BAB I
PENDAHULUAN
Evaluasi kurikulum merupakan suatu proses evaluasi terhadap kurikulum secara keseluruhan baik yang bersifat makro atau ruang lingkup yang luas (ideal curriculum) maupun lingkup mikro (actual curriculum) dalam bentuk pembelajaran. Pada dasarnya kurikulum terdiri atas komponen dimana yang satu dengan yang lainnya saling terkait. Bahwa setiap komponen yang saling terkait tersebut hanya mempunyai satu tujuan yaitu tujuan pendidikan yang juga menjadi tujuan kurikulum.
Evaluasi kurikulum sendiri berisikan hakekat evaluasi kurikulum, dimensi evaluasi kurikulum, prinsip-prinsip evaluasi kurikulum, fungsi, dan prosedur evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria, evaluasi kurikulum juga suatu kebijakan publik, dimana dibanyak negara keberadaan evaluasi didasari oleh ketentuan bahwa pengembangan kurikulum terbuka untuk dievaluasi.
Agar kurikulum yang baik dapat tercapai, harus diimplementasikan dengan baik, kreatif, dan inovatif. Untuk dapat mengetahui tingkat tersebut harus melewati satu tahap yang dinamakan evaluasi kurikulum. Kata-kata yang kami ambil daru buku Prof. DR. S. HAMID HASAN adalah evaluasi kurikulum tanpa kurikulum tidak punya arti sebaliknya kurikulum tanpa evaluasi tidak akan mendapatkan hasil maksimal, baik dalam proses konstruksi kurikulum maupun dalam proses pelaksanaan kurikulum. Maka dari itu, kelompok kami akan menjabarkan materi dari evaluasi kurikulum disertai dengan studi kasus yang diangkat dari permasalahan evaluasi kurikulum yang ada di Indonesia terutama.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, kami merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
         Penulisan ini dilakukan untuk memberikan informasi atau gambaran mengenai:
BAB II
PEMBAHASAN
Evaluasi kurikulum memang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan. dan kurikulum itu sendiri semakin berkembang seiring berjalannya waktu dan praktik pendidikan yang harus disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju pula.  dan karena kurikulum itu sendiri bersifat dinamis maka dalam praktik dan perkembangannya membutuhkan evaluasi. pengertian evaluasi kurikulum itu berbeda-beda sesuai dengan pengertian kurikulum yang berbeda-beda pula. Berikut adalah pengertian evaluasi terlebih dahulu  menurut para ahli:
c.      Evaluasi harus mengambil kesimpulan berdasarkan kriteria tertentu.
Berikut adalah pengertian Evaluasi Kurikulum menurut para ahli:
Evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan.
Bersifat konstruktif, karena informasi hasil evaluasi dijadikan input bagi perbaikan yang diperlukan di dalam program kurikulum yang sedang dikembangkan.
Diperlukan semacam pertanggungjawaban dari pihak pengembang kurikulum kepada berbagai pihak yang berkepentingan. Pihak tersebut baik yang mensponsori kegiatan pengembangan kurikulum maupun pihak yang akan menjadi konsumen dari kurikulum yang telah dikembangkan. Tujuan yang kedua ini tidak dipandang sebagai suatu kebutuhan dari dalam melainkan lebih merupakan suatu ‘keharusan’ dari luar.
Tindak lanjut hasil pengembangan kurikulum dapat berbentuk jawaban atas dua kemungkinan pertanyaan : pertama, apakah kurikulum baru tersebut akan atau tidak akan disebar luaskan ke dalam sistem yang ada? Kedua, dalam kondisi yg bagaimana dan dengan cara yang bagaimana pula kurikulum baru tersebut akan disebarluaskan ke dalam sistem yang ada? Dan untuk menghasilkan informasi yang diperlukan dalam menjawab pertanyaan diperlukan kegiatan evaluasi kurikulum.
Fungsi Evaluasi kurikulum, adalah :
Kurikulum memiliki dimensi yang luas karena mencakup banyak hal. Aspek-aspek kegiatan kurikulum dimulai dari perencanaan, pengembangan komponen, implementasi serta hasil belajar dianggap sebagai ruang lingkup kajian evaluasi kurikulum. Dengan demikian, evaluasi kurikulum mencakup semua aspek tersebut, artinya bahwa evaluasi kurikulum merupakan suatu proses evaluasi terhadap kurikulum secara keseuruhan baik yang bersifat makro atau ruang lingkup yang luas (ideal curriculum) maupun lingkup mikro (actual curricuum) dalam bentuk pembelajaran.
 Dimensi evaluasi kurikulum mencakup dimensi program (tujuan, isi kurikulum dan pedoman kurikulum) dan dimensi pelaksanaan (input, proses, output dan dampak).
Komponen- komponen yang ada didalam masukan mentah ini  yaitu :  Jumlah peserta didik, minat dan motivasi, kecakapan sebelumnya, dan bakat/potensi.
Interaksi unsur-unsur masukan untuk mencapai tujuan :
Komponen keluaran ini nantinya akan menghasilkan suatu perubahan tingkah laku (kompetensi) setelah mengalami proses : pengetahuan, sikap/nilai, dan keterampilan.
Dampak yang akan dirasakan oleh peserta didik di masyarakat /tempat kerja yaitu : Kemandirian, kemampuan intelektual, kemampuan social, moral, etos kerja, dsb.
Adapun prinsip-prinsip dalam evaluasi kurikulum adalah sebagai berikut:
Evaluasi kurikulum dapat menyajikan informasi mengenai kesesuaian, efektifitas dan efisiensi  kurikulum tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai dan penggunaan sumber daya, yang mana informasi ini sangat berguna sebagai bahan pembuat keputusan  apakah kurikulum tersebut masih dijalankan tetapi perlu revisi atau kurikulum tersebut harus diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi kurikulum juga penting dilakukan dalam rangka  penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar yang berubah.[1]
Evaluasi kurikulum dapat menyajikan bahan informasi mengenai area-area kelemahan kurikulum sehingga dari hasil evaluasi dapat dilakukan proses perbaikan menuju yang lebih baik. Evaluasi ini dikenal dengan evaluasi formatif. Evaluasi ini biasanya dilakukan waktu proses berjalan. Evaluasi kurikulum juga dapat menilai kebaikan kurikulum apakah kurikulum tersebut masih tetap dilaksanakan atau tidak, yang dikenal evaluasi sumatif.[2]
Evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memperbaiki subsantsi kurikulum, prosedur implementasi kurikulum, metode intruksional, serta pengaruhnya pada belajar dan perilaku siswa. Macam-macam model evaluasi yang dipergunakan bertumpu pada aspek-aspek tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model evaluasi yang bersifat komparatif berkaitan erat dengan tingkah laku individu, evaluasi yang menekakan tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang menekankan pada bahan ajar atau isi kurikulum. Adapun model (pendekatan) antropologis dalam evaluasi ditujukan untuk mengevaluasi tingkah laku dalam suatu lembaga social. Dengan demikian sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara evaluasi dengan kurikulum.
Secara umum model-model evaluasi kurikulum yang dikembangkan selama ini ada empat model evaluasi kurikulum, yaitu: 1) measurement, 2) congruence, 3) illumination, 4) Model CIPP.
Setiap model evaluasi kurikulum yang diterapkan masing-masing memiliki tingkat kelebihan dan kekurangan serta resiko yang selalu harus diantisipasi agar setiap model evaluasi kurikulum yang diterapkan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Salah bentuk evaluasi kurikulum adalah melalui measurement, yaitu berupa pengukuran. Untuk memperoleh data yang akurat pengukuran atau measurement merupakan alternatif yang mungkin dianggap paling tepat dibandingkan dengan jenis evaluasi lainnya. Hasil belajar siswa yang dituangkan dalam bentuk angka lebih banyak dilakukan melalui measurement. Contoh lain dari kegiatan pengukuran misalnya untuk seleksi siswa, membandingkan dua jenis metode mengajar terhadap hasil belajar siswa, dan lain sebagainya.
Model evaluasi congruence bertitik tolak pada upaya mencari kesesuaian antara tujuan program pendidikan dengan hasil belajar yang diperoleh peserta didik. Hasil dari evaluasi model congruence bisa dijadikan masukan (in-put) untuk perbaikan program pengembangan kurikulum selanjutnya, misalnya penyempurnaan dalam kegiatan pembelajaran, bimbingan terhadap peserta didik, dan lain sebagainya.
Evaluasi melalui model illuminnation didasarkan pada upaya mencari data terhadap pelaksanaan program. Selama program dilaksanakan mungkin terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi pelaksanaan program, seperti faktor lingkungan. Melalui kegiatan evaluasi ini pula semestinya diperoleh data mengenai kelebihan dan kelemahan program, yang pada akhirnya akan dijadikan masukan untuk memperbaiki program-program berikutnya.
Fokus yang menjadi subjek evaluasi model CIPP adalah Contect, Input, process, dan product (Stufflebeam.1972). Dengan demikian tujuan dari evaluasi model CIPP mengarah pada seluruh aspek yang terlibat dalam program pendidikan, mulai dari karakteristik peserta didik, lingkungan, tujuan, isi, peralatan, sarana dan prasarana yang digunakan.
Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Stufflebeam. Sehingga sesuai dengan namanya, model CIPP ini memiliki 4 jenis evaluasi yaitu: evaluasi Context (konteks), Input (masukan), Process (proses), dan Product (hasil). Adapun tugas evaluator dari keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:
 Tujuan utama dari evaluasi context adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan evaluan. Evaluator mengidentifikasi berbagai factor guru, peserta didik, manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran komite sekolah, masyarakat dan factor lain yang mungkin berpengaruh terhadap kurikulum.
         Evaluasi ini penting karena untuk pemberian pertimbangan terhadap keberhasilan pelaksnaan kurikulum. Evaluator menentukan tingkat kemanfaatan berbagai factor yang dikaji dalam konteks pelaksanaan kurikulum. Pertimbangan mengenai ini menjadi dasar bagi evaluator untuk menentukan apakah perlu ada revisi atau pergantian kurikulum.
         Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan dari suatu inovasi kurikulum. Evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai keterlaksanaan implementasi kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan proses implementasi. Evaluator harus merekam berbagai pengaruh variable input terhadap proses.
         Adapun tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untuk menentukan sejauh mana kurikulum yang diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan kelompok yang menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai macam informasi mengenai hasil belajar, membandingkannya dengan standard dan mengambil keputusan mengenai status kurikulum (direvisi, diganti atau dilanjutkan).
Dari uraian diatas diketahui bahwa model CIPP adalah model evaluasi yang tidak hanya dilaksanakan dalam situasi inovasi sedang dilaksanakan, tetapi justru model ini dilakukan ketika inovasi akan dan belum dilaksanakan.
Hasil dari evaluasi model ini antara lain tergambarkan dari kinerja setiap program untuk kemudian disimpulkan dengan judgment mengenai kekuatan maupun kelemahan program yang dikembangkan dalam kurikulum.
Selain model di atas, terdapat model evaluasi kurikulum lainsebagaimana perkembangan evaluasi kurikulum di Amerika, Inggris dan Australia adalah dibedakan menjadi 3 yaitu: pertama, model yang masuk dalam kategori kuantitatif. Kedua, model kualitatif dan ketiga model-model ekonomi. Adapun penjabarannya masing-masing adalah sebagai berikut:
Adapun ciri yang menonjol dari evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme. Sehingga model-model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya dari model-model kuantitatif adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan criteria evaluasi.
Berikutnya model-model kuantitatif ini sama-sama memiliki focus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum sebagai hasil belajar. Dimensi ini (hasil belajar) adalah merupakan criteria pokok bagi model-model kuantitatif. Adapun diantara model-model evaluasi kurikulum yang terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai berikut:
Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangnya. Tyler menuangkan karyanya ini dalam sebuah buku kecil tentang kurikulum. Berkat buku inilah kemudian nama dia menjadi terkenal dan dia disegani. Model evaluasi Tyler di bangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peseta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut. Berdasar pada dua prinsip ini maka Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar.
Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:
Inilah tiga prosedur dalam evaluasi model Tyler. Adapun kelemahan dari model Tyler ini adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena focus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting dari kurikulum.
Adapun kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi focus evaluasi.
Model evaluasi kurikulum Taylor dan Maguire ini lebih mendasarkan pada pertimbangan teoritik. Model ini melibatkan variabel dan langkah yang ada dalam proses pengembangan kurikulum. Dalam melaksanakan evaluasi kurikulum sesuai model teoritik Taylor dan Maguire meliputi dua hal, yaitu: pertama, mengumpulkan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode, konten, hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Dikatakan data objektif karena mereka berasal dari luar pertimbangan evaluator.
Kedua, pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan, masukan dan hasil belajar. Adapun cara kerja model evaluasi Taylor dan Maquaire ini adalah sebagai berikut:
1.     Dimulai dari adanya tekanan/keinginan masyarakat terhadap pendidikan. Tekanan dan tuntutan masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan. Kemudian tujuan dari masyarakat ini dikembangkan menjadi tujuan yang ingin dicapai kurikulum. Adapun dalam pengembangan KTSP maka tekanan dari masyarakat ini dikembangkan pada tingkat Nasional dalam bentuk Standar Isi dan Standar Kompetensi Kelulusan. Dari dua standar ini maka satuan pendidikan mengembangkan visi dan tujuan yang hendak dicapai satuan pendidikan. Kemudian tujuan satuan pendidikan tersebut menjadi tujuan kurikulum dan tujuan mata pelajaran.
2.     Evaluator mencari data mengenai keserasian antara tujuan umum dengan tujuan behavioral. Maka tugas evaluator disini mencari relevansi antara tujuan satuan pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran yang berbeda dalam tingkat-tingkat abstraksinya. Dalam tahap ini evaluator harus menentukan apakah pengembagan tujuan behavioral tersebut membawa gains atau losses dibandingkan dengan tujuan umum ditahap pertama.
3.     Penafsiran tujuan kurikulum. Pada tahap ini tugas evaluator adalah memberikan pertimbangan mengenai nilai tujuan umum pada tahap pertama. Adapun dua criteria yang dikemukan oleh Taylor dan Maguaire dalam memberi pertimbangan adalah: pertama, kesesuaian dengan tugas utama sekolah. kedua, tingkat pentingnya tujuan kurikulum untuk dijadikan program sekolah. adapun hasil dari kegiatan ini adalah sejumlah tujuan behavioral yang sudah tersaring dan akan dijadikan tujuan yang akan dicapai oleh mata pelajaran yang bersangkutan.
4.     Mengevaluasi pengembangan tujuan menjadi pengalaman belajar. Tugas evaluator disini adalah menentukan hasil dari suatu kegiatan belajar. Menelaah apakah hasil belajar yang telah diperoleh dapat digunakan dalam kehidupan dimasyarakat. Karena kurikulum yang baik adalah kurikulum yang menjadikan hasil belajar yang diperoleh peserta didik dapat digunakan dalam kehidupannya di masyarakat.
Demikianlah tahapan pelaksanaan model evaluasi Taylor dan Maguaire. Adapun kelebihan dari model ini adalah memberikan kesempatan pada evaluator untuk menerapkan kajian secara komprenhensip. Baik nilai maupun arti kurikulum dapat dikaji dengan menggunakan model ini. Adapun masalahnya bila diterapkan di Indonesia bahwa model ini hanya diterapkan di tingkat satuan pendidikan. Sehingga keseluruhan proses pengembangan kurikulum tingkat nasional tidak dapat dievaluasi dengan model ini.
Adapun model Alkin ini sedikit unik karena selalu memasukkan unsure pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Adapun pendekatan yang digunakan disebut Alkin dengan pendekatan Sistem. Dua hal yang harus diperhatikan oleh evaluator dalam model ini adalah pengukuran dan control variable. Alkin membagi model ini atas tiga komponen. Yaitu masukan, proses yang dinamakannya dengan istilah perantara (mediating), dan keluaran (hasil). Alkin juga mengenal sisitem internal yang merupakan interaksi antar komponen yang langsung berhubungan dengan pendidikan dan system eksternal yang mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh pendidikan.
Model Alkin dikembangkan berdasarkan empat asumsi. Apabila keempat asumsi ini sudah dipenuhi maka model Alkin dapat digunakan.
Adapun keempat asumsi itu yaitu:
Adapun kelebihan dari model ini adalah keterikatannya dengan system. Dengan model pendekatan system ini kegiatan sekolah dapat diikuti dengan seksama mulai dari variable-variable yang ada dalam komponen masukan, proses dan keluaran. Komponen masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang berhubungan dengan karakteristik peserta didik, kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian, kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan sebagainya.
Adapun yang dimaksud dengan proses disini meliputi factor perantara yang merupakan kelompok variable yang secara langsung memperngaruhi keluaran. Adapun yang masuk dalam variable perantara ini diantaranya adalah rasio jumlah guru dengan peserta didik, jumlah peserta didik dalam kelas, pengaturan administrasi, penyediaan buku bacaan, prosedur pengajaran dan sebagainya.
Adapun keluaran peserta didik adalah setiap perubahan yang terjadi pada diri peserta didik sebagai akibat dari pengalaman belajar yang diperolehnya. Perubahan ini harus diikuti sejak peserta didik masuk sistem hingga keluar system. Perubahan harus diukur meliputi setiap aspek perubahan yang mungkin terjadi termasuk didalamnya kemampuan peserta didik dalam melanjutkan pelajaran ditingkat pendidikan yang lebih tinggi, pada waktu memasuki lapangan kerja, dalam melakukan pekerjaan bahkan termasuk aktifitas dalam kehidupna di masyarakat.
Dari uraian diatas kita temukan kelemahan dari model Alkin adalah keterbatasannya dalam focus kajian yaitu yang hanya focus pada kegiatan persekolahan. Sehingga model ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap dilaksanakan disekolah.
Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya ini pada evaluasi formal. Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan. Model countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks Pertimbangan.
Kategori pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan (intent) pengembang kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah observasi, yang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan observasi mengenai antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu satuan pendidikan atau unit kajian yang terdiri atas beberapa satuan pendidikan.
Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan focus antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah criteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan. Berikutnya adalah evaluator hendaknya melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori pertama dan matrik deskriptif.
Adapun dua hal lain yang harus diperhatikan dalam menggunakan model countenance adalah contingency dan congruence. Kedua konsep ini adalah konsep yang memperlihatkan keterkaitan dan keterhubungan 12 kotak tersebut. Contingency terdiri atas kontigency logis dan contingency empiric. Contingency logis adalah hasil pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan logis antara kotak antecedence dengan traksaksi dan hasil. Kemudian evaluator juga harus memberikan pertimbangan empiric berdasarkan data lapangan.
Evaluator juga harus memberikan pertimbangan congr uence atau perbedaan yang terjadi antara apa yang direncanakan dengan apa yang terjadi dilapangan. Adapun kelebihan dari model ini adalah adanya analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba dikaji kesesuainnya. Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang direncanakan dengan yang terjadi sesuai apa tidak? Hasil belajar peserta didik sesuai tidak dengan harapan.
Adapun model evaluasi kualitatif selalu menempatkan proses pelaksanaan kurikulum sebagai focus utama evaluasi. Oleh karena itulah dimensi kegiatan dan proses lebih mendapatkan perhatian dibandingkan dimensi lain. Terdapat tiga model evaluasi kualitatif, yaitu sebagai berikut:
                 Adapun model studi kasus (case study) adalah model utama dalam evaluasi kualitatif. Evaluasi model studi kasus memusatkan perhatiannya pada kegiatan pengembangan kurikulum di satu satuan pendidikan. Unit tersebut dapat berupa satu sekolah, satu kelas, bahkan terdapat seorang guru atau kepala sekolah. Adapun datanya juga akan berupa data kualitatif yang dianggap lebih memberikan makna dibanding data kuantitatif yang kering. Namun demikian kualitatif tidak menolak secara mutlak data kuantitatif.
                 Dan dalam menggunakan model evaluasi studi kasus, tindakan pertama yang harus dilakukan evaluator adalah familirialisasi dirinya terhadap kurikulum yang dikaji. Apabila evaluator belum familiar dengan kurikulum dan satuan pendidikan yang mengembangkannya maka evaluator ini dilarang melakukan evaluasi. Familirialisasi ada dua jenis. Pertama, familiriaslisasi terhadap kurikulum sebagai ide dan sebagai rencana. Familiarialisasi kedua dilakukan ketika evaluator dilapangan. Evaluator harus menguasai kebiasaan-kebiasaan dalam satuan pendidikan yang dievaluasi.
                 Setelah familiarilisasi evaluator bisa melanjutkan pada observasi lapangan dengan baik. Observasi adalah teknik pengumpulan data yang sangat dianjurkan dalam model studi kasus. Dengan observasi memungkinkan evaluator menangkap suasana yang terjadi secara langsung ketika proses yang diobservasi sedang berlangsung. Adapun ketentuan bagi evaluator ketika menggunakan observasi adalah pertama, haruslah evaluator seorang yang memiliki visi dan pengetahuan luas mengenai focus observasi.
                 Kedua, kecepatan berfikir, hal ini penting karena evaluator berfungsi sebagai instrument yang selalu terbuka untuk refocusing ataupun membuka dimensi baru dari masalah yang sedang diamati. Ketiga, evaluator harus cermat dalam menangkap informasi yang diterimanya. Kecermatan ini ditandai oleh tiga hal. Pertama, informasi tertulis sebagaimana yang disampaiakn oleh responden, pemkanaan informasi, dan keterkaitan informasi dengan konteks yang lebih luas.
                 Selain observasi, pengumpulan data dapat dilakukan dengan kuisioner dan wawancara. Setelah data selesai dikumpulkan maka pengolahan data langsung dilakukan, sebaiknya ketika masih dilapangan. Hal ini memudahkan evaluator apabila ada persoalan baru masih memiliki kesempatan untuk menelusuri secara langsung. Selain itu juga efisiensi waktu. Dari pengolahan data ini dilakukan dengan tindakan evaluator yaitu mengklasifikasi data dan segera membuat laporan hasil evaluasi.
                 Model ini mendasarkan dirinya pada paradigma antropologi social. Model ini juga memberikan perhatian tidak hanya pada kelas dimana suatu inovasi kurikulum dilaksanakan. Adapun dua dasar konsep yang digunakan model ini adalah:
                 System intruksional disini diartikan sebagai catalog, perpekstus, dan laporan-laporan kependidikan yang secara khusus berisi berbagai macam rencana dan pernyataan yang resmi berhubungan dengan pengaturan suatu pengajaran. KTSP sebagai hasil pengembangan standar isi dan standar kompetensi lulusan di suatu satuan pendidikan adalah suatu system instruksi.
                 Lingkungan belajar ialah lingkungan social-psikologis dan materi dimana guru dan peserta didik berinteraksi. Dalam langkah pelaksanaannya, model evaluasi iluminatif memiliki tiga kegiatan. Yaitu:
                 Observasi adalah kegiatan yang penting. Dalam observasi evaluator dapat mengamati langsung apa yang sedang terjadi disuatu satuan pendidikan. Evaluator dapat melakukan studi dokumen, wawancara, penyebaran kuesioner, dan melakukan tes untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan. Isu pokok, kecenderungan, serta persoalan yang teridentifikasi merupakan pedoman bagi evaluator untuk masuk kedalam langkah berikutnya.
                 Dalam tahap inkuiri lanjutan ini evaluator tidak berpegang teguh terhadap temuannya dalam langkah pertama. Kegiatan evaluator dalam tahap ini adalah memantapkan isu, kecenderungan, serta persoalan-persoalan yang ada sampai suatu titik dimana evaluator menarik kesimpulan bahwa tidak ada lagi persoalan baru yang muncul.
                 Dalam langkah memberikan penjelasan ini evaluator harus dapat menemukan prinsip-prinsip umum yang mendasari kurikulum disatuan pendidikan tersebut. Disamping itu evaluator harus dapat menemukan pola hubungan sebab akibat untuk menjelasakan mengapa suatu kegiatan dapat dikatakan berhasil dan mengapa kegiatan lainnya dikatakan gagal. Penjelasan merupakan hal penting dalam metode iluminatif.
Model ekonomi mikro adalah model yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana model kuantitatif lainnya, maka model ekonomi mikro ini focus pada hasil (hasil dari pekerjaan, hasil belajar dan hasil yang diperkirakan). Adapun pertanyaan besar dalam ekonomi mikro adalah apakah hasil belajar yang diperoleh peserta didik adalah sesuai dengan dana yang dikeluarkan? Adapun model dilingkungan ekonomi mikro ada empat, adapun yang tepat digunakan dalam evaluasi kurikulum adalah model cost effectiveness.
Dalam model cost effectiveness ini seseorang evaluator harus dapat membandingkan dua program atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program. Perbandingan hasil ini akan memberikan masukan bagi pembuat keputusan mengenai program mana yang lebih menguntungkan dilihat dari hubungan antara dana dan hasil. Dalam mengukur hasil di gunakan instrument yang sudah di standarisasi. Pengunaan instrument standar penting karena dengan demikian perbandingan antara biaya dan hasil dapat dilakukan secara berimbang.
Adapun evaluasi kurikulum sebagai fenomena sejarah merupakan suatu elemen dalam proses social yang digubungkan dengan perkembangan pendidikan, meliputi tiga model evaluasi:
Model evaluasi kurikulum yang menggunakan model penelitian didasarkan atas teori dan metode tes psikologis serta eksperimen lapangan. Tes psikologi atau tes psikometrik pada umumnya memiliki dua bentuk, yaitu tes intelegensi yang ditujukan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang mengukur perilaku skolastik. Eksperimen lapangan dalam pendidikan menggunakan metode yang biasa digunakan dalam penelitian botani pertanian. Anak dapat disamakan dengan benih, sedang kurikulum serta berbagai fasilitas serta system sekolah dapat disamakan dengan tanah dan pemeliharaannya. Untuk mengetahui tingkat kesuburan benih (anak) serta hasil yang diacapai pada akhir program percobaan dapat diguanakan tes (pre test dan post tes).
Comparative approach dalam eksperimen lapangan adalah dengan mengadakan perbandingan antara dua macam kelompok anak, umpamanya yang menggunakan dua metode belajar yang berbeda. Missal metode global dan metode unsure. Dari situ diketahui kelompok mana yang hasilnya baik. Rancangan penelitian ini membutuhkan persiapan yang sangat teliti dan rinci. Besarnya sampel, variable, hipotesis, tes hasil belajar dan sebagainya perlu dirumuskan dengan tepat.
Adapun kesulitan dari eksperimen ini adalah pertama, kesulitan administrative (sedikit sekolah yang bersedia dijadikan eksperimen). Kedua, masalah teknis yaitu kesulitan menciptakan kondisi kelas yang sama untuk kelompok yang diuji. Ketiga, sukar mencampurkan guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen dengan kelompok control.
Evaluasi model objektif berasal dari Amerika Serikat. Pendekatan ini digunakan oleh Ralph Tylor. Ada beberapa syarat yang harus di penuhi oleh evaluator model objektif adalah:
Dalam evaluasi model objektif ini kemajuan siswa dimonitor oleh guru dengan memberikan tes yang mengukur tingkat penguasaan tujuan-tujuan khusus melalui pre tes dan post tes. Siswa dianggap menguasai unit bila memperoleh skor minimal 80.
Model evaluasi perbandingan dan model objektif menghasilkan evaluasi model campuran yaitu strategi yang menyatukan unsure-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Adapun langkah-langkah model multivariasi tersebut adalah sebagai berikut:
Adapun kesulitan yang dihadapi dalam model campuran multivariasi ini adalah: pertama, diharapkan memberikan tes statistic yang signifikan. Kedua, terlalu banyaknya variable yang perlu di hitung. Untuk model ini diperlukan variabel sekitar 300. Ketiga, model multivariasi telah mengurangi masalah control berkenaan dengan eksperimen lapangan tetapi tetap menghadapi masalah-masalah perbandingan.
BAB III
SIMPULAN
         Menurut Cronbach, 1980  Evaluasi kurikulum yaitu proses pemeriksaan sitematis terhadap peristiwa yang terjadi pada waktu suatu kurikulum dilaksanakan dan akibat dari  pelaksanaan kurikulum tersebut. Sedangkan Meyer, 1989 Evaluasi kurikulum sebagai suatu usaha untuk memahami apa yang terjadi dalam pelaksanaan dan dampak dari kurikulum. Mawid Marsan, 2004 Evaluasi Kurikulum yaitu sebagai usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks tertentu.
Evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Dengan kata lain, evaluasi ini memiliki tujuan yaitu untuk perbaikan program, sebagai pertanggung jawab berbagai pihak, penentuan tindak lanjut hasil pengembangan kurikulum itu sendiri.
Evaluasi kurikulum mencakup semua aspek tersebut, artinya bahwa evaluasi kurikulum merupakan suatu proses evaluasi terhadap kurikulum secara keseuruhan baik yang bersifat makro atau ruang lingkup yang luas (ideal curriculum) maupun lingkup mikro (actual curricuum) dalam bentuk pembelajaran.
Secara umum model-model evaluasi kurikulum yang dikembangkan selama ini ada empat model evaluasi kurikulum, yaitu: 1) measurement, 2) congruence, 3) illumination, 4) Model CIPP. Setiap model evaluasi kurikulum yang diterapkan masing-masing memiliki tingkat kelebihan dan kekurangan serta resiko yang selalu harus diantisipasi agar setiap model evaluasi kurikulum yang diterapkan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Â Lindeman, M. (2007). Program Evaluation.
[2]Â Posner, G.J., (2004). Analyzing The Curriculum. Mc Graw Hill. United States.