114

K A N D A I

Volume 12 No. 1, Mei 2016 Halaman 116—134

REKONSTRUKSI IMPRESIF RITUAL MOSEHE WONUA DALAM RITUSKONAWE (The Impressive Reconstruction of Mosehe WonuaRitual in RitusKonawe)

Heksa Biopsi Puji Hastuti Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara Jalan Haluoleo, Kompleks Bumi Praja, Anduonohu, Kendari, Indonesia Pos-el: heksa.bph@gmail.com (Diterima 2 Februari 2016; Direvisi 15 Februari 2016; Disetujui 12 April 2016)

Abstract Mosehe Wonua ritual as Tolakinese culture is obtained by the poet, Iwan Konawe, as data in his creativity flows written in Ritus Konawe, a book of poem anthology. The problem in this writings is how Mosehe Wonua reconstructed in Ritus Konawe? Data consist of four poems in the book which identified containing Mosehe Wonua ritual matters, they are poems titled Ritus Mosehe, Ritus Mosehe Ritus Tolaki, Pada Desa yang Berkabung, and Ritus Konawe. These four poem data were analyzed by using descriptive- qualitative metnod with anthropological literature approach. Based on discussion result, it was cocluded that Mosehe Wonua ritual is reconstructed in Ritus Konawe by synthesizing information of 5w-1h (what, who, where, when, why, and how) concerning with the ritual, in which also reconstructed things and tools of the ritual (regarding two categories: oblation and device). Through his literary reconstruction, the poet reconstructed Mosehe Wonua ritual in his poems by taking use of poem structure, including form, diction, imagery, concrete words, figurative language, and verification. Keywords: Mosehe Wonua ritual, impressive reconstruction, poem, Ritus Konawe

Abstrak Ritual Mosehe Wonua yang menjadi khazanah budaya suku Tolaki ditangkap oleh penyair, Iwan Konawe, sebagai data dalam rangkaian kreativitas yang tertuang di dalam buku kumpulan puisi Ritus Konawe. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana ritual Mosehe Wonua direkonstruksikan dalam Ritus Konawe? Data berupa empat puisi dalam buku Ritus Konawe yang dinilai bermuatan ritual Mosehe Wonua, yaitu Ritus Mosehe, Ritus Mosehe Ritus Tolaki, Pada Desa yang Berkabung, dan Ritus Konawe. Keempat puisi data dianalisis degan menggunakan metode deskriptif-kualitatif dengan pendekatan antropologi sastra. Dari hasil pembahasan disimpulkan bahwa ritual Mosehe Wonua direkonstruksikan dalam Ritus Konawe dengan meramu informasi terkait 5w-1h (apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana), yang di dalamnya direkonstruksikan pula aspekbenda-benda dan alat upacara yang menjadi persyaratan dilaksanakannya ritual Mosehe Wonua (terbagi atas kategori kurban dan benda/alat). Melalui rekonstruksi literer, penyair merekonstruksikan Mosehe Wonua dalam puisinya dengan memanfaatkan struktur puisi yang meliputi perwajahan puisi, diksi, pengimajian, kata konkret, majas, dan verifikasi. Kata-kata kunci: Ritual Mosehe Wonua, rekonstruksi impresif, puisi, Ritus Konawe

PENDAHULUAN

Buku Ritus Konawe terlahir sebagai buah pengembaraan kreatif

seorang putra Konawe bernama pena Iwan Konawe. Kata ritus dan Konawe yang tersemat dalam judul buku ini seolah memancing imajinasi pembaca


Heksa Biopsi P.H.: Rekonstruksi Impresif Ritual Mosehe Wonua...

terarah pada ritual-ritual yang dapat

kepuasan emosional melalui perangkat dijumpai dalam kehidupan suku

estetikanya serta kepuasan intelektual Tolaki, suku asli terbesar yang

melalui kecerdasan penyampaian mendiami jazirah Sulawesi Tenggara,

muatannya. termasuk di daerah Konawe. Membaca

Hampir mustahil menyebutkan judul buku ini, tidak terlalu berlebihan

permasalahan yang tidak dapat apabila pembaca (atau calon pembaca)

dihadirkan melalui karya sastra karena berharap akan disuguhi rangkaian kata-

memang karya sastra dapat menjadi kata padat dan bernas yang berkata

media curahan isi hati tentang apapun. banyak tentang ritual adat suku Tolaki.

Kehadiran sebuah permasalahan yang Sastra lahir oleh dorongan

mewujud dalam bentuk baru,dalam manusia untuk mengungkapkan

tulisan ini disebut rekonstruksi. Secara masalah manusia, kemanusiaan, dan

denotatif, term rekonstruksi bermakna semesta (Semi, dalam Siswanto, 2008,

penyusunan atau penggambaran hlm. 67). Tentunya, sastra yang

kembali. Komponen makna dalam dimaksud oleh Semi termasuk juga

definisi inilah yang digunakan sebagai puisi di dalamnya. Salah satu sumber

acuan dalam mengupas objek inspirasi mencipta puisi adalah

penelitian. Faktor penyair yang tidak pengalaman dan pengetahuan yang

dapat diabaikan begitu saja, diperoleh dalam proses hidup yang

memunculkan konotasi impresif dalam telah dilalui oleh seorang penyair.

rekonstruksi yang dilakukannya. Melalui tahap-tahap sintesis dan

Sebagaimana tradisi suku perenungan, pengalaman dan

lainnya, tradisi suku Tolaki memiliki pengetahuan yang ada dibawa dalam

keragaman budaya yang mewujud ciptaannya untuk dipersembahkan

dalam ritual-ritual antropologis semisal kepada para penikmat puisi. Sebuah

Mosehe Wonua (ritual penyucian puisi selalu merefleksikan satu atau

negeri). Muatan ritual MoseheWonua serangkaian situasi yang dapat berupa

terbaca dalam empat puisi karya Iwan kejadian, keindahan alam, perilaku

Konawe di dalam Ritus Konawe. satu individu, atau perilaku komunal.

Melalui puisi, ritual ini diperkenalkan Refleksi situasi di dalam puisi

kepada khalayak. Penyair mungkin berupa refleksi sejajar,

memanfaatkan berbagai fasilitas dan mungkin juga berupa refleksi terbalik.

keistimewaan bahasa puisi untuk Kepiawaian penyair dalam memungut,

menyampaikan apa, mengapa, di memoles, dan menjalin kata-katalah

mana, siapa, kapan, dan bagaimana yang menjadi penentu apakah

ritual Mosehe Wonua. Sebuah karyanya disukai orang atau tidak dan

tantangan bagi seorang penyair untuk apakah melalui karya tersebut dia

mengungkapkan hal besar melalui dapat merekonstruksikan situasi yang

sesedikit mungkin kata-kata. ingin disodorkan atau tidak.

Permasalahannya, bagaimana ritual Penyair yang sudah terasah akan

Mosehe Wonua direkonstruksikan terampil memainkan kata-kata

secara impresif oleh penyair di dalam sehingga dapat menuntaskan misi

RitusKonawe? Melalui tulisan ini, membawa konsumennya pada

diharapkan diperoleh deskripsi pengalaman katarsis yang melegakan.

mengenai rekonstruksi ritual Mosehe Puisi yang dilahirkan melalui

Wonua di dalam Ritus Konawe dan pengetahuan, pemahaman, dan daya

mengungkap pemahaman tentang ritual imajinasi yang cerdas dapat memberi

Mosehe Wonua melalui Ritus Konawe.

115


Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 116—134

116

Pada umumnya, penelitian Antropologi Sastra mengambil objek sastra klasik/sastra tradisional, tetapi tidak tertutup kemungkinan diterapkan dalam sastra modern. Sebuah model penelitian Antropologi Sastra terhadap puisi modern pernah dilakukan oleh I Ketut Sudewa. Hasil penelitiannya dipublikasikan sebagai artikel dalam Jurnal Pustaka Volume XII, No.1, Februari 2012. Dalam artikel berjudul “Sajak ‘Nyanyian Angsa’ Karya WS. Rendra: Analisis Antropologi Sastra”, Sudewa (2012) membahas puisi “Nyanyian Angsa” secara keseluruhan dengan pendekatan Antropologi Sastra. Berbeda dengan model penelitian Sudewa, penelitian ini mengambil satu sudut fenomena di dalam keseluruhan data sebagai fokus analisis, yaitu fenomena ritual Mosehe Wonua.

Masih kurangnya publikasi puisi bermuatan lokal Tolaki membuat masih kurangnya juga analisis eksploratif mengenai bagaimana lokalitas Tolaki, termasuk ritual Mosehe Wonua, direkonstruksi secara kreatif di dalam sebuah puisi. Pembahasan mengenai ritual Mosehe Wonua dalam puisi pernah disinggung dalam makalah Cecep Syamsul Hari yang terbit dalam prosiding Kongres II Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara di Kendari. Dalam makalah ini disebutkan bahwa Konawe memiliki ritual ganjaran dan hukuman untuk setiap perbuatan dosa dan menyediakan pula saluran pertobatan berupa mekanisme mosehe wonua, atau ritual mencuci kampung. Realitas ini terdeskripsikan di dalam puisi Syaifuddin Gani, “Konawe, pintu yang Terbuka: Untuk Firman Venayaksa” (Hari, 2015).

LANDASAN TEORI

Berbeda dengan karya sastra bergenre prosa dan drama, karya bergenre puisi dituntut untuk dapat menghadirkan situasi yang ingin disampaikan melalui pasta kata-kata yang pekat. Kata-kata yang teruntai dalam sebuah puisi tidak patut hadir meluas dan melebar. Terkadang sulit memberi batasan mengenai puisi. Batasan-batasan yang diberikan tidak jarang justru bertumpang tindih sehingga membingungkan dalam menentukan apakah sebuah karya termasuk puisi atau bukan. Yang terpenting, penyair memaksudkan karyanya sebagai sebuah puisi dan diterima oleh khalayak sebagai puisi pula. Melalui puisi, penyair dapat merekonstruksi fenomena yang ada dalam ruang pengalamannya. Rekonstruksi fenomena ini dapat dikatakan sebagai realisasi fungsi sastra menurut Horatia, dulceetutile, karya sastra harus menyenangkan cara penyampaiannya dan memiliki nilai guna dalam pesan yang terdapat di dalamnya (Noor, 2007).

Sebagai karya sastra yang minim kata, puisi memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh karya sastra bergenre lain sebagai media ekspresi. Kata-kata yang minim justru dapat menjadi kekuatan dibanding deretan bahasa deskripsi. Untuk melakukan rekonstruksi sebuah fenomena ke dalam puisi, penyair dapat memaksimalkan seperangkat bentuk dan struktur puisi yang terdiri atas perwajahan puisi, diksi, pengimajian, kata konkret majas, dan verifikasi (Siswanto, 2008). Keenam komponen struktur puisi dapat dimanfaatkan dengan maksimal dalam kreativitas penyair mencipta puisi.


Heksa Biopsi P.H.: Rekonstruksi Impresif Ritual Mosehe Wonua...

Antropologi Sastra dan

keseimbangan antara unsur dalam dan Intertekstualitas Sastra

unsur luar. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapi Secara sederhana, Ratna (2011)

meneliti teks-teks lainnya untuk menyatakan bahwa antropologi sastra

melihat aspek-aspek yang meresap ke adalah “analisis terhadap karya sastra

dalam teks yang ditulis atau dibaca yang di dalamnya terkandung unsur-

atau dikaji (Napiah dalam unsur antropologi” (hlm. 6). Secara

Rokhmansyah, 2011). maknawi, dalam frasa antropologi sastra, porsi sastra lebih besar dari

Rekonstruksi dalam Karya Sastra bagian antropologinya. Antropologi diposisikan sebagai sebuah alat

Merekonstruksi sebuah fenomena pendekatan dalam menganalisis sebuah

sosial ke dalam karya sastra erat karya sastra. Mengingat antropologi

kaitannya dengan proses impresi adalah sebuah disiplin ilmu yang luas,

terhadap teks-teks. Segala hal yang Ratna juga membatasi hanya

melingkupi kelahiran sebuah karya antropologi budaya saja yang terkait

sastra dianggap sebagai teks, karena dengan penelitian sastra. Hal ini

pada hakikatnya, secara umum teks didasarkan pada kenyataan bahwa pada

meliputi semesta alam. hakikatnya, sastra adalah hasil aktivitas

Teks antropologis ini menjadi kultural, baik dalam bentuk benda

bahan tidak bertepi dalam penciptaan kasar (artifact, dalam bentuk naskah),

karya sastra. Proses pengaruh- interaksi sosial (sociofact), maupun

memengaruhi objek dan ide, yang kontemplasi diri (mentifact).

bertumpu pada proses transformasi, Sebuah teks tidak dapat

dalam penciptaan karya bermula dari dilepaskan sama sekali dari teks lain

fenomena yang telah tersedia berupa (Teeuw, dalam Ratih, 2012, hlm. 171).

data objek. Data objek dieksternalisasi Untuk membaca lebih dalam sebuah

dalam masyarakat dengan sebuah karya sastra, sebagai sebuah teks yang

proses konstruksi sosial dan telah disepakati tidak lahir dari latar

menghasilkan fakta sosial yang dilihat yang kosong, perlu dilakukan

secara kasat mata oleh penyair sebagai perelasian dengan karya sebelumnya,

anggota masyarakat. Fakta sosial baik karya sastra ataupun produk

sebagai data jadi yang diterima secara budaya lainnya. Karya sastra sebagai

indrawi, mengalami internalisasi dalam hasil kerja budaya dapat dikatakan

diri penyair, sebelum pada akhirnya sebagai mozaik teks yang bersusun

diolah dalam konstruksi literer dan serap-menyerap dengan teks lain, di

menghasilkan karya. dalamnya terdapat teks-teks lain yang

Penyair merekonstruksi ritual terserap dan ditransformasikan oleh

Mosehe Wonua sebagai data objek penyairnya, sebagaimana pemahaman

dengan memanfaatkan segala fasilitas intertekstualitas Kristeva. Menurut

yang tersedia dalam penulisan puisi. Kristeva, di dalam lingkup penelitian

Tentunya, dalam penciptaan sebuah sastra, intertekstualitas mempunyai

karya, penyair tidak dapat terlepas dari prinsip dan kaidah tersendiri. Interteks

aspek impresi dari dalam dirinya, melihat hakikat sebuah teks yang di

karena di situlah letak kekhasan dalamnya terdapat teks lain,

karyanya. menganalisisnya berdasarkan unsur- unsur penyusunnya, dan mengkaji

117


Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 116—134

METODE PENELITIAN

Sumber data penelitian berupa buku kumpulan puisi yang ditulis oleh Iwan Konawe, RitusKonawe. Buku setebal 104 halaman ini memuat 80 judul puisi Iwan Konawe. Dari kedelapan puluh judul, dipilih empat judul puisi sebagai data penelitian. Pemilihan ini didasari atas asumsi indikasi muatan fenomena Mosehe Wonua yang terdapat di dalam keempat puisi tersebut. Keempat puisi tersebut berjudul Ritus Konawe, Pada Desa yang Berkabung, Ritus Mosehe, dan Ritus Mosehe Ritus Tolaki. Selanjutnya, judul-judul puisi ini disingkat RK, PDB, RM, dan RMRT.

Selain data teks puisi sebagai data primer, penelitian ini juga memanfaatkan data sekunder berupa teks budaya ritual Mosehe Wonua suku Tolaki. Teks budaya ritual Mosehe Wonua diperoleh dari wawancara dengan informan dan penelusuran pustaka, baik buku terbitan maupun berita faktual.

Data penelitian dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan antropologi sastra. Prinsip-prinsip dalam teori intertekstualitas digunakan pada praktik analisis. Data teks puisi diinterpretasikan lalu hasil interpretasi direlasikan secara intertekstual dengan data teks budaya ritual Mosehe Wonua suku Tolaki.

PEMBAHASAN

Ritus Konawe, sebuah buku berisi 80 judul puisi yang ditulis oleh Iwan Konawe, seorang penyair muda Sulawesi Tenggara. Puisi yang dipublikasikan dalam buku ini merupakan gambaran pengembaraan Iwan. Namun, sebagai putra Tolaki, Iwan lebih banyak menyuguhkan ihwal

118

ketolakian dalam puisi-puisinya. Berbagai lokalitas Tolaki dibawanya dalam untaian kata-kata yang tidak biasa. Syaifuddin Gani, dalam catatan penyunting RitusKonawe, mengatakan bahwa lokalitas di tangan Iwan Konawe tidak melulu bersangkut paut dengan kearifan, tetapi juga dengan feodalisme sebagai warisan kesilaman yang kadang hidup “rukun” dan “bahagia” bersama dengan kekinian (Konawe, 2014, hlm. v-vi). Jadi, dalam buku ini Iwan tidak hanya mengungkapkan sisi indah kelampauan sukunya. Melalui RitusKonawe, Iwan mencoba mendamaikan pandangan tradisi lampau Tolaki dengan kekinian zaman untuk mewujudkan keadaan “rukun dan bahagia” itu.

Dengan bertajuk RitusKonawe, pembaca seolah dijanjikan sebuah tamasya antropologis ketika menyelami puisi-puisi yang disajikan di dalam buku ini. Kata Konawe sendiri merujuk pada sebuah kerajaan Tolaki yang merupakan penyatuan dari tiga kerajaan kecil yang sebelumnya saling bertikai, yakni Kerajaan Padangguni, Kerajaan Besulutu, dan Kerajaan Wawolesea. Penyatuan ini terwujud melalui usaha keras seorang perempuan hebat bernama Wekoila (Hastuti, 2013). Kata ini pula yang tetap dipertahankan menjadi nama kabupaten di bekas wilayah Kerajaan Konawe. Selain Konawe, beberapa puisi mengambil Mekongga (daerah yang juga didiami oleh suku Tolaki) sebagai latar, dan beberapa tempat lain yang telah disinggahi sang penyair dalam pengembaraannya. Dengan kebesaran nama yang diusung sebagai judul, Ritus Konawe memang banyak mempersembahkan pernik kehidupan lokal suku Tolaki, termasuk ritual Mosehe Wonua.


Heksa Biopsi P.H.: Rekonstruksi Impresif Ritual Mosehe Wonua...

Ritual Mosehe Wonua dalam

diceritakan di negeri Lalolae ada dua Budaya Suku Tolaki

orang kakak beradik, laki-laki dan perempuan, yang melanggar norma Mosehe Wonua adalah satu ritual

susila melakukan hubungan seksual. adat yang dikenal oleh masyarakat

Seluruh negeri mendapat malapetaka Tolaki, baik di Mekongga maupun di

akibat perbuatan kedua anak manusia Konawe. Ritual Mosehe Wonua

sedarah ini. Negeri Lalolae dilaksanakan untuk menyucikan negeri

ditenggelamkan hingga banyak warga atau kampung, misalnya ketika banyak

yang meninggal dunia. Demi menebus terjadi bencana seperti gagal panen,

dosa dan mencegah malapetaka yang kekeringan, wabah penyakit, dan yang

mungkin menimpa lagi, warga Lalolae lainnya. Ritual ini juga dilaksanakan

yang tersisa mengadakan ritual Mosehe untuk mendamaikan dua pihak yang

Wonua. berselisih. Sebelum pelaksanaan ritual,

Sementara itu, di dalam kisah tokoh adat dan penghulu kampung

Konggoasa diceritakan malapetaka mulai berkumpul untuk membicarakan

menimpa penduduk negeri ketika kegiatan yang dimaksud. Ritual ini

mereka berhasil membunuh burung menjadi hajat bersama seluruh negeri

raksasa yang kejam, dikenal dengan (wonua) yang pelaksanaannya

sebutan Konggoasa atau Konggaaha. dilakukan dengan mengurbankan

Bangkai burung raksasa ini kerbau putih yang darahnya akan

menimbulkan masalah berupa ulat-ulat dipercikkan pada setiap bibit

kecil ‘otimo’ yang mencemari sungai tanaman(Syairullahwahana, 2011).

dan daratan sehingga warga banyak Pada asalnya, mosehe atau

terjangkit penyakit. Untuk mengatasi mosehe wonua mengandung makna

hal ini, Anakia Larumbalangi meminta upacara penyucian diri karena

agar diadakan ritual Mosehe Wonua melanggar adat. Tarimana (1993)

untuk menyucikan dan membersihkan mengemukakan ada lima macam ritual

jiwa masyarakat dari amarah dan mosehe, yaitu: MoseheNdi’olu (mosehe

bencana. Ia memohon kepada makhluk dengan menggunakan telur),

gaib penguasa alam ‘sangia’ agar MoseheManu (mosehe dengan

diangkat segala malapetaka dan menggunakan ayam), MoseheNgginiku

didatangkan keberkahan bagi warga. (mosehe dengan menggunakan

Setelah dilakukan upacara ini, turunlah kerbau), MoseheDahu (mosehe dengan

hujan deras yang menyapu semua menggunakan anjing), dan

otimo dan sisa bangkai Konggaaha MoseheNdono (mosehe dengan

hingga ke muara sungai Lamekongga. menggunakan orang sebagai kurban).

Konon, tulang belulang Konggaaha Pelaksanaan jenis-jenis mosehe ini

berubah menjadi batu-batu karang dilakukan dengan mempertimbangkan

tempat hidup dan berkembang biaknya besar kecilnya kesalahan yang akan

berbagai macam ikan, sedangkan disucikan.

tetesan darah Konggaaha meresap ke Dalam kepercayaan suku Tolaki

dalam tanah menjadikannya subur dan yang tercetus dalam sastra lisannya,

kaya akan nikel. diyakini ada beberapa kisah yang

Koentjaraningrat mengemukakan berkaitan dengan penyelenggaraan

empat aspek yang terdapat di dalam ritual Mosehe Wonua. Di antaranya

upacara keagamaan atau kepercayaan, adalah kisah Kolo Imba dan kisah

yakni tempat upacara dilakukan, saat- Konggoasa. Di dalam kisah Kolo Imba

saat upacara dilakukan, benda-benda

119


Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 116—134

120 dan alat upacara, serta orang-orang

tanah Tolaki, penombakan dilakukan yang melakukan/memimpin upacara

hanya sebagai simbolitas, selanjutnya (Syairullahwahana, 2011). Benda-

kurban disembelih secara Islami oleh benda dan alat upacara yang menjadi

seorang imam ‘o ima’. Pada masa persyaratan dilaksanakannya ritual

sekarang, selain mosehe yang Mosehe Wonua adalah karambauputeh

dilakukan oleh pribadi-pribadi ketika (kerbau putih), telur ayam, air putih, o

ada perselisihan di antara mereka, taru (lilin lebah), o kati (kain putih),

pelaksanaan ritual Mosehe Wonua tawabite (daun sirih), o wua (buah

secara besar-besaran diprakarsai oleh pinang), o wule (kapur), o piso (pisau),

pemerintah daerah, sekaligus dijadikan dan watambundi (batang pisang)

salah satu daya tarik pariwisata. Sementara itu, ada beberapa

Biasanya acara ini dilaksanakan orang yang terlibat daam pelaksanaan

setahun sekali, di kota/kabupaten yang ritual Mosehe Wonua dengan tugasnya

merupakan wilayah asli suku Tolaki. masing-masing, yaitu to’ono

Misalnya, pada perayaan hari ulang mosehe(masyarakat yang berkumpul

tahun ke-184 kota Kendari, ritual mengikuti ritual), to’ono

Mosehe Wonua dilaksanakan sebagai mosahu(penombak yang bertugas

salah satu mata acaranya (Suparman, menombak kurban), o ima(imam yang

2015). bertugas memotong kurban), mboawoy(panitia pelaksana, termasuk

Rekonstruksi Ritual Impresif di dalamnya to’ono motuo), dan

Mosehe Wonua dalam RitusKonawe mbusehe(pembaca mantra khusus dalam ritual Mosehe Wonua)

Pada empat di antara 80 judul Pelaksanaan ritual Mosehe

puisi yang ada di dalam RitusKonawe, Wonua telah banyak mengalami

terbaca adanya muatan ritual Mosehe perubahan dari waktu ke waktu.

Wonua. Keempat puisi ini berjudul Sebelum masuknya agama Islam,

Ritus Konawe, Pada Desa yang kerbau putih yang dijadikan kurban,

Berkabung, Ritus Mosehe, dan Ritus ditombak oleh to’ono mosahu sampai

Mosehe Ritus Tolaki. mati. Namun, setelah Islam dikenal di

Ritus Konawe

Kubiarkan engkau larungkan tubuh di iring-iringan tarian Terbenam ke dalam palung jantung Lulo Kubiarkan engkau menjamah tradisi Haluoleo yang hampir ranggas Menghentak-hentakan bumi, seperti bercakap kepada rahasia ritus konawe Rahasia gelombang sukma orang Tolaki yang terkubur waktu

Kawanan penabuh genderang yang bergerombol Melarikkan gelegar karandu yang saling berperang Tiba-tiba kau roboh sambil menyeka derai luka Membakar dupa dan menyebar doa Serupa Tonomotuo upacara Mosehe


Heksa Biopsi P.H.: Rekonstruksi Impresif Ritual Mosehe Wonua...

Bersila dengan guratan wajah misterius, dengan Kalosara meletakkan upacara sederhana Mereka menyeka gelisahnya sendiri Pada sisa doa, kerbau putih, dan juga kumandang Tangis tikaian

Adakah ritus Mosehe itu Telah meluruhkan pikiranmu Hingga sebelum fajar menyeruak ke bumi anoa Kau sudah lebih dahulu bergetir Meronta-ronta berhasrat di tanah leluhur

Konawe, 2013 (Konawe, 2014, hlm. 29)

Pada Desa yang Berkabung

Apakah kau dengar swara gambus yang lindap Di huma kebun kelapa berkabut asap, mengendap Dengan miris mengajakmu berkencan pada dingin embun Dengan lirih bersahutan memanggil sukmamu Dalam ritus-ritus sendu

Meski kita berdua tiada dapat menolak tiba bala Tidak akan pernah kita jadi sendawa Atau berlusin anak panah Untuk membayar reratusan belasungkawa

Kita! Anak hawa dan adam Anak dari desa yang temaram

Kendari, 2011 (Konawe, 2014, hlm. 41)

Ritus Mosehe

Dari muasal Tanah Konawe Tembikar pandan Melilit erat simpul rotan Berlingkaran di antara pinang dan dedaunan siri Beralas tetoron putih sebagai kesucian

Perlahan pabitara menyentuh sukma Tembangkan makna peribahasa: “ni ino saramami” Bukan mantra basabasi Hanya petuah temurun Yang masih utuh walau guntur menggemuruh beruntun

121


Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 116—134

122

Sepejam mata Taawu dihunuskan Kerbau putih sebagai simbol tumbal Darahnya bercecer mengusir sesal Ia lemas telah mengusir tikai Yang tak padam

Konawe, 2004 Catatan: “ni ino saramami”: inilah persembahan adat kami Taawu: pedang panjang khas adat suku Tolaki (Konawe, 2014, hlm. 89)

Ritus Mosehe Ritus Tolaki

Tanah Tolaki beraroma duka Yang berselisihan, yang menabur tabu Seketika luruh ke upacara adat

“Pada tikar-tikar pandan Melilit erat tiga simpulan rotan Berlingkaran di antara dedaunan siri Dan buah pinang Beralas kain putih

- persaudaraan kesucian” Kalosara Ke langit Diagungkan

Dengarlah Pabitara menyentuh sukma Menembang pembuka percakapan “ni ino saramami” - petuah adat turun temurun Terus utuh walau guntur Bergemuruh beruntun tak gentar. Orang-orang diam khusyuk Membuang amarahnya yang menusuk Ke liang-liang upacara Mosehe

Demi siapa mata taawu dihunuskan? Menggorok leher tumbal Lalu darahnya berceceran ke bumi Berserah kepada alam

Tanah Tolaki beraroma duka Yang berselisihan, yang menabur tabu


Heksa Biopsi P.H.: Rekonstruksi Impresif Ritual Mosehe Wonua...

Kerbau putih tumbang Lemas dan limbung Menolak abala kampung Membayar utang-utang perseteruan

Siapakah mencipta perang ini? Siapa telah memanggil ritus-ritus ini?

Konawe, 2004 (Konawe, 2014, hlm. 95)

Rekonstruksi, yang dipahami sebagai penyusunan atau penggambaran kembali, membutuhkan informasi terkait pertanyaan 5w-1h (what, who, when, where, why, and how ‘apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana’). Untuk lebih mengoperasionalkan pembahasan, subbab akan dibagi dengan mengacu pada komponen pertanyaan: Apakah ritual Mosehe Wonua? Siapa pelaku ritual Mosehe Wonua? Kapan ritual Mosehe Wonua dilaksanakan? Mengapa ritual Mosehe Wonua dilaksanakan? Dan bagaimana ritual Mosehe Wonua dilaksanakan? Informasi digali dari keempat puisi Iwan Konawe yang diinterpretasikan mengandung relasi dengan ritual Mosehe Wonua. Pada beberapa pengertian, jawaban atas pertanyaan “apa” merupakan peleburan seluruh informasi dari keempat pertanyaan lainnya. Untuk itu, informasi “apa” ritual Mosehe Wonua ditempatkan paling akhir dalam subbab ini. Pembahasan diintegrasikan dengan empat aspek yang terdapat di dalam upacara keagamaan atau kepercayaan (tempat, waktu, benda-benda dan alat upacara, dan orang-orang yang melaksanakan) direkonstruksikan melalui bahasa yang padat berbentuk puisi.

123 Kapan Dilaksanakan Ritual Mosehe Wonua?

Pertanyaan dalam subbab ini mencakup kapan dan sejak kapan ritual Mosehe Wonua dilakukan. Mengacu pada data objek Mosehe Wonua dalam budaya orang Tolaki, tercatat bahwa ritual ini dilaksanakan ketika ada perselisihan di antara warga, atau ketika terjadi bencana-bencana yang menyebabkan kedukaan di seluruh negeri dengan maksud mengupayakan perdamaian. Informasi ini direkonstruksikan dengan manis dalam RitusKonawe tidak dengan kata-kata penunjuk waktu. Setidaknya, penyair merekonstruksikan kapan dan sejak kapan ritual Mosehe Wonua dilaksanakan di dalam RM, PDB, dan RMRT.

Larik pertama RM, /Dari muasal Tanah Konawe/, mengantarkan imaji pembaca kepada zaman awal pembangunan Kerajaan Konawe. Zaman ini berelasi erat dengan Ratu Wekoila, peletak kalo sebagai pokok adat suku Tolaki. Artinya, penyair merekonstruksikan ritual Mosehe Wonua sebagai sesuatu yang telah sejak dahulu disepakati secara adat dan diterima secara sadar dan ikhlas oleh suku Tolaki.

Puisi PDB membawa imaji kepada suasana redup sebuah desa dengan tokoh sepasang anak manusia,


Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 116—134

anak hawa dan adam. Secara keseluruhan, puisi ini mengantar dan merelasikan pemahaman pembaca pada latar belakang dilakukannya ritual Mosehe Wonua yang terdapat dalam salah satu cerita rakyat Tolaki, yaitu Kolo Imba. Imaji ini sekaligus memberikan informasi mengenai kapan ritual Mosehe Wonua dilaksanakan dalam kehidupan budaya suku Tolaki. Di dalam puisi ini tergambar eksotisme suasana desa dengan huma di kebun kelapa ditingkah lirihnya suara gambus. Anak hawa dan adam di dalam puisi ini dapat dianalogikan dengan Imba dan kakaknya. Perbuatan asusila mereka ditegaskan dengan pilihan kata berkencan dan kalimat dengan lirih bersahutan memanggil sukmamu.

Anak hawa dan adam tidak dapat mencegah malapetaka akibat perbuatan mereka. Dua larik pertama bait kedua PDB menyuarakan ketidakberdayaan mereka. Kata sendawa pada larik /Tidak akan pernah kita jadi sendawa/ menuntun pemaknaan bahwa mereka tidak akan pernah dapat menebus kesalahan yang mereka lakukan. Sendawa adalah reaksi alami tubuh manusia ketika perut terasa terlalu penuh, dengan mengeluarkan sedikit udara melalui mulut. Sendawa mengindikasikan sesuatu yang melegakan, dalam konteks kisah Imba, sendawa merepresentasikan penebusan dosa. Bahkan, meskipun kesalahan tersebut ditebus dengan nyawa mereka, tidak akan tuntas terbayar. Penyangatan ini terbaca pada larik /Atau berlusin anak panah/ dan /untuk membayar reratusan belasungkawa/.

Sementara itu, di dalam RMRT, pada bait pertama dan bait kelima diulang larik /Tanah Tolaki beraroma duka/ dan /yang berselisih yang menabur tabu/. Kedua larik ini cukup mengakomodasi informasi kapan ritual

124

Mosehe Wonua dilaksanakan, yakni ketika negeri orang Tolaki sedang berduka akibat terjadi perselisihan atau ada di antara mereka yang melanggar norma adat atau norma susila.

Mengapa Dilaksanakan Mosehe Wonua?

Orang Tolaki melaksanakan ritual Mosehe Wonua dengan tujuan menyucikan negeri. Penyucian dilakukan dengan asumsi mereka ditimpa bencana akibat perbuatan mereka sendiri yang melanggar adat. Dalam RitusKonawe, alasan atau tujuan mosehe wonua direkonstruksikan dalam dua data puisi, RM dan RMRT.

Di dalam RM, pada tiga larik terakhir /Darahnya berceceran mengusir sesal/, /Ia lemas telah mengusir tikai/, dan /Yang tak padam/, merupakan rekonstruksi mengapa ritual Mosehe Wonua dilaksanakan. Di dalamnya terbaca bahwa darah kerbau putih yang dijadikan tumbal ditujukan untuk mengusir sesal atas kesalahan yang terlanjur dilakukan. Kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan sebagian atau keseluruhan warga negeri yang melanggar adat, misalnya terlibat pertikaian atau melakukan tindak asusila. Meskipun larik terakhir /Yang tak padam/ menyiratkan kemungkinan bahwa sesungguhnya sesal dan tikai itu tidak padam, tetapi ritual Mosehe Wonua tetap dilaksanakan sebagai penawar.

Larik terakhir pada RM direlasikan dengan penjelasan pada tiga larik terakhir bait ketiga puisi RMRT, /Orang-orang diam khusyuk/, /Membuang amarahnya yang menusuk/, dan /Ke liang-liang upacara Mosehe/. Perelasian ini menghasilkan penjelasan lebih dalam mengenai mengapa dilaksanakan ritual Mosehe


Heksa Biopsi P.H.: Rekonstruksi Impresif Ritual Mosehe Wonua...

Wonua, yakni untuk memfasilitasi

Dalam RM larik pertama, /Dari pihak-pihak yang bertikai untuk

muasal Tanah Konawe/, disebutkan menawarkan segala amarah, lalu

dengan jelas nama tempat di mana meredamnya melalui ritual.

ritual Mosehe Wonua hidup dan diakui Puisi RMRT juga

sebagai produknya, yaitu tanah merekonstruksikan tujuan diadakannya

Konawe. Pada larik ini informasi ritual Mosehe Wonua pada dua larik

tempat disandingkan dengan informasi terakhir bait kelima. Kedua larik ini

waktu /Dari muasal Tanah Konawe/ lebih memberikan generalisasi

yang memberikan konotasi bahwa konotasi tujuan ritual bagi negeri,

ritual ini adalah sesuatu yang telah /Menolak abala kampung/ dan

berakar sejak lama di Tanah Konawe. /Membayar utang-utang perseteruan/.

Puisi RMRT mengulang frase Melalui pelaksanaan ritual Mosehe

Tanah Tolaki pada bait pertama dan Wonua, suku Tolaki mengkhidmatkan

bait terakhir, /Tanah Tolaki beraroma ikhtiarnya dalam menolak bala. Selain

duka/, beraroma duka merupakan itu, ritual juga ditujukan sebagai upaya

rekonstruksi nuansa dan situasi dalam mendamaikan perseteruan di antara

pelaksanaan ritual. Nuansa duka ini warga. Di dalam RK, terselip selarik

ditegaskan berangkaian dengan larik satir mengenai pelaksanaan ritual

/Menolak abala kampung/. Abala Mosehe Wonua. Larik /Mereka

kampung dan Tanah Tolaki beraroma menyeka gelisahnya sendiri/

duka merujuk pada objek serta nuansa menyiratkan kekhawatiran penyair

dan situasi yang sama, tetapi pada larik akan kemungkinan bahwa pelaksanaan

/Menolak abala kampung/ situasi ini ritual ini sesungguhnya tidak dengan

dilesapkan ke dalam rekonstruksi serta merta melenyapkan kegelisahan

mengapa ritual Mosehe Wonua atas rasa bersalah dan pertikaian yang

dilaksanakan. terpendam jauh di dasar hati. Larik ini

Dalam PDB terdapat larik sendu berkorelasi positif dengan larik dalam

yang ditempatkan di akhir puisi, /Anak RM, /Ia lemas telah mengusir tikai/,

dari desa yang temaram/. Larik ini dan /Yang tak padam/.

difungsikan sebagai penegas larik sebelumnya, /Kita! Anak hawa dan Di Mana Dilaksanakan Ritual

adam/. Desa yang temaram sebagai Mosehe Wonua?

tempat lahir dan tinggal anak hawa dan adam membawa pembaca kepada Penunjuk tempat pelaksanaan

dua pemaknaan. Pertama, temaram ritual Mosehe Wonua terdapat pada

yang berarti remang-remang, suatu beberapa bagian puisi data. Penyair

keadaan yang lebih mendekati gelap merekonstruksikan informasi tempat

ketimbang terang, menjadi referensi pelaksanaan ritual Mosehe

anggapan anak hawa dan adam akan Wonuasetidaknya dengan tujuh diksi:

kekolotan desa tersebut, kekolotan Tanah Konawe, Tanah Tolaki, bumi

yang menganggap nista cinta mereka anoa, kampung, desa yang temaram,

berdua. Kedua, temaram-nya desa palung jantung Lulo, dan tanah

tempat asal anak hawa dan adam juga leluhur. Di dalam keempat puisi data,

dapat diberi makna kemurungan dan penyair menyandingkan serta

malapetaka yang terjadi akibat dari melesapkan rekonstruksi tempat ke

perbuatan asusila mereka. Intinya, desa dalam informasi lain.

tempat dilaksanakannya ritual Mosehe Wonua disandingkan dengan kata

125


Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 116—134

temaram sehingga secara maknawi terlesapkan di dalam rekonstruksi nuansa atau situasi.

Pada RK, tempat ritual Mosehe Wonua direkonstruksikan dengan lebih menukik ke dalam. Penyair menggunakan diksi palung jantung Lulo sehingga secara estetika dan etika lebih bernilai rasa Tolaki. Lulo adalah tarian khas suku Tolaki yang masih hidup dan diminati sampai sekarang. Pemilihan frase palung jantung Lulo menjadikan ritual Mosehe Wonua di dalam puisi ini diposisikan sebagai (salah satu) esensi terdalam budaya orang Tolaki. Bumi anoa dan tanah leluhur menjadi penyangat rekonstruksi yang diwujudkan dalam palung jantung Lulo.

Bagaimana Pelaksanaan Mosehe Wonua?

Bagian ini mendapatkan porsi rekonstruksi terbesar. Iwan Konawe mengeksplorasi lebih luas untuk informasi bagaimana ritual Mosehe Wonua dilaksanakan. Benda dan alat yang menurut Koentjaraningrat merupakan bagian dari tata laksana ritual keagamaan/kepercayaan, tidak luput dari eksplorasi rekonstruksi ritual Mosehe Wonua di dalam Ritus Konawe. Benda-benda dan alat upacara yang menjadi persyaratan dilaksanakannyaritual Mosehe Wonua pada dasarnya terbagiatas kategori kurban, benda/alat, pelaksana (pelaksana ritual dibahas pada subbab tersendiri), dan tata cara pelaksanaan.

Kurban/Tumbal

Mengacu pada penjelasan Tarimana (1993), orang Tolaki mengenal berbagai jenis kurban sebagai persyaratan ritual MoseheWonua, seperti telur, ayam, kerbau, anjing, dan orang, bergantung

126

pada berat/ringannya kesalahan yang dilakukan atau malapetaka yang hendak ditolak. Sementara itu, Syairullahwahana (2011) mencatat kerbau putih dan telur ayam sebagai kurban dalam ritual ini. Di dalam RitusKonawe, kurban dalam ritual MoseheWonua direkonstruksikan dengan lebih sempit, yaitu hanya kerbau putih. Hal ini terbaca pada puisi RK, RM, dan RMRT. Larik dalam RM/Kerbau putih sebagai simbol tumbal/ dan /darahnya bercecer mengusir sesal/, larik dalam RK /Pada sisa doa, kerbau putih, dan juga kumandang/, /Tangis tikaian/, dan larik dalam RMRT /kerbau putih tumbang/, /lemas dan limbung/, /menolak abala kampung/ memuat kurban atau tumbal kerbau putih.

Dari ketiga puisi yang menyebut jenis kurban atau tumbal, penyair mewakilkan hanya pada satu jenis tumbal yang merupakan jenis tumbal terbesar, biasa digunakan untuk mosehe seluruh negeri. Sekadar catatan, pengurbanan manusia yang tertulis di dalam Tarimana (1993) sudah sejak lama tidak pernah lagi dilakukan. Jadi, kurban terbesar dalam pelaksanaan ritual Mosehe Wonua adalah seekor kerbau putih yang cukup mahal harganya.

Benda/Alat

Benda/alat yang digunakan dalam MoseheWonua dirinci oleh Syairullahwahana, di antaranya air putih, o taru (lilin lebah), o kati (kain putih), tawa bite (daun sirih), o wua (buah pinang), o wule (kapur), o piso (pisau), dan wata mbundi (batang pisang). Iwan Konawe merekonstruksikan bahan dan alat yang digunakan dalam ritual MoseheWonua ke dalam puisi-puisinya dengan cukup utuh, meskipun tidak semua benda yang disebutkan


Heksa Biopsi P.H.: Rekonstruksi Impresif Ritual Mosehe Wonua...

Syairullahwahana terwakili di dalam

penjelasan. RM dianggap hadir lebih Ritus Konawe.

dahulu dibanding RMRT karena Diawali dengan RM yang

muncul pada halaman 89, sedangkan sebagian besarnya memuat

RMRT pada halaman 95. Kedua puisi rekonstruksi bagaimana ritual Mosehe

ini ditulis pada tahun yang sama, 2004. Wonua dilaksanakan, yaitu pada larik-

Jadi, penulis berasumsi bahwa larik di bagian tengah, /Tembikar

kreativitaspenyair dalam menciptakan pandan/, /Melilit erat simpul rotan/,

RMRT dipengaruhi langsung oleh RM. /Berlingkaran di antara pinang dan

Larik-larik /”Pada tikar-tikar pandan/, dedaunan siri/, /Beralas tetoron putih

/Melilit erat tiga simpulan rotan/, sebagai kesucian/, dan /Taawu

/Berlingkaran di antara dedaunan dihunuskan/. Tembikar bermakna

siri/, Dan buah pinang/, /Beralas kain denotatif benda yang terbuat dari

putih-persaudaraan kesucian/, tanah, tetapi dengan keterangan kata

/Kalosara/, dan /Demi siapa mata pandan, penyair mengarahkan imaji

taawu dihunuskan?/. Terdapat pada anyaman daun pandan siwoleuwa,

perubahan dalam RMRT dibanding talam persegi yang biasanya terbuat

RM, berupa: (1) tikar-tikar pandan dari anyaman daun palem hutan atau

dimunculkan dalam RMRT dengan dua daun kelapa, tetapi pada beberapa

kemungkinan, yaitu analogi tembikar kesempatan, daun pandan biasa juga

pandan atau tikar sebagai tempat digunakan sebagai bahan baku

duduk para warga yang menghadiri anyaman. Siwoleuwa digunakan

ritual Mosehe Wonua; (2) penyebutan sebagai alas untuk meletakkan kalo

kain putih untuk kain kaci putih, dalam dalam upacara-upacara adat Tolaki.

RMpenyair lebih spesifik menyebut Selanjutnya, pilihan kata melilit,

jenis kain: tetoron, selain itu ada simpulrotan, berlingkaran, pinang dan

penambahan keterangan – dedaunan siri (maksudnya daun sirih),

persaudaraan kesucian, sebuah dan tetoronputih merupakan

penjelasan yang mengacu pada makna rekonstruksi dari ornamen kalo atau

kain putih yang dijadikan alas kalosara, pokok adat suku Tolaki.

kalosara; (3) penyebutan kalosara Ornamen budaya ini sudah sangat

secara nyata menegaskan relasi dari dipahami untuk selalu hadir dalam

benda-benda yang disebutkan kesatuan paket yang terdiri atas kalo,

sebelumnya bahwa mereka dihadirkan daun sirih, pinang, dan kapur,

sebagai satu kesatuan dengan kalosara, diletakkan di atas siwole uwa dengan

pokok adat suku Tolaki. Hal ini tidak beralaskan kain kaci putih. Penyair

secara nyata direkonstruksikan dalam memilih jenis kain tetoron sebagai

RM; dan (4) Penegasan bahwa taawu pengganti kain kaci. Selain itu, di

dihunuskan demi seseorang atau dalam RMpenyair merekonstruksikan

sekelompok orang, dengan alat pisau ‘o piso’ yang diperlukan di

melesapkannya ke dalam larik dalam ritual dengan diksi taawu.

berbentuk kalimat pertanyaan /Demi Penyair memberikan penjelasan di

siapa mata taawu dihunuskan?/. Di bawah puisinya (taawu: pedang

dalam RMRT tidak lagi diberi panjang khas adat suku Tolaki).

keterangan tentang makna kata taawu, Di dalam RMRT, penyair

dengan asumsi pembaca sudah mengulang rekonstruksi alat/benda

mengetahuinya dari catatan puisi RM. yang digunakan dalam Mosehe Wonua dengan menambahkan beberapa

127


Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 116—134

Tata Cara Pelaksanaan

Penyair melesapkan rekonstruksi tata cara pelaksanaan ritual MoseheWonua di dalam badan puisi- puisinya. Di dalam bait pertama RM terekam bahwa ornamen lengkap kalosara sebagai simbol persaudaraan suci digunakan dalam ritual. Sementara itu, bait kedua RM merekonstruksikan peran pabitara selaku pemimpin ritual menuturkan mantra-mantra mosehe, disambung dengan rekonstruksi pengurbanan kerbau putih sebagai tumbal ritual. Dengan konten yang persis sama, tata cara pelaksanaan ritual Mosehe Wonua direkonstruksikan pada bait kedua, ketiga, dan keempat puisi RMRT.

Sementara itu, dalam puisi RK penyair merekonstruksikan pelaksanaan ritual Mosehe Wonua dalam konteks kekinian. Pada bait pertama terbaca adanya tari lulo dalam pelaksanaan ritual. Fenomena ini merupakan perkembangan pelaksanaannya pada zaman sekarang. Terlebih, pada beberapa larik lainnya dimunculkan pesan kepunahan tradisi mosehe. Misalnya pada larik /Kubiarkan engkau menjamah tradisi Haluoleo/, /yang hampir ranggas/, dan /Rahasia gelombang sukma orang Tolaki yang terkubur waktu/. Yang hampir ranggas dan yang terkubur waktu sangat jelas merekonstruksikan posisi ritual Mosehe Wonua pada era modern yang sedikit banyak mulai ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya dan mulai bergeser menjadi produk budaya yang sudah tereduksi nilai kesakralannya, digantikan dengan nilai-nilai ekonomi atas nama pembangunan.

Siapa (yang Melaksanakan) Ritual Mosehe Wonua?

Beberapa orang yang terlibat dalam pelaksanaan ritual Mosehe

128

Wonua dengan tugas tertentu, yaitu to’ono mosehe (masyarakat yang berkumpul mengikuti ritual), to’onomosahu (penombak kurban), o ima (imam yang menyembelih kurban), mboawoy (panitia pelaksana, termasuk di dalamnya to’ono motuo), dan mbusehe (pembaca mantra). Beberapa orang yang terlibat dan terkait dalam pelaksanaan ritual Mosehe Wonuadirekonstruksikan oleh penyairpada keempat puisi data.

Dalam RM terdapat kata pabitara yang bermakna hakim adat/juru bicara. Pabitara digambarkan menuturkan petuah leluhur suku Tolaki, ni ino saramami. Sementara itu, dalam puisi RMRT, penyair kembali menggunakan kata pabitara dengan tuturan petuah yang sama, ni ino saramami. Di dalam puisi ini, pada bait pertama dimunculkan larik /Yang berselisihan, yang menabur tabu/ yang secara keseluruhan merujuk kepada pihak yang menyebabkan ritual Mosehe Wonua itu dilaksanakan. Pada bait terakhir, rujukan ini ditegaskan dengan larik /Siapakah mencipta perang ini?/ dan /Siapa telah memanggil ritus-ritus ini?/. Ketiga larik dalam RMRT ini mengacu pada subjek yang sama, yakni pemantik dilaksanakannya ritual Mosehe Wonua. Subjek ini juga muncul di dalam PDB. Di dalam puisi yang secara keseluruhan terbaca sebagai replika kisah Kolo Imba ini, terdapat tigasubjek atau penunjuk subjek, yaitu aku lirik, kau, dan kita! Anak hawa dan adam. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ritual Mosehe Wonua, ketiganya merujuk pada satu pihak, yaitu mereka yang menyebabkan ritual Mosehe Wonua dilaksanakan.

Puisi RKmemuat lebih banyak rekonstruksi pelaksana yang terlibat dalam ritual. Pertama ada aku lirik, lalu kata engkau pada larik /Kubiarkan


Heksa Biopsi P.H.: Rekonstruksi Impresif Ritual Mosehe Wonua...

engkau larungkan tubuh di iring-

pemahaman yang cukup utuh meliputi iringan tarian/, /Terbenam ke dalam

aspek fisik dan aspek nonfisik. Aspek palung jantung Lulo/, dan /Kubiarkan

fisik ritual Mosehe Wonua meliputi engkau menjamah tradisi Haluoleo;

benda/alat, kurban, pelaksana, dan yang hampir ranggas/. Kata engkau

tempat. Sementara itu, aspek nonfisik yang digambarkan berada di dalam

meliputi informasi waktu pelaksanaan, pusaran ritual mengarahkan imaji

situasi, tujuan, dan keterkaitan ritual pembaca kepada peserta ritual. Akan

Mosehe Wonua dengan fenomena tetapi, pada bait kedua, larik /Tiba-tiba

budaya Tolaki lainnya seperti mitos kau roboh sambil menyeka derai luka/,

Wekoila, Kolo Imba, dan Konggoasa. penyair berbelok acuan, menjadikan

Segala informasi direkonstruksikan engkausebagai kerbau putih yang

melalui kata-kata yang terangkai di dikurbankan. Pada bait kedua terdapat

dalam RM, PDB, RK, dan RMRT. juga penabuh genderang, tonomotuo

Dalam kreativitas penciptaan upacara mosehe, dan mereka.

karyanya, penyair menangkap fakta Tonomotuo (atau sering juga dituliskan

sosial berupa praktik ritual Mosehe dengan to’onomotuo) dan pabitara

Wonua yang sebelumnya telah mewakili pemangku adat sebagai

dieksternalisasi melalui konstruksi pemimpin ritual, meskipun tidak

sosial suku Tolaki sebagai pemiliknya. disebut mbusehe atau mboawoy.Secara

Fakta sosial yang ditangkapnya ini umum, kata tonomotuo dan pabitara

selanjutnya diperam dalam proses dapat merepresentasikan tetua adat

batiniah konstruksi literer, lalu yang ditugasi memandu jalannya ritual.

mewujud dalam bentuk karya sastra, Demikian pula dengan keberadaan o

yaitu empat puisi dalam RitusKonawe. ima (penyembelih kurban) dan to’ono

Proses yang menjembatani data mosahu (penombak kurban)

mentah berupa ritual MoseheWonua terekonstruksi secara tidak langsung

dengan keempat puisi yang menjadi pada larik /Menggorok leher tumbal/

lahan rekonstruksi, merupakan bidang (RMRT) dan /Taawu dihunuskan/,

proses kreatif yang di dalamnya teramu /Kerbau putih sebagai simbol tumbal/

aspek imajinasi dan kreativitas penyair. (RM). Penyair merekonstruksikan

Ritual Mosehe Wonua direkostruksikan pelaku ritual Mosehe Wonua secara

dalam puisi-puisi gubahan penyair lebih makro pada RK bait pertama larik

dengan memanfaatkan bentuk dan terakhir dengan frase orang Tolaki

struktur fisik puisi (perwajahan puisi, dalam /Rahasia gelombang sukma

diksi, pengimajian, kata konkret, orang Tolaki yang terkubur waktu/.

majas, dan verifikasi).

Perwajahan puisi yang Apakah Ritual Mosehe Wonua?

ditampilkan penyair dalam puisi data mencakup pelarikan dan pembaitan. Sesungguhnya, jawaban atas

Bentuk fisik puisi jelas terlihat dalam pertanyaan, “Apakah ritual Mosehe

teknik penuangannya melalui tulisan. Wonua?” merupakan penggabungan

Pada RMRT terdapat dua larik unik dari keseluruhan pembahasan pada

yang difungsikan sebagai penjelas satu subbab Rekonstruksi Mosehe Wonua

atau beberapa larik sebelumnya. Larik dalam RitusKonawe. Dengan

penjelas ini dituliskan lebih menjorok menggabungkan dan merelasikan

dengan didahului tanda (-). Larik-larik setiap rekonstruksi penyair dalam

tersebut adalah /- persaudaraan pembahasan puisi-puisinya, diperoleh

kesucian/ sebagai penjelas larik-larik

129


Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 116—134

tentang ornamen kalosara dan larik /petuah adat turun temurun/ sebagai penjelas larik /”ni ino saramami”/. Selain pada RMRT, larik yang dituliskan menjorok juga terdapat pada RK. Dalam RK, larik /yang hampir ranggas/ merupakan kelanjutan larik sebelumnya, sehingga apabila keduanya digabungkan akan membentuk kalimat lengkap /Kubiarkan engkau menjamah tradisi Haluoleo/ /yang hampir ranggas/; demikian pula larik /tangis tikaian/ yang melengkapi kalimat pada larik sebelumnya, /Pada sisa doa, kerbau putih, dan juga kumandang/ /Tangis tikaian/.

Pemilihan diksi yang tepat mendukung efek sakral dan duka yang melekat pada ritual Mosehe Wonua. Kecermatan penyair memilih kata-kata dapat terbaca dari keseluruhan puisi data. Hanya pada dua puisi yang tampak sebagai pengulangan, yaitu RM dan RMRT. Namun, pemilihan kata cukup mendukung nilai kesakralan ritual dan lokalitas suku Tolaki, seperti yang sudah dipaparkan pada sub- subbab sebelumnya.

Pengimajian dapat ditemui pada keempat puisi data. Pada dasarnya, keempatnya memang sarat akan pengimajian. Misalnya, imaji suara (auditif) didapati pada larik-larik: /Tembangkan makna peribahasa:/ /”ni ino saramami/ (RM), /Dengarlah/ /Pabitara menyentuh sukmamu/, /Terus utuh walau guntur/ /Bergemuruh beruntun tak gentar/ (RMRT), /Apakah kau dengar swara gambus yang lindap/ /Dengan lirih bersahutan memanggil sukmamu/ (PDB), /Menghentak-hentakkan bumi, seperti bercakap/ /melarikkan gelegar karandu yang saling berperang/ (RK). Imaji penglihatan (visual) di antaranya terdapat pada larik-larik: /Tembikar pandan/ /Melilit erat simpul rotan/

130

/berlingkaran di antara pinang dan dedaunan siri/ /Beralas tetoron putih sebagai kesucian/ (RM),/Kalosara/ /Ke langit/ /Diagungkan/ (RMRT), /Di huma kebun kelapa berkabut asap, mengendap/ (PDB), /Tiba-tiba kau roboh sambil menyeka derai luka/ /Membakar dupa dan menyebar doa/ (RK). Pengimajian nonkonkret yang lebih berelasi dengan kekayaan budaya suku Tolaki adalah pengimajian pada mitos Kolo Imba, mitos Wekoila, dan tari lulo.

Pemanfaatan kata konkret dan majas atau bahasa figuratif menjadi metode yang cukup efektif dalam merekonstruksikan ritual MoseheWonua di dalam puisi data. Pemunculan kata konkret dalam puisi akan memunculkan imaji pambaca. Larik-larik dalam RM berikut memberikan representasi kata konkret hasil ramuan penyair untuk merekonstruksikan ritual Mosehe Wonua: /Taawu dihunuskan//Kerbau putih sebagai simbol tumbal/ /Darahnya bercecer mengusir sesal/ /Ia lemas telah mengusir tikai/ /Yang tak padam/.Kata konkret taawu, kerbauputih dan darahnyabercecer disandingkan dengan bahasa figuratif sekaitan peruntukan mereka di dalam pelaksanaan ritual, yaitu mengusir sesal dan mengusir tikai yang (sebetulnya mungkin) tak padam.

Aspek verifikasi yang dapat terdeteksi dalam tulisan puisi adalah rima, sedangkan ritma dan metrum lebih dapat dikenali ketika puisi dideklamasikan. Keempat puisi data dituliskan dengan model pembaitan bebas, tidak mengatur diri dalam jumlah-jumlah tertentu, baik jumlah suku kata dalam tiap larik, jumlah larik dalam tiap bait, maupun sajak bunyi antarlarik. Rima dalam keempat puisi data di antaranya dapat dijumpai pada PDB, sajak bunyi akhir tiap larik pada


Heksa Biopsi P.H.: Rekonstruksi Impresif Ritual Mosehe Wonua...

bait pertama: lindap – mengendap –

Pemertahanan Bahasa Daerah embun – sukmamu – sendu; sajak

dalam Bingkai Keberagaman bunyi akhir tiap larik pada bait kedua:

Budaya di Sulawesi Tenggara bala – sendawa – panah -

(Prosiding Kongres II Bahasa- belasungkawa; sajak bunyi akhir tiap

Bahasa Daerah Sulawesi larik pada bait ketiga: adam –

Tenggara 2014, 193-200. temaram. Pada RMRT penyair

Kendari: Kantor Bahasa Provinsi melakukan repetisi di bait terakhir

Sulawesi Tenggara. dengan mengulang kata tanya siapa: /Siapakah mencipta perang ini?/

Hastuti, H. B. P. (2013). Representasi /Siapa telah memanggil ritus-ritus

perempuan Tolaki dalam mitos: ini?/. Pengulangan ini memberi

Studi terhadap Mitos Oheo dan penekanan pada aspek siapa

Mitos Wekoila. Tesis. Kendari: sebenarnya yang menginginkan dan

Universitas Halu Oleo. mengharuskan ritual dilakukan.

Konawe, I. (2014). RitusKonawe. PENUTUP

Bantul: Framepublishing

Ritual Mosehe Wonua yang merupakan kebudayaan milik suku Tolaki, termasuk penyair,

131 Noor, R. (2007). Pengantar pengkajian sastra. Semarang: Fasindo.

direkonstruksikan ke dalam empat judul puisi pada buku RitusKonawe. Melalui kreativitasnya, penyair

Siswanto, W. (2008). Pengantar teori

sastra. Jakarta: Grasindo.

meramu informasi terkait pelaksanaan ritual tersebut, meliputi aspek pertanyaan 5w-1h (what, who, when, where, why, and how ‘apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana’), yang di dalamnya

Sudewa, I. K. (2012). “Sajak “Nyanyian Angsa” karya WS. Rendra: Analisis antropologi sastra”. Pustaka, Jurnal Ilmu- Ilmu Budaya,XII(1): 65-82.

direkonstruksikan pula aspek benda- benda dan alat upacara yang menjadi persyaratan dilaksanakannyaritual Mosehe Wonua (terbagiatas kategori kurban dan benda/alat).

Suparman. (15 Mei 2015). Upacara adat ‘mosehe’ warnai HUT ke- 184 Kendari. Diperoleh dari antarasultra.com.

Penyair membahasakan ritual MoseheWonua melalui tahap rekonstruksi literer dengan memanfaatkan struktur puisi yang meliputi perwajahan puisi, diksi, pengimajian, kata konkret, majas, dan

Syairullahwahana. (29 Desember 2011). Mosehe Wonua di Kabupaten Kolaka. Skripsi. Diperoleh dari syairullahwahana.blogspot.com

verifikasi.

Ratna, N. K. (2011). Antropologi

DAFTAR PUSTAKA

sastra: Peranan unsur-unsur kebudayaan dalam proses

Hari, C. S. (2015). Kartu pos dari tenggara: Konawe dalam puisi Syaifuddin Gani. Dalam Firman AD & Sandra Safitri Hanan(ed.),

kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratih, R. (2012). “Pendekatan intertekstual dalam penelitian


Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 116—134

132

sastra”. Teori Penelitian Sastra (editor: Jabrohim): 171—182. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rokhmansyah, A. (2011). Teori intertekstual. Diperoleh dari http://phianz1989.blogspot.com

Tarimana, A. (1993). Kebudayaan

Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.

.