Q & A - TOPIK HUKUM KESEHATAN

WEBINAR SERI 1

STRATEGI RS PASKA BERLAKUNYA UU No. 17 TAHUN 2023 TENTANG KESEHATAN: MENAFSIRKAN UU KESEHATAN

Pertanyaan #6: Aspek Hukum Telemedisin

Bagaimana aspek tanggung jawab hukum RS maupun tenaga medis perihal telemedisin, apabila terjadi kelalaian medis, berdasarkan UU No 17 Tahun 2023?

Jawab:

Telemedisin merupakan salahsatu faktor yang dapat mendorong pelayanan rumahsakit untuk pasien BPJS dan non-BPJS. Terkait aspek teknis pelayanan telemedisin, sesuai pasal 172 Ayat (5) UU Kesehatan 2023, hal lebih lanjut akan diatur melalui PP yang saat ini sedang disusun.

Terkait tanggung jawab hukum jika terjadi kelalaian secara umum diatur dalam Pasal 193 yang berbunyi: “Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit.”

DISKUSI

Putu Eka Andayani

Yang dimaksud dengan “rumah sakit” pada Pasal 193 tersebut apakah Direktur Utama, Direktur Pelayanan, atau seluruh jajaran manajemen, atau siapa, seandainya terjadi tuntutan yang mengarah ke pidana (apakah ada peluang terjadinya hal ini?)

Bahtiar Hussain, SpP

Izin nimbrung, Prof dan teman-teman yang great. Penerapan telemedicine dalam hal men-treat pasien perlu hati-hati agar tidak terjadi malpraktek? Norma umum yang dianut selama ini bila hendak men-treat pasien dimulai dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, assesment (diagnosis) dan planning (treatment). Telemedicine tidak bisa memenuhi semuanya sehingga baiknya telemedicine hanya untuk konsultasi,… bukan untuk men-treat pasien, kecuali dokter sudah kenal pasien dan sudah berulang berobat. Saya pernah menerima pasien sesak napas yang sudah berobat via telemedicine dan sudah diresepkan sejenis bronkodilator namun sesaknya tidak hilang-hilang karena tidak ada pemeriksaan fisik? Ternyata pasiennya effusi pleura yang tentu tidak akan teratasi dengan bronkodilator.

Kemudian Pasal 193 UU 17 thn 2023, pasal ini perlu diatur aturan turunnnya agar berkeadilan dan tidak merugikan RS. Dokter dalam men-treat pasien adalah otonomi, lepas dari pengaruh atau intervensi direktur sehingga kelalaian yang dilakukan dokter kurang adil bila ditimpakan kepada direktur semua apalagi kalau kelalaian itu jelas menyalahi SOP. Yang bisa diterima dan direktur bisa diseret kalau kerugian yang dialami pasien akibat mismanagement, kebijakan direktur yang salah, kehabisan oksigen, pasien jatuh akibat lantai licin dll. Tanggung jawab dokter vs direktur terhadap kerugian pasien baiknya lebih detail diatur dalam MOU dokter -direktur krn kerjasama RS dan dokter ada yang bersifat, mitra dan ada yang employ. Bahkan ada dokter yang menyewa ruangan praktek di RS sehingga keterlibatan direktur ditiadakan.🙏🙏

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

Ada baiknya kita tanya para ahli hukum ya...

Semua peluang memang ada risiko.. Bagaimana mitigasi risiko terkait telemedicine... ini perlu pembahasan khusus.

No-Name

Ijin share dari sisi legal aspek prof bila PP yang memuat sudah jadi maka RS sebaiknya membuat Tim Khusus Penguatan Hospital Bylaws (untuk pembatasannya) dapat bekerjasama dalam pembuatan dokumennya dengan rekan-rekan yang fokus pada bidang ilmu/akademik terkait Bioetika, Etik-Medikolegalnya. 🙏😇

Pupung Ivan, SH

Bahtiar Hussain, SpP

Memang sedapat mungkin dihindari narasi malpraktek dari pristiwa sengketa medik karena umumnya Kejadian yang Tidak Diharapkan (KTD) penyebab umumnya adalah neglegence (kelalaian) disamping miskomunikasi. Namun dalam praktek kedokteran tidak berarti malpraktek tidak ada, contohnya abortus provokatus tanpa indikasi medis (really malpraktek).

Makanya pembagian KTD:

  1. Neglegence (kelalaian)
  2. lack of skill
  3. intention (sengaja melakukan yang tidak sesuai SOP)

Intention identik malpraktek, identik Pidana 🙏

Sundoyo, SH, MKM, M.Hum.

Tiga  pembagian KTD tersebut dari sisi/penyebannya dari tenaga medis atau tenaga kesehatan. Tapi KTD juga bisa disebabkan karena sarana/prasarana dan alat kesehatan atau SOP njih dok.

Tks 🙏🙏🙏

Putu Eka Andayani

Mohon izin menyuplik Pasal 25 UU 17/2023 pada gambar, dengan penjelasan khusus Ayat 4 sebagai berikut:

“Bentuk Pelayanan Kesehatan melalui Telemedisin, antara lain, berupa asuhan medis/klinis dan/ atau layanan konsultasi Kesehatan”

Asuhan medis/klinis ini termasuk didalamnya tindakan medis nggih?

Pupung Ivan, SH

KTD harus mengacu juga ke Permenkes No. 1681 Tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

Sundoyo, SH, MKM, M.Hum.

Pasal 193 UU 17/2023: “Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit.”

Pasal 193 UU Kesehatan ini juga diatur dalam UU 44/2009 tentang RS pada Pasal 46. 👇

Bagian Ketujuh

Tanggung Jawab Hukum

Pasal 46

Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.

Selama ini implementasi Pasal 46 bagaimana njih?

dr. Pradono Handojo

Ini jadi mimpi buruk (nightmare) saya sih. Kalau ada kealpaan yang menyebabkan kematian atau kecacatan - padahal sudah sesuai SOP. Pasien/keluarga menuntut. Bagaimana Pak Sundoyo?

Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023

Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun. Misalnya ada SOP hitung instrumen dan kassa. Ternyata (ada instrumen atau kassa yang) ketinggalan (dalam tubuh pasien dalam operasi yang dilakukan) sama dokter bedah. Pasien infeksi dan wafat. Lalai kan. Tapi direktur kena getahnya.

Sundoyo, SH, MKM, M.Hum.

Saya sedang berfikir kalau implementasi di RS nanti ada aturan internal RS terkait dengan Pasal 193 tersebut saya rasa bisa juga dituangkan dalam peraturan internal RS. Sehingga apa yang menjadi penyebab kelalaian tadi, siapa yang akan bertanggung jawab Pemilik, Direksi atau Tenaga Medis/tenaga Kesehatan. 🙏🙏🙏

Kalau sdah sesuai dengan SOP, (nakes) berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum, Dok.

Ini berlakukan 3 tahun sejak diundangkan, jadi berlakunya masih nanti tahun 2026.🙏

Terkait dengan kasus: „Ada SOP hitung instrumen dan kassa. Ternyata ketinggalan sama dokter bedah. Pasien infeksi dan wafat. Lalai kan“, Nah bisa tidak, hal ini diatur dalam peraturan internal RS, Dok. Beda dengan kalau kelalaian karena ini ya, Dok...?

Bahtiar Hussain, SpP

Kalau sudah sesuai SOP terjadi dispute karena pasien tidak puas,... kategorinya bukan lagi neglegence tapi masuk adverse event atau risiko medik (tdk ada tuntutan). Hal ini yang harus dipahami para lawyer/hakim kesehatan 🙏

Pupung Ivan, SH

Betul, Dok, karena dokter adalah upaya dan bukan merupakan hasil

Sundoyo, SH, MKM, M.Hum.

Kalaupun pasien tidak puas lalu menuntut secara perdata, RS atau Tenaga medis bisa minta rekomendasi kepada majelis tidak adanya pelanggaran disiplin

Atas dasar rekomendasi majelis tersebut mestinya dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara perdata.

Benar, Dok rumusan Pasal 308 pertimbangannya adalah ini.

Agak alot diinternal pemerintah pada saat Kemkes mengusulkan Pasal 308 ini, tapi alhamdulilah akhirnya disepakati.

Setelah dibahas di Panja untuk dibahas dengan DPR, alhamdulilah DPR juga menyetujui.

Pupung Ivan, SH

Sayangnya profesi dokter atau tenaga medis tidak ada Hak Imunitas dalam menjalankan pekerjaanya, tidak sperti halnya advocate seperti saya.

Sundoyo, SH, MKM, M.Hum.

Dalam UU-nya memang ada Pasal yang mengatur imunitas terhadap advokad. Tapi dalam praktiknya ada beberapa advokad  yang juga dipidana njih.

Terakhir yg saya ingat adalah lawernya Setyo Novanto 👍👍👍

Pupung Ivan, SH

Iya karena melanggar. Mengapa dokter tidak ada imunitas yah?

Sundoyo, SH, MKM, M.Hum.

Maksudnya tetap tidak imun njih, sepanjang ada pelanggaran dapat dipidana

Prinsip dasarnya ini negara hukum, tdk ada satu orngpun yang kebal/imun dengan hukum.

Khusus untuk dokter karna tindakan/pelayanan yang diberikan adalah upaya bukan hasil. Maka sepanjang tindakan/pelayanannya sesuai dengan standar maka dia berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Perlindungan hukum terhadap dokter/nakes diatur dalam Pasal 308 UU Kesehatan

dr. Daniel Wibowo

Ada jurnal yang ditulis DR Dyah dosen UKSW mengenai telemedicine.

„DISRUPSI LAYANAN KESEHATAN BERBASIS TELEMEDICINE: HUBUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM PASIEN DAN DOKTER“ [Insert link artikel]

Sundoyo, SH, MKM, M.Hum.

Kalo ada laporan ke penyidik atas dugaan pidana pelayanan yg dilakukan dokter, maka penyidik harus mengajukan permohonan kepada Majelis untuk dilakukan pemeriksaan ada atau tdk adanya pelanggaran terhadap standar.

Kalau tidak ada pelanggaran, maka majelis memberikan rekomendasi bahwa tidak ada pelanggaran displin atau sdah sesuai dengan standar. Maka penyidik tidak melanjutkan laporan tersebut.

Pupung Ivan, SH

Iya dengan adanya perlindungan hukum, tidak serta merta seseorang menganggap dokter melalukan kelalaian medis, harus dibuktikan. Apakah langsung ke Penyidik, kan ada Restroactive Justice?

Sundoyo, SH, MKM, M.Hum.

Kalaupun hasil pemeriksaan majelis ada pelanggaran disiplin maka rekomendasinya ada pelanggaran disiplin. Maka penyidik dapat menindaklanjuti. Dalam menindaklanjuti tersebut tidak ada alat bukti yang cukup maka bisa dihentikan.

Tetapi kalau ada alat bukti cukup, berdasarkan Pasal 306 aparat penegak hukum diminta untuk mengutamakan penyelesaian dengan keadilan restoractive.

Dalam Pasal 308, kalaupun ada laporan ke penyidik tidak bisa merta ditindaklanjuti. Tetapi penyidik membuat permohonan ke majelis untuk dilakukan pemeriksaan seperti yang sampaikan di atas 🙏

Sebelum ada Pasal 308 UU Kesesehatan, pembuktiannya ada di pengadilan.

Waupun diberbagai UU Bidang kesehatan bamyak pasal yang menyatakan dokter dan nakes berhak mendapatkan perlindungan hukum, tetapi jika ada laporan atas dugaan pidana yang dilakukan dokter/nakes ke penyidik langsung diproses oleh penyidik, sama dengan masyarakat pada umumnya kalau diduga melakukan tindak pidana.

Tapi dengan Pasal 308, diatur petlindungan hukum bagi dokter/nakes, pembuktiannya ada di majelis (ada tidak adanya pelanggaran standar/disiplin)

Bahtiar Hussain, SpP

Terima kasih Pak Sundoyo telah berbagi dengan teman-teman untuk sosialisasi UU 17. Pertanyaan saya, MAJELIS yang dimaksud apakah hanya MKDKI? Dimana posisi dan porsinya MKEK? Sebagaimana kita tahu bahwa etik adalah salah satu elemen dasar standar profesi dan yang mengetahui standar etik itu adalah profesi itu sendiri?  

Tolong bisa diberi tempat agar MKEK bagian yang amat penting dalam memberi pertimbangan dugaan terjdinya pelanggaran standar profesi 🙏

Sundoyo, SH, MKM, M.Hum.

Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Kalau pelayanan yang diberikan adalah yang saya berikan kotak merah (termasuk dilaksanakan dengan mematuhi etika profesi) 🙏🙏🙏

Pupung Ivan, SH

Betul berarti selama sesuai SPO dan standar profesi, namun juga sudah melakukan upaya semaksimal mungkin, namun terjadi kejadian yang tidak diinginkan misal pasien terjadi komplikasi dan pasien meninggal dunia berarti perlindungan hukum berlaku selama tidak adanya terjadi kelalaian medis, atau memang juga untuk risiko medis.

Sundoyo, SH, MKM, M.Hum.

Betul, Pak. Walaupun demikian perlu ada mekanisme ketika ada laporan atas dugaan tindak pidana oleh dokter/nakes.

Maka dalam UU Kesehatan diatur dalam Pasal 308. Karena kalau tidak ada Pasal 308, begitu ada laporan ke penyidik langsung dilakukan penyelidikan dan penyidikan.

Pengalaman kalau saya mendampingi teman-teman dokter/nakes dilaporkan karena diduga melakukan tindak  ke penyidik dan dilakukan penyidikan untuk BAP dokter/nakes sering menyampaikan kepada penyidik Pak. saya dlm memberikan pelayanan sdah sesuai dgn standar dan etika profesi 

Jawaban penyidik nanti dokter/nakes dibuktikan saja di pengadilan yah.

Dengan demikian, walaupun diberbagai UU bidang kesehatan dinyatakan punyak hak mendapatkan perlindungan hukum tapi prosesnnya sama dengan masayarakat ketika diduga melakukan tibdak pidana.

Pupung Ivan, SH

Salah satu syarat kan harus ada bukti dan laporan, kalau asumsi dibilang dibuktikan dipengadilan gemana itu?

Amir Fauzi

Pengalaman membuktikan itu , meskipun dugaan malpraktek baru sebatas asumsi /persepsi pasien, tetapi penyidik tetap melakukan penyelidikan dan penyidikan atau  BAP,  tidak peduli itu asumsi atau bukan.

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

Ini memang risiko yang harus dihadapi oleh RS ..

Apakah ada asuransi untuk menangggung  kejadian buruk untuk RS? Untuk dokter sudah ada.. Untuk RS apa ada? Tapi ini akan membuat kita menjadi seperti di US... Jadi mahal

Kita perlu Webinar series untuk kasus ini....

Namun minimal adanya Pasal 308 menjadi semacam ada penapis awal.

dr. Jon Calvin Frans Paat, M.Kes, MMR:

Ini dampaknya Prof. Dengan tarif sekarang ini tidak akan mungkin mengansur lagi. Asuransi profesipun belum semua dokter mengikutinya. Satu satunya jalan adalah mitigasi dimana dokter DPJP benar-benar memahami kewajiban hukum jika terjadi sesuatu dan lebih berhati-hati.

dr. Pradono Handojo

Asuransi perlu dok. Mobil saja kita asuransi koq 🙏🏻🤔

dr. Widodo Wirawan

Ada Prof, kami pernah ikut, namanya asuransi hospital liability, mahal memang, full cover seluruh komponen RS.

dr. Jon Calvin Frans Paat, M.Kes, MMR:

Kalau asuransi kebakaran dan lain-lain, RS sudah ikut. Tinggal asuransi malpraktik 😊

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

Ya.. ini yang membuat biaya akan tambah mahal...

dr. Jon Calvin Frans Paat, M.Kes, MMR:

Nah itu kan.. Kalau RS komersil, pasti jatuh ke biaya umum (cost center) dan ending-nya tarif

dr. Widodo Wirawan

Kami ikut ini dulu https://jastan.co.id/info/product/standard/asuransi-hospital-liability, konsultannya Prof.Agus Purwadianto, Sp.FM

dr. Ance Melinda Situmorang

Di asuransinya ada syarat ketentuan berlaku dok...Pengecualiannya cukup banyak. RS memang harus memastikan semua menjalnkan pelayanan sesuai SPO. Karena kelalaian tidak ditanggung asuransi.

dr. Widodo Wirawan

Wajar, pasti ada S&K

dr. Ance Melinda Situmorang

Baiknya semua rumah sakit memiliki Pengacara/Kuasa Hukum yang digaji setiap bulan meskipun tidak ada kasus. Ini sepertinya lebih baik.

Biayanya tergantung kesepakatan... Kami sekarang ada kuasa hukum yg tetap digaji. Tetapi semisal ada kasus yang sampai ke pengadilan ini yang kita bayar lebih, tapi pengacara ini yang akan maju urus semua bila ada kasus.

Kalau asuransi kadang lebih cari aman, karena mereka enggan keluar uang. Asuransi kadang cari klausul yang memperkuat mereka supaya tidak ganti rugi. Semisal itu dianggap kelalaian.

Padahal premi asuransi mungkin harganya lebih mahal.

dr. Widodo Wirawan

Mungkin kerjasama LBH aja, umumnya kita rekrut SH sebagai legal bukan sebagai advocate. Sarjana Hukum legal rerata ga punya brevet/hak sebagai advokat mau pun mediator.

dr. Pradono Handojo

Bisa dijabarkan perbedaannya?

Putu Eka Andayani

Sependek yang saya pahami, bagian legal itu mengurusi antara lain kontrak antara organisasi dengan staf dan kontrak kerjasama antara organisasi dengan lembaga lain. Juga jika terjadi perselisihan (terkait kontrak) antara para-pihak, sebelum dibawa ke pengadilan (yang lebih tinggi).

dr. Ance Melinda Situmorang

Iya betul, Dokter, lainnya bisa membantu mempelajari kontrak-kontrak yang ada di RS. Jadi sangat membantu.

dr. Pradono Handojo

Berarti perdata ya, Hukum kontrak. Yang kita bahas ini untuk representasi pidana kan?

dr. Ance Melinda Situmorang

Selain RS, kan perusahaan-perusahaan besar pasti ada kuasa hukumnya. Seperti Paris Hotman dia pegang perusahaan-perusahaan besar, untuk menolong perusahaan tersebut dari sisi hukum atau pengelolaan kontrak-kontrak. Kuasa hukum dibayar setiap bulan, bukan hanya saat ada kasus. Tapi pastikan kuasa hukumnya mempelajari juga UU Kesehatan.

Putu Eka Andayani

Saya sering menemui di lapangan, jika ada kontrak antara RS dengan mitra kerjasama (misalnya perusahaan IT), karena kekurangpahaman pihak RS terkait aspek teknis IT, akhirnya dalam kontrak itu menurut saya banyak merugikan RS. Contoh masalah kepemilikan data, ketika putus kontrak dengan perusahaan IT, datanya kok dibawa oleh perusahaan IT tersebut. Harusnya data tetap ada di RS. Sedangkan RS saja tidak bisa bebas menggunakan data tersebut untuk kepentingan diluar pengobatan pasien. Kok malah datanya dikuasai orang luar. Kalau ditelusur, sepertinya masalahnya ada di kontrak kerjasama. RS jadi pihak yang lemah. Kalau ada bagian legal RS, hal-hal seperti ini bisa dihindari. Demikian juga dengan kerjasama-kerjasama dengan pihak lain (termasuk BPJS, asuransi swasta, dll).

dr. Widodo Wirawan

Saya pernah sebaliknya, mereka meninggalkan propertinya di RS, dicari-cari kontaknya ga konek, bingung, barangnya jadi dianggap hibah hehe..

dr. Ance Melinda Situmorang

Kecuali Kontrak BPJS, Dokter, itu sudah tidak bisa terbantahkan...kalau sudah fix ga bisa di koreksi 😁

Putu Eka Andayani

🙏🏼

Kalau dengan BPJS, sepertinya RS harus bersatu dalam asosiasi/perhimpunan ya…. karena proses negosiasi dengan BPJS tidak bisa per individual RS (demikian yang pernah saya dengar)

dr. Jon Calvin Frans Paat, M.Kes, MMR:

Memang berlaku demikian sejak 2014, posisi RS selalu di bawah, bargainig nyaris tidak ada karena konsep yang berlaku dibuat BPJS dengan standar nasional.

Pupung Ivan, SH

Kadang ga paham dengan Hukum Kesehatan, perihal Review PKS Asuransi, perusahaan, TPA tetap saya dulu Head Legal yang Review, Hospital bylaw banyak yang ga paham tetap legal dan manajamen, advocate banyak ke case ada laporan perihal karyawan dan sengketa industrial. Seharusnya advocate RS membuat konsep program traning kepada tenaga kesehatan, medis dan karyawan, perihal dampak yang akan terjadi apabila dari segi hukum perihal malpraktik, Fraud dan Alternatif sengketa penyelesain Industrial.

Putu Eka Andayani

Salah satu temuan utama kami selama di lapangan, ini karena RS tidak punya data. Atau punya data tapi tidak ter-manage dengan baik, sehingga tidak bisa men-support untuk decision making, advokasi, negosiasi, dll. BPJS punya database yang kuat, dan selalu pakai data yang ada di mereka untuk advokasi ke pemerintah.

dr. Pradono Handojo

Hukum ekonomi, Dok. Satu pembeli jasa (BPJS). Ribuan penjual (RS). Pasar monopsoni.

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

DI Webinar ini saya berusaha mengurangi efek negatif monopsoni ini dengan ideologi keadilan. BPJS harus menjadi pelaku untuk mendanai pelayanan kesehatan yang standar dan dasar untuk seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata. Sementara itu ada sumber dana lain yang bisa digalang....

Sundoyo, SH, MKM, M.Hum.

Peraturan internal (hospital bylaw) seringkali copy-paste dari RS lain (untuk memenuhi dokumen saat akreditasi 🙏)

Padahal Hospital byLaw (HBL) itu harus dibuat sesuai dengan budaya kerja dan kondisi RS. Akhirnya kalau ada masalah antara pemilik, direksi dan staf medik HBL tersebut tidak dapat dijadikan instrumen dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Maka tiap-tiap RS harus punya SDM yang mampu untuk membuat HBL dan Etik RS (dua hal ini sebagai kewajiban RS dari 20 kewajiban sesuai UU Kesehatan).

dr. Pradono Handojo

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Equity. Buat RS Swasta utamanya yang tidak dapat bantuan alat DIP/ DIPA, APBN atau APBB dan mengandalkan kehiduoannya hanya dari operasiona BPJS. Apalagi RS Swasta Nirlaba yg DNA nya adalah pelayanan bagi masyarakat bawah dhuafa.

dr. Jon Calvin Frans Paat, M.Kes, MMR:

Setuju. Sadar tidak sadar masih banyak dokumen copas bukan tailor made di RS sehingga parangkat aturan yang seharusnya melindungi malahan tidak berguna. Kontrak dokter – RS juga kadang tidak dibaca maka sering dilanggar.

Pupung Ivan, SH

Marketing-nya kudu jago, ga hanya ngandelin BPJS, bisa asuransi Swasta, MCU dan dari Perujuk Pelayanan kesehatan lain, inhouse klinik kerjasama dengan perusahaan.