BAB I
PENDAHULUAN
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha pergadaian baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya gadai menggadai ini. Ironisnya banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya terjadi kedzoliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Fiqh II, tapi juga bertujuan diantaranya untuk :
BAB II
PEMBAHASAN
Arti Ar-Rahn ( Gadai )
Secara etimologi, gadai atau rahn adalah ( tetap atau lama ) yang berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.Ada yang menyatakan kata Rahn bermakna tertahan dengan dasar firman Allah:
كُلُّنَفْسٍبِمَاكَسَبَتْرَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya (QS. 74:38) kata Rahienah bermakna tertahan. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. Ibnu Faaris menyatakan: Huruf Raa, Haa’ dan Nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini adalah kata Al Rahn yaitu sesuatu yang digadaikan.
Rahn adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang untuk dilunasi dengan jaminan tersebut ketika tidak mampu melunasinya. Atau harta benda yang dijadikan jaminan hutang untuk dilunasi (hutang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut apabila tidak mampu melunasinya dari orang yang berhutang memberikan harta sebagai jaminan hutang agar digunakan sebagai pelunasan hutang dengan harta atau nilai harta tersebut bila pihak berhutang tidak mampu melunasinya. Sedangkan Syeikh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahn sebagai jaminan hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya.
Pendapat ulama fiqih tentang gadai atau rahn :
Secara umum gadai dikategorikan sebagai akat yang bersifat derma sebab apa yang diberikan pegadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar sesuatu. Rahn juga termasuk akat yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna ketika menyerahkan benda yang dijadikan akat seperti: hibah, pinjam meminjam, titipan, kirot. Semua termasuk akat tabaru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (Al-qabdu).
Rahn disyariatkan berdasarkan Al-Quran, sunah dan Qiyas:
Al-Baqarah ayat 283 yang artinya:
jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[180] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
HR. Bukhori dan Muslim
“dari sifat Aisyah R.A bahwa rasullah saw pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi. “
Para ulama sepakat bahwa rahn atau gadai itu dibolehkan tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua pihak tidak saling mempercayai.
Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.
Dalil Al Qur’an adalah firman Allah:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 2:283)
Dalam ayat ini walaupun ada pernyataan ‘dalam perjalanan’ namun tetap menunjukkan keumumannya, baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim, karena kata ‘dalam perjalanan’ dalam ayat hanya menunjukkan keadaan yang biasa membutuhkan sistem ini.
Hal inipun dipertegas dengan amalan Rasululloh yang melakukan pergadaian sebagaimana dikisahkan umul mukminin A’isyah dalam pernyataan beliau:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya.” (HR Al Bukhori no 2513 dan Muslim no. 1603).
Demikian juga para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan Al Rahn ini dalam keadaan safar (perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al Qurthubi menyatakan: Tidak ada seorangpun yang melarang Al Rahn pada keadaan tidak safat kecuali Mujaahid, Al Dhohak dan Daud (Al Dzohiri). Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan: Diperbolehkan Al rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan: Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid, ia menyatakan: Al Rahn tidak ada kecuali dalam keadaan safar, karena Allah l berfirman:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
Namun benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan adanya perbuatan Rasululloh SAW diatas dan sabda beliau:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah.” (HR Al Bukhori no. 2512). Wallahu A’lam. Pendapat ini dirojihkan Ibnu Qudamah, Al Hafidz Ibnu Hajar dan Muhammad Al Amien Al Singqit.
Setelah jelas pensyariatan Al Rahn dalam keadaan safar (perjalanan), apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim atau tidak wajib pada keseluruhannya atau wajib dalam keadaan safar saja? Para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Inilah pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah).
Berkata Ibnu Qudamah: Al Rahn tidak wajib, kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung jawaban). Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan Al rahn dalam keadaan mukim diatas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajibnya.Demikian juga karena Al rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti Al Dhimaan (Jaminan oertanggungjawaban) dan Al Kitabah (penulisan perjanjian hutang) dan juga karena ini ada ketika sulit melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya.
Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
Mereka menyatakan bahawa kalimat (maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)) adalah berita bermakna perintah. Juga dengan sabda Rasululloh SAW :
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Semua syarat yang tidak ada dikitabullah maka ia bathil walaupun seratus syarat.” (HR Al Bukhori).
Mereka menyatakan: Pensyaratan Al Rahn dalam keadaan safar ada dalam Al Qur’an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim sehingga ia tertolak.
Pendapat ini dibantah bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya:
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).” (QS. 2:283).
Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu’amalah adalah kebolehan (mubah) hingga ada larangannya dan disini tidak ada larangannya.
Rahn memiliki empat unsur
Menurut para ulama Hanafiyah rukun Rahn adalah ijab dan qabul dari Rahin dan Almurtahin. Adapaun selain Hanafiah rukun Rahn adalah shighat, aqid (orang yang berakat), marhun dan marhunbih.
Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al-alhliyah. Menurut ulama Syafiiyah ahliyah adalah orang yang telah syah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayiz, dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena, sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rhn tetap syah.
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin. Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain :
Beberapa hal yang berkaitan dengan syarat Rahn antara lain berikut ini:
Hukum Rahn secara umum terbagi 2, yaitu Sahih dan ghair sohih (fasid). Rahn sahih adalah rahn yang memenuhi persyaratan. Sedangkan Rahn fasid adalah rahn yang tidak memenuhi persyaratan.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Rahn Ghoir Sohih terbagi menjadi 2 yaitu :
Hukum ini yaitu bergantung pada Rahin dan bukan mertahin sebab Rahn tidak memiliki kekuasaan untuk membatalkannya tetapi Murtahin mempunyai hak membatalkannya kapan saja ia mau.
Dampaknya yaitu:
Jumhur ulama Fiqih sepakat bahwa yang dikategorikan tidak sah dan menyebabkan akad batal atau rusak yakni, tidak ada dampak hukum pada borg. Dengan demikian murtahin tidak memiliki hak untuk menahannya. Begitu pula, Rahin diharuskan meminta kembali Borg jika murtahin menolak maka murtahin dipandang sebagai perampas dan murtahin harus menggantinya.
D. Pertambahan Borg
Ulama fiqiyah sepakat bahwa tambahan milik Borg adalah milik Rahn, sebab dialah pemilik aslinya untuklebih jelasnya tentang pendapat mereka , perhatikan uraian berikut:
E. Penambahan utang
jumhur ulama membolehkan rahin untuk menambahkan borg misalnya rahin meminjam uang 100.000 dengan menggadaikan baju kemudian dia menambah satu baju lagi untuk gadai tersebut. Pendapat para ulama fiqiyah tentang membagi 2:
1. Ulama Hanafiyah, Muhammad, Hanabillah, Imam Syafi’i menyatakan tidak sah menambah hutang sebab dapat akan rahn kedua padahal borg berkaitan dengan rahn pertama.
2. Imam malik, Abu Yusuf, dkk menyatakan membolehkan tambahan tersebut sebab rahn kedua membatalakan rahn yang pertama.
F. Akhir Rahn
Rahn dipandang habis dalam beberapa keadaan seperti membebaskan hutang, hibah, membayar hutang dll.
G. Perbedaan antara Rahin dan Murtahin
Apabila terjadi pertentangan antara rahin dan murtahin tentang jumlah hutang, menurut jumhur ulama, pendapat yang diterima adalah ucapan rahin dengan sumpahnya, sebab rahin sebagai tergugat.
Jika murtahin dan rahin berbeda pendapat tentang kerusakan borg, pendapat yang diterima adalah ucapan murtahin, sebab ia yang telah menjaganya.[4]
Jika murtahin dan rahin berbeda pendapat tentang pemegangan borg, pendapat yang diterima adalah ucapan rahin dengan sumpahnya sebab ia merupakan penentu kelaziman rahn.
Jika keduanya berbeda pendapat tentang waktu kerusakan yang terjadi pada borg, ucapan yang diterima adalah murtahin.
Menurut ulama Hanafiyah, jika rahin dan murtahin berbeda pendapat tentang jenis borg, ucapan yang diterimanya adalah ucapan murtahin.
BAB III
PENUTUP
Secara etimologi, gadai atau rahn adalah ( tetap atau lama ) yang berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.Syeikh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahn sebagai jaminan hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya.
Adapun rukun rahn yakni akad ijab dan kabul, aqid, barang yang di jadikan jaminan, ada utang. Rahn termasuk akat yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna ketika menyerahkan benda yang dijadikan akat seperti: hibah, pinjam meminjam, titipan, kirot.Para ulama sepakat bahwa rahn atau gadai itu dibolehkan tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua pihak tidak saling mempercayai.
Dengan adanya penugasan membuat makalah ini, marilah kita semakin bersemangat di dalam proses belajar mengajar agar apa yang kita cita-citakan dapat tercapai dan juga marilah kita melakukan yang terbaik di dalam kehidupan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i Rahmat, fiqh muamalah, Bandung, pustaka setia
http://bolmerhutasoit.wordpress.com
http://syifa-alqulub.blogspot.com/2012/04/hukum-gadai-dalam-al-quran-dan-hadist.html
[1] Al-Kasani, Op.Cit., juz VI. Hlm. 152.
[2] Ibnu Rusyd, Op.Cit., juz II. Hlm . 272.
[3] Muhammad Asy-Syarbini, juz II. Hlm. 139.
[4] Ibn Rusyd, Op.Cit., juz II., hlm. 275.