BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, dasar hukum dan sifat ijaroh, rukun dan syarat ijarah, hukum ijarah, Tanggung-jawab yang Disewa (Ajir) dan Gugurnya Upah, Pembatalan dan berakhirnya ijarah, dan Pengembalian barang sewaan. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

  1. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah:

  1. Apa pengertian ijarah ?
  2. Bagaimana syarat-syarat ijarah ?
  3. Bagaimanakah dasar-dasar hukum ijarah ?

  1. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah:

  1. Mengetahui pengertian ijarah.
  2. Mengetahui syarat-syarat ijarah.
  3. Mengetahui dasar-dasar hukum ijarah

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Ijarah

Sebelum dijelaskan pengertian sewa menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih syafi’I berpendapat ijarah berarti upah mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedang kan Nor Hasanuddin sebagai penerjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa.

Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab kedalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti “seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah”, sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja dipabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu”.

Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة  (menjual manfaat).

sedangkan menurut terminologinya terdapat beberapa pendapat.

  1. Menurut Hanafiyah :

عَقْدٌ عَلَى المُنَافِعِ بِعَوْضٍ

Artinya : “ Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti “

  1. Menurut Asy-Syafiiyah :

عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُودةٍ مَعْلُومَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلبَدْلِ وَالإِبَاحَةِ  بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ

Artinya :  “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu  Dan mubah , serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.

  1. Menurut Malikiyah Dan Hambali :

تَمْلِيْكُ مَنَافِعِ شَيءٍ مُبَاحَةٍ مُدَّةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ

Artinya : Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.

Menurut Amir Syarifuddin al-ijarah secara sederhana dapat diartikan dengan akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut ijarah al’ain, seperti sewa-menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi manfaat atau jasa dari tenaga seseorang disebut ijarah ad-Dzimah atau upah mengupah, seperti upah mengetik skripsi. Sekalipun objeknya berbeda keduanya dalam konteks fiqih disebut al-ijaroh.

Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa ( Upah- mengupah ), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa menyawa, yakni mengambil manfaat dari barang. Jumhurul ulama’ beerpendapat ijarah adalah menjual manfaat Dan yang boleh di sewakan Dan yang boleh di sewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.

Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi. Sedangkan menurut Sulaiman Rasyid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.

2.    Dasar Hukum dan Sifat Ijarah

        a.    Dasar Hukum Ijaroh

Dasar-dasar hukum atau rujukan ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Al-Ijma’.

Dasar hukum ijarah dalam Al-Qur’an adalah:

Artinya: “Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (At-Thalaq:6)

Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash:26)

Dasar hukum ijarah dari Al-Hadis:

أُعْطُوااْلأَجيرأجره قبل ان يجف عرقه

Artinya: “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”. (Riwayat Ibnu Majah)

احتجم وعط الحجام أجره (رواه البخار و مسلم

Artinya: “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upaya kepada tukang bekam itu” (Riwayat Bukhari Muslim).

كُنانُكْرى الأَرْضَ بمَا عَلَى السوَا فى منَ الزَرْع فَنَهَى رَسُوْل الله

Artinya: “Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasululloh melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang mas atau perak”. (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).

Landasan ijma’nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap. 

Hukum Ijarah sahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijaroh termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.

Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau bekerja dibayar lebih kecil dari pada kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.

Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual-beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.

b. Sifat Ijarah

Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan pada firman Allah SWT. : اَوْفُوْابالعُقُوْد, yang boleh dibatalkan. Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya, bukan didasarkan pada pemenuhan akad.

Sebaliknya, jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan pendapatnya pada ayat Al-Qur’an diatas.

Berdasarkan dua pandangan diatas, menurut ulama Hanafiyah, ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal, tetapi berpindah kepada ahli warisnya.

  1. Rukun dan Syarat Ijarah

a. Rukun Ijarah

Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’, dan al-ikra.

Sedangkan menurut Ibnu Juzay dalam kitabnya Al-Qowanin Al-Fiqhiyah menerangkan tentang rukun ijarah, yakni :

وهي جائزة عند الجمهور وأركانها أربعة : (الأول) المستأجر . (الثاني) الأجير .. ويشترط فيهما ما يشترط في المتبايعين ويكره أن يؤاجر المسلم نفسه من كافر . (الثالث) الأجرة . (الرابع) المنفعة ويشترط فيها ما يشترط في الثمن والمثمن على الجملة . وأما على التفصيل فأما الأجرة ففيها مسألتان .

Artinya:

“Ijarah itu diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama, adapun rukun ijarah yakni:

1. Orang yang menyewa

2.  Orang Yang menyewakan. Dan disyaratkan  bagi keduanya sebagaimana disyaratkan dalam transaksi jual beli, dan dimakruhkan orang muslim menyewakan kepada orang kafir

3.  Uang sewa

4.  Adanya manfaat dari barang sewa tersebut. Dan disyaratkan dalam manfaat sebagaimana disyaratkan dalam jual beli tentang harga dan barang yang dihargai”

b. Syarat Ijarah

Syarat Ijarah terdiri empat macam, sebagaimana syarat dlam jual-beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad, syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.

  1. Syarat Terjadinya Akad

Syarat in’inqad (terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak diisyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz dipandang sah bila telah diizinkan walinya.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya.

Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.

  1. Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)

Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atas ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diijinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.

3. Syarat Sah Ijarah

Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad), yaitu:

a. Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad

Syarat ini didasarkan pada firman Allah SWT:

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(Q.S. An-Nisa’: 29)

Ijarah dapat dikategorikan jual-beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.

b. Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas

Adanya kejelasan pada ma’qud ‘alaih (barang) menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid.

Diantaranya cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.

Penjelasan dilakukan agar benda yang disewakan  benar-benar jelas. Tidak sah mengatakan, “Saya sewakan salah satu dari rumah ini”

Jumhur ulama tidak memberikan batasan maksimal atau minimal. Jadi, dibolehkan selamanya dengan syarat asalnya masih tetap ada sebab tidak ada dalil yang mengharuskan untuk membatasinya.

Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk penetapan awal waktu akad, sedangkan ulama Syafi’iyah  mensyaratkannya sebab bila tidak dibatasi hal itu dapat menyebabkan ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi.

Menurut ulama Syafi’iyah, seorang tidak bolehmenyatakan, “Saya menyewakan rumah ini setiap bulan Rp 50.000,-“sebab pernyataan seperti ini membutuhkan akad baru setiap kali membayar. Akad yang betul adalah dengan menyatakan, “Saya sewa selama sebulan”.

Sedangkan menurut jumhur ulama akad tersebut dipandang sah akad pada bulan pertama, sedangkan pada bulan sisanya bergantung pada pemakaiannya. Selain itu, yang paling penting adalah adanya keridaan dan kesesuaian dengan uang sewa.

Penjelasan tentang jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau pertentangan.

Batasan waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan kesempatan dalam akad.

c. Ma’qud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syarat

Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk berbicara dengan anaknnya, sebab hal itu sangat mustahil atau dipandang tidak sah menyewa seorang perempuan sedang haid untuk membersihkan masjid sebab diharamkan syara’.

d. Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’.

Pemanfaatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan syara’, seperti menyewakan rumah untuk ditempati atau menyewakan jaring untuk memburu dan lain-lain.

Para ulama sepakat melarang ijarah, baik berberda atau pun orang untuk berbuat maksiat atau berbuat dosa. Dalam kaidah fiqih dinyatakan الإسْتئْجَارُعَلَى اْالمَعَاصى لَا يَجُوْزُ (menyewa untuk suatu kemaksiatan tidak boleh)

e. Tidak menyewa utuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya

Diantara contohnya adalah menyewa orang untuk sholat fardu, puasa dan laian-lain. Juga dilarang menyewa istri sendiri melayaninya sebab hal itu kewajiban si istri.

f. Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa

Tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya. Juga tidak mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya, seperti menggiling gandum dan mengambil bubuknya atau tepungnya untuk dirinya. Hal itu didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Daruquthri bahwa rosulullah Saw melarang untuk mengambil bekas gilingan gandum. Ulama’ Syafi’iyah menyepakatinya.  Ulama Hanabila dan Malikiyah membolehkannya jika ukurannya jelas sebab hadist diatas dipandang tidak shohih.

g. Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum

Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.

4. Syarat Barang Sewaan ( ma’qud alaih)

Diantara syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai. Hal ini berdasarkan pada hadist rosul Saw yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam jual beli.

5. Syarat barang Ijarah (upah)

Para ulama’ telah menetapkan syarat upah, yaitu:

  1. Berupa harta tetap yang dapat diketahui
  2. Tidak boleh sejenis dengan barang dan manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.

6. Syarat yang kembali pada rukun akad

Akad disyaratkan harus terhindar dari syarat-syarat yang tidak diperlukan dalam akad atau syarat-syarat yang merusak akad seperti menyewakan rumah dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.

7. Syarat kelaziman

Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal sebagai berikut:

a. Ma’qud aliahi ( barang sewaan ) terhindar dari cacat

Jika terdapat cacat dalam barang sewaan, menyewa boleh memilih antara, meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkannya

b. Tidak ada udzur yang dapat membatalkan akad

Ulama hanafiah berpendapat bahwa ijarah batal karna adanya udzur sebab kebutuhan atau manfaat akan hilang apabila ada udzur. Udzur yang dimaksud adalah sesuatu yang baru yang menyebabkan kemadaratan bagi yang akad. Udzur dikategorikan menjadi 3 macam:

Menurut jumhur ulama’ ijarah adalah akad lazim seperti jual beli. Oleh karna itu, tidak bisa batal tanpa ada sebab yang membatalkannya. Menurut ulama’ Syafi’iyah, jika tidak ada udzur tetapi masih memungkinkan untuk mengganti dengan barang yang lain, ijarah tidak batal tetapi diganti dengan yang lain. Ijarah dapat dikatakan batal jika kemanfaatannya betul-betul hilang, seperti hancurnya rumah yang disewakan.

4.Hukum ijarah        

وكل ما أمكن الانتفاع به مع بقاء عينه صحت إجارته , إذا قدرت منفعته بأحد أمرين : بمدة أو عمل وإطلاقها يقتضي تعديل الأجرة , إلا أن يشترط التأجيل.  ولا تبطل الإجارة بموت أحمد المتعاقدين , وتبطل بتلف العين المستأجرة , ولا ضمان على الأجير إلا بعدوا

Artinya:

“Segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan dan keadaannya tetap utuh (tidak berubah), maka boleh menyewakannya jika manfaatnya itu ditentukan dengan salah satu perkara : dengan jangka waktu atau pekerjaan. Ongkos ijarah (sewa) harus dibayar tunai, kecuali jika ada perjanjian untuk menangguhkan pembayaran ongkos sewa tersebut.

Ijarah tidak menjadi batal karena meninggalnya salah seorang di antara dua orang yang melakukan akad. Akan tetapi ijarah itu batal karena rusaknya barang yang disewakan. Tidak ada jaminan bagi si penyewa kecuali jika barang rusak karena kecerobohannya.”

Adapun pendapat beberapa ulama’ lainnya adalah sebagai berikut :

“ Mempersewakan barang, dibenarkan syara”

Hukum ini disepakati para ulama’ seluruhnya terkecuali Ibnu “Ulayy ah. Beliau ini tidak membolehkan.

“Akad ijarah (sewa menyewa) harus dikerjakan oleh kedua belah pihak. Tidak boleh salah seorangnya sesudah akad yang shahih itu membatalkan, walaupun karena uzur melainkan kalau terdapat sesuatu yang memasakhkan akad, seperti terdapat cacat pada benda yang disewa itu.”

Kata Abu Hanifah dan ashhabnya: boleh dibatalkan penyewaan karena sesuatu peristiwa yang terjadi walaupun dari pihak yang menyewa, umpamanya ia menyewa suatu kedai untuk berniaga, lalu terbakar, atau dicuri, atau dirampas, atau jatuh bangkrut, maka bolehlah ia membatalkan penyewaan.

Dan kata segolongan ulama: akad ijarah (penyewaan) lazim dari pihak yang menyewakan, tidak lazim dari pihak yang menyewa.

“Apabila seseorang menyewa seekor binatang, atau rumah, atau kedai untuk waktu yang ditentukan dengan sewa yang telah ditentukan, padahal kedua-duanya tidak mensyaratkan penyegeraan membayar sewa dan tidak pula menegaskan penundaannya, maka berhaklah sewa diterima dengan terjadinya akad.”

Begitu pula pendapat Ahmad. Maka apabila rumah telah diserahkan kepada yang menyewa, berhaklah sewa menerima segala sewaannya, karena ia telah mengalihkan manfaat terhadap rumah itu dengan terjadinya akad ijarah.

Menurut Abu Hanifah dan Malik, sewa itu berhak diterima berangsur-angsur. Setiap selesai diambil manfaat pada sesuatu hari, berhaklah dibayar sewa hari itu.

“Jikalau seseorang menyewa rumah pada tiap-tiap bulan dengan sewa yang tertentu, maka batallah ijarah itu untuk seluruh bulan yang lain.”

5. Tanggung-jawab yang Disewa (Ajir) dan Gugurnya Upah 

1. Tanggung-jawab yang disewa (Ajir) 

Ajir Khusus

Ajir Khusus, sebagaimana dijelaskan di atas adalah orang yang bekerja sendiri dan menerima upah sendiri, seperti pembantu rumah tangga. Jika ada barang yang rusak, ia tidak bertanggung-jawab untuk menggantinya.

Ajir Musytarik

Ajir Musytarik, seperti para pekerja di pabrik, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan tanggung-jawab mereka.

Ulama Hanafiyah, Jafar, Hasan Ibn Jiyad, dan Imam Syafi’

Pendapat yang paling  sahih adalah mereka tidak bertanggung jawab atas kerusakan sebab kerusakan itu bukan disebabkan oleh mereka, kecuali bila disebabkan oleh permusuhan, seperti dalam Firman Allah SWT:

فَلاَعُدْوَانَ الاعلى الظالمين

Imam Ahmad dan dua sahabat Imam Abu Hanifah

Mereka berpendapat bahwa ajir bertanggung-jawab atas kerusakan jika kerusakan disebabkan oleh mereka walaupun tidak sengaja, kecuali jika disebabkan oleh hal-hal yang umum terjadi.

Menurut Ulama Malikiyah

Pekerja bertanggung-jawab atas kerusakan yang disebabkannya walaupun tidak disengaja atau karena kelalaiannya. Hal itu didasarkan pada hadits:

قال رسول الله ص. م. : على اليد ما اﺨﺫ ت حتى تؤديه. (رواه أحمد واصحاب السنن الأربعة(

2. Perubahan dari Amanah Menjadi Tanggung Jawab

Sesuatu yang ada di tangan ajir, misalnya kain pada seseorang penjahit, menurut ulama Hanafiyah dianggap sebagai amanah. Akan tetapi, amanah tersebut akan berubah menjadi tanggungjawab bila dalam keadaan berikut:

  1. Tidak menjaganya
  2. Dirusak dengan sengaja

Dalam Ajir Musytarik, apabila murid ajir ikut membantu, pengajarnyalah yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

3. Gugurnya Upah

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi ajir, apabila barang yang di tangannya rusak.

Menurut ulama Syafi’iyah, jika ajir bekerja di tempat yang dimiliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya, apabila barang berada di tangannya, ia tidak mendapatkan upah. Pendapat tersebut senada dengan pendapat ulama Hambaliah.

Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat diatas. Hanya saja diuraikan lagi:

  1. Jika ada bekas pekerjaan, ajir berhak mendapat upah sesuai bekas pekerjaan tersebut.
  2. Jika tidak ada bekas pekerjaannya, ajir berhak mendapatkan upah atas pekerjannya sampai akhir.
  3. Jika benda berada di tangan penyewa

Pekerja berhak mendapat upah setelah selesai bekerja.

4. Pengekangan Barang

Ulama Hanafiyah membolehkan ajir untuk mengekang barang yang telah ia kerjakan, sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi, jika dalam masa pengekangan, barang tersebut rusak, ia harus bertanggung-jawab.

5. Perbedaan di Antara yang akad

Seringkali terjadi perbedaan pendapat diantara kedua pihak yang melakukan akad (sewa menyewa) tentang jumlah upah yang harus diterima atau diberikan padahal ijarah dikategorikan sahih, baik sebelum jasa diberikan maupun sesudah jasa diberikan.

Apabila terjadi perbedaan sebelum diterimanya jasa, keduanya harus bersumpah, sebagaimana disebutkan pada hadis Rosullah SAW.:

Hadis tersebut meskipun berkaitan dengan jual-beli, juga relevan dengan ijarah. Dengan demikian, jika keduanya bersumpah, ijarah menjadi batal.

Kedua pihak yang melaksanakan akad berbeda pendapat setelah penyewa memanfaatkan sebagian sewaannya, yang diterima adalah ucapan penyewa dengan sumpahnya dan batal ijarah sisanya.

Kedua pihak yang melaksanakan akad berbeda pendapat setelah masa persewaan selesai, yang diterima ucapan penyewadalam penentuan biaya sewaan disertai upah.

Ulama Syafi’iyah berpendapat, jika pembuat baju berbeda dengan penjahit, misalnya tentang jenis benang yang dipakai menjahit, yang diterima adalah ucapan yang disertai sumpah.

6. Pembatalan dan berakhirnya ijarah

Para ulama’ fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, maka bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama’ Hanafiah berpendirian bahwa akad al ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu pihak yang berakad seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan berpindah dalam hukum. Adapun jumhur ulama’ dalam hal ini mengatakan bahwa akad al ijarah itu bersifat mengikat kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat perbedaan pendapat ini dapat diamati dalam kasus apabila seorang meninggal dunia. Menurut ulama’ Hanafiah, apabila seorang meninggal dunia maka akad al ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi jumhur ulama’ mengatakan, bahwa manfaat itu boleh diwariskan karna termasuk harta (al-maal). Oleh sebab itu kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad al ijarah.

Menurut Al-Khasani dalam kitab Al-Badaa’iu ash- Shanaa’iu, menyatakan bahwa akad al ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:

  1. Objek al ijarah hilang atau musnah seperti rumah yang disewakan terbakar atau kendaraan yang disewa hilang.
  2. Renggang waktu yang disepakati dalam ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu jasa seseorang maka orang tersebut berhak menerima upahnya.
  3. Wafatnya salah seorang yang berakad
  4. Apabila ada udzur dari salah satu pihak seperti rumah yang disewakan disita negara karna terkait adanya hutang, maka akad al iajarahnya tetap.

 Sementara itu, menurut Sayyid Shabit, al ijarah akan menjadi batal dan berakhir apabila ada hal-hal sebagai berikut:

  1. Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa
  2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah, dan runtuhnya bangunan gedung
  3. Rusaknya barang yang diupahkan seperti bahan baju yang dupahkan untuk dijahit
  4. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan selesainya pekerjaan
  5. Menurut hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan al ijarah ika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti terbakarnya gedung, tercurinya barang-barang dagang, dan kehabisan modal.

7. Pengembalian barang sewaan

Menurut Sayyid Shabit jika akad al ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu berbentuk barang yang dapat dipindah (barang bergerak), seperti kendaraan, binatang dan sejenisnya ia wajib menyerahkan langsung kepada pemmiliknya. Dan jika berbentuk barang yang tidak dapat dipindah (barang yang tidak bergerak), seperti rumah, tanah, bangunan, ia berkewajiban menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong, seperti keadaan semula. Madhab Hambali berpendapat bahwa ketika ala ijarah telah berakhir penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kepastian mengembalikan untuk menyerah trimakan seperti barang titipan. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa setelah barakhirnya masa akad al ijarah dan tidak terjadi kerusakan yang tanpa disengaja maka tidak ada kewajiban menanggung bagi penyewa.

ومتى انتهت الإجارة وجب على المستأجر رد العين المستأجرة. فإن كانت من المنقولات سلّمها لصاحبها… وإن كانت من العقارات المبينة سلّمها لصاحبها خالية من  متاعه. وإن كانت من الأراضي الزراعية سلمها خالية من الزرع إلا إذا كان هناك عذر كما سب, فإنّها تبقى بيد المستأجر حتى يحصد الزرع بأجر المثل.

وقالت الحنابلة : متى انقضت الإجارة رفع المستأجر يده ولم يلزمه الردّ ولا مؤونته مثل المودع لأنه عقد لا يقتضي الضمان فلا يقنضي ردّه ومؤونته . قالوا : وتكون بعد انقضاء المدة بيد المستأجر أمانةً إن تلفت بغير تفريط فلا ضمان عليه.

Artinya:

Dan ketika masa penyewaan sudah berakhir maka diwajibkan bagi sipenyewa untuk mengembalikan barang yang disewa, dan jika barang termasuk barang bergerak, maka sipenyewa dapat menyerahkannya secara langsung kepada pemiliknya, dan jika barang tersebut termasuk benda tetap/tidak bergerak, maka si penyewa dapat mnyrahkannya/mengembalikan pada tanpa pemiliknya tanpa benda tersebut, dan jika barang sewaan tersebut berupa bumi yang di cocok tanami maka sipenyewa menyerahkan bumi tersebut dalam kondisi  tanah lapang atau tidak ditanami kecuali dalam keadaan udzur.

Menurut mazhab hambali: dan apabila masa penyewaan sudah berakhir dia tidak boleh mengambil manfaat lagi barang sewaan tersebut , dan mereka berkata barang sewaan tersebut setelah masa penyewaan berakhir masih menjadi tanggung jawab atau amanah orang yang menyewa jika barang sewaan tersebut rusak bukan karena kelalaian maka ia tidak wajib memberikan ganti rugi .

BAB III

Simpulan

Menurut etimologi, ijaroh adalah menjual manfaat. Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Ijaroh menurut terminologi adalah: transaksi untuk mengambil kemanfaatan yang diperbolehkan dari barang yang telah ditentukan dalam jangka waktu yang diketahui atau transaksi jasa yang diketahui dengan alat tukar yang diketahui pula.

Dasar-dasar hukum atau rujukan ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Al-Ijma’.

Menurut ulama Hanafiyah, ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal, tetapi berpindah kepada ahli warisnya.

Rukun ijarah yakni: 1) Orang yang menyewa; 2) Orang Yang menyewakan; 3) Uang sewa; 4) Adanya manfaat

Syarat Ijarah terdiri empat macam, sebagaimana syarat dlam jual-beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad, syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.

Akad ijarah (sewa menyewa) harus dikerjakan oleh kedua belah pihak.

Hukum Ijaroh  tidak menjadi batal karena meninggalnya salah seorang di antara dua orang yang melakukan akad. Akan tetapi ijarah itu batal karena rusaknya barang yang disewakan.

Ulama’ Hanafiah berpendirian bahwa akad al ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu pihak yang berakad seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan berpindah dalam hukum.

Menurut Sayyid Shabit jika akad al ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan.

Daftar Pustaka