Q & A – Topik Pengalaman Implementasi HCMS

Webinar Serial

Hospital Cost Management System untuk Implementasi Renstra Rumah Sakit

Asro Abdih: Selamat sore.. Izin urun rembuk Pak Johny, Prof Laksono, dan rekan semuanya..

Saya M. Asro Abdih, Urolog di RS Muhammadiyah Lamongan yg kebetulan 'pada awalnya' dan sd sekarang 'dipaksa' menjadi Direktur Medis

  1. Pengalaman kami di RSM Lamongan, adalah betul apa yg disampaikan Pak Johny, bahwasanya SELURUH unit cost untuk setiap tindakan atau diagnosis WAJIB dihitung secara PRESISI, dengan memenuhi kaidah-kaidah akuntansi. Nominal yg dipakai adalah nominal standar (harga dasar atau harga beli, alias TIDAK BOLEH ada margin dulu di situ). Yg 'diamankan' alias dihitung terlebih dulu adalah Direct Cost (DC), berupa komponen BHP dan komponen SDM (kami memakai maksimal 25 % dari plafond adalah bagian untuk SDM/PPA/Profesional Pemberi Asuhan).
  2. Setelahnya baru dihitung Indirect Cost (IC). Perhitungan IC sedikit rumit karena SEMUA sumberdaya yg ada dan dipakai untuk SATU tindakan tsb harus betul-betul dihitung. Kami dalam hal ini mendapatkan bimbingan dari Pak Johny. Kami bersyukur bahwa sistem informasi manajemen RS yg telah ada cukup bisa membantu (misalnya, bagian logistik umum dan logistik farmasi sudah bisa provide di program, berapa harga beli satu butir Paracetamol dan berapa unit cost pemakaian Optic 30 dan Endocamera system untuk setiap pasien yg menjalani operasi TURP misalnya). Kami akui, ada beberapa informasi yg TIDAK tersajikan di program tsb sehingga perhitungan unit cost untuk beberapa tindakan/diagnosis tertentu tidak/belum begitu presisi
  3. Hasil perhitungan tsb dibandingkan secara head to head dg plafond atau grouping tarif INA-CBG. Kami standarkan semua perhitungan tsb dengan memakai standar grouping kelas 3.
  4. Hasil head to head tsb menghasilkan:

a. Surplus

b. Impas

c. Minus

  1. Surplus itulah margin kami
  2. Bila impas, tetap kami kerjakan karena secara akuntansi wajib dilakukan untuk menutupi overhead costs
  3. Bila minus, kami analisis : apakah tindakan tsb bersifat life saving atau bisa ditunda. Bila life saving, kerjakan tanpa batasan ! Bila bisa ditunda alias elektif, kami terapkan kuotasi. Misalnya, 6 tindakan per tahun
  4. Dari situlah, asal semua stakeholder di internal kami bisa disiplin dg unit cost yg telah kami susun, kami bisa melihat, tindakan mana yg surplus dan yg tidak. Tugas saya setiap hari Senin dan Kamis pada forum morning report, kami rutin evaluasi UCS thd semua pasien yg sedang dirawat, tentunya untuk tindakan atau diagnosis yg sudah kami susun UCS-nya. Kami terus berproses untuk yg belum kami susun
  5. Sedikit Bonek dan Bengok2 adalah jamu tradisional kuat yg kadangkala diperlukan
  6. Rela berkorban dan tabah (Dasa Darma Pramuka). Bayangkan saja, saya melakukan sesuatu yg berefek pada penurunan jasa operator alias buat saya sendiri lebih dari 60 % untuk satu tindakan tertentu di kamar operasi.. Jadi, TIDAK-lah cukup untuk menerapkan tarif yg ada di RS kepada pasien BPJS, lantas komponen operator atau SDM dipotong sekian,  sekian, dan sekian. Tidak bisa seperti itu

Johny Setyawan:Beliau ini termasuk klinisi tulen yang saya "paksa" belajar manajemen di kandangnya karena body of knowledge manajemen ada secara full-fledged di FEB bukan di FK. Semoga senantiasa amanah.

Asro Abdih: Alhamdulillah, puji syukur, dalam satu tahun penerapan UCS di 69 tindakan frekuent yg sudah tersusun UCS-nya di kamar operasi, kami bisa menghemat 1.2 Milyar. Pengalaman kami Pak Johny, menghitung Indirect Cost adalah tantangan tersendiri. Great challenging  Rupanya tidak bisa seragam, bahkan untuk yg satu disiplin ilmu/bidang sekalipun

Yuliati Permatasari: Mohon sharing menghemat 1.2 M ini, contoh kasusnya gimana ya pak.

Asro Abdih: 

  1. Tetapkan seluruh tindakan di kamar operasi yang frekuent (kami definisikan > 5 kali per bulan)
  2. Tentukan tarif grouping INA-CBG setiap tindakan tsb dg standard kelas 3
  3. Hitung dan jumlahkan semua DC dan IC untuk setiap tindakan tsb. DC terdiri atas BHP dan Biaya SDM. Proporsi komponen biaya SDM {di dalamnya ada jasa operator/dr bedah, jasa asisten bedah, jasa anestesi (SpAn dan penata), jasa seluruh PPA di CPPT selama perawatan yg sudah ditentukan LOS-nya)} TIDAK boleh lebih dari 25 % dari plafond grouping INA-CBG.
  4. Bandingkan hasil perhitungan tsb dg grouping INA-CBG, didapatkan 3 kategori : surplus, impas, minus.

Asro Abdih: Nah, 1.2 M itu diperoleh dari selisih antara jasa SDM sebelum dilakukan penerapan UCS (yg berarti memakai tarif existing alias tarif yg ada di RS selama ini) dan setelah diberlakukannya UCS. Saya kira mayoritas tarif existing yg berlaku dan diterapkan di RS selama ini, jauh lebih besar daripada tarif grouping INA-CBG. Sudah begitu, proporsi biaya SDM-nya juga amat mendominasi

Doddy Irawan: Biasa nya Tarif RS, belum berdasarkan Unit Cost ideal, cuma "teka,-teki" (tengok kanan - tengok kiri)...🤭🙂

Asro Abdih: Sehingga ketika tarif existing RS diterapkan pada pasien BPJS, proporsi plafond INA-CBG tersedot ke komponen biaya SDM ini

Raymond: Direct cost, Indirect cost, Unit cost, Hidden cost, Semua istilah yang harus didefinisikan dulu.

Johny Setyawan: Iya pak Raymond. Kita bisa mendefinisikan cost objective yang lainnya untuk aplikasi HCMS di level intermediate dan advanced.

Selama ini pembahasan kita di grup masih berkenaan dengan cost objective berupa Product, shg diskusi kita masih berkenaan dengan product costing.

Cost objective = Tujuan dari pengumpulan data dan informasi biaya.

Cost objective yang lazim digunakan antara lain produk, departemen/unit, customer/market segment, reporting period, dst.

Di akt mjmn dikenal principle "different cost classification for different purposes" shg menjadikan akuntan manajemen bisa berlaku fleksibel dalam menyajikan biaya untuk men-support manajemen dalam membuat rational decision. Di sisi lain bikin pusing para personel non akuntansi memahami prinsip ini. Oleh karenanya akuntan manajemen yang baik harus suka berbagi ilmu dan informasi pada rekan se tim dalam proses rational decision making dan kegairahan mengabdi pada manajemen agar pengelolaan RS berpijak pada kejujuran, kenyataan, dan tidak misleading.

Asro Abdih: Setuju Pak.. karena itulah Pak Johny 'berteriak' ke seluruh Indonesia untuk menyadarkan kita akan pentingnya HCMS.

Johny Setyawan: Begitulah suatu contoh nyata kalau Direktur Medis RS Berpengetahuan, Bersemangat, Berani, dan Bertindak.

Sisil: untuk RS baru dalam menentukn biaya sdm nya bagaimana yaa pak, krn slama ini biasa nya tawar menawar dgn opertor nya.

Rahma Devi: Setuju Bapak Ibuk saya, dari RSUP Dr M Djamil belajar banyak dari Pak Jony bagaimana menghitung unit cost yang baik dan sesuai dengan kebutuhan RS, dan yang menjadi catatan semua unit harus memberikan kontribusi dan saling membuka diri sehingga tidak ada Ego  sektoral, Dan peran pimpinan yang betul2 mengerti manajamen sangat diharapkan

Dr Pujianto: mohon izin, berarti angka ini adalah angka di atas kertas njih... apakah ada contoh langkah riil untuk memanfaatkan data unit cost (UCS?) sehingga bisa terjadi surplus di semua kasus BPJS? Terima kasih.

Asro Abdih: Ini angka rill Pak. Pengurangan beban SDM.

Contoh,  Operasi TURP (Reseksi Prostate Transurethra), kelas 3. Frekuensi setiap bulan rata2 : 20

Sebelum penerapan UCS alias memakai tarif existing di RS sbb Beban jasa operator (SpU) : 2.4 juta. Perbulan total 48 juta Setelah penerapan UCS alias proporsional sesuai tarif grouping INA-CBG:

Beban jasa operator (SpU) : 1.1 juta. Perbulan total 22 juta

Jadi, ada selisih 48-22 = 26 juta

Dr Pujianto: berarti mengurangi jasa medik pak?... Risiko ribut dengan DPJP ya…?

Asro Abdih: Itu hanya dari satu subkomponen saja. Sejawat para DPJP tentu butuh informasi yang transparan atas pemanfaatan porsi biaya lainnya dikemanakan. Karenanya, rincian komponen Unit Cost harus bisa diakses oleh semuanya. harus dijelaskan. Harus berani. Makanya saya bilang, Bonek dan Bengok2, Berani Berkorban

Dr Pujianto: Maaf, menurut hemat saya, cara mengurangi jasmed adalah yg paling mudah tapi menimbulkan medan perang yg membuat tidak nyaman semua ya..

Asro Abdih: Tidak selalu Pak.. Asalkan dari awal diajak komunikasi, pendekatan personal. Diajak nyusun bareng. Dikemukakan alasan : Iki lho, BPJS bayar kita 7 juta, mosok buat kamu saja 4 juta. 50 % tersedot ke kamu saja. Risiko minggat juga tetap dihitung

Asro Abdih: Dan.. itu untuk contoh kasus yg turun. Ada banyak kasus lain yg rupanya tarif existing di RS kita lebih rendah lho Pak.. Susun dulu komponen unit cost semuanya. Semuanya. Perlihatkan dan ajak DPJP bahas. Gak ada waktu? Datangi rumahnya! Gak bisa? Ikut rekreasi sama dia. Bicarakan di pantai. Perlihatkan ke dia

Dr Pujianto: Unit Cost memang kita sangat perlu tahu untuk strategi pentarifan tetapi strategi untuk surplus dalam pengelolaan BPJS sangat banyak dan salah satu yang menjadikan win-win solution untuk semua pihak (bukan win lose) yang kami terapkan adalah apa yang kami namakan program insentif dan disinsentif dalam pengelolaan pasien JKN. Dengan program ini, surplus total bisa mencapai 10% dari total klaim. Semua proses yang baik tentu harus mengajak bicara semua pihak, terutama DPJP sebagai ujung tombak pelayanan. Tks

Asro Abdih: Sepemahaman saya, para DPJP itu akan acceptable bila diajak bicara, diperlihatkan realitas sesungguhnya, transparan dan fair. Itu saja sih..

Ada memang satu dua yg frontal, boikot dlsb... tapi, ya itu hanya beberapa bulan. Setelahnya, Alhamdulillah bisa menerima karena segala sesuatu yg terkait dg plafond grouping INA-CBG realitasnya memang demikian.. yg penting komponen SDM TIDAK boleh dipotong ketika hasil akhir perawatan pasien BPJS karena satu dan beberapa kondisi secara agregat menghasilkan minus

Asro Abdih: Insentif lain adalah pasien Umum. Kami berikan mereka kebebasan untuk bereksplorasi di segmen Umum. Termasuk tarif, kami naikkan 20 % dari nilai existing ketika UCS kami terapkan

Doddy Irawan: Klo yg ngotot itu biasa nya sudah "ketagihan" tarif Free For Service...jd mau diajak ke tarif INA CBGs....agak lambat respon.

Asro Abdih: Betul sekali Pak, mengubah pola pikir fee for service ini yg memang sulit sekali. Tapi insyaalloh Bapak Ibu semuanya yg ada di WAG ini, bisa-lah... dg cara dan pendekatannya masing-masing

Doddy Irawan: Wah klo ini bisa tambah maknyus juga buat DPJP....dijamin nurut  

Asro Abdih: Ini juga salah satu cara, bisa dipakai. Tetapi menurut saya masih tetap/masih bisa ada syak wasangka di kalangan PPA dan seluruh stakeholder bila transparansi dalam pemakaian Rupiah per Rupiah sesuai dengan nominal INA-CBG tersedot ke komponen tertentu. Akan ada stigma 'penyumbang' rugi atau sebaliknya, yg belum tentu benar.

Tapi apapun, Bapak Ibu tentu yg lebih tahu situasi internal RS

Asro Abdih: Izin sharing beberapa contoh unit cost yg telah disusun oleh RSM Lamongan dan sudah kita terapkan sejak awal 2022 melalui sistem informasi yg bisa diakses oleh username everywhere anytime 🙏

Asro Abdih: Kita bisa lihat, yg berwarna merah adalah yg secara agregat Cost, adalah minus bila dibandingkan dg plafond/coding Ina CBG standard kelas 3. Sedisiplin apapun semua PPA terhadap clinical pathway sesuai dg unit cost tsb, bagi kami, amputasi below knee, adalah 'minus'. Apakah tidak kita kerjakan? Belum tentu

Asro Abdih: Dengan Unit Cost tiap-tiap tindakan sudah tersusun dan diterapkan secara disiplin, kita bisa memitigasi semua hal. Tentu, dalam pelaksanaan, dinamikanya sangatlah menantang 😅 Tidak semudah yg ada di benak saya sekalipun.. Saya anggap seperti berselancar saja..ngeri-ngeri sedap, mengasyikan sekaligus mengharubirukan ! 🤭

Asro Abdih: Bagaimana ini bisa tersusun? Ya tentu, first, berkat arahan dan tuntunan dari Pak Johny dan Tim (dg beberapa modifikasi internal). Selanjutnya, ya keinginan kuat semua stakeholder di internal RS untuk 'realistis' dan 'berdamai' dg era JKN ini

Prof Laksono: Untuk 2000 RS yang kerjasama dengan BPJS... perlu banyak konsultan ya pak Johny. PPAMRSI paling hanya bisa maksimal 10 RS ya pak? setahun.

Johny Setyawan: Tahun ini bisa lebih banyak setelah Lebaran. Namun tetap diperlukan tambahan  Implementor Prof. Makanya kemarin diperlukan program sertifikasi Fellow bagi Rekan2 yang tertarik.

Prof Laksono: Artinya bisa menjadi pelatih dan konsultan juga ya pak...

johny Setyawan: Betul Prof.

Johny Setyawan: Program sertifikasi sudah mulai ada yang mendaftar

Risto Aji: mutu vs biaya, klinisi vs manajemen keuangan  & sayangnya manajer keuangan selalu jd kaum marginal di RS.. mungkin perhitungan UCS bisa lbh menguatkan posisi manajer keuangan...utk lbh bisa "saling"...😬

Asro Abdih: Betul Pak.. selain komitmen kuat, juga "rasa untuk setara". Satu tidak lebih menentukan daripada yg lain. Para dokter spesialis wajib dipahamkan soal ini. Pengalaman persoal saya : tailoring approach. Yg betul2 boycott, kami 'tinggal' saja

Johny Setyawan: Ini nanti titik temu nya antara medis-keuangan saat melakukan perencanaan remunerasi dengan sistem budgeting RS berbasis produk.

Fiska Tria: Ijin bertanya Prof dan pak Johnny, apa nanti program sertifikasi ini masih perlu didaftarkan dg lembaga semacam BAN? Sy tertarik sekali ikut selain untuk RS saat ini jg ke depannya saling tular ilmu

Johny Setyawan: Saya belum bisa menjawab untuk legitimasi nasional. Mulanya hanya dari kita dan untuk kita sajam

Risto Aji: menjembatani & mengakomodir dari kebiasaan fee for service ya pak?

Johny Setyawan: Remun di RS ada berbagai bentuk. Ada yg jadi komponen variabel, ada yg jadi overhead dan ada yg semi-variabel; shg sistem kalkulasi UC bisa jadi modeling yg komprehensif  dan sekaligus dihubungkan ke budget pendapatannya.

P1 itu biaya overhead

P2 itu variabel karena relate dg renstra

P3 bisa semi-variabel

Pada akhirnya yg dibagi kan duit yang berasal dari pendapatan, makanya harus link dg budget pendapatannya.

Risto Aji: sepakat pak...hanya dgn perhitungan yg sistematis, terstruktur & detail seperti ini, kesepahaman lbh mungkin dicapai...

Johny Setyawan: Masih lagi ada yang untuk eksekutif RS yang lebih kompleks dan harusnya dimulai agar mendekati industri lainnya, semisal perbankan, perhotelan, dst. Makanya fondasi semuanya di sistem kalkulasi UC. Kalau Rekan2 masih pakai akt keu saja itu spt death wish.