Published using Google Docs
Kabut Sutra Ungu.txt
Updated automatically every 5 minutes

 Indahnya cinta sendunya kabut

SORE hari hujan turun sangat deras dan lama sekali. Miranti membuka jendela muka rumahnya. Udara sejuk menerpa wajahnya. Miranti melihat, langit bersih tidak berawan dan jalan-jalan aspal kelihatan hitam mengkilat terkena sinar lampu jalan.

Semuanya tampak tenang, lembab dan basah. Tumbuh-tumbuhan di kebun kelihatan segar, dan di sepanjang pagar bunga-bunga kemuning yang kecil putih bermekaran, baunya harum sekali. Kalau Miranti mau menghitung, mudah sekali, sebab bunga itu putih di antara daun-daunnya yang hijau pekat.

Sejenak perhatiannya pada bunga itu terganggu, terdengar menetes satu-satu bekas titik hujan yang turun sepanjang sore, jatuh dari atap rumah, menimpa bekas kaleng susu yang dilemparkan ke halaman. Bunyi itu membuat musik tersendiri, diselang-selingi buni kodok dan cengkerik di kejauhan.

Mobil pun hanya satu-satu berlalu, dan dalam udara sendingin ini, rupanya orang2 lebih suka tinggal di rumah. Miranti menutup jendela itu kembali. Ditariknya tirai yang baru digantungkan Hermanto siang tadi. Miranti masuk kamar, dia melihat jam kecil di meja. Memang hari telah makin malam, pukul duapuluh limapuluh menit. Ia melihat Hermanto baru saja menyelesaikan sembahyang Isya, dan suaminya itu hendak langsung pergi tidur, cepa-cepat ditegurnya.

"Mas, tak kau jenguk dulu si Bram?"

"Oh, iya hampir aku lupa", jawab Hermanto. Ia berbalik menuju tempat tidur anaknya, dipandanginya Bram yang sedang tidur.

"Lihat tidurnya lelap sekali! Anak ini memang lucu. Sebentar lagi kau akan punya adik! Kau akan sayang pada adikmu, bukan? Bram! Anak Papa, kau sudah besar, sayang. Sebentar lagi umurmu genap dua tahun". Lambat-lambat Hermanto mencium pipi anaknya.

"Jangan kau ajak omong anak lagi tidur, Mas. Kalau bangun kan aku yang susah, harus menjaga sampai malam. Kau sih akan enak-enakan tidur". Miranti membetulkan selimut anaknya.

"Sudah kau tutup dan kau kunci pintu-pintu, Anti?" tanya Hermanto.

Istrinya segera menjawab: "Beres tuan besar, bukankah sebetulnya itu tugasmu?" Dan suaminya tidak lagi menjawab. Ia hanya tersenyum.

"Mas, aku kok rasanya gentar menghadapi kelahiran anak kita kedua ini."

"Ya, sebab engkau sudah tahu bagaimana rasanya orang melahirkan, sedangkan yang pertama dulu, kau belum tahu apa-apa."

"Mungkin juga ..." desis Miranti memepetkan badanya pada Hermanto.

"Ibumu pernah bilang, kelahiran itu suatu peristiwa yang amat besar, tapi diantara seribu, hanya ada satu kegagalan", hibur Hermanto dan memeluk mesra istrinya.

"Dan bagaimana kalau aku yang satu itu, Mas?"

"Ah, Anti, kau mengada-ada saja. Kau harus pasrah kepada Tuhan, bukankah kau seorang yang beriman? Kita harus banyak berdoa? Aku dulu adalah orang yang tak pernah sembahyang, dan aku hany kenal Tuhan karena namaNya. Karena kau, karena cintaku padamu memimpinmu untuk bersujud di hadapanNya melakukan lima waktu sebagai orang muslim. Kini aku merasakan, bahwa hidup ini nikmat, sebab pasrah pada apa saja kehendakNya. Oleh sebab itu tak sepantasnya kau bimbang. Insya Allah kau akan selamat, anak kita selamat."

Betapa damai hati Miranti mendengar kata-kata dari orang yang ia cintai itu. Badannya tambah dirapatkan ke pelukan suaminya.

"Tidurlah, Anti, kau harus banyak istirahat, kau harus simpan tenaga untuk nanti," kata suaminya lagi.

Miranti mengangguk, matanya memandang Hermanto.

Hermanto mencium mata itu, mata yang selalu ia kagumi.

"Tidurlah, sayang," bisik Hermanto halus.

Kamar itu hening, senyap tidak ada lagi suara. Miranti sudah tidur. Lambat-lambat Hermanto melepaskan pelukannya, kedua tangannya ditaruh di bawah bantal. Ia belum bisa tidur sejak tadi, gelisah. Apakah perkataan Miranti membuatnya gelisah? Memang dia merasa cemas. Hermanto takut kehilangan istrinya.

"Istriku amat cantik dan agung oleh kecantikan alam yang dikaruniakan Tuhan padanya", kata hati Hermanto.

"Istriku memiliki mata yang tajam dan mempesona, dan aku mengagumi rambutnya yang panjang. Semua dari sitriku, bagiku sangat mengagumkn.

Dulu semasa gadis Miranti membiarkan kecantikannya tanpa polesan apa-apa. Miranti sederhana. Sesudah kawin, kadang-kadang dia memoles matanya atau memberi warna bibirnya, dan menyanggul rambutnya dengan jalinan yang indah. Hermanto menyukai itu semua. Hermanto bukan tipe laki-laki yang tidak menyukai istrinya berdandan, tapi sementara itu matanya jelalatan bila melihat istri atau perempuan lain yang berdandan cantik. Hermanto bukan laki-laki atau suami seperti itu. Hermanto kadang terpesona dengan dandanan istrinya, sebab ia tahu, sebatas mana istrinya punya harga diri yang besar, dan kecantikan itu semuanya untuk suaminya semata.

Hermanto teringat lima tahun yang lalu ketika pertama kali ia mengenal itrinya. Setelah ia menamatkan sekolah dan menggondol gelar insinyurnya, dia kembali ke Jakarta di mana orang tuanya berada. Dan mulai mencari pekerjaan yang cocok dengan keahliannya.

Pada suatu hari dia melihat Nila anak gadis tetangganya. Nila sudah banyak berubah, sudah beranjak besar, dan rupanya Nila sedang libur menantikan pengumuman ujian SLA-nya.

Hermanto memberanikan diri menegur anak gadis itu dan dia masih ingat percakapan waktu itu.

"Hai! Mas Herman apa khbar? Kapan datang? Wah, insinyur muda, selamat ya mas atas suksesmu. Aku kira sudah lupa pada Nila". Merepet sudah omongnya si Nila. Hermanto lupa lagi yang dikatakan anak itu. Nila memang linah dan menarik.

Keesokan harinya, setelah pertemuan itu, rumah Nila penuh dengan teman-temannya. Wannita ada kira-kira empat orang, laki-laki tiga orang. Mereka kelihatan meloncat-loncat gembira. Hermanto sudah mengira Nila dan teman-temannya pasti lulus ujian. Dan masih segar dalam ingatannya ketika tiba-tiba matanya tertambat pada seorang di antara gadis-gadis itu.

Rambutnya yang panjang terjalin hingga batas pinggulnya, dan matanya, indah sekali. Dia benar-benar punya daya tarik lain. Apakah karena rambutnya yang lainnya pendek disasak, sedang dia berambut panjang? ataukah rok kawan-kawannya super mini, sedangkan rok gadis itu panjang hingga batas lutut? Entahlah, yang terang, Hermanto tertarik sudah. Dan saat itu timbullah harapannya. "Dapatkah aku mengenalnya?"

"HER, kau sudah selesai sekolah, pekerjaan sudah dapat, sekarang sudah saatnya kau berumah tangga", saran ibu Hermanto.

"Nantilah Bu, aku kepingin uang gajiku yang pertama bisa dinikmati ibu dahulu. Soal kawin itu soal mudah."

"Mudah!? Sudahkah kau punya caon?" desak ibunya waktu itu.

"Tunggulah, Bu, calon yang Ibu maksudkan kali ini masih akan kujerat, belum saatnya kuberi tahu, buat siapa umpanku", Hermanto menjawab.

Ibunya berkata lagi: "Heh ... memangnya burung?"

Hermanto tidak menjawab. Hatinya telah menentukan bahwa dia akan membawa gadis berambut panjang itu pada ibunya. Dia sendiri heran mengapa waktu itu hatinya begitu yakin, akan bisa mengenal gadis teman Nila itu.

Sore harinya setelah percakapan dengan ibunya, Nila datang kerumah Hermanto dengan sepucuk kartu undangan. Dan Nila berkata: "Mas Her, besok malam kau harus datang. Nila mau adakan pesta, sebab Nila mau ke Jogja meneruskan kuliah di sana. Ini undangannya. Nila mau sekolah di sana ikut paman, di sini Nila kagak bisa belajar"

Keesokan malamnya Hermanto datang di pesta Nila. Yang hadir sudah banyak, teman-teman Nila, juga saudara-saudaranya. Nila malam ini berdandan cantik. Semua pada malam itu tampak cantik-cantik dan ganteng-ganteng, Hermanto merasakan sedikit canggung di antara anak-anak muda yang belum dikenalnya.

Nila berseru menegurnya untuk melepaskan rasa canggung Hermanto: "Ini ada insinyur Hermanto. Kenalkan deh, tetangga saya", Nila menarik tangan Hermanto ke tempat gerombolan teman-temannya. Dan Hermanto berdebar hatinya. Di antara gerombolan teman-teman Nila itu, ada gadis berambut panjang yang telah mempesonakan hatinya. Dia tahu gadis itu teman Nila yang pernah dilihatnya.

Gadis itu tampak anggun, rambutnya dijalin indah tersanggul rapi. Dan matanya itu seolah tambah bersinar, kelihatan dewasa dan tenang. Gaun yang dipakai gadis berwarna biru pekat.

Hermanto menyalami gadis-gadis dan pemuda-pemuda teman Nila. Ia mendengar mulut gadis-gadis itu usil memberi komentar.

"Insinyur, nih! ... Boleh juga!" Dan cekikik-cekikik kecil menahan tawa. Hermanto melihat gadis baju biru pekat itu tidak memberi komentar apa-apa. Pandangannya sinis. Sombong benar gadis itu. Hermanto masih ingat nama-nama yang disebut teman-teman Nila: Rita ... Joan ... Lia ... Vidi ... dan Miranti, nama itu tidak akan pernah dilupakannya.

Nila mengajak Hermanto berdansa, dan sambil berdansa, mereka bercakap-cakap.

"Nila, temanmu banyak dan cantik-cantik ya!"

"Boleh mas Her ambil satu, asal jangan coba-coba si Miranti itu. Wah kalau dengan dia, bisa makan hati", kata Nila.

"Miranti yang mana?" Hermanto pura-pura bertanya.

Nila menerangkan sambil menunjuk dengan sudut matanya.

"Itu tuh yang sedang ngobrol sama ibuku. Dia sih sulit. Teman sekelas yang naksir dianggap adiknya. Teman, dua tingkat diatasnya, ngga digubris. Dia senang bergaul, banyak temannya, yang naksir juga banyak, tapi dia tidak pernah pacaran", Nila melanjutkan lagi kata-katanya. "Guru-guru pun banyak yang naksir bahkan yang berkunjung kerumahnya juga keren-keren. Ada calon dokter, ada insinyur macam mas Her ... ada Letnan AURI, pokoknya, macam-macam deh dia tumpuk. Tapi mas Her tahu, satu pun tak ada yang dia pacari."

"Yang mana abangnya?" Hermanto waktu itu ingin sekali mengetahui.

"Itu mas Harri calon dokter yang lagi dansa sama Vidi", kata Nila lagi.

"Apakah dia anak yang sombong?" tanya Hermanto.

"Sebetulnya tidak, Miranti anak yang baik, anak yang soleh, sembahyangnya rajin. Sikapnya betul-betul dewasa padahal dia sebaya saya."

Hermanto merasa seperti  mendapatkan data-data lengkap tentang gadis yang telah menarik hatinya itu. Dan pada malam pesta di rumah Nila itu, Hermanto memberanikan diri mengajak Miranti berdansa. Ia masih ingat dan sangat ingat, betapa Miranti agak gugup dalam pelukannya. Tapi Hermanto juga melihat bagaimana teman dansanya itu cepat menguasai diri, begitu pandai menutupi perasaannya, dan caranya amat menarik. Dan untuk menutupi kegugupannya dia bertanya:

"Anda tinggal di sebelah rumah Nila?" suara gadis itu begitu tenang dan mantap.

Hermanto lupa bahwa gadis yang dihadapinya itu sebetulnya masih muda. Mengapa dia tampak begitu agung dan dewasa? Entah. Hermanto sendiri tak dapat menjawabnya.

Musik mengalunkan sebuah lagu yang sampai sekarang tidak pernah dilupakan "Stranger on the Shore"

Dalam lagu itulah mereka pertama kali berbicara, berdansa dan saling mengenal. Semuanya berjalan amat lancar seperti sudah diatur. Kunjungan-kunjungan Hermanto ke tempat Miranti berlangsung terus. Mula-mula malam minggu, empat orang teman Miranti bersama-sama berkumpul di rumahnya.

Malam minggu sebulan lagi tinggal tiga orang. Malam Minggu selanjutnya tinggal dua orang. Dan akhirnya, di suatu malam Minggu, di rumah Miranti tamunya tinggal Hermanto sendiri. Satu-satu pengagum Miranti yang tentunya laki-laki, mengundurkan diri. Padahal Hermanto tidak pernah memberikan sikap permusuhan atau menganggap saingan. Ataukah Miranti memperlakukan tamu-tamunya tidak adil?

Hermanto tidak pernah melihat kesombongan-kesombongan pada Miranti seperti dugaan semula. Yang dia tahu, Miranti keras berprinsip, tapi hatinya lembut dan baik. Dan yang penting, Hermanto telah betul-betul jatuh cinta, dan herannya juga Miranti tak dapat menoak semuanya itu. Keluarga Miranti mulai mengetahui adanya hubungan istimewa antara Miranti dan Hermanto.

Miranti tidak sekedar menganggap teman terhadap Hermanto, dan ayah ibunya melihat bahwa anaknya berlaku lain terhadap Hermanto. Pak Sosro, ayah Miranti, seorang yang berwibawa dan berkepribadian kuat. Hermanto amat menghormatinya, dan diam-diam Hermanto pun mencintai orang tua itu walaupun dia tahu, sebenarnya pak Sosro yang paling tidak setuju hubungan ini berlangsung. Dia menginginkan Miranti bersekolah sampai selesai sarjana dan ayahnya itu merasa Miranti mampu untuk itu.

Hermanto sejak kecil tidak berayah lagi, hanya dengan ibu dan dua orang saudaranya. Seorang kakak perempuan dan seorang adik laki-laki. Rini, kakanya sudah hidup berumah tangga delapan tahun dengan Budi, seorang penerbang, dan Adrianto adiknya ikut dengan bibinya di Bonn Jerman.

Hermanto teringat lagi pada Malam Minggu di bulan Desember, Miranti dimintai tolong oleh Rini kakaknya agar bisa menjaga kedua anaknya, sebab Budi dan Rini harus datang ke sebuah pesta. Dan Hermanto ingat, malam itu, dia bertanya pada Miranti dalam keremangan sudut teras rumah, ketika kedua keponakannya sudah tidur.

"Anti, aku mau ketegasanmu."

"Ketegasan untuk apa, Mas?" tanya Miranti.

"Maukah kau menjadi istriku?" tanya Hermanto sungguh-sungguh.

"Kok tiba-tiba sekali," wajah Miranti tampak terkejut.

"Apa yang tiba-tiba, kau mengenalku dan aku mengenalmu sudah hampir satu tahun. Itu bukan waktu yang singkat. Dengar Anti, aku mencintaimu:, kata Hermanto tanpa ragu-ragu. Dan Hermanto ingat, Miranti menjawab:

"Aku mau sekolah dulu Mas, kasihan Papa, beliau ingin aku bisa menyelesaikan kuliahku."

"Kau boleh terus sekolah, sehabis kita kawin, Anti!"

"Itu sulit, lagi pula aku masih ragu apakah kau yakin, bahwa aku akan bisa menjadi istrimu yang baik. Dan kau sendiri tak tahu apakah aku cinta padamu", suara Miranti makin menurun.

"Dengan sikapmu padaku, dengan perhatianmu padaku, bagiku itu adalah bukti bahwa kau cinta padaku. Aku tahu engkau membedakan aku dengan temanmu yang lain. Kau mau kupeluk dan kucium. Apakah kau perbuat hal itu juga dengan yang lain?" Waktu Hermanto mengatakan hal itu, Miranti diam saja dan Hermanto meneruskan kata-katanya.

"Aku tahu kau hanya mau berbuat itu semua denganku saja, bukan?"

Miranti masih diam saja. Hermanto mengangkat wajah Miranti dan menatap matanya.

"Kau tak perlu ucapkan kata-kata itu. Aku akan sabar menunggu sampai kata-kata itu kau yakini sendiri."

"Aku sendiri heran mengapa kau begitu mudah memikatku" terdengar Miranti berguman.

Hermanto melihat wajah Miranti saat itu seperti anak kecil yang merasa berdosa, karena ketahuan oleh ibunya bahwa ia sedang berbohong. Hermanto berkata lagi sambil melepaskan tangannya dari wajah Miranti.

"Tuhan maha tahu, bahwa aku sungguh mencintaimu dan ingn membahagiakanmu, aku punya cita-cita dan harapan. Lagi pula, Anti, aku tidak mengajakmu untuk kawin sekarang. Aku punya alasan untuk melamarmu yang kau anggap tiba-tiba ini, sebab dalam beberapa bulan lagi aku akan ke Jerman untuk 1 tahun. Kau boleh berpikir sambil kau terus kuliah, apakah aku pantas menjadi suamimu. Aku rasa waktu satu tahun cukup untuk mempertimbangkannya. Yang penting kau harus tahu, Anti! Bagiku sendiri, tak ada lagi perempuan yang sanggup dengan sepenuh hati kucintai."

Miranti terdengar mengeluh dan berbisik.

"Satu tahun ...? Akan dapatkah aku ... selama itu?"

"Maksudmu apakah kau dapat setia atau tidak, begitukah?"

Hermanto tersenyum geli mengingat jawaban Miranti waktu itu.

"Bukan! Maksudku akan sanggupkah aku tanpa kau selama itu?"

Dan Hermanto segera menjawab: "Bukankah kau belum yakin akan dirimu? Itulah kesempatan bagimu untuk mengetahui dirimu yang sesungguhnya terhadapku". Dua bulan setelah itu Hermanto berangkat ke Jerman.

Di sana ia tinggal serumah dengan Bi Tia dan Adrianto adiknya. Adrianto sering mengejek Hermanto yang kelihatan bermenung-menung, teringat kekasihnya di tanah air.

"Her, kau setia bener sih pada cewekmu! Aku tahu, calon istrimu cantik, baik dan cerdas. Aku ngiri deh. Memang sulit cari perempuan seperti Miranti. Tapi sesungguhnya kau bodoh. Miranti masih menguji cintanya padamu. Aku pikir, kau juga seharusnya menguji cintamu pada Miranti. Iseng-iseng, kau pacari saja gadis bule atau salah satu mahasiswi-mahasiswi Indonesia yang di Jerman ini."

Dan Hermanto menjawab saran adiknya itu.

"Dimas, kalau kau jatuh cinta yang sesungguhnya, kau tidak akan berpikir untuk mengujinya lagi."

Mendengar jawab Hermanto, Adrianto tersenyum kecut berkata: "Berbahagialah kau Her, doakan aku semoga akupun bisa dapat cewek seperti calon istrimu."

"Kenapa?" tanya Hermanto.

"Lihat gambarnya saja aku sudah jatuh cinta, sayang ini pacarmu ha .. ha .. ha.. " Adrianto berkata meledek sambil melirik foto Miranti yang besar di meja Hermanto.

****

SEKEMBALINYA Hermanto di Indoneisa, di lapangan terbang ia disambut mesra oleh Miranti. Hermanto terkenang, bagaimana mereka saling berpelukan, lupa keadaan sekelilingnya, padahal yang menjemput Hermanto tidak hanya Miranti. Dia ingat waktu itu ibunya, Rini dan Budi memperhatikan         mereka sambil tersenyum.

Dan Hermanto ingat percakapan mereka di mobil dalam perjalanan pulang dari lapangan terbang.

"Aku sudah kembali, Anti", bisik Hermanto sambil mempererat pelukannya pada kekasihnya itu. Miranti hanya tersenyum. "Apa keputusanmu?" tanya Hermanto.

"Entahlah, yang kutahu jangan kau tinggalkan aku lagi, mati aku rasanya", jawab Miranti.

Hermanto saat itu tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Miranti, sehingga tawanya itu mengejutkan Rini dan Budi yang duduk satu mobil dengan mereka. Dan Hermanto ingat bagaimana Rini bertanya dengan wajah heran.

"Ada apa, sih?"

"Anti mau mati!" jawab Hermanto dan ketika itu Miranti mencubit kakinya keras-keras.

HERMANTO tersenyum mengenangkan masa-masa lalu itu. Dibalikkannya badannya, dia lihat istrinya yang lagi tidur itu. Hermanto mencium pipi Miranti dengan lembut. Miranti terbangun menggeliat.

"Em ... em ... Mas, malam begini kau cium aku, ada apa sih?"

Hermanto tidak menjawab, diambilnya lengan istrinya ditaruh di lehernya dan diusapnya.

Miranti melihat dalam kesuraman lampu kamar, mata suaminya masih terbuka lebar.

"Hai! ... Kau belum tidur juga?"

"Aku tidak bisa tidur, Anti", bisik suaminya.

"Jam berapa sekarang, Mas?" Miranti bertanya suaranya manja.

"Pukul satu ... ah lama juga aku melamun", Hermanto berkata hampir tidak terdengar.

"Pukul satu, Mas! ... sudah larut sekali malam ini, tidurlah, Mas! Besok kau harus pergi ke kantor."

"Kini sudah hampir 3 tahun kita kawin. Bram empat bulan lagi dua tahun umurnya, sebulan lagi adiknya lahir. Anak kita sudah mau dua", bisik Hermanto seolah berkata kepada dirinya sendiri. Miranti heran mendengar bisikan suaminya tapi dia diam saja, hanya matanya penuh tanya menatap suaminya.

"Anti, kau cinta padaku? tiba-tiba Hermanto berkata sambil menatap mata istrinya yang memandang padanya dengan keheranan.

"Mas! ... Kau tidak mimpi? Kau sadar? ... Mengapa kau tanyakan itu malam-malam begini?"

"Tiba-tiba saja aku pingin mendengar kalimat yang tidak pernah kau ucapkan sejak kita kawin", Hermanto berkata dengan suara beriba. Miranti tidak segera menjawab. Dia menarik lengan Hermanto. Hermanto lagi-lagi menatap wajah istrinya yang kebingungan itu, dia sabar menunggu jawaban istrinya.

Hati Miranti tersentuh, dengan rasa haru dipeluknya erat-erat lengan suaminya. Kalau saja perutnya tidak menghalangi, dia ingin menjatuhkan dirinya dalam pelukan, di dada suaminya itu.

"Mas Her-ku sayang ... aku sangat terlalu cinta padamu", bisik Miranti pasti.

Miranti melihat, di mata Hermanto mengambang air mata.

"Bukaknkah Mas Her pernah mengatakan bahwa sebetulnya kata-kata itu tidak perlu diucapkan?" tnya Miranti lirih.

"Aku tahu ... Aku tahu Anti, memang sebetulnya tidak perlu kau ucapkan. Aku sudah cukup merasakan betapa besar cintamu padaku. Aku terharu karena gadis kecil dulu yang kukawini sekarang sudah mau punya anak dua. Menyesalkah kau? Engkau mau kuliah lagi?"

"Kau ngeledek, ya!" cetus Miranti pura-pura marah, dilepaskannya lengan Hermanto dari pelukannya!

Hermanto mendekatkan wajahnya ke wajah Miranti.

"Anti, menjadi ibu itu bukan tugas yang mudah, kalau kau dapat menjadi ibu yang baik itu tugas yang amat mulia. Kau ingat kata-kata Rose Kennedy? Dia berkata, bahwa adalah mengherankan kalau masih ada orang meremehkan tanggung jawab seorang ibu rumah tangga. Anti! Katakan pada ayahmu kau sudah bisa memberikan cucu lagi padanya. Aku lihat si kakek itu yang paling rajin nengok si Bram."

"Mas Her, kau terus mengigau. Sudahlah besok kau harus bekerja, aku masih pingin tidur lagi", Miranti menyusupkan kepalanya ke lengan Hermanto. Dan malam makin larut. Kamar itu hening senyap, sudah tak terdengar lagi suara dan bisik-bisik.

Miranti tahu, dibalik kelembutan Hermanto, Hermanto sesungguhnya keras dan ini tampak kalau ia tersinggung. Tapi ini jarang sekali terjadi. Buat Miranti Hermanto baik hati, teramat baik hati. Dia mengajarkan kepada Miranti untuk menghadapi persoalan-persoalan di dalam rumah tangga dengan cara membicarakan persoalan itu bersama. Dan apabila Miranti suka marah atau merajuk, Hermanto menanggapi itu dengan kepala dingin. Sehingga akhirnya Miranti tambah tahu bahwa dia harus banyak belajar dari kesabaran suaminya. Dan membutuhkan cinta suaminya sepenuhnya.

****

ANTI memperhatikan terus sampai mobil suaminya lenyap di kelokan jalan. Sebetulnya Miranti merasa enggan kalau ditinggal. Kebahagiaannya adalah bila Hermanto berkumpul di rumah. Tapi Miranti mengerti, itu hal yang mustahil, sebab suaminya harus bekerja untuk menghidupi anak istrinya. Dan bahwasanya hidup berumah tangga itu tidak hanya untuk bercinta.

Miranti tahu, kurang lebih setengah jam lagi tilpon akan berdering seperti biasa. Hermanto akan menilponnya dari kantor, mengatakan bahwa ia sudah sampai dg selamat. Dan Akan dia ucapkan pesan-pesan seperti:

'Jaga dirimu Anti, titip Bram, selamat masaklah, aku cinta padamu', dan akan menutupnya dengan kata-kata" 'Sampai nanti siang ya, Anti.'

Itulah perkataan dan kalimat yang selalu diucapkan Hermanto, tetapi tidak pernah membosankan hati Miranti.

Sementara hatinya menunggu tilpon berdering, segera ia memandikan Bram. Sekarang Bram sudah mandi, sudah nyisir rapi, dan duduk makan roti dengan selai.

"Heran, Mas Her kok belum tilpon juga", kata hatinya.

Miranti melihat jam dinding di ruang makan itu. Dia membereskan letak jambangan bunga, menyapu lantai ruang makan, tiba-tiba ... kring ..., tilpon berdering di ruang tamu. Hati Miranti berdegup gembira. Dituntunnya Bram menuju tilpon.

"Ayo Bram, ayo ngomong dengan Papa", kata Miranti sambil menyorongkan kop tilpon itu ke mulut anaknya. Wajah Bram kelihatan gembira karena ia diberikan giliran lebih dahulu bicara dengan ayahnya.

"Papa ... Papa!" ... kata Bram memulai percakapan. Tapi Miranti kemudian melihat wajah Bram berubah. Anak itu tampak kecewa.

"Mama, ini ukan Papa ... ukan Papa", kata Bram, sambil matanya melihat ke arah Miranti. Miranti segera mengambil pesawat tilpon itu dari tangan anaknya.

"Hallo! .. Pak Handoko? .. O ... ini Pak Handoko?" tanya Miranti.

Ia tahu Insinyur Handoko itu teman suaminya sekantor.

"Akan ke rumah saya? ... Silahkan!" kata Miranti lagi. Wajah Miranti penuh tanda tanya.

"Ada apa?" kata hati Miranti. Dan menutup pesawat tilpon perlahan.

Ada firasat tidak enak di hatinya. Mana Hermanto? ... Kenapa sepagi begini Handoko tilpon ke sini? Ada apa? Tiba-tiba saja Miranti memastikan, pasti ada yang tidak beres. Ia gelisah. Sementara menunggu Handoko datang, Miranti meneruskan menyapu ruang makan. Bram mengikuti dia dari belakang.

Tidak lama kemudian terdengar deru mobil masuk halaman rumah, batu-batu kerikil tersebar rapih di halaman berpelantingan. Miranti melihat, Handoko begitu gugup turun dari mobilnya. Kegugupan Ir. Handoko itu bertambah, ketika ia melihat Miranti menyambutnya. Handokko melambatkan langkahnya mengikuti Miranti masuk ke dalam rumah. Handoko duduk, dia kelihatan menenangkan dirinya.

"Nyonya Hermanto!" kata Ir Handoko pelan. Sambil menyapu keringat di keningnya dengan spu tangan.

"Ya, ada apa?" tanya Miranti dengan tidak sabar.

"Duduklah, sabarlah, saya akan menyampaikan ini", kata Handoko lagi.

"Ya, katakanlah!" Miranti cepat. Tiba-tiba saja hatinya kesal melihat Ir Handoko begitu lamban.

"Sebetulnya, tadi saya hendak menyampaikannya saja melalui tilpon, tapi saya rasa itu tidak mungkin. Sebab itu saya ke sini. Begini Nyonya Hermanto, eh .. eh .. tadi, waktu Hermanto menuju ke kantor, mobilnya rusak ditabrak truk gandengan yang bawa pasir. Saya kira Hermanto tidak apa-apa, hanya mobilnya rusak", kata Handoko hati-hati. Miranti merasakan begitu tolol dan lucu wajah Ir Handoko ketika menyampaikan berita itu.

"Betulkah, Pak Handoko? Betulkah Mas her tidak apa-apa dan hanya mobilnya yang rusak?" tanya Miranti bertubi-tubi.

"Pak Handoko, katakan apa yang terjadi sesungguhnya. Insya Allah, saya akan tabah mendengarnya, jangan bohongi saya. Seandainya hanya mobilnya yang rusak, mengapa suami saya tidak datang sendiri ke sini mengabariku?" Meranti menatap Ir. Handoko dengan tajam.

"Betul ... Hermanto sekarang di rumah sakit. Kabarnya saya sendiri belum tahu. Karena peristiwa itu begitu tiba-tiba terjadi tidak jauh dari kantor kami. Sebagian rekan yang lain ke rumah sakit dan saya yang disuruh mengabarkan ke sini."

Miranti tidak mendengar apa-apa lagi yang dikatakan Ir Handoko, seketika saja dirasakannya bumi bergoyang, tengkuknya terasa panas, badannya trasa dingin, keringat dingin bercucuran.

"Betulkah? ... Betulkah? ... dipegangnya kepalanya.

"Mama ... Mama ..." suara Bram terdengar di telinganya. Ia sadar, dipeluknya Bram erat-erat.

"Pak Handoko, antarkan saya ke tempat ibu mertua saya, ibunya Hermanto, sebentar saya akan tilpon ayah ibuku sendiri. Mereka semua harus tahu kabar ini", kata Miranti dan ia berdiri menuju pesawat tilpon.

Jari-jarinya gemetar memutar nomor tilpon rumah ayahnya. Dengan sabar ia menunggu jawaban, tidak lama terdengar tilpon itu ada yang menerima. Dia mengenali suara itu, suara dalam tilpon itu suara ayahnya.

"Hallo, Papa ... ini Papa? Mas Her di rumah sakit, Papa". Hanya itu yang sanggup dikatakan Miranti pada ayahnya di tilpon.

Miranti menangis terisak-isak, tangis itu begitu saja meledak seketika. Dia tertunduk, Handoko mengambil pesawat tilpon itu dari tangan Miranti. Miranti mendengar Handoko meneruskan pembicaraan dengan ayahnya tentang kabar suaminya itu.

Miranti menghapus airmatanya dan berbisik halus, dia bertanya kepada dirinya sendiri.

"Masih ada harapankah? Betulkah Mas Her tidak apa-apa? Oh Tuhan, selamatkan suamiku?"

Bram menghampiri ibunya dan duduk dipangkuannya. Mata Bram menatap mata ibunya yang basah. Wajah Bram tampak kebingungan, tapi Miranti tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada anaknya itu.

Handoko duduk, dia tampak gelisah. Mereka tidak ada lagi sanggup berkata-kata. Tidak lama kemudian mobil masuk halaman rumah.

Miranti melihat ayah ibunya dan Harri memburu masuk ke dalam rumah. Miranti memandang kepada ayah ibunya. Hati kecil Miranti merasa berdosa, ayahnya yang biasa tenang tampak kebingungan dan dilihatnya seakan menjadi lebih tua, wajah ibunya pucat. Handoko memberikan keterangan tentang kejadian itu kepada Harri yang didengarkan juga oleh ayah ibunya.

"Mama, titip Bram", kata Miranti sambil mencekal bahu Bram di hadapkan pada ibunya.

"Harri, tolong jemput ibunya mas Her dan beritahu juga hal ini pada Rini dan suaminya. Papa dan aku ikut dengan mobil Pak Handoko langsung ke rumah sakit", kata Miranti lagi. Miranti bisa menguasai keadaan dan membagi tugas. Dia merapikan bajunya dan mengikatkan rambutnya.

Harri tanpa menunggu perintah dua kali dia langsung keluar rumah melarikan mobilnya ke tempat ibu mertua adiknya itu.

Miranti ke rumah sakit dengan wajah pucat, tangannya erat memegang bungkusan di mana baju Hermanto terletak. Dia tadi masih sempat menyiapkan baju-baju itu, dai takut Hermanto membutuhkannya.

Ibu mertua Miranti, Rini dan Budi tiba. Ibunya Hermanto tanpa menghiraukan sekeliling, menangis meratap-ratap.

"Herman! ... Oh, Herman, bagaimana anakku?" tangis ibu Hermanto.

Rini memeluk Miranti adik iparnya itu sambil menangis. Miranti membalas pelukan itu tanpa tetes air mata sedikit pun, pandangannya kosong jauh. Dia hanya bisa menangis tadi, waktu menilpon ayahnya. Setelah itu ia tidak bisa menangis lagi walaupun terasa dadanya sesak, penuh dan sakit.

Miranti tidak mendengar percakapan orang-orang dengan jelas. Terasa simpang siur di telinganya. Firasatnya sebagai seorang istri seolah sudah memastikan bahwa Mas Her suaminya tidak tertolong, dan suaminya tidak akan kembali, walaupun hati kecilnya memerangi firasat itu.

Miranti tidak mendengar lagi, sebab peristiwa itu terjadi, kenapa, dan bagaimana. Dia tidak mengetahui apa-apa, dan dia tidak berusaha untuk tahu. Ia ngeri untuk membayangkan itu, dan tidak punya kesanggupan untuk membayangkannya.

Dia melihat dangan mata nanar, ayahnya memasuki kamar di mana suaminya terbaring, kemudian dokter dengan wajah dingin keluar dari kamar itu, masuk lagi seorang suster dengan wajah sibuk, keluar lagi perawat lainnya dan kemudian Harri dan Budi masuk.

Ia melihat tanpa keinginan sesuatu, menatap dengan mata yang tak berjiwa, dan ia melihat lagi ayahnya, Harri dan Budi keluar dari kamar dengan wajah pucat, dan ia merasakan tangan Rini di sebelah kananya mencekal lengannya tambah erat, dan juga tangan Nyonya Handoko di lengan kirinya.

Pak Sosro ayah Miranti menghampiri anaknya. Dipegangnya lembut tapi pasti bahu anak gadisnya itu, seolah laki-laki tua itu ingin memberikan kekuatan pada Miranti.

"Mira ... kau tak perlu masuk kamar itu. Ingatlah akan anakmu dalam kandunganmu, kasihan dia, dan ingat juga si Bram di rumah".

Suara ayahnya yang berwibawa itu mengandung tangis, dan Miranti hanya mengangguk. Dia tidak bertanya mengapa dia tak boleh melihat, padahal Hermanto adalah suaminya. Dan dia mendengar lagi ayahnya berbisik:

"Ya Tuhan, mengapa bukan aku saja yang sudah tua ini dan sudah menikmati hidup di dunia ini, kau ambil pulang? Hermanto masih muda", kata-kata itu hampir tidak terdengar. Tetapi sanggup membuat Miranti bertanya-tanya, seolah dia terkejut dari tidurnya.

Ada apa dengan ayahku? Matanya memandang pada ayahnya, dia tahu ayahnya seorang yang kuat dan optimis, betulkah ayahnya yang berkata demikian? Terbayang sekilas oleh Miranti, hubungan ayahnya dengan Hermanto suaminya. Ayahnya yang dulu menganggap Hermanto menghambat cita-cita anak gadisnya, tapi setelah mereka kawin ayahnya berbuat sebaliknya. Ia mencintai Hermanto seperti anaknya sendiri, demikian pula Hermanto begitu mencintai ayah mertuanya.

Mereka punya banyak gobby yang sama. Dua orang itu bisa berjam-jam ngobrol soal wayang, soal politik atau situasi tanah air dan sanggup juga berjam-jam menghadapi papan catur. Hermanto nampaknya menemukan ayah sesungguhnya, bukan sekedar ayah mertua. Dan pak Sosro tahu. Miranti tidak salah pilih untuk menjadikan Hermanto sebagai seorang suami.

Kini Miranti melihat wajah ayahnya mengandung kesedihan yang amat sangat, wajah orang yang kehilangan.

Juga ia melihat ibu mertuanya dengan mata yang merah bengkak dan basah datang memeluki dirinya.

"Miranti, Miranti anakku ... kasihan nasibmu, nak. Kau ditakdirkan seperti aku membesarkan anak tanpa ayah ... Miranti ..." ratap ibu mertua itu putus asa.

Hati Miranti terasa perih mendengar ratapan itu, tapi keperihan itu tidak juga mengubah wajahnya, dan dimatanya tidak ada air mata.

"Maafkan ibu, nak, Ibu tidak bisa menahan rasa sedih ini. Kau tidak menangis, kau tabah! ... Aku juga dulu begitu, kasihan benar kau cucuku", Mertua itu menangis sambil mengelus perut Miranti yang sedang hamil.

Kaum kerabat, famili, teman-teman sekerja Hermanto bergantian menjabat tangan Miranti menyatakan duka cita. Mereka menangis melihat Miranti yang sedang mengandung.

MIRANTI mendengar suara azan didengungkan. Suara itu menyusup hatinya jauh merayap ke relung sanubarinya, hatinya yang kosong tiba-tiba merasa melayang. Dia merasakan kesepiannya yang amat sangat walaupun berada di antara banyak orang di sekelilingnya. Dia tahu, dihadapannya terbaring Hermanto, ditutupi kain batik tulis halus, bau bunga melati dan daun pandan serta setanggi menusuk hidungnya.

Bunga-bunga itu tersusun rapih diatas peti mati. Miranti tidak tahu dengan pasti, kapan jenazah itu dimandikan, disembahyangkan dan dibawa ke kubur. Dia hanya mengikuti semua upacara itu dengan hati dan pikiran kosong tak berjiwa.

Dia berjalan mengikuti iring-iringan dengan perasaan lelah. Dia terlalu lelah, dan diikutinya semua itu seperti seorang hukuman yang akan dibawa ke tiang gantungan. Miranti sadar sesaat ketika ibunya menggendong Bram berbisik dengan air mata berlinang.

"Sabarlah, anakku ... terimalah semua takdirmu ini, ingatlah anakmu ini". Ibu Miranti mengusap kepala Bram.

Miranti sadar. Sambil tangannya mengelus-elus kepala anaknya. Bramanti tidak mengerti apa yang telah terjadi, wajah anak kecil itu kebingungan, dia menatap wajah ibunya yang tampak tersenyum padanya, dan Bramanti melihat semua orang menangis, kecuali dia dan ibunya.

 Di dalam kesibukkan di rumah duka itu, Miranti melihat kain tirai yang baru saja digantungkan Hermanto kemarin, bergerak-gerak tertiup angin, matanya melihat Hermanto berdiri di situ, hatinya tersirat ... tapi itu hanya bayangan saja.

****

HARRI, kakak Miranti yang masih belajar di Fakultas Kedokteran tingkat terakhir merasa perlu minta pertolongan temannya dokter Arling, seorang dokter ahli jiwa, karena Harri merasa kuatir melihat adiknya.

Selama ini Harri selalu menemani Miranti tinggal di rumah adiknya itu. Harri dengan teliti memberikan obat-obat penenang yang diberikan oleh dokter Arling untuk adiknya. Ia membujuk dengan penuh kasih sayang dan penuh pengertian agar adiknya mau minum obat-obat itu, dan Miranti tidak pernah menolak walaupun ia tidak pernah mengatakan apa-apa.

Wajah Miranti dilihat oleh Harri dingin dan beku, tidak pernah memberikan reaksi apa-apa. Dan semua tingkah laku adiknya selalu dilaporkan Harri kepada dokter Arling.

Pagi itu terdengar percakapan antara Harri dan dokter Arling.

"Dok, kudengar tadi malam adikku menangis dan pagi-pagi ketika ia keluar kamar matanya bengkak dan merah", kata Harri dengan wajah was-was.

"Itu lebih baik", dokter Arling menepuk bahu Harri dengan tersenyum.

"Kau tidak usah kuatir, Harri percayalah padaku, adikmu tidak apa-apa", lanjut dokter Arling lagi.

Harri tidak menjawab, dia menekuri lantai, terlintas dalam pikirannya betapa berat cobaan Tuhan buat Miranti, adiknya.

"Dengar, Harri akan kujelaskan mudah-mudahan teori dugaanku ini benar. Tadi malam dia mulai menghadapi kenyataan, dan dia baru menyadari kenyataan itu bahwa suaminya telah tiada dan dia menangisi kenyataan itu. Waktu pertama kali adikmu mendengar dan mengetahui kabar kematian suaminya, dia belum mau percaya. Hari pertama masih sibuk, banyak orang, dan ketidakpercayaan itu masih sempat ia pertahankan dalam kediamannya walaupun hati kecilnya merasa bahwa betul suaminya telah meninggal. Sehingga terjadi kontradiksi dalam batinnya. Itulah sebabnya ia kelihatan seperti orang bingung dan tidak sadar. Setelah suasana agak tenang, dia mulai berpikir, merasa dan menangisi keadaannya, sehingga semalam itu tumpah dalam tangis segala apa yang terhimpit dibatinnya. Jelas, bukan?" tanya dokter Arling.

Harri hanya menganggukkan kepalanya.

"Saya lebih khawatir kalau Miranti tidak menangis," lanjut dokter Arling. Wajah Harri tampak puas mendengar keterangan dokter Arling temannya itu.

****

MEMANG benar, hampir semalaman Miranti tidak dapat tidur, malam menjelang hari ketiga kematian Hermanto.

Semalam setelah Miranti selesai sembahyang Isya dia mengatupkan kedua tangannya dan berbisik.

"Oh, tuhan berikan kekuatan iman kepada hambaMu ini, hamba hampir tidak tahan menahan cobaan ini ... tolonglah hamba. Dan semoga Kau tempatkan Hermanto suamiku di sisiMu, ampunilah dosa-dosanya selama hidupnya ... terimalah amal ibadahnya."

Dalam berdoa air mata Miranti bercucuran dan terasa air mata itu seperti terlepas dari bendungannya.

Miranti bangkit dari sajadah sembahyangnya menuju tempat tidur Bramanti, diusapnya kepala anaknya, ditatapnya wajahnya yang sedang tidur itu dengan air mata yang tidak juga berhenti. Kemudian ia menuju tempat tidur di mana ia biasa tidur dengan Hermanto. Direbahkannya badannya.

Malam telah sunyi, Miranti menyadari dengan sesungguhnya bahwa sekarang ia sendiri.

orang yang amat dikasihinya tidak lagi disisinya. Hermanto masih muda, anak mereka masih kecil dan seorang ini belum lagi lahir. Anak ini akan lahir ke dunia tanpa melihat wajah ayahnya.

Dan Miranti teringat malam terakhir dia terbaring di sisi suaminya, dan ia merasa bersyukur bahwa ia masih sempat mengucapkan kata cinta buat suaminya, dan rupanya kata cinta itu dibawanya ke alam lain oleh Hermanto.

Satu bulan sepuluh hari, tepatnya empat puluh satu hari setelah kematian Hermanto, di suatu siang Miranti merasakan perutnya mulas, Harri tahu adiknya mungkin akan melahirkan. Harri membawa Miranti ke rumah sakit.

"Bagaimana, Mira, kutilpon kak Rini dan ibu mertuamu, agar segera datang ke mari?" tanya Harri pada Miranti sesampainya di rumah sakit.

"Tak usahlah, Har, biar nanti saja kalau sudah lahir. Aku rasa tak lama lagi ... Mungkin tak sampai malam, bayi ini sudah lahir", kata Miranti sambil menahan sakit.

"Tuhan, selamatkan adik saya dan bayinya", kata Harri dalam hati. Ia tidak tega melihat wajah adiknya yang kesakitan itu.

Di luar, Harri gelisah mendengar keluhan dan rintihan adiknya yang malang. Rokok yang dihisapnya dimatikan di asbak yang sudah penuh dengan puntung rokok. Sebentar-bentar dia menghapus keringat di kening dan di lehernya. sebagai calon dokter dia bisa menolong kelahiran, membantu dokter ahli dalam prakteknya, tapi tidak segelisah dan setakut ini hatinya.

Tak lama kemudian pak Sosro datang. Bagi Harri, hal ini agak menenangkan hatinya, sebab kecemasan bisa terbagi dengan ayahnya.

"Papa? ... Mama tidak ikut?" tanya Harri menegur ayahnya.

"Tidak! Biarlah mamamu di rumah jaga si Bram. Bagaimana adikmu?" tanya ayahnya hampir tidak terdengar sambil mengeluarkan rokok dan pipa dari saku bajunya.

"Aku juga belum tahu, Papa, tapi kelihatan mulasnya sudah sering", jawab Harri dan menyalakan korek api untuk rokok ayahnya.

Setelah itu mereka terdiam, keduanya penuh dengan pikiran masing-masing.

Mereka mengerti apa yang kini dirasakan Miranti, selain kesakitan juga, kesedihan.

Satu jam ... dua jam ... tiga jam ... talah berlalu, kegelisahan mereka bertambah juga. Tetapi mereka belum mendapat kabar kelahiran anak Miranti. Perawat kelihatan sibuk keluar masuk.

Senja telah berlalu, waktu telah menunjukkan jam tujuh lima belas menit. Harri melihat arloji di tangannya, juga ayahnya.

Tiba-tiba mereka mendengar rintihan Miranti yang keras. Ayah dan anak itu berpandangan ... dan menundukkan kepalanya kembali ... hening.

Tak lama kemudian terdengar tangis bayi melengking ... lagi-lagi ayah dan anak itu berpandangan. Dan sepuluh menit kemudian, seorang perawat keluar. Ayah Miranti dan Harri hampir bersamaan berdiri menyongsong, juga ikut seorang laki-laki yang sejak tadi berada di ruangan itu. Rupanya sedang menantikan kelahiran bayinya di kamar yang sama. Wajah mereka diliputi tanda tanya.

Perawat itu mengabarkan: "Anak nyonya Miranti sudah lahir dengan selamat, bayinya perempuan, cantik seperti ibunya."

"Ini ayahnya?" tanya perawat itu, sambil menunjuk pada Harri. Harri tidak menjawab, ia hanya tersenyum.

"Terima kasih suster, terima kasih", kata Pak Sosro terbata-bata. Wajahnya yang telah mulai keriput itu diliputi kebahagiaan.

"Terima kasih, ya, Tuhan, semoga anak itu menjadi penghibur Miranti", bisik hati ayah Miranti.

"Bolehkah kami segera masuk menemuinya?" kata Harri pada perawat itu, ketika dilihatnya perawat itu berbalik hendak masuk kamar di mana Miranti berada.

"Sebentar lagi, tuan, sebentar saya akan saya kasih tahu, kapan tuan-tuan boleh masuk", jawab perawat itu sambil tersenyum memandang Harri yang sudah kelihatan tidak sabar lagi.

"Papa, lebih baik saya tilpon Ibu di rumah. Tentu ibu pun sudah gelisah menantikan kabar ini, dan sekalian akan saya tilpon kak Rini", kata Harri. Ayahnya menganggukkan kepalanydan duduk lagi di kursi di ruang tunggu itu. Pak Sosro melihat laki-laki tadi yang duduk di sebelah kursinya gelisah. untuk mengisi kekosongan suasana, pak Sosro menegur laki-laki itu:

"Anak keberapa, tuan?"

Laki-laki itu tampak terkejut dan menjawab segera pertanyaan pak Sosro cepat-cepat.

"Anak ketiga, tapi kali ini lama sekali tidak seperti yang terdahulu. Istri saya sudah sejak kemarin di kamar itu, belum juga lahir". Laki-laki itu mengeluh. Dan ia balik bertanya pada pak Sosro.

"Siapa yang melahirkan, Pak"

"Anak saya", jawab pak Sosro.

"Jadi yang lahir itu cucu Bapak, yang tadi ayahnya?" tanyanya lagi.

"Bukan! Tadi bukan ayahnya yang tadi itu  juga anak saya."

"Yang tadi pamannya? Ayahnya kemana? Maksud saya ayahnya tidak ikut menunggui kelahiran anaknya?" tanya laki-laki itu lagi.

"Ayahnya sudah meninggal!" jawab pak Sosro hampir tidak terdengar.

"Oh ... " laki-laki itu tidak berkata-kata lagi, ohnya mengandung penyesalan, seolah ia menyesali dirinya mengapa ia musti bertanya tentang ayah bayi itu.

"Ya, ayahnya cucu saya ini sudah meninggal", kata pak Sosro sambil tersenyum, dan senyumannya pun akan memaafkan dan memaklumi keingin tahuan laki-laki itu.

Harri datang dan duduk di sebelah ayahnya.

"Sudah boleh masuk, Papa?" tanya Harri dan bersamaan dengan pertanyaan itu pentu kamar bersalin terbuka, tampak Miranti terbaring di kereta, didorong oleh seorang perawat keluar kamar itu.

Ayah Miranti dan Harri tergesa berdiri menghampiri Miranti tersenyum memandang keduanya. Perawat itu mendorong Miranti menuju kamar dimana Miranti akan dibaringkan. Ayah Miranti dan Harri berlari-lari kecil mengikuti kereta itu. Sesampainya di kamar, Miranti diangkat oeh perawat itu dibantu Harri dan ayahnya, dibaringkan di tempat tidur dengan hati-hati.

Perawat itu membereskan dan merapikan tempat tidurnya dan memberikan selimut di kaki Miranti, dan selama itu mereka tidak ada yang bersuara. Harri menggenggam tangan Miranti erat-erat, Pak Sosro sibuk mengusap air matanya dengan saputangannya. Setelah selesai, perawat keluar kamar. Pak Sosro menghampiri anaknya yang terbaring di tempat tidur.

"Selamat, anakku, selamat", bisiknya diciumnya kening Miranti dan ia segera keluar kamar. Ia tak tahan melihat wajah Miranti yang pucat itu. Pak Sosro tidak mau terlihat anaknya bahwa ia menangis.

"Selamat, adikku sayang", kata Harri menyusul, ia mencium kedua pipi adiknya. Ada air mata tergenang di mata adiknya, tapi ia masih memaksa diri untuk tersenyum. Harri mengambil saputangannya dari saku bajunya dan dihapusnya air mata Miranti. Harri menganggukkan kepalanya seolah berkata, "Aku mengerti, aku tahu apa yang kau tangisi."

Miranti membalikkan wajahnya ke samping, dia menangis terisak. Harri memberikkan saputangannya.

"hai ... kau tak boleh menangis, air susumu akan kering kalau kau sedih. Susu Ibu, adalah susu yang terbaik, bukankah demikian?" kata Harri.

"Baik, pak dokter ... baik", Miranti menjawab. Ia mencoba bergurau dalam sedu sedannya yang tertahan.

Pintu kamar terbuka, ibu mertua Miranti, Rini dan Budi datang. Dengan tergopoh-gopoh mereka masuk kamar itu. Ibu mertua Miranti langsung menuju Miranti yang sedang terbaring.

"Anakku ... syukur kau selamat ... " diciumnya pipi Miranti berulang-ulang.

"Apa cucuku? ... Apa cucuku?" Perempuan tua itu berkata lagi dengan pertanyaan yang tidak sabar, wajahnya seperti kebingungan.

"Perempuan, Ibu ... Hermanto menginginkan anaknya perempuan", jawab Miranti lirih menenangkan ibu mertuanya.

Semua terdiam, si ibu tampak tak dapat menahan kesedihannya, tangannya tak henti-henti menyusuti air matanya dengan ujung selendang. Rini tidak sanggup membendung air matanya, dipeluknya Miranti, adik iparnya yang terbaring lemah itu.

"Adikku, aku kagum akan ketabahanmu", bisik Rini perlahan.

Pintu kamar itu terbuka lagi, ibu Miranti masuk bersama Bram dalam gendongannya. Harri menghampiri ibunya, diambilnya Bram dari gendongan ibunya. Mulai dari masuk ke kamar ibu Miranti sudah menangis. Segera dipeluknya anaknya. Ia tidak berkata apa-apa, ia hanya menangis memeluki dan menciumi. Miranti membalas pelukan ibunya dengan senyum yang mengandung tangis tertahan.

Ibu Miranti menghampiri ibu mertua Miranti. Dan kedua orang tua itu pun bertangisan, berpelukan, mereka punya alasan yang sama untuk menangis.

"Mama!" ... kata Bram yang digendong Harri. Bram mencondongkan badannya menunjuk Miranti, Harri mengerti Bram pingin dekat ke mamanya, lalu menyorongkan Bram ke dekat Miranti.

"Barm, kau sudah punya adik, sayang", kata Miranti meraih kepala anaknya dengan perasaan penuh iba.

"Mana adiknya, Mama?" tanya Bram. Ia merapatkan badannya ke tempat tidur mamanya.

"Ada di sana, masih tidur, nanti dibawa pulang, ya", Miranti mengelus-elus kepala Bram.

"Bram mau lihat sekarang, Mama" rengek Bram.

"Tidak sekarang, Bram, ini sudah malam, besok saja, ya" bujuk Miranti lembut.

"Papa bilang Bram jaga adik, ya Mama!?" tanya Bram sambil kepalanya dimiringkan.

"Ya! .... Y sayang" jawab Miranti hampir tidak terdengar, matanya mengambang. Lagi-lagi keharuan mencekam di kamar.

Seorang perawat masuk kamar memberitahukan bahwa mereka harus segera meninggalkan kamar sebab Miranti harus makan dan istirahat.

Miranti kini sendirian di kamar rumah sakit bersalin itu.

"Benarkah aku tabah?" Miranti bertanya pada diri sendiri. Air mata Miranti bercucuran: "Mas Her, si ratu kecilmu sudah lahir, mengapa kau tak sempat menunggu kehadirannya di dunia ini? Kau meninggalkan aku dan anak-anakmu begitu cepat, mas Her ... mas Her" Miranti merintih dalam tangisnya. Perutnya terasa mulas tapi lebih terasa lagi  dihatinya.

Dalam Nuansa Sepi

SEJAK adiknya Brm dilahirkan, miranti, Bram dan pembantunya yang setia Mbok Inah diboyong semua ke tempat rumah orang tuanya Miranti.

Mereka ditempatkan di rumah samping terpisah dengan rumah besar orang tua Miranti. memang rumah pak Sosro ayah Miranti itu besar dan luas, letaknya di daerah yang tak terlalu ramai. Rumah ini dibangun menjadi dua bagian. Rumah besar merupakan bagunan utama, dan rumah pavilyun yang biasa mereka sebut rumah samping, keduanya dihubungkan oleh semacam lorong di mana kiri kanannya ada kebun bunga yang ditanami dengan bermacam-macam bunga anggrek kesenangan ibu Miranti.

Miranti memberi nama anaknya yang baru lahir itu, DAMAYANTI. Ketika genap berumur empat puluh hari, Miranti berniat kembali pulang ke rumahnya. Rencananya itu dikatakannya pada ibunya.

"Mira, sebaiknya kau tinggal di sini. Aku dan papamu akan merasa terhibur dengan adanya Bram dan Maya", kata ibu Miranti.

"Tapi rumahku tidak ada yang mengurus, mama", sahut Miranti.

"Kemarin kenalan ayahmu, orang Jepang mencari rumah kontrakan. Sebaiknya kontrakkan saja rumahmu sekalian perabotannya. Jepang itu dengan keluarganya, dan aku rasa istrinya bisa merawat rumahmu dengan baik. Kau coba saja untuk dua tahun, lumayan uangnya untuk tambahan jajan anak-anakmu".

"Aku tidak pernah memikirkan itu, mama" kata Miranti ragu-ragu.

"Terus terang, mama merasa khawatir membayangkan kau di sana sendirian dengan kedua anakmu yang masih kecil. Kalau mama ikut ke rumahmu, kasihan Harri dan papamu tadak ada yang ngurus", kata ibunya minta pengertian Miranti.

Terdengar suara selop pak Sosro memasuki ruangan.

"Pak, kontrakkan saja rumah Mira pada Jepang kenalan itu. Aku kira dia bisa merawat rumah Mira dengan baik. Biarlah Mira tinggal bersama kita disini", kata ibu Miranti begitu dilihat suaminya datang.

Mira merasa geli hatinya. "Kini mulai lagi aku diatur mama dan papa seperti dulu ketika aku gadis, belum-belum mama sudah memutuskan", guman hatinya.

Tapi Miranti mengerti, orang tuanya bermaksud baik, oleh sebab itu dia diam saja menanggapi kata-kata ibunya pada ayahnya.

"Ya, kau boleh atur rumah samping ini semaumu, angkat saja piano di rumah besar itu kesini. Semenjak kau kawin, piano itu tidak ada yang memainkannya, si Harri terlampau sibuk dengan jarum suntiknya. ambil barang-barang di rumahmu yang kau anggap perlu, bawa kesini, sebagian biarlah ditinggal saja disana. Tinggallah dengan kami, Mira!" ayahnya berkata dengan sungguh-sungguh.

"Kalau si Harri lulus, aku akan suruh dia praktek diruang depan rumah besar dan aku pikir kau bisa bantu dia untuk mengisi waktumu. Selama itu Bram dan Maya bisa dijaga Mbok Inah, diawasi mamamu", lanjut ayahnya lagi tanpa memberikan kesempatan Miranti menjawab. Miranti hanya tersenyum meihat pada ayahnya.

"Ini sara yang baik, dan tidak salah" pikir Miranti.

Ibu dan ayah Miranti tampak bahagia melihat senyum anaknya, yang berarti juga keputusan Miranti. Mereka sudah lama tidak melihat senyum Miranti. Miranti yang dulu lincah, kini jadi pendiam. Ibu dan ayahnya selalu menghibur anaknya.

Kedua orang tua Miranti meninggalkan Miranti sendiri di kamarnya. Miranti melihat jam dinding, sudah waktu minum untuk bayinya. Kini Maya asyik menyusu, mata Maya menatapi Miranti, telunjuk Miranti digenggamnya erat. Tidak ada kenahagiaan lain bagi Miranti kecuali saat-saat seperti itu, dimana Maya berada dalam pelukannya. Datang Bram mendekat, ditarik-tariknya pipi Maya sehingga mulut Maya terlepas dari susu ibunya.

"Mama, papa mana, mama?" tanya Bram lagi, wajahnya yang tenang berubah, wajahnya itu penuh kerinduan.

Miranti tidak menjawab, dia bingung. Lambat-lambat ia meletakkan Maya yang tertidur dengan hati-hati di tempat tidur kecil. Miranti mengunci tempat tidur Maya. Dia merasa Bram mengikutinya dari belakang. Ia meghindar dari pertanyaan Bram dan duduk di kursi meja hiasnya membelakangi Bram. Bram merasa tidak puas, dikejarnya lagi mamanya.

"Kita puang yuk, cali papa!" ajak Bram penuh harap.

Miranti dengan ragu membalikkan tubuhnya memandang Bram.

"Kita tidak pulang, Bram, kita di sini temani eyang mama, ayang papa dan oom Ai" kata Miranti. Ia menyentuh kedua bahu anaknya.

"Papa? ... Papa di lumah cendili?" tanya Bram lagi. Dia hampir menangis.

"Papa sedang pergi", Miranti mengacungkan tangannya ke atas, wajahnya kebingungan apa yang harus diucapkan pada anaknya itu.

"Papa naik kapal terbang, mama?"

"Iya, ya betul, kau pandai sekali", Miranti memeluk Bram kedadanya. Ia menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Bram mau naik kapal terbang", kata Bram dalam pelukan Miranti.

Hati Miranti tersayat. Dia mengeluh, dilepaskannya Bram dari pelukannya, dipegangnya kedua tangan Bram.

"Dengar sayang, kau harus pandai seperti papamu, nanti kau naik kapal terbang", kata Miranti menahan tangisnya.

Bramanti tidak bertanya lagi. Iamenganggukkan kepalanya dan menuju tempat tidur adiknya. Kakinya yang kecil gemuk itu berjingkrak menjenguk adiknya dari tepi terali tempat tidur.

Miranti menarimnapasnya dan air matanya yang sejak tadi ditahan-tahan mengalir di pipinya. Dia tidak berusaha menghapus air mata itu, dibiarkannya, bercucuran deras di kedua pipinya dan bertetesan jatuh di pangkuannya. Bramanti anak baik. Terasa oleh Miranti anak itu penuh pengertian. Begitukah Hermanto ketika kecil? Hermanto kecil juga tanpa ayah. Mengapa kebahagiaan yang dirasakan Hermanto hanya sekejap? Aku tahu Hermanto bahagia hidup denganku, karena aku mencintainya dan dia mencintaiku.

Belum banyak yang dapat kuberikan padanya, semuanya seperti mimpi, berlalu begitu saja. Hermanto hanya sempat menitipkan turunannya padaku.

Cita-cita dan harapannya belum banyak yang terwujud, kematiannya begitu tiba-tiba dan tidak pernah kubayangkan. Tetapi semua orang pun tentu tidak akan pernah membayangkan, sebab kematian itu adalah takdir dan ini harus kusadari. semoga Hermanto suamiku mendapat kebahagiaan di akhirat sana.

Kurasa Hermanto tidak pernah mempunyai dosa, dia sangat baik, terlalu baik.

"Jangan banyak melamun, Mira", Miranti dikejutkan oleh suara Rini.

Rupanya Rini sudah masuk di kamar, membukakan pintu lambat-lambat tanpa disadari Miranti.

Miranti tergesa-gesa menghapus air matanya.

Oh, kak Rin, dengan siapa?" Miranti segera berdiri dan meberes-bereskan letak bajunya yang agak kusut.

"Dengan Budi, juga ibu", jawab Rini.

"Anak-anak tidak dibawa?" tanya Miranti lagi.

"Tidak, mereka asyik dengan mainan baru yang dibawa ayahnya kemarin dari Tokyo", kata Rini sambil duduk di tepi tempat tidur.

Oh ya, aku lupa kak Budi terbang ke Jepang. Berapa hari?" Miranti duduk disamping Rini.

"Hanya lima hari".

"Tentu kak Rini kesepian selama itu?", tanya Miranti dengan tersenyum.

"Huh, tidak hanya kesepian" jawab Rini ditariknya bantal peluknya dan berkata lagi.

"Sepi dan cemas. Aku selalu cemas bila Budi sedang terbang, saya kira hampir semua istri penerbang merasakan hal ini, seperti aku, tapi sebetulnya perasaan itu bodohdan emosional. Maut bisa datang dimana saja, kapan saja, seperti reklame coca cola. Ditempat tidur sekalipun isa terjadi", Rini tidak melanjutkan kata-katanya, walaupun kedengarannya nada suara itu belum lagi selesai. Rupanya dia sadar kata-katanya tentu membuat Miranti teringat akan kematian Hermanto.

Miranti bangkit menuju tempat tidur Maya diikuti Rini, dibetulkannya letak guling kecil di kiri kanan Maya.

"Cantik sekali anak ini, dan cepat besar. Mira, kau menyusuinya sendiri?"

"Ya aku sendiri, tanpa bantuan susu apa pun", jawab Miranti tersenyum bangga.

"Aku sebetulnya ingin punya anak perempuan. Anak laki seperti anak-anakku, Frans dan Luki bandel-bandelnya bukan main. Tentu tidak akan terjadi pada anak perempuan seperti ini", Rini meraba kepala Maya dengan hati-hati.

"Luki sudah empat tahun, kukira sudah waktunya dia punya adik lagi", kata Miranti.

"Auw  ... ampun, tidak! dua cukup, nanti keluar lagi laki-laki hancurlah rumahku. Ini saja", diusapnya kepala Maya. "Maya juga adiknya, sama saja"

Setelah itu keduanya keluar kamar menuju ruang tamu di rumah besar, dimana ayah dan ibu Miranti, Budi dan ibu mertua Miranti duduk berkumpul. Miranti langsung menuju tempat duduk ibu mertuanya. Yang langsung berdiri memeluk Miranti, dan mencium kedua pipi menantunya itu. Keduanya meneteskan air mata, yang lain hanya menundukkan kepala. Si ibu mertua dengan matanya yang sudah mulai kelabu itu menyelusuri tubuh Miranti. Hatinya berbisik:

"Anakku ini tampak pucat dan kurusan, hanya buah dadanya saja kelihatan penuh sebab sedang menyusui". Dibelainya lengan Miranti. Hanya dengan cara itulah dia menegur menantunya.

Miranti membalas belaian itu dengan menggenggam erat tangan tua yang mulai keriput itu.

"Mira, coba buka bungkusan itu, aku bawa dari Tokyo, mudah-mudahan kau suka", Budi berkata memecah suasana. Miranti mendudukkan kembali ibu mertuanya, secepatnya ia menghapus air matanya. Lalu menghampiri Budi.

"Bungkusan apa?" Miranti mencoba tertawa. Budi menunjuk sebuah bungkusan rapi terletak di atas meja.

"Aku tidak ulang tahun, kok", kata Miranti tersenyum memegang bungkusan itu.

"Aku tahu, tapi itu kan oleh-oleh", kata Budi.

"Bukalah, Mira!" Rini menyorongkan bungkusan itu dan Mira membukanya dengan hati-hati, dan perlahan.

Sebuah gaun dikeluarkan dari bungkusan itu. Gaun panjang berwarna biru tua hampir kehitaman, potongan punggung dan dadanya agak rendah, lengannya panjang bergaris putih. Sangat indah.

"Bagus sekali, terlalu bagus untukku. Terima kasih, kak Budi. Tapi saya heran bagaimana kak Budi tahu ukuran saya?" tanya Miranti.

"Tidak susah, bukankah tinggi dan besarmu hampir tidak berbeda dengan Rini?"

"Sebetulnya aku bingung juga ketika Rini mengusulkan membeli dua buah gaun untuk dia satu, untukmu satu, sebab kalau Rini tak menyukai pilihanku tidak menjadi soal tapi kalau Mira tak cocok, aku kan malu ketahuan sebagai orang yang tak punya selera", kata Budi. Semua yang di ruangan itu tersenyum.

"Budi membawa dua buah, yang satu warna hijau muda dipadu dengan renda putih. Aku pikir kau sebaiknya warna yang biru tua itu, sebab kulitmu putih", kata Rini pada Miranti.

"Memangnya kak Rini hitam?" tanya Miranti bergurau dan duduk disampingnya.

"Hitam sekali tidak, tapi tidak seputih kulitmu", kata Rini lagi.

"Apapun, aku sangat menyukai gaun ini", Miranti memeluk gaun itu ke dadanya. Sebenarnya hati Miranti sangat terharu atas perhatian saudara iparnya. Air matanya berlinang, tapi ia berusaha menutupi semuanya itu. Dan selama berbincang-bincang, ia selalu berusaha menyenangkan hati ibu mertuanya sebaik mungkin. Miranti merasakan hatinya semakin dekat dan semakin mencintai perempuan tua itu.

Pembicaraan sampai juga berkisar tentang Adrianto, adik Hermanto yang tinggal di Jerman.

"Adri akan kembali kira-kira setengah tahun lagi, setelah selesai sekolahnya, dia akan bekerja dulu di pabrik obat di sana. Sedangkan bi Tia adikku, akan kembali bulan depan, sebab masa tugas suaminya sudah selesai", kata ibu mertua Miranti.

"Dimas Adrianto memang terlalu, disana dia pacaran melulu!" Rini nyeletuk.

"Dulu dia beri kabar kita bahwa dia akan membawa gadis bule untuk kawin disini, kita setuju saja ee.. e.. setelah itu putus, entah kenapa. Terakhir berita dari bi Tia, dia pacaran dengan mahasiswi Indonesia. Lama juga, sudah hampir setahun. Kita pikir dengan yang ini barangkali serius, tapi dengar kabar lagi, sudah diputuskannya, entah kenapa lagi", lanjut Rini.

"Mungkin belum cocok", kata ayah Miranti.

"Tapi ketika dia mendapat kabar tentang kematian Hermanto, dia mengurung diri di kamar hampir satu hari satu malam. Bi Tia cerita lagi, bahwa Dimas waktu itu nekad mau pulang ke Indonesia sedangkan dia sedang menghadapi ujian akhir. Untungnya paman Kris dapat menyadarkannya", kata Rini lagi.

"Kedua anak laki-lakiku sangat erat hubungannya, walaupun mereka sering berpisah", kata ibu mertua Miranti. Nada suaranya mengandung tangis.

"Bagaimana dengan Harri?" tanya ibu Hermanto pada besannya.

Sebentar lagi mungkin, dalam sebulan dua bulan ini ada pengumuman lulus atau tidaknya", jawab ibu Miranti.

"Wah, dokter dong?", kata Budi nyeletuk.

"Ya, mudah-mudahan", kata ibu Miranti lagi, wajahnya penuh kebanggaan dan harapan.

"Kalau lulus, langsung praktek! Biar Miranti bisa bantu" tukas pak Sosro.

"Ah, Papa, belum tentu Harri mau saya bantu, tentu dia cari pembantu yang cantik dan lebih suka pembantu pribadi mestinya", kata Miranti.

"Apa dia sudah punya pacar?" tanya Budi sambil menyalakan korek api buat rokok pak Sosro.

"Kelihatannya sudah, dengan Vidi temanku", kata Miranti.

"Vidi temannya Nila?" tanya Rini sambil mengangkat cangkir teh yang disuguhkan di atas meja.

"Ya, Vidi dan Nila kan temanku!" sambung Miranti.

"Harri ketemu Vidi di pesta Nila", kata Miranti lagi kemudian duduk.

"Seperti juga Miranti ketemu Hermanto, ketemunya dipesta Nila", tukas Rini keterlanjuran. Wajah Rini nampak menyesal kenapa dia mesti menyebut nama Hermanto lagi dihadapan Miranti dan mengungkit kenangan lama?

Miranti mengerti, kakak iparnya menyesal dengan keterlanjurannya dan ia mengalihkan suasan lain dan berkata:

"Ya, ya betul seperti aku dan Hermanto", Miranti tertawa lirih, wajahnya memberikan kesan bahwa dia tidak apa-apa, dai tidak merasa sedih.

Dan semua orang di ruangan itu telah mengartikan makna tawa Miranti itu sendiri.

Terdengar tangis Maya, Rini mendahului berlari ke rumah samping diikuti semuanya. Mata Maya yang bening memandangke sekeliling.

"Lihat, Bu, bulu matanya panjang dan melengkung ke atas. Si Maya ini cantik seperti bidadari kecil", Rini menyodorkan Maya untuk diperlihatkan pada ibunya.

Ibu mertua Miranti mengusap-usap kaki Maya, dia tidak berkata apa-apa.

"Mira ... sekali-sekali kau tidur di tempat ibu, bawalah cucu-cucuku", bisiknya halus. Miranti menganggukkan kepalanya.

Setelah saling berpamitan, ibu mertua Miranti, Rini dan Budi masuk kemobilnya dan berlalu, tangan Bram yang gemuk dan lucu melambai-lambai mengiringi kepergian mereka.

DI KAMAR ini ada tiga tempat tidur, punya Maya, punya Bram dan tempat tidur besar dimana Miranti sekarang tidur sendiri.

Kamar itu terasa sungi, dan sepi mencekam. Ayah, ibu Miranti dan semua sudah pulas. Miranti membalik-balikkan badannya di tempat tidur. Dia merasa tempat tidur itu sangat luas dan besar. Dia belum bisa tidur, hadiah kakak iparnya itu menjadi persoalan dalam hatinya.

Kak Rini memberi aku gaun malam yang indah, tapi kemana akan kupakai? Rasanya aku tidak bisa lagi berdandan. Untuk siapa? Gaun ini seharusnya dipakai ke pesta. Untuk apa? Pesta itu ria, sedangkan hatiku tak menginginkan itu lagi.

Bulan depan Bram genap dua tahun, untuk pesta Bram kah? Tidak! Tidak! Tidak akan ada pesta. Cukup mengundang keluarga dekat itu pun sore-sore saja.

Hanya untuk Bram! Ia tak boleh merasakan kesedihanku. Dia masih terlalu kecil. Miranti teringat ulang tahun Bram yang pertama. Hermanto dan Miranti begitu antusias mengadakan pesta dan mengundang anak-anak dan sekalian orang tuanya. Pesta itu meriah sampai malam dan terbayang di mata Miranti bagaimana gembiranya Hermanto membantu Bram meniup lilin yang pertama.

Malam itu Miranti juga berdandan, ia ingat Hermanto berbisik:

"Tamunya tidak ada yang secantik engkau, Anti". Ketika Miranti masuk kamar mandi, Hermanto ikut masuk ke dalam dan menciumnya, ketika itu Miranti bertanya: "Kok, sempet-sempetnya sih cium aku?" Dan Hermanto menjawab:

"Habis, kau cantik sekali dan aku kangen, karena kau disibuki melayani tamu-tamu dan lupa aku". Miranti ingat waktu itu dia tidak menjawab dan dengan menahan tertawa mendorong Hermanto keluar kamar mandi.

Semua kejadian itu terasa baru kemarin, masih hangat dalam ingatannya. Hati Miranti tertusuk pedih sekali, dibenamkan mukanya ke dalam bantal. Dia menangis, tapi ia berusaha menahan tangis, takut Bram dan Maya terbangun.

Tok-tok, tok, terdengar pintu kamar diketuk dari luar.

Miranti menggigit bantal kuat-kuat.

"Mira, kau sudah tidur?" suara Harri terdengar memecah kesunyian malam.

Miranti tidak menyahut. Dia tahu, Harri datang sehabis bepergian dengan Vidi, dan biasanya bawa oleh-oleh lumpia goreng kesukaan Miranti. Tapi Miranti sudah tidak ingin makan apa-apa lagi malam itu. Malas dia menemui Harri keluar, matanya merah, dia tak mau kalau Harri tahu dia sedang menangis.

Ia ingin kesedihan itu sebisanya ditanggungnya sendiri. Dia akan lebih bersedih kalau orang lain terlalu sering merasakan apa yang dirasakannya dalam penderitaan hatinya.

"Barangkali sudah tidur, Den!" terdengar suara mbok Inah.

"Den Mira kecapaian, tadi banyak tamu", lanjut mbok Inah lagi.

"Tamu siapa?" tanya Harri.

"Ibu Rini sekeluarga".

"Ya sudah, kalau begitu mbok tidur saja, aku yang membereskan pintu-pintu", kata Harri.

"Saya sudah kunci semua, Den", mbok Inah berkata hampir tidak terdengar.

"Baiklah, aku juga mau tidur".

Miranti mendengar lampu-lampu dimatikan, dan suara pintu ditutup. Pintu yang membatasi rumah besar dan pavilyun itu dikunci.

Setelah itu tidak terdengar lagi suara, hanya bunyi cengkerik dan suara kodok meningkahi keheningan malam. Ada suara lolong anjing di kejauhan, suaranya begitu mengerikan: Miranti merasakan kesunyian yang amat sangat.

Paman Kris, bi Tia dan anak gadis tunggalnya Lusi sudah dua hari tiba kembali di Tanah air, setelah hampir enam tahun tugasnya di Bonn, Jerman.

Sebelum mereka dapat rumah, untuk sementara mereka tinggal di tempat kakanya bi Tia, ibu mertuanya Miranti.

Kemarin semua keluarga menjemput di lapangan terbang Halim.

Sebetulnya Rini menyarankan Miranti untuk ikut juga menjemput. Tetapi karena Bram sakit pilek dan badannya agak panas, miranti tidak dapat memenuhi saran Rini itu. Dan hari ini Bram sudah sembuh. Miranti berniat mengunjungi keluarga bi Tia yang baru datang itu di rumah mertuanya.

"Kalau kamu mau pergi ke tempat ibumu, pergilah! Pakai saja mobil dengan Slamet. Dan kalau perlu biar Slamet menunggu sampai kau kembali lagi", ayah Miranti mengusulkan.

"Apa Papa tidak akan pakai mobil itu?" tanya Miranti.

"Tidak, aku tidak akan kemana-mana. Dalam masa persiapan pensiun seperti ini aku sudah tidak punya kesibukkan apa-apa lagi di kantor."

"Kalau begitu saya akan pergi sebentar, Bram saya titipkan Mama, juga Maya".

"Kau tak usah bingung, aku hari ini libur, sebab tadi malam kena giliran jaga di rumah sakit. Biar Bram sama aku", Harri datang mencampur percakapan Miranti dan ayahnya.

"Har, sebaiknya Bram jangan dekat Maya dulu, sebab belum begitu sembuh, nanti Maya ketularan", kata Miranti pada kakaknya.

"Tentu itu aku lebih tahu, Nyonya", tukas Harri dan membungkukkan badannya.

Miranti dan ayahnya tersenyum.

"Bam ikut, Mama. Bam ikut', Bram berlari dari dalam dan merengek ketika dilihatnya Miranti sudah siap untuk pergi.

"Bram tidak ikut, sayang! Bram kan baru sembuh? Kalau kena angin nanti sakit lagi. Bukankah seminggu lagi kau akan ulang tahun? Kalau kau sakit lagi, tidak akan ada pesta ulang tahun. Iya, kan?" bujuk Miranti. Ia membungkuk memegang kedua bahu anaknya.

"Sini, Bram, biar mamamu pergi sebentar, kau dengan Oom Ai saja, nanti Oom Ai bikin kapal-kapalan. Di kamar oom Ai banyak kertas tak terpakai", ajak Harri pada keponakannya. Bram berlari kepelukan Harri, Bram senang sekali mendengar kapal dan kertas. Memang ia suka sekali bermain-main dengan kertas.

"Ayo, cun dulu mamamu!" Harri menggendong Bram di atas pundaknya terus membungkuk agar Mira bisa mencium Bram.

"Bram main sama pak dokter yang bisa biin kapal", ejek Miranti melirik Harri.

"Ya, Mama" Bram menjawab sambil melambaikan tangannya.

Dandanan Miranti sangat sederhana. Ia masih belum ingin mendandani dirinya, walaupun kesederhanaan itu tidak mengurangi kecantikannya. Wajahnya masih diliputi suasana berkabung. Sudah hampir empat bulan Hermanto meninggalkannya, tapi ia belum bisa menghapuskan sinar kesedihan pada matanya.

Rambutnya yang panjang hanya digulung bersahaja di atas tengkuk menutupi lehernya yang jenjang. Miranti duduk tenang di sudut mobil dan memperhatikan kesibukkan kendaraan yang simpang siur.

Tak ada keinginan padanya untuk bercakap-cakap, dan pak supir tua itu juga tak mau mengganggu anak majikannya yang telah dikenalnya sejak masa gadis.

Dengan tidak banyak bertanya dilarikannya mobil itu ke tempat yang telah dipesan oleh pak Sosro tadi.

Mobil telah sampai di tempat tujuannya, pak Slamet buru-buru turun membukakan pintu mobil untuk Miranti.

Dibantunya Miranti mengeluarkan tempat makanan, lontong dan soto ayam lengkap yang tadi pagi dibuatnya dengan mbok Inah sebelum berangkat, untuk bisa dimakan bersama-sama dengan keluarga bi Tia dan ibu mertuanya. Ibu Miranti juga menitipkan pudding kelapa muda untuk besannya.

Pintu rumah terbuka, ketika mendengar deru  mobil Miranti memasuki halaman. Penghuninya bermunculan, mula-mula Rini dan kemudian Lusi. Keduanya segera menolong mengambil tempat makanan dari tangan Miranti dan pak  Slamet.

"Cantik benar Lusi", kata hati Miranti dan tersenyum memandang Lusi.

"Masuklah, Mira, ini Bibi Tia, dan ini pamanmu Kris", kata ibu mertua Miranti memperkenalkan adiknya. Miranti mengangguk ramah menyalami semuanya. Bi Tia dan paman Kris tampak jauh lebih muda dari umurnya, dan mereka tersenyum menyambut Miranti.

"Dan ini Lusi", kata ibu mertua Miranti lagi, Lusi datang lagi dari dalam setelah menaruh makanan.

"Ayolah masuk", kata Rini menarik halus lengan Miranti. Miranti melangkah perlahan memasuki rumah, hatinya menghitung anak tangga satu persatu. Ia tentu telah sering datang ke rumah ini, ke tempat masa kecil Hermanto, tapi wajahnya seolah menampakkan ia baru mengenal tempat ini. Matanya memandang sekeliling meneliti bangunan itu yang besar, yaitu rumah mertuanya.

"Tempat yang nyaman dan menyenangkan", bisik hatinya.

"Duduklah, Mira" kata ibu mertua Miranti ketika dilihat menantunya masih berdiri, termangu.

"Duduklah di sini", bi Tia mempersilahkan, dan Miranti tersenyum mengiakan. Dia mengambil tempat duduk besar di sudut ruangan dekat lampu kuno yang terletak di meja kecil. Bi Tia menarik kursi kecil dekat Mira. Ia membuka percakapaan sambil memegang lengan Miranti.

"Bibi menyesal waktu terjadi peristiwa itu, tak dapat hadir di dekatmu. Mudah-mudahan kau memakluminya", suara bi Tia menurun. Miranti tidak menjawab, ia mengangguk penuh pengertian.

"Aku teringat masa kanak-kanak Hermanto. Dia bisa manja juga padaku dan pada pamanmu. Dia seperti anakku sendiri", lanjut bi Tia. Hati Miranti membenarkan, karena Hermanto dulu pernah cerita bahwa keluarga Bi Tia sangat memanjakan Hermanto, Rini dan Adrianto. Terlebih sejak kematian ayahnya. Paman Kris merupakan pengganti ayahnya dan mengasihi merek sepenuhnya.

"Mengapa anak sebaik itu pendek umurnya", bisik bi Tia seolah berkata pada dirinya sendiri, mata bi Tia mulai berkaca-kaca. Paman Kris menarik nafas, sambil menghembuskan sap rokok ke udara. Miranti gelisah ketika dilihatnya bi Tia mulai terisak. Wajahnya seakan merasa berdosa atas kehadirannya itu. Dengan suara gemetar Miranti berkata:

"Sudahlah, Bi, ini semua sudah takdir dan nasib saya. Doakanlah, Bi, semoga saya kuat dan tabah".

Bi Tia seperti tersadarkan dan memandang Miranti dengan rasa haru dan kagum. Diusapnya lengan Miranti.

"Aku juga bibimu, Mira, kematian suamimu tidak memutuskan hubungan kau dan kami". Suara Bi Tia masih penuh tangis.

"Salah kalau memutuskan itu", paman Kris melanjutkan.

"Kami ini paman dan bibimu, segala kesukaranmu pantas kalau kau sampaikan kepada kami, dan kami harus menolongmu. Sebab, persoalanmu adalah persoalan kita semua". Paman Kris mengisap rokoknya lambat-lambat.

"Terima kasih, Paman ... terima kasih, Bibi". Miranti tak dapat lagi menahan tangisnya. hatinya tersentuh atas keikhlasan paman dan bibinya. Dia masih berusaha untuk tersenyum. Walau air matanya tak dapat ditahannya lagi. Air mata itu mengembang di pelupuk matanya, tapi cepat-cepat dihapus dengan saputangannya. Miranti seolah ketakutan kalau tetes air matanya mengalir dan tampak oleh orang lain.

"Minumlah Mira, ini ada orange juice made in Jerman", Rini mengalihkan pembicaraan. Rini tahu Mira tidak mau berlama-lama terseret percakapan mengenai kesedihannya itu. Dan tentu akan menambah luka hati Miranti saja.

Miranti menoleh, melihat pada Rini yang duduk di samping Lusi, dan Miranti baru sadar bahwa Rini ada di antara mereka.

"Kak Rini kebetulan di sini? Mana anak-anak dan kak Budi", tanya Miranti.

"Anak-anak ke sekolah, dan Budi ke kantor tentu. Ia akan kembali lagi ke sini menjemputku sehabis pulang kantor", jawab Rini.

"Em .. em, enak sekali, segar rasany", Miranti meminum dari gelasnya.

"Itulah oleh-oleh pertama yang bisa kami bawa, sebab kami bayangkan di sini panas, dan alangkah nyaman kalau minum air jeruk", paman Kris menanggapi sambil tertawa.

"Kami belum bisa kasih oleh=oleh sekarang, Mira, sebab barang-barang yang lain masih di kapal laut. Kira-kira sebulan atau lebih, mungkin baru sampai. Barangnya sih cuma rongsokan, maklum pindahan", kata bi Tia.

"Tak usah Bibi pikirkan oleh-oleh untuk saya. Paman, Bibi dan Lusi sudah selamat tiba kembali di tanah air saya sudah senang. Hanya tentu saya pingin dengar cerita bagaimana rasanya enam tahun di negara orang".

"Aduh enam tahun rasanya lama sekali. Kami betul kangen sekali akan keadaan di sini. Akhirnya, apa pun buat kita, di negara sendiri adalah lebih enak, ya Pa?" bi Tia minta persetujuan suaminya.

Memang, sebetulnya waktu berangkat dari sini direncanakan hanya untuk tiga tahun mengikuti konsul perdagangan. Tapi ketika konsul itu selesai tugas, diganti konsul yang baru, Paman masih diminta bekerja seperti dulu. Tiga tahun yang pertama memang menyenangkan, tapi tiga tahun yang kedua, wah agak berat rasanya".

"Ya, terutama Ayah sudah rindu makan tempe dan tahu", celetuk Lusi yang sejak tadi hanya diam-diam saja mengikuti pembicaraan. Sejak tadi Lusi memperhatikan Miranti dan hatinya berkata:

"Kasihan kak Mira semuda dan secantik itu sudah harus menjadi janda".

"Dan kau juga pingin pulang, bukan?" tanya Miranti pada Lusi.

"Tentu karena saya masih punya banyak teman di sini".

"Tapi di sana kau kan banyak teman juga, mahasiswanya keren-keren lagi. Pacarmu ada berapa diantara mereka?" selak Rini.

"Apa kak Rin bilang? Aduh, mak apalagi pacaran, kalau main kelewat waktu saja, sudah ada polisi yang melotot melebihi ayah dan ibu. Padahal si polisi itu sendiri jago pacaran", sangkal Lusi.

"Polisi? Siapa maksudmu, Lus?" ibu mertua Miranti bertanya. Wajahnya keheranan.

"Siapa lagi ... itu tuh!" jawab Lusi sambil tertawa, punggungnya bergerak-gerak dan tangannya memeluk bantalan kursi.

Ia memang cantik dan lincah. Lusi merupakan gambaran gadis masa kini. Rambutnya dipotong pendek, celananya jean biru tua dan dipadu dengan blus kaus biru muda, tampak praktis membungkus tubuhnya yang mulai berisi.

Paman Kris, ayahnya tersenyum mengerti siapa yang dimaksud Lusi.

"Siapa maksudmu? Adrianto kah?" Bi Tia bertanya penasaran.

Lusi tidak menjawab. Dia tertawa lagi, sambil menutup mukanya dengan bantalan kursi.

"Memang Adrianto keras sekali pada adiknya. Tapi itu malah baik, membantu kita menjaga Lusi yang bandel. Sebab Paman Kris sendiri repot dengan pekerjaannya, tidak bisa sepenuhnya mengawasi" kata bi Tia.

"Tau nggak, kak Mira waktu rambut Lusi dipotong begini", Lusi memegang rambutnya.

"Marahnya bukan main. Lusi dikatain jelek, kayak laki-laki, nggak lady like, ah sudahlah segala macam celaannya. Pacar Lusi sendiri ngga apa-apa, bolehnya dia yang ngamuk" lanjut Lusi lagi.

"Kenapa sebelum dipotong ngga minta pendapat dulu padanya?" tanya Rini.

"Ah, lusi pasti sudah tahu jawabannya. Lagipula, itu toh tidak penting. Dimas memang orangnya membingungkn" kata Lusi.

Miranti berpikir, rupanya untuk Adrianto tidak hanya Rini dan Hermanto yang memanggilnya Dimas, tapi sudah merupakan panggilan sayang buat seluruh keluarganya.

"Dimas memang kuno", Lusi mengangkat bahu dan berkata lagi.

"Dibilang kuno juga tidak. Pilihannya juga cewek-cewek modern yang dipotong pendek rambutnya. Dasar Dimas mau menang sendiri. Dan lebih hebat lagi kalau ada party, wah saya dikuntitnya terus". Lusi menggelengkan kepalanya.

"Ya, tapi tidak semua part kau dikuntitnya, bukan?" bi Tia protes.

"Ya, kecuali formal party di kedutaan bersama ayah dan ibu. Dia tahu saya tidak akan bisa berkutik. Tapi Bude jangan salah sangka, saya tidak benci pada Dimas. Dia baik, saya tahu Dimas sayang Lusi". Lusi bangkit memeluk budenya. Ibu mertua Miranti tersenyum membalas pelukan keponakannya itu.

"Kau sudah besar, Lusi, ketika kau berangkat, kau belum lagi lepas SD mu, bukan?" tanya ibu mertua Miranti.

"Nah, oleh sebab itu masmu pikir kau seharusnya mulai dijaga, sebab kau sudah menjadi gadis sekarang". Paman Kris, ayahnya melanjutkan.

Setelah mereka puas ngobrol-ngobrol melepaskan rasa kangennya, ibu mertua Miranti mengajak semuanya untuk meikmati makanan yang dibawa Miranti.

Paman Kris dan Bi Tia tampak menyukai makanan-makanan itu. Keduanya merindukan makanan khas Indonesia.

"Aiih, coba lihat, Pak, pudding kelapa muda ini. Di Jerman bisa jungkir balik kita cari kelapa muda", kata bi Tia sambil mencicipi pudding itu. Ketika makan, Miranti merasa buah dadanya sakit. Rupanya air susunya telah penuh. Sudah saatnya Maya minum.

Ia menunggu mereka selesai makan, kemudian berpamitan.

Bi Tia tampak repot memasukkan botol Orange juice. Grape Juice serta makanan kecil ke dalam keranjang. Semuanya made in Jerman.

"Katkan pada orang tuamu, Mira, kami belum bisa datang berkunjung. Dan inni sedikit makanan dan minuman untuk dirumah". Bi Tia menyodorkan keranjang itu pada Miranti dan berkata lagi.

"Ini bukan oleh-oleh, oleh-olehnya nanti menyusul kalau kapal laut itu sudah datang", gurau bi Tia.

Ketika berpamitan, Miranti mengatakan pada mereka agar seminggu lagi bisa datang ke rumah merayakan ulang tahun Bramanti yang kedua.

"Ya Tuhan, hampir aku lupa, Dimas menitip sesuatu buat Bram", teriak Lusi; dan ia berlari masuk kamar dan keluar lagi membawa sebuah bungkusan besar.

"Apa dia ingat ulang tahun Bram?" tanya Rini.

"Ya, dia sangat ingat", kata Lusi dan bi Tia, hampir bersamaan.

"Wah, sentimen, pada anak-anakku dia tidak ingat tanggal lahirnya kapan" cetus Rini.

"Bawalah sekarang saja, Mira, Bramanti tentu senang. Nanti ulang tahunnya, sih banyak hadiah dari ayah lainnya", kata Rini lagi.

"Boleh, boleh saja", sahut Mira dan menyambut bungkusan itu dari tangan Lusi.

Pak Slamet memasukkan panci kosong bekas makanan ke dalam mobil.

Kendaraan yang simpang siur di sekeliling mobilnya itu tak mempengaruhi Miranti. dia asyik dengan pikirannya sendiri.

APA yang dibayangkan oleh Rini, adalah apa yang dialaminya sekarang. Padahal dia sendiri tidak pernah membayangkannya. Dia tidak pernah menyangka bahwa Hermanto akan secepat itu meninggalkannya, dan akan sesingkat itu usia perkawinannya. Miranti merasa, dalam masa yang singkat itu masih banyak kekurangan-kekurangannya. Walau pun demikian, Miranti tidak merasa menyesal, sebab dalam kekurangannya, dia tidak pernah menutup diri. Ia mau belajar dari Hermanto, dan hermanto tidak pernah memaksa dia untuk berbuat sesuatu. Segalanya dijalankan dengan saling pengertian. terhadap kedua belah pihak keluarga, baik terhadap keluarga Miranti atau keluarga Hermanto, mereka tidak pernah membedakan. Hubungan lahir dan bati sejalan dengan sendirinya. hermanto tidak pernah memaksa Miranti bisa dekat dan memberikan perhatian yang besar terhadap keluarganya, karena ikhlas dan kasih, bukan karena paksaan. Demikian pula sebaliknya, Hermanto terhadap keluarga Miranti, sehingga pengaruh luar dari perkawinannya tidak penah membuat persoalan dalam rumah tangganya.

"Aku tidak tega menyebut Hermanto dengan perkataan almarhum, aku seakan merasa dia masih ada di duni ini, dan aku belum ada kesanggupan untuk berziarah ke kuburnya", kata hati Miranti. Tidak disadarinya mobil sudah memasuki halaman rumahnya.

"Mama datang, Mama datang!" Bram berlari-lari keluar menyambut Miranti, Bram segera digendong dan dipeluknya.

"Bram manis,kan?" tanya Miranti. Miranti berusaha tidak pernah mengucapkan kata-kata nakal seperti: Bram jangan nakal atau Bram tidak nakal. Hermanto dulu pernah menyarankan jangan mengucapkan kata-kata itu.

Bram menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata:

"Bam manis, Mama, eyang mama malahin Bam, gula di dapul tumpah". Wajah Bram tampak ketakutan. Miranti menatap wajah anaknya, hatinya menyesal mengapa anaknya menyusahkan ibunya. Tapi ia menekan perasaan itu.

"Bram jangan tumpahkan gula lagi, ya! nanti gulanya habis", kata Miranti lembut. Dan ditepuknya halus bahu Bramanti.

"Bram, Mama ada oleh-oleh untukmu. Pak Slamet, mana bungkusan tadi, di mobil?". Miranti membalik bertanya kepada pak Slamet.

Pak Slamet mengambil bungkusan dari mobil dan diberikan pada Bram. Bram menyambut bungkusan yang tampak lebih besar dari tubuhnya dan berlari-lari membawa bungkusan itu ke dalam rumah. Di pintu pak Sosro menyambut Miranti, menanyakan hal mertua, paman dan bibinya. Miranti menjawab seperlunya. Ibu Miranti datang dari dalam menggendong Maya yang terisak-isak bekas menangis.

"Ayolah ganti pakaianmu Mira, cepat! Dan buang sedikit susumu. hampir mati ketakutan aku melihat anakmu menangis".

"Ei... kenapa kau mesti menangis, Maya?" Miranti mengusap kepala Maya, wajahnya terlukis perasaan berdosa.

"Lagi-lagi anakku menyusahkan Mama", kata hatinya.

Cepat-cepat ia ganti pakaian dan kembali dari kamar sudah memakai pakaian rumah, diambilya Maya dari tangan ibunya dan dibawanya masuk kamar.

Sementara itu Bram asyik membongkar bungkusan yang dibawa Miranti tadi, dibantu Harri.

"Au ... au. ... kapal terbang pakai baterai. Bagus ... bagus", suara Bram teriak-teriak. Dan terdengarlah bunyi menderu-deru dari mainan itu.

"Eyang mama, eyang papa, lihat kapal telbang punya Bam. Bagus ya, yang", kata Bram lagi.

"Dari mana itu? Coba eyang mama lihat. Ini ada kartunya, eyang mama baca ya, Bram? Coba matikan dulu kapal terbangnya. Bram dengan baik-baik", kata ibu Miranti. Dan Miranti mendengar dari kamarnya ibunya membaca kartu yang terselip pada pembungkus kapal-kapalan itu.

"Untuk anakku, bram, selamat ulang tahun yang kedua. Semoga kau cepat besar dan pandai. Dari Oom mu yang rindu. Adrianto, Jerman". Suara ibunya terdengar keras dan jelas.

"Nah, Bram, dari Oom mu di Jerman", kata ayah Miranti menegaskan pada cucunya. Tapi tidak terdengar oleh Miranti jawaban Bram. Hanya bunyi deru mainan itu berbunyi lagi dan teriakan Bram mengatasi bunyi itu.

"Oom Ai, oom Ai, kapal terbang ini bagus, kapal tadi jelek", teriak Bram.

"Ah, dasar anak pinter, aku sudah cape buatkan kapal dari kertas, datang yang bagus kau lupa", Harri terdengar menggerutu.

Di kamar Miranti tersenyum.

"Mana mamamu?" Harri tanya lagi pada Bram.

"Di kamal, adik Maya mimi", jawab Bram.

Harri  berjalan menuju kamar Miranti. Perlahan pintu kamr dibukanya. Miranti masih duduk menyusui Maya. Harri menghampiri dan menegur:

"Idih, rakusnya gadis kecil ini" kata Harri dan mengusap serta mencubit halus pipi Maya. Maya melirikkkan matanya yang bulat dan bening itu melihat pada Harri. Mata itu seolah berkata bahwa ia tidak ingin diganggu.

"Hai, kau marah? Oke deh, Oom tidak mengganggu, silahkan minum yang banyak, biar cepat besar ya?"

"Belum apa-apa Adri sudah mengirim hadiah ulang tahun buat Bram", kata Harri.

"Hadiah itu dititipkannya pada bi Tia", Miranti menanggapi komentar Harri. sambbil tangannya memperbaiki letak Maya dalam pelukannya.

"Kita belum pernah ketemu Adrianto itu ya, Mir?" Harri berdiri mengambil bantal di tempat tidur. Diletakkannya bantal itu dipunggung miranti agar Miranti bisa bersandar dengan enak.

"Sebab ketika aku kenal mas Her, Arianto baru saja berangkat ke Jerman. Tapi rasa-rasanya aku pernah kenal dia, ketika ada pertandingan renang antar sekolah SMA dulu. Aku mewakili sekolahku dan ia mewakili sekolahnya. Aku masih ada fotonya, dan bila dibandingkan dengan foto-fotonya yang di Jerman foto orang itu tidak berbeda jauh", kata Harri dan ia duduk lagi.

"Tidakkah kau salah lihat?" tanya Miranti.

"Rasa-rasanya tidak, setelah pertandingan, kadang-kadang aku masih saja ketemu dia di kolam renang".

"Ramahkah orangnya?" alis Miranti dikerutkannya.

"Entahlah, sebab aku tidak begitu mengenalnya dengan baik. Tapi kalau dilihat sepintas, Hermanto almarhum suamimu lebih terbuka."

"Maksudmu?" tanya Miranti heran.

"Maksudku, Hermanto murah senyum dan dengan siapa saja dia cepat bisa bergaul". jawab Harri.

"Apakah Adrianto sombong?" tanya Miranti lagi.

"Tidak, bukan itu maksudku. Nampaknya agak pendiam. Buktinya, ada beberapa kali aku ketemu dia setelah pertandingan, aku tidak bisa mengenalnya dengan baik. Sebab kalau ketemu, dia hanya tersenyum seperlunya, tidak pernah menegur. Aku pun jadi segan memulainya. Tapi itu pun kalau betul Adrianto yang aku kenal, aku takut salah kalau memastikan. Siapa tahu Adrianto adik iparmu bukan Adrianto yang kukenal di kolam renang itu".

Miranti melepaskan mulut Maya dari dadanya dan mengancingkan kembali bajunya dengan sebelah tangannya. Lalu ia bangkit berdiri. Maya sudah tidur.

Wajah anak itu kelihatan puas kekenyangan. Miranti mencium lembut pipi Maya, kemudian perlahan dan hati-hati dibaringkan ditempat tidurnya. Harri memperhatikan itu semuanya.

Dia bangga dan mengagumi adiknya itu. Penderitaan Miranti dia rasakan juga sepenuhnya. Harri pernah mengatakan niatnya akan bertunangan dengan Vidi teman Miranti, setelah lulus nanti. Dan rencananya baru akan kawin setelah dua tahun bekerja.

Kejelekkan Harri ialah, kebiasaannya membandingkan teman-teman perempuannya dengan Miranti. Terhadap Vidi pun demikian, hal ini sering diingatkan oleh Miranti sebab sadar bahwa itu tidak baik untuk semua pihak, yang pasti buat Harri sendiri pun tentu tidak ada kepuasan kalau saja perempuan itu tidak sama dengan adiknya.

"Vidi berniat memotong rambutnya, aku benci!" kata Harri pada Miranti ketika dilihatnya Miranti sudah selesai membenahi tempat tidur Maya.

"Tidak apa-apa, bukan? Kalau itu pantas buat dia", kata Miranti dan dia duduk di tepi tempat tidur besar.

"Aku bilang pada Vidi: Rambut Mira dibiarkan panjang, kenapa kau potong rambutmu?" cerita  Harri.

"Harri! Sudah sering kukatakan, jangan kau menyamakan Vidi, calon istrimu dengan adikmu. Kau tidak tahu perasaan wannita. Vidi tentu tidak senang. Perempuan punya kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Kau harus menghargai dan menghormati ini. Apa kau anggap aku ini sempurna? Kalau idealmu macam aku, boleh saja! Tapi kalau didunia ini ada dua orang yang sama dalam segala hal, ini mustahil. Kau jangan kekanak-kanakan, Harri. kalau kau tidak merubah sebelum kawin, bahaya deh. Vidi pun atau setiap perempuan punya harga diri, dan soal harga diri buat perempuan kadang-kadang mungkin soal kecil buat orang lain. Seperti soal rambut yang kau katakan. Cobalah kau pikir, Vidi masih kuliah, mungkin dia mencari potongan yang praktis supaya dia dengan mudah dan cepat berdandan. yang penting, pantas buat dia", kata Miranti berapi-api. Ia berdiri mengambil bantal bekas ia bersandar tadi sambil terus bicara:

"Kalau kau pingin juga Vidi memanjangkan rambutnya seperti kehendakmu, caramu tidak begitu. Bisakah, kalau kau katakan umpamanya: Kau lebih cantik dengan rambut yang panjang, Vidi, atau bisa juga: Aku mengagumi rambutmu yang panjang, jangan kau potong," suara Miranti menurun, menggurui kakaknya.

"Tak usah bawa-bawa namaku. Apa Vidi tidak marah?" tanya Miranti.

"Harri menggelengkan kepalanya, tersenyum geli melihat adiknya ngomel-ngomel.

"Memang Vidi terlalu baik, ia terlalu cinta padamu. Kalau saja aku, aku mesti ngamuk. Tetapi mas Her tidak seperti engkau, dia mencintaiku, dan merubah apa yang dia tidak sukai dengan cara yang halus, tidak sekasar engkau", suara Miranti hampir tidak terdengar wajahnya membayangkan kenangan.

"Sudahlah, nyonya besar, jangan besar kepala. Apa kau kira aku menganggapmu perempuan hebat?" kata Harri dan tersenyum lagi.

"Kasihan Vidi, bersikaplah dewasa, Har! Bukankah kau cinta padanya?" Miranti memandang wajah Harri tajam.

"Soal cinta, itu sih pasti!" Harri berkata tegas-tegas.

"Nah, oleh sebab itu, berusahalah menjaga hatinya. Orang tentu boleh saling merub kekurangannya masing-masing. Asal tetap jangan melukai harga diri orang yang kita cintai itu", kata Miranti lembut.

"Baiklah, adikku sayang, nasihatmu akan kupikirkan ... kau sudah makan, Mira?" tanya Harri, dan ia bangkit dari kursinya.

"Sudah, tadi di tempat Ibu", jawab Miranti sambil memukul perutnya perlahan.

"Bagaimana bibi dan pamanmu?" Harri berjalan ke tempat tidur Maya.

"Semua baik, juga Lusi", jawab Miranti dan ia bersandar pada bantal di tempat tidur.

"Lusi anak gadisnya?" Harri beralih cepat pada Miranti.

"He ... eh", jawab Miranti tak acuh.

"Cantik dan lincah. Tetapi apa pedulimu?" Miranti bertanya curiga.

"Ngga apa-apa, senang saja lihat yang cantik", jawab Harri seenaknya.

"Dasar mata keranjang, udah punya pacar masih suka ngeliat-ngeliat orang cantik", Miranti memberengut.

"E ... e mumpung belum kawin, puas-puasin sekarang, kalau sudah kawin itu pantangan", Harri menunjuk pada Miranti dengan gaya menerangkan.

"Ah keterlaluan kau", kata Miranti dan dilemparnya Harri dengan bantal, Harri menangkap bantal itu.

"Ah tidak, tidak semua laki-laki keterlaluan seperti aku. Kau ingat, Tigor? Temanku yang naksir kau dulu? Tigor setelah kau kawin patah hati. tahun kemarin dia lulus dokter tapi sampai sekarang belum lagi kawin, pacaran pun belum", kata Harri, sambil memeluk bantal yang dilempar Miranti tadi ke dadanya.

"Tapi belum tentu dia patah hati karena aku" kata Miranti sinis mengangkat bahunya.

"Mungkin juga, tetapi aku tahu pasti banyak teman-temanku yang naksir kamu. Juga sekarang setelah kau jadi janda. Kau boleh pikir-pikir dan putuskan pilihan satu diantaranya", kata Harri sungguh-sungguh.

"Harri ...!" teriak Miranti terkejut. "Apa-apaan bicaramu?" Miranti merasa tersinggung. Perih hatinya, dan tiba-tiba saja ia teringat pada almarhum suaminya. Ia merasa, perkataan Harri melukai suaminya dikubur. Tak terasa air mata Miranti sudah meleleh di pipinya.

Harri berdiri, dipegangnya bahu Miranti hati-hati.

"Maafkan aku, Mir, aku tidak bermaksud menyinggung hatimu, mungkin hal ini terlalu cepat kukemukakan sekarang", kata Harri lembut dan hati-hati.

"Tidak sekarang dan juga nanti kau singgung-singgung hal seperti ini!", kata Miranti setengah berteriak dan menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Ia menangis terisak.

Harri menarik napasnya dalam-dalam lalu diam berdiri. Harri kebingungan. dengan memberanikan diri, perlahan disentuhnya bahu adiknya yang menangis itu:

"Baik, baiklah, Miranti, maafkan aku. Aku tidak bermaksud buruk, aku hanya mengingatkan, kau masih muda. Kau masih ada hak menikmati hidup yang hanya sekali ini. Tentu saja asal pada jalan Tuhan", kata Harri halus lembut tapi pasti.

"Keluar! Keluar kau! Aku tidak butuh khotbahmu!" Sedu sedan Miranti tertahan. Harri tersenyum penuh pengertian. Hatinya sedikit merasa menyesal, telah melukai hati adiknya. Harri maklum, Miranti masih belum bisa melupakan segalanya. Ia berjalan ke pintu meninggalkan Miranti sendiri. Di pintu ia berhenti dan berkata lagi".

"Sekali lagi, maafkanlah aku, Mira".

Miranti menghempaskan badannya ke tempat tidur, bahunya berguncang menahan tangis. Bantalnya telah basah kena air mata.

"Mas Her, maafkan Harri, maafkan siceroboh itu. Berdosalah aku memikirkan hal seperti itu", bisik Miranti.

Miranti menangis sepuas-puasnya. Dibalikkannya badannya menelentang menghadap langit-langit.

"Betulkah aku berdosa kalau memikirkan hal itu? Tidak! ... Tidak". Napas Miranti terasa sesak, kemudian perlahan teratur kembali.

Dia tidak menangis lagi, walaupun matanya, masih bengkak dan merah, dan bekas tetes air mata membasahi sekeliling matanya. Klik, pintu terbuka. Harri datang lagi sambil menggendong Bram.

"Ini bram, sudah dicuci kakinya oleh bi Inah. Sudah ganti baju, sudah makan. Mau tidur siang dengan Mama, ya Bram?" disodorkannya Bram, dibaringkan di sisi Miranti.

"Ayo Bram, bobo sama Mamamu", Harri menepuk kaki Bram dan berusaha menarik perhatian Miranti. Miranti diam saja, bergerak pun tidak.

"Mira, kau masih marah?" Harri bertanya memandang wajah Miranti. Karena tidak mendapat jawaban apa-apa, Harri segra keluar, menutup pintu.

"Mama ... Mama malah yah sama Oom Ai!" Bram mendekatkan mukanya ke wajah Miranti. Miranti menggelengkan kepalanya lesu.

"Mama, tadi Oom Ai bikinan Bam kapal tebang banyaak sekali". Bram menunjukkan ke sepuluh jarinya. Miranti menganggukkan kepalanya lemah. Bram tahu ibunya tak mungkin diajak bicara.

Bram membaringkan badannya di samping Miranti. Dan ia berbisik halus: "Mama, Bam bobo, ya Mam?" Miranti mengangguk lagi. Kemudian sunyi. Miranti berbalik memiringkan tubuhnya menatap mata Bram. Miranti menyesal Bram tentu kecwa pada caranya menanggapi. Tapi Miranti malas meperbaiki.

Dia hanya memeluk Bram erat-erat ke dadanya dan mengelus kepala Bram. Denagncar itu seakan Miranti minta agar anaknya mau memakluminya.

Bram tidak bertanya-tanya lagi, dia merasa aman dalam pelukan mamanya. Matanya yang tak berdosa itu berkedip-kedip. Tak lama kemudian keduanya tertidur.

Sorenya Miranti segera bangun dari tidurnya dan langsung mandi. Setelah selesai sembahyang asar ia duduk didepan meja hias, membuka ikatan rambutnya dan disisirnya pelan-pelan. Rambutnya itu dibiarkan terurai. Diambilnya sedikit kapas dibasahi dengan air mawar, diusapkan ke wajahnya lembut dan hati-hati. Sekarang terasa lebih segar dan kencang. Dipandanginya wajah itu di kaca.

"Harri benar, aku masih muda, sekali. Dan Hermanto bilang aku tidak jelek. Tapi semuanya tidak ada artinya, hidupku terasa hampa. Apa gunanya kecantikanku ini. Anak-anak membutuhkan aku sepenuhnya", bisik hatinya. Dikenakannya pakaian bersih yang baru diambilnya dari lemarinya dan ia keluar menemui anaknya.

"Mbok Inah, bapak ibu sudah bangun?"

"Sudah, Den, Mbok lihat sedang duduk-duduk di beranda depan, Mbok sudah antar teh ke sana", jawab mbok Inah.

Mbok Inah menyelesaikan semua perintah Miranti dengan baik. Dia pembantu yang setia, dan menyayangi majikann dan anak-anaknya dengan ikhlas. Mbok Inah merasakan bahwa Miranti dan almarhum Hermanto semasa hidupnya tak pernah menyia-nyiakannya walaupun ia hanya seorang pembantu.

TAMAN di depan rumah itu kalau sore penuh dengan anak-anak dan orang-orang tua yag menikmati suasana senja.

"Bram mau main ke sana?" eyang papanya menawarkan sambil menunjuk kearah taman.

"Enggak ..." Bram menggelengkan kepalanya. "Bram mau alan-alan dengan Mama dolong ade di keleta. Tu ... tu, Mama" Bram menunjuk Miranti yang baru keluar dari samping rumah mendorong kereta bayi. "Bam ikut, Mama", Bram melepaskan tangannya dari bimbingan eyangnya dan memegang tangan Miranti.

"Iya, kau ikut latihan jalan kaki" kata ibu Miranti.

"Mana Harri? Biar dia menemanimu", ayah Miranti melongokkan keplanya ke arah rumah.

"Tak usahlah, Papa, lagi pula Tuan Besar itu masih tidur", Miranti menjawab setengah ketawa.

"Dasar pemalas! Tidak tahu waktu, jam begini masih tidur", gerutu ibu Miranti.

"Biarlah, sebab nanti malam Harri harus jaga lagi di rumah sakit, Mama". Miranti merasa menyesal memberitahukan Harri masih tidur.

"Ayo, Bram, kita jalan-jalan".

Ditelusurinya jalan itu lambat-lambat. Bram berjalan tertatih-tatih di sisinya. Tangan Bram mencoba ikut mendorong kereta.

Senja itu indah dan cerah, tidak ada angin. Keindahan itu terasa rawan di hati Miranti. Ia melihat beberapa pasang suami istri dengan anaknya duduk santai di bangku di dalam taman. Ada beberapa yang dikenalnya menyapa dengan anggukkan kepala dan senyum ramah. Orang-orang itu memandang Miranti dengan rasa kasihan, Miranti ingin senja itu membuat dia lupa segala penderitaannya sejenak, tetapi mengapa justru hatinya merasa bertambah sunyi. Untung dia tidak memasuki taman sehingga dia tidak usah berbincang dengan orang-orang yang dikenalnya itu. Ia masih malas untuk omong-omong.

Bram menyanyi kecil, melompat-lompat. Ia tampak gembira. Kadang-kadang Bram menjenguk adiknya dalam kereta dengan menjingkatkan kaki kecilnya yang gemuk. Dalam kereta dorongnya Maya kelihatan bertambah cantik dan lucu. Matanya hitam dan besar, bening sekali, bulu matanya lentik, rambutnya ikal agak kemerahan. Kulit Maya putih, lebih putih dari Miranti. Miranti memandang kedua anaknya dengan rasa haru dan bahagia.

Dari arah depan, tampak sepasang suami isteri yang juga kelihatan sedang menikmati udara pada sore itu. Mereka tampak mesra bergandengan tangan. Hampir dekat, Miranti baru mengenali mereka. Mbak Susi dengan suaminya, tetangga sebelah, empat rumah dari rumah ibu Miranti. Mereka sudah kawin tujuh tahun tapi belum dikaruniai seorang anak pun. Setelah dekat mereka menegur Miranti dengan ramah.

"Jalan-jalan, dik Mira? Ai, putranya sudah besar". Mbak Susi membungkukkan badannya melihat Maya dalam kereta dan mencubit pipi Maya.

Sementara mbak Susi sibuk mengagumi Maya, suaminya asyik bergurau dengan Bram, Bram digendong dan mereka nampaknya gembira. Miranti memandang semua itu dengan tersenyum. Tetapi tiba-tiba ia melihat pada mata mbak Susi tersirap kehampaan, dan kekakuan ketika mbak Susi melihat suaminya begitu gembira bergurau dengan Bram. Mbak Susi tersenyum seperti dipaksakan, memandang ke arah Miranti, dan mata itu seolah menerkam, dan meneliti. Dengan suara halus yang juga dipaksakan mbak Susi berkata pada suaminya:

"Ayo, Pak, kita jalan lagi, dik Mira juga mau jalan lagi tentu".

"Eee, tunggu dulu, aku belum melihat yang kecil, suami mbak Susi menjawab sambil membungkukkan badannya melihat Maya. Ditepuku-tepuknya kaki Maya.

"Betul, memang cantik anak ini. Hallo ... hallo ..." Maya tertawa-tawa karena tepukan dan teguran itu.

Dan laki-laki yang rindu akan anak-anak itu tampak senang sekali, karena gurauannya disambut Maya. Mbak Susi tersenyum kecut memandang lagi pada Miranti. Hatinya merasa tidak enak, dia mengerti perasaan mbak Susi saat itu. Cepat-cepat Miranti mengajak Bram segera berlalu:

"Ayo, Bram, kita jalan lagi, sebentar lagi magrib. Mari, Mbak", Miranti membungkukkan badannya dan mendorong kereta itu perlahan dan menganggukkan kepalanya lagi ke arah suami mbak Susi.

'Bram, nanti main-main ke tempat Oom, ya!" ajak suami mbak Susi pada Bram. Bram menjawab dengan semangat: "Ya, Oom, nanti Bam main".

Mbak Susi kemudian cepat menarik lengan suaminya, sebelum sempat mengucapkan apa-apa pada Miranti. Perasaan Miranti terperana, tapi dihiburnya hati itu sendiri, sambil terus berjalan.

"Tentu mbak Susi cemburu melihat anak-anakku. Dia pasti menginginkan anak. Tapi cemburukah ia pada setiap anak yang ditegur suaminya? Atau kepada anak-anakku saja? Apakah karena aku ibunya, seorang janda? Apa tafsirannya padaku? Cemburukah atau ketakutankah? tetapi aku harus memakluminya", putus hati Miranti. "Akan selalu beginikah anggapan orang-orang padaku?"

"Mama ... Mama, adik bobo", Miranti disadarkan oleh suara Bram.

"Oh, ya, adik Maya bobo. Adikmu ngantuk sekali. Ayo jalannya agak cepat, itu sudah hampir sampai rumah", kata Miranti dan mempercepat jalannya. Bram berlari-lari kecil disampingnya. Ketika hampir sampai rumah, pak Imam tetangga tepat sebelah rumah ayah Miranti, sedang berdiri di depan rumahnya sambil merokok. Pak Imam menghampiri Miranti, dan menegur Bram:

"Wah, Bram, habis jalan-jalan nih? Jalan ke mana? Putar-putar taman?"

Bram tak bisa menjawab, ia mulai lelah. Bram hanya menganggukkan kepalanya dengan malas. Karena menanggapi teguran itu, Miranti memperlambat mendorong keretanya.

"Dik Mira ke mana saja? Tidak pernah kelihatan". Pak Imam berkata lagi dan tangannya memegang ujung kereta seolah menahan kereta itu.

"Di dalam terus, Oom, repot!" jawab Miranti cepat sambil tersenyum.

"Oom pikir, dik Mira sudah kembali ke rumahnya".

"Tidak, Oom, rumah saya untuk sementara dikontrakkan pada teman Papa. Dan saya tinggal di sini dengan Papa", jawab Miranti sopan.

"Oh, itu lebih baik, dan tentunya papa dan mamamu senang sekali. Ada Bram dan adiknya ini", Pak Imam mencubit halus Maya yang sudah tidur itu.

"Dik Mira jangan mengurung diri saja, main-mainlah ke tempat Oom, ngobrol-ngobrol dengan tante ya Bram?" di tepuknya bahu Bram, Bram menyandarkan badannya lesu ke tubuh Miranti.

"Terima kasih, Oom, lain kali saya akan main, sekarang permisi dulu, ini Maya sudah tidur dan Bram sudah kecapaian", kata Miranti ingin segera berlalu dari tempat itu.

"Baiklah salam Oom buat papa dan mama", kata Pak Imam mundur dan memberikan jalan pada Miranti.

Miranti mendorong keretanya, segera berlalu dan memasuki halaman rumah ibunya. Hati Miranti sempat berpikir tentang pak Imam.

"Heran Pak Imam tetanggaku itu, awet muda. Sejak aku masih gadis sampai aku kawin dan punya anak, wajahnya begitu-begitu saja, tidak berubah malah sekarang tambah segar, karena bedannya agak gemukan ... Rupanya hidup keluarga pak Imam bertambah makmur. Makmurkah yang bikin ia awet muda?"

*****

SEHABIS sembahyang magrib Miranti tidak segera keluar kamar. Dia duduk dengan khusuk membaca ayat-ayat Al Qur'an. Dia membaca surat-surat itu dan menghadiahkan untuk almarhum suaminya. Hanya itu saja yang bisa dia berikan buat Hermantonya tercinta. Suaranya lembut, pelan dan syahdu. Pada saat-saat seperti itulahMiranti, merasakan dirinya dekat dengan Tuhan. Dia memasrahkan nasib dirinya sepenuhnya. Air matanya yang tulus tak terasa mengalir di pipinya.

"Tuhan, berikanlah ketabahan pada hambaMu ini, tempatkanlah suamiku tercinta di sisiMu, ampunilah dosa-dosanya semasa hidupnya", Miranti menutup doanya. Dia bangkit perlahan dari sajadah sembahyangnya, melipat rukuh dan meletakkan kitab Al Qur'an dengan hati-hati. Miranti menyisir rambutnya sedikit dan ia keluar kamar, ke dapur, di mana mamanya sedang menyiapkan makanan untuk makan malam, dibantu Mariam pembantunya.

"Apa yang bisa saya tolong, Mama?" Miranti bertanya mendekat kepada ibunya.

"Sudahlah, Mira, kasih makan si Bram saja", sahut ibunya yang asyik menggoreng bawang. Miranti merasa ada kecanggungan di wajah ibunya. Ada apa?

"Atau kau potong-potong daging itu, sementara Mama mengupas kentang ini", perintahnya.

"Baik, Mama", Miranti menerima pisau dan garpu dari tangan ibunya dan ia mulai memotong-motong daging itu.

"Mira, kau tadi jalan-jalan kemana saja?" Ibu Miranti bertanya dan tangannya tetap mengupas kentang.

"Hanya berputar keliling taman. Bukankah mama dan papa juga lihat dari beranda depan?" jawab Miranti heran.

"Kulihat berpapasan dengan Susi dan suaminya?"

"Betul Mam". Hati Miranti bertambah heran. Ada apa sehingga Mama bertanya seperti orang menghakimi. Mbak Susikah? atau Miranti tidak sempat berpikir, terdengar ibunya bertanya lagi:

"Ketika kau hendak masuk rumah, kau ketemu pak Imam tetangga sebelah?"

"Betul Mama, malah pak Imam menyampaikan salam untuk papa dan mama".

Ibu Miranti menarik napasnya dalam-dalam.

"Miranti, sebaiknya kau tidak usah ngomong-ngomong dengan laki-laki siapapun di jalanan. Tidak pantas!" ibu Miranti mencuci tangannya.

Miranti menjawab kata-kata ibunya yang bernada keras itu: "Tapi pak Imam menghampiriku dan menegur dahulu". Suara Miranti halus beriba.

"Dan bercakap-cakap!" ibunya menyedak.

"Tapi hanya sebentar, dan itu toh bukan kemauan saya", kata Miranti hampir menangis..

"Itu Mama tahu, mama pun tidak menyalahkanmu. Tapi hal itu membuat orang lain ribut", suara ibu Miranti mulai manurun.

"Ribut? Saya tidak mengerti mam", wajah Miranti penuh keheranan.

"Dengarlah Mira, kau jangan terlalu bodoh. Tadi si Mariam kusuruh beli mentega ke warung. Di Warung, dia ketemu pembantunya bu Imam. Pembantu bu Imam belang pada si Mariam bahwa Tuan dan Nyonya habis ribut, perang mulut, gara-gara kau, Mira. Pada pokoknya aku tahu bu Imam tidak suka melihat suaminya omong-omong dengan kau. Dia takut, sebab memang suaminya itu agak nakal dan ibu Imam toh tahu pasti kau ... kau ini ..." suara ibu Miranti terhenti ragu.

"Janda, mama!" tukas Miranti sengit meneruskan kata-kata ibunya.

"Kau harus ingat itu, Mira, demi nama baikmu sendiri. Aku tak perlu menceritakan apa yang si Mariam ceritakan padaku, bagaimana bu Imam bertengkar pada suaminya itu", lanjut Miranti.

Miranti tidak menjawab dan bertanya apa-apa lagi. Ia mengerti bagaimana perasaan ibunya karena mendengar semua itu langsung dari mulut si Mariam. Ibunya tentu tersinggung sekali, karena ini menyangkut anak kandungnya sendiri. Miranti lupa mengasihani dirinya sendiri, justru kasihan pada ibunya.

"Meja sudah siap, Bu", Mariam masuk ke dapur memberi laporan.

"Mira, keluarkan makanan itu dari lemari. Masakan ini pun sudah selesai".

Ibu Miranti menyorongkan piring berisi kentang goreng, eortel, buncis dan slada. Miranti mengangguk dan mencuri pandang wajah ibunya. segera ia mencuci tangan dan membereskan meja untuk hidangan. Semua itu telah disiapkan Miranti di meja.

Tetapi malam itu, selera makannya hilang.

"Mengapa makanmu sedikit sekali, Mira?" ayahnya bertanya.

"Saya masih kenyang, Papa" jawab Miranti halus.

"Kau harus makan banyak, kau kan menyusui? Maya butuh air susu yang cukup", tukas ibu Miranti.

"Kenapa, Mira? Kau masih marah padaku?" Harri bertanya sambil memandang wajah adiknya serius. Miranti serasa ingin berlari kepelukan saudaranya. Dia ingin melepaskan himpitan di dadanya tentang cerita yang baru saja didengarnya di dapur.

Persoalan dengan Harri siang tadi sudah dilupakannya.Tapi Miranti tahu, dia bukan anak-anak lagi seperti dulu. Saat ini ia berkumpul dengan ayah, ibu dan kakaknya, sudah lain keadaannya. Dia adalah ibu dari dua orang anak, dia seorang wanita dewasa yang harus bisa menyimpan perasaan.

"Ah ... Har, lupakalah! Bukan karena itu", jawab Miranti hampir tidak terdengar dan berusaha melukiskan senyum di wajahnya.

"Kalau begitu syukurlah!" kata Harri, sambil memandang dan meneliti wajah adiknya. Harri merasa ada sesuatu yang dirahasiakan Miranti padanya.

"Kau habis bertengkar?" ayah Miranti bertanya memandang kedua anaknya bergantian.

"Kami bukan anak-anak kecil lagi, Papa" Harri menjawab tepat dan meneruskan makannya. Sejak tadi ibu Miranti tidak mengomentari apa-apa. Makan malam itu berlangsung dalam suasana agak kurang menyenangkan."Mama, Papa, saya harus segera ke rumah sakit" kata Harri dan berdiri dari kursinya menuju tempat duduk Miranti. Diciumnya pipi adiknya itu dan berkata:

"Nah, Mir, aku pergi dulu, ya?" Miranti mengangguk tersenyum.

"Aku beruntung mempunyai kakak sebaik Harri", pikirnya.

Dalam kedudukannya ia masih punya pelindung. Dan Miranti ingat masa kanak-kanak dulu, apabila ada anak yang mengganggu Miranti, Harri akan marah habis-habbisan. Apalagi kalau Miranti sampai menangis. Oleh sebab itu Miranti berpikir, sebaiknya ia tak usah mengatakan kekesalan hatinya saat itu, tidak baik kesudahannya. Semuanya harus diterimanya sendiri. Miranti menyadari gelar janda akan membbuat banyak peristiwa dalam hidupnya. Malam itu Miranti merasa segan untuk menonton acara televisi seperti biasa bersama ayah ibunya.

*****

MIRANTI keluar kamar menuju dapur. Ketika hendak masuk dapur dihentikan langkahnya. Miranti mendengar namanya disebut-sebut dalam percakapan mbok Inah dan Mariam, yang sedang mencuci piring.

Mereka sama sekali tidak tahu Miranti datang, sebab berisik bunyi gemericik air dan piring-piring yang bersentuhan. Miranti lambat-lambat keluar lagi, berdiri dalam kegelapan, di luar dekat jendela. Hatinya ingin sekali tahu apa yang dipercakapkan mereka tentang dirinya, kelihatannya begitu asyik.

Terdengar mbok Inah berkata:

"Memang kelewatan tuduhan itu, aku kasihan sama den Mira dijelek-jelekkan kaya begitu".

"memang sembarangan nuduh sih nggak, Bu Imam lihat sendiri dengan mata kepalanya, lakinya omong-omong sama den Mira di jalanan", jawab Mariam.

"Ya, orang negor apa ngga boleh?" terdengar mbok Inah berkata lagi.

"Benernya, sih", jawab Mariam. Dan dia melanjutkan lagi ceritanya. "Bu Imam bilang sambil teriak sama lakinya, "kau omong-omong jangan sama janda muda yang mulai gatal, bisa-bisa salah omong dikira naksir lagi. Bikin malu! Harga dirimu kemana?". Dan bu Imam bilang lagi: "Janda muda itu bahaya tahu! Aku lihat muka janda itu kesenangan diajak ngomong sama kau".

Hati Miranti bergetar, ia nelongso mendengar apa yang diceritakan Mariam itu. Tapi Miranti mencoba bertahan, berdiri di tempatnya. Ia masih ingin tau kelanjutannya cerita si Mariam tentang dirinya pada mbok Inah.

"Apa suaminya dibentak-bentak diam saja?" mbok Inah bertanya lagi.

"Menurut cerita pembanyunya sih, pak Imam kalau bininya sudah kalap, dia kagak berani nglawan", jawab Mariam.

"Yam, baiknya cerita ini jangan didengar sama den Mira, kasihan. Nanti hatinya tambah susah. Sebab den Mira sebenarnya setia banget sama almarhum suaminya. Den Herman orang baik, sama aku juga baik. Heran ya, kenapa orang baik cepet bener matinya?" suara mbok Inah terdengar gemetar. Dan tampaknya oleh Miranti bagaimana wajah mbok Inah kelihatan sedih dan menghapus matanya berulang dengan ujung kebaya. Miranti bingung dia lupa apa tujuan semula ke dapur ini.

"Mam ... Mama!" Bram berteriak dari dalam kamar.

"Ya Tuhan," Miranti sadar, dirapikannya rambutnya dan dia berusaha dengan air muka yang seolah-olah tidak mengetahui apa-apa, mausk ke dapur. Langkahnya sengaja dikeraskan, kedua pembantu itu tampak terkejut. Miranti tersenyum, senyum yang diusahakannya sedapat mungkin wajar. Dan Miranti menegur mbok Inah:

"Mbok Inah sudah makan? Kalau sudah tolong diseduh dulu botol ini". Miranti memberikan botol susu dan termos air panas yang segera diterima oleh mbok Inah. Miranti memperhatikan mbok Inah yang sibuk menjalankan apa yang diperintahkan majikannya.

"Terima kasih, mbok. Coba mbok ke kamar dulu, tunggui Bram, katakan aku masih bikin susu".

Pembantu setia itu segera keluar dapur. Di dapur tinggallah Miranti dengan Mariam yang sedang asyik melap sendok-sendok dengan teliti, sampai sendok itu kelihatan mengkilap. Mariam memang rajin dan hal ini menyenangkan ibu Miranti yang suka kebersihan. Miranti memandang Mariam, dia ingin mengatakan pada perempuan itu.

"Sebaiknya kalau ada cerita-cerita yang tidak mengenakkan hati yang menyangkut keluarga jangan kau sampaikan kepada mama". Tapi kalimat itu hanya dalam hatinya, mulut Miranti terasa sukar untuk terbuka apalagi mengucapkan kata-kata. Akhirnya Miranti berkata pada dirinya sendiri. "Biarlah itu haknya, Mariam mungkin tidak bermaksud buruk", Miranti menundukkan kepalanya kembali dan segera mengaduk susu untuk Bram.

"Seburuk itukah tanggapan orang pada janda?" terlintas kembali dalam pikiran Miranti persoalannya sore tadi. Tersinggung dan perih hatinya. Biarkan, biarkan hati ini merasakan kesakitan, maafkan sebab hati ini bukan dari perunggu, tembaga atau logam lainnya. Ia hanya terdiri dari darah dan semacam daging lembut, bukan apa-apa. Inilah kenyataan dan ia harus menerima itu.

Pelangi-pelangi Duka

HARI ulang tahun Bramanti yang kedua tiba saatnya. Sebetulnya ayah ibu Miranti menginginkan agar banyak yang diundang. Ini adalah kebiasaan dalam keluarga Miranti. Mereka selalu memperhatikan peristiwa-peristiwa yang harus diperingati. Tapi kali ini, Miranti menolak usul kedua orang tuanya. Ia hanya memberi tahu saudara-saudara dekat saja. Rini, suaminya, dan dua orang anaknya Frans dan Luki, Paman Kris, Bi Tia, dan Lusi. Juga ibu mertua Miranti, selain itu Vidi pacar Harri, Hanya orang-orang itulah yang berkumpul pada ulang tahun Bram sore itu.

"Lihat Mama, tak usah mengundang yang lain-lain pun, rumah sudah cukup ramai", Miranti berkata pada ibunya yang sedang asyik memotong kue.

"Ya, tapi Bram tentu akan lebih senang kalau jumlah anak-anak lebih banyak", sahut ibu Miranti.

"Nantilah, Mam, kita bikin itu tahun depan", elak Miranti. Ibunya tidak menjawab, ia mengerti perasaan anaknya yang belum kepingin suasana ramai.

"Biarlah saya yang memotong kue-kue ini, Mama! Paman Kris, Bi Tia dan Ibu ingin ngobrol-ngobrol dengan Mama."

"Mira, aku saja yang potong kuenya, ya", Vidi datang menghampiru Miranti.

"Tak usahlah, Vid, kue lapis ini sudah hampir selesai dipotong Mama, aku hanya tinggal meneruskan. Bagaimana kuliahmu?" Miranti bertanya sambil tetap memotong-motong kue itu.

"Ya, begitu-begitu saja, merayap", Vidi menjawab sambil tangannya membereskan letak kertas tissue di piring kue.

"Ngerayap juga kan sampai juaga akhirnya. Sedangkan aku ini, sempat kuliah hanya sebentar, cuma numpang liwat. Terus kawin dan hasilnya sekarang ini, dua anak ... ditinggal suami lagi ..." Miranti tersenyum hambar.

Vidi melihat bekas teman sekolahnya dulu dan calon iparnya itu kurusan dan pucat wajahnya. Dan wajah itu tambah lebih pucat, ketika mengucapkan kalimat yang terakhir. Vidi tidak tahu harus mengatakan kata-kata hiburan apa buat Miranti. Ia bingung. Untunglah Harri datang nimbrung. Harri memeluk Vidi dari belakang.

"mir, nih si Vidi ajarin masak dong, mentang-mentang dia anak tunggal, ke dapur pun tidak pernah. Dasar anak manja, aku tidak mau pulang kerja cuma pembantu yang masak untukku", kata Harri mempererat pelukannya.

"Ah, kau sih lelaki egois, maunya perempuan itu serba bisa", Miranti mencibir.

"Bukan begitu, Mir, sebab masakan isteri itu lain rasanya. Lebih nikmat", tukas Harri.

"Itukan hanya perasaan!" Vidi menyilang pembicaraan.

"Perasaan kan penting juga, kekasihku", kata Harri sambil mencoba mencium pipi Vidi. Vidi mengelak malu.

"Benar juag, Vid, belajarlah merintis menjadi seorang sarjana yang serba guna di masyarakat dan seorang istri yang sempurna. Itu hebat, dan tidak mudah. Biasanya yang menonjol cuma satu, kalau dua-duanya bisa seiring, itu paling baik. Dan alangkah bahagianya si cerewet itu", Miranti menunjuk Harri.

Harri melepas pelukannya pada Vidi dan menangkap telunjuk Miranti. Setengah berbisik Harri berkata:

"Wanita itu memang bisa segala-galanya. Dan adikku ini juga contoh soal yang patut dikagumi", Harri tidak hanya memegang telunjuk itu, dia menangkap lengan Miranti. Miranti mengelak dan menarik kemeja Harri.

"Ah, Vid, calon suamimu ini bisa-bisa saja", Miranti menguatkan tarikannya.

"E ... e... jangan keras-keras nanti putus lagi kancing baju ini. Bukankah baru kau pasangkan kemarin?" Harri membereskan bajunya yang sudah dilepaskan tangan Miranti.

"Kalau aku sudah kawin, giliran nyonya yang memasangkan kalau putus," tangan Harri menepuk bahu Vidi.

"Memangnya punya istri buat ngurusin dirimu dengan segala soal-soal sepele seperti itu," kata Vidi ketus.

"Itu memang sepele, tapi hal-hal yang sepele buat suami kadang besar artinya. Itulah seninya", kata Harri dan menghambur lari ketika Vidi mau memukul dia dengan sendok yang ada di meja makan. Miranti dan Vidi berpandangan.

"Inilah perempuan," Miranti berdesis menundukkan kepalanya.

"Tapi aku bahagia dilahirkan jadi perempuan", Vidi menyahut. Miranti hanya tersenyum memandang wajah Vidi. Dan meneruskan menata kue pada piring. Vidi membantunya.

"Tante! Tante Mira, ayo tiup lilin dong!" kata Frans dan Luki yang berlarian menghampiri Miranti diikuti Bram.

"Mama, ayo tiup lilin", Bramanti mengulang permintaan saudara sepupunya dan tangannya menarik-narik baju Miranti.

Di tengah ruangan telah disiapkan Harri sebuah meja kecil, dimana kue ulang tahun yang besar dengan dua lilin menyala diatasnya. Harri berteriak menyuruh yang hadir bersama-samamenyanyikan selamat panjang umur. Lagu itu berkumandang diselingi suara Bram, Frans dan Luki yang melengking melebihi nada. Miranti tak dapat lagi membendung air matanya jatuh deras mengalir di pipi. Dalam pandangannya yang penuh air mata, Miranti seolah-olah melihat pada lilin yang bergoyang-goyang, berdirilah Hermanto suaminya, tersenyum mengikuti suasana ulang tahun Bramanti. Tapi itu tidak mungkin, tidak mungkin. Miranti mengusap air mata itu, pandangannya kabur dan samar. Ia ingin menegaskan penglihatannya, diusap lagi matanya. Lilin itu padam ditiup Bram, dan padam pula pandangan Miranti. Ia setengah sadar mengakui bahwa semua itu hanya hayalan semata. Dipeluknya Bramanti, dicium kedua pipi anak itu sambil menyembunyikan tangisnya.

"Selamat ulang tahun, Bram!" bisik halus Miranti dalam gema.

"Mama! ... ", hanya itu Bram berkata. Dia memandang wajah ibunya dan menghapus air mata di pipi Miranti dengan kedua tangannya yang kecil. Miranti menguatkan pelukannya, dibelainya kepala Bram dengan sedu sedan yang tak dapat lagi ia tahan. Kemudian, Bramanti dilepaskan. Dengan wajah mencoba untuk tersenyum, Miranti berdiri. Tamu-tamu yang lain sejak tadi diam terpaku, dan banyak yang ikut menitikkan air mata. Bergantian mereka menyalami dan mencium Bram. Terakhir ayah Miranti mendukung Bram. Dalam gendongannya ia memberikan selamat dan membisikkan sesuatu pada Bram. Bram tampak cerah wajahnya, dan menganggukkan kepala menanggapi bisikan ayah Miranti. Setelah itu Bram membalas dengan mesra mencium eyang kakungnya.

"Apa yang dibisikkan Papa?" tanya hati Miranti sambil melihat dengan mata yang masih basah, percakapan rahasia antara anaknya dan ayahnya itu. Bram berlari memeluk pinggul Miranti.

"mama ... eyang papa kacih Bam klinci di belakang." Bram menunjuk dan berlari ke belakang rumah. Miranti membisikkan sesuatu pada ibunya. Wajah ibu Miranti mengkerut.

"Memang ayahmu itu ada-ada saja. Tentu baju Bram akan kotor semua. Tanah di belakang, basah bekas hujan siang tadi", ibu Miranti menggerutu tidak setuju.

Miranti tidak menanggapi, hati kecilnya berkata.

"Papa lebih pandai menarik hati cucunya, dan Papa lebih tahu bagaimana caranya membahagiakan Bram." Sampai pada waktu makan tiba, Bram, Luki, Frans dan ayah Miranti belum juga kembali ke dalam rumah.

"Har, cari papamu, kita menunggu untuk makan bersama", ibu Miranti memberi perintah pada Harri. Wajahnya menahan marah. Miranti melihat itu semua. Bersama Harri ia segera pergi ke belakang rumah. Dilihatnya semua sedang mengelilingi sebuah kandang kelinci. Tangan Bram sudah kotor kena lumpur, dan tangan itu sibuk mengulurkan kangkung memberi makan kelincinya. sepatu Bram penuh lumpur. Tidak hanya sepatu Bram, juga sepatu Frans dan Luki.

Tiba-tiba kelinci itu keluar dari kandangnya. Bram, Frans dan luki mengejarnya, mencoba menangkap kelinci itu. Mereka sangat gembira berlomba kejar-kejaran. Bekas genangan air hujan di rumput muncrat diinjak oleh kaki-kaki kecil itu. Baju Bram sudah tidak karuan basah, dan titik lumpur merah. Ayah Miranti tersenyum ikut gembira, juga Harri tertawa gelak melihat tingkah laku keponakannya. Bram dapat menangkap kelinci itu kembali. ia tampak bangga berhasil mengalahkan Frans dan Luki. Kelinci yang kotor penuh lumpur itu dipeluk ke dadanya. Wajah Miranti terkesiap pucat, ia tak dapat mengucapkan teguran apa-apa melihat baju Bram yang ikut terkena lumpur itu.

"Wah, Bram, kau jagoan! Kelinci itu kalah larinya!" teriak Harri.

"Bawa sini! Masukkan kembali ke kandangnya", ayah Miranti ikut terik.

Bram mengendong kelinci itu tersaruk-saruk diberikan ke tangan eyang kakungnya.

"Hadiahku untuk Bram tidak berarti apa-apa jika dibandingkan hadiah dari papa" kata Harri pada Miranti. Miranti tidak menjawab.

"Apa sudah waktunya makan?" tanya ayah Miranti sambil mengibas-ngibaskan lumpur di tangannya.

Miranti mengangguk.

"Apa kata Mama nanti melihat Bram seperti ini", keluh hati Miranti dan menuntun Bram ke kamar mandi.

Ketika masuk rumah Miranti melihat bercak-bercak lumpur bekas telapak sepatu mengotori lantai rumah di sana sini. Miranti setengah mati kebingungan. Wajahnya gugup, lebih gugup lagi ketika tampak wajah ibunya yang merah kecut menahan marah. Lagi-lagi rasa berdosa meliputi hati Miranti.

"Oh ... kemana saja yang punya pesta ini? Kita semua sudah kesal menunggu dan perutnya juga sudah lapar." tegur ibu Miranti sinis.

"Kelinci lali, Eyang. Bam bisa tangkap", celoteh Bram tanpa prasangka.

"Ya, tapi kau harus makan sekarang!" bantah ibu Miranti agak keras sambil memberikan piring yang sudah diisi nasi lauk pauknya.

Miranti membantu Bram membawa piringnya ke kursi khusus, tempat Bram biasa makan. Bram terdiam tidak berkata-kata lagi. Ia duduk dengan manis. Memang dibandingkan dengan anak lain seusianya, dia termasuk bawel dan lancar omongnya walau belum sempurna betul. Entah suatu kelebihan yang dikaruniakan Tuhan padanya atau karena keadaan, atau karena Miranti secara tidak sadar terpaksa meminta banyak pengertian Bram, sehingga menjadikan dia anak yang mau mengerti perasaan orang lain dalam batas kemampuannya sebagai seorang anak.

*****

HARRI telah lulus dari sekolah kedokteran. Dia beruntung karena tidak dikenakan wajib kerja di kota lain. Telah beberapa bulan, pada sore hari dia membuka praktek di bagian depan rumah ayahnya. Ayah Mirantilah yang menghadiahkan sebagian dari alat-alat dokternya, dan sebagian lagi dari uang tabungan Harri sendiri. Miranti kini punya kesibukkan. Ia membantu Harri.

Senja itu pasien sudah tidak ada, sambil membereskan alat-alat Harri berkata pada adiknya.

"Mira, jam delapan nanti kita tutup saja. Hari ini aku ada janji. Tadi pagi Tigor di rumah sakit mengajakku, juga Vidi dan kau untuk nonton film pukul sembilan. Di kartika Chandra ada film bagus. Lihat, jam begini pasienku sudah tidak ada lagi."

"Maklumlah dokter baru, belum terkenal", hibur Miranti.

"Mungkin juga. Tapi kau belum menjawab ajakan tadi, aku harap kau tidak menolak. Hitung-hitung menemani Vidi deh", usul Harri.

"Ah ... jangan berlagak bodoh. Vidi tak butuh teman nonton, kukira cukup asal ada kau", ejek Miranti dan tangannya membereskan tempat tidur dimana pasien biasa diperiksa. Harri tersenyum ia melemparkan ampul kosong bekas obat suntik ke dalam keranjang sampah.

"Pergilah, ya Mir? Lagipula engkau tidak baik mengurung diri di rumah."

"Tapi lebih tidak baik kalau keliaran terus diluar rumah. Tanggapan orang padaku kini sudah lain, serba salah."

"Kenapa jadi serba salah?" tanya Harri mengerutkan alisnya.

"Karena aku janda! Janda selalu dicurigai. Sudah nasibnya merana, tambah merana hatinya, karena penafsiran macam-macam dari orang lain. Lain halnya kalau seorang duda, Itulah enaknya laki-laki. Masyarakat menentukan itu semua".

"Masyarakat mana yang kau maksud? Jangan menyalahkan masyarakat! Kaummu sendiri menentukan itu, menghukum kaumnya. Kaum istri pencemburu, takut dengan janda, takut suaminya terpikat. Kaum ibu rumah tangga yang punya anak gadis, takut akan gadisnya tersaingi oleh janda. Ketakutan-ketakutan kaummu itu akan bertambah besar, kalau janda itu masih muda. Tapi itu pun tidak semua, tergantung tinggi rendah budi masing-masing. Diantara orang-orang yang menghukum, tentu ada pula yang besar pengertiannya dan mau menghormati apa yang diderita orang lain", protes Harri.

"Itu benar", Miranti menjawab halus.

Ampul-ampul obat suntik yang masih utuh dimasukkan kembali ke dalam lemari. Miranti teringat, akan kebaikan ibu Handoko istri teman almarhum suaminya. Ibu Handoko berkali-kali mengajak Miranti untuk tetap ikut dalam perkumpulan arisan keluarga teman-teman sekantor. Tapi ia selalu menolak. Malam Minggu kemarin Miranti tidak bisa menolak lagi karena ibu dan pak Handoko menjemputnya sendiri langsung ke rumah dan setengah memaksa dengan alasan bahwa acaranya sekalian halal bihalal. Alasan itu tak dapat ditolak Miranti.

Pertemuan halal bihalal itu waktu yang sangat tepat bagi Miranti untuk minta maaf bagi dirinya dan bagi Hermanto semasa hidupnya. Dan Miranti mengerti sepenuhnya, bahwa keluarga Handoko ingin menunjukkan Miranti, bahwa mereka tidak melupakan istri teman sekerjanya yang sudah meninggal. Miranti pun tidak ingin mengecewakan hati mereka. Waktu pertemuan itu berlangsung hati Miranti merasa terasing di antara pasangan suami istri teman-teman almarhum Hermanto. Padahal sebelum Hermanto meninggal, Miranti dan Hermanto biasa juga ikut berkumpul sebulan sekali dengan mereka. Miranti melihat, nyonya-nyonya temannya itu meneliti Miranti seolah baru mengenalnya. Mereka memandang Miranti dari rambut hingga ujung kaki. Dan suami-suaminya menegur, menyapa dengan kaku. Perubahan itu ditelannya tanpa menunjukkan sikap yang lain. Miranti berusaha berlaku hati-hati. Sampai ketika pertemuan selesai waktu akan pulang, nyonya Lis Hamdani berkata tanpa perasaan.

"Wah, Pak Handoko pulangnya bawa dua istri". Ketawa-ketawa sinis mulai terdengar dan Miranti melihat bahkan mendengar ketika nyonya Ami Priyadi berbisik keras di telinga ibu Handoko.

"Awas lho, mbakyu, hati-hati, bahaya!" seketika terasa tak berdarah Miranti waktu itu. Hampir saja air mata rasa malu, sedih dan marah menetes dari matanya. Tapi untung saja tidak terjadi. Miranti tetap tenang, dengan senyumnya dia berusaha tidak merubah suasana. Ia merasa bersyukur dapat menguasai dirinya. Ibu Handoko dan Pak Handoko merasakan perasaan Miranti saat itu. Mereka kelihatan bertambah baik. Dan dalam mobil di perjalanan pulang, bergantian mereka bercerita tentang macam-macam, untuk menghibur hatinya Miranti, Miranti masih ingat kata-kata ibu Handoko ketika mengantarkan sampai pintu rumah.

"Kalau Jeng perlu apa-apa atau membutuhkan bantuan kami, tilpunlah kami di rumah atau di kantor. Jangan sungkan-sungkan. Hermanto teman baik kami begitu juga Jeng sendiri."

Mata ibu Handoko penuh penyesalan karena teman-teman yang lain telah menyinggung hati Miranti. Tapi Miranti harus memaklumi mereka. Dan sejak pertemuan itu Miranti berpikir dan berpendirian.

"Sebaiknya aku sebagai seorang janda tidak usah lagi begaul secara dekat dengan siapa pun. Sekali pun orang-orang itu bekas temanku."

"Hai, engkau melamun", Harri menepuk bahu adiknya.

Miranti agak terkejut menjawab.

"Ya, aku teringat malam Minggu yang baru lalu."

"Ketika kau pergi bersama suami istri Ir Handoko?" tanya Harri. Miranti mengangguk mencuci tangannya di wastafel. Harri menutup jendela kamar praktek itu dan menyalakan lampu.

"Tentu suasana yang menyenangkan, setelah sekian lama kau tidak pernah ketemu dan bergaul dengan teman-teman sejawat suamimu itu", kata Harri lagi.

"Ya, menyenagkan! Tapi lebih menyenangkan disini, diantara orang-orang sakit, pasienmu."

"Ah, kau nyindir! Apa kau bosan membantuku?" Harri berbalik melihat wajah Miranti.

"Sama sekali tidak! Yang kukatakan sebenarnya", jawab Miranti sungguh-sungguh. Harri duduk di kursi di tempat mana ia biasa memeriksa pasien dan berkata lagi.

"Nah, Mira, jangan kau tolak ajakan Tigor, kau pergi bersamaku, Ayo gantilah pakaianmu". Harri menunjuk pakaian kerja Miranti yang berwarna putih.

"Sebentar lagi Tigor jemput kita", lanjut Harri lagi.

"Aku takut, aku tak ingin memberikan harapan padanya", kata Miranti.

"Engkau bicara tentang harapan?" tanya Harri heran.

"Ya, sebab aku tahu dia mengharapkan aku jadi ... jadi istrinya."

"Apa dia sudah mengatakan itu padamu?" wajah Harri tampak ingin tahu sekali.

"Ya, waktu pesta di rumah Vidi, pesta lulus sekolahmu sekalian pertunanganmu. Kau ingat? ... Bukankah Tigor juga kau undang di antara temanmu yang lain?" tanya Miranti sinis.

"Tigor mengatakan waktu itu padaku, bahwa dia ingin aku jadi istrinya dan dia mau menunggu sampai aku bisa melupakan semua apa yang telah kualami", lanjut Miranti.

"Sudah sepantasnya Tigor terus terang padamu. Ia mengenalmu lama sebelum kau kawin dan aku juga tahu, dari dulu dia memang menyukaimu", kata Harri.

"Ah, Har, sebenarnya bukan soal waktu bagiku. Persoalan sebenarnya aku tidak mencintainya. Jangan kau artikan aku membencinya. Aku merasa berdosa kalau aku kawin dengan dia hanya karena ingin melepaskan rasa sepi dan duka. Atau aku butuh perlindungan sebagai kodrat perasaan wanita umumnya, ingin dilindungi oleh laki-laki yang penuh tanggung jawab. Tigor orang pandai, dan seorang dokter seperti engkau. Ia orang baik yang seharusnya dicintai. Dan cinta itu tidak ada lagi padaku. Aku tidak mau membohongi dia dan menipu diriku sendiri."

Harri diam saja, terpaku memperhatika adiknya berkata-kata. Air mata adiknya mulai beurai tapi masih meneruskan kata-kata sambil menghapus air matanya.

"Sehabis pesta itu, dia sering tilpon ke rumah. Dia minta supaya aku bisa pergi dengan dia, dia minta supaya ia bisa omong-omong denganku. Tapi aku selalu menolak dengan berbagai alasan. Pokoknya aku menghindari dia. Dan sekarang ini Tigor melalui engkau, mengajakku nonton film. Aku menghormati usahanya. Tapi aku sudah mantap, aku tidak mau memberi dia harapan kosong. Aku juga tahu, aku butuh hiburan, sekelilingku terasa sunyi ... sepi yang mencekam dengan hanya bayangan almarhum suamiku. Aku sangat kehilangan Hermanto, sebenarnya aku bisa gila ... bisa gila!" Miranti menangis terisak. Ia berusaha menahan tangisnya dengan menggigit sapu tangan. Bahunya berguncang dan berkata lagi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Harri, aku belum bisa melupakan suamiku, kurasa mungkin aku tidak dapat melupakannya."

Harri masih juga terdiam, hatinya terharu.

"Maafkanlah, Harri, aku tahu maksud baikmu", suara Miranti memohon pengertian kakaknya. Harri menepuk bahu adiknya.

"Tak seorang pun berhak memaksamu, adikku", suara Harri lembut.

"Persoalanku dengan Tigor akan kuselesaikan sendiri, mungkin dengan mengatakan 'tidak' untuk kesekian kalinya. Tigor mau mengerti dan akan mau mengawini gadis yang dicalonkan ibunya seperti yang pernah diceritakan padaku. Itu lebih baik bagi Tigor dari pada memilih sendiri perempuan janda beranak dua, dan lagi tanpa cinta. Hanya kali ini aku minta tolong padamu, Har, kalau dia jemput, katakan aku agak sakit. Aku tidak akan keluar menemuinya."

Harri mengangguk sambil tersenyum, wajahnya menunjukkan penuh pengertian.

"Hapuslah air matamu! Pergilah duluan masuk rumah, Maya dan Bram tentu sudah menunggumu. Biar aku yang mengunci kamar ini."

Dan malam itu Miranti melihat dari balik tirai jendela kamarnya ketika Tigor datang menjemput dia dan Harri, Tigor tampak kecewa. Deru mobil mereka berlalu meninggalkan rumah menjemput Vidi. Miranti seperti tersadar dari mimpi.

"Aku telah mengecewakan orang, ampunilah ya Tuhan, semoga yang kulakukan ini tidak salah."

MAYA sudah pandai berjalan dengan lancar. Kakinya yang gemuk menunjang tubuhnya yang juga gemuk tertatih-tatih berjalan di seputar rumah. Di tangannya ada sebuah biskuit marie yang digigit-gigitnya hhingga remah-remah kue itu tercecer di lantai yang dilaluinya.

Maya dengan matanya yang bening dan lucu itu hanya memandang saja pada Miranti. Mbok Inah masuk, membawa teh di botol.

"Mbok, kenapa anak ini dibiarkan keliaran sendiri? Aku mau mandi dulu, jaga yang baik. Lihat remah-remah ini, mbok kan tau ibuku tak mau ada kotoran setitik pun di lantai."

"Gendut, ikut mbok dulu ya! Mama mau mandi, mau belanja ke toko beli susumu, susu kakak Bram, Biskuit ... he ... eh?"

Maya mengangguk. Miranti mencium perut Maya sehingga Maya tertawa gelak-gelak kegelian. Mbok Inah segera mendukung Maya, dibawa ke beranda rumah.

Miranti membungkus badannya yang masih basah dengan kimono, dan handuk di kepalanya menutupi rambut agar tidak basah kena air. Lalu ia masuk kamar, handuk dari rambutnya diangkat; juga dibukanya kimono pembungkus badannya, ia mulai mengeringkan tubuhnya. Terlintas dalam penglihatannya tubuh yang mungil di kaca toilet. Ia terhenti sejenak, dipandanginya tubuhnya itu.

"Mm, aku belum banyak berubah, dadaku masih penuh, peruku tidak kembung, walau anakku sudah dua." Diusapnya dadanya kemudian perutnya lambat-lambat.

"Hanya Hermantolah yang pernah mengusap dan mendukungku dalam keadaan seperti ini ..."

Matanya terpejam, kegairahan suaminya selintas terkenang dalam ingatannya. Rupanya Miranti masih mampu merasakan indahnya kemesraan. Tubuhnya tampak bergetar halus. Lambat-lambat dibukanya kelopak matanya, ia masih mau mengagumi tubuhnya dikaca itu sedetik lagi.

"Semuanya bagiku sudah berlalu, tidak ada lagi ..." dilanjutkannya mengeringkan tubuhnya dan segera dikenakannya baju dalam dan penutup dada. Kring ..!

Terdengar telpon berdering di rumah besar. Serasa berhenti detak jantung Miranti, siapakah yang menelponku? Setengah berlari Miranti meninggalkan kamarnya, masuk rumah besar tapi ia ragu-ragu untuk mengangkat telpon itu.

"Hallo ..." suara Miranti hampir tidak terdengar.

"Hallo Mira ... " suara di dalam telpon.

"Siapa ini?" tanya Miranti dengan gembira. Warna suaranya berubah menjadi cerah.

"Kau terlalu, masa lupa suaraku?" jawab dalam telpon itu.

"Oh kau, Nila?" setengah berteriak Miranti menerka. Dan terkaannya betul.

"Come on, Mira! Kau sudah terlalu lama mengurung diri, sudah cukup, Nyonya besar! Memang selama ini aku takut mengganggumu. Tapi tiba-tiba kangen. Sudah berapa ribu tahun kita tidak bertemu? Mir, sekarang aku mendirikan toko pakaian, bukan 'boutique', istilah ini bisa bikin ngeri sebagian wanita yang merasa tidak punya duit. Aku cuman butik-butikan. Ayolah datang kerumahku. Tengoklah usahaku, aku jemput sekarang, pagi ini ya," Miranti tersenyum.

"Ah, orang ini, masih saja seperti dulu, kalau ngomong tidak ada titik dan koma, dan tidak pernah memberikan kesempatan orang lain untuk menjawab. Kau tidak berubah, Nila ..."

"Tidak! Tentu aku tak akan berubah. Nila temanmu yang dulu adalah Nila sekarang ini juga."

"Syukurlah, kau masih ingat padaku." Ini diucapkan Miranti dari lubuk hati yang sebenarnya.

"Aku jemput pagi ini!" desak Nila.

"Jangan, pagi ini saya harus belanja keperluan bulanan. Kalau belanja ditokomu, mustahil di situ ada susu, odol dan sabun. Butikkan isinya cuman pakaian artis melulu."

"Ah, kau nyindir yah? Tokoku tidak hanya ada pakaian artis, super artis, super engkau pun ada."

"Dalam soal sindir menyindir dan rayuan maut kau memang pandai, Nila."

Akhirnya pembicaraan dalam telpon itu memutuskan, Miranti akan dijemput mobil Nila pagi itu.

"Ngapain ketempat Nila, Mir?" tanya ayah Miranti.

Ibu Miranti datang, dan melihat bagaimana bingungnya Miranti memikirkan makanan untuk anak-anak hari itu.

"Alah, Mir, kayak mau kemana saja, serahkan Mama saja deh, terserah Mama nanti yang ngatur. Apa kau tidak percaya?" ibu Miranti nyelidik.

"Bukan begitu, mama, justru supaya Mama jangan ikut pusing", jawab Miranti merasa tidak enak akan tuduhan itu.

"Saya kerumah Nila dulu, Mam, baru belanja", Miranti cepat mengalihkan pembicaraan, takut ibunya tersinggung.

Ibunya tidak menjawab, digendongnya Maya terus ke beranda rumah dimana Bram dan eyang kakungnya sedang duduk-duduk.

"Toko pakaian? Apa dia ada bakat dagang?"

"Suaminya pengusaha."

"Saya kira jaman sekarang semua orang harus bisa dagang. Mira pun ada cita-cita buka toko makanan dan minuman", kata Miranti lagi. Wajah ibu Miranti terkesiap, ia terkejut mendengar niat anaknya.

"Buka apa?", desis ibu Miranti.

"Uang yang saya miliki pada suatu ketika tidak akan mencukupi. Bram dan Maya bertambah besar."

"Apa kau kira Papa tidak sanggup membiayai cucu-cucuku yang hanya dua orang, atau Harri tidak sanggup menanggung adiknya? tanya ayah Miranti sambil mengetuk-ngetuk pipanya di asbak. Ibu Miranti mulai menitikkan air mata.

"Ah, anakku jadi pedagang."

"Ah, Mam, pikiranmu kolot, feodal. Inilah sisa-sisa penjajah mendidik kita, hanya hidup dari apa yang dikasihnya. Hanya penjajah itu yang boleh dagang. Milik bangsa kita yang diperdagangkan. Kalau itu positif, biarkan Miranti menentukan sendiri", kata ayah Miranti kesal melihat istrinya menangis.

"Mira, papamu ini masih sanggup ngurusin kamu, juga cucuku. Tapi kalau itu kemauanmu terserah. Papa tahu, kau bukan anak-anak lagi, kau punya hak menentukan hidupmu sendiri", ayah Miranti menahan keharuan hatinya.

"Ah papa ... mama, ini kan baru niat", Miranti merasa geli walau air matanya sendiri mengambang di pelupuk matanya.

Orang makin tua, perasaannya makin 'sensitive'. Kasihan, hanya kesusahan yang dapat kuberikan pada mereka dihari tuanya, kata Miranti dalam hati.

Sebuah sedan fiat model tahun mutakhir berwarna merah memasuki halaman rumah. Rupanya mobil Nila. Miranti pun pergi dengan mobil itu. Beberapa lama kemudian berbelok memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup megah. Bangunannya tampak masih baru dengan model tembok beton yang melintang lurus dan kukuh pada ujung atapnya. Belum lagi mobil itu berhenti. Nila sudah berhambur keluar rumah menjemput Miranti, dan membukakan pintu mobil. Dua sahabat itu berpelukan saling mencium pipi. Wajah-wajah kerinduan terbayang di wajah mereka. Nila menyeret tangan Miranti masuk ke rumahnya. Perabotan di rumah itu semua bagus dan berkwalitet tinggi. Kursi serta meja semua model antik seperti selera mode orang-orang kaya masa kini. Permadani hijau berbunga di sana sini, terhampar di tengah ruangan.

"Hm, hebat ... Nyonya besar", guman Miranti memuji.

"Ya, besar badannya, gemuk tak keruan begini, sedangkan kau masih tetap langsing tidak berubah."

"Aku bukan langsing, kurus! Kurang makan!" gerutu Miranti.

"Apa kau kurang beras?" Dan perlu kudrop ke rumahmu?"

"Tidak hanya itu, makan lahir batin", jawab Miranti sinis.

"Miranti sayang", Nila memeluk sahabatnya itu dengan penuh haru dan pengertian.

"Kau mau minum yang dingin?" tanya Nila. Miranti mengangguk mengiyakan.

Pembantu Nila masuk membawa 2 gelas juice markisa, juga dua piring bihun goreng.

"Wah, rupanya betul kau pikir aku kurang makan!" kata Miranti ketika melihat suguhan sebanyak itu.

"Ini kusiapkan dari tadi pagi, khusus buatmu. Nah, ini Sony", Nila berpaling pada anak kecil yang berjalan terseok diikuti perempuan berbaju putih. Mungkin pengasuhnya.

"Ini anak Nila, tentunya", pikir Miranti, dan berdiri menhampiri anak itu dan mendukungnya. Miranti mencium kedua pipi anak itu.

"Wah, si Sony memang genit, dia tau perempuan cantik. Biasanya dia menangis kalau melihat orang", kata Nila mencubit pipi Sony.

"Mungkin segenit ibunya" ejek Miranti.

"Aku tidak genit, yang genit bapaknya ... Kenapa anakmu tidak diajak? Lain kali bawa mereka, buat teman si Sony", kata Nila.

Nila menyuruh pengasuh itu membawa Sony ke belakang lagi, dan menanyai jadwal makan Sony untuk siang itu.

"Apa dia yang ngurus dan ngatur Sony, Nila?" tanya Miranti.

"Ya, untuk itu ia kugaji, aku tidak sempat, repot dengan tokoku," jawab Nila.

"Tidak berkeberatan ya, Mir, kalau kita ngobrol-ngobrol sambil melayani orang?" Nila bertanya pada Miranti ketika mengajaknya melihat-lihat tokonya yang berada di samping rumahnya, di sebuah bangunan yang terpisah. Rungan toko itu sejuk karena 'airconditioning'.

"Ini bukan toko! Ini butik", Mirani menyatakan kekagumannya.

"Terserah anggapanmu, pokoknya aku menjual dari harga yang murah sampai yang selangit. Oleh sebab itu langgananku banyak dan dari macam-macam golongan", Nila menunjuk pakaian yang tergantung teratur, dan ada sebagian yang digantung di lemari kaca.

"Kalau yang harga selangit aku pesan langsung dari luar negeri dan macamnya cuma satu-satu. jadi kalau dipakai seorang tidak akan disamai oleh lainnya. Maunya perempuan golongan 'the haves' kan gitu? Karena bagus, mahal, lain dari yang lain, gengsi naik, deh"

"Kukira tidak semua yang mahal bagus. Yang murah pun bisa bagus kalau semuanya serasi", kata Miranti.

"Perempuan itu macam-macam, Mira, dan bagiku yang penting ininya masuk kantongku", Nila mempertemukan telapak ujung jari telunjuk dengan ibu jarinya, digerak-gerakkannya sambil tertawa-tawa. Miranti tersenyum menggelengkan kepala.

"Ssst ... ada orang datang, kau duduk dulu di situ", Nila menunjuk kusi di pojok dekat meja tempat biasa orang membayar.

"Atau di sana ..." Nila menunjuk lagi tempat di sebelah kanan ruangan dimana ada satu stel kursi bambu dengan bantalan-bantalan batik yang menarik, tempat duduk para tamu.

Miranti mengangguk dan berjalan menuju salah sebuah kursi bambu. Matanya menelusuri keserasian ruangan. Lantainya semua tertutup karpet wool berwarna lila. Tempat itu mungil dan indah. Terdengar oleh Miranti, Nila menyambut tamunya.

"Selamat pagi, Zus Erna."

Miranti terpesona akan dandanan tamu yang dipanggil Zus Erna, tak sadar ia meneliti. Rok merah darah dari 'vel-vet' super mini - blusnya ketat model sundel bolong alias back less alias punggung terbuka, warna kuning menyala. Rambut pendek dan sepasang anting-anting besar di telinganya. Make up wajahnya menyolok dengan eye shadow serta rose pipi yang berlebihan. Bulu mata palsu, panjang dan melengkung. Dia cantik, tapi wajahnya lelah tidak segar. Miranti agak terkejut dan mencoba tersenyum ketika Nila berkata menunjuk ke arahnya setelah dibisiki Erna.

"Dia teman baik saya."

Rupanya Erna menanyakan siapa Miranti, pada Nila.

"Sebentar, ya Mir, aku mengantar zus Erna ini memilih baju". Mode yang diambbil dari atas meja. Ketika mereka asyik memilih masuklah dua orang perempuan memakai pakaian seragam rok dan mantelpak biru muda dan didalamnya memakai blus berwarna  putih, rapih dan menarik.

"Nah, itu Sri dan Ita sudah datang. Sri, coba antar zus Erna ini mengepas baju, kalau tidak cocok pilihkan yang lain". Setelah mengoper tugas pada Sri, Nila duduk lagi di sebelah Miranti.

"Sri dan Ita itu pegawaiku", Nila menerangkan.

"Aku tidak mengganggumu, Nila?" tanya Miranti.

"Sama sekali tidak, pekerjaan seperti ini kadang-kadang memuakkan, menghadapi perempuan-perempuan bawel, tapi kadang banyak yang menarik, menyenangkan juga. Dan Jangan kau pikir yang kesini semua perempuan kaya, terhormat. Banyak juga yang macam dia. tapi ini semua resiko yang harus kutelan. Bagiku siapa saja, pembeli harus kuhormati."

"Macam erna, maksudmu? Siapa dia?" tanya Miranti.

"Ya, dia wanita P tingkat tinggi."

"O ya?" Miranti terbeliak matanya. "Kau bisa memastikan?"

"Dia sendiri yang bercerita tentang dirinya. Dia langganan lama dan paling sering belanja. Dia percaya padaku."

"Dan sekarang kau bocorkan kepadaku dan setiap tamu tentu."

"Kau sahabatku bukan? Aku percaya padamu!" kata Nila.

"Heran wanita secantik itu!" guman Miranti.

"Dia seorang janda", tukas Nila.

Miranti terkesiap, wajahnya merah, tapi untung Nila tidak mengetahui perubahan itu, sebab ada tamu masuk. Laki-laki dan wanita, rupanya sepasang suami istri. Nila menyambut sebentar kemudian tugas itu diberikan pada Ita.

Erna muncul dari kamar pas diikuti Sri. Ia berjalan dengan lemah gemulai ke tempat duduk di mana Nila dan Miranti berada.

"Sudah ada yang cocok bajunya", tanya Nila ramah.

"Sudah, hanya harganya belum", Erna genit mengerdipkan matanya.

"Berapa harganya, Sri?" tanya Nila.

Sri menjawab dengan menyebutkan sejumlah uang yang sama dengan gaji pegawai menengah sebulan.

Miranti berpikir: "Sekaya itu si Erna ini."

"Untukmu boleh kupotong dua ribu lima ratus untuk taxi."

"Sebetulnya harga bagiku bukan soal, toh bukan aku yang bayar. Tolong tulis bonya saja!"

Ketika Sri repot membungkus baju dan menulis bon, Erna duduk dengan tenang menyilangkan kedua kakinya yang bagus dan mulus sambil merokok.

"Sebetulnya tidak enak belanja dengan laki-laki, apalagi suami sendiri. Lihatlah orang itu ngga jadi-jadi memilih baju", bisik Erna sambil mengerling pasangan suami istri yang sedang sibuk memilih baju.

"Yang wanita cocok yang laki-laki tidak. Yang laki-laki cocok yng wanita tidak, akhirnya baju tidak dibei, begitu pulang berkelahi."

"Kenapa mesti berkelahi?", tanya Nila.

"Sebab saling tersinggung seleranya saling tidak dihargai."

"Tapi itu tidak semua, banyak suami menyerahkan sepenuhnya soal memilih baju itu pada istrinya". Miranti mencampuri.

"Tapi kalau cocok toh dia akan ngomel juga!" Erna menjawab cepat.

"Ya, tapi tidak berkelahi, berunding dan akan ketemu satu pilihan yang keduanya cocok."

"Tapi itu sulit dan makan waktu. Rupanya suami nyonya orang yang amat bijaksana, berbahagialah."

"Semua sudah berlalu", kata Miranti hampir tidak terdengar.

"Maksud nyonya?" Erna tidak mengerti dan heran.

"Suamiku sudah meninggal", kata Miranti.

Setelah mengatakan inni wajah Miranti berubah penuh penyesalan. Ia menyesal bercerita tentang pribadinya pada orang seperti Erna. Tapi ini sudah terlanjur.

"Maafkan saya ... kalau begitu kita senasib, hanya bedanya zus ditinggal mati, saya ditinggal kawin."

"Jangan samakan aku dengan dirimu!" kata hati Miranti.

Nila bangkit berdiri sebab ada tamu lagi. Erna mengubah cara duduknya menghadap pada Miranti. Rupanya ia masih ingin bicara dengan orang yang dianggapnya punya status yang sama.

"Jadi janda banyak dukanya, ya zus!"

Miranti sama sekali tidak menjawab, dia hanya tersenyum enggan. Erna meneruskan lagi.

"Janda dianggap momok yang menakutkan."

"Sebab janda macam kamu merusak janda-janda lainnya". Miranti berkata hanya dalam hatinya. Erna membaca apa yang terlintas dalam pikiran Miranti saat itu.

"Ya, memang Anda janda terhormat karena ditinggal mati. Tapi apakah dianggap rendah seorang janda karena ditinggal kawin, padahal laki-laki itu yang nyeleweng! Main gila! Menyakiti! Siapakah seorang istri, atau perempuan mana mau ditinggal begitu saja oleh suaminya? Mungkin Zus bertanya kenapa sampai ditinggal dan nyeleweng. Saya dan bekas suami saya sama-sama kekurangan, tidak punya. Ada perempuan kaya mencintai dia, sedangkan saya miskin, dia bosan hidup miskin, lalu pergi dengan perempuan kaya itu dan menceraikan saya dan anak-anak. Begitu gampang, bukan? Jandakah yang salah?" Erna bercerita tanpa emmosi walau sinar dendam kadang terpancar dari matanya.

"Anak saya tiga orang masih kecil. Saya menanggung ayah dan ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan. Hidup makin sulit, kebutuhan makin meningkat. Perlu uang untuk obat, untuk jajan, untuk makan dan segala tetek bengek. Tak usah Zus tahu apa yang saya lakukan selanjutnya. Tapi Zus tahu, baik atau tidak baik, janda tetap dicurigai. Jadi kalaupun toh berbuat tidak baik, akhirnya buat saya sudah bukan soal. Semoga Zus lebih tabah dari saya. Saran saya, adalah lebih baik cepat kawin lagi kalau ada laki-laki yang jelas baik dan mau bertanggung jawab. Kita bukan tinggal di Barat dimana orang tidak pusing melihat perempuan hidup sendiri, apalagi perempuan itu cantik dan muda seperti Zus. Sedangkan bagi saya mungkin sudah tertutup", suara Erna menurun hampir-hampir tak terdengar. Dimatanya tampak tergenang air mata dan buru-buru ia mengambil saputangan dari tasnya kemudian bangkit dari duduknya berdiri tak acuh, menarik napas dan tertawa gelak-gelak yang ditahan, karena takut didengar tamu lainnya. Ia seolah mau melupakan. Tawanya berhenti, ia berkata lagi.

"Maafkan saya kalau saya mengganggu Zus, Saya tidak bermaksud demikian. Kalau ada janda nakal sebagian besar itu karena terpaksa, sebab tuntutan yang tak bbisa dielakkan. Tapi kalau ada istri terhormat nakal, dia itu benar nakal sampai ke sumsumnya. Apakah hal seperti ini lebih tinggi derajatnya? Da kukira Zus mengerti nakal maksud saya! Nakal, bukan nakal macam kenakalan anak-anak kita. Tapi nakal yang lebih hebat ha ... ha.." Erna pergi ke meja bayar dengan langkah ringan dimana Nila sedang sibuk menghitung uang. Mengangguk pada Miranti kemudian pergi.

Miranti tak tahu apa yang harus ia perbuat, duduknya gelisah seperti juga hatinya.

"Jangan heran Mira! Itu hanya sebagian dari ceritanya, kau jangan terpengaruh apa-apa". Tiba-tiba Nila sudah ada lagi di sisi Miranti.

"Perempuan itu tidak sepenuhnya salah. Ia ditinggal dalam kehancuran hatinya dan kemiskinan."

"Miranti, kau makan siang di sini, sebentar lagi Bang Syahrul datang. Dia akan senang ketemu dengan kau", kata Nila mengalihkan persoalan.

"Nila manis, bukan aku tak ingin ketemu suamimu, tapi aku janji pada ibuku sebelum makan siang aku di rumah."

"Masihkah kau diatur ibumu sampai saat ini?" selidik Nila.

"Tidak, Nil, tapi aku terbiasa mengatur diriku untuk mematuhi aturan ini" jawab Miranti. Nila tertawa menepuk bahu sahabatnya.

"Baiklah, kita kerumah dulu sebentar", kata Nila lagi. Keduanya dan masuk ke rumah Nila lagi melalui jalan dapur. Miranti melihat, alangkah beda antara dapur dengan ruang tamu. Walaupun semua sama, terdiri dari barang-barang yang bagus dan mahal. Dapur itu tampak kotor, ubinya butek, botol-botol bekas berserakan di mana-mana juga tempat bumbu di sana sini, kulit bawang dan sampah sayuran bertebaran. tempat cuci piring tampaknya licin bekas sabun dan agak menghitam karena kotoran yang menumpuk. Hal seperti ini tak akan ditemukan di rumah ibunya, bahkan dulu di rumahnya sendiri.

"Ada pap, Mira, kau seperti orang kebingungan?", tanya Nila.

"Tidak, tidak apa-apap," jawab Miranti gugup.

"Ah, jangan pura-pura Mir, aku tahu apa yang kau bingungkan, dapurku yang kotor ini!" kata Nila. Miranti menggelengkan kepalanya tersipu.

"Memang, mir, hidup seimbang dalam segala hal itu sukar. Kata-kata ini dulu kau ucapkan, karena kau melihat aku berpakaian selalu lebih mahal, bagus dan banyak, tetapi aku hanya pakai peniti kalau talikutangku putus. Untuk menjahitkannya aku malas dan kadang-kadang kau mau menolongku menjahitkannya."

"Apakah sekarang pu harus kubersihkan dapurmu?" olok Miranti. Nila tersenyum.

"Tegurlah aku seperti dulu, mir, aku masih sahabatmu dan persahabatan ini hendaknya kita bina terus. Lihatlah nanti, sepulang engkau, semua pelosok rumahku termasuk dapur ini akan kuopeni, tidak hanya ruang tamu saja. Berterus teranglah padaku, Mir, semua saranmu yang kupikir baik akan aku jalankan. Dan mungkin aku sukses begini pun, karena saranmu."

"Jangan berlebihan, Nila", Miranti berkata malu.

"Betul, Mira, ingatkah kau, sewaktu aku masih di Jogja, dalam suratku padamu yang mengatakan bahwa aku pingin jadi sarjana, tapi malas belajar dan aku kangen terus sama bang Syahrul. Dan waktu membalas suratku kau menulis, kalau Nila bisa menjalankan dua-duanya, berjalan sejajar itu baik, kalau tanggung-tanggung pilihlah salah satu, kawin atau belajar. Akibatnya aku pilih kawin dan kembali lagi ke sini. Lamaran Syahrul kuterima hingga saat ini."

"dan kau tidak menyesal, bukan?" tanya Miranti.

"Tentu saja tidak!" sahut Nila cepat.

"Mira, aku ada sesuatu untukmu". Nila masuk kamarnya dan keluar lagi dengan sebuah bungkusan. Atas saran Nila, miranti membuka bungkusan itu dan ketika dibuka sebuah tas tangan berwarna coklat kekuningan.

"Heran semua orang kini menyayangiku," Miranti berkata sambil mengagumi tas itu.

"Sejak dulu aku sayang padamu," Nila menjawab cepat.

Seperti rencana semula, Miranti akan belanja di supermarket yang ditunjukkan Nila, diantar supir mobilnya. Jam tangan menunjukkan pukul 12. Harri biasa pulang pukul 1 dari rumah sakit. Setelah mobil Nila kembali, Miranti masuk ke supermarket dan langsung ia menanyakan kepada seorang pramuria, dimana ia bisa menilpon Harri untuk menjemputnya saja.

Pamuria menunjuk sebuah ruangan agak tertutup, rupanya semacam kantor. Setelah minta izin dari salah satu pegawai di situ, Miranti menelpon Harri.

Sambil menanti telponnya diterima, mata Miranti melihat sekeliling ruangan. Di dalam ruangan itu ada pintu lagi, rupanya pintu masuk kamar direktur yang terpisah dari karyawannya. Sebab tepat di atas pintunya tertera tulisan jelas 'direktur'.

Pintu itu terbuka, keluarlah seorang lelaki berperawakan gemuk, tidak begitu tinggi, berpakaian necis, memakai dasi. Orang itu melihat ke arah Miranti yang sedang sibuk menilpon. Dan betapa terkejutnya Miranti. Dihentikan pembicaraannya dan lambat ditutupnya pesawat tilpon.

"Miranti! Apa kabar?" seru laki-laki sambil mengulurkan tangannya mendekat ke tempat dimana Miranti berdiri.

"Ridwan, kau di sini rupanya," kata Miranti perlahan dan menjabat tangan Ridwan. "Aku mau pinjam tilpon sebentar."

Ridwan seorag sarjana ekonomi. Dulu sering ke rumah Miranti dan pernah menyatakan cinta dan melamar Miranti. Setelah Miranti kawin, mereka hampir tidak pernah ketemu. Sekarang mereka ketemu lagi di sini, di supermarket milik ridwan. Ridwan mengajak Miranti masuk kamar kerjanya untuk ngobrol-ngobrol. Kawan lama yang tak pernah saling jumpa, begitu alasan Ridwan. Dan Miranti sukar menolak, apalagi Ridwan telah dengan begitu demonstratip membuka pintu ruang kerjanya dan bersikap mempersilahkan Miranti masuk. Miranti takut, penolakannya menjatuhkan Ridwan di depan mata pegawai-pegawainya.

Miranti melihat di dalam ruangan ini selain meja tulis tempat kerja Ridwan, juga ada satu perangkat kursi tamu yang mewah. Ruangan itu cukup besar juga. Miranti duduk, dan Ridwan segera menutupkan pintunya lagi. Ruangan itu cukup menyenangkan dan sejuk.

"Mau minum apa, Mir?" tegur Ridwan.

"Tidak, tidak usah minum. Aku harus cepat pulang. Sejak pagi saya di tempat Nila."

"Nila sahabatmu sejak dulu itu?" tanya Ridwan dan menyandarkan badannya di kursi seenaknya.

Miranti mengangguk. Ridwan bangkit menuju meja kerjanya, mengangkat pesawat tilpon.

"Coba bawa makanan kecil da 2 botol coca cola segar!" Ridwan memberi perintah, suaranya lantang dan keras. Ridwan duduk lagi.

"Maafkan, waktu suamimu meninggal saya ta bisa datang, saya di Tokyo. Berapa tahun sudah suamimu meninggal?" tanya Ridwan.

"Lebih 1 1/2 tahun", jawab Miranti singkat.

"Engkau masih secantik dulu", Ridwan menatap meneliti Miranti. Miranti gugup tersipu, untung pintu terbuka. Sekretaris Ridwan masuk membawa dua botol coca-cola dan lemper lalu keluar lagi sambil menutup pintu.

"Berapa anakmu?" tanya Ridwan.

"Dua, satu laki-laki satu perempuan, dan kau?" kata Miranti.

"Tiga laki-laki semua dan sudah besar-besar. Begitu kau tolak cintaku, aku terus kawin."

"Jangan kau singgung-singgung lagi apa yang sudah lalu", Miranti menutup pembicaraan Ridwan.

"Mana bisa aku lupakan, aku tidak pernah gagal dalam segala hal, karierku, sekolahku dan lainnya. Herannya dalam cinta aku gagal."

"Ridwan, aku harus belanja di tokomu, aku sudah harus pulang, kasihan anak-anakku", Miranti beridir.

"Minumlah dulu!" kata Ridwan.

Miranti meneguk coca cola sedikit. Dan melangkahkan kakinya  siap akan ke luar pintu. Ridwan mengalah ikut berdiri.

"Kau masih keras kepala seperti dulu". Ridwan menggelengkan kepalanya. Miranti tidak menjawab, tangannya menjangkau pintu. Tapi Ridwan menahan tangan itu,

"Aku yang buka", kata Ridwan. Miranti mundur.

"Aku akan mengantar kau belanja", kata Ridwan lagi.

"Tidak perlu, masa seorang direktur mengantar kan pembelinya sendiri."

"Tidak apa, kali ini si pembeli orang yang sangat istimewa buat si direktur", Ridwan membuka pintu itu.

Ridwan mendorong kereta yang telah penuh dengan belanjaan Miranti. Ia mengikuti terus di sisi Miranti yang berbelanja dengan gugup dan tidak tenang. Mata pegawai Ridwan mencuri-curi melihat mereka dengan penuh tanda-tanya. Semua itu menambah gugup dan kecut hati Miranti.

Setelah selesai Miranti berbelanja, Ridwan mendorong kereta itu ke tempat membungkus. Dan barang-barang dengan segera dibungkus rapih.

"Mengapa tidak dihitung dulu?" Miranti bertanya heran.

"Tidak usah dihitung. Barang-barang itu tak usah dibayar."

"Jangan begitu, Rid, kau dagang! Kau bisa bangkrut. Buka lagi kita hitung saja", Miranti protes.

"Jangan ribut-ribut di depan pegawaiku, Mira menurut sajalah, bagiku sebegini tidak ada arti apa-apa". Ridwan mengangkat hidungnya.

"Kalau begitu aku tidak akan belanja di sini lagi, kalau tadi aku tahu kau di sini, aku tidak akan ke sini."

"Kalau kau tak suka lagi ke sini, aku yang akan ke rumahmu, kau di rumah ibumu, kan?"

"Jangan kau lakukan itu!" hardik Miranti lemah.

"Paling tidak, aku akan menilponmu. Mana mobilmu?" tanya Ridwan.

"Aku akan naik taksi, tadinya aku akan minta tolong Harri menjemputku tapi sejak jam 11:00 dia sudah pulang", kata Miranti.

"Kau tak usah naik taxi, aku ada mobil, kuantar saja."

Miranti menolak usul itu tapi Ridwan mengajukan usul lain.

"Diantar supirku bagaimana?"

Miranti tidak dapat menolak lagi.

"Bawakan ini ke mobil mercedesku!" Ridwan memerintah seorang pegawainya untuk membawa belanjaan Miranti. Gaya sombong semacam inilah salah satu yang tak disetujui perasaan Miranti pada Ridwan sejak dulu.

Di mobil diam-diam hati Miranti menyesali dirinya. Mengapa dia harus belanja di tempat itu? Sebisanya tidak akan pernah untuk kedua kalinya.

Setelah pertemuan yang tidak disangka-sangka itu, Ridwan sering menilpon Miranti walaupun sekedar menanyakan Miranti sedang apa -- bagaimana anak-anak dan segala persoalan yang tidak perlu, dan Miranti selalu menjawab singkat dan tak acuh dan segera menutup pembicaraan.

Miranti menjahit baju boneka Maya, kedua anaknya berada dekat kakinya di bawah kursi. Bram menelungkup di lantai menggambar sebuah kapal terbang dan Maya sengan sungguh-sungguh memperhatikan apa yang dikerjakan kakaknya. Bram selalu mengatakan itu kapal terbang papa. Dan apabila ada kapal terbang lewat di udara terdengar mendengung-dengung, Bram berlari ke luar rumah, kepalanya menengadah ke atas da berseru:

"Papa! ... Papa!" tangannya melambai-lambai diikuti Maya yang juga ikut berteriak. Maya suka sekali meniru-niru semua perbuatan Bram. Miranti dan semua orang di rumah tidak pernah memberikan tanggapan apa-apa. Mereka membiarkan Bram dengan khayalannya sendiri. Miranti menghentikan jahitannya ketika mendengar telpon berdering. Ayahnya yang menerima.

"Mira ada telpon dari Ridwan", kata ayah Miranti.

"Mengapa Papa katakan saya ada! Saya tidak mau bicara dengan dia!"

"Mira tidak pernah janji itu dengan Papa, Papa tidak tahu dan tadi papa bilang kau ada. Demi nama baik Papa, kali ini terima saja", Miranti meletakkan jahitannya.

"Ridwan sudah kukatakan kau jangan menilponku lagi", kata Miranti begitu ia membuka pembicaraan.

"Aku hanya mau omong-omong saja denganmu, boleh kan?"

"Kita tidak pantas main telpon-telponan, Rid!"

"Kalau begitu kapan kau ada waktu? Kita tidak usah bicara dalam telpon kita bicara-bicara di Night Club? Di pantai? Atau di mana sajalah maumu! Kita bersenang-senang bersama. Aku bisa merasakan kesepianmu."

Miranti heran akan kelancangan Ridwan itu. Menghina benar orang ini. Anngapannya semua janda kesepian, lantas begitu mudah pergi dengan suami orang. Hebat sekali orang ini, menganggap hidup ini mudah dibeli dan tentang moral sudah kabur baginya. Karena Miranti tidak segera menjawab Ridwan meneruskan lagi bicaranya.

"Tidak usah takut, aku bisa menyimpan rahasia ini pada istriku dan aku pun punya banyak tempat rahasia!"

"Ridwan!!" ... Miranti terhenyak tak dapat meneruskan kata-katanya lagi.

"Mira, kau tak usah ragu-ragu. Aku tahu dari dulu kau tidak mencintaiku, tapi sebaliknya aku mencintaimu bahkan sampai sekarang ini. Kalau kau mau, aku tidak main-main denganmu. Kau mau kawin menjadi sitriku yang kedua? Atau kalau perlu istriku kuceraikan? ... Ah, kau tidak sekejam itu, aku tahu kau baik, hatimu lembut walau kau keras kepala."

"Ridwan, kau tak sedikit pun memberi kesempatan padaku untuk menjawab. Jangan kau pikir rencana gilamu itu bisa diterima olehku. Aku masih sehat dan masih punya harga diri. Kasihan uangmu telah menjadikan kau orang semacam ini", Miranti marah dan merasa terhina.

"Aku sungguhan, kanapa kau marah?"

"Tidak pantas kata-kata ini diucapkan oleh orang yang sudah punya anak istri!"

"Kenapa tidak? Dalam islam istri boleh empat."

"Kau hanya mengambil yang enaknya saja, apakah kau seorang islam yang baik dalam segala hal? Tidak malu, jangan sebodoh itu kamu menafsirkan agamamu sendiri."

"Jangan berdebat soal agama, Mira, aku melamarmu sungguh-sungguh dan aku punya hak, sebab kau seorang janda."

"Kalau toh aku harus kawin, bukan dengan orang semacam kau. Kau menghina aku dan kejandaanku."

"Aku tidak menghinamu, kau jangan marah", kata Ridwan.

"Sudahlah Ridwan, urus saja anak istrimu. Semoga kau menjadi suami yang baik". Miranti menutup pesawat telpon itu keras-keras. Napas Miranti terengah-engah menahan marah.

"Ya Tuhan, beri aku kesabaran, godaan ini beralasan. Aku dulu yang datang ketempatnya walaupun secara kebetulan."

Miranti menutup mukanya dengan kedua tangan untuk menenangkan hatinya. Tidak terdengar olehnya langkah sandal yang disertai kaki ibunya.

"Ada apa Mira? Kenapa mukamu pucat? Itu telpon dari siapa?" tanya ibunya. Miranti menceritakan semua pada ibunya. Si ibu mendengarkan dengan tenang dan tidak banyak memberi komentar sampai Miranti selesai.

"Apa kau kenal istrinya?"

"Tidak, Mam, sama sekali tidak."

"Sudahlah, bersyukurlah kau tidak tergoda untuk menghancukan rumah tangga orang lain, lupakan! Memang janda muda seperti kau harus tabah, harus tebal kuping, dan aku yang jadi ibu pun harus ikut menebalkan kuping. Seperti halnya kemarin dalam pertemuan arisan Rukun Tetangga di rumah ibu Nardi". Ibu Miranti sebenarnya segan menceritakan, tapi karena Miranti mendesak penasaran, beliau bercerita juga.

"Wkatu kau pergi ke tempat Nila, berangkat di jemput Fiat merah, pulang diantar Merci, Mama pikir semua orang tau persoalannya. Tidak apa, sebab memang kau tidak berbuat apa-apa. Tapi kalau tidak tau, orang jadi menduga-duga. Sebenarnya sih orang lain tidak akan pusing, tapi karena ada mulut usil macam ibu Imam sebelah ini maka jadilah pergunjingan. Akibatnya, rusaklah nama baik seseorang. Mungkin muka Mama waktu itu merah padam ketika ditanya bu Imam dengan suara keras.

"Bu Sosro! Kemana saja Jeng Mira? Waktu pagi dijempur Fiat pulangnya diantar Merci mentereng."

"Mama menjawab dengan terang-terangan keadaan sebenarnya. Mama yakin, banyak orang percaya dengan keterangan Mama, karena mereka mengenalmu. Tapi sifat manusia senang menggunjingkan hal yang tidak benar. Itu biasa. Tapi itu hak mereka, kita tidak bisa menyumpel mulut mereka satu per satu, tidak mungkin. Sebab itu kau harus selalu hati-hati dan waspada. Terhadap janda, dugaan orang bisa macam-macam dan banyak negatifnya dari pada positifnya."

"Kasihan, Mam, karena aku, Mama harus mendapat malu". Miranti menundukkan wajahnya.

"Kau tidak usah mengasihani Mama". Ibu Miranti berkata lembut.

"Apa saya harus mengasihani diri saya terus? Tidak, mam, saya harus berhenti mengasihani diri sendiri. Semua ini membuat saya lemah."

"Dan kalau lemah, kasihan anak-anakmu, bukan?" Miranti tersenyum pedih.

"Kau harus tabah, hati-hati dan waspada. Kalau semua itu sudah kau kuasai, kemudian jika di luar kemampuanmu masih saja ada persoalan, pasrahlah sama yang Kuasa. Sudahlah, lupakan semuanya, mari kita makan siang". Miranti berjalan ke ruang makan dibuntuti oleh anak perempuan tunggalnya. Miranti teringat kata-kata Erna, Janda dan perempuan panggilan, langganan toko pakaian Nila.

"Janda itu berbuat atau tidak berbuat sama saja."

Apakah orang macam Erna penyebab atau akibat, entahlah. Yang penting, aku bukan Erna dan semoga tidak akan pernah menjadi Erna.

Di meja makan, Harri menegur adiknya.

"Jangan lupa, nanti sore kita dinas lagi, kau tidak bosan lihat orang sakit, kan?"

Miranti menggelengkan kepalanya.

"Bagus, kalau rajin gajimu kutambah", kata Harri lagi.

"Berapa tambahnya?" tanya Miranti setengah tertawa.

"Semaumu."

"Semua pendapatanmu?"

"Ah, jangan ... nanti aku tidak bisa kawin, si Vidi jadi perawan tua". Semua di meja makan tertawa.

"Mira, tadi pagi di rumah sakit, aku ketemu kakak iparmu Rini dengan dua anaknya."

"Sakitkah anak-anaknya?" tanya Miranti.

"Tidak, hanya mau periksa darah. Kak Rini pesan padaku supaya memberi tahukan, Adrianto, adiknya minggu depan pulang, kalau bisa kau jemput."

"Apa betul Adrianto pulang? Jangan-jangan seperti tahun lalu bilang pulang, tahunya dia perpanjang lagi kerja di pabrik sana", kata Miranti.

"Bagus kan! Jadi dia sudah matang soal-soal produksi pabrik ... dan juga tambah duit?", kata Harri. Miranti mengangkat bahu.

"Sebaiknya kau ikut jemput adik suamimuya adikmu juga", usul ayah Miranti.

"Betul Papa, seperti begini", Harri menghentikan makannya dengan lagak menerangkan. "Vidi dulu temanmu, sekarang istriku, jadi Vidi juga kakakmu, kau harus hormat ya, Mir?"

Miranti tidak menjawab, diinjaknya kaki Harri di bawah meja.

"Au...!" Harri melepaskan sendoknya.

"Ada apa, Harri? Ibu marah kalau ada yang tidak tertib di meja makan."

"Ada kucing di kolong Mama", Harri menjawab dan meneruskan makannya. Miranti geli, diam-diam ia menundukkan kepalanya sambil mengunyah pisang.

"Ibu, ada tamu mau ketemu den Miranti". Tiba-tiba Mariam masuk di ruang makan.

Di ruang ada seorang perempuan muda yang tidak dikenal Miranti. Wajahnya cukup cantik, perawakannya tinggi, dan agak gemuk. Dia masih berdiri. Miranti mempersilahkan tamunya duduk.

"Sebetulnya saya tidak sudi untuk duduk pun", kata perempuan itu ketus.

"Anda mencari siapa?"

"Saya mau ketemu dengan Miranti!" jawabnya tegas.

"Ya, saya sendiri", Miranti menunjuk dadanya. Belum Miranti sempat berkata lain, wanita itu sudah berkata dengan suara keras.

"Telitilah dahulu teman bergaulmu, nona? Jangan mengganggu rumah tangga orang lain."

Miranti tidak menangkap apa yang dikatakan perempuan itu. Segala ejekan dan tuduhan dilontarkan padanya.

"Apa maksud nyonya sebenarnya datang kemari?" Miranti masih bersabar.

"Ridwan? Kau kenal Ridwan, bukan? Akhir-akhir ini dia sering tidak pulang, alasannya di toko sibuk, ternyata repot dengan kau. Dia sudah beranak istri? Saya istrinya, kau masih cantik, masih gadis, cari bujangan yang tidak punya tanggungan, daripada kau menyusahkan perempuan lain". Perempuan itu berlagak manasihati. Kini Miranti mulai menangkap persoalannya.

"Saya bisa merasakan perasaanmu, saya bukan gadis, saya pun punya anak."

"Punya anak? Punya suami? Terlalu!"

"Suami saya sudah meninggal!", Miranti menerangkan.

"Janda? Pantas!" kata wanita itu lagi-lagi mengejek. Miranti gemetar badannya menahan marah.

"Ke mana saja Anda selama ini? Sehingga suami sendiri tidak tahu kemana perginya? Dan nyonya mudah saja menuduh perempuan janda seperti saya", Miranti berkata lemah namun nadanya marah. Miranti meneruskan kata-katanya.

"Saya kenal suami nyonya jauh sebelum kau kenal dia. Kalau saya mau, sejak dulu-dulu saya kawin dengan dia. Tidak usah dulu kalau sekarang pun saya mau, hari ini pun saya bisa kawin dengan dia. Tapi itu tidak akan pernah terjadi, saya tidak menyukai suami nyonya. Sekarang nyonya datang pada saya dengan segala macam tuduhan. Ini tidak adil! Semua tuduhan Nyonya tidak beralasan: Saya bisa mengerti perasaanmu, tapi Anda tidak mengerti perasaan saya. Anda tidak bisa mengikat dia dan kini datang melemparkan kesalahan pada saya. Itu memang paling mudah", suara Miranti lambat tenang namun tegas dan terang.

Ny. Ridwan terkejut. Dia menyangka bahwa yang akan didampratnya adalah seorang perempuan yang ketakutan, tidak berwibawa. Ny Ridwan mulai menangis menutup mukanya. Ayah, ibu dan Harri mendengarkan semua itu, tapi mereka tetap tinggal di dalam. Mereka percaya Miranti bisa menyelesaikan persoalannya sensiri. Ibu Miranti ingin keluar membela anaknya. Tapi ayahnya melarang dengan isyarat.

"Tidak ada yang bisa Anda tuntut dari saya, tidak sedikit pun hak nyonya yang saya ganggu. Katakanlah persoalan apa sebenarnya yang dapat Anda selesaikan dengan saya", kata Miranti lagi. Ny. Ridwan menghapus air matanya dan berusaha tenang.

"Memang, sebenarnya Ridwan sudah sejak lama tidak betah di rumah. Habis mandi ganti pakaian, pergi lagi, hampir tidak pernah makan di rumah. Saya tahu dia sering pergi dengan teman-teman bisnisnya ke klab-klab malam, ke rumah pijat, tapi saya tidak punya kemampuan untuk melarangnya. Sebetulnya kami ini belum menemukan persesuaian satu denagn yang lain, kemudian saya tahu kau datang ke toko, kau sering ditilpon. Saya bisa bayangkan kau perempuan baik-baik. Ini menurut supirku. Ini jugalah ketakutan saya. Kalau suamiku hanya main-main dengan perempuan nakal, saya masih bisa membutakan mata dan menulikan kupingku. Tapi kalau sungguhan, aku tak dapat membayangkan bagaimana suami saya melupakan kami anak dan istrinya". Ny Ridwan menangis lagi.

"Dan sekarang Nyonya datang untuk memberi malu pada saya, melampiaskan dendam nyonya", kata Miranti kesal.

"Apa yang harus saya perbuat?" Perempuan itu bertanya dengan nada memohon, dan tangisnya tak berhenti. Miranti segera menjawab.

"Tidak ada yang bisa saya bantu, pulanglah! Percayalah pada diri Nyonya sendiri, bahwa Nyonya sanggup mengikap suami Anda. Jangan sekali-kali beranggapan diri nyonya tidak mampu. Itu tidak benar! Anda dikawini Ridwan dengan sah. Tidak ada yang harus ditakutkan, dan selama ini pun saya tidak pernah meladeni dia."

"Maafkalah saya!" Ny Ridwan berdiri memegng lengan Miranti. Miranti mengangguk dan memegang tangan perempuan itu.

"Memang saya harus berbuat banyak terhadap suami saya dengan ketidak mampuan saya memiliki seluruh hatinya. Mungkin dia menganggap saya tidak dibutuhkannya. Ini tidak mudah, tapi saya akan berusaha". Istri Ridwan berkata seolah pada dirinya sendiri.

Miranti mengantarkan Ny Ridwan sampai ke mobilnya. Dia lihat ibu Imam tetangganya melihat ke arahnya tapi Miranti pura-pura tidak melihat. Masuk rumah, di ruang tamu ayah, ibu dan Harri berdiri menyambut Miranti. Miranti mengangkat bahu menarik napas, terus berlari masuk kamar. Ibu Miranti memaklumi sekali perasaan Miranti. Kesan yang pahit membekas di hati anaknya. Ibu Miranti menceritakan duduk soalnya pada suaminya dan anak laki-lakinya yang masih berdiri kebingungan.

Dan waktu praktek sore harinya, Harri sama sekali tidak menyinggung-nyinggung soal itu lagi pada Miranti dan kebetulan mereka sangat sibuk. Pasien-pasiennya agak banyak. Kelelahan lahir dan batin melingkupi Miranti, tapi herannya dia sukar sekali memejamkan mata. Ia gelisah di tempat tidurnya yang terasa selalu bertambah luas dan besar sejak kematian suaminya.

Akhirnya ia bangkit. Ia lihat Bram dan Maya pulas sekali tidurnya. Miranti keluar kamar, duduk di kursi piano yang dipindahkan ayah tidak jauh dari kamarnya. Lambat-lambat dibukanya alat musik itu dan tak terasa tangannya telah menari-nari di atas tuts piano. Sayup terdengar di malam yang sunyi lagu yang indah merayap, melengking halus lembut, menerpa dinding rumah yang membisu.

"Strange on the shore", lagu yang penuh kenangan baginya bersama Hermanto almarhum. Tanpa terasa air mata telah berlinang di pipi, dan Miranti tahu, sejak tadi Harri telah berdiri di sampingnya. Ketika lagu selesai, Harri berulang-ulang bertepuk tangan perlahan.

"Kau masih pandai memainkannya Mira, dan bagus sekali" puji Harri.

"Terima kasih," bisik Miranti dan menghapus air matanya.

Teng ... teng ... lonceng di rumah besar berbunyi sebelas kali . Keduanya terdiam berpandangan, tidak ada yang berkata. Bunyi dentang itu terasa begitu bagus di telinga, menusuk lembut hati-hati mereka. Keduanya begitu hafal akan bunyi lonceng itu. Sejak mereka kanka-kanak, bahkan mungkin sejak mereka belum dilahirkan, jam itu sudah bergantung di sana. Setelah itu sunyi, hanya terdengar bunyi detak-detak jam dinding dan mereka juga tahu, bunyi itu mengikut loncengnya yang bergerak ke kiri ke kanan di balik kaca.

"Tidurlah, Mira malam telah larut, kau harus beristirahat, kau cape membantuku tadi sore." Mira mengangguk. Harri menolong menutupkan piano itu kembali.

Mentari Di Batas Kabut

KERAPIHAN hendaknya dimiliki setiap wanita dan kerapihan jangan diartikan sama dengan kemewahan.

Miranti memandangi dirinya di kaca hias di kamarnya. Rambutnya sudah disanggul rapih, make up wajahnya lembut dan tipis. Rok pemberian Nila pas di badannya, warnanya putih bersih, berkombinasi bola-bola hijau meriah.

Dia sudah siap. Hari ini Dimas Adrianto datang dari Jerman, dan atas usul saudara-saudaranya ia ikut menjemput adik iparnya itu, diantar Harri dan Vidi. Miranti menarik meja hiasnya, dikeluarkan kotak mungil, berisi seuntai mutiara pemberian Dimas yang dibawa Hermanto dulu sepulang dari Jerman.

"Sebaiknya kukenakan kalung ini. Bagaimanakah orangnya Dimas? Canggung juga aku sebab aku belum pernah mengenal adiknya Hermanto ini. Tapi kata papa adik Hermanto juga adikku", kata hati Miranti. Matanya meneliti letak kalung itu dilehernya yang jenjang.

Ia terus melompat keluar kamar. Ia sadar Harri dan Vidi tentu sudah jemu menunggu.

"Aduh cantik kau, Mira!" Vidi mengagumi Miranti. Harri hanya memandang dengan senyum bangga dan haru melihat adiknya. Miranti tersipu, mukanya merah dengan senyum malu ia berkata:

"Cantik, karena baju ini dari Nila"

"Ah, Nila sentimen padaku, aku tak pernah ditunjukkan baju yang bagus ini di tokonya", kata Vidi.

"Mama, ade Maya juga ikut?" tanya Bramanti yang sudah siap untuk ikut dengan mamanya. "Mama kita lihat kapal terbang, Mam? Ada kapal terbang Papa di sana?"

"Tidak, kita jemput Oom Dimas", elak Miranti.

"Jam berapa kapalnya, Mir?" tanya Vidi.

"Jam 10.30".

"Lebih baik kita berangkat sekarang. Di jalan selalu macet, kita terlambat nanti", usul Harri.

Di Lapangan terbang Halim Perdana Kusuma, semua sanak keluarganya Dimas sudah berkumpul. Rini, Budi dan kedua anak laki-lakinya Frans dan Lucky, ibu mertua Miranti, paman Kris, Bi Tia da Lusi.

Bram segera berlari-lari bergabung dengan Frans dan Lucky, mengintip dari kaca, melihat kesibukan orang-orang yang baru datang.

Jam sudah menunjukkan waktu di mana kapal terbang yang ditumpangi Dimas segera akan tiba. Budi menyarankan, semua naik ke atas bangunan tingkat dua agar dapat melihat pendaratan kapal terbang.

Penjempu-penjemput lain atau mungkin orang-orang yang hanya ingin lihat naik turunnya kapal terbang sudah banyak disana. Lusi memegangi anak-anak yang mau berdiri paling dekat, agar dengan jelas melihat pesawat.

Ibu mertua Miranti dan Rini melongokkan kepalanya dan memanjangkan lehernya ke udara di mana tampak sebuah pesawat makin merendah. Keduanya sudah gelisah dan kegelisahannya inipun menjalar kepada yang lainnya. Budi melihat jam tangannya: "Rupanya ini pesawat Dimas."

Sebuah pesawat 'Lufthansa Air Lines'. Semua tampak tegang dengan harap-harap cemas. Bram merapat pada mamanya. Dia terpesona melihat gemuruhnya deru burung raksasa itu. Untuk pertama kainya Bram melihat pesawat terbang dari dekat.

Pendaratan dilakukan dengan selamat. Beberapa menit setelah itu pintu pesawat terbuka, sebuah tangga keluar dari tubuh pesawat itu, penumpang satu per satu turun disongsong pramugarinya yang cantik, tegak berdiri di atas tangga melepas penumpang-penumpangnya.

"Itu dia Dimas!" teriak Paman Kris menunjuk seorang pemuda berstelan jas warna cream dengan paduan kemeja merah anggur yang gelap, berjalan di landasan dengan anggun dan tenang, menjinjing tas kerja di tangan kirinya dan tas yang agak besar di kananya.

"Dimas ... Dimas", Lusi berteriak tanpa malu-malu. Wajhnya penuh kerinduan. Dan pemuda itu kini tahu, dimana kelompok orang-orang yang menjemputnya. Tasnya ia kepitkan dan tangannya melambai membalas. Dimas mempercepat langkahnya. Dimas bertambah dekat, Kepalanya ia tengadahkan ke atas, kegembiraan tampak meliputi wajahnya.

Ibu Mertua Miranti tak dapat menahan rasa rindu dan keharuan. Beliau sibuk menghapus air matanya.

"Ayo kita ke bawah lagi, kita tunggu dia dibawah!" usul Paman Kris.

Pintu-pintu kaca membentang membatasi ruangan tunggu penjemput dan ruang pemeriksaan untuk penumpang yang baru datang. Lama juga Dimas Ardianto di dalam, mengurus surat-surat dan mengurus koper-koper bawaannya, bergiliran dengan penumpang lainnya.

Mata Miranti pun ikut melihat kesana, tiba-tiba hatinya berdegup keras. Hermanto hidup lagi? Tidak mungkin, tidak mungkin, tubuhnya ini sedikit lebih tinggi. Ditelusurinya tubuh itu, bayang-bayang suaminya terpampang nyata. Hati Miranti kecut, perasaannya bergolak, ada rasa nyeri terselip, dia berusaha menyembunyikannya. Dan ia tahu Dimas Adrianto akan segera keluar. Miranti gelisah.

"Jangan-jangan orang tahu aku dengan kegelisahanku. Mata inni harus kututup, mata ini yang tak dapat dibohongi". Miranti segera mengambil kaca mata hitamnya dan memakainya sekali.

Pintu kaca itu terbuka. Miranti menyingkir pelan-pelan, menjauh, memberi jalan pada yang lainnya yang akan menyongsong. Dimas Adrianto ke luar dengan tegap dan pasti. Wajahnya penuh keriangan di balik kerinduan yang amat sangat.

Ibu mertua Miranti memeluki Dimas dengan air mata berurai. A ir mata haru, rindu dan bahagia, setelah sekian lama anak bungsunya itu tak pernah bertemu. Miranti tanpa terasa makin menjauh memegang Bram pada bahunya, kemudian berdiri mematung memperhatikan.

Dimas silih berganti dipeluk Rini, Paman Kris, Bi Tia, juga Budi. Tampak Lusi bergayut mesra dan manja di lengan Dimas. Bram pun diam terpesona, matanya membelalak bingung melihat tawa dan tangis. Dia terus menatap tanpa berkedip dari kejauhan.

Tatapan mata anak itu seolah mempunyai radar, Dimas sadar bahwa ia diperhatikan. Denagn langkah sopan Dimas menerobos saudara-saudaranya berjalan kearah dimana Miranti dan Bram berada. Setengah langkah Dimas berhenti, dan agak membungkuk mengembangkan kedua tangannya, Dimas menyapa.

"Bram ...!"

Bram mengangakan mulutnya sejenak, bergetar ragu ... matanya tetap melihat pada Dimas. Tiba-tiba Bram melepaskan pegangan Miranti di bahunya dan ia berteriak.

"Papa ... ! Papa ... !" Ia berlari menghambur ke dalam pelukan Dimas. Dimas mendukung anak laki-laki kecil itu, dipeluknya kedadanya. Wajah Dimas merah padam menahan tangis. Semua terpaku melihat adegan itu, terlebih Miranti, perasaannya melayang, pekirannya tak tentu. Teriakkan Bram pada Dimas menhujam dihatinya.

Sambil mendukung Bram, Dimas menghampiri Miranti yang masih juga berdiri mematung. Dengan halus Dimas menegurnya dan mengulurkan tangan.

"Apa kabar, Miranti?"

Miranti menjabat tangan Dimas

"Baik", jawab Miranti gugup.

"Dimas, ini Vidi dan Harri". Rini mengingatkan.

Dimas menyalami mereka dengan senyum ramah.

Lapangan Halim akan ditinggalkan. Kendaraan-kendaraan sudah siap akan membawa mereka pulang, juga Dimas akan kembali ke tempat ibunya. Bram hendak diturunkan dari dukungannya diberikan pada mamanya.

"Papa mau naik kapal terbang lagi?" Bram curiga.

"Tidak Bram, Papa naik mobil itu ke rumah eyang".

Dimas menunjuk mobil yang dikemudi Budi.

"Bram ikut Papa ... Bram ikut", Bram mulai menangis.

"Tidak, Bram, kita pulang dulu ke rumah. Kasihan adik Maya sudah lama ditinggal, kita pulang dengan mobil Oom Ai", Miranti menolak tegas usul anaknya. Tiba-tiba saja rasa marah, kesal menyelinap di hatinya. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa?

Setengah paksa Bram diturunkan Miranti dari dukungan Dimas. Tangis Bram bertambah, ia tersedu-sedu. Yang lain tidak berusaha mencampuri, semua terpukau dengan ketegangan kecil itu.

"Bram sayang! Jangan menangis", bujuk Dimas sepenuh hati. "Papa ... Papa ..." isak Bram.

"Papa ...?" Bisik Miranti, matanya melirik runcing ke arah Dimas.

"Biarkanlah dia", kta Dimas memohon pada Miranti.

"Dengarkanlah Bram, nanti sore Papa datang ke rumah. Sekarang antar Eyang dulu ... diamlah ..."

"Tidak mungkin sore, tentu kau masih cape", kata Miranti.

"Bukan saya yang mengemudikan kapal terbang", jawab Dimas.

Dalam perjalanan pulang, Bram tertidur pulas di pelukan Miranti. Isak-isak halus kadang masih terdengar. Miranti menyapu keringat yang tertetesan  di kening Bram.

"Kasihan Bram", kata Vidi. Dia kemudian lebih merapat pada Harri, membisikkan sesuatu. Terdengar Harri menjawab:

"Ya memang dia 'handsome' dan 'mature'."

"Ganteng dan matang, siapa maksud Harri?" tanya hati Miranti.

Miranti tidak menanggapi. Dipandanginya wajah Bram yang tertidur itu, diciumnya lembut dan dipeluknya lagi lebih erat.

Sesampainya di rumah Bram dibaringkan di tempat tidurnya. Miranti duduk, di tepi tempat tidur, termenung, matanya nanar, terhenti di foto Hermanto yang ada di meja hiasnya. Bram tentu belum dapat membedakan. Dimas mirip Hermanto, kakaknya, Bram masih kecil saat itu ... saat terenggut kasih sayang ayahnya.

Teringat Dimas, kembali rasa kesal meliputi hatinya ... Tidak, tidak, suamiku tidak boleh diduakan, apalagi oleh Bram. Almarhum suamiku tidak ada yang menyamai dalam segala hal, siapapun, bahkan adiknya juga tidak". Lunglai ia meninggalkan kamar mencari Maya di rumah besar.

"Adik iparmu jadi datang?" tegur ibu Miranti.

"Ya, jadi datang", Miranti menjawab singkat. Ia tidak ingin membicarakan Dimas.

Ibu Miranti menurunkan Maya dari pangkuannya. Maya berlari merangkul kaki Miranti dan Miranti mengangkat anak itu, menciumi pipi montoknya dengan gemas. Miranti menyiapkan kursi serta alat-alat mengecat rambut. Ibunya duduk, dilehernya oleh Miranti dilingkarkan handuk kecil serta penutup bahu dari plastik warna hitam. Rambut ibu Miranti masih cukup tebal dan panjang, walau beliau sudah berumur setengah abad. Keindahan rambut ini diturunkan pada Miranti.

"Mama, uban Mama makin banyak saja!" Miranti meneliti rambut ibunya dan menyisirnya sekali.

"Ya, sebab aku makin tua ... kau tinggal mengecat saja, Mir, tadi pagi Mama sudah mencuci rambut."

Rambut itu dibagi menjadi empat bagian yang sama. Seluruh pelipis, kening serta leher dan kuping ibunya diberi cream agar cat tidak melekat di bagian itu. Bubuk cat rambut berwarna hitam buatan jepang itu diaduk rata dalam mangkuk gelas. Tangan Miranti mengenakan saru karet yang sebelumnya tangan itu dibubuhi talk.

"Bagaimana kabar adik iparmu?"

"Baik saja, Mam", jawab Miranti. "Memang Dimas kelihatan sehat segar dan tegap", kata hati Miranti. "Dimas kelihatan terlalu percaya pada dirinya sehingga tampaknya sedikit angkuh. Harri pernah bilang dia tidak seterbuka Hermanto, aku setuju pendapat ini."

"Mama, tadi Bram nangis ingin ikut Dimas ke tempat Ibu, tapi Dimas janji sore ini ia kemari"

"Ah, sebaik itu dia, tidak tunggu besok atau lusa, tentu rasa kangen pada saudara-saudara dan ibunya belum lagi lepas", kata ibu Miranti.

Miranti menyapukan sisa cat dari mangkuk pada seluruh rambut mamanya. Kemudian rambut itu ia tutupi dengan tutup plastik, akan dibiarkan beberapa saat agar obat cat rambut itu menyerap benar. Tutup plastik di bahu ibunya dibuka, tinggal handuk kecil saja.

"Pekerjaanmu rapih dan teliti", kata ibu Miranti puas.

"Ya, tidak percuma saya kursus dan berijazah. Saya berniat buka salon kalau kembali ke rumah." Nada suara Miranti lemah.

"Kau ada niat balik lagi kerumahmu?"

"Ya, Mam, kalau kontraknya sudah habis, saya tidak mau mengontrakkannya lagi."

"Apa kau tidak betah di rumah orang tuamu sendiri?"

"Ah, justru sebaliknya saya terlalu enak di sini. Saya tidak pernah menjadi dewasa, papa dan mama memanjakan kami."

Ibu Miranti tampak muram.

"Saya tidak bermaksud menyinggung papa dan mama", kata Miranti lagi dengan nada menyesal.

"Tidak, Mama tidak tersinggung, Mama hanya sedih. Mama haru dan mengerti. Kau sudah berani untuk hidup berumah tangga, sudah kau jalani, kau lakoni sendiri dan kau tetap ingin menyadari apa yang telah kau miliki, walau apapun keadaanmu. Orang tuamu ingin meringankan deritamu, atau mungkin kita ini mementingkan diri sendiri takut kesepian ditinggal kau dan cucuku." Ibu Miranti menangis terisak. Miranti memegang lengan ibunya.

"Maafkanlah saya Mama, saya selalu membuat Mama menangis."

Sambil menunggu cat rambut ini mengering, Mama ke dapur dulu, Mama masih punya kacang mete mentah. Biar digoreng si Mariam buat suguh pamanya Bram kalau sore ia jadi datang. Dan sebaiknya Mama juga siap-siap untuk bisa makan malam bersama-sama". Ibu Miranti menghapus air matanya.

Miranti tidak menanggapi. Dia diam, ia tahu salah satu kesenangan mamanya ialah menyuguhi tamu. Alat bekas mencat rambut dibereskannya dan kini ia menyiapkan alat-alat mencuci rambut, shampo, handuk kecil dan air panas di kamar mandi. Air panas dituangkan di ember plastik yang sudah berisi air dingin, dan hangatnya ia atur dengan menambah lagi air dinginnya. Sisa cat rambut harus dibuang dengan air hangat ini ke was bak, khusus untuk mencuci rambut dan sebuah kursi juga disiapkan. Terdengar bunyi langkah mendekat. Miranti hafal, itu langkah ayahnya.

"Papa sudah bangun?" tanya Miranti tersenyum.

"Ya, sudah dari tadi, Papa dari dapur. Mamamu menangis, ada apa?"

Miranti masih tersenyum ke luar kamar mandi, ayahnya mengikuti.

"Apakah rencanamu itu betul?" tanya ayah Miranti. Miranti menghentikan langkahnya. Wajah ayahnya begitu mengharap jawaban. Wajah seperti itu dulu tidak pernah Miranti lihat. Dulu ayahnya seorang yang berkepribadian kuat, sikapnya menentukan. Tapi sekarang wajah itu kadang-kadang seperti mengalah dan kehilangan semangat.

"Rencana apa, Papa?"

"Kau akan meninggalkan kami", jawab ayahnya.

"Saya tidak akan pernah meninggalkan papa dan mama", Miranti mengerutkan keningnya.

"Saya hanya ingin kembali ke rumah saya", kata Miranti lagi. Ibu Miranti datang dan berkata:

"Mama rasa, rambut ini sudah waktunya dicuci!"

Miranti meneliti rambut ibunya dan mengangguk mengiyakan.

"Semua sudah saya siapkan di kamar mandi, Mama."

"Papa, Mama, jangan berpikir yang bukan-bukan, manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang menentukan segalanya.""Itu benar," bisik ayahnya.

"Dan sekali lagi orang tua-tua seperti kita ini berdoa yang baik saja untuk anak-anaknya. Doa dan restu dan kalau bisa bantu", ayah Miranti berkata seolah pada dirinya sendiri.

PEPOHONAN tak bergoyang, sore itu tenang tak berangin. Namun angin itu berhembus, bergerak di hati Miranti. Terlebih bila Bram yang sejak bangun tidur siang bertanya terus padanya: "Papa betul mau datang, mama?" tanya itu terus berulang saat Bram dimandikan, saat Bram minum susu, saat Bram makan.

"Ya, mungkin dia datang", itu jawabnya. Dan jawab itu juga menetap untuk hatinya sendiri.

Selepas senja, ketika Miranti baru saja selesai sembahyang magrib, terdengar teriakan Bram membuka pintu.

"Papa datang ... papa datang!"

"Papa datang ... papa datang!" Maya ikut berteriak. Miranti berdiri di antara ayah ibunya yang terpesona.

Dimas mengangkat Bram dan Maya mencium keduanya. Mata ayah ibu Miranti berpandangan dan mengalihkan pandangan itu kearah Miranti. Pandangan pesona itu penuh tanya. Miranti meredup mengelengkankepala. Bram dan Maya diturunkan Dimas dan ia menyalami ayah ibu Miranti.

Detik pesona berlalu, dan kini keakraban sudah ada diantara mereka, Ayah, ibu dan Dimas. Miranti kagum, ia merasa terpojokkan. Ayah Miranti bicara banyak tentang kemajuan Jakarta, ibu kota negara. Semua itu di ya kan Dimas. Ia sendiri hampir lupa jalan, karena semua sudah berubah.

"Anak tentu kepanasan", tanya ibu Miranti membuka jendela ketika dilihat Dimas melap terus leher dan keningnya karena keringat.

"Rupanya badan saya belum terbiasa lagi dengan udara disini. Maafkan", suara Dimas tenang dan tersenyum.

"Sombong benar", kata hati Miranti.

"Senyum ini sinis, senyum Hermanto polos", kata hati Miranti lagi.

Miranti masuk ke dalam menyiapkan teh dan kacang mete. Terdengar olehnya gairah dan penuh semangat ayahnya bertanya tentang Jerman dimana Dimas sekian tahun berada.

Satu toples kacang; teh dan piring-piring kecil untuk tempat kacang mete diletakkan Miranti di atas meja tamu. Tak sadar matanya menangkap mata Dimas yang sedang memandangi dirinya. Begitu tenang dan tidak ragu, sementara ibu dan ayah Miranti sedang asyik melihat foto-foto yang dibawa Dimas dari Jerman. Dan Miranti bersyukur pada dirinya ia tidak menjadi gugup dengan pandangan itu.

"Minumlah Dimas", Miranti menyilahkan. Dimas mengangkat cangkir teh itu dan meminumnya. Semua itu dilakukannya dengan tenang, malah terlampau tenang menurut hati Miranti.

Miranti duduk, ikut serta melihat-lihat foto-foto itu. Dan sekali-kali ayah atau ibu Miranti bertanya pada Dimas dan Dimas menjawab selalu dengan sopan.

Ketika waktu makan malam tiba, Ibu Miranti dan Miranti segera menyiapkan meja.

"Tentu dia kangen makanan seperti ini", kata ibu Miranti sambil melap tepi piring yang berisi gado-gado.

"Adik suamimu itu simpatik", ibunya berkata lagi. Miranti terperangah sejenak memandang ibunya. Ia heran, mama yang berkata demikian.

"Siapa yang mengajarkan Bram memanggil Dimas, papa", tanya ibu Miranti.

"Bram sendiri", jawab Miranti. Pikirannya masih pada komentar ibunya tadi.

"Mungkin dia mengira itu ayahnya. Memang keduanya hampir mirip satu sama lain.

"Tapi Hermanto lebih baik dari dia", kata hati Miranti dan meletakkan tempat nasi dan sepiring besar daging empal goreng.

"Biarlah mama yang memberi tahu Dimas dan Papa", kata ibu Miranti lagi dan berjalan masuk ruangan tamu.

Sementara ibu dan ayah Miranti, juga Dimas dan Miranti makan malam, Bram dan Maya diberikan pada mbok Inah untuk dicuci kakinya dan mengganti pakaian dengan baju tidur.

Suasana di meja makan begitu penuh kekeluargaan. Ayah ibu Miranti tidak berhenti-henti bercakap-cakap dengan Dimas. Miranti hanya sekali-sekali menimpali. Dimas tetapopan, tenang dan tampak menyenangkan, tak satupun kesalahan yang dia buat di meja makan.

Miranti tahu ibunya meneliti hal ini.

Sedang keempatnya menikmati buah rambutan, Bram, Maya masuk ruangan sudah mengenakan baju tidur. Mereka berjalan berbimbingan tangan, lucu sekli. Dimas tersenyum, tak dapat menahan hatinya, ia berdiri menghampiri.

"Kalian sudah mau tidur?" Bram, tidak segera menjawab, matanya memandang eyang papanya. Miranti mengerti Bram belum lagi mau tidur dan minta bantuan eyang papa untuk mengundurkan waktu tidurnya.

"Bram dan Maya sudah harus tidur. Ini sudah lebih dari jam delapan", eyang mamanya memutuskan. Dan Miranti pun menduga, ibunya pasti berkata demikian. Semuanya mesti teratur, dan bukan Miranti yang mengatur walaupun dia setuju dengan peraturan itu.

"Ayo, Bram, Maya, katakan selamat malam", kata Miranti. Dimas tidak menunggu anak-anak itu mengucapkan selamat malam, ia mencium Bram dan Maya bergantian.

"Selamat tidur, Bram, Maya", kata Dimas.

"Eyang! Bram bobo", kata Bram.

"Yang! Maya bobbo", kata Maya mengikuti. Kedua eyang mengangguk tersenyum, eyang mama puas, cucunya patuh. Miranti menuntum Bram dan Maya mengantar mereka masuk kamar. Bram berbalik melihat Dimas.

"Papa nanti datang lagi?" Dimas menjawab, suaranya meyakinkan. Bram mengangguk dan mengikuti mamanya meninggalkan ruang makan itu.

"Sekarang mama bantu untuk berdoa", kata Miranti dan duduk di tepi tempat tidur. Doa malam sebelum tidur adalah suatu keharusan yang dibiasakan Miranti pada Bram dan Maya.

Bram mengatupkan kedua tangannya, matanya kadang terpejam kadang terbuka sambil membaca syahadat. Maya ikut berbuat apa yang dilakukan kakaknya, dan mengucapkan kata-kata yang bisa dia tangkap. Syahadat selesai diucapkan kini surat Al Fatihah. Bram belum hafal benar, kadang-kadang masih di betulkan Miranti. Bram kini mulai berdoa dengan sungguh-sungguh.

"Ya Tuhan mudah-mudahan Bram menjadi anak pinter, nurut sama mama, mudah-mudahan Bram, ade, mama, eyang papa, eyang mama, oom Ai, mbok Inah, bi Yam semua sehar".

"Mama!" Bram berhenti berdoa. "Bolehkah saya mendoakan Papa juga?" tanya Bram. Miranti serasa tercekik tenggorokannya. Ia memandang mbok Inah tampak bingung, ia cepat nunduk mencabuti tikar yang terlepas anyamannya.

"Mama! Bolehkah?" tanya Bram lagi.

"Bram, kau boleh mendoakan untuk setiap orang. Doa itu baik untuk setiap orang", jawab Miranti hampir menangis. Jawaban itu mungkin sukar dimengerti Bram, tapi hanya jawaban itulah yang bisa dikatakannya.

Bram tampak senang dan puas. Baginya kata 'boleh' itu sudah cukup. Bram mengatupkan kembali kedua tangannya, matanya di tutup.

"Tuhan, mudah-mudahan papa juga sehat", dan Bram menutup doanya dengan mengucapkan Allahu Akbar. Dia kemudian merebahkan badannya, Maya ikut-ikutan.

"Mbok Inah, tahu siapa yang dipanggilnya papa?" tanya Miranti pada mbok Inah yang tampak terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu.

"Ya, mbok tahu, itu kan adik almarhum den Hermanto", mbok Inah menunjuk dengan ibu jarinya keluar pintu kamar. Miranti diam termangu.

"Mbok pikir, tidak ada salahnya, paman itu sama juga dengan ayah. Sama-sama walinya, kalau adiknya den Hermanto tidak keberatan dipanggil, itu biarin saja den". Mbok Inah berkata agak takut, ia takut usulnya dianggap lancang. Usul ini begitu polos dan bersahaja, pikir Miranti.

Bram tertidur, wajahnya menggambarkan senyum. Matanya terkatup rapat, tak ada keresahan. Begitu pasrah dan memelas. Maya tidur menelungkup wajahnya tertutupi rambutnya yang ikal dan agak memerah. Miranti menyibakkan rambut itu ketepi, tampak pipinya yang gembung menggemaskan. Maya lebih suka ikut apa saja yang Bram lakukan. Saat ini bagi Maya belum ada keinginan yang menonjol. Bram sayang padanya, dia senang, dia suka kalau Bram senang.

Pintu kamar terbuka.

"Kau terlalu Mira, ada tamu ditinggal tidur!" ibu Miranti menggerutu.

"Anak jangan kebiasaan dikeloni!"

"Cepat keluar, adik iparmu itu mau pulang!" ibu Miranti keluar kamar lagi.

Jari-jari tangan Miranti membetulkan rambutnya yang kusut dan membereskan bajunya sedikit. Setengah enggan ia mengikuti ibunya ke luar kamar.

Dimas sudah berdiri dari kursinya siap berpamitan. Miranti, ibu dan ayahnya mengantar Dimas hingga beranda depan. Miranti merasa mata Dimas menangkap kelesuan wajah dan hatinya saat itu.

Dan bila malam itu mulai sunyi dan lebih kelam, Miranti tak ingin hanyut sendirian. Dan tanpa terdengar langkahnya ia duduk di belakang ayah dan ibunya yang sedang asyik mengikuti acara terakhir di televisi. Terdengar percakapan kedua orang tuannya.

"Harri kok belum pulang, apa dia tidak makan malam di rumah?"

"Biar saja toh, mama, anak laki-laki sudah setua itu soal makan saja dipikiri, tidak usah kau urus lagi."

"Oh, memang kau sih, pa? Maunya segala soal itu tidak diurus, tidak usah diatur. Hidupnya sembarangan."

Ayah Miranti berdiri membetulkan cahaya televisi. Beliau melihat Miranti duduk di situ.

"Apa papamu ini tidak punya aturan, Mir?" tanya ayah tertawa terkekeh dan duduk lagi. Miranti tidak berani menjawab apalagi ikut tertawa.

"Besar, kecil, tua, bocah, anak itu mesti mau diatur", kata ibu Miranti lagi.

"Diurus sihdiurus, tapi ngurusnya beda", jawab ayah Miranti .

Ayah ibunya kemudian asyik dengan acara televisi itu. Miranti tidak bisa berkonsentrasi penuh, ia tak ada keinginan untuk menonton, dan diam-diam, tanpa suara, lambat-lambat ia meninggalkan ruangan itu mengambil buku berjudul "Wanita" karangan Paul I Wellman, yang sudah separuh dibacanya. Miranti duduk di sudut dekat piano di muka kamarnya. Tangannya mulai membalik halaman buku itu. Matanya merayap menelusuri kata demi kata, kalimat demi kalimat, tapi anehnya semua terasa simpang siur dan tidak sepenuhnya membaca, pikirannya menerawang. Ia menutup mata. Buku itu masih terbuka di pangkuannya. Selintas terbayang tubuh laki-laki dengan dada yang tegap dan kukuh. Bayangan Dimas?  Hermanto? Dimas, ya Dimas, bayangan itu bayangan Dimas. "Mengapa kedatangan Dimas membuatku tidak tentram", keluh hatinya. "Karena Bramkah? Mungkin juga".

Miranti disadarkan oleh suara Harri di ruangan di mana ibu dan ayah Miranti berada. Ia mendengar ketiganya bercakap-cakap, dan suara televisi sudah menghilang. Harri terdengar bercerita sesuatu sambil tertawa-tawa, diikuti suara ayah dan ibunya.

"Oh, begitu gembiranya Harri. Bahagia sekali ia seharian dengan Vidi tunangannya". Terasa ada yang tidak enak menyelinap di hati Miranti. "Harri punya kebahagiaan dengan Vidi. Dan pada suatu ketika Harri akan terlena terus dengan kebahagiaan itu, tidak ada orang lain, tidak juga Miranti adiknya ini. Alangkah bahagianya Vidi, bencikah aku pada Vidi? Tidak, tidak sedikitpun. Dan tidak akan pernah ada benci pada Harri atau Vidi. Aku hanya takut kehilangan mereka seluruhnya. Berilah sedikit saja perhatian mereka buatku, itu sudah cukup". Dan Miranti mendengar lagi percakapan ayah ibu dan Harri demikian sungguh-sungguh, ada apa?

Mungkin rencana perkawinan. Tapi bukankah masih lama? Harri belum lagi dua tahun bekerja. Seperti rencana semula, setelah dua tahun baru kawin. Tapi itu urusan mereka. Miranti menutup buku bacaannya.

"Akan kedalamkah aku menemui Harri? Tidak usah! Aku tidak diperlukannya. Kalau perlu tentu ia mencariku. Lebih baik aku tidur". Miranti masuk kamarnya, dan menguncinya sekali lagi.

Lama juga Miranti terlentang bolak balik di tempat tidurnya yang dingin. Akhirnya kantuk menyerangnya. Antara sadar dan tidak dia mendengar langkah sepatu mendekat, langkah sepatu Harri. Harri mencoba membuka pintu kamar itu tapi terkunci. Dan bunyi langkah menjauhi kamar Miranti. Miranti tidur. Acara rutin ini merupakan bagian dari hidupnya yang sunyi.

Seperti biasa, setiap sore, kecuali hari kamis dan minggu, Miranti membantu Harri dengan pasien-pasiennya.

Ayah, ibu Miranti mengatakan, bahwa hampir setiap sore, pada waktu Miranti bekerja, Dimas datang mengajak Bram dan Maya putar-putar kota dengan mobil milik perusahaan dimana ia bekerja sebagai tenaga ahli. di pabrik obat joint antara Indonesia dengan Jerman.

Bram dan Maya pun bercerita padanya dengan senang dan gembira, bahwa mereka melihat lampu-lampu jalan berwarna-warni, bahwa mereka melihat patung-patung diperempatan-perempatan jalan, bahwa mereka melihat gedung-gedung tinggi. Juga mereka kadang mendapat ice cream, atau gula-gula atau makanan lainnya. Cerita-cerita ini yang ditampung kupingnya, hampir setiap selesai bekerja.

"Heran dia tidak pernah datang hari Kamis atau Minggu! Kenapa aku mesti heran? Dia datang bukan untuk aku, untuk anak-anakku".

"Dims - paman yang baik hm ... paman yang baik", pikir Miranti.

Sore ini hari Kamis, Harri sudah sejak tadi pergi ke rumah Vidi. Ayah dan ibu Miranti sudah bersiap-siap akan berangkat ke tempat famili yang anaknya baru dikhitankan. Ayah sibuk memanaskan mesin mobilnya, ibu Miranti duduk di teras rumah menanti dengan agak tidak sabar. Dandanannya rapi. Ibu Miranti masih cantik. Wajah Maya hampir serupa dengan neneknya ini. Miranti datang di teras se-selesai mandi, hanya belum mengganti baju kimononya dengan rok biasa.

"Mama, cantik, deh!" puji tulus Miranti dengan tersenyum.

"Papa tentu seneng".

"Ah, aku sudah tua, jangan ngurusi mama soal dandan, mama lihat kau sendiri sekarang malas dandan padahal masih muda, tidak pantas." Mata ibu Miranti menelusuri Miranti yang sudah mandi tapi belum nyisir dan ganti baju. Miranti tersipu mengelus rambutnya.

"mana anak-anak?" tanya ibu Miranti.

"Itu ke sana, ke taman dengan mbok Inah"; jawab Miranti menunjuk taman di sebrang jalan.

"Pa! Apa sudah beres?" ibu Miranti setengah berteriak bertanya pada suaminya.

"Sudah!" jawab ayag Miranti. Bertepatan dengan jawaban itu, masuk ke halaman sebuah mobil Kingswood berwarna platina.

"Itu dia Dimas" bisik ibu Miranti.

Miranti melihat ke arah yang dibisikkan ibunya. Debaran jantungnya terasa agak keras, tapi wajahnya dingin membeku.

"Mundur dulu, nak, bapak mau keluar", teriak ayah Miranti pada Dimas. Dimas tersenyum mengangguk sopan mematuhi permintaan itu. Dimas memarkir mobilnya di tepi jalan, dan turun menghampiri mobil ayah Miranti yang berhenti di mulut pagar, siap untuk berangkat. Tampak oleh Miranti dari teras rumah ibu dan ayahnya ngomong-ngomong sebentar dengan Dimas, kemudian berangkat.

Dimas kembali ke mobilnya dan menjalankannya masuk halamn rumah.

"Selamat sore!" tegur Dimas pada Miranti dan memasuki teras.

"Selamat sore, duduklah atau mau di dalam? jawab Miranti. Sebetulnya ia gugup dengan keadaan dirinya yang tidak siap untuk menyambut tamu. Bajunya kusut, rambutnya belum rapih. Tapi tidak ada keinginan untuk menggantinya.

"Peduli amat, mudah-mudahan Dimas tidak lama," pikir Miranti. Dimas menolak duduk di dalam, ia menarik kursi itu lalu duduk, menyalakan sebatang roko dengan korek api gas.

"Ini juga perbedaan, Hermanto sama sekali tidak merokok", kata hati Miranti.

"Mana anak-anak?"

Pertanyaan Dimas menyadarkan Miranti bahwa kali ini ia datang hari Kamis. Dan Miranti tidak perlu menjawab pertanyaan ini. Bram dan Maya diiringi mbok Inah berlarilari masuk rumah. Keriangan mewarnai suara anak-anak itu.

"Papa ... Papa! teriak Bram dan Maya.

Dimas mematikan rokoknya yang masih panjang itu. Ia berdiri menyambut anak-anak yang lari ke dalam pelukannya. Wajah Dimas yang tenang, berubah cerah penuh kegembiraan. Maya ditangan kananya Bram ditangan kiri. Bram dan Maya mencium pipi Dimas.

Miranti diam tidak bergerak, melihat memperhatikan tingkah laku anaknya. Senangkah hatinya melihat kemesraan-kemesraan itu?

"papa! Jalan-jala, yuk", ajak Bram diikuti Maya.

"Tidak, Bram, Maya", kata Miranti cepat. Sebelum Dimas sempat menjawab ajakan anak-anak itu. Maya dan Bram memandang kecewa dan penuh harap pada Miranti!

"Lihat hari sudah mulai gelap. Ini Magrib!" Miranti memperingatkan, dan anak-anak itu pasti ingat kata-kata eyang mama, kalau sudah Magrib anak-anak tidak boleh lagi bermain di luar rumah, pemali. Dan pemali, kata eyang, banyak setan berkeliaran.

"Pemali, Mama?" Tanya Bram.

Miranti menyembunyikan senyum mengangguk. Kini Bram dan Maya duduk dipangkuan Dimas. Hampir tak ada hentinya celoteh cerita Maya dan Bram bergantian. Dimas dengan sabar menanggapi dan menjawab segala pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mereka. Ketiganya tidak mempedulikan Miranti, seakan Miranti tidak ada di tempat itu. Miranti bangkit dari kursi, menyeret kursi untuk menarik perhatian. Ketiganya tetap asyik.

"Masuklah, kita duduk di dalam", kata Miranti, suaranya tertelan suara tertawa gelak-gelak Maya yang diganggu Dimas. Merasa tidak diacuhkan, Miranti masuk ke dalam rumah. Tanpa diduganya Dimas pun bangkit mengajak Bram dan Maya masuk mengikutinya.

Mbok Inah membawa dua cangkir kopi susu dan keripik tales untuk Dimas yang sedang melihat acara anak-anak di televisi dengan Bram dan Maya.

Sementara itu, Miranti sholat Magrib di kamar dan meneruskan membaca surat Al Qur'an. Selesai itu menukar pakaiannya. Kimononya dibuka, diganti dengan rok warna ungu muda berbunga hitam kecil-kecil. Disisir rambutnya, dijalin dan di bentuk kepang memanjang hingga pinggulnya. Pada ujung kepangnya diikat dengan gelang karet. Semua itu dilakukan dengan tidak tergesa. Miranti tidak berpikir ada tamu yang harus segera ditemui. Tidak sopan jika ditinggal terlalu lama.

"Ah, Dimas toh cukup dengan Bram dan Maya", pikirnya. Miranti tampak lebih berseri, tidak sekusut tadi. Dia keluar kamarnya dan dengan tidak menimbulkan suara, dan melangkah memasuki ruangan dimana Dimas, Bram dan Maya berada. Dimas duduk dalam satu kursi dengan kedua anak itu. Miranti kagum, anaknya bisa seanteng itu mengikuti acara televisi. Tangan Dimas memeluk Maya. Ruangan itu tidak terlalu terang hanya sebuah lampu duduk berkap merah, menyala redup di ujung kursi panjang di atas meja kecil. Lambat, tenang dan tak acuh.

Miranti duduk di kursi tak jauh dari tempat duduk mereka. Dimas berpaling ke arahnya sejenak. Tapi mata Miranti terus mengikuti juga acara televisi itu. Sebuah acara serial untuk anak sudah selesai.

"Minumlah, Dimas", Miranti menawarkan kopi susu yang sejak tadi belum disentuh Dimas. Bram tiba-tiba berdiri mengangkat stoples keripik tales. Ia berusaha dengan hati-hati

menyodorkan pada Dimas.

"Terima kasih, Bram", kata Dimas dan mengambil keripik itu sedikit. Bram menatap mata Dimas, mengangguk tersenyum, kemudian mengembalikan stoples itu di meja lagi.

Setelah itu Dimas terpaut lagi dengan acara televisi sambil mengunyah keripik tales itu perlahan-lahan.

"Ini satu lagi perbedaan. Hermanto tidak akan betah selama itu duduk diam-diam. Hermanto akan membuka percakapan dengan pembicaraan yang menyenangkan", kata hati Miranti. Si Maya kecil mulai gelisah, ia merengek menghampiri Miranti dan meletakkan kepalanya di pangkuan mamanya itu.

"Ade ngantuk?" tanya Miranti berbisik.

"Maya mau num cucu", rengek Mya.

Miranti bangkit menggendong Maya ke dapur membuatkan susu dalam botol. Maya kalau sudah minum susu biasanya pasti tidur. Rupanya kali ini pun ia ngantuk sekali. Maya merengek terus., Miranti berusaha membujuknya. Dimas datang dengan Bram.

"Mama, Bram juga mau minum susu", pinta Bram. Anak-anak Miranti biasa makan sore-sore, dan malam hanya minum susu saja. Miranti mendudukkan Maya di kursi dan ke dapur lagi. Ia melihat melihat mbok Inah sedang mencuci membersihkan sepatu Bram dan Maya yang kena lumpur di taman tadi, Miranti tidak menyuruh mbok Inah. Ia sendiri membuatkan susu untuk Bram di gelas dan meletakkan di atas meja dekat botol susu Maya. Maya sudah berhenti merengek, kini sedang asyik membuat rumah-rumahan dari balok-balok kayu dengan Dimas. Sambil menunggu sus itu agak dingin, Miranti masuk kamar menyiapkan tempat tidur dan baju tidur anak-anak.

"Mama, Mama?" teriak Bram memanggil.

"Ada apa Bram?" Miranti kembali lagi menghampiri.

"Bram boleh minum susunya?"

"Minumlah, itu sudah Mama sediakan, kau sudah besar dan bisa menolong sendiri, bukan?"

"Ya, tapi Papa bilang minta izin Mama dulu" kata Bram, sambil menghabiskan susunya.

Miranti melihat pada Dimas. Dimas tersenyum mengangkat bahu. Miranti juga ikut tersenyum mengangkat Maya ke pangkuannya. Dimas mengambil botol susu, diberikan pada Maya yang terus menyambut dan menghisapnya sekali sambil meletakkan kepalanya di dada Miranti yang segera dipeluknya.

"Dia akan tertidur", kata Miranti memberitahukan kebiasaan Maya. Bramanti mencari serbet di laci lemari makan dan melap mulutnya yang sedikit basah bekas susu.

"Betul, Bram sudah pandai menolong sendiri", komentar Dimas.

Bram tertawa kecil, ia bangga dengan pujian itu, dan meneruskan membangun rumah-rumahan dari balok tadi dengan Dimas.

Mata Maya mulai mengecil, tidak kuat untuk melek lagi. Rupanya begitu lucu, akhirnya jatuh tertidur pulas. Botol susu yang sudah kosong ditarik perlahan dari mulutnya. Miranti menidurkannya di kamar.

"Hu ... ah", Bram menguap berusaha menutup mulutnya dengan jari-jari tangannya yang gemuk dan meletakkan kepalanya di meja.

"Kalau ngantuk tidurlah", kata Dimas lembut mengusap kepala Bramanti. Anak itu turun dengan malas dari kursinya.

"Mama, Bram mau tidur," kata Bram ketika Miranti ada lagi di ruang itu. Miranti membimbing tangan Bram, Dimas membungkuk mencium pipi Bram.

"Selamat tidur, Bram."

Bram tidak menyahut, ia mengangguk lemah.

"Mama, Papa pulang?" bisik Bram melingkarkan badannya di tempat tidur.

"Belum, nanti kalau kau sudah tidur, dia pulang" jawab Miranti.

"Kenapa Papa pulang ya, Mam? Kenapa tidak tidur di sini saja?" tanya Bram juga berbisik dan kali ini matanya hampir terpejam. Miranti menepuk-nepuk kaki Bram, dia tidak menyahut dan Bram pun tidak minta pertanyaan dijawab. Dengkur halus Maya terdengar dan Bram pun sudah tertidur.

Di ruang makan Dimas tidak ada. Mariam sibuk manata meja untuk makan malam. Miranti mancari Dimas di ruang tamu. Begitu terdengar langkah Miranti datang, Dimas bangkit berdiri dari duduknya mengambil kunci mobil di meja.

"Saya mau pulang dulu, sebetulnya saya kesini dipesan bi Tia menyampaikan undangan. Lusi ulang tahun dan sekalian selamatan rumahnya yang baru. Tolong juga sampaikan pada Harri dan Vidi. Ayah ibu sudah tahu tadi di mobil".

"Terima kasih, nanti akan kusampaikan", sahut Miranti. Hanya itu yang dikatakan Miranti. Tidak ada kalimat apa pun sebagai basa basi agar Dimas tidak segera pulang. Hatinya terasa canggung berdua dengan Dimas tanpa seorangpun di rumah itu. Apa yang akan dibicarakan? Dimas sendiri sukar membuka percakapan.

"Ia sombong dan angkuh untuk memulai", pikir Miranti. Miranti mengantarkan Dimas hingga pintu. Dimuka pintu Dimas berhenti, berbalik menatap Miranti seperti ada yang akan dikatakannya. Suatu perasaan melambung dan bergetar mencari pegangan. Tersipu dan gugup ia ditatap demikian, tatapan yang tajam dan tenang.

"Mau apa, lancang benar adik iparku ini?" pikir Miranti. Pikiran ini sengaja dilintaskan sehingga kegugupan itu tertutup. Ketegangan di wajahnya tampak.

"Saya tak usah diantarkan sampai depan, selamat malam!" kata Dimas. Miranti tertegun juga hatinya. Suara itu begitu lembut namun mantap dan penuh wibawa. Ia hanya mengangguk. Dimas berlalu.

****

MALAM itu Miranti makan sendirian. Rumah besar itu terasa lengang, ia menyuap makanannya lambat-lambat. Kesunyian itu seolah menjadi satu dengan dirinya. Miranti melihat jam dinding, pukul delapan seperempat.

"Papa dan mama masih lama, tentu", pikir Miranti. Mbok Inah masuk dari depan dengan botol-botol yangsudah penuh dan dimasukkan ke dalam lemari es.

"Mbok, makanlah dengan Bi Yam, saya sudah selesai. Mama dan papa tidak makan di rumah. Bereskan saja meja ini. Tinggalkan piring punya Harri, barangkali dia belum makan".

"Nah, itu den Harri datang", kata mbok Inah ketika mendengar deru mobil di halaman rumah.

Hampir seisi rumah hafal deru mobil Honda Civic punya Vidi yang sering dipinjam Harri. Mbok Inah lari ke depan membukakan pintu. Harri masuk sambil bersiul-siul kecil memutar-mutar kunsi mobil.

"Kok sepi Mbok?" tanya Harri.

"Ibu bapak kondangan", jawab mbok Inah.

Harri masuk ruang makan memukul perlahan pundak Miranti.

"Sudah makan?" tanya Harri. Miranti mengangguk.

"Aku juga sudah, dirumah Vidi", kata Harri dan menarik kursi lalu duduk, dan menusuk pepaya yang tidak dihabiskan Miranti dengan garpu makannya.

"Pakai mobil Vidi lagi, ya?" tanya Miranti.

"Ya, gimana? Aku sendiri belum kebeli mobil. Enak Dimas, ya? Mobil dinasnya keren", sahut Harri. Miranti mengangkat bahu dan berkata:

"Tadi dia ke sini mengantar undangan ulang tahun Lusi, malam minggu".

"Malam Minggu? Ah, kenapa persis sekali?" Harri terkejut dan melanjutkan.

"Malam Minggu ini pun ibu Vidi bikin pesta, kita juga di undang, selamatan hari kawin ayah dan ibunya."

"Sudahlah, kita atur saja nanti. Kembali ke soal mobil tadi, kalau kau ngirit sedikit kukira kau bisa beli mobil", ejek Miranti.

"Bagaimana bisa ngirit, buat gajimu saja sudah selangit", Harri balas mengejek. Miranti tertawa sumbang.

"Itulah kalau menggaji pegawai adik sendiri. tapi sabarlah bulan depan kuajukan permohonan berhenti". Tangan Miranti melipat-lipat serbet di meja.

"Berhenti? Kalau sudah bosan sih terserah. hei, Mir, kudengar dari mama kau tidak akan mengontrakkan rumahmu lagi?"

"Permohonan berhentiku sehubungan dengan pertanyaanmu".

"Maksudmu?" tanya Harri curiga.

"Aku mau pulang ke rumahku sendiri", jawab Miranti.

"Aku sudah menduga jawabanmu. Mama sudah menceritakannya padaku, kau terlalu menurutkan kata hati", kata Harri.

"Kata hatiku sudah kupertimbangkan", jawab Miranti tegas. "Ayah mendidik kita sejak kecil untuk bisa berdiri sendiri".

"Keadaanmu sudah lain", suara Harri menurun.

"Aku sudah terlalu lama melibatkan diri pada papa dan mama. Aku kasihan, mereka sudah tua, jangan susah lagi ikut mendidik anak-anakku. Aku tidak bisa jadi dewasa, sedangkan Bram dan Maya tumbuh menjadi besar membutuhkan ibu yang benar-benar dewasa, karena aku mencakup juga sebagai ayah mereka. Semoga aku bisa menempuh hari-hariku selanjutnya di atas kaki dan tanggung jawabku sendiri. Bukankah untuk memulai sesuatu itu dibutuhkan dahulu keberanian?"

Harri tidak menjawab. Ia menunduk memutar-mutar sendok.

"Beranikah kau hidu sendiri?" tanya Harri.

"Aku harap, aku berani" jawab Miranti ini merupakan juga doa buat hatinya sendiri.

Rumah bu Tia, adik ibu mertua Miranti memang bagus, sangat bagus. Bangunannya tampak kukuh dengan model yang paling mutakhir. Di halaman rumah itu terhampar kebun yang diatur demikian asri dan menyentuh.

Menurut cerita Rini, kebun di halaman dan taman belakang rumah itu ditangani oleh seorang ahli lulusan sekolah Arsitektur Pertamanan. Miranti diantar ayah dan ibunya datang di pesta rumah baru bi Tia ini. Sedangkan Harri tidak bisa datang sebab langsung ke rumah Vidi, rencana ayah dan ibu Miranti pun hanya sebentar di sini, dan langsung akan memenuhi undangan orang tuanya Vidi.

Ruangan yang mewah dan mentereng itu telah penuh oleh tamu, baik teman Lusi yang sedang ulang tahun, juga taman-teman ayah ibunya.

Kecantikan Miranti belum sirna dimakan waktu dan kesusahannya. Tamu-tamu sempat menoleh kagum ke arah Miranti dengan ayah dan ibunya masuk. Rini menyambutnya riang. Dipeluknya adik iparnya.

"Miranti, alangkah cantiknya kau ini", bisik Rini. Matanya bersinar-sinar, terpesona meneliti Miranti yang tersipu-sipu malu.

Miranti mengenakan baju oleh-oleh Budi dari Tokyo dulu. Potongan leher baju ini agak rendah sehingga lehernya yang jenjang tampak, dan di leher itu terurai kalung mutiara pemberian Dimas. Semua itu dikenakan demi menyenangkan yang memberinya. Sambutan paman Kris, bi Tia dan Lusi pun tidak  kalah hangatnya. Mereka tampak senang dengan datangnya ayah ibu Miranti. Ibu mertua Miranti duduk di salah satu pojok ruangan itu dengan cucunya Frans dan Lucky. Ayah ibu Miranti menghampiri beliau dan duduk di sana. Lusi menyeret Miranti dan berbisik:

"Teman-temanku memuji, mbak cantik dan tidak percaya kalau Mbak ini sudah punya anak dua".

"Memang orang macam saya inni perlu dihibur terus", elak Miranti.

"Kalau tidak percaya ayo ketempat teman-temanku di sana!" ajak Lusi semangat.

"Ah tidak usah, ini hadiah dari mbak". Miranti menyodorkan sebuah bungkusan kecil ke tangan Lusi.

"Kenapa pake kasih kado segala, sih!" kata Lusi dan mencium pipi Miranti.

"Terima kasih ya, Mbak. Oh ya dimana mbak Mira mau duduk? kata Lusi. Ia sadar, tamunya sejak tadi belum duduk. dan Miranti sendiri pun bingung. "Dimana aku harus duduk? Dengan teman-teman Lusi? Ah tidak mungkin. Dengan teman-teman bi Tia? Ah, juga tidak." Mengapa kecanggungan dan kebingungan semacam ini sering melanda dirinya. Ia tidak tahu lagi dimana tempat atau lingkungan yang benar dan tepat untuk dirinya itu. Ia seolah kehilangan tempat untuk berpijak.

"Mbak Mira, ayo kita duduk!" ajak Lusi ramah, ketika dilihatnya Miranti termangu-mangu. Untuk menutupi kebingungan hatinya, Miranti berkata:

"Saya mencari Kak Rin!"

"Ayo saya antar," kata Lusi.

"Biarlah saya bisa mencari jalan sendiri, temani saja teman-temanmu", sahut Miranti berjalan ke arah ruang belakang. Hatinya bersyukur, Rini ada di dapur sedang membantu menyiapkan makanan. Ia merasa aman lepas dari kecanggungan.

"Lama benar Budi pergi" kata Rini membicarakan suaminya.

"Ke mana dia?" tanya Miranti

"Pergi dengan Dimas menyusul anak-anak band. Si Lusi minta diadakan band", kata Rini sinis. Sebetulnya Rini tidak usah ikut sibuk menyiapkan makanan, sebab makanan di pesan dari restoran lengkap dengan pelayannya sekali. Hanya bi Tia minta Rini ikut mengawasi saja. Miranti membantu Rini menata makanan di atas meja. Budi datang dan memberi salam Miranti.

"Sudah siap?" tanya Rini.

Budi mengangguk dan menunjuk alat-alat musik di salah satu sudut ruangan yang berlampu remang-remang dan samar. Dan tampak Dimas sibuk mengatur anak-anak band meletakkan alat-alat musiknya. Ia berdiri membelakangi. Miranti tidak begitu memperhatikan percakapan Rini dan Budi. Ia meninggalkan ruangan itu, ke dapur dan masuk lagi membawa satu piring besar husarensla yang sudah dihias indah dan meletakkannya di meja. Mata hatinya merasa bahwa dari kesuraman lampu tempat anak-anak musik itu berkumpul, ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikannya. Magnit mata itu membuat ia gemetar. Kecemasan, lagi-lagi melanda dirinya, tak sadar ia melihat ke arah mata itu dan betapa terperana hatinya.

 "Dimaskah itu?" Dimas pun tampak gugup ketika Miranti melihat kearahnya. Tapi untung kesuraman lampu membantu menutupi kegugupannya, dan Miranti tidak tahu hal ini. Yang ia lihat Dimas datang menghampirinya dan menegur sopan.

"Sudah lama?"

"Cukupan", jawab Miranti

"Mana Bram dan Maya?" tanya Dimas lagi.

"Di rumah".

"Sayang", kata Dimas lemah wajahnya penuh sesal.

"Ya, sebab ini bukan pesta untuk anak-anak". Miranti akan menjawab ini. Tapi belum sempat ia menjawab tiba-tiba Lusi datang bergayut di lengan Dimas. Walaupun Lusi sudah memakai sepatu yang bertumit tinggi, untuk dapat membisiki telinga Dimas, masih perlu juga ia berjingkat. Dimas yang dibisiki tersenyum dan mengangkat bahu.

"Ayo dong, Dimas", bujuk Lusi manja. Dimas setengah dipaksa dituntun Lusi ke tempat kelompok di mana teman-teman Lusi berada. Miranti tercenung sejenak dan perlahan duduk dekat Rini dan Budi. Lusi sibuk mengenalkan Dimas pada teman-temannya.

"Lihat, si Lusi tingkahnya", Rini menunjuk dengan matanya.

"Itu kan Lily yang memakai baju kuning keemasan?" tanya Budi.

"Ada apa dengan dia", tanya Miranti nimbrung.

"Lusi mau menjodohkan Dimas dengan dia", kata Rini. Miranti melihat Lily gadis yang amat cantik, tinggi langsing memang sangat cocok, ideal untuk Dimas.

"Mudah-mudahan saja berhasil", kata Miranti. Tapi herannya hati kecil Miranti merasa tidak sungguhan terhadap ucapan itu.

"Mm ... Dimas", Rini mengangkat bahu tersenyum mengejek.

Sehabis acara makan, ayah, ibu Miranti pamitan akan ke rumah Vidi. Miranti tidak ikut serta. Ia tinggal di pesta itu karena ditahan oleh saudara-saudaranya, dan Miranti sukar untuk menolak. Band sudah sejak tadi memainkan beberapa lagu dan penyanyi-penyanyinya bergantian mengalunkan suara mengisi malam pesta yang cukup meriah. Lusi, ayah dan ibunya tampak puas dan bahagia. Dan pasangan-pasangan mulai satu-satu turun melantai mengikuti masik yang indah syahdu dan sentimentil, kadang berubah menjadi panas dan merangsang. Ibu mertua Miranti sudah tidak nampak duduk di sana, juga si kecil Frans dan Lucky. Mungkin sudah masuk kamar dan tidur. Acara itu bukan untuk mereka. Dan Miranti pun merasa acara itu tidak juga baginya. Segala gelak tawa keramaian dan kemeriahan saat itu membuat Miranti semakin terasing, sepi hatinya tersisih. Aku penghambat Rini dan Budi untuk ikut turun melantai. Mereka hanya duduk basa-basi menemaniku.

"Kak Rin, turunlah", kata Miranti menyuruh Rini berdansa.

"Nanti, kau juga turun sama Budi, ya?" kata Rini.

"Gampang deh", jawab Miranti dengan senyum jenaka menyenangkan hati Rini.

Rini dan Budi berpelukan mesra berdansa bergerak ke tengah ruangan mengikuti irama waltz instrumentalia. Tampak Dimas berdansa dengan Lusi, kemudian Lily. Miranti melihat keduanya bercakap-cakap begitu mesra dan kadang tampak Lily tertawa geli dengan manja meletakkan kepalanya di bahu Dimas. Dimas tersenyum-senyum. Bi Tia dengan paman Kris, semua berpasangan. Miranti sendiri tidak mengerti mengapa hatinya terasa pedih dan matanya berkaca-kaca. Ia benci pada dirinya. Semoga tidak ada yang melihat, untung ruangan ini suram malah hampir gelap. Ada seorang teman Lusi, laki-laki memberanikan diri mengajak Miranti turun, Miranti menolak dengan sopan.

"Wah, Gus gagal", bisik temannya yang lain, bisik yang nyaring. Yang dipanggil Gus, tampak kecewa, berlalu. Perlahan Miranti bangkit menyelinap ke ruang belakang liwat dapur, turun ke taman tanpa ada yang mengetahui. Ditelusurinya jalan-jalan kecil diantara tanaman-tanaman indah itu ... Ia sampai di tepi kolam yang diberi lampu merah dan biru di sudut-sudutnya. Diantara dedaunan ada air yang mengalir bergemericik, tertimpa batu-batu yang disusun demikian hingga tampak asli.

"Oh, indah sekali taman ini", hibur hati Miranti. Beberapa ekor ikan mas yang berekor panjang seperti mas koki tampak berenang menghampiri Miranti, warnanya terbias, amat indah kena sinar lampu-lampu kolam. Juga bunga teratai terangguk, daunnya kadang bergerak terdorong oleh ikan-ikan itu.

Samar terdengar suara Lusi di mike meminta Dimas untuk main piano. Herannya hati Miranti pun berharap agar Dimas memenuhi permintaan itu. Ada bangku di beton dekat kolam. Miranti duduk di situ. Tuts piano muali terdengar disentuh jari, dan jari-jari itu kini terbayang menarinari mengeluarkan musik yang syahdu melengking, merayap tembus melalui dinding rumah, singgah di telinga dan hati Miranti yang duduk sendiri di taman itu. Halus lembut dan sanggup membuat Miranti tercekam keharuan.

'And I love you so'

'And I can do so much'

Miranti mengenal lagu ini. Miranti membayangkan Dimas memainkan, tapi bayangan itu kabur dengan bayangan Hermanto. Memang keduanya hampir sama, hati Miranti membenarkan. Terlintas di hatinya rasa ketidakenakan ketika Dimas berpelukan mesra dengan Lily. Ia benci pada dirinya, mengapa dirinya mesti merasa begini? Dimas sayang pada anak-anakku. Mereka masih punya hubungan darah yang sama. Aku orang lain, hanya orang lain. Bunyi piano mengakhiri lagu dengan keakhiran yang memukau dan suara tepuk tangan riuh.

"Bagus dan indah lagu itu", bisik hati Miranti. Suara-suara tertawa terbayang oleh Miranti. Dimas digelayuti manja oleh Lusi. Ketika band berkumandang, Miranti membayangkan lagi semua turun melantai, juga Dimas mendekap Lily mesra. Dan semua bayangan itu membuat hati Miranti tersudutkan. Bunyi cenkerik di kebun itu masih sanggup megtasi suara musik dari dalam, juga bunyi gemericik air kolam meningkahi. Kembali Miranti melihat bunga teratai terangguk-angguk kena tetsan air yang memecah, menimpah batu-batu di atasnya. Miranti menengadah ke langit biru yang penuh ditaburi bintang. Keharuan mengepung dirinya, matanya terasa panas mengambang, dan tak terasa air mata telah mengalir deras melalui pipinya. Tapi kali ini ia membiarkan saj, tak ada keinginan untuk menghapus dan menyembunyikan tangisnya. Duduknya tidak bergerak bagai patung dewi malam, dikelilingi rimbunnya tumbuhan, pekatnya alam dan sejuknya hawa. Debar jantungnya berdetak keras, terdengar bunyi langkah di belakangnya. Ia segera mengenal langkah itu.

"Anti!"

"Anti?"... hanya Hermanto yang memanggilku begini. Lambat Miranti membalikkan badannya.

"Maafkan aku mengejutkanmu" ... suara itu lembut dan mantap. Miranti menggelengkan kepalanya. Wajahnya masih penuh air mata, ia berusaha menenangkan degup hatinya. Dimas mengeluarkan sapu tangan dari balik jasnya, dan hati-hati diusapnya air mata Miranti itu. Kelembutan, kasih sayang, kehangatan, menyentuh batin Miranti. Ia tersedan. Tak tertahankan, air matanya tambah berurai. Ia menunduk menutupi wajahnya. Berusaha menahan tangis. Dimas memegang bahu Miranti dan membiarkan tangis Miranti beberapa saat.

"Masuklah ke dalam lagi, di luar dingin", ajak Dimas. Miranti menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan tangisnya, menarik naps dalam-dalam.

"Dimas, aku mau pulang", pinta Miranti lirih.

"Baiklah, aku antarkan. Tunggu sebentar disini, aku akan mengambil kunis mobil dulu."

"Pakailah jas ini, badanmu mengigi", Dimas membuka jasnya diselimutkan di bahu Miranti. Miranti tidak menolak, ia memang merasa dingin. Dimas masuk rumah dan kembali lagi dengan kunci di tangannya.

"Aku belum pamit", kata Miranti.

"Tidak usah, nanti mereka kecewa kau pulang. Nanti aku pamitkan, aku segera kembali ke sini. Kita lewat pintu samping", ajak Dimas.

"Dimas, apakah aku mengganggumu?"

"Mengganggu?" tanya Dimas.

"Ya tentu Lusi dan .. eh ... mencarimu", kata Miranti patah-patah.

"Dan siapa?"

"Kawabmu".

"Tidak ada kawanku di pesta ini, ayolah!" Dimas membimbing Miranti masuk ke dalam mobil.

Dalam perjalanan pulang tidak ada percakapan, hanya sekali Dimas bertanya:

"Sukakah kau akan kalung mutiara itu?" Miranti memegang kalung dilehernya dan mengangguk. Setelah itu keduanya membisu, tak ada yang mau mulai membuka kat. Mata Dimas tajam memandang jalan raya di depannya, rahangnya yang kuat terkatup rapat. Tangannya tangkas mengemudikan dan memainkan perseneleng mobil. Miranti mencuri pandang meneliti wajah profil Dimas dari samping. Hatinya berkata:

"Alangkah bahagia wanita yang memiliki Dimas, seperti juga aku pernah memiliki Hermanto."

Esok harinya sehabis pesta, Rini menelpon Miranti menanyakan kesehatannya. Rupanya Dimas mengatakan pada mereka, Miranti pulang karena sakit. Dan Miranti tersenyum sendiri. Ada kegembiraan yang tak bisa ditolak hatinya, walau ia sendiri tidak mengerti, ketika mendengar kabar dari Rini yang menceritakan sambil ngobmel-ngomel, bahwa Dimas sehabis mengantarnya pulang tidak kembali lagi ke pesta, langsung pulang ke rumah ibunya dan ngorok tidur.

Biarkan Aku Memilikimu

ANGIN pagi berhembus semilir sejuk dan segar, udara amat cerah, burung berkicau, keluar dari sarangnya. Tumbuh-tumbuhan masih basah dan lembab kena embun semalaman. Mentari belum lagi terbit, keindahan panorama pagi suatu hal yang tidak pernah membosankan untuk diungkapkan, dikatakan, diceritakan ataupun dinikmati. Inilah karunia Tuhan. Tapi kegundahan di hati Miranti belum lagi lenyap.

Semalaman ia hampir tidak dapat memejamkan matanya. Ia merasa malam-malam itu terlalu panjang, ingin cepat berlalu menjadi pagi. Bayangan lingkar hitam sekeliling matanya menandakan kelelahannya, sehingga keindahan pagi itu hampir tak dapat dirasakannya. Badannya mengigil, rasa dingin menusuk tubuhnya.

Ia duduk di sudut teras rumahnya memandang rerumputan yang terhampar di kebun di halamannya yang kecil. Dulu pagar itu ditumbuhi kemuning, kini kemuning itu sudah tidak ada lagi. Yang hidup subur di pagar itu adalah rambatan pohon bunga-bunga sepatu yang warna bunganya merah darah, tersembul di sana sini, diantara daunnya yang hijau. Mbok Inah terdengar di dalam membersihkan rumah. Hampir setengah tahun ini Miranti kembali mendiami rumahnya. Pada permulaannya memang terasa sukar bagi Miranti untuk menyesuaikan diri lagi dirumahnya ini. Setiap sudut selalu membangkitkan nostalgia bersama almarhum suaminya yang apabila ia sadar, terasa sangat pedih menusuk hatinya. Dan ia berusaha melupakan semuanya, walaupun tidak berniat membunuhnya sama sekali. Hari-hari dilaluinya dengan kesibukkan, selain mengurus dan mengatur rumah tangganya kini ia membuka salon kecantikan di garasi samping rumahnya, yang telah disulap sedemikian rupa menjadi ruangan yang indah mungil. Dan karena salon ini, Miranti harus kehilangan seorang sahabat. Arti sahabat adalah keindahan, kemesraan yang tersendiri dan putusnya hal ini amat mempengaruhi perasaan Miranti. Betapa tidak, ia merasa di pihak yang dianggap bersalah. Ia dianggap menodai persahabatan.

"Bisa kumengerti perasaan Nila. Ia tidak bersalah menuduhku demikian, dia tidak tahu. Hanya sayangnya, dia tidak mau tahu dan tidak mau mendengar keteranganku. Nilalah yang begitu antusias mendorongku mendirikan salon ini. Dia begitu rajin dan mau berkorban, mengantarku bolak balik membeli alat-alat keperluan salon. Dia menunjukkan toko-toko yang relatif menjual murah dan lengkap, seperti droog kap, was bak, meja dorong dan alat-alat kecil yang lain. Juga alat-alat serta bed untuk keperluan facial. Dan kadang memaksaku menerima pinjaman uangnya tanpa bunga sepeserpun agar aku bisa segera membeli alat-alat itu. Tidak hanya Nila yang mengantar, tapi juga bang Syahrul suaminya. Inilah gara-garanya. Aku tidak memungkiri betapa baiknya sahabatku dan alangkah gilanya kalau aku berbuat seperti yang dituduhkannya padaku. Aku, Nila dan bang Syahrul begitu kelihatan rukun, baik di toko waktu belanja atau di mobil ketika pulang pergi, di restoran waktu makan minum. Bang Syahrul begitu ramah dan sopan terhadap isterinya dan padaku, sahabat isterinya. Ku akui dalam hati kecilku mengagumi bang Syahrul yang handsome, galant, sopan dan ramah, dan hati kecilku berkata alangkah bahagianya Nila punya suami ganteng, kaya dan laki-laki penuh pengalaman. Selebihnya aku menghormati semuanya, Nila sahabatku dan Syahrul suami sahabatku. Aku sedih hal ini harus terjadi, aku tak mau mengingatnya lagi.

Miranti berusaha menghapus lamunannya, tapi kembali terpampang bagaimana sikap bang Syahrul padanya. Saat-saat menyeberang di Pasar Baru bang Syahrul yang berdiri di tengah memeluk pinggang Miranti dan pinggang isterinya. Permulaan Miranti tidak menganggap apa-apa. Menganggap ini wajar. Lama-lama bang Syahrul kadang-kadang lupa di tempat yang ramai dan berdesakan ia hanya membimbing lengan Miranti, isterinya berjalan duluan. Tangannya mencekal penuh gairah, Miranti merasakan itu walau ia berharap mudah-mudahan ini hanya dugaan saja. Tapi Miranti mengigil malu dan bingung, apabila bang Syahrul mencuri-curi menatap genit, atau tangannya mencuil jail pinggul Miranti tanpa sepengetahuan Nila. Sesungguhnya Miranti jadi takut kalau Nila akan tahu hal ini. Betapa hati sahabatnya itu nanti?

Pada suatu hari bang Syahrul menjemput Miranti membeli steamer, alat pelembab rambut. Bang Syahrul membawa surat dari Nila yang mengatakan tak dapat pergi mengantar karena ada sedikit kesibukkan dengan butiknya. Dan menyarankan Miranti agar mau pergi dengan bang Syahrul.

"Ah, Nila terlalu baik, terlalu bebas, terlalu tolol atau sebaliknya aku terlalu besar perasaan, merasa yang tidak-tidak. Ah, memalukan!' Miranti ingin menolak. Bang Syahrul tahu itu dan berkata:

"Please don't delay till tomorrow what you can do today ... right?" Bang Syahrul berkata dengan gaya yang benar-benar memukau dan memikat. "Ya benar, sebaiknya tak usah menunda, aku pun memerlukan alat itu segera", pikir Miranti. Miranti berpikir juga kalau dia menolak, bang Syahrul akan tersinggung, dan ia malu kalau bang Syahrul tahu ia berpikir yang bukan-bukan tentang dia, padahal itu belum tentu. Apa lagi kata Nila nanti, ia akan menertawakannya mengatakannya orang kolot hidupnya tidak praktis seperti apa adanya. Sebab bang Syahrul dan Nila termasuk suami isteri modern dan mereka sahabatnya. "Aku harus bisa menekan hatiku dan menyesuaikan ini", pikir Miranti lagi dan ia melihat dirinya pun sudah siap menunggu untuk pergi. Tidak ada alasan yang bisa diketemukan.

Sampai pada waktu pulang, Syahrul menawarkan Miranti untuk minum ice cream sebentar. Miranti menolak, alasannya ia harus segera pulang karena Maya dan Bram menunggunya terlalu lama. Syahrul tidak memaksa, tapi perjalanan dengan mobil diputar-putar memperpanjang waktu. Syahrul banyak bicara, tentang segala macam persoalan yang ia kuasai. Supel dan tidak kampungan. Miranti menjawab singkat-singkat, rasa malunya persis seperti gadis ingusan. Denagn tergagap ia berkata:

"Bang, kukira banyak jalan yang lebih cepat langsung ke rumahku, hari sudah mulai gelap".

"Nila dan aku kasihan padamu Miranti. Kita bbisa mengerti kejemuanmu tinggal di rumah terus, dan kini apa salahnya kalau kita putar-putar kota dahulu. Hawa segar perlu untukmu. Kalau ku mau, malam ini kuajak nonton di Jakarta Theater. Ada film bagus", kaya Syahrul begitu tenang, dan suara itu tak bermaksud apa-apa.

"Tidak, tidak, pulang saja. Saya lelah seharian melayani langganan-langganan di salon", tolak Miranti.

Bang Syahrul tertawa. Tangannya sebelah menggenggam tangan Miranti yang terletak dipangkuannya.

"Kau memang seperti gadis suci, polos dan lugu. Nila juga banyak menceritakan tentang sifat-sifatmu. Tapi hidup ini jangan menyiksa dirimu, sayang", ucap Syahrul.

"Saya tidak pernah merasa tersiksa", sahut Miranti dan menolak halus tangan Syahrul.

"Hidup ini tidak sesopan seperti dugaanmu, Mira. Kakiku sudah melangkah hampir separuh jagat. Dan manusia banyak belajar untuk kepentingan yang menuntut. Batas timur dan barat sudah kabur. Buat saya segala yang melanda dunia tidak saya herani, tapi herannya saya kadang masih kagum oleh perempuan-perempuan semacam kau ini", bang Syahrul menghembuskan asap rokoknya dengan gaya seperti reklame sigaret.

Malamnya Nila menelpon Miranti dan berkata:

"Eh, Mir, udik bener sih, diajak minum saja kau tolak dan kapan lagi perlu kuantar, Mira? Kamis, ya? kata Nila, sebab hari kamis Miranti mau ke Jalan Nusantara mengambil obat-obatan untuk perawatan muka. Miranti menolak usul itu, dan menyatakan bahwa Harri akan mengantarnya, padahal bohong, Miranti hampir tidak pernah mengganggu Harri yang kini sibuk, pasiennya bertambah banyak. Waktunya yang sedikit tentu untuk Vidi dan Miranti mengerti ini. Dan yang memenuhi hatinya saat itu ialah dirinya terlalu merepotkan Nila walau Nila selalu berkata "Buat sahabat adalah satu kepuasan apabila bisa menolong sahabatnya".

Dan hari Kamis Miranti keluar rumah sendiri, berjalan-kaki menuju perhentian bis diujung jalan. Ia melewati gerombolan anak-anak tanggung. Dimana layaknya anak muda, ada yang berambut gondrong seperti sarang burung, ada yang gondrong seperti kucing kecebur, tipisnya rambut tapi ingin ikut mode. Hampir semua berdandan eksentrik, walau tentu tidak semua. Ada juga yang dicukur rapi seperti potongan penerbang dan berbaju rapi. Semua itu tidak menjadi patokan atau ukuran baik tidaknya sifat anak-anak muda. Gentar juga hati Miranti melewati mereka.

"Daag tante, kok sendirian, kita antar boleh dong?" tegur beberapa mereka pada Miranti seenaknya.

"Kita boleh main ke rumah nih!".

"Gile mek, jande mude cakep beeng", yang lain bisik-bisik. Miranti tidak dapat menangkap semua kata-kata yang dilontarkan anak-anak muda itu padanya. Bagaimanakah seharusnya sikap nya menaggapi itu? Tersenyum? Marah? Atau melotot? Atau menjawab ramah? Tidak, semua itu tidak dilakukannya. Ia berjalan terus, berusaha tenang, walau hatinya kecut juga menghadapi tingkah anak-anak muda yang sedang iseng itu.

"Sayang mek, budeg!" akhirnya rame-rame melontarkan kekesalan.

"Jangan lho, kasihan kan tuh tante gue", Miranti tahu itu suara Roby, anak tetangga sebelah rumahnya.

Dan alangkah terkejutnya Miranti ketika keluar dari rumah penjual obat-obatan muka itu. Bang Syahrul berdiri sambil merokok di sebelah mobil VW birunya. Denagn senyumnya yang khas dan selalu tenang itu, dia membukakan pintu mobilnya.

"Ayoo, abang antar pulang, sudah selesai belanjanya?" Miranti tidak segera menjawab ajakan itu, matanya menunjukkan keheranan dan Syahrul mengerti apa yang diherankan Miranti.

"Nila mengatakan padaku kau kesini. Ayolah jangan berdiri saja. Tidak baik dilihat orang". Terlongo-longo Miranti mematuhi ajakan itu, dan kali ini Syahrul berhasil memaksa dengan halus, mengajak Miranti minum di restoran salah satu hotel mewah di Jakarta ini. Tentu Miranti tidak dapat menolak, apakah ia harus terjun dari mobil, atau tidak turun dari mobil. Miranti menghormati Syahrul, suami Nila, sahabatnya. Lagi-lagi inilah sebabnya. Apa maunya Syahrul? Miranti gelisah, grape juice yang sudah dipesan tidak disentuhnya.

"Minumlah, Mira, apa kau melihat hantu di siang hari bolong ini?" kata Syahrul. Miranti merasa malu, ia minum juga sedikit.

"Saya tidak haus, bang, antarkan saya pulang".

"Temani saya minum sambil omong-omong, tidak ada yang salah, bukan?" Banyak mata wanita di restoran itu melirik mencuri pandang melihat pada Syahrul. Memang, siapa tidak akan tertarik padanya. Dia ganteng dan tingkah gayanya menyolok seperti sedang main film.

"Lihatlah, mata orang-orang, itu mungkin mereka mengira kita pasangan yang ideal," Syahrul merasa diperhatikan terus melanjutkan lagi kata-katanya. "Kukira juga begitu. Kau, Nila dan aku sebetulnya bisa hidup rukun. Kau dan Nila sahabat-sahabat yang hebat. Aku bukan seniman tapi kukira kita pun bisa hidup seperti W.S Rendra umpamanya."

"Edan, gila,edan, omong apa ini?" hati Miranti tersentak mendengar gagasan yang dikeluarkan seenaknya oleh mulut Syahrul itu. Miranti tidak membuka mulut, matanya membelalak, alisnya mengkerut. Melihat itu Syahrul tertawa agak sedikit keras. Dan saat itu masuklah seorang wanita cantik dengan laki-laki gendut, cukong rupanya. Miranti mengingat siapakah wanita itu. Oh ya ... Erna perempuan janda, pelacur tingkat tinggi yang pernah dikenalkan Nila di butiknya, dan tentu ia juga tahu Syahrul suami Nila, karena langganan lama butik Nila.

Erna tersenyum sinis, ke arahnya, melenggang membuntuti si cukong lewat meja Miranti dan duduk di meja sudut sana dekat orang main piano. Miranti gemetar, ia malu, malu pada dirinya sendiri.

"Apa anggapan Erna itu padaku? Aku bukan pelacur, bukan lonte, tapi aku lebih jahat dari itu. Dengan suami sahabatnya, alangkah naifny. Tapi aku tidak berbuat apa-apa." Miranti resah, duduknya gelisah.

"Antarkan saya pulang sekarang atau saya akan keluar sendiri dari tempat ini!"

Syahrul mengantar Miranti pulang. Di jalan ia masih sempat mengatakan.

"Jangan murung begitu, manis. Hidup jangan dipersukar, take it easy," Syahrul selalu berkata tanpa merasa apa-apa.

"Hubungi saya kalau kau, memerlukan".

Alangkah mudahnya hidup ini buat Syahrul.

****

DUNIA belum mau bersikap ramah terhadap Miranti. Nila tahu Miranti berdua di restoran dengan Syahrul, tanpa memberitahukannya. Syahrul juga waktu ditanya gugup. Syahrul yang biasa relax dalam soal apapun.

"Ada apa dengan kalian? Kalian sekongkol hendak melukaiku? Kau tidak pernah seperti ini, Miranti. Dan kalau kau berbuat seperti ini, berarti aku harus khawatir. Aku mengerti kau kesepian, tapi tegakah kesepianmu kau lampiaskan dengan menghancurkan sahabatmu sendiri? Aku tidak heran kalau Syahrul menyukaimu, ia laki-laki. Tapi sebaliknya kau neladeni, alangkah nistanya. Walau aku kecewa, demi persahabatan, jauhilah suamiku." Nila mengumbar kata-katanya dalam telpon tanpa sedikit pun memberi kesempatan pada Miranti untuk membela diri dan menerangkan sesungguhnya.

Juga pada hari-hari lain Miranti berusaha menelpon Nila, tapi Nila tidak pernah menerima telpon itu. Tapi untung, segala hutang berupa uang sudah dilunasi, hanya jasa belum terbalaskan. Miranti menduga, semua ini mungkin karena aduan Erna, dan buat Erna melebih-lebihkan cerita adalah bukan soal. Miranti tidak menyalahkan Nila. Hati kecilnya tetap berharap, pada suatu ketika Nila mengetahui yang sebenarnya.

Tidak semudah itu hatinya melupakan segala peristiwa, kegundahan dan rasa sepi meski kesibukkan menyita hari, waktu dan detik kehidupannya. Di samping urusan rumah tangga, di salon pun pekerjaannya makin banyak, sebab langganannya juga bertabah. Untuk meringankan kerjanya ini Miranti menggaji dua orang asisten.

Bram pun menuntut perhatian yang khusus. Ia belum diterima masuk sekolah sebab umurnya belum mencukupi, tetapi sudah ingin belajar membaca mengenal huruf-huruf, menulis kembali huruf yang ia baca, dan menghitung benda-benda di sekelilingnya. Dalam kelelahannya Miranti tidak mengelak keinginan Bram ini. Ia menyediakan waktu menjawab pertanyaan-pertanyaan Bram dan mengajarkan apa yang ingin diketahui Bram.

Tuhanlah tempat ia mengadu segala sedih dan gundah hatinya, ketika menjalankan sembahyang. Sebab sebisanya ia tak ingin membagi kesusahannya dengan siapa pun. Terlebih di salon, ia selalu memakai topeng senyum yang ia terapkan dari pagi hingga sore.

Bram dan Maya patuh pada nasihat mamanya. Kedua anak itu dilarang sering masuk ruang salon agar tidak mengganggu ketentraman bekerja. Sebaliknya Miranti selalu bolak balik menengok anak-anaknya.

Dua minggu yang lalu suhu badannya tinggi, mukanya merah. Dalam sakitnya, ia memanggil Dimas terus menerus.

Papa ... Papa ... jangan pulang", kata Bram meracau. Dimas menunggui dengan sepenuh hati, bergantian dengan Miranti mengompres kepala dan membujuknya ketika memberi obat.

Pada saat anak sakit, bagi Miranti adalah suatu puncak kesedihan dalam kesendiriannya. Dan Miranti tidak dapat mengelak. Ia mengakui dalam hati kecilnya, bahwa bantuan moril yang diberikan Dimas pada anak-anaknya terasa amat besar, menyentuh perasaan, tidak hanya anak-anaknya, juga baginya sendiri.

Malam setelah Bram bisa tidur, Miranti keluar kamar melihat Dimas tertidur di sofa karena kelelahan. Rasa aman menyelinap di hati Miranti. Sesungguhnya ia takut juga sendiri, keadaan Bram cukup mengjhawatirkan. Miranti mengambil selimut dan bantal dan diberikannya pada Dimas.

"Bagaimana Bram? Tidur?" tanya Dimas. Miranti mengangguk.

"Sekarang tidurlah, biar aku menggantikan kau menjaga Bram. Kau perlu istirahat, nanti ikut sakit".

Kalimat itu sederhana tapi bagaikan air hujan yang tersiram di padang gersang. Miranti mengangguk lagi, segera berbalik masuk kamar, menahan jatuhnya air mata haru di hadapan Dimas.

Dan tidak dapat dipungkiri, kini tidak hanya Bram dan Maya menantikan saat-saat dimana Dimas menjenguk mereka, hati kecil Miranti pun ikut berharap, walau Dimas lebih sering datang saat ia sibuk bekerja di salon.

Tidak apa, kebahagiaan anak-anaknya adalah lebih dari segala baginya. Kecurigaan, dan kecemburuan akan kasih anak-anaknya pada Dimas berangsur hilang.

ADA bunyi bel beca berdering di kejauhan. Sesungguhnya dering bel beca itu menggugah Miranti. Ia sadar bahwa ia sudah lama duduk di situ. Panas matahari lembut mulai memanasi tubuhnya.

"Ah, tak perlu tergesa, bukankah ini hari minggu?" Salonku tutup, bisa tidur seharian sehabis membersihkan rumah, sementara seperti biasanya Dimas datang menjemput Bram dan Maya jalan-jalan.

"Apakah Dimas juga datang hari ini? Aku mandi dulu, kemudian akan kubuatkan Dimas nasi goreng", pikir Miranti.

Sementara Miranti sibuk di dapur, Bram dan Maya dimandikan mbok Inah. Tanpa setahu Miranti, Dimas datang langsung masuk dapur dan duduk di kursi. Miranti membalikkan badanya dari kompor.

"Eh ... Dimas", cetusnya terkejut melihat Dimas sudah ada disitu.

"Bau telur ayam harum, menarik saya masuk dapur ini", jawab Dimas.

"Ya, memang ini kusediakan untukmu", tukas Miranti.

"Untuk saya?" mimik wajah Dimas minta ketegasan.

"Ya, untuk semua!" Miranti tiba-tiba malu, ketahuan ia mengistimewakan Dimas.

"O ... o ... ", ucap Dimas tampak sedikit kecewa.

Miranti melihat perubahan itu. Ia masuk ruang makan membawa nasi goreng, irisan tomat dan timun dan telur mata sapi di baki besar. Dimas membuntuti dari belakang.

"Saya akan membawa anak-anak ke kolam renang", kata Dimas dan duduk di kursi dekat meja makan. Miranti diam saja, sibuk menata piring-piring.

"Sebaiknya kali ini mamanya ikut, biar bantu jaga anak-anak", kata Dimas. Miranti menggeleng.

"Aku cape".

"Kasihan Bram dan Maya, mamanya cape terus", kata Dimas dan menyalakan korek api hendak membakar rokok yang sudah terselip di jarinya.

"Jangan merokok dulu, Dimas, kita makan. Itu anak-anak sudah siap. Baiklah, aku ikut ke kolam renang dengan kalian", kata Miranti. Pipinya memerah jambu seperti warna pipi bayi-bayi yang masih suci. Dimas mencium pipi Maya dan Bram bergantian dan membisikkan sesuatu pada Bram dan Maya.

"Hore ... Mama ikut, Mama ikut", Bram teriak gembira.

"Oleh ... Mama icut, Mama icut", Maya ikut berteriak.

Kolam renang Bulungan yang tak jauh dari rumah, itulah tujuan mereka. Setiba di sana sudah banyak orang yang datang, padahal belum lagi jam sembilan. Miranti tidak ikut berenang ia hanya duduk di tepi kolam membantu Dimas menjaga Bram dan Maya.

Mereka berdua alang kepalang gembiranya, bergantian digendong Dimas di punggungnya, diajak berenang seputar kolam. Miranti juga ikut ketawa, suatu kegembiraan yang tidak dibuat-buat menyelubungi hatinya.

Satu jam sudah berlalu, Miranti mengajak anak-anaknya naik. Tubuh Bram dan Maya menggigil kedinginan. Miranti mengeringkan dan mengganti baju renang dengan baju bersih.

Dimas masih beberapa menit lagi memuaskan dirinya berenang. Bram dan Maya tampak haus dan lapar, roti dan minuman yang Miranti bawa hampir habis disapu oleh mereka.

"Ssst ... bagi-bagi sedikit papamu roti itu", Miranti memperingatkan dan menunjuk Dimas yang sedang berenang. Tubuh Dimas kelihatan kekar dan tegap dalam pakaian renangnya. Dimas datang dengan berselimut handuk di bahunya, tetes air masih memenuhi badan dan kepalanya.

"Ini roti Papa", kata Maya memberikan sepotong besar roti buat Dimas. Dimas dengan mencondongkan wajahnya, minta disuapi. Maya dengan gembira menyuapi Dimas. Bram tertawa gelak-gelak melihat adegan itu. Miranti ikut tersenyum, kegembiraan terbias diwajahnya. Roti di tangan Maya sudah habis.

"Lagi ya, Papa", tanya Maya. Dimas mengedipkan mata pada Miranti.

"Sudah, Maya, sudah, papamu sudah kenyang", Miranti mengerti maksud kedipan Dimas.

Kegembiraan demi kegembiraan, kebersamaan yang berulang melingkari hidup Miranti. Pada saat-saat itu, ketika kebahagiaan singgah di hatinya sirna sejenak kabut suram di wajahnya. Kegairahan hidup masih dimilikinya. Hari-hari Minggu di Taman Ria Remaja, di Taman Ria Monas, dan Ragunan Pasar Minggu atau hanya di rumah saja pada waktu-waktu Dimas menjenguk Bram dan Maya. Keempatnya merupakan kebersamaan yang tampak menyenangkan. Setiap orang yang tidak mengenal mereka akan menyangka mereka itu suatu keluarga yang harmonis dan penuh kebahagiaan.

"Ah, hanya kebahagiaan semu", kata hati Miranti bila ia sedang menyadari semua ini. "Semua akan berlalu bila Dimas, adik suamiku ini punya keluarga atau pacar sendiri. Kita akan ditinggalkan. Dan memang semestinya, seharusnya. Tanpa disadari Miranti banyak bercerita tentang semua yang dialaminya, baik pekerjaan di salon atau soal kecil lainnya pada Dimas. Bahkan soal dengan Nila yang selama ini ia rahasiakan pada siapapun, pada Dimas ia bercerita. Dimas menanggapi dengan tenang.

"Kukira ini lebih baik. Kalau hubungan ini berlarut-larut, Nila akan tersiksa. Rasa kepercayaan dan hormat pada suami akan hilang karena kau sahabatnya. Kau tidak mau kalau ia tersiksa bukan? Kurasa tidak saja Nila khawatir, aku pun khawatir. Syahrul patut dikhawatiri, sebab pokok soalnya adalah kesendirianmu".

"Maksudmu?" tanya Miranti.

"Sebaiknya sahabat sebuah pasangan berpasangan, Nila akan kembali menjadi sahabatmu", kata Dimas.

"Pasangan? Apa maksudmu?" tanya Miranti heran.

"Yah umpamanya kau kawin lagi", kata Dimas tiba-tiba. Ketenangan wajahnya berubah, wajah itu menjadi merah padam. Miranti terdiam, kawin? Hal ini tak pernah terlintas di hatinya.

*****

HARI sabtu malam minggu. Pada hari-hari Sabtu begini biasanya langganan Miranti di salon banyak sekali. Ada yang akan mengeset rambut, ada yang hanya menyisir ke make up wajah untuk pergi ke pesta atau keperluan lainnya. Sehingga kadang-kadang sampai pukul delapan malam baru selesai dan Miranti akan tertidur lelap karena kecapean. Herannya hari ini agak sepi. Sejak pukul lima sore sudah tidak ada lagi klien yang harus ditolong, dan kedua wanita asistennya juga sudah pulang.

Pukul tujuh malam telpon berdering. Rupanya suara Dimas, Tumben Dimas menelpon malam-malam begini, biasanya ia nelpon Bram dan Maya pagi, waktu jam-jam Dimas di kantor.

"Tumben kau telpon malam, anak-anak sudah tidur, Dimas ada apa", tanya Miranti.

"Saya mau bilang anak-anak, ke Ancol tidak jadi pagi, sore-sore saja pukul lima."

"Besok pagi saya harus dinas, ada tamu dari Jerman. Besok sore pergi ya, Ti! Nah, sekarang selamat istirahat, kau tentu cape seharian kerja di salon", suara Dimas menurun. Miranti merasa suara itu mengasihani dirinya.

"Tidak, saya senang bekerja di Salon, saya tidak cape".

"Ya, saya tahu, tapi saya sebaiknya tidak mengganggumu malam-malam begini. Tidurlah, selamat malam", kata Dimas menutup telpon itu. Miranti juga menutup pesawat telponya. Lambat ia berjalan, duduk di sudut kursi panjang berwarna merah gelap. Di samping kursi itu ada meja kecil, dan sebuah lampu duduk antik ada di sana. Hanya lampu itu yang menyala samar, lampu yang lain dimatikan Miranti.

Ia menyandarkan tubuhnya dan menjulurkan kakinya ke meja di hadapannya. Tangannya memeluk bantalan kursi.

Matanya tertumbuk sebungkus rokok di bawah meja. Rupanya rokok Dimas yang ketinggalan. Miranti ingin mencoba, dinyalakannya sebatang kemudian ia isap. Mula-mula terasa pahit, tapi dicobanya lagi. Enak juga, iseng-iseng sambil membuang waktu. Matanya belum lagi ngantuk. Ia akan lebih gelisah bila di dalam kamar. Matanya menerawang jauh ke udara, mengikuti liukan asap yang dihembuskannya. Tanpa diingininya, satu pertanyaan menyelinap di kalbunya.

"Apa yang dilakukan Dimas malam-malam Minggu begini? Tentu ke rumah pacarnya atau berfoya-foya dengan kawan-kawannya. Ah, bukan urusanku", kata hati Miranti memerangi perasaannya.

Bel pintu berdering. Jantung Miranti berdegup. Mbok Inah berlari-lari membukakan pintu depan, dan menyampaikan pada Miranti ada tuan muda Roby anak tetangga sebelah rumah. Memang akhir-akhir ini anak itu sering ke rumah Miranti. Alasannya macam-macam, pinjam majalah atau mengembalikan majalah, pinjam telpon, telpon di rumah sedang rusaklah, dan sebagainya.

"Suruh dia masuk", perintah Miranti pada mbok Inah. Miranti tetap duduk hanya kakinya yang terjulur di meja ia turunkan, dan mematikan rokok di tangannya pada asbak.

"Tidak kemana-mana, tante?" tegur Roby. Miranti menggeleng sopan.

"Saya mau mengembalikan majalah, boleh duduk, nih," kata Roby dan belum dipersilahkan sudah duduk di seberang meja.

"Duduklah", kekesalan hati Miranti pada anak muda tanggung yang berambut gondrong itu dihapusnya. Malam ini ia merasa terhibur. Ada teman omong-omong. Roby tahu Miranti kesepian. Alangkah pandainya anak itu bercerita segala macam, sehingga Miranti tertarik dan ikut tertawa kalau ada yang lucu. Kadang Miranti merasa mata anak itu cara melihatnya jail. Hari makin malam Roby belum kelihatan mau pulang juga. Miranti mulai gelisah. Untuk mengusir, rasanya ia tak punya keberanian, sebab Roby sudah cukup dewasa untuk tahu tentang etiket.

"Mama ..." teriak Maya dari kamar. Maya menangis. Untunglah, ini jalan keluar sebagai alasan.

"Nah Roby, sudah malam, tante mau temani Maya tidur".

"Baiklah, lain kali saya main sini lagi", kata Roby. Miranti menguncikan seluruh pintu rumahnya dan memadamkan lampu-lampu.

Tepat pukul lima sore Dimas datang seperti janjinya semalam. Wajahnya seperti biasa, cerah, dan penuh sayang memeluk dan mencium Bram dan Maya yang datang menyambut

"Kurasa sebaiknya ditunda sampai minggu depan, hari ini kau cape", usul Miranti.

"Tidak, saya selalu senang pergi dengan Bram dan Maya, juga mama", kata Dimas hampir tidak terdengar sebab menciumi perut Maya yang tertawa terkikih-kikih kegelian. Tapi Miranti menangkap itu dengan jelas.

"Jadi kita pergi?" tanya Bram.

"Tanya Mama", jawab Dimas. Miranti mengangguk, dan ini sudah cukup membuat Bram berteriak gembira.

Senja itu mobil Dimas melaju lambat, tidak tergesa. Seperti biasa, Miranti, Bram dan Maya selalu duduk di depan dekat Dimas yang memegang stir. Taman Impian Jaya Ancol. Di sana kegembiraan Bram dan Maya bertambah, mereka melihat Fliper show, Oceanarium, dan naik perahu di parit yang airnya berjalan. Suasana di situ begitu indah dan romantis.

Senja menghilang malam mendatang. Bulan di atas mereka seolah ikut bahagia dengan kegembiraan mereka. Anak-anak puas, tetapi kekuatan anak-anak terbatas kantuk dan lelah menyerang keduanya. Ketika Bram dan Maya tertidur pulas.

"Mamanya juga sudah ngantuk?" Dimas bertanya pada Miranti yang memeluk Maya di pangkuannya. Bram menyender di sisinya.

"Belum, kurasa kau yang ngantuk", jawab Miranti.

"Rupanya papa dan mama belum ngantuk", gurau Dimas menghilangkan kekakuan yang selalu ada diantara Miranti dan dirinya. Keduanya tertawa. Tawa Miranti begitu lepas. Mata Dimas berkilat. Ia bahagia guraunya mengena.

"Sebaiknya kita jangan pulang dulu?" usul Dimas.

"Ke mana?" tanya Miranti cepat.

"Dengan anak sudah tidur begini?" lanjut kata Miranti.

"Lihat film drive in sana", Dimas menunjuk layar besar yang terpampang di atas theater terbuka.

"Anak tidur tidak menjadi soal", kata Dimas. Miranti diam.

"Oke?" tanya Dimas. Miranti masih diam, ia bingung.

"Mama diam berarti  Mama setuju", Dimas mempercepat mobilnya menuju arah theater itu.

Kini Dimas sibuk mencari tempat parkir di tengah mengarah kelayar. Rupanya film sudah separuh main.

"Tidak apa" kata Dimas.

"Masih ada satu film lagi". dan atas usul Dimas, Bram dan Maya dipindahkan tidur di bagian belakang, sehingga anak-anak bisa meluruskan kakinya dan dapat tidur dengan tenang.

Sekeliling mobil itu terasa senyap walau mobil-mobil lain banyak di situ. Penumpangnya hampir tidak kelihatan karena gelapnya. Angin laut sepoi menyentuh lembut tubuh Miranti yang kini duduk berdua saja di bagian depan mobil itu dengan Dimas.

"Aku sudah melihat film ini di jerman setahun yang lalu. Ini film detektif setengah horror", kata Dimas memecah kesunyian dan menghilangkan sisa kekakuan.

Dimas menceritakan sebagian thema cerita yang sudah terdahulu tadi. Miranti pura-pura serius mendengarkan, walau ia tidak menangkap dengan sepenuh hati cerita Dimas itu. Tiba-tiba Miranti melihat mobil tepat di samping mobilnya bergerak, dan Miranti melihat ketika ada cahaya membias di atas kegelapan, dua buah kepala yang bertemu menjadi satu. Miranti berdoa dalam hati semoga Dimas tidak melihat adegan itu, dan ia bersyukur ketika ia melirik ke arahnya Dimas sedang asyik memandang ke layar dengan penuh perhatian. Miranti bernalik melihat ke belakang ke tempat Bram dan Maya tidur.

"Biarkan, mereka tidak ap-apa", kata Dimas. Wajahnya tetap memandang ke depan. Miranti pun kembali menonton dan berusaha mengikuti jalan ceritanya. Dimas meluruskan kakinya, kepalanya bersandar di sandaran jok mobil, sunyi ...

Adegan film menggambarkan seorang wanita yang berpakaian tidur siap akan tidur, mematikan lampu besar dan menyalakan lampu kecil. Ketika akan naik tempat tidur sebuah tangan yang bersarung telah menerkam leher si wanita. Wanita itu berusaha melepaskan cekikan itu. Ia mengamuk. Karena pantulan cahaya lampu kamar, kelihatan wajah si pemilik tangan bersarung itu. Sebuah wajah yang buruk menakutkan, menyeringai dan menggeram ...

Miranti terbawa oleh jalan cerita itu, setengah merintih ketakutan mendekatkan tubuhnya ke arah Dimas. Dimas lembut dan sopan meraih tubuh Miranti ke dekatnya.

"Mama Bram takut?" tanya Dimas ketika terasa olehnya tubuh Miranti menggigil. Dimas kemudian melepaskan kembali tangannya.

Miranti diam saja. Kepalanya ia sandarkan ke belakang dan Miranti tidak tahu ada tangan Dimas melintang disana. Tangan itu kini memeluk bahu Miranti.

Miranti tak kuasa menolak. Rasa aman memenuhi sanubarinya. Matanya tetap melihat adegan demi adegan di layar.

Dan entah setan atau bidadari dari mana yang mendorong keduanya makin dekat dan merapat. Dimas memeluk kepala Miranti di bahunya. Dagu Dimas menyentuh kening Miranti. Wajah Dimas merendah menyusur tak tergesa, secercah kehangatan singgah di mata Miranti, kemudian pipi Miranti kemudian ... Miranti tak dapat lagi berpikir dengan sempurna, perasaannya membumbung, terjatuh digumpalan awan-awan putih yang ringan seperti kapas. Namun sanggup menyanggahnya dan di sana bunga-bunga putih, biru, merah darah, hijau jamrud bercampur baur, panas menggelora, lembut dan harum, mendidih menggelegak namun indah tak terkiaskan.

Terdengar samar olehnya dada Dimas gemuruh dan terengah, tidak! Tidak hanya Dimas, terasa juga dadanya sendiri, gemuruh itu menjadi satu.

Tiba-tiba awan putih itu memecah, ia terjatuh, terhempas, tetapi Dimas kukuh memeluknya. Miraanti sadar apa yang telah terjadi. Matanya melihat ke sekeliling, kengerian akan ketahuan orang merongrongnya. Hatinya panik, rasa malu meliputi dirinya. Lambat dan termangu ia menyentakan tangan Dimas yang merengkuhnya. Menghapus bibirnya dengan tergesa, dan duduknya menjauhi Dimas.

"Apa yang telah kau lakukan ini?" tanya Miranti pada Dimas. Ia menundukkan wajahnya.

"Maafkan ... kalau ini salahku," Dimas menghela napas dengan penuh belas, menatap Miranti yang termangu-mangu. Dimas melihat tetes air mata Miranti mengkilat dalam kegelapan, bagai cahaya batu permata.

"Jangan kita persalahkan ini. Kukira ini bukan suatu kesalahan atau dosa", kata Dimas lagi.

"Jangan bicara tentang dosa, bagimu mungkin hal ini biasa, kau jahat! Kau sengaja membawaku kemari untuk ini", Miranti terisak.

Di luar dugaan Miranti, Dimas rupanya marah sekali. Ia terluka dengan ucapan Miranti itu.

"Demikian mentah kau anggap aku ini. Kalau hanya sekedar mencium aku bisa mendapatkannya dimana-mana. Kalau kau anggap ini biasa bagiku. Alangkah jahatnya rencanaku kalau hanya untuk ini, Miranti ... Aku tidak tahan lagi menutupi setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sejak meninggalnya mas Herman. Aku menutupi ini semua dari siapapun, baik saudara-saudara bahkan ibuku tidak ada yang tahu. Miranti ... diam-diam aku telah mencintaimu, jauh aku sebelum mengenalmu. Dulunya aku pikir diriku ini edan telah mencintai isteri bekas kakakku sendiri seperti tidak ada perempuan lain saja.

Dan herannya aku bertambah mencintaimu dan berniat mengawinimu setelah aku mengenalmu di airport dulu. Walau aku tahu bahwa kau benci dan curiga padaku. Kecurigaanmu mungkin beralasan - aku tidak peduli! Tapi syukur, perasaan anak-anakmu padaku peka dan halus sekali. Mereka merasa bahwa aku mencintai mereka sepenuh hatiku. Tapi aku belum puas, aku menuntut lebih, aku ingin kau juga tahu bahwa aku mencintaimu seperti layaknya seorang laki-laki terhadap wanita, dan bukan karena kasihan. Aku bingung dari mana harus kumulai. Aku kecut melihat wajahmu yang selalu tertutup kabut. Tapi aku berusaha terus dengan kesabaran yang sebelumnya tidak pernah kumiliki, sehingga kalau tidak salah duga, kurasa kebencian dan keurigaanmu padaku semakin berkurang. Dan alangkah bahagianya aku ketika kau mau menemani anak-anakmu pada hari-hari senggangmu. Pintu-pintu harapan terasa semakin terbuka untukku. Kabut di wajahmu kadang tersibak, kau tertawa cerah. Aku bahagia dan bangga akan kemampuanku. Walau sebenarnya kabut itu pun mempunyai arti tersendiri buatku, kabut itu bagai sutera ungu yang menandakan kesetiaan pada cintamu itu. Aku merasa telah hampir menggenggam. Tapi rupanya dugaanku meleset. Andai kau mencintaiku, kau tidak menyesal akan apa yang telah terjadi tadi. Kau hanya menganggap aku ini paman anak-anakmu, aku ini adik iparmu, bukan laki-laki yang mencintai dirimu. Memang kau tidak salah", suara Dimas menurun.

"Kalau ini suatu keterlanjuran, kau tidak usah menyesali dirimu, kau tetap suci. Ini mungkin terdorong oleh rasa sepimu saja. Akulah yang memulai dengan segenap cintaku padamu. Mungkin ini hukuman bagiku, karena aku sering menyepelekan cinta" Dimas berkata seolah pada dirinya sendiri.

"Tapi bukan itu mauku, sebab aku ingin hidup dengan orang yang kucinta dan mencintai diriku. Tapi sulit benar rupanya. Miranti ... maafkanlah saya ... lupakanlah!" pinta Dimas lirih. Dimas menelungkupkan wajahnya di atas stir mobil, tangannya memeluk setir itu.

Demikianlah, beberapa saat Miranti terhenyak di tempat duduknya mendengar pengakuan Dimas yang beruntun itu. Mulut Miranti seakan terkunci, beku, sukar digerakkan. Matanya melihat ke arah Dimas.

"Dimas, aku menyesal apa yang tadi terjadi. Tapi aku juga tidak tahu apakah berarti juga aku mencintaimu? Kukira benar seperti katamu mungkin karena aku kesepian. Apakah karena rasa sepi aku bisa berbuat itu dengan siapapun? Kurasa juga tidak, aku masih cukup waras".

Kalimat-kalimat ini tidak terucapkan. Ia hanya melompat-lompat dalam pikir dan hati Miranti saja.

Dimas mengangkat wajahnya melihat kearah Miranti yang masih memandangi dirinya. Mata keduanya bertatapan dalam kegelapan.

Miranti mengelak merunduk. Dimas terdengar menarik napas.

"Well ... Kita pulang sekarang?" tanya Dimas.

Miranti mengangguk lemah. Dimas membuka pintu, keluar mobil dan membuka pintu belakang, membetulkan letak tidur Maya dan Bram dengan hati-hati.

Hati Miranti bergetar melihat kelembutan itu. Dimas kembali lagi ke tempat duduknya dan menjalankan mobilnya dengan tenang.

"kau lihat, Anti, betapa nyata bedanya Ancol dulu dengan sekarang ini". Dimas berkata amat wajar sekali, dia bersikap seperti tidak terjadi sesuatu barusan tadi.

"Tutuplah jendelamu, Anti, nanti kau masuk angin", saran Dimas.

Di kamarnya yang lengang Miranti terdengar dalam kenangannya. Tidak ada yang terasa melukai hatinya, malah sebaliknya yang dirasakan.

Tapi ia tak mau mangakui ini. Ia malu, pada kekuatannya yang ia pertahankan selama ini. Malu pada Dimas, "Aku Janda yang kesepian, murahan, murahan! Bodoh benar Dimas mencintaiku bekas isteri kakaknya beranak dua lagi".

"Dia bisa menentukan pilihan di antara gadis-gadis cantik. Bodoh! Bodoh! Kasihan dia kalau sampai ia mengawiniku. Aku harus ingatkan ini. Ia harus sadar, dan jangan mempunyai harapan kosong. dan sebaliknya bahwa aku perempuan tidak setia kalau aku kawin lagi. Aku tidak mau cap ini tertera buat diriku."

Lamunan Miranti meloncat-loncat, terbentur-bentur dinding. Biasanya kalau ia gelisah seperti ini, dia tak akan bisa tidur sampai pagi, terdampar dengan denyut nyeri di kepalanya. Tapi kali ini kegelisahannya begitu melelahkan dan menina bobokannya, melayang, mengasyikan.

"Ya, Tuhan, sertailah hamba ini, tunjukkanlah apa yang baik untuk hamba", bisik Miranti, dan tertidurlah dia dengan kemesraan.

Salon mindedness kari kaum wanita bertambah, tapi tanggapan negatif tentang salon pun bertambah. Ada yang mengatakan tempat kumpunya wanita berduit yang iseng tidak punya kerja, tempat gosip atau tempat rendevous wanita-wanita nakal. Mungkin juga, tapi sepengetahuan Miranti, justru banyak juga kaum ibu rumah tangga yang repot dengan anak dan terhormat. Dan bagi Miranti sendiri, ini adalah suatu kesibukkan positif baginya yang mendatangkan uang. Ia masih sempat mengawasi anak-anaknya, disamping kepandaian yang juga ia miliki tidak terbuang percuma. Dia dapat membantu mempercantik kaum wanita. Miranti ramah dan tidak pernah mengecewakan, begitu juga kedua asistennya.

Hubungan Miranti dengan asistennya intim sekali, tidak sebagai majikan dan pembantu. Ketiganya bekerja sama dengan senang hati.

Suatu saat Miranti mendengar deru mobil, ia hafal betul bahwa itu deru mobil Dimas. Miranti melihat dari balik kaca jendela. Dimas datang dengan seorang gadis cantik. Terasa tangan Miranti gemetar. Terasa peluh mengalir di kening dan tengkuknya. Mungkin warna wajahnya juga berubah saat itu. Ia menunduk, berusaha agar perubahan itu tak terlihat oleh siapa pun di salonnya itu.

Tak berapa lama mobil Dimas menderu lagi, Miranti menyangka Dimas sudah pergi lagi. Memang Dimas sekarang jarang lama di rumahnya. Sorenya Miranti bertanya pada Bram.

"Siapa tante yang datang dengan Papa Dimas?"

"Asisten, kata Papa, apa artinya itu, Mama?" Bram balik bertanya.

"Pembantu", jawab Miranti seenaknya.

"Papa pembantunya cantik, mbok Inah jelek", bisik Bram.

"Huss, itu Tante bukan pembantu seperti mbok Inah. Ia bantu Papa kerja bikin obat, namanya asisten apotheker".

Bramanti bingung dengan jawaban itu. Miranti berusaha menerangkan:

"Tante tadi sekolahnya pinter, pinter baca, pinter tulis dan bisa membantu membuat obat untuk orang sakit. Mbok inah kan tidak bisa baca dan tulis, apalagi bikin obat, iya kan?"

Bram sedikit puas dengan keterangan itu.

"Papa nanyain Mama?

"Ya, Papa tanya, Mama sehat? Bram bilang sehat. Papa bilang Papa susah kalau Mama sakit. Jadi Bram dan Maya tidak boleh nakal, kata Papa".

Miranti tercenung mendengar cerita Bram, dan dia sadar ketika suara Mbok Inah terdengar menghampirinya.

"Den, setrikaannya sudah bisa jalan, tuan muda Roby betulin tadi. Kebetulan ia datang tadi pinjam majalah lagi."

"Anak tetangga itu sudah mulai merasa bebas keluar masuk rumahku".

"Tetapi anak itu baik dan sopan", kata mbok Inah.

Miranti mengangguk membenarkan, tapi tidak memberi komentar apa-apa. Sebetulnya Miranti kurang suka anak muda itu sering ke rumah. Sulit juga untuk melarangnya, takut tersinggung. Dan Mbok Inah sudah tiga kali ini ditolong.

Yang pertama membetulkan pompa listrik yang macet, yang kedua membongkar kipas angin untuk membersihkan debu-debunya yang menyangkut.

Memang Roby turunan anak baik dan sopan, orang tuanya  juga orang yang terkenal baik dan dihormati. Hati Miranti berkata meyakinkan dirinya sendiri.

LAMPU kebun sudah dinyalakan, cicit brung berkeciap kembali masuk sarangnya. Burung-burung itu berebutan menembus rimbunnya daun pohon mahoni di pinggir jalan. Bayangan senja perlahan surut, menghilang.

Miranti menguncikan pintu jendela-jendela salonnya. Dengan tidak tergesa melangkah memasuki rumah dan menyalakan lampu-lampu yang belum sempat dinyalakan mbok Inah.

Terasa kekosongan di dadanya. Suasana rumah sunyi dan lengang. Tidak ada suara Bram atau Maya menyambutnya, sebab Bram dan Maya sejak tengah hari tadi dijemput Harri dibawa ke tempat eyangnya.

Dalam kesepian rumah yang mencekam, kelelahannya terasa bertambah. Lunglai Miranti berjalan ke dekat sebuah meja. Di mja itu sudah ada sebuah cangkir lengkap dengan alasnya dan sendok kecil, sebuah termos berisi air teh panas, semangkuk gula dan irisan lemon di piring kecil. Semua ini disiapkan mbok Inah seperti biasa setiap sore untuknya.

Miranti duduk di kursi di samping meja. Dengan lesu tangannya meraih termos dan menuangkan isinya ke dalam cangkir. Mata Miranti kuyu menelusuri sekeliling, tidak ada seleranya untuk minum.

"Alangkah parahnya sepi ini tanpa anak-anakku. Tapi aku tidak boleh egois. Papa dan mama juga kangen cucu-cucunya. Apalagi yang bisa kubuat untuk menyenangkan orang tuaku? Mudah-mudahan Harri ada waktu malam ini mengantar Maya pulang. Anak itu tidak bisa tidur tanpa aku di sampingnya. Kalau buat Bram semalam dua malam tidak menjadi soal, ini kadang juga dilakukannya. Bram bahagia kalau sekali-sekali dapat tidur dengan eyang kakungnya."

Mbok Inah datang dari dapur membawa piring berisi lumpia di atas baki.

"Ini ada lumpia goreng den Harri tadi", kata mbok Inah dan meletakkan piring itu di meja. Miranti mengangguk tanpa menyentuhnya.

"Den, kalau mau mandi mbok sudah sediakan air panas di kamar mandi". Miranti mengangguk lagi, rasa terima kasih tergugah di wajahnya. Mbok Inah merasa ini, dan baginya sudah satu kepuasan kerja kalau Miranti menyenangi apa yang ia perbuat.

Mbok Inah tidak berani mengatakan bahwa ia menganggap Miranti seperti anaknya sendiri. Sebab ia hanya perempuan bodoh, jujur dan polos. Dulu di desanya, mbok Inah kawin kemudian diceraikan lakinya karena ia tidak memberikan keturunan. Bekas suaminya kawin lagi. Begitu mudah laki-laki menentukan.

Lama mbok Inah hidup dengan ibunya yang sudah tua di desa dan ketika ibunya yang tua meninggal dunia, mbok Inah pergi ke kota bekerja pada Miranti hingga sekarang ini. Dan mbok Inah selalu bercerita, kalau saja ia dulu kawin itu punya anak, sekarang inipun ia sudah bercucu.

"Sepi ngga ada anak-anak, ya mbok?" kata Miranti halus.

"Ya, bener", si mbok menjawab cepat. Miranti berdiri melangkah menuju kamarnya.

"Den, kalau Den mandi, mbok beli minyak goreng dulu", kata mbok Inah. Miranti mengangguk mengiyakan, dan masuk kamar.

Air hangat menyirami tubuh Miranti, terasa olehnya rasa segar. Kelelahannya berkurang.

Handuknya ia belitkan di atas kepalanya menutupi rambut. Tubuhnya belum kering benar. Tetes-tetes air bekas mandi masih tampak di sana sini, tapi ia ingin segera keluar kamar mandi dan mengeringkannya di kamar. Dipakainya kimono tanpa diikatnya talinya hanya dirapatkan dengan tangan, menutupi tubuhnya yang masih belum selembar pakaian dalam apapun.

Miranti membuka pintu kamar mandi yang berhubungan  langsung masuk kamarnya. siapakah di sana? Miranti hampir menjerit tapi suaranya tak sanggup keluar.

Ketakutan, kebingungan yang amat sangat meliputi dirinya. Matanya setengah terbelalak. Dia hampir tidak percaya pada penglihatannya.

Robby anak tetangga itu sedang duduk-duduk seenaknya di tempat tidur Miranti. Lancang benar dan lancang sekali matanya. Tangan Miranti bertambah  erat merapatkan kimononya.

"Robby ... sedang apa kau di sini? Keluarlah, Tante akan berpakaian. Atas ijin siapa kau masuk di kamar ini?" tanya Miranti beruntun. Robby tersenyum-senyum kurang ajar.

"Mbok Inah tadi ke warung, saya masuk dan Tante di cari-cari ngga ada. Taunya mandi. Saya terus masuk sini, bolehkan?"

"Ya, tapi sekarang keluarlah dahulu!" Miranti berjalan ke pintu akan membukakan. Robby berdiri, tersenyum lagi, tambah berani.

Miranti melirik, ia sadar pintu dikuncikan Robby. Miranti mundur menjauhi Robby. Hatinya syak sudah, Miranti meraba apa yang dimaui anak itu padanya. Ketakutannya bertambah, ia mundur lagi.

"Berpakaianlah, Tante, jangan takut, saya tidak apa-apa. Saya dan Tante sudah berkawan, kita ngobrol-ngobrol saja seperti biasa."

"Tidak di kamar ini!" pinta Miranti lirih.

"Ala, Tante, jangan pura-pura, saya tahu arti kesepian bagi seorang janda seperti Tante". Mata Roby jalang memerah.

"Apa maksudmu?" Miranti mempererat pegangannya pada kimononya.

"Mari dekat saya, nanti Tante tahu maksudku". Roby mendekat suaranya membujuk.

"Saya akan jaga rahasia ini, Tante! saya maklum Tante takut, malu ketahuan orang-orang". Roby tampak tambah mendekat mencoba memegang lengan Miranti.

Miranti mengelak menjauh. Roby mencoba lagi menangkap. Kejar mengejar di kamar yang tidak berapa luas itu terjadi. Miranti putus asa ketika ia tertangkap tangannya oleh Roby.

"Lepaskan, lepaskan", teriak Miranti tersengal-sengal.

Roby mencoba memeluknya. Miranti berusaha mengelak dan tangannya bertambah kencang mencekal kimononya. Handuk dikepalanya terlepas, rambutnya tergerai.

"Lepaskan, lepaskan", teriak Miranti ketakutan.

Terdengar pintu dicoba dibuka orang: Roby tidak mendengar itu sebab ia tambah bernafsu berusaha menyeret Miranti ke tempat tidur.

Napas Miranti tersengal-sengal, mengelak-elak ciuman Roby yang tampak bagai orang kesetanan.

"Lepaskan ... lepaskan", suara Miranti mengigil.

Miranti bergerak lebih kuat dan ia menyentuh meja kecil di samping tempat tidur.

Lampu dan barang-barang kecil lainnya tumpah menimbulkan suara berisik.

Roby bertambah kalap, pelukannya pada Miranti bertambah. Ia tetap berusaha merebahkan Miranti di tempat tidur.

Sebelah tangan Roby berusaha menarik tangan Miranti yang bagai terpaku di kimononya dan sebelah lagi sibuk memeluk Miranti yang mengamuk mengelakkan usaha itu.

Dar! ... Pintu terbuka dengan paksa, Roby terkejut, sadar, melepaskan pelukannya dan tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, melompat melalui jendela, keluar ke halaman menembus pekatnya malam.

Begitu Roby melepaskan pelukannya Miranti segera melihat bahwa Dimas yang melakukan itu. Bagai tersengat ia melompat menghambur ke dalam pelukan Dimas yang kelihatan berusaha mau mengejar Roby. Tapi karena terhalang tubuh Miranti yang lemas menangis dengan histeris dalam pelukannya, usahanya terhalang.

Tubuh Miranti menggigil  menyembunyikan wajahnya pada dada Dimas seakan mohon perlindungan. Dimas memeluknya lebih erat dan membiarkan Miranti menangis beberapa saat. Rasa aman menelusuri tubuh Miranti dan tangisnya mulai berkurang.

Mbok Inah berdiri diluar kamar, terpaku melihat kejadian itu. Kamar Miranti porak poranda.

Dimas melihat Miranti dalam keadaan setengah telanjang, setengah berbisik ia bertanya.

"Kau tidak apa-apa bukan?" Miranti menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengangkat wajahnya dari dada Dimas dan merenggangkan tubuhnya dalam pelukan Dimas.

Miranti mulai tenang. Ia merapatkan lagi kimononya yang hampir terbuka itu.

Mata Miranti menangkap adanya kecurigaan di wajah Dimas. Perlahan, dengan suara yang masih gemetar Miranti berusaha menerangkan keadaan, kejadian yang sesungguhnya.

Dimas memegang kedua bahu Miranti menatap mata Miranti yang berurai air mata, mendengarkan keterangan itu.

"Bajingan akan kupukul dia!" wajah Dimas merah, menahan marah dan melepaskan tangannya dari bahu Miranti dan bergerak akan keluar rumah.

"Jangan, jangan, Dimas, jangan kau lakukan itu, memalukan", suara Miranti memohon.

"Aku bisa menyelesaikan dengan baik-baik pada orang tuanya", kata Miranti patah-patah. Tubuh Miranti bagai melayang akan rebah. Dimas menurut dan cepat membimbing Miranti duduk di kursi.

"Mbok, ambilkan air minum", perintah Dimas pada mbok Inah yang masih berdiri terpaku di tempatnya.

Mbok Inah segera menjalankan perintah itu. Dimas menyeret kursi ke hadapan Miranti yang duduk terkulai dan dengan hati-hati meminumkan air minum itu padanya.

Miranti tidak menolak, meminum air putih yang disodorkan ke mulutnya itu sedikit.

"Ya, Tuhan rupanya Kau mengirimkan aku ke sini", terdengar Dimas mengeluh. Miranti duduk tegak memandang pada Dimas. Ia merasa sudah cukup tenang. Kini Miranti ingat bahwa dirinya belum berpakaian selayaknya.

"Aku ganti pakaian dulu", kata Miranti perlahan.

Dimas mengangguk mencoba menolong Miranti berjalan ke pintu kamar. Miranti menolak halus.

"Aku sudah tidak apa-apa, aku bisa berdiri".

Lama juga Miranti di kamarnya. Ketika keluar ia sudah berpakaian rapih, hanya wajahnya yang masih pucat bekas ketakutannya tadi. Di meja ada segelas susu lembu yang panas.

"Minumlah susu itu, Anti", kata Dimas lembut. Rasa segar dan kekuatan serta kesadarannya pulih, wajahnya mulai memerah.

"Aku heran kerinduanku datang di rumah ini mendesakku. Hingga aku lupa pada janjiku sendiri", kata Dimas.

Miranti melihat wajah Dimas seolah bertanya-tanya. "Janji apa?"

"Aku berjanji berusaha mulai menjauhi sedikit demi sedikit Bram dan Maya. Aku tidak mau terlampau melibatkan diriku dengan anak-anak itu, karena aku tahu kau membenciku. Tetapi betapa sukarnya", Dimas mengeluh.

"Aku tidak membencimu ... kau dewa penolong", kata Miranti.

"Ya. tidak lebih dari itu, aku hanya dewa penolong", sahut Dimas.

"Aku tidak berani mengatakan lebih dari itu".

"Mengapa?" tukas Dimas.

"Sebab aku rasa tidak hanya kau merindukan kami, demikian aku sebaliknya.

Miranti menunduk, ia merasa kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya.

"Kalau begitu kita kawin!" cetus Dimas memandang Miranti.

"Tidak mungkin, ini tidak mungkin", kata Miranti cepat.

"Mengapa tidak? Sedangkan kau tahu aku mencintaimu juga anak-anakmu.

"Ya, aku tahu, tapi aku tidak berhak memilikimu. Tanpa kau harus kawin denganku, Bram dan Maya tetap memiliki cintamu. Karena kau tetap paman anak-anakku sampai kapan pun".

"Tapi kau juga tahu aku mencintaimu?" Dimas setengah berteriak.

"Ah, kau terlalu mengaburkan rasa kasihanmu padaku dengan rasa cinta", Miranti tersenyum.

"Haruskah kuulangi lagi kata-kataku bahwa aku mencintaimu seperti layaknya seorang laki-laki terhadap wanita. Hanya satu kebetulan saja kau bekas isteri kakakku", kata Dimas lagi.

"Kawinlah dengan gadis lain, nanti kau bisa mengerti apakah itu cinta apa itu kasihan", kata Miranti setengah tertawa.

"Jangan tertawakan aku, kau tidak usah-usah berputar-putar. Aku melihat dari sikap tertawamu. Dan jangan kau katakan kau tidak berhak memilikiku. Aku yang tidak berhak memilikimu." kata-kata Dimas tajam.

"Karena aku juga tidak ingin memiliki orang yang tidak mencintaiku", kalimat itu hampir tidak terdengar hanya untuk dirinya sendiri.

"O ya, sebetulnya aku ke sini mau pamit. Pertengahan bulan ini aku berangkat lagi ke Jerman, atasanku mengusulkan untuk kurang-lebih satu bulan. Tapi kupikir kalau aku betah mungkin aku akan lama di sana", kata Dimas. Suaranya datar, tidak menunjukkan kepedihan di hatinya.

Hanya Miranti melihat wajah Dimas merah padam, dan di pelipis dekat matanya mengumpul urat-urat kecil yang menegang.

Dimas bangkit berdiri menghela napas, mengambil korek api di meja dan menyalakan rokok. Miranti masih juga diam. Untuk melepas ketegangan hatinya  tak sadar ia menghabiskan susu di gelas tadi. Gelas yang sudah kosong itu ia bawa ke dapur, meninggalkan Dimas di ruangan itu sendiri.

Mbok Inah di dapur melihat Miranti berdiri termangu-mangu dekat rak piring.

"Den, maapin Mbok, Den, Mbok salah, ngebolehin tuan muda Roby masuk rumah tadi. Kirain Mbok dia anak baik, anak sopan, Mbok ngga nyangka, bener ngga nyangka", suara Mbok Inah penuh penyesalan.

"Mbok tidak salah", Miranti menggelengkan kepalanya.

Miranti sudah bisa melupakan peristiwa tadi. Yang kini menyelimuti hati dan memenuhi pikirannya adalah kepergian Dimas. Air matanya berkumpul di pelupuk matanya dan ketika akan jatuh cepat dihapus dengan tangannya.

"Aku mau pulang, kalau boleh aku minta kau bersama anak-anak mengantarkanku ke lapangan terbang nanti. Pergi dengan kapal terbang buat Bram adalah pergi yang lama dan jauh. Ini fakta baginya sehingga dia mengerti dan tidak menanti-nanti kedatanganku". Dimas berjalan meninggalkan dapur diikuti Miranti.

"Kau tidak tunggu anak-anak datang? Sebentar lagi mereka datang diantar Harri". Miranti tiba-tiba ingin Dimas tidak cepa-cepat meninggalkan rumahnya.

"Tunggulah sampai mereka datang!" kata Miranti lagi lirih. Dimas membalik menatap mata Miranti. Dimas melihat mata itu meredup, bersinar, membiru, menjadi kelabu, gemerlap, pudar. Apakah yang ada di sana?

"Alangkah sulit mencernakan hati wanita. Tidak mudah. Sayang, aku tidak ditakdirkan sebagai seniman". Dimas menggelengkan kepalanya perlahan, menghapus kebingungan kata hatinya.

Miranti mengantar Dimas sampai ke pintu.

"Pertengahan bulan berarti kurang lebih seminggu lagi?" tanya Miranti. Dimas mengangguk lemah. Dan sekali lagi ia menatap ke dalam mata Miranti. Seolah ingin menegaskan. Sekali ini, Miranti gugup. Hatinya bergetar. Dimas masih beberapa detik berbuat itu, tanpa melihat atau mempedulikan kesenduan hati Miranti. Kemudian, seperti disadarkan. Dimas memaksakan dirinya untuk tersenyum. Tangannya menyentuh bahu Miranti, sejenak kemudian berbalik tanpa mengucapkan sepatah katapun. Miranti tidak mau mengakui bahwa hatinya menangis saat itu. Juga Miranti tidak mau mengakui pada dirinya bahwa hari-hari setelah itu akan dilaluinya dengan gelisah.

Ia berusaha melibatkan dirinya dengan pekerjaan di salon, juga urusan rumah tangganya. Tapi hampir-hampir ia kehilangan semangat. Hatinya makin susah dan trenyuh melihat Bram akhir-akhir ini kurang kegembiraan. Kalau mendengar deru mobil, Bram berlari ke depan rumah, diikuti Maya dan berkata dengan kecewa.

"Bukan, bukan Papa Dimas, Papa amaa ... deh atengnya", jawab Maya penuh kerinduan hati bocahnya. Miranti menangkap suara pembbicaraan anak-anak itu.

****

Ketika Daun Berguguran

MALAM-MALAM Miranti menerima telpon dari Dimas, telpon yang singkat seperlunya dan memberitahukan bahwa Dimas besok jadi berangkat ke Jerman dan ... pesawatnya 'take off' jam 7.00. Supir kantor Dimas akan menjemput Miranti, Bram dan Maya jam enam lima belas menit. Kabar itu sempat membuat Miranti tak bisa tidur, penyakit susah tidur yang sekian lama tidak datang-datang rupanya kumat lagi. Sehingga pagi ini mata Miranti tampak kuyu dan lesu.

Sejak jam lima, Bram dan Maya sudah dibangunkan. Mereka keduanya diberitahu akan mengantar Dimas pergi ke luar negeri.

Anak-anak itu tidak susah diurus kali ini. Mereka menurut apa perintah Miranti. Biasanya dipakaikan baju yang satu, yang satu lagi lari. Kali ini kedua anak itu patuh. Mereka senang ada harapan ketemu Dimas dan mau lihat kapal terbang. Mereka tidak bertanya-tanya banyak tentang hal-hal lain.

Setelah minum susu dan memasukkan roti ke dalam kotak, ketiganya berangkat. Wajah Bram cerah, gembira dia, menyanyi, bercakap-cakap dengan Maya tak berhenti, demikian sebaliknya juga Maya.

Sesampai di lapangan terbang, Dimas datang menyongsong mereka, membukakan pintu mobil. Jas yang dipakai Dimas berwarna kuning gading, hem di dalamnya berwarna coklat gelap, berdasi coklat terang berstrip putih keabu-abuan. Mungkin sekelabu hatinya saat itu.

"Alangkah tampannya Dimas", bisik hati Miranti. Kata mamaku benar, Dimas 'simpatik'. Kata Harri juga benar Dimas 'handsome dan mature', ganteng dan tampak mateng. Aku tidak berhak memilikinya. Dia masih punya kesempatan banyak memiliki dan dimiliki gadis, ya gadis yang murni dan utuh." Bram dan Maya berhambur ke pelukan Dimas dengan kegembiraan yang meluap.

"Papa ... Papa", kata Maya dan Bram. Dimas seperti biasa menciumi mesra kedua anak itu. Tapi kali ini cuiman itu begitu tampak penuh perasaan. Sejenak Dimas memandang tajam ke arah Miranti. Bram dan Maya masih dalam pelukannya.

Mata itu seolah bertanya: "Tegakah kau memisahkan kami ini?"

Miranti berusaha melukiskan senyum di wajahnya, menyembunyikan hatinya yang kelabu saat itu. Ia merasa kecut dan tak menentu.

Di ruang tunggu, telah berkumpul saudara-saudara Dimas yang lainnya: Budi, Rini, paman Kris dan bi Tia, juga Lusi. Mereka tersenyum menyambut Miranti. Miranti membalas, tapi terasa kekakuan suasana pagi itu. Atau hanya nperasaan Miranti sajakah?

Senyum terasa hambar dan dipaksakan. Lusi yang biasa bawel dan lincah, pagi ini tampak lesu duduk di samping ibunya.

"Mana Ibu?" tanya Miranti ingin menembus kekakuan itu.

"Ibu sedikit sakit, dan takut tambah sakit kalau kesini. Angin di airport ini besar", jawab Rini.

Terlintas dalam bayangan Miranti, Ibu mertuanya tadi menangis melepas Dimas. Dimas yang akan pergi lagi, mungkin untuk waktu yang tak dapat ditentukan. Si ibu mungkin cemas bertanya di bathinnya, dapatkah ia bertemu lagi dengan si bungsu dalam usianya yang sudah setua dan sakit-sakitan itu?

Tiba-tiba hati Miranti merasa bersalah, aku kah yang menyebabkan semua ini? Mata Miranti berputar melihat ke sekeliling. Tampak paman Kris ngobrol-ngobrol dengan Budi, suaranya hampir tak terdengar.

Bi Tia membisikkan sesuatu pada Lusi yang masih saja duduk diam-diam di samping ibunya. Rini duduk termenung memeluk tas, pandangannya hanya pada satu tempat. Miranti sampai pada Dimas yang duduk di antara Bram dan Maya.

Di wajah itu tidak ada cahaya kegembiraan sedikit pun, mulutnya terkatup, rahangnya mengeras. Kadang tangannya mengelus kepala Maya atau kepala Bram. Wajah Bram dan Maya gembira sekali. Mereka ingin cepat melihat melihat-lihat kapal terbang. Terdengar ajak mereka.

"Lihat kapal terbang yuk, Papa!" Dimas tidak menjawab. Ia hanya melihat saja pada Bram dan Maya.

Seorang laki-laki datang menghampiri Dimas memberikan surat-surat. Rupanya pegawai kantor Dimas yang mendapat kepercayaan mengurus surat penting untuk keberangkatan Dimas.

Dimas hanya mengangguk menerima surat itu. Miranti hampir tidak pernah melihat Dimas bicara sepatah pun pagi itu.

"Setiap perpisahan memang menyedihkan", kata hati Miranti.

Dimas berpaling ke arahnya, Miranti lambat mengelak pandangan itu. Suara seorang 'announcer' berkumandang dalam bahasa Inggris yang sempurna, memberitahukan kepada penumpang pesawat 'Singapore Airlines' dengan tujuan Singapore bahwa sebentar lagi pesawat akan berangkat. Para penumpangnya diharapkan siap-siap dan segera datang di ruang pemeriksaan untuk keberangkatan.

Dimas berdiri begitu tenang. Lusi seperti terkejut tersentak melihat Dimas berdiri. "Apa Dimas dengan pesawat ini?" tanya Lusi melompat menghampiri.

"Ya", jawab Dimas.

"Dimas 'stop over' di Singapura terus ganti pesawat di sana", paman Kris menerangkan.

Lusi mendekat pada Dimas. Dimas memeluk dengan sebelah tangannya mencium kening Lusi.

"Belajar rajin, ya?" kata Dimas lemah.

"Kapan Dimas pulang? Kenapa tidak bisa ditentukan sih? Sebulan? Dua bulan? Atau setahun? Atau Dimas mau menetap lagi di sana, kembali pada pacar bule mu?" tanya Lusi beruntun wajahnya sedikit gelisah.

"Bibi heran, kau tidak betah di tanah airmu sendiri sampai-sampai ada niat netap di negara orang, apa iya? Kapan pulang, nak?" Bi Tia menatap mata Dimas. Dimas mengelak pertanyaan itu mencium kedua belah pipi bibinya.

"Aku tak sangka jiwamu petualang", kata paman Kris tertawa hambar menepuk bahu Dimas dan meneruskan kata-katanya. "Rupanya kau ada pacar di sana. Seandainya mau kawin dengan orang sana usahakan dia mau dibawa ke sini". Dimas mengangguk tertawa lirih. Miranti ikut memperhatikan pembicaraan itu. Miranti menangkap dengan pengertiannya, Dimas tentu pamit pada mereka dengan batas waktu yang tidak ditentukannya.

Dan hati kecil Miranti memastikan, bahwa persoalan dia dengan Dimas tidak ada yang tahu.

Hanya Rini masih duduk. dia tidak lagi termenung. Wajah itu kini murung. Rini dan Budi tidak banyak berkata, dia tidak ikut bertanya kapan Dimas akan pulang. Dimas menghampiri Rini yang masih juga duduk. Dan Miranti melihat kedua bersuadara itu berpelukan lama seakan tak mau lelepas.

Mata Rini basah berurai air mata. Budi menepuk bahu Dimas dan menjabat erat tangan Dimas. Keduanya berpandangan sejenak, Budi mengguncangkan tangan Dimas beberapa kali. Tidak ada yang mengucapkan kata-kata sepatah pun. Buat laki-laki kata-kata memang kadang-kadang tidak perlu. Jabat tangan dan pandangan yang sejenak itu sudah cukup merangkup banyak pengertian.

Dimas dengan tenang melangkah menghampiri Bram dan Maya yang berdiri tegak dekat Miranti. Ketenangan itu goyah. Dimas begitu tersaruk dan tergopoh memeluki Maya, juga Bram dan mencium kedua pipi anak-anak itu.

"Jangan nakal ya, Bram, Maya? Jaga Mama", kata Dimas berbisik. Di pelupuk matanya tampak mengambang air mata. Tapi tidak semua dapat melihat air mata yang membayang itu. Mungkin hanya Miranti sendiri.

"Papa naik kapal terbang, mana kapal terbangnya?" tanya Maya.

"Ayo kita lihat dari atas", Bram dan Maya diajak paman Kris dan Lusi naik ke atas.

"Kita melihatmu dari atas, Dimas, kita tentu tidak boleh mengantar masuk sampai landasan", kata Budi. Dimas mengangguk dan berbalik menghadap Miranti.

Rini mengajak Budi dan bi Tia untuk naik mengikuti Bram dan Maya. Membiarkan Dimas berpamitan pada Miranti.

"Bagaimana dengan Robby tetanggamu itu?" tanya Dimas. Miranti heran dalam suasana begini Dimas masih sempat menanyakan itu padanya. Dengan masih diliputi keheranan Miranti menerangkan.

"Sebelum aku datang pada orang tuanya, setan kecil itu menulis surat padaku minta maaf dan mohon padaku untuk tidak membuat orang tuanya malu. Ia menyesal dan ini sudah cukup buatku."

"Syukurlah pengganggumu sudah insyaf. Inipun selalu menjadi pikiranku", kata Dimas perlahan.

"Dan kini, saat inipun seorang pengganggumu juga akan pergi, akan berusaha menghindarimu". Suara Dimas penuh sindiran.

"Aku tidak pernah merasa kau menggangguku", bisik Miranti hampir menangis. Dimas senyum mengeluh:

"Selama hidupku kali inilah aku merasa paling benci pada diriku sendiri, aku pengecut, pengecut", suara Dimas tegang.

"Semoga kepergiaanku membuat kau bahagia dan menemukan seseorang yang akan membuatmu berpikir. Untung kau tidak sampai mengawini seorang janda", kata Miranti.

"Ah, Anti, tidak semudah seperti yang kau duga", kata Dimas.

Suara announcer berkumandang lagi. Dan kali ini bukan suara peringatan tapi panggilan kepada penumpang-penumpang Singapore Airlines untuk segera masuk ruangan khusus penumpang. Dimas memegang bahu Miranti, dan berkata lembut tenang dan mantap.

"Selamat tinggal, Anti". Ia meninggalkan sekecup ciuman di pipi Miranti kemudian bergegas menuju pintu. masuk meninggalkan Miranti yang terpaku di tempatnya. Saat itu hati Miranti ingin berteriak. "Jangan pergi, Dimas". Tapi itu tidak mungkin. Miranti sadar akan dirinya. Ia segera berjalan menaiki tangga gedung menuju ruang atas menyusul yang lainnya untuk melihat keberangkatan Dimas. Bram dan Maya tampak gembira melihat Miranti datang.

"Mama, liat Mama, tuu ... kapal terbang Papa besal", kata Maya. Di landasan tampak empat buah pesawat. Dan pesawat  yang akan ditumpangi Dimas terletak tepat ditengah-tengah landasan itu. Sebuah pesawat sudah akan terbang, suaranya mendengung, mengguruh memekakkan telinga.

Bram dan Maya sambil menutup kuping memperhatikan terus. Mereka senang sekali, melihat tanpa berkedip, sampai pesawat itu terbang ke udara.

"Serem ya, Mam?" kata Bram.

"Yang itu kapal papa Dimas, ya Mam?" tanya Bram menunjuk. Miranti mengangguk. Kapal yang ditunjuk Bram tadi siap dimasuki penumpang-penumpang yang datang satu-satu, dan ada juga berbondong dua tiga orang menghampiri. Miranti menjenguk melihat ke bawah diikuti Bram dan Maya. Bahu kedua anaknya itu dipegang erat agar tidak jatuh. Tampak Dimas berlalu. Hati Miranti berdetak keras.

"Papa! ...," teriak Bram dan Maya bersamaan, ketika anak-anak itu mengenali Dimas yang berjalan di bawahnya.

Dimas berhenti setengah jalan melihat ke atas melambaikan tangan. Bram, Maya membalas lambaian itu, juga Miranti. Perasaan Miranti terasa hampa dan kehampaan dan kehampaan itu makin terasa ketika Dimas sudah sampai di bawah tangga pesawat dan melambaikan sekali lagi tangannya. Miranti tak kuasa mengangkat tangannya untuk membalas lambaian itu. Dimas menginjak tangga itu setingkat demi setingkat, kemudian menghilang ke dalam perut pesawat. Ada yang mendesak terasa di dada Miranti. Ia melirik melihat pada Bram dan Maya. Kedua wajah anaknya itu basah penuh air mata. Kemanakah kegembiraan tadi? Wajah-wajah kecil itu muram dan terlara ketika pesawat itu mendengung keras tanda akan berangkat.

Bram terisak menutup wajahnya menyembunyikan tangis, Bram sudah mengenal rasa malu untuk menangis di depan umum. Maya menyurukkan kepalanya ke badan Miranti. Tubuh Miranti gemetar keras, ia berpegangan pada besi pembatas gedung itu. Miranti tidak bertanya mengapa mereka menangis, Miranti mengerti mereka sedang merasakan apa yang juga sedang ia rasakan saat itu.

Pesawat terbang itu berjalan kemudian menaik ... menjauh, berbalik, melintas keras di hadapan mereka dan menukik terbang ke angkasa ... dan ... menghilang.

Bram dan Maya erat berpegangan tangan, dan masih juga melihat ke arah dimana pesawat itu menghilang dan air mata Bram masih berjatuhan. Tiba-tiba perasaan berdosa melingkupi diri Miranti.

"Aku jahat, aku egois, aku munafik, aku renggutkan kebahagiaan berkasih sayang dari anak-anakku. Akuilah, akuilah dari diriku sendiri juga. Alasan kesetiaan pada Hermanto? Apa arti kesetiaan bila anak-anaknya ia hancurkan dalam genggamannya sendiri. Kebahagiaan yang tidak dibuat-buat adalah suatu anugerah-Nya. Cinta juga anugerah, mengapa mesti kutolakkan ini?"

Orang-orang, satu per satu meninggalkan tempat itu. Miranti dan anaknya masih tegak di situ. Tubuhnya terasa lunglai. Tidak, aku tidak boleh hanyut, anak-anakku butuh aku saat ini.

"Mama ... akan lamakah Papa?" Bram bertanya tersedu. Miranti memegang lengan Bram, tubuh anak itu dingin.

Ia pernah merasa Papa ada di dekatnya, kemudian lama baru datang dan kini pergi meninggalkan dia lagi. Ia juga pernah merindukan kepergian itu dan akan berulang lagikah? Tapi semua itu tidak jelas. Samar dan susah. Miranti tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Terasa ada yang menyentuh bahunya. Ia menoleh, Rini kakaknya Hermanto, juga Rini kakak Dimas. Ia berdiri di sana.

"Lakukanlah sesuatu, hanya kau yang dapat mengembalikan Dimas pulang kembali, aku hanya mengenal ... Ia adikku yang keras kepala, seenaknya, acuh, tapi semuanya itu ceritakan padaku semalam, baru semalam", kata Rini. Matanya berkaca-kaca. Miranti memeluk Bram. Matanya melihat ke arah Rini dan ia sadar matanya basah sejak tadi.

"Tulisilah ia surat", kata Rini lagi. Rini membuka tas tangannya mengeluarkan sebuah amplop, diberikannya pada Miranti dan berkata:

"Dimas menitipkan ini padaku. Ada surat penting lainnya, besok kubawa ke rumahmu".

Miranti menerima amplop itu. Ia meraba dan membaca. Rupanya lipatan surat Dimas dialamatkan padanya.

Mobil Dimas kembali mengantarkan Miranti, Bram dan Maya pulang ke rumah. Supir mengendarai mobilnya perlahan tidak tergesa. Supir itu sudah tua dan hati-hati dan ia yang dipercaya Dimas menjemput dan mengantarkan Miranti.

"Tuan Adrianto sudah berangkat?" tanya supir itu berbasa basi.

"Ya, Dimas Adrianto sudah berangkat", jawab Miranti. Kemudian hening, semua terdiam. Kemurungan terasa di mobil itu. Bram duduk di sudut tidak bergerak-gerak, matanya basah. Maya sibuk mengunyah roti bawaan dari rumah tadi.

Perlahan Miranti membuka surat dari Dimas yang sejak tadi masih digenggamnya. Dikeluarkannya lembaran-lembaran kertas berwarna biru dari amplop itu.

Miranti sayang,

Kalau kau baca surat ini segera, mungkin aku masih dalam perjalanan, masih dalam pesawat. Biasanya aku suka ngobrol dengan pramugari-pramugari yang sedang bertugas. Tapi kali ini kepalaku keletakkan di sandaran tempat duduk, mataku kututup. Bayangan kau dan anak-anakmu memenuhi hati dan perasaanku. Kalau aku wanita mungkin aku menangis berurai air mata. Tapi aku laki-laki, tidak mungkin berbuat itu. Tapi kau tahu Miranti, kadang-kadang tangis di hati laki-laki itu lebih pedih terasa. Tetes air mata laki-laki dihatinya akan berkumpul, menekan, menyesakkan. Dan tetes-tetes itu mungkin berubah menjadi kristal-kristal atau batu-batu permata yang membeku dan akan lama tersimpan di hati itu. Kalau kau menunda lama membaca suratku, mungkin besok atau lusa, kukira aku sudah sampai di negeri tempat sekolahku dulu. Begitu aku menjejakkan kakiku di bumi sana, aku bertanya pada diri sendiri. Apa, apa yang akan kucari di sini?

Sebetulnya, kekasihku, Mirantiku sayang, aku kehilangan harapan masa datang. Aku kehilangan semangat. Hayalanku tentang kau dan aku sendiri, dan anak-anakmu, membalik memukulku sendirian. Kau tidak bersalah. Kau berhak menolak cintaku padamu seperti kau tahu aku tidak mau hidup dengan memaksakan cintaku pada orang yang aku kasihi dan sebaliknya orang itu tidak mencintaiku. Aku berdosa pada prinsipku sendiri. Terus terang aku benci pada diriku sendiri. Saat ini aku jadi pengecut, aku melarikan diri karena cinta yang ditolak. Memalukan!

Akan cukupkah keberanianku? Aku tidak jujur membohongi diriku sendiri mengatakan aku sanggup. Aku selalu merindukanmu dan anak-anak. Ini kelemahanku yang melibatkan aku dan engkau selalu saja terlintas-lintas dalam bathin dan pikiranku, keterlaluan! Aku membongkar mencari diriku sendiri, dimanakah sebenarnya permulaan dari cerita ini? Ketika aku kanak-kanakkah? Aku, kak Rin dan mas Hermanto, kami anak-anak biasa seperti layaknya anak-anak di mana pun di dunia ini. Menangis apabila kesakitan atau tersentuh nyeri, gemetar mencari perlindungan bila ketakutan, tertawa gelak bila kegirangan. Itulah kami.

Terlebih-lebih aku ini bila minta gula-gula, aku bisa mendapat itu dari man-mana. Yaitu, ya, kakak-kakakku. Tak ada satupun kenangan yang menyakitkan masa kecilku. Tapi ada satu hal yang punya pengaruh besar dan terus tersimpan di sudut hatiku ini sampai dewasa. Aku merindukan kasih ayah dan aku menginginkan dan mendambakan itu. Sering terlintas tanya yang sanggup membuatku murung, bagaimanakah kasih ayah itu sesungguhnya? Besarnya kasih ibukulah yang sanggup menutupi desakan tanya yang sering tersendat-sendat terasa ingin memecah keluar. Tapi sifat-sifat jelekku masih juga terbawa sampai aku dewasa seperti ini. Aku tidak hendak membela diri, aku menjadi tak acuh dan seenaknya, ini karena sengaja tadi-tadinya. Bila temanku bicara tentang ayah, aku tidak pernah ada keinginan untuk mendengar, aku anggap itu angin lalu. Tapi kenyataan demi kenyataan kuhadapi. Kehidupan yang lengkap tambah kuketahui terdiri dari ayah dan ibu dan anak. Bukankah begitu, Anti?

Setelah dewasa tentu aku pun mengenal cinta kasih dalam bentuk lain. Bukan aku menyombong. Sekian kali ada gadis jatuh cinta padaku dan aku berusaha membalasnya. Herannya tambah kudekati, tambah aku merasa, bahwa sebetulnya tidak cinta di hatiku.

Selain cinta ibu dan saudara-saudaraku, aku selalu teringat kasih ibuku yang demikian membentuk diri beliau sebagai ayah dan Ibu.

Pepatah jawa 'Witing tresno jalaran kulino', tidak berlaku bagiku. Sekian gadis berlalu dalam kehidupanku, walaupun aku berusaha tidak pernah menyakiti hati mereka. Tentu tak mungkin aku melukai kaum ibuku itu. Akhirnya aku bertanya pada diriku, apa sebetulnya yang kuingini? Kasih ayah? Gila, ini tidak mungkin. Syukur pada Tuhan, aku masih diberi kesempurnaan lahir dan batin, rohani dan jasmani. Aku tidak pernah jatuh cinta pada orang sejenisku. Dan mudah-mudahan ini tidak pernah terjadi. Aku ingin hidup bagai manusia normal biasa. Lantas apa? Pertanyaan ini segera terjawab.

Antiku sayang. Biarkan aku memanggilmu begini. Kematian suamimu, Hermanto kakakku itu, hampir memberikan jawaban bagiku. Mungkin inilah permulaan ceritaku.

Bencana, musibah itu membuat aku hampir tak dapat menahan diri. Kesedihan bukan alang kepalang. Selain kesedihan kehilangan saudara yang amat kukasihi, aku teringat anak-anakmu. Bram dan Maya. Mereka kehilangan kasih sayang seorang ayah seperti aku, juga seperti ayahnya, juga seperti Rini.

Aku bisa menangis dan sanggup mengurung diri dikamarku seharian, bila aku terkenang kau, Bram dan Maya, walau aku belum pernah ketemu dengan anak-anak itu. Saat berita kematian itu keterima, aku sedang ujian terakhir. Tadinya aku mau nekad pulang ke tanah air. Untung bi Tia dan paman Kris mengingatkan sehingga aku sadar bahwa ini tidak menguntungkan.

Dan ada sebuah janji di hati kecilku. Aku ingin memberikan kasihku, cintaku pada anak-anak itu. Anak-anak itu jangan kehilangan kasih ayahnya sama sekali.

Rinduku pada anak-anakmu hampir menyaingi rinduku pada ibu. Tapi semua itu kutahan. Setelah aku lulus, aku tidak segera pulang, aku bekerja dulu di negeri orang. Uangnya sebagian kusimpan, kubawa ke tanah air sedikit buat ibuku dan lainnya aku masukkan tabanas atas nama anak-anakmu (Rini akan menyerahkan surat-surat ini padamu). Jangan kau merasa tersinggung. Aku tidak bermaksud apa-apa Miranti, kau mungkin ingat akan hari kedatanganku di airport dulu, betapa aku bahagia ketika Bram meneriaki  aku dengan panggilan "Papa!" ... Perasaanku melambung, serasa ada seribu bidadari menyanyi di atas menyambutku saat itu.

Kerinduanku terobati dan merasa terimbangi. Memang, perasaan si Bram halus dan peka sekali. Mataku mencari kau, mamanya si Bram, aku merindukan pertemuan ini. Dan tahukah engkau betapa hatiku saat itu? Aku melihat kau berdiri termangu, wajahmu bagaikan bercadar sutera ungu. Aku melihat menembus cadar itu. Suatu kecantikan yang kau miliki, yang sanggup membuatku gemetar. Aku tidak pernah merasa seperti itu, aku tidak mengerti perasaan apa sesungguhnya yang menyelimutiku saat itu. Yang terang, yang dapat kurasakan, adanya sentuhan perih di ulu hatiku, namun mengasyikkan. Dan aku ingin selalu mengulang-ulang rasa itu.

Pada dasarnya memang manusia itu kadang suka menyakiti diri sendiri. Seperti juga aku, saat itu sudah berani bertekad dalam relung hatiku yang paling suci, aku akan memilikimu, tidak hanya anak-anakmu saja. Aku ingin membentuk suatu yang pernah kurindukan, ayah ibu dan anak-anak.

Pertanyaan yang selama ini mengambang sudah dapat kujawab. Inilah keinginanku. Aku mencintai anak-anakmu, anak-anakmu mencintaiku. Dan aku juga ingin kau mencintaiku, seperti aku mencintaimu. Aku berani memastikan, yang perih mengasyikkan tadi, itu adalah perasaan cinta. Cinta yang datang dari lubuk hatiku, bukan perasaan kasihan. Aku memang serakah atau karena aku terbiasa mendapatkan apa yang kuingini sehingga kukira kali ini pun mudah, walau rasa ngeri dan kecut sering melanda diriku. Kalau melihatmu pada permulaannya, kau seolah begitu membenciku, curiga, tapi aku tidak peduli, nekad! Sebetulnya aku juga heran, sesabar inikah aku?

Kasih sayangku pada anak-anak makin bertambah, anak-anakmu memang lucu. Dan anak-anak itu mempertemukan kau dengan aku untuk bisa terlibat bersama-sama. Sebelumnya tidak pernah kebahagiaan seperti itu yang pernah kumiliki. Saat-saat bersama, kau, aku dan anak-anak.

Maafkan kalau aku menyangka bahwa saat-saat itu kau mulai mencintaiku (walau dugaanku tidak benar). Sinar matamu memancarkan sinar cinta. Ketika aku menggenggam tanganmu di perahu Taman Ria bersama anak-anak, aku merasa tanganmu gemetar, getar cinta. Ah, mungkin khayalanku saja. Bahkan ketika aku memelukmu dan menciummu di drive in theatre, aku merasakan tubuhmu gemetar, lembut, gemetarnya pesona cinta. Saat inilah aku sadar kau tidak mungkin mencintaiku, kau marah, kau tuduh aku yang bukan-bukan. Betapa pedihnya aku, aku terlalu optimis akan cintamu. Rupanya dunia lingkar cinta itu bukan milikku. Kau diam saja ketika aku mengatakan cintaku padamu, kau diam saja ketika aku mengatakan bahwa aku mau pergi. Aku tunggu, aku tunggu sampai saat keberangkatanku, mudah-mudahan masih ada cinta buatku. Aku terlalu banyak berharap.

Aku marah pada Rini ketika ia mengatakan "mungkin Miranti seperti ibu kita. Ibu kita juga menolak setiap lamaran yang diajukan pada beliau sesudah kematian ayah. Ia bahagia dengan kesendiriannya". Aku menjawabnya dengan pedih:

"Tapi kita tidak pernah mencintai siapa-siapa selain ibu. Sebab ibu bilang, lamaran itu hanya untuk ibu, seolah-olah tidak ada aku, mas Her dan kau Rini. Laki-laki semua takut dengan anak-anak ibu. Inilah perbedaannya, aku tidak seperti mereka, Bram dan Maya mencintaiku", aku berteriak menangis, seperti masa anak-anak dulu. Dan betapa aku juga mencintai mereka. Aku ingin membahagiakan mereka sepertimas Her pernah memberikan itu. Walaupun seandainya aku pun bukan adik mas Her", Rini terdiam. Dan aku mulai menulis kertas-kertas ini.

Miranti kekasih,

Kini kenyataan bagiku, cerana piala emas yang berisi anggur cintaku kau tolakkan. Kau tidak tumpahkan isinya. Tak mungkin ini dilakukan wanita selembut hatimu. Aku kembali manating cerana piala emas itu. Akan kubawa kemana? Aku merasa menelusuri hidup ini hanya sendirian, sepi ... sunyi ... dan saat ini aku berpikir tak seorangpun di dunia ini mau mengerti diriku.

Dan alangkah hebatnya, aku orang yang tidak mau mengemis cinta ini, akhirnya terluka dan dengan kesombongan yang kusadari aku berlari-lari, kuturuti hati ini.

Sebetulnya aku ingin membencimu, tapi aku tak bisa. Kau berdiri begitu agung, tegak mempesona dengan kedua anak milikmu di sisi-sisimu.

Kau tersenyum, kau menertawai diriku yang kini tersisihkan, kau sisihkan. Aku pergi karena tidak berani menghadapi kenyataan, walau perasaan berdosa pada ibuku menyelimuti diriku.

Ibu bertanya padaku, "Kapan kau mau kawin, ibu sudah tua. Ibu masih pingin sempat melihatmu bahagia".

Ah, Miranti.

Aku melantur-lantur, aku tidak tahu akan diriku. Mengapa aku menjadi seperasa ini. Herannya, aku masih ingin bertanya padamu. Betulkah tidak ada lagi cinta di hatimu? Semoga anak-anak bisa cepat melupakan aku. Kurasa anak-anak biasanya lebih cepat melupakan sesuatu. Betapa pedihnya aku dilupakan. Sebaliknya aku, mungkin dalam jangka waktu yang lama, baru dapat melupakan segala mimpi tentang dirimu, selamat tinggal kekasih, do'akan aku bisa setabah hatimu.

Panjang sekali lorong disana dan alangkah senyapnya. Tidakkah aku salah jalan? Entahlah, aku seperti orang linglung rasanya. Kehilangan pegangan? Tidak! Aku masih ingat pada-Nya.

Sobeklah surat ini, musnahkan, cukup kau baca satu kali saja. Dan bila kau berziarah di kubur suamimu, genggamlah bunga setaman, taburkan dipusaranya, bisikkanlah padanya "Wahai suamiku, bukankah hebat isterimu ini? Satu lagi pemuda yang punya cinta utuh, terkapar dihadapanmu. Kali ini anak-anakmu pun ikut terkapar.

Dan di sebuah kota yang cukup tenang tidak sepanik dan seramai Jakarta ini, jauh, jauh di seberang lautan, jauh dari sanak, dan jauh dari apa yang dicintainya. Di negeri orang, di tanah yang punya empat musim di mana satu musim hanya dihujani salju dingin yang membeku sebeku hati seorang pemuda asing, yang kini menambah jumlah penghuni kota itu.

Di sanalah pemuda itu berjalan memakai baju dingin yang panjang hingga batas lututnya. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku bajunya yang berwarna hitam. Ia juga bertopi hitam. Sehitam inikah hati pemuda itu?

Dan pada musim-musim lain, dia tetap berjalan sendiri. Merunduk kehilangan semangat. Pulang pergi ke tempat ia bekerja.

Pada waktu daun-daun berguguran, bunga-bunga berguguran, hatinya ikut trenyuh melayang-layang bagai daun pohon yang ringan jatuh ke bumi. Menyedihkan, pada waktu musim bunga itu bersemi kembali, pucuk-pucuk tunas bermunculan, hatinya tetap rawan. Ia menangis, laki-laki menangis di hatinya, hanya dihatinya."

Miranti, separah inikah akhir cintaku? Bram, Maya sedang mengapakah kau sekarang, anak-anakku?

TULISAN Dimas terhenti sampai di sini. Miranti terhenyak. Air matanya yang sejak tadi tak berhenti mengalir di pipi dihapuskannya perlahan.

Miranti hampir tidak percaya - benarkah - benarkah Dimas yang merintih-rintih ini? Dimas yang selalu tenang, mantap dan penuh kepercayaan pada dirinya, serapuh inikah hatinya?

Miranti membalik surat itu mencari yang lain, tetapi tidak ada. Dimas mengakhiri tulisannya begitu saja tanpa menuliskan tanggal atau pesan lainnya. Surat itu masih terbentang di pangkuan Miranti. Kemacetan-kemacetan lalu lintas selama perjalanan tak terasa. Ia terhanyut dengan tulisan Dimas.

"Tidak Dimas, kau tak akan melalui musim-musim itu di sana sendirian sebelum musim yang ada sekarang ini berganti, aku mengharapkan kau sudah kembali lagi diantara kami ini. Di antara cita-cita kami, aku Bram dan Maya", hati Miranti berbisik-bisik sendiri.

Terbayang olehnya lagi, kebersamaan yang pernah dilaluinya. Kenangan itu kembali menyentuh, menyendat. Ia merasa kehilangan.

Memang Dimas membawa kembali cerana piala emas yang pernah diberikan kepada Miranti, karena merasa ditolakkan. Cerana itu kini bersama Dimas. Tapi Dimas tidak tahu, anggur cinta di dalamnya telah tertumpah, tak sengaja ke dalam cawan perak yang sederhana milik Miranti.

"Aku telah mereguk sedikit air anggur itu dan aku bingung, mabukkah? aku? Entahlah, yang kurasa adanya kerinduan dan keinginan meneguk itu berulang-ulang."

"Dimas, bawalah kembali cerana piala emasmu itu. Kita akan selalu isi bersama. Juga cawan perakku. Jangan biarkan itu kosong, kalau perlu sekarang juga ... sekarang juga".

Miranti meneteskan air mata dan kali ini ia tahu, itu adalah air mata cinta yang tidak dibuat-buat dan tidak ditahan-tahan.

"Akan kembalikah Dimas pada kami ini?" Rasa takut menyelinap di hati Miranti. Ia akan kembali, kalau Tuhan menghendaki semua ini akan terjadi. Dan tidak ada halangan sekalipun bumi ini berhenti berputar, sebaliknya kalau ia tidak menghendaki? Ah ... aku harus berusaha. Manusia harus bersare'at dan aku akan berusaha.

"Tuhan, tolonglah, aku pasrah padaMu", bisik Miranti lirih.

Terbaca lagi kalimat terakhir surat Dimas.

"Bram, Maya, sedang mengapakah kau sekarang, anak-anakku?' Miranti melirik ke tempat Bram duduk. Anak itu masih diam, matanya masih basah. Maya tertidur lelap melingkar disebelahnya.

"Bram! sini ..." ajak Miranti menarik lengan Bram.

Bram mendekat. Miranti menghapus bekas-bekas air mata di pipi Bram dengan penuh kasih sayang.

Bramanti tersenyum menatap mata mamanya. Miranti memeluk anak itu ke dadanya. Kebeningan harapan terlintas di hati bocah itu, sebening harapannya juga.

****

Kembalilah Dimas.

RASA sunyi dan kesepian sebenarnya bukan suatu hal yang patut diherankan lagi oleh Miranti. Tetapi akhir-akhir ini kesepian itu terasa makin menjadi, walaupun kesibukkan di salon serta mengurus anak dan rumah tangganya tetap menyita waktunya. Rasa sepi ini menusuk bathinnya, terlebih bila Bram mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu sama. Mama, kapankah papa pulang? Masih lamakah? Masih lamakah papa datang?

Pertanyaan seperti ini pulalah yang pernah diajukan Bram dulu ketika ayahnya baru saja mmeninggalkan dia untuk selama-lamanya.

Miranti membaca kembali surat Dimas untuknya. Dan ia mengingat kembali surat yang telah ia tulis untuk Dimas beberapa hari setelah keberangkatannya. Surat itu ia kirimkan kesana dengan kilat tercata.

Dimas,

Aku telah membaca suratmu. Demikiankah adanya? Aku hampir tidak percaya dan tidak menyangka.

Dimas, aku sendiri tidak dapat menceritakan padamu perasaan apa yang kurasakan saat ini. Aku bingung, yang dapat kupastikan hanyalah aku merasa sunyi. Hari-hariku menjadi semakin sunyi semenjak keberangkatanmu. Hanya Tuhan yang tahu ini. Kuharap kau akan menghayatinya kembali. Semarah-marahnya kau padaku, kukira tak mungkin menutup hatimu pada kami ini, aku, Bram dan Maya.

Dan kau bukan milik tanah bersalju dimana keempat musim sempat berganti. Bukankah kau segera kembali setelah tugasmu selesai? Kembalilah ke tanah airmu, disini nyiur melambai, di sini matahari selalu bersinar terang sepanjang hari, di sini ibumu yang sudah tua dan tak berhenti mencintaimu.

Tegakah kau membuat satu keputusan yang bisa membuat sedih banyak orang, tidak hanya aku?

Begitulah isi surat yang sudah terkirim. Tapi Dimas belum menjawabnya. Miranti hampir tidak sabar lagi. Beberapa hari yang lalu ia bersama Bram dan Maya ketempat mertuanya. Ia tahu Dimas tentu menulis surat lagi buat ibunya itu. Ia mencoba menahan gemetar hatinya ketika ibu mertuanya memberikan surat Dimas padanya.

"Ini ada surat lagi dari Dimas untukku kau boleh membacanya, Mira. Dimas banyak bercerita tentang keadaannya di sana".

"Apakah ia baik-baik saja, bu?" Pertanyaan ini dilontarkan Miranti untuk menutupi keadaan hatinya saat itu.

"Kukira begitu". Suara Ibu mertua Miranti lembut, kemudian berlalu ke belakang menggendong Maya dan membiarkan Miranti membaca surat Dimas. Mata Miranti meneliti surat itu. Dimas bercerita, ia mulai meninjau ke pabrik dan bertemu dengan pimpinannya. Banyak soal kerja yang dibicarakan.

Beberapa kali Dimas diundang makan malam oleh orang-orang di perusahaannya, juga oleh beberapa keluarga orang Indonesia di sana. Berulang kali Dimas menyinggung tentang kesehatan ibunya, dan sebagai penutup ia menanyakan tentang Rini-kakaknya sekeluarga dan tentang Bram dan Maya, tanpa menyinggung nama Miranti sepatah pun. Dimas pun tidak menulis kapan ia akan kembali.

"Apakah Dimas belum menerima suratku?" pertanyaan di hati Miranti mengharu biru.

Dimas di luar negeri sudah hampir tiga minggu. Miranti tahu berapa surat sudah terkirim lagi buat ibu mertuanya. Bahkan Rini pun sudah menerima surat Dimas.

Kemarin Rini datang menengok ke rumah Miranti.

"Mira, apakah kau mengiriminya surat?"

"Dua minggu setelah keberangkatannya, saya menulis untuknya. Saya mendapatkan alamatnya dari ibu", sahut Miranti.

"Aku tahu, bukan hakku menanyaimu tentang isi suratmu, tetapi ...". Rini menghentikan katanya.

"Saya mengerti", sahut Miranti, kepalanya menunduk.

"Ia tidak pernah menyinggung tentang kapan ia kembali, mungkinkah sudah tetap keputusannya bahwa ia akan menetap di sana lagi?" Rini seolah bertanya pada dirinya sendiri.

"Apakah kau mengharapkannya kembali?" tanya Rini hati-hati.

"Saya menulisnya demikian", sahut Miranti amat perlahan.

"Aku tidak pernah mempengaruhimu, bukan? tanya Rini.

"Apakah kak Rini berpikir demikian? Ataukah Dimaskah yang menyangka demikian?" tanya Miranti, matanya membesar berkilat.

Rini tidak menyahut, ia menggelengkan kepalanya, menarik napasnya perlahan.

Hari-hari Miranti berlalu penuh penantian.

"Dimas tidak percaya padaku, Dimas tidak cukup puas dengan suratku, aku akan menuli lagi untuknya".

Dengan hati resah Miranti bangkit dari tempat tidurnya. Malam itu lewat pukul sepuluh. Bram dan Maya sudah lelap sejak jam setengah sembilan tadi. Beberapa saat ia duduk terpaku, tanpa sadar penglihatannya tertuju pada foto Hermanto, almarhum suaminya yang terpampang di meja tulisnya.

Miranti menatap beberapa saat ke gambar itu. Selembar kertas putih dan pulpen sudah di tangannya.

"Apakah aku berdosa bila aku mencintai lagi seseorang? Apakah aku tidak setia, karena aku mau dicintai oleh Dimas adikmu?"

Mata Miranti memburam, lambat jari-jarinya mengusap bingkai foto Hermanto itu. Ia melihat gambar Hermanto seakan tersenyum dan pandangannya itu amat bijaksana serta penuh pengertian. Terdengar derit tempat tidur, Miranti menoleh. Ia melihat Bram membalik menelungkup dalam nyenyak tidurnya. Napas Bram tampak tenang turun naik teratur.

"Bram membutuhkan kasih sayang Dimas. Bram merindukannya".

Miranti mengeluh menarik napas, menghapus buram di matanya, mulai mencoba mencerahkan penanya di lembaran kertas putih yang bersih itu:

Dimas,

Apakah kau begitu sakit hati padaku? Aku sudah menulis padamu, tidakkah kau ingin membalasnya? Selain aku, Maya terlebih Bram sangat menantimu, paling tidak suratmu.

Bram tahu kau ada menulis surat buat ibu, juga kak Rini. Bahkan pada paman, bibi dan Lusi.

Dimas, sesungguhnya aku menantikanmu, khabarilah aku dan kapan pulang?

Selain itu Miranti basa-basi bercerita tentang salonnya, tentang ibu dan ayahnya, juga tentang Harri dan pacarnya Harri yang sebentar lagi akan kawin.

Dua lembar penuh ditulisnya. Miranti lengsung mengeposkan pagi-pagi keesokan harinya dengan harapan akan segera sampai dan dibalas.

Sore-sore Harri datang dengan Vidi.

"Tidak praktek?" tanya Miranti.

"Ini hari kamis, bukan?" sahut Harri, matanya meneliti tubuh adiknya, yang tampak agak kurusan dari biasanya.

"Kau sakit?" tanya Harri cemas.

"Bagaimana kelihatannya?" olok Miranti tersenyum mencoba bergurau.

"Betul, Mir, kau agak pucat!" Vidi menyahut, matanya tags-tegas menatap Miranti calon adik iparnya itu. Senyum Miranti sekejap hilang.

"Memang antara dada dan perutku  ini terasa sakit, perih sekali", kata Miranti.

"Wah, kantong nasimu terganggu. Itu sakit kantong nasi, sakit maag. Sudah berapa lama? tanya Harri mendekat pada Miranti.

"Yah, akhir-akhir ini saja", sahut Miranti lesu.

"Kenapa kau diam-diam saja?"

"Aku tidak begitu memperhatikan, aku repot, klienku di salon bertambah banyak".

"Itulah penyebabnya. Saking terlalu repot makanmu tidak teratur", kata Vidi.

"Jangan kau diamkan, nanti aku kirim obat ke sini", kata Harri.

"Tulisi saja resep di sini nanti biar mbok Inah ambil di apotik di dekat sini".

"Aku ada beberapa sample obat untuk sakit itu, baru dikirim. Apakah rasanya sakit sekali?" tanya Harri.

"Tidak, aku masih bisa tahan", sahut Miranti.

Beberapa saat mereka terdiam, mbok Inah masuk membawa tiga cangkir teh dan sepiring pisang goreng.

"Mira, kami ini secepatnya akan segera menikah", tiba-tiba Harri berkata.

"Wah! Inilah yang aku tunggu-tunggu. Kalian terlalu lama pacaran!" Miranti tersenyum.

"Kapan?" tanya Miranti sungguh-sungguh.

"Waktunya sedang dicari Papa. Orang-orang tua yang akan menentukan harinya", sahut Vidi.

"Sebetulnya setiap hari itu baik. Semua hari adalah milik Tuhan", kata Harri.

"Itu betul, tapi apa salahnya kita patuhi. Keinginan orang-orang tua. Tradisi ini tidak menyalahi kita, bukan?" kata Vidi.

"Biasanya yang ditentukan orang tua adalah yang baik", kata Miranti. Ia menahan napasnya sesaat rasa nyeri terasa menyerang ulu hatinya lagi.

"Kenapa? Sakitnya terasa lagi, ya?" tanya Harri.

"Sedikit", sahut Miranti perlahan. Peluh dinginnya terasa bercucuran.

"Tidurlah dulu, aku pulang sebentar, sekalian mengantar Vidi. Sebentar aku kembali ke sini membawa obat".

"Tidak usah, itu bisa besok-besok!"

"Lebih cepat lebih baik. Jangan sampai sakitmu menjadi parah".

"Tiduran sajalah, Mir!" kata Vidi.

Ketika Harri kembali lagi membawa obat, Miranti merasa sakitnya berkurang.

"Simpanlah obat ini. Sewaktu-waktu kau kambuh lagi, menumlah! Sekarang, sebaiknya kau harus teratur makan. Kurangi kecut-kecut dan pedas-pedas juga makanan yang keras. Sementara makanlah makanan yang lunak-lunak saja".

"Aku tidak suka bubur", kata Miranti.

"Aku tidak menyuruhmu makan bubur. Asalkan makanan yang tidak terlalu keras, itu cukup".

"Mir, sesungguhnya aku lebih senang kalau kau mau menikah lagi", kata Harri. Seperti biasanya Harri kalau berkata-kata hampir tidak memakai basa-basi.

"Harri, kenapa bicaramu jadi ngelantur ke soal itu?"

"Aku khawatir dengan kesendirianmu. Kalau kau sudah kawin lagi, aku merasa tenteram, kalau pun aku cepat menikah".

"Perkawinanmu jangan kau kaitkan dengan kesendirianku".

"Itu maumu! Tetapi perasaanku begitu!"

"Aku tidak akan merepotkan kau dan Vidi. Sekarang pun aku rasa aku tidak banyak merepotkanmu, ataukah kau merasa kurepotkan?"

"Bukan itu, kau jangan salah sangka. Bukan soal repot merepotkan. Aku merasa dengan perkawinanku mungkin setidaknya aku punya kesibukkan baru, sehingga perhatianku padamu mungkin berkurang, Ini soal perasaan".

"Aku bisa mengerti, jangan takut, tanggapanku pun akan lebih bijaksana. Jadi sepantasnya, karena aku sendiri kau lalu takut cepat menikah. Rencana perkawinanmu sudah sepantasnya cepat dilaksanakan. Vidi sudah terlalu lama menunggu".

Harri diam beberapa saat. Mirantipun diam.

"Tigor yang melamarmu dulu sudah pindah ke Medan dan khabarnya ia kawin di sana dan punya anak satu", kata Harri perlahan mengalihkan percakapan.

"Syukurlah!" sahut Miranti perlahan, kemudian Harri berkata lagi, tampak begitu hati-hati.

"Vidi punya famili bekerja di Departemen luar negeri, belum kawin. Ia lulusan fakultas Sospol tiga tahun yang lalu". Perlahan mata Harri menyelidik perubahan wajah Miranti. Ketika dilihatnya Miranti tetap tenang ia berkata lagi.

"Ia ingin dicarikan calon isteri. Vidi pernah bercerita tentang kamu, Mir, aku juga setuju, orangnya baik, aku sudah dikenalkan".

"Apa maksudmu?" Miranti melihat pada Harri.

"Aku kira tidak salah, kalau pada suatu waktu ia melamarmu kau menerimanya", kata Harri.

"Ha ... ha ... ha ... " miranti tergelak.

"Kenapa kau tertawa?"

"Tidak, aku kasihan melihat wajahmu itu", sahut Miranti. "Kau kelihatannya ragu-ragu mengajukan usul ini. Seandainya seperti dulu ketika belum lama mas Her meninggal kau ajukan hal-hal seperti ini aku akan marah seperti waktu itu. Tapi sekarang aku geli. Ha ... ha ... ha ... geli!"

"Kau jangan tertawa, aku sungguhan", Harri sedikit tersinggung.

"Terima kasih atas maksud baikmu Har. Tenang-tenang sajalah menghadapi perkawinanmu. Lupakan dahulu adikmu ini, aku mengerti perasaanmu. Apakah kau tidur di sini malam ini?" kata Miranti.

****

SAKIT di ulu hati atau sakit maag seperti yang dikatakan Harri makin sering dirasakan oleh Miranti. Siang itu ketika ia sibuk di salonnya Bram mengintip dari balik pintu mengacungkan dua pucuk kartu pos bergambar. Tergesa ia menyerahkan pekerjaannya pada asistennya, berlari masuk rumah menghampiri Bram yang sedang duduk membalik-balikkan gambar di kartu po itu.

"Bram, sini Mama lihat, dari mana surat itu?" Bram mengulurkan surat itu.

"Hm, ini dari Papa Dimas untukmu, dan inni untuk adik Maya".

"Dari Papa, dari Papa!" Bram berteriak. "Adik Maya! Adik Maya! Ini surat dari papa untuk adik Maya, yang ini untuk Mas Bram".

Maya datang terseok-seok menghampiri. Miranti membaca isi kedua kartu pos itu bergantian. Tidak ada satu patah kata pun mengatakan kapan ia pulang dan apakah ia telah menerima suratnya.

Ia hanya menulis ucapan-ucapan manis khusus untuk Maya dan Bram. Miranti hampir menangis. Gemetar seluruh tubuhnya. Ia merasa tidak diacuhkan. Marah sekali kau, Dimas? Dan bertambah pedih lagi hatinya ketika ia merasakan ketakutan akan kehilangan Dimas.

Sebulan sudah Dimas di luar Negeri tanpa sepucuk surat pun untuknya. Untuk Maya dan Bram sudah dua kali. Bram benar-benar terhibur dengan surat-surat Dimas itu. Miranti kini merasa parah sendiri.

"Apakah aku harus mengemis kembali cintanya itu? Satu hal yang sulit kulakukan. Tidak cukupkah suratku memberikan arti dan pengertian padanya bahwa aku sungguh-sungguh tanpa pengaruh siapapun?"

Sehabis makan siang dan se

telah selesai sembahyang lohor Miranti menelpon Harri.

"Har, obatku itu sudah habis. Sekarang ini - sekarang ini rasanya kumat lagi, aduh sakitnya bukan main". Miranti menekan di atas perutnya.

"Kau bisa kirim ke sini, bukan? Setidaknya beritahu apakah obat itu bisa dibeli di apotik tanpa resep?"

Waktu itu pukul dua siang. Di salon masih ada beberapa klien Miranti sedang dirawat asisten-asistennya. Miranti terhenyak di kursi dekat telpon, tangannya menekan-nekan kembali bagian atas perutnya. Bibirnya digigitnya kuat. Keringat dingin mulai membasahi hampir seluruh tubuhnya, ia mengerang. Mbok Inah datang.

"Kenapa?" Apa Den sakit lagi? Dimana obatnya, Den? Saya ambilkan, ya? Oh, lebih baik tiduran saja".

"Tolong mbok bisikkan pada nona Vera aku siang ini tidak akan kembali lagi ke salon. Suruh selesaikan semuanya kalau ada yang datang lagi. Dan suruh gantian untuk makan siang", kata Miranti tertahan-tahan.

Mnok Inah mengangguk, berjalan setengah berlari ke arah salon. Terdengar bunyi deru mobil dihalaman.

"Itu Harri, bukakan pintu, Mbok!" kata Miranti.

Harri masuk. Masih berpakaian dinas dokternya diikuti seorang laki-laki berpakaian dokter juga. Miranti agak gugup menahan rasa sakit. Ia berdiri menyambut.

"Kau sakit lagi? Ini Bachtiar kawaku, dia spesialis ahli penyakit dalam".

Miranti mencoba tersenyum, menjabat tangan doket Bachtiar teman Harri itu.

"Tiar! Tolong periksa adikku ini. Kalau aku yang menangani, dia tidak patuh dan mungkin juga tidak percaya", kata Harri tersenyum kecut.

Bachtiar mendekat pada Miranti, meminta Miranti duduk. Beberapa saat keduanya terlibat dalam percakapan tentang penyakit Miranti.

"Boleh saya periksa?" tanya Bachtiar kemudian.

"Apakah tidak sebaiknya tuan-tuan ini minum dulu?" kata Miranti gugup.

"Sudahlah Mir. itu soal mudah. Kita ke sini ini mau urus sakitmu yang tidak pernah kau perhatikan. Biar Bachtiar memeriksanya di kamarmu.

Tidak lama Bachtiar memeriksa Miranti di kamarnya. Di ruang tamu kemuadian sambil minum es jeruk Bachtiar masih mengajukan pertanyaan dan memberikan saran tentang sakit Miranti itu. Setelah Bachtiar menulis resep, Harri berdiri:

"Yuk, Tiar sore ini kita harus praktek", ajaknya.

"Kebetulan rumah saya dari kantor bisa melalui jalan ini. Kapan-kapan saya akan kembali melihatmu", kata Bachtiar mengangguk tersenyum ke arah Miranti.

Janji Bachtiar memang ditepati. Beberapa kali ia datang ke rumah Miranti tanpa Harri. Karena Miranti merasa saat-saat Bachtiar datang itu tidak sakit, ia merasa tidak perlu diperiksa, jadi Bachtiar kadang-kadang hanya nobrol sebentar kemudian pergi.

Miranti sedikit tahu tentang Bachtiar dari percakapan mereka bahwa Bachtiar sudah menikah, sudah punya anak satu. Bachtiar berasal dari Sumatera dan ia dilahirkan kembar. Saudara kembarnya laki-laki seorang dokter gigi belum menikah.

Miranti hampir menangkap sedikit maksud-maksud kedatangan Bachtiar itu. Selain untuk memeriksa penyakitnya rupanya ada satu maksud tertentu, tetapi Miranti tidak berani memastikan. Ia menangkap maksud itu dari ungkapan-ungkapan yang secara samar dan sopan diselipkan dalam pembicaraan-pembicaraan Bachtiar

"Miranti, apa Bachtiar datang kesini lagi?" Tanya Harri di suatu malam.

"Ya, kemarin siang sepulang dari rumah sakit dia kesini lagi", sahut Miranti tak acuh.

"Apakah dia mengatakan sesuatu padamu?"

"Tentang apa?" Miranti menatap mata Harri. Harri menjadi sedikit gugup ditatap demikian.

"Apakah ... apakah Tiar bercerita tentang ... tentang saudara kembarnya?"

"Hemm ... ada apa?"

"Saudaranya itu belum kawin".

"Ya, aku tahu", sahut Miranti makin tak acuh.

"Miranti dengarlah, aku ini bicara sungguh-sungguh".

"Ya, bicaralah!"

"Apa tanggapanmu tentang Bachtiar kawanku itu".

"Baik, kenapa?"

"Ya, selain baik, bagaimanakah - apakah ia simpatik menurut pandanganmu? Apakah orangnya cukup supel, cukup terpelaja?"

"Terpelajar? Sudah tentu itu tak usah saya katakan lagi, bukankah ia dokter, malah sebentar lagi menurut katamu akan jadi spesialis ahli penyakit dalam".

"Ya - ya, bukan itu maksudku, maksudku apakah orang seperti dia cocok di hatimu".

Miranti merasa tidk enak. Dahinya mengerut.

"Bukan ada apa-apa. Begini, Mir, saudara kembarnya Bachtiar, Bachrun tidak jauh segalanya dari dia. Kurang lebih demikianlah. Sesungguhnya Bachtiar pun ingin mengenalkan Bachrun padamu. Sebelum itu, ia ingin menjajagi dahulu hatimu dengan cara lebih mengenalmu. Ia tahu pasti pandangan saudara kembarnya tidak beda jauh dengan dia dalam soal apa pun, termasuk soal perempuan misalnya. Bachtiar memujimu, ia mengagumimu. Ia katakan ini semua padaku. Aku percaya, aku sudah lama kanal Bachtiar. Bachtiar merasa pasti seratus persen, kali ini saudaranya akan menyetujui kalau kau dikenalkan padanya".

Miranti terdiam walau  sesungguhnya ia menekan rasa marah. Dugaannya memang tidak salah.

"Mir? Kau mengerti maksud kami, bukan?"

"Sangat mengerti. Tapi kau tidak mengerti aku. Seenaknya kau memberi keleluasaan pada si Bachtiar temanmu itu untuk menilaiku".

"Ah, tidak, bukan untuk menilaimu. Aku toh tahu pasti tentang nilai adikku. Dia ingin mengenalmu lebih dekat, sebelum dikenalkan pada saudaranya. Begitulah".

Ketika Miranti ke rumah orang tuanya, ayah ibunya serta Harri sedang duduk berkumpul di ruang makan. Mereka lagi membicarakan soal perkawinan Harri yang sebentar lagi akan tiba. Pembicaraan itu berlarut-larut sampai kepada soal empat, biaya dan upacara perkawinan.

"Aku akan lebih bahagia bila upacara perkawinanku ini setelah perkawinanmu atau setidaknya setelah adanya keputusan tentang rencana perkawinanmu", kata Harri pada Miranti.

Miranti merasa. Harri tentu telah menceritakan juga soal Bachrun pada ayah ibunya, sebab ia melihat pandangan orang tua itu padanya begitu mengharap.

"Tidak semudah itu. Bukan begitu, Mama? Kata Miranti.

"Aku bisa mengerti. Tapi setidaknya bisa kau pertimbangkan. Mira, kau masih muda. Bram dan Maya membutuhkan kasih sayang dan perlindungan seorang ayah", kata ibu Miranti.

Ayah Miranti hanya diam. Terdengar ia mengeluh menghembuskan asap roko pipanya ke udara.

"Si Mira ini sombong!" Harri berkata ketus.

"Tidak ada yang kusombangkan!" kata Miranti. Ia tidak ingin mendebat dengan Harri di hadapan ayah ibunya. Miranti melihat ayah ibunya nampak semakin tua, hatinya merasa teriris.

"Apakah suatu perkawinan buatku akan membuat papa dan mama bahagia? Apakah kesendirianku merupakan kesusahan buat papa dan mama? Hari-hari tua papa dan mama sesungguhnya dilingkari kecemasan padaku setiap saat", desis hatinya.

Sepulang dari rumah orang tuanya kemurungan masih melingkari hati Miranti. Ia teringat akan sesuatu yang ia rasa sesungguhnya bisa menyelesaikan kemelut di hatinya ini adalah surat Dimas, setidaknya khabar dari Dimas untuknya. Ia berguling di tempat tidurnya. Saat itu tak dapat diingkari, kerinduan akan kehadiran Dimas menyayat hatinya.

"Seandainya Dimas memutuskan tidak mencintaiku lagi, apakah aku harus mengemisnya?"

Kembali rasa nyeri menyusup antara dada dan perutnya memikir begitu terasa perih. Miranti bangun mencari obat sakit maag itu dilacinya.

"Tinggal satu tablet lagi. Mudah-mudahan aku tidak membutuhkan lagi obat yang baru, aku segera mengatakan ini pada Harri atau Bachtiar, Ke dokter lain aku merasa malas".

Kembali ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur.

"Dimas, apakah kau sengaja menyiksaku? Apakah aku harus menulis lagi buatmu, dan apa yang harus kutulis?"

Miranti menarik laci meja dekat tempat tidurnya, mengambil satu foto dalam amplop yang belum dimasukkan ke dalam albumnya. Dalam foto itu tampak Dimas, ia sendiri, Bram dan Maya. Foto polaroid yang dalam beberapa menit selesai, dibuat oleh tukang-tukang foto yang banyak berkeliaran di tempat-tempat hiburan.

Foto di ancol itu mengingatkannya akan sesuatu kenangan yang meresahkan, karena bergelutnya berbagai perasaan, kerinduan, ketakutan, dosa, kemesraan, tersinggung dan seribu perasaan lainnya menjadi satu. Tetapi bagaimanapun harus diakuinya bahwa peristiwa tersebut meninggalkan kenangan yang mempunyai keindahan tersendiri, semakin dikenang semakin membius pesonanya.

Kenangan itu membelai batinnya, ia mendesah lagi, memeluk bantalnya kuat-kuat. Setetes air matanya mengalir mmbasahi pipinya.

"Dimas sesungguhnya aku mencintaimu juga. Kau mengerti ini bukan? Khabarilah aku kekasihku. Atau kau kini menemukan cinta yang lain disana? Kalau memang begini aku tidak berhak menyuruhmu kembali. Tetapi setidaknya kau harus tahu bahwa aku mencintaimu. Aku akan menulisinya surat sekali lagi.

****

Pada saat yang sama di satu taman yang teratur di pusat kota Bonn seorang laki-laki muda duduk termenung sendiri, tiba-tiba sebuah bola menggelinding ke dekat kakinya. Ia memungutnya ketika seorang bocah laki-laki berlari-lari menghampirinya dengan mata meminta. Dimas tersenyum memberikan bola itu.

"Danke ... " ucap anak itu berlalu, diikuti wanita muda di belakangnya. - "Tentu itu ibunya", pikir Dimas.

Sejenak hati Dimas tersayat bocah laki-laki itu mengingatkannya pada Bram. Walau kulit dan rambut anak itu jauh berbeda dengan Bram. Anak itu berkulit putih sekali - berabut pirang bermata biru. Bram berkulit kuning kecoklatan berambut hitam pekat dan bola matanya hitam bagus dan bening sekali.

"Bram, sedang mengapakah kau sekarang?" lirih batinnya.

"Ibumu kejam, aku tidak boleh memiliki kalian", desah hatinya.

Dimas ingat pembicaraannya kemarin dengan pihak pimpinan. Ia hanya 2 minggu lagi di tinggal di Jerman, setelah itu urusannya selesai, kecuali bila ia menyetujui untuk ditempatkan di bagian riset untuk sedikitnya selama dua tahun. Ia memutuskan akan memilih rencana yang dua tahun itu untuk sekalian membantu melupakan kenangannya pada Miranti.

Dimas teringat pula akan satu kalimat yang ditulis Miranti dalam suratnya yang pertama.

"Apakah aku berdosa? Kuharap kau akan menghayatinya kembali".

"Miranti merasa berdosa kepada almarhum suaminya? Kalau begitu mungkin ia sesungguhnya mencintaiku tetapi takut hal ini bagai dosa terhadap mas Her".

Gemetarnya tubuh Miranti dalam pelukan dan sentuhan bibirnya di Ancol itu masih terasa oleh Dimas. Ia mendesah perlahan dalam kehangatannya. Miranti menyesali semua itu karena takut akan menodai kesetiaannya pada Hermanto.

"Aku tidak bisa memaksanya, dan untuk cinta tidak ada paksaan dalam bentuk apa pun. Sebab cinta itu indah, dengan sendirinya. Aku inginkan ini dari Miranti. Aku mendambakan ini darinya. Sebab sesungguhnya aku mencintainya dengan segenap hatiku".

MIRANTI mencoba lagi menulis surat untuk ketiga kalinya pada Dimas.

Dimas,

Aku ingin memanggilmu kekasih, tetapi aku takut kau akan mentertawakanku. Aku tidak punya keberanian. Mungkin saat ini kau sudah melupakan kami, khususnya aku ini. Mungkin aku sudah terlambat untuk kembali memiliki hati dan cinta kasihmu. Tapi ada satu hal yang harus kau ketahui, sekalipun mungkin itu kau sudah tidak ingin mendengarnya lagi.

Dimas sesungguhnya aku membutuhkan cintamu. Aku mohon ampun pada Tuhan atau siapa pun kalau hal ini adalah salah. Apakah kau bahagia mendengarnya atau sebaliknya membenciku. Itu hakmu. Aku tidak tahan lagi menyimpan perasaan ini, aku ingin kau mengetahuinya.

Semoga suratku ini tidak mengganggu ketentraman perasaanmu. Sebetulnya aku ingin menulis lebih panjang tentang isi hatiku semuanya. Herannya betapa sukar menuangkannya.

"Dimas aku menginginkan kehadiranmu saat ini ..."

Miranti terisak. Ia menghentikan tulisannya. Terbayang olehnya Dimas tidak mengacuhkan suratnya, Dimas sudah punya kebahagiaan lain, Dimas sudah melupakannya.

Malam itu pun hati Miranti tidak merasa terhibur ketika Harri, Vidi, Bachtiar dan istrinya datang kerumahnya mengenalkan Bachrum. Setelah itu keenamnya keluar rumah makan-makan di restoran ditraktir Bachtiar kemudian lihat film.

Sebenarnya tidak ada kesenangan sedikit pun di hati Miranti walaupun sebisanya ia berusaha ramah menyenangkan hati semuanya. Dan Miranti merasa baik Harri, Vidi, Bachtiar maupun isterinya mambiarkan sering-sering Bachrum bisa bercakap hanya berdua-dua dengannya dan duduknya selalu diusahakan bisa berdekatan. Ia menghormati usaha ini. Tapi hatinya tidak bisa dipaksa. Bachrun tidak membuat hatinya terhibur atau rasa lain yang menyenangkan. Memang benar Bachtiar dan Bachrun dua saudara kembar ini hampir tidak banyak berbeda. Tapi sikap Bachrun terasa lebih agresip dari pada Bachtiar.

Dan Ketika keesokkan harinya Harri menilponnya dari rumah sakit, bertanya tentang kesan-kesan terhadap Bachrun yang dikenalnya semalam itu, ia menyahut dingin.

"Cukup baik".

"Apakah kau tidak berkeberatan untuk bisa mengenalnya lebih lanjut?" tanya Harri.

"Itu sedang kupikirkan", sahut Miranti.

"Hai, Mir sakit maagmu itu antara lain karena pikiran, kau kesunyian, kau butuh teman yang bisa kau ajak bicara. Coba bukalah hatimu untuk mengenal Bachrun. Ia baik, aku percaya ini. Hitung-hitung ia kawan membunuh kesepianmu".

"Ah, har, aku tidak kesepian, aku cukup sibuk, bukan?"

"Sepi di hatimu! Itu lain dengan kesibukkanmu. Kau masih muda, kau harus sehat, Mira".

Miranti tersenyum sendu menutup pembicaraan dengan kakaknya.

"Aku mengerti maksud baiknya", pikir Miranti.

Beberapa hari kemudian Bachrun datang sendiri. Miranti tidak ingin menemuinya. Mbok Inah terpaksa bohong mengatakan Miranti sedang pergi ke tempat ibunya

Itu berulang dua hari kemudian. Kembali mbok Inah terpaksa harus berbohong lagi. Kali ini mengatakan Miranti pergi ke tempat mertuanya. Harri tahu ini, ia menegurnya.

"Kau telah membohonginya, Mira, kau mengelak! Ini tidak pantas!"

"Kau tidak berhak memaksaku", cetus Miranti.

"Kau tidak menyukainya?"

"Aku tidak mengatakan demikian".

"Berilah kesempatan padanya. Ini juga penting untuk hatimu sendiri. Aku ingin melihat perkembangannya. Ia mengajakmu nanti malam. Perlu aku kawani?'

"Tidak! Aku tidak bisa pergi nanti malam, katakan itu padanya", sahut Miranti cepat. Harri mengeluh, ia berlalu. Ia harus segera ke rumah sakit.

Setiap hari hati Miranti menanti balasan suratnya ketiga yang sudah terkirim seminggu yang lalu buat Dimas.

Hati Miranti berdebar ketika suatu saat dari jendela salonnya melihat tukang pos memberikan surat yang segera diterima mbok Inah. Ia ingin segera melihatnya tetapi tanggung jawab pada klien-klien yang masih banyak di salonnya siang itu untuk sementara menahannya. Rasa sakit di perutnya mulai lagi, mungkin karena terlambat makan, tapi untuk meninggalkan pekerjaan yang sedang setengah jalan ia enggan. Ia sedang menyisir rambut sekaligus memake-up wajah seorang wanita muda klien barunya.

"Mbok, Bram dan Maya tidur?" tanya Miranti selesai makan siang dan sembahyang lohor.

"Ya. Ada surat dua buah, satu-satu dipegang anak-anak itu", kata mbok Inah.

"Hanya dua?" tanya Miranti.

"Ya, hanya dua", sahut mbok Inah.

Miranti menjenguk ke kamar anaknya. Mereka tidur lelap. Dua buah kartu pos bergambar masih di tangan masing-masing.

Perlahan Miranti mengambil kedua kartu pos itu dan membacanya. Hatinya sudah memastikan itu dari Dimas. Pada surat untuk Maya Miranti membaca:

Maya tersayang,

Lihat gambar kucing ini gemuk bukan?

Maya mau kucing seperti ini?

Tunggulah nanti Papa bawakan.

Maya jangan suka nangis ya! Banyak makan dan biar gemuk seperti kucing ini.

Sun sayang Papa buat Maya.

"Tunggulah, nanti Papa bawakan. Kapan?" tanya hati Miranti. Dimas tidak pernah berjanji seperti pada anak-anak. Kartu-kartu posnya yang dahulu hanya berisi cerita-cerita tanpa janji. Miranti membaca surat yang satunya buat Bram.

Bram anakku sayang,

Hai, siap-siap, Bung! Beberapa bulan lagi kau mulai masuk sekolah di klas O kecil. Papa kangen padamu. Kau sehat-sehat, bukan? Mama juga? Katakan pada Mama, Papa rindu padanya.

Lihatlah Bram, itu gambar bunga-bunga di musim panas, sangat indah. Satu saat Papa akan membawamu ke sini. Mudah-mudahan Tuhan mengizinkannya. Berdoalah selalu.

Sun banyak buat Bram sayang, dari Papa.

Miranti terhenyak. Hatinya tergoncang. Ia benar-benar tergoncang setelah lebih sebulan keberangkatan Dimas, setelah berhari-hari menantikan surat khusus baginya, baru kali ini Dimas menanyakan dan menyatakan sesuatu buat pribadinya.

Betulkah Dimas merindukan aku? Tetapi mengapa ia tidak menulis surat untukku? Pertanyaan-pertanyaan ini mengharu biru dalam batin Miranti. Air mata mendesak-desak di pelupuk matanya. Tapi ia tidak boleh menangis. Tugasnya di salon masih banyak. Lunglai ia berdiri, kembali ke salonnya.

Bram dan Maya minta dibacakan surat dari Dimas itu. Malam-malam Miranti masih mengulang membacanya sendiri ketika Bram dan Maya sudah tidur. Kerinduannya pada Dimas hampir tak tertahankan, begitulah ia merasakannya setiap jam setelah malam itu berlalu.

Nostalgia dan Kenyataan.

Hari itu hari sabtu. Seperti biasa, setiap hari sabtu kliennya lebih banyak dari pada hari-hari lainnya. Kerepotan tentu bertambah. Biasanya suara Bram dan Maya serta repotnya mengurus kedua anak itu menyita ketenangannya.

Tetapi pagi itu sepi, anak-anak dibawa ayah Miranti sejak kemarin, mereka tidur di rumah eyang kakungnya itu. Sesungguhnya pagi itu badannya lemah, walau demikian ia mencoba segera mandi dan merapikan dirinya. Setelah minum segelas susu Miranti siap-siap segera masuk salonnya.

Tiba-tiba terasa sakit maagnya kambuh. Ia mengeluh "sepagi ini aku sudah mulai sakit".

Dan ia merasa sakitnya makin tak tertahankan. Ia tak ingin berkonsultasi pada Bachtiar lagi tentang sakitnya ini walau Harri sering mendesaknya. Pada Harri pun akhir-akhir ini Miranti merasa jengkel karena Harri selalu bertanya kapan ia punya waktu? Ia mengerti maksud Harri itu. Miranti mencoba duduk menahan sakitnya. Tetapi betul-betul kali ini tubuhnya merasa lemah untuk menahan sakitnya. Ia merebahkan badannya menelungkup menekan sakitnya. Hampir satu jam ia demikian. Kedua asistennya vera dan Erry sudah datang dan terdengar mencarinya. Miranti membalikkan badanya memanggil Vera dan Erry agar masuk kamar.

"Mbak Mira sakit? Huh pucat sekali! Bajunya juga basah, gantilah, Mbak. Mari kutolong".

"Biarlah, Mbak bisa menggantinya sendiri", sahut Miranti.

"Hari ini Mbak tidak usah bekerja dulu. Kita berdua bisa, ya Erry?" kata Vera.

"Harus bisa, tentu. Istirahatlah, Mbak! Kita akan menyiapkan salon dulu", kata Erry.

Sepeninggal kedua asistennya, Miranti bangkit mengganti bajunya dengan pakaian yang agak longgar. Setelah minum obat ia merebahkan lagi badannya dengan menelungkup. Dengan cara itu terasa sakitnya berkurang. Tetapi setiap beberapa menit pedih di ulu hatinya terasa melilit.

"Den, kalau sakitnya begitu, hari ini mbok bikinkan bubur saja, ya?" Mbok Inah datang di kamar itu.

"Hm ..." sahut Miranti. Dan Mbok Inah berlalu keluar kamar.

Miranti hampir satu jam tertelungkup demikian. Hampir saja ia tertidur setelah sekian lama kepayahan menahan sakitnya, kalau tidak karena mendengar deru mobil di halaman dan pintu dibukakan. Terdengar langkah masuk kamarnya.

"Den!? suara mbok Inah hati-hati.

"Itu den Harri kan, Mbok? suruh saja ia masuk", kata Miranti. Mbok Inah tidak menyahut. Miranti mendengar langkah sepatu mendekat dan duduk di tepi tempat tidurnya dan langkah Mbok Inah keluar kamar menutupkan kembali pintunya.

"Ada apa, Har? Kau tentu ke sini selain menengokku akan menanyakan kapan aku punya waktu untuk Bachrun. Atau ada calon lainnya lagi?" tanya Miranti, suaranya sinis. Ia tetap menelungkup. Mendengar tidak ada jawaban, Miranti berkata lagi perlahan dan penu perasaan.

"Kau jangan sakit hati, Har, aku mengerti maksud baikmu. Tetapi kau tak bisa memaksa hatiku. Mungkin benar apa yang kau katakan. Sakitku ini karena aku kesunyian, karena terganggunya pikiranku, karena sakit perasaanku. Memang ini sebenarnya. Aku kira pun demikian. Sesungguhnya aku membutuhkan seseorang, merindukan seseorang, karena aku mencintainya sepenuh hatiku seperti aku mencintai Hermanto dulu. Tapi terlambat, ia marah padaku karena kutolak pernyataan cintanya. Ia meninggalkan aku".

Miranti terisak, bahunya lembut terguncang kemudian berkata lagi.

"Ini bukan salahnya. Waktu itu aku ragu-ragu tentang keyakinan cintaku padanya. Tapi sesungguhnya aku juga mencintainya. Tidak hanya mencintainya, aku membutuhkannya", Miranti makin tersedu, berhenti dan berkata lagi.

"Tidak sepantasnya aku merahasiakan ini padamu. Kau boleh tahu, Har aku sesungguhnya mencintai dan merindukan Dimas Adrianto".

Miranti merasa tangan di samping tempat tidurnya itu menyentuh lembut.

"Anti, benarkah demikian?"

Miranti merasa tak berdarah dan jantungnya terasa berhenti berdetak. Suara ini bukan milik Harri. Cepat ia membalik, karena hentakannya yang tiba-tiba itu rambutnya yang terjalin terburai lepas di sekitar bantalnya. Matanya yang indah membelalak, mulutnya bergerak-gerak.

"Dimas!!? Engkaukah ini?" desis Miranti terperangah.

"Miranti!" bisik Dimas lembut menghalau keterkejutan Miranti. Miranti menyadari sepenuhnya, ia mengangkat tubuhnya dari tempat tidur dan direngkuh oleh Dimas. Keduanya berpelukan. Beberapa saat kerinduan tertumpah dalam dekapan itu. Miranti tersendat.

"Dimas, jangan kau tinggalkan aku!"

"Tidak akan kekasih", mata Dimas berkaca.

"Aku sangat kehilanganmu",

"Begitu pula aku", Dimas menguatkan dekapannya, membelai rambut Miranti, membiarkan Miranti sesaat menangis dalam pelukannya itu. Miranti mengangkat wajahnya. Dimas menatap wajah yang begitu dekat itu hatinya bergetar.

"Kekasih, betapa cantiknya engkau ini. Betapa rindunya aku padamu".

Perlahan Dimas lebih mendekatkan lagi wajahnya, sesaat keduanya terlambung jauh tinggi melayang di awan biru yang penuh bintang nan gemerlapan. Dimas mendesah, keduanya mendesah. Kali ini Miranti tidak menolakkan sentuhan cinta itu. Dimas mengulangnya lagi lebih lama, lebih indah dan memukau.

"Anti aku sudah mendengar pengakuan ketuliusan cintamu padaku. Aku mencintaimu sebagai seorang laki-laki. Aku ingin an api cinta dari dalam dirimu, aku akan menghidupkannya kembali".

"Tidak perlu lagi sayang, aku sudah cukup punya bara untuk itu", desis Miranti. Dimas mendekapnya lebih kuat. Ketika Dimas akan menciumnya lagi, Miranti berkata halus mendekatkan jari-jarinya dibibir Dimas.

"Dimas, aku milikmu sekarang. Di tempat seperti ini sesuatu hal bisa terjadi, karena kita saling mencintai. Aku tahu aku datang padamu bukan sebagai gadis suci lagi. Tapi cintaku padamu suci. Kau bisa memilikku seluruhnya setelah kau mengajakku ke penghulu."

"Aku mengerti, kekasih. Aku keluar dari kamar ini".

"Dimas?" Mata Miranti melihat Dimas.

"Aku akan menjelaskannya di luar".

Miranti keluar kamar setelah rapi berdandan. Ia merasa rasa sakitnya hilang sama sekali. Dimas duduk di kursi panjang. Miranti medekat duduk disampingnya. Tangan Dimas meremas jari-jari Miranti.

"Aku mengira kau Harri. Kau mendengar?" tanya Miranti.

"Tak usah kau terangkan, sebaliknya maafkan aku lancang begitu. Tapi inilah semuanya. Baik aku jelaskan. Aku baru saja tiba dari airport langsung ke sini". Miranti melihat koper-koper dekat pintu masuk.

"Suratmu untuk Bram dan Maya baru sampai 5 hari yang lalu. Hampir satu bulan setengah tidak satu surat pun buatku".

"Saat itu aku hampir menandatangani surat jabatan yang mengharuskanku tinggal. Suratmu yang ketiga datang menggugah hatiku, walau aku hampir tak percaya dan setengah puas. Tidak percaya bahwa kau sesungguhnya membutuhkanku. Setengah tidak puas karena kau tidak menuliskan untukku bahwa selain butuh, kau juga mencintaiku. Aku memutuskan kembali pulang walau kau hanya membutuhkanku. Tetapi kini semuanya lebih dari yang kuharapkan dan aku percaya. Kau tidak tahu betapa bahagianya aku ini", kata Dimas lirih.

"Begitu juga aku", desis Miranti. Dimas mencium jari-jari Miranti dengan penuh kasih.

"Aku lupa, kau sakit?" tanya Dimas penuh cemas.

"Aku rasa tidak lagi. Dan tidak akan lagi.

"Semoga Tuhan merestui dan memberkati cinta kita".

Dimas menatap tegas mata Miranti tetapi menyentuh syahdu jauh ke sanubarinya. Miranti menjatuhkan kepalanya di dada Dimas. Dimas merangkulnya mencium keningnya lembut-lembut dan berbisik.

"Kalau begini, tak akan ada yang sanggup memisahkan kita lagi. Secepatnya aku akan membawamu ke penghulu".

"Kapan?" olok Miranti, suaranya bergetar.

"Kalau perlu hari ini, saat ini".

"Tidak mungkin".

"Mengapa?" Dimas merenggangkan tubuhnya, menatap mata Miranti lagi.

"Kau belum ketemu Bram dan Maya".

"O, ya", Dimas tergelak.

"Mana anak-anakku?" tanya Dimas.

"Di rumah Papa".

"Aku jemput ke sana, ia harus tahu papanya sudah datang. Ia lebih merindukanku daripada mamanya".

"Tidak usah sekarang. Pulanglah dahulu, ibumu tentu senang akan kedatanganmu. Semua akan kita beritahu akan hal ini".

"Semua?"

"Ya. Papaku, mamaku dan ibumu, Harri dan juga saudara-saudaramu. Bukankah itu sebaiknya?"

"Aku serahkan padamu. Aturlah aku percaya apa yang menurutmu baik. Yang kupikir sekarang, cepatlah itu dilaksanakan. Aku tidak sanggup berpisah lagi denganmu, takut tiba-tiba pikiranmu  berubah".

"Seharusnya aku yang takut terhadapmu".

"Tentang aku, kau harus meyakiniku, Anti!"

"Demikian aku sebaliknya", Miranti tersenyum teramat manis. Kabut sutra ungu menyibak dari wajahnya. Dimas memandanginya, rasa puas menyelip batinya.

"Mulai saat ini aku akan membuatmu selalu tersenyum seperti ini", bisik hatinya.

Dimas mau juga pulang setelah dipaksa Miranti untuk segera ke tempat ibunya dahulu dan berjanji sorenya akan segera datang lagi. Ia meninggalkan oleh-oleh untuk Maya kucing-kucingan. Bram kapal-kapalan serta beberapa bungkusan lain untuk kedua anaknya itu dan sebuah bungkusan mungil untuk Miranti. Tergesa ia membukanya. Didalamnya terdapat sebuah kotak berlapis beludru. Perlahan ia membuka lagi kotak itu, matanya berbinar kagum. Sebuah cincin terbuat dari logam emas putih bermatakan sebutir permata yang bercahaya kebiruan. Miranti tidak berani menyentuhnya. Ia ingin Dimas yang memakaikan ke jarinya nanti. Dilihatnya sebuah kertas kecil berwarna mrah jambu bertuliskan kata-kata "Dengan segala cinta". Miranti menutupkannya kembali.

Tak sabar Miranti menilpon Maya dan Bram mengabarkan Dimas sudah datang. Ia tak dapat menyimpan rahasia hatinya lebih lama, ia ceritakan semuanya tentang Dimas pada mamanya di telpon itu juga.

"Syukurlah, Mira, apabila kau telah bisa lagi menemukan kebahagiaanmu". Ibu Miranti tersendat menahan harunya.

"Aku dan mamamu akan mengantarkan sendiri Bram dan Maya, sekalian akupun ingin ketemu Dimas. Papa juga kangen padanya", ayah Miranti berkata dalam telpon.

Sorenya menjelang senja di malam Minggu itu, di ruang tamu rumah Miranti penuh orang. Ayah Ibu Miranti, Harri dan Vidi, juga ibu mertua Miranti, Dimas, kak Rini dan Budi suaminya. Maya dan Bram duduk dipangkuan Dimas dengan manjanya. Miranti sibuk di dapur dengan mbok Inah membuatkan minuman untuk tamu-tamnya. Sungguh di luar dugaannya bahwa ibu mertuanya juga datang bersama-sama Dimas sore itu.

Miranti mendengar ada tamu datang lagi, ia menjenguk dari dapur, rupanya bi Tia, paman Kris dan Lusi.

"Tadi kami ke rumah Budi. Kata Mbok Iyem, imas", kata Lusi manja. Dimas mencium kedua pipi sepupunya itu.

"Aku senang kau cepat kembali", kata Lusi.

"Apakah kau pikir aku tak akan kembali secepat ini?" tanya Dimas.

"Tadinya demikian?" sahut Lusi sungguh-sungguh.

"Kau harus berterima kasih pada Mbak Mira", celetuk Rini.

"Kenapa Mbak Mira?" tanya Lusi heran.

"Ya inilah, sesuatu yang mudah-mudahan membahagiakan kita semua, Tia! Kris", ibu mertua Miranti berkata. Tubuh tua itu perlahan membalik ke arah bi Tia dan paman Kris.

"Aku tadi sudah mengatakannya, walau belum secara resmi kepada ibu Sosro ini, bahwa Dimas meminta Miranti jadi isterinya. Aku tak dapat mengatakan apa-apa lagi. Kebahagiaanku terlalu penuh", Ibu Mertua Miranti menunduk mengucurkan air matanya.

"Kami sebagai orang tua menyerahkan urusan ini pada Miranti sepenuhnya", sahut pak Sosro - ayah Miranti.

"Mirantipun sudah mengatakan hal ini pada ibu semuanya". Suara ibu Sosro parau.

Suasana menjadi sunyi seketika terbawa dengan pikirannya masing-masing. Rini membisik-bisik bercerita sesuatu pada bi Tia, bi Tia tampak mengangguk-angguk.

"Alhamdulilah!" Paman Kris mendesah.

"Memang ini sebaiknya", kata paman Kris lagi.

Ketika Miranti datang membawa minuman, Lusi berkata: "Nah, ini dia calon pengantin kita".

Wajah Miranti memerah tersipu namun ramah menyahut.

"Pengantin yang sudah basi, Lus", ia segera berlalu lagi ke belakang mengambil kue-kue. Harri membuntutinya ke ruang makan, ia berkata:

"Mira, akulah mungkin yang paling bahagia diantara semuanya. Pilihanmu memang selalu tepat".

"Terima kasih".

"Sebaiknya, secepatnya diresmikan sebelum hari perkawinanku".

"Itu bisa diatur!" Miranti tersenyum.

Harri memandangi adiknya beberapa saat, kemudian kembali ke ruang tamu.

Miranti dan Dimas dalam pertemuan keluarga yang tidak direncanakan itu menjadi bahan olok-olok, pujian dan percakapan lainnya. Yang kadang membuat mereka merah padam, malu tersipu atau tergelak geli.

Mata Dimas sekali-sekali mencuri pandang meneliti Miranti. Bila kebetulan mata mereka bertatapan, keduanya menahan gejolak dihatinya. Kerinduan belum lagi tuntas tercurah diantara keduanya. Semua itu ditahan di simpan rapih di batin masing-masing. Keduanya tahu, orang-orang tua dan saudaranya pun masih kangen pada Dimas.

Ketika semua akan pulang, Dimas memutuskan untuk tinggal di rumah Miranti beberapa saat lagi.

"Hai, kau masih harus pulang ke rumah!" olok ibunya.

"Dan kau masih harus bersabar!" bisik paman Kris.

"Itu saya tahu", kata Dimas sambil tertawa.

"Aku percaya sepenuhnya pada adikku", Harri menengahi olok-olokan itu. Miranti tersenyum. Dan senyum itu masih membekas dibibirnya yang indah ketika semua tamunya sudah tidak ada lagi, kecuali Dimas.

"Kau tidak ikut pulang?" Miranti bertanya masih juga tersenyum.

"Aku masih kangen pada Bram dan Maya", sahut Dimas. Bram dan Maya berlari kepelukan Dimas. Dimas mencium pipi kedua anak itu bergantian.

"Hanya pada anak-anak itu?" rajuk Miranti.

"Nanti kalau keduanya sudah tidur, aku akan mengatakan padamu, bahwa aku paling rindu padamu".

Miranti mengelak tatapan mata Dimas, hatinya berdesir, tubuhnya tergetar tersentuh kemesraan. Cepat ia memalingkan wajahnya yang merona merah,bergegas membenahi bekas cangkir-cangkir tamu untuk dibawa ke dapur. Dari depan terdengar gelak tawa kedua anaknya bergurau dengan Dimas.

Hati kecilnya Miranti mengakui kasih sayang Dimas pada anaknya memang tulus dan sebaliknya juga Bram dan Maya. Terlebih Bram tampak benar sore itu perubahannya. Matanya lebih bersinar. Bram bahagia Dimas telah kembali.

Miranti menyiapkan makan malam bagi anak-anaknya, juga untuk Dimas. Di antara kesibukkannya bolak-balik dari ruang makan ke dapur Miranti menangkap pembicaraan-pembicaraan Dimas dan kedua anak-anaknya itu.

"Baguskah disana, Papa?" tanya Bram.

"Bagus sekali. Disana kadang ada musim salju. Salju itu putih dingin seperti es".

"Bram ingin melihatnya!"

"Kita satu saat akan kesana, Mama, Bram, Maya dan Papa!" kata Dimas sungguh-sungguh.

"Kita tinggal di sana?"

"Tidak untuk menetap selamanya! Di sini, di negara kita ini segalanya lebih indah lagi".

Sehabis makan Bram dan Maya mulai mengantuk. Ketika akan tidur Bram bertanya curiga.

"Papa akan pergi pulang?"

"Malam ini, ya. Besok-besok, Papa akan di sini terus selamanya!"

Mata Dimas melihat ke arah Miranti sejenak, kemudian membungkuk mencium Bram dan Maya.

"Sekarang tidurlah!" pinta Dimas.

Bram masih segan-segan meninggalkan Dimas.

"Sayangku, tidurlah. Besok Papa pasti datang lagi". Dimas menggendong Bram dan Maya membawa kedua anak itu masuk kamar. Miranti mengikutinya, ia tegak mematung di pintu melihat Dimas merebahkan Bram dan Maya di tempat tidurnya masing-masing. Keharuan mengepung dirinya. Lampu kamar dimatikan, lampu-lampu yang redup dinyalakan Miranti.

"Sudah Dimas, mbok Inah akan menunggui mereka".

Dimas mematuhi usul itu, perlahan ia keluar kamar. Miranti masih beberapa lama dalam kamar. Waktu ia keluar lagi Dimas sedang duduk di kursi panjang di ruang tengah.

Di kesuraman lampu, melihat acara televisi. Ketenangan wajah Dimas tampak terpantul dari cahaya televisi itu.

"Dimas", suara Miranti lembut mendekat. sebisanya ia tak ingin mengganggu ketenangan ini.

"Terima kasih atas hadiahmu ini", kata Miranti menyodorkan kotak cincin yang mungil.

"Kau menyukainya?" tanya Dimas. Miranti mengangguk. Dimas mengambil kotak itu membukanya. Perlahan cincin itu diambilnya.

"Ulurkanlah tanganmu", pinta Dimas. Miranti mengulurkan tangannya. Dengan hati-hati Dimas menyelipkan cincin itu di jari manis Miranti.

"Bagus sekali", puji Miranti mengagumi. kemudian duduk di samping Dimas.

"Anti, maafkanlah aku telah membuatmu tersiksa. Aku bisa merasakan itu, sebab sebaliknya aku pun menanggung kerinduan itu".

Dimas melingkarkan tangannya ke bahu Miranti. Miranti bersandar di tubuh Dimas, keduanya melihat ke arah televisi.

"Aku hampir melakukan satu kebodohan, berusaha meninggalkan dan melupakanmu", kata Dimas lagi, Miranti tidak menyahut. Ia diam tak bergerak.

"Perpisahan yang hampir terjadi karena ketidak sabaranku itu sebetulnya neraka bagiku", Dimas mempererat pelukannya.

"Keras hatimu", desah Miranti lirih.

"Itulah aku! Semoga cintamu, kelembutanmu akan banyak mengubahku".

Miranti mengigil dalam pelukan Dimas. Ia membayangkan kesunyian yang berkepanjangan akan melingkari hidupnya seandainya Dimas memutuskan tinggal di Jerman bertahun-tahun tanpa mau mendengar ceritanya.

"Ada apa, sayang?" bisik Dimas.

"Aku tidak dapat membayangkan bila kau benar-benar meninggalkan dan melupakanku", bisik lirih Miranti.

"Dan itu tidak terjadi, kekasihku!" perlahan Dimas membalikkan tubuh Miranti kehadapannya. Kedua pasang mata itu bertatapan, bercahaya dalam kesuraman lampu. Miranti mengeluh, mendesah ketika sentuhan-sentuhan lembut menyapu seluruh wajahnya. Dan sebuah sentuhan yang panjang memabukkan, melambungkan mereka yang penuh cinta. Dua hati yang terpadu.

"Dimas", desis Miranti menyurukkan kepalanya ke dalam pelukan Dimas, Dimaserengkuhnya.

"Sesungguhnya aku mencintaimu, membutuhkanmu. Tetapi apakah aku tidak berdosa?" suara Miranti parau.

"Kau tidak sedang berbuat salah, sayang", bisik Dimas.

"Tetapi ...?"

"Aku mengerti. Apakah ada rasa takut di hatimu?"

"Tidak. Aku hanya sedikit bimbang". Miranti makin menyurukkan kepalanya di dada Dimas.

"Kebimbangan yang tidak perlu! Percayalah padaku, aku datang dengan ketulusan cintaku padamu dan anak-anakmu. Itukah yang kau bimbangkan? Aku mengenal almarhum tidak hanya sebagai saudaraku. Aku mengenalnya juga sebagai seorang laki-laki. Ia bijaksana, penuh pengertian. Ia mengerti arti cinta kasih yang suci".

"Besok ziarah ke makamnya", tambah Dimas lagi. "Aku akan berjanji padanya, pada Tuhan, bahwa aku akan membahagiakan manusia-manusia kecintaannya yang ditinggalkan, yaitu kau dan anak-anak. Berilah kesempatan itu padaku, Anti. Malam ini aku resmi melamarmu menjadi isteriku. Aku telah mengatakan ini pada ibuku. Ibu amat menyetujuinya. Beliau juga sangat menyayangimu. Mungkin sejak lama Ibu sudah tahu hatiku menginginkan ini. Tapi beliau wanita yang bijaksana. Selain tidak ingin menyinggung perasaanku beliau membiarkan semuanya berjalan dengan sendirinya dengan kesabaran yang luar biasa. Cintailah aku, Anti, tanpa ketakutan apapun. Kau percaya paduku, bukan?"

Miranti tidak menyahut ia makin merapatkan dirinya. Dimas mendekapnya lebih erat. Suatu pelukan yang seolah tak akan terlepaskan, padunya dua hati, padunya cinta.

"Anti, kau setuju kalau segera meresmikan pernikahan kita?" bisik Dimas. Miranti melepaskan dirinya dari pelukan itu melihat pada Dimas berkata perlahan.

"Dimas, bagiku ini kedua kalinya. Sebaliknya bagimu tentulah merupakan suatu peristiwa besar yang diharapkan hanya sekali dalam hidupmu. Tentunya kau ingin satu peresmian yang meriah, demikiankah?". Mata Miranti menyelidik.

"Ini tidak penting. Cukup di antara saudara-saudara dan pemberitahuan kepada teman-tema dan kerabat kita".

"Kau memang mengerti perasaanku" kata Miranti sendu.

"Banyak sekali yang bisa kita lakukan untuk melibatkan kebahagiaan kita itu dengan suatu perbuatan amal".

"Aku setuju sekali. Biaya yang seharusnya buat pesta meriah sebagian kita sumbangkan buat yatim piatu", kata Dimas. Mata Miranti berkaca-kaca melihat pada Dimas.

"Dimas, kau masih boleh berpikir beberapa kali lagi agar kau tidak menyesal mengawiniku perempuan janda beranak dua, bukan sebagai gadis yang serba utuh dalam cintanya".

"Aku kira bukan aku yang menyesal. Denagn pertanyaanmu ini aku berpendapat, cintamu masih ragu-ragu padaku. Kau belum yakin?" Dimas menatap mata yang berkaca itu.

"Itu tidak benar. Aku mencintaimu!" air mata Miranti berurai. Dimas perlahan menghapusnya. Denagn tersenyum ia berkata:

"Kau hanya merajuk, bukan? Sekali-kali perempuan memang suka merajuk dan manja. Tetapi aku menyenanginya".

"Sekarang aku akan membuktikan bahwa aku paling rindu padamu".

Wajahnya makin mendekat, rengkuhannya makin ketat. Kembali keduanya terlambung ke bintang-bintang yang tinggi di langit biru. melayang-layang, memukau, menghanyutkan. Miranti terengah-engah ia merasa kewalahan.

"Sudah, sudah Dimas, cukup, cukup! Sentuhan cintamu memperangkapku", parau Miranti berkata.

"Kau menyukainya, bukan?" tanya Dimas masih terengah.

"Sangat"

"Benar?"

"Kau akan membuktikannya nanti bila kau telah benar-benar secara syah menjadi milikku"

"Sayangku", Dimas merengkuhnya lagi.

"Malam telah larut", bisik Miranti. Ia mendengar suara pembawa acara warta berita terakhir berkumandang di televisi.

"Ya, aku tahu, sebaiknya aku cepat pulang. Aku masih belum punya surat izin untuk tidur di sini", olok Dimas. "Aku ingin menjenguk anak-anak kita dahulu."

Hati Miranti berdesir, keharuan mendesak. Dimas beranjak, Miranti mengikuti. Ia tegak mematung memperhatikan Dimas membungkuk mencium hati-hati pipi Maya kemudian Bram bergantian. Kembali hati Miranti terkepung keharuan yang menyentuh sudut-sudut batinnya yang paling dalam.

"Tuhan terima kasih, kebahagiaan seperti ini masih kau anugerahkan pada kami", hatinya berbisik lirih.

Dimas menoleh melihat Miranti yang berdiri mematung dan termangu di pintu kamar. Sekilas kabut sutera ungu tampak olehnya di wajah kekasihnya itu. Hanya sekilas, kemudian tersapu senyum. Dimas mendekat dan berbisik:

"Tidurlah yang lelap".

Miranti tersenyum lagi.

"Anti, aku pulang dulu!" kata Dimas. Miranti mengangguk. Dekat pintu keluar Dimas mencercahkan sentuhan kasihnya di pipi Miranti.

"Secepatnya aku akan bersamamu dengan cinta dan segala tanggung jawabku.

Tidak harus berpisah-pisah seperti ini. Ini harapan Bram bukan?" kata Dimas.

"Tidak hanya Bram, juga aku", desis Miranti. Dimas memandangnya, tersenyum penuh sayang.

"Selamat tidur, Anti, mimpikanlah yang indah tantang cinta kita".

Kemudian tubuh tegap itu pergi menembus pekatnya malam. Miranti terhenyak, ia merasa hatinya hilang sesaat. Tapi itu hanya sementara. Satu ketika dalam waktu yang dekat, detik-detik, menit-menit, jam-jam dan hari-hari lingkar hidup selanjutnya adalah milik mereka berdua. Tuhan menghendakinya, karena cinta adalah karuniaNya.

TAMAT