SALINAN
PUTUSAN
Nomor 27/PUU-XIII/2015
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Nama : Rochmadi Sularsono, P.Si.
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Alamat : Ponorogo
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;
[1.2] Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti surat/tertulis Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonan bertanggal 22 Januari 2015, yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal
4 Februari 2015 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
54/PAN.MK/2015, dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada
tanggal 17 Februari 2015 dengan Nomor 27/PUU-XIII/2015, yang telah diperbaiki
dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Maret 2015, yang pada
pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
1. Kewenangan Mahkamah
1. Undang Undang Dasar 1945 (mohon selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal
24 ayat (2) menyatakan “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
2
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya dalam
lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
2. UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) dan UU 24/2003 Pasal 10 ayat (1) huruf a
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor
98, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4316, untuk selanjutnya mohon
disebut UU MK 24/2003) dan UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157), tambahan lembaran
Negara RI Nomor 5076) Pasal 29 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”
2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon:
1. UU MK 24/2003 Pasal 51 ayat (1) menyatakan bahwa “Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Yaitu a. perorangan
Warga Negara Indonesia b. kesatuan Hukum Adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-
Undang c. badan hukum publik atau privat atau d. lembaga negara.”
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007 telah menentukan lima syarat kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam UU MK
Nomor 24/2003 Pasal 51 ayat (1) sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujiannya.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
3
c. hak dan/atau kewenangan tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujiannya
e. adanya kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.
3. Bagi Pemohon yang berstatus PNS hak konstitusional yang dirugikan ada
pada UUD 1945 Pasal 27 ayat (3) yaitu “Setiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara” dan UUD 1945 Pasal
28D ayat (1) yaitu “Setiap orang berhak atas jaminan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”. Hak Konstitusional yang dirugikan itu disebabkan sumpah dan
janji PNS yang ada pada UU 5/2014 Pasal 66 ayat (2) bagian sumpah/janji
PNS terutama frasa kata “menjunjung tinggi kehormatan negara,
pemerintah dan martabat pegawai negeri sipil” serta penggalan kalimat
“mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku” serta
sebagai perwujudan implementasi UU 5/2014 tentang ASN Pasal 10 huruf
b yang berbunyi “pelayan publik”.
4. Tidak akan mungkin terpenuhi sumpah dan janji itu jika terdapat
ketidakpastian hukum. Tidak terpenuhinya sumpah/janji mengusik
kemerdekan pikiran dan nurani pemohon selaku pribadi. Sebagai
wujud fungsi pelayan publik tentu berusaha agar “tuannya” (publik
termasuk tenaga honorer) terlayani dengan baik dalam hal ini hak-hak
hukumnya. Atas nama pelayan publik serta demi sumpah/janji sebagai
PNS, serta demi hak konstitusional yang merasa belum dipenuhi Pemohon
yang berstatus PNS dalam hal ini pada UU 5/2014 Pasal 2 huruf a,
Kepastian hukum bagian/pasal/ayat yang diasumsikan merugikan
tenaga honorer sebagai bukti pengabdian pemohon sebagai PNS yang
merupakan pelayan publik. Pasal dan/atau ayat pada UU 5/2014 tidak
mencerminkan asas kepastian hukum akibat ketidakjelasan pengaturan
yang ada pada pasal/ayat yang dijadikan bukti dalam uraian uji materi
Undang-Undang ini. Tidak tercerminnya asas kepastian hukum menyulitkan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
4
pemohon untuk menunaikan sumpah/janji selaku PNS terutama pada frasa
kata “menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah dan martabat
pegawai negeri sipil” serta “mentaati segala peraturan perundang-
undangan yang berlaku”
5. Beberapa pasal yang merupakan hak konstitusional para Pemohon Honorer
khususnya pada pasal/ayat/bagian yang mengatur mereka yang tercantum
pada UUD 1945 adalah:
1. Pasal 28D ayat (2) berbunyi, “Setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja”
2. Pasal 28I ayat (2) berbunyi, ”Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu ”
Asas Asas Penyelenggaraan Kebijakan dan Penyelenggaraan ASN
UU 5/2014 Pasal 2 huruf a Asas Kepastian Hukum
1. Adalah benar bahwa tidak ada hak konstitusionalitas yang bertentangan
dengan UUD 1945 yang tertera pada UU 5/2014 Pasal 2 huruf a (Asas
Kepastian Hukum) termasuk bagian penjelasnya bilamana pasal/ayat yang
ada pada UU 5/2014 tidak saling bertentangan. Permasalahan yang ada
pada UU 5/2014 terdapat beberapa pasal/ayat yang bertentangan dengan
makna asas kepastian hukum.
2. Pasal dan/atau ayat yang terdapat pertentangan makna pada UU 5/2014
tampak bilamana membandingkan:
(1) Pasal 6, Pasal 136 dan Pasal 139
(2) Pasal 20 ayat (3), Pasal 109 ayat (2) dan ayat (3) dan Pasal 120
bilamana dibandingkan dengan Pasal 1 angka 15 serta Pasal 19 ayat
(1).
(3) Pasal 77 ayat (5) dengan Pasal 118
(4) Pasal 129 UU 5/2014
(5) Pasal 131
Pasal dan/atau ayat yang bertentangan akan diuraikan di bawah ini
termasuk hak konstitusionalitas pemohon berstatus PNS yang tidak
terpenuhi.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
5
(1) UU 5/2014 Pasal 6, Pasal 136 dan Pasal 139
3. UU 5/2014 Pasal 6 berbunyi, “Pegawai ASN terdiri atas a. PNS dan
b. PPPK”
4. Pasal 136 tertera “Pada saat Undang-Undang ini berlaku, UU 8/1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 55 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan UU 43/1999
tentang Perubahan Atas Undang Undang 8/1974 tentang Pokok Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor :
169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
5. Pasal 139 tertera “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8/1974 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan
UU 43/1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 8/1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini”.
6. Inti Pasal 6 adalah lahirnya “adik baru” yang bernama Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pada Pasal 136 dan Pasal
139 di atas pokok terpenting pada uji materi adalah pencabutan UU
43/1999 dan Undang-Undang 8/1974 serta nasib Peraturan Pelaksananya.
7. Pada sisi implementasi dicabutnya kedua Pasal dalam hal ini Pasal 136 dan
Pasal 139 merugikan bagi pegawai negeri sipil yang dilantik tahun 2014
yang berdasarkan tenaga honorer K 2 yang lulus tes (penilaiannya
dibandingkan dengan sesama honorer yang berarti pula masih memperoleh
perlakuan khusus). Pelantikan mereka sebagai PNS harusnya batal karena
berlakunya Pasal 139 dan Pasal 136 UU 5/2014. Kerugian pencabutan UU
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
6
43/1999 khususnya pada Pasal 2 ayat (3) terutama perkenan
pengangkatan Pegawai Honorer serta pada Pasal 16 A terutama
perkenan mengangkat langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil.
8. Peraturan Pelaksanaan UU 5/2014 memang belum ada, artinya belum
diganti dengan PP baru. Pengangkatan tenaga honorer sepanjang tahun
2014 ketika UU 5/2014 dinyatakan memiliki kekuatan hukum mengikat pada
tanggal 15 Januari 2014 menjadikan pengangkatan tenaga honorer
setelah UU 5/2014 dinyatakan berlaku tidak memiliki payung hukum
yang kokoh, karena adanya frasa kata “tidak bertentangan dan belum
diganti berdasarkan undang-undang ini” pada UU 5/2014 Pasal 139
serta adanya frasa kata “dicabut dan dinyatakan tidak berlaku” pada UU
5/2014 Pasal 136.
9. UU 5/2014 Pasal 6 hanya mengklasifikasikan pegawai ASN menjadi dua
katagori, yaitu PNS dan PPPK. Tanpa mencantumkan tenaga honorer yang
lebih dahulu ada sebagai akibat UU 43/1999 Pasal 2 ayat (3) terutama frasa
kata “dapat mengangkat pegawai tidak tetap” dan perkenan
mengangkat langsung Pegawai Negeri Sipil walau dengan restriksi
tertentu (Pasal 16 a UU 43/1999) serta tidak memberi ruang pengaturan
bagi tenaga honorer yang ada berupa tanpa pencantuman tenaga honorer
pada UU 5/2014 Pasal 6 menjadikan pengangkatan tenaga honorer K2
oleh Pemerintah sebagai pemenuhan amanah yang diatur pada PP
56/2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP 48/2005 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS pada Pasal 6 A ayat (8)
penggalan kalimat berupa “Tenaga honorer yang dinyatakan lulus ujian
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diangkat menjadi calon
pegawai negeri sipil berdasarkan jumlah dan kualifikasi formasi
sampai dengan tahun anggaran 2014” berstandar ganda.
10. Standar ganda yang dimaksud adalah tidak memberi ruang disatu sisi
namun disisi lain memberinya kesempatan menjadi PNS padahal
berstatus honorer (yang telah tidak ada). Bukti lain tentang standar
ganda perlakuan pada tenaga honorer pada tenaga honorer K 2 yang
tersisa yang sudah diverifikasi dan validasi ulang dan dinyatakan sah dan
tenaga honorer non K 2 yang ternyata masih juga dipekerjakan hingga saat
ini.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
7
11. Standar ganda tidak mencerminkan asas kepastian hukum dan
merugikan pemohon karena tidak dapat memenuhi sumpah/janji selaku
PNS terutama pada frasa kata “menjunjung tinggi kehormatan negara,
pemerintah dan martabat pegawai negeri sipil” serta “mentaati segala
peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan menghambat
mewujudkan fungsi pelayan publik yang merupakan amanah UU 5/2014
Pasal 10 huruf b.
(2) UU 5/2014 Pasal 1 angka (15), Pasal 19 ayat (1) Pasal 20 ayat (3),
Pasal 109 ayat (2) serta ayat (3) dan Pasal 120
12. UU 5/2014 Pasal 1 angka 15 menyebutkan bahwa batasan Instansi
Pemerintah adalah Instansi Pusat dan Instansi Daerah
13. UU 5/2014 Pasal 19 ayat (1) tertera Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri dari:
a. Jabatan pimpinan tinggi utama
b. Jabatan pimpinan tinggi Madya
c. Jabatan pimpinan tinggi Pratama
14. UU 5/2014 Pasal 20 ayat (3) tertera kalimat “Pengisian jabatan ASN
tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan
anggota kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan pada instansi Pusat sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan
Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Indonesia”.
15. UU 5/2014 Pasal 109 ayat (2) tertera “Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi
oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia setelah mengundurkan diri dari dinas aktif
apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan
melaui proses secara terbuka dan kompetitif”.
16. UU 5/2014 Pasal 109 ayat (3) tertera “Jabatan Pimpinan Tinggi di
lingkungan instansi pemerintah tertentu dapat diisi oleh Tentara
Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan perturan
perundang-undangan”
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
8
17. Pertentangan makna berkaitan dengan dengan kedudukan Anggota
Kepolisian dan Prajurit TNI berkaitan dengan perkenan menduduki jabatan
menurut UU 5/2014.
18. Frasa kata “Pengisian jabatan ASN tertentu” dan frasa kata
“dilaksanakan pada instansi Pusat,” pada UU 5/2014 Pasal 20 ayat (3);
serta frasa kata “Jabatan pimpinan tinggi di lingkungan instansi
Pemerintah” pada UU 5/2014 Pasal 109 ayat (2) serta ayat (3) pada frasa
kata “jabatan pimpinan tinggi pada lingkungan Instansi Pemerintah
tertentu” menunjukkan pertentangan makna
19. Pasal 19 ayat (1) penggolongan pejabat tinggi dalam ASN ada tiga yaitu
Pejabat tinggi utama, madya dan pratama. Pada daerah kabupaten/kota
tidak mungkin ada jabatan pimpinan tinggi utama, sehingga pemakaian
frasa kata “pimpinan tinggi” tanpa pemilahan sebagaimana yang
tertera pada UU 5/2014 Pasal 20 menciptakan ketidakpastian makna. Hal
yang sama pada frasa kata “Instansi Pemerintah” karena pada UU 5/2014
pada Pasal 1 angka (15) Instansi Pemerintah mengandung makna
Instansi pusat dan instansi Daerah.
20. Pertentangan makna yang ada pada uraian di atas menyebabkan tidak
terpenuhinya asas kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan hak
pemohon yang dijamin oleh konstitusi dirugikan karena tidak mungkin
sumpah/janji pemohon dalam kapasitas sebagai PNS dapat
diwujudkan.
(3) Pasal 77 ayat (3) ayat (5) dan ayat (6) dengan Pasal 118 UU 5/2014
21. UU 5/2014 Bagian III Paragraf 8 Penilaian Kinerja terdapat ketentuan sanksi
yang mengaturnya. Pada Pasal 77 ayat (1) hingga ayat (3) menunjukkan
Penilaian Kinerja ditujukan pada PNS tanpa imbuhan kata/frasa kata
apapun. Sangat dimungkinkan yang dinilai memiliki jabatan setara
pimpinan tinggi. Hal ini berarti terdapat pertentangan makna dengan
ketentuan yang ada pada UU 5/2014 Pasal 118 ayat (1) hingga ayat (4).
22. Pertentangan makna tampak pada UU 5/2014 bilamana membandingkan
antara Pasal 77 ayat (5) dan ayat (6). Pada Pasal 77 ayat (5) tertera “Hasil
penilaian kinerja PNS digunakan untuk menjamin objektivitas dalam
pengembangan PNS, dan dijadikan sebagai persyaratan jabatan dan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
9
kenaikan pangkat, pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi dan
promosi serta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan”.
23. Kata “sanksi” pada Pasal 77 ayat (5) dijabarkan pada Pasal 77 ayat (6)
yaitu “PNS yang penilaian kinerjanya tidak mencapai target kinerja
dikenakan sanksi administrasi sampai dengan pemberhentian sesuai
dengan ketentuan perturan perundang-undangan”.
24. Terutama kata “PNS” dan frasa kata “Penilaian Kinerjanya tidak
memenuhi target kinerja dikenakan sanksi administrasi sampai
pemberhentian” akan berbeda bilamana dibandingkan dengan UU
5/2014 yang terdapat pada UU 5/2014 Pasal 118 ayat (2).
25. UU 5/2014 Pasal 118 ayat (2) menyatakan “Pejabat Pimpinan Tinggi
yang tidak memenuhi kinerja yang diperjanjikan dalam waktu satu
tahun pada suatu jabatan, diberikan kesempatan selama 6 (enam)
bulan untuk memperbaiki kinerjanya”. Frasa kata “tidak memenuhi
kinerja yang diperjanjikan selama satu tahun” berakibat “perkenan
selama 6 (enam) bulan untuk memperbaiki kinerja” bertentangan
dengan Pasal 77 ayat (5) khususnya kata “sanksi” dan pada Pasal 77 ayat
(6).
26. Frasa kata pada Pasal 77 ayat (6) dalam hal ini “tidak mencapai target
kinerja dikenakan sanksi administrasi sampai dengan pemberhentian”,
menjelaskan bahwa akibat tidak mencapai target kinerja pasti diberi
sanksi. Sanksi itu berujud sanksi administrasi hingga pemberhentian.
Tidak ada sama sekali tertera ragam sanksi berupa pemberian kesempatan
selama enam (6) bulan bilamana tidak mencapai target kinerja.
27. Argumentasi berikutnya adalah pemakaian “PNS” pada UU 5/2014 Pasal
77. UU 5/2014 Pasal 1 angka (3) memberi batasan PNS sebagai warga
Negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai
pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk
menduduki jabatan Pemerintahan.
28. UU 5/2014 Pasal 77 ayat (6) bilamana singkatan PNS menggunakan
rujukan pasal 1 angka (3) bermakna penilaian kinerja berlaku bagi seluruh
PNS yang menduduki jabatan dalam pemerintahan termasuk pula yang
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
10
menjabat sebagai Pimpinan Tinggi. Sehingga terdapat pertentangan
makna dengan Pasal 118.
29. Bilamana pengaturan pada Pasal 118 bukan ditujukan bagi PNS menjadi
tidak ada kepastian hukum pula karena tidak ada keterangan yang
menunjukkan pengaturan itu bersifat khusus.
30. Jelaslah berdasar uraian di atas pasal-pasal yang dicontohkan
menunjukkan tidak adanya kepastian hukum sebagaimana yang tertera
pada UU 5/2014 Pasal 2 huruf a. Kepastian hukum merupakan hak yang
dijamin konstitusi karenanya Pasal 2 huruf a dimohonkan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang pada Pasal 118 ayat (2)
bertentangan dengan Pasal 77 ayat (5) dan ayat (6).
31. Sepanjang Pasal 118 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) maka Pasal
118 ayat (3) dan ayat (4) yang merupakan tindak lanjut Pasal 118 ayat (2)
akan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat pula. Kedua pasal dalam
hal ini Pasal 77 ayat (5) dan ayat (6) dan Pasal 118 ayat (2) terdapat
ketidakpastian hukum karenamya bertentangan dengan UUD 1945 Pasal
28D ayat (1) terutama pada frasa kata “jaminan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil, dst”.
(4) Dengan Pasal 129 UU 5/2014 tentang ASN
32. Upaya administratif pegawai ASN (termasuk juga PNS dan PPPK) hanya
menggunakan dua cara yaitu Keberatan dan Banding Administratif yang
digunakan terhadap protes pekerja (ASN) pada penjatuhan hukuman
disiplin.
33. Pada UU 5/2014 bagian penjelas Pasal 129 ayat (1) sengketa kepegawaian
diberi batasan “sengketa yang diajukan pegawai ASN terhadap
keputusan yang dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
terhadap seorang Pegawai”.
34. Keberatan dan Banding administratif diberi “pengaturan”. Masih pula
terdapat penjelasan pada bagian penjelasnya. Namun banding administrasi
tidak diberi penjelasan pada bagian penjelasnya. Bilamana dibandingkan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id