Kenangan

                   Puisi-puisi ditulis oleh : Farahdiba

Kenangan-kenangan sekejap

melintas dalam benakku

saat aku memandang daun ---baru berganti,

hijau muda, lembut dan rentan

suasana yang teduh di musim hujan

di ujung  bulan November yang basah

Aku terkenang, dia, dia, dia, mereka, mereka,

kalian semua

Oo, betapa jauhnya semua itu

seolah baru terjadi kemarin

Sosok-sosok yang datang dan pergi

nyaris aku lupa seperti apa wajahnya

sekarang?

Peristiwa dan waktu

badan dan pikiran

berubah cepat

semua berubah

silih berganti

daun layu mati,  tumbuh baru—ketika

awan berubah,  putih, kelabu, hitam,

jejak-jejak lama surut—aku bertanya

dimana semua itu?

Berapa banyak kau berubah?

entahlah

aku tidak ada lagi dalam duniamu

aku mengerti

tidak apa-apa bagiku

selama awan berwarna putih seperti kapas

langit biru

itu cukup bagiku

Untaian kenangan itu yang menggoda

berkelebat

membuatku  haru

seperti itukah, ya?  Aku luluh diam-diam,

indah dan getir, campur aduk

hanya sepotong ingatan—tidak lebih

sebuah peristiwa yang selesai

Namun, itulah takdir

aku pernah di sana…

Putus hubungan

                         

Itik-itik berjalan beriringan—wek wek wek

baris satu-satu

menuju pematang

buntut buntut  kecil mungil bergoyang

kuambil batu kecil—iseng saja

kelempar mereka,  ayo lekas lari,  itik gemuk!

mereka cuek

tak ada yang terjadi        

unggas pendek itu meledek

wek wek wek wek

siapa takut!  aku sebel-- diremehkan

pantatnya yang kurang ajar, melengos, goyang

jaipongan—tiba di air

kawanan itik lompat, cebur cebur ke kolam

rebutan camilan

aku tak dihiraukan

Akhirnya aku bebas--sempat  

bengong, terheran-heran                

ternyata hidup ringan-- santai saja

   

Sekarang aku jauh dari media social---dulu

bangun tidur buat status, ngintip postingan orang

ini  gila—tak bisa lepas dari chat, FB, istagram, twit

tiap hari rasa dikejar-kejar        

hantu kegilaan

memainkan perasaan  

tidak jelas juntrungannya

kebencian, kebohongan, munafik –campur aduk

“lihatlah aku  dengan bulu bulu indah permai!”

makanan yang  mahal,   photo semua ah,

kirim…ke dunia maya

banyak yang ngintip, sibuk tulis komentar

Bangun tidur senewen

mana  ponsel pintar,  apa yang lagi  ramai ?

ini lagi viral

viralkan

aduh, ini  bosan, bosan

Mau tidur berkicau iseng, termimpi-mimpi

ngawur-ngawur saja

orang lain lagi apa?  Punya apa? Ada yang baru?  

baju baru, mobil baru, baru kawin-- siapa, siapa…

buang waktu  dah

Aku sakit mental nih, keracunan parah

Jam dinding berbunyi, tik tok tik tok

puluhan  notifikasi

dari puluhan aplikasi  

pusing, berantakan jiwa

aku perlu  perawatan

Wek wek wek wek, rombongan itik asyik main

di kolam buatan

di lereng Bukit Barisan yang tenang,

semilir angin  nyaman  

tak pernah kulihat itik begitu lucu,

tak ada niat memfoto…kirim?  tak sudi!

bulunya tak basah kuyup, wek wek wek

bebas, bersiul, berenang riang gembira

aku tidak iri

sama sekali

Wek wek wek aku  cerai  media sosial  

talak  tiga sekaligus

           Malam Gelap

                       

Malam turun

gelap semua

gelap, gelap seperti jaman penjajahan

seluruh kota menggigil

mendidih marah,

tunggu,  pertanggungjawabanmu

Sebatang lilin menerangi ruangan

makan sekerat roti

segelas air

bertahan,

ajal masih jauh

malaikat maut belum mendapat perintah

disini menghabiskan waktu main tebak kata  

sampai lelah, menunggu kantuk

tapi mata terbelalak terus

Tikus berlari-lari di bubungan atap

kucing kejar-kejaran,  berkelahi, meong-meong

ribut mengganggu  

di malam gelap begini?

binatang malam keluar cari makan

Aku tertatih-tatih ke kamar mandi

kandung kemih penuh

meraba-raba dinding,  dimana meja makan

terantuk kursi, menyebalkan, jempol membengkak

uhh, sakit sekali

perjalanan yang teramat jauh di malam gelap gulita

lilin habis

pintu kamar mandi kutemukan

setitik sinar dari langit memandu langkahku

Kusumpahi

gelap masih lama

        Acara Sudah Selesai

//                              

Pagi yang basah  

hujan turun semalaman

Jam empat pagi aku terbangun

suara geledek begitu kencang

malas dan dingin, kutarik selimut

pulas sebentar

masjid di lingkungan sudah ramai,  bedug ditabuh

//

Tukang sayur keliling dimana?        

belum kedengaran  suara motornya—ciri  riang

klatson tiga kali yang khas  itu

Aku ingin  ayam dan sayur sosin,  sambal

cabe rawit merah—yang pedas setan

makan bacem tahu-tempe enak juga rasanya

di hari yang basah         

tempe goreng bacem—kesukaan bersama

sudah terbit air liur ketika mengingatnya

terasa nikmat

gigit cabe rawit

Kangen  bacem tempe  goreng?  Ada ada saja

//

Jalanan sepi

Aku khawatir tukang sayur langgananku tak jualan

kasihan dia pasti kehujanan

Ah, tapi  Dina seorang petarung

hujan tak ‘kan  mengalahkannya

setiap hari dengan motornya

menyusuri kampung  dari ujung ke ujung        

cuaca hujan,  panas bukan halangan

tekat baja

Biasanya dari jauh dia sudah teriak-teriak,

“ ikan patin! ayam ! “

Aku menunggu di teras

memandangi butiran air—diatas daun

payung hitam di sebelah--sepi terasa

hujan  makin deras, angin kencang

ia pasti berteduh di kampung sebelah

motornya tak ada terpal

diujung sana terdengar gledek, guruh bersahutan,

kilat bergetar

jauh, jauh

//

Masak apa hari ini ?

tukang sayur tak datang        

malas ke pasar,  becek, repot dan jauh

Aaah,  kangen  masak sendiri

Masakan rumah yang ringan, ayam goreng,

sambal tomat,  sayur rebus,  lalap petai

aku melamun pagi-pagi

mendambakan

Hari minggu basah,  

libur sehari          

perhelatan selesai,  berjaya, berhasil  semua,

hebat ‘kan?

Jadi  sorotan dunia,

berhasil !

Bendera  Negara-negara  berkibar

harapan dunia menjadi damai,

ekonomi tumbuh,  tak tahulah,

ada yang mengganjal, harap-harap cemas,  

fatamorgana di kejauhan tampak suram,

redup bagi orang biasa  

//

Akal sehat  tenggelam,  untuk apa  beributan ?

persaingan keras  

tak ada jembatan yang mendekatkan

di bawah batu-batu terjal  dan arus kuat

berdebum—seakan saling menaklukan

Harapan dan kenyataan sering tidak sejalan

tapi hidup mesti dijalani

suka atau tidak suka

Oo, andai  saja ada jalan yang  mudah...

        Malam hari di Pantai

                                          

Langit merah muda

lambat laun  kekuningan

garis matahari turun

perlahan matahari tenggelam dibalik  lautan

lembayun senja--cantiknya

sinar terang itu turun pelan-pelan

Matahari terbenam! Wow pesonanya

Seumur hidupnya baru kali ini

dia melihat matahari terbenam

ketakjuban semata-mata,  langit cerah

tersihir oleh matahari, yang

mau  istirahat ke peraduan

Dia menyaksikannya, berbinar-binar, wah!

matahari timbul tenggelam

dari peredarannya

untuk manusia bisa hidup--sentosa

Bagaimana kalau siang terus?

tidak di negeri kita— malam dan siang

seimbang

di bumi utara sorot  matahari--miring

Dia  mengajakku,

duduk di pasir,  diam saja,  santai

tidak ngobrol yang berat--politik, ekonomi, ahh

bicara ringn tentang daun yang bergoyang, puisi,

dan lagu yang sedang digemari—setelah itu  

hanya memandang  matahari terbenam

rasa alam aduhai

damai, damai        

kau tahu ia tidak banyak bicara

 

Garis hitam itu tampak samar-samar, kelabu

akhirnya gelap

hanya kegelapan

tidak ada apa-apa

aku dan dia mencium bau harum,

dimana bau itu? Semilir angin membuat—

bau tumbuhan tambah  enak,

bukan bunga, tapi  dedaunan

dan  kulit pohon yang baru ditebang

Rimbunan  pandan laut  di muara  sungai

diterpa angin-- bergoyang pelan

Dia merasakannya juga, menenangkan hatinya        

angin, angin membelai

takjub betapa ringan semua itu

di malam sepi

dalam keheningan

Di kegelapan,  laut terlihat datar  

debur ombak terdengar  menghempas di pantai,

angin malam bertiup

dingin menusuk

Dan dia  duluan berjalan  melintas jembatan

aku mengikuti dari belakang

ada bintang di langit,

jauh sekali,  kecil,  bintang yang terjauh

Planet mungkin? Tampak  bagus dari kejauhan

Si Dia tak akan kembali lagi

yang sudah, ya sudah, wis wis  

yang jatuh,  bangun  lagi

Si Dia sudah pindah ke  kota lain, tak bilang-bilang

Suasana baru, katanya

Hidup baru--kau pun begitu, bukan?

Ia melangkah cepat

Meninggalkan  bayangannya

        Politi--si Muda

                         

Luntang lantung di jalanan

seperti pengangguran

keluar masuk kedai kopi

waktu berjalan,  tak masalah

berapa jam, berapa hari,  tak  penting

makan gorengan, ketoprak, rujak tahu

tak ada beban

sebodo amat  pada yang nyinyir—pejabat

kok makan di emperan!

memangnya kenapa?

Pemuda-pemuda pengangguran duduk di warung

minum kopi

lulus perguruan tinggi

tidak dapat kerja

sedang kerja kasar tidak betah

Politisi muda itu merenung di bangku kayu

orang-orang muda yang bingung

kerja,  kerja, cari  nafkah-- sulit minta ampun

membangun kehidupan—katanya

bagaimana caranya?

tidak ada tempat

orang usia kerja makin banyak

apa tidak menjadi beban?

Daerah pemilihannya,  diseraki usia muda

pengangguran berserakan

tidak siap bertarung

pernah janji kampanye menciptakan lapangan kerja

bohong sedikit—tidak apa-apa, namanya kampanye

Orang muda bingung

hilang  semangat

manyun  saja sehari-hari

akhirnya sibuk tetek  bengek di facebook, instagram,

twitter, Tik Tok-an, WA

Orang-orang muda memilih yang muda

untuk duduk di Senayan

biar mengerti persoalan mereka

Coba tebak? Bagaimana?  Tidak jalan

pengangguran hantu yang sangat menakutkan

 

Politisi muda kita tenggelam dalam urusan

undang-undangnya

rapat dan rapat

masa kampanye obral janji

mudah diucapkan,

sudah duduk, lupa, lupa, sibuk sendiri

“Tapi kau harus urus hidupmu sendiri

cari makan dulu

tanam cabe kek,

di desa tanah masih luas, bukan?”

Senayan penuh kecongkakan

maklum di sana orang bicara saja

Ia masih keluyuran keluar masuk pasar,

warung kecil, lapak jajanan, gerobak gado-gado

rakyat  berjuang

bangun pagi cari makan

hanya untuk  hari ini

Masa sidang dua minggu lagi

uang reses masih banyak…

        

Dataran Tinggi  Sumatera

                                   

Bentang Bukit Barisan,

seperti ular,  menakjubkan

seakan duduk di singasana

gagah perkasa

menopang  pulau Sumatera yang molek

Dibawah langit biru,  

keindahan  dahsyat—tidak ada habisnya

memancar urat-urat kehijauan

menggairahkan

memukau otak sampai bergetar-getar

Sekonyong-konyong awan menutupi

pemandangan--Bukit Barisan hilang,

berselimut putih—kabut tiba

Aku menunggu awan pergi

kotaku kelihatan di bawah sana

gardu  listrik,   menara telkomsel yang hebat,  

rumah-rumah seperti kotak korek api

Pohon rasamala ramping menjulang,

itu penanda kampung petani--

tempatku  dulu berlena-lena, main catur,

main  gitar,  ngobrol ngalor-ngidul

Mengapa perasaan ini terasa berat—terombang-

ambing?        

awan berarak ke timur

perasaan gelora tadi  hanyut tiba-tiba

bukan karena cinta yang hilang

Seperti dataran tinggi itu

seharusnya bisa menopang sepotong jiwaku

yang ngos-ngosan

kehilangan harapan

aku ingin sesuatu yang nyata

yang dapat dilihat, diraba

seperti bukit itu

tonggak  bumi

aku tahu bukit itu memberi  pesan

tanah yang kuat, gigih,  lebur bersama

jati diriku

aku tahu, aku tahu

aku menuju ke sana

Bulan depan  seperti apa ?

Aku tidak tahu…

Lubang Hitam

                 

Emas hitam ditambang

debu-debu beterbangan

sesak dada ini

panas keterlaluan

menerkam ubun-ubun

aku bisa mati kejang-kejang

nafasku sesak, nafas, nafas

rasanya mau mati        

Tambang ditinggakan

tinggal lubang menganga

di tengah hutan

keserakahan dibiarkan

jauh dari kota

bumi hancur di pedalaman

isinya dikeruk—sampai bonyok

mentok sampai ke dasar bumi

lebih dalam lagi

gali lagi, tembus inti bumi        

mata alat  excavator patah

Orang kampung menunggu bencana

ganti rugi tinggal cerita

Tuan tambang kabur ke luar negeri

Lobang-lobang raksasa

menganga

menerkam manusia, terjerumus,

pernah nyawa anak  tenggelam

Di bukit Sembilan Belas-- tanah hitam

menjadi merah darah

daun-daun mati

burung-burung menjauh

lari ketakutan

tertarik ke dalam bumi

lubang hitam diam disana

tanpa jejak

pertanggungjawaban…

        Ikan Tempalo Kesayangan

                                     

Ikan tempalo masuk ke dalam toples kaca        

girangnya bocah menatap ikan-ikan  

kecil cantik itu

Si janggut berwarna biru,  temanya kuning emas

Si bocah  lupa makan lupa minum, lupa tidur

seharian main ikan

ngomong sendiri dengan ikannya,

mengkhayal kisah pertarungan ikan

Ibu ngomel suruh cuci kaki,

makan, dan tidur siang

Si bocah ngumpet di gudang

berbisik-bisik dengan si ikan,  tenang saja

ia kasih makan

ikan-ikan lucu itu

dibeli dari tukang ikan hias

Ibu bingung  kemana ini si bocah bandel

Yohan! Yohan dimana kamu?

Ibu marah si bocah tak tahu waktu,

pagi siang sore malam main ikan melulu

Malam tidur dengan ikan

toples kaca di ujung kakinya

mengucapkan selamat bobo pada kekasih si ikan

Pagi-pagi  Yohan  menjerit  kesetanan

Ikan hiasnya mengapung tak berdaya

nyawanya di ujung tanduk…

sedetik mati semua

        Bayi ngedot

Bayi bobo sambil ngedot

mulut mungil—pipi ngelendot

menghisap-hisap dot

tak bisa bobo tanpa dot

Mukanya tenang

di alam bayi

jagat sunyi yang menenangkan

dia hanya tahu perut kenyang

bobo nyaman

eek lancar

Semua orang sayang

si bayi mungil tenang

lelap dalam buaian