Published using Google Docs
Populisme, Media, dan Demokrasi yang Menjadi Tontonan
Updated automatically every 5 minutes

POLITICAL REALITY

SPOTLIGHT, IMAGE, PROMISES, EMPTY: POLITICAL REALITY

SUMBER : https://www.youtube.com/watch?v=WfdkUHKmq8k

Bayangkan seorang pemimpin yang berdiri di tengah lapangan luas. Ribuan orang berdesakan meneriakkan namanya. Mengangkat poster dengan wajahnya yang tersenyum. Ia tidak bicara data ekonomi, tak juga bicara perihal peta strategi pembangunan. Ia hanya membawa satu hal, kata-kata yang membuat orang merasa didengar. Janji yang solah sederhana tetapi memikat. Saat itu rakyat merasa inilah orang kita. Tapi benarkah ia benar-benar orang kita atau hanya aktor yang pandai memainkan panggung mengubah gimik menjadi kebijakan sekedar agar tetap dicintai? Pertanyaan itu membawa kita pada wajah populisme di berbagai belahan dunia. Dari Trump di Amerika, Jokowi di Indonesia, hingga para politisi di Amerika Latin, Asia, dan Eropa. Populisme selalu menjelma sebagai strategi sesaat dengan gaya kepemimpinan Citra yang terus membentuk arah politik modern kita. Dan dari situ pertanyaannya ketika gimik sudah jadi kebijakan, apa yang sebenarnya tersisa dari kepemimpinan?

Fenomena lahirnya pemimpin populis daerah modern tidak bisa dilepaskan dari dua arus besar yang saling menguatkan. Yang pertama ada pada perkembangan teknologi media khususnya televisi dan media sosial. Dan kedua ada pada krisis legitimasi politik di berbagai belahan dunia. Tapi pada awal abad ke-20, media massa pertama yang benar-benar mampu membentuk figur publik adalah Radio Franklin de Rouseeveltk. Presiden Amerika Serikat ke-32 memanfaatkan Fireside Chats di tahun 1930-an untuk berbicara langsung kepada warga AS di tengah krisis ekonomi. J. Michael Hoggen dalam bukunya berjudul Voice of Democracy menjelaskan bahwa suara Roosevelt yang tenang menciptakan kedekatan emosional seolah-olah ia hadir di ruang keluarga pendengar. Namun radio hanya mengandalkan suara. Meski ia membentuk keintiman, tapi radio tidak membentuk citra visual. Dan lompatan besar terjadi pada dekade 1950-an ketika televisi mulai merajai ruang tamu keluarga. Pertarungan pemilu Presiden AS tahun 1960-an antara John F. Kennedy dan Richard Nixon adalah titik baliknya.

Dalam liputan The New York Times tertanggal 21 Oktober tahun 1960 disebutkan bahwa 70 juta warga Amerika menyaksikan debat tersebut. Kennedy tampil segar, percaya diri, dan fotogenik. Sementara Nixon terlihat pucat dan berkeringat di bawah lampu studio. Sejarawan David Greenberg dalam bukunya berjudul Republic of Spin menegaskan bahwa debat ini bukan hanya soal argumen, melainkan soal telegenik, yakni kemampuan menguasai bahasa tubuh, tatapan, dan ekspresi. Kekuatan visual inilah yang kemudian dimanfaatkan pemimpin-pemimpin populis berikutnya. Tapi sebelum jauh membahas populisme, mari kita jelaskan dulu apa itu populisme. Populisme sendiri seperti dijelaskan oleh Sasmadi dan Christob Rovira Keltweer dalam bukunya berjudul Populism A Very Short Introduction adalah strategi politik yang membagi dunia menjadi dua kubu, yakni rakyat murni versus elit korup. Kamera menjadi senjata ampu untuk memperkuat dikotomi ini.

Rakyat melihat pemimpin mereka sebagai sosok yang terjun langsung, memeluk massa, dan berteriak di tengah kerumunan. Contoh konkrit pertama kali datang dari Juan Paren di Argentina dalam arsif dokumenter yang berjudul Paren Syfonia del Sentimiento karya Leonardo Favio terlihat bagaimana Peron dan istrinya Iva Peron selalu memanfaatkan kamera untuk menciptakan narasi pro people. Keduanya tidak sekedar hadir di panggung politik, mereka menciptakan ikonografi yang mengikat emosi rakyat di setiap kunjungan atau kehadirannya. Iva yang dikenal sebagai Evita sengaja difoto saat mengunjungi rumah sakit atau memeluk anak-anak miskin. Dan hasil foto-foto yang sudah direncanakan itu dicetak di koran, diputar di bioskop, dan menjadi propaganda visual. Strategi ini menandai lahirnya era baru, yakni politik sebagai tontonan yang terdistribusi melalui media massa. Dan jika di era peron media cetak dan film dokumenter menjadi saluran utama, maka perkembangan teknologi berikutnya hanya memperluas panggung. Sebab begitu televisi satelit penguai ruang publik pada dekade 1980-an dan 1990-an, cara kerja politik populis menemukan akselerasi yang lebih dahsyat.

Di sinilah kita melihat figur seperti Silvio Berlusconi di Italia menjadi salah satu contoh ekstrem dalam laporan The Guardian tertanggal 3 Februari di tahun 2002 yang berjudul Berlus Coni The Man Ubog Ital. Di sana dijelaskan bagaimana ia membangun kerajaan media Finininvest sebelum terjun ke politik. Borus Coni tidak sekedar menggunakan media yang ia miliki. Melalui jaringan televisi swasta ia mengatur citranya, menghapus liputan negatif, dan menyiarkan kapanye seperti acara hiburan. Di belahan dunia lain, Hugo Chavez di Venezuela memanfaatkan program televisinya sendiri, Elo Presidente untuk berbicara langsung dengan rakyat. Dalam analisis Steve Elner di Latin American Perspectif, Chevez dianggap mempraktikkan populisme partisipatif yang dikemas dalam format televisi interaktif. Ia bisa berbicara selama 6 jam tanpa naskah sambil memanggil menteri secara langsung di siaran untuk mengeksekusi kebijakan. Televisi membuatnya bukan hanya seorang presiden, tetapi bintang reality show politik.

Namun panggung televisi hanyalah satu fase dari evolusi panjang komunikasi populis. Ketika dunia memasuki dekada 2010-an, teknologi digital dan media sosial membuka horizon baru yang lebih instan, lebih interaktif, sekaligus lebih liar. Jika Peron mengandalkan film dokumenter, Borus Coni menguasai jaringan televisi dan Chevs meramu talk show maraton, maka pemimpin populis dari generasi berikutnya menemukan panggung tanpa batas, yakni pada layar ponsel di tangan miliaran orang. Di sinilah transformasi terbesar terjadi. Sebab populisme tidak lagi membutuhkan kamera televisi atau ruang redaksi sebagai mediator, melainkan bisa langsung menembus ruang private audience melalui notifikasi di gawai mereka. Dan media sosial menjadikan setiap unggahan sebagai panggung politik, setiap tweet sebagai pidato singkat, dan setiap kontroversi sebagai bahan bakar viralitas. Revolusi media sosial pasca 2010 adalah bab baru yang benar-benar mengubah aturan main dan Donald Trump di Amerika Serikat menjadi ikon awal dari populisme digital.

Dalam artikel The Washington Post yang berjudul How Trump's Campaign Use Twitter to Save the Media Narratif, analis media Philip and Howard menuliskan bahwa Twitter memungkinkan Trump memotong jalur media tradisional, menyampaikan pesan langsung ke puluhan juta pengikutnya, dan menciptakan kontroversi harian yang memancing liputan gratis. Hal yang sama terjadi di Asia Tenggara, Rodrigo Duterte di Filipina. Seperti diuraikan Jonathan Corpus Ong dalam jurnalnya yaitu Critical Asan Studies mengatakan bahwa Duterte menggunakan Facebook Live untuk membangun citra sebagai pemimpin kasar tapi jujur. Ia berbicara tanpa sensor, memaki lawan politik, dan memposisikan dirinya sebagai suara rakyat kecil yang marah pada elit. Dari sinilah terlihat bagaimana medium ikut menentukan gaya populisme kamera ponsel lewat siaran langsung media sosial menjadi senjata yang jauh lebih murah dan cepat dibandingkan televisi. Di Indonesia, gejala ini terlihat jelas pada masa Joko Widodo dalam liputan BBC News yang berjudul Jokowi From Furniture Seller to President. Di sana disebutkan bahwa sejak pejabat Walikota Solo, Jokowi sering mengajak wartawan untuk meliput blusukannya. Momen-momen ini direkam, dipotong, dibingkai, dan diunggah ke YouTube dan dibagikan di media sosial. Menciptakan citra Jokowi yang konsisten sebagai pemimpin rakyat.

Akademisi Ros Tepsel dalam bukunya berjudul Media Power in Indonesia menyebutkan bahwa strategi ini sebagai political branding berbasis visual di mana setiap interaksi publik dikalkulasi untuk menciptakan efek emosional. Namun di balik keefektifan strategi tersebut, ada paradoks yang tidak bisa diabaikan. Ketika kamera selalu hadir, maka yang diprioritaskan bukan lagi isi kebijakan, melainkan bagaimana kebijakan itu tampak. Yang dikedepankan bukan detail teknis atau solusi struktural, melainkan adegan yang mudah dipahami publik luas. Dari sinilah muncul persoalan yang lebih besar. Sebab ketika visual menjadi segalanya, kebijakan pun terdesak jadi latar belakang. Gimik yang semula hanya alat komunikasi berubah menjadi substansi politik itu sendiri. [Musik] Paradoks inilah yang membuat batas antara komunikasi politik dan kebijakan publik menjadi kabur. Apa yang sejatinya hanyalah panggung pencitraan bisa dengan cepat diterima sebagai kebijakan itu sendiri. Untuk memahami gejala ini secara lebih dalam, kita bisa merujuk pada analisis klasik Muray Delman dalam bukunya berjudul Politics as Performance. bahwa publik seringki tidak membedakan antara kebijakan nyata yang memiliki implikasi struktural dengan kebijakan simbolis yang efeknya lebih banyak pada persepsi ketimbang realitas. Contoh paling gamblang dalam hal ini dapat kita lihat pada kebijakan pemberantasan narkoba yang dilakukan oleh Rodrigo Duterte di Filipina.

The New York Times dalam laporannya berjudul The Are Saltery Us like Animals mengatakan bahwa kebijakan pemberatasan narkoba yang dilakukan Duterte saat pemerintah awalnya dibingkai sebagai tindakan tegas untuk menyelamatkan generasi muda. Namun data dari human rightw pada tahun 2017 mengungkap bahwa kebijakan tersebut lebih menyerupai aksi teatrikal politik yang menampilkan citra strongman tanpa kompromi. Alih-alih program komprehensif yang mengatasi akar permasalahan narkotika. Fenomena serupa terjadi di Indonesia dan fenomena ini dapat ditelusuri sejak awal masa reformasi. Di tahun 2004, Susilo Bangbang Yudoyono menggunakan gestur khas dua jari sebagai simbol nomor urut yang kemudian menjadi ikcon kampanye. Walaupun sederhana, simbol tersebut menjadi branding visual yang mudah dikenali dan direplikasi oleh pendukungnya. Namun pergeseran yang lebih mencolok muncul pada masa pemerintahan Jokowi dengan blusukannya.

Awalnya blusukan tampil sebagai cara baru untuk mendekatkan pemimpin dengan rakyat kecil. Sebuah metode yang tampak sederhana. tapi mampu memberi kesan kuat tentang kepedulian. Namun, seiring waktu, praktik ini kehilangan bobot substantifnya. Blusukan berubah menjadi ritual yang diulang-ulang. Blusukan bukan lagi mekanisme penyelesaian masalah struktural, melainkan hanya menjadi gimik visual yang menegaskan citra pemimpin rakyat. Dalam konteks elemen, maka belusukan bukan lagi sekadar kebijakan partisipatif, tetapi performance yang menutupi absennya perubahan struktural di bidang ketimpangan sosial dan birokrasi. Dari titik inilah kita melihat transformasi yang lebih besar. Ketika publik sudah terbiasa dengan gimik visual, maka daya tarik pencitraan tidak lagi berhenti pada aksi personal seorang pemimpin. Ia kemudian melembaga masuk ke dalam bentuk program formal yang dikemas dalam logika yang sama. Contoh yang bisa kita kenali pun ada dalam program pemberian kartu Indonesia pintar, kartu Indonesia sehat, dan kartu sembakau murah. Secara substansi, program ini memang memiliki manfaat sosial.

 

Tetapi dalam study Australian National University yang terbit pada tahun 2020 disebutkan bahwa program tersebut juga dirancang dengan dimensi komunikasi yang kuat dengan kemasan visual, penyebutan nama yang mudah diingat, dan momentum peluncurannya dirancang untuk liputan media. Fenomena serupa terlihat di tingkat daerah. Ridwan Kamil misalnya memanfaatkan media sosial bukan hanya untuk publikasi kegiatan, tetapi juga untuk meluncurkan program-program yang dikemas dengan bahasa populer seperti Jalan cantik atau Saber Hawks. Tempo mencatat bahwa Ridwan Kamil sengaja memilih nama program yang kechi untuk memudahkan penetrasi pesan kebijakan ke masyarakat awam. Selain itu, Ridwan Kamil memanfaatkan Instagram bukan hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga arena pencitraan. Contoh yang paling bisa kita kenali adalah saat ia turun langsung memberikan bantuan kepada warga miskin. Sembari bercanda atau membuat konten kreatif dalam liputan di Jakarta Pos yang keluar pada tahun 2019 dikatakan bahwa gaya ini dianggap sebagai politik gaya milenial, cepat viral, mudah dikonsumsi publik, namun seringkiali tidak menjawab kompleksitas masalah seperti disparitas infrastruktur desa, kota, atau lemahnya sistem kesehatan daerah. Jika Ridwan Kamil mengemas politik dalam format konten kreatif alam media sosial, maka Dedi Mulyadi melangkah lebih jauh dengan pendekatan yang lebih teatrikal. Ia memanfaatkan YouTube dan Facebook untuk membangun semacam reality show politik yang mengaburkan batas antara pelayanan publik, hiburan, dan kampanye.

Video-videonya yang menampilkan dirinya menegur warga yang buang sampah sembarangan, membantu orang miskin yang rumahnya roboh atau memberi wejangan budaya Sunda dengan bahasa yang blak-blakan cepat menjadi tontonan viral. Narasi yang dibangun adalah bahwa Deddy bukan sekedar pejabat melainkan bapa yang hadir langsung di tengah rakyatnya. Media-media lokal kemudian menyoroti fenomena ini sebagai bentuk politik pertunjukan. Politik yang menjadikan aksi spontan, dramatis, dan emosional sebagai modal utama pencitraan. Di satu sisi, pendekatan ini berhasil menancapkan Citra Dedi sebagai pemimpin yang merakyat dan berbeda dari gaya birokratis yang kaku. Ia memanfaatkan algoritma media sosial yang gemar mendorong konten emosional sehingga setiap interaksi kecilnya bisa menjadi viral, memperluas daya jangkau pengaruhnya melampaui teritorial pemerintahannya di Jawa Barat. Namun problem mendasarnya justru terletak pada watak sementara dari pertunjungan tersebut.

Solusi yang ditawarkan berhenti pada adegan emosional di kamera seperti memberi uang tunai, menegur dengan gaya khas atau mengutip pepatah Sunda tanpa diikuti oleh desain kebijakan jangka panjang yang menyentuh akar masalah struktural, misalnya kemiskinan, pendidikan, dan ketimpangan sosial. Apa yang tampak sebagai kepedulian sesaat seringki gagal diterjemahkan menjadi reformasi birokrasi, peningkatan kualitas layanan publik atau pemberdayaan ekonomi berkelanjutan. Dengan kata lain, realitas sosial yang kompleks direduksi menjadi drama 5 menit yang bisa dikonsumsi warga net. Di sini politik bertransformasi menjadi konten dan warga berubah menjadi penonton yang menekan tombol like, share, atau komen. Padahal partisipasi politik yang sejati menuntut lebih dari sekadar keterlibatan emosional. Ia memerlukan perumusan visi, perencanaan kebijakan, dan sistem kerja kolektif. Dan jika kita menengok ke Amerika Serikat, Donald Trump memperlihatkan versi lain dari gimik sebagai kebijakan. Janji build to wall terhadap imigran Mexico menjadi slogan yang sangat kuat secara simbolis. Tetapi secara faktual, pembangunan tembok hanya terealisasi sebagian kecil. Sementara narasi tembok jauh lebih sering dimainkan sebagai retorika kampanye untuk memobilisasi basis politiknya.

Gimik ini bekerja karena ia menampilkan visual yang sederhana, tembok sebagai pembatas. Meskipun secara kebijakan imigrasi, problem struktural tetap tidak tersentuh. Jika ditarik lebih jauh, semua contoh ini menunjukkan pola yang sama, yakni bahwa pemimpin populis di berbagai belahan dunia mengandalkan gimmik yang kuat secara simbolis, tetapi dangkal secara kebijakan, blusukan, Instagram, reality show, perang narkoba, atau tembok perbatasan, semuanya berbagi logika yang sama. Menciptakan image of action, kesan seolah-olah bertindak tanpa komitmen serius pada reformasi struktural. Dalam artikel diekonomis edisi 14 Maret 2020, fenomena ini disebut sebagai governing by headline yang sedikit banyaknya bisa disimpulkan dengan pemerintahan yang bekerja untuk menghasilkan berita utama, bukan untuk membangun kebijakan berkelanjutan. Akibatnya, proses perencanaan kebijakan yang seharusnya melibatkan riset mendalam, konsultasi publik, dan evaluasi teknis kerap dipangkas demi menghasilkan momen yang instagramable.

Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menciptakan jurang antara narasi dan realitas. di mana rakyat merasakan janji yang dipenuhi secara visual namun tidak secara material. Dan persis di titik inilah gimik mulai kehilangan daya tarik kritisnya. Masyarakat yang semulai terpukau pada visualisasi aksi lama-lama terjebak dalam siklus kebosanan politik. Di mana panggung politik tidak lagi menawarkan solusi, melainkan hanya hiburan. Namun ketika momen visual tidak lagi cukup untuk menjaga daya pikat publik, muncullah aktor baru yang mengambil alih panggung dan itu ada pada tubuh bazer. Bazer hadir sebagai perpanjangan tangan digital yang berfungsi memperkuat, mengulang, bahkan memaksa agar setiap gimmik dari toko politik tetap hidup di ruang publik. Dan jika gimmik adalah panggung depan, maka bazer adalah operator lampu sorotnya yang menentukan bagian mana yang harus bersinar dan bagian mana yang harus tenggelam. Duet ini adalah kombinasi yang mematikan karena bekerja di dua level. alam bawah sadar publik dan logika media massa.

Fenomena Bazer tidak lahir tiba-tiba di era media sosial. Ia punya jejak panjang yang dapat ditelusuri jauh ke belakang dalam sejarah propaganda politik. Pada masa perang dunia pertama misalnya, pemerintah Amerika Serikat melalui Comit on Public Information yang dipimpin George Cill menggunakan segala cara untuk membentuk opini publik mulai dari poster, pamflet, hingga film. Mesin propaganda ini bekerja layaknya bazer primitif menyebarkan narasi tunggal tentang pentingnya perang demi demokrasi. Di Eropa, Nazi Jerman di bawah Joseph Gubels mengembangkan seni propaganda modern yang sangat efektif. Ia mengerti bagaimana media bisa membentuk kesadaran massa sehingga film, radio hingga poster digunakan untuk membentuk persepsi publik tentang keunggulan ras Arya. Inilah akar sejarah yang mendadai betapa opini publik dapat digiring oleh kekuatan komunikasi massal yang terkoordinasi jauh sebelum istilah bazar muncul. Awal 2000-an menandai pergeseran besar dalam pola komunikasi media sosial seperti Fster, MySpace lalu Facebook, Twitter hingga Instagram membuka ruang interaksi yang begitu luas. Pada fase awal, media sosial dianggap sebagai ruang demokratis yang membebaskan.

Setiap orang bisa bersuara, setiap gagasan punya peluang untuk viral. Namun, seiring berkembangnya algoritma, ruang itu berubah menjadi arena perebutan perhatian. Dalam logika ini, suara yang paling sering muncul, paling bising, dan paling konsisten akan dianggap sebagai kebenaran. Di titik itulah Bzer menemukan habitatnya. Dan Bzer pada mulainya bekerja di sektor komersial, misalnya untuk mempromosikan produk baru atau artis pendatang. Namun segera saja peran itu merambah dunia politik. Pemilu di berbagai negara mulai memperlihatkan gejala ini. Di Amerika Serikat, kampanye Barack Obama tahun 2008 dikenal sebagai titik balik penggunaan media sosial untuk mobilisasi politik. Meski tim Obama tidak menggunakan bazer dalam pengertian sekarang, keberhasilan mereka menunjukkan bahwa suara digital bisa menentukan arah politik. Dari sini pihak lain belajar bahwa jika komunikasi politik bisa dimenangkan di ruang digital, maka menciptakan pasukan akun untuk menguasi wacana adalah jalan logis berikutnya. Berangkat dari situlah kemudian Bazer menjelma menjadi kekuatan politik yang nyata. Di Filipina, Rodrigo Duterte pada pemilu tahun 2016 dikenal sebagai salah satu tokoh yang memanfaatkan buzer dengan sangat efektif.

Ratusan akun baik asli maupun palsu digerakkan untuk menciptakan citra bahwa DUTRT adalah pemimpin tegas yang dekat dengan rakyat. Mereka juga menyerang lawan politik dengan kampanye hitam. Penelitian rappler menunjukkan bahwa ekosistem bazer ini begitu masif dan bekerja dengan pola industri lengkap dengan tarif bayaran bagi para penggeraknya. Fenomena yang sama terlihat dalam Pemilu Amerika Serikat pada tahun 2016 ketika Donald Trump memanfaatkan bukan hanya bazer lokal, tapi juga didukung oleh operasi informasi dari luar negeri. Kasus keterlibatan Rusia melalui Internet Research Agency menjadi salah satu contoh paling terang bahwa bazer telah melampaui batas negara. Ribuan akun palsu beroperasi untuk menghasut, menyebar hoa dan memecah belah publik Amerika. sehingga memperkuat dukungan terhadap Trump. Demokrasi digital pada titik ini tidak lagi sekadar ruang diskusi, tetapi sudah menjadi arena perang opini yang diatur oleh algoritma dan mesin propaganda modern. Di Indonesia sendiri dengan populasi pengguna media sosial yang sangat tinggi ini kemudian menjadi ladang subur bagi para bazer. Istilah ini bahkan lebih populer di sini dibanding negara lain. Tapi fenomena bazer politik di Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba. Ia berakar dari transformasi komunikasi politik pasca reformasi 1998 ketika landscape media mengalami perubahan fundamental. Jika pada Orde Baru arus informasi sangat terpusat dan dikontrol oleh negara melalui media konvensional seperti TVRI, RRI, dan koran-koran yang berafiliasi pada pemerintah, maka pasca 1998 media menjadi jauh lebih beragam dan kompetitif. Namun perkembangan ini tidak berlangsung tanpa konsekuensi.

Perkembangan internet di Indonesia pada awal 2000-an diiringi dengan munculnya media sosial seperti Fenster pada tahun 2002, Facebook pada tahun 2004, namun populer di Indonesia sejak 2008, Twitter pada tahun 2006 tapi populer sejak 2009 dan Instagram pada tahun 2010 tapi populer sejak 2014 yang kesemua sosial media ini menciptakan kanal baru yang memungkirkan politisi dan kelompok kepentingan berbicara langsung kepada publik tanpa perantara media arus utama. Di titik ini, strategi komunikasi politik mulai bergeser dan strateginya bukan lagi soal menyampaikan pesan, tetapi membentuk narasi publik secara cepat, masif, dan terukur. Contohnya ketika seorang pejabat melakukan aksi simbolis seperti blusukan ke pasar, naik sepeda ke kantor, atau makan wartek sederhana, Bazer akan memastikan bahwa momen itu terekam, diunggah, dan diviralkan dengan framing tertentu. Aksi yang mungkin bisa saja di kehidupan sehari-hari diubah menjadi narasi pemimpin rakyat yang berulang kali dihadirkan di lini massa. Dan secara kronologis kemunculan bazer politik di Indonesia mulai tampak jelas pada bazer kampanye Pilpres di tahun 2014. Rose Tepsel dalam analisisnya yang berjudul Media Power in Indonesia mengatakan bahwa di sinilah momen di mana media sosial menjadi arena tempur utama dalam politik nasional. Tim sukses kedua kandidat presiden waktu itu mulai mempekerjakan orang-orang yang bertugas memproduksi, menyebarkan, dan memviralkan pesan politik tertentu, baik untuk mengangkat citra kandidat maupun untuk menyerang lawan. Sumber daya manusia yang mengisi posisi bazar ini juga berasal dari beragam latar belakang. Mereka bekerja secara terstruktur dengan target tertentu mulai dari tren hashtag hingga injudement harian. Lambat laun model ini diadopsi bukan hanya oleh kandidat presiden, tetapi juga oleh kepala daerah, partai politik, bahkan kementerian dan BUMN.

 

Dengan demikian, akar kemunculan bazer politik di Indonesia terletak pada persilangan antara kebutuhan politisi akan pengendalian narasi publik dan infrastruktur digital yang memungkinkan penyebaran pesan secara masif dengan biaya relatif rendah. Dan mesin propaganda digital di Indonesia bekerja dengan prinsip yang mirip dengan propaganda politik klasik, tetapi dipercepat dan diperluas oleh teknologi algoritma media sosial. Jika propaganda era lama mengandalkan radio, koran atau poster ini, ia beroperasi melalui Twitter trending, video TikTok, meme Instagram hingga grup WhatsApp keluarga. Australian Strategist Policy Institute dalam risetnya yang keluar pada tahun 2019 memetahkan bahwa operasi propaganda digital di Indonesia terbagi dalam tiga lapisan utama. Tahapan pertama adalah tahap produksi narasi, yaitu proses merumuskan tema besar dan pesan inti yang ingin ditanamkan ke publik. Pada tahap ini, seorang kandidat bisa dibingkai sebagai pemimpin rakyat atau penyelamat ekonomi. Sementara lawan politiknya digambarkan sebagai ancaman teknik yang digunakan antara lain framing untuk mengarahkan persepsi publik dan spinning untuk memutarbalikkan fakta agar menguntungkan pihak tertentu. Tahap kedua adalah distribusi dan amplifikasi di mana bazer memainkan peran sentral. Mereka memanfaatkan akun anonim maupun akun dengan identitas publik untuk menyebarkan pesan secara masif.

Algoritma media sosial dieksploitasi melalui strategi fluding membanjiri lini massa dengan pesan seragam atau arsoturfing yakni membuat narasi seolah-olah muncul organik dari masyarakat biasa. Tahap terakhir adalah pengendalian narasi yang berfungsi menjaga agar pesan utama tetap relevan di tengah dinamika politik. Bila muncul kritik atau serangan balik, jaringan propaganda biasanya merespon dengan counter naratif atau bahkan mengalihkan perhatian publik ke isu baru yang lebih menguntungkan. Tiatun Sastra Mijajah dan Nur Amali Ibrahim dalam risetnya tentang cyber troops and public opinion manipulation in Indonesia menunjukkan bahwa bazer politik sering bekerja secara terkoordinasi dalam operasi harian di mana setiap anggota tim memiliki peran. Ada yang membuat meme, ada yang menulis trade, ada yang memantau opini publik, dan ada yang menyebarkan konten di grup WhatsApp untuk jangkauan akar rumput. Menariknya, mesin propaganda digital di Indonesia tidak hanya beroperasi di musim pemilu. Dalam banyak kasus, ia juga digunakan untuk mempertahankan legitimasi pemerintah atau menyerang gerakan masyarakat sipil. Sebagaimana dicatat oleh Freedom House pada tahun 2021 yang menempatkan Indonesia dalam kategori partly free karena adanya manipulasi opini publik secara sistematis di ranah digital. Untuk pendanaannya sendiri menurut laporan investigasi di Intersep pada tahun 2019 terdapat setidaknya tiga sumber utama yang menopang ekosistem bazer politik.

Pertama adalah dana kampanye resmi yang ditarik dari alokasi anggaran, kandidat atau partai politik. Dana ini biasanya disalurkan untuk membayar konsultan media digital, agensi kreatif hingga tim bazer yang bekerja secara terbuka maupun terselubung dalam mengelola narasi. Sumber kedua datang dari sponsor korporasi, yakni perusahaan yang memiliki kepentingan politik atau bisnis tertentu dan berharap mendapatkan keuntungan kebijakan apabila kandidat yang mereka dukung berhasil memenangkan kontestasi. Dukungan dari sektor ini seringkiali bersifat tidak langsung, namun tetap signifikan dalam menopang biaya operasional digital. Sementara itu, sumber ketiga yang lebih kontroversial adalah dana operasi pemerintah atau BUMN. Dalam beberapa kasus sebagaimana dicatat dalam investigasi tempo pada tahun 2020, terdapat indikasi bahwa sumber daya negara termasuk anggaran humas dialihkan untuk membiayai aktivitas digital yang mendukung narasi tertentu. Sedangkan dari sisi infrastruktur, mesin bazer memanfaatkan kombinasi server lokal dan internasional, perangkat lunak otomatis, boot software, dan tim kreatif yang terdiri dari penulis, desainer grafis hingga video editor. Bagian operasi dijalankan dari warroom khusus ruangan tertutup yang dipenuhi layar monitor untuk memantau tren media sosial secara real time. Selain itu, jaringan bazer ini sering memanfaatkan jasa pihak ketiga seperti klik form di luar negeri untuk meningkatkan interaksi secara instan. Dalam laporan Oxford Internet Institute pada tahun 2020 disebutkan bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki salah satu ekosistem cyber troops paling besar di Asia Tenggara dengan keterlibatan aktor politik, swasta dan negara. Pendana dan infrastruktur yang matang. Inilah yang membuat mesin bazer mampu bekerja bukan hanya untuk kapanye pemilu, tetapi juga dalam perang opini jangka panjang. Mulai dari isu kebijakan publik, kontroversi hukum, hingga skandal politik. Dalam kondisi ini, demokrasi kehilangan wataknya sebagai arena pertarungan ide.

Ia berubah menjadi panggung reality show. Ia memproduksi bintang politik baru dengan model like, share, and engagement rate, bukan visi dan kapasitas. Dan seperti panggung hiburan. yang bertahan bukanlah yang paling kompeten, melainkan yang paling menguasai teknik menjaga perhatian publik. Di titik ini, demokrasi tidak hanya menjadi panggung, ia juga menjadi industri tontonan. Ada produser itu tim kampanye dan bazer. Ada bintang, politisi dan influencer politik. Ada penulis naskah, tim kreatif dan konsultan politik. Dan tentu saja ada sponsor, oligarki, dan pemodal besar yang memastikan pertunjukan berjalan sesuai skenario. Dan kita sebagai rakyat yang menjadi publik hanya menjadi penonton yang sesekali diajak ikut main di panggung, tapi tetap tidak memegang kendali cerita.

Dampak jangka panjang dari fenomena demokrasi yang berubah menjadi panggung tempat aktor politik berlomba memproduksi citra ketimbang gagasan tidak berhenti pada satu atau dua siklus pemilu saja. Ia secara perlahan membentuk landskap politik yang mengendap di kesadaran publik dan membekas dalam cara rakyat berpartisipasi. Partai mengatur strategi, serta elit memandang kekuasaan. Dan perubahan ini dapat ditelusuri dari reformasi 1998 hingga kini. Pada awal era reformasi, harapan masyarakat begitu besar. Pemilo langsung dipandang sebagai pintu menuju pemerintahan yang akuntabel dan representatif. Namun, seiring masuknya logika kampanye berbasis pencitraan yang semakin dipercepat oleh televisi lalu media sosial, pemilih secara bertahap dididik untuk memilih berdasarkan persona dan narasi emosional, bukan lagi platform kebijakan yang substansial. Kecenderungan ini mulai terlihat jelas pada Pemilu Presiden 2004 ketika debat visi misi yang seharusnya menjadi arena adu gagasan malah mulai terpinggirkan oleh kampanye visual yang memoles kesan pribadi kandidat. Di titik ini, para politisi menyadari bahwa memenangkan hati rakyat tidak harus lewat penjelasan rinci mengenai kebijakan, tetapi cukup untuk membentuk citra yang menginspirasi atau menyentuh emosi massa. Lompatan berikutnya terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019 ketika media sosial menjadi senjata utama. Fenomena politik meme dan perang tagar membentuk ekosistem informasi yang cepat, ringan, dan seringkiali dangkal membuat pemilih lebih akrab dengan slogan daripada angka-angka data pembangunan. Perubahan perilaku pemilih ini memiliki implikasi besar terhadap struktur kekuasaan. Partai politik yang awalnya dibangun sebagai mesin ideologis bertransformasi menjadi agensi pecintraan di banyak daerah. Proses rekrutmen kandidat lebih menekankan daya tarik elektoral berapa besar popularitas disurvei ketimbang kompetisi atau integritas. Akibatnya, politisi yang terpilih kerap lebih pandai mengelola momentum media dibanding mengelola tata kelola publik. Fenomena ini tercermin dari munculnya politisi yang memanfaatkan jabatan eksekutif sebagai panggung untuk pemilu berikutnya, mengarahkan kebijakan daerah atau nasional agar selaras dengan strategi pencitraan. Bahkan jika hal itu mengorbankan efektivitas kebijakan jangka panjang. Dalam jangka panjang, relasi antara pemilih dan kekuasaan menjadi semakin transaksional. Janji politik yang diucapkan saat kampanye kerap dilihat bukan sebagai kontrak sosial, melainkan sebagai promosi yang tidak wajib dipenuhi. Pemilih pun membalasnya dengan rasionalitas singkat dengan memilih kandidat yang dianggap bisa memberi manfaat cepat entah dalam bentuk bantuan langsung atau kepuasan emosional karena identitas dan narasinya cocok. Hal ini melemahkan daya kritis publik dan membuat siklus evaluasi demokrasi menjadi dangkal.

Konsekuensi lain adalah terbentuknya struktur kekuasaan yang sangat sentralistik di sekitar figur. Sistem presidensial di Indonesia memang memberi ruang kuat pada pemimpin nasional, tetapi dalam iklim politik panggung, kekuatan figur semakin membesar sehingga membatasi peran lembaga penyeimbang seperti DPR atau partai politik. Munculnya koalisi gemuk pasca pemilu yang seharusnya menjadi pengeja wantahkan kompromi politik justru sering membuat parlemen kehilangan fungsi oposisi yang sehat. Dalam kondisi ini, demokrasi berjalan tanpa cukup ruang bagi perdebatan publik yang tajam. Karena sebagian besar kekuatan politik terserap dalam orbit figur yang sama. Jika tren ini dibiarkan, masa depan demokrasi Indonesia beresiko jatuh pada dua ekstrem. Di satu sisi bisa terbentuk demokrasi prosedural yang sangat stabil secara elektoral, namun rapuh secara substansial. Di mana pemilu rutin berlangsung, tetapi kualitas gagasan dan akuntabilitas makin memudar. Di sisi lain, kekecewaan publik yang terus menumpuk akibat ketidaksesuaian antara cintra kampanye dan kenyataan kebijakan bisa melahirkan gelombang populisme baru yang lebih radikal. Kita sudah melihat gejalanya dalam fenomena polarisasi tajam pada pemilu 2014 dan 2019 ketika perbedaan politik bercampur dengan identitas agama, etnis, dan kelas sosial menciptakan luka sosial yang belum sepenuhnya sembuh hingga kini. Polarisasi ini menunjukkan bahwa politik panggung bukan hanya membentuk perilaku pemilih dan relasi elit, tetapi juga merembes hingga ke inti proses penyusunan kebijakan publik di sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dalam sektor pendidikan misalnya, orientasi kebijakan kerap diwarni logika jangka pendek yang lebih memprioritaskan pengumuman spektakuler ketimbang perombakan sistemik, ahli-ahli fokus pada perbaikan kurikulum, kualitas guru, dan pemerhatan akses pendidikan di wilayah tertinggal panggung politik.

justru lebih ramai oleh peluncuran program-program cepat saji yang fotogenik. Pembangunan gedung sekolah baru, pembagian seragam gratis atau pembukaan beasiswa dalam jumlah besar sering digunakan sebagai bukti komitmen politik. Padahal jika dicermati sebagian kebijakan tersebut tidak diiringi mekanisme keberlanjutan yang kuat. Akibatnya hasilnya memudar begitu sorotan kamera berpindah. Di sektor kesehatan politik panggung memunculkan pola serupa. Pembangunan rumah sakit daerah atau peluncuran program layanan kesehatan gratis menjadi momen penting untuk pencintraan. Seringkiali peresmian fasilitas kesehatan dikemasiknya acara televisi lengkap dengan spanduk besar, liputan media dan pidato penuh janji. Namun keberlanjutan pelayanan kerap terabaikan, kekurangan tenaga medis, ketersediaan obat yang tidak konsisten, dan sistem rujukan yang lemah menjadi masalah yang tidak sepopuler momen gunting pita di titik ini. Logika panggung membuat kebijakan kesehatan rawan terjebak pada simbolisme yang terlalu fokus pada citra kepedulian, tetapi tidak menggarap akar masalah secara tuntas. Sementara itu, di sektor infrastruktur, panggung politik menjadi arena yang paling gemerlap. Jalan tol, bandara, bendungan hingga gedung-gedung ikconik diproyeksikan sebagai monumen keberhasilan yang dapat diabadikan dalam foto dan video kampanye. Setiap proyek besar menjadi latar belakang visual yang kuat untuk menunjukkan kerja nyata pemimpin. Tetapi logika ini kerap mendorong prioritas pembangunan yang tidak selalu berangkat dari kebutuhan strategis masyarakat, melainkan dari nilai jual visual dan potensi popularitas. Akibatnya, tidak jarang pembangunan infrastruktur justru lebih berorientasi pada kepentingan jangka pendek elit politik ketimbang pada pemeratan ekonomi atau konektivitas wilayah terpencil yang betul-betul membutuhkan intervensi. Fenomena ini menciptakan siklus yang saling menguatkan antara politik panggung dan kebijakan publik. Publik yang terbiasa disugi pencitraan visual akan menilai keberhasilan pemerintah dari seberapa banyak acara yang dihadirkan bukan dari kualitas dan keberlanjutan kebijakan.

Sementara elit politik akan terus memproduksi kebijakan yang mudah dipentaskan di hadapan kamera karena itu terbukti efektif membangun dukungan elektoral. Dalam jangka panjang, pola ini berpotensi mengkerdilkan demokrasi menjadi sekadar manajemen citra di mana sektor-sektor strategis negara berubah menjadi properti panggung bukan sebagai ruang untuk merumuskan solusi jangka panjang yang berorientasi pada kepentingan rakyat secara substantif. Dengan demikian, konsekuensi yang tampak bukan hanya pada degradasi kualitas kebijakan, tetapi juga pada pemahaman publik terhadap makna pembangunan itu sendiri. Pendidikan dinilai dari jumlah gedung baru, bukan dari kualitas lulusan. Kesehatan dinilai dari jumlah rumah sakit, bukan dari angka penurunan kematian ibu dan bayi. Infrastruktur dinilai dari panjangnya jalan tol, bukan dari seberapa efektif ia menghubungkan pusat dan daerah untuk pemeratan ekonomi. Jika arah ini tidak dikoreksi, demokrasi Indonesia akan semakin tergelincir menjadi demokrasi permukaan. di mana segala sesuatunya harus terlihat berhasil. Meskipun keberhasilannya hanya tipis di permukaan, namun bukan berarti arah ini tidak bisa diubah. Sejarah demokrasi di berbagai negara menunjukkan bahwa kesadaran publik bisa kembali terbangun melalui pendidikan politik, kebebasan pers yang kritis, serta gerakan masyarakat sipil yang menuntut akuntabilitas lebih besar di Indonesia.

Tantangan ini berarti mendorong rakyat yang mana adalah kita untuk menghidupkan kembali tradisi bertanya apa yang ditawarkan kandidat untuk 5 tahun ke depan ketimbang hanya siapa kandidatnya dan seberapa menarik penampilannya. Tanpa upaya kolektif dan kesadaran diri sendiri ini, panggung demokrasi di Indonesia akan tetap megah di permukaan, namun kosong di dalamnya. Dan kita seterusnya hanya akan menjadi penonton yang terhibur, bukan warga yang berdaya dan sejahtera.

ANALISIS NARASI

Naskah naratif analitis yang menjelaskan perkembangan populisme dari masa radio, televisi, hingga media sosial modern, lengkap dengan studi kasus dunia (Roosevelt, Kennedy, Nixon, Perón, Berlusconi, Chávez, Trump, Duterte, Jokowi, Ridwan Kamil, Dedi Mulyadi, dll.).

Kalau saya ringkas, alurnya seperti ini:

  1. Awal Populisme dan Media
  1. Politik sebagai Tontonan
  1. Era Media Sosial
  1. Paradoks Populisme
  1. Gimik sebagai Kebijakan
  1. Fenomena Buzzer
  1. Dampak Jangka Panjang

Jadi, intinya teks ini mau bilang:
Populisme modern tidak bisa dipisahkan dari media. Dari radio, TV, hingga media sosial, para pemimpin populis belajar bahwa visual & gimik lebih kuat daripada kebijakan struktural. Akibatnya, demokrasi perlahan berubah jadi panggung tontonan, di mana citra lebih penting dari solusi nyata.