Mangkunegara V

MANGKUNEGARA V

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Sejarah Lokal

Dosen Pengampu: Insiwi Febriary Setiasih, S.S., M.A.

Hasil gambar untuk logo uns

 Disusun Oleh:

Kelompok 3

Aji Rais Permana                        (B0417004)

Aqil Fadhilah                               (B0417009)

Arditarika Purwandita                (B0417010)

Cinly Aulia                                        (B0417015)

Dewi Erista Sari                        (B0417017)

Febi Anggono Suryo                        (B0417022)

Ghina Kamilia                                (B0417025)

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2018

MANGKUNEGARA V

  1. Profil Mangkunegara V

Mangkunegara V lahir pada jam 00.00, Senin Legi, 27 Rajab tahun Dal Mangsa Dhrestha Wuku Mandakungan Windu Kontoro 1783 atau 16 April 1855 dari pasangan Mangkunegara IV dengan garwo padmi KBRAy Adipati Mangkunegara IV dengan nama kecilnya R.M Sumito.[1] Kelahirannya diumumkan dengan bunyi gending kehormatan Monggang dan dentuman meriam sembilan kali. Pada bulan Juli 1869, Mangkunegara V diangkat menjadi pangeran anom dengan gelar KGPA Prabu Prangwadana, menggantikan kedudukan KGPA Prabu Sudibya (kakaknya yang meninggal satu tahun sebelumnya). Bersamaan dengan pengangkatan tersebut, ia menerima pangkat Letnan Ajudan I dari pemerintah Belanda[2] dan pada tahun 1874 KGPA Prabu Prangwedana dinaikkan pangkatnya oleh pemerintah Belanda menjadi Major Ajudan.

Tahun 1877 ia dinikahkan dengan RA Kusmardinah, putri dari PA Hadiwidaya III di Surakarta. Sehubungan dengan wafatnya Mangkunegara IV pada tahun 1881, ditahun itu juga KGPA Prabu Prangwedana diangkat menggantikan kedudukan ayahnya dan bergelar KGPA Prabu Prangwedana V. Bersamaan dengan itu, pemerintah Belanda melalui Residen Surakarta C.A.L.J. Jekel, ia dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel Komandan Legiun Mangkunegaran.[3]

  1. Bidang Politik

Sejak berdiri pada tahun 1757 di bawah pemerintahan Mangkunegara I (1757-1796) sampai pemerintahan Mangkunegara V, Praja Mangkunegaran masih berstatus vasal dari pemerintahan Belanda dan Kasunanan Surakarta. Belanda selalu berusaha untuk melepas praja Mangkunegaran dari vasal Sunan menjadi daerah yang otonom penuh. Sebaliknya, pihak Sunan selalu berusaha untuk mempertahankan Praja Mangkunegaran dari kekuasaannya. Usaha pemerintah Belanda tersebut baru menampakan hasilnya pada masa pemerintahan Mangkunegara IV dan Mangkunegara V, yang mana telah dirasakan menuju kemerdekaan yang akhirnya benar-benar terlaksana pada tahun 1896, awal dari pemerintahan Mangkunegara VI (1896-1916).[4]

Mangkunegara V sangat meneladani sang ayah, kebijakan-kebijakan yang beliau ambil sedikit banyak diteruskan oleh Mangkunegara V, bahkan bisa dikatakan bahwasanya Mangkunegara V hanya meneruskan apa-apa yang telah ditetapkan oleh ayahandanya. Lain kondisi lain situasi, keadaan pada masa Mangkunegara IV sangat mendukung untuk pertumbuhan perekonomian Mangkunegaran, namun situasi berubah pada masa akhir hayat Mangkunegara IV, kenaikan harga komoditas di pasar internasional membuat perekonomian Mangkunegaran menurun. Hal tersebut tanpa disadari menimbulkan suatu masalah besar di kemudian hari, yang hampir-hampir membawa Mangkunegaran ke arah kebangkrutan.

Meskipun kedudukannya tak lebih tinggi daripada Kasunanan, Mangkunegara yang pada waktu itu masih diberlakukan kewajiban yang mengharuskan Mangkunegara untuk menghadap kepada Sunan setiap hari Senin dan Kamis.Lain dengan saudaranya di Kasunanan, Mangkunegaran mendapatkan perilaku yang sedikit berbeda, Belanda memberikan keistimewaan-keistimewaan kepada Mangkunegaran, kelonggaran diberikan karena Belanda menilai perekonomian Mangkunegaran lebih maju dibanding dengan Kasunanan Hal tersebut dipandang sangat menguntungkan bagi perekonomian Mangkunegaran khususnya Belanda, maka dari itu Belanda menganggap Mangkunegaran sebagai saudara dekat. Kelonggaran yang diberikan Belanda pada Mangkunegaran dalam menjalankan roda pemerintahan antara lain; kelonggaran dalam bidang administrasi pemerintahan, peradilan, dan wilayah kekuasaan. Dengan diberikan kelonggaran dalam menjalankan roda pemerintahan, Mangkunegaran seakan-akan menjadi boneka dan kaki tangan Belanda dalam rangka pengendalian atas wilayah kekuasaannya, Belanda juga menanamkan pengaruh kebudayaan Eropa ke dalam Pura Mangkunegaran yang menjadikan masyarakatnya sedikit banyak mengadopsi kebudayaan Eropa, bertindak seakan-akan orang Eropa dan memandang rendah peradaban pribumi khususnya Jawa.

  1. Bidang Ekonomi
  1. Penyebab terjadinya krisis ekonomi pada masa Mangkunegaran V

Pada masa kekuasaan Mangkunegara IV, merupakan masa keemasan karena terjadi loncatan ekonomi yang sangat luar biasa, yaitu memasukkan hasil dari perkebunan tebu dan kopi ke pasar internasional di Eropa.[5]Tetapi, meskipun disatu sisi perekonomian Praja Mangkunegaran terutama dalam hal perkebunan tebu dan kopi dapat menembus ekonomi dunia dan ikut serta dalam pasar internasional, disisi lain dengan mengikutsertakan hasil perkebunan tebu dan kopi dalam perekonomian internasional, maka secara tidak langsung hasil dari perkebunan tebu dan kopi tergantung pada tinggi rendahnya harga gula dan kopi di pasar internasional. Dengan demikian Praja Mangkunegaran tidak dapat menentukan harga dari kedua hasil perkebunan tersebut, sehingga secara tidak langsung berpengaruh pada ekonomi Praja Mangkunegaran.[6]

Pada akhir masa jabatannya terjadi krisis dunia. Krisis tersebut akibat dari menurunnya nilai jual kopi dan gula di pasar internasional sehingga terjadi penumpukan hasil kopi dan gula di Praja Mangkunegaran. Turunnya nilai jual kopi dan gula di pasar internasional juga disebabkan oleh hama daun kopi yang sejak tahun 1878 menyerang Java Koffie/Kopi Jawa (suatu varietas dari coffee arabica) yang ditanam terbanyak pada waktu itu dan juga hama Sere yang menyerang kebun-kebun tebu di Jawa. Adanya proteksi terhadap industri gula di Eropa bertambah banyak sekali, sehingga harga gula menjadi tertekan dan akhirnya hasil penjualan gula tebu tidak dapat menutupi biaya penanamannya.[7] Tetapi, ekonomi di Praja Mangkunegaran tidak terlalu merosot pada waktu itu karena kas Praja Mangkunegaran masih mampu untuk masalah tersebut.

Setelah Mangkunegara IV wafat, kemudian digantikan Prangwodono yang bergelar Mangkunegara V. Pada masa Mangkunegara V inilah kondisi ekonomi di Praja Mangkunegaran semakin terpuruk bahkan sampai mempunyai hutang yang sangat banyak. Hal itu disebabkan karena Mangkunegara V tidak pandai dalam memanajemen keuangan Praja Mangkunegaran. Ia hanya memikirkan kesenangannya saja dan hanya meneruskan atau melestarikan apa yang sudah dibangun oleh ayahnya yaitu Mangkunegara IV tanpa melakukan perubahan. Selain itu terjadinya krisis di Praja Mangkunegaran pada masa Mangkunegara V disebabkan oleh orang-orang dalam yang merupakan keluarga dan kerabat dari Mangkunegara V sendiri yang selalu memperkaya diri. Akibat itu semua banyak hutang di mana-mana, sampai tidak dapat membayar gaji para pegawai dan abdi dalem.[8]

Pemerintahan Mangkunegara V merupakan masa yang sangat sulit bagi perkembangan Praja Mangkunegaran. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain disebabkan oleh buruknya manajemen keuangan oleh Mangkunegara V, gaya hidup mewah yang diterapkan oleh Mangkunegara V, para keluarga dan kerabat Mangkunegara V yang memperkaya diri dari kekayaan Praja Mangkunegaran, serta ikut campurnya pemerintah kolonial Belanda dalam urusan keuangan dan perekonomian Praja Mangkunegaran.[9] Pada awal pemerintahan Mangkunegara V penghasilan Praja Mangkunegaran masih cukup baik meskipun telah terjadi krisis global. Hal itu karena kas Praja Mangkunegaran sepeninggalan Mangkunegara IV sangat besar. Kas tersebut diperoleh dari dua pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu serta pabrik-pabrik yang lainnya. Akan tetapi penghasilan dan kas Praja Mangkunegaran itu kurang dimanfaatkan secara efisien oleh Mangkunegara V. Hal itu karena terbawa usia Mangkunegara V yang masih muda maka ia masih banyak menuruti kehendak pribadinya.[10]

Dalam laporan keuangan Praja Mangkunegaran pemasukannya masih didominasi dari penjualan hasil-hasil perkebunan terutama perkebunan kopi dan tebu. Pada tahun 1882 dan 1883 pemasukan keuangan Praja Mangkunegaran dari sektor perkebunan yang diperoleh dari hasil perkebunan kopi dan tebu, sedangkan untuk pengeluaran di dominasi oleh kebutuhan atau pengeluaran pribadi anggota keluarga Mangkunegara V. Meskipun demikian antara pemasukan dan pengeluaran di Praja Mangkunegaran sama-sama hampir seimbang sehingga jumlah sisanya pun tetap sedikit.[11]

Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Mangkunegara V selalu dipengaruhi oleh pihak keluarga termasuk dalam hal keuangan. Meskipun demikian pada awal pemerintahan Mangkunegara V keuangan Praja Mangkunegaran dapat memenuhi semua kebutuhan istana baik raja, keluarga raja, abdi dalem, dan pegawai-pegawai yang bekerja di Praja Mangkunegaran. Mangkunegara V merasa tidak memerlukan suatu perbaikan-perbaikan karena semuanya telah berjalan dengan lancar, kepolisian telah diperbaiki, urusan gaji telah diatur dengan baik, terhadap produksi kopi tidak perlu dilakukan tindakan-tindakan baru, kas praja terisi penuh, dan para nara praja semuanya tercukupi kebutuhannya.[12] Namun tidak lama setelah itu keadaannya berubah karena terjadi hama daun kopi yang mengganas dan menimbulkan kerusakan. Hama Sereh yang menyerang tanaman tebu yang merugikan produksi gula dan juga terdapat hama yang menyerang tanaman kopi. Di mana kedua tanaman tersebut merupakan komoditas ekspor terbesar bagi Praja Mangkunegaran. Akibat dari penurunan keuangan Praja Mangkunegaran yang terus menerus akhirnya menimbulkan krisis di Praja Mangkunegaran pada tahun 1884.[13]

Mangkunegara V tidak terlalu bertanggung jawab mengenai urusan istananya karena semua yang berhubungan dengan urusan istananya diserahkan kepada kepala urusan istana yang dijabat oleh Pangeran Gondoatmojo.[14]Karena tidak ada pengawasan dan kontrol langsung dari Mangkunegara V, itu urusan-urusan keuangan, perusahaan ditangani oleh orang-orang yang tidak cakap dan serta pengawasan terhadap keuangan hanya dilakukan secara pura-pura sehingga banyak pejabat istana yang melakukan korupsi. Ketika mengalami masa yang sulit, gaji para pegawai tidak dapat dibayar sampai mempunyai beban hutang. Selain itu keadaan administrasi keuangan Praja Mangkunegaran juga sangat buruk karena tidak ada pemisahan antara keuangan raja dengan keuangan kerajaan dan keuangan perusahaan.[15]

Akibat dari pengeluaran yang besar tanpa diimbangi dengan pemasukan yang besar pula maka seiring berjalannya waktu Praja Mangkunegaran mengalami defisit keuangan. Akhirnya menjadikan suatu krisis ekonomi di Praja Mangkunegaran yang mengakibatkan kemunduran bahkan hampir mengalami kehancuran. Jadi masa Mangkunegara V merupakan masa terkelam dalam sejarah Praja Mangkunegaran karena mengalami kemunduran ekonomi, kehancuran perekonomian sampai titik terendah. Krisis tersebut merupakan ujian terberat bagi penguasa waktu itu yaitu Mangkunegara V.

  1. Usaha-Usaha untuk Memperbaiki Perekonomian Mangkunegaran V

        Setelah perekonomian di Praja Mangkunegaran mengalami perkembangan yang pesat pada masa Mangkunegara IV yang membuat Praja ini menjadi sebuah Kadipaten yang sangat kaya meskipun masih di bawah kekuasaan Kasunanan.[16] Keadaan berbalik menjadi buruk ketika Mangkunegara IV wafat, dan kini Mangkunegaran dipimpin oleh Mangkunegara V, banyak terjadi permasalahan pada masa ini baik internal maupun eksternal yang mengakibatkan perekonomian Mangkunegaran menjadi turun hingga terpuruk seperti yang telah disebutkan di atas.

Masyarakat yang paling merasakan dampak dari krisis ekonomi Mangkunegaran adalah golongan bawah di luar istana. Mereka kebanyakan bermata pencaharian sebagai seorang petani. Dalam konteks lokal di Praja Mangkunegaran, kehidupan sosial ekonomi penduduk terutama golongan petani tidak berbeda jauh dengan daerah-daerah lain di Vorstenlanden. Pada tahun 1888 di Surakarta pendapatan petani kelas I f 64, petani kelas II f 48, petani kelas III f 24, dan masing-masing terkena beban pajak tanah sebesar f 12 (8,75%), f 10 (20,80%), f 8 (33,50%).[17] Upaya awal yang dilakukan oleh Mangkunegara V adalah bagaimana mendapatkan pemasukan sebagai langkah awal, baru kemudian mencari cara untuk menurunkan pengeluaran di Mangkunegaran. Usaha yang dilakukan oleh Mangkunegara V sebagai berikut:

  1. Mendirikan Pabrik Bungkil di Polokarto

Usaha Mangkunegaran untuk meningkatkan penghasilan salah satunya adalah dengan membangun pabrik bungkil di Polokarto. Sebenarnya hal ini sudah menjadi rencana lama dari Sri Mangkunegara IV untuk mendirikan sebuah pabrik bungkil, dan untuk keperluan itu dipilihlah tanah seluas 500 Ha.[18] Tanah tersebut berada di daerah Honggobayan, Wonogiri yang merupakan tanah perusahaan swasta Karangale yang pada 1879 diberikan kembali kepada Mangkunegaran.[19] Pada 1882 Pada masa pemerintahan Residen Mr. W.A. Matthes diadakan upacara peletakan batu pertama oleh Mangkunegara V.

        Tanah ini sangat cocok untuk ditanami tanaman kacang cina, dan juga wilayahnya sangat berdekatan dengan kedua pabrik gula. Letaknya yang dekat dengan pabrik gula maka dalam penanamannya faktor pemupukan sangat tercukupi. Hal itu karena sisa-sisa dari penggilingan pabrik tebu dapat digunakan sebagai pupuk yaitu pupuk kompos. Selain itu juga mendapat perhatian yang cukup dalam penanaman, pemupukan dan pemeliharaannya karena berdekatan dengan kedua pabrik gula tersebut.[20] Sejak 6 tahun didirikan, pabrik ini hanya mendapatkan keuntungan sebesar  15.000. jumlah ini masih terbilang kecil karena belum dihitung dengan sewa tanah, kemudian karena semakin buruknya kas Mangkunegaran akhirnya pabrik ini tidak dapat diurus lagi secara maksimal.

  1. Membeli Pabrik Gula Kemiri

Tak kunjung membaiknya perekonomian Mangkunegaran membuat Mangkunegara V mengambil keputusan untuk membeli pabrik gula kemiri. Pada awalnya pabrik Kemiri merupakan pabrik gula milik pengusaha asing yang bernama d.’Abo, dan pada tahun 1883 perusahaan gula Kemiri secara resmi dibeli oleh Mangkunegara V beserta dengan areal perkebunan tebunya.[21] Kemudian nama dari pabrik gula kemiri ini diubah oleh Mangkunegara V menjadi Madu Renggo.Setelah pembelian,pabrik gula ini dalam pengolahan tebunya dijadikan satu oleh pabrik gula Tasikmadu karena jarak yang relatif dekat dan juga untuk menghemat biaya produksi. Namun dalam kenyataannya walaupun biaya produksi sudah dihemat namun biaya untuk pengangkutan tebu dari daerah Kemiri ke pabrik gula Tasikmadu lebih mahal karena harus dilakukan secara berkali-kali dengan menggunakan cikar dan lori.[22]

Pada saat pembelian tersebut ternyata pabrik Kemiri masih giling dan dalam musim giling tahun 1884 dan 1885 telah menghasilkan tebu 5.000 pikul atau 3.000 kuintal yang berasal dari 28 bau atau 20 hektar tebu tanaman sendiri dan 70 bau atau 50 hektar tebu yang ditanam oleh para penyewa tanah di sekitarnya yaitu para bekel.[23] Pada tahun 1886 akhirnya pabrik gula kemiri yang memiliki luas gabungan dengan pabrik gula Tasikmadu seluas 20 Ha ditutup.[24] Penutupan ini dikarenakan mengadakan pabrik dengan administrasi sendiri itu sulit, ditambah dengan hasil yang tidak memuaskan.

  1. Penanaman Tanaman Tembakau

Pembudidayaan tanaman tembakau dilakukan guna menambah penghasilan Praja Mangkunegaran, harganya yang tinggi di pasaran dunia membuat Mangkunegara V tergiur dengan harganya, namun pada masa Mangkunegara IV sebelumnya juga telah dilakukan penanaman tanaman tembakau, tetapi mengalami kegagalan karena tanaman tembakau sangat tergantung dengan iklim. Selain faktor iklim yang sangat sulit dikontrol juga faktor pemeliharaan yang masih sangat tradisional dan bibit yang mempunyai produktivitas yang sangat rendah.[25]

        Hasil panen tembakau yang pertama pada areal 28 hektar tidak seperti yang diharapkan oleh Mangkunegara V karena kualitas tembakau yang dihasilkan rendah sehingga merupakan suatu kegagalan. Meskipun hasil panen tembakau mengalami kegagalan, tidak membuat Mangkunegara V putus asa tetapi justru memperluas areal penanaman tanaman tembakau menjadi 150 hektar pada tahun 1887, dan untuk itu diikutsertakan masyarakat Ngadirejo dalam pemeliharaanya.[26]

        Berbagai usaha telah diusahakan untuk membuat budidaya tanaman ini berhasil, seperti warga diajak untuk menanam tanaman ini di tanahnya namun hak warga tidak terjamin, sehingga usaha-usaha yang dilakukan dirasa gagal untuk mendapat untung dari tanaman ini. Padahal wilayah Praja Mangkunegaran banyak terdapat hutan yang lebat, namun kebanyakan hutan tersebut tidak dikelola secara maksimal dan hanya dimanfaatkan kayunya saja,

  1. Mencari Bantuan Belanda dan Swasta

Setelah semua usaha-usaha yang dilakukan untuk menambah pendapatan Praja Mangkunegaran dirasa tidak berhasil. Puncaknya pada 1885 dimana Mangkunegaran tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk membiayai kegiatan di Praja Mangkunegaran. Keadaan kas Praja Mangkunegaran yang begitu mengkhawatirkan, maka Mangkunegara V meminta tolong kepada residen agar mau meminjamkan uang tanpa bunga sebesar f 800.000,-. Pembayaran hutang tersebut akan diambilkan dari pemotongan hasil penjualan kopi pada tahun 1886 sebesar f 200.000,-, pada tahun 1887 sebesar f 300.000,- dan tahun 1888 sebesar f 800.000,-.[27]

Permintaan dari Mangkunegara V itu lalu disampaikan ke Residen Surakarta saat itu A.J. Spaan, kemudian baru diteruskan ke pemerintah Hindia Belanda di Jakarta. Spaan mengusulkan agar permintaan pinjaman Mangkunegara V dikabulkan dengan alasan keuangan Mangkunegara sangat penting di bidang politik. Atas dasar itu lalu Spaan memembuat usulan untuk Prangwedana yang berupa tanggungan penyewaan yang penguasaannya diserahkan kepada sebuah komisi yang terdiri dari dua pegawai atau keluarganya atas persetujuan Residen. Selanjutnya seluruh pengawasan terhadap budidaya kopi milik Praja Mangkunegaran harus diserahkan kepada Asisten Residen Wonogiri, dan pengembalian pinjamannya akan dilakukan apabila keadaan keuangan telah diperbaiki.[28]

Usulan itu tidak langsung disetujui malahan pemerintah pusat berpendapat bahwa Prangwedana harus diganti dan pengawasan keuangan Praja Mangkunegaran jika perlu harus diserahkan kepada komisi yang diangkat oleh residen dengan pertimbangan raja dan Asisten Residen Surakarta harus ikut mengambil bagian. Pemerintah pusat akan menyetujui permintaan pinjaman Mangkunegara V tersebut jika semua syarat yang diajukan tersebut telah diatur dan disetujui oleh Prangwedana. Selain itu juga pemerintah kolonial Belanda meminta diberitahu mengenai jumlah pemasukan dan pengeluaran Praja Mangkunegaran, hutang-hutang Prangwedana, hak milik dan perusahaan-perusahaan Praja Mangkunegaran serta pengaturan pelunasan hutang-hutangnya.[29]

Residen Spaan tidak menyetujui jika Prangwedana harus diganti, dan ia mengusulkan untuk dibentuknya sebuah komisi yang bertugas mengatur masalah keuangan dari tanah-tanah dan hak milik Praja Mangkunegaran. Komisi tersebut diketuai oleh asisten Residen Surakarta dan anggotanya adalah dua orang Pangeran Putra dan dua orang Pangeran Sentana.[30] Komisi tersebut diberi namaRaad van Toezicht Belastmet de Regeling van de Mangkoenegorosche Landen en Bezettingen (Dewan Pengawas yang mengatur urusan keuangan, tanah, dan barang-barangmilik Mangkunegaran).[31] Usulan untuk membuat komisi itu disetujui oleh pemerintah kolonial Belanda asalkan Praja Mangkunegaran menyetujui pembentukan komisi tersebut. Mangkunegara V ternyata tidak menyetujui usulan tersebut karena merasa tidak ada lagi kewenangan untuk mengelola keuangan sendiri, dan akhirnya merasa bahwa negosiasi ini tidak berhasil.

Mangkunegara V akhirnya mencari pinjaman kepada pihak swasta di Semarang. Melalui penggadaian harta miliknya yang memiliki nilai verpanding sebesar f519.00.000, ia memperoleh pinjaman dari A.F.L. Huygen de Raet sebesar f400.000,-. Di samping itu, Mangkunegara V juga mendapatkan pinjaman sebesar f200.000,- dari Factorij dengan cara menggadaikan 290 saham Javanche Bank dan 100 saham dari Nederlandsche Handelmaatschappij (NHM), warisan ayahnya.[32] Akhirnya tindakan ini dapat menolong Praja Mangkunegaran, dan pinjaman yang didapat digunakan untuk modal ketiga pabriknya.Kenyataan yang diperkirakan oleh Mangkunegara V bahwa keuangan Mangkunegaran akan membaik seiring dengan datangnya pinjaman dan barang yang digadaikan, namun ternyata tidak sesuai dengan harapan. Semua pinjaman dan juga penggadaian barang-barang kekayaan Praja Mangkunegaran serta saham-sahamnya ternyata hanya mampu untuk membiayai keuangan Praja Mangkunegaran pada tahun 1885 saja.[33]

Akhirnya yang diperkirakan oleh pemerintah kolonial Belanda sesuai dengan kenyataanya. Prangwedana V akhirnya meminta bantuan pinjaman keuangan kepada pihak Pemerintah Belanda. Pinjaman keuangan tersebut akhirnya disetujui oleh pemerintah kolonial Belanda dengan syarat dibentuk suatu Badan Pengawas. Dengan disetujuinya persyaratan yang diajukan oleh pemerintah kolonial tersebut, maka dimulailah campur tangan pemerintah kolonial Belanda terhadap keuangan Praja Mangkunegaran. Secara tidak langsung maka keuangan Praja Mangkunegaran di bawah pengawasan pemerintah kolonial Belanda.[34]Komisi keuangan tersebut diketuai oleh Residen Spaan, sedangkan Prangwedana V (Mangkunegara V), Pangeran Haryo Hadiwijiyo, Pangeran Haryo Suryodiningrat, dan Raden Mas Haryo Brodjonoto sebagai anggotanya, serta Sekretaris Daerah (Gewestelijke Secretaris) WF Engelbert van Bevervoorde sebagai sekretarisnya.[35]

Setelah dibentuknya komisi keuangan untuk mengurus keuangan dan perusahaan-perusahaan Praja Mangkunegaran, komisi tersebut mengadakan rapat pertama kali pada tanggal 18 Juli 1887, yaitu sebelas hari setelah dibentuk oleh Gubernur Jenderal Van Rees. Pelaksanaan kerja atau tugas komisi tersebut dalam memperbaiki keuangan dan perekonomian di Praja Mangkunegaran sangat berat. Tugas-tugas dari komisi tersebut antara lain:

  1. Komisi harus mengetahui segala hal yang diurus oleh Praja Mangkunegaran agar dapat memperbaiki keadaan keuangannya.
  2. Tidak boleh ada lagi keterlambatan dalam penggajian para pegawai Praja Mangkunegaran.
  3. Kalau dimungkinkan dikeluarnya gaji para pegawai itu, maka pamerintah harus memberi pinjaman dengan syarat-syarat tertentu dan dengan jaminan yang cukup.
  4. Untuk pabrik gula Colomadu dan pabrik gula Tasikmadu harus dicarikan modal kerja yang diinginkan.
  5. Gulanya harus dijual dengan keuntungan yang lebih banyak.
  6. Urusan Factorij dengan Prangwedana harus diselesaikan.
  7. Hak milik di daerah Semarang harus di bawah pimpinan yang lebih baik.
  8. Pengelolaan hutan Praja Mangkunegaran harus lebih teratur dan ditinjau kembali.
  9. Administrasi dari budidaya kopi dan lain-lain dari raja harus dijalankan dengan baik.[36]

Pelaksanaan komisi ini ternyata tidak mampu berjalan dengan baik karena didalam kepengurusan tersebut komisi dihalang-halangi oleh lingkungan terdekat dari Raja yang masih tetap tidak mau menyetujui dilakukannya pengawasan terhadap keuangan. Juga sikap yang tidak suka menurut dari Raja yang mempersukar pekerjaan komisi[37].

  1. Dampak Krisis Ekonomi Pada Masa Mangkunegaran V

        Krisis ekonomi yang terjadi pada masa Mangkunegara V tentunya membuat keuangan Praja mengalami defisit dan membuat Praja Mangkunegaran berjalan menuju kehancurannya. Tak hanya berdampak pada Praja, krisis ini berdampak juga kepada masyarakat dan pemerintah kolonial. Akibat krisis ekonomi ini para pegawai Praja tidak digaji selama berbulan-bulan, masyarakat harus bekerja lebih keras lagi di perkebunan-perkebunan milik Praja, dan pemerintah kolonial mengalami penurunan pemasukan dari Praja Mangkunegaran karena hasil dari perkebunan kopi menurun.

Di awal masa pemerintahan Mangkunegara V, keuangan masih sangat stabil bahkan sangat banyak karena merupakan peninggalan dari masa Mangkunegara IV. Namun uang yang melimpah tersebut tidak digunakan secara bijak dan tidak dilakukan pembukuan. Dahulu di masa Mangkunegara IV walaupun pengeluarannya sangat besar dapat diimbangi dengan pemasukan yang sangat besar pula dari pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu serta perkebunan kopi. Di masa Mangkunegara V ini berbanding terbalik dengan masa Mangkunegara IV, terjadi ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran. Pengeluaran yang besar ini digunakan untuk berpesta dan juga banyak terjadi korupsi di kalangan keluarga Praja Mangkunegaran.

        Mangkunegara V tidak ingin merubah segala kebijakan yang ada pada masa Mangkunegara IV, karena ia sangat menghormati ayahnya. Namun hal ini malah membawa Praja Mangkunegaran menuju krisis ekonomi. Akibat dari krisis ini akhirnya Prangwedana mengambil tindakan berupa kebijakan, yang justru malah membawa dampak negatif bagi Praja Mangkunegara maupun masyarakat. Masyarakat yang sebagian besar bekerja menjadi petani lah yang sangat merasakan dampak dari krisis ekonomi ini. Hal ini terjadi karena petani merupakan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan dan di tanah pertaniannya sendiri. Karena diberlakukannya kerja wajib, tanah pertanian pribadi milik masyarakat jadi terlantar.Salah satu contohnya ialah pembudidayaan tanaman tembakau di daerah Keduwang dengan menggunakan tenaga kerja masyarakat Jatisrono.[38] Karena masyarakat Jatisrono disibukkan dengan kerja wajib di Keduwang, areal penanaman pembudidayaan kopi di Jatisrono ditinggalkan dan menjadi terlantar. Akibat dari tidak bisa menggarap tanah pertaniannya sendiri masyarakat menjadi lebih sengsara.        

Masyarakat pun bekerja semakin berat ketika hama penyerang perkebunan-perkebunan tebu dan kopi milik Praja Mangkunegaran. Namun walaupun sudah bekerja keras, upah yang diterima para petani berkurang. Harga gula di pasar dunia mulai merosot karena bersaing dengan gula bit, membuat para pengusaha perkebunan terpaksa memangkas upah pekerja dan mengurangi dana-dana yang dipersiapkan untuk membayar sewa tanah.[39]Selain pada masyarakat, kesengsaraan juga terjadi di istana. Karena krisis ekonomi tersebut, Prangwedana menggadaikan 290 saham Javasche Bank dan 100 saham Naderlandsche Handelmaatschappij agar dapat memperoleh pinjaman sebesar f 200.000 dari Factorij.[40] Akan tetapi pinjaman tersebut malah membawa masalah bagi Mangkunegara V karena ternyata nilai kurs surat-surat berharga tersebut mengalami penurunan, Factorij pun menghentikan pinjamannya. Yang lebih memprihantinkan, surat-surat berharga tersebut merupakan peninggalan Mangkunegara IV yang belum dibagi-bagikan. Meski sudah melakukan banyak pinjaman, perekonomian Praja Mangkunegaran tidak kunjung membaik. Pada akhirnya pun Praja Mangkunegaran terlilih hutang yang jumlahnya besar yang dapat diperkirakan mencapai satu juta gulden, termasuk f 600.000 karena menggadaikan tanah dan rumah-rumah di Semarang, pinjaman dari Naderlandsche Handelmaatschappij, dan tunggakan gaji para pegawai.[41]

Tunggakan gaji para pegawai, terhitung sejak 1 April 1886, telah mencapai f 79.830 dan berlangsung selama sembilan bulan.[42] Karena tidak menerima gaji, kebanyakan pegawai menjual atau menggadaikan hak miliknya. Meski tidak digaji dan sangat sengsara, para pegawai tetap bekerja hanya untuk mempertahankan gelar dan jabatan yang sangat dihargai oleh orang Jawa. Begitu banyak masyarakat yang sengsara dan mengalami kerugian besar, dulu mereka bekerja dan dibayar dengan uang namun karena tidak dibayar kini pekerjaan tersebut dianggap sebagai kerja rodi.[43]

Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh Mangkunegara V untuk mengatasi krisis ekonomi mengalami kegagalan. Hutang yang ada pun makin banyak dan tidak dapat dibayar, bahkan barang-barang kekayaan Praja Mangkunegaran banyak yang digadaikan. Banyak pula masyarakat yang semakin sengsara akibat kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Mangkunegara V.Melihat kondisi Praja Mangkunegaran yang semakin merosot tersebut, pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk ikut campur dalam mengatasi masalah krisis ekonomi ini. Karena jika dibiarkan saja dapat mengancam keamanan di Kota Surakarta. Pemerintah kolonial Belanda pun telah menganggap bahwa Mangkunegara V tidak mampu mengatasi krisis ekonomi yang terjadi dan dapat membawa Praja menuju kehancuran. Campur tangan pihak konolial ini memiliki dampak positif maupun negatif.

a. Dampak Positif

Campur tangan pemerintah kolonial, yaitu residen, untuk memperbaiki keuangan Praja Mangkunegaran dilakukan dengan berbagai cara. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pun membawa dampak dalam peningkatan keuangan Praja Mangkunegaran. Mulai dari pengawasan terhadap pemasukan dan pengeluaran serta penghematan keuangan secara ketat, juga kebijakan-kebijakan yang diutamakan dalam sektor perusahaan dan perkebunan. Dilakukan juga perbaikan laporan-laporan tahunan terhadap keuangan Praja Mangkunegaran.[44] Dilakukannya pengawasan oleh Pemerintah kolonial Belanda terhadap sektor perkebunan menyebabkan perusahaan-perusahaan perkebunan mengalami peningkatan yang cukup memuaskan. Misalnya pada budidaya tebu, pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu yang dibangun pada masa Mangkunegara IV mengalami penurunan produksi karena terjangkit hama dan juga kalah saing dengan gula bit di pasar Eropa. Dengan campur tangan residen dalam pengembangan budidaya tebu, sedikit demi sedikit produksi gula untuk Praja Mangkunegaran mulai meningkat. Terjadi peluasan lahan perkebunan yang terus meningkat pertahunnya mempengaruhi besarnya produksi gula dan meningkatkan keuntungan dari kedua pabrik gula yang ada.

Selanjutnya campur tangan residen dalam budidaya kopi. Tanaman kopi merupakan salah satu sektor perkebunan yang menjadi sumber pemasukan bagi Praja Mangkunegara. Pada masa pemerintahan Mangkunegara V ini tanaman kopi terserang hama sehingga menyebabkan produksi kopi menurun dan pengusaha-pengusaha Belanda menghentikan perkebunan kopi milik mereka. Karena tanaman kopi Jawa terserang hama, perkebunan-perkebunan kopi yang diurus oleh residen mulai beralih ke kopi Liberia yang tahan akan hama dan harganya pun murah. Jenis kopi ini memiliki kelebihan jika dibandikan dengan kopi Arabica, yaitu lebih tahan akan hama daun Hemilea dan juga dapat beradaptasi terhadap kekeringan. Namun walaupun begitu residen lebih fokus terhadap budidaya gula daripada kopi.[45]Pada periode tahun 1888 sampai 1893 saldo perusahaan hanya mencapai f 631.897, sedangkan pada periode tahun 1894-1898 saldo perusahaan dapat mencapai f 1.100.341. Terjadi peningkatan pada saldo perusahaan dan saldo dari Praja. Dengan adanya campur tangan pemerintah kolonial terhadap pemulihan keuangan Praja Mangkunegaran, hutang-hutang dari Praja  juga mengalami penurunan. Pada tahun 1891 hutang Praja Mangkunegaran mencapai f 1.574.713, tahun 1892 sebesar f 1.384.783, tahun 1893 sebesar f 1.395.694, dan f 1.440.665 pada tahun 1894.[46] Tetapi pada tahun 1897 hutang Praja Mangkunegaran hanya tinggal sebesar f 861.300 terhitung sejak 1 Januari.

Masa kepengurusan krisis ekonomi oleh residen ini tentunya telah mengakibatkan penyehatan dari keuangan Praja Mangkunegaran. Pengeluaran dan pemasukan Praja Mangkunegaran menjadi seimbang dengan dilakukannya penghematan dan perbaikan terhadap aset-aset yang ada. Maka dari itu saldo keuangan Praja Mangkunegaran semakin banyak dan beban hutang pun perlahan mulai dilunasi.

2. Dampak Negatif

Meski terdapat berbagai keuntungan di saat Pemerintah kolonial Belanda ikut campur dalam membenahi masalah krisis ekonomi yang terjadi, terdapat pula dampak negatifnya bagi Praja Mangkunegaran. Sebelumnya telah dijelaskan mengenai pembentukan komisi keuangan Raad van Toezicht Belastmet de Regeling van de Mangkoenegorosche Landen en Bezettingen (Dewan Pengawas yang mengatur urusan keuangan, tanah, dan barang-barangmilik Mangkunegaran) yang tidak disetujui oleh Mangkunegara V karena Praja Mangkunegaran akan diawasi secara bebas oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun pada akhirnya Mangkunegara V setuju meski tidak mau bersikap kooperatif dengan Pemerintah Hindia Belanda.

Mangkunegara V yang tidak mau bersikap kooperatif kepada residen akhirnya membuat residen yang pertama, yaitu Spaan, akhirnya mengambil tindakan sendiri tanpa membicarakannya dengan Mangkunegara V. Akibatnya ialah kekuasaan dan martabat raja menjadi sama dengan seorang residen, bahkan mungkin lebih rendah secara tidak langsung. Selain itu kebijakan yang diambil oleh residen Spaan kebanyakan membuat rugi Praja Mangkunegaran karena terlalu percaya dengan perhitungan yang dibesar-besarkan dan akhirnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.[47]Dampak dari kepengurusan residen pun juga dirasakan oleh masyarakat di luar istana. Kesejahteraan rakyat semakin menurun karena diberlakukan kebijakan-kebijakan yang cenderung mengalami kegagalan dan akhirnya menyengsarakan rakyat. Kemakmuran rakyat terancam, keamanan pun terganggu karena banyak sekali terjadi perampokan, pembunuhan, bahkan pemberontakan. Akhirnya terjadi sebuah gerakan sosial dalam masyarakat yang diakibatkan dari kesengsaraan yang makin memprihatinkan serta ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang ada.

  1. Bidang Sosial

Masa Mangkunegara V adalah masa-masa kemunduran Mangkunegaran. Pada masa ini terjadi kemunduran yang disebabkan oleh keteguhan Mangkunegara V untuk menolak setiap perbaikan atau perubahan dalam kraton karena ia percaya apa yang dibangun oleh ayahnya (Mangkunegara IV) harus tetap dilestarikan.[48] Hal ini menyebabkan masa kepemimpinannya tidak ada perkembangan yang berarti, melainkan banyak terjadi kemunduran dalam bidang ekonomi yang mempengaruhi bidang sosial dan kebudayaan.

Kemunduran di bidang ekonomi yang berpengaruh terhadap bidang sosial adalah bangkrutnya pabrik-pabrik gula. Bangkrutnya pabrik-pabrik gula ini disebabkan oleh krisis global yang terjadi pada tahun 1880-an. Pasar eropa tidak mampu menyerap produksi-produksi gula dari Jawa. Akibatnya harga gura menurun drastis karena penawaran lebih besar dari permintaan. Pada akhirnya para pedagang dan pemilik kebun-kebun di Jawa lahan serta perdagangannya menjadi milik bank dan perusahaan dagang-dagang besar.[49] Hal ini membuat rakyat yang dulunya memiliki perkebunan dan menanam kopi menjadi terpuruk kondisi perekonomian mereka. Sehingga banyak rakyat yang menjadi miskin lantaran pabrik-pabrik gula dan perkebunan ditutup bahkan secara terpaksa dijual kepada pihak asing.

Namun di dalam masa-masa sulit ini Mangkunegara V masih biasa melakukan pembangunan untuk kegiatan di bidang sosial. Pada masa ini terjadi pembangunan-pembangunan pada sarana dan prasarana dalam tata kota.[50] Diantaranya sebagai berikut :

  1. Membuat bangunan di sebelah timur Prangwedanan yang disebut panti werna/ panti purna.
  2. Memperluas emper pada balewarni atau balepeni.
  3. Mendirikan pengobatan untuk kuda di kampung pasar legi.
  4. Proyek rel kereta api dari Surabaya hingga Surakarta.

Pada masa Mangkunegara V ini juga kelonggaran-kelonggaran diberikan oleh Pemerintah Belanda seperti Mangkunegara dapat mengatur administrasi sendiri, Mangkunegara berhak mengangkat dan memberhentikan abdi dalem, kecuali abdi dalem Bupati Patih karena harus mendapat ijin dari Kasunanan.[51]Kelonggaran-kelonggaran ini membuat Mangkunegara menjadi terbuka dengan pengaruh asing yang membuat sifat kejawen dari masyarakat Jawa hilang dan lebih menuju kearah modernisasi. Modernisasi yang terjadi pada masa Mangkunegara V menyebabkan kewibawaan kaum Bangsawan menurun. Terjadinya pensejajaran antara kaum Bangsawan dengan elit-elit baru yaitu Belanda. Dalam hal ini Pemerintah Kolonial sengaja membagi sistem sosial menjadi suatu tingkatan-tingkatan atau terjadinya sistem stratifikasi sosial yang bertujuan untuk mempertahankan ras mereka sebagai ras superior. Stratifikasi sosial inilah yang membuat masyarakat eropa (terutama Belanda) menjadi ras teratas disusul dengan ras orang Indo, Cina (Timur Asing) dan yang paling bawah adalah ras Pribumi. Munculnya elit-elit baru dan stratifikasi sosial ini merupakan dampak dari modernisasi yang terjadi masa itu. Bahkan hal ini menyebabkan krisis kekuasaan di Mangkunegara dan kelas aristrokrasi selalu akan menjadi pegawai turun-temurun.[52] Namun dengan modernisasi yang terjadi pada masa Mangkunegara V ini. Dapat dilihat juga emansipasi wanita sangatlah dijunjung pada saat itu dengan peran-peran wanita dalam hal pelestarian budaya seperti banyak peran wanita yang bermain dalam kesenian wayang wong. 

Terjadinya pergeseran makna pertunjukkan Wayang Wong yang awalnya hanya untuk kaum bangsawan berubah menjadi hiburan rakyat juga turut berpengaruh dalam bidang sosial-budaya. Hal ini membuat ladang pekerjaan baru bagi masyarakat untuk mencari nafkah lewat mbarang. Dengan mbarang ini masyarakat memberikan tontonan dan edukasi kepada masyarakat lainnya tentang Wayang Wong serta dari mbarang ini mereka juga mendapatkan penghasilan.

Pada masa ini juga timbulnya pergolakan sosial yaitu tahun 1888, terdapat sebuah gerakan mesianisme Srikaton di Girilayu yang dipimpin oleh Imam Rejo.[53] Pendukung utama dari gerakan ini ialah pihak keluarga Imam Rejo, para bekel, pejabat rendahan, bahkan dari kalangan priyayi. Sedangkan pengikut gerakan ini terdiri dari juru kunci makam Girilayu, kuli perkebunan tebu dan indigo, serta penebas uang yang semuanya berjumlah kurang lebih 47 orang. Namun pada 12 Oktober 1888 gerakan ini kemudian dapat dipadamkan.

Latar belakang timbulnya gerakan tersebut merupakan akibat dari tekanan ekonomi yang berat, berupa pajak dan wajib kerja. Mereka berusaha membebaskan diri dari tekanan ekonomi dengan mendirikan gerakan mesianistik-milenaristik.[54] Selain itu gerakan yang terjadi juga bercorak nativisme. Besarnya kekuasaan asing yang ada di Praja Mangkunegaran menciptakan reaksi dari masyarakat untuk melenyapkannya melalui gerakan-gerakan sosial.

  1. Bidang Budaya

Dalam suatu Istana di Jawa, selain menjadi pusat politik dan magi, Istana juga menjadi pusat kebudayaan. Hal semacam ini juga berlaku di Istana Mangkunegaran. Seiring berjalannya waktu, seni-seni pertunjukan berkembang ke luar Istana.[55]Kebudayaan sangat erat kaitannya dengan pendidikan, tetapi kebudayaan juga berkaitan dengan seni atau kesenian.

Kesenian di Istana Mangkunegara pertama kali diciptakan oleh Mangkunegara I. Kesenian di Mangkunegaran diciptakan hampir besamaan dengan Hamengkubuwana I yang juga menciptakan kesenian guna memperlihatkan eksistensi kerajaannya. Pada masa Mangkunegara I, pertama kali di perkenalkan kesenian Wayang Wong. Bergantinya tonggak kekuasaan di Mangkunegaran membuat kesenian yang ada di Mangkunegaran mengalami kemunduran karena beberapa Mangkunegara seperti Mangkunegara II dan Mangkunegara III yang tidak tertarik pada kesenian sehingga tidak mengembangkan kesenian. Baru pada masa pemerintahan Mangkunegara IV, kesenian dibangkitkan kembali dari masa kemundurannya karena Mangkunegara IV sangat senang sekali dengan kesenian. Pada masa Mangkunegara IV ini Wayang Wong berkembang kembali bersamaan dengan munculnya Langendriyan.

Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara V, kesenian Mangkunegaran semakin hidup dan berkembang dengan pesat. Selain menjaga, Mangkunegara V juga melestarikan dan menyempurnakan kesenian yang dulunya sudah diciptakan oleh ayahnya, yaitu Mangkunegara IV. Pada mulanya, pertunjukan kesenian di Mangkunegaran diperankan oleh para abdi dalem dan hanya boleh disaksikan atau dinikmati oleh para kerabat Mangkunegaan serta para punggawa saja, tetapi pada masa Mangkunegara V terjadi pembaharuan yaitu dalam pertunjukan kesenian tidak lagi hanya untuk kalangan Istana saja, pertunjukan kesenian menjadi tontonan bagi masyarakat umum. Dapat dikatakan bahwa pada masa Mangkunegara V kesenian memasuki masa puncak keemasan. Berbagai kesenian yang berkembang pada masa Mangkunegara V antara lain ada Wayang Wong, Tari Wireng, dan Langendriyan.

  1. Wayang Orang

Wayang orang merupakan salah satu bentuk seni tradisional Jawa terlebih  Jawa Tengah. Wayang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya bayangan, sedangkan orang merujuk pada yang memerankan tokoh dalam seni wayang tersebut. Dalam makna luas, wayang orang diartikan sebuah pertunjukkan drama tari yang mewakili sebuah cerita oleh manusia. Wayang orang ini dalam bahasa Jawa disebut wayang wong. Wayang orang lebih tepat disebut drama, sandiwara atau teater tradisional Jawa yang bercirikan: adanya pembawa acara atau dalang, tema cerita atau lakon, pemain, penonton, musik, dialog berbahasa Jawa, dan disertai gerak tari.[56] Istilah wayang orang dijumpai pada prasasti Wimalasmara (930 M) dan prasasti Balitung (907 M) yang menunjukkan bahwa pada masa Mataram Kuno sudah ada pertunjukkan wayang orang dan membawakan cerita Mahabarata dan Ramayana.

Wayang orang awal pertama diciptakan pada masa Mangkunegara I yang pemainnya hanya dari abdi dalem, kesemuanya dimainkan oleh penari pria, tanpa ada penari wanita.[57]Para pemain pria ini merupakan putra-putra kerabat dan abdi dalem yang pertunjukkannya masih menggunakan tata busana adat Mangkunegara sehari-hari. Munculnya wayang orang ini mendapat respon yang baik dari kalangan bangsawan. Mulanya wayang orang tidak diperuntukkan bagi masyarakat luas, hanya kalangan bangsawan, kerabat Mangkunegaran dan para punggawa saja yang dapat menikmatinya. Dalam masa ini, wayang orang digunakan sebagai sajian sakral dalam istana yang dilakukan pada siang hari dan lama pementasannya selama 6 jam.[58] Wayang orang Mangkunegara pertama kali dipentaskan pada tahun 1760. Kemunculan wayang orang mengangkat cerita mengenai keagamaan dan ajaran hidup.

Selepas masa pemerintahan Mangkunegara I (1757-1796), popularitas wayang orang meredup, hingga muncul kembali pada masa era Mangkunegara IV. Pada masa Mangkunegara IV muncul kembali pertunjukkan wayang orang dan sekaligus langendriyan. Wayang orang mulai dikembangkan—puncak perkembangan dan penyempurnaan kesenian wayang orang pada masa Mangkunegara V. Wajar jika masa Mangkunegara V hampir semua kesenian mulai berkembang, jiwa kesenian dalam diri Mangkunegara V mewarisi sifat dari ayahnya—Mangkunegara IV yang terkenal sebagai budayawan hebat pada zamannya. Pembaharuan wayang orang pada masa Mangkunegara V ini tampak pada tatanan busana—diambil dari relief Candi Sukuh; makutha, kelat bahu, sumping praba, dan  uncal badhong, lakon yang dimainkan—peran campuran; maksud dari peran campuran sendiri adalah lakon yang dimainkan dilakukan secara campuran antara bangsawan (sentana),  abdi dalem , dan tokoh-tokoh wanita (wayang putri).

Perkembangan tata busana wayang orang difungsikan guna memperkuat pementasan. Sebelumnya, tata busana pementasan hanya menggunakan pakaian adat Mangkunegaran sehari-hari dan atau mirip dengan busana tari Wireng, sehingga mengalami perubahan mengikuti tata busana wayang kulit purwa. Dengan perubahan busana tersebut digunakan untuk memudahkan penonton dalam membedakan para lakon. Tata busana tiap lakon disesuaikan dengan perwatakan tarinya guna simbolisasi warna selaras dengan karakteristik, seperti; merah sebagai simbol sifat pemberani, suka marah, jahat, dan sombong; hitam untuk tokoh rendah hati; putih untuk simbol kesucian. Pemakaian tata warna didasarkan pada warna yang kuat atau dominan dengan kombinasi warna-warna lain yang selaras.[59]

Mangkunegara V dalam wayang orang mementingkan kekuatan dramatis yang menghasilkan pergeseran fungsi pementasan dari sakral menjadi hiburan. Hal itu juga ditambahnya lakon wanita dalam wayang orang untuk menambah daya tarik penonton. Mangkunegara V sangat menghargai kebangkitan wanita di Surakarta. Dari pandangan ia  mendukung emansipasi wanita, maka ia melakukan penataan kembali seni-seni pertunjukkan dengan mengikutsertakan wanita dalam wayang orang. Hadirnya para wanita pada wayang orang melukiskan kondisi sosial masyarakat Surakarta pada saat itu.[60]Dari beberapa pembaharuan yang dilakukan Mangkunegara V, adanya lakon-lakon carangan baru  mempunyai nilai paling dalam, hal ini berkaitan dengan fungsi seorang dalang sebagai juru hibur, komunikator sosial, dan pelestari budaya.

Krisis ekonomi yang menjangkit Mangkunegara V mempengaruhi kelangsungan kegiatan seni pertunjukkan terutama wayang orang. Gagal panen kopi yang dialami masyarakat karena serangan hama dan bangkrutnya pabrik gula karena beredarnya gula bit Eropa, membuat Mangkunegara V tidak mampu lagi membiayai kelangsungan wayang orang, hingga akhirnya wayang orang ditiadakan. Sebagian besar abdi dalem kesenian (langenpraja) yang diberhentikan membuat kelompok-kelompok kecil dan mengadakan kegiatan barang di luar tembok keraton.[61]Sejak itu, wayang orang berkembang sebagai seni panggung rakyat, dengan beberapa sentuhan perubahan dari format awalnya sebagai seni elit.

  1. Tari Wireng

Tari Wireng pertama kali dimulai pada masa pemerintahan Mangkunegara I dengan lakon pertama cerita Janoko Cakil.[62] Kemudian Tari Wireng ini muncul kembali pada masa Mangkunegara IV dan semakin berkembang pada masa Mangkunegara V. Tari Wireng ini dimainkan oleh para pria secara berpasang-pasangan. Tema dari Tari Wireng ini adalah perang atau keprajuritan sehingga properti yang digunakan hampir sama seperti yang digunakan saat perang yaitu tombak, pedang, tameng, dan keris.

Pada masa Mangkunegara V terjadi perubahan pada pementasan Tari Wireng. Perubahannya ada pada gendhing-ghendingnya, yang sebelumnya menggunakan laras Slendro kemudian pada masa Mangkunegara V menggunakan laras Pelog.[63] Selain pada gendhing, perubahan juga ada pada tata busana, yaitu dhadhap (perisai atau keris kecil) tidak lagi digunakan. Ada beberapa Tari Wireng yang diciptakan oleh Mangkunegara V antara lain Wireng Bandawala, Wireng Bandawasa, Wireng Wirapratama, dan Wireng Mandraasmara.[64]

  1. Langendriyan

Langendriyan pertama kali muncul pada masa Mangkunegara IV yang kemudian disempurnakan oleh Mangkunegara V dengan R.M.A Tondhokusumo. Langendriyan dikategorikan sebagai seni drama dan tari atau sendratari karena tidak dapat dikategorikan sebagai seni tari saja. Dialog dalam pertunjukan ini berupa tembang-tembang atau nyanyian Jawa[65].

Langendriyan diperankan oleh para wanita. Tema atau cerita yang diambil sebagai tema Langendriyan adalah cerita-cerita dari Babad Majapahit atau kisah Damarwulan. Langendriyan pada mulanya berkembang atau muncul di luar Istana Mangkunegaran yaitu dari seorang pengusaha Batik berkebangsaan Jerman, Kilian Godlib yang meminta bantuan R.M.A Tondhokusumo untuk membuat sebuah pertunjukan yang dimainkan oleh para wanita pembatik dengan membawakan lagu yang mengsahkan cerita zaman Majapahit. Pertunjukan ini dipersembahkan untuk Mangkunegara IV. Melihat pertunjukan itu, Mangkunegara IV menyukainya dan menjadikan langendriyan sebagai seni pertunjukan Istana Mangkunegaran[66].

Pada masa Mangkunegara V, terjadi perubahan pada seni langendriyan yaitu yang dulunya diperankan oleh 3 orang penari dan dilakukan secara berjongkok, pada masa Mangkunegara V dilakukan oleh 7 orang yang kemudian berkembang menjadi 13 orang dan dilakukan secara berdiri. Awalnya dilakukan secara berjongkok karena seni ini dipersembahkan dari rakyat bawah ke penguasa, tetapi setelah dilakukan pembaharuan oleh Mangkunegara V maka pertujukannya dilakukan secara berdiri. Selain itu dalam tata busana, terjadi pembaharuan juga yaitu rias busana dan wujud busana yang semula menggunakan busana kejawen, maka pada masa Mangkunegara V diubah menjadi busana wayang[67].


DAFTAR PUSTAKA

Arsip Mangkunegara:

Rapport Omtrent het Gebourde te Srikaton op den 11 den en 12 den Oktober 1888 (Laporan mengenai peristiwa Pendudukan Pasenggrahan Srikaton pada Tanggal 11 dan 12 Oktober 1888). Surakarta: Reksopustaka. Kode Arsip: 538.

Sumber Buku :

____, ___, Serat Pemutan Lelampahan Dalem KGPAA Mangkunegara V, Surakarta: Reksopustoko.

Hersapandi. 1999.Wayang Wong Sriwedari  “Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersil”. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.

Hot, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia.Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia.

Kartodirdjo, Sartono. 1969. Struktur Masyarakat Tradisisonal dan Kolonial. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.

Metz, Th. M. 1987.Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksapustaka Mangkunegaran.

Niel, Robert van. 2003.Sistem Tanam Paksa Di Jawa. Jakarta: LP3ES.

Pontjowolo, R.Ay Hilmiyah Darmawan. 1996. Peringatan 100 Tahun Wafatnya KGPAA Mangkunegara V. Solo: Rekso Budoyo.

Pringgodigdo, Abdul Karim. 1939Doemadosipoen Saha Ngrembakanipun Praja Mangkoenegaran.Surakarta: Reksopustoko.

Pringgodigdo, Abdul Karim. 2000.Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan di Daerah Mangkunegaran. Surakarta: Perpustakaan Rekso Pustoko.

Pringgodigdo, Abdul Karim 1986.Sejarah Milik Praja Mangkunegaran. Surakarta: Perpustakaan Reksopustoko.

Pringgodigdo, Abdul Karim. 1987.Sejarah Perusahaan-Perusahaan Kerajaan Mangkunegaran. Surakarta: Reksopustoko.

Pringgokusumo, Muhammad Husodo. 1987.Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksopustoko.

Sayid, R.M. 1981.Ringkasan Sejarah Wayang.Jakarta: Pradnya Paramita.

Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Keraton Surakarta 1830-1939.                        Yogyakarta: Taman Siswa.

Sumohatmoko, R.M.Ng. 1923. Serat Babad Ing Mangkunegaran. Surakarta: Reksopustoko.

Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1880 – 1920. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Wardani, Nugraheni Eko dan Endang Widiyastuti, 2013,  Jenis-Jenis Teater Wayang di Surakarta, Surakarta: UNS Press.

Wasino. 2008. Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran. Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara.

Sumber Skripsi :

Aris S, Aminuddin. “Skripsi: Krisis Ekonomi Pada Masa Mangkunegara V 1881-1896”. (Universitas Sebelas Maret Surakarta: FSSR, 2010).

Bandung Gunadi, “Skripsi: Mangkunegara V 1881-1896, Seniman Besar Penampil Peran Penari, Wanita dalam Teater Tradisional Wayang Orang”. (Universitas Sebelas Maret Surakarta: FSSR, 1992).


[1]R. Ay. Hilmiyah Darmawan Pontjowolo, 1996, Peringatan 100 Tahun Wafatnya KGPAA Mangkunegara V, Surakarta: Reksopustoko, halaman 1.

[2]____, ___, Serat Pemutan Lelampahan Dalem KGPAA Mangkunegara V, Surakarta: Reksopustoko, halaman 2.

[3]Ibid, halaman 1.

[4]Abdul Karim Pringgodigdo, 1939, Doemadosipoen Saha Ngrembakanipun Praja Mangkoenegaran, Surakarta: Reksopustoko, halaman 25-26.

[5]Abdul Karim Pringgodigdo, 2000, Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan di Daerah Mangkunegaran, Surakarta: Perpustakaan Rekso Pustoko, halaman  2.

[6]Abdul Karim Pringgodigdo, 1986, Sejarah Milik Praja Mangkunegaran, Surakarta: Perpustakaan Reksopustoko, halaman  51.

[7]Abdul Karim Pringgodigdo, 1987, Sejarah Perusahaan-Perusahaan Kerajaan Mangkunegaran, Surakarta: Reksopustoko, halaman  1.

[8]Aminudin Aris S, 2010, “Krisis Ekonomi Pada Masa Mangkunegara V (1881 – 1896)”, Skripsi, Surakarta: Universitas  Sebelas Maret, halaman 10.

[9]Ibid, halaman  11.

[10]Ibid, halaman34.

[11]Arsip Mangkunegaran V no. 63 dan 64 tentang “Laporan Keuangan Praja Mangkunegaran tahun 1882 dan 1883”, Surakarta: Arsip Reksopustoko Mangkunegaran.

[12]Abdul Karim Pringgodigdo,op. cit, halaman  58.

[13]Aminudin Aris S., op. cit, halaman 42.

[14]Ibid, halaman  49.

[15]Abdul Karim Pringgodigdo, 1987,op. cit,halaman  2.

[16]Aminudin Aris S., 2010, op.cit,halaman 46.

[17]Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1880 – 1920, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, halaman 26.

[18]Abdul Karim Pringgodigdo, op.cit, halaman 3.

[19]Ibid.

[20]Aminudin Aris S., op cit, halaman 60.

[21]Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi Putra Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: LKiS, halaman 55.

[22]Ibid, halaman 56.

[23]Ibid, halaman 57.

[24]Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1987, Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa, Surakarta: Reksopustoko, halaman 61.

[25]Aminudin Aris S., op cit, halaman 64.

[26]Muhammad Husodo Pringgokusumo, op cit, halaman 62.

[27]Abdul Karim Pringgodigdo, op cit, halaman 4.

[28]Aminudin Aris S.,op cit, halaman 67.

[29]Ibid, halaman 68.

[30]Muhammad Husodo Pringgokusumo, op cit, halaman 65.

[31]Abdul Karim Pringgodigdo, op cit, halaman 6.

[32]Wasino, op cit, halaman 58.

[33]Aminudin Aris S., op cit, halaman 74.

[34]Ibid, halaman 75.

[35]Abdul Karim Pringgodigdo, op cit, halaman 9.

[36]Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1987, op cit., halaman 73.

[37]Abdul Karim Pringgodido, op cit., halaman 10.

[38]Muhammad Husodo Pringgokusumo, op.cit, halaman 62.

[39]Robert van Niel, 2003, Sistem Tanam Paksa Di Jawa, Jakarta: LP3ES, halaman 274.

[40]Abdul Karim Pringgodigdo, op.cit, halaman 6.

[41]Muhammad Husodo Pringgokusumo, op. cit., halaman 70.

[42]Abdul Karim Pringgodigdo, op. cit., halaman 7.

[43]Th. M. Metz, 1987, Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa, Surakarta: Reksapustaka Mangkunegaran, halaman 39.

[44]Aminudin Aris S., op.cit, halaman 124.

[45]Ibid, halaman 131.

[46]Abdul Karim Pringgodigdo, op. cit., halaman 26.

[47]Aminudin Aris S., op. cit., halaman 134.

[48] Aminuddin Aris S., op.cit, halaman 42.

[49] Wasino, op.cit, halaman 55.

[50]R. Ay. Hilmiyah Darmawan Pontjowolo,op.cit , halaman 14.

[51] Aminuddin Aris S., op.cit, halaman 40.

[52] Sartono Kartodirdjo, 1969, Struktur Masyarakat Tradisisonal dan Kolonial, Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, halaman 46-47.

[53]Rapport Omtrent het Gebourde te Srikaton op den 11 den en 12 den Oktober 1888 (Laporan mengenai peristiwa Pendudukan Pasenggrahan Srikaton pada Tanggal 11 dan 12 Oktober 1888), Surakarta: Reksopustaka, Kode Arsip: 538, halaman 1

[54]Aminudin Aris S., op. cit., halaman 137.

[55]Darsiti Soeratman, 1989, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta: Taman Siswa, halaman 4.

[56]Claire Hot, 2000, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, halaman. 155-156.

[57]Nugraheni Eko Wardani dan Endang Widiyastuti, 2013,  Jenis-Jenis Teater Wayang di Surakarta, Surakarta: UNS Press, halaman 53-55.

[58]R.M.Ng. Suhatmoko, 1923,  Serat Babad Ing Mangkunegaran, Surakarta: Reksopustoko, halaman 225.

[59]Hersapandi, 1999,  Wayang Wong Sriwedari  “Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersil”, Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, halaman 5.

[60]Bandung Gunadi, “Skripsi: Mangkunegara V 1881-1896, Seniman Besar Penampil Peran Penari, Wanita dalam Teater Tradisional Wayang Orang”, (Universitas Sebelas Maret Surakarta: FSSR, 1992), halaman 72.

[61]R.M. Sayid, 1981,  Ringkasan Sejarah Wayang, Jakarta: Pradnya Paramita , halaman 58.

[62]R.Ay.Hilmiyah Darmawan Pontjowolo, op.cit, halaman 12.

[63]Ibid, halaman 13.

[64]R.M.Ng. Suhatmoko,op.cit., halaman 226.

[65]R.M. Soedarsono, op.cit, halaman 68.

[66]R.Ay.Hilmiyah Darmawan Pontjowolo, op. cit, halaman 11.

[67]R.Ay.Hilmiyah Darmawan Pontjowolo, loc. cit.