JILID KE SATU - PENDAHULUAN

Bayar hutang sebelum masalah jelas

Sang bayi sebatang kara

Kabut tebal menyelimuti angkasa, tiada terdengar suara angin dan gesekan dedaunan, akankah hujan segera turun? Jalanan yang menembus hutan terasa sepi, tidak nampak manusia yang berlalu-lalang, awan putih semakin menggelayut di angkasa, dimanakah desaku?

Di saat hujan menjelang datang, ketika rombongan burung sudah balik ke sarangnya, dari balik keheningan yang mencekam tanah pegunungan terlihat ada dua orang menempuh perjalanan tanpa berkata-kata. Mereka bukan tamu yang datang dari negeri seberang, juga bukan pengembara yang tidak tahu harus beristirahat dimana.

Kedua orang itu adalah sepasang suami-istri muda, yang pria tampan dan bertubuh tegap, sementara yang perempuan cantik, elok bagaikan sekuntum bunga, pasangan yang amat serasi. Sayang status mereka sebagai suami-istri belum mendapat persetujuan dan pengakuan orang lain. Sejak setahun berselang, di luar pengetahuan orang rumah, mereka telah kabur, melarikan diri bersama.

Cuaca selalu berubah, apalagi kehidupan manusia. Ketika pertama kali meninggalkan desa kelahirannya, mereka menyangka selamanya tidak bakal balik lagi, siapa tahu baru lewat setahun, mereka telah menginjak kembali ke jalan lama, balik lagi ke kampung halaman. Bila kau tanya mengapa mereka kembali? Mungkin mereka hanya akan tertawa getir sebagai jawaban. Saat ini si pria memang sedang tertawa getir, walau hanya di dalam hati. Coba kalau bukan istrinya berulang kali memohon, bagaimanapun bernyalinya dia tidak bakal berani balik kembali ke sana.

Dia tidak berani membayangkan kesulitan apa yang bakal dia hadapi ketika pertama kali menginjakkan kakinya kembali di pintu perguruan. Tentu saja perasaan kuatir, perasaan tidak tenang itu tidak sampai dia kemukakan di wajahnya. Ketika mencoba melirik paras istrinya, dia melihat wajah istrinya lebih mendung daripada cuaca di langit, tanpa terasa dia berpikir, 'Tampaknya perasaan adik Yan tidak jauh lebih baik daripadaku.'

"Ai, lebih baik kita tidak usah pulang!" belum sempat perkataan itu meluncur keluar, tiba-tiba suara guntur yang menggelegar keras memotong niatnya. Tampaknya perempuan itu dibuat terkejut oleh suara guntur, sambil menjerit melengking, nyaris dia terjungkal ke tanah. Buru-buru si pria memeluk dan merangkulnya. "Keng, Keng-long, aku.... aku takut!"

"Masa pendekar wanita dari dua telaga takut dengan suara guntur?

Untung di sini tidak ada orang, kalau tidak, cerita ini pasti akan jadi bahan lelucon dalam dunia persilatan!" Boleh dibilang hampir seluruh umat persilatan mengenal nama besarnya Ho Ki-bu, Ji-ouw Tayhiap (Pendekar besar dua telaga), dia adalah salah satu murid preman dari Bu-tong-pay yang amat termashur kehebatannya, konon ilmu pedang Jit-cap-ji-jiu-lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat (72 jurus ilmu pedang berantai pencabut nyawa) yang dikuasainya jauh lebih hebat di bandingkan dengan kemampuan yang dimiliki Ciang-bunjin Bu-tong-pay saat itu.

Yang perempuan adalah putri tunggalnya yang bernama Ho Giok-yan, sementara yang lelaki adalah murid keduanya yang bernama Keng King-si. Mereka masih mempunyai seorang Toa-suheng yang bernama Ko Ceng-kim.

"Putri Ji-ouw Tayhiap?" terdengar Ho Giok-yan tertawa getir, "hm, hm.... putri Ji-ouw Tayhiap.... aku telah melakukan perbuatan yang sangat memalukan nama perguruan, tidak pantas bagiku untuk mengaku sebagai putri Ji-ouw Tayhiap!" "Semua ini adalah kesalahanku, akulah yang telah membuat kau ikut menderita,"

Keng King-si menundukkan kepalanya rendah-rendah. "Kaulah yang telah mencelakai aku!" seru Ho Giok-yan sambil mendepakkan kakinya. Sebenarnya Keng King-si sudah menunjukkan rasa penyesalan yang mendalam, tapi ucapan "mencelakai" dari Ho Giok-yan dirasakan begitu menusuk perasaan hatinya, membuat dia tertegun. Lama kemudian baru ujarnya dengan sedih, "Bagaimanapun kita sudah hampir setahun hidup sebagai suami-istri, masa kau belum mau memaafkan aku?"

Ho Giok-yan jadi tidak tega, sembari memukul jidatnya perlahan dia berbisik, "Tolol, kalau aku tidak memaafkan dirimu, kenapa minta kau pulang bersamaku? Aku tidak bermaksud ini itu.... hm, coba kalau bukan kau yang mencelakai aku, tidak nanti aku nyaris jatuh karena mesti menempuh perjalanan berbukit."

Mendadak seperti teringat akan sesuatu, Keng King-si segera berseru, "Ah benar, aku betul-betul tolol, masa anak sendiri pun sampai terlupakan. Coba kudengarkan dulu suara jejak kakinya." Sembari berkata dia tempelkan telinganya di atas perut istrinya, kemudian lanjutnya sambil tertawa, "Nah, sudah kudengar suaranya, dia sedang menendang dalam perutmu, setelah dewasa nanti, dia pasti akan menjadi seorang tokoh persilatan."

"Jangan cengar-cengir," tukas Ho Giok-yan sambil mendorong tubuhnya, "aku tidak berminat melihat tampang jelekmu! Lihatlah, mendung telah menggelayut, sebentar lagi hujannya pasti sangat deras, ayo cepat berangkat!"

"Eh, jangan terlalu cepat, hati-hati dengan anak kita!" "Jalanan ini aku lebih hapal daripada kau, bahkan tempat yang paling curam dan berbahaya pun sudah hapal di luar kepala, tidak usah kuatir, aku tidak bakal terpeleset." Setelah jalanan yang paling berbahaya dan curam terlalui, benarkah jalan di depan sana lebar dan datar?

Tentu saja jalanan yang sedang dibayangkan Ho Giok-yan dalam benaknya bukanlah jalanan ini. Sejujurnya dia sendiri pun tidak yakin dengan apa yang bakal terjadi.

Tidak tahan dia menghela napas panjang, "Ai, seandainya bukan demi bocah ini...." Dia tidak bicara lebih lanjut, tapi Keng King-si sangat memahami apa yang dimaksud. Justru karena Ho Giok-yan merasa dirinya sudah hamil dan hidup nun jauh dari kerumunan keluarga dan teman, maka dia sangat berharap bisa pulang kembali ke rumah.

"Coba lihat, awan mendung semakin menyelimuti angkasa, mungkin kita tidak sempat mencapai rumah, lebih baik cari tempat dulu untuk berteduh dari hujan angin," usul Keng King-si.

Tapi Ho Giok-yan seakan tidak mendengar, dia berjalan makin cepat. Cahaya halilintar berkilat dari balik lapisan mendung, menyusul suara guntur yang menggelegar dari ujung langit. "Kalau mau hujan, cepatlah turun hujan yang deras," umpat Ho Giok-yan tiba-tiba, "melulu suara guntur tanpa hujan, benar-benar membikin hati jadi mendelu!"

"Kalau kau merasa kesal, biar kumainkan seruling untuk menghilangkan rasa kesalmu itu."

Sambil berkata Keng King-si mengeluarkan sebuah seruling dan mulai memainkan lagu kegemaran nona itu. Mengikuti irama seruling, Ho Giok-yan pun bersenandung, "Di ujung malam nan dingin Burung gagak terpekur di ujung ranting. Rembulan tergantung di tepi langit, sepi, sendiri. Cahaya berkilauan terpercik bagai kaitan emas.... Tertidur dalam pembaringan bersulam indah. Harum bunga semerbak, menyebar di balik kelambu. Kudengar suara langkah di luar jendela.

Tidak kulihat kekasihku, dimana kau telah bersembunyi." Semakin bersenandung, nona itu nampak semakin tidak tenang, hatinya semakin gundah dan kalut. Akhirnya dia tidak sanggup menahan diri lagi, tiba-tiba berteriak, "Jangan kau lanjutkan, makin lama hatiku makin gundah!"

"Kenapa kau?" tanya Keng King-si melengak, tapi begitu melihat perubahan raut mukanya, pemuda itu segera mengerti apa gerangan yang terjadi, katanya setelah menghela napas, "Jadi kau masih marah padaku?"

Benar, sebenarnya lagu ini merupakan lagu favorit Ho Giok-yan, karena lagu ini pula dia terpesona dan hanyut oleh Ji-suhengnya. Di malam yang hening dan sepi, mereka telah melakukan perbuatan dosa, perbuatan yang berakibat fatal. Pada malam itu pula, untuk pertama kalinya dia meneguk arak, bukan.... bukan arak, tapi cawan kegetiran dari kehidupan mereka.

"Tidak ingin melakukan pun sudah terjadi, apalagi yang bisa dikatakan?" keluh Ho Giok-yan, "aku bukan marah kepadamu, hanya merasa tidak punya muka untuk bertemu dengan ayahku juga diriku sendiri." "Sejujurnya," mendadak Keng King-si berkata, "aku merasa sedikit takut. Aku takut setibanya di rumah nanti, kita tidak bakal menjadi suami-istri lagi. Lebih baik kita balik ke Liauw-tong, kita kembali ke sini setelah anak kita lahir nanti."

"Sejelek apapun wajah seorang menantu, akhirnya toh harus bertemu juga dengan sang mertua, biar takut pun kau harus menjumpainya. Betul ayah berhati keras dan disiplin, tapi aku tahu dia sangat mencintaiku. Kini nasi telah menjadi bubur, siapa tahu memandang wajah bakal cucunya, paling dia hanya mencaci-maki padamu habis-habisan, pada akhirnya toh tetap memaafkan dirimu. Eeei.... Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Aku.... aku tidak memikirkan apa-apa," sahut Keng King-si tergagap, "haah, hujan lebat telah tiba, cepat, cepat kita mencari tempat berteduh." Kali ini tidak ada suara guntur, tiba-tiba saja hujan turun dengan amat derasnya. Mereka bersembunyi di bawah sebuah dinding bukit yang menonjol keluar dari sebuah tanah pebukitan, hujan turun makin deras, sementara Ho Giok-yan hanya duduk termangu, entah terbuai oleh suasana hujan atau sedang tenggelam dalam pikiran lain. Tiba-tiba dia teringat kembali kepada Toa-suhengnya, Ko Ceng-kim, ketika meninggalkan rumah waktu itu, di saat berpisah dengan Ko Ceng-kim, hujan pun turun sangat deras, sederas saat ini. Dia merasa tidak punya muka untuk bertemu orang, sebenarnya bukan malu bertemu ayahnya, tapi malu bertemu Toa-suhengnya. "Ehm, Toa-suheng.... di saat dia sedang membayangkan sosok Ko Ceng-kim, tiba-tiba Keng King-si buka suara. Kontan Ho Giok-yan merasakan hatinya bergetar keras, teriaknya, "Kau tidak usah menyembunyikan perkataan yang ingin kau ucapkan, katakan saja kepadaku terus terang!"

"Sejujurnya, yang kutakuti adalah Toa-suheng," bisik Keng King-si. "Jangan kuatir, dia pasti bersedia memaafkan dirimu."

"Tidak, tidak mungkin, aku tahu, dia tidak akan melepaskan aku!"

"Percayalah padaku, sesungguhnya Suheng sudah memaafkan dirimu sejak dulu."

"Darimana kau tahu?" "Kau tidak pernah mau percaya ucapanku, memangnya baru mau percaya jika Toa-suheng sudah mengutarakan sendiri kepadamu?" Pada saat itulah cahaya halilintar berkelebat, mendadak mereka lihat ada dua orang sedang berlarian menuju ke arah mereka. Bahkan orang yang berlari di depan tidak lain adalah Toa-suheng mereka, Ko Ceng-kim. Orang yang mengikut di belakangnya adalah si pelayan tua Ho Liang, lantaran sudah berumur, lari Ho Liang sangat lambat, ketika dia masih berada di kaki bukit, Ko Ceng-kim sudah muncul di hadapan mereka berdua. Ho Giok-yan merasa sangat keheranan, rumah mereka berada di sebuah dusun lebih kurang lima li selatan bukit, mengapa mereka datang ke atas bukit? Mungkinkah mereka pandai meramal hingga sudah menduga akan kedatangan mereka, khusus datang menyambut kepulangannya? Ai, mengapa wajah Ko Ceng-kim nampak dingin, gelap dan menyeramkan? Dia tidak berbicara, sorot matanya yang dingin bagaikan tusukan pisau beralih dari tubuhnya ke tubuh Keng King-si, menatapnya tanpa berkedip seakan sedang mengawasi musuh besar yang telah membantai seluruh anggota keluarganya. Hujan yang turun mulai mereda, langit pun tidak seberapa gelap. Namun Ho Giok-yan langsung bergidik melihat mimik muka Ko Ceng-kim, bulu kuduknya bangun berdiri. Jauh lebih bergidik, jauh lebih merinding daripada terhembus hujan angin tadi. Dia cukup memahami perasaan Ko Ceng-kim yang terluka, tapi tidak mengerti dengan sikap dingin, kaku, menyeramkan yang ditampilkan saat ini. Sejak dulu hingga kini, ia belum pernah melihat sorot mata Ko Ceng-kim yang dipenuhi rasa benci dan dendam yang begitu mendalam. Ko Ceng-kim tidak berbicara, dia pun semakin tidak berani bersuara. Pemandangan setahun berselang kembali melintas dalam benaknya, waktu itupun dia berpisah dengan Ko Ceng-kim di tengah hujan deras, dia bahkan melihat air mata yang meleleh dari kelopak matanya. Namun sorot mata itu tiada rasa benci maupun dendam, tapi kini paras mukanya jauh lebih gelap, jauh lebih menyeramkan daripada dulu! "Bisa dimaklumi dia merasa sedih sekali melihat aku dan Keng-si balik. Tapi tidak seharusnya dia tunjukkan rasa sedih yang jauh lebih mendalam dari-pada waktu perpisahan tempo hari! Waktu itu aku tidak punya rencana untuk balik lagi, dia pun menyangka tidak bakal bertemu aku lagi untuk selamanya. Tapi dia tetap berbesar hati, tetap mengampuni kesalahan kami. Dan sekarang kami telah kembali, kenapa dia justru bersikap begitu? Jangan-jangan ada kejadian lain yang jauh lebih menyedihkan, jauh lebih tragis daripada hari perpisahan kita waktu itu?" Dia merasa tidak sanggup menghadapi sorot mata Ko Ceng-kim yang begitu dingin membeku, kendatipun sorot mata itu bukan tertuju kepadanya. Akhirnya dengan memberanikan diri dia menyapa, "Toa-suheng, kami telah kembali!" Saat itulah Ko Ceng-kim baru berpaling, sahutnya hambar, "Sudah seharusnya kau kembali sejak dulu!" Dia mengatakan kalau "kami" telah kembali, tapi jawaban dari Ko Ceng-kim justru hanya menyinggung tentang "kau". Dia tidak berani mempercayai pandangan matanya, juga tidak berani mempercayai pendengarannya. Ternyata apa yang terjadi jauh berbeda seperti apa yang dibayangkan semula! Sekarang dia mulai merasa, dan ternyata rasa kuatir Keng King-si bukan rasa khawatir tanpa alasan. Setelah termangu beberapa saat, katanya lagi dengan nada gemetar, "Toa-suheng, kami tahu, kami telah berbuat salah kepadamu...."

"Kau sudah pernah mengutarakan persoalan ini, jadi tidak usah diulang untuk kedua kalinya. Aku sendiri pun belum pernah menyalahkan kau karena urusan ini." Lagi-lagi dia hanya menyinggung dirinya seorang! Sekali lagi Ho Giok-yan memberanikan diri, katanya, "Toa-suheng, lalu bagaimana dengan perkataan yang pernah kau katakan itu?" "Apa yang telah diucapkan pasti akan kulaksanakan, tidak pernah kuulang untuk kedua kalinya!"

"Terima kasih atas janji Toa-suheng yang selalu ditepati," timbul kembali setitik harapan di hati Ho Giok-yan, "Keng-si, cepat beri hormat kepada Toa-suheng...." Mendadak perkataannya seperti membeku ditengah jalan, tidak sanggup dilanjutkan lagi. Paras muka Ko Ceng-kim masih kelihatan dingin, kaku dan membeku, hanya saja di balik sorot mata yang tertuju ke wajahnya terselip beberapa bagian rasa iba, kasihan dan sedih. Tampaknya Keng King-si sendiri pun dibuat kaku membeku karena sikap aneh itu, dia sama sekali tidak bergerak. Bergidik hati Ho Giok-yan, teriaknya tanpa sadar, "Toa-suheng, masa kau lupa, bukankah hari itu kau berkata sendiri kepadaku...."

"Aku tidak lupa," tukas Ko Ceng-kim cepat, "setiap patah kata yang pernah kuucapkan tidak pernah kulupakan, yang melupakan justru kau sendiri!" Lupa? Mana mungkin dia lupa? Pemandangan saat itu seakan terpampang kembali di depan mata! Sama seperti saat ini, hujan turun dengan derasnya, persis seperti sekarang, dia pun berdiri di hadapan sang Toa-suheng, yang beda hanya waktu itu Keng King-si tidak hadir. Sikap Ko Ceng-kim tidak jauh berbeda seperti sikapnya barusan, menatapnya tanpa berkata-kata. Tanpa peduli air hujan yang masih turun dengan derasnya, cepa t dia menjatuhkan diri berlutut. "Suko, aku bersalah kepadamu.... aku.... aku...."

"Kenapa kau? Kalau ingin bicara, bicaralah secara baik-baik, tidak usah begitu!"

"Aku merasa tidak punya muka untuk bicara denganmu, aku hanya memohon...."

Tiba-tiba Ko Ceng-kim menghela napas panjang, ujarnya, "Apakah kau hendak pergi bersama Ji-sute?"

"Suko, jadi kau sudah tahu?" seru Ho Giok-yan dengan tubuh bergetar. Ko Ceng-kim manggut-manggut, wajahnya ter-lihat jauh lebih gelap, jauh lebih kelam daripada cuaca di langit. "Suko, aku tidak dapat menjadi istrimu!" seru Ho Giok-yan sambil menangis terisak, "aku tidak berani memohon pengampunan darimu, aku hanya berharap lepaskanlah dia."

"Ai.... sejak awal sudah kuduga bakal terjadi peristiwa ini," Ko Ceng-kim menghela napas, "Ji-sute pintar, berbakat dan pandai merebut hatimu. Aku memang kalah dibanding dia!"

"Suko, bukannya aku ingin berubah pikiran. Sejak kecil ayah telah menjodohkan aku kepadamu, seharusnya aku pun ingin sekali menjadi istrimu. Aai.... padahal tidak ada gunanya kusinggung lagi persoalan ini sekarang, karena biar kukatakan pun belum tentu kau mau percaya." Berkilat sepasang mata Ko Ceng-kim. "Jadi maksudmu kau kena bujuk rayunya? Kau tertipu oleh siasat busuknya?"

"Semua kejadian ini tidak bisa menyalahkan dia, kalau mau disalahkan, salahkan nasibku yang jelek, kenapa ditakdirkan harus menerima aib seperti ini!"

"Maksudmu, sesungguhnya kau pun menyukainya?"

"Suko, kau tidak usah bertanya lagi. Bila kau bersedia memaafkan kami, biarkan kami pergi dari sini. Kalau enggan memberi maaf, aku sudah siap menerima hukuman yang kau jatuhkan!" Karena dia bersedia menanggung semua resiko akibat kesalahan yang telah diperbuatnya, tentu saja Ko Ceng-kim tidak bisa bertanya lebih jauh. Akhirnya Ko Ceng-kim mengulap tangannya berulang kali sambil berkata, "Kalian boleh pergi, selama Ji-sute benar-benar baik kepadamu, aku pun tidak akan menyalahkan dia, cuma.... "Cuma kenapa?"

"Apa rencana kalian selanjutnya?"

"Hidup mengasingkan diri, pergi ke ujung dunia dan tukar nama."

"Aai.... kenapa mesti berbuat begitu?" Ko Ceng-kim menghela napas panjang. "Kau bukannya tidak tahu tabiat ayahku, apalagi selama inipun dia tidak menyukai King-si. Bila kejadian ini sampai ketahuan, aku sebagai putrinya mungkin bisa lolos dari kematian, tapi King-si.... aku takut, paling tidak ilmu silatnya bakal dimusnahkan!"

"Kalau begitu menyingkirlah sementara waktu, bila rasa gusar Suhu sudah mereda, biar kubantu kalian membujuknya. Cuma orang persilatan banyak yang licik dan berhati keji, sementara kalian masih muda, belum berpengalaman, dalam pergaulan di dunia persilatan berhati-hatilah bercampur dengan orang, jangan salah berkenalan, jangan salah bergaul hingga menyimpang dari norma kebenaran, kalian jangan merusak nama baik ayahmu."

"Suko tidak usah kuatir, kami pun takut kalau sampai tertangkap ayah. Jadi mana mungkin berani meminjam nama besarnya untuk membuat keonaran di dunia persilatan? Aku toh pernah berkata, kami sudah memutuskan untuk hidup mengasingkan diri, memendam nama, hidup nun jauh di ujung langit. Yang penting kami bisa hidup aman dan tenteram."

"Padahal kalian tidak perlu putus asa dan berkecil hati, memang benar tabiat Suhu keras dan kaku, tapi aku percaya dia tetap akan memaafkan kalian bila balik lagi besok. Saat itu kalian masih bisa menjadi sepasang pendekar muda-mudi yang termashur." "Semisal bakal terjadi seperti itu, aku rasa itu akan terjadi pada delapan sampai sepuluh tahun mendatang."

"Sekalipun Ji-sute takut pada Suhu, tidak seharusnya dia ketakutan sampai begitu, padahal kalian tidak perlu...."

"Aku tahu. Kepergian kami tanpa sepengetahuannya, mungkin hal ini bisa membuat dia orang tua semakin gusar. Tapi posisiku sekarang ibarat kawin dengan ayam ikut ayam, yang bisa kulakukan hanya mengikuti pendapat King-si." Padahal sesungguhnya ada satu masalah yang tidak berani dia katakan kepada Ko Ceng-kim, dia tahu orang yang sesungguhnya paling ditakuti Keng King-si bukanlah ayahnya, melainkan Ko Ceng-kim itu. "Kalau memang kau sudah bertekad akan pergi bersamanya, aku pun tidak akan menghalangi lagi," ujar Ko Ceng-kim kemudian, "aku hanya berharap kau selalu ingat pada ucapanku."

"Aku akan mengingatnya selalu di dalam hati. Suko, bila kau tidak ada persoalan lain, biarlah aku pergi sekarang juga."

Tidak disangka setahun baru lewat, mereka telah kembali lagi. Yang lebih di luar dugaan ternyata apa yang selama ini dikuatirkan suaminya, kini telah menjadi kenyataan. Pemandangan di sekeliling tempat itu masih tetap seperti sedia kala, mengapa nada bicara Ko Ceng-kim sama sekali telah berubah. Dengan nada sedikit mendongkol, segera tegurnya, "Toa-suheng, aku melupakan apa?"

"Aku pernah berkata, aku bisa memaafkan perbuatan Keng King-si yang merampas kau dari sisiku, tapi belum pernah berkata dapat memaafkan setiap perbuatan yang dia lakukan! Apakah kau ingin aku mengulang sekali lagi perkataan ini?"

"Tapi kami tidak melakukan perbuatan sesat, kami tidak terjerumus ke jalan serong, bahkan kami tidak pernah menodai nama baik ayah!"

"Aku tidak mengatakan kau!" dengan wajah tanpa perasaan Ko Ceng-kim menukas ketus. Keng King-si tidak tahu apa saja yang telah mereka bicarakan waktu itu, dia hanya tahu Ko Ceng-kim tidak bakal melepaskan dia. Ditatap sedemikian rupa oleh Ko Ceng-kim yang sorot matanya dingin membeku, lama kelamaan King-si tidak kuasa menahan diri, tiba-tiba teriaknya, "Sumoy, kau tidak perlu memintakan ampun lagi. Toa-suheng, aku tahu, aku memang bersalah kepadamu, hukuman apa yang ingin kau jatuhkan kepadaku, lakukan-lah sesuka hatimu!"

"Hm, kau bukan bersalah kepadaku, kau telah bersalah kepada Suhu!"

"Apa katamu?" teriak Keng King-si terperanjat, "Darimana aku bisa bersalah terhadap Suhu?" Ko Ceng-kim tidak menjawab. Sementara itu Ho Liang si pelayan tua telah menyusul sampai di situ. Ho Liang adalah pelayan setia mereka, dia sangat setia terhadap ayahnya, bicara soal tingkatan, dia masih jauh di bawahnya. Dengan napas tersengal Ho Liang menuding ke wajah Keng King-si sambil mengumpat, "Kau.... kau bukan cuma telah berbuat salah, kau.... kau bajingan laknat!"

"Paman, kau jangan mencaci-maki dulu," cegah Ko Ceng-kim cepat, "lebih baik kita tanya dulu sampai jelas sebelum bicara lebih jauh."

"Apalagi yang mesti ditanya? Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri!" Tampaknya Keng King-si mulai panas hatinya, agak gusar serunya, "Kalau bicara yang jelas, apa yang kau saksikan? Kenapa kau memakiku bajingan laknat?"

"Persoalan ini pasti akan kuungkap sampai jelas," kata Ko Ceng-kim sambil mengulapkan tangan, "sumoy, lebih baik pulanglah dulu bersama Ho-toasiok!"

"Tidak, aku sudah hidup sebagai suami-istri dengan King-si, persoalannya adalah persoalanku juga, aku akan tetap tinggal di sini menemaninya!"

"Siocia, tahukah kau perbuatan apa yang telah dia lakukan?" teriak Ho Liang gusar, "kalau sudah tahu tapi masih berusaha melindunginya, jangan salahkan kalau aku.... aku...."

"Apa yang hendak kau lakukan terhadapku?" Ho Liang memang menyaksikan sendiri gadis itu tumbuh hingga dewasa, selama ini boleh dibilang dia sangat sayang dan mencintainya bahkan memperhatikan segala keperluan gadis itu hingga detilnya, kini walau-pun darah segar meleleh dalam hatinya, namun dengan nada yang lembut ujarnya, "Siocia, aku percaya kau telah ditipu habis-habisan oleh bajingan laknat ini. Kau adalah seorang gadis ceria yang saleh dan berhati lembut, tidak mungkin berbuat seperti dia, gila, sinting dan tidak punya peri kemanusiaan!" Maksud perkataannya sangat jelas, andai dia mengetahui perbuatan suaminya atau dia masih mempercayai ucapan suaminya, maka dia sendiri pun sudah gila, sinting dan tidak berperi kemanusiaan! Kejut bercampur tercengang mencekam hati Ho Giok-yan, segera bentaknya, "Sebenarnya apa yang telah dia lakukan? Cepat katakan!"

"Sumoy," bujuk Ko Ceng-kim, "tidak ada salahnya kau tetap tinggal di sini, tapi hal ini akan semakin menusuk perasaan hatimu!"

"Biar langit ambruk pun aku tak bakal takut!" sahut Ho Giok-yan lantang, sementara dalam hati pikirnya, 'Tatapan mata kalian yang begitu dingin menyengat pun sudah menusuk perasaanku, rangsangan apalagi yang tidak bisa kutahan?' "Baiklah," kata Ko Ceng-kim kemudian, "kalau begitu aku minta kau menjawab pertanyaanku dengan sejujurnya, kemarin malam apakah kau ada bersama Keng King-si?"

"Toa-suheng, mau apa kau menanyakan persoalan ini?" seru Ho Giok-yan dengan wajah bersemu merah. "Jawab pertanyaanku!" hardik Ko Ceng-kim keras. "Kalau aku tidak bersama dia, lalu bersama siapa?"

"Apakah semalaman suntuk dia selalu berada di sisimu?" Bergetar keras perasaan Ho Giok-yan. 'Toa-suheng, dia.... darimana dia bisa tahu? Apakah dia sudah mengetahui jejak kami sejak awal hingga semalam pun datang mengintai?' pikirnya. Ternyata kemarin malam, ada sesaat Keng King-si memang tidak berada di sampingnya. Mereka menginap di sebuah losmen kecil, ketika terbangun di tengah malam Ho Giok-yan tidak melihat suaminya berada di sampingnya, kurang lebih setengah jam kemudian suaminya baru muncul kembali. Ho Giok-yan sendiri pun tidak tahu kemana dia telah pergi. Kini dia dihadapkan pada pertanyaan itu, haruskah menjawab dengan sejujurnya atau lebih baik berbohong? Untuk sesaat Ho Giok-yan jadi bimbang dan tidak tahu bagaimana mesti menjawab. Tiba-tiba Keng King-si bangkit berdiri, serunya, "Aku percaya tidak pernah melakukan perbuatan memalukan yang takut diketahui orang, tidak perlu ditutupi lagi. Benar, semalam aku telah meninggalkan rumah penginapan karena harus menyelesaikan satu urusan pribadi."

"Hm, kau masih berani mengatakan tidak melakukan perbuatan yang malu diketahui orang, menurutku kau memang manusia gila yang sinting dan tidak punya otak!" Ko Ceng-kim segera mengulap tangannya mencegah Ho Liang bicara lebih lanjut. Ho Liang menurut dan segera menyingkir ke samping, tapi dia tetap mengomel, "Kalau masih ingin diperiksa, periksa saja. Padahal bukti seberat bukit sudah tertera di depan mata, kenapa mesti diperiksa lagi!" Ko Ceng-kim tidak menanggapi, dia berpaling dan tanyanya kepada Keng King-si, "Urusan pribadi apa?"

"Menjumpai seorang sahabat."

"Siapa orang itu?"

"Kau tidak berhak mengetahui urusan pribadiku! Aku toh bukan seorang narapidana, jangan kau menanya aku seperti memeriksa seorang terpidana." Kemarin malam, Keng King-si pun menggunakan jawaban yang sama untuk menanggapi pertanyaan istrinya. Ho Giok-yan mulai curiga bercampur tidak tenang, lamat-lamat dia mulai merasa gelagat tidak beres. "Keng-long!" buru-buru dia membujuk, "kalau memang tidak pernah melakukan perbuatan jahat, kenapa kau tidak berani berterus terang kepada Toasuheng?"

"Masa kau pun tidak percaya kepadaku?" Keng King-si tertawa getir. Mendadak Ho Liang menjerit keras, "Aku tidak sanggup menahan diri lagi, Ko-siauya, biar kau melarang aku berbicara pun aku tetap akan bicara. Bajingan laknat dari marga Keng, setelah melakukan perbuatan busuk yang teramat berdosa, kau masih berlagak pilon? Kau.... kau benar-benar bedebah, bangsat keparat!" Umpatan terakhir dia ucapkan sambil menuding wajah Keng King-si. "Baiklah," ujar Ko Ceng-kim pula, "kalau dia tidak berani mengakui, biar aku yang mewakilinya bicara!" "Ho-toasiok!" teriak Ho Giok-yan dengan perasaan tercengang, "apakah kau tahu perbuatan apa yang telah dia lakukan semalam?"

"Tentu saja aku tahu, semalam dengan mata kepala sendiri kusaksikan perbuatannya, kusaksikan semua perbuatan terkutuk yang telah dia lakukan, jangan harap dia bisa memungkirinya!"

"Sebenarnya perbuatan apa yang telah dia lakukan? Tolong katakan kepadaku, bagaimanapun aku berhak mengetahuinya bukan?" Sementara itu air mata telah jatuh bercucuran membasahi wajah Ho Liang, tapi nada suaranya masih kedengaran dingin dan tajam, "Kemarin malam dia sama sekali tidak pergi menjumpai sahabatnya, dia kembali ke rumahmu dan membunuh ayahmu!" Waktu itu hujan telah berhenti. Tapi perkataan Ho Liang bagaikan guntur yang menggelegar di siang hari bolong, membuat Ho Giok-yan terperana, tertegun dan melongo. Dia seolah tidak percaya dengan pendengaran sendiri, lama setelah tertegun, tanyanya, "Ho-toasiok, kau.... apa kau bilang?"

"Tahukah kau, dia adalah musuh besar pembunuh ayahmu?" Ho Giok-yan mundur sempoyongan, dengan susah payah akhirnya dia berhasil menenangkan diri, jeritnya, "Aku tidak percaya! Aku tidak percaya! Mana mungkin ayah tewas di tangannya?" Sambil menghela napas Ho Liang menggeleng kepala berulang kali, katanya, "Kapan toasiok pernah membohongimu? Kau tidak mau percaya pun tetap harus percaya. Ayahmu benar-benar telah tewas dibunuh bajingan laknat itu. Dan bajingan laknat itu tidak lain adalah...."

"Tidak, tidak mungkin bajingan laknat itu adalah dia!" potong Ho Giok-yan cepat. "Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mana mungkin salah?" Sikap Keng King-si waktu itu sangat tenang, bahkan tenangnya luar biasa. Ujarnya perlahan, "Toa-suheng, sewaktu Suhu terbunuh, apakah kau pun berada di rumah?"

"Hm, kalau aku berada di rumah, mana mungkin bajingan laknat itu dapat melarikan diri?" sahut Ko Ceng-kim sambil menggigit bibir. "Kalau begitu bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ho-toasiok?" "Tentu saja boleh." Dengan hawa amarah yang masih meluap Ho Liang mendengus dingin. "Kau masih mencoba menyangkal?" jengeknya. "Pertanyaan saja belum kuajukan, darimana kau tahu kalau aku akan menyangkal?"

"Baik, kalau begitu tanyalah!"

"Jam berapa Suhu dibunuh orang semalam?"

"Kurang lebih mendekati kentongan kedua."

"Semalam kami tinggal di dusun Gou-bin-tin." Dengan perasaan tidak sabar Ho Liang kembali menukas, "Jarak dusun Gou-bin-tin dengan rumah kita hanya selisih dua puluh lima li, dengan ilmu meringankan tubuh yang kau miliki hanya butuh waktu setengah jam untuk mencapainya."

"Kemarin, sejak kentongan kedua hingga kentongan ketiga dusun Gou-bin-tin ditimpa hujan deras, waktu itu kau ada di rumah, apakah hujan juga sedang turun di situ?" "Betul, memang sedang hujan."

"Aku masih ingat, Suhu punya kebiasaan tidur lebih awal, apakah waktu itu dia sudah tertidur?"

"Aku tidak tahu apakah saat itu dia sudah tertidur atau belum, tapi aku mendengar dia seperti menjerit kaget dalam mimpinya, ketika aku menyusul ke dalam kamar, saat itu kau si bajingan laknat telah membunuhnya!" Berulang kali Ho Liang mengatakan kalau dia menyaksikan semua peristiwa itu dengan mata kepala sendiri, seakan sudah tidak ada peluang lagi bagi lawan untuk membantah atau menyangkal. Tiba-tiba Keng King-si bertanya, "Sumoy, apakah ayahmu punya kebiasaan tidur dengan lentera tetap menyala?"

"Tentu saja tidak!"

"Ho-toasiok, ketika kau mendengar Suhu menjerit kaget, tentunya kau tidak memasang lentera terlebih dulu sebelum menyusul ke sana bukan?"

"Betul, aku memang tidak sempat melihat jelas raut mukanya, tapi aku melihat bayangan punggungmu. Waktu itu kau sedang melompat keluar lewat daun jendela! Kau masuk perguruan pada usia sepuluh tahun, sedang tahun ini baru berusia dua puluh dua tahun. Aku melihat kau tumbuh dewasa, aku telah melihatmu selama dua belas tahun, biar mataku rabun pun tidak bakal salah melihat orang!" "Lumrah bila di hari biasa kau dapat mengenaliku hanya melihat dari bayangan punggung, tapi semalam...."

"Semalam kenapa?"

"Semalam hujan turun sangat deras, langit gelap tidak berbintang tidak berembulan. Menurut penuturanmu, aku pun saat itu sedang melarikan diri dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, mana mungkin hanya memandang sekilas bayangan punggungku kau lantas dapat mengenali aku?"

"Benar," ucap Ho Giok-yan pula dengan perasaan lega, "Toasiok, mungkin kau sudah punya rasa sentimen terhadapnya, maka...."

"Keng King-si, kau sangka dengan berbelit-belit lantas bisa lolos dari tuduhan dan kecurigaan?" hardik Ho Liang makin sewot, "betul, waktu itu aku memang tidak melihat dengan jelas, tapi aku dapat mendengar dengan jelas sekali!"

"Apa yang kau dengar?" tanya Ho Giok-yan. "Sewaktu aku berlari masuk ke dalam kamar, saat itu kudengar ayahmu sedang mengumpat, dasar binatang busuk, sudah kuwariskan ilmu silat kepadamu, ternyata kau justru menggunakannya.... Belum selesai dia mengumpat, ayahmu sudah keburu putus nyawa."

Kata umpatan "binatang" biasanya hanya digunakan untuk memaki anak durhaka atau murid sendiri yang murtad. Jika apa yang dikatakan Ho Liang tidak bohong, dapat dipastikan kecuali Keng King-si, memang tidak ada pembunuh lain. Berubah hebat paras muka Keng King-si, sesudah termangu beberapa saat tiba-tiba ia bertanya, "Toa-suheng, semalam kenapa kau tidak berada di rumah?" Belum sempat Ko Ceng-kim menjawab, dengan amarah yang meluap Ho Liang telah berkata lebih dulu, "Kurangajar, tampaknya kau berniat balik menggigit Suhengmu? Kau tahu, ayah Giok-yan justru jatuh sakit lantaran kau telah menipu dan melarikan putrinya. Semalam Ko-siauya pergi ke dusun untuk membeli obat, dia baru balik menjelang kentongan keempat."

"Aku mendatangi warung obat untuk membeli beberapa jenis obat, tauke warung bisa jadi saksi, waktu itu kentongan ketiga baru menjelang," Ko Ceng-kim menerangkan. Keng King-si menghela napas panjang. "Sayang aku tidak punya saksi, tampaknya aku mesti terima nasib, menjadi kambing hitam!"

"Bajingan keparat," umpat Ho Liang semakin gusar, "dengan berkata begitu, kau maksudkan aku dan Suhengmu memang sedang bersekongkol mencelakaimu?" Dalam gusar dia langsung menerkam maju sambil melepaskan satu tempelengan keras. Dengan sigap Keng King-si mengegos ke samping, serunya, "Ho-toasiok, mengingat kau sudah lama melayani Suhu, selama ini aku selalu menghormatimu sebagai seorang angkatan tua. Tolong jangan buka mulut langsung memaki, goyang tangan langsung menampar, kalau tidak...."

"Kalau tidak kenapa?" jerit Ho Liang makin gusar, "kau membunuh Suhu sendiri, mengkhianati perguruan, saking bencinya aku ingin mencincang tubuhmu dan menggigit dagingmu!" Walaupun ilmu silatnya jauh ketinggalan dibanding Keng King-si, namun dengan mempertaruhkan nyawa dia tetap menerkam ke depan dan memeluk tubuh pemuda itu kencang-kencang, bukan cuma begitu, dia benar-benar pentang mulut dan mulai menggigit. Tampaknya Keng King-si sendiri pun tidak sanggup menguasai emosi, dia segera pentang lengannya ke samping, lalu mendorong tubuhnya kuat-kuat. "Blukkkk!", Ho Liang terpental ke belakang dan jatuh terduduk. Buru-buru Ko Ceng-kim membangunkan Ho Liang dari tanah, siapa tahu ketika diperiksa denyut nadinya, ternyata orang tua itu sudah putus nyawa. Berubah hebat paras muka Ko Ceng-kim, dengan wajah hijau membesi dia membaringkan tubuh Ho Liang ke lantai, lalu sambil melolos pedang dia membentak, "Keng King-sin, kau ingin membunuh orang menghilangkan saksi? Jangan lupa, masih ada aku!" Tidak terlukiskan rasa kaget Ho Giok-yan, jeritnya, "Apa? Ho-toasiok, dia.... dia sudah meninggal?" Dalam waktu sekejap Keng King-si sendiri pun dibuat tertegun saking kagetnya. Ketika mendorong tadi, dia merasa tenaga yang digunakan tidak terlampau besar, mungkinkah dia sudah kesalahan hingga benar-benar mencabut nyawanya? Belum sempat ingatan itu melintas, "Sreeeet!", tusukan maut pedang Ko Ceng-kim telah meluncur datang. Buru-buru Keng King-si mencabut pedangnya sambil menangkis, teriaknya, "Mendorong Ho Liang sampai mati mungkin memang kesalahanku. Tapi aku tidak mau mengakui sebagai pembunuh Suhuku sendiri!" Ho Giok-yan sendiri pun dibuat terperanjat hingga gugup, serunya, "Toa-suheng, kenapa kau tidak memberi kesempatan kepadanya untuk membela diri?"

"Apalagi yang bisa dia katakan?"

"Paling tidak kau harus tanya dulu kenapa dia membunuh Suhu sendiri? Benar, kami memang telah melakukan perbuatan yang merusak nama baik perguruan, kejadian itu bisa jadi membuat dia orang tua gusar. Tapi aku tidak bakal percaya kalau King-si melakukan perbuatan biadab dan terkutuk ini gara-gara kuatir ditegur ayah."

"Tentu saja tidak mungkin hanya dikarenakan urusan ini saja."

"Lalu karena apa? Karena apa?"

"Kau bersikeras ingin tahu?" seru Ko Ceng-kim sambil menarik muka. "Benar, aku harus tahu!" Ko Ceng-kim menghela napas panjang, katanya, "Aku kuatir kau tidak tahan, sebenarnya aku tidak ingin kau tahu persoalan ini...."

"Ayah sudah meninggal, Ho-toasiok pun sudah mati, peristiwa apalagi yang dapat membuat aku tidak tahan?" keluh Ho Giok-yan sambil terisak. "Ai, sebenarnya aku tidak ingin kau tahu persoalan ini," lanjut Ko Ceng-kim, "tapi kalau tidak kukatakan, kau pasti akan menuduhku membalas dendam karena sakit hati pribadi. Baiklah, kalau kau memang ingin tahu, aku pun akan memberitahu secara terus terang. Karena dia sebenarnya adalah mata-mata bangsa Boan!" Pukulan batin kali ini benar-benar sangat besar dan berat, membuat Ho Giok-yan limbung dan tidak sanggup berdiri tegak. Setelah jatuh terduduk di lantai, seru Ho Giok-yan dengan suara gemetar, "Toa-suheng, kau.... apakah kau punya bukti kalau.... kalau dia...."

"Setahun berselang, kalian bertempat tinggal dimana?"

"Sebuah dusun nelayan di tepi sungai Song-hoa."

"Kenapa kalian pergi ke wilayah kekuasaan bangsa Boan?" hardik Ko Ceng-kim. "Untuk menghindari pertemuan dengan orang-orang yang dikenal," jawab Ho Giok-yan cepat. "Keng King-si, aku minta kau yang menjawab!"

"Sumoy telah mewakili menjawab, kenapa kau minta aku untuk menjawab lagi?"

"Aku kuatir kau pun telah mengelabui dia! Katakan terus terang, kenapa kau lari ke tempat itu? Biar lebih aman dan menguntungkan bila bertemu dengan pembelimu?" Sekulum senyuman getir tersungging di ujung bibir Keng King-si, sementara sinar buas memancar keluar dari balik matanya. "Ternyata dugaanku tidak salah," serunya, "Toa-suheng, rupanya kau memang sengaja mencari alasan untuk membunuhku!"

Ooo)*(ooO

Pertempuran sengit pun segera berkobar, kedua orang sesama perguruan itu terlibat dalam baku hantam yang amat seru. "Tolonglah, sementara waktu kalian jangan baku hantam dulu," pinta Ho Giok-yan setengah menjerit, "Toa-suheng, aku ingin bicara denganmu, aku ingin bicara denganmu, tolong...." "Sumoy, tidak usah memohon kepadanya. Dia tidak bakal melepaskan aku," teriak Keng King-si. Sementara Ko Ceng-kim menyahut setelah menghela napas panjang, "Sumoy, kau masih belum percaya kalau dia orang jahat? Baiklah, bila ada pertanyaan yang kau ragukan, katakan saja!"

"Di tempat itu kami hidup sebagai nelayan, rakyat yang hidup dalam dusun yang sama pun hampir semuanya nelayan," Ho Giok-yan menerangkan, "selama satu tahun penuh tinggal di situ, kami tidak pernah berjumpa dengan pejabat bangsa Boan biarpun hanya seorang. Kalau dibilang di situ ada 'pembeli', dia hanya seorang pembeli yang membeli semua hasil tangkapan kami."

"Untuk merekrut mata-mata, memang tidak perlu seorang pejabat resmi yang turun tangan sendiri."

"Tidak banyak jumlah penduduk dusun itu, dia pun jarang sekali berhubungan dengan orang luar. Aku tidak pernah menjumpai seseorang yang mencurigakan."

"Bukankah di sana terdapat seorang lelaki kekar bermata segitiga dengan telinga yang besar? Kau kenal dia bukan?"

"Orang itu bernama Huo Bu-tou, dia seorang pembeli ikan di dusun kami, semua ikan hasil tangkapan kami diborong olehnya. Ada apa dengan orang itu?"

"Peristiwa itu terjadi pada setengah tahun berselang, setengah tahun berikut tiba-tiba orang itu menghilang bukan?" Untuk sesaat Ho Giok-yan merasa terkejut bercampur ragu, tapi kemudian sahutnya juga, "Betul, konon pasar ikan di dusun itu sudah berganti pembeli lain, tapi aku tidak tahu kenapa mesti berganti orang, apalagi kami memang tidak suka mencampuri urusan orang, jadi tidak pernah menanyakannya. Toa-suheng, apakah kau tahu siapa orang ini?"

"Aku belum pernah bertemu orang ini, tapi tahu dengan jelas asal-usul dan posisinya!"

"Oh, siapa dia? Apa kedudukannya?"

"Dia adalah salah satu jago tangguh dari aliran Tiang-pek-san, sebelum jadi pedagang ikan, kedudukannya semula adalah pengawal pribadi Nurhaci Khan dari negeri Kim." Diam-diam Ho Giok-yan merasa sangat terkejut, mimpi pun dia tidak menyangka kalau orang yang berwajah begitu jelek dan lucu, bahkan sepintas mirip seorang pedagang ikan biasa itu tidak lain adalah seorang jagoan tangguh yang berilmu tinggi. Terdengar Ko Ceng-kim berkata lebih lanjut, "Tapi jabatan dia yang sesungguhnya adalah perekrut mata-mata yang diutus bangsa Boan. Dia mendapat perintah khusus dari Nurhaci Khan dan saat ini melakukan pergerakan di kotaraja kerajaan Beng kita. Untuk mempermudah dan memperlancar gerakannya, dia malah berganti nama dengan memakai nama bangsa Han, sekarang bernama Kwik Bu."

"Toa-suheng, sekalipun apa yang kau katakan itu benar, tapi apa sangkut-pautnya dengan kami?"

"Kita memang sama sekali tidak tahu jabatan sebenarnya dari orang itu," tukas Ko Ceng-kim, "kau pun mungkin tidak tahu, tapi Keng King-si tahu dengan jelas!" Kemudian sambil menatap tajam lawannya, dia membentak lagi, "Keng King-si, apakah sampai sekarang kau masih belum mau mengaku?"

"Kau suruh aku mengaku apalagi?"

"Kenapa kau balik kemari setelah menyingkir jauh ke luar perbatasan?"

"Toa-suheng, bukankah sudah kujelaskan? Akulah yang mengajak dia balik. Karena aku sudah hamil, karena aku kangen rumah...." Pipinya berubah jadi merah padam lantaran jengah, tapi demi menyelamatkan jiwa suami, dia tidak ambil peduli lagi dengan segala pantangan dan rasa malu. "Sumoy, kau sudah ditipu olehnya, sepintas kelihatannya dia balik karena permintaanmu, padahal alasan yang sebenarnya adalah karena dia telah menerima sepucuk surat rahasia dari Huo Bu-tou. Huo Bu-tou lah yang menyuruh dia balik kemari!" Dengan perasaan ragu bercampur kaget Ho Giok-yan berseru, "Masa ada surat rahasia seperti itu? Kenapa aku tidak pernah mendengar? Kenapa....?" Setajam mata pedang Ko Ceng-kim menatap lekat wajah Keng King-si, sahutnya ketus, "Tentu saja dia tidak akan mengatakan kepadamu." Lalu sambil meninggikan suaranya dia melanjutkan, "Keng King-si, urusan sudah sampai di sini, seharusnya kau pun mengerti bahwa kelicikanmu tidak bakal berhasil mengelabui aku. Berani kau mengatakan kalau tidak pernah menerima surat rahasia semacam ini? Berani kugeledah sakumu? Aku tahu surat itu akan kau gunakan sebagai tanda pengenal, jadi mustahil sudah kau bakar habis. Kalau bukan berada dalam sakumu, pasti kau sembunyikan dalam buntalanmu itu!" Sewaktu berteduh dari hujan serangan tadi, buntalan yang selalu digembol Keng King-si itu diletakkan di bawah tonjolan batu yang berada di sisi tebing, darimana Ho Giok-yan setiap saat dapat menyentuhnya. Benar saja, begitu disinggung, paras muka Keng King-si kontan berubah hebat, tanpa sadar dia melirik sekejap ke arah buntalannya. Kelihatannya Ho Giok-yan sudah termakan oleh perkataan itu, pikirnya, 'Seandainya dia memang sudah sejahat apa yang dikatakan Toa-suheng, tidak seharusnya aku berusaha melindungi dia.' Berpikir begitu, sambil menggertak gigi dia segera membuka buntalan milik suaminya itu. Begitu buntalan dibuka, benar saja, dia segera menemukan sepucuk surat. Di atas surat itu tertulis, "Siaute berada di kotaraja dan beruntung berhasil merebut posisi tinggi, tidak tertutup kemungkinan suatu hari bisa mencapai jabatan terhormat. Bila kakak berhasil menyelesaikan tugas besar, silakan datang ke kotaraja untuk bersua. Tertanda, tanpa nama." Walaupun surat itu tidak dicantumkan nama seseorang, namun Ho Giok-yan dapat mengenalinya sebagai gaya tulisan Huo Bu-tou. Di masa lalu, dia sering menjual ikan kepada Huo Bu-tou, malah dia pun sering membeli keperluan lain melalui orang ini, hingga tidak heran kalau dia banyak menerima bon tulisan Huo Bu-tou dan mengenali tulisannya. Begitu selesai membaca surat itu, sekujur badan Ho Giok-yan gemetar keras, tubuhnya menggigil bagaikan terperosok ke gudang es, tanyanya dengan nada gemetar, "Su.... surat ini...." Rasa panik dan takut yang diperlihatkan Keng King-si saat ini sudah tidak sehebat tadi, dibalasnya tatapan mata istrinya sambil berkata, "Surat itu memang benar-benar ada. Aku tidak memberitahu kepadamu karena ada alasan lain yang terpaksa. Tapi aku yakin tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan dan norma...." Sambil tertawa dingin Ko Ceng-kim segera menukas perkataannya yang belum selesai, kepada Ho Giok-yan, ujarnya, "Sumoy, sekarang kau sudah melihat dengan jelas bukan bahwa surat itu bukan surat biasa. Kini surat sudah ada di depan mata, apakah kau masih curiga kalau perkataanku semua hanya bohong?" Akan tetapi Ho Giok-yan masih nampak ragu dan penuh tanda tanya, tiba-tiba tanyanya sambil mengangkat wajah, "Toa-suheng, bukankah kau mengatakan kalau tidak kenal Huo Bu-tou?"

"Betul. Aku memang belum pernah bertemu dengan orang itu. Bentuk mukanya pernah kudengar dari pembicaraan orang lain."

"Urusan wajah hanya masalah kedua. Yang membuat aku tidak habis mengerti adalah darimana kau tahu kalau dia memberikan sepucuk surat untuk King-si? Bahkan seolah-olah kau pun sudah mengetahui dengan jelas isi surat itu! Kalau memang surat itu isinya sangat rahasia, tidak mungkin dia sembarangan memberitahukan kepada orang lain, kecuali terhadap sahabatnya yang paling karib, bukankah begitu?"

"Belum tentu harus sahabat karibnya baru tahu isi surat itu, musuhnya pun dapat mengetahui isi surat itu," dengus Ko Ceng-kim dingin. "Apa maksud perkataanmu itu?" "Jangan lupa, ayahmu adalah Ji-ouw Tayhiap, di samping itu dia pun seorang tokoh pimpinan Bu-tong-pay. Sekalipun dia tidak berada di kotaraja, bukan berarti di kotaraja tidak terdapat anak murid Bu-tong-pay! Gerak-gerik Huo Bu-tou sangat mencurigakan, tidak lama setibanya di ibukota, rahasia asal-usulnya sudah berhasil diketahui orang."

"Maksudmu, ada anak murid Bu-tong-pay yang melaporkan rahasia Huo Bu-tou ini kepada ayah? Mungkin saja rahasia asal-usulnya mudah diselidiki, tapi darimana pula kau bisa mendapat tahu tentang rahasia surat itu?"

"Dia bukan berhasil menyelidiki, tapi menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Kau tidak usah gugup atau panik, dengarkan dulu penjelasanku, kau pasti akan tahu dengan sejelasnya."

"Surat itu dibawa pulang oleh seorang pembantu kepercayaan Huo Bu-tou, orang yang mendapat tugas mengawasi gerak-gerik Huo Bu-tou segera melakukan penguntitan secara diam-diam atas pembantu itu. Hari ketiga setelah pembantu itu meninggalkan kotaraja, dia berhasil ditangkap hidup-hidup!"

"Kalau memang pembawa surat itu sudah ditangkap anak murid Bu-tong-pay, kenapa surat ini bisa diantar sampai ke tangannya?" tanya Ho Giok-yan. "Tentu saja murid Bu-tong-pay itu tidak akan membunuh si pembawa surat, dia hanya menotok jalan darah 'In-hiat' (jalan darah tersembunyi) di tubuh orang itu, apa akibatnya bila In-hiat tertotok, rasanya aku tidak perlu menjelaskan lagi kepadamu bukan?" Partai Bu-tong terkenal dengan ilmu totokan yang luar biasa, bila In-hiat seseorang sampai tertotok, maka akibatnya walaupun orang itu masih bisa bergerak seperti biasa, namun bila dia mencoba menghimpun tenaga dalam, maka perutnya akan kesakitan seperti disayat pisau. Bila In-hiat sudah tertotok, maka luka dalamnya kian hari kian bertambah dalam, jika selewat tujuh hari belum ada murid Bu-tong-pay yang membantu membebaskan pengaruh totokan orang itu, maka dia akan tersiksa dan kesakitan setengah mati sebelum akhirnya mati secara mengenaskan. Tentu saja Ho Giok-yan memahami persoalan itu, katanya kemudian, "Jadi dia memang sengaja dibiarkan hidup agar orang itu bisa berlagak tidak ada kejadian apa-apa dan tetap mengantarkan surat?"

"Betul, kalau tidak berbuat begitu, mana mungkin bisa memancing murid murtad ini masuk perangkap?"

"Siapakah anggota Bu-tong-pay yang kau maksud?"

"Ting-susiok!" Yang dimaksud sebagai Ting-susiok adalah Sam-sute dari Ho Ki-bu, ayah Ho Giok-yan, orang itu bernama Ting Im-hok, sekalipun ilmu silat yang dimiliki Ting Im-hok masih kalah jauh dibandingkan kungfu kakak seperguruannya, namun dia terkenal sebagai seorang jagoan Bu-tong-pay yang cerdas dan banyak akal. "Kenapa Ting-susiok harus mengeluarkan tenaga begitu besar untuk memancing King-si balik kemari?"

"Pertama, dia masih belum tahu secara pasti apakah Keng King-si sudah bertekad akan mengkhianati perguruan atau tidak, dia hanya kuatir termakan oleh rencana busuk lawan yang sengaja diatur begitu. Baginya membersihkan nama baik perguruan merupakan wewenang Suhu, maka dia tak ingin mencampurinya."

"Ai.... tapi tidak disangka kejadian ini mengalami perubahan yang luar biasa, perubahan itu sama sekali di luar dugaannya, walaupun si murid murtad berhasil dipancing balik, namun Suhu justru tewas dicelakai murid durhaka itu."

"Aku tidak pernah mencelakai Suhu," teriak Ken King-si keras, "surat itupun bukan surat pengantarku untuk menjadi mata-mata bangsa Boan! Aku berani bersumpah...." "Hehe.... siapa yang percaya dengan sumpah palsumu?" ejek Ko Ceng-kim sambil tertawa dingin, di tengah senyuman dinginnya dia kembali menatap wajah Ho Giok-yan. Ho Giok-yan sendiri pun tidak berani mengatakan "aku percaya", meskipun begitu, dalam hati kecilnya dia masih tetap setengah percaya setengah tidak. Sehabis menghindari tatapan mata Ko Ceng-kim yang dingin sadis, ujarnya lirih, "Aku masih mempunyai satu pertanyaan yang meragukan."

"Katakan saja!"

"Si pengantar surat adalah orang kepercayaan Huo Bu-tou, sementara Ting-susiok pun tidak membunuhnya, kenapa dia tidak balik melaporkan kejadian ini kepada Huo Bu-tou?" Maksud perkataannya adalah jika Huo Bu-tou sudah mengetahui kejadian ini, semestinya dia akan berusaha untuk mengabarkan peristiwa ini kepada Keng King-si, dan mana mungkin Keng King-si mau mengantar diri masuk perangkap?"

"Sumoy, jalan pikiranmu sungguh terlalu kekanak-kanakan!" sela Ko Ceng-kim. "Mohon Toa-suheng memberi petunjuk."

"Betul, perkataan seorang lelaki sejati harus ditaati, tapi itupun tergantung kepada siapa kita berjanji, janji terhadap seorang sahabat tentu berbeda sekali dengan janji terhadap musuh!"

"Berarti Ting-susiok tidak pernah membebaskan totokan jalan darahnya?"

"Mana mungkin Ting-susiok membiarkan orang semacam itu hidup lebih lama? Begitu dia melangkah pergi meninggalkan dusun itu, Ting-susiok segera menghabisi nyawanya."

"Lantas dimana Ting-susiok sekarang?"

"Seperti yang aku katakan tadi, telah terjadi banyak perubahan setelah peristiwa itu, mungkin yang sama sekali tidak terduga oleh Ting-susiok adalah dia justru mati terbunuh lebih dulu sebelum ayahmu dibunuh orang!"

"Apa? Ting-susiok juga terbunuh?"

"Aku sendiri pun baru mendapat berita ini pagi tadi, sekembali ke kotaraja Ting-susiok ditemukan tewas terbunuh. Tidak ditemukan bekas luka di sekujur badannya, tapi bagi jagoan silat yang berpengalaman, semua orang dapat melihat kalau dia tewas karena terkena pukulan Hong-lui-ciang (pukulan angin guntur) dari aliran Tiang-pek-san!" Untuk sesaat Ho Giok-yan berdiri termangu, bukan saja dia merasa sedih karena Susioknya mati terbunuh, yang lebih penting lagi adalah satu-satunya sisa harapan yang dia miliki, berharap perkataan Ko Ceng-kim tidak benar seratus persen, kini ikut pupus dengan kejadian itu. Ting-susiok telah mati terbunuh, kemana dia harus mencari saksi lain? Tampaknya Ko Ceng-kim dapat membaca jalan pikiran gadis itu, katanya dingin, "Ting-susiok mampir ke rumah kita lebih dulu sebelum balik ke kotaraja. Apalagi isi surat itu hanya beberapa baris, sekilas pandang dia sudah menghapalkan di luar kepala, maka waktu bertemu ayahmu, dia langsung membeberkan isi surat itu, waktu itu aku pun berada di samping Suhu."

"Siaute berada di kotaraja dan beruntung berhasil merebut posisi tinggi, tidak tertutup kemungkinan suatu hari bisa mencapai jabatan terhormat. Bila kakak berhasil menyelesaikan tugas besar, silakan datang ke kotaraja untuk bersua." Benar saja, dia pun dapat menghapal isi surat itu di luar kepala, sepatah kata pun tidak ada yang salah. "Berhasil menyelesaikan tugas besar? Bukankah tugas besar itu tidak lain menunggu kelahiran keturunan kalian?" Ko Ceng-kim sama sekali tidak mengendorkan tekanannya dengan bertanya kepada sang Sumoy. "Lalu.... lalu menurut kau.... apa.... apa yang dimaksud?" suara Ho Giok-yan semakin gemetar. "Masa perlu aku jelaskan? Seharusnya kau bisa berpikir sendiri! Mengkhianati perguruan demi mencari kedudukan, tentu saja yang paling penting lagi adalah menyelamatkan diri!" Maksud perkataan ini sudah jelas sekali, lantaran kuatir Suhunya melakukan pembersihan terhadap murid yang berkhianat, maka Keng King-si turun tangan lebih dahulu menghabisi nyawa Suhunya! Sebenarnya analisa ini sangat masuk akal dan gampang dicerna, namun bagi Ho Giok-yan, mana mungkin dia bisa menerima kenyataan yang begitu sadis dan kejam?

"Tidak, tidak, sekalipun dia telah salah jalan, aku tidak percaya kalau dia berani membunuh ayahku!" Sayang, biar tidak percaya pun mau tidak mau dia harus percaya juga, sebab sekarang dia sudah tidak dapat menemukan alasan apa pun untuk membantah pernyataan Ko Ceng-kim. "Keng King-si!" akhirnya sambil menggertak gigi dia berseru, "aku.... aku benar-benar telah salah menilaimu, kau.... kau.... apalagi yang ingin kau katakan?"

"Adik Yan!" Keng King-si tertawa getir, "kalau kau pun tidak percaya lagi kepadaku, aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Cuma...."

"Cuma kenapa?" bentak Ko Ceng-kim. "Toa-suheng, tolong beri aku waktu sepuluh hari. Setelah sampai batas waktunya, aku pasti akan balik kemari dan menerangkan semua duduk persoalan dengan sejelasnya kepada kalian!" Perkataan itu mengandung dua arti yang berbeda, pertama, pada saat dan kondisi sekarang dia merasa tidak leluasa untuk menerangkan duduk persoalan yang sebenarnya, kedua, ketika dia memohon kepada Ko Ceng-kim, istilah yang digunakan adalah "kalian", tentu saja dia berharap istrinya bisa ikut memaklumi akan kesulitannya. Diam-diam Ho Giok-yan memperhatikan sorot matanya. Dengan cepat dia dapat merasakan kepedihan hati yang dialami suaminya, tapi di balik kepedihan sama sekali tidak terselip perasaan malu atau tidak senang, malah sebaliknya menyongsong tatapan matanya dengan pasrah. Satu ingatan segera melintas dalam benak perempuan itu, pikirnya, 'Orang yang telah melakukan kesalahan atau perbuatan yang memalukan, tidak mungkin berani membalas tatapanku dengan pasrah, jangan-jangan.... dia memang menyimpan kesulitan yang susah dijelaskan?' Tapi sekarang posisi Keng King-si, dari suami telah berubah menjadi tersangka pembunuh ayahnya, dalam keadaan seperti ini bagaimana mungkin dia bisa mengabulkan permintaannya itu? Tanpa sadar sorot matanya dialihkan ke wajah Ko Ceng-kim. Sambil tertawa dingin Ko Ceng-kim segera berkata, "Kau tidak bakal balik lagi kemari, anak kecil saja tidak percaya apalagi kami! Hehehe.... setelah menghabisi nyawa Suhu, kau masih ingin berusaha meloloskan diri? Perhitunganmu sungguh kelewatan, bila aku mesti melepas kau pergi dari sini, arwah Suhu di alam baka pun tidak akan mengampuni diriku!" Sudah jelas perkataan inipun sengaja ditujukan pada Ho Giok-yan, dalam keadaan begini, apalagi yang bisa dikatakan perempuan itu? Akhirnya sambil mengeraskan hati dan menggigit ujung bibir, ujarnya dengan suara gemetar, "Toa-suheng, seharusnya akulah yang berkewajiban membalas dendam sakit hati ayahku. Tapi hari ini.... terpaksa.... terpaksa.... aku harus minta bantuanmu!"

"Sreeet!", diiringi desingan angin tajam, Ko Ceng-kim telah melolos pedangnya sambil melancarkan sebuah tusukan kilat ke tubuh Keng King-si. Sementara Ho Giok-yan menutup wajah sambil menangis terisak. "Traang!", dengan cekatan Keng King-si menangkis datangnya tusukan kilat itu, tiba-tiba ujarnya sambil menghela napas panjang, "Toa-suheng, padahal sudah kuduga kalau kau memang tidak sabar ingin menghabisi nyawaku, aku tahu, kau sudah sangat lama menantikan kesempatan ini. Bukankah begitu Toa-suheng?"

"Aku ingin membunuhmu karena ingin membalas dendam atas kematian Suhu, siapa bilang aku melakukan ini karena urusan pribadi?" tukas Ko Ceng-kim gusar, "kau telah membunuh Suhu, membunuh Ho Liang, jangan salahkan kalau aku pun tidak akan memberi muka kepadamu!" Sementara berbicara, secara beruntun dia telah melancarkan serangan berantai, ancaman pedangnya makin lama semakin cepat, tujuh puluh dua jurus ilmu pedang berantainya dilancarkan bagaikan deru angin topan. "Sreeeet!", desingan tajam membelah bumi, tahu-tahu bahu Keng King-si sudah termakan satu tusukan, meski tidak sampai melukai tulangnya, namun darah segar bercucuran keluar dengan derasnya. Ho Giok-yan melengos ke arah lain, dia tidak tega menyaksikan adegan itu. Terdengar Keng King-si berseru lagi dengan nyaring, "Toa-suheng, sebenarnya tidak patut aku bertarung melawanmu, tapi aku tidak ingin membiarkan putraku lahir tanpa ayah, bagaimanapun aku tidak akan mati dengan mata meram sebelum dapat menyaksikan putraku. Toa-suheng, kalau kau memang bersikeras ingin membunuhku, jangan salahkan kalau aku pun tidak akan mengalah lagi!"

"Hm, siapa suruh kau mengalah? Kalau memang merasa hebat, kenapa tidak sekalian bunuh diriku juga!" Suara bentrokan senjata kembali bergema silih berganti, tiba-tiba terdengar dengusan tertahan, Keng King-si mundur dengan sempoyongan, kelihatan sekali kuda-kudanya tergempur dan dia berdiri dengan gontai. "Kena!" bentak Ko Ceng-kim nyaring. Pedangnya bagai gelombang samudra menggulung tiba dengan hebatnya, langsung membabat pinggang lawan. Serangan ini dilancarkan secepat sambaran petir, bahkan dilontarkan di saat Keng King-si belum sempat berdiri tegak. Dalam anggapan Ko Ceng-kim, babatan mautnya kali ini paling tidak akan berhasil mematahkan dua kerat tulang iga lawan. Siapa sangka meski tubuh Keng King-si nampak gontai, seolah-olah tidak sanggup berdiri tegak, namun ketika dia melakukan putaran dengan gerakan melingkar, tahu-tahu ancaman maut dari kakak seperguruannya telah berhasil dihindari.

Ko Ceng-kim mendengus dingin, pikirnya, 'Tidak disangka baru berpisah satu tahun, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki bajingan cilik ini telah mengalami kemajuan pesat! Hm, tapi sayangnya, biar ilmu meringankan tubuhmu lebih hebat, jangan harap bisa menandingi tujuh puluh dua jurus serangan berantaiku.' Benar saja, baru dua puluhan jurus serangan yang dia gunakan, sekujur tubuh Keng King-si sudah terkurung di balik bayangan serangannya. "Kena!" sekali lagi Ko Ceng-kim membentak nyaring, pedangnya berputar satu lingkaran, lalu dengan gaya bacokan sebilah kwanto, dia bacok batok kepala lawannya kuat-kuat. Inilah jurus Lip-pit-hoa-san (membacok lurus bukit Hoa-san), salah satu jurus andalan Ko Ceng-kim untuk menghabisi nyawa lawannya, dengan pedang sebagai golok, bacokannya keras, ganas dan mematikan. Dalam perkiraannya, tenaga dalam yang dimilikinya masih satu tingkat lebih unggul daripada lawan, berarti bagaimanapun usaha Keng King-si untuk menangkis, mustahil adik seperguruannya berhasil membendung ancaman itu. Siapa tahu di saat tenaga serangan pedangnya sudah mencapai puncaknya, ketika mata senjata tinggal tujuh inci dari batok kepala lawan dan segera akan membelah batok kepalanya, tahu-tahu Keng King-si memutar ujung pedangnya dengan membentuk gerakan satu lingkaran, entah bagaimana tahu-tahu serangan yang maha dahsyat itu telah berhasil dipunahkan begitu saja. Ko Ceng-kim sangat terperanjat, pikirnya, 'Rasanya aku belum pernah melihat jurus pedang ini, dari-mana dia mempelajarinya?' Sebagaimana diketahui, Ko Ceng-kim adalah murid pertama, ketika Keng King-si masuk perguruan pertama kalinya, selama dua tahun pertama dia malah pernah mewakili Suhunya mengajarkan ilmu silat kepadanya. Kemudian walaupun Keng King-si dibimbing langsung oleh Suhunya, namun sebagai suheng, mereka masih sering berlatih bersama, tentu saja dia pun memikul tanggung jawab sebagai pembimbing dan pengawasnya. Oleh sebab itulah posisi Ko Ceng-kim boleh dibilang masih terhitung setengah guru Keng King-si. Tapi sekarang ternyata Keng King-si dapat menggunakan jurus serangan yang selama hidup belum pernah disaksikan olehnya, tidak heran dia dibuat terkejut bercampur keheranan. Siapa sangka kejadian mencengangkan justru masih ada di bagian belakang, begitu Keng King-si memutar posisi pedangnya, jurus serangan yang digunakan pun sama sekali berubah. Tampak gerak serangan pedangnya berputar bagai lingkaran, sebentar dia bergerak melingkar di timur, kemudian membuat lingkaran di sisi barat, lingkaran besar, lingkaran kecil, dalam lingkaran terdapat lingkaran lain, betapa hebat dan ganas serangan yang dilancarkan Ko Ceng-kim ternyata semuanya punah dan terbendung oleh gerak lingkaran itu, betapapun hebatnya gerak serangan yang digunakan, nyaris tidak satu pun mampu memperlihatkan keampuhannya. Yang lebih aneh lagi adalah gerak melingkar yang dilakukan Keng King-si seolah memiliki daya sedot yang kuat, lambat-laun tanpa disadari gerak serangan pedang nya pun bergeser dan bergerak mengikuti gerakan lawannya. Ketika tidak mendengar suara bentrokan senjata, Ho Giok-yan pun merasa keheranan, tanpa terasa dia membuka matanya kembali untuk menonton. Terkejut bercampur curiga, tidak tahan Ko Ceng-kim membentak nyaring.. "Oh, rupanya selama di wilayah Liauw-tong, kau sudah belajar dari perguruan lain, tidak heran berani amat mengkhianati perguruan sendiri!"

"Hm, percuma kau jadi Ciangbun Suheng!" jengek Keng King-si sambil tertawa dingin. "Apa maksud perkataanmu itu?" Dalam pada itu Ho Giok-yan telah berseru tertahan, "Toa-suheng, ilmu pedang yang dia gunakan adalah ilmu pedang perguruan sendiri!" Seakan baru menyadari akan sesuatu, Ko Ceng-kim berteriak keras, "Bu.... bukankah ilmu itu adalah Thay-khek-kiam-hoat perguruan kita?"

"Menurut pendapatku, rasanya memang begitu." Ternyata perguruan Bu-tong-pay memiliki dua macam ilmu pedang yang menggetarkan sungai telaga, yang pertama adalah tujuh puluh dua jurus ilmu pedang berantai Jit-cap-ji-jiu-Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat, dan yang lain adalah ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat. Ilmu pedang yang seringkali dijumpai dalam dunia persilatan adalah ilmu pedang Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat, sedangkan mengenai Thay-khek-kiam-hoat, jangan lagi umat persilatan, bahkan anggota perguruan sendiri pun (khususnya dari kalangan murid preman) jarang atau malah tidak pernah melihatnya.Tentu saja dalam hal ini ada penyebabnya. Sebagaimana diketahui, ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat merupakan ilmu pedang yang diciptakan Thio Sam-hong, Couwsu pendiri Bu-tong-pay di masa tuanya, berhubung ilmu pedang ini mengandung intisari yang sangat mendalam dengan perubahan yang tidak terkirakan, maka setiap orang yang ingin mempelajari ilmu pedang itu harus memiliki dasar tenaga dalam yang kuat, di samping tentu saja orang itu harus memiliki bakat yang bagus. Oleh karena itulah setiap anak murid Buy-tong-pay diwajibkan mempelajari dulu ilmu pedang Jit-cap-ji-jiu-Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat, bila ilmu itu telah berhasil dikuasai, barulah atas bimbingan Suhunya, mereka mulai mempelajari ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat. Karena ilmu itu diwariskan atas dasar bakat, sudah barang tentu tidak setiap orang dapat mempelajarinya. Ho Ki-bu, ayah Ho Giok-yan termasuk jago silat yang mengerti ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat, tapi karena pertama, murid paling besarnya belum berhasil menguasai ilmu pedang Jit-cap-ji-jiu-Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat dengan sempurna maka dia tidak ingin muridnya naik tingkat secara tidak semestinya. Kedua, dia pun ingin mentaati peraturan perguruan dengan membiarkan anak muridnya berkelana dulu dalam dunia persilatan, kemudian secara diam-diam menilai tingkah-laku dan sifatnya, di saat dia menganggap seseorang sudah saatnya menerima, ilmu itu baru diwariskan. Untuk menghindari muridnya panik atau kesemsem, biasanya dia melatih ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat di tengah malam buta, berlatih seorang diri di ruang belakang. Sayang, biarpun dia melarang muridnya melihat, bukan berarti putrinya tidak mengetahui hal itu, maka dia hanya bisa memperingatkan putrinya agar tidak menuntut belajar secara tidak lazim. Belajar silat memang harus berurutan menurut tingkatan. Itulah sebabnya Ho Giok-yan hanya mengenal ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat, tapi tidak mengerti ilmu pedang itu. Kalau mengerti saja tidak, mana mungkin bisa menggunakannya. Berubah hebat paras muka Ko Ceng-kim begitu tahu ilmu pedang yang digunakan Keng King-si adalah Thay-khek-kiam-hoat, pikirnya, 'Kelihatannya saja Suhu tidak begitu menyukai bocah keparat itu, tidak disangka secara diam-diam dia malah mewariskan Thay-khek-kiam-hoat kepadanya. Hm! Aku adalah Ciangbun-tecu, murid paling tua, kusangka Suhu pasti akan mewariskan semua ilmu simpanannya kepadaku, tidak disangka ternyata Suhu pilih kasih!' Terbakar rasa iri yang menggelora, tanpa berpikir apakah kemampuannya mampu mengalahkan Sutenya atau tidak, kembali dia merangsek maju sambil melepaskan serangkaian serangan berantai. Secara tiba-tiba Keng King-si bisa menggunakan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat, bukan cuma Ko Ceng-kim yang dibuat tercengang, Ho Giok-yan sendiri pun terheran-heran dibuatnva. Sama seperti Ko Ceng-kim, sebelum kejadian hari ini Ho Giok-yan juga tidak tahu kalau Keng King-si telah menguasai ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat. Dalam sangkaan Ko Ceng-kim, Suhunya pasti pilih kasih dengan mewariskan ilmu itu secara diam-diam kepada Sutenya, tapi, andaikata benar-benar ada kejadian seperti itu, mungkinkah sang ayah juga mengelabui putri sendiri? Berulang kali Ko Ceng-kim melancarkan serangan berantai, mati-matian dia merangsek maju, tapi setiap serangan dan desakan yang dilancarkan, hampir semuanya berhasil dipatahkan oleh gerakan pedang Keng King-si. Sayangnya, biarpun tekanan yang dialami Keng King-si bertambah ringan dan enteng, tekanan batin Ho Giok-yan justru makin lama semakin berat. Darimana dia mempelajari ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat? Kenapa dia selalu merahasiakannya kepada-ku?' Di antara sepasang suami-istri memang tidak seharus nya ada rahasia, tapi sekarang, Ho Giok-yan menemukan persoalan yang dirahasiakan suaminya bukan hanya satu saja. Selama ini dia pun merahasiakan surat yang dikirim Huo Bu-tou kepadanya. Semalam, lagi-lagi dia keluar kamar pergi menjumpai seseorang, siapa yang dia jumpai? Tidak pernah hal ini dia jelaskan kepada istrinya. Dan sekarang ditambah lagi dengan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat, Ho Giok-yan betul-betul tercengang, terperangah dan penuh curiga. "Ai.... berapa banyak lagi rahasia yang dia lakukan untuk mengelabui diriku?" Betul sampai sekarang dia masih tidak percaya bahwa Keng King-si adalah pembunuh ayahnya, tapi membayangkan suaminya selama ini banyak mengelabui dirinya, banyak persoalan yang sengaja dirahasiakan terhadap dirinya, hal ini sudah cukup membuatnya bersedih hati, cukup membuatnya jengkel, marah dan mendongkol. Mendadak perutnya terasa amat sakit, pukulan batin telah membuat kondisi badannya tidak berimbang atau karena masalah lain, kandungannya tiba-tiba saja terasa bergerak. Rasa sakit yang makin lama makin menjadi membuat perempuan ini tidak sanggup menahan diri. Biarpun dia belum berpengalaman melahirkan, tapi dia segera sadar rasa sakit itu merupakan pertanda datangnya saat persalinan. Dalam pada itu, setiap kali Keng King-si mundur satu langkah, dia berhasil memunahkah satu serangan maut yang dilancarkan sang Suheng, dan kini dari posisi bertahan sudah berubah jadi posisi menyerang. Saat itu Ko Ceng-kim sedang melancarkan serangan dengan jurus Ki-hwe-liau-thian (mengangkat obor menerangi langit), gerakan pedang membentuk setengah lingkaran busur seketika berhasil membelenggu senjata itu hingga tidak mampu bergerak. "Suheng!" bentak Keng King-si nyaring, "kalau kau tidak segera lepas tangan, jangan salahkan kalau aku tidak kenal ampun!" Asal dia melanjutkan gerakannya dengan setengah lingkaran busur lagi, niscaya lengan milik Ko Ceng-kim akan terpapas kutung. Pada saat itulah dia mendengar suara rintihan Ho Giok-yan yang sedang mengerang kesakitan.... "Adik Yan, kenapa kau?" dengan perasaan terkejut Keng King-si menegur. "Aku mohon.... aku mohon.... kalian jangan berkelahi lagi pinta Ho Giok-yan sambil merintih, "Aku.... aku hampir mati.... aduh.... cepat tolong aku!" Suara rintihan tiba-tiba terputus di tengah jalan, menyusul kemudian terdengar suara tangisan orok yang amat nyaring.... tangisan orok yang baru lahir dari rahim ibunya. Bukan kematian, tapi kelahiran, seorang anak telah lahir. Keng King-si terkejut bercampur girang, tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya lagi dia memburu ke hadapan sang istri. Dengan pedang dia potong tali pusar orok itu, lalu membopongnya. "Haah, seorang bayi lelaki!" teriaknya kegirangan. Di saat rasa gembira dan kaget bercampur-aduk dalam hati itulah mendadak dia merasakan hawa dingin yang sangat membekukan, rasa dingin membekukan yang merasuk hingga ke tulang sumsum. Ternyata ujung pedang milik Ko Ceng-kim telah menusuk dari punggungnya hingga tembus ke jantungnya. Menyusul kemudian terdengar suara Ko Ceng-kim yang lebih dingin membekukan daripada mata pedang berkumandang, "Sumoy, jangan kau salahkan aku telah membunuhnya, dia tidak pantas menjadi ayah anak itu!" Ho Giok-yan terduduk kaku bagai patung batu, dia seolah tidak mendengar ucapan Ko Ceng-kim, bahkan jalan pikiran pun ikut membeku kaku. Dalam waktu sekejap, seluruh otak, seluruh pikirannya seolah-olah kosong melompong, tiba-tiba saja jadi kosong dan putih bersih. Tusukan pedang itu datang sangat cepat, tampaknya Keng King-si sendiri pun masih belum sadar akan peristiwa yang telah menimpa dirinya, dia hanya berjongkok dengan wajah bingung, lalu tubuhnya gontai dan perlahan-lahan roboh ke tanah. Bayi laki itu masih dipeluknya erat-erat. Ketika bayi itu menyentuh permukaan tanah, pantatnya segera terluka karena gesekan pasir dan batu. Sekali lagi suara tangisan orok berkumandang memecah keheningan. Sambil membungkukkan badan, Ko Ceng-kim menepis tangan Keng King-si yang sedang memegang tubuh orok itu, setelah berhasil merebut bayi itu, ujarnya dingin, "Sudah kuberi kesempatan untuk melihat kelahiran anakmu, sekarang kau bisa mati dengan meram. Jangan salahkan aku, toh kau sendiri yang berkata begitu." Ho Giok-yan seakan baru tersadar kembali dari mimpi buruknya karena suara tangisan bayinya, segera jeritnya, "Berikan kepadaku, berikan kepadaku!" "Adik Yan," bisik Ko Ceng-kim sambil tertawa paksa, "coba lihat, orok ini mirip sekali denganmu." Tiada cucuran air mata di wajahnya ketika Ho Giok-yan menerima kembali bayinya, tapi nada suaranya justru jauh lebih pilu, jauh lebih mengenaskan daripada suara tangisan. "Oh.... anakku yang bernasib malang.... begitu lahir kau telah kehilangan ayah, kehilangan ibu...."

"Sumoy, jangan berpikir sembarangan buru-buru Ko Ceng-kim menukas. Dengan penuh kasih sayang Ho Giok-yan mencium mesra pipi lembut bayinya, kemudian katanya lagi, "Suko, aku bersalah kepadamu. Maukah kau kabul kan satu permintaanku?"

"Apapun permintaanmu, pasti kukabulkan."

"Aku percaya kau pasti akan membalas dendam bagi kematian ayahku, karenanya aku tidak ingin minta kepadamu untuk membalas dendam atas terbunuhnya ayah. Permintaanku ini.... mungkin akan jauh lebih sulit daripada tugas balas dendam."

"Katakan saja, sesulit apa pun, pasti akan kulaksanakan dengan sepenuh tenaga." "Bagus, hatiku sangat lega mendengar janjimu itu. Aku mohon, rawatlah anak ini baik-baik, rawatlah dia hingga dewasa...."

"Sumoy, aku pasti akan bantu kau merawat bocah ini. Apalagi sebenarnya kita adalah.... adalah.... bila kau tidak keberatan, aku berharap kau mau mengabulkan permintaanku, biar aku menjadi ayah dari bocah ini!" Ho Giok-yan tertawa getir. "Benar, aku memang tidak bisa jadi istrimu, aku hanya berharap kau bisa menjadi ayah bocah itu!" bisiknya. Sepintas perkataan itu terdengar amat bersahaja dan tidak ada yang aneh, padahal belum tentu arti sebenarnya begitu. Terdengar Ho Giok-yan berkata lebih lanjut, "Boleh saja kau merahasiakan identitas ayah aslinya, tapi bila tidak keberatan, tolong berikan nama untuk bocah itu, ehm.... panggil saja dia Giok-keng." Giok-keng! Bukankah nama ini merupakan penggabungan nama Keng King-si dan Ho Giok-yan? Tidak usah Ho Giok-yan melukis kaki di gambar ular pun Ko Ceng-kim sudah menangkap arti sebenarnya nama itu. Sekalipun perempuan itu tidak berharap si bocah tahu nama sebenarnya dari sang ayah, namun nama yang dia berikan, bagaimanapun tetap mengandung kenangan kedua orang tuanya. Bila dibayangkan lebih mendalam, bukankah nama itu terkandung juga luapan perasaan cintanya terhadap Keng King-si? Semakin terbukti bahwa dia sama sekali tidak memandangnya sebagai musuh besar pembunuh ayahnya, dia masih mengakuinya sebagai suami. Kecut juga perasaan hati Ko Ceng-kim setelah mendengar perkataan itu, sudah barang tentu dia pun menangkap apa yang dimaksud "kalau tidak keberatan" dari Sumoynya itu. Perasaan Ko Ceng-kim saat ini amat kalut, namun dalam situasi seperti ini, sanggupkah dia menegur perempuan itu? Sambil tertawa paksa katanya, "Nama yang kau usulkan sangat bagus, tapi jika kau bisa mendidik dan membimbingnya sendiri, mungkin akan jauh lebih baik lagi."

"Aai..." suara Ho Giok-yan makin lama makin lirih, "ternyata hidup itu menderita, maafkanlah aku karena harus menyerahkan semua kerepotan kepadamu. Aai....! Suko, terlalu banyak aku berhutang kepadamu, bahkan sebelum mati pun harus.... harus...."

"Sumoy, kau.... kau harus hidup terus!" jerit Ko Ceng-kim keras. Tapi sayang sudah terlambat, belum selesai perkataan Ho Giok-yan diucapkan, tubuhnya sudah roboh ke dalam pelukannya dan.... tewas! Di saat dia memejamkan mata untuk terakhir kalinya, bocah itu sudah terlepas dari genggaman, pandangan matanya yang terakhir adalah di saat melihat Ko Ceng-kim menerima sodoran bocah itu! Semua isi alam jagad, seluruh isi kolong langit, semuanya seakan jadi hening, jadi sepi! Di atas tanah terbujur kaku jenazah Ho Liang, ada pula jenazah Keng King-si, dan sekarang ditambah pula dengan sesosok mayat lain, jenazah Ho Giok-yan. Satu-satunya suara yang kedengaran hanya suara tangisan si orok yang tidak berdosa. Sambil membopong bayi itu, Ko Ceng-kim berdiri dengan kening berkerut. Aai....! Membesarkan si bocah hingga dewasa? Masalahnya tidak segampang itu, 'merepotkan' saja. Bayi itu masih menangis, mulai mencakar wajah sendiri. Ko Ceng-kim pun termangu, dia hanya bisa mengawasi wajah si bocah dengan pandangan mendelong. Bocah yang baru lahir memang sulit untuk dibedakan apakah lebih mirip wajah ayahnya atau lebih mirip wajah ibunya. Aah! Bocah ini putra Keng King-si, tapi dia pun darah daging Ho Giok-yan! Entah karena keterkaitannya dengan seseorang atau memang pada dasarnya bocah itu memang menyenangkan, tanpa sadar sikapnya pun telah berubah seolah-olah dia memang ayah kandungnya, rasa kasih, rasa sayangnya terhadap bayi itupun bertambah besar. "Sudah.... cup.... cup.... jangan menangis, jangan menangis, sayang.... oooh.... sayang!" bisiknya dengan penuh kasih sayang. Dia mulai menepuk, menggoda dan menina-bobokan si bayi dengan penuh kemesraan. Tapi bocah itu masih juga menangis terus. Masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan, tapi persoalan paling penting sekarang ini adalah bagaimana menempatkan si bocah itu di suatu tempat yang aman. Dia tidak tahu apakah bayi yang baru lahir bisa menunjukkan rasa 'lapar', tapi bagaimanapun dia toh mesti mencari sesuatu untuk diberikan kepada bayi itu. Apalagi dia pun tidak bisa membiarkan bayi itu telanjang menahan terpaan hawa dingin yang menggigilkan. Untung saja orang yang bepergian jauh biasanya selalu membawa bekal air dan makanan, dari sisi tubuh Ho Giok-yan, Ko Ceng-kim berhasil menemukan kantung air yang dibawa, isi air masih ada setengah, dia pun menuang sedikit lalu dilolohkan ke mulut si bayi. "Kasihan benar kau," bisiknya sambil tertawa getir, "baru lahir tapi tidak bisa mengisap susu ibu, terpaksa anggap saja air ini sebagai susu ibu." Benar saja, setelah diberi air sedikit, bayi itupun berhenti menangis (Gb 1). Tentu saja air tidak bisa menggantikan susu ibu, apalagi bayi itu lahir belum cukup umur, kecil, kurus lagi, benar-benar mengenaskan. Ko Ceng-kim tidak punya pengalaman menyusui bayi, dia pun tidak tahu kalau bayi yang dilahirkan belum cukup umur membutuhkan susu ibu untuk menopang hidupnya, seandainya bukan susu ibu kandungnya pun paling tidak harus ada susu dari perempuan lain. Hujan telah berhenti, suasana senja pun lambat-laun menyelimuti angkasa. Kabut tipis mulai muncul dari kaki bukit dan menyelimuti permukaan. Tiba-tiba seperti teringat akan sesuatu, dia segera berseru, "Ha, bukankah di depan mata sudah ada seorang ibu? Kenapa tidak terpikirkan olehku sejak tadi?" Di bawah bukit hidup sepasang suami-istri muda, suaminya bernama Lan Kau-san, seorang pemburu, sedang istrinya sangat trampil melakukan pekerjaan kasar, dia terhitung seorang wanita yang kuat dan bertenaga. Lan-toaso kebetulan baru melahirkan seorang putri beberapa hari berselang. Ko Ceng-kim kenal baik suami-istri itu, bahkan suatu kali pernah membantu Lan Kau-san membunuh seekor harimau putih yang buta sebelah matanya. Kala itu, walaupun senjata trisula Lan Kau-san berhasil menghujam tubuh harimau itu, tapi kulit badan sang harimau yang tebal dan kasar membuat hewan liar itu semakin buas, setelah terluka parah, andaikata Ko Ceng-kim tidak datang tepat waktu dan menyelamatkan jiwanya, mungkin dia sudah tewas diterkam sang harimau. Kembali Ko Ceng-kim berpikir, 'Lan-toaso bertubuh sehat dan kuat, rasanya lebih dari cukup air susunya untuk menyusui dua orang bayi. Lan-toako termasuk orang jujur yang bisa dipercaya, terlepas aku pernah melepas budi kebaikan kepadanya, dia pun masih terhitung sahabat karibku semenjak kecil, aku percaya dia pasti akan bantu aku merahasiakan kejadian ini." Begitu selesai mengambil keputusan, dia pun mengambil satu stel pakaian dari dalam buntalan milik Keng King-si dan dibungkuskan ke tubuh sang bayi, kemudian dengan terburu-buru dia beranjak pergi untuk mencari Lan Kau-san. Persis seperti apa yang diduganya semula, permintaannya langsung disanggupi Lan Kau-san berdua. Ko Ceng-kim pun mengarang sebuah cerita untuk mengelabui kejadian sebenarnya, dia mengaku telah menemukan seorang bayi yang dibuang orang di tepi gunung. Orang polos yang selama hidup tidak pernah berbohong inipun segera menyanggupi permintaannya. Mereka berjanji, setelah bocah itu berusia enam tujuh tahun, Ko Ceng-kim baru akan datang untuk mengajaknya pergi. Pulang pergi tidak sampai sepuluh li, selepas dari rumah keluarga Lan, Ko Ceng-kim balik kembali ke tempat semula, saat itu langit belum gelap, segala sesuatu masih sama seperti sebelum dia pergi dari situ, kalau dibilang ada perbedaan, maka perbedaan itu kecil sekali. Sewaktu tadi dia meninggalkan tempat itu, jenazah Ho Giok-yan dan Keng King-si terbujur kaku di dua tempat yang terpisah, meskipun selisih jarak itu tidak terlampau jauh. Tapi sekarang, jenazah mereka berdua nyaris berjajar dan berhimpitan satu sama lainnya, salah satu tangan Ho Giok-yan menggenggam tangan Keng King-si yang terjulur ke depan. Apakah waktu itu mereka berdua belum mati sungguhan? Atau karena ada orang yang telah menggeser posisi jenazah itu? Tidak ditemukan bekas jejak kaki asing di atas tanah, Ko Ceng-kim juga percaya mustahil ada orang yang akan melakukan perbuatan yang membingungkan semacam itu. Maka dengan kening berkerut dia pisahkan kembali genggaman tangan kedua jenazah itu, lalu dengan menggunakan sekop yang baru dipinjam dari keluarga Lan untuk membuat sebuah liang besar. Ketika liang kubur telah siap, dia pun menggotong jenazah Sumoynya untuk dikebumikan, saat itulah timbul perasaan sedih di hati kecilnya. "Sumoy.... oooh, Sumoy.... pergilah dengan hati lega, aku pasti akan menganggap bocah itu seperti anak kandungku sendiri. Aai....! Ketika kau berpamitan dulu, aku tidak dapat mengantar kepergianmu, tidak disangka, hari ini kita harus berpisah untuk selamanya." Waktu itu malam telah menjelang tiba, sebenarnya mengubur sepasang suami-istri itu dalam satu liang adalah tindakan yang paling menghemat waktu. Namun secara tiba-tiba Ko Ceng-kim terbayang kembali adegan dimana Sumoynya menggenggam kencang tangan Keng King-si di saat ajalnya, perasaan iri dan cemburu seketika menyelimuti hatinya. "Hm!" kata batinnya, 'biarpun di saat hidup kau berhasil menipunya dan membawanya kabur, aku tidak rela membiarkan kalian terkubur dalam satu liang di saat telah mati...." Selesai mengubur jenazah Sumoynya, menguruk kembali tanah dan menggunakan sebuah batu sebagai batu nisan, dia pun mulai menggali liang kedua. Baru menggali setengah jalan, mendadak ter-dengar suara langkah kaki bergema datang. Dengan perasaan tercekat, buru-buru Ko Ceng-kim mendongakkan kepala, tampak seorang Tosu berjenggot panjang tahu-tahu sudah muncul di depan mata. Buru-buru dia melepaskan sekopnya, bangkit berdiri dan menyapa sambil memberi hormat, "Bu-kek Supek, maaf bila Tecu terlambat menyambut!" Ternyata Bu-kek Totiang adalah pemimpin Bu-tong-sam-lo (tiga sesepuh Bu-tong), dia menempati posisi kedua setelah Ciangbunjin Bu-siang Totiang dalam jajaran Bu-tong-pay. Waktu itu Bu-kek Totiang berlarian mendekat dengan sangat tergesa-gesa, bukan saja jidatnya telah basah oleh keringat, napasnya juga tersengal-sengal. Kejadian ini membuat Ko Ceng-kim semakin keheranan, pikirnya, 'Tenaga dalam yang dimiliki Bu-kek Supek sangat tinggi dan sempurna, biarpun baru saja menempuh perjalanan jauh, seharusnya langkah kakinya tidak bakal limbung, napas pun mustahil tersengal-sengal seperti dengus napas kerbau. Aneh, kenapa dia bisa berubah seperti itu?" Dengus napas Bu-kek Totiang masih tersengal bagai kerbau, begitu tiba di tempat itu, sorot matanya langsung dialihkan ke atas jenazah Keng King-si. Paras mukanya yang sudah nampak kuning kepucat-pucatan, kini terlihat semakin tidak sedap. Ko Ceng-kim semakin tidak tenang, apalagi sesudah menyaksikan perubahan mimik mukanya yang aneh. Belum sempat dia melaporkan peristiwa itu, terdengar Bu-kek Totiang telah bergumam dengan nada sedih, "Aah! Ternyata kedatanganku terlambat!" Menyusul ucapan itu, dia menghela napas panjang. "Lapor Supek," buru-buru Ko Ceng-kim berseru, "aku telah mewakili Suhu membersihkan perguruan dari murid murtad. Ceritanya panjang sekali, Keng King-si.... dia.... sewaktu di wilayah Liauw-tong...."

"Tidak usah dilanjutkan," tukas Bu-kek sambil mengulap tangannya, "ketika Ting-susiok baru balik dari Liauw-tong tempo hari, dia telah melaporkan kejadian ini kepada Ciangbunjin, saat itu aku hadir di situ, jadi semua persoalan telah kuketahui dengan jelas!" Seharusnya Ko Ceng-kim dapat menduga kalau Bu-kek Totiang sudah tahu tentang peristiwa ini. Sebagaimana diketahui, kasus Keng King-si bersekongkol dengan bangsa Boan merupakan satu peristiwa besar, Ting Im-hok lah yang berhasil mendapat tahu rahasia itu. Menghadapi peristiwa yang begitu besar dan serius, selain memberitahukan persoalan ini kepada Suhu Keng King-si, yakni Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu, tentu saja dia pun harus melaporkan hal ini kepada ketua partai. Padahal posisi Bu-kek Totiang dalam jajaran Bu-tong-pay adalah orang kedua setelah Ciangbunjin, kecuali sang ketua enggan berunding dengan pihak ketiga, kalau tidak, orang pertama yang akan diajak berunding pastilah Bu-kek. Jelas dalam peristiwa ini ketua Bu-tong-pay tidak berani memutuskan sendiri, dia pasti akan mengundang para sesepuh partai untuk diajak berunding. Teori ini bukannya tidak terpikirkan oleh Ko Ceng-kim. Tapi persoalannya, begitu datang kata pertama yang dilontarkan Bu-kek Totiang adalah "aku datang terlambat", dia takut Supeknya menegur dia karena telah membunuh adik seperguruan, maka sebelum sang Supek mengemukakan kalau dia sudah tahu persoalan itu, dia merasa lebih baik memberi lapor terlebih dulu. 'Aha.... baguslah kalau sudah tahu,' pikir Ko Ceng-kim lagi dengan perasaan lega, 'sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menghukum mati murid murtad, tidak semestinya kau marah kepadaku bukan karena aku telah membersihkan perguruan?' Tampaknya Bu-kek Totiang dapat membaca jalan pikirannya, setelah menghela napas panjang, gumamnya, "Aai.... aku sendiri pun tidak tahu apakah kau telah salah membunuh atau tidak...." Sesudah memandang wajah Ko Ceng-kim sekejap dan termenung beberapa saat, lanjutnya lebih jauh, "Terdapat banyak sekali titik mencurigakan dalam peristiwa ini, sayang aku tidak punya waktu untuk menjelaskan lebih terperinci, satu hal yang bisa kukatakan adalah, pertama, ternyata Huo Bu-tou bukan bangsa Boan!"

"Tapi Ting-susiok telah mengusut dengan jelas kalau dia adalah murid Tiang-pek-pay, bekas pengawal pribadi Nurhaci Khan dari negeri Boan," bantah Ko Ceng-kim keheranan. "Betul, Nurhaci Khan sendiri pun menyangka dia berasal dari etnis sukunya, kalau bukan begitu, mana mungkin dia bisa diangkat jadi pengawal pribadinya? Tapi kenyataan dia adalah bangsa Han, bahkan pada dua puluh tahun berselang ayahnya masih terhitung seorang jago pedang yang tersohor. Pernah tidak kau mendengar nama Kwik Tang-lay?"

"Maksud Supek, Cang-ciu-kiam-khek (jago pedang dari Cang-ciu) Kwik Tang-lay yang lenyap di luar perbatasan (Kwan-gwa) pada dua puluh tahun lalu?"

"Betul, Kwik Tang-lay meninggal di luar perbatasan, sementara Huo Bu-tou tumbuh dewasa karena ikut ayah angkatnya, kebetulan ayah angkatnya berasal dari etnik Nizhen, oleh ayah angkatnya dia pun diberi nama bangsa Boan, hanya saja she Huo yang dipakai Huo Bu-tou masih kedengaran senada dengan she aslinya Kwik (dalam lafal terbaca Kuo)"

"Jadi lantaran dia adalah keturunan seorang pendekar bangsa Han, maka Supek curiga kalau orang itu belum tentu benar-benar setia kepada Nurhaci Khan? Tapi pepatah mengatakan, dekat gincu jadi merah, dekat tinta jadi hitam. Lagi pula dia sendiri pun belum tentu tahu asal-usulnya yang sebenarnya?"

"Perkataanmu memang masuk akal, aku sendiri pun tidak mengetahui terlalu banyak tentang asal-usulnya. Bahkan aku pun tidak tahu siapakah ayah angkatnya itu. Itulah sebabnya aku tidak berani mengata kan 'meski dia berada di wilayah Cho-cho, hatinya berada di wilayah bangsa Han', sekalipun begitu, kita juga tidak bisa menuduh dia pasti seorang mata-mata dan pengkhianat!" Jika status Huo Bu-tou saja masih belum pasti seorang pengkhianat, bagaimana mungkin dia bisa bersikeras menuduh Keng King-si pasti seorang mata-mata? Telapak tangan Ko Ceng-kim mulai berkeringat dingin. "Tapi dalam surat Huo Bu-tou yang dikirim ke Keng King-si jelas tertulis kalau dia sudah mendapat jabatan tinggi di kotaraja, lalu minta Keng King-si setelah selesai melakukan 'pekerjaan besar' diminta bergabung dengannya di ibukota,. Bagaimana pula dengan penjelasannya? Bukankah di balik nada ucapan itu seolah terselip satu intrik, satu rencana busuk?" seru Ko Ceng-kim mencoba mengemukakan pandangannya. "Ya, aku sendiri pun tidak jelas urusan besar apa yang dikemukan dalam surat itu," ucap Bu-kek Totiang, "intrik atau rencana besar jelas ada, tapi bukan berarti Keng King-si pasti telah mengkhianati perguruan!"

"Belum tentu, berkhianat bukankah berarti dia pasti akan mengkhianati perguruan!"

"Ceng-kim! Jangan kau sangka aku membela Keng King-si," tukas Bu-kek Totiang tiba-tiba, "justru karena aku sendiri pun tidak berani mengambil kesimpulan, maka aku baru mengatakan semoga kau tidak salah membunuh!" Ko Ceng-kim membungkam tanpa menjawab. Terdengar Bu-kek Totiang berkata lebih jauh, "Persoalan kedua yang perlu kusampaikan padamu adalah Ting-susiok ternyata bukan tewas di tangan jago Tiang-pek-pay!"

"Apa?" Ko Ceng-kim terperanjat, "konon tidak ditemukan bekas luka di jenazah Ting-susiok, darimana bisa tahu kalau bukan hasil perbuatan jago-jago Tiang-pek-pay?" "Kau sangka hanya ilmu pukulan Hong-lui-ciang (pukulan angin guntur) dari Tiang-pek-pay saja yang bisa membunuh orang dengan memukul remuk isi perutnya tanpa meninggalkan bekas?"

"Pengetahuan Tecu sangat cupat, seingatku Suhu pernah berkata begitu."

"Kapan dia berkata begitu kepadamu?"

"Tiga tahun berselang, Waktu itu Tecu baru lulus dari perguruan dan secara khusus Suhu menerangkan berbagai kelebihan ilmu silat berbagai aliran untuk menambah pengetahuan, lantaran saat itu Tiang-pek-pay dari luar perbatasan dan sedang berseteru dengan semua perguruan besar di daratan Tionggoan, maka dalam hal ilmu pukulan Hong-lui-ciang dari Tiang-pek-san, Suhu menerangkan lebih jelas dan terperinci."

"Ai.... seandainya saat ini Suhumu mengajak bicara lagi soal ilmu silat berbagai aliran, mungkin dia tidak akan berkata demikian," kata Bu-kek Totiang. Ko Ceng-kim melongo, dia seperti tidak paham ucapan itu, tapi belum sempat mengucapkan sesuatu, lagi-lagi Bu-kek Totiang memberi tanda agar tidak berisik, lalu berkata, "Dengarkan dulu keteranganku lebih lanjut. Akulah orang pertama yang menemukan jenazah Ting-sute, dia dicelakai orang dalam sebuah losmen kecil, ketika menemu kan jenazahnya, waktu itu jenazahnya itu sudah dingin dan kaku. Meski begitu, sekilas pandang saja aku sudah tahu kalau dia tewas karena dibunuh anggota perguruan sendiri!" Ko Ceng-kim semakin terkesiap, tidak terlukiskan rasa kagetnya kali ini. "Jadi pembunuhnya berasal dari perguruan sendiri?" jeritnya, "Supek, dari.... darimana kau.... kau tahu?"

"Bila ilmu Thay-khek yang dilatih seseorang sudah mencapai puncak kesempuraan, dia pun bisa membunuh orang tanpa meninggalkan jejak. Bedanya, pukulan Thay-khek bersifat lembek sedang pukulan Hong-lui-ciang bersifat keras, oleh sebab itu meski sama-sama tidak meninggalkan bekas luka di luar badan, namun bila kita lakukan pemeriksaan, dapat diketahui isi perut korban pukulan Hong-lui-ciang pasti hancur remuk, sementara isi perut korban Thay-khek-ciang tetap utuh seperti normal. Bagiku, tidak usah dilakukan pemeriksa-an pun sekilas pandang aku dapat membedakannya." Beberapa saat setelah berhasil mengendalikan rasa kagetnya, dengan agak tergagap bisik Ko Ceng-kim, "Aku hendak melaporkan satu kejadian aneh yang menakutkan pada Supek, ternyata Keng King-si pun dapat menggunakan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat."

"Sebelum menggunakan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat, apakah dia terlebih dulu menggunakan ilmu pedang Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat?"

"Betul, justru lantaran dia tidak dapat menangkan aku dengan ilmu pedang Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat, maka akhirnya dia keluarkan Thay-khek-kiam-hoat."

"Kalau begitu, pembunuhnya pasti bukan dia. Memang, untuk mempelajari Thay-khek-kiam-hoat dibutuhkan dasar tenaga dalam perguruan kita, tapi untuk bisa mencapai tingkat kemampuan Thay-khek-ciang yang sanggup menghabisi nyawa Ting-susiok paling tidak dibutuhkan tenaga dalam yang sudah mencapai puncak kesempurnaan. Kenyataan, tenaga dalamnya belum sanggup mengungguli dirimu, berarti dia pun belum mencapai taraf sehebat itu. Aku tahu, di masa lalu Suhumu berhasil melatih ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat hingga mencapai tingkat kesempurnaan, aku pun yakin dengan tenaga dalamnya dia sanggup melepaskan pukulan Thay-khek-ciang. Tapi tenaga dalam toh mustahil bisa diwariskan kepada muridnya dalam waktu singkat!" Sekarang Ko Ceng-kim baru paham apa yang dimaksud sang Supek, sebagaimana diketahui ilmu silat Suhunya baru mencapai kemajuan pesat sejak tahun lalu, berarti pada tiga tahun berselang, Suhunya pun belum paham akan perbedaan hasil pukulan Thay-khek-ciang dan Hong-lui-ciang. Setelah lama termangu, kembali ujarnya, "Tapi pembunuh yang telah menghabisi nyawa Ting-susiok sudah pasti bukan Suhu!"

"Tentu saja bukan Suhumu!" Bu-kek Totiang menghela napas panjang, "andai Suhumu masih hidup, keadaan pasti lebih mendingan! Dan aku pun tidak usah terburu-buru datang mencarimu!"

"Sebenarnya Tecu sedang bersiap-siap melaporkan tentang kematian Suhu, ternyata Supek malah sudah tahu."

"Betul, aku sudah sampai di rumah Suhumu dan justru lantaran Suhumu sudah meninggal maka aku buru-buru menyusul kemari."

"Supek sudah memeriksa penyebab kematian Suhu?"

"Ilmu silat yang digunakan pembunuh untuk menghabisi nyawa Suhumu pun merupakan ilmu silat aliran perguruan kita!"

"Kalau begitu Ho Liang memang tidak salah melihat!"

"Ho Liang melihat wajah pembunuh itu?"

"Justru karena Ho Liang sempat bertemu dengan murid durhaka pembunuh Suhu, maka pengkhianat itu menghabisi pula nyawa Ho Liang." Untuk sesaat Bu-kek Totiang hanya termenung tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kembali Ko Ceng-kim berkata, "Terdorong ingin membalas dendam atas kematian Suhu, Tecu berpendapat, bila tidak segera mengambil tindakan, bisa jadi murid durhaka ini akan kabur dari jaring hukuman, itulah sebabnya aku putuskan untuk menghabisi dulu nyawanya, kemudian baru melapor kejadian ini kepada Ciangbunjin, Supek, harap maafkan kesalahan Tecu ini." Bu-kek Totiang hanya tertawa getir, sama sekali tidak bicara. Melihat sang Supek tidak memberi komentar, Ko Ceng-kim tidak kuasa menahan diri, serunya, "Supek, sudah terbukti murid durhaka inilah yang membunuh Suhu, bahkan ada saksi mata, kenapa kau orang tua masih sangsi?"

"Kelihatannya aku tidak bisa mewakilimu untuk balik ke bukit dan melaporkan peristiwa ini kepada Ciangbunjin."

"Kenapa?" tanya Ko Ceng-kim terkejut.

"Apa alasannya biar kujelaskan di kemudian hari saja. Sekarang yang ingin kuketahui adalah apa benar Ho Liang telah menyaksikan secara jelas?" Ko Ceng-kim mulai merasa hatinya tidak tenteram, namun sahutnya juga, "Meskipun semalam turun hujan, namun Ho Liang melihatnya sejak kecil hingga tumbuh dewasa, Tecu yakin dia tidak bakal salah melihat. Selain itu, kalau bukan karena dia kuatir jejaknya ketahuan, kenapa pula dia harus membunuh Ho Liang untuk menghilangkan jejak?" Oleh karena takut sang Supek menegur dan menyalahkan tindakannya yang ceroboh dan gegabah, membunuh orang sebelum melakukan penyelidikan secara jelas, terpaksa Ko Ceng-kim merahasiakan keadaan yang sesungguhnya, kalau Ho Liang hanya sempat menangkap bayangan punggungnya saja. Tampaknya Bu-kek Totiang seperti memikirkan sesuatu, sesaat kemudian katanya, "Jika Ho Liang mengaku telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, seharusnya laporan ini tidak perlu diragukan lagi, tapi "Tapi kenapa?" Bu-kek Totiang tidak menjawab, tiba-tiba dia melancarkan sebuah pukulan, langsung menabok ke tubuhnya. Ko Ceng-kim terkejut, sekuat tenaga dia melancarkan serangan balasan untuk menangkis. Menghadapi ancaman yang bisa membahayakan jiwanya, tentu saja tangkisan ini dilakukan dengan mengerah kan segenap kekuatan yang dimiliki. Padahal saat itu Bu-kek Totiang hanya menggunakan tiga bagian tenaga dalamnya, biarpun begitu, tidak urung tubuh Ko Ceng-kim sempoyongan juga dibuatnya. Lekas Bu-kek Totiang memayang tubuh, berkata, "Kau tidak usah gugup atau panik, aku hanya ingin menjajal kekuatan tenaga dalammu." Sementara berbicara, lagi-lagi dia menggeleng kepala berulang kali, seolah pada saat bersamaan dia sedang membayangkan sesuatu.

Dengan hati masih kebat-kebit segera Ko Ceng-kim berseru, "Ketika Suhu terbunuh semalam, Tecu tidak ada di rumah, waktu itu Tecu sedang di dalam kota."

"Tentu saja aku tidak akan mencurigaimu," tukas Bu-kek Totiang tertawa, "aku sengaja menjajal tenaga dalam-mu hanya ingin membuktikan satu hal."

"Soal apa?"

"Keng King-si bukan pembunuh Suhunya!" Sebelum Ko Ceng-kim mengajukan pertanyaan, selesai membuat kesimpulan, kembali Tosu itu melanjutkan penjelasannya, "Pembunuh itu melancarkan serangan dengan sebuah jurus Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat yang diubah menjadi sebuah pukulan, kelihatan jelas dari tanda yang tertinggal di tubuh Suhumu kalau dia tewas dalam satu gebrakan saja!" Agaknya Ko Ceng-kim mengerti apa yang dimaksud sang Supek, segera dia menimpali, "Saat itu Suhu sedang sakit, juga agaknya dia tidak menyangka orang yang membunuhnya adalah...." Mendadak dia seperti teringat kalau sang Supek telah mengambil kesimpulan bahwa pembunuhnya bukan Keng King-si. Terpaksa kata "Keng King-si" yang sudah menempel di ujung bibir pun ditelan kembali.

"Betul," ujar Bu-kek Totiang lebih lanjut, "pasti lantaran pembunuhnya adalah orang yang sangat dikenal maka saat itu Suhumu tidak melakukan persiapan, akibatnya dia dicelakai secara mudah. Tapi.... dengan tenaga dalam yang dimiliki Suhumu, kendatipun dalam keadaan sakit, tidak seharusnya dia mati terbunuh hanya dalam sekali pukulan saja. Apalagi tenaga dalam yang dimiliki orang itu masih lebih rendah daripada pembunuh yang membantai Ting-susisok, tapi masih sedikit lebih kuat daripada kau. Jadi aku pikir.... tidak mungkin salah lihat!" Ko Ceng-kim menghembuskan napas lega, pikirnya, 'Masih untung kau tidak mencurigai aku!' Kembali Bu-kek Totiang berkata lebih jauh, "Tenaga dalam yang dimiliki orang itu masih lebih kuat darimu, sedang tenaga dalam yang dimiliki Keng King-si jauh di bawahmu, jadi mana mungkin dialah pembunuhnya?"

"Jangan-jangan Ho Liang berbohong?" agar bisa cuci tangan dari tanggung jawab kesalahan, ternyata Ko Ceng-kim tetap berusaha untuk merahasiakan detil kejadian. "Aku rasa masih terdapat hal aneh yang mencurigakan di balik semua itu, sayang Ho Liang sudah keburu tewas hingga sulit bagiku untuk melacak lebih jelas. Namun dari semua kejadian yang sudah kita ketahui, paling tidak kita bisa menyimpulkan satu hal, terdapat murid murtad dalam perguruan kita! Bahkan murid yang berkhianat itu bukan hanya satu orang. Pertama adalah pembunuh yang telah menghabisi nyawa Ting-susiok, orang kedua adalah pembunuh yang menghabisi nyawa Suhumu, mungkin saja masih ada orang ketiga...."

"Jangan-jangan orang ketiga adalah Keng King-si?" cepat Ko Ceng-kim menambahkan. Terbayang bahwa kemungkinan besar dia telah salah membunuh, tanpa sadar nada suaranya kedengaran agak gemetar. "Aku tidak berani mengatakan kalau dia bukan murid pengkhianat ketiga, aku hanya mengatakan kalau tidak percaya bahwa dia adalah salah satu di antara kedua pembunuh itu." Tampaknya dia sedikit kelelahan, setelah mengatur sejenak napasnya yang tersengal, lanjutnya kembali, "Namun terlepas dia murid murtad atau bukan, toh sekarang sudah mati, maka tindakan terpenting yang harus kita lakukan bukanlah menyelidiki apa benar dia telah berkhianat atau bukan, tapi segera melaporkan semua peristiwa yang telah kita ketahui kepada Ciangbunjin!" Ko Ceng-kim tidak menjawab, dia membungkam. Terdengar Bu-kek Totiang berkata lagi, "Kemampuan yang dimiliki murid durhaka pembunuh Suhumu masih terhitung tidak seberapa, justru murid murtad yang membunuh Ting-susiok itu sangat berbahaya, kesempurnaan tenaga dalamnya luar biasa, tenaga pukulan Thay-khek-ciang-hoat miliknya telah mencapai puncak kesempurnaan, malah aku sendiri pun masih bukan tandingan dia!" Ko Ceng-kim benar-benar terkejut bercampur ngeri, tidak tahan berseru, "Padahal tidak seberapa orang dalam perguruan yang memiliki kemampuan sehebat Supek...." Di Bu-tong-pay, selain Bu-siang Tojin sebagai Ciangbunjin, hanya Bu-si Tojin dan Bu-liang Tojin yang berada satu angkatan dengan Bu-kek Totiang, memang benar dari murid preman masih terdapat enam-tujuh orang yang satu angkatan dengan mereka, namun setiap anggota Bu-tong-pay pasti tahu bahwa kemampuan silat yang dimiliki murid preman tidak pernah bisa menandingi kemampuan murid bukan preman. Oleh sebab itu yang dimaksud 'tidak seberapa orang' dalam hal ini, sesungguhnya cuma terdiri dari tiga orang. Hanya saja sudah barang tentu Ko Ceng-kim tidak berani berbicara lebih terperinci. Bu-kek Totiang menggeleng kepala berulang kali, katanya murung, "Urusan ini besar sekali dampaknya, aku tidak berani menduga secara sembarangan, begitu juga kau. Lagi pula belum tentu hanya angkatan tua macam kami saja yang bisa mencapai taraf kemampuan seperti itu. Pepatah mengatakan orang yang sungguh berilmu tidak akan menampakkan diri, yang menampakkan diri belum tentu berilmu. Kalau toh para pengkhianat itu bertindak hati-hati, selalu menunggu saat untuk mencelakai rekan seperguruan nya, aku rasa biarpun dia telah berhasil menguasai kungfu yang hebat pun belum tentu mau pamer kemampuannya di depan orang. Aku harap kau camkan baik-baik perkataanku ini, kecuali terhadap Ciangbunjin, jangan kau bicarakan dengan siapa pun."

"Baik, Tecu mengerti." Tampaknya Bu-kek Totiang sudah kehabisan tenaga hingga kekuatan untuk bicara pun sudah payah, namun dia tetap melanjutkan perkataannya, "Bila kita menarik kesimpulan dari kenyataan yang berhasil kita temukan, murid murtad pembunuh Ting-susiokmu itulah dalang dari semua ini, ilmu silatnya juga yang paling menakutkan, meskipun aku tidak berani sembarangan menduga siapakah dia, namun yakin kalau dia sudah cukup lama menyelinap di dalam kuil Sam-cing-koan di bukit Bu-tong, kau mesti peringatkan Ciangbunjin agar tidak dibokong juga! Sedangkan mengenai orang yang telah membunuh Suhumu itu, aku rasa orang itu hanya mampu menguasai ilmu pedang Jit-cap-ji-jiu-Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat, walaupun kemampuannya sudah hebat dan matang, tapi aku yakin kemungkinan besar dia adalah jagoan tangguh dari kalangan preman. Sudahlah, apa yang harus kukatakan telah kusampaikan, segera selesaikan upacara penguburan Suhumu, lalu esok pagi segera berangkat ke Bu-tong-san dan melaporkan kejadian ini kepada Ciangbunjin!" "Kenapa bukan Supek sendiri yang balik ke Bu-tong?" tanya Ko Ceng-kim terkejut. Bu-kek Totiang menghela napas panjang. "Masa kau belum melihat kalau aku pun sudah terluka dalam sangat parah? Aai.... semisal Suhumu masih hidup atau aku masih bisa hidup setengah sampai setahun lagi.... tapi kini keadaanku ibarat lampu yang kehabisan minyak! Apalagi yang ingin kau tanyakan, cepat ajukan!" Sebenarnya Ko Ceng-kim pun sudah tahu kalau sang Supek menderita luka dalam cukup parah, namun dia tidak menyangka kalau lukanya separah itu. Dalam kaget, cepat dia berseru, "Supek, kau tidak boleh mati, cepatlah obati lukamu dengan tenaga dalam. Meski kemampuan Tecu cetek, tapi tecu yakin masih mampu memikul tanggung jawab melindungi dirimu."

"Aai.... kau tidak perlu membuang banyak waktu dan tenaga," Bu-kek Totiang menghela napas panjang, "jalan darah pentingku sudah terhajar Am-gi (senjata rahasia) yang dilontarkan dengan tenaga dalam Bu-khek, kini luka itu sudah menembus jalan darah dan melukai jantungku. Hanya mengandalkan kekuatan sendiri rasanya sulit untuk menyelamatkan diri dari kematian, kecuali ada orang bertenaga dalam tinggi bersedia membantu aku menembus semua nadi dan urat penting dalam tubuhku. Aai.... sementara kau...." Dia tidak melanjutkan kembali kata-katanya, namun Ko Ceng-kim bukan orang bodoh, tentu dia paham apa yang diartikan. Sebagaimana diketahui, jangankan menggunakan tenaga dalam Thay-khek untuk menembus nadi sang Supek, bahkan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat pun belum pernah dipelajari Ko Ceng-kim, padahal untuk bisa membantu Bu-kek Totiang dibutuhkan penguasaan kunci ilmu itu. Sekarang dia baru mengerti kenapa begitu tiba di sana, kata pertama yang dilontarkan sang Supek adalah "aku datang terlambat!", rupanya keluhan itu bukan saja dilontarkan lantaran dia tidak berhasil mencegah pembunuhan atas Keng King-si, bersamaan itu dia pun menyesal atas kematian Suhunya. Terlepas dari semuanya itu, Ko Ceng-kim merasa terperanjat juga karena tidak menyangka kalau sang Supek terluka oleh tenaga dalam Thay-khek, lekas dia bertanya, "Supek, siapa orang yang telah mencelakaimu?" "Aai, orang itu tidak lain adalah pembunuh yang telah mencelakai Ting-susiokmu!" Ko Ceng-kim berdiri melongo, dia mengawasi wajah sang Supek tanpa bicara. Kelihatannya Bu-kek Totiang mengerti apa yang sedang dipikirkan keponakan muridnya, cepat dia menambahkan, "Meskipun belum pernah bersua dengan pembunuh itu, tapi aku tahu orangnya pasti sama!" Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Waktu itu aku sedang memeriksa luka yang diderita Ting-sute, tidak nyana dia membokongku dengan melontar kan sebatang mata uang dari luar jendela. Begitu terhajar Am-gi, aku merasa bagaikan dihantam seorang jagoan dari perguruan kita dengan tenaga pukulan Bu-khek. Buru-buru kugunakan segenap tenaga dalam hasil latihanku selama puluhan tahun untuk mengendalikan gejolak dalam dadaku hingga beruntung tidak sampai tewas di tempat. Dalam keadaan begini, tentu mustahil bagiku untuk melakukan pengejaran. Aai.... dengan mengandalkan segenap kekuatan yang kumiliki, akhirnya aku berusaha datang kemari untuk menyampaikan berita ini kepada Suhumu, sebab umurku paling hanya bisa bertahan tiga hari lagi. Kini saat ajalku telah tiba, Suhumu juga telah mati, tampaknya masalah selanjutnya harus kuserahkan kepadamu. Yang kumaksud 'urusan selanjutnya' bukan berarti badan kasarku ini, aku minta kau laporkan kejadian ini secepatnya kepada Ciangbunjin...." Rupanya dia kuatir Ko Ceng-kim salah mengartikan maksudnya hingga membuang banyak waktu hanya demi mengurus jenazahnya, karena itu sekali lagi dia mengulangi pesannya. "Supek, masih ada satu hal lagi tiba-tiba Ko Ceng-kim berseru. Waktu itu kelopak mata Bu-kek Totiang sudah hampir terkatup rapat, mendengar teriakan itu, sekali lagi dia membuka mata sambil berkata, "Cepat katakan, ada urusan apa?"

"Biarpun Supek belum tahu manusia macam apa ayah angkat Huo Bu-tuo, tentunya kau sudah tahu bukan dimana dia berada sekarang?" Bu-kek Totiang tidak habis mengerti mengapa di saat yang amat penting itu, pertanyaan terakhir yang diajukan justru merupakan satu masalah yang tidak penting dan sama sekali tak ada keterkaitannya dengan peristiwa ini. Sayang jiwanya sudah di ujung tanduk, dalam keadaan begini dia tidak punya kekuatan lagi untuk berpikir lebih jauh. Dengan mengerahkan sisa kekuatan yang dimilikinya, ia berbisik, "Orang itu.... orang itu.... dulu.... dulu Linggal di.... di satu bagian da.... dari jeram Liau-ji-kau.... tapi.... tapi...." "Tapi kenapa?" Ko Ceng-kim harus menempelkan telinganya di tepi bibir sang Supek sebelum dapat mendengar kata berikut, "dia.... dia telah mati!" Bu-kek Totiang menghembuskan napasnya yang penghabisan, saat dia memberitakan kematian orang lain, nyawa sendiri pun ikut melayang. Sumoy telah dikebumikan, namun di atas tanah masih berjajar jenazah Keng King-si dan Ho Liang, kini kembali jenazah Bu-kek Totiang membujur kaku di sampingnya. Begitu banyak orang yang telah meninggal, kematian beruntun sejak pertama kali diperoleh kabar bahwa Keng King-si telah mengkhianati perguruan dan menjual negara. Dimulai dari Ting Im-hok yang curiga, sampai Bu-kek Totiang, orang terakhir yang berusaha mencuci dosa Keng King-si, walaupun belum dapat membuktikan dia pasti bukan seorang mata-mata, namun telah membuktikan kalau dia bukan seorang pembunuh, sudah begitu banyak orang tewas gara-gara masalah itu. Dengan pikiran kalut Ko Ceng-kim mencoba berhitung. Ting-susiok telah mati, Suhunya telah mati, lalu Sumoynya Ho Giok-yan, Sutenya Keng King-si, pelayan tuanya Ho Liang. Selain itu, seperti yang telah diketahui, orang yang membawa surat Huo Bu-tuo telah tewas, ayah angkat Huo Bu-tuo juga telah mati, bahkan setiap orang yang mengetahui persoalan ini nyaris telah mati semua, kini yang masih hidup tinggal dia, walaupun ketua Bu-tong-pay juga mengetahui akan peristiwa ini, tapi dia belum tahu kalau dirinya, telah salah membunuh orang. Setelah menghembuskan napas panjang, kembali pikirannya kalut. Ya, di dunia saat ini memang tidak seorang pun tahu kalau dia telah salah membunuh, tapi, apakah tidak ada yang tahu berarti dapat mengurangi dosa dan kesalahannya? Dia telah berjanji kepada Bu-kek Totiang, menyampaikan apa yang telah diketahui sang Supek kepada Ciangbunjin. Seandainya hasil penyelidikan di kemudian hari membuktikan bahwa Keng King-si selain bukan pembunuh, juga bukan mata-mata, apa yang harus dilakukan? Memang, salah membunuh tidak akan sampai menghilangkan nyawanya, apalagi kesalahan membunuh dalam situasi seperti ini, dapat dipastikan Ciangbunjin akan mengampuni kesalahannya. Semisal dijatuhi hukuman yang terberat pun paling dia disuruh menghadap tembok selama satu tahun dan tidak sampai diusir keluar perguruan. Namun ketika semua peristiwa telah terkuak, bukankah Keng Giok-keng, putra Keng King-si dengan Sumoynya akan mengetahui juga akan kejadian ini? Mungkinkah Keng Giok-keng akan menganggapnya sebagai musuh besar pembunuh ayahnya? Tentu saja yang paling penting lagi adalah rasa tanggung jawab terhadap liangsim sendiri, mampukah pikiran dan perasaan hatinya menjadi tenang? Perkataan sang Supek memang tidak salah, hal terpenting yang harus dia lakukan adalah melaporkan kejadian ini kepada Ciangbunjin, agar ketua partai tahu bahwa dalam perguruannya, paling tidak tersembunyi dua orang pengkhianat, bahkan salah satu di antaranya memiliki kepandaian silat yang ampuh dan cara kerja yang keji dan telengas. Sedangkan masalah Keng King-si itu seorang pengkhianat atau bukan, saat ini memang belum perlu diselidiki secara tergesa-gesa, sebab bagaimanapun toh manusianya telah mati. Bisa saja dia mengelabui Ciangbunjin dengan tidak menyinggung masalah ini secara detil, tapi.... sanggup-kah dia berbuat begitu? Langit makin gelap, angin dingin berhembus makin kencang, namun Ko Ceng-kim berdiri tidak berkutik di tengah bukit, seolah tubuhnya telah berubah menjadi sebuah patung batu, tidak seorang pun tahu apa yang sedang dia pikirkan saat itu. Dia baru tersadar dari lamunan ketika angin dingin kembali menerpa wajahnya, 'Yang mati telah mati, biar-lah mereka beristirahat dengan tenang di dalam tanah. Sudah saatnya bagiku untuk pergi juga.' Kembali dia pungut sekop dari tanah dan melanjutkan galiannya pada liang yang belum selesai. Biarpun ada tiga sosok mayat yang belum dike-bumikan, Ko Ceng-kim merasa tidak punya waktu untuk menggali tiga liang kubur. Namun kalau membiar kan jenazah Supek, Sute dan Ho Liang berjajar dalam satu liang pun dia merasa sedikit tidak tenang. Setelah ragu beberapa saat, akhirnya dia turunkan jenazah Bu-kek Totiang terlebih dulu, diikuti membujurkan jenazah Ho Liang di sisi kiri sang Supek, diam-diam doanya, 'Supek, kau adalah seorang iman yang berjiwa besar, sesuai dengan amanatmu sebelum meninggal, aku hanya bisa mengubur jenazahmu apa adanya. Paman Ho, kematianmu yang paling tidak berharga.... tapi aku akan membiarkan kau menemani Supek, tentu arwahmu di alam baka tidak akan menyalahkan aku bukan.' Terakhir sorot matanya dialihkan ke tubuh Keng King-si, mendadak satu ingatan melintas dalam otaknya, "Setelah sekali melakukan kesalahan, aku tidak boleh mengulang kesalahan yang sama, aku telah salah membunuhnya, tidak semestinya kuhalangi keinginannya terkubur bersama jenazah Sumoy." Namun untuk mengubur jenazahnya di samping Ho Giok-yan sama artinya dia harus menggali kembali tanah kubur yang telah diratakan, padahal langit semakin gelap. Setelah berpikir berulang kali, akhirnya dia membaringkan tubuh Keng King-si di sisi kanan sang Supek. Di saat dia akan menimbun kembali liang kubur itu, tiba-tiba satu ingatan kembali melintas, sekali lagi dia membopong naik jenazah Keng King-si. Bukan karena dia berubah pikiran ingin mengubur Sutenya satu liang dengan Sumoynya, tapi dia ingin mengambil surat dari Huo Bu-tuo dan membawanya pergi. Tapi aneh, dia tidak berhasil menemukan surat itu! Apakah surat itu telah dicuri orang saat dia sedang berkunjung ke rumah keluarga Lan? Ataukah terbang dibawa angin? Padahal dia masih ingat dengan jelas, Keng King-si telah mengambil kembali surat itu dari tangan Sumoynya, tapi sayang dia tidak ingat apakah Keng King-si menyimpan kembali surat itu ke dalam sakunya atau tidak. Waktu itu dia sedang gusar lantaran Sumoynya terlalu membela sang Sute, disusul kemudian dia menyerang adik seperguruannya itu secara kalap. Dalam keadaan begini, tidak sempat lagi baginya untuk memperhatikan keberadaan surat itu. Mungkinkah surat itu terjatuh di saat Keng King-si bertarung sengit? Surat tidak didapat dia justru menemukan seruling kemala dari dalam saku Keng King-si. Seruling yang sering digunakan Sutenya untuk merayu dan memancing sang Sumoy, yang seharusnya merupakan calon istrinya. Sambil menggigit bibir, mendadak dia lakukan satu tindakan emosi yang membuat pipinya menjadi merah setiap kali teringat di kemudian hari, sekuat tenaga dia hantamkan seruling kemala itu di atas batu hingga hancur berkeping-keping, kemudian hancuran itu dia buang ke dalam liang kubur. Selesai melakukan tindakan itu, tiba-tiba dia baru mendusin, pikirnya, 'Kenapa aku mesti membenci seruling itu? Aah, yang benar aku iri karena Sute lebih pintar dan tahu seni daripada aku, iri karena dengan seni dia berhasil menggaet hati Sumoy.... Aai, tadi aku terburu napsu ingin membunuhnya, apakah hal inipun disebabkan dorongan perasaan iri?" Ketika tanah terakhir selesai dituang ke dalam liang kubur, dia menutup liang yang telah mengubur Sute serta Supeknya. Berdiri termangu sambil mengawasi sekeliling tempat itu, dia merasa seolah tubuhnya ikut terkubur dalam liang itu. Seolah langit dan bumi sudah tidak ada harganya untuk dinikmati lagi. Keng King-si sama seperti dia, sama-sama tumbuh dewasa di kediaman Suhunya. Yang membedakan mereka hanya lebih awal dan lebih akhir menggabungkan diri. Saat dia masuk perguruan, Sumoynya belum lahir, sedang saat Keng King-si masuk perguruan, Sumoynya baru berusia tujuh tahun. Jadi sebenarnya sejak dilahirkan dari rahim ibunya, dia selalu berkumpul bersama adik seperguruannya itu, termasuk juga Sutenya. Mungkin hubungan batinnya dengan sang Sute tidak sebanding dengan hubungan batinnya terhadap sang Sumoy, tapi terlepas semua budi dan dendam, hubungannya dengan sang Sute tetap sedalam hubungannya terhadap sanak sendiri, tapi sekarang, semua orang yang paling dekat dengannya telah pergi. Dia ingin menangis, namun tiada air mata yang meleleh, dia memang tidak punya waktu lagi untuk bersedih. Karena dia harus secepatnya pulang, di rumah masih ada seorang 'sanak' lagi yang menanti kedatangannya, sanak yang telah melepas banyak budi kepadanya, menunggu untuk dikebumikan olehnya! Aai, selama banyak tahun dia sudah terbiasa menganggap rumah Suhunya sebagai rumah sendiri. Tapi kini, anggota rumah itu, kecuali dia seorang, semuanya telah mati, penghuni rumah ini benar-benar telah punah. Biar langit begitu luas, kemana lagi dia harus pergi untuk menemukan sebuah rumah yang hangat bagi dirinya? Dia tidak berani berpikir lebih lanjut, yang dirasakan saat ini hanya kesepian, perasaan hampa yang aneh!

Ooo)*(ooO

BAB I

Dengan pikiran bersih bertemu Bu-siang

Tiga pantangan mengikat Put-ji

Gunung Bu-tong terletak di propinsi Ouw-pak, disebut juga gunung Som-sang atau Thay-hap-san. Pegunungan yang indah dan megah meliputi wilayah seluas empat ratusan li, puncak tertinggi mencapai seribu tujuh ratus meter dari permukaan laut dengan tujuh puluh dua puncak, tiga puluh enam tebing dan dua puluh empat jeram. Di puncak gunung Bu-tong berdiri dua buah tugu prasasti, satu berasal ahala Yong-lok tahun ke-16 (th 1418) yang bertuliskan "Prasasti peringatan jalan setapak bukit Thay-gak-thay-hap-san".

Tulisan itu digunakan Kaisar Yong-lok untuk melambangkan hubungan "Tin-bu-tay-te" yang tercantum dalam kitab agama To dengan Bu-tong-san. Di sana dikatakan pula bahwa dia bersama ayah Hong-bu (Cu Goan-ciang) berhasil menguasai dunia dan pernah memanjatkan doa di "Tin-bu". Maka dia sengaja membangun sebuah To-koan di gunung Bu-tong sebagai lambang untuk menunjukkan kesaktiannya.

Prasasti ke-2 berasal dari ahala Ka-cing tahun ke-32 (th 1553) yang merupakan prasasti untuk memperingati dibangunnya kembali ruang istana di Thay-hap-san.

Di kaki gunung Bu-tong, Kaisar Ka-cing mendirikan pula sebuah tugu yang bertuliskan "Ci-si-hian-gak", orang setempat menyebutnya sebagai pintu "Hian-gak-bun". Selewatnya tugu batu itu, akan sampai di ruang Gi-tin-kiong. Ruang Gi-tin-kiong dibangun Kaisar Beng Seng-cu untuk memperingati Thio Sam-hong, Couwsu pendiri partai Bu-tong. Antara pintu Hian-gak-bun dengan ruang Gi-tin-kiong berdiri pula sebuah patung tembaga yang menggambarkan Thio Sam-hong mengena kan topi bambu dan bersepatu rumput. Pada saat itulah terlihat ada dua orang Tosu kecil sedang berdiri di depan patung Couwsu sambil mengaguminya. Tosu yang lebih tua sedang bercerita tentang kisah Sucouwnya kepada sang adik seperguruan, katanya, "Tahukah kau, Thio-cinjin termasuk seorang manusia aneh, dia tidak pernah mau menuruti tata cara, orang menyebutnya "La-ta Thio" (Thio si dekil), bukan saja tidak terlalu perhatian terhadap segala tetek-bengek tata cara, bahkan dia gemar berkumpul dan bergaul dengan para kuli, rakyat dusun dan orang rendah lainnya. Padahal beberapa kali Kaisar Hong-bu dan Yong-lok mengutus orang untuk mengunjunginya dan mengundang dia masuk istana, anehnya, tiap kali dia selalu menghindar. Coba bayangkan, aneh tidak manusia semacam ini?"

"Suhuku pernah bercerita tentang hal ini," Tosu yang agak kecil menimpali, "konon sewaktu beliau berpesiar menjelajahi empat penjuru, beliau sempat berkenalan dengan seorang Pangeran, putra Hong-bu-te yang bernama Siok-sian-ong. Menurut Suhu, Thio-cinjin adalah manusia luar biasa yang tidak berpegang teguh pada aturan. Dalam pandangannya, kedudukan kaisar dan rakyat kecil itu sama saja. Dalam berteman dia lebih mengutamakan soal joduh, bukan dikarenakan pihak lawan adalah seorang kaisar maka dia sengaja menghindar." Tosu yang usianya lebih tua hatinya jadi tidak senang, apalagi melihat Sutenya jauh lebih menguasai cerita yang dia kemukakan, untuk menjaga gengsi, sebagai seorang kakak seperguruan, setelah mendengus kemudian berkata, "Hm, tahukah kau Thio-cinjin berasal darimana?"

"Kalau bukan Ouw-pak tentunya dari Ouw-lam bukan?" Tosu yang lebih tua tertawa dingin. "Dugaanmu meleset jauh sekali, sesungguhnya Thio-cinjin kita berasal dari wilayah Liauw-tong!" "Oh, ternyata Couwsu Bu-tong-pay adalah orang Liauw-tong? Kenapa aku tidak pernah mendengar Suhu bercerita tentang hal ini?" Merasa mendapatkan muka kembali, dengan bangga Tosu yang lebih tua itu berkata lebih lanjut, "Kau sangka aku berbohong? Thio-cinjin benar-benar orang Liauw-tong, malah semua murid Bu-tong-pay yang berusia tiga puluh tahun ke atas mengetahui akan hal ini."

"Apa hubungannya dengan masalah usia?" tanya Tosu kecil itu kebingungan. "Siapa bilang tidak ada hubungannya? Menurut peraturan perguruan, hanya mereka yang sudah memasuki usia Yok-koan (sekitar dua puluh tahun ke atas) yang bisa diterima menjadi murid agama To. Kalau dibilang murid yang berusia tiga puluh tahun ke atas, berarti paling tidak dia harus sudah masuk perguruan selama sepuluh tahun lebih. Sementara kau baru bergabung selama enam tahun, sekarang pun belum mencapai usia dua puluh tahun, tentu saja tidak ada yang memberitahukan kepadamu."

"Suheng, kau makin bicara semakin membingungkan. Bukankah kisah hidup Couwsu merupakan kewajiban setiap murid untuk mengetahuinya. Kenapa harus menunggu sepuluh tahun baru berhak mendapat tahu kisah ini?"

"Sebenarnya bukan harus masuk perguruan selama sepuluh tahun lebih dulu baru boleh tahu kisah ini. Ini semua disebabkan pada sepuluh tahun berselang, daerah asal Sucouw bukan merupakan pantangan yang tidak boleh dibicarakan, tapi sekarang justru merupakan larangan. Jadi semua orang enggan menyinggungnya kembali. Coba kalau bukan aku yang memberitahu, mungkin lewat sepuluh tahun lagi pun belum tentu kau akan tahu!"

"Kenapa sekarang jadi tabu?" tanya Tosu kecil itu tidak habis mengerti. "Mumpung di sini tidak ada orang luar, tidak ada salahnya aku beritahukan, tahukah kau...." Baru saja dia akan bercerita mengapa sekarang jadi tabu, mendadak dilihatnya ada seorang asing muncul di sana. Orang itu adalah seorang lelaki berusia dua puluh tahunan yang memiliki mata besar dan alis tebal, dandanannya seperti orang udik, sinar matanya mendelong seperti orang bloon, kelihatan sekali kalau dia seperti orang sinting, sewaktu berjalan mendekat pun langkahnya gontai mirip orang idiot. "Hei, sebenarnya kau tahu aturan tidak?" tiba-tiba Tosu yang lebih tua itu menghardik sambil melotot sekejap ke arahnya. "Aturan apa?" lelaki itu balik bertanya dengan wajah melengak. "Sebagai pernyataan rasa hormatnya terhadap Thio-cinjin, Kaisar Yong-lok memberi ijin kepada partai Bu-tong kami untuk menetapkan sebuah peraturan khusus, hampir semua orang persilatan tahu akan peraturan itu, hm! Aku rasa kau sedang berlagak pilon!"

"Aku benar-benar tidak tahu."

"Kau tidak tahu aturan, tapi bisa membaca bukan?"

"Asal bukan tulisan yang terlalu dalam, aku memang bisa membaca sedikit."

"Ketika naik gunung tadi, bukankah kau lewat di samping gardu pelepas pedang? Tulisan Ciat-kiam-teng tertera besar sekali di tengah gardu, masa kau tidak melihatnya?"

"Rasanya tidak melihat."

"Hm!" Tosu itu membentak gusar, "berarti kau memang sengaja melanggar walau sudah tahu!" Tampaknya lelaki itupun dibuat gusar oleh ulah lawan, sahutnya hambar, "Sebenarnya peraturan mana yang telah ku-langgar? Sudah coba kutanyakan tapi kau sendiri pun tidak bisa menjawab. Maaf, aku masih ada urusan lain, kalau kau cuma tahunya mengumpat orang, maaf kalau aku enggan melayani."

"Kalau tadi sudah lewat di samping gardu Ciat-kiam-teng, masa kau masih belum mengerti maksud 'melepas pedang'? Sesuai peraturan Bu-tong-pay, siapa pun dilarang naik gunung sambil menggembol pedang!" Ketika mengucapkan kata "dilarang", tahu-tahu Tosu itu sudah melolos pedangnya dan secepat sambaran kilat melepaskan sebuah tusukan ke tubuh lelaki itu. Dengan serangan itu dia tidak bermaksud merenggut nyawa lawan, sebetulnya Tosu ini hanya ingin pamer kepandaian dengan memotong putus tali ikat pinggang lelaki itu hingga pedang yang digembolnya jatuh ke tanah. Dengan serangan secepat sambaran petir, menurut perkiraannya pemuda dusun itu niscaya tidak mampu menghindarkan diri, pikirnya, 'Perlukah aku melukai sedikit kulit luarnya sebagai tanda pelajaran?' Pada hakikatnya dia tidak pernah membayangkan kalau pihak lawan bakal melakukan serangan balasan. Benar saja, sama sekali di luar dugaan, tusukan pedangnya mengenai sasaran kosong. Jangan dilihat pemuda dusun itu seperti orang bloon, sesungguhnya dia terhitung seorang lelaki berwatak keras, biarpun tahu maksud lawan, namun dia tidak rela diperlakukan semena-mena, lagi pula dia pun tidak sadar, dalam keadaan menghadapi sergapan mendadak dari lawan, secara otomatis dia sendiri memberikan reaksinya dengan mencabut pedang melakukan tangkisan. "Traang!", ketika sepasang pedang saling membentur terjadilah suara dentingan nyaring diiringi percikan bunga api. "Hei, apa-apaan kau!" bentak pemuda dusun itu gusar, "kenapa kau tidak memberi kesempatan kepada-ku untuk bicara, aku...." Dalam keadaan tidak menduga, Tosu itu nyaris terluka karena harus menerima sebuah serangan balasan, untung reaksinya cukup cepat hingga terhindar dari malu. Dalam keadaan malu bercampur gusar, mana mungkin dia mau mendengarkan perkataan lawan. Lagi-lagi sebuah serangan kilat dilontarkan. "Ooh, rupanya kau memang berniat menghina perguruan Bu-tong kami?" serunya gusar, "buat apa banyak bicara!" Tusukannya kali ini jauh lebih cepat dan ganas, sasarannya adalah sepasang mata pemuda dusun itu. Sepintas pemuda itu kelihatan tercecar dan kewalahan sampai kemampuan untuk berbicara pun tidak ada, namun begitu pedangnya membuat satu gerakan melingkar, tahu-tahu ancaman lawan berhasil dipunahkan begitu saja. Sadar musuh bukan orang sembarangan, Tosu itu mulai terkesiap, pikirnya, 'Aneh, kenapa jurus serangannya seakan merupakan tandingan dari jurus Tiang-ho-lok-jit (matahari tenggelam di sungai panjang), salah satu jurus ampuh dalam ilmu pedang Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat?" Sayang pertarungan telah berlangsung makin sengit, tidak ada peluang lagi baginya untuk berpikir lebih jauh. Secara beruntun pemuda dusun itu mundur sejauh tiga langkah, setiap mundur selangkah dia selalu berhasil mematahkan ancaman yang datang, setelah mundur sejauh tiga langkah, akhirnya dengan susah-payah berhasil juga dia berdiri tegak. Baru saja akan mengucapkan sesuatu, tiba-tiba jurus serangan Tosu itu kembali berubah, dari ilmu pedang Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat berubah jadi ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat.

Gerak serangannya melingkar bagaikan gelang, lingkaran demi lingkaran menggulung tiba bagaikan gulungan ombak di tepi sungai Tiang-kang, begitu dahsyat datangnya tekanan membuat pemuda dusun itu mau tidak mau harus memusatkan perhatiannya untuk menangkis dan tidak mampu memberi penjelasan lagi. Melihat musuhnya tercecar hebat, Tosu itu bangga bercampur puas, kembali pikirnya, 'Hm! Ternyata dia adalah seorang murid preman yang belum sempurna menguasai ilmu perguruan. Huh, kalau memang anggota perguruan, kenapa sikapmu tidak menghormat kepadaku? Manusia macam begini memang pantas diberi hukuman. Ada baiknya aku rontokkan dulu pedangnya." Siapa tahu biarpun ilmu pedang yang dimiliki pemuda dusun itu masih belum mumpuni, bukan berarti gampang untuk merontokkan senjata lawan begitu saja. Ternyata pemuda dusun itu bukan lain adalah Ko Ceng-kim. Andaikata dia tidak pernah melihat ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat, niscaya dalam sepuluh gebrakan saja dia sudah dibuat keok. Untung bukan saja dia pernah melihat bahkan pernah bertarung melawan Keng King-si yang menggunakan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat, ditambah lagi selama beberapa bulan terakhir dia selalu berusaha menelusuri rahasia ilmu pedang itu, kendatipun belum mampu menggunakannya, paling tidak dia sudah memahami beberapa bagian. Jadi tidak heran kalau Tosu itu tidak mampu mengalahkan lawannya dalam waktu singkat. Sekejap kemudian lima puluh gebrakan sudah lewat, Tosu kecil yang menonton dari tepi arena mulai berteriak, "Suheng, kelihatannya ilmu pedang yang digunakan orang ini mirip dengan...."

"Kau tidak usah ikut campur," hardik Tosu yang lebih tua itu nyaring, "perhatikan baik-baik aku menggunakan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat untuk mengalahkan dia!" Pertama, karena Tosu itu keder dengan wibawa Suhengnya, kedua, karena dia pun ingin belajar ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat, maka begitu dibentak kakak seperguruannya, dia benar-benar tidak berani bersuara lagi. Lima puluh gebrakan kemudian, Ko Ceng-kim mulai tercecar hebat dan hampir tidak sanggup menahan diri. Kembali Tosu itu melancarkan satu jurus serangan dengan tiga lingkaran pedang, lingkaran padat yang seketika membungkus seluruh tubuh Ko Ceng-kim, bentaknya, "Lepas pedang!" Jurus ini disebut Sam-coan-hoat-lun (tiga kali memutar roda hukum), ketika 'roda hukum' berputar untuk ketiga kalinya, pedang di tangan Ko Ceng-kim pasti akan terlepas dari genggaman. Pada saat itulah mendadak terdengar seseorang membentak nyaring, "Put-pay, hentikan seranganmu!" Bentakan itu tidak terlampau keras, nada suaranya pun tidak terlalu berwibawa, namun begitu masuk pendengaran Tosu itu, sekujur tubuhnya seketika bergetar keras, terperanjat luar biasa. Ternyata Tosu tua itu tidak lain adalah Bu-siang Cinjin, Ciangbunjin Bu-tong-pay. Saat itu kebetulan Tosu itu sedang melontarkan lingkaran pedang yang ketiga, lingkaran yang seketika menjepit pedang milik Ko Ceng-kim, ketika hatinya terkesiap, tanpa sadar gerakan pedangnya jadi sedikit melambat, lingkaran pedang yang tercipta pun jadi miring tidak berbentuk, menggunakan kesempatan ini Ko Ceng-kim dengan jurus Tay-mo-ku-yan (asap tunggal di tengah gurun), ujung pedangnya mencongkel ke tengah lingkaran dan...."Trangg!" pedang milik Tosu itupun mencelat dan jatuh ke tanah. Pada saat bersamaan Ko Ceng-kim berpikir juga, 'Baru dari tingkatan 'Put' saja dia sudah begitu hebat dan luar biasa, jelas bukan murid sembarangan. Aku tidak boleh membuat dia kehilangan muka.' Begitu ingatan itu melintas, buru-buru dia berlagak tidak kuat menahan tenaga gempuran lawan dengan membuang pedang miliknya ke tanah. Sepasang pedang itu hampir pada saat yang bersamaan rontok ke tanah. Walaupun dia dapat mengelabui Tosu kecil itu, ternyata tidak mampu mengelabui sepasang mata Bu-siang Cinjin, ketua Bu-tong-pay inipun berpikir, 'Orang ini mampu menghadapi serangan Thay-khek-kiam-hoat dengan menggunakan ilmu pedang Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat, dalam deretan murid murid perguruan rasanya belum ada orang kedua yang sanggup melakukannya. Ehm, belakangan perguruan banyak kehilangan orang berbakat, padahal aku sedang risau karena urusan ini. Dilihat dari bakatnya, orang ini bagus untuk mempelajari ilmu silat tingkat tinggi, yang aku kuatirkan adalah wataknya yang licik dan pandai melihat situasi, orang semacam ini bisa baik, bisa juga jahat. Kalau jadi baik dia akan jadi manusia paling berbakat untuk perguruan, tapi kalau jadi jahat, dia malah bisa jadi bencana. Ehm, terpaksa aku harus membuang lebih banyak pikiran untuk mendidiknya." Berpikir sampai di situ, dia pun segera menegur, "Apa yang telah terjadi?" "Lapor Ciangbun Supek," dengan ketakutan buru-buru Tosu itu menyahut, "dia naik gunung dengan menggembol pedang, padahal sudah kusuruh untuk melepaskan senjatanya, tapi dia tidak mau menurut, malah mengajak aku bertarung!" "Hm! Masa tidak kau lihat bahwa dia adalah murid seperguruan? Kalau dia bukan orang luar, kenapa harus melepaskan pedang?" Merah jengah wajah Tosu itu. "Dia tidak menerangkan hal ini kepada Tecu, justru Tecu baru tahu kalau dia berasal dari satu perguruan setelah terjadi pertarungan tadi." Dalam hati tentu saja Bu-siang Cinjin tahu kalau Tosu itu tidak bicara jujur. Kalau bukan Tosu ini yang menyerang duluan, mana mungkin Ko Ceng-kim melayani pertarungannya? Cuma saja karena Tosu ini adalah murid pertama Bu-liang Tojin, salah satu dari tiga sesepuh Bu-tong-pay, memandang wajah Sutenya dia tidak ingin kelewat menegur muridnya. Maka dengan suara hambar ujarnya, "Sudah sejak lama aku ingin menghapus peraturan ini, tapi lantaran aturan itu merupakan anugerah Kaisar Yong-lok, terpaksa peraturan serta gardu pelepas pedang kupertahankan sampai sekarang. Tapi aku berharap kalian bisa memaklumi maksud hatiku, selanjutnya jangan berlindung di balik perlindungan dan kasih sayang kerajaan dengan menganiaya orang luar, mengajak orang berkelahi hanya dikarenakan orang luar melanggar peraturan." Tosu itu jadi serba kikuk, buru-buru dia berlutut sambil menyahut, "Terima kasih banyak atas nasehat Ciangbunjin." Ko Ceng-kim sendiri pun buru-buru ikut berlutut seraya berseru, "Lapor Ciangbunjin, sesungguhnya semua ini merupakan kesalahan Tecu, Tecu kelewat bodoh dan lamban pikiran! Sewaktu Suheng ini bertanya apakah aku paham peraturan atau tidak, untuk sesaat ternyata aku lupa dengan peraturan ini, jadi tidak heran kalau Suheng ini memberi pelajaran kepadaku." (Gb 2) "Kalau memang hanya salah paham, anggap saja urusan selesai," kata Bu-siang Cinjin kemudian dengan kening berkerut, "apalagi kedatanganku juga bukan untuk menuntut pertanggung jawaban kalian. Ayo, semuanya bangkit!" Lalu kepada Ko Ceng-kim tanyanya, "Siapa Suhumu? Apakah kau baru kali pertama ini naik ke Bu-tong-san? Kenapa datang seorang diri?" Sesuai peraturan yang berlaku dalam Bu-tong-pay, murid preman yang untuk pertama kali datang menyambangi Ciangbunjin harus didampingi Suhu atau angkatan tua dari lingkungannya. "Lapor Ciangbunjin, Tecu Ko Ceng-kim, Suhuku adalah...."

"Ooh, rupanya kau adalah murid pertama Ho Ki-bu," segera Bu-siang Cinjin menukas, "tahukah kau, justru aku sedang menanti kedatanganmu." Seperti kaget karena mendapat perlakuan istimewa, setelah tertegun sejenak, seru Ko Ceng-kim, "Jadi Ciangbunjin sudah tahu kalau hari ini Tecu akan kemari?"

"Benar, sebab Bu-kek Supekmu seharusnya sudah tiba di gunung sejak dua hari berselang, karena dia tidak datang, seharusnya Suhumu yang datang. Tapi mereka berdua tidak ada yang datang menjumpai aku, berarti kaulah yang seharusnya datang kemari. Oleh karena kuatir kau baru pertama kali naik gunung, masih asing bagi semua orang di sini dan untuk menjumpai aku pun harus melalui beberapa pos penjagaan, maka secara khusus aku turun gunung menanti kedatanganmu, biar kau tidak usah repot melewati pos penjagaan dan bisa langsung menemui aku."

"Lapor Ciangbunjin, Bu-kek Supek serta Suhu bicara sampai di sini dia melirik sekejap memperhatikan paras muka ketuanya, kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Soal ini.... soal ini.... panjang sekali untuk diceritakan."

"Baguslah, kalau memang panjang ceritanya, sekarang ikut aku balik dulu ke atas bukit, selesai beristirahat baru perlahan kau laporkan semua kejadian kepadaku." Diam-diam Ko Ceng-kim bersyukur karena dugaannya tidak meleset, kembali pikirnya, 'Masih untung aku pandai menilai perubahan wajah Ciangbunjin dan tidak langsung memberi laporan. Padahal di sana masih hadir dua orang Tosu bau itu, kalau sampai salah tafsir hingga mengungkap hal yang tidak seharusnya mereka ketahui, waah.... tentu bakal celaka." Sebagaimana diketahui, dengan status Bu-siang Cinjin yang begitu terhormat sebagai seorang Ciang-bunjin, tentu saja kedatangannya ke bawah bukit untuk menyambut kedatangan Ko Ceng-kim bukan hanya disebabkan untuk menghapus aturan sewaktu memberikan laporan, tapi lebih menitik beratkan pada keseriusan masalah yang hendak disampaikan. Dia kuatir pemuda itu segera akan membeberkan rahasia besar itu kepada seluruh anggota Bu-tong-pay begitu tiba di sana.

Beruntung Ko Ceng-kim meski masih muda namun jalan pikirannya justru jauh lebih matang, sejak awal dia sudah memperkirakan hal itu. Satu-satunya persoalan yang membuat dia ragu hanyalah apakah dia harus melaporkan dulu masalah kematian Suhunya kepada ketuanya atau tidak. Sebab menurut peraturan yang berlaku dalam dunia persilatan, pembunuhan terhadap Suhu sama beratnya dengan pembunuhan atas orang tua sendiri, sebagai murid yang menghadapi tragedi semacam itu, menjadi kewajiban baginya untuk melaporkan berita duka ini kepada sang ketua, bahkan seharusnya dia menangis tersedu begitu bertemu sang Ciangbunjin. Tapi sekarang dia dapat merasa lega, sebab baik ditinjau dari perubahan mimik muka Ciangbunjin atau dari nada pembicaraan yang dilontarkan, dia tahu tindakan yang dilakukannya sudah sangat tepat. Rupanya dalam menghadapi persoalan istimewa, berlaku pula peraturan istimewa. Berbeda dengan kedua orang Tosu itu, mereka tidak memahami sebab musabab di balik semua itu, betapa tercengang dan tertegunnya mereka ketika melihat ketuanya melanggar kebiasaan dengan menyam-but sendiri kedatangan seorang murid preman. Dalam keadaan begini, buru-buru mereka memperkenalkan diri kepada Ko Ceng-kim. Ternyata Tosu yang berusia lebih besar itu adalah Put-pay, murid pertama Bu-liang Tojin, sementara Tosu yang lebih muda adalah Put-hu, murid ketiga Bu-si Tojin. "Ko Ceng-kim," kata Bu-siang Tojin tiba-tiba, "baru pertama kali ini naik gunung bukan? Cepat beri hormat dulu kepada Couwsu." Menunggu Ko Ceng-kim selesai memberi hormat pada patung Couwsu mereka, dia pun mengajaknya naik gunung. Put-pay serta Put-hu yang tidak mendapat perintah dari Ciangbunjinnya tentu saja tidak berani sembarangan membuntuti. Ko Ceng-kim yang berjalan mengikut di belakang sang Ciangbunjin pun tidak berani sembarangan bicara, selewatnya istana Gi-tin-kiong, mendadak Bu-siang Cinjin menegur lagi, "Ceng-kim, ketika menyembah di hadapan Couwsu tadi mimik mukamu kelihatan sangat aneh, sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?" 'Tajam benar pandangan mata Ciangbunjin,' diam-diam Ko Ceng-kim terkesiap, 'ternyata apa pun yang sedang kupikir tidak dapat mengelabui dirinya!' Agak tergagap buru-buru sahutnya, "Lapor Ciangbunjin, Tecu ingin menanyakan satu hal tapi tidak tahu harus dimulai darimana?"

"Tanyakan saja!"

"Benarkah Couwsu kita, Thio-cinjin berasal dari Liauw-tong?"

"Betul. Apalagi yang ingin kau ketahui?"

"Kalau begitu Thio-cinjin termasuk bangsa Boan atau bangsa Han?"

"Couwsu adalah bangsa Han yang lahir di wilayah Liauw-tong, kenapa kau bertanya soal ini?"

"Tecu merasa sedikit keheranan ketika mendengar kedua orang Suheng itu membicarakan asal-usul Couwsu."

"Apa yang aneh?"

"Kenapa murid yang baru masuk perguruan dilarang mengetahui daerah asal Couwsu? Tecu dengar sepuluh tahun berselang tidak ada peraturan semacam ini."

"Sekarang pun tidak ada peraturan semacam ini. Mereka tidak berani menyinggung soal daerah asal Couwsu lantaran perasaan mereka sendiri yang punya kendala!"

"Apa yang dimaksud kendala dalam hati? Harap Ciangbunjin bersedia memberi petunjuk untuk membuka kebodohan Tecu."

"Hukum alam berkata, kehidupan di dunia itu sederajat. Meskipun itu merupakan ajaran Buddha, namun asalnya ajaran Buddha maupun agama To adalah satu aliran. Manusia adalah salah satu bagian dari kehidupan, kalau kehidupan saja sederajat, apalagi antara manusia satu daerah dengan manusia dari daerah lain. Tidak ada manusia yang sejak lahir sudah dibedakan kaya miskin, terhormat atau hina, tidak ada baik tidak ada buruk, yang penting adalah pikiran dan perasaanmu sendiri. Kalau sejak awal kau sudah berpendapat bangsa Han adalah orang baik sementara bangsa Boan adalah orang jahat, maka pandangan inilah yang merupakan kendala bagimu!" Ko Ceng-kim seperti sedang meresapi perkataan itu, dia terbungkam seribu bahasa. "Sejak sepuluh tahun berselang, meski Nurhaci Khan dengan membawa pasukan bangsa Boan sudah mulai mengusik garis batas negeri kita," ujar Bu-siang Cinjin lebih jauh, "namun kerajaan Tay-beng kita hanya menganggap kejadian itu sebagai gangguan kecil, oleh sebab itu pada sepuluh tahun lalu partai kita masih tidak menganggap daerah asal Thio-cinjin di wilayah Liauw-tong sebagai satu hal yang tabu. Kemudian, setelah Nurhaci mendirikan negara dan mengangkat diri jadi Khan, kini dia secara resmi menjadi musuh besar kerajaan Tay-beng kita. Situasi pertempuran antar dua negara makin lama makin gawat, wilayah pertempuran pun semakin melebar, pada saat seperti inilah timbul pikiran di antara sebagian murid perguruan bahwa mengakui Couwsu sebagai orang yang berasal dari Liauw-tong merupakan satu kejadian yang mencoreng nama baik kita, kendatipun Couwsu dilahirkan sebagai seorang bangsa Han."

"Oh, rupanya urusan tabu berasal dari kejadian ini?" "Padahal biar kau tidak menyinggung soal inipun bukan berarti orang lain tidak tahu. Tabu semacam ini tidak lebih hanya pikiran orang dungu. Padahal yang terpenting bukan daerah asal Thio-cinjin, melainkan watak serta tindak-tanduknya!"

"Selama hidup Thio-cinjin bijaksana dan jujur, satu fakta yang tidak terbantahkan!"

"Bukan lantaran bijaksana dan jujur saja," sahut Bu-siang Cinjin sambil manggut-manggut, "tahukah kau apa sebabnya semenjak Kaisar Tay-cou Huante dan kaisar dinasti Beng berikutnya, semuanya menghormati Thio-cinjin?" Seakan menjawab pertanyaan sendiri dia melanjutkan, "Dalam prasasti yang didirikan Kaisar Yong-lok dikatakan kalau keberhasilannya merebut kembali tanah air karena mendapat perlindungan dari Kaisar langit Tin-bu-tay-te, padahal kenyataan ucapan itu hanya bualan belaka, sesungguhnya di balik itu semua terdapat sebab-musabab lain. Ketika kaisar Tay-cu mengusir bangsa Mongol dan merebut kembali tanah air dulu, Bu-tong-pay yang didirikan Thio-cinjin pernah menyum-bang kekuatannya untuk membantu dia. Hanya saja Thio-cinjin bukan jenis orang yang menuntut jasa atas pengorbanannya. Oleh sebab itu ketika sekarang bangsa Boan sudah menjadi musuh negara, rasa hormat kaisar saat ini terhadap Thio-cinjin pun masih mengikuti adat lama, sementara para pendekar di kolong langit pun tidak menganggap lantaran Thio-cinjin berasal dari wilayah Liauw-tong maka kejadian ini dianggap memalukan! Aku berharap kau pun jangan punya pandangan picik seperti kebanyakan orang, mau membedakan seseorang jangan menilai dari dia berasal dari etnis Boan atau Han melainkan nilailah dari baik- buruknya watak seseorang!"

"Jangan menilai dari turunan Boan atau Han, melainkan nilailah dari baik-buruknya watak seseorang!" gumam Ko Ceng-kim. "Betul, di antara bangsa Han ada juga orang jahat, di antara bangsa Boan pun ada orang baik. Bukankah teori ini sebenarnya sangat sederhana?" Tanpa terasa keringat dingin jatuh bercucuran membasahi seluruh tubuh Ko Ceng-kim. Sebagaimana diketahui, Keng King-si dicurigai sebagai mata-mata lantaran pemuda itu hidup mengasingkan diri di wilayah Liauw-tong. Di antara bangsa Boan terdapat juga orang baik, apalagi hanya bertempat tinggal di wilayah bangsa Boan? Bukankah dasar alasan kecurigaannya jadi goyah? Tidak berdasar sama sekali? Walau begitu, kunci semua persoalan ini tetap berada di tubuh Huo Bu-tou seorang. Sekarang telah diketahui bahwa dia adalah bangsa Han kelahiran Liauw-tong, keadaan itu tidak jauh berbeda dengan riwayat Thio Sam-hong, Couwsu Bu-tong-pay di masa lalu. Jadi masalahnya adalah apakah dia benar-benar telah menjadi mata-mata bangsa Boan atau bukan. Tidak salah, dia memang pernah menjadi penga-wal pribadi Nurhaci Khan, tapi siapa tahu dia justru "biar tubuh berada di sarang Cho-cho, jiwa tetap di pihak bangsa Han"? Ketika Bu-kek Supek dan dia sendiri tahu asal-usul Huo Bu-tou, kemudian langsung menuduhnya sebagai mata-mata bangsa Boan, apakah tindakan ini termasuk pandangan yang mendahului kenyataan? Padahal kunci semua peristiwa itu berada dalam isi surat yang dikirim Huo Bu-tou untuk Keng King-si, mereka harus mengetahui terlebih dulu pekerjaan apa yang harus Keng King-si lakukan, lalu apa pula jabatan resmi yang dia pangku di kotaraja? Apa pula tujuannya berbuat begitu? Asalkan beberapa hal ini diketahui secara jelas, saat itulah mereka baru bisa membuktikan apakah Keng King-si itu seorang mata-mata atau bukan. Tapi kini semua orang yang berhubungan dengan peristiwa itu sudah mati, satu-satunya saksi hidup rasanya tinggal Huo Bu-tou seorang. Padahal dari mulut Huo Bu-tou bukan saja bakal diketahui semua rahasia besar itu, bahkan bisa jadi dapat diketahui pula siapa mata-mata dan pengkhianat yang menyusup ke dalam perguruan mereka, jelas keberadaan Huo Bu-tou sangat penting, jelas dia merupakan saksi kunci. Kelihatannya Bu-siang Cinjin berpikir juga ke sana, bahkan sudah menduga semua kemungkinan yang bakal terjadi jauh sebelum Ko Ceng-kim memikirkannya. Dia mengajak Ko Ceng-kim masuk ke dalam kamar semadinya, setelah menanyakan semua persoalan dengan jelas, dia pun menghela napas seraya berkata, "Kini, kita hanya mempunyai seorang saksi kunci yaitu Huo Bu-tuo, dia sangat penting artinya untuk mengungkap semua kejadian ini, semoga saja dia tidak dicelakai orang!" Begitu mendengar ucapan terakhir, Ko Ceng-kim sangat terperanjat, bisiknya tanpa sadar, "Maksud Ciangbun si pengkhianat yang telah mencelakai Bu-kek Supek sedang bersiap hendak mencelakai dia?"

"Belum tentu orang ilu turun tangan sendiri."

"Kalau begitu, perlu tidak segera mengirim orang ke kotaraja untuk mencarinya? Kalau hasil penyelidikan terbukti dia bukan mata-mata atau pengkhianat, kita bisa segera menghubungi murid Bu-tong-pay yang ada di ibukota untuk melindunginya, atau menyuruh dia cepat menyembunyikan diri. Bila tidak ada orang yang mau melaksanakan tugas ini, Tecu bersedia melakukan perjalanan untuk melaksanakan perintah."

"Kau tidak perlu menguatirkan persoalan ini. Mana sempat kalau sekarang baru mengirim orang ke kotaraja?"

"Aah, rupanya Ciangbunjin telah mengutus orang?" seru Ko Ceng-kim terkejut bercampur girang. "Benar, orang yang kuutus adalah murid tertuaku yang paling bisa dipercaya, Put-coat. Aku rasa dalam sehari dua hari mendatang dia seharusnya sudah kembali."

"Ooh, berarti dia sudah diutus jauh sebelum Ting-susiok terbunuh?"

"Benar, aku berbuat begini bukan lantaran sudah menduga sebelumnya, waktu itu aku masih belum tahu bakal berhadapan dengan lawan yang begitu lihai. Ketika mengutus Put-coat berangkat ke kotaraja waktu itu, tujuan utama adalah menyelidiki kejadian yang sebenarnya, kemudian baru berjaga-jaga kalau dia dicelakai orang. Ehm, tapi sekarang keadaan sudah jauh berbeda."

Walaupun Bu-siang Cinjin tidak menjelaskan lebih lanjut, Ko Ceng-kim cukup mengerti apa yang dimaksud "jauh berbeda". Kini setelah diketahui ada musuh tangguh yang menyelinap masuk ke dalam perguruan, tentu saja semua sepak-terjang harus diperhitungkan matang-matang. Bila sekarang Bu-siang Cinjin akan mengutus orang ke kotaraja, jelas orang itu harus memiliki kungfu yang sangat hebat, karena tujuannya adalah melindungi keselamatan jiwa Huo Bu-tuo.

Mendadak Ko Ceng-kim merasa kata "lawan" yang digunakan Bu-siang Cinjin barusan sedikit mencurigakan, segera tanyanya, "Menurut analisa Bu-kek Supek, ilmu pukulan Thay-khek-ciang yang digunakan pembunuh yang mencelakai Ting-susiok maupun dirinya sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, jelas orang itu adalah jago tangguh dari perguruan sendiri. Apakah Ciangbunjin masih menaruh perasaan sangsi atau curiga atas kejadian ini?"

Sebagaimana diketahui, bila sudah disimpulkan dalam partai telah muncul orang yang dicurigai, maka istilah yang digunakan seharusnya "pengkhianat" dan bukan kata "lawan".

"Rasanya dalam partai kita, hanya beberapa gelintir manusia yang memiliki kemampuan sehebat itu," sahut Bu-siang Cinjin, "tapi setelah dipikir pulang pergi, rasanya tidak seorang pun yang patut dicurigai. Oleh sebab itu aku tidak berani memastikan orang itu pastilah pengkhianat yang menyusup ke dalam partai kita."

"Tapi ilmu pukulan Thay-khek-ciang adalah ilmu rahasia perguruan yang tidak diajarkan kepada orang luar, mana mungkin orang luar bisa mempelajarinya?"

"Sudah hampir dua ratus tahun lamanya Thio-cinjin mendirikan perguruan kita. Selama dua ratus tahun, murid penganut agama To maupun murid preman yang mempelajari ilmu pukulan Thay-khek-ciang meski tidak terhitung terlalu banyak, jumlahnya pun tidak sedikit. Tidak menjamin ada satu dua orang yang mengajarkan ilmu itu kepada orang luar. Sebagai contoh, ada orang yang keranjingan belajar ilmu silat, biasanya mereka akan melupakan segala pantangan maupun larangan perguruan ketika melihat ada ilmu silat aliran lain yang lebih tangguh, seringkali mereka justru rela bertukar ilmu silat perguruan sendiri dengan pihak lain.

"Selama dua ratus tahun ini, asal ada satu atau dua orang saja yang berbuat begitu, diam-diam mengajarkan ilmu rahasia itu kepada orang luar, kemudian orang itu mewariskan juga ilmu tadi kepada generasi berikutnya selama beberapa puluh tahun ini, tidak tertutup kemungkinan bukan kalau ada orang luar yang berhasil menguasai ilmu Thay-khek-ciang jauh melebihi kita semua? Satu kejadian yang tidak aneh."

Rasa bingung semakin menyelimuti perasaan Ko Ceng-kim, pikirnya, 'Ternyata Bu-kek Supek belum pernah berpikir sampai ke situ.' Cepat ujarnya kemudian, "Kalau sampai begitu, bukankah urusan jadi bertambah ruwet?"

"Aku tidak berani mengatakan benar atau tidak, pokoknya secara keseluruhan, masih banyak hal yang mencurigakan dan belum dapat kupecahkan. Ai.... semoga saja perbuatan terkutuk ini bukan hasil perbuatan pengkhianat dari partai kita. Kau pun tidak usah sembarangan menduga atau berprasangka, toh dalam satu dua hari mendatang Put-coat sudah kembali, siapa tahu dia berhasil menemukan sedikit titik terang." Baru selesai berbicara, mendadak seseorang mendorong pintu sambil melangkah masuk.

Ko Ceng-kim terkesiap, dia tidak tahu siapa orang bernyali yang berani memasuki ruang rahasia Ciangbunjin, tapi dapat diduga pastilah seorang tokoh penting dalam perguruan. Baru saja ingatan itu melintas, teka-teki itu segera terbongkar sudah. Tampak seorang Tosu setengah umur memasuki ruang rahasia itu sambil menyapa, "Suhu!" Sementara matanya mengawasi terus ke arahnya tanpa berkedip.

Bu-siang Cinjin segera tertawa tergelak. "Baru saja menyebut Cho-cho, ternyata Cho-cho sudah datang. Put-coat, kami sedang menunggu kedatanganmu. Dia adalah murid paling tua Ho-susiokmu, bernama Ko Ceng-kim. Kalau ada yang ingin dilaporkan, cepat katakan saja."

Tanpa peduli Ko Ceng-kim yang sedang memberi hormat kepadanya, tergopoh-gopoh seru Put-coat, "Lapor Suhu, Tecu telah melaksanakan perintah dengan mendatangi kotaraja, sayang kedatanganku terlambat!"

"Bagaimana keadaan Huo Bu-tuo?" seru Bu-siang Cinjin terkesiap.

"Sudah mati! Sehari sebelum kedatangan Tecu di kotaraja, tiba-tiba dia terserang penyakit dan tewas!"

"Mati terserang penyakit? Mana mungkin ada kejadian yang begitu kebetulan? Jangan-jangan dia mati dibunuh orang, sudah kau selidiki?"

"Lapor Suhu, rasanya persoalan ini agak mencurigakan, Tecu sendiri tidak tahu apakah dia benar-benar mati dibunuh orang atau dia cuma pura-pura mati!"

"Apa maksud perkataanmu itu?" buru-buru Bu-siang Cinjin bertanya dengan mata berkilat.

"Seperti apa yang Suhu perintahkan, begitu sampai di kotaraja, Tecu segera menyambangi Sik Cu, Congpiautau perusahaan ekspedisi Ceng-wan-piaukiok yang telah pensiun, dia adalah orang lama di kotaraja, hampir semua orang dia kenal. Ketika Tecu minta tolong untuk mencari tahu soal Huo Bu-tuo, benar saja, tidak sampai beberapa lama, dari mulut beberapa orang kurcaci diperoleh satu kabar yang sama sekali tidak terduga!"

"Ooh, kejadian tidak terduga macam apa yang kau peroleh? Coba ceritakan secara detil, lalu kita bahas bersama-sama."

"Begundal yang memberi laporan adalah seorang pencuri barang kuburan, dia terbiasa membongkar kuburan baru dan merampok barang berharga yang ada dalam peti mati. Huo Bu-tuo adalah orang yang belum lama datang ke kotaraja, tanpa sanak tanpa saudara, membongkar kuburan orang macam begini adalah pekerjaan dengan resiko sangat kecil. Oleh sebab itu meski Huo Bu-tuo termasuk salah seorang pengawal Kim-ih-wi, dia tetap berani membongkar kuburannya pada malam kedua setelah hari pemakaman. Akhirnya yang dia peroleh hanya kesialan. Coba terka apa yang terjadi? Bukan saja dia tidak menemukan barang berharga dalam peti mati itu, pakaian halus pun tidak dijumpai sepotong pun. Bahkan yang lebih di luar dugaan adakah ketika peti mati itu dibongkar, ternyata di situ tidak ditemukan jenazah!" "Ooh, tidak ditemukan jenazah? Lantas siapa yang melakukan pemakaman itu?"

"Konon beberapa orang rekan sesama pengawal Kim-ih-wi yang mengurus layonnya, salah satu di antaranya adalah sobat lama Sik Cu. Menurut penuturan orang itu, dengan mata kepala sendiri dia saksikan jenazah Huo Bu-tuo dimasukkan ke dalam peti mati!"

"Menurut kebiasaan, rasanya tidak pernah ada yang mencuri jenazah seseorang!"

"Tapi ada satu kemungkinan," sahut Put-coat cepat, "bila orang itu mati karena keracunan. Mungkin saja orang yang meracuninya takut bakal menimbulkan masalah di kemudian hari, maka dia sengaja memusnahkan jenazah itu agar sukar dilacak."

Melihat tampang Ko Ceng-kim yang bodoh dan kuatir pemuda itu tidak mengerti apa yang dimaksud, cepat tambahnya lagi, "Biasanya tulang-belulang orang yang mati keracunan berwarna hitam, oleh sebab itu walau sudah mati lama, gejala itu masih dapat ditemukan. Bisa jadi pembunuh itu kuatir ada orang yang bakal membongkar peti mati untuk melakukan pemeriksaan di kemudian hari, maka cara terbaik untuk menutup rahasia ini adalah turun tangan lebih dahulu, mencuri jenazahnya dan membakar sampai punah."

"Kemungkinan seperti ini bukannya tidak ada, tapi menurutku, bisa jadi dia hanya pura-pura mati," kata Ko Ceng-kim.

"Itulah sebabnya aku mengatakan kalau kasus ini sangat mencurigakan, dia mati sungguhan? Atau pura-pura mati? Dibunuh? Atau mati lantaran sakit? Tidak gampang buat kita untuk menyimpulkan!"

"Aai.... semoga saja dia hanya pura-pura mati," Ko Ceng-kim menghela napas panjang, "kalau tidak, titik terang terakhir yang kita milikipun bakal lenyap." Entah mengapa, walaupun di luar dia menghela napas, namun dalam hati kecilnya justru seolah merasa lega karena kehilangan beban berat. "Mana surat yang ditulis Huo Bu-tuo untuk Keng King-si? Apakah masih berada di tanganmu?" tiba-tiba Bu-siang Cinjin bertanya.

"Surat itu sudah hilang!"

"Kenapa bisa hilang?" seru Bu-siang Cinjin tertegun, "apakah tidak digembol Keng King-si? Atau lenyap setelah berada di tanganmu? Atau belum berhasil ditemukan? Aku rasa mustahil kau tidak menggeledah sakunya bukan?"

"Dia memang membawanya, cuma Tecu sendiri pun tidak jelas kenapa bisa mendadak hilang," secara ringkas dia pun menceritakan keadaan yang dialaminya waktu itu kepada Bu-siang Cinjin. Bu-siang Cinjin menghela napas panjang sehabis mendengar penuturan itu, gumamnya, "Tidak kusangka, setelah menjumpai satu teka-teki besar, kini muncul teka-teki yang lain. Bila surat itu benar-benar dicuri orang, akan semakin sulit bagi kita untuk melacak kejadian yang sebenarnya."

"Tapi.... bukankah Suhu sudah pernah mendengar isi surat itu dari penuturan Ting-susiok?" tanya Put-coat.

"Yang aku butuhkan adalah tulisan tangan Huo Bu-tuo sendiri. Tahukah kau? Biarpun dia sudah mati, tapi masih sangat berguna."

"Maaf Tecu makin lama makin bingung, Tecu tidak berhasil menemukan apa kegunaannya," kata Put-coat.

"Bila di kemudian hari kita dapat menemukan catatan harian atau surat yang ditinggalkan Huo Bu-tou, maka kita bisa mencocokkan gaya tulisan di surat itu dengan catatan lainnya, dengan begitu kita bisa tahu apakah tulisan surat itu asli atau palsu," Ko Ceng-kim menerangkan.

"Aah, betul! Ternyata otakmu jauh lebih encer daripada aku!" seru Put-coat tanpa terasa. Sebetulnya dia memandang sebelah mata terhadap Ko Ceng-kim, tapi sekarang, pandangannya berubah seratus persen. "Ceng-kim, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Bu-siang Cinjin kemudian.

"Tecu tidak punya sanak tidak punya keluarga, rumah pun tidak punya, jadi tiada rencana apapun."

"Baiklah, kalau begitu tinggal saja di sini. Aku akan mengatur semuanya untukmu."

"Terima kasih atas budi kebaikan Ciangbunjin!"

Apa yang bakal diatur Ciangbunjin untuknya? Lamat-lamat dia dapat menebaknya beberapa bagian. Oleh sebab itu meski perasaannya saat itu dicekam kepedihan, namun di balik kepedihan sedikit banyak dia bersyukur juga untuk masa depan sendiri.

"Baik, sekarang kau boleh ikut aku pergi melaporkan berita duka ini kepada kedua orang Tianglo yang lain," ajak Bu-siang Cinjin.

Tiga hari kemudian, di atas bukit Bu-tong telah muncul seorang murid baru dari aliran agama To. Dalam perguruan Bu-tong-pay sebenarnya terdapat beratus orang murid Tosu, bertambah seorang murid baru bukanlah suatu kejadian yang aneh, tapi murid baru yang satu ini justru telah melanggar peraturan yang berlaku selama ini. Pertama, menurut aturan Bu-tong-pay, untuk menjadi murid aliran agama To, seseorang harus masuk perguruan sejak usia kecil atau paling tidak usianya tidak melebihi 15 tahun. Tapi murid baru itu sudah berusia dua puluh tujuh tahun. Kedua, murid itu sama sekali bukan orang luar, sebelumnya dia adalah murid preman dari perguruan Bu-tong-pay. Ketiga, yang paling mencolok adalah murid itu ternyata diterima Bu-siang Cinjin, sang Ciangbunjin sebagai murid penutup. Murid preman yang berpindah jadi murid aliran agama To bukannya tidak ada, tapi murid yang diterima Ciangbunjin boleh dibilang sangat langka. Murid baru itu tidak lain adalah Ko Ceng-kim. Bu-siang Cinjin adalah seorang Ciangbunjin yang dihormati dan disegani anak muridnya, tentu saja apa yang dia lakukan tidak berani dibantah atau diprotes orang lain. Kendatipun begitu, tidak urung sekelompok murid diam-diam berkasak-kusuk juga mengenai kejadian itu. Sesaat sebelum Ko Ceng-kim resmi menjadi pendeta, berita kematian yang menimpa Bu-kek Tianglo serta Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu tersebar luas. Yang dimaksud tersebar luas tentu saja hanya sebatas kematian mereka karena menderita sakit, sementara alasan sesungguhnya tidak pernah disebar luaskan. Tahun ini usia Bu-kek Totiang sudah lebih enam puluh tahun, meskipun belum terbilang kelewat tua, namun masih terhitung panjang usia (sebagaimana diketahui, usia orang jaman kuno jauh lebih pendek daripada usia manusia jaman modern), usia Ho Ki-bu baru lewat lima puluh tahunan, jadi seusianya belum terhitung terlalu tua. Akan tetapi lantaran berita kematian karena sakit ini berasal dari Ciangbunjin sendiri, tentu saja tidak seorang pun berani mencurigai Ciangbunjin mereka sedang berbohong. Malah ada sementara murid yang menyangka Ciangbunjin mereka masih terkenang dengan kemampuan Ho Ki-bu, sehingga menerima murid pertama Ho Ki-bu itu sebagai murid sendiri. Kini Ko Ceng-kim menyandang gelar kependetaan, Put-ji Tosu, dia bukannya tidak tahu kalau banyak orang sedang berkasak-kusuk di belakangnya membicarakan persoalan itu, namun selama ini dia hanya berlagak pilon. Sebagai orang yang pada dasarnya memang tidak gemar banyak bicara, sesudah menjadi murid Ciangbunjin, dia semakin membungkam dan jarang bicara. Sepintas dia seperti seorang yang sudah hambar memandang masalah dunia, padahal bukan berarti dia sama sekali tidak memikirkan persoalan apa pun. Dia selalu teringat pesan Suhunya di saat melantik dia menjadi seorang pendeta. "Setelah memasuki perguruan, kau harus menjaga tiga pantangan, pantangan rakus, pantangan marah dan pantangan bertindak bodoh. Keputusan utama selalu di hati, biarkan jalan menyimpang berjalanlah sesuai kebutuhan. Tiada godaan tidak akan menimbulkan napsu, tiada kecurigaan tidak akan menumbuhkan penyesalan." Mengulang kembali pesan itu dalam hatinya, tanpa terasa dia pun tertawa getir, pikirnya, 'Tiga pantangan rakus, bertindak bodoh dan marah, hampir semuanya pernah kulanggar. Tiada godaan tidak akan menimbulkan napsu? Jelas ini merupakan pelajaran agama To tingkat tinggi, semudah itukah aku dapat mencapai tingkatan seperti itu?" Kemudian pikirnya lebih jauh, 'Keputusan utama selalu di hati, biarkan jalan menyimpang berjalanlah sesuai kebutuhan. Suhu memberi aku gelar Put-ji (tiada penyimpangan), apakah dia kuatir aku tidak dapat mengendalikan diri hingga kembali terjerumus ke jalan sesat?"

Hari itu dia mendapat tugas mencari daun obat di bukit belakang, tugas itu dilewatkan dengan pikiran kalut dan tidak menentu, tanpa terasa sang surya telah tenggelam di langit barat. Tiba-tiba terdengar seseorang menegur, "Put-ji Sutit, apakah ada sesuatu pikiran yang mengganjal?" Ketika Put-ji mendongakkan kepala, dia lihat seorang Tianglo perguruannya, Bu-liang Tojin telah berdiri di hadapannya. Semenjak kematian Bu-kek Tojin, Tosu ini telah naik pangkat menjadi pimpinan para sesepuh, kedudukannya hanya di bawah Ciangbunjin.

"Tecu tidak memikirkan apa-apa!" dengan perasaan terkesiap buru-buru Put-ji menyahut. "Syukurlah kalau tidak ada masalah. Namun bila kau merasa ada ganjalan, janganlah kau kelabui diriku!"

"Tecu tidak berani mengelabui Tianglo," kembali Put-ji menyahut, sementara dalam hati dia berpikir keheranan, 'aneh, kenapa dia bertanya begitu kepada-ku?'

"Tentunya kau sudah tahu bukan kalau Suhumu Ho Ki-bu dan aku mempunyai guru yang sama, meski-pun kami dibedakan karena satu preman satu Tosu, namun sesungguhnya dia adalah sahabat karib-ku."

"Tecu tahu akan hal itu," Put-ji manggut-manggut, sementara dalam hati ia berpikir penuh curiga, 'benar, walaupun Suhu dan dia sama-sama merupakan murid Hian-khong Cinjin, Ciangbunjin generasi sebelumnya, tapi orang yang sering disinggung Suhu bukan dia melainkan Bu-si Supek. Dan lagi orang yang selama ini berhubungan akrab dengan Suhu pun bukan dia, melainkan Bu-si Supek!" Tampaknya Bu-liang Tojin dapat membaca suara hatinya, kembali dia berkata, "Akrab tidaknya hubungan seseorang tidak bisa dinilai dari kerap tidaknya seseorang berhubungan, apalagi belakangan aku sedang membantu Ciangbun Suheng mempelajari Sim-hoat tenaga dalam perguruan, tidak heran aku jarang sekali berkunjung ke rumah Ho-sute. Walau begitu, semua persoalan yang menimpa dirinya, baik urusan besar maupun urusan kecil, tidak satu pun yang bisa mengelabui diriku. Khususnya di saat dia sedang menghadapi masalah yang tidak terpecahkan, dia selalu mengajakku berunding. Sekali pun kami tidak saling berjumpa, dia selalu mengutus orang mengirim surat atau titip pesan untukku."

Ho Ki-bu adalah pemimpin murid preman, sedang Bu-liang Tojin adalah sesepuh partai, apalagi mereka berdua berasal dari guru yang sama. Tidaklah aneh kalau mereka berdua sering berhubungan kabar meski jarang bertemu muka. Dalam posisi begini, Put-ji tidak berani menaruh curiga, terpaksa dia mengiakan berulang kali. Setelah menghela napas panjang, kembali Bu-liang berkata, "Suhumu hanya mempunyai seorang putri, dia sengaja menjodohkan putrinya kepadamu karena dia berharap dikemudian hari kalian bisa mendapat keturunan untuk melanjutkan generasi keluarga Ho. Aai.... siapa tahu perhitungan manusia tak bisa melawan kehendak langit...." Berdebar keras detak jantung Put-ji sesudah mendengar ucapan itu, pikirnya, "Dari nada bicaranya, jangan-jangan dia sudah tahu tentang sebab-musabab kematian Suhu?" Perlu diketahui, walaupun Bu-siang Cinjin sempat mengumumkan berita kematian yang menimpa Ho Ki-bu, namun kepada kedua orang Tianglo itupun dia tidak pernah menerangkan sebab kematian yang sebenarnya. Belum selesai ingatan itu melintas, kembali terdengar Bu-liang Tojin melanjutkan kata-katanya, "Mereka ayah beranak telah mati lebih dulu!" Ternyata yang dia maksudkan "perhitungan manusia tidak bisa melawan kehendak langit" hanyalah menunjukkan kematian ayah beranak itu. Hanya saja, sekalipun dia tidak mengetahui penyebab kematian Ho Ki-bu, namun perkataan itu masih tetap mendatangkan rasa bingung yang luar biasa. Kaburnya Ho Giok-yan dan Keng King-si tahun berselang jelas merupakan aib keluarga yang tidak mungkin diceritakan Ho Ki-bu kepada orang luar. Tapi sayang 'api tidak mungkin dibungkus kertas', bau busuk tidak mungkin bisa terbungkus rapi, setelah lewat satu tahun, akhirnya banyak juga orang luar yang mengetahui kejadian ini. Tapi lantaran itu pula, murid-murid Bu-tong-pay yang mengetahui peristiwa itu tidak ada yang berani mengungkit masalah Sumoy premannya di hadapan Put-ji, karena mereka tahu Sumoynya itu dulu adalah calon istrinya. Mereka sangka Ho Giok-yan dan Keng King-si masih bersembunyi di tempat jauh dan belum berani pulang. Tapi sekarang ternyata Bu-liang Tianglo sudah tahu bahwa Sumoynya telah meninggal. "Darimana dia tahu? Apa Ciangbun Suhu yang memberitahu? Atau dia mendapatkan sendiri beritanya?"

"Berapa banyak yang telah dia ketahui?" Semakin mendengar Put-ji merasa semakin terkejut, makin mendengar dia merasa Tianglo ini semakin misterius dan sukar diraba. Setelah menghela napas panjang, kembali Bu-liang Tojin melanjutkan, "Sebetulnya kau dan Sumoymu merupakan pasangan yang amat serasi, aai.... kalau bukan peristiwa setahun berselang, tidak mungkin kau jadi Tosu!" "Peristiwa yang sudah lewat biarlah lewat, kini Tecu sudah menjadi orang beribadah, tolong Tianglo jangan mengungkitnya kembali."

"Murid aliran agama To dari Bu-tong-pay jauh berbeda dengan murid aliran lain, bukankah dulu Thio-cinjin juga banyak mengurusi urusan keduniawian dengan statusnya sebagai orang beribadah."

"Mereka semua telah meninggal dunia."

"Tapi ada sementara orang masih hidup, ada sementara urusan yang belum selesai meski orangnya telah tiada."

"Apa yang Tianglo maksud dan siapa orangnya?"

"Seharusnya kau lebih tahu daripada aku, siapa lagi manusia di dunia ini yang membutuhkan perawatan dan perhatianmu!" Put-ji tertegun! Belum sempat mengucapkan sesuatu, kembali Bu-liang berkata sambil menatapnya tajam, "Masih ada orang yang butuh perhatian dan perawatanmu, masa kau ingin mengelabui diriku? Siapa tahu aku bisa membantumu membebaskan beban pikiran itu? Keputusan utama selalu di hati, biarkan jalan menyimpang berjalanlah sesuai kebutuhan. Put-ji, mari ikut aku!" Seolah terkena hipnotis, tanpa sadar Put-ji berjalan mengintil di belakangnya. Berjalan tidak seberapa lama, setelah melewati sebuah lereng gunung, terlihatlah sebuah bangunan rumah penduduk berdinding tanah berpintu bambu, rumah itu tidak jauh berbeda dengan rumah penduduk mana pun. Suara tangisan bayi terdengar berkumandang dari balik ruangan, tangisan itu amat keras dan nyaring. Entah mengapa tiba-tiba Put-ji merasa isak tangis bayi itu seperti sangat dikenalnya, satu perasaan aneh seketika menyelimuti hatinya. Tidak lama kemudian terdengar suara seorang lelaki berkata, "Aai, kenapa bocah ini menangis melulu? Masa dia tahu sejak dilahirkan sudah kehilangan orang tua?"

"Biar aku saja yang membopongnya," sahut suara seorang wanita, "anak sayang, jangan menangis, jangan ribut, sebentar paman pasti akan datang menjengukmu."

"Aai.... sudah tiga hari kita datang kemari, kenapa dia masih belum kemari untuk menengok bocah ini?" kembali lelaki itu menghela napas, "jangan-jangan...." Bu-liang Totiang segera mendorong Put-ji, bisiknya, "Orang yang harus kau rawat dan lindungi berada dalam rumah itu, kenapa kau masih tidak masuk menjenguknya...." Padahal Put-ji sudah tidak perlu diingatkan, apalagi didorong orang, karena dia sudah mengenali suara suami-istri itu, dia pun sudah tahu siapa gerangan bocah yang sedang menangis. Setelah termangu beberapa saat, akhirnya bagaikan segulung angin berpusing cepat dia membuka pagar bambu dan menerobos masuk ke dalam rumah itu. Ternyata dugaannya tidak salah, bayi yang sedang digendong perempuan itu tidak lain adalah anak Ho Giok-yan! Di atas pembaringan batu berbaring pula seorang bayi lain, bayi itu sudah terlelap tidur. Tidak salah lagi, suami-istri itu tidak lain adalah suami-istri keluarga Lan, pemburu yang telah dititipi anak tempo hari. Tampak Lan Kau-san agak tertegun sejenak, kemudian teriaknya kegirangan, "Ko-toako, ternyata kau muncul juga!" Put-ji tidak sempat menanyakan apa arti "ternyata" itu, cepat serunya, "Lan-toaso, biar aku yang menggendongnya." Setelah membopong bayi itu, ingatan masa lalu pun kembali melintas dalam benaknya, membayangkan kembali saat-saat dimana Sumoynya menitipkan bocah itu, rasa sedih yang luar biasa seketika mencekam hatinya, tapi dia berusaha keras menahan diri, ibu jarinya segera dijejalkan ke mulut bayi itu dan membiarkannya menghisap. "Ko-toako," istri Lan Kau-san berseru sambil tertawa, "kelihatannya ibu jarimu jauh lebih bermanfaat daripada puting susuku, coba lihat, dia tidak menangis lagi, malah membuka matanya lebar-lebar untuk memandangmu. Hahaha.... dia seperti sudah mengenali dirimu, kenal kalau kau adalah satu-satunya sanak yang dia miliki." Perempuan ini lahir dan hidup di tengah lereng gunung, tidak heran cara berbicaranya kasar, spontan dan tanpa tedeng aling-aling. Put-ji tertawa getir. 'Asal setelah dewasa nanti dia tidak menganggapku sebagai musuh besar, aku sudah amat bersyukur,' demikian pikirnya, tapi di luar dia menyahut, "Aku sudah menjadi pendeta, kini aku sudah bukan Ko Ceng-kim lagi. Namaku kini Put-ji!"

"Put-ji?" gumam Lan Kau-san, "aku tidak terbiasa dengan panggilan itu. Terserah kau sudah menjadi pendeta atau tidak, selama ada dalam rumah, aku masih tetap akan memanggilmu sebagai Ko-toako."

"Terserahlah. Aku hanya ingin tahu, kenapa kalian bisa sampai di sini?"

"Hei, bukankah kau sendiri yang menyuruh kami datang kemari?"

"Aku?" Put-ji terkejut bercampur keheranan.

"Setengah bulan berselang, datang seorang Totiang ke rumah kami, dia mengabarkan kalau kau sudah menjadi pendeta di Bu-tong-san, agar bisa bertemu bocah itu setiap saat, katanya secara khusus kau titipkan uang dan pesan untuk kami dan minta kami segera pindah ke Bu-tong-san. Masa perkataan Totiang itu bohong? Masa dia menipu kami?"

"Macam apa Totiang itu?"

"Berusia tiga puluh tahunan, alis matanya tebal sekali, badannya tinggi agak gemuk, di sisi bibirnya terdapat sebuah tahi lalat besar." Tosu itu tidak lain adalah Put-pay, Tosu yang pernah bertarung melawannya ketika pada hari pertama dia naik ke Bu-tong-san, Put-pay adalah murid tertua Bu-liang Tianglo. Berpikir sampai di situ, Put-ji pun segera sadar dan memahami apa yang telah terjadi, pikirnya, "Tak heran aku tidak menjumpai Suheng ini ketika hari upacara pengangkatan murid tempo hari, padahal semua anggota Bu-tong-pay hadir dan memberi selamat, rupanya dia sedang turun gunung menjalankan tugas." Maka dengan berlagak baru teringat akan hal itu, sahutnya cepat, "Aah, betul, betul, Tosu yang kau maksud bernama Put-pay. Padahal waktu itu aku hanya sempat berkeluh-kesah di hadapannya dan bilang kalau aku sangat kangen pada kalian dan bocah itu, tidak disangka dia telah membantu aku memenuhi keinginan ini dengan berlagak disuruh aku menyampaikan pesan dan uang untuk kalian."

"Kalau begitu, benar sudah, aku sempat memikirkan soal ini, mana ada manusia di kolong langit yang mau mengeluarkan uang untuk berbohong, yang ada selama ini hanya orang yang berbohong untuk mendapatkan duit."

"Totiang itu baik sekali," kata istri Lan Ko-san pula, "bukan saja dia telah mengeluarkan uang untuk membantu kami pindah rumah, bahkan sudah mengaturkan pula penghidupan kami selanjutnya." "Hah, bagaimana mengaturnya?"

"Setelah tiba di sini, dia segera mengajak kami bertemu dengan Totiang yang mengurusi masalah dapur, dia mengaku kami sebagai orang sedusun dan minta Totiang itu memberi sebidang tanah untuk kami tanamani sayuran."

Perlu diketahui, jumlah Tosu yang hidup di Bu-tong-san mencapai ribuan orang banyaknya, selama ini rangsum mereka sebagian besar diperoleh dari derma para jemaah yang datang berkunjung atau membelinya di bawah gunung, namun sayuran segar harus diperoleh dengan menanam sendiri di atas gunung. Untuk memenuhi kebutuhan itu, anggota perguruan telah membuka hampir seribuan hektar tanah yang ditanami sayur-sayuran, tanah itu sebagian diberikan kepada orang yang naik bukit dan bersedia menanaminya tanpa memungut uang sewa. Tapi justru karena tidak dipungut uang sewa, maka kebanyakan orang yang mendapat jatah tanah adalah orang-orang yang mempunyai hubungan dekat atau kerabat dari murid-murid Bu-tong-pay.

"Sebenarnya aku adalah seorang pemburu," kata Lan Kau-san lagi, "aku pun amat senang bekerja sebagai seorang pemburu, tapi setelah pikir punya pikir, rasanya hidup dengan menanam sayur jauh lebih tenang dan tenteram daripada hidup sebagai seorang pemburu, apalagi usiaku makin hari makin tua, sudah tidak bertenaga lagi hidup berburu, untuk menanam sayuran rasanya masih cukup kuat. Selain itu, biarpun aku sendiri tidak takut menghadapi resiko dan ancaman bahaya sewaktu berburu, akan tetapi aku tidak berharap kedua orang bocah itu ikut menghadapi resiko. Dan yang lebih penting lagi adalah dengan berpindah kemari, kau pun bisa lebih sering bertandang kemari dan bermain dengan bocah itu."

"Betul, perkataanmu betul sekali," Put-ji mengangguk berulang kali, "Put-pay Toheng memang seorang sobat yang hebat, tidak nyana dia bisa berpikir sesempurna itu untuk kalian. Nanti aku mesti berterima kasih kepadanya. Baiklah, kalau begitu hiduplah dengan tenang di sini. Sekarang hari sudah gelap, aku akan berkunjung lagi lain hari."

Dengan perasaan sangsi, curiga dan tidak habis mengerti Put-ji meninggalkan rumah keluarga Lan, setelah berbelok ke lereng bukit, dia lihat Bu-liang Totiang masih menanti kedatangannya di tempat semula. "Put-ji," terdengar Bu-liang Totiang menegur, "sudah kau jumpai sobat dan bocah itu? Akulah yang menitahkan Put-pay dengan mencatut namamu dan memboyong mereka datang kemari."

"Ya, Tecu sudah tahu." "Bocah itu adalah cucu luar Suhumu, bahkan terhitung satu-satunya darah daging keturunan Ho-sute yang masih hidup. Tentunya kau tidak marah bukan karena aku ikut campur masalah ini?"

"Sumoy memang menyerahkan bayi itu kepadaku dan minta aku merawatnya. Aku rasa jalan pikiranku sama persis dengan jalan pikiran Susiok, dengan membiarkan bocah ini hidup di sisi kita, tentulah perawatan terhadapnya akan lebih terjamin."

"Jadi kau merasa puas dengan semua pengaturan yang telah kulakukan?" tanya Bu-liang Totiang tersenyum.

"Terima kasih banyak Tianglo Susiok, pengaturan semacam ini memang amat sempurna." Walaupun waktu mengucapkan perkataan itu dia harus menahan senyuman getir, namun apa yang diucapkan sama sekali tidak bertentangan dengan jalan pikirannya. Dia memang pernah punya ingatan untuk memindahkan keluarga Lan ke atas Bu-tong-san, namun andaikata dia sendiri yang melakukan hal itu, sudah pasti tindakannya ini akan menimbulkan kecurigaan rekan-rekan seperguruan lainnya. Tapi sekarang Tianglo sendiri yang mengatur semua ini, bukan saja memindahkan keluarga Lan ke atas gunung, bahkan memberinya sebidang tanah untuk nafkah hidup, jelas hal ini akan semakin mempermudah dirinya berhubungan dengan mereka di kemudian hari. Tapi kecurigaan lain segera memenuhi benaknya, darimana Bu-liang Totiang tahu kalau bocah itu berada di tangan keluarga Lan? Padahal selama ini dia tidak pernah melaporkan kejadian itu termasuk masalah kelahiran anak Sumoynya kepada Ciangbun Suhu. "Jangan-jangan.... jangan-jangan hari itu Bu-liang Susiok juga berada di Boan-liong-san? Itu berarti dia telah menyaksikan semua perbuatan yang telah kulakukan?" Satu pemikiran lain yang lebih menakutkan melintas pula dalam benaknya, "Mungkinkah surat Huo Bu-tuo telah diambil olehnya? Atau.... atau.... jangan-jangan pembunuh yang bersembunyi dalam perguruan adalah dirinya? Tapi.... tapi rasanya tidak mungkin! Bu-kek Supek adalah sahabat karibnya selama puluhan tahun, jika dia adalah pembunuh gelap itu, ketika membokong Bu-kek Supek, kendatipun waktu itu Bu-kek Supek tidak sempat melihat wajahnya, semestinya dia mengenali sobat karibnya ini, tapi kenyataan sampai saat ajalnya pun Bu-kek Supek masih belum bisa menebak siapa yang telah melakukan pembunuhan ini. Namun.... sang pembunuh dan orang yang telah mencuri surat itu belum tentu merupakan orang yang sama, bukan jaminan dia yang telah mencuri surat itu...." Semakin dipikir dia merasa semakin kalut dan tidak berhasil menarik kesimpulan apa pun. Tentu saja semua kecurigaan itu tidak berani dia kemukakan di hadapan Bu-liang Totiang, bahkan dia pun tidak berani menunjukkan perubahan mimik muka. Tampaknya Bu-liang Totiang dapat membaca jalan pikirannya, seakan sengaja tidak sengaja dia berkata, "Keputusan utama selalu di hati, biarkan jalan menyimpang berjalanlah sesuai kebutuhan. Tiada godaan tidak akan menimbulkan napsu, tiada kecurigaan tidak akan menumbuhkan penyesalan. Bukankah petuah ini pernah disampaikan Ciangbunjin kepadamu? Ehm, hampir semua orang mempunyai pikiran yang sama, terkadang ada sementara persoalan yang tidak ingin diucapkan kepada siapa pun, termasuk kepada sanak sendiri bila keadaan belum mendesak, mereka selalu berpendapat bila ada orang menaruh curiga maka urusan itu adalah urusan orang lain. Bahkan ada sementara persoalan yang harus dihadapi dengan perasaan bimbang, tidak yakin apakah yang telah diperbuat itu benar atau salah, namun selama kau yakin bahwa dirimu tidak pernah punya ingatan untuk melakukan kesalahan, maka kau tidak perlu menyesal atau banyak curiga. Semua masalah, semua keruwetan pada akhirnya toh akan jelas dengan sendirinya." Sepintas perkataan Bu-liang Totiang ini seperti sebuah petuah yang diberikan seorang angkatan tua terhadap murid yang baru bergabung, namun bagi Put-ji, semua perkataan itu sangat mengena di hatinya, bahkan setiap kata, setiap ucapannya seolah memang sengaja ditujukan kepadanya. Berdasarkan analisa yang dilakukan Put-ji, perkataan itu paling tidak mengandung tiga maksud, Dia sudah mengetahui semua perbuatan yang dilakukan Put-ji, termasuk salah bunuh yang telah dia lakukan terhadap adik seperguruannya. Dia sudah dapat membaca jalan pikiran Put-ji, yaitu takut kalau orang lain mengetahui rahasia besar yang tersimpan dalam hatinya. Oleh sebab itu dia memberi kisikan kepada Put-ji agar jangan banyak bertanya, artinya kau tak perlu bertanya kepadaku kenapa aku bisa tahu anak itu sudah jatuh ke tangan keluarga Lan, sampai waktunya aku pasti akan memberitahukan kepadamu. Sebab kalau kau pun mempunyai rahasia yang tidak ingin diketahui orang lain, begitu juga dengan diriku! Kalau keadaan sudah begini, apalagi yang bisa dia lakukan kecuali mengiakan berulang kali. "Apakah suami-istri keluarga Lan sudah tahu asal-usul bocah itu?" tiba-tiba Bu-liang Totiang bertanya. "Tidak, mereka hanya tahu bocah itu adalah putra seorang sahabatku."

"Kalau begitu Lan Kau-san juga tidak tahu siapa ayah-ibu bocah itu?"

"Aku rasa tidak perlu memberitahukan hal ini kepadanya."

"Baiklah, kalau begitu hanya kau dan aku yang mengetahui rahasia ini," Bu-liang Totiang menandaskan. "Bagaimana dengan Put-pay Suheng?"

"Aku hanya memerintahkan dia memindahkan keluarga Lan Kau-san kemari. Kepandaian muridku ini memang kurang bagus, tapi dia memiliki satu kelebihan, yakni amat setia kepadaku. Kalau aku tidak memberitahukan sesuatu kepadanya, dia tidak pernah berani banyak bertanya." Kini Put-ji dapat merasa sedikit lega, namun sayang, walaupun dia berhasil menyingkirkan sebuah batu yang menindih hatinya, tapi ada batu lain yang jauh lebih berat justru makin menghimpit perasaannya. Hanya Bu-liang Totiang seorang yang mengetahui rahasianya, hal ini bukankah sama artinya kalau sejak saat itu dia berada dalam kekuasaan Tosu itu? Bukan begitu saja, kecuali rahasia ini, mungkinkah Bu-liang Totiang masih mengetahui rahasia pribadinya yang lain? Sebab kalau didengar dari nada bicaranya, dia seolah bukan cuma tahu soal rahasia itu saja, bahkan bisa jadi seluruh peristiwa yang terjadi di Boan-liong-san hari itu telah diketahui semua olehnya. Entah Bu-liang Totiang dapat membaca jalan pikirannya atau tidak, tiba-tiba dia berkata sambil tersenyum, "Jangan sembarangan berpikir, waktu sudah larut, lebih baik cepatlah pulang." Senyuman itu kelihatan ramah, lembut dan penuh kedamaian. Sekembali ke To-koan, langit sudah gelap. Buru-buru Put-ji menangsal perut dengan hidangan malam, kemudian pergi menjumpai Suhunya, sebagai murid baru yang belum lama bergabung, dia harus belajar lebih giat, selain belajar di siang hari, dia pun harus belajar di malam hari. Waktu itu Bu-siang Cinjin sedang duduk bersemedi, mendengar dia masuk kamar, sambil membuka mata, dia menyapa, "Ehm, kau telah kembali."

"Lapor Suhu, hari ini Tecu mencari daun obat di bukit belakang sana, sampai agak malam baru kembali," jawab Put-ji cepat, sementara di hatinya dia merasa agak berdebar, takut ditanyai sang Suhu. "Aku tahu," sahut Bu-siang Cinjin sambil mengangguk, "aku dengar hasil buruanmu hari ini cukup bagus, dua batang Lengci itu tidak gampang ditemukan." Kembali Put-ji tertegun, seingatnya bahan obat-obatan yang diperolehnya hari ini hanya daun obat biasa, darimana datangnya Lengci? Tapi dengan cepat dia tersadar kembali, petugas yang mengurusi soal pengumpulan bahan obat adalah Put-tay salah satu murid Bu-liang Totiang, jelas prestasi yang dilaporkan atas namanya adalah laporan palsu yang dibuat Put-tay, sedang Put-tay bisa berbuat begitu tidak ragu lagi tentu karena mendapat perintah dari Suhunya.

Kembali Bu-siang Cinjin berkata sambil ter-senyum, "Aku dengar Bu-liang Susiok yang menemanimu kembali ke sini? Dia sangat memuji kemampuanmu." Sekarang Put-ji baru mengerti, ternyata yang melaporkan prestasi palsunya itu bukan Put-tay, melainkan Bu-liang Cinjin. Diam-diam dia menertawakan ketololan sendiri, masalah mendapat Lengci hanya masalah kecil, tentu saja pengurus obat-obatan tidak bakal melaporkan hal ini secara khusus pada Ciangbunjin, atau dengan perkataan lain pastilah Bu-liang Totiang yang telah berkunjung ke sana dan berbincang dengan Suhunya.

"Tecu tidak punya kelebihan apa-apa, apa yang dibanggakan Bu-liang Susiok?" dengan perasaan tidak tenang dan pura-pura malu Put-ji menyahut.

Sekali lagi Bu-siang Cinjin tersenyum. "Kau ingin tahu apa yang dipujikan Bu-liang Susiokmu itu? Dia memujimu pintar, giat belajar. Dia bilang kau sangat menguasai teori ilmu silat dari perguruan, bahkan yang lebih hebat lagi, kau bisa memberikan analisa dan pandangan pribadi."

"Aah. Bu-liang Susiok kelewat memujiku. Padahal Tecu belum sampai sebulan mempelajari ilmu silat, pengetahuanku sangat terbatas, kalau dibilang ada kemajuan, semuanya ini juga berkat bimbingan serta jasa Suhu."

"Aku senang orang yang bicara terus terang, tapi paling muak mendengar sanjungan," kata Bu-siang Cinjin dengan kening berkerut, "walaupun kau hanya sebulan mengikuti aku, seharusnya cukup paham watakku ini." Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan senyuman tersungging di ujung bibirnya dia melanjutkan, "Aku memang bisa saja mengajarkan ilmu silat kepadamu, tapi bakat dan kemampuan toh tetap tergantung dirimu sendiri." "Ada satu hal Tecu bingung harus ditanyakan atau tidak?" dengan memberanikan diri Put-ji berkata. "Tanyakan saja!"

"Tanggal enam bulan berselang apakah Bu-liang Susiok berada di Bu-tong-san?" Hari itu adalah hari kedua setelah Ho Ki-bu tewas dibunuh orang, atau hari dimana dia telah salah membunuh Keng King-si dan Bu-kek Totiang tewas karena luka dalamnya yang parah. "Buat apa kau menanyakan soal ini?" tanya Bu-siang Cinjin keheranan. "Tecu tidak berani berbohong, terus terang timbul sedikit rasa curiga dalam hatiku, konon ilmu pukulan Thay-khek-ciang yang diyakini Bu-liang Susiok tidak berada di bawah Suhu...." Tiba-tiba Bu-siang Cinjin menukas dengan wajah serius dan suara dalam, "Sejak hari pertama kau naik gunung, bukankah telah kukatakan bahwa dalam perjalanan sejarah perguruan selama dua ratus tahunan, tidak tertutup kemungkinan ada murid yang gila silat telah membarter ilmu perguruan kita dengan orang luar. Thay-khek-kun, Thay-khek-kiam semua nya merupakan ilmu rahasia, jadi tidak heran kalau ada orang lain yang mampu menguasai ilmu itu setara dengan kemampuanku. Masa kau berani mencurigai Tianglo perguruan sendiri?"

"Tecu tahu salah, tidak seharusnya Tecu mengajukan pertanyaan seperti itu."

"Tapi sekarang kau telah mengatakannya, kalau tidak kujelaskan mungkin rasa curigamu masih belum hilang. Untuk melatih tenaga dalam tingkat atas dari perguruan kita, sejak tiga bulan berselang Bu-liang Sute sudah menutup diri, dia baru keluar dari kamar semadinya sehari sebelum kedatanganmu di sini. Hampir tiga bulan lamanya dia tidak pernah keluar dari kamarnya barang selangkah pun."

Ting Im-hok menemui ajalnya tiga bulan lalu, sementara Bu-kek Tojin terluka parah oleh tenaga pukulan Thay-khek-ciang pada saat Ting Im-hok sudah tewas lebih dulu, berarti terlepas apakah pembunuhnya merupakan orang yang sama atau tidak, yang pasti orang itu bukan Bu-liang Totiang. Kalau pembunuhnya bukan dia, berarti pula orang yang mencuri surat pun sudah pasti bukan dia, sebab peristiwa itu baru terjadi pada tanggal enam. 'Heran, kalau bukan dia, kenapa Bu-liang Susiok seakan telah menyaksikan semua peristiwa itu dengan mata kepala sendiri?' Put-ji semakin berpikir semakin bingung dan tidak habis mengerti, namun dia tidak berani mencurigai Bu-liang Totiang walau dipandang dari sudut mana pun.

"Malam ini kau tidak usah belajar lagi," kata Bu-siang Cinjin tiba-tiba, "pergilah istirahat lebih awal. Besok akan kusuruh Bu-si Sute mewakiliku mengajarkan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat padamu."

"Suhu," seru Put-ji agak tertegun, "Tecu baru saja selesai mempelajari teori ilmu pedang darimu, kenapa harus Sam-susiok yang menggantikan?"

"Aku ingin kau lebih cepat berhasil. Ilmu pedang yang berhasil dikuasai Bu-si Sute adalah yang paling jago dalam perguruan, bahkan dia lebih unggul daripada diriku sendiri. Ditambah pula di masa lalu dia adalah sahabat paling karib mendiang Suhumu, bisa dipastikan dia akan mendidikmu dengan lebih seksama. Mulai besok aku harus menutup diri selama tiga bulan, kalau tidak minta bantuannya untuk mendidikmu, khawatir kemajuan ilmu silatmu justru akan ter-kendala." Bu-si Totiang adalah salah satu di antara ketiga Tianglo Bu-tong-pay yang usianya paling muda, tahun ini dia baru berusia empat puluh delapan tahun. Wataknya periang, sangat terbuka dan mudah bergaul, tidak heran murid-murid angkatan muda paling suka bergaul dengannya. Ketika Ho Ki-bu masih hidup dulu, setiap tahun paling tidak satu-dua kali dia berkunjung ke rumah keluarga Ho, oleh karena itu di antara angkatan para Susiok dan Supek dari kuil Sam-cing-koan, dia terhitung orang yang paling dikenalnya. Ketika keesokan harinya Put-ji datang berkunjung ke tempat tinggalnya, dia pun segera berkata, "Sebetulnya Suhumu itu berencana dalam satu dua tahun mendatang akan mewariskan ilmu pedang Thay-khek-kiam kepadamu, sayang dia keburu meninggal, aai.... bukan saja jiwanya telah melayang, bahkan putus keturunan pula, baiklah, biar mulai hari ini aku menganggap kau seperti putraku sendiri. Semisal tidak ada perintah dari Ciangbunjin pun, aku masih tetap akan mewakilinya mewariskan ilmu pedang ini kepadamu, anggap saja sebagai upayaku memenuhi keinginan hatinya. "Cuma kau mesti ingat, bila latihanmu jelek atau hasilnya kurang memadai, aku tidak segan menghajar pantatmu. Ehm, jangan kau anggap aku sedang bergurau!" Ketika mengatakan kata "bergurau", dia sendiri malah tertawa geli terlebih dulu.

Ditinjau dari pembicaraan Bu-si Tojin, tampaknya dia sudah tahu bahwa adik seperguruan serta Sumoynya telah meninggal dunia. Tapi dia agaknya belum tahu Ho Giok-yan telah melahirkan seorang putra, sebab kalau tidak begitu tak mungkin dia mengatakan keluarga Ho telah putus keturunan. Selesai mendengar perkataan itu, di satu sisi Put-ji merasa sangat lega, namun di sisi lain dia justru merasakan tekanan yang semakin berat dari pihak Bu-liang Totiang. "Biasanya semakin galak seorang Suhu, hasil pelajaran yang diperoleh sang murid akan semakin maju," segera Put-ji menyahut, "kini Susiok mewakili Suhu mengajarkan ilmu pedang itu kepada Tecu, justru Tecu berharap Susiok bisa mendidik lebih galak...."

"Hahaha.... baguslah, aku sendiri pun tidak berharap menabok pantatmu. Baik, kalau begitu kita mulai sekarang juga. Teori ilmu pedang Thay-khek-kiam tentunya sudah diajarkan Ciangbun Suheng bukan?"

"Pernah diajarkan satu kali, semoga Susiok mau memberi petunjuk."

"Dasar ilmu pukulan Thay-khek-kun maupun Thay-khek-kiam sebenarnya sama. Kalau Thay-khek-kun lebih mengutamakan pada mengendalian musuh di akhir serangan, sedang ilmu pedang Thay-khek-kiam lebih mengutamakan pada pengendalian lawan di saat awal serangan. Niat munculnya jurus menyusul, mana dahulu mana belakangan merupakan kebalikan. Tapi intinya adalah meminjam tenaga lawan untuk mengen-dalikan musuh, gerakan ikutan yang disertakan tidak lebih hanya untuk memperberat kekuatan serta daya serangan yang ditimbulkan. Berat bagaikan tindihan Thay-san, ringan bagaikan hembusan angin sejuk. Thay-khek itu tiada awal tiada akhir, perubahan dalam gerakan pedang pun tiada habisnya. Asal kau bisa menguasai teori tentang ketenangan, maka segala sesuatunya bisa kau kuasai secara gampang. Di saat latihanmu sudah mencapai puncak kesempurnaan, bisa jadi semua jurus serangan akan kau lupakan. Cuma.... sampai sekarang jarang ada orang yang berhasil mencapai tingkatan seperti itu, termasuk aku sendiri. Maka berlatihlah dari dasar yang paling bawah, karena setiap jurus serangan dibutuhkan penguasaan yang paling sempurna, kau harus bisa melatih diri dari ada menjadi tiada, ada adalah benar-benar ada, tiada justru bukan benar-benar tiada. Kau paham apa yang ku-maksud?"

Put-ji dapat merasakan penjelasan yang diberikan paman gurunya ini jauh lebih jelas dan mendetil daripada penjelasan Suhunya, tanpa terasa dia mengangguk berulang kali. "Semua penjelasan Susiok dapat Tecu terima, hanya masalahnya benar-benar mengerti atau tidak, Tecu sendiri pun tidak jelas."

"Betul, bila kau mengatakan benar-benar mengerti, aku justru akan memaksamu untuk berlatih beberapa kali lagi. Sebab biarpun dilatih berulang kali pun tidak seharusnya kau benar-benar mengerti, teori saja tidaklah cukup, kalau bisa ditambah pengalaman menghadapi beberapa orang musuh, jelas hal ini akan semakin bagus."

Kemudian setelah tertawa dan menarik napas panjang, lanjutnya, "Sayang penganut agama To lebih mengutamakan kehidupan yang tenang, aku pun tidak berharap kau bisa memperoleh kesempatan cukup untuk berhadapan dengan musuh. Baiklah, sekarang coba perhatikan contohku."

Dengan penuh seksama Put-ji memperhatikan Susioknya mempraktekkan ilmu pedang Thay-khek, tampak gerakan pedangnya melingkar bagai gelang, bergerak saling menyambung, lembut halus bagaikan aliran air. Diam-diam dia merasa sangat kagum. 'Tidak heran Ciangbun Suhu amat memuji kehebatan ilmu pedangnya, sekarang aku yang belum menguasai intisari ilmu itupun sudah dibuat mabuk kepayang, apalagi yang sudah memahaminya,' demikian dia berpikir. Tapi entah mengapa, secara lamat-lamat dia merasa ilmu pedang yang dimiliki Bu-si Tojin jauh berbeda dengan ilmu pedang yang dipelajari Bu-siang Cinjin, hanya saja bila ditanya dimana letak perbedaannya, susah baginya untuk menjawab.

Sejak itu setiap hari dia mempelajari satu jurus, gerakan yang diajarkan pun makin lama semakin lambat, sementara teori yang diberikan pun makin banyak dan detil. Setelah berlatih puluhan hari lamanya, hari itu ketika dia melatih jurus Pek-hok-liang-ci (bangau putih pentang sayap), Put-ji baru mulai memahami dimana letak perbedaan itu. Ketika Bu-siang Cinjin yang mempraktekkan jurus serangan itu, sepasang kakinya selalu menempel di atas tanah, sebaliknya kaki Bu-si Tojin justru tiga inci meninggalkan permukaan tanah sehingga daya bacokan yang timbul pun jauh lebih besar dan kuat. Di samping itu serangan pedang Bu-siang Cinjin lambat tanpa menimbulkan deru angin, sementara gerakan pedang Busi Tojin cepat dan menimbulkan suara desingan tajam. Sekarang Put-ji mulai mengerti, walaupun perbedaannya sangat tipis dan kecil, ternyata kekuatan yang dihasilkan sama sekali berbeda. Bila Bu-siang Cinjin yang mengajarkan jurus serangan itu paling hanya bisa menggoreskan luka memanjang di lengan lawan, sebaliknya bila menggunakan jurus serangan yang diajar kan Bu-si Tojin, besar kemungkinan dia dapat memotong lengan musuh jadi dua bagian. Setelah menemukan titik perbedaan ini, dia pun dapat mengambil kesimpulan secara menyeluruh. Ilmu pedang Bu-siang Cinjin termasuk tenang dan penuh kedamaian, sementara ilmu pedang Bu-si Tojin cenderung tajam dan ganas, jika dipraktekkan untuk menghadapi musuh, sudah jelas ilmu pedang ajaran Bu-si Tojin jauh lebih nyata dan bermanfaat. Sekarang dia pun mulai mengerti kenapa Ciangbun Suhu memerintahkan dia untuk belajar ilmu pedang dari Bu-si Tojin, tampaknya dia berharap dirinya bisa mempelajari ilmu pedang yang lebih bermanfaat dan nyata sehingga di kemudian hari dapat digunakan untuk membalas dendam kematian Suhunya. Membayangkan sampai di sini, dia merasa sedikit bingung dan kabur. Di balik perasaan terima kasih, terasa pula perasaan menyesal bercampur kecewa. Sekarang dia mulai menyadari, ternyata di dasar lubuk hatinya tidak tersimpan harapan atau keinginan yang kuat untuk membalas dendam kematian Suhunya.

Ketika Bu-si Tojin menyaksikan pemuda itu berdiri melamun, segera tegurnya, "Apakah kau merasa ada sedikit perbedaan antara yang diajarkan aku dengan Suhumu?

Bahkan ajaranku sedikit tidak sesuai dengan teori ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat?"

"Tecu tidak berani menduga."

"Tidak masalah, katakan saja menurut pikiran....."

"Aku hanya merasa, walaupun ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat mengutamakan ketenangan untuk mengendalikan gerak, namun tenang dan gerak tidak berarti cepat atau lambat, tenang dan gerak pun harus dibedakan secara nyata, karena di balik ketenangan terdapat gerak, di balik gerak terdapat ketenangan. Oleh sebab itu ilmu pedang yang dimiliki Suhu dan Susiok meski berbeda, sesungguhnya sama!" Sesaat Bu-si Tojin tampak tertegun, pujinya, "Tidak kusangka begitu cepat kau dapat menyelami makna sebenarnya dari ilmu ini, ketika pertama kali mempelajarinya dulu, aku tidak pernah bisa membayangkan hal semacam itu."

"Lalu dalam pandangan Susiok, seperti apa bakat yang Tecu miliki?" tanya Put-ji memberanikan diri. "Sejak awal, tentu saja aku pun tahu kau adalah seorang murid yang sangat berbakat. Namun sama-sama berbakat pun masing-masing memiliki kelebihan serta kelemahan yang berbeda. Aku dengar ketika hari pertama naik gunung tempo hari, kau sempat bertarung seimbang melawan Put-pay yang menggunakan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat dengan hanya mengandalkan ilmu pedang Lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat?"

"Aah, waktu itu aku berhasil seimbang berkat Put-pay Suheng yang selalu mengalah."

"Tidak, aku mengetahui wataknya, tidak mungkin dia mau mengalah kepada siapa pun! Justru karena mendengar kemampuanmu itu, maka terpikir olehku untuk memanfaatkan kelebihan yang kau miliki itu. Bakatmu adalah dengan menyerang mengatasi pertahanan, dengan keras menaklukkan lembek. Biarpun dalam teori ilmu silat dikatakan lembek bisa menaklukkan keras, namun hal ini bisa dilakukan bila seseorang telah mencapai tingkat yang luar biasa. Berarti sebelum seseorang berhasil mencapai tingkatan seperti itu, keras masih mampu menaklukkan lembek." Makin bicara dia semakin bersemangat, pelajaran yang diberikan pun makin detil. Tapi sayang Put-ji seolah mulai kehilangan konsentrasi, semangat belajarnya pun makin lama semakin mengendor.

Bu-si Tojin mengira dia kelewat lelah, maka katanya kemudian, "Selama beberapa hari ini kau belajar siang malam tidak kenal lelah, sekarang sudah saatnya untuk beristirahat sejenak. Karena kalau dipaksakan lagi, bukan kemajuan yang diperoleh, bisa jadi semangat belajarmu akan hilang. Baiklah, hari ini kita berlatih sampai di sini saja. Besok setelah kau pelajari jurus Pek-hok-liang-ci hingga lebih sempurna, datanglah mencari aku lagi."

Tadi sempat turun hujan yang cukup deras. Put-ji yang berjalan di atas tanah berlumut beberapa kali nyaris terjungkal, hal ini bukan disebabkan jalan bukit yang licin, namun karena pikirannya sedang kalut. Jalanan gunung itu berliku-liku, begitu juga dengan jalan pikirannya. Dia seperti berjalan di kegelapan malam yang pekat, berusaha mencari jalan keluar, berusaha menemukan kebebasan. Lalu apa yang sedang Dia pikirkan? Sebuah pemandangan yang selama ini tersimpan dalam lubuk hatinya kembali terpampang di depan mata. Ia mendongakkan kepala, memandang sekejap kegelapan malam yang mencekam, lalu teringat kembali suasana hari itu.... hujan yang tidak pernah terlupakan, saat hujan baru reda, saat dia harus bertarung sengit melawan Sutenya, Keng King-si. Ilmu pedang Thay-khek-kiam yang tiba-tiba digunakan Keng King-si membuat dia terdesak kalang-kabut. Saat itu cahaya pedang Sutenya begitu cepat bagaikan sambaran kilat, mimpi pun tidak pernah disangka kalau ilmu pedang Sutenya begitu lihai dan menakutkan, tindakan apa pun yang telah dilakukannya ternyata tidak sanggup membendung ancaman itu. Andaikata konsentrasi Sutenya waktu itu tidak bercabang karena mendengar suara tangisan orok yang baru lahir, tidak bisa dia bayangkan apa akibat yang menimpanya ketika menghadapi serangan maut itu. Namun 'tidak bisa dibayangkan' pun pada akhirnya harus dia bayangkan. Dan sekarang dia tidak perlu membayangkan lagi karena dia sudah tahu bagaimana akhir dari semua ini, jika serangan itu berlanjut, bisa dipastikan lengan kanannya pasti akan terbabat kutung. Tungkai kaki meninggalkan tanah, gerak pedang menyambar selembut angin, cepat bagai sambaran petir, dahsyat bagai angin puyuh bercampur guntur! Itulah jurus Pek-hok-liang-ci yang baru saja diajarkan Bu-si Tojin kepadanya. "Tidak kusangka, ternyata seorang orok yang baru lahir telah menyelamatkan nyawaku!" pikirnya sambil tertawa getir. Kalau waktu itu dia tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi, maka sekarang dia baru sadar bahwa nyawanya nyaris lenyap di ujung senjata lawan, drama mengerikan yang tidak pernah bisa terlupakan untuk selamanya, horor yang akan membuatnya berulang kali bermimpi buruk. Kini dia sudah mengerti mengapa ketika Bu-si Tojin memainkan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat di hadapannya, dari hati kecilnya selalu timbul perasaan kurang beres. Ternyata perasaan kurang beres itu bukan disebabkan karena permainan pedang Ciangbun Suhu yang berbeda, melainkan karena dia merasa seakan pernah mengenal gerakan itu. Terbukti Thay-khek-kiam-hoat yang dimainkan Keng King-si ternyata sama persis seperti ilmu pedang yang diajarkan Bu-si Tojin kepadanya, membuat Tosu muda ini merasa sangsi bercampur kaget. Dari siapa Keng King-si mempelajari ilmu pedang itu? Mungkin-kah tokoh misterius itu adalah Bu-si Tojin? Tentu saja kecurigaan itu hanya bisa tersimpan di dalam hati, dia tidak berani menanyakannya secara langsung kepada Bu-si Tojin. Kendatipun pikiran dan perasaan hatinya bergolak bagaikan gulungan ombak di samudra, namun kehidupannya selama di Bu-tong-san amat tenang tanpa gejolak. Selama ini Bu-si Tojin selalu mengajarkan ilmu pedang kepadanya dengan sabar dan teliti, rasa sayangnya bagaikan terhadap putra sendiri, dia seolah sama sekali tidak tahu dalam hatinya pernah timbul kecurigaan seperti itu. Semenjak saat itu Bu-liang Totiang sendiri pun tidak pernah datang menghubunginya.

Karena Bu-liang Totiang tidak pernah datang mencarinya, rasa curiga di hatinya pun berangsur berkurang, namun sikap tanpa curiga yang diperlihatkan Busi Tojin justru membuat rasa sangsi dan curiganya berkembang makin meluas. Semakin lama dia belajar ilmu pedang dari Bu-si Tojin, dia semakin merasa ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat yang pernah digunakan Keng King-si waktu itu pada hakikatnya sama persis seperti apa yang dipelajarinya sekarang. Biarpun Ciangbun Suhunya pernah berkata bahwa tidak aneh jika ada jago dari perguruan lain ikut menguasai ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat, namun dia tidak yakin kalau kebetulan yang terjadi bisa begitu pas, sampai perubahan kecil yang diciptakan Bu-si Tojin sendiri pun secara kebetulan bisa diciptakan pula oleh orang luar itu, bahkan sama persis satu dengan lainnya. Di saat Suhunya masih hidup dulu, Bu-si Tojin memang terhitung tamu yang sering datang berkunjung, apabila selama ini secara diam-diam dia telah mewariskan ilmu pedang kepada Keng King-si, bisa saja perbuatannya itu mengelabui orang lain, tapi mengapa Keng King-si mengelabui juga istrinya sendiri? Tapi persoalan yang paling membuatnya tidak tenteram adalah mengapa Bu-si Tojin harus mengelabui pula dirinya? Kalau dulu dia berbuat begini, mungkin saja lantaran tidak ingin dia merasa iri terhadap adik seperguruannya, tapi sekarang Keng King-si sudah meninggal dan dia pun sedang belajar pedang dari orang yang sama, mengapa Bu-si Tojin masih tetap membungkam seribu bahasa? Sudah barang tentu dia tidak akan mencurigai Busi Tojin sebagai pembunuh misterius itu, pertama, karena Bu-si Tojin adalah sahabat paling karib Suhunya, kedua, menurut kenyataan yang diketahui, pembunuh itu menghabisi nyawa lawannya dengan mengandalkan ilmu pukulan Thay-khek-kun dan bukan menggunakan ilmu pedang, padahal dari ketiga Tianglo itu, tenaga pukulan yang dimiliki Bu-khek Tojin terhitung nomor wahid. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kini dia telah mempelajari seluruh ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat, Bu-si Tojin sendiri pun sudah tidak mengajarkan apa-apa lagi, berarti dia harus melatih diri sendiri. Akan tetapi teka-teki itu masih mengendon di dalam lubuk hatinya. Satu kejadian lain yang sedikit di luar dugaannya adalah pada tahun ketiga, ketika untuk kedua kalinya Ciangbun Suhunya akan menutup diri, sebenarnya dia minta Bu-liang Totiang mengajarkan tenaga dalam kepadanya, ternyata waktu itu Bu-liang Totiang menolak permintaan itu. Bicara sejujurnya, dia memang sedikit takut terhadap Bu-liang Totiang, dia kuatir sesepuh itu mengguna kan boroknya untuk mengompas dirinya, ternyata Bu-liang Totiang melepaskan kesempatan itu, melepaskan peluang berduaan dengan dirinya, meski kenyataan itu membuatnya tercengang, namun perasaannya justru jauh lebih tenang. Masih untung keinginan pribadinya berjalan sesuai dengan rencana, bayi itu tumbuh di dalam keluarga Lan, ketika berusia tiga tahun dia diangkat menjadi Gihu (ayah angkat) nya dan di usia ke-7 Ciangbunjin memberi ijin kepadanya untuk menerima bocah itu sebagai murid. Dalam masalah ini, ada satu hal yang dia telah melanggar pesan terakhir Sumoynya, dia tidak ingin bocah itu mengetahui asal-usul sebenarnya, karenanya dia minta Lan Kau-san mengaku sebagai ayah bocah itu. Karenanya dia tidak memberi nama Keng Giok-keng kepada bocah itu, melainkan Lan Giok-keng. Hingga detik itu kasus pembunuhan berantai itu belum berhasil terkuak, mati hidup Huo Bu-tuo pun masih menjadi tanda tanya besar, bahkan semenjak kematian keluarga Ho, tidak ada orang yang menying-gung kembali kejadian itu. Semua orang seolah-olah sudah melupakannya, semua orang seakan sudah menganggap peristiwa itu hanya merupakan sebuah kejadian kelam yang sudah berlalu. Sayang Put-ji tidak pernah melupakannya, apalagi di saat hujan sedang turun dengan derasnya.

Ooo)*(ooO

BAB II

Dengan intrik merahasiakan kejadian

Curiga dengan asal usulnya

Musim gugur kembali menjelang, angin yang berhembus kencang menggugurkan dedaunan kering dan menggoyangkan rerumputan, saat senja telah tiba. Gunung nan hijau terbentang jauh di depan sana, matahari senja kembali memancarkan cahayanya yang kemerah-merahan. Di atas sebuah bukit, jauh dari keramaian manusia, terlihat seseorang sedang menghela napas. Mengapa dia menghela napas? Apakah karena umat manusia yang datang silih berganti? Atau karena angin kencang kembali berhembus di musim gugur ini, seolah hendak mengubah suasana dalam kehidupan dunia?

Di puncak bukit itulah, persis di tempat orang itu berdiri sekarang, telah terjadi sebuah kasus pembunuhan yang sangat istimewa dan menggemparkan dunia persilatan pada enam belas tahun berselang. Dibilang "istimewa" karena kejadian itu selain sebuah kasus pembunuhan yang 'tragis', boleh dibilang termasuk juga sebuah kasus yang penuh diliputi 'teka teki'.

Dua orang murid Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu saling bunuh di tempat itu, pertarungan yang berakibat si kakak seperguruan berhasil menghabisi nyawa adik seperguruannya. Tapi mengapa terjadi pembunuhan itu? Apakah dikarenakan sang Sute telah melakukan perbuatan terkutuk hingga pantas dibunuh, ataukah karena pihak Suheng salah membunuh Sutenya? Tidak ada yang tahu, tidak seorang pun yang tahu, bahkan pihak Suheng yang telah melakukan pembunuhan itupun tidak tahu.

Masih ada seorang tokoh dunia persilatan lagi yang ikut terkubur di puncak bukit itu, seorang Bu-lim Cianpwe yang tersohor di kolong langit, Bu-kek Tojin, ketua Tianglo perguruan Bu-tong. Nama besar Bu-kek Tojin termashur di seantero jagad, tapi hanya beberapa orang yang tahu kalau dia juga tewas karena pembunuhan, dan tidak ada yang tahu kalau dia juga tewas di puncak bukit itu. Malah di antara orang-orang yang tahu bahwa dia mati dibokong orang, entah karena urusan apa dia mendatangi puncak bukit itu sehingga tewas di sana pun tidak tahu siapakah pembunuhnya.

Yang lebih mengerikan lagi adalah kematian dari hampir seluruh tokoh yang berhubungan dengan kasus pembunuhan ini, tokoh-tokoh itu di antaranya mencakup Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu, putrinya Ho Giok-yan serta Ting Im-hok, seorang tokoh Bu-tong-pay.

Satu-satunya orang yang masih hidup hingga kini, satu-satunya orang yang terlibat dalam kasus pembunuhan itu rasanya tidak lain hanya murid tertua Ho Ki-bun yang bernama Ko Ceng-kim. Hanya saja Ko Ceng-kim adalah 'nama preman' nya pada enam belas tahun berselang, kini dia sudah menjadi murid penutup Bu-siang Cinjin, ketua Bu-tong-pay, dengan gelar Put-ji.

Orang yang sedang menghela napas ringan saat inipun merupakan seorang Tosu dari Bu-tong-pay, malahan kebetulan merupakan kakak seperguruan Put-ji. Orang itu bukan lain adalah murid tertua Bu-siang Cinjin, Put-coat.

Setelah kita tahu identitasnya, mungkin saja dapat kita pahami kenapa dia menghela napas saat itu. Tapi masakah kedatangannya ke sana hanya untuk menghela napas? Biarpun Bu-siang Cinjin tidak pernah secara resmi mengangkatnya sebagai murid Ciangbunjin, tapi siapa pun tahu kalau di kemudian hari dialah yang bakal dipilih Bu-siang Cinjin untuk meneruskan jabatannya sebagai ketua partai, karena bukan saja dia merupakan murid tertua, kecerdasan dan keuletannya boleh dibilang sangat menonjol, selama belasan tahun terakhir nyaris seluruh urusan partai, baik urusan besar maupun urusan kecil telah diserahkan pelaksanaannya kepada dirinya. Sebagai seorang tokoh penting yang mempunyai posisi strategis dalam partai Bu-tong, karena urusan apa dia mendatangi bukit terpencil itu? Tentu saja dia datang karena ada urusan penting, tapi apa persoalannya? Bahkan dia sendiri pun merasa keheranan! Dia mendapat perintah dari Ciangbun Suhu untuk menggali jenazah Bu-kek Tojin. Sang ketua memerintahkan dia untuk mengangkut balik sisa tulang belulang bekas ketua Tianglo itu agar bisa dikebumikan di atas gunung Bu-tong. Selama ini, hampir semua Tianglo Bu-tong-pay dikebumikan di atas gunung terkecuali Bu-kek Tojin. Sekalipun tidak ada peraturan tertulis yang mewajibkan setiap Tianglo harus dikebumikan di atas gunung, namun Bu-siang Cinjin sebagai seorang ketua, tampaknya tidak ingin saudara seperguruannya itu terkubur di tempat jauh. Tapi yang membuat Put-coat tidak habis mengerti adalah kenapa gurunya tidak melimpahkan tugas ini kepada Sutenya, Put-ji? Bukankah pada enam belas tahun berselang, Put-ji (waktu itu masih bernama Ko Ceng-kim) yang telah mengebumikan Bu-kek Tojin di tempat itu. Ko Ceng-kim tidak mendirikan kuburan, pun tidak membuat batu nisan, yang dia lakukan waktu itu hanya menggali liang lalu memasukkan jenazah Bu-kek Tojin dengan begitu saja lalu meratakan kembali liang kubur itu. Biarpun dia masih ingat dengan letak tempat itu, dia pun meninggalkan tanda di sana. Namun daripada menyuruh orang lain yang menggali, bukankah jauh lebih tepat kalau dia sendiri yang mengerjakan? Persoalan ini pernah ditanyakan Put-coat kepada gurunya, namun jawaban Suhunya belum cukup untuk menghilangkan perasaan curiganya. Menurut Suhu, hal ini disebabkan Put-ji sedang bertugas di wilayah Liauw-tong. Kalau memang begitu, mengapa penggalian itu tidak dilakukan setelah kepulangan Put-ji? Sewaktu Suhu menyerahkan tugas itu kepadanya, Put-ji sudah tiga bulan pergi ke Liauw-tong, menurut perhitungan, seharusnya dalam waktu dekat dia pasti sudah balik kembali ke bukit Bu-tong. Menurut Suhu, kepergian Put-ji ke wilayah Liauwtong kali ini karena sedang melacak dan menyelidiki tempat yang pernah didiami Sumoynya bersama Keng King-si pada enam belas tahun berselang. Karena masalahnya pelik, sukar diramalkan sampai kapan dia baru balik lagi ke perguruan.

"Usiaku bertambah tua, mungkin tidak dapat menunggu lebih lama lagi."

Tapi mengapa baru sekarang gurunya teringat untuk memboyong tulang belulang Bu-kek Tojin agar bisa dikebumikan di perguruan? Bukankah enam belas tahun bukan jangka waktu yang pendek? Tentu saja masalah inipun masih bisa diberi penjelasan, biarpun usia gurunya tahun ini sudah mencapai tujuh puluh tujuh tahun, akan tetapi kesehatannya masih sangat bagus. Sebelum kejadian ini, mungkin saja dia beranggapan bahwa masalah itu bukan masalah 'pelik yang harus segera diselesaikan', karenanya tidak pernah terlintas pikiran untuk berbuat begitu. Dan sekarang dia mulai merasa 'usianya makin tua dan kesehatannya makin rentan'. Tentu penjelasan itu merupakan penjelasan yang dia berikan untuk gurunya, karena yang pasti, dia tidak mungkin berani "bertanya dan menegur" gurunya. Belum tentu penjelasan itu sesuai dengan jalan pikiran gurunya, namun paling tidak dia sendiri merasa sangat puas dengan penjelasan itu.

Terlepas ada begitu banyak kecurigaan yang mengganjal dalam hatinya, dia masih tetap menerima tugas itu dengan senang hati. Di luar 'perintah guru harus dilaksanakan', dia merasa wajib untuk melaksanakan tugas ini karena semasa hidupnya dulu, Tianglo ini sangat menyayanginya. Rasa hormatnya terhadap Bu-kek Tianglo pun tidak di bawah rasa hormatnya terhadap Ciangbun Suhu.

Put-ji belum pernah menjelaskan tentang tempat penguburan itu kepadanya, dia harus menemukan letak kuburan itu berdasarkan penuturan dan keterangan yang diberikan gurunya. Dengan cepat dia berhasil menemukan tebing batu yang berbentuk seperti paruh elang itu, menemukan juga pohon besar yang tumbuh di tepi tebing. Di belakang pohon besar itu terdapat dua gundukan tanah, rumput ilalang dan semak liar tumbuh amat lebat, begitu lebatnya semak belukar di sana membuat orang yang tidak tahu akan mengira gundukan itu hanya merupakan permukaan tanah yang tidak merata, siapa pun tidak bakal menyangka kalau gundukan tanah tadi merupakan kuburan.

Dari penjelasan gurunya, Put-coat juga mendapat tahu kalau gundukan tanah di sebelah kiri adalah kuburan Bu-kek Tojin. Gurunya pernah berkata, "Gundukan di sebelah kanan untuk mengubur jenazah Ho Giok-yan, adik seperguruan Put-ji. Tapi lantaran Put-ji ingin mengurus sendiri kuburan adik seperguruannya itu, maka Put-coat dipesan agar jangan salah menggali. Selain itu, di sana pun terdapat sebuah tanda yang gampang dikenali, di samping gundukan tanah yang digunakan untuk mengubur Bu-kek Tojin, Ko Ceng-kim pernah menancapkan sebatang dahan pohon sebesar lengan bocah.

Agar tidak melakukan kesalahan fatal, sebelum dilakukan penggalian, Put-coat mencari dulu tanda yang ada, tapi dia tidak menemukan dahan pohon yang dimaksud, namun menemukan ada sebuah pohon pendek yang tumbuh sendirian, tumbuh persis di samping kiri gundukan tanah itu. Mula-mula Put-coat agak tertegun, tapi dengan cepat dia tersadar kembali akan apa yang terjadi. Ternyata setelah lewat enam belas tahun, dahan pohon yang ditancapkan Ko Ceng-kim itu telah tumbuh menjadi sebatang pohon pendek. Biarpun pohon itu pendek dan kecil, paling tidak ranting dan dahannya sudah mencapai dua-tiga puluhan batang.

Put-coat berjalan mendekat, memandang dengan lebih seksama, dengan cepat dia menjumpai bahwa dahan-dahan pohon itu sedikit berbeda. Daun yang tumbuh pada ranting dan dahan yang berada tujuh kaki dari permukaan tanah nampak tumbuh dengan suburnya, tapi daun yang berada di bawahnya justru gundul tidak tersisa satu pun. Daun yang tumbuh pada pohon yang sama mengapa bisa berbeda? Bahkan mencolok sekali perbedaannya? Mula-mula dia tertegun, tapi dengan cepat tersadar kembali, ini bisa terjadi karena ada orang yang pernah berlatih ilmu pedang di bawah pohon itu, itulah sebabnya daun yang tumbuh pada ranting pohon berguguran hingga gundul karena terkena hawa pedang. Tapi siapakah orang itu? Kenapa orang itu bukan berlatih pedang di tempat lain melainkan mendatangi bukit yang terpencil dan berlatih di situ? Rasa curiga, rasa tidak habis mengerti seketika mencekam perasaan Put-coat. Dia mencoba memeriksa lagi gundukan tanah di sebelah kanan, lagi-lagi sebuah temuan baru dijumpai, bahkan temuan itu tidak perlu dicerna terlalu dalam, sekilas pandang telah diketahui kalau ada orang yang pernah berkunjung ke situ! Seikat bunga putih tergeletak di atas gundukan tanah itu.

Keluarga Ho sudah putus keturunan, Ko Ceng-kim yang dahulu pun sekarang sudah menjadi Put-ji yang sedang tertugas di wilayah Liauw-tong, lantas siapa yang telah berziarah di depan kuburan Ho Giok-yan? Darimana orang itu bisa tahu kalau Ho Giok-yan terkubur di tempat itu? Makin dipikir Put-coat semakin pusing dan tidak habis mengerti, akhirnya sambil menggeleng pikirnya, 'Ah, peduli amat siapa yang pernah berkunjung kemari. Lebih baik segera kulaksanakan perintah guru kemudian meninggalkan tempat ini.' Berpikir sampai di situ, dia pun mulai menggali tanah gundukan itu dengan menggunakan sekop yang dibawanya. Dengan kekuatan tubuhnya yang besar, tidak sampai sebatang hio habis dibakar, dia telah berhasil menggali liang yang telah diratakan dengan tanah oleh Ko Ceng-kim itu menjadi bentuk semula. "Cring!", ujung sekop mulai menyentuh selapis papan yang digunakan untuk menutup di atas tulang jenazah. Papan itu sesungguhnya sudah tertindih hancur oleh beratnya urukan tanah, boleh dibilang sudah kehilangan manfaatnya sebagai pelindung tulang belulang. Satu-satunya kegunaan yang masih tersisa sekarang hanya melindungi bentuk tulang belulang di bawahnya hingga seperti bentuk semula. Buru-buru Put-coat menyingkirkan tanah di atasnya sambil melompat turun ke dalam liang, dengan korek api yang digembol, dia menerangi keadaan dalam liang dan memeriksa isinya. Tapi sekali lagi dia berdiri tertegun. Ternyata ada tiga sosok tulang manusia berjajar di dalam liang kubur itu! Ternyata dalam perkiraan Ko Ceng-kim selama ini, andai Ciangbunjin berniat memindahkan tulang belulang Bu-kek Tianglo ke gunung Bu-tong, besar kemungkinan pelaksanaan tugas itu akan diserahkan kepadanya. Sebagaimana diketahui lantaran terbakar oleh api cemburu, dia tidak pernah mengebumikan jenazah Keng King-si dalam satu liang dengan jenazah bininya, Ho Giok-yan. Karena takut pandangan Suhu terhadap dirinya bakal berubah jika mengetahui peris-tiwa itu, maka selama ini kejadian itu selalu dirahasiakannya. Dari ketiga sosok kerangka manusia itu, Keng King-si berada di ujung paling kiri, di sebelah kanan adalah kerangka Ho Liang, orang tua dari keluarga Ho, sedang kerangka Bu-kek Tojin berada di tengah. Setelah lewat enam belas tahun lamanya, jenazah yang dikubur tanpa peti mati itu sudah hancur, kini yang tersisa hanya kerangka tulang. Untung saja sejak kecil Put-coat memang sering berkumpul dengan Bu-kek Tojin, dia pun pernah beberapa kali berkunjung ke rumah keluarga Ho hingga dengan Ho Liang maupun Keng King-si boleh dibilang cukup akrab. Biar sudah tinggal kerangka tulang saja, namun tidak susah untuk mengenali seseorang dari tinggi pendeknya kerangka yang ada. Selain itu tulang orang tua pun beda dengan tulang orang muda, semua ini tidak ada yang bisa lolos dari pengamatan Put-coat yang jeli. Diam-diam dia menghela napas panjang, pikirnya, "Ternyata Put-ji Sute tidak pernah menguburkan jenazah Keng King-si dalam satu liang dengan Sumoynya...."

Tapi pikiran lain segera melintas, pikirnya lagi, "Ehm, memang tidak bisa menyalahkan dia, Sumoynya itu kan sebenarnya calon bininya!" Ketika Keng King-si 'merayu dan membawa lari' Sumoynya tempo hari, Put-coat bukannya tidak tahu, dia malah sempat ikut merasa tidak puas dengan tindak-tanduk Keng King-si, perasaan simpatiknya selalu diberikan ke pihak Ko Ceng-kim.

Kini, setelah menemukan kerangka tubuh Keng King-si, meski di hati kecilnya tetap merasa masgul, namun tidak sampai menimbulkan rasa heran dirinya. Begitu dia menjumpai kerangka Ho Liang, perasaan terkejutnya benar-benar tidak terkirakan. Yang membuatnya terkejut bukan lantaran Ko Ceng-kim hanya membuat dua buah liang dengan menguburkan jenazah Ho Liang dan Bu-kek Tojin di dalam satu liang. Bagi Put-coat, hal semacam ini masih bisa diterima akal sehat, apalagi demi menghemat waktu dan tenaga. Selain itu, Put-coat pun bukan termasuk orang yang gila status dengan membedakan kedudukan seseorang, baginya mengubur seorang tua dari keluarga Ho dengan seorang Tianglo dari Bu-tong-pay dalam satu liang adalah satu kejadian yang lumrah. Yang membuatnya terperanjat bercampur heran adalah tulang kerangka Ho Liang, ternyata tulang belulangnya berwarna hitam pekat. Hanya tulang belulang korban keracunan yang akan meninggalkan bekas seperti ini! Setelah dilakukan pemeriksaan yang cermat dan seksama, akhirnya dia berhasil menemukan sebatang jarum Bwe-hoa-ciam yang sangat lembut di antara tulang iga kerangka itu. Sebagai seorang jagoan silat yang berilmu tinggi, dengan cepat dia dapat menyimpul kan bahwa Bwe-hoa-ciam itu pasti sangat beracun dan racunnya ganas serta mematikan! Kini sebab kematian Ho Liang terungkap sudah, jelas terbukti kalau kematiannya lantaran terkena serangan jarum beracun! Sebab kematian telah terungkap, tapi muncul persoalan lain yang membuatnya tidak habis mengerti.

Pertanyaan pertama, siapa yang telah melepaskan jarum beracun itu? Menyusul kemudian pertanyaan kedua, mengapa harus menggunakan jarum beracun untuk membunuh Ho Liang? Bukankah Ho Liang hanya seorang pelayan tua yang tidak mengenal silat? Untuk membunuhnya, siapa pun bisa melakukannya segampang membalikkan telapak tangan, kenapa harus membokongnya dengan jarum beracun? Tanpa terasa dia mulai membayangkan kembali Keng King-si, orang itu dituduh sebagai pembunuh utamanya. Menurut laporan yang diberikan Ko Ceng-kim kepada Ciangbunjin, si pelayan tua itu Ho Liang tewas di tangan Keng King-si. Namun kini Put-coat mulai curiga, semakin dipikir dia merasa semakin sangsi dan ragu. Berdasarkan keterangan yang diberikan Ko Ceng-kim ketika menuturkan peristiwa itu, Ho Liang tewas tergelincir karena didorong Keng King-si. Ho Liang memang tidak memiliki kungfu hebat, sementara Keng King-si waktu itu sedang dicekam rasa gusar dan emosi yang meluap, kalau sampai dia salah tangan hingga menyebabkan kematian Ho Liang, sebenarnya penjelasan ini sangat masuk akal. Tapi penemuan terbaru yang dia temukan sekarang berbicara lain, Ho Liang tewas karena terhajar jarum beracun! Sekalipun Keng King-si berniat membunuh Ho Liang, baginya tidak perlu menggunakan jarum beracun untuk melaksanakan niatnya itu. Apalagi Bu-tong-pay sebagai sebuah perguruan kaum lurus, peraturan yang ketat melarang setiap anggotanya menggunakan senjata rahasia beracun. Memang Keng King-si hampir setahun lamanya meninggalkan perguruan, tapi dalam jangka waktu setahun yang amat singkat, mustahil dia sanggup menguasai ilmu senjata rahasia yang demikian hebat, apalagi dapat membunuh orang tanpa diketahui siapa pun. Lalu kalau bukan Keng King-si, perbuatan siapakah itu? Tentu saja Put-coat tidak bisa mencurigai Ko Ceng-kim. Sama seperti Keng King-si maupun anggota perguruan Bu-tong-pay lainnya, Ko Ceng-kim belum pernah mempelajari ilmu senjata rahasia sebangsa Bwe-hoa-ciam, terlebih tidak cukup alasan baginya untuk membunuh Ho Liang. Satu-satunya jawaban yang bisa diterima adalah pada saat yang bersamaan ada seseorang bersembunyi di tempat kegelapan dan melancarkan serangan bokongan itu. Namun jawaban yang terpikir oleh Tut-coat ini bukan sebuah jawaban yang dapat membuat orang puas. Bwe-hoa-ci jm adalah satu jenis senjata rahasia yang amat lembut dan enteng, bila ingin melukai orang dengan jarum bunga Bwe ini, seseorang harus bersembunyi di suatu tempat yang dekat jaraknya dengan sang korban. Padahal ketika Ho Liang terbunuh saat itu, mereka yang hadir di tempat kejadian selain Keng King-si, di situ masih ada Ko Ceng-kim dan Ho Giok-yan, ketiga orang itu tergolong jago yang cukup tangguh. Bila ada orang melepaskan serangan Bwe-hoa-ciam dari jarak dekat, mungkinkah perbuatannya itu dapat lolos dari pandangan mata mereka?

Put-coat benar-benar tidak habis mengerti, pikirnya, "Aah, lebih baik jangan kupikirkan dulu persoalan ini, yang penting aku harus segera mengangkut ketiga sosok kerangka manusia ini dan balik ke Bu-tong-san, selelah melaporkan peristiwa ini barulah kemudian mengajak Put-ji Sute merundingkan persoalan ini."

Sesudah mengambil keputusan, dia pun mulai mengumpulkan kerangka manusia yang ada. Tiba-tiba dia merasa ada segulung hembusan angin tajam 'menindih' tiba dari atas kepala, dengan sigap Put-coat berkelit ke samping sambil melompat mundur. "Blaam!", diiringi suara gemuruh yang keras, tahu-tahu sebuah batu raksasa telah meluncur ke bawah, begitu kerasnya timpukan itu membuat ketiga sosok kerangka manusia itu hancur berantakan seketika. Buru-buru Put-coat menyambar sekopnya sambil menjejakkan kaki ke dinding liang kubur, kemudian dengan cekatan dia melejit ke udara dan melayang ke permukaan tanah. Kembali sebuah batu raksasa dilontarkan ke arah tubuhnya, masih berada di tengah udara Put-coat segera mengayun sekopnya ke muka. Dalam keadaan kritis dan terancam bahaya, dia kerahkan segenap tenaga dalam yang telah dilatihnya selama tiga puluh tahun ini untuk menyongsong datangnya sambaran itu. "Traang....!", kali ini batu cadas itu berhasil ditangkis dengan sekopnya hingga mencelat balik ke belakang. Menggunakan peluang itu cepat sepasang kakinya menginjak permukaan tanah. Pada saat itulah sang penyerang telah berganti senjata, kali ini bukan batu cadas yang ditimpukkan ke arahnya melainkan sembilan batang paku penembus tulang Tau-kut-ting yang meluncur tiba berjajar dalam bentuk segi tiga. Sungguh dahsyat tenaga timpukan orang itu, kesembilan batang paku penembus tulang itu menyambar datang diiringi suara desingan tajam yang begitu memekakkan telinga, seolah ada beribu anak panah yang merobek gendang telinga. Put-coat segera memutar sekopnya bagai baling-baling, dalam waktu singkat kesembilan batang paku penembus tulang itu berhasil dihajar hingga rontok ke tanah.

Meski semua Am-gi berhasil dijatuhkan, tidak urung secara lamat-lamat dia merasakan juga pergelangan tangannya kaku dan kesemutan. Sebagai seorang jagoan yang berpengetahuan luas, begitu sekopnya membentur Am-gi lawan, dia segera sadar kalau orang itu telah mengerahkan tenaga dalam untuk melepaskan kesembilan batang paku penembus tulang itu, dengan perasaan terkesiap segera berpikir, 'Heran, kenapa tenaga dalam yang dilatih orang ini mirip sekali dengan tenaga dalam Thay-khek-sinkang dari perguruan kami?" Kalau dibilang ada perbedaan, maka perbedaan itu tipis sekali, tenaga dalam yang dimiliki orang itu cenderung lebih kasar dan ganas, sementara kekuatan yang terpancar lewat senjata rahasia itupun seakan sebentar terputus sebentar muncul kembali, berbeda jauh dengan kekuatan murni aliran Bu-tong-pay. "Melukai orang dengan senjata rahasia, terhitung jagoan macam apa kau ini?" bentak Put-coat nyaring, "kalau memang bernyali, ayoh cepat keluar!"

Belum selesai dia berkata, terdengar seseorang menyahut dengan logat luar daerah, menyahut sambil tertawa tergelak, "Hahaha, Put-coat Totiang, aku tahu kau adalah ahli waris Ciangbunjin Bu-tong-pay, kudengar tenaga dalammu sangat hebat dan sakti, barusan aku hanya ingin menjajal sampai dimana kemampuanmu itu...."

Orang itu adalah seorang lelaki yang mengenakan kain kerudung muka.

"Kalau memang ingin menjajal kepandaian silat-ku, kenapa harus mengenakan kerudung muka?" jengek Put-coat.

"Hahaha, lagi-lagi tebakanmu keliru. Maaf, aku bukan ingin menjajal ilmu silatmu saja, aku datang karena ingin membunuhmu! Cuma aku memang tidak ingin membunuhmu dengan menggunakan senjata rahasia, aku ingin membunuhmu dengan pedang. Awas! Lihat pedang!"

Dia memberitahu terlebih dulu sebelum melancarkan serangan, artinya serangan ini bukan serangan bokongan. Biar begitu, serangan yang dilancarkan orang berkerudung itu benar-benar cepat bagaikan sambaran kilat, begitu kata "pedang" meluncur keluar dari mulutnya, cahaya senjata bagai untaian rantai emas telah menggulung tiba! Sambil mencabut pedang, dia melambung ke udara dan melancarkan serangan ke tubuh lawan, semuanya nyaris dilakukan dalam satu tarikan napas, gaya maupun gerakannya terlihat indah, lembut dan menawan.

Put-coat segera merasa jurus serangan yang digunakan lawan seakan pernah dikenal sebelumnya. Sekop miliknya berat dan kaku, begitu mengetahui jurus pedang yang digunakan lawan, dia segera sadar kalau sulit baginya untuk membendung datangnya ancaman itu. Benar saja, tidak sampai beberapa gebrakan dia sudah tercecar hebat hingga kalang-kabut.

Kembali orang itu tertawa tergelak, "Hahaha, kalau kesempatan untuk mencabut pedang pun tidak kuberikan, mungkin kau bakal mati tidak...." Belum selesai perkataan itu diucapkan, Put-coat dengan gerakan Si-siung-kiau-boan-im (menyempitkan dada berjumpalitan di awan) telah melompat mundur sejauh tiga depa lebih.

"Kau ingin membunuhku?" bentaknya nyaring, "aku rasa tidak segampang apa yang kau perkirakan!" Sepasang lengannya digetarkan keras, sekopnya diiringi deruan angin dan guntur meluncur dari tangannya langsung membabat pinggang orang itu. Kelihatannya orang itu tidak berani menyambut datangnya ancaman dengan keras lawan keras, tubuhnya menyusup ke samping, ujung pedangnya menutul pelan ke depan, dengan menghimpun hawa murninya dia tangkis sekop itu hingga mencelat ke samping.

Put-coat terkesiap, dia kaget setelah melihat gerak serangan yang digunakan orang itu. Biarpun gerak serangan yang dilakukan orang itu lincah, tidak urung gerakannya sedikit melamban juga. Pada saat itulah Put-coat telah melolos senjatanya sambil membentak, "Kurang sopan kalau kedatanganmu tidak di sambut selayaknya, lihat serangan!" Pedangnya membacok ke depan dengan membuat gerakan setengah lingkaran busur, ternyata orang itupun menyambut datangnya ancaman dengan gerakan busur, hanya saja rentang jaraknya jauh lebih besar dan melebar.

"Traang!", ketika sepasang pedang saling membentur satu dengan lainnya, mata senjata orang itu ternyata tiga inci lebih panjang ketimbang mata pedang Put-coat, hampir saja tubuh pendeta muda itu terbabat luka. Untung saja Put-coat cukup matang menguasai ilmu silatnya, cepat dia rendahkan kuda-kuda sambil menarik bahu ke samping, pedangnya diputar lalu menggulung ke arah depan. Posisinya saat ini boleh dibilang 'dalam bagai air jeram, kekar bagai bukit karang', dengan posisi tenang dia mengatasi perubahan lawan.

Tampaknya orang berkerudung itu cukup tahu akan kelihaian lawannya, belum sampai jurus serangan digunakan hingga puncaknya, buru-buru dia berganti gerakan. Tampak bahunya sedikit diangkat, tungkai kakinya segera meninggalkan permukaan tanah, pedangnya dibabatkan serong ke samping, bagaikan seekor bangau putih yang sedang pentang sayap, radius babatannya kali ini jauh lebih lebar dan besar ketimbang babatan semula. Bila bacokan pedang itu sampai mengenai pada sasaran, niscaya seluruh lengan milik Put-coat akan terbelah jadi dua dan berpisah dengan tubuhnya. Put-coat tidak mau unjuk kelemahan, dengan jurus yang sama, Pek-hok-liang-ci (bangau putih pentang sayap), dia ciptakan garis membujur yang lebarnya mencapai tujuh kaki. Seperti gelombang samudra yang menakutkan, cahaya pedang berham-buran ke empat penjuru. Sekali lagi orang berkerudung itu berganti jurus serangan, dia tidak berani menyambut datangnya ancaman dengan keras lawan keras. Put-coat semakin curiga, bentaknya, "He, darimana kau pelajari kedua jurus ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat itu?"

"Hahaha, lucu amat kau ini, teori pedang saja boleh sama dan banyak kemiripan apalagi gerakan ilmu pedang. Kau sangka hanya ilmu pedang Thay-khek yang bisa memiliki kedua jurus serangan itu?" Biarpun sedang berbicara, gerak tangannya sama sekali tidak mengendor, selama pembicaraan masih berlangsung, secara beruntun dia telah menciptakan tiga buah lingkaran hawa pedang yang menggidikkan hati, rupanya dia sedang mengeluarkan jurus Sam-coan-hoat-lun (memutar roda tiga lingkaran).

Sekali lagi Put-coat membentak gusar, "Sudah jelas jurus serangan yang kau gunakan berasal dari Thay-khek-kiam-hoat, mengapa masih ingin mungkir?"

"Terserah kalau kau bersikeras mengatakan jurus serangan yang kugunakan berasal dari Thay-khek-kiam-hoat. Hehehe, jangan kau anggap manusia di kolong langit hanya anak murid Bu-tong-pay saja yang sanggup menggunakan ilmu Thay-khek-kiam! Jangan lagi baru dua jurus, coba lihat serangan berikutku ini! Terima serangan!" Begitu mengembangkan serangan pedangnya, hawa serangan yang berbentuk lingkaran bersusun saling lapis dan susul menyusul tiada habisnya, seakan gelombang ombak yang saling berkejaran di tepi pantai, benar saja, semua jurus serangan yang digunakan adalah jurus-jurus tangguh dari ilmu Thay-khek-kiam. Bukan cuma itu, gerak serangan yang dilakukan orang ini ternyata jauh lebih cepat ketimbang apa yang pernah diajarkan Bu-siang Cinjin, bahkan kekuatan serangannya jauh lebih tangguh dan ganas.

Diam-diam Put-coat mulai sangsi dan berpikir, "Heran, kenapa aku seperti pernah kenal dengan gerakan jurus pedang ini? Aah, betul, gerak serangannya sedikit agak mirip dengan ilmu pedang ajaran Bu-si Susiok." Hanya saja bila dibandingkan dengan Thay-khek-kiam-hoat aliran lurus, maka jurus serangan orang itu seakan hanya mampu mencapai 'bentuk' gerakannya saja dan tidak mampu mencapai tingkatan paling 'puncak'. Namun kalau dibilang kehebatannya tidak bisa mengungguli ajaran murni, rasanya hal itupun belum tentu. Biarpun terdapat perbedaan antara keras dan lembut, namun aliran ajarannya seakan berasal dari sumber yang sama. Jangan-jangan seperti apa yang dikatakan gurunya, entah di tahun ke berapa, ada seorang anggota Bu-tong-pay yang telah mengajarkan ilmu pedang Thay-khek-kiam secara diam-diam kepada anggota perguruan lain, setelah melewati tahun demi tahun, maka ilmu pedang itu berhasil dilebur oleh jagoan itu menjadi sejenis ilmu pedang lain yang lebih tangguh? Sebagaimana diketahui ilmu pedang yang diyakini Put-coat berasal dari petunjuk Bu-siang Cinjin, selama ini dia tidak pernah belajar ilmu pedang dari Bu-si Tojin. Oleh sebab itu pandangannya berbeda jauh dibandingkan dengan pandangan Put-ji. Dia hanya merasa kalau ilmu pedang yang digunakan orang itu ada beberapa bagian mirip dengan ilmu pedang Bu-si Tojin, tapi kalau ditanya berapa bagian kemiripannya, apakah tiga bagian atau empat bagian atau tujuh, delapan bagian? Dia tidak dapat memberi penjelasan secara pasti.

Kalau semula Put-coat dibuat kalang-kabut dan tercecar hebat lantaran konsentrasinya buyar, begitu tersadar kembali akan kondisinya dia pun segera berpikir, "Kenapa aku melupakan petuah yang pernah diberikah Suhu tempo hari, biarpun ada tekanan yang datang menghimpit bagai tindihan bukit Thay-san, anggap saja tekanan itu seenteng hembusan angin sejuk yang menerpa wajah...."

Berpikir sampai di situ, dia pun segera pusatkan konsentrasinya untuk menghadapi lawan. Serangan yang dilancarkan orang itu makin lama semakin bertambah cepat, sementara gerakan dia sendiri justru makin lama semakin bertambah lambat, ujung pedangnya bagaikan ujung pensil yang sebentar menuding ke timur sebentar menggores ke barat, namun setiap goresan yang membentuk lingkaran itu segera memunahkan sebagian tekanan yang dihasilkan oleh serangan lawan. Sungguh aneh hasilnya, biarpun ruang lingkupnya makin lama menyusut makin kecil, gerak pertahanannya pun makin lama semakin melambat, namun betapa ganas dan dahsyatnya serangan pedang yang dilancarkan orang berkerudung itu, tidak satu pun yang berhasil menembus pertahanannya. Tidak selang beberapa saat kemudian, gerak serangan orang berkerudung itu seakan-akan terbendung alirannya, gerakannya makin lama juga semakin bertambah lambat. Sekali lagi lingkaran pedang yang diciptakan Put-coat dari menyusut kembali mengembang lebar, tidak lama kemudian dia telah mengurung seluruh tubuh orang berkerudung itu ke dalam lingkaran pengaruh hawa pedangnya. Baru saja Put-coat memainkan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat dengan makin lancar, tiba-tiba dia merasa lengan kanannya sedikit agak kesemutan, tahu-tahu orang berkerudung itu dengan jurus Tay-mo-ku-yan (asap tunggal di tengah gurun) telah menyerbu masuk ke dalam lingkaran hawa pedangnya, diikuti kemudian dengan jurus Tiang-ho-lok-jit (matahari tenggelam di balik sungai), dia ciptakan sebuah lingkaran pedang berbentuk bulat dan berbalik mengurung seluruh tubuhnya. Beberapa kali sepasang pedang itu saling membentur tanpa menimbulkan sedikit suara pun, rupanya kedua belah pihak telah menggunakan teknik melekat dengan menyalurkan tenaga dalamnya ke ujung pedang untuk saling beradu fisik dengan lawan. Pada mulanya Put-coat merasa kegirangan, pikirnya, "Jika kau mengajak aku bertarung menggunakan jurus serangan, dalam tiga sampai lima puluh gebrakan kemudian pun belum tentu aku dapat mengunggulimu, tapi sekarang kau mengajak aku beradu tenaga dalam, hmm! Dengan jurus ini akan kusuruh kau sulit lolos dari sergapan senjataku!"

Ternyata kesempurnaan tenaga dalam lawannya jauh di atas kemampuan permainan pedangnya, lagi pula Put-coat sudah menjajal tenaga dalam yang dimiliki lawan, ternyata masih jauh di bawah kemampuannya. Tapi kenyataan di lapangan sama sekali berbeda dengan apa yang dibayangkannya, bukan saja tidak segera selesai, sebaliknya keadaan malah jauh di luar perkiraan. Ketika tenaga dalamnya menembusi ujung pedang, dia bukan saja gagal menggeser posisinya barang sejengkal pun, malah di balik pertahanan lawan yang kokoh, secara lamat-lamat mengandung pula serangan balik yang amat kuat. "Heran, kenapa tenaga dalamku hari ini bisa begini tidak becus?"

Yang membuatnya lebih terkejut lagi bukan cuma hal itu, kalau tadi hanya sebagian tangannya yang terasa kaku dan kesemutan, maka sekarang rasa kesemutan itu mulai menjalar naik ke atas. Mula-mula ujung sikunya yang terasa kesemutan, maka sekarang dari jalan darah Ci-ti-hiat mulai menjalar hingga ke jalan darah Cian-keng-hiat di pundak, terus yang menjalar ke arah bawah menyusup sampai di Kwan-goan-hiat di dekat nadi kepalan, hal ini membuat seluruh lengan kanannya jadi kaku, kesemutan dan kehilangan rasa. Biarpun dengan mengandalkan tenaga murni dia bisa mencegah lengan kanannya tidak sampai mati rasa, namun lengan yang mulai kesemutan itu berpengaruh amat besar atas kelincahan gerakan serangannya.

Pada saat itulah tiba-tiba dari balik hutan berjalan keluar dua orang, satu lelaki dan satu wanita. Yang lelaki bertubuh tinggi kekar, Put-coat mengenalinya sebagai seorang perampok ulung dari wilayah Lu-lan (Soa-tang) bernama Ciu Hiong. Tiga tahun berselang, ketika dia sedang merampok seorang saudagar kulit, kebetulan Put-coat sedang lewat di tempat kejadian, dalam pertarungan yang kemudian berkobar, dia berhasil dihajar oleh Put-coat hingga terluka dan melarikan diri. Sementara yang wanita berusia liga puluh tahunan, biarpun sudah setengah umur, namun dandanannya tidak kalah dengan seorang gadis muda, alis matanya digambar tebal hingga mirip bulan sabit, kening dan pipinya diberi bedak warna kuning muda, bibirnya bergincu tebal sementara rambutnya dikepang dua, bukan saja genit, bahkan cenderung jalang. Put-coat merasa seolah pernah bertemu dengan wanita ini, tapi lupa dimana.

Terdengar Ciu Hiong tertawa tergelak, ejeknya, "Hahaha, hidung kerbau, Tosu bau, kemana kaburnya semua kegagahanmu tiga tahun berselang? Kau tidak menyangka bakal menghadapi nasib seperti hari ini bukan?"

Sebaliknya wanita setengah umur itu tertawa cekikikan sambil menutupi mulut sendiri, serunya, "Put-coat Totiang, tahukah kau bahwa tadi kau telah salah memaki? Yang membokongmu tadi bukan sahabat itu, melainkan aku! Cuma aku memang bukan seorang lelaki sejati, jadi aku tidak kuatir kau maki. Bagaimana? Jarum beracun kecilku tidak terlalu enak rasanya, bukan?" Seperti baru sadar, Put-coat segera membentak nyaring, "Kau adalah Cing-hong (si Lebah hijau) Siang Ngo-nio?" Siang Ngo-nio adalah seorang Li-hui-cat (penyamun terbang wanita) yang tersohor dalam dunia persilatan karena kepandaiannya melepaskan senjata rahasia beracun, oleh sebab itu walaupun Put-coat belum pernah bertemu dengannya, namun dia pernah mendengar tentang wajah, dandanan serta asal-usulnya. Konon dia adalah kekasih gelap Tong Siau, Jikongcu dari keluarga Tong di Sucwan, senjata rahasia andalannya yang paling lihai adalah Cing-hong-ciam (jarum lebah hijau), ilmu itu dia dapatkan dengan jalan mencuri dari keluarga Tong. Lebah hijau adalah sejenis lebah yang langka, racun sengatannya jauh lebih mematikan ketimbang lebah kuning.

Sesuai dengan pepatah yang mengatakan, "racun ular hijau pada pagutan, racun lebah kuning pada sengatan, sejahat apa pun racun mereka, lebih beracun hati wanita". Siang Ngo-nio adalah seorang Hui-cat yang keji, kejam dan telengas, bukan saja dia tersohor karena mahir menggunakan senjata rahasia, bahkan yang dipakai adalah jarum beracun, karena kekejiannya itulah dia mendapat julukan si Lebah hijau.

Bila berada pada hari biasa, selihai apa pun jarum beracun milik Siang Ngo-nio tidak nanti senjata itu mampu melukai dirinya, tapi lantaran jarum beracunnya dilepas berbarengan ketika orang berkerudung itu menyerang dengan paku penembus tulang, padahal tenaga dalam orang berkerudung itu tidak di bawah kemampuan Put-coat, ditambah lagi saat itu Put-coat sedang berkonsentrasi menghadapi ancaman paku penembus tulang, tidak heran dia termakan oleh serangan bokongan perempuan itu. Terdengar Siang Ngo-nio tertawa terkekeh sambil mengejek, "Hahaha, tidak kusangka seorang jagoan tangguh dari Bu-tong-pay pun bisa mengenali nama Siauli, benar-benar satu keberuntungan bagiku. Aku tidak ingin membalas kebaikanmu dengan tindakan jahat, karenanya kuanjurkan kepadamu lebih baik cepatlah menyerah kalah. Kalau tidak, jika kau memaksakan diri mengerahkan tenaga dalam lagi, racun yang mengeram dalam tubuhmu akan bekerja semakin cepat. Jika hawa racun sampai menyusup ke dalam jantung, hehehe, biar tersedia obat penawar racun pun jangan harap nyawamu dapat diselamatkan!"

Put-coat berlagak tuli, sikapnya seolah-olah sama sekali tidak mendengar nasehat itu, tiba-tiba bentaknya nyaring, "Apakah kau juga yang telah mencelakai Ho Liang dengan jarum beracun?"

"Hahaha, aneh benar manusia seperti kau," jengek Siang Ngo-nio sambil tertawa, "kematian sudah di ambang pintu pun masih sempat menyelidiki sebab kematian seorang pelayan tua! Hehehe, kalau memang perbuatanku, mau apa kau?"

"Ternyata memang kau, akan kucabut nyawamu!"

"Hahaha" Siang Ngo-nio tertawa terpingkal-pingkal, "Totiang yang ganteng, selamatkan dulu nyawamu sebelum bicara lebih jauh."

Sementara itu Put-coat maupun orang berkerudung itu masih tetap bertahan pada posisi masing-masing, bahkan kelihatan sekali lagi posisi orang berkerudung itu sedikit di atas angin. Pedang dalam genggaman orang berkerudung itu masih tegak bagai sebatang pit, sementara pedang dalam genggaman Put-coat sudah nampak mulai melengkung. Baru saja Siang Ngo-nio menghentikan gelak tawanya, mendadak terdengar Put-coat membentak nyaring, tahu-tahu kedua batang pedang itu sama-sama patah jadi dua bagian. Ketika Put-coat menggunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk menggetar patah senjata lawan, pedang miliknya pun segera ikut patah terhajar tenaga pantulan yang dihasilkan orang berkerudung itu. Padahal saat itu Put-coat sudah keracunan hebat, tindakannya mengerahkan tenaga dalam boleh dibilang merupakan pertaruhan terakhirnya, tindakan itu bukan saja tidak pernah diduga oleh Siang Ngo-nio, orang berkerudung sendiri pun sama sekali tidak menyangka. Baru saja orang berkerudung itu berdiri melengak, Put-coat dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat sudah melesat maju ke depan, kutungan pedang dalam genggamannya sekuat tenaga ditimpukkan ke arah Siang Ngo-nio. Ciu Hiong yang berdiri di sisinya buru-buru menyambar tongkat besi dan menangkis datangnya timpukan itu. Sungguh cepat sambaran kutungan pedang itu, baru saja Ciu Hiong menggerakkan toyanya, terdengar desingan angin tajam menyambar lewat, begitu tajamnya sambaran itu membuat sepasang matanya jadi perih dan nyaris tidak bisa dibuka kembali. Menanti dia dapat membuka matanya kembali dan bersiap mengayun toyanya, terdengar Siang Ngo-nio menjerit keras, suaranya tinggi, tajam dan melengking. Ternyata ayunan senjatanya sama sekali tidak berhasil menangkis kutungan pedang itu, jangankan menangkis, menyentuh pun tidak. Sebetulnya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Siang Ngo-nio terhitung cukup hebat, sayang, betapa cepat dia berkelit pun masih tetap tidak berhasil menghindarkan diri dari sergapan itu. "Krakkkk!" Kutungan pedang itu melesat lewat dari sisi dagunya dan langsung menghujam di bahunya. Ternyata Put-coat melemparkan kutungan pedangnya itu dengan ilmu berpusing, bagaikan sebuah bumerang, kutungan pedang yang dilempar ke arah kiri tahu-tahu berbalik menyerang ke arah kanan. Dia bukan saja telah memperhitungkan jarak kedua belah pihak secara tepat, bahkan ke arah mana Siang Ngo-nio menghindar pun telah diperhitungkan secara tepat. Begitu kutungan pedang itu menghujam bahu Siang Ngo-nio, tulang Pi-pe-kutnya langsung patah beberapa bagian, saking sakitnya perempuan itu menjerit-jerit sambil bergulingan di atas tanah, jerit kesakitannya tinggi, tajam dan menyayat hati, setelah bergulingan beberapa kali, akhirnya tubuh wanita itu meluncur jatuh ke bawah tebing, tidak jelas bagaimana nasibnya kemudian. Biarpun Put-coat berhasil dengan serangannya itu, namun dia sendiri segera terjerumus dalam kerubutan dua orang jago tangguh. Orang yang berada di hadapannya adalah Ciu Hiong, ketika tongkat besinya gagal menyampuk kutungan pedang itu, dia langsung mengayun senjatanya menghajar batok kepala lawan. Sementara orang berkerudung yang berada di belakang tubuhnya menempel terus bagaikan bayangan setan, sambil merangsek maju, telapak tangannya diselipi angin pukulan yang kuat langsung dihantamkan ke punggung lawan. Sungguh hebat Put-coat Tojin, biarpun tergencet dua musuh yang mengancam perut serta punggungnya, dia sama sekali tidak menjadi panik, sambil menekuk sedikit lututnya seraya berputar, telapak tangannya dibabatkan perlahan ke samping, lalu dengan teknik 'meminjam tenaga memukul lawan', dia dorong tangannya kuat-kuat ke depan.

Tubuh Ciu Hiong yang tinggi besar bagaikan sebuah pagoda baja itu kontan tergetar oleh tenaga dorongan itu hingga kuda-kudanya langsung tergempur dan tidak tahan tubuhnya maju beberapa langkah dengan sempoyongan. Karena tubuhnya tidak terkendali, hantaman toya bajanya yang berat pun kehilangan arah, bukan hanya berganti posisi, malahan secara kebetulan menghantam ke arah orang berkerudung itu. Sebenarnya orang berkerudung itupun mengerti tentang ilmu Su-liang-bo-jian-cing (dengan empat tail memikul ribuan kati), tapi sayang ketika itu dia sedang melancarkan pukulan dengan sepenuh tenaga, bila Dia mesti berganti teknik serangan secara terburu-buru, niscaya kekuatan tenaga pukulannya itu akan berbalik menghantam ke tubuh sendiri. Tentu saja orang berkerudung itu enggan melukai diri sendiri hanya demi menguatirkan keselamatan jiwa rekannya, tenaga pukulannya yang dahsyat tetap dilontarkan ke muka, hanya saja di balik pukulannya itu disertai pula sedikit teknik 'menggiring', hal ini membuat tubuh Ciu Hiong sedikit miring ke samping, serta-merta robohnya tubuh orang itupun demi melindungi keselamatan sendiri. Dengan demikian sama artinya ada dua orang jagoan Thay-khek yang sedang meminjam tubuh Ciu Hiong untuk saling beradu kekuatan, begitu tubuh Ciu Hiong didorong oleh Put-coat ke samping, segera tubuhnya berputar bagaikan sebuah gangsingan, lagi-lagi dia didorong balik oleh kekuatan dahsyat orang berkerudung itu. Akhirnya setelah berpusing beberapa kali, dia jatuh terjengkang ke tanah dengan darah meleleh keluar dari lubang mata, hidung, telinga serta mulutnya, seperti juga nasib yang dialami Siang Ngo-nio tadi, badannya terguling dan meluncur cepat ke bawah bukit sana. Ujar orang berkerudung itu kemudian dengan nada dingin, "Membunuh orang harus dibayar dengan nyawa, itu yang kau ucapkan sendiri tadi. Dalam pertandingan ilmu pedang, kita belum berhasil menentukan siapa menang siapa kalah, ayoh sekarang kita beradu lagi ilmu pukulan." Waktu itu Put-coat sudah banyak kehilangan tenaga murni sehingga tidak sanggup lagi mencegah menjalarnya hawa racun ke dalam tubuh, bukan saja seluruh lengan kanannya sudah kesemutan kaku hingga tidak sanggup digerakkan, separuh badannya juga lambat-laun mulai kaku dan mati rasa. Kini pandangan matanya mulai berkunang-kunang, kepalanya mulai pening dan pandangannya mulai kabur dan dia tidak sanggup memandang dengan jelas. Buru-buru dia menghimpun segenap sisa kekuatan yang dimilikinya untuk melindungi detak jantung, kemudian dengan mengandalkan lengan kirinya dia hadapi serangan musuh yang makin lama makin bertambah gencar itu. Ketika sepasang tangan saling beradu, Put-coat seketika merasakan tenaga lawan yang menghantam tiba bagaikan gulungan ombak sungai Tiang-kang, lapis demi lapis datang silih berganti dan tiada putusnya, tidak bisa disangkal itulah tenaga dalam aliran perguruannya, hanya bedanya di balik kelembutan tenaga serangan lawan mengandung kekerasan, sedikit tidak mirip dengan ajaran Thay-khek-kun dari kaum lurus. Dalam keadaan begini, Put-coat sudah mengesampingkan soal mati hidupnya, sekarang dia hanya memusatkan seluruh konsentrasinya untuk menghadapi pertarungan. 'Walaupun di depan mata ada musuh, dalam hati sebenarnya tidak ada lawan', pikiran dan perasaannya kini dikembangkan menuju ke ketenangan dan kelembutan. Kembali serangkaian pukulan dilancarkan dengan jurus Sam-coan-hoat-lun (tiga kali memutar roda hukum), di balik lingkaran terselip tenaga pukulan yang kuat. Seketika tubuh orang berkerudung itu terseret ke dalam pusaran angin pukulan, tidak kuasa tubuhnya ikut berputar dua lingkaran seperti gangsingan, tapi pada setengah lingkaran ketiga, tiba-tiba orang itu berhasil menghentikan gerakan tubuhnya dan lolos dari pengaruh pusaran itu. "Aah, sayang!" pekik Put-coat dalam hati. Ternyata jurus Sam-coan-hoat-lun (tiga kali memutar roda hukum) itu mempunyai kemampuan untuk memaksa tubuh orang itu terseret ke dalam arus pusingan, jika dia sampai berputar tiga lingkaran, niscaya orang itu akan mencelat dan jatuh terjengkang ke tanah. Sayang racun jahat telah menyusup ke dalam tubuhnya, hawa racun pun masih menjalar terus ke bagian tubuh yang lain, hal ini membuat lengan kirinya mulai terasa kaku, kesemutan dan hilang rasa. Memang patut disayangkan, andai kata dia masih memiliki sedikit tenaga saja niscaya usahanya akan mendatangkan hasil, sayang usahanya harus mengalami kegagalan di tengah jalan, dia hanya mampu memaksa lawannya berputar dua setengah lingkaran. "Hmm, kau memang tidak malu menjadi murid pertama ketua Bu-tong-pay," dengus orang berkerudung itu dingin, "sayang umurmu sudah tidak lama lagi. Mengingat tidak mudah untuk mempelajari ilmu sakti itu, bagaimana kalau kita lakukan sebuah transaksi yang saling menguntungkan?" Saat itu hawa racun telah menjalar ke seluruh tubuh Put-coat, dalam kondisi seperti ini pada hakikatnya dia sudah tidak ambil peduli atas semua perkataan orang itu. Terdengar orang berkerudung itu kembali berkata, "Kini kau sudah keracunan hebat, mustahil kalau ingin pulih kembali seperti sedia kala. Tapi bila ingin memperoleh obat penawar racun milik Siang Ngo-nio, paling tidak kau masih bisa hidup sepuluh tahun lagi. Begini saja, kau menyembah tiga kali kepadaku dan aku pun akan mengijinkan kau mengambil obat pemunah dari saku Siang Ngo-nio. Kalau tidak.... hmm! Hmm! Aku rasa kau pasti sudah mengerti, biar ingin mengadu jiwa pun tidak mungkin kau bisa mengungguli diriku. Selama aku tidak memberi kesempatan, darimana kau bisa memperoleh obat penawar racun itu?" Put-coat sadar, pihak lawan sedang berusaha membuat amarahnya berkobar, maka dia berlagak seolah tidak mendengar ejekan itu, dengan sekuat tenaga dia mencoba mengendalikan hawa murninya yang sudah mulai buyar. Gagal membangkitkan amarah lawan, kembali orang itu mengejek sambil tertawa dingin, "Ya, apa boleh buat kalau kau enggan menuruti nasehatku, terpaksa aku harus menyempurnakan keinginanmu itu." Diiringi suara bentakan nyaring, sepasang telapak tangannya melancarkan serangan bersama, dengan jurus Ya-be-hun-cong (Kuda liar menyiak bulu) dia mengancam jalan darah Tay-yang-hiat di kedua pelipis Put-coat bersamaan waktu. Melihat datangnya ancaman, buru-buru Put-coat menggunakan teknik 'membetot'. Dengan satu jurus Im-jiu (tangan awan) dia berusaha mempengaruhi tubuh lawan dan membetotnya hingga berputar, kali ini asal tubuh lawan bisa diputar satu lingkaran saja, niscaya dia akan roboh terjerembab. Sayang serangannya kali ini kehilangan kemampuan, begitu kuat dan dahsyatnya tenaga pukulan orang itu sehingga teknik 'membetot' yang digunakan Put-coat hanya mampu mempengaruhi setengah dari kekuatan musuh, sementara sisanya tahu-tahu hilang dengan begitu saja. Waktu itu rasa kesemutan dan kaku sudah menjalar sampai separuh badannya, karenanya walaupun separuh tenaga serangan lawan berhasil dipunahkan, namun hasil yang diperoleh dari teknik 'membetot' itu hanya menyebabkan pihak lawan sedikit gontai. Bukan saja gagal merobohkan lawan, sebaliknya Put-coat sendiri malah dipaksa mundur tiga langkah dengan sempoyongan. Ternyata orang itu tahu kalau kemampuannya menggunakan ilmu pukulan Thay-khek-kun masih kalah jauh dibanding kemampuan Put-coat, oleh sebab itu meski jurus Ya-be-hun-cong (kuda liar menyiak bulu) yang digunakan sama seperti aslinya, namun tenaga pukulan yang dipancarkan justru sama sekali berbeda. Ilmu pukulan Thay-khek-kun, Thay-khek-ciang maupun Thay-khek-kiam hampir semuanya mengutamakan kelembutan mengatasi kekerasan, tapi tenaga pukulan orang berkerudung itu keras dan ganas, bahkan datangnya bagaikan air bah yang jebol dari bendungan, menggulung datang tiada habisnya, bukan saja bertentangan dengan teori aslinya, bahkan terasa jauh lebih tangguh. Bila pada hari biasa, dia pasti akan gembira jika menyaksikan musuhnya melancarkan serangan dengan kekerasan. Tapi saat ini luka beracunnya sudah mulai kambuh, separuh tubuhnya terasa kaku, kesemutan dan hilang rasa, biarpun dia sudah menggunakan ilmu tingkat tinggi dengan menggunakan kelembutan untuk mengatasi kekerasan, sayang kemampuannya itu belum sanggup menanggulangi keganasan lawan. Dia hanya mampu membuyarkan separuh kekuatan musuh, sementara separuh sisanya masih tetap menerjangnya hingga membuat dia gontai, sempoyong-an dan terombang-ambing bagaikan sebuah sampan kecil yang dipermainkan ombak samudra. Melihat pukulan kerasnya memberikan hasil, kembali orang berkerudung itu mengubah gaya serangan nya, kini dia menyerang makin cepat, makin keras dan makin dahsyat. Jurus pukulan yang digunakan pun sudah menyimpang dari ilmu pukulan Thay-khek-ciang, ada kalanya dia membabat dengan telapak tangan, ada kalanya menjojoh dengan ujung jari, di balik jurus pukulan terselip juga jurus golok dan jurus pedang. Menghadapi gempuran semacam ini, Put-coat mulai tercecar hebat, kendalipun pengetahuan serta pengalamannya luas, untuk sesaat sulit baginya untuk mengenali aliran jurus serangan lawan. Tapi anehnya, biarpun dia tidak dapat menebak asal ilmu pukulan lawan, namun gerakan jurusnya terasa seakan pernah dijumpainya di suatu tempat. Tampaknya orang berkerudung itu dapat menebak kecurigaan lawan, serunya sambil tertawa tergelak, "Hahaha, kau tidak mampu mengenali asal-usul ilmu pukulanku bukan? Kelihatannya kalau tidak kuberitahu, mungkin kau bakal mati tidak meram!" Put-coat mendengus dingin, "Hmm, aliran sesat kaum iblis, tidak ada harganya untuk dibicarakan!" Maksud dari perkataan itu sangat jelas, dia menganggap jurus serangan lawan berasal dari perguruan sesat yang tidak dikenal, sehingga tidak pantas baginya untuk melacak asal-usulnya. Orang berkerudung menggeleng kepala berulang kali, jengeknya sambil tertawa tergelak, "Aliran sesat kaum iblis? Hehehe, kelihatannya pelajaran kungfumu belum mencapai taraf yang hebat. Masa hanya sedikit kuubah gerakannya, kau lantas tidak dapat mengenalinya lagi?" Seperti baru mendusin dari mimpi, kontan Put-coat tertawa dingin, "Hmm, ilmu pukulan apaan, kau tidak lebih hanya mencuri ilmu pedang kelas dua dari partai kami, huuh, baru begitu juga berani jual lagak di hadapanku? Walaupun ilmu pukulan dan ilmu pedang perguruan kami saling berhubungan, sayang apa yang kau ubah keledai tidak mirip keledai, kuda pun tidak mirip kuda. Masa keliru kalau kukatakan kau berasal dari aliran sesat kaum iblis?" Orang berkerudung itu mendengus dingin, "Hmm, tidak salah, jurus pukulanku memang hasil gubahan dari Jit-cap-ji-jiu-lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat, tujuh puluh dua jurus ilmu pedang berantai pencabut nyawa partai Bu-tong, mau dianggap tidak mirip keledai tidak mirip kuda terserah, mau dianggap ilmu kelas dua juga tidak mengapa, yang penting kau toh tidak sanggup menghadapinya. Hehehe.... baru menggunakan ilmu pedang kelas dua pun aku mampu mengalahkan seorang jagoan tangguh yang menggunakan ilmu Thay-khek-kiam-hoat kelas satu, sayang Bu-siang Cinjin tidak hadir di sini, kalau dia sampai melihat murid pertamanya harus keok di tangan seseorang yang hanya mencuri belajar ilmu pedangnya, kujamin dia pasti muntah darah saking jengkelnya!" Put-coat tahu, pihak lawan memang sengaja hendak memancing hawa amarahnya, tetapi lagi-lagi satu pertanyaan muncul di dalam benaknya, sebuah teka-teki yang sulit terjawab. Mengapa orang itu seolah kuatir kalau dia sampai tidak tahu jika ilmu pukulannya itu merupakan gubahan dari ilmu Jit-cap-ji-jiu-lian-hoan-toh-beng-kiam-hoat? Sambil mengertak gigi Put-coat bertarung habis-habisan, namun akhirnya dia tidak sanggup menahan diri. Dadanya termakan satu pukulan, darah segar pun muncrat menyembur dari mulutnya. "Setelah situasi berubah jadi begini, masa kau belum juga mau menyerah?" bentak orang berkerudung itu. Put-coat terkesiap. "Bagaimanapun, aku tidak boleh terjatuh ke tangan bajingan ini!" demikian dia berpikir. Setelah keadaannya terjerumus dalam situasi yang gawat, dia sudah tidak kuatir lagi dibunuh pihak lawan, yang ditakuti justru bila orang itu menggunakan cara yang licik dan keji untuk menyandera dirinya serta kemudian dipakai untuk menekan pihak Bu-tong-pay. Dengan cepat dia mengambil keputusan, dia harus bunuh diri secepatnya agar tidak terjatuh ke tangan musuh. Sayang langkah yang diambil terlambat satu tindakan, kini hawa murninya telah buyar, pada hakikatnya dia sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk memutus urat nadi sendiri. Put-coat jadi bergidik, dia tidak menyangka ketenarannya selama berkecimpungan dalam dunia persilatan harus berakhir secara tragis, kini dia terjerumus dalam posisi yang amat pelik, mau hidup tidak dapat, mau mati pun susah. Di saat yang kritis itulah mendadak terdengar suara pekikan nyaring bergema menembus pepohonan. "Siapa itu?" bentak orang berkerudung. Belum selesai dia menghardik, orang itu sudah berjalan keluar dari balik hutan. Dia adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh kekar, sebilah pedang tersoreng di pinggangnya, sekilas pandang usianya paling baru dua puluh tahunan. Begitu muncul pemuda itu segera menegur sambil tertawa dingin, "Hmm, beraninya tampil dengan wajah berkerudung, seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan itu kepadamu!" Sebenarnya waktu itu Put-coat sudah bersiap-siap menerima pukulan terakhir yang mencabut nyawanya, dia tidak peduli siapa yang bakal muncul di situ, namun setelah mendengar logat suara pemuda itu seperti pernah dikenalnya, tanpa sadar dia mendongakkan kepala dan menengok ke arah hutan. Tampak pemuda itu terperanjat dan segera menjerit tertahan, "Hah, bukankah kau.... bukankah kau adalah Put-coat Suheng?" Put-coat ikut tertegun. "Kau.... kau adalah Bouw-su.... Sute-...." jeritnya.

Tiba-tiba dadanya terasa amat sakit bagai dihantam martil raksasa, kontan kepalanya terasa pusing tujuh keliling. Sebenarnya dia memang sudah tidak kuat menghadapi serangan orang berkerudung yang bertubi-tubi, apalagi sekarang harus memecah perhatian untuk berbicara. Sementara orang berkerudung itupun enggan melepas peluang emas itu begitu saja, tahu si pemuda adalah saudara seperguruannya, kontan dia mempercepat serangan mautnya, dengan satu babatan kilat dia menghantam tepat di hulu hati Put-coat yang membuat musuhnya langsung tersungkur ke tanah. Dalam keadaan setengah sekarat, sukmanya seakan sedang berusaha menerobos keluar dari tubuh kasarnya, lamat-lamat dia masih mendengar suara bentakan gusar pemuda itu, "Jangan kau lukai Suhengku!"

"Hahaha.... telanjur sudah, dia telah kulukai, mungkin bukan cuma kulukai, pukulan tadi bisa jadi telah mencabut nyawanya, kenapa? Mau apa kau?"

"Aku ingin kau mampus!" bentak pemuda itu nyaring. Put-coat yang sudah tergeletak masih berusaha mengingatkan diri, pikirnya, "Aku tak boleh mati, kalau harus mati pun aku mesti menunggu sampai Bouw-sute berhasil menghabisi nyawa bajingan itu. Aku harus serahkan dulu pesan Suhu kepadanya!" Terdorong oleh rasa tanggung jawab yang belum terselesaikan, Put-coat berhasil mempertahan diri, sekuat tenaga dia mencegah kelopak matanya terkatup. Akhirnya dia berhasil juga mengusir malaikat elmaut datang mencabut nyawanya, meski dia pun sadar malaikat maut dapat muncul lagi setiap saat, namun baginya bisa hidup semenit berarti dia akan memperoleh satu bagian pengharapan. Berbaring di atas tanah, dia sama sekali tidak mampu bergerak, yang terdengar olehnya saat ini hanya deru angin pukulan dari orang berkerudung itu, dia pun dapat melihat cahaya pedang yang melesat lewat di hadapannya bagaikan sambaran petir. Tentu saja cahaya pedang itu baru terlihat ketika secara kebetulan sang pemuda itu berdiri di tempat yang terjangkau oleh pandangan matanya. "Aah, Bouw-sute memang tidak malu menjadi pewaris ilmu silat perguruan kenamaan, ilmu pedang yang diwarisinya dari Bu-si Susiok ternyata jauh lebih hebat dan sempurna ketimbang kemampuanku. Hahaha, bagus, bagus sekali, dengan menggunakan kedua jurus serangan itu, dia bisa membalaskan dendam atas perbuatanan yang telah dilakukan bajingan itu terhadapku.... hahaha.... sayang aku tidak dapat menyaksikan dengan jelas." Put-coat cukup matang menguasai ilmu silat perguruannya, dengan melihat dua jurus saja dia sudah tahu kalau ilmu pedang yang dipelajari Sutenya berbeda jauh dibanding dengan apa yang telah dipelajarinya. Ilmu pedang yang dipelajari pemuda ini cenderung melakukan serangan dengan kecepatan bagaikan petir, bukan saja sangat agresif bahkan ganas dan telengas, inilah ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat yang pernah diajarkan Bu-si Tojin kepada Put-ji. Bila dibandingkan dengan apa yang dipelajari Put-coat, jelas ilmu pedang Thay-khek-kiam ajaran Bu-si Tojin yang telah dikembangkan dengan berbagai variasi dan perubahan itu memang jauh berbeda, sebaliknya bila dibandingkan dengan ilmu pedang yang dipelajari orang berkerudung itu justru menunjukkan banyak kesamaan. Pedang milik orang berkerudung itu telah dipatahkan oleh Put-coat tadi, kini dia hanya bisa menggunakan ilmu pukulan Thay-khek-kun untuk menghadapi Thay-khek-kiam pemuda itu. Tatkala Put-coat mendengar deru angin pukulan yang dihasilkan orang berkerudung itu masih tetap tangguh dan hebat, diam-diam dia mulai merasa kuatir, pikirnya, "Tenaga dalam yang dimiliki orang berkerudung ini tidak di bawah kemampuanku, meski Bouw-sute pernah dididik oleh tokoh perguruan, bagaimana pun usianya masih muda, mampukah dia mengalahkan orang berkerudung itu?"

Rupanya pemuda itu bernama Bouw It-yu, keluarga Bouw merupakan keluarga persilatan dengan sejarah paling lama dalam perguruan Bu-tong-pay. Sejak Thio Sam-hong mendirikan perguruan hingga detik ini, anak muridnya telah berkembang sebelas generasi, selama ini hampir semua anggota perguruan menguasai tenaga dalam maupun ilmu pedang, namun belum pernah ada murid preman yang mampu mengungguli kemampuan murid-murid aliran To. Dalam rangkaian sejarah itu, hanya satu kali terjadi pengecualian yaitu di saat generasi ketiga, waktu itu ada seorang murid preman bernama Bouw Tok-it yang bukan saja ilmu pedangnya mampu mengalahkan seluruh rekan seperguruannya, bahkan mampu tampil sebagai jago pedang nomor wahid di kolong langit. Bouw Tok-it tidak lain adalah leluhur Bouw It-yu, sejak Bouw Tok-it menjadi murid Bu-tong-pay, seluruh keturunan keluarga Bouw turun temurun hampir semuanya menjadi murid Bu-tong, selama dua ratusan tahun lamanya tradisi ini belum pernah terputus. Hanya saja, semenjak Bouw Tok-it belum pernah ada generasi berikut yang sanggup berprestasi melebihi dirinya. Ayah Bouw It-yu yakni Bouw Ciong-long, meski tersohor sebagai seorang ahli silat, namun dibandingkan dengan Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu, yakni guru Put-ji, kemampuannya diperkirakan masih sedikit di bawahnya. Tampaknya Bouw Ciong-long menyadari akan hal itu, dia selalu berharap putranya dapat membangkitkan kembali prestasi keluarganya, oleh sebab itu dia minta putranya untuk belajar ilmu pedang dari Bu-si Tojin, jago nomor wahid dalam hal ilmu pedang Bu-tong-pay. Bu-si Tojin berasal satu generasi dengan Bouw Ciong-long, usianya malah jauh di bawahnya, dia hanya bersedia mewariskan ilmu pedang kepada Bouw It-yu tanpa bersedia mengakuinya sebagai murid. Setiap tahun dia tiga kali datang berkunjung ke rumah keluarga Bouw, setiap kali bertandang paling tidak pasti akan berdiam sepuluh hari sampai setengah bulan, padahal ilmu silat keluarga Bouw memang dasarnya dari ilmu silat aliran Bu-tong, hanya selama ini kemampuannya tidak sesempurna yang dimiliki Bu-si Tojin. Dengan mendapat petunjuk dari Bu-si Tojin, maka biarpun dia hanya datang dua-tiga kali setiap tahunnya, namun kunjungan itu sudah lebih dari cukup. Selama ini Bouw It-yu pun pernah dua kali ikut Busi Tojin berkunjung ke bukit Bu-tong, dua kali naik gunung untuk memberi selamat panjang umur kepada Ciangbunjin. Karena itulah Put-coat hanya tahu kalau kungfu yang dimiliki murid paman gurunya ini tangguh, namun belum pernah menyaksikan kehebatan ilmu pedangnya. Put-coat yang berbaring di tanah merasa tubuhnya makin lama makin bertambah kaku, dalam keadaan begini sulit baginya untuk mengintip jalannya pertarung-an, yang bisa dia lakukan hanya menanti dengan perasaan tidak tenang. Tiba-tiba dia mendengar suara benturan keras, "Blukk!", seakan-akan ada benda berat yang terjatuh ke tanah. Put-coat makin tercekat, dia sangka Bouw It-yu sudah terkena serangan maut musuh dan roboh ke tanah. Belum selesai ingatan itu melintas, kembali terdengar jeritan ngeri yang menyayat hati diiringi suara langkah yang berat sedang kabur menjauhi tempat itu. Begitu mendengar kedua suara itu, seketika Put-coat merasa sangat lega. Orang itu melarikan diri jelas karena menderita luka parah, karena tidak sanggup mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya, maka suara langkah kakinya kedengaran berat. Bila ada dua orang sedang bertarung sengit, jika salah satu di antaranya sudah roboh terjungkal, mustahil orang kedua akan melarikan diri, kendatipun dia sudah terluka sangat parah. Sebab bila orang itu sudah roboh, sekalipun belum tentu menemui ajalnya, paling tidak luka yang dideritanya pasti jauh lebih parah ketimbang dirinya. Seharusnya dia menghabisi dulu nyawa orang itu kemudian baru pergi meninggalkan tempat itu. Ternyata dugaan Put-coat tidak salah, suara seperti orang roboh yang terdengar olehnya ternyata bukan berasal dari tubuh seseorang, yang terbanting keras ke tanah, hanya suara sebatang dahan pohon sebesar lengan anak-anak yang terjatuh. Orang yang melarikan diri adalah orang berkerudung itu, sedang Bouw It-yu sama sekali tidak terluka. Tatkala orang berkerudung itu menghajar patah sebatang dahan pohon yang digunakan untuk menghantam tubuh Bouw It-yu, secepat sambaran petir Bouw It-yu menghadiahkan sebuah tusukan pedang yang membuatnya terluka parah. "Sayang!" keluh Bouw It-yu sambil menghela napas panjang, kemudian seraya berpaling katanya, "Suheng, orang berkerudung itu telah kuhajar hingga melarikan diri, sayang Siaute tidak becus hingga tidak berhasil membinasakan dirinya, tapi tusukan pedangku tadi berhasil melukai jantungnya, kuyakin umurnya tidak bakal panjang. Bagaimana dengan lukamu Suheng?" Put-coat menggerakkan bibirnya seperti ingin mengucapkan sesuatu, sayang suara yang keluar begitu lembut hingga menyerupai bisikan nyamuk. Buru-buru Bouw It-yu mengambil keluar sebutir Siau-hoan-wan dan dijejalkan ke mulut Suhengnya, laki sambil menempelkan telapak tangannya ke punggung dan menyalurkan hawa murni, bisiknya lagi, "Suheng, beristirahatlah dulu, nanti kita baru berbicara lagi."

"Cepat.... cepat kumpulkan tulang belulang dari dalam liang, kemudian cepat.... cepat serahkan kepada Ciangbunjin! Aku.... aku sudah tidak mampu bertahan lagi, kau.... kau tidak usah membuang tenaga de.... dengan percuma." Selesai berkata kembali Put-coat memejamkan mata.

"Suheng, Suheng!" teriak Bouw It-yu. Ketika tidak mendengar suara sahutan, cepat dia tempelkan telinganya ke atas dada, saat itulah dia baru merasa bahwa detak jantung Suhengnya masih bergerak, hanya saja karena dia sudah keracunan hebat ditambah lagi terluka parah, namun harus bertahan hingga pesan gurunya disampaikan kepada sang Sute, maka hingga detik terakhir dia masih mempertahankan diri. Biarpun napasnya belum berhenti, namun detak jantungnya sudah lemah sekali, keselamatan jiwanya sudah berada di ujung tanduk.

Paras muka Bouw It-yu yang baru saja kembali cerah segera berubah jadi gelap lagi, dengan alis mata berkernyit gumamnya, "Tidak bisa, sekalipun bakal mati, kau baru boleh mati setelah kembali ke bukit Bu-tong!"

Di bawah puncak Cian-ki-hong bukit Bu-tong terdapat telaga kecil. Bunga teratai sedang mekar dengan indahnya pada permukaan telaga, lamat-lamat terendus bau harum ketika angin berhembus. Seorang gadis muda berdiri di tepi telaga, usianya lebih kurang enam-tujuh belas tahunan, sepasang lesung pipit menghiasi wajahnya, membuat paras muka nona itu nampak cantik menawan hati (Gb 3). Telaga Giok-keng-ouw (cermin kemala) di bawah puncak Cian-ki-hong merupakan salah satu tempat wisata yang terkenal di gunung Bu-tong, tapi kehadiran nona cantik itu bukan untuk menikmati keindahan alam, juga bukan untuk menikmati indah dan harumnya bunga teratai. Dia sedang mendongakkan kepalanya memandang bukit, apa yang menarik dengan puncak bukit itu? Puncak bukit Cian-ki-hong merupakan sebuah bukit berbatu cadas yang keras dan tajam, bentuk bebatuannya sangat aneh, seakan sebuah panji besar yang sedang berkibar terhembus angin. Seandainya puncak bukit pun memiliki watak, maka Cian-ki-hong seharusnya termasuk jenis bukit yang 'lugu, polos dan bersahaja", itu kalau menggunakan kata-kata pujian, sebaliknya jika memakai kata olokan maka bukit ini cenderung dikatakan 'kuno dan kolot'. Mana mungkin ada seorang nona muda yang lincah dan cantik menyukai sebuah puncak bukit yang 'kuno dan kolot'?

Di atas dinding tebing yang curam, lebih kurang enam-tujuh depa dari permukaan, terlihat tumbuh sekuntum bunga merah yang amat besar, bunga merah itu bergoyang ketika terhembus angin, warna merah yang menyala mirip seorang nona agresif yang sedang membawakan tarian panas. Mungkinkah nona itu tertarik kepada bunga merah besar itu? Apakah dia sedang mencoba membandingkan siapakah yang lebih cantik antara dia dengan bunga merah besar itu?

Tiba-tiba dia melesat ke tengah udara, dengan sekali lompatan dia sudah mencapai ketinggian tiga depa lebih, ketika telapak tangannya menekan di sisi batu cadas, kembali tubuhnya melambung naik setinggi dua depa. Tubuhnya segera berputar satu lingkaran di udara lagi, kemudian secara tepat melesat lewat dari bawah bunga merah itu. Tapi sayang tangannya masih belum berhasil menyentuh bunga merah itu, sekali lagi dia memutar badan lalu bagaikan seekor burung melayang turun lagi ke atas permukaan tanah.

"Cici, hebat amat ilmu meringankan tubuhmu!"

"Adik, tepat sekali kedatanganmu, cepat kemari, cepat kemari!" Seorang pemuda yang usianya hampir setara dengan gadis itu muncul di depan mata sambil tertawa ringan. "Cici, persoalan apa yang membuatmu panik?"

"Adikku, tolong petikkan bunga merah itu!"

"Hahaha, ilmu meringankan tubuh milik Cici jauh melebihi kemampuanku, kalau kau sendiri pun tidak sanggup, apalagi aku?" sahut si adik sambil tertawa.

"Kau tidak perlu menghadiahkan kopiah kebesaran untukku, siapa yang tidak tahu kalau kungfumu jauh melebihiku, bilang saja, mau tidak kau petikkan untukku?"

"Cici, aku bukan sedang mengumpak dirimu, terus terang ilmu meringankan tubuhku benar-benar tidak sebagus milikmu, paling juga aku hanya mampu mencapai ketinggian tiga depa."

"Tidak mampu melompat ke atas? Bagus, kalau begitu merangkak saja!"

"Kenapa bukan kau sendiri yang merangkak naik?" protes sang adik dengan mulut cemberut, "toh kau yang ingin bunga merah itu!"

"Siapa suruh kau jadi adikku? Baru Cici minta tolong sedikit saja, kau sudah menolak dengan berbagai alasan. Hmm, aku kan seorang nona, wajar kalau pemalu, takut baju robek, sedang kau seorang lelaki, apa yang ditakuti?"

Dengan perasaan apa boleh buat sang adik mengangkat bahunya. "Begitu kau berteriak, aku sudah tahu pasti akan disuruh mengerjakan sesuatu," serunya, "padahal kalau cuma mengambil bunga itu, kenapa mesti bersusah-payah merangkak naik?"

"Kurangajar, kau berani tawar menawar denganku?"

"Eeh.... belum mendengar jelas sudah mengumpat? Aku toh cuma bilang tidak perlu merangkak naik, bukan berarti aku enggan memetikkan bunga untukmu." Sambil bicara dia mengeluarkan dua biji mata uang tembaga, kemudian disambitkan ke arah bunga merah yang tumbuh di atas dinding tebing itu. Kedua biji mata uang tembaga itu meluncur ke udara secepat sambaran petir, belum sempat gadis itu melihat dengan jelas, tahu-tahu "Triiing!", uang tembaga itu sudah menggesek di atas batu cadas dan bunga merah itupun terjatuh ke bawah. Ketika nona itu menyambutnya dengan kedua belah tangan, tampak bunga itu terjatuh ke bawah dalam keadaan utuh, tidak satu pun kelopak bunganya yang terlepas. Tidak kuasa lagi dia memuji dengan penuh rasa gembira, "Adikku, hebat sekali ilmu senjata rahasiamu!"

"Hahaha, kepandaian senjata rahasiaku masih jauh dari sempurna, coba kalau telah aku kuasai, tadi aku hanya butuh sebiji uang tembaga saja." Rupanya bunga merah besar di atas tebing itu tumbuh dari balik celah-celah bebatuan, akarnya sama sekali terbenam di balik celah batu karang dan batangnya hanya muncul beberapa senti di atas permukaan tanah. Itu berarti bila sambitannya melenceng sedikit saja, niscaya uang tembaga itu akan menghancurkan kelopak bunga. Selain itu, andaikata dia berhasil memangkas batangnya pun jika penggunaan tenaga tidak sesuai, niscaya kelopak bunga akan berguguran pula.

Uang tembaga pertama yang dilontarkan pemuda itu persis menancap di celah batu yang membuat batang bunga di bagian bawah terpapas kutung, ketika mata uang itu membentur dinding dan terpental balik, kebetulan tenaga pantulan itu membuat sang bunga terpental meninggalkan dinding tebing, dengan begitu sewaktu rontok ke bawah, kelopak bunga itu tidak sampai tergesek rusak oleh ketajaman cadas. Meski begitu, kecepatan saat meluncur ke bawah pun harus dijaga sesuai kebutuhan, kalau tidak, kelopak bunga tentu ada yang rontok. Sementara itu uang tembaga yang kedua dia lancarkan dengan teknik 'menempel', menyusul sambit-an yang pertama, uang tembaga itu meluncur ke udara persis di saat bunga merah itu terpental meninggalkan dinding karang. Teknik menempel yang dipergunakan membuat bunga merah itu berputar di udara, gerakan memutar itu membuat kekuatan meluncurnya jadi berkurang, karena sang bunga meluncur ke bawah dengan kecepatan yang lembut, otomatis kelopak bunga pun terjaga keutuhannya. Dari sini terbukti sudah bahwa pemuda ini memang cukup lihai, sebab hanya dalam dua sambitan senjata rahasia, dia telah mempraktekkan beberapa macam teknik ilmu silat tingkat tinggi.

Tiba-tiba nona itu menegur lagi dengan wajah cemberut, "Apakah ayah angkatmu yang mengajarkan ilmu senjata rahasia itu kepadamu?"

"Bukan, Bu-liang Susiok yang mengajarkan. Guruku hanya khusus melatih ilmu pedang, tidak melatih senjata rahasia. Eeei.... Cici, kenapa kau? Bukankah tadi wajahmu penuh senyuman, kenapa secara tiba-tiba berubah jadi tidak senang?"

"Aku sedang berpikir...."

"Berpikir apa?"

"Aku sedang berpikir, nasib manusia memang sesuatu yang sangat aneh!" Pemuda itu tertawa.

"Cici, aku lihat tindak-tandukmu hari ini sangat aneh dan membingungkan! Bukankah semuanya lancar-lancar saja, kenapa kau bisa punya perasaan seperti itu?" "Memangnya bukan? Contohnya kita berdua saja, kita adalah saudara kembar yang dilahirkan oleh ibu yang sama, bahkan sejak dilahirkan sudah merupakan saudara kembar satu kandungan, kenapa nasibnya justru beda sangat jauh!"

"Bukankah sekarang kau sama seperti aku?"

"Sejak kecil sudah berbeda, di rumah ayah dan ibu menyayangimu, Tosu tua, Tosu sedang yang ada di To-koan pun semuanya menyukaimu. Jangankan ayah angkat dan Suhu, bahkan Bu-liang Totiang, Bu-si Tojin dua orang Tianglo pun sering memberi petunjuk ilmu silat kepadamu. Setiap orang menyayangimu, setiap hari ada saja keuntungan yang kau peroleh!"

"Kau belum tahu kalau Ciangbun Sucouw pun pernah memberi petunjuk Sim-hoat tenaga dalam kepadaku," pikir sang pemuda dalam hati, "kalau hal ini sampai kuceritakan, mungkin rasa dengkimu akan semakin menjadi." Tapi di luaran segera sahutnya sambil tertawa, "Tapi semua kawanan Tosu cilik kan berebut menyanjungmu, berebut mendekati dan membaikimu!" Bersemu merah sepasang pipi gadis itu.

"He, aku sedang bicara serius, siapa suruh kau setan cilik malah balik menggodaku," protesnya, "kalau aku sih malas meladeni kawanan Tosu hidung kerbau itu."

"Eeh.... ehh.... kenapa kau malah memaki semua Tosu yang ada di Bu-tong? Jangan lupa, sekarang pun kau adalah murid seorang Tosu perempuan!"

"Aku tidak lebih hanya seorang murid 'pinjam nama' belaka, mana bisa dibandingkan dengan kau sebagai murid langsung didikan Ciangbunjin? Cuma bicara sejujurnya, adikku, jangan kau salah sangka aku sedang dengki padamu. Kalau sang adik punya kemampuan, tentu saja aku sang kakak ikut gembira. Yang kulakukan sekarang tidak lebih hanya mengeluh atas ketidak adilan nasib yang menimpa diriku."

"Kau jangan berkata nasibmu tidak baik. Kalau perkataan ini sampai didengar ayah...." Belum selesai perkataan itu diucapkan, buru-buru nona itu menukas dengan cepat, "Aku tahu, Ayah pasti akan mengumpatku sebagai manusia tidak tahu diri. Dia sering bilang begini, "Siau Leng-ji wahai Siau Leng-ji, kau benar-benar tidak tahu kalau sejak lahir sudah membawa hokki, biar lahir sebagai anak orang miskin tapi kau bisa merasakan nasib yang begitu baik dan lancar, ada Tosu Bu-tong-pay yang mau memperhatikanmu, mengajarkan baca tulis, bahkan mewariskan pula ilmu silatnya kepadamu. Dalam dua tahun belakangan, Tosu yang bertugas mengurusi perkebunan pun khusus mengirim beberapa orang Tosu cilik untuk membantu kita menanam sayuran, dengan begitu kau bisa terbebas dari tugas menanam sayur, keadaanmu sekarang tidak berbeda seperti anak emas. Cuma herannya, aku belum pernah mendengar ayah membicarakan persoalan semacam ini denganmu, kalau bicara soal hokki, memangnya hokkimu tidak lebih bagus dari rejekiku? Aku tahu, sesungguhnya aku mendapat hokki itu gara-gara mendompleng dirimu." Setelah berpikir sejenak, pemuda itu merasa apa yang diucapkan Cicinya memang tidak keliru, timbul perasaan heran di hati kecilnya, kenapa sikap ayah ibu terhadapku berbeda sekali dengan sikap mereka terhadap Cici. "Bukan hanya dalam soal ini saja, rasanya begitu juga keadaannya dalam masalah lain. Ayah belum pernah memakiku, sikapnya terhadapku seperti sikapnya terhadap tamu. Hanya saja, mungkin dalam hal ini Cici belum merasakannya?" Kecurigaan dan rasa tidak habis mengerti itu hanya disimpannya dalam hati, sementara di luar dia berujar, "Setahuku, banyak orang yang lebih menghargai anak lelaki daripada anak perempuan, Cici, aku tahu, memang aku lebih banyak mendapat keuntungan dalam hal ini. Tapi kau pun tidak perlu kesal, terus terang saja kukatakan, bila kau ingin mempelajari sesuatu ilmu silat, asal aku mengerti pasti akan kuajarkan secara diam-diam kepadamu."

"Kau tidak kuatir ditegur gurumu?"

"Bagaimanapun kau juga anggota Bu-tong-pay."

"Ilmu silat perguruan kita amat luas dan hebat, kelihatannya hampir setiap anggota perguruan dari angkatan tua memiliki kelebihan yang berbeda, namun sepertinya berlaku juga satu peraturan, sebelum mendapat ijin dari Ciangbunjin, setiap orang hanya boleh belajar dari guru masing-masing. Rasanya hanya kau seorang terkecuali." "Aku tahu, tapi aku bukan angkatan tuamu, membahas jurus dengan anggota satu angkatan itu diijinkan. Kita bisa saja melakukan latihan bersama, dengan kecerdasanmu rasanya tidak susah untuk mencuri belajar dariku." Gadis itu hanya menunduk tanpa menjawab.

"Cici, apa yang sedang kau pikirkan?" kembali pemuda itu menegur.

"Aku sedang membayangkan namamu."

"Namaku? Apa bagusnya?"

"Kemarin seorang Suci berkata kepadaku, andaikata dia tidak kenal dengan kita berdua, kalau hanya mendengar nama kita berdua, dia tidak bakal mengira kita adalah saudara kandung. Dia memuji namamu yang indah dan berseni, Lan Giok-keng, persis seperti nama seorang sastrawan kenamaan, halus dan terpelajar, beda sekali dengan namaku yang berbau udik."

"Aku yakin Suci itu tidak bakal mengucapkan perkataan yang terakhir bukan?" sela pemuda itu sambil tertawa.

"Biarpun tidak dikatakan, aku tahu di hati kecilnya dia berkata begitu." Pemuda itu tertawa lebar, serunya, "Cici, justru aku merasa namamu sangat indah dan lembut, Sui-leng.... Sui-Ieng.... siapa pun yang mendengar nama ini, perhatiannya pasti akan tertuju ke sepasang matamu."

Ternyata pemuda ini bukan lain adalah bayi yang tempo hari dititipkan Ko Ceng-kim kepada keluarga Lan Kau-san, dia adalah putra yang ditinggalkan Keng King-si serta Ho Giok-yan. Bocah ini sebenarnya bernama Keng Giok-keng, namun karena Ko Ceng-kim punya kepentingan pribadi, dia tidak ingin bocah itu kelak mengetahui siapa orang tuanya, maka dia minta Lan Kau-san mengakuinya sebagai ayah kandungnya dan memberi nama Lan Giok-keng kepadanya. Sementara gadis itu adalah putri kandung Lan Kau-san yang bernama Lan Sui-leng. Put-ji yang punya nama asal Ko Ceng-kim, kini sudah merupakan seorang Tosu dengan kedudukan terhormat dalam Bu-tong-pay, dialah ayah angkat merangkap guru Keng Giok-keng. Sementara Lan Sui-leng sendiri, karena hubungannya dengan sang adik maka dia pun seringkali muncul dalam kuil, sama seperti adiknya, dia pun sangat berminat berlatih ilmu silat. Dalam perguruan Bu-tong terdapat pula Tosu perempuan, seorang Tosu perempuan yang bernama Put-hui telah menerimanya menjadi murid, tapi hanya murid atas nama. Disebut atas nama karena bukan murid sesungguhnya, sebab peraturan yang berlaku bagi para Tosu wanita jauh lebih ketat daripada Tosu lelaki, sekali menjadi murid aliran To maka sulitlah untuk menjadi preman lagi. Lan Sui-leng tidak mengetahui rahasia asal-usul adiknya, oleh sebab itu walaupun dia sayang kepada adiknya, namun sedikit banyak timbul juga perasaan 'tidak adil', dia merasa semua yang terbaik selalu diperoleh adiknya, bahkan ayah ibunya pun seakan menaruh kasih sayang khusus terhadap adiknya.

"Benar, Suci itu bahkan memuji ketampanan wajahmu. Katanya tampangmu sebagus namamu, karena namamu memakai kata giok (kemala), tidak heran kalau wajahmu halus bagaikan kumala. Aku bilang sayang kau sudah keburu jadi pendeta, kalau tidak, siapa tahu ada kesempatan menjadi adik iparku." Sebenarnya perkataan itu diucapkan dengan wajah serius, namun sampai di situ dia tidak kuasa menahan rasa gelinya lagi dan dia tertawa cekikikan. "Namaku adalah pemberian ayah angkat, jadi dia mau memuji namaku atau tidak, hal ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganku."

"Tapi raut muka itu toh tetap milikmu sendiri bukan?" kembali Lan Sui-leng menyela, kemudian setelah menghela napas terusnya, "tidak heran semua orang menyayangimu, sejujurnya dalam hal apa pun kau memang lebih hebat dariku, tampangmu lebih menarik, otakmu lebih cerdas, meski sang Suci hanya bergurau tapi aku pun dapat merasakan juga...."

"Merasakan apa?"

"Mungkin perumpamaanku kurang tepat, tapi aku selalu merasa kau adalah seekor burung hong yang dilahirkan dari sarang burung gagak."

"Perumpamaanmu sangat tidak tepat, kau pantas dihajar! Dengan berkata begitu, bukankah kau persamakan orang tua kita seperti burung gagak?"

"Ya, aku tahu perumpamaan ini agak keterlaluan, tapi sayang pengetahuanku sangat cetek, aku tidak bisa menemukan perumpamaan lain yang lebih tepat."

"Cici, tahukah kau apa saja yang dikatakan kawanan Tosu kecil itu di belakangmu?" tiba-tiba Lan Giok-keng menyela.

"Apa yang mereka katakan?"

"Mereka pun menilaimu dengan satu perumpamaan, katanya kau mirip sekali dengan bunga Botan (peoni) hitam yang mampu berjalan! He, kau jangan marah dulu, mereka sedang memuji kau sebagai cewek yang hitam tapi manis!"

"Kurangajar, jadi kau pun meniru kawanan Tosu bau itu menertawakan Cici sendiri? Lihat saja, akan kurobek mulutmu."

"Plaakkk!", tahu-tahu pipi Lan Giok-keng sudah ditampar keras-keras. Lan Giok-keng sama sekali tidak membalas, sepatah kata pun tidak diucapkan, hanya dengan mata mendelong dia mengawasi Cicinya tanpa berkedip.

"Cici hanya bergurau denganmu, masa kau marah?"

"Tidak, aku tidak marah." Biarpun begitu namun sepasang matanya masih mengawasi kakaknya tanpa berkedip. "Hei, apakah kau sedang kerasukan setan? Kenapa menatapku tanpa berkedip?"

"Cici, sepasang matamu sungguh indah, selamanya mataku tidak bakal bisa mengungguli keindahan matamu." Bangga juga Lan Sui-leng mendengar adiknya memuji keindahan sepasang matanya, ternyata menurut adat desa mereka, sepasang mata yang besar dan indah milik seorang gadis dinamakan 'mata yang bening', itulah sebabnya dia dinamakan Sui-leng, karena matanya memang bening. Selama ini dia memang selalu beranggapan bahwa mata adiknya tidak pernah bisa menyaingi keindahan sepasang matanya. Kini setelah dipuji sang adik, dengan perasaan gembira gadis itu berkata lagi, "He setan cilik, sejak kapan kau belajar merayu orang dengan perkataan manis? Kalau disuruh kerja serius tidak becus, tapi disuruh merayu, pintarnya setengah mati. Sudah setengah harian kita kemari tetapi masih mengobrol saja, sudah waktunya kau berlatih pedang."

"Cici, kau membawa cermin?" tiba-tiba Lan Giok-keng bertanya.

"Aku tidak pernah membawa cermin."

"Kalau begitu tengoklah di atas air!"

"Di atas air, ada apa?" tampaknya gadis ini curiga ada sesuatu yang tidak beres dengan wajahnya. Permukaan air sangat jernih bagaikan cermin.

"Di atas permukaan air tampak bayangan kita berdua," kata Lan Giok-keng cepat. "Lantas kenapa?" tanya Lan Sui-leng makin kebingungan. "Coba kau lihai, betapa cantiknya dirimu."

"He, ada apa denganmu hari ini? Kenapa selalu menggoda Cici?" seru Lan Sui-leng sambil mencubit adiknya.

"Sayang ibu tidak ada di sini."

"Kenapa kau menginginkan ibu hadir di sini?" tanya si nona keheranan.

"Wajahmu maupun wajah ibu bentuknya seperti kwaci dengan alis mata yang lembut."

"Buat apa kau jelaskan lagi kepadaku?"

"Bayangan yang membias dari permukaan air tidak bisa menampilkan usia seseorang, kalau kau berdiri bersama ibu, dapat dipastikan bayangan kalian yang muncul adalah bayangan dua orang bersaudara."

"Benar, semua orang memang bilang begitu, katanya wajahku mirip sekali dengan wajah ibu," seru Lan Sui-leng bangga. "Konon semasa mudanya dulu, ibu adalah seorang wanita yang amat cantik."

"Benar, seumur hidup kejadian yang paling membanggakan bagi ayah adalah keberhasilannya mengawini ibu sebagai bininya, cerita ini entah sudah berapa ratus kali aku dengar."

"Aku ingin kau bercerita sekali lagi." Dengan menirukan lagak ayahnya yang sedang mabuk, seru Lan Sui-leng sembari menjulurkan lidah, "Sui-leng, tahukah kau bahwa ibumu dulu adalah wanita paling cantik yang pernah kujumpai di seputar wilayah desaku? Coba tebak, bagaimana ceritanya sampai dia bersedia kawin dengan ayah? Ketika itu ayah sedang mabuk arak dan berhasil membunuh seekor harimau.... hahaha.... kata berikut tentu sudah kau dengar pula berulang kali, buat apa aku mengulangnya lagi."

"Kau telah melupakan satu hal yang paling penting."

"Melupakan? Melupakan bagian yang mana?"

"Sui-leng! Beruntung wajahmu tidak mirip aku, tapi mirip sekali dengan ibumu." Mendadak seperti baru tersadar, kontan Lan Sui-leng mengumpat, "Kurangajar, dasar setan cilik, ternyata kau sengaja berputar satu lingkaran tujuannya hanya untuk menggoda Cici."

"Siapa bilang aku sedang menggodamu, kan kau sendiri yang mengatakan kalau wajahmu mirip ibu, hanya saja...."

"Hanya saja kenapa?"

"Wajahku tidak mirip ibu juga tidak mirip ayah. Waktu masih kecil dulu aku sering merasa keheranan, setiap kali ayah mengisahkan cerita itu, kenapa hanya namamu yang disinggung, sekarang aku mengerti, ternyata hal ini disebabkan aku tidak mirip ayah maupun ibu."

"Untuk apa kau singgung masalah itu?" tanya Lan Sui-leng tertegun. "Bukankah kita adalah bocah kembar?"

"Hey, kenapa dengan kau? Masa kejadian inipun bohong?"

"Kalau memang bocah kembar, kenapa wajah kita berbeda?"

"Soal ini, soal ini...." Tadi dia masih sempat mengatakan kalau dirinya adalah "burung hong yang dilahirkan dari sarang burung gagak", ketika mengucapkan perkataan itu tadi, hal ini lebih terdorong oleh perasaan 'tidak adil' karena dianggapnya dalam segala hal adiknya jauh lebih hebat darinya, termasuk pula tampang mukanya jauh lebih menawan. Tapi sekarang, sesudah adiknya mengajukan pertanyaan itu, dia ikut menjadi tertegun dan berdiri melongo. Nada bicara maupun mimik muka adiknya tampak begitu aneh, seakan merasa risau, tidak tenang, seperti juga menyimpan rasa kesal yang sulit terlukiskan dengan kata, seolah dia merasa tertekan batinnya. Selama hidup belum pernah dia menyaksikan mimik muka seperti ini. Tanpa terasa dia ikut tertular, ikut merasa risau dan tidak tenang. "Soal ini.... soal ini.... pepatah mengatakan, naga yang melahirkan sembilan putra pun masing-masing putra memiliki wajah yang beda, apalagi raut muka saudara kandung, kejadian seperti ini adalah lumrah." Hanya perkataan semacam itu yang bisa dia gunakan untuk mengurai kemurungan adiknya.

Cepat Lan Giok-keng menggeleng kepala. "Tapi kita adalah saudara kembar! Orang bilang dari sepuluh orang saudara kembar hampir semuanya memiliki wajah yang sama, bukan hanya bentuk wajahnya sama bahkan pikiran dan perasaan pun sama, umpama yang satu ingin mengungkap sesuatu maka yang lain bisa mewakilinya untuk mengungkap, tapi kita berdua...." Tidak usah dijelaskan pun sang Cici sudah mengerti apa yang dimaksud. Wataknya memang beda jauh dengan watak adiknya, kalau dia termasuk seorang gadis yang polos, apakah sedang girang atau murung, biasanya orang dapat segera mengetahuinya sekali pandang. Sebaliknya watak adiknya jauh lebih rumit, terkadang dia bisa tampil dewasa tapi terkadang sangat emosional bahkan menjurus licik dan licin. Perbedaan semacam ini bukan merupakan hasil pengamatannya selama ini, semenjak masih kecil, secara lamat-lamat dia sudah dapat merasakan perbedaan watak ini. Setelah tertawa getir, katanya kemudian, "Adikku, aku benar-benar tidak bisa menebak apa yang sedang kau pikirkan dalam hati, tapi maukah kau beritahukan kepada Cici?"

"Cici, aku.... aku tanpa terasa sepasang matanya berubah jadi merah. "Kita dilahirkan dari kandungan ibu yang sama, bila ada yang membuatmu risau, katakan saja pada Cici! Biasanya kalau kerisauan sudah diutarakan, hatimu akan terasa lebih lega. Kemampuan kungfu Cici memang tidak bisa mengunggulimu, kalau soal berkelahi mungkin Cici tidak banyak bisa membantu, namun paling tidak, Cici masih bisa membantumu meringankan perasaan risau." Sembari berkata dia tepuk bahu adiknya berulang kali, bergaya seolah dia memang seorang 'Toa-cici' yang bisa diandalkan.

"Aku.... aku tidak tahu bagaimana harus bicara!"

"Apa saja yang ingin kau katakan, utarakan saja, masa dengan Cici sendiri pun kau merasa ragu?"

"Cici, tadi kau singgung soal berkelahi, jadi kita mulai dari soal berkelahi saja. Hampir saja aku berkelahi dengan mereka!"

"Mereka?"

"Ya, mereka, kawanan hidung kerbau kecil yang kau maksud tadi!" Yang dimaksud 'hidung kerbau kecil' tidak lain adalah kawanan Tosu kecil yang seangkatan dengan mereka. Kalau pada hari biasa, Lan Sui-leng niscaya akan tertawa cekikikan setiap kali menyinggung soal sebutan itu, tapi sekarang dia tidak mampu tertawa, sorot mata adiknya yang penuh amarah dan rasa mendongkol membuatnya waswas.

"Kenapa kau berkelahi dengan mereka?" tanya Lan Sui-leng kemudian. "Mereka sedang membicarakan aku, begitu melihat diriku muncul, kontan mereka berhenti berbicara, tapi aku masih sempat mendengar beberapa patah kata mereka."

"Apa yang mereka bicarakan tentang dirimu?"

"Kata mereka, aku adalah anak haram!"

"Siapa yang bilang begitu? Ayoh kita laporkan kepada gurunya!" teriak Lan Sui-leng gusar. Sambil menggeleng Lan Giok-keng tertawa getir.

"Mana boleh kita bikin besar masalah seperti ini, lagi pula hanya soal omongan tidak keruan."

"Betul juga," sahut Lan Sui-leng setelah berpikir sejenak, "kalau sampai memperbesar urusan kecil ini, mungkin saja orang tua kita akan turut rikuh jadinya. Cuma biarpun kau tidak bisa balas mengumpat mereka, tidak seharusnya memukuli orang-orang itu, anggap saja tidak ada gading yang bisa tumbuh di mulut anjing, tidak usah digubris lagi."

"Padahal kita memang tidak bisa menyalahkan mereka, terbukti wajah kita berdua memang sama sekali berbeda, sedikitpun tidak ada kemiripannya!"

"Kalau orang lain yang bicara begitu masih lumrah, masa kau sendiri pun curiga?" seru Lan Sui-leng terkejut.

"Aku.... aku.... aai, Cici, aku sendiri pun tidak tahu." Berubah paras muka Lan Sui-leng.

"Adikku," katanya, "selama ini kau selalu pintar, kenapa secara tiba-tiba berubah jadi begitu pikun?"

"Coba bayangkan sendiri, biarpun wajah kita berbeda tapi kita adalah sepasang bayi kembar yang dilahirkan oleh seorang ibu yang sama, kalau kau anak haram berarti aku pun anak haram juga bukan? Mana mungkin aku adalah putri haramnya?" Setelah berbicara sampai di situ, dia baru teringat kalau perkataan itu tidak bisa diucapkan begitu saja, karena dia merasa wajahnya mirip sekali dengan ibunya, tapi apakah dasar 'alasan' itu saja sudah cukup? Maka dia pun berkata lebih jauh, "Kau boleh saja mencurigai soal apa pun, tapi jangan sekali-kali kau curigai ibu sebagai wanita jahat!"

"Cici, berarti kau sendiri yang pikun. Tentu saja aku tidak akan mencurigai ibu, mereka juga tidak mengatakan kalau aku adalah anak haram ibu."

"Lantas kau anak haram siapa?" Lan Sui-leng benar-benar dibuat tidak habis mengerti.

"Anak haram orang lain yang terbuang, kemudian ditemukan ayah dan dipelihara hingga dewasa. Aku tidak tahu siapakah orang itu, tapi aku yakin ayah pasti tahu."

"Kau benar-benar punya pendapat begitu?" seru Lan Sui-leng sambil berusaha menamparnya, menggaplok saking jengkelnya.

"Cici, kau jangan marah, dengarkan dulu penjelasanku," seru Lan Giok-keng sambil menahan tamparannya.

"Baik, kalau begitu cepat katakan."

"Aku tidak akan berpendapat begitu, tapi tidak bisa melarang orang lain berpikiran begitu. Sebab dalam kenyataan sudah ada banyak orang yang berkasak-kusuk tentang asal-usulku."

"Anggap saja perkataan mereka sebagai kentut." Lan Giok-keng menghela napas panjang.

"Aai, tidak bisa menyalahkan mereka berpendapat begitu, siapa suruh aku tidak mirip ayah maupun ibu." Biarpun Lan Sui-leng jauh lebih polos dan sederhana, bukan berarti dia adalah seorang nona bodoh, dari pembicaraan adiknya dia tahu kalau pemuda itu sudah terkesan pendapat itu meski di mulut masih berusaha membantah. Dari sorot mata adiknya yang penuh kerisauan dan penderitaan, dia tahu adiknya sudah banyak menderita dan tersiksa karena masalah ini.

"Adikku, menurut kau sayangkah ayah dan ibu kepadamu?" tanyanya kemudian. "Tentu saja, aku bahkan merasa mereka kelewat menyayangiku."

"Itulah dia, bukankah hal itu merupakan bukti yang paling baik? Kalau kau bukan anak kandung mereka, mana mungkin mereka begitu menyayangimu?" Dia tidak tahu, masalahnya justru muncul dari kata "kelewat sayang" itu, oleh karena orang tuanya selalu menyayangi dia, kelewat memanjakan dia, tidak pernah memukul dan memakinya, hal inilah yang membuat dia jadi curiga. Melihat adiknya tidak berbicara, dia sangka pemuda itu sudah berhasil dibuat luluh hatinya, maka kembali dia berkata, "Kau tidak usah masukkan perkataan kawanan hidung kerbau kecil itu ke dalam hati, pembicaraan kita sudahi sampai di sini saja, selanjutnya siapa pun dilarang mengungkit kembali. Ehh.... sudah waktunya kita berlatih silat. Benar, aku belum memberitahu padamu, beberapa hari berselang Suhu sudah mulai mengajarkan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat kepada-ku."

"Benarkah? Kalau begitu aku mesti mengucapkan selamat kepadamu. Cici, tahukah kau, ilmu pedang itu adalah ilmu simpanan perguruan kita yang biasanya jarang diajarkan kepada murid preman. Padahal kau termasuk murid setengah resmi, sungguh tidak sangka Suhumu bersedia mewariskan ilmu itu kepadamu."

"Bukankah kau telah mempelajarinya sejak awal?"

"Ini dikarenakan hubunganku dengan ayah angkat, sejak usia tujuh tahun aku sudah mengangkat Gihu sebagai guruku. Ciangbunjin pun melihat aku telah tumbuh dewasa, itulah sebabnya tanpa harus memperkuat iman terlebih dulu aku sudah diajarkan ilmu Thay-khek-kiam-hoat."

"Coba lihat, betapa besar rejekimu, tahukah kau hampir setiap orang sedang iri kepadamu? Apa lagi yang membuatmu tidak puas?"

"Aah, masa ada orang iri padaku?"

"Kau sangka hanya Cici seorang yang iri padamu? Suci yang kemarin juga bilang padaku, dia tidak habis mengerti kenapa Put-ji Totiang begitu baik kepadamu?"

"Lantas apa jawabmu?" tanya Lan Giok-keng setelah tertegun sejenak.

"Setiap orang punya hokki dan jodoh yang berbeda, apa lagi yang mesti dijelaskan," sahut Lan Sui-leng sambil tertawa, "eeei adikku, kenapa kau? Masa kau pun mencurigai Gihu lantaran sikapnya yang kelewat baik kepadamu?" Selama ini Lan Giok-keng belum pernah memikirkan persoalan itu, tidak urung timbul juga rasa curiganya setelah disinggung Cicinya. "Benar juga," pikirnya, "menurut Cici, ayah dan ibu kelewat memanjakan aku, anehnya kenapa Gihu pun sepertinya memanjakan juga diriku? Benar dia adalah sobat karib ayah, tapi bukankah Cici pun putri ayah? Kenapa selama ini sikap Gihu terhadapnya acuh tidak acuh? Apakah lantaran aku adalah anak lelaki?" Berpikir sampai di situ dia pun berkata, "Tidak, aku tidak berpendapat begitu. Hanya terasa jalan hidupku sedikit agak 'istimewa', seolah-olah sejak dilahirkan, nasib baik sudah mengikuti terus diriku."

"Sudahlah, cukup sampai di sini saja, mari kita segera berlatih."

"Jangan terburu-buru, aku harus mencari sebilah pedang dulu."

"Bukankah pedangmu sudah kau bawa?" tanya Lan Sui-leng tercengang. Lan Giok-keng tertawa lebar. "Aku tak boleh memakai pedang sungguhan hari ini!" katanya sambil memotong sebatang bambu dan menggunakannya sebagai pedang. "Aneh, kenapa hari ini kau ingin menggunakan pedang bambu?"

"Semalam Gihu mengajarkan tujuh jurus pedang kilat, tahukah kau, jurus Thay-khek-kiam-hoat yang aku pelajari jauh berbeda dengan apa yang dipelajari kebanyakan orang, berpuluh kali lipat lebih cepat. Tapi Gihu masih menganggap aku kurang cepat, maka semalam dia sekali lagi mewariskan ketujuh jurus serangan itu kepadaku, aku diminta mempelajarinya hingga mencapai taraf kecepatan seperti dia. Bila ketujuh jurus itu berhasil aku kuasai, dia baru akan mengajarkan tujuh jurus lagi."

"Sampai taraf kecepatan seperti apa sih Gihumu?" dengan perasaan ingin tahu Lan Sui-leng bertanya. "Aku sendiri pun sulit untuk melukiskan dengan perkataan, tapi bisa kuberi sebuah kenyataan sebagai contoh. Dia suruh aku memegang sebatang sumpit, kemudian tiba-tiba terlihat cahaya pedang berkelebat, tahu-tahu sumpitku sudah terpapas kutung tujuh bagian. Ternyata dia telah menggabung ke tujuh jurus pedangnya dalam sekali tebasan."

Tidak tahan Lan Sui-leng menjulurkan lidah karena kagum, sesaat kemudian dia baru berseru, "Wah, kalau secepat itu sih susah dihadapi."

"Biarpun kemampuanku belum secepat Gihu, namun aku kuatir salah tangan hingga melukaimu. Itulah sebabnya aku harus memakai pedang bambu."

"Kalau begitu biar aku pun ikut memakai pedang bambu."

"Jangan buang waktu untuk menyiapkan sebilah pedang bambu lagi, pakai saja pedang sungguhan." Seperti baru sadar Lan Sui-leng segera tertawa.

"Aah betul juga, ilmu pedangmu jauh lebih hebat ketimbang kemampuanku, tentu aku tidak mungkin salah melukaimu."

"Bagus, sekarang gunakan seluruh ilmu pedang ajaran gurumu untuk menyerang, tidak usah ragu atau takut, asal dilatih beberapa kali niscaya kau akan semakin paham kalau satu ilmu pedang yang sama sesungguhnya memiliki banyak perbedaan."

Kakak beradik itupun mulai berlatih dengan saling menyerang, ilmu pedang yang dimainkan Lan Giok-keng makin lama berkembang makin cepat, pedang bambu dalam genggamannya seolah telah berubah, dari satu perubahan berkembang jadi perubahan lain, dari satu berubah jadi dua, dari dua berubah jadi empat, dari empat jadi delapan.... Dalam waktu singkat Lan Sui-leng merasa ada selapis bayangan pedang yang tebal dan rapat menyelimuti depan matanya, seakan-akan terdapat begitu banyak pedang bambu berwarna hijau yang menusuk tubuhnya dari delapan penjuru, ujung pedangnya bergerak mengikuti kedipan matanya, bayangan pedang terasa menyambar lewat di sisi keningnya, deru angin tajam membuat rambutnya jadi kacau dan kusut. Tidak kuasa lagi Lan Sui-leng menarik napas dingin, pikirnya, 'Mengerikan! Untung adik tidak memakai pedang sungguhan.'

"Cici, jangan gugup atau panik, hati-hatilah menghadapi serangan Lian-hoan-jit-kiam (tujuh pedang berantai) ini!" Tahu bakal menghadapi serangan yang ampuh, diam-diam Lan Sui-leng berpikir, 'Biarpun ada tekanan seberat gunung Thay-san yang menindih kepala, aku harus menganggapnya bagaikan angin lembut berlalu!' Pandangan matanya seketika dikonsentrasikan ke ujung pedang, memandang seolah tidak melihat, dia menggunakan ilmu Thay-khek-kiam-hoat tingkat tinggi untuk menghadapi ancaman lawan. Dari jurus Ji-hong-sip-pit (seperti menutup seperti merapat) berubah jadi jurus Thiat-so-heng-kang (dengan baja mengunci sungai lebar), sekuat tenaga dia hadapi ketujuh serangan berantai dari adiknya yang dilontarkan bersamaan itu. "Krakkk!", mendadak terdengar suara retak yang keras, tahu-tahu ujung pedang bambu milik Lan Giok-keng sudah patah jadi dua, menyusul kemudian pedang yang berada dalam genggaman Lan Sui-leng ikut mencelat pula dari tangannya. Tidak terlukiskan rasa girang Lan Sui-leng, pikirnya, 'Kali ini aku berhasil juga memapas kutung ujung pedang bambunya, ini berarti pertarungan bisa disudahi dengan seri...." Berpikir sampai di situ tanyanya, "Adikku, apakah ke tujuh pedang berantaimu belum semua kau gunakan? Kau takut melukai Cicimu hingga tidak berani menggunakannya dengan sungguh hati?" Terlihat adiknya sudah melompat lebih kurang tiga depa ke samping dengan tangan kiri memegangi lengan kanan, ada beberapa tetes darah segar nampak meleleh keluar lewat celah jari tangannya, membuat seluruh jari tangannya berlepotan darah. Dengan perasaan terkejut buru-buru Lan Sui-leng menghampiri adiknya sembari berteriak, "Kauterluka?"

"Tidak apa-apa," Lan Giok-keng tertawa getir, "hanya tergores kulit luarnya saja. Cici, ternyata Thay-khek-kiam-hoat yang kau pelajari hebat sekali, sewaktu aku menggunakan jurus terakhir dari tujuh jurus berantaiku yakni Pek-ho-liang-ci (bangau putih pentang sayap), sebetulnya aku agak kuatir juga kalau sampai merobek pakaianmu, siapa sangka...." Tentu saja perkataan selanjutnya tidak usah dilanjutkan, bukan pakaian Cicinya yang robek, justru ujung baju sendiri yang tersambar ujung pedang Cicinya hingga robek. Masih untung cepat dia menggunakan teknik 'melengket' untuk menggiring pedang Cicinya hingga terlepas dari genggaman, kalau tidak, mungkin tulang tangannya sudah tertembus. Sayangnya, biarpun dia berhasil merontokkan pedang Cicinya, namun kekuatan yang digunakan adalah tenaga dalam, jadi berbicara soal adu pedang, dalam pertarungan kali ini dia tetap kalah satu jurus. Lan Sui-leng mencoba memeriksa keadaan luka adiknya, ketika melihat luka yang diderita memang ringan, dengan perasaan lega dia pun berkata, "Kebetulan hari ini aku membawa jarum dan benang, adikku, cepat lepaskan pakaianmu, biar kujahit bajumu yang robek daripada ketahuan Suhumu nanti."

"Mana mungkin Suhu punya waktu untuk mengurusi masalah tetek-bengek?"

"Ooh, dia sedang sibuk apa?"

"Kali ini dia mendapat tugas pergi ke tempat yang jauh, pergi ke wilayah Liauw-tong, bahkan selama tiga bulanan lamanya, sudah pasti ada banyak persoalan yang perlu dilaporkan kepada Ciangbun Sucouw. Sewaktu aku keluar tadi, dia sempat berkata kalau malam ini tidak perlu menunggunya balik makan malam." Lan Sui-leng menghela napas panjang. "Ai, dia masih ada begitu banyak urusan yang mesti dilakukan, padahal begitu kembali masih harus mengajar ilmu pedang kepadamu, kau sungguh beruntung bisa mendapat seorang guru dan seorang ayah angkat macam dia!"

"Ucapanmu tepat sekali. Semalam ketika dia mengajarkan ilmu pedang kepadaku, kelihatan sekali kalau dia.... dia sudah...."

"Sudah apa?"

"Sudah menunjukkan tanda-tanda keletihan, malah sampai pada akhirnya dia seperti kehilangan konsentrasi." Ternyata sewaktu gurunya mengajarkan ilmu pedang semalam, dia kelihatan sedang dirundung banyak persoalan, selama dia melatih diri, gurunya nampak duduk termangu-mangu bahkan tanpa sebab yang jelas menghela napas berulang kali. Sebetulnya dia ingin menggunakan istilah "pikiran yang kalut" untuk menjelaskan keadaan gurunya, namun kuatir Cicinya malah bertanya lebih jauh, terpaksa dia hanya berkata seadanya. Tidak nyana Cicinya justru segera berseru, "Tidak heran kalau hari ini kau tidak dapat berkonsentrasi secara baik, rupanya masih kangen kepada Suhumu? Aai, dia sudah pergi sangat lama, tidak salah kalau kau ingin berbincang dengannya."

Lan Giok-keng mengerti maksud Cicinya, dia pasti kuatir hatinya tidak nyaman karena kekalahannya tadi sehingga mencari alasan baginya. Benar, pikiran dan perasaan hatinya memang sedang tidak tenang, apalagi setelah mendengar saudara seperguruannya menuduh dia sebagai anak haram, namun meski demikian, tidak seharusnya dia menderita kekalahan di tangan Cicinya yang baru beberapa hari mempelajari Thay-khek-kiam-hoat. "Aku dengar ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat yang dipelajari Gihumu berasal dari Bu-si Tianglo?" tanya Lan Sui-leng lagi sembari menjahit bajunya.

"Semua orang juga mengetahui persoalan ini."

"Ilmu pedang yang dimiliki Bu-si Tianglo dianggap nomor satu dalam perguruan kita, aku dengar ilmu pedang yang dipelajari Gihumu berasal dari ajaran murni Bu-si Tianglo, malah konon kehebatannya jauh di atas murid-murid Bu-si Tianglo sendiri, menurutmu...."

"Sebagai seorang murid mana berani aku mengkritik kemampuan ilmu pedang guruku," sahut Lan Giok-keng sedikit keheranan, "Cici, apa maksudmu bertanya begitu? Apakah kau tidak percaya dengan perkataan mereka? Cici, ilmu pedang guruku tentu saja sangat bagus, tidak perlu kau ragukan. Kekalahanku hari ini tidak lebih hanya dikarenakan kemampuanku yang tidak becus." Sejujurnya Lan Sui-leng memang agak sangsi, tetapi setelah mendengar perkataan adiknya, dia pun merasa tidak leluasa untuk melanjutkan kembali perkataannya. Benarkah masih ada orang yang meragukan kemampuan Put-ji, guru Lan Giok-keng, sebagai 'jago pedang nomor dua dari Bu-tong-pay'? ternyata memang ada. Orang itu bukan lain Put-hui, guru Lan Sui-leng. Sambil membantu adiknya menjahit pakaiannya yang robek, Lan Sui-leng mulai membayangkan kembali peristiwa yang dialaminya hari itu. Saat itu adalah hari ketiga sejak gurunya mengajarkan ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat kepadanya. Entah karena apa, hari itu gurunya nampak uring-uringan dan sedikit tidak suka hati. Pelajaran yang diberikan sangat lamban, sampai sore hari dia hanya mengajarkan tiga jurus pedang kepadanya. Sampai dia mempraktekkan kembali ketiga jurus ilmu pedang itu, sekulum senyuman baru mulai tersungging di ujung bibir gurunya. "Jangan kau salahkan kalau aku mengajarkan kepadamu sangat lambat, sebab pondasi harus dibina secara pelan dan tidak boleh tergesa-gesa. Kau berlatih sangat bagus, asal mau berlatih dengan sepenuh hati, di kemudian hari pasti akan menjadi seorang pendekar pedang wanita kenamaan." Lan Sui-leng termasuk gadis yang suka bicara blak-blakan, begitu mendengar perkataan itu, tanpa berpikir panjang segera sahutnya, "Aku tidak ingin menjadi jago pedang wanita, aku hanya ingin...." "Apa yang kau inginkan?"

"Aku hanya ingin mengalahkan adikku."

"Hahaha gurunya langsung tertawa terbahak, "memangnya ilmu pedang adikmu sangat hebat?"

"Dia mempelajari ilmu pedang itu langsung dari Put-ji Totiang, tentu saja kemampuannya jauh lebih hebat daripada diriku."

"Ehmm, guru hebat akan menghasilkan murid hebat juga, ilmu pedang Put-ji Suheng dipelajari dari Bu-si Tianglo, jago nomor wahid dari perguruan kita, sekarang pun dia sudah dianggap jago nomor dua, tentu saja kemampuannya jauh lebih hebat dari kemampuan-ku." Merah dadu selembar wajah Lan Sui-leng, buru-buru katanya, "Suhu, aku tidak bermaksud begitu, aku tidak lebih hanya menggunakan adikku sebagai pembanding, jadi bukan...."

"Kau tidak usah panik," gurunya tertawa, "aku tidak berkata kalau ucapanmu keliru. Aku tidak bakal berpikiran cupat. Hanya saja, hmm! Bila kau belajar Thay-khek-kiam-hoat dariku, belum tentu kemampuan-mu tidak dapat mengungguli adikmu. Gurunya...."

"Kenapa dengan gurunya?"

"Gurunya menganggap ilmu pedang itu seperti mustika, padahal menurut penilaianku, watak gurunya tidak beda jauh dengan diriku...."

Melihat gurunya bicara terus tiada habisnya, Lan Sui-leng semakin tercengang, tanyanya, "Suhu, kenapa tidak kau lanjutkan perkataanmu?"

"Suatu ketika, tanpa sengaja aku melihat Put-ji Suheng sedang mengajari adikmu ilmu pedang, begitu tahu kehadiranku, dia langsung berhenti mengajar, padahal aku tidak berniat mencuri lihat ilmunya. Sayang, biar tidak ingin mencuri lihat pun aku sempat juga menyaksikan beberapa jurus ilmu pedangnya."

"Menurut pandangan Suhu, bagaimana dengan ilmu pedang ajaran Put-ji Supek?" tanya Lan Sui-leng dengan perasaan ingin tahu.

"Aah, dia adalah jago nomor dua dari perguruan, sementara ilmu pedangku paling juga berada pada urutan belasan ke atas, mana berani aku mengatakan kalau ilmu pedangnya jelek." Ternyata Lan Sui-leng pintar juga, begitu mendengar perkataan itu segera serunya sambil tertawa, "Suhu, kelihatannya kau sudah tahu kalau di balik ilmu pedang milik Put-ji Supek terdapat titik kelemahan, bolehkah kau ajarkan kepadaku secara diam-diam?"

"Aku tidak pernah berkata begitu, kau jangan sembarangan menduga!"

"Masa tebakanku keliru? Baiklah, kalau begitu biar kutanyakan ucapan yang Suhu katakan itu kepada orang lain, coba lihat apakah orang lain pun berpendapat begitu?" "Bagus, rupanya kau si setan cilik ingin mengancam aku? Tidak masalah kuberitahukan kepadamu, hanya takutnya...."

"Takutnya kenapa?"

"Takutnya kalau sampai terdengar guru adikmu."

"Suhu, justru ucapan ini bakal tersiar luas kalau kau tidak memberitahukan kepadaku. Asal kau terangkan, tidak nanti kukatakan kepada adik." Terdorong karena pertama, dia tidak tahan direcoki terus oleh muridnya, kedua, Put-hui merasa tidak puas dengan sikap Put-ji yang menuduhnya mencuri lihat ilmu pedangnya, maka dia pun berkata, "Tentu saja ilmu pedang Put-ji Supekmu sangat bagus, hanya sayang kelewat banyak kembangan hingga tidak banyak kegunaannya." Karena itu sewaktu hari ini Lan Sui-leng mengajak adiknya bertanding, sedikit banyak dia membawa 'misi' untuk membuktikan kebenaran itu. Dan sekarang, ketika dia mulai membayangkan kembali perkataan gurunya itu, rasa curiga segera muncul di hati kecilnya, pikirnya, 'Benarkah ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat yang dipelajari adik hanya bagus dipandang namun tidak ada gunanya? Tapi mengapa dia mampu merontokkan pedang bajaku hanya mengandalkan kutungan pedang bambu? Kenapa kemampuan semacam ini dibilang hanya indah dilihat tapi tidak berguna? Ehmm, mungkin saja hal ini dikarenakan konsentrasinya sedang kalut hari ini." Tentu saja dia tidak menyangka kalau keberhasilan adiknya membuat pedangnya terlepas dari tangan bukan karena kelihaian ilmu pedangnya, melainkan karena dia telah menggunakan tenaga dalam ajaran Ciangbun Sucouwnya. Oleh karena dia telah berjanji dengan gurunya untuk tidak menceritakan rahasia ini kepada adiknya, terpaksa rahasia itu hanya disimpan di dalam hati.

"Ehh, Cici, apa yang sedang kau pikirkan?" tiba-tiba terdengar Lan Giok-keng menegur.

"Aah tidak apa-apa, aku sedang berpikir ilmu silat yang dipelajari Ciangbun Sucouw adalah ilmu silat Bu-tong-pay yang paling murni, kenapa kau tidak minta petunjuk beberapa jurus ilmu pedang darinya."

"Memangnya ilmu pedang milik Bu-si Tianglo bukan Thay-khek-kiam murni? Sewaktu Sucouw suruh aku belajar pedang dari Gihu, dia justru berpendapat karena ilmu pedangnya belum bisa menandingi kehebatan Sutenya. Aku rasa kegagalanku hari ini hanya disebabkan latihanku kurang sempurna, biar nanti aku tanyakan lagi ke Gihu, besok kita coba bertarung lagi." Baru berbicara sampai di situ, mendadak terlihat ada seorang Tosu muda berlarian mendekat dengan napas terengah-engah, teriaknya, "Ternyata kalian berdua bersembunyi di sini, kalian tahu, sudah terjadi peristiwa besar, tidak nyana kalian masih ada minat bermain di sini!" Orang ini berasal satu angkatan dengan mereka berdua, bergelar Bu-seng.

Dalam anggapan Lan Sui-leng, Bu-seng masih terhitung salah satu 'hidung kerbau kecil', di waktu biasa dia sering menggoda Tosu cilik ini. Melihat kepanikan Tosu itu, Lan Sui-leng segera menegur dengan nada tidak senang, "Peristiwa besar apa yang telah terjadi? Kenapa kelakuanmu seperti orang panik?"

"Put-coat Supek telah kembali!" "Dia toh bukan turun gunung untuk kembali ke kehidupan preman, apa anehnya kembali ke gunung?"

"Karena dia pulang dengan digotong orang!"

"Kenapa dia kembali dengan digotong orang?" tidak tahan Lan Sui-leng berseru dengan wajah melengak. Bu-seng tertawa geli, sahutnya, "Nonaku, tentu saja karena dia tidak mampu berjalan sendiri maka butuh digotong orang. Masa soal begitu juga ditanyakan?"

"Dia terserang penyakit apa?" "Nonaku, paling tidak ada dua alasan kenapa dia harus pulang digotong, kesatu, karena terserang penyakit, kedua, karena terluka. Darimana kau yakin kalau dia terserang penyakit?"

"Masa dia terluka?"

"Tepat sekali! Dia bukan terserang penyakit parah tapi menderita luka parah!" Lan Sui-leng terperanjat. Sebagaimana diketahui, Put-coat adalah murid pertama Bu-siang Cinjin, Ciangbunjin partai Bu-tong, kehebatan ilmu silatnya tidak terukur, mimpi pun Lan Sui-leng tidak pernah menduga kalau Supeknya yang berilmu tinggi bakal terluka parah.

"Siapa yang telah melukai dia?" "Darimana aku tahu, hanya kuketahui orang yang mengantarnya kembali ke gunung adalah Bouw It-yu dari Yangciu. Begitu tiba di gunung, Bouw It-yu langsung menghadap Ciangbunjin untuk melapor, mana dia ada waktu untuk mengobrol dulu denganku. Nonaku, kau...." Lan Sui-leng tahu kalau Tosu kecil ini suka menambah bumbu pada ceritanya, tapi dia yakin peristiwa terlukanya Put-coat tidak bakal dibumbui dengan cerita lain, tanpa terasa nona ini jadi gugup, segera serunya, "Kau tidak usah merecoki aku lagi, ayoh kita segera berangkat!" Sambil berkata dia serahkan pakaian yang sedang dijahit itu ke tangan adiknya. "He Giok-keng Sute, kenapa baju barumu robek?" tanya Bu-seng tanpa terasa. "Tidak usah cerewet, siapa suruh kau mencampuri urusan di sini?" tukas Lan Sui-leng. "Aku toh cuma bertanya, apa salahnya dijawab sambil berjalan?"

"Tadi aku suruh dia memetik bunga, pakaiannya robek karena terkait duri." Biarpun nona ini polos namun bukan orang bodoh, dia tidak ingin si hidung kerbau kecil ini tahu kalau secara diam-diam dia sedang mempelajari ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat dari adiknya. Lan Giok-keng yang membungkam selama ini tiba-tiba bertanya, "Apakah Ciangbun Sucouw yang memerintahkan kau mencari kami berdua?" Bu-seng tertawa tergelak. "Hahaha, Lan-sute, kau sangka siapa sih dirimu?" serunya, "tidak salah, di hari biasa Ciangbunjin memang sayang padamu, di saat senggang mungkin beliau akan mencarimu untuk bermain catur, tapi saat ini urusan sangat gawat, sekalipun akan mencari orang untuk diajak berunding, rasanya tidak nanti akan mencari dirimu bukan?"

"Aku tahu, diriku hanya seorang bocah yang tidak tahu urusan. Lalu kenapa kau tergopoh-gopoh menyuruh kami segera pulang?" Bu-seng kembali tertawa. "Lan-sute," katanya, "kau tidak perlu marah kepadaku, semua orang mengatakan kau pintar, mana aku berani menuduhmu tidak tahu urusan. Cuma Put-coat Totiang adalah Supekmu, terlepas kau tahu urusan atau tidak, setelah Supekmu terluka~parah, sepantasnya kau segera pulang untuk menengoknya bukan? Masa kau malah marah padaku, memang kau tidak mengkhawatirkan keselamatan Supek?"

"Siapa bilang aku tidak menguatirkan Supek, aku hanya ingin tahu, siapa yang memerintahkan kau mencari kami berdua?"

"Sute, kenapa sih kau ngotot menyanyakan persoalan yang sama sekali tidak penting?" Bu-seng makin keheranan.

"Mungkin kau anggap tidak penting, tapi urusan ini sangat penting bagiku."

"Kenapa?"

"Aku harus tahu siapa yang bersikap baik padaku. Siapa yang baik padaku, aku pun bersikap baik kepadanya." Jawaban itu sangat kekanak-kanakan, jangankan Bu-seng, Lan Sui-leng pun termakan oleh tipuan adiknya itu, dia sangka adiknya benar-benar berpendapat begitu. Maka kepada Bu-seng segera serunya, "Kenapa kau tidak menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan jasamu?"

"Aku tidak berani merampas jasa Sucouw," sahut Bu-seng tertawa. "Ooh, jadi kau mendapat perintah dari Ji-tianglo untuk datang mencariku?" tanya Lan Giok-keng. Yang dimaksud Ji-tianglo atau Tianglo kedua adalah Bu-liang Totiang. Sebagaimana diketahui Toa-tianglo adalah Bu-kek Totiang yang telah menemui ajalnya pada enam belas tahun berselang. Oleh sebab itu meski Bu-liang Totiang berada pada urutan kedua, namun di antara Tianglo yang masih ada sekarang, dia sudah menempati posisi teratas. Sementara Bu-seng adalah murid Put-pay, murid pertama Bu-liang Totiang.

"Benar," kata Bu-seng, "dia orang tua memang sangat teliti dan cermat, begitu tahu Put-coat Supek pulang gunung digotong orang, dia segera teringat akan dirimu. Pertama, karena Put-coat Supek adalah angkatan tuamu, kedua, dia pun kuatir gurumu kelewat sedih lantaran kejadian ini, maka kau diminta mendampingi gurumu serta menghiburnya." Lan Sui-leng merasa sangat terharu sekali, ujarnya, "Terus terang, Sucouwmu ini selalu mendatangkan perasaan aneh bagiku, tidak disangka dia berpikir begitu cermat khususnya terhadap angkatan yang lebih muda." Bu-seng tertawa. "Sejujurnya dia tidak selalu bersikap baik ter-hadap setiap murid perguruan, tapi terhadap Put-ji Susiok serta kalian berdua, sikapnya memang istimewa baiknya."

"Mungkin saja dia bersikap baik terhadap adikku, tapi jangan kau ikut sertakan diriku."

"Ooh, jadi kau anggap sikap Sucouw terhadapmu kurang baik? Bagaimana kalau aku saja yang bersikap baik terhadapmu?" "Ciss, siapa sudi menerima kebaikanmu." Habis berkata dia segera beranjak pergi diikuti Bu-seng di belakangnya. Tiba-tiba bunga merah dalam genggamannya terlepas dan terjatuh ke tanah. Melihat ada kesempatan untuk mendekati Sumoy nya, buru-buru Bu-seng memungut bunga itu dan diangsurkan ke hadapan Lan Sui-leng sambil berseru, "Sumoy, bungamu terjatuh, untung mataku awas dan segera memungutnya kembali, coba lihat, bunganya masih utuh, tidak ada yang rontok."

"Hmm, aku tidak mau bunga yang sudah terjatuh ke tanah."

"Tapi bungamu terjatuh di atas rumput, sama sekali tidak kotor, coba lihat, bersih sekali," seru Bu-seng sambil meniup bunga itu.

"Biar bersih pun tidak mau!" "Bukankah gara-gara menyukai bunga itu kau telah menyuruh adikmu memetiknya? Coba lihat, pakai-an adikmu pun sampai robek, kenapa sekarang malah tidak mau?"

"Karena sekarang aku sudah tidak menyukainya lagi."

"Kenapa?"

"Aah, bawel amat kau, kenapa sih suka mencampuri urusan tetek-bengek? Sekali tidak suka tetap tidak suka, kenapa mesti kujelaskan? Hmm, bukankah barusan kau sempat menegurku suka bermain? Kenapa kau sendiri malah mengurusi soal bunga?"

"Tapi.... bunga ini sangat indah, rasanya sayang untuk dibuang," seru Bu-seng tergagap. Tiba-tiba Lan Giok-keng berkata, "Mungkin saja bunga itu tidak ternoda, tapi aku lihat pakaianmu justru ternoda air lumpur. Aah, bukan sedikit, malah sebagian besar...." Bu-seng yang berusaha mencari muka di hadapan Lan Sui-leng jadi tidak suka hati setelah disindir Lan Giok-keng, segera katanya, "Barusan kan hujan deras, masih untung cuma hujan, bajuku basah lantaran air hujan, siapa bilang kena air comberan!"

"Ooh, rupanya kau menempuh hujan untuk mencari kami berdua? Kebaikan hatimu sungguh membuat hatiku terharu."

"Terima kasih, aku tidak mengharap terima kasihmu, aku cuma minta kau jangan bawel lagi."

"Baiklah, kalau memang kau benci dengan perkataanku, biar aku tidak berbicara lagi." Benar saja dia segera tutup mulut sambil mempercepat langkahnya berjalan lebih dulu di depan. Tiba-tiba terdengar Lan Sui-leng berkata, "Bu-seng Suheng, aku rasa kau sedang berbohong."

"Aku berbohong?"

"Sudah jelas kau tercebur ke selokan dan ternoda air pecomberan, kenapa dibilang basah kuyup karena hujan? Kapan sih hujan?" Bu-seng kembali tertawa.

"Belakang gunung tidak hujan bukan berarti bukit bagian depan juga tidak hujan. Masa kau tidak pernah mendengar lagu rakyat yang mengatakan di timur ada matahari di barat sedang hujan, dibilang tidak berperasaan ternyata ada perasaan...."

"Oooh, rupanya begitu." Mendadak Bu-seng seperti teringat akan sesuatu, dia seperti ingin mengucapkan tapi kemudian urung, akhirnya dengan tergagap katanya, "Padahal aku.... aku pun.... aai! Kalian tidak bakal mengerti." Selesai berkata buru-buru dia berjalan ke sebuah simpang jalan dan berlalu dengan begitu saja. Ketika angin gunung berhembus lewat, terlihat jubahnya bergetar sampai menggelembung, seolah-olah sekujur tubuhnya telah dipenuhi tenaga murni. Lan Giok-keng yang memandang bayangan punggungnya tiba-tiba terlintas rasa curiga di hati kecilnya. "Mungkinkah di antara mereka punya hubungan yang tidak boleh diketahui orang lain?" pikirnya. Begitu terbayang 'hubungan yang tidak boleh diketahui orang lain', mendadak dia sendiri pun merasa amat terperanjat. Bukankah hal ini sama artinya dia pun mencurigai Gihu sendiri? Tidak benar, boleh saja dia mencurigai Ji-tianglo, namun tidak sepantasnya mencurigai juga Gihu sendiri! Yang membuatnya lebih terperanjat adalah 'caranya berpikir', diam-diam dia mengumpat diri sendiri. Tiba-tiba terdengar Lan Sui-leng yang telah menyusul dan menegur, "He adikku, kenapa wajahmu nampak sangat aneh? Aku telah membantumu mengerjai si hidung kerbau kecil, kenapa kau tidak tertawa, juga tidak bicara, sebetulnya apa yang sedang kau pikirkan?" Lan Giok-keng tanpa berpaling segera menyahut, "Cici, kau tidak usah banyak curiga, tidak ada yang kupikirkan." Biarpun dia cerdik, sayang perkataan ini justru meninggalkan titik kelemahan, kenapa dia harus kuatir Cicinya curiga? Lan Sui-leng bukan orang bodoh, tanggapnya, "Adikku, kau kan tahu kalau aku bukan orang yang banyak curiga, tapi kenapa mesti mengelabui aku? Bukankah kau masih meragukan asal-usulmu?"

"Tidak!"

"Baguslah kalau tidak. Adikku, lantas masalah apa yang masih mengganjal di hatimu? Masa Cici sendiri juga tidak boleh tahu?" Lan Giok-keng sadar, biar tidak mengakui pun Cicinya pasti tetap curiga, maka sahutnya, "Ooh tidak apa-apa, aku hanya berpikir, belakangan rasanya ada banyak peristiwa aneh yang terjadi di sini."

"Benar," Lan Sui-leng mengangguk, dia tahu yang dimaksud adiknya adalah 'musibah' yang menimpa perguruannya, "Siapa yang menyangka kalau Put-coat Supek pun bisa dilukai orang sehingga harus digotong balik ke Bu-tong-san." Sebenarnya dia masih ingin bertanya kepada adiknya, kejadian apa lagi yang dia angggap 'aneh', namun saat itu mereka telah tiba di depan istana Goan-hap-kiong tempat tinggal Ciangbunjin. Dimana seluruh murid angkatan ketiga telah berkumpul sambil berkasak-kusuk, karenanya dia merasa tidak leluasa untuk bertanya lebih lanjut.

Kalau soal 'anak haram' pun adiknya berani menyampaikan kepadanya, dia tidak percaya kalau masih ada soal lain yang tidak berani dikatakan sang adik kepadanya. Tentu saja dia tidak bakal mengira kalau adiknya benar-benar masih ada rahasia lain yang tidak dikatakan kepadanya. Persoalan yang cuma bisa disimpan di dalam hati, persoalan yang tidak mungkin diberitahukan kepada orang lain merupakan satu ganjalan yang paling menyiksa.

Bagi Lan Giok-keng, siksaan batin itu baru merupakan permulaan. Padahal ayah angkatnya, Put-ji, sudah merasakan siksaan itu selama enam belas tahun lamanya.

Satu jam berselang, di saat untuk pertama kalinya Lan Giok-keng mengemukakan suara hatinya kepada sang Cici, dia pun sedang terjerumus dalam kenangan masa lalu yang amat menyiksa, bahkan tidak seorang pun pernah mendengar keluh-kesahnya.

Satu jam berselang, tepat di saat hujan turun dengan derasnya, turun secara tiba-tiba. Biarpun hanya hujan, namun air hujan turun sangat deras, bahkan disertai sambaran petir dan guntur. Penyakit lamanya lagi-lagi mulai kambuh. Setiap kali menjelang hujan turun, jantungnya selalu terasa kejang, pikiran dan perasaannya ikut kalut dan terombang-ambing.

"Aai, lagi-lagi turun hujan seorang diri dia duduk termenung di dalam kamarnya. Ketika cahaya petir menyambar di luar jendela, tiba-tiba dia teringat kembali dengan hari itu, hari hujan pada tujuh belas tahun berselang. Di antara ranting dan tangkai pepohonan yang bergoyang tertimpa hujan badai, dia seolah melihat 'Siau-sumoy' sedang berjalan menghampirinya. Waktu itu Ho Giok-yan masih merupakan 'Siau-sumoy', belum menjadi calon bininya. Hubungan itu tiba-tiba terputus, tiba-tiba berkesudahan di saat hujan sedang turun dengan derasnya. "Toa-suheng, aku tidak punya muka lagi untuk berbicara denganmu...."

Tidak perlu penjelasan dari Siau-sumoy pun dia sudah paham. Dia tahu kedatangan Siau-sumoynya adalah untuk berpamitan. Pada malam itulah dia telah pergi bersama Sutenya. Ketika cahaya petir kembali menyambar, bayangan di depan matanya seolah bertambah lagi dengan sesosok manusia. Selain Siau-sumoy Ho Giok-yan, di situ masih ada pula adik seperguruannya, Keng King-si.

Hari itu adalah hari hujan pada enam belas tahun berselang. Dia berjumpa lagi dengan Siau-sumoy, kini Siau-sumoy sudah menjadi Keng-hujin, nyonya Keng. Kalau dalam pertemuan pertama Siau-sumoy datang berpamitan, maka pertemuannya kali ini berubah jadi perpisahan untuk selamanya. Semua kejadian, semua peristiwa saat itu kembali terlintas di depan matanya, dia tidak tahu apakah bayangan itu kejadian sungguhan atau hanya khayalan, apakah dia sedang bermipi atau tersadar? Di balik kilatan cahaya petir dan suara guntur, Keng King-si roboh terjungkal tertembus pedangnya. Kemudian dia seperti mendengar suara tangisan bayi yang baru lahir. Sumoy terkapar di tengah genangan darah.

Aah, seluruh jagad, seluruh kehidupan, seluruh isi alam seolah telah berhenti, seolah menjadi sunyi, hanya suara tangisan orok yang terdengar. Aah tidak, tidak, dia seperti mendengar juga suara tertawa. Suara tertawa yang samar, suara tertawa yang terhantar datang secara lamat-lamat, seperti ada seperti pula tidak ada! Enam belas tahun berselang, di saat hujan turun dengan derasnya, waktu itu dia sama sekali tidak mendengar suara tertawa semacam itu. Tapi suara tertawa itu bukan didengar dengan telinganya tapi 'terdengar' oleh suara hatinya. Inikah suara tertawa seperti apa yang dia bayangkan? Tidak, dia sadar bahwa hal itu hanya khayalan, perempuan itu, perempuan genit, perempuan cabul yang bergelar Lebah hijau itu tidak tertawa pada saat itu, tapi dalam hati kecilnya dia pasti sedang tertawa bangga. "Aai, kenapa aku bisa teringat perempuan ini?" Dia paling tidak berharap membayangkan perempuan ini, apalagi ketika dia selesai membayangkan Siau-sumoy, kemudian terbayang pula perempuan ini. Bahkan dia sering 'menipu' diri sendiri.

"Bukan, bukan, semua itu hanya khayalanku belaka, hari itu dia sama sekali tidak hadir di tempat kejadian!" Begitu seringnya menipu diri sendiri sampai akhirnya dia percaya dengan ungkapan itu. Aai, apakah hanya khayalan atau sungguh terjadi? Pada akhirnya dia sendiri pun tidak jelas!

Cahaya kilat sekali lagi menyambar membelah angkasa, bayangan yang muncul di depan mata kembali berubah. Seorang kakek berwajah garang, seorang jago lihai dengan cahaya pedang bagai sambaran petir! Waktu berjalan begitu cepat.... dari enam belas tahun berselang kini berubah jadi tiga bulan berselang, saat hujan turun dengan derasnya tiga bulan berselang. Waktunya makin dekat, tapi tempat kejadian justru makin jauh. Kalau dua kali hujan deras dialami di desanya, maka hari hujan kali ini justru berada jauh dari tempat kelahirannya, berada di wilayah Liauw-tong yang amat jauh.

Tiga bulan yang lalu dia mendapat perintah dari gurunya untuk mendatangi wilayah Liauw-tong, menyelidiki seseorang, seseorang yang misterius dan penuh diliputi teka-teki. Orang itu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan peristiwa pembunuhan yang menimpa Bu-tong-pay, peristiwa pembunuhan terbesar sepanjang sejarah. Hampir semua orang yang ada hubungannya dengan peristiwa ini telah tewas, bagaimana dengan orang ini? Masih hidupkah dia atau sudah mati? Oleh karena orang ini ada 'kemungkinan' masih hidup, maka dia harus berangkat ke sana untuk mencari berita, kalau pun dia sudah mati, dia pun berharap masih bisa menggali sedikit titik terang atas kejadian di masa lampau. Orang itu tidak lain adalah Huo Bu-tou, orang yang dikenal Keng King-si dan Ho Giok-yan sewaktu hidup di wilayah Liauw-tong. Waktu itu statusnya adalah seorang juragan ikan, walau dalam kenyataan dia adalah pengawal pribadi Nurhaci Khan dari negeri Kim. Pada tahun kedua kembali dia merubah diri, kali ini menjadi seorang perwira dari pasukan Kim-ih-wi kerajaan Beng. Boleh dibilang orang ini nyaris penuh dengan teka-teki. Hanya dengan menemukan orang ini, dia baru punya harapan untuk memecahkan kasus pembunuhan ini. Dan hanya orang ini juga yang bisa menerangkan apakah pada waktu itu adik seperguruannya, Keng King-si, benar-benar pernah menjadi mata-mata bangsa Boan.

Kalau dibilang 'mendapat perintah' lebih cocok kalau dibilang bukan hanya satu kali dia mengajukan permohonan kepada Ciangbun Suhunya untuk melakukan perjalanan ini, tapi gurunya tidak pernah mengabulkan permintaan itu. Hingga hari itu ketika secara tiba-tiba gurunya memerintahkan dia berangkat ke Liauw-tong untuk melacak peristiwa itu, hampir saja dia tidak percaya dengan pendengaran sendiri.

Tiga bulan berselang dia tiba di dusun nelayan kecil dimana Huo Bu-tou pernah bekerja menjadi juragan ikan, yaitu dusun nelayan dimana Keng King-si dan Ho Giok-yan pernah tinggal. Tempat lelang ikan sudah tiada, namun tidak banyak perubahan yang terjadi di dusun itu, tentu saja masih banyak orang dusun yang teringat pada Huo Bu-tou. Tapi sayang dari mulut orang-orang itu dia tidak berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan. Orang-orang itu hanya tahu kalau Huo Bu-tou adalah seorang juragan ikan, seorang pedagang ikan yang sangat bersahaja. Yang paling diingat orang-orang itu adalah hitungan sipoanya yang sangat jago, biar pintar main sipoa namun belum pernah mencari keuntungan pribadi, semua nota dihitung terperinci dan jelas. Hanya itu saja yang diperoleh.

Rumah yang pernah ditempati Ho Giok-yan dan Keng King-si pun masih utuh, rumah itu mereka bangun dengan mengeluarkan uang banyak, sebagai penduduk dusun yang jujur, biarpun mereka sudah pergi dan tidak pernah kembali lagi, ternyata tidak ada penduduk dusun yang berusaha memakai atau mengambil alih rumah itu.

Dia pura-pura mengaku sebagai famili jauh Keng King-si dan memasuki rumah itu. Sayang bangunan rumah itu sudah bobrok dan tidak terawat. Padahal biarpun dia tidak mengaku sebagai famili jauh pun tidak bakal ada orang yang menggubris dia ketika memasuki rumah itu. Rumah itu kosong melompong, yang ada tinggal sarang laba-laba di sudut dinding serta sisa abu di bawah anglo. Sarang laba-laba yang koyak seakan sedang menertawakan dirinya, menertawakan dia yang belum mampu lolos dari jaring cinta, sementara abu di bawah anglo meski sudah dingin namun di dasar hatinya masih terasa hangat.

Benar-benar tidak ada benda yang tertinggal, yang tersisa hanya helaan napas yang tidak terkira, helaan napas karena berlalunya impian musim semi. Tiba-tiba dia menemukan beberapa biji batu di sudut rumah. Apa anehnya batu? Utara selatan, di pesisir, di gunung, hampir semuanya terdapat batu? Tidak, beberapa biji batu itu berbeda sekali. Batuan yang berasal dari desa kelahirannya. Darimana dia bisa tahu? Karena dialah yang menyerahkan batuan itu. Diambil dan diremasnya batuan itu, meremasnya seperti sedang meremas jari tangan kenalan lama. Di rumahnya (atau lebih tepat di rumah Sumoynya, Ho Giok-yan), di belakang rumah mereka terdapat sebuah bukit, di atas bukit itu terdapat sejenis bebatuan yang berbintik-bintik merah seperti pasir merah, orang menyebutnya batu granit merah. Ada pula jenis batu lain yang warnanya tiga bagian berwarna kuning dan tujuh bagian berwarna merah tua, batuan ini disebut Hong-hiat-sik (batu kuning darah). Ada orang bilang seandainya tidak terselip tiga bagian warna kuning, pada hakikatnya batu itu bisa digunakan sebagai Ki-hiat-tong palsu. Yang dimaksud Ki-hiat-tong adalah jenis batu granit yang paling bagus dipakai untuk membuat stempel nama, bahkan nilainya melebihi nilai emas murni. Hanya saja kedua jenis bebatuan itu merupakan barang langka, meski banyak terdapat di bukit itu namun sulit untuk menemukan bongkahan batu dalam ukuran besar, yang ada pun paling hanya butiran batu kecil.

Ho Giok-yan sangat menyukai kedua jenis batu granit itu, karenanya setiap kali menemukan kedua jenis bebatuan itu dia selalu mengambil dan menghadiahkan kepadanya. Dia sudah tidak ingat sejak kapan permainan itu dimulai, dia hanya masih ingat ketika Ho Giok-yan berusia empat belas tahun dia menghadiahkan batu granit merah dan batu kuning darah itu padanya. Ketika dia mulai belajar menyulam, dibuatlah sebuah kantung kain untuk menyimpan bebatuan itu. Dia masih ingat apa yang pernah diucapkan gadis itu, katanya bebatuan yang sangat indah itu dalam pandangannya melebihi batu permata.

Tapi tidak lama setelah mengucapkan perkataan itu, kembali dia menyampaikan perkataan lain, katanya dia sudah tumbuh dewasa hingga sangat menghargai usaha Toa-sukonya yang memberi hadiah batu kepadanya, namun dia tidak ingin Toa-sukonya membuang banyak waktu dan tenaga hanya untuk mengumpulkan 'mainan anak-anak' itu. Dan sejak itu pula dia mulai memperhatikan Sutenya telah menggantikan peranannya selama ini, menjadi teman kencan Sumoynya setiap kali naik gunung. Tentunya di atas gunung dia bukan hanya mengambil bebatuan saja untuk Sumoynya bukan? Impian masa lalu telah tertutup oleh jala laba-laba, buat apa mesti dikenang kembali? Tapi dia masih tetap berkeliaran di seputar rumah gobrok yang pernah ditempati Sumoynya. Aai, orang pun sudah lama mati, buat apa mencari kembali impian yang telah berlalu? Akhirnya dia menemukan kembali kantong sulaman itu, kantong itu sudah lama koyak dan rusak, tetapi dia masih tetap dapat mengenalinya. Sumoy telah jauh-jauh membawa kantong itu ke Liauw-tong, tapi mengapa sewaktu siap kembali ke dusun, dia justru melupakan benda yang pernah dipandang sebagai benda mustika itu? Apakah dia lupa membawanya? Atau memang sengaja membuangnya? Mungkinkah kejadian ini membuktikan kalau telah terjadi konflik batin dalam hati Sumoy? Didekapnya kantong koyak itu di depan dadanya, diremasnya bebatuan itu dengan mesra, dia tertegun.... termangu.... Mendadak suara guntur menggugahnya dari lamunan, hujan turun sangat deras. Sebagai penerangan dia tancapkan obor di atas dinding rumah, ketika angin kencang berhembus lewat, obor pun padam. "Blaamm!", menyusul kemudian sebagian dinding rumah rubuh ke tanah. Rumah itu kondisinya memang lapuk dan bobrok, tapi sebetulnya belum sampai taraf nyaris roboh. Bukankah gelegar guntur tidak sampai menyentuh dinding rumah itu? Mungkinkah hembusan angin kencang sanggup merobohkannya? Rasa terkejut membuatnya seolah tersadar kembali, jangan-jangan dinding itu roboh karena digempur seseorang?

Belum habis ingatan itu melintas lewat, tampak sesosok bayangan manusia telah menerobos keluar melalui celah dinding yang roboh, belum lagi tubuhnya menyentuh tanah, desingan angin tajam telah menyambar tiba. Ternyata dugaannya tidak salah, dinding itu memang roboh karena digempur orang itu dengan tenaga pukulannya yang dahsyat. Cahaya kilat berkelebat lewat, pedang di tangan orang itu sudah menusuk tenggorokannya, bukan cahaya petir yang menyambar tapi cahaya pedang, cahaya pedang yang lebih cepat dari sambaran petir! Untung dia cukup sigap dan sadar akan datangnya bahaya, cepat pedangnya dicabut untuk menangkis, gerakan pedangnya tidak terhitung lambat, dengan jurus Ya-can-pat-hong (bertarung malam melawan delapan penjuru) dia sambut datangnya serangan musuh jurus demi jurus. Pertarungan ini merupakan pertarungan paling sengit yang belum pernah dialaminya sepanjang hidup, jauh lebih berbahaya, jauh lebih mengerikan daripada pertarungannya melawan Keng King-si tempo hari. Dalam pertarungannya melawan Keng King-si tempo hari, adik seperguruannya itu masih berbelas kasihan kepadanya, beda dengan orang di hadapannya sekarang, begitu bertemu jurus mematikan dilancarkan bertubi-tubi, bukan saja sejak awal hingga sekarang, bahkan semua jurus serangannya diarahkan ke bagian yang mematikan. Suara bentakan ataukah suara guntur? Cahaya pedang atau cahaya petir? Kedua belah pihak sama-sama tidak jelas, sama-sama tidak bisa membedakan! Di saat cahaya petir kembali menyambar, dia berhasil melihat wajah lawan dengan jelas. Ternyata dia adalah seorang kakek berperawakan tinggi besar yang berwajah gagah dan penuh wibawa. "Siapa kau? Kita tidak saling mengenal, kenapa kau ingin mencabut nyawaku?" bentaknya gusar. Kakek itu mendengus dingin. "Hmm, satu nyawa ditukar tiga nyawa, sudah keenakan buat kau!"

"Satu nyawa ditukar tiga nyawa? Apa maksud-mu? Aku tidak mengerti apa yang kau maksud!"

"Seharusnya kau mengerti, secara beruntun engkau telah menyebabkan tiga orang kehilangan nyawa! Tidak akan kubiarkan kau mencelakai orang lagi!"

Menggunakan kesempatan di saat orang tua itu sedang mengumpatnya, di saat cahaya petir kembali berkelebat, dia gunakan baik-baik peluang itu, dengan jurus Pek-ho-liang-ci (bangau putih pentang sayap) sebuah bacokan dilontarkan. Inilah jurus andalannya, jurus yang paling dibanggakan, sekalipun sudut babatan pedangnya sedikit melebar, namun kecepatan serangannya luar biasa, biar serangan dilancarkan belakangan namun ternyata tiba duluan. Terdengar suara tulang yang retak menusuk pendengaran, lengan kiri kakek itu tertusuk telak, disusul suara tulang belulang yang hancur dan retak. Tapi pada saat yang bersamaan, dadanya ter-makan juga oleh tusukan pedang lawan. Masih untung serangannya tiba duluan, karena kakek itu terhajar lebih dahulu maka tusukan pedangnya yang menghujam di dada pun kekuatannya jauh berkurang, coba bukan begitu, mungkin tubuhnya sudah terbelah dua. Dua belah pihak sama-sama terluka parah, hujan dan angin pun ikut berhenti. Kakek yang kereng dan penuh wibawa bagai malaikat itu telah tidak nampak. Biar hujan telah berhenti, darah masih meleleh keluar tiada hentinya, yang meleleh adalah darah dari tubuhnya. Sebetulnya mulut luka yang diderita tidak terlampau dalam, darah yang meleleh pun tidak terlalu banyak, namun keadaan luka itulah yang membuat hatinya bergidik. Sekali lagi dia menyulut obor di atas dinding, lalu membuka baju luarnya, ternyata di atas dadanya telah muncul tujuh buah lubang kecil yang berjajar bagaikan tujuh bintang bujur utara. Tujuh lubang kecil bekas tusukan ujung pedang! Buru-buru dia membubuhkan obat luka di seputar mulut lukanya, dengan cepat darah pun berhenti mengalir. Biarpun begitu, bekas luka yang tertinggal justru membuatnya tidak terlupakan, bukankah titik merah yang membekas di atas dadanya persis sama seperti warna batu granit yang dia hadiahkan untuk sang Sumoy? Kini dia sudah diakui oleh semua orang sebagai jago pedang nomor dua dari Bu-tong-pay, usianya masih muda dan tenaganya sedang mencapai puncaknya, siapa pun tidak bakal percaya kalau dia nyaris tewas di ujung pedang seorang kakek. Siapakah orang tua itu? Tiba-tiba dia teringat akan seseorang. Tidak mungkin dia akan mengemukakan persoalan ini kepada orang lain, kecuali kepada gurunya sendiri. Sebab dia ingin minta pembuktian dari gurunya. Dari kejadian pada tiga bulan berselang, kini dia mulai membayangkan kembali peristiwa yang baru saja terjadi kemarin. Kemarin, begitu tiba di bukit Bu-tong, tindakan pertama yang dilakukan adalah melaporkan semua kejadian itu kepada gurunya, Bu-siang Cinjin. Dia perlihatkan juga bekas luka yang tertinggal di tubuhnya. Selesai mendengarkan penuturannya, kemudian memeriksa pula bekas lukanya, perlahan-lahan Bu-siang Cinjin berkata, "Aku belum pernah bertemu Kwe Tang-lay, tapi aku tahu inilah hasil tusukan dari Jit-sing-kiam-hoat (ilmu pedang tujuh bintang)!"

Gurunya membuktikan kalau apa yang diduga selama ini tidak salah, ternyata orang tua itu adalah Ciang-ciu-kiam-khek (jago pedang dari Ciang-ciu) Kwe Tang-lay yang sudah lenyap kabar beritanya sejak empat belas tahun berselang! Benarkah si jago pedang dari Ciang-ciu Kwe Tang-lay belum tewas? Jika orang tua ini benar-benar adalah Kwe Tanglay, berarti teka-teki lain yang sudah mereka curigai selama ini pun telah memperoleh pembuktian. Kemungkinan besar tokoh misterius yang satu itu, Huo Bu-tou adalah putra Kwe Tang-lay. Berita yang belum pernah mendapat pembuktian itu diperoleh Suhengnya, Put-coat tojin, setelah melakukan penyelidikan lama. Enam belas tahun berselang, ketika baru saja dia tiba di Bu-tong-san, sejak pertemuan pertama kali dengan Put-coat, Tosu itu sudah pernah mengemukakan kecurigaannya ini. Kelihatannya sang guru dapat membaca suara hatinya, dia pun berkata, "Seharusnya dalam dua hari mendatang Suhengmu, Put-coat, sudah balik ke Bu-tong, tunggu saja sampai dia kembali, tanyakan langsung kepadanya. Dia adalah penduduk kota Ciang-ciu, sewaktu masih kecil pernah bertemu Kwe Tang-lay. Jadi persoalan tentang Kwe Tang-lay, dia jauh lebih tahu ketimbang aku."

Lagi-lagi turun hujan. Memandang air hujan yang turun bagai dituang dari langit, kembali hatinya mengejang, pikirnya, 'Aai.... perubahan cuaca benar-benar susah diramalkan, padahal tadi cuaca begitu bersih dan cerah, tiba-tiba saja hujan turun begitu deras. Aai.... dalam suasana begini, rasanya tidak mungkin Put-coat Suheng akan balik ke gunung hari ini.' Menyaksikan daun dan ranting pohon yang terombang-ambing dimainkan angin, perasaan hatinya terasa makin kalut, mendadak dia merasa hawa dingin yang menggidikkan lamat-lamat muncul dalam hatinya. "Mengapa Ciangbun Suheng bukannya menyuruh Suheng berangkat ke Liauw-tong, sebaliknya malah menyerahkan tugas ini kepadaku?" pikirnya. Tidak bisa disalahkan kalau dia berpendapat begitu, tidak seorang pun yang tahu akan asal-usul Huo Bu-tou dan hanya Put-coat seorang yang berhasil menemukan setitik jejaknya, padahal sejak awal Put-coat telah melaporkan kecurigaannya itu kepada sang Suhu. Terlepas apakah Kwe Tang-lay benar-benar adalah ayahnya Huo Bu-tou atau bukan, jika Suhunya ingin mengutus seseorang untuk melacak jejaknya di Liauw-tong, seharusnya orang yang paling cocok untuk tugas ini adalah Put-coat. "Jangan-jangan Put-coat Suheng sudah pernah datang ke Liauw-tong tapi gagal menemukan sesuatu jejak sehingga kali ini Suhu mengutus aku yang ke situ? Tapi sekalipun begitu, kenapa Suhu masih berusaha mengelabui aku?"

"Jika Put-coat Suheng belum pernah berkunjung ke situ, kenapa baru enam belas tahun kemudian Suhu mengutus aku ke situ? Sungguh membikin aku tidak habis mengerti!" Terlepas dalam situasi seperti apa pun, semuanya cukup menimbulkan kecurigaan dalam hatinya. Tentu saja dia tidak berani menuduh Suhunya punya rencana lain, tapi tidak tahan kembali dia berpikir, 'Mengapa Suhu menyerahkan tugas ini padaku? Mungkinkah di balik semua ini masih terselip maksud lain?"

"Tapi.... aku banyak berhutang budi pada Suhu, hubungannya denganku melebihi hubungan ayah dan anak, bahkan aku berhutang banyak padanya. Tidak, aku tidak boleh tidak percaya padanya, tidak sepantasnya aku mencurigai Suhu sendiri."

Sekalipun dia telah berusaha untuk menghilangkan rasa curiganya terhadap Suhunya, namun lamat-lamat perasaan bergidik mulai mencekam hatinya. Tentunya dia tidak bakal tahu kalau Suhunya telah mengirim Put-coat untuk membawa pulang tulang belulang Bu-kek Tianglo untuk dikubur di atas gunung. Put-coat sendiri pun pernah berpendapat seperti dia, merasa dialah orang yang paling pantas untuk melaksanakan tugas ini. Hanya saja perasaan Put-coat tidak sebimbang dan sepanik dirinya. Cahaya petir berkelebat, suara guntur menggelegar di angkasa, kilatan cahaya pedang Kwe Tang-lay, suara makiannya yang keras menggelegar seakan terlintas kembali di depan mata.

"Hmm, satu nyawa ditukar tiga nyawa, sudah keenakan buat kau!"

"Dia menuduhku sebagai penyebab kematian tiga orang, siapakah tiga orang yang dimaksud? Kalau dia benar-benar Kwe Tang-lay, berarti salah satu di antaranya yang dimaksud adalah putranya, orang yang telah berganti dengan nama bangsa Boan sebagai Huo Bu-tou. Aah, bila dugaanku tidak salah, berarti Huo Bu-tou pun ikut tewas?" Betulkah dia sangat berharap Huo Bu-tou telah tewas? dia sendiri tidak tahu, bahkan dia terkejut kenapa dirinya bisa mempunyai pikiran seperti itu. Dia tidak berani berpikir lebih jauh, hanya berkata dalam batinnya, 'Siapakah dua orang yang dimaksud? Keng-sute tewas karena aku salah tangan, apakah dia salah satu di antaranya? Tapi.... apakah kematian Sumoy pun gara-gara ulahku?'

"Kenapa tidak mungkin? Bukankah Sumoy bunuh diri gara-gara melihat suaminya tewas di tanganku? Aai.... selama ini tidak pernah kukaitkan kedua persoalan itu menjadi satu, aku.... aku benar-benar kelewatan!"

Bukan saja dia merasakan hatinya bergidik, bahkan dia merasa hatinya sakit, sakit bagai disayat-sayat. Sekali lagi bayangan Ho Giok-yan melintas di depan matanya, menyusul kemudian bayangan Keng King-si, terakhir melintas pula bayangan Kwe Tang-lay.... Makin lama dia merasa hatinya semakin bergidik, bulu kuduknya bangun berdiri.

Ooo)*(ooO

BAB III

Banyak keanehan di balik tulang

Mengangkat ketua baru

Daun jendela terbuka lebar karena hembusan angin, butiran air hujan membasahi seluruh tubuhnya. Suara hujan, suara angin menderu-deru di telinganya. Kembali hatinya terasa kejang. Setiap kali turun hujan, perasaannya selalu terjerumus dalam ketidak-tenangan, apalagi hari ini. "Aai, kemana perginya anak Keng? Kenapa sampai sekarang belum juga kembali!" Dia hanya berharap ada seseorang dapat berbincang dengannya, apalagi kalau dia dapat mengutarakan seluruh isi hatinya kepada orang itu. Padahal orang yang paling dekat dengannya tidak lebih hanya anak angkatnya seorang, Lan Giok-keng. Tentu saja dia tidak bisa meluapkan seluruh rahasia hatinya kepada anak angkatnya itu. Tiba-tiba teringat olehnya akan seseorang, seorang yang menjadi pemimpin para Tianglo, seorang yang posisinya jauh di atas kedudukannya, paman gurunya, Bu-liang Totiang. Hanya Bu-liang Totiang seorang yang mengetahui semua rahasia hatinya. Sekalipun tidak tahu seluruhnya, paling tidak hubungannya dengan orang ini jauh berbeda dengan orang lain. Tapi begitu terbayang orang ini, tidak kuasa hatinya langsung bergidik, bulu romanya berdiri. Sekalipun selama enam belas tahun terakhir Bu-liang Totiang belum pernah mengompasnya gara-gara dia mengetahui rahasia hatinya, namun setiap kali teringat orang ini, perasaan ngeri dan seram selalu menghantui dirinya.

Di tengah sambaran petir dan guntur, dia duduk di depan jendela seorang diri, hatinya kalut sekalut daun-daunan yang diterbangkan angin, berbagai adegan peristiwa terlintas dalam benaknya bagai sambaran kilat. Ho Giok-yan, Keng King-si, Siang Ngo-nio, Bu-liang Totiang, Lan Giok-keng dan terakhir kakek kekar yang nyaris merenggut nyawanya. Membayangkan si kakek yang menakutkan itu, dia sangat berharap Suhengnya bisa segera balik ke gunung. Hubungannya selama ini dengan Put-coat tidak terhitung baik, bahkan jauh di bawah hubungan sebagai sesama saudara seperguruan. Tapi bagaimanapun juga dia selalu merasa bahwa kakak seperguruannya yang agaknya kurang begitu suka berdekatan dengannya itu jauh lebih bisa dipercaya daripada Bu-liang Susioknya yang belakangan semakin dekat dengannya. Paling tidak sekembalinya Put-coat, dia bisa mengurai teka-teki seputar Kwe Tang-lay. Tapi hujan turun begitu deras.

"Mungkin hari ini Put-coat Suheng tidak bakal balik ke gunung," pikirnya. Hujan turun makin lama semakin lebat, perasaan tidak tenang yang mencekam hatinya pun makin lama semakin menjadi, bahkan lamat-lamat dia mulai menangkap firasat jelek. Pada tiga kali hari hujan yang lalu, dia selalu menjumpai peristiwa yang tidak menguntungkan, apa pula yang akan dia hadapi pada hari hujan kali ini? Siapa tahu hujan kali ini hanya hujan lewat, walaupun turun dengan derasnya, namun hujan itu cepat datangnya perginya pun sangat cepat, tiba-tiba saja hujan angin berhenti seketika. Menyusul cerahnya udara, perasaan hatinya ikut pula jadi cerah. Pada saat itulah tiba-tiba seseorang berjalan masuk, orang itu tidak lain adalah Bu-liang Totiang.

Setelah tertegun sejenak, akhirnya perasaan yang mulai menjadi cerah tiba-tiba terasa tenggelam kembali, agak kesal tegurnya, "Susiok, di tengah hujan sederas ini, ada apa kau datang kemari?"

"Put-ji, Suhengmu telah balik!"

"Haha, Put-coat Suheng telah kembali?" teriak Put-ji terkejut, "dia balik dalam keadaan hujan deras? Sungguh tidak kusangka...."

"Masih ada peristiwa lain yang lebih tidak kau sangka, dia kembali dengan digotong orang!" kata Bu-liang Totiang. Tidak terlukiskan rasa kaget Put-ji, agak gemetar tanyanya, "Dia kembali dengan digotong? Karena sakit atau terluka?"

"Terluka, bahkan lukanya parah sekali, konon sepanjang perjalanan dia sudah tujuh hari tujuh malam tidak sadarkan diri."

Put-ji benar-benar terkesiap, saking kagetnya untuk sesaat dia sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kembali Bu-liang Totiang berkata, "Jangankan kau, aku sendiri pun tidak menyangka bakal terjadi peristiwa seperti ini, padahal tugas yang diemban Put-coat kali ini bukanlah tugas yang membawa resiko besar...." "Sebenarnya tugas apa yang sedang dia laksanakan?" tanya Put-ji dengan jantung kebat-kebit. "Kau belum bertemu Ciangbunjin? Apakah Ciangbun Suhu belum memberitahukan kepadamu?" tanya Bu-liang Totiang sedikit tercengang.

Dari perkataan itu secara lamat-lamat Put-ji menangkap ada sesuatu yang tidak beres, sahutnya, "Suhu hanya memberitahu kalau Suheng telah turun gunung dan baru kembali dua hari kemudian." "Tempat yang dia datangi adalah tempat yang paling kau kenal dalam hidupmu."

"Ooh, tempat yang paling kukenal?" Put-ji tertegun.

"Tempo hari, bukankah kau telah mengubur jenazah Bu-kek Tianglo serta Sute dan Sumoymu di sebuah bukit dekat desamu? Kalau tidak salah bukit itu bernama Boan-liong-san bukan? Put-coat mendapat perintah untuk pergi ke bukit Boan-liong-san dan membawa pulang tulang belulang Bu-kek Tianglo agar bisa dikubur di sini. Ehmm, semestinya hal ini sudah dilakukan sejak awal."

Begitu mengetahui kejadian itu, selain kaget Put-ji pun merasa bingung dan tidak habis mengerti, menurut keadaan yang sesungguhnya, mereka berdua seharusnya bertukar tempat untuk melaksanakan tugas ini. "Kenapa Suhu tidak menyuruh aku melaksanakan tugas ini dan sebaliknya malah mengirim aku ke wilayah Liauw-tong?" Kelihatannya Bu-liang Totiang dapat membaca suara hatinya, dia segera berkata, "Bukannya aku ingin mengatai gurumu, tapi aku rasa semakin tua dia memang semakin pikun. Kaulah yang mengubur jenazah Bu-kek Tianglo, semestinya tugas ini paling cocok dilakukan oleh dirimu. Tapi bicara masalah ini, untung saja tugas itu bukan dibebankan kepadamu, kalau tidak, mungkin kaulah yang harus balik ke gunung dengan digotong orang." Put-ji hanya bisa tertawa getir, pikirnya, 'Aku sendiri pun nyaris kehilangan nyawa sewaktu berada di Liauw-tong, coba kalau bukan karena jurus Pek-ho-liang-ci bisa kugunakan lebih cepat, mungkin nasibku jauh lebih tragis ketimbang nasib Suheng, kalau dia masih bisa digotong balik dalam keadaan hidup, mungkin mayatku sudah terkapar di tengah rumah kosong tanpa terawat." Hanya saja dia tidak ingin menceritakan nasib sial yang dialaminya di wilayah Liauw-tong itu kepada Bu-liang Totiang, karenanya sembari tertawa getir tanyanya, "Siapa yang telah melukai Put-coat Suheng?"

"Masih belum jelas, aku hanya tahu Bouw It-yu yang mengantarnya kembali. Begitu tiba, dia langsung menghadap Ciangbunjin untuk melaporkan peristiwa ini hingga tidak sempat berbincang denganku. Aku rasa kini Ciangbunjin pasti sedang berusaha menolong Put-coat, ayoh kita segera ke sana." Dugaan Bu-liang Totiang memang tepat sekali, saat itu Bu-siang Cinjin, Ciangbunjin Bu-tong-pay sedang mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengobati luka muridnya sembari membersihkan sisa racun dari dalam tubuhnya. Dalam ruang tidur Ciangbunjin, selain Bouw It-yu, di situ masih ada pula salah seorang Tianglo Bu-tongpay yang lain, Bu-si Tojin.

Murid-murid angkatan yang lebih muda hanya bisa menunggu kabar di luar kuil Hok-tin-koan, tidak seorang pun diperkenankan masuk, tentu saja kecuali Put-ji. Dengan meringankan langkah kakinya, Put-ji berjalan masuk ke dalam ruangan mengikut di belakang Bu-liang Totiang. Baru melangkah masuk ke dalam ruangan, dia segera mendengar Bu-siang Cinjin sedang bertanya, "Apakah dia terkena senjata rahasia keluarga Tong dari Suchuan?"

"Boleh dibilang senjata rahasia dari keluarga Tong, tapi boleh juga dikatakan bukan senjata rahasia keluarga Tong. Karena dia telah terhajar jarum Lebah hijau milik Siang Ngo-nio," jawab Bouw It-yu. Pembicaraan itu berlangsung lirih dan tidak jelas, namun beberapa orang yang hadir dalam ruangan itu dapat mendengar dengan jelas sekali. Sebagaimana diketahui, Siang Ngo-nio adalah wanita simpanan Tong-jikongcu, sementara jarum lebah hijau itupun dibuat berdasarkan resep rahasia keluarga Tong, namun perempuan ini sama sekali bukan anggota perguruan itu, dia pun tidak pernah membuat senjatanya persis seperti resep simpanan perguruan itu, sebab di antara senjata rahasia yang diandalkan keluarga Tong, sama sekali tidak terdapat jarum lebah hijau.

Dalam pada itu terlihat Bu-si Tojin sedang menyahut sambil mengernyitkan dahinya, "Ternyata terkena jarum lebah hijau milik perempuan siluman itu, tidak heran Put-coat Sutit tidak sadarkan diri selama berhari-hari!" Biarpun keningnya berkerut, sama sekali tidak terlintas rasa terkejut di wajahnya, sebab dia memang sudah cukup mengetahui akan kelihaian jarum lebah hijau itu. Reaksi yang diperlihatkan Bu-liang Totiang pun persis sama seperti dia. Sebaliknya Put-ji justru merasakan hatinya bergetar keras, ketika nama "Siang Ngo-nio" meluncur dari mulut Bouw It-yu dan masuk ke dalam pendengarannya, dia seolah merasa ada suara guntur yang menggelegar keras di sisi telinganya, sekali lagi "kilatan guntur" dan "sambaran petir" melintas di depan wajahnya, dia seakan-akan menyaksikan kembali sorot mata Siang Ngo-nio yang membetot sukma sedang mengawasi dirinya. Aah, apalagi "hawa siluman" yang terpancar keluar dari balik tubuhnya. Sinar matanya terasa jauh lebih menakutkan daripada kilatan cahaya petir, tanpa terasa paras mukanya berubah hebat. "Apakah kau mengetahui asal-usul jarum lebah hijau itu?" terdengar Bu-liang Totiang berbisik lirih di sisi telinganya. Seakan tersadar kembali dari lamunannya, Put-ji merasa bayangan semu di depan matanya lenyap seketika, cepat dia mengangguk. "Konon jarum lembah hijau milik Siang Ngo-nio termasuk jarum yang amat beracun, bukankah begitu?" Nama busuk jarum lebah hijau milik Siang Ngo-nio memang sudah tersohor di seantero dunia persilatan, semua jago yang pernah berkelana di dunia persilatan, biar belum pernah menjumpai pun paling tidak mereka pasti pernah mendengarnya. Sebelum menjadi pendeta, Put-ji adalah murid Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu, tentu saja dia mengetahui hal itu dengan jelas. Seakan sedang menghiburnya, dengan suara lembut kembali Bu-liang Totiang berkata, "Ciangbunjin sedang menggunakan Thay-khek-sinkang untuk membersihkan racun dari tubuhnya, sementara tenaga dalam yang dimiliki Put-coat pun sudah dilatih hampir mendekati empat puluh tahun lamanya, dia tidak akan mati segampang itu. Selama napasnya masih ada, nyawanya pasti akan tertolong!" Put-ji segera merasa hatinya lega kembali, pikirnya, 'Untung rahasia hatiku tidak sampai diketahui Susiok, jika dia sampai tahu kalau aku sudah lama kenal Siang Ngo-nio, dalam kasus lama maupun kasus baru, posisiku jadi berbahaya sekali karena kecurigaan terhadapku jadi lebih besar."

Semua orang menaruh rasa percaya dan keyakinan yang besar atas kehebatan tenaga dalam yang dimiliki Bu-siang Cinjin, tapi yang menakutkan ternyata kejadian tidak selancar apa yang mereka duga semula, walau setengah jam sudah lewat namun Put-coat masih belum juga sadar dari pingsannya, kini paras muka Bu-siang Cinjin telah diliputi rasa duka yang amat dalam. "Put-ji, kemarilah, gantikan aku," tiba-tiba terdengar Bu-siang Cinjin memanggil. Mendengar panggilan itu, cepat Put-ji duduk di hadapan Put-coat dan menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh saudara seperguruannya itu. "Aah tidak lama kemudian terdengar Put-coat mendesis lirih, lalu berseru, "Put-ji, ternyata kau...." Nada suaranya terdengar gemetar, memburu dan sangat menusuk pendengaran, seakan berasal dari suara seseorang yang lain.

Bu-siang Cinjin yang mendengar suara teriakan itu segera merasakan rasa sedih yang tidak terkirakan. Tiba-tiba Put-ji merobek pakaian yang dikenakan sehingga terlihat tujuh bekas luka yang berjajar di atas dadanya. "Haha, ilmu pedang tujuh bintang dari Kwe Tang-lay!" jerit Put-coat terperanjat. "Apakah dia adalah seorang kakek tinggi besar yang berwajah menyeramkan dan timpang kaki kanannya?"

"Betul, kau.... kau.... kau telah bertemu dengannya...." Secara beruntun dia mengulang kata "kau" sampai beberapa kali, nada suaranya makin lama semakin rendah dan lirih, seolah sudah tidak bertenaga lagi untuk berkata lebih jauh. Semua orang tidak habis mengerti mengapa di saat yang gawat dan penting begini, Put-ji justru mengajukan pertanyaan yang menyangkut masalah lain, mengapa dia harus membuang tenaga? Apakah pertanyaan itu tidak bisa ditanyakan nanti saja setelah Suhengnya sembuh? Semua orang memang tidak mengerti, tapi Bu-siang Cinjin mengetahui dengan amat jelas, dia sadar kalau muridnya tidak bakal sembuh. Didengar dari nada suara Put-coat yang telah berubah, dapat diketahui kalau hawa sesat telah menyumpat urat nadinya, kalau sekarang dia masih bisa tersadar kembali, hal ini tidak lebih hanya secercah sinar terakhirnya sebelum padam. Mati hidupnya Kwe Tang-lay merupakan kunci utama dalam pemecahan kasus pembunuhan pada enam belas tahun berselang, jika Put-ji tidak menanyakan sekarang juga, bisa jadi selamanya dia tidak akan punya kesempatan untuk membongkarnya. Tidak ada yang lebih jelas dari Bu-siang Cinjin tentang betapa parahnya luka dalam yang diderita Put-coat, bahkan dia tahu kalau luka itu mustahil bisa disembuhkan lagi, itulah sebabnya dia memerintahkan muridnya untuk menggantikan dia mengobati luka Put-coat, tindakan ini tidak lepas merupakan tindakan coba-coba saja. Sekalipun akhir yang mesti dia hadapi mendatangkan rasa sedih yang mendalam, namun kejadian itu sama sekali tidak di luar dugaannya. "Terima kasih Suheng!" bisik Put-ji. "Put-ji, kau.... kau harus...."

"Aku harus apa?" Put-ji merasa hatinya bergetar keras, apa kata berikut yang akan dia ucapkan? Belum selesai ingatan itu melintas, terdengar Put-coat telah melanjutkan kembali kata-katanya, "Kau.... kau harus baik-baik menjaga diri!" Tidak kuasa lagi Put-ji menghembuskan napas lega, biarpun ucapan itu mempunyai dua arti yang saling bertentangan, namun siapa pula yang akan berpikir dari sudut tidak baik? Put-coat adalah murid pertama Ciangbunjin, bila tidak mengalami sesuatu musibah, otomatis dialah yang bakal naik menjadi pengganti Ciangbunjin. Oleh sebab itu semua orang mengira pesan dari Put-coat itu memang sengaja disampaikan kepada Sutenya agar lebih waspada membawa diri. Atau dengan perkataan lain, dia telah menyerahkan posisi sebagai 'putra mahkota' kedudukan Ciangbunjin itu kepadanya. Berkilat sepasang mata Bu-siang Cinjin setelah mendengar perkataan itu. Tiba-tiba terdengar Put-coat berkata lagi dengan nada tinggi, "Tidak, tidak ada sangkut-pautnya dengan Sute...." Tapi baru bicara separuh jalan, lagi-lagi dia memejamkan mata. Mendengar perkataan itu Put-ji merasa lega sekali, pikirnya, 'Untung saja Suheng memahami keadaanku!'

Dalam pada itu semua orang lagi-lagi tertegun. "Tidak ada sangkut-pautnya dengan Sute!", jika ditinjau dari ucapan itu, mungkin dia maksudkan kalau "persoalan ini tidak ada hubungannya dengan Sute", lantas "urusan" apa yang dimaksud? Sayang waktu itu situasi sedang tegang, semua orang sedang berusaha menyelamatkan nyawa Put-coat sehingga tidak seorang pun yang berkenan untuk berpikir lebih jauh. Cepat Bu-liang Totiang menggantikan posisi Put-ji dengan menyalurkan tenaga murninya ke dalam tubuh Put-coat. Tidak selang berapa lama kemudian Put-coat memuntahkan segumpal darah kental, lalu katanya lirih, "Suhu, maafkan Tecu tidak bisa menyelesaikan tugas secara baik, Bouw It-yu memahami semua masalah, silakan Suhu bertanya...." Sayang belum selesai perkataan itu diucapkan, dia sudah putus napas dan pergi ke langit barat.

Jubah pendeta yang dikenakan Bu-siang Cinjin segera bergelombang bagai terhembus angin, wajahnya yang kuning layu seolah selembar daun kering yang terombang-ambing dimainkan badai. Tiada air mata, setetes pun tidak ada. Tapi siapa pun dapat melihat bahwa dia lebih sedih, lebih tersiksa batinnya ketimbang menangis.

"Yang meninggal telah tiada, Suheng, jaga dirimu baik-baik!" serentak Bu-liang Totiang dan Bu-si Tojin berseru. "Harap Suhu menahan rasa sedih dan membalaskan dendam atas kematian Suheng," bisik Put-ji pula. Hanya Bouw It-yu seorang yang membungkam tanpa bicara, kelihatannya dia sudah dibuat tertegun saking kagetnya. Perlahan-lahan Bu-siang Cinjin berkata, "Kalian semua boleh keluar dulu, aku ingin menenangkan diri." Wajahnya kaku tanpa emosi. Tanpa banyak bicara Bu-liang Totiang segera berjalan keluar meninggalkan ruangan itu. "It-yu!" mendadak Bu-siang Cinjin berseru lagi, "Kau tetap tinggal di sini, ada persoalan yang hendak kubicarakan denganmu." Ucapan terakhir Put-coat sebelum menghembuskan napas terakhir adalah meminta gurunya untuk bertanya kepada Bouw It-yu, jadi siapa pun tidak merasa tercengang bila Ciangbunjin minta dia seorang diri tetap tinggal di sana. Walau begitu, perintah Bu-siang Cinjin yang minta mereka semua untuk keluar, paling tidak meninggalkan juga perasaan kecut bercampur getir di hati semua orang.

Put-ji berjalan paling belakang, dia merapatkan pintu ruangan, kemudian berjalan menuju ke halaman kedua, dia tidak meninggalkan Hok-tin-koan sebaliknya malah duduk di atas undak-undakan. Dari pintu gerbang menuju ke ruang ketua, orang harus melalui tiga lapis halaman luas, tempat ini adalah halaman bagian tengah. Dari halaman ini tidak mungkin orang bisa mendengar suara pembicaraan yang sedang berlangsung dalam ruangan. Sekarang dia sudah menjadi satu-satunya murid Ciangbunjin, oleh sebab itu walaupun tadi Ciangbunjin telah memerintahkan semua orang untuk mundur dari situ, tidak terkecuali dirinya, namun untuk berjaga agar Ciangbunjin tidak mengalami suatu kejadian di luar dugaan, dia merasa wajib untuk tetap tinggal di sana merawat Suhu dan siapa pun tidak akan mengatakan kalau dia tidak seharusnya berbuat begitu. Tetap tinggal di halaman kedua sudah termasuk menghindar dari semua pembicaraan yang sedang berlangsung.

Dia duduk termangu di atas undak-undakan batu, mendengar suara langkah kaki yang kacau bergeser keluar pintu sebelum akhirnya suasana pulih kembali dalam keheningan. Kelihatannya anggota perguruan yang sedang berjejal menunggu berita di luar To-koan telah mendengar perintah Bu-siang Cinjin yang disampaikan kedua Tianglo hingga serentak mereka membubarkan diri. Keheningan mulai mencekam seluruh jagad, keheningan yang terasa aneh. Paras mukanya ikut berubah, berubah sangat aneh, bahkan dia mulai mendengar detak jantung sendiri. Tentu saja dia bukan hanya mendengar debar jantung sendiri, dia pun mendengar suara lain. Justru karena dia mendengar suara lain, detak jantungnya jadi ikut berdebar. Dia telah mendengar suara pembicaraan gurunya dengan Bouw It-yu, pembicaraan yang sedang berlangsung dalam ruangan. Sebetulnya dari halaman itu orang tidak bakal bisa mendengar pembicaraan di dalam ruangan, tapi bagi orang lain yang tidak mampu mendengar, dia justru dapat mendengarnya dengan jelas, sebab kesempurnaan tenaga dalam yang dimilikinya sekarang sudah menduduki posisi keempat dalam deretan para jago Bu-tong-pay. Tanpa harus bertiarap di lantai pun dia dapat menangkap semua pembicaraan yang sedang berlangsung dalam ruangan, sekecil apa pun suara itu. Dia mendengar gurunya sedang bertanya, "Kau mengetahui barang yang kuinginkan?" "Lapor Ciangbunjin," terdengar Bouw It-yu menjawab, "Tecu telah membawanya kemari." Menyusul kemudian terdengar suara benturan benda yang agak berat di atas meja. Tidak usah melihat pun Put-ji dapat menebak kalau Bouw It-yu sedang meletakkan sebuah karung goni di atas meja, selama ini karung goni itu selalu digendong di punggung Bouw It-yu, karung yang memberi kesan berat dan mantap, namun tidak seorang pun yang tahu apa isi karung itu. Orang lain memang tidak ada yang tahu, namun ada satu pengecualian, karena 'orang lain' itu tidak termasuk Put-ji, tanpa diberitahu Bouw It-yu pun dia sudah dapat menebak apa isi karung itu. Betul saja, terdengar gurunya bertanya, "Apakah semuanya sudah dibawa kemari?"

"Sepotong pun tidak ada yang ketinggalan."

"Bagus, sekarang keluarkan semua kepingan itu satu per satu dan diletakkan di atas meja, biar aku memeriksanya lebih seksama."

"Keluarkan semua kepingan itu satu per satu", kalau isinya bukan tulang belulang lalu apa? Put-ji merasa hatinya semakin tenggelam. Dia seakan-akan melihat si Lebah hijau Siang Ngo-nio sedang bersembunyi di balik kegelapan sambil tertawa kepadanya. Enam belas tahun berselang, di saat hujan sedang turun dengan derasnya, di atas bukit Boan-liong-san. Dia sedang bersitegang dengan Sutenya, lalu pelayan tua yang selama ini selalu loyal kepada keluarga Ho tidak kuasa menahan diri dan menerjang maju menghajar Keng King-si. Baru maju beberapa langkah, tiba-tiba orang tua itu menjerit kesakitan lalu roboh terkapar dalam keadaan tidak bernyawa. Waktu itu dia segera menuduh Keng King-si hendak 'melenyapkan saksi', malah termasuk Sumoynya pun menyangka orang tua itu tewas di tangan suaminya. Biarpun waktu itu hujan sudah berhenti, namun cuaca masih belum cerah, mereka sama sekali tidak dapat melihat apakah ada orang yang bersembunyi di balik pepohonan, mereka pun tidak mendengar sedikit suara pun. Tapi dia tahu, si Lebah hijau Siang Ngo-nio pasti sedang bersembunyi di balik kegelapan sambil mentertawakan mereka. Karena orang tua itu sudah tewas terhajar jarum lebah hijau milik Siang Ngo-nio, dan perempuan itu tahu bahwa dia pun telah mengetahui hal ini. Mungkin saja senjata rahasia andalannya bisa mengelabui Keng King-si serta Ho Giok-yan, tapi mungkinkah bisa mengelabui Ko Ceng-kim? Ko Ceng-kim yang pernah menjadi "suami istri semalam" dan pernah tidur seranjang dengannya? Sambil menghantam dada, dia mulai mengumpat diri sendiri, "Kenapa aku begitu bejad moral? Kenapa begitu tidak malu, sebagai seorang murid perguruan besar ternyata pernah tidur seranjang dengan perempuan cabul yang tersohor akan kekejiannya? Aai.... andaikata Sumoy tidak meninggalkan aku, mungkin aku pun tidak akan terpikat dan terpedaya oleh perempuan siluman itu!"

"Aku sangka dia hanya iseng, setelah bermain semalaman maka keesokan harinya sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi, siapa tahu bakal berakibat seperti ini...." Karena ulah dan perbuatannya yang memalukan itulah, mau tidak mau dia harus berusaha merahasiakan keberadaan Siang Ngo-nio. Kalau dia memang tahu bahwa peristiwa itu merupakan hasil perbuatan Siang Ngo-nio, mengapa pula dia masih menuduh Sutenya? Jelas hal ini disebabkan alasan lain. Waktu itu dia berpikir, 'Keng-sute telah menjadi mata-mata bangsa Boan, hal ini sudah jelas dan terbukti. Bagaimanapun dosanya amat besar dan pantas dihukum, apa salahnya kalau kutambahi dengan satu dosa baru?' Tapi sekarang, "bukti" yang bisa menunjukkan bahwa Keng King-si telah menjadi mata-mata bangsa Boan, surat yang ditulis Huo Bu-tou untuk Keng King-si, telah memperlihatkan titik kecurigaan yang makin lama semakin bertambah banyak, dan kelihatannya yang disebut sebagai 'barang bukti' itu sudah tidak bisa dipertahankan lagi keberadaannya. Jika dia tidak bisa lagi menempelkan dosa itu atas nama Keng King-si, mau tidak mau dia harus mulai menguatirkan 'perbuatan tidak senonoh'nya bakal terbongkar. Tindakannya membunuh Keng King-si boleh disebut sebagai 'salah membunuh', tapi setelah tahu pelayan tua itu tewas karena terhajar jarum beracun lebah hijau milik Siang Ngo-nio dan dia masih tetap menuduh Sutenya, dengan cara apa peristiwa ini harus dijelaskan? Jika dia tidak mempedulikan soal liangsim dengan mengatakan bahwa saat itu dia tidak tahu, tetapi bagaimana bila Siang Ngo-nio tertangkap? Apakah perempuan itu tidak bakal mengaku punya hubungan khusus dengannya? Bagaimana pula cara dia menghubungi Siang Ngo-nio agar menyangkal semua kejadian itu? Tiada suara pembicaraan lagi dari dalam kamar sang ketua, dia tahu Suhunya dan Bouw It-yu pasti sedang memeriksa kerangka manusia. Apa jadinya bila rahasia itu ketahuan gurunya? Sementara dia masih berpikir ke sana kemari, mendadak terdengar suara orang terbatuk-batuk.

Dasar sedang punya pikiran maling, suara batuk itu seketika membuatnya terkesiap. Ketika mendongakkan kepala, dia melihat ada seorang tojin tua bertubuh bungkuk sedang berjalan menghampirinya. Begitu tahu siapa yang muncul, dia pun tertawa geli, ternyata orang itu adalah seorang tojin bisu tuli yang selama ini melayani keperluan gurunya. Tidak diketahui siapa nama asli tojin itu, tapi lantaran dia bodoh bahkan mendekati idiot dan lagi lantaran dia bisu tuli, semua orang memanggilnya si tojin bisu tuli. Sejak berusia sepuluh tahun lebih si tojin bisu tuli telah datang ke gunung Bu-tong, waktu itu Bu-siang Cinjin baru saja menjabat sebagai Ciangbunjin baru, melihat keadaannya yang mengenaskan dan pantas dikasihani, dia pun menerima untuk membantu melayani keperluannya. Hingga kini, si tojin bisu tuli sudah empat puluh tahun bekerja sebagai pembantu Bu-siang Cinjin. Tahun ini usianya sudah mendekati enam puluh tahun, tapi bentuk muka serta gerak-geriknya kelihatan jauh lebih tua ketimbang Bu-siang Cinjin yang sudah berumur delapan puluh tahun. Tampaknya dia merasa tercengang juga sewaktu melihat perubahan wajah Put-ji yang aneh, perasaan bingung dan tidak habis mengerti menghiasi wajahnya. Tidak diketahui dia bersembunyi dimana saat itu, untuk berbicara dengan si tojin bisu tuli ini terpaksa dia harus menggunakan bahasa tangan yang sederhana, tapi dia sadar tidak bakal ada keterangan yang bisa dikorek dari mulutnya. Terpaksa Put-ji menggunakan ibu jari dan jari kelingkingnya yang ditempel jadi satu sambil menuding ke arah ruangan di halaman belakang, maksudnya Bu-siang Cinjin sedang berbicara dengan seorang murid dan minta agar dia tidak mengganggu. Setelah menuding dada sendiri kemudian menuding ke arahnya, dia rentangkan kedua telapak tangannya, seolah hendak menyerahkan sebuah benda kepadanya, berbareng itu dia berjalan ke arah luar sambil berpaling ke arahnya. Maksudnya, tolong kau jaga pintu sambil melayani keperluan Suhu, sementara aku harus pergi lebih dulu.

Tojin bisu tuli itu segera manggut-manggut dan duduk di atas undak-undakan. Perlu diketahui, meskipun Put-ji tidak kuatir orang lain menaruh curiga kepadanya, tapi dia tidak ingin memberi kesan lain kepada Bouw It-yu sewaktu dia keluar dari ruangan, menyaksikan dirinya masih berada di situ. Baru saja keluar dari pintu To-koan, tiba-tiba terdengar seseorang sedang berkata, "Apa aku bilang, kau tidak perlu kuatir, tuh lihat, bukankah ayah angkatmu telah datang." Ternyata Bu-liang Totiang serta Lan Giok-keng sedang menunggu kemunculannya di situ. Dengan perasaan terkejut Lan Giok-keng segera berseru, "Suhu, coba lihat, wajahmu sangat tidak sedap dilihat! Aku tahu, kau pasti amat sedih atas kematian Supek, tapi janganlah kelewat sedih hingga merusak kesehatan sendiri. Bagaimana dengan Sucouw?"

"Bocah ini benar-benar perhatian, sayang aku telah berbuat salah kepadanya," batin Put-ji. Cepat sahutnya, "Aah, tidak apa-apa, urusan orang dewasa lebih baik tidak usah kau campuri, mana Cicimu?"

"Dia sudah pulang."

"Kalau begitu kau pulanglah lebih dulu, tidak usah menunggu aku makan malam." Lan Giok-keng seperti ingin mengucapkan sesuatu lagi, tapi Bu-liang Totiang segera menepuk bahunya dan membujuk dengan lembut, "Anak baik, perasaan gurumu sedang kurang baik, aku pun masih ada urusan yang harus dibicarakan dengannya, menurut aja, sana, pulanglah lebih dulu." Menunggu Lan Giok-keng berlalu dari ujung bukit, Bu-liang Totiang baru berpaling dan memandang Put-ji dengan senyum tidak senyum, katanya, "Tampaknya bocah ini benar-benar mempunyai perasaan seorang anak terhadap ayah kepadamu, itu berarti dia masih belum mengetahui rahasia asal-usulnya." Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba lanjutnya, "Tapi aku lihat dia sudah mulai curiga!"

"Darimana kau tahu?" tanya Put-ji terkejut. "Tadi seorang muridku telah kuperintah untuk pergi mencari putramu, waktu itu dia sedang berlatih pedang bersama Cicinya di tepi telaga di bawah bukit Cian-ki-hong, secara tidak sengaja muridku mendengar pembicaraan mereka berdua."

"Apa yang sedang mereka berdua bicarakan?"

"Sebenarnya bukan apa-apa, cuma putramu sudah mulai curiga karena banyak orang membicarakan masalah 'anak haram' di belakangnya. Selain itu dia pun merasa bimbang kenapa sikap orang tuanya terhadap mereka berdua sangat berbeda."

"Lalu apa kata Cicinya?"

"Tentu saja Lan Sui-leng menganggap berita itu hanya isapan jempol dan membujuknya agar jangan percaya dengan isu itu."

"Tapi menurut pengamatan muridku, agaknya dia pun mulai setengah percaya setengah tidak terhadap perkataan Cicinya itu." Put-ji- terbungkam dalam seribu bahasa, pikirnya, Aah, berarti semua ini hasil kecerobohanku. Di kemudian hari aku harus berpesan kepada Lan Kau-san agar memperlakukan sama kedua anak itu, jangan sampai mereka kelewat memanjakan dirinya. Terdengar Bu-liang Totiang berkata lebih lanjut sambil tersenyum, "Put-ji, kau tidak perlu kelewat kuatir, tidak nanti Lan Kau-san suami istri akan membongkar rahasia asal-usul mengenai Giok-keng. Asal aku pun tidak menyiarkan berarti selama hidup dia tidak bakal tahu soal rahasia ini!" Put-ji menghembuskan napas lega, namun perasaannya tetap kalut dan tidak tenang, pikirnya, 'Entah apa maksud dan tujuannya memberitahu soal ini kepadaku?'

Belum habis ingatan itu melintas, terdengar Bu-liang Totiang berkata lagi sambil tertawa terbahak, "Giok-keng telah mengajarkan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dia pelajari darimu kepada Cicinya, hehehe.... perbuatanmu sungguh membuat aku merasa kagum!" Sepintas pembicaraan itu seolah saling tidak berhubungan, hal ini membuat Put-ji kebingungan setengah mati, katanya cepat, "Kalau Keng-ji benar-benar berani mewariskan ilmu itu tanpa sepengetahuanku, baiklah, sekembalinya nanti akan kuberi peringatan kepadanya."

"Tidak, tidak, maksudku bukan dia yang mengajarkan ilmu pedang itu kepada Cicinya secara diam-diam. Maksudku, masalah kau mengajarkan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat kepadanya."

"Maksud Susiok, tidak seharusnya kelewat awal kuwariskan ilmu pedang tingkat tinggi itu kepadanya?"

"Tidak, tidak, Giok-keng sangat cerdas, lagi pula sangat disayang Ciangbunjin, tidak bakal ada yang berani menegurmu sekalipun kau kelewat awal mengajar kan Thay-kek-kiam-hoat kepadanya. Hehehe, atas tindakanmu itu, untuk merasa kagum pun aku merasa tidak sempat, mana berani mengatakan kalau tidak seharusnya berbuat begitu."

"Perkataan Susiok kelewat serius, mengajarkan ilmu pedang kepada murid adalah kewajiban seorang guru, mana berani menerima rasa kagum dari Susiok?"

"Terlalu banyak kembangan dalam jurus pedang yang kau ajarkan kepada Giok-keng, mungkin orang lain tidak memahami maksudmu, tapi aku tahu dengan jelas sekali. Kenapa aku tidak boleh mengatakan merasa sangat kagum?" Dia sengaja menandaskan katanya sewaktu menyinggung soal 'kembangan'. Rupanya Put-ji mempunyai tujuan pribadi, dia kuatir Lan Giok-keng bakal bertindak tidak menguntungkan terhadapnya di saat dia tahu rahasia asal-usul dirinya, maka sewaktu mengajarkan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat kepadanya, sengaja dia merubah banyak kunci penting dan perubahan aneh dengan kembangan-kembangan yang tidak berguna. Sekilas pandang mungkin jurus pedang itu nampak gagah dan indah, padahal sama sekali tidak berguna sewaktu digunakan. Tidak terlukiskan rasa kaget Put-ji begitu rahasianya terbongkar, pikirnya, 'Jangan-jangan dia ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengompas aku? Tapi dia adalah ketua para Tianglo, jika dia sampai mengancamku, aku bakal kehabisan daya. Mending kuajak dia bicara blak-blakan.' Berpikir sampai di situ segera ujarnya, "Semenjak Tecu datang ke gunung Bu-tong, Susiok selalu menyayangi dan memperhatikan diriku, budi kebaikan ini entah dengan cara bagaimana mesti Tecu balas. Jika perbuatan Tecu ada yang dianggap tidak benar, harap Susiok segera menegur secara langsung."

"Kau salah paham," lagi-lagi sahut Bu-liang Totiang sambil senyum tidak senyum, "justru apa yang telah kau lakukan sangat sesuai dengan kehendakku, siapa bilang salah. Hehehe, betul, dahulu aku memang pernah sedikit membantumu, tapi di kemudian hari justru akulah yang akan mengandalkan dirimu. Jadi kau tidak usah kelewat sungkan, aku tidak mampu menerimanya."

"Susiok, perkataanmu malah membuat aku serba salah," kata Put-ji gugup, "bila ada perintah, silakan disampaikan."

"Hahaha, mana aku berani memberi perintah kepadamu, hehehe.... aah betul, aku belum menyampaikan ucapan selamat kepadamu!" Put-ji terkesiap.

"Baru saja Put-coat Suheng menemui ajalnya, peristiwa ini sangat menyakitkan hati Tecu. Darimana datangnya kegembiraan?" Bu-liang Totiang menatapnya sekejap, kemudian katanya lagi, "Aku pun merasa kasihan bercampur sayang atas kematian yang tragis diri Put-coat. Tapi yang mati pun sudah mati, bagimu justru masih ada tanggung jawab berat yang berada di pundakmu, jadi kau tidak usah kelewat bersedih. Bila masa berkabung sudah lewat, seharusnya kita mempersiapkan peristiwa yang menggembirakan. Sebetulnya peristiwa gembira ini selain menjadi peristiwa gembira perguruan, terlebih untuk kau pribadi. Masa kau masih belum paham?"

Sebenarnya Put-ji sudah dapat menebak apa yang dimaksud, tapi ia tetap berlagak tidak mengerti. "Maafkan kebodohan Tecu, aku benar-benar tidak habis mengerti darimana datangnya peristiwa gembira itu."

"Kau benar-benar tidak mengerti atau pura-pura bodoh? Setelah kematian Put-coat, berarti kaulah yang akan menjadi putra mahkota pengganti kedudukan Ciangbunjin. Kini Ciangbun Suheng Bu-siang Suheng telah berusia lanjut, kematian Put-coat secara tragis pasti akan memaksanya tidak berniat lagi meneruskan jabatan Ciangbunjinnya. Itu berarti dalam waktu dekat posisi ketua akan diwariskan kepadamu. Masa kejadian semacam ini bukan peristiwa yang patut digembirakan?"

"Aah, kemampuan Tecu sangat terbatas, pengetahuanku pun cetek, biarpun Suhu ingin mewariskan posisi itu kepadaku, belum tentu Tecu berani menerimanya."

Bu-liang Totiang segera menunjukkan sikap kurang senang, tegurnya, "Put-ji, aku tidak pernah menganggap orang luar kepadamu, masa kau masih berlagak sungkan kepadaku!"

"Tapi Tecu benar-benar tidak mampu menduduki jabatan Ciangbunjin, tidak berani bahkan tidak pantas, aku bicara sejujurnya!"

"Pintar amat kau bermain sandiwara!" pikir Bu-liang Totiang dalam hati, tapi kalau diperhatikan wajahnya yang begitu serius, nampaknya dia pun bukan sedang bersandiwara. Bu-liang Totiang memandang sekejap ke arahnya, tiba-tiba berkata, "Aku tahu, rasa sedih dan terharu atas kepergian Suhengmu timbul dari lubuk hatimu yang tulus. Tapi toh kau telah berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan jiwanya, kalau pada akhirnya jiwanya tidak terselamatkan, hal ini bukan salahmu." Perkataan itu kedengarannya halus, padahal mengandung sindiran yang sangat tajam, membuat Put-ji sangat terkesiap. Tanpa sadar teriaknya, "Susiok pun telah berusaha dengan sepenuh tenaga."

"Betul, tapi sayang waktu aku berusaha menolong dengan sepenuh tenaga, keadaan sudah terlambat. Ehm, sejujurnya aku sendiri pun tidak menyangka kalau begitu cepat dia mati."

"Suheng dihajar orang dengan ilmu pukulan Thay-kek-sinkang hingga terluka nadinya, ditambah pula dia terkena racun jahat jarum Lebah hijau, sebelum tiba di gunung, dia sudah mesti bertahan beberapa hari lamanya."

"Betul, urat nadinya terluka parah karena terhajar Thay-kek-sinkang yang menghantam tubuhnya secara terbalik. Sudah terhitung hebat dia masih bisa bertahan sampai di gunung meski harus berjuang selama beberapa hari diantar Bouw It-yu. Cuma kalau cara pertolongan dilakukan secara benar dan tepat, mungkin saja dia tidak mati secepat itu!"

Berubah paras muka Put-ji. "Jadi maksud Susiok.... kau curiga...."

"Hahaha, kau tidak usah banyak curiga," tukas Bu-liang Totiang sambil tertawa tergelak, "orang yang menyalurkan tenaga murni ke dalam tubuh Put-coat untuk memunahkan luka racunnya hanya Ciangbun Suheng, kau dan aku tiga orang. Masa aku mencurigai Ciangbun Suheng dan dirimu?" Dia sengaja tidak menyinggung dirinya, juga tidak menambahkan ucapan "kau tidak akan mencurigai diriku bukan?", tentu saja hal ini dimaksudkan bahwa dia sangat terbuka dan tidak berniat untuk melakukan perbuatan seperti itu.

Tapi bagi Put-ji bukan berarti dia tidak boleh curiga, malahan hal ini justru merupakan kecurigaannya yang paling utama. Ternyata setelah Put-coat dilukai urat nadinya oleh pukulan tenaga sakti Thay-kek-sinkang yang disalurkan secara terbalik, maka orang yang mengobati lukanya selain harus memiliki tenaga Thay-kek-sinkang yang sempurna, dia pun harus mengerti cara penyembuhan. Untuk menyembuhkan luka semacam ini, orang harus menggunakan teknik 'menggiring' dan tidak boleh menggunakan teknik 'membuyarkan' atau 'menyumbat', dengan demikian hawa racun yang menggumpal baru bisa diurai dan didesak keluar dari tubuh. Oleh karena itulah saat Put-ji hendak mengobati Suhengnya tadi, gurunya, Bu-siang Cinjin sempat memperingatkan hal ini.

Tapi sewaktu Put-ji mulai menyalurkan tenaga murninya, dia segera menjumpai ada sesuatu yang ganjil dan tidak beres, muncul tenaga penghalang yang sangat besar dan jauh di luar dugaannya. Tentu saja dia tidak akan mencurigai gurunya, tapi mungkinkah sebelum gurunya turun tangan, sudah ada orang lain yang mencoba mengobatinya dengan cara yang tidak lazim? Dia pun tidak akan mencurigai Bouw It-yu, pertama karena Bouw It-yu masih muda, sekalipun dia ingin mencelakai Put-coat pun belum tentu memiliki Thay-kek-sinkang sehebat itu. Kedua, jika dia berniat mencelakai Put-coat, buat apa harus menggunakan cara seperti ini? Kenapa tidak tinggalkan dia saja di tempat yang jauh dan tidak perlu diantar balik ke gunung Bu-tong. Bu-liang Totiang menjumpai Put-coat jauh sebelum gurunya bertemu dia, tapi dia tidak yakin apakah Bu-liang Totiang pernah menyentuh tubuh Put-coat, oleh karena itu dia tidak berani memastikan Bu-liang Totiang yang diam-diam melakukan perbuatan keji itu.

Setelah termenung sejenak dia mendongakkan kepala, mengawasi Bu-liang Totiang, lalu katanya, "Kematian Put-coat Suheng sedikit mencurigakan, Tecu ingin melacak dan menyelidiki sebab kematiannya."

"Masa kau masih belum bisa menenangkan hatimu?" kata Bu-liang Totiang hambar, paras mukanya sama sekali tidak berubah, "Padahal sekalipun kau bisa menyelamatkan nyawa Put-coat pun dia tidak lebih hanya bisa bertahan sesaat. Seorang manusia cacad yang untuk makan pun perlu disuapi orang lain hanya akan menjadi beban orang banyak, bagi perguruan maupun bagi dia sendiri sama sekali tiada manfaatnya!"

Put-ji dapat menangkap duri tajam di balik perkataannya itu, tanpa terasa berubah hebat paras mukanya. "Bila peristiwa ini tidak bisa terlacak hingga jelas, mungkin di kemudian hari Tecu bakal menerima tuduhan yang tidak benar!" akhirnya Put-ji memberanikan diri untuk mengucapkan perkataan yang sejak tadi ingin disampaikan. Dia tahu dengan jelas, kemungkinan besar perkataan itu akan menimbulkan ketidak puasan Bu-liang Totiang terhadapnya, namun dia tidak ambil peduli, dia tidak ingin berpikir terlalu jauh.

"Buat apa kau mesti repot-repot berbuat begitu," dengan senyum tidak senyum kembali Bu-liang Totiang berkata, "Baik Ciangbunjin maupun aku sama sekali tidak ada yang curiga kepadamu, siapa lagi yang berani menaruh curiga? Lebih baik jadilah Ciangbunjin dengan tenang dan alim, jika ada yang tidak mau takluk, aku akan menjadi tulang punggungmu!"

"Terima kasih Susiok, hanya saja...."

"Tidak usah banyak bicara lagi, turuti perkataanku, kujamin kau tidak bakal salah." Ketika bicara sampai di situ, tiba-tiba ia mendesis lirih, "Sstt, ada orang datang, sepertinya Bouw It-yu. Mungkin dia akan mencarimu untuk berbicara, biar aku pergi lebih dulu."

Belum lagi Bu-liang Totiang berjalan keluar meninggalkan hutan pohon siong, dari tikungan bukit terlihat ada seseorang berjalan mendekat, benar saja, tampak Bouw It-yu muncul menghampirinya. Sekali lagi suara pembicaraan yang berlangsung dalam ruang tidur gurunya mendengung di sisi telinganya. Lalu dia seakan mendengar suara karung goni yang berat diletakkan di atas meja. "Baiklah, keluarkan sepotong demi sepotong, letakkan di atas meja, biar kuperiksa dengan seksama!" suara gurunya kembali mendengung. Sepotong demi sepotong? Kalau bukan tulang lalu benda apa lagi? Tidak tahan dia tertawa getir, pikirnya, "Jangan-jangan tuduhan pembunuhan atas Put-coat Suheng akan terjatuh ke pundakku? Kalau dilihat dari situasinya bisa jadi dosa itu akan ditimpakan ke diriku. Bisa jadi Bouw It-yu sedang menjalankan perintah Suhu untuk mengajakku kembali ke ruangan dan mengadiliku! Apalagi kalau Suhu sampai mengetahui hubunganku dengan Siang Ngo-nio, hehehe.... jangankan jadi pewaris Ciangbunjin, untung kalau tidak diusir keluar dari perguruan! Hmm, perkataan Bu-liang Susiok memang betul, kini posisiku sangat rawan dan berbahaya, mana ada peluang bagiku untuk menyelidiki sebab kematian Put-coat Suheng? Siapa tahu hasil pelacakanku justru semakin tidak menguntungkan posisiku!"

Dalam waktu singkat berbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, mula-mula dia ingin berlagak seolah tidak melihat Bouw It-yu, berusaha menghindar secepatnya dan kabur turun gunung. Tapi dia pun cukup sadar, mustahil baginya untuk bisa meloloskan diri, lagi pula dengan mengambil langkah seribu, bukankah seluruh usahanya selama ini bakal sia-sia? Sementara dia masih ragu, Bouw It-yu telah menghampiri sambil menyapa. "Put-ji Suheng, sungguh kebetulan aku memang sedang mencarimu," ternyata itulah perkataan pertama yang diucapkan.

Diam-diam Put-ji tercekat, namun perasaan itu tidak sampai diutarakan, buru-buru tanyanya, "Ada urusan apa Bouw-sute mencari aku?"

"Suheng tidak perlu sungkan-sungkan, aku rasa ada satu masalah yang seharusnya kulaporkan kepada-mu."

"Kau bilang aku sungkan padahal kau sendiri sungkan juga kepadaku, bagaimanapun kita sesama saudara seperguruan, kalau ada masalah katakan saja terus terang." "Tadi Ciangbunjin menahanku seorang diri, mula-mula aku merasa heran, ternyata masalahnya adalah...."

"Aku hanya tahu mentaati perintah Ciangbunjin, persoalan yang tidak seharusnya kuketahui lebih baik tidak usah kudengar."

"Suheng, kau banyak curiga. Kini kau adalah satu-satunya murid Ciangbunjin, persoalan apa lagi yang tidak boleh kau ketahui? Cuma tadi masih ada orang lain di situ, kalau Ciangbunjin minta kalian mundur, tentu saja beliau tidak enak mengecualikan dirimu." Ada empat orang yang berada dalam ruangan Bu-siang Cinjin waktu itu, selain Put-ji dan Bouw It-yu, di situ masih ada Bu-siang Cinjin dan Bu-si Tojin dua orang Tianglo. Terkejut bercampur girang segera Put-ji bertanya, "Ciangbunjin yang suruh kau menyampaikan hal ini kepadaku?"

"Suheng, dengan hubunganmu yang begitu khusus dengan Ciangbunjin, apakah Ciangbunjin perlu mengucapkan kata-kata semacam itu?"

"Jadi kalau begitu ucapan itu muncul atas inisiatifmu sendiri?" tanya Put-ji tertegun. Tampaknya Bouw It-yu turut melengak. "Ucapan Suheng kelewat serius, masa kau masih belum tahu status dirimu sendiri?"

"Ooh, apa statusku?"

"Suheng, kau adalah calon Ciangbunjin perguruan kita, sudah seharusnya kulaporkan semua masalah kepadamu, masa hanya soal inipun aku mesti tunggu perintah Ciangbunjin? Lagipula Ciangbunjin sudah kelewat lelah, aku harus memintanya untuk lebih cepat beristirahat."

Put-ji tidak dapat memastikan apakah perkataan Bouw It-yu itu sejujurnya atau justru merupakan kebalikannya, dia pun berpikir, "Bagus, biar kudengar dulu persoalan apa yang hendak dia sampaikan, kalau masalahnya memang karena aku bakal jadi Ciangbunjin lantas dia berusaha membaikiku, ya sudahlah. Tetapi kalau tidak, hm, sekalipun aku tidak mampu lolos dari Bu-tong-san, memangnya kemampuanku tidak dapat menaklukkan bocah keparat ini?"

Karena itu dia pun membungkam pertanda mengijinkan rekannya untuk berbicara. Terdengar Bouw It-yu berkata lebih jauh, "Persoalan ini harus kumulai dari Put-coat Suheng, karena dialah yang minta tolong aku untuk melakukannya. Tempo hari Put-coat Suheng mendapat perintah dari Ciangbunjin untuk berangkat ke gunung Boan-liong-san dan mengangkut balik tulang belulang Bu-kek Tianglo agar bisa dikebumikan di gunung Bu-tong, tentang masalah ini tentunya Suheng sudah tahu bukan?" Put-ji tidak menyangkal, serunya, "Lantas kenapa?"

"Karena Put-coat Suheng terluka parah, terpaksa tugas ini dia serahkan kepadaku untuk melaksanakannya. Tapi.... ternyata kejadian berikut sama sekali di luar dugaanku...."

"Oh, peristiwa apa yang membuat kau merasa di luar dugaan?"

"Semula kusangka hanya Bu-kek Tianglo seorang yang terkubur di situ, siapa tahu ternyata terdapat tiga buah kerangka. Yang satu adalah kerangka Keng King-si, masih ada satu lagi konon adalah kerangka dari pelayan tua Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu yang bernama.... bernama...."

"Orang tua itu bernama Ho Liang," sambil berusaha mengendalikan debar jantungnya sahut Put-ji, "enam belas tahun berselang dia bersama Bu-kek Tianglo, Keng King-si dan Ho Giok-yan tewas di tempat itu. Berhubung waktu yang kumiliki saat itu sangat terbatas, hanya dua liang yang bisa kugali untuk mengubur jenazah mereka semua." "Oh, rupanya begitu, mestinya tidak ada yang perlu diherankan. Hanya saja...."

"Hanya saja apa?"

"Ketika kuserahkan tulang beluang yang berada dalam karung goni itu kepada Ciangbunjin, ketiga sosok kerangka itu sudah berbaur menjadi satu, tapi Ciangbunjin masih sempat-sempatnya mengeluarkan tulang itu sepotong demi sepotong untuk diperiksa dengan seksama, coba bayangkan apa tidak aneh perbuatannya itu?"

"Nah ini dia, akhirnya sampai juga pada pokok masalahnya!" batin Put-ji, tapi di luar ujarnya, "Sebetulnya tidak ada yang perlu diherankan, semasa masih hidup dulu, Bu-kek Tianglo adalah jago nomor dua perguruan kita selain Ciangbunjin, kenyataan dia tewas secara misterius dan membingungkan, bisa jadi Suhu ingin menyelidiki sebab kematiannya dari tulang belulang tubuhnya. Tidak banyak jago di kolong langit yang mempunyai kemampuan untuk membunuh Bu-kek Tianglo, bila dapat dilacak sebab kematiannya dari bentuk tulang, bisa jadi hasil penyelidikannya itu akan sangat membantu dalam melacak jejak sang pembunuh." Dia sengaja tidak menyinggung Keng King-si serta Ho Liang, karena dia ingin tahu bagaimana reaksi Bouw It-yu.

"Ucapan Suheng tepat sekali, selain meneliti dengan seksama, Ciangbunjin juga telah menaburi jarum peraknya dengan bubuk yang terbuat dari cula badak untuk memeriksa kadar racun yang tertinggal di tulang belulang itu. Tulang orang tua katanya beda dengan tulang orang muda, tulang orang yang pernah belajar ilmu silat tingkat tinggi pun berbeda dengan tulang orang yang belum pernah belajar silat. Tentu saja aku tidak mengerti, tapi Ciangbunjin mampu membedakannya secara pas dan tepat."

"Apakah Ciangbunjin berhasil menemukan sesuatu?"

"Ya, beliau berhasil menemukan sesuatu, katanya Keng King-si tewas ditusuk orang dengan pedang, karena pada tulang belulangnya terdapat bekas tusukan pedang, sedang Bu-kek Tianglo tewas karena isi perutnya tergoncang oleh pukulan Thay-kek-sinkang yang membuat tulang belulangnya agak kendor dan empuk. Sementara orang tua itu...."

"Bagaimana dengan orang tua itu?" tanya Put-ji cepat, dalam hati diam-diam dia mengambil keputusan, jika kematian Ho Liang telah diketahui akibat keracunan oleh jarum lebah hijau, maka secepat kilat dia akan menotok jalan darah pingsan Bouw It-yu, kemudian melarikan diri ke bawah gunung, dia tidak ingin kasusnya ketahuan gurunya. Perlahan-lahan Bouw It-yu menjawab, "Tidak ditemukan sesuatu gejala di tulang belulang Ho Liang, selesai melakukan pemeriksaan Ciangbunjin menyimpulkan kalau dia mati karena emosi yang tidak terkendali, bisa jadi secara tiba-tiba dia kena serangan jantung sehingga mati mendadak!"

Diam-diam Put-ji menghembuskan napas lega, dia merasa seolah-olah batu besar yang menindih di atas dadanya sudah tersingkirkan. Namun perasaan heran tetap mencekam hatinya, rasa keheranan yang luar biasa. Mungkin orang lain tidak tahu, tapi dia mengetahui dengan jelas sekali, dia tidak percaya kalau sambitan jarum lebah hijau dari Siang Ngo-nio waktu itu tidak berhasil mengenai tubuh Ho Liang.

"Kelihatannya Suheng menaruh perhatian luar biasa terhadap pelayan tua mendiang gurumu itu?" tiba-tiba Bouw It-yu berkata. Tercekat hati Put-ji. "Jangan sampai dia mengetahui rahasia hatiku," pikirnya cepat, segera katanya, "Orang tua itu sangat akrab denganku, dialah yang merawat aku hingga dewasa, sikapku terhadapnya sama seperti sikapku terhadap Suhu, telah kuanggap sebagai angkatan tuaku sendiri."

"Ooh, rupanya begitu. Ehm, omong-omong aku malah merasa tidak enak sendiri."

"Kenapa?" Put-ji tak habis mengerti. "Karena aku telah melakukan sesuatu perbuatan yang merugikan orang tua itu."

"Ah, Sute sedang bergurau. Semasa masih hidup dulu kau tidak pernah bersua dengannya, darimana bisa melakukan perbuatan yang merugikan dia?"

"Bukan semasa dia masih hidup, tapi setelah mati."

"Apa maksudmu?"

"Ketika memasukkan tulang belulang ketiga orang itu ke dalam karung, lantaran karungnya agak kecil dan lagi aku tidak ingin tersiksa waktu membawanya pulang, maka aku lebih mengutamakan tulang belulang Bu-kek Tianglo, kemudian baru tulang Keng King-si, itulah sebabnya hanya tulang kedua orang ini yang kubawa lengkap, sedangkan tulang milik orang tua itu...."

"Kau tidak membawa pulang tulang belulangnya?" seru Put-ji bermandikan keringat dingin.

"Ya, kecuali tulang tengkorak kepalanya, tulang yang lain telah kubawa serta, maklum karungnya kecil dan sudah tidak muat." Tentu saja Put-ji tidak percaya dengan penjelasan itu, namun untuk sesaat dia pun tidak tahu bagaimana harus menanggapi perkataan itu. Kembali Bouw It-yu berkata, "Tidak heran kalau Suheng jadi marah, memang tidak seharusnya aku kelewat egois sehingga melakukan perbuatan semacam ini."

"Aku tidak menyalahkan dirimu, sudah kenyataan seorang pelayan tua memang tidak bisa menandingi nilai seorang Tianglo sebuah perguruan besar."

"Tapi dia orang tua sedikit berbeda dengan kebanyakan orang. Dia adalah kerabat Suheng dan sudah dianggap orang tua sendiri. Cuma.... tentang kerangka kepalanya...." Biarpun Put-ji berusaha menenangkan diri, tidak urung ia bertanya juga, "Ada apa?"

"Waktu itu ketiga sosok kerangka manusia itu telah kukeluarkan, liang kubur pun telah kutimbun kembali. Padahal tengkorak kepalanya tidak sempat kubawa, jadi terpaksa...."

"Kau buang?"

"Untung tidak sampai kubuang, kalau tidak, aku bakal semakin bersalah kepada dia orang tua dan dirimu. Aku telah membuat liang kecil di sekitar sana untuk mengubur tengkorak kepala itu, jika kau ingin menemukannya kembali, mungkin kita masih dapat mengambilnya. Suheng, perlukah kita segera berangkat ke sana untuk membawanya kembali?"

"Kita bicarakan lain waktu saja, toh kerangka tubuhnya sudah tidak utuh, mau dikubur kemana pun tengkorak kepalanya, aku rasa sama saja."

"Betul," Bouw It-yu manggut-manggut, "kini Suheng adalah bakal Ciangbunjin, masih banyak urusan penting lain yang harus Suheng selesaikan, bagaimana mungkin ada waktu untuk mengurus masalah yang tidak penting. Justru aku yang agak bodoh, masa tidak bisa memilah mana urusan penting dan mana yang tidak." Bouw It-yu menyebut dirinya 'bodoh', padahal Put-ji sedikit pun tidak merasa bodoh apalagi pikun. Orang yang mati keracunan biasanya seluruh tulang belulangnya akan berubah jadi hitam. Sekalipun sudah mati banyak tahun pun gejala itu masih dapat dijumpai bila kita periksa tulang belulangnya. Hal semacam ini merupakan pengetahuan umum dan diketahui kebanyakan orang. Tapi ada satu pengecualian. Tewas karena jarum lebah hijau menembusi otaknya merupakan satu pengecualian. Jarum lebah hijau mengandung racun yang amat ganas, begitu mengenai otak seseorang, maka semua saraf yang ada dalam otak akan lumpuh, sirkulasi darah pun akan ikut berhenti juga. Oleh karena itu kandungan racunnya hanya tertinggal di dalam otak dan tidak mungkin menyebar ke bagian tubuh lainnya. Itu berarti tanda keracunan hanya akan dijumpai di tengkorak bagian kepala saja, sementara tulang belulang bagian lainnya tidak jauh berbeda dengan tulang belulang manusia kebanyakan. Put-ji tahu kalau Ho Liang tewas karena dibokong oleh Siang Ngo-nio, tapi dia tidak tahu secara pasti jarum lebah hijau itu sudah menghajar bagian tubuh yang mana pada diri Ho Liang. "Jangan-jangan Bouw It-yu berhasil mengenali gejala keracunan itu dari tengkorak kepalanya hingga sengaja tidak menyerahkan kepada Ciangbunjin?" demikian dia berpikir, "keluarga Bouw mereka tersohor karena kehebatan ilmu silatnya, pergaulan mereka pun sangat luas. Meskipun hubunganku dengan Siang Ngo-nio berlangsung secara rahasia, lagi pula hanya dalam jangka waktu singkat, namun asal mereka mau melakukan pelacakan atas rahasiaku, rasanya tidak gampang untuk mengelabui mereka."

Diam-diam dia mencoba untuk mengawasi mimik wajah Bouw It-yu, namun sikap pemuda itu selalu tunduk dan hormat, sama sekali tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan dari wajahnya. "Mengapa dia harus melakukan tindakan ini? Jangan-jangan sama seperti Bu-liang Tianglo, ingin menggunakan kejadian itu untuk mengompasku setelah aku berhasil menjabat posisi Ciangbunjin?" kembali Put-ji berpikir.

Semakin dibayangkan dia semakin curiga dan bimbang, hatinya amat masgul dan kesal. "Atau mungkin semua itu hanya dugaanku dan kecurigaanku belaka? Pepatah mengatakan, serangan air bah dibendung dengan tanah, serangan panglima dihadang dengan tentara, sampai sekarang aku masih belum jelas maksud tujuannya, lebih baik aku baru bertindak bila dia sudah melakukan suatu gerakan." Setelah mengambil keputusan, dia pun balik bertanya kepada Bouw It-yu, "Bouw-sute, beruntung kali ini ada kau yang mengantar Put-coat Suheng pulang gunung, sayang aku terlambat mendapat berita ini hingga tidak bisa ikut menyambutmu di bawah bukit, bahkan tidak sempat pula berbicara untuk terakhir kalinya dengan Suheng. Apakah dia sempat menitipkan pesan untukku?"

"Sewaktu berada di bukit Boan-liong-san, luka yang dideritanya sudah sangat parah, waktu itu dia hanya mampu menyerahkan tugas kepadaku kemudian tidak sadarkan diri. Dia sudah pingsan selama tujuh hari tujuh malam sebelum tiba di gunung Bu-tong. Suheng baru bisa tersadar kembali sesudah memperoleh pertolongan Ciangbunjin."

Put-ji sengaja menghela napas panjang. "Aai, rupanya dia sudah jatuh pingsan selama tujuh hari tujuh malam, sayang lukanya tidak sempat terobati, coba dia bisa tiba satu-dua hari lebih awal, mungkin keadaannya bisa berbeda."

"Aai, sebenarnya aku pun tahu kalau lukanya harus segera diobati, sayang kemampuan tenaga dalam-ku cetek sehingga walaupun ada niat namun tidak berdaya karena tidak punya kekuatan. Untuk keterlambatan ini harap Suheng mau memaafkan."

Di balik nada suaranya, jelas kedengaran kalau dia mulai tidak senang. Buru-buru Put-ji berkata lagi, "Bouw-sute, kau tidak perlu menyesal dan kau pun tidak usah berpikir yang bukan-bukan. Aku tahu kau telah berusaha semaksimal mungkin, untuk itu aku merasa berterima kasih sekali. Aku pun tahu dalam perguruan kita sekarang, hanya Ciangbunjin dan Bu-liang Tianglo berdua yang memiliki kekuatan tenaga dalam sehebat itu."

"Baguslah bila Suheng pun memahami akan hal ini. Dan itu pula alasannya mengapa aku tidak berusaha mengobati lukanya sepanjang jalan. Tenaga dalamku cetek, ilmu silat perguruan pun baru mengerti sedikit, padahal luka dalam yang diderita Put-coat Suheng hanya bisa diobati oleh jago perguruan kita yang memiliki tenaga dalam sempurna. Cuma.... Suheng, tadi kau mengatakan kalau dalam perguruan kita hanya ada dua orang yang memiliki tenaga dalam sehebat itu, apakah ucapan itu tidak kelewat merendahkan diri sendiri?" Sementara dia berusaha membela diri dengan mengemukakan berbagai alasan, ternyata pemuda ini tidak lupa menyanjung bakal Ciangbunjin ini dengan beberapa patah kata manis.

"Aah, mana berani aku dibandingkan dengan kehebatan Ciangbun Suhu serta ketua Tianglo, kalau mau dipaksakan pun kemampuanku paling hanya setengah mereka. "Ooh benar, bicara tentang Ciangbun Suhu dan Tianglo, aku ingin tanya, sewaktu naik gunung tadi, apakah kau bertemu Bu-liang Tianglo terlebih dulu?" Rupanya setelah bicara berputar-putar, akhirnya dia kemukakan juga pertanyaan yang selama ini mengganjal dalam hatinya.

"Benar," Bouw It-yu mengangguk, "ah, waktu itu aku hanya berpikir ingin cepat bertemu Ciangbun Suhu hingga sesaat lupa untuk minta tolong kepada Bu-liang Tianglo agar melakukan pertolongan pertama. Hanya saja.... aku rasa kalau selisih waktu pun paling cuma setengah batang hio, jadi tidak semestinya...."

"Bouw-sute tidak perlu menyesali diri sendiri, betul, kalau selisih waktu paling hanya setengah batang hio. Apakah waktu itu Bu-liang Tianglo sempat memeriksa denyut nadi Put-coat Suheng?"

"Tidak, sama sekali tidak," tampaknya Bouw It-yu merasa keheranan atas pertanyaan ini.

"Ooh, setahuku Bu-liang Tianglo sangat menguasai ilmu pertabiban, karena itulah aku mengajukan pertanyaan itu."

"Bu-liang Tianglo hanya mengajukan beberapa pertanyaan secara tergesa-gesa, kemudian minta aku secepatnya bertemu Ciangbunjin."

"Ooh, rupanya kalian bersama-sama menghadap Ciangbunjin?"

"Tidak, dia menyusul kemudian bersama Bu-si Tianglo." Kuatir adik seperguruannya curiga, Put-ji tidak bertanya lebih jauh, katanya kemudian, "Bouw-sute, kau pasti sudah menempuh perjalanan siang malam, lebih baik cepatlah pergi beristirahat."

"Suheng, kau pun harus baik-baik menjaga diri, jangan kelewat bersedih, masih banyak urusan penting perguruan yang berada di atas bahumu."

Setelah kedua orang itu berpisah, Put-ji berjalan seorang diri sambil berpikir, "Bila kejadiannya seperti apa yang dia katakan, berarti Bu-liang Tianglo sama sekali tidak menyentuh sang penderita, lalu siapa yang telah mencelakai Put-coat?" Simpul mati ini membuat dia pusing, bingung dan tidak habis mengerti, akhirnya sambil tertawa getir pikirnya pula, "Pepatah kuno mengatakan lebih baik menyapu pekarangan sendiri dan tidak usah mencampuri salju di atap tetangga. Asal Suhu tidak menaruh curiga kepadaku, kenapa aku mesti repot-repot pergi menyelidki siapa yang telah mencelakai Put-coat Suheng? Hanya saja tengkorak kepala itu masih tetap merupakan bibit bencana bagiku di kemudian hari, badai dan ombak dahsyat pun telah berhasil kulewati, tidak lucu kalau sampai aku harus menderita kapal karam di sungai kecil. Bouw It-yu tampaknya merupakan seorang lawan yang sangat lihai, aku harus hati-hati menghadapinya."

Sebagaimana diketahui, sepanjang hidup dia telah melakukan dua kesalahan besar, pertama, karena 'salah membunuh' adik seperguruannya, Keng King-si. Kedua, karena dia pernah mempunyai hubungan istimewa dengan Siang Ngo-nio yang terkenal dalam dunia persilatan sebagai perempuan siluman berhati busuk.

Benarkah Keng King-si bersekongkol dengan bangsa Boan untuk mengkhianati perguruan? Hingga kini masalah itu masih diliputi tanda tanya, oleh karena itu apakah dia telah 'salah' membunuh atau tidak, sampai sekarang pun belum ada kepastian. Tapi andaikata dia benar-benar telah salah membunuh pun menurut situasi yang dihadapinya saat itu, dia masih punya alasan yang kuat untuk membela diri, semisal situasi terdesak pun paling dia hanya akan mengaku sebagai 'salah' membunuh. Kesalahan semacam ini menurut dugaannya tidak bakal mempengaruhi prosesinya menjadi pengganti Ciangbunjin, sebaliknya bila orang lain sampai tahu dia punya hubungan khusus dengan Siang Ngo-nio, apalagi kalau sampai diketahui juga bahwa jauh sebelum kejadian dia sudah tahu kalau Ho Liang mati karena terhajar jarum beracun yang dilepas Siang Ngo-nio tapi selama ini dirinya berusaha merahasiakannya, tidak usah diprotes orang pun dia merasa tidak punya muka lagi untuk menancapkan kaki di gunung Bu-tong. Di saat dia masih murung dengan pikiran yang sangat kalut itulah tiba-tiba Bu-liang Totiang sekali lagi muncul di hadapannya. "Begitu lama kau berbincang dengan Bouw It-yu, bisa diduga ada berita baik yang telah dia sampaikan kepada-mu bukan?"

"Darimana Susiok bisa menduga dia datang membawa berita gembira?" balas Put-ji sambil berusaha mengendalikan gejolak perasaannya, "dia tidak lebih hanya menceritakan pengalamannya ketika mengantar Put-coat Suheng balik ke gunung."

"Bukankah itu merupakan sebuah berita gembira? Bayangkan sendiri, kalau dia tidak menganggap kau sebagai bakal Ciangbunjin, buat apa mesti memberi laporan kepadamu?"

"Aah, mana bisa dibilang kalau hal ini merupakan satu kejadian besar. Terus terang, kalau bukan dibina dan didukung Tianglo, mungkin tempat berpijak bagiku di Bu-tong-san pun tidak ada, mana berani mengharapkan kedudukan Ciangbunjin?" Nada bicaranya saat ini sudah jauh berbeda, maksud lain di balik perkataan itu adalah asal Bu-liang Totiang bersedia mendukung dia menjadi Ciangbunjin, dia pun tidak akan menampik untuk melakukan apa pun. Bu-liang Totiang segera tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, bukankah sudah kuutarakan sejak awal, aku pasti akan mendukungmu, masa baru sekarang percaya? Justru karena aku sangat memperhatikanmu maka sengaja kunanti kedatanganmu di sini, coba kalau tidak, mungkin aku sudah pergi sejak tadi."

Tempat dimana dia mengajak Bu-liang Totiang berbicara sekarang berada lebih kurang satu li dari tempat dimana dia berbicara dengan Bouw It-yu tadi, dari jarak yang begitu jauh rasanya mustahil bagi Tosu itu untuk menangkap semua pembicaraannya kendatipun dia menempelkan telinganya di atas permukaan tanah. Tapi bila Bu-liang Totiang yang dulunya memang tidak berada di situ, tapi berbalik ke situ setelah mendengar suara langkah kakinya, jelas hal ini susah untuk dikatakan.

"Aah, peduli amat dia sempat mendengar atau tidak, selama dia berlagak bodoh, kenapa aku pun tidak berlagak bodoh. Toh dia berniat memperalat aku, apa salahnya kalau aku pun memperalat dia?" demikian Put-ji berpikir.

"Bagaimana keadaan gurumu?" tiba-tiba Bu-liang Totiang bertanya.

"Maksudmu?" seru Put-ji tertegun. Biarpun dia pintar, tidak urung kali ini dibuat bingung juga oleh pertanyaan itu. Sebagaimana diketahui, kesehatan Ciangbunjin merupakan masalah terbesar yang paling dikuatirkan setiap anggota Bu-tong-pay saat ini, khususnya bagi Putji pribadi. Sebab dialah orang pertama yang langsung terpengaruh oleh kejadian itu. Itulah sebabnya Bu-liang Totiang sengaja mengajukan pertanyaan itu, karena dengan pertanyaan itu dia dapat menyelidiki reaksinya. Diam-diam Put-ji merasa sangat menyesal, menyesal kenapa tidak menanyakan kesehatan Suhu dari mulut Bouw It-yu tadi. Namun dia pun tidak berani mengakui kekhilafannya itu di depan Bu-liang Totiang, baginya lebih baik ditegur oleh Susioknya ini daripada semisal dia balik bertanya, "Begitu lama kau berbincang dengan Bouw It-yu, sebenarnya urusan besar apa yang sedang kalian bicarakan?" Pertanyaan semacam ini jelas merupakan sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Terpaksa Put-ji memberi penjelasan sebisanya, katanya, "Usia Suhu sudah mencapai delapan puluh tahunan, setelah mengalami berbagai peristiwa dan perubahan, sudah barang tentu kesehatan maupun kesegaran tubuhnya jauh berbeda dibanding dengan hari biasa. Hanya saja menurut laporan It-yu, secara garis besar kondisi tubuhnya tidak terlampau jelek, sewaktu memerintahkan It-yu untuk menyerahkan tulang belulang Bu-kek Tianglo kepadanya, dia masih sanggup memeriksa tulang belulang itu satu demi satu dengan seksama."

"Jadi itukah yang dibeberkan It-yu kepadamu? Tentu saja dia merasa kurang leluasa untuk mengungkap kondisinya kelewat parah. Padahal menurut pandanganku, hawa murni Ciangbun Suheng telah mengalami kerusakan yang parah, malah.... malah keadaannya begitu parah hingga susah untuk diobati lagi. Sutit, bukannya aku sengaja mensyukuri kejadian ini, tapi kelihatannya saat kau menjabat sebagai Ciangbunjin sudah tidak lama lagi. Mulai sekarang kau harus membuat persiapan, daripada sampai waktunya kau kelabakan sendiri."

"Jika apa yang diucapkan Susiok benar, dalam keadaan kalut dan sedih, mana mungkin Tecu bisa mengambil segala keputusan? Harap Susiok mau mengaturkan semuanya bagiku," sahut Put-ji dengan air mata meleleh membasahi pipinya.

"Hahaha, bagus, bagus, ternyata kau sangat memahami maksud hatiku, kau memang pantas menjadi orang besar bagi perguruan kita. Bagus.... bagus.... semoga kau selalu teringat dengan perkataanmu hari ini, berbuatlah sebaik mungkin!" Secara beruntun dia mengucapkan kata "bagus" berkali-kali, hal ini menunjukkan rasa pujiannya kepada keponakan muridnya itu.

Bagi Put-ji sendiri, walaupun dia tidak berani memberikan 'senyum penuh pengertian' kepadanya, namun jelas jalan pikirannya sudah seia sekata dengan paman gurunya itu. Malam itu dia tidak dapat tidur nyenyak, benaknya dipenuhi berbagai masalah dan pikiran, khususnya peristiwa yang mungkin bakal terjadi keesokan harinya. Sekalipun besok, belum tentu gurunya secara resmi akan mengangkat dia menjadi penerus Ciang-bunjin, paling tidak dia berharap niat itu dapat disebar luaskan kepada umum. Malam yang gelap akhirnya berlalu, hari esok sekarang telah berubah menjadi hari ini. Tidak ada peristiwa apa pun yang terjadi, karena dia sama sekali tidak dapat bertemu gurunya.

Si tojin bisu tuli bertugas menjaga pintu gerbang, ketika dia mohon bertemu pertama kali tadi, dengan gerakan tangannya yang khas tojin bisu tuli memintanya untuk segera mengundurkan diri. Ketika dia memohon untuk kedua kalinya, si Tojin bisu tuli bukan saja tidak menggubris, bahkan pintu gerbang ditutupnya rapat-rapat. Hari ini dia gagal bertemu Suhu, begitu juga pada hari kedua.

Bukan dia seorang saja yang tidak dapat bertemu Suhu, Bu-liang Totiang serta Bu-si Tojin pun gagal berjumpa Ciangbunjin, nasib mereka setali tiga uang dengan dirinya. Tentu saja tojin bisu tuli sedang melaksanakan perintah Ciangbunjin, kalau tidak, mana berani dia bersikap seperti itu terhadap kedua orang Tianglo itu. Sebagai seorang Tianglo, ternyata Bu-liang Totiang serta Bu-si Tojin harus ditolak menghadap, tentu saja kejadian ini membuat mereka jadi kikuk, canggung dan serba salah.

Kalau mereka hanya canggung dan kikuk, berbeda dengan Put-ji, selain terkesiap, dia pun penuh diliputi rasa curiga dan tidak tenang. Sebab dia merasa kedudukan dirinya jauh berbeda dengan kedua orang Tianglo itu, kini dia sudah menjadi satu-satunya murid Ciangbunjin, apalagi pergaulannya selama enam belas tahun boleh dibilang membuat hubungan batin mereka melebihi ayah dan anak, berbeda dengan hubungan kedua orang Tianglo itu.

Tapi mengapa Suhunya selain enggan bertemu kedua orang Tianglo itu, mengapa enggan juga bertemu dirinya? Atau mungkin Suhunya sudah mengetahui tingkah lakunya yang tidak jujur sehingga tidak lagi mempercayainya? Untung saja jawaban itu bukan merupakan satu-satunya jawaban. Mungkin saja Bu-liang Totiang sedang mengejek dirinya, mungkin juga dia hanya melakukan praduga terhadap masalah yang mungkin terjadi, namun baginya, dia masih mempunyai sebuah penjelasan lain.

Bisa jadi Ciangbunjin menderita luka dalam yang parah hingga perlu menutup diri untuk berlatih, bagi orang yang mempelajari tenaga dalam tingkat tinggi, di saat bersemedi, dia memang tidak bisa diganggu segala suara maupun kejadian. Agar dapat mententeramkan hati sendiri, terpaksa Put-ji harus menerima penjelasan yang terakhir. Walaupun dia sudah menerima penjelasan ini, pada hari ketiga dia tetap datang tepat pada saatnya untuk memberi salam kepada gurunya. Pada hari ini tidak nampak Bu-liang Totiang maupun Bu-si Tojin, mungkin lantaran gengsi dan juga karena sudah dua hari beruntun ditolak untuk bertemu, maka hari ini tidak nampak mereka datang berkunjung. Hari ini Put-ji datang dengan mengajak serta Lan Giok-keng. Di luar dugaan, ternyata hari ini terjadi sedikit perubahan. Ketika melihat kehadiran Lan Giok-keng, si tojin bisu tuli itu kelihatan sangat gembira. Setelah masuk ke dalam, dia muncul kembali sambil memberi tanda. Kepada Put-ji dia menggoyangkan tangannya berulang kali sementara terhadap Lan Giok-keng justru menggapai, jelas sekali dia mengundang Lan Giok-keng untuk masuk ke dalam. Sambil tertawa paksa Put-ji pun segera berkata, "Keng-ji, tidak kusangka rejekimu sungguh bagus, ternyata orang yang paling disayang Sucouw tetap adalah dirimu, cepat masuk dan jangan lupa sampaikan salamku untuk Sucouw."

Tojin bisu tuli itu hanya memperkenankan Lan Giok-keng seorang yang masuk ke dalam, Put-ji yang sebenarnya ingin menunggu di luar pintu ternyata diusir pergi dari situ. Terpaksa dengan perasaan tidak senang Put-ji balik kembali ke To-koan sendiri, dengan susah payah akhirnya hingga menjelang senja baru nampak Lan Giok-keng balik kembali. "Bagaimana dengan Sucouw?" buru-buru Put-ji bertanya. "Sucouw kelihatan kurus dan menakutkan, kedua pipinya cembung ke dalam. Wajahnya seperti diliputi selapis hawa berwarna abu-abu, hanya sepasang matanya yang kelihatan masih bersinar. Coba kalau bukan di hari biasa Sucouw amat menyayangi aku, mungkin aku benar-benar tidak berani mendekatinya." Mendengar laporan itu, di samping gembira Put-ji pun merasa kuatir, kembali tanyanya, "Apa saja yang telah dikatakan Sucouw kepadamu?"

"Sambil membelai kepalaku, Sucouw memuji aku sebagai anak baik."

"Tentu saja Sucouw amat menyayangimu," kata Put-ji cepat, sementara hatinya merasa kecut sekali, "Tapi.... bukankah kau sudah pergi sangat lama, tentunya masih ada persoalan lain yang dibicarakan bukan?"

"Ya, ada, bahkan kejadian yang sama sekali tidak kuduga!"

"Kejadian apa yang tidak kau duga?" seru Put-ji terkejut.

"Sucouw bertanya kepadaku, bagaimana dengan latihan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoatku? Aku pun menjawab bahwa seluruh rangkaian ilmu pedang itu telah selesai kupelajari, hanya tidak diketahui bagus tidak hasil latihanku itu?" Sebelum mengajarkan ilmu pedang kepada muridnya, terlebih dulu Put-ji telah minta ijin kepada Ciangbunjin. Hanya saja dia sedikit tercengang dan di luar dugaan karena tidak menyangka dalam keadaan sakit, Ciangbunjin bukannya bertanya soal lain justru pertanyaan itulah yang pertama diajukan. "Jadi Sucouw minta kau mempraktekkan di hadapannya?" tanya Put-ji kemudian. "Bukan cuma mempraktekkan, bahkan Sucouw minta aku bertanding pedang melawan tojin bisu tuli."

"Bertanding pedang melawan tojin bisu tuli?" Put-ji tertegun. "Benar. Suhu, kau tidak menyangka bukan? Aku diminta bertarung melawan seorang tosu tua yang bisu tuli, bahkan di hari biasa pun berjalan sambil membungkukkan badan, belum pernah kudengar kalau orang ini pernah berlatih ilmu silat."

"Tentunya kau tidak mampu melawan dia bukan?"

"Senjata yang dia gunakan bukan pedang sungguhan, melainkan pedang kayu yang dibuat saat itu juga. Waktu itu dia mengambil sebatang kayu bakar, terus telapak tangannya seperti sebilah golok tajam saja, menyayat ke kiri dan kanan, tidak selang beberapa saat kemudian jadilah sebilah pedang kayu yang panjangnya tiga kaki dengan lebar tiga inci. Bayangkan saja, lihai bukan kemampuannya? Tapi saat itu aku berpikir begini, biar telapak tanganmu lihai, namun mana mungkin pedang kayumu sanggup menandingi ketajaman pedang bajaku? Asal kubabat pedang kayunya hingga putus, dia mau bertanding pakai apa? Siapa sangka pedang kayunya begitu ringan bagaikan selembar kertas saja yang menempel di atas pedangku, sampai aku selesai memperagakan rangkaian ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, pedangku tidak pernah mampu mematahkan pedang kayunya. Ketika sampai jurus terakhir, tiba-tiba aku merasa ada satu kekuatan besar yang menghisap pedangku, bukan saja aku gagal mematahkan pedang kayunya, sebaliknya malah pedangku yang berhasil dia rampas!" Put-ji tertawa paksa.

"Sudah puluhan tahun lamanya tojin bisu tuli melayani Ciangbunjin, tidak aneh jika dia pun pandai bersilat." Biarpun di mulut dia berkata begitu, dalam hati diam-diam merasa terkejut juga, pikirnya, 'Bukankah ilmu silat yang dimiliki tojin bisu tuli sudah jauh melampaui kemampuanku? Tidak disangka selama belasan tahun dia selalu menyembunyikan identitasnya hingga aku pun nyaris berhasil dia kelabui.' Namun baginya kehebatan ilmu silat yang dimiliki Tojin bisu tuli hanya merupakan masalah kedua, yang paling penting sekarang adalah ingin mencari tahu apa maksud tujuan gurunya meminta Lan Giok-keng bertarung melawan tosu itu.

"Selesai bertanding apa kata Sucouw kepadamu?" tanyanya. "Apa yang kemudian diucapkan Sucouw pun sama sekali di luar dugaanku, dia hanya mengucapkan tiga patah kata."

"Tiga patah kata?"

"Ya, tiga patah kata," sahut Lan Giok-keng sambil menirukan lagak Sucouwnya, "Bagus, bagus sekali!"

"Tidak ada perkataan lain?" gumam Put-ji terkejut bercampur keheranan.

"Selesai mengucapkan ketiga patah kata itu Sucouw segera memejamkan matanya bersemedi, aku pun tidak berani lagi mengganggu dia orang tua."

"Bagus, bagus sekali!", apa maksudnya? Kalau di dengar sepintas seolah-olah dia sedang memuji permainan pedang Lan Giok-keng yang dianggap bagus sekali, tapi dengan kedudukannya sebagai seorang Ciangbunjin yang memiliki kepandaian silat tinggi, sekalipun bukan seorang ahli pedang, apakah dia tidak dapat melihat kalau ilmu pedang yang dilatih Lan Giok-keng hanya jurus kembangan yang sama sekali tidak berguna? Bila penjelasan ini tidak benar, berarti tinggal satu penjelasan lagi. Kata "Bagus, bagus sekali!" itu tentu mengandung arti kebalikan. "Jangan-jangan Suhu sudah tahu akan keegoisanku, hanya saja sungkan untuk berterus terang di hadapan anak Keng? Karena merasa sangat tidak puas, maka dia sengaja mengucapkan ketiga patah kata itu?" "Jika Suhu menegurku secara langsung, mungkin tidak sulit bagiku untuk memberi penjelasan. Yang aku takuti justru bila Suhu menaruh curiga kepadaku, tidak mungkin perasaan itu dia kemukakan."

Masih ada satu persoalan lagi yang membuatnya tidak tenteram, selain 'kecurangan' yang telah dia lakukan sewaktu mewariskan ilmu pedang kepada Lan Giok-keng, mungkinkah Suhunya berhasil juga menemukan 'kecurangan' lain yang telah diperbuatnya? Belum sempat dia menanyakan hal ini kepada muridnya, tiba-tiba Lan Sui-leng muncul di tempat itu. Selesai memberi hormat kepada Put-ji, gadis itu langsung menegur adiknya, "Apakah kau sudah lupa hari apakah sekarang ini?"

"Hari apa?" tanya Lan Giok-keng tertegun.

"Coba lihat," omel Lan Sui-leng sambil menggeleng kepala berulang kali, "ternyata kau benar-benar lupa! Hari ini kan hari ulang tahun ayah."

"Aah betul," seolah baru sadar, teriak Lan Giok-keng, "Aku seharusnya teringat akan hal ini, tapi belakangan...."

"Aku paham. Belakangan kau memang sedang kesal dan masgul gara-gara peristiwa yang menimpa Supek serta Sucouwmu. Aku tidak akan menyalahkan dirimu. Ayoh ikut aku pulang, kita semua sedang menunggumu untuk makan bersama." Menyusul kemudian kepada Put-ji katanya, "Suhu, sebetulnya ayah ingin mengundangmu meneguk secawan arak dan makan dua biji bakpao. Tapi ayah kuatir kau sedang melayani Ciangbun cinjin sehingga tidak berani mengganggumu." Tentu saja Put-ji tidak mungkin menghalangi muridnya agar tidak pulang memberi selamat kepada ayahnya, terpaksa dia berkata, "Aku adalah saudara lama ayahmu, seharusnya aku ikut Keng-ji untuk menyampaikan selamat kepadanya. Tapi.... aai, kau sendiri juga tahu, belakangan aku kelewat repot, rasanya susah membagi diri untuk urusan lain, baiklah biar anak Keng saja yang mewakiliku menyampaikan ucapan selamat."

Malam itu, pikiran dan perasaan Put-ji sangat kalut, dia berusaha memejamkan mata namun tidak juga dapat tidur. Akhirnya setelah berjuang dengan susah payah, menjelang kentongan kelima dia terlelap juga dalam tidurnya. Ternyata di dalam mimpi pun dia belum bisa mendapatkan ketenangan, dalam tidurnya dia seolah-olah balik kembali ke gunung Boan-liong-san, di tengah hujan badai yang deras, dia seolah melihat Keng King-si yang berlepotan darah berjalan menghampirinya, menyusul di belakangnya Ho Giok-yan, perempuan itu dengan rambut kusut dan wajah penuh amarah sedang memandangnya dengan mata mendlik, menyusul kemudian tampak Ho Liang menunjukkan tengkorak-kepalanya yang berlubang dan tiba-tiba roboh terjungkal di hadapannya. Aah, Siang Ngo-nio pun ikut datang, ia mengenakan baju berwarna merah darah, bibirnya yang kecil mungil tiba-tiba berubah jadi besar dan lebar, selebar ember rongsok, dia sedang menyeringai dengan bibir lebarnya sambil tertawa mengejek....

Mendadak suara guntur membangunkan dia dari tidurnya. Ternyata bukan suara guntur. Suara guntur yang terdengar dalam alam mimpinya ternyata adalah suara genta. Tapi suara genta itu justru lebih mengagetkan, lebih mengejutkan dirinya daripada suara guntur. Ternyata suara genta itu berasal dari puncak Giok-hong-teng. Suara genta yang berasal dari genta besar di pagoda Leng-siau-kek, puncak Giok-hong-teng.

Konon genta tembaga itu beratnya mencapai tiga ribu tujuh ratus kati, asal suara genta itu dibunyikan, maka seluruh anggota perguruan yang tersebar di bukit Bu-tong akan mendengarnya dengan jelas. Tapi genta itu tidak pernah dibunyikan bilamana tidak ada kejadian penting atau gawat. Menurut aturan, setiap tahun genta itu hanya dibunyikan tepat di hari kelahiran Lo-kun. Atau kalau tidak, genta itu baru dibunyikan bila sedang menghadapi peristiwa besar yang perlu untuk mengumpulkan seluruh anggota perguruan.

Sudah enam belas tahun lamanya Put-ji berada di gunung Bu-tong, kecuali setiap tahun satu kali di saat hari kelahiran Lo-kun, belum pernah dia mendengar suara genta itu di hari-hari biasa. Hari ini bukanlah hari kelahiran Lo-kun. Tapi.... mengapa genta itu dibunyikan? Untuk memperingati hari kelahiran Lo-kun, setiap kali genta itu hanya dibunyikan tujuh kali, tapi sekarang suara genta itu dibunyikan bertalu-talu, ketika mencoba dihitung, ternyata genta itu dibunyikan sebanyak dua puluh satu kali sebelum berhenti.

Dari penuturan kedua orang tianglo, dia pernah mendapat tahu bahwa suara genta yang dibunyikan dua puluh satu kali pertanda Ciangbunjin hendak mengumumkan masalah besar yang menyangkut mati hidupnya perguruan Bu-tong-pay. Sambil menggosok matanya dia menengok keluar kamar, ternyata matahari telah memenuhi jendela, hari sudah siang. Dia tidak menyangka hari ini akan begitu terlambat bangun dari tidurnya, teringat bagaimana semalam dia tidak dapat memejamkan mata, perasaan getir menyelimuti hatinya. "Peristiwa besar apa yang telah terjadi?" demikian dia berpikir, 'jangan-jangan aku masih berada dalam alam impian?' Hujan badai yang dialami dalam impian ternyata disambut hari yang cerah setelah mendusin, tapi sayang perasaannya kini justru jauh lebih gelap, lebih kelam ketimbang hujan badai. Terpaksa dia bersihkan muka dengan terburu-buru, lalu segera berangkat ke kuil Hok-tin-koan dimana Ciangbunjin berdiam.

Di depan kuil Hok-tin-koan terdapat sebuah pelataran yang luas dan datar, saat itu seluruh anggota perguruan yang mendengar suara genta itu sudah berdatangan dan berkumpul di sana. Put-ji datang sedikit terlambat, belum sampai dia tiba di tengah pelataran, tampak Ciangbun Suhu telah muncul dari balik kuil Hok-tin-koan. Bu-siang Cinjin dan seorang lelaki setengah umur berjalan bersanding, sementara kedua orang Tianglo mengikut di belakangnya. Paras muka Bu-siang Cinjin layu, kering dan kusut, persis seperti yang dilukiskan Lan Giok-keng semalam, wajahnya seakan-akan dilapisi oleh kabut berwarna abu-abu. Begitu menyaksikan kondisi wajah Ciangbunjinnya, hampir semua anggota perguruan merasa terkejut bercampur cemas.

Tapi bagi Put-ji, justru kehadiran lelaki setengah umur itulah yang paling membuatnya terkejut bercampur keheranan. Selama hidup belum pernah dia bertemu dengan orang ini, tapi sikap Ciangbun Suhu nampak begitu akrab dengan orang itu! Mungkinkah posisi dan kedudukan orang itu masih jauh di atas kedudukan Bu-liang Totiang serta Bu-si Tojin? Sementara Put-ji menduga-duga, dari arah belakang kembali berjalan keluar seseorang. Tosu setengah umur itu tidak lain adalah murid pertama Bu-liang Totiang, Put-pay.

Enam belas tahun berselang, sewaktu pertama kali Put-ji tiba di gunung Bu-tong, dia pernah dipersulit Put-pay, oleh sebab itu kesannya terhadap orang ini sangat buruk. Tapi Put-ji adalah seseorang yang pandai menahan diri, setelah naik gunung, meskipun posisinya sekarang adalah murid penutup Ciangbunjin yang status serta kedudukannya jauh di atas Put-pay, namun bukan saja dia tidak menunjukkan sikap bermusuhan atau ingin membalas dendam, bahkan berusaha merangkul Put-pay agar berpihak kepadanya. Put-pay bukan orang bodoh, tapi dia tahu kalau Suhunya ingin memperalat Put-ji, kalau sampai gurunya saja berusaha mengambil hati Put-ji, apalagi dirinya? Itulah sebabnya meskipun mereka berdua sama-sama berlagak hangat, namun dalam pandangan orang lain kedua orang itu justru sudah dianggap sebagai "sahabat karib."

Agak tertegun juga Put-ji begitu melihat Put-pay, pikirnya, "Biarpun dia tidak berani berlagak sebagai murid Ciangbunjin, paling tidak kedudukannya dalam perguruan masih dianggap senior, aneh, kenapa dia pun datang terlambat?"

Sekarang dia baru mulai memperhatikan balutan kain yang membungkus lengan kiri Put-pay, kelihatannya dia pun sedang menderita luka. Selesai saling menyapa, Put-pay pun menegur, "Apakah Ciangbunjin tidak memberi kabar dulu kepadamu, kenapa kau pun datang terlambat?"

"Aku senasib dengan gurumu, beberapa hari belakangan gagal bertemu Ciangbunjin. Sebenarnya apa yang telah terjadi?"

"Aku sendiri pun kurang jelas. Hanya kuketahui kalau perguruan kita telah kedatangan seorang tamu agung. Ehm, kalau dibilang tamu agung mestinya kurang pas, sebab biarpun dia memang tamu, namun sesungguhnya merupakan orang sendiri." Tergerak hati Put-ji, cepat bisiknya, "Kau maksudkan tamu yang berada di samping Suhu? Siapa orang itu?"

"Hah, masa dia pun tidak kau kenal?"

"Rasanya seperti sangat kukenal, cuma...."

"Coba perhatikan sekali lagi, mirip siapa dia?" Seperti baru tersadar dari mimpi, Put-ji segera berseru, "Aahh, betul, mirip Bouw It-yu!"

"Betul, dia adalah ayah Bouw It-yu, keluarga persilatan yang mempunyai hubungan paling dalam dengan perguruan kita, dia dihormati sebagai Tiong-ciu Tayhiap (pendekar dari daratan Tionggoan) Bouw Ciong-long!"

"Ooh, rupanya dia. Tidak heran Suhu pun bersikap hormat kepadanya."

"Justru yang paling kutakuti adalah setelah kehadirannya, perguruan kita bakal tertimpa banyak masalah."

"Kenapa?"

"Aku hanya menduga saja, semoga saja dugaanku keliru."

"Suheng, apakah lengan kirimu terluka?"

"Betul, luka ini merupakan persembahan dari Bouw-tayhiap."

"Apa yang terjadi? Jadi kalian sudah saling kenal?" seru Put-ji melengak. Dia sangka Put-pay lagi-lagi melakukan kesalahan seperti apa yang pernah dia lakukan terhadapnya enam belas tahun berselang, tapi setelah dipikir kembali, dia merasa dugaan seperti itu sangat tidak masuk akal dan lagi mustahil dia bisa berbuat begitu. Oleh karena itulah di balik ucapannya kepada Put-pay tadi, dia sisipkan maksud sebagai berikut, "Kalau memang kalian sudah saling mengenal, dan dia pun sudah tahu kau adalah murid pertama Bu-liang Totiang, sekalipun sikapmu terhadapnya kurang sopan, rasanya mustahil dia bakal turun tangan memberi pelajaran kepadamu." Tentu saja perkataan semacam ini tidak leluasa diungkap keluar, nampaknya Put-pay sangat paham akan maksudnya. Setelah tertawa getir, ujarnya, "Sute, kau sangka aku masih ceroboh dan gegabah seperti dulu? Kali ini justru aku bersikap kelewat hati-hati, kelewat hangat kepadanya maka aku tertimpa bencana ini."

Kalau memang sudah berhati-hati, kalau sudah bersikap hangat, kenapa Bouw Ciong-long masih 'memberi hadiah' kepadanya? Apa yang menyebabkan Put-pay terluka? Semakin mendengar, Put-ji merasa makin kebingungan. Ternyata beginilah ceritanya: Oleh karena nasib tragis yang menimpa Put-coat dan lagi Ciangbunjin sedang menderita sakit, penjagaan yang dilakukan di Bu-tong pun otomatis ditingkatkan dan makin ketat. Untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan, dipilihlah delapan belas orang tojin dari angkatan "Put" yang memiliki kungfu cukup bagus untuk melakukan perondaan siang malam. Dari angkatan "Put", sebenarnya kungfu Put-ji yang terhitung paling bagus dan tangguh, tapi berhubung dalam pandangan rekan seperguruan bahwa Put-ji merupakan 'bakal Ciangbunjin', maka dalam tugas perondaan ini mereka tak berani mengusiknya.

Pagi itu Put-pay yang mendapat giliran meronda di depan gunung. Ketika fajar baru saja menyingsing, ia sudah melihat ada seseorang sedang naik gunung. Pagi ini kabut sangat tebal, pada mulanya tidak terlihat dengan jelas siapa gerangan orang itu, setelah makin dekat dia baru tahu kalau orang itu adalah Bouw Ciong-long. Kehadiran Bouw Ciong-long secara tiba-tiba di gunung Bu-tong segera membuatnya tercengang, tapi belum sempat dia maju ke depan untuk menyapa, peristiwa lain yang jauh lebih tidak terduga telah berlangsung di hadapannya.

Dari balik kabut tebal, tepatnya dari belakang tebing terjal tiba-tiba muncul dua orang lelaki berbaju hitam. Bouw Ciong-long yang berjalan di tengah kabut ternyata melangkah dengan santainya, seolah dia sama sekali tidak tahu kalau ada orang hendak membokongnya dari belakang. Tanpa berpikir panjang buru-buru Put-pay melayang turun dari tempat ketinggian dan menggunakan pedangnya untuk melindungi Bouw Ciong-long.

Jurus Eng-ki-tiang-khong (sergapan elang di tengah udara) yang dia gunakan telah mengubah tubuhnya bagaikan panglima langit yang turun dari kahyangan, tidak disangka gerakan pedang lawan ternyata jauh lebih cepat dari gerak serangannya. Belum lagi tubuhnya menyentuh tanah, tahu-tahu hawa dingin yang menembus tulang telah menyayat tubuhnya, tidak jelas apa yang telah terjadi, lengan kirinya sudah terluka parah. Pada saat itulah terdengar "trang", pedang milik Put-pay masih berada dalam genggaman, sementara pedang lelaki yang menusuk lengannya itu justru sudah terjatuh ke tanah. Put-pay tahu dengan jelas, bukan dia yang menjatuhkan pedang lawan.

Setelah merasakan hawa dingin yang merasuk ke dalam tulang, rasa sakit yang luar biasa segera menyelimuti seluruh tubuhnya. Diikuti kemudian pedangnya ikut rontok ke bawah. Rasa sakit terasa menyayat hingga ke dasar lubuk hati membuat pandangannya jadi kabur, namun dia tahu dengan jelas, pastilah Bouw Ciong-long yang telah meroboh kan kedua orang lelaki itu, tapi bagaimana caranya menaklukkan mereka? Dia sama sekali tidak jelas. Saking kesakitan dia nyaris jatuh tidak sadarkan diri.

Bouw Ciong-long sepertinya telah mengucapkan sesuatu, tapi sayang dia tidak dapat mendengar dengan jelas. Tapi dia sempat mendengar lelaki berbaju hitam itu berteriak nyaring, "Dia dulu yang menusuk aku, jangan salahkan diriku!"

Rasa kaget membuat sakitnya sedikit berkurang, buru-buru dia menengok ke arah lelaki itu, tampak dia sedang mempersembahkan sebuah kotak kepada Bouw Ciong-long, dari sikap serta gerak-geriknya kelihatan dia sangat menaruh hormat.

"Baiklah," kata Bouw Ciong-long setelah menerima kotak itu, "serahkan saja kartu nama itu kepadaku, kalian tidak perlu ikut naik gunung."

Sepeninggal kedua orang lelaki itu, Bouw Ciong-long membubuhkan obat luka ke seputar luka tusukan di lengan Put-pay, kemudian katanya, "Maaf, gara-gara aku terlambat turun tangan hingga berakibat kau terluka. Untung tidak sampai melukai tulang, kau tidak usah meributi mereka lagi."

"Siapa kedua orang itu? Kenapa mereka seperti ingin membokong dirimu tadi?" tidak tahan Put-pay bertanya.

"Tidak nanti mereka mempunyai nyali sebesar itu. Mungkin lantaran berada di balik kabut yang tebal hingga tidak mampu melihat jelas, mereka tidak berani memastikan apa benar diriku, maka sengaja menggunakan cara menggertak untuk menjajal. Mereka datang karena mengantarkan kartu nama seorang sobat karib Ciangbunjin." Setelah mendengar penuturan Put-pay, diam-diam Put-ji merasa amat terperanjat, pikirnya, "Biarpun nama Put-pay belum tersohor, namun dalam perguruan ilmu silatnya masih terhitung cukup canggih, jurus sergapan elang di tengah udara yang digunakan terhitung jurus paling lihai dalam ilmu pedang Hong-lui kiam-hoat, tapi orang itu bisa melukai lawannya lebih dulu, padahal mencabut pedangnya belakangan, malah dalam satu gebrakan berhasil melukainya, jelas orang itu sangat tangguh, tapi Bouw Ciong-long berhasil mengendalikan kedua orang itu dalam sekejap, hal ini semakin membuktikan kungfu yang dimiliki Bouw Ciong-long sudah mencapai tingkatan yang luar biasa!"

Put-ji bukannya tidak tahu kalau Bouw Ciong-long minta Bu-si Tojin mengajari putranya ilmu pedang. Dia pun pernah mendengar pembicaraan rekan-rekan seperguruannya kalau ilmu silat keluarga Bouw makin lama semakin mundur. Dari rangkuman kejadian itulah membuat dia selama ini selalu memandang enteng kemampuan silat yang dimiliki Bouw Ciong-long. Tapi setelah mendengar penuturan peristwa yang menimpa Put-pay, dia mulai sadar bahwa berita yang tersebar selama ini tidak boleh dipercaya.

"Berarti lenganmu bisa selamat gara-gara Bouw-susiok turun tangan melindungimu? Tampaknya kau seperti sama sekali tidak dendam kepadanya?" tanya Put-ji.

"Hm, berbicara dari kemampuan silat yang dimiliki, andaikata dia betul-betul ingin melindungiku, seharusnya aku tidak perlu menderita luka," kata Put-pay jengkel, "menurut pendapatku, dia memang berniat membuat malu diriku."

"Lalu apa keuntungan baginya?"

"Paling tidak ada dua hal, pertama, bisa membuat nama baik dan kewibawaan guruku terganggu, orang lain pasti berkata, coba lihat, ternyata murid tertua Bu-liang Tianglo tidak sanggup menahan satu gempuran orang lain. Kedua, dari jurus serangan yang kugunakan, dia pun dapat meraba sampai dimana kemampuan ilmu silat yang dimiliki guruku."

"Jadi antara dia dengan gurumu memang ada konflik meski di luaran kelihatan berbaikan?"

"Aku tidak jelas apakah dia punya sakit hati atau tidak, tapi yang kuketahui dia mempunyai rencana busuk. Guruku adalah ketua para tianglo, sementara dia adalah pemimpin dari murid preman, bahkan masih terhitung ahli waris keluarga persilatan yang paling panjang sejarahnya dengan Bu-tong-pay, tentu saja dia iri dengan posisi guruku di dalam partai."

Perkataan ini sengaja dia ucapkan dengan kata yang berat dan tandas. Put-ji tidak berani menyela, baru saja Put-pay ingin mengucapkan sesuatu lagi, saat itulah tiba-tiba mereka saksikan Bouw It-yu sedang berjalan menghampiri mereka berdua. Cepat Put-ji berdehem berulang kali, buru-buru Put-pay tutup mulut dan maju menyongsong sambil menyapa, "Bouw-sute, selamat pagi."

Sebenarnya sejak tadi Bouw It-yu sudah hadir di situ, setelah melihat kehadiran merekalah dia baru tampil dari balik kerumunan orang banyak dan datang menghampiri. "Gara-gara kedatangan ayahku pagi tadi, kau sampai menderita luka. Kejadian ini sungguh membuat perasaanku tidak enak," ujar Bouw It-yu.

"Aah, hanya sedikit luka ringan, tidak terhitung seberapa. Justru akulah yang harus berterima kasih kepada ayahmu, kalau bukan lantaran dia, mungkin aku sudah kehilangan sebuah lengan."

Tampaknya Put-pay merasa kurang senang berkumpul dengan Bouw It-yu, begitu selesai berbasa-basi dia segera menyingkir dari situ. Put-ji sendiri pun menaruh perasaan waswas terhadap Bouw It-yu, namun dia tidak seperti Put-pay, bagaimanapun dalam pembicaraan dia harus lebih sungkan dan pandai berbasa-basi.

Katanya, "Sudah lama kukagumi nama besar ayahmu, sungguh beruntung hari ini aku dapat menjumpainya, sayang kedatanganku agak terlambat hingga tidak bisa ikut menyambut kedatangannya. Kejadian ini sungguh membuat hatiku menyesal. Sute, bersediakah kau memperkenalkan ayahmu selesai pertemuan nanti."

"Aah, kita adalah keluarga sendiri, buat apa mesti sungkan-sungkan. Ketahuilah suheng, sewaktu siaute menemani ayah pergi menjumpai Ciangbunjin tadi, ayah pun sempat menanyakan tentang kau di hadapan Ciangbunjin."

"Benarkah?" Put-ji tertawa paksa, "aah, kejadian ini betul-betul membuat aku merasa tercengang. Semula kukira ayahmu malah tidak tahu tentang diriku."

"Suheng terlalu merendah. Terus terang saja, bukan tanpa sebab ayah langsung menanyakan tentang dirimu begitu bertemu Ciangbunjin tadi."

Terkesiap Put-ji sehabis mendengar perkataan itu. "Hah, apa sebabnya?" dia berseru.

"Tentunya suheng tahu bukan, sejak dulu ayahku adalah sahabat karib mendiang gurumu, Ho-Tayhiap. Selama ini ayah selalu termenung tiap kali memikirkan musibah yang menimpa keluarga Ho-Tayhiap, bahkan setiap kali teringat dia pasti merasa amat sedih. Sebelum menjadi pendeta, dulu suheng adalah murid kepala Ho-Tayhiap, bahkan aku dengar hubunganmu dengan mendiang gurumu lebih akrab daripada hubungan ayah dan anak. Karena itu terus terang saja aku katakan, selama ini ayah pun selalu menganggap kau sebagai putra sahabat karibnya. Begitu beliau mendapat tahu bahwa kau telah menjadi murid Ciangbunjin, bukan saja pandai bekerja bahkan bakal memikul tanggung jawab berat, tidak heran ayah menjadi tidak tahan untuk menanyakan tentang dirimu."

Sepintas perkataan itu seakan-akan sedang memuji kehebatan Put-ji, namun dalam pendengaran Put-ji sendiri, dia justru merasa sangat terkesiap. Apalagi ketika mendengar perkataan tentang "musibah yang menimpa Ho-Tayhiap", kata-kata itu semakin membuat hatinya terkejut bercampur penuh curiga. Dengan kedudukan Bouw Ciong-long, memang tidak aneh jika dia pun mengetahui rahasia besar ini (maksudnya kematian Ho-Tayhiap, Ho Giok-yan serta Keng King-si, meskipun selama enam belas tahun rahasia ini tidak pernah disebar luaskan, namun para petinggi Bu-tong-pay hampir semuanya sudah mengetahui).

Yang menjadi masalah adalah mengapa Bouw It-yu justru mengungkap hal itu dalam situasi seperti ini? Apakah Bouw It-yu memang sengaja membocorkan hal itu agar dia tahu bahwa ayahnya sudah mengetahui kejadian sesungguhnya atas peristiwa dulu? Di samping itu, menurut Bouw It-yu hubungan keluarga Bouw dan keluarga Ho sangat akrab, padahal setahunya, kedua keluarga persilatan ini jarang sekali berhubungan. Jika mereka memang bersahabat, semestinya di saat dia belum terjun ke dunia persilatan dulu, gurunya pasti akan mengajak dia menyambangi dulu keluarga Bouw yang nama besarnya telah menggetarkan daratan Tionggoan.

Tentu saja tidak leluasa bagi Put-ji untuk menyangkal bahwa mendiang gurunya bukan sahabat karib Bouw Ciong-long, dengan cepat katanya, "Hatiku sungguh terharu, tidak nyana ayahmu begitu menaruh perhatian atas nasibku. Aai.... menyesal sekali garis jodohku teramat cetek, biarpun mendiang ayahmu adalah sahabat karib keluarga Ho, namun hingga detik ini aku baru sempat berjumpa dengan ayahmu."

Bouw It-yu bukan orang bodoh, sekali dengar dia sudah memahami maksud hatinya. Dia pun berkata, "Kalau dibicarakan sesungguhnya, aku sendiri pun belum pernah bertemu mendiang gurumu. Semasa hidup nya dulu, Ho-Tayhiap sama seperti ayahku, selalu sibuk melerai pertikaian orang lain, kalau bukan bertemu secara kebetulan dalam dunia persilatan, jarang sekali mereka punya kesempatan untuk saling berkunjung. Cuma pepatah bilang persahabatan para Kuncu lebih tawar daripada air, mana mau mereka terbelenggu oleh segala adat istiadat dan tata-krama."

"Benar, benar sekali," terpaksa Put-ji mengiakan berulangkali.

Dengan senyum tidak senyum kembali Bouw It-yu berkata lebih jauh, "Orang-orang keluarga Bouw dan keluarga Ho bukan nya sama sekali tidak pernah berhubungan, aku masih ingat pada delapan belas tahun berselang, pembantu tua kalian Ho Liang pernah mampir di rumah kami, kenapa aku masih ingat dengan jelas? Karena waktu itu kebetulan merupakan ulang tahun keenam puluh mendiang kakek kami, mendiang gurumu yang memerintahkan Ho Liang untuk datang menyampaikan selamat. Saat itu hampir semua yang hadir adalah tokoh-tokoh kenamaan dunia persilatan, hanya Ho Liang seorang yang tidak dikenal, oleh sebab itu banyak orang berusaha mencari tahu identitas Ho Liang dari anak buah kami."

Put-ji seolah teringat juga, dua tahun sebelum terjadinya musibah tragis itu, Ho Liang memang pernah satu kali meninggalkan rumah, hanya saja dia tidak jelas lantaran apa pembantu tua itu pergi melakukan perjalanan jauh.

"Sungguh kasihan Ho Liang harus mati secara tragis, padahal dia termasuk orang yang tidak tahu apa-apa," kembali Bouw It-yu berkata, "masih untung jenazahnya dikubur berbareng dengan jenazah Bu-kek Tianglo, paling tidak di saat telah mati dia masih memperoleh sedikit penghargaan. Oya, masalah yang menyangkut penguburan kembali jenazah mereka di gunung kita, hingga kini aku masih belum punya kesempatan untuk melaporkannya kepada ayahku."

Terbayang kembali tengkorak Ho Liang yang menurut Bouw It-yu masih tertinggal di tempat semula, tidak tahan merinding sekujur tubuh Put-ji, pikirnya, 'Tadi dia mengungkit soal Suhu, lalu sekarang menyinggung juga soal Ho Liang, sebenarnya apa maksud orang ini?' Padahal secara lamat-lamat dia sudah dapat menduga maksud tujuan Bouw It-yu.

Hari ini, Ciangbun Suhu sengaja mengumpulkan seluruh anggota perguruan di tempat itu, menurut dugaannya, sembilan puluh persen pasti lantaran gurunya hendak mengangkat dia menjadi Ciangbunjin baru. Oleh sebab itulah Bouw It-yu sengaja menggunakan isu itu untuk mengompas dirinya, tujuannya sudah pasti demi bidak ayahnya dalam kancah perebutan pengaruh dengan Bu-liang Totiang.

"Jangan-jangan ambisi mereka ayah dan anak bukan terbatas ingin merebut pengaruh dari tangan kedua orang Tianglo, bahkan bisa jadi ingin menggunakan diriku menjadi ketua boneka, agar mereka bisa menguasai partai Bu-tong dari belakang layar. Ehm.... sementara waktu ada baiknya aku ikuti saja permainan mereka, tapi setelah aku jadi Ciangbunjin nanti, hmm, hmm.... akan kusuruh kalian merasakan kelihaianku."

Belum habis dia berpikir, terlihat Bu-siang Cinjin, Bouw Ciong-long dan kedua orang tianglo lainnya sudah duduk di atas panggung. Ketika petugas upacara memberi tanda dengan tangannya, semua murid yang ada di bawah panggung pun seketika tutup mulut hingga suasana jadi sunyi senyap.

"Sudah siap?" tanya Bu-siang Cinjin lirih.

"Sudah siap!" petugas upacara segera memberi tanda, seorang Tosu muncul sambil membawa baki dan dipersembahkan ke hadapan Ciangbunjin dengan sikap menghormat. Baki itu bukan sembarangan baki, selain terbuat dari batu kemala putih, bentuknya pun berkilat, halus dan memancarkan sinar terang. Benda itu merupakan salah satu benda mustika yang diberikan kaisar Beng Seng-cou kepada Thio Sam-hong karena pendiri Bu-tong-pay ini sangat berjasa dalam membela negara. Selama ini baki kemala putih itu selalu tersimpan rapi dalam istana Ci-siau-kiong, anggota perguruan yang rendah jabatannya nyaris tidak pernah melihat benda mustika itu.

Put-ji mulai meraba-raba, apa gerangan yang bakal terjadi, begitu pula kawanan murid perguruan, hampir semuanya terheran-heran, mereka tidak tahu untuk apa Ciangbunjin mengeluarkan baki yang terbuat dari batu kemala putih itu. Baki kemala itu dilapisi kain sutera berwarna hijau, karena tertutup rapat, hampir semua orang yang berada di bawah panggung tidak dapat melihat benda apakah yang terdapat di dalam baki itu. Setelah menerima baki kumala putih itu, Bu-siang Cinjin meletakkannya di atas panggung, sementara petugas pembawa baki yakni Put-hu, murid pertama Bu-si Tianglo segera mengundurkan diri. Suasana hening makin mencekam seluruh panggung, hampir semua anggota perguruan telah berdiri rapi, dengan tenang mereka menanti wejangan dari sang ketua.

Perlahan Bu-siang Cinjin bangkit berdiri, dengan nada suara yang rendah dan berat ujarnya, "Perguruan kita, semenjak Thio cinjin sebagai pendiri partai selalu dibanjiri jago-jago yang bermoral tinggi dan berbakat bagus, setelah melalui perjuangan hampir dua ratusan tahun lamanya, bukan saja Bu-tong-pay sudah tersohor sebagai pusat ajaran agama yang ternama, kedudukan dalam dunia persilatan pun hampir sejajar dengan partai Siau-lim. Tapi setelah kedudukan Ciangbunjin jatuh ke tanganku, selama tiga puluhan tahun aku menjabat, bukan saja sama sekali tidak menanamkan jasa apa pun, bahkan.... bahkan...." Berbicara sampai di sini, mendadak nada suaranya berubah jadi rendah dan lirih, "Bahkan untuk melindungi keselamatan murid sendiri pun aku tidak mampu. Musibah demi musibah yang menimpa perguruan kita belakangan ini betul-betul membuat aku merasa malu untuk bertemu kembali dengan Couwsu kita selama generasi demi generasi...."

"Musibah yang menimpa Put-coat Sutit merupakan kejadian yang tidak pernah diduga siapa pun, harap Ciangbun suheng jangan kelewat menyalahkan diri sendiri," buru-buru Bu-liang Totiang menghibur dengan suara rendah. Sementara dalam hati kecilnya dia berpikir, 'Semua yang dia ucapkan sekarang tidak lebih cuma kata pembukaan, entah masalah apa yang sesungguhnya hendak dia sampaikan?'

Setelah menghela napas panjang, kembali Bu-siang Cinjin berkata, "Hari terkadang cerah terkadang mendung, rembulan pun terkadang bulat terkadang tidak, rumput bisa segar bisa layu, begitu juga mati hidup manusia. Jaya atau lemah selalu berputar, hukum alam pun selalu berlaku, tapi sebagai seorang Ciangbunjin Bu-tong-pay tentu saja aku berharap perguruan kita selalu berjaya dan harum namanya. Sungguh menggelikan, aku sendiri bergelar Bu-siang (tiada wujud) tapi perasaan hatiku tidak pernah bisa melepaskan diri dari masalah keduniawian, harap Sute jangan menertawakan aku."

"Tingkatan suheng telah mencapai puncak kesempurnaan, ada atau tidak bukan masalah, punya nama atau tidak pun bukan halangan. Tapi sesuai kodrat, bila ingin mencapai sesuatu maka dibutuhkan perjuangan. Sebagai bagian dari perguruan ini, siapa sih yang tidak berharap melihat partai sendiri berjaya?"

Bu-siang Cinjin manggut-manggut, lanjutnya, "Ada kemurungan baru ada kegembiraan, ada kematian baru ada kehidupan, bencana atau rejeki, berjaya atau melemah semuanya saling berkaitan. Jadi memang tidak perlu kita singgung musibah yang sedang menimpa perguruan kita sekarang. Kenapa aku mengumpulkan kalian hari ini? Tidak lain karena ada satu berita gembira yang akan kuumumkan kepada kalian semua."

Mendengar sampai di sini, tanpa terasa semua orang segera menahan napas sambil pasang telinga baik-baik, semua orang ingin tahu masalah apa yang akan segera diumumkan. Begitu pula halnya dengan Bu-liang Totiang, diam-diam pikirnya, 'Kalau didengar dari nada suaranya, jangan-jangan dia segera akan mengumumkan siapa penerusnya yang akan memangku jabatan sebagai Ciangbunjin baru?'

Belum habis ingatan itu melintas, terdengar Bu-siang Cinjin telah berkata lagi, "Bouw-sute, angkatan muda rasanya belum pernah bersua denganmu, silakan kau memberi hormat dulu kepada semua orang."

Bouw Ciong-long segera bangkit berdiri dan menjura ke empat penjuru, serunya lantang, "Sungguh merupakan satu keberuntungan bagiku, Bouw Ciong-long dari kota Lok-yang, bahwa pada kedatanganku kali ini di gunung Bu-tong dapat bersua dengan kalian semua."

"Bouw Ciong-long adalah tokoh yang sangat menonjol dari perguruan kita," sambung Bu-siang Cinjin lagi, "sudah banyak tahun dia berjuang dalam dunia persilatan untuk membela yang benar dan menolong kaum lemah, keharuman namanya sudah dikenal siapa pun, jadi tidak perlu aku perkenalkan lagi. Adapun berita gembira yang kumaksudkan tadi merupakan berita yang dibawa olehnya."

Biarpun sebagian besar murid Bu-tong belum pernah bersua muka dengan Bouw Ciong-long, namun nama besar Tiong-ciu Tayhiap sudah amat dikenal oleh mereka, tempik-sorak pun segera bergema gegap-gempita. Di tengah hiruk-pikuknya suara sorakan memuji, semua orang mulai menduga-duga, kabar gembira apa yang dibawa olehnya?

Bu-liang Totiang yang ada di atas panggung maupun Put-ji yang berada di bawah panggung diam-diam merasa terperanjat. "Jangan-jangan Ciangbunjin hendak menyerahkan jabatannya kepada Bouw Ciong-long?" demikian mereka berpikir, namun setelah dipikir kembali rasanya hal itu tidak mungkin terjadi. Meskipun dalam peraturan Bu-tong-pay tidak pernah tercantum aturan kalau Ciangbunjin tidak boleh dijabat murid preman, kenyataan Ciangbunjin generasi ketiga pernah dijabat seorang murid preman, bahkan murid preman itu tidak lain adalah Bouw Tok-it, leluhur Bouw Ciong-long (tentang kisah Bouw Tok-it, silakan membaca Hoan-kiam-ki-ceng atau sebilah pedang mustika).

Biarpun begitu, sejak didirikan hingga kini, dari tujuh belas generasi baru satu kali itu saja Ciangbunjinnya dari murid preman. Sewaktu Bouw Tok-it menjadi Ciangbunjin, dia bukan termasuk seorang ketua yang baik, sebab pada masa jabatannya pernah terjadi pertikaian berdarah yang amat dahsyat. Oleh sebab itulah semenjak kejadian itu, sudah menjadi peraturan yang tidak tertulis bahwa ketua Bu-tong-pay harus dipangku oleh murid dari aliran To.

Kembali Put-ji berpikir, 'Sehebat-hebatnya Bouw Ciong-long, tidak mungkin dia bisa melampaui kehebatan leluhurnya, Bouw Tok-it. Masakah Ciang-bunjin berani melanggar aturan dengan menyerahkan posisi ketua kepadanya?'

Perlu diketahui, walaupun penerus sang ketua selalu ditunjuk oleh Ciangbunjin sebelumnya, namun bila kemampuan orang itu tidak bisa diharapkan, apalagi ada tianglo dan sebagian murid yang mendukung, hak pilih itu bisa dibatalkan. Bu-liang Totiang sendiri pun diam-diam menggerutu dalam hati, namun oleh karena dia adalah ketua para tianglo, maka tidak terlalu kuatir baginya bila Bouw Ciong-long bakal 'merusak kebiasaan' dengan naik jadi Ciangbunjin. Hanya pikirnya, 'Bouw Ciong-long adalah murid preman, selama inipun dia tidak tinggal di Bu-tong-san, tapi kenapa dia menggunakan ungkapan 'balik ke gunung'? Jangan-jangan dia berencana mengendon seterusnya di sini?'

Sementara Bu-liang Totiang dan Put-ji masih bengong sambil termenung, tiba-tiba terdengar Bu-siang Cinjin berkata lagi, "Sebenarnya Bouw-tayhiap punya satu keinginan, sejak tiga puluhan tahun berselang dia sudah ingin menjadi pendeta dan menjadi murid mendiang guruku. Melihat dia adalah putra tunggal keluarga Bouw, lagi pula waktu itu belum berkeluarga, maka mendiang guruku pun tidak mengabulkan permintaannya. Tapi beliau pernah berjanji, setelah kau berputra dan putramu sudah menginjak dewasa, jika masih punya ingatan itu, setiap saat bisa datang kembali ke Bu-tong-san. Nah, persoalan inilah yang akan kusampaikan kepada kalian semua, aku bersedia membantunya melaksanakan kaul itu. Inilah berita gembira baginya, juga terhitung berita gembira untuk kalian semua."

Begitu ucapan itu diutarakan, meskipun semua anggota perguruan tidak berani berbisik-bisik, namun mereka berusaha berunding sendiri-sendiri. Apalagi Put-ji dan Put-pay, mereka hanya bisa saling pandang dengan mulut membungkam. Yang membuat semua orang terperanjat adalah keinginan Bouw Ciong-long sebagai seorang Tayhiap dengan nama besarnya yang telah menggetarkan sungai telaga ternyata mau menjadi seorang tosu, satu keputusan yang mencengangkan dan di luar pemikiran siapa pun. Namun bagaimanapun di luar perkiraannya persoalan ini, keputusan Bouw Ciong-long mau menjadi tosu hanya bisa disebut 'kejadian aneh' dan belum termasuk satu 'kejadian besar'. Tapi kenapa Ciangbunjin harus mengumpulkan seluruh anggota perguruan hanya karena ingin mengumumkan kejadian ini? Apakah tindakannya itu tidak terkesan "membesar-besarkan masalah"? Berhubung persoalan ini menyangkut untung ruginya Put-ji, tanpa sadar dia saling bertukar pandang dengan Put-pay, paras muka pun berubah hebat.

Bouw It-yu yang menyaksikan kejadian itu, diam-diam berjalan menghampir ke sampingnya. Berbeda dengan Bu-liang Totiang yang berada di atas panggung, sikapnya masih sangat tenang, dalam pikirannya walaupun sudah menjadi pendeta pun, sebagai murid yang baru masuk perguruan rasanya masih belum cukup berhak bagi Bouw Ciong-long untuk segera menjadi seorang Ciangbunjin.

"Jika Suheng mau bersikeras dengan keinginannya, akan kutentang dia memakai aturan. Cuma.... aku rasa tidak mungkin suheng akan mengorbankan murid kesayangannya dengan menyerahkan peluang itu kepada orang luar."

Dalam pada itu Bu-siang Cinjin telah menyingkap kain penutup sutera dari atas baki batu kemala putih, ternyata isi baki adalah sebuah jubah pendeta dan sebuah kopiah. Sesudah menyembah ke langit, Bu-siang Cinjin berkata, "Hari ini Tecu Bu-siang mewakili mendiang Suhu menerima murid." Sementara itu petugas upacara telah membantu Bouw Ciong-long menggulung rambutnya menjadi sebuah sanggul, maka Bu-siang Cinjin pun membantunya mengenakan jubah pendeta dan memasang kopiahnya.

Bouw Ciong-long segera berlutut sambil menyembah memberi hormat, buru-buru Bu-siang Cinjin mengegos ke samping, dia hanya menerima separuh penghormatan itu sambil ujarnya, "Bouw Ciong-long, mulai sekarang kau sudah menjadi seorang pendeta, jadi nama lamamu tidak boleh digunakan lagi. Telah kusiapkan sebuah gelar baru untukmu, kau termasuk dalam angkatan 'Bu', sedang nama panggilanmu adalah Bu-beng."

"Silakan Ciangbun suheng memberi petuah mewakili mendiang Suhu," sekali lagi Bouw Ciong-long menyembah. Dengan suara keras Bu-siang Cinjin pun berseru, "To yang dapat dibicarakan bukanlah To yg sebenarnya. Nama yang dapat diberikan bukanlah nama yang sejati. Tiada nama itulah kondisi permulaan terjadinya langit dan bumi. Setelah ada nama itulah induk dari segala benda. Dengan meniadakan keinginan melihat kegaiban To. Dengan kemauan yang sungguh-sungguh dapatlah orang menyelami buah kerja To. Keduanya adalah sama, hanya namanya yang berbeda, keduanya dikatakan pintu gaib, sekali lagi gaib dan pintu dari segala kegaiban." Itulah pembukaan dari kitab suci To-tek-keng.

Diam-diam Bu-liang Totiang merasa amat terkejut, pikirnya, 'Sungguh tidak kusangka Ciangbunjin harus membacakan kitab suci dari perguruan untuk penerimaan murid kali ini, kelihatannya peristiwa ini merupakan kejadian yang luar biasa!' Seusai membacakan To-tek-keng, Bu-siang Cinjin pun berkata kembali, "Bu-beng dengarkan baik-baik, tiada nama tiada napsu, To yang sejati adalah keteguhan yang sejati. Ingat baik-baik pemberian nama dari perguruan dan jadilah teladan bagi sesama saudara perguruan!"

Sekali lagi Bu-liang Totiang dan Put-ji berpikir, 'Jadilah teladan bagi sesama saudara perguruan? Apa maksudnya? Hanya Ciangbunjin seorang yang pantas menjadi teladan bagi semua anggota perguruan, jangan-jangan Ciangbunjin memang berniat mengangkat Bouw Ciong-long sebagai Ciangbunjin berikutnya?'

Biarpun menggerutu dalam hati, namun tidak mungkin bagi Bu-liang Totiang untuk tidak maju bersama Bu-si Tojin untuk mengucapkan selamat.

Teka-teki yang selama ini tersimpan dalam hati pun segera terbongkar sudah. Setelah Bouw Ciong-long berganti nama menjadi Bu-beng dan menerima ucapan selamat dari kedua orang Tianglo, maka upacara pelantikan jadi pendeta pun berakhir.

Bu-siang Cinjin pun berkata lebih jauh, "Berita paling menggembirakan masih ada di belakang, masih ada dua persoalan yang akan kuumumkan kepada kalian semua." Begitu perkataan itu diucapkan, seketika suasana di bawah panggung kembali dicekam dalam keheningan. Setiap orang dapat menduga, tujuan Ciang-bunjin menghimpun semua anggota perguruan di situ sudah pasti bukan hanya lantaran masalah upacara "mewakili mendiang guru untuk menerima murid" saja, bisa jadi "berita paling menggembirakan" yang bakal diumumkan adalah pengangkatan Ciangbunjin baru.

Perhatian semua orang pun tanpa terasa bersama-sama dialihkan ke arah Put-ji, sementara Put-ji merasakan detak jantungnya tiba-tiba berdebar sangat keras. Benar saja, terdengar Bu-siang Cinjin berkata lagi, "Kini usiaku sudah bertambah tua, beban yang sudah kupikul selama banyak tahun pun sudah saatnya untuk diturunkan. Berita besar pertama adalah segera akan diangkat seorang Ciangbunjin baru, begitu Ciangbunjin baru telah ditetapkan, maka hari ini juga akan diadakan upacara pelantikan."

Walaupun peristiwa ini sudah berada dalam dugaan semua orang, namun begitu cepatnya 'alih tugas' yang dilakukan Bu-siang Cinjin, benar-benar di luar dugaan siapa pun. Cepat Bu-liang Totiang berkata, "Ciangbun suheng, aku rasa lebih baik berpikirlah tiga kali sebelum mengambil keputusan."

"Oooh, apa lagi yang kau kuatirkan?"

"Suheng, walaupun usiamu sudah agak lanjut, namun kondisi kesehatanmu sangat bagus dan segar, lebih baik ditentukan dulu siapa calon pengganti Ciangbunjin untuk menggantikan tugas rutin, kemudian setelah usiamu mencapai seratus tahun, alih tugas baru dilaksanakan."

"Sute, sebagai orang beribadah kita harus bicara menurut kenyataan, dengan kondisi tubuhku sekarang, apakah masih pantas disebut kuat dan segar? Aku sangat menyadari kondisi tubuhku dan aku yakin kalian pun seharusnya mengetahui juga keadaanku, kini keadaanku ibarat lentera yang mulai kehabisan minyak. Mumpung sekarang masih bisa bernapas, aku ingin menyaksikan penerusku dilantik!"

Karena Ciangbunjin sudah berkata begitu serius, tentu saja Bu-liang Totiang tidak berani mencegah lagi, namun dia tetap berkata juga, "Sekalipun Ciangbun Suheng berencana untuk pensiun dini, rasanya juga tidak pantas untuk mundur dengan begitu saja. Pertama, perguruan kita adalah salah satu di antara dua perguruan besar yang memimpin dunia persilatan, kalau perguruan lain yang jauh di bawah kita pun akan melakukan upacara besar-besaran dalam pelantikan ketua barunya, apalagi kita sebagai perguruan besar yang sejajar dengan Siauw-lim-pay, masa pelantikan dilakukan dengan terburu-buru? Kedua, sejak partai kita didirikan Thio Couwsu, turun temurun Ciangbunjin kita selalu mendapat gelar kehormatan dari pihak kerajaan sebagai seorang cinjin, aku rasa tidak terkecuali juga untuk pelantikan kali ini, menurut pendapatku lebih baik kita buat laporan dulu ke pihak kerajaan tentang rencana ini, setelah firman dari kaisar turun, barulah upacara pelantikan dilaksanakan." "Perkataan Sute keliru besar, sebagai pendeta kita harus mengutamakan ketenangan dan kesederhanaan, bila berada dalam suasana penuh kedamaian, memang tidak salah kalau kita adakan upacara pelantikan yang meriah, tapi sekarang perguruan kita sedang dirundung masalah dan kesulitan. Sekalipun kalian tidak bisa lepas dari adat kebiasaan dengan mengundang rekan-rekan lain, aku rasa perayaan bisa kita lakukan belakangan hari saja. Kedua, Ciangbunjin partai Bu-tong bukanlah seorang pejabat negara, laporan dan lain sebagainya kepada pihak kerajaan yang dilakukan di masa lampau tidak lebih hanya satu pelengkap saja. Jadi aku rasa kalau dilakukan belakangan pun rasanya masih belum terlambat."

Sebagaimana diketahui, Hwesio maupun Tosu adalah kaum orang beribadah, kecuali mereka telah melanggar hukum negara, kalau tidak, selama masih memegang peraturan dan pantangan perguruan, biasanya gerak-gerik mereka tidak pernah diawasi oleh hamba hukum. Oleh sebab itu Bu-siang Cinjin hanya menggunakan kata 'melapor' dalam masalah ini.

Terdengar Bu-siang Cinjin berkata lebih lanjut, "Saat ini situasi yang kita hadapi ibarat api lilin di tengah hembusan angin kencang, mengangkat ketua baru sudah menjadi kebutuhan yang mutlak dan tidak bisa ditunda. Aku harap seluruh anggota perguruan dapat memaklumi kesulitanku ini."

Sebenarnya Bu-liang tianglo berharap ketuanya bisa menentukan lebih dulu calon murid yang bakal jadi ketua baru, agar dia mempunyai cukup waktu untuk melakukan persiapan lain. Tapi setelah melihat Bu-siang Cinjin bersikeras dengan keinginannya, dia pun kembali berpikir, 'Bagaimanapun Put-ji sudah berada dalam cengkeramanku, mau diangkat sekarang pun rasanya tidak masalah.' Berpikir begitu, dia pun berkata, "Ucapan Ciangbun Suheng tepat sekali, aku memang kelewat kolot, kalau begitu silakan Ciangbun Suheng menunjuk Ciangbunjin pengganti."

Bu-siang Cinjin manggut-manggut. "Menurut aku, Ciangbunjin yang berusia kelewat muda pasti kurang pengalaman, sementara Ciangbunjin yang kelewat tua justru kurang gesit dan cekatan. Menurut pendapatku, calon Ciangbunjin yang paling tepat adalah orang berusia pertengahan yang belum mencapai enam puluh tahun, bagaimana menurut pendapat sute berdua?"

Tahun ini Bu-liang Totiang sudah mencapai usia tujuh puluh tahun, pikirnya, "Bagaimanapun aku tidak berniat ikut memperebutkan posisi ini, kalau didengar dari nada suheng, jangan-jangan orang yang dia pilih adalah Bu-si Sute?"

Bu-si Tojin merupakan tianglo paling muda sejak Bu-tong-pay didirikan, dia sudah diangkat menjadi tianglo pada usia empat puluh tahun dan tahun ini baru berusia lima puluh enam tahun. Selama ini Bu-si Tojin hanya berkonsentrasi melatih ilmu pedang, walaupun dia bukan orang kolot dan hubungannya sangat luas, namun dalam pandangan rekan seperguruan, mereka menganggap dia bukanlah orang yang cocok menjadi seorang Ciangbunjin.

Kembali Bu-liang Totiang berpikir, 'Semisal terjadi kejutan dan Bu-si sute yang terpilih, walaupun dia tidak segampang Put-ji untuk dikuasai, paling tidak dia masih butuh tunjangan dariku untuk memangku jabatan itu.' Cepat dia pun menyahut, "Perkataan Ciangbun suheng tepat sekali, aku sendiri pun berpendapat yang sama."

Ooo)*(ooO

(Bersambung ke Jilid II)

'Tiga pantangan rakus, bertindak bodoh dan marah. Tiada godaan tidak akan menimbulkan napsu, 'Keputusan utama selalu di hati, biarkan jalan menyimpang berjalanlah sesuai kebutuhan.