Abdullah *)
Abstrak : hasil belajar berbicara/berceritera yang rendah ditingkatkan dengan menggunakan model pembelajaran picture and picture contekstual. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan dengan model Hopkins yang terdiri atas empat langkah. Subyek dan setting penelitian adalah siswa tunagrahita ringan kelas VIII SLB Negeri Surakarta. Penelitian ini dilakukan melalui  2 (dua) siklus, yaitu ; siklus I menggunakan gambar tunggal, dan siklus II menggunakan gambar berseri.  Data dikumpulkan dengan tes dan nontes, dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif komparatif. Data yang diperoleh diklasifikasikan berdasarkan aspek-aspek yang dijadikan fokus analisis, untuk mendeskripsikan keberhasilan penerapan model pembelajaran picture and picture contekstual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berceritera siswa sebelum diberi tindakan nilai tertinggi 6,5 dan nilai terendah 5,0 dengan rata-rata 57,5.  Setelah diberi tindakan menunjukkan bahwa pada siklus pertama, nilai tertinggi 7,5 dan terendah 5,5 dengan rata-rata 66,66. Sedangkan pada siklus kedua nilai tertinggi yang dicapai siswa adalah 7,0 dan nilai terendah 5,0 dengan rata-rata 61,66. Peningkatan nilai rata-rata siswa tersebut juga diikuti meningkatnya jumlah siswa yang telah mencapai KKM. Siswa yang telah mencapai KKM dari kondisi awal sebelum ada tindakan sebesar 50 % naik menjadi 83,4 %. Berdasarkan pada indikator kerja, maka penelitian tindakan ini membuktikan bahwa pembelajaran picture and picture conteksual dapat meningkatkan kemampuan berceritera siswa  tunagrahita ringan kelas  VIII  SLB  Negeri  Surakarta. Â
Kata kunci  :  berceritera, picture and picture contekstual
PENDAHULUAN
Pembelajaran bahasa di sekolah luar biasa mempunyai tujuan agar siswa terampil berbahasa, baik secara lisan maupun secara tulis. Namun kenyataan di lapangan khususnya yang berkaitan dengan siswa menunjukkan lain.
Dalam situasi yang tidak formal, siswa dengan lancarnya berbicara/berceritera, Â namun apabila dihadapkan pada situasi formal keberanian anak untuk berbicara menjadi hilang. Proses belajar mengajar di kelas seringkali lamban. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi. Faktor dari diri siswa sendiri (minat baca) yang kurang, akan berpengaruh terhadap minimnya penguasaan kosa katanya, atau kesulitan berpikir abstrak. Sedangkan salah satu faktor dari luar yang mempengaruhi keberanian anak untuk berbicara/bercerita adalah penggunaan metode atau model pembelajaran yang kurang tepat.
Pada umumnya siswa dengan kategori tunagrahita ringan kurang dapat berpikir secara abstrak. Mereka berpikir atas dasar pengalaman konkrit yang dilihat atau dialami. Dalam menerima pelajaran siswa perlu bantuan tindakan-tindakan nyata untuk menolong pengembangan kemampuan intelektual. Dalam memahami sesuatu maka siswa perlu diberi materi pelajaran secara konkrit. Sehingga siswa akan memperoleh penghayatan yang lebih benar, misalnya siswa lebih memahami sikap dan perilaku tokoh dalam ceritera. Penggunaan model pembelajaran yang bervariatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya dalam berbicara (berceritera) dapat menggunakan model picture and picture yang kontekstual dalam mengatasi permasalahan tersebut di atas.
Konsep konstektual maksudnya adalah siswa dalam belajar tidak berada di awan tetapi berada di bumi yang selalu menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Konsep pembelajaran yang menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata, sehingga siswa betul-betul belajar dalam pengetahuan yang nyata.
Pengalaman konkrit merupakan suatu kebutuhan yang harus diberikan kepada siswa tunagrahita ringan, mengingat mereka memiliki keterbatasan/ kekurangan dalam berpikir abstrak. Oleh karena itu, untuk menanamkan pengetahuan siswa tunagrahita ringan tentang pengalaman konkrit di sekelilingnya, maka guru harus berusaha untuk memberikan pengalaman konkrit yang beraneka ragam dan mengarahkan keterbatasan lingkup dan corak pengalaman siswa tunagrahita tersebut.
Di samping itu bahwa secara empiris hasil pembelajaran berbicara/berceritera jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil pembelajaran menyimak, membaca dan menulis. Hal ini didasarkan dari nilai ulangan berbicara (berceritera) siswa kelas VIII menunjukan bahwa sekitar 50 % siswa belum dapat mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan.
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah pembelajaran picture and picture contekstual dapat meningkatkan kemampuan  berceritera siswa tunagrahita ringan kelas VIII SLB Negeri Surakarta?
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk meningkatkan kemampuan berceritera siswa tunagrahita ringan kelas VIII SLB Negeri  Surakarta. Melalui penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : (1) secara teoritis, mendapatkan bukti bahwa pembelajaran   picture  and   picture  constektual  dapat  meningkatkan kemampuan menceriterakan isi dongeng; (2) Bagi siswa, pembelajaran picture and picture contekstual ini  dapat menumbuhkan minat berceritera siswa, sehingga  kemampuan berceritera siswa dapat meningkat; (3) Bagi guru,  penelitian  ini  bermanfaat  untuk  mengetahui  efektivitas  model pembelajaran picture and picture constektual dalam pelajaran berbicara dan dapat dijadikan tolok ukur untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dalam pembelajaran selanjutnya.
LANDASAN TEORETIS
Pelajaran berceritera bagi anak dimaksudkan untuk menambah kemahiran anak menyampaikan yang hendak diberitakannya kepada orang lain dalam bahasa yang baik. Pelajaran bercerita dapat dibedakan menjadi dua yaitu berceritera tentang pengalamannya sendiri dan berceritera tentang hal yang pernah didengar, dilihat atau dibacanya sendiri.
Berceritera adalah cara untuk menuturkan atau menyampaikan ceritera secara lisan kepada anak didik yang dengan ceritera tersebut dapat disampaikan pesan-pesan yang baik, dari ceritera yang disampaikan juga dapat diambil suatu pelajaran (Aminah, 2008 ). Kegiatan berceritera yang dilakukan oleh guru mempunyai fungsi untuk mengembangkan penguasaan bahasa anak. Selain itu, mengandung nilai-nilai pendidikan, yaitu untuk membangkitkan minat anak meniru yang baik-baik dalam ceritera gurunya, dan mengajak anak tanpa disadari oleh anak untuk meniru cara gurunya berceritera.
Pengembangan keterampilan berbicara diajarkan bersama-sama dengan keterampilan menyimak. Setelah anak memahami isi dongeng yang diceriterakan guru, diharapkan dia terampil menjawab pertanyaan, mengajukan pertanyaan, menceriterakan kembali isi dongeng secara lisan, atau melakukan bermain peran (Depdiknas, 2005 : 27).
Menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2008 : 239) bahwa keterampilan berbicara/berceritera mensyaratkan adanya pemahaman minimal dari pembicara dalam membentuk sebuah kalimat. Sebuah kalimat, betapapun kecilnya memiliki struktur dasar yang saling bertemali sehingga mampu menyajikan sebuah makna.
Berdasarkan pengalaman peneliti selama melaksanakan tugas mengajar, keterampilan berbicara (berceritera)merupakan keterampilan aspek berbahasa yang paling sulit dimiliki siswa. Hal ini dapat dilihat dari masalah yang dihadapi siswa ketika melaksanakan proses pembelajaran, khususnya pada kompetensi dasar yang berhubungan dengan aspek bicara. Setidaknya terdapat dua fakta yang dapat penulis kemukakan berkaitan dengan rendahnya aspek kemampuan berbicara siswa, yaitu : (1) nilai kemampuan aspek berbicara seperti menceriterakan kembali ceritera dan sejenisnya, cenderung lebih rendah dibandingkan dengan aspek berbahasa yang lain; (2) kemampuan bertanya atau mengemukakan pendapat secara lisan masih rendah.
Bentuk-bentuk ceritera kepada anak yaitu : 1) berceritera tanpa alat peraga; 2) berceritera dengan alat peraga langsung; 3) berceritera dengan gambar; 4) berceritera dengan menggunakan papan panel, alat yang digunakan adalah papan kain flanel dan guntingan-guntingan gambar berwarna menarik yang melukiskan hal-hal yang akan muncul dalam ceritera (Aminah, 2008).
Kesulitan mengembangkan aspek kemampuan berbicara (berceritera) dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya kurangnya latihan yang mendukung aspek kemampuan berbicara seperti menceriterakan kembali isi dongeng yang didengar atau dibacanya. Untuk mengatasi permasalahan rendahnya kemampuan berceritera siswa, maka dapat dilakukan dengan cara menggunakan model pembelajaran kreatif seperti picture and picture contekstual, sehingga tercipta proses pembelajaran aktif.
Menurut Andriana (dalam Mulyono, 2010) menyatakan bahwa konsep metode kontekstual adalah siswa dalam belajar tidak berada di awan tetapi berada di bumi yang selalu menyatu dengan tempat belajar, waktu, situasi, kondisi dan suasana alam serta masyarakatnya. Konsep pembelajaran yang menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan pembelajaran yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Mulyono (2010) mengatakan bahwa model pembelajaran picture and picture constektual dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Â Guru menyampaikan kompetensi yang akan dicapai
2. Â Guru menyajikan materi sebagai pengantar
3. Â Guru memperlihatkan gambar-gambar kegiatan yang berkaitan
   dengan materi pelajaran
4. Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian untuk  memasang/mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis
5. Â Guru menanyakan alasan / dasar pemikiran urutan gambar tersebut
6. Dari alasan/urutan gambar tersebut guru mulai menanamkan konsep/materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai
7. Â Memberi kesimpulan/rangkuman. Â
Kegiatan mengamati dan berceritera atau mengarang ini sebaiknya dilakukan secara berkelompok agar terjadi diskusi diantara mereka. Guru dapat melihat bagaimana keterlibatan siswa dalam diskusi. Jika batas waktu yang ditentukan telah selesai, maka saatnya melihat penampilan mereka berceritera di depan kelas.
Tujuan kegiatan belajar ini untuk mengembangkan keterampilan berbicara dan atau menulis. Selain itu diharapkan siswa dapat mengembangkan imajinasinya, berani berpendapat, dan dapat mengaitkan peristiwa pada gambar satu dengan gambar lainnya hingga menjadi satu kesatuan.
Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan
Kehidupan manusia di dunia ini selalu saling bertolak belakang. Ada yang pandai demikian juga ada yang kurang pandai, ada yang kaya dan ada yang miskin. Manusia dilahirkan dengan berbagai keadaan dan sifat yang telah dimilikinya sejak lahir, ada yang dibekali dengan kelebihan tetapi ada pula yang dilahirkan dengan kekurangan dan kelemahan. Salah satu diantaranya adalah mereka yang mengalami kelainan atau tidak berfungsinya alat-alat indera seperti pada umumnya.
Mereka yang mengalami kelainan tersebut diantaranya adalah yang mengalami kelainan dalam hal intelektual, yang lebih dikenal dengan anak lamban belajar atau tunagrahita. Anak tunagrahita ialah mereka yang memiliki intelegensi sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan mereka mengikuti pendidikan di sekolah umum. Â Â
Selanjutnya anak tunagrahita ringan  ialah anak yang terbelakang dalam sekolah karena terbatas kecakapannya, mereka IQ nya di bawah anak lambat belajar yaitu antara 55 – 75. Anak tunagrahita ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbendaharaan kata-katanya, mereka mengalami kesukaran berpikir abstrak, tetapi mereka masih dapat mengikuti pelajaran akademik baik di sekolah biasa maupun di sekolah khusus.
    Karakteristik anak tunagrahita ringan menurut Munawir (2011 : 10) dapat ditinjau secara fisik, psikis, dan sosial yang diuraikan sebagai berikut.
METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
        Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) artinya penelitian yang berbasis pada kelas. Dengan penelitian diperoleh manfaat berupa perbaikan praktis yang meliputi penanggulangan berbagai permasalahan belajar siswa dan kesulitan mengajar oleh guru.
Menurut Sudarwan (2002 : 43) mengatakan bahwa  tujuan penelitian tindakan atau penelitian aksi (action research) adalah mengembangkan keterampilan-keterampilan baru atau cara pendekatan dan pemecahan masalah dengan aplikasi langsung.  Proses ini terdiri dari empat langkah yang berlangsung secara siklikal, yaitu : perencanaan, tindakan, evaluasi, dan refleksi. Proses ini berkelanjutan dari siklus ke siklus sampai ditemukan sosok model yang baik.
Subyek Penelitian
        Dalam penelitian tindakan kelas ini yang menjadi subyek penelitian adalah siswa kelas VIII SLB Negeri Surakarta tahun pelajaran 2011/2012 yang berjumlah 6 (enam) orang yang terdiri dari lima orang siswa putri dan satu orang siswa putra. Dalam beberapa hal mengalami keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, sehingga mereka memerlukan waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik.
       Â
Penelitian tindakan kelas ini  dilaksanakan di SLB Negeri Surakarta yang beralamat di Jalan Cocak X Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Penelitian dilaksanakan pada semester I tahun pelajaran 2011/2012  selama tiga bulan yaitu bulan  September sampai dengan bulan November  2011.
KEGIATAN | BULAN | ||
Sept. Ri | Okt. | Nov. | |
A. Persiapan Penelitian 1. Menyusun judul penelitian    2. Menyusun konsep pelaksanaan. 3. Menyusun instrumen. | V V V | ||
B. Pelaksanaan Penelitian 1. Menyiapkan kelas 2. Melaksanakan tindakan siklus I. 3. Melaksanakan tindakan siklus II. | V V V | ||
C. Laporan Penelitian 1. Menyusun draft laporan. 2. Perbaikan laporan 3. Penyelesaian laporan | Â Â Â | V V V |
Data dan Sumber Data
Data adalah bahan mentah yang akan diolah sehingga menghasilkan informasi. Data diperoleh diantaranya dari informan (narasumber), dan dokumentasi. Informan dalam penelitian ini adalah siswa dan guru kelas. Data yang dikumpulkan dalam penelitian tindakan ini berupa prestasi belajar siswa dalam berceritera pada kelas VIII Â SLB Negeri Surakarta.
Sumber data adalah darimana data itu diperoleh. Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2007 : 115) mengatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari berbagai sumber yang meliputi :
Teknik Pengumpulan Data
Teknik atau cara pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi, teknik observasi, dan teknik Tes.
Teknik Pengujian Keabsahan Data
Informasi yang telah dikumpulkan oleh peneliti perlu dilakukan pemeriksaan terhadap validitas datanya, sehingga data yang telah diperoleh tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dijadikan sebagai dasar yang kuat dalam menarik kesimpulan. Adapun cara untuk memeriksa validitas data dalam penelitian ini menggunakan teknik trianggulasi yakni trianggulasi sumber dan trianggulasi metode.
Teknik Analisis Data
Sesuai dengan masalah yang peneliti ajukan dalam penelitian ini, maka teknik analisis datanya menggunakan analisis deskriptif komparatif, yaitu membandingkan kemampuan  berceritera siswa sebelum ada tindakan sebagai kondisi awal dengan kemampuan berceritera siswa setelah dilakukan  tindakan pembelajaran picture and picture contekstual pada siklus pertama dan  siklus kedua. Â
Data yang diperoleh dengan cara merefleksi hasil observasi terhadap proses pembelajaran dan data dokumentasi diklasifikasikan berdasarkan aspek-aspek yang dijadikan fokus analisis. Data tersebut kemudian dikaitkan sebagai dasar untuk mendeskripsikan keberhasilan penerapan model pembelajaran picture and picture contekstual, yang ditandai dengan meningkatnya kemampuan berceritera siswa dalam pembelajaran berbicara.
Prosedur Penelitian
        Langkah-langkah penelitian tindakan ini dilakukan untuk mengupayakan peningkatan kemampuan berceritera melalui model pembelajaran picture and picture kontekstual. Penelitian ini mengikuti langkah yang dikemukakan oleh Hopkins (dalam Suharsimi, Suhardjono, Supardi, 2007 : 104-105) bahwa daur ulang dalam penelitian tindakan diawali dengan perencanaan tindakan (planning), penerapan tindakan (action), mengobservasi dan mengevaluasi proses dan hasil tindakan (observation and evaluation), dan melakukan refleksi (reflecting), dan seterusnya sampai perbaikan atau peningkatan yang diharapkan tercapai (kriteria keberhasilan).
        Tahapan-tahapan penelitian tindakan ini secara diagramatik dapat digambarkan sebagai lingkaran berbentuk spiral. Tahapan yang terlihat pada gambar berikut ini merupakan tindakan dua siklus. Setiap tahap selalu didahului tahap sebelumnya dan akan diteruskan ke tahap berikutnya. Refleksi muncul setelah melakukan tindakan kemudian diamati/dievaluasi di mana letak kekurangan dalam membuat perencanaan untuk melakukan tindakan berikutnya dan dari tindakan itu akan menimbulkan refleksi baru.
       Â
                        Diagram Penelitian Tindakan                                       Â
                               Â
                               Â
SIKLUS Â I
       Â
                                                                SIKLUS  II
                                                               Â
                       Â
       Â
Indikator Kerja
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari suatu tindakan, perlu dirumuskan adanya tolok ukur keberhasilan. Sesuai dengan rumusan masalah, maka tingkat keberhasilan suatu tindakan ditetapkan dengan indikator sebagai berikut : 75 % siswa  dapat mencapai atau melampui batas kriteria ketuntasan minimal (KKM)  yaitu 6,0 pada materi berceritera.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Hasil Penelitian
Sebelum Tindakan (Pra PTK)
        Untuk mengetahui kemampu an awal siswa, sebelum dilakukan tindakan dilakukan  pre  tes.  Dari
kegiatan pre tes diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 1
Skor Persentase Kemampuan Berceritera Sebelum Tindakan
No. | Kategori | Skor | Responden | % | Hasil Klasikal |
1 2 3 4 5 | Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat kurang | 86 – 100 71 – 85 56 – 70 41 – 55 < 40 | - - 3 3 - | 0 0 50   50  0 |
34,5 X 10 Â = Â 57,5 Â Â 6
  |
Jumlah | 6 | Â Â Â 100 |
Berdasarkan nilai pretes  tersebut, ternyata 50 % siswa kelas VIII memperoleh nilai di bawah KKM yaitu tidak mencapai 6,0 . Sehingga data tersebut sebagai pijakan peneliti dalam melakukan tindakan pada siklus I.
Tindakan Siklus I
        Prosedur tindakan dalam penelitian ini melalui beberapa langkah mulai dari persiapan, pelaksanaan, observasi dan evaluasi, dan refleksi.
Tabel 2
   Prosentase Kemampuan  Berceritera Pada Siklus I
No. | Kategori | Skor | Responden | % | Hasil Klasikal |
1 2 3 4 5 | Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat kurang | 86 –100 71 – 85 56 – 70 41 – 55 < 40 | - 2 3 1 - | 0 33,4 50 16,6 -  |
40 Â x 10 = Â 66,66 Â Â 6
  |
Jumlah | 6 | Â 100 |
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa tingkat kemampuan berceritera siswa pada siklus I adalah sebagai berikut : 2 (dua) orang siswa (33,4 %) memperoleh nilai antara 71 – 85, 3 (tiga) orang siswa (50 %) memperoleh nilai antara 56 – 70,  serta 1 (satu) orang siswa (16,6 %) memperoleh nilai antara 41 – 55. Pada siklus I ini siswa yang telah mencapai KKM mencapai 83,4 %.
Dari pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung menunjukkan bahwa suasana belajar siswa terlihat aktif dalam mengikuti kegiatan. Namun demikian, masih terdapat seorang siswa  mengalami kesulitan dalam merangkai pokok-pokok ceritera dan mengalami hambatan dalam berceritera.
Berdasarkan hasil pada siklus I bahwa  prosentase siswa yang telah memenuhi indikator kinerja  sudah lebih dari 75 %. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siklus I telah sesuai dengan harapan. Selanjutnya hasil pada siklus I dijadikan bahan masukan bagi peneliti untuk melakukan tindakan pada siklus II dengan melakukan pembimbingan yang lebih intensif terutama bagi siswa yang belum berhasil mencapai KKM.
Tindakan Siklus II
Prosedur tindakan pada siklus II tidak berbeda jauh dengan siklus I yaitu melalui tahap persiapan, pelaksanaan, observasi dan evaluasi, dan refleksi.
Tabel 3
   Prosentase Kemampuan  Berceritera Pada Siklus II
No. | Kategori | Skor | Responden | % | Hasil Klasikal |
1 2 3 4 5 | Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat kurang | 86 –100 71 – 85 56 – 70 41 – 55 < 40 | - - 5 1 - | 0 0 83,4 16,6 -  |
37 Â x 10 Â = 61,66 Â 6
  |
Jumlah | 6 | Â 100 |
Berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa tingkat kemampuan berceritera siswa pada siklus II adalah sebagai berikut :        5 (lima) orang siswa (83,4 %) memperoleh nilai antara 56 – 70,  1 (satu) orang siswa (16,6 %) memperoleh nilai antara 41 - 55 dan nilai rata-rata sebesar 61,66. Pada siklus II ini siswa yang telah mencapai KKM  sebesar 83,4 %. Â
Dari pengamatan selama proses pembelajaran pada siklus II berlangsung menunjukkan bahwa suasana belajar siswa terlihat aktif dalam mengikuti kegiatan. Namun pada siklus kedua ini gambar yang diceriterakannya merupakan gambar seri, maka ada beberapa siswa mengalami hambatan dalam berceritera.
Hasil yang diperoleh siswa pada siklus II ini mengalami penurunan/lebih rendah dari pada hasil yang diperoleh anak pada siklus I. Namun  demikian, prosentase siswa yang telah memenuhi indikator kinerja  sudah lebih dari 75 % siswa telah mencapai KKM.
Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan ini akan meliputi prosentase hasil tes dan skor rata-rata  kemampuan berceritera para siwa sebelum dan  sesudah  penerapan model pembelajaran picture and picture contekstual. Adapun hasil setiap siklus disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 4
   Prosentase Kemampuan  Berceritera Antar Siklus
No. | Kategori | Skor | Pra Tin- dakan | Siklus 1 | Siklus      2    |
1 2 3 4 5 | Sangat baik Baik Cukup Kurang Sangat kurang | 86 – 100 71 – 85 56 – 70 41 – 55 < 40 | 0 % 0 % 50 % 50 %  0 % | 0 % 33,4% 50 % 16,6% 0 % | 0 % 0 % 83,4 % 16,6 % 0 % |
Berdasarkan tabel 4 di atas, bahwa kemampuan berceritera siswa yang mencapai kategori sangat baik pada pra
tindakan maupun pada siklus I dan II sebesar 0 %. Siswa yang mencapai kategori baik pada pra tindakan 0 %, sedangkan pada siklus I meningkat menjadi 33,4 %, namun pada siklus II menurun menjadi 0 %. Siswa yang termasuk kategori cukup pada pra tindakan sebesar 50 %, sedangkan pada siklus I tidak mengalami perubahan yakni tetap 50 %, namun pada siklus II meningkat menjadi 83,4 %. Siswa yang termasuk kategori kurang pada pra tindakan sebesar 50 %, sedangkan pada siklus I menurun menjadi 16,6 % dan pada siklus II tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebesar 16,6 %. Siswa yang termasuk kategori sangat kurang baik pada pra tindakan maupun pada siklus I dan II sebesar 0 %.
                Peningkatan hasil pada siklus I dan II jika dibandingkan dengan pra tindakan, menunjukkan adanya pengaruh yang cukup signifikan dalam penerapan model pembelajaran picture and picture contekstual pada materi berceritera. Pada siklus I kategori tertinggi yang diraih siswa pada kategori baik mencapai 33,4 %, selebihnya 50 % pada kategori cukup, dan 16,6 % pada kategori kurang. Namun pada siklus II kategori tertinggi yang diraih siswa pada kategori cukup mencapai 83,4 %, selebihnya 16,6 % pada kategori kurang.
Pada siklus I menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada hasil pada siklus II. Hal ini terjadi karena materi pembelajaran disusun secara berjenjang dari materi yang mudah/sederhana ke materi yang lebih sulit/ kompleks, dimana pada siklus I siswa menceriterakan gambar tunggal sedang pada siklus II siswa menceriterakan gambar seri. Dengan demikian materi pada siklus II tingkat kesulitannya lebih tinggi dari pada siklus I. Â
                Nilai tertinggi pada pra tindakan 6,5 diperoleh 2 (dua) orang siswa, dan nilai terendah 5,0 diperoleh oleh 2 (dua) orang siswa. Pada siklus I nilai tertinggi 7,5 diperoleh oleh  2 (dua) orang siswa, dan nilai terendah 5,5 diperoleh oleh 1 (satu) orang siswa. Pada siklus II nilai tertinggi 7,0 diperoleh hanya 1 (satu) siswa, dan nilai terendah 5,0 juga diperoleh hanya 1 (satu) siswa.
Skor rata - rata  kemampuan berceritera siswa mengalami peningkatan pada siklus I sebesar 9,16 dari 57,5  pada pra tindakan  menjadi 66,66 pada siklus I. Secara klasikal kemampuan berceritera  siswa kelas VIII pada pra tindakan yang mencapai KKM hanya 50 %, dan pada siklus I  siswa yang telah mencapai KKM meningkat 33,4 % menjadi 83,4 %. Skor rata-rata kemampuan berceritera siswa pada siklus II menurun 5,0 dari 66,66 pada siklus I menjadi 61,66 pada siklus II.
Tabel 5
Prosentase Pencapaian KKM
No. | Uraian | Pra Tindakan | Siklus 1 | Siklus 2 |
1. | Nilai Tertinggi | 6,5 | 7,5 | 7,0 |
2. | Nilai Terendah | 5,0 | 5,5 | 5,0 |
3. | Rerata Kemampuan Berceritera | 57,5 | 66,66 | 61,66 |
4. | Prosentase Pencapaian KKM | 50 % | 83,4 % | 83,4 % |
        Berdasarkan indikator kerja menunjukkan bahwa secara klasikal kemampuan berceritera  siswa SMPLB/C kelas VIII pada siklus I dan II  telah mampu mencapai target pencapaian KKM  yang telah ditetapkan yaitu sebesar 75 %. Peningkatan kemampuan berceritera siswa sebelum dan sesudah diterapkan tindakan dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Keterangan :        Anas                            Petty
                            Intan                            Febri
                            Maria                            Tiara
Hasil  pengamatan  perilaku / sikap  para  siswa  dalam  proses pembelajaran diketahui bahwa pada siklus I terdapat seorang siswa atau 16,66  %   siswa   yang    terekam
mengalami kesulitan dalam berceritera. Dan pada siklus II terdapat  2 orang siswa atau 33,33 % mengalami kesulitan dalam merangkai pokok-pokok ceritera dan mengalami hambatan dalam berceritera. Namun sebagian besar siswa yaitu 5 (lima) orang siswa atau 83,4 % pada siklus I dan 4 (empat) orang siswa atau 66,66 % pada siklus II  siswa terlihat aktif dalam kelompoknya dan serius menyelesaikan tugas.
SIMPULAN
Secara umum pelaksanaan penelitian tindakan penerapan pembelajaran picture and picture contekstual pada kelas VIII di SLB Negeri Surakarta sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus dan masing-masing siklus dengan materi pembelajaran yang berjenjang.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan yang berusaha untuk mendeskripsikan proses dan hasil pembelajaran picture and picture contekstual pada pelajaran berceritera di SLB Negeri Surakarta. Dilihat dari segi proses diungkapkan bahwa aktivitas siswa yang timbul sebagai implikasi dari penerapan pembelajaran picture and picture contekstual. Sedangkan dari hasil ditunjukkan dengan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran setelah kegiatan pembelajaran dilaksanakan.
Berdasarkan hasil  penelitian ternyata  dengan menerapkan pembelajaran picture and picture contekstual, kualitas pembelajaran berceritera dilihat dari proses dan hasil belajar siswa menjadi meningkat serta iklim belajar dalam kelas menjadi lebih menyenangkan bagi siswa. Sebagai implikasinya, penerapan pembelajaran picture and picture contekstual harus menjadi perhatian bagi para guru sebagai
upaya peningkatan kualitas proses
Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian di atas dan sesuai dengan maksud penelitian ini, peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut. Â
1. Para guru  hendaknya dalam mengajar menggunakan pendekatan  pembelajaran yang inovatif seperti picture and picture contekstual sehingga prestasi belajar siswa dapat meningkat sesuai dengan yang diharapkan.
Aminah. 2008. Strategi Guru dalam Mengembangkan Kreativitas anak,http://Blogspot.com/2008/06/tugas-uas.html, (Diakses hari Sabtu, 13 Agustus 2011)
Arikunto, Suharsimi. Suhardjono. Supardi. Â 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Depdiknas. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu / Inklusi : Alat Identifiksi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta : Direktorat PLB, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas.
Depdiknas. 2005. Contoh Bahan Ajar untuk Kelas Awal Sekolah Dasar. Jakarta : Dirjen Dikdasmen, Depdiknas.
Iskandarwassid dan Sunendar, Dadang. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Moleong.2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya
Mulyono. 2010. Membantu Siswa menceriterakan Isi Dongeng, Semarang : Wawasan, senin  tanggal 29 Maret 2010.
Sudarwan, Danim. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung : Pustaka Setia.
Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif : Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian, Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2006. Metode Penelitian Tindakan Kelas : Untuk Meningkatkan Kinerja Guru dan Dosen. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Yusuf, Munawir. 2011. Modul Pembelajaran Peseta Didik Tunagrahita di Sekolah Inklusi: Bahan Workshop Penyusunan Modul Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusif tgl. 16 – 18 Juni 2011. Semarang : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah.
BIODATA PENULIS
Drs. Abdullah, M.Pd. lahir di Klaten, 27 April 1963. Pendidikan S1 PLB FKIP-UNS 1988, dan S2 Pengajaran Bahasa Indonesia Pascasarjana UMS 2009.
Pengalaman mengajar mulai tahun 1992 – 1997 bertugas di SLB Pertiwi Ponorogo. Selanjutnya mulai tahun 1998 – 2012 bertugas di SLB Negeri Surakarta.
Mulai April 2012 sampai sekarang menjadi Pengawas SLB Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah.