IDENTIFIKASI PERSOALAN FILOSOFIS PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR (I), JUDUL - JUDUL TESIS (II) DAN DAN DRAFT PROPOSAL TESIS (III)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A
Oleh :
Wilis Putri Hapsari 19701251017 / S2 / A
PROGRAM STUDI S2 PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
III
DRAFT PROPOSAL TESIS
1. JUDUL
Berikut adalah judul proposal tesis yang direncanakan:
Pengembangan Instrumen Penilaian Sosial Emosional pada Budaya Kemataraman
Di Sekolah Dasar
2. LATAR BELAKANG
Penilaian merupakan kegiatan yang sangat penting di dalam proses pembelajaran.
Penilaian juga merupakan ujung tombak dari suatu kegiatan pencapaian taraf berhasil
tidaknya suatu pembelajaran. Berbeda halnya denganpenilaian terdahulu dengan
sekarang, bedanya penilaian yang dahulu hanya menekankan tagihan penguasaan
pengetahuan peserta didik sebagai hasilbelajar pada umunya dengan jalan tes tulis, akan
tetapi dalam penilaian autentik menuntut peserta didik untuk berunjuk kerja dalam situasi
yangkonkrit. Model dalam penilaian selalu berkembang dan disempurnakan seiring
dengan perkembangan dan perubahan kurikulum yang berlaku. Perubahan kurikulum
yang berlaku di Indonesia sudah terjadi sebanyak 9 kali yang dimulai dari tahun 1947
yang dikenal dengan “renjana pelajaran” hingga kurikulum 2013 dikenal dengan
kurikulum berkarakter.
Terdapat kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang lebih
banyak memiliki kesulitan emosional dari pada generasi sebelumnya sehingga
berdampak pada kemampuan sosialnya. Dengan demikian perlu ada upaya peningkatan
kecerdasan emosional yaitu usaha-usaha yang diarahkan pada pengembangan dan
peningkatan kecerdasan emosional berupa usaha-usaha yang di arahkan pada
pengembangan dan peningkatan kualitas emosional anak sehingga mampu mengenali
perasaan diri sendiri, perasaan orang lain, mampu memotivasi diri sendiri serta mampu
mengelola emosi dan prilaku sosial menjadi lebih baik.
Hubungan persahabatan diantara anak juga menyebabkan kecenderungan di antara
anak-anak untuk membentuk kelompok-kelompok tertentu yangsesuai dengan
kenyamanan anak, pembentukan kelompok ini tidakselamanya menimbulkan dampak
positif bagi perkembangan seseorang,tetapi sebagian besar adanya kelompok-kelompok
tertentu itumengakibatkan dampak negatif bagi seseorang. Contohnya kelompok tertentu
mengucilkan bahkan sampai membuli anak yang mereka anggap berbeda.
Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang sangatlah relevan untuk
mengatasi krisis moral yang sedang terjadi dinegara kita. Saatini terjadi krisis yang nyata
dan mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan anak-anak. Dengan akibat
yang ditimbulkan cukup serius dantidak dapat dianggap sebagai suatu persoalan
sederhana karena tindakan-tindakan tersebut dapat menjurus kepada tindakan kriminal.
Kondisi krisis dan dekadensi moral ini menandakan bahwa seluruh pengetahuan
agama dan moral yang didapat dibangku sekolah ternyata tidak berdampak terhadap
perubahan perilaku manusia Indonesia. Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya
manusia Indonesia yang tidak konsisten, lain yang dibicarakan dan lain pula tindakannya.
Banyak orang berpendapat bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang
dihasilkan oleh dunia pendidikan. Proses pembelajaran cenderung mengajarkan
pendidikan moraldan budi pekerti sebatas teks dan kurang mempersiapkan siswa
untukmenyikapi dan menghadapi kehidupan kontradiktif.
Sejauh ini kekhawatiran terbesar ialah tindakan kekerasan yang dilakukan anak-
anak muda, serta sikap kasar anak-anak yang lebih kecil ; mereka sering kurang hormat
terhadap orang tua, guru, dan sosok-sosok lainyang berwenang, emosi karakter dan
perilaku yang tidak terpuji yang menerpa siswa sebagaimana tersebut di atas merupakan
gejala umum yangberlaku dimana-mana termasuk diindonesia.
Diakui, persoalan karakter atau moral memang tidak sepenuhnya terabaikan oleh
lembaga pendidikan, akan tetapi dengan fakta-fakta seputar kemerosotan karakter pada
sekitar kita menunjukkan bahwa ada kegagalan pada institusi pada pendidikan kita dalam
menumbuhkan manusia yang berkatakter atau berahlak mulia.
Upaya pembentukan karakter memiliki makna lebih tinggi dari pembentukan
moral, karena pembentukan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah,
tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam
kehidupan, sehingga anak atau peserta didikmemiliki kesadaran dan pemahaman yang
tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karakter merupakan sifat alami
seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang diwujudkan melalui tindakan
nyata melalui perilaku baik, jujur, bertanggung jawab, hormat terhadap oranglain, dan
nilai-nilai karakter lainnya.
Perkembangan sosial-emosional siswa usia dasar yang dilakukan dalam
penelitianini melalui tahap analisis. Perkembangan sosial-emosional merupakan dua
perkembangan yang tidak dapat dipisah kansatu sama lain, karena keduanya salingb
erhubungan. Ketika peserta didik siswa usiadasar mempunyai perkembangan sosial
emosionalyang baik maka siswa tersebutakan mudah bergaul dan berinteraksi secarabaik
kepada semua orang maupun lingkungan belajar dan aktivitas lingkungan sosial.
Dalam perkembangan dunia pendidikan sosial-emosional menempati kedudukan
yang sangat penting selain perkembanaga nkognitif siswa. Karena perkembagan sosial
emosional siswa sangat berpengaruh dilingkungan sekolah maupun lingkungan
masyarakat. Perkembangan sosial-emosional siswa usia Dasar sangat berpengaruh
terhadap perilaku, pengendalian, penyesuaian dan dengan aturan-aturan. Ketika siswa
mampu mengkondisikan diri dengan lingkungannya maka fungsi sosialemosionalny
aakan semakin baik. Perkembangan sosial-emosional siswa dipengaruhi oleh yaitu faktor
lingkungan sosial dan lingkungan keluarga.
Dalam tahap perkembangan sosial emosional tidak semua siswa dapat melewati
perkembangan secara baik, disisi lain siswa mengalami suatu permasalahan
untukmengembangkan sosial-emosional karenaada pengaruh negatif dari lingkungan
sosialdan keluarga yang kurang mendukung. Oleh sebab itu peran orang tua dan guru
sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial emosi siswa usia dasar dengan cara
memberi bimbingan dan pengarahan terhadap perkembangan sosial-emosional siswa
usia dasar agar tercapainya perkembangan sosiale mosional yang diharapkan.
Perkembangan sosial adalah pencapaian kematangan dalam hubungan sosial dan proses
belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok tradisi dan moral.
Perkembangan sosial pada anak-anak Sekolah Dasar ditandai dengan adanya perluasan
hubungan di dalam proses pembelajaran dikelas maupun saat bermaindi luar kelas,
disamping dengan keluarga juga dia mulai membentuk ikatan baru dengan teman sebaya
(peer group) atau teman sekelas, sehingga ruang gerak hubungan sosialnya telah
bertambah luas. Oleh sebab itu perkembangan sosial emosional di dalam proses
pembelajaran maupun saat bermain siswa harus memiliki kesadaran untuk
mengembangkan prilaku.
Pemerintah kabupaten Kulon Progo mulai awal Januari 2018 sudah melaksanakan
penguatan pendidikan karakter berbasis kemataraman sebagai implementasi Peraturan
Daerah No. 18/2015 tentang Pendidikan Berkarakter. Selain memberikan materi iptek,
melalui pendidikan berkarakter tersebut sekolah juga akan membekali siswa berbagai hal
mengenai etika dan budi pekerti. Termasuk tentang sikap di sekolah. Sikap ketika mulai
masuk sekolahan berdoa menghormat bendera dan sebagainya, hingga bagaimana ketika
pulang sekolah. Penyusunan modul Mataraman, harus dilakukan dengan hati-hati.
Karena ilmunya sudah lama tentu saja dan harus aplikatif pada zaman ini Prosedur tetap
mengembangkan karakter peserta didik diberikan juga mengenai bagaimana bergaul
dengan teman lebih tua ataupun yang lebih muda. Dengan karyawan sekolah dan ketika
bergaul di tengah masyarakat. Untuk supaya siswa lebih mudah memahaminya maka
akan dibuat rekaman video atau film.
Kepala Disdikpora Kulonprogo, Sumarsana menyatakan, pendidikan karakter
kemataraman diangkat sebagai upaya penanaman kesadaran dan kepedulian untuk
berpartisipasi aktif melestarikan budaya Jawa sejak dini. Kemataraman diharapkan
menyuburkan kembali berbagai bentuk kehidupan yang memiliki nilai filosofi tinggi.
Beberapa materi yang akan disampaikan antara lain terkait bahasa dan sastra Jawa, tata
krama, kesenian tradisional, dan berbagai adat istiadat dalam kebudayaan Jawa.
Berdasarkan fenomena tersebut, pendidikan sosal emosional siswa secara implisit
terdapat dalam penerapan budaya kemataraman sebagai bagian dari penguatan
pendidikan karakter. Oleh karena itu penulis berkmaksud untuk membuat instrumen
penilaian sosial emosional siswa dalam penerapan budaya kemataraman sebagai bagian
dari penguatan pendidikan karakter. Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar wilayah
kabupaten Kulon Progo yang mempunyai landasan hukum pelaksanaan pendidikan
kemataraman pada semua jenjang sekolah termasuk pada tingkat Sekolah Dasar.
3. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah pada penelitian yang akan dilakukan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kajian teoritis konstruk sosial emosional pada siswa Sekolah Dasar?
2. Bagaimanakah instrumen penilaian sosial emosional pada penerapan pendidikan
kemataraman di Sekolah Dasar berdasarkan konstruk teoritisnya?
3. Bagaimana karakteristik instrumen penilaian sosial emosional pada siswa Sekolah
Dasar yang akan dikembangkan?
4. LANDASAN TEORI
a. Perkembangan Sosial Emosional Anak Sekolah Dasar
Pada dasarnya manusia tidak mampu hidup seorang diri tanpa bantuan yang
lain. Sejalan dengan bertambahnya umur manusia akan mengenal lingkungan yang
heterogen dan kompleks yang akan di bawa ke arah kehidupan bersama,
bermasyarakat atau kehidupan sosial. Dalam perkembangannya setiap oranng
akhirnya mengetahui bahwa manusia saling membantu dan di bantu, memberi dan
diberi. Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan
sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap
norma-norma kelompok, moral dan tradisi: meleburkan diri menjadi suatu kesatuan
dan saling berkomunikasi dan bekerja sama.
Selama masa kanak-kanak menengah dan akhir, kehidupan sosial dan
emosional anak-anak mengalami banyak perubahan. Mereka mengalami transformasi
dalam berelasi dengan orangtua dan kawan-kawan sebaya, dan sekolah juga
memperkaya kehidupan akademik mereka, di samping itu mereka juga mengalami
perkembangan yang penting dalam bidang konsepsi diri, penalaran moral, dan
perilaku moral. Berdasarkan orientasi tugas mereka yang utama untuk dapat bekerja
dan berinteraksi secara efektif dengan teman sebayanya, karena siswa yang gagal
dalam membangun hubungan yang positif dengan temannya yang disebabkan
penilaian diri dan pencapaian yang kurang di sekolah. Sehingga dimungkinkan
mereka akan menghadapi masalah di masa depannya. Disinilah peran guru dan
orangtua untuk mengontrol perkembangan pribadi dan ketrampilan sosialnya dalam
rentang usia lima sampai delapan tahun. Menurut penelitian menyatakan bahwa
campur tangan orangtua dapat membantu secara efektif perkembangan anak dalam
keberhasilan hubungan sosial dengan teman sebayanya (Asher & Williams, 1987,
dalam Sue C. Wortham: 320).
Menurut Erikson dalam John. W Santrock (2012: 359), anak-anak berada di
tahap inisiatif versus rasa bersalah. Orangtua tetap berperan penting dalam
perkembangan mereka dan gaya pengasuhan yanng otoritatif cenderung memberikan
hasil positif bagi anak-anak. Di masa kanak-kanak awal, relasi dengan kawan-kawan
sebaya mengambil peran signifikan sejalan dengan meluasnya dunia sosial anak-anak.
Bermain menjadi aspek spesial dalam kehidupan anak-anak dan sebagai konteks yang
penting bagi perkembangan kognitif dan sosio emosi. Semakin meningkat
pengalaman bersosial seorang anak, maka mereka juga akan menyadari pentingnya
mengendalikan dan menngelola emosi mereka agar sesuai dengan standar sosial.
Konstruksi sosial emosional juga memiliki empat konstruk yang dijelaskan
sebagai berikut:
1) Growth Mindset: Keyakinan bahwa kemampuan seseorang dapat tumbuh dengan
usaha. Siswa dengan mindset berkembang melihat upaya diperlukan untuk
kesuksesan, merangkul tantangan, belajar dari kritik dan bertahan dalam
menghadapi kemunduran
2) Self Efficacy: Kepercayaan pada kemampuan sendiri untuk berhasil dalam
mencapai hasil atau mencapai tujuan. Self-efficacy mencerminkan kepercayaan
diri dalam kemampuan untuk melakukan kontrol atas motivasi, perilaku, dan
lingkungan seseorang
3) Self Management: Kemampuan untuk mengatur emosi, pikiran, dan perilaku
seseorang secara efektif dalam situasi yang berbeda. Ini termasuk mengelola stres,
menunda kepuasan, memotivasi diri sendiri dan pengaturan dan bekerja menuju
tujuan pribadi dan akademis
4) Self Awareness: Kemampuan untuk mengambil perspektif dan berempati dengan
orang lain dari berbagai latar belakang dan budaya, untuk memahami norma-norma
sosial dan etika untuk perilaku, dan untuk mengenali keluarga, sekolah dan sumber
daya masyarakat dan dukungan
b. Pendidikan Karakter
Pendidikan merupakan upaya untuk membangun generasi penerus yang
lebih baik. Hasil pendidikan baru dapat diketahui dalam waktu yang panjang,
oleh karena itu pendidikan karakter harus dimulai dari sekarang. Pendidikan
karakter menumbuhkan peserta didik agar berakhlak mulia dan berprestasi secara
akademis maupun non akademis. Penumbuhan karakter berfungsi membentuk
peserta didik yang dapat berperan dalam mewujudkan masyarakat yang tertib
aman dan sejahtera.
Permasalahan budaya dan karakter bangsa menjadi tanggung jawab semua
komponen masyarakat. Pendidikan karakter di lingkungan satuan pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama antara kepala sekolah, guru, tenaga
kependidikan, orang tua dan masyarakat. Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (undang-undang sisdiknas, 2003 : 12).
Dalam pendidikan karakter Muslich Masnur (2011:75) Lickona (1992)
menekan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good
character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral. Moral feeling atau
perasaan tentang moral dan moral acgon atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan
agar anak mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai
kebijakan. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yaitu yang
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive) perasaan (feeling) dan tindakan (action).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan kesadaran atau kemauan dan
tindakan untuk melaksanakan nilai- nilai tersebut baik terhadap Tuhan YME, diri
sendiri, lingkungan, maupun kebangsaan.
Pendidikan karakter pada satuan pendidikan mengembangkan 20 (dua puluh)
nilai yang bersumber dari agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional
yang meliputi:
1) Religius
2) Jujur
3) Toleransi
4) Disiplin
5) Kerja keras
6) Kreatif
7) Mandiri
8) Demokratis
9) Rasa ingin tahu
10) Semangat kebangsaan
11) Cinta tanah air
12) Menghargai prestasi
13) Bersahabat/komunikatif
14) Cinta damai
15) Gemar membaca
16) Peduli lingkungan
17) Peduli sosial
18) Tanggung jawab
19) Gotong royong
20) Hormat, dan
21) Berbakti pada orang tua dan guru.
c. Budaya Kemataraman sebagai Basis Penguatan Pendidikan Karakter
Berikut ini adalah hal-hal yang tertuang dalam buku pedoman pengamalan penguatan
pendidikan karakter yang terdapat pada buku pedoman yang diterbitkan oleh Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kulon Progo
1) Membaca dan Menulis Aksara Jawa
a) Aksara Nglegena
b) Sandhangan
c) Pasangan
d) Tembung Prasaja
2) Bahasa dan Sastra Jawa
a) Geguritan
b) Unggah-ungguh Basa
c) Sesorah
d) Tembang Macapat
e) Tembang Dolanan
3) Adat Istiadat Jawa
a) Dolanan Tradisional Jawa
b) Bangunan/cakrik Rumah Adat Jawa
c) Busana Adat Jawa (Mataram)
d) Makanan Tradisional Jawa
e) Minuman Tradisional Jawa
f) Pertanian Tradisional
g) Jamu Tradisional
h) Bumbu Tradisional
i) Bunga Tradisional
j) Gotong Royong
4) Kesenian Jawa
a) Tari Klasik
b) Kethoprak Prasaja
c) Wayang
5. METODOLOGI
A. Model Pengembangan
Penelitian atau tesis yang akan dilakukan menggunakan model pengembangan. Model
pengembangan penelitian yang akan dilakukan mengacu pada pendapat Thiagarajan,
Semmel, dan Semmel (1974) yang sering digunakan pada pengembangan model
pembelajaran, namun juga kompatibel digunakan pada model pengembangan instrumen.
Model pengembangan tersebut terdiri dari empat tahapan yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Tahap Penentuan
Pada tahapan ini dilakukan lima prosedur untuk menentukan arah peneletian
sebagai berikut ini:
a. Peneliti menelaah kajian dari berbagai sumber (front-end analysis). Peneliti
menentukan bahwa akan melakukan penelitian terhadap siswa sekolah dasar
yang berada pada masa pembentukan karakter. Siswa sekolah dasar tersebut
memiliki potensi yang masih akan berkembang terutama pada bidang sosial
emosional.
b. Peneliti menelaah terhadap subyek penelitian, dalam hal ini adalah siswa
sekolah dasar (learner analysis). Pada tahap ini peneliti menyimpulkan bahwa
siswa sekolah dasar mengalami kesulitan dalam melakukan interaksi sosial yang
melibatkan kecerdasan emosionalnya yang berada pada dimensi kecerdasan
budaya (intervensi keterampilan sosial).
c. Peneliti melakukan kajian dari berbagai literatur untuk mengetahui konsep-
konsep dasar mengenai sosial emosional siswa sekolah dasar dan pendidikan
karakter berbasis budaya kemataraman (concept analysis).
d. Peneliti juga mengkaji berbagai literatur mengenai metodologi pengembangan
instrumen (task analysis).
e. Peneliti menentukan tujuan pengembangan (specification of objectives) dari
pengembangan yang akan dilakukan.
Berikut adalah bagan model tahapan pertama:
Gambar 1. Tahapan Penentuan
2. Tahap Perancangan
Tahap perencanaan dilakukan sebagai berikut:
a. Peneliti menetapkan kriteria pengkonstruksian instrumen, terutama yang terkait
dengan konsep sosial emosional siswa sekolah dasar (criterion-instrumen
sonstruction)
b. Peneliti menetapkan untuk menggunakan media yang berupa kertas dan pena
karena cocok untuk karakteristik siswa di sekolah dasar (media selection)
c. Peneliti memilih untuk menggunakan bentuk instrumen lembar penilaian
dengan skala empat (format selection)
d. Selanjutnya peneliti menyusun kisi-kisi, menyusun butir instrumen, petunjuk
pemberian respon, pedoman penskoranm serta format penilaian (initial design)
Task Analysis
Specification of Objectives
Front-End Analysis
Learner Analysis
Concept Analysis
Gambar 2. Tahapan Perancangan
3. Tahap Pengembangan
Tahap perencanaan dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
a. Peneliti mencari ahli untuk melakukan penelaahan terhadap instru,em yang
disusun (expert appraisal)
b. Setelah ditelaah oleh ahli, peneliti akan menentukan untuk mengubah
instrumen atau tidak (instrumen development).
Gambar 3. Tahapan Pengembangan
4. Tahap Diseminasi
Tahap diseminasi terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut:
Learner
Criterion Test
Criterion Test
Initial Design
Format
Media
Developmental
Initial
Specification of Objectives
Expert
a. Peneliti melakukan uji coba instrumen dengan menganalisis hasilnya serta
memmilih butir yang memenuhi persyaratan (try-out/ validation instrument)
b. Peneliti melengkapi instrumen sebagai hasil langkah sebelumnya dengan
petunjuk umum bagi responden, instrumen, pedoman penskoran dan
pengklasifikasioannya (packaging).
c. Peneliti melakukan kegiatan seminar untuk mendapatkan masukan perbaikan
instrumen atau mengujicobakannya pada sekolah, lembaga, atau pihak
perseorangan (diffusion and adoption).
Gambar 4. Tahap Diseminasi
B. Prosedur Pengembangan
Prosedur pengembangan instrumen penelitian dilakukan melalui langkah-langkah yang
terdiri atas: 1) menentukan spesifikasi instrumen, 2) menulis instrumen, 3) menentukan
skala instrumen, 4) menentukan sistem penskoran, 5) menelaah instrumen, 6)
melakukan uji coba, 7) menganalisis instrumen, 8) merakit instrumen, 9) melaksanakan
pengukuran, dan 10) menafsirkanhasil pengukuran.
Diffusion and Adoption
Developmental
Validation
Packaging
1. Tahap Analisis Awal
Tahap analisis awal adalah menyusun spesifikasi instrumen yang terdiri dari
empat hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut: 1) menentukan tujuan
pengukuran, 2) menyusun kisi-kisi instrumen, 3) memilih bentuk dan format
instrumen, dan 4) menentukan panjang instrumen Djemari (2008).
2. Tahap Pengembangan
Telaah pertama harus dilakukan oleh penulis sendiri, setelah dilakukan review
yang kredibel maka akan ditentukan keputusan perubahan pada indikator. Penulis
perlu memperhatikan pilihan kata dan kajian literatur agar instrumen yang dibuat
dapat dipakai untuk menjelaskan setiap indikator.
3. Tahap Pengukuran
Menghitung kesepakatan antar penilai dilakukan dengan kesepakatan antar
penilai atau korelasi interklas. Nilai kesepakatan interater dapat dicari dengan
bantuan software SPSS, eduG ataupun manual.
C. Desain Uji Coba Instrumen
Desain uji coba produk atau validasi produk dijelaskan melalui uraian berikut ini:
1. Desain Uji Coba
Uji coba instrumen akan dilakukan di sebagian sekolah dasar yang berada di
kecamatan Galur, Kulon Progo. Uji coba tersebut akan melibatkan 3 dari 5
gugus sekolah dasar yang tersebar di wilayah kecamatan Kulon Progo.
Responden uji coba akan mendapatkan pengarahan cara pengisian instrumen
terlebih dahulu sebelum melakukan pengisian instrumen.
2. Subjek Uji Coba
Subyek uji coba pada penelitian ini adalah 100 orang siswa kelas V sekolah
dasar yang berada di gugus I, II, dan III kecamatan Galur. Subyek uji coba
memilih siswa kelas V sebagai kelas atas yang sudah memiliki masa pembelajar
sekolah dasar selama kurang lebih lima tahun, dan selama itu juga telah
melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya, guru, ataupun orang lain
di lingkup sekolah dasar. Kecamatan Galur dipilih karena masuk pada wilayah
kapubaten Kulon Progo yang wajib dalam menerapkan ekstrakulikuler budaya
kemataraman di tingkat sekolah dasar dengan silabus yang telah disusun.
3. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara
yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif digunakan untuk
mengembangkan konstruk instrumen yang diperoleh melalui diskusi dengan
pakar evaluasi, pakar pendidikan, dan praktisi lapangan. Data kuantitatif
digunakan untuk memperoleh koefisien keandalan instrumen yang diperoleh
melalui uji coba empirik. Jika dilihat dari jenjang pengukurannya maka data
yang diperoleh dapat dikelompokan dengan jenis sebagai berikut:
1) Data hasil telaah setiap butir yang ditentukan valid dan tidak valid.
2) Data jenis kelamin (pria-wanita) yang merupakan data kategorik
nominal karena hanya memiliki sifat identitas.
3) Data hasil pengamatan para rater.
b. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data yang digunakan beruka instrumen penilaian
sosial emosional pada praktik ekstrakulikuler budaya kemataraman di
sekolah dasar yang didapatkan dari hasil pengamatan guru, isian siswa, dan
juga instrumen hasil telaahan pada ahli.
4. Teknik Analisis Data
Pengujian konstruk instrumen melibatkan para pakar bidang sekolah
dasar, bidang penilaian pendidikan, dan praktisi lapangan. Pengujian tersebut
dilakukan dengan instrumen uji validitas dan diskusi. Analisis yang digunakan
untuk mencari koefisien CVR adalah rumus gregory. Selain menghitung CVR
dengan formula Gregory juga dilakukan penghitungan validitas dengan rumus
Aiken yang akan melibatkan lima sampai sepuluh pakar. Penentuan koefisien
keandalah instrumen akan dilakukan menggunakan bantuan program eduG
yang merupakan pengembangan Genova berdasarkan teori generalizeability
yang dikembangkan oleh Crick dan Brennan pada tahun 1983. Setelah itu untuk
melihat keterwakilan konstruk indikator dilakukan analisis faktor konfirmatori
dengan bantuan program Lisrel.
DAFTAR PUSTAKA
NB : Sumber pada identifikasi permasalahan pembelajaran di sekolah dasar dikutip dari berbagai sumber baik media online (media arus deras seperti kompas, tempo, dll) dan media cetak (buku dan jurnal tercetak) namun tidak semua mampu didokumentasikan.
Allbright, Taylor, et.al. 2019. Social-Emotional Learning Practices: Insight from Outlier
School. Journal of Research in Innovative Teaching & Learning. Emerlarg Insight.
Vol 12 No 1 Page 35-52
Anderson, Neil J. (2002) “The Role Of Metacognition in Second Language Teaching and
Learning”. Digest April 2002. Tersedia pada: http://www.cal.org/ericcll /digest.
Arifin, Z. 2012. Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Blakey, Elaine dan Spence, Sheila. (2008) “Developing Metacognition” Tersedia pada :
http://www.education.com/parter/articles
Budyarta, Sri. 2019. Pengembanga Instrumen Keterampilan Sosial untuk Pendidikan Anak
Usia Dini. Desertasi Universitas Negeri Yogyakarta.
Desmita. 2013. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Haditono, S. R. 2006. Psikologi Perkembanag Pengantar dalam Berbagai Bagiannya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Halida, A. d. 2017. Peran Guru Dalam Mengembangkan Sosial Emosional di Kelas B3 TK
Gembala Baik Kota Pontianak.
Latifa, U. 2017. Aspek Perkembangan Pada Anak Sekolah Dasar Masalah dan Perkembangan.
Jurnal of Multidisciplinary Studies. Vol.1 No.2. hlm 189.
Lee, Moosung., Louis, Karen, & Anderson, Stephen. 2012. Local Education Authorities and
Student Learning The Effects of Policies and Practices. Journal of Research, Policy
and Practice. Taylor and Francis Group.Vol 23 No 2 Page 133-158
Livingstone, Jennifer A. (1997) “Metacognition: An Overview” Tersedia pada: http:
//http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/CEP564/Metacog.html.)
Mardapi, Djemari. 2014. Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi Pendidikan. Parama Publisher:
Yogyakarta.
Matlin, Margaret W. (1998) Cognition. Philadelphia: Harcourt Brace College Publisher.
Morcom, Veronica. 2014. Scaffolding Social and Emotional Learning in an Elementary
Classroom Community: A Sociocultural Perspective. International Journal of
Education Research. Elsevier. Vol 67 No 2 Page 18-29.
Mulbar, Usman. (2008) “Metakognisi Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah
Matematika”.Tersedia pada: http//www.usmanmulbar.files. wordpress. com.
Nur, Mohamad, Prima Retno Wikandri, dan Bambang Sugiarto. (1999) Teori Belajar.
Surabaya: University Press Universitas Negeri Surabaya.
OLRC News. (2004) “Metacognition” Tersedia pada: http://www.literacy. kent.edu/
ohioeff/resource.doc.
Papaleontiou-Louca, Eleonora. (2008) Metacognition and Theory of Mind. Newcaltles:
Cambridge Scholars Publishing.
Retnawati, Heri 2015. Validitas dan Reliabilitas Butir. Parama Publisher: Yogyakarta
Santrock, John. W., 2012. Live Span Development. Jakarta: PT Erlangga
Shapiro, Lawrence E., 1998. Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Slavin, Robert E., 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Indeks
Soetjiningsih, C. H. 2012. Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai dengan Kanak-
kanak Akhir. Jakarta: Prenadamedia Group.
Triyono, dkk. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang
Yusuf, Syamsu & Nani M. Sugandhi. 2013. Perkembangan Peserta Didik. Depok: PT Raja
Grafindo Persada
Zainal. 2014. Model-model, Media, dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif).
Bandung: Yrama Widya;