Published using Google Docs
Pendekar2 Negeri Tayli jilid 31-45
Updated automatically every 5 minutes

Jilid 31

Mendadak timbul pula semangat kesatrianya yang tak gentar pada apa pun juga, ia jadi nekat untuk menghadapi segala kemungkinan, katanya pula, "A Cu, besok akan kucarikan seorang tabib sakti untuk mengobati lukamu, sekarang boleh kau tidur dengan tenang."

Melihat sikap bekas pangcu yang gagah perkasa dan angkuh tak gentar itu, A Cu merasa kagum, hormat, dan takut pula. Ia merasa tokoh di hadapannya itu sama sekali berbeda daripada Buyung-kongcu, tapi banyak persamaannya pula. Keduanya sama-sama tidak gentar pada langit dan tidak takut pada bumi, sama-sama angkuh dan berwibawa. Tapi Kiau Hong mirip seekor singa jantan dan Buyung Hok seperti burung hong, yang satu kasar dan yang lain halus.

Begitulah demi sudah ambil kebulatan tekad itu, Kiau Hong dapat tidur nyenyak, walaupun hanya duduk di atas kursi.

Di bawah sinar pelita yang remang-remang A Cu dapat melihat muka Kiau Hong. Selang tak lama, ia dengar Kiau Hong mulai mendengkur perlahan, ia lihat daging muka laki-laki gagah itu berkerut-kerut sedikit sambil mengertak gigi, tulang pipi yang lebar itu agak menonjol. Tiba-tiba timbul semacam rasa kasihan dalam hati A Cu, ia merasa batin laki-laki gagah di depan itu pasti sangat tertekan, sangat menderita, jauh lebih malang daripada nasibnya sendiri.

Esok paginya Kiau Hong menyalurkan tenaga murninya pula untuk menyegarkan A Cu, lalu mengeluarkan uang dan suruh pelayan hotel menyewakan sebuah kereta keledai. Ia payang A Cu ke atas kereta lalu datang ke kamar Pau Jian-leng, dan luar ia berseru, "Pau-heng, Siaute Kiau Hong memberi salam hormat!"

Waktu itu Pau Jian-leng, Hiang Bong-thian, dan Ki Liok bertiga belum lagi bangun, mereka kaget demi mendengar seruan Kiau Hong itu. Cepat mereka melompat bangun dan menyambar senjata dengan kelabakan. Tapi mereka menjadi terperanjat demi tampak di atas senjata masing-masing tertempel secarik kertas kecil yang tertulis: "Salam dari Kiau Hong".

Mereka saling pandang dengan melongo, mereka sadar bahwa semalam tanpa terasa Kiau Hong telah kerjai mereka, jika mau, jiwa mereka dengan gampang sudah ditamatkan oleh Kiau Hong. Di antara mereka Pau Jian-leng yang merasa paling malu, dia berjuluk "Bo-pun-ci" atau tanpa modal, artinya pekerjaannya ialah maling, mencuri tanpa memakai modal, dan sebagai pencuri, sudah tentu kepandaian menggerayangi rumah orang merupakan kemahirannya yang paling diandalkan, tapi kini ia sendiri telah digerayangi Kiau Hong dan baru sekarang ketahuan.

Segera Pau Jian-leng mengikat senjatanya yang berupa ruyung lemas itu di pinggang, lalu ia ke luar kamar, ia tahu bila Kiau Hong bermaksud membunuhnya tentu sudah dilakukannya semalam, maka tanpa takut-takut lagi ia berkata, "Buah kepala Pau Jian-leng ini setiap saat silakan Kiau-heng mengambilnya bila engkau suka, selamanya orang she Pau ini bekerja tanpa modal, kalau kini aku mesti bangkrut di tangan Kiau-heng rasanya juga masih berharga. Sedang ayah-bunda dan gurumu sendiri juga kau tega membunuhnya, apalagi terhadap orang she Pau yang tiada artinya ini, mengapa engkau bermurah hati segala?"

Namun Kiau Hong tidak pusingkan olok-olok itu, sebaliknya ia menjawab secara biasa saja, "Selamat bertemu, Pau-heng, sejak perpisahan di Tong-ting-oh dahulu, ternyata Pau-heng semakin gagah dan kuat."

"Haha, untunglah jiwaku ini belum lagi amblas, maka sampai sekarang masih sehat walafiat," sahut Pau Jian-leng dengan terbahak.

"Kabarnya 'Giam-ong-tek' Sih-sin-ih telah menyebarkan kartu undangan, maka aku tertarik untuk hadir ke sana, bagaimana kalau kupergi ke sana bersama kalian bertiga?" kata Kiau Hong pula.

Diam-diam Jian-leng sangat heran, pikirnya, "Bukankah maksud tujuan Sih-sin-ih menyebarkan kartu undangan justru hendak menghadapimu. Apa barangkali kau sudah bosan hidup, maka berani datang ke sana seorang diri? Tapi biasanya Kiau-pangcu terkenal pemberani dan cerdik pula, baik ketangkasan maupun kecerdasan serbakomplet, jika dia tidak punya pegangan apa-apa, tidak nanti dia masuk jaring sendiri, maka aku tidak boleh tertipu olehnya."

Melihat Pau Jian-leng hanya diam saja tanpa menjawab, segera Kiau Hong berkata pula, "Aku ada urusan penting perlu minta tolong pada Sih-sin-ih, kuharap Pau-heng suka memberitahukan tempatnya, untuk mana aku takkan melupakan pada kebaikanmu."

Kebetulan pikir Pau Jian-leng, jika kau berani hadir pada pertemuan besar para kesatria itu, sekali dikerubut, biarpun kau punya tiga kepala dan enam tangan juga takkan mampu lolos.

Dengan keputusan itu, segera ia menjawab, "Tentang tempat pertemuan itu adalah di Cip-hian-ceng yang terletak kurang lebih 70 li di timur laut sana. Jika Kiau-heng sudi hadir ke sana, itulah paling baik. Cuma ingin kukatakan di muka, pertemuan ini tidak mungkin pertemuan yang baik, kehadiran Kiau-heng ke sana nanti banyak celakanya daripada selamatnya, untuk mana janganlah menyalahkan aku tidak memperingatkanmu sebelumnya."

"Terima kasih atas kebaikan Pau-heng," sahut Kiau Hong dengan tersenyum tawar. "Jika enghiong-yan itu diadakan di Cip-hian-ceng, jadi tuan rumahnya adalah Yu-si-siang-hiong, bukan? Jika demikian, jalan ke sana sudah kukenal, maka kalian boleh silakan berangkat dulu, mungkin sejam lagi baru dapat kuberangkat, dengan demikian agar mereka dapat bersiap-siap pula lebih dulu."

Pau Jian-leng menoleh dan saling pandang sekejap dengan Ki Liok dan Hiang Bong-thian. Kedua kawan itu tampak mengangguk perlahan. Lalu Pau Jian-leng berkata, "Jika demikian, Cayhe akan menunggu kehadiran Kiau-heng di Cip-hian-ceng."

Begitulah dengan tergesa-gesa mereka bertiga lantas membereskan rekening hotel dan berangkat ke Cip-hian-ceng dengan menunggang kuda. Sepanjang jalan mereka melarikan kuda secepatnya, berulang-ulang mereka menoleh, khawatir kalau-kalau Kiau Hong mendadak menyusul dari belakang dan mendahului mereka.

Sekalipun Pau Jian-leng adalah seorang cerdik pandai, Ki Liok dan Hiang Bong-thian juga jago Kangouw yang berpengalaman luas, sepanjang jalan mereka menerka ini dan menebak itu, namun tetap tidak dapat meraba apa maksud tujuan Kiau Hong sengaja hadir dalam enghiong-yan itu.

"Pau-toako," tiba-tiba Ki Liok berkata, "apakah engkau melihat kereta yang disewa Kiau Hong itu. Mungkin di dalam kereta itu ada apa-apanya?"

"Jangan-jangan di dalam kereta itu terdapat jago-jago lihai begundalnya?" ujar Hiang Bong-thian.

"Andaikan kereta itu tumplak penuh dengan begundalnya, paling-paling cuma muat beberapa orang, katakanlah seluruhnya ada sepuluh orang bersama Kiau Hong, tapi dalam pertemuan besar nanti, paling-paling mereka cuma mirip sebuah sampan yang terombang-ambing di tengah samudra raya, apa yang dapat mereka perbuat?" kata Pau Jian-leng.

Tengah bicara, sepanjang jalan sudah banyak bertemu dengan jago-jago persilatan yang juga hendak hadir pada enghiong-yan di Cip-hian-ceng.

Karena pertemuan itu diadakan secara mendadak dan mendesak, maka setiap orang yang menerima kartu undangan segera berangkat siang dan malam sambil menghampiri sesama kawan bu-lim, maka hanya dalam waktu sehari semalam saja kartu undangan yang disebarkan Giam-ong-tek itu sudah hampir merata. Cuma waktunya terlalu mendesak, maka yang sudah tiba di Cip-hian-ceng itu baru tokoh-tokoh yang bertempat tinggal ratusan li di sekitar Siau-lim-si di Provinsi Holam.

Sebenarnya Siau-lim-si sendiri sudah menyebarkan kartu undangan kepada para kesatria untuk berunding cara menghadapi Buyung Hok. Tapi waktu yang ditentukan itu masih ada 20 hari lebih, sebagian besar kesatria yang diundang itu masih dalam perjalanan, seperti ayah Toan Ki, yaitu Tin-lam-ong dari negeri Tayli, Toan Cing-sun, dan jago-jago silat yang dipimpinnya saat itu juga belum tiba di Siau-lim-si. Namun begitu sudah banyak juga kaum kesatria yang berada di daerah Holam untuk pesiar atau menyambangi sobat-andai. Mereka inilah yang telah menerima kartu undangan Yu-si-siang-hiong dan "Giam-ong-tek" Sih-sin-ih.

Kalau undangan melulu datang dari Yu-si-siang-hiong saja mungkin tidak diperhatikan oleh para kesatria itu. Tapi nama Giam-ong-tek juga tercantum sebagai pengundang, keruan mereka merasa mendapat kehormatan besar dan buru-buru hadir.

Maklum, nama Si Tabib Sakti she Sih dan Musuh Raja Akhirat itu terlalu tenar, setiap orang persilatan sangat mengharapkan bisa berkenalan atau bersahabat dengan dia. Sebab, sebagai orang persilatan, bukan mustahil setiap saat bisa terluka parah atau terbinasa, tapi kalau kenal dan bersahabat dengan Giam-ong-tek, maka boleh dikatakan jiwa mereka telah diasuransikan kepada tabib sakti itu.

Begitulah, ketika Pau Jian-leng bertiga sampai di Cip-hian-ceng, mereka telah disambut sendiri oleh Yu-si-siang-hiong.

Sesudah berada di dalam rumah, ternyata, tetamu sudah memenuhi ruangan luar dan dalam. Banyak yang dikenal Pau Jian-leng, banyak pula yang tidak kenal. Yang kenal segera saling menyapa, sedapatnya Pau Jian-leng membalas hormati kepada setiap kenalan secara merata. Ia khawatir kalau ada yang terlupa dan kelompatan balas menghormat, bukan mustahil akan menimbulkan rasa dendam hingga berakibat permusuhan di belakang hari.

Setelah Yu Ki, yaitu orang kedua dari Yu-si-siang-hiong (Dua Jago she Yu) mengajak mereka ke meja tuan rumah, di situ sudah menunggu Si Tabib Sakti she Sih, ia sambut kedatangan tamunya sambil memberi hormat, "Atas kesudian hadirnya Pau-heng bertiga, sungguh aku merasa terima kasih tak terhingga."

"Haha, masakah undangan Sih-loyacu berani kutolak, biarpun aku sedang sakit tak bisa berjalan juga aku akan datang kemari meski harus digotong," sahut Pau Jian-leng dengan terbahak.

"Tentu saja," sela Yu Ek, si tua dari kedua saudara Yu itu. "Jika kau sakit payah, tanpa diundang juga kau akan cari Sih-loyacu."

Mendengar percakapan itu, banyak tetamu lain ikut bergelak tertawa.

"Kalian bertiga baru tiba, tentu sangat lelah, silakan ke belakang dulu untuk dahar sekadarnya," ujar Yu Ki.

"Lelah sih tidak, lapar pun belum, sebaliknya kubawa suatu berita penting yang perlu kukatakan dengan segera," sahut Pau Jian-leng. "Numpang tanya dulu, kartu undangan yang Sih-loyacu dan kedua saudara Yu sebarkan itu apakah di antaranya terdapat undangan kepada Kiau Hong?"

Mendengar nama Kiau Hong disebut, wajah Sih-sin-ih agak berubah. Sebaliknya Yu Ek lantas tanya, "Apa maksud Pau-heng sebenarnya, kenapa menyinggung tentang Kiau Hong? Apakah disebabkan Pau-heng bersahabat karib dengan orang she Kiau itu?"

"Harap Yu-heng jangan salah paham," cepat Pau Jian-leng menjelaskan. "Sebaliknya aku justru hendak menyampaikan berita penting ini, Kiau Hong menyatakan akan hadir dalam pertemuan besar kaum kesatria ini."

Seketika gemparlah suasana ruangan tamu itu, sejenak kemudian keadaan menjadi hening, semuanya diam ingin mendengarkan berita itu lebih lanjut. Yang terdengar hanya suara obrolan dan tertawa tamu-tamu di ruangan belakang dan samping karena mereka tidak tahu suasana di ruangan depan itu.

"Dari mana Pau-heng tahu Kiau Hong akan datang ke sini?" tanya Si Tabib Sakti.

"Cayhe bersama Ki-heng dan Hiang-heng mendengar dengan telinga sendiri," sahut Jian-leng. "Sungguh memalukan kalau diceritakan, kami bertiga semalam telah terjungkal habis-habisan."

Berulang Hiang Bong-thian mengedipi kawan itu agar jangan menguraikan kejadian semalam yang memalukan itu. Tapi Pau Jian-leng cerdik orangnya, ia pikir bila sedikit ia dusta hingga menimbulkan rasa curiga Si Tabib Sakti dan tokoh-tokoh lain, kelak pasti akan mendatangkan banyak kesukaran.

Maka ia tidak peduli isyarat Hiang Bong-thian itu, sebaliknya perlahan ia lepaskan ruyungnya dari pinggang dan diperlihatkan kepada Sih-sin-ih tulisan di atas kertas yang masih menempel pada senjatanya itu, katanya, "Kiau Hong suruh kami bertiga menyampaikan pesannya, katanya dalam waktu singkat ia akan datang ke Cip-hian-ceng ini."

Lalu ia ceritakan pengalamannya tanpa dusta sedikit pun. Sudah tentu yang runyam adalah Hiang Bong-thian, ia merasa malu dan membanting-banting kaki.

Namun tanpa tedeng aling-aling Pau Jian-leng menghabiskan ceritanya itu, akhirnya ia berkata, "Kiau Hong itu adalah keturunan anjing bangsa Cidan, andaikan dia cukup baik dan berbudi juga kita mesti membasminya, apalagi sekarang ia sudah umbar kebuasannya, mara bahaya di kemudian hari tentu tak terkirakan, sebenarnya untuk menangkapnya tidaklah mudah, syukur sekarang ia masuk jeratan sendiri, rupanya ajalnya sudah tiba saatnya."

Yu Ki berkerut kening mendengar laporan itu, ia pikir sejenak, lalu berkata, "Konon Kiau Hong itu seorang yang serbapintar dan tangkas, sekali-kali bulan seorang laki-laki kasar dan sembarang bertindak, masakah ia benar-benar berani hadir dalam pertemuan ini?"

"Mungkin ada tipu muslihat di balik kehadirannya nanti, untuk mana kita harus waspada," ujar Pau Jian-leng. "Marilah kita berunding cara bagaimana harus menghadapinya nanti."

Tengah bicara, dari luar sudah masuk lagi banyak kesatria lain, di antaranya "Tiat-bin-poan-koan" Tan Cing dan kelima putranya. Tam-kong dan Tam-poh serta Tio-ci-sun, Kim Tay-peng dan Oh-pek-kiam Su An, Nau-kang-ong Cin Goan-cun, dan lain-lain. Tidak lama kemudian, tiba pula Hian-lan dan Hian-cit berdua padri saleh dari Siau-lim-si.

Meski ada juga di antara mereka tidak menerima kartu undangan, tapi karena merasa diri mereka cukup memenuhi syarat untuk disebut sebagai kesatria, maka tanpa diundang juga mereka hadir sendiri.

Dengan hormat Yu-si-siang-hiong dan Giam-ong-tek menyambut kedatangan tamu-tamu itu. Ketika bicara tentang kejahatan yang diperbuat Kiau Hong, semua orang merasa gusar dan bertekad akan membasmi durjana yang kejam itu.

Tiba-tiba pelayan penyambut tamu masuk memberi lapor bahwa Ci-tianglo dari Kay-pang bersama Cit-hoat dan Thoan-kong Tianglo serta keempat tianglo lain juga tiba. Tamu-tamu yang sudah berada di situ sama terkesiap. Ujar Hiang Bong-thian, "Orang Kay-pang datang ke sini secara berbondong-bondong, jelas mereka hendak memberi bantuan kepada Kiau Hong."

"Tidak mungkin," kata Tan Cing. "Kiau Hong sudah dipecat dari keanggotaan Kay-pang dan bukan pangcu mereka lagi, kejadian itu kami ikut menyaksikan sendiri, malahan di antara mereka sudah saling bermusuhan."

"Tapi hubungan lama belum tentu dilupakan begitu saja," kata Hiang Bong-thian.

"Kukira para tianglo dari Kay-pang adalah kesatria sejati dan patriot tulen, kalau mereka membantu Kiau Hong, bukankah berarti mereka pun pengkhianat bangsa dan penjual negara?" ujar Yu Ek.

"Ya, manusia yang paling rendah sekalipun tidak sudi menjadi pengkhianat bangsa dan penjual negara," demikian dukung tetamu yang lain.

Maka Yu-si-siang-hiong bersama Sih-sin-ih lantas menyambut keluar. Mereka merasa lega ketika melihat orang Kay-pang yang hadir itu cuma belasan tianglo saja, andaikan mereka hendak membela Kiau Hong juga takkan dapat melawan kesatria lain yang lebih banyak jumlahnya.

Tapi Yu-loji, Yu Ki, orangnya cukup hati-hati, diam-diam ia kirim anak buahnya pasang mata di sekitar pedusunan untuk melihat apakah orang Kay-pang menyembunyikan bala bantuan atau tidak. Setelah itu barulah ia menyilakan Ci-tianglo dan rombongan masuk ke dalam. Wajah para tokoh Kay-pang tampak masam, nyata mereka sedang menanggung sesuatu urusan yang memusingkan.

Sesudah tuan rumah dan para tamu mengambil tempat duduk, segera Ci-tianglo membuka suara lebih dulu, "Sih-heng, dan kedua saudara Yu, hari ini para kesatria kalian undang ke sini, apakah maksudnya hendak menghadapi bibit bencana bu-lim yang ditimbulkan Kiau Hong itu?"

Mendengar tokoh Kay-pang itu menyebut Kiau Hong sebagai bibit bencana bu-lim, semua orang saling pandang sekejap dengan hati lega. Segera Yu Ek menjawab, "Memang demikianlah halnya. Maka atas kunjungan Ci-tianglo sekalian kami merasa sangat beruntung, sebab untuk membasmi pengganas itu, perlu sekali kami mendapat bantuan dan izin para Tianglo, kalau tidak, jangan-jangan akan timbul salah paham hingga terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan."

Ci-tianglo menghela napas panjang, sahutnya, "Orang itu sudah tidak punya hati nurani lagi, tindak tanduknya kejam. Sepantasnya, karena ia pernah banyak berjasa bagi pang kami, paling akhir juga telah menolong saudara-saudara kami dari jebakan musuh. Akan tetapi seorang laki-laki harus dapat memandang jauh, segala apa mesti berpikir pada kepentingan orang banyak, urusan pribadi harus dikesampingkan dulu. Kini Kiau Hong adalah musuh besar bangsa Song kita, meski para tianglo dari pang kami pernah mendapatkan kebaikannya, tapi tidak nanti kami mengutamakan kepentingan pribadi dan melalaikan kepentingan umum. Apalagi sekarang ia sudah bukan orang kami."

Ucapan Ci-tianglo segera mendapat pujian orang banyak. Menyusul Yu Ek lantas beri tahu tentang Kiau Hong telah menyatakan akan hadir dalam pertemuan ini. Berita ini membuat para Tianglo Kay-pang terperanjat dan heran. Sebagai bekas anak buah Kiau Hong, mereka cukup kenal pribadi bekas pangcu mereka yang tangkas lagi cerdik itu, kalau dikatakan Kiau Hong akan datang ke Cip-hian-ceng seorang diri, hal ini benar-benar sangat mengherankan mereka.

Tiba-tiba Hiang Bong-thian berseru, "Kukira pernyataan Kiau Hong itu hanya tipu muslihat belaka, ia sengaja membikin kita menunggu percuma di sini, sebaliknya ia angkat langkah seribu entah kabur ke mana, itu namanya 'tonggeret melepaskan kulit'!"

"Melepas kulit makmu!" mendadak Go-tianglo memaki sambil menggebrak meja. "Tokoh macam apakah Kiau Hong itu, apa yang telah dikatakannya masakah kau kira cuma omong kosong?"

Muka Hiang Bong-thian menjadi merah padam oleh makian itu, segera ia menyahut, "Kau mau bela Kiau Hong, bukan? Hm, aku orang she Hiang inilah orang pertama yang penasaran, marilah, boleh kita coba-coba dulu."

Selama hidup Go-tianglo paling kagum kepada Kiau Hong, ia memang lagi mendongkol sepanjang jalan ketika mendengar berita tentang bekas pangcu itu membunuh kedua orang tua serta gurunya.

Oleh karena seorang saudara Go-tianglo juga telah menjadi korban keganasan bangsa Cidan, selama hidupnya ia sangat benci pada orang Cidan. Kini mendadak diketahuinya Kiau-pangcu yang dihormati dan dicintainya itu ternyata adalah orang Cidan, keruan kesal dan sesalnya tak terlukiskan.

Dalam keadaan sedih itulah tiba-tiba Hiang Bong-thian berani menantang padanya, keruan tanpa tawar lagi ia tandangi tantangan itu. Sekali lompat ia melesat ke tengah pelataran dan berseru, "Apakah Kiau Hong itu keturunan anjing Cidan atau bukan, saat ini masih belum dapat dipastikan oleh siapa pun juga. Tapi bila dia benar-benar bangsa Cidan, aku orang she Go inilah yang pertama-tama akan mengadu jiwa padanya. Dan untuk membunuh Kiau Hong, biarpun nomor urut keseribu juga belum sampai pada giliranmu. Hm, kau ini kutu busuk macam apa hingga berani mengoceh di sini? Ayolah maju, biar kuhajar adat dulu padamu."

Sudah tentu Hiang Bong-thian jadi murka juga, "sret", segera ia lolos goloknya dan hendak tandangi Go-tianglo. Tapi begitu golok terlolos, segera kertas yang ditempel Kiau Hong di atas senjatanya itu lantas terbaca. Seketika ia tertegun.

"Sudahlah, kalian sama-sama tetamu kami, harap suka memandang muka kami, janganlah ribut dulu," demikian Yu Ek berusaha memisah.

"Ya, Go-hiati, janganlah kita bertindak sembrono, betapa pun nama baik pang kita harus dijaga," ujar Ci-tianglo.

"Huh, Kay-pang mempunyai seorang tokoh besar macam Kiau Hong, nama baiknya sangat tersohor, memang kudu dijaga sebaik-baiknya," demikian tiba-tiba suara seorang aneh dingin dan lirih menanggapi ucapan Ci-tianglo itu.

Keruan para tokoh Kay-pang yang hadir di situ menjadi gusar, beramai-ramai mereka membentak, "Siapa itu yang bicara?" - "Ayolah, kalau berani tampil ke muka sini!" - "Huh, pengecut, bicara secara sembunyi-sembunyi! Haram jadah!"

Namun pembicara itu diam saja sesudah mengucapkan kata-kata tadi hingga tiada seorang pun tahu siapa gerangannya.

Sungguh dongkol tokoh-tokoh Kay-pang itu tidak kepalang karena disindir tanpa mengetahui siapa orangnya, tentu saja mereka mati kutu. Tapi beberapa di antaranya yang berwatak berangasan dan kasar, tanpa pikir lagi terus balas mencaci maki hingga kakek-moyang ke-18 keturunan pembicara itu pun dimaki habis-habisan.

Sih-sin-ih berkerut kening oleh caci maki yang kotor itu, segera katanya, "Harap para Tianglo suka sabar, dengarkan kataku ini."

Maka perlahan para pengemis itu tenang kembali.

Di luar dugaan, kembali suara orang tadi bergema pula di tengah orang banyak sana, "Bagus, bagus! Kiau Hong sengaja mengirim mata-mata sebanyak ini, sebentar tentu ada permainan sandiwara yang menarik."

Mendengar ucapan itu, Go-tianglo semakin murka, segera terdengar suara gemerencing senjata dilolos, para tokoh pengemis itu siapkan senjata mereka yang gemerlapan. Tamu lain mengira kawanan pengemis itu akan turun tangan, beramai mereka pun lolos senjata hingga keadaan menjadi kacau-balau.

Cepat Sih-sin-ih dan Yu-si-siang-hiong berusaha menenangkan suasana ribut itu, tapi suara mereka ternyata tidak cukup untuk bikin tenteram suasana yang panas itu.

Pada saat kacau itulah, tiba-tiba seorang penjaga berlari masuk dan membisiki telinga Yu Ek. Air muka Yu Ek tampak berubah hebat, ia tanya sesuatu pada pelayan itu dan hamba itu tampak menuding ke luar pintu dengan rasa takut.

Segera tampak Yu Ek bisik-bisik juga pada Sih-sin-ih dan air muka tabib sakti itu pun kelihatan gelisah. Waktu Yu Ki mendekati saudaranya dan menanyakan apa yang terjadi, sesudah Yu Ek berbisik perlahan, mendadak air muka Yu Ki juga berubah kaget. Lalu Yu Ki membisiki kawannya yang lain.

Begitulah seorang demi seorang meneruskan bisik-bisik itu hingga akhirnya merata dan semua orang mengetahui apa yang terjadi. Seketika suasana gaduh menjadi sunyi, sebab setiap orang yang hadir di situ sama mendapat bisikan, "Kiau Hong sudah datang!"

Setelah saling pandang sekejap antara Sih-sin-ih dan kedua saudara Yu, mereka memandang pula pada Hian-lan dan Hian-cit berdua, akhirnya Sih-sin-ih berkata, "Silakan dia masuk!"

Segera pelayan tadi keluar. Sedangkan hati semua kesatria sama berdebar dengan hebat. Walaupun jelas jumlah orang pihak sini jauh lebih banyak, sekali Kiau Hong bertindak, seketika semua orang mengerubut maju, tentu bekas Pangcu Kay-pang itu akan dapat dicacah menjadi perkedel. Tapi nama Kiau Hong itu terlalu disegani, kalau dia sudah berani hadir seorang diri, terang dia sudah punya sesuatu pegangan, siapa pun tidak dapat menerka tipu muslihat apa yang telah diatur olehnya.

Di tengah suasana yang hening itu, tiba-tiba terdengar suara keledai lari berdetak-detak diselingi suara kelotakan roda kereta yang menggelinding di atas batu. Sebuah kereta terdengar sudah sampai di depan pintu. Malahan kereta itu tidak berhenti di situ, bahkan terus melintasi gerbang pintu dan langsung masuk ke dalam pekarangan. Kereta keledai itu tampak dikusiri seorang laki-laki tegap dengan cambuk di tangan, kerai kereta tertutup hingga tidak jelas apa isi kendaraan itu.

Seketika perhatian semua orang terarah kepada laki-laki tegap yang mengemudi kereta itu. Tertampak badannya tinggi besar, dada lebar dan lengan kasar, mukanya kereng, siapa lagi dia kalau bukan bekas Pangcu Kay-pang, Kiau Hong adanya.

Setelah taruh cambuknya di atas kereta, segera Kiau Hong melompat turun dan berkata, "Kudengar Sih-sin-ih dan Yu-si-hengte sedang mengadakan pertemuan besar dengan para kesatria di Cip-hian-ceng ini, Kiau Hong sudah merasa dibenci oleh para kesatria Tionggoan, masakah aku berani ikut hadir ke sini tanpa kenal malu? Cuma hari aku ada urusan penting yang mesti minta tolong kepada Sih-sin-ih, maka kedatanganku secara sembrono ini hendaklah dimaafkan."

Habis berkata, ia membungkuk dengan laku sangat hormat.

Tapi semakin Kiau Hong berlaku sopan, semakin Sih-sin-ih dan lain-lain curiga mungkin di balik kehalusan ini ada sesuatu tipu keji. Maka diam-diam Yu Ek memberi tanda kepada anak buahnya agar meronda keluar untuk berjaga segala kemungkinan di samping untuk merintangi larinya Kiau Hong bila bekas pangcu itu hendak kabur.

Lalu Sih-sin-ih membalas hormat dan berkata, "Ada urusan penting apa yang Kiau-heng ingin minta tolong padaku?"

Kiau Hong tidak lantas menyahut, tapi ia melangkah mundur ke samping kereta, ia singkap tirai kereta keledai itu dan memayang A Cu turun ke bawah. Lalu katanya, "Disebabkan aku suka bertindak gegabah, maka nona cilik ini ikut menjadi korban tenaga pukulan orang hingga terluka parah. Di zaman ini selain Sih-sin-ih tiada orang lain lagi yang mampu menyembuhkannya, maka secara sembrono kudatang kemari untuk mohon Sih-sin-ih agar suka menolong jiwanya."

Waktu melihat kereta keledai itu tadi sebenarnya semua orang sangat curiga, sebab tidak tahu apa isi kereta yang dibawa datang Kiau Hong. Kini demi tampak dari dalam kereta diturunkan seorang nona cilik berumur 16-17 tahun, kembali mereka heran lagi, lebih-lebih setelah mendengar Kiau Hong menyatakan kedatangannya itu hendak mohon pengobatan kepada Si Tabib Sakti.

Sih-sin-ih sendiri juga sama sekali tidak menduga akan hal itu. Sudah biasa baginya menerima tamu dari jauh yang ingin minta tolong padanya, tapi kini mereka sedang berunding cara bagaimana menawan dan membunuh Kiau Hong, siapa tahu "durjana" yang dipandang mahajahat itu justru datang sendiri, sungguh hal ini sukar untuk dipercaya oleh siapa pun.

Ia coba mengamat-amati A Cu dari atas ke bawah dan sebaliknya, ia lihat anak dara itu cukup cantik, tapi tidak luar biasa, apalagi usianya masih muda, tidak mungkin Kiau Hong tergoda oleh kecantikan seorang dara ingusan. Tapi ia lantas berpikir, "Jangan-jangan anak dara ini adalah adik perempuannya? Tapi, hal ini tidak mungkin terjadi, sedangkan orang tua dan gurunya saja dibunuhnya, masakah dia sudi mengambil risiko sebesar ini demi untuk adik perempuan. Jika demikian, apakah putrinya? Tapi toh tidak pernah kudengar Kiau Hong pernah menikah?"

Sebagai seorang tabib sakti, dengan sendirinya Sih-sin-ih pandai membedakan ciri-ciri setiap orang. Ia lihat Kiau Hong sangat kekar, sebaliknya A Cu kecil mungil, tiada sesuatu persamaan di antara mereka, maka dapat dipastikan tiada hubungan darah apa-apa. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia tanya, "Siapakah nona ini, dia pernah apa dengan kau?"

Kiau Hong melengak oleh pertanyaan itu, sejak kenal A Cu, yang diketahui cuma panggilan anak dara itu adalah "A Cu", apakah dia she Cu atau bukan tidaklah diketahui. Maka ia coba tanya gadis itu, "A Cu, apakah kau memang she Cu?"

"Bukan," sahut A Cu dengan tersenyum. "Aku she Wi dan bernama Si. Cuma aku suka pakai baju merah, maka Kongcu memanggilku A Cu (Si Merah)."

"O, jadi dia she Wi, Sih-sin-ih, aku pun baru tahu sekarang," ujar Kiau Hong.

Keruan Si Tabib Sakti semakin heran, tanyanya pula, "Jika begitu, jadi engkau tiada persahabatan apa-apa dengan dia?"

"Dia adalah dayang seorang sobatku, sedikit banyak ada sangkut pautnya," ujar Kiau Hong.

"Siapakah sobatmu itu, tentu hubungan kalian sebaik saudara sekandung, bukan?" tanya Sih-sin-ih.

"Tidak, sobatku itu juga cuma kukenal namanya saja, selamanya belum pernah bertemu," sahut Kiau Hong.

Keruan jawabannya membikin gempar pula. Sebagian besar orang tidak percaya pada pengakuannya itu, mereka menyangka itu cuma suatu tipu muslihat Kiau Hong saja. Tapi banyak pula yang kenal watak Kiau Hong tidak pernah berdusta, biarpun segala kejahatan mungkin dapat dilakukannya, tapi untuk menjaga harga diri, tidak nanti ia bohong untuk menipu orang.

Sih-sin-ih tidak tanya lagi, tiba-tiba ia melangkah maju, ia pegang nadi pergelangan tangan A Cu, ia merasa denyut nadi sangat lemah, tenaga murni dalam tubuh bergolak hebat, keduanya itu satu sama lain tidak seimbang. Waktu ia periksa nadi lain pula, maka dapatlah ia menentukan penyakitnya. Katanya, "Jika Kiau-heng tidak menyambung jiwanya dengan tenaga dalam, mungkin nona ini sudah lama terbinasa di bawah pukulan Kim-kong-ciang Hian-cu Taysu."

Sudah tentu ucapan Si Tabib Sakti ini sekali lagi membikin gempar para kesatria, lebih-lebih Hian-lan dan Hian-cit, mereka merasa aneh bilakah suheng mereka pernah memukul seorang nona cilik dengan Kim-kong-ciang? Jika dara cilik ini benar-benar diserang Kim-kong-ciang yang mahahebat itu, tidak mungkin jiwanya bisa dipertahankan sampai sekarang.

Maka Hian-lan lantas berkata, "Sih-kisu, Hongtiang Suheng kami selama beberapa tahun tidak pernah keluar dari biara, selamanya Siau-lim-si tidak pernah dimasuki kaum wanita, mungkin pukulan Kim-kong-ciang itu bukan dilakukan oleh suheng kami."

"Habis, di dunia ini siapa lagi yang mampu menggunakan Kim-kong-ciang dari kalangan Buddha ini?" ujar Sih-sin-ih.

Hian-lan dan Hian-cit menjadi bungkam dan saling pandang. Mereka berdua belajar bersama dengan Hian-cu dari satu guru, mereka giat berlatih, tapi karena terbatas oleh bakat mereka, maka Tay-pan-yak-kim-kong-ciang itu tak berhasil diyakinkan mereka. Hal ini pun tidak membuat menyesal mereka, sebab mereka maklum orang Siau-lim-pay mereka jarang yang berhasil meyakinkan ilmu silat golongannya sendiri walaupun inti rahasia setiap ilmu pusaka mereka selalu dapat diturunkan dengan baik oleh padri-padri sakti angkatan yang lebih tua. Tapi untuk bisa melatihnya dengan sempurna terkadang sampai ratusan tahun baru terdapat seorang genius di antara padri yang berjumlah ratusan itu.

Sebenarnya Hian-cit ingin tanya apakah benar nona itu terkena "Tay-pan-yak-kim-kong-ciang", tapi urung diucapkannya, sebab bila ia tanya begitu, itu berarti ia ragukan kepandaian Sih-sin-ih, hal ini akan dianggap kurang hormat.

Hian-lan lantas berkata, "Di balik kejadian ini tentu ada sesuatu yang ganjil. Suhengku adalah padri yang alim, sebagai seorang ketua suatu mazhab persilatan terkemuka, tidak mungkin ia menyerang seorang nona cilik? Sekalipun nona ini berbuat sesuatu yang salah juga Hongtiang Suheng kami takkan bertindak seganas ini padanya."

Semua orang menyatakan benar ucapan itu, mereka pun sependapat bahwa di balik urusan ini pasti ada sesuatu muslihat tertentu.

Karena itu banyak di antara mereka sama melototi Kiau Hong, maksud mereka sudah terang yaitu bila ada orang yang main gila dalam peristiwa itu, terang dia pastilah Kiau Hong.

Namun Kiau Hong anggap kebetulan malah jika kedua padri Siau-lim-si itu tidak mengakui A Cu dilukai ketua mereka, sebab kalau mereka mengakui hal itu, mungkin Sih-sin-ih akan tidak enak malah untuk mengobati luka A Cu.

Supaya menurut arah angin, segera ia berkata, "Ya, Hian-cu Hongtiang adalah padri welas kasih, tidak mungkin beliau sembarangan menyerang seorang gadis cilik. Besar kemungkinan ada orang sengaja memalsukan padri saleh untuk merusak nama baik Siau-lim-pay."

Hian-lan dan Hian-cit saling pandang, mereka anggap ucapan Kiau Hong yang durhaka itu beralasan juga.

Sebaliknya diam-diam A Cu merasa geli, memang benar juga ada orang memalsukan padri Siau-lim-si, tapi bukan memalsukan Hian-cu Hongtiang, melainkan Ti-jing Hwesio. Dan sudah tentu Hian-lan dan Hian-cit tidak mengetahui maksud ganda kata-kata Kiau Hong itu.

Mendengar apa yang dikemukakan Hian-lan dan Hian-cit tadi, Sih-sin-ih yakin diagnosis yang dikatakannya tadi tidak salah lagi, maka katanya pula, "Jika begitu halnya, ternyata di dunia ini ada orang lain lagi yang mahir Tay-pan-yak-kim-kong-ciang dari Siau-lim-si. Cuma waktu orang ini menyerang, entah teralang apa, maka daya pukulannya telah terhapus 7-8 badan hingga Nona Wi ini tidak terbinasa. Tapi betapa hebat tenaga pukulan orang itu mungkin tidak lebih lemah daripada Hian-cu Hongtiang, di jagat ini terang tiada orang ketiga lagi yang dapat menandingi mereka."

Alangkah kagumnya Kiau Hong, pikirnya diam-diam, "Sungguh mahasakti kepandaian Sih-sin-ih ini. Dia hanya memegang nadi A Cu sebentar, segera ia dapat menguraikan apa yang terjadi pada pertarungan itu dengan tepat. Tampaknya dia pasti dapat juga menyembuhkan A Cu."

Maka dengan rasa girang segera ia berkata, "Jika nona ini terbinasa di bawah pukulan Tay-pan-yak-kim-kong-ciang, tentu Siau-lim-pay akan ikut tersangkut, maka sudilah Sih-sin-ih menaruh belas kasihan dan suka mengobatinya."

Sembari berkata, kembali ia memberi hormat.

Tapi belum lagi Si Tabib Sakti menjawab, tiba-tiba Hian-cit tanya A Cu, "Siapakah orang yang melukai Nona? Di manakah kau diserang olehnya dan sekarang penyerang itu berada di mana?"

Karena urusan menyangkut nama baik Siau-lim-pay mereka, pula tidak disangka bahwa di dunia ini ternyata masih ada golongan lain yang mahir Tay-pan-yak-kim-kong-ciang, maka betapa pun ia ingin mengusut urusan ini hingga terang.

Sebaliknya sifat A Cu memang nakal dan jahil, tiba-tiba tergerak pikirannya, "Kawanan hwesio ini gentar kepada kongcu kami, biarlah aku sengaja menakuti-nakuti mereka.

Maka ia lantas menjawab, "Penyerang itu adalah seorang pemuda cendekia, wajahnya cakap dan potongannya ganteng. Waktu itu aku sedang minum dengan Kiau-toaya di suatu kedai arak sambil mempercakapkan kepandaian Sih-sin-ih yang mahasakti dan tiada bandingannya sepanjang sejarah ...."

Manusia mana yang tidak suka dipuji dan diumpak? Begitu pula dengan Sih-sin-ih. Apalagi kata-kata itu diucapkan oleh seorang dara jelita, maka tanpa terasa tabib sakti itu sangat senang, ia mengelus jenggotnya dengan tersenyum sambil mendengarkan pujian-pujian setinggi langit itu.

Sebaliknya Kiau Hong berkerut kening, sebab apa yang dikatakan A Cu itu sudah terang omong kosong belaka.

Terdengar A Cu mencerocos lagi, "Waktu itu aku berkata, 'Adanya Sih-sin-ih itu di dunia, sebenarnya orang lain tidak perlu belajar silat lagi.' Maka Kiau-toaya tanya padaku apa sebabnya? Aku menjawab, 'Jika setiap orang yang dipukul mati toh akan dihidupkan kembali oleh Sih-sin-ih, lalu apa gunanya orang belajar ilmu silat segala, bukankah sia-sia? Bila kau bunuh seorang, beliau sanggup hidupkan dua orang, kau bunuh dua orang, beliau malahan hidupkan empat orang. Nah, kan sia-sia orang belajar silat?'"

Dasar A Cu memang pandai bicara dan pintar mengarang, lagu suaranya enak didengar pula tidak membosankan pendengarnya. Saking tertariknya bahkan ada yang bergelak tertawa.

Namun A Cu sendiri sedikit pun tidak tertawa, ia sambung lagi, "Di luar dugaan di meja sebelah waktu itu pun duduk seorang kongcuya, rupanya percakapan kami dapat didengarnya, tiba-tiba ia mendengus dan berkata, 'Hah, segala pukulan di dunia ini pada umumnya enteng tak bertenaga, karena itulah tabib she Sih bisa mendapatkan nama kosong. Coba kalau tenaga pukulanku ini, apakah dia mampu menyembuhkan?'"

Habis berucap begitu dari tempat duduknya ia terus menghantam ke arahku dari jauh. Tadinya kukira dia hanya bergurau saja, maka tidak kuambil pusing, Tapi Kiau-toaya inilah yang terkejut ...."

"Apakah dia yang menangkiskan pukulan itu?" tanya Hian-cit.

"Bukan," sahut A Cu dengan menggeleng kepala. "Jika Kiau-toaya menangkis pukulan itu, tentu aku takkan terluka. Justru karena jarak Kiau-toaya dengan aku agak jauh, maka tanpa pikir ia angkat sebuah kursi dan ditimpukkan dari samping. Syukurlah pertolongan Kiau-toaya itu tepat datangnya hingga kursi itu hancur kena tenaga pukulan kongcu muda itu, aku sendiri merasa sekujur badan enteng bagai terbang ke awang-awang, sedikit pun tidak bertenaga lagi. Lalu kongcuya itu berkata padaku, 'Nah, sekarang boleh kau pergi pada Sih-sin-ih, suruh dia latihan dulu atas lukamu ini, supaya kelak dia takkan repot jika mesti mengobati Hian-cu Taysu.'

"Apa maksud perkataannya itu?" tanya Hian-lan dengan kening bekernyit.

"Agaknya ia maksudkan kelak akan menggunakan Tay-pan-yak-kim-kong-ciang untuk melukai Hian-cu Taysu," sahut A Cu.

Seketika para kesatria dibikin gempar pula, banyak di antaranya berseru, "He, Ih-pi-ci-to hoan-si-pi-sin, ternyata betul, itulah dia Koh-soh Buyung!"

Mereka pakai kalimat "ternyata betul", maksudnya mereka sudah menduga sebelumnya akan keterangan A Cu itu.

Begitulah oleh karena A Cu sudah tahu Buyung Hok bakal cari setori pada orang Siau-lim-pay, maka sekarang ia sengaja membual untuk menggertak lawan dulu, sekalian untuk mengangkat derajat dan meninggikan perbawa Buyung-kongcu.

"He, bukankah Kiau Hong tadi bilang ada orang memalsukan padri Siau-lim-si, mengapa nona ini sekarang mengatakan penyerangnya itu adalah seorang muda, sebenarnya manakah yang betul?" tiba-tiba Yu Ek menegas.

"Orang yang memalsukan padri Siau-lim-si memang bukan karangan, aku sendiri menyaksikan dua hwesio yang mengaku dari Siau-lim-si, tapi diam-diam mencuri anjing orang untuk disembelih," sahut A Cu. Ia sadar bualannya tadi agak tidak cocok dengan keterangan Kiau Hong, maka ia sengaja omong yang tidak-tidak untuk membelokkan pokok pertanyaan mereka.

Dengan sendirinya Sih-sin-ih lantas tahu juga apa yang diceritakan A Cu itu agak ganjil, seketika ia menjadi ragu apakah mesti mengobati luka gadis ini atau tidak. Ia coba pandang Hian-lan dan Hian-cit berdua, lalu memandang Yu-si-siang-hiong dan memandang pula Kiau Hong dan A Cu.

"Hari ini jika Sih-siansing sudi menolong Nona Wi, budi kebaikan ini pasti takkan kulupakan di kemudian hari," ujar Kiau Hong.

"Hehe, takkan melupakan kebaikanku di kemudian hari? Memangnya kau kira kau dapat keluar dari sini dengan hidup?" jengek Sih-sin-ih.

"Keluar dari sini dengan hidup atau akan mati di sini, hal ini tak dapat kupikirkan lagi," kata Kiau Hong. "Yang terang, luka nona ini betapa pun harus kau obati."

"Untuk apa aku harus mengobati dia?" sahut Sih-sin-ih dengan ketus.

"Kota Buddha, menolong jiwa seorang melebihi membangun tujuh tingkat candi," ujar Kiau Hong. "Sebagai seorang bu-lim yang wajib berlaku bajik, rasanya tidak mungkin Sih-siansing tega menyaksikan nona ini mati begitu saja tanpa berdosa."

"Sebenarnya siapa pun yang membawa nona ini kemari, pasti akan kusembuhkan dia," sahut Sih-sin-ih. "Tapi, hm, karena kau yang membawanya kemari, maka aku tidak mau menolong dia."

Air muka Kiau Hong berubah mendadak, katanya dengan dingin, "Kalian berkumpul di Cip-hian-ceng tujuan kalian memang hendak menghadapi orang she Kiau, masakah aku tidak tahu?"

"Ai, Kiau-toaya, jika begitu, tidak seharusnya engkau menempuh bahaya dan membawa aku ke sini," sela A Cu mendadak.

Namun Kiau Hong menyambung lagi, "Tapi kupikir kalian adalah kaum kesatria sejati, tentu dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang ingin kalian bunuh juga cuma aku seorang dan tiada sangkut paut apa-apa dengan nona cilik ini. Sekarang rasa benci Sih-siansing kepadaku ikut merembet atas diri Nona Wi ini, bukankah itu tidak patut?"

Sih-sin-ih menjadi bungkam. Sejenak barulah ia menjawab, "Apakah aku akan mengobati seseorang atau tidak bergantung kepada keputusanku, hal ini tak dapat dimohon oleh siapa pun dan tak bisa dipaksakan padaku. Kiau Hong, dosamu, sudah kelewat takaran, kami justru lagi berunding hendak membekuk batang lehermu untuk mencencangmu guna sesajen ayah-bunda dan gurumu yang telah menjadi korban keganasanmu itu. Jika sekarang kau sendiri sudah datang kemari, itulah paling bagus. Nah, boleh kau bereskan nyawamu sendiri saja."

Habis berkata, sekali ia memberi tanda, serentak para kesatria berteriak sekali sambil melolos senjata masing-masing, seluruh ruangan itu penuh sinar kemilau dari berbagai jenis senjata. Menyusul di tempat tinggi juga terdengar suara seruan, di atap rumah, emper, dan pagar tembok sudah penuh berdiri jago-jago silat dengan senjata siap di tangan.

Meski sudah banyak pertempuran besar yang dialami Kiau Hong, tapi biasanya anggota Kay-pang yang dipimpinnya itu selalu berjumlah lebih banyak daripada pihak musuh, tidak pernah seorang diri terkepung di tengah musuh banyak seperti sekarang ini, bahkan ia masih harus melindungi seorang nona cilik yang terluka parah, sungguh ia menjadi bingung juga cara bagaimana mesti meloloskan diri dari kepungan musuh yang ketat ini.

Yang paling khawatir adalah A Cu. "Kiau-toaya, lekas engkau melarikan diri saja dan tidak perlu urus diriku! Mereka tiada permusuhan apa-apa denganku, tentu aku takkan dibikin susah oleh mereka," demikian seru A Cu sambil menangis.

Tergerak pikiran Kiau Hong, ia pikir para kesatria tentu takkan bikin susah seorang gadis tak berdosa, biarlah lekas kutinggalkan tempat ini saja. Tapi segera terpikir pula, "Seorang laki-laki sejati sekali menolong orang harus menolong sampai akhirnya, sedangkan Sih-sin-ih belum lagi menyanggupi akan mengobati lukanya, sebelum tahu pasti bagaimana nasib nona cilik ini, mana boleh aku tamak hidup dan takut mati, lalu tinggal pergi begini saja?"

Ia coba pandang sekitar ruangan tamu itu, ia lihat banyak tokoh terkemuka di antara hadirin itu adalah kenalan lama.

Melihat jago-jago terkemuka sebanyak itu, sekonyong-konyong semangat jantannya berkobar-

kobar, rasa jeri tersapu bersih semua. Katanya di dalam hati, "Andaikan darahku akan membasahi Cip-hian-ceng ini dan badanku akan dicencang mereka, apa artinya lagi bagiku? Seorang laki-laki kenapa mesti girang hidup dan takut mati?"

Berpikir begitu, segera ia terbahak dan berkata, "Sih-sin-ih, kalian menuduh aku adalah orang Cidan dan ingin membunuhku. Hehehe, apakah aku sebenarnya orang Cidan atau orang Han, sampai saat ini aku sendiri pun tidak pasti ...."

"Benar, memang kau anak keturunan capcai, dengan sendirinya kau tidak tahu keturunan jenis apa!" tiba-tiba suara orang yang dingin aneh tadi bergema lagi di antara orang banyak. Sejak tadi semua orang ingin tahu siapakah gerangan pembicara itu, tapi meski sudah dicari dan diperhatikan arah datangnya suara itu, tetap tak diketahui bibir siapa yang bergerak dan bicara itu. Jika perawakan orang itu sangat pendek, toh di antara hadirin itu tiada seorang pun yang berperawakan katai.

Semula Kiau Hong juga celingukan mencari si pembicara itu, tapi sesudah memerhatikan sejenak kemudian ia manggut-manggut, ia tidak gubris orang dan melanjutkan perkataannya kepada Sih-sin-ih, "Dan bila aku ternyata bangsa Han adanya, hari ini engkau telah menghinaku secara terbuka begini, tidak nanti aku tinggal diam atas perbuatanmu ini. Sebaliknya kalau aku adalah bangsa Cidan dan bertekad akan memusuhi para kesatria Tionggoan, maka orang pertama yang akan kubunuh adalah dirimu, dengan demikian supaya setiap kesatria Tionggoan yang kulukai akan binasa dan tak dapat tertolong lagi olehmu."

"Memang, betapa pun kau pasti akan membunuhku," sahut Sih-sin-ih.

"Tapi aku mohon sukalah engkau menolong nona ini, satu jiwa kubayar kembali dengan satu jiwa, selamanya aku takkan mengganggu seujung rambutmu," ujar Kiau Hong.

"Hehehe," Sih-sin-ih tertawa dingin, "selama hidupku bila mengobati orang hanya kalau dimohon, tapi tidak pernah dipaksa atau diancam."

"Kan kutukar jiwamu dengan satu jiwa secara adil, tak dapat dikatakan aku mengancam atau memaksa," sahut Kiau Hong.

Tiba-tiba suara dingin dan aneh tadi berkata pula, "Huh, apakah kau tidak malu? Padahal sekejap lagi kau sendiri akan dicencang mereka menjadi perkedel, tapi kau masih bicara tentang mengampuni jiwa orang segala? Kau ...."

Belum selesai ia berkata, mendadak Kiau Hong membentak, "Gelinding keluar!"

Begitu hebat bentakannya hingga atap rumah seakan-akan terguncang, debu kotoran pun bertebaran dari atas, telinga setiap orang seakan-akan pekak dan jantung berdebar.

Pada saat lain tertampaklah di antara orang banyak ada seorang laki-laki terhuyung-huyung menumbuk kian-kemari pada orang-orang di sekitarnya. Hanya sekejap saja di situ lantas berwujud suatu tempat luang, orang-orang lain sama menyingkir dan laki-laki itu tampak sempoyongan bagai orang mabuk.

Para kesatria lantas dapat melihat jelas laki-laki itu berjubah hijau, muka pucat kaku, perawakannya sangat kekar dan tegap, tapi tiada yang kenal siapakah dia.

"Ah, tahulah aku, dia ini Tui-hun-tiang Tam-ceng. Ya, dia inilah murid Yan-king Taycu," demikian tiba-tiba Oh-pek-kiam Su An berseru.

Tui-hun-tiang Tam-ceng, Si Tongkat Pencabut Nyawa, mukanya waktu itu tampak berkerut-kerut, terang sedang menderita kesakitan yang luar biasa sambil kedua tangan tiada berhenti-henti memukul dan mencakar dada sendiri. Dari dalam badannya terdengar suara perkataan, "Aku ... aku tiada permusuhan apa-apa dengan ... denganmu, mengapa kau musnahkan ilmuku?"

Suaranya tetap lirih, dingin dan aneh, tapi kini terdengar lemah dan terputus-putus, sedang bibirnya sedikit pun tidak bergerak.

Keruan banyak di antara hadirin terkejut dan heran. Hanya beberapa di antaranya yang mengetahui bahwa ilmu kemahiran Tam-ceng itu disebut "Hok-lwe-gi" (ilmu bicara dengan perut), dengan ilmu mukjizat itu ditambah lwekang yang tinggi, sering pihak lawan bisa dipermainkan hingga semangat kabur dan sukma hilang, akhirnya terbinasa.

Rupanya Tam-ceng sudah memperoleh kepandaian gurunya, yaitu, Yan-king Taycu dan telah menjadi seorang pembicara dengan perut yang ulung.

Tapi sial baginya, ia ketanggor sekali ini, karena lwekang Kiau Hong jauh lebih tinggi daripadanya, maka ilmu sihirnya itu tidak mempan, sebaliknya ia kena digertak Kiau Hong dan ia celaka sendiri.

Maka dengan gusar Sih-sin-ih lantas mendamprat Tam-ceng, "Jadi kau inilah murid 'Ok-koan-boan-eng' Toan Yan-king? Pertemuan besar kaum kesatria yang kuadakan ini hanya disediakan untuk para pahlawan. Manusia rendah dan sampah masyarakat macammu ini juga berani menyelundup ke sini?"

"Huh, pertemuan kesatria apa segala, kulihat lebih tepat dikatakan pertemuan antara kawanan babi celeng!" tiba-tiba dari tempat tinggi di kejauhan berkumandang suara seorang. Dan begitu selesai ucapannya, tahu-tahu sesosok bayangan orang melayang turun dari atas pagar tembok yang tinggi.

Perawakan orang ini tampak lencir dan tinggi sekali dengan gerak-geriknya yang sangat cepat. Banyak di antara penjaga di atas rumah telah berusaha merintanginya, tapi semuanya terlambat sedikit hingga orang jangkung ini sempat menerobos lewat.

Segera banyak juga di antara hadirin mengenal si jangkung ini tak-lain-tak-bukan adalah "Kiong-hiong-kek-ok" In Tiong-ho alias Si Ganas dan Mahajahat.

Dan begitu In Tiong-ho melayang turun ke tengah ruangan, dengan cepat ia jambret Tam-ceng terus menerjang ke arah Sih-sin-ih malah.

Karena khawatir tabib sakti itu diserang, dengan sendirinya tokoh-tokoh di sekitarnya serentak berusaha melindunginya. Tak tersangka tindakan In Tiong-ho itu melulu tipu belaka, pura-pura maju tapi sebenarnya akan mundur. Begitu lawan mengerubut maju, cepat sekali ia melompat mundur dan melompat ke atas pagar tembok lagi.

Sebenarnya tidak sedikit di antara kesatria yang hadir itu berilmu silat lebih tinggi daripada In Tiong-ho, tapi karena didahului oleh durjana itu, ditambah lagi ginkang Tiong-ho memang lain daripada yang lain, sekali dia sudah naik ke pagar tembok, sukarlah untuk disusul oleh siapa pun.

Segera banyak di antara jago-jago itu bermaksud menyerang dengan senjata rahasia, penjaga di atas atap rumah juga membentak dan hendak mencegat, tapi Kiau Hong sudah mendahului bertindak, mendadak ia membentak, "Tinggal sajalah di sini!"

Berbareng sebelah tangan terus memukul dari jauh, kontan suatu arus tenaga mahadahsyat bagaikan senjata tanpa wujud mengenai punggung In Tiong-ho.

Tanpa ampun lagi mahadurjana itu bersuara tertahan sekali, lalu terbanting jatuh ke belakang. Begitu terjungkal ke bawah, terus saja mulutnya menyemburkan darah segar bagai air mancur.

Sebaliknya Tam-ceng yang ikut terjungkal kembali itu masih dapat merangkak bangun, namun tetap terhuyung-huyung ke sana dan kemari sambil mulutnya menggumam seperti orang gila, keadaannya sangat lucu. Namun tiada seorang pun di antara hadirin geli oleh kelakuan Tam-ceng itu, sebaliknya mereka merasa keadaan di depan mata itu sangat seram.

Sih-sin-ih tahu luka In Tiong-ho sangat parah, tapi masih dapat ditolong, sebaliknya semangat Tam-ceng sudah runtuh, pikiran sehatnya sudah hilang, tiada obat mukjizat di dunia ini yang dapat menolong jiwanya. Terbayang olehnya Kiau Hong hanya sekali menggertak dan sekali menghantam dari jauh saja sudah memiliki daya selihai itu, bila bekas pangcu itu mau ambil jiwanya, rasanya tiada yang mampu merintanginya.

Tengah Sih-sin-ih termenung itu, tertampak Tam-ceng tidak bergerak lagi, tapi berdiri terpatung di tempatnya tanpa bersuara lagi. Kedua matanya mendelik, napasnya sudah putus.

Tadi Tam-ceng telah menghina Kay-pang, sebenarnya anggota-anggota Kay-pang sangat murka, tapi waktu itu tiada diketemukan siapa pembicaranya, maka mereka cuma gusar tanpa ada sasarannya. Kini, sekali Kiau Hong datang ke situ, segera orang itu dapat dimampuskan, tentu saja mereka merasa sangat senang dan puas. Kesatria-kesatria yang jujur tulus sebagai Go-tianglo dan Song-tianglo sampai hampir-hampir bersorak memuji, cuma teringat oleh mereka bahwa Kiau Hong sekarang bukan pangcu mereka lagi, pula dituduh sebagai keturunan Cidan, maka mereka urung bersorak. Tapi lapat-lapat dalam hati kecil mereka toh merasa menyesal bila Kiau Hong tidak menjadi pangcu mereka, maka kejayaan Kay-pang yang telah lalu tentu susah dibangun kembali.

"Kedua Yu-heng," demikian Kiau Hong berkata. "Hari ini Cayhe dapat bersua dengan kenalan-kenalan lama di sini, tapi untuk selanjutnya kita akan menjadi lawan dan bukan kawan lagi, sungguh aku merasa sangat menyesal, maka aku ingin mohon beberapa mangkuk arak padamu."

Semua orang menjadi heran menyaksikan ketenangan Kiau Hong ini, di bawah kepungan lawan sebanyak ini toh dia masih sempat minta minum arak apa segala. Diam-diam Yu Ek pikir, "Biarlah kita lihat cara bagaimana ia akan bertingkah?"

Maka ia lantas perintahkan centeng menyediakan arak yang diminta.

Cip-hian-ceng sedang mengadakan pertemuan, dengan sendirinya arak dan daharan sudah tersedia lebih dari cukup. Hanya sekejap pelayan sudah sediakan poci dan cawan arak seperlunya.

Tapi Kiau Hong berkata pula, "Cawan sekecil ini mana dapat memuaskan, harap ambilkan mangkuk yang besar."

Segera dua centeng membawakan beberapa buah mangkuk besar dan satu guci arak simpanan, mereka menaruh semua itu di atas meja di depan Kiau Hong dan menuangkan satu mangkuk penuh.

"Harap setiap mangkuk diisi semua," pinta Kiau Hong, dan sesudah hal itu dipenuhi kedua pelayan, lalu Kiau Hong angkat mangkuk dan berkata, "Para enghiong-hohan dari segenap penjuru yang hadir di sini sebagian besar adalah kawan lama Kiau Hong, tapi sekarang karena aku dicurigai kalian, marilah, silakan, kita habiskan semangkuk arak ini sekadar tanda putusnya persaudaraan. Siapa yang ingin membunuh diriku harap minum dulu semangkuk. Selanjutnya putuslah hubungan baik kita, apakah aku akan terbunuh oleh kalian atau kalian akan kubinasakan, masing-masing tidak perlu sungkan-sungkan. Nah, silakan siapa yang akan maju lebih dulu."

Seketika ruangan tamu itu menjadi sunyi senyap, semuanya berpikir dengan khawatir, "Jika aku maju dulu, jangan-jangan akan tertipu olehnya. Pukulan sakti dari jauh seperti tadi mana aku sanggup menangkisnya?"

Dalam keadaan hening itulah, tiba-tiba tampil ke muka seorang perempuan berpakaian putih berkabung. Itulah janda Be Tay-goan.

Be-hujin mengangkat mangkuk arak dan berkata dengan dingin, "Suamiku dibinasakan olehmu, di antara kita tiada soal persaudaraan lagi!"

Lalu ia tempelkan mangkuk arak ke bibir, ia cicip sedikit dan berkata pula, "Aku tidak sanggup minum habis arak ini, tapi sakit hati kematian suami yang harus kubalas adalah mirip arak ini."

Habis berkata, ia siram sisa arak ke lantai.

Waktu Kiau Hong perhatikan janda muda itu, ia lihat Be-hujin itu cantik molek. Tempo hari waktu bertemu di tengah hutan, karena cuaca sudah gelap, maka wajahnya tidak jelas kelihatan, sungguh tak tersangka wanita yang lihai itu ternyata mempunyai wujud secantik ini. Tanpa bicara ia pun angkat mangkuknya, sekali tenggak ia habiskan isi mangkuk. Ia memberi tanda agar pelayan memenuhi mangkuknya lagi.

Sesudah Be-hujin undurkan diri, lalu maju Ci-tianglo, ia pun tanpa bicara mengeringkan semangkuk arak diiringi Kiau Hong.

Dan setelah Thoan-kong Tianglo, lalu majulah Cit-hoat Tianglo. Selagi tokoh Kay-pang itu angkat mangkuknya hendak ditenggak, mendadak Kiau Hong berkata, "Nanti dulu!"

"Kiau-heng ada pesan apa?" tanya Cit-hoat Tianglo. Biasanya ia sangat hormat kepada Kiau Hong, maka nada suaranya sekarang tetap merendah seperti biasanya, bedanya cuma tidak memanggil "pangcu" lagi.

Maka berkatalah Kiau Hong, "Kita adalah saudara selama sepuluh tahun, sungguh tidak nyana hari ini mesti menjadi musuh."

Air mata Cit-hoat Tianglo berlinang-linang di kelopak matanya, sahutnya, "Jika tidak menyangkut kepentingan nusa dan bangsa, Pek Si-kia lebih suka mati daripada bermusuhan dengan Kiau-heng."

"Aku paham hal ini," kata Kiau Hong sambil mengangguk, "Sebentar lagi kita akan menjadi lawan, rasanya tak terhindar daripada suatu pertarungan sengit. Maka Kiau Hong ingin minta tolong sesuatu urusan."

"Asal tidak menyangkut pengkhianatan pada negara, pasti akan kuterima," sahut Pek Si-kia.

Kiau Hong tersenyum, katanya sambil menunjuk A Cu, "Apabila saudara dalam Kay-pang masih ingat pada sedikit jasaku yang pernah kuberikan kepada pang, harap suka jaga keselamatan nona cilik ini."

Mendengar pesan itu tahulah semua orang bahwa Kiau Hong sudah bertekad akan menempur para kesatria sampai titik darah penghabisan. Dikeroyok oleh lawan sebanyak biarpun dia mampu membinasakan beberapa puluh orang, namun akhirnya Kiau Hong sendiri tentu juga akan terbinasa. Maka mau tak mau para kesatria terharu juga oleh semangat jantan dan jiwa kesatria Kiau Hong itu.

Sebagai seorang tokoh terkemuka serta kedudukan yang tinggi selaku Cit-hoat Tianglo dalam Kay-pang, dengan sendirinya Pek Si-kia adalah seorang kesatria yang berjiwa besar, apalagi hubungannya dengan Kiau Hong biasanya sangat karib. Maka pesan terakhir bekas pangcu itu segera dijawabnya, "Harap Kiau-heng jangan khawatir, Pek Si-kia pasti akan mohon Sih-sin-ih suka menyembuhkan nona itu, bila terjadi apa-apa atas diri Nona Wi, Pek Si-kia rela akan membunuh diri untuk mempertanggungjawabkan pesan Kiau-heng ini."

Janji Cit-hoat Tianglo ini cukup tegas, apakah nanti Sih-sin-ih akan mengobati A Cu atau tidak, yang pasti ia akan berusaha sekuat tenaga. Seorang tokoh bu-lim selamanya berani berkata berani berbuat, apalagi ia telah berjanji di depan orang banyak, maka janji pasti akan ditepati olehnya.

Kiau Hong percaya sepenuhnya, katanya, "Banyak terima kasih atas kebaikan Tianglo ini."

"Dan dalam pertarungan nanti Kiau-heng tidak perlu berlaku sungkan-sungkan, bila aku mesti mati di tanganmu, tentu kawan-kawan Kay-pang yang lain akan menggantikan aku menjaga Nona Wi."

Habis bicara, ia angkat mangkuk arak dan menenggaknya hingga habis. Begitu pula Kiau Hong lantas mengiringi dengan minum semangkuk.

Lalu giliran maju Song-tianglo, Go-tianglo dan tokoh Kay-pang yang lain. Kemudian majulah jago-jago bu-lim dari berbagai mazhab yang hadir di situ, satu per satu mengadu mangkuk dengan Kiau Hong. Tampaknya dalam waktu singkat Kiau Hong sendiri sudah menghabiskan 40-50 mangkuk arak, satu guci penuh tadi sudah habis terminum, malahan centeng sudah mengeluarkan pula satu guci, tapi keadaan Kiau Hong masih segar bugar, bahkan wajahnya sedikit pun tidak merah, hanya perutnya tampak sedikit gembung, tiada sesuatu tanda lain yang luar biasa.

Keruan semua orang ternganga heran, pikir mereka, "Jika minum terus cara begini, jangankan mesti bergebrak segala, mungkin sekali mabuk takkan sanggup bangun lagi."

Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa semakin banyak minum arak semangat Kiau Hong semakin tambah. Apalagi selama beberapa hari ini Kiau Hong selalu menghadapi kejadian yang mengesalkan dan membuatnya penasaran. Kini ia telah kesampingkan semua itu dan sengaja hendak melabrak mereka sepuasnya.

Setelah lebih 60 mangkuk arak masuk perut Kiau Hong, Pau Jian-leng dan Ki Liok juga mengadu mangkuk dengan dia, tiba-tiba majulah Hiang Bong-thian, ia angkat sebuah mangkuk dan berkata, "Orang she Kiau, biarlah aku pun minum semangkuk denganmu!"

Mendengar ucapan orang yang kurang hormat itu, Kiau Hong menjadi panas telinganya, ia melirik hina pada Hiang Bong-thian dan menyahut, "Orang she Kiau minum arak putus hubungan ini dengan para kesatria bu-lim, maksudnya menghapuskan segala kebaikan persaudaraan masa lalu. Tapi kau ini kutu busuk macam apa? Macam dirimu juga tidak ada harganya untuk bicara tentang persaudaraan denganku dan mengajak minum 'coat-kay-ciu' (arak putus hubungan) padaku?"

Bicara sampai di sini, tanpa memberi kesempatan pada Hiang Bong-thian untuk bicara lagi, ia melangkah maju setindak, sekali tangan kanan terjulur, tahu-tahu dada baju Hiang Bong-thian kena dijambretnya, menyusul sekali ia angkat dan ayun ke depan, Hiang Bong-thian yang besar itu terlempar keluar ruangan, "bluk," dengan keras badan Hiang Bong-thian tertumbuk dinding dan seketika menggeletak kelengar.

Suasana menjadi kacau dan tegang. Segera Kiau Hong melompat ke pekarangan, bentaknya, "Ayolah, siapa yang berani maju dulu untuk menempur aku!"

Melihat betapa gagah dan tangkasnya Kiau Hong, seketika nyali para tokoh bu-lim itu menjadi ciut hingga tiada seorang pun berani maju.

"Kalian tidak berani maju, biarlah aku yang mulai dulu!" bentak Kiau Hong. Dan tanpa ampun lagi ia terus menghantam dua kali dari jauh, kontan dua orang terkapar di tanah oleh angin pukulan jarak jauh itu.

Bahkan Kiau Hong terus menerjang maju, di mana kepalan dan sikutnya tiba, di mana kakinya melayang dan telapak tangan menghantam, dalam sekejap saja kembali beberapa orang dirobohkan pula.

"Lekas mundur mepet dinding, jangan sembarangan menyerang!" teriak Yu Ek cepat.

Seruan Yu Wk memang tepat. Jumlah orang yang berada di ruangan ada dua-tiga ratus, kalau mengerubut maju begitu saja, betapa pun tinggi ilmu silat Kiau Hong juga tak mampu melawan. Tapi tempatnya kecil dan orangnya banyak, dengan cara berjubel begitu, yang benar dapat mendekati Kiau Hong paling-paling juga cuma lima-enam orang saja, dan di bawah hujan pukulan dan tendangan pasti lebih banyak kawan sendiri yang akan terluka oleh orang sendiri. Maka sesudah seruan Yu Ek itu, seketika terluanglah di bagian tengah hingga cukup luas.

"Marilah, biar kubelajar kenal dulu kepandaian Yu-si-siang-hiong dari Cip-hian-ceng," seru Kiau Hong pula. Dan sekali tangan kiri bergerak, tahu-tahu guci arak di atas meja tadi terbang melayang ke arah Yu Ek.

Cepat Yu Ek dorong kedua tangannya ke depan, maksudnya hendak tahan guci itu ke lantai. Di luar dugaan, Kiau Hong telah susulkan sekali hantaman dengan tangan kanan, "prak", guci hancur dan beratus beling pecahan guci bertebaran.

Beling dari remukan guci itu sudah tentu sangat tajam, ditambah lagi terdorong oleh tenaga pukulan Kiau Hong yang dahsyat, keruan beling guci menjadi mirip beratus senjata rahasia seperti piau, hui-to (pisau terbang), dan lain-lain.

Seketika muka Yu Ek terkena tiga potong beling hingga darah bercucuran, belasan orang di sampingnya juga ikut terluka. Maka paniklah gelanggang pertarungan itu, suara caci maki bercampur dengan suara jerit riuh.

Dalam pada itu sebelah kaki Kiau Hong menendang pula hingga guci arak yang lain didepak mencelat, selagi dia hendak menambahi sekali hantaman pula, sekonyong-konyong dari belakang terasa menyambar tiba serangkum angin pukulan yang bertenaga halus, tapi sebenarnya mengandung tenaga dalam yang sangat kuat.

Kiau Hong tahu pukulan itu dilontarkan oleh seorang jago kelas wahid, ia tidak berani ayal, cepat ia menangkis ke belakang. Maka bertemulah dua arus tenaga dalam yang kuat.

Waktu Kiau Hong memerhatikan penyerang itu, ternyata orangnya bermuka jelek dan lucu, itulah dia si "badut" yang tak punya nama, tapi mengaku sebagai "Tio-ci-sun" itu.

Diam-diam Kiau Hong tidak berani memandang enteng tokoh yang hebat lwekangnya ini. Sekali ia tarik napas panjang-panjang, pukulan kedua segera dilancarkan bagaikan gugur gunung dahsyatnya.

Rupanya Tio-ci-sun juga tahu melulu dengan sebelah tangannya takkan mampu menahan serangan Kiau Hong itu, maka dengan dorong kedua tangan sekaligus ia berusaha menangkis.

"Apakah kau cari mampus!" mendadak suara seorang wanita di sampingnya membentak. Berbareng Tio-ci-sun merasa pundaknya ditarik orang ke samping hingga serangan Kiau Hong itu terhindarkan.

Namun begitu toh tenaga pukulan Kiau Hong itu masih terus menerjang ke depan. Maka celakalah tiga orang di belakang Tio-ci-sun, mereka yang tertimpa malang. Terdengarlah suara gedebukan tiga kali, ketiga orang itu mencelat dan menumbuk dinding dengan keras, begitu hebat tumbukan itu hingga kapur pasir dinding rontok bertebaran.

Waktu Tio-ci-sun menoleh, ia lihat orang yang menariknya tadi adalah Tam-poh, ia menjadi girang, katanya, "Terima kasih atas pertolonganmu!"

"Kau serang bagian kiri dan aku akan menyerang dari kanan," kata Tam-poh.

Dan baru Tio-ci-sun mengiakan, tahu-tahu sesosok bayangan orang yang kurus kecil sudah mendahului menerjang ke arah Kiau Hong. Ternyata orang itu adalah Tam-kong, si kakek Tam.

Jangan sangka perawakan Tam-kong itu kurus kecil, tenaga dalamnya ternyata sangat kuat, begitu tangan kiri menghantam ke depan, menyusul serangan tangan kanan dilontarkan lagi. Dan sedikit tangan kiri ditarik kembali, segera ia tambahkan tenaga pukulannya pada tangan kanan.

Serangan tiga kali secara berantai ini menjadi mirip damparan ombak yang susul-menyusul, dibandingkan pukulan Tio-ci-sun tadi, terang tiga kali pukulan Tam-kong ini beberapa kali lipat lebih kuat.

"Pukulan 'Tiang-kang-sam-tiap-long' (Ombak Mendebur Tiga Susun di Sungai Tiangkang) yang hebat!" puji Kiau Hong sambil memapak dengan tangan kiri.

Benturan kedua arus tenaga dalam yang hebat itu memaksa orang lain terdesak mundur ke pinggir. Dan pada saat itulah Tam-poh dan Tio-ci-sun pun mengerubut maju, menyusul Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo, Tan-tianglo dan lain-lain juga ikut terjun ke kalangan pertarungan sengit itu.

"Kiau-hengte, Cidan tidak dapat hidup berdampingan dengan kerajaan Song raya kita, demi kepentingan umum terpaksa kita mesti kesampingkan hubungan pribadi, maafkan bila aku akan berlaku kasar padamu!"  demikian Thoan-kong Tianglo berseru.

"Sedangkan coat-kay-ciu juga sudah kita minum, buat apa bicara tentang persaudaraan lagi? Awas serangan!" demikian sahut Kiau Hong sambil mendepak ke arah tokoh Kay-pang itu.

Namun begitu omongnya, toh terhadap tokoh Kay-pang mau tak mau ia berlaku sungkan juga, bukan saja tiada niat mencelakai jiwa mereka, bahkan membikin malu mereka di depan orang banyak juga tidak. Maka depakan itu sampai di tengah jalan mendadak ganti arah, "bluk", tahu-tahu Goay-to Ki Liok yang menjadi sasarannya hingga tertendang mencelat.

Rupanya Ki Liok, Si Golok Kilat itu sama sekali tidak menyangka akan tindakan itu, keruan ia menjerit kaget ketika mendadak pantatnya terasa terdepak dan badannya mencelat ke atas. Goloknya sebenarnya sedang dibacokkan ke kepala Kiau Hong, tapi karena badannya mumbul ke udara, dan goloknya tetap dibacokkan, maka terdengarlah "crat", golok itu tepat kena membacok belandar utama ruangan besar itu.

Gedung utama Cip-hian-ceng yang dibangun Yu-si-siang-hiong itu sangat megah dan kukuh, lebih-lebih belandar itu adalah sejenis kayu pilihan yang sangat kuat. Maka sekali kena bacok dengan kuat, golok Ki Liok itu lantas ambles belasan senti dalamnya hingga senjata itu tergigit dengan kencang dalam belandar.

Golok Ki Liok itu adalah senjata andalan yang membuatnya terkenal, kini harus menghadapi musuh tangguh, mana dia mau kehilangan senjata itu? Maka sekuatnya ia memegangi golok itu dengan tangan kanan. Dengan demikian, tubuhnya menjadi terkatung-katung di udara, keadaannya menjadi lucu dan aneh. Tapi setiap orang di tengah ruangan itu sedang menghadapi detik antara mati dan hidup, dengan sendirinya tiada seorang pun sempat menertawainya.

Kiau Hong sendiri meski sudah banyak menghadapi pertempuran seru dan selamanya tidak pernah kalah, tapi kini harus bertempur dengan jago sebanyak dan selihai ini, hal ini pun selama hidupnya tidak pernah dialami. Namun sama sekali ia tidak gentar sebaliknya semangatnya semakin berkobar, ia mainkan kedua tangannya naik-turun hingga lawan-lawan tangguh sukar mendekatinya.

Sih-sin-ih memang sakti dalam ilmu pengobatan, tapi ilmu silatnya belum tergolong kelas wahid. Dalam ilmu pertabiban memang dia mempunyai bakat pembawaan dan pengalaman yang mendalam. Dalam hal ilmu silat ia pun sangat luas pengetahuannya, tapi luas pengetahuan tidak berarti pandai pula menggunakannya. Oleh karena terlalu luas dan terlalu banyak yang dia pelajari, maka tiada sejurus pun ilmu silat itu benar-benar dilatihnya hingga sempurna. Jadi hanya sepintas lalu saja ia mempelajari berbagai jurus ilmu silat yang diperolehnya dari tokoh-tokoh yang pernah diobati olehnya.

Sebelumnya ia suka bergirang dan puas akan pengetahuan sendiri yang luas dalam hal ilmu silat, tapi kini demi menyaksikan pertarungan sengit antara Kiau Hong melawan orang banyak itu, betapa hebat dan lihainya bekas Pangcu Kay-pang ini benar-benar membuatnya terpesona, sungguh mimpi pun tak terpikir olehnya ada ilmu silat begini lihai. Saking takjubnya hingga ia terkesima di tempatnya, jangankan lagi hendak maju bertempur.

Begitulah ia berdiri mepet tembok dengan rasa takut, cuma untuk merat secara diam-diam betapa pun ia merasa enggan, sebagai pengundang masakah ia sendiri malah kabur lebih dulu? Sekilas tiba-tiba dilihatnya Hian-lan berdiri di sebelahnya, tergerak hatinya, maka katanya perlahan, "Ucapanku tadi sesungguhnya kurang sopan, harap Taysu suka memaafkan."

Sebenarnya Hian-lan asyik mengikuti pertarungan sengit di tengah ruangan itu, ia terkesiap oleh perkataan Sih-sin-ih itu, segera ia tanya, "Ucapan apa maksudmu?"

"Tadi aku menyatakan heran mengapa Kiau Hong mampu keluar-masuk Siau-lim-si seorang diri dengan bebas tanpa terluka apa-apa, dan sesudah menyaksikan sekarang, nyata dia memang cukup mampu untuk berbuat begitu," kata Sih-sin-ih.

Keruan Hian-lan kurang senang mendengar demikian, sahutnya dengan mendengus, "Hm, Sih-sin-ih ingin menguji ilmu silat Siau-lim-pay, bukan?"

Belum lagi Sih-sin-ih menjawab, terus saja ia melangkah maju, sekali lengan bajunya yang komprang itu mengebas, mendadak dari bawah lengan baju timbul suara menderu yang keras, angin pukulan yang dahsyat lantas menyambar ke arah Kiau Hong.

Jilid 32

Ilmu silat yang dikeluarkan ini adalah satu diantara 72 macam ilmu silat pusaka Siau-lim-si, namanya "Siu-li-kian-gun" (menyekap jagat dalam lengan baju), sekali ia kebas lengan jubahnya, seketika tenaga pukulannya menyambar keluar dari dalam jubah. Jadi lengan jubah itu hanya sebagai tameng pukulan saja agar musuh tidak dapat membedakan arah datangnya serangan, tapi tahu-tahu diserang hingga kelabakan.

Namun Kiau Hong sudah lebih dulu melihat kedua lengan baju Hian-lan itu melembung bagai goni penuh angin, segera ia tahu serangan apa yang akan dilakukan padri sakti itu, bentaknya cepat, "Siu-li-kian-gun, nyata memang hebat!"

Berbareng itu sebelah tangannya segera dipukulkan ke arah lengan baju lawan dengan kuat. Tenaga yang terhimpun dalam lengan baju Hian-lan itu menggembung, sebaliknya tenaga pukulan yang dilontarkan itu terpusat keras, maka terdengarlah suara "bret-bret" beberapa kali, ditengah goncangan arus tenaga yang maha dahsyat itu, sekonyong-koyong ditengah ruangan itu bertebaran beberapa puluh ekor "kupu-kupu".

Keruan semua orang terperanjat, waktu mereka perhatikan, ternyata "kupu-kupu" itu bukan lain adalah robekan kain lengan baju Hian-lan. Waktu perhatian mereka beralih atas diri padri itu, tertampaklah kedua lengannya sudah telanjang hingga kelihatan jelas tulang lengannya yang kurus kering.

Rupanya di bawah tekanan dua arus tenaga dalam yang maha kuat, maka lengan baju padri yang gondrong itu tidak tahan dan seketika tergilas hancur. Dengan demikian, tanpa lengan baju Hian-lan menjadi mati kutu dan tidak bisa menggunakan Siu-li-kian-gun lagi.

Saking gusarnya sampai muka Hian-lan merah padam, cara Kiau Hong mematahkan serangannya itu dirasakan jauh lebih menderita daripada membunuhnya. Tanpa omong lagi kedua lengannya yang telanjang itu susul menyusul menghantam serabutan dengan dahsyat luar biasa.

Waktu semua orang memperhatikan, ternyata yang dimainkan Hian-lan sekarang adalah ilmu pukulan yang tersebar luas di dunia kangouw, yaitu "Thio-co-tiang-tin" atau ilmu pukulan ciptaan Song-thai-co.

Song-thai-co Tio Kong-in, cikal bakal dinasti Song, sangat terkenal dengan kepandaiannya dalam dua jenis ilmu silat, yaitu "Thai-co-tiang-kun" dan "Thai-co-pang", ilmu pukulan dan ilmu permainan toya dari Song-thai-co.

Saking populernya kedua jenis ilmu silat itu hingga pada jaman itu setiap orang Bu-lim hampir setiap orang bisa, paling tidak juga pernah melihatnya.

Maka semua orang menjadi heran demi nampak padri sakti Siau-lim-si yang terkenal itu ternyata memainkan ilmu silat yang umum itu.

Tapi sesudah Hian-lan menyerang tiga kali, mau tak mau timbul juga perasaan kagum mereka, "Pantas saja Siau-lim-si memperoleh nama harum. Sama-sama sejurus Hoa-san-tio-ki (main catur diatas Hoa-san), tapi di bawah permainannya ternyata mempunyai daya serang selihat ini."

Dan karena rasa kagum mereka kepada ketangkasan Hian-lan, mereka jadi lupa pada wujud si padri yang sebenarnya tak keruan dan lucu itu.

Tadi sebenarnya ada berpuluh orang yang mengerubut Kiau Hong, tapi kini demi Hian-lan sudah turun tangan, yang lain merasa akan mengganggu malah jika ikut mengeroyok, maka satu persatu mereka mengundurkan diri, semuanya hanya menonton saja sambil merubung rapat di pinggir untuk berjaga kalau Kiau Hong kewalahan dan ingin kabur.

Melihat pengeroyok lain sudah mundur, hati Kiau Hong tergerak, mendadak ia menghantam ke depan dengan tipu "Ciong-hong-cam-ciang" atau menyerbu maju membunuh panglima musuh, tipu ini pun termasuk salah satu pukulan "Thai-co-tiang-kun".

Tipu ini sebenarnya sangat umum, tapi di bawah pukulan Kiau Hong ternyata membawa tenaga maha dahsyat dengan gaya yang indah.

Setiap hadirin ini boleh dikatakan adalah jago silat pilihan semua, dengan sendirinya mereka kenal di mana letak kebagusan setiap ilmu silat. Maka demi nampak serangan Kiau Hong yang indah itu, tanpa terasa mereka sama bersorak memuji.

Dan sesudah sorakan mereka tercetus barulah mereka merasa salah. Bukankah Kiau Hong adalah musuh yang harus mereka bunuh, tapi mengapa malah bersorak untuk menambah semangat musuh?

Namun sudah terlanjur, suara sorakan mereka sudah lalu. Bahkan serangan kedua Kiau Hong dalam tipu "Ho-siok-lip-wi" (memperlihatkan pengaruh di Ho-siok) tampaknya lebih bagus lagi daripada jurus pertama, maka tidak sedikit di antara para hadirin itu masih bersorak, urung ketika sadar kelakuan mereka yang keliru. Namun hal mana jelas mengunjuk betapa rasa kagum dan gegetun mereka atas kepandaian Kiau Hong itu.

Begitulah, jika tadi malam keadaan dikeroyok Kiau Hong tidak dapat memperlihatkan ketangkasannya, adalah sekarang sesuah Kiau Hong bertempur satu lawan satu dan para pengeroyok tadi menjadi penonton, barulah semua orang menyadari di mana kelebihan ilmu silat Kiau Hong daripada orang lain.

Maka sesudah beberapa jurus lagi, jelas kelihatan siapa lebih unggul dan siapa asor.

Ilmu pukulan yang dimainkan kedua orang sama-sama kungfu yang sangat umum, tapi setiap serangan Kiau Hong selalu lebih lambat sedikit dan membiarkan Hian-lan melancarkan serangan lebih dulu. Dan sekali serangan Hian-lan dilontarkan, menyusul Kiau Hong lantas menyerang juga.

Ilmu pukulan ciptaan Song-thai-to itu seluruhnya meliputi 72 jurus. Tapi setiap jurus merupakan lawan daripada jurus lain. Maka Kiau Hong sengaja incar baik-baik tipu serangan lawan. Lalu ia keluarkan tipu serangan yang tepat untuk mengatasinya.

Dengan demikian, tentu saja Hian-lan dibikin kewalahan. Teori itu sebenarnya diketahui oleh setiap penonton, yang susah adalah kepandaian "serang belakang tapi tiba lebih dulu" itulah yang tidak mungkin dimiliki sembarang orang.

Melihat kawannya kewalahan, terang sudah kalah, segera Hian-cit berseru, "Huh, kamu anjing Cidan ini, caramu sesungguhnya terlalu rendah!"

"Apa yang kumainkan adalah ilmu pukulan Thai-co dinasti kita, mengapa aku dituduh rendah?" sahut Kiau Hong tertawa.

Mendengar demikian, seketika pahamlah semua orang maksud Kiau Hong memainkan "Thai-co-tiang-kun" itu.

Jika Kiau Hong menggunakan ilmu silat jenis lain untuk menangkan "Thai-co-tiang-kun" yang dimainkan Hian-lan tentu orang lain takkan mengatakan dia lebih kuat dan ulet, sebaliknya akan menyalahkan dia sengaja menghina ilmu silat ciptaan cikal bakal dinasti Song yang

jaya itu. Dan hal ini tentu akan menambah sentimen kebangsaan orang banyak itu. Tapi sekarang kedua pihak sama menggunakan "Thai-co-tiang-kun", dalam pertandingan ini hanya mengadu ilmu silat belaka, Kiau Hong takbisa lagi dituduh kurang ajar atau tuduhan lain.

Begitulah maka Hian-cit tak dapat tinggal diam lagi melihat Hian-lan dalam sekejap lagi akan terancam bahaya. Tanpa bicara ia terus menuding ke "Soan-ki-hiat" di dada Kiau Hong. Ilmu yang dia pakai adalah "Thian-tiok-hud-ci" atau jari Budha dari Thian-tiok, semacam ilmu tiam-hiat yang hebat dari Siau-lim-si.

Mendengar tutukan orang itu membawa suara mencicit perlahan, segera Kiau Hong berkata, "Sudah lama kudengar betapa hebat Thian-tiok-hud-ci, ternyata memang bukan omong kosong belaka. Tapi bila kau gunakan ilmu silat bangsa asing Thian-tiok itu untuk mengalahkan ilmu pukulan cikal bakal dinasti kita bukankah engkau akan dituduh menghianat dan menghina dinasti kita sendiri?"

Hian-cit terkesiap sebab ilmu silat Siau-lim-si memang berasal dari Budhi Dharma yang aslinya orang asing dari Thian-tiok (kini India).

Sebabnya Kiau Hong sekarang dikeroyok adalah disebabkan bekas Pangcu itu dituduh keturunan Cidan. Tapi karena sejarah Siau-lim-si sudah terlalu tua, ilmu silatnya sudah tersebar luas dikalangan Bu-lim hingga berbagai aliran dan mazhab sedikit banyak ada tersangkut hubungan hingga semua orang sama melupakan asal usul Siau-lim-si yang ada sangkut pautnya dengan bangsa asing itu.

Kini demi mendengar teguran Kiau Hong itu, segera banyak di antara hadirin yang berpandangan jauh dan berjiwa terbuka itu berpikir, "Terhadap Budhi Dharma kita memuja sebagai malaikat dewata, sebaliknya mengapa membenci orang Cidan sampai ke tulang sumsumnya? Bukankah mereka sama-sama bangsa asing? Ya, sudah tentu diantara kedua bangsa itu ada bedanya, bangsa Thian-tiok tidak pernah menjajah dan membunuh bangsa Han kita, sebaliknya bangsa Cidan adalah penjajah yang ganas dan kejam. Jadi antara bangsa asing pada hakikatnya juga ada perbedaannya dan tidak boleh disamaratakan, harus dibedakan antara yang baik dan yang jahat, antara kawan dan lawan, antara penjajah dan dijajah. Dan apakah orang Cidan itu semua jahat? Apakah tidak ada yang baik?"

Begitulah di tengah pertarungan sengit itu banyak di antara pengeroyok terdapat kaum pikiran sempit, berjiwa dangkal dan dengan sendirinya takkan berpikir tentang perbedaan itu, tapi sebagian yang tergolong cendikia, dalam benak mereka lantas terlintas pikiran seperti itu, mereka merasa Kiau Hong belum tentu adalah manusia yang harus dibunuh, sebaliknya kita sendiri juga belum pasti di pihak yang benar.

Dalam pada itu, meski Hian-lan dan Hian-cit berdua melawan Kiau Hong seorang, mereka lebih banyak menagkis daripada menyerang.

Sementara itu karena ilmu pukulan pertama telah dipatahkan sama sekali oleh lawan, maka Hian-lan telah ganti ilmu silat "Lo-han-kun" yang lihai dari Siau-lim-pai.

"Huh, bukankah Lo-han-kun juga berasal dari ajaran bangsa asing dari Thian-tiok ?" demikian Kiau Hong mengejek. "Baiklah, akan kulihat apakah ilmu silat asal luar negeri itu lebih lihai ataukah ilmu silat dalam negeri Song sendiri lebih hebat?"

Sembari bicara, "Thai-co-tiang-kun" terus dilancarkan susul menyusul.

Keruan semua orang merasa tersinggung oleh ucapan Kiau Hong itu. Mereka mengeroyok Kiau Hong, alasannya karena dia bangsa asing. Tapi sekarang ilmu silat yang dipakai pihak sendiri justru adalah ilmu silat "impor", sebaliknya ilmu silat pukulan yang dimainkan Kiau Hong adalah "produksi dalam negeri" asli, yaitu ciptaan cikal bakal dinasti Song yang tersohor itu.

Begitulah selagi banyak di antara mereka merasa ragu-ragu dan rikuh, tiba-tiba terdengar Tio-cit-sun berseru, "Peduli kita memakai ilmu silat berasal dari mana, yang terang keparat ini telah membunuh ayah bundanya dan gurunya sendiri, kejahatannya jauh lebih pantas dihukum mati. Ayolah saudara, kerubut maju bersama!"

Sambil berseru, segera ia mendahului menerjang maju.

Menyusul Tam-kong, Tam-poh, para Tianglo dari Kay-pang. Tiat-bin poan-koan Tan Cing bersama putranya, semuanya berjumlah puluhan orang terus ikut menyerbu maju.

Ilmu silat para pengerubut ini semua pilihan, meski banyak jumlah mereka, tapi posisi mereka tidak kacau, yang satu maju, yang lain mundur, yang lain maju, yang satu mundur lagi.

Sambil berkata menghantam dan menangkis, Kiau Hong berkata pula, "Kalian mengatakan aku orang Cidan, jika betul, maka Kiau Sam-hoai Lokongkong dan Lopohpoh tentu bukan ayah ibuku. Jangankan kedua orang tua itu adalah orang yang paling kuhormati selama hidup dan tiada maksud mencelakainya sedikitpun, andaikan benar akulah yang membunuh mereka, toh tuduhan membunuh ayah bunda sendiri juga tidak dapat ditimpakan atas diriku? Sedangkan Hian-koh Taisu adalah guruku yang kupuja, jika Siau-lim-pai mengakui Hian-koh Taysu adalah guruku, maka aku orang she Kiau menjadi terhitung anak murid Siau-lim, lantas apa alasan kalian mengerubut seorang anak murid Siau-lim-pai cara begini?"

"Hm, bicara seperti pokrol bambu, mau menang sendiri," jengek Hian-cit dengan mendongkol.

"Habis, kalau kalian tidak anggap aku sebagai anak murid Siau-lim-pai, dengan sendirinya 'tuduhan membunuh guru' itu tak terbukti," sahut Kiau Hong, "Memangnya kalau mau menyalahkan orang masakan kuatir kurang alasan? Tapi bila kalian ingin membunuhku, mestinya bicaralah terus terang dan bunuhlah kalau mampu, mengapa mesti cari alasan yang tidak dapat dibuktikan?"

Biarpun mulutnya bicara mencerocos, namun serangannya tidak pernah berhenti, tinjunya menjotos Tan Siok-san, kakinya menendang Tio ci-sun sukutnya menyikut Cin Goan-cun, telapak tangan menghantam Pau Jian-leng. Hanya sekejap saja beruntun empat orang sudah dirobohkan olehnya.

Kiau Hong tahu bahwa lawan-lawannya itu bukan kaum penjahat, maka serangannya selalu seringan mungkin. Yang dirobohkan sampai saat itu sudah ada belasan orang, tapi tiada satu jiwa pun yang dicelakai olehnya. Namun pengeroyok itu terlalu banyak, belasan orang roboh, berpuluh orang segera menggantikannya.

Maka tidak lama kemudian, mau-tak-mau Kiau Hong mengeluh, "Jika pertempuran begini diteruskan, akhirnya aku pasti akan kepayahan, rasanya jalan paling baik adalah kabur saja."

Maka sambil bertempur segera ia mencari jalan untuk meloloskan diri.

Tio ci-sun yang dirobohkan itu menggeletak di lantai dengan sebelah tangan patah. Tapi ia tahu maksud Kiau Hong akan melarikan diri, segera ia berseru, "Awas, kawan-kawan! Kepung dia dengan rapat, anjing keparat ini hendak melarikan diri!"

Dalam pertarungan sengit itu memang Kiau Hong sudah agak terpengaruh oleh bekerjanya arak yang banyak diminumnya tadi, kini mendengar caci maki Tio ci-sun, keruan amarahnya tak tertahankan lagi, bentaknya dengan gusar, "Ya, anjing keparat ini akan pakai dirimu sebagai korban pembunuhan pertama?"

Sambil berkata, sekuatnya ia memukul dari jauh.

"Celaka !" seru Hian-lian dan Hian-cit berbareng. Kedua tangan mereka sama memapak kedepan untuk menolong Tio ci-sun.

Di tengah gencetan arus tenaga yang hebat itu, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri seorang, dada orang itu tersodok oleh tenaga pukulan Hian-lan dan Hian-cit, sebaliknya punggung kena dihantam oleh pukulan Kiau Hong dari jauh.

Di tengah gencetan tiga arus tenaga maha dahsyat itu, keruan tulang iga orang itu seketika patah dan remuk, isi perutnya hancur, darah menyembur keluar dari mulutnya, badan terkulai lemas bagai cacing di lantai.

Kejadian di luar dugaan ini tidak hanya mengejutkan Hian-lan dan Hian-cit, bahkan Kiau Hong juga terkesiap. Orang yang sial itu ternyata Goai-to Ki Liok adanya.

Sebagaimana diketahui Ki Liok tadi terkatung-katung di atas belandar dengan menggandul pada goloknya yang terjepit belandar itu. Oleh karena sudah sekian lamanya, setelah tergontai-gontai kian kemari, akhirnya golok yang terjepit belandar itu mulai mengendur dan akhirnya jatuh ke bawah.

Sungguh kebetulan juga, dengan tepat Ki Liok jatuh di tengah-tengah gelombang tenaga yang sedang dilontarkan oleh ketiga orang yang bertempur itu. Keruan Ki Liok mirip digencet di tengah peres yang maha kuat, seketika jiwanya melayang.

"Omitohud! Siancai, Siancai! Kiau Hong, dosamu bertambah besar lagi!" demikian kata Hian-lan menyebut Budha.

Kiau Hong menjadi gusar, sahutnya, "Orang ini tidak seluruhnya terbinasa di tanganku, kalian berdua juga mempunyai saham atas kematiannya, mengapa kau tumplek semua kesalahan atas namaku?"

"Omitohud! Kalau sebelumnya tiada gara-garamu, masakah terjadi pertempuran seperti sekarang ini?" sahut Hian-lan.

Kiau Hong semakin murka, "Baiklah, semua boleh kau catat atas rekeningku, lantas mau apa?"

Setelah mengalami pertarungan sengit itu, watak liar dalam darah Kiau Hong menjadi kumat, sekejap itu ia berubah beringas bagaikan seekor binatang buas. Sekali tangannya membalik, tepat seorang lawan kena cengkramannya, ternyata orang ini adalah Tan Tiong-san, putra kedua Tan Cing.

Menyusul Kiau Hong terus rampas golok Tan Tiong-san, ketika tangan kanan menggaplok, tanpa ampun lagi batok kepala Tan Tiong-san hancur dan mati seketika. Maka gegerlah para ksatria, mereka menjerit kaget, berteriak kuatir dan mencaci-maki dengan gusar.

Setelah membunuh orang, Kiau Hong bertambah kalap, golok rampasannya berputar dengan cepat, tangan kanan mendadak menjotos dan terkadang memukul dengan telapakan, sedang golok di tangan kiri membacok dan menebas, dahsyatnya tak tertahankan.

Hanya sekejap saja tertampaklah dinding di sekitar sudah penuh titik noda darah, di tengah kalangan sudah bergelimpangan belasan mayat, ada yang kepala berpisah dengan badannya, ada yang dada pecah dan pinggang putus.

Dalam mengamuk itu, Kiau Hong sudah tidak pandang bulu lagi, dengan mata merah membara ia membunuh setiap orang yang diketemukan, Thoan-kong Tianglo dan Ge-tianglo telah binasa semua di bawah goloknya.

Di antara ksatria yang hadir itu kebanyakan tentu pernah membunuh orang. Maklum, membunuh orang bagi orang persilatan boleh dikatakan terlalu jinak. Andaikan tidak pernah membunuh orang dengan tenaga sendiri, paling sedikit juga sudah biasa menyaksikan pembunuhan.

Tapi pertarungan sengit seperti sekarang sungguh tidak pernah dilihat mereka selama hidup. Lawan mereka hanya satu orang, tapi Kiau Hong justru bertempur seperti binatang buas dan hantu iblis yang mendadak berada disana, sekejap kemudian tahu-tahu sudah berada di sini, banyak jago terkemuka yang maju melabraknya berbalik terbunuh oleh cara Kiau Hong yang lebih cepat, lebih ganas dan lebih tangkas.

Sebenarnya para ksatria yang hadir itu bukanlah manusia pengecut, tapi di bawah terjangan Kiau Hong yang kalap bagai banteng ketaton itu, segera banyak di antaranya timbul rasa takut dan ingin melarikan diri, mereka berharap bisa lekas tinggalkan gelanggang pertempuran, apakah Kiau Hong berdosa atau tidak, mereka tidak mau ikut campur lagi.

Dalam pada itu Yu-si-siang-hong, kedua jago bersaudara she Yu, berbareng menerjang dari kanan dan kiri, tangan kiri mereka sama memegang tameng bundar, hanya tangan kanan yang berbeda persenjataannya, Yu Ek memakai tombak pendek, sebaliknya Yu Ki menggunakan golok.

Walaupun Kiau Hong melabrak para pengeroyok itu dengan kalap dan tak kenal ampun, tapi terhadap setiap gerak serangan lawan selalu diperhatikan dengan baik, pikirannya tetap dalam keadaan jernih, maka sejauh ini ia tidak terluka sedikit pun.

Ketika dilihatnya kedua saudara she Yu itu menerjang maju dengan senjata aneh, cepat ia mainkan goloknya ke kanan kiri, lebih dulu ia robohkan dua lawan di sampingnya, habis itu ia mendahului memapak ke arah Yu Ek dan menyerang.

Tapi bacokannya ditangkis oleh tameng Yu Ek, "trang", golok Kiau Hong malah mendal keatas. Waktu diperiksa, ternyata mata goloknya melingkar dan tak bisa dipakai lagi.

Ternyata tameng kedua jago bersaudara itu adalah buatan dari baja murni, biarpun dibacok dengan pedang atau golok mestika juga tak mempan, apalagi golok yang dipakai Kiau Hong itu hanya golok biasa yang dirampasnya dari Tan Tiong-san.

Begitulah sekali perisainya menangkis, secepat kilat tombak pendek di tangan Yu Ek yang lain lantas menusuk dengan tipu "tok-coa-cut-tong" (ular berbisa keluar dari gua), tombak itu menyambar dari bawah perisai dan mengarah perut Kiau Hong.

Pada saat itu juga Kiau Hong melihat berkelebatnya senjata, perisai Yu Ki mendadak memotong pinggangnya. Mata Kiau Hong cukup awas, sekilas pandang ia sudah tahu pinggir tameng itu sangat tajam, bila kena pinggang bukan mustahil akan terpotong putus menjadi dua, sungguh lihainya tidak kepalang.

"Bagus !" bentak Kiau Hong sambil buang goloknya, menyusul tinju kiri terus menghantam sekuatnya, maka terdengarlah suara "blang" yang keras, bagian tengah tameng Yu Ki tepat kena digenjot, menyusul kepalan tanagan kanan Kiau Hong menghantam lagi, "blang", tameng Yu Ek juga kena digempurnya dengan tepat.

Kontan Yu-si-siang-hiong merasa separuh tubuh mereka seakan-akan kaku dan lumpuh, pukulan-pukulan Kiau Hong yang maha dahsyat itu meski tidak langsung mengenai mereka, tapi sudah cukup membuat mata mereka berkunang-kunang dan kepala pusing tujuh keliling seketika tangan mereka menjadi lemas. Tameng, tombak dan golok tidak kuat dipegang lagi, terdengar suara gemerentang nyaring, senjata mereka semua jatuh ke lantai.

"Bagus, boleh berikan padaku saja senjata kalian itu!" seru Kiau Hong dengan tertawa. Cepat ia jemput perisai kedua saudara Yu itu, segera ia putar dengan kencang.

Kedua perisai baja yang bundar itu sungguh merupakan senjata serba guna yang ampuh, kemana senjata itu menyambar, disitu lantas terdengar jeritan ngeri. Hanya sekejap saja sudah empat orang menjadi korban perisai baja itu.

Wajah Yu-si-siang-hiong tampak pucat dan semangat lesu. Kata Yu Ek, "Jite, bukankah Suhu pernah mengatakankepada kita, perisai ada orang ada, perisai hilang orangnya gugur?"

"Benar twako," sahut Yu Ki dengan muram. "Hari ini kita telah kecundang sedemikian rupa, masakah kita masih ada muka untuk hidup lebih lama di dunia ini?"

Segera mereka menjemput kembali senjata masing-masing, yaitu tombak dan golok, berbareng mereka tikam perut sendiri dengan senjata itu, maka binasalah mereka seketika.

Keruan banyak ksatria menjerit kaget. Tapi mereka sedang dicecar oleh Kiau Hong dengan hebat, maka tiada seorang pun sempat mencegah perbuatan nekat kedua saudara Yu itu.

Kiau Hong melengak juga. Sungguh tak terpikir olehnya bahwa sebagai tuan rumah kedua saudara Yu itu bisa ambil pikiran pendek begitu? Karena kejutnya itu pengaruh arak tadi menjadi hilang sebagian besar, hati pun agak menyesal.

"Yu-si-siang-hiong, guna apa ambil keputusan demikian?" seru Kiau Hong dengan terharu, "Tentang kedua perisai ini, biarlah kukembalikan saja!"

Sambil berkata, dengan khidmat dan hormat ia taruh kedua perisai itu disamping jenazah Yu-si-siang-hiong. Tapi belum lagi ia tegak kembali dari berjongkok, tiba-tiba didengarnya jerita kuatir seorang gadis, "Awas!"

Kiau Hong cukup cerdas dan tangkas, sedikit menggeser ke samping, maka menyambar lewatlah sebilah pedang tajam. Jeritan itu ternyata berasal dari A Cu. Dan penyerang gelap itu adalah Tam-kong. Sekali membokong tidak kena, segera jago tua itu menyingkir jauh.

Tam-poh menjadi gusar, serunya, "Bagus, kamu budak setan ini, kami tidak membunuhmu, tapi kamu malah bersuara membantu dia!"

Mendadak ia melompat ke sana, sekali gaplok, segera kepala A Cu hendak dipecahkannya.

Waktu Kiau Hong menempur para ksatria itu, sejak tadi A Cu meringkuk di sudut ruangan, tenaga murninya perlahan mulai lenyap, badan menjadi lemas. Ia melihat Kiau Hong dikeroyok orang banyak, walaupun tahu bakal banyak menghadapi bahaya toh bekas Pangcu itu bersedia mengantar dirinya untuk mencari tabib sakti, budi kebaikan ini biar tubuhnya hancur lebur juga susah dibalas.

Sebab itulah A Cu merasa sangat berterima kasih dan kuatir pula. Maka ketika mendadak Kiau Hong disergap Tam-kong tadi, segera ia bersuara memperingatkan.

Untung sebelum Tam-poh mencapai sasarannya, secepat kilat Kiau Hong menyusul tiba, dari belakang ia jambret punggung nenek itu dan ditarik sekuat tenaga serta dilemparkan ke samping. "Brak", sebuah kursi tertabrak hancur oleh badan. Tam-poh yang gede mirip kuda teji itu.

Meski tidak kena serangan nenek itu, namun A Cu ketakutan hingga muka pucat dan badan lemas terkulai. Kiau Hong terkejut, pikirnya, "Hawa murninya sudah mulai kering, namun dalam keadaan begini mana dapat kutolong dia?"

Sementara itu terdengar Sih-sin-ih berkata dengan nada dingin, "Tenaga nona itu sekejap lagi akan habis, akan kau tolong jiwanya tidak dengan tenaga dalammu? Jika napasnya putus, terpaksa aku tak dapat menolongnya lagi."

Kiau Hong menjadi serba susah. Ia tahu perkataan Sih-sin-ih itu bukan omong kosong belaka tapi sekali awak sendiri menolong A Cu, segera dirinya akan dihujani pukulan dan senjata oleh lawan yang sudah merumbung di sekitarnya itu.

Sudah banyak jatuh korban di pihak ksatria itu, mana mau mereka menyudahi pertempuran ini? Lalu, apakah mesti menyaksikan A Cu mati begitu saja? Padahal dengan menyerempet bahaya ini ia membawa A Cu ke Cip-hian-ceng ini tujuannya adalah minta pengobatan pada Sih-sin-ih. Sesudah tiba di tempat dan berhadapan dengan tabib sakti, lalu membiarkan nona itu mati kehabisan tanaga, bukankah sangat sayang?

Tapi kalau sekarang ia salurkan hawa murni padanya, itu berarti ia mengantikan jiwa nona itu dengan jiwa sendiri. Padahal A Cu hanya seorang budak cilik yang baru dikenalnya di tengah jalan, pada hakikatnya tiada sesuatu hubungan bai apa-apa, soal menolong sesamanya adalah perbuatan biasa bagi seorang pendekar dan ksatria tapi kalau mesti menggunakan jiwa sendiri yang berharga untuk menggantikan nyawa nona cilik itu, betapapun juga tidak masuk diakal. Aku sudah berusaha sedapatnya membawanya ke tempat si tabib sakti, kewajibanku boleh dikatakan sudah jauh lebih dari cukup. Biarlah sekarang juga kutinggal pergi saja dan terserah Sih-sin-ih mau menolong jiwanya atau tidak.

Setelah ambil keputusan itu, segera Kiau Hong jemput kembali kedua perisai tadi, dengan gerakan "Tai-peng-tian-ih" atau garuda raksasa pentang sayap, mendadak ia putar perisai itu dengan kencang hingga berwujud dua bola, berbareng ia terus terjang keluar.

Karena orang di dalam ruangan itu terlalu sesak, pula gerakan Kiau Hong teramat lihai, seketika tiada seorangpun yang berani merintanginya.

Setiba di ambang pintu, baru Kiau Hong hendak angkat kaki seribu, sekonyong-konyong terdengar suara seorang yang parau, "Bunuh dulu budak itu, baru kita balas sakit hati pula!"

Pembicara ini ternyata Tiat-bin-poan-koan Tan Cing adanya.

Putranya yang tertua, Tan Pek-san segera mengiakan dan ayun goloknya membacok kepala A Cu.

Keruan Kiau Hong terkejut dan kuatir tidak jadi melangkah pergi, tanpa pikir, ia sambitkan sebelah perisainya. Bagaikan "piring terbang" perisai itu menyambar secepat kilat ke depan.

"Awas!" dengan kuatir beberapa orang memperingatkan. Dengan cepat Tan Pek-san juga angkat goloknya hendak menyampuk.

Namun betapa hebat tenaga Kiau Hong tepi perisai itu sangat tajam pula, "krak...cret", tahu-tahu golok tertabas patah, bahkan Tan Pek-san sendiri terpotong putus sebatas pinggang. Malahan perisai itu masih terus menyambar ke depan hingga menancap di pilar.

Kematian Tan Pek-san itu benar-benar sangat mengenaskan, hal ini membuat semua orang ikut murka, bukan saja Tan Cing dan putranya, Tan Ki-san, menubruk berbareng ke arah A Cu, bahkan beberapa ksatria lain juga menghujani A Cu dengan senjata.

"Manusia pengecut!" maki Kiau Hong. Cepat ia bertindak, dari jauh ia memukul empat kali berturut-turut hingga semua orang itu dipaksa menyingkir, menyusul ia lari maju, ia angkat A Cu dan dikempit dengan tangan kiri, ia gunakan perisai yang masih ada untuk melindungi badan si gadis.

"Kiau-toaya, aku percuma, jangan kau pikirkan aku lagi, lekas engkau menyelamatkan diri saja!" seru A Cu dengan suara lemah.

Namun pertarungan sengit itu sudah mengobarkan semangat jantan Kiau Hong yang angkuh dan tinggi hati, serunya, "Urusan sudah terlanjur begini, sudah terang mereka takkan mengampuni jiwamu, biarlah kita mati bersama saja!"

Dan sekali tangan kanan bergerak, kembali ia berhasil merebut sebatang pedang, dengan senjata rampasan itu ia terus menerjang keluar.

Karena tangan kiri mengempit A Cu, gerak-geriknya menjadi kurang leluasa, perisai pun kurang rapat untuk melindungi badan si gadis. Namun Kiau Hong sudah tidak pikirkan mati hidup sendiri, ia putar pedang sedemikian kencangnya.

Tapi baru saja dia hendak menerobos keluar, sekonyong-konyong punggung terasa sakit, nyata telah kena dibacok sekali oleh orang.

Tanpa pikir lagi ia mendepak ke belakang, kontan penyerang itu kena ditendang dan binasa seketika. Dan pada saat hampir bersamaan itu pundak Kiau Hong kena hantam sekali pula oleh Hian-lan, menyusul dada kanan juga kena ditusuk pedang musuh.

Mendadak Kiau hong mengerang sekali, begitu keras suaranya hingga seperti bunyi halilintar, bentaknya, "Kiau Hong akan bereskan diri sendiri dan tidak mau mati di tangan kaum keroco dan bangsa pengecut!"

Namun para pengeroyok itu sudah kadung nekat, mereka tidak mau memberi kesempatan kepada Kiau Hong untuk membunuh diri lagi. Segera belasan orang menubruk maju.

Tapi dengan tangkasnya mendadak Kiau Hong mencengkram, kontan "tan-tiong-hiat" di dada Hian-cit kena dipegang olehnya terus diangkat tinggi ke atas. Dalam kagetnya semua orang sama menjerit dan beramai melompat mundur.

Karena "tan-tiong-hiat" terpegang, betapapun lihai Hian-cit juga tak berguna, sama sekali ia tak bisa berkutik, tampaknya pinggir perisai yang tajam itu tinggal belasan senti saja di depan tenggorokannya, asal sedikit Kiau Hong sodok senjata itu, seketika kepala Hian-cit bisa kuntung. Tak tertahankan lagi padri itu menghela napas panjang, ia pejamkan mata menunggu ajal.

Tapi Kiau Hong sendiri merasa luka di punggung, dada dan pundak sakitnya tidak kepalang, maka berkatalah dia, "Ilmu silatku ini asalnya juga dari Siau-lim-pai, minum air harus ingat pada sumbernya, mana boleh kubunuh padri saleh Siau-lim-pai? Hari ini aku sudah pasti akan mati, kalau membunuh seorang lagi apa manfaatnya?"

Habis berkata, cekalannya menjadi kendur, ia lepaskan Hian-cit ke lantai dan berkata, "Silahkan kalian turun tangan!"

Di tantang begitu, semua orang menjadi tertegun dan saling pandang malah, mereka terpengaruh oleh perbawa Kiau Hong yang gagah berani itu, sebaliknya Tan Cing sudah terlalu sakit hati karena kedua putranya dibunuh oleh Kiau Hong, dengan kalap terus ia menerjang maju, golok lantas membacok dada Kiau Hong.

Kiau Hong tahu betapapun ia menerjang toh takkan mampu membobol kepungan orang banyak. Maka ia hanya berdiri tegak tanpa menangkis. Sesaat itu terkilas macam-macam pikiran dalam benaknya, "Sebenarnya aku orang Cidan atau bangsa Han? Siapakah gerangan yang membunuh ayah bunda dan guruku itu? Selama hidupku selalu berbuat bajik dan membela keadilan, mengapa hari ini tanpa sebab aku menewaskan pendekar sebanyak ini? Dengan nekat aku menolong jiwa A Cu hingga aku sendiri malah binasa ditangan para ksatria ini bukankah aku ini terlalu bodoh dan akan ditertawai orang?"

Dalam pada itu ia lihat wajah Tan Cing yang merah padam saking murka itu tampak berkerut-kerut, mata mendelik, goloknya sudah menyambar ke arah dadanya.

Tampaknya dalam sekejap lagi Kiau Hong pasti akan menggeletak tanpa bernyawa oleh serangan Tan Cing itu.

Go-tianglo, Cit-hoat-tianglo dan lain-lain sama pejamkan mata karena tidak tega menyaksikan kejadian tragis itu.

Sekonyong-konyong dari udara melayang turun seorang dengan cepat luar biasa dan tepat membentur golok Tan Cing. Karena tidak tahan oleh tenaga tumbukan itu, golok Tan Cing terpental ke samping.

Di tengah jerit kaget semua orang, mendadak dari udara melayang turun seorang lain. Sekali ini orang itu terjungkir, kepala di bawah dan kaki di atas, jadi lebih tepat di katakan terjun, "prak", kepala orang itu tepat menumbuk kepala Tan Cing, keruan kepala kedua orang sama-sama hancur luluh seketika.

Dan baru saja sekarang semua orang dapat melihat jelas kedua orang yang melayang turun dari udara itu adalah penjaga di atas rumah, terang mereka dipegang orang dan dilemparkan ke bawah sebagai senjata rahasia.

Selagi keadaan kacau-balau, mendadak dari ujung wuwungan sana membuai turun seutas tambang yang panjang, dengan keras sekali tambang itu menyambar kepala orang banyak. Cepat para ksatria angkat senjata hendak menangkis, tapi ujung tambang itu tahu-tahu berganti arah terus melilit pinggang Kiau Hong, pada lain saat mendadak tambang itu sudah terangkat keatas.

Waktu itu darah sudah bercucuran dari luka Kiau hong, tangan kirinya yang mengempit A Cu itu sudah tak bertenaga, maka ketika ia dikerek keatas oleh tambang itu, A Cu lantas jatuh ke tanah.

Kemudian dapatlah semua orang melihat orang yang memegangi ujung tambang sebelah sana adalah seorang laki-laki berbaju hitam mulus, perawakannya tegap, tapi mukanya berkedok kain hitam, hanya kedua matanya yang kelihatan.

Setelah mengerek Kiau Hong ke atas, segera laki-laki itu mengempitnya dengan tangan kiri, menyusul tambang panjang itu diayunkan hingga tergubat pada tiang bendera di depan Cip-hian-ceng.

Pada saat para Ksatria berteriak dan membentak disertai hujan berbagai macam senjata rahasia ke arah Kiau Hong dan laki-laki baju hitam itu tarik kencang tambangnya, sekali melayang ke depan, tahu-tahu badannya terangkat ke atas dan hinggap di balkon di pucuk tiang bendera itu. Maka terdengarlah suara plak-plok yang riuh, berpuluh macam senjata rahasia itu sama menancap di balkon tiang bendera.

Sementara itu tambang lelaki baju hitam itu diayun ke depan lagi hingga ujungnya tepat mengubat pucuk pohon besar yang berada puluhan meter jauhnya, lalu orang itu mengempit Kiau Hong dan membuai keatas pohon di sebelah sana lagi dan begitu seterusnya, hanya sekejap saja laki-laki baju hitam itu sudah menghilang, yang terdengar kemudian hanya suara derap lari kuda yang berdetak-detak dan semakin jauh. Tertinggal para ksatria hanya saling pandang dengan bingung.

Meski Kiau Hong terluka parah, tapi pikiran jernihnya masih belum lenyap. Cara bagaimana lelaki baju hitam itu menolongnya, semuanya dapat diikuti dengan jelas. Sudah tahu ia sangat berterima kasih. Pikirnya, "Cara main tambang demikian aku pun bisa, tapi kepandaiannya sekaligus menyerang berpuluh lawan dengan tambang, lalu ganti arah untuk menolong diriku, inilah yang aku tidak mampu menirunya."

Setelah menyelamatkan Kiau Hong, orang baju hitam itu lantas angkat Kiau Hong ke atas kuda, dua orang setunggangan mereka menuju ke utara. Di atas kuda juga orang itu mengeluarkan obat untuk dibubuhkan pada luka Kiau Hong.

Saking banyak mengeluarkan darah, beberapa kali Kiau Hong hampir pingsan, syukur setiap kali ia sempat mengerahkan tenaga dalam hingga kejernihan pikirannya masih dapat dipertahankan.

Laki-laki itu larikan kudanya melalui jalan yang berliku-liku, sampai akhirnya, kuda itu melulu naik turun di antara batu padas belaka. Lebih satu jam kemudian, kuda itu tidak meneruskan perjalanan lagi.

Laki-laki itu lantas menurunkan Kiau Hong dan memondongnya ke atas puncak, makin jauh makin tinggi. Badan Kiau Hong sebenarnya sangat berat, tapi orang itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan dapat lari secepat terbang di tebing karang yang terjal itu.

Suatu ketika, jalan di depan terhalang oleh selat jurang yang dalam, orang itu lantas menggunakan tambangnya lagi untuk menggubat pohon di seberang selat, lalu melayang ke seberang sana.

Diam-diam Kiau Hong terperanjat dan heran, "Cara menyebrangi jurang melintasi selat aku pun bisa jika bertangan kosong, tapi bila memondong seorang seperti dia, tak dapatlah aku."

Setelah melalui tebing karang dan banyak selat jurang yang berbahaya, kemudian jalanan lantas menurun ke bawah, lalu masuk ke suatu lembah jurang yang dalam sekali hingga langit hampir tak kelihatan. Akhirnya berhentilah orang itu, dan taruh Kiau Hong di tanah.

Sesudah berdiri tegak, segera Kiau Hong berkata, "Sungguh terima kasih atas pertolongan In-heng (saudara berbudi) ini, dapatkah Kiau Hong mohon melihat wajah asli In-heng?"

Sinar mata orang berbaju hitam itu berkilat-kilat membayang kian kemari di muka Kiau Hong, sejenak kemudian barulah dia membuka suara, "Di dalam goa situ terdapat rangsum yang cukup untuk setengah bulan, boleh kau rawat lukamu di sini, musuh pasti tidak dapat menyusul kemari."

Kiau Hong mengiakan sekali, ia pikir, "Dari suaranya ini, agaknya dia bukan orang muda lagi."

Orang itu juga sedang mengamat-amati Kiau Hong, pada saat lain mendadak tangan kanannya bergerak, "plak", tahu-tahu Kiau Hong digamparnya sekali.

Keruan Kiau Hong kaget. Tempelengan itu dilakukan dengan cepat luar biasa, pula Kiau Hong sama sekali tidak menduga orang akan menghajarnya, ketiga, cara memukul itu pun sangat pintar, maka Kiau Hong tidak sempat menghindar.

Tapi ketika orang itu hendak menempelengnya untuk kedua kalinya, walau pun pukulan susulan ini cepat luar biasa, tapi Kiau Hong sudah sempat berjaga-jaga, tidak nanti ia kena digampar lagi. Cuma mengingat orang adalah tuan penolong kiwanya, ia tidak ingin mengadu telapak tangan dengan orang itu.

Tempat yang diarah jari Kiau Hong adalah "lau-kiong-hiat" di tengah telapak tangan laki-laki itu. Jika pukulannya diteruskan, itu berarti telapak tangannya sengaja diberikan kepada jari Kiau Hong.

Ilmu silat orang itu sangat tinggi, dengan sendirinya gerak geriknya juga sangat cekatan. Sebelum telapak tangan tertutuk, mendadak tangannya membalik, yang dibuat menggampar berubah menjadi punggung tangan orang itu.

Tapi Kiau Hong juga cepat sekali menggeser jarinya, ia incar arah datangnya punggung tangan lawan, jarinya tepat memapak "ji-kan-hiat" di punggung tangan orang itu.

Terdengarlah laki-laki itu tertawa panjang, ia tarik kembali tangannya yang sudah mendekati sasrannya itu, sebaliknya tangan kiri terus menabas. Tapi Kiau Hong mendadak juga julurkan jari tangan kiri, ujung jari tepat mengincar "au-ka-hiat" di tepi telapak tangan orang...

Begitulah dalam sekejap saja kedua tangan laki-laki berbaju hitam itu naik turun bagaikan orang menari dan sekaligus sudah belasan serangan dilancarkan, namun Kiau Hong juga tidak kalah tangkasnya, ia melulu bertahan saja tanpa balas menyerang. Selalu ia pasang jarinya untuk melancarkan hiat-to di telapak tangan orang yang hendak menyerangnya itu.

Kalau pertama kali tadi laki-laki itu dapat menghajar Kiau Hong adalah disebabkan bekas Pangcu itu tidak menduga sama sekali, tapi serangan selanjutnya tidak mungkin dapat mengenainya lagi. Maka serangan dan tangkisan itu berlangsung dengan cepat, ilmu silat yang mereka gunakan sama-sama kelas wahid yang jarang ada di dunia.

Setelah genap menyerang dua puluh kali, mesti Kiau Hong dalam keadaan terluka, namun gerak-gerik dan jitunya menangkis sedikitpun tidak menjadi kendur dan meleset. Mendadak laki-laki baju hitam itu menarik kembali tangannya dan melompat mundur. Katanya, "Kamu benar-benar seorang tolol, seharusnya aku tidak perlu menolongmu."

"Dengan hormat aku bersedia menerima nasihat Inkong (tuan penolong)," kata Kiau Hong dengan rendah hati.

"Kamu ini sungguh keledai tolol," omel laki-laki baju hitam itu. "Kau sendiri meyakinkan ilmu silat yang tiada bandingannya di dunia ini, tapi mengapa rela mengorbankan jiwa secara sia-sia bagi seorang anak dara yang kurus kecil begitu? Dia bukan sanak kandangmu, tiada budi tiada kasih, cantik tidak, manis tidak, masakah di dunia ini ada seorang tolol seperti dirimu dan bersedia berkorban jiwa baginya?"

"Petuah Inkong memang benar," sahut Kiau Hong dengan menghela napas. "Perbuatanku yang tidak mendatangkan manfaat ini memang tidak tepat. Soalnya karena terdorong oleh nafsu yang murka, lalu bertindak tanpa pikirkan akibatnya."

Tiba-tiba laki-laki baju hitam menengadah sambil terbahak-bahak. Suara ketawanya terasa agak memilukan, Kiau Hong menjadi bingung. Mendadak orang itu melompat pergi hingga jauh, sekali melesat lagi, segera orangnya menghilang di balik batu karang sana.

"Inkong! Inkong!" seru Kiau Hong.

Namun orang itu tidak menyahut juga tidak balik lagi. Maksud Kiau Hong hendak mengejarnya, tapi baru bertindak selangkah, segera ia terhuyung-huyung akan roboh. Cepat ia pegang dinding karang di sampingnya dan tenangkan diri.

Waktu ia menoleh, ia lihat di balik dinding karang itu ada sebuah gua, ia merembet dinding dan masuk gua itu dengan perlahan. Ia lihat dalam gua sudah banyak tersedia rangsum kering sebangsa ikan asin, dendeng, kacang, beras goreng dan sebagainya. Yang paling menarik adalah tersedia pula seguci arak.

Segera Kiau Hong membuka tutup guci arak itu, seketika bau arak yang semerbak menusuk hidung. Terus saja ia gunakan tangannya untuk meraup arak dan diminum, ternyata arak itu adalah arak pilihan yang sangat sedap. Sungguh terima kasihnya tak terhingga. Pikirnya, "Inkong itu benar-benar seorang yang pintar, ia tahu aku gemar minum arak, maka sengaja menyediakan minuman enak ini untukku."

Obat luka yang dibubuhkan laki-laki baju hitam itu ternyata sangat mujarab, hanya beberapa jam saja darah sudah mampet. Ditambah Lwekang Kiau Hong sangat tinggi, walau pun lukanya cukup parah, namun sembuhnya ternyata sangat cepat. Baru 6-7 hari ia tinggal di dalam gua itu dan luka pun hampir sembuh seluruhnya. Selama beberapa hari itu yang selalu terpikir olehnya hanya dua soal, "Siapakah musuh yang memfitnah diriku itu? Dan siapakah Inkong yang menolong aku itu?"

Ilmu silat kedua orang itu, baik musuh yang tak dikenal maupun Inkong, tuan penolongnya semuanya sangat tinggi dan agaknya tidak di bawah Kiau Hong sendiri. Padahal tokoh Bu-lim yang memiliki kepandaian setinggi itu sedikit sekali, boleh dikatakan dapat dihitung dengan jari. Tapi meski Kiau Hong coba berpikir dan mengingat-ingat toh tiada seorang tokoh Bu-lim yang menyerupai kedua orang itu.

Bahwa musuh itu susah diterka, itu memang masuk diakal. Tapi tuan penolong yang telah bergebrak 20 jurus dengan dirinya itu seharusnya dapat diduga gaya permainan silatnya itu dari aliran mana dan golongan apa, namun sedikitpun ia tetap tidak dapat menerkanya, sebab setiap jurus serangan yang dilontarkan tuan penolong tadi semuanya silat biasa saja, yaitu terdiri dari ilmu pukulan yang sangat umum, mirip seperti dirinya waktu melawan Hian-lan Taisu dengan ilmu pukulan "Thai-co-tiang-kun", sedikitpun Inkong itu tidak memakai ilmu silat golongan sendiri hingga asal-usulnya susah diketahui.

Sebagai seorang ksatria, meski kedua soal penting itu tak bisa dipecahkan, namun segera di kesampingkannya dan tak dipikir lagi.

Seguci arak itu tidak cukup dua hari sudah habis diminum olehnya. Sedang lukanya setengah bulan kemudian juga hampir sembuh seluruhnya. Selama belasan hari tidak minum arak, ia menjadi ketagihan. Ia tidak tahan lagi. Ia menduga untuk melompati selat lebar dan jurang dalam sudah cukup kuat, maka ia lantas meninggalkan gua tempat istirahat itu dan berkecimpung di dunia kangouw lagi.

Pikirnya di tengah jalan, "Sesudah A Cu jatuh di bawah cengkraman mereka, kalau dibunuh tentu sudah mati, sebaliknya kalau masih hidup tentu tidak perlu aku mengurusnya lagi. Urusan paling penting sekarang adalah harus kuselidiki hingga jelas siapakah sebenarnya diriku ini? Tapi ayah ibu dan Suhu dalam waktu sehari saja telah dibunuh musuh, rahasia tentang asal-usulku ini menjadi lebih susah dipecahkan. Jalan satu-satunya sekarang harus kupergi keluar perbatasan Gan-bun-koan untuk membaca tulisan yang terukir di dinding batu sana."

Setelah ambil keputusan demikian, segera ia menuju ke arah barat laut. Setiba di kota, terus saja ia minum arak sepuasnya. Tapi sekali minum sangu yang dibawanya telah dihabiskan.

Waktu itu ia berada di kota Liong-koan. Malamnya ia lantas menggerayangi kantor residen, ia ambil beberapa puluh tail perak dari kas negara. Dengan begitu ia dapat makan minum besar lagi sepanjang jalan dengan biaya negara.

Beberapa hari kemudian sampailah dia di Taiciu, Gan-bun-koan itu terletak antara 30 li di utara Taiciu. Dahulu waktu Kiau Hong mengembara juga pernah datang ke kota ini. Cuma tatkala itu dia ada urusan penting, maka hanya sepintas lalu saja kota itu dikenalnya.

Menjelang lohor ia sampai di Taiciu, maka lebih dulu ia makan minum sekenyangnya, lalu keluar kota dan menuju ke utara.

Dengan kecepatan larinya, jarak 30 li itu tiada setengah jam sudah dicapainya. Sesudah mendaki lereng bukit, ia lihat di kanan kiri jalan dinding karang berdiri tegak menyempit, jalan di tengah selat bukit itu berliku-liku. Memang benar tempat yang berbahaya dalam ilmu militer.

Sebabnya tempat itu diberi nama "Gan-bun-koan" atau pintu gerbang burung belibis, ialah untuk melukiskan betapa terjalnya dinding karang di situ, bahwasanya setelah musim dingin, burung belibis yang mengungsi ke selatan waktu kembali ke utara mesti melalui selat gunung yang terjal itu, tapi saking tingginya puncak pegunungan di situ terpaksa burung belibis harus terbang lewat melalui selat di tengah apitan dinding karang, sebab itu tempat ini diberi nama Gan-bun-koan.

Diam-diam Kiau Hong pikir, "Hari ini aku datang dari selatan. Bila tulisan dinding karang itu menyatakan aku Kiau Hong memang benar adalah keturunan Cidan, maka sekeluar dari Gan-bun-koan ini, selamanya aku akan menjadi orang utara Gan-bun-koan dan takkan pernah kembali ke selatan lagi. Dibandingkan burung belibis yang tiap tahun sekali mesti pulang pergi ke utara dan selatan, terang burung itu jauh lebih bebas dan merdeka daripada diriku."

Berpikir demikian, mau-tak-mau ia jadi berduka dan pedih.

Gan-bun-koan itu terhitung salah satu benteng penting dalam pertahanan negara Song pada waktu itu, di antara lebih 40 koan (benteng atau pos penjagaan Ban-ti-tiang-sia atau Tembok Besar) di wilayah Soasai, Gan-bun-koan itu termasuk yang paling kuat dan megah. Beberapa puluh li di luar benteng pertahanan itu adalah batas negeri kerajaan Liau. Karena itulah di Gan-bun-koan ada pasukan penjaga yang kuat.

Kalau meneruskan perjalanan melalui pintu benteng penjagaan, tentu Kiau Hong akan ditanya penjaga di situ. Maka ia sengaja berputar ke arah barat, ia ambil jalan lereng bukit dan sampai di Coat-nia (bukit buntu).

Ia pandang sekeliling bukit itu. Ia lihat jauh di timur sana Ngo-tai-san menjulang tinggi mencakar langit, arah lain juga penuh lereng bukit yang menghijau kebiruan tak berujung, suasana sunyi senyap.

Kiau Hong teringat pada masa dahulu pernah mendengar cerita tentang sejarah Gan-bun-koan yang merupakan benteng pertahanan dalam melawan serbuan bangsa Tartar, bangsa Hun dan lain-lain yang seringkali mengganggu wilayah Tiongkok. Apabila sekarang ternyata benar dirinya adalah keturunan bangsa asing Cidan, maka boleh dikatakan dirinya adalah keturunan bangsa yang suka menyerbu ke wilayah Tiongkok selama beratus tahun ini.

Ia memandang jauh ke utara dan berpikir, "Tatkala Ong-pangcu, Tio-ci-sun dan lain-lain menyergap musuh bangsa Cidan di luar Gan-bun-koan dulu, tentu mereka pilih suatu tempat yang paling baik di lereng bukit. Melihat keadaan sekitar tempat ini, rasanya tempat yang paling tepat adalah lereng sebelah barat laut ini. Ya, besar kemungkinan di situlah mereka menyergap musuh."

Segera ia berlari ke bawah bukit dan sampai di sana. Tiba-tiba hatinya merasakan semacam tekanan batin yang memilukan. Ia lihat di situ terdapat sepotong batu karang raksasa. Menurut cerita Ti-kong Taisu, katanya dahulu para ksatria Tionggoan sana bersembunyi di balik sebuah batu karang, lalu menghamburkan senjata gelap berbisa ke arah musuh. Melihat gelagatnya, sekarang mungkin batu karang raksasa inilah yang dimaksudkan.

Kira-kira beberapa meter disisi jalan sana ada jurang yang sangat dalam, dipermukaan jurang tertutup kabut tebal hingga betapa dalamnya jurang itu sukar dijajaki.

Diam-diam Kiau Hong berpikir, "Bila cerita Ti-kong Taisu itu memang benar, maka sesudah ibuku dibunuh mereka, lalu ayahku membunuh diri dengan terjun ke jurang ini. Tapi begitu terjun ke bawah, beliau tidak tega aku ikut menjadi korban, maka aku telah dilemparkan ke atas dan tepat jatuh di atas tubuh Ong-pangcu. Dan......tulisan apakah yang ditulisnya di dinding batu yang dimaksudkan itu?"

Ketika ia berpaling dan memandang dinding karang yang berada di sisi kanan, ia lihat dinding gunung di situ halus licin dan cukup lebar, tapi tepat di bagian tengah dinding itu tampak penuh bekas bacokan kapak. Terang ada seorang yang sengaja menghilangkan tulisan yang

katanya terukir di dinding itu.

Kiau Hong berdiri termangu-mangu di depan dinding batu itu dengan perasaan bergolak, sungguh ia ingin putar senjata dan mengangkat kepalan untuk menghantam dan membunuh sepuas-puasnya. Tapi mendadak teringat sesuatu olehnya, "Waktu aku keluar dari Kay-pang, pernah aku bersumpah dengan mematahkan golok Tan-cing, aku menyatakan selama hidup ini takkan membunuh seorang pun bangsa Han, baik aku terbukti orang Cidan atau bukan. Akan tetapi, dengan pertarungan sengit di Cip-hian-ceng itu, sekaligus entah sudah berapa orang yang telah ku bunuh, dan sekarang timbul pula keinginanku hendak membunuh, bukankah perbuatanku ini telah melanggar sumpahku sendiri? Ai, urusan sudah terlanjur begini, biarpun aku tak mengganggu orang, toh orang yang akan mengusik diriku, jika aku diam-diam saja pasrah nasib untuk di bunuh orang, apakah sikap demikian cukup bijaksana sebagai seorang ksatria?"

Padahal jauh-jauh ia datang keluar Gan-bun-koan ini, tujuannya adalah ingin membaca tulisan di dinding batu ini untuk menyelidiki asal-usul nya sendiri yang sebenarnya. Akan tetapi usaha nya sekarang ternyata sia-sia belaka. Perangainya makin lama semakin gopoh dan suka aseran, tiba-tiba ia berteriak-teriak, "Aku bukan orang Han, aku bukan orang Han! Aku adalah orang Cidan! Ya, aku orang Cidan!"

Dan tangannya terus menghantam susul menyusul kearah dinding batu itu.

Maka terdengarlah suara kumandang yang riuh gemuruh menirukan teriakan akibat hantaman Kiau Hong pada dinding batu itu. Karena tekanan batinnya yang tak terlampiaskan itu, maka pukulan Kiau Hong itu masih terus dilontarkan tanpa berhenti.

Kesehatannya memang sudah lama sembuh, ditambah tenaga dalamnya sangat kuat, maka setiap pukulannya semakin keras daripada pukulan yang lain, begitu hebat caranya mengamuk hingga seakan-akan segala duka derita yang dirasakannya selama ini hendak dilampiaskan atas dinding batu itu.

Tengah ia menggempur dinding batu itu, tiba-tiba dari belakang suara seorang wanita yang nyaring merdu berkata, "Kiau-toaya, jika engkau memukul terus, sebentar gunung ini tentu akan kau bikin gugur!"

Kiau Hong melengak oleh teguran itu. Waktu ia menoleh, ia lihat di balik batu sana, di bawah sebatang pohon berdiri seorang gadis jelita dengan mengulum senyum. Siapa lagi dia kalau bukan si A Cu.

Heran dan girang juga Kiau Hong, cepat ia mendekati dan menyapa dengan tertawa, "Hei, A Cu kamu selamat dan tidak apa-apa?"

Tapi karena dia habis marah-marah, maka tertawanya itu dengan sendirinya rada dipaksakan dan kurang wajar.

"Kiau-toaya, engkau sendiri juga baik-baik, bukan?" sahut A Cu. Ia pandang Kiau Hong sejenak, mendadak ia menubruk ke dalam pelukan bekas Pangcu itu sambil meratap, "O, Kiau-toaya, aku sudah......sudah menunggu lima hari lima malam di sini, kukuatir engkau takkan datang, tapi sekarang ter......ternyata datang juga. Dan syukurlah engkau ternyata selamat tak kurang suatu apa pun."

Meski ucapan A Cu itu terputus-putus, tapi penuh rasa girang dan lega, dengan sendirinya Kiau Hong dapat merasakan betapa gadis itu memperhatikan keselamatannya, hatinya tergerak segera bertanya, "Mengapa kau tunggu aku di sini selama lima hari lima malam? Dan dari...... dari mana kau tahu aku akan datang kemari?"

Perlahan A Cu mendongak, tiba-tiba ia ingat dirinya berada di dalam pelukan seorang laki-laki, wajahnya menjadi merah, cepat ia melepaskan dari dan melangkah mundur, ia merasa malu dirinya tadi telah lupa daratan dan tanpa sadar menyusup dalam pelukan orang. Mendadak ia membalik tubuh dengan kepala menunduk.

"He, kenapakah A Cu ?" tanya Kiau Hong bingung.

Namun A Cu tidak menjawab, ia merasa hati berdebar-debar. Selang sejenak, ia berpaling sedikit sambil melirik, tapi lantas membalik ke sana lagi dengan malu-malu.

Melihat sikap si gadis yang aneh itu, Kiau Hong lantas tanya, "A Cu, adakah sesuatu yang akan kau katakan? Jika ada, katakanlah terus terang. Kita pernah sama-sama menghadapi kesukaran dan merupakan kawan sehidup semati, apa yang kau pantangkan lagi?"

Muka A Cu merah jengah lagi, sahutnya lirih, "Ti...tidak!"

Perlahan Kiau Hong pegang pundak gadis itu dan diputar ke arah matahari, maka jelas terlihat wajah gadis itu meski masih pucat dan agak kurus, tapi air muka yang kepucat-pucatan itu bersemu merah pula dan bukan lagi muka pucat pasi waktu terluka parah tempo hari. Segera Kiau Hong pegang tangan A Cu untuk memeriksa nadinya.

Ketika pergelangan tangan A Cu tersentuh jari Kiau Hong, tanpa terasa badan gadis itu tergetar bagai kena aliran listrik.

Kiau Hong menjadi heran, ia tanya, "Kenapa? Apa badanmu kurang enak?"

Kembali wajah A Cu merah dadu, sahutnya cepat, "O, ti...tidak, tak apa-apa!"

Sesudah Kiau Hong periksa nadi A Cu, ia merasa denyut nadi itu tenang dan kuat, sedikitpun tiada tanda luar biasa, maka katanya, "Kepandaian Sih-sin-ih benar-benar sakti, pengobatannya selalu 'ces-pleng', sungguh tidak bernama kosong."

"Ya, beruntung sobatmu Pek Si-kia Tianglo telah mengancam tabib sakti itu dengan golok di dada, karena terpaksa, barulah ia mengobati aku." tutur A Cu.

"Dan sesudah kau sembuh, ternyata mereka mau juga membebaskanmu." ujar Kiau Hong.

"Huh, masakah mereka begitu baik?" jengek A Cu dengan tertawa. "Justru mereka selalu merecoki aku, baru kesehatanku sedikit pulih, setiap hari paling sedikit ada belasan orang yang mengajukan macam-macam pertanyaan dan gertakan padaku. Meraka tanya Kiau-toaya pernah hubungan apa dengan aku? Ada yang tanya siapakah gerangan laki-laki berbaju hitam yang menolongmu itu? Dan ke manakah engkau digondol? Sudah tentu aku tidak tahu, maka aku menjawab dengan sejujurnya. Tapi mereka tidak percaya padaku dan mengancam takkan memberi makan, akan menyiksa padaku dan lain-lain gertakan lagi. Terpaksa aku mengarang pengakuan yang tidak betul, aku sengaja bilang laki-laki berbaju hitam itu datang dari Kun-lun-san, lain hari kukatakan dia datang dari pulau di Tanghai dan macam-macam dongengan lain yang lucu."

Bercerita sampai di sini, ia jadi teringat pada para ksatria Tionggoan yang dibohongi dan dipermainkan olehnya itu, saking gelinya ia tertawa cekikikan.

"Dan mereka percaya tidak pada obrolanmu ?" tanya Kiau Hong ikut geli.

"Ada yang percaya, ada yang tidak, dan ada yang setengah percaya dan setengah tidak." sahut A Cu. "Ku yakin di antara mereka tiada seorangpun yang kenal dengan tokoh berbaju hitam itu, maka aku sengaja mengarang cerita yang aneh dan khayal, biar mereka curiga dan ketakutan serta selalu kebat-kebit."

"Padahal siapakah tuan penolong berbaju hitam itu, sampai kini aku sendiri pun tidak kenal," ujar Kiau Hong. "Coba bila kudengar dongenganmu itu, mungkin aku pun percaya."

"Eh, jadi engkau sendiri pun tidak kenal dia? Habis, mengapa beliau sudi menyerempet bahaya untuk menolongmu?" tanya A Cu heran. "Tapi memang begitulah perbuatan seorang pendekar sejati, seorang ksatria yang suka menolong sesamanya."

"Ai, entah cara bagaimana harus kubalas budi tuan penolong itu dan entah bagaimana pula harus kutuntut balas pada musuh yang belum kukenal," kata Kiau Hong dengan penuh menyesal. "Apalagi aku pun belum tahu apakah aku bangsa Han atau Cidan, juga tidak tahu perbuatanku sendiri selama hidup ini betul atau salah? O, Kiau Hong wahai, Kiau Hong! Percumalah kau jadi manusia!"

Melihat Kiau Hong sangat sedih, tanpa terasa A Cu memegang tangan bekas Pangcu itu, hibur nya dengan suara lembut, "Kiau -toaya, buat apa mencari susah sendiri? Segala kejadian pada akhirnya tentu akan terang. Asal engkau merasa tidak berdosa, segala perbuatanmu dapat dipertanggung jawabkan kepada siapapun juga, maka engkau tidak perlu gentar lagi."

"Benar, aku justru merasa berdosa, makanya sedih," sahut Kiau Hong. "Tempo hari aku telah bersumpah takkan membunuh seorang pun bangsa Han, tetapi sekarang......"

"Engkau terpaksa membela diri, kalau tidak balas menyerang, tentu engkau sendiri sudah binasa dikeroyok mereka," ujar A Cu.

Sebagai seorang laki-laki yang bisa berpikir panjang, cepat juga Kiau Hong kesampingkan tekanan batinnya itu. Katanya kemudian, "Menurut Ti-kong Taysu dan orang yang mengaku bernama Tio-ci-sun itu katanya pada dinding batu ini ada tulisannya, entah mengapa sekarang telah dihapus orang?"

"Ya, memang sudah kuduga engkau pasti akan memeriksa tulisan di dinding ini, makanya aku menantimu di sini sesudah lolos dari bahaya," kata A Cu.

"Cara bagaimana kau lolos dari bahaya, apakah ditolong pula oleh Pek Si-kia ?" tanya Kiau Hong.

"Bukan," sahut A Cu dengan tersenyum, "Bukankah engkau masih ingat aku pernah menyamar sebagai hwesio untuk mengelabui padri Siau-lim-si?"

"Ya, kepandaianmu yang nakal itu memang hebat, "sahut Kiau Hong.

"Dan setelah lukaku agak sembuh, menurut Sih-sin-ih, katanya tidak perlu diobati lagi, cukup tetirah beberapa hari lagi tentu akan sehat kembali. Dalam pada itu dongeng yang kukarang untuk menipu mereka itu makin lama makin banyak dan macam-macam hingga aku sendiri pun bosan, pula merasa kuatir atas dirimu, maka pada suatu malam, kembali aku menyaru sebagai seorang tokoh untuk meloloskan diri."

"Kamu menyaru lagi? Menyaru siapa?" tanya Kiau Hong.

"Aku menyaru sebagai Sih-sin-ih," sahut A Cu.

 "Menyaru sebagai Sih-sin-ih? Dapat menyaru dengan percis?" Kiau Hong menegas dengan terheran-heran.

"Tentu saja dapat," sahut A Cu. "Setiap hari aku bertemu dan paling sering pula bicara dengan dia, maka sikapnya dan gerak-geriknya sangat apal bagiku. Lagi pula hanya dia seorang yang paling sering berada bersamaku. Malam itu aku pura-pura pingsan, segera ia memeriksa nadiku, kesempatan itu kugunakan untuk pencet urat nadinya secara mendadak sehingga dia tidak berani berkutik dan mau-tak-mau pasrah nasib padaku."

Diam-diam Kiau Hong geli di dalam hati, sungguh sial tabib sakti itu, yang dipikirkan oleh tabib itu hanya mengobati orang, sudah tentu tak diduganya bahwa budak setan ini bisa main gila padanya.

"Begitulah aku lantas tutuk jalan darahnya," demikian A Cu menyambung. "Tapi ilmu tutukanku kurang pandai, kukuatir dalam waktu singkat dia akan bergerak lagi, maka kutambahi dia dengan ringkusan kain sobekan seprei, kaki tangan nya kuikat dan mulutnya kusumbat, lalu kugusur dia ke atas ranjang sesudah kucopot dulu baju dan sepatunya. Kututupi dia dengan selimut hingga kalau dipandang dari luar tentu orang akan menyangka aku yang tidur di situ tanpa curiga. Kemudian kupakai baju dan sepatu serta kopiahnya. Aku coret mukaku dengan garis-garis keriput hingga mirip tabib sakti itu, yang masih kurang hanya tinggal jenggotnya saja."

"Kurang jenggot?" Kiau Hong menegas. "Ehm, jenggotnya yang panjang dan sudah mulai ubanan itu agak sulit dipalsukan."

"Tak bisa memalsu, terpaksa aku memakai yang asli," ujar A Cu.

"Pakai yang asli ?" Kiau Hong menegas dengan heran.

"Ya, kupakai yang asli. Kuambil pisau dari peti obat dan mencukur jenggotnya, lalu kutempelkan jenggot pinjaman itu di mukaku, dengan demikian jenggot si tabib sakti itu kupindahkan tanpa memalsunya. Sudah tentu tabib itu keki setengah mati, tapi apa yang bisa dia perbuat? Ia mengobati aku karena terpaksa, aku mencukur jenggotnya juga tak dapat dikatakan membalas susu dengan air tuba. Apalagi sesudah kucukur jenggotnya, ia menjadi jauh lebih muda tampaknya dan lebih tampan dari biasanya."

Bercerita sampai sini, tertawalah kedua orang dengan geli.

"Dan sesudah menyaru sebagai Sih-sin-ih, dengan lagak tuan besar aku lantas keluar dari Cip-hian-ceng dan dengan sendirinya tiada seorang pun berani menegur padaku. Malahan kuperintahkan orang-orang di situ menyediakan kuda dan sangu seperlunya, lalu kuangkat kaki," demikian A Cu meneruskan. "Sesudah jauh dari Cip-hian-ceng, segera kububut bersih jenggot tempelan itu dan berubah menjadi laki-laki muda. Orang-orang di Cip-hian-ceng itu baru akan mengetahui lolosnya diriku pada esok paginya. Tapi sepanjang jalan aku menyamar orang lain lagi secara berganti-ganti hingga takkan dapat mereka temukan."

"Bagus, sungguh bagus!" sorak Kiau Hong sambil bertepuk tangan. Tapi mendadak ia ingat pernah melihat bayangan belakang diri sendiri dalam cermin perunggu di ruang po-te-ih di Siau-lim-si tempo hari, tatkala itu ia terkesiap, lamat-lamat ia merasakan ada sesuatu yang kurang beres. Kini demi mendengar cerita A Cu tentang menyaru orang lain untuk menipu, kembali ia merasakan ketidak beresan seperti dulu itu, maka segera ia berkata, "A Cu, coba kau putar tubuhmu!"

Sudah tentu A Cu bingung akan maksud Kiau Hong, tapi ia menurut juga dan memutar tubuh.

Kiau Hong termenung sejenak memandangi belakang tubuh gadis itu. Tiba-tiba ia lepaskan baju luar sendiri dan dikenakan pada badan A Cu.

Dengan muka kemerah-merahan A Cu menoleh, ia pandang bekas pangcu itu dengan sorot mata yang lembut dan melekat, katanya lirih, "Aku tidak dingin."

Tapi setelah memandangi bentuk tubuh A Cu dengan mengenakan bajunya itu, mendadak Kiau Hong menjadi terang seluk beluk ketidak beresan yang mencengkam perasaannya itu. Sekali tangannya bergerak, cepat ia pegang tangan si gadis sambil bertanya dengan suara bengis, "Hah, kiranya kau inilah! Kau lakukan atas suruhan siapa? Lekas mengaku terus terang!"

Keruan A Cu kaget, tanyanya dengan gelagapan, "Kiau...Kiau-toaya, ada...ada apa?"

"Kau pernah menyaru sebagai diriku dan pernah memalsukan aku bukan?" tanya Kiau Hong.

Baru sekarang ia ingat pada kejadian tempo hari waktu ia terburu-buru hendak pergi menolong kawan Kay-pang yang ditawan orang Sehe, di tengah jalan ia pernah melihat bayangan belakang seseorang. Tatkala itu ia tidak menaruh perhatian apa-apa, kemudian sesudah melihat bayangan belakang sendiri pada cermin perunggu di Siau-lim-si, barulah ia ingat bentuk tubuh belakang yang pernah dilihatnya itu mirip sekali dengan dirinya.

Padahal waktu dia tiba di tempat yang dituju lebih dulu orang-orang Kay-pang sudah bebas dari bahaya dan semua orang mengucapkan terima kasih atas pertolongannya yang pada hakikatnya bukan dia yang melakukannya. Tatkala itu ia pun merasa bingung dan menduga pasti ada seorang lain yang telah memalsukan dirinya.

Kini setelah melihat bangun tubuh A Cu sesudah mengenakan bajunya itu, sesudah dicek satu sama lain, mengertilah Kiau Hong akan duduknya perkara, terang gadis inilah yang telah memalsukan dirinya dan tidak mungkin orang lain.

A Cu ternyata tidak heran dan kuatir lagi, sebaliknya ia mengaku terus terang dengan tertawa, "Ya, baiklah, aku mengaku pernah menyamar sebagai engkau."

Lalu ia pun ceritakan pengalamannya menyaru sebagai Kiau Hong untuk menolong anggota Kay-pang dengan obat penawar racun itu.

"Apa tujuanmu menyaru diriku untuk menolong orang Kay-pang ?" bentak Kiau Hong dengan bengis sambil melepaskan tangannya.

A Cu terkesiap, sahutnya cepat, "Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya untuk kelakar saja. Kupikir mereka memperlakukan engkau kurang baik, sebaliknya engkau malah menolong mereka, tentu mereka akan merasa malu dan berterima kasih. Ai, siapa duga ketika di Cip-hian-ceng mereka tetap begitu kejam padamu, sama sekali tidak ingat budi kebaikanmu masa lalu."

Air muka Kiau Hong makin kereng, mendadak ia tanya pula dengan menggertak gigi, "Habis, mengapa kau palsukan aku pula untuk membunuh ayah bundaku dan membinasakan Suhu ku di Siau-lim-si?"

Seketika A Cu melonjak kaget, serunya, "Hah, mana bisa jadi? Siapa bilang aku memalsukan dirimu untuk membunuh ayah bunda dan gurumu?"

"Suhuku kena serangan musuh hingga terluka dalam, begitu melihat diriku beliau lantas menuduh aku yang turun tangan keji itu, masakah bukan perbuatanmu?" kata Kiau Hong. Sampai di sini sebelah tangannya perlahan diangkat dengan nafsu membunuh, asal jawaban A Cu kurang memuaskan, seketika gadis itu akan binasa di bawah gaplokannya.

Melihat sikap Kiau Hong yang kereng itu, A Cu merasa takut, tanpa terasa ia mundur dua tindak. Dan ia mundur lagi beberapa tindak, tentu gadis itu akan terjerumus ke dalam jurang di belakangnya itu.

"Jangan bergerak, berdiri di situ!" cepat Kiau Hong membentak.

Saking ketakutannya hingga air mata A Cu bercucuran, sahutnya dengan gemetar, "Aku... aku... tid... tidak membunuh ayah bundamu dan tidak... tidak membinasakan Suhumu. Masakah aku mampu membunuh... membunuh gurumu yang berkepandaian tinggi itu?"

Ucapan terakhir itu ternyata sangat tepat hingga hati Kiau Hong terketuk. Gurunya, Hian-koh Taysu, tewas oleh semacam ilmu pukulan dahsyat dari Lwekang yang tinggi, hal ini mana tidak mungkin dapat dilakukan A Cu yang berkepandaian tak seberapa tinggi ini.

Segera ia sadar telah salah menuduh A Cu. Secepat kilat tangannya menyambar ke depan, ia tarik tangan gadis itu ke dekat dinding batu agar gadis itu tidak terpeleset ke bawah jurang. Lalu katanya, "Ya, benar, bukan kamu yang membunuh suhuku!"

Baru sekarang A Cu bisa tertawa, ia tepuk dada sendiri tanda lega, katanya, "Ai, hampir aku mati ketakutan. Mengapa engkau begini sembrono, jika aku mempunyai kepandaian membunuh gurumu, masakah aku tidak membantumu menghajar orang-orang di Cip-hian-ceng itu?"

Melihat gadis itu Cuma mengomel sekadarnya saja, Kiau Hong merasa menyesal, katanya pula, "Akhir-akhir ini pikiranku memang sedang kusut dan suka sembarangan omong, harap nona jangan marah padaku."

"Jika aku marah, sejak tadi aku tak sudi bicara padamu lagi," sahut A Cu tertawa.

Untuk sejenak Kiau Hong termangu-mangu, tiba-tiba tanyanya pula, "A Cu, kepandaianmu menyamar itu dipelajari dari siapa? Apakah gurumu masih mempunyai murid lain lagi?"

"Tiada yang mengajar padaku," sahut A Cu. "Sejak kecil aku suka menirukan gerak-gerik orang lain, semakin meniru semakin pintar, mengapa harus belajar pada guru segala?"

"Inilah aneh sekali, ternyata di dunia ini masih ada seorang lain lagi yang sangat mirip diriku hingga Suhu salah sangka sebagai diriku yang sebenarnya," ujar Kiau hong dengan menyesal.

"Jika ada titik terang demikian, urusan menjadi mudah diselidiki," kata A Cu. "Marilah kita pergi mencari orang itu untuk memaksanya mengaku duduknya perkara."

"Benar," sahut Kiau Hong. "Tapi, dunia seluas ini, ke mana dapat mencari orang itu?"

Ia coba memperhatikan tulisan pada dinding yang sudah terhapus itu guna mencari sesuatu tanda yang mungkin berguna, tapi meski sudah dipandang dari sini dan diperiksa dari sana, tetap tiada sehuruf pun yang dikenalnya. Katanya kemudian, "A Cu untuk mengetahui apa yang ditulis di dinding ini, aku bermaksud mencari Ti-kong Taysu untuk minta keterangan padanya. Sebelum membikin terang urusan ini, sungguh aku tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur."

"Tapi mungkin dia tidak mau menerangkan padamu," ujar A Cu.

Jilid 33

"Ya, memang besar kemungkinan dia tak mau mengatakan, tapi akan kupaksa secara keras atau halus agar dia mengaku, sebelum dia menjelaskan tidak nanti aku mau sudahi urusan ini," kata Kiau Hong.

"Tapi Ti-kong Taysu itu tampaknya sangat keras wataknya dan tidak gentar mati, biarpun kita pancing dengan halus maupun paksa secara kasar, mungkin takkan membuatnya mengaku. Kukira lebih baik...."

"Ya, memang lebih baik kita pergi mencari Tio-cin-sun saja," sela Kiau Hong. "Tio-cin-sun itu besar kemungkinan juga takkan mengaku biarpun mati, tapi aku sudah mempunyai akal untuk menghadapinya."

Sampai di sini, ia pandang arah jurang di sebelahnya, lalu katanya pula, "A Cu, aku ingin turun ke bawah jurang itu."

Keruan A Cu terperanjat, ia melongok sekejap ke jurang yang tertutup kabut tebal itu, kemudian berkata, "Ai, mana boleh jadi! Jangan kau turun ke sana. Apa sih yang ingin kau lakukan?"

"Sebenarnya aku bangsa Han atau orang Cidan, hal ini yang selalu menekan perasaanku, maka ingin kuturun ke sana untuk memeriksa mayat orang Cidan itu."

"Sudah lebih 30 tahun orang itu terjun ke jurang itu mungkin yang tertinggal sekarang hanya tulang belulang belaka, apa yang dapat kau...periksa?"

"Aku justru ingin melihat tulang belulangnya. Kupikir jika...jika benar dia adalah ayahku sendiri maka harus kukumpulkan tulang jenazahnya untuk dikebumikan sebagaimana mestinya."

"Ai, mana bisa, mana mungkin !" seru A Cu melengking. "Engkau adalah ksatria berbudi, mana mungkin keturunan orang Cidan yang buas dan kejam?"

"Sudahlah, harap kau tunggu sehari saja di sini, bila besok pada waktu yang sama aku belum naik kembali, maka bolehlah kau tinggal pergi saja."

Keruan A Cu kuatir, sekonyong-konyong ia menangis dan berseru, "Jangan, Kiau-toaya, jangan engkau turun ke bawah jurang!"

Tapi watak Kiau Hong sangat keras, apa yang menjadi ketetapan hatinya tidak mungkin mengubahnya. Dengan tersenyum ia menjawab, "Dikeroyok jago-jago sebanyak itu di Cip-hian-ceng pun aku tak terbinasa, masakan jurang yang tiada artinya ini dapat merenggut jiwaku?"

Habis berkata, ia pandang sekitar jurang itu untuk mencari sesuatu tempat berpijak yang sekedar dapat dipakai sebagai batu loncatan ke bawah.

Pada saat itulah tiba-tiba dari jurusan timur laut sana sayup-sayup terdengar suara derap kuda lari yang ramai menuju ke arah selatan. Dari suaranya dapat ditaksir sedikitnya ada lebih 20 penunggang kuda.

Cepat Kiau Hong lari melintasi bukit sana dan memandang jauh ke arah datangnya suara itu. Maka jelas tertampak olehnya 20-an penunggang kuda itu berpakaian seragam kuning, semuanya adalah prajurit kerajaan Song.

Setelah mengetahui siapa pendatang itu, sebenarnya Kiau Hong tidak taruh perhatian apa-apa. Tapi tempat dia dan A Cu berada itu justru adalah jalan penting yang pasti akan dilalui oleh orang-orang dari luar perbatasan yang akan memasuki Gan-bun-koan sebagai mana dahulu jago silat Tionggoan telah memilih tempat ini untuk mencegat orang Cidan.

Kiau Hong pikir dari pada nanti kepergok prajurit Song itu hingga mungkin akan menimbulkan kerewelan, lebih baik menghindari saja. Maka cepat ia kembali ketempat semula dan mengajak A Cu bersembunyi di balik sebuah batu karang raksasa. Bisiknya pada si gadis, "Rombongan prajurit Song!"

Tidak lama, prajurit Song itu telah muncul di atas bukit situ. Dari belakang batu Kiau Hong dapat melihat perwira yang memimpin pasukan itu, terkenanglah olehnya cerita Ti-kong Taysu tentang peristiwa penghadangan di bukit ini dahulu. Suasana bukit karang itu masih tenang seperti dulu, tapi jago silat dari kedua pihak sudah banyak yang jatuh menjadi korban dan tinggal tulang belulang belaka.

Tengah Kiau Hong termenung, tiba-tiba di dengarnya suara jerit tangis anak kecil. Ia terkejut seakan-akan di alam mimpi.

"Dari manakah suara tangisan anak kecil itu?" pikirnya heran.

Tiba-tiba terdengar pula beberapa kali suara jeritan tajam kaum wanita. Waktu itu ia melongok ke depan, jelas terlihat olehnya di antara prajurit-prajurit Song itu terdapat tawanan wanita dan anak-anak. Wanita dan anak-anak itu mengenakan baju kaum gembala orang Cidan. Banyak di antara prajurit Song itu main raba dan main comot pada tawanan wanita mereka, tingkah laku mereka itu rendah dan memuakkan. Ada di antara wanita itu melawan perlakuan tidak senonoh itu, tapi segera mereka dipersen dengan gamparan dan hajaran kejam oleh prajurit dan perwira Song.

Kiau Hong terheran-heran dan tidak mengerti apa yang telah terjadi itu.

Pasukan Song itu sebentar saja sudah lalu dan menuju ke arah Gan-bun-koan.

"Kiau-toaya, apa yang akan dikerjakan mereka itu?" tanya A Cu.

Kiau Hong menggeleng kepala tanpa menjawab, hanya dalam hati ia membatin, "Mengapa pasukan penjaga perbatasan sedemikian bejat kelakukannya?"

Dalam pada itu A Cu telah berkata pula, "Huh, prajurit seperti itu pada hakikatnya lebih mirip kawanan bandit!"

Tengah bicara, dari arah tadi kembali muncul lagi satu regu pasukan Song yang lain sambil menggiring beratus ekor ternak sebangsa domba dan sapi, di samping itu ada pula belasan wanita Cidan.

Terdengar seorang perwira di antaranya sedang berkata, "Operasi kita ini tidak banyak membawa hasil, entah Tai-swe (komandan) bakal marah atau tidak?"

Maka perwira yang lain menjawab, "Tidak banyak ternak musuh yang dapat kita rampas, tapi beberapa orang di antara tawanan wanita ini parasnya cukup lumayan dan dapat menghibur Tai-swe, dengan demikian tentu beliau takkan marah."

"Cuma belasan orang perempuan hasil 'panenan' kita kali ini hingga tidak cukup memenuhi 'jatah' orang banyak, biarlah besok kita berusaha lagi mencari tambahan lain," demikian perwira yang pertama tadi.

"Tidak gampang lagi, pak!" demikian timbrung seorang prajurit. "Setelah mengalami kejadian tadi, kawanan anjing Cidan itu tentu sudah lari sejauh-jauhnya. Untuk bisa 'panen' lagi sedikitnya tunggu beberapa bulan pula."

Mendengar sampai sini, dada Kiau Hong sudah hampir meledak. Sungguh kelakuan prajurit itu jauh lebih jahat daripada kawanan bandit yang paling kejam sekalipun.

Sekonyong-konyong terdengar suara orok di dalam pelukan seorang wanita menjerit-jerit. Maka wanita Cidan itu mengipatkan tangan seorang perwira yang sedang menggerayangi tubuhnya untuk menimang orok dalam pelukannya itu.

Perwira itu menjadi marah. Mendadak ia jambret orok dalam pangkuan ibundanya terus dibanting ke tanah. Menyusul ia larikan kudanya ke depan hingga bayi itu terinjak kuda, seketika perut pecah dan usus keluar. Saking ketakutan wanita Cidan itu sampai tak dapat menangis lagi. Sebaliknya prajurit Song yang lain sama tertawa malah dan sebentar saja lantas berlalu.

Selama hidup Kiau Hong sudah banyak menyaksikan keganasan orang, tapi perbuatan membunuh anak kecil secara keji tanpa kenal kasihan sedikitpun baru sekarang dilihatnya. Sungguh gusarnya tak terkatakan, tapi dasar dia memang cukup sabar, sedapatnya ia tenangkan diri untuk melihat bagaimana kelanjutannya.

Sebentar kemudian, kembali muncul lagi belasan prajurit yang lain. Prajurit-prajurit ini berkuda dan bertombak. Pada ujung tombak masing-masing tampak menyunduk sebuah kepala manusia dengan darah masih bertetes-tetes. Di belakang kuda mereka menyeret lima orang laki-laki Cidan yang terikat tali panjang.

Dari dandanan orang-orang Cidan itu Kiau Hong dapat menarik kesimpulan mereka adalah kaum gembala biasa. Dua di antaranya berusia sangat tua, tiga lagi adalah pemuda tanggung. Maka tahulah Kiau Hong duduknya perkara. Prajurit-prajurit Song ini telah mendatangi tempat orang-orang Cidan untuk merampok dan membunuh, penggembala Cidan yang muda dan kuat sudah lama melarikan diri, hanya tertinggal kaum wanita, anak-anak dan orang tua yang ditawan.

Ia dengar seorang perwira di antaranya sedang berkata dengan tertawa, "Kita dapat memenggal 14 buah kepala dan menawan hidup lima anjing Cidan, jasa ini dibilang besar memang kurang besar, dikatakan kecil juga tidak kecil, untuk naik pangkat setingkat dan mendapat hadiah seratus tahil perak rasanya tidak perlu disangsikanlagi."

"He, Lau Tio," tiba-tiba seorang kawanan menimbrung, "Kira-kira lima puluh li di sebalah barat sana ada suatu tempat pemukiman orang Cidan, apa kau berani mengaduk ke sana?"

"Kenapa tidak berani?" sahut Lau Tio yang ditegur itu, "Memangnya kau kira aku baru datang kemari, maka tidak berani? Hm, justru karena aku orang baru, maka perlu lebih banyak mengumpulkan jasa."

Tengah bicara, sementara itu rombongan mereka sudah sampai di dekat batu karang tempat sembunyi Kiau Hong berdua itu. Ketika melihat di tengah jalan situ terdapat sosok mayat anak bayi, seketika salah seorang tua Cidan itu menjerit keras-keras.

Meski Kiau Hong tidak paham bahasa Cidan, tapi dapat juga menyelami betapa pedih dan gusar suara itu. Boleh jadi bayi yang diinjak kuda itu adalah anak keluarganya.

Mendadak prajurit yang menyeretnya dengan tali itu menarik sekuatnya agar orang itu berjalan cepat. Tapi orang tua Cidan itu menjadi murka, tiba-tiba ia menubruk ke arah prajurit itu.

Keruan prajurit itu terkejut, cepat ia ayun goloknya untuk membacok. Tapi orang Cidan itu lantas menarik sekuatnya hingga prajurit itu terseret jatuh ke bawah kuda. Menyusul orang Cidan terus mengigit leher prajurit itu dengan kalap.

Pada saat itulah seorang perwira pasukan Song ayun golok panjangnya dari atas hingga punggung orang tua Cidan itu terbacok. Dengan demikian dapatlah prajurit tadi meronta bangun, saking gemasnya prajurit itu terus membacok beberapa kali lagi atas tubuh orang Cidan itu.

Tiba-tiba orang tua itu putar tubuh ke arah utara, ia lepas baju atasnya dan membusungkan dada, mendadak ia menggerung keras, suaranya sedih memilukan bagaikan lolong srigala.

Seketika air muka prajurit Song itu berubah ketakutan. Diam-diam Kiau Hong juga terkesip. Tiba-tiba merasa olehnya seolah-olah ada ikatan batin dengan orang tua Cidan itu. Suara lolong srigala tatkala mendekati ajalnya itu pernah juga ingin disuarakan olehnya dahulu, yaitu pada waktu dirinya berulang-ulang terluka di Cip-hian-ceng dan merasa ajalnya sudah hampir tiba, Cuma teringat teriakan yang menyamai binatang itu sesungguhnya akan merosotkan pamornya sebagai ksatria yang terpuja selama ini, maka sedapat mungkin telah ditahannya. Tapi bila kemudian tak tertolong oleh laki-laki berbaju hitam, boleh jadi pada saat akan binasa toh lolong srigala itu akan disuarakan juga olehnya.

Begitulah demi mendengar suara melolong itu, otomatis timbul semacam rasa persaudaraan dalam benak Kiau Hong. Tanpa pikir lagi segera ia melompat keluar dari belakang batu, sekali pegang satu orang, prajurit Song itu satu per satu dilemparkannya ke bawah jurang.

Dalam hal menindas rakyat jelata prajurit-prajurit itu memang tangkas dan gagah berani, tapi menghadapi Kiau Hong mereka jadi mirip tikus ketemu kucing. Hanya sekejap saja mereka sudah disapu bersih ke dalam jurang.

Saking nafsunya sampai kuda tunggangan prajurit-prajurit itu pun didepak ke dalam jurang oleh Kiau Hong. Maka riuh ramailah suara jeritan manusia dan ringkik kuda yang bercampur aduk.

Tapi hanya sebentar saja suara itu lantas lenyap, suasana kembali hening lagi.

Melihat betapa tangkasnya Kiau Hong, seketika A Cu dan keempat orang Cidan yang lain sama termangu-mangu terkesima.

Habis membasmi habis kawanan prajurit penindas itu, Kiau Hong terus bersuit panjang hingga suaranya menggetar lembah pegunungan. Ia lihat orang tua Cidan yang terluka parah itu masih tetap berdiri tegak, diam-diam ia kagum pada keperwiraannya, segera ia mendekatinya. Ia lihat dada orang tua itu terbuka dan tepat menghadap keutara ternyata orangnya sudah tak bernapas lagi.

Tiba-tiba Kiau Hong berseru kaget demi melihat dada orang Cidan itu, ia menyurut mundur beberapa tindak dengan sempoyongan seakan akan roboh.

Keruan A Cu kuatir, cepat serunya, "Kiau-toaya, ada... ada apa?"

Segera terdengar suara "bret-bret" beberapakali, mendadak Kiau Hong merobek baju sendiri hingga tertampak simbar didada yang hitam pekat.

Waktu A Cu mengawasi, ia lihat pada dada Kiau Hong bercacah sebuah gambar kepala serigala yang pentang mulut dan kelihatan siungnya bentuk kepala serigala itu sangat menakutkan. Ketika A Cu memandang si orang tua Cidan, di lihatnya pada dadanya juga bercacahkan gambar kepala serigala yang percis dengan gambar di dada Kiau Hong itu. Pasa saat lain, tiba-tiba terdengar keempat orang Cidan pun berseru serentak.

Segera mereka merubungi Kiau Hong sambil bicara dalam bahasa Cidan dan berulang-ulang menuding gambar kepala serigala di dada Kiau Hong.

Sudah tentu Kiau Hong tidak paham maksud mereka. Cacahan gambar kepala serigala di dadanya sejak kecil sudah ada. Pernah ia tanya kepada suami-istri Kiau Sam-hoai tentang gambar cacah itu, tapi kedua orang tua itu Cuma mengatakan untuk hiasan saja agar indah

dipandang lebih dari itu tak mau menerangkan lagi.

Pada jaman Pak Song (dinasti Song utara) itu soal mencacah gambar di badan (tatto) adalah sangat umum, bahkan ada yang sekujur badan penuh dicacah beraneka ragam gambar yang aneh-aneh. Malahan banyak di antara anggota Kai-pang juga mempunyai gambar cacah di lengan, dada, punggung dan bagian tubuh lain, makanya selama itu Kiau Hong tidak pernah curiga apa-apa. Tapi kini demi melihat di dada orang tua Cidan itu pun tercacah gambar kepala serigala seperti di dadanya sendiri, sedangkan keempat orang Cidan yang lain terus mengoceh tiada hentinya padanya sambil menunjuk gambar cacah itu, bahkan mendadak laki-laki tua itu pun membuka bajunya hingga kelihatan didadanya juga terdapat gambar cacah kepala serigala yang sama.

Sesaat itu teranglah duduknya perkara bagi Kiau Hong, kini ia yakin benar-benar dirinya memang betul adalah orang Cidan. Gambar kepala serigala di dada itu tentulah tanda kelompok suku mereka, mungkin sejak bayi sudah harus di cacah gambar seperti itu.

Padahal sejak kecil Kiau Hong sangat benci pada orang Cidan dan tahu suku bangsa itu suku mengganas secara kejam dan tidak pegang janji, masakah sekarang ia harus mengaku diri sendiri sebagai bangsa yang dipandangnya serendah binatang itu, sungguh kesalnya tidak kepalang, jiwanya benar-benar tertekan sekali. Ia termangu-mangu sejenak, sekonyong-konyong ia berteriak terus berlari ke arah lereng bukit bagai orang gila.

"Kiau-toaya, Kiau-toaya!" cepat A Cu berseru dan menyusulnya.

Sesudah belasan li A Cu mengejar barulah ia lihat Kiau Hong duduk di bawah sebuah pohon rindang sambil mendekap kepala sendiri, air mukanya tampak muram, otot hijau di kening sampai menonjol besar-besar, suatu tanda betapa pedih perasaan bekas Pangcu itu.

A Cu mendekatinya dan duduk sejajar dengan dia. Namun Kiau Hong lantas menyurutkan tubuh dan berkata, "Aku adalah bangsa asing yang kotor dan rendah sebagai babi dan anjing, sejak kini lebih baik jangan kau temui aku lagi."

Seperti juga bangsa Han yang lain, sebenarnya A Cu sangat benci pada orang Cidan. Tapi dalam pandangannya Kiau Hong adalah tokoh yang dipujanya melebihi malaikat dewata, jangankan cuma manusia Cidan, sekalipun setan iblis atau binatang buas juga takkan ditinggalnya pergi. Pikir gadis itu, "Saat ini perasaannya lagi sedih, sedapatnya aku harus

menghiburnya."

Maka katanya dengan tertawa, "Di antara bangsa Han juga ada orang baik dan orang jahat begitu pula dalam bangsa Cidan tentu juga ada yang baik dan ada yang jahat. Kiau-toaya, harap janganlah kau pikirkan urusan ini. Jiwa A Cu ini engkaulah yang menyelamatkan, biarpun engkau orang Han ataupun orang Cidan, sama sekali tiada perbedaannya lagi bagi A Cu."

"Aku tidak perlu belas kasihanmu," sahut Kiau Hong dengan dingin. "Di dalam hati tentu kau pandang rendah padaku, maka kamu tidak perlu pura-pura bermulut manis. Aku menolong jiwamu juga bukan timbul dari maksudku yang sebenarnya, hanya terdorong oleh nafsu ingin menang saja. Maka tentang peristiwa itu biarlah ku hapus untuk selamanya dan bolehlah kau pergi saja."

A Cu jadi kuatir, sesudah mengetahui dirinya adalah bangsa Cidan, boleh jadi Kiau Hong akan terus pulang ke utara dan untuk selamanya tak akan menginjak selangkah pun negeri Tiongkok demikian pikirnya.

Saking tak tahan oleh gelora kalbunya, terus saja ia berkata, "Kiau-toaya, bila engkau tega meninggalkan aku tanpa peduli lagi, segera aku akan terjun ke dalam jurang itu. Selamanya A Cu berani berkata berani berbuat, tentu engkau anggap dirimu adalah ksatria gagah perwira bangsa Cidan, maka memandang hina pada kaum budak yang rendah seperti diriku, biarlah lebih baik aku mati saja."

Kiau Hong jadi terharu oleh ucapan A Cu yang tulus itu. Tadinya ia mengira setiap orang pasti akan menjauhi bangsa kejam sebagai dirinya ini, tak sangka A Cu ternyata tidak pandang bulu, tetap menghargai dirinya tanpa ada kecualinya. Segera ia pegang tangan gadis itu dan berkata dengan suara lembut, "A Cu, kamu adalah pelayan Buyung-kongcu dan bukan budakku, masakah aku memandang hina padamu?"

"Huh, aku tidak perlu belas kasihanmu! Di dalam hati tentu kau pandang rendah padaku, tidak perlu pura-pura bermulut manis!" demikian A Cu menirukan lagu Kiau Hong tadi dengan sorot mata yang menggoda.

Tak tertahankan lagi Kiau Hong terbahak-bahak, pada saat susah bisa terhibur oleh seorang gadis jelita sebagai A Cu yang pandai bicara dan pintar berkelakar, sudah tentu rasa kesalnya lantas banyak berkurang.

"Kiau-toaya," tiba-tiba A Cu berkata pula dengan kereng, "Aku memang pelayan Buyung-kongcu, tapi itu tidak berarti aku telah menjual diriku padanya. Soalnya karena keluarga kami suatu waktu mendapat kesulitan, ada seorang musuh yang lihai mendatangi ayah buat menuntut balas dendam. Ayahku merasa tak dapat melawan musuh itu, maka aku lantas dititipkan pada Buyung-loya, yaitu ayah Buyung-kongcu sekarang, katanya untuk dijadikan budaknya, tapi sebenarnya lebih tepat dikatakan untuk menyelamatkan diriku di rumah keluarga Buyung. Maka selanjutnya akan kulayanimu dan menjadi dayangmu, pasti Buyung-kongcu takkan marah."

"Tidak, tidak! Mana boleh jadi!" seru Kiau Hong sambil goyang kedua tangannya. "Aku adalah bangsa Cidan, masakah punya budak apa segala? Kamu sudah biasa tinggal di tengah keluarga mampu di daerah Kanglam, apa faedahnya ikut aku terlunta-lunta dan menderita? Lihatlah laki-laki kasar seperti aku ini apa ada harganya untuk mendapat pelayananmu?"

A Cu tertawa manis, sahutnya, "Baik begitu saja, anggaplah aku sebagai budak tawananmu, bila engkau senang, engkau boleh tertawa padaku, jika tidak suka, boleh engkau hajar diriku. Nah, jadi bukan?"

"Hah, mungkin sekali hantam dapat kuhancurkan tubuhmu," ujar Kiau Hong.

"Ya jangan keras-keras, dong! Pelahan saja," sahut A Cu.

Kiau Hong terbahak, katanya, "Pelahan? Kan lebih baik tidak menghajar saja, pula aku pun tidak menginginkan budak apa segala."

"Engkau adalah ksatria Cidan, kalau menawan beberapa wanita Han untuk dijadikan budak, apa salahnya?" ujar A Cu. "Bukankah prajurit Song itu juga banyak menawan orang Cidan?"

Kiau Hong terdiam tanpa menjawab.

Melihat bekas Pangcu itu berkerut kening, sorot matanya sayu, A Cu menjadi kuatir salah omong hingga membuatnya kurang senang.

Syukurlah tidak antara lama Kiau Hong membuka suara pula dengan pelahan, "Selama ini kusangka orang Cidan adalah bangsa yang paling kejam dan ganas, tapi dengan mata kepalaku tadi kulihat kawanan prajurit Song juga mengganas pada orang Cidan, bahkan kaum wanita dan anak-anak juga tidak terhindar dari siksaan mereka. A Cu, aku adalah orang...... orang Cidan, sejak kini aku tidak merasa malu lagi sebagai bangsa Cidan dan takkan bangga sebagai bangsa Han. Ayah bundaku dibunuh tanpa berdosa, maka aku harus menuntut balas sakit hati itu."

A Cu menganggu. Tapi diam-diam ia merasa takut, terbayang-bayang olehnya "menuntut balas" yang ditegaskan oleh Kiau Hong itu pasti akan mengakibatkan banjir darah di kalangan Bu-lim.

"Dahulu ibuku dibunuh mereka," demikian Kiau Hong berkata pula sambil menunjuk jurang, "Saking berduka ayahku lantas terjun juga ke dalam jurang itu. Tapi mendadak beliau tidak tega aku ikut mati bersama mereka, maka aku dilemparkan ke atas selagi ayah masih terapung di udara, dengan demikian barulah aku dapat hidup sampai hari ini. A Cu, hal ini menandakan betapa cintanya ayahku kepadaku, bukan?"

Dengan air mata meleleh A Cu mengiakan.

"Dan sakit hati sedalam lautan itu masakan tidak kutuntut balas?" kata Kiau Hong. "Dahulu aku tidak tahu hingga mengaku musuh sebagai kawan, jika sekarang aku tidak menuntut balas, apakah aku ada harganya untuk hidup lebih lama di dunia ini? Itu 'Toako pemimpin' yang mereka sebut itu entah siapa sebenarnya? Pada surat yang ditulisnya kepada Ong-pangcu terdapat namanya, tapi Ti-kong Taysu sengaja menyobek bagian yang tertulis nama itu dan ditelan ke dalam perut. Terang 'Toako pemimpin' masih hidup dengan baik, kalau tidak, mestinya mereka tidak perlu merahasiakan dia."

Begitulah ia bertanya dan menjawab sendiri untuk meraba seluk-beluk perkara itu. Kemudian katanya lagi, "Toako pemimpin itu dapat memimpin para ksatria Tionggoan, dengan sendirinya dia seorang tokoh yang berilmu silat sangat tinggi dan sangat dihormati. Dalam suratnya ia sebut Ong-pangcu sebagai 'Laute' (saudara), maka dapat diduga usianya sudah lanjut kini, sedikitnya sudah lebih 60 tahun, boleh jadi di antara 70 tahun malah. Untuk mencari seorang tokoh seperti itu sebenarnya tidak susah. Ehm, orang yang pernah membaca surat itu di antara lain adalah Ti-kong Taysu, Ci-tianglo dari Kay-pang, Be-hujin, Tiat-bin-poan-koan Tan Cing. Dan masih ada pula Tio-cit-sun, sudah tentu ia pun tahu siapa gerangan Toako pemimpin itu. Hm, aku...... aku harus membunuhnya, menghabisi pula antero keluarganya, dari tua sampai muda, satu pun tidak boleh diberi ampun!"

A Cu bergidik mendengar nada yang seram itu. Tapi ia tidak berani menimbrung demi melihat sikap gagah berwibawa Kiau Hong pada saat itu.

Kiau Hong melanjutkan lagi, "Ti-kong Taysu suka berkelana, Tio-ci-sun juga tiada tempat tinggal yang tetap, untuk mencari kedua orang tua itu tidaklah mudah, maka marilah A Cu, lebih baik kita pergi mencari Ci-tinglo saja."

Sungguh girang A Cu tidak kepalang demi mendengar ucapan "kita" itu, sebab itu berarti dirinya juga diajak serta. Diam-diam ia berkata di dalam hati, "Biarpun ke ujung langit juga aku akan ikut serta padamu."

Segera mereka putar balik ke selatan, setelah melintasi Gan-bun-koan, melalui lereng bukit, tibalah mereka di suatu kota kecil, mereka mendapatkan sebuah hotel. Tanpa disuruh segera A Cu pesan pelayan membawakan 20 kati arak.

Pelayan hotel memang sedang curiga karena melihat kedua orang tidak mirip sebagai suami istri, dibilang saudara juga tidak sama, kini demi mendengar permintaan 20 kati arak lagi, keruan tambah heran hingga terkesima memandangi A Cu berdua.

Pelayan itu sangat terkejut ketika mendadak Kiau Hong melotot padanya, cepat ia lari pergi sambil menggerutu, "Masakah minta arak 20 kati? Apa barangkali akan digunakan untuk mandi?"

Kemudian A Cu berkata pada Kiau Hong dengan tertawa, "Kiau-toaya, keberangkatan kita untuk mencari Ci-tianglo ini, kukira dua hari lagi jejak kita tentu akan diketahui orang. Dan kalau sepanjang jalan kita mesti bertempur, meski menarik juga permainan ini, mungkin lebih  dulu Ci-tianglo akan melarikan diri dan sembunyi, dan untuk mencarinya tentu susah."

"Habis, menurut pendapatmu bagaimana kita harus bertindak?" tanya Kiau Hong. "Apa kita mengaso pada siang hari dan berjalan waktu malam hari?"

"Untuk mengelabui mereka sebenarnya tidak sulit," ujar A Cu dengan tersenyum. "Cuma entah Kiau-toaya yang namanya disegani di seluruh jagat ini sudi menyamar atau tidak?"

"Aku bukan bangsa Han lagi, memangnya pakaian orang Han ini aku tidak ingin pakai lagi," sahut Kiau Hong dengan tertawa. "Lalu, aku harus menyamar sebagai siapa, A Cu?"

"Perawakanmu tinggi besar, mudah menarik perhatian orang, sebaiknya menyaru seorang yang berwajah biasa tanpa sesuatu tanda orang Kangouw yang menarik. Dengan demikian perjalanan kita tentu akan aman."

"Bagus, bagus! Habis minum arak segera kita mulai menyamar?" seru Kiau Hong dengan senang.

Setelah menghabiskan 20 kati arak, segera A Cu membelikan tepung kanji, pensil, tinta dan lain-lain yang diperlukan. Setalah "bersolek", lenyaplah banyak ciri-ciri khas di muka Kiau Hong. Waktu A Cu menambahi pula bibir Kiau Hong dengan selapis kumis yang tipis, ketika bercermin, sampai Kiau Hong pun pangling pada diri sendiri.

Menyusul A Cu juga menyamar sebagai laki-laki setengah umur dan berkata, "Lahirmu sekarang sudah berubah sama sekali, tapi suaramu dan kegemaranmu akan minum arak mudah dikenali orang."

"Ehm, aku akan sedikit bicara dan sedikit minum," sahut Kiau Hong.

Benar juga perjalanan selanjutnya jarang Kiau Hong buka mulut, setiap kali dahar cuma minum dua-tiga kati arak saja sekedar menghilangkan rasa dahaga.

Suatu hari, sampailah mereka di Sam-ka-tin, propinsi Soasai selatan, tengah Kiau Hong dan A Cu asik makan bakmi di suatu kedai, tiba-tiba mereka dengar percakapan dua orang pengemis di luar kedai. Kata yang seorang, "Kematian Ci-tianglo benar-benar sangat mengenaskan, besar kemungkinan bangsat Kiau Hong itu yang membunuhnya."

Keruan Kiau Hong terperanjat. "Jadi Ci-tianglo telah mati?" demikian batinnya. Ia saling pandang sekejap dengan A Cu.

Dalam pada itu pengemis yang lain telah mendesis pada kawannya sambil memperingatkan dengan kata-kata rahasia Kay-pang agar jangan sembarangan bicara, sebab mungkin di situ terdapat begundal bangsat she Kiau, kita harus lekas menyusul ke Wi-hui di Holam, di sana para Tianglo kita akan mengadakan sembahyang bagi arwah Ci-tianglo dan akan berunding cara bagaimana untuk menangkap Kiau Hong.

Mendengar itu, dengan cepat Kiau Hong dan A Cu habiskan bakmi mereka dan meninggalkan Sam-ka-tin itu. Kata Kiau Hong, "Marilah kita pergi ke Wi-hui, bisa jadi di sana kita dapat memperoleh sesuatu kabar."

"Ya, sudah tentu kita harus ke sana," sahut A Cu. "Tapi engkau harus hati-hati Kiau -toaya, ingat bahwa orang-orang yang akan hadir di sana hampir semuanya adalah bekas anak buahmu yang sangat kenal gerak-gerikmu, maka jangan sampai engkau dapat dikenali."

"Aku tahu," sahut Kiau Hong mengangguk. Segera mereka putar ke arah timur, menuju kota Wi-hui.

Esok paginya sampailah mereka di kota itu. Ternyata di dalam kota sudah penuh kawanan pengemis anggota Kay-pang. Ada yang nongkrong di kedai arak, yang potong anjing dan sembelih babi di gang yang sepi, ada pula yang minta-minta sepanjang jalan, kalau tak diberi lantas main paksa dan mencaci-maki.

Pedih hati Kiau Hong menyaksikan kelakuan anak buah Kai-pang yang dihormat sebagai Pang terbesar di Kangouw itu, sejak ditinggalkan olehnya ternyata sudah berubah sedemikian buruk disiplinnya. Walaupun sekarang Kai-pang telah menjadi lawan dan bukan kawan baginya, tapi mengingat jerih payah sendiri dahulu waktu membina kesatuan Kay-pang yang jaya itu, mau-

tak mau Kiau Hong merasa menyesal juga.

Tempat layon Ci-tianglo itu terletak di sebuah taman bobrok di barat kota. Sesudah membeli lilin, dupa dan lain-lain keperluan, segera Kiau Hong dan A Cu menuju ke sana. Mereka mengikuti banyak orang untuk sembahyang di depan layon Ci-tianglo.

Di atas meja sembahyang itu penuh berlumuran darah, itu adalah peraturan Kay-pang yang

menandaskan bahwa orang yang meninggal itu mati dibunuh musuh, maka saudara Pang harus menuntut balas baginya.

Di tengah ruangan sembahyang itu orang ramai membicarakan dan mencaci maki Kiau Hong, tapi tiada yang tahu bahwa yang dicaci-maki itu justru berada di situ.

Melihat orang yang jaga layon itu adalah tokoh-tokoh terkemuka Kay-pang, Kiau Hong kuatir akan dikenali, maka selekasnya ia mohon diri bersama A Cu. Sambil berjalan keluar, diam-diam ia membatin, "Dengan matinya Ci-tianglo, orang yang kenal siapa gerangan Toako pemimpin di dunia ini menjadi berkurang pula satu orang."

Pada saat itulah tiba-tiba di ujung jalan sana berkelebat bayangan orang, dari perawakannya tertampak jelas adalah seorang wanita yang tinggi besar. Dengan kejelian mata Kiau Hong, segera orang itu dapat dikenalnya sebagai Tam-poh, si nenek Tam. Pikirnya, "Hah, sangat kebetulan. Tentu ia pun datang untuk melayat kematian Ci-tianglo, aku justru lagi ingin cari dia."

Pada saat lain kembali ada lagi seorang melayang ke sana dengan ginkang yang tinggi, tertanya orang kedua ini adalah Tio-ci-sun.

Kiau Hong menjadi heran, "Ada urusan apa kedua orang ini main sembunyi-sembunyi seperti maling kuatir kepergok?"

Ia pun tahu kedua orang itu adalah saudara seperguruan dan pernah saling cinta, bahkan cinta asmara itu sampai tua juga belum lenyap, jangan-jangan sekarang mereka hendak mengadakan pertemuan gelap dan main patpat-gulipat.

Sebenarnya Kiau Hong tidak suka mencari tahu urusan pribadi orang lain, tapi mengingat Tio-ci-sun dan Tam-poh itu adalah orang yang mengetahui siapakah Toako pemimpin yang dimaksud itu, jika ada sesuatu ciri rahasia mereka terpegang olehnya, bisa jadi hal itu akan dapat dipakai sebagai alat penekan agar mereka mau menceritakan apa yang mereka ketahui tentang Toako pimimpin. Maka ia lantas membisiki A Cu agar pulang dulu dan menunggu di hotel.

A Cu mengangguk. Segera Kiau Hong mengejar ke jurusan larinya Tio-ci-sun. Ia lihat kakek aneh itu sebentar-sebentar sembunyi di pojok jalan sana dan lain saat mengumpet di balik pohon, kelakuannya penuh rahasia dan kuatir dipergoki orang, jurusan yang dituju adalah timur kota.

Kiau Hong terus menguntit dari jauh dan selama itu tak diketahui oleh Tio-ci-sun. Dari jauh tertampak kakek itu lari sampai di tepi sungai, lalu menyusup ke dalam sebuah perahu beratap.

Cepat Kiau Hong memburu ke sana, dengan beberapa kali lompatan saja ia dapat menyusul sampai di samping perahu, dengan pelahan ia melompat ke atas atap perahu dan menempelkan telinganya untuk mendengarkan.

Didengarnya suara Tam-poh sedang berkata, "Suko, usia kita sudah selanjut ini, hubungan masa muda dahulu sudah terlambat untuk disesalkan, buat apa mesti diungkat-ungkit lagi?"

"Hidupku ini sudah kukorbankan bagimu, maksudku mengajakmu ke sini tiada keinginan lain, Siau Koan, hanya kumohon sudilah kau nyanyikan lagi beberapa lagu waktu dahulu itu," demikian pinta Tio-ci-sun.

"Ai, engkau ini sungguh ketolol-tololan," ujar Tam-poh, "Ketika kita sama-sama datang di Wu-hai ini, suamiku telah melihat mau juga, hatinya sudah merasa kurang senang. Wataknya juga suka curiga, maka hendaknya jangan kau ganggu diriku lagi."

"Takut apa ?" sahut Tio-ci-sun. "Perbuatan kita cukup terang dan dapat dipertanggung jawabkan, kita Cuma omong-omong kejadian dahulu apa salahnya?"

"Tapi, ai, nyanyian masa dahulu itu......"

Melihat Tam-poh sudah goyah pikirannya, segera Tio-ci-sun memohon dengan sangat lagi, katanya, "Siau Koan, pertemuan kita hari ini entah sampai kapan baru dapat terjadi pula. Mungkin juga usiaku sudah tidak panjang lagi, tiada banyak kesempatan untuk mendengarkan nyanyianmu."

"Suko, janganlah berkata demikian. Jika engkau berkeras ingin mendengar, bolehlah aku menyanyi satu lagu."

"Bagus, bagus !" sorak Tio-ci-sun dengan gembira.

Lalu terdengar Tam-poh mulai tarik suara, "Terkenang dahulu kakanda lalu di atas jembatan, dinda asik mencuci pakaian di tepi sungai......"

Baru sekian dinyanyikan, mendadak terdengar suara gedubrakan, pintu rumah perahu itu didobrak orang hingga terpentang, menyusul seorang laki-laki menerjang ke dalam. Itulah dia Kiau Hong. Cuma ia sudah menyamar, maka Tio-ci-sun dan Tam-poh tidak mengenalnya lagi.

Dan karena pendatang itu bukan Tam-kong, legalah hati kedua kakek dan nenek itu, segera mereka membentak, "Siapa Kau?"

Dengan sorot mata dingin menghina Kiau Hong memandang mereka, sahutnya, "Yang satu adalah lelaki bangor dan suka memikat wanita bersuami, yang lain adalah perempuan jalang tak kenal malu yang berani mendurhakai suami sendiri dan bergendak dengan laki-laki lain......"

Belum habis ucapannya, serentak Tam-poh dan Tio-ci-sun menyerang dari kanan dan kiri. Namun sedikit Kiau Hong mengengos, tangan membalik terus mencengkram pergelangan tangan Tam-poh, berbareng sikunya juga menyikut, ia mendahului menyerang iga kiri Tio-ci-sun.

Sebagai jago kelas satu dalam Bu-lim, Tio-ci-sun dan Tam-poh mengira dalam sejurus saja pasti dapat membekuk lawannya. Siapa duga laki-laki yang tidak ada sesuatu tanda luar biasa itu ternyata memiliki kepandaian yang sukar diukur, hanya sejurus saja pihak terserang telah berubah menjadi pihak penyerang.

Ruangan perahu sebenarnya sangat sempit, tapi bagi Kiau Hong keadaan itu tidak menjadi halangan, ia menghantam dan menyerang dengan gesit dalam ruangan sempit itu sama lincahnya seperti di tempat luas.

Sampai jurus ketujuh, tahu-tahu pinggang Tio-ci-sun tertutuk. Keruan Tam-poh terkejut, dan sedikit ayal punggung lantas kena digaplok juga oleh Kiau Hong hingga keduanya roboh terkulai.

"Nah, kalian boleh mengaso sebentar di sini, di dalam kota sedang berkumpul para ksatria biarlah kupergi mengundang mereka untuk menimbang atas perbuatan kalian ini," demikian kata Kiau Hong.

Tentu saja Tio-ci-sun dan Tam-poh sangat kuatir, mereka coba mengerahkan Lwekang untuk melepaskan tutukan musuh, tapi ternyata tak bisa berkutik sama sekali, bahkan satu jari pun sukar bergerak.

Sebenarnya usia mereka sudah lanjut, pertemuan gelap yang mereka adakan ini bukan karena dirangsang oleh nafsu berahi, tapi cuma sekedar omong-omong untuk mengenang cinta kasih masa lalu saja, sama sekali tidak melampau batas-batas kesopanan.

Tapi tatkala itu adalah dinasti Song yang sangat mengutamakan tata tertib kesopanan, pelanggaran mengenai urusan perempuan adalah sesuatu yang tak bisa diampuni pada masa itu. Kalau sekarang mereka mengaku mengadakan pertemuan gelap dalam perahu hanya sekedar omong-omong dan nyanyi-nyanyi mengenang masa lalu, sudah tentu tiada seorang pun yang mau percaya. Terutama Tam-kong sudah tentu akan kehilangan muka.

Maka cepat Tam-poh berseru, "Kami tidak berbuat sesuatu kesalahan apa padamu, jika tuan dapat berlaku murah hati pada kami, tentu aku akan...... akan membalas kebaikanmu ini."

"Membalas kebaikan sih tidak perlu," sahut Kiau Hong. "Aku hanya ingin tanya satu soal padamu, cukup asal kau jawab tiga huruf saja dengan sebenarnya, segera akan kubebaskan kalian, kejadian sekarang pun takkan kukatakan pada siapa pun juga."

"Asal aku tahu, tentu akan kukatakan," sahut Tam-poh.

"Begini, pernah ada orang mengirim surat kepada Ong-pangcu dari Kay-pang untuk membicarakan persoalan Kiau Hong, pengirim surat itu disebut sebagai 'Toako pemimpin'. Nah, siapakah dia itu ?"

"Siau Koan, jangan kau katakan, jangan katakan!" cepat Tio-ci-sun berteriak.

Dengan mata mendelik Kiau Hong pandang kakek itu, katanya, "Jadi kamu lebih suka badan hancur dan nama buruk daripada menerangkan?"

"Locu tidak gentar mati. Toako pemimpin yang berbudi padaku itu tidak nanti kujual padamu," sahut Tio-ci-sun dengan angkuh.

"Tapi Siau Koan juga akan ikut menjadi korban, apa kamu tidak pikirkan dia lagi?" tanya Kiau Hong.

"Jika kejadian ini diketahui Tam-kong, segera akan kubunuh diri di hadapannya untuk menebus dosaku," sahut Tio-ci-sun.

Terpaksa Kiau Hong mengalihkan pembicaraannya kepada Tam-poh, "Tapi Toako pemimpin itu belum tentu ada budi padamu, bolehlah kamu yang menerangkan, dengan demikian kita akan sama-sama baik, kehormatan Tam-kong juga dapat dijaga, jiwa Sukomu pun dapat diselamatkan."

Diam-diam Tam-poh merasa seram oleh ancaman itu, segera katanya, "Baik akan kukatakan padamu. Orang itu bernama......"

"Siau Koan, jangan kau katakan padanya," seru Tio-ci-sun dengan suara melengking kuatir. "O, Siau Koan, kumohon dengan sangat, janganlah kau katakan padanya. Orang ini besar kemungkinan adalah begundal Kiau Hong, sekali kamu mengaku, pasti jiwa Twako pemimpin akan terancam."

"Aku sendiri inilah Kiau Hong, jika kalian tidak mau mengaku, celakalah kalian!" kata Kiau Hong.

Keruan Tio-ci-sun terperanjat, sahutnya, "Pantas, maka ilmu silatmu sedemikian tinggi. Siau Koan, selama hidup ini tidak pernah kumohon sesuatu apa padamu, maka sekarang ini adalah satu-satunya permintaanku, janganlah kau katakan nama Toako pemimpin padanya. Betapa pun permintaanku ini harus kau terima."

Teringat selama berpuluh tahun ini betapa bekas kekasihnya itu mencintai dan merindukan dirinya, selamanya memang tidak pernah memohon sesuatu apapun padanya kini demi untuk membela keselamatan Toako pemimpin yang berbudi itu ia rela berkorban jiwa pula, maka bagaimanapun juga dirinya tidak boleh mengecewakan perbuatannya yang gagah perkasa ini.

Maka Tam-poh lantas menjawab, "Kiau Hong apakah kamu akan berbuat jahat atau berlaku bajik, semuanya terserah padamu. Kami berdua asal tidak merasa berdosa, apa yang mesti kami takutkan? Maka apa yang ingin kau ketahui, maafkan, tidak bisa kuberitahu."

"Terima kasih, Siau Koan, terima kasih!" seru Tio-ci-sun dengan girang.

Melihat jawaban si nenek yang tegas itu, Kiau Hong tahu percuma juga memaksanya. Ia mendengus sekali, tiba-tiba ia cabut sebuah tusuk kundai dari rambut Tam-poh, lalu melompat ke gili-gili dan pulang ke kota Wi-hui untuk mencari tempat tinggal Tam-kong, si kakek Tam.

Karena dalam penyamaran, dengan sendirinya tiada seorang pun yang kenal Kiau Hong. Sedangkan "Ji-kui-khek-tiam", yaitu nama hotel tempat Tam-kong dan Tam-poh menginap juga bukan tempat yang dirahasiakan, maka dengan mudah saja Kiau Hong dapat mengetahui letak hotel itu.

Sampai di hotel itu, ia lihat Tam-kong sedang mondar-mandir di dalam kamar dengan menggendong tangan, sikapnya sangat gelisah dan air mukanya bersengut.

Tanpa bicara apa-apa Kiau Hong mendekati kakek itu dan sodorkan tangannya, maka tertampaklah tusuk kundai milik Tam-poh itu.

Tam-kong memang lagi murung dan merasa tidak tentram sejak melihat Tio-ci-sun juga datang di kota Wi-hui, sementara itu istrinya menghilang setengah harian, ia sedang kuatir dan curiga. Kini mendadak nampak tusuk kundai milik sang istri itu, ia terkejut dan girang, cepat ia tanya, "Siapa saudara? Apakah kamu disuruh istriku ke sini. Ada urusan apakah ?"

Sembari bicara ia terus ambil tusuk kundai di tangan Kiau Hong itu.

Kiau Hong membiarkan tusuk kundai diambil si kakek, lalu katanya, "Istrimu telah ditawan orang, jiwanya terancam."

Keruan Tam-kong terperanjat, cepat tanyanya, "Ilmu silat istriku sangat hebat, masakah begitu gampang ditawan orang?"

"Kiau Hong yang menawannya!"

"Hah, Kiau Hong ?" seru Tam-kong. Kalau orang lain boleh jadi ia tidak percaya, tapi bekas Pangcu itu cukup dikenalnya, maka tidak heran istrinya dapat ditawan dengan mudah. "Jika demikian, sulitlah urusan ini. Dan di......di manakah istriku sekarang?"

"Apakah kau inginkan hidupnya istrimu, itulah sangat mudah. Dan jika inginkan dia mati, itu pun sangat gampang!" kata Kiau Hong.

Sifat Tam-kong sangat pendiam dan sabar, meski dalam hati sebenarnya sangat gugup, tapi lahirnya tetap tenang-tenang saja. Ia tanya malah, "Apa maksudmu, coba katakan!"

"Ada suatu pertanyaan ingin kutanya Tam-kong, asal kau jawab terus terang, maka istrimu segera akan pulang dengan selamat tanpa terganggu seujung rambut pun," kata Kiau Hong. "Tapi bila Tam-kong tidak mau menerangkan, terpaksa istrimu akan dibunuh, mayatnya akan dikubur satu liang dengan mayat Tio-ci-sun."

Sampai disini Tam-kong tidak dapat tahan perasaannya lagi, bentaknya murka dan menghantam muka Kiau Hong. Tapi sedikit Kiau Hong mengengos ke samping, serangan Tam-kong itu lantas luput.

Diam-diam kakek itu terkejut, padahal pukulan geledek itu adalah ilmu andalannya, tapi dengan gampang lawan dapat menghindar. Ia tidak berani ayal lagi, telapak tangan kanan mengisar ke samping, telapak tangan kiri lantas menghantam pula.

Melihat ruangan kamar hotel itu kurang luas untuk menghindar lagi agak susah, terpaksa Kiau Hong menangkis. "Plok", hantaman Tam-kong itu, tepat mengenai tangan Kiau Hong, tapi sama sekali Kiau Hong tidak bergeming, sebaliknya tangan terus terjulur ke depan dan meraih ke bawah hingga pundak Tam-kong terpegang.

Seketika Tam-kong merasa pundaknya seperti dibebani beribu kati beratnya, begitu antap sehingga tulang punggung seakan-akan patah, hampir ia bertekuk lutut saking tak tahan. Tapi sekuatnya ia menegak, betapa pun ia tidak sudi menyerah, tapi akhirnya lemas juga kakinya, "bluk", terpaksa ia tekuk lutut ke bawah.

Hal ini bukan dia menyerah dan minta ampun, tapi disebabkan tenaga tidak kuat menahan, maklum, kekuatan tulang manusia ada batasnya, pada saat ruas tulang sudah tertekan sedemikian rupa, tanpa kuasa lagi ia berlutut ke bawah, jalan lain tidak ada.

Kiau Hong memang sengaja hendak mematahkan keangkuhan kakek itu, maka ia tetap tindih pundaknya hingga akhirnya punggung ikut membungkuk seakan-akan orang hendak menjura. Tapi Tam-kong benar-benar sangat kepala batu, mati-matian ia masih terus bertahan, ia kerahkan segenap tenaganya untuk melawan dan bertahan sekuatnya.

Sekonyong-konyong Kiau Hong melepaskan tangannya. Saat itu Tam-kong yang ditekan ke bawah itu lagi bertahan sekuatnya ke atas dan karena mendadak Kiau Hong lepas tangan, tanpa kuasa lagi Tam-kong menjembul ke atas setinggi beberapa meter, "blang", kepalanya menubruk belandar rumah, hampir belandar itu patah tertumbuk olehnya.

Ketika jatuh kembali dari atas, sebelum kedua kakinya menyentuh tanah, lebih dulu Kiau Hong sudah ulur tangan kanan untuk mencengkram dadanya. Perawakan Tam-kong yang pendek kecil, sebaliknya tangan Kiau Hong panjang dan kuat, betapapun Tam-kong hendak menghantam dan menendang, selalu tak bisa mengenai sasarannya apalagi kedua kaki terapung di udara, percuma saja ia berilmu silat tinggi, sedikit pun tidak bisa digunakan.

Dalam gugupnya, seketika Tam-kong jadi sadar, bentaknya, "Kamu inilah Kiau Hong!"

"Memang!" sahut Kiau Hong.

"Keparat, meng......mengapa kau sangkut pautkan istriku dengan Tio-ci-sun ?" bentak Tam-kong pula dengan gusar karena tadi Kiau Hong menyatakan akan membunuh Tam-poh dan akan menguburnya bersama Tio-ci-sun.

"Habis, istrimu sendiri yang suka menyangkut-pautkan dia, peduli apa dengan aku?" sahut Kiau Hong. "Apakah kau ingin tahu saat ini Tam-poh berada di mana? Ingin tahu dia sedang menyanyi dan bercumbu dengan siapa?"

Mendengar ini, sudah tentu Tam-kong dapat menduga sang istri bersama Tio-ci-sun, dengan sendirinya ia sangat ingin tahu keadaan itu, maka cepat sahutnya, "Di mana dia? Harap bawa aku ke sana."

"Kebaikan apa yang kau berikan padaku? Mengapa harus kubawa ke sana?" jengek Kiau Hong.

Tam-kong ingat apa yang dikatakan Kiau Hong tadi, segera tanyanya, "Kau bilang ingin tanya sesuatu padaku, soal apakah itu?"

"Tempo hari waktu berkumpul di tengah hutan di luar kota Bu-sik, Ci-tianglo membawa sepucuk surat yang dikirim orang kepada mendiang Ong-pangcu dari Kay-pang, siapakah penulis surat itu?"

Seketika Tam-kong tergetar, tapi saat itu ia diangkat oleh Kiau Hong dan terkatung di udara, asal Kiau Hong mengerahkan tenaga dalamnya, kontan jiwanya bisa melayang. Tapi sedikitpun kakek itu tidak gentar, sahutnya tegas, "Orang itu adalah pembunuh ayah bundamu, sama sekali tidak boleh kukatakan namanya, kalau kukatakan, tentu kamu akan menuntut balas padanya dan itu berarti aku yang bikin susah dia."

"Jika kamu tidak mengaku, jiwamu sendiri segera akan melayang lebih dulu," ancam Kiau Hong.

"Hahahaha !" tiba-tiba Tam-kong bergelak tertawa. "Memangnya kau anggap aku ini manusia pengecut hingga perlu menjual kawan untuk mencari hidup sendiri?"

Melihat ketegasan kakek itu, mau-tak-mau Kiau Hong kagum juga akan jiwa ksatrianya. Coba kalau urusan lain, tentu ia tidak sudi mendesak lebih jauh, namun kini urusannya menyangkut sakit hati ayah bundanya, terpaksa ia tanya pula, "Kau sendiri tidak gentar mati, tapi apa jiwa istrimu tidak kau sayangkan lagi? Nama baik Tam-kong dan Tam-poh segera akan tersapu runtuh selamanya dan ditertawai ksatria sejagat apakah hal ini tak kau pikirkan?"

Pada umumnya orang Bu-lim paling sayang pada nama baik atau kehormatan. Tapi sikap Tam-kong sekarang sangat tegas, sahutnya, "Asal tindak-tandukku dapat kupertanggung jawabkan, mengapa kukuatir dipandang rendah dan ditertawai orang?"

"Tapi bagaimana dengan istrimu? Bagaimana dengan Tio-ci-sun?" tanya Kiau Hong.

Seketika air muka Tam-kong berubah merah padam, dengan mata mendelik ia pandang Kiau Hong.

Tanpa bicara lagi Kiau Hong taruh kakek itu ke tanah, lalu melangkah ke luar. Dengan bungkam Tam-kong lantas ikut di belakangnya.

Begitulah mereka lantas keluar kota Wi-hui. Banyak juga kawan Kangouw yang diketemukan di tengah jalan, mereka sama memberi hormat kepada Tam-kong yang dijawabnya dengan tawar saja.

Tidak lama, sampailah mereka di tepi sungai tempat berlabuh perahu itu. Sekali lompat, Kiau Hong melayang ke haluan perahu, ia tuding ke dalam perahu dan berkata, "Nah, boleh kau periksa sendiri!"

Segera Tam-kong ikut melompat ke atas perahu dan melongok ke dalam, ia lihat sang istri meringkuk di pojok ruangan saling bersandaran dengan Tio-ci-sun. Sungguh gusar Tam-kong tak tertahan lagi, kontan ia menghantam kepala Tio-ci-sun.

"Prak", badan Tio-ci-sun bergerak sekali, tidak menangkis juga tidak berkelit. Begitu tangan Tam-kong menyentuh kepala Tio-ci-sun segera ia merasakan keadaan agak aneh, cepat ia meraba pipi sang istri, ternyata sudah dingin, sudah lama sang istri meninggal.

Badan Tam-kong mengigil, ia masih belum percaya, ia coba periksa pernapasan hidung sang istri dan memang benar sudah tidak bernapas lagi. Begitu pula keadaan Tio-ci-sun ketika diperiksa.

Tam-kong tertegun sejenak dengan rasa duka dan gusar tak terhingga, mendadak ia putar rubuh dan melotot pada Kiau Hong dengan mata membara.

Kiau Hong sendiri juga terheran-heran ketika mengetahui Tam-poh dan Tio-ci-sun sudah mati dalam waktu singkat setelah ditinggal pergi tadi. Padahal ia cuma menutuk hiat-to kedua orang itu, mengapa mendadak kedua jago kelas tinggi itu bisa mati begitu saja.

Segera ia tarik jenazah Tio-ci-sun untuk di periksa, tapi ia tidak melihat sesuatu luka senjata dan noda darah. Ia coba buka baju dada orang maka tertampaklah dada Tio-ci-sun ada satu bagian berwarna matang biru, itulah tanda terkena pukulan berat. Dan yang paling aneh

adalah bekas telapak tangan yang memukul itu ternyata mirip dengan tangan Kiau Hong sendiri.

Sementara itu Tam-kong juga telah putar jenazah Tam-poh ke hadapannya, lalu juga diperiksa dada sang istri, ternyata luka yang diderita itu serupa dengan Tio-ci-sun. Sungguh pedih Tam-kong tak terkatakan, hendak menangis juga tiada air mata. Dengan suara geram ia maki Kiau Hong, "Kau manusia berhati binatang, kamu demikian keji!"

Dalam heran dan kejutnya Kiau Hong tidak sanggup menjawab. Dalam benaknya timbul macam-macam pikiran, "Siapakah gerangan yang menyerang sehebat ini kepada Tam-poh dan Tio-ci-sun? Tenaga dan kepandaian penyerang itu luar biasa, jangan-jangan perbuatan musuhku yang tak terkenal itu pula? Tapi dari mana ia tahu kedua orang ini berada di dalam perahu ini?"

Saking berduka atas kematian istrinya itu, tanpa bicara lagi Tam-kong kerahkan antero tenaganya dan menghantam Kiau Hong dengan kedua tangan. Tapi sedikit Kiau Hong berkelit, terdengarlah suara gedubrakan yang gemuruh, atap perahu itu rompal sebagian kena pukulannya.

Tiba-tiba Kiau Hong menjulur tangan kanan ke depan dan tahu-tahu pundak Tam-kong kena terpegang, katanya, "Tam-kong, aku tidak membunuh istrimu, kau percaya tidak?"

"Jika bukan kamu, habis siapa lagi?" sahut Tam-kong dengan gemas.

"Saat ini jiwamu tergantung di tanganku, jika aku mau membunuhmu, sungguh terlalu mudah bagiku, untuk apa aku bohong padamu?" ujar Kiau Hong.

"Tujuanmu ingin mengetahui siapa pembunuh orang tuamu, biar ilmu silat orang she Tam ini jauh di bawahmu juga tidak nanti dibodohi oleh mu."

"Baiklah, asal kau katakan nama orang yang membunuh orang tuaku, aku berjanji akan menuntut balas sakit hati istrimu ini," bujuk Kiau Hong.

Tapi mendadak Tam-kong bergelak tertawa pedih, berulang-ulang ia mengerahkan tenaga dengan maksud melepaskan cengkraman Kiau Hong. Tapi tangan Kiau Hong yang menahan pelahan di pundaknya itu dapat bergerak menurut keadaan, lebih keras Tam-kong meronta, lebih berat pula tekanannya hingga selama itu tetap Tam-kong tak sanggup melepaskan diri.

Sampai akhirnya Tam-kong menjadi nekat. Mendadak ia gigit lidah sendiri, sekumur darah segar lantas disemburkan ke arah Kiau Hong. Terpaksa Kiau Hong lepas tangan untuk menghindar. Kesempatan itu segera digunakan oleh Tam-kong untuk berlari ke sana, sekali depak ia tendang mayat Tio-ci-sun ke pinggir, lalu ia rangkul jenazah sang istri, pada saat lain, tahu-tahu kepala nya terkulai, kakek itu pun menghembuskan napas yang terakhir.

Menyaksikan adegan mengerikan itu, mau-tak-mau terharu dan menyesal juga Kiau Hong. Meski kedua suami-istri she Tam dan Tio-ci-sun itu tidak dibunuh olehnya, tapi sebab musabab kematiannya adalah karena gara-gara Kiau Hong. Jika dia mau menghilangkan jenazah untuk menghapus jejak, sebenarnya cukup ia banting kaki sekerasnya hingga dasar perahu itu berlubang, maka perahu itu akan tenggelam ke sungai dan hilanglah segala bukti peristiwa menyedihkan itu. Tapi Kiau Hong pikir, "Jika aku menghapuskan jenazah-jenazah ini tentu akan kentara seakan-akan aku yang bersalah dan ketakutan."

Segera ia meninggalkan perahu itu, ia coba berusaha menemukan sesuatu tanda yang mencurigakan di sekitar situ, tapi tiada sesuatu apa yang dilihatnya. Buru-buru ia kembali ke hotel.

Sejak tadi A Cu sudah menunggu di luar pintu, melihat Kiau Hong pulang tanpa kurang apa-apa, gadis itu sangat girang. Tapi demi nempak Kiau Hong agak lesu, ia lantas tahu pasti penguntitan Kiau Hong atas Tam-poh dan Tio-ci-sun itu tidak mendatangkan sesuatu hasil yang baik. Dengan suara lembut ia tanya, "Bagaimana ?"

"Sudah mati semua," sahut Kiau Hong singkat.

"Hah, mati semua? Tam-poh dan Tio-ci-sun?" A Cu menegas dengan kaget.

"Ya, ditambah lagi Tam-kong menjadi tiga," kata Kiau Hong.

Mengira Kiau Hong yang membunuh ketiga korbannya itu, meski merasa tidak tentram, tapi A Cu tidak berani menegur, hanya katanya, "Tio-ci-sun itu ikut serta dalam pembunuhan ayahmu, adalah setimpal jika dia terima ganjarannya."

"Tapi bukan aku yang membunuhnya," kata Kiau Hong sambil menggeleng. Lalu ia hitung-hitung dengan jari dan menyambung. "Kini orang yang mengetahui nama biang keladi daripada durjana pembunuh ayahku itu hanya tinggal tiga orang saja di dunia ini. A Cu, berbuat sesuatu harus dilakukan dengan cepat, kita jangan didahului musuh lagi hingga selalu kita ketinggalan."

"Benar," sahut A Cu. "Be-hujin sudah terlampau benci padamu, betapapun tidak mungkin dia mau mengaku, apalagi tidak pantas jika kita mesti paksa pengakuan seorang janda. Marilah kita berangkat ke tempat orang she Tan di Soatang saja."

Lalu ia berseru, "Pelayan, pelayan! Selesaikan rekening kami."

Sungguh Kiau Hong sangat terharu, dengan sorot mata kasih sayang ia pandang gadis itu, katanya, "A Cu, selama beberapa hari ini sudah terlalu melelahkanmu, biarlah kita berangkat besok saja."

"Tidak, kita harus berangkat malam ini juga agar tidak didahului musuh," ujar A Cu.

Terima kasih Kiau Hong tak terhingga, maka menggangguklah dia.

Malam itu juga mereka lantas keluar kota Wi-hui, sepanjang jalan terdengar orang ramai membicarakan "iblis Cidan Kiau Hong" mengganas lagi dengan membunuh Tam-kong suami-istri dan Tio-ci-sun. Waktu bicara orang-orang itu suka celingukan kian kemari seakan-akan kuatir mendadak Kiau Hong berada di situ hingga jiwanya bisa celaka. Tak terduga bahwa memang benar Kiau Hong berada di sisi mereka, jika ia mau membunuh boleh dikatakan tidak sukar sedikit pun.

Begitulah Kiau Hong dan A Cu terus melanjutkan perjalanan siang dan malam tanpa berhenti dengan menunggang kuda dan secara berganti-ganti binatang tunggangan itu.

Tiga hari kemudian, Kiau Hong tahu A Cu pasti sangat lelah walaupun tidak diucapkan gadis itu. Maka ia ganti kuda dengan menumpang kereta, dalam kereta kuda mereka dapat mengaso untuk beberapa jam lamanya, sesudah tenaga pulih, segera menunggang kuda pula dan dilarikan secepatnya.

"Sekali ini biar bagaimana pun kita harus dapat mendahului Tai-ok-jin itu," ujar A Cu dengan girang.

Kiau Hong tidak menjawab, tapi diam-diam hatinya merasa pedih. "Tai-ok-jin" (manusia paling jahat), yaitu sebutan A Cu dan Kiau Hong kepada pembunuh yang sampai kini belum dikenal itu, setiap kali selalu mendahului usaha penyelidikannya, dan jika sekali ini lagi-lagi Tiat-bin-boan-koan Tan Cing juga terbunuh, mungkin penyelidikan selanjutnya akan tambah sulit dan sakit hati sedalam lautan itu akan sukar terbalas.

Setiba di kota Thai-an di Soatang, rumah tinggal Tan Cing itu ternyata sangat terkenal, sekali tanya saja lantas tahu, yaitu di timur kota.

Tatkala itu sudah magrib, sampailah mereka di luar pintu timur kota. Tidak jauh pula, sekonyong-konyong tampak asap mengepul bergulung-gulung dan api menjilat-jilat tinggi, entah tempat mana yang kebakaran. Menyusul terdengar riuh ramai suara gembreng dan kentongan bertalu-talu disertai teriakan orang, "Kebakaran! Kebakaran!"

Kiau Hong tidak menaruh perhatian apa-apa, ia tetap melarikan kuda ke depan bersama A Cu dan akhirnya dekat juga dengan tempat kebakaran itu.

"Lekas padamkan api, lekas! Itulah rumah keluarga Tiat-bin-boan-koan!" demikian terdengar seruan orang.

Keruan Kiau Hong dan A Cu terkejut. Mereka berhentikan kuda dan saling pandang sekejap, mereka sama berpikir, "Jangan-jangan didahului lagi oleh Tai-ok-jin itu?"

"Keluarga Tan tentu banyak penghuninya, kalau rumahnya terbakar, orangnya belum tentu ikut terbakar," demikian A Cu coba menghibur.

"Tahu begini, tempo hari seharusnya jangan kubunuh Tan Pek-san dan Tan Tiong-san," ujar Kiau Hong dengan menyesal.

Sejak kedua saudara she Tan itu dibunuh Kiau Hong, permusuhan kedua pihak boleh dikatakan tak dapat didamaikan lagi. Walaupun kedatangannya ke Thai-an ini tiada maksud membunuh orang pula, tapi pihak Tan Cing pasti tidak mau menyudahi permusuhan itu, maka ia sudah siap untuk menempur mereka. Siapa duga baru sampai di tempat tujuan, pihak yang dicari itu sudah mengalami musibah.

Kebakaran itu ternyata sangat hebat, sebentar saja sudah berwujud lautan api. Sementara itu penduduk di sekitar beramai ramai sudah datang hendak memadamkan kebakaran itu, ada yang membawa ember dan menyiramkan air, ada yang menghamburkan pasir. Untung juga di sekeliling Tan-keh-ceng (perkampungan keluarga Tan) itu ada sungai yang cukup dalam, sekitar itu juga tiada rumah penduduk lain, maka api tidak sampai menjalar. Secara gotong-royong penduduk berusaha memadamkan api dengan perkasa.

Kiau Hong dan A Cu turun dari kuda serta mendekati tempat kebakaran itu untuk menonton. Terdengar suara seorang laki-laki di sebelah mereka sedang berkata, "Sungguh sayang, Tan-loya yang baik hati mengapa tertimpa bencana begini, sudah terbakar rumahnya, anggota keluarganya sebanyak lebih 30 jiwa tiada seorang pun yang berhasil menyelamatkan diri?"

"Tentu musuh yang membakar rumah dan menutup pintu supaya tiada yang bisa lolos," demikian sahut seorang. "Padahal anak kecil umur tiga keluarga Tan juga pandai silat, mustahil tiada seorang pun yang berhasil menyelamatkan diri?"

"Kabarnya Tan-toaya dan Tan-jiya telah dibunuh orang jahat bernama Kiau Hong di Holam, jangan-jangan yang membakar rumahnya sekarang juga Tai-ok-jin itu lagi?" ujar laki-laki yang duluan.

Bila Kiau Hong bicara dengan A Cu, musuh yang tak dikenal itupun disebutnya sebagai "Tai-ok-jin", kini mendengar kedua orang desa itu pun menyinggung "Tai-ok-jin", tanpa terasa mereka saling pandang sekejap.

Dalam pada itu terdengar orang tadi lagi menjawab, "Ya, pasti perbuatan Kiau Hong keparat itu!"

Sampai di sini, tiba-tiba ia tahan suaranya dan berbisik, "pasti Tai-ok-jin itu ada begundalnya menyerbu ke Tan-keh-ceng hingga keluarga Tan terbunuh semua. Ai, di mana letak keadilan ini."

"Kiau Hong itu terlalu banyak berbuat kejahatan, pada akhirnya dia pasti akan diganjar secara setimpal dan matinya pasti akan lebih mengenaskan daripada Tan-loya yang baik budi itu," demikian laki-laki yang satu menanggapi.

Mendengar mereka mengutuk Kiau Hong, A Cu jadi mendongkol. Mendadak ia tepuk lebar kudanya hingga binatang itu kaget dan berjingkrak, sekali kaki kuda mendepak, tepat punggung orang yang ceriwis itu tertendang, sambil menjerit, tanpa ampun lagi orang itu jatuh terguling.

"Kalian sedari tadi mengoceh apa?" damprat A Cu.

Meski terdepak kuda, tapi demi ingat "Tai-ok-jin" Kiau Hong banyak begundalnya, orang itu jadi ketakutan dan tidak berani bersuara lagi cepat ia menyingkir pergi.

Kiau Hong tersenyum pedih, ia dapat merasakan betapa jelek kesan dirinya dalam pandangan khalayak ramai terbukti dari percakapan kedua orang desa itu. Ia coba pindah ke sebelah lain dari tempat kebakaran, di sana juga orang ramai membicarakan keluarga Tan yang berjumlah lebih dari 30 jiwa itu tiada seorang pun yang selamat. Dari bau sangit yang terendus Kiau Hong dari gumpalan asap kebakaran itu, ia tahu apa yang dikatakan orang-orang itu tentu tidak salah, segenap anggota keluarga Tan memang benar telah terkubur di tengah lautan api.

"Tai-ok-jin itu benar-benar sangat keji, tidak cukup membunuh Tan Cing dan putra-putranya, bahkan antero keluarganya juga dibunuh, dan mengapa mesti membakar pula rumahnya?" kata A Cu dengan suara pelahan.

"Ini namanya membabat rumput harus sampai akar-akarnya," sahut Kiau Hong. "Andaikan aku, pasti juga akan kubakar rumahnya."

"Mengapa?" tanya A Cu terkesiap.

"Bukankah waktu di tengah hutan tempo hari Tan Cing pernah mengucapkan apa-apa yang telah kau dengar juga. Ia menyatakan, 'Di rumahku juga tersimpan beberapa pucuk surat dari Toako pemimpin ini, sesudah kucocokan gaya tulisannya nyata memang betul adalah tulisan tangannya'."

"Ya, Tai-ok-jin itu kuatir surat di rumah Tan Cing itu akan kau temukan dan mendapat tahu nama Toako pemimpin itu, makanya ia sengaja membakar rumah Tan Cing agar surat-surat itu hilang tak berbekas lagi," kata A Cu dengan gegetun.

Dalam pada itu penduduk yang datang menolong kebakaran itu semakin banyak, tapi api sedang mengamuk dengan dahsyatnya, siraman air berember-ember itu ternyata tidak berguna sama sekali.

Di antara penonton itu banyak yang menyesalkan kebakaran itu di samping mencaci maki keganasan Kiau Hong yang dituduh yang membakar. Caci maki orang desa sudah tentu kasar dan kotor, A Cu menjadi kuatir jangan-jangan Kiau Hong tidak tahan oleh caci maki yang ngawur itu dan mendadak mengamuk sehingga orang-orang desa akan menjadi korban.

Tapi demi diliriknya, ia lihat bekas Pangcu itu menampilkan air muka yang sangat aneh, seperti berduka dan seperti menyesal pula, tapi yang paling kentara adalah rasa kasihan, orang desa itu dianggapnya terlalu bodoh, dan tiada harganya untuk dilabrak.

Akhirnya dengan menghela napas, berkatalah Kiau Hong, "Marilah kita pergi ke Thian-tai-san!" Dengan keputusannya akan pergi ke Thian-tai-san, itu menandakan ia sesungguhnya sangat terpaksa. Benar Ti-kong Taysu dari Thian-tai-san itu dahulu pernah ikut serta dalam pembunuhan ayah bundanya, tapi selama 20 tahun terakhir ini padri saleh itu telah banyak berbuat kebajikan bagi sesamanya, jauh ia pergi ke negeri lain untuk mengumpulkan obat-obatan guna menyembuhkan penyakit malaria yang diderita rakyat jelata di wilayah propinsi daerah selatan seperti Hokkian, Ciatkang, Kuitang dan Kuisai, hingga banyak jiwa orang  tertolong olehnya, sebaliknya padri itu sendiri jatuh sakit payah, sesudah sembuh ilmu silatnya jadi punah.

Perbuatan menolong sesamanya tanpa memikirkan kepentingan sendiri itu sungguh sangat dihormati oleh kawanan Kangouw dan sama menyebutnya sebagai 'Budha hidup penolong manusia'. Maka sesungguhnya kalau tidak terpaksa, tidak nanti Kiau Hong mau membikin susah padri saleh itu.

Begitulah mereka lantas meninggalkan Thai-an dan menuju ke selatan. Sekali ini Kiau Hong tidak mau buru-buru menempuh perjalanan lagi, ia pikir kalau terburu-buru, boleh jadi setiba di Thian-tai-san, mungkin yang tertampak kembali adalah mayat Ti-kong Taysu, bisa jadi kuilnya juga terbakar menjadi puing.

Maka ia sengaja menempuh perjalanan seenaknya, dengan demikian mungkin jiwa Ti-kong Taysu dapat diselamatkan malah. Apalagi jejak padri itu pun tidak menentu, biasanya suka mengembara, bukan mustahil waktu itu orangnya tidak berada di kuilnya di Thian-tai-san.

Pegunungan Thian-tai-san si Ciatkang timur, sepanjang jalan Kiau Hong berlaku seperti pelancong saja sambil mempercakapkan peristiwa menarik di kalangan Kangouw dengan A Cu.

Suatu hari, tibalah mereka di Tinkang. Kedua orang lantas pesiar ke Kim-san-si yang terkenal itu. Sambil memandangi air sungai yang berdebur-debur mengalir ke timur itu, mendadak Kiau Hong ingat sesuatu, katanya, "Itu 'Toako pemimpin' bukan mustahil adalah orang yang sama dengan 'Tai-ok-jin' itu."

"Ya, mengapa sebegitu jauh kita tidak pikir ke situ?" ujar A Cu seperti orang yang baru sadar.

"Tapi, bisa jadi memang terdiri dari dua orang yang berlainan," kata Kiau Hong pula. "Namun kedua orang itu tentu mempunyai hubungan yang sangat erat. Kalau tidak, masakah Tai-ok-jin itu berusaha mati-matian hendak menutupi siapakah gerangan Toako pemimpin itu?"

"Kiau-toaya," sahut A Cu. "aku jadi ingat juga waktu kalian membicarakan peristiwa masa lalu itu, jangan-jangan......,"

Berkata sampai di sini, tanpa terasa suaranya menjadi agak gemetar.

"Jangan-jangan Tai-ok-jin itu juga berada di dalam hutan itu, demikiankah maksudmu?" tukas Kiau Hong.

"Benar," sahut A Cu, "di sanalah Tiat-bin-boan-koan mengatakan bahwa di rumahnya tersimpan surat yang pernah diterimanya dari Toako pemimpin itu dan sekarang rumahnya terbakar menjadi puing......Ai, aku jadi takut bila ingat hal itu."

Dengan badan agak gemetar ia menggelendot di samping Kiau Hong.

"Dan masih ada sesuatu pula yang aneh." Kata Kiau Hong.

"Tentang apa?" tanya A Cu.

Sambil memandang perahu layar di tengah sungai, berkatalah Kiau Hong, "Kepintaran dan kecerdikan Tai-ok-jin itu jauh di atas diriku, bicara tentang ilmu silat juga mungkin tidak dibawahku, jika dia mau mencabut nyawaku sebenarnya sangat mudah. Tapi mengapa ia

takut bila kutahu nama musuhku itu?"

A Cu merasa apa yang dibahas Kiau Hong itu cukup beralasan, sambil memegang tangan bekas Pangcu itu, katanya, "Kiau-toaya, kukira sesudah Tai-ok-jin itu membunuh ayah bundamu, tentunya ia merasa menyesal sekali, maka tidak tega membikin celaka dirimu lagi.

Sudah tentu ia pun tidak ingin engkau manuntut balas padanya hingga jiwanya akan melayang di tanganmu."

Kiau Hong mengangguk. "Ya, besar kemungkinan demikianlah!" katanya dengan tersenyum. "Dan bila dia tidak tega mencelakaiku, dengan sendirinya juga tidak mau mengganggu dirimu, maka kamu jangan takut lagi."

Sejenak kemudian, ia menghela napas dan berkata pula, "Percumalah aku mengaku sebagai Engkiong (ksatria), tapi kini dipermainkan orang sedemikian tanpa dapat berbuat apa-apa."

Begitulah, sesudah menyebrang sungai Tiang-kang, tidak lama mereka menyebrangi Ci-tong-kang pula, akhirnya sampai di Thian-tai-koan, kota di kaki pegunungan Thian-tai.

Mereka mendapatkan sebuah hotel untuk menginap. Esok paginya ketika mereka ingin tanya pelayan tentang jalan menuju ke Thian-tai-san, tiba-tiba masuk tergesa-gesa seorang pegawai kantor hotel dan memberitahu, "Kiau-toaya, ada seorang Suhu dari Siang-koan-sian-si di Thian-tai-san ingin bertemu denganmu."

Sudah tentu Kiau Hong terkejut, padahal waktu menginap di hotel ini ia mengaku she Koan, maka cepat ia tanya, "Mengapa kau panggil Kiau-toaya padaku?"

"Suhu dari Thian-tai-san itu menjelaskan bangun tubuh dan wajah Kiau-toaya, terang tidak salah lagi," sahut pegawai hotel.

Kiau Hong saling pandang dengan A Cu, keduanya sama heran. Padahal mereka menyamar lagi, tidak serupa pula dengan seperti waktu di Thai-an, tapi setiba di Thai-tai-koan segera dikenali orang.

Terpaksa Kiau Hong berkata, "Baiklah, silahkan dia masuk."

Sesudah pegawai hotel itu keluar, tidak lama kemudian ia bawa datang padri berumur 30-an dan berbadan gemuk. Sesudah memberi hormat kepada Kiau Hong, padri itu lantas berkata, "Guruku Ti-kong Taysu adanya, Siauceng Koh-teh disuruh mengundang Kiau-toaya dan Wi-kohnio sudilah mampir ke kuil kami."

Sahut Koh-teh Hwesio, "Menurut pesan Suhu katanya di hotel sini tinggal seorang Kiau-enghiong, dan seorang Wi-kohnio, maka Siauceng disuruh memapak kemari. Kiranya tuan sendirilah Kiau-toaya, entah Wi-kohnio itu berada di mana?"

Jilid 34

Kiranya A Cu sudah menyaru lagi sebagai laki-laki setengah umur, dengan sendirinya Koh-teh Hwesio tidak tahu dan menyangka nona Wi yang dicari itu tidak berada di situ.

Segera Kiau Hong tanya pula, "Semalam kami baru tiba di sini, entah darimana gurumu mendapat tahu? Apakah beliau dapat meramal apa yang belum terjadi?"

Belum lagi Koh-teh menjawab, pengurus hotel tadi lantas menyela, "Ti-kong Taisu dari Thian-tai-san adalah seorang padri sakti, jangankan Kiau toaya baru tiba kemarin, sekalipun apa yang akan terjadi 500 tahun yang akan datang juga dapat dihitungnya."

Kiau Hong tahu Ti-kong Taisu itu sangat dipuja oleh rakyat setempat bagaikan malaikat dewata, maka ia pun tidak tanya lagi, katanya,"Baiklah, segera Wi-kohnio akan menyusul, silahkan kaubawa kami berangkat lebih dulu."

Koh-teh Hwesio mengiakan dan segera mendahului keluar. ketika Kiau Hong hendak membayar rekening hotel, namun pengurus telah mencegah, "Jika kalian adalah tetamu padri sakti Thian-tai-san, betapapun uang hotel ini tidak dapat kami terima."

Terpakasa Kiau Hong membatalkan niatnya itu, diam-diam ia kagum atas nama baik Ti-kong Taisu yang dihormati dan sangat dicintai rakyat setempat itu, maka tentang tersangkutnya dalam peristiwa pembunuhan orang tuaku biarlah kuhapus sama sekali dan takkan kubalas dendam padanya. Asal dia memberitahukan nama Tai-ok-jin itu kepadaku sudah puaslah hatiku, demikian Kiau Hong mengambil keputusan.

Begitulah mereka lantas berangkat ke Thian-tai-san mengikuti Koh-teh Hwesio.

Pemandang Thian-tai-san sangat indah permai, cuma jalan pegunungan itu sangat terjal dan berliku-liku hingga sukar ditempuh. Dari belakang Kiau Hong melihat cara berjalan Koh-teh Hwesio itu sangat cepat dan tangkas, tapi kentara sekali tidak mahir ilmu silat.

Namun begitu ia tahu hati manusia kebanyakan palsu, ia tidak menjadi lengah karena itu, Diam-diam pikirnya, "sekali lawan sudah tahu jejakku, mustahil dia tidak mengatur penjagaan yang kuat? Meski Ti-kong Taisu adalah padri saleh yang terpuja, tapi orang lain di sekitarnya belum tentu sepikiran dengan dia."

Jalan pegunungan itu makin lama makin sulit ditempuh, tapi senantiasa Kiau Hong pasang mata telinga untuk menjaga kalau-kalau disergap musuh.

Tak tersangka sepanjang jalan ternyata aman tentram saja, akhirnya sampai juga diluar Siang-koan-si. Kuil itu sangat terkenal di kalangan Kang-ouw, tapi wujudnya ternyata sebuah kelenteng kecil saja, bahkan keadaannya sudah tak begitu terawat.

Sampai di luar kuil, tanpa melapor dulu atau diadakan penyambutan segala, Koh-teh terus mendorong pintu kuil sambil berseru, "Suhu, Kiau-toaya sudah tiba!"

Maka terdengarlah suara Ti-Kong menyahut, "Selamat datang! Sediakan teh untuk tamu agung kita!"

Sembari bicara, padri itu lantas menyambut keluar.

Sebelum bertemu dengan Ti-kong, selalu Kiau Hong merasa kuatir akan didahului lagi oleh Tai-ok-jin hingga Ti-kong terbunuh, tapi demi melihat padri itu baik-baik saja, barulah Kiau Hong merasa lega. Segera mereka mengusap muka masing-masing hingga wajah asli mereka pulih kembali untuk menemu Ti-Kong, lebih dahulu Kiau Hong memberi hormat.

"Siancai! Siancai!" demikian Ti-kong bersabda, "Kia-sicu, sebenarnya engkau she Siau, apakah engkau sendiri sudah tahu?"

Seketika Kiau Hong tergetar, meski kini sudah diketahui dirinya adalah orang Cidan, tapi apa she ayahnya sebegitu jauh masih gelap baginya. Kini untuk pertama kalinya mendengar Ti-Kong menyatakan dia she "Siau", tanpa terasa keringat dingin lantas mengucur.

Ia tahu bahwa rahasia asal-usul sendiri sekarang tersingkap sedikit mulai sedikit, segera ia membungkuk tubuh dengan hormat dan menjawab, "Cayhe terlalu bodoh, kedatangan ini justru ingin minta petunjuk kepada Taisu."

Ti-Kong mengangguk, katanya, "Silahkan kalian duduk!"

Dan sesudah mereka mengambil tempat duduk masing-masing, Koh-teh Hwesio lantas menyuguhkan teh. Ketika melihat wajah kedua orang sudah berubah, bahkan A Cu berubah menjadi wanita, Koh-teh jadi terheran-heran. Tapi di hadapan sang guru terpaksa ia tidak berani bertanya.

"Tentang asal-usulmu," demikian Ti-kong memulai, "menurut ukiran di dinding batu yang ditinggalkan ayahmu itu, beliau mengaku she Siau dan bernama Wan-san. Dalam tulisannya itu beliau menyebut engkau sebagai anak 'Hong'. Karena itu kami mempertahankan nama aslimu, cuma she-mu telah kami ganti mengikuti she Kiau Sam-hoat yang membesarkanmu itu."

Seketika air mata Kiau Hong bercucuran, tiba-tiba ia berdiri dan berkata, "Baru sekarang kutahu nama ayahku, atas budi kebaikan Taisu, terimalah hormatku ini!"

Habis berkata, terus saja ia menjura.

Cepat Ti-kong membalas hormat dan berkata pula, "Budi kebaikan yang kaunyatakan itu mana berani kuterima?"

Kiau Hong berpaling kepada A Cu dan mengumumkan dengan suara lantang, "Sejak kini aku bernama Siau Hong dan bukan Kiau Honglagi."

"Ya, Siau-toaya," sahut A Cu.

Waktu itu, nama keluarga kerajaan Liau adalah Yalu dan permaisurinya selalu dipilih dari keluarga Siau. Sebab itu turun temurun keluarga Siau sangat berpengaruh di negara Liau. Kini mendadak Siau Hong mengetahui dirinya adalah keturunan keluarga bangsawan Cidan (suku bangsa negari Liau), seketika tak keruan rasa hatinya.

"Siau-tayhiap, tulisan di dinding batu di luar Gan-bun-koan itu tentu sudah kaulihat bukan?" kata Ti-kong kemudian.

"Tidak," sahut Siau Hong sambil menggeleng. "Setiba di sana, tulisan itu sudah dihapus orang, hanya tinggal bekas yang tak terbaca lagi."

"Urusan sudah terjadi, huruf di dinding batu itu pun sudah dihapus, tapi belasan jiwa yang sudah menjadi korban apakah dapat dihidupkan kembali?" kata Ti-kong sambil menghela napas. Lalu ia keluarkan secarik kertas kuning yang sangat lebar, katanya pula, "Siau-sicu, inilah cetakan tulisan di atas dinding itu."

Tergetar tubuh Siau Hong. Cepat ia terima kertas kuning itu dan dibentang, ia lihat di atas kertas itu banyak terdapat huruf cetak yang aneh, satu huruf pun tak dikenalnya. Ia tahu itu pasti huruf Cidan yang ditulis mendiang ayahnya sebelum terjun ke jurang, tak tertahan lagi air matanya bercucuran, katanya kemudian, "Mohon Taisu suka menjelaskan artinya."

"Sesudah mencetak tulisan di dinding ini, kemudian kami tanya kepada beberapa orang yang paham huruf Cidan, menurut keterangan mereka, bunyinya adalah: 'Hong-ji genap berusia setahun, bersama istriku kami berkunjung ke rumah ibu mertua, di tengah jalan mendadak kepergok bandit dari selatan. Karena sergapan tiba-tiba itu, istriku tercinta terbunuh oleh musuh, sungguh aku pun tidak ingin hidup di dunia ini. Tapi guruku yang berbudi adalah bangsa Han di selatan, di hadapan guru aku telah bersumpah takkan membunuh orang Han, siapa duga hari ini sekaligus kubunuh belasan orang, aku telah melanggar sumpahku dan bersedih atas kematian istri pula, di alam baka aku pun tiada muka untuk bertemu dengan Insu (guru berbudi) lagi. Sekian pesan terakhir dari Siau Wan-San."

Selesai mendengar uraian Ti-kong itu, dengan penuh hormat Siau Hong melempit kembali kertas cetak itu, katanya, "Ini adalah surat wasiat ayah-ku, mohon Taisu suka memberikannya padaku."

"Memang sepantasnya diserahkan padamu," sahut Ti-kong.

Sungguh pedih dan kusut sekali perasaan Siau Hong pada saat itu. Ia dapat menahan betapa rasa duka dan sesal sang ayah pada waktu itu, sebabnya beliau terjun ke jurang bukan melulu karena berduka atas terbunuhnya ibunda, tapi juga disebabkan beliau meresa melanggar sumpah sendiri karena telah membunuh orang Han sebanyak itu, maka beliau rela membunuh diri untuk menebus dosanya.

Dalam pada itu Ti-kong berkata pula, "Semula kami menyangka ayahmu yang memimpin jago Cidan dan menyerbu Siau-lim-si, tapi sesudah membaca tulisan itu barulah kami tahu telah terjadi salah paham yang besar, Jika ayahmu bertekad membunuh diri, rasanya tidak mungkin beliau menulis hal yang tidak benar ini untuk membohongi orang lain. Dan jika beliau bertujuan menyerbu Siau-lim-si, mengapa membawa seorang istri yang tidak paham ilmu silat dan membawa anaknya yang masih bayi? Sesudah peristiwa itu, ketika kami menyelidiki sumber berita tentang musuh akan menyerbu Siau-lim-si segala kiranya kabar berita itu berasal dari seorang pembual besar, orang itu sengaja hendak mengoda Toako pemimpin kami untuk olok-olok padanya apabila beliau dibikin kecele."

"Oh, kiranya cuma untuk berkelakar saja, dan bagaimana dengan pembual itu?" tanya Siau Hong.

"Sesudah Toako pemimpin tahu duduknya perkara, sudah tentu beliau sangat marah, tapi pembual itu sudah lari entah kemana perginya, sejak itu tidak diketahui bayangannya lagi. Setelah berpuluh tahun mungkin sekarang orang-nya sudah mampus," kata Ti-Kong.

"Banyak terima kasih atas keterangan Taysu hingga aku dapat mengetahui seluk-beluk badan aku ini," kata Siau Hong. "Tapi ingin kutanya pula suatu hal padamu."

"Apa yang Siau-sicu ingin tanya?"

"Toako pemimpin yang kaukatakan itu sebenarnya gerangan siapakah?"

"Telah kudengar bahwa untuk mencari tahu hal itu Siau-sicu telah membunuh Tam-kong, Tam-poh dan Tio-ci-sun. kemudian antero keluarga Tan-Cing beserta kediamannya telah kaumusnahkan, sudah kuduga lambat atau cepat Siau-sicu pasti akan datang kemari, maka silahkan Sicu menunggu sebentar, akan kupertunjukkan sesuatu padamu."

"Habis berkata ia lantas berbangkit dan menuju ke ruangan belakang. Selang tak lama, Koh-teh Hwesio datang pada Siau Hong dan berkata, "Suhu menyilakan kalian masuk ke kamar dalam."

Segera Siau Hong dan A Cu ikut padri itu melalui sebuah jalanan serambi yang panjang akhirnya tibalah di depan sebuah pavilliun, Koh-teh mendorong pintu dan berkata, "Silahkan masuk."

Waktu Siau Hong melangkah ke dalam rumah itu, ia lihat Ti-kong duduk bersila di atas tikar. Padri saleh itu tidak menyapa, hanya tersenyum dan tiba-tiba menjulurkan jari tangan untuk menulis di lantai.

Kamar itu rupanya tidak pernah dibersihkan maka debu kotoran memenuhi lantai. Tertampak Ti-kong menulis delapan baris huruf di situ. Habis menulis dengan tersenyum Ti-kong lantas pejamkan mata.

Waktu Siau membaca tulisan di lantai itu, ia jadi termenung-menung. Kiranya tulisan TI-kong itu adalah sabda Budha yang menasehatkan manusia supaya anggap segala apa di dunia fana ini cuma khayal belaka, sebab akhirnya segala apa akan sirna menjadi abu.

"Sangkut paut apa dengan persoalan yang kutanyakan padanya tadi?" demikian Siau Hong merasa bingung, maka kembali ia tanya, "Taisu, sebenarnya siapakah gerangan Toako pemimpin itu, sudilah memberitahu?"

Tapi meski ia ulangi lagi pertanyaannya, Ti-kong tetap tersenyum tanpa menjawab. Waktu Siau Hong mengawasi, ia jadi terkejut. Ia lihat air muka padri itu meski masih tersenyum, tapi sudah kaku tanpa bergerak lagi.

"Taisu! Taisu!" berulang Siau Hong berseru, tetapi padri itu tetap tidak bergerak sedikitpun. Waktu ia periksa pernapasannya, ternyata sejak tadi sudah berhenti. Jadi sejak tadi padri itu sudah wafat.

Dengan rasa pedih Siau Hong menjura beberapa kali sebagai tanda penghormatan terakhir, lalu mengajak A Cu untuk meninggalkan biara itu dengan lesu.

Sesudah belasan li jauhnya, berkatalah Siau Hong, "A Cu, hakikatnya aku tidak bermaksud membikin susah pada Ti-kong Taysu, mengapa dia berlaku nekat begitu? Menurut pendapatmu, dari mana dia mengetahui kita akan datang ke biaranya?"

"Kukira ... kukira atas perbuatan Tai-ok-jin itu pula," sahut A Cu.

"Aku pun berpikir begitu," kata Siau Hong. "Tentu Tai-ok-jin itu mendahului memberi kabar kepada Ti-kong Taisu bahwa aku akan menuntut balas padanya. Karena merasa takkan mampu lolos dari tanganku, maka Ti-kong Taisu jadi nekat dan menghabiskan nyawa sendiri."

Begitulah mereka hanya saling pandang belaka tanpa berdaya lagi.

"Siau-toaya," tiba-tiba A Cu membuka suara, "ada sesuatu pendapatku yang kurang wajar, jika kukatakan, harap engkau jangan marah."

"Kenapa kamu jadi sungkan padaku? Sudah tentu aku takkan marah," ujar Siau Hong.

"Kukira sabda Budha yang ditulis Ti-kong itu pun ada benarnya," demikian tutur A Cu. "Peduli apa dia orang Han atau Cidan, apa benar atau khayal, segala budi atau sakit hati, kaya atau miskin,semuanya itu akhirnya akan sirna. Padahal apakah engkau bangsa Han atau orang Cidan, apa sih bedanya? Penghidupan merana di kalangan kangouw juga sudah membosankan, tidaklah lebih baik kita pergi saja ke luar Gan-bun-koan untuk berburu dan mengangon domba, segala suka-duka penghidupan Bu-lim di Tionggoan jangan dipeduli lagi."

"Ya, penghidupan yang selalu menyerempet bahaya di ujung senjata memang sudah membosankan aku," sahut Kiau Hong dengan menghela napas. "Di luar perbatasan, di gurun yang luas, di padang rumput yang menghijau, di sanalah jauh lebih aman dan tentram. A Cu, jika aku tinggal jauh di luar perbatasan sana, sudilah engkau menjenguk aku di sana?"

"Bukankah kukatakan berburu dan angon domba, engkau berburu dan aku yang angon domba," sahut A Cu dengan suara perlahan dan muka merah sambil menunduk.

Meski Siau Hong adalah seorang laki-laki gagah kasar, tapi maksud yang dikandung dalam ucapan A Cu itu dapat ditangkapnya juga. Ia tahu si gadis menyatakan bersedia hidup berdampingan dengan dirinya di gurun luas sana dan takkan kembali ke Tionggoan lagi.

Waktu Siau Hong menolong gadis itu dulu hanya didorong oleh rasa kagum kepada Buyung Hok sebagai sesama ksatria. Kemudian setelah jauh-jauh A Cu menyusulnya ke Gan-bun-Koan, lalu berangkat bersama ke Thai-san dan Thian-tai pula, dalam perjalanan jauh itu setiap hari hdup berdekatan, di situlah baru Siau Hong merasakan betapa halus budi si gadis jelita ini, kini mendengar A Cu mengutarakan isi hatinya secara terus terang pula, perasaan Siau Hong terguncang hebat, ia pegang tangan nona itu dan berkata, "A Cu, engkau sangat baik padaku, apa kamu tidak mencela diriku sebagai keturunan Cidan yang rendah?"

"Cidan juga manusia, kenapa mesti dibeda-bedakan," sahut A Cu, "Aku senang menjadi orang Cidan, ini timbul dari hatiku yang sungguh-sungguh sedikitpun tidak dipaksakan."

Sungguh girang Siau Hong tidak kepalang mendadak ia pegang tubuh A Cu terus dilemparkan ke atas, ketika jatuh ke bawah lagi, dengan perlahan ia tangkap badan si gadis dan diletakkan ke tanah, dengan tersenyum mesra ia pandang A Cu lekat-lekat dan berseru, "Dapatkan seorang teman sepaham, puaslah hidupku ini. A Cu selanjutnya kamu akan ikut aku berburu dan mengembala, kamu takkan menyesal?"

"Biarpun apa yang akan terjadi, tidak nanti aku menyesal" sahut A Cu tegas, "Sekalipun akan menderita dan tersiksa juga aku akan merasa senang.

"Aku dapat hidup seperti sekarang ini, sungguh jangankan disuruh menjadi Pangcu Kai-pang lagi, sekalipun diangkat menjadi raja Song juga aku tidak mau, " kata Siau Hong. "Baiklah A Cu, sekarang juga kita berangkat ke Sin-yang untuk mencari Be-hujin, apakah ia mau menerangkan atau tidak, dia adalah orang terakhir yang akan kita cari, sesudah tanya dia segera kita keluar perbatasan utara untuk melewatkan penghidupan sebagai pemburu dan penggembala."

"Siau-toaya ....."

"Selanjutnya jangan kaupanggil Toaya apa segala, panggil Toako saja!"

Wajah A Cu menjadi merah, sahutnya, "Mana ... mana aku ada harganya memanggil demikian padamu?"

"Kausudi tidak?" tanya Siau Hong.

"Sudi, seribu kali sudi, cuma tidak berani."

"Cobalah kaupanggil sekali."

"Ya, Toa .... Toako?" demikian A Cu memanggil dengan lirih.

"Hahahahaha!" Siau Hong terbahak-bahak senang. "Sejak kini aku tidak lagi sebatang kara, bukan lagi keturunan asing yang dipandang rendah dan hina oleh orang lain, paling tidak di dunia ini masih ada seorang yang ... yang ...."

Seketika ia menjadi bingung apa yang baru diucapkannya.

Maka A Cu lantas menyambung, "Masih ada seprang yang menghormatimu, yang mengagumimu, yang berterima kasih padamu dan selama hidup ini, bahkan sepanjang masa bersedia hidup di sampingmu, derita sama dipikul susah sama dirasa."

Sungguh Siau Hong sangat terharu, terutama ucapan A Cu tentang "derita sama dipikul dan susah sama dirasa" itu, memang sudah jelas bahwa banyak sekali rintangan dan penderitaan pada waktu yang akan datang, tapi gadis itu toh rela menghadapinya tanpa menyesal, saking terharunya sampai air mata Siau Hong bercucuran.

Tempat kediaman wakil Pangcu Kai-pang yaitu Be Tai-goan, terletak di Sin-yang, propinsi Holam. Sudah tentu perjalanan dari Thian-tai ke Sinyang itu memakan tempo cukup lama pula. Tapi sejak adanya ikatan jiwa antara mereka yang mesra, sepanjang jalan mereka tidak masgul lagi, dalam pandangan mereka pemandangan di mana-mana menjadi tambah indah permai dan memabukkan.

Sebenarnya A Cu tidak gemar minum arak, tapi demi untuk membikin senang Siau Hong, terkadang ia paksakan diri mengiringi minum satu dua cawan. Dan mukanya yang kemerah-merahan itu semakin menambah kecantikannya yang mengiurkan.

Suatu hari tibalah mereka di kota Kong ciu, dari situ ke Sin-yang hanya diperlukan kira-kira dua hari saja.

"Toako," kata A Cu, "menurut pendapatmu, cara bagaimana kita harus menanyai Be-hujin?"

Siau Hong menjadi ragu oleh pertanyaan itu. Ia masih ingat sikap Be-hujin itu sangat benci padanya karena yakin suaminya telah dibunuh olehnya. Sedangkan terhadap seorang janda yang tidak mahir ilmu silat, kalau pakai cara paksaan dan gertakan, terang cara ini tidak sesuai dengan kedudukan dirinya sebagai ksatria terkemuka.

Sesudah pikir sejenak, akhirnya ia menjawab, "Kukira kita harus memohonnya secara baik-baik agar dia dapat memahami duduknya perkara dan tidak mendakwa aku sebagai pembunuh suaminya. Eh, A Cu, kamu saja yang bicara padanya, Kau pandai bicara, sama-sama wanita pula, segala sesuatu akan lebih mudah dirundingkan."

"Sebenarnya aku ada suatu akal, entah Toako setuju tidak?" sahut A Cu dengan tersenyum.

"Akal apa? Coba katakan," tanya Siau Hong.

"Engkau adalah laki-laki sejati dan seorang ksatria, dengan sendirinya tidak dapat memaksa pengakuan seorang janda, biarlah aku yang membujuk dan menipu dia, bagaimana pendapatmu?"

"Jika dia dapat dibujuk hingga mengaku, itulah paling baik." kata Siau Hong dengan girang. "A Cu, engkau tahu, siang dan malam yang kuharapkan adalah selekasnya dapat kubunuh dengan tanganku sendiri atas pembunuh ayahku itu. Hm, sebabnya aku merana seperti sekarang ini dan bermusuhan dengan para ksatria sejagat bahkan para jago Tionggoan itu bertekad harus membunuh diriku, semua ini adalah akibat perbuatan Tai-ok-jin itu. Jika aku tidak mencincang dia hingga hancur luluh, cara bagaimana aku bisa hidup tentram untuk berburu dan mengangon domba denganmu?"

Makin bicara makin keras dan tegas suaranya suatu tanda betapa berguncangnya perasaan Siau Hong. Paling akhir ini sebenarnya pikirannya tidak murung lagi seperti dulu, tapi rasa dendamnya kepada Tai-ok-jin itu tidak menjadi berkurang sedikut pun.

"Sudah tentu aku paham perasaanmu," sahut A Cu. "Begitu keji cara Tai-ok-jin itu membikin susah padamu, bahkan aku pun ingin membacoknya beberapa kali untuk bantu melampiaskan rasa dendammu. Kelak kalau kita dapat menawan dia, kita harus mengadakan juga suatu Eng-Hiong-tai-hwe, kita akan mengundang seluruh ksatria di jagat ini, di hadapan mereka itulah kita akan menjelaskan duduknya perkara dan membongkar tuduhan tak benar atas dirimu selama ini, dengan demikian nama baikmu dapat dipulihkan."

"Tidak perlu begitu," sahut Siau Hong dengan menghela napas. "Sudah terlalu banyak orang yang kubunuh di Cip-hiau-ceng tempo hari, permusuhanku dengan para ksatria sudah terlalu mendalam, aku tidak ingin mohon orang lain memahami urusanku lagi. Yang kuharap asal urusan ini bisa dibikin terang, hatiku bisa tentram, lalu kita akan hidup di padang luas di utara sana, selama hidup kita akan berkawankan domba dan tidak perlu bertemu dengan para ksatria dan pahlawan-pahlawan lagi."

"Jika benar dapat terlaksana seperti harapanmu, itulah jauh melebihi apa yang kuinginkan," kata A Cu dengan tersenyum. "Toako, aku ingin menyamar sebagai seorang untuk membujuk Be-hujin agar mau mengatakan nama Tai-ok-jin yang kita cari."

"Bagus, bagus! Kenapa aku lupa pada kepandaianmu ini," seru Siau Hong dengan girang. "Kau ingin menyamar sebagai siapa?"

"Itulah yang ingin kutanya padamu," sahut A Cu. "Pada masa hidup Be-hupangcu, di antara orang Kai-pang siapakah yang paling rapat berhubungan dengan dia? Jika aku menyamar sebagai orang itu, mengingat sebagai sahabat karib mendiang suaminya, tentu Be-hujin akan bicara terus terang."

"Tentang kawan yang berhubungan erat dengan Be-hupangcu antara lain ialah Ong-thocu, Coan Koan-jing dan ada pula Tan-tianglo. Ya, Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia juga sangat akrab dengan dia."

A Cu tidak tanya lagi, ia termenung-menung membayangkan wajah dan gerak gerik orang yang disebut itu.

"Watak Be-hupangcu sangat pendiam, berbeda denganku yang suka minum arak dan gemar bicara. Sebab itulah jarang dia bergaul dengan aku. Sebaliknya Coan Koan-jing, Pek Si-kia dan lain-lain itu wataknya lebih cocok dengan dia, maka mereka sering berada bersama untuk saling tukar pikiran tentang ilmu silat."

"Siapakah Ong-thocu yang kaukatakan itu, tidak kukenal," demikian A Cu berkata. "Sedang Tan-tianglo itu suka tangkap ular dan piara kelabang, melihat binatang berbisa begitu aku jadi takut, maka sukar untuk menyaru sebagai dia. Perawakan Coan Koan-jing tinggi besar, untuk menyaru dia tidaklah mudah, kalau tinggal terlalu lama di hadapan Be-hujin, mungkin rahasia kita akan ketahuan. Maka paling baik kukira menyamar sebagai Pek-tianglo saja. Pernah beberapa kali ia bicara denganku di Cip-hian-ceng, untuk menyaru sebagai dia adalah paling gampang."

"Pada waktu kamu terluka, bukankah Pek-tianglo sangat baik kepadamu, dia yang paksa Sih-sin-ih mengobatimu, dan sekarang kamu malah menyamar sebagai dia untuk menipu orang, apakah tidak terasa kurang pantas?"

"Setelah menyamar sebagai Pek-tianglo, aku cuma berbuat baik dan tidak berbuat jahat, dengan demikian nama baiknya takkan tercemar," ujar A Cu dengan tertawa.

Begitulah ia lantas menyamar sebagai Pek Si-kia, ia mendandani Siau Hong pula sebagai seorang anggota Kai-pang berkantung enam dan terhitung sebagai "ajudan" Pek-tianglo, cuma Siau Hong dilarang banyak bicara agar tidak diketahui Be-hujin yang cerdik dan cermat itu.

Mereka melanjutkan perjalanan ke Sin-yang, sepanjang jalan tampak banyak anggota Kai-pang yang berlalu-lalang dan sering mengajak bicara dengan mereka dengan kode Kai-pang untuk tanya gerak-gerik tokoh pimpinan Kai-pang, lalu mereka sengaja memberitahukan kedatangan "Pek-tianglo" di Sin-yang, agar Be-hujin mendapat kabar lebih dulu. Dengan demikian, penyamaran A Cu akan lebih aman dan Be-hujin pun tidak curiga.

Kediaman Be Tai-goan itu terletak di pedusunan sebelah barat Sin-yang, kira-kira lebih 30 li dari kota. Sesudah tanya keterangan pada anggota Kai-pang segera Siau Hong mengajak A Cu ke rumah Be-hujin itu.

Mereka sengaja berjalan lambat untuk membuang waktu, menjelang petang baru mereka tiba di sana. Maklum, jika siang hari tentu penyamaran A Cu akan lebih mudah diketahui orang, bila malam, segala sesuatu menjadi samar-samar dan sukar diketahui.

Sampai di luar rumah keluarga Be, tertampak sebuah sungai kecil mengitari tiga petak rumah penting yang mungil, di samping rumah terdapat beberapa pohon Yangliu, di depan rumah ada tanah lapang culup lega. Siau Hong kenal aliran ilmu silat Be Tai-goan, melihat keadaan lapangan itu, tahulah dia bekas wakilnya itu pasti sering berlatih silat di lapangan itu. Tapi kini yang satu sudah di alam baka, ia menjadi pilu mengingat itu.

Dan baru dia hendak mengetuk pintu, mendadak terdengar suara keriut pintu dibuka, dari dalam rumah muncul seorang perempuan berbaju putih mulus, yaitu pakaian berkabung, terang itulah Be-hujin adanya.

Be-hujin mengerling sekejap ke arah Siau Hong, lalu memberi hormat kepada A Cu dan menyapa," Sungguh tidak dinyana Pek-tianglo sudi berkunjung ke tempatku ini, silahkan masuk setadar dulu."

"Ada sesuatu urusan ingin kurundingkan dengan Hujin, makanya tanpa diundang tahu-tahu dah datang, harap Hujin suka memaafkan," sahut A Cu.

Air muka Be-hujin seperti senyum tapi tak senyum, malahan di antara senyum tak senyum itu tampak menahan rasa sedih, sungguh sangat serasi dengan dandanannya yang putih berkabung itu.

Sesudah dekat, Siau Hong dapat melihat jelas usia Be-hujin antara 35-36 tahun, raut mukanya agak lonjong, tapi sangat cantik. Setelah masuk di dalam rumah, tertampak ruang tamu itu sangat sederhana dan agak sempit, di tengah sebuah meja dengan empat kursi, perabot lain tiada lagi.

Segera seorang pelayan tua menyuguhkan teh lalu Be-hujin menanyakan nama Siau Hong, maka A Cu sembarangan menjawab dengan sebuah nama palsu.

Kemudian Be-hujin bertanya lagi," Atas kunjungan Pek-tianglo ini, entah ada petnjuk apakah?"

"Ci-tianglo telah meninggal di Wi-hui, tentu Hujin sudah tahu?" tanya A Cu.

Sekonyong-konyong Be-hujin mendongak dengan sorot mata yang terheran-heran, lalu sahutnya, "Ya, sudah tentu kutahu."

Dan A Cu segera berkata lagi, "Kita sama mencurigai Kiau Hong yang membunuh Ci-tianglo itu, kemudian Tam-kong dan Tam-poh, Tio-ci-sun dan Tiat-bin-poan-koan Tan Cing juga menjadi korban keganasan musuh. Belum lama ini ketika aku menjalankan tugas pemeriksaan seorang anak murid Pang kita yang melanggar disiplin di daerah Kanglam, di sanapun kudapat kabar bahwa Ti-kong Taisu di Thian-tai-san juga mendadak wafat."

"Ap .. apakah itu pun perbuatan keparat Kiau Hong itu?" seru Be-hujin dengan badan agak gemetar dan suara terputus-putus.

"Tapi tiada sesuatu tanda mencurigakan yang ditemukan di kuil Ti-kong Tais itu," tutur A Cu.

"Mengingat bahwa langkah selanjutnya mungkin Hujin yang akan menjadi sasarannya, maka lekas aku memburu kemari untuk menyarankan pada Hujin agar suka berpindah tempat dulu untuk sementara waktu agar tidak dicelakai durjana Kiau Hong itu."

Begitulah ia sengaja membesar-besarkan kesalahan Kiau Hong dengan harapan nyonya janda itu tidak menaruh curiga padanya.

Maka Be-hujin menjawab dengan sedih, "Sejak Tai-goan tewas memangnya tiada berguna juga kuhidup di dunia ini, jika orang she Kiau itu hendak membunuh diriku, itulah yang kuharapkan malah."

"Eh, mana boleh nyonya bicara begitu? Sakit hati Be-hiante belum terbalas, pembunuhnya belum lagi tertangkap, padamu masih terbeban tanggung jawab yang tidak ringan, mana boleh Hujin putus asa," ujar A Cu. "Ehm, di manakah letak tempat perabuan Be-hianpwe aku ingin memberi hormat kepadanya."

"Terima kasih," kata Be-hujin. Lalu ia membawa kedua orang ke ruangan belakang.

Sesudah A Cu memberi hormat, kemudian Siau Hong juga menjura di hadapan perabuan bekas wakilnya itu sambil diam-diam berdoa, "Be-toako, semoga arwahmu melindungi aku supaya istrimu suka mengatakan padaku tentang nama penjahat yang sebenarnya itu, dengan demikian akan kubalaskan sakit hatimu."

Dalam pada itu Be-hujin juga berlutut di samping untuk membalas hormat sambil bercucuran air matanya.

Selesai menjura, waktu Siau Hong berdiri kembali, ia lihat ruangan berkabung itu banyak terpasang "lian" berduka cita sumbangan dari Ci-tianglo, Pek-tianglo dan lain lain, tapi Lian yang dikirim olehnya ternyata tidak dipasang di siitu. Tirai putih di ruang berkabung itu sudah mulai berdebu hingga makin menambah kehampaan suasana. Pikir Siau Hong, "Be-hujin tidak punya anak setiap hari cuma didampingi seorang pelayan tua, penghidupannya yang sunyi ini, benar-benar menyedihkan juga."

Sementara itu A Cu sedang menghibur Be-hujin dengan macam-macam perkataan, katanya kalau nyonya janda itu ada kesulitan apa-apa boleh memberitahukan kepadanya dan lain-lain pesan lagi dengan lagak orang tua.

Diam-diam Siau Hong memuji cara anak dara itu menjalankan peranan dengan sangat mirip sekali. Sesudah Pangcu dalam Pang diusir. Hupangcu meninggal juga. Ci-tianglo telah dibunuh orang, Thoan-kong Tianglo juga telah terbunuh, sisanya yang masih hidup hanya kedudukan Pek-tianglo yang paling tinggi. Kini A Cu bicara dengan lagak pejabat Pangcu, nadanya memang cocok juga.

Begitulah muka Be-hujin telah mengucapkan terima kasih, tapi sikapnya tetap dingin saja.

Diam-diam Siau Hong kuatir bagi janda muda itu. Hidup dalam keadaan sunyi dan sedih, wanita yang berwatak keras seperti itu bukan mustahi akan mengambil pikiran pendek dengan membunuh diri untuk menyusul sang suami di alam baka.

Kemudian Be-hujin membawa kedua tamunya ke ruangan depan lagi, tidak lama daharan malam pun disuguhkan secara sederhana, yaitu terdiri dari sayur-mayur belaka dan tiada daging, pula tanpa arak.

A Cu melirik sekejap pada Siau Hong, maksudnya malam ini terpaksa engkau tidak minum arak lagi. Tapi Siau Hong tidak ambil pusing, terus saja ia dahar seadanya.

Habis dahar, berkatalah Be-hujin, "Pek-tianglo datang dari jauh, seharusnya kami menyilakan para tamu bermalam dulu, cuma tempat tinggal seorang janda, tidak enak untuk memberi menginap orang, entah Pek-tianglo apakah masih ada pesan lain?"

Dengan ucapannya itu, terang secara halus ia menyilakan tetamunya lekas pergi.

Maka A Cu menjawab, "Kedatanganku ini tiada lain ialah ingin mengusulkan agar Hujin suka menyingkir dulu dari sini, entah bagaimana keputusan Hujin?"

Be-hujin menghela napas, katanya, "Kiau Hong sudah membunuh suamiku, jika aku dibunuh pula, aku akan lebih cepat menyusul Tai-goan di alam baka. Meski aku hanya seorang wanita lemah, tidak nanti aku takut mati."

"Jadi tegasnya Hujin sudah bertekad takkan meninggalkan tempat ini?" tanya A Cu.

"Banyak terima kasih atas maksud baik Pek-tianglo, memang begitulah keputusanku," sahut Be-hujin.

A Cu menghela napas gegetun, katanya kemudian," Sebenarnya aku harus tinggal beberapa hari di sekitar sini sekedar menjaga keselamatan Hujin. Walaupun benar aku bukan tandingan keparat Kiau Hong itu, tapi pada saat genting paling tidak akan bertambah seorang pembantu. Cuma di tengah jalan tadi kembali aku mendapat sesuatu berita yang sangat rahasia."

"O, tentunya sangat penting." ujar Be-hujin.

Pada umumnya kaum wanita paling suka mencari tahu sesuatu, biarpun urusan itu tiada sangkut-paut dengan diri sendiri sedapatnya ingin tahu juga, apalagi kalau urusan itu dikatakan sangat penting dan penuh rahasia. Tapi aneh, sikap Be-hujin ternyata dingin saja tanpa tertarik oleh obrolan A Cu itu.

Diam-diam Siau Hong merasa heran oleh sikap janda itu. Dalam pada itu A Cu telah memberi tanda kepadanya dan berkata, "Kamu keluar dulu, tunggu di luar saja, ada urusan rahasia yang ingin kubicarakan dengan Hujin."

Siau Hong mengangguk, segera ia bertindak keluar. Diam diam ia memuji kecerdikan A Cu.

Maklum, jika kita ingin tahu rahasia orang lain, maka lebih dulu perlu memberitahukan sesuatu yang penting juga padanya, dengan demikian pihak sana akan menaruh kepercayaan padamu.

Pada umumnya, seorang yang mengetahui sesuatu rahasia, biasanya sukar disuruh tutup mulut, sebab ia akan merasa bangga jika dapat memberitahukan rahasia itu kepada orang ketiga, asalkan kamu dapat menunjukkan bahwa kamu adalah orang yang dapat dipercaya, maka besar kemungkinan kamu akan diberitahu rahasia itu.

Begitu pula letak kecerdikan A Cu. Ia sengaja menyingkirkan Siau Hong untuk mendapatkan kepercayaan Be-hujin sebagai tanda bahwa rahasia yang dia ketahui itu benar-benar sangat penting, sebab pengikutnya yang dipercaya pun tidak boleh ikut mendengarkan.

Tapi setiba di luar rumah, segera Siau Hong mengitar pula ke sisi rumah, ia mendekam di bawah jendela ruang tamu itu untuk mendengarkan siapakah nama musuh besarnya itu jika sebentar Be-hujin kena dipancing oleh A Cu.

Tapi sampai sekian lamanya keadaan dalam ruangan ternyata sepi-sepi saja. Siau Hong mendekam di luar jendela dengan sendirinya tidak mengetahui keadaan di dalam. Dan sesudah sejenak kemudian, barulah terdengar Be-hujin membuka mata dengan menghela napas perlahan, "Untuk apa kaudatang kemari lagi?"

Siau Hong menjadi heran apa maksud pertanyaan itu. Baru sekali ini A Cu datang ke situ dengan menyamar, mengapa ditegur "untuk apa datang lagi?"

Ia dengar A Cu sedang menjawab, "Aku benar-benar mendapat kabar bahwa Kiau Hong bermaksud mencelakaimu, maka jauh-jauh sengaja datang kemari untuk memberitahukan padamu."

"Oh, te ...terima kasih atas maksud baik Pek-tianglo," sahut Be-hujin.

"Be-hujin," demikian tiba-tiba A Cu menahan suaranya, "sejak Be-hiante meninggal, banyak diantara para Tianglo kita ingin memperingati jasa-jasanya dahulu, maka ada maksud mengundang engkau sudi menjabat kedudukan Tianglo di dalam Pang kita."

Ucapan A Cu itu bernada sungguh-sungguh, sebaiknya diam-diam Siau Hong merasa geli. Tapi mau-tak-mau ia pun memuji kepintaran A Cu. Tak peduli Be-hujin akan terima atau tidak atas tawaran itu, paling sedikit janda muda itu akan dibikin senang dulu hatinya.

Maka terdengar Be-hujin menjawab, "Ah, aku mempunyai kepandaian apa sehingga ada harganya diangkat menjadi Tianglo Pang kita? Padahal aku pun tidak menjadi anggota Kai-pang, apa kedudukan 'Tianglo' itu tidak selisih terlalu jauh dengan diriku?"

"Tapi aku bersama Song-tianglo, Go-tianglo dan lain-lain mendukung dengan sepenuh tenaga dan soal ini mungkin segera akan menjadi kenyataan," kata A Cu. "Selain itu, aku mendapat pula suatu berita maha penting, yaitu ada sangkut-pautnya dengan terbunuhnya Be-hiante."

"Oh, ya?" sahut Be-hujin dengan nada tetap dingin.

"Tempo hari waktu melawat Ci-tianglo di kota Wi-hui, aku bertemu dengan Tio-ci-sun, dia memberitahukan sesuatu padaku bahwa dia mengetahui siapa pembunuh Be-hiante."

Mendadak terdengar suara nyaring pecahnya cangkir jatuh, Be-hujin berseru kaget, lalu berkata, "Engkau ber... berkelakar?"

Suaranya kedengaran sangat marah, tapi juga ada gugup dan kuatir.

"Sungguh, begitulah Tio-ci-sun katakan padaku," demikian A Cu menegaskan. "Dia mengetahui pembunuh Be-hiante yang sebenarnya."

"Omong kosong, omong kosong! Dari mana dia tahu? Engkau ngaco belo belaka!" seru Be-hujin dengan suara gemetar.

"Tapi memang benar begitu, Hujin jangan kuatir, dengarkan yang jelas," demikian A Cu menjawab pula. "Kata Tio-ci-sun: 'Pada hari Tiongchiu tahun lalu .... "

Belum selesai ucapannya, kembali terdengar Be-hujin menjerit kaget sekali, menyusul orangnya lantas jatuh pingsan.

"Be-hujin, Be-hujin!" cepat A Cu berusaha menyadarkannya dengan memijat Jin-tiong-hiat, yaitu tempat di bawah hidung dan di atas bibir nyonya janda itu.

Maka perlahan Be-hujin siuman kembali, katanya segera, "Ken ... kenapa engkau menakut-nakuti aku?"

"Bukan menakut-nakutimu, tapi benar-benar Tio-ci-sun berkata begitu padaku," sahut A Cu. "Cuma sayang dia sudah mati sekarang, kalau tidak tentu dapat dijadikan saksi. Dia menceritakan bahwa pada hari Tiongchiu tahun yang lalu, Kiau Hong, Tam-kong, Tam-poh dan ada lagi pembunuh Be-hiante itu, mereka bersama-sama merayakan hari Tiongchiu di rumah 'Toako pemimpin' itu."

"Apa benar dia mengatakan begitu?" terdengar Be-hujin menarik napas lega.

"Memang begitu," sahut A Cu. "Semula aku juga tidak percaya, maka telah kutanya Tam-kong, tapi kakek itu hanya mendelik dan tidak mau mengatakan, sebaliknya Tam-poh lantas membenarkan keterangan Tio-ci-sun itu, sebab dia sendirilah yang mengatakan kejadian itu kepada Tio-ci-sun. Pantas saja Tam-kong marah, sebab sang istri dianggap suka memberitahukan segala apa kepada Tio-ci-sun?"

"Oh, lalu bagaimana?" tanya Be-hujin.

"Lalu urusan menjadi mudah diselidiki bukan?" sahut A Cu. "Yang berkumpul di rumah 'Toako pemimpin' itu terbatas dari beberapa orang saja. Cuma sayang Tam-kong dan Tam-poh sudah mati, Kiau Hong adalah musuh kita, tidak mungkin dia mau mengatakan, maka terpaksa kita harus tanya sendiri kepada Toako pemimpin itu."

"Ehm, boleh juga, memang harus kautanya padanya." ujar Be-hujin.

"Tapi, sesungguhnya juga mentertawakan sebab siapa gerangan Toako pemimpin itu, di mana tempat tinggalnya, aku sendiri pun tidak tahu."

"Hm, kaubicara berputar-putar, ternyata tujuanmu adalah ingin memancing nama Toako pemimpin itu." kata Be-hujin.

"Ya, jika kurang bebas, tak usah hujin katakan padaku. Hujin sendiri boleh menyelidiki dulu hingga terang, lalu kita akan bikin perhitungan pada pembunuh itu," sahut A Cu.

Siau Hong tahu siasat A Cu itu adalah 'mundur dulu untuk kemudian mendesak maju'. Pura-pura tidak menaruh perhatian agar tidak menimbulkan curiga Be-hujin, tapi di dalam hati sebenarnya sangat gelisah.

Maka terdengar Be-hujin menjawab dengan dingin, "Tentang nama Toako pemimpin itu seharusnya dirahasiakan agar tidak diketahui Kiau Hong, tapi Pek-tianglo adalah orang sendiri, buat apa aku membohongimu? Dia adalah .... "

Tapi sampai di sini, ia tidak melanjutkan lagi.

Keruan Siau Hong sangat tertarik oleh ucapan terakhir itu, ia sedang pasang kuping dengan menahan napas hingga debaran jantung sendiripun kedengaran. Tapi sampai sekian lama Be-hujin tidak menyebut nama "Toako pemimpin" itu.

Agak lama kemudian, dengan menghela napas pelahan barulah Be-hujin membuka suara pula, "Kedudukan Toako pemimpin itu sangat agung, pengaruhnya besar, sekali dia memberi perintah akan dapat mengerahkan berpuluh ribu tenaga. Dia ... dia paling suka membela kawan, jika kautanya dia tentang nama pembunuh Tai-goan, betapa pun takkan dia katakan."

Walaupun mendongkol karena Be-hujin tetap merahasiakan nama Toako pemimpin itu, tapi diam-diam Siau Hong dapat merasa lega, pikirnya ,"Bagaimanapun juga perjalananku ini tidak sia-sia lagi. Biarpun nyonya Be tidak mengatakan nama orang itu, tapi dengan keterangan 'berkedudukan agung, berpengaruh besar, sekali perintah dapat mengerahkan berpuluh ribu tenaga', dari sini dapat kuraba siapa gerangannya. Tokoh hebat seperti itu di dalam Bu-lim tentu dapat dihitung dengan jari."

Sedang Siau Hong mengingat-ingat siapa gerangan tokoh yang dimaksudkan itu, sementara itu terdengar A Cu berkata, "Dalam Bu-lim sekarang tokoh yang sekali perintah dapat mengerahkan berpuluh ribu tenaga, antara lain Pangcu dari Kai-pang memang mempunyai wibawa sebesar itu, begitu pula Ciangbun Hongtiang dari Siau-lim-pai mungkin juga dapat, dan .... dan ....."

"sudahlah, engkau tidak perlu menerka secara ngawur, biarlah kutunjukkan lebih jelas lagi," kata Be-hujin. "Coba arahkan terkaanmu ke jurusan barat daya."

"Barat daya? Masakah di daerah sana ada manusia tokoh besar? agaknya tidak ada." demikian A Cu bergumam sendiri.

Tiba-tiba Be-hujin mengulur jarinya. "plok", mendadak kertas jendela kena ditoblosnya hingga pecah, tempat toblosan jari itu tepat di atas kepala Siau Hong, keruan ia terkejut dan lekas-lekas mengkeret ke bawah.

Maka terdengar Be-hujin sedang berkata, "Aku tidak paham ilmu silat, tapi Pek-tianglo, tentu tahu, siapakah di dunia ini yang paling mahir menggunakan ilmu demikian?"

"Ilmu demikian, ilmu Tiam-hiat dengan jari?" A Cu menegas, "Ah, kukira yang paling lihai antara lain adalah Kim-kong-ci dari Siau-lim-pay, Toat-hun-ci dari keluarga The di Jongcu juga sangat hebat, dan masih ada pula ..."

Diam-diam Siau Hong berteriak-teriak di dalam hati, "Salah, salah! Dalam hal ilmu Tiam-hiat, di jagad ini tiada yang dapat menandingi It-yang-ci keluarga Toan di Taili, apalagi nyonya itu sudah menandaskan letaknya di daerah barat daya."

Benar juga lantas terdengar Be-hujin berkata, "Pengalaman Pek-tianglo sangat luas, tapi mengapa soal kecil ini tidak kauingat lagi? Apa barangkali karena terlalu letih menempuh perjalanan jauh atau karena otakmu tiba-tiba menjadi puntul hingga It-yang-ci yang maha tersohor dari keluarga Toan juga terlupa?"

Ucapan nyonya itu bernada olok-olok, tapi A Cu menjawab, "It-yang-ci keluarga Toan sudah tentu kutahu, tapi keluarga Toan selamanya merajai daerah Taili, sudah lama tiada hubungan dengan dunia persilatan di Tionggoan. Jika dikatakan Toako pemimpin itu ada sangkut-paut dengan keluarga Toan, kukira ada kesalahan dalam pemberitaan orang."

"Meski keluarga Toan adalah raja Taili, tapi anggota keluarga mereka kan tidak cuma satu orang saja," sahut Be-hujin. "Dan orang yang tidak menjadi raja dapat pula sering datang ke Tionggoan sini. Inilah jika kauingin tahu, Toako pemimpin itu tak lain tak bukan adalah adik baginda raja Taili sekarang, she Toan bernama Cing-sun. bergelar Tin-lam-Ong dengan jabatan sebagai Po-kek-tai-ciangkun.

Sebagaimana diketahui, Siau Hong dan A Cu kenal baik dengan Toan Ki dan tahu pula pemuda itu berasal dari Taili. Tapi "Toan" adalah keluarga raja Taili, yaitu sama halnya kerajaan Song she Tio, keluarga kerajaan Se He she Li, keluarga kerajaan Liau she Yaliu, banyak sekali di antara rakyat jelata memiliki she kerajaan itu. Sedangkan Toan Ki sendiri tidak pernah menyatakan dirinya adalah anak raja, dengan sendirinya Siau Hong dan A Cu tidak pernah menduga pemuda itu adalah keturunan raja.

Tapi nama Toan-cing-beng dan Toan Cing-sun sangat tenar sekali di dunia persilatan, demi mendengar Be-hujin menyebut nama "Toan Cing-sun" tadi, seketika badan Siau Hong tergetar. Diam-diam ia pun merasa bersyukur bahwa usahanya selama beberapa bulan ini ternyata tidak sia-sia belaka, akhirnya dapat juga mengetahui nama orang yang dicarinya itu.

Dalam pada itu A Cu lagi berkata, "Kedudukan Toan-ongya itu sangat agung, kenapa dia ikut campur bunuh membunuh di antara orang kangouw?"

"Bunuh membunuh dalam pertarungan biasa di kalangan kangouw sudah tentu Toako pemimpin itu tidak sudi ikut campur, tapi jika menyangkut mati hidup negeri Taili mereka, apakah dia mau tinggal diam?" ujar Be-hujin.

"Sudah tentu dia akan ikut campur," kata A Cu.

"Menurut cerita Ci-tianglo dahulu, katanya kerajaan Song kita adalah penghalang di depan negeri Taili, bila orang Cidan berhasil mencaplok Song, langkah berikutnya adalah Taili yang akan ditelan pula," demikian Be-hujin bercerita. "Sebab itulah sebagai dua negara yang berdampingan laksana antara gigi dan bibir, sudah tentu negeri Taili tak ingin Song kita musnah di tangan orang Cidan."

"Ya, benar juga," sahut A Cu.

Lalu Be-hujin melanjutkan, "Menurut cerita Ci-tianglo, waktu itu kebetulan Toan-ongya sedang bertamu di markas pusat Kai-pang, tengah Ong-pangcu menjamu Toan-ongya, tiba-tiba mendapat kabar bahwa jago Cidan akan menyerbu Siau-lim-si untuk merampok kitab pusaka biara bersejarah itu. Tanpa pikir lagi Toako pemimpin lantas mengerahkan para ksatria, menuju Gan-bun-koan untuk mencegat kedatangan musuh. Padahal tindakan ini lebih tepat dikatakan demi keselamatan negeri Taili sendiri. Konon ilmu silat Toan-ongya itu sangat tinggi, orangnya sangat baik budi pula. Kedudukannya sangat diagungkan di negeri Taili, dia berani membuang uang seperti membuang sampah, asal ada orang membuka mulut padanya, biarpun beratus atau beribu tahil perak juga tidak menjadi soal baginya. Coba, orang yang royal seperti dia, kalau bukan dia yang diangkat menjadi Toako pemimpin dari jago-jago silat Tionggoa, habis siapa lagi?"

"Kiranya Toako pemimpin itu tak-lain-tak-bukan adalah Tin-lam-ong dari negeri Taili, dan semua orang sampai mati juga tak mau mengaku, kiranya demi untuk membela dia," kata A Cu.

"Pek-tianglo, rahasia ini jangan sekali-kali kau katakan lagi kepada orang ketiga, hubungan Toan-ongya dengan Kai-pang kita adalah lain daripada yang lain, jika rahasia ini tersiar tidak sedikit bahayanya," demikian pinta Be-hujin.

"Ya, sudah tentu takkan kubocorkan rahasia ini," sahut A Cu.

"Pek-tianglo, paling baik engkau bersumpah agar aku tidak ragu," kata janda muda itu.

"Baiklah," jawab A Cu tanpa pikir. "Bila Pek Si-kia memberitahukan pada orang lain tentang rahasia 'Toako pemimpin' itu adalah Toan Cing-sun, biarlah Pek Si-kia mengalami nasib dicencang tubuhnya, badan Pek Si-kia akan hancur dan nama busuk, selamanya Pek Si-kia akan dikutuk oleh sesama kawan Bu-lim."

Demikianlah kelicikan A Cu. Sumpahnya itu kedengarannya sangat berat, tapi sebenarnya sangat licin. Setiap kata ia uruk semua dosa atas diri Pek Si-kia, orang yang akan dicencang hingga luluh adalah Pek Si-kia, yang akan busuk namanya dan dikutuk adalah Pek Si-kia dan tiada sangkut paut apa-apa dengan A Cu.

Namun Be-hujin ternyata sangat puas mendengar sumpah itu.

Lalu A Cu berkata pula,"Jika nanti aku bertemu dengan Tin-lam-ong dari Taili itu, aku akan berusaha memancing dia menceritakan siapa-siapa lagi yang ikut hadir di rumahnya waktu merayakan hari Tiongciu tahun yang lalu, dari situ tentu aku dapat mengetahui siapa pembunuh Be-hiante yang sebenarnya."

Dengan terharu lalu Be-hujin mengucapkan terima kasihnya.

"Harap Hujin menjaga diri baik-baik, Caihe ingin mohon diri saja," demikian A Cu lantas pamit.

"Siulicu baru menjadi janda, maafkan kalau tidak dapat mengantar jauh-jauh," ujar Be-hujin.

"Ah, Hujin jangan sungkan," sahut A Cu sambil mengundurkan diri. Sampai di luar, ia lihat Siau Hong sudah menanti di kejauhan. Mereka hanya saling pandang sekejap, tanpa berkata lagi mereka lantas menuju ke arah datangnya tadi.

"Suasana sunyi senyap, rembulan sabit remang-remang menyinari jalan ranya Sin-yang itu. Siau Hong jalan berendeng dengan A Cu. Sesudah belasan li jauhnya, dengan menghela napas kemudian Siau Hong berkata, "Terima kasih, A Cu."

Tapi A Cu cuma tersenyum tawar saja, tanpa menjawab. Meski muka A Cu penuh keriput karena dalam penyamarannya sekbagai Pek Si-kia, tapi dari sorot matanya Siau Hong dapat menyelami perasaan A Cu yang menanggung rasa kuatir, ragu dan cemas.

Segera Siau Hong tanya, "Usaha kita telah berhasil dengan baik, mengapa engkau malah murung?"

"Kupikir keluarga Toan di Taili itu, bukanlah sembarangan orang, jika engkau pergi ke sana seorang diri untuk menuntut balas, sungguh besar sekali resikonya bagimu," demikian sahut A Cu.

"O, kiranya kamu merasa kuatir bagiku," ujar Siau Hong. "Tapi tak perlu kaukuatirkan, sama sekali aku takkan bertindak secara gegabah. Seperti apa yang dikatakan Be-hujin, andaikan tiga tahun atau lima tahun belum berhasil membalas dendam, biarlah aku menanti hingga delapan tahun atau sepuluh tahun. Pada akhirnya pasti akan datang suatu hari, di mana aku akan mencacah badan Toan Cing-sun untuk umpan anjing liar."

Bicara sampai di sini, tak tertahan lagi ia mengertak gigi dengan penuh rasa dendam kesumat.

"Toako, betapapun engkau harus bertindak secara hati-hati," kata A Cu.

"Sudah tentu, jiwaku tidak menjadi soal, tapi sakit hati ayah bundaku kalau tidak terbalas, matipun aku takkan tentram," sahut Siau Hong. Perlahan ia pegang tangan A Cu yang halus itu, lalu sambungnya,"A Cu, jika aku terbinasa di tangan Toan Cing-sun, lalu siapakah yang akan mengawalmu berburu dan mengembala domba di luar Gan-bun-koan?"

"Ai, aku justru sangat takut, aku merasa dalam urusan ini ada sesuatu yang tidak beres," sahut A Cu. "Be-hujin ... Be-hujin yang berwujud cantik molek itu, entah mengapa, asal dipandang dia lantas timbul rasa takut dan jemu dalam diriku."

"Janda muda itu sangat pintar dan cerdik, karena kau kuatir penyamaranmu diketahui, dengan sendirinya kautakut padanya." ujar Siau Hong.

Dan sesudah mereka sampai di hotel dalam kota Sin-yang, segera Siau Hong minta pelayan membawakan arak, ia minum sepuasnya tanpa batas sambil memeras otak bagaimana jalan paling baik untuk menuntut balas.

Demi teringat keluarga Toan di Taili, dengan sendirinya ia lantas teringat pula kepada saudara angkatnya yang baru, Toan Ki. Tiba-tiba ia terkesiap, dengan termangu-mangu ia angkat mangkuk araknya tanpa meminumnya, air mukanya seketika berubah hebat.

Melihat itu, A Cu mengira sang Toako telah melihat sesuatu apa, ia coba memandang sekitar situ, tapi tiada sesuatu yang mencurigakan. Segera ia tanya dengan perlahan," Toako, ada apakah?"

Karena itu, Siau Hong kaget dan sadar dari lamunannya, sahutnya tergagap-gagap," Oh. ti ... tiada apa-apa."

Lalu ia angkat mangkuk araknya dan sekaligus ditenggaknya hingga habis. Tapi mendadak Siau Hong keselak dan terbatuk-batuk hingga arak yang sudah masuk kerongkongan itu tersembur keluar, baju bagian dada menjadi basah lepek.

Padahal biasanya kekuatan minum arak Siau Hong boleh dikatakan tanpa takaran, betapa tinggi lwekangnya sungguh tiada taranya. Tapi kini minum semangkuk arak saja sudah lantas terselak, hal ini benar-benar sangat luar biasa.

Diam-diam A Cu merasa kuatir, tapi iapun tidak suka banyak bertanya. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa pada waktu minum tadi mendadak Siau Hong teringat pada saat mengadu minum dengan Toan Ki di kota Bu-sik tempo hari, di mana Toan Ki telah menggunakan Khikang yang maha hebat dari "Lak-meh-sin-kiam" untuk memeras air arak yang diminumnya itu hingga mengucur keluar lagi melalu jari tangan. Ilmu sakti semacam itu saja Siau Hong sendiri harus mengaku kalah, apalagi Toan Ki diketahuinya sama sekali tak mahir ilmu silat dan lwekangnya toh sudah begitu lihai.

Kini musuh besarnya, yaitu Toan Cing-sun adalah seorang tokoh terkemuka dari keluarga Toan di Taili, kalau dibandingkan Toan Ki, tidak perlu diragukan lagi pasti berpuluh kali lebih lihai.

Dan jika begitu, dendam kesumat ayah-bunda itu apakah dapat dibalasnya?

Dengan sendirinya Siau Hong tidak tahu bahwa dapatnya Toan Ki memiliki tenaga dalam sehebat itu, hanya secara kebetulan saja karena dia telah makan katak merah hingga timbul tenaga sakti Cu-hap-sin-kang dalam badannya. Kalau melulu bicara tentang tenaga dalam, memang entah berpuluh kali Toan Ki lebih kuat daripada ayahnya. Tapi dala, hal "Lak-meh-sin-kiam," di dunia ini, selain Toan Ki hakikatnya tiada orang kedua lagi yang mampu memainkannya secara lengkap. Walaupun A Cu tidak tahu persis apa yang sedang dipikirkan sang Toako, tapi ia dapat menduga pasti mengenai urusan membalas dendam. Maka hiburnya, "Toako, soal menuntut balas tidak perlu terlalu tergesa-gesa. Kita harus menyiapkan rencanya untuk kemudian bertindak. Andaikan jumlah musuh lebih banyak daripada kita, kalau kita tak bisa menang dengan kekuatan, apakah kita tak dapat mengalahkan mereka dengan akal?"

Siau Hong menjadi girang, teringat olehnya gadis itu sangat cerdik dan banyak tipu akalnya, sungguh merupakan seorang pembantu terpercaya.

Segera ia menuang arak pula semangkuk penuh dan ditenggaknya habis, lalu katanya, "Ya, benar. Tak bisa menang dengan kekuatan, biarlah kita melawannya dengan akal. Sakit hati ayah bunda setinggi langit, dendam kesumat ini harus kubalas, maka tentang peraturan dan etika kangouw tak perlu lagi digubris, segala cara keji pun boleh dipakai."

"Toako, selain dendam ayah-ibu kandungmu, ada pula sakit hati pembunuhan ayah-bunda angkat dan dendam kesumat gurum Hian-koh Taisu," kata A Cu.

"Benar!" seru Siau Hong mendadak sambil mengebrak meja. "Sakit hati berganda itu masakah cuma sekali urus dapat selesai?"

"Toako, dahulu waktu engkau belajar silat dengan padri saleh dari Siau-lim-su itu, mungkin karena usiamu masih terlalu muda hingga lwekang yang paling hebat dari Siau-lim-si itu tidak lengkap kaupelajari. Coba kalau engkau mempelajarinya, betapa lihai It-yang-ci dari keluarga Toan di Taili juga bukan tandingan 'Ih-kin-keng' ciptaan Dharma Cosu dari Siau-lim-si." demikian kata A Cu. "Aku pernah dengar cerita Buyung-loya tentang berbagai aliran ilmu silat di dunia ini, beliau mengatakan ilmu silat andalan keluarga Toan di Taili yang paling lihai bukanlah It-yang-ci, tapi semacam ilmu yang disebut Lak-meh-sin-kiam."

"Benar," kata Siau Hong sambil berkerut kening. "Buyung-cianpwe itu adalah orang kosen Bu-lim, setiap pandangannya memang tepat sekali. Sebabnya aku merasa sedih tadi justru sedang memikirkan Lak-meh-sin-kiam yang lihai itu."

"Dahulu waktu Buyung-loya membicarakan ilmu silat di dunia ini dengan Kongcu, selalu aku berdiri di samping untuk melayani mereka, dengan sendirinya aku dapat mendengar sedikit-banyak apa yang mereka percakapkan." demikian A Cu menutur lebih jauh. "Menurut Buyung-loya, ke-72 macam ilmu silat Siau-lim-si yang terkenal itu sebenarnya cuma ciasa saja, selain dapat memainkan, bahkan beliau dapat mematahkan setiap ilmu silat itu!"

"ai, sungguh Cianpwe yang hebat, sungguh menyesal aku tidak dapat berkenalan dengan beliau," kata Siau Hong dengan gegetun.

Maka A Cu menyambung pula ceritanya, "Waktu itu Buyung-kongcu telah menjawab, 'Ayah,

Kohbo (bibi) dari keluarga Ong dan Piaumoay justru suka mengagulkan pengetahuan mereka yang luas dalam hal ilmu silat di jagat ini, tapi kalau cuma luas pengetahuannya tanpa mempelajari dengan mahir, apa gunanya?' dan Buyung-loya menjawab, "Bicara tentang mahir tidak gampang soalnya? Padahal ilmu silat sejati Siau-lim-pai terletak pada kitab Ih-kin-keng, asal kitab itu dapat dibaca dan dilatih hingga sempurna, maka segala ilmu silat yang biasa jika dimainkan pasti akan berubah menjadi maha sakti dan tiada terkatakan daya gunanya!"

"Siau Hong mengangguk-angguk tanda sependapat dengan cerita itu. Memang, asal dasarnya tak terkatakan. Itulah makanya tempo hari ia menolong A Cu tanpa memikirkan sebab dan akibatnya.

Maka A Cu berkata pula, "Tatkala mana Buyung-loya telah menguraikan kitab Ih-kin-keng dari Siau-lim-pai secara jelas kepada Kongcu. Kata beliau, 'Ih-kin-keng dari Dharma Cosu itu meski tidak pernah kulihat, tapi kalau dilihat secara ilmiah dalam ilmu silat, sebabnya Siau-lim-pai dapat tersohor sebenarnya adalah jasa Ih-kin-keng itu. Ke-72 macam ilmu silat yang hebat itu meski masing-masing ada kebagusan sendiri-sendiri, tapi kalau melulu mengandalkan ke-72 macam ilmu itu rasanya masih belum cukup untuk memimpin dunia persilatan dan dipuja sebagai pusat ilmu silat dunia.

"Walaupun demikian, Loya lantas memberi petua kepada Kongcu agar jangan dumeh ilmu silat warisan leluhur sendiri sangat hebat, lalu memandang enteng anak murid Siau-lim-pai. Dengan memiliki Ih-kin-keng, bukan mustahil dalam Siau-lim-si itu terdapat padri yang berbakat kuat hingga dapat memahami isi kitab pusaka itu.

"Pandangan Buyung-siansing itu memang benar dan sangat tepat," ujar Siau Hong.

"Dan sesudah Loya meninggal dunia, terkadang Kongcu suka membicarakan pesan Loya, katanya selama hidup beliau boleh dibilang sudah pernah melihat segala macam ilmu silat di dunia ini, cuma sayang 'Lak-meh-sin-kiam-keng' dari keluarga Toan di Taili dan 'Ih-kin-keng' dari Siau-lim-pai, hanya dua macam kitab itulah yang belum pernah dilihatnya.

"Dalam pembicaraan Loya kedua kitab ilmu silat itu telah disinggung bersama, maka dapat diduga, jika ingin melawan Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan di Taili, agaknya orang harus menggunakan Ih-kin-keng dari Siau-lim-pai itu. Maka bila orang dapat mencuri Ih-kin-keng yang disimpan di Po-te-ih dalam Siau-lim-si itu, lalu melatihnya selama beberapa tahun, maka terhadap Lak-meh-sin-kiam atau Chit-meh-im-to apa segala kuyakin tidak perlu takut lagi."

"Bicara sampai di sini, wajah A Cu menampilkan sikap senyum tak senyum yang aneh.

Mendadak Siau Hong melonjak, teringat sesuatu olehnya, serunya dengan tertawa, "Hah, kiranya engkau ... engkau setan cilik ini ...."

"Toako," sahut A Cu dengan tertawa, "dengan mencuri kitab ini sebenarnya maksudku akan kupersembahkan kepada Buyung-kongcu, dan sesudah dibacanya akan kubakar di depan makam Loya untuk memenuhi harapannya yang belum tercapai pada masa hidupnya. Tapi kini, sudah tentu kupersembahkan kitab ini kepadamu."

Habis berkata, terus saja ia mengeluarkan satu bungkusan kecil dan diserahkan pada Siau Hong.

Seperti diketahui, malam itu dengan mata kepala sendiri Siau Hong menyaksikan A Cu menyamar menjadi Ti-jing Hwesio dan berhasil mencuri sesuatu dari balik cermin perunggu di ruang Po-te-ih di Siau-lim-si itu, sungguh tak tersangka bahwa barang curian it adalah Ih-

kin-keng yang merupakan Lwekang-pit-kip atau kitap pusaka berlatih lwekang yang paling hebat dari Siau-lim-pai.

Waktu A Cu tertawan di Cip-hian-ceng, karena dia adalah kaum wanita, para ksatria tidak menggeledah badannya, dengan sendirinya Hian-cit dan Hian-lan Taisu dari Siau-lim-si itu mimpipun tidak menyangka bahwa kitab pusaka biara mereka justru berada pada gadis itu.

Begitulah maka Siau Hong geleng-geleng kepala, katanya, "Kamu telah menyerempet bahaya dan akhirnya berhasil mencuri kitab ini, jika maksud tujuanmu sebenarnya hendak dipersembahkan kepada Buyung-kongcu, mana boleh sekarang aku menerimanya?"

"Toako," kata A Cu, "Engkau salah!"

Siau Hong menjadi heran, sahutnya,"Mengapa aku salah?"

"Habis kitab ini kucuri bukan atas perintah Buyung-kongcu, tapi adalah maksud yang timbul dari pikiranku sendiri. Sekarang ingin kuserahkan kitab ini kepada siapa saja kan tiada yang dapat melarang aku? Apalagi jika kitab ini sudah kaubaca, kita masih dapat menyerahkan pula kepada Buyung-kongcu. Dendam kesumat ayah-bundamu harus dibalas, maka segala jalan baik yang terang-terangan, maupun yang sembunyi, baik yang keji maupun yang kotor juga harus kita tempuh, mengapa soal pinjam lihat satu jilid kitab seperti ini mesti main sungkan?"

Ucapan A Cu benar-benar telah menggugah semangat Siau Hong, dengan sungguh-sungguh ia memberi hormat kepada si gadis, katanya, "Memang benar teguran Hianmoay, demi urusan besar masakah mesti pikirkan soal kecil?"

A Cu tertawa, sahutnya, "Apalagi engkau sendiri asalnya juga anak murip Siau-lim-pai, dengan memakai ilmu Siau-lim-pai untuk membalas sakit hati Hian-koh Taisu justru suatu tindakan yang tepat dan masuk diakal, masakah keliru perbuatan kita ini?"

Sungguh girang dan terima kasih Siau Hong tak terhingga. Segera ia membuka buntalan kertas minyak tadi, ia lihat isinya adalah satu jilid buku kecil berwarna kuning. Di atas kulit buku tertulis beberapa huruf aneh yang tak dikenalnya.

Diam-diam Siau Hong mengeluh. Ia coba membalik halaman pertama kitab itu, ia lihat di situ penuh tertulis huruf yang mencang-mencong ada yang melingkar-lingkar, ada yang serabutan seperti cakar ayam, satu huruf pun tak dikenalnya.

"Ai, kiranya tulisan Hindu kuno, sialan!" demikian seru A Cu. "Waktu aku menyaru sebagai Ti-jing Hwesio, di sana aku dapat menyelidiki dengan jelas, bahwa kitab asli Ih-kin-keng tersimpan di suatu tempat rahasia di ruang Po-te-ih. Dan hasilnya apa yang kucuri ini memang benar adalah kitab dalam naskah aslinya, tahu begini, lebih baik aku mencari kitab salinannya saja dalam bahasa kita. Ai, pantas saja padri-padri itu tidak begitu pusing karena kitab pusaka mereka dicuri, kiranya disebabkan kitab ini tiada seorangpun diantara mereka yang dapat membacanya ...."

Sambil berkata, berulang-ulang ia menghela napas dengan menyesal dan lesu.

Siau Hong menuangi mangkuknya pula hingga penuh, lalu katanya, "Hianmoay, urusan ini tidak perlu dipikirkan lagi ...."

"Hai, ada akal!" mendadak A Cu berseru sambil melonjak girang. "Aku yakin ada seorang yang kenal tulisan Hindu kuno ini. Ialah seorang Hoanceng (padri asing), kepandaian padri itu pun sangat hebat."

"Lalu ia ceritakan kejadian Toan Ki ditawan oleh Cumoti, yaitu padri sakti negeri Turfan, dan mengondolnya ke Koh soh hendak mencari Buyung-siangsing, tapi tak bertemu.

Cerita ini baru pertama kali didengar Siau Hong, keruan ia sangat heran bahwa ada seorang padri asing yang begitu lihai. Cuma ia pun ragu, sebab ilmu silat A Cu sendiri tidak terlalu tinggi, untuk menilai kepandaian orang lain mungkin tidak tepat menurut kenyataannya, apalagi Cumoti itu juga tidak pernah bergebrak sungguh dengan jago kelas satu di hadapan A Cu, maka cerita itu tidak terlalu dalam berkesan di dalam hati Siau Hong, ia pikir sesudah padri itu tidak menemukan orang yang dicarinya, mungkin kini sudah pulang ke Turfan.

Segera ia bungkus kembali kitab Ih-kin-keng itu dan diserahkan kepada A Cu.

"Simpanlah di tempatmu kan sama saja? Masakah di antara kita masih ada perbedaan antara punyamu dan punyaku?" ujar A Cu.

Siau Hong tersenyum, lalu ia masukkan bungkusan itu ke dalam bajunya. Segera ia tenggak habis lagi semangkuk araknya.

Dan selagi ia hendak minum pula, tiba-tiba terdengar suara ramai orang bertindak di luar pintu, mendadak muncul seorang laki-laki tegap yang sekujur badannya berlumuran darah, tangannya membawa sebatang kapak besar sambil mengabat-abitkan senjata itu ke udara dengan serabutan.

Laki-laki tegap itu penuh berewok, sikapnya gagah dan tangkas, tapi sinar matanya tampak buram, kelakuannya seperti orang kurang waras, terang seorang gila.

Siau Hong melihat kapak yang dibawa orang itu buatan dari baja murni, mantap sekali bobotnya, tapi ketika diputar orang itu, bukan saja gerak-geriknya sangat teratur, bahkan serangannya tangkas dan penjagaannya rapat, terang bukanlah sembarangan orang gila.

Banyak tokoh Tiongoan yang dikenal Siau Hong, tapi laki-laki ini ternyata tidak dikenalnya, pikirnya,"Poh-hoat (ilmu permainan kapak) orang ini terang sangat hebat tapi mengapa tidak pernah kudengar ada seorang jago selihai ini?"

Dalam pada itu laki-laki itu memainkan kapaknya semakin kencang sambil berteriak-teriak, "Lekas, lekas memberi lapor kepada Cukong, katakan musuh sudah datang!"

Karena dia mengabit-abitkan kapaknya di tengah jalan, dengan sendirinya orang yang ingin lewat menjadi takut. Dari sikap orang yang cemas dan kuatir itu, Siau Hong menduga laki-laki itu pasti mengalami sesuatu kejadian yang menakutkan, dari permainan kapaknya itu dapat dilihat pula tenaganya mulai lemah, tapi laki-laki itu masih terus bertahan sekuatnya sambil berteriak-teriak pula, "Cu-hiante, lekas mundur, tak usah urus diriku, lekas memberi kabar kepada Cukong(majikan) lebih penting!"

"Orang ini membela majikannya dengan setia, nyata seorang laki-laki yang harus dipuji, caranya memainkan kapaknya ini sangat memakan tenaga, luka dalam yang akan dideritanya tentu sangat parah." demikian pikir Siau Hong. Segera ia melangkah keluar kedai dan mendekati laki-laki itu, katanya ,"Lauhia (saudara), apakah suka kuajak minum barang secawan dulu?"

Tapi laki-laki itu menjawabnya dengan mata mendelik, mendadak ia berteriak. "Tai-ok-jin, jangan kaulukai Cukongku!"

Berbareng itu kapaknya terus membacok ke atas kepala Siau Hong.

Keruan orang-orang yang menonton di pinggir jalan sama berteriak kaget.

"Siau Hong juga terkesiap ketika mendengar kata "Tai-ok-jin". Pikirnya, "Aku dan A Cu justru ingin mencari Tai-ok-jin untuk menuntut balas, kiranya musuh laki-laki ini pun Tai-ok-jin. Meski Tai-ok-jin yang dimaksudkan belum tentu orang yang sama daripada Tai-ok-jin yang hendak kami cari itu, tapi betapapun biarlah kutolong dulu orang ini."

Karena itu, bukannya dia mundur untuk menghindarkan serangan laki-laki gila itu, sebaliknya ia mendesak maju terus menutuk hiat-to di iga orang.

Tak tersangka, meski pikiran laki-laki itu kurang waras, tapi ilmu silatnya ternyata sangat hebat. Kapak yang luput mengenai sasarannya tadi terus diayun naik ke atas untuk menjojoh perut Siau Hong.

Coba kalau ilmu silat Siau Hong tidak jauh lebih tinggi daripada laki-laki itu, pasti serangan ini akan melukainya. Maka cepat Siau Hong ulur tangan kirinya dan tahu-tahu orang itu kena dipegang olehnya terus ditariknya.

Tarikan itu mengandung tenaga dalam yang sangat kuat, memangnya laki-laki itu sudah dalam keadaan payah, dengan sendirinya ia tidak tahan. Badan tergetar dan mendadak ia menubruk ke arah Siau Hong. Rupanya ia menjadi nekat dan bermaksud gugur bersama dengan lawan.

Tapi tangan Siau Hong sangat panjang dan kuat, sekali ia rangkul, tepat laki-laki itu kena disikapnya, sedikit ia kerahkan tenaga, orang itu tidak bisa berkutik lagi.

Jilid 35

Dalam pada itu di tepi jalan sudah banyak berkerumun penonton, demi menyaksikan Siau Hong dapat menaklukkan orang gila itu, serentak mereka bersorak memuji.

Lalu sambil merangkul dan setengah mennyeret Siau Hong membawa laki-laki itu ke dalam kedai arak serta dipaksanya berduduk, katanya, "Silahkan minum arak dulu, saudara!"

Sambil berkata, ia terus menuangkan semangkuk arak dan disodorkan ke hadapan laki-laki itu.

Dengan mata tak berkedip laki-laki itu melototi Siau Hong hingga lama, akhirnya ia bertanya,"Engkau ini orang ... orang baik atau orang jahat?"

Pertanyaan itu membikin Siau Hong melengak hingga susah untuk menjawabnya. Syukur A Cu lantas menyambut dengan tertawa," Sudah tentu dia orang baik. Aku pun orang baik dan engkau juga orang baik. Kita adalah kawan, marilah kita pergi untuk menghajar Tai-ok-jin."

Orang itu tampak bingung sebentar, ia pandang Siau Hong dan pandang A cu pula, seperti percaya dan seperti tidak, selang sejenak baru ia berkata pula, "Dan ke manakah Tai-ok-jin itu?"

"Kita adalah kawan, mari kita pergi menghajar Tai-ok-jin," kata A Cu pula.

Mendadak laki-laki itu berbangkit dan berseru,"Tidak, tidak! Tai-ok-jin itu terlampau lihai, lekas beritahukan kepada Cukong agar beliau cepat mencari jalan untuk menghindarinya. Biar aku merintangi Tai-ok-jin dan lekas kau pergi memberi kabar kepada Cukong."

Habis berkata, segera ia pegang kapaknya pula dan hendak melangkah pergi.

Namun Siau Hong lantas tahan pundak orang, katanya," Sabar dulu, saudara. Tai-ok-jin belum datang. Jangan kuatir. Siapakah Cukongmu? dia berada di mana?"

Tapi mendadak orang itu berteriak malah, "Marilah Tai-ok-jin, ayo boleh kita coba-coba, biar Locu menempurmu 300 jurus, jangan harap kamu mampu mencelakai majikanku!"

Siau Hong dan A Cu kewalahan, mereka saling pandang dan tak berdaya.

Sejenak kemudian, tiba-tiba A Cu berseru, "Ai, celaka, kita harus lekas memberi kabar kepada Cukong. Tapi di manakah Cukong berada sekarang? ke manakah perginya, jangan sampai Tai-ok-jin dapat mencarinya."

"Ya, benar, lekas kauberi kabar padanya!" seru laki-laki itu. "CUkong sedang pergi ke rumah keluarga Wi di Hong-tiok-lim di Siau-keng-oh. Ayolah lekas pergi ke sana dan memberi kabar padanya.

Lalu berulang-ulang ia mendesak pula dengan penuh rasa kuatir.

Wah, Siau-keng-oh? Itu jarak yang tidak dekat," demikian mendadak si pelayan kedai arak menimbrung.

Mendengar bahwa ada suatu tempat yang benar bernama "Siau-keng-oh" (danau cermin kecil), segera Siau Hong bertanya, "Di manakah letak tempat itu? Berapa jauhnya dari sini?"

"Kalau tanya orang lain mungkin tak tahu, kebetulan tuan bertemu aku, maka untunglah bagi tuan, sebab aku berasal dari daerah Siau-keng-oh, sungguh sangat kebetulan.

Kuatir si pelayan bicara bertele-tele lagi, segera Siau Hong menggebrak meja dan membentak, "Lekas katakan, jangan melantur!"

Sebenarnya si pelayan bermaksud mencari persen dengan keterangannya yang akan diberitakan itu, tapi karena digertak Siau Hong, ia jadi tidak berani jual mahal lagi, segera ia menutur, "Siau-keng-oh terletak di arah barat laut, dari sini tuan harus lurus ke jurusan barat, kira-kira tujuh li jauhnya, jika di tepi jalan tuan melihat empat pohon liu besar berjajar, dari situ tuan harus membelok ke utara, setelah 10 li lagi, di mana terdapat satu jembatan batu, tapi jangan tuan menyeberangi jembatan ini jika tuan tidak ingin kesasar, sebaliknya tuan harus ambil jalan menyeberang melalu sebuah jembatan kayu disebelah kanannya. Lewat jembatan kayu kecil itu, sebentar belok ke kiri dan sebentar putar ke kanan, pendek kata, jalan terus mengikuti jalan batu itu, kira-kira 20 li pula, akhirnya tuan akan melihat sebuah danau yang airnya sangat bening laksana kaca, itulah yang disebut Siau-keng-oh. Itu pula tempat yang tuan hendak cari."

Sungguh dongkol sekali Siau Hong oleh cara menutur si pelayan yang bertele-tele itu, tapi dengan sabar ia berusaha menunggu sampai selesainya penuturan pelayan itu, lalu ia sodorkan beberapa mata uang kepadanya sebagai persen jual omongnya itu.

Dalam pada itu orang tadi masih terus mendesak, "Ayolah, lekas sampaikan kabar kepada Cukong, jika terlambat mungkin tidak keburu lagi. Tai-ok-jin itu teramat lihai."

"Siapakah Cukongmu itu?" tanya Siau Hong.

"Cukong ... Cukong, ah, tempat perginya itu tidak boleh kuberitahukan kepada siapa pun, maka janganlah kaupergi ke sana," kata orang itu.

"Kamu she apa?" seru Siau Hong mendadak.

"Aku she Siau," sahut orang itu.

Siau Hong menjadi curiga, "Aneh, mengapa ia pun she Siau? Jangan-jangan dia bohong dan sengaja hendak mengolok-olok padaku? Apakah dia sengaja hendak memancing aku pergi ke Siau-keng-oh?"

Tapi segera terpikir pula olehnya," Jika dia sengaja memancing aku ke sana atas perintah Tai-ok-jin, itulah sangat kebetulan, memang aku sendiri juga lagi hendak mencarinya. Biarpun Siau-keng-oh itu merupakan sarang harimau atau kubangan naga juga aku tidak gentar."

Setelah ambil keputusan itu, segera ia berkata kepada A Cu, "Marilah pergi ke Siau-keng-oh, jika majikan saudara ini berada di sana, tentu kita dapat mencarinya."

Lalu ia berpaling kepada orang itu, katanya,"Saudara tentu sudah sangat lelah, silahkan mengaso dulu di sini, biarlah aku mewakilkanmu mengirim kabar kepada majikanmu bahwa sebentar lagi Ta-ok-jin itu akan datang."

"Ya, terima kasih, banyak terima kasih! Aku harus pergi merintangi Tai-ok-jin itu agar dia tak bisa datang ke sana," kata orang itu, lalu ia berdiri dan bermaksud putar kapaknya lagi. Tapi rupanya ia sudah kehabisan tenaga, biarpun kapak itu masih dapat dipegangnya dengan kencang, tapi sudah tidak kuat lagi untuk mengangkatnya.

"Sudahlah, lebih baik saudara mengaso saja di sini," ujar Siau Hong. Lalu ia membereskan rekening minumnya, bersama A Cu segera ia menuju ke barat menurut petunjuk si pelayan tadi.

Antara tujuh-delapan li jauhnya, benar juga di tepi jalan terdapat beberapa pohon liu yang rindang. Di bawah salah satu pohon itu duduk seorang petani. Petani itu duduk bersandar pohon, kedua kakinya terendam di dalam lumpur sawah di tepi jalan.

Pemandangan seperti itu sebenarnya adalah sangat umum di pedesaan, tapi muka petani itu ternyata berlepotan darah, pundaknya memanggul sebatang cangkul yang bentuknya sangat aneh, mata cangkul itu tajam sekali, setiap orang yang melihatnya pasti segera akan tahu cangkul itu adalah sejenis senjata yang sangat lihai.

Ketika Siau Hong mendekatinya, didengarnya pernapasan petani itu terengah-engah, itulah tanda orang terluka dalam yang parah.

Tanpa pikir Siau Hong terus tanya, "Numpang tanya Toako ini, kami diminta oleh seorang kawan yang bersenjata kapak agar mengirim berita ke Siau-keng-oh, apakah betul ini jalan menuju ke Siau-keng-oh?"

Petani itu mendongak, tiba-tiba ia balas tanya malah, "Sobat berkapak itu mati atau hidup sekarang?"

"Ia hanya kehabisan tenaga, rasanya tidak berbahaya bagi jiwanya." sahut Siau Hong.

Petani itu menghela napas lega dan mengucapkan syukur, lalu katanya, "Harap kalian membelok ke utara sana, budi pertolongan kalian ini takkan kulupakan."

Mendengar tutur kata orang bukan sembarangan petani desa, segera Siau Hong tanya pula, "Siapakah she saudara? Apakah kawan saudara orang berkapak itu?"

"Aku she Tang," sahut petani itu. "Silakan tuan lekas menuju ke Siau-keng-oh, Tai-ok-jin itu sudah lewat sejak tadi, sungguh memalukan kalau diceritakan, ternyata aku tidak sanggup merintanginya."

Melihat orang terluka parah, Siau Hong pikir apa yang dikatakan itu pasti tidak dusta, apalagi dilihatnya petani she Tang itu sangat sederhana dan tulus sikapnya, mau-tak-mau menimbulkan rasa suka Siau Hong, Katanya, "Tang-toako, lukamu tidak enteng, dengan senjata apakah Tai-ok-jin itu melukaimu?"

"Dengan sebatang pentung bambu," sahut petani itu.

"Pentung bambu? apakah Pak-kau-pang yang biasa kugunakan itu?" demikian pikir Siau Hong dengan terkesiap.

Ia lihat darah mengucur terus dari dada petani itu, ia coba menyingkap baju orang dan memeriksanya, ternyata dada orang terluka satu lubang sebesar jari dan cukup dalam. Jika betul lobang luka itu kena dijojoh oleh pentung bambu maka terang pentung bambu itu jauh lebih kecil daripada Pak-kau-pang.

Segera Siau Hong menutuk beberapa hiat-to di sekitar luka petani itu untuk mencegah darah keluar lebih banyak dan menghilangkan rasa sakit. Sedang A Cu lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil, ia buka kotak itu dan mengorek sedikit salep dari kotak itu untuk dipoleskan pada luka orang. Katanya kepada Siau Hong, "Obat ini adalah pemberian Tam kong tempo hari, waktu engkau terluka, mestinya akan kububuhkan obat muzijat ini pada lukamu, tapi waktu itu aku tak dapat menemukanmu."

Sementara itu si petani telah berkata pula, "Atas budi kebaikan tuan-tuan, sungguh aku merasa terima kasih tidak terhingga. Sekarang mohon tuan-tuan suka lekas menyampaikan berita itu kepada majikanku di Siau-keng-oh."

"Sebenarnya siapakah nama majikanmu, bagaimana mukanya?" tanya Siau Hong.

"Asal tuan-tuan sampai di tepi Siau-keng-oh tentu akan melihat di barat danau itu ada hutan bambu, itulah Hong-tiok-lim (hutan bambu persegi), bambu yang tumbuh di situ berbentuk persegi semua, di tengah timba bambu itu ada beberapa petak rumah bambu dan tuan boleh berseru di luar rumah itu,"Thian-he-te-it-ok-jin (orang jahat nomor satu di dunia) telah datang, lekas sembunyi dan menghindarinya!" dengan demikian sudah cukuplah dan tuan tidak perlu masuk ke rumah itu. Adapun tentang nama majikanku biarlah kelak akan kuberitahu," demikian tutur petani ini.

Diam-diam Siau Hong heran, tapi iapun tahu banyak pantangan orang kangouw yang tidak suka diketahui orang luar. Tapi dengan demikian Siau Hong menjadi tidak ragu-ragu lagi, pikirnya, "Jika orang sengaja hendak memancing aku ke sana, apa yang dikatakan pasti akan dikarang sedemikian rupa agar tidak menimbulkan rasa curigaku. Tapi orang ini bertutur setengah-setengah dan tidak mau bicara terus terang, hal ini menandakan dia tidak bermaksud jahat."

Karena pikiran itu, segera Siau Hong menyatakan baik akan melaksanakan permintaan orang. Maka petani itu lantas meronta bangun dan berlutut di depan Siau Hong.

"Sudahlah, sekali berkenalan kita lantas cocok satu sama lain, tidak perlu Tang-heng banyak adat," ujar Siau Hong sambil membangunkan orang. Berbareng tangan yang lain ia terus mengusap muka sendiri hingga hilang samarannya, ia perkenalkan diri pada petani itu dengan wajah yang asli, katanya "Caihe adalah Siau Hong, orang Cidan, sampai berjumpa pula kelak."

Dan tanpa menunggu jawaban orang lagi segera ia gandeng tangan A Cu dan melanjutkan perjalanan ke arah utara.

"Apakah kita tidak perlu menyaru lagi?" tanya A Cu di tengah jalan.

"Ya, entah mengapa aku menjadi sangat suka kepada laki-laki tulus yang berbentuk orang desa itu, jika aku berniat berkawan dengan dia, dengan sendirinya tidak pantas aku berkenalan dengan dia dengan muka palsu," sahut Siau Hong.

"Baiklah jika begitu, aku pun akan kembali dalam pakaian wanita saja," kata A Cu.

Segera ia menuju ke tepi sungai, cepat ia cuci mukanya, lalu tanggalkan kopiahnya, maka tertampaklah rambutnya yang hitam pekat, bila jubahnya yang longgar itu dicopot pula maka tertampaklah pakaian wanita yang memang sudah dipakainya bagian dalam.

Sesudah hampir 10 li lagi, dari jauh mereka melihat sebuah jembatan batu melintang di antara ke dua tepi sungai. Sesudah dekat, tertampaklah di tengah jembatan itu berjongkok seorang Su-sing (pelajar/sastrawan).

Orang itu lagi membentang sehelai kertas putih yang sangat lebar di tengah jembatan, di samping kertas terdapat pula sebuah hi (tempat tinta) yang besar, di atas hi sudah penuh tergosok tinta hitam. Su-sing itu sedang angkat pit (pensil Tionghoa) dan menggores-gores di atas kertas.

Siau Hong dan A Cu merasa heran, masakah ada orang membawa kertas, pit dan hi begitu untuk menulis di atas jembatan yang terletak di tempat sunyi begini, kan lebih enak menulis di rumah saja?

Dan sesudah didekati barulah diketahui bahwa Su-sing itu bukan sedang menulis, tapi lagi melukis. Yang dilukis adalah pemandangan alam di sekitar jembatan itu. Dia berjongkok di tengah jembatan dan menghadap ke arah Siau Hong dan A cu tapi yang paling aneh adalah lukisan yang digoresnya itu justru menghadap pula ke arah Siau Hong dan A Cu, jadi cara melukis Su-sing itu terbalik, goresannya menuju ke arah yang berlawanan daripada pelukisnya.

Siau Hong sendiri tidak paham seni lukis, sedang A Cu sudah biasa melihat lukisan indah di rumah Buyung-kongcu, aka "lukisan terbalik" karya Su-sing itu dianggapnya tiada sesuatu yang luar biasa, hanya caranya melukis secara terbalik itulah yang rada janggal.

Dan selagi A Cu bermaksud maju menyapa, tiba-tiba Siau Hong menjawilnya dan mengajaknya ke arah sebuah jembatan kayu di sebelah kanan sana.

"Kalian sudah melihat caraku melukis dengan terbalik, mengapa sedikitpun tidak gubris? Apakah barangkali kepandaianku ini sama sekali tiada harganya untuk dipandang kalian?" demikian tiba-tiba Su sing itu bersuara.

"Kata Khonghucu, kursi yang tak tegak tak diduduki, daging yang tak baik tak dimakan. Seorang laki-laki sejati tidak nanti melihat lukisan terbalik," demikian A Cu menjawabnya dengan tertawa.

Su-sing itu terbahak, segera ia lempit kertasnya dan berkata, "Hah, benar juga ucapanmu, Silahkan lewatlah!"

Siau Hong dapat menduga maksud tujuan Su-sing itu, ia membentang kertas lebar di tengah jembatan,  perlunya agar orang lain tertarik, pertama tujuannya adalah mengulur waktu, kedua, untuk memancing dan sengaja menyasarkan orang melalu jembatan batu itu, padahal jalan yang tepat harus melalui jembatan kayu seperti petunjuk si pelayan kedai arak itu.

Maka berkatalah Siau Hong, "Kami hendak pergi ke Siau-keng-oh, jika melalui jembatan batu ini, tentu kami akan kesasar."

"Kesasar sih tidak, paling-paling cuma berjalan putar lebih jauh 50-60 li saja, akhirnya toh akan sampai juga di sana, maka lebih baik kalian melalui jembatan batu ini saja, jalannya lebih lebar dan lebih enak ditempuh," demikian kata Su-sing itu.

"Ada jalan yang lebih dekat, buat apa mesti mengambil jalan yang jauh?" ujar Siau Hong.

"Ingin cepat akhirnya malah lambat, masakah kalian tidak kenal pepatah ini?" ujar Su-sing itu dengan tertawa.

Tapi A Cu dapat melihat kelakuan Su-sing itu sengaja hendak menghambat kepergian dirinya bersama Siau Hong ke Siau-keng-oh, maka ia tidak mau masuk perangkap, ia tidak gubris ocehan orang lagi terus melangkah ke jembatan kayu itu bersama Siau Hong.

Di luar dugaan, baru mereka sampai di tengah-tengah jembatan kayu itu, mendadak kaki mereka terasa menginjak tempat lunak, terdengar suara "kreak" beberapa kali, jembatan kayu itu mendadak patah bagian tengah hingga Siau Hong dan A Cu terjeblos ke dalam sungai.

Untung Siau Hong cukup sigap, cepat tangan kiriya merangkul pinggang A Cu, berbareng kaki kanan menutul papan jembatan kayu, dengan tenaga enjotan itulah laksana burung saja ia melayang ke depan hingga mencapai tepi sungai di seberang sana. Menyusul sebelah tangan yang lain menyampuk ke belakang untuk menjaga kalau diserang musuh.

Tapi Su-sing itu cuma terbahak-bahak saja, katanya, "Kepandaian hebat, sungguh hebat! Kalian berdua buru-buru hendak pergi ke Siau-keng-oh, sebenarnya ada urusan apakah?" dari suara tertawa orang dapat Siau Hong dengar mengandung rasa kuatir, diam-diam Siau Hong bersangsi jangan-jangan Su-sing itu adalah begundal Tai-ok-jin, maka ia tak menjawabnya lagi, tapi terus bertindak pergi bersama A Cu.

Tidak jauh, tiba-tiba dari belakang ada suara tindakan orang yang cepat, waktu ia menoleh, dilihatnya Su-sing itu lagi menyusulnya, segera Siau Hong putar tubuh dan menegurnya dengan wajah kurang senang, "Sebenarnya saudara mau apa?"

"Caiche juga akan pergi ke Siau-keng-oh, kebetulan satu jurusan dengan kalian," sahut Su-sing itu.

"Bagus jika begitu," kata Siau Hong. Dengan tangan kiri ia pegang pinggang A Cu, sekali melangkah, tahu-tahu sudah belasan meter jauhnya gadis itu dibawa melayang ke depan, begitu enteng dan gesit hingga mirip orang main ski cepatnya.

Cepat Su-sing itu lantas menguber, tapi tetap tak bisa menyusul, jaraknya makin jauh tertinggal di belakang.

Melihat kepandaian Su-sing itu cuma biasa saja, maka Siau Hong tidak ambil perhatian lagi, ia masih terus berjalan secepat angin, meski dengan menggondol A Cu, tapi kecepatannya tidak menjadi berkurang. Kira-kira satu tanakan nasi lamanya, Su-sing itu sudah ketinggalan hingga hilang dari pandangan mata.

Jalanan itu ternyata sangat sempit, terkadang cuma cukup dilalui seorang saja, malahan sepanjang jalan banyak tumbuh rumput alang-alang yang terkadang sebatas pinggang hingga jalan itu susah dikenali, untung sebelumnya mereka telah diberi keterangan oleh si pelayan kedai arak hingga tidak sampai kesasar. Kira-kira setengah jam kemusian, sampailah mereka di tepi sebuah danau, air danau itu tenang dan jernih, pantas namanya disebut Siau-kong-oh atau danau cermin kecil.

Dan selagi Siau Hong hendak mencari di mana letak Hong-tiok-lim yang dicari itu, tiba-tiba terdengar di antara semak-semak bunga sebelah kiri danau sana ada suara tertawa orang terkikik-kik, menyusul sebutir batu kecil tampak melayang keluar.

Siau Hong coba memandang ke arah sambaran batu itu, maka terlihat di tepi danau sedang duduk seorang nelayan yang memakai caping dan sedang mengail ikan. Saat itu pancingnya sedang diangkat ke atas karena dapat mengail seekor ikan besar, tapi batu itu tepat menyambar tiba dan mengenai tali pancingnya, "crit", tiba-tiba tali pancing putus menjadi dua dan ikan yang mestinya sudah terkail itu tercemplung kembali ke dalam danau.

Diam-diam Siau Hong terkejut, "Cara sambitan orang itu sangat aneh sekali. Tali pancing adalah benda lemas dan sukar ditimpuk, kau ditimpuk dengan pisau atau panah mungkin masih dapat memutusnya, tapi batu adalah benda tumpul dan tali pancing itu dapat ditimpuk putus juga olehnya, terang kepandaian menimpuk senjata rahasia yang lemas dan aneh ini pasti bukan berasal dari daerah Tiongoan. Ia yakin ilmu silat penimpuk batu itu tidak terlalu tinggi, tapi dari kepandaian menimpuk yang tergolong Sia-pai itu (aliran jahat) ia menduga besar kemungkinan orang adalah anak murid atau begundal Tai-ok-jin itu. Cuma kalau didengar dari suara tertawa tadi agaknya dia seorang gadis.

Dalam pada itu si nelayan rupanya juga terkejut ketika tali pancingnya putus tertimpuk batu. Serunya segera, "Siapa yang berkelakar dengan orang she Leng, silakan unjuk diri saja!"

Di antara suara kresek tersibaknya semak-semak bunga, maka menongol keluarlah seorang anak dara berpakaian ungu mulus, usianya kurang lebih 15-16 tahun, lebih muda satu dua tahun daripada A Cu, kedua matanya hitam besar, sekilas pandang Siau Hong merasa anak dara ini ada beberapa bagian mirip A Cu.

Sekilas pandang di situ juga ada seorang dara jelita, yaitu A Cu, segera gadis cilik itu tidak gubris si nelayan lagi, tapi terus berlari-lari sambil melompat-lompat hingga menerbitkan suara gemerincing dan menghampiri A Cu. Sesudah dekat ia tarik tangan A Cu dan berkata dengan tertawa, "Wah, Cici ini sangat cantik, aku suka padamu!"

Ternyata ucapannya rada pelo, lafalnya kurang tepat, mirip orang asing baru belajar bicara dalam bahasa Tiongkok.

Melihat gadis yang lincah itu, A Cu menjadi suka juga padanya. Ia lihat kaki dan tangan anak dara itu memakai sepasang gelang emas dan perak, gelang itu pakai kelaningan kecil, maka menerbitkan suara gemerincing nyaring bila gadis itu bergerak.

Maka berkatalah A Cu, "Kausendirilah yang cantik, aku pun sangat suka padamu."

Dalam pada itu si nelayan sebenarnya akan marah, tapi demi tahu orang yang menggodanya itu adalah seorang anak dara yang lincah dan menyenangkan, rasa gusarnya menjadi hilang sirna, katanya,"Ai, nona cilik ini benar-benar terlalu nekat. Caramu menimpuk tali pancing tadi juga sangat hebat."

"Apanya yang menarik permainan mancing ikan? Bagiku sunnguh tak sabar untuk menunggu ikan makan umpan, jika kauingin makan ikan, kenapa tidak gunakan kayu pancing untuk menusuk ikan di dalam air itu?" demikian kata si gadis cilik.

Habis berkata, terus saja ia ambil pancing si nelayan dan sekenanya ditusukkan ke dalam danau, benar juga ketika tangkai pancing itu diangkat, tahu-tahu ujung tangkai sudah menancap seekor ikan yang masih berkelojotan sambil meneteskan darah segar.

Berulang-ulang gadis itu kerjakan pancing-nya pula naik-turun hingga sekejap saja lima-enam ekor ikan yang tersunduk tangkai pancing, jadi mirid sujen sate ikan.

Diam-diam Siau Hong heran dan terkejut oleh gerak tangan anak dara yang aneh dan indah itu, meski gerakan ini rasanya belum cukup kuat untuk dipakai dalam pertempuran, tapi suatu tanda kepandaian gadis itu sebenarnya memang lain daripada yang lain.

Sesudah menyunduk sate ikan, kemudian gadis itu buang ikan-ikan tangkapannya itu ke tengah danau pula.

Melihat itu, si nelayan agak kurang senang, katanya, "Seorang nona cilik muda belia, tapi tingkah lakumu sudah begini kejam, kalau ikan itu kautangkap lalu dimakan sih masuk akal, tapi sudah ditangkap dan dibunuh, lalu dibuang begitu saja, membunuh secara sewenang-wenang begini sungguh tidak pantas.

"Aku justru ingin membunuh secara sewenang-wenang, kaumau apa?" demikian gadis itu menjawab dengan tertawa. Habis itu, terus saja ia menelikung tangkai pancing si nelayan, maksudnya hendak mematahkannya menjadi dua.

Tak terduga gagang pancing itu ternyata buatan dari logam yang ringan tapi uler, maka sukar untuk dipatahkan.

"Hm, kauingin mematahkan gagang pancing-ku, masakah begitu mudah?" demikian si nelayan menjengek.

"he, siapakah itu?" tiba-tiba gadis itu berseru sambil menuding ke arah sana.

Dengan sendirinya si nelayan menoleh. Dan ketika tidak melihat apa-apa, segera ia sadar telah tertipu. Cepat ia berpaling kembali, namun sudah terlambat, tertampak gagang pancing yang merupakan senjata andalannya itu telah dilemparkan ke tengah danau oleh anak dara itu, "plung", pancing itu tenggelam ke dasar sungai dan lenyap tanpa bekas.

Keruan nelayan itu menjadi gusar, bentaknya murka, "Budak liar dari mana, berani main gila di sini?"

Berbareng tangannya lantas mencengkeram bahu si gadis.

"Auuh, tolong! tolong!" demikian anak dara itu berteriak-teriak sambil tertawa. Berbareng ia terus sembunyi di belakang Siau Hong.

Segera si nelayan menubruk maju hendak menangkap si gadis, gerakannya ternyata cepat luar biasa.

Tapi sekilas Siau Hong melihat tangan anak dara itu telah bertambah semacam benda putih tembus pandang mirip kain plastik, begitu tipis benda itu hingga hampir-hampir tidak kelihatan.

Ketika si nelayan menubruk ke arahnya, entah mengapa mendadak kakinya keserimpet, tahu-tahu nelayan itu jauh tersungkur, lalu meringkuk bagai udang.

Kiranya benda putih tipis yang dipegang anak dara itu adalah semacam jaring ikan yang dibuat dari benang maha lembut, meski halus benang itu dan bening pula hingga tembus pandang tapi kekuatannya sangat ulet dan dapat mulur mengkeret, asal kena jaring sesuatu, segera jaring mengkeret sendiri. Maka sekali nelayan itu masuk jaring, semakin ia meronta, semakin kencang jaring itu mengkeret, hanya dalam sekejap saja nelayan itu tak bisa berkutik lagi. Dengan marah-marah ia mendamprat, "Budak setan, main gila apa-apaan ini, kamu berani menjebak aku dengan ilmu sihir?"

Diam-diam Siau Hong terkejut juga menyaksikan itu. Ia tahu si gadis tidak main ilmu sihir segala, tapi jaring aneh itu memang rada-rada berbau sihir.

Dalam pada itu si nelayan masih terus mencaci maki. Akhirnya si gadis berkata dengan tertawa, "Jika kaumaki lagi, segera akan kupukul bokongmu!"

Keruan si nelayan melengak. Ia adalah tokoh yang sudah ternama, apabila benar-benar gadis itu menghajar bokongnya, kan bisa runyam.

Syukur pada saat itu juga, tiba-tiba dari barat danau sana ada suara orang berseru, "Leng-hiante, ada apakah di situ?"

Maka tertampaklah dari jalan kecil di tepi danau sana muncul seorang dengan cepat.

Siau Hong dapat melihat orang itu bermuka lebar, sikapnya gagah berwibawa, dandanannya sederhana, tapi cukup ganteng, usianya lebih 40 tapi kurang dari 50 tahun.

Sesudah dekat dan demi melihat si nelayan tertawan orang, ia heran dan tanya, "Kenapa kau, Leng-hiante?"

Nona itu menggunakan ilmu ... ilmu sihir ...." demikian si nelayan menutur dengan tak lancar.

Orang setengah umur itu memandang ke arah A Cu. Tapi si dara nakal tadi lantas berseru dengan tertawa, "Bukan dia, tapi aku inilah!"

"O," dengus orang setengah umur itu, lalu ia angkat tubuh si nelayan yang besar itu dengan enteng seperti mengangkat anak kecil, dengan teliti ia periksa jaring tipis yang membungkus tubuh nelayan itu. Ia coba menariknya, tapi jaring itu sangat ulet, semakin ditarik semakin erat malah, betapapun tak bisa dibuka.

Dengan tertawa anak dara nakal berkata pula, "Asal dia mau menyebut tiga kali 'aku takluk padamu, nona!' habis itu segera akan kulepaskan dia."

"Tiada manfaatnya kaubikin susah Leng-hiante, akibatnya tentu tidak baik bagimu," ujar laki-laki setengah umur itu.

"Apa benar?" sahut si dara cilik. "Aku justru ingin tahu akibat jeleknya, semakin tidak baik akibatnya, semakin senang aku."

Mendadak orang setengah umur itu mengulur tangan terus hendak memegang bahu si gadis. Tapi dengan cepat sekali gadis itu sempat menyurut mundur, lalu ia bermaksud menggeser pergi.

Di luar dugaan gerak orang setengah umur itu jauh lebih cepat daripada dia, sekali tangan membalik, tahu-tahu bahu si gadis sudah terpegang.

Dengan mendakkan tubuh dan miringkan pundak anak dara itu bermaksud melepaskan pegangan orang. Tapi cengkeraman orang setengah umur itu terlalu kuat dan kencang, menyusul ada arus hangat mengalir dari tangan masuk ke tubuh si gadis.

"Lekas lepaskan tanganmu!" bentak dara nakal itu, berbareng tinjunya terus menjotos. Tapi baru tangannya terangkat sedikit, mendadak lengan terasa lemas, akhirnya kepalan pun menjulai turun.

Selama hidup anak dara itu tidak pernah ketemu musuh selihai ini, keruan ia ketakutan dan berteriak-teriak, "Kamu main ilmu sihir apa? Lekas lepaskan aku, lepas!"

"Asal kau omong tiga kali 'Aku takluk tuan', lalu bebaskan saudaraku dari kurungan jaringmu dan segera kamu akan kulepas," demikian kata orang setengah umur itu dengan tersenyum.

"Kauberani menganggu nonamu ini, akibatnya takkan menguntungkanmu," ujar si dara.

"Semakin buruk akibatnya, semakin senang aku!" demikian orang itu menirukan lagu si gadis tadi.

Sekuatnya anak dara itu meronta-ronta, tapi tidak dapat melepaskan diri. Akhirnya ia berkata dengan tertawa, "Huh, tidak malu, menirukan perkataanku! Baiklah, aku takluk padamu, tuan!"

Maka dengan tersenyum orang itu lantas melepaskan bahu si gadis yang dipegangnya, katanya, "Sekarang lekas lepaskan jaringmu itu!"

"Itu sangat gampang," ujar si gadis dengan tertawa. Segera ia mendekati si nelayan, ia berjongkok untuk melepaskan ikatan jaring itu tapi menyusul tangan kiri mengayun perlahan di bawah lengan baju kanan, sekonyong-konyong secomot sinar hijau menyambar cepat ke arah si orang setengah umur.

A Cu menjerit kaget. Ia tahu sinar hijau itu adalah sejenis Am gi atau senjata gelap yang berbisa. Cara serang anak dara itu sangat licik, jaraknya dengan orang setengah umur itupun sangat dekat, maka pastilah serangan itu akan kena sasarannya.

Sebaliknya Siau Hong cuma menonton dengan tersenyum saja. Ketika laki-laki setengah umur itu menaklukkan si dara, dari tenaga dalamnya yang kuat itu dapat diketahui oleh Siau Hong bahwa orang itu pasti seorang tokoh sakti, kalau cuma serangan Am-gi yang sepele itu sudah tentu takkan mampu mengapa-apakan orang itu.

Benar juga, segera terlihat orang itu sedikit mengebaskan lengan bajunya, serangkum tenaga tak kelihatan lantas menolak ke depan, senjata rahasia si anak dara yang berupa jarum halus berbisa itu kontan tersampuk ke samping dan jatuh semua ke danau.

Dari warna jarum yang berwarna-warni itu, terang itulah Am-gi berbisa yang sangat jahat, sungguh tak terduga olehnya bahwa baru sekali bertemu dengan nona cilik itu, sebelumnya tiada permusuhan atau sakit hati apa-apa, tapi anak dara itu tidak segan turun tangan keji. Keruan laki-laki setengah umur itu menjadu gusar, ia pikir dara cilik yang masih hijau itu harus diberi hajaran biar tahu adat.

Maka lengan bajunya yang lain menyusul mengebas pula, kebasan itu membawa tenaga dalam yang kuat, keruan dara cilik itu tidak tahan, tubuh ikut "tertiup" ke atas, "plung", tanpa ampun lagi ia terlempar ke tengah danau.

Segera laki-laki setengah umur itu melompat ke atas sampan yang tertambat di bawah pohon ia dayung sampan ke tengah danau, maksudnya bila kepala dara cilik itu menongol keluar permukaan air, segera ia akan jambak rambutnya untuk diangkat ke atas.

Akan tetapi, tunggu punya tunggu, tetap gadis itu tidak menongol. Setelah menjerit sekali tadi anak dara itu terus kecemplung ke dalam danau dan menghilang tanpa bekas.

Umumnya seseorang kalau kecemplung ke dalam air, sesudah kenyang minum dan perutnya gembung, akhirnya orang itu pasti akan muncul ke permukaan air. Dan jika perut orang itu sudah penuh terisi air barulah orang itu akan tenggelam ke dasar danau.

Tapi aneh, sekarang anak dara itu tidak terjadi seperti lazimnya, sekali dia tercebur, lalu menghilang tanpa muncul lagi. Sesudah ditunggu agak lama tetap tidak kelihatan batang hidungnya.

Mau-tak-mau orang setengah umur itu menjadi gugup. Mestinya tiada maksud hendak membunuh si dara nakal itu, tujuannya cuma hendak memberi hajaran sedikit kepada anak dara yang ringan tangan dan keji itu. Dan kini bila dara itu terlanjur mati kelelap, sungguh ia sangat menyesal.

Sebenarnya si nelayan adalah tokoh yang mahir selulup, mestinya ia dapat menyelam ke dasar danau untuk menolong si anak dara, tapi sayang ia masih terbungkus oleh jaring ikan itu, sedikitpun tak bisa berkutik. Sedangkan Siau Hong dan A Cu tidak pandai berenang sehingga tidak berdaya.

Maka terdengarlah orang setengah umur itu berteriak-teriak," A Sing, A Sing! Lekas keluar sini!"

"Ada urusan apa? Aku tak mau keluar!" demikian terdengar sahutan seorang wanita dari hutan bambu yang jauh berada di tepi danau sana.

Dari suara itu Siau Hong dapat menarik kesimpulan, "Suara wanita itu genit merayu, tapi bersifat keras hati pula. Mungkin seorang wanita jahil pula hingga akan menjadi tiga serangkai dengan A Cu dan si dara nakal yang tercemplung ke danau tadi."

Dalam pada itu si orang setengah umur lagi berseru pula, "Lekas kemari, A Sing! Ada orang mati kelelep, lekas menolongnya!"

"Apa bukan kamu yang mati kelelap!" sahut wanita itu.

"Jangan bergurau, A Sing. Jika aku mati kelelap, masakah aku masih bisa bicara" kata orang itu. "Ayolah, lekas kemari untuk menolong orang!"

"Jika kamu mati kelelap barulah aku akan keluar untuk menolong," sahut wanita yang tak kelihatan itu. "Dan kalau orang lain yang kelelap, biarkanlah, nanti aku menonton keramaian saja!"

"Ayolah, kau mau kemari atau tidak?" seru laki-laki itu dengan tak sabar, ia banting-banting kaki di atas sampan, suatu tanda sangat gugup.

Maka terdengar wanita itu lagi menjawab, "Jika orang laki-laki, aku akan menolongnya, kalau perempuan, tidak mau aku menolongnya!"

Sambil bicara, suaranya terdengar makin dekat, hanya sekejap saja orangnya sudah sampai di tepi danau.

Ketika Siau Hong dan A Cu memandang ke sana, terlihatlah wanita itu berbaju terang warna hijau muda, usianya antara 35-36 tahun, kata bundar besar dan lincah, wajah cantik molek, mulut mengulum senyum tak senyum.

Dari suaranya tadi sebenarnya Siau Hong menduga orang paling banyak baru berumu 20-an tahun. Tak terduga dia seorang nyonya muda yang sudah tidak muda lagi.

Melihat dandanannya yang serba ringkas itu dapat diduga ketika mendengar seruan si lelaki setengah umur agar suka menolong orang kelelap, lalu dia berganti pakaian sembari memberi jawaban kepada laki-laki itu dan dalam waktu singkat selesailah ganti pakaian renang.

Laki-laki setengah umur itu merasa girang melihat yang diundang sudah muncul, katanya cepta, "A Sing, lekas kemari, akulah yang melemparkannya ke danau tanpa sengaja, tak tersangka ia terus tenggelam."

"Coba terangkan dulu. Dia pria atau wanita? Jika pria akan kutolong, kalau wanita, persetan!" demikian wanita itu bertanya.

Siau Hong dang A Cu jadi heran, pikir mereka, "lazimnya, mestinya dia menolak menolong kaum pria karena tidak pantas bersentuhan badan antara kedua jenis yang berlainan. Tapi sekarang ia justru ingin sebaliknya, hanya mau menolong kaum pria dan tidak sudi menolong sesama kaumnya?"

Maka terdengar laki-laki setengah umur menjawab tak sabar,"Ai, kamu ini memang suka mengada-ada. Dia hanya seorang dara cilik belasan tahun, jangan kaupikir yang tidak-tidak."

"Huh, apa bedanya bagimu dara cilik belasan tahun atau nenek-nenek reyot? Asal ada semuanya akan kauterima dengan tutup mata!" demikian jengek wanita cantik itu. Tapi ia menjadi merah jengah setelah mengetahui di situ masih ada dua orang yang tak dikenalnya, yaitu Siau Hong dan A Cu.

Ternyata laki-laki setengah umur itu tidak marah oleh olok-olok wanita itu, sebaiknya ia memberi hormat di atas sampan dan memohon," Sudahlah, A Sing, lekas kautolong dia, apa yang kauinginkan, pasti akan kuturut."

"Apa benar segala apa kaumau menurut padaku?" tanya si wanita cantik.

"Sudah tentu," sahut orang itu. "Ai, sudah sekian lama nona cilik itu tenggelam, tentu jiwanya sudah melayang ...."

"Kalau kuminta kautinggal di sini untuk selamanya, apakah kaupun menurut?" demikian si wanita cantik bertanya pula.

Laki-laki setengah umur itu menjadi serba susah, sahutnya tergagap, "tentang ini ... ini ...."

"Nah, apa kataku?" ujar si wanita cantik, "hanya mulut saja yang manis, baru saja omong, sekarang sudah mungkir. Memang selamanya engkau tidak pernah menuruti permintaanku ini."

Bicara sampai di sini, suaranya kedengaran rada tersendat.

Siau Hong saling pandang sekejap dengan A Cu, mereka merasa sangat heran atas kelakuan laki-laki setengah umur dan wanita cantik itu. Usia kedua orang sudah tidak muda lagi, tapi tingkah laku dan cara bicaranya mirip sepasang kekasih yang sedang memadu cinta.

Tapi tingkah mereka juga tidak serupa suami istri, lebih-lebih si wanita cantik, di hadapan orang luar cara bicaranya sedikit pun tidak pantang, bahkan pada saat bicara mengenai keselamatan jiwa seseorang dia justru bicara hal-hal yang tiada sangkut paut dengan urusan menolong jiwa orang itu.

Begitulah akhirnya laki-laki setengah umur itu menghela napas, katanya sambil mendayung sampan ke tepi danau, "Sudahlah, tidak perlu menolongnya lagi. Nona cilik itu menyerang aku dengan Am-gi berbisa, jika mati juga pantas, marilah kita pulang saja!"

"Mengapa tidak menolongnya?" mendadak wanita cantik itu membantah, "Aku justru ingin menolongnya. Kaubilang diserang Am-gi berbisa olehnya? Itulah bagus, kenapa kamu tidak mampus kena senjatanya itu? Sayang, sungguh sayang!"

Ia tertawa ngikik sekali, tiba-tiba ia melompat tinggi ke udara, lalu terjun ke dalam danau.

Kepandaian wanita cantik itu dalam hal berenang ternyata sangat hebat, "plung", hanya menerbitkan suara perlahan saja waktu tubuhnya menyelam ke bawah air,bahkan membuih pun tidak. Hanya sekejap saja lantas terdengar suara air tersiak, "byuuur", wanita cantik itu telah menongol ke permukaan air dengan tangan menyanggah tubuh si dara cilik berbaju ungu tadi.

Laki-laki setengah umur itu sangat girang, katanya di dalam hati. "Dia memang suka menggoda padaku. Aku gugup dan ingin lekas menolong dara itu, dia justru tidak mau menolong dengan macam-macam alasan. Sesudah aku bilang tidak perlu menolongnya lagi, dia lantas terjun ke air dan menolongnya."

Maka cepat ia mendayung sampannya memapak ke tengah danau.

Sesudah dekat, segera laki-laki setengah umur itu mengulur tangan hendak menyambut badan si gadis baju ungu yang tak berkutik itu, kedua mata anak dara itu tampak tertutup rapat, bahkan napasnya seperti sudah berhenti, dengan sendirinya hal ini membikin laki-laki itu rada menyesal.

Mendadak wanita cantik itu membentak, "Tarik tanganmu, jangan kausentuh dia. Kamu ini mata keranjang, tak dapat dipercaya!"

"Ngaco balo!" laki-laki itu pura-pura marah. "Selama hidupku ini tidak pernah mata keranjang."

Mendadak wanita cantik itu mengikik tawa, sambil mengangkat si dara baju ungu ia lompat ke atas sampan, lalu katanya, "Ya, memang selamanya kamu tidak mata keranjang, tapi lebih suka .... Ai ..."

Ia tidak melanjutkan kata-katanya karena mendadak diketahuinya denyut jantung anak dara itu sudah terhenti, napasnya dengan sendirinya juga sudah putus. Cuma perut anak dara itu tidak kelihatan gembung, agaknya tidak banyak air danau yang diminumnya.

Wanita cantik itu sangat mahir berenang, ia menduga dalam waktu singkat itu tidak mungkin orang mati terbenam, siapa duga badan anak dara itu terlalu lemah dan ternyata sudah meninggal.

Wanita itu jadi menyesal, cepat ia gendong anak dara itu dan melompat ke daratan sambil berseru, "Cepat, kita harus mencari akal untuk menyelamatkan jiwanya!"

Lalu ia mendahului berlari ke hutan bambu sana dengan membawa anak dara itu.

Segera laki-laki setengah umur tadi mengangkat si nelayan yang masih terbungkus di dalam jaring dan bertanya kepada Siau Hong, "Siapakan nama saudara yang terhormat? Entah ada keperluan apa berkunjung kemari?"

Melihat sikap orang yang agung berwibawa, menghadapi kematian si dara baju ungu yang mengenaskan itu ternyata dapat berlaku tenang sekali, mau-tak-mau Siau Hong merasa kagum juga. Maka jawabnya, "Caihe Siau Hong, orang Cidan. Karena dipesan oleh dua orang sahabat, maka ingin menyampaikan sesuatu berita ke sini."

Sebenarnya nama Kiau Hong boleh dikatakan tiada seorang pun yang tak kenal di kalangan kangouw. Tapi sejak ia ganti nama menjadi Siau Hong, selalu ia memperkenalkan pula asal-usulnya sebagai orang Cidan secara blak-blakan.

Biarpun nama Siau Hong rupanya tidak dikenal oleh laki-laki setengah umur itu, tapi ketika mendengar kata "orang Cidan", sedikitpun ia tidak merasa heran, ia hanya tanya lagi, "Siapakah kedua sobat yang minta tolong kepada Siau-heng itu? Entah berita apa yang Siau-heng bawa?"

"Kedua sobat itu yang seorang memakai kapak, yang lain berdandan sebagai petani dan membawa cangkul serta mengaku she Tang, kedua sobat itu terluka semua ....."

Mendengar kedua orang itu terluka, laki-laki setengah umur itu terkejut dan cepat menyela, "Hah, bagaimana luka mereka? Di manakah mereka berada sekarang? Siau-heng, kedua orang itu adalah kawan sehidup sematiku, mohon engkau suka memberi keterangan agar aku dapat... dapat segera pergi menolong mereka."

Melihat orang sedemikian setia kawan, Siau Hong merasa kagum, sahutnya, "Luka kedua sobat itu cukup parah, tapi tidak membahayakan jiwa mereka, kini mereka berada di kota sana...."

Belum selesai penuturan Siau Hong, segera orang itu memberi hormat dan mengucapkan terima kasih, lalu si nelayan diangkatnya terus dibawa lari ke arah datangnya Siau Hong tadi.

Pada saat itulah tiba-tiba dari hutan bambu sana terdengar suara seruan si wanita cantik tadi, "Lekas kemari, lekas! Lihatlah ini, ai, lihatlah apa ... apa ini!"

Dari suaranya dapat diketahui hatinya sangat terguncang dan kuatir.

Maka mendadak laki-laki setengah umur itu berhenti, ia ragu-ragu, tiba-tiba terlihat dari depan seorang mendatangi secepat terbang sambil berteriak-teriak, "Cukong, Cukong, ada orang membikin onar ke sini?"

Waktu Siau Hong perhatikan, kiranya pendatang itu adalah si Su-sing yang melukis secara terbalik di jembatan batu itu. Pikirnya, "Semula kusangka dia sengaja merintangi aku, tak tahunya dia adalah kawan si lelaki gila berkapak dan si petani yang terluka itu. Dan 'Cukong' yang mereka sebut itu kiranya laki-laki setengah umur ini."

Dalam pada itu si Su-sing juga sudah melihat Siau Hong dan A Cu berada di situ, bahkan berdiri di samping sang "Cukong", ia melengak.

Ketika sudah dekat dan melihat si nelayan tertawan di dalam jaring ikan, ia terkejut dan gusar pula, segera ia tanya, "Ada ... ada apakah?"

Sementara itu terdengar seruan si wanita cantik di tengah hutan bambu sana semakin kuatir, "Hai, mengapa kamu masih belum kemari? Ai....."

Mau-tak-mau laki-laki setengah umur itu ikut kuatir juga, cepat katanya, "Biar kupergi melihatnya!"

Sambil mengangkat si nelayan, terus saja ia berlari ke hutan bambu sana.

Dari langkahnya yang enteng dan gesit, cepatnya melebihi kuda lari, nyata ilmu silatnya pasti lain daripada yang lain. Siau Hong jadi tertarik, dengan sebelah tangan menahan pinggang A Cu, terus saja ia lari sejajar dengan orang itu dengan sama cepatnya.

Orang itu memandang sekejap ke arah Siau Hong dengan penuh rasa kagum. Sebenarnya ia tidak perbolehkan orang luar masuk ke hutan bambu itu, tapi demi nampak kepandaian Siau Hong tinggi sekali, mau-tak-mau timbul rasa sukanya sebagai sesama ksatria, biarpun belum kenal, namun sudah timbul niatnya buat bersahabat, maka ia tidak pandang Siau Hong sebagai orang asing lagi.

Sebaliknya Siau Hong dan A Cu sudah tentu tidak tahu bahwa hutan bambu itu sebenarnya dilarang dimasuki sembarangan orang. Mereka cuma tertarik oleh suara teriakan si wanita cantik yang penuh rasa kuatir itu, mereka menduga pasti terjadi sesuatu, maka mereka ikut ke situ.

Hanya sebentar saja mereka sudah memasuki hutan bambu itu. Benar juga bambu yang tumbuh di situ bentuknya tidak bulat, tapi persegi. Kira-kira belasan meter masuk ke dalam hutan itu, tertampaklah tiga petak rumah kecil mungil dan indah.

Ketika mendengar suara tindakan orang, segera wanita cantik itu memapak keluar sambil berseru, "Coba ... coba lihatlah apakah ini?"

Ternyata yang diunjukkan itu adalah sebuah mainan kalung emas.

Siau Hong tahu mainan kalung begitu adalah barang perhiasan kaum wanita yang sangat umum misalnya A Cu juga mempunyai sebuah yang serupa, yaitu yang tempo hari akan dijual guna biaya perjalanan, tapi tidak jadi dijual dan kini malahan terpakai di leher A Cu.

Di luar dugaan, mendadak air muka si lelaki setengah umur berubah hebat demi melihat mainan kalung itu, serunya dengan suara gemetar, 'Da... darimana kaudapatkan barang ini?"

"Terpakai di lehernya dan kuambilnya," demikian sahut si wanita cantik dengan suara tersendat, "Dulu telah kugores tanda pada lengan mereka, coba kau... kaulihat sendiri sana!"

Cepat laki-laki setengah umur itu berlari masuk ke dalam rumah. Mendadak A Cu juga menyelinap masuk ke sana hingga mendahului si wanita cantik malah. Siau Hong lantas menyusul juga di belakang si wanita cantik itu.

Sesudah di dalam rumah, tertampaklah sebuah kamar tidur kaum wanita yang terpajang sangat rajin dan resik. Di antara rajin dan resik itu tersiar pula ada semacam bau yang aneh, cuma Siau Hong tidak sempat memikirkan lagi, ia lihat di atas dipan membujur si dara baju ungu tadi dalam keadaan tak berkutik lagi. Nyatanya orangnya sudah mati sejak tadi.

Dalam pada itu, si lelaki setengah umur telah menggulung lengan baju anak dara itu untuk periksa lengannya, sesudah melihat segera ia tutup kembali lengan bajunya.

Siau Hong berdiri di belakang laki-laki itu, maka ia tidak tahu tanda apa sebenarnya yang terdapat di lengan anak dara itu. Hanya dilihatnya punggung laki-laki setengah umur itu rada tergetar, suatu tanda perasaannya sangat terguncang.

Pada lain saat si wanita cantik lantas jambret dada baju si lelaki setengah umur sambil menangis dan berteriak-teriak, "Lihatlah itu, putrimu sendiri telah  kaubunuh pula, kamu tidak membesarkan dia, tapi malah membunuhnya, kau... sungguh seorang ayah yang kejam!"

Keruan Siau Hong terheran-heran, pikirnya, "Aneh, ternyata anak dara itu adalah putri mereka? Ah, tahulah aku. Tentunya sesudah anak dara itu dilahirkan, lalu dititipkan pada orang lain dan mainan kalung dan tanda di lengan itu adalah tanda pengenal yang mereka tinggalkan pada anak dara itu."

Mendadak Siau Hong melihat air mata A Cu bercucuran, badan pun sempoyongan sambil berpegangan tepi tempat tidur. Keruan ia terkejut, cepat ia memburu maju untuk memayang A Cu. Sekilas dilihatnya bola mata si anak dara yang sudah mati itu bergerak sekali.

Sebenarnya mata anak dara itu terpejam rapat, tapi biji matanya bergerak tetap kelihatan dari luar kelopak mata. Namun Siau Hong sedang kuatirkan keadaan A Cu, segera ia tanya, "Ada apa A Cu?"

Cepat A Cu berdiri tegak kembali, ia mengusap air mata dan menjawab dengan senyum ewa, "Ah, tidak apa-apa. Aku merasa sedih melihat ke ...kematian nona yang mengenaskan ini."

Siau Hong merasa lega oleh keterangan itu. Sedang si wanita cantik masih menangis sambil berkata, "Denyut jantungnya sudah berhenti, napasnya juga sudah putus, tak bisa tertolong lagi!"

Tapi diam-diam Siau Hong sangsi, ia coba mengerahkan tenaga dalam dan disalurkan kepada anak dara itu melalui urat nadi yang dipegangnya, menyusul ia lantas kendurkan tekanan tenaganya. Benar juga terasa olehnya dari badan anak dara itu timbul semacam tenaga tolakan, nyata anak dara itu juga mengerahkan tenaga dalam untuk menjaga diri.

Maka tertawalah Siau Hong dengan terbahak-bahak, katanya, "Nona senakal ini sungguh jarang ada di dunia ini!"

Si wanita cantik menjadi gusar, semprotnya," Siapakah engkau ini? Aku kematian anak, tapi kamu sembarangan mengoceh di sini. Ayo lekas enyah dari sini!"

"Engkau kematian anak, bagaimana jika kuhidupkan dia kembali?" ujar Siau Hong dengan tertawa. Dan sekali tangannya bergerak, terus saja ia tutuk hiat-to bagian pinggang anak dara itu.

Hiat-to yang diarah itu adalah 'keng-bun-hiat' yang merupakan tempat halus yang bisa membuat orang merasa geli. Karena tak tahan, anak dara itu lantas mengikik tawa sambil melompat bangun dari tempat tidurnya. Berbareng ia menjulur tangan kiri untuk pegang pundak Siau Hong.

Orang mati bisa hidup kembali, keruan hal ini membuat orang merasa heran. Serta merta si wanita cantik bersorak gembira sambil pentang kedua tangan hendak memeluk si anak dara.

Di luar dugaan, mendadak Siau Hong kipatkan tangan si anak dara yang hendak memegang pundaknya tadi, berbareng ia menampar pipinya hingga anak dara itu sempoyongan, tapi Siau Hong lantas mengulur tangan yang lain untuk menariknya sambil berkata dengan tertawa dingin, "Hm, anak sekecil ini mengapa sedemikian kejinya?"

"Hah, kenapa kaupukul anakku?" seru si wanita cantik. Coba kalau tidak mengingat Siau Hong telah menghidupkan putrinya, boleh jadi ia sudah melabraknya.

Siau Hong lantas puntir tangan si dara yang dipegangnya itu dan berkata, "Coba lihat!"

Ketika semua orang memandang tangan anak dara itu, ternyata yang digenggamnya adalah sebatang jarum halus berwarna hijau mengkilap, sekali lihat saja orang segera tahu itu adalah senjata rahasia berbisa.

Kiranya dengan pura-pura hendak memegang pundak Siau Hong tadi diam-diam ia hendak menusuk bekas Pangcu itu dengan jarum berbisa.

Untung Siau Hong cukup sigap dan jeli hingga tidak dikerjai nona itu.

Dalam pada itu si nona sedang meraba-raba pipinya yang merah bengap karena tamparan Siau Hong tadi. Sudah tentu pukulan Siau Hong cuma perlahan saja, kalau keras, mungkin kepalanya sudah pecah.

Karena tangannya terpegang Siau Hong hingga tertangkap bukti, untuk melepaskan diri juga tak bisa karena badan terasa lemas lantaran urat nadi tangan terpencet Siau Hong. Tapi nona itu lantas main air mata, ia mewek-mewek dan akhirnya menangis sambil berseru, "O, kenapa engkau memukul aku, memukul anak kecil!"

"Ai, sudahlah, jangan menangis!" demikian kata si lelaki setengah umur. "Orang cuma memukulmu dengan perlahan dan kamu lantas menangis, habis sedikit-sedikit kauserang orang dengan am-gi berbisa, memang kamu harus diberi hajaran."

"Jarum Pek-lian-ciam ini toh bukan am-gi paling lihai, aku masih punya am-gi lain yang lebih hebat," kata si anak dara sambil menangis.

"Ya, mengapa tidak kaugunakan Bu=hong-hun (bubuk tak berwujud) atau Hu-kut-san(puyer pembusuk tulang) atau kek-lok-ji (duri maha gembira) atau Coan-sim-ting(paku penembus hati)?" ujar Siau Hong dengan menjengek.

"Dari mana kautahu?" mendadak anak dara itu berhenti menangis dan bertanya dengan heran.

"Sudah tentu aku tahu," sahut Siau Hong, "Aku tahu juga gurumu adalah Sing-siok-hai-Lomo(Iblis dari Sing-siok-hai), maka kutahu pula macam-macam am gi berbisa yang kaupakai itu."

Mendengar ucapan SIau Hong itu, semua orang terkejut.

Iblis tua Sing-siok-hai adalah tokoh persilatan dari sia-pai atau aliran jahat yang disegani setiap orang. Yang menghormat padanya menyebutnya sebagai "Lojin" atau si kakek, tapi yang tidak suka lantas menyebutnya sebagai "Lomo" atau si Iblis tua.

Iblis itu tidak peduli benar atau salah, segala kejahatan dapat diperbuatnya, dan justru ilmu silatnya teramat tinggi hingga orang lain tidak berani mengapa-apakan dia. Sukur dia jarang datang ke daerah Tionggoan hingga tidak banyak bencana yang ditimbulkan olehnya.

"A Ci, mengapa kamu dapat mengangkat guru pada Sing-siok-hai Lojin?" tanya si lelaki setengah umur.

Tiba-tiba mata si dara baju ungu terbelalak lebar sambil mengamat-amat orang itu, tanyanya kemudian, "Darimana kaukenal namaku?"

Laki-laki setengah umur itu menghela napas, sahutnya, "Masakah percakapan kami tadi tidak kaudengar?"

Nona itu menggeleng kepala, katanya ,"Sekali aku pura-pura mati, maka pancaindraku menjadi macet semuanya hingga tidak melihat dan tidak mendengar lagi."

"Itu Ku-lok-kang (ilmu kura-kura mengeram) dari Sing-siok Lojin," kata Siau Hong sambil melepaskan tangan si dara yang dipegangnya itu.

"Huh, sok tahu," A Ci atau si ungu melotot padanya.

Lalu si wanita cantik memegangi A Ci dan mengamat-amatinya dengan tertawa, sungguh rasa girangnya tak terkatakan.

Siau Hong tahu mereka adalah ibu dan anak, sebaliknya A Ci yaitu si anak dara berbaju ungu belum lagi tahu.

"Mengapa kamu pura-pura mati hingga membikin kuatir kami," kata si lelaki setengah umur tadi.

"Habis, siapa suruh kaulemparkan aku ke danau?" sahut A Ci dengan sangat senang, "Huh, engkau ini bukan manusia baik-baik."

Laki-laki itu berpaling sekejap kepada Siau Hong dengan air muka yang serba kikuk, katanya dengan tersenyum getir, "Ai, nakal, sungguh nakal!"

Siau Hong tahu pasti banyak yang hendak dibicarakan di antara ayah-bunda dan anak yang telah bertemu kembali itu, maka ia menarik A Cu keluar hutan bambu. Di sana dilihatnya kedua mata A Cu merah bendul, badan gemetar terus, cepat tanyanya dengan kuatir, "He, apa kamu tidak enak badan, A Cu?"

Segera ia pegang nadi tangan si gadis dan terasa denyutnya sangat cepat, suatu tanda hatinya terguncang.

A Cu menggeleng kepala sambil menyatakan tidak apa-apa. Kedua orang menikmati sebentar bambu yang berbentuk persegi dan indah itu.

Sekonyong-konyong terdengar suara tindakan orang yang cepat, ada tiga orang tampak berlari ke arah sini, satu di antaranya memiliki ginkang yang hebat sekali. Tergerak hati Siau Hong, "Jangan-jangan Tai-ok-jin itu sudah datang?"

Segera ia keluar hutan bambu, ia lihat ketiga orang itu berlari datang menyusur jalan kecil di tepi danau, dan di antaranya masing-masing memanggul seorang lagi. Seorang lagi bertubuh pendek kecil dan jalannya secepat terbang seakan-akan kaki tidak menyentuh tanah. Begitu cepat larinya hingga sering ia berhenti dulu untuk menunggu kedua kawannya yang tertinggal di belakang.

Sesudah dekat, dapatlah Siau Hong melihat kedua orang yang dipanggul itu adalah si lelaki gila berkapak yang dilihatnya di kota itu, sedang seorang lagi adalah si petani yang membawa cangkul.

Terdengar orang yang pendek kecil itu berteriak-teriak,"Cukong! cukong! Tai-ok-jin telah datang, mari lekas kita pergi saja!"

Baru dua kali ia berseru, tertampak si lelaki setengah umur tadi sudah keluar dari hutan bambu sambil menggandeng si wanita cantik dan si anak dara yang bernama A Ci itu.

Muka mereka tampak ada bekas air mata. Cepat laki-laki itu melepaskan kedua orang yang digandengnya terus memburu ke samping orang-orang yang terluka itu, ia periksa urat nadi mereka, ketika mengetahui tidak membahayakan jiwa mereka, ia menampilkan rasa lega, lalu katanya, "Ketiga saudara tentu lelah, untung luka Siau dan Tang-hiante tidak gawat, maka legalah hatiku."

Segera ketiga orang yang baru datang itu memberi hormat. Diam-diam Siau Hong heran, "Dari ilmu silat dan lagak mereka, terang mereka bukanlah sembarangan tokoh, tapi mengapa terhadap laki-laki setengah umur ini mereka begini menghormat, sungguh sukar dimengerti."

Dalam pada itu orang yang pendek kecil tadi telah berkata, "Lapor Cukong, dengan memakai sedikit siasat Tai-ok-jin dapat hamba merintangi untuk sementara. Tapi mungkin dia sudah melampaui rintangan itu, harap Cukong lekas pergi dari sini saja."

"Sungguh tidak beruntung keluarga kami terdapat keturunan durhaka seperti dia itu," demikian kata laki-laki setengah umur. "Jika sekarang sudah kepergok di sini, jalan lain tidak ada lagi kecuali menghadapinya."

"Soal menghadapi musuh dan membasmi kejahatan adalah tugas kewajiban hamba sekalian. Cukong harus mengutamakan kepentingan negara dan lekas pulang ke Taili agar Hongsiang tidak merasa kuatir." kata seorang di antaranya yang bermata besar dan beralis tebal.

Siau Hong terkesiap mendengar pembicaraan itu, pikirnya, "Aneh, mengapa pakai sebutan 'hamba' dan 'Cukong', lalu suruh dia lekas pulang Taili apa segala? Masakah laki-laki setengah umur ini adalah orang dari keluarga Toan di Taili?"

Begitulah diam-diam hati Siau Hong berdebar-debar, ia membatin, "Jangan-jangan sudah ditakdirkan bahwa keparat Toan Cing-sun ini secara kebetulan kepergok olehku sekarang?"

Sedang Siau Hong merasa sangsi, tiba-tiba dari jauh terdengar orang bersuit panjang nyaring, menyusul terdengar seorang yang mirip gesekan benda logam berkata, "Anak kura-kura she Toan, sekarang kamu tak bisa lari lagi, boleh kauterima nasib saja dan mungkin Locu menaruh belas kasihan dan jiwamu akan kuampuni!"

Lalu suara seorang wanita menangapi, "Mengampuni jiwanya atau tidak bukan hakmu, masakah Lotoa sendiri tak bisa mengambil keputusan?"

"Ya, biarkan anak kura-kura she Toan itu tahu gelagat dulu daripada berlagak gagah." ujar seorang lagi dengan suara melengking aneh, tapi nadanya kurang tenaga seakan-akan orang yang baru sembuh dari sakit berat atau masih terluka dalam.

Siau Hong bertambah curiga mendengar laki-laki setengah umur itu berulang-ulang disebut she Toan oleh para pendatang itu. Tiba-tiba terasa sebuah tangan yang kecil halus menggenggam tangannya, waktu ia melirik, kiranya A Cu, wajah gadis itu tampak pucat lesu, tangan dingin pula. Segera ia tanya dengan perlahan, "A Cu, apa kamu tidak enak badan?"

"Tidak, tapi ... tapi aku sangat takut, Toako," sahut A Cu dengan tak lancar.

Siau Hong tersenyum, katanya, "Berada di samping Toakomu ini, masakah perlu merasa takut kepada siapa pun?"

Lalu ia merotkan mulut ke arah laki-laki setengah umur tadi dan membisiki A Cu, "Orang ini agaknya anggota keluarga Toan dari Taili."

A Cu tidak menjawab, tidak membenarkan juga tidak membantah, hanya bibirnya tampak sedikit gemetar.

Dalam pada itu seorang yang berperawakan sedang di antara ketiga orang yang baru datang tadi berkata, "Cukong, urusan hari ini janganlah gegabah, jika terjadi apa-apa atas diri Cukong, bagaimana kami ada muka untuk menghadap Hongsiang kelak, maka tekad kami adalah membunuh diri."

Kiranya laki-laki setengah umur itu memang benar adalah adik baginda raja Taili, Toan Cing-sun bergelar Tin-lam-ong. Oleh karena waktu mudanya ia memang seorang "Arjuna", seorang romantis, maka di mana-mana ia main roman dengan kaum wanita.

Dasar perawakannya gagah, tampang cakap, pangeran pula, dengan sendirinya di mana-mana banyak wanita cantik yang kepincut padanya. Pula sebagai pangeran, soal punya empat istri atau lima selir adalah soal lumrah.

Keluarga Toan mereka berasal dari kalangan Bu-lim di Tionggoan, walaupun kemudian menjadi raja di Taili, tapi penghidupan mereka masih menurunkan ajaran leluhur dan tidak berani terlalu mewah dan berlebih-lebihan. Di tambah lagi istri kawin Toan Cing-sun yaitu Si Pek-hong yang suka cemburu, bagaimanapun ia keberatan kalau Toan Cing-sun mengambil istri kedua. Tapi karena pangeran bangor itu masih suka main gila dengan wanita lain, saking jengkelnya Si Pek-hong cukur rambut menjadi Nikoh dengan gelar Yan-toan-siancu (baca jilid 3).

Memang banyak juga kekasih Toan Cing-sun seperti Cin Ang-bun yaitu ibu Bok Wan-jing. A Po istri Ciong Ban-siu dan Wi Sing-tiok, ibu A Ci yang tinggal di hutan bambu ini, semuanya adalah bekas gula-gulanya dan mempunyai kisah roman sendiri sendiri.

Kedatangan Toan Cing-sun kali ini tujuan adalah Siau-lim-si, tapi kesempatan ini telah dipergunakan untuk menyambangi Wi Sing-tiok yang tinggal mengasingkan diri di Siau-keng-oh yang indah ini.

Selama beberapa hari ini kedua kekasih lama sedang tenggelam dalam lautan madu yang memabukkan, sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa putri kandung mereka mendadak bisa pulang dan berkumpul kembali dengan mereka. Dan selagi mereka merasa senang, mendadak diketahui pula musuh besar sedang mencarinya.

Tatkala Toan Cing-sun mengeram di tempat tinggal Wi Sing-tiok, jago-jago pengawal yang dia bawa yaitu Sam-kong, Su-un, tiga kong (gelar pahlawan) dan empat jago terpendam masing masing berjaga di sekeliling Siau-keng-oh.

Tak terkira musuh terlalu lihai, Jai-sin-khek Siau Tok-sing, si tukang kayu dan Tiam-jong-san-long Tang Su-kui, si petani berturut-turut dilukai musuh besar itu. Sedangkan Pit-bi-seng Cu Tan-sin, si sastrawan, salah sangka Siau Hong sebagai musuh dan berusaha menyesatkannya di jembatang batu itu, tapi gagal. Dan Bo-sian-tio-toh Leng Jian-li si nelayan atau si tukang mancing malahan kena ditawan oleh jaring A Ci.

Ketiga orang tersebut belakangan itu adalah Taili Sam-kong, yaitu Su-khonh Po Thian-sik, Su-ma Hoan Hoa dan Su-to Hoa Hik-kim.

'Tiatia, hadiah apa yang akan kauberikan padaku?" sahut A Ci dengan tertawa.

Cing-sun berkerut kening, katanya, "Kamu tidak menurut, kusuruh ibu menghajarmu. Kau berani menggoda Leng-sioksiok, ayo lekas minta maaf?"

"Jika begitu, engkau telah melemparkanku ke danau hingga aku mesti pura-pura mati, kenapa engkau tidak minta maaf juga padaku? Biar akupun minta ibu menghajarmu!" sahut A Ci.

Diam-diam Pa Thian-sik dan lain-lain terkesiap, karena muncul pula seorang putri TIn-lam-ong yang nakal dan bandel, sedikitpun tidak kenal aturan kepada orang tua. Walaupun nona cilik itu bukan putri Tin-lam-ong yang resmi, tapi jelek-jelek adalah putri pangeran, jika digoda olehnya seperti Leng Jian-li, wah, terpaksa menganggap diri sendiri yang sial.

Sedang Cing-sun hendak omong pula, tiba-tiba Wi Sing-tiok, si wanita cantik membuka suara, "A Ci mestikaku, ayolah lekas, lepaskan Leng-sioksiok, nanti ibu memberi hadiah bagus padamu."

"Berikan dulu hadiahnya, akan kulihat apakah baik atau tidak?" sahut A Ci sambil menyodorkan tangannya.

Sungguh Siau Hong sangat mendongkol melihat kenakalan anak dara itu. Ia menghormati Leng Jian-li sebagai seorang gagah, segera ia angkat tubuh si tukang mancing itu dan berkata, "Leng-heng, jaring ini akan kendur bila terkena air, biarlah kurendam sebentar ke dalam air."

"Lagi-lagi kaucampur tangan urusan orang!" seru A Ci dengan gusar. Tapi tadi dia telah ditampar sekali oleh Siau Hong, ia sudah kapok dan tak berani merintangi.

Segera Siau Hong membawa Leng Jian-li ke tepi danau, ia rendam sebentar di dalam air, benar juga jaring dari benang halus itu lantas kendur dan mulur. Maka dapatlah Siau Hong membuka jaring ikan itu untuk membebaskan Leng Jian-li.

"Banyak terima kasih atas pertolongamu, Siau-heng," kata Leng Jian-li dengan suara perlahan.

"Bocah itu terlalu nakal, tapi tadi sudah kugampar dia sekali untuk melampiaskan rasa dongkol Leng-heng," ujar Siau Hong dengan tersenyum.

Leng Jian-li hanya geleng-geleng kepala saja dengan lesu.

Segera Siau Hong menggulung jaring halus itu, ia kepal jaring itu hingga menjadi bola sebesar cangkir.

"Kembalikan padaku!" tiba-tiba A Ci mendekatinya hendak meminta kembali jaring itu.

Tapi ketika Siau Hong mengangkat tangannya pura-pura hendak menghajarnya, A Ci menjadi ketakutan dan melompat mundur. Ia jawil ujung baju Toan Cing-sun dan merengek-rengek, "Ayah, dia merampas jaringku, mintakan kembali!"

Melihat tindak-tanduk Siau Hong agak aneh, Cing-sun yakin orang tiada maksud jahat, tapi hanya sekadar memberi hukuman saja kepada A Ci. Tidak mungkin seorang tokoh demikian ingin mengangkangi barang anak kecil.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Pa Thian-sik berserum, "Selamat datang, In-heng! Sungguh aneh, ilmu silat orang lain makin dilatih makin tinggi, mengapa In-heng justru terbalik, makin berlatih makin mundur? Ayolah turun kemari!"

Habis berkata, terus saja ia menghantam pohon di sampingnya, "krek", ranting pohon terhantam patah, berbareng dengan jatuhnya ranting kayu itu ikut melompat turun pula seorang yang sangat tinggi, tapi kurus kering, itulah dia "Kiong-hiong-kek-ok" In Tiong-ho, satu di antara Su-ok yang maha jahat itu.

Waktu di Cip-hian-ceng tempo hari In Tiong-ho kena dihantam sekali oleh Siau Hong dan jiwanya hampir melayang, untung luka itu dapat disembuhkannya, tapi lwekangnya jauh mundur daripada dulu. Tempo hari ketika dia bertanding ginkang dengan Pa Thian-sik di Taili, kepandaian kedua orang boleh dikatakan seimbang, tapi kini demi mendengar suara gerakan lawan itu, segera Pa Thian-sik tahu kepandaian lawan itu benyak lebih mundur daripada dulu.

Ketika mendadak nampak Siau Hong juga berada di situ, In Tiong-ho terkejut, cepat ia putar balik memapak ketiga orang yang sedang mendatang dari jalan kecil di tepi danau sana.

Ketiga orang itu yang berada paling kiri berkapala batok dan berpakaian cokak, itulah "Hiong-sin-ok-sat" alias Lam-hai-gok-sin. Yang sebelah kanan membopong seorang bayi, itulah "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio. Dan orang yang berada di tengah, berjubah hijau dan memakai dua batang tonkat bambu hitam gelap, mukanya kaku seperti mayat hidup, itulah dia kapala Su ok bergelar "Ok-koan-boan-eng" Toan Yan-khing adanya.

Su-ok jarang datang ke Tionggoan, lebih-lebih Toan Yan-khing, dia jarang tampil ke muka umum, maka Siau Hong tidak kenal padanya. Tapi Toan Cing-sun pernah bertemu dengan Su-ok di Taili, ia tahu Yap Ji-nio dan Gal-losam meski cukup lihai, namun masih dapat dilawan, sebaliknya Toan Yan-khing inilah yang lain daripada yang lain, sudah mahir It-yang-ci dari keluarga Toan, berhasil melatih pula ilmu Sia-pai yang sangat lihai, tempo hari sampai Ui-bi-ceng dan Po-ting-to Toan Cing-beng juga kewalahan melawannya. Dengan sendirinya Toan Cing-sun insaf dirinya bukan tandingan Yan-khing Taicu itu.

Seperti telah diceritakan bahwa Toan Yan-khing sebenarnya adalah putra mahkota raja Taili yang dulu. Ayahnya yaitu Toan Lim-gi dengan gelar Siang-tel-te, telah dibunuh oleh menteri dorna, dalam keadaan kacau Yan-khing Taicu telah menghilang. Maka tahta kerajaan Taili akhirnya terturun sampai di tangan Toan Cing-beng.

Kini munculnya Yan-khing Taicu justru ingin menagih kembali tahta ayah bagindanya itu. Ia tahu Toan Cing-sun adalah adik baginda raja Taili sekarang, raja Taili sekarang tidak punya keturunan, tahta tentu akan diteruskan oleh Toan Cing-sun, kalau sekarang Toan Cing-sun dapat dibunuh lebih dulu, itu berarti sudah hilang suatu rintangan bagi maksud tujuannya.

Sebab itulah, demi didengarnya Toan Cing-sun datang ke Tionggoan, ia terus mencari dan menguntitnya hingga sampai di Siau-keng-oh. Di tengah jalan Siau Tok-sing dan Teng Su-Kui tidak berhasil merintangi kedatangan Yan-khing Taicu itu, bahkan mereka dilukai, yang satu terkena Liap-hun-tai-hoat hingga hilang ingatan dan yang lain dada terjojoh oleh tongkat bambu hingga berlubang.

Begitulah maka Su-ma Hoan Hoa yang banyak tipu akalnya itu segera memberi usul,"Cukong,Toan Yan-khing itu bermaksud jahat atas diri Cukong, demi kepentingan negara, hendaklah CUkong lekas pulang ke Thian-liong-si untuk mengundang para padri saleh di sana guna melawan durjana ini!"

Dengan usul ini, maksudnya minta Toan Cing-sun suka pulang ke Taili, di samping itu jika Yan-khing berada di di dekat situ, ia sengaja perkeras ucapannya itu agar musuh merasa sangsi jangan-jangan para padri yang lihai dari Thian-liong-si juga berada di situ.

Jilid 36

Namun Toan Cing-sun tahu urusan hari ini sangatlah berbahaya, di antara jago-jago Tayli yang ada di situ sekarang ia sendirilah yang paling kuat, jika ia meninggalkan kawan-kawan lain untuk menyelamatkan diri sendiri, lalu kemanakah mukanya akan ditaruh kelak? Apa lagi dihadapan kekasih dan putrinya, mana boleh dia merendahkan pamor sendiri? Maka dengan tersenyum ia menjawab kedatangan Su-ok itu, "Ha-ha ha ha, urusan keluarga Toan kami ternyata mesti diselsaikan di wilayah Song, sungguh aneh urusan ini."

"He, Toan Cing-sun, setiap kali aku bertemu denganmu, selalu kamu lagi berkumpul dengan beberapa perempuan cantik. Wah, rejekimu dalam hal perempuan sungguh luar biasa baiknya: demikian Yap Ji-ni menyapa dengan tertawa.

Sebaliknya Lam-hai-gok-sin terus memaki, "Anak kura-kura ini tentu sudah kelewat puas main perempuan, biarlah sekarang Locu mengacipnya menjadi dua potong!"

Habis berkata, segera ia keluarkan "Gok-cuipcian" atau kacip congor buaya, dan menerjang maju ke arah Toan Cing-Sun.

Dengan jelas Siau Hong dengar Yap Ji-nio menyebut orang setengah umur itu sebagai Toan Cing-sun, sedang yang ditegurpun tidak menyangkal, hal ini ternyata cocok seperti dugaan Siau Hong, maka dengan perasaan terguncang ia berpaling dan berkata kepada A Cu,"Ternyata benar dia adanya."

Apakah ... apakah engkau akan mengerubnya dan menyerangnya tatkala dia terancam bahaya lain?" tanya A Cu dengan suara gemetar.

Namun perasaan Siau Hong saat it sangat kusut, ia murka dan girang pula, sahutnya dengan dingin, "Sakit hati ayah-bunda, dendam Suhu dan ayah-ibu angkatku, serta rasa penasaranku yang difitnah, hm, semua itu masakah boleh kutinggal diam, masakah aku masih perlu bicara tentang kejujuran dan keadilan serta peraturan kangou apa segala dengan dia?"

Ucapan itu sangat perlahan, tapi penuh rasa dendam kesumat dan kebulatan tekad yang tak terpatahkan.

Dalam pada itu demi nampak Lam-hai-gok sin sudah mulai menerjang maju, segera Hoan Hoa mengatur siasat, bisiknya perlahan kepada kawan-kawannya, "Hoa toako, Cu-hiante, silahkan kalian keroyok orang dogol ini! Harus menyerang serentak dan menggempur sekuatnya, lekas, membereskan dia lebih baik, kaki tangan musuh dipreteli dulu, habis itu mush utamanya akan mudah dilawan."

Hoa Hik-Kin dan Cu Tan-sin mengiakan bersama, cepat mereka memapak maju. Meski kepandaian mereka masing-masing cukup kuat untuk menandingi Lam-hui-gok-sin, pula agak kurang terhormat main keroyok, tapi demi mendengar penjelasan Hoan Hoa tadi, mereka merasa siasat itu cukup beralasan. Toan Yan khing terlalu tangguh untuk dilawan, jika mesti satu lawan satu, tiada seorangpun di antara mereka yang mampu melawannya, jika nanti serentak mreka mengerebutnya, boleh jadi keadaan masih bisa dikuasai.

Maka dengan senjata cangkul baja segera Hoa Hik-kin mendahului menyerang disusul oleh Cu Tan-sin dengan Pit bajanya terus mengerubuti Lam-hai-gok-sin.

Lalu Hoan Hoa berkata pula, "Sekarang Pa-hiante boleh membereskan kenalanmu yang lama itu, aku dan Leng-hiante akan melawan perempuan itu."

Sekali Pa Thian-sik mengiakan, terus saja ia menuburuk ke arah in Tiong ho. Sedangkan Hoan Hoa dan Leng Jian-li juga serentak melompat maju.

Senjata andalah Leng Jian-li sebenarnya adalah gagang pancing yang telah dilempar ke danau oleh ACi. Kini ia sambar pacul Tang Su-koi sebagai gantinya.

Melihat manunya musuh-musuh itu Yap Jipnio tersenyum, sekali lihat gerakan lawan, segera ia tahu Hoan Hoa adalah lawan tangguh. Ia tidak berani ayal, ia lemparkan bayi yang digendungnya itu ke tanah, ketika tangannya menjulur ke depan lagi, tahu-tahu ia sudah memegang sebatang bolok yang lebar dan tipis, tadinya golok itu entah disimpan di mana, tahu-tahu sudah diloloskan keluar.

Di luar dugaan, mendadak Leng Jian-li menggertak keras, tapi bukannya menerjang, di mana Yap Jinio sebaliknya menyerbu Toan Yang Khing.

Keruan Hoan Hoa kaget, cepat seru..

"Leng hiante bukan ke sana tapi ke sini, kemarilah!"

Namun Leng Jian-li seperti tidak mendengar lagi, bahkan paculnya diangkat terus menyerepang pinggang Toan Yan-khing.

Toan Yang-khing cuma tersenyum dingin saja, sama sekali ia tidak berkelit, sebaliknya tongkat bambu sebelah kiri terus menutuk kemuka lawan malah.

Tampaknya tutukan tongkat itu seperti dilakukan seenaknya saja, tapi waktunya dan jitunya ternyata diperhitungkan dengan tepat, yaitu sedetik lebih dulu sebelum pacul Leng Jian-li mengenai sasarannya. Jadi menyerang belakangan tapi tiba lebih dulu, lihainya sungguh tak terkatakan.

Serangan yang berbahaya itu sebenarnya mau tak mau Leng Jian-li harus menghindarkannya. Siapa duga serangan Toan Yan-khing itu sedikitpun tidak digubris oleh Leng Jian-li sebaliknya ia ayunkan paculnya semakin kuat dan tetap menghantam ke pinggan lawan.

Keruan Toan Yan-khing terkejut, pikirnya Jangan-jangan ini orang gila?" Sudah tentu ia tidak mau terluka bersama Leng Jian-li, bila tongkatnya dapat mampuskan dia, pinggan sendiri juga pasti akan terluka parah. Maka cepat ia tutuk tongkat kanan ke tanah, tubuh terus menapung ke atas.

Melihat lawan meloncat ke atas, segera pacul Leng Jian-li itu menyodok ke perut Toan Yan-khing. Sebenarnya kepandaian Leng Jian-ji adalah kegesitan dan kelincahan, sudah tentu pacul itu bukan senjata yang cocok baginya. malahan sekarang ia bertempur dengan nekat dan ngawur, setiap serangan selalu mengincar tempat mematikan di tubuh Toan Yan-khing, sedangkan keselamatan diri sendiri sama sekali tak terpikir olehnya.

Menghadapi orang nekat dan kalap demikian biarpun ilmu silat Toan Yangkhing sangat tinggi terpaksa terdesak mundur juga berulang-ulang. Namun demikian tetap Leng Jian-li tak bisa mengenai sasaranya, sebaliknya dalam sekejap saja di tanah rumput di tepi danau ini sudah penuh tetesan darah.

Kiranya waktu Toan Yang-khing menghindar atau melompat mundur, setiap kali tongkatnya pasti kena menjotoh tubuh Leng Jian-li, di mana tongkatnya sampai, di bagian tubuh Leng Jian-li lantas berlubang. Tapi Leng Jian li sudah tak merasakan sakit lagi, ia mainkan paculnya semakin kencang dan menyerang semakin kalap.

Akhirnya Toan Cing-sun menjadi kuatir, cepat ia berseru, "Leng-hiante, lekas mundur, biar kutempur pengganas ini!"

Segera ia sambar sebatang pedang dari tangan kekasihnya dan menerjang maju untuk mengeroyok Toan Yan-khing.

"Mundurlah Cokung!" seru Leng Jian-li

Sudah tentu Cing-sun tak mau menurut, kontan pedangnya menusuk ke dada Toan Yan khing.

Mendadak Yan-khing Taicu menahan tubuh dengan tongkat kanan, tongkat kiri lebih dulu dipakai menangkis pacul Leng jian-li menyusul pada kesempatan ia terus menutuk muka Toan Cing-sun.

Tapi Cing-sun cukup tenang, ia tidak kalap seperti Leng Jian li, sedikit menggeser ke samping tehindarlah serangan Yan-khing Taicu itu.

Mendadak Leng Jian-li mengerung bagai harimau ketaton, sekonyong-konyong pacul membalik dan menyerang Toan Cing-sun malah. Keruan Cing-sun kaget, hampir jidatnya kena genjot pacul, sama sekali tak tersangka olehnya bahwa kawan yang sangat setia itu mendadak bisa menyerangnya.

Melihat kekalapan Leng Jian-li, Hoan Hoa, Cu Tan-sia dan lain lain menjadi kuatir, mereka berteriak-teriak, "Leng-hiante, lekas mundur untuk mengaso dulu!"

Tapi Leng Jian-li masih terus menggerung-gerung seperti orang gila dan merangsang ke arah Toan Yang-khing. Sementara itu Hoan Hoa dan kawan-kawannya di satu pihak dan Yap Ji-nio, Lam-hai-sok-sia dilain pihak sudah sama berhenti bertempur untuk menyaksikan pertarungan Toan Yan-khing dan Leng Jian-li demi nampak yang tesebut belakangan ini seperti orang kurang waras pikirannya.

"Leng-toako, silakan mundur dulu" demikian Cu Tan-sin memburu maju untuk menarik Leng Jian li, tapi malah kena dijotos sekali oleh saudara angkat itu hingga hidung dan mata matang biru.

Menghadapi lawan kalap begitu sesungguhnya juga buka keinginan Toan Yan-khing. Sementara itu mereka sudah begebrak hampir 30 jurus, sudah belasan luka tongkat Toan Yan-khing menikam badan Long Jian-li. Tapi Leng Jian-li masih terus berteriak-teriak dan menempurnya dengan nekat.

Cu Tan-sin tahu bila diteruskan akhirnya Leng Jian-li pasti tak terluput dari binasa, dengan air mata berlinang-linang segera ia bermaksud menerjang maju untuk membantu.

Tapi belum lagi ia bertindak, sekonyong-konyong termapak Leng Jian-li menimpukkan paculnya ke arah musuh dengan sekuatnya. Tapi sekali Toan Yan-khing mencungkil dengan tongkatnya batang pacul itu, dengan enteng sekali pacul itu melayang jauh ke sana. Itulah ilmu "Si nio-poat-jian-king" atau empat tahil menyampuk seribu kati, ilmu sakti yang mengagumkan.

Dan belum lagi pacul itu jatuh ke tanah, mendadak Leng Jian-li ikut menubruk ke arah Toan Yan-khing. Tapi Tan-khing Taicu menyambutnya dengan tersenyum, tongkat terus menikam ke dada lawan itu.

"Celaka!" seru Toan Cing-sun, Hoan Hoa dan lain-lain, berbareng mereka memburu maju buat membantu.

Tapi tusukan tongkat Yan-khing Taicu itu cepat luar biasa, "bles", dada Leng Jian-li tertikam dengan tepat, bahkan terus tembus ke punggung. Dan begitu tongkat berhasil menusuk kesasarannya, tongkat Yan-khing yang lain lantas menutul tanah hingga tubuhnya melayang mundur beberapa meter jauhnya.

Seketika dada dan punggung Leng Jian-li menyemburkan darah segar, ia masih hendak memburu musuh, tapi baru selangkah ia tahu maksud ada tenaga sudah habis. Segera ia berpaling dan berkata kepada Toan Cing-sun, "Cukong, Leng Jian-li lebih suka mati daripada dihina, selama hidupku ini dapatlah kupertanggung jawabkan kepada keluarga Toan dari Tayli."

"Leng-hiante," sahut Cing-sun dengan air mata meleleh, "akulah yang tak bisa mengajar anak sehingga membikin susah padamu, sungguh aku merasa malu tak terhingga."

Lalu Leng Jian-li berkata kepada Cu Tan-sin dengan tersenyum, "Cu-hiante, biarlah kakakmu ini mangkat dulu. Engkau...kau..."

Sampai di sini mendadak ia tidak dapat meneruskan lagi, napasnya lantas putus dan meninggal, tapi tubuhnya tetap tegak tak mau roboh.

Mendengar ucapan "lebih suka mati daripada dihina" itu, tahulah semua orang sebabnya dia menempur Toan Yan Khing dengan kalap adalah karena merasa terhina oleh perbuatan A Ci yang telah meringkusnya dengan jaring ikan, maka ia menjadi nekat, lebih suka gugur di meda pertempuran daripada menanggung malu yang tidak mungkin dibalasnya mengingat anak dara itu adalah putri junjungannya walaupun tidak resmi.

Cu Tan-sin, Tang Su kui dan Siau Tiok-sing menangis sedih, meski luka mereka belum sembuh, dengan nekat mereka pun ingin mengadu jiwa dengan Toan Yan khing.

"Huh, ilmu silatnya tidak tinggi, tapi main hantam begitu hingga jiwanya melayang, sungguh seorang maha tolol, demikian tiba-tiba suara seorang wanita berolok-olok.

Ternyata yang bicara adalah A Ci. Memangnya Toan Cing-sun dan lain-lain lagi berduka, keruan mereka menjadi gusar oleh ucapan anak dara itu. Hoan Hoa dan lain-lain melototi A Ci dengan gusar, cuma mengingat anak dara itu adalah putri majikan, maka mereka tidak berani umbar kemurkaan padanya. Sebaliknya Toan Cing-sun menjadi gemas juga, terus saja ia ayun tangan menggampar muka anak dara yang binal itu.

Syukur Wi Sing-tiok keburu menagkiskan tamparan itu sambil mengomel. "Sudah belasan tahun tidak urus orang, baru bertemu sekarang lantas tega menghajarnya?"

Selama ini Toan Cing-sun memang merasa berdosa terhadap Wi Sing-tiok, makanya segala apa ia suka menurut pada apa yang dikatakan kekasih itu, dengan sendirinya lebih-lebih tidak mau cecok dihadapan orang luar, maka tangan yang sudah hampir beradu dengan tangan Wi Sing-tiok itu cepat ditarik kembali, lalu dampratnya kepada A Ci, "Kamu telah bikin mati orang, kau tahu tidak?"

Tapi A Ci menjawab dengan mendengus, "Huh, semua orang menyebutmu sebagai 'Cu kong', itu berati pula aku adalah majikan kecil mereka, kalau cuma membunuh seorang dua orang budak apa artinya?"

Pada jaman itu memang ikatan peraturan feodal sangat menyolok. Kaum budak atau bawahan tidak mungkin membangkang kepada majikan atau atasan, biarpun disuruh mati juga harus mati.

Leng Jian-li dan kawan-kawannya adalah petugas kerajaan Tayli, dengan sendirinya mereka sangat menghormat kepada keluarga Toan. Tapi keluarga Toan berasal dari kalangan Bu-lim di Tionggoan, selamanya mereka taat pada peraturan kangouw yang belaku. Biarpun Hoan Hoa, Leng Jian li dan kawan-kawannya menghamba kepada keluarga Toan, tapi selamanya Toan Cing-beng dan Cing sun memandangnya sebagai saudara sendiri, apalagi A Ci cuma putri Cing-sunyang tidak resmi alias anak haram.

Sungguh duka dan pedih sekali Toan Cing-sun oleh kematian Long Jian-li dan kenakalan putrinya itu, ia merasa malu terhadap saudara-saudara angkatnya itu.. Tanpa pikir lagi ia jinjing pedangnya terus melompat maju, katanya sambil menuding Toan Yan-khing, "Jika kauingin membunuh aku, marilah silahkan. Keluarga Toan kita mengutamakan kebajikan dan keadilan, kalau membunuh secara sewenang-wenang, biarpun dapat merebut negara juga takkan tahan lama."

Diam-diam Siau Hong tertawa dingin, "Hm, manis betul ucapanmu, dalam saat demikian masih pura-pura menjadi jantan?"

Dalam pada itu Toan Yan-khing sudah melompat maju ke depat. Cing-sun dan menyambut, "Kauingin menempur aku dengan satu lawan satu dan tidak perlu mengikut campurkan orang lain, bukan?"

"Betul, " sahut Cing-sun. "boleh kaubunuh aku, lalu kembali ke Tayli untuk membunuh kakak baginda. Tapi apakah cita-citamu ini bisa terlaksana atau tidak bergantung pada peruntunganmu. Adapun anggota keluargaku dan para bawahnku tiada sangkut-paut apa-

apa dengan percecokan kita ini."

"Tidak, anggota keluargamu harus kubasmi habis dan bawahanmu boleh kuampuni." sahut Yan-khing taicu dengan menjengek. "Dahulu kalian berdua tidak dibunuh oleh ayah baginda, makanya terjadi perebutan tahta seperti sekarang."

Habis bicara, tongkatnya terus menunuk ke muka Toan Cing-sun. Cing-sun pernah mendengar cerita tentang ilmu silat Yan-khing Taicu sangat lihat, ilmu silatnya dari aliran baik berasal dari keluarga Toan sendiri, sedangkan kepandaian dari Sia-pai yang aneh dan hebat itu tak diketahui dari mana asalnya.

Maka Cing-sun tidak berani gegabah, ia melompat ke kiri, ia memberi hormat kepada Leng Jian-li yang sudah tidak bernyawa lagi tapi masih berdiri tegak itu dan berkata, "Leng hiante, Hari ini kita bahu membahu untuk menghalau musuh."

Lalu ia berpaling dan berkata kepada Hoan Hoa, "Hoan suma, jika aku mati, harap kuburkan aku sejajar dengan Leng-hiante tanpa membedakan antara majikan dan hamba."

"Hehehe, masih berlagak sebagai ksatria, apa kah ingin orang lain kagum padamu lalu jual nyawa padamu?" demikian Yan-khing Taicu menjengek.

Tanpa bicara lagi pedang Cing sun menusuk ke depan dengan gerakan "ki-li-toan-kim" atau tajamnya sanggup memotong emas, yaitu satu jurus pembukaan dari "Toan keh kiam" (ilmu pedang keluarga Toan).

Sudah tentu Yan-khing Taicu kenal tipu serangan itu, segera ia pun balas menyerang dengan tongkatnya dalam gaya permainan pedang. Sekali gebrak, yang dikeluarkan kedua orang itu sama-sama ilmu silat ajaran leluhur mereka.

Memang Toan Yan-khing tertekad akan membunuh Toan Cing sun dengan "Toan keh kiam" saja, sebab cita-citanya adalah ingin merebut tahta kerajaan Tayli, jika di hadapan Sam kong dan Su-un yang ikut hadir sekarang ia gunakan ilmu silat dari Sia pai untuk membunuh Toan Cing-sun, pasti para pembesar dan ksatria Tayli takkan takluk padanya, tapi kalau dapat mengalahkan dia dengan "Toan-keh kiam" dari leluhur sendiri, maka sejumlah kepandainnya dengan kedudukannya nanti dan tiada seorangpun yang punya alasan untuk menolaknya sebagai ahliwaris kerajaan Tayli yang tepat.

"Cing-sun merasa lega demi nampak lawan cuma memainkan ilmu silat keluarga sendiri, dengan tenang dan penuh perhatian ia mainkan pedangnya dengan rapat. Para penonton yang hadir di situ adalah tokoh-tokoh pilihan semua, mereka sama kagum melihat kepandaian Toan Cing-sun yang hebat itu.

Sebaliknya kedua tongkat bambu hitam yang dipakai Yan-khing Taicu itu juga sangat aneh keras bagai baja, sedikitpun tidak rusak jika kebentur dengan pedang Toan Cing-sun. Kedua orang sama-sama menggunakan "Toan-keh-kiam hoat" dari leluhur mereka, dengan sendirinya sukar untuk menentukan kalah menang dalam waktu singkat.

Diam-diam Siau Hong pikir, "Inilah suatu kesempatan yang paling bagus, selama ini aku kuatirkan kelihaian it yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan, kini kebetulan keparat Toan Cing-sun ini menghadapi musuh tangguh, bukan mustahil sebentar lagi Lak-meh-sin-kiam itu akan dikeluarkannya, ingin kulihat sampai di mana kehebatan ilmu pedang itu."

Sesudah belasan jurus, Siau Hong melihat pertarungan kedua orang itu bertambah sengit. Tongkat bambu Yan-khing Taicu kelihatannya enteng sekali, tapi lambat laun berubah menjadi antap sekali gerakannya sehingga pedang Toan Cing-sun setiap kali kebentur, jarak pentalnya menjadi tambah jauh pula.

Sebagai seorang ahli permainan Pak-kau-pang, diam-diam Siau Hong kagum. "Ini dia, kepandaian asli telah dikeluarkan, tongkat bambu yang enteng begini dapat dimainkan sebagai toya baja yang antap, nyata memang bukan sembarangan jago silat"

Sebaliknya Toan Cing-sun sudah mulai kewalahan, setiap kali ia menangkis serangan lawan, selalu terasa ditindih tenaga sehebat bukit hingga napas menjadi tak lancar. Padahal ilmu silat keluarga Toan paling mengutamakan lwekang, sekali pernapasan kurang lancar, itulah tanda bakal keok.

Tapi Cing-sun tidak menjadi gugup, ia sudah tidak pikirkan mati hidupnya lagi, ia merasa selama hidup ini sudah kenyang merasakan hidup bahagia, kalau kini tewas di tepi Siau-keng-oh juga tidak penasaran. Apalagi seorang kekasih seperti Wi Sing-tiok sedang mengikuti pertempurannya dengan penuh perhatian, biarpun mati juga rela pikirnya.

Kiranya memang begitulah jiwa "hidung belang" Toan Cing-sun, di mana mana dia mempunyai gendak, di mana-mana ia main cinta, dan setiap kali berada bersama dengan kekasihnya selalu ia unjuk cinta sehidup semati, biarpun korban jiwa seketika itu bagi sang kekasih juga dia rela, tapi kalau sudah berpisah, semua itu lantas dibuatnya ke awang-awang dan tak terpikir lagi olehnya.

Begitulah Toan Yan-khing masih terus perhebat daya tekannya, sampai lebih 60 jurus, tatkala Toan-keh-kiam-hoat hampir selesai dimainkan, ia lihat ujung hidung Toan Cing-sun sedikit berkeringat, tapi tenaga masih cukup dan napas masih panjang teratur.

Padahal diketahuinya Toan Cing-sun itu suka main perempuan, tenaga dalamnya ternyata sangat kuat, dengan sendirinya ia tidak berani gegabah. Ia kerahkan tenaga lebih hebat hingga setiap kali tongkat menyerang selalu membawa suara mencicit perlahan, dan setiap kali Cing-sun menangkis, selalu ia tergetar dan menggeliat.

Melihat itu, Hoan Hoa dan lain-lain tahu majikan mereka sudah mulai tak tahan, sekali mereka saling memberi isyarat, serentak mereka siap untuk mengerubut maju.

"hihihi, sungguh menggelikan!" demikian tiba-tiba suara seorang gadis cilik mengikik tawa. "Keluarga Toan dari Tayli terkenal sebagai kaum pahlawan dan ksatria sejati, kalau main kerubut, apakah hal ini takkan dibuat tertawaan orang?"

Hoan Hoa dan lain-lain melengak, mereka tahu itulah suara A Ci. Karuan mereka melongo. Sudah terang orang yang lagi terancam bahaya adalah ayah si gadis, hal ini sudah diketahuinya, mengapa ia malah berolok-olok dan menyindir ayah sendiri?

Wi Sing-tiok menjadi gusar juga, omelnya "A Ci, kamu anak kecil tahu apa" Ayahmu adalah Tin-lam ong dari negri Tayli, orang yang bergebrak dengan dia itu adalah penghianat dari keluarganya, jika kawan-kawan yang merupakan pengabdi negeri Tayli ini ikut turun tangan

membasmi orang durhaka itu, masakan hal ini dapat main kerubut segala?"

Lalu ia berseru kepada Hoan Hoa dan lain-lain. "Ayolah kawan-kawan, terhadap durjana penghkhianat itu masakan perlu bicara tentang peraturan kangouw?"

Tapi A Ci berkata pula dengan tertawa, "Ucapanmu agak aneh juga, ibu. Jika ayahku adalah seorang ksatria sejati segera juga aku akan mengakui dia. Tapi bila dia seorang manusia rendah dan pengecut, buat apa aku mempunyai ayah begitu?"

Suara A Ci itu cukup keras dan nyaring hingga dapat didengar oleh siapapun juga. Karuan Hoan Hoa dan lain-lain merasa serba salah dan ragu apakah mesti maju membantu atau tidak?

Meski Toan Cing-sun itu seorang bangor tapi dia sangat sayang juga kepada sebutan "Eng-hiong-ho-han" atau pahlawan dan kesatria. Dia sering kali membela diri dengan alasan "kaum pahlawan juga tidak terhindar dari godaan wanita". Sebagai contoh ia kemukakan seperti Han-ko-co Lau Pang yang tergoda oleh Jik-hujin dan Li Si-bin dengan Bu-cek-thian yang terkenal dalam sejarah itu. Tetapi dalam hal perbuatan rendah secara pengecut sekali-kali tidak nanti dilakukannya.

Maka ketika mendengar ucapan A Ci tadi, ia segera berseru, "Mati atau hidup, menang atau kalah, kenapa mesti dipkirkan? Jangan kalian ikut maju, siapa saja yang maju membantu aku berarti memusih aku Toan Cing-sun."

Ia bicara sambil bertempur, sudah tentu tenaga dalamnya agak berkurang. Tapi Toan Yan-khing tidak mau mengambil keuntungan itu, ia tidak mendesak, sebaliknya mundur dulu membiarkan lawannya bicara.

Tentu saja Hoan Hoa dan lain-lain bertambah kuatir, melihat sikap Toan Yan-khing yang tenang itu, jelas musuh itu sudah yakin pasti akan menang, maka tidak perlu menyerang waktu perhatian lawan terpencar.

"Silahkan mulai lagi?" kata Cing-sun kemudian dengan tersenyum, lengan bajunya terus mengebas dan menyusul pedang menusuk.

"A Ci, lihatlah betapa lihainya ilmu pedang ayahmu itu, kalau dia mau membinasakan mayat hidup itu, apa susahnya?" demikian kata Wi Sing-tiok.

"Kalau ayah dapat mengalahkan dia, itulah paling baik," sahut Aci. "Tapi aku justru kuatir ibu hanya keras di mulut dan lemas di hati. Lahirnya gagah perwira, tapi dalam batin ketakutan setengah mati."

Ucapan itu tepat kena dilubuk hati Wi Sing-Tiok. Keruan ia melotot kepada putrinya yang nakal itu, pikirnya, "Budak ini benar-benar keterlaluan cara bicaranya."

Dalam pada itu tertampak pedang Cing-sun beruntun menyerang tiga kali, tapi tenaga tolakan Yan-khing Taicu juga tambah kuat, setiap serangan lawan selalu didesak kembali.

Ketika serangan keempat dilontarkan Toan Cin-sun dengan tipu "Kim-ma-thing-kong" (kuda emas melayang di udara, pedangnya menyabet dari samping. Tapi tongkat kiri Yan Khing Taicu lantas menutuk ke depan dengan tipu "Pik-khe po-hian" (ayam jago berkeluruk di pagi hari) Begitu pedang dan tongkat beradu, seketika melengket menjadi satu hingga sukar dipisahkan.

Dengan cepat Yan-khing Taicu mengerahkan tenaga dengan maksud mementalkan pedang lawa, tapi gagal selalu, mendadak tenggorokannya mengeluarkan suara "krak-krok" seperti orang sakit genget, tiba-tiba tongkat kanan menahan tanah dan tubuh lantas terapung ke atas, sedang ujung tongkat kiri masih tetap melengket di ujung pedang Toan Cing-sun.

Keadaan sekarang mejadi yang satu berdiri tegak di tanah dan yang lain terapung diudara sambil bergerak-gerak kian kemari. Semua orang bersuara kuatir sebab tahu pertarungan ke dua orang itu sudah meningkat hingga mengadu tenaga dalam yang menentukan.

Cing-sun berdiri di tanah, sebenarnya lebih menguntungkan karena dapat bertahan lebih kuat.

Akan tetapi Toan Yan khing terapung di atas hingga seluruh berat badannya menekan kebatang pedang lawan.

Selang sejenak, maka tertampak pedang yang panjang itu muai melengkung, makin lama main melengkung hingga mirip gendewa. Sebaliknya tongkat bambu yang mestinya lebih lemas daripada pedang itu masih tetap lempeng, tetap lurus seperti tombak. Kini jelas kelihatan unggul atau asor tenaga dalam kedua orang itu.

Melihat pedang Toan Cing-sun semakin melengkung, asal melengkung lagi sedikit mungkin akan patah, diam-diam Siau Hong membatin, "Sampai saat ini mengapa kedua orang masih belum mengeluarkan "Lak-meh-sin-kiam" yang paling hebat itu, apa barangkali Toan Cing-sun tahu Lak-meh-sin-kiam sendiri tak lebih kuat dari lawan, maka tidak berani mengeluarkannya? Kalau melihat gelagatnya, tenaganya sendiri hampir habis agaknya dia tiada mempunyai kepandaian lain yang lebih lihai lagi."

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa di antara tokoh keluarga Toan dari Tayli, Toan Cing-sun hanya tergolong jago kelas dua saja. Putranya yaitu Toan Ki, mahir Lak-meh-sin-kiam sebaliknya Cing-sun sendiri It-meh (satu nadi) saja tak bisa, apa lagi Lak meh (enam nadi).

Melihat pedang sendiri yang melengkung itu hampir menjadi bulat dan setiap saat dapat patah terpaksa Cing-sun harus mencari jalan lain, ia tarik napas panjang-panjang, mendadak jari telunjuk kanan menutuk ke depan dengan ilmu it yang ci.

Tapi dalam hal It yang ci ia jauh dibandingkan kakak bagindanya, yaitu Toan Cing-beng. tenaga tutukannya itu tak dapat mencapai lebih dari dua meter. Padahal sekarang jaraknya dengan Toan Yan-khing itu karena disambung oleh senjata maka jarak mereka kini lebih tiga meter jauhnya dengan sendirinya tutukan it yang ci itu tak dapat melukai lawan. Sebab itulah tutukan Cing-sun tidak diarahkan kepada Yan-khing Taicu, tapi ditujukan kepada tongkatnya.

Mau tak mau siau Hong berkerut kening juga, pikirnya, "Agaknya orang ini tidak paham Lak meh sin kiam, kalau dibandingkan adik angkat she Toan itu masih kalah jauh. Tutukannya ini hanya ilmu tiam hiat yang sangat hebat, tapi apa gunanya menghadapi musuh dari jarak jauh?"

Tertampak sesudah tutukan Toan Cing-sun itu tongkat bambu Toan Yan-khing lantas tergegar sedikit, lalu pedang Cing-sun melurus sedikit juga. Dan begitu beruntun Cing-sun menutuk tiga kali hingga pedangnya juga melurus tiga kali, lambat laun pedangnya sudah hampir pulih lagi seperti semula.

Saat itulah A Ci mengoceh pula, "Lihatlah, ibu, ayah memakai pedang, sekarang menggunakan jari pula, tapi tetap tak dapat mengalahkan lawan, bila tongkat lawan yang lain dipakai menyerang pula, masakah ayah punya tangan ketiga untuk menangkisnya?"

Memangnya Wi Sing tiok lagi kuatir, anak dara itu tambah mengoceh tak keruan. Tentu saja ia sangat mendongkol dan ingin menjewernya. Tapi belum lagi ia menyahut, tiba-tiba dilihatnya tongkat kanan Toan Yan-king benar-benar telah bergerak, "crit", tahu-tahu tongkat itu menutuk ke arah jari telunjuk kiri Cing-sun.

Tutukan tongkat Toan Yankhing itu, baik caranya maupun tenaganya dilakukan dengan tepat seperti tutukan it-yang-ci, bedanya cuma tongkat dipakai sebagai pengganti jari.

Sudah tentu serangan itu kontan disambut Toan Cing-sun, tapi begitu tenaga jari kebentrok dengan tenaga tongkat lawan, seketika lengan terasa linu, cepat ia tarik tangan dengan maksud mengerahkan tenaga untuk menutuk lebih keras lagi.

Di luar dugaan mendadak bayangan tongkat lawan yang hitam sudah berkelebat lebih dulu, tutukan kedua Toan Yan-khing sudah tiba pula. Keruan Cing-sun terkejut, sungguh tak tersangka olehnya begini cepat pihak lawan mengumpulkan tenaga dalamnya bagaikan dapat dilakukan sesuka hati, nyata dalam hal it-yang-ci lawan jauh lebih kuat. Tanpa pikir cepat ia balas menutuk, cuma sudah terlambat sedetik hingga tubuhnya tergeliat sedikit.

Sesudah sekian lama mengadu tenaga dalam rupanya Toan Yan-khing tidak mau membuang waktu lagi sebab kuatir kawan-kawan Cing-sun akan ikut mengerubut maju, maka serangannya kini berubah gencar, hanya sekejap saja ia sudah menutuk sembilan kali dengan tongkatnya.

Dengan sendirinya Cing-sun bertahan sekuat tenaga, tapi sampai tutukan kesembilan, tenaganya sudah mulai payah "Cus", tongkat hitam lawan kena menikam pundak kirinya. Sekali tubuhnya sempoyongan, "pletak", tahu-tahu pedangan tangan kanan ikut patah.

Kesempatan itu tidak disia-siakan Toan Yan khing, sambil mengeluarkan suara "krakkrok" yang aneh dari kerongkongannya tongkat sebelah kanan secepat kilat menutuk batok kepala Toan Cing-sun.

Dengan tekad harus mematikan Cing-sun maka tutukan terakhir ini menggunakan antero tenaga Toan Yan-khing yang ada, maka di mana tongkatnya menyambar lantas terdengar suara mendesing keras.

Tampaknya jiwa Toan Cing-sun segera akan melayang oleh tutukan itu segera Hoan Hoa, Pi Thian-sik dan Hoa Hik-kin bertiga menerjang maju sekaligus.

Tayli Sam-kong ini adalah tokoh-tokoh persilatan pilihan, melihat Toan Cing-sun terancam bahaya, untuk menolongnya terang tidak keburu...  lagi, maka mereka pakai siasat "Wi-gui-hiu-tio" (mengepung negeri Gui untuk menolong negri Tio).

Yang mereka serang adalah tiga tempat berbahaya ditubuh Toan Yan khing, dengan demikian kepala Su-ok itu akan terpaksa membatalkan serangannya kepada Toan Cing sun jika ia sendiri tidak ingin disikat oleh Tayli Sam kong itu.

Tak tersangka sebelumnya Toan Yan khing sudah memperhitungkan akan kemungkinan itu. Ia menduga pada saat genting pasti kamberat negri Taiili itu akan mengerubut maju, maka dengan tongkat kiri yang diputar dengan penuh tenaga dalam itu ia jaga rapat tempat-tempat berbahaya di seluruh tubuhnya. Maka pada waktu Hoan Hoa bertiga menerjang maju, sedikit pun Toan Yankhing tidak menghindar, hanya tongkat kirinya menangkis untuk menahan serangan ketiga lawan itu, sedang tongkat kanan tetap menutuk batok kepala Toan Cing-sun. Keruan yang paling kuatir adalah Wi Sing-tiok, sampai ia menjerit ketika menyaksikan sang kekasih sudah pasti akan terbinasa di bawah tongkat musuh. Jika kekasih itu mati, sungguh iapun tidak ingin hidup lagi. Maka tanpa pikir ia pun menerjang maju.

Ketika ujung tongkat Toan-Yan-khing tinggal satu dua senti dari "Pek-hwe hiat" di batok kepala Cing-sun yang diarah itu, sekonyong-konyong tubuh Toan Cing-sun mencelat ke samping dengan demikian tutukan itu mengenai tempat kosong.

Sementara Hoan Hoa bertiga juga telah dipaksa mundur oleh tongkat Toan Yan-khing Pa Thian sih yang gerak-geriknya lebih cepat dan gesit, sekalian ia tarik mundur Wi Sing tiok agar tidak mati konyol di bawah tongkat musuh.

Sudah tentu kaget Toan Yan-khing tak terkatakan ketika tutukannya tadi luput mengenai sasarannya. Ketika diperhatikan, terlihatlah seorang laki-laki tinggi besar memegang tengkuk Toan Cing-sun tadi, sekonyong-konyong orang itu tarik Cing-sun ke samping secara paksa.

Ilmu sakti ini benar-benar sukar dibayangkan betapapun lihai kepandaian Toan Yan khing juga merasa tidak sanggup berbuat seperti laki-laki itu. Tapi dasar mukanya memang kaku, biarpun sangat terkejut toh kelihatnnya tenang-tenang saja, hanya dari hidungnya terdengar suara mendengus sekali.

Dan siapa lagi laki-laki yang menolong Toan Cing sun itu kalau bukan Siau Hong.

Sejak tadi ia mengikuti pertarungan kedua orang she Toan itu dengan penuh perhatian. Ketika dilihatnya Toan Cing-sun akan binasa oleh tongkat Toan Yan-khing, itu berarti dendam kesumat sendiri akan kandas dan tak terbalas.

Padahal untuk mana ia sudah bersumpah akan menuntut balas sakit hati itu, selama ini pun tidak sedikit jerih payahnya dalam usaha mencari musuh itu, kini orangnya sudah diketemukan, sudah tentu ia tidak dapat membiarkan musuh itu dibunuh oleh orang lain. Sebab itulah ia turun tangan untuk menarik Toan Cing-sun ke samping.

Tapi Toan Yan-khing sangat cerdik, sebelum Siau Hong melepaskan Toan Cing-sun, segera kedua tongkat menyerang pula secara membadai yang diarah selalu tempat mematikan di tubuh Toan Cing-sun.

Namun sambil mengangkat Toan Cing-sun, Siau Hong dapat mengelak ke sana dan menghindari ke sini dengan lincah, beruntun Toan Yan-khing menyerang 27 kali, tapi selalu dapat dihindarkan Siau Hong dengan tepat, bahkan ujung baju Cing sun saja tidak tersenggol.

Sungguh kejut Yan-khing tak terkatakan, ia tahu bukan tandingan Siau Hong, sekali bersuit aneh, mendadak ia melayang sejauh beberapa meter, tanpa terlihat mulutnya bergerak, tapi terdengar ia bersuara, "Siapakah saudara? Mengapa sengaja mengacau urusanku?"

Dan sebelum Siau Hong menjawab, tiba-tiba In Tiong-ho berseru, "Lotoa, dia ini bekas Pangcu Kai-pang, Kiau Hong namanya. Murid kesayanganmu Tam Jing itu juga terbunuh oleh keparat ini."

Ucapan In Tiong-ho ini tidak saja menggetarkan perasaan Toan Yan-khing, bahkan para jago Tayli itu juga ikut terpengaruh. Nama Kiau Hong selama ini boleh dikatakan terkenal di seluruh jagat, siapa yang tidak kenal istilah "Pak Kiau Hong dan Lam Buyung?"

Cuma tadi ia memperkenalkan diri kepada Tong Cing-sun dengan nama Siau Hong, maka tiada seorangpun yang mengetahui bahwa dia inilah Kiau Hong yang termasyur itu.

Toan Yan Khing memang sudah dilapori In Tiong lo tentang kejadian murid kesayanganya dibunuh oleh Kiau Hong di Cip-hian-ceng, kini mendengar bahwa laki-laki tegap di hadapannya inilah musuh pembunuh muridnya itu, sudah tentu ia sangat gusar dan jeri pula. Tiba-tiba ia ulur tongkat dan mulai menulis di atas balok batu di situ, "Ada permusuhan apa antara saudara dengan aku? Sudah membunuh muridku, mengapa sekarang menggagalkan urusanku pula?"

Tulisan itu berjumlah 18 huruf dan setia huruf itu seolah-olah terukir di atas batu hingga mendekuk cukup dalam, ketika tongkatnya menggores dan mengeluarkan suara gemersak bagaikan orang menulis di tanah pasir saja.

Kiranya Toan Yan-khing tidak berani bicara lagi dengan Siau Hong dengan menggunakan Hok-lew-gi atau bicara dengan perut, karena dia sudah tahu kematian muridnya tempo hari adalah disebabkan gempuran lwekang Siau Hong yang hebat. Ia kuatir jangan-jangan kepandaiannya bicara dengan perut yang dikerahkan dengan lwekang tinggi itu takkan sanggup melawan kekuatan lwekang Siau Hong hingga berakibat membikin celaka-dirinya sendiri. Sebab itulah ia mengajak bicara dengan mengukir batu.

Siau Hong diam saja, ia biarkan lawan selesai menulis, lalu ia melangkah maju, kakinya menggosok-gosok beberapa kali di atas huruf-huruf itu, hanya beberapa kali kakinya membusak, seketika tulisan itu tersapu bersih.

untuk mengukir tulisan di atas batu saja maha sulit, tapi yang lain sanggup membusak bersih ukiran itu dengan kaki, padahal cara mengerahkan tenaga dalam di bagian kaki lebih sulit daripada memusatkan tenaga dalam pada sebatang tongkat.

Begitulah yang satu menulis dan yang lain membusak hingga jalan yang terdiri dari balok batu di tepi danau itu dianggap sebagai pesisir saja oleh kedu orang itu.

Toan Yan-khing tahu bahwa maksud Siau Hong membusak tulisannya di atas batu itu pertama ingin menunjukkan kepandaiannya, kedua untuk menandarkan tiada permusuhan apa-apa dengan dirinya, apa yang pernah terjadi tempo hari dianggap selesai, maka kedua pihak tidak perlu bermusuhan lagi.

Dasar Toan Yan-khing memang licik, ia tahu bukan tandingan Siau Hong, supaya tidak kecundang lebih jauh, jalan paling selamat adalah kabur saja.

Maka tanpa bicara lagi tongkat kanan terus menggores dari atas ke bawah, kemudian menjungkit miring ke atas pula, artinya menyatakan segala urusan telah dicoret dan habis perkara. Dan sekali tongkat yang lain menutuk tanah, secepat terbang tubuhnya melayng pergi sejauh belasan meter.

Diantara Su-ok hanya Lam-hai-gok-sin yang masih penasaran, dengan matanya yang kecil bundar itu ia mendelik dan mengamati-amati Siau Hong dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas, dari muka ke belakang, dan dari belakang putar ke depan lagi, sikapnya penuh pensaran dan tidak rela mengaku kalah. Mendadak ia memaki "Keparat, apanya sih yang hebat pada anak haram ini..."

Belum habis ucapannya, mendadak tubuhnya mencelat ke udara dan melayang ke tengah danau. "Plung" disertai muncratnya air, tanpa ampun lagi Lam-hai-gok-sin tercebur ke dalam danau.

Kiranya Siau Hong paling benci jika ada orang memaki dia sebagai anak haram, maka sambil menjinjing Cing-sun, terus saja ia melompat maju dan sekali hantam, kontan Lam-hai gok sin mencelat ke tengah danau.

Serangan mendadak dan cepat luar biasa ini membikin Lam-hai-gok sin sama sekali tidak berdaya untuk menghindar atau menangkis. Tapi ia berasal dari Lam-hai atau laut selata, da bergelar Gok-sin atau malaikat buaya, dengan sendirinya ia mahir berenang, maka begitu kedua kaki menyentuh dasar danau, sekali pancul segera ia melempar ke luar permukaan air dan berteriak, "Apa-apaan ini?"

Habis berucap kembali tubuhnya tenggelam lagi, ketika ia mengapung lagi ke atas, kembali lagi berteriak pula, "Kamu membokong Locu ya?"

Selesai ucapan itu, lagi-lagi ia kecemplung ke dalam danau. Ketika untuk ketiga kalinya ia melompat ke atas, ia berteriak, "Locu akan mengadu jiwa denganmu"

Begitulah dasar wataknya memang berangasan dan tidak sabaran, ia tidak mau berenang dulu ke daratan untuk kemudian memaki Siau Hong, tapi sambil meloncat naik turun di tengah danau ia lantas memaki kalang kabut.

Keruan yang paling geli adalah A Ci, si Ungu. Dengan tertawa mengikik ia berseru sambil bertepuk tangan, "Hihihihi! Lihatlah orang itu naik turun di dalam air mirip benar seekor kura-kura besar."

Kebetulan saat itu Lam-hai-gok-sin lagi meloncat ke atas air, mendengar olok-olok itu, kontan ia balas memaki, "Kau sendiri adalah kura-kura kecil"

A Ci menyambitkan sebuah hui-cui (gurdi terbang) kecil, "crit", senjata rahasia itu masuk ke air, sebab Lam-hai-gok-sin keburu selulup ke bawah, lalu berenang ke tepi danau dan mendarat dengan basah kuyup.

Bahkan sedikitpun Lam-hai-gok-sin tidak merasa jeri atau kapok, dengan ketolol-tololan ia malah mendekati Siau Hong, dengan kepala miring ke sini dan meleng ke sana ia mengamat-amati Siau Hong dengan mata melotot, katanya kemudian, "Dengan gerakan apa kamu melemparkan aku ke danau? Kepandaian ini Locu mengaku belum Mahir."

"Losam, lekas pergi saja, jangan membikin malu lagi di sini!" seru Yap Ji-nio.

Lam-hai-gok-sin menjadi gusar, sahutnya "Aku dilempar orang ke danau, bahkan cara bagaimana orang melemparkanku pun tak diketahui, bukankah ini suatu penghinaan maha besar? Sudah tentu aku harus tanya dulu sejelas-jelasnya!"

"Baiklah, biar kukatakan padamu," demikian tiba-tiba A Ci menyela, "Gerak serangannya tadi disebut 'Liak-ku-kang' (ilmu menangkap kura-kura)."

Dasar otak Lam-hai Gok sin memang agak bebal, maka ia tidak sadar bahwa anak dara itu sengaja mengolok-oloknya, sebaliknya ia mengulangi nama itu, "Liak-ku-kang"? Ah, kiranya kepandaian itu bernama "Liak-ku-kang". Baiklah sesudah kutahu namanya, akan kucari orang agar suka mengajarkan padaku dengan demikian kelak aku takkan kecundang lagi seperti tadi.

Habis berkata , segera ia melangkah pergi dengan cepat untuk menyusul Yap Ji nio dan In Tiong ho yang sudah pergih jauh itu.

Kemudian Siau Hong melepaskan Toan Cing sun, dengan hormat Wi Sin-tiok berkata, "Kiau pangcu, atas pertolonganmu sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus berterima-kasih padamu".

Begitu pula Hoan Hoa dan lain-lain ikut maju menyatakan terima-kasih mereka.

Tapi Siau Hong menjawab dengan dingin saja, "Sebabnya aku menolong di atas dasar kepentingan pribadiku sendiri, maka kalian tidak perlu berterima kasih padaku. Toan siansing, aku ingin tanya sesuatu padamu, harap engkau suka menjawab secara terus terang. Dahulu di luar Gan bu-koan engkau pernah melakukan sesuatu kesalahan maha besar yang menyesalkan, betul atau tidak?"

Mendengar pertanyaan itu, seketika wajah Toan Cing-san merah jengah, menyusul lantas berubah pucat lesu, dengan kepala menunduk ia menjawa, "Ya, benar, atas kejadian itu selama ini aku memang senantiasa merasa tidak tentram. Kesalahan sudah terjadi dan tak dapat ditarik kembali lagi."

Sejak Siau Hong mendengar pengakuan Be hujin di Sin-yang yang menyatakan biang keladi pembunuhan orang tua Siau Hong itu adalah Toan Cing-sun, maka siang malam selalu terpikir olehnya jika nanti musuh besar itu tertawan, sebelum membinasakannya lebih dulu akan disiksanya pula agar merasakan akibat perbuatannya yang kejam itu.

Tapi sesudah menyaksikan caranya Toa Cing sun berlaku terhadap kawan-kawannya di Siau Keng-oh sekarang dan betapa gagahnya menghadapi musuh tadi, tindak tanduknya sekali sekali tidak mirip sebagai seorang rendah dan pengecut yang suka berbuat kejahatan, mau-tak-mau timbul juga rasa ragunya terhadap Siau Hong, Pikirnya, "Sebabnya dia membunuh orang tuaku di Gan bu koan dulu adalah karena kesalah-pahaman, kesalahan begitu dapat diperbuat oleh setiap orang. Tapi dia juga telah membunuh ayah bunda angkatku serta guruku yang tercinta itu, betapun perbuatan itu adalah dosa yang tak berampun, dan mengapa dilakukannya? Jangan-jangan dibalik kejadian itu masih ada sebab musabab lain lagi?"

Dasar Siau Hong memang seorang cermat dan bisa berpikir panjang, ia tidak ceroboh dalam setiap tindak-tanduk, maka ia sengaja mengungkat kejadian Gan-bun-koan pula untuk tanya sekali lagi kepada Toan Cing-sun agar dia sendiri mengaku sejujurnya, habis itu baru akan diambil keputusan.

Kini demi melihat wajah Toan Cing-sun menampilkan rasa malu dan menyesal serta menyatakan kesalahan itu sudah terlajur diperbuat dan sukar ditarik kembali lagi, maka Siau Hong tidak ragu-ragu lagi, ia yakin seyakin-yakinya apa yang terjadi memang betul Toan Cing-sun biangkeladi-nya. Seketika air muka Siau Hong berubah membesi sambil mendengus sekali.

"Dan... dari mana kaupun tahu kejadian itu?" tanya Wi Sing tiok tiba-tiba.

Waktu Siau Hong memandang ke arah wanita cantik itu, ia lihat wajah orang juga merah jengah sikapnya kikuk. Maka jawabnya singkat, "Jika ingin orang lain tidak tahu, kecuali diri sendiri tidak berbuat."

Lalu ia berpaling dan berkata kepada Tan Cing-sun, "Tengah malam nanti kutunggu di jembatan batu itu, ada sesuatu urusan ingin kubicarakan denganmu."

"Aku pasti akan datang tepat pada waktunya." sahut Cing-sun. "Budi besar tidak berani bicara tentang terima kasih, cuma Kiau-pangcu datang dari jauh, apakah tidak mampir dulu minum sekadarnya ke rumah bambu sana?"

"Bagaimana dengan lukamu barusan? apakah perlu merawat diri buat beberapa hari lagi?" tanya Siau Hong. Sama sekali ia anggap sepi undangan minum orang.

Cing-sun agak heran, sahutnya, "Terima kasih atas perhatian Kiau-heng, sedikit luka ini rasanya tidak beralangan."

"Baiklah jika begitu." kata Siau Hong sambil mengangguk, "A Cu, marilah kita pergi saja.. "

Dan setelah beberapa tindak tiba-tiba ia menoleh dan berpesan pula, "Dan sobat-sobat baik bawahanmu itu hendaknya jangan dibawa serta nanti."

Cing-sun merasa tingkah-laku bekas Pangcu ini agak aneh, tapi orang telah menolong jiwanya tadi, segala permintaan orang sepantasnya dituruti, maka sahutnya, "Segala pesan Kiau-heng pasti akan kupenuhi."

Segera Siau Hong gandeng tangan A Cu, tanpa berpaling lagi terus tinggal pergi. Kiranya ia lihat Hoan Hoa dan kawan-kawannya itu adalah ksatria yang berjiwa luhur, jika mereka ikut Toan Cing-sun menghadiri pertemuan di jembatan batu itu rasanya merekapun pasti akan menjadi korban di tangannya, hal ini tentu sangat disayangkannya.

Begitulah Siau Hong dan A Cu lalu mendatangi rumah seorang petani, mereka minta mondok semalam di situ, mereka membeli beras seperlunya untuk menanak nasi, lalu membeli dua ekor ayam pula dan dibuat kaldu, mereka makan sekenyang-kenyangnnya. Cuma tanpa arak, hal ini agak kurang memenuhi selera Siau Hong.

Melihat A Cu seperti menyembunyikan sesuatu perasaan dan sejak tadi enggan bicara, segera Siau Hong tanya, "A Cu, sebab apa kau tampak murung? Padahal aku sudah menemukan musuhku, seharusnya kamu bergirang bagiku."

A Cu tersenyum, sahutnya, "Ya, benar, memang seharusnya aku bergembira."

Melihat senyum gadis itu sangat dipaksakan, segera Siau Hong berkata pula, "Malam ini juga sesudah kubunuh musuhku itu, segera kita berangkat ke utara, keluar Gan-bun-koan untuk angon sapi dan menggembala domba, selamanya takkan melangkah kembali ke tanah Tionggoan ini. Ai, Acu, pada waktu belum kutemukan Toan Cing-sun sebenarnya aku telah bersumpah akan membunuh segenap anggota keluarganya, akan membunuh bersih seisi rumahnya, seekor anjing dan ayampun takkan kuberi hidup. Tapi demi nampak orang ini sangat gagah perkasa, tidak mirip manusia rendah dan pengecut sebagaimana kubayangkan, maka aku lantas berubah pikiran, kupikir seorang yang berbuat biarlah seorang yang bertanggung jawab, tidak perlu lagi kubikin susah pada sanak-keluarganya!"

"Pikiranmu yang luhur dan bajik itu kelak pasti akan mendapat ganjaran rejeki yang setimpal." ujar A Cu.

Mendadak Siau Hong terbahak-bahak keras, katanya. "Kedua tanganku ini entah sudah berlumuran darah berapa banyak orang yang kubunuh, masakan bicara tentang kebajikan apa segala."

Dan demi melihat. A Cu tetap muram durja, segera ia tanya lagi. "A Cu, sebab apakah kamu merasa kurang senang? Apakah kamu tidak suka aku membunuh orang lagi?"

"Bukan tidak gembira, tapi entah mengapa mendadak perutku terasa sakit." sahut A Cu.

Kiau Hong coba pegang nadi si gadis, benar juga ia merasakan denyut nadi A Cu itu tidak teratur, terkadang cepat dan terkadang lambat, suatu tanda pikirannya kurang tentram. Maka katanya dengan suara lembut, "A Cu, mungkin kamu terlalu lelah, boleh jadi kamu masuk angin. Biarlah kusuruh ibu tani disini buatkan semangku wedang jahe untukmu."

Tapi belum lagi wedang jahe itu selesai dibuatkan, mendadak A Cu menggigil sambil berseru, "O, aku sangat dingin!"

Dengan penuh kasih sayang Siau Hong menanggalkan baju luar sendiri untuk selimut si gadis.

"Toako, malam ini akan terkabul cita-citamu selama ini dengan membunuh musuhmu, mestinya aku ingin mengawanimu ke sana tapi rasanya aku tidak sanggup ikut kesana, sungguh aku ingin selalu berada bersamamu, sedetikpun tidak ingin berpisah denganmu, tentu engkau akan kesepian berada sendirian," demikian kata A Cu dengan menyesal.

"Tidak, kita hanya berpisah sebentar saja tiada alangan apa-apa," sahut Siau Hong. "A Cu sedemikian baik kamu padaku, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana membalas budimu ini."

"Tidak hanya berpisah sebentar saja, tapi kurasakan akan sangat lama, ya lama sekali." kata A Cu, "Toako, sesudah kutinggalkan engkau, tentu kita akan kesepian dan sebatang kara. Paling baik kalau sekarang juga kita berangkat keluar Gan-bun-koan, tentang sakit hati terhadap Toan Cing-sun, biarlah kita balas setahun lagi. Biarlah aku hidup mendampingimu barang setahun dulu."

Perlahan Siau Hong membelai rambut A Cu, katanya. "Secara kebetulan baru aku ketemukan dia di sini, jika lewat setahun lagi tentu aku harus mencarinya ke Tayli, di sana banyak sekali begundalnya, sedangkan Toakomu seorang diri dan belum tentu dapat menangkan dia. Dalam hal ini bukanlah aku tidak mau menurut keinginanmu, tapi sesungguhnya banyak kesulitannya bagiku."

"Ya, memang tidak seharusnya ku minta engkau menunda setahun lagi untuk membalas dendam, seorang engkau ke Tayli tentu besar bahayanya," kata A Cu dengan perlahan.

Siau Hong terbahak sambil menenggak semangkuk, ia sudah biasa mengenggak arak secara begitu, meski sekarang mangkut itu tiada isinya, tapi ia berbuat seperti kebiasaannya itu. Lalu katanya, "Jika aku sendirian sudah tentu takkan kuatir apakah keluarga Toan di Tayli itu sarang harimau atau kubangan naga, soal mati-hidup tentu takkupikirkan lagi. Tapi kini aku sudah mempunyai seorang A Cu cilik, aku harus mendampingimu selama hidup, untuk itu jiwa Siau Hong menjadi besar artinya."

A Cu mendekap di pangkuan Siau Hong dengan penuh rasa terharu. Siau Hong juga merasakan bahagia yang tak terkatakan, mempunyai istri seperti A Cu, apalagi yang diharapkan dalam hidupnya ini? Sesaat itu terbayang olehnya suasana padang rumput utara sana, sebulan kemudian ia akan menunggang kuda dan menggembala bersama A Cu, selanjutnya tidak perlu kuatir lagi akan disatroni musuh, sejak itu hidupnya akan bebas merdeka tanpa kekuatiran lagi.

Sesuatu hal yang masih membuatnya merasa tidak tentram adalah belum dibalasnya budi pertolongan kesatria berbaju hitam yang telah menyelamatkan jiwanya di Ci-hian-ceng tempo hari itu...

Sementara itu hari sudah gelap, lambat laun A Cu terpulas dalam pelukan Siau Hong. Perlahan Siau Hong rebahkan gadis itu di atas dipan dalam kamar yang disediakan si petani, lalu ia keluar dan duduk bersemadi di ruangan tengah.

Kira-kira satu dua jam kemudia, ketika ia keluar pondokan itu, ia lihat bulan sabit hampir menghilang tertutup oleh awan mendung yang tebal, tampaknya malam ini pasti akan hujan lebat.

Segera ia menuju jembat batu itu kira-kira lima li jauhnya, keadaan tambah gelap gulita, terkadang bunyi guntur diseling berkelebatnya kilat menembuts awan mendung yang memenuhi cakrawala hingga makin menambah seramnya suasana.

Siau Hong mempercepat jalannya, tidak lama kemudian, tibalah dia di jembata batu yang dijanjikan itu. Ia coba memperhatikan bintang-bintang di langit, ia lihat masih lama daripada waktu yang ditentukan, paling-palling waktu itu baru jam sebelas malam.

Diam-diam ia merasa geli sendiri mengapa begitu tak sabaran hingga hadir di situ satu-dua jam lebih cepat. Dalam keadaan sunyi senyap itu barulah ia teringat kepada A Cu, "Alangkah baiknya jika saat ini A Cu berada disampingku."

Ia tahu ilmu silat Toan Cing-sun selesih terlalu jauh dengan dirinya, pertarungan nanti boleh dikatakan tidak perlu kuatir, sebab kemenangan sudah pasti berada di tangannya. Karena waktu yang dijajnjikan belum tiba, segera ia duduk di bawah pohon di tepi jembatan untuk menghimpun tenaga. Sekonyong-konyong angkasa dipecahkan oleh bunyi guntur yang gemuruh sekali ketika ia membuka mata, ia lihat hujan sudah hampir turun, waktu itu mungkin sudah tengah malam sebagaimana yang dijanjikan.

Pada saat itulah terlihat dari jalan Siau keng .. sana seorang sedang mendatang dengan langkah pelahan, orang itu berjubah longgar dan pakai ikat pinggang yang kendur, siapa lagi dia kalau bukan Toan Cing-sun.

Setiba di depan Siau Hong, segera Cing-sun membungkuk tubuh kepada Siau Hong dan berkata, "Kiau pangcu mengundang Caihe ke sini, entah ada petunjuk apa yang hendak diberikan padaku?"

Dengan kepala melengos dan melirik hina, seketika api amarah Siau Hong berkobar hebat sehutnya, "Toan-siansing, maksudku mengundangmu ke sini, masakan sama sekali engkau tidak tahu?"

Toan Cing-sun menghela napas, katanya "Apakah maksud Kiau-pangcu tentang kejadian di Gan bun koan tempo dulu? Waktu itu aku keliru dihasut olrang hingga tidak sengaja membinasakan ayah bundamu, sungguh itu suatu kesalahan maha besar."

"Dan mengapa engkau membunuh pula ayah ibu angkat dan guruku ula?" tanya Siau Hong.

Cing-sun menggoyang kepala perlahan, sahutnya. "Yang kuharapkan supaya dapat menutupi kesalahanku itu, siapa duga makin ditutup makin terbuka sehingga akhirnya tak tertolong lagi."

"Hm, jujur juga kau," jengek Siau Hong.

"Nah apakah kamu akan menghabiskan riwayatmu sendiri atau perlu aku turun tangan?"

"Jika Kiau pangcu tidak menolong jiwaku, mungkin saat ini aku pun sudah almarhum," sahut Cing-sun. "Maka kalau sekarang Kiau pangcu ingin mencabut nyawaku, silakan mulai saja."

Saat itu kembali terdengar suara gemuruh bunyi guntur, menyusul air hujan mulai menetes dengan derasnya. Hati Siau Hong tergerak juga oleh jawaban yang terus terang dan gagah berani itu.

Biasanya Siau Hong paling suka bersahabat dengan kaum pahlawan dan ksatria, sejak dia bertemu dengan Toan Cing-sun lantas timbul rasa suka dan cocok dengan jiwa ksatrianya, coba kalau permusuhan biasa saja tentu akan dianggap selesai dan akan mengajaknya pergi minum arak. Tapi kini soalnya menyangkut sakit hati orang tua, masakan boleh disudahi begitu saja?

Segera sebelah tangannya terangkat, katanya, "Sebagai anak murid orang, sakit hati ayah bunda dan guru tak bisa tidak harus kubalas. Kamu telah membunuh ayah bundaku dan ayah ibu angkat serta guruku berlima, maka aku akan menghantamu lima kali, sesudah terima lima kali seranganan ku, apakah engkau mati atau masih hidup, biarlah segala dendam kesumatku akan kuanggap selesai."

"Satu jiwa cuma diganti dengan sekali pukul, pembalasa ini sungguh terlalu murah, demikian sahut Cing-sun dengan tersenyum getir.

Diam-diam Siau Hong membatin masakan kamu takkan mampus kena hantaman Hang-liong-sip-pat ciangku ini. Maka segera ia berkata. "Baiklah, terima pukulanku ini!"

Sekali tangan kiri berputar, segera telapak tangan kanan menghantam ke depan.. Itulah jurus 'Hang liong yu hwe', salah satu jurus Hang liong sip pat ciang yang maha lihai.

Saat itu kembali sinar kilat berkelebat, petir menggelegar pula, pukulan dahsyat ditambah dengan bunyi geledek, keruan pukulan Siau Hong sehebat gugur gunung dahsyatnya. "Bluk", badannya lemas lunglai semampir di lankan jembatandan tak berkutik lagi.

Sekilas Siau Hong terkesiap juga mengapa musuh tidak menangkis dan begitu tak becus pula, masakan tidak tahan oleh sekali hantam. Cepat ia melompat maju, ia pegang tengkuk orang dan diangkat, tapi ia bertambah kaget.

Sementara itu bunyi guntur semakin menggelegar dan hujan makin lebat namun Siau Hong seakan-akan tidak merasakan semua itu, yang terpikir olehnya cuma, "mengapa dia berubah begitu ringan?"

Padahal siang tadi waktu ia menolong Toan Cing-sun, ia telah mengangkat pula badan pangeran Tayli itu dengan cukup lama. Sebagai seorang tokoh persilatan perbedaan bobot sedikit saja segera dapat diketahuinya.

Kini mendadak terasa bobot badan Toan Cing-sun susut beberapa puluh kati beratnya, seketika timbul semacam rasa takut yang sukar dilukiskan, seketika pula keringat dingin mengucur diseluruh badannya.

Pada saat itulah kembali sinar kilat berkelebat lagi, ketika Siau Hong pegang muka Toan Cing-sun ia merasa apa yang terpegang itu lunak empuk sebagai tanah liat. Waktu diremasnya kontan benda lunak itu mengelotok dari muka "Toan Cing-sun" yang sebenarnya itu, tanpa terasa lagi ia menjerit, "Ho? A Cu, A Cu Kiranya kau A Cu?"

Sesaat itu Siau Hong merasa lemas benar-benar, sedikitpun tak punya tenaga hingga berlutut sambil merangkul kedua kaki A Cu. Pukulan Hang liong yu hwe tadi telah menggunakan segenap tenaganya, sekalipun ditangkis oleh jago kelas satu juga tidak tahaun, apalagi sekarang cuma seorang A Cu yang lemah itu, sudah tentu tulang gadis itu akan remuk dan hancur isi perutnya, biarpun Sih-sin-ih berada di situ juga sukar menolong jiwanya.

Begitulah tubuh A Cu yang semapai di lankan jembatan itu lambat laut merosok ke bawah dan akhirnya jatuh bersandar di badan Siau Hong. Ia masih dapat bersuara dengan lirih dan lemah, "Toako, maafkan perbuatanku ini, apa engkau marah padaku?"

"Tidak, tidak, aku tidak marah padamu, tapi akulah yang bersalah! sahut Siau Hong terus memukuli kepala sendiri berulang-ulang.

Tangan A Cu tampak bergerak sedikit, mungkin bermaksud mencegah perbuatan Siau Hong yang menghajar diri sendiri itu, tapi saking lemasnya gadis itu tidak kuat mengangkat tangan sendiri lagi, katanya lirih, "Toako, berjanjilah padaku, untuk selanjutnya engkau takkan menyiksa diri sendiri."

"Sebab apa kau? Sebab apa?" demikian Siau Hong berteriak.

"Toako," sahut A Cu dengan sura lemah, "cobalah membuka bajuku, periksalah pundak kiriku!"

Dalam perjalanan selama ini, biarpun mereka selalu berdampingan, tapi selalu Siau Hong berlaku sopan. Maka ia agak terkesiap oleh permintaan A Cu yang menyuruh membuka bajunya itu.

Tapi A Cu memohon lagi, "Sudah lama aku adalah milikmu, tubuhku ini pun punya mu.. Asal engkau periksa pundak kiriku, tentu engkau akan paham duduk perkaranya."

Dengan mengembang air mata, Siau Hong gunakan tangan kiri untuk menahan punggung si gadis dan mengerahkan hawa murni ke tubuh gadis itu, ia berharap dapat menyelamatkan jiwanya berbareng itu tangan kanan membuka baju A Cu hingga menonjol keluar pundak kirinya, pada saat itu kebetulan sinar kilat berkelebat di angkasa, sekilas Siau Hong dapat melihat pundak si gadis yang putih bersih itu tercacah satu huruf "Toan" warna merah.

Siau Hong terheran-heran dan berduka pula, ia tidak berani terlalu lama melihat pundak si gadis, cepat ia rapatkan pula bajunya dan perlahan memeluknya sambil bertanya, "Di pundakmu terdapat satu huruf 'Toan', apakah artinya itu?"

"Ayah bundaku yang mencacahnya ketika mereka memberikan diriku kepada orang lain, yaitu untuk tanda pengenal bila kelak saling bertemu."

"Huruf 'Toan' ini...??" demikian Siau Hong belum lagi paham.

"Hari ini kalian tentu melihat juga tanda pengenal yang sama di pundak nona A Ci dan segera diketahui dia adalah putri mereka, apakah engkau melihat tanda... tanda pengenal itu?" tanya A Cu.

"Tidak, aku rikuh untuk melihatnya." sahut Siau Hong.

"Tanda pengenal yang tecacah di pundak A Ci itu adalah sama seperti huruf 'Toan' dipundakku ini." kata A Cu.

Seketika Siau Hong pun paham duduknya perkara, serunya, "Hah, jadi kamu... kamu juga putri mereka?"

"Semula akupun tidak tahu," sahut A Cu. "Sesudah melihat huruf di pundak A Ci baru kutahu, Dia mempunyai sebuah mainan kalung pula yang serupa seperti milikku, pada mainan kalung itu juga tertulis "A Si genap sepuluh tahun, makin besar makin tambah nakal'.

Semula kukira A Si adalah namaku, tak tahunya adalah nama Ibuku. Ibuku buka lain iala Wi..Wi Sing-tiok yang tinggal di rumah bambu itu. Dan mainan kalung ini adalah pemberian Gwakong (kakek luar) waktu ibu masih kecil.

Sesudah mempunyai anak kami taci-beradik, kami masing-masing diberinya sebuah mainan kalung ini."

"Acu sekarang kupaham duduk perkaranya." kata Siau Hong. "Lukamu ini tidak ringan marilah kita bertedh dari hujan dahulu, kemudian kita berdaya untuk menyembuhkan lukamu, tentang urusan-urusanmu biarlah kita bicarakan nanti."

"Tidak, tidak bisa! Aku harus ceritakan dengan jelas padamu, jika tertunda sebenar lagi mungkin sudah terlambat." kata A Cu, "Toako engkau harus mendengarkan ceritaku ini hingga selesai."

Siau Hong tidak tega menolak keinginan si gadis, terpaksa menyahut, "Baiklah aku akan mendengarkan, tapi jangan terlalu banyak membuang tenagamu."

A Cu tersenyum, katanya, "Toako sangat baik, segala apa selalu pikirkan diriku, sedemikian engkau memanjakan aku, mana boleh jadi?"

"Selanjutnya aku akan lebih memanjakan dikau ya seratus kali bahkan seribu kali lebih memanjakanmu." sahut Siau Hong.

"Sudahlah cukup, aku tidak suka engkau terlalu baik padaku, sebab kalau aku sudah nakal, maka tiada seorangpun lagi yang dapat mengatasi aku. " kata A Cu.

" Toako, tadi aku... aku sembunyi dibelakang rumah bambu merah untuk mendengarkan percakapan ayah-ibu dan A Ci. Baru kutahu bahwa ayahku ternyata mempunyai istri lain, dia dan ibuku bukan suami istri yang resmi, sesudah kami taci beradik dilahirkan, kemudian ayah mau pulang ke Tayli tapi ibu tidak mengizinkan hingga kedua orang tuaku bertengkar, bahkan ibu telah menghajar dia namun ayah sama sekali tidak membalas. Kemudian ya tiada jalan lain, terpaksa mereka berpisah."

"Padahal Gwakong sangat keras wataknya bila beliau tahu perbuatan ibu, pasti ibu akan dibunuhnya. Maka ibu tidak berani membawa kami pulang ke rumah, terpaksa kami diberikan kepada orang lain dengan harapan kelak dapat bertemu pula, maka di pundak kami taci beradik masing-masing dicacah sebuah huruf 'Toan' Orang yang memelihara diriku itu cuma tahu ibu she Wi pula mainan kalung yang kupakai ini ada nama ' A SI', maka aku disangkanya bernama Wi Si, padahal aku sebenarnya she Toan..."

"Kamu benar-benar anak yang harus dikasihani." kata Siau Hong dengan penuh kasih sayang.

"Ketika aku diberikan kepada orang lain, waktu itu usiaku cuma setahun lebih, dengan sendirinya aku tidak kenal ayah, bahkan wajah ibu juga tidak kenal lagi." demikian A Cu melanjutkan. "Toako, nasibmu serupa diriku. Malam itu ketika aku mendengar orang bercerita tentang asal-usulmu di hutan sana, sungguh aku ikut berduka sebab kurasakan kita berdua sama-sama anak yang bernasib malang."

Saat itu kilat berkelebat dan guntur mengelegar pula, mendadak sebatang pohon di tepi sungai sana tersambar petir hingga roboh. Tapi Siau Hong dan A Cu tidak menghiraukan lagi keadaan di sekitar mereka, biarpun langit akan ambruk juga tak terpikir lagi.

Maka A Cu berkata pula, "Kini diketahui bahwa orang yang membunuh ayah-ibumu itu adalah ayahku sendiri. Ah mengapa kita mesti ditakdirkan mempunyai nasib begini? Malahan... malahan orang yang dapat memancing pengakuan Be-hujin tentang ayahku itu tak lain tak bukan adalah diriku sendiri. Coba kalau aku tidak menyaru sebagai Pek Si-kia untuk menipunya tak akan dia menyebut nama ayahku"

Dengan lesu Siau Hong menunduk, hati serasa benang kusut, akhirnya ia tanya, "Apakah kamu yakin ToanCing-sun adalah ayahmu? Tidak salah lagi?"

"Tidak salah," sahut A Cu tegas. "Kudengar sendiri ayah-ibu menangis sedih sambil memeluk A Ci dan menguraikan kisah waktu kami berdua diberikan kepada orang lain dahulu. Ayah-ibu menyatakan bahwa apapun juga aku akan ditemukannya kembali. Sudah tentu mereka tidak menduga bahwa putri kandung yang hendak mereka cari saat itu justru sedang mengintip di luar jendela.

"Toako tadi aku pura-pura bilang sakit, sebenarnya aku lantas menyamar sebagai dirimu untuk menemui ayahku, kukatakan padanya bahwa pertemuan di jembatan malam ini dibatalkan, segala permusuhan kuhapus seluruhnya. Habis itu aku menyaru pula sebagai ayah untuk menemuimu di jembatan ini agar di ... agar di..."

Bertutur sampai di sini denyut nadinya sudah teramat lemah.

Lekas Siau Hong kerahkan tenaga murni lebih kuat agar A Cu tidak sampai putus napasnya, lalu katanya dengan air mata berlinang-linang, "Mengapa kamu tidak mengatakannya padaku? Bila kutahu dia adalah ayahmu...?

Ia tidak sanggup meneruskan lagi, sebab ia pun tidak tahu bila sebelumnya mengetahui Toan Cing sun adalah ayah kekasihnya lantas bagaimana ia akan bertindak?

Maka A Cu berkata pula, "Sesudah kupikir hingga lama, tetap aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Toako, selalu kuharapkan dapat hidup didampingmu selamanya, tapi apakah harapan itu dapat terkabul? Apakah aku dapat memohon agar engkau jangan menuntut balas kepada musuh yang telah membunuh kelima orang tuamu yang kau cintai itu? Dan umpama aku memohon, apakah sekiranya engkau dapat meluluskan!"

Suara A Cu itu sangat lemah dan lirih, diangkasa guntur masih terus menggelegar, tapi bagi pendengaran Siau Hong suara A Cu itu jauh lebih mengguncangkan sukma dari pada suara gemuruh guntur itu.

Sambil menjambak rambut sendiri Siau Hong berkata, "Tapi kaudapat minta ayahmu melarikan diri saja. Atau karena ayahmu adalah seorang sejati dan tidak mungkin ingkar janji, kamu dapat menyamar sebagai diriku untuk mengadakan perjanjian baru dengan ayahmu, boleh berjanji pada suatu hari lain utnuk bertemu di suatu tempat yang jauh di sana. Ya, mengapa... mengapa kamu tidak berbuat demikian, tapi malah mengorbankan dirimu sendiri?"

"Aku ingin menunjukkan padamu bahwa seorang secara tidak sengaja membunuh orang lain dapat terjadi bukan disebabkan maksud sesungguhnya," kata A Cu. "Seperti dirimu, sudah tentu engkau tidak ingin membunuh diriku, tapi engkau telah hantam sekali padaku. Sebaliknya ayahku membunuh ayah-bundamu itu pun suatu kesalahan yang tidak disengaja."

Dengan mesra Siau Hong memandangi mata si gadis yang berkedip kedip bagai bintang di langit, sorot mata A Cu itu penuh kasih sayang yang tak terbatas.

Hati Siau Hong tergerak, tiba tiba terasa olehnya cinta A Cu padanya yang tak terbatas itu sesungguhnya diluar segala apa yang pernah dibayangkannya. Cepat katanya dengan suara gemetar, " A Cu, tentunya kamu masih mempunyai alasan lain, tidak cuma ingin menyelamatkan ayahmu juga tidak cuma ingin menunjukkan padaku tentang kesalahan yang tak disengaja itu, tapi kamu berbuat demi diriku, demi kebaikanku!"

Segera Siau Hong pondong A Cu dan berbangkit, air hujan membasahi kepala dan mukanya..

Muka A Cu menampilkan senyum puas, rupanya karena akhirnya Siau Hong dapat memahami perasaannya, maka ia merasa senang. Ia tahu jiwa sendiri sudah hampir tamat, walaupun ia tidak mengharapkan sang kekasih tahu maksudnya yang tersembunyi dalam lubuk hatinya itu, tapi akhirnya sang kekasih tahu sendiri.

"Ya A Cu, engkau berbuat demi aku, bukan? Jawablah, betul tidak?" desak Siau Hong.

"Ya benar," sahut A Cu dengan lirih.

Sebab apa? sebab apa?" deru Siau Hong keras, Keluarga Toan dari Tayli memeliki Lak-meh-sin-kiam yang maha sakti, bila engkau membunuh Tin lam ong mereka, masakan mereka mau sudahi urusan ini? Toako..."

Seketka Siau Hong sadar, tanpa terasa air mata bercucuran bagai hujan.

Lalu A Cu melanjutkan, "Toako, ingin kumohon sesuatu padamu, dapatkah engkau memenuhinya?"

"Jangankan cuma satu, biarpun seratus, seribu permintaanmu juga akan kupenuhi," sahut Siau Hong.

"Aku hanya mempunyai seorang adik perempuan dari ayah dan ibu yang sama, " ucap A Cu. "Tapi sejak kecil kami berpisah, maka ingin komohon padamu agar suka menjaga dia, kuatir dia akan tersesat."

"Nanti kalau engkau sudah sembuh kita akan mencari dia agar dapat kumpul bersamamu," sahut Siau Hong dengan senyum paksa. "Wataknya yang aneh dan cerdik itu mungkin masih kalah daripadamu, maka engkau boleh mengajarnya nanti."

(Apakah A Cu benar akan meninggal akibat pukulan Siau Hong yang tidak sengaja itu?)

Mengapa A Cu mengambil jalan nekat begitu dan siapakah sesungguhnya A Ci dan Wi Sing tiok?)

Jilid 37

"Nanti kalau aku sudah .. sudah baik, Toako, kita akan pergi keluar Gan-bun-koan untuk menggembala domba, tapi apakah ... apakah adik perempuanku itu pun mau ikut?" tanya A Cu dengan suara lemah. "Sudah tentu dia akan ikut, kalau Cici dan Cihu mengajaknya, masakah

dia tidak mau?" sahut Siau Hong.

Pada saat itu tiba-tiba mendeburnya air, tahu-tahu dari dalam sungai di kolong jembatan batu  itu menongol keluar seorang terus berseru, "Huh tidak malu? Cici dan Cihu apa segala? Aku justru tidak mau ikut!" Orang itu bertubuh kecil mungil, berpakaian ringkas peranti renang, siapa lagi kalau bukan A Ci? Setelah salah menghantam A Cu, maka seluruh perhatian Siau Hong terpusat atas keselamatan kekasih itu hingga apa yang terjadi disekitarnya sama sekali tak diperhatikannya. Padahal dengan kepandaiannya yang tinggi itu sebenarnya dengan mudah akan dapat diketahuinya jika ada orang bersembunyi di bawah jembatan, Maka ia rada kaget demi nampak munculnya A CI, segera ia berseru, "He, A Ci, lekas kemari untuk melilhat tacimu!" Mulut A Ci yang mungil itu mencebir, katanya, "Aku sembunyi di bawah jembatan, sebenarnya ingin kulihat perkelahianmu dengan ayahku, siapa tahu yang kena hantam adalah Ciciku. Sejak tadi kalian terus kasak kusuk tidak habis-habis dengan berbagai kata cinta, sungguh aku tidak suka mendengarkan. Dalam cumbu rayu kalian mengapa diriku ikut disinggung-singgung?"

Sambil berkata iapun mendekati mereka. Segera A Cu berkata. "Adikku yang baik, selanjutnya Siau toako akan menjaga dirimu dan kamu ... kamu juga mesti menjaga dia..."

Tiba-tiba A Ci mengikik tawa, katanya, "Hihihi, lelaki kasar lagi jelek seperti dia, mana aku harus dia?" Ketika Siau Hong bermaksud membawa A Cu ke suatu tempat untuk berteduh, sekonyong konyong ia merasa badan gadis itu mengigil lalu kepala terjulai lemas ke bawah kemudian tak bergerak lagi. Keruan Siau Hong terkejut, ia berteriak teriak A Cu! A Cu!" Tapi biarpun ia berteriak seratus kali atau seribu kali juga A Cu tak dapat menjawab dan hidup kembali. Melihat A Cu telah meninggal, A Ci juga terkejut, ia tidak nakal lagi seperti tadi, tapi berkata dengan gusar, "Engkau menghantam mati Taciku...engkau membunuh Taciku?"

"Ya, memang betul aku yang membunuh encimu. Maka kamu harus membalas dendam, lekas, lekas bunuh aku!" seru Siau Hong. Ia turunkan tangannya yang mengendong A Cu dan membusungkan dada, lalu sambungnya pula, "Nah, lekas kaubunuh aku!" benar-benar berharap A Ci mencabut belati dan menikam dadanya, dengan demikian segala apa akan selesailah untuk membebaskan dirinya dari siksaan batin yang tiada habis-habis itu. Tapi demi nampak muka Siau Hong yang berkerut-kerut menyeramkan itu, A Ci menjadi... ketakutan malah ia mundur beberapa tindak sambil berseru, "Jangan... jangan kau bunuh diriku!" Siau Hong melangkah maju, ia jambret baju dada sendiri, 'bret', tertampaklah dadanya yang lebar, katanya, "Nah, lekaslah bunuh aku! Kamu punya jarum berbisa, punya pisau beracun, lekas tikam mati aku!"

Di bawah sinar kilat sekilas A Ci melihat gambar kepala serigala yang tercacah di dada Siau Hong sedang pentang mulut dengan kedua taringnya yang buas, ia tambah takut, mendadak ia menjerit terus putar tubuh dan lari pergi. Siau Hong termangu-mangu di atas jembatan batu itu, dukanya tak terkatakan, sesalnya tak terhingga. Mendadak ia menghantam dengan tangannya, 'prak', segumpal batu lankan jembatan pecah dan tercebur ke sungai.

Siau Hong merasa hatinya juga seakan-akan melompat keluar dari rongga dadanya dan ikut kecemplung ke sungai. Ia ingin menagis, menangis sekeras-kerasnya, tapi tak dapat menangis. Ketika sinar kilat berkelebat lagi, sekilas dilihatnya air muka A Cu yang penuh kasih sayang penuh perhatian atas dirinya itu masih terbayang di ujung mulut dan alis gadis itu.

"A Cu!" teriak Siau Hong, mendadak ia pondong badan kekasih itu dan dibawa lari menuju hutan-belukar yang sunyi. Guntur masih menggelegar di angkasa, hujan mencurah bagai di tuang, Siau Hong terus berlari-lari, sebentar mendaki bukit, sebentar turun ke lembah, ia tidak tahu lagi dirinya berada dimana, pikirannya kacau seakan-akan orang linglung. Perlahan gemuruh guntur mulai berhenti, tapi hujan masih belum reda.

Ufuk timur mulai remang-remang fajar telah menyingsing. Sudah beberapa jam Siau Hong berlari kian kemari seperti orang gila sedikitpun ia tidak merasa letih, ia hanya ingin menyksa diri sendiri, ia ingin lekas mati saja untuk mengiringi A Cu selama-lamanya. Di sawah sudah ada petani yang bermantel ijuk memanggul cangkul dan baru keluar dari rumah, Ketika melihat kelakukan Siau Hong itu, semuanya terheran-heran.

Begitulah tanpa tujuan Siau Hong terus berlari kian kemari dan akhirnya tanpa terasa kembali lagi di atas jembatan batu tadi ia berguman sendiri, Aku akan mencari Toan Cing-sun, akan kuminta dia membunuh diriku saja untuk membalas sakit hati putrinya." ...

Segera ia melangkah lebar menuju ke Sian keng oh. Tidak lama kemudian, sampailah dia ditepi danau itu. Segera ia berteriak-teriak "Toan Cing-sun, aku telah membunuh putrimu, ini aku berada di sini, lekas kau bunuh aku, sekali kali aku takkan balas menyerang. Lekas kemari, lekaslah!"

Sambil memondong A Cu yang sudah tak bernyawa itu, Siau Hong berdiri tegak di depan hutan bambu itu. Ia menunggu hingga lama, tapi di tengah hutan bambu itu tetap sunyi senyap dan tidak ada seorangpun yang muncul. Segera Siau Hong menyusur hutan dan mendekati rumah bambu, sekali depak ia bikin daun pintu terpentang, lalu melangkah masuk sambil berseru, "Toan Cing-sun, marilah bunuh diriku saja" Tapi ia lihat rumah itu sudah kosong. Tiada seorangpun penghuninya.

Ia coba periksa kamar samping dan ruang belakang bukan saja Toan Cing-sun dan kawan kawannya itu sudah menghilang bahkan pemilik rumah bambu itu Wi Sing tiok, juga tidak kelihatan lagi. Namun segala alat perabot di dalam rumah masih tetap di tempatnya, agaknya penghuninya baru saja pergi dengan tergesa-gesa hingga tidak sempat membawa apapun. Pikir Siau Hong, "Ya, tentu A Ci telah memberi kabar kepada mereka karena menyangka aku akan membunuh ayahnya untuk membalas dendam. Andaikan Toan Cing-sun tidak mau melarikan diri, namun wanita she Wi dan bawahannya yang setia itu tentu juga akan memaksanya agar menyelamatkan diri. Hehehe aku toh tidak akan membunuhmu, tapi kudatang ke sini untuk minta kaubunuh diriku."

Segera ia berteriak-teriak pula memanggil Toan Cing-sun, suaranya keras berkumandang jauh namun tetap tiada suara sahutan seorang pun. Di tepi Siau keng oh, di tengah hutan bambu itu sunyi senyap tiada seorangpun.

Tapi bagi Siau Hong rasanya dunia ini seperti tinggal dia seorang yang hidup. Sejak A Cu menghembuskan napas penghabis, selama itu juga ia terus pondong tubuh kekasih itu, entah sudah berapa kali ia kerahkan tenaga murni ke dalam tubuh A Cu dengan harapan seperti tempo hari waktu gadis itu dihantam oleh ketua Siau lim si dan akhirnya dapat disembuhkan kembali.

Tapi tempo hari Siau Hong yang langsung kena pukulan jago Siau lim si itu, Acu hanya keserempet saja oleh serangan itu. Sedangkan pukulan "Hang ling yu hwe" yang dilontarkan Siau Hong sekarang dengan tepat menghantam dada si gadis, tentu saja jiwanya melayang.

Dengan termangu-mangu Siau Hong duduk di ruangan depan rumah bambu itu sambil memondong A Cu. Dari pagi sampai siang dan dari siang sampai petang, tetap ia duduk di situ.

Sementara itu hujan sudah berhenti, hari sudah terang, sinar surya waktu senja menyorot di atas tubuhnya dan jenazah A Cu yang masih berada dalam pangkuannya itu. Biar bagaimana dan dalam keadaan apapun juga Siau Hong tidak pernah lesu dan putus asa tapi kini karena ia sendiri telah berbuat sesuatu kesalahan besar yang tidak mungkin ditarik kembali lagi, ia merasakan kekosongan orang hidup. Ia merasa tiada artinya lagi hidup lebih lama di dunia ini. Ia pikir, "A Cu telah berkorban bagi ayahnya, akupun tak dapat menuntut balas lagi kepada Toan Cing-sun. Sedangkan perkembangan Kai-pang dan cita-citaku yang muluk-muluk pada waktu muda, semuanya itu tiada harganya lagi untuk kupikirkan."

Segera ia menuju ke pekarangan belakang ia lihat di pojok sana ada sebuat cangkul bunga. Pikirnya, "Biarlah aku mendampingi A Cu disini untuk selama-lamanya." Sambil sebelah tangan merangkul A Cu, dengan tangan kanan ia jinjing cangkul itu dan menuju ke tengah hutan bambu sana, ia menggali sebulah liang, lalu menggali liang yang lain lagi. Kedua liang itu berjajar. Pikirnya pula, "Jika sebentar ayah-bundanya pulang, karena tidak tahu apa yang terjadi bukan mustahil mereka akan menggali kuburan-kuburan ini untuk diperiksa maka aku harus mendirikan batu nisan di atas kuburan-kuburan ini." Ia lantas memotong sebatang bambu persegi itu, ia belah mejadi dua, lalu ke dapur dan meratakan bambu itu dengan pisau sayur.

Kemudian ia mendatangi kamar sebelah lain, di atas meja di dalam kamar itu lengkap tesedia kertas dan alat tulis. Di dekat dinding ada sebuh rak buku, mungkin inilah kamar baca Wi Sing tiok. Setelah menggosok tinta, lalu ia angkat pensil dan menulis di atas salah satu belahan bambu tadi, "Kuburan Siau Hong, suami yang kasar dari Cidan."

Ketika ia siapkan belahan bambu yang lain dan ingin menulis lagi, diam-diam ia menjadi ragu, pikirnya, "Cara bagaimana harus kutulis nisan ini? Apakah kutulis, 'Kuburan nyonya Toan dari keluarga Siau? Tapi meski dia sudah mengikat janji denganku, kamikan belum menikah, sampai meninggal ia tetap seorang nona yang suci murni, kalau kusebut dia segagai nyonya apakah hal itu takkan menodai kesuciannya?"

Seketika ia menjadi bingung apa yang harus ditulisnya, ketika ia mendongak untuk berpikir, dimana mata menandang, tiba-tiba dilihatnya di dinding bambu sana tergantung sehelai tirai sutera yang bertuliskan beberapa baris sajak. Waktu ia membacanya, kiranya itu adalah sajak percintaan. Meski Siau Hong terbatas sekolahnya, bahkan beberapa huruf dalam sajak itu tak dikenalnya tapi dapat juga ia menangkap artinya, ia tahu itu adalah sajak percintaan yang memuji sanjung sang kekasih.

Bagian depan sajak itu mengenangkan masa cumbu rayu mereka yang mesra, dan bagian lain mengisahkan rasa berat ketika harus beapisah. Akhirnya sajak itu tertulis "Dipersembahkan kepada kekasih nan tercinta, dari Tayli Toan-ji sesudah mabuk".

"Hm, Tail Toaj-ji (Si Toan kedua dari Tayli) Siapa lagi dia kalau bukan Toan Cing-sun yang sengaja menuliskan sajak ini untuk kekasihnya, Wi Sing tiok, ini mengenai kisah roman ayah-bunda A Cu, mengapa secara blak-blakan sajak ini digantung di ruangan ini tanpa malu? Ah, tahulah aku, tentu disebabkan hutan bambu ini jarang didatangi orang, biasanya cuma ibu A Cu yang tinggal sendirian di sini. Tapi bisa jadi karena Toan Cing sun berkunjung pula ke tempat lama ini lalu hiasan sajak ini dikeluarkan lagi.

Kalau melihat bekas tulisannya terang ditulis pada belasan tahun yang lampau."

Dasar sifat Siau Hong memang cermat, biarpun bertekad akan mati bersama A Cu, tapi demi melihat sesuatu keganjilan, betapapun ia menaruh perhatian. Segera ia pikir pula cara bagaimana harus menulis nisan kuburan A Cu? Karena tiada menemuka sesuatu sebutan yang cocok, akhirnya ia tulis saja secara singkat, "Kuburan si A Cu". Selesai menulis, ia bebangkit hendak menanam nisan bambu itu di depan liang kubur a Cu, setelah mengubur A Cu, lalu ia akan bunuh diri. Ketika ia pondong tubuh a Cu, tanpa sengaja ia berpaling dan memandang sekejap pula tabir bersajak yang tergantung di dinding itu.

Tapi mendadak ia melonjak dan beseru, "Hai, salah, salah! Dalam urusan ini ada sesuatu yang tidak betul!" Ia mendekati tabir itu lagi, ia lihat gaya tulisan sajak itu sangat indah penuh wibawa. Tiba-tiba benaknya seakan-akan mendengar suara bisikan, "Surat itu!surat yang ditulis Toako pemimpin dan ditujukan kepada Ong-pangcu itu, tulisan dalam surat itu tidak sama gayanya dengan tulisan sanjak ini. Ya, sama sekali berbeda." Meski Siau Hong tidak banyak bersekolah, ia sebenarnya tidak pandai membedakan gaya tulisan yang baik dan jelek, tapi tulisan sajak ini sangat lancar dan indah, sebaliknya tulisan surat "Toako pemimpin" itu kaku dan jelek, sekali baca segera diketahu berasal dari tulisan tangan jago silat kangouw, perbedaan kedua gaya tulisan ini sungguh terlalu jauh, biarpun siapa juga dapat membedakannya dengan mudah.

Begitulah mata Siau Hong terbelak lebar menatap tulisan di atas tabir itu seakan-akan ingin mencari sesuatu rahasia dan muslihat yang tersembunyi di balik tulisan itu. Benar Siau Hong terus berputar, yang terbayang saat itu adalah surat yang dilihatnya malam itu ditengah hutan di luar kota Bu-sik yaitu surat berasal dari Toako Pemimpin yang ditujukan kepada Ong-pangcu. Waktu itu Ti-kong Tam mendadak menyobek bagian yang ada tanda tangan si pengirim surat dan ditelan ke dalam perut hingga Siau Hong tidak tahu lagi siapa gerangan penulis surat itu. Tapi gaya tulisan surat itu sudah tercetak benar dalam benaknya dan teringat jelas olehnya, biarpun dunia kiamat juga takkan terlupakan ia yakin penulis surat itu dan "Tayli Toan-ji" yang menulis sajak itu pasti bukan terdiri dari orang yang sama, tapi apakah mungkin surat itu ditulis oleh orang lain atau suruhan "Toako pemimpin"?

Setelah berpikir sejenak segera Siau Hong menarik kesimpulan hal itu pun tidak bisa jadi. Kalau Toan Cing-sun mampu menulis sajak sebagus ini, hal ini menandakan dia adalah seorang yang sudah biasa menulis surat, biasa mengarang, dan kalau mesti meulis surat kepada Ong pangcu untuk merundingkan urusan penting, masakan mungkin malah menyuruh orang lain menuliskannya.

Begitulah makin dipikir makin sangsi, berulang-ulang Siau Hong bertanya jawab sendiri di dalam batin. "Jangan-jangan Taoko pemimpin itu bukan Toan Cing-sun. Jangan-jangan tabir bersajak ini bukan ditulis oleh Toan Cing-sun. Tapi, tidak bisa selain Toan Cing-sun, dari mana ada Tayli Toan-ji lagi. Masakan apa yang dikatakan Be hujin ia boHong. Itu pun tidak bisa. Dia tidak pernah kenal Toan Cing sun yang satu tinggal di utara yang lain jauh di Selatan, ada permusuhan apa hingga dia perlu mengarang hal-hal yang tidak benar untuk menipu aku, dibalik ini yang pasti ada suatu tipu muslihat keji. Aku membinasakan A Cu karena kesalahan yang tidak disengaja, sebaliknya pengorbanan A Cu demi kebaikanku dan demi keselamatan ayahnya tapi sekarang ternyata bukan begitu halnya, matinya yang tak berdosa itu kini bertambah penasaran lagi. Ya, mengapa sebelumnya aku tidak melihat tabir bersajak ini lebih dulu?" Begitulah ia termangu-mangu di situ dengan penuh rasa duka dan sesal. Sementara itu matahari senja sudah menghilang di ufuk barat.

Tiba-tiba terdengar di tepi Siau-kong-oh sana ada suara tindakan dua orang sedang menuju hutan bambu ini. Jarak kedua orang itu masih jauh, tapi pendengaran Siau Hong sangat tajam, sedikit suara saja sudah diketahuinya. Ketika ia dengarkan lebih cermat, segera dapat diketahui pula pendatang itu adalah wanita semua.. Pikirnya, "Tentu A Ci dan ibunya telah pulang. Ya, biar kutanya nyonya Toan apakah tabir bersajak ini tulisan Toan Cing-sun atau bukan? dan bila dia dendam lantaran aku telah membunuh A Cu, pasti dia juga akan membunuh.. membunuh aku..."

Sebenarnya ia bertekad tak mau membeli serangan, ia ingin mati bersama A Cu. Tapi ia berubah pikirannya, "Jika benar A Cu mati penasaran dan pembunuh ayah-bundaku itu sebenarnya adalah orang lain dan bukan Toan Cing-sun maka utang darah Tai-0k jin itu menjadi bertambah pula atas kematian A Cu, istriku yang tercinta. Kalau aku tidak membalas dendam, bagaimana aku akan bertemu dengan ayah-ibu, suhu, dengan kedua orang tua angkat dan A Cu di alam baka?"

Dalam pada itu kedua wanita itu sudah makin dekat dan sudah masuk ke dalam hutan bambu itu.

Selang sebentar pula, suara percakapan kedua wanita itupun dapat terdengar. Seorang diantaranya lagi berkata. "Awas, ilmu silat perempuan hina ini tidak rendah, bahkan banyak tipu akalnya." Lalu suara wanita lain yang lebih muda menjawab, "Dia hanya sendirian, kita ibu dan anak pasti dapat membereskan dia."

"Sudahlah, jangan bicara lagi. Begitu kita terjang maju, segera kita turun tangan tanpa kenal ampun, tidak perlu ragu-ragu," demikian kata wanita pertama yang lebih tua. Yang muda berkata pula, "Dan bila ayah tahu..."

"Hm, masih kau pikirkan ayahmu?" jengek ibunya.

Habis itu lantas tiada suara percakapan lagi, hanya terdengar mereka mendekati rumah bambu itu dengan berjinjit jinjit, yang satu menuju ke pintu depan dan yang lain berputar ke belakang rumah, nyata mereka bermaksud menyergap dari muka dan belakang. Siau Hong agak heran, pikirnya, "Dari suara mereka ini terang bukan A Ci dan Wi Sing tiok, tapi merekapun terdiri dari ibu dan anak serta bermaksud membunuh seorang wanita yang sendirian. Ah, benar kemungkinan Wi Sing-tiok yang mereka incar dan agaknya ayah si gadis tidak menyetujui perbuatan mereka ini." Tapi ia tidak ambil pusing kepada urusan lain, ia tetap duduk dan termangu di tempatnya.

Selang sejenak, terdengar suara pintu berkeriut didorong orang, lalu masuklah seorang. Sama sekali Siau Hong tidak berpaling atau menoleh tapi dapat dilihatnya sepasang kaki yang kecil dan bersepatu hitam berjalan samapi di depannya, jaraknya kira-kira dua meter, lalu berhenti di situ. Menyusul daun jendela pun didorong orang hingga terpentang, lalu melompat masuk seorang lagi lalu berdiri disamping Siau Hong. Dari suara dan gerak lompatan orang dapat diketahui oleh Siau Hong bahwa ilmu silat pendadang itu tidak seberapa tinggi.

Karena hatinya sedang risau dan putus asa, maka Siau Hong diam saja, tetap menunduk sambil memeras otak, "sebenarnya 'Toako pemimpin' yang dimaksudkan itu Toan Cing-sun atau bukan? Ada sesuatu yang aneh pada ucapan Ti-kong Taisu tempo hari itu. Adakah sesuatu tipu muslihat Ci-tianglo? Apa yang dikatakan Be-hujin adalah sesuatu yang mencurigakan?" Begitulah perasaannya bergolak, pikirannya kacau. Tiba-tiba terdengar wanita muda tadi sedang menegur padanya, "Hei, siapakah kau? Di mana perempuan hina-dina she Wi itu?" Suaranya dingin mengejek, nadanya juga kasar. Tapi Siau Hong tidak menggubrisknya, ia asyik memikirkan urusannya sendiri.

"Apakah tuan ada hubungan apa-apa dengan perempuan hina Wi Sing tiok itu? Siapakah perempuan yang meninggal ini? Lekas katakan!" demikian wanita yang tua juga bertanya. Namun Siau Hong tetap tak gubris mereka. Rupanya wanita yang muda menjadi gusar, segera ia mendamprat, "Hei, apakah kamu tuli atau bisu? Mengapa tidak menyahut sepatah pun pertanyaan kami?" Tetap Siau Hong tidak perduli mereka, mirip patung saja ia duduk di tempatnya.

Rupanya si wanita muda menjadi tak sabar, sekali pedang bergerak hingga mengeluarkan suara mendengung, segera ujung pedang menusuk ke depan jaraknya tinggal beberap senti di pelipis Siau Hong asal dia mendorong maju sedikit lagi tentu jiwa Siau Hong terancam. "Coba kalau kamu masih berlagak dungu, biar segera kau tahu rasa!" demikian wanita muda itu membatin. Tak terduga Siau Hong sama sekali tak menghiraukan ancaman bahaya lagi, dia tetap asyik merenungkan berbagai tanda tanya dalam benaknya yang belum terjawab itu.

Mendadak pedang wanita muda itu menusuk miring ke depan hingga menyambar lewat samping leher Siau Hong, tujuannya hanya ingin tanya kemana perginya Wi Sing-tiok, maka tiada niat hendak melukai orang, sebab itulah ia cuma menggertak saja dengan miringkan pedang dan menusuk ke samping leher. Namun Siau Hong dapat mendengar jelas arah mana yang hendak dituju senjata orang, maka sama sekali ia tidak menghidar, tetap diam seperti tidak tahu apa-apa.

Karuan kedua wanita itu saling pandang dengan heran. Kata yang muda, "Mak, jangan-jangan orang ini ling lung?"

"Besar kemungkinan ia cuma pura-pura dingin saja," ujar yang tua." Di rumah perempuan hina ini mana ada manusia baik-baik? Biar kubacok dia sekali, nanti kita paksa dia mengaku." Dan baru habis omong, segera golok ditangan kiri membacok pundak Siau Hong. Sudah tentu Siau Hong tidak gampang diserang. Ketika senjata orang tinggal belasan senti dari pundaknya, mendadak tangan kanan membalik ke atas, sekali bergerak, tepat punggung bolong orang kena di jepit oleh dua jarinya, seketika golok wanita itu seperti terkatung-katung di udara dan tak bisa bergerak lagi.

Ketika Siau Hong kerahkan tenaga jari dan mendorong ke depan, gagang golok itu tepat menumbuk hiat-to penting di pinggang wanita itu, kontan dia tak bisa berkutik. Waktu Siau Hong menyandal sekuatnya "pletak", golok itu patah menjadi dua, lalu dilemparkannya ke lantai, dari mula sampai akhir sama sekali ia tidak mengangkat kepala untuk memandang wanita itu. Keruan wanita yang muda sangat kaget ketika melihat sekali gebrak saja ibunya sudah dibikin tak berkutik, cepat ia melompat mundur, berbareng terdengar suara mendesis, tujuh panah kecil sekaligus berhamburan ke arah Siau Hong.

Tapi dengan menjemput kembali golok patah tadi, semua panah kecil itu disampuk jatuh, menyusul tangan Siau Hong bergerak sedikit, golok patah itu menyambar ke depan dengan garda di muka, 'bluk', tepat pinggang wanita muda itu kena tertimpuk. Wanita muda itu menjerit sekali lalu ia pun tak bisa berkutik lagi. "Apa kamu terluka?" tanya wanita yang tua dengan kuatir. "Tidak, hanya pinggangku kesakitan, aku tertutuk bagian "king-bun-hiat' sahut yang muda. "Dan aku tertutuk bagian 'tiong-hu-hiat' kata yang tua. "Wah, ilmu silat orang ini sangat... sangat lihai."

"Mak, sebenarnya siapakah orang ini? Mengapa tanpa berdiri dan kita lantas dibuat tak berkutik olehnya, kukira dia pakai ilmu sihir ujar yang muda.

Rupanya mereka tak bisa berkutik, maki wanita yang tua tak berani garang pula, dengan nada memohon ia berkata kepada Siau Hong, "Selamanya kami tiada permusuhan apa-apa dengan tuan, tadi secara sembrono kami mengganggu tuan itu kesalahan kami, untuk itu kami minta maaf dan sudilah membebaskan kami."

"Tidak, tidak!" mendadak yang muda menyela, "Kalau memang kalah biarlah kita mengaku kalah, buat apa mesti minta ampun segala? Biarlah kalau dia berani, boleh bunuh saja nonamu ini, siapa sudi minta maaf padanya." Sayup-sayup Siau Hong mendengar suara ibu dan anak itu, yang diketahuinya cuma sang ibu telah minta ampun dan si anak kepala batu, tapi apa yang mereka katakan sebenarnya tidak masuk telinga siau Hong.

Sementara itu hari sudah malam, di dalam rumah itu gelap gulita. Tapi Siau Hong masih tetap duduk di tempat semula, sedikitpun tidak menggeser tempat. Biasanya otak bekas pangcu itu sangat cerdas, segala urusan yang sulit dapat diputusnya dengan cepat, andaikan seketika masih ragu paling-paling cuma dikesampingkannya. Tapi hari ini ia telah salah membinasakan A Cu, rasa dukanya tiada taranya, maka ia termangu-mangu dan melongo seperti orang linglung.

Maka terdengar si wanita yang tua lagi berkata dengan suara perlahan, "Coba kau kerahkan tenaga untuk menggempur 'Koan-tiau-hiat' dan Hong-ji-hiat'. mungkin jalan darahmu akan lancar kembali"

"Sudah kucoba sejak tadi, tapi tidak berguna sama sekali..."

"Sssst, ada orang datang!" tiba-tiba wanita yang tua memotong ucapan anaknya.

Benar juga diluar sana ada suara orang berjalan, lalu pintu didorong dan masuklah seorang wanita juga. Terdengar wanita itu mengetik batu api untuk menyalahkan sumbu, lalu dipakai menyulut lentera minyak. Ketika wanita itu berpaling dan mendadak melihat Siau Hong. A Cu dan kedua perempuan tadi tanpa terasa ia menjerit kaget. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa di dalam rumah ada empat orang, ada yang duduk dan ada yang berdiri, semuanya diam saja, tiada yang bergerak sedikitpun.

Sebaliknya demi melihat wanita yang masuk rumah ini, mendadak wanita yang lebih tua tadi membentak dengan suara bengis, "Kau, Sing tiok!" Wanita yang baru tiba itu memang benar Wi Sing-tiok adanya. Mendengar orang menegurnya, cepat ia berpaling, ia lihat pembicara itu adalah seorang perempuan setengah umur, di sampingnya berdiri seorang gadis berbaju hitam halus, keduanya berwajah sangat cantik, tapi selamanya belum pernah dikenalnya. Segera ia menjawab, "Benar, memang aku inilah she Wi, dan siapakah kalian?"

Karena tubuhnya tak bisa berkutik, wanita setengah umur itu tak mau memberitahukan namanya, ia hanya mengamat-amati Wi Sing-tiok yang cantik menggiurkan itu, api amarahnya semakin membakar. Tiba-tiba Wi Sing tiok berpaling kepada Siau Hong dan bertanya, "Kiau pangcu, engkau sudah membinasakan putriku, untuk apa engkau masih tinggal di sini? Oh, kasihan anak.. anakku!" Dan menangislah dia mengerung gerung sambil menubruk ke atas jenazah A Cu.

Siau Hong tetap duduk terpekur di tempatnya, selang agak lama barulah ia berkata, "Toan-hujin, dosaku teramat dalam, silakan kau keluarkan senjata dan sekali bacok bunuhlah diriku." "Biarpun sekali bacok kubunuhmu juga anakku yang malang ini tak tertolong lagi," sahut Wi Sing tiok. "Oh A Cu, anakku yang bernasib malang, di luar Gan-bun-koan telah kuserahkan diriku kepada orang lain dengan harapan semoga kita diberkahi agar kelak..."

Saat itu benak Siau Hong masih kacau, selang sejenak baru ia terkesiap, cepat tanyanya, "Apa katamu? Di luar Gan-bun-koan?" "Sudah tahu mengapa malah tanya?" sahut Wi Sing tiok. "Acu... A Cu adalah anakku hasil hubungan gelap diriku dengan Toan Cing-sun, aku tidak berani membawanya pulang, maka kuserahkan dia kepada orang di luar Ban Bun-koan."

"Jadi kemarin ketika aku tanya Toan Cing-sun apakah merasa berbuat dosa di luar Gan bun koan dan dia mengaku terus terang, sebaliknya air mukamu merah jengah dan tanya padaku dari mana kudapat tahu, jadi...jadi perbuatan dosa di luar Gan-bun-koak yang kau maksudkan itu adalah mengenai diri A Cu ini?" tanya Siau Hong dengan suara gemetar.

"Habis apa tidak cukup perbuatan dosa itu? Apa kau kira aku ini wanita jahat yang selalu berbuat kejahatan?" sahut Sing-tiok dengan gusar. Sebenarnya ia sangat benci kepada Siau Hong, tapi jeri pula pada ilmu silatnya yang hebat, maka ia cuma mencaci maki dengan kata-

kata pedas. Untuk sejenak Siau Hong termangu-mangu sekonyong-konyong ia gunakan ke dua tangan ini untuk menampar muka sendiri.

Perbuatan Siau Hong itu membikin Wi Sing tiok terkejut malah, cepat ia melompat mundur, ia lihat Siau Hong masih terus menempeleng diri sendiri dengan keras hingga dalam sekejap saja kedua pipinya merah bengap. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar pintu berkeriut, ada orang masuk lagi sambil berseru, "Mak, apakah tabir itu sudah diambil..." Belum habis ucapannya, tiba-tiba dilihatnya di dalam rumah ada beberapa orang lain, malahan Siau Hong lagi tampar dirinya dendiri, seketika orang yang baru masuk itu melongo heran. Ia bukan lain adalah A Ci.

Sementara itu pipi Siau Hong yang masih terus digampar sendiri itu sudah mulai babak belur, lalu muka dan kedua tangannya lantas berlumuran darah, darah berceceran dan menciprat ke dinding, meja-kursi... dimana-mana penuh titik darah, bahkan tabir bersajak yang tergantung di didinding pun terciprat beberapa tetes darah segar. Karena tidak tega menyaksikan keadaan yang mengerikan itu, Wi Sing-tiok menutup muka dengan tangan, tapi telinganya masih mendengar suara "plak-plok" yang tiada hentinya itu, akhirnya ia berseru. "Sudahlah, jangan pukul lagi, jangan pukul lagi!" A Ci lantas berteriak juga, "Hei, engkau telah bikin kotor tulisan ayahku itu, aku akan minta ganti rugi padamu"

Sambil bicara terus ia melompat ke atas meja untuk menanggalkan tabir sajak yang tergantung di dinding itu. Kiranya kembalinya itu dan anak itu adalah ingin mengambil tabir ini. Siau Hong melengak juga dan berhenti memukul diri sendiri, ia tanya, "Apa 'Tayli Toan-ji' yang dimaksudkan itu memang benar adalah Toan Cing-sun?"

"Selain dia, masakah ada orang lain?" sahut Wi Sing tiok, bicara tentang Toan Cing sun, tanpa terasa wajahnya menampilkan perasaan bangga dan mesra.

Jawaban tegas itu telah menjawab pula tanda tanya di dalam benak Siau Hong. Jika sajak ini betul ditulis oleh Toan Cing-sun, maka surat yang ditujukan kepada Ong-pangcu itu berati bukan tulisan Toan Cing-sun dan Toako pemimpin yang dimaksudkan itu pun buka pangeran mahkota Tayli itu. Segera timbul pikiran dalam benak Siau Hong, "Sebabnya Be-hujin sengaja memfitnah Toan Cing-sun, tentu di dalam hal ini terdapat sesuatu rahasia. Aku harus bikin terang dulu teka-teki ini, akhirnya pasti akan tiba saatnya segala tanda tanya ini kubikin terang." Karena pikiran itu, segera maksudnya hendak bunuh diri itu diurungkan.

Meski baru saja ia menghajar diri sendiri hingga mukanya babak belur tapi rasa duka dan sesalnya itu menjadi terlampias pula. Segera ia pondong jenazah A Cu dan berbangkit, tapi belum lagi ia membuka suara, tiba-tiba A Ci melihat ke dua belah bambu yang terdapat tulisan itu, dengan tertawa gadis cilik itu berolok olok, "Hehehe, pantas kulihat di luar sana ada dua liang, kiranya engkau bermaksud mati dan terkubur bersama Ciciku. Ck ck ck, engkau benar-benar seorang kekasih yang sehidup semati."

"Aku telah tertipu oleh muslihat keji musuh hingga salah membunuh A Cu, maka sekarang aku hendak pergi mencari jahanam itu, aku akan membalas sakit hati A Cu, lalu menyusulnya di alam baka." kata Siau Hong.

"Siapakah jahanam yang kau maksudkan itu?" tanya A Ci. "Saat ini belum kuketahui, maka akan kupergi menyelidikinya," sahut Siau Hong. Lalu ia melangkah pergi sambil memondong jenazah A Cu. "Engkau akanpergi mencari musuh dengan membawa Ciciku cara begitu?" tiba-tiba A Ci berseru.

Siau Hong tertegun, seketika ia menjadi bingung. Memang tidak mungkin ia menempuh perjalanan jauh sambil memondong jenazah A Cu. Tapi kalau mesti ditinggalkan, ia berasa berat pula. Ia termangu-mangu memandangi A Cu yang sudah tak bernyawa itu, air matanya bercucuran melalui mukanya yang babak-belur itu, air mata bercampur dengan darah, titik air yang bening ke merah-merahan itu menetes di muka A Cu yang pucat.

Melihat sedemikian duka Siau Hong, rasa benci Wi Sing-tiok lantas lenyap, katanya kemudian, "Kiau pangcu, kesalahan yang sudah terlanjur diperbuat toh tak dapat ditarik kembali lagi. Hendaklah kau... kau..." Sebenarnya ia ingin menghibur Siau Hong agar jangan terlalu berduka, tapi ia sendiri yang lantas menangis tergerung-gerung malah. Katanya dengan terputus-putus sambil menangis, "Semuanya gara-gara ... gara-garaku, akulah yang salah ... mengapa kuserahkan putri sendiri kepada orang lain."

"Sudah tentu engkau yang salah!" tiba-tiba si gadis yang dibikin tak berkutik oleh Siau Hong tadi menyela. "Habis, suami-istri orang yang bahagia mengapa kau cerai-beraikan?" Sing-tiok menoleh kepada gadis itu dan bertanya, "Mengapa nona berkata demikian? Siapakah kau?" "Kamu siluman rase ini telah membikin ibuku menderita selama hidup, membikin susah diriku..."

Mendengar gadis itu menghina sang ibu, tanpa menunggu selesai ucapan orang, terus saja A Ci menampar muka gadis itu.

Dalam keadaan tak bisa berkutik, tampaknya hajaran itu sudah pasti akan mengenai mukanya sukurlah tiba-tiba Wi Sing-tiok menarik tangan A Ci dan berkata, "A Ci, jangan main kasar." Lalu ia mengamati-amati si wanita setengah umur, sejenak kemudian iapun sadar persoalannya. Serunya, "ya engkau memakai sepasang golok, engkau tentu Siu-lo-to Cin... Cin Ang-bian, Cin-cici."

Kiranya wanita setengah umur ini memang betul Siu-lo to Cia Ang-bian yang telah ditinggal Toan Cing-sun itu, dan si gadis baju hitam adalah putrinya, Bok Wan-jing. Cara berpikir Ci Ang-bian itu agak istimewa, Ia tidak menyalahkan Toan Cing sun yang suka main perempuan dimana mana punya gendak, sebaliknya ia benci kepada wanita lain yang dianggapnya suka main mata dan pintar merayu lelaki serta merebut kekasihnya. Sebab itulah maka waktu Bok Wan jing tamat belajar silat, ia lalu suruh putrinya itu untuk membunuh istri dari Toan Cing sun, yaitu Si Pek Hong.

Ketika kemudian diketahui pula Toan Cing sun mempunyai seorang kekasih lain bernama Sing siok dan tinggal di tengah hutan bambu di tepi Siau keng oh, jauh-jauh ia lantas datang ke mari hendak membunuhnya. Bok Wan-jing sendiri sejak mengetahui Toan Ki yang dicintainya itu ternyata adalah kakak sendiri, dengan menahan derita batin ia terus mengembara di kangouw dan banyak membunuh orang serta macam-macam perbuatan lain. Mendengar berita itu, Cin Ang-bian lantas mencari dan menggabungkan diri dengan putrinya itu serta bersama-sama datang ke Siau keng oh tidak terduga mereka kebentur dulu pada Siau Hong hingga dibikin tak berkutik sedikitpun.

Begitulah ketika mendengar nama sendiri dikenali orang. Cin Ang-bian menjadi gusar, dampratnya. "Betul, memang akulah ini Cing Ang-bian siapa sudi dipanggil Cici oleh perempuan hina macammu ini?" Watak Wi Sing tiok ternyata tidak sama seperti Cin Ang-bian, Sing-tiok lebih licin, seketika ia belum tahu apa maksud tujuan kedatangan Ci Ang bian, pula kuatir lawan asmara ini akan rujuk kembali bila bertemu dengan Toan Cing-sun, maka ia sengaja menjawab dengan tertawa, "Ya, akulah yang salah omong. Usiamu jauh lebih muda daripadaku, wajahmu juga begini cantik, pantas saja Toan long kesengsem padamu. Engkau adalah adikku dan bukan Cici. Eh , Cin Moimoi, setiap hari Toan long selalu terkenang padamu, senantiasa memikirkan dirimu, sungguh aku sangat kagum sekali kepada kebahagianmu"." Manusia mana yang tidak suka disanjung puji dan diumpak.

Cia Ang-bian merasa senang juga mendengar dirinya dipuji sangat cantik dan masih muda, apalagi didengarnya pula Toan Cing-sun senantiasa terkenang padanya, karena rasa gusarnya seketika lenyap lebih separoh. Sahutnya kemudian, "Huh, siapa dapat meniru dirimu yang pintar dan bermulut manis, pandai memuji orang."

"Dan nona ini tentunya putri kesayanganmu, bukan?" tanya Sing siok pula. "Wah,ck ck ck alangkah cantiknya, sungguh beruntung sekali ci moimoi mempunyai anak secantik ini."

Mendengar kedua wanita itu asyik berbicara tentang kekasih dan cinta melulu, sejak tadi Siau Hong sudah tidak betah untuk mendengarkan. Sebagai seorang ksatria bijaksana, sesudah mengalami pukulan batin dan remuk redam hatinya, tapi segera ia dapat berpikir panjang pula tentang tugas apa yang harus dilakukannya di kemudian hari. Segera ia pondong jenazah A Cu menuju ke tepi liang yang telah digalinya itu, ia masukkan gumpalan tanah dan perlahan ditaburkan ke atas tubuh A Cu, hanya mukanya tetap tidak ditabur dengan tanah. Pandangannya tidak pernah meninggalkan muka A Cu barang sekejappun. Ia tahu bila beberapa kali tanah di taburkan lagi untuk selama-lamanya ia takkan dapat melihat sang kekasih pula. Ia termangu-mangu sejenak, sayup-sayup telingannya seakan-akan mendengar suara A Cu yang mengajak pergi mengangun sapi dan menggembala domba di luar Gan-bun-koan, di sanalah mereka akan hidup berdampingan untuk selamanya.

Kemarin ia masih mendengar suara A Cu yang nyaring merdu, terkadang lucu, terkadang nakal, terkadang mesra dan terkadang sungguh-sungguh, tapi untuk selanjutnya. suara itu takkan terdengar lagi. Sudah lebih setengah jam Siau Hong berjongkok di tepi liang kubur itu dan tetap tidak tega menaburkan tanah ke muka A Cu. Mendadak ia berbangkit, sekali bersuit panjang, ia tidak mau memandang A Cu lagi, tapi ke dua tangannya terus bekerja, dengan gerak cepat ia uruk tanah galian di tepi liang itu ke muka A Cu. Lalu ia putar tubuh dan masuk ke dalam rumah.

Sampai di dalam rumah, ia lihat Wi Sing-tiok masih asyik masyuk bicara dengan Cin Ang bian. Rupanya Wi Sing tiok memang pintar putar lidah. Ang-bian dibikin senang sekali, rasa permusuhan ke dua orang itu sejak tadi sudah lenyap. Melihat masuknya Siau Hong, segera Wi Sing tiok berkata, "Kiau pangcu, adik ini tadi berlaku kasar padamu, hal ini pun tidak disengaja, harap engkau suka membebaskan mereka." Wi Sing tiok adalah ibu A Cu, dengan sendirinya Siau Hong mesti menurut, apalagi memang ada maksudnya buat membebaskan ke dua orang itu.

Segera ia mendekati mereka dan menepuk pundak Ci Ang-bian dan Bok Wan jing hingga mereka merasa suatu hawa hangat menerjang hiato yang tertutuk itu, lalu anggota badan mereka dapat bergerak bebas lagi. Ibu dan anak itu saling pandang sekejap, terhadap ilmu silat Siau Hong yang maha tinggi itu sungguh mereka kagum tak terhingga. "Adik A Ci, tulisan ayahmu itu bolehkan dipinjamkan padaku sebentar," kata Siau Hong ke pada A Ci. "Aku tidak ingin dipanggil adik apa segala olehmu," sahut A Ci. "Walaupun demikian", katanya, "tapi tabir bersajak yang sudah digulungnya tadi diserahkan juga kepada Siau Hong".

Segera Siau Hong membentang tabir itu dan membaca kembali tulisan Toang Cing-sun itu dengan jelas dan teliti. Air muka Wi Sing-tiok menjadi merah jengah katanya, "Barang seperti itu, apanya yang menarik?"

"Di manakah sekarang Toan-ong ya berada?" tanya Siau Hong tiba-tiba. Wajah Sing tiok berubah hebat, sahutnya dengan kuatir, "Ti... tidak, jang ... jangan kau cari dia lagi."

"Aku takkan bikin susah padanya. Tapi aku cuma ingin tanya beberapa soal padanya," kata Siau Hong. Sudah tentu Sing-tiok tidak percaya, katanya: "Engkau sudah salah membunuh A Cu tak boleh kau cari ayahnya lagi."

Siau Hong tahu tiada gunanya tanya lagi, ia lantas gulung tabir hiasan itu dan kembalikan kepada A Ci. Katanya, "A Cu meninggalkan pesan padaku agar menjaga baik-baik adik perempuannya. Toan-hujin, bila kelak A Ci mengalami kesulitan apa-apa, asal Siau Hong dapat membantu, silakan saja memberitahu, pasti takkan kutolak." Sungguh girang Sing tiok tak terkatakan pikirnya, "A Ci mempunyai sandaran tokoh selihai ini, selama hidupnya takkan kuatir menemukan bahaya lagi."

Maka sahutnya, "Banyak terima kasih atas kebaikanmu. Nah. A Ci lekas menghaturkan terima kasih kepada Kiau toako." Ia ganti sebutan 'Kiau-pangcu' menjadi Kiau toako', maksudnya agar hubungan A Ci dengan tokoh sakti itu menjadi lebih akrab.

Siapa duga A Ci justru mencebir, katanya "Aku ada kesulitan apa hingga mesti minta bantuannya? Aku mempunyai Suhu yang tiada tandingannya di kolong langit ini punya Suko sebanyak itu, masakah aku takut dihina siapapun? Huh, dia sendiri serupa boneka limpung menyebrang sungai, diri sendiri saja sukar diselamatkan masakah masih mau membantu aku segala?"

Dasar A Ci itu memang pintar sekali bicara, sekali ia sudah mencerocos, maka mirip mitraliur saja cepatnya. Berulang Wi Sing-tiok mengedipi putrinya aga jangan sembarangan omong, tapi A Ci pura-pura tidak tahu. "Ai, anak kecil tidak tahu aturan, harap Kiau pangcu jangan marah." demikianlah kata Sing tiok kemudian. "Caihe Siau Hong adanya, tidak she Kiau lagi," ucap Siau Hong.

"Dengarlah, mak, orang ini namanya sendiri saja tidak tahu jelas, bukankah maha dogol..."

"A Ci..." bentak Sing tiok sebelum si nona mencerocos lagi. Segera Siau Hong memberi hormat, dan berkata, "Selamat berpisah, sampai bertemu lagi kelak." Lalu ia berpaling kepada Bok Wan jing, nona Toan, senjata rahasiamu yang berbisa itu tidak ada gunanya banyak dipakai, kalau ketemu lawan yang lebih kuat tentu kamu sendiri yang akan celaka."

Belum lagi Bok Wanjing menjawab, tahu-tahu A Ci sudah menanggapi, "Cici, jangan kau percaya pada ocehannya.. Am-gi demikian paling-paling dapat mengenai sasarannya, masakan ada ruginya pula?" Siau Hong tak gubris lagi padanya, ia putar tubuh dan hendak keluar, ketika sebelah kaki melangkahi lubang pintu, mendadak baju kanannya mengebas ke belakang, seketika berjangkitlah angin hingga tujuh batang panah kecil yang dilemparkan Bok Wan jing tadi tergulung olehnya itu terus menyambar ke arah A Ci.

Sambaran panah kecil itu secepat kilat, A Ci hanya sempat menjerit sekali dan tak keburu berkelit. Tujuh batang panah kecil itu menyambar lewat di atas kepala, tepi leher dan samping tubuhnya, lalu menancap di dinding belakangnya hingga menghilang sampai pangkal panah itu. Dengan kuatir Sing tiok memburu maju, ia angkat A Ci sambil berseru, " Ai, Cin moicu, lekas berikan obat penawar!"

"Terluka di mana? Terluka di mana?" Ang bian juga berteriak teriak. Dan Bok Wan jing lantas mengeluarkan obat penawar yang dibawanya dan lekas memeriksa keadaan luka A Ci.

Selang sejenak, sesudah hilang rasa kagetnya barulah A Ci berkata, "Aku tidak... tidak terluka apa apa"

Kiranya Siau Hong teringat pada pesan A Cu yang minta dia menjaga keselamatan A Ci, karena didengarnya gadis cilik itu membanggakan suhunya tiada tandingan dijagat, banyak pula Sukonya yang lihat, maka ia tidak takut kepada siapapun juga.

Siau Hong tahu am-gi berbisa aliran Sia siok hai itu beraneka macam, ia kuatir nona terlalu nakal dan tidak tahu luasnya jagat maka ia sengaja mengebas panah-panah kecil itu untuk membuatnya takut, dengan begitu maka gadis cilik itu tahu di dunia ini tidak sedikit tokoh-tokoh lihai selain gurunya. Begitulah sesudah Siau Hong keluar dari hutan bantu, sampai di tepi Siau keng oh ia menuju suatu pohon besar yang rindang, ia lompat ke atas pohon dan bersembunyi di situ..

Kiranya ia masih penasaran karena Wi Sing tiok tak mau mengaku di mana beradanya Toan Cing sun, terpaksa ia akan menguntitnya secara diam-diam. Benar juga, tidak lama kemudian tertampak ia Ang bian dan Bok Wan jing muncul dulu dari hutan bambu itu, menyusul Wi Sing tiok dan A Ci mengantar di belakang.

Sampai di tepi danau, Ang-bian berkata, "Wi cici, sekali kenal kita lantas cocok satu sama lain, maka segala selisih paham kita yang lampau dihapuskan sama sekali. Kini lawan yang masih akan kucari tinggal budak hina she Kheng itu.. Apakah engkau tahu dimana tempat tinggalnya?" Sing tiok tampak melengak, sahutnya, "Untuk apakah kau cari dia, Cin moaimoai?" Ang bian tersenyum, katanya. "Habis hidupku dengan Toan-long mestinya tentram bahagia, tapi budak hina siluman rase itulah yang pelet dia.."

"Yang perempuan hina Kheng .... Kheng Bin.. entah... entah tinggal di mana," kata Wi Sing tiok sesudah berpikir sejenak." Jika nanti Moaicu dapat menemukan dia harap wakilkan siaumoy menusuk beberapa kali pada tubuhnya."

"Masakah perlu disuruh lagi?" sahut Ang bian, "Cuma tidak mudah untuk mencari jejaknya. Baiklah sampai berjumpa pula. Dan bila engkau bertemu dengan Toan-long..."

"Ada apa?" tanya Sing tiok terkesiap. "Harap wakilkan aku menempeleng dia dua kali dengan keras." kata Ang gian. "Tempeleng ke satu adalah titipanku dan tempelengan ke dua masuk hitungan nona kami ini." Sing tiok tertawa, katanya, "Masakah aku suruh menemui manusia yang tak punya liangsim (perasaan) itu? Sebaliknya bila Moaicu bertemu dengan dia, harap juga wakilkan aku menampar di dua kali, sekali mewakilkan aku dan satu kali lagi untuk nonaku A Ci ini. Coba pikir, sampai anaknya sendiri tak diurus, bukankah pantas dihajar?"

Sudah tentu semua percakapan itu dapat didengar oleh Siau Hong yang sembunyi di atas pohon itu. Ia pikir ilmu silat Toan Cing-sun tidaklah lemah, terhadap kawan juga setia, tapi justru suka main perempuan, maka betapun tidak terhitung seorang kesatria. Begitulah ia dengar Cin Ang bian dan Bok Wanjing mohon diri kepada Wi Sing tiok dan A Ci, lalu berangkat pergi. Kemudian Wi Sing tiok menggandeng tangan A Ci dan masuk kembali ke dalam hutan bambu.

Pikir Siau Hong, "Pasti dia akan pergi mencari Toan Cing-sun, soalnya ia tidak sudi pergi bersama Cin Ang-bian yang merupakan saingannya itu. Tadi ia kembali untuk mengambil tabir bersajak, tentulah Toan Cing sun sedang menunggu tidak jauh di depan sana biarlah aku menantinya di sini." Sejenak kemudian, tiba-tiba terdengar suara, kresekan di semak semak pohon sana, dua bayangan orang lagi merunduk kemari. Ternyata mereka adalah Cin Ang bian dan Bok Wanjing, sudah pergi kini datang kembali.

Terdengar Cia Ang bian sedang bicara dengan suara perlahan, "Wan ji mengapa kamu mudah ditipu orang? Tadi kulihat dikolong ranjang Wi cici ada sepasang sepatu laki-laki, terang itulah sepatu ayahmu. Sepatu itu masih baru dan bersih pula, maka dapat diduga ayahmu pasti mengumpet di situ."

"Ha, jadi kita telah diboHongi perempuan she Wi itu" kata Wan jing. "Ya, ia tentu keberatan membiarkan kita bertemu dengan laki-laki berhati palsu itu," ujar Ang bian. "Ma, ayahkan tidak punya liangsim, buat apa engkau menemuinya lagi?" tanya Bok Wan jing. Ang-bian terdiam sejenak, sahutnya kemudian, "Aku cuma ingin melihatnya, tapi tidak ingin dia melihat aku. Selang sekian lama, tentu dia sudah tua, dan ibumu juga sudah tua."

Ucapan ini kedengaran dingin-dingin saja, tapi penuh rasa rindu dendam. "Baiklah!" kata Wan jing dengan suara terharu. Sejak dia berpisah dengan Toan Ki, rasa rindunya tidak pernah berkurang. Meski dia tahu cintanya itu toh tak mungkin terkabul, tapi derita batinnya boleh dikatakan jauh melebihi sang ibu. Asal kita menunggu saja di sini, tidak lama lagi mungkin ayahmu akan muncul." demikian Cin Ang-bian lagi berkata. Lalu ia mengajak putrinya sembunyi di tengah semak-semak rumput di balik pohon sana.

Di bawah sinar bintang yang remang-remang Siau Hong dapat melihat wajah Cia Ang-bian yang putih pucat itu bersemu merah, tampaknya perasaan wanita itu sangat terguncang. Maklum, demikianlah kalau orang sedang digoda asmara. Dan bila Siau Hong sendiri teringat kepada A Cu, mau tak mau ia merasa sedih juga.

Tidak lama kemudian, dari jalan sana terdengar suara orang datang dengan berlari. Pikir Siau Hong. "Ini bukan Toan Cing sun, besar kemungkinan adalah anak buahnya." Benar juga setelah dekat orang itu memang si sastrawan Cu Tan-sin adanya. Rupanya Wi Sing tiok juga sudah mendengar suara tindakan Cu Tan sin itu, tapi ia tak bisa membedakan apakah pendatang itu Toan Cing sun atau bukan, maka dari dalam hutan bambu ia terus memapak keluar sambil berseru girang, "Toan long! Toan long!"

Tapi ia menjadi kecewa ketika yang terlihat bukan sang kekasih melainkan Cu Tan sin. Segera Cu Tan sin memberi hormat dan berkata, "Hamba disuruh Cukong agar memberitahukan bahwa beliau ada urusan penting, maka beliau tidak sempat kembali ke sini lagi." Sing tiok terkejut, tanyanya, "Urusan penting apa? Bilakah akan kembali?"

"Urusan ini ada sangkut-pautnya dengan keluarga Buyung di Koh soh, agaknya Cukong telah menemukan jejak Buyung koncu," tutur Tan sia. "Jauh-jauh Cukong datang ke utara sini tujuannya adalah ingin mencari orang itu. Cukong mengatakan bila urusan sudah beres, segera beliau akan kembali ke sini. Diharap Hujin jangan banyak berpikir." Air mata Wi Sing tiok berlinang-linang, katanya dengan terguguk-guguk, "Setiap kali iapun mengatakan akan ... akan kembali ke sini, tapi setiap kali lantas... lantass beberapa tahun lamanya. Kini baru berjumpa dan dia sudah ... sudah..." Karena masih dendam atas kematian Leng Jian li gara-gara perbuatan si A Ci maka Cu Tan sia, tidak mau lama-lama tinggal di situ, ia merasa sudah selesai menunaikan tugasnya maka segera ia mohon diri dan tinggal pergi. Sesudah Cu Tian sin pergi agak jauh, segera Wi Sing tiok berkata kepada A Ci, "ginkangmu lebih hebat daripadaku, lekas kuntit dia, sepanjang jalan kautinggalkan tanda, segera aku menyusul."

"Kau suruh aku menyusul ayah, apa hadiahnya nanti?" sahut A Ci dengan nakal. "Segala milik ibumu adalah punyamu, mengapa kami minta hadiah apa segala?" sahut Sing tiok. "Baiklah," kata A Ci. "Aku akan meninggalkan tanda huruf 'Toan' di dinding, kutambahi lukisan panah, dan ibu tentu akan tahu arahnya."

"Ya, anak baik?" ucap Sing tiok sambil memeluk dara cilik itu. Dan sekali berlari, segera A Ci menyusul ke jurusan Cu Tan sin tadi. Sing tiok berdiri termenung sejenak di tepi danau, kemudian ia pun menyusul ke arah sana. Dan sesudah Wi Sing tiok pergi agak jauh barulah Cing Ang bian dan Bok Wanjing keluar dari tempat sembunyi mereka, keduanya saling memberi tanda dan segera menguntit dari belakang dengan hati-hati.

Diam diam Siau Hong membatin, "Sepanjang jalan A Ci akan meninggalkan tanda arah, maka tidak sulit untuk mencari jejak Toan Cing-sun. Segera iapun melompat turun dari atas pohon dan berangkat menyusur tepi danau. Di bawah sinar bintang yang remang-remang ia lihat bayangan sendiri di tengah danau yang sendirian dan kesepian, ia menjadi pilu dan bermaksud kembali ke hutan bambu sana untuk termenung di depan kuburan si A Cu. Tapi sesudah berpikir sejenak, mendadak jiwa ksatrianya berkobar kobar, ia hantam sekali kedepan dimana angin pukulannya tiba, kontan air danau muncrat bertebaran dan bayangnya pun buyar. Ia menarik napas panjang sekali, lalu melangkah pergi dengan cepat.

Dalam perjalanan itu Siau Hong lebih banyak minum arak daripada makan asal, setiap kedai yang didatangi selalu ditemukan tanda yang ditinggalkan A Ci di pengkolan setiap jalan. Terkadang tanda itu dibusak Wi Sing tiok tapi bekasnya masih kelihatan. Begitulah ia terus menuju ke utara hawa juga makin dingin. Hari itu tibalah di wilayah Holam bunga salju sudah mulai bertebaran dari langit. Waktu lohor Siau Hong mampir disuatu kedai kecil untuk minum arak. Beruntun-runtun belasan mangkuk arak sudah ditenggaknya, tapi belum mencukupi seleranya akan pencandu arak. Ia minta tambah lagi, tapi persedian arak kedai itu sudah habis.

Dengan rasa kurang puas Siau Hong melanjutkan perjalannya, akhirnya sampailah ia disuatu kota besar. SEtelah ia perhatikan, ia menjadi terkesiap sendiri. Kiranya kota itu adalah Sin yang, yaitu tempat tinggal Be hujin. Oleh karena sepanjang jalan ia cuma memperhatikan tanda-tanda yang ditinggalkan A Ci, pikirannya melayang-layang mengenangkan urusannya sendiri, maka terhadap keadaan disekitarnya tidak diperhatikan olehnya. Dan tahu-tahu kini ia telah berada kembali di kota Sin yang.

Setelah masuk kota, ia tidak sempat minum arak lagi tapi terus mencari tanda yang ditinggalkan A Ci. Ia lihat pada pojok tembok ujung jalan sana tertulis suatu huruf "Toan" dengan kapur disamping huruf itu terlukis pula sebuah panah yang mengarah ke barat. Kembali Siau Hong merasa pedih bila teringat belum lama berselang ia bersama A Cu telah datang ke rumah Be hujin untuk mencari tahu siapakah "Toako pemimpin" itu. Tapi kini sang kekasih sudah mendahului mangkat untuk selama-lamanya. Setelah beberapa li kemudian, angin meniup sangat kencang, salju turun lebih deras lagi. Siau Hong menuju ke barat menurut arah yang ditunjuk panah. Tanda-tanda yang ditinggalkan A Ci itu tampak masih baru, ada yang dikukir di batang pohon yang lebih dulu kulit pohon di kupas, hingga getah pohon masih kelihatan belum kering.

Makin lama Siau Hong makin heran, sebab arah yang ditunjuk itu justru adalah rumah tinggal Be Tai goan. Pikirnya, "Jangan-jangan Toan Cing sun mengetahui Be hujin yang memfitnah dia, maka mencarinya buat bikin perhitungan. Ya, tentu apa yang dikatakan A Cu kepadaku sebelum meninggal itu telah didengar juga oleh A Ci, dan dara cilik itu memberitahukan ayahnya tentang Be hujin, tapi kami cuma sebut Be hujin, dari mana ia tahu yang kumaksudkan adalah nyonya Be Taigoan ini?"

Sepanjang jalan sebenarnya Siau Hong selalu lesu dan agak linglung, tapi kini demi ketemu sesuatu yang ganjil, seketika semangatnya terbangkit lagi dan pulih pula daya indranya yang tajam. Ia lihat di tepi jalan ada sebuah kelenteng rusak, ia masuk ke situ, pintu kelenteng itu ditutupnya, lalu tidur di situ untuk beberapa jam lamanya kira-kira dekat tengah malam barulah ia mendusin. Segera ia tinggalkan kelenteng itu dan menuju ke rumah Be hujin.

Sesudah dekat, ia sembunyi di belakang pohon untuk memeriksa keadaan sekitarnya. Setelah memandang sejenak tersenyumlah dia. Kiranya dilihatnya di pojok timur rumah sana mendekam dua sosok tubuh manusia, dari perawakan mereka tampaknya adalah Wi Sing tiok dan A Ci, waktu diperhatikan pula arah lain, kembali tertampak Ci Ang Bian dan Bok Wan jing juga sembunyi di utara rumah.

Saat itu, salju belum lagi reda, tubuh Wi Sing tiok dan Ci Ang bian berempat itu penuh bertebar salju. Dari jendela sebelah timur itu kelihatan sinar pelita yang redup, tapi keadaan di dalam rumah sunyi senyap. Ia ambil sepotong ranting pohon dan ditimpukan ke barat sana, ketika Wi Sing tiok berempat berpaling karena tertarik oleh suara itu, segera Siau Hong melompat ke bawah jendela sebelah timur dengan gesit. Oleh karena hawa sudah dingin, maka jendela rumah nyonya Be itu dilapis dengan papan kayu untuk menolak hawa dingin. Siau Hong menunggu di luar jendela, sebentar kemudian terdengar tiuapn angin dari arah utara yang keras.

Pada saat angin menyambar ke arah jendela segera Siau Hong barengi dengan mendorong tangannya ke depan, tenaga dorongan itu menghantam papan jendela hingga pecah, seketika kertas yang melapisi jendela bagian dalam pun pecah satu lubang. Meski Cin Ang-bian dan Wi Sing tiok berada di dekat situ, tapi karena tenaga pukulan Siau Hong itu dibarengi dengan tiupan angin kencang, maka sama sekali mereka tidak tahu semua itu adalah perbuatan orang. Andaikan ada orang di dalam rumah juga takkan tahu. Dan waktu Siau Hong mengintip ke dalam rumah melalui lubang keras itu seketika ia tercengang, hampir-hampir ia tidak percaya pada matanya sendiri. Apakah yang dilihatnya?

Kiranya ia lihat Toan Cing sun dengan baju dalam lagi enak-enak duduk bersila di atas balai-bali, tangannya memegang cawan arak kecil, dengan tersenyum senyum sedang memandangi seorang wanita yang duduk ditepi balai-bali. Wanita itu memakai baju putih berkabung, mukanya berbedak tipis dan sedikit bergincu, kedua matanya sayu-sayu, dengan sikap tertawa tak tertawa dan marah tak marah sedang melirik Toan Cing sun. Itulah nyonya janda Be Taigoan adanya.

Coba kalau Siau Hong tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimanapun juga ia takkan percaya jika ada orang menceritakan padanya tentang adegan seperti sekarang ini. Apa lagi sejak di luar kota Bu sik, di tengah hutan sana untuk pertama kalinya ia lihat Be hujin untuk selanjutnya setiap kali bila bertemu lagi selalu dilihatnya sikap nyonya janda itu suci bersih, bahkan bagaimana air mukanya bila tersenyum juga belum pernah dilihat Siau Hong. Siapa tahu ini dapat dilihatnya adegan yang luar biasa ini. Yang paling tidak bisa dimengerti oleh Siau Hong adalah nyonya janda itu telah sengaja menfitnah Toan Cing sun, sepantasnya dia mempunyai permusuhan dan sakit hati sedalam lautan dengan pangeran Tayli itu. Tapi kini bila melihat suasana di dalam kamar yang mesra merayu memabukan itu, terang diantara mereka itu tiada permusuhan apa pun juga.

Begitulah maka terdengar Toan Cing sun sedang berkata, "Mari, mari, iringi aku minum secawan pula, marilah kita minum dua sejoli."

"Huh, sejoli apa?" tiba tiba Be hujin mendengus. "Seorang diri aku ditinggal hidup kesepian di sini, siang malam selalu terkenang dan setiap saat merindukanmu yang tak punya perasaan ini sebaliknya engkau tidak ingat lagi padaku, bahkan menjenguk kemari pun tidak pernah." Habis berkata, matanya tampak merah basah.

Diam-diam Siau Hong membatin, "Ditilik dari ucapannya ini, agaknya dia serupa dengan Cin Ang bian dan Wi Sing tiok, jangan-jangan iapun bekas kekasih Toan Cng sun?" Mana terdengar Toan Cing sun menjawab dengan tertawa, "Sesudah kamu menikah dengan Be-hupangcu bila ku datang lagi ke sini, tentu akan menimbulkan omong iseng orang luar.. Apa lagi Be hupangcu adalah seorang kesatria Kai pang yang terhormat, kalau aku tetap main Pat pat gulipat lagi denganmu, bukankah aku akan dipandang sebagai manusia rendah? Ha hahaha!" "Cis, siapa ingin dipuji olehmu? Akukan kuatirkan dirimu, aku ingin tahu apa hidupmu bahagia dan senang atau tidak? Asal engkau baik baik saja, maka legalah hatiku. Tapi engkau justru jauh berada di Tayli, untuk mencari kabar dirimu juga sangat sulit," demikian kata Be hujin dengan suara lemah lembut, halus menggiurkan, merdu menyenangkan, hingga membuat siapapun yang mendengar pasti akan kesemsem.

Siau Hong sudah kenal kedua gendak Toan Cing sun yaitu Cin Ang bian yang tegas dan suka terus terang, Wi Sing tiok yang cantik licin, sebaliknya Be hujin ini mempunyai gayanya sendiri, lemah lembut tapi berbisa. Begitulah maka waktu Toan Cing sun mendengar rayuan Be hujin tadi hatinya terguncang, terus saja ia tarik sang kekasih dan diperluknya. Be hujin bersuara perlahan sekali, pura-pura menolak, tapi sebenarnya bergiriang.

Siau Hong berkerut kening, ia tidak sudah menyaksikan kelakuan mereka yang menjijikan itu. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar disebelahnya ada orang menginjak salju dengan keras hingga menerbitkan suara. Segera Siau Hong tahu apa yang terjadi, ia membatin, "Celaka, jangan jangan kedua wanita ini 'minum cuka' cemburu dan bikin runyam urusanku." Begitu berpikir segera pula ia bertindak.

Cepat ia melompat balik ke belakang Cin Ang Bian berempat dan menutuk hiat to pada  punggung mereka, yaitu hiat to bisu hingga keempat wanita itu tak bisa bersuara dan tak tahu siapa yang menyerang mereka. Meski badan mereka tertutuk hingga tak berkutik dan mulut tak bisa besuara, tapi telinga Cin Ang bian dan Wi Sing tiok masih dapat mendengar cumbu rayu kekasihnya dengan wanita ini keruan api amarah mereka semakin berkobar-kobar rasa cemburu mereka bagai dibakar, tapi apa daya mereka tak bisa berkutik, batin mereka benar-

benar tersiksa sambil menggeletak di tanah salju situ.

Ketika Siau Hong mengintip ke dalam kamar ia lihat Be hujin sedang duduk di samping Toa Cing sun, kepalanya bersandar di bahu sang kekasih tubuh lemas bagai tak bertulang lagi, terdengar wanita itu sedang berkata, "Tentang suamiku dibunuh orang, tentunya engkau sudah mendengar dan mengapa engkau tidak datang menjenguk aku. Sesudah suamiku meninggal, mestinya kaupun tidak perlu kuatir dicurigai orang lagi?"

"Sekarang bukankah aku sudah datang ke mari?" sahut Cing sun dengan tertawa. "Sepanjang jalan dari Tayli aku memburu kemari siang dan malam, justru kukuatir datang terlambat." "Kuatir terlambat apa?" tanya Be-hujin kurang paham. "Kuatir si dia tak tahan hidup kesepian dan menikah pula dengan orang." sahut Cing sun. "Kalau begitu, bukankah aku Toan ji dari Tayli ini akan sia-sia memburu kemari dari jauh. Apakah rindu dendam selama belasan tahun ini kembali dibikin kecewa?"

"Huh mengoceh seenaknya, tidak tahan kesepian dan menikah pula dengan orang?" semprot Be-hujin.

"Memangnya kapan pernah kau pikirkan diriku, tapi mengaku rindu dendam belasan tahun segala?" Tiba tiba Cing sun merangkulnya dengan erat, katanya dengan tertawa, "Jika aku tidak merindukan dikau, guna apa jauh-jauh kudatang kemari?"

"Baiklah, aku percaya engkau benar-benar rindu padaku. Nah, Toan long untuk selanjutnya bagaimana akan kautempatkan diriku?" tanya Be Hujin dengan tersenyum. Segera ia pun rangkul leher Cing sun dengan sorot mata genit, pipi ditempelkan ke muka sang kekasih. "Ada arak biarlah kita minum sekarang, urusan yang belum datang buat apa dibicarakan?" ujar Cing sun.

"Ayolah mari kupondong, setelah berpisah selama sepuluh tahun, entah kau tambah berat atau menjadi lebih ringan?" Sambil berkata terus saja ia pondong badan Be hujin. "Jadi engkau tidak sudi membawaku ke Tayli?" tanya Be hujin. "Apanya sih yang menarik negeri Tayli itu?" sahut Cing sun sambil berkerut kening. "Tanahnya lembab, hawa panas, tentu kamu takkan cocok dengan iklim di sana, jangan-jangan akan jatuh sakit malah di sana."

"Ehm, kembali engkau cuma membuatku gembira percuma saja." kata Be hujin sambil menghela napas perlahan. "Mengapa gembira percuma? Segera juga akan kubikin kaugembira sungguhan." ujar Cing sun dengan cengar cengir sambil memeluk lebih erat. Tapi Be hujin meronta pelahan dan turun dari pelukan Toan Cing sun, ia menuang satu cawan arak dan berkata, "Toan long silahkan minum lagi secawan"

"Aku tidak minum lagi, sudah cukup!" sahut Cing sun.

"Ehmm, aku emoh, engkau harus minum sampai mabuk," kata Be hujin dengan aleman dan genit. "Ai, kalau mabuk, bagaimana nanti?" ujar Cing sun. Tapi toh diterimanya juga dua cawan arak dan diminum hingga habis. Sungguh Siau Hong tidak sabar mendengarkan cumbu rayu mereka itu. Melihat Toan Cing sun minum arak secawan demi secarwan, tanpa terasa ia pun ketagihan, biji lehernya naik turun, tanpa terasa ia menelan ludah. Kemudian dilihatnya Toan Cing sun menguap dan ada tanda letih dan mengantuk. "Toan long maukah kuceritakan suatu kisah padamu?" tiba-tiba Be hujin bertanya.

Semangat Siau Hong terbangkit lagi, pikirnya, "Dia mau bercerita, bisa jadi akan kudapat sedikit keterangan dari ceritanya nanti?" Sebaliknya Toan Cing sun menjawab, "Boleh kamu bercerita dengan lirih di atas bantal nanti."

"Huh, engkau sih senang saja!" jengek Be hujin, "Nah Toan long, dengarkanlah. Pada waktu kecil, keluarga kami sangat miskin, bahkan membuatkan baju baru bagiku juga orang tuaku tidak mampu. Dan setiap hari aku selalu berpikir bilakah aku dapat meniru enci keluarga Thio tetangga kami yang saban tahun baru tentu mendapat baju baru dan sepatu baru itu? Alangkah senangnya hatiku bila cita-citaku itu terkabul."

"Pada waktu kecil tentu kaupun sangat cantik, nona cilik yang demikian menyenangkan, biarpun memakai baju rombeng juga tetap cantik," ujar Cing sun.

Be hujin tersenyum genit, katanya pula merayu, "Waktu kecil aku selalu rindu, yaitu merindukan baju citra kembang."

"Dan sesudah dewasa?" tanya Cing sun.

"Sesudah dewasa aku rindu padamu." Kembali hati Cing sun terguncang oleh rayuan itu, ia bermaksud merangkul pula. Tapi rupanya terlalu banyak minum arak, kaki tangannya terasa lemas, hanya setengah jalan tangannya sudah turun kembali. Katanya dengan tertawa, "Ai semakin banyak arak telah kaulolohi aku, kalau sebentar aku mabuk, haha....Eh siau Kheng, lalu sampai umur berapa baru terkabul kaupakai baju citra kembang?"

"Kau sendiri dilahirkan dalam keluarga bangsawan, sudah tentu tidak kenal penderitaan anak keluarga miskin," sahut Be hujin.

"Tatkala itu biarpun rambutku cuma berhias seutas pita merah sudah kegirangan setengah mati. WAktu aku berumur tujuh, ketika dekat tahun baru, ayah menggiring babi yang kami piara dengan susah payah itu ke pasar untuk dijual, ayah berjanji akan membelikan cita kembang untuk membuatku baju baru bagiku. Coba bayangkan, betapa rasa girangku. "Maka baru satu jam ayah pergi, dengan tak sabar aku menantinya di depan rumah, tapi ayah belum juga pulang meski aku sudah masuk keluar rumah beberapa kali. Akhirnya setelah dekat magrib dari jauh kelihatan ayah mendatangin dengan pelahan, secepat terbang aku memapaknya. Tapi aku menjadi kaget sesudah dekat. Kulihat sebelah lengan baju ayah robek, mukanya merah bengkak, pundaknya berdarah pula, terang ayah habis dihajar orang. Cepat aku tanya, "Dimanakah cita kembang yang kau janjikan ayah?..."

Mendengar sampai di sini perasaan Siau Hong ikut tertekan, pikirnya, "Dasar wanita ini memang tipis pribudinya, Ayahnya dihajar orang hingga babak belur dan dia tidak menghiburnya sebaliknya yang dipikir cuma cita kembang melulu. Walaupun waktu itu ia masih kecil, tapi juga tidak pantas." Maka terdengar Be hujin melanjutkan, "Tapi ayahku tidak menjawab, beliau cuma geleng kepala sambil meneteskan air mata. Segera kutanya pula, "Ayah, cita kembang yang kupesan sudah dibelikan belum?"

"Dengan menyesal ayah pegang tanganku, katanya, "Uang hasil penjualan babi itu telah dirampas oleh juragan Ciok. Aku utang padanya. Katanya masih harus ditambah rente sekian dan aku dipaksa membayar..."

"Sungguh tak terkatakan rasa kecewaku waktu itu, aku duduk lemas di tanah dan menangis sedih. Setiap hari aku piara babi, dari kecil babi itu kubesarkan dan cita-citaku cuma ingin memakai baju kembang, siapa duga hasilnya kosong belaka..."

Pada waktu kecilnya Siau Hong juga pernah hidup menderita bersama ayah-ibu angkatnya, yaitu Kiau Sam hoai, setiap hari hidup mereka selalu menderita di bawah hisapan tuan tanah dan kaum rentenir, segala siksaan dan aniaya kaum penghisap itu sudah kenyang dilihat olehnya. Maka kini ia pun ikut pedih demi terkenang pada ayah ibu angkat yang malang itu. ...

Apakah benar Be-hujin juga merupakan pacar Toan Cing sun?

Lalu ada sangkut paut apa antara terbunuhnya Be Tai goan dan hubungan gelap Toan Cing sun dan be hujin itu?

Tindakan apa yang akan dilakukan Cin Ang bian dan Wi Sing tiok setelah menyaksikan adegan mesra Be hujin dan Toan Cing sun?

Jilid 38

Dalam pada itu Be-hujin sedang melanjutkan ceritanya, "Ayah berkata kepadaku, 'Nak, biarlah besok ayah piara babi lagi, pasti akan kubelikan cita kembang untukmu.'

"Tapi aku masih terus menangis, namun apa gunanya? Tiada sebulan kemudian tibalah tahun baru. Enci keluarga Thio tetangga sebelah itu memakai baju-baju berkembang merah jambon latar kuning, pakai celana hijau pupus bersulam, sungguh indah sekali. Dan sungguh pula aku sangat iri, sampai kue ranjang yang dibuatkan itu juga tak kumakan lagi. Ai, coba kalau waktu itu kutahu, tentu akan kuhadiahkan sepuluh, bahkan seratus potong cita kembang padamu," ujar Cing-sun dengan tertawa.

"Huh, siapa pingin?" sahut Be-hujin. "Dan pada malaman tahun baru itu aku menjadi tak bisa tidur memikirkan baju kembang itu. Sampai tengah malam, diam-diam aku bangun dan menggeremet ke rumah Thio-pepek. Pada umumnya orang tua suka menunggu saat pergantian tahun maka belum tidur, cahaya lilin masih terang benderang, kulihat Cici keluarga Thio itu sudah tidur di balai-balai, baju barunya itu menyelimuti di atas tubuhnya. Aku terkesima memandangi baju kembang yang mempesona itu, sampai akhirnya diam-diam aku masuk ke kamar Cici Thio dan kuambil baju kembang itu."

"Hah, jadi kau mencuri baju baru?" Toan Cing-sun dengan tertawa. "Ai, kukira Kheng cilik kita ini cuma pintar mencuri lelaki, kiranya juga pandai mencuri baju."

Be-hujin melirik genit dan tenenyum, katanya, "Aku justru tidak mencuri baju baru orang tapi aku lantas mengambil gunting, kupotong baju baru itu hingga hancur, lalu kuambil celana barunya dan kugunting pula menjadi lajur-lajur itu. Selesai kuhancurkan baju dan celana baru itu, baru hatiku senang tak terkatakan. Ya, jauh lebih menyenangkan daripada aku memakai baju baru."

Air muka Toan Cing-sun yang tersenyum simpul sejak tadi itu kini mendadak lenyap dan mendengar sampai di sini, dengan kurang senang berkata, "Sudahlah, Siau Kheng, jangan cerita kejadian lama lagi, marilah kita tidur saja."

"Tidak, aku belum mau tidur," Sahut Be-hujin, "Toan-long, apakah kau tahu untuk apa aku menceritakan kisah itu padamu? Ketahuilah bahwa aku ingin kautahu watakku sejak kecil itu. Bila ada suatu yang kurindukan siang dan malam dan tak terkabul, dan orang lain justru beruntung bisa memperolehnya, maka apa pun juga, aku akan berusaha untuk menghancurkan barang itu."

"Sudahlah, jangan omong lagi, aku tidak suka mendengar cerita yang mengesalkan itu," kata Cing-sun.

Be-hujin tersenyum, ia berbangkit pelahan ia lepaskan sanggulnya hingga rambutnya yang panjang itu menjulai sampai di pinggang. Ia ambil sebuah sisir kayu dan pelahan menyisir rambutnya yang panjang itu. Tiba-tiba ia melirik dengan tersenyum genit, katanya, "Toan-long, marilah pondong aku!"

Suaranya yang merdu merayu itu membikin setiap lelaki mana pun pasti akan luluh.. Keruan Cin Ang-bian dan Wi Sing-tiok yang menggeletak di luar jendela itu meski tak bisa berkutik, tapi-demi mendengar rayuan Be-hujin itu, seketika api cemburu mereka membakar dan dada mereka serasa akan meledak saking gusarnya.

Dalam pada itu terdengar Toan Cing-sun mengakak tawa sekali, ia beringsut bangun dengan maksud akan merangkul sang kekasih.

Tapi rupanya terlalu banyak minum arak, ternyata untuk berdiri saja ia tidak kuat lagi. Katanya dengan tertawa, "Hahaha, aku hanya minum empat-lima cawan kecil saja lantas mabuk sedemikian rupa, Siau Kheng, wajahmu yang cantik molek ini sekali lihat lantas memabukkan orang, sungguh dapat menandingi tiga kati arak yang paling keras, hehe!"

Diam-diam Siau Hong terkesiap, pikirnya dengan heran, "Aneh, cuma minum empat lima cawan saja mengapa bisa mabuk? Padahal lwekang Toan Cing-sun sangat tinggi, biarpun tidak biasa minum arak juga tidak mungkin mabuk seperti ini. Ah, tentu ada sesuatu yang tidak beres di dalam hal ini."

Dalam pada itu terdengar Be-hujin sedang tertawa ngikik, lalu katanya, "Toan-long, turunlah kemari, sedikit pun aku tak bertenaga, le ... lekas pondong aku."

Toan Cing-sun coba bergerak lagi, tapi makin tidak kuat berdiri, maka sahutnya dengan tertawa, "Aneh, aku pun tidak bertenaga sedikitpun. Benar-benar aneh, asal melihatmu, aku lantas lemah lunglai seperti tikus, ketemu kucing."

"Ehm, aku emoh, engkau hanya minum sedikit saja lantas pura-pura mabuk," sahut Be-hujin dengan senyum aleman. "Cobalah kerahkan tenaga dalam, tentu dapat."

Cing-sun lantas mengatur pernapasan dan bermaksud mengerahkan tenaga. Tak tahunya perutnya terasa kosong melompong, sedikit pun tak dapat bekerja. Berulang kali ia menarik napas, siapa duga lwekang yang terlatih berpuluh tahun kini ternyata hilang tanpa bekas, entah sejak kapan meninggalkan tubuhnya.

Keruan Cing-sun menjadi gugup, ia sadar urusan agak gawat. Tapi apa pun juga ia adalah seorang kawanan kangouw yang luas pengalamannya, menghadapi sesuatu bahaya lahirnya selalu tenang-tenang saja. Ia berkata dengan tersenyum, Ai, cuma tinggal tenaga It Yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam saja, aku benar-benar dibuat mabuk hingga cuma sanggup membunuh orang dan tak sanggup memondong orang."

Mendengar ucapan itu. diam-diam Siau Hong membatin, "Meski Toan Cing-sun suka paras licin tapi ternyata juga bukan seorang goblok, ia sadar sedang terancam bahaya, maka sengaja omong cuma sanggup membunuh orang dan tidak kuat memondong orang."

Padahal ia hanya mahir It Yang-ci, tapi tidak bisa Lak-meh-sin-kiam, terang ia sengaja main gertak."

Sementara itu dengan lemah lunglai Be-hujin berseru, "Ai, kepalaku pening sekali. Toan-long jangan ... jangan-jangan di dalam arak itu telah ditaruh sesuatu oleh orang?"

Sebenarnya Cing-sun sudah mencurigai Be-hujin yang menaruh obat di dalam arak, tapi demi mendengar si dia mengemukakan lebih dulu hal itu, rasa curiga Cing-sun lantas lenyap, bahkan ia memanggilnya, "Siau Kheng, marilah sini, aku ingin bicara padamu."

Be-hujin tampak seperti ingin melangkah ke samping Cing-sun, tapi seperti tidak kuat bergerak lagi, ia menggabruk di atas meja, mukanya kemerah-merahan dan napasnya memburu. katanya, "Toan-long ... selangkah pun aku tidak sanggup bergerak, mengapa engkau .... meracuni aku?"

Cing-sun menggeleng kepala dan memberi isyarat tangan dengan pelahan, ia celup jarinya ke cawan arak dan menulis di atas meja, "Kita, terjebak akal keji musuh, hendaklah berlaku tenang."

Sedang di mulut ia berkata, "Kini tenaga dalamku sudah mulai bekerja, kalau cuma beberapa cawan arak racun masakah dapat menjatuhkan aku?"

Segera Be-hujin menulis juga di atas meja, "Sungguh-sungguh atau palsu!"

Dan Cing-sun menulis pula, "Jangan unjuk kelemahan."

Di mulut ia berderu, "Siau Kheng! siapakah musuhmu hingga menggunakan tipu keji ini untuk menjebak diriku."

Melihat tulisan Toan Cing-sun tentang 'jangan unjuk kelemahan" itu, diam-diam Siau Hong mengeluh baginya, pikirnya, "Biarpun kau Toan Cing-sun biasanya pintar dan cerdik, akhirnya terjungkal juga di tangan kaum wanita. Sudah terang gamblang racun itu adalah perbuatan. Be-hujin, karena dia masih jeri mendengar ucapanmu 'masih sanggup membunuh orang dan tidak kuat memondong orang', maka ia pun pura-pura keracunan untuk memancing reaksimu, mengapa sedemikian, mudah engkau tertipu olehnya?"

Sementara itu Be-hujin mengunjuk rasa sedih dan sedang menulis pula di atas meja, "Apa tenaga dalammu benar-benar hilang semua, dan tidak kuat melawan musuh?"

Dan di mulut senaliknya berseru, "Toan-long, jika benar ada bangsa keroco berani main gila ke sini, nah, rupanya dia sudah bosan hidup, boleh kaududuk saja di sini dan jangan gubris padanya, lihat saja apakah dia berani turun tangan?"

"Diharap bekerjanya obat lekas lenyap dan musuh jangan terburu datang," demikian Cing-sun menulis di atas meja. Tapi di mulut berkata, "Ya, benar, aku justru sedang kesepian, kalau ada orang suka main-main dengan kita, itulah yang kita harapkan. Eh, Kheng cilik, apakah kaumau melihat kelihaian ilmu tiam-hiat jarak jauh?"

Maksud Cing-sun hanya untuk menggertak saja, di luar dugaan Be-hujin menjawab sungguh-sugguh dengan tertawa, "Ya, selamanya aku, tidak pernah melihat kepandaianmu itu, boleh coba kaututuk sekali ke arah jendela dengan It Yang-ci, tentu sangat hebat!"

Cing-sun berkerut kening dan diam-diam menggerutu, berulang-ulang ia main mata dengan maksud agar sang kekasih memahami alasannya yang cuma main gertak saja itu.

Sebaliknya Be-hujin malah mendesak terus, katanya, "Hayolah, lekas coba, asal kau tusuk satu lubang kecil pada kertas jendela, tentu musuh akan lari ketakutan. Kalau tidak, wah, pasti celaka, musuh akan tahu kelemahanmu sekarang."

Kembali Cing-sun terkesiap, pikirnya, "Biasanya dia sangat cerdik, mengapa sekarang pura-pura dungu?"

Tentah berpikir, terdengar Be-hujin berkata pula dengan suara lembut, "Toan-long, engkau telah minum racun 'Sip-hiang-bi-hun-san' (obat bius dari sepuluh jenis wewangian), biarpun ilmu silatmu setinggi langit juga tenaga dalammu akan lenyap seluruhnya. Toan-long, jika engkau masih dapat menutuk dari jauh, cukup menjojoh suatu lobang kecil saja di kertas jendela dan hal itu akan merupakan suatu keajaiban alam."

"Hah, jadi aku terkena ... terkena 'Sip-hiang-bi-hun-san, yang keji itu?" seru Cing-sun terkjut, "Dari ... dari mana kau tahu?"

"Tadi waktu aku menuangkan arak bagimu, araknya aku kurang hati-hati hingga sebungkus racun itu jatuh, ke dalam poci arak," sahut Be-hujin dengan tertawa.

"O, kiranya begitu, tak apa-apalah." ujar Cing-sun dengan senyum ewa. Jelas sekarang duduknya perkara dan tahu telah masuk perangkap nyonya janda itu. Kalau dia marah-marah dia mendamprat pasti akan membikin urusan runyam malah. Maka lahirnya ia pura-pura seperti tiada terjadi apa-apa, sedapat mungkin ia berlaku tenang untuk menghadapi perkembangan selanjutnya.

"Ia sangat cinta padaku, rasanya tidak nanti membunuhku," pikirnya, "Bisa jadi ia cuma minta aku berjanji untuk hidup berdampingan dengan dia selamanya atau minta aku membawanya pulang ke Tayli untuk dijadikan istri sah. Jika demikian halnya, ini pun timbul dari cintanya padaku yang sangat mendalam, meski perbuatannya ini agak keterlaluan, tapi juga tiada maksud jahat."

Dalam pada itu didengarnya Be-hujin lagi berkata, "Toan-long, maukah kau jadi suami-istri dengan aku sampai hari tua?"

"Ai, engkau ini benar-benar kelewat lihai," sahut Cing-sun dengan tertawa. "Baiklah, aku takluk. Besok juga boleh kau ikut aku pulang ke Tayli, akan kuambil dirimu sebagai selir Tin-lam-ong."

Mendengar itu kembali api cemburu Cin Ang-bian dan Wi Sing-tiok membakar, pikir mereka, "Apanya yang kau pilih dari perempuan hina-dina itu? Engkau tidak terima permintaanku, tapi meluluskan permintaannya?"

Lalu terdengar Be-hujin menghela napas, katanya, "Tean-long, sebelum ini aku pernah tanya padamu cara bagaimana akan kauatur diriku, kau bilang negeri Tayli tanahnya lembab, hawanya panas, ketika tinggal di sana aku bisa jatuh sakit. Dan sekarang engkau terpaksa menerima permintaanku, jadi bukan timbul dari hatimu yang murni."

Cing-sun menghela napas, katanya, "Siau Kheng, biarlah kukatakan terus terang. Aku adalah Tin-lam-ong, Po-kok-taiciangkun, pangeran negeri Tayli, kakak baginda tidak punya keturunan, kalau beliau wafat, tentu tahta akan diturunkan kepadaku. Kini aku cuma seorang persilatan biasa di Tionggoan sini, kalau pulang Tayli aku tidak boleh berbuat sembrono lagi, betul tidak?''

"Betul, lantas bagaimana," sahut Be-hujin.

"Dan kalau aku membawamu pulang ke Tayli itu berarti aku karus menepati janji, tidak mungkin seorang pangeran mahkota mengingkari janjinya. Betul tidak?"

"O, beralasan juga ucapanmu," sahut Be-hujin pelahan. "Dan kelak kalau engkau naik tahta, dapatkah kau angkat aku sebagai Hong-hou-nio-nio (permaisuri)."

Cing-sun menjadi ragu, sahutnya kemudian. "Aku sudah punya istri kawin, untuk mengangkatmu sebagai permaisuri tentu tidak bisa ...."

"Memangnya aku adalah seorang janda sial, mana dapat menjadi permaisuri apa segala, bukankah akan dibuat buah tertawaan orang?" kata Be-hujin. Lalu ia menyisir rambut dengan pelahan, sambungnya kemudian dengan tertawa, "Toan-long, kisah yang kuceritakan tadi apakah kau paham maksudnya?" Seketika keringat dingin berketes-ketes di jidat Toan Cing-sun, tapi sedapat mungkin ia coba bersikap tenang, namun lwekang yang dilatihnya selama berpuluh tahun kini telah lenyap entah ke mana, keruan ia kerupukan mirip seorang yang kelelep dalam air.

"Toan-long, engkau kegerahan bukan? Biarkan aku mengusap keringatmu," kata Be hujin. Lalu ia mengeluarkan sepotong saputangan dan mendekati Toan Cing-sun untuk membersihkan keringat dingin di jidatnya sambil berkata pula dengan lembut, "Toan-long, engkau harus menjaga kesehatanmu habis minum arak bisa masuk angin, bila engkau jatuh sakit, ai, betapa rasa cemasku nanti?"

Mendengar rayuan berbisa itu, seketika Toan Cing-sun yang berada di dalam kamar dan Siau Hong yang mengintip di luar itu diam-diam timbul semacam rasa takut yang sukar dilukiskan. Tapi Cing-sun masih tersenyum sedapatnya, sahutnya, "Ya, malam itu kaupun basah kuyup keringat dan aku pun pernah mengusap keringatmu, malahan saputangan yang kupakai itu kubawa sekarang."

Sekilas air muka Be-hujin tampak malu-malu kucing, katanya dengan lirikan genit, "Kejadian belasan tahun yang lalu masakah masih suka kau bicarakan? Coba kulihat saputanganku itu." Dalam baju Toan Cing-sun ternyata memang benar-benar terdapat saputangan yang dikatakan itu. Inilah merupakan salah satu modalnya mengapa dia mahir memikat hati kaum wanita. Ia cukup kenal sifat dan jiwa orang perempuan, dengan demikian ia membikin setiap perempuan yang main asmara dengan dia akan percaya penuh bahwa sesungguhnya sang kekasih itu cinta padanya.

Begitulah ia bermaksud mengeluarkan saputangan itu, tapi sedikit jarinya bergerak, rasa lengannya lantas kaku linu, racun 'Sip-hiang-hi-hun-san' itu ternyata sangat lihai, bahkan untuk mengambil saputangan saja tidak sanggup lagi.

"Mana, tunjukkanlah padaku!" demikian seru Be-hujin. "Hm, kembali kaudusta belaka."

"Haha, sekali mabuk hingga tangan juga tidak bisa bergerak lagi," kata Cing-sun dengan tersenyum getir "Boleh kauambil sendiri dalam bajuku ini."

"Huh, apakah kau kira aku dapat ditipu?" sahut Be-hujin. "Kauingin memancing aku mendekat, lalu dengan It Yang-ci akan kaumatikan aku."

"Wanita cantik ayu tiada bandingannya seperti dirimu, sekalipun aku adalah manusia yang paling kejam juga tidak tega menggoda dengan kuku di mukamu," ujar Cung-sun dengan tersenyum.

"Betulkah begitu, Toan-long?" Be-hujin menegas dengan tertawa. "Tapi aku tetap kuatir, aku harus mengikat dulu kedua tanganmu, kemudian ... kemudian mengikat sukmamu pula dengan sebundel benang halus."

"Sudah sedari dulu kauikat sukmaku, kalau tidak masakah aku bisa datang kemari?" ujar Cing-sun.

Be-hujin tertawa, katanya, "Engkau memang seorang baik, pantas aku jatuh hati padamu."

Sembari berkata ia buka laci meja dan mengeluarkan seutas tali kulit.

Diam-diam Cing-sun terkesiap, pikirnya, 'Kiranya lebih dulu ia sudah siapkan segala sesuatunya, tapi aku sama sekali tidak sadar. Ai, Toan Cing-sun, kalau hari ini jiwamu malayang di sini juga tak bisa menyalahkan orang lain."

Dalam pada itu terdengar Be-hujin lagi berkata, "Toan-long, sesungguhnya cintaku padamu tiada taranya, tapi lebih dulu aku harus mengikat tanganmu, apa engkau akan marah padaku?"

Dalam keadaan begitu, kalau orang lain mungkin akan terus mencaci maki, bila tidak tentu akan mohon ampun dan menyinggung cinta masa lalu.

Namun Cing-sun cukup kenal watak Be-hujin, yang culas dan keji, biarpun wanita, pendiriannya lebih teguh daripida kaum pria, mencaci maki padanya takkan membuatnya marah, minta ampun juga takkan membikin dia menaruh belas kasihan.

Jalan satu-satunya sekarang ialah mengulur waktu untuk mencari kesempatan kalau-kalau ada

kemungkinan menyelamatkan diri. Maka ia coba tenangkan diri dan berkata dengan terawa, "Siau Kheng, asal kulihat matamu yang basah-basah sayu itu, betapapun rasa marahku juga seketika akan hilang sirna. Marilah biar kucium bunga melati yang tersunting di rambut mu itu harum atau tidak?"

Kiranya pada waktu belasan tahun yang lampau, dengan kata-kata demikian itulah Toan Cing-sun memperoleh cinta Be-hujin. Kini ucapannya diulangi kembali, seketika Be-hujin menjatuhkan tubuhnya ke pangkuan Toan Cing-sun dengan penuh kasih mesra. Ia mengelus-elus pipi Toan Cing-sun dan berkata dengan suara lembut, "Toan-long malam itu telah kuserahkan badanku ini padamu tatkala itu kutanya padamu bila kemudian hari hatimu berubah, lantas bagaimana tindakanku?'

Cing-sun tak bisa menjawab, sebaliknya keringat di jidatnya berbutir-butir bagai kedelai besarnya. "Kekasih yang tidak punya liangsim, apakah sumpah yang pernah kau ucapkan sekarang kaulupakan sendiri?" kata Be-hujin. "Aku tidak lupa," sahut Cing-sun dengan tersenyum getir. "Aku menyatakan akan membiarkan digigit daging tubuhku ini secomot demi secomot." Sebenarnya sumpah begitu adalah jamak tatkala kedua kekasih sedang bercumbu-cumbuan.

Tapi kini tanpa terasa membuat orang yang mendengarnya mengkirik. Dan dengan senyum genit Be-hujin berkata, "Masakah aku tega menggigitmu. Aku hanya ingin mengikat kedua tanganmu, kaululuskan tidak, coba katakan selamanya aku menurut kepada apa yang kaukatakan." Cing-sun tahu dirinya takkan terhindar dari pada siksaan kekasih itu, maka sahutnya dengan tawa.

"Jika kau mau ikat, boleh ikatlah. Biarpun mati, asal mati di tangamu juga aku puas." Diam-diam Siau Hong kagum juga kepada ketenangan Toan Cing-sun, menghadapi detik bahaya itu ternyata pangeran Tayli itu masih sanggup mengucapkan kata-kata merayu.

Segera Be-hujin menelikung kedua tangan Cing-sun ke belakang, lalu diringkusnya dengan tali kulit hingga kencang, bahkan ia ikat dengan tali pati bebarapa kali. Dengan demikian, sekali pun Toan Cing-sun dalam keadaan biasa juga sukar melepaskan diri, apalagi sekarang dalam keadaan lemas tak berkutik.

Kemudian Be-hujin berkata pula dengan tertawa menggiurkan, "Aku pun benci kepada kedua kakimu ini, asal sudah melangkah pergi, maka tak mau kembali lagi."

"Tapi waktu aku berkenalan denganmu, justru kedua kaki inilah yang membawaku kemari, maka jasanya boleh dikatakan besar daripada dosanya," sahut Cing-sun. "Baiklah, biar aku mengikatnya juga," kata Be-hujin. Lalu ia mengunakan tali kulit yang lain untuk mengikat kedua kakinya. Habis itu, ia ambil gunting dan pelahan memotong baju di bahu kanan Cing-sun hingga tertampak kulit dagingnya yang putih bersih.

Meski usia Toan Cing-sun sudah lebih 4l tahun tapi ia dilahirkan sebagai pengeran, hidupnya senang bahagia, maka badannya terawat dengan baik, kulit dagingnya juga halus. Pelahan Be-hujin meraba bahu Toan Cing-sun itu, kemudian ia tempelkan mulutnya yang mungil itu

untuk mencium pipi sang kekasih, lalu menurun ke leher dan mencium bahu kanan itu. Dan "Auuuhhg!" mendadak Toan Cing-sun menjerit kesakitan, suaranya keras memecah angkasa malam yang sunyi. Ketika Be-hujin mengangkat kepalanya, tertampaklah mulutnya penuh berlepotan darah, ternyata sepotong daging di bahu Toan Cing-sun itu benar-benar telah digigitnya. Keruan darah mengucur dari tempat luka itu.

Be-hujin meludahkan sepotong daging kecil yang digigitnya itu, lalu berkata dengan suara genit, "Toan-long engkau sendirilah yang bilang bahwa bila hatimu berubah, maka akan membiarkan aku menggigit dagingmu secomot demi secomot."

"Haha, memang begitulah kataku dahulu, masakah aku mungkir sekarang?" sahut Cing-sun dengan tertawa. "Ya, terkadang aku pun berpikir entah cara bagaimana baiknya aku akan mati? Kalau mati sakit di atas ranjang, itulah terlalu jamak. Mati di medan bakti, sudah tentu cara ini sangat baik, tapi melulu gagah perwira saja tanpa romantis, kurasa masih kurang sempurna dan tidak sesuai dengan perbuatanku selama hidup. Tapi kini, Siau Khong, apa yang kaupakai ini benar-benar suatu cara yang paling tepat, rupanya sudah ditakdirkan aku Toan Cing-sun harus mati di mulut mungil wanita paling cantik di jaman ini, biar mati pun aku akan merata puas."

Mendengar sampai di sini, Ciu Ang-bian dan Wi Sing-tiok menjadi kuatir sekali, merasa jiwa kekasih mereka itu benar-benar terancam bahaya, sebaliknya Siau Hong terlihat masih enak-enak menonton di luar jendela dan tiada tanda-tanda akan turun tangan untuk menolong.

Keruan mereka sangat gelisah dan diam-diam mencaci maki bekas Pangcu itu, coba kalau tak tertutuk olehnya, tentu sejak tadi mereka menerjang ke dalam rumah untuk menolong sang kekasih.

Sebaliknya waktu itu Siau Hong masih belum dapat meraba apa sebenarnya tujuan Be-hujin itu, ia tidak tahu apakah nyonya janda itu benar-benar akan membunuh Toan Cing-sun atau cuma untuk menggertak saja. Dan karena kuatir salah tindak, maka Siau Hong tetap sabarkan diri untuk mengikuti perkembangan selanjutnya. Begitulah maka didengarnya Be-hujin sedang berkata dengan tertawa, "Toan-long, sebenarnya aku ingin menggigitmu dengan perlahan-lahan, akan kugigitmu seratus kali atau seribu kali, tapi kukuatir pula bawahanmu keburu datang menolongmu. Maka boleh begini saja, aku akan menancapkan sebilah belati pada hulu hatimu, lalu cuma menusuk setengah senti saja ke dadamu hingga jiwamu takkan melayang, tapi bila ada orang ingin menolongmu, segera kutikam belati itu dan kontan kaupun akan terbebas daripada segala penderitaan."

Sembari berkata ia terus mengeluarkan sebilah belati yang kecil mengkilap, ia potong baju dada Toan Cing-sun, ia acungkan ujung belati ke hulu hati sang kekasih, sedikit ia tekan, ujung belati lantas menusuk ke dalam dada, dan memang benar hanya ambles masuk setengah senti saja. Pada saat Be-hujin menusuk dada Toan Cing-sun dengan belati, dengan mata tak berkedip Siau Kheng mengawasi tangan wanita itu, asal dilihatnya nyonya itu menikam dengan kuat dan membahayakan jiwa Toan Cing-sun, maka seketika ia akan turun tangan untuk menolong.

Syukurlah ia lihat Be-hujin cuma menusuk dengan pelahan saja, maka Siau Hong tidak perlu kuatir pula. Kemudian terdengar Toan Cing-sun berkata, "Siau Kheng, sesudah mati digigit olehmu, maka selamanya aku pun takkan meninggalkanmu."

"Sebab apa?" tanya Be-hujin. "Sebab umumnya kalau sang istri membunuh suami sendiri, maka arwah sang suami yang sudah mati itu pasti takkan melayang pergi, tapi akan menjaga di samping sang istri untuk mengalang-alangi kalau ada lelaki lain akan main gila dengan dia" Apa yang dikatakan Toan Cing-sun ini tentunya cuma untuk menakut-nakuti saja agar Be-hujin tidak terlalu keji perbuatanya.

Tak terduga wajah nyonya janda itu lantas berubah hebat demi mendengar ucapan itu dan tanpa terasa melirik sekejap ke belakang. Dasar Toan Cing-sun memang cerdik, segera ia tambahi pula, "Lihatlah, siapakah orang yang berada di belakangmu itu?" Be-hujin terkejut, capat sahutnya, "Siapa sih yang berada di belakangku? Huh ngaco belo belaka!"

"Itu dia, seorang lelaki sedang tertawa padamu sambil meraba-raba tengorokan sendiri seakan-akan kerongkongannya sedang kesakitan," demikian kata Cing-sun pula. "He, siapakah dia. Perawakannya tinggi, dan menangis malah..."

Tanpa terasa Be-hujin membalik tubuh dengan cepat, dan sudah tentu tiada seorang pun yang dilihatnya. Dengan suara gemetar ia mengomel, "Kau ... kau bohong!" Semula Toan Cing-sun sebenarnya cuma omong asal omong saja, tapi kini demi melihat perempuan itu ketakutan sekali, seketika timbul rasa curiganya. Sebagai seorang cerdik, sedikit pikir saja segera ia tahu di balik kematian Be Taigoan itu pasti ada sesuatu yang tidak beres. Ia tahu Be Taigoan terbinasa oleh serangan 'Soh-au-kim-na-lu' (ilmu mencengkeram leher), sebab itulah ia sengaja bilang orang itu seperti sakit kerongkongan dan meneteskan air mata.

Dan benar juga ucapannya itu membuat Be-hujin sangat gelisah dan ketakutan. Sedikit kelakuan Be-hujin yang tidak wajar itu segera dapat diduga oleh Toan Cing-sun. Ia pikir kalau dirinya ingin selamat, agaknya harus mencari jalan melalui kelemahan wanita itu dalam urusan kematian suaminya itu. Maka ia lantas berkata pula, Eh, aneh, mengapa hanya sekejap saja lelaki itu sudah menghilang, dia pernah apakah denganmu?"

Keruan Be-hujin semakin gugup, tapi segera kemudian ia dapat tenangkan diri, sahutnya, "Toan-long, urusan sudah begini, tentunya harus kautepati sumpahmu itu, mengingat hubungan, kita yang baik, biarlah kubereskan dirimu secara cepat dan enak saja." Sambil berkata ia terus melangkah maju untuk menolak belati yang menancap di dada Toan Cing-sun itu. Cing-sun sadar keadan sangat gawat, mati-hidupnya tinggal sekejap saja, tiba-tiba ia mendelik ke belakang Be-hujin sambil berteriak, "Eh Taigoan, lekas cekik mati dia!"

Memangnya Be-hujin terkejut ketika melihat sikap Toan Cing-sun yang menyeramkan itu, ketika mendengar teriakannya menyebut 'Be Tai-goan', keruan ia tambah kaget dan tanpa terasa ia menoleh. Kesempatan yang sudah dicari itu tidak disia-siakan Cing-sun lagi, sekuatnya ia menunduk terus menyeruduk ke arah Be-hujin, "bluk", kontan bawah dagu nyonya janda itu tertumbuk dan jatuh kelengar.

Tapi serudukan Toan Cing-sun ini tak mempunyai tenaga dalam sedikitpun, Be-hujin cuma pingsan sebentar saja lantas siuman kembali, berbangkit sambil meraba-raba dagu sendiri, katanya dengan tertawa.

"Toan-long, engkau suka kasar begini, daguku sampai kesakitan kautumbuk. Engkau sengaja omong yang tidak-tidak untuk menakuti aku, sekarang aku takmau tertipu lagi." Diam-diam Cing-sun mengeluh dan menghela napas, jika nasibnya sudah ditakdirkan demikian, apa mau dikata lagi? Tiba-tiba datang suatu pikiran padanya, katanya segera, Siau Kheng, apakah aku akan kaubunuh secara begini saja? Kalau nanti orang Kai-pang datang kemari untuk menghukummu atas dosamu membunuh suami sendiri, lantas siapa yang akan membela dirimu?" Be-hujin tertawa, sahutnya, "Siapa yang bilang aku membunuh suami sendiri? Hah, setelah engkau kubunuh, akan kupergi dan menghilang jauh-jauh, masakah aku masih mau tinggal disini!" Ia menghela napas penuh menyesal, lalu berkata pula, "Toan-long, sesungguhnya aku sangat rindu padamu. Sangat cinta padamu, tapi karena aku tak bisa mendapatkanmu, terpaksa aku menghancurkan dirimu, ini adalah tabiatku, apa mau dikatakan lagi?"

"Ah, tahulah aku sekarang," kata Cing-sun tiba-tiba. "Tempo hari kamu sengaja menipu nona cilik itu supaya Kiau Hong membunuhku, tujuanmu adalah sama seperti sekarang ini, bukan?"

"Ya, benar," sahut Be-hujin. "Keparat Kiau Hong itu benar-benar tak berguna, masakah membunuhmu pun tidak mampu hingga kamu berhasil melarikan diri kemari."

Sungguh heran Siau Hong tak terkatakan, kepandaian menyamar si A Cu boleh dikata tiada bandingannya, apalagi Be-hujin ini jarang bertemu dengan Pek Si-kia, mengapa ia dapat mengetahui rahasia penyamaran A Cu itu?

Sementara itu terdengar Be-hujin berkata pula, "Toan-long, aku akan menggigit sekali lagi!"

"Silakan, aku sangat senang malah," sahut Cing-sun dengan tersenyum.

Siau Hong tahu sudah tiba waktunya, segera ia jojohkan telapak tangannya ke dinding yang berada di belakang Toan Cing-sun itu, ia kerahkan tenaga dalam dan pelahan tangannya dapat menembus dinding itu, akhirnya tanpa diketahui siapa pun telapak tangannya dapat menempel punggung Toan Cing-sun.

Pada saat itulah Be-hujin menggigit pula daging di bahunya hingga Cing-sun berteriak kesakitan sambil kelojotan, dan pada saat yang sama tiba-tiba ia merasa kedua lengan sendiri dapat bergerak, tali kulit yang mengikat tangannya dijepit putus oleh Siau Hong. Berbareng suatu arus tenaga dalam membanjir ke tubuh Toan Cing-sun.

Sesudah tertegun sekejap, Cing-sun sadar di luar telah datang bala bantuan yang kuat, segera ia bertindak, tenaga dalam yang mengalir ke tubuhnya itu dikerahkan ke tangan dan jari, "crit", kontan ia mengeluarkan It Yang-ci yang sakti.

Keruan Be-hujin menjerit, iganya tertutuk sekali, orangnya pun roboh di balai-balai.

Melihat Toan Cing-sun sudah berhasil mengatasi Be-hujin, cepat Siau Hong menarik kembali tangannya. Dan selagi Cing-sun hendak bersuara menyatakan terima kasih kepada penolong yang tak kelihatan itu, tiba-tiba kerai pintu tersingkap dan masuklah seorang.. "Siau Kheng, apa kamu masih sayang padanya? Mengapa sudah sekian lama belum kaubereskan dia?" demikian orang itu menegur.

Melihat orang itu, seketika Siau Hong terkesima. Tapi hanya sekejap saja, maka segala tanda tanya yang selama ini bersarang dalam benaknya itu seketika terjawab semuanya. Terbayang oleh Siau Hong kejadian-kejadian yang lalu, yaitu waktu Be-hujin datang di tengah hutan di luar kota Bu-sik, di sana nyonya janda itu mengeluarkan kipas lempit miliknya sebagai bukti untuk memfitnah dia malam-malam menggerayangi rumah Be Tai-goan untuk mencuri surat penting itu. Ia heran dari manakah nyonya ini mendapatkan kipas itu? Jika kipas pribadinya itu dicuri orang, tentu si pencuri adalah orang kepercayaannya. Dan siapakah orang itu? Rahasia tentang dirinya keturunan Cidan sudah terpendam selama lebih-30 tahun, mengapa mendadak orang membongkarnya?

Penyamaran A Cu sebagal Pek Si-kia sebenarnya mirip sekali, dari mana Be-hujin dapat mengetahui rahasia penyamarannya? Jawabannya ternyata mudah saja dengan munculnya orang ini. Siapakah dia? Kiranya ia tak-lain-tak-bukan adalah Pek Si-kia sendiri itu Cit-hoat Tianglo Kai-pang yang disegani. Begitulah maka terdengar Be-hujin sedang berseru dengan kuatir, "Dia ... dia masih tangkas aku ... aku tertutuk olehnya."

Mendengar itu, segera Pek Si-kia melompat maju, ia pegang kedua tangan Toan Cing-sun, "krak-krak", kontan ia puntir patah tulang pergelangan lawan itu. Hendaklah diketahui bahwa tenaga murni yang disalurkan Siau Hong ke dalam tubuh Toan Cing-sun itu hanya dapat bertahan sebentar saja, ketika Siau Hong menarik kembali tangannya, kembali Toan Cing-sun menjadi lumpuh pula, Siau Hong sendiri sedang bergolak perasaannya oleh munculnya Pek Si-kia, seketika ia tidak berpikir untuk membantu Toan Cing-sun lagi, pula ia tidak menduga bahwa mendadak Pek Si-kia akan turun tangan keji, maka selagi ia terkejut oleh kejadian itu tahu-tahu tulang pergelangan tangan Toan Cing-tun sudah patah.

Pikirnya, "Ya, orang ini suka menggoda banyak wanita, hari ini biar dia tahu rasa sedikit. Mengingat A Cu pada detik terakhir tentu akan ku tolong jiwanya." Dalam pada itu terdengar Pek Si-kia sedang berkata, "Orang she Toan, tidak nyana kepandaianmu sangat hebat juga, sudah minum Sip hiang-hi-hun-san toh tenagamu tidak lenyap sama sekali."

Meski Toan Cing-sun tidak tahu siapakah gerangan orang yang membantunya dengan hawa murni dari luar rumah itu, tapi ia menduga pasti seorang tokoh yang berkepandaian tinggi, di hadapannya kini bertambah seorang musuh tangguh, namun di belakang sendiri juga ada penolong yang kuat, maka ia tidak menjadi gugup, apalagi dari ucapan Pek Si-kia itu terang orang tidak tahu bahwa dirinya barusan telah ditolong orang, maka ia lantas bertanya, "Apakah tuan ini Tianglo dari Kai-pang? Selamanya aku tidak kenal padamu, mengapa datang-datang lantas turun tangan keji?" Pek Si-kia tidak menjawab, ia mendekati Be-hujin dan memijat-mijat beberapa kali pada pinggangnya. Namun It Yang-ci keluarga Toan dari Tayli adalah ilmu tiam-hiat yang sakti, biarpun ilmu silat Pek Si-kia tidak lemah, tapi tidak mampu membuka hiat-to yang tertutuk itu.

Maka dengan berkerut kening tokoh Kai-pang itu bartanya. "Bagaimana keadaanmu?" Nadanya ternyata penuh perhatian mirip seorang suami lagi tanya istrinya. "Aku merasa lemas, sedikit pun tak bisa berkutik," sahut Be-hujin. "Si-kia, lekas turun tangan membereskan dia saja, dan segera kita pun angkat kaki dari sini. Rumah ... rumah ini lebih baik kita tinggalkan saja." "Hahahaha!" mendadak Toan Cing-sun terbahak-bahak, "Siau Kheng, mengapa kau ketakutan? Hahahaha!"

"Toan-long, ajalmu sudah di depan mata, tapi engkau masih senang-senang dan tertawa segembira ini?" ujar Be-hujin dengan tersenyum.

"Plok", mendadak Pek Si-kia tempeleng nyonya janda itu dengan keras sambil memaki, "Masih kaupanggil dia Toan-long? Kau perempuan hina-dina! Long atau "kok" adalah panggilan kaum istri kepada sang suami.

Dan selagi Be-hujin meringis kesakitan, di sana Toan Cing-sun telah membentak dengan gusar, "Tahan, mengapa kaupukul dia?"

"Huh, berdasar apa kauikut campur?" jengek Pek Si-kia. "Dia adalah orangku, aku suka hajar atau maki dia, peduli apa dengan kau?"

"Wanita cantik molek begini, masakah kau-tega memukulnya?" demikian kata Cing-sun. "Seumpama betul dia adalah orangmu, sepantasnya engkau membujuk rayu untuk menyenangkan dia."

"Dengarlah itu!" kata Be-hujin sambil mendeliki Pek Si-kia sekali. "Coba, orang lain begitu baik padaku, dan bagaimana pula sikapmu kepadaku? Apa engkau tidak malu?"

"Kau perempuan jalang ini, sebentar lagi tentu akan ku hajarmu?" demikian Si-kia mendamprat. "Orang she Toan, aku justru tidak suka mendengarkan ocehanmu itu. Kamu pandai mengambil hatinya, tapi mengapa sekarang kamu akan dibunuh olehnya? Nah, silakan saja, pada hari yang sama tahun depan adalah ulang tahun ajalmu ini." Habis berkata, ia terus melangkah maju dan hendak menusukkan belati yang menancap di dada Toan Cing-sun itu.

Melihat keadaan sudah berbahaya, segera tangan Siau Hong dimasukkan pula melalui lubang dinding tadi, asal Pek Si-kia melangkah maju lagi sedikit, segara tenaga pukulannya akan dilontarkan! Tapi pada saat itu juga mendadak kerai tersingkap oleh tiupan angin yang kencang, dimana angin keras menyambar, seketika api lentera padam dan kamar itu menjadi gelap gulita.

Be-hujin menjerit ketakutan, Pek Si-kia tadi kedatangan musuh, ia tidak sempat membunuh Toan Cing-sun lagi terpaksa ia harus menghadapi musuh lebih dulu. Segera ia membentak, "Siapa?" Berbareng kedua tangan siap didepan dada sambil membalik tubuh.

Angin kencang yang memadamkan api lentera tadi terang dilakukan oleh seorang yang ilmu silatnya sangat tinggi. Tapi sesudah kamar itu menjadi gelap gulita, keadaan tetap sunyi senyap saja. Tapi ketika Pek Si-kia, Toan Cing-sun, Be-hujin, dan Siau Hong memperhatikan, maka tertampakah lamat-lamat di dalam kamar itu sudah bertambah dengan satu orang.

Be-hujin yang pertama-tama tidak tahan perasaannya, ia menjerit tajam, "Ada orang! Ada orang!"

Orang itu tampak berdiri tegak di tengah pintu, kedua tangan lurus ke bawah, mukanya tidak kelihatan. "Siapa kau?" bentak Pek Si-kia pula sambil melangkah maju setindak. Tapi orang tua tetap diam saja seakan-akan tidak mendengar. Kembali Pek Si-kia membentak lagi, "Siapa kau? Jika tidak manjawab, terpaksa aku tidak sungkan-sungkan lagi." Oleh karena tidak tahu pendatang itu kawan, atau lawan, cuma dari angin pukulannya yang dapat memadamkan api lentera tadi jelas ilmu silat pendatang ini sangat tinggi, maka Pek Si-kia tidak ingin bergebrak dengan dia. Tapi orang itu tetap berdiri tegak tanpa bersuara, dalam keadaan gelap, suasana menjadi seram rasanya.

Dalam pada itu Toan Cing-tun dan Siau Hong yang berada di dalam dan di luar rumah itu juga merasa sangsi melihat bentuk pendatang itu, pikir mereka, "Ilmu silat orang ini tidak lemah, tapi di kalangan Bu-lim mengapa tidak pernah terdengar ada tokoh seperti dia ini?'

Sementara itu Be-hujin berteriak pula, "Lekas menyalakan lentera, aku takut, aku takut!"

Diam-diam Si-kia mendongkol, pikirnya, "Perempuan jalang ini sembarangan omong saja, kalau aku menyalakan api, bukankah akan memberi kesempatan kepada musuh untuk menyerang?" Begitulah maka ia tetap siapkan kedua tangan di depan dada, ia ingin tahu bagaimana musuh akan bertindak lebih dulu, dengan demikian ia akan dapat mengetahui musuh benar-benar lihai atau tidak.

Tak tersangka orang itu tetap diam-diam saja hingga mereka berdiri berhadapan sampai cukup lama. Keruan saja makin lama Pek Si-kia makin kuatir, pikirnya, 'Tentu orang ini adalah lawan dan bukan kawan, tapi dia tidak mau menyerang, apakah sebabnya? Ah, tentu dia lagi menunggu kawannya, mungkin kuatir seorang diri tak mampu melawan aku, maka perlu menunggu bala bantuan dulu untuk menolong Toan Cing-sun."

Berpikir demikian, maka ia tidak mau buang waktu lagi, segera ia berseru, "Jika saudara tidak mau bersaudara, terpaksa aku yang akan bertindak." Dan ketika melihat lawan masih tetap diam saja, segera ia mengeluarkan sebatang pusut baja, sekali melompat maju, di mana pusut baja bekerja, terus saja menusuk orang itu. Tipu serangan yang disebut "Kong-sia-tau-gu" atau sinar kilat menembus langit ini adalah salah satu tipu serangan yang paling diandalkannya.

Namun hanya sedikit mengegos saja orang itu sudah dapat menghindarkan serangan, bahkan Pek Si-kia lantas merasa serangkum angin keras menyambar ke arahnya, jari tengah lawan telah mencengkeram lehernya. Serangan balasan ini datangnya cepat luar biasa, belum lagi Si-kia sempat menarik kembali pusutnya, tahu-tahu kelima jari musuh sudah menempel tenggorokannya.

Keruan kejutnya tidak kepalang, sukma serasa terbang ke awang-awang. Lekas ia melompat mundur untuk manghindarkan cengkeraman orang sambil berseru dengan suara keder, "Kau... kau" Kiranya apa yang membuatnya takut setengah mati itu bukanlah disebabkan ilmu lawan yang sangat tinggi itu, tapi lantaran tipu serangan yang digunakan orang itu ternyata adalah "Soh-su-kim-na-jiu".

"Soh-au-kim-na-jiu" atau ilmu mencekik leher adalah kepandaian tunggal warisan keluarga Be Tai-goan, selain anak murid keluarga Be, di dunia persilatan tiada orang lain lagi yang bisa memainkannya. Dan sejak Be-Tai-goan meninggal, ilmu silat itu sesungguhnya lantas ikut putus dan tak terwariskan lagi. Pek Si-kia adalah kawan karib Be Taigoan, dengan sendirinya ia cukup kenal kepandaian tunggal sang kawan. Dan sekali gebrak saja, seketika keringat dingin membasahi tubuh Pek Si-kia.

Waktu ia perhatikan lawan itu, ia lihat perawakannya sangat memper Be Taigoan, cuma keadaan gelap gulita, maka mukanya tidak jelas kelihatan. Sesudah gebrak, orang itu tetap diam saja sikapnya itu benar-benar sangat menyeramkan. Si-kia merasa lehernya, rada kesakitan, mungkin terluka oleh kuku orang. Sesudah tenangkan diri, segera ia bertanya, pula, Siapakah saudara? Apa kau she Be?" Tapi orang itu seperti orang tuli atau gagu, sama sekali ia tidak ambil pusing atas pertanyaan Pek Si-kia. "Siau Kheng, coba engkau menyalakan lampu." kata Si-kia. "Aku tak bisa bergerak, engkau saja yang menyulutnya," sahut Be-hujin.

Sudah tentu Pek Si-kia tidak berani sembarangan bergerak sebab kuatir memberi kesempatan kepada musuh untuk menyerang, pikirnya. "Ilmu silat orang ini terang jauh lebih tinggi dari padaku, bila Toan Cing-sun akan ditolong?, tidak perlu menunggu bala bantuan juga dia dapat bertindak sendirian, mengapa sesudah bergebrak tadi lalu ia tidak menyerang pula?" Keadaan kembali hening hingga sekian lamanya, mendadak Pek Si-kia merasakan sesuatu yang aneh. Meski tiada seorang pun yang bicara dan bergerak di dalam kamar, tapi pernapasan setiap orang tentu ada, ia dengar suara napas sendiri

Suara napas Be-hujin dan Toan Cing-sun, tapi aneh, orang yang berdiri berhadapan dengan dia itu justru tidak terdengar bernapas meski ia coba mendengarkan dengan cermat. Masakah ada manusia hidup tak bernapas. Sungguh tidak masuk akal. Sampai akhirnya Pek Si-kia jadi tak sabar lagi, mendadak ia membentak terus menubruk maju, pusutnya menikam muka orang itu.

Tapi sekali tangkis dengan tangan kiri, orang itu dapat menyampuk tikaman pusut lawan, berbareng tangan kanan itu meraih leher Pek Si-kia. Si-kia sudah menduga kemungkinan itu, maka sedikit ia mendak, cepat ia menyelinap ke samping di bawah ketiak orang. Tapi orang itu tidak memburu, kembali ia berdiri mematung di tengah pintu. Waktu Si-kia menikam kaki orang itu dengan pusutnya, dengan tegak kuku orang itu melompat ke atas untuk menghindar. Melihat tubuh orang yang kaku tegak itu pada waktu melompat sedikit pun tidak menekuk lutut, tanpa terasa Be-hujin berteriak-teriak, "Mayat hidup! Mayat hidup!" Maka terdengarlah suara "bluk", dengan antap orang itu turun ke lantai.

Keruan Pek Si-kia mengkirik, pikirnya, "Jika orang ini seorang tokoh persilatan, mengapa gerak-geriknya begini kaku? Apakah betul di dunia ini ada mayat hidup?" Tapi jelek-jelek dia adalah tokoh terkemuka Kai-pang, betapapun ia tidak boleh unjuk kelemahan di depan musuh yang aneh itu.

Sesudah ragu sejenak, kembali ia menubruk maju pula dan beruntun pusutnya menikam tiga kali ke bagian bawah lawan dan memang benar dengkul orang itu seperti tidak bisa menekuk, selalu ia menghindar dengan lompatan kaku, tampaknya bukan mustahil melangkah pun orang itu tak bisa. Kalau Pek Si-kia menikam ke kiri, ia lantas melompat ke kanan, bila Si-kia  menusuk ke kanan, orang itu lantas menghindar ke kiri. Melihat kelemahan lawan itu, rasa jeri Pek Si-kia agak berkurang, tapi makin lama makin dirasakan lawan itu bukanlah manusia hidup. Kembali Pek Si kia menyerang beberapa kali lagi, walau lawan itu kelihatannya kaku cara menghindarnya, namun Ilmu permainan pusutnya yang lihai itu sebegitu jauh ternyata tak bisa menyenggol tubuh orang.

Sekonyong-konyong terasa "nyes" dingin tahu-tahu Si-kia merasa sebelah tangan orang yang lebar dan dingin itu meraba kuduknya. Dalam kagetnya Si-kia terus menikam ke belakang, namun luput, sebaliknya tangan orang itu makin berat menindih ke bawah. Cepat Si-kia bertahan dengan mengerahkan seluruh tenaganya, tapi semakin ia tahan, semakin berat pula daya tekanan musuh. Sejenak kemudian ia mulai kewalahan, kepalanya mulai menduduk tertindih, menyusul terpaksa ia membungkuk, di atas tengkuk seakan-akan ditaruhi sepotong batu raksasa beribu kati beratnya hingga tulang punggung pun terasa akan patah.

Karena itu napas Pek Si-kia semakin memburu, semakin tersengal-sengal. Keruan Siau Hong dan Toan Cing-sun juga heran oleh kejadian itu, "Si-kia, Si-kia Kenapa kau?" tanya Be-hujin dengan kuatir. Sudah tentu Pek Si-kia tiada kelebihan tenaga untuk menjawabnya, ia merasa tenaga dalamnya sedang terkuras oleh daya tekan, di atas punggung sedikit demi sedikit.. Sekonyong-konyong sebelah tangan lawan yang lebar dan dingin itu kembali meraba mukanya. Tangan itu benar-benar bukan tangan manusia, sebab sedikit pun tidak terasa hangatnya tangan manusia umumnya.

Saking ketakutan tanpa terasa Pek Si-kia berteriak-teriak dengan suara ngeri, "Mayat hidup! Mayat hidup!" Gerak tangan terakhir itu ternyata sangat pelahan, mula-mula muka Pek Si-kia yang diraba, kemudian meraba matanya, jari tangan menggosok-gosok pelahan biji matanya. Keruan Si-kia ketakutan setengah mati. Bayangkan saja, asal jari musuh sedikit menekuk, seketika biji matanya akan terkorek keluar. Untung tangan yang dingin bagai es itu menggeser ke bawah pula dan meraba-raba hidungnya, lalu meraba mulutnya dan menurun terus ke bawah, akhirnya sampai di lehernya.

Orang itu menggunakan dua jari telunjuk dan tengah untuk menjepit tenggorokan Pek Si-kia, makin lama makin keras jepitannya. Sungguh tidak kepalang rasa takut Pek Si-kia, mendadak ia berteriak, "Ampun, Tai-goan! Ampun!"

"Ap ... apa katamu?" seru Be-hujin dengan suara melengking tajam. Tapi Pek Si-kia masih berteriak-teriak, "Tai- goan Hengte, segalanya dia yang mengatur, tiada sangkut-pautnya dengan aku."

"Kalau aku yang mengatur, lantas mau apa?" kata Be-hujin dengan gusar.

"Be Tai-goan, hidupmu adalah orang yang tak berguna, sesudah mati kau mampu berbuat apa? Hm, aku justru tidak gentar padamu!" Pek Si-kia marasakan waktu menyangkal tadi cekikan orang itu lantas dikendurkan sedikit. Dan kini sesudah tutup mulut, cekikan orang itu kembali diperkeras.

Dalam gugupnya didengarnya Be-hujin menyebut "Be Tai-goan", keruan ia makin yakin makhluk aneh itu pasti mayat hidup Be Tai-goan, maka kembali ia berteriak-teriak, "Ampun, Tai-goan! Istrimu yang berulang-ulang minta engkau membongkar rahasia asal-usul Kiau Hong tapi engkau berkeras tidak mau, maka timbul maksud jahatnya untuk membunuhmu .... "

Siau Hong terkesiap, ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada setan segala, tapi ia yakin pendatang itu pasti seorang tokoh persilatan yang sengaja bersikap sebagai makhluk halus untuk membikin takut Be-hujin dan Pek Si-kia, dengan demikian dapat memaksa mereka mengaku dosa yang telah diperbuatnya. Dan benar juga, dalam keadaan bingung dan takut Pek Si-kia mulai mengaku, dari ucapannya itu terang Be-Tai-goan telah dibunuh oleh mereka berdua dan nyonya Be sendiri adalah biang keladinya pembunuhan itu. Sebabnya Be-hujin membunuh suami sendiri adalah karena sang suami tidak mau membongkar rahasia asal-usul Siau Hong.

"Sebab apakah dia begitu dendam padaku? Mengapa ia bertekad menggulingkan kedudukanku sebagai Pangcu?" demikian Siau Hong tidak habis mengerti. Dalam pada itu terdengar Be-hujin masih menjerit-jerit pula, "Ayolah, boleh kau cekik mati diriku. Huh, aku justru memandang hina kepada manusia tak berguna macammu itu! Huh, pengecut!"

Maka terdengarlah "krak" sekali, tulang tenggorokan Pek Si-kia telah dijepit remuk oleh jari orang itu. Mati-matian Pek Si-kia masih meronta-ronta, tapi betapapun juga dia tak bisa melepaskan diri dari tangan orang itu. Menyusul terdengar pula "krok"' sekali, tenggorokan Pek Si-kia pecah, ia menarik napas beberapa kali, tapi hawa tak bisa tersedot lagi ke dalam dada, badannya tampak berkelejatan sejenak, lalu putuslah napasnya.

Sehabis mencekik mati pek Si-kia, sekali putar tubuh, segera orang itu menghilang di luar rumah. Cepat pikiran Siau Hong tergerak, "Siapakah orang itu? Aku harus menyusulnya!" Segera ia melesat keluar rumah sana, di tanah salju yang putih terang itu terlihat sesosok bayangan orang sedang menghilang ke arah timur-laut sana. Begitu gesit gerakan orang itu hingga kalau bukan Siau Hong, tentu sukar melihatnya. "Cepat amat gerakan orang itu!" demikian Siau Hong membatin. Segera ia pun menyusul ke sana.

Sesudah mempercepat langkahnya, maka jaraknya tinggal belasan meter saja jauhnya. Kini Siau Hong dapat melihat jelas bahwa orang itu terang adalah tokoh kosen dunia persilatan, kini orang itu tidak ia lompat-lompat dengan kaku, tapi langkahnya enteng dan gesit mirip orang meluncur salju cepatnya. Ginkang yang dimiliki Siau Hong berasal dari Siau-lim-pai, ditambah lagi didikan Ong-pangcu almarhum, maka ia pun dapat berlari dengan sama cepatnya, sekali langkah lantas lebih satu meter jauhnya, dan selagi tubuh terapung di udara, kembali kakinya melangkah pula dengan lebar.

Kalau bicara tentang gaya memang Siau Hong kalah indah daripada orang di depan itu, namun untuk berlari jarak jauh terang ia lebih kuat. Maka sesudah berlari-lari sekian lama, jaraknya dengan orang di depan itu dapat diperpendek legi satu-dua meter. Tidak lama kemudian, rupanya orang itu pun merasa sedang dikuntit dan tahu pula penguntit itu sangat tinggi ilmu silatnya, maka mendadak ia meluncur lebih cepat, tidak kelihaian dia menggunakan tenaga, tapi gerak-geriknya gesit luar biasa dan pesat melesat kedepan, jaraknya dengan Siau Hong kembali ditarik panjang lagi beberapa meter.

Diam-diam Siau Hong terkesiap oleh kepandaian orang yang hebat itu, pantas jago seperti Pek Si-kia hanya dalam satu-dua gebrak saja lantas terbunuh olehnya. Bakat pembawaan Siau Hong memang lain daripada yang lain, yaitu bakat jago silat jempolan. Meski guru-gurunya seperti Hian-koh Taisu dan Ong-pangcu juga tinggi ilmu silatnya, tepi belum terhitung tokoh-tokoh yang luar biasa.

Sebaliknya Siau Hong ternyata jauh melebihi guru-guru yang mengajarnya itu, setiap jurus silat yang biasa dan umum bagi orang lain, kalau dia yang memainkan, otomatis lantas mengeluarkan daya serang yang hebat luar biasa. Orang yang kenal dia mengatakan bakat pembawaannya dalam-ilmu silat itu memang pemberian ilahi dan tidak mungkin dicapai dengan hanya latihan belaka. Dan oleh karena dia memiliki bakat yang sukar disamai orang lain, maka selama hidupnya jarang ketemu tandingan. Tapi kini ia menemukan seorang lawan yang ginkangnya tidak di bawahnya, seketika timbul jiwa jagoannya, segera ia percepat pula langkahnya dan menyusul lebih dekat lagi.

Begitulah susul-menyusul kedua orang itu masih terus berlari cepat ke utara, selama itu tetap Siau Hong tak mampu menyusul hingga berjajar dengan orang itu, sebaliknya orang itu pun tidak dapat meninggalkan kejaran Siau Hong. Sejam dua jam telah lalu, mereka sudah berlari ratusan li jauhnya, tapi jarak mereka masih tetap sama. Selang tak lama lagi, cuaca mulai terang, fajar telah menyingsing, salju juga sudah berhenti. Dari jauh Siau Hong lihat di bawah lereng gunung sana ada sebuah kota, perumahan berderet-deret, agaknya tidak sedikit penduduknya..

Mendengar suara ayam berkokok di sana-sini sahut menyahut. Tiba-tiba Siau Hoang ketagihan arak, segera ia berseru, "'Wahai kawan yang berada di depan itu, marilah aku mengundang engkau minum 20 mangkuk arak, habis itu nanti kita berlomba lari lagi?" Tapi orang itu tidak menjawabnya, larinya masih tetap cepat luar biasa. Dengan tertawa Siau Hong berkata pula, "Engkau telah membunuh jahanam Pek Si-kia itu, dengan sendirinya engkau adalah seorang ksatria sejati. Siau Hong mengaku kalah. Ginkangku tak bisa memadaimu, marilah kita pergi minum arak saja, tak perlu berlomba lagi!" sembari berkata terus lari sama cepatnya, sedikit pun tidak menjadi kendur..

Mendadak orang di depan itu berhenti lari dan berseru, "Pak Kiau Hong, Lam Buyung, nyata memang bukan omong kosong. Engkau lari sambil bicara, tapi tenaga murni dalam tubuhmu masih dapat kaukerahkan sesukanya, sungguh seorang Enghiong, sungguh seorang Hokiat (Enghiong = pahlawan, ksatria; Hokiat =gagah, perwira)." Siau Hong dengar suara orang itu serak-serak tua, agaknya berusia jauh lebih tua dari dirinya maka sahutnya, "Ah, Ciaupwe terlalu meimuji. Maafkan Wanpwe beranikan diri ingin berkenalan dengan Cianpwe, entah Cianpwe sudi atau tidak.?"

"Ai, aku sudah tua, tiada, gunanya lagi!" demikian sahut orang itu dengan menyesal.

"Sudahlah, engkau jangan menyusul pula. Kalau terus sejam lagi pasti aku akan kalah," Habis itu, pelahan ia meneruskan perjalanannya ke depan. Sebenarnya Siau Hong ingin menyusulnya untuk mengajak bicara, tapi cuma selangkah ia lantas ingat ucapan orang itu yang minta dia jangan menyusulnya lagi. Siau Hong ingat pula dirinya dimusuhi tokoh-tokoh persilatan Tionggoan, mungkin orang ini pun seorang yang membenci bangsa Cidan, maka ia batalkan niatnya buat menyusul lebih jauh, ia manyaksikan bayangan orang itu akhirnya menghilang di kejauhan hatinya menyesal tak terhingga karena tak dapat melihat muka orang itu. Ia tertegun sejenak, lalu masuk ke kota di kaki gunung itu, ia datangi suatu kedai arak untuk minum, setiap habis menenggak selalu ia menggebrak meja sambil berseru sendiri, "Laki-laki hebat, ksatria sejati! Ah, sayang, sayang!" Dengan ucapan "laki-laki hebat dan ksatria sejati" itu ia hendak memuji kelihaian ilmu silat orang itu serta caranya membunuh Pek Si-kia. Sedang "sayang" yang dikatakan itu adalah karena ia gegetun tidak dapat bersahabat dengan tokoh aneh itu.

Sebagai seorang yang suka bersahabat, sejak Siau Hong dipecat dari Kai-pang, lebih-lebih sesudah bermusuhan dengan jago-jago persilatan Tionggoan, maka kawan-kawan baik masa lalu boleh dikata sudah putus hubungan semua, dengan sendirinya hatinya sangat kesal. Kebetulan hari ini ia dapat bertemu dengan seorang tokoh yang Ilmu silatnya setingkat dengan dirinya, tapi justru tiada jodoh untuk berkenalan maka terpaksa ia menghibur hati nan masgul dengan arak.

Begitulah setelah menenggak lebih 20 mangkuk, ia bayar harganya lalu keluar dari kedai itu. Pikirnya, "Toan Cing-sun masih belum bebas dari ancaman bahaya. Wi Sing-tiok, Cin Ang-bian dan kedua putri mereka telah kutotok semua, aku harus lekas kembali ke sana untuk menolong mereka!"

Dengan langkah lebar segera Ia menuju kembali ke rumah Be hujin. Karena sekarang ia tidak lagi berlomba lari dengan orang, maka jalanya menjadi lebih lambat daripada perginya tadi. Setiba di rumah Bhe-hujin. waktu itu sudah lewat lohor. Ia lihat di tanah salju di luar rumah itu sunyi senyap, Wi Sing-tiok dan Cin Ang-bian berempat yang mestinya tak bisa berkutik karena tertotok itu, kini sudah tidak kelihatan seorang pun.

"Siapakah yang dapat membuka hiat-to yaag kutotok dan menolong mereka? demikian Siau Hong agak terkejut. Ketika ia mendorong pintu dan masuk ke rumah itu, ia lihat Pek Si-kia menggeletak tak bernyawa di samping pintu, Toan Cing-sun juga tak kelihatan lagi, di atas balai-balai terdapat seorang wanita yang berlumuran darah, itulah Be-hujin adanya. Mendengar ada orang masuk ke dalam rumah, nyonya Janda itu berpaling dan berseru pelahan, "To ... tolonglah, lekas ... lekas bunuh aku saja!"

Siau Hong melihat wanita yang tadinya cantik molek itu hanya dalam semalam saja sudah berubah menjadi pucat dan layu seperti sudah lebih tua 20 tahun. Jelek dan tua tampaknya. "Di manakah Toan Cing-sun?" tanya Siau Hong kemudian. "Sudah ditolong orang? O, ja ... jahat amat mereka itu!" demikian sahut Be-hujin. Dan mendadak ia menjerit kaget, "Haahhh!" Suaranya tajam melengking hingga Siau Hong pun dibuatnya terkejut, cepat ia bertanya, "Ada apa?"

"Kau ... kau Kiau-pangcu?" tanya Be-hujin dengan tersengal-sengal.

"Sudah lama aku bukan lagi Pangcu Kai-pang, masakah kamu pura-pura tidak tahu?" jengek Siau Hong.

"O, engkau benar-benar Kiau-pangcu. Ai, Kiau-pangcu, tolong, tolonglah, lekas ... lekas kaubunuh aku saja," ratap Be-hujin. "Aku tidak ingin membunuhmu," sahut Siau Hong dengan berkerut kening. "Kaubunuh suami sendiri, tentu orang Kai-pang akan membersihkan dosamu itu."

"Aku ... aku tidak tahan," ratap Be-hujin pula. "Perempuan hina-dina cilik itu benar-benar sangat keji, biar ... biar menjadi setan juga aku akan menuntut balas padanya. Co ... coba kaulihat tu ... tubuhku." Tapi karena nyonya janda itu meringkuk di tempat agak gelap, Siau Hong tak dapat melihat dengan jelas.

Segera ia membuka jendela hingga kamar itu pun menjadi terang. Sekali pandang, mau-tak-mau Siau Hong merasa ngeri. Ia lihat di pundak, lengan, dada, kaki, di mana-mana penuh luka goresan pisau, bahkan di tempat luka-luka itu penuh dirubung semut. Dari luka-luka itu Siau Hong tahu otot tulang anggota badan nyonya janda itu telah terpotong putus, makanya tak bisa bergerak lagi dan selanjutnya pasti akan menjadi orang cacat untuk selamanya. Yang aneh, mengapa di tempat luka itu penuh semut? Masakah semut juga doyan darah? Ia dengar Be-hujin berkata pula, "Perempuan hina cilik itu sangat kejam, sesudah putuskan otot tulang kaki tanganku dan menyayat badanku hingga penuh luka, lalu ... lalu ia menuang luka-ku ini dengan ... dengan air madu, katanya supaya aku gatal-pegal untuk beberapa hari lamanya dengan segala penderitaan, katanya biar aku minta hidup tak bisa. ingin mati juga tidak dapat."

Sekali-kali Siau Hong bukan orang yang berhati lemah, tapi kalau dia membunuh orang, selalu ia lakukan dengan tegas dan terang, untuk menyiksa musuh dengan cara-cara keji bukanlah menjadi kegemarannya! Maka ia pun tidak tega menyaksikan keadaan Be-hujin itu, ia pergi ke dapur dan mengambil satu baskom air, ia siram, tubuh nyonya janda itu supaya bebas dari penderitaan gigitan semut.

"Terima kasih atas kebaikanmu," kata Be-hujin kemudian, "Aku sudah terang tak bisa hidup lagi, maka sudilah engkau bermurah hati, lekaslah bunuh aku saja."

"Sia... siapakah yang menyayatmu sedemikian rupa? tanya Siau Hong. "Siapa lagi kalau bukan perempuan hina-dina cilik itu," sahut Be-hujin dengan mengertak gigi penuh dendam.. "Melihat usianya cuma l5-l6 tahun saja, tapi perbuatannya ternyata begini keji dan kejam." "Hah, A Ci maksudmu?" seru Siau Hong terkejut.

"Ya, kudengar wanita hina itu memanggilnya begitu, dan menyuruh bocah keparat itu lekas membunuh aku, tapi ... tapi A Ci itu justru tidak mau, ia siksa aku dengan pelahan-pelahan, katanya untuk membalas sakit hati ayahnya, sengaja membikin aku tersiksa seperti ini .... "

"Mengingat hubung dulu denganmu, masakah Toan Cing-sun sama sekali tidak merintangi perbuatan putrinya yang hendak menyiksamu sekeji ini?" tanya Siau Hong.

"Dia dalam keadaan tak sadarkan diri, yaitu karena pengaruh Si-hiang-hi-hun-san," sahut Be-hujin.

"Pantas," ujar Siau Hong. "Kalau tidak, sebagai seorang laki-laki yang bijaksana masakah dia biarkan putrinya berbuat sekeji itu; Eh bukankah mereka itu dalam keadaan tertotok, siapakah, yang menolong mereka?" "Jang ... jangan tanya macam-macam lagi lek .... lekas kaubunuh aku saja," pinta Be-hujin dengan merintih. "Hmm, bila kamu tidak menjawab dengan baik, biar kusiram lukamu dengan air madu pula. Lalu kutinggal pergi dan masa bodoh kamu akan mati, atau sekarat," kata Siau Hong dengan menjengek.

"Ka ... kalian orang laki laki memang manusia kejam semua .... "

"Dan caramu membunuh saudara Tai- goan apakah tidak kejam?"

"Da ... dari mana kau tahu? Sia .... siapakah yang bilang padamu?"

"Akulah yang sedang tanya padamu dan bukan kamu yang tanya padaku, tahu?" sahut Siau Hong dengan mendongkol. "Kaulah yang mesti memohon padaku dan bukan aku yang mohon padamu. Nah, katakan lekas!"

"Baiklah, akan kukatakan segalanya," kata Be-hujin. "Yang datang tadi adalah seorang laki-laki berkepala besar dan berbaju kasar. Lebih dulu ia membuka hiat-to si A Ci, kudengar dara itu memanggilnya sebagai samsuko (kakak guru ketiga); kemudan A Ci minta dia membuka hiat-to ibunya dan perempuan hina Wi Sing-tiok itu. Lalu minta kedua wanita bejat yang lain ditolong pula."

Hati Siau Hong terkesiap, ia tahu A Ci adalah anak murid iblis tua Sing-siok-hai, ilmu silat yang dipelajarinya dari golongan sangat keji dan jahat. Setiap orang persilatan Tionggoan kalau mendengar "Sing-siok-hai Lomo" (iblis tua dari Sing-siok-hai), kalau tidak lekas-lekas menyingkir tentu juga akan berkerut kening. Untung iblis tua itu pun tahu bahwa ilmu silat golongan mereka dibenci oleh umum, maka jarang meninggalkan sarang mereka di Siok-sing-hai itu.

Seperti Siau Hong sendiri, selamanya ia tidak tahu apakah iblis tua itu pernah datang ke Tionggoan atau tidak. Tapi kini demi mendengar bahwa orang yang menolong A Ci itu adalah Samsukonya, jika begitu, maka terang anak murid iblis tua dari Sing-siok-hai itu beramai-ramai telah datang ke Tionggoan, bukan mustahil dunia persilatan bakal terjadi huru-hara dan banjir darah. Lalu Siau Hong bertanya pula, "Dan berapa kira-kira usia orang itu? Membawa senjata apa?"

"Usianya antara 30 an, lebih muda dari dirimu dan tidak tampak membawa senjata apa-apa," tutur Be-hujin. "O, dan ke manakah mereka telah pergi?" tanya Siau Hong.

"Entah, aku tidak tahu. Ayolah, lekas .... lekas kaubunuh aku saja," pinta Be-hujin pula. "Sesudah tanya dengan jelas baru kubunuhmu. Ingin mati, kan sangat gampang? Kalau ingin hidup, itulah yang susah," demikian jengek Siau Hong.

"Nah, coba katakan, sebab apa kaubunuh Be-Taigoan, membunuh suamimu sendiri?"

"Jadi engkau harus tahu?" sahut Be-hujin dengan sorot mata yang beringas. "Ya, aku harus tahu," sahut Siau Hong. "Aku adalah lelaki yag berhati keras, tidak nanti menaruh belas kasihan padamu."

"Huh, biarpun engkau tidak bilang, apa kau sangka aku tidak tahu?" tiba-tiba Be-hujin memaki.

Sebabnya aku menjadi rusak seperti sekarang ini, semuanya gara-gara perbuatanmu, kamu binatang yang sombong dan congkak, tidak pandang sebelah mata kepada orang lain! Kaum orang Cidan yang lebih kotor daripada babi dan anjing, kalau kamu mati tentu masuk neraka dengan setan iblis. Ayolah, boleh kausiram lukaku dengan air madu, mengapa tidak kaulakukan? Ah, kamu anak jadah, anak anjing, jahanam keparat." Begitulah makin memaki makin keji, seakan-akan segala rasa dendam dalam hati nyonya janda itu harus dilampiaskan seketika itu, sampai akhirnya segala kata-kata kotor dan rendah yang mestinya tidak pantas diucapkan oleh seorang perempuan juga dihamburkan oleh Be-hujin.

Tapi Siau Hong diam saja, ia biarkan Be-hujin mencaci maki sepuas-puasnya, wajah wanita celaka itu tadinya pucat lesi, setelah puas memaki, mukanya merah padam malah dan sorot matanya mengunjuk rasa senang.

Dan sesudah memaki kalang kabut sejenak pula, akhirnya suaranya mereda, sebagai penutup ia mendamprat, "Kiau Hong, kamu anjing keparat ini, kaubikin aku celaka seperti sekarang ini. aku ingin lihat apakah kelak kausendiri takkan ketular."

Namun Siau Hoag mendengarkan dengan tenang saja, kemudian ia tanya, "Selesai belum memaki?"

"Sementara boleh puas dulu, nanti kulanjutkan memaki lagi," sahut Be-hujin dengan gemas. "Hm, kamu anak anjing yang tak punya biang, asal nyonya besarmu ini masih bernapas, pasti aku akan memakimu sampai napas terakhir."

"Bagus, boleh kaumaki terus," ujar Siau Hong. "Kalau tidak salah, waktu pertama kalinya aku bertemu denganmu adalah di tengah hutan di luar kota Bu sik itu, tatkala itu Tai-goan Hengte sudah dibunuh olehmu, sedangkan sebelumnya aku tidak pernah kenal dirimu, mengapa kamu menuduh aku yang mengakibatkan dirimu terjerumus seperti sekarang ini?"

"Hah, kaukira pertemuan kita yang pertama kali adalah di tengah hutan di luar kota Bu-sik itu? Huh, justru ucapanmu yang demikian inilah penyakitnya!" demikian jengek Be-hujin dengan benci. "Kamu ini manusia keparat yang tinggi hati, binatang yang sombong, kauanggap ilmu silatmu tiada tandingan di kolong langit ini, lantas kau pandang rendah orang lain."

Begitulah kembali ia menghembuskan serentetan makian pula. Tapi Siau Hong tidak meladeninya, ia biarkan orang memaki sepuas-puasnya, sesudah suaranya serak dan tenaganya lelah, kemudian baru ia tanya, "Sudah cukup kaumaki?"

"Belum, tak pernah cukup, untuk selamanya," sahut Be-hujin dengan gemas. "Kamu ... jahanam yang sombong dan congkak, biarpun kamu adalah raja juga cuma begini saja."

"Memang betul, biarpun raja, apanya sih yang hebat?" sahut Siau Hong. "Selamanya aku juga tidak pernah anggap ilmu diriku tiada tandingan di kolong langit ini, umpamanya orang ... orang tadi, ilmu silatnya, jelas di atasku."

Be-hujin tidak ambil pusing apakah orang yang dimaksudkan itu, ia masih terus mengomel dengan makian-makian keji lagi. Selang sebentar, tiba-tiba ia berkata, "Hm, kaukira pertama kali kamu bertemu dengan aku adalah di luar kota Bu-sik? Em, apakah ketika hadir di Pek-hoa-hwe (pameran bunga) di kota Lokyang dulu, tidak pernah kaulihat aku?"

Siau Hong melengak. Pek-hoa-hwe di kota Lokyang itu terjadi dua tahun yang lampau, tatkala mana ia bersama para Tianglo dari Kai-pang memang hadir juga, tapi ia tidak ingat pernah bertemu dengan Be-hujin di pameran bunga itu. Maka katanya, "Ya, waktu itu Tai-goan Hengte juga ikut pergi ke sana, tapi ia tidak memperkenalkan dirimu padaku?"

"Hm, kamu ini kutu busuk macam apa?" damprat pula Be-hujin. "Paling-paling kamu cuma kepala kaum pengemis, apa yang kautonjolkan? Huh, dasar lagakmu memang sok! Waktu itu, begitu aku berdiri di samping pot bunga anggrek kuning, seketika para ksatria terkesima memandang padaku, semuanya kesemsem dan terpesona pada diriku. Tapi justru keparat macammu ini anggap dirimu sebagai seorang jantan tulen, seorang ksatria yang tidak doyan paras elok, bahkan memandang sekejap padaku juga enggan. Huh, laki-laki palsu, munafik, manusia rendah yang tak kenal malu."

Kiai Siau Hong mulai paham duduknya perkara, sahutnya, "Ya, aku pun ingat sekarang. Pada hari itu memang betul di samping pot bunga anggrek itu berdiri beberapa orang perempuan, tatkala itu aku asyik minum arak, maka tidakdapat memandang bunga dan wanita apa segala. Bila kaum wanita dari angkatan tua tentu aku akan maju dan memberi hormat padanya, tetapi kamu adalah iparku, istri saudara angkatku, sekalipun aku tidak memperhatikanmu juga bukan sesuatu yang melanggar kesopanan? Mengapa kamu dendam begitu mendalam padaku?"

"Memangnya apakah matamu tidak punya biji mata?" semprot Be-hujin, "Biarpun laki-laki mana atau ksatria siapa pun, bila ketemu aku, kalau tidak memandangku dari kepala sampai ke kaki, tentu akan memandang dari kaki sampai ke kepalaku. Andaikan ada yang merasa dirinya terhormat dan tidak berani jelalatan, pasti juga ingin cari kesempatan untuk melirik padaku. Hanya kau ... ya, hanya kau, hm, dari beratus lelaki yang hadir dalam pameran itu, hanya kau seorang dari mula sampai akhir melirik sekejap padaku pun tak pernah."

"Ai, memang itulah sifatku," ujar Siau Hong dengan menghela napas. "Memang sejak kecil aku tidak suka bergaul dengan kaum wanita, sesudah dewasa, lebih-lebih aku tiada tempo untuk memperhatikan wanita. Toh tidak melulu engkau seorang, bahkan wanita yang lebih cantik daripadamu juga mula-mula tidak menarik perhatianku, dan baru kemudan ... kemudian .... Ai, aku pun sudah terlambat kini ... "

"Apa katamu?" teriak Be-hujin dengan suara tajam melengking. "Kau maksudkan ada wanita yang lebih cantik dariku? Siapa dia? Lekas katakan, siapa dia?"

"Dia adalah putri Toan Cing-sun, encinya A Ci," sahut Siau Hong.

Apakah benar Be-hujin yang membunuh suami sendiri akibat sakit hatinya terhadap Siau Hong?

Apa yang akan dilakukan Siau Hong terhadap Be-hujin dan rahasia apa pula yang akan tersingkap?

Jilid ke 39

"Cis," Be-hujin meludah, "perempuan hina seperti itu juga kau penujui. . . . ."

Belum habis ucapannya mendadak Siau Hong jambak rambutnya terus dibanting keras-keras kelantai sambil mendamprat, "Berani kau olok-olok sepatah kata yang kurang hormat lagi padanya, hm, segera boleh kau rasakan siksaanku yang lebih keji."

Karena bantingan itu, hampir-hampir Be-hujin kelenger, seluruh ruas tulangnya sampai terasa akan rontok. Mendadak ia terbahak-bahak, katanya, "Hahahaha, kiranya. . . kiranya Kiau-tai enghiong, Kiau-taipangcu kita telah terpikat oleh anak dara itu, Hahahaha, sungguh menggelikan! Jadi Pangcu Kai-pang ingin menjadi Hu-ma-ya (menantu raja) dari putri kerajaan Tayli, Ai, Kiau-pangcu, kusangka segala wanita takkan kau pandang sama sekali, tak tahunya, hahaha. . . . ."

Dengan lemas Siau Hong duduk diatas kursi disampingnya, katanya kemudian dengan suara rendah, "Aku memang berharap dapat memandangnya sekejap lagi, akan tetapi. . . .akan tetapi kini tidak dapat lagi."

"Hm, sebab apa?" jengek Be-hujin, "Jika memang betul engkau mengincar dia, dengan kepandaianmu ini masakah tak mampu merebutnya?"

Tapi Siau Hong menggeleng kepala dan tidak menjawabnya, Selang agak lama barulah ia berkata.

"Biarpun mempunyai kepandaian setinggi langit juga takkan mampu merenggutnya kembali lagi."

"Sebab apa? hahaha!"

"Sebab dia sudah mati!"

Suara tawa Be-hujin seketika berhenti, ia agak menyesal mendengar itu, Ia merasa Kiau-pangcu yang congkak dan tinggi hati itu rada-rada kasihan juga.

Untuk sejenak kedua orang tiada yang membuka suara, keadaan hening sebentar, kemudian Siau Hong berbangkit dan berkata lagi, "Lukamu sudah terang tak bisa disembuhkan lagi, kamu telah membunuh suami sendiri, dosamu kelewat takaran, biarpun dapat kucarikan Sih-sin-ih juga aku tidak mau mengundangnya untukmu, Hah, apa yang hendak kau katakan lagi?"

Mendengar orang bermaksud membunuhnya, Be-hujin yang tadinya garang itu mendadak ketakutan, katanya, "Amp. . . ampunilah diriku, jang. . . jangan membunuhku."

"Baik, memang tidak perlu kuturun tangan sendiri, ujar Siau Hong, lalu hendak tinggal pergi.

Melihat orang tanpa berpaling terus hendak melangkah pergi, kembali rasa gusar nyonya janda durhaka itu memuncak, ia berteriak lagi, "Kiau Hong, kau anjing keparat! Dahulu aku dendam karena kamu tidak sudi memandang barang sekejap padaku, maka aku minta Tai-goan membunuhmu, tapi Tai-goan tidak mau, kemudian aku menghasut Pek Si-kia membunuh Tai-

goan, Dan kini. . . kini kamu masih tetap tidak tertarik sedikitpun kepadaku!"

"Hm, kaubunuh suamimu sendiri, katanya aku yang salah lantaran tidak sudi memandang sekejappun padamu." jengek Siau Hong sambil membalik tubuh kembali, "Huh, dusta sebesar itu siapakah yang mau percaya?"

"Sebentar lagi aku akan mati, buat apa kudustaimu?" sahut Be-hujin, "Hm, kau pandang rendah padaku, maka aku ingin membikin kamu bangkrut habis-habisan, biar namamu rusak dan badanmu hancur. Telah kutemukan surat wasiat Ong-pangcu dalam peti besi Tai-goan hingga mengetahui seluk beluk mengenai dirimu, aku minta Tai-goan supaya membongkar rahasiamu itu didepan umum agar setiap ksatria didunia ini mengetahui dirimu ini keturunan Cidan yang biadab itu, dengan begitu jangan lagi kamu akan tetap menjadi Pangcu Kai-pang, bahkan untuk menancap kaki di Tionggoan juga susah, malahan jiwamu juga akan sulit diselamatkan."

Walaupun Siau Hong tahu wanita itu sudah tak bisa berkutik lagi, tapi demi mendengar ucapannya yang begitu keji, tanpa terasa ia mengkirik juga. Tapi ia lantas menjengek, "Hm, hanya disebabkan Tai-goan Hengte tidak mau menuruti permintaanmu untuk membeberkan rahasiaku, lantas kaubunuh dia?"

"Ya, bukan saja ia tidak mau menuruti permintaanku, sebaliknya ia damprat aku habis-habisan." sahut Be-hujin, "Padahal biasanya ia sangat menurut kepada apa yang kukatakan, selamanya tidak pernah mendamprat aku seperti itu. Sekali dia bikin dendam hatiku, celakalah dia. Kebetulan esok paginya Pek Si-kia bertamu kerumahku sini dan memandang padaku dengan kesemsem, Hm, laki-laki mata keranjang demikian, apa yang kukatakan tentu dilakukannya, masakah dia berani menolak?"

"Ai, seorang laki-laki perkasa sebagai Pek Si-kia akhirnya menjadi korbanmu," kata Siau Hong dengan gegetun. "Jadi kau. . . kau minumkan Sip-yang-bi-hun-san kepada Tai-goan, lalu suruh Pek Si-kia meremas tulang kerongkongannya agar orang menyangka dia dibunuh dengan 'Soh-au-kim-na-jiu' oleh orang she Buyung dari Koh-soh, demikian bukan?"

"Ya, memang! Hahaha, mengapa bukan begitu? Dan kejadian selanjutnya kaupun sudah tahu semua, tidak perlu kujelaskan lagi." sahut Be-hujin dengan terbahak-bahak.

"Dan kipasku itu Pek Si-kia yang mencurinya, bukan?" tanya Siau Hong lagi.

"Hahaha, memang benar," sahut Be-hujin.

"Dan tentang penyamaran A Cu yang begitu persis itu, mengapa dapat kau ketahui pula?" tanya Siau Hong.

"Ya, mula-mula aku juga terkesiap oleh penyamaran anak dara itu, kemudian sesudah aku berbisik beberapa kata rayuan yang dijawab oleh dia secara ngawur, maka aku lantas curiga dan mengetahui rahasianya, memangnya aku lagi ingin membunuh Toan Cing-sun, kebetulan aku dapat meminjam tenagamu." demikian tutur Be-hujin. "Haha, Kiau Hong keparat, ilmu penyamaranmu sesungguhnya terlalu rendah, sekali kutahu kepalsuan anak dara celaka itu, segera aku pun dapat mengenalimu, Hehehe, memangnya kau kira dapat mengelabui mataku?"

"Kematian nona Toan itu adalah gara-gara perbuatanmu, maka akan kuperhitungkan atas utangmu." ujar Siau Hong dengan mengertak gigi.

"Dia yang datang menipu padaku, dan bukan aku yang menipu dia!" sahut Be-hujin, "Aku hanya mengikuti siasatnya hingga dia termakan senjatanya sendiri. Coba kalau dia tidak mencari padaku, bila kemudian Pek Si-kia menjadi Pangcu, dengan sendirinya orang-orang Kai-pang akan bermusuhan dengan Toan Cing-sun, dan keparat she Toan itu, hehe, lambat atau cepat juga dia takkan lolos dari tanganku."

"Hm, kamu sungguh kejam, lelaki yang disukai olehmu akan kaubunuh, sedang lelaki yang tidak mau memandang dirimu juga akan kau bunuh." kata Siau Hong.

"Habis, masakah didunia ini ada lelaki yang tidak suka kepada wanita cantik? Huh, omong kosong belaka! Masakah didunia ini ada laki-laki munafik seperti dirimu," jengek Be-hujin.

Tatkala mengucapkan kejadian yang membanggakan itu, air muka Be-hujin tampak kemerah-merahan dan bersemangat, tapi akhirnya tenaganya tak tahan, suaranya mulai lemah dan napasnya mulai tersengal-sengal.

"Untuk yang terakhir cuma ingin kutanya satu soal padamu." kata Siau Hong kemudian. "Coba jawablah, siapakah gerangan 'Toako pemimpin' yang menulis surat kepada Ong-pangcu itu? Pernah kau baca surat wasiat itu, tentu kau tahu namanya."

"Hehehe, Kiau Hong, Kiau Hong! Akhirnya kamu memohon padaku atau aku yang memohon padamu?" sahut Be-hujin dengan tertawa dingin. "Kini Tai-goan sudah mati, Ci-tianglo juga sudah mampus, Tio-ci-sun telah mati pula, Tiat-bin-poan-koan Tan Cing juga sudah mati, Tam Kong dan Tam-poh pun mati semua, Ti-kong Taisu dari Thian-tai-san juga binasa, ya, semuanya sudah mati, didunia ini kini hanya tinggal aku seorang yang tahu siapa 'Toako pemimpin' penanda tangan surat wasiat itu."

Hati Siau Hong berdebar-debar hebat, sahutnya, "Ya, memang betul, akhirnya akulah yang mesti memohon padamu, harap engkau sudi memberitahukan nama orang itu padaku."

"Jiwaku sudah hampir tamat, kebaikan apa yang akan kau berikan padaku?" sahut Be-hujin.

"Asal dapat dicapai oleh tenagaku, segala permintaanmu pasti akan kuturuti," sahut Siau Hong.

"Apasih yang kuinginkan lagi?" ujar Be-hujin dengan tersenyum, "Kiau Hong, aku dendam padamu karena kamu tidak sudi memandang untuk sekejap saja padaku hingga berakibat malapetaka seperti sekarang ini, Maka bila engkau ingin aku beritahukan nama 'Toako pemimpin' itu, hal ini tidak sulit, asal saja kau pondong aku dan pandanglah padaku untuk beberapa jam lamanya."

Karuan Siau Hong berkerut kening, sudah tentu hatinya seribu kali tidak sudi, tetapi didunia ini hanya dia seorang yang tahu rahasia besar itu.

Dendam kesumat sendiri dapat dibalas atau tidak hanya tergantung pada keterangan nyonya janda ini nanti, padahal syarat yang dia minta itu bukanlah sesuatu yang sulit, sekalipun syarat yang diminta itu adalah urusan maha sukar juga terpaksa akan diturutinya, Sedangkan jiwa nyonya janda itu hanya tinggal sebentar lagi dan setiap saat bisa putus napasnya, untuk memaksa atau memancingnya dengan cara lain terang tiada gunanya, Jika nanti jiwanya terlanjur melayang dulu, maka itu berarti lenyaplah satu-satunya harapan untuk mencari tahu nama musuhnya itu.

Karena itu, terpaksa ia berkata, "Baiklah, akan kupenuhi keinginanmu."

Lalu ia pondong Be-hujin dan memandang mukanya dengan sorot mata yang tajam, Tapi karena waktu itu muka Be-hujin penuh darah dan kotor pula, ditambah penderitaan selama semalam suntuk, air mukanya menjadi pucat dan jelek sekali, untuk memondong saja Siau Hong pun terpaksa, kini melihat wajah orang yang begitu rupa, mau tak mau ia berkerut kening.

Be-hujin menjadi gusar, dampratnya, "Kenapa? kau merasa muak memandang padaku, ya?"

Terpaksa Siau Hong menjawab, "Tidak!"

Selama hidup Siau Hong tidak pernah berdusta, kini terpaksa ia mesti mengucapkan apa yang bertentangan dengan perasaannya.

"Bila benar kamu tidak merasa muak padaku, cobalah mencium pipiku," pinta Be-hujin tiba-tiba.

"Mana boleh jadi," sahut Siau Hong tegas, "Engkau adalah isteri saudaraku Tai-goan, sebagai seorang ksatria mana boleh kugoda janda saudara angkat sendiri?"

"Hehe, kamu ksatria? Kau orang sopan? Seorang alim?" demikian Be-hujin menjengek. "Tapi mengapa kau pondong diriku seperti ini. . . . ."

Pada saat itulah, mendadak diluar jendela terdengar orang mengikik tawa dan berkata, "Hihi, Kiau Hong, kamu benar-benar manusia yang tidak tahu malu, Sudah membinasakan Enciku, sekarang kau pondong dan hendak main gila dengan gundik ayahku, kaupunya muka atau tidak?" Jelas itulah suara A Ci.

Tapi Siau Hong merasa perbuatannya cukup dapat dipertanggung-jawabkan, maka olok-olok anak kecil itu tak dihiraukannya, bahkan ia mendesak pula kepada Be-hujin, "Lekas katakan, siapakah gerangan 'Toako pemimpin' itu?"

"Kuminta kau pandang mukaku, mengapa kamu berpaling kearah lain?" kata nyonya janda itu dengan suara merdu merayu.

Sementara itu A Ci sudah masuk kedalam, katanya dengan tertawa, "Hah, kiranya kamu belum mampus? Mukamu jelek seperti siluman begini, lelaki mana yang sudi memandang lagi padamu?"

"Apa katamu?" seru Be-hujin dengan suara terputus-putus. "Kau. . . kau bilang mukaku sejelek siluman? Cermin, mana cermin?"

"Lekas katakan, siapakah 'Toako pemimpin' itu? Habis kaukatakan segera kuberi cermin." sahut Siau Hong.

Tapi A Ci sudah lantas mengambilkan sebuah cermin diatas meja dan dihadapkan kemuka Be-hujin dan berkata, "Nah, lihatlah sendiri, lihatlah apa kamu cantik?"

Ketika melihat bayangan sendiri ditengah cermin itu berwujud wajah yang kotor dan berlepotan darah, gemas, takut, beringas dan penuh dendam, semua perasaan jahat dan buruk tertampak pada air muka sendiri yang tadinya cantik molek menggiurkan, seketika mata Be-hujin mendelik lebar-lebar untuk tidak pernah terpejam lagi.

"A Ci, lekas singkirkan cermin, jangan membuat dia murka." ujar Siau Hong.

"Aku ingin dia lihat betapa cantik mukanya sendiri!" sahut A Ci.

"Jangan, kalau dia sampai mati murka, tentu urusan bisa runyam." seru Siau Hong.

Namun segera ia merasa badan Be-hujin sudah tak berkutik lagi, napasnya juga sudah berhenti, waktu ia periksa nadinya, nyata orangnya memang sudah mati.

Karuan Siau Hong terkejut, serunya, "Wah! celaka, ia benar-benar sudah mati!"

Mendengar seruan yang mirip orang tertimpa malang itu, A Ci menjadi kurang senang, ia mencibir dan berkata, "Huh, engkau tentu sangat suka padanya, ya? Kematian perempuan bejat seperti ini masakah ada harganya untuk diributkan?"

"Ai, anak kecil tahu apa?" ujar Siau Hong sambil mengentak kaki, "Aku justru lagi tanya sesuatu padanya, didunia ini hanya tinggal dia seorang yang tahu, Bila tidak kau ganggu urusan ini, tentu sekarang dia sudah mengaku."

"Ai, ai, jadi aku lagi yang bersalah?" seru A Ci dengan penasaran.

Siau Hong menghela napas, ia pikir orang mati sudah tak bisa dihidupkan kembali. Bocah nakal seperti A Ci memang terlalu dimanjakan sejak kecil, sedangkan ayah-bundanya juga kewalahan, apalagi orang lain. Mengingat ACu, biarlah aku tidak perlu mempersoalkan kejadian ini padanya.

Segera ia taruh Be-hujin diatas balai-balai dan berkata. "Mari kita pergi!"

Ia lihat rumah itu sudah tiada penghuni lain lagi, kaum pelayan entah sudah lari kemana, segera ia mengeluarkan ketikan api, ia bakar rumah tinggal Be-hujin itu hingga habis.

Kemudian kata Siau Hong kepada A Ci, "Kenapa kamu belum pulang ketempat orang tuamu?"

"Tidak, aku tidak mau pulang kesana," sahut A Ci, "Setiap orang bawahan ayah asal melihat aku lantas mendelik, bila aku mengadukan mereka, ayah justru membela mereka malah."

"Sungguh ngaco-belo anak kecil ini, kamu yang mengakibatkan matinya Leng Jian-li, saudara-angkat ayahmu yang setia itu, sudah tentu ayahmu sangat menyesal, tapi kamu malah menyalahkan ayahmu tidak mau menghukum orang-orang bawahannya," demikian pikir Siau Hong.

Segera ia berkata, "Baiklah, jika begitu aku akan pergi sekarang!" Habis berkata, terus saja ia tinggal pergi kearah Utara.

"Hai, nanti dulu, tunggu padaku!" seru A Ci.

Siau Hong berhenti dan berpaling, sahutnya, "Kamu hendak kemana? Apa pulang ketempat gurumu?"

"Tidak, sekarang aku belum mau pulang ketempat Suhu, aku tidak berani," sahut A Ci.

"Kenapa tidak berani?" tanya Siau Hong dengan heran, "Tentu kau bikin gara-gara lagi, ya?"

"Bukan gara-gara, tapi aku telah mengambil sejilid kitab milik Suhu, jika aku pulang kesana tentu kitab ini akan dirampasnya kembali. Maka harus tunggu nanti sesudah aku berhasil menyakinkan ilmu dalam kitab pusaka Suhu ini baru akan pulang kesana."

"Jika kitab ilmu silat milik Suhumu, asal kau mohon beliau mengajarkan padamu, tentu juga beliau akan meluluskan permintaanmu, dengan demikian bukankah akan lebih cepat jadi daripada berlatih sendiri tanpa petunjuk?"

"Tidak, sekali Suhu bilang tidak mau, tetap dia tidak mau, biarpun kumohon juga tiada gunanya," sahut A Ci.

Sesungguhnya Siau Hong tidak suka kepada nona cilik yang terlalu dimanja ini, maka akhirnya ia berkata, "Ya sudahlah, terserah padamu, aku tak mau urus lagi."

"Engkau hendak kemana?" tiba-tiba A Ci bertanya.

Siau Hong menghela napas sambil memandang api yang berkobar menghabiskan rumah Be-hujin itu, sahutnya kemudian, "Seharusnya aku akan menuntut balas sakit hatiku, tapi aku tidak tahu siapakah gerangan musuhku. Selama hidupku ini terang sakit hatiku tak bisa terbalas lagi."

"Ah, tahulah aku." seru A Ci. "Sebenarnya Be-hujin itu tahu siapa musuhmu itu, tapi terlanjur kubikin mati dan sejak kini engkau tidak tahu lagi siapakah musuhmu, Hihihi, sungguh lucu, sungguh menarik, Kiau-pangcu yang namanya tersohor diseluruh jagat kini benar-benar telah kubikin kelabakan hingga mati kutu."

Sungguh Siau Hong ingin persen sekali tamparan pada wajah anak dara itu, tapi segera ia teringat kepada pesan tinggalan A Cu yang minta dia menjaga baik-baik saudara sekandung satu-satunya itu, maka hati Siau Hong seketika lemas lagi, Pikirnya;

"Betapapun aku harus melaksanakan pesan A Cu, Sekalipun nona cilik ini sangat nakal dan kejam pula, aku harus berusaha memperbaiki dia, apalagi dia masih terlalu muda masih kekanak-kanakan."

Dalam pada itu demi melihat sikap Siau Hong yang semula beringas itu, A Ci lantas bersitegang leher malah, tantangnya, "Mau apa kau? Apa hendak membunuhku sekalian? Kenapa tidak turun tangan? Enciku sudah kau hantam mati, apa halangannya jika kau bunuh aku pula?" Ucapan itu mirip sebilah belati menikam ulu-hati Siau Hong, dengan rasa duka ia tak dapat bicara lagi, segera ia membalik tubuh dan tinggal pergi dengan langkah lebar.

"He, nanti dulu, engkau hendak kemana? seru A Ci pula dengan tertawa sambil menyusul.

"Daerah Tionggoan sudah bukan tempat tinggalku lagi, aku akan pergi jauh ke Utara sana selamanya takkan kembali lagi." sahut Siau hong.

"Dan melalui mana?" tanya A Ci sambil miringkan kepalanya dari samping.

"Lebih dulu aku akan pergi ke Gan-bun-koan!" sahut Siau Hong.

"Wah, kebetulan, aku akan pergi ke Cinyang, kebetulan kita satu jurusan."

"Untuk apa kau pergi ke Cinyang? Tempat sejauh itu, seorang nona cilik seperti dirimu buat apa kesana sendirian?"

"Hah, jauh apa segala? Aku datang dari Sing-tok-hai, bukankah lebih jauh lagi? Aku kan punya teman perjalanan seperti dirimu, mengapa bilang aku sendirian?"

"Tidak, aku tak mau mengawasi kau."

"Sebab apa?"

"Aku seorang laki-laki, sebaliknya kamu seorang nona muda, kurang bebas untuk menempuh perjalanan bersama, terutama pada waktu bermalam."

"Sungguh lucu ucapanmu ini, aku sendiri tidak menyatakan keberatan, mengapa malah engkau yang bilang kurang bebas? Dulu bukankah kaupun menempuh perjalanan jauh dengan enciku, siang dan malam selalu bersama?"

"Aku dan encimu sudah mempunyai ikatan perjodohan, tak dapat disamakan dengan orang lain."

"Ai, siapa tahu jika kaupun meniru seperti ayahku dan enci seperti ibuku, belum menikah sudah menjadi suami isteri lebih dulu."

"Tutup mulutmu!" bentak Siau Hong dengan gusar. "Sampai matinya encimu tetap masih seorang nona yang suci bersih, akupun selamanya sopan santun dan menghormati dia."

"Apa gunanya engkau membentak-bentak padaku? Pendek kata enciku toh sudah kau pukul mati, apa mau dikatakan lagi? Marilah kita berangkat!"

Mendengar ucapan 'pendek kata enciku itu sudah kau pukul mati', seketika hati Siau Hong lemas lagi, Katanya kemudian, "Lebih baik kau pulang ke Siau-keng-oh untuk ikut ibumu saja, kalau tidak carilah suatu tempat untuk meyakinkan ilmu yang tertera dalam kitab pusaka gurumu itu, sesudah berhasil, lalu pulang ketempat gurumu. Apa gunanya kau pergi ke Cinyang?"

"Kepergianku kesana bukan untuk pesiar, tapi ada urusan penting," sahut A Ci dengan sungguh-sungguh.

Tapi Siau Hong goyang kepala, katanya, "Tidak, aku tak mau membawamu kesana."

Habis berkata, terus saja ia melangkah dan berlari cepat kedepan. Tapi dengan ginkangnya segera A Ci menyusul sambil berteriak-teriak; "Tunggu, tunggulah aku!"

Namun Siau Hong tak gubris lagi padanya, tetap melanjutkan jalannya dengan cepat. Tidak lama kemudian, angin utara meniup makin kencang, malahan hujan salju pula. Tapi Siau Hong masih terus lari dibawah angin dan salju hingga akhirnya A Ci ketinggalan jauh.

Kira-kira lebih tigapuluh li jauhnya, sampailah ia disuatu kota, itulah Tiang Pok Koan, suatu tempat penting diutara Sinyang, Dan tujuan pertama yang dicari Siau Hong adalah kedai arak. Begitu masuk kesuatu restoran, segera ia minta disediakan sepuluh kati arak putih, lima kati daging dan seekor ekor ayam, ia makan minum sendiri, Habis sepuluh kati arak segera ia minta tambah lima kati lagi.

Tengah Siau Hong asyik minum sendiri, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang dan tahu-tahu masuklah A Ci.

Melihat anak dara itu, kembali Siau Hong berkerut kening, pikirnya, "Nona cilik ini akan mengacaukan napsu makanku lagi." Maka ia sengaja menoleh kearah lain dan pura-pura tidak melihatnya.

A Ci hanya tersenyum saja, ia duduk menyanding meja lain didepan Siau Hong dan berseru, "Hai, pelayan, ambilkan arak!"

Cepat pelayan mendekatinya dan menyapa dengan tertawa, "Nona cilik, apa engkau juga ingin minum arak?"

Kalau panggil nona ya nona saja, mengapa pakai 'cilik' apa segala?" semprot A Ci mendadak. "Sudah tentu aku pun minum arak, Lekas sediakan sepuluh kati arak, potongkan lima kati daging rebus dan seekor ayam gemuk, Lekas, Lekas!"

"Haee!" seru sipelayan sambil melelet lidah sampai lama, "Nona ini sungguh-sungguh atau bergurau, masakah makan-minum sebanyak itu?" Sembari berkata iapun melirik kearah Siau Hong dan membatin, "Itu dia, orang sengaja hendak menandingimu, apa yang kau makan dan apa yang kau minum, orang juga minta disediakan serupa."

Dalam pada itu A Ci telah menjawab. "Kenapa kau rewel? Kau khawatir aku habis makan tidak bayar ya?" Segera ia mengeluarkan sepotong uang perak dan dibanting keatas meja sambil berseru."

"Ini cukup tidak?  Kalau aku tak bisa menghabiskan makananku nanti, apa tidak dapat kuberikan pada anjing? Perlu apa kamu ikut khawatir?"

Dengan tersipu-sipu sipelayan mengiyakan, kembali ia melirik lagi kearah Siau Hong sambil berkata dalam hati. "Nah, kau dengar orang sengaja memusuhimu, omongnya secara tak langsung sengaja memaki kau."

Sebentar kemudian daharan yang dipesan A Ci telah dihidangkan, sipelayan membawakan sebuah mangkok besar dan ditaruh didepan sigadis, katanya dengan tertawa, "Nona, biarlah kutuangkan arak untukmu."

"Baik." sahut A Ci sambil mengangguk.

Segera sipelayan menuang semangkok penuh arak putih, katanya didalam hati. "Jika kau mampu menghabiskan semangkok ini, mustahil kamu tidak menggeletak."

Maka terlihat A Ci mengangkat mangkok arak itu dan ditempelkan kebibir, tapi baru dia menjilatnya setitik, segera ia berkerut kening dan berseru. "Ai, pedas sekali arak ini! Kenapa arak ini begini rasanya, hanya manusia goblok didunia yang sudi minum arak semacam ini!"

Si pelayan coba melirik Siau Hong sekejap, dilihat tamunya itu tetap tidak gubris ocehan sigadis, diam-diam ia heran dan geli pula.

Lalu A Ci comot sepotong paha ayam terus digerogoti. Tapi baru masuk mulut segera ia semburkan dan berseru, "Fruihh, busuk, busuk!"

"Ai, ai! Ayam gemuk ini baru saja disembelih, masakah nona bilang busuk, tidak mungkin!" sahut sipelayan dengan penasaran.

"Habis kalau bukan bau busuk dari daging ayam ini, tentu badanmu yang bau busuk, jika bukan lagi, tentu badan tetamu lain yang berbau busuk." seru A Ci.

Tatkala itu hujan salju masih turun dengan derasnya, didalam restoran itu hanya Siau Hong dan A Ci saja. Maka cepat sipelayan menjawab dengan tertawa, "Ya, ya, badanku barangkali yang berbau busuk, Ai, nona, hati-hatilah bicara, janganlah engkau menyinggung kehormatan tamu yang lain."

"Mau apa? Kalau orang lain tersinggung apakah aku akan dipukul mampus?" jengek A Ci, Sambil berkata ia terus menyumpit sepotong daging sapi dan dimasukkan kemulut.

Tapi belum lagi daging itu dikunyah mendadak ia semburkan pula dan berteriak-teriak. "Hai, pelayan, mengapa daging ini rasanya kecut? Ini bukan daging sapi, tapi daging manusia, Tentu restoranmu ini adalah rumah jagal manusia!"

Karuan sipelayan menjadi gugup oleh teriakan A Ci itu, cepat ia menjawab, "Ai, nona, hendaklah kau bermurah hati, janganlah membikin susah kami, Daging itu adalah daging sapi yang segar, mengapa dikatakan daging manusia? Daging manusia masakah punya serat sekasar itu, warnanya juga tidak kemerah-merahan segar begini?"

"Bagus, bagus! Kaubilang ini adalah serat dan warna daging manusia, Nah, katakan, restoranmu ini sudah menjagal berapa banyak manusia? seru A Ci.

"Ai, nona memang suka berkelakar." sahut sipelayan dengan tertawa. "Restoran kami ini sudah bersejarah lebih empat puluh tahun lamanya dikota ini, masakah mungkin menjagal dan menjual daging manusia?"

"Baiklah anggaplah ini bukan daging manusia tapi baunya juga busuk, hanya orang tolol yang mau makan daging begini." kata A Ci. "Wah, sepatuku kotor kena debu."

Habis berkata, ia comot sepotong Ang-sio-bak (daging sapi saus tomat) yang berbau lezat dan dipakai menggosok sepatu kulitnya. Memangnya sepatunya agak kotor terkena tanah salju, karena digosok oleh masakan daging yang berminyak itu, seketika kulit sepatu itu bersih mengkilap.

Melihat cara si nona yang begitu royal, masakah Ang-sio-bak yang dimasak oleh kokinya yang terkenal itu hanya digunakan untuk lap sepatu, karuan sipelayan merasa sangat sayang, berulang-ulang ia menghela napas gegetun disamping.

"Kamu gegetun apa?" tanya A Ci tiba-tiba.

"Habis, Ang-sio-bak buatan restoran kami ini adalah salah satu hidangan yang tiada bandingannya dikota ini, tapi kini nona menggunakannya untuk lap sepatu, bukankah ini agak... agak..."

"Agak apa?" desak A Ci dengan mendelik.

"Agak tidak menghargai masakan itu," sahut sipelayan.

"O, kau maksudkan kurang menghargai sepatuku?" kata A Ci. "Padahal daging sapi berasal dari sapi, kulit sepatu juga berasal dari sapi, rasanya juga tak bisa dikatakan kurang menghargai, Eh, pelayan, masakan lezat apa lagi yang tersedia di restoranmu ini? Coba terangkan."

"Masakan enak sudah tentu masih banyak, cuma harganya agak mahal," sahut si pelayan.

Kembali A Ci mengeluarkan sepotong uang perak dan dilemparkan keatas meja, "Ini cukup tidak untuk membayar."

"Cukup, cukup, lebih dari cukup!" cepat sipelayan menjawab dengan menyengir. "Tentang masakan enak spesial restoran kami ini masih ada 'Theng-jo-le-hi'(ikan gurame masak asem), 'Pek-jiat-yo-ko'(daging kambing rebus),'Cah-kee'(ayam goreng),'Cio-ti-bak'(babi kecap) dan..."

"Bagus, nah, setiap macam sediakanlah tiga porsi," kata A Ci.

"Hah, setiap macam tiga porsi?" si pelayan menegas. "Jika nona ingin mencicipi saja kurasa masing-masing satu porsi kau sudah lebih dari cukup."

"Sekali kukatakan tiga porsi, peduli apa denganmu?" damprat A Ci.

"Ya, ya!" cepat sipelayan menyahut, Dan segera ia menggembor kearah dapur, "Tiga porsi 'Theng-jo-le-hi'! Tiga porsi..."

Sejak tadi diam-diam Siau Hong mengikuti tingkah laku A Ci itu, Ia tahu dara cilik itu sengaja main gila dengan sipelayan, tapi tujuan yang sebenarnya adalah ingin memancing dirinya ikut bicara. Tapi ia justru sengaja tidak gubris padanya, ia masih tetap minum araknya sendiri.

Selang tak lama, daging kambing masak yang dipesan A Ci itu telah dihidangkan lebih dulu, jumlah tiga porsi.

"Satu porsi taruh dimejaku, satu porsi taruh dimeja tuan itu dan satu porsi taruh dimeja sebelah sana." demikian A Ci memberi perintah. "Dan sediakan pula sendok dan sumpit dimeja sana dengan arak pula."

"Apakah masih ada tamu lain yang akan datang." si pelayan bertanya.

A Ci mendelik lagi, dampratnya, "Sejak tadi kamu suka cerewet saja, awas bila kupotong lidahmu!"

"Ai, galaknya!" omel sipelayan sambil menjulur lidah. "Untuk memotong lidahku ini mungkin nona tidak punya kemampuan itu."

Hati Siau Hong tergerak, ia melototi pelayan itu sekejap dan membatin, "Ini namanya cari mampus sendiri, masakah kau berani omong cara begitu terhadap iblis cilik ini?"

Sementara itu sipelayan telah membagi-bagikan porsi daging kambing di tiga meja yang ditunjuk, Siau Hong juga tidak ambil pusing, porsi yang dihaturkan kepadanya itu segera disikatnya tanpa sungkan lagi.

Sejenak kemudian, daharan yang lain berturut-turut dihidangkan pula, tiap-tiap macam tiga porsi, satu porsi buat Siau Hong, satu porsi ditaruh dimeja A Ci sendiri dan porsi lain ditaruh dimeja yang masih kosong. Siau Hong juga tidak menolak, setiap hidangan yang dihaturkan padanya, semuanya dilahap habis.

Sebaliknya A Ci masih seperti tadi, setiap hidangan hanya dicicipi satu sumpit dua sumpit, lalu mencela, "Huh, busuk, bau! Hanya cocok untuk makanan anjing dan babi!"

Habis itu, terus saja ia comot daging kambing, ikan gurame dan lain-lain untuk menggosok sepatunya. Meski sipelayan menyesal setengah mati, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa.

Siau Hong sendiri sedang memandang keluar jendela sambil berpikir, "Dara cilik ini benar-benar sangat menjemukan, kalau sampai tergoda, wah tentu akan runyam. Tapi A Cu minta padaku agar menjaganya, padahal anak dara ini adalah setan cerdik, untuk menjaga diri sendiri jauh lebih dari cukup, hakikatnya tidak perlu kupikirkan dia, maka lebih baik aku menghindari dia saja."

Tengah termenung, tiba-tiba dilihatnya dari kejauhan ditanah salju sana ada seorang sedang mendatang. Cara berjalan orang sangat aneh, kakinya kaku bagaikan kayu, dengkulnya tidak menekuk, jadi tampaknya seperti meluncur saja diatas salju.

Pakaian orang itu pun sangat aneh, meski musim dingin, yang dipakainya hanya sehelai baju tipis dari kain belacu yang kasar. Hanya sebentar saja orang itu sudah mendekat, maka dapatlah Siau Hong melihat jelas usia orang kurang lebih empat puluh tahun, kedua daun telinga memakai anting-anting emas dalam bentuk ring bundar dan besar, berhidung lebar dan besar mirip hidung singa serta bermulut tebal, mukanya sangat bengis dan aneh, terang bukan bangsa Han umumnya.

Sesampai didepan restoran, orang itu lantas melangkah masuk. Ketika melihat A Ci juga berada disitu, orang itu agak melengak, tapi lantas bergirang, tampaknya ingin bicara tapi urung. Lalu mengambil tempat duduk dimeja dekat pintu.

"Disitu sudah tersedia daging dan arak, mengapa tidak dimakan?" tiba-tiba A Ci berkata.

Melihat meja yang tersedia daharan dan belum ada tamunya, segera orang aneh itu menjawab, "O, untuk aku? Terima kasih, Sumoay."

Habis berkata, tanpa sungkan-sungkan lagi ia ambil tempat duduk menghadapi meja yang siap dengan hidangan itu, ia mengeluarkan sebilah pisau emas kecil, segera ia potong daging kambing dan dimakan.

Yang paling aneh adalah pada waktu makan ikan gurame itu, sekali potong terus dimasukkan kedalam mulut, ia kunyah-kunyah dan ditelan seluruhnya, jadi tulang ikan juga ikut amblas kedalam perutnya. Kemudian ia tenggak pula arak yang tersedia, tampaknya kekuatan minumnya boleh juga.

"Kiranya orang ini adalah suheng A Ci, jika begitu ia juga murid si iblis tua Sing-siok-hoi," demikian pikir Siau Hong, Sebenarnya ia tidak suka kepada muka dan potongan orang aneh itu, tapi demi melihat takaran minumnya masih boleh juga, ia merasa orang toh tidak begitu menjemukan.

Sementara itu satu porsi arak yang disediakan sudah habis ditengguk oleh laki-laki aneh itu, Segera A Ci berkata kepada pelayan, "Bawalah arak ini kepada tuan yang baru datang itu."

 Sembari berkata ia terus masukkan kedua tangannya kedalam mangkuk araknya, ia cuci bersih minyak dan kuah yang mengotori tangannya itu, lalu menyodorkan mangkuk arak itu kepada sipelayan. Karuan sipelayan menjadi ragu, masakah arak yang telah dipakai cuci tangan disuruh minum orang?

Melihat sikap sipelayan itu, A Ci mendesak lagi. "Ayo, lekas bawa kesana, orang sedang menunggu."

"Ai, kembali nona bergurau lagi," ujar sipelayan dengan tertawa, "Masakah arak ini dapat diminum?"

"Kenapa?" tiba-tiba A Ci menarik muka, "Apa kaukira tanganku kotor? Baiklah, begini saja, asal kau minum seceguk arak ini, segera kupersen satu tahil perak padamu." Bersama itu ia taruh sepotong uang perak diatas meja.

Dasar mata duitan, sipelayan menjadi girang, katanya, "Minum seceguk arak dengan persen satu tahil perak, Wah, bagus sekali! Jangankan cuma air cuci tangan, biarpun air cucian kaki nona juga akan kuminum."

Habis berkata, terus saja ia angkat mangkuk arak itu dan diminum seceguk. Diluar dugaan, baru arak itu masuk mulut, seketika ia merasa lidahnya bagai dibakar, panasnya, sakitnya tidak kepalang. Kontan saja pelayan itu terbatuk-batuk dan semburkan kembali arak itu, Saking kesakitan sampai ia berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak, "Aduh! Tolong! Aduh mak! Tolong!"

Siau Hong kaget juga melihat kejadian itu, Ia dengar suara teriakan sipelayan makin lama makin parau dan tambah samar-samar, terang lidahnya menjadi bengkak.

Mendengar ribut-ribut itu, seketika pengurus restoran, koki, tukang api dan lain-lain sama lari keluar dan bertanya, "Ada apa? Ada apa?"

Tapi pelayan itu sudah tidak sanggup bicara lagi, kedua tangannya mencakar-cakar muka sendiri, akhirnya ia menjulurkan lidah dan ternyata lidah itu sudah abuh dua tiga kali lebih besar daripada biasanya, warnanya matang biru.

Kembali Siau Hong terkejut, itulah tanda keracunan yang hebat, sungguh tidak nyana arak yang hanya dibuat cuci tangan A Ci bisa begitu lihai racun yang ditaruhnya.

Kambrat si pelayan restoran menjadi khawatir melihat lidah kawannya itu, mereka sibuk bertanya.

"Wah, kena racun apakah lidahmu itu?"

"He, apakah lidahmu tersengat oleh ketup kalajengking?"

"Ai, celaka! Lekas, lekas mengundang Sinshe!"

Dalam pada itu sipelayan sudah berubah menjadi bisu, Mendadak ia mendekati A Ci, Dan berlutut terus menjura berulang-ulang.

A Ci tertawa, tanyanya, "Ai, mengapa kamu begini menghormati diriku? Ada apakah?"

Pelayan itu menengadah dan menuding lidah sendiri, lalu menjura pula tiada berhentinya.

"O, apa kamu minta disembuhkan?" tanya A Ci dengan tertawa.

Namun saking kesakitan pelayan itu sudah mandi keringat, kedua tangannya menjambak-jambak rambut sendiri, sebentar menjura, sebentar soya, sebentar bangun, sebentar berlutut lagi, lalu kerupukan bagai orang sekarat.

Akhirnya A Ci mengeluarkan sebilah pisau kuning emas yang kecil, bentuk pisau itu mirip benar dengan pisau yang dipegang siorang aneh tadi. Mendadak A Ci pegang kuduk sipelayan dan ditarik kebelakang hingga pelayan itu menengadah, sekali pisaunya bekerja, "sret" kontan ujung lidah pelayan itu dipotongnya sebagian.

Karuan para penonton sama menjerit kaget, Seketika darah pun mancur dari lidah yang putus itu.

Semula sipelayan juga kaget, siapa duga sesudah darah mengucur keluar, segera racun pun hilang, rasa sakitnya juga lenyap seketika, Hanya sebentar saja lidah yang abuh itu pun pulih kembali seperti semula.

Kemudian A Ci mengeluarkan sebuah botol kecil, ia buka sumbat botol dan cungkil sedikit obat bubuk warna kuning dengan kuku jari dan dibubuhkan diatas luka lidah sipelayan. Aneh juga, begitu dibubuhi obat, kontan darahnya lantas mampet.

Karuan sipelayan menjadi serba runyam dan bingung, apakah ia mesti gusar atau mesti berterima kasih kepada anak dara itu? Ia hanya dapat berkata, "Kau. . . .kau. . . ."

Tapi karena lidahnya terpotong sebagian, ucapannya menjadi pelat, tidak jelas.

A Ci pegang-pegang uang perak yang ditaruh diatas meja tadi dan berkata pula, "Tadi kukatakan asal minum seceguk arak lantas kupersen satu tahil perak, tapi belum lagi arak tadi masuk perutmu sudah kau tumpahkan kembali, maka tadi itu tidak bisa dianggap, jika mau coba boleh kau minum lagi."

"Ti. . .tidak, aku. . . aku tak mau minum lagi. . ." demikian jawab sipelayan dengan samar-samar sambil goyang-goyang kedua tangannya.

A Ci tertawa, Ia simpan kembali uang perak itu dan katanya, "Apakah kamu masih ingat ucapanmu tadi? Kalau tidak salah kau bilang 'untuk memotong lidahku mungkin nona belum mampu' betul tidak?

Dan sekarang kau sendiri yang menjura dan minta kupotong lidahmu, apakah nonamu mempunyai kemampuan itu atau tidak?"

Baru sekarang sipelayan sadar gara-gara ucapannya tadi itulah telah mendatangkan bencana bagi diri sendiri. Karuan ia sangat murka dan sakit hati, kalau bisa ia ingin melabrak sepuas-puasnya anak dara itu, tapi ia menjadi takut ketika ingat dimeja lain masih ada dua orang lelaki yang sudah terang adalah begundal anak dara ini.

"Eh, kau minum lagi atau tidak?" demikian A Ci tanya pula padanya.

Dengan gusar si pelayan menjawab, "Lo. . . Locu tidak. . . ."

Tapi baru sekian ucapannya ia jadi ketakutan kalau-kalau diselomoti orang lagi karena makiannya itu, dengan gusar dan jeri cepat ia lari keruangan belakang untuk seterusnya tidak berani keluar lagi.

Suasana kembali tenang, pengurus restoran telah memberi ganti seorang pelayan lain, Tapi karena menyaksikan kejadian tadi, pelayan baru ini pun kapok dan tidak berani sembarangan omong.

Siau Hong merasa gusar sekali oleh kekejaman A Ci itu, masakah sipelayan itu hanya berkelakar begitu saja mesti dibikin cacat untuk selamanya, sungguh keterlaluan.

Dalam pada itu, terdengar A Ci telah berkata pula sambil menunjuk lelaki aneh tadi, "Pelayan, bawalah arak ini untuk tuan itu."

Si pelayan baru memang lagi kebat-kebit waktu A Ci menunjuk mangkuk araknya, kini mendengar bahwa arak itu supaya diberikan kepada lelaki berhidung singa itu, Ia bertambah takut.

"He, kenapa kamu diam saja?" tegur A Ci dengan tertawa ketika melihat sipelayan ragu-ragu. "Eh, barangkali kau sendiri ingin minum, ya? Ah, boleh juga, ayolah minum."

Karuan pelayan itu ketakutan setengah mati, cepat ia menjawab. "Ti... tidak... tidak, hamba ti... tidak mau."

"Jika begitu lekas bawa untuk tuan itu," kata A Ci.

"Ya, ya!" cepat sipelayan menurut, Dengan tersipu-sipu ia angkat mangkuk arak itu dengan kedua tangan dan dipindah kemeja si lelaki berhidung singa, Saking gugupnya hingga kedua tangan pelayan bergemetaran, untung araknya tidak muncrat keluar.

Lelaki hidung singa itu pun tidak menolak, ia angkat mangkuk arak itu, tapi tidak lantas diminum, ia pandang lekat-lekat arak didalam mangkuk.

"Kenapa, Jisuko?" tanya A Ci dengan tertawa, "Aku menyuguh arak padamu, apakah engkau tidak sudi minum?"

Diam-diam Siau Hong membatin, "Arakmu itu beracun jahat luar biasa, sudah tentu orang itu tidak mau menjadi korbanmu. Biarpun lwekangnya sangat tinggi juga belum tentu mampu menolak racun didalam arak itu."

Diluar dugaan, sesudah sekian lamanya orang berhidung singa itu tertegun, mendadak ia tempelkan mangkuk arak itu kebibirnya dan segera ditenggaknya hingga habis isinya.

Keruan Siau Hong terkejut, pikirnya, "Apa betul lwekang orang ini sedemikian hebatnya hingga mampu menghapuskan racun dalam arak itu?"

Tengah ia sangsi, ia lihat orang berhidung singa itu telah menaruh kembali mangkuk arak diatas meja, dua jari jempolnya kelihatan basah dan diusap-usapkan pada bajunya.

Melihat itu, sedikit pikir saja Siau Hong lantas tahu duduknya perkara, "Ya, besar kemungkinan ia telah berhasil meyakinkan 'Hoa-tok-hai-hoat' (ilmu menghapus racun) ajaran iblis tua Sing-siok-hai, maka sebelum dia minum arak itu, lebih dulu ia rendam kedua jari jempol didalam arak sambil memandang sekian lamanya, tentu waktu itulah ia telah hapuskan racun jahat didalam arak, dengan demikian ia tidak takut lagi untuk menengguknya hingga habis."

Rupanya hal itu juga diluar dugaan A Ci, gadis itu agak gugup juga dan lekas-lekas berkata dengan tersenyum ewa, "Wah, rupanya kepandaian Jisuko telah maju pesat sekali, terimalah pemberian selamat dariku ini."

Orang itu tidak gubris padanya lagi, segera ia melanjutkan makan minum, ia sapu bersih daharan yang disediakan itu, habis itu ia berbangkit sambil tepuk-tepuk perutnya yang sudah penuh terisi itu, lalu katanya. "Nah, marilah berangkat!"

"O, ya, silakan! Sampai berjumpa pula!" kata A Ci.

Keruan orang itu melengak, kedua matanya yang besar sebelah itu mendelik, katanya, "Sampai berjumpa apa? Maksudku kaupun ikut berangkat bersamaku!"

"Aku tidak mau." sahut A Ci sambil goyang-goyang kepala, Lalu ia mendekati Siau Hong dan berkata pula, "Aku sudah berjanji lebih dulu dengan Toako ini untuk pesiar ke Kanglam."

"Bedebah siapa dia?" tanya orang berhidung singa itu sambil melotot sekejap kepada Siau Hong.

"Bedebah apa? Dia adalah Cihuku (suami kakakku), tahu? Kami adalah sanak famili terdekat," kata A Ci.

"Kamu sudah memberi persoalannya dan aku sudah memberi jawabannya, maka sekarang kamu harus menurut perintahku, kau berani melanggar peraturan perguruan kita?" teriak orang itu.

"Kiranya A Ci menyuruh dia minum arak beracun tadi merupakan suatu soal ujian sulit baginya, diluar dugaan soal itu telah dijawabnya hingga lulus," demikian Siau Hong membatin.

Maka terdengar A Ci menjawab. "Siapa bilang itu memberikan soal ujian bagimu? Apa kau maksudkan minum arak tadi? Hahahaha, sungguh menggelikan! Bukankah kau lihat sendiri, arak itu kusuruh minum sipelayan tadi, Siapa duga sebagai ahli waris Sing-siok-hai kaupun sudi minum, arak sisa bekas pelayan itu, Hahaha, sedangkan seorang pelayan saja tidak mampus minum arak itu, kemudian engkau menghabiskannya, apanya sih yang hebat? Coba jawab, sedangkan pelayan itu saja tidak mati minum arak itu, apakah mungkin aku menguji dirimu dengan arak begituan?"

Sebenarnya ucapan A Ci itu terlalu ingin menang sendiri, untuk mendebatnya juga tidak susah, tapi orang berhidung singa itu rupanya tidak mau membantah, dengan menahan gusar ia berkata. "Suhu memberi perintah agar aku membawamu pulang, kau berani membangkang pada perintah ini?"

"Suhu paling sayang padaku, asal nanti Jisuko menyampaikan pada beliau bahwa aku telah bertemu dengan Cihuku ditengah jalan serta pergi pesiar bersamanya ke Kanglam, nanti kalau kami pulang akan kubawakan oleh-oleh yang bagus buat beliau," demikian sahut A Ci dengan tertawa.

"Tidak, kamu harus ikut pulang, kamu telah mengambil... " bicara sampai disini orang itu tidak melanjutkan lagi, ia melirik kearah Siau Hong seperti khawatir rahasianya didengar orang luar, dan sesudah merandek sejenak, lalu ia melanjutkan, "Suhu sangat marah dan kamu diharuskan segera pulang."

"Jisuko," demikian A Ci memohon, "Sudah tahu Suhu lagi marah, mengapa engkau tega memaksa aku pulang, bukankah aku akan dihajar oleh beliau? Awas, jika Jisuko memaksa, kelak kalu Jisuko dihukum Suhu, tentu aku pun tidak mau memintakan ampun lagi bagimu."

Rupanya ucapan A Ci yang terakhir ini agak mempengaruhi pikiran si lelaki hidung singa ini, mungkin anak dara itu memang sangat disukai dan dimanjakan oleh gurunya, si iblis tua Sing-siok-hai, segala apa yang dia minta selalu diluluskannya.

Maka sesudah pikir sejenak, segera orang aneh itu berkata, "Jika engkau berkeras tidak mau pulang, boleh juga kau serahkan kedua macam barang itu padaku, dengan begitu dapatlah aku mempertanggung-jawabkan tugasku kepada Suhu dan mungkin amarah beliau dapat diredakan."

"Apa katamu? Dua macam barang apa? Sungguh aku tidak paham." ujar A Ci.

Mendadak orang berhidung singa itu menarik muka, sahutnya, "Sumoay, jika aku tidak mau main kasar padamu adalah karena mengingat sesama saudara perguruan, tapi kamu sendiri harus bisa membedakan antara yang baik dan jelek."

"Sudah tentu aku bisa membedakan," sahut A Ci, "Engkau menemani aku makan minum adalah baik, tapi engkau memaksa aku pulang ketempat Suhu itulah yang jelek."

"Pendek kata kau mau serahkan kedua macam barang itu atau tidak? Atau mau ikut pulang saja?" desak pula orang itu.

"Aku tidak mau pulang juga tidak tahu barang apa yang kau inginkan," sahut A Ci. "O, barangkali kau ingin membawa sesuatu barangku ini? Baiklah! Nah, boleh kau bawa tanda pengenalku, ini tusuk kondaiku." Sembari berkata ia terus ambil sebentuk tusuk-kondai dari sanggulnya.

"Jangan berlagak pilon, Sumoay! Apa kau paksa aku harus turun tangan?" desak pula orang itu sambil melangkah maju.

A Ci kenal betapa lihai kepandaian sang Suheng, ia tahu bukan tandingannya, apalagi ilmu silat golongan Sing-siok-hai mereka itu sangat ganas, sekali turun tangan tanpa kenal ampun lagi, kalau tidak mati tentu terluka parah, kalau terluka parah tentu akan tersiksa oleh racun jahat dan akhirnya juga akan mati lebih mengerikan.

Sebab itulah diantara sesama saudara seperguruan mereka tidak pernah saling latih, begitu pula diantara guru dan murid juga tidak pernah menjajal kepandaian masing-masing.

Pada waktu iblis tua Sing-siok-hai mengajari muridnya juga dipisah-pisahkan ditempat yang berlainan, setiap murid juga berlatih tersendiri dan saling tidak tahu sampai dimana kepandaian masing-masing. Hanya kalau bertemu musuh dan disitulah baru diketahui tinggi atau rendah kepandaiannya.

A Ci sendiri pernah menyaksikan Jisukonya itu membinasakan tujuh bandit besar di perbatasan Sujwan dan Tibet, betapa ganas cara turun tangannya benar-benar sangat keji, maka betapa pun ia merasa jeri juga bila sang Suheng benar-benar turun tangan dan main paksa padanya.

Menurut peraturan perguruan mereka, sekali A Ci sudah menjajal sang Suheng dengan arak berbisa, itu berarti suatu tantangan yang luar biasa, sebab kalau Suheng yang berhidung singa itu mengaku kalah, maka selama hidupnya akan selalu berada dibawah perintah A Ci.

Tapi kini ia telah lulus dari ujian, ia telah minum habis arak berbisa si A Ci tadi, menurut aturan itu berarti A Ci sudah kalah dan tidak boleh melawan perintahnya lagi.

Tahu gelagat jelek, segera A Ci menarik-narik lengan baju Siau Hong sambil berseru, "Cihu, tolong, Cihu! Dia akan menyerang aku, Cihu, tolong Cihu!"

Berulang-ulang dipanggil 'Cihu', hati Siau Hong menjadi lemas, teringat pula pesan tinggalan A Cu tempo hari, segera ia bermaksud menghalaukan lelaki berhidung singa itu.

Tapi sekilas dilihatnya darah yang berceceran dilantai, yaitu darah lidah sipelayan yang terpotong tadi, kembali Siau Hong merasa anak dara itu terlalu gabah tangan, kalau sekarang dibiarkan ketakutan dulu, agar dia agak kapok dan kelak takkan berani terlalu nakal. Maka ia sengaja tinggal diam saja dengan memandang jauh keluar jendela.

Melihat si A Ci minta bantuan kepada Siau Hong, lelaki hidung singa itu pikir dara cilik itu harus dibikin takut, untuk mana jago yang diandalkan ini harus dibikin keok dulu, dengan demikian tentu dara cilik itu akan ikut pulang dengan menurut. Maka tanpa bicara lagi segera ia pegang pergelangan tangan kiri Siau Hong terus dipencet.

Dalam pada itu sebenarnya Siau Hong sudah siap, begitu melihat pundak kanan orang sedikit bergerak, segera ia tahu orang hendak menyerang. Tapi ia sengaja tinggal diam dan membiarkan tangannya dipegang orang itu. Dan begitu tangan orang menyentuh kulitnya, segera ia merasakan panas bagai dibakar, ia tahu orang itupun berbisa jahat.

Selama hidup Siau Hong justru paling benci kepada kepandaian yang berbisa jahat seperti itu. Tapi ia tetap diam saja, hanya tenaga murni ia kerahkan ke pergelangan tangan, lalu katanya dengan tertawa, "Ada apa? O, barangkali saudara ingin ajak minum arak padaku? Baiklah, mari, mari silahkan!"

Sambil berkata ia terus menggunakan tangan kanan untuk menuang dua mangkuk arak. Dalam pada itu si lelaki hidung singa telah mengerahkan tenaga sekuatnya, tapi ia lihat Siau Hong masih tetap seenaknya saja bagai tidak merasakan sesuatu apa, diam-diam ia membatin; "Huh, jangan senang-senang dulu, sebentar baru kau tahu rasa."

Segera iapun menjawab. "Mau minum arak ayolah minum, kenapa aku tidak berani?"

Habis berkata terus saja ia angkat mangkuk arak itu dan ditenggak. Diluar dugaan baru arak itu mengalir masuk kerongkongan, mendadak dari dalam rongga dada serasa ada arus tenaga yang entah timbul dari mana, langsung tenaga dalam itu menyerang keatas.

Ia tidak tahan lagi, ia terbatuk-batuk hingga arak yang sudah ditenggak itu tersembur keluar kembali, habis itu ia masih terus batuk hingga sekian lama.

Kejadian itu membuatnya terkejut tak terperikan. Arus tenaga yang membalik keluar itu terang berasal dari tenaga dalam orang yang disalurkan melalui tangannya yang terpegang itu.

Coba kalau orang mau incar jiwanya, sungguh gampangnya seperti merogoh saku sendiri. Dalam kagetnya cepat ia hendak melepaskan pergelangan tangan Siau Hong.

Tak tersangka sekarang hendak lepas tangan pun tidak bisa lagi. Tangan Siau Hong itu seperti mengeluarkan tenaga melengket hingga tangan lelaki hidung singa itu sukar ditarik kembali.

Dalam kagetnya orang itu masih menarik-narik sekuatnya. Tapi Siau Hong tetap diam saja, biar bagaimana pun orang itu menarik dan meronta, sedikitpun Siau Hong tak tergerak.

Dalam pada itu Siau Hong menuang arak pula dan berkata, "Tapi kamu belum sempat minum arak ini, sekarang silahkan minum semangkuk saja dan barulah kita berpisah ya?"

Orang itu masih meronta-ronta sekuatnya dan tetap susah melepaskan diri. Tanpa pikir lagi ia terus menempeleng muka Siau Hong dengan tangan lain. Belum kena dihantam Siau Hong lantas mengendus bau amis busuk, bau mirip ikan mati.

Segera ia angkat tangan kanan dan mengibas pelahan keatas hingga pukulan orang itu menceng kearah lain, "plak" tanpa kuasa lagi orang itu menghantam bahu sendiri, saking kerasnya hingga ruas tulang pundak sampai keseleo.

"Ai, ai, Jisuko, mengapa engkau begini sungkan hingga menghajar dirinya sendiri, kan aku yang merasa tidak enak?" demikian A Ci malah menggodanya.

Sungguh dongkol dan gemas lelaki hidung singa itu tidak kepalang, tapi apa daya, tangan yang lengket dipergelangan tangan Siau Hong itu tak bisa ditarik kembali, untuk menyerang lagi pun tidak berani, segera ia mengerahkan tenaga dalam, Ia hendak salurkan racun yang terdapat pada tangannya itu kedalam badan musuh.

Tak terduga, begitu tenaganya kebentur dengan tangan Siau Hong, kontan tenaga itu terdesak balik, bahkan terdesak terus kelengan. Karuan lelaki hidung singa itu terkejut, cepat bertahan mati-matian, namun celaka, selisih lwekangnya dengan Siau Hong terlalu jauh, ia tidak kuat melawan, arus tenaga dalam yang mengandung racun itu bagaikan gelombang samudra yang membanjir kedalam sungai, setelah membanjir ke lengan, terus kebahu dan lambat-laun sampai didada.

Lelaki hidung singa kenal racun di tangan sendiri itu luar biasa lihainya, asal menyerang jantung seketika orangnya akan binasa. Kini racun itu benar-benar 'senjata makan tuan', dibawah desakan lwekang musuh arus racun itu tak bisa ditahan lagi. Saking kelabakan sampai keringatnya berbutir-butir memenuhi jidatnya.

"Wah, Jisuko, lwekangmu sungguh tinggi sekali," demikian A Ci berolok-olok lagi, "Hawa sedingin ini, tapi engkau malah berkeringat, sungguh aku kagum sekali padamu!"

Sudah tentu si lelaki hidung singa tidak pikirkan lagi sindiran A Ci itu, yang paling penting baginya sekarang ialah menyelamatkan jiwa lebih dulu. Maka ia coba bertahan sekuat mungkin, sebelum ajal ia pantang mati.

Diam-diam Siau Hong berpikir, "Selamanya aku tiada permusuhan dengan orang ini, meski dia hendak menyerang aku secara keji, buat apa aku membunuh dia?"

Maka mendadak ia tarik kembali tenaga dalamnya. Seketika lelaki hidung singa itu merasa tangannya terlepas, arus racun yang hampir mendekat jantung itu seketika menyurut kembali. Dalam girang dan kejutnya cepat ia melangkah mundur beberapa tindak dan tidak berani mendekat Siau Hong lagi.

Meski barusan ia hampir mendaftarkan diri kepada raja akhirat, tapi sipelayan tidak tahu apa-apa, khawatir orang marah, pelayan itu mendekatinya untuk menuangkan arak. Diluar dugaan mendadak lelaki hidung singa itu menggaplok muka sipelayan. Sekali pelayan itu menjerit, kontan orangnya roboh telentang.

Habis hantam sipelayan, lelaki hidung singa itu lantas lari cepat keluar restoran dan menuju kearah barat daya, dari jauh terdengar suara suitannya yang tajam melengking, makin lama makin jauh.

Waktu Siau Hong periksa sipelayan, ia lihat selebar mukanya matang biru, terang sudah binasa, Ia menjadi gusar dan berseru. "Orang itu benar-benar kejam, telah kuampuni jiwanya, tapi dia malah membunuh orang."

Segera ia pun berbangkit dan bermaksud akan mengejar.

Tapi A Ci lantas mencegahnya, "Cihu, duduklah, biar kujelaskan padamu."

Jika A Ci memanggil Kiau-pangcu atau Siau-toako, tentu Siau Hong takkan gubris padanya. Tapi panggilan "Cihu" itu telah membuatnya teringat kepada A Cu. Dengan rasa terharu ia tanya, "Ada apa?"

"Bukan Jisuko kejam, soalnya tadi dia tak berhasil mencelakai engkau, racunnya tidak terlampias, maka ia perlu membunuh seorang sebagai gantimu," tutur A Ci.

Siau Hong tahu diantara ilmu silat kaum Sia-pai memang ada cara begitu, bila racun yang mestinya dikeluarakan itu tidak dikeluarkan, paling tidak harus dihantamkan pada seekor kuda atau kerbau, kalau tidak, racun itu akan membalik dan mencelakai diri sendiri. Maka katanya, "Jika dia ingin mengimpaskan racun, kenapa dia tidak hantam seekor hewan saja, tapi membunuh manusia?"

"Orang goblok seperti dia apa bedanya dengan hewan?" sahut A Ci. "Membunuh orang seperti dia itu tidakkah sama seperti membunuh seekor babi?"

Sungguh ngeri Siau Hong mendengar cara omong A Ci yang sewajarnya, sedikit pun tidak merasa menyesal, seakan-akan jiwa manusia itu seperti jiwa semut saja.

Ia pikir watak nona cilik ini sudah sejahat ini, buat apa diurus lagi? Apalagi saat itu orang-orang restoran telah merubung keluar lagi, ia tidak ingin tersangkut perkara pula, segera ia berbangkit dan tinggal pergi menuju ke utara.

Ia dengar A Ci sedang menyusulnya, segera ia percepat langkahnya hingga dalam sekejap saja dara cilik itu telah tertinggal jauh.

Tapi segera ia dengar seruan A Ci, "Cihu, Cihu! Tunggu, Cihu! Aku... aku akan ketinggalan, lho!"

Kalau bicara berhadapan dan melihat kelakuan anak dara itu, seketika Siau Hong akan merasa jemu padanya. Tapi kini mendengar suara seruannya dari belakang, suara itu nyaring merdu dan mirip benar dengan suara A Cu. Seketika perasaan Siau Hong terguncang hebat, tanpa terasa ia membalik tubuh, dengan mengembang air mata ia lihat seorang anak dara berlari-lari mendatangi dan sungguh mirip sekali seakan-akan A Cu telah hidup kembali.

Sambil pentang kedua tangan menyambut kedepan, tanpa terasa Siau Hong berseru pelahan, "A Cu, A Cu! O, A Cu!"

Saat itu samar-samar ia merasa seperti berhadapan dengan A Cu, Ia menjadi terkejut dan sadar kembali ketika mendadak sesosok tubuh yang lunak menubruk kepelukannya dan mendengar suara sigadis. "Cihu, kenapa engkau tidak menunggu padaku?"

Pelahan Siau Hong melepaskan A Ci dari pelukannya, katanya. "Buat apa kau ikut padaku?"

"Engkau telah menghalaukan Jisukoku, dengan sendirinya aku mesti menghaturkan terima kasih padamu." sahut A Ci.

"Itu tidak perlu, toh aku tidak sengaja hendak membantumu, soalnya dia hendak menyerang aku, kalau aku tidak membela diri tentu akan mati ditangannya," sahut Siau Hong dengan sikap dingin. Lalu putar tubuh hendak tinggal pergi lagi.

Segera A Ci memburu maju dan hendak menarik tangan Siau Hong. Tapi sedikit Siau Hong mengengos, tangan A Ci memegang tempat kosong, dengan sempoyongan ia terjerembab kedepan.

Dengan ilmu silatnya sebenarnya A Ci dapat menegakkan tubuhnya, tapi ia justru gunakan kesempatan itu untuk menggoda, ia sengaja jatuh ketanah salju sambil berseru, "Aduh! Sakit!"

Sudah terang Siau Hong tahu bocah itu cuma pura-pura saja, tapi demi mendengar suaranya yang merdu itu, seketika benaknya terbayang akan diri A Cu. Tanpa terasa ia putar balik, sekali tarik ia angkat bangun A Ci.

Ia lihat anak dara itu lagi tertawa genit, katanya, "Cihu, Ciciku minta engkau menjaga diriku, mengapa engkau tidak menurut pesannya? Aku seorang nona cilik, hidupku sebatang-kara, banyak orang jahat akan bikin susah padaku, mengapa engkau tidak urus dan tidak gubris padaku?"

Ucapan itu kedengarannya sangat mengesankan dan penuh kasihan, biarpun Siau Hong tahu anak dara itu cuma omong kosong belaka, tapi hatinya menjadi lemas juga. Tanyanya, "Untuk apa kau ikut padaku? Perasaanku sendiri lagi masgul, tidak nanti aku mau bicara denganmu, apalagi kalau kamu berbuat sembarangan, tentu aku akan menghajarmu."

"Engkau masgul, aku akan menghibur padamu, dengan begitu bukankah hatimu lambat-laun akan gembira lagi?" ujar A Ci. "Jika aku boleh ikut, pada waktu engkau minum arak, aku akan menuangkan arak bagimu. Jika engkau ganti pakaian, akan kucuci dan tambal bajumu bila perlu. Bila aku berbuat salah, dan engkau suka mengajar, itulah paling baik malah. Sejak kecil aku sudah ditinggalkan orang tua, tiada orang yang mengajar padaku, segala apa aku memang tidak paham... "

Berkata sampai disini, matanya menjadi merah basah.

Tapi Siau Hong pikir. "Mereka, kakak dan adik memang berbakat main sandiwara, bicara tentang menipu orang boleh dikata kepandaian mereka tiada bandingannya. Untung aku sudah kenal nona ini sangat keji, tidak nanti aku tertipu. Sebab apakah dia tetap ingin ikut padaku? Tipu muslihat apakah yang terkandung dalam hatinya, Jangan-jangan gurunya sengaja mengirim dia untuk memancing aku dan akan bikin celaka padaku? Ya, jangan-jangan musuh yang kucari itu ada sangkut-pautnya dengan iblis tua Sing-siok-hai itu? Bahkan bisa jadi dia sendiri yang menjadi biang keladinya?"

Berpikir demikian, seketika timbul suatu keputusannya, "Masakah seorang laki-laki sebagai Siau Hong mesti takut kepada kemungkinan ditipu oleh anak dara seperti dia itu? Kenapa aku tidak turuti saja permintaannya, akan kulihat tipu muslihat apa yang akan dikeluarkannya. Boleh jadi pada diri anak dara inilah akan dapat kubalas sakit hatiku, Ya, siapa tahu?"

Karena pikiran itu, segera ia berkata, "Jika begitu, baiklah, boleh kau ikut padaku. Tetapi aku janji lebih dulu, jika kamu sembarangan membikin susah orang atau membunuh orang lagi, tentu aku takkan mengampunimu."

A Ci menjulurkan lidah, kemudian menyahut, "Habis bila orang lain yang ingin membikin susah padaku, lantas bagaimana? Dan jika orang jahat yang kubunuh lantas bagaimana lagi?"

Siau Hong pikir anak dara ini sungguh terlalu licin dan nakal, bukan mustahil dia akan mencari macam-macam alasan untuk membela diri, jika dia menimbulkan gara-gara lagi. Maka katanya, "Apakah orang lain itu orang jahat atau bukan, tidak perlu dipeduli. Pendek kata, sekali kamu berada bersamaku, selama itu kamu tidak boleh bertengkar dengan orang. Kamu berada denganku, tidak nanti orang lain berani mengganggumu."

"Ai, engkau hanya Cihuku, tapi engkau lebih keras mengajarku daripada orang tuaku." kata A Ci.

"Coba kalau Ciciku tidak meninggal dan sempat menikah denganmu, bukankah dia juga akan mati dikekang oleh perintahmu?"

Siau Hong menjadi gusar, sungguh ia ingin damprat anak dara itu, tapi segera hatinya lemas lagi. Ketika dilihatnya sorot mata A Ci menyinarkan sifat-sifat yang nakal dan licin, kembali ia pikir, "Aneh, mengapa ia merasa senang oleh apa yang kukatakan itu?"

Karena tak bisa menerka sikap anak dara itu, ia lantas melanjutkan perjalanan lagi. Kira-kira dua tiga li jauhnya, mendadak teringat olehnya, "Ai, celaka! Mungkin dara cilik ini sedang menghadapi suatu musuh besar atau lawan tangguh, makanya aku ditipu untuk membela dia. Tadi aku telah menyatakan, 'Kamu berada denganku, tidak nanti orang berani mengganggumu' Dan itu berarti aku telah berjanji untuk melindungi dia. Padahal dia dipihak yang benar atau salah, meski aku tidak menyatakan sesuatu, asal dia berada disampingku dengan sendirinya aku tidak membiarkan dia diganggu siapapun juga."

Dan setelah beberapa li lagi, tiba-tiba A Ci membuka suara pula, "Cihu, ketimbang kesepian akan kunyanyikan suatu lagu, mau tidak?"

"Tidak!" sahut Siau Hong ketus.

Ia sudah ambil keputusan, pendek kata apa saja yang dikehendaki anak dara itu, seluruhnya akan dijawabnya tidak. Terhadap anak dara yang nakal itu harus pakai sikap keras dan ketus, supaya dia kapok.

Sudah tentu A Ci kurang senang oleh jawaban Siau Hong itu, dengan memoncongkan mulut yang mungil ia berkata, "Engkau ini memang terlalu, Eh, jika begitu aku akan mendongeng saja, mau tidak?"

"Tidak!" jawab Siau Hong tetap.

"Kalau begitu, marilah kita main teka-teki saja, mau?"

"Tidak!" kembali Siau Hong menolak.

"Ya, sudahlah, Eh, engkau saja yang mendongeng, setuju?"

"Tidak!"

"Atau engkau saja yang menyanyi, mau?"

"Tidak!"

"Engkau saja yang melucu, juga tidak?"

"Tidak!"

Begitulah segala permintaan A Ci selalu dijawab dengan 'tidak' oleh Siau Hong tanpa pikir.

Mendadak A Ci berkata pula, "Jika begitu, aku takkan meniup seruling untukmu, mau tidak?"

"Tidak!" tetap Siau Hong menjawab begitu, Dan begitu jawaban itu diucapkan, segera ia sadar telah terjebak oleh akal anak dara itu.

Yang ditanya A Ci adalah 'aku takkan meniup seruling untukmu' dan dia menjawab 'tidak' maka itu berarti dia minta anak dara meniupkan seruling. Tapi karena sudah kadung diucapkan, ia pikir masa bodohlah, kau mau meniup seruling boleh, silahkan sesukamu.

Begitulah lalu A Ci berkata dengan gegetun, "Ai, Cihu ini memang susah diladeni, Ini tidak, itu juga tidak, ini tidak mau, itu pun emoh. Tak tahunya minta ditiupkan seruling. Baiklah, akan kupenuhi keinginanmu." Habis berkata, lalu ia mengeluarkan sebatang seruling kemala.

Seruling kemala itu bentuknya luar biasa, seluruhnya putih mulus, panjangnya cuma belasan senti saja, kecil mungil. Segera A Ci taruh seruling itu di bibirnya dan mulai meniupnya, seketika tersiarlah bunyi seruling yang tajam melengking berkumandang jauh.

Tergerak hati Siau Hong. Tadi waktu lelaki hidung singa itu berlari pergi jauh pernah mengeluarkan suara suitan tajam seperti itu. Sebenarnya suara seruling itu nyaring dan merdu, tapi suara seruling kemala putih ini tajam mengerikan terang bukan suara irama musik.

Segera tahulah Siau Hong, katanya didalam hati, "Hm, kiranya telah kau sembunyikan begundalmu disini untuk menyergap diriku, Hah, masakah aku jeri pada kaum keroco seperti kalian ini?"

Tapi ia pun tahu ilmu silat anak murid iblis tua Sin-siok-hai itu tentu sangat lihai, jika bertempur secara terang-terangan tentu saja ia tidak takut, tapi kalau mereka menggunakan muslihat keji, sedikit lengah saja pasti akan masuk perangkap mereka.

Sementara itu ia dengar suara seruling A Ci masih terus mendenging-denging, sebentar tinggi sebentar rendah nada suaranya, terkadang seperti babi disembelih, tempo-tempo bagaikan setan menjerit. Sungguh aneh dan ganjil sekali bahwa seorang gadis cantik sebagai A Ci dengan seruling kemala yang bagus itu, ternyata suara yang keluar dari alat musik itu justru melengking jelek.

Namun Siau Hong tak mau ambil pusing lagi, ia meneruskan perjalanannya. Tidak lama kemudian sampailah disuatu jalan pegunungan yang sempit dan panjang, lereng gunung itu curam dan sukar ditempuh. Diam-diam Siau Hong membatin, "Jika musuh bermaksud menyergap aku, tentu disinilah tempatnya."

Benar juga, sesudah membelok suatu lintasan dan naik keatas bukit lagi, segera tertampak didepan menghadang empat orang. Pakaian keempat orang itu terdiri dari kain belacu kuning kasar, dandanan mereka tiada ubahnya seperti lelaki hidung singa yang ngacir di restoran itu.

Keempat orang itu tidak berdiri sejajar, tapi berbaris muka dan belakang, setiap orang membawa tongkat baja panjang.

Melihat keempat orang itu, seketika A Ci berhenti meniup serulingnya. Segera ia menyapa. "He, Samsuko, Sisuko, Jitsuko, Patsuko, baik-baikkah kalian? Mengapa begini kebetulan kalian berkumpul disini?"

Siau Hong lantas berhenti juga, ia sengaja bersandar didinding tebing ditepi jalan sambil mengulet kemalas-malasan, ia pura-pura tidak ambil pusing dan ingin tahu permainan apa yang hendak dilakukan mereka.

Orang yang berdiri paling depan diantara barisan empat orang itu adalah laki-laki setengah umur dan berbadan gemuk, lebih dulu ia mengamat-amati Siau Hong, habis itu barulah berkata, "Siausumoay, baik-baikkah kau? Mengapa kamu melukai Jisuko?"

"Hah, Jisuko terluka?" demikian A Ci pura-pura kaget, "Siapakah yang melukai dia? Parah tidak lukanya?"

"Huh, masih berlagak pilon? Jisuko bilang kamu yang menyuruh orang melukainya," demikian seru orang yang berdiri paling belakang pada barisan itu. Orang itu bertubuh cebol, tempatnya paling belakang pula, maka badannya menjadi teraling-aling oleh tubuh ketiga orang yang berada didepannya.

Dengan sendirinya Siau Hong juga tak dapat melihat potongan tubuhnya, tapi dari suaranya yang cepat itu, terang seorang yang berwatak keras beranggasan. Malahan tongkat yang dipegang si cebol itu sangat panjang dan besar, suatu tanda tenaganya pasti sangat kuat. Mungkin karena tubuhnya pendek, maka dalam hal senjata ia sengaja hendak lebih menonjol daripada orang lain.

Begitulah maka A Ci telah menjawab, "Patsuko, apa yang kau katakan barusan?"

"Jisuko bilang kamu telah menyuruh orang lain untuk melukainya!" demikian teriak si cebol dengan gusar.

"Hah, Jisuko bilang kamu menyuruh orang untuk melukai dia?" demikian A Ci menirukan. "Ai, ai, mengapa kamu begitu kejam, kalau Suhu tahu, pasti kamu akan dihajar setengah mati, apa kamu tidak takut?"

Karuan si cebol berjingkrak gusar karena ucapannya diputar-balik oleh A Ci, ia ketuk-ketuk tongkat bajanya ketanah hingga mengeluarkan suara gemerantang keras, lalu teriaknya pula, "Kamu yang melukainya, bukan aku!"

"O, kamu yang melukainya, dan bukan aku! Bagus jika begitu, kau sendiri telah mengaku, Nah, Samsuko, Sisuko dan Jitsuko, kalian sendiri mendengar bukan, Patsuko bilang dia yang membinasakan Jisuko." demikian A Ci, "Ya, tahulah aku, tentu kau binasakan Jisuko dengan 'Sam-im-gia-kang-jiau' (cakar kelabang beracun dingin) betul tidak?"

Sungguh gemas si cebol bukan buatan, kembali ia berteriak, "Siapa bilang Jisuko mati? Dia tidak mati, lukanya juga bukan terkena 'Sam-im-gia-kang-jiau'... "

"Hah, bukan "Sam-im-gia-kang-jiau'?" demikian A Ci memotong. "Nah, kalau begitu tentu 'Tau-jwe-ciang' (pukulan penghisap sumsum), itulah kepandaianmu yang tiada bandingannya, sedikit Jisuko kurang hati-hati, maka celakalah dia, Ai, engkau. . . .engkau benar-benar sangat lihai!"

- Siapakah keempat orang dogol ini dan cara bagaimana mereka akan dipermainkan oleh A Ci?

- Akan kemana akhirnya Siau Hong bersama A Ci?

Jilid ke40

Si cebol menjadi tidak sabar lagi, ia berteriak, "Samsuko, ayolah lekas turun tangan, tangkaplah budak cilik itu biar Suhu menghukumnya nanti, dia... dia entah mengoceh apa, sungguh kurang ajar!"

Tapi karena ia sendiri sedang gusar, suaranya gemeresek pula dan terlalu bernapsu, maka apa yang ia katakan menjadi kurang terang.

"Rupanya kita juga tidak perlu pakai kekerasan," demkian kata si gendut, "Biasanya Siau sumoai sangat penurut, maka marilah ikut pulang saja, Siausumoai!"

"Baiklah, Samsuko, apa yang kau katakan memang selalu kuturut," sahut A Ci dengan tertawa.

Si gendut terbahak-bahak, katanya. "Itulah bagus, memang kamu ini sangat penurut, Marilah kita berangkat!"

"O, ya, silahkan!" sahut A Ci.

Kembali si cebol yang berada paling belakang itu berkaok-kaok, "He,silakan apa kau bilang! Kamu harus ikut pulang bersama kami, tahu?"

"Silakan kalian berangkat dulu, sebentar tentu akan kususul." kata A Ci.

"Tidak, tidak bisa!" seru si cebol. "Kamu harus ikut bersama kami!"

"Aku sih menurut saja, tapi sayang Cihuku itu tidak boleh," kata A Ci sambil menuding Siau Hong.

"Ini dia, sandiwaranya sudah mulai main," demikian Siau Hong membatin. Tapi ia masih tetap bersandar didinding batu sambil bersedekap seakan-akan tidak peduli apa yang terjadi didepannya itu.

Maka si cebol bertanya, "Siapakah Cihumu? Mengapa aku tidak melihatnya?"

"Tubuhmu terlalu jangkung, maka Cihuku tidak dapat melihatmu." sahut A Ci dengan tertawa.

Dasar watak si cebol itu memang sangat beranggasan, apalagi kalau ada orang mengolok-olok tentang tubuhnya yang cebol, tentu akan dilabraknya mati-matian. Maka mendadak terdengar suara "trang" sekali, tongkatnya mengetuk sekali ketanah dan badan lantas melayang kedepan melampaui ketiga orang Suhengnya, lalu turun didepan A Ci.

"Ayo, lekas ikut pulang bersama kami!" demikian ia membentak terus hendak mencengkeram pundak si A Ci.

Kini dapatlah Siau Hong melihat potongan si cebol itu, meski badannya pendek, tapi pinggangnya besar dan pundaknya lebar hingga sekilas dipandang jelas cukup tangkas orangnya, bahkan gerak-geriknya juga gesit.

A Ci ternyata tidak menghindar akan cengkeraman si cebol tadi, ia diam saja. Diluar dugaan tangan si cebol lantas berhenti, ketika hampir menyentuh pundak A ci, mendadak ia ragu dan tertegun, akhirnya ia tanya; "Apakah sudah kau gunakan, ya?"

"Gunakan apa?" sahut A Ci.

"Sudah tentu Pek-giok-giok-ting. . . . ." baru si cebol mengucap istilah itu, mendadak ketiga kawannya membentak bersama, "Patsuko, apa yang kau katakan?"

Bentakan yang bengis dan berwibawa itu membuat si cebol bungkam, sikapnya menjadi jeri dan gugup.

Meski Siau Hong acuh tak acuh sejak tadi, tapi setiap gerak-gerik A Ci dan keempat Suhengnya itu selalu tak terhindar dari pengawasannya. Diam-diam ia membatin, "Benda apakah Pek-giok-giok-ting itu? Dari sikap keempat orang ini agaknya adalah semacam benda yang sangat penting, mereka bersembunyi disini untuk menyergap aku, kenapa mereka tidak lantas turun tangan, tapi malah bertengkar sendiri, jangan-jangan mereka khawatir tak mampu melawan aku, maka ingin menunggu bala bantuan lain lagi?"

Dalam pada itu dilihatnya si cebol sedang menjulurkan tangan dan berkata pula, "Mana, serahkan!"

"Apa yang kau inginkan?" tanya A Ci.

"Sudah tentu Pek. . .pek. . .ya, kau tahu sendiri." sahut si cebol dengan tergagap.

"Sudah kuberikan pada Cihuku," jawab A Ci tiba-tiba sambil menuding Siau Hong.

Diam-diam Siau Hong merasa jemu kepada mereka, ia pikir buat apa meladeni? Pelahan ia menegak, mendadak kaki mengentak, tahu-tahu badan mengapung keatas dan secepat terbang ia melayang lewat diatas kepala orang-orang itu.

Gerakan Siau Hong itu sangat aneh dan cepat, sama sekali keempat orang itu tidak melihat Siau Hong bergerak atau tahu-tahu mereka merasa angin menyambar lewat diatas kepala, lalu tertampak Siau Hong sudah jauh berada dibelakang mereka.

Segera keempat orang itu berteriak-teriak sambil memburu. Tapi ginkang Siau Hong sangat tinggi. Biarpun mereka memeras sepenuh tenaga tetap tak sanggup menyusul.

Maka hanya sekejap saja Siau Hong sudah berada belasan meter jauhnya, sekonyong-konyong didengarnya dari belakang ada angin menyambar, semacam senjata yang antep ditimpukkan kepunggungnya. Tanpa menoleh juga Siau Hong tahu itulah pasti tongkat baja. Maka sekali tangan kirinya membalik kebelakang, tepat tongkat itu kena ditangkapnya.

Dengan gusar keempat orang itu membentak-bentak pula dan kembali dua batang tongkat ditimpukkan lagi. Tapi dapat ditangkap pula oleh Siau Hong.  

Setiap batang tongkat baja itu bobotnya masing-masing ada 50 kati, dengan memegang tiga batang tongkat itu berarti membawa barang seberat 150 kati. Tapi langkah Siau Hong sedikit pun tidak menjadi kendor, ia tetap lari dengan cepat.

Sekonyong-konyong Siau Hong mendengar angin keras menyambar lagi dari belakang, sekali ini lebih hebat dari pada ketiga tongkat yang duluan, ia menduga pasti si cebol yang menimpuknya.

Watak Siau Hong memang penggemar silat, tapi bukan seorang yang suka berkelahi. Selama beberapa bulan ini ia telah mengalami banyak kejadian yang kurang menyenangkan, tapi juga jarang bertempur dengan orang, memangnya hatinya sedang masgul, maka ia menjadi sebal juga dikejar oleh empat orang, pikirnya; "Orang-orang ini tidak kenal gelagat, biar kuberi rasa sedikit kepada mereka."

Dalam pada itu didengarnya tongkat si cebol sudah dekat dibelakang kepalanya, cepat ia meraih kebelakang dan tongkat itu kena ditangkapnya sekalian.

Melihat senjata mereka dirampas oleh musuh, keempat orang itu menjadi gusar dan jeri pula, mereka tahu biarpun nanti dapat menyusul orang toh belum tentu mampu menempurnya. Tapi mereka masih penasaran, sambil berteriak-teriak dan membentak-bentak mereka masih terus mengejar sekencangnya.

Siau Hong membiarkan mereka mengejar terus, suatu saat, mendadak "srek", ia berhenti.

Sebaliknya keempat orang tadi sedang mengejar dengan mati-matian, saking napsunya ingin menyusul Siau Hong hingga mereka hampir-hampir menyeruduk orang yang diubernya itu. Untung mereka sempat mengerem, dan rupanya 'rem angin', dengan cepat dapatlah mereka berhenti juga. Coba kalau remnya blong, tentu mereka akan manabrak Siau Hong. Begitulah mereka jadi kaget dan gusar pula, dengan napas tersengal-sengal mereka melototi Siau Hong.

Sementara itu dari tenaga timpukan tongkat dan cara berlari mereka itu Siau Hong sudah dapat mengukur kepandaian keempat oran itu, selain tenaga si cebol memang luar biasa, bicara tentang ilmu silat terang mereka kalah jauh daripada si lelaki hidung singa yang dijumpai direstoran itu.

Maka dengan tersenyum kemudian Siau Hong bertanya, "Kalian menguber-uber diriku, sebenarnya ada keperluan apakah?"

"Sia... siapakah kau? Ilmu... ilmu silatmu sangat lihai, ya?" demikian si cebol berkata dengan megap-megap.

"Ah, tidak, hanya lumayan saja!" sahut Siau Hong dengan tertawa. Sembari berkata ia terus mengerahkan tenaga dalam pada tangannya, ia tahan sebatang tongkat baja yang dirampasnya itu kedalam tanah.

Tanah pegunungan itu sebenarnya sangat keras, lebih banyak campuran batu daripada pasirnya, tapi tongkat baja itu toh pelahan-lahan amblas kedalam hingga tinggal setengah meter yang tertampak dimuka tanah, waktu Siau Hong tambahi lagi sekali injak dengan kaki, seketika tongkat itu menghilang kedalam tanah.

Melihat betapa hebat tenaga sakti Siau Hong, saking kesima hingga keempat orang itu ternganga mulutnya dan terbelalak matanya.

Begitulah satu persatu Siau Hong tancapkan tongkat baja rampasannya itu ketanah. Ketika tongkat keempat akan dimasukkan juga ketanah, mendadak si cebol melompat maju sambil membentak.

"Jangan merusak senjataku!"

"Baiklah, ini kukembalikan!" sahut Siau Hong dengan tertawa.

Habis berkata, mendadak ia angkat tongkat milik si cebol dan mengincar kedinding batu, sekali timpuk sekuatnya, tahu-tahu tongkat itu menancap didinding karang, hingga tongkat yang panjangnya lebih dua meter itu hanya setengah meter saja yang kelihatan dari luar.

Karuan keempat orang itu sama menjerit kaget oleh tenaga sakti Siau Hong yang luar biasa itu, mereka menjadi jeri dan kagum pula.

Sementara itu A Ci juga telah menyusul tiba, serunya, "Cihu, wah, sungguh hebat sekali kepandaianmu itu, ayolah ajarkan padaku!"

"Apa katamu?" bentak si cebol dengan gusar, "Kamu adalah anak murid Sing-siok-pai, kenapa ingin belajar kepandaian orang luar?"

"Dia adalah Cihuku, mengapa kau katakan orang luar?" sahut A Ci dengan mencibir.

Karena buru-buru ingin mengambil kembali senjatanya, si cebol tak urus padanya lagi, sekali lompat, segera ia hendak menarik tongkatnya yang menancap di dinding karang itu.

Tak terduga bahwa sebelumnya Siau Hong sudah mengukur tinggi-rendah ginkangnya, maka tongkat yang ditimpukkan kedinding karang itu tingginya kira-kira tiga meter dari permukaan tanah, lompatan si cebol menjadi kurang tinggi dan tak dapat mencapai tongkatnya.

Maka A Ci sengaja mentertawakan sambil bertepuk tangan. "Bagus, Patsuko, bila engkau dapat mencabut keluar senjatamu itu, segera aku akan ikut pulang untuk menemui Suhu, kalau tidak, lebih baik kau pulang sendiri saja."

Padahal loncatan si cebol tadi sudah memakai seluruh tenaganya, dalam hal ginkang dia memang terbatas untuk melompat lebih tinggi lagi sesungguhnya tidak gampang baginya. Tapi demi mendengar olok-olok A Ci itu, ia menjadi penasaran, kembali ia melompat sekuat-kuatnya, dan sekali ini hanya jari tengahnya yang menyentuh tongkat baja itu.

"Hanya menyentuh saja tidak dapat dianggap, tapi harus mampu mencabutnya keluar," seru A Ci dengan tertawa.

Dalam murkanya mendadak kepandaian si cebol menjadi bertambah hebat daripada biasanya. Mendadak ia meloncat pula untuk ketiga kalinya, dan sekali ini dapatlah ia mencapai tongkat, segera ia pegang erat-erat tongkat itu sambil digoyang-goyangkan.

Namun panjang tongkat itu lebih dua meter, yang amblas didalam dinding ada satu setengah meter lebih, jika cuma digoyang-goyangkan begitu biarpun tiga hari tiga malam juga takkan dapat mencabutnya keluar, sebaliknya kelakuan si cebol itu menjadi sangat lucu kelihatannya, ia kontal-kantil tergantung diudara dan tak bisa berbuat apa-apa.

"Maaf, aku tak bisa tinggal lebih lama lagi." kata Siau Hong kemudian, segera ia hendak tinggal pergi.

Sungguh si cebol menjadi serba susah, Ia cukup tahu kepandaian sendiri, sekali loncat ia beruntung dapat mencapai tongkat itu, kalau disuruh mengulangi lagi loncatannya pasti tak mampu mencapai setinggi itu. Sedangkan tongkat itu sedemikian kukuhnya menancap dalam dinding, untuk mencabut keluar terang tidak mampu, padahal tongkat itu merupakan senjata andalannya, kalau mesti membuat tongkat yang baru juga susah mendapat barang yang serupa.

Maka ia menjadi sibuk ketika melihat Siau Hong hendak melangkah pergi, segera ia berteriak-teriak, "Hai, nanti dulu, jika mau pergi, tinggalkan dulu Pek-giok-giok-ting itu, kalau tidak, tentu celakalah kamu!"

"Pek-giok-giok-ting apa? Macam apakah benda itu?" sahut Siau Hong.

Segera ketiga orang Sing-siok-hai yang lain memburu maju, kata mereka, "Ilmu silat anda sangat tinggi, kami merasa kagum tak terhingga, Adapun 'ting' yang kecil itu sangat berarti bagi golongan kami, sebaliknya tiada berguna bagi orang luar, maka mohon sudilah tuan mengembalikan kepada kami, untuk mana tentu kami akan memberi balas jasa sepantasnya."

Melihat berulang-ulang mereka menanyakan Pek-giok-giok-ting (tripod kecil buatan kemala hijau) secara sungguh-sungguh, dan agaknya mereka bukan sengaja bersembunyi disitu untuk menyergapnya seperti dugaannya semula, maka Siau Hong lantas menjawab; "Coba unjukkan Giok-ting itu, A Ci, ingin kulihat benda macam apakah itu?"

"Ai, bukankah sudah kuberikan padamu, kenapa engkau malah tanya padaku?" tiba-tiba A Ci menyangkal, "Ya, sudahlah, apakah engkau mau menyerahkan kepada mereka atau tidak, masa bodoh, aku tidak mau ikut campur. Tetapi Cihu, kukira lebih baik engkau simpan saja barang itu."

Mendengar itu, segera Siau Hong dapat menduga Pek-giok-giok-ting yang dimaksudkan itu pasti semacam benda pusaka perguruannya yang telah dicurinya, tapi anak dara itu sengaja mengatakan telah diserahkan padanya, dengan demikian ia ingin membebaskan dirinya dari resiko.

Maka Siau Hong juga tidak mau menyangkal dengan tertawa iapun berkata, "Hahaha, barang yang pernah kau serahkan padaku sangat banyak darimana kutahu yang manakah yang disebut 'Pek-giok-giok-ting' itu?"

Mendengar demikian, cepat si cebol yang masih terkatung-katung di udara itu menyela, "Yaitu sebuah Giok-ting yang panjangnya kurang lebih lima dim, warnanya hijau mulus."

"Ehm, barang demikian agaknya aku pun pernah melihatnya. Ya, memang sebuah mainan yang kecil mungil, tapi apa sih gunanya?" sahut Siau Hong.

"Jangan sembarangan omong kalau memang tidak tahu, masakah benda itu kau anggap mainan saja?" demikian kata si cebol. "Giok-ting itu... "

"Tutup mulutmu, Sute!" bentak si gendut tadi sebelum si cebol melanjutkan ucapannya. Lalu ia berpaling kepada Siau hong dan berkata. "Ya, memang Giok-ting itu hanya semacam mainan yang tiada berarti, tapi barang itu adalah warisan leluhur. Suhu kami memperolehnya dari... dari ayahnya, maka tidak boleh dihilangkan. Tolonglah suka dikembalikan pada kami."

"Wah, cialat, tempo hari entah kutaruh dimana benda itu, apakah masih dapat ditemukan atau tidak, entahlah, aku tak berani menjamin." sahut Siau Hong. "Tapi kalau betul-betul semacam benda penting, biarlah segera kukembali ke Sinyang untuk mencarinya. Cuma sayang jaraknya agak jauh, kalau mesti kembali lagi kesana agak berabe juga."

"Sudah tentu barang penting, marilah lekas kita... kita kembali kesana untuk mencarinya," segera si cebol menyela lagi.

Habis berkata, terus saja ia melompat turun, agaknya ia tidak menginginkan senjatanya lagi, suatu tanda betapa pentingnya Pek-giok-giok-ting yang dicarinya itu.

Namun Siau Hong sengaja ketuk-ketuk jidatnya sendiri sambil berkata, "Ai, selama beberapa hari ini aku kurang minum arak hingga daya ingatanku agak terganggu, adapun Giok-ting yang mungil itu entah... entah tertinggal di Sinyang atau di... di Tayli, Ah, bisa jadi ketinggalan di Cinyang... "

Dasar watak si cebol memang tidak sabaran, segera ia berkaok-kaok lagi. "He, he! Sebenarnya ketinggalan di Sinyang atau di Tayli, atau di Cinyang, jarak letak tempat itu sangat jauh, jangan kau main gila, ya?"

Tapi si gendut bukan orang dungu, ia dapat melihat bahwa Siau hong sengaja hendak mempermainkan mereka, segera ia berkata, "Hendaklah tuan jangan menggoda kami lagi, asal Giok-ting itu dapat kembali dalam keadaan baik-baik pasti kami akan memberi balas jasa yang setimpal, tidak nanti kami ingkar janji."

"Aduh celaka, sekarang ingatlah aku." demikian mendadak Siau Hong berseru.

"Kenapa?" berbareng keempat orang itu bertanya dengan khawatir.

"Ya, ingatlah aku sekarang Giok-ting itu ketinggalan dirumah Be-hujin, dan baru saja kubakar rumah nyonya itu hingga ludes, tentu Giok-ting itupun ikut terbakar, entah benda itu bisa rusak atau tidak?"

"Sudah tentu akan rusak!" seru si cebol. "Wah, celaka... Samsuko, Sisuko, Jitsuko, bagaimana baiknya ini? Ah, sudahlah, aku tak mau ikut campur lagi, kalau nanti didamprat Suhu, masa bodoh, Nah, Siausumoai, boleh kau bicara sendiri saja kepada Suhu, aku tidak mau tahu."

"Tapi aku. . . aku ingat seperti tidak tertaruh dirumah Be-hujin." ujar A Ci dengan tertawa.

"Sudahlah, para Suko, aku tak bisa tinggal lebih lama disini, boleh kalian urukan dengan Cihuku saja."

Habis berkata, sekali menyelinap, segera ia menyerobot kedepan Siau Hong sana. Cepat Siau Hong membalik tubuh dan pentang kedua tangan untuk merintangai keempat orang yang akan mengejar, katanya, "Jika kalian mau menerangkan asal-usul dan kegunaan Pek-giok-giok-ting itu, boleh jadi aku akan membantu kalian untuk menemukannya kembali. Kalau tidak, ya maaf, aku pun tak bisa tinggal lebih lama disini."

"Samsuko," kata si cebol, "Tiada jalan lain, terpaksa terangkan padanya."

"Baiklah," sahut si gendut, "biarlah kuterangkan pada tuan... "

Tapi belum lagi orang melanjutkan ceritanya, mendadak Siau Hong melompat maju kedepan si cebol, ia sanggah bahu orang dan berkata. "Marilah kita naik keatas sana, aku hanya ingin mendengar penuturanmu dan tak mau mendengar ceritanya."

Siau Hong tahu si gendut lahirnya kelihatan jujur, tapi sebenarnya sangat licin, tidak nanti ia mau bicara sesungguhnya. Sebaliknya si cebol meski beranggasan, tapi apa yang dikatakan suka terus terang, maka sekali ia angkat tubuh si cebol mendadak ia lari keatas dinding karang.

Meski dinding karang itu sangat tinggi dan curam, boleh dikata melihat, betapapun orang sukar akan mendakinya, namun Siau Hong terus naik begitu saja dan sekaligus dapat mencapai belasan meter tingginya, ketika dilihatnya ada sepotong batu karang yang menonjol, segera ia taruh si cebol diatas batu karang itu, ia sendiri sebelah kaki menginjak batu itu dan kaki lain menggelantung di udara, lalu katanya; "Nah, boleh kau katakan padaku disini dan takkan didengar oleh siapa pun juga!"

Waktu si cebol melongok kebawah, seketika ia merasa pusing, cepat serunya, "Ba.. bawa aku turun!"

"Silakan melompat turun sendiri," sahut Siau Hong tertawa.

"Busyet, apa minta hancur lebur badanku?" kata si cebol dengan ngeri.

Melihat sifat si cebol masih tetap tulus dan jujur meski menghadapi bahaya, mau tak mau timbul juga rasa suka Siau Hong, segera tanyanya,

"Siapa namamu?"

"Cut-tim-cu!" sahut si cebol.

"Indah juga namamu, cuma sayang tidak sesuai dengan potonganmu yang istimewa ini," demikian Siau Hong membatin dengan tersenyum. Lalu ia berkata pula, "Ya, sudahlah, selamat tinggal, sampai berjumpa pula!"

Karuan si cebol alias Cut-tim-cu menjadi kelabakan, cepat ia menggembor, "He, he! jangan, jangan! Wah, mati aku!"

Sambil menjerit-jerit, ia pegang erat-erat batu karang itu, tapi batu itu gundul dan licin, dalam keadaan terapung di udara, bukan mustahil setiap saat ia bisa tergelincir kebawah. Dengan sendirinya ia sangat ketakutan, ketiga kawannya yang berada dibawah juga menjerit khawatir.

"Nah, lekas katakan, apa gunanya Pek-giok-giok-ting itu?" tanya Siau Hong pula. "Jika tidak kau katakan, segera aku turun kebawah."

"Apa harus... harus kukatakan?" sahut Cut-tim-cu dengan khawatir.

"Tidak katakan juga boleh, nah, selamat tinggal!" kata Siau Hong.

Dengan cepat si cebol memegang lengan baju Siau Hong sambil berseru, "Baik, akan kukatakan, akan kukatakan, Pek-giok-giok-ting itu adalah satu diantara Sam po (tiga pusaka) perguruan kami, gunanya untuk melatih 'Hoa-kang-tai-hoat'. Menurut Suhu kami, katanya orang-orang persilatan Tionggoan asal mendengar 'Hoa-kang-tai-hoat' kami tentu ketakutan setengah mati, maka kalau Giok-ting itu diketemukan mereka tentu akan dihancurkannya, Giok-ting itu adalah semacam benda mestika yang sukar dicari, tak boleh hilang.... "

Sudah lama Siau Hong juga kenal 'Hoa-kang-tai-hoat' dari Sing-siok-pai yang keji dan lihai itu, demi mengetahui bahwa kegunaan Pek-giok-giok-ting itu, maka iapun malas untuk tanya lebih jauh. Segera ia sanggah pula ketiak si cebol dan dibawanya merosot kebawah.

Cara merosot kebawah melalui dinding karang itu sudah tentu jauh lebih cepat daripada mendaki keatas, karuan Cut-tim-cu menjerit-jerit ketakutan, dan belum lagi berhenti teriakannya, tahu-tahu kakinya sudah menginjak tanah, saking ketakutan hingga mukanya tampak pucat dan dengkul pun gemetar, untung tidak sampai terkulai lemas.

"Patsute, apa yang telah kau katakan?" segera si gendut menegur.

Belum lagi si cebol menjawab, mendadak Siau Hong berkata kepada A Ci, "Mana, serahkan!"

"Serahkan apa?" sahut A Ci.

"Pek-giok-giok-ting!" kata Siau Hong.

"Eh, aneh, bukankah tadi kau bilang tertinggal dirumah Be-hujin, mengapa sekarang malah minta padaku?" sahut A Ci.

Siau Hong coba mengamat-amati anak dara itu, ia lihat perawakannya langsing, pakaiannya juga tipis, terang akan kelihatan jika pada badannya terdapat Giok-ting yang besarnya lima dim itu, pikirnya.

"Bocah ini sangat licin, urusan perguruannya sebenarnya aku tidak perlu urus, tapi orang dari golongan Sia-pai seperti mereka ini pun susah dilayani, sekali kena perkara dengan mereka tentu akan terganggu tiada habis-habis, walaupun aku tidak takut, tapi rasanya menjemukan dan lebih baik tidak."

Maka katanya segera, "Terus terang kukatakan bahwa barang itu tiada gunanya bagiku, tidak nanti aku mengambil milik kalian. Terserah kalian mau percaya atau tidak. Maaf, aku tak dapat tinggal lagi disini."

Habis berkata, tentu saja ia melangkah pergi dengan cepat hingga dalam sekejap saja kelima orang itu sudah jauh ketinggalan.

Sekaligus Siau Hong telah mencapai sejauh lebih lima puluh li jauhnya, kemudian barulah ia mencari rumah makan untuk tangsal perut dan minum arak. Malam itu ia menginap dikota Ciu-ong-tiam. Sampai tengah malam, tiba-tiba ia terjaga bangun oleh beberapa kali suara suitan tajam melengking.

Sebagai seorang tokoh kelas wahid, meski suara suitan itu berjarak sangat jauh, tapi dengan lwekangnya yang tinggi dapat didengarnya dengan jelas, ia merasa suara itu agak aneh, Ia coba mendengarkan lagi dengan lebih cermat, selang tak lama, terdengarlah diarah barat-

laut sana ada suara suitan lagi, menyusul dari arah tenggara juga ada sahutan suitan beberapa kali, suitan yang tajam mengerikan itu terang suara seruling yang ditiup oleh anak murid Sing-siok-pai.

Diam-diam Siau Hong tersenyum sendiri, ia pikir buat apa ikut campur urusan mereka. Segera ia rebah dan tidur lagi.

Tapi mendadak terdengar suara seruling mendenging dua kali, jaraknya sangat dekat, terang dibunyikan didalam rumah penginapan itu. Menyusul terdengar pula ada suara orang berkata; "Lekas bangun, Toasuko sudah datang, besar kemungkinan Siausumoai sudah ditangkapnya."

"Kalau tertangkap, sekali ini kau kira dia akan diberi ampun atau tidak?" tanya seorang lain.

"Siapa tahu?" sahut orang pertama. "Ayolah, lekas berangkat!"

Meski percakapan kedua orang itu sangat lirih, tapi dapat didengar Siau Hong dengan jelas, lalu ia dengar suara daun jendela dibuka dan suara lompatan orang. Pikirnya, "Kembali dua orang murid Sing-siok-pai lagi, sungguh tidak nyana didalam hotel kecil ini juga tersembunyi orang mereka. Ya, mungkin mereka datang lebih dulu dari padaku, sebab itulah aku tidak melihat mereka."

Sebenarnya ia tidak ingin mencampuri urusan orang lain, tapi teringat pada percakapan kedua orang itu tentang kemungkinan A Ci akan diampuni atau tidak, mau tak mau ia harus berpikir dua kali, "A Cu telah meninggalkan pesan agar aku menjaga adik perempuannya. Meski nona cilik itu sangat nakal dan keji pula, tapi tidak boleh kubiarkan dia dibunuh orang, jika terjadi apa-apa atas diri nona cilik itu, cara bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada A Cu?"

Segera ia pun melompat keluar dari kamarnya, Ia dengar suara melengking seruling tadi masih sahut menyahut disana-sini, semuanya menuju kearah barat-laut. Segera ia pun berlari kesana mengikuti arah suara itu.

Tidak lama kemudian, dapatlah ia menyusul kedua orang yang keluar dari hotel tadi, Ia lihat dandanan kedua orang itu serupa dengan orang-orang yang dilihatnya siang tadi. Hanya langkah mereka agak loyo, mungkin usia mereka agak lanjut daripada anak murid Sing-siok-pai yang lain.

Dari jarak tertentu Siau Hong terus menguntit dibelakang kedua orang itu. Setelah melintasi dua lereng bukit, tiba-tiba tertampak ditengah lembah didepan sana ada segunduk api unggun yang menganga tinggi, warna api unggun itu ke-hijau2an, sangat berbeda dengan api umumnya. Tampaknya menjadi seram sekali. Sesudah dekat, segera kedua orang tadi menyembah kearah api unggun itu.

Siau Hong sembunyi dibelakang sebuah batu karang. Waktu ia mengintip, ia lihat disekitar api unggun itu sudah berkumpul belasan orang, pakaian mereka seragam, yaitu kain belacu kuning, perawakan mereka tidak sama, ada yang tinggi ada yang pendek, ada yang gemuk dan ada yang kurus.

Dibawah sinar api unggun yang hijau itu, wajah mereka kelihatan kepucat-pucatan dan sedih bagai orang kematian istri.

Disebelah kiri api unggun itu berdiri seorang yang pakaiannya warna ungu mulus, siapa lagi dia kalau bukan A Ci alias si Ungu.

Kedua tangan anak dara itu diborgol, dimuka A Ci yang putih bersih itupun sangat aneh kelihatannya demi tersorot oleh sinar api yang hijau itu. Tapi gadis itu tampak mengulum senyum, tetap sangat bandel sikapnya.

Orang-orang yang mengelilingi api unggun itu semuanya bungkam, pandangan mereka terpusat kearah api unggun sambil telapak tangan kiri menahan dada dan mulut mereka berkomat-kamit.

Siau Hong tahu itu adalah upacara ritual dari golongan Sia-pai, maka ia pun tidak ambil pusing.

Tadi ia dengar kedua anak murid Sing-siok-pai membicarakan Toasuku mereka, maka dapat diduga Toasuko yang dimaksudkan itu tentu pemimpin mereka yang berkumpul disitu.

Ia coba memperhatikan orang-orang itu, ia lihat ada yang tua dan ada yang muda, dandanan mereka seragam, sikap mereka pun tiada satu pun yang menandakan seorang pemimpin.

Tengah Siau Hong heran, tiba-tiba terdengar suara seruling pula, segera semua orang berpaling kearah timur-laut sana, mereka sama membungkuk dengan hormat, A Ci hanya mencibir dan sama sekali tidak berpaling.

Ketika Siau Hong memandang kearah suara tadi, ia lihat seorang berpakaian putih sedang melayang tiba, cepatnya luar biasa, menyusul orang itu menggunakan sebatang seruling putih terus meniup kearah api unggun, kontan api unggun itu padam hingga keadaan gelap gulita. Tapi hanya sebentar saja api unggun menyala lagi, bahkan mendadak menganga dan menjulang tinggi keudara, lalu menurun lagi pelahan.

Maka bersoraklah semua orang itu, "Sungguh kungfu Toasuheng maha sakti, kami benar-benar kagum sekali!"

Waktu Siau Hong memperhatikan Toasuheng mereka itu, mau tak mau ia rada terkesiap. Menurut dugaannya, sebagai 'Toasuheng' (Kakak seperguruan pertama) tentunya orang itu sudah lanjut usianya. Siapa tahu orang yang berdiri disebelah api unggun ini justru seorang pemuda berusia antara 22-23 tahun. Pemuda itu berperawakan jangkung, berpakaian putih mulus, air mukanya kuning kepucat-pucatan, tapi wajahnya cukup tampan. Alisnya tebal menjengkat hingga menambah angker wibawanya. Tangan kirinya membawa seruling sepanjang satu meter lebih.

Tadi Siau Hong sudah menyaksikan kepandaiannya meniup seruling untuk memadamkan api serta ginkangnya yang hebat, ia tahu tenaga dalam orang ini memang lihai, tapi caranya memadamkan api lalu menyala lagi, Itu bukan disebabkan lwekangnya, tapi didalam seruling mungkin terdapat sesuatu obat bakar yang aneh.

Pikirnya, "Meski muda usia orang ini, tapi jelas seorang lawan tangguh, pantas Sing-siok-pai sangat ditakuti orang, nyatanya memang ada jago yang disegani, anak muridnya saja selihai ini, maka iblis tua itu sendiri tentu jauh lebih hebat. Dengan datangnya orang ini, untuk menolong A Ci menjadi tidak gampang lagi."

Begitulah ia agak menyesal tadi tidak turun tangan menolong A Ci, kini jumlah musuh bertambah banyak, bahkan ada jago yang tangguh, biarpun tidak takut, tapi susah diramalkan apakah sebentar A Ci dapat diselamatkan atau tidak?

Maka terdengar si pemuda baju putih itu berkata kepada A Ci, "Siausumoai, sungguh besar sekali kehormatanmu hingga memerlukan pengerahan tenaga sebanyak ini untuk mencari dirimu." Suaranya nyaring dan ramah hingga sangat enak didengar.

Dan dengan tertawa A Ci menjawab, "Ya, sampai Toasuko sendiri juga keluar, sudah tentu kehormatan Sumoaimu ini harus dibanggakan. Tapi bila hal ini ditujukan kepada jago andalanku, terang masih jauh daripada cukup."

"He, jadi Sumoai masih mempunyai jago andalan? Siapakah dia?" tanya pemuda itu.

"Jago kepercayaanku sudah tentu adalah ayah bundaku, pamanku, Ciciku dan lain-lain lagi," kata A Ci.

"Hm, Sumoai sejak kecil dipelihara ayahku, selama ini kamu sebatang kara, dari mana mendadak bisa muncul sanak famili sebanyak itu?" jengek pemuda itu.

"Ai, masakah manusia tidak berayah-ibu, lalu dari mana munculnya, apakah lahir dari dalam batu?" demikian sahut A Ci. "Soalnya nama ayah-ibuku adalah suatu rahasia besar dan tidak boleh sembarang diketahui orang."

"Jika begitu, dapatkah kau beritahu siapakah ayah-ibumu?" tanya si pemuda.

"Kalau kukatakan tentu engkau akan berjingkat kaget." ujar A Ci. "Untuk memberitahu padamu, hendaklah kau lepaskan dulu belenggu ditanganku ini."

Tapi pemuda baju putih itu tak mau tertipu, katanya, "Tidak sukar untuk membuka belenggumu, tapi kamu harus menyerahkan dulu Pek-giok-giok-ting itu."

"Giok-ting itu berada ditangan Cihuku," sahut A Ci. "Salah Samsuko, Sisuko, Jitsuko dan Patsuko, mereka tidak mau minta pada Cihuku, apa yang aku bisa berbuat?"

Segera pemuda baju putih itu memandang keempat orang yang menghadang Siau Hong siang tadi, walaupun sorot matanya sangat ramah, tapi keempat orang itu kelihatan sangat takut.

"Toa... Toasuko," kata Cut-tim-cu dengan tergagap-gagap, "Itu tak bisa menyalahkan aku, sebab kepandaian... kepandaian Cihunya sangat tinggi, kami tak dapat menyusulnya."

"Samsute, coba kamu yang bicara," kata pemuda baju putih.

"Ya, ya!" sahut si gendut. Lalu ia pun menceritakan tentang pertemuannya dengan Siau Hong, cara bagaimana tongkat mereka dirampas serta kejadian Cut-tim-cu digondol keatas dinding karang untuk ditanyai keterangan, semuanya ia ceritakan dengan jelas, sedikitpun tidak bohong.

Biasanya si gendut pandai bicara, tapi dihadapan pemuda baju putih itu ia kelihatan sangat ketakutan, bicaranya menjadi agak gemetar.

Selesai mendengarkan penuturan itu, si pemuda baju putih manggut-manggut, katanya kepada Cut-tim-cu, "Dan apa yang telah kau katakan padanya?"

"Aku... aku... " sahut Cut-tim-cu dengan terputus-putus.

"Aku apa? Katakan terus terang padaku, apa yang telah kau katakan padanya?" bentak pemuda itu.

"Aku... aku bilang Pek.. Pek-giok-giok-ting itu adalah... adalah satu diantara ketiga pusaka perguruan kita yang berguna untuk melatih... melatih Tai-hoat... kukatakan pula bahwa menurut Suhu, setiap orang persilatan Tionggoan tentu ketakutan bila mendengar Hoa...  Hoa-kang-tai-hoat kita, maka kalau Giok-ting itu diketemukan mereka pasti akan dihancurkannya, Kukatakan itu adalah... adalah semacam benda mestika yang tidak boleh dihilangkan, maka... maka kuminta dia harus mengembalikannya pada kita," demikian tutur si cebol alias Cut-tim-cu.

"Bagus, dan apa dia katakan?" tanya pula si pemuda.

"Dia... dia tidak mengatakan apa-apa, lalu aku di... diturunkannya," sahut si cebol.

"Ehm, kamu sangat pintar, kau katakan kegunaan Giok-ting kita itu untuk melatih Hoa-kang-tai-hoat dan kau khawatir dia tidak tahu apakah Hoa-kang-tai-hoat itu, maka sengaja kau tegaskan ilmu itu sangat ditakuti oleh jago silat Tionggoan, Ehm, bagus, sungguh bagus!

Apakah dia itu orang persilatan dari Tionggoan?"

"En... entahlah, aku... aku tidak tahu," sebut Cut-tim-cu.

"Tidak tahu? Benar-benar tidak tahu?" bentak si pemuda baju putih.

Biarpun suaranya tetap ramah, tetapi orang kasar seperti Cut-tim-cu itu ternyata ketakutan setengah mati hingga giginya berkerutukan, sahutnya dengan tidak jelas, "Aku... aku... kruk... kruk... tak tahu kruk-kruk-kruk... tak tahu... "

Kiranya suara 'Kruk-kruk-kruk' itu adalah suara gigi yang gemertuk saking ketakutan.

"Jika begitu, kemudian ia ketakutan setengah mati atau tidak takut?" tanya pula si pemuda baju putih.

"Agaknya dia... dia... kruk-kruk... tidak begitu takut," sahut Cut-tim-cu sambil menggigil pula.

"Menurut pendapatmu, mengapa dia tidak takut?" tanya si pemuda.

"En... entah, aku... aku tidak tahu... mohon Toasuko men... menjelaskan." kata Cut-tim-cu.

"Orang persilatan paling jeri kepada Hoa-kang-tai-hoat kita, dan untuk meyakinkan ilmu itu tidak boleh tidak harus mempunyai Pek-giok-giok-ting itu," kata si pemuda.

"Dan sekali Giok-ting itu jatuh ditangannya, terang Hoa-kang-tai-hoat tak bisa kita latih pula dan sebab itulah dia tidak takut lagi terhadap kita."

"Ya, ya, pendapat Toasuko memang tepat dan pandai menaksir pihak musuh," demikian Cut-tim-cu memuji.

Waktu Siau Hong bertemu dengan anak murid Sing-siok-pai siang tadi, Ia merasa diantara orang-orang itu hanya si cebol inilah yang agak jujur dan polos, maka mempunyai kesan agak baik padanya, ia bermaksud akan menolongnya ketika melihat si cebol itu sangat takut pada Suhengnya.

Tak terduga akhirnya Cut-tim-cu itu juga tidak tahan uji, makin omong makin merendah dan mengumpak serta memuji sebisa-bisanya kepada Suhengnya itu.

Maka seketika berubah pikiran Siau Hong, "Huh, manusia pengecut seperti ini buat apa dibela, biar mati atau hidup masa bodohlah."

Kemudian si pemuda baju putih menoleh kepada A Ci dan berkata, "Siausumoai, siapakah sebenarnya Cihumu itu?"

"Tentang dia? Wah, kalau kukatakan tentu engkau akan berjingkat kaget," sahut A Ci.

"Tak apa, katakanlah, asal dia memang seorang tokoh ksatria ternama, tentu aku Ti-sing-cu akan menaruh perhatian penuh padanya," ujar pemuda itu.

Mendengar orang menyebut namanya sendiri, diam-diam Siau Hong membatin, "O, namanya Ti-sing-cu (sipemetik bintang)! Hebat benar namanya! Kalau melihat ginkangnya tadi memang sangat hebat, tapi juga belum tentu mampu menandingi Pah Thian-sik dari Tayli dan In Tiong-ho dari Su-ok, hanya saja tampaknya dia memiliki kepandaian istimewa yang lain."

Maka A Ci telah menjawab, "Tentang Cihuku itu?" Toasuko, setahumu, siapakah tokoh utama dalam dunia persilatan Tionggoan?"

"Setiap orang suka berkata 'Pak Kiau Hong, Lam Buyung', apakah barangkali kedua orang itu adalah Cihumu?"

Sungguh gusar Siau Hong tak kepalang oleh ucapan itu, A Ci hanya mempunyai seorang kakak perempuan, dari mana bisa mempunyai dua orang Cihu? Diam-diam ia menggurutu, "Kamu boleh kurang ajar ini berani sembarang omong, tunggulah rasakan kelihaianku nanti."

Dalam pada itu A Ci telah tertawa, katanya, "Toasuko, caramu bicara sungguh lucu, aku hanya mempunyai seorang Cici, dari mana bisa punya dua orang Cihu?"

"Aku tidak tahu bahwa kamu hanya mempunyai seorang cici," sahut Ti-sing-cu. "Tapi, ah, andaikan cuma seorang Cici, tidak mengherankan juga kalau mempunyai dua orang Cihu."

"Awas Toasuko, kelak kalau ketemu Cihuku tentu akan kuadukan ucapanmu ini padanya," kata A Ci.

"Nah, Toasuko, jika kau ingin tahu siapa Cihuku, biarlah kukatakan padamu, tapi berdirilah yang kuat, jangan-jangan kamu akan roboh kelengar sesudah mendengar namanya, Cihuku tak lain tak bukan adalah Pangcu dari Kai-pang, yaitu Pak Kiau Hong yang namanya mengguncangkan dunia persilatan."

Mendengar keterangan A Ci ini, seketika menjerit kaget anak murid Sing-siok-pai yang pernah melihat Siau Hong itu. Bahkan si lelaki hidung singa lantas berseru, "Pantas, pantas! Jika betul dia, maka aku pun rela terjungkal ditangannya."

"Jika betul Pek-giok-giok-ting kita itu jatuh ditangan orang Kai-pang, wah, urusan menjadi agak repot juga," ujar Ti-sing-cu dengan berkerut kening.

Meski si cebol alias Cut-tim-cu sangat takut kepada sang Suheng tapi sifatnya yang suka ngoceh sukar berubah, segera ia menimbrung, "Toasuko, tentang Kiau Hong itu sekarang dia bukan lagi Pangcu Kai-pang. Engkau baru datang dari barat, mungkin belum mendengar peristiwa yang menggemparkan dunia persilatan Tionggoan baru-baru ini, yaitu Kiau Hong telah dipecat oleh kawanan pengemis Kai-pang!"

"O, ya? Kiau Hong telah dipecat dari Kai-pang? Apa betul kejadian ini?" kata Ti-sing-cu dengan menghela napas lega, pelahan wajahnya yang merengut tadi agak tenang kembali.

Segera Samsutenya yang gendut itu menjawabnya, "Ya, orang-orang kangouw sama mengatakan begitu, katanya dia bukan bangsa Han, tapi orang Cidan, kini ia telah dimusuhi tokh-tokoh persilatan Tionggoan, semua orang bertekad akan membunuhnya. Konon orang Cidan itu telah membunuh ayah bundanya sendiri, membunuh Suhu dan membinasakan kawan pula, kejam dan rendah perbuatannya, segala kejahatan tidak segan-segan dilakukannya."

"Siausumoai," kata Ti-sing-cu kepada A Ci, "Mengapa Cicimu bisa menikah dengan manusia seperti itu? Apakah barangkali kaum lelaki didunia ini sudah mati semua dan karena khawatir tidak laku, maka cepat-cepat menikah padanya? Atau disebabkan Cicimu diperkosa lebih dulu dan terpaksa menjadi istrinya?"

"Cara bagaimana Ciciku menjadi istrinya, aku tidak tahu," sahut A Ci dengan tertawa. "Yang terang Ciciku telah dipukul mati oleh Cihuku sendiri."

Semua orang bersuara kaget oleh pernyataan A Ci itu, Sekalipun orang-orang itu adalah golongan Sia-pai yang biasa berbuat jahat, tapi demi mendengar bahwa Siau Hong membunuh orang tua sendiri, membinasakan guru dan menewaskan kawan, akhirnya membunuh istri sendiri pula, mau tak mau mereka sama tersentak kaget oleh kekejaman itu.

"Jumlah orang Kai-pang terlalu banyak, untuk melawan mereka sebenarnya agak sulit, jika sekarang Kiau Hong sudah dipecat oleh Kai-pang, dengan sendirinya kita tidak jeri lagi padanya, Hehe!" kata Ti-sing-cu dengan tertawa dingin. "Hah, katanya 'Pak Kiau Hong dan Lam Buyung' apa segala, Itukan cuma pujian yang diberikan diantara orang persilatan Tionggoan sendiri, aku justru tidak percaya kedua orang itu mampu menandingi ilmu mujizat Sing-siok-pai kita."

"Benar, benar!" sambut si gendut. "Memangnya para sute juga berpikir begitu, Ilmu silat Toasuko sendiri sudah luar biasa, sekali ini mengunjungi Tionggoan kebetulan dapat membunuh Pak Kiau Hong dan Lam Buyung, biar mereka kenal betapa lihainya Sing-siok-pai kita."

"Dan dimanakah Kiau Hong itu? Kemana kita harus mencarinya?" tanya Ti-sing-cu.

"Dia menyatakan akan pergi ke Gan-bun-koan." tutur A Ci. "Marilah kita menyusulnya kesana, betapa pun kita harus mendapatkan dia."

"Baiklah," kata Ti-sing-cu. "Jisute dan Samsute, kalian berlima telah melewatkan kesempatan baik tatkala ketemu musuh, hukuman apa yang harus kalian terima?"

"Kami bersedia menerima hukuman Toasuko." demikian sahut kelima orang itu dengan hormat.

"Kedatangan kita ke Tionggoan ini perlu banyak menyelesaiakn urusan kita, kalau dihukum terlalu berat, tentu akan melemahkan kekuatan kita sendiri, baik begini sajalah... " baru berkata sampai disini, mendadak lengan kirinya mengebas dan berbareng lima titik api ke-

biru2an bagaikan lima ekor kunang-kunang menyambar kearah kelima sutenya itu. Bunga api itu masing-masing hinggap diatas pundak kelima orang itu, lalu mengeluarkan suara mencicit dan bau sangit.

Pikir Siau Hong. "Wah, bukankah ini membakar manusia mentah-mentah?"

Ia lihat bunga api itu tidak lama kemudian lantas padam, tapi air muka kelima orang itu makin lama makin menderita kelihatannya. Pikir Siau Hong, "Apa yang dilemparkan pemuda baju putih itu tentu obat bakar sebangsa belerang yang berbisa pula, sebab itulah sehabis apinya sirap, racun lantas meresap kedalam daging hingga orang tambah kesakitan."

Dalam pada itu Ti-sing-cu sedang berkata, "Ini hanya 'Lam-sim-tan' (peluru melatih hati) yang kecil saja, cuma tahan untuk menggembleng kalian selama 7x7 = 49 hari. Lewat temponya, rasa sakit akan hilang dengan sendirinya. Dan sesudah mengalami gemblengan itu, daya tahan kalian akan bertambah, lain kali kalau ketemu musuh lagi juga takkan mudah menyerah dan memalukan Sing-siok-pai kita."

"Ya, ya, terima kasih atas pengajaran Toasuko," kata si lelaki hidung singa.

Selang agak lama, rasa sakit kelima orang itu rupanya mulai lenyap, tapi selama itu mereka tampak menggigit bibir dengan menahan rasa sakit, hal mana membuat perasaan A Ci menjadi takut, tapi urusan sudah kepepet, terpaksa terserah kepada nasib.

Sorot mata Ti-sing-cu kemudian diarahkan pada Cut-tim-cu, tiba-tiba ia membuka suara pula, "Patsute, kamu telah membocorkan rahasia penting perguruan kita hingga pusaka kita mungkin akan hilang untuk selamanya, apa hukumannya bagi kesalahanmu itu?"

Untuk sejenak si cebol alias Cut-tim-cu termangu-mangu, mendadak ia berlutut dan meratap, "Toa... Toasuko, secara tak sadar waktu itu aku telah sembarangan omong, harap engkau suka... suka mengampuni jiwaku, kelak... kelak biar aku menjadi budakmu juga rela, sedikitpun tidak berani membangkang... " Sembari berkata, berulang-ulang ia pun menjura.

Ti-sing-cu menghela napas, katanya, "Patsute, sebagai saudara seperguruan, asalkan mampu dengan sendirinya ingin kutolong dirimu, Tetapi, ai, jika sekali ini kamu diampuni, lalu kelak siapa lagi yang mau taat kepada peraturan yang ditetapkan Suhu? Sudahlah, boleh mulai saja, Peraturan perguruan kita kau sendiri sudah tahu, asal mampu menangkan Cit-hoat-cuncia (petugas pelaksana hukum) yang kujabat sekarang ini, maka segala dosamu dapat diampuni, ayolah berdiri saja dan mulailah."

Tapi Cut-tim-cu tidak berani, ia tetap berlutut dan menjura terus.

"Kamu tidak mau mulai lebih dulu, jika begitu terimalah seranganku," kata Ting-sing-cu.

Air muka Cut-tim-cu berubah pucat seketika. Mendadak ia melompat bangun. Jangan dikira dia buntek gerak tubuhnya ternyata amat gesit, Insaf tak bisa terhindar dari hukuman sang Suheng, terus saja ia melompat bangun dan segera menjemput dua potong batu. Senjata andalannya yaitu tongkat baja, kini sudah hilang, terpaksa ia menggunakan senjata seadanya, maka begitu pungut dua potong batu sebesar kepalan, tanpa bicara lagi terus ditimpukkan kearah Ti-sing-cu sambil berseru; "Maaf, Toasuko!"

Dan begitu kedua potong batu itu terlepas dari tangan, cepat ia memungut dua potong batu yang lain dan secara berantai ditimpukkan lagi. Ia menimpuk kedepan, sebaliknya tubuhnya melompat mundur malah, lalu dua potong batu lagi-lagi dihamburkan sambil melompat mundur pula hingga jauh.

Rupanya ia tahu ilmu silatnya selisih terlalu jauh dibandingkan Ti-sing-cu, maka ia harap batu yang ditimpukkan itu dapat menghalangi kejaran sang Suheng dan ia sendiri sempat melarikan diri.

Tak terduga bahwa batu seperti itu saja sama sekali tiada artinya bagi Ti-sing-cu, sekali lengan bajunya mengebas, seketika suatu arus tenaga maha hebat berjangkit dan kontan batu-batu itu mencelat balik kearah si cebol malah.

Diam-diam Siau Hong kagum juga menyaksikan tenaga dalam Ti-sing-cu itu, kepandaian demikian adalah ilmu sejati dan bukan ilmu sihir atau kepandaian dengan bantuan obat-obatan segala.

Batu yang menyambar balik itu dapat didengar juga oleh Cut-tim-cu, ia tahu bila berlari kedepan tentu punggung akan termakan batu itu, bila membalik tangan untuk menyampuk, ia merasa tidak memiliki tenaga sekuat itu. Terpaksa ia mengengos kekiri. Tapi aneh bin heran, baru dia mengengos kekiri, tahu-tahu batu yang lain menyusul pula kearahnya hingga tidak memberi kesempatan bernapas padanya. Dan baru Cut-tim-cu berkelit lagi kesebelah lain, lagi-lagi batu ketiga telah memburunya pula.

Siau Hong tahu agaknya Ti-sing-cu sengaja hendak mempermainkan sang sute dan tidak ingin lekas2 membunuhnya, maka setiap timpukan batu itu selalu merandek sejenak, bila sasarannya sudah berpindah tempat, lalu batu yang lain menyambar lagi. Coba kalau dia benar-benar ingin mencabut nyawa Cut-tim-cu tentu sudah sejak tadi batu-batu itu dihamburkan.

Begitulah dengan enam potong batu itu selalu Cut-tim-cu dipaksa melompat kekiri untuk menghindar, dan sampai pada batu ke enam, tahu-tahu si cebol sudah mengisar kembali kesamping api unggun tadi. Dibawah sinar api wajah Cut-tim-cu tampak pucat bagai mayat, mendadak ia mengeluarkan sebilah belati terus menikam dada sendiri.

Tapi Ti-sing-cu tidak membiarkan sang Sute mati begitu mudah, sekali lengan bajunya mengebas, kembali setitik bunga api menyambar kepergelangan tangan si cebol, terdengar suara mencicitnya api membakar, tahu-tahu urat nadi Cut-tim-cu sudah hangus dan terpaksa belati dilemparkan ketanah sambil menjerit-jerit; "Ampun, Toasuko! Kasihanilah Toasuko!"

Mendadak Ti-sing-cu mengebutkan lengan baju pula, serangkum angin keras menyambar kearah api unggun berwarna hijau itu. Sekonyong-konyong api yang menganga itu bercabang, lalu sejalur api yang panjang kecil memencar kearah Cut-tim-cu, dan begitu kena sasarannya, tanpa ampun lagi api itu berkobar dan menjilat rambut dan pakaian yang mudah terbakar itu.

Seketika Cut-tim-cu terguling-guling diatas tanah sambil menjerit ngeri, tapi tidak lantas mati, hanya bau busuk hangus lantas terendus, keadaannya sangat mengenaskan.

Meski Siau Hong sendiri sudah sering juga menyaksikan perbuatan-perbuatan kejam, tapi melihat nasib Cut-tim-cu yang terbakar hidup-hidup itu, mau tak mau ia terkesiap juga. Apalagi anak murid Sing-siok-pai yang lain, tiada seorang pun diantara mereka yang berani bersuara, bahkan bernapas pun tidak berani keras-keras.

"He, mengapa kalian diam-diam saja? Apakah kalian anggap caraku ini terlalu ganas, Cut-tim-cu mati penasaran, begitu bukan?" tanya Ti-sing-cu.

Kalau tadi anak murid Sing-siok-pai diam saja tak berani buka suara, demi mendengar pertanyaan itu, seketika mereka berebut bicara lebih dulu, maka beramai-ramai terdengar seruan mereka, "Wah, Toasuko terlalu bermurah hati hingga kematian Cut-tim-cu jauh lebih enak daripada ganjaran yang sebenarnya atas dosanya!"

"Ya, Toasuko cukup bijaksana, kami benar-benar sangat kagum! Cut-tim-cu telah membocorkan rahasia perguruan kita, sudah sepantasnya Toasuko memberi hukuman setimpal, menjadi setan pun seharusnya dia berterima kasih kepada Toasuko!"

Siau Hong merasa muak oleh ocehan manusia-manusia pengecut itu, sungguh ia tidak ingin mendengar terus, maka segera ia bermaksud tinggal pergi saja. Tapi baru mulai bergerak, tiba-tiba terdengar Ti-sing-cu sedang tanya dengan lemah-lembut, "Nah, Siausumoai, kamu telah mencuri pusaka Suhu dan diberikan kepada orang luar, hukuman apa yang seharusnya kau terima?"

Kata-kata itu diucapkan dengan ramah, tapi cukup membuat hati Siau Hong terkesiap, pikirnya, "Wah, aku dipesan oleh A Cu agar menjaga saudara perempuan satu-satunya ini, biarpun anak dara ini sangat nakal dan jahat, sekali dia dihukum tentu akan jauh lebih ngeri daripada Cut-tim-cu tadi, kalau aku tinggal diam tak menolongnya, bagaimana hatiku bisa tenteram mengingat pesan A Cu itu?"

Karena itu, diam-diam ia mengisar kembali dan mendekam ditempat semula. Maka terdengar A Ci sedang menjawab "Aku telah melanggar peraturan Suhu, itu memang benar, dan tentang Giok-ting itu, apakah Toasuko ingin menemukannya kembali atau tidak?"

"Giok-ting itu adalah satu diantara ketiga pusaka perguruan kita, sudah tentu harus dicari, mana boleh barang pusaka kita jatuh ditangan orang luar?" sahut Ti-sing-cu.

"Tapi Cihuku sangat keras wataknya," ujar A Ci, "Giok-ting itu aku yang memberinya, jika kuminta kembali padanya, dengan sendirinya dia akan memulangkan benda itu padaku. Tapi kalau orang lain yang minta padanya, kau pikir apakah dia mau menyerahkan begitu saja?"

"Ehm," Ti-sing-cu mendengus. Tapi dalam hati ia pun tahu bahwa Kiau Hong adalah bekas Pangcu Kai-pang, namanya sangat disegani orang kangouw, mungkin tidak gampang untuk minta kembali barang yang sudah berada ditangannya itu. Maka katanya kemudian, "Ya, urusan ini memang sulit untuk diselesaikan. Dan kalau terjadi apa-apa atas Giok-ting itu, maka dosamu tentu juga akan bertumpuk-tumpuk."

"Jika kau minta kembali Giok-ting itu padanya, terang apapun juga dia tak akan menyerahkan padamu," kata A Ci, "Sekalipun kepandaian Toasuko sangat tinggi, paling-paling juga cuma dapat membunuhnya, apakah Giok-ting itu dapat diketemukan kembali, itulah seribu kali sulit untuk diramalkan."

Ti-sing-cu berpikir sejenak, lalu bertanya, "Habis bagaimana kalau menurut pikiranmu?"

"Hendaklah kalian bebaskan aku, biar aku pergi sendiri keluar Gan-bun-koan untuk minta kembali Giok-ting itu kepada Cihu," sahut A Ci, "Itu namanya menebus dosa dengan jasa, dan kamu harus berjanji takkan melaksanakan hukuman apa pun atas diriku."

"Cukup beralasan juga uraianmu itu," kata Ti-sing-cu, "Tetapi, wah, Siausumoai, dengan demikian mukaku ini lalu hendak ditaruh kemana lagi? Sejak kini akupun tiada harganya menjadi ahli-waris Sing-siok-pai lagi. Apalagi kalau sekali aku sudah membebaskanmu, lalu kau kabur sejauhnya, dan menghilang, kemana harus kucari dirimu? Tentang Giok-ting pusaka itu harus kita temukan kembali, asal kabar ini tidak tersiar, belum tentu orang she Siau itu berani sembarangan merusaknya, Hah, Siausumoai, boleh mulai kau serang, asal kamu dapat mengalahkan aku, segera kamu akan menjadi ahli-waris Sing-siok-pai, dan akupun akan tunduk pada perintahmu, engkau akan menjadi Toasuci dan aku menjadi Sutemu."

Mendengar itu, baru sekarang Siau Hong paham duduknya perkara. Kiranya menurut peraturan Sing-siok-pai mereka, tinggi rendahnya kedudukan ditentukan oleh kuat dan lemahnya ilmu silat masing-masing dan tidak ditentukan oleh tua mudanya usia atau lebih dulu dan lebih belakang masuk perguruan. Sebab itulah meski usia Ti-sing-cu masih muda belia, tapi ia adalah Toasuheng daripada para Sute yang usianya banyak yang jauh lebih tua, jika begitu maka diantara sesama saudara seperguruan mereka tentu akan saling bunuh membunuh, terang tiada perasaan baik antara sesama Suheng dan Sute.

Siau Hong tidak tahu bahwa justru dengan cara itulah kunci untuk meningkatkan ilmu silat Sing-siok-pai dari satu angkatan kepada angkatan yang lain. Sang Toasuheng memegang kekuatan penuh, jika diantara Sute ada yang tidak terima, setiap saat dia boleh melawan dengan kekuatan. Kedudukan mereka itupun ditentukan oleh kepandaian masing-masing, bila Toasuheng menang, dengan sendirinya yang menjadi Sute akan menyerah untuk dibunuh atau dihajar, sedikitpun tidak boleh melawan. Sebaliknya kalau sang Sute yang menang, seketika dia akan melanjak keatas untuk menggantikan kedudukan sebagai Toasuheng, dan sebaliknya boleh menghukum mati bekas Toasuheng itu. Dalam hal demikian sang Suhu hanya menonton dengan berpeluk tangan saja, sekali-kali tidak ikut campur.

Di bawah peraturan yang aneh itu, terpaksa setiap anak murid harus berlatih diri dengan giat, jika mereka ingin selamat, tapi lahirnya mereka terpaksa berlagak bodoh pula supaya tidak menimbulkan rasa sirik sang Toasuheng.

Si cebol alias Cut-tim-cu itu biasanya suka pamer tenaga yang besar, senjata tongkat yang dipakainya juga jauh lebih berat dari pada tongkat orang lain, hal ini sudah lama menimbulkan rasa sirik Ti-sing-cu, kali ini kebetulan ada kesempatan, maka sengaja hendak membunuhnya.

Begitulah A Ci semula mengira Ti-sing-cu takkan bikin susah padanya mengingat Giok-ting yang belum ditemukan itu, siapa tahu sang Suheng ternyata tak bisa tertipu dan segera ingin turun tangan.

Karuan A Ci ketakutan, apalagi suara jerit ngeri Cut-tim-cu yang mendekati ajalnya itu masih terdengar dan mala-petaka begitu agaknya sebentar lagi juga akan menimpa dirinya.

Terpaksa ia menjawab dengan suara gemetar, "Tapi aku diringkus begini cara bagaimana aku bisa bergebrak denganmu?"

"Baiklah akan kulepaskan dirimu," kata Ti-sing-cu. Dan sekali lengan bajunya mengebut, serangkum hawa lantas menyambar kearah gundukan api. Kembali api unggun itu memancarkan sejalur api mirip air mancur terus menyambar kearah borgol tangan A Ci.

Siau Hong dapat mengikuti kejadian itu dengan baik, ia lihat lidah api hijau itu memang betul mengincar borgol tangan A Ci dan bukan hendak membakar badannya.

Agaknya Ti-sing-cu itu sangat tinggi hati, ia tidak mau kehilangan wibawa didepan saudara seperguruannya, dengan ilmu silatnya yang jauh lebih tinggi daripada A Ci, dengan sendirinya ia tidak perlu menyerang secara menggelap. Cuma entah sampai dimana kepandaiannya, apakah dia sanggup membakar putus borgol tangan itu tanpa melukai A Ci? Demikian Siau Hong agak sangsi.

Maka terdengarlah suara mencicit pelahan, selang sebentar saja kedua tangan A Ci telah dapat dipisahkan, borgol besi itu telah putus bagian tengah, hanya tinggal dua gelang besi masih melingkar dipergelangan tangan anak dara itu.

Mendadak jalur api itu mengkeret kembali, menyusul lantas memancar pula kedepan, kali ini mengarah borgol dikaki A Ci. Dan hanya sebentar saja kembali borgol itu sudah terbakar putus.

Semula Siau Hong agak heran oleh lwekang orang yang luar biasa itu, waktu ia perhatikan ketika api hijau itu membakar borgol kaki, kini dapat dilihatnya dengan jelas dimana api itu membakar segera besi borgol berubah warna, tampaknya didalam api ada sesuatu yang aneh, jadi tidak melulu mengandalkan lwekangnya yang murni.

Begitulah demi kaki tangan sudah bebas bergerak, A Ci tiada alasan lagi buat menghindar. Dalam keadaan demikian, biarpun dia secerdik kancil juga tak bisa berbuat apa-apa.

Maka terdengarlah para saudara seperguruan yang lain sama memuji dan mengumpak Ti-sing-cu, "Wah, lwekang Toasuku benar-benar sudah mencapai puncaknya, sungguh baru sekali ini kami melihatnya, agaknya kecuali Suhu seorang, Toasuko pasti tiada tandingannya lagi dijagat ini, Ya, katanya 'Pak Kiau Hong dan Lam Buyung' apa segala, kukira mereka disuruh menjadi kacung Toasuko juga tidak sesuai, Nah, Siausumoai, sekarang kau tahu lihai belum? Cuma sayang sudah terlambat!"

Begitulah mereka ramai mengumpak dan memuji setinggi langit, dan rupanya Ti-sing-cu itu juga senang dijilat, dengan wajah tersenyum ia lirik A Ci.

Sebaliknya A Ci malah berharap ocehan orang-orang itu diteruskan, dengan demikian akan memperlambat tindakan Ti-sing-cu padanya. Tapi sesudah bolak-balik orang-orang itu menjilat, paling-paling juga itu-itu saja yang diucapkan, dan akhirnya suara mereka pun reda sendiri.

Maka berkatalah Ti-sing-cu dengan pelahan. "Siausumoai, silahkan mulai!"

Teringat kematian Cut-tim-cu yang mengerikan itu, A Ci jadi mengkirik, sahutnya dengan gemetar, "Ti... tidak aku tak mau mulai."

"Kenapa kamu tidak mau? Kukira lebih baik menyeranglah!" kata Ti-sing-cu.

"Aku tidak mau, sudah tahu takkan mampu melawan, buat apa aku banyak membuang tenaga?" kata A Ci.

"Nah, jika ingin membunuh aku, silakan saja."

"Ai, sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu," ujar Ti-sing-cu dengan menyesal. "Nona cilik cantik molek seperti dirimu sungguh sayang untuk dibinasakan, cuma terpaksa, Nah, Siausumoai, seranglah, asal dapat kau bunuh aku, tentu kamu akan menjadi Toasuci! dalam Sing-siok-pai kita, kecuali Suhu, semua orang harus tunduk pada perintahmu."

"Andaikan aku mampu membunuhmu juga aku tak mau melakukannya," kata A Ci tiba-tiba.

"Sebab apa?" tanya Ti-sing-cu.

"Sebab... sebab aku suka padamu," sahut A Ci.

Jawaban ini membuat hati Ti-sing-cu terkesiap, begitu pula hati Siau Hong tergetar. Siapa pun tak menduga akan ucapan A Ci itu. Karuan seketika semua orang pandang dengan bingung.

Selang sejenak, berkatalah Ti-sing-cu, "Nona kecil seperti kamu ini masakah sudah paham tentang suka apa segala? Apalagi aku sudah punya istri, masakah kamu tidak tahu?"

"Engkau... engkau sangat tampan, ilmu silatmu tinggi pula, biarpun punya... punya istri, apa sih jeleknya?

Aku... aku justru suka padamu." demikian A Ci berkata pula.

"Ai, bila kamu tidak melanggar kesalahan sebesar ini, jika perlu aku pun tidak keberatan mengambilmu sebagai selir," kata Ti-sing-cu dengan menghela napas. "Tetapi kini, ya, terpaksa aku tak bisa membantu apa-apa, Nah, Siausumoai, terimalah seranganku ini!"

Habis berkata, terus saja lengan bajunya mengebas, serangkum angin keras lantas menyambar kearah api unggun, sejalur api hijau lantas memancar pelahan kejurusan A Ci. Tapi agaknya tidak ingin membunuh gadis itu dengan segera, maka jalannya jalur api itu sangat lambat.

Sambil menjerit A Ci terus melompat minggir kekanan, tapi jalur api itu lantas menyusul kearahnya, waktu A Ci mundur kebelakang, tahu-tahu punggung kepepet oleh batu karang yang dibuat sembunyi Siau Hong itu.

Sementara itu, Ti-sing-cu sedang mengerahkan tenaga dalam untuk mendesak lebih kuat lidah api itu. Sedangkan punggung A Ci sudah kepepet batu karang, untuk mundur lagi sudah tak bisa.

Selagi ia hendak melompat kesamping, namun lengan baju Ti-sing-cu telah mengebut pula, dua rangkum angin menyambar dari kanan dan kiri hinga A Ci tak mampu melompat kesamping, sedangkan lidah api hijau itu sudah makin mendekat.

Siau Hong tahu sekali api hijau itu mengenai badan, seketika kulit akan hangus dan daging melocot. Tampaknya api hijau itu tinggal puluhan senti saja didepan muka A Ci, dan satu senti demi satu senti makin mendekat pula. Segera ia membisiki A Ci, "Jangan takut, akan kubantu!" Sembari berkata, Siau Hong lantas mengulurkan sebelah tangannya dan menahan dipunggung A Ci. Lalu katanya pula, "Lekas mengerahkan tenaga dan menghantam kearah api hijau itu."

Saat itu A Ci sebenarnya sudah ketakutan setengah mati, semangatnya hampir terbang keawang-awang, ketika mendadak terdengar suara Siau Hong, karuan ia seperti mendapat sejeki nomplok, tanpa pikir lagi ia menghantam kedepan dengan telapak tangan.

Tatkala mana tenaga dalam Siau Hong sudah menyalur kedalam tubuhnya, maka pukulan A Ci itu membawa tenaga yang maha kuat. Kontan lidah api hijau itu mengkeret kembali satu meter panjangnya.

Tentu saja Ti-sing-cu kaget. Sudah jelas dilihatnya A Ci tak berdaya lagi, ibarat daging tinggal dicaplok saja, ia hendak mengerahkan tenaga lebih keras agar api hijau itu menyambar kian kemari didepan muka anak dara itu agar ketakutan dan menjerit-jerit serta minta ampun, habis itu baru akan mencabut nyawanya.

Siapa tahu dara cilik itu memiliki lwekang sehebat itu, sekali hantam dapat mendesak lidah api tersurut hingga satu meter lebih.

Oleh karena ilmu silat golongan Sing-siok-pai itu oleh guru mereka diajarkan secara tersendiri-sendiri kepada setiap muridnya, maka sampai dimana kepandaian sesama saudara seperguruan sukar dijajaki.

Semula mereka mengira A Ci pasti akan dimakan mentah-mentah oleh kepandaian Toasuko mereka, tak tersangka sekali pukul A Ci dapat mendesak mundur lidah api hijau yang sudah dekat mukanya itu, karuan anak murid Sing-siok-pai yang lain semua bersuara heran.

Tapi juga tiada seorang pun yang menaruh curiga bahwa diam-diam ada orang membantu anak dara itu, mereka menyangka mungkin bakat A Ci memang lain daripada yang lain, diam-diam ilmu silatnya sudah terlatih sedemikian tingginya.

Begitulah Ti-sing-cu jadi penasaran, kembali ia kerahkan tenaga hingga api hijau itu memancar lagi kemuka A Ci, sekali ia kerahkan tenaga sepenuhnya, maka api juga menyambar cepat luar biasa.

A Ci menjerit tertahan, ia bingung entah cara bagaimana harus menahan serangan itu, lekas ia menghindar kekiri. Untung tenaga cegatan Ti-sing-cu dari kanan-kiri tadi sudah dihapuskan hingga dia dapat berkelit tanpa rintangan, dan api hijau itu lantas membakar diatas batu dan mengeluarkan suara gemercik.

"Pukulkan tangan kirimu untuk memotong jalur apinya!" seru Siau Hong kepada A Ci dengan suara tertahan.

"Ehm, bagus akal ini!" ujar A Ci. Segera ia ayun tangan kiri kedepan, kontan suatu arus tenaga menyambar ketengah jalur api hijau itu, dimana angin pukulan itu tiba, seketika jalur api terputus jadi dua bagian, bagian depan karena kehilangan saluran dari belakang, sesudah terbakar sebentar diatas batu karang, pelahan lantas guram dan akhirnya padam.

Diam-diam Ti-sing-cu pikir, "Jika apiku padam, itu berarti aku akan kehilangan muka didepan para Sute, mana boleh perbawaku dipatahkan begini saja?" Segera ia mengerahkan tenaga lebih kuat, kembali ia pancarkan jalur api diatas batu yang kehilangan saluran itu.

A Ci sendiri merasa tangan yang menahan dipunggung itu masih terus menyalurkan tenaga dalam yang tak terputus-putus bagaikan sumber air terjun yang membanjir, bila tenaga itu tidak lekas dikeluarkan pula, rasanya tubuh sendiri yang kecil itu seakan-akan meledak. Sebab itulah tanpa pikir lagi tangan kanan lantas menghantam pula kedepan dengan sekuatnya.

Dengan tenaga dalam Siau Hong yang hebat itu, sebenarnya kalau A Ci dapat menggunakannya dengan baik, bukan mustahil Ti-sing-cu akan dapat dikalahkannya dengan gampang. Tapi karena rasa takutnya tadi, maka pukulan itu agak gugup hingga arahnya melenceng, "Fung" lidah api hijau itu seketika dapat dipadamkan olehnya. Tapi Ti-sing-cu tidak terganggu seujung rambutpun.

Namun demikian sudah cukup membuat anak murid Sing-siok-pai saling pandang dengan jeri. Hanya Jitsute itu yang tidak tahu gelagat, ia masih coba mengumpak sang Toasuko, katanya; "Toasuko, sungguh hebat benar tenagamu, pukulan Siausumoai itu paling-paling cuma dapat memadamkan sebagian apimu yang sakti itu, masakah bisa berbuat sesuatu padamu?"

Maksudnya sebenarnya ingin menjilat pantat sang Toasuko, diluar dugaan ia keliru menjilat, bagi pendengaran Ti-sing-cu pujian itu lebih mirip sindiran tajam padanya. Mendadak lengan bajunya mengebut, api hijau tadi menyambar kesamping, 'crit-crit', secepat kilat api menyambar kemuka Jitsute itu, Dan sekali api itu menjilat sasarannya, seketika mengkeret balik lagi. Namun begitu Jitsute itu sudah kesakitan sekali, ia mendekap muka sendiri sambil menungging dan menjerit-jerit bagai babi hendak disembelih.

Diam-diam Siau Hong memperingatkan A Ci, "Awas, lawanmu sudah murka, kamu harus hati-hati!" Ia menggunakan ilmu mengirim gelombang suara hingga yang mendengar hanya A Ci saja, meski lwekang Ti-sing-cu itu sangat tinggi juga tak mampu mendengarnya, apalagi yang lain...

Dan benar juga, sesudah Ti-sing-cu menghajar Jitsutenya, segera ia pun ayun tangannya, kembali sejalur api hijau menyambar kearah A Ci. Sekali ini lidah itu sangat besar hingga menimbulkan suara dahsyat, api yang menganga itu membuat A Ci merasa silau.

Khawatir kalau bayangan Siau Hong akan kelihatan dibawah cahaya api itu, cepat A Ci mengaling-aling kedepan batu lagi sambil balas memukul sekali kedepan untuk menahan desakan api hijau itu.

Karena terhalang oleh tenaga pukulan A Ci, api hijau itu tidak dapat maju lagi dan berhenti diudara, ujung api itu menyembur maju sedikit, lalu terdesak surut lagi sambil berkedip-kedip tiada hentinya.

Berulang tiga kali Ti-sing-cu mendesak sekuat tenaga, tapi selalu kena ditolak kembali oleh A Ci, karuan ia menjadi gopoh dan gusar, ia coba mengerahkan tenaga dalamnya dua kali pula dan masih tetap tidak berhasil mendesak maju, sekonyong-konyong ia merasa seram sendiri, pikirnya, "Dia... dia masih mempunyai tenaga simpanan yang cukup, kiranya sejak tadi dia sengaja mempermainkan aku. Jangan-jangan Suhu pilih kasih dan diam-diam menurunkan lwekang paling tinggi dari perguruan sendiri kepadanya, Wah, aku telah... telah tertipu olehnya!" Begitulah sekali ia sudah ketakutan, seketika tenaganya lantas berkurang dan jalur api hijau itu pun menyurut kembali.

"Masakah aku takut padamu?" mendadak Ti-sing-cu membentak, saking napsunya hingga suaranya sampai serak, ia kerahkan tenaga sekuatnya hingga jalur api hijau tadi berubah menjadi segulung bola api terus menerjang kearah A Ci.

Melihat gelagat jelek, cepat A Ci hantamkan sebelah tangannya, dan ketika melihat tak dapat menahan desakan bola api itu, segera ia susulkan pukulan tangan lain, dengan tenaga pukulan kedua tangan barulah bola api itu dapat ditahan.

Maka tertampaklah sebuah bola api hijau berputar-putar di udara, segera para Sutenya bersorak pula, ada yang berseru, "Ilmu sakti Toasuko sungguh hebat, sekali ini budak itu pasti akan celaka!"

"Nah, Siausumoai, kamu masih berani main garang lagi? Ayolah lekas menyerah saja, boleh jadi Toasuko akan memberi jalan hidup bagimu."

A Ci menjadi gelisah, berulang-ulang ia coba kerahkan tenaga. Tapi tenaga dalam yang disalurkan Siau Hong itu meski sangat kuat, namun adalah tenaga orang lain, untuk mengerahkannya menjadi tidak bisa sesuka hatinya.

Setelah saling bertahan sejenak, segera Ti-sing-cu tahu dimana letak kelemahan anak dara itu. Pikirnya, "Karena Suhu pilih kasih, maka dara cilik ini sangat hebat lwekangnya. Tapi caranya mengerahkan tenaga masih kurang sempurna, dikanan-kiri masih terdapat lubang kelemahan. Untung dia menjajal aku sekarang juga, coba kalau tunggu tiga-empat tahun lagi, jika ilmu pukulannya sudah sempurna, tentu aku bisa celaka."

Berpikir sampai disini, kembali semangatnya tergugah, tiba-tiba jari telunjuk kanan menuding dua kali dan terdengar suara letikan api dua kali. Tampak pancaran api unggun itu meletik beberapa titik bunga api terus menyambar kearah A Ci dari kanan-kiri dengan cepat luar biasa.

A Ci menjerit kaget dengan bingung. Tenaga pukulannya waktu itu sedang dipakai menahan bola api, ia tidak sempat menahan serangan bunga api itu. Dalam keadaan kepepet ia coba mengengos untuk menghindar.

-Dapatkah Siau Hong membantu A Ci mengalahkan Ti-sing-cu yang angkuh itu?

-Apakah benar Aci telah mencuri pusaka perguruannya dan dimanakah ia menyembunyikannya benda pusaka itu?

Jilid 41.

Di luar dugaan hal ini memang sudah dalam perhitungan Ti-sing-cu, sebab itulah ia mengerahkan tenaga lebih kuat hingga bunga api itu mendesak lebih dekat lagi, Ia taksir bila api itu dapat menjilat tubuh si gadis, tentu tenaga dalamnya akan terganggu, dalam keadaan begitu bila ia hamburkan bunga api yang lain, pasti dara cilik itu akan tamat riwayatnya.

"Celaka!" segera hal itu dapat diketahui oleh Siau Hong. Ia tahu A Ci tidak mampu melawan lagi, segera ia ayun tangan pelahan dan serangkum angin keras terus menyambar kedepan.

Maka terlihatlah waktu A Ci menggeser tubuh tadi, kedua ujung kain ikat pinggangnya mendadak berkibar keatas sambil mengebas dan kontan kedua titik bunga api tadi terus menyambar kembali kearah Ti-sing-cu sendiri.

Karuan Ti-sing-cu melongo kaget, dan sedikit ayal saja kedua bunga api itu sudah menyambar sampai didepannya, Ia menjerit sekali sambil meloncat sekuatnya keatas hingga setitik bunga api melayang lewat dibawah kakinya. Selagi kedua orang Sutenya bersorak memuji kepandaiannya yang hebat, sekonyong-konyong bunga api yang lain menyambar keperut Ti-sing-cu. Dalam keadaan terapung diudara, dengan sendirinya ia tak bisa menghindar pula, "Ces", perut tepat keselomot dan hangus. Kembali Ti-sing-cu menjerit sekali, lalu turun kebawah.

Kiranya Siau Hong gemas karena kata-katanya tadi yang kurangajar tentang A Cu, maka sengaja hendak memberi sedikit hukuman.

Dan sesudah Ti-sing-cu menginjak tanah, bola api tadi yang tanpa pengemudi lantas jatuh kembali kegundukan api unggun. Menyaksikan itu, sorot mata semua orang sama mengunjuk rasa jeri dan hormat kepada A Ci, pikir mereka, "Wah, tampaknya lwekang Siausumoai juga tidak lemah, Toasuheng belum tentu mampu melawan dia, sebaiknya sorak pujian kami jangan terlalu keras-keras lagi."

Dalam pada itu Ti-sing-cu telah membuka gelung rambutnya hingga rambutnya yang panjang terurai dan separoh mukanya tertutup, mendadak ia gigit ujung lidah sendiri hingga berdarah, sekali ia sembur, sekumur darah menghambur kearah api unggun.

Mendadak api unggun itu menyirap, tapi segera terang benderang pula hingga menyilaukan mata.

Tanpa tertahan para Sutenya bersorak memuji, "Sungguh hebat kepandaian Toasuko!"

Sekonyong-konyong Ti-sing-cu putar tubuh dengan kencang hingga mirip gangsingan cepatnya, sambil mengibarkan lengan bajunya yang lebar itu, seketika api unggun seakan-akan terbetot naik keatas dan bagaikan dinding api terus menguruk keatas kepala A Ci. Dengan segenap tenaga dalam Ti-sing-cu telah mengadakan taruhan terakhir malawan A Ci.

Siau Hong tahu orang telah mengeluarkan semacam ilmu hitam yang sangat lihai, jika dirinya mematahkannya dengan tenaga murni, pasti lawan akan keok, tapi diri sendiri juga akan berkorban tenaga tidak sedikit. Biarpun jahat toh orang ini tiada permusuhan apa-apa dengannya, buat apa menempurnya mati-matian? Karena pikiran ini, segera Siau Hong tarik pinggang A Ci dan bermaksud membawanya lari, ia menduga Ti-sing-cu takkan dapat menyusulnya.

Diluar dugaan, datangnya api itu cepat luar biasa, dalam sekejap saja badan A Ci sudah akan terjilat api, dalam keadaan begitu Siau Hong tak diberi kesempatan untuk berpikir lagi, untuk membawanya lari juga tidak sempat, demi keselamatan A Ci yang nasibnya oleh A Cu telah dipasrahkan padanya, terpaksa Siau Hong hantamkan kedua tangannya sekaligus, dua rangkum angin keras lantas menjungkit-kan lengan baju A Ci hingga berkibar keatas, dan angin pukulan itupun menyambar kedepan.

Dibawah sinar api yang terang itu, tampaklah dimana lengan baju A Ci mengebut kedepan, dua rangkum angin keras lantas menyambar juga memapak dinding api unggun itu, Api hijau itu terhenti sejenak di udara, kemudian pelahan-lahan menyurut kearah Ti-sing-cu.

Karuan saja Ti-sing-cu sangat kaget, kembali ia gigit ujung lidah dan sekumur darah disemburkan lagi. Dan mendadak api itu berkobar pula seperti habis ditambah minyak, lalu mendesak maju, tapi satu meter lebih, lagi-lagi dipaksa menyurut kembali.

Begitulah bagi para anak murid Sing-siok-pai yang lain, mereka hanya melihat lengan baju A Ci berkibar-kibar mirip layar tertiup angin, mereka menyangka lwekang anak dara itu sudah maha tinggi, dengan sendirinya tidak menyangka bahwa dibelakang A Ci sebenarnya ada tulang punggung lagi.

Tatkala itu air muka Ti-sing-cu sudah berubah pucat, darah masih terus disemburkan kearah api, tapi setiap kali ia menyemburkan darah sekumur, setiap kali pula tenaganya berkurang.

Ibarat orang sudah naik dipunggung harimau, kalau melompat turun juga akan diterkam sang harimau, terpaksa ia mengadu jiwa dengan harapan A Ci akan terbakar oleh apinya, tentang kerusakan lwekangnya akan dapat dipulihkannya kembali kelak.

Namun meski ia menyemburkan darah terus menerus, dibawah bendungan tenaga dalam Siau Hong yang hebat, betapapun api unggun yang hijau itu tak bisa menerjang maju lagi.

Dari tenaga lawan yang makin lemah itu, Siau Hong tahu orang sudah mulai payah, ibarat lentera yang kehabisan minyak, sebentar saja Ti-sing-cu pasti akan menggeletak tak berkutik.

Segera ia membisiki A Ci, "Boleh kau suruh dia mengaku kalah saja dan pertarungan ini dapat diberhentikan."

A Ci menurut, segera ia berseru, "Nah, Toasuko, sudah terang kamu tak bisa menandingi aku, lekas berlutut saja dan minta ampun, aku berjanji takkan membunuhmu, Nah, lekas mengaku kalah, lekas!"

Ti-sing-cu cemas dan takut ia insaf jiwanya tinggal diujung rambut saja. Maka demi mendengar ucapan A Ci itu, segera ia manggut-manggut dan tidak bicara lagi. Kiranya saat itu ia sedang melawan Siau Hong dengan sepenuh sisa tenaganya, asal membuka mulut, segera api unggun itu akan membakar hidup-hidup diri sendiri.

Melihat keadaan begitu, seketika para Sutenya berganti haluan, kini mereka tidak memuji dan menjilat lagi, sebaliknya beramai-ramai mencaci maki Ti-sing-cu.

"Ayo, Ti-sing-cu, kamu sudah kalah, mengapa tidak lekas berlutut dan menjura?"

"Huh, manusia goblok macam begitu juga berani pamer disini, benar-benar pamor Sing-siok-pai kita telah kau bikin ludes."

"Ayolah Ti-sing-cu, kenapa tidak buka mulut lagi? Dengan segala kemurahan hati Siausumoai telah mengampuni jiwamu, masak kamu masih kepala batu?"

"Huh, biasanya kamu cuma pandai main garang pada kami, kini sekali dilabrak oleh Siausumoai, maka celakalah kau!"

Begitulah manusia-manusia rendah dan pengecut itu memang pandai mengikuti arah angin dimana lebih menguntungkan mereka, kesanalah mereka mendoyong. Melihat Ti-sing-cu sudah kalah, tanpa sungkan-sungkan lagi mereka lantas mengolok-olok dan mencaci maki dengan segala kata-kata kotor. Tadi mereka memuji, kini sang Toasuko sepeserpun tidak laku lagi dalam penilaian mereka.

Diam-diam Siau Hong membatin. "Anak murid iblis tua Sing-siok-pai ternyata begini rendah jiwanya, sejak kecil A Ci sudah bergaul dengan mereka, pantas ketularan sifat-sifat mereka yang jelek itu."

Dan karena melihat keadaan Ti-sing-cu yang serba runyam itu, diam-diam Siau Hong merasa tidak enak sendiri, mendadak ia pun menarik kembali tenaga dalamnya hingga lengan baju A Ci yang berkibar itu melambai kebawah.

Dengan semangat lesu dan mata guram, tubuh Ti-sing-cu terhuyung-huyung, mendadak lutut terasa lemas, ia terduduk ditanah.

"Bagaimana Toasuko?" kata A Ci kemudian, "Kamu menyerah tidak padaku?"

"Ya, aku... aku mengaku kalah," sahut Ti-sing-cu dengan suara rendah, "Jangan kau panggil... panggil Toasuko lagi pada... padaku, engkau sekarang adalah... adalah Toasuci kita."

Mendengar ucapan terakhir itu, serentak anak murid sing-siok-pai yang lain bersorak-sorak.

"Bagus, bagus! Ilmu silat Toasuci memang maha sakti, didunia ini tiada tandingannya lagi, Sing-siok-pai kita mempunyai ahli-waris sebagai Toasuci, pastilah akan merajai dunia persilatan ini."

"Ya, Toasuci, lekas kau pergi membinasakan 'Pak Kiau Hong dan Lam Buyung' apa segala, segera Sing-siok-pai kita akan menjagoi dunia untuk selamanya," demikian seorang lagi.

Tapi seorang lain lantas menyanggahnya, "He, jangan sembarang omong, Pak Kiau Hong adalah Cihu Toasuci kita, mana boleh dibunuh?"

"Kenapa tidak boleh?" sahut orang tadi. "Kecuali kalau dia juga masuk menjadi anggota Sing-siok-pai kita dan mengaku kalah pada Toasuci."

Diam-diam Siau Hong mendongkol dan geli pula ditempat persembunyiannya. Dalam pada itu ia dengar A Ci sedang mendamprat orang-orang tadi, "Hai, kalian mengaco-belo apa? Tutup mulut kalian!"

Lalu ia berkata kepada Ti-sing-cu, "Nah, Toasuko, tadi kuminta engkau mengampuni diriku, tapi engkau sangat kejam dan tidak mau, sekarang apa yang akan kau katakan?"

"Ya, aku... aku memang pantas mampus!" sahut Ti-sing-cu dengan terputus-putus. "Tadi kau bilang suka padaku. Biarlah segera kupulang dan membunuh biniku itu, kemudian akan kuambil dirimu sebagai istri, selamanya aku akan tunduk pada perintahmu."

Mendengar itu, seketika anak murid Sing-siok-pai yang lain sama bungkam, suasana menjadi sunyi senyap, diam-diam mereka membatin, "Wah, celaka! Siausumoai tadi memang menyatakan suka pada Toasuko, bila benar bila Toasuko memperistri dia, dengan sendirinya Siausumoai sangat senang. Dan sebagai suami-istri sudah tentu tiada perbedaan siapa yang akan menjadi ahli-waris Sing-siok-pai, Wah celaka, hati Toasuko tak boleh disakiti."

Jitsute yang mukanya terbakar tadi, kini rasa sakitnya sudah mereda, ia ingin berjasa dulu untuk menebus dosa maka cepat ia mendahului buka suara, "Benar, Toasuci, jika kau jadi istri Toasuko, itulah suatu pasangan yang setimpal, yang lelaki ganteng, yang perempuan ayu, tokoh persilatan mana yang takkan iri melihat pasangan kalian? Memangnya kalau bukan lelaki tampan sebagai Toasuko rasanya sukar juga mencari jejaka yang setimpal bagimu."

"Ya, Toasuci, meski ilmu silat Toasuko sedikit kurang dari padamu, tapi didunia ini selain Toasuci sendiri, jelas Toasuko terhitung jago nomor dua," demikian seru seorang lagi." Dan selanjutnya Toasuko tentu akan menurut perintahmu, betapapun dia takkan berani membangkang, aku berani menjaminnya."

Begitulah yang satu bilang begini dan yang lain berkata begitu, semuanya memuji dan mendukung perjodohan mereka yang dikatakan setimpal dan akan bahagia.

Ditempat sembunyinya diam-diam Siau Hong juga berpikir, "A Ci menyatakan suka pada orang ini, tampaknya mereka memang suatu pasangan yang sesuai."

Ia coba melirik anak dara itu, ia lihat wajahnya bersenyum simpul, tampaknya sangat senang.

Maka diam-diam ia membatin lagi, "Ya, apa boleh buat, dia sendiri juga sudah setuju, maka selesailah kewajibanku kepada pesan tinggalan A Cu itu. Sejak kini dia sudah berumah tangga, aku tidak perlu pikirkan dia lagi."

Selagi Siau Hong bermaksud tinggal pergi, tiba-tiba didengarnya A Ci berkata. "Toasuko, engkau sungguh suka padaku atau cuma terpaksa saja memperistrikan aku?"

"Sungguh-sungguh suka, sungguh mati!" sahut Ti-sing-cu, "Kalau aku berpura-pura, biarlah aku terkutuk dan mati tak terkubur."

Segera para Sutenya beramai-ramai memberi suara pula. "Ya, sudah tentu Toasuko bersungguh hati, Toasuci yang berilmu silat setinggi itu, siapakah yang tidak ingin mempersuntingnya?"

"Betul, untuk menikah dengan Toasuci, Toasuko sudah berjanji akan membunuh Suso (istri Suko), kalau Toasuko tidak tega, kami siap melaksanakannya."

A Ci merasa muak juga oleh sifat penjilat pantat kawan-kawannya itu. Dengan tertawa ia berkata kepada Ti-sing-cu, "Tadi kuminta kau ampuni aku, mengapa kamu tidak mau?"

"O, aku... aku hanya... hanya bergurau saja... " sahut Ti-sing-cu dengan tergagap-gagap.

Sesudah pertandingan tadi, tenaga dalamnya telah terkuras habis oleh Siau Hong, maka kini ia pun lemas dan lepuk, asal seorang Sutenya menantangnya saja dia tak mampu melawan. Maka yang ia harap sekarang hanya semoga A Ci mau mengampuni jiwanya, jalan lain tidak ada. Dan bila kelak lwekangnya sudah pulih barulah dia akan membikin perhitungan dengan mereka yang pernah mengolok itu.

Kemudian A Ci berkata lagi, "Menurut peraturan kita, bila ada pergantian ahli-waris, lalu cara bagaimana ahli-waris lama itu harus ditindak?"

Keringat dingin membasahi jidat Ti-sing-cu, dengan suara gemetar ia memohon. "Harap Toa... Toasuci sudi memberi ampun!"

"Aku pun ingin mengampuni kau," sahut A Ci dengan mengikik tawa, "Cuma sayang, peraturan tetap peraturan, tidak boleh aku melanggarnya, Toasuko, sesungguhnya pada waktu kecil aku pernah suka padamu, tapi kemidian makin lama aku makin jemu padamu, apakah kau tahu hal ini?"

"Ya... ya!" sahut Ti-sing-cu dengan lesu.

"Nah, Toasuko, boleh seranglah!" kata A Ci pula, "Kamu memiliki kepandaian apa, silakan keluarkan semua."

Insaf nasib sendiri sudah tak bisa diubah lagi, Ti-sing-cu menjadi nekat, ia tidak minta ampun lagi, tapi kedua tangan lantas siap, ia kerahkan sisa tenaganya yang masih ada terus memukul kearah api unggun yang hijau itu. Tapi sayang, ibarat pelita sudah kehabisan minyak, setitik tenaganya itu terang tak berguna, pukulannya hanya membuat api unggun bergetar beberapa kali, lalu tenang kembali.

"Aha, sungguh menarik," seru A Ci dengan tertawa. "Eh, Toasuko, mengapa permainan sulapmu tak manjur lagi?"

Habis berkata, sekali tangannya menjulur kedepan sambil melangkah maju, seketika sejalur api hijau memancar kearah Ti-sing-cu. Sebenarnya tenaga dalam A Ci hanya biasa saja, maka lidah api itu pun tidak seberapa besar, tapi karena Ti-sing-cu sudah tak berdaya lagi, bahkan tenaga untuk melarikan diri juga sudah tak ada. Maka begitu api hijau itu menjilat badannya, seketika rambut dan pakaiannya terbakar, ditengah jerit ngerinya seantero tubuhnya lantas terbungkus oleh api yang berkobar-kobar.

Serentak para anak murid Sing-siok-pai yang lain ramai bersorak puji akan kesaktian Toasuci mereka.

Meski Siau Hong sudah sering menyaksikan kejadian mengerikan didunia kangouw, tapi seorang gadis jelita dan muda belia seperti A Ci, kelakuannya ternyata begini keji dan ganas, sungguh ia takkan percaya jika tidak menyaksikan sendiri. Sungguh rasa hatinya jemu tak

terkatakan, ia menghela napas dan segera melangkah pergi.

"Cihu, Cihu! Tunggu, Cihu!" segera A Ci berteriak-teriak.

Tapi Siau Hong tak gubris padanya, ia tetap bertindak pergi dengan langkah lebar. Karuan anak murid Sing-siok-pai sama kaget ketika tahu-tahu melihat munculnya orang dibalik batu karang itu, terutama silelaki hidung singa dan sigendut yang mengenali kelihaian Siau Hong.

"Cihu, Cihu, tunggulah aku!" seru A Ci pula sambil menyusulnya.

Sementara itu jeritan Ti-sing-cu yang mengerikan itu semakin keras hingga berkumandang jauh diseluruh lembah pegunungan, seram dan memekak telinga.

Melihat si A Ci masih terus menguntitnya, dengan kening berkernyit Siau Hong berkata, "Buat apa kau ikut padaku? Kamu sudah menjadi ahli-waris Sing-siok-pai, sudah menjadi Toasuci orang-orang itu bukankah sudah memuaskan hatimu sekarang?"

"Tidak bisa." sahut A Ci dengan tertawa. Lalu ia tekan suaranya dan berkata pula. "Kedudukan Toasuci-ku ini adalah hasil menipu, buat apa mesti kuberatkan? Biarlah aku ikut keluar Gan-bun-koan untuk mengangon domba saja, Cihu."

Dalam pada itu suara Ti-sing-cu yang mengerikan itu masih terdengar, Siau Hong tidak ingin tinggal lebih lama disini, segera ia percepat langkahnya ke Utara.

Cepat A Ci jalan berjajar dengan Siau Hong, bahkan ia menoleh dan menggembor kepada anak murid Sing-siok-pai, "Jitsute, aku ada keperluan harus berangkat ke utara, kalian boleh tunggu aku disekitar sini, sebelum aku kembali kalian dilarang sembarang tinggal pergi, tahu tidak?"

Anak murid Sing-siok-pai itu beramai-ramai memburu maju beberapa tindak dan membungkuk dengan penuh hormat, seru mereka, "Atas titah Toasuci, sedikit pun kami tak berani membangkang!" Habis itu, mereka lantas menyerukan puja-puji lagi kepada sang 'Toasuci' yang maha sakti itu.

A Ci melambaikan tangan beberapa kali dengan wajah berseri-seri, lalu tinggal pergi bersama Siau Hong. Melihat sifat A Ci yang masih kekanak-kanakan, habis membunuh orang malah kelihatan senang, seperti habis makan penganan enak atau mandapat mainan baru, kalau tidak menyaksikan sendiri pasti tiada seorangpun yang percaya bahwa anak dara ini baru saja berhasil merebut kedudukan ahli-waris Sia-pai yang terbesar di dunia ini.

Siau Hong menghela napas, ia merasa didunia ini segala apa seperti impian belaka, hampa rasanya.

"Engkau menghela napas, ada apa, Cihu? Apa engkau anggap aku terlalu nakal?" tanya A Ci.

"Itu bukan nakal lagi, tapi kejam dan ganas!" sahut Siau Hong. "Kalau yang berbuat adalah kaum laki-laki kami, hal mana masih dapat dimengerti, tapi dirimu adalah seorang nona cilik, kenapa sedikitpun kamu tidak kenal ampun? Malah engkau sendiri menyatakan dahulu pernah suka pada Toasuhengmu itu, mengapa sekarang kau bakar mati dia?"

"Engkau sudah tahu dan pura-pura tanya atau sungguh-sungguh tidak tahu" tanya A Ci dengan heran.

"Sudah tentu aku tidak tahu, makanya tanya."

"Sungguh aneh, masakah engkau tidak tahu? Bukankah kedudukanku sebagai Toasuci ini adalah berkat bantuanmu, cuma saja mereka tidak tahu. Bila aku tidak membunuh dia, kelak pasti akan diketahui olehnya dan bila engkau kebetulan tidak berada di dampingku, bukankah jiwaku akan amblas ditangannya? Dan untuk keselamatanku sendiri, sudah tentu aku harus membunuhnya."

"Katanya kau suka padanya, selang beberapa tahun lagi setelah dewasa kamu boleh menikah dengan dia, tatkala mana masakah dia tega membunuhmu?"

"Dia memang berjanji akan membunuh istrinya untuk menikah denganku, tapi kalau aku menjadi istrinya, tentu nasibku akan serupa bila kelak ada perempuan lain minta dia membunuhku. Lagi pula, aku merasa menikahi dia juga tidak begitu menarik."

Diam-diam Siau Hong membatin, "Benar-benar omongan kanak-kanak. Menjadi suami-istri adalah urusan selama hidup, masakah ada soal menarik apa segala? Bocah ini dibilang bodoh toh dia sangat cerdik, dibilang dia pintar Toh ucapannya tak karuan dan suka bikin gara-gara."

Maka katanya segera, "Baiklah! Dan untuk apa kamu ke Gan-bun-koan?"

"Cihu, akan kukatakan terus terang, kau mau mendengarkan tidak?"

"Bagus, jadi selama ini kamu tidak pernah jujur padaku dan baru sekarang mau berterus terang!" demikian Siau Hong membatin, Tapi dimulut ia berkata; "Tentu saja aku ingin mendengarkan, cuma ku-khawatir kamu tidak mau bicara terus terang."

"A Ci mengikik tawa sambil merangkul lengan Siau Hong, katanya, "Masakah engkau juga khawatir padaku?"

"Banyak hal-hal yang ku-khawatirkan padamu, ku-khawatir kamu akan menimbulkan gara-gara, ku-khawatir kamu sembarangan membunuh ornag, khawatir kamu mempermainkan orang, khawatir... "

"Eh, kau khawatir aku dihina orang tidak? Kalau aku dibunuh orang, bagaimana?" tanya A Ci tiba-tiba.

"Aku telah dipesan oleh Cicimu, dengan sendirinya aku harus menjaga keselamatanmu," sahut Siau Hong.

"Bila Ciciku tidak pernah meninggalkan pesan padamu? Dan umpamanya aku bukan adik A Cu, lalu bagaimana?"

"Hm, sudah tentu takkan kuperduli," jengek Siau Hong.

"Memangnya Ciciku sedemikian baik sehingga sedikitpun tidak kau hargai diriku?"

"Sudah tentu, Cicimu beribu kali lebih baik dari padamu, A Ci, selama hidupmu ini tidak mungkin dapat menyamai dia." berkata sampai disini mata Siau Hong menjadi agak basah dan suaranya sedih.

Dengan mulut menyungkit A Ci menggerundel, "Jika benar A Cu lebih baik dari padaku, suruhlah dia mengawinimu saja, aku tidak mau menemanimu lagi," Habis berkata, segera ia putar tubuh dan melangkah balik.

Tapi Siau Hong tidak ambil pusing, ia tetap meneruskan perjalanannya, pikirnya, "Jika A Cu yang bersamaku sekarang, betapapun dia tidak mungkin marah padaku, selamanya dia ramah-tamah padaku, begitu pula segala apa kuturuti dia, andaikan dia mengomel sesuatu juga aku akan mengaku salah padanya. Tapi, tidak, tidak mungkin dia marah padaku."

Begitulah ia pikir yang tidak-tidak. Tiba-tiba didengarnya suara tindakan orang dari belakang, ternyata A Ci telah menyusulnya pula. Kata anak dara itu, "Cihu, engkau ini benar-benar orang kejam, sekali tidak mau menunggu, tetap tidak menunggu, sedikitpun engkau tidak punya rasa kasihan."

Siau Hong tertawa geli, katanya, "A Ci, mengapa kau bicara tentang kasihan segala? Dari siapakah pernah kau dengar kata-kata kasihan?"

"Dari ibuku," sahut A Ci, "Beliau mengatakan padaku bahwa menjadi orang itu jangan kejam, jangan galak, tapi harus 'welas asih'."

"Apa yang dikatakan ibumu memang benar, cuma sayang sejak kecil kamu sudah berpisah dengan beliau hingga mendapat didikan jahat dari gurumu," kata Siau Hong.

"Baiklah, Cihu, selanjutnya aku akan berada bersamamu dan akan banyak belajar hal-hal yang baik darimu," kata A Ci dengan tertawa.

Siau Hong berjingkrak kaget, cepat ia goyang-goyang tangannya sambil berseru, "Wah, tak bisa jadi. Apa gunanya kau ikut orang kasar seperti aku ini? Sudahlah, A Ci, lekas kau pergi saja, kalau berada bersamamu malah pikiranku menjadi kesal dan kusut, untuk pikir secara tenang sedikit saja tak dapat."

"Apa yang hendak kau pikirkan, coba katakanlah, biar aku membantumu memikirkannya," kata A Ci, "Cihu, engkau ini memang seorang baik, mudah ditipu orang."

Mendongkol dan geli Siau Hong oleh ucapan dara itu, katanya, "Kamu hanya seorang anak perempuan, tahu apa? Memangnya sesuatu yang tak dapat kupikirkan sebaliknya mesti minta nasihatmu?"

"Sudah tentu, banyak hal-hal aneh yang justru tak mungkin dapat kau pikirkan," kata A Ci, Ia merandek dan meraup secomot salju, ia kepal hingga keras, lalu disambitkan. Kemudian ia tanya, "Cihu, untuk apakah kau pergi keluar Gan-bun-koan?"

"Tidak untuk apa-apa," sahut Siau Hong sambil geleng kepala. "Disana aku akan mengangon domba dan menggembala sapi untuk melewatkan hidupku ini, habis perkara."

"Lalu, siapakah yang akan memasak makanan bagimu? Siapakah yang akan membuatkan pakaian bagimu?" tanya A Ci.

Siau Hong melengak, memang tak pernah terpikir olehnya tenttang soal-soal itu. Segera ia menjawab sekenanya, "Tentang sandang-pangan kan gampang? Orang Cidan kami hanya makan daging kambing dan sapi, bajunya buatan dari kulit domba dan sapi, dimana-mana dapat dijadikan tempat tinggal, bukankah sangat sederhana?"

"Dan tatkala engkau kesepian, siapakah yang akan mengajak bicara padamu?" tanya A Ci.

"Gampang, sesudah aku berada diantara suku bangsa sendiri, tentu saja akan mendapat banyak kawan sebangsa." sahut Siau Hong.

"Tapi yang mereka bicarakan dan lakukan melulu urusan berburu, menunggang kuda, menyembelih sapi dan menyembelih kambing, hal-hal begitu kan membosankan?" ujar A Ci.

Siau Hong merasa ucapan anak dara itu beralasan juga, Ia hanya menghela napas dan tidak menjawab.

"Apakah engkau harus kembali ketempat suku bangsamu sana?" A Ci bertanya pula, "Jika engkau tidak pulang kesana, tapi tinggal disini untuk berkelahi, minum arak, baik mati atau akan hidup, bukankah cara demikian lebih menyenangkan, lebih memuaskan?"

Mendengar itu, seketika dada Siau Hong terasa panas, semangat kesatrianya tergugah lagi, Ia mendongak dan bersuit panjang. "Ya, ucapanmu betul juga!" katanya kemudian."

"Eh, Cihu," tiba-tiba A Ci menarik-narik lengan Siau Hong, "Sudahlah, jangan engkau pulang kesana dan aku pun takkan pulang ke Sing-siok-hai, aku akan membantumu berkelahi dan minum arak."

Siau Hong tertawa oleh sifat anak dara yang masih kekanak-kanakan itu, katanya, "Kamu kan Toasuci dari Sing-siok-pai, jika mereka kehilangan Toasuci dan ahli-waris kan bisa berabe?"

"Kedudukanku sebagai Toasuci ini diperoleh dengan menipu, setiap waktu bila rahasiaku ketahuan mereka, tentu jiwaku bisa melayang, maka lebih baik kuikut denganmu untuk berkelahi dan minum arak saja."

"Bicara tentang minum arak, kekuatanmu minum terlalu sedikit, mungkin setengah mangkuk saja kamu akan mabuk," ujar Siau Hong dengan tersenyum. "Tentang kepandaianmu berkelahi juga tidak cukup, bukan mustahil akhirnya nanti bukan lagi kau bantu aku, tapi akulah yang membantumu."

A Ci menjadi masgul oleh jawaban itu, ia berkerut kening dan sesudah beberapa tindak lagi, sekonyong-konyong ia duduk ditanah dan menangis keras-keras.

Siau Hong terkejut oleh kelakuan anak dara itu, cepat ia tanya. "He, ada... ada apakah?"

Tapi A Ci tidak menggubrisnya, ia tetap menangis tergerung-gerung dengan sangat berduka. Sejak Siau Hong kenal A Ci, selalu ia lihat anak dara itu mau menang sendiri, sekalipun waktu diringkus oleh anak murid Sing-siok-pai juga dia tetap kepala batu, sedikit pun tidak gentar, sungguh tidak nyana sekarang anak dara itu bisa menangis sedemikian rupa hingga Siau Hong dibuatnya bingung malah.

"He, A Ci cilik, mengapakah kamu ini?" tanya Siau Hong pula.

"Kau.. kau pergilah, jangan.. jangan urus diriku lagi, huk-huk, biar aku mati menangis saja disini, supaya engkau merasa senang, huk-huk-huk!" demikian sahut A Ci dengan terguguk.

"Seorang sehat masakah bisa mati menangis." ujar Siau Hong dengan tersenyum.

"Aku justru ingin mati menangis," sahut A Ci sambil tersedu-sedan.

"Jika begitu, boleh kamu menangis terus disini, jangan terburu napsu, menangislah perlahan-lahan, dan aku takkan mengawanimu lagi," kata Siau Hong dengan tertawa, lalu ia melangkah pergi.

Tapi baru dua tindak ia melangkah, tiba-tiba suara tangis A Ci berhenti, sedikitpun tiada suara lagi, Ia menjadi heran, ketika menoleh ia lihat anak dara itu tiarap diatas tanah salju tanpa bergerak.

Diam-diam Siau Hong geli, "Hah, anak dara ini memang suka aleman, biarlah takkan kugubris dia lagi." Segera ia tinggal pergi tanpa menoleh.

Sesudah beberapa li jauhnya, ketika ia berpaling kebelakang, ia lihat ditanah salju itu keadaan sunyi senyap, tanah salju sekitar situ sangat datar dan luas, sepanjang mata memandang dapat terlihat dengan jelas tanpa teraling-aling oleh pepohonan apapun, Ia lihat A Ci masih tetap menggeletak ditanah salju itu tanpa bergerak sedikitpun.

Diam-diam ia menjadi ragu, "Anak dara ini memang aneh tingkah lakunya, bukan mustahil sekali ia menggeletak, lalu tidak berbangkit untuk selamanya."

Segera teringat pula olehnya pesan tinggalan A Cu, tanpa kuasa lagi segera ia putar balik dengan langkah lebar. Setibanya didekat A Ci, benar juga ia lihat anak dara itu masih bertiarap ditanah salju, keadaannya masih tetap seperti waktu ditinggalkan tadi, sedikitpun tidak bergeser.

Sesudah lebih dekat lagi, Siau Hong terkesiap, ia lihat tubuh A Ci seakan-akan terbingkai dalam salju yang tebalnya beberapa senti, tapi salju yang mengelilingi tubuhnya itu sedikit pun tidak mencair. Padahal tubuh manusia itu bersuhu panas, kalau tengkurap sekian lama diatas salju tentu salju disekitarnya akan cair menjadi air.

Kini salju disitu tetap beku, jangan-jangan anak dara itu benar-benar sudah mati? Dalam Khawatirnya Siau Hong coba meraba pipi sigadis, tapi dimana tangannya menyentuh ia merasa tubuh A Ci itu sudah dingin, waktu memeriksa napasnya pula, juga sudah berhenti.

Namun Siau Hong pernah menyaksikan anak dara itu pura-pura mati tenggelam dalam danau untuk menipu ayahnya, ia tahu didalam Sing-siok-pai ada semacam ilmu 'Ku-sit-kang'(kura-kura mengeram), maka ia pun tidak begitu khawatir lagi. Segera ia gunakan dua jari dan menutuk dua kali di-iga A Ci, Ia salurkan tenaga dalamnya kebagian hiat-to itu.

Maka terdengar A Ci bersuara sekali lalu membuka mata pelahan, waktu melihat Siau Hong mendadak ia berpaling sedikit dan sekali mulut mengap, sekonyong-konyong sebatang jarum kecil warna hijau gelap menyambar ketengah-tengah alis Siau Hong.

Waktu itu jarak Siau Hong dengan anak dara itu tiada satu meter jauhnya, betapapun ia tidak menyangka mendadak A Ci bisa menyerangnya secara keji. Sambaran jarum itu pun sangat cepat, biar pun ilmu silat Siau Hong maha tinggi juga sukar untuk menghindar pada saat mendadak dan dari jarak sedekat itu.

Sekilas teringat olehnya betapa jahat senjata rahasia berbisa dari Sing-siok-pai, bila sampai kena, pasti harapan untuk hidup sangat tipis. Tanpa pikir lagi ia mengebas sebisanya dengan tangan kanan, kontan serangkum angin keras berjangkit.

Dalam saat kepepet, maka tenaga yang digunakan itu merupakan himpunan tenaga yang ada, kalau tidak, jangan harap dapat mengguncang pergi jarum lembut yang menyambar dari jarak dekat itu. Maka begitu tangan kanan bekerja, seketika tubuhnya menggeser juga kekanan, maka terenduslah bau busuk amis yang terbawa angin, dan jarum berbisa itupun menyambar lewat disamping pipinya, hanya berjarak beberapa mili saja jauhnya, sungguh ia boleh dikatakan lolos dari lubang jarum.

Dan pada saat yang sama itulah tubuh A Ci juga terpental oleh tenaga pukulan maha dahsyat itu, tanpa bersuara lagi badan A Ci melayang hingga jauh dan terbanting diatas tanah.

Diam-diam Siau Hong bersyukur nyaris dimakan jarum berbisa itu. Tapi demi melihat A Ci terpental oleh tenaga pukulannya, ia jadi kaget pula.

"Wah, celaka! Mana dia tahan oleh tenaga pukulanku? Mungkin dia sudah binasa oleh pukulanku?" demikian pikirnya dengan khawatir. Cepat ia memburu ketempat A Ci, ia lihat mata anak dara itu tertutup rapat, ujung mulut mengeluarkan darah, mukanya pucat, sekali ini benar-benar sudah berhenti napasnya.

Seketika Siau Hong mematung, katanya dalam hati. "Kembali aku memukul mati dia, kembali aku membunuh adik perempuan A Cu lagi, pada hal sebelum meninggal dia minta... minta kujaga adiknya, tetapi... tetapi aku memukul mati dia."

Begitulah dengan rasa cemas ia coba tempelkan tangannya dipunggung A Ci dan menyalurkan tenaga murni sendiri sekuatnya ketubuh anak dara itu. Selang sesaat, tampak A Ci bergerak sedikit. Sungguh girang Siau Hong tidak kepalang, ia berseru, "A Ci, A Ci! Kamu tidak boleh mati, betapapun aku harus menghidupkanmu."

Tapi setelah bergerak sedikit, lalu A Ci tidak berkutik lagi, Siau Hong sangat gelisah, cuma sebagai orang yang sudah berpengalaman, sedapat mungkin ia bisa menguasai perasaannya dan tenangkan diri. Segera ia duduk bersila ditanah salju itu, pelahan ia taruh badan A Ci di pangkuannya, kedua telapak tangan ditempelkan kepunggung dan pelahan menyalurkan tenaga murni kedalam tubuh A Ci, Ia tahu luka A Ci sangat parah, maka sedapat mungkin ia harus menolong.

Selang tak lama, dari ubun-ubun Siau Hong sendiri tampak menguapkan asap tipis, suatu tanda ia telah mengerahkan tenaga sekuatnya.

Kira-kira setengah jam ia berusaha, akhirnya tubuh A Ci tampak bergerak sedikit dan pelahan dapat memanggil, "Cihu!"

Sungguh girang Siau Hong bukan buatan, ia meneruskan tenaganya dan tidak mengajak bicara padanya, Ia merasa badan A Ci lambat-laun mulai hangat, hidungnya juga mulai bernapas lagi.

Khawatir usahanya gagal setengah jalan, maka Siau Hong tidak berani berhenti, ia kerahkan tenaga sedapat mungkin.

Kira-kira menjelang lohor, ia merasa pernapasan A Ci sudah pulih kembali dan barulah ia berani berbangkit, ia pondong anak dara itu dan melanjutkan perjalanan dengan cepat. Tapi ia lihat air muka A Ci itu tetap pucat bagai mayat, maka ia tidak berani ayal, sambil berjalan cepat, tangan tetap menempel dipunggung anak dara itu dan tiada hentinya menyalurkan tenaga murni.

Kira-kira satu jam kemudian, sampailah disuatu kota kecil. Celakanya kota ini tiada rumah penginapan, terpaksa Siau Hong melanjutkan perjalanan ke utara. Lebih dua puluh li lagi, akhirnya ia mendapatkan sebuah penginapan yang sederhana, penginapan itu tiada pelayan hingga pemilik hotel sendiri melayani tamunya.

Segera Siau Hong minta disediakan semangkuk kuah hangat, dengan sendok pelahan ia menyuapi A Ci. Tapi hanya beberapa cegukan saja kuah yang diminum A Ci lantas ditumpahkan kembali, bahkan diantara air kuah itu penuh bercampur darah mati. Siau Hong sangat cemas, ia pikir luka A Ci yang parah ini besar kemungkinan tak bisa disembuhkan lagi. Sedangkan Giam-ong-tik, si tabib sakti Sih-sin-ih itu entah berada dimana, sekalipun berada disitu juga, belum tentu mampu menyembuhkan A Ci. Tapi, diam-diam ia berjanji pada diri sendiri harus menyelamatkan jiwa anak dara itu biarpun tenaga sendiri akan terkuras habis, dengan demikian barulah ia merasa tidak mengecewakan pesan A Cu yang telah pasrahkan nasib A Ci padanya itu.

Padahal sebabnya dia hantam A Ci adalah karena anak dara itu hendak menyerangnya lebih dulu, dalam keadaan begitu, bila dia tidak memukulnya tentu jiwa sendiri yang akan terancam, maka terpaksa ia mesti melukai A Ci. Andaikan A Cu menyaksikan kejadian itu, tentu ia pun takkan menyalahkan Siau Hong, sebab kejadian itu adalah gara-gara perbuatan A Ci sendiri.

Semalam suntuk Siau Hong tak bisa tidur, sampai esok paginya ia masih tetap menyalurkan tenaga murni sendiri untuk mempertahankan jiwa A Ci.

Dahulu waktu A Cu terluka olehnya, hanya terkadang saja Siau Hong menyalurkan tenaga murninya bila keadaan gadis itu tampak lemah. Tapi kini keadaan A Ci jauh lebih parah, kedua tangannya tidak boleh berpisah dengan punggung A Ci, sekali berpisah, tentu napas anak dara itu lantas putus.

Keadaan begitu berlangsung hingga esok hari kedua. Meski tenaga Siau Hong sangat kuat, tapi selama dua hari dua malam mengerahkan tenaga cara begitu, mau tak mau terasa sangat lelah juga, Arak yang tersedia dihotel kecil itu pun habis diminum olehnya, Ia minta pemilik hotel menambahkan ditempat lain tapi sialan, uangnya habis.

Bagi Siau Hong tidak menjadi soal tidak makan nasi, tapi sehari tidak minum arak baginya akan terasa ketagihan. Kini dalam keadaan lelah dan banyak pikiran, ia lebih perlu dibantu dengan arak untuk menguatkan semangat.

Ia pikir mungkin dibadan A Ci masih terdapat uang sangu. Segera ia membuka buntalan kecil yang dibawa anak dara itu, benar juga ia lihat didalamnya ada tiga potong uang emas, ia ambil sepotong dan ditaruhkan dimeja, ia merasa buntalan kain terikat oleh seutas tali halus, ujung tali itu terikat dikantungan kain dan ujung yang lain terikat dipinggang A Ci.

Segera ia coba melepaskan ujung tali yang terikat pada tali pinggang itu. Sesudah berkutetan sebentar barulah tali itu dapat dilepaskannya, tapi waktu ia tarik, terasa ujung tali yang lain agak berat, terang masih terikat sesuatu benda lain. Cuma benda itu tertutup dalam baju hingga tidak kelihatan bagaimana bentuknya.

Dan ketika Siau Hong melepaskan tali itu, 'trang-tring', mendadak terjatuh sebuah benda berwarna hijau mengkilat. Itulah sebuah Giok-ting yang kecil mungil.

Siau Hong menghela napas melihat benda itu, terang itulah Giok-ting yang dipertengkarkan antara murid Sing-siok-pai tempo hari, Ia jemput dan menaruhnya diatas meja, Ia lihat Giok-ting itu berukir sangat indah, diantara warna hijau kemala itu lamat-lamat kelihatan jalur merah jambon hingga makin menambah kebagusan warnanya.

Selamanya Siau Hong tidak suka benda-benda permainan begitu, dalam pandangannya biarpun benda mestika apapun juga tidak lebih cuma batu belaka yang tiada artinya, maka sesudah memandangnya sekejap, ia pun tidak memperhatikan lagi.

Pikirnya kemudian, "A Ci ini benar-benar sangat licin, berulang ia mengatakan Giok-ting ini telah diserahkan padaku, padahal masih tersimpan didalam bajunya. Saudara seperguruannya itu percaya saja apa yang dia katakan bahwa barang telah diserahkan padaku, pula mereka tidak ada yang menggeledah badannya, sebab itulah buntalan ini tidak ditemukan. Sedangkan sekarang jiwanya masih sukar diramalkan, buat apa pikrkan benda demikian ini?"

Segera ia panggil pengurus hotel dan menyerahkan uang emas itu padanya agar dibelikan arak dan daging.

Begitulah ia terus menyalurkan tenaga murni sendiri untuk mempertahankan jiwa A Ci. Sampai hari keempat, keadaan Siau Hong benar-benar sudah payah, ia tidak tahan lagi, terpaksa ia genggam kedua tangan A Ci dan merangkulnya, ia biarkan gadis itu bersandar didepan dadanya, ia menyalurkan tenaga murni melalui tangannya, sebentar kemudian, ia merasa mata sepat dan sukar dipentang lagi. Akhirnya ia pun terpulas. Tapi karena selalu Khawatirkan mati hidup A Ci, hanya sebentar saja ia sudah terjaga bangun.

Keadaan begitu kembali lewat lagi dua hari, ia lihat keadaan A Ci tiada tanda gawat, tapi juga tiada kemajuan untuk sembuh. Terkadang anak dara itu membuka mata juga, tapi matanya buram, bahkan bicara pun tak bisa.

Siau Hong tambah masgul, untuk menghibur diri ia minum arak sepuas-puasnya. Ia pikir terus tinggal di hotel kecil itu pun bukan jalan yang baik, terpaksa ia harus berangkat lagi, ia berharap akan menemukan jalan untuk menyelamatkan A Ci, dari pada mati konyol di hotel

kecil itu.

Dipondongnya A Ci dengan tangan kirinya, dengan tangan kanan ia ambil kantungan kain milik A Ci itu dan disimpannya didalam baju sendiri, Ia lihat Pek-giok-giok-ting itu masih terletak diatas meja, pikirnya. "Benda yang membikin celaka orang ini lebih baik dihancurkan saja."

Tapi ia urung menggepuknya ketika tiba-tiba terpikir pula olehnya, "Dengan susah payah A Ci mencuri barang ini, jelas benda ini berguna baginya. Tampaknya ia sudah tak bisa disembuhkan lagi. Pada sebelum ajalnya bila mendadak ia tanya benda kesukaannya ini dan dapat kuperlihatkan padanya, dengan begitu ia akan mangkat dengan rasa puas dari pada nanti mati menyesal, kalau aku tak bisa mengunjukkan benda ini."

Begitulah segera ia jemput lagi Giok-ting itu, begitu tripod itu terpegang tangannya, segera terasa didalamnya ada sesuatu yang sedang merayap-rayap. Karuan Siau Hong heran dan tertarik, ia coba mengamat-amati, ia lihat disamping tripod itu ada lima lubang amat kecil.

Waktu diperhatikan pula bagian leher tripod itu, ternyata disitu terdapat suatu garis yang sangat halus, agaknya tripod itu terbagi menjadi dua bagian.

Ia coba menggunakan jari kecil dan jari manis untuk menjepit tripod itu, lalu menggunakan jari jempol dan jari telunjuk untuk memutar bagian atas tripod, benar juga bagian itu dapat diputar. Sesudah diputar beberapa kali, akhirnya terbukalah tutupnya.

Tapi ia menjadi kaget ketika mengetahui isi tripod itu. Kiranya didalamnya terdapat dua ekor serangga berbisa yang saling antup, yang seekor adalah kalajengking dan yang lain adalah seekor kelabang, keduanya sedang tarung dengan ramai.

Sebagai seorang yang berpengalaman, segera Siau Hong tahu binatang beracun itu memang sengaja dipiara oleh golongan Sing-siok-pai. Tanpa pikir lagi ia tuang keluar kalajengking dan kelabang itu, sekali injak ia bikin mati gepeng. Lalu ia tutup kembali Giok-ting itu dan dimasukkan kedalam kantungan kain semula, Ia bereskan rekening hotel, lalu berangkat menuju ke utara menempuh hujan salju.

Ia tahu permusuhannya dengan tokoh-tokoh persilatan Tionggoan sudah terlalu mendalam, ia sendiri tidak sudi menyamar pula, kalau ia menuju lagi ke utara, makin lama makin dekat dengan ibukota Sung, disitu pasti akan kepergok oleh ksatria Tionggoan yang terkenal.

Untuk membunuh orang lagi ia sudah tidak mau, pula ia memondong A Ci, sudah tentu tidak leluasa untuk bertempur. Sebab itulah ia tidak mau melalui jalan raya, tapi yang dipilih adalah jalan kecil pegunungan yang sepi. Dengan cara begitu, sudah beberapa ratus li ia tempuh perjalanan dan ternyata selamat tanpa ketemukan sesuatu rintangan apa pun.

Suatu hari, sampailah ia disuatu kota. Ditepi jalan ia lihat suatu toko obat, diatas papan merek toko tertulis, "Ong Thong-ti, tabib turun temurun." Ia pikir ditempat kecil begitu masakah ada tabib pandai? Tapi tiada halangan dicoba dulu.

Segera ia bawa A Ci kedalam toko obat itu untuk minta pertolongan. Sesudah tabib she Ong itu memegang nadi A Ci, tiba-tiba ia pandang Siau Hong, lalu pegang nadi A Ci lagi, kemudian pandang pula pada Siau Hong dan memegang nadi lagi, begitulah berulang-ulang ia lakukan seperti itu dengan air muka terheran-heran, Sekonyong-konyong ia lepaskan nadi A Ci lalu nadi Siau Hong yang diperiksanya.

Karuan Siau Hong gusar, katanya, "Sinshe aku minta kau periksa penyakit adikku dan bukan diriku."

Tapi Ong-sinshe itu menggeleng-geleng kepala, sahutnya, "Kulihat engkau inilah yang sakit, pikiranmu agak kacau dan semangatmu lesu, kukira engkau yang perlu diobati."

"Mengapa pikiranku kacau? Bukankah aku sehat-sehat saja?" ujar Siau Hong.

"Habis nadi nona ini sudah berhenti, orangnya sudah mati sejak tadi-tadi, hanya saja badannya belum lagi dingin dan kaku, untuk apa kau bawa kemari untuk mencari tabib?" kata Ong-sinshe itu. "Bukankah engkau sendiri yang lagi pepat pikiran dan perlu diberi obat untuk menenangkan diri? Ai, saudara, orang mati tak bisa hidup kembali, sebaiknya engkau juga jangan terlalu berduka, lebih baik bawalah pulang jenazah adikmu ini dan lekas dikubur saja."

Siau Hong jadi serba runyam tapi apa yang dikatakan Sinshe Ong itu toh beralasan juga, Hakikatnya A Ci memang sudah lama mati, soalnya karena seluruh tenaga murninya hingga setitik kesempatan hidup A Ci itu masih dipertahankan hal itu sudah tentu tidak ketahui oleh tabib kampungan seperti Sinshe Ong itu.

Dan selagi Siau Hong berbangkit hendak pergi, tiba-tiba dilihatnya seorang berdandan sebagai Koankeh (pengurus rumah tangga) berlari-lari masuk kedalam toko obat sambil berseru," "Lekas, lekas! Mana Lo-san-jin-som yang paling baik? Lothaiya kami mendadak terserang penyakit angin duduk dan segera akan putus napasnya, maka perlu jinsom yang baik itu untuk menahan sebentar nyawanya."

"Ya, ya, ada, ada! Ini Lo-san-jin-som yang paling baik!" demikian kuasa toko obat itu cepat memberikan apa yang diminta.

Siau Hong tertarik oleh kata-kata mereka itu, "Lo-san-jin-som, untuk menahan sebentar nyawa orang yang akan mati," bila seorang sudah sakit parah dan akan putus napasnya, kalau diusap beberapa cegukan sari Jinsom (Kolesom), maka napasnya yang sudah lemah itu dapat ditunda sebentar hingga tidak sampai putus dengan cepat, dengan demikian orang yang hampir mati itu dapat meninggalkan pesan apa-apa kepada ahli-warisnya. Hal itu sebenarnya juga diketahui oleh Siau Hong, cuma ia tidak pikirkan bahwa hal itu juga dapat digunakan terhadap diri A Ci.

Dalam pada itu dilihatnya pengurus toko obat telah mengeluarkan suatu kotak kayu merah, dengan hati-hati ia membuka kotak itu, maka tertampaklah tiga tangkai Jinsom sebesar ibu jari.

Menurut cerita yang pernah didengar Siau Hong, katanya Jinsom itu makin besar dan makin kasar akan makin baik, kulit Jinsom harus yang kasap, yang banyak berkerut-kerut dan dalam, itulah yang berharga, jika bentuk Jinsom sudah menyerupai badan manusia, ada kepala kaki dan tangan, itu menandakan Jinsom tua yang paling sukar dicari, maka terhitung barang pilihan yang sangat mahal.

Begitulah koankeh tadi lantas memilih satu tangkai Jinsom dan buru-buru pergi lagi. Segera Siau Hong mengeluarkan uang, ia beli sisa kedua tangkai Jinsom itu. Didalam toko obat itu memang tersedia alat-alat penyeduh obat bagi pembeli, segera ia minta dibuatkan kuah Jinson dan pelahan disuapkan untuk A Ci.

Sekali ini tidak tumpah lagi, sesudah minum pula beberapa suapan, Siau Hong coba periksa nadi A Ci dan ternyata pelahan mulai dapat berdenyut, napasnya juga mulai terasa lancar sedikit. Karuan ia sangat girang.

Sebaliknya Ong sinshe yang menyaksikan disamping itu hanya geleng-geleng kepala saja, katanya malah, "Saudara, Jinsom itu tidak mudah memperolehnya, kalau dibuang secara begitu sangatlah sayang, Jinsom toh bukan obat dewa mujarap yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, kalau dapat, orang kaya umumnya tentu takkan mati untuk selamanya.

Sudah beberapa hari ini Siau Hong sangat kesal, kini mendengar ocehan si tabib yang bersifat menyindir itu, sungguh ia ingin menggampar bacotnya supaya diam. Untung ia dapat menguasai diri, ia merasa bukan pada tempatnya memukul seorang yang tidak paham ilmu silat.

Segera ia pondong A Ci dan tinggal pergi, sayup-sayup ia dengar si tabib masih mengolok-olok, "Huh, benar-benar seorang sinting, orang mati dibawa lari kian kemari, tampaknya jiwa sendiri juga tidak tahan lama lagi."

Ia tidak tahu bahwa sebenarnya jiwanyalah yang barusan hampir mendaftarkan diri kepada raja akhirat. Jika gamparan Siau Hong tadi dilontarkan, biarpun sepuluh orang tabib seperti dia juga akan binasa.

Sekeluarnya dari toko obat itu, Siau Hong pikir, "Jinsom itu kabarnya banyak tumbuh dipegunungan Tiang-pek-san yang bersuhu dingin, biarlah kuputar kearah timur laut sana untuk mencari jinsom, boleh jadi dengan bahan obat itu kesehatan A Ci akan dapat dipulihkan."

Segera ia mengarah ke timur laut, sepanjang jalan kalau ketemu toko obat ia lantas membeli jinsom untuk A Ci, sampai akhirnya ia kehabisan sangu, terpaksa ia mesti berlaku tidak sungkan-sungkan lagi, ia masuk ke toko obat dan 'mengambil' jinsom yang diperlukan, dengan sendirinya pegawai toko obat tidak dapat merintanginya.

Setelah banyak minum jinsom, ternyata keadaan A Ci banyak lebih baik, terkadang ia dapat membuka mata dan memanggil pelahan, "Cihu!" Malamnya waktu tidur, meski untuk beberapa jam tidak diberi saluran hawa murni Siau Hong juga anak dara itu dapat bernapas sendiri dengan lancar.

Begitulah makin menuju ke utara makin dingin hawanya, akhirnya Siau Hong menggendong A Ci dan sampailah dilereng gunung Tiang-pek-san. Meski pegunungan itu tersohor banyak menghasilkan jinsom tapi kalau tidak paham cara mencarinya, biarpun dicari ubek-ubekan setahun dua tahun juga belum tentu dapat menemukannya.

Dan makin menuju ke utara makin sedikit orang yang dijumpai ditengah jalan. Sampai akhirnya sepanjang jalan melulu hutan belukar belaka, dengan lereng gunung yang memutih perak tertutup salju. Terkadang sampai beberapa hari tidak pernah dijumpai seorang pun.

Diam-diam Siau Hong mengeluh, "Wah celaka! Tanah pegunungan ini penuh salju belaka, dimana dapat kucari jinsom? Lebih baik kuputar balik saja ketempat yang ramai ditinggali orang, kalau punya uang aku dapat membeli, kalau kehabisan uang lantas merampas."

Begitulah ia lantas putar kembali kearah semula sambil menggendong A Ci. Tatkala itu hawa sangat dingin, salju berpuluh senti tebalnya ditanah, jalannya sangat sulit, coba kalau ilmu silat Siau Hong kurang tinggi, dengan menggendong seorang begitu, umpama tidak mati kedinginan juga pasti akan kejeblos kedalam tanah salju dan sukar meloloskan diri.

Sampai hari ketiga, cuaca tampak mendung, agaknya hujan salju besar akan turun pula. Sekitarnya tertampak tanah salju belaka, jangankan tapak manusia, sekalipun bekas tapak binatang juga tidak kelihatan, Siau Hong merasa dirinya seperti terombang-ambing ditengah samudera raya, angin meniup dengan kencang dan suara menderu-deru ditepi telinga.

Ia insaf telah sesat jalan, telah kehilangan arah. Beberapa kali ia coba panjat keatas pohon untuk memeriksa, tapi seputar hanya rimba belaka yang tertutup salju, cara bagaimana dapat mengenal arah lagi.

Yang dia khawatirkan adalah A Ci, terpaksa ia buka jubah luar sendiri dan membungkus anak dara itu dalam pelukannya. Sudah tiga hari lamanya Siau Hong tidak makan apa-apa, dilautan salju seluas itu juga tidak nampak seekor binatang paling kecil sekalipun sebangsa ayam alas, kelinci dan sebagainya.

Ia pikir sia-sia saja kalau sembarangan berjalan, lebih baik mengaso dulu ditengah rimba itu, nanti bila salju sudah reda, dari bintang atau bulan dilangit tentu dapat dibedakan arah yang tepat.

Maka ia lantas mencari suatu tempat berteduh, suatu tempat yang teraling-aling dari tiupan angin, ia mencari kayu kering dan menyalakan api. Makin lama makin besar api unggun itu hingga badan mulai terasa agak hangat. Saking kelaparan Siau Hong merasa perut berkeruyukan, ia lihat diakar pohon sebelahnya tumbuh beberapa buah jamur yang berwarna putih kelabu, tampaknya tidak beracun, segera ia petik dan dipanggang sekedarnya diatas api, lalu dimakan sekedar tangsal perut.

Sesudah makan beberapa buah jamur kayu itu, semangatnya sedikit terbangkit juga, Ia angkat A Ci agar bersandar didadanya untuk menghangatkan badan ditepi api unggun, ia sendiri merasa mengantuk sekali. Selagi siap-siap akan pulas, mendadak terdengar suara auman harimau yang keras, Siau Hong sangat girang, "Ini dia ada harimau, sebentar dapatlah makan daging macan."

Ia coba mendengarkan lagi, ia dengar seluruhnya ada dua ekor harimau sedang lari datang dengan cepat. Tapi lantas terdengar pula suara bentakan manusia, agaknya ada orang sedang mengejar raja hutan itu.

Siau Hong tambah girang mendengar suara manusia itu, ia dengar kedua ekor harimau itu berlari cepat kearah sana, segera ia rebahkan A Ci, dengan ginkang yang tinggi ia memotong jalan untuk mencegat datangnya harimau.

Waktu itu salju makin turun dengan lebat dan angin meniup semakin kencang. Kira-kira beberapa ratus meter Siau Hong berlari, tertampaklah didepan adalah tanah datar yang luas, dua ekor harimau kumbang sedang lari datang sambil mengaum-ngaum. Dibelakang binatang buas itu ada seorang laki-laki tegap berjubah kulit, tangan membawa sebatang garpu baja yang besar sedang mengejar kedua ekor harimau sambil membentak-bentak.

Kedua ekor harimau kumbang itu besarnya luar biasa, tapi seorang diri pemburu itu ternyata berani mengejarnya, nyalinya itu sungguh harus dipuji.

Sesudah berlari-lari sebentar, salah seekor harimau itu mengaum kebelakang, mendadak binatang itu memutar-balik terus menerkam kearah laki-laki itu. Tapi sekali garpu baja pemburu itu menegak, ia incar leher harimau terus menusuk.

Namun gerak-gerik harimau itu juga sangat gesit, sedikit mengengos dapatlah garpu itu dihindarkannya. Dalam pada itu harimau yang kedua telah menerkam juga kearah si pemburu.

Gerakan pemburu itu ternyata cepat luar biasa, tahu-tahu ia putar poroknya dan "bluk", tepat pinggang harimau itu kena digebuknya dengan keras. Karena kesakitan, harimau itu mengaum pula, lalu lari sambil mencawat ekor. Harimau yang lain juga tidak berani garang lagi dan ikut lari.

Siau Hong melihat gerak-gerik pemburu itu memang cekatan, tenaga juga kuat, agaknya tidak mahir ilmu silat, hanya paham kebiasaan dan sifat-sifat binatang buas, kenal watak harimau umumnya, maka sebelum harimau mulai menerkam, lebih dulu ia papak dengan poroknya untuk menantikan leher harimau. Namun untuk memburu dua ekor harimau kumbang seperti itu juga tidak gampang baginya.

Segera Siau Hong berseru, "Jangan khawatir Lauheng (saudara), marilah kubantu memburu harimau!" Berbareng itu ia terus memburu maju dan mencegat jalan lari harimau-harimau tadi.

Melihat muncul mendadak seorang Siau Hong, pemburu itu terkejut dan berkaok-kaok. Tapi apa yang dikatakan tak dipahami Siau Hong, mungkin pemburu itu bukan bangsa Han.

Ia tidak menghiraukannya, segera ia hantam kepala harimau, "prak", tepat harimau itu kena digenjot, tapi raja hutan itu cuma terguling ditanah, lalu dengan menggerung kembali menubruk kearah Siau Hong.

Pukulan Siau Hong itu sudah memakai lebih dari separoh tenaganya, biarpun jago silat paling tangguh juga pasti akan kepala remuk dan otak hancur, tapi rupanya tulang kepala harimau itu sangat keras, raja hutan itu hanya jatuh terguling saja dan tidak binasa.

"Bagus binatang!" bentak Siau Hong sambil mengengos untuk menghindarkan tubrukan, berbareng tangan kiri terus memotong dari atas kebawah, "crat", tepat punggung harimau kena dipotong oleh telapak tangannya.

Jilid ke42

Sabetan itu lebih keras dari pada pukulannya tadi, seketika harimau itu terhuyung-huyung kedepan, rupanya binatang itu pun dapat melihat gelagat jelek dan cepat lari ketakutan.

Sudah tentu Siau Hong tidak membiarkan mangsanya lari, cepat ia memburu dan sekali tangkap, dengan tepat ekor harimau itu kena ditarik oleh tangan kanannya, ia barengi membentak sambil tangan kiri memegang pula ekor harimau itu, sekali tarik dan angkat, memangnya harimau itu sedang lari kedepan, karena tenaga tarik dan betot itu, seketika harimau itu mencelat ke udara.

Dengan porok bajanya pemburu tadi tengah bertarung dengan harimau yang lain, Ketika mendadak melihat Siau Hong dapat melempar harimau ke udara, sungguh kagetnya bukan buatan.

Sementara itu tertampak harimau yang mencelat ke udara itu sedang menubruk kebawah dengan pentang mulut dan ulur cakar kearah Siau Hong. Mendadak Siau Hong membentak pula kedua tangannya memukul sekaligus, "bruk" tepat sekali perut harimau itu kena dihantam.

Perut harimau adalah bagian yang lemah, pukulan 'Sepasang langit membuyarkan mega' itu adalah kungfu kebanggaan Siau Hong, karuan isi perut harimau itu kontan hancur lebur didalam, sesudah berkelojotan sebentar harimau itu pun mati diatas tanah salju.

Sungguh kagum si pemburu tadi tidak terhingga menyaksikan Siau Hong dapat membunuh mati harimau dengan bertangan kosong. Pikirnya, "Aku membawa senjata, kalau aku tak mampu membinasakan harimau ini, bukankah aku akan ditertawakan olehnya."

Segera ia keluarkan tenaga raksasa pembawaannya, ia putar poroknya kekanan dan kekiri hingga badan harimau itu berulang-ulang tertusuk, mungkin saking kesakitan, binatang itu menjadi kalap, dengan menyeringai hingga kelihatan siungnya yang putih menyeramkan, segera harimau itu hendak menggigit si pemburu.

Dengan gesit pemburu itu dapat menghindarkan tubrukan harimau, menyusul poroknya terus menusuk dari samping, 'Crat', tepat leher raja hutan itu kena ditusuk. Sekali pemburu itu mengangkat poroknya keatas, tanpa ampun lagi harimau itu menggerung dan terjungkal. Segera pemburu itu tahan sekuat-kuatnya hingga harimau itu terpantek ditanah oleh poroknya itu. Melihat betapa tangkasnya pemburu itu, mau tak mau Siau Hong memuji dalam hati.

Harimau yang lehernya dipantek dengan parok baja si pemburu itu, semula keempat kakinya masih meronta-ronta dan mencakar serabutan, tapi sesudah lama, akhirnya tidak bergerak lagi. Pemburu itu lantas terbahak-bahak sambil mengangkat kembali porok bajanya, Ia berpaling kepada Siau Hong sambil mengacungkan jari jempolnya, dan berkata beberapa patah kata yang tak dipahami Siau Hong. Tapi dari sikapnya itu Siau Hong tahu orang lagi memuji keperkasaan dirinya. Maka ia pun balas mengunjuk jari jempol sambil berkata, "Ehm, kamu juga perkasa dan gagah!"

Orang itu sangat girang, ia tuding hidung sendiri dan berkata, "Wanyen Akut!"

Siau Hong menduga mungkin itulah namanya, maka ia pun tuding hidung sendiri dan menjawab "Siau Hong!"

"Siau Hong? Cidan?" tanya orang itu.

Siau Hong mengangguk.

"Ya, Cidan!" sahutnya, lalu ia balas tanya sambil tuding orang itu, "Dan kau ?"

"Wanyan Akut! Nuchen!" sahut pemburu itu.

Siau Hong pernah mendengar bahwa di timur negeri Liau, di utara Korea terdapat suatu suku bangsa Nuchen (kerajaannya terkenal dengan sebutan Chin atau Kim). Suku bangsa itu gagah perkasa dan pandai berperang. Dan pemburu yang bernama Wanyen Akut ini kiranya suku bangsa Nuchen yang terkenal itu.

Meski tidak paham bahasa masing-masing, tapi ditempat yang sunyi terpencil itu dapat bertemu seorang kawan, betapapun mereka merasa sangat senang. Segera Siau Hong memberi tanda untuk memberitahu bahwa dirinya masih mempunyai seorang kawan lagi.

Rupanya Akut dapat menangkap maksudnya, Ia mengangguk dan mengangkat harimau hasil buruannya tadi. Begitu pula Siau Hong lantas angkat juga harimau yang dibinasakannya dan menuju ketempat A Ci, Akut mengikuti dibelakangnya.

Karena kelaparan dan kedinginan, keadaan A Ci sangat lemah. Cepat Siau Hong mengangkat harimau buruan Aku tadi, dari luka binatang yang masih mengalirkan darah segar itu, ia cekoki anak dara itu dengan darah harimau. Setelah kemasukkan darah harimau yang hangat itu, semangat A Ci tampak agak segar.

Siau Hong sangat girang, segera ia menyobek kedua paha harimau terus dipanggang diatas api unggun.

Melihat cara Siau Hong mencabik paha harimau bagaikan menyobek paha ayam gampangnya, karuan Akut terkesima memandangi kedua tangan Siau Hong. Sejenak kemudian, tiba-tiba ia memegang-megang telapak tangan Siau Hong dengan penuh rasa kagum.

Selesai memanggang daging harimau, segera Siau Hong dan Akut makan sekenyang-kenyangnya. Lalu Akut memberi tanda gerakan tangan untuk tanya maksud tujuan Siau Hong. Maka Siau Hong menerangkan dengan gerakan tangan bahwa tujuannya ingin mencari jinsom untuk menyembuhkan penyakit A Ci dan setiba di sini mereka sesat jalan.

Akut terbahak-bahak, ia geraki tangannya kesana kesini untuk menyatakan bahwa adalah sangat gampang jika ingin mencari jinsom, bahwa ditempat mereka tersedia jinsom secukupnya. Siau Hong sangat girang, segera ia berbangkit dengan tangan kiri ia pondong A Ci, tangan kanan mengangkat bangkai harimau buruannya itu.

Kembali Akut mengunjukkan jari jempolnya dan memuji, "Benar-benar tenaga raksasa!"

Rupanya Akut sangat apal dengan tempat disekitar situ, meski dibawah hujan salju dan tiupan angin kencang toh dia tidak sesat jalan. Ketika hari sudah gelap, mereka lantas bermalam ditengah hutan, esok paginya melanjutkan perjalanan lagi.

Begitulah mereka terus menuju kearah barat, pada siang hari ketiga, Siau Hong melihat ditanah salju situ sudah banyak bekas tapak kaki manusia. Akut berulang-ulang memberi tanda pula untuk menerangkan bahwa sudah dekat dengan tempat tinggal suku mereka.

Benar juga, sesudah melintasi dua lereng bukit lagi, terlihatlah diarah tenggara sana banyak terdapat tanda dari kulit binatang, jumlahnya ada beberapa ratus buah. Ketika Akut bersuit, segera dari perkemahan itu ada orang memapak kedatangan mereka.

Sesudah dekat, Siau Hong lihat didepan setiap tenda tentu dinyalakan api unggun dan dikerumuni kaum wanita yang asyik menjahit kulit binatang dan mengolah daging binatang hasil buruan mereka. Akut membawa Siau Hong menuju kesuatu tenda terbesar ditengah-

tengah perkemahan itu.

Sesudah masuk kedalam tenda besar itu Siau Hong lihat disitu terdapat belasan orang yang sedang duduk sambil minum arak. Melihat kedatangan Akut, seketika orang-orang itu bersorak menyambutnya.

Segera Akut menunjuk Siau Hong, sambil menuding sambil omong. Melihat kelakuan itu, Siau Hong tahu Akut sedang menceritakan cara bagaimana dia membinasakan harimau. Maka orang-orang itu lantas mengerumuni Siau Hong dan mengunjuk ibu jari mereka sebagai tanda memuji.

Tengah ramai, tiba-tiba masuk pula seorang Han yang berdandan sebagai saudagar. Orang itu lantas menyapa pada Siau Hong. "Apakah tuan ini dapat bicara bahasa Han?"

Sungguh Siau Hong girang sekali, cepat ia menjawab. "Sudah tentu dapat!"

Sesudah tanya keterangan kepada saudagar bangsa Han itu, barulah diketahui bahwa perkemahan itu adalah tempat tinggal kepala suku Nuchen, orang tua yang berjenggot diantara belasan orang tadi adalah kepala suku sendiri, namanya Hurip. Kepala suku itu mempunyai sebelas orang putra, semuanya gagah perkasa, Akut adalah putranya yang kedua.

Saudagar Han itu bernama Kho Tok-sing, setiap musim dingin tentu datang kesitu untuk membeli kulit harimau dan jinsom, pada musim semi baru meninggalkan tempat ini, Kho Tok-sing fasih berbahasa Nuchen, maka ia lantas menjadi juru bahasa Siau Hong.

Orang Nuchen paling menghormat pada kaum ksatria perkasa, Wanyen Akut itu tergolong pemuda yang gagah perwira, maka sangat disayang ayahnya, suku bangsanya juga sangat cinta padanya. Jika Akut memuji setinggi langit pada Siau Hong, dengan sendirinya suku bangsanya ikut menghormat juga dan menyambutnya sebagai tamu agung.

Akut lantas mengosongkan kemah sendiri untuk tempat tinggal Siau Hong dan A Ci. Sebagai tokoh berpengaruh dalam bangsa Nuchen, dengan sendirinya tenda itu sangat luas dan bagus.

Malamnya orang Nuchen mengadakan jamuan besar-besaran untuk menghormati Siau Hong, dengan sendirinya daging harimau buruan mereka pun menjadi santapan yang berarti.

Memangnya sudah setengahan bulan Siau Hong tidak pernah minum arak, kini satu kantong demi satu kantong orang Nuchen menyuguhkan arak padanya, karuan ia dapat minum dengan sepuas-puasnya.

Meski arak buatan orang Nuchen tidak begitu sedap, tapi kadarnya sangat keras, orang biasa kalau minum setengah kantung saja pasti akan mabuk, tapi beruntun-runtun Siau Hong dapat menghabiskan belasan kantung tanpa pusing sedikitpun, karuan kekuatan minumnya ini membuat orang-orang Nuchen tercengang.

Semula mereka agak sangsi ketika mendengar cerita Akut tentang Siau Hong membunuh harimau dengan bertangan kosong, kini melihat kekuatan minum arak yang luar biasa itu, mau tak mau mereka merasa kagum sekali.

Sesudah perjamuan menggembirakan itu, Siau Hong lantas tinggal ditempat orang Nuchen itu dengan senang. Sifat orang Nuchen itu kebanyakan polos jujur, mereka sangat cocok dengan watak ksatria Siau Hong.

Melihat bangsa Nuchen sangat menghormati Siau Hong dengan sendirinya Kho Tok-sing juga segan padanya. Waktu iseng Siau Hong lantas ikut berburu dengan Akut, malam harinya ia belajar bahasa Nuchen dengan Kho Tok-sing. Sesudah cukup lancar berbahasa Nuchen, Siau Hong pikir dirinya adalah bangsa Cidan, masakah bahasa bangsa sendiri tidak bisa, bukankah hal ini sangat janggal. Maka ia pun belajar bahasa Cidan pula dengan Kho Tok-sing.

Sebagai saudagar Kho-Tok-sing biasa mondar-mandir diantara tempat tinggal suku bangsa Nuchen, Cidan, Sehe dan lain-lain, maka ia fasih bicara dalam beberapa bahasa. Meski bakat Siau Hong dalam hal bahasa tidak terlalu tinggi, tapi lama kelamaan ia pun dapat bicara dengan lancar, kalau untuk keperluan sehari-hari saja ia sudah tidak perlu juru bahasa lagi.

Dengan cepat beberapa bulan sudah berlalu, musim dingin berganti dengan musim semi, Karena setiap hari A Ci minum sari jinsom, maka kesehatannya sudah banyak maju. Pada umumnya jinsom yang digali orang Nuchen itu adalah jinsom tua dan pilihan, maka nilainya tidaklah sama dengan sembarangan jinsom.

Setiap kali Siau Hong pergi berburu, dari hasil buruannya itu ditukarkannya dengan jinsom untuk A Ci. Penghidupan A Ci yang luar biasa itu mungkin putri raja pun tidak dapat menyamai dia. Setiap hari Siau Hong masih menyalurkan hawa murni ketubuh anak dara itu, cuma sekarang cukup sebentar saja, pula sehari sekali sudah cukup. Terkadang Aci juga dapat bicara beberapa kata, cuma kaki dan tangannya masih belum dapat bergerak, hingga segala keperluan masih perlu bantuan Siau Hong. Dan setiap kali teringat pada pesan tinggalan A Cu, maka Siau Hong rela berbuat apa saja yang dikehendaki anak dara itu.

Suatu hari, Akut bersama belasan orang bangsanya hendak pergi berburu beruang dilereng bukit barat laut, Ia mengajak Siau Hong ikut pergi. Kulit beruang sangat berharga, daging dan minyaknya juga banyak, lebih-lebih telapak kaki beruang, konon adalah bahan masakan yang paling lezat didunia ini.

Karena melihat keadaan A Ci baik-baik saja, Siau Hong lantas terima dengan senang hati ajakan Akut itu. Maka pagi-pagi sekali rombongan mereka lantas berangkat ke utara.

Sementara itu sudah permulaan musim panas salju sudah mencair, tanah pegunungan penuh lumpur hingga perjalanan sukar ditempuh. Tapi orang-orang Nuchen itu ternyata sangat tangkas, menjelang siang hari mereka sudah menempuh sejauh seratus li lebih.

Selagi Siau Hong khawatirkan A Ci bila terlalu jauh ditinggal pergi, tiba-tiba seorang pemburu tua bangsa Nuchen berseru, "Itu dia, beruang! Beruang besar!"

Waktu semua orang memandang kearah yang ditunjuk, ternyata ditanah lumpur itu setapak demi setapak terdapat bekas kaki beruang besar. Semangat semua orang terbangkit seketika, dengan gembira mereka terus mengikuti jejak beruang itu hingga mencapai padang rumput.

Tengah mereka menguber dengan cepat, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang ramai, dari depan sana muncul suatu pasukan berkuda sedang mendatang dengan cepat.

Padang rumput disitu mendatar luas, maka dapat terlihat dengan jelas ada seekor beruang hitam besar sedang berlari, dibelakangnya menguber beberapa puluh penunggang kuda sambil mem-bentak2. Anggota pasukan itu semuanya bertombak dan ada yang membawa busur dan panah, semuanya kelihatan sangat tangkas.

"Itulah orang Cidan, mereka berjumlah banyak, marilah lekas kita pergi, lekas!" segera Akut memperingatkan kawan-kawannya.

Mendengar rombongan orang-orang itu adalah suku bangsanya sendiri, seketika timbul semacam perasaan baik didalam hati Siau Hong, ia lihat Akut ajak kawan-kawannya putar balik untuk melarikan diri, tapi ia sendiri tidak lantas ikut lari, sebaliknya ia tetap berdiri ditempatnya untuk melihat keadaan selanjutnya.

"Hai, orang Nuchen! Panah dia, panah dia!" mendadak orang-orang Cidan berteriak-teriak dan beruntun-runtun panah mereka berseliweran menyambar kearah Siau Hong.

Diam-diam Siau Hong merasa gusar, mereka tanpa tanya apa pun terus main panah begitu saja. Tapi beberapa batang panah yang menyambar kearahnya itu dapat disampuknya jatuh semua. Mendadak terdengar suara jeritan ngeri, si pemburu tua bangsa Nuchen punggungnya kena panah dan binasa.

Akut telah pimpin beberapa orang kawannya itu bersembunyi kebalik suatu gundukan tanah, dari situ mereka pun balas memanah musuh hingga dua orang Cidan juga jatuh terjungkal.

- Cara bagaimana Siau Hong akan menghadapi kawanan orang Cidan yang kejam dan merupakan bangsanya sendiri itu??

- Bagaimana nasib A Ci yang masih sakit itu??

Jilid 42.

Yang serba salah adalah Siau Hong, ia berada ditengah-tengah dan entah pihak mana yang harus dibantunya. Dalam pada itu ia masih terus dihujani panah oleh orang-orang Cidan, tapi dengan mudah saja ia dapat menyampuk jatuh semua panah sambil berteriak-teriak, "Hai, apa-apaan kalian ini? Mengapa tanpa tanya sesuatu lantas sembarangan membunuh orang!"

Dari tempat sembunyinya sana Akut teriaki dia. "Siau Hong, lekas kemari, mereka tidak tahu bahwa engkau sebangsa mereka!"

Dan pada saat itu juga dua orang Cidan dengan tombak terhunus sedang menerjang kearah Siau Hong dari kanan dan kiri, Begitu mendekat, terus saja tombak mereka menusuk sasarannya.

Siau Hong tidak ingin membunuh bangsanya sendiri, maka ia hanya tangkap ujung tombak lawan, sedikit ia sendal, kontan kedua orang itu terjungkal kebawah kuda. Segera Siau Hong gunakan kedua tombak rampasan untuk mencungkit tubuh kedua orang Cidan itu, seketika kedua orang itu melayang kembali kearah kawan-kawan mereka sambil berkaok-kaok ketakutan di udara, lalu terbanting ditanah hingga tak sanggup bangun untuk sekian lamanya.

Beramai-ramai Akut dan kawan-kawannya bersorak.

Maka tertampaklah diantara orang-orang Cidan itu muncul seorang laki-laki setengah umur berbaju merah sedang membentak-bentak memberi perintah. Lalu beberapa puluh orang Cidan membagi diri dalam dua jurusan, dari kanan kiri mereka lantas mengepung dari kejauhan untuk mencegat jalan lari Akut dan kawan-kawannya.

Melihat gelagat jelek, segera Akut bersuit sekali, cepat ia melarikan diri bersama rombongannya. Kembali orang Cidan menghujani mereka dengan panah hingga beberapa orang Nuchen terbinasa lagi.

Melihat kekejaman orang-orang Cidan, walaupun mereka adalah suku bangsanya sendiri, tapi Siau Hong tak memikirkan hal itu lagi, segera ia rampas sebuah busur dan panahnya, beruntun ia memanah empat kali hingga empat orang Cidan kontan terjungkal dari kuda, tapi tidak mati lantaran yang dipanah Siau Hong adalah bagian pundak, kaki dan tempat-tempat yang tidak berbahaya.

Diluar dugaan ketika orang berjubah merah tadi membentak pula, orang-orang cidan itu sedikitpun pantang mundur, mereka terus mengejar dengan gagah berani.

Siau Hong lihat diantara rombongan Akut itu kini hanya tinggal tiga orang pemuda saja yang masih ikut melarikan diri sambil balas memanah musuh, selebihnya sudah terbunuh oleh orang-orang Cidan.

Padahal dipadang rumput yang datar itu, untuk melarikan diri jelas tidak mudah, tampaknya dalam waktu singkat Akut dan kawan-kawannya pasti juga akan menjadi korban keganasan orang-orang Cidan.

Selama ini Siau Hong telah dipandang sebagai saudara sendiri oleh orang-orang Nuchen, kalau kawan-kawan karib yang lagi menghadapi bahaya itu tak ditolong olehnya, sungguh rasa hatinya tidak tentram. Sebaliknya bila orang-orang Cidan itu dibunuhnya semua, betapapun mereka adalah suku bangsanya sendiri, ia merasa tidak tega. Jalan satu-satunya sekarang terpaksa orang yang berjubah merah yang merupakan pimpinan mereka itu harus ditawan lebih dulu, lalu akan memaksa dia memerintahkan orang-orangnya menghentikan pertumpahan darah itu.

Setelah mengambil keputusan, segera Siau Hong berseru, "Hai, lekas kalian mundur saja! Kalau tidak, terpaksa aku tidak sungkan lagi!"

Tapi sebagai jawabnya, mendadak tiga batang tombak menyambar kearahnya. Karuan Siau Hong sangat mendongkol. Segera ia menerjang kearah sijubah merah dengan cepat.

"Jangan, jangan, Siau-toako, lekas kembali!" Akut berteriak-teriak khawatir demi melihat sahabat baik itu hendak menyerempet bahaya.

Tapi Siau Hong tidak gubris padanya, ia tetap menerjang kedepan. Dengan sendirinya orang-orang Cidan hendak merintanginya, panah dan tombak mereka bagaikan hujan menghambur kearah Siau Hong.

Mendadak Siau Hong membentak sekali, ia tangkap sebatang tombak, sekali pukul ia patahkan tombak panjang itu, dengan ia putar kencang potongan tombak itu hingga segala macam senjata musuh yang menyambar ketubuhnya itu disampuknya jatuh semua. Sedangkan larinya tidak menjadi kendor, hanya sekejap saja ia sudah menerjang sampai didepan sijubah merah.

Si jubah merah yang berewok itu sangat gagah dan angker, ia tidak gugup melihat Siau Hong menerjang tiba, cepat ia terima tiga batang lembing dari pengawalnya, segera lembing pertama ditimpukkan kearah Siau Hong. Tapi sekali tangkap, lembing itu kena dipegang oleh Siau Hong, begitu pula lembing kedua. Habis itu tanpa ampun lagi dua pengawal dikanan kiri sijubah merah terjungkal dari kuda mereka..

"Bagus!" bentak sijubah merah sambil menimpukkan lembing ketiganya.

Tapi dengan menggunakan gaya 'pinjam tenaga untuk balas menyerang' sekali Siau Hong menyampuk dengan tangan kiri keatas, tahu-tahu lembing itu berputar arah dan menyambar balik, "crat" dada kuda tunggangan sijubah merah tepat tertancap oleh lembing itu.

Sambil berteriak kaget, sebelum kudanya roboh sijubah merah mendahului melompat turun. Namun Siau Hong lebih cepat dari dia, tahu-tahu tangan kanan Siau Hong sudah meraih sampai diatas pundak kanannya terus dicengkeram kencang-kencang.

Pada saat itulah Siau Hong dengar suara sambaran senjata dari belakang, sekali kaki memendal, secepat terbang Siau Hong meloncat kedepan hingga beberapa meter jauhnya sambil menggondol sijubah merah. Maka terdengarlah suara "crat cret" dua kali, dua batang tombak telah menancap diatas tanah ditempat Siau Hong berpijak tadi.

Sambil mengempit sijubah merah, segera Siau Hong meloncat pula kekiri hingga jatuh diatas kuda seorang penunggang Cidan, sekali sikat ia bikin orang Cidan itu terperosot kebawah lalu keprak kuda rampasan itu menyingkir ketempat yang luang.

Masih sijubah merah itu merontah-rontah sambil meninju muka Siau Hong, tapi sekali Siau Hong mengempit dengan kencang, si jubah mereha tak bisa berkutik lagi. Segera Siau Hong membentak, "Perintahkan mereka mundur, kalau tidak sekarang juga kukempit mampus dirimu!"

Karena terancam, terpaksa sijubah merah berseru, "Lekas kalian mundur, tidak perlu bertempur lagi!"

Beramai-ramai orang Cidan itu lantas mengurung Siau Hong, mereka ingin mencari kesempatan untuk menolong pemimpin mereka. Tapi dengan tombak patah tadi, Siau Hong mengancam leher sijubah merah, sambil membentak. "Apa minta kubinasakan dia!"

"Lekas kau bebaskan pemimpin kami, kalau tidak, segera kami cincang dirimu menjadi bergedel!" bentak seorang Cidan tua.

Siau Hong terbahak-bahak. Mendadak ia memukul kearah orang tua itu dari jauh "blang", kontan orang itu mencelat dari kudanya hingga jatuh beberapa meter, mulutnya menyemburkan darah, tampaknya tidak mungkin hidup lagi.

Memang Siau Hong sengaja hendak menggertak musuh dengan ilmu 'Pik-khong-ciang' (pukulan dari jauh) yang hebat itu, maka tenaga yang dipakainya tadi cukup keras. Karuan orang Cidan yang tidak pernah menyaksikan ilmu sakti seperti itu menjadi kesima, sejenak kemudian mereka sama menjerit kaget, dan beramai-ramai mengundurkan kuda mereka dengan rasa khawatir jangan-jangan pukulan Siau Hong itu akan berkenalan pula dengan mereka, sudah tentu mereka tidak mampu melawan pukulan yang mirip ilmu sihir itu.

"Nah, jika kalian tidak lantas mundur dan pergi, segera akan kubinasakan dia!" kata Siau Hong sambil mengangkat telapak tangannya keatas kepala sijubah merah.

"Enyahlah kalian! Mundur semua!" teriak sijubah merah.

Terpaksa orang-orang Cidan itu menurut, mereka undurkan kuda beberapa tindak kebelakang, tapi tetap tidak mau pergi.

Diam-diam Siau Hong pikir, "Disekitar sini adalah padang rumput yang datar, kalau pemimpin mereka ini dilepaskan dan kemudian orang-orang Cidan ini mengejar lagi, akhirnya Akut dan kawan-kawannya tetap tak dapat meloloskan diri,"

Maka ia berkata kepada sijubah merah, "Lekas perintahkan mereka menyediakan empat ekor kuda!"

Si jubah merah menurut, empat ekor kuda lantas diserahkan kepada Akut oleh orang-orangnya. Karena dendam orang Cidan membunuh kawan-kawannya, "blang" kontan Atut menjotos seorang yang menyerahkan kuda itu hingga "knock-out". Meski jumlah mereka lebih banyak, orang-orang Cidan itu tidak berani membalas, ia hanya mendelik sambil memegang dagunya yang ditonjok itu dengan meringis kesakitan.

Lalu Siau Hong berkata pula, "Lekas memberi perintah agar masing-masing membunuh kuda tunggangan sendiri, seekorpun tak boleh tertinggal hidup."

Si jubah merah ternyata seorang yang tegas, tanpa berdebat apapun segera ia memberi perintah, "Semuanya turun dari kuda dan bunuh binatang tunggangan kalian!"

Orang-orang Cidan itu pun tanpa pikir terus melompat turun, masing-masing membunuh kuda sendiri dengan golok dan tombak yang mereka bawa.

Melihat orang-orang Cidan itu begitu taat kepada pimpinan, diam-diam Siau Hong merasa kagum juga, pikirnya, "Tampaknya sijubah merah ini bukan sembarangan orang, masakah setiap perintahnya diturut oleh bawahannya tanpa membangkang sedikitpun. Melihat disiplin mereka yang hebat ini, pantas pasukan Song kalah perang melawan mereka."

Kemudian Siau Hong berkata pula kepada sijubah merah, "Sekarang suruh orang-orangmu pulang semua, siapa pun dilarang mengejar lagi. Kalau ada seorang berani mengejar, segera kupuntir patah sebelah tanganmu, ada dua orang berani mengejar, akan kupatahkan dua lenganmu, empat anggota badanmu lantas kukutungi semua."

Ancaman Siau Hong membuat sijubah merah gusar tidak kepalang, tapi dibawah tawanan orang ia pun tak dapat berbuat apa-apa, terpaksa ia beri perintah, "Sudahlah, balik pulang segera mengerahkan pasukan besar untuk hancurkan sarang orang Nuchen!"

Serentak orang-orang Cidan mengiakan sambil membungkuk tubuh. Lalu Siau Hong putar kudanya, bersama Akut dan kawan-kawannya yang telah menunggang kuda masing-masing segera balik kearah timur dengan membawa tawanannya yaitu sijubah merah.

Sesudah beberapa li jauhnya, benar juga tiada seorang Cidan yang berani mengejar lagi, maka Siau Hong melompat keatas kuda lain dan membiarkan sijubah merah menunggang kuda sendiri.

Dengan cepat mereka pulang ketempat tinggal orang Nuchen, segera Akut melaporkan peristiwa itu kepada ayahnya Hurip, Ia tuturkan kejadian bertemu dengan musuh, berkat pertolongan Siau Hong mereka dapat diselamatkan dan malah berhasil menawan seorang pemimpin musuh.

Karuan Hurip sangat girang, ia tidak habis-habis memuji dan menghaturkan terima kasih kepada Siau Hong, Lalu memberi perintah, "Bawalah anjing Cidan itu kesini!"

Meski sudah jatuh dalam cengkeraman musuh tapi sijubah merah masih sangat angkuh dan kereng, ia berdiri tegak dan tak sudi bertekuk lutut.

Hurip tahu tawanannya itu pasti bangsawan Cidan, segera ia tanya, "Siapa namamu? Apa pangkatmu dinegeri Liau sana?"

Dengan angkuh sijubah merah menjawab, "Aku toh bukan tawananmu, dengan hak apa kau tanya padaku?"

Menurut peraturan umum diantara suku-suku bangsa Cidan dan Nuchen, seorang tawanan termasuk budak milik pribadi orang yang menawannya itu. Baik harta benda atau wanita juga termasuk dalam peraturan itu, hak milik itu tak boleh diganggu gugat oleh orang lain, kecuali jika pemiliknya sengaja menghadiahkan kepadanya. Begitulah peraturan umum dalam suku-suku bangsa yang peradabannya masih belum maju, setiap tawanan adalah budak.

Maka Hurip tertawa, katanya, "Benar juga ucapanmu, hahaha!"

Segera sijubah merah mendekati Siau Hong ia tekuk lutut sebelah kaki, ia beri hormat dengan sebelah tangan terangkat kedepan jidat, katanya, "Cukong, engkau memang kesatria gagah, sedikit pun aku tidak menyesal menjadi tawananmu. Jika engkau sudi membebaskan diriku, sebagai balas jasa aku bersedia mengganti dengan tiga kereta emas, tiga puluh kereta perak dan tiga ratus ekor kuda."

Paman Akut yang bernama Polas menyela, "Kamu ini bangsawan Cidan, harta tebusan itu masih jauh dari pada cukup. Saudara Siau, boleh kau lepaskan dia jika dia bersedia menebus dengan 30 kereta emas, 300 kereta perak dan 3000 ekor kuda."

Polas itu seorang cerdik, ia sengaja menambah harta tebusan itu sepuluh kali lipat dari pada tawaran sijubah merah tadi, maksudnya memang sengaja hendak tawar menawar.

Sebenarnya harta tiga kereta-emas, 30 kereta perak dan 300 ekor kuda yang ditawarkan sijubah merah tadi sudah merupakan harta kekayaan yang sukar didapat, sepanjang sejarah pertempuran antara bangsa Nuchen dan Cidan belum pernah terjadi harta tebusan tawanan sebesar itu.

Maka sebenarnya kalau sijubah merah tak berani menambah lagi tawarannya, ada maksud Polas akan minta Siau Hong menutup 'transaksi' itu alias terima baik tawaran itu.

Diluar dugaan sijubah merah ternyata bukan seorang yang pelit, tanpa pikir ia terima baik harga yang dipasang Polas tadi, dengan tegas ia menjawab, "Baik, kuterima syaratmu itu."

Mendengar jawaban itu, semua orang Nuchen terkejut, hampir-hampir mereka tidak percaya kepada telinganya sendiri.

Hendaklah maklum, meski peradapan bangsa Nuchen dan Cidan itu masih terbelakang, tapi mereka pun kenal kepercayaan, yang pernah diucapkannya pasti ditepati, apalagi sekarang yang dipersoalkan adalah emas tebusan, jika orang Cidan tidak cukup menyerahkan jumlah yang dijanjikan itu atau sengaja ingkar janji, itu berarti sijubah merah takkan dapat pulang kenegerinya, segala omong besar dan janji kosong itu pun takkan berguna.

Begitulah maka Polas khawatir kalau-kalau tawanannya itu dalam keadaan linglung, maka sengaja ia tegaskan lagi, "Hai, kaudengar jelas tidak kataku tadi? Aku bilang 30 kereta emas, 300 kereta perak dan 3000 ekor kuda!"

"Ya, emas 30 kereta, perak 300 kereta dan kuda 3000 ekor, apa artinya semua itu bagiku!" demikian sijubah merah menjawab dengan sikap yang tetap angkuh, "Kelak kalau kerajaan Liau kami memerintah didunia ini, harta benda sekian itu apa artinya bagi kami?"

Habis itu ia lantas berpaling kearah Siau Hong, sikapnya berubah sangat hormat, katanya, "Cukong, aku hanya tunduk pada perintahmu, omongan orang lain takkan kugubris lagi."

"Siau-hengte," sela Polas, "Coba kau tanya dia sebenarnya dia orang macam apa di negeri Liau mereka?"

Segera sorot mata Siau Hong beralih kepada sijubah merah. Tapi belum lagi ia buka suara atau orang itu sudah mendahului berkata; "Cukong, jika engkau berkeras ingin tanya asal-usulku, terpaksa aku akan mengaku sembarangan untuk mendustaimu dan engkau toh takkan tahu dengan pasti, engkau adalah seorang ksatria, aku pun seorang ksatria, maka aku tidak ingin dusta, sebab itulah janganlah engkau tanya berbelit-belit padaku."

Mendadak Siau Hong melolos goloknya, sekali jarinya menyelentik, "creng" kontan golok itu patah menjadi dua. Lalu bentaknya dengan suara bengis, "Kau berani tidak mengaku? Kalau jariku menjentik sekali diatas batok kepalamu, lantas bagaimana jadinya?"

Tapi orang itu ternyata tidak gentar juga dan tidak gugup, sebaliknya ia acungkan jari jempolnya dan memuji, "Bagus, kepandaian hebat, kungfu yang lihai! Sungguh tidak mengecewakan hidupku ini dapat menyaksikan seorang gagah nomor satu didunia ini, Siau-enghiong, jika engkau hendak menggertakku dengan kekerasan, hah, itulah jangan harap. Kalau mau bunuh silakan bunuh, biar pun orang Cidan tak mampu melawanmu, namun jiwanya adalah sama kerasnya seperti engkau."

Siau Hong terbahak-bahak, katanya, "Bagus, bagus! Aku takkan membunuhmu disini, kalau kubunuh begini saja tentu juga kamu takkan takluk. Marilah kita pergi yang jauh sana, nanti kita bertempur lagi lebih sengit."

"Siau-hengte," cepat Polas dan Hurip mencegahnya, "sayanglah kalau orang ini dibunuh, lebih baik kita tahan dia untuk mendapatkan emas tebusan. Jika engkau marah padanya, boleh kau pentung atau hajar dia dengan cambuk saja."

"Tidak," sahut Siau Hong, "Dia berlagak gagah-gagahan, aku justru ingin dia tahu rasa."

Segera ia pinjam dua pasang busur dengan panahnya pada orang Nuchen disampingnya, dipinjamnya pula dua batang tombak. Lalu ia tarik sijubah merah keluar tenda, lebih dulu ia cemplak keatas kudanya, kemudian katanya kepada sijubah merah, "Nah, naiklah!"

Ternyata orang Cidan itu sedikitpun tidak ragu atau gentar, meski ia tahu pasti akan mati konyol melawan Siau Hong, boleh jadi dirinya akan digoda dulu seperti kucing mempermainkan tikus, lalu dibunuhnya. Tapi ia tidak jeri segera ia pun lompat keatas kuda yang lain dan lalu menuju ke utara.

Sesudah beberapa li jauhnya, tiba-tiba Siau Hong berkata, "Belok ke barat sana!"

Pemandangan disini sangat indah, biarlah aku mati disini saja," sahut sijubah merah.

"Ini sambutlah!" seru Siau Hong pula sambil melemparkan sepasang busur berikut panah dan sebatang tombak padanya.

Senjata itu diterima oleh orang itu, segera ia pun berseru, "Siau-enghiong, biarpun aku sadar bukan tandinganmu, tapi biarpun mati orang Cidan pantang menyerah. Awas, aku akan mulai menyerang!"

"Nanti dulu! Ini, sambut pula!" sahut Siau Hong. Dan kembali ia lemparkan busur dan tombak miliknya itu kepada sijubah merah. Dengan bertangan kosong lalu ia tersenyum-senyum.

Si jubah merah menjadi gusar, katanya, "Hah, jadi hendak kau tempur aku dengan bertangan kosong? Kamu benar-benar terlalu menghina padaku!"

Tapi Siau Hong menggeleng kepala, sahutnya, "Bukan begitu maksudku. Selamanya aku paling menghargai kaum ksatria dan menghormati orang gagah. Meski ilmu silatmu kalah dari padaku, tapi engkau adalah seorang ksatria besar, seorang gagah perkasa, aku bersedia bersahabat denganmu. Nah silakan pulang ketengah-tengah suku bangsamu!"

Karuan sijubah merah terperanjat, katanya dengan tergagap, "Ap... apa katamu?"

"Aku bilang engkau adalah seorang ksatria, seorang gagah dan ingin bersahabat denganmu, maka sekarang kuantarmu pulang ke rumah!" sahut Siau Hong tertawa.

Bagaikan orang yang sudah mendaftarkan diri kepada raja akhirat tapi titolak kembali, karuan girang sijubah merah melebihi orang dapat lotre sepuluh juta, Ia coba tanya pula, "Sungguh-sungguh kau bebaskan diriku? Apakah maksud tujuanmu? Kalau... kalau aku dapat pulang kerumah tentu akan kutambahi emas tebusanku sepuluh kali lipat untukmu."

Siau Hong menjadi kurang senang, sahutnya, "Aku anggap kamu sebagai sobat baik, mengapa kamu malah tidak pandang aku sebagai sahabat, Siau Hong adalah seorang laki-laki sejati, masakah tamak terhadap harta benda?"

Si jubah merah merasa malu, cepat ia buang senjatanya, ia lompat turun dari kuda dan berlutut ditanah, katanya, "Banyak terima kasih atas budi pengampunan atas jiwaku ini!"

Segera Siau Hong ikut berlutut dan balas menghormat, sahutnya, "Aku tidak mau membunuh sahabat, tapi juga tidak berani terima penyembahan seperti ini, jika kaum budak tawanan aku akan terima penghormatannya dan jiwanya juga takkan kuampuni."

Sungguh girang dan kagum sijubah merah tak terhingga, sesudah berbangkit ia berkata pula, "Siau-enghiong, jika benar engkau pandang aku sebagai sahabat, bagaimana pendapatmu jika sekiranya aku mohon mengangkat saudara denganmu?"

Sejak Siau Hong masuk Kai-pang, selama itu ia hanya kenal naik pangkat hingga akhirnya diangkat menjadi Pangcu, tapi tidak pernah mengangkat saudara dengan orang. Hanya sekali terjadi waktu dia mengadu minum arak dengan Toan Ki dikota Bu-sik, karena saling mengagumi maka keduanya mengikat persaudaraan angkat.

Kini dalam keadaan terlunta dirantau orang ternyata ada seorang seperti sijubah merah tadi mengangkat saudara dengan dia, karuan ia sangat terharu dan segera menjawab, "Bagus, tentu saja kuterima dengan baik, aku Siau Hong, 33 tahun, entah saudara berusia berapa?"

"Aku Yali Ki, lebih tua sebelas tahun dari pada lokong," sahut sijubah merah dengan tertawa.

"Mengapa Gihong (kakak angkat) masih menyebutku sebagai lokong?" ujar Siau Hong, "Sebagai saudara tua terimalah penghormatanku ini." Habis berkata ia terus memberi hormat kepada sijubah merah alias Yali Ki.

Cepat Yali Ki membalas hormat, kedua orang lantas sembahyang kepada langit dengan menggunakan tiga batang panah sebagai dupa. Sejak itu mereka terikat sebagai saudara angkat.

Dengan girang kemudian Yali Ki berkata, "Saudaraku, engkau she Siau, mirip sekali dengan bangsa Cidan kami."

"Bicara terus terang, sebenarnya Siaute memang orang Cidan," sahut Siau Hong sambil membuka bajunya hingga kelihatan gambar cacah kepala serigala didadanya itu.

Karuan Yali Ki tambah girang, serunya, "Hai, memang betul engkau adalah kelompok suku Ho dari bangsa Cidan kita. Saudaraku, di negeri orang Nuchen sini terlalu dingin, lebih baik ikut ke Siangkhia saja untuk menikmati kebahagiaan bersama."

"Banyak terima kasih atas maksud baik Giheng," sahut Siau Hong. "Tapi Siaute sudah biasa hidup melarat, penghidupan mewah malah tidak suka. Ditempat orang Nuchen ini Siaute hidup cukup senang dan bebas. Kelak bila Siaute rindu pada Giheng, tentu akan berkunjung kesana."

Dan karena memikirkan keadaan A Ci yang telah ditinggal sekian lamanya, segera ia pun mohon diri, "Giheng, lekas engkau pulang saja agar keluarga dan bawahanmu tidak merasa khawatir."

Yali Ki mengangguk, "Ya, dalam keadaan terburu-buru hari ini kita tak sempat banyak bicara. Sebagai saudara angkat, kelak kita harus lebih sering berhubungan." Habis itu, segera ia mencemplak keatas kuda dan dilarikan cepat ke barat.

Waktu Siau Hong putar kembali kudanya, ia lihat Akut memimpin belasan bawahannya datang menyongsongnya. Agaknya Akut khawatir Siau Hong terjebak oleh akal licik sijubah merah, maka sengaja menyusulnya.

Ketika Siau Hong memberitahu bahwa sijubah merah telah dibebaskan olehnya, sebagai seorang ksatria yang berpandangan luas, Akut sendiri memuji atas kebijaksanaan dan keluhuran budi Siau Hong...

Suatu hari, tatkala mengobrol iseng Siau Hong memberitahukan Akut tentang penyakit A Ci itu disebabkan terkena pukulannya. Meski jiwanya telah dapat direnggut kembali dari cengkeraman maut berkat jinsom yang telah banyak diminumnya itu, tapi sudah sekian lamanya keadaan anak dara itu belum tampak sembuh, hal inilah yang sangat menyesalkan hati Siau Hong.

Sesudah berpikir, kemudian Akut mengusulkan untuk mencoba obat luka pukulan yang biasa digunakan oleh suku bangsa Nuchen meraka, yaitu koyol buatan dari urat dan tulang harimau dicampur dengan empedu beruang, biasanya koyok itu sangat manjur.

Siau Hong sangat girang mendapat keterangan itu, urat dan tulang harimau cukup banyak tersedia, yang masih perlu hanya empedu beruang saja. Segera ia tanya bagaimana cara pemakaian dan racikan obat itu, harus gilas urat dan tulang harimau menjadi salep, lalu diminumkan kepada A Ci. Dan besok paginya seorang diri ia menuju jauh kerimba pegunungan untuk berburu beruang.

Karena berburu sendirian, maka Siau Hong dapat mengeluarkan ginkang sebebas-bebasnya. Hari pertama hasilnya nihil, hari kedua ia dapat membunuh seekor beruang besar. Segera ia mengambil empedu binatang buas itu dan lari pulang.

Urat tulang harimau dan empedu beruang beserta jinsom adalah barang sangat berharga untuk menyembuhkan luka, terutama empedu beruang yang masih segar adalah barang yang sukar diperoleh. Mungkin jiwa A Ci belum ditakdirkan akan berakhir, maka ia telah dibawa oleh Siau Hong kedaerah pegunungan Tiong-pek-san yang banyak menghasilkan jinsom, urat tulang harimau dan empedu beruang, ditambah lagi Siau Hong memiliki ketangkasan yang tiada taranya hingga obat-obatan itu berturut-turut dapat dicarikan untuknya.

Setelah lebih dua  bulan, sudah ada 20 buah empedu beruang yang dimakan A Ci, lukanya sudah banyak sembuh, tulang iga bagian dada yang patah terpukul juga sudah tersambung kembali, bicaranya juga mulai lancar, walaupun napasnya masih sesak.

Siau Hong sangat lega melihat kemajuan kesehatan A Ci itu, Ia yakin kalau tinggal lebih lama disitu tentu ada harapan A Ci akan pulih kembali seperti sediakala.

Suatu petang hari, tengah Siau Hong asyik meracik obat untuk A Ci, tiba-tiba seorang Nuchen datang tergesa-gesa melaporkan padanya, "Siau-toako, ada belasan orang Cidan membawakan hadiah untukmu."

"Hah, hadiah?" seru Siau Hong dengan heran, tapi segera ia tahu pasti hadiah kiriman saudara angkatnya, Yali Ki.

Waktu Siau Hong keluar, terlihatlah dari jauh iring-iringan kuda sedang mendatang dengan pelahan, diatas kuda penuh termuat barang.

Rupanya pemimpin regu dari Cidan itu telah dipesan oleh Yali Ki tentang wajah Siau Hong, maka begitu melihat segera ia mengenalinya, serentak ia melompat turun dari kudanya serta menghampiri dan memberi sembah, katanya, "Sejak Cukong berpisah dengan Siau-toaya, beliau selalu terkenang padamu. Kini hamba diperintahkan membawa sedikit oleh-oleh dan minta Siau-toaya sudilah berkunjung ke Siang-khia (nama ibukota negeri Liau)," sambil berkata kapten itu lalu menghaturkan daftar hadiah yang dibawanya kepada Siau Hong dengan sikap sangat menghormat.

Siau Hong terima dengan baik daftar barang antaran itu, katanya dengan tertawa, "Banyak terima kasih, silakan berdirilah!"

Dan waktu ia baca daftar antaran itu, ia lihat daftar itu tertulis jumlah barang sebagai berikut; Emas murni lima ribu tahil, perak lima ribu tahil, sutera seribu blok, gandum nomor satu seribu gentas, sapi gemuk seribu ekor, kambing gemuk lima ratus ekor, kuda pilihan tiga ribu ekor. Kecuali itu masih banyak barang berharga lain yang susah disebut satu persatu.

Nyata kalau dibandingkan dengan harga tebusan yang disepakati tempo hari, hadiah yang diantarkan sekarang ini bernilai beberapa kali lipat lebih tinggi. Karuan Siau Hong terperanjat, sama sekali ia tidak menduga akan barang antaran sebanyak ini, dan entah cara bagaimana kapten orang Cidan itu membawanya kemari.

Maka terdengar kapten itu sedang melapor pula, "Cukong khawatir hewan yang kami bawa itu akan hilang ditengah jalan, maka setiap jenis hadiah menurut daftar itu masing-masing ditambah lagi cadangan satu bagian. Tapi berkat rejeki Siau-toaya yang besar, sepanjang jalan hamba tidak menjumpai aral rintang apa-apa sehingga hampir semuanya dapat tiba disini dengan selamat."

"Ai, Yali-toako benar-benar terlalu baik, jika aku tidak menerimanya tentu akan mengecewakan maksud baiknya, tapi kalau kuterima seluruhnya menurut daftar ini, rasanya juga tidak enak," ujar Siau Hong.

"Hamba telah dipesan oleh Cukong agar Siau-toaya harus menerima hadiah ini, kalau tidak, tentu hamba akan dimarahi kelak bila pulang," tutur kapten orang Cidan itu.

Dalam pada itu, tiba-tiba terdengar suara tiupan tanduk yang riuh rendah, orang-orang Nuchen sama membawa senjata dan berkumpul sambil berteriak-teriak, "Awas, ada pasukan musuh lekas melawan!"

Waktu Siau Hong memandang kearah datangnya suara tiupan tanda bahaya itu, ia lihat jurusan sana debu mengepul tinggi memenuhi langit, agaknya ada pasukan besar yang sedang menuju kemari. Segera kapten orang Cidan itu berseru, "Harap saudara-saudara jangan kaget, itu adalah rombongan ternak milik Siau-toaya." Segera ia pun melarikan kudanya memapak kesana untuk menghindarkan salah paham.

Semula Akut dan kawan-kawan merasa sangsi, tapi sesudah dekat memang betul juga, ditanah pegunungan situ sudah penuh ternak, seratusan orang Cidan sambil mengacungkan cambuk mereka sedang membentak-bentak dan menghalau. Dalam waktu singkat saja suara berisik gerombolan ternak itu telah membikin suasana menjadi gaduh hingga suara percakapan orang pun sukar terdengar.

Malamnya Siau Hong minta orang-orang Nuchen menyembelih kambing dan sapi untuk menjamu tamu dari Cidan itu. Besok paginya ia keluarkan pula sebagian emas perak yang diterimanya itu untuk dibagikan kepada orang-orang Cidan sebagai persen. Dan sesudah orang-orang Cidan itu pergi, lalu ia serahkan semua hadiah Yali Ki itu kepada Akut untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang Nuchen.

Pada umumnya orang Nuchen itu hidup secara kolektif, secara bergabung dalam keluarga besar, milik seorang adalah milik semua orang. Mereka pun girang mendapatkan harta benda sebanyak itu. Selama beberapa hari orang-orang Nuchen mengadakan pesta sebagai tanda terima kasih kepada Siau Hong.

Musim panas pergi, musim rontok mendatang pula. Sementara itu kesehatan A Ci sudah lebih baik lagi. Dan sekali tenaga anak dara itu sudah kuat, ia lantas merasa bosan setiap hari hanya rebah didalam kemah, maka sering ia minta Siau Hong membawanya pesiar keluar dengan menunggang kuda.

Segala permintaan A Ci selalu dituruti oleh Siau Hong. Maka beberapa bulan selanjutnya kedua orang itu selalu pesiar bersama keluar, kecuali kalau hujan salju. Bila sudah merasa bosan, mereka lantas membawa tenda untuk bermalam ditengah perjalanan hingga terkadang untuk beberapa hari mereka tidak pulang.

Pada kesempatan itu Siau Hong lantas memburu harimau dan beruang serta mencari jinsom untuk lebih menyembuhkan kesehatan A Ci. Begitulah gara-gara anak dara itu menyambitkan sebatang jarum berbisa, maka celakalah harimau dan beruang di Tiang-pek-san itu, entah berapa banyak jiwa mereka yang telah melayang dibawah hantaman Siau Hong.

Untuk lebih memudahkan pencarian jinsom, setiap kali Siau Hong tentu menuju kearah timur dan utara.

Suatu hari A Ci menyatakan pemandangan didaerah utara itu sudah membosankan, maka minta menuju ke barat saja. Kata Siau Hong, "Di daerah barat sana adalah padang rumput belaka yang amat luas, pemandangannya kurang menarik."

"Padang rumput luas juga sangat menarik," ujar A Ci. "Seperti samudra raya, aku justru tidak pernah melihatnya. Meski Sing-siok-hai kami juga disebut hai (laut), tapi disana lautnya bertepi dan berpantai."

Mendengar anak dara itu menyebut 'Sing-siok-hai' (Ngoring Nor, laut didaratan tinggi pegunungan Kun-lun diwilayah Jinghai), hati Siau Hong terkesiap.

Selama setahun ini ia tinggal bersama orang Nuchen hingga macam-macam urusan dunia persilatan itu telah dilupakan olehnya. Dalam keadaan tak bisa bergerak, anak dara yang nakal itu menjadi mati kutu dan tak bisa bikin gara-gara lagi sama sekali, tak terpikir olehnya bila kesehatan A Ci itu kini sudah pulih kembali dan kumat pula sifatnya yang nakal dan jahat itu, lantas bagaimana?

Ketika ia pandang A Ci, ia lihat air muka anak dara itu masih tetap pucat, pipinya agak mendeluk, biji matanya yang bundar besar itu pun seakan-akan amblas kedalam, itulah ciri-ciri muka yang kurus.

Diam-diam Siau Hong sangat menyesal, seorang nona yang lincah menyenangkan kini telah berubah kurus kering bagai jerangkong akibat dipukul olehnya. Sebaliknya aku malah memikirkan keburukannya. Segera ia berkata dengan tertawa. "Jika kau ingin pergi ke barat, marilah kita kesana A Ci, nanti kalau kamu sudah sehat, tentu akan kubawamu ke negeri Korea, disana kita dapat memandang lautan yang luas seakan-akan tak berujung, sungguh indah sekali pemandangan demikian itu."

"Bagus, bagus! Kalau perlu sekarang juga kita boleh berangkat!" seru A Ci dengan teriakan sambil bertepuk tangan.

"He, A Ci, kedua tanganmu sudah bisa bergerak?" tanya Siau Hong dengan girang dan kejut.

"Ya, beberapa hari yang lalu sudah dapat bergerak dan hari ini menjadi lebih bebas lagi," sahut A Ci tertawa.

"Ai, kamu ini sungguh nakal, mengapa tidak beritahu padaku," omel Siau Hong dengan girang.

"Aku lebih suka tidak dapat berkutik untuk selamanya asalkan engkau setiap hari berdampingan denganku. Kalau aku sudah sehat, tentu engkau akan mengusir aku lagi," ujar A Ci dengan tertawa. Matanya mengerlingkan sifat-sifat yang licin dan nakal.

Mendengar ucapan yang bernada tulus itu rasa kasih sayang Siau Hong timbul dengan sendirinya, katanya, "Aku adalah orang yang kasar sekali kurang hati-hati lantas melukaimu begitu rupa, kalau setiap hari aku mendampingimu, apa sih untungnya?"

A Ci tidak menjawab, selang sejenak, tiba-tiba ia berkata dengan suara rendah, "Cihu, tempo hari, kenapa kau pukul aku sekeras itu?"

Tapi Siau Hong tidak ingin mengungkit kejadian lama itu, sahutnya, "Urusan itu sudah lalu, buat apa dibicarakan pula? A Ci, sesudah aku melukaimu sedemikian rupa, sungguh aku merasa sangat menyesal. Kamu dendam padaku atau tidak?"

"Sudah tentu tidak," sahut A Ci, "Cihu, coba pikir, untuk apa aku dendam padamu? Memang kuminta kau dampingi aku, kini bukankah engkau sudah berada di dampingku? Aku sangat senang."

Sebenarnya Siau Hong merasa pikiran anak dara itu sangat aneh dan ada-ada saja, tapi sekarang ini sifatnya sudah berubah sangat baik, mungkin disebabkan dirinya telah merawat dia dengan sepenuh tenaga, memburu harimau dan mencari empedu beruang untuknya, maka telah banyak menghilangkan sifat liarnya itu. Segera ia siapkan kuda, tenda dan alat-alat yang perlu, lalu berangkat kearah barat bersama A Ci.

Kira-kira beberapa li jauhnya, tiba-tiba A Ci bertanya, "Cihu, apakah engkau sudah dapat menerkanya?"

"Menerka soal apa?" sahut Siau Hong bingung.

"Tempo hari mendadak aku menyerang dirimu dengan jarum berbisa, apakah kau tahu sebabnya?" tanya A Ci.

"Pikiranmu selalu aneh-aneh, dari mana aku tahu?" sahut Siau Hong sambil menggeleng.

A Ci menghela napas, katanya, "Jika engkau tak dapat menerkanya, biarlah jangan diterka lagi, Eh, Cihu, lihatlah barisan burung belibis itu, mengapa mereka berbaris dan terbang ke selatan."

Waktu Siau Hong menengadah, ia lihat di angkasa tinggi terdapat dua baris burung belibis dgn formasi "V" dan sedang terbang ke arah selatan dengan cepat.

"Hawa sudah hampir dingin, burung belibis tidak tahan dingin, maka mereka mengungsi ke selatan," tutur Siau Hong.

"Dan pada waktu musim semi, mengapa mereka terbang kembali lagi?" tanya A Ci, "Setiap tahun mereka pulang-pergi begitu apakah tidak merasa lelah? Bila mereka takut dingin mengapa tidak tinggal di selatan saja dan tidak perlu pulang ke utara sini?"

Selamanya yang diperhatikan Siau Hong adalah ilmu silat, terhadap kebiasaan sebangsa burung dan binatang segala tak pernah dipikirkannya.

Maka pertanyaan A Ci itu membuatnya gelagapan. Katanya kemudian dengan tertawa. "Apa pun tidak tahu mengapa mereka tidak kenal lelah, mungkin mereka dilahirkan di utara dan rindu pada kampung halaman, maka pada saatnya mereka pun ingin pulang."

"Ya, mungkin begitulah," kata A Ci, "Eh, lihatlah burung belibis kecil itu juga ikut terbang ke selatan. Kelak bila ayah-ibu, Cici dan Cihunya pulang ke utara, dengan sendirinya ia pun ikut."

Mendengar anak dara itu menyebut 'Cici dan Cihu' perasaan Siau Hong tergerak, ia coba melirik, ia lihat A Ci masih mendongak, memandang kawanan burung belibis, suatu tanda ucapannya tadi tidaklah disengaja.

Diam-diam Siau Hong membatin, "Sekali omong saja ia lantas menghubungkan aku dengan ayah bundanya, suatu tanda dalam lubuk hatinya ia sudah pandang aku sebagai familinya yang dekat. Aku tidak boleh lagi meninggalkan dia, sesudah kesahatannya pulih nanti, paling baik kuantar dia pulang ke Tayli dan akan kuserahkan kepada orang tuanya, dengan demikian barulah kewajibanku berakhir."

Begitulah sepanjang jalan kedua orang asyik bercakap dan bergurau, bila A Ci merasa letih Siau Hong lantas memondongnya turun dari kuda dan merebahkan dia dalam kereta yang mengikuti di belakang. Bila malam tiba mereka lantas buat kemah.

Sesudah beberapa hari pula, akhirnya mereka mencapai tepian padang rumput yang luas, A Ci sangat senang memandangi padang rumput yang seakan-akan tak berujung itu. Katanya," "Oh!, marilah kita menjelajahi padang rumput yang luas ini, disana tentu jauh lebih indah dari pada disini."

Siau Hong tidak mau menolak keinginan dara itu, segera ia halau kuda dan keretanya ketengah padang rumput.

Sudah beberapa hari Siau Hong dan A Ci melanjutkan perjalanan ditengah padang rumput luas itu. Tatkala itu adalah permulaan musim rontok, rumput masih tumbuh dengan suburnya, hawa sejuk menyegarkan semangat.

Ditengah semak rumput juga banyak terdapat binatang buas sebangsa harimau, serigala dan sebagainya, bila perlu Siau Hong lantas berburu untuk menambah rangsum mereka, penghidupan dalam pengembaraan seperti itu sungguh menggembirakan dan benar-benar hidup dialam bebas.

Selang beberapa hari pula, siang hari itu tiba-tiba mereka lihat dikejauhan sana banyak terdapat perkemahan, seperti perkemahan pasukan tentara dan mirip pula kelompok suku bangsa yang hidup di padang rumput.

"Disana banyak tempat tinggal orang, entah apa yang mereka kerjakan, lebih baik kita pulang saja, jangan mencari gara-gara," kata Siau Hong.

"Emoh, aku justru ingin tahu perkemahan apakah itu," kata A Ci aleman. "Cihu, kakiku belum dapat bergerak, masakah bisa mendatangkan perkara bagimu?"

Siau Hong merasa kewalahan terhadap sifat kanak-kanak A Ci yang serba ingin tahu itu.  Segera ia halau kudanya kearah perkemahan itu dengan pelahan.

Di padang rumput yang lapang itu, meski perkemahan dapat terlihat dengan jelas, tapi jarak yang sesungguhnya adalah sangat jauh. Sesudah belasan li, mendadak terdengar suara 'tut-tut-tut' suara tiupan tanduk yang ramai, menyusul debu mengepul, dua baris pasukan berkuda tampak terpencar, yang satu baris menuju ke utara dan barisan lain cepat menuju ke selatan.

"Celaka, itulah pasukan berkuda bangsa Cidan!" kata Siau Hong dengan terkejut.

"He, bukankah suku bangsamu sendiri? itulah bagus, mengapa kau katakan celaka malah?" ujar A Ci.

"Aku dan kau tidak kenal mereka, lebih baik kita pulang saja," kata Siau Hong. Lalu ia putar kudanya hendak kembali kearah datangnya tadi.

Tapi baru beberapa langkah jauhnya, tiba-tiba terdengar suara genderang yang gemuruh, kembali beberapa barisan berkuda Cidan menerjang datang Siau Hong merasa heran, disekitar situ tidak terdapat musuh, apakah mereka sedang latihan atau lagi berburu?

Mendadak terdengar suara teriakan ramai, 'Bidik rusa! Bidiklah rusa!" Serentak terdengar riuh ramai suara sorakan menahan rusa.

Baru sekarang Siau Hong tahu bahwa pasukan Cidan itu sedang berburu secara besar-besaran. Segera ia pondong A Ci keatas kudanya, ia berhentikan kuda dan berdiri diatasnya, untuk memandang suasana perburuan yang hebat itu.

Pasukan berkuda Cidan itu semuanya memakai jubah sulam, didalamnya berlapis baja, jadi dandanan mereka seperti berada dimedan perang saja. Jubah sulam mereka itu pun aneka warna, pasukan ini berwarna merah, pasukan itu berwarna kuning, pasukan lain berwarna biru dan pasukan lain lagi berwarna hijau. Panji tiap-tiap pasukan seragam dengan warna jubah masing-masing, mereka berlari kian kemari antara pasukan ini dengan pasukan itu, prajuritnya gagah, kudanya kuat, sungguh sangat bersemangat tampaknya. Diam-diam Siau Hong dan A Ci memuji juga.

Rupanya pasukan-pasukan Cidan itu lagi sibuk berburu rusa, terkadang ada juga yang melihat Siau Hong dan A Ci, tapi mereka hanya melirik sekejap saja dan tidak ambil peduli. Pasukan itu telah mengurung beberapa puluh ekor rusa dari tiga jurusan. Terkadang kalau ada seekor rusa yang tiba-tiba menerobos keluar dari barisan, segera seregu pasukan berkuda mengubernya, rusa itu lalu dihalau masuk lagi kedalam garis kepungan.

Tengah Siau Hong menonton, tiba-tiba didengarnya ada suara seruan orang, "Hai, apakah disitu Siau-toaya adanya?"

Siau Hong heran ada orang mengenalnya. Waktu ia berpaling terlihatlah seorang penunggang kuda berjubah hijau mendatangi dengan cepat, Itulah dia si kapten, utusan Yali Ki yang mengantarkan hadiah padanya beberapa bulan yang lalu.

Sesudah dekat dengan Siau Hong, segera kapten itu melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah kaki, katanya, "Cukong kami berada tidak jauh dari sini. Seringkali Cukong membicarakan Siau-toaya, beliau sangat rindu padamu. Hari ini entah angin apakah yang telah meniup Siau-toaya kemari, ayolah silakan lekas menjumpai Cukong kami disana.

Siau Hong juga sangat girang, mendengar Yali Ki berada tidak jauh dari situ. Sahutnya segera. "Aku sedang pesiar tanpa tempat tujuan, tidak terduga giheng kebetulan berada disekitar sini. Baiklah, harap tunjukkan jalan agar aku dapat bertemu dengan beliau."

Segera kapten itu bersuit, dua prajurit berkuda lantas menghampiri. "Lekas laporkan bahwa Siau-toaya dari Tiang-pek-san telah datang." perintah sang kapten.

Kedua prajurit berkuda itu mengiakan dan segera meneruskan laporan itu. Sedang pasukan lain masih terus berburu, hanya kapten tadi ia memimpin suatu pasukan berkuda berjubah hijau mengiring Siau Hong dan A Ci menuju kearah barat.

Diam-diam Siau Hong membatin, "Gihengku itu besar kemungkinan adalah panglima atau pembesar tinggi negeri Liau, kalau tidak, rasanya tidak mungkin berpengaruh seperti ini."

Sepanjang jalan tampak banyak prajurit yang berlalu-lalang, semuanya berpakaian perang. Terdengar si kapten berkata pula, "Kedatangan Siau-toaya ini sangat kebetulan, besok pagi disini akan ada tontonan yang ramai!"

Sekilas Siau Hong melihat A Ci mengunjuk rasa girang oleh kabar itu, segera ia tanya si kapten, "Ada tontonan apakah?"

"Besok adalah hari pertandingan," sahut si kapten, "Kedua pasukan pengawal dari Eng-jiang dan Thai-ho belum ada komandannya, maka perwira Cidan kami akan saling bertanding untuk merebut kedudukan komandan pasukan-pasukan pengawal itu."

Mendengar ada pertandingan silat, dengan sendirinya Siau Hong juga sangat tertarik. Katanya segera dengan tertawa, "Wah, memang kedatangan kami ini sangat kebetulan, aku justru ingin lihat ilmu silat orang Cidan."

"Eh, kapten, besok engkau juga keluarkan kepandaianmu, terimalah selamatku semoga engkau dapat merebut pangkat itu," kata A Ci dengan tertawa.

"Hah, mana hamba mempunyai keberanian seperti itu?" sahut si kapten sambil menjulurkan lidah.

"Eh, kapten, siapa sih namamu?" tanya A Ci.

"Hamba bernama Sili," sahut kapten Sili.

"Untuk berebut kedudukan Thong-leng, andai Cihuku sudi mengajarkan sejurus dua padamu tanggung dengan mudah pangkat itu akan kau peroleh," ujar A Ci dengan tertawa.

Kapten Sili kegirangan, katanya cepat, "Jika Siau-toaya sudi memberi petunjuk padaku, sungguh hamba akan merasa terima kasih sekali. Tentu kedudukan Thong-leng apa segala hamba sih tiada mempunyai rejeki sebesar itu."

Sembari bicara, kira-kira satu dua li jauhnya terlihatlah dari depan mendatang suatu pasukan berkuda, Itulah Hui-him-tui (pasukan beruang terbang) kami!" kata Kapten Sili.

Pasukan berkuda yang datang itu seluruhnya berpakaian kulit beruang, jubah luar terdiri dari kulit beruang hitam dengan topi kulit beruang putih, kelihatannya menjadi gagah sekali. Sesudah dekat, sekali terdengar aba-aba serentak pasukan itu turun dari kuda dan berbaris dikedua sisi jalan sambil berseru," Selamat datang, Siau-toaya!"

Siau Hong menggangkat tangannya sebagai tanda hormat, lalu keprak kudanya kedepan. Sedang pasukan kulit beruang itu lantas mengiring dari belakang.

Beberapa li pula, kembali pasukan berkuda memapak lagi, sekali ini pasukan berkulit harimau. Diam-diam Siau Hong sangat heran, saudara angkatnya itu mempunyai pangkat apa sehingga begitu hebat penyambutannya.

Menjelang magrib, sampailah mereka disuatu perkemahan besar, suatu pasukan berkulit macan tutul menyambut Siau Hong dan A Ci kedalam kemah itu. Semula Siau Hong mengira didalam kemah akan dapat berjumpa dengan Yali Ki, diluar dugaan kemah itu kosong melompong tiada penghuninya, walaupun segala perabotan lengkap dan mewah, diatas meja juga penuh tersedia makanan dan buah-buahan.

"Cukong menyilakan Siau-toaya bermalam disini, besok akan dapat bertemu dengan beliau." demikian lapor kapten pasukan berkulit macan tutul itu.

Karena sudah terlanjur datang, Siau Hong juga tidak mau banyak bertanya, segera ia ambil tempat duduk dan minum arak sepuasnya, empat dayang siap melayaninya dengan penuh hormat, servisnya harus dipuji.

Besok paginya mereka melanjutkan perjalanan sampai ratusan li ke barat, waktu lohor sampailah mereka disuatu tempat. Kapten Sili berkata pada Siau Hong, "Sesudah melintasi lereng bukit sana, kita akan sampai ditempat tujuan."

Siau Hong lihat lereng gunung didepan sana sangat megah, sebuah sungai besar mengalir dengan gelombang airnya yang mendebur-debur.

Sesudah melintasi bukit, maka terlihatlah panji-panji berkibaran, dimana-mana penuh perkemahan, beratus ribu prajurit berkuda dan infanteri memenuhi suatu tanah lapang dibagian tengah perkemahan. Segera pasukan kulit macan tutul, kulit beruang dan kulit harimau mengeluarkan alat tiup, seketika ramailah suara 'tut-tut-tut' menggema angkasa.

Sekonyong-konyong suara tambur serentak berbunyi, terdengar suara menggegelar memberi penghormatan, seketika pasukan ditanah lapang tadi menyilah minggir, seekor kuda kuning yang gagah membedal keluar, diatas kuda terdapat seorang laki-laki berewok, siapa lagi dia kalau bukan Yali Ki.

Sambil mengeprak kudanya kearah Siau Hong, terus saja Yali Ki berteriak-teriak, "Wahai, Siau-hiante, sungguh aku sudah rindu padamu!"

Siau Hong lantas memapak maju, berbareng kedua orang melompat turun dari kuda dan saling rangkul dengan akrab. Seketika dari segenap penjuru terdengar riuh rendah suara sorakan, "Banswe! Banswe! Banswe!"

Karuan Siau Hong terkejut, mengapa para prajurit itu berseru, "Banswe (berlaksa tahun atas- 'Hidup') Padahal pujian "Banswe" itu hanya lazim diberikan kepada seorang raja.

Ia coba memandang sekelilingnya, ia lihat semua prajurit dan perwira sama membungkuk tubuh dan melolos golok komando sebagai tanda hormat.

Yali Ki sendiri menggandeng tangan Siau Hong dan berdiri disitu sambil memandang kesana-sini dengan sikap yang amat bangga.

Siau Hong merasa bingung, tanyanya dengan tergagap, "Giheng, apakah engkau... "

"Ya, jika sejak dulu-dulu kau tahu bahwa aku ini raja negeri Liau, tentu engkau tidak mau angkat saudara denganku." sahut Yali Ki dengan terbahak-bahak. "Siau-hiante namaku yang sebenarnya adalah Yali Hungki, budi pertolonganmu dahulu itu selama hidup ini takkan kulupakan."

Meski Siau Hong berjiwa besar dan luas pengalamannya, tapi selamanya tidak pernah berhadapan dengan seorang raja. Kini menyaksikan upacara yang luar biasa itu, mau tak mau ia rada kikuk.

"Sungguh hamba tidak tahu akan baginda sehingga banyak berlaku kurang hormat, harap dimaafkan," katanya segera, lalu hendak berlutut.

Sebagai orang Cidan yang bertemu dengan rajanya, sudah sepantasnya ia berlutut dan memberi sembah. Tapi Yali Hungki cepat membangunkannya, katanya dengan tetawa, "Orang yang tidak tahu, tidak salah, Saudaraku, engkau adalah adik angkatku, hari ini kita melulu bicara tentang persaudaraan kita, tentang penghormatan kebesaran boleh dilakukan lain hari saja."

Dan ketika ia memberi tanda, segera dalam pasukannya bergema suara musik sebagai tanda penyambutan tamu agung. Sambil menggandeng lengan Siau Hong, segera Yali Hungki mengajaknya masuk kedalam kemah besar.

Kemah tempat tinggal raja Liau itu terbuat dari kulit sapi rangkap beberapa lapis, diatas kulit itu terlukis macam-macam gambar yang indah, nama kemah itu disebut "Kemah Besar Ruangan Kulit" Sesudah Yali Hungki mengambil tempat duduknya ditengah, ia suruh Siau Hong duduk disebelahnya.

Tidak lama segenap pembesar sipil dan militer yang ikut serta dalam pasukan kerajaan itu semua datang memberi hormat. Saking banyak hingga Siau Hong merasa bingung oleh nama-nama pembesar itu.

Malamnya didalam kemah besar itu diadakan perjamuan, Orang Cidan menghargai kaum wanita sama seperti kaum pria, maka A Ci juga menjadi tamu undangan dalam perjamuan yang sangat meriah itu.

Sesudah setengah perjamuan, belasan jago gulat Cidan tampil kemuka untuk bertanding, Jago gulat itu tidak memakai baju, mereka membetot dan membanting lawan sekuatnya, pertarungan cukup seru.

Kemudian pembesar Cidan lantas mengajak adu gelas dengan Siau hong sebagai penghormatan mereka, Siau Hong terima baik permintaan mereka, satu persatu ia mengadu gelas dengan mereka hingga jumlah seluruhnya ada ratusan gelas, tapi semangatnya semakin gagah hingga semua orang tercengang.

Yali Hungki sendiri terkenal seorang gagah dan kuat, kali ini ia kena ditawan Siau Hong. Kejadian itu telah diketahui segenap rakyatnya, maka ia sengaja suruh Siau hong pamerkan kepandaiannya untuk menutupi rasa malu sendiri yang ditawan olehnya. Tak terduga bahwa takaran minum arak Siau Hong juga sedemikian lihainya, melulu kekuatan minum arak itu saja sudah cukup membuat para jago Cidan ternganga kagum.

Sungguh girang Yali Hungki tak tak terhingga katanya segera, "Hiante, kamu benar-benar orang gagah nomor satu dinegeri Liau kita!"

"Bukan, dia nomer dua!" tiba-tiba suara seorang menyela.

Waktu semua orang memandang kearah suara itu, kiranya yang bicara adalah A Ci.

"Nona cilik, mengapa kau katakan dia nomer dua? Habis siapakah jago nomer satu itu?" tanya sang baginda dengan tertawa.

"Jago nomer satu dengan sendirinya adalah Sri Baginda Raja sendiri," sahut A Ci, "Betapapun tinggi kepandaian Cihu-ku toh dia mesti tunduk pada perintahmu, sedikitpun tidak boleh membangkang, dengan demikian bukankah engkau lebih gagah dari dia?"

Yali Hungki terbahak-bahak, "Hahahaha! Benar juga! Siau-hiante, aku harus menganugrahi suatu pangkat bangsawan padamu. Biarlah kupikirkan dulu pangkat apakah yang sesuai untukmu." Rupanya ia sudah cukup banyak minum arak, maka ia ketuk-ketuk jidat sendiri untuk berpikir.

 "Jangan, jangan!" cepat Siau Hong berseru, "Hamba adalah orang kasar, tidak biasa menikmati kebahagiaan sebagai bangsawan, selamanya hamba suka mengembara kian-kemari, hamba sungguh tidak ingin menjadi pembesar."

"Boleh juga, biar kuberi suatu pangkat yang kerjanya melulu minum arak saja dan tidak perlu bekerja... " kata Yali Hungki dengan tertawa.

Belum selesai ucapannya, mendadak dari jauh terdengar suara 'tut-tut-tut', suara tiupan tanduk yang panjang.

Orang-orang Cidan itu sebenarnya lagi makan minum dengan duduk bersila diatas tanah. Ketika mendadak mendengar suara tiupan itu, serentak mereka sama berdiri dengan wajah gugup terkejut.

Suara 'tut-tut-tut' itu datangnya serasa cepat, semula kedengaran masih sangat jauh, hanya sebentar saja suara itu sudah mendekat, waktu ketiga kalinya berbunyi pula, suara itu sudah dalam jarak dua tiga li saja.

Diam-diam Siau Hong heran, sekalipun lari yang paling cepat atau tokoh persilatan yang memiliki ginkang paling tinggi juga tidak mungkin secepat itu. Tapi akhirnya ia tahu tentu itu pos-pos penjagaan orang Cidan, suara tiupan disatu pos diteruskan kepada pos yang lain sehingga dalam waktu singkat dapat tersiar jauh.

Dan sesudah sampai diluar perkemahan mewah itu, suara 'tut-tut-tut' itu lantas berhenti seketika. Beratus kemah yang tadinya dalam suasana riang gembira itu serentak berubah sunyi senyap.

Yali Hungki ternyata tenang-tenang saja, pelahan ia angkat gelas emas dan habiskan isinya, lalu katanya, "Siangkhia (kota raja Liau) terjadi kerusuhan, marilah kita pulang kesana. Berangkat!"

Sekali ucapan 'berangkat' dikeluarkan, segera panglima pasukan meneruskan titah itu, maka terdengarlah dimana-mana riuh ramai teriakan 'berangkat' secara teratur, sedikitpun tidak kacau.

Pikir Siau Hong, "Negeri Liau kami sudah bersejarah dua ratus tahun, kekuatannya mengguncangkan negeri tetangga, meski ada kerusuhan bagian dalam toh pasukannya tidak gugup, suatu tanda pemimpin-pemimpinnya pandai menjalankan tugasnya."

Sementara itu suara derapan kuda sangat ramai, pasukan perintis sudah berangkat, menyusul pasukan bagian samping dan lain-lain berturut-turut berangkat. Sambil menggandeng tangan Siau Hong berkatalah Yali Ki, "Marilah kita keluar melihatnya!"

Setiba diluar kemah, terlihatlah ditengah kegelapan malam itu pada tiap panji pasukan tergantung sebuah lentera dengan warna menurut tanda pengenal pasukan masing-masing. Ratusan ribu prajurit itu berangkat serentak kearah tenggara, yang terdengar hanya suara ringkik kuda dan tiada suara manusia.

Sungguh Siau Hong sangat kagum, "Begini disiplin pasukan Cidan ini, sudah tentu seratus kali perang seratus kali menang. Tempo hari Sri Baginda terpencil sendirian, makanya dapat kutangkap, kalau beliau mengerahkan pasukannya, sekalipun orang Nuchen sangat perkasa juga tidak dapat melawan mereka."

Dan sesudah sang Baginda keluar kemah, segera pasukan pengawal membongkar tenda, hanya sebentar saja sudah diringkas dengan betul serta dimuat keatas kereta. Waktu panglima pasukan tengah memberi aba-aba, segera berangkatlah iring-iringan mereka. Para menteri dan pembesar lainnya mengiring disekitar Yali Hungki tiada seorang pun yang berani bersuara.

Kiranya berita tentang pemberontakan dikota raja itu meski sudah dilaporkan, tapi sebenarnya siapa pimpinan pemberontak dan bagaimana situasinya belum lagi diketahui, sebab itulah setiap orang merasa masgul.

Sesudah tiga hari pasukan besar itu menempuh perjalanan, malamnya sesudah berkemah baru datanglah laporan dari kurir pertama bahwa pemberontak dipimpin oleh Lam-ih Tai-ong yang telah mengangkat diri sendiri sebagai raja dan menduduki keraton, permaisuri, putra mahkota, putri raja dan keluarga pembesar, semuanya berada dalam tawanan pemberontak.

Mendengar laporan itu, mau tak mau air muka Yali Hungki berubah seketika. Kiranya menurut susunan tata negara Liau, pemerintah sipil dan militer dibagi menjadi dua Ih (Yuan) yaitu Lam Ih dan Pak Ih (Yuan selatan dan utara) Pak Ih Tai-ong, yaitu perdana menteri yang menguasai Ih utara, sekarang ikut serta bersama raja, hanya Lam Ih Tai-ong ditinggal menjaga kotaraja.

Lam Ih Tai-ong itu bernama Yali Nikolu dengan gelar Co-ong, Ayahnya lebih hebat lagi, namanya Yali Conggoan, terhitung paman baginda raja yang sekarang, dengan pangkat Panglima Besar Angkata Perang.

Menurut silsilah kerajaan Liau, kakek Yali Hungki yang bernama Yali Lungco, dalam sejarah kerajaan Liau disebut raja Seng-cong, Raja Seng-cong mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama Cong-cin dan yang bungsu bernama Conggoan.

Watak Cong-cin ramah tamah dan welas asih, sebaliknya Conggoan sangat keras dan perkasa, seorang ahli militer, setelah Seng-cong wafat, tahta diteruskan kepada Cing-cin, Tapi permaisurinya lebih suka kepada putra kedua, maka diam-diam ada intrik akan mengangkat Conggoan sebagai raja.

Menurut kebiasaan kerajaan Liau, kekuasaan dan pengaruh ibu suri sangat besar, sebab itulah tahta Cong-cin sebenarnya tidak teguh, keselamatannya juga selalu terancam. Akan tetapi Conggoan telah memberitahukan rencana ibundanya itu kepada kakak bagindanya sehingga intrik ibu suri tak dapat terlaksana.

Karena itu dengan sendirinya Cong-cin sangat berterima kasih kepada adindanya itu dan mengangkatnya menjadi Hong-thai-te (adik mahkota), artinya jika ia sendiri wafat, maka Conggoan yang akan naik tahta sebagai gantinya.

Yali Cong-cin dalam sejarah kerajaan Liau disebut raja Hin-cong, sesudah dia wafat, tahtanya tidak jadi diserahkan kepada Conggoan, tapi tetap diturunkan kepada putranya sendiri yang bernama Hungki.

Setelah Yali Hungki naik tahta, ia merasa tidak enak hati, maka Conggoan diangkat sebagai Hong-thai-siok (paman mahkota) sebagai tanda bahwa sang paman itu tetap merupakan ahli-waris utama dalam tahta kerajaan Liau, bahkan diangkat pula sebagai panglima besar angkatan perang, kalau menghadap raja dibebaskan dari upacara menyembah, diberi hadiah pula surat penghargaan dan harta benda yang tak ternilai, betapa agung kedudukan Conggoan waktu itu boleh dikatakan tiada bandingannya. Bahkan putranya yang bernama Nikolu juga dianugrahi gelar kebangsawanan sebagai Co-ong dan menjabat sebagai Lam Ih Tai-ong, suatu jabatan penting dalam bidang militer!

Dahulu Yali Conggoan jelas ada kesempatan menjadi raja dan dia rela menyerahkannya kepada kakaknya, hal ini menandakan dia cukup berbudi dan bijaksana. Kali ini Yali Hungki pesiar keluar untuk berburu, segala urusan pemerintahan telah diserahkan kepada Hong-thai-siok itu tanpa sedikitpun rasa curiga.

Kini mendapat laporan bahwa pemberontak itu adalah Lam Ih Tai-ong Nikolu, sudah tentu Yuli Hungki terkejut dan sedih, Ia kenal watak Nikolu yang licik dan keji, kalau dia memberontak, pasti ayahnya takkan tinggal diam.

Sesudah makan malam, kusir kedua datang pula memberi lapor bahwa Lam Ih Tai-ong telah mengangkat Hong-thai-siok sebagai raja dan menyebarkan maklumat diseluruh negeri dengan menuduh Yali Hungki telah mengangkangi tahta ayahnya, maka sekarang Hong-thai-siok secara resmi naik tahta serta akan memimpin angkatan perang untuk membasmi kaum pengkhianat dan macam-macam alasan lagi.

Dari maklumat pihak pemberontak yang tersusun rapi itu, bukan mustahil rakyat akan termakan oleh agitasi pihak pemberontak. Dengan gusar Yali Hungki lemparkan surat maklumat yang diterimanya dari kurir itu ke dalam api, perasaannya sedih dan khawatir. Pikirnya, "Hong-thai-siok menjabat panglima besar angkatan perang, ia mempunyai pasukan lebih delapan ratus ribu tentara, ditambah lagi anak buah putranya Co-ong, yang menjadi biang keladi pemberontakan ini. Sebaliknya prajurit yang kubawa sekarang cuma lebih seratus ribu orang saja, cara bagaimana aku dapat melawan mereka?" begitulah semalam suntuk ia tak bisa tidur.

Semula ketika Siau Hong mendengar bahwa dirinya hendak diberi suatu pangkat, mestinya ia ingin tinggal pergi tanpa pamit pada malamnya bersama A Ci, tapi kini melihat sang giheng sedang berhalangan, Ia menjadi tidak enak untuk tinggal pergi, betapapun ia pikir harus membantu kesulitan sang giheng sebagai tanda persaudaraan mereka.

Besok paginya kembali penyelidik datang melapor bahwa Hong-thai-siok dan Co-ong dengan memimpin pasukan tentara sejumlah tiga ratus ribu jiwa sedang datang hendak melabrak Hongsiang.

Karena tiada jalan lain, Yali Hungki pikir sekalipun akhirnya kalah, terpaksa harus bertempur dengan mati-matian. Segera ia kumpulkan para pembesar sipil dan militer untuk berunding, para pembesar itu sangat setia kepada Yali Hungki, mereka bersedia mati bertempur, yang mereka khawatirkan adalah semangat prajurit yang banyak merosot berhubung pada umumnya sanak keluarga mereka masih tertinggal di Siangkhia dan ditahan oleh fihak pemberontak.

Segera Hungki mengeluarkan pengumuman, "Hendaknya para prajurit dan tamtama bertempur sepenuh tenaga, sesudah pemberontakan dipadamkan, selain kenaikan pangkat setiap orang akan diberi hadiah pula yang setimpal."

Habis itu, segera ia memakai baju perang kuning emas, ia pimpin sendiri segenap angkatan perangnya dan memapak pasukan musuh. Melihat raja mereka maju sendiri, seketika semangat para prajurit terbangkit, mereka bersorak-sorai dan bersumpah setia.

Dengan membawa busur dan tombak Siau Hong juga mengiring dibelakang Yali Hungki sebagai pengawal pribadi. Pasukan besar mereka lantas maju kearah tenggara.

Kapten Sili dengan memimpin suatu barisan prajurit berkulit beruang melindungi A Ci dan tinggal dibelakang pasukan. Pada saat itu di padang rumput hanya kedengaran suara derap dan ringkik kuda yang ramai, suara lain boleh dikata tidak terdapat, Siau Hong lihat tangan Yali Hungki yang memegang tali les kuda itu agak gemetar, tahu sang giheng sendiri tidak yakin akan dapat kemenangan dalam pertempuran ini.

Waktu lohor, tiba-tiba didepan terdengar suara tiupan tanduk pula, terang pasukan musuh sudah dekat. Segera komandan pasukan memberi perintah agar prajurit turun dari kuda. Jadi sekarang para prajurit berjalan kaki sambil menuntun kuda, hanya Yali Hungki dan para pembesar yang masih tetap diatas kuda mereka.

Siau Hong agak heran dan bingung melihat kejadian itu, ia tidak tahu mengapa para prajurit itu malah turun dari kuda, sedangkan pasukan musuh sudah dekat.

Maka dengan tertawa Yali Hungki berkata padanya, "Saudaraku, mungkin sudah lama kau tinggal di Tionggoan, maka tidak paham siasat militer dan cara bertempur bangsa kita?"

"Ya, mohon Sri baginda memberi petunjuk," sahut Siau Hong.

"Hehehe, umur bagindamu ini entah dapat bertahan sampai petang nanti atau tidak, buat apa diantara saudara sendiri mesti sungkan lagi," ujar Hungki dengan tertawa.

"Baik, harap Toako memberi penjelasan," sahut Siau Hong.

"Pertempuran di padang rumput yang paling penting adalah tenaga kuda, tenaga manusia adalah soal sekunder," tutur Hungki.

Seketika Siau Hong sadar, katanya, "Ah, benar! Sebabnya prajurit itu turun dari kuda mereka adalah supaya binatang tunggangan mereka tidak terlalu lelah."

"Ya, kalau tenaga kuda terpelihara dengan baik, pada saat menyerbu musuh akan bisa bertempur dengan lancar," kata Yali Hungki. "Sebabnya bangsa Cidan kita selalu menang perang dimasa lalu, kunci rahasianya terletak pada kekuatan kuda inilah."

Sampai disini, tiba-tiba didepan sana tertampak debu mengepul tinggi, nyata musuh sudah sangat dekat. Segera Yali Hungki berkata pula sambil mengangkat cambuknya. "Hong-thai-siok dan Co-ong sudah berpengalaman dalam pertempuran besar, mengapa mereka mengerahkan pasukan secara tergesa-gesa tanpa menghiraukan tenaga kuda, terang disebabkan dia penuh keyakinan bahwa mereka pasti akan menang."

Belum habis bicaranya, tertampaklah pasukan sayap kanan dan kiri berbareng membunyikan terompet. Waktu Siau Hong memandang jauh kesana, ia lihat dari kanan dan kiri sana masing-masing terdapat dua pasukan musuh, jadi kekuatan kedua pihak sekarang adalah lima lawan satu.

Air muka Yali Hungki berubah tegang seketika melihat kekuatan musuh itu, cepat ia perintahkan siap untuk bertempur dan pasang busur. Segera pasukan depan dan sayap kanan kiri berputar balik, beramai-ramai prajurit memasang tanda komando tertinggi, sekelilingnya dipagar dengan tanduk rusa dalam sekejap saja dipadang rumput situ sudah terpasang suatu benteng kayu yang besar, sekelilingnya dijaga oleh pasukan berkuda, berpuluh ribu pemanah bersembunyi dibalik balok besar benteng kayu itu dengan panah terpasang pada busurnya dan siap memanah.

Diam-diam Siau Hong membatin, "Tak perduli pertempuran besar ini siapa yang menang dan kalah, yang terang bangsa Cidan pasti akan banjir darah. Paling baik kalau giheng yang menang, kalau kalah aku harus berdaya menyelamatkan giheng dan A Ci kesuatu tempat yang aman. Kedudukannya sebagai raja lebih baik ditinggalkan saja."

Dan baru saja barak pertahanan raja Liau itu selesai dipasang, pasukan perintis pemberontak juga sudah datang. Pasukan itu tidak lantas menyerang, mereka berhenti dalam jarak suatu panahan, lalu membunyikan genderang dan terompet, menyusul pasukan pemberontak dibelakangnya lantas membanjir kedepan dengan teratur dan rapi.

Melihat kekuatan musuh yang jauh lebih besar itu, Siau Hong pikir sang giheng pasti akan kalah, Ia pikir untuk menyelamatkan gihengnya terpaksa harus bertahan sampai malam gelap nanti, pada siang hari jelas sukar meloloskan diri dari kepungan musuh. Sementara itu hari baru lewat lohor, sang surya sedang memancarkan sinarnya yang panas.

Mendadak terdengar suara genderang pasukan musuh menggelegar memecah angkasa, entah berapa ratus tambur dipukul serentak.

"Pukul tambur! segera komandan pasukan memberi perintah. Dan beratus-ratus tambur dibentang raja itu pun dibunyikan hingga terjadilah perang tambur.

Sebentar kemudian memdadak suara tambur pasukan musuh berhenti, berpuluh ribu prajurit berkuda musuh sambil berteriak-teriak gemuruh mulai menyerbu dengan tombak terhunus. Tapi batu pasukan musuh itu mencapai jarak panah, segera komandan pasukan pasukan raja mengebaskan panji komandonya, suara tambur pasukan raja juga berhenti serentak dan berpuluh ribu anak panah lantas dihamburkan. Kontan prajurit musuh barisan paling depan roboh terjungkal.

Tapi pasukan musuh itu seperti tidak habis-habisnya, yang didepan roboh, yang dibelakang segera membanjir maju pula hingga kuda yang kehilangan penunggang didepan itu berubah menjadi tameng panah bagi prajurit di belakangnya. Selain itu ada pula pasukan musuh yang membawa perisai anti panah, dibelakang mereka mengikut pasukan pemanah, sesudah maju mendekat, segera mereka pun memanah kearah pertahanan pasukan raja.

Semula Yali Hungki memang agak jeri, tapi demi menghadapi musuh, seketika semangatnya berkobar-kobar, dengan tangan kanan ia hunus sebatang golok panjang sembari memberi perintah dan memberi petunjuk. Melihat baginda raja mereka memimpin sendiri digaris depan, serentak bersoraklah prajurit dan perwiranya, "Banswe! Banswe! Banswe!"

Ketika pasukan pemberontak mendengar suara sorakan itu, mereka sama memandang kearah sini dan melihat Yali Hungki berjubah kuning emas dengan pakaian perangnya sedang memimpin sendiri pasukannya, dibawah wibawa sang raja yang angker itu seketika pasukan musuh merandek dan ragu untuk menyerbu maju.

Melihat kesempatan baik itu, segera Hungki berseru. "Pasukan berkuda sayap kiri mengepung maju, serbu!"

Mendengar perintah itu, Ku-bit-su yang memimpin pasukan sayap kiri lantas mengepung maju dengan tiga puluh ribu prajurit.

Memangnya pasukan pemberontak sudah patah semangat ketika melihat munculnya Yali Hungki digaris depan, sama sekali tidak terduga pula akan diterjang secara mendadak oleh pasukan raja itu, Apalagi Ku-bit-su itu adalah panglima perkasa yang terkenal dinegeri Liau, karuan pasukan pemberontak menjadi kacau-balau, sekali kena diterjang, hanya dalam waktu singkat saja pasukan pemberontak itu lantas kalah dan mundur. Pasukan raja segera mengejar dengan gagah perkasa!

"Toako, sekali ini kita telah menang!" seru Siau hong dengan girang.

Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong terdengar pula suara genderang pasukan musuh berbunyi, pasukan induk pemberontak telah datang, seketika terjadilah hujan panah dan tombak diudara, pertempuran bertambah sengit.

- Bagaimana tindakan Yali Hungki dalam usaha mengatasi kudeta terhadap singgasananya??

- Apa yang akan dilakukan Siau Hong untuk membantu saudara angkatnya itu dan penemuan apa pula yang diperolehnya di negeri Liau??

Jilid ke43

Diam-diam Siau Hong terkesiap oleh pertempuran dahsyat yang tidak pernah dilihatnya itu. Di medan pertempuran begitu, biarpun ilmu silatnya setinggi langit juga tidak berguna. Pertempuran pasukan besar begini berbeda sama sekali dengan pertandingan silat di kalangan Bu-lim, segala kepandaian boleh dikatakan tidak berguna lagi.

Sebentar kemudian, tiba-tiba di pihak pasukan pemberontak ada suara trompet tanda mundur, segera pasukan berkuda pemberontak itu mengundurkan diri bagai air surut cepatnya, berbareng panah menghambur bagai hujan untuk menahan kejaran lawan. Beberapa kali Ku-bit-su memimpin pasukannya menerjang, tapi selalu tertahan, sebaliknya malah terpanah mati beberapa ribu prajuritnya oleh musuh.

"Korban jatuh terlalu banyak, sementara berhenti menyerang," segera Yalu Hungki memberi perintah.

Pertempuran tadi berlangsung cuma satu jam lebih, tapi sangat dahsyat hingga mayat bergelimpangan, kedua pihak sama-sama jatuh korban tidak sedikit. Sesudah kedua pihak mundur sampai suatu jarak tak tercapai oleh panah, di tanah luang bagian tengah itu penuh berserakan mayat dengan suara rintih tangis yang mengerikan. Maka tertampaklah dari kedua pihak muncul pula suatu pasukan berbaju hitam, masing-masing ada 300 orang banyaknya, agaknya pasukan baju hitam kedua belah pihak ini merupakan pasukan pembersih mayat.

Semula Siau Hong mengira pasukan itu pasti akan menolong prajurit yang terluka untuk dibawa kembali ke tempat sendiri, di luar dugaan prajurit baju hitam itu lantas lolos senjata, semua prajurit musuh yang terluka parah dibinasakan pula, habis membersihkan prajurit yang terluka parah, kemudian ke-600 orang itu berteriak-teriak dan saling tempur pula.

Siau Hong melihat ke-600 orang itu semuanya berilmu silat lumayan, pertarungan cukup sengit walaupun tidak sedahsyat tadi. Maka hanya sebentar saja sudah lebih 200 orang terbacok roboh di tanah. Prajurit baju hitam dari pasukan raja lebih tangkas, korban mereka hanya beberapa puluh orang saja, maka kekuatan selanjutnya menjadi dua-tiga orang melawan seorang dan dengan demikian kalah-menang menjadi lebih nyata lagi, tidak lama keadaan berubah lagi menjadi empat-lima orang melawan seorang.

Dan aneh juga, pasukan besar kedua pihak ternyata hanya bersorak memberi semangat saja tanpa memberi bantuan apa-apa. Meski melihat pasukan pihaknya dikalahkan, toh pasukan pemberontak yang jauh lebih besar itu tidak mau membantu. Akhirnya ke-300 prajurit baju hitam pihak pemberontak dibasmi semua, sebaliknya pasukan baju hitam pihak raja masih sisa hampir 150 orang yang kembali dengan hidup.

Diam-diam Siau Hong merasa heran oleh peraturan pertempuran orang Cidan itu. Sementara itu terdengar Yalu Hungki sedang berseru sambil mengangkat tinggi-tinggi goloknya, "Meski pasukan pemberontak berjumlah banyak, tapi semangat tempur mereka sudah patah, jika kita labrak lagi sekali pasti mereka akan kalah dan lari!"

Serentak prajurit dan perwira pasukan kerajaan bersorak-sorai, "Banswe! Banswe!"

Baru lenyap suara sorakan mereka, tiba-tiba terdengar suara tiupan tanduk di pihak pasukan musuh, tiga penunggang kuda tampak maju dengan perlahan. Seorang di bagian tengah membentangkan sehelai kulit, lalu terdengar ia membaca dengan suara lantang. Kiranya apa yang dibacanya itu adalah "maklumat" pemberontak yang diumumkan oleh Hong-thay-siok, katanya Yalu Hungki telah mengangkangi takhtanya, kini Hong-thay-siok telah naik takhta dan setiap prajurit dan perwira kerajaan diharap setia kepada raja baru dan semuanya akan mendapat kenaikan pangkat dan macam-macam bujukan lagi.

Segera belasan juru panah membidikkan panah mereka ke arah pembaca "maklumat" itu. Tapi dua orang yang mengiringinya itu lantas mengangkat tameng untuk melindunginya hingga orang itu dapat membaca terus. Sekonyong-konyong ketiga ekor kuda tunggangan mereka roboh kena panah, tapi sambil sembunyi di balik perisai, tetap "maklumat" pemberontak itu dapat terbaca habis, lalu mereka mengundurkan diri.

Melihat bawahannya banyak yang terpengaruh oleh provokasi kaum pemberontak itu, segera Ku-bit-su memberi perintah, "Maju ke sana dan balas memaki!"

Segera ada 30 perwira dan prajurit tampil ke muka pasukan, 20 prajurit mengangkat perisai ke depan untuk melindungi, selebihnya belasan orang adalah "tukang maki", tenggorokan mereka besar dan suara mereka keras, mulut mereka tajam pula.

Maka mulailah "juru maki" pertama itu, ia mencaci maki pihak pemberontak sebagai pengkhianat yang terkutuk, pasti akan mati tak terkubur. Menyusul disambung oleh "juru maki" kedua, ketiga, dan seterusnya, sampai akhirnya kakek moyang musuh dan segala kata-kata caci maki yang kotor juga dihamburkan.

Pengetahuan Siau Hong terhadap bahasa Cidan terbatas, maka apa yang diucapkan "juru maki" itu sebagian besar tak dipahami olehnya. Tapi ia lihat Yalu Hungki berulang-ulang manggut-manggut sebagai tanda pujian, agaknya cara memaki "juru maki" itu sangat pandai dan tepat.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai pasukan pemberontak, dari jauh Siau Hong lihat di antara pasukan musuh itu ada dua penunggang kuda di bawah naungan payung kuning dan panji besar sedang tunjuk sini dan tuding sana dengan cambuk kudanya. Seorang di antaranya berjubah kuning emas mulus bertopi mestika, jenggotnya putih panjang. Seorang lagi berpakaian perang warna kuning, di bawah sinar matahari pakaian perangnya gemerdep berkilauan. Muka orang kedua itu agak kurus, tapi sikapnya sangat tangkas. Diam-diam Siau Hong menduga kedua orang itu mungkin adalah Hong-thay-siok dan Co-ong yang merupakan biang keladi pemberontakan ini.

Mendadak ke-10 "juru maki" tadi berhenti sebentar, mereka mengadakan "diskusi" dulu di antara mereka, habis berunding, serentak mereka menggembor lebih keras, mereka membongkar segala perbuatan jahat pribadi Hong-thay-siok itu, seorang yang prihatin hidupnya hingga tiada suatu borok yang dapat dimaki, maka sasaran makian kesepuluh "juru maki" itu dititikberatkan ke alamat Co-ong, katanya ia bergendakan dengan selir ayahnya sendiri, suka memerkosa wanita baik-baik, dan banyak berbuat kejahatan terhadap rakyat jelata dan macam-macam perbuatan kotor lainnya.

Kesepuluh orang itu memaki berbareng dengan kata-kata yang sama, memangnya suara mereka sangat lantang, paduan suara dari mereka menjadi luar biasa kerasnya hingga sebagian besar dari beratus ribu prajurit itu ikut mendengar caci maki mereka itu. Mendadak Co-ong itu memberi tanda dengan cambuknya, serentak pasukan pemberontak itu berteriak-teriak tak keruan hingga suara makian kesepuluh tukang maki itu tenggelam di tengah suara berisik yang lebih keras itu.

Sesudah suasana agak kacau sebentar, kemudian pasukan pemberontak mengeluarkan beberapa puluh buah kereta dorong dan dihentikan di depan pasukan, segera prajurit musuh menyeret keluar beberapa puluh orang wanita dari dalam kereta, ada yang sudah nenek-

nenek, ada yang masih gadis remaja, dandanan mereka semuanya sangat perlente. Dan begitu kaum wanita itu diseret keluar, seketika suara caci maki kedua belah pihak lantas berhenti.

Tiba-tiba Yalu Hungki berteriak, "O, ibu! Bila anak dapat menangkap pengkhianat, pasti akan kucencang hingga hancur luluh pengkhianat-pengkhianat itu untuk melampiaskan sakit hatimu!"

Kiranya si nenek di antara tawanan kaum wanita itu adalah Hong-thay-hou (ibu suri), yaitu ibunya Hungki, Siau-thay-hou. Dan yang lain-lain adalah permaisurinya, Siau-hou dan para selir serta putra-putrinya. Mereka itu telah ditawan seluruhnya oleh Hong-thay-siok dan Co-

ong dalam pemberontakan itu.

"Ya, baginda jangan menghiraukan jiwa kami, bunuhlah pengkhianat sekuat tenagamu!" demikian seru Hong-thay-hou dari jauh.

Mendadak beberapa puluh prajurit musuh mengancam para tawanan wanita itu dengan golok di leher, seketika banyak di antara selir raja yang muda itu menjadi ketakutan.

Yalu Hungki menjadi gusar, bentaknya, "Bunuh semua perempuan yang menangis itu!"

Maka terdengarlah suara mendesing anak panah, belasan anak panah menyambar ke depan, langsung beberapa selir raja yang menjerit dan menangis ketakutan tadi terpanah mati.

"Bagus baginda, tepat sekali tindakanmu ini!" seru Honghou (permaisuri) dari jauh. "Tanah air warisan nenek moyang sekali-kali tidak boleh tercengkeram di bawah kekuasaan kaum pengkhianat!"

Melihat ibu suri dan permaisuri sedemikian berani dan teguh jiwanya, bukan saja tak dapat diperalat untuk menekan Yalu Hungki, sebaliknya malah membuat semangat prajurit sendiri tergoyah, segera Co-ong memberi perintah, "Giring mundur tawanan itu! Keluarkan tawanan anggota keluarga prajurit musuh!"

Maka terdengar pula suara tiupan seruling yang tajam melengking sedih, sesudah rombongan ibu suri dan permaisuri digiring mundur, lalu dari barisan belakang digusur keluar berbaris-baris tawanan lelaki perempuan, tua dan muda, seketika terdengar pula suara tangisan memilukan hati dan mengguncang sukma.

Kiranya rombongan tawanan ini adalah anggota keluarga prajurit kerajaan, yaitu pasukan pribadi raja Liau. Biasanya Yalu Hungki sangat baik terhadap pasukan pribadinya itu, anggota keluarga mereka diizinkan tinggal bersama di dalam tangsi, dengan demikian, pertama para prajurit itu akan merasa berterima kasih atas kebaikan budi sang raja, kedua, dapat dipakai pula sebagai sandera agar prajurit-prajurit kepercayaan raja itu tidak berani timbul maksud

memberontak.

Siapa duga biang keladi pemberontak sekarang adalah Hong-thay-siok yang paling dipercaya oleh raja itu. Maka anggota keluarga pasukan pribadi raja telah ditawan oleh pihak pemberontak, paling sedikit ada belasan ribu orang yang digiring ke garis depan sekarang dengan maksud untuk melemahkan semangat tempur pasukan raja.

Begitulah Co-ong lantas memerintahkan perwiranya tampil ke muka, dengan suara keras perwira itu berteriak, "Wahai, dengarlah para prajurit pasukan raja! Anggota keluarga kalian telah ditahan di sini, barang siapa menyerahkan diri akan mendapat kenaikan pangkat dan diberi hadiah, tapi kalau membangkang, raja baru telah memberi perintah agar membunuh segenap anggota keluarganya!"

Biasanya bangsa Cidan itu memang kejam dan suka membunuh, sekali mereka mengatakan "akan dibunuh semua", maka hal itu bukan cuma main gertak saja.

Keruan pihak pasukan raja menjadi panik, sementara itu banyak di antara prajurit itu mengenal anak-istri atau ayah-ibu dalam tawanan musuh, segera terdengar suara ramai orang memanggil anggota keluarga masing-masing.

Dalam pada itu genderang pasukan pemberontak tiba-tiba berbunyi, lalu muncul 2.000 orang algojo dengan kapak dan golok terhunus. Ketika suara genderang berhenti serentak, seketika 2.000 batang kapak dan golok terangkat dan mengincar kepala tawanan anggota keluarga prajurit raja.

"Barang siapa menyerah kepada raja baru akan mendapat hadiah, kalau tidak takluk, segenap anggota keluarga mereka akan dibunuh!" terdengar perwira tadi berseru pula. Ketika tangannya memberi tanda, kembali genderang berbunyi menderang.

Para perwira dan prajurit pasukan raja tahu bila tangan perwira musuh itu memberi tanda lagi, seketika suara genderang akan berhenti dan menyusul ke-2.000 batang kapak dan golok mengilap itu akan membacok ke bawah, dan itu berarti jiwa akan segera melayang.

Biasanya pasukan pribadi raja itu sangat setia kepada junjungannya, kalau Hong-thay-siok dan Co-ong memancing mereka dengan pangkat dan hadiah terang takkan mempan. Tapi kini mereka menyaksikan sanak keluarga sendiri berada di bawah ancaman senjata, mau tak mau hati mereka terguncang dan sangat khawatir.

Dalam pada itu suara genderang masih terus berderang-derang, hati prajurit pribadi raja juga ikut berdebar-debar. Sekonyong-konyong dari pihak pasukan raja ada yang berteriak, "Ibu! O, ibu, jangan membunuh ibuku!"

Segera tertampak seorang prajurit raja membuang tombaknya terus berlari ke arah seorang nenek di barisan musuh. Tapi baru belasan langkah ia berlari, tiba-tiba dari pasukan raja menyambar keluar sebatang anak panah sehingga tepat menembus punggung prajurit itu.

Seketika prajurit itu belum mati, dengan nekat ia masih terus lagi ke depan.

Maka ramailah seketika suara teriakan "Ibu! Ayah! Anak!" yang kacau-balau, serentak ada beberapa ratus orang dari pihak pasukan raja berlari ke depan. Perwira kepercayaan Hungki telah berusaha merintangi dengan membunuh beberapa prajurit yang goyah pendiriannya itu, namun sudah kasip, keadaan tak bisa dikuasai lagi.

Dan sesudah beberapa orang melarikan diri ke pihak musuh, menyusul lantas beberapa ribu orang, suasana medan perang menjadi kacau-balau tak keruan, dari 150 ribu prajurit raja, dalam waktu singkat ada 30-90 ribu orang yang lari ke pihak musuh.

Yalu Hungki menghela napas, ia tahu tak bisa mengatasi lagi suasana itu. Pada kesempatan prajurit-prajurit yang melarikan diri tadi sibuk bertemu dengan anggota keluarga mereka dan keadaan masih kacau hingga pasukan pemberontak sementara terisolasi jauh di sana, segera Hungki memberi perintah agar sisa pasukannya mengundurkan diri ke Pegunungan Cong-

hong-san di sebelah barat laut.

Segera komandan pasukan memberikan perintah secara diam-diam dan teratur, sisa pasukan yang masih 50-60 ribu orang lantas putar balik ke arah barat. Ketika Co-ong mengetahui dan memerintahkan pasukannya mengejar, tapi karena medan perang terhalang oleh tawanan dan prajurit yang menyerah, untuk mengejar menjadi agak sulit.

Setelah Yalu Hungki membawa sisa pasukannya sampai di kaki Gunung Cong-hong-san, sementara itu hari sudah magrib. Para prajurit sangat lelah dan lapar pula, namun dengan tertib mereka mendaki lereng gunung, di situlah mereka berhenti dan mendirikan kemah, dari atas menghadap ke bawah menjadi lebih kuat menghadapi musuh.

Baru saja kemah selesai dibangun dan belum lagi sempat menanak nasi, pasukan di bawah pimpinan Co-ong sudah mengejar tiba sampai di kaki gunung dan mulai menyerang ke atas.

Namun pasukan raja segera menghamburkan panah dan menggelindingkan batu dari atas hingga pasukan pemberontak dapat digempur mundur. Tapi lantaran itu juga kekuatan pasukan raja kehilangan tiga ribu orang lagi. Sedangkan Co-ong juga lantas menarik mundur pasukannya ketika melihat keadaan tidak menguntungkan untuk menyerang, ia perintahkan pasukannya berkemah di bawah gunung.

Malamnya, Yalu Hungki berdiri di puncak gunung untuk mengintai suasana di perkemahan musuh, ia lihat pelita tak terhitung banyaknya bagaikan bintang di langit berkelip-kelip di kemah pasukan pemberontak itu, jauh di sana tiga barisan obor tampak lagi mendatang pula, terang itu adalah bala bantuan pasukan pemberontak yang sedang mendekat.

Selagi Yalu Hungki merasa sedih, tiba-tiba Pak-ih Ku-bit-su (sebutan pangkat, setingkat kepala staf) datang melapor, "Kira-kira lima belas ribu bawahan hamba telah melarikan diri dan menyerah pada musuh. Untuk ketidakbecusan pimpinan hamba, mohon Baginda sudi memberi hukuman."

"Itu tak dapat menyalahkanmu, boleh kau pergi mengaso saja," ujar Hungki.

Ketika kemudian ia berpaling, tiba-tiba dilihatnya Siau Hong sedang termenung-menung sambil memandang jauh ke sana. Segera katanya," Adikku yang baik, besok pagi-pagi pasukan pemberontak tentu akan menyerang secara besar-besaran, pasti kita akan tertawan seluruhnya. Sebagai kepala negara, aku tidak boleh dinista oleh kaum pemberontak, aku akan membunuh diri untuk mempertanggungjawabkan kewajibanku kepada negara. Adikku, boleh kau bawa adik perempuanmu menerjang pergi saja pada malam ini. Ilmu silatmu sangat tinggi, tidak mungkin musuh mampu merintangimu."

Ia merandek sejenak, lalu menyambung dengan rasa pilu, "Sebenarnya aku bermaksud menganugerahkan segala kejayaan padamu, siapa duga kakakmu ini sukar menyelamatkan diri sendiri, sebaliknya malah membikin susah padamu."

"Toako," sahut Siau Hong, "seorang laki-laki sejati harus berani menghadapi segala kesukaran. Meski hari ini peperangan tak menguntungkan kita, tapi aku dapat melindungimu untuk terjang keluar dari kepungan musuh, kita dapat menghimpun kekuatan lagi untuk membalas dendam ini."

Tapi Yalu Hungki menggeleng kepala, katanya, "Sedangkan ibu dan istriku sendiri tak mampu kubela, masakah aku masih ada harganya berbicara sebagai lelaki sejati segala? Dalam pandangan bangsa Cidan, yang menang adalah pahlawan, yang kalah adalah pemberontak. Aku sudah kalah habis-habisan, masakan mampu berbangkit kembali? Sudahlah, kalian boleh pergi saja malam ini."

Siau Hong tahu apa yang dinyatakan kakak angkatnya itu adalah setulus hati, maka ia pun berkata dengan ikhlas, "Jika begitu, aku akan mendampingi Toako untuk menempur musuh dengan mati-matian. Kita adalah saudara angkat, apakah engkau raja atau rakyat jelata, pendek kata engkau adalah saudara angkatku. Kakak angkatnya ada kesukaran, adik angkatnya sudah seharusnya sehidup semati di sampingnya, mana boleh kuselamatkan diri sendiri?"

Air mata Yalu Hungki bercucuran saking terharu, ia pegang tangan Siau Hong erat-erat, katanya, "O, adikku yang baik, terima kasih!"

Sepulangnya di kemah sendiri, Siau Hong melihat A Ci lagi rebah di sudut tenda sana. Gadis itu belum lagi tidur, maka segera ia menyapa, "Cihu, engkau akan marah padaku atau tidak?"

Siau Hong menjadi heran. "Sebab apa marah padamu?" tanyanya.

"Ya, gara-garaku ingin pesiar ke padang rumput hingga sekarang membikin susah padamu," ujar A Ci. "Cihu, kita akan mati di sini, betul tidak?"

Di bawah sinar obor yang terpasang di luar kemah itu, wajah A Ci yang pucat tampak bersemu merah hingga makin menunjukkan lemah mungil dara itu. Alangkah kasih sayang Siau Hong terhadap gadis cilik itu, sahutnya segera, "Mana bisa aku marah padamu? Coba kalau aku tidak memukulmu hingga terluka parah, tidak nanti kita sampai di tempat ini."

"Tapi kalau lebih dulu aku tidak menyerangmu dengan jarum berbisa, tentu engkau takkan memukul aku," ujar A Ci dengan tersenyum.

Perlahan Siau Hong belai rambut si nona. Karena habis sakit keras, rambut A Ci telah rontok sebagian besar hingga kini rambutnya sangat jarang dan kurang subur. Siau Hong menghela napas, katanya, "Kau masih sangat muda, tapi sudah mesti ikut aku menderita dan merana seperti ini."

"Cihu, sebenarnya aku tidak paham mengapa Cici sedemikian suka padamu," tiba-tiba A Ci berkata, "dan sekarang aku pun tahulah."

Siau Hong tidak menjawab, tapi dalam hati membatin, "Tak terhingga cinta cicimu padaku, apa yang kau pahami tentang ini? Padahal aku sendiri pun tidak tahu mengapa A Cu bisa mencintai laki-laki kasar seperti aku, dari mana kau bisa tahu malah?"

Tiba-tiba A Ci menoleh, ia pandang Siau Hong dengan air muka yang aneh, katanya, "Cihu, apakah engkau sudah dapat menebak, sebab apakah tempo hari aku menyerangmu dengan jarum berbisa? Sebenarnya aku tidak bermaksud membunuhmu, aku hanya ingin membikin engkau tak bisa berkutik, dengan begitu aku akan dapat merawat dirimu."

"Apa sih faedahnya perbuatanmu itu?" tanya Siau Hong.

"Jika engkau tak bisa berkutik sama sekali, itu berarti takkan dapat meninggalkan aku untuk selamanya," sahut A Ci dengan tersenyum. "Kalau tidak, dalam hatimu tentu kau pandang remeh diriku, setiap saat dapat kau tinggalkan aku dan tidak gubris lagi padaku."

Diam-diam Siau Hong terkesiap oleh ucapan gadis cilik itu, ia tahu ucapan demikian bukanlah asal omong saja. Ia pikir toh besok akan mati semua, biarlah aku sekarang menghiburnya saja dengan kata-kata manis. Maka ia lantas berkata, "Ah, kau benar-benar masih berpikir secara kanak-kanak. Jika kau memang senang ikut padaku, boleh ikut saja, masakah aku tega menolak permintaanmu?"

Tiba-tiba mata A Ci bercahaya terang, serunya dengan girang, "Betulkah ucapanmu ini, Cihu? Sesudah aku sehat kembali, aku akan tetap ikut di sampingmu dan takkan pulang ke tempat Suhu untuk selamanya dan jangan kau tinggalkan aku lho!"

Siau Hong tahu anak dara ini tidak sedikit berbuat kesalahan pada orang-orang Sing-siok-pay, tentu juga dia tidak berani pulang ke sana. Sedangkan besok pagi kalau pasukan pemberontak menyerang secara besar-besaran, pasti mereka akan gugur bersama, harapan untuk menyelamatkan diri adalah sangat tipis. Maka dengan tertawa ia menjawab, "Eh, bukankah kau ini toasuci ahli waris Sing-siok-pay, kalau tidak pulang ke sana, naga tanpa kepala, lantas bagaimana jadinya nanti dengan orang Sing-siok-pay?"

"Biarkan saja mereka kacau-balau, peduli apa dengan aku?" sahut A Ci dengan mengikik tawa.

Siau Hong tidak bicara lagi, ia tarik selimut untuk menutupi badan A Ci, lalu ia sendiri pun menggelar selimut dan tidur di sudut kemah yang lain.

Besoknya pagi-pagi sekali Siau Hong sudah mendusin, ia pesan Kapten Sili menyediakan kuda dan menjaga A Ci, ia sendiri lantas berkemas dan makan dua kati daging kambing serta minum tiga kati arak. Lalu ia menuju ke tepi gunung.

Tatkala itu langit masih gelap. Selang tidak lama, ufuk timur mulai remang-remang, sang surya mulai memancarkan sinarnya. Segera terdengarlah suara trompet pasukan musuh berbunyi, menyusul ramailah suara gemerencing benturan senjata dan pakaian perang.

Segera pasukan raja memencarkan diri dalam beberapa barisan untuk menjaga tempat-tempat penting yang mungkin diserbu musuh. Siau Hong memandang ke bawah, ia lihat sebelah timur, utara, dan selatan penuh pasukan musuh, begitu banyak jumlah pasukan musuh hingga bagian belakang pasukan musuh itu tak kelihatan karena tertutup kabut.

Tidak lama sinar sang surya yang gilang-gemilang membuyarkan kabut yang menutupi angkasa padang rumput hingga tertampaklah di atas bumi penuh prajurit dan kuda belaka.

Sekonyong-konyong genderang menderu-deru hebat, dua barisan berpanji kuning dari pasukan musuh tampak tampil ke muka, menyusul Hong-thay-siok dan Co-ong melarikan kuda mereka ke kaki gunung, mereka tunjuk sini dan tuding ke atas gunung, tampaknya sangat gembira.

Waktu itu Yalu Hungki berdiri di puncak gunung dikelilingi pengawalnya, ia gemas melihat sikap musuh yang congkak itu, segera ia ambil panah dan busur dari seorang pengawalnya, ia pentang busur dan memanah ke arah Co-ong. Tapi jarak antara mereka sangat jauh, maka hanya mencapai setengah jalan panah itu lantas jatuh ke tanah.

"Hahahaha, Hungki!" dengan bergelak tertawa Co-ong berseru, "Kau telah mengangkangi takhta ayahku selama ini, sudah sepantasnya sekarang kau menyerahkan kembali takhtamu. Maka lekas menyerah saja dan ayah akan mengampuni kematianmu serta akan mengangkatmu menjadi Hong-thay-tit (keponakan mahkota), mau tidak?"

Dengan ucapan yang terakhir itu, ia hendak menyindir bahwa Yalu Hungki telah pura-pura mengangkat ayahnya sebagai Hong-thay-siok, padahal ia mengangkangi takhta kerajaan yang sebenarnya menjadi haknya Yalu Conggoan sendiri.

Hungki menjadi gusar, dampratnya, "Pengkhianat yang tak kenal malu, masih berani kau putar lidah!"

Dalam pada itu Pek-ih Ku-bit-su telah memimpin tiga ribu anak buahnya yang setia dan segera menerjang ke bawah gunung dengan gagah perwira dan dengan tekad lebih baik gugur sebagai ratna daripada hidup sebagai budak.

Untuk sesaat pasukan musuh menjadi kacau juga karena diterjang secara mendadak. Tapi sekali Co-ong memberi tanda, segera belasan ribu prajuritnya mengepung dari samping, maka terdengarlah jerit teriak yang gegap gempita, pertarungan sengit terjadi, tiga ribu prajurit raja itu makin lama makin berkurang, hingga akhirnya gugur seluruhnya.

Pek-ih Ku-bit-su tidak mau menyerah mentah-mentah, sekuat tenaga ia membunuh beberapa orang pula, habis itu ia pun membunuh diri dengan menggorok leher sendiri.

Dengan jelas Hungki dan Siau Hong dapat menyaksikan kejadian itu, tapi mereka tak mampu menolong, mereka hanya mencucurkan air mata terharu atas jiwa kesatria dan gagah berani Ku-bit-su itu.

Kemudian Co-ong maju ke tepi gunung lagi, teriaknya dengan tertawa, "Nah, Hungki, kau mau takluk apa tidak? Hanya sedikit kekuatanmu ini apa yang kau bisa perbuat? Mereka adalah kesatria gagah dari negeri Liau kita, buat apa mesti suruh mereka ikut berkorban jiwa bagimu? Seorang laki-laki sejati harus berani berterus terang dan ambil keputusan tegas, mau menyerah lekas menyerah, mau bertempur ayolah bertempur! Dan kalau insaf ajalmu sudah sampai, lebih baik kau bunuh diri saja daripada jatuh korban lebih banyak lagi."

Yalu Hungki menghela napas panjang, air matanya berlinang-linang, ia angkat goloknya dan berseru, "Ya, tanah air yang indah permai ini biarlah kuserahkan kepada kalian ayah dan anak. Kita masih terhitung saudara sendiri, kalau kita saling membunuh, buat apa mesti banyak mengorbankan jiwa para prajurit Cidan yang gagah berani."

Habis berkata, segera goloknya menggorok lehernya sendiri.

Tapi dengan cepat Siau Hong bertindak, dengan kim-na-jiu-hoat ia rebut senjata Yalu Hungki itu, katanya, "Toako, seorang kesatria sejati harus berani gugur di medan bakti, mana boleh mati dengan membunuh diri?"

"Ah, adikku yang baik," sahut Hungki dengan menghela napas, "para perwira dan prajurit sudah lama mengabdi pada diriku dengan setia. Jika aku pasti akan mati, aku tidak tega minta mereka ikut korbankan jiwa bagiku."

Dalam pada itu Co-ong sedang berteriak lagi, "Hungki, kau tidak mau membunuh diri, ingin tunggu kapan lagi?"

Sambil berkata ia pun tuding-tuding dengan cambuknya, garangnya bukan main.

Melihat Co-ong makin maju ke bawah puncak gunung, tiba-tiba Siau Hong mendapat akal, bisiknya kepada Yalu Hungki, "Toako, harap pura-pura ajak bicara padanya, diam-diam aku akan menyusur untuk mendekati dia serta memanahnya.

Hungki cukup kenal betapa lihainya Siau Hong, ia jadi girang, sahutnya, "Bagus! Jika lebih dulu dapat mampuskan dia, mati pun aku rela."

Maka ia lantas berseru keras-keras, "Co-ong, tidaklah jelek aku melayani kalian ayah dan anak, jika ayahmu ingin menjadi raja, soalnya dapat melalui musyawarah, buat apa membunuh rakyat jelata dan prajurit bangsa sendiri hingga kekuatan negara Liau kita patah sehebat ini?"

Sedang Hungki bicara, di sebelah sana diam-diam Siau Hong telah membawa busur dan panah, ia lalu menuntun seekor kuda bagus ke bawah gunung, ia bersembunyi dengan mengempitkan kaki di bawah perut kuda, dan binatang itu terus dilarikan ke depan.

Melihat seekor kuda tanpa penumpang berlari turun dari atas gunung, prajurit musuh mengira kuda itu adalah kuda pelarian yang putus tali kendalinya, hal ini memang sangat umum di medan perang, maka tiada seorang pun yang menaruh curiga. Tapi sesudah dekat, segera ada yang mengetahui bahwa di bawah perut kuda itu menggemblok seorang, segera gemparlah mereka dan berteriak-teriak.

Cepat Siau Hong mendepak kudanya dengan ujung kaki hingga kuda itu membedal secepat terbang ke arah Co-ong, ketika jaraknya tinggal ratusan meter jauhnya, segera ia tarik busur di bawah perut kuda dan terus memanah.

Tapi pengawal Co-ong juga cukup cerdik, segera ada seorang di antaranya mengangkat perisai untuk mengaling-alingi tuannya hingga panah itu tidak mengenai sasarannya. Tapi beruntun-runtun Siau Hong memanah lagi, panah berikutnya telah merobohkan pengawal dan panah yang lain menyambar ke dada Co-ong.

Untung Co-ong cukup sigap dan awas, cepat ia ayun cambuknya untuk menyampuk panah itu. Kepandaian menyampuk panah dengan cambuk adalah kepandaian andalan Co-ong, tapi ia tidak tahu bahwa pemanah itu bertenaga raksasa, meski cambuknya kena sampuk anak panah itu, tapi hanya arahnya saja sedikit terbentur menceng, namun bahu kirinya tetap kena panah.

"Aduh!" Co-ong menjerit, saking kesakitan sampai ia mendekam di atas kuda.

Tanpa ayal lagi panah Siau Hong yang lain menyambar pula, sekali ini jaraknya sudah makin dekat sehingga panah itu menembus punggung Co-ong. Sekali kena panah, tubuh Co-ong lantas terperosot jatuh di bawah kuda.

Dengan hasil itu, Siau Hong pikir mengapa tidak sekalian bereskan jiwa Hong-thay-siok pula? Tapi selagi ia hendak melarikan kuda ke arah sana, sementara itu prajurit musuh telah menghujani panah hingga dalam sekejap saja kudanya berubah menjadi seekor "landak".

Cepat Siau Hong menjatuhkan diri ke tanah dan menggelinding, dengan gesit dan cepat ia menyelinap dari bawah perut kuda yang satu ke bawah kuda yang lain. Karena khawatir mengenai teman sendiri, prajurit musuh tidak berani sembarangan memanah pula.

Sebagai gantinya segera mereka menusuk dengan tombak, tapi Siau Hong selalu menyelinap ke sini dan menyusup ke sana, ia main terobos di bawah perut kuda hingga pasukan musuh menjadi kacau-balau dan desak-mendesak sendiri serta saling injak, tapi Siau Hong tetap sukar dicari.

Namun sekali Siau Hong sudah terkurung di tengah berpuluh ribu prajurit musuh, untuk meloloskan diri juga tidak gampang lagi. Dari jauh ia dapat melihat Hong-thay-siok sedang memberi perintah di atas kudanya, segera Siau Hong menyusup kian-kemari untuk mendekati raja pemberontak itu. Ia pikir kalau dapat menawan raja pemberontak itu, barulah ia sendiri bisa selamat.

Waktu itu Siau Hong benar-benar seperti seekor binatang buas yang terkurung di dalam perangkap pemburu, ia seruduk sini dan terjang sana, sesudah agak dekat, mendadak ia menggerung sekali, mendadak ia melompat, bagaikan burung ia melayang lewat melalui kepala berpuluh prajurit di depan Hong-thay-siok untuk kemudian turun di depan kuda raja pemberontak itu.

Keruan Hong-thay-siok terkejut, ia angkat cambuknya terus menyabet ke muka Siau Hong. Tapi mendadak Siau Hong mengegos dan melompat maju, ia cemplak ke atas pelana kuda Hong-thay-siok, sekali cengkeram, ia pegang punggung raja pemberontak itu dan diangkat ke atas setinggi-tingginya sambil berteriak, "Kau ingin hidup atau mati? Lekas perintahkan pasukanmu meletakkan senjata!"

Saking ketakutan sampai apa yang dikatakan Siau Hong tak didengar oleh Hong-thay-siok. Saat itu suara teriakan pasukan pemberontak juga riuh rendah memekakkan telinga, beribu anak panah sudah siap mengincar Siau Hong, cuma melihat pucuk pimpinan mereka tertawan di tangan musuh, maka tiada yang berani sembarangan memanah.

Segera Siau Hong mengerahkan tenaga dalam dan berteriak lantang, "Hong-thay-siok memberi perintah agar segenap prajurit meletakkan senjata untuk menunggu titah raja. Baginda raja akan mengampuni kalian, siapa pun takkan diusut kesalahannya dalam pemberontakan ini!"

Lwekang Siau Hong tidak kepalang kuatnya, maka suaranya dapat tersiar hingga jauh dan terdengar cukup jelas oleh prajurit pemberontak itu. Sebenarnya perbawa pasukan pemberontak itu lagi berkobar-kobar, semuanya ingin menangkap Yalu Hungki untuk menerima hadiah dan kenaikan pangkat, siapa duga mendadak Co-ong terpanah mati, kini Hong-thay-siok ditawan musuh pula. Keruan pasukan pemberontak itu seketika mirip balon gembos, semangat mereka patah segera, suasana menjadi panik pula.

Siau Hong sendiri sudah pernah mengalami pemberontakan anggota Kay-pang, ia cukup paham akan perasaan orang waktu itu. Maka ia lantas mengumumkan pengampunan serta takkan mengusut apa yang sudah terjadi untuk menarik simpati pasukan pemberontak itu.

Sebab kekuatan musuh saat itu masih sangat besar, sedangkan pihak Yalu Hungki hanya tinggal belasan ribu orang saja, kalau musuh menggempur lagi pasti Yalu Hungki akan tertawan juga, maka tanpa permisi dulu segera Siau Hong mendahului mengeluarkan janji itu untuk menenteramkan perasaan pasukan pemberontak.

Dan benar juga, demi mendengar pengumuman itu, seketika suasana hiruk-pikuk tadi lantas tenang kembali, hanya saja di antara pasukan pemberontak itu masih banyak yang ragu, mereka saling pandang dengan bingung.

Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Siau Hong, ia khawatir jangan-jangan keadaan akan berubah buruk, segera ia berteriak pula, "Baginda ada perintah bahwa tiada seorang pun akan dituntut, semuanya diampuni, setiap orang tetap pada pangkatnya semula. Nah, lekas kalian meletakkan senjata!"

Maka terdengarlah suara gemerantang dan gemerencing, di sana-sini ramai para prajurit

pemberontak itu melemparkan senjata mereka ke tanah. Hanya tinggal sebagian saja yang masih ragu.

Siau Hong lantas angkat tubuh Hong-thay-siok dan dibawanya ke atas gunung. Pasukan pemberontak itu tiada seorang pun berani merintangi, di mana kudanya sampai, di depan lantas tersiah sebuah jalan lalu baginya.

Setiba di lamping gunung, dari pasukan raja lantas memapak datang dua barisan untuk menyambut kedatangan Siau Hong dengan hasil yang gilang-gemilang itu. Di atas gunung segera musik berbunyi, suasana gembira ria di antara pasukan raja.

"Hong-thay-siok, lekas memberi perintah agar bawahanmu meletakkan senjata dan jiwamu akan diampuni," kata Siau Hong kemudian.

"Kau jamin jiwaku?" tanya Hong-thay-siok.

Siau Hong pikir keadaan masih genting, terutama sebagian pasukan pemberontak masih bersangsi, tindakan paling penting sekarang ialah menenteramkan hati prajurit musuh, maka jawabnya lantas, "Sekarang adalah kesempatanmu untuk menebus dosa, asal baginda tahu biang keladinya adalah putramu, beliau tentu akan mengampuni jiwamu!"

Hal itu memang benar, apa yang terjadi itu adalah gara-gara Co-ong yang berambisi besar untuk menjadi raja, yang diharapkan Hong-thay-siok sekarang adalah bebas dari kematian, maka ia lantas menjawab, "Baiklah, aku akan menurut pada permintaanmu!"

Segera Siau Hong menegakkan tubuh Hong-thay-siok di atas kuda dan berteriak keras-keras, "Wahai para prajurit, dengarkanlah perintah Hong-thay-siok!"

Dan Hong-thay-siok lantas berseru, "Pemberontakan yang dijangkitkan Co-ong ini sudah gagal, Co-ong telah menerima ganjarannya yang setimpal, kini Hongsiang (baginda raja) telah mengampuni dosa kalian, maka lekas kalian meletakkan senjata dan mohon ampun kepada Hongsiang!"

Karena Hong-thay-siok sudah tertawan, seperti ular tanpa kepala, betapa pun bandelnya kaum pemberontak juga tak berani membangkang lagi, segera terdengar suara gemerantang senjata, segenap pasukan pemberontak itu sekarang benar-benar takluk semua.

Habis itu baru Siau Hong menggusur Hong-thay-siok ke atas gunung.

Yalu Hungki merasa seperti di alam mimpi saja. Ia girang tidak kepalang, terus saja ia menubruk Siau Hong dan memeluknya erat-erat, katanya dengan mencucurkan air mata terharu, "O, saudaraku, semuanya berkat bantuanmu!"

Dalam pada itu Hong-thay-siok telah berlutut dan memohon, "Hamba merasa berdosa, mohon Baginda suka memberi ampun!"

"Bagaimana pendapatmu, adikku?" tanya Hungki kepada Siau Hong dengan rasa senang.

"Jumlah pasukan pemberontak terlalu banyak, kita harus tenangkan dulu perasaan mereka, maka mohon Baginda suka mengampuni jiwa Hong-thay-siok," ujar Siau Hong.

"Bagus, apa pun akan kuturut permintaanmu," kata Hungki dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Pak-ih-tay-ong, "Segera mengumumkan titahku bahwa Siau Hong telah kuangkat menjadi Co-ong dengan kedudukan sebagai Lam-ih-tay-ong untuk memimpin segenap pasukan pemberontak yang menyerah itu dan segera berangkat pulang ke kota raja."

Keruan Siau Hong kaget mendengar perintah itu. Sebabnya ia membunuh Co-ong dan menawan Hong-thay-siok, tujuannya melulu ingin menyelamatkan jiwa sang giheng saja, sekali-kali tiada maksud ingin mendapat pangkat segala. Maka seketika ia menjadi bingung malah oleh pengangkatan Yalu Hungki itu.

"Kionghi! Kionghi!" demikian Pak-ih-tay-ong lantas mengaturkan selamat kepada Siau Hong. "Menurut tradisi kerajaan, gelar Co-ong itu tidak boleh diberikan kepada orang di luar keluarga raja. Maka lekaslah Siau-heng mengaturkan terima kasih kepada Hongsiang!"

"Toako," segera Siau Hong berkata kepada Hungki, "apa yang terjadi hari ini adalah berkat rahmat Tuhan, pasukan pemberontak memang harus menyerah padamu, aku cuma sedikit mengeluarkan tenaga yang tak berarti, mana dapat dianggap sebagai jasa besar segala. Apalagi aku pun tidak biasa dan juga tidak ingin menjadi pembesar, maka mohon Koko suka menarik kembali titahmu tadi."

Hungki terbahak-bahak, ia rangkul bahu Siau Hong dan berkata, "Gelar Co-ong dan kedudukan sebagai Lam-ih-tay-ong adalah gelar kebangsawanan tertinggi dalam negeri Liau kita, bila adik masih merasa tidak cukup, kakakmu selain menyerahkan takhta padamu, lebih dari itu tiada jalan lagi!"

Keruan Siau Hong terperanjat, ia pikir kakak angkatnya itu saking kegirangan hingga cara omongnya menjadi lupa daratan, jangan-jangan apa yang dikatakan itu dilakukan sungguh-sungguh, tentu keadaan akan tambah runyam. Maka terpaksa Siau Hong berlutut dan berkata, "Ya, hamba Siau Hong menerima titah Baginda itu, banyak terima kasih atas budi baik Baginda!"

Dengan tertawa Yalu Hungki lantas membangunkan Siau Hong.

Lalu Siau Hong berkata pula, "Namun hamba adalah seorang kasar yang tidak paham peraturan dan undang-undang kerajaan, kalau ada kesalahan, mohon Baginda suka memberi ampun."

"Tidak apa-apa," kata Yalu Hungki sambil tepuk-tepuk bahu saudara angkat itu. Lalu ia berpaling kepada seorang perwira setengah umur di sebelahnya dan berkata, "Yalu Muko, aku mengangkatmu sebagai Lam-ih Ku-bit-su untuk membantu Siau Hong!"

Girang Yalu Muko bagaikan orang putus lotre, cepat ia berlutut untuk mengaturkan terima kasih. Lalu ia memberi sembah pula kepada Siau Hong.

"Muko," kata Hungki pula, "dengan perintah Tay-ong, boleh kau pimpin bekas pasukan pemberontak itu pulang dulu ke Siangkhia! Sekarang kami akan pergi menyambangi ibu suri!"

Segera musik di atas gunung bergema, rombongan Yalu Hungki lantas menuju ke bawah gunung. Dalam pada itu panglima pasukan pemberontak sudah mengembalikan ibu suri dan permaisuri kepada kedudukan yang agung serta ditempatkan di tengah perkemahan besar. Waktu Hungki masuk kemah itu, pertemuan kembali antara ibu dan anak serta istri sehabis lolos dari lubang jarum sungguh mengharukan, kemudian mereka pun memberi pujian tinggi atas jasa Siau Hong.

Lalu Yalu Muko membawa Siau Hong untuk diperkenalkan kepada anak buah dan pembesar di bawah Lam-ih.

Tadi Siau Hong telah mempertunjukkan ketangkasannya di tengah pertempuran, betapa gagahnya telah disaksikan sendiri oleh semua orang. Apalagi Co-ong yang dulu itu wataknya kasar dan jahat, maka sekarang mereka terima dengan baik Siau Hong sebagai pimpinan mereka.

"Hongsiang sudah mengampuni dosa pemberontakan kalian, maka selanjutnya kalian harus memperbaiki kesalahan itu, jangan lagi sekali-kali timbul pikiran menyeleweng," demikian Siau Hong memberi pengarahan di hadapan anak buahnya yang baru itu.

Segera seorang perwira berjenggot putih tampil ke muka dan melapor, "Hong-thay-siok dan Co-ong sudah menahan anggota keluarga kami sebagai sandera, hingga hamba terpaksa ikut memberontak, untuk itu mohon kebijaksanaan Tay-ong untuk menyampaikan kepada Baginda tentang duduk perkara yang sebenarnya."

"Jika begitu, maka apa yang sudah lalu tidak perlu diungkit lagi," ujar Siau Hong. Lalu ia berpaling kepada Yalu Muko, "Pasukan boleh mengaso dulu di sini, sesudah makan segera berangkat kembali ke kota raja."

Kemudian perwira dan bintara di bawah perintah Lam-ih satu per satu maju memberi sembah kepada Siau Hong. Meski Siau Hong tidak pernah menjadi pembesar, tapi ia sudah lama menjabat Pangcu Kay-pang, dalam hal memimpin dan wibawa sudah tentu cukup cakap.

Soalnya mungkin ada peraturan pasukan Cidan yang masih belum dipahami, tapi berkat bantuan Yalu Muko, semuanya dapat teratur dengan beres.

Tidak lama Siau Hong membawa pasukannya berangkat, susul-menyusul ibu suri dan permaisuri telah mengirim utusan membawakan harta benda dan jubah sulam untuk Siau Hong. Dan baru saja Siau Hong menerima hadiah itu, datanglah Kapten Sili mengawal A Ci.

Gadis cilik itu sudah berpakaian sutra sulam yang mentereng dan menunggang kuda bagus, katanya semua itu adalah hadiah ibu suri.

Siau Hong menjadi geli melihat tubuh A Ci yang kecil mungil itu seakan-akan terbungkus di dalam jubah sutra sulam yang besar dan gondrong itu hingga mukanya hampir tertutup oleh leher bajunya.

A Ci sendiri tidak ikut menyaksikan caranya Siau Hong membunuh Co-ong dan menawan Hong-thay-siok, ia hanya mendengar cerita ulangan dari Kapten Sili dan bawahannya.

Pada umumnya cerita orang itu suka ditambah-tambahi, suka dibumbu-bumbui, maka ketangkasan Siau Hong dalam cerita itu menjadi jauh lebih lihai seolah-olah malaikat dewata turun ke bumi. Maka begitu bertemu dengan Siau Hong segera A Ci menggerundel, "Cihu, begitu besar jasamu, mengapa sebelumnya sama sekali tidak kau beri tahukan padaku?"

"Apa yang telah kulakukan itu hanya secara kebetulan, dari mana aku bisa tahu sebelumnya dan memberi tahu padamu lebih dulu? Haha, datang-datang kau lantas bicara seperti anak kecil!" demikian Siau Hong menyahut dengan tertawa.

"Cihu, kemari sini," seru A Ci.

Segera Siau Hong mendekati anak dara itu, ia lihat muka A Ci yang pucat itu bersemu kemerah-merahan, badannya terbungkus oleh jubah sulaman hingga mirip boneka saja, lucu dan menyenangkan, maka Siau Hong terbahak-bahak geli.

"Aku bicara benar-benar padamu, mengapa engkau tertawa, apa sih yang menggelikan?" omel A Ci.

"Karena dandananmu ini mirip boneka, maka aku merasa geli," sahut Siau Hong.

"Engkau selalu anggap aku sebagai anak kecil, sekarang kau tertawakan aku lagi," kata A Ci dengan mulut menjengkit.

"Ah, masa aku sengaja mengolok-olokmu," sahut Siau Hong dengan tertawa. "A Ci, sebenarnya aku menyangka hari ini kita pasti akan mati semua, siapa tahu malah tertimpa rezeki nyasar. Padahal peduli apa Lam-ih-tay-ong atau Co-ong segala, asal kita tidak sampai mati, apa lagi yang kita harapkan?"

"Cihu, apa engkau sangat takut mati?" tiba-tiba A Ci bertanya.

Siau Hong melengak, sahutnya kemudian dengan mengangguk, "Ya, dalam keadaan bahaya, terkadang aku pun takut mati."

"Hah, kukira engkau adalah seorang gagah perkasa, seorang yang tak gentar mati," kata A Ci dengan tertawa.

"Jika engkau takut mati, tatkala beratus ribu tentara memberontak, mengapa engkau berani menyerbu ke tengah-tengah mereka?"

"Itu namanya sebelum ajal pantang menyerah, kalau aku tidak menerjang musuh, pastilah aku akan mati. Hal mana juga tak bisa dikatakan gagah berani, tidak lebih cuma pergulatan terakhir saja," kata Siau Hong. "Misalnya kita mengepung seekor beruang atau harimau, sebelum dia tertangkap, pasti juga dia akan menyerang kian-kemari dan mengganas dengan mati-matian."

"He, engkau misalkan dirimu sebagai binatang," ujar A Ci dengan tertawa.

Tatkala itu mereka dikelilingi oleh barisan tentara yang panjang dengan panji yang berkibar memenuhi padang rumput. A Ci merasa senang sekali, katanya, "Tempo hari aku telah mengakali Toasuheng sehingga dapat merebut hak ahli waris Sing-siok-pay, kupikir di antara anggota keluarga Sing-siok-pay yang berjumlah beberapa ratus orang itu, kecuali Suhu seorang, akulah pemimpin tertinggi, maka aku merasa sangat senang waktu itu. Tapi kini kalau dibandingkan dengan engkau yang memimpin beratus ribu prajurit ini, terang jauh sekali bedanya. Cihu, kabarnya Kay-pang telah memecat dirimu sebagai pangcu mereka. Hm, cuma suatu organisasi pengemis begitu saja berlagak, boleh kau pimpin tentaramu ini ke sana dan bunuh saja mereka semua."

"Ai, omongan anak kecil lagi!" ujar Siau Hong sambil menggeleng kepala. "Aku adalah orang Cidan, kalau mereka tidak sudi padaku sebagai pangcu, hal ini adalah tepat. Orang Kay-pang adalah bekas bawahanku dan kawan-kawanku yang baik, mana boleh kubunuh mereka?"

"Tapi mereka telah menuduhmu secara semena-mena dan memecatmu dari pang mereka, dengan sendirinya mereka harus dibunuh, masakah engkau masih anggap mereka sebagai kawanmu?"

Siau Hong sukar menjawab pertanyaan itu, ia hanya geleng-geleng kepala. Ia menjadi muram bila teringat pertarungan di Cip-hian-ceng, di mana ia telah putuskan segala hubungan baik dan persahabatan dengan para kesatria.

"Eh, Cihu, jika mereka mendengar bahwa engkau telah menjadi Lam-ih-tay-ong di negeri Liau, tiba-tiba mereka merasa menyesal dan ingin mengundangmu untuk menjadi pangcu mereka lagi, apakah engkau akan terima undangan mereka?" tiba-tiba A Ci bertanya lagi.

"Mana bisa jadi?" sahut Siau Hong dengan tersenyum. "Para kesatria Kerajaan Song anggap orang Cidan adalah manusia jahanam yang kejam, semakin besar pangkatku di negeri Liau sini, semakin benci pula mereka padaku."

"Huh, masakah engkau ingin disukai mereka? Mereka benci padamu, kita juga benci pada mereka," kata A Ci.

Ketika Siau Hong memandang ke arah selatan, ia melihat padang rumput yang luas itu di mana langit bertemu dengan bumi adalah lereng gunung yang berderet-deret, ia pikir di balik pegunungan itulah wilayah Tionggoan. Meski ia adalah orang Cidan, tapi sejak kecil dibesarkan di daerah Tionggoan, dalam hati kecilnya boleh dikatakan lebih cinta kepada tanah Song itu daripada menyukai negeri Liau yang baru dikenalnya ini. Bila dia diperbolehkan menjadi anggota Kay-pang yang paling rendah sekalipun, mungkin akan lebih senang dan tenteram daripada menjadi Lam-ih-tay-ong segala di negeri Liau.

"Cihu," kata A Ci pula, "kubilang Hongsiang memang pintar, beliau mengangkatmu sebagai Lam-ih-tay-ong, dengan demikian bila kelak negeri Liau berperang dengan negeri lain, tentu engkau harus memimpin tentara untuk melawan musuh dan dengan sendirinya akan selalu menang. Asal engkau menyerbu ke tengah pasukan musuh dan membunuh panglimanya, maka tanpa perang lagi musuh akan menyerah, bukankah dengan mudah saja peperangan lantas berakhir?"

"Kembali omongan anak kecil lagi," sahut Siau Hong dengan tertawa. "Masakah kau anggap segala peperangan serupa dengan pemberontakan Hong-thay-siok dan Co-ong? Mereka adalah bangsa Liau dan biasanya tunduk pada perintah baginda raja, jika biang keladi mereka tertawan, dengan sendirinya mereka lantas takluk. Tapi peperangan di antara dua negara akan lain soalnya. Biarpun panglimanya kau bunuh, mereka masih mempunyai wakil panglima yang lain, wakil panglima mereka mati, masih ada perwira lain lagi, belum terhitung prajurit dan bintara musuh yang entah berapa jumlahnya, hanya seorang diri aku menyerbu ke tengah-tengah mereka, apa yang dapat kuperbuat?"

"O, kiranya begitu," kata A Ci. "Eh, Cihu, kau bilang waktu menyerbu musuh dan membunuh Co-ong itu tak dapat dibilang gagah berani, habis selama hidupmu dalam hal apa kau anggap paling gagah berani? Coba, dapatkah kau ceritakan padaku?"

Selamanya Siau Hong tidak suka bicara tentang keperkasaan sendiri, biarpun habis membasmi kaum penjahat atau baru menang bertanding juga tidak pernah dipamerkan kepada orang lain, padahal entah sudah berapa banyak kejadian luar biasa yang telah dialaminya.

Ia merasa tidak akan habis-habis kalau mesti bercerita tentang kegagahannya dahulu. Maka jawabnya, "Setiap kali aku bertempur dengan orang, selalu aku adalah pihak yang terpaksa, maka tak dapat dikatakan tentang gagah berani segala."

"Tapi kutahu bahwa selama hidupmu pertarungan sengit di Cip-hian-ceng itulah pertempuranmu yang paling gagah berani," ucap A Ci.

Kembali Siau Hong melengak. "Dari mana kau tahu?" tanyanya.

"Waktu di Siau-keng-oh tempo hari, sesudah kau pergi, ayah dan ibu beserta beberapa bawahannya telah bicara tentang ilmu silatmu dan mereka sama kagum tak terhingga, mereka mengatakan engkau telah menempur para kesatria Tionggoan di Cip-hian-ceng, soalnya cuma membela keselamatan seorang gadis jelita. Gadis jelita itu tentulah ciciku, bukan?" tanya A Ci. "Tatkala mana ayah dan ibu belum tahu bahwa A Cu adalah putri kandung mereka, maka mereka menganggapmu sangat kejam kepada ayah bunda, sangat keji terhadap guru dan ayah-ibu angkatmu, tapi terhadap wanita engkau justru mabuk, mereka bilang engkau adalah manusia yang tidak tahu budi dan lupa kebaikan, sebaliknya kejam dan suka akan kundai licin, engkau dianggap orang jahat yang tidak kenal perikemanusiaan," bicara sampai di sini, tertawalah gadis itu dengan terkikik-kikik.

"Lupa budi dan tidak tahu kebaikan, kejam dan suka kundai licin? Ai, tentu saja para kesatria benci padaku sampai ke tulang sumsum," demikian Siau Hong bergumam sendiri.

Selang beberapa hari kemudian, sampailah pasukan besar itu di kota raja. Sebelumnya para pembesar dan pasukan penjaga kota serta rakyat jelata sudah mendapat kabar tentang datangnya Siau Hong, maka berbondong-bondong mereka memapak jauh di luar kota.

Di mana panji pengenal Siau Hong tiba, di situ rakyat jelata lantas berlutut memberi sembah dengan pujian yang tak habis-habis. Maklum, sekaligus ia telah dapat mengamankan pemberontakan, ini berarti telah menyelamatkan jiwa para prajurit beserta anggota keluarganya yang ditawan musuh, sudah tentu rasa terima kasih mereka tak terhingga.

Ketika Siau Hong menjalankan kudanya perlahan mengelilingi kota, sepanjang jalan rakyat bersorak-sorai memberikan pujian secara luar biasa.

Diam-diam Siau Hong terharu oleh suara pujian itu, apalagi air mata rakyat jelata itu tampak berlinang-linang, suatu tanda rasa terima kasih mereka itu memang timbul benar-benar dari lubuk hati yang murni. Pikirnya, "Seorang yang berkedudukan tinggi dan memegang kendali kenegaraan, setiap gerak-gerik dan tindak tanduknya akan menyangkut nasib beratus-ratus ribu, bahkan berjuta-juta rakyatnya. Padahal sebelum aku menyerbu musuh untuk membunuh Co-ong, aku hanya terdorong oleh keinginan membunuh musuh gihengku saja, sama sekali tak tersangka olehku bahwa dengan tindakanku itu tanpa sengaja telah menyelamatkan beratus ribu jiwa manusia."

Begitulah dengan mendapat sambutan hangat dari penduduk kota, akhirnya rombongan Siau Hong sampai di depan istana Lam-ih-tay-ong.

Meski Siau Hong adalah bekas pangcu, tapi pangcu dari kaum pengemis, hidupnya selalu melarat, tempat tinggalnya sembarang tempat, di mana pun dapat dibuat tidur, baik di emperan, maupun di kolong jembatan, semuanya pernah dilakukan Siau Hong. Tapi kini ia terkesima menyaksikan sebuah gedung yang megah.

Waktu ia dipersilakan masuk oleh Yalu Muko, ia lebih terpesona lagi oleh segala perabotan di dalam istana itu. Sesudah ia periksa seperlunya keadaan dan isi istana itu, lalu ia ambil tempat duduk di atas singgasananya dan menerima sembah perkenalan dari penggawa istana.

Kemudian para kepala kelompok suku juga datang memberi hormat, banyak sekali nama suku bangsa di bawah kekuasaan Kerajaan Liau, seketika Siau Hong juga tidak ingat nama-nama kelompok suku sebanyak itu.

Habis itu para perwira dari pasukan pribadi ibu suri dan permaisuri, para pengawal berbagai istana juga beruntun-runtun datang menghadap.

Akhirnya para utusan berbagai negeri yang berkedudukan di kota raja ketika mengetahui Siau Hong telah diangkat menjadi Lam-ih-tay-ong yang baru, maka beramai-ramai perwakilan dari 59 negara yang berada di bawah pengaruh negeri Liau, seperti negeri Korea, Nuchen, Se He, Tartar, dan lain-lain, semuanya datang untuk berkenalan dengan raja muda yang baru dan berpengaruh ini. Banyak sekali di antaranya membawa oleh-oleh dan mempersembahkan kado dengan maksud mengikat persahabatan.

Begitulah setiap hari Siau Hong sibuk menerima tamu dan menemui pembesar bawahannya. Apa yang dilihatnya adalah emas intan yang gemerlapan dan apa yang didengarnya adalah puji sanjung yang menjilat pantat. Sebagai seorang yang berjiwa jujur lurus, sudah tentu Siau Hong tidak biasa dengan penghidupan seperti itu, lama-kelamaan ia merasa jemu juga.

Kira-kira sebulan kemudian, Yalu Hungki mengundangnya untuk bertemu di istana dan berkata kepada Siau Hong, "Saudaraku yang baik, kedudukanmu adalah Lam-ih-tay-ong, tempat tugasmu adalah Lamkhia, di sana harus kau cari kesempatan untuk melakukan invasi ke Tionggoan. Meski aku merasa berat untuk berpisah denganmu, tapi demi tugas dan kejayaan bangsa, terpaksa silakan lekas berangkat ke selatan dengan pasukanmu."

Siau Hong terperanjat mendengar baginda raja menitahkan dia memimpin pasukan untuk menjajah ke selatan. Cepat sahutnya, "Soal invasi ke selatan bukanlah urusan kecil, harap Yang Mulia suka meninjau kembali keputusan ini. Hamba cuma seorang persilatan yang kasar, dalam hal siasat militer sama sekali tidak paham."

"Negeri kita baru mengalami pemberontakan, kita memang harus memelihara kekuatan dahulu," ujar Hungki dengan tertawa. "Apalagi pemerintah Song sekarang telah mengangkat Suma Kong sebagai perdana menteri, politiknya stabil, rakyatnya patuh, kesempatan untuk menyerbu ke selatan belum ada. Maka sesudah berada di Lamkhia, hendaklah senantiasa kau ingat tujuan kita akan mencaplok kerajaan di selatan itu, kita harus mencari saat yang baik dan tepat, jika ada sesuatu kerusuhan di dalam tubuh pemerintahan Song, segera kita mengerahkan pasukan ke selatan. Bila bagian dalam mereka bersatu, maka hasil kita akan sangat kecil sekali bila menggempur mereka."

"Betul, memang harus begitu," sahut Siau Hong.

"Akan tetapi dari manakah kita dapat mengetahui pemerintahan Song dalam keadaan kuat dan rakyatnya patuh dan bersatu?" kata Hungki pula.

"Untuk itu mohon Baginda suka memberi petunjuk," sahut Siau Hong.

"Hahaha, caranya sejak dulu kala hingga sekarang adalah sama saja," seru Hungki dengan terbahak-bahak. "Resepnya adalah gunakanlah sebanyak mungkin harta kekayaan untuk membeli mata-mata musuh. Orang selatan paling tamak pada harta, manusia rendah tak terhitung banyaknya di sana. Asal mendapat harta, mereka tidak segan-segan menjual negara. Maka boleh kau suruh Ku-bit-su jangan sayang membuang harta mestika sebanyak mungkin, tentu usahamu akan berhasil."

Siau Hong mengiakan pesan itu, lalu mohon diri dengan perasaan kesal. Sebagai seorang laki-laki sejati, biasanya sahabat karibnya adalah golongan kesatria yang gagah dan jujur, biarpun sudah banyak pengalamannya menghadapi tipu muslihat keji di kalangan Kangouw, tapi paling-paling juga cuma perbuatan membunuh orang atau membakar rumah secara blakblakan tanpa banyak lika-liku, selamanya belum pernah ia gunakan harta benda untuk memperalat orang lain. Apalagi, walaupun ia adalah orang Cidan, tapi sejak kecil dibesarkan di daerah selatan, sekarang dia ditugaskan oleh Yalu Hungki untuk mencaplok Kerajaan Song, hal ini sebenarnya sangat bertentangan dengan jiwanya.

Ia pikir, "Giheng mengangkatku sebagai Lam-ih-tay-ong, hal ini adalah maksud baiknya, kalau sekarang juga kuletakkan jabatan, betapa pun akan mengecewakan maksud baiknya dan akan mengganggu persaudaraan kami. Biarlah nanti sesudah aku di Lamkhia setelah kujalankan tugasku selama setahun dua tahun, lalu aku akan mohon mengundurkan diri. Dan kalau beliau tidak mengizinkan, diam-diam aku akan tinggal pergi, masakah beliau dapat menahan aku?"

Begitulah ia lantas membawa bawahannya bersama A Ci berangkat ke Lamkhia.

*****

Yang dimaksud Lamkhia pada Kerajaan Liau waktu itu adalah Kota Pakhia (Peking) sekarang. Zaman itu Kerajaan Song menyebutnya sebagai Yankhia, Yutoh, atau Yuciu.

Kota itu sebenarnya termasuk wilayah kekuasaan Tiongkok. Ketika Ciok Keng-tong dari Dinasti Cin mengangkat dirinya sendiri menjadi raja, ia telah minta bala bantuan Kerajaan Liau. Untuk balas jasanya, Ciok Keng-tong menyerahkan wilayah kekuasaan Yan-hun-cap-lak-ciu (16 kota Yan-hun) kepada Kerajaan Liau. Dan di antara ke-16 kota itu termasuk pula Yuciu atau Yankhia.

Ke-16 kota yang dijual oleh Ciok Keng-tong itu adalah tempat-tempat penting dan strategis, selama Dinasti Cin, Ciu, dan Song, pemerintah Tiongkok tidak mampu merebut kembali kota-kota wilayah kekuasaannya itu, bahkan setiap kali terjadi perang, selalu pasukan Liau mendapat keuntungan dari kota-kota penting yang menjadi pangkalan mereka itu dan selalu pasukan Song dikalahkan habis-habisan.

Setiba di dalam kota, Siau Hong lihat jalan di dalam kota sangat lebar dan resik, orang yang berlalu-lalang adalah rakyat kerajaan selatan (Song), yang terdengar juga bahasa Tionghoa. Ia merasa seakan-akan telah pulang ke tempat tinggalnya dahulu. Malahan keramaian dan kemakmuran kota juga lebih baik daripada Siangkhia.

Siau Hong dan A Ci merasa kerasan di kota yang ramai ini. Dengan gembira, esok paginya mereka lantas keluar pesiar dengan dandanan yang sederhana dan tanpa pengawal.

Luas Kota Yankhia itu antara 36 li (kira-kira sama dengan 18 km) persegi. Seluruhnya ada delapan pintu gerbang kota. Letak istana Lam-ih-tay-ong itu di barat laut di dalam benteng kota.

Sesudah Siau Hong dan A Ci pesiar hampir setengah hari, mereka melihat di mana-mana toko dan pasar ramai dikunjungi orang, di sana-sini juga banyak terdapat kelenteng.

Sebagai Lam-ih-tay-ong, maka wilayah kekuasaan Siau Hong bukan cuma Yan-hun-cap-lak-ciu saja, bahkan Tay-tong-hu dan sekitarnya di sebelah barat, Tay-ting-hu di sebelah selatan juga termasuk wilayah kekuasaannya. Dan sebagai raja muda, terpaksa ia mesti tinggal di dalam istana.

Sesudah melakukan tugasnya beberapa hari, ia lantas merasa pusing kepala, untung Lam-ih Ku-bit-su, kepala stafnya Siau Hong, yaitu Yalu Muko, cukup cekatan dan pandai mengatur, maka ia percayakan semua pekerjaan dinas kepadanya.

Menjadi pembesar setinggi Siau Hong itu juga ada enaknya. Di dalam istana tersedia barang berharga yang tak terhitung banyaknya, empedu beruang dan tulang harimau boleh dimakan bagai makan nasi saja oleh A Ci. Dengan perawatan demikian, akhirnya kesehatan A Ci menjadi pulih seperti sediakala, pada permulaan musim dingin ia sudah dapat bergerak dengan bebas.

Dasar gadis itu memang lincah dan suka bergerak, maka begitu sudah sehat kembali, segera A Ci pesiar beberapa kali ke seluruh pelosok kota, kemudian dengan dikawal oleh Kapten Sili, mereka mulai pesiar keluar kota yang berdekatan.

Suatu hari, hujan salju baru saja reda, dengan memakai baju kulit berbulu halus, A Ci datang ke Istana Soan-kau-tian, tempat tinggal Siau Hong, ia berkata, "Cihu, aku merasa bosan tinggal di kota, ayolah kita pergi berburu saja!"

Sekian lamanya tinggal dalam istana, memang Siau Hong juga merasa kesal, maka ajakan A Ci itu diterima dengan senang hati. Tapi ia tidak suka berburu secara besar-besaran, maka hanya beberapa pengawal dibawanya untuk melayani A Ci. Pula khawatir akan mengejutkan penduduk setempat, maka mereka berdandan sebagai prajurit biasa, membawa busur dan panah, dengan berkuda mereka ke luar kota dan menuju ke utara.

Kira-kira belasan li jauhnya di luar kota, mereka hanya memperoleh beberapa ekor kelinci saja, binatang lain yang lebih besar tidak kelihatan.

"Marilah kita coba-coba ke bagian selatan," kata Siau Hong. Segera ia membawa rombongannya berputar ke barat terus ke selatan.

Kira-kira belasan li lagi, tiba-tiba seekor kijang berlari keluar dari semak-semak. Cepat A Ci mengambil busur dan panah, tapi ketika ia hendak menarik busurnya, ternyata tenaganya tak cukup. Nyata meski kesehatannya sudah pulih, tapi tenaga belum kuat.

Segera Siau Hong mendekatinya, ia gunakan tangan kiri memegang tali gendewa dari belakang A Ci, lalu tangan kanan mementang gendewa, sekali bidik, anak panah itu meluncur dengan cepat, kontan kijang itu menggeletak terkena panah. Maka bersoraklah para pengiringnya.

Ketika Siau Hong lepas tangan, ia pandang A Ci dengan tersenyum. Tapi ia menjadi terkejut demi tampak air mata anak dara itu berlinang-linang. Tanyanya dengan heran, "He, kenapa menangis? Kau tidak senang aku membantumu memanah kijang tadi?"

"Aku... aku sudah menjadi orang cacat, sampai gendewa saja tidak... tidak mampu menariknya lagi," sahut A Ci dengan air mata bercucuran.

"Ai, kenapa kau tidak sabaran begitu, asal kau merawat diri dengan baik, tentu tenagamu akan pulih kembali," hibur Siau Hong. "Dan kelak bila betul tak bisa pulih, pasti akan kuajarkan cara melatih lwekang padamu, pasti tenagamu akan bertambah kuat."

Maka tertawalah A Ci, katanya, "Engkau harus pegang janji dengan baik, engkau harus mengajarkan lwekang padaku."

"Baik, pasti akan kuajarkan," sahut Siau Hong.

Tengah bicara, tiba-tiba terdengar suara ramai derapan kuda lari dari arah selatan, ada suatu pasukan sedang mendatang dari tanah salju sana. Meski pasukan itu tidak memasang panji pengenal, tapi segera Siau Hong dapat melihat pasukan itu adalah tentara Liau.

Terdengar prajurit dan perwira pasukan itu bersorak-sorai dan menyanyi-nyanyi dengan riang gembira, di belakang mereka tampak banyak tawanan pula, agaknya mereka habis pulang dari menang perang.

"Kita tidak perang dengan siapa pun, dari mana pasukan ini bisa menang perang?" pikir Siau Hong.

Ia lihat pasukan itu menuju ke timur, yaitu arah Kota Lamkhia. Segera ia katakan pada pengiringnya, "Coba pergi tanya mereka, pasukan dari manakah dan untuk apa datang ke sini?"

Pengiring itu mengiakan dan menambahkan pula, "Mungkin kawan kita sendiri yang habis pulang dari 'panen'."

Lalu ia larikan kudanya menghampiri pasukan itu.

Ketika komandan pasukan itu mengetahui Lam-ih-tay-ong berada di situ, serentak mereka bersorak gembira, mereka turun dari kuda dan dengan langkah cepat menghampiri Siau Hong untuk memberi hormat, berbareng mereka lantas bersorak, "Hidup Tay-ong!"

Siau Hong hanya angkat tangannya sebagai hormat. Ia lihat pasukan itu berjumlah antara 800 orang, di atas kuda mereka penuh termuat macam-macam barang, ada bahan pangan, ada bahan sandang, dan benda-benda berharga lainnya. Tawanan yang mereka ringkus juga ada 800 jiwa banyaknya, sebagian besar adalah wanita muda, tapi ada juga sedikit anak dan orang tua. Dari dandanan mereka dapat diketahui adalah orang Song, banyak di antaranya sedang menangis sedih, keadaan sangat mengenaskan.

"Hari ini adalah giliran pasukan hamba yang dinas 'tah-cau-kok' (panen), berkat Tay-ong yang mulia, hasil kami lumayan juga," demikian komandan pasukan itu memberi lapor. Lalu ia berpaling ke belakang dan berteriak, "Ayo, kawan-kawan! Lekas persembahkan wanita muda yang paling cantik dan harta benda yang paling berharga, kita persilakan Tay-ong memilih sendiri!"

Segera anak buahnya mengiakan, dalam sekejap saja lebih 20 orang wanita muda yang cantik digusur ke depan Siau Hong, banyak pula emas intan dan batu permata yang berharga terserak di atas sehelai selimut, semuanya itu menantikan pilihan Siau Hong.

Umumnya orang Cidan paling menghormat pada kesatria gagah, bila Siau Hong sudi menerima wanita tawanan dan harta rampasan mereka dari hasil "panen" itu, maka hal mana akan merupakan suatu kehormatan besar bagi mereka.

Dahulu di luar Gan-bun-koan, Siau Hong juga pernah menyaksikan pasukan tentara Song merampok dan menawan orang-orang Cidan. Sekarang ia melihat pasukan Cidan yang menawan orang Song. Keadaan tawanan yang mengenaskan itu sama saja tiada bedanya.

Sesudah sekian lamanya tinggal di negeri Liau, pada garis besarnya Siau Hong sudah paham peraturan militer negeri itu. Pasukan tentara Liau itu tidak mendapat gaji dan catu ransum, segala keperluan perwira dan prajuritnya, seluruhnya diperoleh dengan merampas dari pihak musuh. Maka setiap hari ada pasukan yang dikirim untuk merampas sandang pangan dari rakyat negeri tetangga seperti Korea, Song, Se He, Nuchen, dan lain-lain, perbuatan mereka ini diberi nama "tah-cau-kok" atau panen. Padahal tiada bedanya dengan garong.

Sebab itulah tentara Song juga membalas dengan melakukan "panen" pada orang Cidan dengan cara yang sama. Maka penghidupan penduduk di sekitar perbatasan itu menjadi sangat melarat dan tidak aman, setiap saat selalu hidup dalam ketakutan.

Sebenarnya Siau Hong merasa cara demikian itu terlalu kejam dan zalim, cuma ia sendiri tidak berniat menjadi pembesar untuk selamanya, setelah sekadar memenuhi keinginan Yalu Hungki, lalu ia akan meletakkan jabatan dan tinggal pergi. Sebab itulah ia tidak memberi suatu saran apa-apa tentang politik dan ketatanegaraan.

Kini dengan mata kepala sendiri menyaksikan keadaan mengenaskan dari para tawanan itu, mau tak mau ia merasa tak tega. Segera ia tanya komandan pasukan itu, "Dari mana kalian memperoleh hasil panen ini?"

Dengan penuh hormat komandan itu melapor, "Harap Tay-ong maklum, hasil 'panen' hamba ini diperoleh dari perbatasan di luar Takciu. Sejak Tay-ong kemari, hamba tidak berani mencari ransum lagi di sekitar sini."

Dari jawaban itu Siau Hong menarik kesimpulan dahulu mereka tentu banyak melakukan penggarongan milik orang Song di sekitar Lamkhia. Segera ia tanya kepada seorang gadis yang dihadapkan kepadanya itu dalam bahasa Han, "Kau berasal dari mana?"

Gadis itu berlutut, sahutnya dengan menangis, "Hamba adalah orang Thio-koh-jun, mohon belas kasihan Tay-ong, sudilah mengampuni hamba dan bebaskan hamba untuk berkumpul kembali dengan orang tua."

Waktu Siau Hong memandang ke arah tawanan-tawanan itu, ia melihat beberapa ratus orang itu berlutut semua, hanya ada seorang pemuda yang tetap berdiri dengan bersitegang.

Berdiri di tengah beratus tawanan yang berlutut itu, dengan sendirinya pemuda itu kelihatan sangat menonjol. Siau Hong lihat usia pemuda itu antara 16-17 tahun, raut mukanya lonjong, matanya bersinar, sedikit pun tidak gentar padanya. Segera ia tanya, "Hai, pemuda, kau berasal dari mana?"

"Ada suatu urusan rahasia penting ingin kubicarakan padamu secara berhadapan," sahut pemuda itu.

"Baiklah, majulah ke sini," kata Siau Hong.

Pemuda itu angkat kedua tangannya ke atas, ternyata tangannya terikat dengan kencang. Terdengar ia berseru, "Silakan meninggalkan pengiringmu ke sana, urusan penting ini tidak boleh didengar orang lain."

Siau Hong merasa heran, ia pikir seorang pemuda keroco begitu masakah mempunyai urusan rahasia penting segala? Tapi dia berasal dari selatan, boleh jadi membawa rahasia militer Kerajaan Song. Sebagai seorang kesatria, Siau Hong benci kepada manusia rendah yang suka menjual negara dan bangsa, maka sebenarnya ia tidak mau gubris pada pemuda itu. Tapi mengingat hal yang akan diberitahukan mungkin di luar dugaannya, ia pikir tiada halangannya untuk mendengarkannya.

Segera ia larikan kuda meninggalkan pengiringnya kira-kira puluhan meter jauhnya, lalu ia panggil pemuda itu, "Nah, majulah ke sini!"

Jilid ke 44

Pemuda itu lantas ikut kesana, ia angkat kedua tangannya yang terikat itu, katanya, "Harap memotong tali pengikat tanganku ini, hendak kukeluarkan sesuatu barang untukmu."

Tanpa pikir Siau Hong melolos goloknya "sret" sekali ayun, ia tebas tali pengikat kedua tangan pemuda itu. Begitu cepat dan jitu tabasan Siau Hong hingga membuat pemuda itu berjingkat kaget ketika mengetahui golok itu sudah menyambar lewat tangannya, tali pengikatnya sudah putus dan tangan tidak terluka apa-apa.

"Nah barang apa?" tanya Siau Hong kemudian dengan tersenyum sambil menyarungkan kembali goloknya.

Segera pemuda itu merogoh saku, ia ambil sesuatu benda, digenggamnya, lalu mendekati Siau Hong sambil menyodorkan tangannya dan berkata. "Ini, boleh kau periksa sendiri!"

Selagi Siau Hong hendak ulur tangannya menerima barang orang, sekilas dilihatnya benda dalam genggaman pemuda itu seperti dapat bergerak, ia jadi curiga dan urung menerima, katanya, "Coba buka tanganmu?"

Pemuda itu sadar tipu muslihatnya telah gagal, mendadak air mukanya berubah hebat, sekonyong-konyong makhluk pada tangannya itu dilemparkan ke muka Siau Hong.

Tapi sekali sampuk dengan cambuk kuda, Siau Hong hantam makhluk itu ke tanah. Waktu diamati, kiranya seekor ular hitam mulus. Ia kerut kening dan tidak menaruh perhatian atas ular itu, ia pikir pemuda itu benar-benar kurang ajar, masa mempermainkanku dengan ular.

Di luar dugaan, begitu ular itu ke tanah, mendadak ular melompat ke atas lagi dan hendak memagut kaki Siau Hong. Sama sekali Siau Hong tidak menyangka ular sekecil itu bisa melejit ke atas, ia terperanjat dan cepat mengangkat kakinya ke samping hingga pagutan ular itu kena di kaki depan kuda tunggangannya.

Sekali tergigit ular, seketika kuda itu lemas lunglai ke tanah. Cepat Siau Hong melompat turun, ia lihat kudanya sudah tak bisa berkutik lagi, hanya kelojotan sekali, lantas binasa.

Bahkan si pemuda lantas memburu maju lagi, ia sambar ular kecil itu terus dilemparkan pula ke arah Siau Hong.

Melihat ular itu begitu lihai, Siau Hong tidak berani gegabah lagi, ia kerahkan tenaga pada cambuknya terus menyabat "plok", ular itu terpental hingga berpuluh meter jauhnya, tapi belum mati ular itu merayap, lalu menghilang entah kemana."

Biarpun Siau Hong sudah banyak pengalaman tidak urung mengkirik membayangkan kejadian tadi. Hanya sekali gigit saja ular kecil itu dapat membinasakan seekor kuda besar dalam waktu singkat sekali, maka betapa jahat bisanya dapat dibayangkan. Apalagi pemuda itu berani pegang ular itu sesukanya, suatu bukti pemuda itu telah menguasai racun ular yang jahat itu.

Sebagai bekas Pangcu Kai-pang. Siau Hong sudah sering menyaksikan anggota Kai-pang main ular, maka ia tidak heran pada ular berbisa. Tapi ular hitam kecil ini sangat ganas, sedangkan untuk bisa menguasai racun ular dengan baik, anggota Kai-pang umumnya mesti berlatih hingga bertahun-tahun lamanya, dan biasanya ahli ular itu terdiri dari pengemis-pengemis yang sudah tua. Tapi pemuda ini baru belasan tahun umurnya, namun sudah memiliki kepandaian selihai ini, sungguh dapat dikatakan luar biasa. Coba tadi kalau dirinya lengah sedikit saja, mungkin jiwanya sekarang sudah melayang.

Dalam pada itu para perwira dan prajurit Cidan beramai-ramai telah maju ketika melihat kuda Siau-tai-ong mereka roboh dan binasa. Namun segera Siau Hong memberi tanda pada mereka dan berseru, "Kalian jangan mendekat ke sini."

Serentak pasukan Cidan itu berhenti di tempat mereka. Waktu Siau Hong periksa kudanya ia lihat badan kuda telah berubah menjadi hitam dalam waktu singkat. Keruan ia lebih terkesiap, segera ia berkata dengan manggut-manggut. "Ehm, bagus, bagus! Siapa namamu? Mengapa kau serang aku sekeji ini?"

Tapi pemuda itu bungkam dalam segala bahasa, bahkan ia melirik hina pada Siau Hong.

"Coba mengakulah dan jiwamu mungkin dapat kuampuni, "kata Siau Hong pula.

"Aku gagal membalas sakit hati orang tua, apa mau dikata lagi?" tiba-tiba pemuda itu menyahut dengan ketus.

"Hah, kau ingin membalas sakit hati orang tuamu?" Siau Hong menegas dengan heran. "Siapakah orang tuamu? Apakah aku yang membunuhnya?"

Pemuda itu melangkah maju, tiba-tiba ia tuding hidung Siau Hong dan memaki dengan penuh rasa dendam, "Kiau Hong! Kamu telah membunuh pamanku, membunuh ayah bundaku, sungguh aku... aku ingin mengunyah dagingmu, ingin membeset kulitmu dan mencencang badanmu hingga hancur lebur!"

Mendengar pemuda itu memanggil namanya yang lama, yaitu "Kiau Hong" pula menuduh dirinya membunuh paman dan ayah bundanya, Siau Hong pikir besar kemungkinan adalah permusuhan yang terjadi di Tionggoan dahulu. Maka tanyanya segera, "Siapakah pamanmu dan siapa ayahmu?"

"Pendek kata aku pun tidak ingin hidup lagi, masakah aku takut padamu? Kaum lelaki keluarga Yu dari Cip-hian ceng bukanlah manusia yang takut mati!" demikian teriak pemuda itu.

Mendengar pemuda itu menyebut "Keluarga Yu dari Cip-hian-ceng", barulah Siau Hong tahu duduk perkaranya.

"O, kiranya kamu keturunan Yu-si-siang-hiong dari Cip-hian-ceng?" katanya. "Jika demikian, ayahmu adalah Yu Ki, Yu-jiya, bukan?"

Ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula. "Dahulu aku pernah dikeroyok para ksatria Tionggoan di tempat tinggalmu, karena terpaksa aku melawan keroyokan mereka. Dan ayah serta pamanmu itu tewas dengan membunuh diri. Ya memang, membunuh diri atau di bunuh orang memang sama saja. Tatkala itu akutelah merampas senjata andalan ayah dan pamanmu hingga mereka terpaksa membunuh diri, katanya untuk memenuhi sumpah perguruan mereka, adik cilik, siapakah namamu?"

"Namaku Yu Goan-ci, "sahut pemuda itu bersitegang, "Aku tidak perlu kaubunuh diriku, aku sanggup meniru semangat jantan ayah dan pamanku."

Habis berkata, mendadak ia mencabut keluar sebilah belati terus menikam dada sendiri.

Namun cambuk Siau Hong lebih cepat menyambarnya daripada belatinya itu, sekali tergubat, segera belati pemuda itu dibetot terlepas dari cekalan.

Yu Goan-ci menjadi gusar, teriaknya, "Aku ingin membunuh diri juga tidak boleh? Kamu anjing Cidan terkutuk, sungguh kamu amat kejam!"

Dalam pada itu A Ci telah larikan kudanya mendekati Siau Hong. Segera ia membentak, "Kau setan cilik ini mengapa sembarang memaki orang? Kau ingin mampus ya? Hehehe, jangan kau harap akan begitu gampang!"

Yu Goanci terkesima demi mendadak seorang nona cilik yang cantik molek berada di depannya, untuk sekian lama ia tidak sanggup bicara.

"Cihu, "segera A Ci berkata kepada Siau Hong, "Bocah ini teramat keji, ia hendak membunuhmu dengan ular berbisa, biarlah kita juga menggunakan cara yang sama menghukumnya agar dia tahu rasa."

Sebagai murid Sing-siok-pai, bicara tentang menyiksa orang ular atau belatung berbisa mungkin tiada golongan lain yang mampu mengungguli cara mereka.

Segera Siau Hong berkata kepada komandan pasukan tadi, "Orang Song yang lain tawan ini bolehkah diberikan kepadaku semua?"

Senang sekali komandan itu, sahutnya, "Asal Tai-ong sudi menerima, tentu saja hamba merasa mendapat kehormatan besar."

"Setiap prajurit yang telah menyerahkan tawanannya kepadaku, sepulangnya nanti akan mendapat hadiah sebagai ganti kerugian, "kata Siau Hong pula. "Dan sekarang bolehlah kalian berangkat pulang dulu ke kota."

Dengan girang prajurit itu mengiakan dan menyatakan terima kasih. Kata komandannya, "Binatang disini tidak banyak, apakah Tai-ong akan menggunakan babi-babi song ini sebagai sasaran panah yang hidup? Dahulu Co-ong juga suka permainan begini. Cuma sayang tawanan ini kebanyakan adalah kaum wanita, larinya tidak bisa cepat. Lain kali kami pasti akan mencari babi-babi song yang laki-laki dan tangkas-tangkas untuk keperluan Tai-ong."

Habis berkata, ia memberi hormat kepada Siau Hong, lalu membawa pergi pasukannya..

"Menggunakan babi-babi Song itu sebagai sasaran panah hidup, "kata-kata ini mendengung-dengung dalam telinga Siau Hong, seketika ia seakan-akan melihat kekejaman Co-ong yang telah menggunakan orang-orang Song itu sebagai sasaran anak panahnya, beratus orang Song itu disuruh lari serabutan, lalu satu per satu dipanah dari jauh seperti berburu binatang. Agaknya kekejaman demikian itu bukan cuma sekali duakali terjadi, tapi orang Cidan telah anggap biasa permainan begitu.

Ketika Siau Hong pandang para tawanan itu, ia lihat wajah mereka pucat lesi sebagai mayat, bahkan banyak diantaranya gemetar keras-keras. Rupanya ada diantara mereka yang paham bahasa Cidan, maka demi mendengar mereka akan digunakan sebagai sasaran panah, mereka menjadi takut.

Siau Hong menghela napas panjang, ia memandang jauh ke selatan sana, dimana gunung gemulung menjulang tinggi tertutup awan. Tiba-tiba terpikir olehnya, "Coba kalau tiada orang membongkar rahasia asal usulku, sampai hari ini pasti aku masih anggap diriku adalah rakyat Song, bicaraku sama seperti bahasa mereka, dan makan nasi serupa mereka, apa perbedaannya? Padahal kita semuanya adalah manusia, sama-sama manusia kenapa mesti ada perbedaan antara Cidan, Song, Nuchen, Korea dan apa segala? Kenapa kita tidak dapat hidup berdampingan, sebaliknya mesti saling cakar-cakaran, yang satu 'panen' ke wilayah kekuasaan yang lain, dan yang lain menggarong dan membunuh ke negeri orang lagi? Yang satu memaki yang lain sebagai anjing Cidan dan yang lain memaki sebagai babi Song? Ya, alangkah baiknya jika didunia tiada penindasan manusia atas manusia, tiada penjajahan bangsa atas bangsa, tiada pengisapan orang atas orang, jika semuanya itu tak ada, tentu dunia ini akan aman dan damai."

Begitulah seketika perasaannya bergolak, semangatnya membakar.

Dalam pada itu A Ci mempunyai kerjanya sendiri, ia terus mengamat-amati Yu Goan-ci sambil memikirkan cara bagaimana harus menyiksa pemuda itu. Pikirnya, "Tidak boleh sekali siksa mematikan dia, tapi harus kucari suatu akal yang baik dan menarik untuk mempermainkan dia sekedar pelipur lara hatiku daripada perburuan kijang yang membosankan ini. Eh, ya dapat kugunakan dia untuk menguji khasiat Pek-giok-giok-ting yang kumiliki ini. Dapat kutangkap beberapa macam ular dan belatung berbisa untuk menggigit tangannya dulu, bila nanti hawa berbisa sudah hampir menyerang jantungnya, lantas kupotong lengannya itu, lalu giliran lengannya yang lain, dengan cara begitu mungkin aku dapat mempermainkannya untuk beberapa hari lamanya."

Sementara itu setelah pasukan Cidan tadi pergi, lalu Siau Hong berkata kepada para tawanan itu, "Biarlah hari ini kubebaskan kalian. Nah lekas kalian pergi!"

Tapi para tawanan itu mengira bila mereka lari, lalu mereka akan di panah, maka mereka merasa ragu dan tiada yang mau bergerak.

Segera Siau Hong berkata pula, "Sesudah kalian pulang, paling baik kalian meninggalkan daerah perbatasan ini sejauhnya agar kalian tidak menjadi sasaran panenan dan tertangkap pula. Aku hanya dapat menolong kalian satu kali dan tidak mungkin dua kali."

Mendengar itu, barulah para tawanan itu percaya penuh, seketika gegap gempita sorak gembira mereka, beramai-ramai mereka menjura dan menghaturkan terimakasih kepada Siau Hong. Sungguh mereka tidak menduga bahwa jiwa mereka yang sudah terang akan melayang di negeri Liau itu bisa direnggut kembali dari cengkraman elmaut.

Pada umumnya kalau orang Song sudah menjadi hasil panen orang Cidan, kecuali orang dari keluarga mampu yang sanggup menebus dengan harta benda yang tinggi. Kalau tidak, pasti akan mati terkubur di tanah asing. Sedangkan para tawanan ini adalah rakyat jelata yang miskin, dari mana mereka mampu menebus jiwa mereka dengan harta benda? Keruan girang mereka tidak kepalang demi mendengar pengampunan Siau Hong itu.

Begitulah Siau Hong melihat para tawanan itu berduyun-duyun menuju ke selatan dengan senang. Lambat laun suasana kembali menjadi sunyi, para tawanan telah pergi semua. Tapi dilihatnya Yu Goan Ci tadi masih tetap berdiri tegak ditempatnya. Segera Siau Hong berkata padanya, "Hei, mengapa kamu tidak pergi? Apakah kamu tidak punya sangu untuk pulang ke Tionggoan?"

Sembari berkata tangannya lantas merogoh saku dengan maksud mengambil sedikit uang perak untuk pemuda itu.

Tak terduga sakunya tidak membawa apa-apa, tahu-tahu yang terogoh keluar adalah sebuah bungkusan kecil dari kertas minyak.

Siau Hong merasa pedih melihat bungkusan kertas itu. Didalam bungkusan itu adalah sejilid Ih-kin-keng edisi bahasa Hindu. Dahulu A Cu telah mencuri kitab pusaka itu dari Siau-lim-si dan diberikan padanya. Kini gadis itu sudah meninggal dan kitab itu masih disimpan olehnya, dengan sendirinya ia berduka teringat kepada kejadian lalu.

Katanya kemudian dengan menyesal, "Hari ini aku keluar untuk berburu, maka tidak membawa uang, jika kau perlu sangu, boleh ikut aku ke kota untuk ambil."

Tapi mata Yu Goan-ci mendelik dan membara, teriaknya dengan gusar, "Orang she Kiau, kalau mau bunuh lekas bunuh, mau cencang lekas cencang, masakah aku jeri, buat apa mesti mempermainkan aku dengan tipu muslihatmu yang keji? Biarpun orang she Yu ini mati melarat juga tidak sudi menerima uang sepeser pun darimu!"

Siau Hong pikir benar juga ucapan pemuda itu. Dirinya adalah musuh pembunuh orang tua pemuda itu, sudah tentu sakit hati sedalam lautan itu tak bisa diselesaikan begitu saja. Maka katanya lantas, "Aku takkan membunuhmu, jika kau ingin menuntut balas, setiap saat boleh kau cari padaku."

"Cihu, jangan kau lepaskan dia!" tiba-tiba A Ci menyela, "Bocah ini sangat keji, cara balas dendamnya juga tidak beres. Menggunakan ular dan menanam racun, segala perbuatan kotor dapat dilakukannya. Membabat rumput harus sampai ke akar-akarnya, jangan meninggalkan bencana di kemudian hari."

Tapi Siau Hong menggeleng kepala, sahutnya. "Dikalangan kangouw penuh rintangan, setiap langkah selalu ketemu bahaya, semuanya itu sudah pernah kualami. Dahulu tanpa sengaja telah ku paksa ayah dan pamannya membunuh diri, utang darah itu memang adalah tanggunganku, buat apa sekarang aku mesti membunuh lagi anak keturunan Yu-si-siang-hiong?"

Mendengar pertentangan antara mereka, yang satu bersedia melepaskan dia, si nona justru minat dirinya dibunuh saja. Diam-diam Yu Goan-cijuga ingin lekas angkat kaki agar tidak mati konyol. Tapi demi ingat bila dirinya lari, hal mana akan berarti mencemarkan nama baik orang tua. Maka sedapat mungkin ia tabahkan hati dan melirik kedua orang di hadapannya itu dengan sikap angkuh.

"A Ci, marilah kita pulang saja, hari ini tiada binatang yang dapat kita buru, "kata Siau Hong kemudian.

"Sebenarnya aku sudah mengatur rapi rencanaku, dan engkau justru sengaja melepaskan dia, sepulangnya di kota, aku bisa memain apa lagi?" demikian A Ci menggerundel. Tapi ia pun tidak berani membantah perintah Siau Hong, segera ia putar kudanya dan ikut pulang ke kota.

Kira-kira belasan meter jauhnya, tiba-tiba ia menoleh dan berkata kepada Yu Goan-ci, "He anak busuk, boleh kau latih diri 75 tahun lagi untuk kemudian boleh kau cari Cihuku untuk menuntut balas!"

Habis berkata, ia tersenyum dan pecut kudanya mencongklang ke depan dengan cepat.

Melihat rombongan Siau Hong menuju ke utara dan tidak putar balik lagi, barulah Yu Goan-ci percaya bahwa jiwannya takkan melayang. Pikirnya heran, "Mengapa bangsat itu tidak membunuh aku? Hm, hakikatnya dia memandang rendah padaku, ia merasa akan bikin kotor tangannya jika membunuh diriku. Dia... dia telah menjadi Tai-ong apa di negeri Liau untuk menuntut balas selanjutnya akan lebih sulit. Tapi akhirnya aku dapat mengetahui tempat tinggalnya, kelak pasti akan kucari dia lagi. He, si hitam dimana? Si hitam!"

Begitulah ia lantas mencari-cari disemak rumput sekitar situ, yang dicarinya, yaitu ular hitam kecil yang menghilang tadi.

Tengah ia cari ke sana dan ke sini, tiba-tiba dilihatnya di semak-semak rumput situ ada sebuah bungkusan kertas kecil. Itulah bungkusan milik Siau Hong yang dirogoh keluar lalu dimasukkan lagi ke dalam baju itu.

Kiranya tadi waktu Siau Hong masukkan kembali kitab itu kedalam bajunya, karena dalam keadaan setengah melamun, maka kitab Ih-kin-keng itu tidak tepat masuk ke dalam saku, tapi meleset keluar. Dan ketika ia mengeprak kudanya untuk berangkat, guncangan-guncangan telah menyebabkan kitab itu jatuh ke tanah tanpa disadari olehnya dan kini ditemukan oleh Yu Goan-ci.

Karena tidak kenal tulisan dalam kitab itu, Goan-ci pikir besar kemungkinan itulah tulisan Cidan. Kitab ini pasti berguna bagi musuhnya itu, aku bila tidak kembalikan padanya, tentu dia akan kelabakan mencarinya.

Teringat bahwa dengan memegang kitab itu akan bisa membuat musuh kelabakan, sedikit banyak dalam hati kecil pemuda itu timbul semacam rasa terhibur, rasa puas. Dan sudah tentu, sakit hati orang tua sedalam lautan itu tidak mungkin dihapuskan hanya oleh karena sedikit kepuasan itu, tapi apa jeleknya asal dapat membuat Kiau Hong mengalami suatu kesukaran, sekalipun cuma kesukaran kecil saja.

Begitulah ia lantas membungkus kembali kitab itu dengan kertas minyak, lalu disimpannya di saku dalam, kemudian ia berangkat ke selatan.

Sebenarnya sejak kecil Goan-ci sudah mendapat pelajaran ilmu silat dari ayahnya. Sayang wataknya tidak cocok dengan ilmu silat, badannya kurus lemah pula, tenaga kurang, maka paman dan ayahnya meski tergolong tokoh persilatan Tionggoan yang kenamaan, tapi dia sendiri sedikit sekali kemajuannya biarpun sudah belajar tiga tahun lamanya, sama sekali tidak sesuai sebagai anak murid jago silat terkemuka.

Ketika Goan-ci menginjak umur dua belas dan tetap tiada kemajuan, Yu Ki, ayahnya telah ganti haluan, ia berunding dengan saudaranya, Yu Ek, untuk menyekolahkan Goan-ci saja, suruh bocah itu belajar ilmu sastra saja daripada belajar ilmu silat tanpa kemajuan, dengan kepandaian kepalang tanggung itu bukan mustahil kelak akan mengakibatkan jiwanya melayang bila dijajal orang, bahkan nama baik Yu-siang-hiong juga akan ikut tercemar...

Sebab itulah, maka setelah berumur dua belas ke atas, Goan-ci tidak belajar silat lagi melainkan belajar ilmu sastra.

Tapi disuruh sekolah, kembali ia mogok ditengah jalan. Ia selalu mengemukakan pikiran yang tidak tidak, sering ia suka bertanya dan membantah.

Jika gurunya berkata, "Khonghucu bilang belajar sesuatu ilmu harus sering dipelajari dan lama-lama engkau tentu akan merasa tertarik."

Maka Goan-ci lantas mendebat, "Belum tentu benar, tergantung juga pada apa yang kita pelajari, misalnya ayah telah mengajarkan aku main silat, aku sudah sering mempelajarinya, tapi mengapa aku tidak tertarik sedikit pun?"

Sang guru menjadi gusar, katanya, "Yang dimaksdukan Khong-hucu adalah pelajaran kaum nabi dan tentang kehidupan manusia yang tenar, masakah kaumaksudkan urusan main silat segala."

"Ai, jadi pak guru bilang ayahku belajar tidak baik. Awas, nanti kukatakan pada ayah, "demikian sahut Goan-ci.

Begitulah akhirnya sang guru lantas angkat kaki saking tak tahan oleh sifat Yu Goan-ci yang bambungan itu. Berulang-ulang diberi ganti guru yang lain selalu dibikin ngacir oleh Goan-ci. Sering juga Yu Ki menghajar putranya itu, tapi dasar kepala batu, semakin dihajar dan digebuk, semakin bandel malah, hingga akhirnya Yu Ki kewalahan sendiri, karena tiada jalan lain, terpaksa ia tidak peduli lagi.

Sebab itulah, meski kini usia Goan-ci sudah 17 tahun dan putra seorang tokoh persilatan ternama, tapi ia tidak mempunyai kepandaian apa-apa, sastra tidak becus, ilmu silat juga tidak pintar. Setiap hari ia hanya ikut anak buah ayahnya untuk belajar menangkap ular dan selalu keluyuran di lereng pegunungan.

Ketika paman dan ayahnya membunuh diri karena senjata mereka dirampas Siau Hong, kemudian ibunya juga bunuh diri menyusul sang suami dengan membenturkan kepala ke pilar, maka terpaksa Goan-ci yang sebatang kara terlunta-lunta di rantau.

Waktu pertempuran sengit di rumahnya itu, iapun mengintip dari belakang pintu dan tahu musuhnya bernama "Kiau Hong", wajahnya juga diingatnya dengan baik, ia dengar musuh itu adalah orang Cidan, maka tanpa terasa ia terus menuju ke utara, yang terpikir olehnya ialah ingin mencari Kiau Hong untuk menuntut balas. Dan cara bagaimana ia harus menuntut balas hal ini tidak pernah terpikir olehnya.

Ketika dia berkeliaran kian kemari di perbatasan, akhirnya ia ikut tertawan oleh pasukan Cidan yang sedang "panen" itu dan secara kebetulan sekali bertemu dengan Siau Hong yang dicarinya.

Begitulah ia pikir, "Paling penting sekarang aku harus lekas pergi dari sini sejauhnya supaya tidak ditangkap kembali olehnya. Aku akan mencari seekor ular berbisa lagi dan diam-diam akan kutaruh di tempat tidurnya, bila dia tidur, tentu dia akan dipagut mampus. Dan no... nona cilik itu, ai, cantik sekali dia!"

Aneh demi teringat wajah A Ci yang ayu itu, tanpa terasa timbul semacam rasa syur yang sukar dimengerti.

Hidup selama 17 tahun di dunia ini, baru pertama kali ini Goan-ci mempunyai perasaan yang aneh itu. Ia merasa bila membayangkan wajah si nona cilik yang putih kepucat-pucatan dan cantik molek itu, seketika hatinya merasa senang tak terhingga.

Karena sambil melamun, maka tahunya jalan ke depan dengan langkah lebar hingga tidak lama ia sudah melampaui serombongan pengungsi, ia tidak kenal dengan pengungsi-pengungsi yang malang itu, ada diantaranya bermaksud baik suruh dia jalan bersama mereka, tapi ia tidak gubris pada tawaran orang, ia tetap berjalan terus ke arahnya sendiri.

Maka sesudah belasan li jauhnya, ia berada sendiri di padang rumput yang luas. Ia merasa perutnya keruyukan saking kelaparan. Ia coba celingukan kian kemari untuk mencari sesuatu yang dapat dimakan, tapi di padang rumput itu melulu rumput dan salju belaka, pikirnya, "Bila aku jadi sapi dan kambing, tentu sekarang aku takkan kelaparan, aku akan dapat makan rumput dengan sekenyang-kenyangnya dan bila haus dapat minum air salju. Tapi, ah, menjadi sapi dan kambing juga tidak enak, setiap waktu mereka dapat disembelih, lebih baik aku tetap menjadi manusia saja walaupun kelaparan."

Begitulah selagi ia berpikir yang tidak-tidak tiba-tiba didengarnya suara derapan kuda, mendadak muncul tiga prajurit Cidan berkuda.

Ketika melihat dia, orang-orang Cidan itu bersorak gembira. Dan "srek", mendadak sebuah tali lasso menyambar dan tepat menjerat leher Goan-ci dengan erat.

Seketika Goan-ci merasa napas sesak, cepat ia hendak menarik tali itu. Tak terduga prajurit Cidan yang melempar lasso itu lantas bersuit, tahu-tahu kudanya membedal hingga Goan-ci terseret jatuh terus ditarik pergi. Goan-ci hanya sempat menjerit beberapa kali, lalu tak dapat mengeluarkan suara lagi karena tenggorokan tercekik oleh tali lasso.

Kuatir buronannya mati terjerat, segera prajurit Cidan itu menghentikan kudanya. Maka dengan meronta-ronta Goan-ci merangkak bangun, dan baru sedikit ia menarik longgar jeratan lasso, mendadak prajurit Cidan itu menarik pula sekuatnya sehingga Goan-ci terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur. Maka tertawalah ketiga prajurit Cidan itu dengan terbahak-bahak.

Kemudian prajurit Cidan itu berkata beberapa patah kata kepada Goan-ci, tapi pemuda itu tidak paham bahasa Cidan, ia hanya geleng-geleng kepala tanda tidak tahu.

Lalu prajurit Cidan itu memberi isyarat pada kawan-kawannya. Cuma sekali ini kuda tidak dilarikan, melainkan berjalan.

Ketiga prajurit Cidan itu menuju ke arah utara. Walaupun kuda mereka tidak dilarikan, tapi langkah kuda sudah tentu lebih lebar daripada langkah manusia. Dan untuk tidak sampai terseret, terpaksa Goan-ci mesti mengikuti dengan setengah berlari. Keruan saja hanya sebenar saja ia sudah megap-megap.

Ia lihat arah yang dituju prajurit-prajurit Cidan itu adalah jurusan Siau Hong pergi tadi. Keruan ia sangat ketakutan. Pikirnya, "Mulut keparat Kiau Hong itu ternyata mencla-mencle. Katanya itu dibebaskan, tapi diam-diam suruh orang menguber dan menangkap aku lagi. Dan sekali ini jiwaku pasti akan melayang!"

Waktu di tawan dalam "panen" tentara Cidan semua, ia telah dicampurkan di antara rombongan tawanan lain yang sebagian besar terdiri dari kaum wanita. Cara berjalan kaum wanita biasa tentu tidak terlalu cepat, maka ia dapat mengikut dengan tidak terlalu payah, hanya ketika hendak ditawan punggungnya kena hantam sekali dengan punggung golok oleh orang Cidan, tempat yang diketuk itu sampai sekarang masih agak kesakitan.

Adapun sekarang untuk kedua kalinya ia tertawan, keadaannya menjadi berbeda, ia setengah diseret dan terpaksa ikut berlari-lari hingga megap-megap, napasnya makin lama makin sesak. Tanah salju licin pula, berulang ia terpeleset jatuh. Dan setiap kali ia tergelincir, pasti tali lasso mengurat satu jalur luka dilehernya hingga darah bercucuran.

Sedangkan prajurit yang melasso dia itu sedetikpun tidak pernah berhenti, ia tidak peduli mati hidupnya Yu Goan-ci, pemuda itu diseret terus hingga sampai di kota Lamkhia.

Ketika masuk ke kota, antero badan Goan-ci sudah penuh darah hingga tidak berupa manusia lagi. Dalam keadaan begitu, yang dia harap ialah lekas mati saja daripada tersiksa lebih lama.

Sesudah beberapa li lagi, ketiga prajurit Cidan itu menyeret Goan-ci masuk kota, akhirnya mereka menyeretnya ke dalam sebuah istana. Yang dilihat Goan-ci hanya lantai istana itu terdiri dari balok batu hijau semua, pilarnya besar, pintunya tinggi ia tidak tahu istana apakah itu.

Tidak lama berhenti dalam istana itu, lalu prajurit Cidan itu menyeretnya pula ke suatu lapangan di samping istana. Mendadak prajurit itu bersuit terus kepit kudanya hingga binatang itu membedal cepat.

Sama sekali Goan-ci tidak menduga bahwa setiba di pekarangan itu mendadak orang akan melarikan kudanya lagi. Keruan baru dua tiga-langkah ia lari segera jatuh tersungkur.

Berulang-ulang prajurit Cidan itu bersuit pula hingga kudanya berlari lebih cepat, Yu Goan-ci juga terseret di tanah hingga berputar beberapa kali di pekarangan luas itu. Makin lama makin kencang Goan-ci terseret.. Belasan bintara dan prajurit Cidan yang berada disitu juga ikut bersorak memberi semangat.

"Kiranya aku hendak diseret sampai mati!" demikian Goan-ci membatin.

Dan hanya sebentar saja, antero badan Goan-ci tambah babak belur lagi, jidatnya, kaki dan tangannya berulang-ulang membentur batu di tanah pekarang itu hingga seluruh badan tiada satu tempat pun yang tak sakit.

Ditengah sorak-sorai prajurit Cidan itu, tiba-tiba terselip suara tertawa kaum wanita yang nyaring merdu. Dalam keadaan tak sadar sayup-sayup Goan-ci mendengar wanita itu berkata dengan tertawa, "Hahaha, layang-layang manusia ini mungkin sukar dinaikkan!"

"Wah, layang-layang manusia apa?" demikian Goan-ci membatin pula.

Tapi pada saat itu juga keadaan dirinya kontan memberi jawaban padanya. Ia merasa lehernya terjerat lebih erat, tubuh lantas terapung ke atas.

Ternyata maksud prajurit Cidan itu menyeretnya dengan melarikan kuda secepatnya, tujuannya adalah ingin menariknya dengan kencang hingga akhirnya tertarik naik ke udara, ia dianggap sebagai permainan layang-layang saja.

Dan begitu tubuh melayang di udara, lehernya terasa kesakitan hingga hampir saja membuatnya kelenger. Ia merasa hidung dan mulutnya penuh kemasukan angin hingga sukar bernafas. Ia dengar pula wanita itu lagi tepuk tangan dan tertawa, katanya, "Bagus! Bagus! Layang-layang manusia benar-benar dapat dinaikan!"

Waktu Goan-ci memandang ke arah suara itu, sekilas dilihatnya orang yang bertepuk tangan dan tertawa itu tak-lain-tak-bukan adalah si nona baju ungu yang cantik molek itu.

Mendadak nampak gadis yang pernah terbayang olehnya itu, Goan-ci tidak tahu apakah harus bergirang atau bersedih, karena tubuhnya sedang "terbang" di udara, maka ia pun tidak sempat banyak pikir.

Gadis jelita itu memang A Ci adanya.

Ketika Siau Hong membebaskan Yu Goan-ci, gadis itu merasa kurang senang. Sesudah melarikan kudanya tidak jauh, lalu ia pura-pura tertinggal di belakang dan diam-diam memberi perintah pada pengiringnya agar Yu Goan-ci ditangkap kembali, cuma ia pesan pula agar jangan sampai diketahui oleh Siau Hong.

Para pengiring tahu bahwa anak dara itu sangat disayang oleh Siau-tai-ong mereka, segala permintaannya pasti dituruti. Maka mereka tidak berani membantah perintahnya, segera pada suatu tikungan jalan, tatkala Siau Hong tidak menaruh perhatian, tiga orang diantaranya lantas putar balik untuk menangkap Yu Goan-ci.

Setiba di rumah, diam-diam A Ci lantas datang ke istana Yu-seng-kiong untuk menunggu kembalinya para pengiring itu. Ketika Yu-goan-ci benar-benar sudah ditawan kembali, ia lantas tanya orang-orang Cidan disitu adalah sesuatu permainan menarik untuk menyiksa tawanan itu.

Ada seorang diantaranya mengusulkan main "layang-layang manusia" saja. Dan usul itu diterima dengan baik oleh A Ci dan segera suruh melaksanakannya, benar juga Yu Goan-ci lantas dikerek ke udara sebagai layang-layang hidup.

Saking senangnya, berulang A Ci bersorak gembira, tiba-tiba ia berkata, "Coba aku ingin memegang juga layang-layang hidup ini."

Segera ia lompat dengan enteng ke atas kuda prajurit Cidan itu, ia pegang tali "layang-layang" itu dan si prajurit disuruh turun.

Sudah tentu prajurit Cidan itu menurut saja, ia lompat turun dari kudanya dan membiarkan A Ci main "layang-layang manusia" dengan sepuas-puasnya.

Sambil menarik tali "layang-layang" A Ci larikan kudanya sekeliling sambil tertawa senang. Namun ia baru sembuh dari lukanya, betapa pun tenaga nya masih terbatas, ketika tangan terasa pegal, ia tak bisa menguasai tali layang-layang pula. "Bluk", mendadak Yu Goan-ci terbanting ke tanah dengan keras hingga batok kepalanya terbentur batu, keruan saja kepalanya bocor, kecap merah mancur keluar bagai mata air.

A Ci kurang senang karena permainannya putus setengah jalan, katanya dengan mendongkol "Dasar badan anak busuk ini seperti babi beratnya!"

Dalam pada itu Yu Goan-ci hampir saja pingsan saking sakitnya karena terbanting dari atas, ditambah kepala bocor pula. Sudah begitu si gadis malah menyalahkan dia terlalu berat seperti babi keruan ia sangat mendongkol. Mestinya ia ingin ujuk gigi dan balas memaki, tapi saking kesakitannya jadi susah bicara.

Kemudian seorang prajurit Cidan mendekati dia untuk melepaskan lasso di lehernya itu. Prajurit yang lain lantas merobek kain bajunya untuk membalut lukanya secara sembarangan, namun darah masih terus mengucur.

"Sudahlah! Ayo kita mulai main lagi! Coba ulur lebih panjang, kita naikkan dia lebih tinggi hingga di atas rumah!" demikian A Ci berkata.

Goan-ci tidak paham apa yang dikatakan anak dara itu, sebab bahasa yang digunakan olehnya adalah bahasa Cidan. Ia hanya melihat anak dara itu tuding-tuding ke atas rumah, ia menduga pasti takkan menguntungkan dirinya.

Benar juga, segera seorang prajurit Cidan menggunakan tali tadi untuk mengikat badannya di bawah baju, jadi bukan lehernya lagi yang dijerat. Dan sekali membentak, segera prajurit itu larikan kudanya sambil berputar dengan cepat hingga badan Yu Goan-ci kembali melayang-layang di udara.

Makin lama tali yang dipegang prajurit itu makin terulur panjang dan lambat laun badan Yu Goan-ci seakan-akan menegak di atas penarik tali itu, mendadak si prajurit membentak terus lepas tangan. Keruan "layang-layang" Yu Goan-ci yang putus talinya seketika meluncur ke sana bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.

Serentak A Ci dan prajurit Cidan bersorak-sorai dengan senang.

"Matilah aku sekali ini!" demikian keluh Goan-ci ketika merasa "terbang" ke angkasa. Waktu daya naiknya sudah mencapai titik baliknya tanpa ampun lagi ia terjungkal ke bawah dengan kepala di bawah dan kaki di atas, ia "terjun" secepat elang menyambar ayam.

Waktu kepalanya sudah hampir membentur lantai batu, sekonyong-konyong empat prajurit Cidan mengayunkan lasso masing-masing dan dengan persis dapat menjerat pinggang Goan-ci, berbareng mereka menarik sekuatnya ke arah sendiri.

Seketika pingsan Goan-ci oleh tenaga betotan keempat orang itu. Dan karena tarikan demikian tubuh Goan-ci jadi tertekan di udara, jarak kepalanya dengan lantai hanya tinggal satu meter tingginya.

Permainan lasso orang Cidan itu sesungguhnya berbahaya sekali, asal salah seorang diantaranya terlambat sedikit mengayun lassonya atau sedikit telat menarik talinya hingga tarikan mereka tidak berimbang, pasti kepala Yu Goan-ci akan pecah kebentur lantai, andaikan kepala tidak pecah juga tulang leher pasti akan patah dan jiwa tetap melayang.

Begitulah di tengah sorak gembira orang banyak, keempat orang Cidan itu lantas menurunkan Goan-ci ke tanah. Segera A Ci memberi persen masing-masing sepuluh tahil perak kepada prajurit-prajurit Cidan itu. Sesudah menghaturkan terimakasih, segera mereka bertanya pula, "Apakah nona masih ingin acara permainan yang lain?"

Melihat Goan-ci sudah tak sadarkan diri, entah hidup atau mati. Pada waktu main "layang-layang" tadi ia pun terlalu banyak menggunakan tenaga hingga sekarang dada terasa agak sakit, maka ia menjawab, "Sudahlah, untuk hari ini sudah cukup. Jika bocah busuk ini tidak mampus, besok boleh dibawa kemari lagi, aku ingin mencari akal lain untuk mempermainkan dia. Orang ini hendak menyerang Siau-tai-ong. Ia harus diberi hukuman yang setimpal.

Para prajurit Cidan itu mengiakan, lalu mengundurkan diri.

Ketika Goan-ci siuman kembali, lebih dulu hidungnya mengendus semacam bau apek. Waktu ia buka mata, ia tidak melihat apa-apa, yang terpikir olehnya adalah, "Apakah aku sudah mati?"

Tapi segera ia merasa sekujur badan sakit semua, tenggorakan kering sekali. Maklum, seseorang yang terlalu banyak mengeluarkan darah pasti akan merasa haus tak terhingga.

"Air...air...," demikian ia berseru dengan suara yang serak. Tapi siapa yang peduli padanya?

Ia berseru lagi beberapa kali dan akhirnya layap-layap tertidur. Tiba-tiba ia lihat sang paman dan ayahnya sedang bertempur sengit dengan Kiau Hong, begitu sengit pertarungan itu hingga terjadi banjir darah.

Dilihatnya pula ibundanya yang penuh kasih itu memeluk dan menghiburnya agar jangan takut. Lalu muncul wajah A Ci yang cantik, kedua mata si gadis yang jeli itu lagi menatapnya dengan sinar mata yang aneh. Tiba-tiba wajah cantik itu menyurut menjadi kecil hingga berbentuk kepala ular berbisa dan hendak memagutnya.

Ia ingin lari, tapi sedikitpun tak bisa bergerak, ia meronta-ronta mati-matian, tapi tetap tak bisa berkutik. Sedangkan ular itu mulai menggigit tangannya, kakinya, lehernya, dan paling hebat adalah gigitan pada jidatnya hingga bonyok. Ia lihat daging di bagian tubuh itu sepotong demi sepotong digigit ular itu, ia ingin menjerit tapi tak dapat bersuara ...

Rupanya ia sakit panas lantaran lukanya yang parah itu, maka mengingau dan mimpi buruk. Ia guling gelantang semalam suntuk. Pada waktu sadarnya tersiksa, dalam mimpipun ia menderita.

Esok paginya waktu dua prajurit Cidan menggusurnya pergi menghadap A Ci, suhu panas badannya masih belum turun. Ia hanya melangkah satu tindak dan lantas jatuh terguling. Segera dua prajurit Cidan memegangnya dari kanan kiri, sambil memaki diseretnya ke dalam suatu ruanganyang besar.

"Aku hendak diseret kemana? Apakah mereka akan memenggal kepalaku?" demikian pikir Goan-ci dalam keadaan setengah sadar.

Ia merasa dirinya diseret melalui dua serambi samping yang panjang, akhirnya sampai di luar suatu pendopo. Kedua prajurit itu melapor di luar pintu dan dari dalam lantas terdengar suara sahutnya seorang wanita. Ketika pintu dibuka, prajurit-prajurit itu lantas menyeretnya ke dalam.

Waktu Goan-ci mengangkat kepalanya, ia lihat di tengah ruangan itu tergelar selapis permadani yang sangat besar, disudut permadani sana, diatas sebuah bantal sulaman sedang duduk seorang gadis jelita. Siapa lagi dia kalau bukan A Ci.

Gadis itu berkaki telanjang dan kakinya terletak di atas permadani.

Hati Goan-ci berdebar-debar demi nampak kaki si gadis yang mungil dan putih bersih sebagai salju, halus lemas sebagai sutra. Seketika pandangannya terpantek pada kaki A Ci itu. Lamat-lamat ia lihat beberapa otot hijau tersirat dalam daging kaki yang putih bening seakan-akan tembus pandang itu. Sungguh ia ingin merabanya, ingin memegangnya sekali.

Dalam pada itu ia telah dilepaskan oleh pegangan prajurit tadi, hingga ia sempoyongan, tapi segera ia dapat berdiri tegak lagi, sedangkan A Ci. Ia lihat kesepuluh jari kaki si gadis itu putih kemerah-merahan mirip sepuluh kelopak bunga yang mungil.

Sebaliknya dalam pandangan A Ci yang berada di depannya itu adalah seorang pemuda yang jelek lagi penuh darah. Tertampak muka pemuda itu berkerut-kerut beberapa kali, tulang pipinya menonjol, sinar matanya memancarkan sifat rakus dan buas.

A Ci teringat kepada seekor serigala kelaparan yang terluka panah dalam perburuannya, serigala itu tidak terpanah mati, tapi terluka parah dan tak bisa berkutik, sinar mata srigala itu mirip seperti sinar mata Yu Goan-ci sekarang.

A Ci senang melihat sinar mata buas dan liar ini, ia suka mendengar pekik lengking serigala yang ganas tapi tak berdaya itu. Namun sayang, Yu Goan-ci baginya terlalu lemah, sedikitpun tidak mengadakan perlawanan, jauh untuk bisa merangsang perasaannya.

Kemarin waktu pemuda itu menyerang Siau Hong dengan ular berbisa dan gagal, ia tidak sudi berlutut dan menyembah kepada Siau Hong, cara bicaranya ketus, sikapnya keras, tidak sudi terima uang dari Siau Hong pula. Hal mana sangat menyenangkan A Ci, gadis itu senang melihat orang kepala batu. Ia pikir inilah seekor binatang buas yang sangat lihai. Maka ia ingin menyiksanya, ingin membuatnya sekujur badan babak-belur agar dapat menimbulkan sifat liarnya dan supaya "binatang" itu kalap dan menubruknya dan hendak menggigitnya. Sudah tentu gigitan tidak boleh sampai kena.

Akan tetapi ia jadi kecewa ketika menggunakannya sebagai "layang-layang" dan menaikkannya ke angkasa, "binatang" itu ternyata tidak mengadakan perlawanan sama sekali, hal ini kurang menarik baginya....

Begitulah A Ci berkerut kening untuk memikirkan dengan cara bagaimana akan mempermainkan "binatang liar" itu.

Mendadak Yu Goan-ci mengeluarkan suara "uh-uh-uh", dan entah dari mana datangnya tenaga sekonyong-konyong ia menubruk ke arah A Ci setangkas macan tutul. Tapi ia tidak menubruk orangnya, melainkan kedua kakinya. Ia terus merangkul betis anak dara itu, lalu menunduk dan menciumi betis yang putih itu.

Keruan A Ci menjerit kaget. Cepat dua prajurit Cidan dan empat dayang yang melayani disamping A Ci membentak-bentak. Segera prajurit itu pun memburu maju untuk menarik Goan-ci.

Namun mati-matian Goan-ci merangkul kaki A Ci, betapapun ia tidak mau lepas. Ketika prajurit Cidan itu menarik sekuatnya, tahu-tahu A Ci ikut terseret jatuh dan terduduk di atas permadani.

Prajurit Cidan itu terperanjat dan gusar pula. Mereka tidak berani menarik lagi, tapi seorang diantaranya lantas menggebuki punggung Yu Goan-ci dan seorang laki menempeleng mukanya.

Luka di badan Yu Goan-ci telah infeksi sehingga menjadikan dia sakit panas dan pikiran tidak sadar, ia sudah mirip orang gila, segala apa yang dihadapi dan dialaminya sudah tak terasakan lagi. Ia hanya memeluk betis A Ci seerat-eratnya dan mencium dengan bernapsu.

A Ci merasakan bibir orang yang panas dan kering itu sedang mencium dan menjilat kakinya. Ia merasa takut, tapi merasa geli-geli gatal aneh pula. Sekonyong-konyong ia menjerit, "Aduh! Jari kakiku digigit!"

Lekas ia berseru kepada prajurit itu. "Lekas kalian menyingkir dulu, orang ini sudah gila, jangan-jangan jari kakiku akan putus digigit olehnya. Aduh!"

Padahal Yu Goan-ci tidak menggigit melainkan cuma mencucup saja. Meski tidak sakit, namun A Ci kuatir mendadak orang menggigitnya, dalam keadaan begitu, ia tahu tidak boleh pakai kekerasan, ia kuatir prajurit Cidan itu menggebuk dan menghajarnya lagi, dan sekali pemuda itu kalap mungkin jari kakinya bisa tergigit putus.

Karena tak berdaya sama sekali terpaksa prajurit-prajurit itu lepas tangan dan mundur.

Lalu A C i berkata kepada Goan-ci, "Lekas lepaskan kakiku, dan jiwamu akan kuampuni, kamu akan kubebaskan!"

Namun pikiran Goan-ci saat itu kurang waras, ia tidak gubris apa yang dikatakan itu.

Seorang prajurit sudah siap melolos golok dan bermaksud membacok kepala pemuda kalap itu, tapi kaki A Ci masih dipeluknya dengan erat, ia kuatir juga bila bacokannya akan melukai A Ci, sebab itulah ia merasa ragu.

Maka A Ci berkata pula, "Hei, kamu bukan binatang (padahal tadi ia anggap orang sebagai binatang), mengapa gigit orang? Lekas buka mulutmu, akan kusuruh orang mengobati lukamu dan membebaskanmu pulang ke Tionggoan.

Tapi Goan-ci tetap tidak peduli, ia tidak menggigit sungguhan, hanya setengah mencucup sedangkan tangannya meraba-raba betis dan kaki yang putih merangsang itu. Perasaannya terombang-ambing, semangatnya seakan-akan terbang ke awang-awang, ia merasa seperti menjadi "layang-layang manusia," lagi dan terapung-apung diangkasa bebas.

Mendadak seorang prajurit Cidan mendapat akal, cepat ia cekik leher Yu Goan-ci sekuatnya.

Karena leher tercekik, tanpa terasa Goan-ci mengap mulutnya. Cepat A Ci menarik kembali kakinya dan berbangkit, ia kuatir kalau orang menjadi kalap dan menggigitnya lagi, maka kedua kakinya disurutkan ke belakang bangku berbantal sulam yang dibuat duduk itu.

Sesudah Goan-ci dipisahkan dari A Ci oleh prajurit Cidan tadi, segera prajurit lain menghujani bogem mentah pada muka dan dada pemuda itu hingga darah segar menyembur dari mulutnya, sampai permadani yang indah itu ikut ternoda.

"Berhenti! Jangan menghajarnya lagi!"kata A Ci.

Sesudah kejadian baruan ia merasa anak muda ini tidak terlalu mengecewakan sebagaimana disangkanya tadi. Dalam permainan tertentu mungkin akan cukup merangsang baginya. Maka seketika ia tidak ingin membinasakan pemuda itu.

Setelah prajurit-prajurit itu tidak menghajar Goan-ci lagi, lalu A Ci duduk bersimpuh di atas bangku berbantal sulamannya dengan melipat kakinya yang telanjang.

Diam-diam ia pikirkan bagaimana caranya agar bisa menyiksa lagi agar pemuda itu mengamuk sebagai binatang.

Ketika ia angkat kepala, tiba-tiba dilihatnya Yu Goan-ci memandangnya dengan sorot mata melekat. Segera ia menegurnya, "Mengapa kau memandang padaku?"

Goan-ci sudah tidak pusingkan mati hidup sendiri lagi, segera ia menjawab, "Kau cantik, aku suka memandang kepadamu!"

Muka A Ci menjadi merah. Katanya dalam hati, "Besar amat nyali bocah ini, berani bicara padaku secara kurang ajar begini?"

Selama hidup A Ci belum pernah dipuji secara terang-terangan oleh seorang pemuda. Waktu dia belajar silat dalam perguruan Sing-siok-pai, para suhengnya menganggap sebagai seorang dara cilik yang nakal. Ketika tinggal bersama Siau Hong kuatir dia meninggal. Selamanya tiada seorangpun memperhatikan apakah dia cantik atau jelek.

Tapi kini secara terus terang Goan-ci memujinya, mau tak mau timbul juga rasa senang dalam hati A Ci. Pikirnya, "Biarlah kubiarkan dia tinggal di sini, bila iseng dapat kupermainkan dia sekedar pelipur hati. Tapi Cihu pernah menyatakan akan membebaskan dia, kalau dia tahu aku menawannya lagi, pasti Cihu akan marah. Dan cara bagaimanakah supaya Cihu takkan mengetahui hal ini? Aku bisa melarang siapa pun agar tidak memberitahukan kepada Cihu, tetapi kalau suatu waktu mendadak Cihu kemari dan melihatnya, lantas bagaimana?"

Ia merenung sebentar, tiba-tiba ia ingat pada Tacinya, yaitu si A Cu, yang pandai menyaru itu, kalau sekarang aku pun suruh bocah ini menyaru, tentu Cihu takkan dapat mengenalnya. Akan tetapi bila pada suatu ketika ia mencuci muka dan menghilangkan penyamarannya, tetap ada kemungkinan akan diketahui oleh Cihu.

Begitulah alis A Ci yang lentik itu makin terkerut makin rapat. Tiba-tiba ia bertepuk tangan sambil berseru dengan tertawa, "Hah, akal bagus! Akal baik!"

Segera ia bicara dengan bahasa Cidan kepada kedua prajurit tadi. Rupanya prjurit-prajurit itu kurang paham, mereka mohon penjelasan lebih jauh. Dan setelah A Ci memberi petunjuk pula, lalu ia suruh dayang mengeluarkan tiga puluh tahil perak dan diserahkan kepada prajurit-prajurit itu.

Setelah menerima uang. Kedua prajurit itu memberi hormat, lalu Yu Goan-ci diseretnya pergi.

"Aku ingin memandang dia, aku ingin memandang nona cantik yang berhati kejam ini,"demikian Goan-ci berteriak-teriak.

Ia berteriak-teriak dalam bahasa Han, sudah tentu para prajurit dan dayang tidak paham artinya. A Ci memandangi dia diseret pergi dengan tersenyum simpul, teringat akalnya yang cerdik itu, semakin dipikir semakin senang dan puas.

Sementara itu Yu Goan-ci telah digusur kembali ke kamar tahanannya yang berbau apek itu. Petangnya, ada orang yang mengantarkan semangkok daging kambing dan beberapa potong kue buatan dari tepung terigu.. Tapi sakit panas Goan-ci belum reda ia masih mengingau tak keruan hingga pengantar makanan itu lari ketakutan setelah menaruh penganan yang dibawanya itu.

Dalam keadaan begitu, Goan-ci tidak merasa kelaparan lagi hingga makanan itu sama sekali tak tersentuh olehnya.

Malamnya, tiba-tiba datang tiga orang Cidan. Walaupun dalam keadaan sadar tak sadar namun lamat-lamat Goan-ci dapat merasakan pasti takkan menguntungkan dirinya. Segera ia meronta-ronta dan ingin merangkak keluar dan melarikan diri. Tapi dua orang diantaranya lantas membekuk dia di tanah, lalu dibalik hingga telentang.

Dengan suara serak Goan-ci memaki-maki. "Anjing Cinda, terkutuklah kalian, akan kuncencang kalian!"

Tiba-tiba dilihatnya orang Cidan ketiga membawa setangkup benda putih, seperti kapas dan mirip salju. Mendadak benda putih itu diuruk ke atas mukanya. Seketika Goan-ci merasa mukanya basah dingin, pikirannya menjadi jernih sedikit, tapi napasnya menjadi sesak.

"Hah, kiranya mereka hendak membunuh aku dengan menutup jalan pernapasanku!" demikian ia membatin.

Tapi dugaannya lantas terbukti salah. Sebab lubang hidung dan mulutnya lantas dibolongi orang hingga dapat bernapas, tinggal matanya saja yang tak bisa terbuka. Ia merasa mukanya seperti di pijat-pijat orang. Saat itu mukanya seperti tertutup oleh selapis tepung adukan atau tanah liat yang lunak dan licin.

Selama dua hari ini ia sudah kenyang derita, ia tidak heran bila sekarang orang hendak menyiksanya pula dengan sesuatu yang aneh.

Selang sejenak, ia merasa lapisan benda yang luna di mukanya itu dikelotok, disingkap orang dengan perlahan. Waktu ia buka mata, kini dapat dilihatnya benda itu adalah selapis adukan tepung terigu yang liat dan kini telah menjadi sebuah cetakan yang sesuai dengan raut mukanya.

Dengan hati-hati orang Cidan itu memegang cetakan dari tepung itu, kuatir rusak. Segera Goan-ci mencaci maki pula, tapi orang-orang Cidan itu tidak peduli, mereka lantas tinggal pergi.

Diam-diam Goan-ci pikir, "Ah, tentu mereka telah memoles sesuatu obat racun di mukaku, sebentar lagi pasti mukaku akan membusuk hingga rusak seperti muka setan...."

Begitulah makin dipikir makin kuatir, katanya dalam hati, "Daripada aku mati tersiksa begini, lebih baik aku bunuh diri saja!"

Maka ia lantas benturkan kepalanya ke dinding "blang", kepalanya benjut dan orangnya roboh, tapi sial baginya, ia tidak mati, hanya setengah mati.

Mendengar suara benturan itu, penjaga diluar lantas memburu ke dalam kamar tahanan untuk mengikat tangannya. Memangnya Goan-ci sudah menggeletak tak bisa berkutik, maka ia pun masa bodoh diperlakukan orang sesukanya.

Lewat beberapa hari, mukanya tidak sakit, bahkan juga tidak membusuk segala. Namun ia sudah terkekad ingin mati, biarpun kelaparan sama sekali ia tidak sudi makan segala makanan yang diantarkan padanya.

Sampai hari kelima, ketiga orang Cidan itu datang lagi menyeretnya keluar. Dalam derita sengsara Yu Goan-ci itu sebaliknya timbul suatu harapan pula. Ia pikir kalau A Ci yang menyuruh mereka menggusur dia untuk disiksa dan dihajar, biarpun badan akan menderita lebih hebat, namun bila melihat wajah si nona yang cantik itu, betapapun ia merasa puas.

Karena itulah pada air mukanya lantas tersimpul senyuman getir.

Tapi ketiga orang Cidan itu ternyata tidak membawanya menghadap A Ci, sebaliknya menyeretnya ke sebuah kamar yang gelap, sesudah menuruni sebuah undak-undakan batu yang panjang, akhirnya sampai di suatu ruangan, dimana tertampak api menganga menerangi ruangan itu, seorang pandai besi dengan badan telanjang hingga kelihatan otot dagingnya yang menonjol kuat berdiri di tepi sebuah talanan besi yang besar, pada tangannya memegang sebuah benda kehitam-hitaman dan lagi diperiksa dengan teliti.

Ketika Goan-ci digusur sampai di depan pandai besi, segera dua orang diantaranya memegang kedua tangannya, seorang lagi mencengkram tengkuknya. Lalu si pandai besi mulai mengamat-amati mukanya dari depan dan dari samping, kemudian mengamat-amati benda hitam yang dipegangnya itu seperti lagi ditimbang dan dibandingkan.

Waktu Goan-ci memperhatikan benda yang dipegang pandai besi, kiranya benda itu adalah sebuah topeng besi. Topeng itu terdapat lubang-lubang hidung, mata dan mulut.

Selagi Goan-ci tidak tahu apa gunanya besi itu. Mendadak si pandai besi mengangkat topeng itu terus mengerudung mukanya. Dengan sendirinya Goan-ci bermaksud mengelak dengan mendongak kebelakang. Tapi celaka, tengkuknya, telah dipegang orang hingga tak bisa menghindar, akhirnya topeng itu tetap menutup mukanya. Seketika ia merasa mukanya dingin segar, kulit mukanya melekat dengan topeng besi itu.

Tapi aneh juga, bentuk topeng itu ternyata pas sekali dengan raut mukanya, seperti barang pasangan saja.

Goan-ci bukan anak bodoh, rasa herannya cuma sekejap, segera ia tahu duduk perkara. Sekonyong-konyong ia merasa ngeri. Hah, topeng ini memang sengaja dibuat untukku. Tempo hari mereka telah mencetak mukaku dengan adukan tepung, tujuannya ialah untuk dipakai sebagai model pembuatan topeng besi ini. Jangan-jangan... jangan-jangan ..."

Dalam hati ia sudah dapat menerka maksud jahat orang-orang Cidan itu, tapi sebenarnya apa sebabnya, itulah dia tidak tahu, iapun tidak berani berpikir lagi, maka ia meronta-ronta sekuat tenaga, mati-matian ia berusaha melarikan diri. Tapi ia dipegang oleh tiga orang dengan kuat sehingga tidak bisa berbuat apa-apa.

Kemudian pandai besi itu melepaskan topeng itu, ia mengangguk-angguk dengan rasa puas. Lalu ambil sebuah tanggam besi besar, ia jepit topeng itu dan dimasukkan ke dalam tungku, sesudah topeng terbakar hingga merah, lalu dikeluarkannya untuk digembleng lagi.

Setelah menggembleng sebentar, lalu ia pegang dan raba batok kepala Goan-ci serta tulang pipinya untuk membetulkan bagian yang kurang pas dari topeng itu.

Segera Goan-ci berteriak-teriak memaki. "Anjing Cidan terkutuk, perbuatan jahat apa yang hendak kalian lakukan lagi? Begini kejam tanpa perikemanusiaan, kelak kalian pasti akan masuk neraka, kalian akan digodok dalam minyak mendidih dan dibakar di lautan api!"

Ia memaki dalam bahasa Tionghoa sudah tentu orang-orang Cidan tidak paham maksudnya. Tap karena teriakannya itu, sipandai besi mendadak menoleh dan melotot padanya. Lalu ia angkat tanggam besi yang terbakar merah itu dan mencolok ke matanya.

Saking ketakutan hingga Yu Goan-ci cuma terbelalak dan mulut ternganga, untuk menghindar jelas tidak mungkin lantaran dari belakang ia dipegang tiga orang Cidan.

Dan si pandai besi itu ternyata melulu menakut-nakuti saja. Melihat Goan-ci ketakutan setengah mati. Ia terkekeh-kekeh dan menarik kembali tangannya. Lalu ia ambil lagi sepotong besi melengkung untuk mengukur belakang kepala Yu Goan-ci. Sesudah di pukul dan digembleng hingga plat besi yang dekuk itu pas betul, kemudian topeng tadi dan separoh topeng bagian belakang yang baru ini dibakar pula dalam tungku.

Ketika topeng besi itu merah terbakar pandai besi itu berkata beberapa patah kata kepada tiga orang Cidan tadi. Segera Goan-ci digotong untuk direbahkan di atas sebuah meja, tapi kepalanya terjuntai di luar tepian meja. Lalu dua orang Cidan yang lain maju membantu, sekuat tenaga mereka jambak rambuk Goan-ci hingga kepala pemuda itu tak bisa bergerak sama sekali.

Dalam pada itu si pandai besi sudah mengeluarkan topeng yang terbakar merah membara itu. Ia berhenti sebentar agar topeng itu agak mendingin. Habis itu, mendadak ia membentak sekali. Topeng terus dipasang pada muka Yu Goan-ci.

Kontan saja asap putih mengepul dengan bau sangit daging hangus. Goan-ci menjerit ngeri, seketika orangnya semaput.

Kemudian pandai besi itu mengangkat belahan topeng bagian belakang dan dipasangkan pula di belakang kepala Yu Goan-ci. Dua belahan topeng itu kini terpasang dengan rapat di kepalanya. Topeng itu masih sangat panas, begitu menyentuh kulit daging, seketika terbakar bonyok.

Pandai besi itu adalah tukang nomor satu di kota Yankhia. Kedua tangkupan topeng buatannya itu ternyata pas sekali menutup dengan rapi.

Bagaikan tersiksa di neraka. Yu Goan-ci sendiri tidak tahu sudah lewat berapa lama. Ketika pelahan ia siauman kembali, ia merasa muka dan belakang kepala sangat kesakitan. Saking tak tahan, kembali ia pingsan lagi.

Begitulah ia siuman dan pingsan lagi hingga berulang tiga kali. Ketika akhirnya ia siuman pula, ia berteriak sekeras-kerasnya, tapi telinga sama sekali tidak mendengar suara teriakan sendiri. Semula ia menyangka dirinya sudah tuli, tapi sesudah berkaok-kaok pula hingga tenggorokannya serasa bejat, akhirnya ia baru tahu bahwa pada hakikatnya ia tak bisa mengeluarkan suara.

Tatkala pingsan, ia telah diseret kembali ke kamar tahanannya. Ia rebah tanpa berkutik di tanah, ia menggertak gigi untuk menahan rasa sakit sekeliling kepala dan mukanya.

Kira-kira dua-tiga jam kemudian, ketika ia coba meraba muka sendiri, maka jelas terbukti bahwa dugaannya ternyata tidak salah sedikitpun. Topeng besi itu sudah mengerudung rapat di atas kepalanya. Dalam murkanya, ia membetot dan menarik topeng besi itu sekuatnya, tapi tangkupan topeng itu sudah saling gigit dengan kencang sekali, mana dapat ia membukanya?

Dalam keadaan murka dan akhirnya menjadi putus asa, tak tertahan lagi ia menangis sedih air mata bercucuran bagai air hujan, tapi suara tangisannya hampir-hampir tak terdengar.

Untung usia Yu Goan-ci masih muda, meski jasmaniah tersiksa sehebat itu, tapi tidak sampai mati, ia masih tahan. Bahkan beberapa hari kemudian, perlahan lukanya mulai sembuh, rasa sakitnya juga makin berkurang. Akhirnya, oh, lapar juga dia. Dan ketika mengendus bau daging kambing dan kue yang dihantarkan untuknya, ia tidak tahan lagi, terus saja dimakannya dengan lahap.

Sudah tentu mulutnya tak bisa mengunyah jadi makannya terpaksa main jejal saja, asal masuk. Dan sekali perutnya kemasukan makanan lukanya menjadi lebih cepat sembuh dan kesehatannya lekas pulih.

Kini ia dapat meraba topeng besi itu, ia tahu buah kepala sendiri sudah tertutup rapat oleh kedua tangkup besi dan tidak mungkin dibuka lagi. Ia tidak tahu apa maksud tujuan anjing-anjing Cidan itu menutup kepalanya dengan openg. Ia sangka segala apa itu tentuatas perintah Siau Hong. Sudah tentu, betapapun ia tidak menduga bahwa sebabnya A Ci memberi topeng padanya tujuannya justru ingin mengelabui Siau Hong.

Apa yang berlangsung itu dilaksanakan kapten Sili atau suruhan A Ci. Setiap hari A Ci selalu tanya Sili tentang gerak-gerik Yu Goan-ci setelah pakai topeng itu. Semula ia kuatir pemuda itu akan mati hingga gagal segala rencananya. Kemudian ia jadi girang ketika mendapat tahu bahwa kesehatan Goan-ci makin hari makin kuat.

Dalam pada itu Siau Hong lagi dinas inspeksi ke luar kota, A Ci perintahkan Sili membawa Yu Goan-ci menghadap padanya, ia ingin tahu bagaimana bentuk pemuda itu sesudah memakai topeng besi. Ia tunggu di ruangan samping istana "Toan-hok-kiong". Tidak lama kemudian datanglah kapten Sili bersama tiga prajurit Cidan dengan membawa Yu Goan-ci.

Melihat bentuk Yu Goan-ci, sungguh senang A Ci tak terkatakan. Ia pikir, dengan memakai topeng seperti itu, biarpun sang Cihu berdiri berhadap juga takkan kenal pemuda itu. Segera ia berkata, "Sili, topeng ini sangat bagus buatannya, boleh kasih persen lagi 50 tahil perak kepada pandai besi itu."

"Ya, terimakasih, Kuncu!" sahut Sili.

Kiranya Yali Hungki sengaja hendak membikin senang Siau Hong, maka A Ci telah dianugrahi gelar Tuan Putri "Toan-hok Kuncu". Dan istana Toan-hok-kiong adalah anugrah juga dari raja.

Dalam pada itu Yu Goan-ci telah melangkah maju dua tindak, dari lubang topeng itu dapat melihat muka A Ci yang berseri-seri, elok tak terhingga. Suara si gadis juga nyaring merdu enak didengar. Hati Goan-ci berdebar-debar, dengan ketolol-tololan ia pandang gadis itu tanpa berkedip.

Meski bentuk muka Yu Goan-ci menjadi aneh lantaran memakai topeng besi, tapi A Ci dapat melihat bahwa pemuda itu lagi menatapnya, dengan mata tak berkedip. Segera ia menegurnya. "Hai anak tolol, kenapa kau pandang aku cara begini?"

"Aku... aku ... aku tidak tahu, "sahut Goan-ci.

"Enak tidak rasanya memakai topeng itu?" tanya A Ci.

"Kau kira enak atau tidak?" Goan-ci berbalik tanya.

A Ci mengikik tawa. Ia lihat bagian mulut topeng itu hanya berwujud satu celah dan tipis dan tiba cukup untuk minum dan makan saja untuk menggigit jari kaki terang tidak dapat lagi. Maka dengan tertawa katanya pula, "Aku sengaja memasang topeng pada mukamu supaya kamu tidak dapat menggigitku untuk selamanya."

Seketika Goan-ci bergirang, tanyanya cepat, "Apakah nona ber... bermaksud membiarkan... membiarkan aku selalu melayani di samping nona?"

"Cis, kamu anak busuk ini bukan manusia baik-baik," semprot A Ci, "Berada disampingku tentu kau cari jalan untuk mencelakai aku, mana boleh jadi?"

"Tidak, ti... tidak! Aku pasti... pasti takkan membikin susah nona, " sahut Goan-ci dengan tergegap-gegap, "Musuhku hanyalah Kiau Hong seorang!"

"Kau ingin membunuh Cihuku, bukankah sama dengan membikin susah padaku? Apa bedanya?" kata A Ci.

Mendengar itu, entah mengapa, rasa hati Goan-ci menjadi kecut hingga tak bisa menjawab lagi.

"Huh, kamu hendak membunuh Cihuku, itu namanya lebih sulit daripada naik ke langit, "kata A Ci pula dengan tertawa. "He, anak tolol, kau ingin mati atau tidak?"

"Sudah tentu aku tidak ingin mati, "sahut Goan-ci.

"Tapi sekarang kepalaku terpasang benda seperti ini sehingga tidak mirip manusia dan lebih mirip setan, tidak banyak bedanya daripada mati."

"Jika kamu lebih suka mati, boleh juga, akan kupenuhi harapanmu, cuma aku takkan membuatkan kau mati dengan begitu saja, "kata A Ci. Lalu ia berpaling kepada kapten Sili dan memberi perintah. "Seret dia keluar, penggal dulu sebelah tangannya!"

Sili mengiakan terus hendak menarik Goan-ci.

Keruan pemuda itu ketakutan, cepat ia berteriak, "He, tidak, tidak, nona! Aku ingin mati, jangan... jangan kaupenggal sebelah tanganku!"

"Sekali aku berkata, susah untuk ditarik kembali, kecuali... ya, kecuali kalau kamu berlutut dan menyembah padaku, "kata A Ci dengan tersenyum.

Selagi Goan-ci ragu-ragu, sementara itu Sili telah menariknya pula. Goan-ci tidak berani ayal lagi, cepat ia tekuk lutut dan menyembah "trang" mendadak topeng membentur lantai.

A Ci terkikik senang, katanya, "Selamanya aku tidak pernah mendengar suara orang menyembah semerdu itu. Eh, coba menjura beberapa kali lagi.

Walaupun Goan-ci seorang pemuda serba kepalang tanggung dalam ilmu sastra dan silat, serba setengah-setengah dan tidak jadi, tapi jelek-jelek adalah seorang Siau cengcu, seorang tuan muda dari Cip-hian-ceng, biasanya ia disanjung pula oleh setiap orang. Sejak kecil ia sangat dimanjakan oleh orang tua, sebab dia adalah putra satu-satunya, sudah tentu ia tidak pernah tersiksa dan dihina seperti sekarang ini.

Semula waktu menemukan Siau Hong, ia masih memiliki semangat jantan yang tak terpatahkan, biar mati juga tidak takut. Tapi selama beberapa hari ini telah mengalami pukulan hebat baik jasmani maupun rohani, semangat jantannya yang menyala-nyala itu tanpa terasa surut dan hilang tak berbekas lagi.

Maka demi A Ci menyatakan hendak memotong lengannya kecuali dia mau menyembah, tanpa pikir ia berlutut dan menyembah. Dan ketika A Ci menyatakan suara benturan topengnya itu enak didengar, terus saja ia menjura berulang-ulang sehingga terdengar suara "tang-tang-tang" yang nyaring.

"Wah, bagus sekali!" demikian kata A Ci dengan tertawa, "Untuk selanjutnya kamu harus tunduk pada perintahku, sedikitpun tidak boleh membangkang, tahu? Kalau membangkang, huh setiap waktu juga akan kupenggal lenganmu. Nah ingat tidak?"

"Ya, ya!" cepat Goan-ci menyahut.

"Apakah kau tahu sebabnya aku memesan topeng besi pada mukamu?" tanya A Ci pula.

"Tidak, aku justru ingin tahu, "kata Goan-ci.

"Kamu ini sungguh kelewat goblok, telah kuselamatkan jiwamu, tapi kamu malah tidak tahu dan tidak berterima kasih kepadaku, "ujar A Ci. "Apakah kamu tidak tahu bahwa Siau-tai-ong hendak mencacahmu hingga luluh, benar-benar kamu tidak tahu?"

"Dia adalah pembunuh orang tuaku, sudah tentu iapun takkan membiarkan aku hidup," sahut Goan-ci.

"Beliau pura-pura membebaskan kau, tapi diam-diam memerintah orang untuk menangkapmu kembali dan mencencangmu hingga menjadi baso, "demikian A Ci sengaja menakut-nakuti, "Tapi untung kamu ketemu aku karena melihatmu bocah busuk ini tidak terlalu jelek kalau dibunuh agak sayang juga rasanya, maka diam-diam aku menyembunyikanmu. Namun demikian, bila pada suatu ketika secara kebetulan Siau Hong datang kemari dan pergoki dirimu, tentu jiwamu tetap akan melayang dan bahkan aku pun ikut tersangkut."

Tiba-tiba Goan-ci sdar oleh duduknya perkara, ia berseru. "Ah kiranya nona sengaja menyuruh membuatkan topeng besi ini untukku, sebenarnya maksudmu baik demi untuk menyelamatkan jiwaku supaya tidak dikenal musuh besarku. Sungguh aku... aku sangat berterima kasih, sangat ber... berterimakasih."

Sesudah mempermainkan orang, bahkan orang merasa terima kasih malah, A Ci menjadi senang tak terkatakan. Dengan tersenyum kemudian ia berkata lagi, "Nah, makanya lain kali bila bertemu dengan Siau-tai ong janganlah sekali-kali kau buka suara agar tidak dikenali beliau. Bila sampai dikenal olehnya, hm, pasti celakalah kamu. Nih lihat! Sekali lengan kirimu ditarik dan 'cret', kontan lenganmu lantas putus, dan sekali betot pula, seketika lenganmu yang lain akan terpisah dari tubuhmu. Nah ingat baik-baik pesanku ini."

"Sili coba bawa pergi dia, beri pakaian orang Cidan, sikat dan mandikan dulu badannya, idiiiiiih baunya!"

Kapten Sili mengiakan dan membawa pergi Yu Goan-ci.

Tidak lama kemudian pemuda itu dibawa kembali oleh Sili. A Ci lihat pemuda itu sudah berganti pakaian orang Cidan. Untuk menyenangkan hati A Ci, sengaja Sili mendandani Goan-ci hingga topengnya berwarna-warni mirip badut sirkus.

"Hihihihi, kau mirip benar seperti seorang badut, " kata A Ci terkikik-kikik geli. "Eh, ya, akan kuberi suatu nama padamu. Namamu adalah... adalah badut, ya, badut besi, inilah namamu. Selanjutnya kalau aku memanggil badut besi, maka kamu harus cepat menjawab tahu? Nah, badut!"

"Sayaaa!" cepat Goan-ci menjawab.

Senang sekali A Ci. Ia merasa mendapatkan suatu hiburan yang paling menggembirakan.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu, segera ia berkata, "Sili, bukankah dari negeri Tai-sip (sekarang negeri Arab) ada antaran seekor singa besar? Nah bawa kemari singa itu bersama pawangnya, panggil pula belasan orang pengawal kemari."

Kapten Sili segera meneruskan perintah itu. Maka hanya sebentar saja 16 orang pengawal dengan membawa tombak masuk ke dalam istana, mereka memberi hormat kepada A Ci, lalu membalik tubuh, 16 batang tombak mereka siap untuk menjaga sang putri.

Tidak antara lama, tiba-tiba terdengar auman singa, delapan laki-laki kekar menggotong datang sebuah kerangkeng besi besar. Di dalam kerangkeng tampak seekor singa jantan sedang berputar kian kemari, bulu lehernya panjang lebat, kuku cakarnya tajam, tampaknya sangat galak. Di depan kerangkeng mendahului berjalan seorang penjinak singa dengan memegang cambuk kulit.

Dengan girang A Ci berkata kepada Goan-ci, "He, badut besi, aku ingin menjajal sesuatu, ingin kau lihat kamu tunduk kepada perintahku atau tidak."

Tanpa pikir Goan-ci mengiayakan. Tapi perasaannya sudah mendebur demi melihat singa jantan yang gagah dan galak itu.

Maka terdengar A Ci berkata pula, "Sejak kau pakai topeng, aku tidak tahu apakah topeng besi itu terpasang kukuh atau tidak di atas kepalamu. Maka cobalah julurkan kepalamu ke dalam kerangkeng dan membiarkan singa itu menggigit, ingin kulihat apakah binatang itu mampu menggigit hancur topengmu atau tidak."

Keruan Goan-ci terperanjat, cepat serunya, "Ha, ini... ini jangan dicoba. Kalau topeng hancur, tentu kepalaku.... "

"Sungguh tak berguna kamu menjadi manusia, "kata A Ci dengan kurang senang, "masakah soal sekecil ini juga ketakutan. Seorang laki-laki sejati harus pandang mati seperti pulang, tahu? Apalagi kukira topengmu juga takkan hancur di gigit singa."

"Nona, urusan ini tidak boleh dibuat main-main, "kata Goan-ci pula. "Andaikan topeng tahan hancur, tapi kalau digigit hingga gepeng, yah, tentu kepalaku.... "

Jilid 45

"Hihihi, paling-paling kepalamu akan ikut gepeng saja, apanya sih yang kauributkan?" demikian A Ci memotong dengan tertawa. "Ai, kamu anak busuk ini memang suka rewel, dasar mukamu memang juga jelek, andaikan kepalamu nanti penjol, toh tetap terbungkus di dalam topeng, masakah orang bisa tahu?"

"Aku tidak .... "

"Kamu tidak mau menurut? Baik Sili, jebloskan dia saja ke dalam kerangkeng itu untuk umpan singa!" Segera A Ci memotong sebelum selesai Goan-ci berkata.

Keruan Goan-ci serba runyam, ia pikir daripada mati konyol menjadi isi perut singa, lebih baik coba-coba peruntungan saja dengan memasukkan kepala ke dalam kerangkeng itu. Maka cepat-cepat ia berteriak, "Nanti dulu, nona! Baiklah, aku menurut!"

Nah, beginilah baru pintar!" ucap A Ci dengan tertawa, "Ingat, lain kali jangan sekali-kali membangkang, apa yang kukatakan harus segera dilakukan, kalau rewel, hm, biar kau tahu rasa nanti. Sili hukum dia dengan 30 kali cambukan!"

Kapten Sili mengiakan. Segera ia pinjam cambuk kulit dari si penjinak singa, "Tarr", kontan ia sabat punggung Yu Goan-ci.

Karena kesakitan. Goan-ci sampai menjerit.

"Badut besi, "kata A Ci, "Kalau kusuruh orang mengajarmu, itu menandakan aku menghargaimu. Tapi kamu gembar-gembor malah apakah kamu tidak suka dihajar?"

"O, suka, tentu suka, terimakasih atas kebaikan nona!" demikian cepat Goan-ci menjawab.

"Baik, Nah hajar lagi!" seru A Ci.

"Tar, tar, tarr", segera kapten Sili menyabat lagi belasan kali. Dengan menggertak gigi Goan-ci bertahan sekuatnya, walaupun sakitnya sebenarnya sampai merasuk tulang, sama sekali ia tidak merintih lagi.

Sebaliknya A Ci kurang puas karena dia diam saja. Katanya pula. "He, badut besi, kau bilang senang dihajar bukan?"

"Ya, nona!" sahut Goan-ci.

"Benar-benar suka, bukan dusta? Jangan-jangan kamu sengaja menipu aku?"

"Sungguh-sungguh, masakah aku berani menipu nona!"

"Jika kamu benar-benar senang, mengapa kamu tidak tertawa? Mengapa tidak menyatakan kepuasanmu atas hajaran itu?"

Rupanya sudah terlalu banyak tersiksa hingga nyalinya pecah, maka Goan-ci menjadi lupa pada artinya murka. Apa yang dikatakan gadis cilik itu ia selalu menurut saja, katanya segera, "Ya, nona sangat baik padaku, maka menyuruh orang menghajarku, sungguh aku merasa sangat puas!"

"Nah, beginilah baru mendingan, "kata A Ci."Coba sekarang!"

Segera ia beri tanda, kapten Sili lantas mengayun cambuk lagi. "Tar", kembali punggung Goan-ci kena disabat.

"Hahahahaha!" benar juga sekali ini Goan-ci terbahak-bahak. Katanya, "Puas sekali aku! Terimakasih nona!"

"Tarrr!" lagi-lagi pecut berbunyi dan kembali Goan-ci berkata, "Terimakasih nona!"

"Tarrr!" kembali pecut berbunyi dan Goan-ci berkata pula, "Terimakasih atas budi pertolongan jiwaku, nona! Cambukan ini sungguh sangat memuaskan!"

"Tar, tarr!" begitulah berturut-turut lebih 20 kali cambukan menghujani badan Yu Goan-ci, dipunggung dengan sabatan tadi, jumlah seluruhnya sudah lebih dari 30 kali.

"Sudahlah, cukup untuk sekarang ini, "segera A Ci menyetop. "Nah, sekarang masukkan kepalamu ke dalam kerangkeng."

Goan-ci merasa ruas tulang seantero badan seakan-akan retak, dengan sempoyongan ia mendekati kerangkeng singa. Sekali menggertak gigi, dengan nekat ia masukkan kepalanya ke dalam terali kerangkeng itu.

Melihat tantangan itu, singa itu kaget malah hingga mundur beberapa langkah ke belakang. Binatang itu mengincar dan mengamat-amati topeng besi sejenak, lalu mundur satu langkah lagi sambil meraung.

"Ayolah, perintahkan singamu menggigit, kenapa tidak menggigit!" seru A Ci.

Segera pawang singa membentak-bentak beberapa kali, karena mendapat perintah, singa itu lantas menubruk maju, sekali pentang mulutnya yang lebar, terus saja ia caplok kepala Yu Goan-ci yang terbungkus topeng besi itu. Maka terdengarlah "krak-krek, krak-krek" yang keras, suara kertakan gigi singa yang beradu dengan besi.

Sejak mula Goan-ci memejamkan mata, maka ia merasa hawa hangat merangsang mukanya melalui lubang-lubang mata, hidung dan mulut topeng itu. Ia tahu batok kepala belakang sudah tercaplok di dalam mulut singa. Mendadak ia merasa batok kepala depan dan belakang kesakitan sekali. Kiranya bekas luka di atas kepala yang hangus terkena besi panas dahulu, kini pecah lagi karena gigitan singa.

Ketika singa itu menggigit sekuatnya beberapa kali dan tidak menghasilkan apa-apa, bahkan giginya malah kesakitan, binatang itu menjadi murka, mendadak cakarnya menggaruk ke depan hingga bahu Goan-ci kena dicakar.

Saking kesakitan oleh cakaran itu, tanpa terasa Goan-ci menjerit. Dan ketika mendadak merasa barang yang dicaploknya itu mengeluarkan suara keras, singa itu menjadi kaget dan lepaskan kepala yang digigitnya itu serta menyurut mundur.

Keruan si pawang singa merasa malu karena binatang asuhannya itu kena digertak. Segera ia membentak-bentak pula memerintahkan singa itu menggigit lagi Yu Goan-ci. Sekonyong-konyong Goan-ci menjadi murka, sekuat tenaga ia pegang tengkuk penjinak singa itu, ia jejalkan juga kepala penjinak singa ke dalam kerangkeng..

Keruan penjinak singa itu berteriak-teriak. A Ci merasa senang, ia bertepuk tangan dengan tertawa dan berkata, "Bagus, bagus, permainan bagus! Biarkan mereka, jangan dilarai!"

Mestinya para prajurit Cidan hendak menarik tangan Yu Goan-ci, demi mendengar perintah A Ci itu, mereka urung bertindak.

Sambil berteriak-teriak si penjinak singa meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Tapi saat itu Goan-ci sudah kalap, betapapun ia tidak mau melepaskan orang.

Tiada jalan lain, terpaksa pawang singa minta bantuan binatang asuhannya, ia lekas berteriak-teriak memberi perintah, "Gigit! Gigit dia! Lekas!"

Mendengar suara perintah, singa itu menggerung keras-keras terus menerkam. Binatang itu hanya tahu sang majikan memerintahkan dia menggigit, tapi tidak tahu apa yang harus digigit. Maka ketika mulutnya yang lebar itu merapat kembali. "Kriuk", tahu-tahu separoh buah kepala penjinak singa sendiri yang kena digeragot hingga darah berceceran dan otak berantakan.

"Hure! Badut besi yang menang!" demikian A Ci bersorak tertawa.

Segera ia memberi perintah agar prajurit Cidan menyeret pergi mayat si penjinak singa dan menggotong pergi kerangkeng singa itu. Lalu katanya kepada Yu Goan-ci, "Badut besi, sekarang kamu sudah pintar, pandai menyenangkan hatiku.. Ehm, aku akan memberi hadiah padamu. Tetapi, hadiah... hadiah apa ya yang tepat?"

Begitulah ia lantas bertopang dagu dan berpikir...

"Aku tidak perlu diberi hadiah, nona, aku hanya ingin mohon sesuatu padamu," demikian kata Goan-ci.

"Mohon apa?" tanya A Ci.

"Semoga nona memperbolehkan aku menggiring disampingmu untuk menjadi budakmu," sahut Goan-ci.

"Menjadi budakku?" A Ci menegas. "Mengapa dan untuk apa? Ehm tahulah aku, tentu kau ingin mencari kesempatan bila Siau Tai-ong datang menjengukku, lalu kamu mendadak menyerangnya lagi untuk membalas sakit hati ayah ibumu, betul tidak?"

"Tidak, tidak!" seru Goan-ci cepat, "Sekali-kali bukan begitu maksudku."

"Habis masakah kamu tidak ingin membalas dendam?"

"Sudah tentu aku sangat ingin. Cuma kesatu, aku belum mampu menuntut balas. Kedua, tidak boleh merembet diri nona."

"Jika begitu, mengapa kau mau menjadi budakku ?"

"Sebab... sebab nona adalah... gadis paling cantik di dunia ini, maka aku ingin... ingin melihat engkau setiap hari, "demikian sahut Goan-ci dengan tergagap.

Ucapan ini sebenarnya terlalu kurangajar dan terlalu berani, bila A Ci adalah seorang gadis biasa, tentu ia akan merasa ucapan Goan-ci itu bersifat rendah dan bukan mustahil akan memerintahkan pemuda itu dibunuh. Tapi A Ci justru senang dipuji, ia suka orang memujinya cantik.

Padahal usianya sekarang masih terlalu muda, meski air mukanya memang ayu, tapi bangun tubuhnya belum lagi masak, ditambah habis terluka parah, badannya masih kurus dan wajahnya pucat, masih jauh untuk disebut sebagai "gadis paling cantik di dunia." Tapi manusia mana yang tidak suka dipuji, apalagi dipuji sebagai gadis tercantik, sudah tentu A Ci sangat senang.

Dan selagi ia hendak menerima permintaan Goan-ci itu, tiba-tiba didengarnya dayang melapor "Taiong datang!"

A Ci melirik Goan-ci sekejap dan bertanya dengan suara rendah, "Kau takut tidak?"

"Ti... tidak!" sahut Goan-ci dengan agak gemetar. Padahal dia takut setengah mati mendengar kedatangan Siau Hong.

Ketika pintu istana terbuka, tertampaklah Siau Hong melangkah masuk dengan baju kulit yang enteng dan ikat pinggang yang lemas. Ketika melihat di atas lantai banyak tercecer darah, pula melihat bentuk kepala Yu Goan-ci yang aneh itu, Siau Hong menjadi heran dan bertanya kepada A Ci dengan tertawa, "Air mukamu hari ini kelihatan sangat segar, kamu lagi main apa? Kepala orang ini memakai topi apa, sungguh aneh?"

"Ini Thi-thau-jin (manusia kepala besi) persembahan dari negeri Kojiang, namanya badut besi, singapun tidak sanggup menggigit pecah kepalanya. Lihatlah disitu masih terdapat bekas gigitan singa, "tutur A Ci dengan tertawa.

Waktu Siau Hong memandang topeng besi di kepala Goan-ci, memang benar bekas gigitan singa masih kelihatan jelas.

"Cihu, apakah engkau mampu melepaskan topeng besinya itu?" tiba-tiba A Ci bertanya.

Mendengar itu, keruan semangat Goan-ci seakan-akan terbang meninggalkan raganya. Dia pernah menyaksikan betapa perkasanya Siau Hong ketika dikeroyok para ksatria Tionggoan, dengan kepalan saja ia sanggup menghantam hingga perisai milik ayah dan pamannya mencelat. Kalau orang sekarang hendak melepaskan topeng di kepalanya boleh dikatakan terlalu mudah baginya.

Begitulah, kalau tempo hari waktu dikerudung dengan topeng itu ia menyesal dan berduka tak terhingga, sekarang sebaliknya ia berharap topeng besi itu semoga tetap menutup kepalanya agar tidak dikenal Siau Hong.

Tiba-tiba Siau Hong menggunakan jari untuk menyelentik topeng beberapa kali dengan perlahan hingga mengeluarkan suara "trang-tring". Lalu katanya dengan tertawa, "Topeng ini sangat kuat dan bagus pula buatannya, kalau dirusak, apakah tidak sayang?"

"Menurut cerita utusan negeri Kojiang, katanya badut besi ini bermuka bengis dan menakutkan, lebih mirip setan daripada mirip manusia siapa yang ketemu dia pasti ketakutan dan lari, sebab itulah orang tuanya membuatkan topeng besi ini untuk dia agar tidak mengganggu orang lain, "demikian tutur A Ci. "Eh Cihu, aku sangat ingin lihat mukanya yang asli, aku ingin tahu betapa bengis mukanya itu?"

Saking ketakutan hingga Goan-ci gemetar, gigi gemertukan.

Siau Hong dapat melihat manusia kepala besi itu ketakutan luar biasa, maka katanya, "Sudahlah, orang ini sangat ketakutan, buat apa membuka topeng besinya itu? Jika sejak kecil ia sudah pakai topeng, kalau kini dibuka mungkin dia akan putus asa dan sukar untuk hidup terus."

"Sungguh menarik jika begitu, "seru A Ci sambil bertepuk tangan. "Setiap kali aku menemukan kura-kura, aku suka menangkapnya dan membelejeti kulitnya yang keras itu, aku suka melihat kura-kura tanpa kulit dapat hidup berapa lama."

Siau Hong berkerut kening, ia merasa terlalu kejam cara anak dara itu membelejeti kura-kura, katanya, "A Ci seorang anak perempuan mengapa suka membikin susah orang sedemikian rupa?"

"Hm, tentu saja engkau tak suka," jengek A Ci, "Jika aku sebaik A Cu, tidak nanti kau lupakan diriku selama beberapa hari ini."

"Meski aku telah diangkat menjadi Lam-ih-tai-ong apa segala sehingga setiap hari selalu sibuk saja, tapi setiap hari aku kan pasti datang menjengukmu?" sahut Siau Hong.

"Menjenguk, ya, memang hanya menjenguk saja sebentar, aku justru tidak suka dijenguk saja dan habis perkara, coba kalau aku jadi A Cu, tentu engkau takkan cuma menjenguk saja, tapi akan selalu mendampingiku."

Mendengar nama "A Cu" berulang kali disebut, apa yang dikatakannya juga memang betul, Siau Hong menjadi tak bisa menjawab, terpaksa ia mengekek tawa dan berkata, "Ya, Cihu kan orang tua, tiada minat buat main dengan kanak-kanak seperti dirimu, bolehlah kau cari teman yang sebaya denganmu untuk mengawanimu bermain."

"Kanak-kanak, selalu kau katakan begitu, aku justru bukan kanak-kanak lagi, "sahut A Ci. "Dan kalau engkau tidak minat bermain dengan aku, kenapa datang juga ke sini?"

"Aku ingin tahu kesehatanmu sudah tambah baik tidak dan ingin tahu apakah hari ini kamu sudah makan empedu beruang atau belum?" kata Siau Hong.

Mendadak A Ci angkat bantalan pengganjal bangku dan dibanting ke lantai, katanya, "Jika hatiku tidak gembira, biarpun setiap hari makan satu pikul empedu beruang juga tidak berguna!"

Kalau A Cu yang sedang marah-marah, betapapun juga tentu Siau Hong akan berusaha membujuknya, tapi terhadap anak dara yang suka ngambek, anak perempuan yang nakal dan licin ini, mau tak-mau timbul semacam rasa jemu dalam hati Siau Hong, segera katanya, "Ya, sudahlah, boleh kamu mengaso saja!"

Habis itu, ia lantas tinggal pergi.

A Ci termangu-mangu dan ingin menangis mengikuti kepergian sang Cihu, sekilas tiba-tiba dilihatnya Yu Goan-ci, seketika api amarahnya ingin dilampiaskan pada orang sial itu. Teriaknya mendadak, "Sili, cambuk lagi dia 30 kali!"

Kapten Sili mengiakan sambil angkat cambuknya.

"Nona, apakah aku berbuat suatu kesalahan lagi?" seru Goan-ci.

Tapi A Ci tidak menjawabnya, sebaliknya memberi tanda agar Sili cepat mencambuk.

"Tar!" segera Sili ayun pecutnya, "Tar!" kembali pecut menyembat pula punggung sasarannya.

"Nona, sebenarnya apa salahku, harap aku diberitahu, supaya lain kali kesalahan itu takkan terulang lagi!" teriak Goan-ci dengan menahan sakit, sementara itu pecut Sili masih terus menyabat.

"Bila aku ingin menghajarmu, maka setiap saat dapat kulakukan, tidak perlu kautanya berbuat salah apa, masakah aku bisa keliru menghajarmu?" demikian kata A Ci, "Kau tanya dirimu berbuat salah apa, justru karena kau tanya, maka kamu harus dihajar!"

"Tapi... tapi nona lebih dulu menyuruh hajar diriku, baru aku tanya," ujar Goan-ci.

Dalam pada itu pecut Sili tidak pernah berhenti, punggung Goan-ci masih terus disabet.

"Memang sudah kuduga kamu tentu akan tanya, maka kusuruh orang menghajarmu, dan benar juga kamu lantas tanya, bukankah itu menandakan dugaanku sangat tepat?" ujar A Ci dengan tertawa. "Sekaligus juga menandakan kamu tidak taat benar-benar padaku, seharusnya ketika kau tahu nonamu mendadak ingin menghajar orang jika kamu memang seorang budak setia, seharusnya kamu tampil ke muka dan ajukan diri untuk dihajar. Tapi kamu malah rewel dan merasa penasaran. Baiklah, kamu tidak suka dihajar, maka akupun tidak mau menghajarmu lagi."

Hati Goan-ci terkesiap dan merinding mendengar ucapan terakhir itu. Ia tahu bila A Ci tidak menghajarnya, tentu akan dicari suatu hukuman yang lebih kejam daripada cambukan itu, maka lebih baik sekarang juga ia terima 30 kali cambukan itu. Segera ia berkata, "Ya, memang hamba yang salah, hamba yang salah! Jika nona sudi menyuruh orang menghajar hamba, hal mana akan berfaedah bagi badan hamba, silahkan nona menyuruhnya menghajar lagi, hajarlah lebih banyak dan lebih banyak dan lebih keras."

"Jika begitu, baiklah akan kupenuhi permintaanmu, "kata A Ci, "Nah Sili, cambuk dia 100 kali bulat, dia sendiri yang minta lebih banyak dicambuk."

Sudah tentu Yu Goan-ci terperanjat, ia pikir apakah jiwanya bisa dipertahankan setelah dicambuk 100 kali? Tapi urusan sudah terlanjur, ia sendiri yang minta dihajar lebih banyak dan lebih keras, kalau sekarang membangkang tentu akan lebih celaka lagi. Terpaksa ia diam saja, ia pikir kalau rewel-rewel bukan mustahil nona yang nakal dan kejam itu akan menghabiskan jiwanya dengan suatu cara yang sukar diduga.

Dan ketika A Ci mulai memberi tanda, "tar", segera cambuk Sili bekerja pula tanpa ampun.

"Tar, tar!" Sili terus menyembat hingga lebih 50 kali, saking kesakitan Yu Goan-ci sampai mendeprok, sebaliknya A Ci memandangnya dengan tersenyum simpul, ditunggunya pemuda itu bersuara minta ampun. Dan asal Goan-ci minta ampun, A Ci akan punya bukti lagi untuk menambahi cambukannya.

Tak tersangka Goan-ci sudah dalam keadaan limbung, dalam keadaan sadar-tak-sadar, ia hanya merintih perlahan, tapi tidak minta diampuni. Ketika di cambuk sampai lebih 70 kali, akhirnya Goan-ci jatuh pingsan.

Namun Sili sama sekali tidak kenal kasihan ia tetap menjalankan tugasnya sampai genap mencambuk 100 kali barulah berhenti.

Melihat Goan-ci sudah kempas-kempis, lebih banyak matinya daripada hidup, A Ci menjadi kecewa malah, katanya, "Sudahlah, seret pergi saja, orang itu tidak menarik lagi. Sili, boleh kau carikan permainan lain yang lebih menyenangkan."

Karena hajaran itu, Yu Goan-ci benar-benar babak belur, untuk mana dia mesti menggeletak sebulan penuh barulah sembuh.

Melihat pemuda itu sudah dilupakan oleh A Ci, maka orang Cidan tidak menyiksanya lagi, tapi lantas mencampurkan dia ke dalam rombongan tawanan yang lain untuk melakukan pekerjaan kasar seperti mencuci kandang domba, mengumpulkan kotoran sapi, menjemur kulit dan lain-lain.

Karena kepalanya memakai kerudung besi, maka setiap orang suka mengejek dan menghina Yu Goan-ci, bahkan sesama bangsa Han dalam tawanan itu juga menganggapnya sebagai "siluman".

Goan-ci terima semua ejekan dan hinaan itu, dengan diam saja hingga mirip orang bisu, orang memaki dan memukulnya, ia pun tidak pernah melawan dan membalas. Hanya kalau kebetulan ada orang lewat menunggang kuda, tentu ia mendongak untuk melihat siapakah gerangan penunggang kuda itu. Yang selalu terpikir olehnya hanya satu, "Bilakah nona cantik itu akan memanggil aku untuk dihajar lagi?"

Begitulah karena dia berharap dapat melihat A Ci, biarpun akan disiksa dengan macam-macam hajaran juga dia rela.

Setelah lewat dua bulan pula, hawa udara perlahan mulai hangat, Yu Goan-ci ikut orang banyak lagi mengangkat bata di luar benteng kota untuk membetulkan tembok benteng.

Tiba-tiba didengarnya suara derapan kuda keluar dari pintu gerbang selatan, segera terdengar suara tertawa seorang gadis nyaring merdu, "Ai, kiranya Badut besi ini belum lagi mati! Kukira dia sudah lama mati! Hei badut besi, kemarilah!"

Itulah suara A Ci, suara anak gadis yang selalu terbayang oleh Yu Goan-ci siang dan malam, ia terpaku malah di tempatnya ketika mendengar panggilan A Ci. Ia merasa jantungnya berdebar dan tangan terasa dingin.

"Badut besi, setan kamu, aku memanggilmu apa kamu tidak dengar?" kembali A Ci berseru.

Dan baru sekarang Goan-ci mengiakan, "Ya, nona!"

Ternyata selama empat bulan ini A Ci sudah tambah gemuk sedikit, air mukanya kemerah-merahan dan bercahaya hingga makin menambah kecantikannya, hati Goan-ci berdebar dan karena setengah melamun, kakinya kesandung sesuatu dan keserimpet jatuh.

Ditengah gelak tertawa orang banyak, lekas Goan-ci merangkak bangun dengan rasa malu, sudah tentu tiada seorang pun yang dapat melihat mimik wajahnya itu.

Rupanya A Ci sedang gembira, dengan tertawa katanya, "Eh badut, kenapa kamu belum mati?"

"Aku... aku belum lagi membalas kebaikan nona, maka tidak boleh mati cepat-cepat, "sahut Goan-ci.

A Ci mengikik tawa, katanya, "Aku justru lagi mencari seorang budak yang setia untuk suatu tugas, aku kuatir orang Cidan terlalu kasar sehingga tak bisa melaksanakan tugas dengan baik, sekarang kamu ternyata belum mati, itulah sangat kebetulam. Nah boleh kauikut padaku!"

Goan-ci mengiakan, lalu mengikut dibelakang kudanya.

Segera A Ci memerintahkan Sili dan tiga orang pengawalnya pulang lebih dulu.

Sili kenal watak sigadis, apa yang dikatakan tidak boleh dibantah. Ia lihat orang berkerudung besi ini terlalu lemah, penakut pula, rasanya tak akan berbahaya bila dia ikut sang putri. Maka ia hanya pesan junjungannya itu, "Harap nona hati-hati dan lekas pulang!"

Lalu mereka berempat melompat turun dari kuda dan menunggu di luar gerbang kota. A Ci sendiri lantas menjalankan kudanya perlahan ke depan dengan diikuti Goan-ci berjalan di belakang.

Kira-kira beberapa li jauhnya, tempat yang dituju itu makin sunyi dan akhirnya sampai di suatu lembah pegunungan yang lembab.

Goan-ci merasa jalan di lembah pegunungan itu sangat lunak, terdiri dari tanah dedaunan dan rumput yang sudah kering dan lapuk.

Kira-kira satu-dua li jauhnya, jalan di situ mulai berliku-liku, A Ci tidak dapat menunggang kuda lagi, ia melompat turun dari kudanya, sambil memegangi les kuda ia melanjutkan perjalanan.

Sekitar situ tampak lembab dan dingin, angin meniup dari suatu selat yang sempit hingga kulit daging A Ci dan Goan-ci terasa perih.

"Sudahlah, disini saja!" tiba-tiba A Ci berkata. Lalu ia tambatkan kudanya di suatu pohon dan berkata kepada Goan-ci, "Nah, ingatlah dengan baik apa yang kau lihat hari ini dilarang diceritakan kepada siapapun juga, selanjutnya juga tidak boleh menyinggungnya dihadapanku, ingat tidak?"

"Baik, nona!" sahut Goan-ci.

Girang Goan-ci sungguh tak terkatakan. A Ci hanya suruh dia ikut sendirian dan kini sampai di tempat sunyi seperti ini, andaikan si gadis nanti akan menghajarnya hingga setengah mati juga dia rela.

Kemudian tertampak A Ci mengeluarkan sebuah Giok-ting, tripod atau wajan kemala berkaki tiga, warna tripod itu hijau mulus. Lalu ditaruh diatas tanah dan katanya kepada Goan-ci, "Sebentar bila melihat serangga atau binatang apapun yang aneh, sekali-kali kamu tidak boleh bersuara, tahu tidak?"

Goan-ci mengiakan.

Segera A Ci mengeluarkan pula suatu bungkusan kain kecil, ia keluarkan beberapa potong bahan wewangian yang berwarna-warni, ia remas sedikit tiap-tiap potong bahan wangi-wangian itu ke dalam tripod, lalu ia menyulutnya dengan api hingga terbakar, kemudian menutup tripod itu.

"Marilah kita tunggu di bawah pohon sana, "kata A Ci.

Tapi Goan-ci tidak berani duduk berdekatan dengan si nona, ia menyingkir kira-kira dua-tiga meter jauhnya, ia duduk di atas batu di bawah angin. Ketika angin meniup dan membawa bau harum si gadis, tanpa terasa pikiran Goan-ci melayang-layang dimabuk diri.

Sungguh tak tersangka olehnya bahwa dalam hidupnya ini bisa menemui saat bahagia seperti ini, ia merasa derita sengsara yang dialaminya selama ini tidaklah penasaran.

Begitulah selagi pikiran Goan-ci dimabuk oleh lamunan sendiri, tiba-tiba terdengar di semak-semak rumput sana ada suara gemerisik, seekor binatang merayap tampak muncul.

Dalam urusan lalu Goan-ci boleh dikatakan tidak becus, tapi dalam hal menangkap ular dan main binatang merayap lain masih boleh juga kepandaiannya. Maka demi mendengar suara itu, segera ia tahu ada sesuatu makhluk aneh.

Benar juga, segera dari tengah rumput hijau itu merayap keluar seekor lipan atau kelabang merah bercahaya, lebih-lebih bagian kepalanya merah membara, sangat berbeda dengan kelabang pada umumnya.

Rupanya karena mengendus bau harum bahan wangi-wangian yang terbakar dalam tripod, maka kelabang itu merayap ke arah situ terus menyusup ke dalam wajan melalui lubang disampingnya, dan tidak keluar lagi.

Selagi Goan-ci hendak menyatakan bahwa kelabang berbisa sangat jahat, tiba-tiba dari belakang terdengar suara gemerisik pula, seekor ketungging berwarna coklat merayap tiba dengan cepat sekali. Segera Goan-ci bermaksud menginjak mati binatang itu, tapi mendadak A Ci membentaknya, "He, jangan membunuhnya, goblok!"

Maka sebelah kaki Goan-ci yang sudah terangkat itu urung menginjak ke bawah. Dalam pada itu ketungging itu lantas merayap ke arah tripod dan menyusup ke dalamnya. Dalam sekejap saja terdengarlah suara mencicit ramai, kelabang tadi telah bertarung dengan ketungging.

Sejak kecil Goan-ci paling suka mengadu jengkerik dan serangga lain. Kini ia sangat ingin bisa membuka tutup tripod untuk menyaksikan pertarungan antara kelabang melawan ketungging itu. Tapi dibawah pengaruh A Ci, ia tidak berani sembarangan bertindak.

Dan belum selesai pertarungan antara kelabang melawan ketungging itu, kembali dari arah lain datang seekor cicak, menyusul dari arah berlawanan datang pula seekor binatang aneh yang bulat bentuknya dan berwarna loreng, entah apa namanya. Kedua binatang ini pun segera menyusup ke dalam tripod, maka tambah ramailah suara mencicit tadi.

Ketika Goan-ci memandang ke arah A Ci, ia lihat gadis itu sangat senang, kedua tangan yang putih halus itu tiada hentinya bergesek-gesek, terdengar gadis itu bergumam perlahan, "Sungguh sangat mujarab, sudah datang empat jenis."

Belum selesai ucapannya, kembali seekor serangga masuk lagi ke dalam tripod. Itulah seekor laba-laba berbisa.

Dan baru sekarang Goan-ci paham duduknya perkara, "Kiranya nona ini memilih tempat yang lembab ini untuk mencari binatang dan serangga berbisa. Tapi entah apa gunanya, jika untuk melihat pertarungan binatang-binatang itu, mengapa dia tidak membuka tutup tripod?"

Sejenak kemudian, "plok", tiba-tiba ketungging tadi jatuh keluar tripod dan tak berkutik lagi, terang sudah mati.

Selang tidak lama, berturut-turut bangkai labah-labah, cicak dan serangga bulat yang tak dikenal namanya pun menggelinding keluar semua.

"Haha, tetap kelabang kepala merah yang paling lihai, "seru A Ci dengan senang.

"Nona, dupa apakah yang kaubakar hingga begini banyak serangga berbisa terpancing kemari?" tanya Goan-ci.

Mendadak A Ci menarik muka, semprotnya, "Sudah kukatakan tidak boleh bertanya, kamu sudah lupa ya? Kalau berani buka mulut lagi, segera kucambuk kamu 100 kali!"

"Hamba ter... terlalu senang sehingga lupa daratan, harap... harap nona memaafkan, "sahut Goan-ci dengan merendah.

A Ci tidak menggubris lagi, segera ia keluarkan pula sebungkus kain waktu dibuka, kiranya sepotong kain sutra yang tebal. Kain sutra itu bersulam indah dan berwarna-warni menyilaukan mata.

Segera ia bungkus Giok-ting itu dengan kain mengkilat itu. Ketika Goan-ci memperhatikan bangkai labah-labah, ketungging dan lain-lain ia lihat binatang itu sudah kering, sari racunnya sudah terisap habis oleh kelabang kepala merah itu.

Sementara itu A Ci sedang mengikat bungkusan kain satin itu dengan kencang seakan-akan kuatir kalau kelabang di dalam Giok-ting itu akan merayap keluar. Kemudian ia masukkan bungkusan itu ke dalam tas kulit di pelana kudanya.

"Marilah kita pulang!" katanya dengan tertawa.

Sambil mengikut di belakang kuda si gadis, diam-diam Goan-ci membatin, "Tripod hijau itu sungguh sangat aneh, yang lebih aneh lagi adalah dupa wangi yang dia bakar itu. Hanya karena mengendus bau wangi dupa itulah maka serangga-serangga itu terpancing kemari."

Setiba kembali di istana Toan-hok-tian, segera A Ci memerintahkan pengawalnya membersihkan sebuah kamar yang kecil di samping istana untuk tempat tinggal Yu Goan-ci. Keruan girang Goan-ci melebihi orang mendapat warisan, sebab tanpa ia tahu selanjutnya setiap hari akan dapat melihat A Ci.

Benar juga, esoknya A Ci memanggilnya pula dan membawa dia masuk ke ruangan istana samping, lalu A Ci sendiri menutup pintu ruangan hingga di dalam situ cuma tinggal mereka berdua.

Hati Goan-ci berdebar-debar sebab tidak tahu apa yang hendak dilakukan si nona.

Tiba-tiba A Ci mendekati sebuah guci, ia buka tutup guci itu dan berkata kepada Goan-ci, "Coba lihat, sangat tangkas, bukan?"

Waktu Goan-ci ikut melongok ke dalam guci, ia lihat kelabang yang ditangkapnya kemarin itu sedang merayap-rayap dengan cepat dalam guci.

"Sekarang kita pergi mencari lagi sejenis binatang berbisa yang lain," ajak A Ci.

Goan-ci tidak berani banyak bertanya, ia hanya mengiakan saja, walaupun dalam hati sangat heran, seorang nona cantik demikian mengapa suka main binatang berbisa yang menjijikkan dan berbahaya seperti itu?

Tidak lama kemudian mereka telah sampai di suatu lembah pegunungan lain, disitu A Ci menyalakan dupa dalam Giok-ting hingga lima jenis binatang berbisa dipancing datang lagi. Dan sesudah pertarungan berakhir, sekali ini yang menang adalah seekor labah-labah hitam.

Setelah pulang, A Ci menaruh labah-labah itu di dalam sebuah guci yang lain. Ia suruh Goan-ci membawa kasur bantalnya ke ruangan istana dan menjaga disitu.

Goan-ci sudah biasa main ular dan serangga berbisa, ia tahu binatang merayap seperti itu sangat pintar menyusup, dimana tampaknya tiada lubang, sering kali binatang-binatang merayap itu dapat menyusut keluar. Dan kalau ada salah seekor labah-labah atau kelabang yang lari keluar pasti dia yang akan tersengat mampus. Sebaliknya kalau sampai binatang itu ada yang hilang, tentu pula dia akan dihajar mati oleh A Ci.

Oleh karena itu semalaman suntuk boleh dikata Goan-ci tidak berani tidur, dengan hati kebat-kebit sebentar-sebentar ia bangun untuk memeriksa kedua guci itu.

Esok paginya, dengan cara yang sama A Ci dapat pula menangkap seekor katak buduk. Hari keempat ia berusaha menangkap binatang berbisa yang lain, tapi tiada sesuatu yang memuaskan, yang dapat dipancing datang hanya sebangsa serangga kecil yang kurang lihai racunnya. Sesudah pindah tempat lagi, akhirnya dapat ditangkapnya seekor ketungging hijau gelap.

Hari kelima ia tidak dapat menangkap binatang berbisa lain. Hari keenam juga nihil usahanya. Sampai hari ketujuh, dapatlah A Ci menangkap seekor ular hijau kecil.

A Ci sangat girang setelah dapat mengumpulkan kelima jenis binatang itu. Ia suruh Goan-ci memiara binatang-binatang itu, setiap hari menyembelih seekor ayam jago, darah ayam jago dibuat makanan binatang-binatang berbisa itu.

Kira-kira belasan hari kemudian, A Ci datang lagi ke ruangan istana samping itu, ia lihat kelima binatang berbisa itu sudah gemuk-gemuk, ia sangat senang. Segera ia keluarkan Giok-ting pula dan menyalakan dupa.

"Bukalah kelima tutup guci itu, "katanya kepada Goan-ci.

Cepat Goan-ci melaksanakan perintah itu, ia buka semua tutup guci dan lekas-lekas menyingkir.

Maka terdengarlah suara gemerisik, kelima jenis binatang berbisa itu telah mengendus bau wangi dupa, mereka berebut merayap keluar dari guci masing-masing terus menyusup ke dalam Giok-ting berturut. Lantas terdengar suara mencicit ramai, kelima jenis binatang itu saling bertarung dengan sengit.

Kelima jenis binatang itu masing-masing sudah pernah mengisap racun dari jenis binatang lain, ditambah lagi selama belasan hari telah diloloh dengan darah ayam jago, keruan mereka sangat tangkas dan sangat bersemangat, begitu ketemu musuh, segera menyerang dengan ganas.

Dan pertama-tama katak buduk itu yang tidak tahan, lebih dulu katak itu jatuh keluar Giok-ting menyusul ular hijau itu pun mati. Tidak lama kemudian, labah-labah loreng dan ketungging pun mencelat keluar semua. Pemenang terakhir tetap kelabang berkepala merah yang tertangkap pertama itu.

Kelabang itu tampak merayap keluar dari Giok-ting untuk mengisap sari racun lawan-lawannya yang sudah mati itu. Maka badan kelabang itu perlahan mulai melembung, rupanya sangat kenyang dengan cairan yang diisapnya. Kepalanya yang merah itu mulai bersemu ungu, lalu menghijau dan membiru.

Semua itu diikuti A Ci dengan rasa senang, betapa girangnya dapat terlihat dari napasnya yang berat, terdengar gadis itu berkata dengan suara rendah, "Jadi, jadilah! Dapatlah kulatih ilmu ini!"

Baru sekarang Goan-ci tahu bahwa sebabnya si gadis menangkap binatang berbisa itu, kiranya ingin melatih sesuatu ilmu.

Sementara itu setelah kelabang tadi kenyang mengisap sari racun lawan-lawannya yang mati itu, lalu merayap kembali ke dalam Giok-ting.

"Badut besi, bagaimana pendapatmu tentang perlakuanku kepadamu selama ini?" tanya A Ci tiba-tiba.

"Oh, sungguh sangat baik, aku merasa hutang budi kepada nona, "sahut Goan-ci. "Biarpun hancur lebur badanku ini juga susah membalas kebaikan nona."

"Apa betul-betul ucapanmu itu?" A Ci menegas.

"Sudah tentu, masakah hamba berani berdusta, "kata Goan-ci. "Asal nona ada perintah, tidak nanti hamba menolak."

"Bagus jika begitu, "kata A Ci. "Nah ketahuilah bahwa ilmu yang akan kulatih ini diperlukan seorang pembantu. Apakah kau mau membantu aku? Jika ilmu ini sudah selesai kuyakinkan, tentu aku akan memberi hadiah padamu."

"Sudah tentu hamba menurut perintah saja dan tidak berani bicara tentang hadiah segala," sahut Goan-ci.

"Baiklah! Nah, sekarang juga aku akan mulai berlatih, "kata A Ci.

Habis berkata, ia terus duduk bersila kedua tangan saling bergesek-gesek, kedua mata terpejam, selang sebentar, lalu katanya, "Coba gunakan tangan untuk menangkap kelabang itu, Jika kelabang itu menggigit tanganmu, sekali-kali kamu tidak boleh bergerak, biarkan kelabang itu mengisap darahmu, makin banyak dia mengisap akan lebih baik."

Sejak kecil Goan-ci sudah biasa main ular dan serangga berbisa, ia tahu binatang merayap seperti kelabang itu sangat jahat rupanya. Kalau tergigit, tentu luka itu akan bengkak, apalagi kelabang kepala merah ini telah mengalahkan binatang berbisa lain, sudah tentu jauh lebih lihai daripada kelabang biasa. Kini A Ci menyuruh tangannya dibiarkan digigit oleh kelabang itu untuk mengisap darahnya keruan ia merinding dan ragu-ragu.

Seketika A Ci menarik muka, tanyanya, "Kenapa? Kamu tidak mau?"

"Bukan tidak mau, nona," sahut Goan-ci. "Cuma... cuma... "

"Cuma apa? Cuma takut mati bukan?" semprot A Ci.

Goan-ci tak bisa menjawab. Ia pikir baru saja ia menyatakan bersedia hancur lebur bagi si gadis dan sekarang tangannya disuruh digigitkan kelabang sudah merasa jeri. Ia coba melirik A Ci, dilihatnya wajah gadis itu bersengut, bibir mencibir hina. Seketika Goan-ci merasa kena sihir, dengan segera ia berkata, "Baik, akan kuturut perintah nona."

Dengan menggertak gigi ia buka tutup guci, ia pejamkan mata dan julurkan tangan ke dalam guci. Dan begitu jari menyentuh dasar guci itu, segera jari tengah terasa sakit seperti tertusuk jarum. Hampir-hampir ia tarik kembali tangannya kalau A Ci tidak keburu mencegahnya.

Terpaksa Goan-ci menahan sakit sekuatnya, waktu ia buka mata, ia lihat kelabang itu telah menggigit jari tengahnya dan benar juga sedang mengisap darahnya.

Bulu roma Goan-ci serasa berdiri semua, sungguh ia ingin membanting kelabang itu ke tanah dan sekali gecek mampuskan binatang itu. Meski berdiri mungkur, ia merasa mata A Ci yang tajam itu seakan-akan menembus punggungnya hingga dia tidak berani berkutik.

Untung rasa sakit gigitan kelabang itu tidak terlalu hebat. Maka lambat laun badan kelabang itu tampak melar, membesar. Sebaliknya jari tengah Goan-ci lamat-lamat seperti bersemu ungu, warna ungu makin tandas hingga akhirnya menjadi hitam. Selang tak lama, warna hitam itu menjalar dari jari menuju ke telapak tangan, lalu naik ke lengan dan ke bahu.

Tapi saat itu Goan-ci sudah tidak menghiraukan jiwanya lagi, ia anggap sepi saja segala bahaya, sebaliknya ia mengulum senyum malah, cuma senyumannya tertutup oleh topeng besi maka A Ci tidak dapat melihatnya.

Dalam pada itu, setelah mengisap darah sekian lamanya, kepala kelabang yang hijau biru itu telah kembali menjadi merah lagi. A Ci terus memperhatikan badan kelabang itu dengan mata tak berkedip. Ketika mendadak kelabang itu melepaskan jari Yu Goan-ci dan mendekam di dalam Giok-ting, selang sejenak, tertampaklah dari lubang bawah Giok-ting itu menitik cairan darah setetes demi setetes.

A Ci tampak sangat girang, segera ia menggunakan telapak tangan untuk menahan cairan darah itu, ia duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam hingga cairan darah di telapak tangan itu terisap masuk ke dalam tangan.

Diam-diam Goan-ci membatin, "Itu adalah darahku, sekarang telah berpindah ke dalam tubuhnya. Agaknya dia sedang melatih semacam ilmu pukulan berbisa sebangsa Ngo-tok-ciang (ilmu pukulan panca bisa) barangkali?"

Sudah tentu dia tidak tahu bahwa Giok-ting itu adalah benda pusaka Sing-siok-pai, apa yang dilatih A Ci itu adalah "Hoa-kang-tai-hoat" yang paling ditakuti oleh jago silat manapun di dunia ini.

Begitulah, ketika kemudian darah beracun dalam badan kelabang itu sudah menetes keluar semua, maka kelabang itu pun lantas mati.

Waktu A Ci menggosok-gosok kedua tangan sendiri, ia lihat telapak tangannya tetap putih bersih sebagai kemala, sedikitpun tiada noda darah, maka tahulah dia bahwa cara berlatih Hoa-kang-tai-hoat yang pernah didengarnya dari sang guru itu memang tepat dan tidak salah sedikitpun, ia girang sekali, segera ia angkat Giok-ting dan menuang keluar kelabang yang sudah mati itu ke lantai, lalu tinggal pergi dengan cepat, sekejappun dia tidak pandang lagi kepada Yu Goan-ci seakan-akan pemuda sama saja seperti bangkai kelabang yang tiada gunanya lagi.

Dengan termangu-mangu dan rasa kecewa Goan-ci memandangi kepergian A Ci, ketika kemudian ia membuka baju sendiri, ia lihat warna hitam tadi sudah menjalar sampai di bagian ketiak, berbareng itu lengannya mulai terasa gatal dan pegal. Rasa gatal dan pepat itu datangnya teramat cepat, dalam sekejap saja ia merasa seperti digigit oleh beratus ribu ekor semut.

Cepat Goan-ci melonjak bangun, segera ia menggaruk tangan yang gatal itu. Tapi lebih celaka lagi sesudah di garuk, rasa gatalnya semakin menjadi hingga serasa tulang sumsum juga dimasuki oleh serangga yang sedang merayap-rayap disitu.

Pada umumnya rasa sakit dapat ditahan dan rasa gatal sukar untuk ditahan. Keruan Goan-ci berjingkrak-jingkrak dan berteriak-teriak. Berulang-ulang ia membenturkan kepala di dinding hingga mengeluarkan suara nyaring, ia berharap dirinya bisa pingsan oleh benturan itu, dengan demikian ia takkan merasakan derita gatal dan pegal luar biasa itu.

Ketika ia membentur-bentur lagi kepalanya beberapakali, tiba-tiba dari bajunya jatuh keluar suatu bungkusan kertas, sejilid buku yang sudah kuning terserak di lantai. Itulah kitab dalam bahasa Hindu kuno yang ditemukannya di padang rumput tempo hari.

Dalam keadaan gatal tak tertahankan ia tidak sempat mengurus barangnya yang jatuh. Tanpa sengaja, sekilas terlihat olehnya halaman kitab yang terbuka itu melukiskan seorang padri asing yang kurus kering. Gaya lukisan itu sangat aneh, padri itu terlukis sedang menungging, kepalanya dimasukkan ke selangkangan jadi memandang ke belakang, sedang kedua tangan memegang kedua kaki sendiri.

Goan-ci sendiri lagi kegatalan sambil berjingkrak-jingkrak hingga tak menaruh perhatian kepada gaya lukisan yang aneh itu, ia masih terus melonjak-lonjak dan berjingkrak-jingkrak seperti orang gila, saking gatalnya hingga rasanya lebih enak mati saja.

Akhirnya saking tak tahan, ia rebahkan diri di lantai sambil menarik-narik baju sendiri hingga sobek dan hancur, ia gosok-gosokkan badan sendiri ke lantai hingga lecet dan mengeluarkan darah.

Begitulah ketika Goan-ci bergelimpangan di lantai sambil menggosok-gosokkan badannya di lantai entah mengapa, tahu-tahu kepalanya menerobos ke selangkangan sendiri. Karena dia memakai ketudung besi, buah kepalanya menjadi amat besar, sekali ketelanjur terjepit di selangkangan, kepalanya menjadi sukar ditarik kembali. Segera ia bermaksud mengeluarkan kepalanya dengan tangan tapi tanpa sengaja dan dengan sendirinya kedua tangan lantas

memegang kaki sendiri.

Ia kelabakan sendiri hingga akhirnya megap-megap. Saking lelah, ia tak bisa berkutik dan terpaksa berhenti sementara untuk ganti napas, dan tanpa sengaja ia lihat kita yang jatuh terbuka dan berada di depan matanya. Paderi kurus kering yang terlukis di dalam kitab itu

gayanya persis seperti dia sekarang.

Keruan ia sangat heran dan geli pula.

Yang paling aneh adalah sesudah dia bergaya seperti padri dalam lukisan itu, meski rasa gatal dalam tubuhnya masih tetap sama, namun napasnya menjadi banyak lebih longgar. Maka ia tidak perlu buru-buru mengeluarkan kepalanya dari selangkangan sendiri, dengan cara begitulah ia mendekam di lantai.

Dan karena kepalanya menerobos di bawah selangkangan, maka matanya menjadi lebih dekat dengan kitab itu. Waktu ia pandang lagi padri dalam lukisan, mendadak ia lihat tubuh padri itu terlukis sedikit-sedikit garis-garis yang halus. Kitab itu sudah tua, kertasnya sudah kotor kekuning-kuningan, goresan-goresan yang halus itu sebenarnya susah terbaca, tapi kini Goan-ci menungging hingga mukanya hampir menempel di atas kitab, maka garis-garis halus itu dapat terlihat jelas.

Saat itu lengan kanan Goan-ci terasa sangat gatal tak terhingga, dan otomatis pandangannya terarah kepada lengan kanan padri kurus dalam lukisan itu. Ia lihat garis halus pada lengan padri itu dari telapak tangan menjurus naik ke tenggorakan, ke dada, ke perut, dan sesudah melingkar kian kemari akhirnya naik ke bahu terus ke ubun-ubun kepala.

Karena mata memandang garis-garis halus dalam lukisan itu, dengan sendirinya hati ikut berpikir juga, maka terasalah rasa gatal aneh di lengannya itu berubah menjadi suatu arus hawa hangat dan menggeser menurut jalan garis dalam lukisan itu, mula-mula mengalir ke tenggorokan, kemudian ke dada, ke perut dan begitu seterusnya hingga akhirnya sampai di ubun-ubun kepala, kemudian lenyap perlahan.

Begitulah berulang ia gunakan pikiran dan setiap kali lantas timbul suatu arus hawa hangat dan menyalur ke dalam otak, sebaliknya rasa gatal di lengan menjadi banyak berkurang.

Heran dan kejut juga Goan-ci, tapi ia tidak sempat menyelami sebab musababnya, segera ia lakukan cara itu hingga lebih 30 kali dan rasa gatal di lengan hanya tinggal sedikit saja, ketika ia melanjutkan belasan kali lagi, rasa gatal itu lantas hilang sirna.

Ketika kemudian ia dapat mengangkat kembali kepalanya, ia periksa lengannya, ia lihat warna hitam yang naik ke atas tadi kini sudah lenyap sama sekali. Saking girangnya, ia berjingkrak. Tapi mendadak ia berteriak, "Ai, celaka! Sekarang racun kelabang itu telah masuk semua ke dalam otakku!"

Namun rasa gatalnya sekarang sudah hilang, keadaan badan sehat seperti biasa, meski ada kemungkinan akan timbul sesuatu di kemudian hari juga tidak dihiraukan lagi. Ia pikir. "Masakah di dunia ini ada kejadian secara begini kebetulan? Dalam keadaan tidak sengaja, tahu-tahu aku menirukan gaya seperti padri dalam lukisan itu? Apakah semua ini memang takdir ilahi?"

Esok paginya, baru saja ia menerobos keluar dari kolong selimutnya, tiba-tiba A Ci datang kesitu. Ketika melihat pakaian pemuda itu hancur hingga hampir telanjang, A Ci menjerit kaget, katanya, "He, kenapa kamu belum mampus?"

Goan-ci terkejut dan cepat menyusup kembali ke dalam selimut, sahutnya, "Ya, hamba belum mati!"

Diam-diam ia merasa pedih karena si gadis menganggapnya sudah mati.

"Boleh juga, jika kamu belum mati, "kata A Ci kemudian, "Nah, lekas pakai baju dan ikut aku pergi menangkap binatang berbisa lain."

Goan-ci mengiakan. Ia tunggu setelah A Ci keluar, segera ia minta suatu stel pakaian kepada prajurit Cidan yang jaga disitu.

Lalu ia ikut A Ci keluar kota untuk mencari binatang berbisa seperti tempo hari. Dan sudah tentu, setiap kali berhasil menangkap sejenis binatang berbisa, selalu Goan-ci yang digunakan sebagai "kelinci percobaan" untuk latihan A Ci yang hendak meyakinkan "Hoa-kang-tai-hoat". Tapi setiap kali Goan-ci selalu menggunakan cara yang dilihatnya dalam lukisan untuk menghapus racun yang masuk ke badannya.

Begitulah maka berulang-ulang Goan-ci telah digigit oleh laba-laba hijau, kemudian seekor ketungging besar. Setiap kali A Ci mengira pemuda itu pasti akan mati, tapi ia menjadi terheran-heran bila esok paginya melihat Goan-ci masih sehat walafiat.

Keadaan itu berlangsung terus hingga tiga bulan, belasan li di sekitar kota itu boleh di katakan sukar didapatkan binatang berbisa lagi, kalau ada hanya tinggal yang kecil dan kurang berguna. Karena itu, tempat yang mereka datangi menjadi makin jauh di luar kota.

Suatu hari, mereka sampai di suatu tempat kira-kira lebih 30 li di barat kota, disitu A Ci menyalakan dupa wangi. Setelah ditunggu hampir satu jam, akhirnya terdengar gemeresek di antara semak-semak rumput sana, segera A Ci berseru, "Awas, tiarap, ke bawah!"

Cepat Goan-ci menurut, ia mendekam ke tanah, maka terdengarlah suara gemersek itu tambah keras, suaranya aneh dan luar biasa.

Diantara suara aneh itu tercampur pula bau amis yang memuakkan, Goan-ci tidak berani bergerak sambil menahan napas. Ia lihat dimana semak rumput tersingkap, muncul seekor ular sawah yang sangat besar.

Kepala ular sawa itu berbentuk segitiga, di atas kepala menonjol sepotong daging yang aneh.

Pada umunya di daerah utara jarang terdapat ular, lebih-lebih ular sawa aneh begitu, selamanya belum pernah dilihat Goan-ci.

Sementara itu ular sawa raksasa itu sudah merayap sampai di dekat Giok-ting, lalu melingkari tripod itu. Badan ular itu panjangnya ada dua-tiga meter. Besarnya sebulat lengan manusia, sudah tentu tidak dapat menyusup ke dalam Giok ting seperti binatang merayap yang lain. Tapi dia sangat tertarik oleh bau wangi dupa di dalam Giok-ting, maka berulang-ulang ular itu membentur dengan kepalanya.

Sungguh sama sekali A Ci tidak menduga bahwa dupa yang dibakarnya itu dapat memancing datang seekor ular sawah raksasa seperti itu. Seketika ia menjadi bingung juga, perlahan ia geser ke samping Goan-ci dan berkata padanya dengan suara tertahan, "Celaka benar!Bagaimana baiknya sekarang? Bila ular itu membikin remuk Giok-ting tentu runyam usahaku selama ini!"

Selama ini Goan-ci selalu dibentak dan dimaki oleh A Ci, belum pernah ia dengar suara ramah-tamah si gadis seperti sekarang, nadanya mengajak berunding padanya, keruan ia terkesiap dan merasa bahagia pula. Segera ia menjawab, "Jangan kuatir, biar kugebah pergi

ular itu!"

Segera ia berbangkit dan melangkah ke arah ular sawah raksasa.

Demi mendengar suara tindakan orang, seketika badan ular itu melingkar-lingkar dan kepala menegak sambil menjulur-julurkan lidahnya yang merah dengan suara mendesis-desis siap untuk memagut.

Melihat betapa garangnya ular itu, mau-tak-mau Goan-ci merasa jeri juga. Ada maksudnya menjemput sepotong batu untuk menimpuk ular itu, tapi ia kuatir luput hingga mengenai Giok-ting malah.

Tengah ragu dan bingung, tiba-tiba terasa angin dingin meniup dari sini-sana ada suatu sumbu api sedang menjalar ke arah sini, hanya dalam sekejap saja jalur api itu sudah menjalar sampai di depannya.

Waktu ia awasi, kiranya bukan sumbu api, tapi di tengah semak-semak rumput itu ada sejenis makhluk aneh, dimana binatang itu merayap lewat, disitu rumput yang tadinya hijau segar lantas hangus seperti habis terbakar. Berbareng itu Goan-ci merasa kakinya sangat kedinginan.

Cepat Goan-ci mundur beberapa tindak, waktu ia perhatikan binatang merayap agak aneh sedang mendekati Giok-ting itu, kini dapat dilihatnya dengan jelas kiranya seekor ular sutra.

Ular sutra itu warnanya putih bening kehijau-hijauan, bentuknya serupa dengan ular sutra umumnya, cuma besarnya lebih sekali lipat hingga mirip seekor cacing. Pula badannya bening tembus seperti kaca.

Tadi ular sawa raksasa itu sangat galak, kepalanya menegak dan mendesis-desis mengancam musuh, tapi sekarang ternyata sangat ketakutan terhadap ulat sutra itu, sedapat mungkin ia hendak menyembunyikan kepalanya ke bawah lingkaran badannya.

Tapi dengan cepat luar biasa ulat sutra putih itu telah merambat ke atas badan ular sawa itu sepanjang jalan yang dirambatnya itu, seketika punggung ular sawa itu terbakar suatu garis hangus. Waktu ulat itu merayap sampai di atas kepala ular kontan kepala ular itu pecah merekah bagaikan dibelah dengan pisau yang tajam.

Segera ulat sutra itu menyusup ke dalam kelenjar bisa dalam kepala ular sawah itu untuk mengisap cairan bisa ular. Hanya sebentar saja cairan berbisa itu sudah kering terisap hingga badan ulat itu melar lebih besar satu kali lipat, tampaknya badan ulat yang bening itu menjadi mirip sebuah botol kecil yang penuh terisi cairan hijau.

Girang dan kejut A Ci melihat kelihaian ulat sutra itu, katanya dengan suara lirih, "Ulat sutra ini sungguh hebat, tampaknya adalah rajanya binatang berbisa!"

Sebaliknya Goan-ci diam-diam sangat cemas dan kuatir, ia pikir, "Jika darahku diisap oleh ulat sutra berbisa sejahat ini, pasti jiwaku akan amblas sekali ini!"

Dalam pada itu ulat sutra itu mulai merayap di sekitar Giok-ting, lalu merambat ke atas tripod itu. Setiap tempat yang dilaluinya tentu meninggalkan suatu bekas hangus.

Tapi ulat itu seperti dapat berpikir, ia hanya merayap suatu keliling di atas Giok-ting dan seakan-akan tahu bila menyusup ke dalam tentu ia akan mati. Maka berbeda dengan binatang berbisa yang lain, ia tidak mau menyusup ke dalam Giok-ting, sebaliknya merayap turun lagi dan tinggal pergi ke arah datangnya tadi.

"Lekas kejar, lekas!" seru A Ci.

Segera ia mengeluarkan kain satin untuk membungkus kembali Giok-ting, lalu mengejar ke arah ulat sutra tadi dengan diikuti Goan-ci.

Meski ulat sutra itu cuma seekor binatang kecil, tapi merayapnya ternyata sangat cepat. Untung dimana dia lewat tentu meninggalkan bekas maka untuk mengikuti jejaknya menjadi tidak susah.

Dan sekali mengejar ternyata sudah beberapa li jauhnya. Tiba-tiba terdengar di depan ada suara gemericiknya air, terlihat sebuah sungai melintang disitu. Bekas hangus yang ditinggalkan ulat sutra itu pun lantas menghilang setiba di tepi sungai. Waktu memandang ke tepi seberang, disana juga tiada bekas jejak ular. Mungkin sekali ular itu kecemplung ke dalam sungai, kemudian hanyut terbawa air.

Dengan kesal A Ci mengomel, "Tadi mengapa kamu tidak mengejar lebih cepat dan sekarang kemana harus mencarinya? Pendek kata, kamu harus menemukan kembali ular itu!"

Sudah tentu Goan-ci gelisah dan bingung, ia mencari kian kemari dan sudah tentu hasilnya nihil. Setelah mencari lagi satu dua jam, sementara itu hari sudah hampir gelap, A Ci tidak sabar lagi, segera katanya dengan gusar. "Betapapun kamu wajib menangkapnya kembali untukku, kalau tidak, maka kaupun tidak perlu menemui aku lagi!"

Habis berkata, ia mencemplak ke atas kudanya dan tinggal pulang ke kota.

Keruan Goan-ci semakin gelisah, terpaksa ia mencari terus ke hilir sungai. Sesudah beberapa li lagi, cuaca sudah mulai remang-remang, tiba-tiba dilihatnya di semak-semak rumput di seberang sana ada bekas hangus dilalui ulat sutra itu. Saking girangnya sampai Goan-ci berteriak, "Nona sudah ketemu sekarang!"

Dan sudah tentu suaranya tak didengar oleh siapapun sebab A Ci sudah lama tinggal pergi. Segera Goan-ci menyeberangi sungai itu, ia kejar terus mengikuti jejak hangus itu. Ia lihat jalur hangus itu menyusur sepanjang jalan pegunungan itu dan menuju ke lereng bukit di depan sana.

Dengan penuh semangat Goan-ci berlari lebih cepat. Ketika kemudian ia mengangkat kepala, tiba-tiba dilihatnya di ujung jalan pegunungan itu berdiri sebuah kelenteng besar dan megah. Sesudah dekat, Goan-ci lihat papan kelenteng itu tertulis huruf besar "Ci-kian Bin-tiong-si".

Ia tidak sempat memperhatikan keadaan kelenteng itu, yang dipentingkan adalah mengikuti jejak hangus itu. Ia lihat jalur hangus itu mengitar ke samping kelenteng. Lalu menyusur ke belakang rumah berhala itu.

Ia dengar di dalam kelenteng suara genta dan bok-hi (kentungan) sedang berbunyi, disana sini terdengar suara pembacaan kitab, terang padri di dalam kuil itu sendang liem-keng melakukan sembahyang petang. Dari suara yang berisik itu, agaknya padri penghuni kelenteng itu tidak sedikit jumlahnya.

Sejak Goan-ci kepala dikerudungi topeng besi itu, ia merasa malu diri dan enggan muncul di depan umum. Karena kuatir diketahui padri dalam kelenteng, segera ia putar ke samping kelenteng, ia lihat jalur hangus itu melintasi suatu tanah pekarangan, lalu masuk ke suatu kebun sayur.

Goan-ci sangat girang, ia menduga dalam kebun sayur itu tak ada orang, mengingat waktu itu sudah magrib dan para padri sedang sembahyang, cepat ia menuju kebun itu, ia yakin ular itu tentu lagi makan daun sayur dalam kebun dan dengan gampang akan ditangkapnya.

Tapi baru saja ia sampai di luar pagar bambu kebun sayur itu, tiba-tiba didengarnya di dalam kebun ada suara orang sedang mencaci maki. Terdengar orang itu lagi mendamprat, "Kenapa kamu begini kurang ajar, sendirian mengeluyur pergi pesiar? Sampai Locu (bapakmu, kata olok-olok) kelabakan setengah mati mencarimu dan kuatir kamu takkan pulang untuk selamanya. Jauh-jauh Locu telah membawamu ke sini dari Puncak Kun-lun-san, tapi dasar kamu memang tidak kenal kebaikan Locu. Kalau kelakuanmu terus begini, bagaimana hari

depanmu? Tentu tiada seorang pun yang akan kasihan pada nasibmu kelak!"

Meski suara orang itu kedengaran sangat marah, namun mengandung juga rasa kasih sayang, jadi lebih mirip orang tua yang sedang memberi petuah kepada anaknya yang nakal.

Diam-diam Goan-ci pikir, "Dia bilang membawanya jauh-jauh dari puncak Kun-lun-san, maka hubungan mereka terang bukan antara ayah dan anak melainkan guru dan murid atau angkatan tua lainnya."

Sembari berpikir segera ia pun merunduk maju ke tepi pagar bambu dan mengintip ke dalam kebun. Maka tertampaklah pembicara itu adalah seorang hwesio.

Potongan hwesio itu sangat lucu, sudah pendek, lagi gemuk, jadi bundar mirip bakpau.

Pada umumnya kepala hwesio itu tercukur kelimis, tapi dia justru tidak cukur rambut, bahkan mukanya, lengannya dan dadanya penuh tumbuh rambut yang panjang. Sebaliknya pakaiannya rajin dan bersih sekali.

Padri itu tampak sedang menuding ke tanah dengan marah-marah sambil mendamprat.

Sungguh Goan-ci heran tak terkatakan, sebab di depan padri itu tiada seorang pun. Tapi ketika ia perhatikan, seketika ia terkejut dan bergirang. Kiranya yang didamprat habis-habisan oleh hwesio buntak itu tak-lain-tak-bukan adalah ulat sutra raksasa yang sedang dicarinya itu.

Memangnya potongan hwesio buntak itu sangat aneh, ternyata tingkah lakunya terlebih mengherankan masakan dia mendamprat seekor ulat seperti dia memaki anaknya saja?

Dalam pada itu ulat sutra raksasa itu tampak merayap-rayap dengan cepat di atas tanah seperti sedang berusaha melarikan diri, namun hanya dapat mengitar saja di situ, setiap kali ia seperti terbentur oleh sebuah dinding yang tak berwujud lalu berputar balik.

Waktu Goan-ci perhatikan lebih cermat, lamat-lamat terlihat di atas tanah situ tergambar sebuah lingkaran warna kuning, ulat sutra itu merayap ke sini dan menyusup kesana, tapi tidak dapat melintasi lingkaran kuning itu. Maka pahamlah Goan-ci akan duduknya perkara, "Tentu lingkaran kuning itu digambar dengan semacam obat bubuk, dan obat itu justru adalah obat anti ulat sutra!"

Begitulah sesudah hwesio buntak itu memaki sebentar pula. Kemudian ia merogoh keluar sepotong barang dan digeragoti. Kiranya barang itu adalah sepotong congor kambing rebus.

Nikmat sekali kelihatannya hwesio itu makan daging kambing, kemudian ia tanggalkan sebuah buli-buli rusak dari pinggangnya, ia buka sumbat Ho-lo (buli-buli buatan dari sejenis labu yang dikeringkan) dan menenggak dengan bernapsu.

Segera Goan-ci mencium bau arak yang harum. Pikirnya, "Kiranya orang ini adalah hwesio sontoloyo yang tidak pantang makan daging dan minum arak. Tampaknya ulat sutra ini piaraannya, makanya ia sangat sayang pada binatang itu. Lantas cara bagaimana aku harus mencurinya.

Tengah Goan-ci mencari akal, tiba-tiba didengarnya ada suara orang berseru disebelah kebun sana, "Sam-ceng! Sam-ceng!"

Hwesio buntak itu kelihatan terkejut demi mendengar suara panggilan itu, cepat-cepat ia menyembunyikan Ho-lo dan congor kambing yang belum habis dimakan itu kedalam onggok rumpuk kering di situ.

Dalam pada itu suara orang tadi lagi memanggil pula, "Sam-ceng! Sam-ceng! Dimana kau, mengapa kamu tidak sembahyang magrib, tapi mengumpet dimana?"

Cepat hwesio buntak itu menjemput sebatang cangkul yang berada di sisinya, segera ia pura-pura lagi mencangkul ladang sayur, lalu menjawab "Aku berada disini! Aku lagi mencangkul sayur atas perintah Hongtiang, maka tidak sempat melakukan ibadah."

Maka tertampaklah orang yang memanggil itu lagi mendekat, kiranya seorang hwesio setengah umur dengan muka kereng ia berkata, "Ibadah pagi dan sore harus dilakukan setiap orang. Untuk mencangkul mengapa mesti dilakukan pada waktu sembahyang? Ayo lekas kesana, habis melakukan kewajiban boleh datang ke sini untuk mencangkul lagi!"

Si paderi buntak yang dipanggil Sam-ceng itu mengiakan, lalu menaruh cangkul dan ikut pergi bersama hwesio yang memanggilnya itu tanpa berani menoleh, rupanya kuatir perbuatannya tadi ketahuan.

Menunggu setelah kedua padri itu menghilang dan sekitar situ sudah sunyi, diam-diam Goan-ci menerobos pagar bambu dan masuk ke dalam kebun, ia lihat ulat sutra itu masih merayap kian kemari ingin keluar dari lingkaran kuning. Untuk sejenak Goan-ci bingung cara bagaimana harus menangkap ulat itu.

Tiba-tiba ia mendapat akal, segera ia menggerayangi onggok rumput kering dan mengeluarkan ho-lo yang disembunyikan si padri buntak tadi. Ia coba kocok buli-buli itu dan ternyata masih ada isinya setengah. Ia minum beberapa ceguk araknya, lalu membuang sisanya, perlahan ia pasang mulut holo itu ke garis lingkaran kuning itu. Dan begitu mulut ho-lo melintang di garis itu cepat sekali ulat lantas menyusup ke dalam ho-lo.

Girang Goan-ci tak terkatakan, cepat ia tutup sumbat ho-lo, sambil mendekap ho-lo dengan kedua tangan, segera ia menerobos keluar pagar bambu dan cepat lari kembali ke arah datangnya tadi.

Tapi baru beberapa puluh meter jauhnya ia tinggalkan kelenteng itu, segera ia merasa kedua tangannya kedinginan, hawa dingin itu merembes keluar dari dalam ho-lo. Begitu dingin hingga tangannya serasa akan beku, ia benar-benar tidak sanggup lagi memegangi ho-lo itu.

Saking tak tahan akan rasa dingin itu, ia coba taruh ho-lo di atas kepalanya. Tapi cara ini lebih celaka lagi baginya, sebab hawa dingin itu menembus topeng besi yang dipakainya hingga kepalanya kedinginan seakan-akan beku, bahkan darah seluruh tubuh juga serasa beku semua.

Tiba-tiba Goan-ci mendapat akal lagi, ia lepaskan ikat pinggang, ia ikat pinggang ho-lo itu dan mencangkingnya dengan tangan. Tali pinggang itu tak tertembus hawa dingin, maka ia dapat menjinjingnya dengan selamat untuk melanjutkan perjalanan. Namun begitu hawa dingin masih merembes keluar dari dalam ho-lo hingga dalam sekejap saja di luar ho-lo telah membeku menjadi selapis es.

Goan-ci berjalan dengan setengah berlari, waktu hari gelap barulah ia sampai di kota, pintu gerbang kota sudah ditutup, terpaksa ia bermalam di luar benteng kota, esok paginya barulah ia datang ke Toan-kok-tian untuk melapor kepada A Ci tentang hasilnya itu.

A Ci sangat girang, segera ia perintahkan Goan-ci memiara ulat sutra itu di dalam guci.

Tatkala itu sudah permulaan musim panas, hawa agak hangat di daerah utara. Tapi sejak ular sutra itu di piara dalam istana samping, seketika hawa di dalam istana itu tambah dingin, tidak lama kemudian bahkan air teh di dalam teko dan cangkir juga beku menjadi es.

Malam itu meski Goan-ci tidur berselimut, tapi dia kedinginan sampai menggigil, pikirnya "Ulat sutra ini sungguh sangat aneh, benar-benar jarang terdapat di dunia ini. Bila nanti nona menggunakan ulat ini untuk mengisap darahku, andaikan aku tidak mati keracunan juga pasti akan mati beku."

Ketika A Ci mendapati keadaan aneh dalam istana itu, segera ia tahu ulat sutra itu bukanlah binatang sembarangan. Berulang ia menangkap pula beberapa ekor ular dan serangga berbisa lain untuk diadu dengan ulat sutra itu, tapi semua kalah, asal dilingkari sekali oleh ulat sutra itu, seketika lawannya mati kedinginan, lalu cairan racunnya diisap kering oleh ulat sutra.

Belasan hari kemudian, tiada sesuatu binatang berbisa lain yang dapat diadu lagi dengan ulat sutra itu.

Suatu hari A Ci datang ke ruangan samping istana dan berkata kepada Goan-ci, "Badut besi, hari ini kita akan menggunakan ulat sutra ini. Nah ulurkan tanganmu ke dalam guci, biarkan ulat itu mengisap darahmu!"

Memang selama beberapa hari ini hati Goan-ci selalu kebat-kebit, siang berkuatir dan malam bermimpi buruk, yang ditakuti justru adalah perintah seperti si nona sekarang ini. Dan sekali nona itu sudah memberi perintah, betapapun pasti akan menjadi korban ulat itu, untuk minta ampun juga percuma. Dengan rasa pedih Goan-ci memandang A Ci tanpa berkata dan tidak bergerak.

Sementara itu A Ci sudah duduk bersila untuk mengerahkan lwekangnya, yang terpikir olehnya saat itu adalah Hoa-kang-tai-hoat yang akan berhasil dilatihnya itu bukan mustahil akan jauh lebih lihai daripada gurunya sendiri. Dan ketika melihat Goan-ci diam saja, segera ia memerintah lagi, "Nah, ulurkan tanganmu!"

Air mata Goan-ci bercucuran, tiba-tiba ia berlutut dan menjura kepada A Ci, katanya, "Nona, bila ilmu saktimu sudah berhasil kau yakinkan, hendaklah jangan melupakan hambamu yang berkorban bagimu ini. Aku she Yu bernama Goan-ci, dan bukan badut besi atau badut tembaga segala".

A Ci tersenyum, sahutnya, "Baiklah, aku akan mengingatnya, namamu Yu Goan-ci. Kamu sangat setia padaku, sungguh bagus, seorang budak yang setia!"

Pujian itu dirasakan oleh Goan-ci sebagai hiburan sebelum ajalnya, kembali ia menjura tiga kali lagi dan menyatakan terima kasih.

Tapi setiap manusia di dunia ini pasti mempunyai rasa takut mati. Yu Goan-ci juga tidak rela mati konyol secara begitu. Teringat olehnya tempo hari sesudah dia tergigit oleh kelabang, jiwanya yang hampir amblas itu dapat tertolong oleh gaya menjungkir si padri kurus kering dalam lukisan itu. Maka sekarang mencobanya lagi secara untung-untungan, siapa tahu kalau akan berhasil juga.

Segera ia berdiri dengan berjinjit. Ia menekuk tubuh dan menyusupkan kepala ke bawah selangkangan, dengan demikian ia menjulurkan tangan ke dalam guci, sedangkan pikiran tertuju kepada garis merah yang terlukis pada si padri kurus dalam kitab itu.

Mendadak "clekit" jari telunjuknya terasa sakit dan gatal, suatu arus hawa dingin terus merangksang ke dalam tubuh. Namun Goan-ci sudah siap sedia, pikirannya melulu tertuju kepada garis merah di dalam lukisan si padri kurus itu. Ia merasa hawa dingin itu benar-benar dapat mengalir menurut relnya, yaitu mengikuti garis merah yang diingat-ingat olehnya. Maka hawa dingin itu mulai mengalir dari jari ke lengan, dari lengan ke bahu, ke dada dan berputar-putar untuk kemudian sampai di ubun-ubun kepala.

Meski garis yang dilalui itu terasa dingin merasuk tulang, tapi rasa dingin itu sangat halus hingga Goan-ci masih sanggup bertahan.

Semula A Ci sangat geli melihat kelakuan Goan-ci yang aneh itu. Tapi sesudah agak lama pemuda itu tetap berjungkir, mau tak mau A Ci merasa sangsi. Ia coba mendekat ia lihat ulat sutra di dalam guci telah menggigit jari telunjuk pemuda itu.

Karena badan ulat sutra itu berwarna putih bening, maka dapat terlihat dengan jelas darah yang diisap itu mengalir masuk ke dalam perut ulat, sesudah berputar di dalam badan, lalu aliran darah mencurah keluar kembali ke jari Yu Goan-ci.

Sedang agak lama lagi, lambat-laun kerudung besi, pakaian, kaki dan tangan Goan-ci mulai beku oleh selapis es.

"Budak ini terang sudah mati, badan orang hidup umumnya panas, mana dapat beku menjadi es?" demikian A Ci berkata di dalam hati.

Ia lihat dalam badan ulat sutra itu masih ada darah yang mengalir, terang belum selesai ular itu mengisap darah. Terpaksa ia mesti bersabar dan menunggu ulat itu jatuh sendiri bila sudah kenyang mengisap darah, lalu ia akan gecek mati ular itu untuk mengambil sari bisanya guna melatih Hoa-kang-tai-koat yang mujizat itu.

Begitulah A Ci menaruh perhatian penuh akan keadaan ulat sutra itu sambil siap memegang sebatang tongkat untuk menggeceknya. Sekonyong-konyong dilihatnya badan ulat sutra itu mengeluarkan hawa panas.

Selagi A Ci terkejut dan terheran-heran "bluk", tahu-tahu ulat itu jatuh ke dalam guci. Kontan saja A Ci mengetuk dengan tongkat yang dipegangnya.

Semula ia duga gecekannya itu belum tentu dapat membinasakan ulat itu mengingat binatang itu sangat licin dan gesit. Siapa duga, sekali ulat itu jatuh ke dalam guci, seketika menggeletak dengan perut di atas tanpa berkutik lagi, maka sekali gecek segera ulat sutra itu gepeng dan hancur.

A Ci sangat girang, cepat ia masukkan tangan ke dalam guci, ia poles cairan darah ulat itu pada kedua telapak tangan sendiri, lalu pejamkan mata dan mengerahkan lwekang, maka dengan cepat cairan darah ulat sutra itu terisap kering ke dalam telapak tangan. Ia tahu khasiat ulat sutra itu sangat sukar dicari, maka berulang-ulang A Ci poles cairan darah ulat pada tangannya, setelah cairan itu kering betul-betul barulah ia berhenti.

Kemudian ia berbangkit, ia lihat Goan-ci masih berjungkir, seluruh badan penuh terbungkus es. Sudah tentu A Ci sangat heran, ia coba meraba badan orang, ia merasa dingin sekali, untuk sejenak A Ci memandang keadaan aneh itu dengan bingung, lalu tinggal pergi.

Entah paginya A Ci datang ke ruangan istana pula, ia lihat Goan-ci masih tetap terjungkir dan es yang membeku di atas badan pemuda itu bertambah tebal. Terkejut dan geli pula A Ci. Segera ia memanggil Sili dan menyuruhnya menyeret pergi mayat Yu Goan-ci untuk dikubur.

Dengan beberapa anak buah segera mengangkut mayat Goan-ci keluar kota dengan kereta kuda.

Bersambung ke jilid 46...