sangka sebelumnya bahwa Kim Bouw Sin meninggalkan seorang anak yang kini hendak membalaskan kehancuran keluarganya kepadaku. Mungkin.... mungkin sekali musuh-musuhku yang selain melakukan penculikan atas diri keluarga kita juga telah menculik anakmu. Akan tetapi siapa? Para penjahat dan pemberontak yang jatuh olehku ketika aku masih menjadi panglima begitu banyak, ratusan, mungkin ribuan. Ke mana kita harus menyelidiki?"

"Saya dan Kok Cu koko berjanji akan bertemu di Pao-ting sepekan lagi. Mari kita berunding dengan dia untuk mengambil keputusan."

Girang sekali hati ayah dan dua orang puteranya itu mendengar bahwa dalam waktu sepekan lagi mereka dapat bertemu dengan Kao Kok Cu karena hanya kepada pendekar inilah mereka menggantungkan harapan. Mereka lalu meneruskan percakapan, menceritakan pengalaman masing-masing.

Sementara itu, atas kemauannya sendiri yang keras, Hweee Li minta agar dia diperkenankan menjaga Kian Lee di kamarnya. Sai-cu Kai-ong dan Kian Bu tidak bisa melarang gadis yang keras kepala ini sehingga akhirnya dia diperkenankan menjaga Kian Lee di dalam kamarnya, ditemani oleh Kian Bu. Adapun Sai-cu Kai-ong sendiri sibuk memasak obat karena dia hendak memberi kesempatan kepada Ceng Ceng dan ayah mertuanya untuk bercakap-cakap urusan kekeluargaan mereka yang tentu saja tidak boleh dicampuri atau didengarkan oleh orang luar. Siauw Hong membantu gurunya ini dengan tekun.

Pada keesokan harinya, kembali Ceng Ceng dan Kian Bu mengerahkan sinkang mengobati Kian Lee yang ternyata benar saja sudah hampir sembuh sama sekali setelah menerima pengobatan pertama itu. Dibantu pula dengan obat-obat Sai-cu Kai-ong, maka setelah pengobatan ke dua yang dilakukan Ceng Ceng dibantu oleh Kian Bu, maka boleh dibilang keadaan Kian Lee sudah pulih kembali! Dia sudah sehat kembali, juga tenaganya sudah pulih dan hanya tubuhnya saja masih kurus dan mukanya masih agak pucat. Namun, dia telah sembuh sama sekali!

Tentu saja Kian Bu girang bukan main. Demikian pula Sai-cu Kai-ong menjadi girang dan raja pengemis ini lalu memerintahkan para muridnya untuk mempersiapkan masakan dan minuman karena dia hendak menjamu para tamu yang terhormat itu. Semua orang bergembira dan mengucapkan selamat kepada Kian Lee yang tersenyum dengan wajah cerah di antara mereka yang mengelilingi meja

perjamuan yang besar dan penuh dengan masakan dan minuman.

"Terima kasih.... terima kasih," kata Kian Lee dengan terharu setelah dia minum arak menyambut ucapan selamat mereka.

"Terutama sekali terima kasih kuhaturkan kepada Paman Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong yang telah menyelamatkan saya. Terima kasih kepada keponakan saya Ceng Ceng yang telah mempercepat kesembuhan saya dengan kepandaiannya yang tinggi, dan juga kepada Nona Hwee Li yang telah membantu adik saya memperoleh jamur panca warna. Kepada Paman Kao Liang dan kedua Saudara Kao, saya juga berterima kasih atas kunjungan mereka."

Semua orang tersenyum dan merendahkan diri. Kemudian Kian Bu berkata, "Kita merupakan sekelompok orang yang masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau persahabatan. Bahkan Paman Yu Kong Tek ini adalah keturunan dari keluarga yang sejak dahulu bersahabat dengan keluarga Suling Emas yang tidak dapat dipisahkan dengan riwayat keluarga kami. Oleh karena itu, mengingat bahwa kita semua telah mengenal riwayat masing-masing, sukalah kiranya Paman Yu menceritakan riwayatnya, dan riwayat tempat kuno yang seperti benteng ini."

Sai-cu Kai-ong teringat akan janjinya kepada dua saudara Suma bahwa dia akan memperlihatkan bangunan seperti istana peninggalan nenek moyangnya itu, maka dia lalu menghela napas panjang dan berkata, "Memang, tempat ini dahulunya merupakan istana-istana dari nenek moyang saya yang menjadi raja pengemis dan terkenal di seluruh dunia pengemis. Akan tetapi sekarang tinggal bekas-bekasnya saja karena saya lebih senang menyembunyikan diri di sini bersama beberapa orang murid dan dilayani oleh mereka yang masih setia kepada keluarga saya. Semenjak ratusan tahun yang lalu, nenek moyang saya terkenal sebagai keluarga pendekar besar pendiri perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Apalagi ketika berada di bawah pimpinan kakek besar saya Yu

Siang Ki, Khong-sim Kai-pang menjadi makin terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang hanya menggunakan pakaian pengemis sebagai tanda kesederhanaan, sebagai para pengikut pelajaran Buddha yang suci, hidup sederhana untuk diri sendiri tanpa banyak keinginan, akan tetapi selalu mempergunakan ilmu warisan keluarga untuk membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat jahat. Akan tetapi saya.... ah, setelah tua saya kehilangan semangat, bahkan tidak suka mencampuri urusan dunia lagi, hidup tenang dan sunyi di tempat ini sampai datang utusan dari kaisar yang memaksa saya berangkat memimpin pasukan ke Ho-nan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa." Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang tugasnya itu di mana dia bertemu dengan Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dan betapa Pangeran Yung Hwa telah berhasil diselamatkan dan kini telah dengan aman kembali ke istana.

Setelah secara singkat menceritakan riwayat nenek moyangnya yang didengarkan penuh perhatian oleh semua orang, kakek itu lalu mengajak para tamunya untuk melihat-lihat keadaan bangunan kuno yang seperti istana itu. Bangunan itu memang amat besar dan luas, mempunyai banyak sekali ruangan-ruangan dan kamar-kamar dan di situ tergantung banyak gambar orang-orang yang berpakaian pengemis namun kelihatan gagah perkasa dan berwibawa. Itulah gambar-gambar dari para anggauta keluarga Yu dan Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek memperkenalkan gambar-gambar itu kepada para tamunya, siapa namanya, hidup di jaman apa dan bagaimana kedudukan masing-masing di Khong-sim Kai-pang. Juga dia memperlihatkan kamar-kamar bersejarah yang pernah dipakai oleh para nenek moyangnya, dan kamar-kamar itu dipergunakan ketika mereka menjabat ketua perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Semua kamar-kamar ini dijaga oleh anak murid yang bertugas menjaga kebersihan kamar itu dan juga menjaga agar jangan sampai kemasukan orang luar yang dapat mencuri benda-benda kuno di dalam kamar itu.

Akhirnya Sai-cu Kai-ong membawa mereka ke sebuah kamar yang besar indah dan angker, yang di pintunya terjaga oleh empat orang pengemis. Melihat kamar ini lain daripada kamar yang lain, lebih besar dan lebih megah, Hwee Li tak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya, "Kai-ong, kamar apakah ini?"

"Inilah kamar dari leluhur keluarga Yu yang langsung menurunkan saya," kata kakek itu dengan wajah sungguh-sungguh, "Dan kamar ini ditempati secara turun-temurun oleh keluarga yang menurunkan saya secara langsung. Mari, silakan Cu-wi masuk dan melihat-lihat."

Kamar itu memang megah dan diatur seperti ruangan balairung istana, hanya bentuknya sederhana dan tidak mewah seperti istana yang terhias oleh emas permata. Biarpun tidak mewah, namun ruangan itu megah dan agung, membuat mereka yang masuk merasa kagum. Dinding ruangan itu terhias sutera beraneka warna, dan selain terdapat tulisan-tulisan indah yang menghias dinding, juga terdapat banyak gambar-gambar orang tergantung rapi.

"Itu adalah gambar-gambar dari para leluhur saya yang pernah menjadi raja di perkumpulan kami," Sai-cu Kai-ong menerangkan dengan suara penuh hormat.

Hwee Li yang mendahului orang-orang lain memandangi gambar-gambar itu, berhenti di depan sebuah gambar dan memandang gambar itu dengan melongo penuh kagum. "Gambar siapakah ini, Sai-cu Kai-ong?" tanyanya. "Tampan dan gagah sekali dia!"

Sai-cu Kai-ong dan semua tamunya menghampiri Hwee Li. Ternyata gambar itu memperlihatkan seorang pria muda yang berpakaian pengemis dan bertubuh jangkung, kepalanya memakai topi pandan yang berhiaskan bunga mawar. Memang gambar itu memperlihatkan seorang pria yang gagah perkasa dan tampan.

"Dia adalah kakek besar saya yang bernama Yu Siang Ki" kata Sai-cu Kai-ong dengan suara mengandung kebanggaan. "Dia adalah kebanggaan perkumpulan kami karena beliau yang mengangkat nama Khong-sim Kai-pang ke tempat tinggi sehingga dihormati oleh seluruh perkumpulan manapun juga. Beliau memimpin perkumpulan kami dengan adil dan usahanya itu diteruskan oleh putera tunggal beliau yang bernama Yu Goan, itulah gambarnya. Kakek besar Yu Goan itulah yang memperbaiki istana tua ini, bahkan dia yang pertama-tama mengumpulkan semua harta benda pusaka di sini, yang kami jaga terus-menerus dan turun-temurun. Dan deretan sana itu terdapat gambar-gambar para sahabat leluhur saya."

Hwee Li yang berjalan paling dulu telah tiba di depan gambar yang berderet-deret di dinding sebelah kiri dan dia berseru, "Wah, dia ini lebih ganteng lagi! Siapakah dia?"

Ceng Ceng terpaksa tersenyum karena pujian muridnya itu bukan keluar dari hati seorang wanita yang genit, melainkan pujian yang keluar dari hati yang jujur dan tulus seperti watak muridnya itu. Semua orang kini memandang gambar itu. Memang benar, pria yang bertubuh tinggi besar itu dan berpakaian sastrawan itu amat ganteng, dan tangannya memegang kipas.

"Dia ini bukan orang sembarangan, dan menjadi sahabat baik dari kakek besar saya Yu Siang Ki. Dia bernama Kam Liong.. .."

"Heeei.... bukankah itu sebatang suling emas yang terselip di pinggangnya?" Hwee Li berseru heran sambil menunjuk ke arah gambar pria ganteng itu. Kian Bu terkejut dan meneliti dan semua orang kini memang melihat gambar suling yang terselip di pinggang orang dalam gambar itu, suling yang berwarna kuning emas.

"Memang benar," kata Sai-cu Kai-ong. "Beliau ini adalah putera kesayangan dari pendekar sakti Suling Emas yang termasyur itu. Tentu saja suling itu adalah senjata pusaka beliau yang mengangkat nama beliau menjadi pendekar besar Suling Emas. Ketika masih muda, beliau ini terkenal dengan sebutan Kam-taihiap, akan tetapi setelah tua, beliau lebih terkenal lagi sebagai Kam-taijin, seorang menteri yang setia. Akan tetapi sayang.... sayang beliau tewas dalam keadaan tidak begitu baik, mati sebagai seorang pemberontak" Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang.

"Tidak!" Tiba-tiba Kian Lee membantah. "Beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa dan beliau tetap seorang menteri yang setia. Dia tewas karena fitnah seorang yang amat jahat, demikian menurut penuturan ibuku" Kian Lee dan Kian Bu saling pandang dengan alis berkerut, di dalam hati mereka merasa menyesal sekali kematian orang gagah keturunan Suling Emas ini adalah akibat perbuatan keji dari kakek besar mereka sendiri, yaitu Suma Kiat (baca cerita Istana Pulau Es)! Suma Kiat yang jahat itu mempunyai anak yang lebih jahat lagi, seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita) bernama Suma Hoat, dan dari Suma Hoat inilah ayah mereka Suma Han diturunkan. Sungguh amat tidak enak menghadapi gambar-gambar para orang-orang besar keturunan keluarga gagah perkasa itu, yang mengingatkan betapa keluarga Suma sejak dahulu amat jahat.

Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Mungkin juga, karena aku sendiri pun selalu tidak percaya bahwa putera pendekar sakti Suling Emas sampai bisa menjadi pemberontak. Senjata pusaka suling emas itu selalu berada di tangan orang-orang gagah, sebuah senjata yang amat bagus, ampuh dan luar biasa. Jarang ada orang berkesempatan melihat pusaka itu...."

"Aku pernah melihatnya!" Tiba-tiba Hwee Li berseru.

Sai-cu Kai-ong kembali menghadapi Hwee Li setelah menoleh ke belakang, ke arah Siauw Hong yang sejak tadi diam saja dan mengikuti rombongan itu melihat-lihat. "Ah, benarkah itu, Nona? Di mana?"

"Tentu saja di tangan Sin-siauw Seng-jin! Aku melihatnya beberapa bulan yang, lalu."

"Benarkah itu? Sin-siauw Seng-jin adalah pewaris dari ilmu-ilmu keluarga Suling Emas. Dia adalah cucu murid dari Gu Toan yang pernah menjadi pelayan setia dari Kam-taijin atau Kam Liong itu. Gu Toan inilah yang mewarisi semua pusaka dan kitab-kitab ilmu yang sakti dari keluarga Suling E mas, dan kemudian secara turun-temurun pusaka-pusaka itu tiba di tangan Sin-siauw Seng-jin. Dimanakah Nona bertemu dengan dia?"

Hwee Li menoleh kepada Kian Bu. "Kalau kau ingin tahu, Kai-ong, kautanyalah kepada Siluman Kecil ini! Dialah orangnya yang pernah mencoba keampuhan suling emas yang ternyata tidak berguna itu!"

"Jangan sembarangan bicara!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dari belakang. Hwee Li menoleh dan ternyata yang mengeluarkan suara membentak marah itu adalah Siauw Hong yang tadi berlutut menghadap kepada gambar Kam Liong dan kini sudah bangkit berdiri.

"Apa? Kau membentak-bentak aku, heh? Kau bocah ini belum pernah dihajar rupanya!" Hwee Li sudah maju menghampiri dan mengepal tinjunya sedangkan Siauw Hong juga sudah siap dan memandang marah.

"Siapapun tidak boleh menghina kepada orang yang kami hormati dan junjung tinggi itu. Aku akan membelanya, dengan nyawaku!" kata pula Siauw Hong, suaranya penuh kesungguhan sehingga Kian Bu yang telah mengenalnya memandang dengan heran.

"Hwee Li!" Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. "Mundur kau dan hayo cepat kau minta maaf!"

Hwee Li masih mengepal tinju, akan tetapi dia menoleh ke arah subonya dan sejenak dua orang wanita itu saling "mengukur" tenaga dengan pandang mata mereka. Akhirnya Hwee Li mengeluh pendek, dan tersenyum, mata kirinya berkejap kepada subonya. "Aku paling tidak kuat kalau melihat Subo marah kepadaku...." lalu dia menoleh kepada Sai-cu Kai-ong dan berkata, "Kai-ong, harap kaumaafkan kelancanganku tadi, ya?" Dia sama sekali tidak memandang kepada Siauw Hong dan sengaja minta maaf kepada Sai-cu Kai-ong. Dasar gadis yang berhati keras seperti baja, mana dia mau mengalah dan minta maaf kepada Siauw Hong yang dianggapnya masih bocah itu?

Akan tetapi, semua orang merasa heran ketika Sai-cu Kai-ong menghadapi Siauw Hong dan berkata, "Nona Kim telah minta maaf, hendaknya dilupakan saja kata-kata tadi. " Dan Siauw Hong mengangguk!.

"Paman Yu, benarkah itu.... bahwa Sin-siauw Seng-jin adalah ahli waris yang tulen dari Suling Emas?" Kian Bu bertanya sambil memandang tajam kepada Sai-cu Kai-ong.

Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Benar! Ketika pendekar sakti Kam Liong sebagai menteri dikeroyok oleh pasukan kerajaan dan sudah luka-luka parah, beliau berpesan kepada pelayannya yang setia itu, Gu Toan, untuk melarikan semua pusakanya. Kabarnya berkat bantuan manusia dewa Bu Kek Siansu sendiri akhirnya Gu Toan dapat membawa jenazah pendekar Kam Liong dan jenazah muridnya she Ku, juga membawa semua pusaka, kemudian memakamkan jenazah itu di kuburan keluarga Suling Emas dan menjaga kuburan di sana. Sin-siauw Sengjin adalah keturunan Gu Toan itu yang bertugas menjaga baik-baik semua pusaka, mempelajarinya agar kelak dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari keluarga Kam, keluarga Suling Emas."

"Ah, mana mungkin itu?" Kian Lee membantah. "Menurut penuturan ayah, keluarga Kam dari pendekar Suling Emas telah habis, berhenti hanya sampai kepada pendekar Kam Liong itu saja. Pendekar Kam Liong tewas sebagai seorang menteri yang hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai isteri dan anak."

Sai-cu Kai-ong kembali melirik kepada Siauw Hong, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Memang demikianlah yang diketahui orang. Dan tentu saja cerita Suma-taihiap Majikan Pulau Es itu tidak salah, karena memang hal ini merupakan rahasia pribadi dari Menteri Kam Liong. Beliau kematian isterinya dan tidak mempunyai anak. Sebagai seorang yang berbakti kepada leluhurnya, tentu saja hal itu amat menyusahkan hatinya, karena dia merupakan putera tunggal dari pendekar Suling Emas. Untuk menikah lagi, hal itu berlawanan dengan hati nuraninya, maka untuk menyambung keturunan nenek moyangnya, Menteri Kam Liong diam-diam memiliki seorang wanita baik-baik dari antara para pelayannya. Dari wanita inilah dia memperoleh seorang putera...."

"Ahhhhh....!" Kian Bu dan Kian Lee berseru kaget dan heran.

"Memang tidak ada yang tahu, bahkan sungguh amat mengharukan sekali, mendiang Menteri Kam Liong sendiri tidak mengetahuinya bahwa beliau mempunyai atau meninggalkan seorang keturunan, seorang putera!" kata Sai-cu Kai-ong.

"Eh, bagaimana pula itu?" Kian Lee bertanya kaget.

"Wanita yang diambilnya sebagai selir untuk menyambung keturunan itu baru diambilnya beberapa bulan lamanya sebelum beliau tewas sehingga beliau sendiri tidak tahu bahwa selir itu telah mengandung ketika beliau tewas. Tidak ada yang tahu akan hal itu kecuali pelayannya yang setia, yaitu Gu Toan. Karena khawatir kalau-kalau selir itu dan keturunan Menteri Kam Liong akan dibunuh karena dianggap sebagai keturunan pemberontak, maka selir itu lalu disingkirkan ke tempat aman oleh Gu Toan. Nah, keturunan dari Gu Toan inilah yang selalu mengikuti perkembangan keturunan tunggal itu dan sampai sekarang menjadi tugas Sin-

siauw Seng-jin untuk menyerahkan semua pusaka dan ilmu dari Suling Emas kepada keturunan itu. Karena, hanya apabila terdapat keturunan langsung yang berbakat, barulah ilmu-ilmu itu akan diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari Pendekar Suling Emas. Dan putera selir itulah yang melanjutkan keturunan Suling Emas, karena putera lain dari keluarga Kam, yaitu yang bernama Kam Han Ki, adik sepupu Menteri Kam Liong, telah menjauhkan diri dari keduniaan dan tidak pernah mempunyai keturunan."

"Koai-lojin...." Kian Lee dan Kian Bu berbisik. Mereka sudah mendengar cerita ayah mereka bahwa keluarga Suling Emas yang bernama Kam Han Ki dan murid terutama dari Bu Kek Siansu, hidup menyendiri dan setelah tua menjadi Koai-lojin yang sakti seperti dewa.

"Ah, kalau begitu ada keturunannya sekarang? Siapa dia....?" Kian Lee bertanya penuh keheranan dan Kian Bu kembali memandang gambar dari laki-laki ganteng berpakaian sastrawan membawa kipas dan suling emas itu.

"Bukan menjadi hakku untuk membuka rahasia orang lain. Hanya Sin-siauw Sengjin seorang yang berhak," jawab Sai-cu Kai-ong.

Kian Bu bengong memandang gambar itu, terutama memandang ke arah kipas dan suling emas yang berada pada pria di dalam gambar itu. Dia merasa bingung sekali. Manakah yang aseli sebenarnya? Milik orang tuanya ataukah milik Sinsiauw Seng-jin? Ibunya, Puteri Nirahai, memiliki sebatang suling emas yang juga dahulu katanya diterima dari kakek Gu Toan, dan juga ibu Kian Lee, bekas ketua Pulau Neraka, Lulu, menerima pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas dari kakek Gu Toan. Akan tetapi sekarang muncul keturunan kakek Gu Toan yang menyimpan semua pusaka itu!

"Kian Bu, bagaimana engkau sampai bertanding dengan Sin-siau Seng-jin?" Sai-cu Kai-ong bertanya, akan tetapi yang ditanya masih bengong memandangi gambar itu. Ketika Sai-cu Kai-ong hendak mendesak, tiba-tiba seorang muridnya tergopoh-gopoh masuk dan melaporkan bahwa di luar lembah terjadi pertempuran antara orang-orang yang tidak dikenal. Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong berlari keluar diikuti oleh Suma Kian Lee, Ceng Ceng, Hwee Li, Siauw Hong, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, dan bergegas lari ke arah pertempuran itu. Dalam ketegangan itu, mereka sampai tidak tahu bahwa Kian Bu masih tetap terlongong memandangi gambar Kam Liong.

Ketika mereka tiba di lembah bawah puncak, benar saja di sana terjadi pertempuran dahsyat sekali. Yang bertempur adalah seorang kakek raksasa yang menyeramkan melawan seorang kakek tua renta yang bersenjata sebatang suling emas! Hwee Li, Ceng Ceng, dan Jenderal Kao segera mengenal kakek raksasa itu yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lomo, ketua Pulau Neraka, ayah dari Hwee Li! Sedangkan kakek tua yang bersenjata suling emas itu ada lah Sin-siauw Sengjin. Dua orang ini bertempur dengan seru dan hebatnya dan terdengar suara berdengung dari suling ditangan Sin-siauw Seng-jin. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh sehingga keduanya saling serang dengan dahsyatnya. Sedangkan tak jauh dari situ, beberapa orang anak buah Hek-tiauw Lomo yang berwajah serem-serem sedang bertanding melawan pengikut-pengikut Sin-siauw Seng-jin yang jumlahnya lima orang. Melihat ayahnya bertanding dengan pewaris Suling Emas itu, Hwee Li segera meloncat ke depan dan berseru, "Ayah....! Aku berada di sini!"

Sai-cu Kai-ong terkejut ketika mendengar nona berpakaian hitam itu menyebut ayah kepada lawan Sin-siauw Seng-jin, maka dia pun cepat maju dan berkata kepada sahabatnya itu, "Sengjin, hentikan pertempuran di antara orang sendiri!"

Mendengar seruan Sai-cu Kai-ong ini, Sin-siauw Seng-jin terkejut dan meloncat mundur, mengelebatkan sulingnya dan berteriak menyuruh Gin-siauw Lo-jin dan empat orang murid lain untuk mundur dan menghentikan pertempuran pula. Sepuluh orang anak buah Hek-tiauw Lomo yang serem-serem itu pun mundur dan berkelompok.

Hek-tiauw Lo-mo sendiri ketika mendengar suara Hwee Li, sudah menarik kembali golok gergajinya, menyimpannya di punggung. Kakek ini memandang kepada Hwee Li dengan mata terbelalak lalu tertawa bergelak. Semua orang merasa ngeri ketika melihat kakek ini tertawa karena nampak gigi seperti taring di mulut kakek itu! Sungguh seorang kakek yang mengerikan, seperti iblis saja. Tubuhnya tinggi besar, kelihatan kokoh kuat seperti batu karang. Di punggungnya nampak golok gergaji dan tombak tulang ikan, sedangkan di pinggangnya tergambar sebatang pedang.

"Ha-ha-ha! Kiranya benar engkau di sini, anakku! Melihat garuda terbang di atas sini, aku sudah menduga bahwa engkau tentu berada di sini. Ha-ha-ha, dan ternyata engkau bersama orang-orang yang berkepandaian tinggi yang berkumpul di lembah ini. Hebat.... hebat...."

"Ayah, aku bersama Subo di sini...."

"Hemmm, aku tahu." Hek-tiauw Lo-mo lalu menjura dengan kaku ke arah Ceng Ceng sambil berkata, "Terima kasih atas bimbinganmu kepada puteriku, Toanio. Akan tetapi, hari ini terpaksa aku hendak mengajak puteriku pergi."

"Ah, tidak, Ayah! Aku masih ingin bersama Subo....!" Dan gadis berpakaian hitam itu menoleh, bukan kepada subonya, melainkan kepada Kian Lee!

"Hushhh! Lima tahun lamanya aku membiarkan engkau pergi meninggalkan aku menahan hati yang rindu. Anakku, setelah kini bertemu, apakah engkau masih tidak kasihan kepada ayahmu? Aku rindu padamu, ingin mengajakmu berkumpul. Apakah engkau hendak menjadi seorang anak yang sama sekali tidak berbakti terhadap ayahmu? Aku hanya memiliki engkau seorang, Hwee Li anakku...." Aneh sekali, kakek raksasa yang segala-galanya kelihatan kasar dan keras itu, kini suaranya terdengar menggetar seperti mengandung isak!

"Hwee Li, engkau tahu bahwa Subomu dan Suhumu sedang sibuk menghadapi banyak urusan. Sekarang, Ayahmu telah datang dan sebagai seorang anak yang berbakti engkau tidak boleh menyakitkan hati Ayahmu. Sudah menjadi kewajibanmu, untuk menghibur hati Ayahmu. Kelak masih banyak waktu untuk kita saling bertemu lagi."

Mulut yang manis itu cemberut, lalu tiba-tiba Hwee Li menghampiri Kian Lee dan bertanya, "Bagaimana pendapatmu, Kian Lee? Apakah benar bahwa aku harus turut dengan Ayah?"

Kian Lee terkejut. Tak disangkanya bahwa dia akan ditanya oleh Hwee Li tentang hal itu. Dan tentu saja semua orang juga merasa heran, hanya Ceng Ceng yang mengerutkan alisnya karena guru yang sudah bertahun-tahun mengenal watak muridnya itu merasakan sesuatu yang membuat dia merasa tidak enak. Dia tahu bahwa muridnya itu jatuh cinta kepada Kian Lee!

"Eh.... ini.... ini.... memang sebaiknya begitu, Hwee Li. Seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya, dan kurasa ada baiknya kalau engkau ikut bersama ayahmu karena aku yakin bahwa dengan adanya engkau di sampingnya, engkau akan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik." Dengan ucapan ini Kian Lee hendak mengatakan bahwa dara itu dapat mencegah ayahnya melakukan kejahatan-kejahatan karena dia sudah mengenal siapa adanya Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka yang ganas dan keji seperti iblis itu.

Mulut itu makin cemberut. "Tapi.... kita baru saja saling berjumpa.... dan kau baru saja sembuh. Aku masih belum puas bercakap-cakap denganmu, Kian Lee."

"Hwee Li, jangan banyak membantah. Ayahmu sudah mengajak, aku sebagai gurumu telah menyetujui, dan.... Paman Kian Lee telah menganjurkan pula, mengapa engkau masih banyak membantah?"

Hwee Li membanting-banting kaki kanannya, lalu mulutnya mengeluarkan lengkingan panjang dan tak lama kemudian terdengar lengking panjang menjawab. Itulah garudanya yang segera melayang turun. Hwee Li sekali lagi membanting kaki kanannya dan menghampiri ayahnya.

"Ha-ha-ha! Apakah kau marah, anakku? Apakah gurumu terlalu galak kepadamu? Apakah ada orang yang membuatmu tidak senang? Katakan, siapa dia dan aku akan mengeluarkan isi perutnya, ha-ha-ha!" Semua orang bergidik mendengan ucapan ini, apalagi mata yang lebar dan liar itu menyapu semua orang yang berada di situ tanpa terkecuali, seolah-olah dia sama sekali tidak memandang mata kepada mereka.

"Sudahlah, Ayah. Mari kita pergi. Dia menoleh ke arah Kian Lee dan berkata lagi, "Benarkah aku harus pergi?"

Kian Lee hanya mengangguk karena dia merasa sungkan dan malu untuk menjawab.

"Subo, sampai jumpa. Sampaikan hormatku kepada Suhu," kata Hwee Li kepada Ceng Ceng. Wanita itu mengangguk dan hatinya merasa tertusuk ketika dia melihat Hwee Li meloncat ke atas punggung garuda sambil menangis! Tahulah dia bahwa sebenarnya hati dara itu berat sekali harus pergi bersama ayahnya.

"Muridku yang baik, hati-hatilah menjaga diri dan kelak kita bertemu kembali!" katanya melambaikan tangan ketika garuda itu mulai menggerakkan sayapnya dan terbang meninggalkan tempat itu.

"Heiii, Hwee Li, aku ikut....!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berseru keras.

"Ayah mengikuti dari bawah saja!" teriak Hwee Li.

Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak, dari tangannya menyambar sinar hitam yang halus dan tahu-tahu tubuh raksasa ini sudah melayang naik bergantung kepada benda halus hitam yang telah mengait kaki garuda yang terbang tadi. Kiranya kakek itu menggunakan sehelai jala tipis lembut yang tadi ditujukan ke arah kaki garuda dan kini dia bergantung kemudian memanjat naik dengan cekatan dan tak lama kemudian dia sudah duduk di atas punggung garuda di belakang puterinya! Semua orang terkejut dan kagum karena memang hebat sekali kakek raksasa itu. Anak buahnya lalu berlari-larian mengikuti arah terbangnya burung garuda.

Setelah orang-orang Pulau Neraka itu lenyap, Sin-siauw Seng-jin lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sai-cu Kai-ong. Tentu saja kakek ini menjadi terheran-heran dan cepat dia menghampiri sahabatnya itu dan memeluknya.

"Seng-jin, apa artinya ini? Kau aneh sekali, Twako! Kenapa engkau berlutut di depan adikmu seperti ini?"

Akan tetapi, kakek itu tidak menjawab, melainkan menundukkan mukanya yang menjadi pucat dan kelihatan berduka sekali, hampir menangis malah. Makin heranlah Sai-cu Kai-ong dan dia berkata lagi, "Eh, kakakku, Sin-siauw Seng-jin,, apakah yang terjadi? Lihatlah dia itu...." Sai-cu Kai-ong menuding ke arah Siauw Hong, "Telah kudidik dia sesuai dengan persetujuan antara kita lima belas tahun yang lalu. Lihat, dia telah menjadi seorang dewasa dan telah memiliki dasar kepandaian yang cukup kuat. Dan manakah cucuku yang kutitipkan kepadamu? Mengapa tidak kaubawa bersamamu? Ah, tentu dia sudah dewasa sekarang!"

Sin-siauw Seng-jin tetap berlutut dan kini memejamkan mata seperti hendak menahan keluarnya air matanya.

"Kai-ong adikku yang baik.... kau.... kaubunuhlah saja aku sekarang...." akhirnya kakek tua renta itu berkata. Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main. "Apa.... apa maksudmu.... Twako?"

"Cucumu.... cucumu itu.... baru dua tahun berada bersamaku, lalu diculik orang...., sampai sekarang...."

"Ahhh....!" Sai-cu Kai-ong meloncat berdiri dan mukanya menjadi pucat sekali. Dia memandang kakek yang masih berlutut itu, kemudian dia menarik napas panjang dan menarik tangan Sin-siauw Seng-jin.

"Seng-jin, marilah kita bicara di dalam. Marilah kita menenangkan pikiran dulu dan kemudian kita bicara di antara sahabat-sahabat ini," katanya dan dia menggandeng tangan Sin-siauw Seng-jin, diajak naik ke puncak dan mereka semua lalu masuk istana tua itu, duduk mengelilingi meja besar di ruangan tamu. Sementara itu, setelah tadi mendengar bahwa kakek itu adalah Sin-siauw Seng-jin, Kian Lee mencari-cari dengan pandang matanya dan merasa heran karena baru dia tahu bahwa Kian Bu tidak berada di situ. Dia merasa tidak aneh, karena bukankah Sin-siauw Seng-jin pernah bertanding melawan adiknya? Tentu adiknya itu menyembunyikan diri agar jangarn terjadi pertemuan yang tidak enak, pikirnya dan diam-diam memuji kebijaksanaan adiknya itu.

Setelah duduk, pandang mata Sin-siauw Seng-jin ditujukan kepada orang-orang asing yang ikut duduk di situ. Melihat ini, Sai-cu Kai-ong berkata, "Tenangkan hatimu, Twako. Mereka ini adalah sahabat-sahabat sendiri. Beliau ini adalah bekas Panglima Kao Liang bersama dua orang puteranya, dan nyonya ini adalah mantunya, dan Sicu ini adalah putera Majikan Pulau Es. Semua adalah orang-orang sendiri...."

Sin-siauw Seng-jin memandang kagum dan mengangguk-angguk. "Sudah lama mendengar nama-nama Cu-wi yang mulia...." katanya, akan tetapi kembali dia terbenam ke dalam kedukaan.

"Sekarang ceritakanlah tentang diri cucuku, Twako."

"Dua tahun setelah dia ikut bersamaku, pada suatu hari dia diculik orang yang amat tinggi kepandaiannya. Aku dan para murid mengejar, akan tetapi setelah dia lari jauh keluar dari daerah Tai-hang-san, tentu saja aku tidak berani melanjutkan pengejaran. Seperti telah kauketahui, Kai-ong, aku dan para murid telah bersumpah tidak akan meninggalkan puncak Tai-hang-san selama hidup sebelum aku dapat menguasai secara sempurna semua ilmu warisan itu, kecuali kalau aku dikalahkan orang dalam pibu. Lima belas tahun telah lewat dan baru-baru ini sebelum aku berhasil menguasai semua ilmu dengan sempurna, aku telah dikalahkan orang, maka aku dapat turun puncak dan berkunjung kepadamu untuk mengabari tentang lenyapnya cucumu itu lima belas tahun yang lalu. Aihhh, Kai-ong, aku merasa bersalah dan selanjutnya terserah kepadamu...." Dia berhenti sebentar. "Ketika aku tiba di lembah itu, aku melihat raksasa itu sedang mencari-cari orang, sikapnya mencurigakan dan kami bentrok. Ternyata dia lihai bukan main. Ah, sampai setua ini ternyata aku belum juga dapat menguasai ilmu-ilmu keluarga Suling Emas!" Dia menarik napas panjang. "Andaikata aku sudah berhasil, tidak mungkin pemuda itu dapat mengalahkan aku, dan juga raksasa tadi tentu sudah dapat kurobohkan. Dasar aku yang bodoh dan tidak berbakat...." Lalu dia memandang kepada Siauw Hong yang sejak tadi mendengarkan saja dan duduk anteng, dan kakek ini lalu bangkit berdiri, menjura ke arah pemuda itu sambil berkata, "Kongcu.... kuharap saja engkau tidak akan mengecewakan.... leluhurmu...." suaranya seperti tercekik keharuan.

Siauw Hong balas menjura. "Mudah-mudahan saja, Locianpwe," jawabnya singkat.

Semua orang saling pandang dengan heran. Kian Lee mengerutkan alisnya karena dia sama sekali tidak mengerti apa artinya semua itu. Melihat ini, Saicu Kai-ong lalu berkata kepada Sin-siauw Seng-jin, "Twako, di depan para sahabat yang gagah perkasa ini, kiranya kita tidak perlu merahasiakan lagi, apa pula karena kita boleh mengharapkan bantuan mereka untuk mencari cucuku yang hilang."

Sin-siauw Seng-jin yang sudah tua sekali itu menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Sebaiknya memang demikian. Sudah terlampau lama rahasia itu tersimpan di antara keturunan kami sehingga menjadi beban yang amat menggelisahkan, dan sekarang setelah terdapat keturunan majikan kami yang tepat untuk mewarisi ilmu dan pusaka dari Pendekar Suling Emas, sudah sepatutnya pula kalau rahasia ini kubuka saja di depan orang-orang gagah."

Mereka semua mendengarkan penuh perhatian terutama sekali Kian Lee karena pemuda ini pernah mendengar riwayat keluarga Suling Emas yang diceritakan oleh orang tuanya di Pulau Es. Bahkan sebetulnya, di antara leluhurnya dan keluarga Suling Emas terdapat hubungan yang amat dekat, yaitu antara nenek moyang keluarga Suma dan nenek moyang keluarga Kam. Hanya sayangnya, di antara keluarga Suma, yaitu nenek moyangnya, muncul banyak orang-orang jahat yang mengganggu keluarga Kam yang terkenal gagah perkasa itu. Bahkan kehancuran keluarga Kam sejak Menteri Kam Liong, adalah karena hasil perbuatan jahat dari seorang she Suma, yaitu Suma Kiat, kakek buyut dari ayahnya sendiri! Dengan perasaan bersalah pemuda Pulau Es ini mendengarkan, dan dia maklum bahwa adiknya, Kian Bu tentu sengaja tidak mau muncul karena merasa tidak enak terhadap Sin-siauw Seng-jin, dan memang benarlah dugaan Kian Lee ini. Kian Bu yang tadinya bengong di dalam ruangan menghadapi gambar dari Menteri Kam Liong di waktu muda, menjadi terkejut ketika mengetahui bahwa yang datang bersama orang-orang itu adalah Sin-siauw Seng-jin! Dia merasa tidak enak untuk keluar, takut kalau-kalau kakek yang belum lama ini dikalahkannya akan merasa malu dan penasaran sehingga akan terjadi bentrok antara mereka. Tentu saja dia tidak menghendaki hal ini karena kalau terjadi demikian, dia merasa sungkan sekali kepada Sai-cu Kai-ong yang begitu baik. Maka diam-diam dia pun mendengarkan dari balik pintu ruangan.

Sin-siauw Seng-jin mulai dengan penuturannya. Kakek besarnya, Gu Toan bekas pelayan setia dari Menteri Kam Liong (baca cerita serial Suling Emas, Cinta Bernoda Darah, Mutiara Hitam, Istana Pulau Es dan selanjutnya), menyelamatkan pusaka-pusaka Suling Emas dan membawa jenazah Menteri Kam Liong dan muridnya she Khu, menguburkan mereka di tanah pekuburan keluarga Suling Emas. Gu Toan lalu menjadi penjaga kuburan dan diam-diam dia memperdalam ilmu-ilmunya dari kitab-kitab pusaka Suling Emas yang berada di tangannya, sehingga dia menjadi seorang yang lihai sekali. Dia khawatir bahwa pusaka-pusaka itu tentu akan dicari dan diperebutkan orang-orang pandai, maka dia menyimpannya di tempat rahasia, dan dia telah membuat beberapa buah suling dan kipas palsu, juga kitab-kitab palsu yang dikutipnya dari yang aseli, lalu menyimpan pusaka-pusaka palsu itu di beberapa tempat. Hal ini dilakukannya untuk menjaga keamanan yang aseli dan memang dugaannya tidak meleset karena banyak orang pandai yang mencari pusaka itu sehingga beberapa pusaka palsu itu dirampas orang. Akan tetapi pusaka yang aseli tetap di dalam kekuasaannya, disimpan di tempat aman dan rahasia, dan hanya diketahui oleh dia sendiri dan seorang puteranya yang sengaja dia singkirkan jauh-jauh dan tidak diakuinya sebagai anak secara terbuka agar jangan ada yang tahu bahwa Gu Toan mempunyai seorang anak laki-laki! Semua ini dilakukan untuk menjaga keselamatan anaknya berikut pusaka-pusaka itu. Dan akhirnya, seperti yang telah dikhawatirkannya pula, Gu Toan tewas di tangan seorang di antara mereka yang memperebutkan pusaka itu. Akan tetapi pusaka Suling Emas yang aselinya selamat bersama anaknya yang juga menyembunyikan diri, bahkan tidak berani mengaku she Gu!

Mendengar penuturan sampai di sini, Kian Lee terbelalak dan mukanya menjadi merah. Ibunya yang dulu bernama Lulu, ternyata telah "mewarisi" kitab-kitab Suling Emas yang palsu! Kitab-kitab itu diambilnya dari kuburan keluarga Suling Emas seperti yang ditunjukkan oleh Gu Toan sendiri ketika kakek bongkok ini diserang orang yang lihai. Jadi kiranya ibunya itu pun hanya memperoleh yang palsu saja, dan agaknya hal itu disengaja oleh Gu Toan untuk mengalihkan perhatian orang-orang yang memperebutkan pusaka itu ke arah lain. Dan juga ibu tirinya, Puteri Nirahai yang meminjam senjata pusaka suling emas dari kakek Gu Toan, hanya menerima suling yang palsu saja, biarpun benar-benar terbuat dari emas! Ah, kiranya ibu kandungnya dan ibu tirinya, dua orang wanita perkasa yang memiliki kesaktian hebat, isteri-isteri dari ayahnya, Pendekar Super Sakti, telah dikelabui oleh kakek Gu Toan, bekas pelayan Menteri Kam Liong itu!

"Betapa berat tugas nenek moyang kami...." Sin-siauw Seng-jin melanjutkan penuturannya dan kakek ini kelihatan lelah sekali. "Bukan hanya kami tidak lagi menggunakan nama keturunan kami she Gu agar jangan dikejar-kejar orang, juga kami harus menjaga pusaka itu dengan taruhan nyawa, mempelajari kitab-kitab yang amat sukar itu...." Kembali dia kelihatan lelah sekali dan menarik napas panjang. "Itu masih belum berapa sukar. Yang lebih sukar lagi, menjaga dan mengikuti perkembangan keturunan dari Pendekar Suling Emas, keturunan she Kam dan meneliti kalau-kalau lahir seorang anak laki-laki yang berbakat dalam keluarga Kam itu agar kami dapat mengembalikan pusaka kepadanya."

Kian Lee yang mempunyai dugaan bahwa Siauw Hong mempunyai hubungan erat dengan urusan itu, mengerling dan dia melihat Siauw Hong duduk seperti arca sambil menundukkan kepalanya, hanya mendengarkan tanpa berani memandang kepada kakek Sin-siauw Seng-jin atau kepada gurunya, Sai-cu Kai-ong.

"Sungguh amat luar biasa dan amat menyukarkan kami selama beberapa keturunan ketika ternyata bahwa keturunan keluarga Kam tidak ada yang berbakat dalam ilmu silat! Kami tidak boleh memaksa, dan kami harus meneliti bakat mereka tanpa membuka rahasia mereka. Akan tetapi selama beberapa keturunan ini, keluarga she Kam hanya menjadi sastrawan, petani, atau pedagang. Tidak ada seorang pun yang memiliki bakat baik dalam ilmu silat. Kesukaran kami ini, juga rahasia kami sebagai keturunan she Gu yang melanjutkan tugas nenek moyang kami Gu Toan sebagai pelayan setia keluarga Kam, tidak diketahui oleh lain orang, kecuali oleh keluarga Yu inilah yang selalu membantu kami, dan keluarga Yu sudah kami percaya sepenuhnya sebagai keturunan dari tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang, sahabat baik dari keturunan keluarga Kam, semenjak jaman Menteri Kam Liong, yaitu Locianpwe Yu Siang Ki." Kakek tua itu berhenti sebentar, kemudian dia mengerling kepada Siauw Hong yang masih mendengarkan sambil menundukkan mukanya.

"Kam-kongcu, bolehkah saya melanjutkan?" tanyanya kepada pemuda itu dengan sikap hormat.

Semua orang terkejut mendengar ini, Kian Lee memandang tajam wajah pemuda yang pernah menjadi "rekannya" ketika dia menyamar dan memasuki sayembara sehingga terpilih menjadi pengawal Gubernur Ho-nan dalam usahanya menyelidiki Pangeran Yung Hwa tempo hari. Kiranya pemuda ini she Kam, keturunan dari pendekar sakti Suling Emas! Dia melihat Siauw Hong bangkit dan menjura ke arah Sin-siauw Seng-jin dan Sai-cu Kai-ong, lalu dia berkata dengan suara lantang dan tenang.

"Budi keluarga Gu yang dilimpahkan kepada keluarga saya sudah setinggi langit dan sedalam lautan, demikian pula dengan budi dari Suhu. Oleh karena itu, saya hanya menyerahkan kepada kebijaksanaan Locianpwe dan Suhu saja." Setelah memberi hormat dia lalu duduk kembali dengan tubuh tegak dan kini Kian Lee melihat bahwa wajah pemuda itu memang selain tampan juga mengandung kegagahan yang mengagumkan, yang terselimut dan tersembunyi di dalam kesederhanaannya. Maka dia merasa kagum sekali.

Sin-siauw Seng-jin lalu melanjutkan penuturannya dengan suara tenang dan lambat, "Setelah menanti sampai beberapa keturunan dengan sia-sia, akhirnya saya menemukan bakat itu di dalam diri Kam Siauw Hong, Kongcu ini. Dialah yang berhak untuk mewarisi seluruh ilmu dari nenek moyangnya. Karena saya sendiri masih terikat sumpah tidak akan turun gunung selama belum berhasil menyempurnakan ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, dan agar Kam-kongcu memperoleh kesempatan memperluas pengetahuannya, maka untuk memberi pelajaran dasar ilmu-ilmu silat tinggi, saya mempercayakannya kepada sahabat saya yang saya percaya penuh, yaitu Sai-cu Kai-ong. Dan bagi engkau juga, Kam-kongcu, sekarang hendak saya bukakan rahasia yang selama ini tidak Kongcu ketahui. Kai-ong, harap kaulanjutkan ceritaku tentang pertunangan itu."

Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang dan memandang muridnya. "Siauw Hong, betapapun juga engkau harus bersyukur bahwa keturunan keluarga Gu amat setia kepada keluargamu sehingga dahulu timbul akalnya untuk menyerahkan engkau kepadaku karena memang banyak tokoh kang-ouw yang selalu menyelidiki pusaka Suling Emas dan tentu akan mengganggumu kalau ada yang tahu bahwa

engkau keturunannya. Ketahuilah, ketika engkau masih kecil, sebelum dititipkan kepadaku untuk menjadi muridku, dengan persetujuan kami berdua, telah diikat tali perjodohan antara engkau dan cucuku, yaitu Yu Hwi yang kutitipkan kepada Sin-siauw Seng-jin agar dididik dengan dasar ilmu-ilmu silat tinggi pula. Engkau tahu bahwa semenjak kecil, ayah bundamu telah meninggal dunia karena sakit, engkau hidup sebatangkara dan karena itu kami berdua berani mengambil keputusan tentang tali perjodohan itu agar hubungan baik antara keluarga Kam dan keluarga Yu menjadi makin erat dan berubah menjadi keluarga." Kakek berpakaian sederhana itu menarik napas panjang.

Siauw Hong mengerutkan alisnya, memandang ke arah gurunya dan kepada Sin-siauw Seng-jin, nampaknya dia terkejut bukan main bahwa di luar tahunya, dia telah dijodohkan dengan seorang gadis semenjak dia masih kecil dan belum tahu apa-apa. Akan tetapi, karena memang dia sudah tidak berkeluarga dan sejak kecil dia menerima budi kedua orang tua itu, maka dia tidak berkata apa-apa, lalu menunduk kembali.

Sai-cu Kai-ong dapat meraba isi hati pemuda itu, maka dia berkata lagi, "Maafkan kami, muridku. Percayalah bahwa kami melakukan hal itu demi kebaikanmu dan demi memperkuat tali perhubungan antara keturunan keluarga Kam dan Yu. Tunanganmu itu, ialah cucuku yang bernama Yu Hwi, sejak kecil sekali kuserahkan kepada Sin-siauw Seng-jin untuk dididik. Akan tetapi, seperti yang telah dia ceritakan tadi, terjadi malapetaka. Dia diculik orang dan sampai sekarang belum diketahui berada di mana, masih hidup ataukah sudah mati...." Kakek itu berhenti sebentar, mukanya menjadi pucat.

"Kai-ong, harap kaumaafkan aku...."

Sin-siauw Seng-Jin berkata pilu. Lalu dia berkata kepada Siauw Hong, "Kam-kongcu, sekarang tiba saatnya engkau harus menggembleng diri dengan ilmu-ilmu peninggalan nenek moyangmu, dan saya akan menurunkan semua ilmu itu. Setelah Kongcu mempelajarinya dan mudah-mudahan Kongcu lebih cocok sehingga dapat menguasainya dengan sempurna, tidak seperti saya yang bodoh, maka sudah menjadi kewajiban Kongcu untuk pergi mencari tunangan Kongcu itu sampai dapat. Kalau tidak demikian, maka selama hidup kita akan berhutang kepada keluarga Yu...."

Melihat wajah Sia-cu Kai-ong yang pucat, dan melihat kedukaan Sin-siauw Seng-jin, bangkit semangat Siauw Hong. Dia maklum bahwa mereka berdua itu selalu berusaha demi kebaikannya, maka ikatan jodoh itu pun dia terima dengan hati rela. "Baiklah, Locianpwe. Saya akan mengerahkan seluruh semangat saya untuk mempelajari ilmu-ilmu itu. Suhu, harap jangan khawatir, teecu kelak akan mencari Yu Hwi sampai dapat! Teecu bersumpah!"

Sepasang mata kakek itu menjadi basah, akan tetapi mulutnya tersenyum. "Manusia boleh saja berusaha, namun Tuhan yang kuasa, muridku. Kalau memang Yu Hwi masih hidup, tentu dia sewaktu-waktu akan dapat bertemu dengan kita. Dan kalau toh sudah meninggal dunia, kita harus dapat menemukan kuburannya agar tali perjodohan itu dapat membebaskan dirimu dan engkau berhak untuk berjodoh dengan orang lain."

"Tidak! Saya merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh oleh penculiknya. Kalau memang penculik itu menghendaki nyawanya, mengapa tidak dibunuhnya dia seketika itu juga?" Sin-siauw Seng-jin berkata hampir berteriak.

Melihat ini, Ceng Ceng lalu ber kata, "Saya berjanji akan bantu mencarinya. Namanya Yu Hwi, apakah dia mempunyai ciri-ciri yang khas?"

"Saya juga berjanji akan bantu mencarinya!" Kian Lee berkata pula.

Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, walaupun di dalam hatinya juga merasa kasihan, namun diam saja karena mereka maklum bahwa tidak mungkin mereka akan dapat membantu, karena mereka sendiri masih bingung kehilangan seluruh keluarga mereka yang diculik orang. Bahkan mantunya, seperti telah diceritakan oleh mantunya kepadanya, telah kehilangan puteranya yang juga diculik orang, akan tetapi kini mantunya menjanjikan bantuannya untuk ikut mencari Yu Hwi. Dia mengenal watak mantunya, seorang pendekar wanita yang sakti, maka dia hanya mendengarkan dengan kagum.

Sin-siauw Seng-jin dan Sai-cu Kai-ong menjura kepada Kian Lee dan Ceng Ceng. "Terima kasih atas kebaikan Ji-wi," kata Sin-siauw Seng-jin.

"Di dagu Yu Hwi, sebelah kiri, terdapat sebintik tahi lalat hitam, itulah cirinya yang paling mudah dikenal," kata Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Seng-jin mengangguk membenarkan.

"Kalau begitu, adikku Kai-ong, perkenankan saya pergi dan mengajak Kam-kongcu agar dia dapat cepat mewarisi ilmu-ilmu keturunan keluarganya," tiba-tiba Sin-siauw Seng-jin berkata sambil bangkit berdiri.

"Memang sebaiknya begitulah, kakakku yang baik. Aku sendiri pun akan segera berusaha mencari cucuku yang hilang," jawab Sai-cu Kai-ong. "Siauw Hong, kau ikutlah bersama Sin-siauw Seng-jin dan berbahagialah muridku, karena engkau akan mewarisi ilmu dari keluargamu yang mujijat, yang semenjak ratusan tahun selalu dicari dan diperebutkan oleh seluruh dunia persilatan."

Siauw Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis itu.

"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas segala budi kebaikan yang Suhu limpahkan kepada teecu."

Sai-cu Kai-ong tersenyum dan mengangkat bangun muridnya. "Berlatihlah baik-baik, muridku, agar kelak aku boleh berbangga hati bahwa engkau pernah menjadi muridku."

Siauw Hong lalu memberi hormat kepada semua orang dan pergilah orang muda keturunan Suling Emas ini mengikuti Sin-siauw Seng-jin, bersama rombongan murid-muridnya yang mengikuti dari belakang.

Setelah Suling Sakti dan para muridnya itu pergi, Ceng Ceng lalu menceritakan pertemuannya dengan Syanti Dewi kepada Kian Lee, didengarkan pula oleh Jenderal Kao dan dua orang puteranya, dan juga oleh Sai-cu Kai-ong. "Sungguh kasihan sekali Enci Syanti," kata Ceng Ceng. "Entah bagaimana nasibnya demikian terlunta-lunta selalu, setelah dia baik-baik kembali ke istana orang tuanya di Bhutan, tahu-tahu kini dia berada di sini pula, dan bahkan dia telah diculik seorang yang belum kuketahui siapa. Dia menceritakan pertempurannya melawan See-thian Hoat-su di dalam gelap, pertempuran yang terjadi karena salah pengertian dan selagi mereka bertempur, Syanti Dewi lenyap dibawa orang.

Kian Bu mendengarkan dan dia terkejut bukan main. seakan-akan tersentuh kembali bekas luka di hatinya mendengar itu. Mengapa Syanti Dewi berada di daerah ini? Dan siapa yang menculiknya? Bagaimana dengan Ang Tek Hoat? Teringatlah Kian Bu akan ibu kandung Tek Hoat yang terbunuh oleh perwira Bhutan. Apakah ada hubungannya dengan kepergian Syanti Dewi meninggalkan Kerajaan

Bhutan? Kian Bu lalu menghampiri sebuah meja, membuat coretan-coretan dengan alat tulis di atas kertas, meninggalkan kertas tulisannya itu di atas meja, kemudian dia menyelinap pergi dengan diam-diam.

Setelah bercakap-cakap dan menceritakan pengalaman masing-masing, mereka lalu mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan tempat itu di hari itu juga. Kian Lee yang melihat bahwa sin-siauw Seng-jin tidak ada lagi di situ akan tetapi adiknya belum juga muncul, segera mencarinya. Akan tetapi, ternyata Kian Bu tidak ada lagi di ruangan itu dan dia hanya menemukan seheiai suratnya.

Lee-ko,

Banyak sekali tugas menanti kita. Karena banyaknya, sebaiknya kalau kita berpisah dan masing-masing melaksanakan satu tugas. Aku lebih dulu akan pergi menyelidiki dan mencari Syanti Dewi.

Adikmu, KIAN BU

Kian Lee menyimpan surat itu di dalam saku bajunya dan menarlk napas panjang. Dia merasa kasihan sekali kepada adiknya itu dan maklumlah dia bahwa diam-diam Kian Bu masih belum dapat melupakan Syanti Dewi. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila Kian Bu yang agaknya tadi mendengar penuturan Ceng Ceng, lalu diam-diam cepat pergi untuk mencari dan menolong puteri itu!

Mereka semua lalu pergi. Ceng Ceng pergi bersama ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya, meninggalkan tempat itu untuk pergi ke kota Pao-ting di mana dia sudah berjanji akan bertemu dengan suaminya yang mencari-cari jejak anak mereka dari lain jurusan.

Kian Lee juga pergi dan karena dia tidak tahu ke mana perginya Kian Bu, maka dia teringat akan wanita yang mencuri pusaka-pusaka dari Sin-siauw Seng-jin, yang agaknya tentu pusaka-pusaka palsu pula mengingat akan penuturan Sin-siaw Seng-jin sendiri betapa nenek moyangnya banyak memalsukan pusaka-pusaka itu untuk mencegah yang aseli dicuri orang. Bukankah Kian Bu telah berjanji akan mendatangi tempat gadis pencuri itu di pantai Po-hai? Sebaiknya kalau dia mewakili adiknya mencari gadis pencuri itu di pantai Po-hai, di teluk sebelah utara. Siapa tahu, kalau-kalau Kian Bu juga pergi ke sana. Tadinya dia ingin membantu Jenderal Kao, akan tetapi setelah ada Ceng Ceng dan suaminya, yang dia tahu amat sakti, tidak perlu lagi dia membantu dan kalau dia tidak berhasil bertemu dengan adiknya, dia akan terus mencari atau akan kembali ke Pulau Es melapor kepada ayahnya.

Sai-cu Kai-ong juga pergi meninggalkan tempat tinggalnya untuk mulai mencari cucunya yang hilang pula. Biarpun Ceng Ceng dan Kian Lee sudah berjanji untuk membantu mencari cucunya, dia tidak puas kalau dia sendiri tidak ikut mencari. Dia tahu betapa sukarnya mencari seseorang tanpa mengetahui dimana adanya cucunya itu, yang sama sekali tidak meninggalkan jejak dan hilangnya sudah lima belas tahun yang lalu!

******

"Ayah, kemanakah kita pergi? Apakah akan kembali ke Pulau Neraka?" tanya Hwee Li kepada ayahnya ketika mereka dibawa terbang di atas punggung garudanya.

"Tidak, Hwee Li. Pulau Neraka terlalu jauh dan aku sudah tidak suka tinggal di tempat buruk itu. Aku malah tidak mau kembali lagi ke sana."

"Kalau begitu, kita pergi ke mana?"

"Ke tempatku yang baru."

"Di mana itu, Ayah?"

"Ha-ha, kau sudah pernah mengunjunginya. Di lembah Huang-ho."

"Lembah Huang-ho?" Dara itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Maksudmu di sarang Huang-ho Kui-liong-pang?"

"Ha-ha-ha, engkau memang anakku yang amat cerdik. Benar di sana. Tempat indah itu menjadi tempat tinggal kita yang baru."

"Eh, bukankah di sana tinggal ketua Kui-liong-pang, musuh besar Ayah sendiri, yaitu Hek-hwa Lo-kwi?"

"Hemmm, dalam hal ini engkau masih bodoh dan tidak mengerti, anakku. Ada waktunya menjadi musuh, ada pula waktunya menjadi sahabat, semua disesuaikan dengan waktu dan keadaan. Ha-ha-ha!"

Hwee Li paling tidak suka melihat ayahnya tertawa. Kalau ayahnya bersikap biasa, maka ayahnya kelihatan sebagai seorang raksasa yang berwibawa. Akan tetapi kalau sudah tertawa dan kelihatan gigi yang bertaring itu, dia merasa jijik dan malu. Kalau tertawa, ayahnya amat menyeramkan seperti iblis saja, atau seperti seekor binatang buas!

"Kenapa Ayah tinggal di tempat orang 1ain!"

"Hek-hwa Lo-kwi bukan orang lain, anakku. Dia seorang sekutu!"

"Hemmm, agaknya Ayah sudah main-main lagi dengan persekutuan. Apakah Ayah tidak jera setelah mengalami kegagalan ketika Ayah membantu pemberontak she Liong dahulu itu? Hampir saja Ayah celaka dan kehilangan banyak anak buah."

"Hemmmm, sekali ini lain lagi persoalannya, anakku. Bukan pemberontak biasa yang kubantu, melainkan seorang pangeran tulen, dari kerajaan besar Nepal."

"Ahhh.... Ayah maksudkan orang she Liong itu? Peranakan Nepal putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong itu?"

"Benar, murid dari Ban Hwa Seng-jin, Koksu Nepal yang sakti. Dia seorang muda yang amat pandai, seorang calon kaisar yang amat hebat, heh-heh-heh!"

"Dan aku amat benci padanya!" tiba-tiba Hwee Li berkata.

"Ehhh, mengapa, anakku?"

"Kulitnya hitam coklat...."

"Menambah manis dan jantan!"

"Hidungnya melengkung.. .."

"Tanda dia bernafsu besar dan kuat, heh-heh!"

"Matanya cekung...."

"Itu menunjukkan bahwa dia memiliki kecerdikan...."

"Ah, pendeknya aku tidak suka kepadanya. Pandang matanya cabul dan genit, Ayah. Aku sudah ingin menamparnya ketika kami bertemu di sana dan dia memandangku dengan mata seolah-olah hendak menelanjangiku. Huh!"

"Ha-ha-ha, begitulah kalau seorang pria sudah jatuh cinta! Dan pria mana yang tidak akan tergila-gila kepada anakku yang cantik jelita dan manis ini? Haha-ha!"

"Ah, aku tidak suka kalau Ayah bicara seperti itu!" Hwee Li bersungut-sungut dan menjambak bulu di leher garudanya sehingga garuda itu memekik kesakitan dan terbang makin cepat lagi. Ayahnya hanya tertawa-tawa akan tetapi tidak bicara lagi karena maklum bahwa puterinya masih marah-marah.

Benarkah ucapan Hek-tiauw Lo-mo, ayah Hwee Li itu, bahwa dia kini telah menjadi sekutu dari Hek-hwa Lo-kwi ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan betapa dahulu, Hek-tiauw Lo-mo pernah bermusuhan secara hebat dengan Hek-hwa Lo-kwi. Hek-hwa Lo-kwi dahulu bernama Thio Sek, seorang pelayan dari manusia dewa yang amat terkenal sebagai penghuni Istana Gurun Pasir dan dikenal sebagai Go-bi Bu Beng Lojin atau juga Si Dewa Bongkok. Sebagai pelayan manusia sakti ini, tentu saja Hek-hwa Lo-kwi juga memiliki kepandaian tinggi. Pada suatu hari, muncullah Hek-tiauw Lo-mo untuk mencuri kitab pusaka milik Si Dewa Bongkok. Dengan hekerja sama bersama Thio Sek, berhasillah dua orang ini mencuri sebuah kitab pusaka tentang ilmu pukulan beracun. Keduanya lalu melarikan kitab itu, akan tetapi, di tengah jalan mereka bercekcok dan saling memperebutkan kitab. Mereka bertanding dan karena keduanya memiliki tingkat kepandaian yang seimbang, akhirnya mereka menguasai seorang separoh dari kitab yang terobek dalam perebutan itu. Mereka mempelajari bagian masing-masing dan sampai bertahun-tahun menjadi musuh, akan tetapi keadaan mereka selalu seimbang. Dua orang yang tadinya menjadi kawan ketika maling kitab, berubah menjadi musuh. Akan tetapi kini, dengan munculnya Liong Bian Cu, Pangeran Nepal yang pandai menarik hati orang-orang kang-ouw itu, mereka menjadi sekutu lagi. Sekali ini, keduanya yang sudah merasa tua ingin sekali memperoleh kedudukan, mengandalkan kedudukan Pangeran Nepal itu, agar mereka kelak akan mengakhiri kehidupan mereka sebagai pembesar-pembesar terhormat!

Ketika Hek-tiauw Lo-mo mengunjungi lembah itu, tadinya dengan maksud menentang Hek-hwa Lo-kwi, dia bertemu dengan Liong Bian Cu, Ban Hwa Sengjin dan para pembantu pangeran itu. Liong Bian Cu berhasil membujuk Hek-tiauw Lo-mo dan akhirnya Hok-tiauw Lo-mo terpikat pula, bahkan lalu masuk dalam persekutuan itu, apalagi ketika dia melihat betapa keadaan Liong Bian Cu sebagai pangeran dan sebagai murid Koksu Nepal, amatlah kuatnya. Dia mendengar bahwa puterinya telah mewakili dia mengunjungi lembah itu, dan giranglah hatinya ketika dalam pembicaraannya dengan Pangeran Nepal itu, dia mendengar bahwa pangeran itu ternyata amat tertarik dan agaknya jatuh hati kepada puterinya! Kalau saja dia dapat menjadi mertua dari Pangeran Nepal ini. Dan kelak, kalau pangeran ini menjadi Raja Nepal, dia menjadi mertua raja! Apalagi kalau pangeran ini berhasil menjadi kaisar, dia menjadi mertua kaisar. Pangkat dan kemuliaan apalagi yang dapat lebih tinggi lagi daripada itu? Maka dia lalu berpamit dari lembah dan pergi untuk mencari puterinya, dengan satu tujuan di dalam benaknya, yaitu dengan cara apa pun dia akan menyerahkan puterinya kepada Liong Bian Cu sebagai Isterinya! Beberapa orang anak buahnya membantunya mencari Hwee Li! dan akhirnya dia menemukan puterinya itu di tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Atas petunjuk Hek-tiauw Lo-mo, Hwee Li menyuruh garudanya menukik turun. Dari atas dia sudah melihat lembah itu dan dia memandang heran. Lembah yang dikenalnya sebagai tempat tinggal atau sarang Hek-hwa Lo-kwi itu kini telah berubah. Masih sukar untuk didatangi dari darat tanpa melalui jalan rahasia, akan tetapi kini dari atas nampak betapa lembah itu telah dikurung air!

Ternyata bahwa air yang meluap dan membanjiri lembah akibat ledakan-ledakan alat peledak Siluman Kucing dahulu itu, telah membentuk genangan air seperti telaga di sekitar lembah dan oleh Hek-hwa Lo-kwi, air itu malah dipergunakan untuk memperkuat bentengnya. Dengan adanya air yang mengurung lembah itu, maka makin sukarlah bagi orang luar untuk dapat menyerbu ke lembah. Mereka harus lebih dulu menyeberangi air yang lebarnya lebih dari dua puluh tombak itu, air yang cukup dalam karena oleh Hek-hwa Lo-kwi telah digali dan diperdalam dan tidak ada jembatan yang menghubungkan lembah dengan seberang air seperti sungai atau telaga itu.

Garuda itu menukik turun dan akhirnya hinggap di atas tanah di depan bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Hek-hwa Lo-kwi. Dari atas sudah nampak banyak orang berdiri di luar bangunan itu menyambut kedatangan ayah dan anak yang aneh itu. Ketika Hwee Li dan ayahnya meloncat dari atas punggung garuda, dara ini memutar tubuh dan memandang. Alisnya berkerut ketika wajah pertama yang dilihatnya justeru adalah wajah yang amat dibencinya, wajah Liong Bian Cu sendiri! Laki-laki yang tinggi tegap ini memakai pakaian indah, dan dia sudah menjura dengan hormatnya dan tersenyum penuh keramahan kepada Hwee Li.

"Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, sungguh mengagumkan sekali betapa dalam waktu singkat Locianpwe dapat menemukan puterimu!" katanya kepada Hek-tiauw lo-mo yang tertawa bergelak penuh kebanggaan.

"Nona Hwee Li, selamat datang di lembah dan mudah-mudahan engkau tadi menikmati perjalanan menyenangkan sekali," katanya kepada Hwee Li sambil tersenyum. Giginya putih dan rata, hidungnya yang agak melengkung itu bergerak-gerak. Sesungguhnya pria ini cukup tampan dan juga gagah sekali, akan tetapi entah mengapa, Hwee Li merasa tidak suka kepadanya. Agaknya hal itu ditimbulkan oleh pandang mata yang memang jalang dan menembus itu, yang terpancar dari sepasang mata yang cekung dan tajam bukan main.

"Hemmm....!" Hwee Li hanya mengeluarkan suara dari hidungnya tanpa menjawab.

"Hwee Li, engkau diajak bicara oleh Pangeran. Jawablah, jangan membikin malu Ayahmu seolah-olah engkau tidak pernah dididik kesopanan!" kata Hek-tiauw Lo-mo kepada puterinya.

Makin dalam kerut pada alis dara itu. Dia merasa makin tidak senang dan juga terheran-heran. Sejak kapankah ayahnya menjadi seorang penjilat dan seorang yang mengenal kesopanan? Biasanya, dahulu dia yang sering kali merasa malu karena ayahnya adalah seorang yang sama sekali tidak mempedulikan tata susila atau sopan santun! Karena di situ terdapat banyak orang, dan tentu, saja dia tidak mau membikin malu ayahnya, maka dia lalu balas menjura kepada pangeran itu dan berkata dengan suara kaku, "Terima kasih, Ayahku memaksa aku berkunjung ke sini, mudah-mudahan tidak mengganggu siapa pun!" Sambil berkata demikian, dia

melirik kepada Hek-hwa Lo-kwi yang dia tahu adalah tuan rumahnya.

Kembali dia terheran-heran, karena Hek-hwa Lo-kwi hanya mengangguk sambil tersenyum saja sedangkan yang menjawabnya adalah pangeran itu, "Ha-haha.... tidak sama sekali, Nona! Saya percaya bahwa Hek-hwa Lo-kwi locianpwe bahkan akan merasa terhormat dan girang dengan kunjunganmu ini. Siapa yang tak kan merasa terhormat dan gembira menerima kunjungan seorang seperti engkau, Nona? Nona tentu telah merasa lelah sekali, maka silakan Nona beristirahat di kamar yang telah kami sediakan, menyegarkan diri baru kemudian kita makan dalam pesta yang kami selenggarakan untuk menyambut kedatangan Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dan Nona Kim Hwee Li!" Pangeran itu bertepuk tangan dan muncullah empat orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu.

"Kalian antar Nona Hwee Li ke kamarnya dan layani baik-baik!" perintah pangeran itu.

"Silakan, Siocia...." seorang pelayan memberi hormat kepada Hwee Li.

Dara ini tadinya hendak menolak. Tidak biasa dia diperlakukan seperti seorang puteri dan dilayani orang, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan mata ayahnya, dia melihat ayahnya menganggukkan kepala dan pandang matanya ayahnya itu seperti dia memaksanya. Dengan gerakan marah dia memutar tubuh lalu mengikuti para pelayan itu memasuki gedung yang besar dan akhirnya dipersilakan masuk ke sebuah kamar yang amat indah. Begitu masuk, Hwee Li terpesona. Hebat bukan main kamar ini.

Selain besar dan luas, juga dihias seperti kamar seorang puteri istana saja layaknya.

Dia berdiri dan memandang ke kanan kiri. Sebuah dipan berada di tengah kamar, dipan yang terbuat dari kayu indah terukir dan terhias emas dan permata, terletak di atas permadani merah yang tebal dan berbulu, permadani yang terhampar memenuhi kamar itu. Di dekat pembaringan terdapat meja dengan empat kursinya dari kayu ukir-ukiran dan halus mengkilap amat indahnva, merupakan hassil seni ukir yang mentakjubkan. Pot-pot bunga berukiran gambar naga dan burung dewata menghias sudut-sudut kamar dan di sebelah kiri nampak meja rias yang mungil, dengan piring cermin dari perak mengkilap tergantung di dinding, dan di atas meja itu nampak lengkap alat-alat rias seperti bedak, yan-ci (pemerah pipi), gincu, sisir, tusuk konde emas, minyak wangi dan sebagainya. Dan dari pintu kecil di belakang yang menyambung dengan kamar itu, yang daun pintunya terbuka sedikit, nampak kolam mandi dari batu pualam! Sebuah kamar yang amat indah dan mewah dan dari jendela yang bentuknya seperti bulan purnama dan terhias pot-pot bunga itu dia dapat melihat sebuah kamar kecil yang indah pula di luar kamar. Benar-benar merupakan kamar seorang puteri raja!

"Siocia, mari kami bantu Siocia menanggalkan pakaian...."

"Biar kami membantu Siocia mandi...."

"Rambut Siocia kusut dan agak kotor terkena debu, perlu dikeramasi lalu disikat...."

Empat orang pelayan itu menghampir Hwee Li dan mengulurkan tangan hendak membantu dara itu agar menanggalkan pakaian untuk mandi. Hwee Li membelalakkan matanya dan mengepal tinju, lalu menghardik, "Pergi kalian dari sini!"

Empat orang pelayan itu terkejut, akan tetapi mereka telah menerima perintah dari majikan mereka untuk melayani nona ini sebaiknya, "Siocia, kami...."

"Cukup! Cepat kalian menggelinding keluar dari kamar ini, kalau tidak, akan kulemparkan kalian satu demi satu!"

"Siocia...." Mereka masih nekat. Mereka adalah empat orang di antara para pelayan Pangeran Nepal itu dan mereka adalah pelayan-pelayan terlatih yang menguasai ilmu silat dan ilmu gulat, maka ancaman Hwee Li tidak membuat mereka takut. Mereka sudah terlatih dan sudah biasa menghadapi dara cantik jelita yang dipersiapkan untuk melayani majikan mereka. Dan biarpun mereka udah mendengar bahwa puteri Hek-tiauw Lo-mo ini memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak khawatlr karena mereka mengira bahwa sepandai-pandainya seorang dara remaja seperti ini, mana mungkin dapat mengalahkan mereka berempat? Apalagi mereka melihat bahwa Hwee Li begitu cantik dan masih begitu muda, dan mereka dapat melihat dari sikap Pangeran Liong Bian Cu

bahwa pangeran itu benar-benar jatuh cinta kepada dara ini sehingga sebelum dara ini tiba pun kamar yang amat indah itu telah dipersiapkan olehnya! Maka, mereka berempat tentu saja tidak mau meninggalkan Hwee Li, karena kalau mereka mampu membujuk sehingga dara ini dengan hati terbuka mau melayani majikan mereka, mau menerima cintanya, tentu mereka akan menerima ganjaran besar!

"Siocia, kami hanya membantu...."

"Cerewet!" bentak Hwee Li, dan dia menggerakkan tangan kirinya untuk mendorong. Akan tetapi, dengan cepat wanita itu mengelak ke kanan dan tiba-tiba saja tangannya telah menangkap pergelangan tangan kiri Hwee Li. Itulah gerakan seorang ahli gulat yang amat cekatan dan biarpun pelayan itu berlaku hati-hati sehingga tangkapannya tidak akan menyakitkan orang, namun jelas bahwa di bawah kulit telapak tangannya terkandung getaran tenaga yang kuat sehingga tangkapan itu pun erat sekali!

"Kalian mencari mampus!" Hwee Li berseru ketika tiga orang pelayan yang lain juga sudah memegangnya dari kanan kiri dan belakang. Tiba-tiba Hwee Li mengguncang tubuhnya sambil mengerahkan sinkangnya. Tentu saja empat orang pelayan itu sama sekali bukan lawan puteri majikan Pulau Neraka ini. Mereka terguncang dan pegangan mereka terlepas semua, kemudian sebelum mereka tahu apa yang menimpa mereka, tubuh mereka satu demi satu melayang keluar deri pintu kamar mewah itu. Terdengar suara hiruk-pikuk ketika tubuh empat orang pelayan itu terbanting di luar kamar, diiringi keluhan dan rintihan mereka.

Tiba-tiba di luar pintu itu muncul Liong Bian Cu diiringi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu memandang kepada puterinya dan menegur, "Eh, Hwee Li, apa yang terjadi? Apa yang kaulakukan tadi?" Kembali Hwee Li merasa terheran karena jelas bahwa di dalam pertanyaan ayahnya itu mengandung penyesalan terhadapnya dan terkandung rasa sungkan terhadap Sang Pangeran Nepal itu! Diam-diam dia merasa muak dan marah. Mengapa ayahnya menjadi seorang penjilat? Mana kegagahan ketua Pulau Neraka?

"Mereka layak dihajar!" katanya tak acuh dan sama sekali tidak takut menghadapi Pangeran Nepal itu.

Liong Bian Cu tersenyum lebar dan menjura, sikapnya halus memikat. "Maaf, Nona. Apakah empat orang pelayan itu bersikap kurang ajar kepadamu? Apakah mereka tidak menyenangkan hatimu? Kalau begitu, katakanlah dan aku akan membunuh mereka atau menyiksa mereka di depan kakimu sekarang juga!"

Hwee Li ce mberut. Sikap ayahnyalah yang membuat dia marah, bukan sikap pangeran itu. Kalau saja ayahnya tidak bersikap seperti itu, berubah sama sekali daripada biasanya, agaknya sikap pangeran ini akan menyenangkan hatinya juga. Maka kemarahannya lalu dia lontarkan kepada pangeran itu dengan kaku dan kasar dia menjawab, "Mereka adalah orang-orangmu. Mau siksa atau mau bunuh terserah, tiada sangkut-pautnya dengan aku!" Lalu dia membuang muka, kedua pipinya merah dan terasa panas karena marahnya.

"Hwee Li!" Ayahnya membentak marah. "Pangeran telah bersikap demikian hormat dan ramah kepadamu, pantaskah sikap dan jawabanmu ini?"

Hwee Li menoleh kepada ayahnya. Mereka saling pandang dan baru sekarang Hwee Li melihat pandang mata ayahnya kepadanya demikian penuh kemarahan. Selamanya, pandang mata ayahnya kepadanya selalu lembut dan penuh kasih sayang, akan tetapi sekarang ayahnya memandangnya dengan mata melotot marah. Hal ini amat menyakitkan hatinya dan tak terasa lagi dua titik air mata membasahi matanya!

"Sudahlah, Locianpwe, jangan marah kepadanya. Nona Hwee Li, kalau para pelayanku tidak menyenangkan hatimu, biarlah aku yang minta maaf kepadamu!" Sambil berkata demikian, pangaran itu benar-benar menjura kepada Hwee Li!

Diam-diam gadis ini terkejut dan merasa heran juga. Pangeran ini ternyata seorang yang amat hormat kepadanya, sungguhpun pandang matanya amat menjijikkan dan membuat dia merasa seperti telanjang bulat kalau berhadapan dengan pangeran itu. Melihat sikap yang amat hormat ini, juga amat merendah, padahal pemuda berusia tiga puluhan tahun ini benar-benar seorang pangeran yang kaya raya dan berpengaruh, pula melihat betapa ayahnya marah-marah kepadanya, maka kemendongkolan hatinya agaknya mereda. Biarpun sikapnya masih acuh tak acuh, namun suaranya tidaklah sekaku dan sekasar tadi ketika dia berkata kepada Liong Bian Cu.

"Mereka tidak apa-apa, hanya aku tidak senang dilayani, aku ingin tinggal sendiri di kamar ini"

"Eh, begitukah? Baiklah, Nona." Dia lalu menoleh kepada empat orang pelayan wanita yang sudah berlutut di situ dengan muka pucat dan sikap ketakutan. Hwee Li percaya bahwa sekali dia bilang "mati", agaknya tak dapat diragukan lagi pangeran itu tentu akan membunuh mereka berempat!.

"Hei, dengarkan baik-baik kalian berempat! Kalian sama sekali tidak boleh masuk ke dalam kamar ini, melainkan siap di luar kamar dan baru masuk kalau Siocia memanggil dan membutuhkanmu. Mengerti?" Empat orang itu lalu memberi hormat dengan dahi menyentuh lantai.

"Nah, beristirahatlah, Nona Hwee Li. Sebentar lagi kita bertemu lagi di ruang dalam, di mana akan diadakan pesta perjamuan makan untuk menyambut kedatanganmu." Pangeran itu menjura lagi lalu pergi, diikuti oleh Hek-tiauw Lo-mo yang melirik penuh desakan kepada puterinya.

Setelah mereka pergi, dan melihat empat orang. pelayan itu masih berlutut di situ, Hwee Li menutupkan daun pintu keras-keras dengan hati mengkal. Lalu dia menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kasur itu bergoyang-goyang naik turun, mengayun-ayun tubuhnya. Ternyata pembaringan itu selain berkasur tebal juga dipasangi per sehingga amat enak di tiduri.

Hwee Li memejamkan matanya, lalu membukanya lagi, termenung. Dia sungguh merasa penasaran dan heran melihat perubahan pada watak ayahnya. Akan tetapi, ayahnya adalah seorang yang dikenalnya sebagai orang yang amat cerdik. Tidak mungkin ayahnya menjadi penjilat. Tentu ada apa-apa di balik semua sikap ayahnya itu. Ayahnya sedang bersiasat! Pikiran ini mengusir rasa penasaran di hatinya, dan tak lama kemudian wajah yang cantik itu telah berseri kembali. Sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia duduk di depan meja rias dan memandangi wajahnya sendiri. Dia membuat berbagai gerakan dengan lehernya, menggerakkan kepalanya miring ke kanan dan ke kiri, lalu menggerak-gerakkan alisnya, matanya, hidungnya dan mulutnya. Dia merasa huas. Dia cantik memang! Dan timbul rasa bangga di hatinya.

Pangeran hidung betet itu agaknya tergila-gila kepadanya! Kini baru terasa olehnya betapa mesra pandang mata pangeran itu, betapa halus dan hormat sikapnya. Bahkan pangeran itu tidak segan-segan untuk menjura dan minta maaf kepadanya untuk urusan kecil tadi!

Hwee Li adalah seorang gadis yang mempunyai watak lincah jenaka dan gembira, maka dia tidak bisa lama-lama berada dalam keadaan marah atau berduka. Sesaat kemudian dia sudah merendam tubuhnya di kolam mandi dan terdengar mulutnya bersenandung! Setelah merasa tubuhnya segar sekali, dia keluar dari kolam, mengeringkan tubuhnya dengan kain bersih yang tersedia di situ, kemudian keluar dari kamar mandi, kembali ke dalam kamar dalam keadaan telanjang bulat. Seperti seekor kijang muda dia melangkah kecil-kecil menuju ke depan meja rias, memutar-mutar tubuhnya yang telanjang di depan cermin perak, mengagumi bentuk tubuhnya sendiri yang padat dengan lekuk lengkung sempurna itu, kulitnya yang putih halus, mengagumi dadanya yang sebagian tertutup oleh rambutnya yang hitam halus, membayangkan bukit-bukit dadanya dan timbul kebanggaan di dalam hatinya. Dia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar, bagaikan sebutir buah yang sedang meranum. Kesadaran bahwa dia cantik dan memiliki tubuh yang indah, mendatangkan kebanggaan dan dia berjanji dalam hati tidak akan menyerahkan dirinya secara murah kepada siapa pun, apalagi kepada pangeran berhidung betet itu!

Ketika Hwee Li mengambil pakaiannya yang tadi ditanggalkannya dan ditumpuknya di atas pembaringan, alisnya berkerut. Tubuhnya sudah segar dan bersih, akan tetapi pakaiannya itu sudah kusut dan kotor! Dia teringat akan lemari yang berdiri di sudut kamar. Dihampirinya lemari itu dan dibukanya. Penuh dengan pakaian! Pakaian wanita, serba indah dan semua terbuat daripada kain sutera yang mahal! Dipilihya pakaian dalam dan celananya yang terbuat dari kain tipis licin berwarna merah muda, didekatkan kepada tubuhnya. Ukurannya persis! Dia terheran-heran. Milik siapakah pakaian-pakaian ini? Kenapa semua masih baru dan belum ada yang bekas? Dan kenapa pula ukuran tubuh pemilik pakaian itu sama benar dengan ukuran tubuhnya? Dipakainya pakaian dalam itu. Dan memang benar dugaannya. Persis betul seperti memang sengaja dibuat untuk dia! Dipilihnya baju dan celana berwarna biru. Dia paling suka memakai pakaian hitam, akan tetapi pakaian selemari itu tidak ada yang hitam, maka dia memilih yang biru tua, satu-satunya warna yang mendekati warna hitam. Lalu dipakainya pula. Ketika dia sedang menyisir rambutnya di depan kaca rias, daun pintunya terketuk dari luar. Hwee Li mencelat kaget. Dia merasa "berdosa" karena telah memakai pakaian orang lain dan tiba-tiba daun pintu terketuk, maka tentu saja dia kaget bukan main.

"Siapa?" bentaknya, karena dia mengira bahwa yang mengetuk pintu tentulah pangeran ceriwis itu, maka disambutnya lebih dulu dengan suara ketus.

"Hwee Li, bukalah pintunya. Aku mau bicara denganmu."

Suara ayahnya! Hwee Li lalu menghampiri pintu dan sebelum membukanya dia bertanya, "Ayah datang dengan siapa? Kalau sendirian baru aku mau membuka pintu."

"Ha-ha-ha, anak bodoh. Tentu saja aku datang sendirian. Bukalah!"

Hwee Li membuka pintu dan ayahnya masuk ke dalam kamar sambil membelalakkan matanya, hidungnya yang besar berkembang-kempis dan dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh kagum. "Hemmm, harumnya! Dan kau begini segar, dan pakaian biru itu pantas sekali bagimu!"

"Ayah, aku lebih senang pakaian hitamku sendiri. Akan tetapi pakaianku kotor dan aku pinjam pakaian orang yang berada di dalam lemari itu...." Dia menuding ke arah lemari di sudut.

"Pakaian orang? Ha-ha-ha, anak bodoh. itu adalah pakaianmu semua! Dan hal itu membuktikan kebaikan hati Pangeran Liong Bian Cu kepadamu, kepada kita! Sungguh, selama hidupku belum pernah aku bertemu orang sebaik dia. Selain kamar ini yang sudah dipersiapkan sebelum kau datang, juga pakaian-pakaian itu telah disuruhnya buat untukmu, Hwee Li"

"Ahhh....!" Hwee Li terkejut sekali. "Dia membuatkan pakaian untukku? Bagaimana bisa, begini pas ukurannya?"

"Ha-ha-ha, tentu. saja aku yang memberi tahu."

"Ayah! Kenapa Ayah begitu.... merendah kepadanya? Kalau ini pakaian yang sengaja dia buatkan untukku, biarlah aku memakai pakaianku sendiri!" Hwee Li sudah memegang bajunya seperti orang hendak menanggalkannya.

"Eh, eh.... jangan begitu Hwee Li. Kau tidak tahu! Duduklah dan dengarkan kata-kataku."

Hwee Li menjadi girang. Tepat dugaannya. Tentu ada apa-apanya di balik sikap ayahnya yang seperti menjilat-jilat pangeran itu. Maka dia lalu duduk menghadapi ayahnya, terhalang oleh meja berukir indah itu.

"Kau tidak tahu siapa Pangeran Liong Bian Cu. Dia adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan ibunya adalah Puteri Nepal, maka dia adalah cucu Raja Nepal sendiri! Dan siapa gurunya? Gurunya Adalah seorang manusia sakti yang tingkat kepandaiannya tinggi sekali, mungkin tidak kalah olehku, dan gurunya itu adalah koksu dari Nepal!"

"Hemmm, aku sudah mendengar akan hal itu, Ayah. Lalu apa artinya bagi kita?" Hwee Li menjawab dan bibirnya berjebi, memandang rendah pangeran itu.

"Artinya? Anak bodoh! Artinya, pangeran itu mempunyai kesempatan besar untuk menjadi Raja Nepal! Bukan itu saja, dia amat cerdik dan pandai, dengan mudahnya dia telah dapat menguasai Gubernur Ho-nan, dia mempunyai banyak pembantu yang amat lihai sehingga aku tidak ragu-ragu bahwa kelak dia akan berhasil menguasai daratan Tiongkok dan menjadi seorang kaisar!"

Hwee Li masih tersenyum mengejek. "Hemmm, habis mengapa? Dia boleh jadi raja neraka sekalipun, apa hubungannya dengan kita?"

Ayahnya membelalakkan matanya sampai lebar sekali. "Oooh-ho-hoh-ho! Engkau sungguh bodoh dan polos, tidak tahu apa-apa, anakku!"

"Tidak, Ayah. Aku tahu semuanya. Aku tahu bahwa Ayah menjilat-jilat karena Ayah ingin memperoleh kedudukan kelak di dekat pangeran itu. Bukan begitu?"

Hek-tiauw Lo-mo mengepal tinjunya. "Kaukira aku orang macam apa yang suka menjilat dan merendahkan diri begitu saja? Akan tetapi, aku makin tua, Hwee Li, dan selama ini aku hidup dalam dunia yang keras dan penuh dengan kesukaran, penuh kemiskinan dan kehinaan. Aku sudah tua. Aku ingin mati sebagai seorang yang terhormat dan mulia, seseorang yang berkedudukan tinggi. Aku tidak ingin kelak mati sebagai seorang liar dari Pulau Neraka. Tidak! Aku ingin mati meninggalkan nama sebagai seorang mulia, seorang bangsawan tinggi!"

"Hemmm, terserah kepada Ayah. Akan tetapi aku tidak sudi menjilat pangeran itu karena aku tidak menghendaki apa-apa darinya, Ayah. Bahkan pakaian ini pun tidak!" Berkata demikian, Hwee Li menyambar pakaian hitamnya sendiri dan lari ke dalam kamar mandi. Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kain dirobek-robek.

"Hwee Li, jangan begitu....! Jangan kau menyia-nyiakan kebaikan orang lain...."

"Peduli!" Hwee Li menjawab dengan marah dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi dari kamar mandi, kini mengenakan pakaian hitamnya sendiri sedangkan pakaian bagus berwarna biru dan pakaian dalam berwarna merah muda sudah robek-robek dan berserakan di kamar mandi.

Wajah kakek raksasa itu menjadi merah dan dia bangkit berdiri, memandang kepada puterinya yang juga berdiri di depannya dan menentang pandang mata ayahnya dengan berani. "Hwee Li, engkau adalah puteriku! Apakah engkau tidak mau mentaati perintahku? Apakah engkau hendak menjadi anak yang tidak berbakti?"

Hwee Li mengerutkan alisnya. "Ayah, aku tidak melarang Ayah menghambakan diri kepada pangeran itu, aku tidak menentang Ayah. Akan tetapi aku sendiri tidak mau ikut campur dan aku hendak pergi dari sini sekarang juga agar jangan berhutang budi kepada pangeran atau kepada siapa pun juga."

"Tidak boleh! Engkau harus berada di sini, Hwee Li, membantu usahaku!"

"Akan tetapi aku tidak butuh bantuan pangeran."

"Aku butuh! Dan aku ingin menjadi mertuanya, maka engkau tidak boleh pergi!"

Ucapan itu seolah-olah kilat yang menyambar kepala Hwee Li. Seketika wajahnya menjadi pucat sekali, lalu berubah merah dan matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika dia memandang ayahnya.

"Apa kata Ayah? Menjadi mertuanya? Jadi aku.... aku....!"

"Engkau akan menjadi isterinya, menjadi permaisurinyai, Dia amat mencintamu, Hwee Li. Dia berterus terang kepadaku bahwa dia telah jatuh hati kepadamu ketika untuk pertama kali bertemu denganmu di tempat ini. Ingat? Dan lihat betapa dia telah menyediakan segala-galanya untukmu. Engkau akan menjadi isteri pangeran, dan kelak menjadi Permaisuri Nepal, kemudian mungkin menjadi permaisuri kaisar! Dan aku mertua kaisar! Ha-ha, bukankah hebat sekali kedudukan kita kelak, anakku?

Akan tetapi Hwee Li sudah tidak mendengarkan kata-kata ayahnya lagi karena tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat keluar dari situ.

"Hwee Li.. ..!" Ayahnya mengejar.

"Ayah, aku mau pergi dari sini!" terdengar dara itu menjawab.

"Apa kau ingin Ayahmu menggunakan kekerasan?" bentak ayahnya sambil mengejar.

Jantung Hwee Li berdebar keras! Baru sekarang selama hidupnya dia diancam oleh ayahnya sendiri! Ayahnya yang dahulu selalu memanjakannya, yang tidak pernah bersikap keras kepadanya sungguhpun dia tahu ayahnya amat keras kepada orang lain. Dia terisak dan melanjutkan larinya. Dia tidak mempedulikan orang-orang yang memandangnya dengan heran di dalam gedung itu dan dia terus lari keluar dengan cepat, siap untuk menyerang siapa saja yang akan menghalangi larinya. Akan tetapi tidak ada orang yang menghalanginya, kecuali ayahnya yang mengejarnya dari belakang.

Semenjak dia menjadi murid Ceng Ceng dan juga menerima petunjuk dari suami subonya itu, Hwee Li telah memperoleh kemajuan hebat sehingga ginkangnya juga meningkat dengan luar biasa. Maka dia dapat melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan ayahnya. Banyak sekali para anggauta Huang-ho Kui-liong-pang yang melihat gadis ini berlari-lari dikejar ayahnya, akan tetapi mereka hanya memandang dan tidak berani mencampuri. Juga anak buah Liong Bian Cu hanya menonton. Bahkan di dalam larinya,

Hwee Li melihat Hekhwa Lo-kwi duduk di bawah sebatang pohon sambil tersenyum melihat Hek-tiauw Lo-mo mengejar-ngejar puterinya.

Hwee Li berlari cepat sampai di tempat lembah dan bukan main kagetnya ketika dia melihat telaga atau sungai menghadang di depannya. Dia berlari terus di sepanjang tepi sungai itu, akan tetapi sungai itu terus saja tiada putusnya karena air itu mengitari lembah! Teringatlah Hwee Li akan pemandangan lembah itu dari atas ketika dia datang bersama ayahnya menunggang garuda, maka dia tahu bahwa tempat itu memang sudah dikelilingi air yang amat luas. Melihat bahwa bayangan ayahnya tidak mengejarnya lagi, tiba-tiba Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring, memanggil burung garudanya. Beberapa kali dia melengking nyaring, akan tetapi garudanya tidak kunjung datang. Padahal biasanya, sekali saja dia memanggil, betapapun jauhnya garuda itu terbang, dia akan mendengar dan akan datang, atau setidaknya menjawab dengan lengking yang sama.

Kembali dia melengking nyaring dan sekali ini ada jawaban, akan tetapi jawaban itu membuat Hwee Li terkejut. Jawaban yang nyaring itu terdengar dari dalam gedung! Dan yang lebih menggelisahkan hatinya lagi, jawaban itu mengandung keluhan yang membuat dia mengerti bahwa garudanya berada dalam keadaan tidak berdaya untuk datang ke situ. Jelas bahwa garuda itu tentu telah diikat atau dikurung sehingga percuma saja dia memanggilnya!

"Hwee Li jangan pergi....!"

Hwee Li meloncat dan lari lagi ketika mendengar suara ayahnya itu. Kini dia lari sambil meneliti dan tiba-tiba hatinya girang melihat sebuah perahu di tepi pantai. Cepat dia menghampiri perahu itu, menyambar dayungnya, lalu mengempit perahu itu sambil mengerahkan tenaganya dan membawanya lari ke air. Dia melontarkan perahu itu ke atas air, lalu meloncat ke dalamnya dan mendayung secepatnya ke tengah!

Hatinya sudah merasa lega dan girang karena dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Begitu terkena air, perahu itu pecah-pecah dan sambungannya terlepas! Tentu saja tanpa dapat dicegah lagi, dia tercebur ke dalam air! Padahal, sungai itu amat luas dan dia baru saja meninggalkan pantai lembah. Untuk berenang menyeberangi sungai itu sama dengan membunuh diri, karena dia bukan ahli, biarpun dia dapat berenang sekedar untuk mencegah agar dia tidak tenggelam saja. Maka terpaksa dia menggerakkan kaki tangannya berenang kembali ke pantai,

pantai lembah, bukan pantai di seberang!

Ketika dengan pakaian dan rambut basah kuyup, dengan mulut menyumpah-nyumpah, dia merangkak. keluar dari air, dia disambut oleh suara ketawa ayahnya yang sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bersedakap. Begitu mendongkol hati Hwee Li sehingga kalau saja bukan ayahnya yang mentertawakan, tentu orang itu akan diserangnya atau dimakinya habis-habisan. Dia hanya berdiri melotot memandang kepada ayahnya, penuh kemarahan.

"Ayah, kau.... kau kejam!" akhirnya dia berkata dan menangis terisak-isak.

Ayahnya menghampirinya. "Hwee Li, siapa bilang aku kejam? Engkaulah yang terlalu, tidak mau mentaati perintah Ayahmu. Aku ingin mengangkat dirimu menjadi seorang yang mulia dan terhormat, akan tetapi engkau malah hendak menghancurkan rencana hidup Ayahmu. Jangan kira kau akan dapat pergi dari sini, anakku. Mau atau tidak mau, engkau harus menjadi isteri pangeran yang cinta kepadamu."

Watak Hwee Li memang keras. Begitu mendengar kata-kata "harus", dadanya diangkat, kepalanya ditegakkan, dan dia bertanya dengan air matanya bercampur dengan air sungai yang mengalir turun dari rambutnya, "Kalau aku tidak sudi?"

"Kau akan dipaksa! Nah, boleh kaupilih. Engkau me njadi isterinya secara terhormat atau menjadi isterinya dengan lebih dulu dipaksa, seperti seekor kuda betina liar yang dijinakkan!"

Hwee Li membelalakkan, kedua matanya, hampir tidak dapat percaya akan kata-kata ayahnya. Tidak mungkin ayahnya akan berbuat sekeji, itu. "Ayah! Kau.... kau...." dia tidak dapat melanjutkan, hanya menangis keras.

"Tiada gunanya engkau menangis, Hwee Li. Kalau engkau mentaati permintaanku, berarti engkau menjadi puteriku tersayang, akan tetapi kalau kau menentang kehendakku, berarti engkau adalah musuhku! Dan engkau tahu apa jadinya dengan musuh Hek-tiauw Lo-mo!"

"Biar sampai mati aku tidak sudi! Aku mau melihat siapa berani memaksaku!" Tiba-tiba Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya terkepal, pakaiannya basah kuyup sehingga menempel ketat di tubuhnya, membuat lekuk-lengkung tubuhnya nampak nyata.

"Hemmm, engkau tidak akan mati, akan tetapi aku yang akan menundukkanmu, anak bandel!" bentak Hek-tiauw Lo-mo.

"Aku adalah anakmu, aku tidak akan melawan Ayahku sendiri, akan tetapi kalau aku hendak kau umpankan kepadanya, seperti mengumpankan kelinci untuk dimakan srigala, aku akan melawan!" kata Hwee Li.

"Huh, agaknya gurumu telah mendidikmu untuk menjadi anak durhaka terhadap ayahnya. Nah, coba kaulawan aku!" Hek-tiauw Lo-mo lalu menubruknya dan mencengkeram pundak puterinya.

Hwee Li cepat mengelak dan balas menyerang dengan dahsyat sehingga ayah dan anak itu lalu saling serang dengan hebat dan serunya di tepi sungai itu! Hwee Li maklum bahwa kalau dia tidak dapat menangkan ayahnya, harapannya untuk lari habis sama sekali, dan entah apa yang akan menimpa dirinya, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dia tahu bahwa dia tidak boleh menggunakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, karena hal itu akan percuma saja karena tentu ayahnya lebih mahir. Maka dia selalu bergerak menurut petunjuk Ceng Ceng dan suami subonya itu. Sebetulnya, dari Ceng Ceng, seperti pernah dijanjikan oleh subonya itu dahulu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali), dara ini hanya diberi pelajaran tentang racun-racun yang paling hebat dan penolaknya. Akan tetapi karena Ceng Ceng merasa suka kepada muridnya yang lincah jenaka ini, dia juga mengajarkan Ilmu Pukulan Sin-liong-kun, yaitu semacam ilmu silat yang diciptakan dengan bantuan suaminya, yang disaring dari ilmu-ilmu silat yang dikenalnya lalu ditambah dengan beberapa gerakan yang mengambil dari ilmu mujijat Sin-liong ciang-hoat, ilmu yang hanya dapat dipelajari dan dikuasai oleh seorang yang buntung lengannya seperti Kao Kok Cu.

Akan tetapi betapapun lihainya Hwee Li, tentu saja dia masih belum mampu menandingi Hek-tiauw Lo-mo! Beberapa kali dia sudah kena ditampar oleh ayahnya, yang tidak ingin melukai puterinya, maka yang ditamparnya hanya bagian tubuh yang tidak berbahaya seperti di bahu dan pundak, akan tetapi yang cukup membuat tubuh Hwee Li terpelanting dan terguling-guling. Akan tetapi, setiap kali roboh, Hwee Li meloncat bangun kembali dan menyerang dengan ganas! Dia sudah nekat dan ingin mati di tangan ayahnya sendiri daripada harus menyerahkan dirinya kepada Pangeran Liong Bian Cu!

"Hyaaaaattttt....!" Tiba-tiba dia melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan meluncur lurus ke depan, kedua tangannya menusuk seperti pedang selagi tubuhnya melayang di udara. Inilah jurus yang amat hebat dari Sin-long-kun, yang mengandung unsur ilmu mujijat Sin-liong hok-te dari Kao Kok Cu!

"Ihhh....!" Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main karena dari serangan ini menyambar hawa dahsyat yang membuat dia terjengkang. Akan tetapi, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi yang mengenal pukulan mujijat, dia tidak berani menangkis dan cepat dia melempar tubuh ke belakang terus bergulingan. Dia meloncat bangun dan mukanya berubah. Nyaris dia roboh oleh pukulan mujijat itu.

"Bocah durhaka!" Dia membentak dan menubruk maju begitu melihat Hwee Li melayang turun, tubrukan dari belakang yang dahsyat. Hwee Li bergerak ke samping, kakinya melayang untuk menyambut serangan ayahnya dengan tendangan.

"Plakkk!" Ayahnya menangkis, demikian keras tangkisannya sehingga tubuh Hwee Li terhuyung. Kembali gadis itu melempengkan kedua lengan, untuk mengulangi serangannya yang hampir berhasil tadi. Akan tetapi tiba-tiba ayahnya sudah menyerang lagi, menyerang dari bawah ke arah kedua kakinya. Melihat hebatnya serangan kaki ayahnya yang menyerampang ini, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas.

"Wuuuuuttttt....!" Hwee Li terkejut. Hendak mengelak namun terlambat dan tubuhnya sudah tercakup oleh sinar hitam yang ternyata adalah jala tipis yang tadi dipergunakan oleh Hek-tiauw Lo-mo selagi tubuh Hwee Li meloncat ke atas.

"Cukup, Locianpwe!" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan tahu-tahu di situ telah berdiri Liong Bian Cu dengan sikapnya yang ramah. Pangeran ini berkata, "Andaikata bukan Locianpwe yang melakukan hal ini, terhadap Nona Hwee Li, tentu akan berhadapan dengan aku dan aku belum puas kalau belum menyiksanya!"

Hek-tiauw Lo-mo membungkuk, "Anak ini tidak bisa dibujuk dengan halus, Pangeran. Terpaksa saya sebagai orang tuanya menundukkannya. Sekarang kuserahkan kepada Pangeran untuk menjinakkan dia. Ha-ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo menyerahkan tali jala itu kepada Pangeran Nepal itu.

Liong Bian Cu menerima tali itu, lalu menghampiri Hwee Li yang masih rebah miring di dalam jala. "Marilah, Nona, biar aku merawatmu, Nona...." Dia membungkuk dan hendak memondong tubuh itu.

Hwee Li yang kini mengalihkan kemarahan dan kebenciannya kepada pangeran ini yang dianggapnya sebagai biang keladi perubahan sikap ayahnya, diam-diam menanti dan begitu pangeran itu membungkuk, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya menghantam sekuat tenaga! Akan tetapi, dia merasa pundaknya ditekan dan tenaganya lenyap, pukulannya tidak dapat dilakukan dan terhenti setengah jalan.

"Tenanglah, Nona, dan percayalah bahwa aku tidak tega untuk menyakitimu," kata pangeran itu dengan tenang dan tiba-tiba Hwee Li merasa tubuhnya diangkat dan dipondong oleh pangeran itu, dibawa ke arah gedung. Semua orang yang melihat dan bertemu di jalan, membungkuk dengan penuh hormat kepada pangeran itu yang bersikap seolah-olah tidak melihat mereka, sikap angkuh seorang pangeran! Hwee Li tidak dapat meronta lagi, kedua tangannya seperti lumpuh dan tahulah dia bahwa pangeran yang kelihatan lemah lembut ini memang lihai sekali sehingga dia telah ditotoknya sebelum dapat menyerang. Dia pernah melihat pangeran ini dalam pertemuan dengan para tokoh dan yang dahulu pernah mendemonstrasikan kepandaiannya yang hebat. Dara ini

maklum bahwa menggunakan kekerasan akan percuma saja, karena selain pangeran ini sendiri amat lihai, juga di situ terdapat ayahnya yang agaknya siap untuk menggunakan kekerasan terhadap dirinya untuk memaksanya menjadi isteri pangeran ini. Belum lagi diperhitungkan adanya Hek-hwa Lo-kwi di situ, dan banyak anak buah Kui-liong-pang dan anak buah pangeran itu sendiri. Juga, biarpun belum dijumpainya, dia mendengar bahwa di situ terdapat pula guru pangeran ini, koksu dari Nepal yang menurut ayahnya memiliki kepandaian yang amat hebat, mungkin melebihi kepandaian ayahnya dan Hek-hwa Lo-kwi. Jelas bahwa mengandalkan kepandaian silatnya akan sia-sia belaka, maka dia harus berlaku cerdik.

Pangeran itu memondongnya dengan hati-hati dan membawanya kembali ke dalam kamarnya yang mewah. Dengan gerakan lembut dia merebahkan Hwee Li di atas pembaringan setelah melepaskan jala tipis itu. Sejenak dia berdiri di tepi pembaringan memandang wajah Hwee Li yang rebah terlentang. Dara itu gelisah sekali. Dia masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya dan dia tidak akan dapat melawan kalau pangeran itu melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Sepasang mata yang cekung dan tajam itu bersinar-sinar ketika menjelajahi tubuh Hwee Li dari rambut sampai ke kakinya. Tubuh yang terbungkus pakaian basah itu kelihatan seperti telanjang saja.

"Ah, betapa kejam ayahmu, Nona.. .. sungguh kasihan engkau...." kata pangeran itu dengan sikap menyayang sekali dan tangannya lalu memeriksa leher, pipi, dan pundak Hwee Li yang babak bundas karena dibanting-banting tadi. "Aku akan mengobatimu. Ah, kalau lain kali dia berani menyakitimu lagi, tentu akan kuhukum dia!"

Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. Hatinya lega. Biarpun dia masih muda sekali, namun sebagai seorang wanita, Hwee Li dapat merasakan bahwa pangeran ini sungguh mencinta dia. Sikapnya demikian lembut, cintanya demikian halus sehingga agaknya tidak perlu dikhawatirkan bahwa pangeran ini akan melakukan kekerasan terhadap dirinya. Akan tetapi, biarpun dia cerdik, dalam hal seperti ini, mengenai urusan cinta, dia masih asing sama sekali sehinga dia tidak tahu benar bagaimana dia harus bersikap terhadap musuh yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia tahu bahwa dari orang berkulit kehitaman ini mengancam bahaya yang amat hebat terhadap dirinya, namun perasaan wanitanya juga tahu bahwa pria ini amat mencintanya dan tidak akan suka melihat dia sengsara.

"Pangeran.... harap.... harap kau suka membebaskan aku.... dan biarkan aku pergi dari sini. Aku akan berterima kasih sekali kepadamu dan selamanya engkau akan kuanggap sebagai seorang yang amat baik."

Liong Bian Cu tersenyum, memandang mesra dan menggeleng kepala. "Jangan kita bicara tentang itu. Engkau perlu kuobati, akan tetapi pakaianmu basah. Engkau harus berganti pakaian lebih dulu. Ah, betapa kejamnya ayahmu.... sakit hatiku melihat engkau disiksa. Aku amat cinta kepadamu, Nona Hwee Li, dan kalau bukan ayahmu yang melakukan ini, pasti dia sudah kubunuh. Biar aku membantumu berganti pakaian...."

Jari-jari tangan pangeran itu menyentuh kancing-kancing di depan dadanya. Biarpun pangeran itu bersikap lembut dan sopan, namun Hwee Li terbelalak dan hampir menjerit. Sayang kaki tangannya masih belum dapat digerakkan, kalau tidak demikian, tentu dia sudah meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.

"Jangan....! Tidak.... jangan buka pakaianku....!" dia meratap.

Jari-jari tangan yang baru berhasil membuka dua buah kancing itu berhenti dan mata yang cekung itu menatap tajam, mulutnya tersenyum dingin. "Mengapa, Nona? Engkau basah kuyup dan dapat jatuh sakit. pakaianmu yang basah harus diganti dengan yang kering, baru, luka-lukamu akan kuobati sendiri...."

Hwee Li melihat sinar gembira di mata pangeran itu dan tiba-tiba jantungnya memukul keras. Agaknya di balik kelembutannya, di balik keramahan dan kesopanannya, pangeran ini memiliki watak aneh yang amat kejam. Agaknya pangeran ini akan bergembira melihat dia digerogoti rasa malu, tersiksa batinnya kalau ditelanjangi. Hwee Li tiba-tiba menekan perasaannya dan mukanya tidak lagi memperlihatkan rasa ngeri dan takut seperti tadi. Suaranya dingin dan tenang ketika dia berkata, "Pangeran, baru saja engkau mengatakan bahwa engkau amat mencintaku, akan tetapi sekarang engkau hendak melakukan penghinaan. Kalau perbuatanmu ini kaulanjutkan, aku akan merasa amat benci kepadamu!"

"Benci?" Pangeran itu mengerutkan alisnya. "Tidak bisa engkau membenciku, Nona, karena engkau akan menjadi isteriku yang terkasih. Aku hendak menolongmu, mengapa engkau membenciku?"

"Di luar banyak terdapat pelayan, mengapa engkau hendak mengganti sendiri pakaianku? Hal itu menandakan bahwa engkau sengaja hendak menghinaku, tidak memandang aku sebagai seorang gadis yang terhormat, yang tentu saja tidak sudi dilihat telanjang oleh seorang laki-laki."

Tangan itu meninggalkan baju Hwee Li dan pangeran itu tersenyum, mengangguk-angguk. "Sikapmu ini menambah besar cintaku, Nona. Engkau memang seorang gadis terhormat dan agung, patut menjadi calon isteriku." Pangeran itu bertepuk tangan dan masuklah empat orang pelayan tadi.

"Kalian bantu Nona Hwee Li berganti pakaian kering. Eh, Nona, engkau memilih pakaian yang berwarna apa?" Pangeran itu bertanya kepada Hwee Li, sikapnya ramah dan biasa seolah-olah gadis itu sedang dalam keadaan biasa, tidak tertotok seperti itu.

"Aku selamanya memakai pakaian hitam," jawab Hwee Li yang ingin mencegah pakaiannya diganti.

"Hei, kau! Cepat kausuruh penjahit membuatkan pakaian dari sutera hitam beberapa stel dan dengan cara kilat. Harus jadi sekarang juga!" Pangeran Liong Bian Cu berkata dan pelayan yang diperintahkannya itu cepat pergi. Lalu dia berpaling kepada Hwee Li. "Karena yang hitam sedang dibikin, harap kau suka memakai yang lain untuk sementara saja, Nona." Setelah berkata demikian, pangeran itu menggerakkan kakinya menuju ke pintu.

"Pangeran....!" Hwee Li tiba-tiba memanggil.

Liong Bian Cu membalikkan tubuhnya dan memandang dengan wajah berseri.

"Apalagi yang dapat kulakukan untukmu, Nona Hwee Li? Bukankah kau bilang bahwa engkau merasa terhina kalau.... terlihat olehku? Aku tahu engkau malu, biarlah aku keluar dulu dan nanti baru kuobati engkau...."

"Pangeran, engkau tentu maklum bahwa aku tidak akan dapat lolos dari sini. Di sana ada ayahku, ada Hek-hwa Lo-kwi, ada orang-orangmu, dan tempat ini terkurung air. Aku tidak akan mampu lolos dan hal ini aku tahu benar, maka aku pun tidak begitu tolol untuk mencoba melarikan diri."

Pangeran itu mengangguk-angguk. Engkau memang cerdik sekali, Nona. Kecerdikanmu makin mengagumkan hatiku dan makin memperdalam cintaku."

Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran ini mengaku cinta begitu saja di depan tiga orang pelayan yang masih berlutut di atas lantai, maka cepat-cepat dia berkata, "Kalau engkau sudah tahu bahwa aku tidak akan lolos atau melarikan diri, mengapa engkau masih menotokku? Apakah kau ingin menyiksaku, Pangeran? Bebaskan totokan ini...."

Pangeran itu melangkah menghampiri pembaringan. "Dan kau berjanji tidak akan memukul pelayan, tidak akan memberontak?"

"Aku bukan seorang tolol. Memberontak pun apa gunanya? Para pelayan ini tidak salah dan tidak tahu apa-apa. Tidak, aku tidak akan memukul mereka atau memberontak."

"Bagus, aku percaya kepadamu, Nona." Pangeran itu lalu menggerakkan tangan kanannya menotok kedua pundak Hwee Li dan seketika dara itu dapat menggerakkan kembali kedua lengannya. Ketika pangeran itu menotok pula punggungnya dan kedua kakinya juga dapat digerakkan, hatinya lega bukan main. Kaki dan tangannya masih terasa penat dan sakit, maka dia bangkit duduk perlahan-lahan, memandang kepada pangeran yang diam-diam telah siap kalau-kalau dia akan memberontak.

Melihat ini, Hwee Li tersenyum. "Terima kasih, Pangeran. Dan sekarang harap engkau suka keluar, aku hendak ganti pakaian. Dan kalian bertiga juga keluarlah saja, nanti kalau aku perlu bantuan kalian kupanggil."

Tiga orang pelayan itu memandang kepada Liong Bian Cu, ragu-ragu apakah mereka harus mentaati perintah gadis itu. Liong Bian Cu tersenyum dan mengangguk, maka mereka pun pergilah meninggalkan kamar itu bersama Liong Bian Cu. Pangeran itu menutupkan pintunya sambil menjenguk ke dalam dan tersenyum. "Kalau sudah selesai, beritahulah aku, Nona." Hwee Li mengangguk dan daun pintu itu ditutup dari luar oleh Liong Bian Cu.

Setelah mereka semua keluar, Hwee Li cepat menggerak-gerakkan kaki tangannya agar jalan darahnya lancar kembali. Diam-diam dia menyumpah di dalam hatinya dan panaslah rongga dadanya teringat akan perlakukan ayahnya kepadanya. Dia duduk kembali dan memutar otaknya. Keinginan besar untuk melarikan diri ditekannya. Tidak, dia tidak boleh sembrono lagi. Lari dalam keadaan sekarang ini tidak akan ada gunanya, dan dia tentu akan tertawan kembali. Dan kalau sampai dia mencoba lari dan tertawan kembali, tentu pangeran itu tidak akan bersikap demikian baik lagi. Celaka kalau sampai dia ditotok terus atau dibelenggu. Lebih celaka lagi kalau dalam kemarahannya pangeran itu akan melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Lebih baik dia berlaku cerdik, bersikap halus dan mempergunakan cinta kasih pangeran terhadapnya untuk melindungi dirinya.

Hwee Li memilih pakaian hijau dari lemari, karena yang biru sudah dirobek-robeknya. Dia memindahkan dua benda seperti gulungan tali hitam dan segulung kecil tali merah dari saku pakaian hitamnya ke dalam saku baju dalamnya yang baru. Tiga benda yang kelihatan seperti gulungan tali itu sebetulnya adalah tiga ekor ular! Kemudian dia menyisir rambutnya, memakai sedikit bedak di meja rias dan mengganti pula sepatunya yang basah dengan sepatu baru yang berjajar beberapa pasang di bawah lemari.

"Aku sudah selesai, Pangeran!" katanya sambil duduk di atas kursi.

Daun pintu itu segera terbuka, tanda bahwa pangeran itu sejak tadi sudah siap dengan tangan tak pernah melepaskan daun pintu. Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar memandang Hwee Li yang bangkit berdiri. Penuh kagum!

"Bukan main....!" Engkau.... engkau sungguh cantik seperti bidadari, Nona Hwee Li! Aih, rambutmu yang masih agak kusut itu, anak rambut yang melihgkar di dahi dan depan telinga, sungguh seperti lukisan saja! Marilah, Nona, mari kuobati luka-lukamu." Pangeran itu mengeluarkan sebuah botol terisi obat kuning dari dalam sakunya.

"Terima kasih, Pangeran. Kurasa tidak perlu karena sudah kuobati sendiri dan luka-luka ini tidak ada artinya." Dia memperlihatkan leher dan tangannya yang tadi lecet-lecet, dan yang kini sudah menjadi kering.

"Ahhh, engkau lihai, ilmu silatmu tinggi, juga engkau memiliki keberanian hebat, engkau cantik jelita dan cerdik. Sungguh, semua keindahan dan kebaikan terkumpul menjadi satu di dalam dirimu, Nona Hwee Li."

"Hanya luka di pundakku ini masih terasa nyeri. Aku khawatir kalau-kalau ada tulangnya yang retak...." Hwee Li meringis ketika tangannya menyentuh pundak kirinya.

"Ahhh....! Benarkah? Celaka! Sungguh kejam Hek-tiauw Lo-mo. Coba kuperiksa pundakmu, Nona. Jangan khawatir, jangankan baru retak, biar sudah remuk sekalipun, aku akan dapat mengobati dan menyembuhkannya!" Pangeran itu datang mendekat.

Dengan hati-hati, sambil kadang-kadang meringis kesakitan, Hwee Li membuka kancing bajunya bagian atas sehingga nampak baju dalamnya yang tipis. Disingkapnya baju di bagian pundak kiri dengan tangan kanannya sehingga nampak kulit pundaknya yang putih halus dan memang di atas pundak itu terdapat warna kebiruan. Ketika melihat pundak kiri setengah telanjang yang berkulit putih halus itu bernoda biru, pangeran itu lalu berseru, "Ahhh, sungguh kejam....!"

Tangannya lalu memeriksa dan dengan halus menyentuh pundak itu.

Saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh Hwee Li. Sudah diperhitungkannya semenjak dia melihat pangeran itu masuk kamarnya. Dara ini tadi sudah mengambil keputusan untuk membunuh pangeran ini. Dia tidak mungkin melarikan diri, akan tetapi dia tahu bahwa yang menyebabkan ayahnya bersikap seperti itu kepadanya adalah pangeran ini. Pangeran inilah biang keladinya, maka kalau pangeran ini dibunuhnya, tentu ayahnya akan bersikap lain. Dan kalau ayahnya tidak lagi mengharapkan bantuan pangeran yang mati untuk meraih kedudukan tinggi, tentu akan lain lagi sikap ayahnya, tentu akan pulih seperti dulu dan kalau sudah begitu, dia dan ayahnya tentu akan dapat saling bantu untuk meloloskan diri dari tempat itu.

Kini, melihat pangeran itu memeriksa pundak kirinya dan agaknya tenggelam dalam pekerjaannya itu, diam-diam Hwee Li mengeluarkan ular merahnya. Ular itu kecil sekali, sebesar kelingking jari tangannya, panjangnya hanya dua jengkal, kulitnya merah seperti darah, matanya juga merah dan lidahnya hitam. Inilah Hiat-coa (Ular Darah) dari Gurun Pasir Go-bi-pai yang merupakan binatang yang sukar sekali dilihat orang, seekor ular janah yang amat berbahaya dan racunnya amat hebat.

"Ssssshhh....!"

Liong Bian Cu terkejut sekali dan cepat dia meloncat mundur ketika dia melihat sinar merah meluncur ke arah mukanya. Matanya  terbelalak dan dia berusaha menghindarkan diri, akan tetapi gerakan ular itu lebih hebat dan cepat lagi, seolah-olah burung terbang dan tahu-tahu pundak pangeran itu telah kena digigitnya. Liong Bian Cu mengeluarkan suara melengking nyaring, jeritan maut yang amat lantang, lalu tubuhnya terhuyung dan roboh ke atas lantai.

Melihat ini, Hwee Li girang sekali dan cepat dia meloncat ke arah jendela kamar itu. Akan tetapi, begitu dia meloncat, dari jendela itu muncul dua orang penjaga yang memegang pedang. Hwee Li menggunakan kakinya menendang dari samping untuk menangkis sambaran pedang. Kini tangan kirinya bergerak dan sinar hitam panjang bergerak ke depan. Ular hitam panjang itu mematuk dan dua orang penjaga roboh seketika.

"Bocah setan, berani engkau mengacau lagi?" Tiba-tiba terdengar bentakan dan Hek-hwa Lo-kwi muncul bersama Hek-tiauw Lo-mo!

"Ayah, aku sudah membunuh Liong Bian Cu!" teriak Hwee Li. "Mari kita cepat pergi dari sini!"

"Apa? Anak durhaka, engkau patut dihukum! Hek-tiauw Lo-mo berseru marah sedangkan Hek-hwa Lo-kwi cepat melohcat memasuki jendela dan cepat kakek ini memondong tubuh Pangeran Liong Bian Cu yang sudah menjadi biru mukanya. Hek-hwa Lo-kwi adalah ahli racun yang telah kebagian kitab yang dicuri bersama Hek-tiauw Lo-mo dari Si Dewa Bongkok, bagian tentang racun dan pengobatannya, maka kini dia cepat membawa pergi Liong Bian Cu untuk diobati.

Sementara itu, melihat ayahnya sudah menyerangnya, Hwee Li menjadi marah juga. "Ayah, apa engkau sudah gila?" Dia memaki sambil mengelak dari sambaran pedang yang amat mengerikan, pedang yang mendatangkan hawa mujijat. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa) yang amat mujijat. Pedang ini dahulu adalah milik Cui-beng Koai-ong, tokoh nomor satu dari Pulau Neraka, dan akhirnya pedang itu tadinya terjatuh ke tangan Ang Tek Hoat dan kemudian, ketika Tek Hoat tertawan, pedang itu terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang (baca Kisah Sepasang Rajawali). Sambil mengelak, Hwee Li yang sudah marah sekali itu memaki, "Aku adalah anakmu, apakah Ayah hendak membunuhku?"

"Bocah keparat, anak durhaka!" Hek-tiauw Lo-mo yang sudah marah sekali kembali menyerangnya dengan dahsyat.

"Baik! Ayah membela musuh dan melawan anak sendiri! Ayah memaksa aku untuk melawan!" Hwee Li juga mengeluarkan dua ekor ularnya yang panjang itu dan balas menyerang. Bertempurlah anak dan ayah ini untuk kedua kalinya, kini lebih seru dan hebat karena Hwee Li benar-benar melakukan perlawanan mati-matian.

Setelah dara itu melakukan perlawanan nekat dengan menggunakan dua ekor ularnya yang amat berbahaya, Hek-tiauw Lo-mo bergerak dengan hati-hati. Dia maklum bahwa anaknya itu telah menguasai banyak ilmu yang aneh dan hebat. Beberapa kali dia menggerakkan pedangnya untuk membunuh ular-ular itu, akan tetapi dua ekor ular itu adalah mahluk hidup, selain memiliki gerakan sendiri untuk mengelak, juga digerakkan oleh tangan Hwee Li yang mahir. Bahkan beberapa kali hampir saja tangan Hek-tiauw Lo-mo terpatuk oleh ular-ular itu.

"Hemmm, inikah anakmu, Hek-tiauw Lo-mo? Sungguh ganas dan liar dia!" Tiba-tiba terdengar suara besar yang berwibawa dan munculiah dua orang kakek. Yang seorang adalah kakek tinggi besar, sama tinggi besarnya dengan Hek-tiauw Lo-mo, seperti seorang raksasa yang kepalanya botak, pakaiannya indah dan mewah dengan mantel merah, sepatunya pakai lapis baja dan sepasang matanya besar sekali, usianya tentu hampir enam puluh tahun akan tetapi wajahnya masih segar dan kemerahan. Sikapnya amat berwibawa dan di belakangnya berdiri seorang kakek lain yang bersorban, berkulit hitam, jenggotnya panjang sampai ke perut, tangan kiri memegang tongkat cendana dan wajahnya seperti topeng, sama sekali tidak pernah bergerak seolah-olah mati.

Melihat munculnya dua orang kakek ini, Hek-tiauw Lo-mo terkejut. Itulah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal, dan kakek Nepal bersorban itu adalah Gitananda, pembantunya yang lihai dan pandai sihir.

"Maafkan, Sengjin, anakku kurang ajar dan perlu saya hukum!" teriak Hek-tiauw Lo-mo dan pedang Cui-beng-kiam diputarnya cepat. Melihat ini, Hwee Li menarik kedua ekor ularnya karena tidak ingin ular-ularnya menjadi korban pedang ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu, tendangan kaki Hek-tiauw Lo-mo yang amat cepat datangnya tak dapat dielakkan oleh Hwee Li. Pahanya tertendang dan dara ini hanya dapat mengerahkan sinkang untuk melindungi pahanya.

"Desss. ...!" Dia terlempar dan terbanting, bergulingan.

"Mampus kau!" Hek-t iauw Lo-mo berteriak dan pedangnya menyambar. Hwee Li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ayahnya benar-benar hendak membunuhnya. Pedang itu menyambar ganas dan merupakan serangan maut. Terpaksa dia menggunakan dua ekor ularnya untuk balas menyerang. Dua ekor ular itu meluncur dan kalau pedang Hek-tiauw Lo-mo dilanjutkan untuk membacok tubuh dara itu, tentu dua ekor ular itu akan berhasil pula menggigitnya. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo mengubah gerakan pedangnya,

dibabatkan ke samping dua kali. "Crok! Crokkk!"

"Ihhhhh.... kau membunuh ular-ularku....?" Hwee Li menjerit dengan isak tertahan dan dia berlaku nekat, menubruk ayahnya dengan kedua tangan kosong dan melancarkan pukulan-pukulan beracun.

"Anak setan!" Hek-tiauw Lo-mo menyambutnya dengan tusukan Cui-beng-kiam dan sekali ini, tak mungkin Hwee Li dapat menghindarkan diri dari tusukan maut itu.

Tiba-tiba nampak sinar menyambar. "Trangg....!" Pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kakek itu terkejut dan melompat ke belakang. Kiranya Ban Hwa Sengjin sudah turun tangan menggunakan sebutir kerikil memukul ke arah pedangnya itu dengan sambitannya.

"Dia adalah calon isteri Pangeran, bagaimana kau berani mencoba untuk membunuhnya!" teriak Koksu Nepal itu.

"Gitananda, tangkap Nona itu!" Gitananda membungkuk dan sekali dia menggerakkan kedua kakinya, dia sudah meloncat ke depan Hwee Li. Tiba-tiba tangan kiri kakek Nepal ini mengeluarkan sesuatu dan ada cahaya menyorot ke muka kakek itu. Hwee Li tentu saja tidak mengerti apa yang terjadi dan melihat ada cahaya menyorot ke muka kakek itu, dia memandang. Kiranya kakek itu memegang sebuah cermin dan pantulan sinar matahari menyorot ke mukanya sendiri. Melihat wajah yang berkilauan terkena cahaya itu, Hwee Li memandang terbelalak. Dia seperti melihat wajah yang aneh, wajah dalam dongeng tentang dewa-dewa! Dan betapapun dia hendak mengalihkan pandangannya, dia tidak dapat! Dia tidak dapat menguasai pandang matanya sendiri yang terus menatap wajah kehitaman dengan mata yang tajam berpengaruh itu.

Tongkat Gitananda menyambar dan dengan perlahan mengetuk tengkuk Hwee Li. Gadis itu sama sekali tidak mampu bergerak untuk mengelak, seolah-olah pandang matanya yang melekat pada wajah menyeramkan itu membuat seluruh tubuhnya lumpuh. Ketika tongkat mengenai tengkuknya, dia mengeluh memejamkan matanya dan roboh terguling, pingsan!

******

Kesadaran perlahan-lahan menyusupi dirinya. Mula- mula hanya pendengarannya yang bekerja. Dia mendengar suara berapa orang bercakap-cakap, makin lama makin jelas dan perhatiannya tertuju kepada suara-suara itu karena di antara suara-suara itu dia mendengar suara ayahnya. Matanya masih dipejamkan dan dia masih belum mempunyai keinginan untuk melihat di mana adanya dia dan dalam keadaan bagaimana. Dia masih terlampau lemah untuk itu dan kini dia hanya tinggal diam dengan tenang, hanya membuka telinga mendengarkan.

"Kalau Paduka suka menggunakan obat hamba tentu mudahlah menundukkan dia. Dia akan jatuh cinta, kepada Paduka, dan akan mentaati semua perintah Paduka," terdengar suara parau dan asing, suara yang tidak dikenalnya, namun dapat diduganya bahwa agaknya itu adalah suara orang Nepal yang memegang tongkat itu.

"Ah, Gitananda, aku sudah tahu akan kepandaianmu dan aku percaya bahwa menggunakan obat dan sihirmu, dia akan tunduk kepadaku. Akan tetapi aku tahu pula bahwa kekuatan sihir dan obat itu hanya sementara saja. Dan aku menghendaki agar dia selama hidupnya tunduk dan membalas cintaku!" terdengar suara yang amat dikenalnya, suara halus dan sopan, suara Liong Bian Cu. Ah, jadi pangeran itu belum mampus, pikirnya dengan perasaan menyesal. Biarpun sudah terkena gigitan ular darah, tapi masih hidup Hemmm, tentu Hek-hwa Lo-kwi yang mengobatinya. Dia tahu bahwa kakek itu juga seorang ahli racun yang jempol!

"Dia memang keras kepala!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya. "Anak itu keras kepala dan keras hati, seperti ibunya! Sebaiknya kalau Pangeran menggunakan kekerasan menundukkan dia, seperti menjinakkan seekor kuda betina yang liar. Hanya kalau dia sudah satu kali menjadi milik Pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu. Percayalah kepada saya, Pangeran. Itu satu-satunya cara untuk menjinakkan dia. Paksa saja dia menjadi milik Pangeran malam ini juga, dan besok atau lusa, dia sudah akan menjadi jinak, untuk selama-lamanya!"

Hwee Li hampir menjerit. Dia mengepal tinju dan berniat untuk meloncat turun. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Dia tidak tertotok, kaki tangannya dapat bergerak, akan tetapi tidak dapat dipindahkan dari tempatnya. Cepat dia membuka matanya dan dia makin terkejut. Dia rebah terlentang di atas pembaringannya, kedua kakinya terpentang dan setiap kaki terbelenggu pada ujung pembaringan, demikianpun dengan kedua lengannya, terpentang dan pergelangan lengan terbelenggu dengan rantai baja pada ujung pembaringan. Dia seperti seekor lembu atau domba yang terikat dan siap untuk disembelih!

Dia berada di dalam kamar mewah itu dan orang-orang yang suaranya didengarnya itu bercakap-cakap di luar kamar. Dia mendengarkan lagi. Dan kini dia mendengar suara Hek-hwa Lo-kwi.

"Agaknya memang tepat apa yang diusulkan oleh Lo-mo, Pangeran. Anak itu amat keras hati, membujuknya saja akan sia-sia. Dan kekerasan yang tidak dapat diluluhkan oleh kelembutan, dapat dikalahkan oleh kekerasan pula."

"Akan tetapi.... ah, aku sungguh cinta kepadanya, dan aku ingin sekali agar dia dapat membalas cinta kasihku dengan sewajarnya. Pangeran itu membantah dan mengeluh. "Menggunakan kekerasan? Memperkosanya? Ah, betapa hal itu akan menyiksa hatiku, aku tidak ingin melihat dia berduka...."

"Hemmm, pada mulanya memang dia akan menangis dan berduka, akan membencimu, akan tetapi lambat-laun kebencian itu akan berubah menjadi cinta. Dia persis ibunya...." terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata pula.

"Akan tetapi, melihat dia dibelenggu terus...."

"Hal itu tidak perlu lagi setelah Paduka dapat memaksa dan memilikinya, Pangeran," kata Hek-hwa Lo-kwi. "Dan jangan khawatir dia akan dapat melarikan diri. Dia akan saya beri obat beracun dan racun itu akan mengeram di dalam dirinya, akan membunuhnya dalam waktu satu tahun. Sedangkan obat penawarnya berada di tangan Paduka."

Hening sejenak. Kemudian terdengar lagi suara ayahnya, suara yang mulai mendatangkan kebencian di hati Hwee Li. "Dia amat cerdik dan banyak akalnya, Pangeran. Selama dia belum menjadi milikmu, dia tentu akan menggunakan segala akalnya dan hal itu dapat menimbulkan kesukaran. Akan tetapi kalau malam ini Paduka berhasil memilikinya, semua daya lawannya akan patah dan luluh. Percayalah."

"Sudahlah, tinggalkan kami berdua. Akan kupikirkan usul-usul kalian."

Terdengar langkah kaki tiga orang kakek itu pergi dan tak lama kemudian, daun pintu kamar itu terbuka dan muncullah Liong Bian Cu. Melihat pangeran itu, Hwee Li membuang muka. Pangeran itu menghampiri dan duduk di dekat pembaringan, di atas sebuah kursi. Sejenak dia diam saja hanya menatap wajah yang miring itu. Kemudian dia menarik napas panjang.

"Ahhhhh, betapa sedih hatiku melihat engkau terbelenggu kaki tanganmu seperti ini, Nona Hwee Li. Betapa perih hatiku yang mencintamu melihat bahwa hal ini terpaksa dilakukan karena engkau ternyata tega hendak membunuhku. Nyaris saja aku tewas oleh gigitan ular merahmu itu. Kalau tidak ada Hek-hwa Lo-kwi, tentu tercapai maksudmu dan aku sudah mati. Akan tetapi tentu engkau pun tidak akan terhindar dari maut."

Hwee Li tidak menjawab dan tidak menoleh. Masih terlalu ngeri hatinya mendengar percakapan tadi. Jantungnya berdebar keras. Mau apakah pangeran ini? Apakah benar-benar hendak melaksanakan usul-usul tadi? Hampir dia pingsan kembali membayangkan hal itu! Ingin dia menangis, ingin dia minta- minta ampun agar dibebaskan saking ngeri dan takutnya, akan tetapi wataknya yang keras dan gagah melarangnya berbuat seperti itu. Dia hendak memperlihatkan, terutama kepada ayahnya, bahwa sampai mati dia tidak takut menghadapi apapun! Akan tetapi, dia tidak boleh nekat begitu saja. Selama dia masih hidup, dia harus berusaha menggunakan kecerdikannya untuk meloloskan diri dari bahaya penghinaan hebat itu!

"Aku memang hendak membunuhmu. Maka sebaiknya kaubunuh saja aku sekarang!" akhirnya dia berkata sambil memutar otaknya mencari akal. Dia masih belum berani memandang, karena dia khawatir kalau sinar mata yang tajam itu akan dapat menjenguk isi hatinya.

Pangeran itu menyentuh lengan tangan Hwee Li, dan membelai lengan yang berkulit halus itu. Hwee Li memejamkan matanya. Rabaan jari-jari tangan pada lengannya itu menimbulkan perasaan jijik dan geli, juga gelisah dan ngeri.

"Ahhh, bagaimana mungkin aku membunuhmu, sayang? Tidak tahukah bahwa aku cinta kepadamu, Nona?"

"Aku sudah berdosa hendak membunuhmu, dan aku kelak akan membunuhmu kalau kau tidak membunuhku sekarang!" Hwee Li memancing.

"Tidak.... tidak....! Engkau masih muda, engkau belum tahu betapa aku amat mencintaimu. Kalau kau tahu, engkau akan menyesal, Hwee Li. Perbuatanmu itu amat kejam, sedangkan aku.... ah, tanpa engkau sebagai isteriku, hidup rasanya akan menjadi hampa...."

"Hemmm, bagus, ya? Siapa sudi percaya obrolanmu tentang cinta? Kalau engkau benar mencintaku, mengapa engkau membiarkan aku dibelenggu seperti ini? Beginikah perlakuan orang yang mencinta?" Hwee Li kini memandang dan menjebikan bibirnya yang merah.

Pangeran itu mengerutkan alisnya dan matanya menjadi sayu, berduka. Kini dia melepaskan lengan Hwee Li dan kini jari-jari tangannya meraba kaki dara itu, mengelus betis yang nampak karena pipa celana kanannya tertarik ke atas. Betis yang berkulit putih mulus kemerahan itu, yang kulitnya kelihatan demikian tipis dan halusnya sehingga urat-uratnya membayang, dirabanya dengan penuh kemesraan dan kegairahan. Kini Hwee Li menggigil. Seluruh bulu di tubuhnya bangkit berdiri, meremang saking ngerinya. Ingin dia menjerit, ingin dia memaki agar pangeran itu jangan mengusap dan membelai betis kakinya. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya.

"Sudah kukatakan tadi, sayang. Hatiku berduka, jantungku berdarah melihat kakimu yang indah dan tanganmu yang halus itu dirantai seperti ini. Akan tetapi, mengapa engkau memperlihatkan kekerasan dan tidak sudi menerima cintaku? Tentu saja, kalau engkau mau menerima dan membalas cintaku engkau tidak akan dibelenggu, bahkan engkau akan menjadi orang paling terhormat dan paling mulia di sini, di seluruh Nepal, dan di seluruh dunia! Engkau akan menjadi permaisuri, menjadi ratu, disembah-sembah! Mengapa engkau tidak mau menjadi kekasihku, sayang? Aku Liong Bian Cu dapat menciptakan sorga untukmu, engkau dapat bergelimang dalam kemewahan, kemuliaan dan kehormatan."

"Hemmm, janjimu terlalu muluk, Pangeran. Bagaimana kalau aku berjanji untuk tidak melawan dan untuk.... hemm, belajar mempertimbangkan cintamu dan mungkin kelak dapat menerima dan membalas cintamu?" kata Hwee Li hati-hati. "Apakah dengan janjiku itu engkau mau membebaskan aku sekarang juga?"

"Tentu saja! Tentu saja akan kubebaskan sekarang juga!" kata pangeran itu penuh gairah kegembiraan.

Dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hati Hwee Li mendengar ini dan dia meraba betapa tangan pangeran itu telah meraba-raba belenggu kedua kakinya. Akan tetapi, timbul kekecewaannya karena jari-jari tangan pangeran itu kembali meninggalkan belenggu dan terdengar pangeran itu berkata, "Nona, aku sungguh mencinta dan kasihan kepadamu. Akan tetapi, bagaimana aku dapat mempercaya janjimu. Betapa aku ingin kita dapat saling percaya dan saling mencinta, akan tetapi apa yang baru saja kaulakukan terhadapku sungguh membuat hatiku meragu. Dan engkau belum berjanji."

Dengan jantung berdebar Hwee Li ber kata, "Aku berjanji, Pangeran! Aku berjanji bahwa aku akan mempertimbangkan cintamu dan aku akan belajar membalas cintamu!"

Mulut pangeran itu tersenyum lebar, matanya yang cekung bersinar-sinar, akan tetapi dia belum bergerak membuka belenggu kaki dan tangan Hwee Li. "Kau berani bersumpah?" tanyanya perlahan.

"Aku bersumpah!" jawab Hwee Li sedangkan di dalam hatinya dia mengejek. Apa artinya sumpah baginya? Apalagi bersumpah di depan orang Nepal yang dibencinya ini!

"Ahhh, sumpah dan janji harus disertai bukti, Nona Manis."

"Bukti? Bukti bagaimana maksudmu?" Hwee Li bertanya, penasaran dan kecewa.

"Kalau benar engkau mempunyai maksud hati yang baik dan tidak hendak berlaku curang kepadaku, kalau benar engkau jujur dalam janjimu, engkau tentu mau memperlihatkan kebaikanmu itu untuk menciumku." Pangeran itu tersenyum dan memandang tajam.

Hwee Li merasa betapa wajahnya panas sekali. Dia tidak tahu betapa kedua pipinya menjadi merah seperti udang direbus mendengar permintaan pangeran itu. Ingin dia menjerit, memaki dengan segala macam makian kotor yang pernah didengarnya. Akan tetapi dara yang cerdik ini menekan perasaannya dan dia lalu berkata, "Aku mau...."

Sepasang mata yang cekung itu berkilat. "Benarkah? Aihhh, Nona Hwee Li, kekasihku...., benarkah engkau mau menciumku? Ah, betapa bahagia hatiku dan kalau benar, aku akan mempercayaimu sepenuh hatiku. Nah, kauciumlah aku, sayang." Pangeran itu lalu berlutut di dekat pembaringan dan mendekatkan mukanya pada muka dara itu.

Ketika muka itu mendekati mukanya, Hwee Li merasa ngeri bukan main. Tercium bau wangi yang aneh, agaknya pangeran itu memakai minyak wangi yang asing, bercampur bau badan pria yang mungkin ke luar dari keringat, seperti bau binatang liar, dan napas pangeran itu menyapu pipinya, panas dan tersendat-sendat. Hwee Li memejamkan matanya dan dengan cepat menggerakkan mukanya sehingga hidungnya menyapu pipi pangeran itu.

"Ngokkk!"

Pertemuan antara ujung hidung dan sebagian bibirnya dengan pipi yang panas kasar itu membuat Hwee Li mengkirik dan bulu tengkuknya meremang.

"Terima kasih.... ha-ha, ciumanmu seperti ciuman seorang anak kecil. Nona, karena kita kelak akan menjadi suami isteri, maka tiada buruknya kalau kita saling mencium. Dan mengingat betapa Nona adalah seorang dara yang masih murni dari hijau, biarlah saya memberi contoh bagaimana kalau mencium kekasih." Setelah berkata demikian, tiba-tiba pangeran itu merangkul Hwee Li dan sebelum gadis itu dapat membuang muka, tahu-tahu bibirnya telah dicium oleh pangeran itu. Ketika merasa betapa sepasang bibirnya tertawan dalam ciuman mulut yang panas itu, hampir saja Hwee Li menjadi pingsan. Dia menggerak-gerakkan kepalanya agar bibirnya terlepas dari ciuman, akan tetapi mulut pangeran itu menempel pada mulutnya seperti seekor lintah yang tidak mau lepas lagi. Setelah napas mereka terengah-engah, barulah pangeran itu melepaskannya.

Wajah Hwee Li menjadi pucat, matanya terbelalak penuh kemarahan dan dua titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya. Akan tetapi wajah pangeran itu menjadi kemerahan, napasnya tersendat-sendat, tanda bahwa nafsu berahi telah naik ke kepala pangeran itu. Dia memandangi wajah dan tubuh Hwee Li dengan mata merah. "Benar hemm, .... benar usul mereka...." katanya lirih dan kini tangannya meraba baju Hwee Li. Dara itu memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi telah mendengar usul-usul yang dikeluarkan oleh suara ayahnya sendiri dan suara Hek-hwa Lo-kwi, maka tahulah dia apa yang akan dliakukan oleh pangeran itu.

"Jangan...." bisiknya dengan muka makin pucat. "Lepaskan aku....!" Dia meronta, akan tetapi karena kaki dan tangannya terikat, dia hanya dapat menggerak-gerakkan pinggang dan lehernya saja.

"Brettttt....!" Sekali renggut saja robeklah baju Hwee Li sehingga tubuhnya bagian atas hanya tertutup pakaian dalam yang tipis.

"Jangan....! Aku akan bunuh diri kalau kaulanjutkan.. .. aku akan menggigit putus lidahku....!"

Pangeran yang sedang dikuasai nafsu berahi itu terkejut, secepat kilat tangannya bergerak ke arah leher Hwee Li, menotok ke bawah telinga dan seketika gadis itu tidak mampu lagi menggerakkan dagunya, apalagi untuk menggigit!

"Hwee Li, aku terlalu cinta padamu, aku ingin engkau dapat membalas cintaku, maka aku juga tidak segan mempergunakan segala cara...." katanya terengah-engah dan kembali dia sudah menubruk gadis itu penuh nafsu berahi yang berkobar-kobar.

Hwee Li merasa takut sekali. Dia teringat akan jalan satu-satunya untuk membunuh diri. Maka dia melupakan segalanya, menutup ingatannya dan menahan napasnya. Pangeran itu sudah meraba pakaian dalamnya ketika melihat wajah Hwee Li. Dia terkejut sekali. "Ahhhhh...." Dan cepat dia turun dari atas tubuh Hwee Li yang sudah ditindihnya, kini dia mengguncang-guncangkan pundak dara itu dengan muka pucat. "Hwee LI....! Hwee Li.... jangan.... jangan....aihhh, Hwee Li, aku tidak akan memaksamu.... jangan begitu nekat....!" Dia menggunakan tangannya untuk mengurut leher dan ulu hati gadis itu, dalam keadaan panik dan khawatir itu dia tidak lagi merasakan betapa tangannya tanpa disengaja menyentuh dua buah bukit dada yang sedang

mekar itu. Lenyap sama sekali nafsu berahinya karena sama sekali dia tidak ingat lagi akan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Kini pikirannya penuh dengan kekhawatiran melihat betapa wajah dara itu kebiruan dan napasnya sama sekali terhenti, dadanya mekar penuh dengan hawa yang ditahan-tahan dan tidak dikeluarkan. "Hwee Li....!" Dia mengeluh dengan suara seperti orang menangis.

Akhirnya, karena dipaksa oleh pijatan dan urutan tangan Liong Bian Cu, Hwee Li bernapas lagi, terengah-engah dan terbatuk-batuk. Dia sadar kembali, membuka matanya dan melihat bahwa tubuhnya masih tertutup pakaian dalam, tahulah dia bahwa dia belum ternoda. Dia melihat pangeran itu berlutut dan ada air mata di kedua pipi pemuda itu!

"Hwee Li.... ah, Hwee Li, apa yang akan kulakukan tadi? Kauampunkan aku, Hwee Li, percayalah, semua yang kulakukan kepadamu terdorong oleh rasa cintaku yang besar...." Liong Bian Cu meratap.

"Hemmm, kau tahu sekarang bahwa setiap saat aku dapat membunuh diri dan kau sama sekali tidak akan mampu mencegahku? Aku sudah berjanji, dan kau ternyata hendak melanggar, padahal kau pun berjanji akan membebaskan aku."

"Akan kubebaskan.... sekarang juga, akan tetapi kau pun harus berjanji tidak akan membunuh diri...."

Hwee Li tersenyum. "Aku tidak akan begitu bodoh untuk membunuh diri, Pangeran. Akan tetapi, kau tidak boleh menyentuhku, tidak boleh menciumku seperti tadi, apalagi menggunakan kekerasan untuk memperkosa. Kalau kau melakukan satu kali saja, aku akan mencoba untuk membunuhmu, dan kalau aku gagal, aku akan membunuh diri sendiri. Kau boleh memiliki tubuhku sebagai mayat!"

"Tidak...., tidak...., kaumaafkanlah aku, sayang. Nah, lihat, aku akan membebaskanmu sekarang juga." Dia meraba belenggu, akan tetapi berhenti lagi. Diam-diam Hwee Li gemas bukan main. Pangeran ini amat berbahaya, juga amat besar curiga dan hati-hati, amat licin dan cerdik!

"Tapi, kau benar-benar mau menjadi isteriku, bukan? Jawablah, Hwee Li sekarang juga. Karena kalau kau suka berjanji untuk menjadi isteriku, apa pun akan kulakukan demi engkau, sayang. Sebaliknya, aku tidak mau disiksa menantikan sesuatu yang tidak akan terjadi, tidak mau disiksa dengan harapan kosong yang tidak akan terpenuhi. Kalau kau tidak mau, katakan saja tidak mau. Aku tidak akan memaksamu, aku terlalu cinta padamu untuk melihat engkau menderita di bawah tanganku, akan tetapi.... hemmm, kalau tidak mau, aku akan hadiahkan engkau kepada anak buahku!"

Hwee Li merasa ngeri. Dia maklum bahwa gertakan pangeran ini bisa saja dilaksanakan kalau dia membuat pangeran ini putus harapan dan marah. "Aku berjanji, Pangeran. Akan tetapi aku bukanlah seorang wanita sembarangan saja. Aku hanya mau menjadi isterimu dalam pernikahan yang syah, pernikahan yang dirayakan secara meriah dan disaksikan oleh banyak tamu di dunia Kang-ouw. Sebelum itu, sekali saja engkau menyentuhku, aku akan membunuh diri! Kehormatanku jauh lebih penting daripada nyawaku. Nah, aku sudah berjanji, terserah kepadamu!"

Bukan main girangnya hati Liong Bian Cu. Dia mengeluarkan kunci dari dalam saku bajunya dan segera membuka kunci belenggu kaki tangan Hwee Li. Dara itu bangkit duduk di atas pembaringan, menggosok-gosok pergelangan tangan dan kakinya, bergantian, untuk melancarkan jalan darah yang tadi terganggu oleh himpitan belenggu. Tiba-tiba dia teringat akan peristiwa tadi, betapa mulutnya dicium dengan lahapnya oleh mulut Liong Bian Cu. Teringat akan ini, tiba-tiba saja Hwee Li muntah- muntah!

"Ah, kau sakit....! Kalau pusing, engkau rebahlah, Hwee Li...." Liong Bian Cu terkejut sekali melihat gadis itu muntah-muntah di atas lantai dekat pembaringan, lalu mendekati untuk memijat- mijat tengkuk gadis itu.

"Sudah, aku tidak apa-apa!" Hwee Li berkata sambil melepaskan tangan yang memijit- mijit tengkuknya. Dia menggunakan lengan baju untuk mengusap mulutnya, diusapnya keras-keras karena dia bukan hanya mau menghapus bekas muntah tadi, melainkan hendak menghapus bekas ciuman dari kedua bibirnya.

"Sungguh engkau tidak apa-apa, Moimoi (Dinda).. ..?" tanya Liong Bian Cu, suaranya penuh kasih sayang dan dia bertepuk tangan memanggil pelayan. Pelayan datang dan segera disuruh membersihkan lantai. Pelayan itu lalu disuruh keluar lagi setelah selesai mengerjakan perintah itu.

"Bekas belenggu itu menyakitkan tanganmu, Hwee Li?" Dia merayu lagi dan mendekati, membantu gadis itu menggosok-gosok pergelangan tangannya. "Biar kulancarkan jalan darahnya dengan urutan tangan dan....!" Tiba-tiba pangeran itu menghentikan kata-katanya, karena dia merasa betapa tangan yang kecil halus namun mengandung tenaga yang amat kuat itu kini telah mencengkeram jalan darah di dekat ulu hatinya, jalan darah kematian!

"Jangan bergerak atau kau akan mampus!" Hwee Li menghardik.

"Aihhh, apa yang hendak kaulakukan ini, Moi-moi....?" Pangeran itu mengeluh, tidak berani bergerak karena sekali saja dara itu mengerahkan sinkang dan mencengkeram, tidak ada yang dapat menolong nyawanya lagi.

"Dengar kau, Liong Bian Cu! Engkau tadi telah menghinaku, dan untuk.... ciuman itu saja engkau sudah layak mampus. Apalagi penghinaan lainnya tadi! Hayo kauantar aku keluar dari lembah ini, kalau tidak, engkau akan mampus sekarang juga."

"Ah, Hwee Li, apa kaukira aku takut mati? Akan tetapi, bukan kematianku yang kutakutkan, melainkan nasibmu. Kalau kau membunuhku, apa kaukira akan dapat lolos dari kematian? Engkau yang masih begini muda remaja, cantik jelita, pasti tidak akan lolos dari kematian di tangan Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo dan semua anak buahku dan anak buah Kui-Liong-pang. Aku mati, akan tetapi engkau juga mati, apa bedanya bagiku? Kita akan berkumpul juga di alam baka! Mati di tangan seorang yang kucinta seperti engkau adalah kematian yang menyenangkan, Hwee Li. Nah, kaubunuhlah dan aku akan menantimu di sana karena aku

yakin engkau akan menyusulku cepat, dalam hari ini juga."

"Bohong!" bentak Hwee Li. "Kalau kau mampus, ayah tentu tidak melihat kegunaannya lagi berada di sini dan mengorbankan aku. Ayah tentu akan membantuku melarikan diri. Betapapun juga, dia adalah ayah kandungku sendiri!"

Tiba-tiba pangeran itu tertawa dan Hwee Li memperkuat cengkeramannya sehingga kuku-kuku jarinya sudah mulai terbenam sedikit ke dalam baju dan menyentuh kulit di dada Liong Bian Cu.

"Ha-ha-ha-ha! Ayah kandungmu? Hwee Li, kalau dia ayah kandungmu, mana mungkin dia sengaja menyerahkan engkau kepadaku, bahkan dia menasihatkan aku untuk memperkosamu? Kalau dia ayah kandung yang mencinta puterinya, mana mungkin dia tega melakukan hal itu? Sedangkan aku saja, seorang pria muda yang mencintamu, masih tidak tega memperkosamu seperti yang kaulihat sendiri tadi. Dia bukan ayah kandungmu, Hwee Li, engkau adalah anak pungut dari Hek Tiauw Lo-mo!"

"Bohong....!" Hwee Li menjerit dan dia lupa dengan ancamannya, kini tangannya bergerak menampar.

"Plakkk!" Pipi Liong Bian Cu ditamparnya dan tubuh pemuda bangsawan itu terhuyung ke belakang. Akan tetapi dia hanya tersenyum dan mengelus pipinya yang menjadi merah sekali oleh tamparan tadi.

"Bohong kau....! Bohong....!" bentak Hwee Li, wajahnya pucat dan air matanya menitik turun.

"Tidak, Hwee Li, aku tidak bohong. Ayahmu sendiri yang akan menceritakan kepadamu,dan kau boleh bertanya kepadanya. Semua peristiwa itu diketahui Hek-hwa Lo-kwi, dahulu sahabat ayahmu, dan aku mendengar dari Hek-hwa Lo-kwi. Hek-tiauw Lo-mo tidak pernah punyak anak, dan engkau bukan puterinya."

Mata yang indah itu terbelalak, kedua kakinya menggigil. "Bohong...! Bohong...!" Dara itu meloncat keluar dari kamar dan berlari sambil menutupi mukanya dan menangis terisak-isak.

Malam telah tiba. Di luar sudah gelap. Akan tetapi tidak terlalu gelap karena bulan telah muncul di angkasa timur. Biarpun bukan bulan purnama, namun bulan yang tiga perempat itu cukup mengusir kegelapan dan menimbulkan cahaya remang-remang yang sejuk dan kehijauan. Hwee Li berlari terus sambil menangis dan akhirnya dia baru berhenti ketika tiba di tepi sungai yang mengurung lembah. Dia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis sejadi-jadinya. Ia mengingat akan semua pengalamannya dengan ayahnya, waktu yang belasan tahun itu seperti membayang semua di benaknya. Ayahnya selalu memanjakannya, selalu mencintanya. Hanya akhir-akhir ini berubah. Dan dia mendengar ucapan ayahnya ketika bercakap-cakap di luar kamar tadi. Apa kata ayahnya kepada Pangeran Liong Bian Cu? Terngiang di telinganya sebagian dari kata-kata. ayahnya yang sukar dia lupakan, "Hanya kalau dia satu kali sudah menjadi milik pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu."

Ah, ayahnya hanya bilang bahwa ibunya telah meninggal dunia ketika dia masih kecil. Dia sama sekali sudah tidak ingat lagi kepada ibunya. Dan dia percaya! Siapakah ibunya? Siapa pula ayahnya? Apa yang terjadi dengan mereka? Dan bagaimana dia bisa menjadi anak Hek-tiauw Lo-mo dan tinggal di Pulau Neraka?

Hwee Li masih menangis, akan tetapi sekarang pikirannya bekerja. Kalau benar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, tentu dia tidak bisa mengharapkan bantuan dari kakek itu. Dia sendirian saja dikurung di dalam lembah itu, bahkan ayahnya itu juga membantu Pangeran Liong Bian Cu. Dia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa, dan kalau dia ingin selamat, dia harus mengandalkan dirinya! Akan tetapi, kepandaiannya masih jauh daripada cukup untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, yang amat lihai itu. Satu-satunya yang boleh diminta tolong dan diandalkannya hanyalah otaknya, kecerdikannya. Dia harus cerdik, kalau dia tidak ingin terhina dan mati konyol. Dan dia tidak ingin mati. Dia harus mencari akal!

"Moi-moi....!"

Hwee Li tahu siapa yang datang dan dia menangis makin keras. Dia terisak-isak sambil berlutut di atas rumput, akan tetapi kini tangisnya berbeda dengan tadi. Kalau tadi, dia menangis sepenuhnya terdorong oleh rasa penasaran, marah, kecewa dan duka. Akan tetapi kini tangisnya sebagian besar terkendali oleh kecerdikannya.

"Hwee Li, kaumaafkanlah aku. Aku tidak sengaja melukai hatimu. Akan tetapi percayalah, bahwa satu-satunya orang di dunia ini hanya aku yang dapat kaupercaya, hanya aku yang mencintamu. Jangan kau memikirkan lagi ayah angkatmu itu. Aku akan membahagiakan hidupmu, Moi-moi."

Hwee Li masih menangis, kemudian ketika dia merasa ada tangan menyentuh pundaknya, sentuhan penuh kasih sayang, dia mendorong perlahan tangan itu, bangkit berdiri dan menghadapi pangeran itu dengan muka basah air mata.

"Pangeran, betapa sedih hatiku mendengar bahwa dia bukan ayah kandungku. Dan aku tahu akan kebaikanmu, akan tetapi, engkau pun tahu bahwa aku tidak sudi untuk dijadikan perempuan sembarangan. Kalau kau berlaku sopan, kalau kau dapat menghormati dan menghargai aku sebagai gadis baik-baik, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk kelak menjadi jodohmu."

Tiba-tiba pangeran yang sudah tergila-gila dan benar-benar jatuh cinta kepada dara itu menjatuhkan dirinya berlutut. "Lihat, kekasihku, lihat. Aku Pangeran Liong Bian Cu yang biasa disembah-sembah orang. Aku tidak malu-malu untuk berlutut di depan kakimu. Aku bersumpah akan memenuhi janjiku, tidak akan mengganggumu sebelum kita menikah dan menjadi suami isteri yang syah. Engkau tahu bahwa aku mempunyai cita-cita yang maha besar, dan agaknya, tanpa engkau di sampingku, aku merasa tidak cukup kuat untuk melaksanakan tugas berat itu. Akan tetapi, dengan engkau di sampingku, Moi-moi, aku sanggup untuk menaklukkan seluruh dunia!"

"Baiklah, Pangeran. Aku percaya kepadamu, dan kuharap mulai sekarang aku boleh bebas di tempat ini."

"Tentu saja kekasihku. Akan tetapi, kuharap engkau jangan mencoba untuk melarikan diri karena engkau tahu bahwa hal itu selain tidak mungkin terjadi, juga ketahuilah bahwa dengan jarum beracun pemberian Hek-hwa Lo-kwi, aku telah terlanjur menusukkan jarum itu di tubuhmu sehingga kini racun itu telah berada di dalam tubuhmu. Racun itu tidak akan bekerja sebelum satu tahun, akan tetapi dalam satu tahun, racun itu akan dapat mematikan, Moi-moi. Akan tetapi, jangan khawatir, obat penawarnya selalu berada di tanganku." Pangeran itu bangkit berdiri dan tersenyum. Jadi jelas bahwa mencoba untuk melarikan diri, selain tidak mungkin, juga berarti engkau kelak akan tewas dalam keadaan tersiksa sekali. Maka, kuharap engkau tidak sebodoh itu."

Demikianlah, dalam keadaan tersudut, Hwee Li yang cerdik itu bermain sandiwara, pura-pura menerima kehendak sang pangeran untuk memperisterinya. Setiap hari dia hidup dengan bebas di lembah itu, dihormati semua orang yang tahu bahwa dara cantik jelita ini adalah tunangan Pangeran Nepal itu. Akan tetapi penjagaan terhadap dirinya sungguh amat ketat, apalagi di situ selalu ada Hek-hwa Lo-kwi atau Hek-tiauw Lo-mo yang membayanginya. Selain itu, juga semua perahu selalu dijaga sehingga tanpa memiliki perahu, tidak mungkin dia dapat menyeberangi sungai. Adapun sikap pangeran itu terhadapnya kini tidak begitu merisaukan hati Hwee Li karena pangeran yang amat mencintanya itu benar-benar tidak pernah mau mengganggunya, sikapnya amat manis, ramah dan mesra dan pangeran itu jelas berusaha keras untuk menundukkan hatinya dengan memupuk segala macam kebaikan dan keramahan. Hwee Li mengimbanginya dengan sikap manis sambil selalu mengincar kesempatan untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Bahkan dia pandai menyimpan penasaran hatinya sehingga dia tidak melontarkan rasa penasaran itu secara kasar kepada Hek-tiauw Lo-mo.

Ketika beberapa hari kemudian Liong Bian Cu mengundang makan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi di taman bunga untuk menikmati bulan purnama bersama Hwee Li, barulah dara ini dengan hati-hati mengajukan pectanyaan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Mereka telah selesai makan dan Hek-tiauw Lo-mo telah minum banyak sekali arak pada malam hari itu.

"Ayah, jangan Ayah merasa heran bahwa aku telah mendengar bahwa Ayah sesungguhnya bukan ayah kandungku."

"Ehhh?" Hek-tiauw Lo-mo menoleh kepada Hek-hwa Lo-kwi dengan alis berkerut, akan tetapi kakek muka tengkorak yang tinggi kurus itu tidak perduli dan tenang-tenang saja makan manisan angco.

"Sayalah yang menceritakan kepadanya, Locianpwe," tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu berkata. "Untuk melenyapkan rasa penasaran di hatinya."

Hek-tiauw Lo-mo memandang kepada pangeran itu, akan tetapi lalu mengangguk-angguk dan minum arak dari cawannya, kemudian meletakkan cawan kosong dan memandang kepada Hwee Li sambil tersenyum lebar. "Bagus kalau engkau sudah tahu. Kalau Pangeran tidak memberi tahu, sebetulnya aku pun hendak memberitahukan kepadamu, Hwee Li. Engkau sudah dewasa dan sudah waktunya mengetahui riwayatmu."

"Ayah," kata Hwee Li tenang sambil memandang tajam. Dia memaksa diri menyebut ayah, padahal di dalam hatinya dia tidak sudi lagi menyebut kakek yang kejam ini sebagai ayahnya. Semenjak dia bukan kanak-kanak lagi dan sudah mengerti dan dapat membedakan antara baik dan buruk, dia memang sudah merasa kecewa dan tidak senang kepada ayahnya. Sikap ayahnya itulah yang membuat dia tidak kerasan berdekatan dengan ayahnya itu. "Ayah telah memeliharaku sejak kecil dan untuk itu, aku berterima kasih sekali. Akan tetapi, aku berhak untuk mengetahui siapa orang tuaku yang sebenarnya dan di mana adanya mereka." Hwee Li

menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan perasaan dan dia menelan kembali keinginannya untuk menangis. Lalu dia menambahkan, "Kurasa Ayah adalah seorang tokoh yang terlalu terkenal dan gagah untuk tidak menyembunyikan semua perbuatan yang Ayah lakukan terhadap orang tuaku itu."

"Ha-ha-ha! Kim Hwee Li, engkau tentu sudah cukup mengenal watakku. Aku bukanlah orang yang suka menyesalkan semua perbuatanku sendiri, dan aku bukanlah orang yang suka mengingkari perbuatan sendiri. Aku berani berbuat dan berani pula bertanggung jawab. Ha-ha-ha! Sekarang dengarlah penuturanku dan setelah kau mendengarnya, terserah apa yang akan kaupikirkan terhadap diriku."

Dengan wajah tenang namun hatinya penuh dengan segala macam perasaan, Hwee Li mendengarkan penuturan kakek itu. Belasan tahun yang lalu, di dalam perantauannya setelah dia menemukan dan menundukkan orang-orang di Pulau Neraka dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Pulau Neraka, pada suatu hari Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin yang terkenal sebagai seorang panglima yang suka berhubungan dengan orang-orang berilmu tinggi di dunia kangouw. Karena tertarik akan berita bahwa Kim Bouw Sin amat menghormati orang-orang kang-ouw, maka Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng itu. Benar saja, Panglima Kim Bouw Sin menyambutnya penuh penghormatan, bahkan lalu mengadakan pesta untuk menyambut tamu agung ini. Di dalam pesta itu, Panglima Kim Bouw Sin berkenan menghibur tamunya dengan tari-tarian yang dilakukan oleh seorang selirnya yang terkasih. Selir ini cantik sekali dan masih muda belia, seorang ahli menari yang amat pandai.

Sebenarnya, Hek-tiauw Lo-mo pelarian dari Korea itu, biarpun pernah menjadi raja orang-orang liar, bahkan pernah mempunyai kebiasaan makan daging manusia, amat kejam dan membunuh orang seperti membunuh lalat saja, dia bukan termasuk seorang laki-laki yang lemah terhadap nafsu berahi. Akan tetapi, dalam keadaan setengah mabuk melihat selir panglima itu menari-nari dengan tubuh yang lemah gemulai, dengan dada montok penuh karena wanita muda ini mempunyai anak yang baru tiga bulan usianya, Hek-tiauw Lo-mo menjadi tergila-gila, dan pada malam hari itu, tanpa pamit, lenyaplah Hek-tiauw Lo-mo dari dalam kamar itu dan bersama dia, lenyap pula selir cantik itu bersama anaknya yang baru berusia tiga bulan!

Panglima Kim Bouw Sin terkejut sekali, akan tetapi melihat betapa tamunya yang seperti raksasa itu dapat menculik selir dan anaknya, melarikan diri dari sebuah benteng yang terjaga ketat, tahulah dia bahwa tamunya itu lihai sekali. Dan sebagai seorang panglima yang bercita-cita besar, yang ingin mengambil hati orang-orang berilmu di dunia kangouw, Panglima Kim Bouw Sin tidak mau ribut-ribut tentang penculikan ini, sungguhpun diam-diam dia menggerakkan orang-orangnya untuk mencari tanpa hasil.

Selir muda yang cantik itu menangis ketika dia dibawa masuk ke rumah Hek-tiauw Lo-mo di Pulau Neraka. Mula-mula dia menolak semua bujuk rayu raksasa itu, dan memilih mati. Akan tetapi, ketika Hek-tiauw Lo-mo menangkap anaknya, menempelkan golok gergajinya di leher anak yang baru berusia tiga bulan itu, wanita muda ini menyerah! Demi menjaga nyawa anaknya, dia mau menyerahkan diri setelah Hek-tiauw Lo-mo berjanji tidak akan mengganggu dan tidak akan membunuh anak itu, bahkan mengambil anak itu sebagai anaknya sendiri. Barulah wanita muda itu menyerahkan diri, penyerahan yang dilakukan dengan terpaksa dan dengan hati hancur. Hek-tiauw Lo-mo, raksasa yang kasar itu, mempermainkan wanita itu di luar batas kekuatan si wanita sehingga dalam waktu tiga bulan saja, wanita itu tidak kuat bertahan dan tewas!

Biarpun dia seorang liar dan kejam, namun Hek-tiauw Lo-mo merasa sebagai orang gagah, maka dia pantang untuk menjilat janjinya sendiri. Maka, setelah wanita itu meninggal dunia, dia benar tidak membunuh anak itu dan memeliharanya sebagai anak sendiri. Makin besar anak itu, makin sayanglah dia, apalagi setelah anak perempuan itu memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia kelak akan menjadi seorang wanita yang cantik jelita seperti ibunya!

"Ha-ha-ha engkaulah anak itu, Hwee Li!" Hek-tiauw Lo-mo menutup ceritanya yang dilakukan terang-terangan tanpa menyembunyikan sesuatu untuk membuktikan "kegagahannya". "Melihat engkau menjadi dewasa dan persis ibumu, tadinya aku mempunyai keinginan untuk menarik engkau di sampingku sebagai pengganti ibumu yang kucinta sungguh. Akan tetapi, setelah aku menjadi makin tua, aku kehilangan gairah terhadap wanita, apalagi setelah berjumpa dengan Pangeran Liong, aku mengambil keputusan untuk menyerahkan engkau kepadanya demi kebahagiaanmu, anakku! Ha-ha-haha-ha!"

Dapat dibayangkan betapa muak, benci dan sakitnya hati Hwee Li mendengar semua itu. Biarpun ayahnya mengaku cinta kepada ibunya, namun dia tahu bahwa akibat paksaan ayah angkat atau ayah tirinya inilah maka ibunya sampai tewas. Dan sesungguhnya, orang ini sama sekali tidak pantas dia sebut ayah, bahkan sebagai ayah tiri sekalipun, karena ibunya menjadi isteri orang ini tidak secara suka rela dan tidak syah, melainkan diculik dan dipaksa! Orang ini sama sekali bukan ayahnya, bukan ayah angkat atau ayah tirinya, melainkan musuh besarnya, pembunuh ibunya!

Panglima Kim Bouw Sin? Dia teringat akan peristiwa pemberontakan lima enam tahun yang lalu. Ketika itu, usianya baru kurang lebih sebelas tahun, akan tetapi dia sudah tahu akan apa yang telah terjadi. Dia mendengar nama Panglima Kim Bouw Sin ini. Bukankah itu panglima pembantu Jenderal Kao Liang yang kemudian memberontak dan bersekutu dengan Pangeran Liong Khi Ong dan akhirnya panglima itu terbunuh? Jadi ibunya dan ayahnya yang sebenarnya, ayah ibu kandungnya, semua telah mati? Dia masih penasaran dan bertanya dengan suara kering, "Dan ayah kandungku....?"

"Panglima Kim Bouw Sin? Ha-haha, dia sekeluarga telah dihukum mati karena memberontak. Jadi akhirnya engkau malah harus berterima kasih kepadaku, Hwee Li. Karena andaikata aku tidak melarikan ibumu dan engkau ikut, tentu engkau dan ibumu juga akan mengalami nasib yang sama, dihukum mati sebagai anggauta keluarga pemberontak," kata Hek-tiauw Lo-mo.

Dengan muka pucat akan tetapi tidak begitu kentara karena taman itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama yang sudah membuat segala sesuatu nampak pucat, Hwee Li berkata lirih, "Kalau begitu engkau bukan ayahku, Hek-tiauw Lo-mo...."

Pangeran Liong Bian Cu menyentuh tangan Hwee Li dan berkata, "Moi-moi, jangan bilang begitu. Betapapun juga, Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo adalah ayah tirimu dan dia sudah memeliharamu sejak kecil, mendidikmu dengan segala macam ilmu. Aku akan selalu menganggap dia sebagai ayahmu."

Pikiran Hwee Li bekerja. Dia melihat Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepadanya dan di balik pandang matanya itu terdapat ancaman hebat. Dia tahu bahwa kakek itu melakukan semua ini dengan harapan untuk membonceng kemuliaannya kalau dia kelak menjadi isteri Liong Bian Cu. Tentu saja kalau tidak dia ku sebagai ayah, harapan kakek itu menjadi hancur dan mungkin saja dia melakukan sesuatu yang akan merugikan dirinya. Selagi dia masih berada di lembah itu, selagi dia masih mencari-cari kesempatan untuk lolos, tidak baik kalau dia menanamkan kebencian dan ancaman baru dalam diri Hek-tiauw Lo-mo.

"Tentu saja, Pangeran. Aku tidak dapat melupakan segala kebaikan Ayah, katanya sambil minum araknya beberapa teguk. Dia melirik ke arah Hek-tiauw Lo-mo dan melihat kakek ini tertawa-tawa senang mendengar ucapannya itu.

******

Demikianlah, Hwee Li yang bagaikan seekor burung telah terkurung dalam sangkar emas itu, terjaga ketat dan sama sekali tidak melihat kesempatan sedikit pun untuk melarikan diri, mulai menggunakan kecerdikannya. Setiap saat dia waspada dan mencari lubang, dan hanya kecerdikannya saja yang membuat dia dapat menahan segala kekhawatirannya dan bersikap biasa, bahkan ramah terhadap Pangeran Liong Bian Cu, seolah-olah dia mulai setuju untuk menjadi isteri Pangeran Nepal ini.

Sering Hwee Li termenung dan hatinya diliputi kedukaan dan kemarahan. Dia merasa benci sekali kepada Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata adalah seorang musuh besar. Kini lenyaplah harapanaya untuk dapat tertolong oleh kakek itu. Semua orang yang berada di lembah ini adalah musuh-musuhnya, dan Hek-tiauw Lo-mo merupakan musuh utama malah, di samping Pangeran Liong Bian Cu.

"Ingatlah, Moi-moi, engkau adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin dan engkau sudah tahu betapa ayah kandungmu itu dahulu juga bersekutu dengan ayahku dan membantu ayahku, Pangeran Liong Khi Ong. Maka, kalau sekarang engkau menjadi isteriku dan membantuku, sungguh sudah tepat sekali. Orang tua kita bersahabat, dan kini kita berjodoh, bukankah itu baik sekali?" Demikian antara lain bujukan dari Pangeran Liong Bian Cu. Akan tetapi biarpun dia tidak mau membantah, di dalam hatinya dia sangat tidak senang. Ayahnya adalah seorang pemberontak dan karena perbuatannya itu, seluruh keluarga ayahnya binasa. Dia mengerti bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar, dan tentu saja dia tidak sudi mengulang perbuatan itu, apalagi ditambah dengan pengorbanan dirinya menjadi isteri dari Liong Blan Cu yang dibencinya.

Akan tetapi, kesempatan yang dinanti-nantinya itu tidak kunjung datang. Penjagaan terlalu ketat dan dia sama sekali tidak melihat kemungkinan untuk dapat meloloskan diri melalui penyeberangan sungai. Satu-satunya jalan untuk dapat lolos hanya dengan bantuan garudanya, akan tetapi kini garuda itu telah dikurung, dijaga ketat dan kurungannya dikunci.

Hwee Li sudah menggunakan akal untuk bersikap ramah kepada Liong Bian Cu sehingga pergaulan di antara mereka sudah kelihatan akrab dan tidak asing lagi. Bahkan dengan keramahannya itu, Hwee Li mengajak dia bercakap-cakap dan dengan gembira Hwe Li menceritakan tentang kesenangan menunggang burung garuda melayang-layang di angkasa. Mendengar ini dan melihat sikap Hwee Li, Liong Bian Cu berkata, "Jangan khawatir, kekasihku. Kelak kalau kita sudah menikah, aku akan mengajakmu berpesiar naik garuda itu."

"Ah, mana mungkin? Burungku itu tentu akan dibawa pergi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Sekarang pun telah dikurungnya, aku khawatir burung itu akan sakit dan mati."

"Ha-ha-ha, kau tidak perlu khawatir. Ayahmu telah menyerahkan burung itu kepadaku dan ini kunci kurungan itu selalu berada di tanganku. Dan aku sudah menyuruh para pemelihara burung itu baik-baik, memberi makan dan minum secukupnya."

lnilah yang ingin diketahui oleh Hwee Li dan dara ini cepat mengalihkan percakapan. Dia kini sudah tahu bahwa kunci kurungan berada di tangan pangeran ini! Cukuplah itu! Terbuka lagi jalan baginya untuk meloloskan diri. Kalau saja dia dapat merobohkan Liong Bian Cu, merampas kunci itu dan membebaskan garudanya, tentu dia akan dapat lolos dari situ menunggang garudanya!

Liong Bian Cu benar-benar jatuh cinta kepada Hwee Li. Sikapnya baik sekali, dan pemuda ini tidak pernah lagi memperlihatkan kekerasan, sungguhpun sikapnya mesra sekali. Namun, dia sudah puas untuk menggandeng tangan Hwee Li, atau paling jauh dia hanya mencium tangan dara itu, tidak berani bertindak lebih. Akan tetapi, Hwee Li makin gelisah ketika hari yang ditentukan makin mendekat. Liong Bian Cu telah menentukan hari pernikahan mereka, dan tanpa disadari dia telah hampir sebulan berada di situ sehingga waktu pernikahan tinggal satu bulan lagi!

Pada suatu senja, Liong Bian Cu sibuk mencari-cari Hwee Li. Dara ini memang diberi kebebasan untuk pergi ke mana saja di dalam lembah itu, karena Liong Bian Cu merasa yakin bahwa tidak mungkin Hwee Li dapat meloloskan diri. Selain lembah itu terkurung sungai lebar, juga terdapat banyak sekali penjaga ditepi sungai sehingga andaikata Hwee Li hendak nekat menyeberang, dia akan ketahuan pula.

"Hwee Li.. ..!"

"Moi-moi, di mana kau....?"

Liong Bian Cu mencari-cari ke sana-sini sambil berteriak-teriak memanggil. Hatinya merasa agak gelisah. Biarpun dia merasa yakin bahwa tidak mungkin dara itu dapat meloloskan diri, namun setelah agak lama mencari-cari tanpa hasil, dia merasa khawatir juga, khawatir kehilangan dara yang dicintanya itu. Akan tetapi hatinya merasa lega ketika seorang pengawal memberi tahu bahwa dara yang dicari-carinya itu tadi pergi ke sumber air di tempat yang agak tinggi di sebelah belakang lembah.

Liong Bian Cu cepat pergi ke tempat itu. Dia tahu bahwa dara itu memang suka pergi ke sana dan bahkan suka mandi di sumber air mancur itu, sunggupun di dalam kamarnya telah tersedia kamar mandi dan kolam. Membayangkan kekasihnya mandi di tempat sunyi itu, jantungnya berdebar keras. Betapa sering dia harus menahan gelora nafsunya kalau berhadapan dengan Hwee Li. Nafsunya mendorong untuk menubruk dan memeluk dara itu, seperti seekor harimau kelaparan dan menubruk seekor domba muda. Akan tetapi cinta kasihnya melarangnya, karena dia ingin menikmati penyerahan diri Hwee Li sebulatnya, dengan suka rela dan dengan sikap yang membalas perasaan cintanya. Hampir setiap malam dia mimpi bermain cinta dengan tunangannya itu! Kini, membayangkan

Hwee Li mandi di sumber air, menimbulkan keinginan besar di hatinya untuk mengintai dan melihat kekasihnya itu mandi.

Setidaknya tentu dara itu akan menanggalkan pakaian luarnya! Dengan hati-hati pangeran ini lalu menghampiri sumber air, menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia mendengar suara kekasihnya bersenandung dan mendengar suara air berkecipakan!

Sementara itu, Hwee Li sejak tadi memang, menanti munculnya Liong Bian Cu. Sudah berhari-hari dia mengatur siasat ini. Siasat itu timbul ketika dia lewat di lorong kecil yang menuju ke sumber air itu dan sebuah batu runtuh dari tebing di sebelah kiri lorong dan hampir menimpanya. Dia melihat bahwa tebing itu hampir longsor, tanahnya sudah retak-retak dan di atas tebing terdapat sebongkah batu sebesar kepala gajah! Untung hanya batu sebesar kepala manusia saja yang runtuh dan hampir menimpanya. Kalau batu besar itu yang runtuh, tentu akan membawa semua batu yang berada di atas dan tepi tebing dan dia akan teruruk oleh batu-batu besar karena lorong di tempat itu terhimpit tebing dan sempit sekali.

Peristiwa itu menimbulkan siasat kepada Hwee Li yang cerdik. Berhari-hari dia mempelajari keadaan tebing dan batu besar itu. Ternyata bahwa yang menahan batu besar itu tidak sampai longsor ke bawah adalah sebatang pohon kecil yang tumbuh di tebing, juga ada beberapa buah batu yang tidak begitu besar merupakan pengganjal. Kalau pohon itu diambil, atau batu-batu kecil itu runtuh, tentu pohon itu tidak kuat menahan dan batu besar itu akan runtuh ke bawah. Dia mencari akal dan mulailah dengan diam-diam dia menggali dan melubangi tanah di atas tebing, tepat di bawah batu besar itu, menyingkrkan beberapa buah batu pengganjal dengan hati-hati sekali. Pekerjaan ini dilakukannya secara diam-diam selama beberapa hari. Kemarin, ketika seorang pegawal melihatnya dengan heran di situ, Hwee Li cepat menangkap seekor jengkerik dan bermain-main dengan binatang itu sehingga pengawal yang melihatnya di situ mengira bahwa dara remaja tunangan pangeran itu mencari jengkerik dan bermain-main seperti seorang anak-anak saja. Dan memang dara remaja itu masih bersikap lincah seperti anak kecil!

Setelah membuat persiapan secara menyakinkan, Hwee Li mengikatkan tali pada batang pohon kecil yang kini seolah-olah merupakan pengganjal utama bagi batu besar tadi, lalu menyembunyikan tali panjang itu melalui belakang batu-batu besar, terus menurun dan disembunyikan di dekat sumber air. Dan pada senja hari itu, dia sengaja mandi di situ. Biarpun dia mendengar teriakan-teriakan suara Liong Bian Cu memanggil-manggilnya, dia sengaja tidak menjawab dan membiarkan pangeran itu mendatangi sumber air.

Liong Bian Cu juga bukan seorang yang bodoh. Begitu dia tiba di luar lorong dan mengintai dari jauh, dia melihat dara itu duduk di bawah pancuran air dan benar saja hanya memakai pakaian dalam, akan tetapi dara itu kelihtan tegang dan tidak mandi! Dan dara itu bersenandung sambil matanya diarahkan ke bawah sumber air, seolah-olah menanti kedatangannya! Dia teringat bahwa dia tadi telah menggunakan khikang ketika memanggil-manggil. Mustahil kalau gadis itu tidak mendengar panggilannya. Akan tetapi gadis itu tidak pernah menjawab. Dan kini Hwee Li seolah-olah menantinya, kedua tangannya disembunyikan di dalam air yang membentuk kolam jernih di bawah pancuran. Air terjun kecil itu datang dari sumber air dari batu-batu di atas pancuran. Apa yang akan dilakukan gadis itu? Agaknya akan menyerangnya lagi, pikir pemuda itu. Demikian mencurigakan sikapnya.

Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa sepasang mata yang tajam sekali dari Hwee Li telah dapat melihatnya ketika dia menyelinap di balik pohon dan mengintai. Hwee Li juga maklum akan kecerdikan Liong Bian Cu. Mengapa pemuda itu tidak terus naik melalui lorong? Tentu timbul kecurigaannya, pikirnya. Tidak ada gunanya membujuk Bian Cu untuk naik. Satu-satunya jalan adalah memancingnya naik melalui lorong itu dan dia tahu akan umpan terbaik untuk memancingnya, yaitu bukan lain adalah tubuhnya sendiri.

Maka, dengan sikap biasa, setelah pura-pura menengok ke sana-sini untuk meyakinkan bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, Hwee Li lalu mulai menanggalkan pakaian dalamnya dengan berdiri membelakangi tempat di mana Bian Cu mengintai. Nampaklah tubuh belakangnya yang mulus. Melihat adegan strip-tease (tarian menanggalkan pakaian) yang terjadi di alam terbuka ini, Liong Bian Cu berkali-kali menelan ludahnya dan matanya tidak pernah berkedip satu kali pun, pandang matanya melotot seolah-olah dia hendak menelan tubuh itu bulat-bulat dengan sinar matanya! Liong Bian Cu bukanlah seorang pemuda hijau. Tidak, dia adalah seorang pangeran dan di Nepal sudah biasalah bagi seorang pangeran untuk mengambil selir sebanyak mungkin. Dia sudah banyak bergaul dengan wanita-wanita cantik, akan tetapi belum pernah dia jatuh cinta seperti yang dirasakannya sekarang terhadap Hwee Li. Kini melihat dara yang dicintanya itu, yang dirindukannya siang malam, melepas busana di depan matanya, tentu saja membuat dia menjadi seperti cacing terkena abu panas!

Lebih-lebih lagi ketika dengan gerakan tanpa disengaja Hwee Li miringkan tubuhnya sehingga nampak dari samping sebagian dari bukit dadanya, darah Bian Cu tersirap dan seperti terkena pesona, terkena sihir yang amat kuat, dengan semangat seperti terbang meninggalkan tubuhnya, kedua kakinya melangkah ke dalam lorong dan matanya masih tanpa berkedip memandang ke arah tubuh itu. Dia seperti terbetot oleh kekuatan rahasia, kekuatan yang mengandung semberani, yang membuat kedua kakinya bergerak dan berjalan memasuki lorong menuju ke tempat Hwee Li.

Hwee Li yang memutar tubuh miring tadi melirik dan ketika melihat Bian Gu memasuki lorong, dia merasa betapa jantungnya berdebar keras sekali. Dia menanti sampai pangeran itu tiba tepat di bawah batu besar, kemudian tiba-tiba dia menarik tali yang dipegangnya sejak tadi, mengerahkan seluruh tenaganya.

"Braakkk.... bruuuuukkkkk....!" Suara ini disusul suara hiruk-pikuk ketika batu sebesar gajah itu menggelinding menuruni tebing, membawa batu-batu lainnya ikut pula runtuh dan longsor! Pohon kecil itu tadi digerakkan oleh tali dan jebol, tidak kuat lagi menahan batu besar dan karena sebelah bawah batu sudah digerowongi, maka tanpa dapat dicegah lagi batu itu menggelinding turun.

Liong Bian Cu terkejut bukan main, berteriak keras dan berusaha untuk menyingkir. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat meloncat ke kanan atau kiri yang merupakan tebing tinggi, maka jalan satu-satunya baginya hanya meloncat ke belakang. Namun, gerakannya kurang cepat dan biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari tindihan batu sebesar gajah itu, dia tidak dapat terhindar dari hantaman batu-batu kecil lainnya yang datang bagaikan hujan. Dia berteriak lagi, terpelanting dan tubuhnya ditimpa banyak batu yang menguruknya. Debu Mengebul tinggi dan suara hiruk-pikuk dari batu-batu yang runtuh itu terdengar sampai jauh.

Sementara itu, dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Hwee Li sudah cepat mengenakan kembali pakaiannya dan dia lalu berloncatan menghampiri tumpukan batu. Dia melihat sebelah kaki dan sebelah tangan Bian Cu tersembul dari tumpukan batu. Dia bergidik ngeri, mengira bahwa tentu pemuda ini telah tewas. Dan memang demikianlah perhitungannya. Kalau Bian Cu mati, dia tidak lagi terancam bahaya untuk dipaksa menjadi isterinya. Dan banyak kemungkinan dia akan selamat. Pertama, orang-orang  tidak akan tahu bahwa kematian Bian Cu disebabkan oleh dia. Ke dua, kalau dia dapat membebaskan garuda, dia akan dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ke tiga, andaikata dia tidak dapat membebaskan garuda, dia akan dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ke tiga, andaikata dia tidak dapat membebaskan garuda, setelah pangeran itu mati, orang-orang di lembah itu tentu tidak membutuhkan lagi dia dan mungkin saja dia dibiarkan lolos dari situ. Semua kemungkinan itu tidak mungkin ada selama Liong Bian Cu masih hidup!

Cepat dia berusaha mencari kunci kurungan garuda yang menurut pemuda itu berada di sakunya. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan, "Apa yang terjadi? Minggir kau!" dan tubuh Hwee Li terdorong ke samping. Dara ini terkejut sekali melihat seorang kakek bermantel merah, telah berada di situ. Dorongan dari jarak jauh yang dilakukan oleh Ban-hwa Sengjin, kakek itu amat hebat sehingga Hwee Li terdorong mundur. Kini, dengan kecepatan dan tenaga yang luar biasa, kakek itu membongkar batu dan melempar-lemparkan batu yang menindih tubuh muridnya. Tubuh itu penuh dengan luka-luka dan berdarah.

Ban Hwa Sengjin memondong tubuh muridnya dan lari cepat sekali menuju ke gedung di tengah lembah. Hwee Li berdiri bingung. Kunci itu belum berhasil dia temukan. Akan tetapi, selagi semua orang sibuk mengurus Liong Bian Cu, sebaiknya dia berusaha untuk membebaskan garudanya. Maka berlarilah dia menuju ke taman di belakang gedung untuk menuju ke tempat di mana garuda itu dikurung, karena selama ini dia sudah menyelidiki dan tahu bahwa burung itu dikurung di sudut taman di belakang gedung.

Akan tetapi, baru saja dia muncul, bukan pengawal-pengawal yang menyambutnya dan yang sudah dia rencanakan untuk dirobohkan semua baru dia akan berusaha membebaskan burungnya. Yang berdiri di situ adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi! Hwee Li maklum bahwa terhadap dua orang kakek ini, percuma saja kalau dia melawan. Maka dengan suara dibuat gugup dia bertanya,

"Bagaimana keadaan Pangeran....?"

Akan tetapi sebagai jawaban, dua orang kakek itu tiba-tiba menerjangnya!"

Hwee Li terkejut dan berusaha untuk mengelak dan membela diri, namun diserang oleh dua orang sakti itu secara berbareng, tentu saja dia tidak mungkin dapat menyelamatkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya, membuat dia roboh terguling, Hek-tiauw Lo-mo mengempit tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam gedung.

Dapat dibayangkan betapa kaget, kecewa, dan penasaran rasa hati Hwee Li ketika dia dibawa masuk ke dalam kamar besar mewah itu, dilempar ke atas kursi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia melihat Liong Bian Cu sedang duduk di atas pembaringan dengan muka pucat dan masih nampak obat kuning di atas luka-luka di seluruh tubuhnya. Akan tetapi dia telah memakai baju hersih dan sinar matanya memandang lembut kepada Hwee Li sedangkan mulutnya tersenyum.

"Kau.... kau....?" Hwee Li menggagap, akan tetapi melihat senyum itu melebar dia melanjutkan, "Kau tidak apa-apa, Pangeran....?"

Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo membentaknya, "Anak durhaka! Engkau hampir saja membunuhnya dan untung Ban Hwa Sengjin masih sempat menyelamatkannya karena beliau kebetulan datang! Kalau tidak, dan Pangeran sampai meninggal dunia, tentu kau sudah kami bunuh sejak tadi!"

"Locianpwe, jangan bicara begitu....!" Tiba-tiba pangeran itu berkata, suaranya lemah menandakan bahwa peristiwa itu benar-benar amat berbahaya baginya dan membuatnya menderita, sungguhpun tidak sampai berbahaya bagi nyawanya. "Hwee Li tidak bersalah!"

"Muridku, Pangeran yang mulia. Saya sendiri melihat dia berada di sana ketika Paduka tertindih batu-batu itu, bagaimana Paduka dapat mengatakan dia tak bersalah?" Terdengar Ban Hwa Sengjin yang duduk di dalam kamar itu pula, menegur, mata kakek ini dengan tajamnya menatap wajah Hwee Li.

"Tidak, Suhu. Dia tidak bersalah dan aku perintahkan agar dia dibebaskan dari totokan. Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, bebaskan dia!"

Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menghampiri dara itu dan membebaskan totokannya. Hwee Li cepat menghampiri pangeran itu dan duduk di tepi pembaringan, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Dia maklum bahwa dengan satu gerakan saja dari pangeran itu, tiga orang kakek sakti itu tentu akan turun tangan membunuhnya.

"Pangeran, maafkan saya. Akan tetapi saya melihat tali mengikat pohon kecil itu. Tentu ada yang menarik tali itu merobohkannya sehingga batu besar itu menggelinding turun!" kata Hek-hwa Lo-kwi.

"Pangeran, harap Paduka tidak membahayakan diri sendiri dan melindungi orang yang berdosa," Ban Hwa Sengjin juga memperingatkan.

Liong Bian Cu memandang wajah dara itu dan tersenyum, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan menggoyang-goyangnya, akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa nyeri sekali.

"Jangan gerakkan lengan kiri Paduka dulu, baru saja sambungan tulang pundak saya benarkan," kata Ban Hwa Sengjin.

"Sam-wi (Anda Bertiga) harap jangan salah sangka. Sungguh peristiwa itu terjadi karena kesalahan saya. sendiri. Tali itu adalah saya sendiri yang mengikatnya. Saya melihat tempat itu dapat menjadi perangkap yang baik, perangkap rahasia untuk melindungi diri kalau-kalau ada musuh berani datang. Hwee Li cerdik sekali, dia membantuku dan kami sedang mengatur perangkap itu. Akan tetapi, ketika aku mendaki di bawah tebing untuk mencarikan tempat rahasia untuk menaruh tali, dan berpegang pada pohon itu, pohon itu tidak kuat, jebol dan aku jatuh ke bawah, lalu batu-batu itu menimpa turun."

"Ah, tapi...." Ban Hwa Sengjin hendak membantah. Liong Bian Cu mengangkat tangan kanan ke atas menyetopnya. "Sudahlah, Koksu, aku sudah bicara. Peristiwa itu hanya kecelakaan dan aku melarang siapapun untuk menggangu kekasihku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang itu. Sekarang, harap kauceritakan tentang perkembangan usaha kita."

Kakek bermantel merah itu kembali menoleh ke arah Hwee Li, menarik napas panjang dan berkata, "Baiklah, Pangeran. Saya baru saja mengunjungi Gubernur Ho-nan dan dia sudah menyanggupi untuk melindungi tempat ini dan dia pun setuju kalau tempat ini dijadikan markas untuk sementara. Selain itu, sesuai dengan perintah Paduka, Gitananda sedang pergi menjemput tawanan itu untuk dipindah kan ke sini."

"Bagus! Memang sebaiknya puteri itu berada di sini. Di sini dia lebih aman dan terjaga, selain itu, juga dia dapat menjadi teman tunanganku. Betapapun juga, dialah orangnya yang dapat mengajarkan kepada Hwee Li tentang tata susila kerajaan dan hal-hal lain yang patut diketahui oleh seorang calon puteri kerajaan."

Hwee Li tidak turut bicara sungguhpun semua percakapan tidak ada yang terlewat oleh perhatiannya. Dia masih merasa tegang dan terkejut, dan diam-diam dia merasa heran sekali mengapa pangeran ini menolongnya, padahal sudah jelas pangeran ini tentu tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan kecelakaan, melainkan usahanya untuk membunuh Liong Bian Cu.

Setelah percakapan itu selesai, Liong Bian Cu berkata, "Sekarang harap Samwi meninggalkan kamar ini. Aku lelah dan ingin beristirahat, biar Hwee Li menemaniku."

Kembali tiga orang itu bangkit dan memandang dengan ragu-ragu. "Maaf, Pangeran. Apakah itu bijaksana?" tanya Ban Hwa Sengjin.

"Berbahaya sekali membiarkan dia di sini sendiri bersama Paduka!" kata Hek-tiauw Lo-mo sambil memandang ke arah dara itu dengan mata melotot. Agaknya dia masih marah sekali atas perbuatan "bekas anaknya" itu.

Akan tetapi pandang mata Liong Bian Cu menjadi keras. "Siapapun tidak boleh menilai calon isteriku! Pergilah kalian!" bentaknya.

Ban Hwa Sengjin dan dua orang kakek itu lalu menjura dan pergi. Biarpun Ban Hwa Sengjin itu seorang Koksu Nepal, seorang yang berkedudukan tinggi, dan juga guru dari Liong Bian Cu, akan tetapi betapapun juga, terhadap pemuda itu dia adalah seorang petugas terhadap atasannya, maka sikapnya selalu menghormat dan taat.

Setelah mereka pergi dan pintu kamar ditutupkan dari luar dengan hati-hati oleh seorang pelayan yang atas isyarat Pangeran Liong Bian Cu lalu keluar lagi, mereka kini tinggal berdua saja di dalam kamar itu. Hwee Li lalu mundur dan duduk di atas bangku, agak jauh dari pembaringan di mana Liong Bian Cu duduk. Gadis itu mengangkat muka dan memandang Bian Cu. Pemuda ini kelihatan pucat, mukanya hampir penuh dengan warna-warna kuning, yaitu obat cair yang dipergunakan oleh Ban Hwa Sengjin untuk mengobati luka-lukanya. Agaknya obat itu manjur bukan main karena luka-luka itu kelihatan sudah mengering.

Liong Bian Cu juga memandang kepadanya, lalu mulutnya tersenyum dan dia mengejapkan sebelah matanya, seolah-olah memberi tanda kepada seorang sekutunya. Melihat sikap ini, Hwee Li merasa makin heran. "Pangeran, kenapa engkau menolongku?" tanyanya, tidak tahan dia melihat sikap itu. Kalau pangeran itu marah-marah tentu dia akan menerimanya dengan tenang saja, akan tetapi melihat pangeran itu bersikap demikian baik terhadap perbuatannya yang hampir saja mengakibatkan pangeran ini tewas, benar-benar sukar untuk dapat diterimanya.

"Kenapa? Tentu saja karena aku cinta padamu, Hwee Li! Dan kenapa engkau bermaksud membunuhku?"

"Perlukah kujawab itu?"

"Tentu saja. Karena aku merasa penasaran kalau tidak mendengar sebabnya."

"Karena aku membencimu, Pangeran."

"Ahhh! Engkau membenciku karena aku mencintamu?"

Hwee Li menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku belum segila itu. Akan tetapi aku benci kepadamu karena engkau memaksa aku untuk menjadi isterimu, karena engkau mengurung aku di sini, karena biarpun engkau bersikap ramah dan baik, akan tetapi pada hakekatnya engkau melakukan penekanan dan paksaan kepadaku."

"Hemmm, semua itu kulakukan demi cintaku kepadamu, Hwee Li. Tahukah engkau bahwa sebagai seorang pangeran, belum pernah ada wanita yang bagaimanapun menolak cintaku? Dan engkau, tidak saja menolak, bahkan beberapa kali engkau nyaris membunuhku!"

"Dan aku akan masih terus berusaha membunuhmu!" kata Hwee Li terus terang.

"Ha-ha-ha, sikapmu inilah yang membuat aku makin tergila-gila dan makin cinta kepadamu, sayang. Kalau engkau menangis merengek-rengek minta ampun, atau engkau merayuku, agaknya cintaku akan menipis. Akan tetapi tidak, engkau melawan, engkau menggunakan kecerdikan, engkau tabah, berani, cerdik dan gagah. Itulah sebabnya maka aku mau mengorbankan apa saja demi untuk mendapatkan cintamu."

"Aku tidak akan mencintamu, Pangeran."

"Ha-ha-ha, kita sama lihat saja nanti. Dengan cintaku yang murni, dengan kebaikan-kebaikan yang kulimpahkan, pada suatu hari aku mengharapkan akan dapat mencairkan kekerasan hatimu, dewiku, dan aku akan mengecap kenikmatan dan kebahagiaan itu sebagai hasil jerih payahku selama ini."

"Aku akan berusaha untuk minggat!"

Pangeran itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, Hwee Li. Dan bukankah engkau senang tinggal di sini? Bukankah semua orang mentaati perintahmu dan segala keinginanmu dapat terpenuhi? Bukan itu saja, engkau bahkan akan memperoleh seorang kawan yang tentu akan menyenangkan hatimu, seorang puteri yang cantik jelita dan terkenal. Dia akan diantar oleh Gitananda ke sini."

"Siapakah dia?"

"Dia adalah Puteri Syanti Dewi, Puteri Bhutan."

Diam-diam Hwee Li menjadi terkejut sekali mendengar nama ini. Biarpun dia sendiri tidak pernah mengenal puteri itu, namun nama puteri itu sudah kerap kali didengarnya. Gurunya, Nyonya Kao Kok Cu yang dulu bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng itu, sering kali menceritakan tentang Puteri Syanti Dewi ini yang menjadi kakak angkat gurunya. Akan tetapi di depan Pangeran Nepal itu, dia bersikap tenang saja.

"Apakah dia itu tamumu?" tanyanya.

"Bukan, dia adalah tawanan kami. Dia secara kebetulan dapat tertawan oleh Gitananda, selama ini disembunyikan karena banyak orang pandai mencarinya, dan kini atas perintahku, puteri itu di bawa ke sini untuk menemanimu."

"Dia kau tawan pula? Pangeran, memang tepatlah kalau dia yang menjadi jodohmu. Engkau pangeran dan dia puteri. Pula, bukankah Nepal dan Bhutan itu bertetangga?"

"Ha-ha-ha, mana mungkin begitu? Aku cinta padamu, Hwee Li. Dan dari kenyataan bahwa Puteri Bhutan itu ku tawan, jelas membuktikan bahwa Bhutan dan Nepal bukanlah sahabat. Mungkin saja kelak dia akan menjadi selirku, tapi ah, sementara ini,     aku tidak ingin memandang atau membicarakan wanita lain kecuali dirimu, sayang."

Semenjak peristiwa itu, biarpun sikap pangeran itu masih biasa, masih ramah kepadanya, namun Hwee Li maklum bahwa penjagaan terhadap dirinya makin diperkuat. Dia selalu dibayangi, kalau tidak oleh Hek-tiauw Lo-mo tentu oleh Hek-hwa Lo-kwi atau para pembantu lain. Dia merasa penasaran dan kebenciannya terhadap Liong Bian Cu tidak berkurang. Biarpun dia telah mencela dirinya sendiri sebagai orang kurang mengenal budi, mengakui sendiri bahwa pangeran itu benar-benar cinta kepadanya, tidak sakit hati biarpun nyaris tewas oleh perbuatannya, namun tetap saja dia tidak mempunyai sedikit pun perasaan cinta kepada pangeran itu. Bahkan dia merasa makin gemas karena dia menuduh pangeran itu sengaja hendak "melepas budi" agar dia merasa berhutang budi kepadanya. Dan memang dia merasa canggung sekali, sukar baginya kini untuk memperlihatkan sikap kasar terhadap

pangeran yang selalu baik kepadanya itu. Dan ini berbahaya, dia tahu akan hal itu. Merasa betapa kebenciannya makin mengendur, Hwee Li menjadi takut dan dia memperkuat pula perasaan benci itu sambil mengingat satu hal pokok, yaitu bahwa kemerdekaannya dihalangi oleh Liong Bian Cu. Pada keesokan harinya, benar saja Gitananda muncul bersama Syanti Dewi. Seperti telah kita ketahui, Gitananda berhasil menculik Syanti Dewi ketika terjadi perebutan antara Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su karena salah duga sehingga Syanti Dewi tidak terlindung dan mudah diculik dan dilarikan oleh Gitananda. Karena maklum bahwa banyak orang pandai yang akan mengejarnya untuk merampas kembali Syanti Dewi, maka Gitananda lalu menyembunyikan puteri itu di suatu tempat dalam hutan besar, menyuruh anak buahnya menjaga dengan ketat dan dia hanya melaporkan saja kepada koksu, yaitu atasannya. Kemudian koksu menceritakan hal itu kepada muridnya, yaitu Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya Liong Bian Cu memerintahkan agar puteri itu dipindahkan saja ke lembah Sungai Huang-ho itu, selain untuk dapat menjaganya lebih kuat, juga puteri itu dapat menemani tunangannya.

Setelah Syanti Dewi yang kelihatan kurus dan agak pucat itu disambut oleh Liong Bian Cu dengan sikap hormat dan disuruh antar ke kamarnya, Liong Bian Cu lalu mengajak gurunya berunding. Sementara itu, Hwee Li yang sepintas lalu melihat puteri itu, diam-diam merasa kagum sekali. Benar cerita gurunya. Puteri Syanti Dewi amat cantik jelita, sikapnya agung dan tenang. Menurut penuturan gurunya, puteri itu tentu sudah berusia dua puluh tiga tahun lebih, akan tetapi kelihatan seperti dara remaja belasan tahun saja. Hanya sikapnya, pandang matanya dan gerak-geriknya yang lemah lembut membayangkan bahwa puteri itu adalah seorang wanita yang sudah matang, tenang, dan memiliki kepribadian yang amat kuat.

Hwee Li lalu mengunjungi kamar itu. Para penjaga yang berdiri di luar kamar dengan senjata di tangan, cepat memberi hormat dan tidak ada seorang pun berani menghalangi Hwee Li memasuki kamar itu. Hwee Li dianggap sebagai tunangan pangeran dan tidak ada seorang pun yang berani menentangnya, sungguhpun tidak akan ada pula yang berani membantunya andaikata Hwee Li minta mereka membantu dia lolos dari tempat itu. Mereka tahu bahwa sekali saja nona ini mengadu kepada pangeran, tentu pangeran tidak akan segan-segan untuk menghukum orang yang diadukan, atau mungkin membunuhnya seketika!

Hwee Li memasuki kamar dan melihat puteri itu rebah telentang, menatap langit-langit kamar dengan sikap termenung. Ada dua orang pelayan wanita duduk bersimpuh di atas lantai. Melihat Hwee Li, dua orang pelayan itu cepat memberi hormat.

"Keluarlah kalian berdua dan jangan masuk kalau tidak kami panggil!" kata Hwee Li dengan sikap keren dan dua orang pelayan itu menghormat lalu keluar dari dalam kamar. Mereka bersama para penjaga berkelompok di luar pintu, bingung dan khawatir. Mereka diperintahkan untuk menjaga sang puteri, akan tetapi mereka disuruh keluar oleh tunangan pangeran dan mereka tidak berani membantah karena sudah berkali-kali ditekankan oleh pangeran dan para pembantunya, bahwa tunangan pangeran itu harus ditaati dan jangan sampai marah. Pula, mereka semua tahu bahwa tunangan pangeran itu adalah seorang dara yang memiliki tangan baja, memiliki kepandaian tinggi dan sekali pukul saja dapat menghancurkan kepala mereka!

"Bibi Syanti Dewi....!" Hwee Li melangkah maju dan menjura ke arah wanita yang masih rebah dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik itu.

Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan bangkit duduk. Dia tidak pernah diganggu selama diculik oleh Gitananda, dan dia tahu bahwa Gitananda adalah kaki tangan Kerajaan Nepal, bahwa dia terjatuh ke tangan musuh negaranya. Maka, biarpun dia merasa berduka karena putus harapannya bertemu dengan kekasihnya, Ang Tek Hoat, namun dia tahu bahwa dia aman berada di tangan orang-orang Nepal ini. Hanya karena terlalu berduka memikirkan Tek Hoat, maka dia tidak suka makan, kurang tidur sehingga badannya lemah dan mukanya pucat. Kini, setelah disambut oleh Pangeran Liong Bian Cu yang dia dengar adalah cucu Raja Nepal, dia tahu bahwa dia akan dijadikan sandera. Maka tentu saja dia terkejut dan terheran-heran melihat munculnya seorang dara remaja yang cantik dan yang menyebutnya bibi ini. Melihat sikap dara cantik ini terhadap para pelayan, dan melihat betapa para pelayan mentaati perintahnya, dia maklum bahwa dara ini tentu orang penting yang besar kekuasaannya di tempat itu. Ditatapnya wajah Hwee Li dengan tajam dan penuh selidik.

"Engkau siapakah, Nona?" tanyanya sambil bangkit duduk.

"Namaku Hwee Li," jawab Hwee Li sambil tersenyum dan duduk di atas pembaringan di dekat Puteri Bhutan itu.

"Engkau tentu tidak mengenalku dan merasa heran mengapa aku menyebutmu bibi. Ketahuilah, Bibi Syanti Dewi, bahwa guruku adalah adik angkatmu yang bernama Lu Ceng atau Candra Dewi." Dari subonya, dara ini memang sudah mendengar banyak tentang riwayat subonya bersama Syanti Dewi. Candra Dewi adalah nama yang diberikan oleh Puteri Bhutan ini kepada Ceng Ceng yang menjadi adik angkatnya (baca Kisah Sepasang Rajawali).

Mendengar disebutnya nama Ceng Ceng, Syanti Dewi terkejut dan gembira bukan main. Wajahnya berseri dan dia meloncat turun dan berdiri di depan Hwee Li, langsung saja memegang lengan dara itu dan bertanya, "Di mana dia? Di mana Candra Dewi? Dan bagaimana engkau dapat berada di sini?"

Hwee Li merasa kasihan melihat kegembiraan dan sinar mata penuh harapan dari puteri itu. Dia menarik napas panjang dan menjawab lirih, "Aku tidak tahu di mana adanya Subo sekarang ini, Bibi. Dan aku sendiri pun menjadi seorang tawanan di sini."

"Ahhhhh....!" Syanti Dewi masih memegang tangan Hwee Li, akan tetapi dia kini duduk kembali di samping dara itu, memandang dengan sinar mata khawatir. Seketika dia sudah melupakan keadaan dirinya sendiri karena semua perhatiannya tercurah kepada dara murid adik angkatnya itu, mengkhawatirkan keadaan Hwee Li yang menjadi tawanan. Demikianlah memang watak Puteri Bhutan ini, mudah melupakan penderitaan sendiri akan tetapi selalu peka terhadap penderitaan orang lain.

Hwee Li lalu menceritakan keadaannya dan bagaimana dia bisa menjadi seorang tawanan di tempat itu, sungguhpun dia, kelihatan sebagai seorang tamu agung yang dihormati dan ditaati oleh para pengawal dan pelayan. Ketika Syanti Dewi mendengar bahwa dara remaja yang cantik jelita ini akan dijadikan isteri oleh Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga kagum. Tentu ada puluhan, bahkan ratusan ribu gadis yang ingin menjadi isteri Pangeran Nepal itu, yang akan menyambut pinangan pangeran itu dengan penuh kebanggaan dan kegirangan hati. Akan tetapi, dara remaja murid Ceng Ceng ini kelihatan sama sekali tidak gembira!

"Aku benci dia, Bibi! Aku ingin membunuhnya dan nyaris aku berhasil, akan tetapi dia memang lihai sekali, apalagi dia dibantu oleh Hek-hwa Lo-kwi yang sakti, belum lagi gurunya yang amat lihai, Ban Hwa Sengjin yang mempunyai banyak pembantu. Bahkan ayahku sendiri kini juga menjadi pembantunya."

"Ayahmu?" Syanti Dewi bertanya heran. Bagaimana ayah seorang dara yang tidak suka dipaksa menjadi jodoh pangeran itu malah menjadi pembantu pangeran itu?

"Ya, ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo....!"

"Ahhh....!" Bukan main kagetnya hati Syanti Dewi mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah mendengar dan mengenal baik nama ini, raksasa jahat yang banyak mengambil peranan dalam keributan pemberontakan dua orang Pangeran Liong dahulu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Dara cantik jelita ini, yang menjadi murid Ceng Ceng, adalah puteri dari majikan Pulau Neraka itu? Sungguh mengherankan dan mengejutkan sekali. Dan mendengar bahwa dara ini adalah puteri iblis itu, otomatis Syanti Dewi melepaskan pegangan tangannya dan duduk agak menjauh.

Gerakan Syanti Dewi ini tidak terlepas dari pandang mata Hwee Li. Dara itu menarik napas panjang, lalu cepat berkata, "Harap Bibi jangan kaget. Hek-tiauw Lo-mo memang kini menjadi pembantu utama dari Pangeran Nepal itu, dan Hek-tiauw Lo-mo juga memaksaku untuk menjadi isteri Pangeran Liong. Justeru itulah yang dikejarnya. Agar aku menjadi isteri Liong Bian Cu dan dia dapat membonceng kedudukanku dan menjadi seorang yang mulia dan terhormat. Akan tetapi, aku tidak sudi...."

Syanti Dewi mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu, lalu kembali mendekat dan memegang tangan Hwee Li. Makin besar rasa iba di dalam hatinya terhadap dara yang malang ini. Betapa banyaknya dara di dunia ini yang dipaksa oleh ayah mereka dalam urusan perjodohan! Bukan hanya Hwee Li ini, juga dia sendiri malah! Bukankah dia sudah memilih Tek Hoat sebagai calon jodohnya, akan tetapi juga kini gagal karena ayahnya yang tidak menyetujui pemuda pilihannya itu menjadi mantu? Betapa banyaknya gadis dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, harus tunduk kepada ayah mereka dalam urusan memilih jodoh! Dan betapa banyaknya hati yang hancur karena paksaan harus menikah dengan orang lain. Dalam hal perjodohan, biarpun berlainan sifatnya, dia merasa senasib dengan Hwee Li, maka timbuliah rasa sayang dalam hatinya terhadap murid adik angkatnya ini.

"Hwee Li, sungguh engkau patut dikasihani! Aku merasa heran sekali mengapa ayahmu sampai hati memaksamu? Padahal, aku tahu bahwa ayahmu bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh besar yang amat terkenal dan berilmu tinggi...."

"Akan tetapi dia jahat, Bibi. Jahat sekali dan aku benci padanya! Aku pun ingin membunuhnya kalau bisa!" Hwee Li mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. "Hwee Li," katanya dengan suara keren. "Engkau adalah murid adikku Candra Dewi, oleh karena itu engkau patut mendengarkan kata-kataku pula. Engkau telah menyeleweng dari kebenaran! Mana boleh seorang anak membenci ayahnya sendiri, bahkan hendak membunuhnya?"

"Dia bukan ayahku! Dia bukan ayah kandungku! Dia malah musuh besarku!" Hwee Li berseru dan sepasang mata itu menjadi merah.

"Eh, bagaimana pula ini, Hwee Li?" Syanti Dewi bertanya dan tiba-tiba Hwee Li menangis tersedu-sedu.

Syanti Dewi terkejut. Dia cepat memeluk dara itu dan Hwee Li menangis di atas dada puteri itu. Hwee Li adalah seorang dara yang berhati keras seperti baja. Penderitaan batin yang dideritanya selama ini, apalagi ketika mendengar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, dan betapa seluruh keluarganya, yaitu keluarga Kim, telah binasa, membuat batinnya tertekan oleh duka yang amat besar. Namun, di depan orang-orang yang dibencinya di lembah itu, dia menggunakan kekuatan batinnya, menggunakan kekerasan hatinya, untuk menahan tekanan batin itu. Kini, berhadapan dengan Syanti Dewi yang lemah lembut, yang bersikap begitu baik dan penuh perasaan kepadanya, apalagi mengingat bahwa puteri ini adalah bibi gurunya, Hwee Li merasa seolah-olah menemukan tempat penumpahan segala derita batinnya dan setelah kini bendungan itu dibuka, menangislah dia, sewajarnya tangis

yang amat memilukan hati sehingga Syanti Dewi yang lembut hati itu pun tidak dapat pula menahan air matanya dan dia mengusap-usap rambut kepala Hwee Li penuh rasa sayang dan iba. Dia membiarkan dara remaja itu menangis sepuasnya. Syanti Dewi sendiri bukan seorang wanita tua, sama sekali bukan. Usianya baru dua puluh dua tahun, akan tetapi pengalaman dan penderitaan hidup telah menggemblengnya sehingga kini menghadapi Hwee Li yang baru berusia tujuh belas tahun ini, dia merasa seolah-olah menjadi bibi atau ibu dara remaja ini.

Setelah tangisnya mereda dan hatinya terasa ringan sekali setelah dia menangis sepuasnya, Hwee Li lalu menceritakan apa yang didengarnya tentang Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata bukan ayahnya, bukan apa-apanya itu, dan tentang keluarganya yang terbasmi karena dianggap sebagai keluarga pemberontak.

Syanti Dewi mengangguk-angguk. "Aku telah mendengar tentang keluargamu itu. Aku mendengar bahwa ayah kandungmu yang sesungguhnya, Panglima Kim Bouw Sin itu, memang telah memberontak terhadap kerajaan. Betapapun juga, sikapnya itu tentu ada alasannya, dan biarpun oleh kerajaan dia dianggap berdosa, namun sebagai manusia dia tidaklah sejahat seperti halnya Hek-tiauw Lo-mo yang terkenal sebagai seorang manusia iblis itu. Tadi aku sudah merasa heran bagaimana seorang dara seperti engkau, murid adik angkatku, dapat menjadi puteri iblis Hek-tiauw Lo-mo. Kiranya engkau bukan puterinya! Hwee Li, engkau memiliki kepandaian, engkau harus berusaha untuk meloloskan diri dari tempat berbahaya ini!."

"Ah, tidak mudah, Bibi." Hwee Li lalu menceritakan keadaan lembah itu dan betapa semua daya upayanya gagal. "Malah Liong Bian Cu sudah bersiap-siap, pernikahan akan diadakan beberapa pekan lagi. Aku khawatir, Bibi, apalagi melihat Bibi ditawan pula. Aku harus dapat menolong Bibi dari tempat ini!"

"Tidak perlu engkau mengkhawatirkan diriku, Hwee Li. Pangeran Liong Bian Cu, sebagai cucu Raja Nepal, adalah musuh dari negaraku. Dia menawanku tentu dengan maksud menjadikan aku sebagai sandera untuk memukul negaraku. Akan tetapi, engkau, engkau menghadapi bahaya langsung yang sudah makin dekat saatnya, maka kau harus dapat lolos dari sini."

Demikianlah, dua orang wanita itu kini menjadi akrab sekali dan bercakap-cakap mencari jalan untuk dapat lolos dari tempat itu. Akan tetapi, mereka akhirnya maklum bahwa jalan untuk lolos sama sekali buntu. Agaknya, tanpa ada bantuan dari luar, tidak mungkin bagi mereka untuk meloloskan diri. Akan tetapi Hwee Li tidak putus harapan. Dia masih mempunyai harapan untuk lolos, yaitu pada saat pernikahan di mana dia percaya tentu banyak hadir tokoh kangouw yang lihai. Siapa tahu, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang mau membantunya, dan dia percaya pula bahwa orang-orang seperti suhunya dan subonya, seperti Suma Kian Bu si Siluman Kecil, Suma Kian Lee, dan orang-orang gagah lainnya tidak akan tinggal diam kalau mendengar bahwa dia dipaksa menikah dengan Pangeran Liong Bian Cu!

******

Bersambung ke bagian 4 ...