Pengaruh Intensitas Menonton Tayangan Drama Seri Korea di Televisi Terhadap Perilaku Berpakaian Pada Remaja Putri Usia 17-22 Tahun |
Metodologi Penelitian Komunikasi Kuantitatif |
Disusun oleh |
Wahyu Satria Utama 14030112130107 |
S1 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2013 |
Dewasa ini, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi akibat globalisasi membuat interaksi diantara masyarakat dunia seolah-olah menjadi bebas dan terbuka, nyaris tidak ada batas diantara semua orang baik yang berada di Indonesia atau pun juga di belahan dunia lainnya. Perkembangan teknologi ini semakin memudahkan kita dalam berbagai bidang khususnya dalam telekomunikasi. Dengan mudah kita bisa mendapatkan berbagai informasi baik dari dalam ataupun juga luar negeri dimana pun kita berada dan kapan pun juga kita butuhkan dan gunakan. Media yang dulu awalnya berupa media cetak, berkembang menjadi media elektronik seperti radio, televisi dan akhirnya berkembang menjadi suatu media baru yang memanfaatkan multimedia seperti komputer dan bahkan handphone yang dapat kita bawa kemana-mana dengan memanfaatkan internet, media menjadi suatu hal yang paling dekat dengan hidup kita sehari-hari.
Tidak hanya informasi yang disebarkan dengan cepat melalui teknologi telekomunikasi, tetapi budaya pun juga dapat dengan mudah disebarkan melalui media telekomunikasi dan media baru ke seluruh dunia. Gejala ini menunjukkan suatu budaya dunia baru dimana nilai-nilai dan budaya tertentu tersebar dari suatu negara ke seluruh dunia.
Dalam hal berpakaian seharusnya kita memperhatikan tata krama yang berlaku. Tata krama dalam penampilan untuk pelajar atau siswa menurut Haryanto, Psikolog, adalah setiap siswa hendaknya berpenampilan sesuai dengan peraturan sekolah, sesuai dengan tata krama kesopanan, rapi dan pantas. Selain itu tampak kurang pantas jika bersolek berlebihan. Siswa yang mengatur rambutnya dengan rapi dan pantas akan memperlihatkan keserasian. Busana yang warna serta modelnya aneh hanya cocok dipakai di pesta ulang tahun atau pesta. (Haryanto, 2010)
Berbusana yang ideal dalam tata dasar kebusanaan adalah memperhatikan kebersihan dan kerapian, kesopanan dan kesusilaan, keseragaman busana, dan keserasian. Dengan busana yang rapi dan bersih, masyarakat disekeliling di mana busana dipakai akan mudah menerimanya karena busananya tidak berbau yang tidak enak, serasi dipandang, sehingga tidak mengganggu dalam pergaulan. Berbusana yang sopan, memenuhi kesusilaan, sesuai dengan peradaban, norma agama, sesuai dengan lingkungan setempat, kapan dan dimana pakaian itu digunakan, sesuai dengan harapan masyarakat. Berbusana yang sesuai dengan tata tertib setempat, misalnya berbusana seragam akan dapat memudahkan berkomunikasi karena dia merasa tidak ada ganjalan dalam dirinya misalnya merasa takut dimarahi, malu tidak sama busananya dengan yang lain, takut dihukum, takut diketahui sebagai siswa yang melanggar tata tertib atau ada perasaan tidak percaya diri. Keserasian akan menimbulkan rasa kagum, enak bagi yang melihatnya dan dapat menunjukkan status sosial seseorang serta dapat memperlancar dalam berkomunikasi. Dapat dikemukakan contoh, bahwa orang akan lebih mudah diterima oleh seseorang atau lingkungan jika busananya serasi dari pada berbusana kumal, berbusana asal, tanpa memperhatikan keserasian model, warna dengan dirinya. (Riyanto, Arifah. H. & Liunir Zulbahri, 2009).
Namun, menurut Tempo edisi 30 November 2012, budaya pop korea atau yang lebih kita kenal dengan K-Pop atau Korean Wave, Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi imbas penyebaran budaya ini karena Indonesia merupakan negara berkembang yang dapat dengan mudah dipengaruhi oleh negara-negara maju melalui media massa yang ada. Salah satu efeknya adalah gaya berpakaian remaja yang mengikuti trend korea dengan pakaian yang minim dan seksi. (Nilawaty, Cheta, 2012)
Hal ini lebih dikuatkan lagi dengan Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013 “Analisa Gaya Hidup Remaja Dalam Mengimitasi Budaya Pop Korea” menyatakan bahwa proses imitasi budaya yang dilakukan remaja dalam gaya berpenampilan seringnya tidak melihat kapan dan dimana mereka berada, sehingga menjadi tidak layak secara normatif dan penyebaran budaya K-Pop ini sangat didukung oleh berbagai media massa yang sering mem-blow up budaya ini dan bahkan salah satu media massa dengan intensif menyebarkan budaya ini. Ketertarikan akan budaya ini semakin meningkat terutama di kalangan remaja putri, khususnya usia 17-22 tahun. (Kaparang, Olivia M., 2013)
Dan ternyata dengan remaja putri mengadopsi gaya berpakaian yang seperti ini mengundang tindak kriminalitas baik pelecehan seksual hingga berujung pembunuhan, dan ini ditekankan oleh Ketua DPR Marzuki Ali, dalam Kompas edisi 6 Maret 2012, menyatakan bahwa "Kita tahu banyak sekali terjadinya perkosa, kasus-kasus asusila itu, karena perempuannya tidak berpakaian yang pantas seperti menggunakan rok mini". (Wahono, Tri, 2012)
Berdasarkan hal-hal diatas, maka penulis mengangkat “Pengaruh Intensitas MenontonTayangan Drama Seri Korea di Televisi Terhadap Perilaku Berpakaian Pada Remaja Putri Usia 17-22 Tahun” sebagai judul penelitian penulis.
Gaya berpakaian remaja sekarang ini sangat memprihatinkan karena tidak menggambarkan bagaimana budaya ketimuran Indonesia yang menjunjung tinggi kesopanan. Berpakaian yang sesuai dengan tempat atau dimana dan kapan ketika kita berada, sudah mulai diabaikan dengan adanya budaya asing yang masuk ke Indonesia melalui ekspose media yang sebenarnya dapat berakibat fatal seperti pelecehan seksual karena berpakaian yang salah tempat dan waktu, misal menggunakan pakaian minim di jalan raya, bukan di kolam renang.
Oleh sebab itu, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
Dengan mengacu pertanyaan-pertanyaan diatas, maka penulis mefokuskan pemasalahan pada mencari tahu pengaruh intensitas menonton tayangan drama seri korea di media massa terhadap perilaku berpakaian pada remaja putri usia 17-22 tahun pada tingkatan behaviorisme atau pada tataran perilaku kebiasaan.
Penelitian ini bertujuan eksplanatif, dimana penulis akan menguji dan mengkaitkan satu variabel dengan variabel lainnya, yaitu antara intensitas menonton tayangan drama seri korea di televisi dengan perilaku berpakaian pada remaja putri usia 17-22 tahun. Untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan kausalitas dari kedua variabel dengan sebelumnya mencari tahu tentang frekuensi intensitas menonton tayangan drama seri korea di televisi oleh remaja putri usia 17-22 tahun dalam seminggu, gaya berpakaian remaja putri usia 17-22 tahun sekarang ini, hingga akhirnya akan mengetahui adakah pengaruh dari intensitas menonton tayangan drama seri korea di televisi terhadap perilaku berpakaian remaja putri usia 17-22 tahun dan seperti apa pengaruhnya intensitas menonton tayangan drama seri korea di televisi terhadap perilaku berpakaian remaja putri usia 17-22 tahun.
Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang mengenakan dan menggambarkan seberapa besar nilai dan moral orang tersebut dalam masyarakat. Menurut Plummer gaya hidup didefinisikan sebagai berikut:
“Gaya hidup adalah cara hidup individu yang diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam hidupnya (ketertarikan) dan apa yang mereka pikirkan tentang dunia sekitarnya.” (Plummer, 1983)
Menurut Chaney (dalam Subandy, 1997), ada beberapa bentuk gaya hidup antara lain:
Dewasa ini, penampilan diri mengalami estetisasi dan bahkan tubuh juga mengalami estetisasi tubuh. Tubuh dalam kehidupan sehari-hari menjadi sebuah proyek gaya hidup, industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah industri penampilan.
Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan, politisi, dan juga individu-individu pada umumnya terobsesi dengan citra. Pada era globalisasi seperti ini yang berperan besar dalam membentuk budaya citra dan budaya cita rasa adalah gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang terkadang mempesona dan memabukkan. Iklan mempresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus arti penting citra diri untuk tampil di muka umum. Iklan juga perlahan tapi pasti mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat.
Di dunia promosi, dimana budaya berbasis selebriti, para selebriti membantu dalam pembentukan identitas dari para konsumen kontemporer. Dalam budaya konsumen, identitas menjadi sandaran aksesori fashion. Wajah generasi baru yang dikenal sebagai anak-anak E-generation, menjadi seperti sekarang ini dianggap terbentuk melalui identitas yang diilhami selebriti, cara mereka berselancar di dunia maya (internet), cara mereka berganti busana untuk jalan-jalan. Ini berarti bahwa selebriti dan citra mereka digunakan momen demi momen untuk membantu konsumen dalam parade identitas.
Kemandirian adalah mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan. Nalar adalah alat untuk menyusun strategi. Bertanggung jawab maksudnya melakukan perubahan secara sadar dan memahami setiap bentuk resiko yang akan terjadi serta siap menanggung resiko dan dengan kedisiplinan akan terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan gaya hidup yang mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia, dengan kata lain manusia akan bebas dalam menentukan pilihannya secara bertanggung jawab, serta menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut.
Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak bermain, senang pada keramaian kota, senang memberi barang mahal yang disenangi, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Dapat disimpulkan bahwa bentuk dari suatu gaya hidup dapat berupa gaya hidup dari penampilan melalui media iklan, modelling dari artis yang diidolakan, gaya hidup yang hanya mengejar kenikmatan semata sampai dengan gaya hidup mandiri yang menuntut penalaran dan tanggung jawab dalam pola perilakunya.
Menurut Amstrong (dalam Nugraheni, 2003), gaya hidup seseorang dapat dilihat dari perilaku yang dilakukan oleh individu seperti kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan atau mempergunakan barang dan jasa, termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan pada penentuan kegiatan-kegiatan tersebut. Lebih lanjut Amstrong menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang ada dua faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar (eksternal). Faktor internal yaitu sikap, pengalaman, pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif, dan persepsi sedangkan faktor eksternal terdiri dari kelompok referensi, keluarga, kelas sosial dan kebudayaan.
Dari berbagai bentuk gaya hidup tadi, maka gaya hidup yang akan diteliti adalah bentuk gaya hidup Public Relation dan gaya hidup Jurnalisme, karena bentuk ini menunjukkan bagaimana gaya hidup selebriti sebagai public figure dalam masyarakat diimitasi oleh masyarakat itu sendiri khususnya remaja. Dengan berbagai aksesoris fashion membuat mereka menjadi produk yang ditiru oleh remaja.
Dilihat dari sudut pandang psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. (Sarwono, 1997).
Monks berpendapat bahwa secara global masa remaja berlangsung antara 12-21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun merupakan masa remaja awal, 15-18 tahun merupakan masa remaja pertengahan dan usia 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir. (Monks, 2002).
Sedangkan WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Batasan usia tersebut didasarkan pada usia kesuburan atau fertilitas wanita yang berlaku juga untuk remaja putra, dan kurun usia tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda dalam rangka keputusan mereka untuk menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun Pemuda Internasional. Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB adalah kurun usia 11-24 tahun dan belum menikah. (Anonim, 2011).
Media massa pada dasarnya dibagi menjadi dua kategori, yakni media massa cetak dan media elektronik. Media cetak yang dapat memenuhi kriteria sebagai media massa adalah surat kabar dan majalah. Sedangkan media elektronik yang memenuhi kriteria media massa adalah radio siaran, televisi, film, media online (internet). (Ardianto, Elvinaro, dkk, 2010).
Televisi merupakan media yang dapat memberikan kemudahan karena mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Selain karakteristik tadi, Phigins mengatakan televisi mempunyai ciri-ciri yang membedakan dengan media lainnya, yaitu:
Berdasarkan hal ini Phigins menyimpulkan tiga karakteristik televisi, yaitu immediacy and continuity, intimacy and directness, small screen. Daya tarik merupakan kekuatan dari media televisi terletak pada kata-kata, musik, dan sound effect juga unsur visual yang berupa gambar bergerak, sehingga dapat menimbulkan kesan yang mendalam bagi penontonnya. Televisi telah menjadi sumber utama dari sosialisasi dan inforrmasi sehari-hari dari populasi heterogen lainnya. Pola berulang dari pesan dan kesan yang diproduksi secara massal oleh televisi membentuk arus utama dari lingkungan simbolis umum. Melvin L. Defleur menyatakan bahwa adanya perkumpulan, kategori sosial pada masyarakat urban-industrial yang perilakunya ketika diterpa stimulan-stimulan tertentu oleh media massa khususnya televisi akan menimbulkan perilaku yang hampir seragam. (McQuail, Denis, 1996)
Teori Modelling merupakan aplikasi dari Social Studies Theory yang dikemukakan oleh seorang psikolog dari Kanada Albert Bandura pada tahun 1986. Menurut Social Studies Theory, orang belajar dari orang lain melalui observasi, peniruan dan pemodelan. Inti dari teori ini adalah pemodelan (modelling) dan ini merupakan salah satu langkah penting dari pembelajaran terpadu. Pertama-tama seseorang akan melakukan pengamatan akan sikap, perilaku dan hasil dari perilaku orang lain yang kemudian akan ditiru (imitasi) sehingga orang tersebut akan dijadikan role model bagi dirinya. (Ardianto, Elvinaro,dkk., 2010)
Ada dua jenis pembelajaran melalui kondisi yang dialami orang lain dan pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif saat itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengalami penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi dapat menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan melalui media apa pun sebagai model, baik melalui televisi, majalah, surat kabar, internet atau media massa lainnya. Pada tahun 1959-1963 Albert Bandura dan Richards Walters telah melakukan eksperimen pada anak-anak berkenaan dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati bahwa peniruan dapat berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku dalam model meskipun pengamatan itu tidak dilakukan secara terus-menerus. Proses belajar semacam ini disebut observational learning. Bandura pada tahun 1971, kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial diperbaiki, memandang teori pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa mempertimbangkan aspek mental seseorang. Hal itulah yang membuat munculnya aplikasi lanjutan dari teori pembelajaran sosial yang dikenal dengan teori modelling. (LittleJohn, Stephen W. Dan Karen A. Foss, 2009).
Ada beberapa tahap dalam observational learning yaitu memperhatikan perilaku, mengidentifikasi diri, terasa fungsionalnya, untuk merespon situasi, merasa puas atau pengukuhan, jadi seseorang membentuk perilaku sebagai pengaruh dari pesan-pesan tayangan media. Bila teori modelling ini diaplikasikan dalam bentuk pengaruh penampilan akibat terpaan media massa, maka secara esensial berproses:
(Hamidi, 2007)
Kaitan antara teori Modelling dengan penelitian yang dilaksanakan adalah salah satu efek dari media massa adalah terjadinya pengimitasian yang dilakukan remaja putri usia 17-22 tahun yang didasarkan pada apa yang dilihat pada media massa. Disini penulis menurunkan variabel dari konsep Model dalam teori Modelling Social Studies Theory yaitu media massa menjadi intensitas menonton tayangan drama seri korea di televisi sebagai variabel X atau variabel independent dan perilaku khalayak menjadi variabel perilaku berpakaian pada remaja putri usia 17-22 tahun sebagai variabel Y atau variabel dependent. Tingkat konsumsi media sebagai terpaan yang secara terus-menerus diberikan kepada khalayak atau konsumen media mempengaruhi perilaku khalayak atau konsumen media dan dalam penelitian ini berarti perilaku berpakaian remaja putri usia 17-22 tahun.
Social Studies Theory – Modelling Theory
Konsep
Penurunan Variabel
Variabel
(X) (Y)
E. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teori yang telah menjelaskan telaah teoritis mengenai variabel-variabel penelitian dengan hubungan konseptual antar variabel, terdapat pengaruh antara intensitas menonton tayangan drama seri korea di televisi terhadap perilaku berpakaian pada remaja putri usia 17-22 tahun.
Intensitas menonton tayangan drama seri korea di televisi disini sebagai variabel X atau variabel independent dimaksudkan mengenai frekuensi menonton tayangan drama seri korea yang ditayangkan oleh berbagai channel televisi, seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengakses informasi-informasi tersebut dalam kurun waktu seminggu.
Perilaku berpakaian pada remaja putri usia 17-22 tahun yang diperkirakan sebagai akibat dari intensitas menonton tayangan drama seri korea di televisi sebagai variabel Y atau variabel dependent disini terbatas pada perilaku meniru atau tidak meniru gaya berpakaian dalam semua detail fashion yang dikenakan oleh pemain drama seri korea yang ada di televisi sekarang ini baik mulai dari kemeja, blues, celana, rok, syal, gaun, sepatu, kalung, gelang, anting, jam tangan, cincin dan aksesoris lainnya.
Intensitas menonton tayangan drama seri korea di televisi dapat diukur melalui menghitung frekuensi atau lama waktu (dalam jam) menonton tayangan drama seri korea di televisi yang ditayangkan setiap hari dalam seminggu.
Sedangkan, perilaku berpakaian pada remaja putri usia 17-22 tahun dapat diukur melalui observasi dengan bantuan panduan observasi yang berupa checklist yang digunakan untuk mengamati variabel perilaku berpakaian pada remaja putri usia 17-22 tahun dengan memberikan skor pada setiap pernyataan yang diajukan, lalu dijumlah keseluruhannya, semakin tinggi skor hasil checklist maka dapat kita ketahui bahwa perilaku berpakaiannya sesuai dengan drama seri korea di televisi yang ditontonnya atau berlaku kebalikannya.
G.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksplanatif, penulis melakukan pengujian dengan mengkaitkan satu variabel dengan variabel lainnya sebagai hubungan sebab akibat. Menguji dan mencari tahu adakah pengaruh antara intensitas menonton tayangan drama seri korea di televisi sebagai variabel X atau variabel independent dan perilaku berpakaian pada remaja putri usia 17-22 tahun sebagai variabel Y atau variabel dependent.
G.2. Populasi dan Sample
Populasi yang menjadi objek penelitian adalah mahasiswi Fisip Undip dengan sample yang dipilih adalah mahasiswi Komunikasi Fisip Undip karena berdasarkan observasi yang telah dilakukan terhadap mahasiswi Komunikasi Fisip Undip, mempunyai kecenderungan ingin mengikuti perkembangan mode yang sedang menjadi trend khususnya yang ditayangkan oleh televisi. Selain itu, hal ini dikarenakan juga dengan mempertimbangkan biaya yang cenderung rendah dan dengan waktu yang singkat sehingga penelitian nantinya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Penulis menggunakan rumus Slovin untuk menentukan banyaknya sample yang diambil (Kriyantono, 2006:160) :
n = ukuran sample
N = ukuran populasi
e = kelonggaran ketidaktelitian, karena kesalahan pengambilan sample yang dapat ditolerir, misalnya 2% kemudian e dikuadratkan.
Maka perhitungan yang didapat dengan menetapkan tingkat kesalahan atau presisi 10%(0,1) sebagai berikut:
G.3. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan oleh penulis adalah non probability sampling, dengan pertimbangan jumlah populasi dalam penelitian ini yang menonton drama seri korea di televisi tidak dapat diketahui secara pasti.
Teknik judgement sampling dipilih karena teknik ini melihat kompetensi atau kategorisasi tertentu dari sample, yang berarti disini sample yang dipilih adalah sample yang menonton tayangan drama seri korea di televisi, dengan variasi nilai intensitas menonton yang berbeda-beda.
G.4. Jenis Data
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer. Data primer ini diperoleh langsung dari responden penelitian.
G.5. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data yang berupa kuesioner. Dimana menggunakan gabungan metode pengumpulan data yang berupa observasi dan angket. Dimana observasi untuk melengkapi angket dengan panduan observasi yang berupa checklist yang menggunakan skala likert untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang tentang fenomena sosial yang diangkat. Dengan skala likert variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang berupa pernyataan. Jawaban setiap instrumen yang menggunakan skala likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif dan untuk keperluan analisis kuantitatif maka setiap jawaban diberi skor seperti berikut:
G.6. Teknik Pengolahan Data
Proses yang pertama adalah editing, setelah penulis membagikan kuesioner dan responden mengembalikannya, penulis akan langsung memeriksa kembali apakah seluruh isi kuesioner telah diisi dengan benar atau tidak.
Proses selanjutnya adalah coding, disini penulis melakukan pemilihan kode, dimana penulis menghitung kembali seluruh kuesioner yang telah diisi yang nantinya akan dianalisis.
Setelah itu, akan dilakukan proses tabulasi, dimana penulis akan mengelompokkan data berdasarkan intensitas menonton tayangan drama seri korea di televisi sehingga nantinya akan mempermudah proses analisis data.
G.7. Analisis Data
Alat yang digunakan untuk menganalisa data kuantitatif yang didapatkan adalah dengan software statistika atau SPSS-korelasi parsial Rank Kendall untuk menjelaskan korelasi atau menguji hubungan antara intensitas menonton tayangan drama seri korea di televisi dengan perilaku berpakaian remaja putri usia 17-22 tahun.
Untuk panduan observasi yang berupa checklist tadi, kita menggunakan skala likert untuk mengukurnya seperti yang dijelaskan sebelumnya, setelah kita kategorikan berdasarkan jawaban, dijumlah semua, lalu data interval tersebut dianalisis dengan dirata-rata berdasarkan skoring setiap jawaban dari responden.
Dalam mengetahui ada tidaknya pengaruh antara dua variabel berpasangan yang masing-masing dinyatakan dalam skala ordinal, maka digunakan alat analisis korelasi parsial Rank Kendall. Dengan menggunakan rumus dasar berikut kita akan mengetahui ada tidaknya pengaruh variabel:
Tapi sebelumnya, kita harus mencari tahu dahulu nilai antara dua hubungan tersebut dengan rumus berikut:
Keterangan:
S = C-D (batas atas dikurangi batas bawah)
n = jumlah sample
Dalam menetapkan rumus ini terlebih dahulu kita harus mencari nilai S melalui perhitungan statistik. Setelah S diperoleh nilainya, langkah selanjutnya adalah menghitung nilai Tx dan nilai Ty. Nilai T dapat dicari dengan rumus berikut:
t = jumlah pengamatan yang mempunyai jenjang sama di dalam variabel yang akan dicari.
Setelah semua hasil didapat, nilai τ untuk hubungan kedua variabel dapat dicari dan selanjutnya dimasukkan ke dalam rumus Parsial Kendall.
Selanjutnya, kita harus melakukan statistik uji signifikansi. Untuk menguji signifikansi korelasi Rank Kendall, prosedur ujinya diberikan dalam tahapan sebagai berikut:
Untuk keperluan tingkat signifikansi atau taraf kepercayaannya, yaitu sebesar 95% atau p = 0,05 dengan derajat kebebasan N-2. Bila harga (t) hitung yang diperoleh lebih besar atau sama dengan (t) pada tabel taraf kepercayaan 95% atau p = 0,05 maka hipotesis dapat diterima.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Remaja, Pengertian dan Definisinya. http://www.duniapsikologi.com/remaja-pengertian-dan-definisinya/. Diunduh tanggal 17 September 2013.
Ardianto, Elvinaro,dkk. 2010. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Hamidi. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang: UMM Press.
Haryanto. 2010. Tata Krama dalam Berpenampilan. http://belajarpsikologi.com/macam-macam-tata-krama/ . Diunduh tanggal 17 September 2013
Kaparang, Olivia M. 2013. Analisa Gaya Hidup Remaja Dalam Mengimitasi Budaya Pop Korea Melalui Televisi. Manado: Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2/2013.
Kriyantono, Rakhmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
LittleJohn, Stephen W. Dan Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika.M
McQuail, Denis. 1996. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga.
Monks, F. J. 2002. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Nilawaty, Cheta. 2012. “K-Pop Cara Mudah Masuk Budaya Asli Korea” dalam Tempo edisi 30 November 2012.
Nugraheni, P. N. A. 2003. Perbedaan Kecenderungan Gaya Hidup Hedonis Pada Remaja Ditinjau dari Lokasi Tempat Tinggal. Tp.
Plummer, R. 1983. Life Span Development Psychology: Personality and Socialization. New York: Academic Press.
Riyanto, Arifah. H. & Liunir Zulbahri. 2009. Modul Dasar Busana. http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._KESEJAHTERAAN_KELUARGA/194608291975012-ARIFAH/Modul_Dasar_Busana.pdf . Diunduh tanggal 17 September 2013.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1997. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Subandy, Idi. 1997. Ectasy Gaya Hidup. Bandung: Penerbit Mizan.
Wahono, Tri. 2012. “Marzuki Ali: Pelecehan Seksual Dipicu Pakaian Tak Pantas” dalam Harian Kompas edisi 6 Maret 2012.