Bab 41. Pergulatan di tengah laut
Belum ada satu jam sejak berlalunya kedua ekor rajawali, Auwyang Hong kembali mengatur meja perjamuan makan di muka perahu di bawah tiang layar. Untuk ke sekian kalinya ia memancing supaya Ang Cit Kong dan Kwee Ceng tidak dapat menahan lapar dan nanti terpaksa turun untuk dahar pula.
Menyaksikan lagak orang itu, Cit Kong tertawa.
"Di antara empat yaitu arak, paras elok, harta dan napsu, aku si pengemis tua cuma menyukai satu ialah arak!" ia berkata. "Dan kau justru menguji aku dengan arak! Di dalam hal ini, latihanku menenangkan diri ada sedikit kelemahannya.... Anak Ceng, mari kita turun untuk menghajar mereka kalang kabutan. Setujukah kau?"
"Baiklah sabar, suhu," Kwee Ceng menyahuti. "Burung rajawali sudah membawa surat kita, sebentar mesti ada kabarnya, sebentar pasti bakal terjadi suatu perubahan."
Cit Kong tertawa. Ia nyata suka bersabar.
"Eh, anak Ceng!" ia berkata, "Di kolong langit ini ada suatu barang yang sari atau rasanya paling tidak enak, kau tahu apakah itu?"
"Aku tidak tahu, suhu. Apakah itu?" sahut sang murid sambil balik menanya.
"Satu kali aku pergi ke Utara," berkata sang guru, memberi keterangan, "Di sana di antara hujan salju besar, aku kelaparan hingga delapan hari. Jangan kata bajing, sekalipun babakan kayu, tak aku dapatkan di sana. Dengan terpaksa aku menggali sana dan menggali sini di dalam salju, akhirnya aku dapat menggali juga lima makhluk berjiwa. Syukur aku si pengemis tua berhasil mendapatkan makhluk itu, dengan begitu jadi ketolongan untuk satu hari itu. Di hari kedua, aku beruntung mendapatkan seekor serigala hingga aku dapat gegares kenyang."
"Apakah lima makhluk bernyawa itu, suhu?"
"Itulah cianglong dan gemuk-gemuk pula!"
Mendengar disebutkannya nama binatang itu, Kwee Ceng belenak sendirinya, hingga hendak ia muntah-muntah. Cit Kong sebaliknya tertawa terbahak-bahak. Karena sengaja ia menyebutkan binatang paling kotor dan paling bau itu untuk melawan napsu dahar yang merangsak-rangsak mereka yang disebabkan harum wangi arak dan lezat yang tersajikan di kaki tiang layar itu.
"Anak Ceng," berkata pula Cit Kong, "Kalau sekarang ada cianglong di sini, hendak aku memakannya pula. Cuma ada serupa barang yang paling kotor dan paling bau hingga aku segan memakannya, aku si pengemis tua lebih suka makan kaki sendiri daripada memakan itu! Tahukah kau, barang apa itu?"
Kwee Ceng menggeleng-geleng kepalanya, atau mendadak ia tertawa dan menyahuti: "aku tahu sekarang! Itulah najis!"
Tetapi sang guru menggoyangkan kepalanya.
"Ada lagi yang terlebih bau!" katanya.
Kwee Ceng mengawasi. Ia menyebut beberapa rupa barang, ia masih salah menerka.
Akhirnya Ang Cit Kong tertawa.
"Nanti aku memberitahukan kepadamu!" katanya keras-keras. "Barang yang paling kotor dan bau di kolong langit ini ialah See Tok Auwyang Hong!"
Mengertilah Kwee Ceng maka ia pun tertawa berkakakan.
"Akur! Akur!" serunya berulang-ulang.
Maka cocok benarlah guru dan murid itu, hingga mereka membuatnya See Tok menjadi sangat mengeluh.
Ketika itu hawa udara kebetulan memepatkan pikiran, di empat penjuru angin meniup perlahan. Memangnya perahu menggeleser perlahan, dengan berhentinya sang angin, akhirnya kendaraan air itu menjadi berhenti sendirinya. Semua orang di atas perahu pada mengeluarkan peluh. Di muka air pun kadang-kadang tertampak ikan meletik naik, suatu tanda air laut juga panas. hawanya.
Cit Kong memandang ke sekelilingnya. Ia tidak menampak awan, langit bagaikan kosong. Maka heranlah ia. Ia menggeleng kepala.
"Suasana aneh sekali," katanya perlahan.
Berselang sekian lama, ketika Cit Kong tengah memandang ke arah tenggara, ia menampak ada mega hitam yang mendatangi dengan sangat cepat. Melihat itu, ia menjadi keget hingga ia mengeluarkan seruan tertahan.
"Ada apakah, suhu?" tanya Kwee Ceng terperanjat.
"Ada angin aneh!" menyahut Cit Kong. "Tidak aman kita berdiam di tiang ini... Di bawah ada demikian banyak ular.... Bagaimana sekarang?" Ia menjadi seperti menggerutu ketika ia berkata lebih jauh perlahan sekali: "Biar umpama kata kita bekerja sama mati-matian, masih belum tentu kita bisa lolos dari ancaman ini, apapula jikalau kita melanjuti pertempuran..."
Ketika itu ada angin yang menyambar ke muka. Cit Kong lantas merasa segar. Ia pun merasa dadung layar bergerak sedikit.
"Anak Ceng," ia lalu berkata, "Kalau sebentar tiang patah, kau merosotlah turun. Jaga supaya kau tidak terjatuh ke laut..."
Kwee Ceng heran. Di matanya, cuaca sekarang bagus, mustahil bencana bakal datang? Tetapi ia biasa sangat mempercayai gurunya itu, ia mengangguk.
Belum lama, mendadak terlihat mega hitam bergumpal bagaikan tembok tebal melayang menghampirkan, datangnya dari arah tenggara itu, bergerak sangat cepat. Sebab segera juga mereka terdampar, di antara satu suara nyaring, tiang layar benar-benar patah pinggang, karena mana, tubuh perahu bergerak bagaikan terbalik.
Kwee Ceng memeluk erat-erat kepala tiang, ia menahan napas. Tanpa berbuat begitu, angin dapat membawa ia terbang entah ke mana. Ketika kemudian ia membuka matanya, sekarang ia melihat air bergerak bagaikan tembok, air muncrat tinggi sekali.
"Anak Ceng, merosot turun!" terdengar teriakannya Cit Kong.
Kwee Ceng menurut, dengan mengendorkan pelukannya, tubuhnya langsung merosot turun. Ia menahan diri setelah merosot kira-kira dua tombak. Ia mendapat kenyataan, layar berikut tiangnya sebelah atas, yang patah, setahu dibawa kemana oleh sang gelombang. Di lantai tidak terlihat lagi ular, rupanya semua binatang berbisa itu telah disapu sang badai dan gelombang. Si tukang kemudi rebah dengan kepala pecah, jiwanya sudah melayang pergi. Perahu sendiri terputar-putar di tengah laut itu, miring ke kiri dan ke kanan bergantian. Lainnya barang di muka perahu pun tersapu habis ke laut.
"Anak Ceng, kendalikan perahu!" kembali terdengar suaranya sang guru.
Memang kenderaan itu terancam untuk terbalik dan karam.
Kwee Ceng lompat turun ke buntut perahu, untuk memegang kemudi. Ia disambar sepotong kayu yang terbawa angin, ia berkelit. Untuk mempertahankan diri, ia lantas menyambar rantai. Ia orang Utara, belum pernah ia mengemudikan perahu, tetapi karena ia bertenaga besar, bisa juga ia menguasai perahu itu, untuk mencegah bergoncang keras. Ia mendengar suara angin dahsyat, ia melihat perahunya berlayar pesat atas dorongan sang angin.
Tiang layar bagian atas telah patah, ada layar yang diterbangkan angin dahsyat itu, tetapi di antaranya, masih ada layar yang utuh. Cit Kong berdaya untuk menurunkan layar itu. Sudah ada dadung yang ia berhasil memutuskannya. Tengah ia berkutat, tiba-tiba kupingnya mendengar suara menantang: "Saudara Cit, mari Pak Kay dan See Tok sama-sama mengeluarkan kepandaiannya!"
Di sebelah sana Auwyang Hong mencekali keras ujung yang lain dari layar itu.
"Turun!" Cit Kong berseru sambil ia mengerahkan tenaganya, ia menarik dengan keras.
Di pihak Auwyang Hong, See Tok pun menggunai tenaganya.
Hebat tenaganya kedua jago itu, layar kena ditarik roboh. Dengan begitu, sampokan angin menjadi berkurang, tubuh perahu tidak lagi bergoncang keras seperti tadi, hingga lenyaplah ancaman bahaya perahu itu karam.
Sebagai ganti badai, sekarang turun hujan lebat, butir-butirnya besar, menimpa muka, rasanya sakit. Hanya syukur, mendekati cuaca gelap, angin dan hujan itu mulai reda.
"Saudara Cit!" berkata pula Auwyang Hong tertawa. "Jikalau tidak ada muridmu yang lihay itu, pastilah kita sudah mati masuk ke dalam perut ikan! Maka itu marilah kita sama-sama mengeringkan satu cawan, guna melepaskan hawa dingin! Jangan kau takut, jikalau aku hendak meracunimu, biarlah aku Auwyang Hong menjadi buyutmu turunan ke delapanbelas!"
Ang Cit Kong turut tertawa. Kali ini mau percaya See Tok sebab sebagai ketua sebuah partai besar di jamannya itu, satu kali dia mengeluarkan kata-kata, dia mesti pegang itu.
"Mari!" ia berkata kepada Kwee Ceng, yang ia suruh digantikan seorang anak buah guna mengendalikan kemudi.
Dengan begitu mereka masuk ke dalam gubuk perahu untuk dahar dan minum.
Pak Kay minum dan dahar sampai kenyang, habis itu ia dan muridnya kembali ke kamar mereka untuk tidur. Tapi tengah malam ia mendusin. Ia mendengar suara ular sar-ser tak hentinya.
"Celaka!" ia berseru.
Kwee Ceng pun sudah lantas sadar. Maka keduanya berlompat bangun, sama-sama mereka membuka pintu untuk melihat ke luar. Sekarang perahu itu sudah terjaga rapi oleh rombongan-rombongan ular, yang memenuhi bagian depan dan belakang. Auwyang Kongcu, dengan kipas di tangan, berdiri di tengah-tengah ularnya itu. Ia memperlihatkan wajah tersungging senyuman.
"Paman Ang, saudara Kwee!" ia berkata. "Pamanku cuma hendak meminjam lihat Kiu Im Cin-keng sekali saja, ia tidak mengharap yang lainnya!"
"Dasar bangsat, dia tidak mengandung maksud baik!" mendamprat Cit Kong, perlahan. Tiba-tiba ia mendapat suatu pikiran, tetapi pada parasnya ia tidak kentarakan sesuatu perasaan.
"Hai, bangsat cilik!" ia mengasih dengar suaranya, "Nyata aku si tua kena diperdayakan akal busuk paman anjingmu itu. Baiklah, sekarang aku mengaku kalah. Lekas kau siapkan dulu barang hidangan dan arak, untuk kami dahar dulu, urusan boleh dibicarakan besok pagi!"
Nampaknya Auwyang Kongcu girang, ia tertawa, sesudah mana ia benar-benar menyuruh orang menyajikan barang hidangan, yang mesti dibawakan kepada kedua musuhnya itu.
Cit Kong mengunci pintu, ia terus dahar dan minum. Ia menggerogoti paha ayam.
"Apakah kali ini pun tidak ada racunnya?" Kwee Ceng menanya berbisik.
"Anak tolol!" sang guru menyahuti. "Jahanam itu hendak menitahkan kau menulis kitab, mana bisa mereka mencelakai jiwamu? Mari dahar sampai kenyang, nanti kita memikirkan daya upaya pula!"
Kwee Ceng percaya gurunya benar, ia pun lantas bersantap dengan bernapsu. Ia menghabiskan empat mangkok nasi.
Ang Cit Kong menyusuti bibirnya yang minyakan, lalu ia berbisik di kuping muridnya.
"Si bisa bangkotan menghendaki yang tulen, kau tulis yang palsu," demikian ajarannya.
"Yang palsu?" murid itu menegasi, heran.
"Ya, yang palsu! Di jaman ini melainkan kau seorang yang ketahui kitab yang tulen, dari itu apa pun yang kau kehendaki, kau boleh tulis! Siapa yang akan ketahui itulah kitab yang tulen atau yang palsu? Kau menulis jungkir balik bunyinya kitab, biar ia mempelajarinya menurut bunyi kitab yang palsu itu, dengan begitu kendati pun sampai seratus tahun, ia tak akan berhasil menyakinkan sekalipun satu jarus....!"
Girang Kwee Ceng mendengar ajaran itu.
"Kali ini benar-benar si bisa bangkotan kena batunya!" pikirnya. Tapi sesaat kemudian ia berkata: "Auwyang Hong sangat mahir ilmu suratnya, kalau teecu menulis sembarangan, lantas ia ketahui, bagimana nantinya?"
"Kau harus menggunai siasat halus," Cit Kong mengajari. "Tulis tiga baris yang benar lalu selipkan sebaris yang ngaco. Di bagian latihannya, kau boleh tambahkan dan kurangi, umpama kitab menyebut delapanbelas kali, kau tulis duabelas kali atau duapuluh empat kali, biarnya si bisa bangkotan sangat cerdik, tidak nanti ia dapat melihatnya. Biarnya aku tidak gegares dan minum tujuh hari tujuh malam, suka aku menonton si bisa bangkotan itu mempelajari kitab palsu itu!"
Habis berkata, Cit Kong tertawa sendirinya, hingga muridnya turut tertawa juga.
"Jikalau ia menyakinkan kitab yang palsu," kata Kwee Ceng kemudian, "Bukan saja dia akan menyia-nyiakan ketika akan bercapai lelah tidak puasnya, ada kemungkinan dia nanti mendapat celaka karenanya."
Cit Kong tertawa pula.
"Sekarang bersiaplah kau untuk memikirannya!" ia menganjurkan. "Kalau sampai ia bercuriga, itulah gagal artinya...."
Kwee Ceng menurut, ia lantas kerjakan otaknya. Ia menghapal Kiu Im Cin-keng, ia pikirkan tambalannya untuk menghambat dan mengacau. Ketika ia sudah memikir puas, ia menghela napas sendirinya.
"Inilah cara mempermainkan orang, Yong-jie dan Ciu Toako paling menggemarinya," pikirnya. "Sayang yang satu berpisah hidup, yang lainnya berpisah mati.... Kapan aku bisa bertemu pula dengan mereka, supaya aku bisa menuturkan bagaimana aku mempermainkan si bisa bangkotan ini...?"
Besoknya pagi-pagi, begitu ia mendusin Ang Cit Kong pantang bacotnya kepada Auwyang Kongcu. Katanya: "Aku si pengemis tua, ilmu silatku telah menjadi satu partai tersendiri, maka juga tidak aku termahai Kiu Im Cin-keng, umpama kata kitab itu dibeber di depan mukaku, tak nanti aku meliriknya! Cuma mereka yang tidak punya guna, yang ilmu silatnya sendiri tidak karuan, dia ingin sekali mencurinya! Sekarang kau kasih tahu paman anjingmu, Kiu Im Cin keng bakal ditulis untuknya, biar ia menutup pintu, mengeram diri, untuk memahamkannya! Nanti, sepuluh tahun kemudian, biar ia muncul pula untuk mencoba menempur pula aku si pengemis tua! Kitab itu memang kitab bagus tetapi aku si pengemis tidak menghiraukannya! Lihat saja sesudah dia mendapatkan kitab itu, apa dia bisa bikin terhadap aku si pengemis tua!"
Auwyang Hong berdiri diam di samping pintu, ia dengar semua ocehannya si pengemis. Ia menjadi girang sekali. Pikirnya: "Kiranya si pengemis bangkotan sangat jumawa, dia sangat mengandalkan kepandaiannya, hingga ia suka menyerahkan kitab padaku, kalau tidak, ia tidak dapat dipaksa..."
Akan tetapi Auwyang Kongcu menyangkal.
"Paman Ang, kata-katamu barusan keliru sekali!" demikian bantahnya. "Ilmu kepandaian pamanku sudah sampai dipuncaknya kemahiran! Paman boleh pandai tetapi paman tidak nanti nempil dengannya! Perlu apakah dia mempelajari Kiu Im Cin-keng? Sering pamanku itu mengatakan kepadaku, ia percaya Kui Im Cin-keng kitab kosong belaka, melulu untuk mendustakan orang, maka hendak ia melihatnya, untuk ditunjuki bagian yang ngaco belo itu, supaya semua ahli silat di kolong langit ini dapat mengetahui kekosongannya! Tidakkah pembeberan itu ada faedahnya untuk kaum Rimba Persilatan?"
Ang Cit Kong menyambutnya dengan tertawa terbahak.
"Ha, kau tengah meniup kulit kerbau apa?" senggapnya. "Anak Ceng, kau tulislah Kiu Im Cin-keng dan kau serahkan pada mereka ini! Jikalau si bisa bangkotan dapat menemui kekeliruan-kekeliruan dari kitab itu, nanti aku si pengemis tua berlutut dan mengangguk-angguk di depannya!"
Kwee Ceng menyahuti sambil ia muncul, maka Auwyang Kongcu lantas ajak ia ke dalam gubuk besar, kemudian ia mengeluarkan pit dan kertas, bahkan dia sendiri yang menggosok bak, untuk membikin siap sedia segala apa untuk penulisan kitab mujizat itu.
Kwee Ceng belajar surat tak banyak tahun, tulisannya sangat jelek, sekarang pun ia mesti mengubah bunyinya kitab asli, menulisnya jadi sangat perlahan. Ada kalanya ia pun tidak dapat menulis sebuah huruf, ia minta Auwyang Kongcu yang menuliskannya. Sampai tengah hari, tempo bersantap, kitab bagian atas baru tercatat separuhnya. Selama itu Auwyang Hong sendiri tidak pernah muncul untuk menyaksikan orang bekerja, hanya setiap lembar yang telah ditulis rampung, Auwyang Kongcu lantas membawanya itu kepadanya di lain ruang dari perahu mereka itu.
Saban ia menerima sehelai tulisan, Auwyang Hong memeriksanya dengan seksama. Ia tidak dapat membaca mengerti, tetapi memperhatikan bunyinya, ia tidak bercuriga. Ia bahkan menduga, itulah huruf-huruf yang dalam artinya. Maka ia telah berpikir, nanti sekembalinya ke See Hek, handak ia memahamkannya dengan ketekunan. Ia percaya akan otaknya yang cerdas akan dapat menguasai isi kitab itu, hingga akan terwujudlah cita-citanya beberapa puluh tahun akan mendapatkan pelajaran Kiu Im Cin-keng itu. Ia tidak mengambil mumat tulisan Kwee Ceng yang tidak karuan macam itu, ia hanya menerka orang tidak dapat menulis dengan bagus, sama sekali tidak pernah ia menyangka, Kwee Ceng tengah menjalankan ajaran gurunya untuk membikin kitab Kiu Im Cin-keng jungkir balik....!
Kwee Ceng menulis terus dengan keuletannya, maka ketika cuaca mulai gelap, ia berhasil menulis hingga separuhnya lebih bagian bawah dari Kiu Im Cin-keng itu.
Auwyang Hong tidak menghendaki anak muda itu balik ke gubuk perahunya akan berkumpul sama Ang Cit Kong, dia khawatir si pengemis merubah ingatannya dan menyulitkan padanya. Masih ada kira separuh kitab berarti ia masih dapat dipersukar. Maka ia lantas perintah orangnya menyajikan barang hidangan untuk si anak muda, agar ia berdiam terus tanpa bersantap bersama gurunya.
Ang Cit Kong menanti sampai jam sepuluh, ia mendapatkan muridnya belum kembali, ia merasakan hatinya tak tentram. Ia pun berkhawatir muridnya itu mendapat susah apabila Auwyang Hong bercuriga. Maka diam-diam ia keluar dari gubuknya. Ia dapat keluar karena sekarang tidak ada lagi penjagaan ular. Hanya tak jauh dari pintu ada dua orang berpakaian serba putih tengah berjaga sebagai penunggu pintu. Tidak sulit baginya untuk melewati dua orang itu. Dengan tangan kiri ia menyerang ke arah layar, layar itu menerbitkan suara hingga mereka itu berpaling, di waktu mana ia melompat ke arah kanan, maka lewatlah dia.
Dari jendela perahu terlihat molosnya sinar terang, Cit Kong menghampirkan jendela itu, untuk mengintai ke dalam. Ia melihat Kwee Ceng asyik duduk menulis. Dua nona dengan pakaian putih berdiri di sampingnya, untuk melayani memasang dupa, menuangi air teh serta menggosok bak. Jadi muridnya itu dilayani dengan baik. Hal ini membuat hatinya lega.
Tiba-tiba pengemis ini merasakan hidungnya disampak bau arak yang harum sekali. Ia lantas mengawasi. Ia mendapatkan arak ditaruh di depan muridnya.
"Si bisa bangkotan sangat pandai menjilat!" pikirnya. "Muridku menulis kitab untuknya, ia menyuguhkan arak jempolan, tetapi untuk aku si pengemis tua, ia menyediakan arak yang tawar seperti air!" Ia jadi ingin mendapatkan arak itu. Ia berpikir pula: "Mestinya si bisa bangkotan menyimpan araknya di dasar perahu, baik aku meminumnya hingga puas, habis itu tahangnya aku isi dengan air kencingku, biar nanti ia mencicipinya!"
Pengemis tua ini tersenyum. Ia merasa puas. Untuk pekerjaan mencuri arak, ia ada sangat pandai. Dulu hari pun di Lim-an, di dalam dapur istana kaisar, ia dapat menyekap diri hingga tiga bulan, semua arak dan batang santapan untuk kaisar ia dapat mencicipinya terlebih dahulu! Penjagaan di istana rapat sekali tetapi ia dapat berdiam di situ dengan leluasa, ia dapat datang dan pergi dengan merdeka.
Demikian denga berindap-indap ia pergi ke belakang. Ia tidak melihat siapa juga di situ. Dengan hati-hati ia membongkar papan lantai. Dengan menggunai hidungnya yang tajam, tahulah ia di mana arak disimpan.
Ruang perahu itu gelap petang tetapi tidak menghalangi pengemis yang lihay ini. Hidungnya dapat membaui barang masakan dan arak. Ia bertindak dengan berhati-hati. Untuk melihat tegas, ia menyalakan api tekesannya. Di pojok ia melihat tujuh tahang arak, girangnya bukan kepalang. Segera ia mencari sebuah mangkok sempoak. Ia padamkan apinya, ia simpan itu di dalam sakunya, terus ia menghampirkan tahang.
Dengan menggoyang tahang, ia mendapat tahu tahang yang pertama kosong. Yang kedua ialah ada isinya. Ketika ia mengulur tangan kirinya, untuk membuka tutup tahang, mendadak ia mendengar tindakan kaki dari dua orang. Enteng sekali tindakan itu, hingga ia menduga kepada Auwyang Hong dan keponakannya. Ia lantas menduga mungkin paman dan keponakan itu hendak melalukan sesuatu yang licik. Kalau tidak, perlu apa malam-malam mereka pergi ke belakang? Maka ia lantas bersembunyi di belakang tahang.
Kapan pintu gubuk telah dibuka, terlihatlah sinar api. Dua orang tadi pun bertindak masuk, berdiri di depan tahang. Cit Kong tidak dapat melihat akan tetapi kupingnya dapat mendengar. Kembali ia menduga-duga: "Mungkinkah mereka hendak minum arak? Tapi kenapa mereka tidak menitahkan orangnya?"
Lalu terdengar suaranya Auwyang Hong; "Apakah semua minyak dan belerang di semua ruang perahu ini sudah siap sedia?"
Atas itu terdengar tertawanya Auwyang Kongcu, yang terus menjawab: "Semua sudah siap! Asal api dipakai menyulut, kapal besar ini akan segera menjadi abu, hingga si pengemis tua bangka itu pun bakal mampus ketambus!"
Cit Kong kaget. "Ah, mereka hendak membakar perahu?" katanya dalam hatinya.
Lalu terdengar pula suaranya Auwyang Hong: "Pergi kau kumpuli semua gundik yang paling disayangi di dalam ruang. Sebentar kalo si bocah Kwee sudah tidur pulas, kau ajak semua ke perahu kecil, aku sendiri yang nanti pergi kemari untuk menyalakan api."
"Ular kita dan mereka yang merawatnya bagaimana?" Auwyang Kongcu menanya.
Auwyang Hong menjawab dengan dingin: "Si pengemis busuk ada jago silat kenamaan, kepala dari suatu partai, pantas ada orang-orang yang berkorban untuknya...."
Habis itu keduanya bekerja membuka sumpalan tahang, atas mana Ang Cit Kong dapat mencium bau minyak. Dari dalam peti-peti kayu, paman dan keponakan itu mengeluarkan banyak bungkusan terisi belerang. Ketika minyak telah dituang melulahan, tatal atau hancuran kayu disebar di atasnya. Di atas itu ada palangan-palangan peranti meletaki bungkusan belerang. Selesai kerja, keduanya pergi ke luar.
Masih Cit Kong mendengar suaranya Auwyang Kongcu, yang berbicara sambil tertawa: "Paman, lagi satu jam maka bocah she Kwee itu bakal dikubur di dasar laut, setelah mana di dalam dunia ini tinggallah kau seorang yang mengetahui isinya kitab Kiu Im Cin-keng!"
"Tidak, ada dua!" sahut sang paman. "Mustahilkah aku tidak mewariskannya kepadamu?"
Auwyang Kongcu girang dan tangannya menutup pintu.
Ang Cit Kong gusar berbareng kaget.
"Kalau tidak malaikat menyuruh aku mencuri arak, mana aku ketahui akal keji dua orang ini?" pikirnya. "Kalau api dilepas, bagaimana kami bisa menyingkir?"
Ia menanti sampai tindakan kaki kedua orang itu sudah jauh, diam-diam ia keluar dari tempatnya bersembunyi. Ia lantas kembali ke gubuk perahunya, di mana ia mendapatkan Kwee Ceng sudah tidur pulas. Hendak ia mengasih bangun muridnya itu tatkala ia mendengar satu suara di luar pintu. Ia menduga Auwyang Hong tengah mengawasi, lantas ia bersuara nyaring berulang-ulang: "Arak yang wangi, arak yang wangi! Mari lagi sepuluh poci!"
Auwyang Hong, orang di luar kamar itu, tercengang.
"Ah, dia masih saja minum!" pikirnya.
Lalu ia mendengar pula suaranya si pengemis; "Tua bangka yang berbisa, mari kita bertempur pula sampai seribu jurus, untuk memastikan siapa tinggi, siapa rendah! Oh, oh, bocah yang baik, akur, akur!"
Mendengar sampai di situ, Auwyang Hong ketahui orang sebenarnya lagi mengigau atau ngelindur di dalam tidurnya.
"Lihat si pengemis bau, tinggal mampusnya saja masih dia ngaco belo!" katanya.
Cit Kong pura-pura ngigau tetapi kupingnya dipasang. Auwyang Hong boleh lihay ringan tubuhnya tetapi tindakan kakinya yang sangat perlahan masih terdengar si raja pengemis, yang mengetahui orang pergi ke kiri. Lekas-lekas ia menghampirkan muridnya, akan pasang mulutnya di kuping orang, yang pun ia bentur pundaknya dengan perlahan. Terus ia memanggil: "Anak Ceng!"
Kwee Ceng mendusin seketika, agaknya ia terkejut.
"Kau bertindak menuruti aku!" Cit Kong berbisik singkat. "Jangan menanyakan sebabnya! Jalan dengan hati-hati, supaya jangan ada yang dapat melihat!"
Kwee Ceng merayap bangun, sedang gurunya menolak pintu, lalu menarik tangan bajunya. Mereka menuju ke kanan. Mereka pun berjalan sambil melapai. Auwyang Hong lihay, mereka khawatir mereka nanti terdengar si racun dari Barat itu.
Kwee Ceng heran tetapi ia mengikuti tanpa membuka mulutnya. Lekas juga mereka berada di luar.
Ang Cit Kong menggunai kepandaiannya "Cecak memain di tembok", untuk bergerak turun, matanya mengawasi muridnya. Ia berkhawatir juga sebab papan perahu licin. Kalau tangan mereka terlepas, pasti mereka bakal tercebur ke laut dan mengasih dengar suara berisik.
Ilmu "Cecak memain di tembok" itu mungkin tepat di tembok kasar, tetapi dinding perahu ini dicat mengkilap dan licin, basah pula, maka tak gampang untuk merayap di situ, apapula perahu tengah dipermainkan ombak. Syukur untuk Kwee Ceng, Ma Giok telah melatih sempurna padanya selama mereka berada di gurun di mana dia diwajibkan naik turun jurang.
Ang Cit Kong merayap terus, separuh tubuhnya berada di dalam air. Muridnya itu tetap mengikutinya.
Tiba di belakang, di tempat kemudi, Cit Kong melihat di situ ada ditambah sebuah perahu kecil. Ia menjadi girang sekali.
"Mari kita naiki perahu itu!" ia mengajak muridnya, segera bertindak. Ia mengenjot tubuhnya, untuk menyambar perahu kecil itu, ketika ia dapat memegang pinggarannya, ia jumpalitan untuk naik ke dalamnya. Ia tidak mengasih dengar suara apa juga.
Begitupun Kwee Ceng, yang menyusul gurunya.
"Lekas putuskan dadungnya!" Ang Cit Kong menitah.
Kwee Ceng menurut, dengan cepat ia menggunai pisau belatinya. Maka dilain saat, perahu kecil itu sudah terombang-ambing dipermainkan sang ombak.
Cit Kong menggunai pengayuhnya untuk membikin perahu tak goncang hebat.
Dengan lewatnya sang tempo, perahu besar lenyap dari pandangan mata. Hanya dilain saat, di sana terlihat api lentera yang dicekal Auwyang Hong, bahkan See Tok terus menjerit keras sebab ia mendapatkan perahu kecilnya lenyap. Kemudian jeritan itu disusuli dengan kutukan, tanda dari kemurkaan hebat.
Ang Cit Kong mengumpulkan tenaga dalamnya, lalu ia tertawa keras dan panjang.
Mendadak itu waktu, di arah kanan ada sebuah perahu enteng menerjang gelombang, menuju cepat ke arah perahu besar.
Heran Ang Cit Kong, hingga ia menanya dirinya sendiri: "Eh, perahu apakah itu?"
Hampir itu waktu terlihat berkelebatnya dua burung rajawali putih, yang terbang berputaran di atasan layar besar. Dari dalam perahu itu pun berlompat satu tubuh dengan pakaian putih mulus, berlompat ke perahu besar itu. Samar-samar terlihat berkilauannya gelang rambut emas di kepala orang itu.
"Yong-jie!" Kwee Ceng berseru perlahan.
Memang orang itu Oey Yong adanya. Ketika ia melihat kuda merah, ia ingat sepasang rajawali. Di laut kuda tidak diperlukan, lain dengan burung. Maka ia lantas bersuit keras memanggil dua burung piaraan Kwee Ceng itu. Bersama burung itu, ia layarkan perahunya. Kalau burung itu, yang matanya tajam, sudah lantas melihat perahu besar, maka keduanya lantas terbang pergi. Dengan begitu bertemulah mereka dengan tuan mereka, hingga Kwee Ceng bisa mengirim warta kepada si nona, untuk mengabarkan mereka berada dalam bahaya. Oey Yong lantas melayarkan perahunya dengan cepat sekali. Akan tetapi ia masih terlambat, Cit Kong dan Kwee Ceng keburu naik perahu kecil kepunyaannya Auwyang Hong itu.
Keras Oey Yong mengingat keselamatan Kwee Ceng, maka itu begitu lekas ia melihat burungnya terbang berputaran di atas layar, ia lantas lompat dari perahunya itu naik ke perahu besar. Ia telah menyiapkan jarum dan tempulingnya ketika ia berlompat itu.
Justru itu di perahunya, Auwyang Kongcu lagi kelabakan seperti semut di atas kuali panas.
"Mana Kwee Sieheng?!" tanya si nona. "Kau bikin apa terhadapnya?"
Auwyang ong sendiri tengah mengeluh. Dia telah membawa api, menyulut minyak, tatkala ia mengetahui lenyapnya perahu kecilnya, perahu yang hendak ia pakai untuk menyingkirkan diri. Dalam keadaannya seperti itu, kupingnya mendapat dengar tertawanya Ang Cit Kong dari tengah laut. Maka mengertilah ia bahwa dia telah gagal mencelakai orang dan berbalik mencelakai diri sendiri. Tentu sekali ia menjadi sangat menyesal dan bingung, mendongkol dan berkhawatir. Tapi justru itu, dia melihat datangnya Oey Yong. Sekejab itu juga timbul harapannya - di otaknya muncul pikiran yang sesat. Dia berlompat sambil berseru: "Lekas naik ke perahu itu!" Dia maksudkan perahunya Oey Yong.
Akan tetapi perahu itu ada perahu yang dikemudikan oleh anak buah yang gagu. Dia itu tidak dapat bicara tetapi dapat berpikir. Pula dia memang ada bangsa licik. Selama berada dengan Oey Yong, dia takut, dia menurut saja titah si nona. Begitu lekas nona itu lompat ke perahu besar, ia memutar perahunya, untuk dikayuh dengan segera, untuk dipasang layarnya. Maka dilain saat, dia sudah terpisah jauh dari perahu besar itu.
Cit Kong dan Kwee Ceng dapat melihat Oey Yong berlompat ke perahu besar, diwaktu mana dari arah belakang perahu terlihat asap mengepul naik disusul sama berkobarnya api. Mereka kaget karena mereka insyaf bahwa Auwyang Hong sudah bekerja.
"Api! Api!" berteriak-teriak anak muda ini dalam kagetnya.
"Si bisa bangkotan sudah membakar perahunya!" Ang Cit Kong pun berteriak. "Dengan caranya itu ia hendak membakar kita!"
"Lekas tolongi Oey Yong!" Kwee Ceng berteriak pula.
"Dekati perahu!" Cit Kong menyuruh.
Kwee Ceng menggunai tenaganya, untuk mengayuh. Perahu besar kecil itu pun bergerak menyusul perahu besar, untuk mendekati. Di atas perahu besar sendiri keadaan kacau disebabkan semua pengikutnya Auwyang Hong - laki-laki dan perempuan lari serabutan karena takut api, suara teriakan atau jeritan mereka riuh sekali.
"Yong-jie!" terdengar teriakannya Cit Kong. "Bersama Ceng-jie aku berada di sini! Mari lekas berenang! Lekas berenang ke mari!"
Langit gelap, laut pun bergelombang, tetapi Cit Kong perdengarkan teriakannya itu oleh karena ia ketahui baik si nona pandai berenang. Pula di saat seperti itu tidak dapat mereka tidak berlaku nekat untuk menolong diri.
Oey Yong dapat mendengar suara gurunya itu, ia girang. Tentu saja tidak sudi ia memperdulikan pula Auwyang Hong dan keponakannya itu, bahkan tanpa bersangsi lagi ia bertindak ke tepi perahu, untuk segera mengenjot tubuhnya guna terjun ke laut!
Sekonyong-konyong nona Oey merasakan lengannya ada yang cekal dengan keras sekali. Tubuhnya sudah mencelat tapi karena cekalan itu, ia tidak dapat terjun terus, ia kena ditarik kembali ke perahu. Ia terkejut sekali ketika ia menoleh akan mendapatkan, orang yang mencekal padanya adalah Auwyang Hong, si Bisa dari Barat yang lihay dan ganas itu.
"Lepas!" ia berteriak seraya dengan tangan kirinya ia meninju.
Hebat sekali Auwyang Hong, tangannya bergerak bagaikan kilat, maka tahu-tahu si nona telah tercekal pula tangan kirinya.
Sementara itu See Tok melihat perahu kecil sudah pergi jauh hingga tidak ada lagi harapan untuk menyusulnya. Sebaliknya perahunya sendiri mulai terbakar hebat. Api telah melulahan menyambar tiang layar yang lantas patah karenanya. Di muka perahu, kekacauan berjalan terus. Agaknya perahu bakal segera karam, maka pertolongan untuk mereka tinggallah perahu yang diduduki Kwee Ceng dan Cit Kong itu.
"Pengemis busuk, Nona Oey ada di sini!" See Tok berseru. "Kau lihat tidak?!"
Ia mengerahkan tenaganya, kedua tangannya di angkat naik, dengan begitu tubuh Oey Yong pun turut terangkat tinggi. Dengan begitu ia hendak mengasih lihat tubuh nona itu.
Ketika itu api telah berkobar besar dan mendatangkan sinar terang maka Ang Cit Kong dan Kwee Ceng dapat melihat tegas Oey Yong berada di tangannya si Bisa dari Barat yang jahat itu.
Ang Cit Kong menjadi gusar sekali.
"Dengan menggunai Oey Yong, dia hendak memaksa kita!" katanya sengit. "Dia ingin naik ke perahu kita! Nanti aku merampas Yong-jie!"
"Aku turut, suhu!" berkata Kwee Ceng, Ia berkhawatir melihat api.
"Tidak!" mencegah si guru. "Kau melindungi perahu ini supaya tidak sampai kena dirampas si tua bangka yang berbisa itu!"
"Baiklah," sahut Kwee Ceng, yang terus mengayuh pula, untuk mendekati perahu besar itu, yang sekarang sudah tidak bergerak lagi.
Lekas juga perahu kecil itu mendekati perahu besar, begitu lekas Ang Cit Kong merasa ia dapat melompatinya, ia lantas menggeraki tubuhnya untuk berlompat sambil mengapungkan diri. Ia berlompat seperti tengkurap, maka tempo ia tiba di perahu, tangannya yang sampai terlebih dulu. Ia menggunai tangan kiri dengan kelima jarinya yang kuat, untuk dipakai mencengkeram tepian perahu, habis mana, dengan mengerahkan tenaga di tangannya itu, ia membuatnya tubuhnya tiba di atas perahu itu.
Auwyang Hong masih mencekali Oey Yong. Ia menyeringai.
"Pengemis bangkotan busuk, kau hendak apa!" dia menanya, menantang.
"Mari,mari!" Cit Kong juga menantang. "Mari kita bertempur pula seribu jurus!"
Jawaban itu dibarengi sama serangan kedua tangan saling susul.
Auwyang Hong berlaku licik, bukannya ia berkelit, ia menangkis dengan mengajukan tubuh Oey Yong sebagai tameng, mau tidak mau, Cit Kong mesti batalkan penyerangannya itu.
Ketika itu dipakai oleh Auwyang Hong untuk segera menotok jalan darah si nona, maka sesaat itu juga, lemaslah tubuh Oey Yong, tak dapat ia berkutik.
"Letaki dia di perahu!" Cit Kong menantang pula. "Marilah kita bertempur untuk memastikan menang atau kalah!"
Auwyang Hong ada terlalu licik untuk meletaki tubuh nona itu. Ia pun melihat keponakannya lagi didesak sambaran-sambaran api hingga ia mesti main mundur. Tiba-tiba ia mendapat akal. Mendadak ia lemparkan Oey Yong kepada keponakannya itu.
"Pergi kamu lebih dulu ke perahu kecil!" memerintahnya.
Auwyang Kongcu menyambuti tubuh yang tak dapat bergerak itu. Ia melihat Kwee Ceng di perahu kecil. Ia mengerti, kalau ia melompat bersama si nona, mungkin perahu kecil itu akan karam karenanya. Maka ia menarik sehelai dadung, ia ikat itu di kaki tiang layar, habis itu dengan tangan kiri memeluki Oey Yong, dengan tangan kanan ia menarik dadung itu, untuk meluncur ke perahu kecil itu. Maka terayunlah tubuh mereka, turun menghampirkan perahu.
Kwee Ceng melihat Oey Yong tiba di perahunya, ia girang bukan main. Tentu sekali ia tidak mengetahui yang kekasihnya itu sudah kena orang totok hingga menjadi tidak berdaya. Ia lebih memerlukan mengawasi gurunya yang lagi bertempur sama Auwyang Hong. Biar bagaimana, ia bergelisah untuk gurunya itu.
Dengan api berkobar-kobar, tertampak nyata kedua jago tua itu lagi mengadu jiwa.
Mendadak saja terdengar suara nyaring seperti guntur, lalu tertampak perahu besar terbelah dua, sebab tulang punggungnya dimakan api dan pecah karenanya. Menyusul itu kelihatan bagian perahu yang belakang mulai tenggelam, perlahan-lahan karam ke dalam air.
Ang Cit Kong dan Auwyang Hong bertempur terus. Kadang-kadang mereka mesti berkelit dari runtuhannya tulang layar atau dadungnya, yang jatuh termakan api.
Dalam pertempuran sengit ini, Ang Cit Kong lebih menang sedikit, dalam arti kata ia tidak merasakan hawa panas seperti lawannya. Itulah sebab pakaiannya basah bekas tadi merendam di air. Karena ini juga, dapat ia mendesak See Tok, yang sebaliknya mesti berkelahi sambil mundur perlahan-lahan.
Pernah Auwyang Hong memikir untuk terjun ke laut, ia hanya menyesal, pikirannya itu tidak dapat ia segera mewujudkannya. Ia didesak terlalu hebat, kalau ia memaksa terjun, itu artinya ia tidak dapat membela diri, mungkin nanti ia kena diserang lawannya yang lihay itu. Ada kemungkinan juga ia nanti terluka parah. Saking terpaksa, ia melayani terus dengan otaknya dikasih bekerja tak hentinya untuk mencari jalan lolos....
Ang Cit Kong menyerang dengan hatinya terasakan puas. Bukankah ia terus mendesak? Tengah ia merangsak, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Kalau aku desak dia hingga dia terbakar, kalau ia sampai mengantar jiwanya, itu tak menarik hati," demikian pikirannya yang menyandinginya itu. "Dia telah mendapatkan salinan kitab dari Ceng-jie, jikalau dia tidak mendapat kesempatan untuk mempelajarinya, bila nanti ia mampus, pastilah ia mampus tak puas! Tidak dapat tidak, dia mestinya dibikin kena batunya...!"
Karena ini Pak Kay lantas tertawa terbahak-bahak. "Bisa bangkotan, hari ini aku memberi ampun padamu!" ia berseru. "Kau naiklah ke perahu kecil itu!"
Kedua matanya Auwyang Hong mencelik, lantas ia terjun ke laut. Cit Kong hendak menyusul tatkala ia dengar teriakannya See Tok.
"Tahan dulu!" demikian si Bisa dari Barat itu berteriak. "Sekarang tubuhku pun basah, maka marilah kita berdua bertempur pula. Sekarang barulah adil, sama rata sama rasa!"
Suara itu disusul sama berkelebatnya satu tubuh, maka di lain detik, Auwyang Hong telah berdiri pula di atas perahu besar, di depan lawannya.
Sekejap Ang Cit Kong melengak, lalu ia tertawa lebar.
"Bagus, bagus!" serunya. "Seumur hidupnya si pengemis bangkotan, ini hari barulah ia bertempur paling memuaskan!"
Kembali dua orang itu bertarung dengan hebat. Dengan tubuh basah kuyup, agaknya See Tok menjadi segar sekali.
"Yong-jie," berkata Kwee Ceng kepada kekasihnya. "Kau lihat See Tok ganas sekali!"
Oey Yong tengah ditotok, ia tak dapat bersuara.
"Apakah tidak baik aku minta suhu turun ke mari?" Kwee Ceng berkata pula menanyai si nona. "Perahu besar itu bakal lekas tenggelam...."
Oey Yong tetap tidak menyahuti.
Kwee Ceng heran, maka lekas ia berpaling. Semenjak tadi ia terus mengawasi ke gelanggang pertarungan. Maka gusarlah ia untuk menyaksikan Auwyang Kongcu lagi meringkus kedua tangan orang.
"Lepas!" ia lantas berteriak.
Auwyang Kongcu tertawa.
"Jangan kau bergerak!" dia berseru. "Asal kau bergerak, satu kali saja, akan aku hajar hancur kepalanya!" Dan dia mengancam.
Kwee Ceng tidak menggubris ancaman itu, bahkan seperti tanpa berpikir sejenak juga, ia menyerang.
Auwyang Kongcu berlaku sebat, ia berkelit sambil mendak.
Kwee Ceng penasaran, ia menyerang pula ke muka orang. Ia seperti merabu tanpa jurus tipu silat.
Auwyang Kongcu bingung juga. Perahu kecil, tidak merdeka untuk ia terus main berkelit. Tapi ia mesti melawan. Maka ia membalas menyerang.
Kwee Ceng menangkis, dengan begitu kedua tangan bentrok. Auwyang Kongcu licik, sambil menyerang ia terus memutar kepalannya, menyerang pula, maka "Plak!" pipinya si anak muda kena terhajar.
Serangan itu keras, mata Kwee Ceng berkunang-kunang. Tapi ia mengerti bahaya, ia membuka matanya. Justru itu datang serangan yang kedua kali. Kembali ia menangkis.
Auwyang Kongcu menggunai tipu silat seperti tadi. Ia memutar balik kepalannya, untuk mengulangi serangan susulan. Tapi kali ini Kwee Ceng melenggaki kepalanya, tangan kanannya berbareng dipakai menolak ke depan.
Menurut aturan, sambil berlenggak tidak dapat orang pun menyerang. Tapi Kwee Ceng adalah lain daripada yang lain. Ia sudah dapat mewariskan kepandaiannya Ciu Pek Tong, ia bisa berkelahi dengan dua tangannya seperti tangan dua orang, kedua tangannya dapat digeraki menurut rasa hatinya. Maka itu celakalah keponakannya Auwyang Hong, yang tidak mengetahui kebiasaan orang itu. Tangan kanannya itu, yang dipakai menyerang ke muka, kena ditangkis hebat, sedetik itu juga tangan itu patah!
Dalam ilmu silat, Auwyang Kongcu tidak ada dibawahan Ma Giok, Ong Cie It atau See Thong Thian atau lainnya lagi, maka itu dibandingkan sama Kwee Ceng, ia menang segala-galanya, hanya kali ini ia kebentur sama ilmu silat yang istimewa, yang asing untuknya, dari itu robohlah dia!
Selagi lawannya itu roboh, hingga Oey Yong terlepas dari pelukan tangan kirinya, Kwee Ceng pun tidak menggubris, pemuda ini lebih memerlukan berlompat kepada pacarnya, yang rebah tak bergeming. Sekarang ia mengerti si nona kena tertotok, lantas saja ia menotok untuk membebaskannya.
Syukur Auwyang Kongcu menggunai totokan yang umum, dengan begitu Kwee Ceng dapat menyadarkan nona itu.
"Lekas bantu suhu!" berteriak Oey Yong yang sesadarnya dia.
Kwee Ceng sudah lantas berpaling kepada gurunya. Ia melihat gurunya itu dan Auwyang Hong tengah berkelahi mati-matian. Suara beletak-beletok dari bekerjanya api seperti menambah serunya pertarungan itu.
Yang hebat ialah terlihatnya badan perahu mulai karam.
Maka itu juga Kwee Ceng menyambar pengayuh, untuk memajukan perahunya datang dekat ke perahu besar itu.
Di dalam pertempuran itu, suasana menjadi terbalik. Sudah lama sejak Ang Cit Kong kerendam air, sekarang pakaiannya sudah kering semua, pakaian itu gampang tersambar api dan terbakar, hawa api pun membikin tubuh panas. Di pihak lain, tubuhnya Auwyang Hong basah kuyup, ia tidak takut api, bahkan bekas nyebur, ia menjadi seperti mendapat tambahan tenaga dan semangat. Tapi hebat si Pak Kay, Pengemis dari Utara itu, walaupun ia terdesak, ia memaksakan diri untuk bertahan.
Mendadak sebatang tiang layar jatuh dengan apinya yang berkobar, jatuh di tengah-tengah kedua jago itu. Mau atau tidak, mereka itu sama-sama berlompat mundur, hingga selanjutnya mereka terpisahkan kayu menyala-nyala itu.
Auwyang Hong penasaran, dengan tongkat ular-ularannya dia menyerang pula.
Ang Cit Kong tidak diam saja, ia mencabut tongkatnya dari pinggangnya, guna menangkis.
Kalau tadi mereka bertarung dengan tangan kosong, sekarang mereka menggunai genggaman. Tentu sekali, sekarang ini mereka berkelahi semakin hebat.
Kwee Ceng terus mengayuh perahunya. Ia terus bergelisah untuk gurunya. Hanya ketika ia menyaksikan pertempuran dua orang itu, perhatiannya jadi tertarik, ia menghela napas saking kagumnya.
Di dalam kalangan persilatan ada kata-kata, "Belajar golok seratus hari, belajar tombak seratus hari, belajar pedang selaksa hari". Itulah bukti yang ilmu silat pedang paling sukar dipelajarinya. Demikian pada duapuluh tahun yang lalu, dalam pertempuran di Hoa San terlihat nyata sempurnanya tetapi pun sulitnya ilmu pedang, maka juga dua-dua Ang Cit Kong dan Auwyang Hong masih menukar senjata mereka. Ang Cit Kong memakai tongkatnya yang ia senantiasa bawa-bawa, ialah tongkat warisan Kay Pang atau tanda tertua dari Partai Pengemis itu. Tongkat itu lebih panjang satu kaki daripada pedang sebatang dan sifatnya lemas, tetapi di tangan Cit Kong, satu ahli luar, gwa kee, tongkat itu menjadi tegar sekali.
Tongkat ular-ularan dari Auwyang Hong pun suatu senjata istimewa. Dan See Tok menggunainya itu dengan campuran gerak-gerik toya dan tongkat. Di ujung kepala tongkat ada ukiran kepala orang yang mulutnya terbuka tertawa, yang kedua baris giginya terpentang dengan semua giginya tajam serta gigi itu dipakaikan racun ular, maka diwaktu dipakai bersilat, kepala orang-orangan itu bergerak-gerak bagaikan hantu mengangga. Pula, asal pesawat rahasianya dikasih bergerak, dari dalam mulut itu bakal tersemburkan senjata rahasia yang beracun juga. Yang lebih lihay lagi ialah itu dua ekor ular yang melilit di batang tongkat, yang bisa memagut orang secara tiba-tiba....
Hebat pertempuran ini karena mereka sama-sama lihaynya. Tongkat Auwyang Hong terlebih unggul, tetapi Cit Kong adalah kepala Pengemis di seluruh Tionggoan dan sebagai kepala pengemis, dialah penakluk ular yang nomor satu. Demikian tongkatnya bergerak-gerak, bukan cuma menyerang lawan tetapi juga menghamtam kedua ular berbisa itu. Hanya dengan kelicikannya, Auwyang Hong saban-saban dapat menolongi ularnya itu. Ia menjadi sengit, diam-diam ia mengutuk pangcu dari Kay Pang itu, yang kelihayannya mesti ia akui.
Kwee Ceng menonton dengan pikirannya bingung. Mau ia membantu gurunya tetapi ia tidak mempunyakan kesanggupannya. Bukankah musuh itu sangat lihay? Mana dapat ia menyelak di antara mereka berdua.
Tapi juga Auwyang Hong insyaf untuk bahaya yang mengancam. Perlahan-lahan ia merasakan tubuhnya berhawa panas. Yang hebat hanya ia merasakan badan perahu, yang tinggal sebelah itu, mulai tenggelam. Penyerangan lawan dahsyat sekali, kalau ia tidak keluarkan kepandaiannya, bisa-bisa ia terbinasa di tangan si pengemis tua ini. Maka ia lantas menukar siasat. Tangan kanannya, yang memegang tongkat, ia tarik, dan tangan kirinya dipakai menyapu.
Dengan tongkatnya Ang Cit Kong mengejar tongkat lawan, dengan tangan kirinya ia menangkis sapuan tangan kiri lawannya itu. Atau mendadak tangan kiri Auwyang Hong dikelitkan, diputar, untuk secepat kilat dipakai menyerang pula ke arah pelipis kanan dari musuhnya!
See Tok menggunai tipu silat Kim Coa Kun atau Kuntauw Ular Emas. Itulah siasat ilmu silatnya yang istimewa. Bahkan ia hendak mengandalkan ini ilmu pada pertemuan yang kedua kali nanti di Hoa San, untuk menunduki semua lawannya. Keistimewaannya ialah selagi dipakai menyerang, tangannya dapat diputar balik, untuk dipakai menyerang pula secara dahsyat diluar dugaan lawan. Begitulah, ia menggunai tipu silatnya ini terhadap Pak Kay. Ia percaya si pengemis tidak kenal ilmu silatnya itu.
Memang, mulanya Ang Cit Kong tidak kenal Kim Coa Kun, ia pun melihatnya secara kebetulan, yaitu di Poo-eng, Auwyang Kongcu menggunai itu terhadap Kwee Ceng. Sebabnya Cit Kong tidak menghadiri pestanya Lee Seng beramai itulah karena ia lagi memikir keras tipu silat untuk memecahkan ilmu Kim Coa Kun itu. Maka, kali ini, melihat Auwyang Hong menggunai tipu ilmu silat ini lagi, Cit Kong sudah siap sedia. Dengan menggunai tipu silat Kim-na-ciu, menangkap tangan, ia mengulur tangannya untuk menjambret.
Inilah Auwyang Hong tidak sangka, ia terkejut sambil berlompat mundur. Justru itu ada jatuh segumpal api, yang menyambar kepadanya.
Cit Kong juga terkejut, dia terus melompat mundur. Sekarang dia dapat melihat tegas, yang jatuh itu adalah kain layar yang termakan api.
Di dalam keadaan biasa, tidak nanti Auwyang Hong kena ketungkup, tetapi barusan ia sedang kaget dan heran sebab ilmu silatnya kena dipecahkan lawan, ia juga baru menaruh kaki, sedang jatuhnya layar secara tiba-tiba, maka tidak berdayalah ia untuk menyingkir.
Dalam kagetnya itu, Auwyang Hong tidak menjadi gugup atau bingung. Ia lantas menggunai tongkatnya, akan menyingkap kain layar itu. Lacur untuknya, tongkatnya itu terhalang tiang layar, tidak dapat ia geraki. Baru setelah itu ia menghela napas dan mengeluh: "Habis sudah, hari ini aku mesti pulang ke langit..."
Sekonyong-konyong ia menampak sinar terang. Tadinya ia berada dalam gelap gulita. Ketika ia awasi, ia melihat Ang Cit Kong tengah menggunai tongkatbya menyontek menyingkap layar.
Pak Kay adalah seorang yang berperangai halus dan murah hati, walaupun ia sangat benci See Tok untuk kelicikan dan keganasannya, ia masih tidak tega menonton orang mampus terbakar. Maka tanpa banyak pikir, ia memberikan pertolongan itu.
Auwyang Hong telah terbakar pakaiannya, rambutnya dan alisnya. Ia berlompat, terus ia menjatuhkan diri, bergulingan di lantai perahu. Dengan caranya ini ia hendak membikin api padam. Selagi ia bergulingan itu, mendadak perahu miring, lalu rantai jankar jatuh menimpa ke arahnya.
Cit Kong kaget hingga ia menjerit, terus ia berlompat akan menyambar jangkar itu. Celaka untuknya, jangkar itu merah marong bekas terbakar, ketika kena terpegang, kontan tangannya terbakar hangus dengan mengeluarkan suara terbakarnya, tetapi ia masih sempat melemparkannya ke laut. Hanya, selagi menolong ini dan hendak lompat ke laut, mendadak ia merasakan punggungnya berikut pundaknya menjadi kaku. Untuk sesaat ia melengak, tak tahu ia apa sebabnya itu. Atau tiba-tiba ia ingat suatu apa, yang berkelebat di otaknya. Segera ia menoleh ke belakang. Di dalam hatinya ia berkata: "Aku telah tolongi See Tok, mustahilkah ia menggunai tongkat ularnya mencelakai aku?" Ia berpaling, justru tongkat bambu berkelebat di depan matanya, kedua mulutnya ular penuh darah hidup, kepalanya sedang digoyang-goyang. Bukan main murkanya Ang Cit Kong, kedua tangannya segera melayang ke arah Auwyang Hong.
See Tok dapat berkelit, maka itu, sebatang tiang layar dibelakangnya terhajar keras, menjadi patah dan roboh karenanya.
Cit Kong tidak berhenti sampai di situ, ia menyerang terus.
Auwyang Hong melihat orang seperti kalap, ia tidak mau melawan berkelahi, ia lebih banyak berkelit sambil berlompatan.
"Suhu! Suhu!" Kwee Ceng berteriak-teriak melihat kelakuan gurunya itu. Ia pun merayap naik ke perahu besar.
Adalah di saat itu, Ang Cit Kong terhuyung-huyung. Ia merasakan kepalanya pusing, hingga ia tak ingat suatu apa.
Auwyang Hong berlompat maju, dengan sebelah tangannya ia menghajar punggung si raja pengemis. Hebat serangannya ini.
Dalam keadaanya seperti itu, Ang Cit Kong tidak bisa mempertahankan dirinya. Ia lantas saja roboh sambil muntahkan darah hidup.
Kiu Cie Sin Kay Ang Cit Kong sangat kesohor kegagahannya, Auwyang Hong ketahui dengan baik, hajarannya ini tidak dapat segera menghabiskan jiwa orang, dan ia ketahui juga, kalau nanti Ang Cit Kong sembuh dari lukanya ini, pembalasannya tak akan ada habisnya, maka itu, sudah kepalang, ia mengambil sikap: "Berkasihan tidak menurunkan tangan, menurunkan tangan tidak berkasihan". Ia lantas berlompat maju, dengan kakinya ia menjejak punggung orang!
Kwee Ceng baru saja naik dari perahunya ketika ia menyaksikan keganasan See Tok terhadap gurunya itu, tidak sempat ia maju lebih jauh untuk menolongi, karena tidak ada jalan lain, ia menyerang dengan kedua tangannya dengan pukulan "Sepasang naga mengambil air". Ia menyerang ke punggung bagian pinggang.
Auwyang Hong tahu si bocah lihay, ia tidak memandang hebat. Ia geraki tangan kiri untuk menangkis, dengan tangan kanannya ia membalas menyerang. Di sebelah itu, kakinya terus menginjak Ang Cit Kong!
Kwee Ceng kaget hingga ia melupakan segala apa, ia berlompat menubruk Auwyang Hong, batang leher siapa ia rangkul. Tapi justru ini, ia membuat dirinya kosong, maka enak saja rusuknya kena dihajar si Bisa dari Barat.
Dalam keadaan rapat seperti ini, tidak leluasa Auwyang Hong menyerang, tetapi dasar ia lihay, serangan itu hebat, hanya syukur untuk Kwee Ceng, tenaga dalamnya telah mempunyakan dasar, maka ia tidak segera roboh, dia cuma merasakan sakit sekali dan separuh tubuhnya hampir kaku. Karena ini dia menjadi nekat, ia perkeras rangkulannya, untuk mencekik leher orang.
Oleh karena perlawannan Kwee Ceng ini, tendangan Auwyang Hong kepada Ang Cit Kong menjadi batal, sebab untuk membela diri, ia mesti segera menarik pulang kakinya itu. Tapi ia tidak sanggup menggunakan kuntauw Kodok atau Ular Emas, untuk itu mereka ada terlalu rapat, maka ia cuma dapat menyerang muka orang. Kwee Ceng berkelit setiap kali ia dipukul. Untuk menangkis, ia tidak mampu, lantaran kedua tangannya lagi digunakan dengan sekuat tenaganya. Ia bisa berkelit di atas kepalanya - tidak bisa ia dibawah - yaitu rusuknya. Maka lagi-lagi See Tok menyikut.
Kwee Ceng mesti berkelit ke kanan, dengan begitu ia terpaksa melepaskan tangan kirinya, tetapi ia tidak berhenti berdaya, dengan lekas ia menggunai ilmu gulat bangsa Mongolia. Tangannya itu ditelesupkan ke antara iga dan lengan musuh, diulur untuk membangkol batang leher.
Auwyang Hong lihay tetapi sekarang ia pun merasakan sakit. Ia mengerti si anak muda menggunai tipu silat apa, hanya celakanya untuk dia, ia tidak mengerti caranya untuk menolongi diri, dari itu ia cuma bisa menggunai kepalan tangannya meninju ke belakang.
Melihat ini Kwee Ceng menjadi sangat girang. Segera ia melepaskan cekikannya, dengan tangan kanan itu, tangan ditelesupkan seperti tangan kiri tadi - kalau tadi di sebelah kiri, sekarang di sebelah kanan. Kembali ia membangko leher orang, berbareng dengan mana ia berseru mengerahkan tenaganya. Dengan menggunai dua tangan berbareng, ia menjadi berbahaya sekali. Ini dia yang dinamakan tipu "Menjirat mematahkan gunung". Dalam halnya Auwyang Hong, dia terancam patah leher....
Cerdik sekali Auwyang Hong. Ia pun bertindak dengan sebat. Ia mengasih turun kepalanya, untuk nelusup ke selangkangan si anak muda sembari berbuat begitu ia juga meninju dengan kepalan kiri. Ia tidak mau mengasih ketika orang sempat mengerahkan tenaganya.
Sebelum ia kena ditinju, Kwee Ceng telah menyambar tangan kiri si jago yang berbisa itu. Ia tetap merapatkan tubuhnya kepada tubuh musuh, ia mencoba terus menggunai ilmu gulatnya. Ia menginsyafi, satu kali mereka renggang, ia bisa susah. Pula, dengan berkelahi rapat, ia dapat mencegah musuh mencelaki gurunya.
Oey Yong bingung sekali. Di satu pihak ia tampak Ang Cit Kong rebah di pinggir perahu, separuh tubuhnya berada di luar perahu, di lain pihak terlihat Kwee Ceng lagi bergulat mati-matian terhadap Auwyang Hong, keduanya bergulingan, tubuh mereka sudah tererap api. Karena ini dengan pengayuh ia menghajar Auwyang Kongcu.
Walaupun dia telah terluka tangan kirinya, pemuda she Auwyang ini tetap kosen. Ia berkelit ke kiri, sambil berkelit, tangannya menyambar lengan si nona.
Oey Yong berkelit sambil menekan perahu, hingga perahu itu menjadi miring.
Auwyang Kongcu tidak bisa berenang, miringnya perahu membikin tubuhnya terhuyung. Untuk menetapkan diri, ia batal menyerang terus kepada si nona.
Menggunai saat perahu miring itu, Oey Yong terjun ke air. Ia pandai berenang, ia tidak takut. Hanya dengan beberapa kali menggunakan tangannya, tubuhnya sudah nyelosor ke perahu besar. Perahu itu tinggal separuh, sekarang separuh tubuh itu sudah kelam separuhnya lagi. Dengan gampang si nona naik ke perahu besar itu. Di situ ada sebuah tempuling, ia sambar itu hendak ia membantu Kwee Ceng.
Auwyang Hong dan si anak muda masih berkutat bergulingan, bergantian di bawah dan di atas, akan kemudian, karena ia terlebih hilay, Auwyang Hong terus berada di sebelah atas. Dalam keadaan seperti itu, Kwee Ceng terus mengendalikan kedua tangan musuh, supaya musuh tidak dapat menyerang kepadanya.
Adalah di saat itu, Oey Yong berlompat maju sambil menikam.
Hebat Auwyang Hong. Ia mendapat tahu ada serangan di belakangnya, ia berkelit seraya mengerahkan tenaganya mengangkat tinggi tubuh Kwee Ceng, memakai si anak muda sebagai tameng.
Oey Yong mengubah serangannya, kali ini kepala See Tok.
Jago tua itu bisa berkelit, bahkan terus-terusan ia mengegos ke kiri dan ke kanan, menyingkir dari ujung tempuling.
Tiga kali Oey Yong menikam dengan sia-sia, yang keempat kalinya, tempulingnya nancap di lantai perahu, hingga abunya mengepul naik mengenai matanya, hingga ia kelilipan dan matanya mengeluarkan air. Ia mengucak matanya itu. Justru itu ia merasakan kakinya sakit, tubuhnya limbung, malah terus ia roboh. Sebab Auwyang Hong telah sapu kakinya selagi ia tidak melihat.
Si nona roboh untuk terus menggulingkan diri, buat berlompat bangun. Karena robohnya itu, rambutnya kena kesambar api. Ia maju pula, untuk mengulangi serangannya. Atau mendadak Kwee Ceng berseru-seru: "Tolongi suhu dulu! Tolongi suhu dulu!"
Oey Yong mengerti tugasnya, ia lantas lari kepada Ang Cit Kong, ia tubruk tubuh orang, untuk dipeluk, setelah mana ia terjun ke air. Dengan menyeburkan diri, ia lantas merasakan tubuhnya adem, tak sepanasnya lagi seperti tadi. Ia berenang sambil menggendong gurunya, ia menuju ke perahu kecil.
Auwyang Kongcu berdiri di atas perahu kecil itu, sebelah tangannya mengangkat pengayuh.
"Lepaskan si pengemis tua! Cuma kau sendiri yang boleh naik!" demikian teriaknya dengan mengancam.
Sebelah tangan Oey Yong masih memegangi tempulingnya.
"Baiklah, mari kita bertempur di dalam air!" ia pun berseru, menjawab ancaman itu. Ia menyambar pinggiran perahu, ia menggoyangnya.
Auwyang Kongcu kaget dan ketakutan melihat perahu tergoncang keras. Kalau perahu itu terbalik dan karam, celakalah dia.
"Jangan, jangan goncang!" ia berteriak-teriak seraya keras memegangi perahu. "Nanti perahu ini karam..."
Oey Yong tertawa.
"Lekas tarik guruku naik!" ia menitah. "Hati-hati! Jikalau kau main gila, aku nanti lelapkan kau di dalam air selama tiga jam!"
Auwyang Kongcu tidak berdaya, terpaksa ia memegang bebokongnya Ang Cit Kong, untuk mengangkatnya naik ke perahu.
"Nah, beginilah baru anak manis!" berkata Oey Yong tertawa.
Sebenarnya Oey Yong hendak kembali ke perahu besar, untuk menolongi Kwee Ceng, atau mendadak ia mendengar satu suara nyaring sekali, lalu melihat gelombang besar dan tinggi mendampar ke arahnya. Ia lantas memutar tubuhnya, habis itu ia berbalik pula, rambutnya di depan mukanya tersingkap ke belakang. Ia berdiri tercengang kapan ia sudah memandang ke depan.
Gelombang barusan berputar seperti usar-usaran air, di situ tidak terlihat lagi perahu besar yang tinggal separuh tadi, dengan begitu, lenyap juga Kwee Ceng dan Auwyang Hong yang tengah bergulat itu.
Oey Yong baru sadar ketika air asin menyambar masuk ke dalam mulutnya. Tadinya ia seperti lupa akan dirinya sebab hatinya mencelos mendapatkan pemuda pujaannya lenyap, lenyap dibawa air. Ia lantas melihat ke sekelilingnya. Di situ ia tidak nampak apa juga kecuali si perahu kecil. Rupanya semuanya sudah ditelan sang laut......................
Bab 42. Di pulau terpencil
Oey Yong selulup, ia berenang ke arah air berputar itu. Ia tidak jeri untuk tenaga besar dari usar-usaran air itu, ia dapat mempertahankan diri dari sedotan yang keras. Di situ ia selulup ubak-ubakan, untuk mencari Kwee Ceng. Lama ia berputaran, Kwee Ceng tidak nampak, Auwyang Hong pun tidak ada. Maka maulah ia menduga, kedua orang itu telah kena terbawa perahu sampai di dasar laut............
Lama-lama lelah juga Oey Yong. Tapi ia masih belum putus asa, ia bahkan penasaran. Maka ia mencari terus. Sangat ia mengharap-harapkan nanti dapat menemukan si anak muda. Diam-diam ia mengharapi bantuan Thian, mengasihani dia. Tapi masih sia-sia belaka usahanya itu. Saking letih, ia muncul ke muka air. Ia berenang ke perahu kecil. Di dalam hatinya ia berjanji, sebentar ia akan selulup pula, untuk mencari terlebih jauh.
Auwyang Kongcu melihat si nona menghampirkan, ia mengulur tangannya untuk membantui dia naik ke perahu. Ia pun sangat berkhawatir atas lenyapnya pamannya itu.
"Apakah kau melihat pamanku? Apakah kau melihat pamanku?" demikian pertanyaannya berulang-ulang.
Oey Yong tidak menyahuti, bahkan ia tak sadarkan diri sebab begitu lekas juga ia merasai matanya gelap....
Beberapa lama si nona pingsan, inilah ia tidak ketahui. Ketika ia mendusin, ia merasakan tubuhnya enteng, bagaikan melayang-layang di antara mega, kupingnya pun mendengar suara angin mendesir-desir. Lekas-lekas ia memusatkan pikirannya, kemudian ia menggeraki tubuhnya, untuk berduduk. Maka sekarang bisalah ia melihat ke sekitarnya.
Ia masih berada di atas perahu kecil, perahu itu hanyut mengikuti aliran gelombang. Auwyang Kongcu tidak mengerti urusan mengemudikan perahu, maka itu ia membiarkan perahunya berlayar sendirinya....
Pula, entah berapa jauh sudah terpisahnya perahu dengan tempat karamnya perahu besar itu.
Bukan main berduka dan sakitnya hati Oey Yong. Ia percaya ia tidak bakal bertemu pula dengan Kwee Ceng. Mendadak saja ia pingsan lagi.
Auwyang Kongcu duduk diam dengan sebelah tangannya keras-keras memegangi perahu, yang terombang-ambing itu.
Lewat sekian lama, Oey Yong sadar sendirinya. Ia benar-benar putus asa, hingga tawar untuk hidup lebih lama pula. Ketika ia menoleh kepada Auwyang Kongcu timbullah rasa muak dan bencinya. Pemuda itu lagi memperlihatkan roman ketakutan.
"Mana bisa aku mati bersama-sama binatang ini?" pikir si nona sesaat kemudian. Maka ia segera berlompat bangun.
"Lekas lompat ke laut!" ia membentak bengis.
Auwyang Kongcu kaget bukan main.
"Apa?!" dia menanya.
"Lompat ke laut!" sahut Oey Yong dengan bentakannya. "Kau tidak mau lompat? Baik! Akan aku terbaliki perahu ini!"
Lantas si nona lompat ke kanannya, maka kontan perahu itu miring ke kanan, dari situ ia lompat pula ke kiri, membuatnya perahu turut miring ke kiri itu, bahkan miringnya terlebih hebat.
Auwyang Kongcu ketakutan, ia menjerit keras.
Senang Oey Yong mendengar teriakan itu, sengaja ia menggoncang pula kenderaan itu lagi.
Dalam takutnya itu, Auwyang Kongcu masih dapat berpikir. Biar bagaimana, ia pun seorang lihay. Terpaksa ia mengambil tindakan. Setiap kali si nona lompat ke kanan, ia lompat ke kiri, demikian sebaliknya. Ia senantiasa mengimbangi nona itu.
Oey Yong kewalahan, tidak dapat ia menggoda terlebih jauh.
"Baik!" katanya kemudian. "Hendak aku membocorkan perahu, ingin aku lihat, kau bisa bikin apa!" Ia menghunus pisau belatinya, ia lompat ke tengah-tengah perahu itu.
Justru itu, Oey Yong melihat Ang Cit Kong lagi rebah tengkurup tanpa bergerak. Ia menjadi kaget sekali. Baru sekarang ia ingat pula akan gurunya itu. Segera ia mendekati, akan memasang kupingnya. Ia mendengar suara napas perlahan, hatinya menjadi sedikit lega. Ia lantas mengangkat bangun tubuh orang, untuk dibalik, hingga ia dapat melihat wajah gurunya itu.
Mukanya Cit Kong sangat pucat, dadanya bergerak turun naik perlahan-lahan, jantungnya berdenyutan perlahan juga, tanda dari kelemahannya.
Keras keinginan si nona untuk menolongi gurunya, ia tak pedulikan lagi Auwyang Kongcu. Ia lantas membukai baju gurunya, untuk memeriksa lukanya.
Tiba-tiba saja perahu itu bergerak keras.
"Tepian! Tepian!" Auwyang Kongcu pun berseru-seru kegirangan.
Oey Yong segera menoleh. Ia melihat pepohonan yang lebat. Perahunya sudah berhenti bergerak. Kenderaan air kandas di tepian pulau yang berpasir. Masih jauh akan tiba di darat, tetapi air ke arah sana dangkal sekali, dasarnya tampak. Mungkin dalamnya air tak sebatas dada.
Dalam girangnya Auwyang Kongcu lompat turun dari perahu. Ia lantas jalan beberapa tindak. Tiba-tiba ia berpaling kepada Oey Yong, terus ia berjalan kembali.
Oey Yong melihat pada tulang belikat kanan dari gurunya ada tapak tangan yang hitam, tapak itu dalam membekas di daging, seperti bekas dibakar. Di sekitar itu ada tanda hangus. Ia kaget sekali.
"Kenapa sehebat ini tangannya See Tok?" ia menanya di dalam hatinya.
Ia melihat punggung sebelah kanan dan leher, di sana ada dua lubang kecil sekali, hampir tak terlihat. Ia meraba dengan jari tangannya, ia merasakan sakit seperti terkena hawa panas, lekas-lekas ia menarik pulang tangannya itu.
"Suhu, bagaimana?" ia menanya.
Ang Cit Kong bersuara, "Hm!" perlahan, ia tidak menyahuti.
"Eh, mari keluarkan obat pemunahmu!" Oey Yong tegur Auwyang Kongcu.
Pemuda itu menggeraki kedua tangannya, tanda putus asa.
"Semua obat ada di tangan pamanku," sahutnya.
"Aku tidak percaya!" berkata si noa.
"Kau geledah saja!" Auwyang Kongcu menyerah. Ia buka bajunya, ia keluarkan semua isi sakunya.
Oey Yong mengawasi dengan melongo.
"Nah, mari bantu aku mengangkat guruku ke darat!" ia berkata kemudian.
Auwyang Kongcu menurut. Maka Ang Cit Kong lantas dikasih bangun, untuk dapat didukung. Kedua muda-mudi itu memasang pundak masing-masing, untuk menahan si orang tua. Kemudian Oey Yong memegang tangan kirinya Auwyang Kongcu untuk tangan mereka saling disilang, hingga si orang tua dapat duduk di tangan mereka yang terpalang melintang.
Hati Oey Yong cemas sekali. Ia merasakan tubuh gurunya gemetar.
Auwyang Kongcu sebaliknya girang. Ia merasakan tangan yang halus dan empuk memegang erat-erat tangannya. Ini ada kejadian yang sekalipun di dalam mimpinya ia tidak berani mengharapkannya. Maka ia amat menyesal yang cepat sekali mereka sudah tiba di darat.
Sambil berdongko dan membungkuk, Oey Yong menurunkan gurunya.
"Lekas ambil papan perahu!" ia menitahkan Auwyang Kongcu. "Jaga jangan basah!"
Habis menurunkan Ang Cit Kong, Auwyang Kongcu membawa tangannya ke bibirnya, ia berdiri menjublak. Itulah bagian tangan yang sejak tadi dipegang erat-erat oleh tangan yang halus dan empuk dari si nona. Karena itu, ia seperti tidak mendengar perkataan si nona. Syukur untuknya, Oey Yong tidak menyangka jelek terhadapnya, cuma sambil mendelik si nona mengulangi perintahnya.
Dengan cepat Auwyang Kongcu mengambil papan. Itu waktu Oey Yong telah tengkurapkan tubuh gurunya di rumput yang empuk, ia mencoba akan meringankan sakitnya. Maka diam-diam pemuda ini dapat lari ke tanjakan yang tinggi. Sembari lari ia menanya dirinya sendiri: "Tempat apakah ini?" Ketika ia sudah melihat ke sekelilingnya, ia kaget berbareng girang. Itulah sebuah pulau kecil, yang lebat dengan pepohonan, hingga ia tidak tahu, pulau itu ada penghuninya atau tidak. Ia kaget kapan ia mengingat, kalau pulau itu kosong, darimana mereka dapat makanan dan pakaian, dimana mereka bisa bernaung? Ia girang tempo ia ingat bahwa ia berada berduaan sama si nona manis, sedang si pengemis tua, ia percaya sukar dapat ditolongi lagi.
"Sama si cantik aku berdiam di sini, pulau kosong pun bagaikan sorga!" pikirnya. "Kalau toh aku mesti mati dalam sehari atau semalam, aku puas..."
Saking girangnya, ia berjingkrakan seperti orang menari. Hanya ia kaget tatkala ia angkat tangan kanannya. Baru sekarang ia ingat lengannya itu telah patah. Karena ini lekas-lekas ia menggunai lengan kirinya mematahkan dua cabang pohon, ia pun merobek ujung bajunya. Maka dilain saat ia sudah dapat menggantung tangannya itu.
Oey Yong sendiri telah memencet keluar darah hitam dari luka gurunya. Itulah darah bercampur racun. Habis itu, ia tidak tahu harus berbuat apalagi. Di situ tidak ada obat. Ia cuma bisa pindahkan gurunya ke tempat di mana ada dua potong batu besar, untuk gurunya beristirahat.
"Coba kau lihat tempat ini tempat apa!" kemudian si nona teriaki Auwyang Kongcu. "Coba cari tahu kalau-kalau dekat sini ada rumah orang atau pondokan..."
"Inilah sebuah pulau," menyahut Auwyang Kongcu sambil tertawa. "Terang sudah disini tidak ada pondokan. Tentang rumah orang, lihat saja peruntungan kita..."
Oey Yong terperanjat.
"Pergilah kau periksa!" ia menitah pula.
Senang si anak muda menerima titah si nona manis, ia lantas pergi. Ia masih dapat menggunai ilmunya ringan tubuh walaupun tangannya sakit. Mulanya ia lari ke timur di mana tempat lebat dengan pepohonan dan oyot berduri. Ia tidak mendapatkan apa-apa, maka ia putar ke utara. Di sini pun ia tidak melihat rumah orang atau gubuk, hanya dengan menggunai batu ia berhasil menimpuk roboh dua ekor kelinci, yang ia lantas bawa kembali.
"Benar-benar sebuah pulau kosong!" katanya.
Oey Yong melihat orang tersenyum, ia mendongkol.
"Pulau kosong? Habis, apanya yang lucu?!" ia menegur.
Pemuda itu mengulur lidahnya, ia tidak berani banyak omong, terus ia mengeset kulit kelinci, setelah mana, ia menyerahkannya kepada si nona.
Oey Yong merogoh sakunya, mengeluarkan terkesannya. Syukur ia menyimpannya dengan dibungkus dengan kertas minyak, alat penyala api itu tidak basah, maka dilain saat, ia sudah menyalakan api dengan apa dua ekor kelinci itu dipanggang. Sesudah matang, yang seekor ia lemparkan itu kepada si anak muda, yang seekor lagi ia beset sebelah pahanya, untuk diberikan kepada gurunya.
Ang Cit Kong terluka parah, ia masih belum sadar betul, tetapi begitu ia memcium bau daging, segera terbangun napsu daharnya. Memangnya ia penggemar gegares. Segera juga ia sudah mulai mengerogoti dan mengunyah daging kelinci itu. Habis sepaha, ia menunjuk sikap masih ingin pula, maka muridnya, yang hatinya girang, memberikan pula ia sepaha yang lain.
Setelah makan habis dua paha, Cit Kong menjadi lemah, malah dilain saat ia terus tidur pulas.
Oey Yong melihat cuaca mulai remang-remang, tandanya sang malam sudah tiba, dari itu lekas-lekas ia pergi mencari lubang gua, untuk memernahkan gurunya itu.
Auwyang Kongcu membantui tanpa diperintah atau diminta. Ia mencari rumput kering guna diampar sebagai kasur. Ia pun membantu memodong orang tua itu. Kemudian ia mencari rumput lagi, guna mengampar dua tempat, buat dia sendiri dan si nona.
Selama itu Oey Yong melainkan melirik saja, ia tidak ambil peduli pemuda itu, hanya disaat orang telah selesai bekerja dan lagi mengulet, untuk merebahkan diri, mendadak ia menghunus pisau belatinya.
"Pergi keluar!" ia mengusir.
Pemuda itu tertawa.
"Aku tidur disini toh tidak mengganggumu?" katanya. "Kenapa kau begini galak?"
"Kau pergi atau tidak?!" si nona menegaskan, alisnya bangkit.
"Akan aku tidur baik-baik, kau jangan takut," berkata pula si anak muda tersenyum.
Oey Yong habis sabar, ia berbangkit untuk mengambil puntung api, ia bawa itu ke tempat si anak muda, ia bakar orang punya rumput amparan, maka sebentar saja habislah itu menjadi abu.
Auwyang Kongcu menyeringai, dengan terpaksa ia mengeloyor keluar dari gua itu. Di pulau seperti itu ia tidak takut ada binatang beracun atau buas, ia berlompat naik ke atas sebuah pohon di mana ia mencari cabang untuk memernahkan tubuhnya. Tapi tak gampang untuk tidur pulas, ia bergelisah, maka belasan kali ia naik turun, di pohon itu. Saban-saban ia menoleh ke arah gua di mana ada cahaya tabunan. Ia telah memikir untuk menyerbu ke dalam gua, senantiasa ia gagal, hingga ia mengatakan dirinya, kenapa ia demikian bernyali kecil. Biasanya pekerjaan mencuri, atau memaksa kesenangan seperti itu, sudah umum baginya, hanya terhadap nona ini, ia segan-segan. Sebenarnya, walaupun hanya dengan sebelah tangan, dapat ia melawan nona itu. Bukankah tak ada halangannya Ang Cit Kong berada bersama sebab si raja pengemis sudah tidak berdaya? Entah bagaimana, ia jerih sendirinya....
Dengan mata mendoleng, Auwyang Kongcu mengawasi Oey Yong merebahkan diri. Cahaya tabunan membuatnya ia dapat melihat. Ia cuma memandang, lain tidak.
Oey Yong sendiri rebah dengan mata meram tetapi tidak pernah ia pulas. Ia tidak mempercayai keponakannya Auwyang Hong itu, yang ia khawatir nanti menyerbu selagi ia tidur. Ia juga keras memikirkan lukanya Ang Cit Kong, yang belum tentu bisa diobati. Maka lega hatinya ketika sang pagi muncul. Baru sekarang ia berani tidur hingga lamanya satu jam. Ia mendusin ketika ia bermimpi gurunya itu merintih.
"Suhu, bagaimana?" ia menanya seraya ia melompat bangun, untuk berduduk.
Cit Kong mengangkat tangannya, menunjuki mulutnya, yang pun berkelemak-kelemik.
Si nona mengerti gurunya lapar, ia lantas memberikan sisa daging semalam.
Habis dahar, agaknya Cit Kong memperoleh tenaga. Ia bisa bergerak untuk duduk, maka itu terus ia bersemadhi, akan membikin lurus jalan napasnya.
Oey Yong mengawasi. Ia tidak berani membuka mulut, khawatir mengganggu pemusatan pikiran gurunya itu. Beberapa kali ia melihat sinar dadu di muka yang pucat dari sang guru, lalu itu terganti dengan pucat pasi pula. Perubahan itu terjadi berulangkali. Itulah tandanya bekerjanya pemusatan pikiran. kemudian embun-embun si jago tua mengeluarkan hawa seperti asap, disusul sama mengucurnya peluh dingin di dahinya. Banyak peluh yang keluar itu. Diakhirnya tubuh orang tua ini bergemetaran seperti menggigil.
Disaat itu di mulut gua terlihat berkelebatnya satu bayangan orang. Itulah Auwyang Kongcu, yang melongok untuk masuk ke dalam.
Oey Yong mengerti saat penting dari gurunya, kalau ia kena dibikin kaget, mungkin gagal pemusatan pikirannya itu, maka ia lantas membentak perlahan: "Lekas pergi!"
Pemuda itu tertawa.
"Aku ingin berdamai sama kau, bagaimana kita harus melewati hari di pulau kosong ini," katanya. Ia tidak lantas menyingkir, hanya bertindak maju.
Ang Cit Kong membuka matanya. Ia rupanya dapat mendengar perkataan orang.
"Pulau kosong apa ini?" ia menanya.
"Kau berlatih terus, suhu!" Oey Yong memegat. "Jangan pedulikan dia!" Ia berpaling kepada si anak muda sambil ia berbangkit. "Mari turut aku, kita pergi keluar!" katanya.
Auwyang Kongcu menjadi girang, ia turut pergi.
Pagi itu cuaca terang sekali. Oey Yong memandang ke sekitarnya, ia mendapatkan laut biru, langit seperti nempel dengan air itu. Ia melihat beberapa gumpal awan putih bagaikan tergantung di udara. Sama sekali tak nampak daratan lainnya.
Ia bertindak ke tempat di mana kemarin mereka mendarat. Mendadak ia terjaga.
"Mana perahu kita?!" ia menanya sambil berseru.
"Ah ya, ke mana perginya, ya?" balik tanya si pemuda. "Ah, tentu juga kena didampar air pasang.........."
Oey Yong mengawasi muka orang, yang tak kaget dan merasa aneh seperti dia, maka maulah ia menduga, tentulah tadi malam pemuda ini yang mendorong perahu itu untuk dibikin hanya terbawa gelombang. Dengan begitu si anak muda hendak membikin mereka tidak dapat berlalu dari pulau kosong ini.
"Sungguh dia jahat!" katanya dalam hatinya. Ia menjadi tidak takut. Ia memang sudah memikir sulit untuk kembali dengan masih bernyawa. Laginya perahu kecil itu tak mungkin dapat membawa orang ke darat. Hanya sekarang ia memikirkan gurunya, yang tentunya pun tak dapat pulang lagi ke Tionggoan...
Kembali si nona mengawasi Auwyang Kongcu dengan bersikap tenang. Ia tidak mengentarakan sesuatu. Pemuda itu tidak berani bentrok sama sinar mata si nona, lekas-lekas ia tunduk.
Oey Yong lompat naik ke atas sebuah batu tinggi, di situ ia bercokol sambil memeluk dengkul, matanya memandang jauh ke depan.
Auwyang Kongcu mengawasi, hatinya bekerja.
"Kalau tidak sekarang aku mencoba membaiki dia, hendak aku menanti sampai kapan lagi?" pikirnya. Maka ia pun berlompat naik ke batu itu, untuk berduduk dekat si nona.
Oey Yong berdiam saja, ia tidak gusar, ia pun tidak menggeser tubuhnya.
Menampak demikian, si anak muda menjadi mendapat hati. Diam-diam ia memindahkan tubuhnya, untuk datang lebih dekat kepada si nona.
"Adikku," katanya, perlahan. "Kita berdua bakal hidup bersama di sini hingga di hari tua, hidup sebagai dewa-dewi. Aku tidak tahu, di penitisan yang sudah, kebaikan apa itu yang telah aku lakukan..."
Oey Yong tidak gusar, sebaliknya, ia tertawa geli.
"Di pulau ini, bersama guruku kita cuma bertiga. Tidakkah itu sepi?"
Lega hatinya si anak muda melihat orang tertawa.
"Ada aku yang menemani kau, mana bisa sepi?" katanya. "Laginya, kalau kemudian kita mendapat anak, bukankah itu menjadi lebih-lebih tak sepi?"
"Siapa toh yang melahirkan anak?" si nona tanya, tertawa. "Aku sendiri tak bisa..."
Auwyang Kongcu tertawa.
"Nanti aku ajari kau!" katanya. Ia lantas mengulur tangannya yang kiri, untuk merangkul si nona.
Tiba-tiba ia merasakan hawa yang hangat di tangannya. Sebab, tahu-tahu si nona sudah menyodorkan tangannya sendiri, untuk mencekal tangannya itu. Tanpa merasa, hatinya jadi berlompatan. Inilah ia tak sangka, hingga ia lupa akan dirinya.
Oey Yong menyenderkan tubuhnya di dada orang, sembari berbuat begitu tangannya yang kiri berkisar ke dada orang itu.
"Ada yang bilang," katanya perlahan, "Kehormatannya enci Bok Liam Cu dirusak kau, benarkah itu?"
Pemuda itu tertawa lebar.
"Perempuan she Bok itu tak tahu diri!" sahutnya. "Dia tidak sudi ikut padaku. Aku Auwyang Kongcu, kau tahu aku orang macam apa? Mustahil aku sudi memaksa dia?"
Si nona menghela napas.
"Kalau begitu, nyata orang keliru mempersalahkan kau," katanya.
"Anak itu terlalu besar kepalanya, sayang, sayang!" Auwyang Kongcu bilang.
Mendadak Oey Yong berpaling ke laut, tangannya menunjuk.
"Eh, apakah itu?!" katanya, agak terperanjat.
Auwyang Kongcu memandang ke arah yang ditunjuk itu, ia tidak melihat apa juga, maka ia berpaling lagi, untuk menanya, atau mendadak ia rasakan tangannya tercekal keras dan sakit, sampai ia tidak dapat berkutik. Ia justru mengandalkan tangan kirinya itu.
Tangan Oey Yong yang sebelah lagi memegang tempuling, ia ayunkan itu ke belakang, untuk menikam perut si anak muda.
Mereka berada sangat dekat satu dengan lain, si anak muda pun tercengang, sedang tangan kanannya mati, tentu saja ia tidak dapat menangkis, bahkan untuk berkelitpun susah. Tapi ialah murid seorang pandai, tak percuma ia berlatih silat duapuluh tahun di Pek To San, maka di saat seujung rambut itu, ia masih ingat untuk membela diri. Bukan ia menangkis atau berkelit, justru dengan dadanya ia membentur punggungnya si nona.
Oey Yong tidak menyangka, maka begitu kena dibentur, tubuhnya terpelanting jatuh dari atas batu. Saking kagetnya, cekalan kepada tangan orang telah terlepas. Tikamannya juga melesat, cuma tidak sampai kosong. Sebagai ganti perutnya, tempuling nyempret di paha kanan si anak muda.
Auwyang Kongcu sudah lantas lompat turun juga dari batu itu, ketika menghadapi si nona, ia dapatkan nona itu lagi berdiri mengawasi ia sambil tertawa haha-hihi, tangannya tetap memegang tempulingnya. Ia pun lantas merasakan sakit pada dadanya yang dipakai membentur itu. Ia lantas mengerti, walaupun berusan ia lolos dari bahaya maut, ia tidak bebas dari durinya baju lapis joan-kwie-kah dari nona itu.
"Kau aneh!" nona itu menegur. "Selagi enak-enak kita bicara, kenapa kau membentur aku? Sudah masa bodoh!" Dan dia memutar tubuhnya untuk mengangkat kaki.
Auwyang Kongcu berdiri bengong. Ia mendongkol berbareng ketarik hatinya kepada si nona, ia kaget berbareng girang. Ia tidak dapat menyelami hati nona itu. Sampai sekian lama, masih ia menjublak saja.
Oey Yong balik ke gua, ia menyesal bukan main. Ia menyesal yang ilmu silatnya belum sempurna. Bukankah ia telah membikin hilang satu ketika yang sangat baik? Ia tiba di dalam akan mendapatkan gurunya lagi rebah dengan disampingnya melulahan darah bekas muntah. Ia menjadi sangat kaget.
"Suhu!" ia memanggil seraya ia berdongko. "Kau kenapa suhu? Apa kau merasa baikan?"
Guru itu menghela napas perlahan.
"Aku ingin minum arak..." sahutnya.
Sakit Oey Yong merasakan hatinya. Di mana bisa mendapatkan arak di pulau kosong ini? Terpaksa ia mesti menghibur gurunya itu. Maka ia menyahuti: "Nanti aku dayakan suhu. Bagaimana kau rasakan lukamu, apakah tidak ada halangannya?" Tanpa merasa ia mengucurkan air mata.
Menghadapi kemalangan lebih besar, belum pernah Oey Yong menangis, tetapi sekarang ia bersedih bukan main. Ia mendekam di dada gurunya itu, ia menangis menggerung-gerung.
Cit Kong mengusap-usap rambut orang serta punggungnya juga, Ia pun bingung. Ia-lah seorang tua, sudah puluhan tahun ia malang melintang dalam dunia kangouw, segala macam bahaya pernah ia menempuhnya, tidak ia habis daya seperti sekarang menghadapi murid disayanginya ini.
"Jangan menangis, anak yang baik," katanya. "Gurumu sangat menyayangi kau. Anak yang baik tidak menangis. Ya, gurumu tidak mau minum arak..."
Oey Yong tetap bersedih, ia menangis terus, tetap selang sesaat, tangisannya itu membuat hatinya lega. Ia angkat kepalanya. Ia lihat dada gurunya basah dengan air matanya. Tiba-tiba ia tertawa. Ia menyingkap rambut di mukanya.
"Tadi aku telah tikam itu jahanaman, sayang gagal," katanya. Terus ia menuturkan apa yang ia barusan lakukan terhadap keponakannya Auwyang Hong itu.
Cit Kong tunduk, ia tidak membilang suatu apa.
"Gurumu sudah tidak berguna lagi," katanya. "Bangsat jahat itu jauh lebih menang daripadaku. Untuk melawan dia tak dapat kita menggunai tenaga tetapi harus dengan kecerdikan..."
"Suhu," berkata sang murid, yang hatinya cemas, "Baiklah suhu beristirahat beberapa hari, untuk memelihara dirimu. Kalau suhu sudah sehat, tidakkah baik apabila suhu menghajar dia satu kali saja, membikin dia habis?"
"Aku telah dipagut ular dua kali, aku juga terkena pukulan kuntauw Kodok dari See Tok," katanya berduka, "Dengan menghabiskan seluruh tenaga dalamku, dapat aku mengusir racun itu, mana aku masih bisa menyambung jiwaku beberapa tahun lagi, hanya karena aku mesti mengerahkan semua tenagaku, musnahlah ilmu silatku dari beberapa puluh tahun, musnah dalam satu hari saja. Gurumu adalah seorang yang bercacad, telah habis semua kebisaannya..."
Oey Yong kaget dan bingung.
"Tidak, suhu, tidak!" serunya. "Itulah tidak bisa jadi!"
Cit Kong tertawa.
"Aku si pengemis tua benar bersemangat akan tetapi sekarang, setelah sampai di akhirnya, tidak dapat aku tidak melegakan hati," katanya. Ia berhenti sebentar, lalu ia memperlihatkan roman sungguh-sungguh. Ia menambahkan: "Anak, gurumu terpaksa meminta kau melakukan sesuatu yang sulit sekali. Itulah permintaan yang bertentangan dengan rasa hatimu. Dapatkah kau melakukannya?"
"Dapat, dapat, Suhu!" si nona menjawab cepat. "Silahkan suhu sebutkan!"
Cit Kong menghela napas.
"Sayang berkumpulnya kita guru dan murid sangat pendek harinya," berkata ia masgul. "Aku menyesal yang aku tidak dapat memberikan pelajaran apa-apa kepadamu sedang sekarang aku hendak memaksakan hal yang sulit untumu, suatu tanggung jawab yang berat hendak aku bebankan di pundakmu. Sebenarnya di dalam hal ini hati gurumu tak tentram...."
Oey Yong heran untuk sikap ragu-ragu guru ini, sedang biasanya Pak Kay paling terbuka dan paling cepat mengambil keputusan. Maka maula ia percaya, tugas itu masti penting dan berat sekali. Tapi ia tidak jeri.
"Silahkan bilang, Suhu!" ia mendesak. "sekarang Suhu terluka pun disebabkan untukku karena kau mendatangi pulau Tho Hoa To, untuk budimu itu, meskipun tubuhku hancur lebur, belum dapat aku membalasnya. Hanya muridmu khawatir sekali, khawatir usianya yang masih muda, ia tidak sanggup menjalankan pesanmu ini."
Mendengar begitu, Ang Cit Kong memperlihatkan roman girang.
"Dengan begitu kau jadinya telah menerima baik?" ia menegaskan.
Oey Yong mengangguk.
"Silahkan Suhu menitahkan," sahutnya.
Dengan tiba-tiba Ang Cit Kong berbangkit bangun, untuk berdiri tegar. Ia rangkapkan kedua tangannya, bersilang di depan dadanya, lalu ia menjura dalam ke arah utara. Lantas ia berkata," Cauwsu-ya, kau telah membangun Kay Pang hingga sekarang ini telah diwariskan kepada muridmu ini, sayang sekali muridmu tidak mempunyakan kemampuan hingga tak dapat ia membuatnya Partai kita jadi semakin besar dan bercahaya. Hari ini keadaan ada sangat mendesak, mau tidak mau, muridmu mesti melepaskan tanggungjawabnya, maka itu dengan berkah pelindungan Cauwsu-ya, muridmu mohon supaya anak ini dijagai hingga kalau toh ada bahaya bisalah ia terbebas dan memperoleh keselamatan karenanya, supaya selanjutnya ia dapat berbuat kebaikan untuk orang-orang Partai kita yang bersengsara." Habis mengucap begitu, kembali ia menjura.
Selama mendengari, Oey Yong bengong saja, kemudian barulah ia tercengang.
"Anak, kau berlutut," berkata Cit Kong kemudian.
Oey Yong menurut, ia menekuk lutut.
Ang Cit Kong mengambil tongkatnya, yang dinamakan Lek-tiok-thung, atau Tongkat Bambu Hijau, ia angkat itu tinggi melewati kepalanya, kedua tangannya dirangkap, lalu ia menyerahkan itu ke dalam tangannya si nona.
Oey Yong terbenam dalam keragu-raguan.
"Suhu, kau menyuruh aku menjadi...menjadi..." tanyanya gugup.
"Benar!" Cit Kong menjawab. "Aku angkat kau sebagai Pangcu, kepala dari Kay Pang, Partai Pengemis. Akulah Pangcu yang kedelapan belas, maka turun kepada kau, kau menjadi Pangcu yang kesembilanbelas. Sekarang mari kita menghanturkan terima kasih kepada Couwsu-ya."
Hati Oey Yong tidak tentram akan tetapi ia menyilangkan kedua tangannya, ia menelad Cit Kong untuk menjura ke arah utara.
Pak Kay menghela napas panjang, dari wajahnya nampak ia letih sekali, tetapi ia bersemangat, tanda dari riangnya hatinya.
Oey Yong mempepayang, untuk membantu gurunya itu merebahkan diri.
"Sekarang kau menjadi Pangcu, dengan begitu aku menjadi tianglo," kata Cit Kong. "Tianglo masih dihormati oleh Pangcu tetapi di dalam urusan besar dan penting, tianglo tunduk kepada titah pangcu. Inilah aturan yang menjadi pesan Couwsu-ya, yang sekali-sekali tak dapat disangkal. Asal tongkat Lek-tiok-thung ini berada di tanganmu, begitu kau memberikan titahmu maka semua pengemis di dalam negeri kita ini mesti menerima dan menurut segala titah itu."
Oey Yong masgul berbareng gugup, ia bingung. Apa artinya gurunya ini dengan tiba-tiba mewariskan kedudukan raja pengemis padanya? Mana ada alasannya? Tapi gurunya tengah terluka parah, ia pun sudah memberikan janjinya, tidak dapat ia menampik. Penampikan berarti menambah susah hati gurunya itu. Ia juga memikir: "Kita sekarang berada di pulau kosong ini... di bulan dan tahun kapan kita dapat kembali ke tanah Tionggoan? Laginya, engko Ceng sudah meninggal dunia, aku tidak ingin hidup lebih lama... Sekarang suhu menyuruh aku mengepalai pengemis dari seluruh negeri..." Maka ia menjadi berdiam saja.
Ang Cit Kong berkata pula; "Tahun ini tanggal limabelas bulan tujuh ada tanggal rapat besar setahun sekali yang bakal diadakan di kota Gakyang di tepinya telaga Tong Teng Ouw, di sana akan berkumpul semua kepala pengemis dari pelbagai tempat. Rapat itu diutamakan untuk semua pemimpin mendengar aku menunjuk bakal gantiku sebagai Pangcu, siapa sangka sekarang aku terbengkalai di sini. Kau telah menjadi penggantiku, kau dapat pergi ke sana untuk memegang pemimpin. Dengan kau mencekal dan membawa tongkat ini, semua saudara akan segera mengerti maksudku. Di dalam urusan Kay Pang, keempat tianglo lainnya akan membantu padamu, maka tak usahlah aku memesan banyak. Hanya aku menyesal sekali, tanpa sebab dan secara begini mendadak aku memaksakan kau, satu nona yang manis, merendahkan diri masuk ke dalam kalangan bangsa pengemis...."
Walaupun ia mengucap demikian, Pak Kay toh tertawa girang. Tapi, karena tertawanya itu, ia merasakan lukanya nyeri, setelah meringis, ia batuk-batuk tak henti-hentinya.
Oey Yong mengusap-usap punggung gurunya itu.
"Aku si pengemis tua benar-benar sudah tak punya guna," kata Cit Kong setelah berhenti batuk-batuk. "Karena aku tidak tahu kapan aku bakal berpulang ke lain dunia, mesti aku lekas-lekas menurunkan ilmu silat Pa-kauw-pang kepadamu...!"
Sudah puluhan macam ilmu silat didapat Oey Yong dari gurunya ini, belum pernah ia mendengar Pa-kauw-pang, yang berarti ilmu silat pentungan menghajar anjing. Ia memikir-mikir, kenapa tak enak sekali disebutnya nama ilmu silat itu - mementung anjing....
"Bagaimana galaknya seekor anjing, dia dapat dihajar mampus dengan sebuah kepalan," ia berpikir pula, "Maka itu, untuk apa mesti mempelajari pula ilmu silat menemplang anjing? Tapi suhu bicara dengan sikap begini sungguh-sungguh, baiklah aku menurut..."
Maka mengangguklah ia, bersedia menerima warisan ilmu silat yang ia anggap aneh itu.
Ang Cit Kong mengawasi muridnya, ia tertawa.
"Meskipun kau menjadi Pangcu, kau tak usah mengubah macam atau dandanmu, tak usah mengubah tabiat atau sifatmu," berkata ia, menjelaskan. "Kau doyan guyon bergurau, tetap kau boleh berpesta pora dengan kenakalanmu itu! Kami bangsa pengemis, kami justru paling kemaruk sama kemerdekaan dan kebebasan, sebab tanpa kebebasan, tak dapat kami menjadi pengemis. Kalau tidak demikian, kenapa kita tidak menjadi saja pembesar negeri atau seorang hartawan? Nampaknya kau tidak puas dengan Pa-kauw-pang, benarkah? Kau bilanglah terus terang!"
Oey Yong tersenyum.
"Muridmu sebenarnya memikirkan berapa ketangguhannya seekor anjning.." ia menyahut. "Muridmu memikir untuk apa mesti diciptakan semacam ilmu silat.."
"Sekarang kau telah menjadi kepala pengemis, kau harus memikir sebagai pengemis juga!" katanya. "Tapi pakaianmu indah, romanmu mentereng sebagai satu nona hartawan, kalau ada anjing melihat padamu, mestinya anjing itu mengangguk-angguk dan menggoyang-goyang ekor terhadapmu. Dengan begitu, apa perlunya menghajar anjing itu? Tetapi kalau si pengemis tulen bertemu sama anjing, hebatlah akibatnya, sungguh menyedihkan! Bukankah pepatah kuno ada membilang, 'Seorang miskin melarat tanpa pentungan dia diperhina oleh anjing'? Kau belum pernah menjadi seorang miskin, kau tidak mengerti kesengsaraannya si miskin."
Mendengar itu Oey Yong tertawa seraya bertepuk tangan.
"Suhu, kali ini kau keliru!" katanya gembira.
Cit Kong heran, ia melengak.
"Kenapa keliru?" tanyanya.
"Ketika pada bulan ketiga yang baru lalu ini aku minggat dari Tho Hoa To dan aku pergi ke Utara, di sana aku telah menyamar sebagai pengemis!" sahut si nona. "Disepanjang jalan ada saja anjing yang menggonggong dan mengikuti aku, hendak menggigit, selalu aku hajar dia dengan dupakan, lantas dia lari sambil menggoyang-goyang ekornya!"
"Ya, itulah benar," berkata Ang Cit Kong. "Hanya kalau anjing sangat galak hingga sukar ditendang, tidak dapat tidak, tongkat harus dipakai untuk mementungnya!"
Si nona menjadi berpikir.
"Di mana ada anjing demikian galak dan hebat?" Tapi hanya sejenak, lantas ia insyaf. Maka ia menambahkan: "Benar! Manusia jahat pun ada sama dengan anjing galak!"
Cit Kong tersenyum.
"Kau sungguh cerdas!" pujinya. "Jikalau...."
Ia sebenarnya hendak menyebutnya Kwee Ceng pasti tidak dapat menebak, tetapi ia berduka, ia batal melanjutinya. Ia bahkan terus berdiam.
Oey Yong dapat menerka hati orang, ia berpura-pura tidak tahu. ia pun sangat berduka.
"Pa-kauw-pang terdiri dari tigapuluh enam jurus," kemudian Cit Kong berkata pula, memberi penjelasan. "Itulah ilmu silat yang diciptkan sendiri oleh Couwsa-ya. Sampai sebegitu jauh, menurut aturan dan kebiasaan, ilmu silat ini cuma diajari dan diwariskan kepada Pangcu, tidak kepada orang yang kedua. Katanya dulu Pangcu yang nomor sebelas, tempo ia berada di gunung Pak Kouw San, ia telah dikepung banyak orang kosen, dengan sepasang kepalannya, ia telah menghajar mati lima di antaranya. Ketika itu, ia menggunai ilmu silat Pa-kauw-pang."
Oey Yong tertarik, tetapi ia menghela napas.
"Suhu," tanyanya, "Ketika di perahu besar itu kau menempur See Tok Auwyang Hong, kenapa kau tidak menggunai ilmu silatmu itu?"
"Menggunai ilmu silat itu adalah urusan besar dari Partai kita," menyahut sang guru. "Sekalipun aku tidak menggunai, tidak nanti See Tok dapat mengalahkan aku! Siapa sangka dia ada sangat hina dina, aku sudah tolongi dia, dia justru membokong menyerang punggungku..."
Diwaktu mengucap demikian, wajahnya Pak Kay muram. Oey Yong dapat menduga kemendongkolan dan kemasgulan gurunya itu, hendak ia menyimpang pembicaraan.
"Suhu," ia berkata, "Sekarang kau ajarkanlah ilmu silat tongkat itu kepada Yong-jie, sesudah Yong-jie bisa, nanti Yong-jie pakai untuk membunuh See Tok guna membalaskan sakit hati suhu!"
Cit Kong tertawa secara tawar. Ia menumput sebatang cabang kering, setelah mana mulutnya membaca, tangannya digerak-geraki. Ia tetap rebah tetapi ia dapat menjalankan tigapuluh enam jurus dari Pa-kauw-pang itu. Yang mana kurang jelas, ia menambahkan dengan keterangannya. Dengan cara itu ia menurunkan ilmu silat peranti mementung anjing itu. Ia tahu Oey Yonng cerdas sekali, ia mengajari dengan sungguh-sungguh. Dilain pihak ia khawatir yang umurnya tidak panjang lagi.....
Nama ilmu silat pentungan itu tak sedap didengarnya, tetapi ilmu silatnya sendiri lihay, banyak perubahannya, kalau tidak, tidak nanti ilmu itu menjadi ilmu istimewa dalam Kay Pang dan diwariskan secara turun temurun. Maka itu, mesti Oey Yong cerdas luar biasa dan ia dapat menjalankan, tak semuanya segera ia dapat menangkap maksudnya.
Habis memberi pelajaran, Cit Kong menghela napas, ia bermandikan keringat.
"Aku mengajari kau terlalu singkat," ia berkata, "Itulah tidak bagus. Sebenarnya, tidak dapat aku mengajari lebih jauh..." Mendadak ia menjerit, "Aduh!" dan tubuhnya roboh rebah.
Oey Yong kaget, ia berlompat menubruk.
"Suhu!" ia memanggil. Ia pun mengasih bangun.
Tangan dan kaki Cit Kong dingin, napasnya jalan sangat perlahan. Nampaknya ia tidak dapat ditolong pula...
Selama beberapa hari ini hebat penderitaannya si nona, maka itu ia mendekam di tubuh gurunya itu, ia menangis tanpa dapat mengeluarkan suara. Ia masih dapat mendengar denyutan jantung dari gurunya itu. Lantas ia menggunai kedua tangannya, ia memegang kedua bagian rusuk, untuk membantu sang guru bernapas. Adalah di itu saat genting untuk gurunya, ia mendengar satu suara perlahan di belakangnya. lantas sebuah tangan diangsurkan ke lengannya.
Dalam kedukaan dan kekhawatiran, Oey Yong cuma ingat menolongi gurunya, maka itu tahu ia kapannya Auwyang Kongcu masuk ke dalam gua, hingga ia seperti lupa yang di belakangnya ada seekor anjing yang galak.
"Berat sakitnya suhu, lekas kau pikirkan daya untuk menolongi," ia berkata pada pemuda itu. Ia berpaling, mengawasi dengan air mata berlinang-linang.
Melihat roman orang yang sangat menyedihkan itu, Auwyang Kongcu merasa kasihan. Ia berjongkok untuk melihat Ang Cit Kong, kulit muka siapa pucat dan kedua matanya terbalik. Melihat keadaan orang itu, ia justru menjadi girang sekali. Ia berdampingan sama si nona, ia mendapat cium baru harum dari tubuh si nona itu, sedang mukanya kena kebentur rambut orang. Betapa menyenangkan itu?
Kembali pemuda ini tidak dapat mengendalikan diri. Kalau tadi ia cuma menyentuh lengan si nona, sekarang ia mengulur tangan kirinya untuk merangkul pinggang orang.
Oey Yong terkejut, ia menyikut dengan meninju, tempo si anak muda berkelit, ia berlompat bangun.
Auwyang Kongcu jeri kepada Ang Cit Kong, sekarang ia mendapatkan orang tengah rebah sebagai mayat, hatinya menjadi besar sekali. Kalau tadinya ia takut menggunai kekerasan terhadap Oey Yong, sekarang ia berani. Hendak ia memaksa. Maka ia berlompat ke mulut gua, untuk menghalang. Ia tertawa.
"Adik yang baik," katanya manis, "Terhadap lain orang aku tak biasanya menggunai kekerasan, tetapi kau begini cantik manis, kau botoh sekali, tidak dapat aku menguati hati lagi. Marilah, adik, kau mengasihkan aku satu cium..."
Sembari mengucap demikian, pemuda itu mementang tangan kirinya, ia maju setindak demi setindak.
Hatinya Oey Yong bergoncang keras.
"Ancaman bencana atas diriku hari ini berlipat sepuluh kali daripada ancaman bahaya semasa aku berada di istana Chao Wang," berpikir si nona ini. "Kalau tidak dapat membinasakan dia, aku mesti membunuh diri. Hanya, mana aku puas...?"
Hanya dengan satu kali menggeraki tangannya, Oey Yong sudah siap dengan tempuling dan jarumnya.
Auwyang Kongcu lantas tersenyum. Ia lantas meloloskan bajunya, untuk dipakai sebagai cambuk lemas. Kembali ia maju dua tindak.
Oey Yong berdiri diam, matanya mengawasi tajam. Ia menanti orang mengangkat kaki. Belum lagi kaki itu diturunkan ke tanah, tiba-tiba ia melompat ke kiri.
Menampak itu, Auwyang Kongcu meneruskan berlompat ke kiri juga, untuk merintangi si nona itu. Tapi justru itu Oey Yong mengayunkan tangannya. Lihay si anak muda, dia menggeraki sabuk bajunya, untuk menangkis serangan jarum itu. Tapi si nona pun lihay, ia memang menggunai siasat, maka tengah pemuda itu membeli diri, ia berlompat, melesat ke luar gua!
Auwyang Kongcu benar-benar lihay, walaupun dia repot, dia toh dapat berlaku gesit luar biasa. Dia berlompat untuk menyusul, maka itu tengah lari, Oey Yong mendengar desiran angin di belakangnya. Itulah desirannya pukulan ke arah punggung. Ia tidak takut, sebaliknya, ia menjadi girang. Bukankah ia memakai baju lapis berduri? Bukankah ia pun sudah nekat? Ia tidak takut mati, asal ia dapat melukai musuh. Maka itu, ia tidak mau menangkis, hanya ia memutar tubuhnya untuk membarengi menyerang!
Auwyang Kongcu tidak berniat membinasakan si nona, kalau ia menyerang, ia melainkan mengancam, ia hendak menggoda saja, maka ketika serangan itu datang, ia batal menyerang terus, ia menangkis serangan itu, lalu ia melompat lebih jauh, untuk mendahului tiba di mulut gua.
Oey Yong berkelehai seperti kalap. Ia menyerang tanpa mengingat pembelaan diri. Dengan begini, kegagahannya seperti tambah satu kali lipat.
Adalah maksudnya Auwyang Kongcu membuat si nona itu letih, tetapi sekarang ia mesti menghadapi serangan bertubi-tubi, terpaksa ia mesti melayani juga. Di dalam keadaan seperti itu, walaupun ia lebih kosen, ia toh kewalahan juga, kesatu ia memang tidak berniat mengambil nyawa si nona, kedua ia mesti berkelahi dengan sebelah tangan, sedang tangan yang lain lagi sakit.
Pertempuran telah berlangsung kira enampuluh jurus ketika mendadak Oey Yong menubruk, sambil menubruk, ia menimpuk dengan jarumnya.
Auwyang Kongcu repot menangkis jarum itu, untuk itu ia mesti mengebas dengan sabuk bajunya. Disamping itu, hebat tubrukkannya Oey Yong, yang menikam ke arah tangan kanannya yang sakit itu. Hendak ia menangkis pula dengan tangan kirinya tetapi sudah tidak keburu, ujung tempuling telah mengenai lukanya itu.
Tapi juga Oey Yong tidak dapat bergirang karena hasil tikamannya itu. Baru ia menikam atau ia merasakan tangannya kesemutan, terus senjatanya terlepas jatuh ke tanah. Sebab di luar sangkaannya, walaupun dia kena ditikam, Auwyang Kongcu mengubah tangkisannya menjadi totokan kepada lengan nona itu dan tepat totokannya itu.
Si nona kaget, ia berlari terus. Ia lari sembari membungkuk.
Auwyang Kongcu tidak hendak melepaskan bakal mangsanya ini. Ia berlompat dengan pesat, ia juga membungkuk, tangan kirinya dilonjorkan ke depan, untuk menotok kaki orang, yang lagi diangkat untuk berlari. Ia berhasil, dua kali ia dapat menotok jitu, mulanya di jalan darah koanciong-hiat di kaki kiri si nona, kemudian di jalan darah tiongtouw-hiat di kaki kanan. Maka tak tempo lagi, baru bertindak dua kali, nona itu sudah lantas terguling roboh!
Lagi sekali Auwyang Kongcu berlompat, bahkan dia mendahului, untuk membeber bajunya, hingga si nona terjatuh di atas hamparan baju itu. Pemuda itu pun menggoda, sembari tertawa ia berkata: "Ah, jangan sampai kau merasa nyeri!"
Oey Yong mendapat pelajaran langsung dari ayahnya, Auwyang Kongcu mewariskan kepandaian pamannya, yang menyayang ia sebagai anak sendiri, maka itu mereka sama-sama mempunyai kepandaian yang lihay. Oey Yok Su gagah, begitu juga dengan Auwyang Hong, bahkan mereka berdua ini berimbang. Dengan demikian, pemuda dan pemudi ini seharusnya sama kosennya juga. Tapi toh Oey Yong kalah! Kenapa? Pada itu ada terselip selisih usia mereka dan temponya latihan. Oey Yong baru berumur limabelas tahun, Auwyang Kongcu sudah lebih dari tigapuluh tahun, maka itu, perbedaan waktu belajar mereka ada kira-kira duapuluh tahun. Benar Oey Yong mendapat pelajaran juga dari Ang Cit Kong tetapi belum lama dan latihannya belum sempurna. Karenanya, walaupun si pemuda terluka tangannya, ia tetap lebih unggul.
Oey Yong kaget karena robohnya itu tetapi pikirannya tidak kacau. Begitu ia jatuh, begitu ia berbalik sambil menimpuk dengan jarumnya. Kemudian ia geraki tubuhnya untuk berlompat bangun. Tidak beruntung untuknya, kedua kakinya tidak mau menurut perintah, maka juga tidak dapat ia berlompat bangun untuk berlari. Ia baru bergerak sedikit atau ia terguling pula.
Ketika itu Auwyang Kongcu mengulur sebelah tangan dengan maksud mengasih bangun. Dalam murkanya, Oey Yong meninju dengan tangan kirinya. Tapi si anak muda dapat melihat serangan itu, dengan leluasa ia menyambuti dengan tangan kirinya, dengan totokan, maka matilah tangan kiri si nona, seperti tangan kanannya yang terus ditotok juga, hingga kaki tangannya tak dapat bergerak semua. Ia mirip orang yang dibelenggu kaki tangannya itu.
Bukan main panasnya hati nona ini, ia sangat menyesal yang barusan ia tidak membunuh diri saja, hingga sekarang ia jadi kena tertawan. Ia ada begitu murka dan mendongkol. Mendadak ia merasai matanya gelap dan kepalanya pusing, seketika itu juga ia rebah tak sadarkan dirinya.
"Jangan takut, jangan takut," berkata Auwyang Kongcu sambil tertawa, suaranya halus. Ia bertindak seraya mengulur tangan, berniat memondong nona itu. Atau mendadak
"Kau mau hidup atau mati?!" demikian satu suara keras dan kejam, suara dingin yang disusul sama tertawa ejekan.
Pemuda itu terperanjat, dengan cepat ia menoleh. Untuk kagetnya, ia melihat Ang Cit Kong berdiri di mulut gua, tangannya memegang tongkat, matanya melirik tajam. Disaat itu pada otaknya berkelebat penuturannya pamannya dulu hari halnya Ong Tiong Yang berpura-pura mati untuk mengalahkan lawannya.
"Hai, kiranya si pengemis tua ini berpura-pura mampus!" pikirnya. "Ah, habislah aku hari ini!" Ia ketahui baik sekali kegagahannya Ang Cit Kong, ia putus asa. Tanpa berpikir lagi, ia menekuk kedua kakinya sambil berlutut ia berkata: "Aku cuma bermain-main saja sama adik Oey ini, tidak ada niatku untuk berbuat jahat terhadapnya...."
"Hm!" Pak Kay mengasih dengar suara bengis. "Bangsat bau, masih kau tidak hendak menotok bebas jalan darahnya? Apakah aku si orang tua harus turun tangan?"
Auwyang Kongcu jeri.
"Ya, ya," ia menyahuti seraya terus menotok kaki tangannya si nonya.
"Lagi satu kali kau menginjak gua ini, jangan kau sesalkan aku!" Ang Cit Kong mengancam. "Lekas pergi!"
Sembari berkata begitu, jago tua itu bertindak ke samping.
Keponakan See Tok bagaikan menerima putusan pengampunan, cepat-cepat ia ngeloyor pergi.
Oey Yong tak tahu apa yang sudah terjadi, ketika ia sadar, ia sadar dengan perlahan-lahan. Ia membuka kedua matanya seraya merasa bagaikan tengah bermimpi.
Ang Cit kOng tidak dapat berdiri lama-lama, ia roboh sendirinya.
Melihat gurunya jatuh, Oey Yong kaget. Lupa ia pada tangan atau kakinya bekas ditotok, ia menekan tanah untuk berlompat bangun, guna menghampirkan gurunya, yang segera ia pegangi untuk dikasih bangun. Ia melihat mulut guru itu berlumuran darah, sebab ternyata tiga buah giginya sudah copot bekas kebentur tanah. Ia menjadi sangat berduka.
"Suhu!" ia memanggil.
Ang Cit Kong sadar, ia pegang ketiga buah giginya itu, terus ia tertawa.
"Gigiku, gigiku!" katanya. "Kau tidak mensia-siakan aku! Kau telah membuatnya aku si pengemis tua telah dapat mencicip segala macam barang hidangan paling lezat dan sedap di kolong langit ini! Sekarang aku si pengemis sudah sampai pada usiaku, kau telah mendahului meninggalkan aku...!"
Memang hebat sekali lukanya Pak Kay kali ini, cuma saking kuatnya tubuhnya, ia tidak mati lantas di bawah tangan jahat dari Auwyang Hong. Celaka untuk ia, ia tidak dapat obat untuk mengobati luka-lukanya itu, luka racun ular dan gempuran kuntauw Kodok yang dahsyat.
Cit Kong melihat kedukaan muridnya.
"Selama napasku masih ada, jahanam itu tidak nanti berani datang pula mengganggu padamu," ia menghibur si nona.
Tapi Oey Yong memikir lain.
"Kita berada di dalam gua, memang jahanam itu tidak berani masuk ke mari," demikian pikirnya. "Tetapi bagaimana dengan makan dan minum kita?"
Cit Kong pun sudah merasakan lapar. Ia melihat si nona tunduk saja.
"Bukankah kau sedang memikirkan daya mencari barang makanan?" ia menanya. Oey Yong tidak menjawab, ia melainkan mengangguk.
"Mari kau pepayang aku ke pesisir untuk menjemur di matahari," menyuruh orang tua itu.
Oey Yong cerdik sekali, ia lantas dapat mengerti maksud orang.
"Bagus!" serunya kegirangan. Ia pun tertawa. "Kita menangkap ikan!"
Maka bukan lagi ia pepayang gurunya itu, ia hanya menggendong, cuma jalannya dengan perlahan-lahan.
Hari ini cuaca terang berderang, angin meniup halus. Begitu terjodoh sinar matahari, begitu Ang Cit Kong merasa segar, hingga semangatnya jadi terbangun. Ia pun melihat Auwyang Kongcu lagi berdiri di tempat jauh dari mereka, ketika pemuda itu mendapatkan mereka keluar dan mengawasi padanya, dia bertindak pergi lebih jauh sedikit. Rupanya ia jeri. Dari tempat jauh itu ia terus mengawasi.
Dua-dua Cit Kong dan Oey Yong berduka, hati mereka berpikir: "Jahanam itu sangat cerdas, lama-lama pasti dia dapat mengetahui keadaan kita yang tidak berdaya..." Karena itu, mereka pun membawa sikap tenang.
Auwyang Kongcu pun agaknya lega melihat ia tidak dihampirkan.
Oey Yong sudah lantas bekerja. Lebih dulu ia pernahkan Ang Cit Kong, supaya guru ini dapat duduk sambil menyender pada sebuah batu besar, kemudian ia mencari cabang pohon yang panjang untuk dijadikan joran panjang. Untuk talinya, ia mencari babakan pohon dan untuk panjangnya, ia menekuk sebatang jarumnya hingga ujungnya bengkok. Sebagai umpan, ia mencari udang di tepian. Maka tak lama kemudian, ia sudah mulai memancing.
Satu jam tempo dipakai untuk memancing itu, akhirnya si nona memperoleh tiga ekor ikan, yang mana cukuplah untuk mereka berdua menangsal perut. Ikan itu dipanggang seperti biasanya kaum pengemis memanggang ayam.
Setelah beristirahat sebentar, Cit Kong mengajari Pak-kauw-pang. Ia memberi petunjuk sambil ia duduk menyender terus cuma tangannya digerak-geraki. Tapi ini pun menolong banyak untuk si nona yang otaknya terang, hingga dia dapat mengerti lebih banyak. Demikian mendekati sore, Oey Yong telah dapat menjalankan ilmu tongkat itu dengan baik, hingga tinggal dia berlatih terus untuk memahirkan itu.
Sesudah hilang letihnya, Oey Yong membuka baju luarnya, terus ia nyebur ke laut untuk membersihkan tubuh. Ia berenang pergi datang hingga ia ingat suatu cerita dongeng jaman Tong katanya di dalam laut ada istana raja naga serta putrinya yang elok sekali.
"Mungkin engko Ceng telah pergi ke sana?" ia ngelamun.
Karena ini ia lantas menyelam. Tiba-tiba ia merasakan kakinya sakit, lekas-lekas ia menarik pulang. Ia mendapat kenyataan kakinya itu dijepit sesuatu. Ia tidak kaget, ia menduga kepada simpling atau kerang besar. Ia lantas membungkuk, untuk melihat. Baru sekarang ia terkejut juga. Kakinya dijempit simping yang besar sekali, yang beratnya mungkin duaratus kati. Sia-sia ia menarik kakinya, sia-sia ia mencoba memengkang membuka kedua batok simping itu. Bahkan kakinya dijepit semakin keras, sampai ia merasakan sakit sekali. Saking kerasnya ia berkutatan, dua kali ia kena menenggak air laut asin.
Tentu sekali nona ini menjadi sangat penasaran. Tidak ikhlas ia mati di tangannya binatang laut itu, walaupun sebenarnya ia bersedia mati-mati bersama gurunya andaikata tetap mereka tak berdaya untuk berlalu dari pulau kosong itu. Ia memikir akal. Ia mencoba memungut batu dengan apa ia ketoki batok simping itu. Ini pun tidak memberi hasil. Batoknya simping telalu keras dan batunya terlalu kecil.
Lagi sekali ia menenggak air. Baru sekarang ia ingat suatu akal. Maka ia lepaskan batunya, sebagai gantinya ia meraup pasir, yang mana ia kasih masuk di sela-sela mulut simping itu.
Nyata binatang laut itu takut sekali pasir, begitu dia merasakan pasir masuk ke dalam mulutnya, dia pentang mulutnya itu.
Begitu ia merasakan jepitan kendor, begitu lekas juga Oey Yong menarik keras kakinya. Kali ini bebaslah ia, maka terus saja ia berenang untuk muncul di muka air. Paling dulu, ia membuang napas, untuk melegakan diri.
Cit kong di darat berkhawatir melihat si nona menyelam demikian lama, ia menduga muridnya itu menghadapi bahaya. Ia menyesal yang ia sendiri tidak dapat bergerak hingga tak bisa ia menolongi. Ia melainkan bisa mengawasi ke laut dengan jantungnya berdenyutan.
Akhir-akhirnya muncul juga si nona, maka legalah hatinya guru ini, sampai ia bersorak.
Oey Yong tidak naik ke darat, sesudah mengulapkan tangan kepada gurunya itu, ia selulup pula. Ia telah mendapat satu pikiran. Ia pergi ke tempat tadi, tapi sekarang dengan sudah bersiap. Ia turun di dekat simping itu tanpa si simping dapat mencakop padanya. Nyata binatang itu nempel batoknya dengan batu karang, dia jadi tidak bisa berenang pergi. Si nona mencoba menggempur karang itu, setelah berhasil, ia memegang simping dari bawah, terus ia bawa naik ke atas. Ia menampah seraya kakinya menjejak dasar laut, terus ia berenang ke tempat yang dangkal. Di sini simping itu tak berdaya lagi. Hanya saking beratnya binatang laut itu, tidak kuat Oey Yong mengangkat buat dibawa ke gua, maka ia mengambil saja batu besar yang mana ia pakai menghajar batoknya. Hanya dengan beberapa kali hajaran, remuklah batok simping itu.
Puas hatinya si nona, yang kakinya sakit bekas dijepit. Bahkan malam itu bersama gurunya ia bisa menangsal perut secara memuaskan karena adanya daging simping itu yang lezat sekali.
Besok paginya, begitu mendusin, Ang Cit Kong merasai sakit pada tubuhnya berkurang. Ia mencoba memainkan napasnya, ia merasakan lega. Tanpa merasa ia berseru bahna girangnya.
Oey Yong mendusin untuk segera bangun berduduk.
"Suhu, kenapa?" ia menanya, kaget.
"Setelah tidur semalaman, aku merasai lukaku mendingan," sahut sang guru. "Sakitnya tidak sehebat kemarin."
Oey Yong menjadi girang.
"Mungkin ini disebabkan guru makan daging simping!" katanya. Maka berlari-larilah ia keluar guanya, ke tepi laut, untuk memotong sisa daging simping itu. Saking kegirangan, ia sampai melupai Auwyang Kongcu. Ia baru memotong dua keping tatkala ia melihat bayangan orang mendekati perlahan-lahan ke arahnya. Ia kaget tetapi ia mengerti ancaman bahaya. Baru sekarang ia ingat keponakannya See Tok itu. Diam-diam ia memungut batok simping, lalu dengan sekonyong-konyong ia menimpuk ke belakang, tubuhnya sendiri terus berlompat setombak lebih hingga ia berada di pinggiran air.
Auwyang Kongcu dapat berkelit. Dia tidak gusar, sebaliknya ia tertawa.
Sekian lama pemuda ini tidak pergi jauh dari itu orang tua dan nona, terutama ia memperhatikan gerak-geriknya Ang Cit Kong, hingga timbullah kecurigaannya bahwa raja pengemis itu tidak berdaya, tak dapat berjalan karena lukanya yang hebat. Meski begitu, ia tidak mempunyai nyali yang cukup besar untuk menyerbu ke dalam gua. Maka ia terus memasang mata. Pagi itu ia melihat Oey Yong keluar sendirian, pergi ke pasir, ia mengikuti. Ia girang bukan main, ia anggap ia dikaruniai ketika yang baik sekali oleh Thian. Maka ia menghampirkan si nona sambil berindap-indap. Hanya sayang, bayangannya telah menggagalkan maksudnya.
"Adik yang baik, jangan pergi!" ia berkata dengan manis. "Aku hendak bicara denganmu!"
"Orang tidak menggubrismu, apa perlunya kau menggerembengi orang?" si nona menanya. "Apakah kau tidak tahu malu?"
Melihat orang tidak gusar, senang hatinya Auwyang Kongcu. Ia jadi semakin berani. Ia mendekati pula dua tindak. Lagi-lagi ia tertawa.
"Semuanya dasar kau!" katanya. "Siapa suruh kau ada begini cantik dan manis, hingga kau membikinnya hati orang terbetot keras?"
Oey Yong tertawa.
"Aku bilang tidak menggubrismu, tetap aku tidak mau memperdulikan!" kata ia. "Percuma saja kau mengambil-ambil hatiku, membaiki padaku!"
Pemuda itu maju pula satu tindak.
"Ah, aku tidak percaya!" katanya, tertawa. "Hendak aku mencobanya!"
Tiba-tiba si nona memperlihatkan roman keren.
"Lagi satu tindak kau maju, akan aku minta suhu menghajar padamu!" ia mengancam.
"Sudahlah!" tertawa si anak muda, membelar. "Apakah si pengemis tua masih dapat berjalan? Apakah tidak baik jikalau aku menggendong dia?"
Oey Yong terkejut, hingga ia mundur dua tindak. Inilah yang ia khawatirkan. Ia takut kalau pemuda ceriwis ini mengetahui gurunya sudah tidak berdaya.
Auwyang Kongcu tertawa pula.
"Jikalau kau ingin terjun ke laut, nah terjunlah!" katanya. "Akan aku menunggui kau di darat! Marilah kita lihat, kau yang dapat berdiam lebih lama di dalam air atau aku yang di daratan."
"Baiklah!" si nona berseru. "Kau menghina aku, untuk selamanya aku tidak sudi bergaul denganmu!"
Nona ini lantas memutar tubuhnya, untuk lari, atau baru tiga tindak, ia roboh terguling seraya menjerit "Aduh!" karena kakinya kena menginjak batu dan terpeleset.
Keponakan Auwyang Hong ini benar-benar licin. Ia khawatir si nona hanya menggunakan tipu untuk menyerangnya dengan jarumnya tatkala ia berlompat menubruk, maka juga sebelumnya maju ia membuka dulu baju luarnya, untuk dipakai sebagai senjata pelindung diri. Ia bertindak perlahan-lahan.
"Jangan datang mendekat!" membentak si nona. Ia bangun, untuk bertindak pula, atau baru satu tindak, ia roboh kembali. Bahkan kali ini ia terguling hingga separuh tubuhnya rebah di air, ia bagaikan pingsan. Tubuhnya itu tidak bergerak lagi.
"Budak, kau sangat licik tidak nanti aku kasih diriku diperdayakan!" kata Auwyang Kongcu dalam hatinya. Ia berdiri seraya mengawasi.
Ada seketika sehirupan teh, masih si nona tidak berkutik, tubuhnya dari kepala sampai di dada masuk ke dalam air.
"Ah, dia benar-benar telah pingsan," pikir si kongcu kemudian. "Jikalau aku tidak tolongi dia, mungkin dia mati kelelap, sayang begini cantik dan manis...."
Ia lantas bertindak maju, ia memegang kaki orang. Ia terperanjat ketika ia sudah menarik, sebab ia merasakan nona itu dingin sekali seperti membeku. Ia lekas-lekas membungkuk, untuk memeluk tubuh orang, niatnya untuk diangkat ke darat. Baru saja ia merangkul ketika kedua tangan si nona memeluk kedua kakinya seraya nona itu membentak, "Turunlah kau!"
Dalam keadaan seperti itu, Auwyang Kongcu tidak berdaya lagi, maka terceburlah ia ke laut bersama-sama si nona, yang berseru sambil membetot membuang dirinya ke laut.
Bukan kepalang kagetnya Auwyang Kongcu, hatinya terkesiap. Biarpun ia ada terlebih kosen daripada si nona, di dalam air, habislah dayanya. Ia menyesal yang walaupun ia sangat berhati-hati, masih ia kena diperdayakan si nona yang cerdik itu. Maka pikirnya: "Habislah aku kali ini..."
Oey Yong yang telah berhasil dengan tipu dayanya itu, dengan hati sangat bernafsu ia menarik orang ke tengah, ke tempat yang terlebih dalam. Percuma si anak muda mencoba berontak, ia kena terseret ke tengah. Ia telah dijambak pada kepalanya, kepala itu dibeleseki di dalam air.
Berulang-ulang pemuda itu menenggak air laut, mulanya masih terdengar suara gelogokan di tenggorokannya, habis itu ia mati daya, cuma tangan dan kakinya yang menjambret-jambret dan menendang-nendang, rupanya untuk menjambret atau menendang si nona tetapi ia tidak berhasil. Sebab Oey Yong tahu diri, dia sudah menjauhkan dirinya.
Selang sesaat, Auwyang Kongcu merasakan kakinya menginjak tanah. Ia sudah minum banyak air tetapi ia belum pingsan, ia masih ingat akan dirinya. Dasar ia lihay, pikirannya tidak menjadi kacau. Selama di tengah air, karena ia tidak bisa berenang ia tidak dapat berbuat apa-apa, akan tetapi selekasnya merasa menginjak dasar laut, mendadak ia membungkuk, untuk memegang dasar laut itu, sambil berbuat mana, ia menahan napas. Ia berhasil mengerahkan tenaga dalamnya. Ia lantas menduga-duga yang mana arah darat, tetapi di dalam air, ia tidak dapat mengenali timur atau barat, selatan atau utara. Ia mencoba berjalan juga, tangannya mencekal sebuah batu besar. Ia bertindak cepat ke arah dasar laut yang tinggi, yang menanjak.
Oey Yong melepaskan cekalannya sesudah orang kena dilelapkan dan kelabakan tidak karuan, ia muncul di muka air, akan tetapi menanti sekian lama ia tidak melihat orang timbul, ia menjadi heran. Lekas-lekas ia selulup pula.
Ia dapat menentang matanya di dalam iar, dari itu ia dapat melihat orang sedang bertindak ke arah darat. Ia terperanjat saking heran dan kagumnya. Tak ayal lagi ia berenang, menyusul. Ia menggerakkan tangan dan kakinya tanpa bersuara, setelah datang dekat, ia menikam dengan tempulingnya.
Kebetulan Auwyang Kongcu lagi mempercepat tindakannya, ia lolos dari tikaman itu. Sementara itu, ia sudah tiba di tempat yang dangkal, ia dapat berdiri dengan kepalanya di luar air. Ia melepaskan pegangannya, ia membuka kedua matanya, dan menghela napas, melegakan hatinya.
Oey Yong pun menghela napas. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap anak muda itu, terpaksa ia selulup pergi.
Auwyang Kongcu merayap naik ke darat, ia merasakan kupingnya pengang dan matanya kabur, tetapi ia masih ingat untuk lekas rebah tengkurap di tanah, untuk mengundal ke luar air dari dalam perutnya. Habis itu ia merasakan lemah sekali, seperti juga ia baru sembuh dari semacam penyakit yang berat. Terus ia beristirahat. Tentu sekali, hatinya menjadi mendongkol dan panas, hingga muncullah niatnya yang kejam.
"Biar aku mampusi dulu si pengemis bangkotan!" demikian keputusannya. "Hendak aku lihat, budak itu nanti menurut padaku atau tidak!"
Bab 43. Melawan batu besar
Walaupun ia telah berkeputusan demikian, Auwyang Kongcu tidak segera turun tangan untuk mewujudkan itu. Ia masih sangat lelah maka ia beristirahat terus. Ia menjalankan napasnya, untuk meluruskan pernapasannya.
Sesudah berselang lama, baru ia berbangkit bangun, akan mencari sebatang pohon yang kuat, yang ia patahkan, untuk dipakai sebagai senjata, untuk menotok jalan darah. Tiba di dekat gua, ia bertindak dengan hati-hati. Biar bagaimana, ia masih jeri terhadap pengemis tua itu. Di mulut gua ia memasang kupingnya. Ia tidak dapat mendengar suara apa juga. Ia masih menanti beberapa saat, baru ia bertindak masuk. Tidak berani ia masuk langsung, ia mepet-mepet di pinggiran, majunya setindak demi setindak. Sekarang ia bisa melihat Pak Kay lagi duduk bersila menghadap matahari, orang tua itu lagi berlatih dengan ilmu dalamnya, dilihat dari air mukanya yang segar, ia seperti tidak tengah menderita luka parah.
"Baiklah aku mencoba dulu, untuk mengetahui dia dapat berjalan atau tidak," berpikir si anak muda, yang sangat berhati-hati. Setelah diperdayakan Oey Yong, ia menjadi semakin cerdik.
"Paman Ang!" ia berseru. "Celaka! celaka...!"
Ang Cit Kong dapat mendengar teriakan itu, ia sudah lantas membuka matanya.
"Ada apa?" ia menanya.
"Adik Oey mengejar kelinci, dia terjatuh ke dalam jurang...!" ia menyahut, suaranya dibikin tak lancar. "Dia terluka parah, sampai ia tak dapat bangun!"
Nampaknya Ang Cit Kong kaget.
"Lekas tolongi dia!" dia berseru.
Mendengar perkataan orang itu, girangnya Auwyang Kongcu bukan kepalang. Ia mengerti, kalau bukannya pengemis tua itu tidak dapat berjalan, mestinya ia sendiri sudah berlompat bangun dan berlari pergi, guna menolong nona itu. Maka ia bertindak maju di mulut gua seraya sembari tertawa lebar ia berkata: "Dia telah menggunakan seribu satu akal untuk mencelakai aku, mana sudi aku menolongi dia? Pergi kau sendiri yang menolonginya?!"
Ang Cit Kong terperanjat. Kata-katanya si anak muda dan sikapnya itu menandakan bahwa orang tak jeri lagi kepadanya.
"Rupanya ia telah mendapat ketahui kepandaianku sudah musnah," pikirnya. "Inilah tandanya telah habis lelakon hidupku...!"
Tapi Pak Kay tidak hendak menyerah dengan begitu saja, maka ia bersiap sedia untuk mati bersama. Diam-diam ia mencoba mengumpul tenaganya di tangan, untuk menghajar dengan sekali pukul. Kesudahannya ia kaget sekali. Begitu bertenaga, ia merasakan luka di punggungnya sakit, semua tulang-tulangnya seperti hendak buyar belarakan. Sementara itu ia melihat mendatangi sambil memperlihatkan muka menyeringai. Tanpa merasa ia menghela napas panjang, lantas ia meramkan kedua matanya untuk menantikan kebinasaannya....
Ketika itu Oey Yong di dalam air telah berpikir, menduga bahwa selanjutnya makin sukar melayani Auwyang Kongcu, yang mestinya jadi semakin licin. Ia selulup beberapa tombak jauhnya, baru ia muncul di muka air. Ketika ia melihat daratan, itulah bukan tempat dimana tadi ia telah bergulat sama Auwyang Kongcu. Di sini pepohonannya lebih lebat. Tiba-tiba saja ia dapat ingat pulaunya sendiri, maka ia berpikir: "Alangkah baiknya kalau aku dapat cari suatu tempat bersembunyi, untuk aku berdiam bersama suhu sambil merawati suhu, tentulah si bangsat tidak gampang-gampang dapat mencari kita..."
Habis berpikir, si nona mendarat. Ia tidak berani lantas jalan begitu saja, ia berjalan di sepanjang tepian. Ia khawatir nanti ketemu sama keponakannya Auwyang Hong itu.
"Coba dulu aku tidak terlalu gemar memain dan aku pelajari ilmu Kie-bun Ngo-heng, sekarang tentulah dapat aku melayani bangsat itu," pikirnya pula. Ia seperti ngelamun. "Ah, sayang ayah telah menyerahkan peta Tho Hoa To kepadanya! Jahanam itu sangat cerdas, tentulah ia pun dapat memahamkan peta itu...
Berjalan seperti melamun, Oey Yong kurang memperhatikan jalanan yang dilalui. Tiba-tiba ia keserimpat oyot rotan dan terhuyung karenanya. Berbareng dengan itu di kepalanya terdengar bunyi apa-apa yang disusul sama meluruk jatuhnya butir-butir tanah keras seperti batu. Segera ia lompat nyamping, terus ia angkat kepalanya, memandang ke atas. Apa yang ia saksikan membuatnya kaget sekali, hingga jantungnya berdenyutan.
Di atas itu, yang merupakan lamping, ada sebuah batu besar. Batu itu seperti merongkong sebelah, nampaknya seperti bergoyangan, hingga sembarang waktu bisa jatuh ke bawah. Pelurukan batu barusan datangnya dari bawah batu besar itu. Di batu itu pun ada melibat banyak pohon rotan, satu di antaranya ialah yang meroyot ke bawah, yang barusan kena ia injak sehingga ia keserimpat. Hancur remuk tubuhnya, andaikata batu itu jatuh dan menimpa padanya....
Masih Oey Yong dongak mengawasi, sampai kagetnya lenyap. Ia heran atas keletakannya batu itu. Itulah pengaruh sang alam. Hanya dengan disentil sekali saja mungkin batu itu jatuh ambruk. Entah sudah berapa puluh tahun batu itu bercokol di tepi jurang itu.
Sampai di situ, batal Oey Yong maju terus. Ia sekarang berjalan kembali. Ingin ia melihat gurunya. Ia belum berjalan jauh ketika mendadak ia mendapat satu pikiran.
"Yang Maha Kuasa hendak membinasakan jahanam itu maka juga telah diciptakan ini batu luar biasa," demikian pikirnya. "Kenapa aku jadi setolol ini?"
Girang luar biasa nona ini hingga ia berjingkrakan jungkir balik dua kali. Ia lantas lari kembali ke tempat batu tadi, ia memasang mata untuk memperhatikan keletakannya. Di samping itu ada banyak pohon yang besar dan tinggi. Kalau orang berlompat menyingkir, paling jauh juga orang dapat berlompat empat atau lima kaki. Kalau batu jatuh, burung sekalipun tak keburu terbang menyingkir....
Segera nona ini mengeluarkan pisau belatinya, yang panjang empat dim kira-kira. Itulah pisau peranti menyembelih ayam atau memotong daging. Ia cekal itu di tangan kanan, lantas ia bertindak turun ke lembah. Ia perdatakan tujuh atau delapan oyot rotan yang melibat batu besar itu, ia tidak mengganggunya, hanya ia memotong putus beberapa puluh oyot lainnya. Ia bekerja cepat, saban-saban ia menahan napas dan menghela. Ia pun berlaku hati-hati, supaya ia tidak usah membikin batu itu kena tertarik. Karena ia mesti mengutungi puluhan oyot, ia menjadi mandi keringat. Kemudian, setelah mengumpulkan semua oyot itu, agak tak kentara sudah diputuskan, baru ia bertindak pergi. Ia mencoba mengingati baik-baik tempat ini. Ia berjalan sambil bernyanyi dengan perlahan, suatu tanda ia merasa puas sekali.
Selagi mendekati gua, si nona tidak melihat Auwyang Kongcu. Ia berjalan terus. Sekonyong-konyong ia mendengar suara tertawa panjang dan nyaring yang keluar dari dalam gua. Ia kenali suaranya si anak muda, yang mana disusul sama kata-katanya yang nyaring: "Kau sombongkan kepandaianmu yang lihay, sekarang kau roboh di tangan kongcumu? Kau takluk tidak? Baiklah, karena aku berkasihan untuk usiamu yang sudah lanjut, aku menyerah untuk kau menyerang dulu tiga kali! Bagaimana?"
Takutnya Oey Yong bukan main. Ia insyaf bahaya yang mengancam gurunya itu. Ia tapinya cerdik luar biasa. Disaat berbahaya seperti itu, ia mendapat akal.
"Ayah, ayah!" ia berteriak-teriak. "Kenapa kau datang ke mari? Eh, kau juga Auwyang Peehu? Kenapa kau pun datang?"
Nyaring suaranya si nona, suara itu terdengar sampai di dalam gua.
Auwyang Kongcu tengah mempermainkan Ang Cit Kong, yang ia hendak membinasakannya, dia menjadi kaget sekali mendengar suara si nona.
"Ah, kenapa pamanku bisa datang bersama-sama Oey Lao Shia?" pikirnya. Ia sangat bersangsi, hingga ia memikir pula: "Jangan ini pun main gilanya si budak cilik. Ia hendak menolongi pengemis bangkotan ini, dia menipu aku supaya aku keluar.... Tapi tak apa, baik aku melihat dulu, pengemis ini toh tak bakal lolos dari tanganku!"
Maka ia bertindak keluar dari gua.
Oey Yong berada di tepian, di pasir.
"Ayah! Ayah!" suaranya terdengar, tangannya di ulap-ulapkan.
Auwyang Kongcu memandang jauh, di sekitarnya juga. Ia tidak melihat siapa juga di antara mereka apa pula Oey Yok Su atau pamannya. Maka ia tertawa terbahak-bahak.
"Adikku, kau memancing aku supaya aku menemani kau?" katanya. "Kau lihat, bukankah aku sudah keluar?"
Si nona menoleh, ia tertawa, matanya pun memain.
"Siapa kesudian mendustai kau?" katanya manis. Dan ia lari di sepanjang pasir.
Auwyang Kongcu tertawa.
"Kali ini aku telah bersiaga," katanya. "Jikalau kau memikir untuk menyeret pula aku ke laut, marilah kita mencoba-coba!"
Sembari berkata, pemuda ini lari untuk mengejar. Hebat ilmunya ringan tubuh, sebentar saja dia sudah datang dekati si nona.
"Celaka..." mengeluh Oey Yong. "Kalau aku tidak keburu sampai di batu itu, pasti dia bakal dapat menawan aku..." Maka ia lari terus sekuatnya.
Lagi beberapa puluh tombak, Auwyang Kongcu telah datang semakin dekat.
Oey Yong lari ke kiri, mendekati laut, tinggal lagi beberapa kaki.
Benar-benar Auwyang Kongcu telah menjadi cerdik, tidak mau ia mendekati.
"Baiklah, mari kita main perak umpat!" katanya tertawa. Ia maju pula, ia terus waspada.
Oey Yong menghentikan tindakannya, ia juga tertawa.
"Di depan sana ada seekor harimau galak," katanya, "Jikalau kau tetap menyusul aku, kau nanti diterkam dan digegares olehnya!"
"Aku sendiri pun harimau!" tertawa si anak muda. Ia tidak percaya perkataan orang. "Aku pun hendak mencaplok padamu!"
Oey Yong tertawa, tanpa menyahuti ia lari pula.
Demikian mereka main lari-larian atau kejar-kejaran hingga mereka datang dekat ke batu separuh tergantung itu. Di sini Oey Yong lari makin keras. Ia harus menang tempo.
"Mari!" ia menantang. Dan ia berlompat pesat ke arah depan batu.
Hanya sekelebatan, ia merasa melihat bayangan orang di pesisir. Tapi ia lagi menghadapi saat tegang itu, biar pun ia heran, ia tidak sempat mencari tahu. Ia lari terus sampai di tempat oyot rotan tadi. Dengan tiga kali lompatan, tibalah ia di lembah.
"Mana si harimau?" tanya Auwyang Kongcu mengejek. Ia pun menambah pesatnya larinya, sehingga ia juga tiba di depan lembah.
Sekonyong-konyong pemuda ini mendengar suara berkeresek di atasan kepalanya, suaranya itu disusul sama sambaran angin. Ia lantas mengangkat kepalanya, dongak untuk melihat. Bukan main kagetnya ia. Ia menampak sebuah batu besar justru jatuh ke arahnya. Tidak ada jalan lain. Ia berlompat ke samping. Ia lompat tanpa melihat lagi arahnya. Ia terkejut ketika ia merasakan tubuhnya membentur sebuah pohon, yang terus patah dan bagian patahannya melukai punggungnya. Lupa ia pada rasa sakit, ia cuma ingat menyingkir, menyingkir.... Ia mencoba berlompat pula....
Disaat seperti itu, Auwyang Kongcu sudah seperti pingsan, tetapi ia masih merasakan ada tangan yang kuat yang menyambar menjambak batang lehernya, terus ia ditarik. Meski begitu, jatuhnya batu cepat luar biasa, ia masih ketimpa juga, maka robohlah ia dibarengi jeritannya yang hebat sekali, debu dan batu pun muncrat! Debu itu mengepul bagaikan uap.
Oey Yong melihat jebakannya telah memberi hasil, ia girang berbareng kaget. Ia tidak menyangka bahwa jatuhnya batu demikian hebat. Ia menjatuhkan diri ke tanah, untuk duduk menumprah seraya meletaki kedua tangannya di atasan kepalanya. Ia baru mengangkat kepala dan membuka matanya ketika ia mendengar sirapnya suara nyaring dan berisik. Samar-samar ia menampak dua tubuh orang berdiri di sisi batu besar itu. Seperti orang lagi bermimpi, ia mengucak-ucak kedua matanya. Lalu ia mengawasi pula, dengan perhatian dipusatkan. Tidak salah, di situ ada dua orang lain, bahkan orang itu ialah Auwyang Hong dan Kwee Ceng! Si anak muda yang ia seperti tidak tak dapat melupakannya....
"Engko Ceng!" akhirnya ia berseru seraya ia berlompat bangun.
Kwee Ceng juga tidak menyangka di tempat itu dapat menemui kekasihnya itu, ia juga berlompat menubruk, untuk merangkul erat-erat si nona. Hingga keduanya lupa bahwa di samping mereka berada musuh besar mereka!
*
* *
Auwyang Hong dan Kwee Ceng tenggelam terbawa perahu mereka yang masuk ke dasar laut terbawa oleh usar-usaran air. Memangnya perahu itu, yang tinggal sebelah, telah kemasukan banyak air. Segera juga mulut dan hidung mereka menyedot air asin, hingga keduanya menjadi kaget. Mereka menginsyafi bahaya. Karena itu mereka tidak berkutat terlebih jauh, sama-sama mereka melepaskan tangan mereka, untuk sebaliknya dipakai menekap hidung dan kuping. Mereka pun terbawa arus hingga jauh. Ketika Kwee Ceng timbul di muka air, untuk bernapas, ia melihat jagat gelap, perahu kecil entah pergi ke mana. Ia menjerit-jerit, tidak ada yang menyahuti, meskipun sebenarnya Oey Yong tengah mencari-cari padanya. Damparan gelombangan sangat berisik, angin juga tak kurang ributnya.
Selagi Kwee Ceng berteriak-teriak pula, ia merasa ada yang menarik kakinya yang kiri, atau dilain saat muncullah Auwyang Hong di sisinya. Dia ini tidak pandai berenang, maka itu, kecebur di laut, ia habis daya. Syukur dia dapat mencekal kakinya si anak muda, dia terus tidak mau melepaskannya, bahkan ia memegang juga kaki yang kanan. Sia-sia Kwee Ceng meronta-ronta.
Mereka berkutat pula, hingga mereka tenggelam kembali. Tak lama, keduanya mengambang lagi.
"Lepaskan tanganmu!" Kwee Ceng berseru. "Aku tidak akan tinggalkan kau!"
Auwyang Hong tidak mau melepaskannya, baru sesaat kemudian, ia melepaskan kaki yang sebelah. Rupanya ia ingat, dengan bergulat terus, mereka bakal mati bersama.
Kwee Ceng lantas berenang, sembari berenang ia mengangkat sedikit rusuk jago tua itu. Untung untuk mereka, tidak lama mereka membentur sepotong balok, maka si anak muda berpegang pada balok itu. Dengan begitu tak usah ia memakai banyak tenaga lagi.
"Lekas peluki balok ini!" ia berteriak. "Jangan lepas!"
Auwyang Hong menurut.
Bukan main girangnya pemuda ini.
Mereka terombang-ambing di laut sehingga sang fajar datang. Sekarang ternyata balok itu ada patahan tiang layar mereka. Hanya melihat kelilingan, mereka tak nampak perahu.
Auwyang Hong sangat berduka. Tongkatnya pun sudah lenyap, hingga ia menjadi sangat berkhawatir.
"Kalau ada ikan cucut di sini, mana bisa aku melawan seperti Ciu Pek Thong...?" pikirnya. "Ketika itu ada aku yang menolongi dia, tetapi sekarang, siapa yang menolongi aku...?"
Mereka lapar dan berdahaga. Syukur, untuk dahar mereka bisa mengunyah ikan mentah. Kalau ada ikan yang lewat disampingnya, Kwee Ceng menikam dengan pisau belatinya, dan Auwyang Hong menghajar dengan tangannya. Hebat rasanya untuk menggerogoti ikan mentah itu.
Sekarang mereka tidak bergulat lagi. Maka itu hari, sampailah mereka di tepian pulau di mana Cit Kong, Oey Yong dan Auwyang Kongcu telah tiba. Mereka mendarat untuk beristirahat. Tiba-tiba mereka mendengar suara orang berbicara sambil tertawa-tawa. Keduanya heran, Auwyang Hong yang berlompat paling dulu untuk melihat orangnya. Tepat ia melihat batu lagi jatuh turun dan keponakannya lagi terancam, maka ia melesat akan menyambar keponakannya itu. Ia masih terlambat, sebab kesudahannya kedua kaki Auwyang Kongcu kena tertindih juga batu raksasa itu, anak muda itu menjerit untuk terus pingsan.
Untuk sejenak Auwyang Hong memandang kelilingan, setelah merasa pasti tidak ada ancaman bahaya lainnya, ia menghampirkan keponakannya itu. Ia mendapat kenyataan sang keponakan cuma pingsan, maka hatinya menjadi sedikit lega. Ketika mencoba mendorong batu, ia tidak berhasil, tidak peduli tenaganya besar luar biasa.
"Paman..." memanggil keponakan itu perlahan, setelah ia sadar, sedang pamannya lagi membungkuk.
"Tahan sakit," menyahut paman itu. Ia lalu memeluk, untuk menarik.
Auwyang Kongcu menjerit, kembali pingsan. Hebat tarikan itu sedang kaki tidak bergeming.
Paman itu menjublak.
"Mana suhu?" tanya Kwee Ceng, yang menarik tangan Oey Yong. Ia seperti tidak ingat itu paman dan keponakannya.
"Di sana," sahut si nona, tangannya menunjuk.
Lega hatinya si anak muda. Selagi ia mau minta si nona mengajak dia pergi kepada gurunya, justru ia mendengar jeritannya Auwyang Kongcu itu. Dasar hatinya mulia, ia menjadi tidak tega.
"Mari aku bantu padamu!" ia berkata kepada Auwyang Hong.
Oey Yong menarik tangan pemuda itu.
"Mari kita lihat suhu!" ia mengajak. "Kita jangan pedulikan manusia jahat!"
Auwyang Hong tidak tahu bahwa batu besar itu jatuh karena ulahnya si nona, meski begitu ia gusar mendengar perkataan orang itu. Ia pun mengingat suatu apa akan mendengar Ang Cit Kong masih hidup serta berada di tempat itu. Ia membiarkan orang pergi, kepada keponakannya, ia berbisik. "Kau tahan sabar, aku nanti cari akal untuk menolongmu." Ia berlompat naik ke atas pohon, mengawasi ke arah mana muda-mudi itu pergi. Panas hatinya menyaksikan orang jalan rapat asyik sekali.
"Jikalau aku tidak dapat menyiksa kamu berdua bangsat cilik hingga kau mati tidak hidup juga tidak, percuma aku disebut See Tok!" katanya dalam hatinya dengan sengit sekali. Habis itu ia lompat turun dari pohon, untuk menguntit.
Kwee Ceng berdua bersama Oey Yong berjalan terus sampai di mulut gua. Mereka tidak tahu bahwa mereka ada yang membayangi.
"Suhu!" memanggil si anak muda memasuknya ia di dalam gua.
Cit Kong kelihatan lagi menyender di batu, matanya tertutup rapat, mukanya sangat pucat. Karena di ganggu Auwyang Kongcu, penyakitnya yang baru baikan kumat pula. Karena itu ia berdiam saja mendengar panggilan muridnya.
Dua-duanya Kwee Ceng dan Oey Yong menghampirkan, yang satunya membukai kancing bajunya, yang lainnya menguruti tangan dan kakinya.
Akhirnya Ang Cit Kong membuka matanya. Melihat Kwee Ceng, yang ia segera mengenalinya, ia girang. Ia tersenyum.
"Anak Ceng, kau pun datang!" katanya lemah.
Kwee Ceng hendak menyahuti gurunya itu tatkala ia terkejut mendengar suara nyaring dibelakangnya: "Pengemis tua, aku juga datang!"
Itulah suaranya Auwyang Hong, yang telah menguntit sampai di luar gua.
Kwee Ceng bangun untuk memutar tubuh dan berlompat maju, ia menghalang di pintu dengan sikapnya "Sin liong pa bwee" atau "Naga sakti menggoyang ekornya". Oey Yong sendiri menyambar tongkat gurunya terus ia berlompat ke samping pemudanya.
Auwyang Hong tertawa
"Pengemis bangkotan, keluar!" katanya nyaring. "Jikalau kau tidak keluar, nanti aku yang masuk ke dalam!"
Kwee Ceng menoleh kepada Oey Yong dan mengedipi mata, maksudnya memberitahu, apa juga bakal terjadi, hendak ia membela gurunya.
Auwyang Hong tidak memperoleh jawaban, ia tertawa lalu ia maju. Atas itu tanpa bersangsi lagi, Kwee Ceng menyerang. Inilah See Tok telah duga, malah ia menerka juga orang akan menggunai Hang Liong Sip-pat Ciang, dari itu ia sudah bersiaga untuk itu. Ia berkelit dengan berlompat ke kanan. Tapi di sini ia dipapaki tongkat, kelihatannya tongkat menyontek ke atas, tidak tahunya menyapu ke bawah berulang-ulang, hingga ia tidak dapat menduga tepat arah serangan orang. Diam-diam hatinya terkesiap. Ia lantas melindungi dirinya, untuk mencegah serangan apa juga.
Tapi hebat tongkat itu, ialah tongkatnya Oey Yong. paling akhir ujung tongkat mencari jalan darah di pinggang.
Saking kaget, Auwyang Hong berlompat mundur, segera ia melirik. Ia tidak menyangka si nona menjadi begini lihay.
Oey Yong mendapat hati melihat musuh mundur.. Ia telah menggunai tipu-tipu dari Pa-kauw-pang, yang ia belum dapat menguasai dengan mahir. Sebaliknya See Tok belum pernah melihat ilmu silat itu.
"Hm!" berseru si Bisa dari Barat sambil ia berlompat maju, tangannya diulur untuk merampas tongkat si nona.
Oey Yong dapat berkelit, ketika ia dirangsak, masih ia bisa menyingkir dari pelbagai serangan.
Kwee Ceng girang berbareng heran menyaksikan ilmu silat kawannya itu. Ia tidak menonton lebih lama, ia lantas maju, untuk menyerang dari samping.
Auwyang Hong menjadi sangat gusar, ia berlompat mundur, lalu ia berdongko, menyusul itu kedua tangannya menyerang dengan berbareng hingga anginnya berdesir.
Hebat serangan itu, ialah serangan menurut Kuntauw Kodok. Debu pun sampai kena dibikin terbang.
Kwee Ceng melihat ancaman bahaya, dengan cepat ia menolak pundaknya Oey Yong - orang yang diserang itu - hingga si nona terhuyung, tetapi dengan begitu ia terhindar dari bahaya.
Auwyang Hong penasaran, ia maju dua tindak, kembali ia menolak dengan sepasang tangannya.
Memang hebat Kuntauw Kodok dari See Tok ini, sebagaimana ternyata, Ang Cit Kong yang begitu lihay cuma bisa bertarung seri dengannya.
Segera juga Kwee Ceng dan Oey Yong kena didesak mundur, sebab mereka main berkelit saja. Auwyang Hong dapat memasuki gua. Ketika ia menyerang gagal ke kiri, ia menghantam pinggiran gua hingga batu dan tanahnya gugur. Setelah itu ia menyerang dengan tangan kanannya ke arah Ang Cit Kong.
Pak Kay sedang menutup mata ketika ia mendengar desiran angin dari pukulan-pukulan yang dahsyat itu, lantas ia membuka matanya.
"Ilmu silat yang bagus sekali!" pujinya. "Tangan yang hebat!"
Mukanya Auwyang Hong menjadi merah, ia merasa diejek. Bukankah ia sedang melayani segala bocah? Maka tangannya itu tak dapat diteruskan.
"Guruku menolongi jiwamu, kau sekarang hendak mencelakai guruku? Oey Yong berteriak. "Sungguh kau tidak mempunyai muka?!"
Batal menyerang, Auwyang Hong menolak dengan perlahan tubuhnya si Pengemis dari Utara. Ia merasakan dada dan daging yang lembek, hingga dada itu kentop. Biasanya, ditekan begitu, tubuh seorang ahli silat mesti membal untuk melawan, tapi ini sebaliknya, maka tahulah See Tok bahwa kepandaian orang telah lenyap. Ia lantas membungkuk, berniat mengangkat tubuhnya si pengemis.
"Kamu membantui aku menolongi keponakanku, nanti aku beri ampun jiwanya ini pengemis tua!" ia berkata bengis. Ia mengancam si pemuda dan pemudi.
"Thian yang menurunkan batu itu menindih dia, kau melihatnya dengan matamu sendiri!" berkata Oey Yong, menyahuti. "Siapa sanggup menolongi dia? Jikalau kau berbuat jahat, nanti Thian pun melemparkan batu besar itu untuk menindih padamu sampai mampus!"
Auwyang Hong angkat tubuhnya Ang Cit Kong tinggi-tinggi, ia mengancam hendak melemparkannya.
Kwee Ceng sangat mulia hatinya, ia tidak tahu bahwa orang lagi menggertak.
"Lekas turunkan guruku!" ia berseru. "Nanti kita bantui kau!"
Sebenarnya Auwyang Hong ingin lekas-lekas menolongi keponakannya itu, tetapi ia tidak sudi kentarakan itu, ia justru membawa aksi. Kemudian ia menurunkan tubuh Cit Kong dan meletakinya dengan baik.
"Untuk membantui kau menolongi dia tidaklah sukar!" berkata Oey Yong. Ia masih penasaran, ia menyebutnya Auwyang Kongcu dengan "dia". Tetapi kita harus membuat dulu tiga perjanjian!"
"Eh, budak perempuan, kesulitan apa lagi kau hendak mengajukannya?!" See Tok mendongkol.
"Sesudah kami membantu kau menolongi keponakanmu itu, kita tinggal bersama-sama di pulau ini," menjawab Oey Yong. "Selama itu kau tidak boleh mengganggu pula kami guru dan murid bertiga!"
Auwyang Hong terus mengangguk, karena ia sudah lantas ingat dia dan keponakannya tidak bisa berenang, untuk dapat pulang ke daratan, mereka mengandal bantuannya tiga orang itu.
"Baik!" ia memberikan janjinya. "Selama berada di pulau ini, aku pasti tidak akan turun tangan terhadap kamu, tetapi nanti di daratan, itulah sukar untuk atau membilangnya..."
"Sampai itu waktu, biarnya kau tidak turun tangan, kami yang bakal turun tangan terhadapmu!" kata Oey Yong menantang. "Sekarang yang kedua. Ayahku telah menjodohkan aku dengan dia, kau melihatnya sendiri, kau mendengarnya sendiri juga, maka itu kalau di belakang hari keponakanmu itu menggerembengi pula padaku, ia lah binatang yang tak mirip-miripnya sekalipun dengan anjing babi!"
"Hm!" terdengar suara tawar dari See Tok. "Baiklah, tetapi ini pun terbatas selama kita berada di pulau ini, seberlalunya kita dari sini, kita lihat saja nanti!"
Oey Yong tersenyum.
"Sekarang syarat yang ketiga!" ia berkata pula. "Kami akan membantu kau dengan sungguh-sungguh akan tetapi umpama kata Thian hendak mengantarkan jiwa keponakanmu itu pulang ke alam baka, itulah bukannya tenaga manusia yang dapat mencegahnya, maka itu kau tidak boleh menimbulkan lain urusan lagi!"
Kedua mata Auwyang Hong mendelik dan berputar.
"Jikalau keponakanku sampai mati, si pengemis tua jangan harap dapat hidup lebih lama!" katanya bengis. "Budak cilik, jangan kau ngaco belo lebih lama! lekas kau tolongi keponakanku itu!"
Habis berkata, jago dari Barat ini lantas lompat keluar dari gua, untuk berlari-lari keras ke arah lembah.
Kwee Ceng hendak lompat menyusul tetapi si nona tarik tangannya.
"Engko Ceng," ia berkata, memesan, "Kalau sebentar See Tok membantu mendorong batu besar itu, kau gunai ketikamu untuk membokong dia untuk membikin habis jiwanya!"
"Cara membokong itu bukan cara terhormat," berkata Kwee Ceng.
"Dia bikin celaka suhu, adalah itu caranya terhormat?" tanya si nona. Agaknya ia mendelu.
"Tetapi kita telah mengeluarkan kata-kata, harus kita pegang itu," Kwee Ceng mengasih mengerti. "Sekarang kita tolongi dulu keponakannya itu, nanti di belakang hari kita mencari jalan untuk membuat pembalasan."
Mendengar itu, si nona tertawa.
"Baiklah," katanya. "Kau seorang nabi, suka aku mendengar katamu!"
Setelah memesan gurunya untuk menanti, kedua muda-mudi ini lari ke lembah. Di sana mereka mendengar Auwyang Kongcu merintih, suaranya sangat mengenaskan, menandakan ia menderita sangat.
"Lekas, lekas!" Auwyang Hong memanggil seraya membentak.
Kwee Ceng dan Oey Yong lantas mendekati batu, untuk memasang kuda-kuda. Auwyang Hong sendiri sudah bersiap terlebih dulu. Dengan satu tanda, dengan berbareng enam buah tangan memegang batu dan menolaknya. Auwyang Hong adalah yang berseru; "Angkat!"
Ditolak oleh enam tangan yang kuat, batu itu tergerak, tetapi cuma sebentar, sehabisnya tenaga orang, batu itu jatuh pula, pulang ke tempat asalnya.
"Aduh!" menjerit Auwyang Kongcu yang tak sempat menarik kedua kakinya. Ia ketimpa pula, lantas ia pingsan kembali.
Auwyang Hong kaget, ia berdongkol melihat keponakannya itu, napas siapa empas-empis selekasnya dia sadar pula, dia menahan sakit hingga ia menggigit keras bibirnya, sampai bibirnya mengeluarkan darah.
See Tok menjadi sangat bingung. Terang sudah tenaga mereka betiga tidak cukup kuat untuk mengangkat batu raksasa itu. Lama-lama keponakannya bisa mati karena sakitnya itu. Ia menjadi lebih bingung lagi ketika ia merasakan kakinya dingin, apabila ia mengangkat sebelah kakinya, nyata sepatunya sudah basah, tanah pasir yang ia injaknya itu kerendam air. Itulah air laut pasang, yang naik sampai ke lembah itu.
"He, budak cilik!" See Tok membentak Nona Oey. "Jikalau kau hendak menolongi jiwa gurumu, lekas kau tolongi keponakanku ini!"
Oey Yong lagi berpikir keras ketika ia ditegur itu. Batu begitu berat, di pulau ini tidak ada orang lain, yang dapat membantu. Bagaimana? Ia mendongkol atas teguran itu.
"Coba kalau guruku tidak terluka, pasti dia dapat membantu!" katanya. "Ilmu luar dari guruku lihay sekali, tenaganya besar luar biasa, dengan kita berempat bekerja sama, mestinya batu ini dapat digeser. Sekarang..."
Ia angkat kedua tangannya, ia menggoyang-goyangkannya, tandanya ia putus asa.
Auwyang Hong tidak senang mendengar itu tetapi itulah kenyataan, ia tidak bisa bilang suatu apa. Ia pikir, memang benar kalau Ang Cit Kong tidak terluka, pengemis itu pasti dapat membantu mereka. Maka maulah ia memikir itu adalah takdir, kebetulan keponakannya bercelaka, kebetulan Pak Kay terluka...
"Paman," terdengar suaranya Auwyang Kongcu perlahan. "Kau hajar saja aku supaya aku lantas mati..."
"Aku....aku tidak dapat bertahan lagi...."
Auwyang Hong mengawasi, lantas ia mencabut pisau belatinya.
"Kau tahan sakit sedikit," katanya seraya terus menggigit gigi. "Tanpa sepasang kakimu, kau masih dapat hidup...!"
Ia maju mendekati, hendak ia menguntungi kedua kaki orang.
"Paman, paman!" berteriak-teriak si keponakan. "Jangan, jangan! Lebih baik kau tolong aku dengan membunuh aku saja...!"
Marah paman itu.
"Percuma aku mendidik kau banyak tahun, kenapa kau tidak mempunyai semangat laki-laki?!" bentaknya.
Keponakan itu menutup mulutnya, dengan kedua tangannya ia mendekap dadanya. Dengan begitu ia mencoba menahan sakitnya.
Menyaksikan itu, hatinya Oey Yong lemas juga. Ia lantas berpikir pula, hingga ia ingat caranya ayahnya bekerja di Tho Hoa To waktu ayahnya itu mengangkat batu dan balok.
"Tunggu!" ia berkata kepada Auwyang Hong. "Kalau kau kutungi kedua kakinya, apakah itu bukan berari kau mengantarkan jiwanya? Aku ada mempunyai satu daya, entah berhasil atau tidak, mari kita coba dulu."
"Lekas bilang, lekas bilang, apa itu?" See Tok lantas mendesak. "Nona yang baik, kali ini tentulah kau berhasil..."
"Hm," pikir Oey Yong. "Kau sangat ingin menolongi keponakanmu, sekarang kau tidak mencaci dan membentak-bentak aku pula, bahkan memanggil aku nona yang baik." Ia lantas tersenyum, terus ia berkata: "Baiklah! Sekarang kau mesti dengar titahku. Lekas kau keset pohon itu, kau membuatnya dadung yang panjang untuk menarik batu besar itu..."
"Siapakah yang menariknya?" Auwyang Hong memotong. Ia heran. Bukankah mendorong dan menarik sama saja sebab mereka tetap bertiga?
"Kita bekerja seperti dari atas perahu kita mengangkat jangkar," Oey Yong bilang.
Auwyang Hong mengerti, tiba-tiba ia jadi mendapat harapan.
"Cocok, cocok!" katanya. "Kita menarik sambil berputaran!"
Kwee Ceng tidak tahu caranya Oey Yong akan bekerja, begitu mendengar si nona minta babakan pohon untuk diambil tali seratnya, ia lantas saja mengeluarkan pisaunya, terus ia bekerja memotong babakan pohon.
Auwyang Hong dan Oey Yong juga turut bekerja.
Tidak lama mereka sudah mendapatkan beberapa puluh lembar babakan yang panjang.
Auwyang Hong bekerja sambil mengawasi keponakannya, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata dengan putus asa: "Sudahlah, tak usah kita memotong lebih jauh...."
"Kenapa?" tanya Oey Yong heran. "Kenapa tidak jadi?"
See Tok menunjuk ke arah keponakannya.
Oey Yong dan Kwee Ceng mengawasi. Mereka melihat air pasang telah naik hingga tubuh Auwyang Kongcu sudah kerendam separuhnya. Maka jangan kata untuk membikin tambang, memotong babakan saja sudah tidak keburu....
Auwyang Kongcu sendiri berdiam, ia tidak bergerak, tidak bersuara.
"Jangan putus asa!" kata nona Oey kemudian. "Lekas potong terus!"
Auwyang Hong si iblis yang biasanya malang-melintang, mendengar suaranya si nona, sudah lantas bekerja pula. Ia bekerja dengan cepat sekali. Oey Yong sendiri lompat dari atas pohon, ia lari kepada Auwyang Kongcu. Ia angkat tubuh orang, ia mengganjalnya dengan satu batu besar. Secara begini, pemuda itu tidak kerendam mukanya, maka dapatlah ia bernapas terus.
"Adik yang baik, terima kasih banyak-banyak untuk pertolonganmu," berkata Auwyang Kongcu dengan perlahan. "Aku tidak bakal hidup lebih lama pula, akan tetapi melihat kau begini sungguh-sungguh menolongi aku, kalau aku nanti mati, aku mati senang...."
"Jangan mengucap terima kasih padaku," kata Oey Yong yang karena jujurnya merasa jengah sendirinya. "Kau terjebak karena akulah yang mengaturnya, kau tahu?"
"Hus, jangan omong keras-keras!" mencegah Auwyang Kongcu. "Kalau pamanku mendapat dengar, tidak nanti dia melepaskanmu! Sudah sedari siang-siang aku dapat mengetahui perbuatanmu ini, tetapi terbinasa di tanganmu, sedikit juga aku tidak menyesal...."
Oey Yong menghela napas, hatinya berpikir; "Meski orang ini menjemukan tetapi terhadapku dia tidak buruk..." Ia lantas kembali ke bawah pohon, untuk mulai bekerja. Ia melara, membuatnya sebuah dadung kasar. Ini rupanya belum cukup kuat, maka empat helai itu ia melaranya pula menjadi satu helai yang besar.
Auwyang Hong bersama Kwee Ceng tidak hentinya memotong babakan pohon, untuk diambil seratnya, dan si nona pun tak henti-hentinya melara. Semua bekerja cepat dan sungguh-sungguh. Mereka mesti berlomba sama air pasang. Air baru saja naik, tak gampang-gampang lekas surut.
Belum Oey Yong dapat melara kira-kira setombak panjangnya, air sudah naik hingga dipinggirnya mulutnya Auwyang Kongcu, setelah ia dapat lagi beberapa kaki, air itu sampai di pinggiran bibir, ya, ke bibir, hingga dilain saat terlihat saja liang hidungnya si anak muda.
Menampak itu Auwyang Hong lompat turun dari atas pohon.
"Menyingkirlah kamu!" katanya pada Kwee Ceng dan Oey Yong. "Aku hendak bicara sama keponakanku. Kamu sudah berbuat apa yang kamu bisa, aku mengerti kebaikanmu ini."
Kwee Ceng pun merasa bahwa harapan sudah lenyap, ia lompat turun, dengan jalan berendeng sama si nona, ia bertindak pergi jauhnya lebih dari sepuluh tombak.
"Mari kita pergi ke belakang batu besar itu, kita mencuri dengar perkataannya," bisik Oey Yong si cerdik.
"Urusan toh tidak mengenai kita?" berkata si anak muda. "Laginya si tua bangka yang lihay itu tentunya mengetahuinya...."
"Semampusnya keponakannya itu, mungkin dia akan mengganggu suhu," kata Oey Yong. "Kalau kita ketahui niatnya, dapat kita bersiaga. Umpama kata si tua bangka beracun itu memergoki kita, kita bilang saja kita kembali untuk mengambil selamat berpisah dari keponakannya itu..."
Kwee Ceng mengangguk. Ia anggap alasan itu tepat. Bersama-sama mereka lantas jalan terus, untuk memutar dengan diam-diam, selekasnya mereka tak nampak lagi oleh Auwyang Hong, lekas-lekas mereka menghampirkan ke arah batu. Tentu sekali mereka tak sudi memperdengarkan tindakan kaki mereka.
Tepat mereka sampai, mereka dapat mendengar kata-katanya Auwyang Hong: "Kau pergilah dengan baik, aku mengerti maksud hatimu. Kau berkeinginan mesti nikahi putrinya Oey Lao Shia sebagai istrimu, pasti aku akan membikin keinginanmu itu terkabul."
Kedua muda-mudi di belakang batu itu heran bukan main.
"Dia bakal segera mampus, cara bagaimana keinginan itu dapat dikabulkan?" mereka berpikir. "Apakah artinya kata-kata si tua bangka berbisa ini?"
Mereka memasang kuping terlebih jauh, setelah mana mereka jadi kaget dan gusar, punggung mereka dialirkan peluh dingin. Auwyang Hong itu berkata: "Akan aku bunuh putrinya Oey Lao Shia ini, nanti aku masuki tubuhnya dalam satu liang kubur bersamamu! Bukankah semua orang mesti mati? Kau dan dia tak dapat hidup bersama, tetapi mati dapat dikubur menjadi satu, kau tentu merasa puas juga..."
Mulutnya Auwyang Kongcu telah kerendam air, tidak dapat ia menjawab.
Oey Yong memencet tangannya Kwee Ceng, yang ia tarik, dengan perlahan ia bertindak. Maka bersama-sama mereka menyingkir dari situ.
Auwyang Hong tengah berduka sangat, ia tidak mendengar suara apa juga.
Tiba di tempat dimana mereka sudah berpisah cukup jauh, Kwee Ceng berkata dengan sengit. "Yong-jie, lebih baik kita hampirkan si bisa bangkotan itu untuk mengadu jiwa dengannya!"
"Bertempur sama dia, kita melawan dengan kecerdikan, tidak dengan tenaga," menyahut si nona tenang.
"Bagaimana caranya itu?"
"Aku lagi memikirkannya."
Mereka jalan terus, sampai di tikungan. Di situ si nona melihat gombolan pohon gelaga.
"Jikalau dia tidak jahat dan kejam, aku dapat jalan untuk menolongi keponakannya itu," berkata Oey Yong.
Kwee Ceng heran.
"Bagaimana itu?" dia tanya.
Oey Yong menghampirkan gombolan gelaga itu, ia memotong sebatang, di antaranya lalu ia angkat itu, dimasuki ke dalam mulutnya, untuk menyedot dan bernapas.
"Bagus!" Kwee Ceng bertepuk tangan. "Oh, Yong-jie yang baik bagaimana kau dapat memikirkan ini? Bagaimana sekarang, kita menolongi atau jangan?"
Oey Yong memainkan bibirnya.
"Tentu aku tidak sudi menolongi dia!" sahutnya. "Si tua bangka berbisa itu hendak membunuh aku, biarlah dia coba membunuhnya! Aku tidak takut!"
Kwee Ceng heran, ia berdiam diri.
Si nona mengawasi, lalu ia tarik tangan orang.
"Engko Ceng," katanya halus, "Mustahilkah kau menghendaki aku menolongi manusia jahat itu? Adakah kau berkhawatir untuk keselamatanku? Jikalau kita menolongi dia, belum tentu dua manusia jahat itu dapat berbuat baik kepada kita..."
"Memang kau benar," berkata Kwee Ceng. "Memang aku memikirkan kau dan suhu. Aku pikir si tua bangka berbisa ada satu pemimpin partai, mestinya perkataannya dapat dipercaya juga..."
Oey Yong mengambil keputusan dengan cepat.
"Baik, marilah kita menolongi dia!" katanya. "Habis itu, kita lihat saja nanti. Kita boleh jalan setindak demi setindak."
Keduanya lantas jalan balik, mereka putarkan batu raksasa itu.
Sekarang Auwyang Hong berdiri di dalam air, sebelah tangannya memegangi keponakannya. Ia melihat dua orang muda itu menghampirkan, matanya lantas bersinar, sikapnya mengancam.
"Aku menyuruh kamu pergi, buat apa kamu kembali?!" tanyanya bengis.
Oey Yong menghampirkan sepotong batu, di situ ia berduduk.
"Aku datang untuk melihat dia sudah mampus atau belum?" ia menyahut sembari tertawa geli.
"Habis kalau mati bagaimana, kalau hidup bagaimana?!" tanya See Tok, tetap bengis, panas hatinya.
Si nona menghela napas.
"Kalau ia sudah mati, sayang, tidak ada daya lagi..." sahutnya.
Auwyang Hong heran, hingga ia berjingkrak.
"Oh, nona yang baik," serunya. "Dia... dia masih belum mati! Benarkah kau ada punyai daya? Lekas bicara!"
Oey Yong menyodorkan batang gelaganya.
"Kau masuki ini ke dalam mulutnya, dia tentu tidak mati," sahutnya enteng.
Auwyang Hong girang, ia menyambuti, ia lompat pula kepada keponakannya. Dengan cepat ia masuki batang gelaga itu ke dalam mulut keponakannya itu, hingga batang itu merupakan semacam pipa.
Keadaannya Auwyang Kongcu sedang hebatnya, tetapi ia masih dapat mendengar pembicaraan di antara si nona dan pamannya itu, begitu pipa dimasuki ke dalam mulutnya, ia telan air yang terakhir di mulutnya itu, lalu ia dapat bernapas seperti biasa. Ia girang hingga sesaat ia melupakan kakinya yang sakit.
"Lekas!" berseru Auwyang Hong. "Lekas kita melanjuti membuat dadung itu!"
"Paman Auwyang," berkata si nona, sebelum ia menyambut ajakan itu, bukankah kau memikir untuk membunuh aku untuk dikorbankan untuk keponakanmu itu?"
See Tok melengak. "Kenapa ia dengar pembicaraanku barusan?" pikirnya.
Oey Yong masih tertawa, ia berkata pula: "Kau hendak membunuh aku, kalau maksudmu kesampaian, habis itu Thian sangat membenci kejahatanmu itu, kepada kau diturunkan sesuatu malapetaka, siapakah nanti yang menolongi kamu?"
Auwyang Hong sangat membutuhkan bantuan orang, ia tidak mengambil peduli gangguan itu, dengan berlagak tuli dengkak, ia lari ke darat, ke bawah pohon untuk mulai lagi memotongi babakan pohon.
Si nona tidak mengganggu terlebih jauh, ia pun mengajak Kwee Ceng untuk bekerja pula. Mereka sama-sama melara setelah babakan didapat cukup banyak.
Masih kira-kira satu jam melara beberapa kali, ia menghampirkan dadung, baru mereka berhasil merampungkan sehelai dadung yang panjangnya tiga puluh tombak lebih. Sementara itu kepalanya Auwyang Kongcu sudah mulai kerendam air, hingga tampak tinggal pipa gelaga itu.
Auwyang Hong berkhawatir, beberapa kali ia menyampirkan, untuk memeriksa nadi keponakannya itu. Untuk kelegaan hatinya, nadi itu tetap berjalan baik. Ia pun menjadi terlebih lega telah sesaat kemudian ternyata, air pasang sudah tiba saatnya untuk surut pula, maka dilain detik, kepalanya si anak muda mulai tertampak pula.
"Cukuplah sudah!" terdengar suaranya Oey Yong keras habis ia mengulur-ulur dadung buatannya itu. "Sekarang aku membutuhkan tiga batang kayu besar untuk dipakai sebagai alat putaran."
Auwyang Hong bersangsi. Mereka tidak mempunyai kampak atau golok, bagaimana mereka bisa mendapatkan potongan-potongan kayu yang dibutuhkan itu?
"Bagaimana itu harus dibuatnya?" ia menanya.
"Kau tak usah ambil tahu caranya, kau cari kayunya saja!" membentak si nona.
See Tok berkhawatir juga nona itu benar-benar murka dan nantinya tidak sudi membantu terlebih jauh, lantas ia pergi menghampirkan pepohonan. Ia pilih yang batangnya tidak terlalu besar, ia berjongkok di situ, ia pegang pohon dengan kedua tangannya, lalu sambil mengerahkan tenaga dari Kuntauw Kodok, ia coba mendorong pohon itu. Nyata ia berhasil! Maka ia lantas bekerja terus, merobohkan semuanya tiga buah pohon.
Kwee Ceng dan Oey Yong mengulurkan lidahnya menyaksikan tenaga orang yang besar itu.
Auwyang Hong masih bekerja. Ia mencari sebuah batu besar dan lancip, ia menggunainya untuk membabat berulang-ulang, memutuskan semua cabang kecil dari ketiga batang pohon itu, setelah semuanya merupakan sebagai potongan balok, terus ia menyerahkan itu kepada si nona.
Oey Yong dan Kwee Ceng menyambuti.
"Begini," kata si nona kepada kawannya. Ia pun lantas bekerja.
Kwee Ceng membantui tanpa banyak omong.
Oey Yong mengikat ketiga batang balok itu satu kepada lain, ia mengikat erat-erat, ia meninggalkan tiga ujung yang panjang. Kemudian selebihnya dadung ia bawa ke batu besar itu, untuk melibatnya dibagian tengahnya, lalu ujung itu diikat kepada balok-balok yang sudah dipasang dan terikat rapi itu.
Ketiga potong balok itu diikat di seputarnya sebuah pohon cemara tua yang besar sekali, yang tumbuh di sebelah kanan batu raksasa itu. Besarnya pohon mungkin tak terpeluk lima atau enam orang.
"Bukankah pohon cemara tua ini dapat melayani batu besar itu?" kemudian si nona tanya si Bisa dari Barat.
Auwyang Hong mengangguk. Sekarang ia mengerti sudah maksudnya nona itu.
Tapi Oey Yong masih kurang puas, ia menyuruh si tua bangka berbisa membuat lagi dadung yang terlebih kecil, untuk dipakai itu mengikat lebih jauh ketiga potongan balok itu, supaya kekuatannya bertambah.
"Nona yang baik, kau sungguh cerdik!" akhirnya See Tok memuji. "Inilah yang dibilang keluarga pintar luar biasa, - ada ayahnya, ada putrinya!"
"Tapi mana aku dapat menandingi keponakanmu itu?" berkata Oey Yong tertawa. "ah, marilah kita mulai menarik memutar!"
Auwyang Hong menurut, begitu juga dengan Kwee Ceng, maka setelah memegang masing-masing ujungnya ketiga balok itu, mereka lantas saja menolak dengan mengeluarkan tenaga mereka. Perlahan tetapi tentu, batu itu bergerak berkisar sedikit.
Sementara itu dengan lewatnya sang waktu - matahari sudah doyong ke darat - air pun telah surut habis, hingga sekarang Auwyang Kongcu terlihat duduk mendeprok di tanah yang merupakan lumpur berpasir. Ia mendelong mengawasi batu besar itu, yang bergeraknya sangat ayal, nampaknya ia bergelisah dan bergirang......
Bab 44. Ilmu yang sejati dan yang palsu
Batang pohon cemara tua dan besar itu bagaikan dilindas balok-balok itu, yang berputar di sekitarnya berputar tak hentinya. Dengan babakan runtuh, batang itu menjadi terlebih licin dan berputarnya balok-balok tak seberat semula.
Auwyang Hong tidak percaya Thian, malaikat atau iblis, tetapi sekarang diam-diam ia memuji supaya mereka diberikan tambahan tenaga, supaya batu raksasa itu dapat terangkat cukup tinggi hingga kedua kaki keponakannya tak tertindih lebih lama lagi. Asal batu itu dapat terangkat, Auwyang Kongcu bisa diangkat untuk disingkirkan.
Tengah mereka mendorong mendadak terdengar satu suara keras dan nyaring, hingga ketiganya kaget dan lompat minggir. Nyata dadung di tengah terputus, maka dengan sendirinya batu besar itu balik pada kedudukannya yang lama. Mereka sendiri, apabila mereka tidak berlompat pasti terkena balok-balok itu.
Auwyang Hong menjadi sangat lesu, air mukanya tak enak dilihat.
Oey Yong pun masgul bukan main. Inilah ia tak sangka.
"Marilah kita membikin lagi dadung yang terlebih kasar," kata Kwee Ceng kemudian. Ia tidak melihat lain jalan. "Kita memakai dua rangkap."
Auwyang Hong menggeleng kepala.
"Sulit," katanya. "Kita bertiga tidak berdaya...."
"Kalau saja ada yang membantui...." Kwee Ceng berkata sambil ngelamun.
Mendengar itu, Oey Yong melengak, lalu mendadak ia berjingkrak seraya menepuk-nepuk tangan.
"Akur! Akur!" serunya. "Ada orang yang membantu....!"
Kwee Ceng heran, ia girang.
"Yong-jie," katanya, "Benarkah ada orang yang membantui?"
"Ah, sayang engko Auwyang mesti menderita lagi satu hari..." berkata si nona. "Ia mesti menanti sampai besok diwaktu air pasang barulah ia lolos dari penderitaannya ini...."
Auwyang Hong heran begitu pun Kwee Ceng. Keduanya mengawasi nona itu. Mereka berpikir hingga di dalam hatinya mereka menanya: "Mustahilkah besok di waktu air pasang ada orang yang datang membantu?"
Oey Yong tidak memperdulikan mereka itu.
"Setelah bekerja keras seharian, aku lapar!" katanya, tertawa. "Mari kita mencari makanan dulu baru kita bicara pula."
"Nona," akhirnya Auwyang Hong menanya, " Kau bilang besok bakal ada orang datang membantu, apakah artinya pembilanganmu itu?"
"Besok pada waktu begini, batu yang menindih tubuh saudara Auwyang bakal disingkirkan," menyahut si nona. "Inilah ada rahasia alam, tak dapat aku membocorkannya...."
Melihat orang bicara secara demikian sungguh-sungguh, Auwyang Hong menjadi separuh percaya dan separuh tidak. Pula, ia tidak mempercayai, ia pun tidak mempunyai daya lain. Maka terpaksa ia berdiam saja menemani keponakannya itu.
Oey Yong bersama Kwee Ceng sudah lantas pergi memburu beberapa ekor kelinci, yang seekor mereka matangi, untuk dibagi kepada Auwyang Hong dan keponakannya itu.
Mereka sendiri berdahar bertiga bersama Ang Cit Kong di dalam gua. Sembari berdahar mereka dapat ketika pasang omong tentang segala kejadian sejak mereka berpisahan. Si pemuda girang sekali mendapat penjelasan bahwa Auwyang Kongcu roboh karena jebakan si nona.
Kemudian malam itu ketiganya tidur nyenyak. Mereka percaya Auwyang Hong tidak bakal datang mengganggu sebab See Tok mengharap-harapkan sangat bantuan mereka guna menolongi keponakannya itu. Mereka menyalakan api unggun di mulut gua untuk mencegah masuknya binatang liar.
Besoknya fajar, baru Kwee Ceng membuka matanya, ia dapat melihat satu bayangan orang berkelebat di muka gua. Ketika ia berlompat bangun, ia mendapatkan Auwyang Hong.
"Apakah nona Oey sudah bangun?" menanya Auwyang Hong perlahan.
Oey Yong mendusin, selagi Kwee Ceng berlompat bangun, kapan ia dengar suaranya musuh ia pejamkan pula matanya dan memperdengarkan gerosan napasnya untuk berpura-pura tidur nyenyak.
"Belum," Kwee Ceng menyahut, perlahan. "Ada apa?"
"Kalau sebentar dia sudah bangun, minta dia datang untuk menolongi orang," menyahuti See Tok.
"Baik," menjawab Kwee Ceng.
Dari dalam, Cit Kong menyambar: "Aku telah kasih dia minum arak yang wangi bernama Mabok Seratus Hari di dalam tempo tiga bulan mungkin dia tak akan mendusin...!"
Auwyang Hong melengak justru mana Pak Kay tertawa terbahak-bahak, maka taulah bahwa ia tengah digoda. Ia mendongkol bukan main tetapi ia ngeloyor pergi.
Oey Yong melompat bangun, ia pun tertawa.
"Kalau bukan sekarang kita goda dia, kita hendak tunggu kapan lagi?" katanya.
Dengan ayal-ayalan nona itu menyisir rambutnya dan merapikan pakaiannya, habis mana ia membawa joran untuk pergi memancing ikan, untuk memburu kelinci, yang semuanya dimatangi untuk mereka sarapan pagi.
Selama itu Auwyang Hong telah datang tujuh atau delapan kali, ia bergelisah seperti semut di atas kuali panas.
"Yong-jie," menanya Kwee Ceng, "Benarkah sebentar diwaktu air pasang bakal datang orang membantui kita?"
"Kau percayakah bakal datang pembantu?" si nona balik menanya, tertawa.
"Aku tidak percaya." sahut si anak muda.
"Aku juga tidak percaya!" Dan si nona tertawa pula.
Kwee Ceng tercengang.
"Jadinya kau sengaja mempermainkan si tua bangka berbisa itu?"
"Bukan seluruhnya aku mendustai dia," sahut si nona. "Diwaktu air pasang, aku ada mempunyai daya untuk menolongi keponakannya itu."
Kwee Ceng tahu kekasihnya cerdik sekali, ia tidak menanya lebih jauh.
Oey Yong lantas ajak pemuda itu pergi ke pinggir laut untuk mencari pelbagai macam batok kerang.
Nona Oey tidak mempunyai kawan semenjak kecil, ia biasa main-main seorang diri, sekarang ia mendapat Kwee Ceng sebagai teman, ia gembira bukan main. Begitulah diajakinya pemuda itu berlomba mendapati banyak lokan dan yang bagus-bagus juga. Dalam tempo yang pendek, mereka mendapatkan banyak, saking gembira, saban-saban terdengar suara tertawa mereka. Sesaat itu mereka seperti lupa bahwa mereka berada di pulau kosong di mana jiwa mereka terancam bahaya maut.........
"Eh, engko Ceng, rambutmu kusut, mari aku tolong sisirkan," kata si nona kemudian.
Kwee Ceng menurut, maka itu mereka duduk berduaan. Dari sakunya, Oey Yong mengeluarkan sisirnya yang terbuat dari batu giok bersalut emas. Ia membuka rambut orang dan menyisirnya dengan perlahan-lahan.
"Bagaimana dayanya untuk mengusir See Tok dan keponakannya itu?" ia bertanya sambil tangannya bekerja. "Kalau mereka itu sudah tidak ada, kita bertiga dapat berdiam dengan aman di sini. Tidakkah itu bagus?"
"Tapi aku memikirkan ibuku serta enam guruku," menyahut Kwee Ceng.
"Ah, ya, masih ada ayahku juga..." menambah si nona. Ia berhenti sebentar, lalu ia berkata pula: "Entah bagaimana dengan enci Bok sekarang..... Suhu telah menyuruh aku menjadi Pangcu dari Kay Pang, karena itu aku pun jadi memikirkan itu kawanan pengemis............."
Kwee Ceng tertawa.
"Maka itu aku pikir lebih baik kita pikirkan daya untuk berlalu dari sini...." katanya.
Oey Yong sudah selesai menyisiri, lalu ia mengondekan rambut pemuda itu.
"Yong-jie, kau menyisiri rambutku, kau mirip ibuku," kata Kwee Ceng.
"Kalau begitu, panggilah aku ibu!" Oey Yong tertawa.
Si anak muda diam saja, lantas si nona mengitik dia.
"Kau memanggil atau tidak?" nona itu pun menanya.
Kwee Ceng kaget kegelian, ia berjingkrak bangun, maka kacaulah pula kondenya.
"Kau tidak mau memanggil, ya sudah saja!" berkata Oey Yong tertawa. "Memang siapa yang sangat menginginkan itu? Kau tahu, di belakang hari tentu bakal ada orang yang memanggil ibu kepadaku. Nah, kau duduklah!"
Kwee Ceng berduduk pula, untuk si nona mengondekan pula rambutnya.
"Engko Ceng," si nona menanya pula, "Bagaimana tentang melahirkan anak. Tahukah kau?"
"Tahu."
"Coba bilang."
"Orang menikah menjadi suami istri, itu artinya mendapat anak."
"Hal itu pun aku tahu. Hanya bagaimana sebenarnya?"
"Sampai sebegitu jauh, aku tidak tahu. Cobalah kau bilang."
"Aku juga tidak tahu. Pernah aku tanya ayah, ayah bilang...."
Kwee Ceng hendak menanya jelas ketika mereka mendadak mendengar suara seperti cecer pecah di belakang mereka: "Urusan mendapat anak itu nanti juga kamu mendapat tahu sendiri! Sekarang air pasang mau naik pula!"
Keduanya terkejut. Mereka tidak menyangka Auwyang Hong - orang yang membuka suara nyaring itu - telah tahu-tahu berada di antara mereka. Muka Oey Yong pun menjadi merah. Kwee Ceng menyusul kawannya itu.
Auwyang Kongcu tertindih batu sehari semalam, ia payah bukan main.
"Nona Oey,!" berkata Auwyang Hong, suaranya keren. Ia pun menyusul mereka ini. "Kau yang bilang diwaktu air pasang bakal ada orang datang membantu kita. Urusan ini mengenai jiwa manusia, bukannya urusan main-main!"
"Ayahku pandai ilmu meramalkan, putrinya pasti mengerti juga ilmu itu tiga bagian," menyahut si nona. "Apakah artinya baru ilmu meramalkan?"
Auwyang Hong memang ketahui baik kepandaiannya Oey Yok Su.
"Jadinya ayahmu yang bakal datang?" dia menegaskan. "Bagus!"
"Hm!" si nona mendengarkan suara tawar. "Untuk urusan remeh ini kenapa aku mesti sampai mengganggu ayahku? Laginya, jikalau ayah dapat melihatmu, mana dia sudi mengasih ampun? Apakah yang kau buat girang?"
Disenggapi begitu, Auwyang Hong bungkam.
"Engko Ceng," berkata si nona, tanpa menggubris pula See Tok, "Coba kau tolong mencari bongkot pohon, semakin banyak semakin bagus. Pula pilihlah yang besar-besar."
Si anak muda bersedia untuk bekerja, ia lantas pergi. Oey Yong lantas bekerja, melara dadung dan menyambung yang putus kemarin.
Auwyang Hong tidak dapat berdiri diam saja, ia tanya nona itu apa benar Oey Yok Su bakal datang. Sia-sia belaka ia menanya sampai beberapa kali, Oey Yong ganda ia dengan bernyanyi-nyanyi perlahan, tangannya terus bekerja. Karenanya ia terpaksa ngeloyor pergi, untuk membantui Kwee Ceng mencari balok. Ia dapat melihat Kwee Ceng merobohkan pohon dengan serangan Hang Liong Sip-pat Ciang, dengan dua kali hajaran saja dia dapat mematahkan batang sebesar mangkok.
"Hebat bocah ini," memikir See Tok. "Dia pun hapal Kiu Im Cin-keng, kalau dia terus dikasih tinggal hidup, di belakang hari dia bakal menjadi bahaya untuk pihakku..." Maka berpikirlah ia, keponakannya ketolongan atau tidak, pemuda ini harus disingkirkan. Habis itu ia bekerja, ia membuatnya Kwee Ceng heran dan kagum. Ia berdiri di antara dua pohon, begitu ia menggeraki tangannya kedua pihak, dua-dua pohon itu roboh patah dengan berbareng.
"Paman Auwyang," Kwee Ceng menanya, "Sampai kapan aku dapat mencapai ilmu seperti yang dipunyakan kau ini?"
Wajah Auwyang Hong bermuram durja, di dalam hatinya, ia kata: "Tunggu sampai kau menitis pula..." Ia tidak memberikan jawaban pada pemuda itu.
Setelah memperoleh belasan potong balok, Kwee Ceng dan See Tok membawa itu semua kepada Oey Yong. Matanya See Tok kemudian diarahkan ke tengah laut. Ia mau melihat ada perahu datang atau tidak. Ketika itu air mulai naik. Terang sekali ia sudah tidak sabaran sekali, maka juga ia mengajak si nona dan pemuda lekas bekerja.
Kali ini Oey Yong mengikat potongan-potongan balok itu kepada batu. Ia pakai balok-balok itu untuk meminjam tenaga mengambangnya. Setelah itu, dengan dadung yang terikat rapi pula pada pohon besar, mereka mulai lagi dengan usahanya mendorong mutar ujung-ujung balok yang diikat pada pohon itu.
Percobaan si nona ini memberi hasil yang menyenangkan, dengan dibantu tenaga mengambangnya balok-balok itu, batu besar itu dapat terangkat hanya dengan beberapa putaran.
Auwyang Hong menyuruh muda-mudi itu menahan kuat-kuat, ia sendiri lari ke batu. Air telah pasang dalam, maka untuk menolongi keponakannya, ia mesti menahan napas untuk selulup. Tidak sukar untuknya memondong Auwyang Kongcu, buat dibawa ke darat.
Kegirangannya Kwee Ceng tidak terhingga besarnya yang pertolongan mereka itu telah berhasil, tanpa merasa ia bersorak-sorai, kemudian ia tarik tangannya Oey Yong, untuk diseret berlari-lari ke gua mereka tanpa memperdulikan pula itu paman dan keponakannya.
"Adik Yong, pantas atau tidak aku bersorak?" tanya Kwee Ceng. "Hatimu lega atau tidak?"
"Aku hanya lagi memikirkan tiga soal yang aku merasakan kesulitannya," menyahut si nona.
"Kau sangat cerdas, kau pasti mempunyai dayanya," berkata pula Kwee Ceng. "Soal-soal apakah itu?"
Oey Yong menyebut-nyebut kesulitan tetapi ditanya begitu, ia bersenyum. Hanya, belum lagi ia memberikan jawabannya atau kedua alisnya telah dikerutkan.
"Soal yang pertama tidak apa," berkata Ang Cit Kong yang semenjak tadi berdiam saja. "Yang kedua dan yang ketiga memang sulit sekali, sungguh itu dapat membuat orang tidak berdaya..."
Kwee Ceng menjadi heran.
"Eh, mengapakah suhu mendapat tahu?" katanya. "Apakah itu?"
"Aku dapat menerka pikirannya Yong-jie," menyahut sang guru. "Yang pertama-tama yaitu dengan cara bagaimana dia dapat mengobati lukaku. Di sini tak ada tabib, tak ada obat, aku si pengemis tua menyerah saja kepada takdir. Lihat saja, aku bakal mati atau bisa hidup terus... Yang kedua itu ialah bagaimana caranya untuk melawan Auwyang Hong si licin dan berbisa itu. Dia suka berbalik pikir, maka dia tak lah dapat dipercaya habis segala pembilangannya. Dia sangat lihay, kamu berdua tidak nanti bisa menempur padanya. Yang ketiga ialah soal bagaimana kita bisa dapat pulang ke daratan. Benar bukan, Yong-jie?"
Nona itu mengangguk.
"Benar!" sahutnya. "Inilah soal sangat penting untuk kita, soal bagaikan bencana di depan mata. Aku memikir jalan untuk dapat mengendalikan si tua bangka berbisa itu, walaupun tidak sempurna, asal dia dapat dibikin tidak berani memandang sebelah mata kepada kita."
"Melihat keadaan, sekarang ini kita mesti melawan si bisa bangkotan itu dengan otak bukannya dengan tenaga," berkata Ang Cit Kong. "Hanya dia sangat cerdik dan licin, inilah kesulitannya. Sukar dia dapat diperdayakan..."
Oey Yong berdiam, ia berpikir. Kwee Ceng pun tidak berdaya.
Ang Cit Kong berpikir keras sekali, ia merasakan dadanya sakit, karena itu ia lalu batuk-batuk.
Nona Oey kaget, lekas-lekas ia pegangi guru itu, untuk dikasih rebah.
Disaat itu, mendadak gua menjadi gelap, ada bayangan hitam yang mengalinginya. Si nonalah yang paling dulu mengangkat kepalanya. Ia melihat Auwyang Hong berdiri tegar seraya memondong keponakannya. Dengan suara serak tetapi bengis, See Tok membentak: "Kamu semua keluar! Serahkan gua ini padaku untuk aku merawat keponakanku!"
Kwee Ceng gusar hingga ia berlompat bangun.
"Di sini ada guruku!" ia berseru.
Auwyang Hong mengasih dengar suara dingin: "Sekalipun Giok Hong Taytee yang tinggal disini, dia juga mesti keluar!"
Kwee Ceng bertambah gusar, tetapi Oey Yong lekas menarik tangan bajunya, kemudian si nona memondong tubuh gurunya, untuk dibawa keluar dari gua itu.
Selagi lewat di samping Auwyang Hong, Cit Kong menyeringai.
"Sungguh gagah, sungguh angker!" ia menyindir.
Matanya Auwyang Hong mencilak. Kalau ia menyerang, segera Ang Cit Kong akan terbinasa, entah kenapa ia merasakan suatu pengaruh aneh, maka lekas-lekas ia berpaling ke arah lain, untuk menyingkir dari mata tajam si pengemis. Walaupun begitu, mulutnya membilang: "Sebentar kamu membawakan barang makanan untuk kami berdua. Dan kau, dua makhluk cilik, jikalau kamu main gila dengan barang makanan itu, hati-hati jiwamu bertiga!"
Ketiganya berjalan terus, hati mereka panas. Kwee Ceng sangat mendongkol, ia mengutuk tak hentinya. Pak Kay dapat menutup mulut, demikian juga Oey Yong. Hanya nona ini bekerja otaknya.
"Kamu tunggu sebentar di sini, akan aku mencari tempat yang baru," kata Kwee Ceng kemudian.
Oey Yong menurut, ia berhenti di bawah sebuah pohon yang teduh.
Di atas pohon itu ada dua ekor bajing tengah berlari-lari di cabang-cabang, lari turun naik, matanya mengawasi kepada ketiga orang itu. Berani mereka itu, mereka berani datang dekat kira-kira tiga kaki.
Oey Yong tertarik kepada kedua bajing itu.
Seekor bajing berani sekali, dia datang dekat dan mencium-cium nona itu. Kawannya lebih berani pula, dia turun dan merayap di ujung bajunya Ang Cit Kong!
Oey Yong menghela napas, ia berkata: "Terang sudah di sini tak pernah ada manusia. Lihat, binatang ini tidak takut orang."
Mendengar suara orang, bajing itu lari naik ke atas.
Oey Yong mengawasi, maka ia dapat melihat banyak cabang-cabang pohon yang besar, yang terlibat-libat oyot otan. Daun pohon itu pun lebat sekali.
"Sudah engko Ceng, tak usah kau pergi mencari tempat lagi," berkata nona ini. "Mari kita naik saja ke atas pohon ini."
Kwee Ceng sudah bertindak ketika ia mendengar suara si nona. Ia mengangkat kepalanya, untuk melihat ke atas. Benar-benar ia mendapatkan sebuah tempat perlindungan.
Sampai disitu keduanya naik ke atas pohon itu. Mereka menekan cabang-cabang, mereka pun membuat palangan, hingga di situ terdapat ruangan seperti lauwteng, di mana orang bisa duduk atau rebah. Setelah selesai, mereka turun untuk mengangkat Ang Cit Kong naik ke atas. Mereka tak usah manjat lagi, cukup dengan mereka mendukung guru itu di kiri dan kanan, dengan berbareng mereka mengenjot tubuh untuk berlompat ke atas. Maka dilain saat, Pak Kay sudah dapat dipernahkan dengan baik.
"Untuk sementara kita berdiam di atas pohon ini bagaikan burung!" berkata si nona tertawa. "Biarlah mereka itu berdiam di dalam gua bagai binatang-binatang berkaki empat!"
"Bilang Yong-jie, kau hendak memberikan makanan atau tidak kepada mereka?" Kwee Ceng tanya.
"Sekarang ini kita belum mendapat jalan, kita pun tidak dapat melawan pada si tua bangka berbisa itu," menyahut si nona, "Maka untuk sementara baik kita menurut saja..."
Kwee Ceng berdiam. Ia mendongkol berbareng masgul sekali.
Oey Yong mengajaki pemuda itu pergi ke belakang bukit, untuk berburu. Mereka berhasil merobohkan seekor kambing gunung, yang mereka terus sembelih, dijadikan dua potong. Mereka menyalakan api untuk membakarnya.
Setelah dibakar matang, Oey Yong lemparkan yang separuh ke tanah.
"Kau kencingin!" ia kata pada Kwee Ceng.
Si anak muda tertawa.
"Ah, dia tentu mendapat tahu nanti..."
"Jangan kau pedulikan! Kau kencinginlah!" berkata si nona.
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah.
"Aku tidak bisa...." sahutnya.
"Kenapakah?"
"Sekarang aku belum ingin membuang air kecil..."
Mendengar itu si nona tertawa terpingkal-pingkal.
Tiba-tiba terdengar suaranya Ang Cit Kong di atas pohon.
"Kau lemparkan ke atas, nanti aku yang kerjakan!" kata si tua bangkotan yang jenaka itu.
Kwee Ceng tertawa, ia berlompat naik dengan daging kambing itu.
Pak Kay sudah lantas membuktikan perkataannya itu.
Sembari tertawa Kwee Ceng lompat turun pula, terus ia bertindak ke arah gua.
"Tunggu dulu!" Oey Yong mencegah. "Mari itu yang sepotong lagi!"
"Apa? Yang bersih?" tanya si anak muda. Ia menggaruk-garuk kepalanya saking heran.
"Benar!" menyahut si nona. "Kita berikan si tua bangka yang bersih..."
Walaupun ia ada sangat tidak mengerti, Kwee Ceng toh berbuat seperti katanya si nona yang ia sangat percayai itu. Ia menukar daging bersih dengan daging yang telah diberi air kencing itu.
Oey Yong memanggang pula daging yang kotor itu, kemudian ia pergi mencari bebuahan.
Juga Ang Cit Kong tidak mengerti perbuatannya si murid, ia menjadi heran berbareng masgul.
Oey Yong memanggang daging hingga menyiarkan baunya yang lezat, yang membangkitkan nafsu berdahar. Demikian Auwyang Hong di dalam guanya, hidungnya dapat mencium bau itu, lekas-lekas ia keluar, setibanya di mulut gua, tidak menanti Kwee Ceng - yang membawakan daging - dekat padanya, ia sudah memburu untuk menyambuti separuh dirampas.
Hebat nafsu dahar dari See Tok ini tetapi mendadak air mukanya berubah.
"Mana yang sebelah lagi?" mendadak ia bertanya.
Si anak muda tidak menjawab dengan mulutnya, ia cuma menunjuk ke belakang.
Tanpa membilang suatu apa, Auwyang Hong bertindak cepat ke bawah pohon di sana ia sambar daging kambing yang sebelahnya itu, sedang yang berada di tangannya ia lemparkan ke tanah. Tetap dengan tidak membilang suatu apa, kecuali ketawa dingin, ia memutar tubuhnya akan kembali ke guanya.
Kwee Ceng cepat-cepat berpaling ke arah lain, kalau tidak, pastilah akan terlihat wajahnya yang menahan tertawa. Ia anggap lucu sekali perbuatannya Auwyang Hong itu, yang telah terjebak Oey Yong. Baru setelah orang pergi jauh, ia lari kepada Oey Yong, wajahnya tersungging senyum.
"Yong-jie!" katanya tertawa, "Kenapa kau ketahui dia bakal menukarnya?"
Si nona itu pun tertawa.
"Bukannya ilmu perang ada membilang," menyahut si nona, "Bahwa yang kosong itu berisi, dan yang berisi ialah kosong? Si tua bangka berbisa itu pasti menduga kita menaruhkan racun di daging yang kita berikan padanya, dia tak sudi kena diakali, tetapi aku, aku justru menghendaki dia terpedaya!"
"Hebat!" memuji si anak muda, yang terus membeset daging itu, untuk dibawa naik ke ranggon pohonnya yang istimewa, untuk menyuguhkan kepada gurunya, kemudian bersama si nona ia pun turut dahar.
Auwyang Hong dan keponakannya dahar daging panggang itu dengan bernafsu. See Tok merasakan bau engas, ia menyangka daging itu memang demikian bau asalnya, ia menangsal terus.
Bertiga Oey Yong berdahar dengan hati mereka riang gembira.
"Yong-jie," berkata Kwee Ceng kemudian. "Akalmu ini bagus tetapi berbahaya..."
"Mengapa?" tanya si nona.
"Umpama kata si tua bangka berbisa tidak menukar, bukankah kita bakal makan daging yang kotor dan bau itu?"
Oey Yong tertawa terpingkal-pingkal, hingga tubuhnya miring dan jatuh ke tanah, tetapi ia dapat jatuh berdiri, maka dilain detik ia sudah berada di atas pula.
"Benar, benar, memang berbahaya sekali!" katanya.
Ang Cit Kong bersenyum, tetapi ia menghela napas ketika ia berkata: "Anak-anak yang tolol, kalau benar dia tidak menukarnya, apakah kamu tidak dapat makan daging bau pesing itu?"
Kwee Ceng melengak, lalu ia tertawa hingga ia pun terguling-guling dari tempat duduknya, jatuh ke tanah seperti si nona tadi.
Setelah sang gelap petang datang, Auwyang Kongcu merintih karena rasa nyerinya, sedang Auwyang Hong pergi ke bawah pohon.
"Budak kecil, kau turun!" ia memanggil Oey Yong, suaranya bengis.
Si nona terkejut. Ia tidak menyangka orang datang demikian lekas.
"Mau apa?!" ia terpaksa menyahuti.
"Keponakanku menghendaki air teh, pergi kau melayani dia!" menitah See Tok.
Kaget ketiga orang di atas pohon itu, berbareng dengan itu, panas hati mereka.
"Lekas!" terdengar pula suara Auwyang Hong. "Kau mau tunggu apa lagi?!"
"Mari kita mengadu jiwa dengannya!" berkata Kwee Ceng perlahan.
"Lebih baik kamu berdua kabur ke belakang gunung," Ang Cit Kong bilang. "Jangan kau pedulikan aku lagi..."
Dua-dua jalan itu, mengadu jiwa dan merat, telah dipikirkan Oey Yong. Dua-dua jalan itu pasti akan mengakibatkan kebinasaannya Ang Cit Kong. Inilah ia tidak menginginkannya. Maka akhirnya ia pikir baik mereka mengalah saja. demikian ia lompat turun.
"Baiklah, nanti aku lihat lukanya!" ia kata.
"Hm!" See Tok mengasih dengar suaranya yang dingin. "Eh, bocah she Kwee, kau juga turun!" ia menambahkan, membentak. "Apakah kau ingin enak-enak tidur nyenyak?! Bagus betul!"
Dengan menahan sabar sebisanya, Kwee Ceng berloncat turun.
"Malam ini kau mesti menyediakan untukku seratus potong balok yang besar," menitah si Bisa dari Barat, "Kalau kurang sepotong saja, kakimu sebelah akan kuhajar patah! Kalau kurang dua, dua-duanya kakimu patah semua!"
"Buat apa balok itu?!" Oey Yong tanya. "Laginya malam gelap buta rata seperti ini, cara bagaimana orang mencarinya dan mengerjakannya?!"
"Budak cilik, kau banyak bacot! Lekas kau rawati keponakanku! Ada apa hubungannya kau dengan urusan si bocah cilik ini? Pergi kau, kalau kau main gila, siksaan akan menjadi bagianmu!" Ia mengancam pada Kwee Ceng.
Oey Yong memberi tanda kepada si anak muda untuk bersabar, lantas ia bertindak pergi, diikuti si Bisa dari Barat.
Kwee Ceng mengawasi sampai orang tak terlihat lagi, ia lantas menjatuhkan diri, berduduk dengan memegangi kepalanya. Ia berpikir keras, gusarnya dan mendongkol dan berduka juga, hampir air matanya turun mengucur.
Tiba-tiba terdengar suaranya Ang Cit Kong: "Kakekku, ayahku, juga aku semasa kecilku, kita menderita sangat dari bangsa Kim, kita menjadi budak, maka itu apakah artinya kesengsaraan seperti ini?"
Kwee Ceng terkejut, ia mendusin.
"Kiranya dulu suhu pernah menjadi budak..." hatinya bekerja. "Siapa sangka kemudian suhu menjadi satu ahli silat kenamaan dan ketua dari Partai Pengemis! Kalau sekarang aku bersabar, boleh apakah?"
Karena ini, si anak muda mengambil ketetapannya. Dengan membawa obor kayu cemara, ia pergi ke gunung belakang. Ia bekerja dengan menggunai pukulan Hang Liong Sip-pat Ciang, merobohkan pohon-pohon sebesar mulut mangkok yang besar. Ia berbesar hati, ia berlaku ulet. Ia percaya betul Oey Yong bakal dapat meloloskan diri, sebagaimana dulu si nona lolos dari istana Chao Wang.
Ilmu silat Hap Liong Sip-pat Ciang itu memerlukan tenaga besar dan keuletan, inilah berat untuk Kwee Ceng yang masih muda, yang tenaga dalamnya masih meminta latihan. Belum sejam lamanya, ia sudah berhasil merobohkan duapuluh satu pohon, ketika ia menghajar pohon yang keduapuluh dua, ia merasakan tangannya sakit, maka itu pohon tidak roboh, sebaliknya dadanya sakit pula. Ia terkejut, lekas-lekas ia duduk bersila, untuk memusatkan semangatnya, untuk meluruskan nafasnya.
Setelah satu jam lamanya ia beristirahat seperti itu, ia berbangkit untuk memulai dengan pekerjaannya. Pohon itu dapat juga dirobohkan. Tetapi, ketika ia hendak mulai lagi kali ini ia merasa lemas sekali. Ia mengerti bahwa ia tidak bisa memaksakan diri, atau ia bakal terluka di dalam. Hanya ia menjadi bingung. Di pulau kosong ini di mana ia bisa dapat golok atau kampak! Dengan tangan kosong, bagaimana ia dapat bekerja terus? Ia jadi berkhawatir sekali untuk kedua kakinya. Ia masih membutuhkan hampir delapanpuluh batang lagi.
"Keponakannya telah patah kedua kakinya," kemudian ia berpikir lebih jauh, "Karena itu tentulah dia sangat membenci sekali padaku, kalau malam ini aku bisa menyediakan seratus batang, mungkin lain malam ia akan meminta seribu batang lagi. Kapan habisnya pekerjaan ini? Dia pun tidak dapat dilawan. Di sini pasti tidak bakal ada penolong untuk kita..."
Pemuda ini menghela napas, ia berputus asa.
"Taruh kata tempat ini bukan pulau kosong, siapa yang dapat menolongi kita?" ia ngelamun pula. "Suhu telah runtuh ilmu silatnya, nasibnya belum ketahuan bagaimana. Ada ayahnya Yong-jie tetapi ia pun sangat membenci padaku. Coan Cit Cit Cu dan keenam guruku dari Kanglam juga bukan tandingannya See Tok ini. Tinggallah kakak angkatku, Ciu Pek Thong, tetapi ia pun sudah terjun ke laut di mana dia membunuh diri..."
Mengingat Ciu Pek Thong, Kwee Ceng jadi bertambah benci dan murka kepada Auwyang Hong. Ia merasa berkasihan kepada kakak angkatnya itu, yang paham Kiu Im Cin-keng tetapi yang tidak hendak menggunainya. Kakak itu pun pandai ilmu silat memecah diri menjadi sebagai dua orang - dua pikirannya. Sayang kepandaian itu menjadi tidak ada gunanya.
"Ah, Kiu Im Cin-keng! Kepandaian dua tangan kiri dan kanan saling berkelahi sendiri...."
Berpikir sampai di situ, Kwee Ceng seperti melihat bintang terang di langit yang gelap.
"Memang sekarang aku tidak dapat melawan See Tok," demikian ia mendapat pikiran baru, "Tetapi Kiu Im Cin-keng ada pelajaran istimewa seperti istimewanya cara berkelahi dengan dua tangan itu. Kenapa aku tidak hendak menyakinkan itu bersama Yong-jie, menyakinkan terus bersama-sama siang dan malam, sampai tiba saatnya mengadu jiwa dengan si tua bangka berbisa itu?"
Keras Kwee Ceng berpikir, ia tidak memperoleh kesudahan yang memuaskan.
"Ah, mengapa aku tidak mau menanyakan pikirannya suhu?" kemudian ia ingat lagi. "Suhu kehilangan kepandaiannya tetapi tidak ingatannya, ia dapat memberi petunjuk padaku..."
Tidak ayal lagi, Kwee Ceng pulang. Di atas pohon, ia utarakan apa yang ia pikir barusan terhadap gurunya.
Agaknya Ang Cit Kong setujui pikirannya muridnya ini.
"Sekarang coba kau membaca perlahan-lahan bunyinya Kiu Im Cin-keng," berkata sang guru ini, "Nanti aku lihat ada daya apa yang dapat mempercepat pernyakinanmu....."
Kwee Ceng menurut, ia mulai membaca.
Tempo si anak muda membaca bagian "Orang tahu dengan duduk berdiam dia akan memperoleh kemajuan, tetapi dia tahu untuk mencapai kemahiran dibutuhkan keinsyafan, ketenangan dan kecerdasan, tubuh dan pikiran harus bekerja berbareng. Kita harus bergerak seperti berdiam, walaupun kita dibentur, kita tetap tenang," mendadak Cit Kong berlompat bangun seraya mulutnya berseru: "Oh...!"
"Kenapa, suhu?" tanya Kwee Ceng heran.
Pak Kay tidak menyahuti, ia hanya terus berpikir. Ia memahamkan artinya kata-kata dari Kiu Im Cin-keng itu.
"Coba kau mengulangi satu kali lagi," katanya kemudian.
Kwee Ceng girang, ia percaya gurunya ini sudah memperoleh sesuatu ingzan, maka ia membaca lagi.
"Benar," Cit Kong berkata sambil mengangguk-angguk. "Kau melanjuti terus...."
Kwee Ceng menurut, ia menghapal terus-terusan, di dekat akhirnya, ia membaca: "Mokansukojie pintek kim-coat-ouwsongsu kosannie..."
"Apa kau bilang?" tanya Cit Kong heran. Dia memotong.
"Aku pun tidak tahu artinya," sahut Kwee Ceng. "Ciu Toako tidak menjelaskannya."
"Nah, kau bacalah terus."
Kwee Ceng membaca pula, "Kiatjie-hoatsu katlo..." demikian seterusnya, untuk itu ia mengeluarkan suara gigi dan lidah.
"Oh, kiranya kitab itu pun memuat mantera menangkap iblis..." berkata Cit Kong kemudian. Hampir ia meneruskan mengatakannya, "Kiranya si imam busuk gemar main gila untuk memperdayakan orang..." tetapi ia dapat membatalkan itu. Ia mengerti Kiu Im Cin-keng mestinya istimewa sekali.
"Anak Ceng," katanya selang sesaat, "Kitab Kiu Im Cin-keng memuat ilmu yang lihay luar biasa, tak dapat itu dipahamkan hanya semalam dan seharian..."
Kwee Ceng menyesal, ia putus asa.
"Sekarang pergilah lekas kau membuatnya duapuluh batang pohon itu menjadi sebuah getek," kata Cit Kong. "Daya yang paling utama untukmu ialah menyingkirkan diri. Aku akan berdiam bersama Yong-jie di sini, aku akan melihat selatan."
"Tidak suhu!" berkata Kwee Ceng. "Mana dapat aku meninggalkan kau..."
"See Tok jeri terhadap Oey Lao Shia, tidak nanti dia mencelakai Yong.jie," Cit Kong memberi penjelasan. "Aku sendiri, aku sudah tidak berguna lagi...."
Kwee Ceng menjadi panas hatinya dan mendongkol, saking penasaran ia melampiaskannya dengan menghajar batang pohon di depannya. Hebat serangannya itu, suaranya sampai terdengar jauh dan berkumandang.
"Eh, anak Ceng," tanya Cit Kong heran. "Barusan kau memukul dengan tipu silat apa itu?"
"Kenapa, suhu?"
"Kau menghajar hebat tetapi batang pohon itu tak bergeming..."
Si anak muda menjadi merah mukanya. Ia mengaku karena kehabisan tenaga, ia tidak dapat memakai tenaga lagi.
"Bukan, bukannya begitu," kata guru itu. "Pukulan itu ada sedikit aneh. Coba kau mengulanginya sekali lagi!"
Kwee Ceng tetap heran tetapi ia menurut. Ia menghajar pula. Hebat suara hajaran itu tetapi tetap pohon itu tidak gempur. Sekarang ia sadar sendirinya. Maka ia lantas berkata: "Sebenarnya inilah pukulan Kong-beng-kun yang terdiri dari tujuhpuluh dua jurus yang diajarkan oleh Ciu Toako."
"Kong-beng-kun?" tanya Cit Kong. "Belum pernah aku dengar itu..."
"Kong-beng-kun" ialah pukulan Tangan Kosong. Arti sebenarnya yaitu "kosong terang".
"Selama Ciu Toako dikurung di Tho Hoa To," Kwee Ceng memberi keterangan, "Dia menganggur tiap hari. Lantas ia menciptakan ilmu pukulannya itu. Dia mengajarkan aku enambelas huruf yang menjadi rahasia tipu silatnya itu, ialah 'Berhasil besar seperti pecah, kegunaannya tak buruk, terlalu penuh seperti meletus, kegunaannya tak habisnya.' Baiklah kalau sekarang muridmu menjalankannya untuk suhu lihat?"
"Sekarang ini malam gelap, tidak dapat aku melihatnya," menyahut sang guru. "Lagi pula inilah ilmu silat mahir, tidak usah dijalankan lagi. Kau menuturkan saja untuk aku mendengarnya."
"Kwee Ceng lantas menutur, mulai dari jurus pertama "Mangkok kosong diisi nasi", jurus kedua "Rumah kosong ditinggali orang", demikian seterusnya. Ia pun menjelaskan maknanya setiap huruf.
Ciu Pek Thong berandalan dan jenaka, maka jenaka juga namanya semua jurusnya itu.
Ang Cit Kong cerdas sekali, setelah mendengar sampai di jurus kedelapanbelas ia memegat: "Sudah cukup tidak usah kau menuturkan terlebih jauh. Sekarang kita dapat menempur See Tok!"
"Dengan menggunai Kong-beng-kun ini?" tanya Kwee Ceng heran. "Aku khawatir aku belum berlatih mahir."
"Aku ketahui ini tetapi kita mesti mencari kehidupan di antara kematian, kita harus mencoba menempur bahaya. Bukankah kau membawa pisau belati pengasihnya Khu Cie Kee?"
Kwee Ceng menghunus pisaunya itu, yang di dalam gelap masih berkelebat sinarnya.
"Sekarang kau pergi menebang pohon dengan memakai pisau ini dengan menggunakan ilmu silat Kong-beng-kun itu," menitah Cit Kong.
Kwee Ceng bersangsi. Pisaunya itu panjangnya cuma sekaki lebih dan bagian tajamnya pun tipis.
"Aku mengajarkan kau Hang Liong Sip-pat Ciang," berkata gurunya. "Itulah ilmu silat pihak Luar, Gwa-kee. Kong-beng-kun sebaliknya ilmu silat pihak Dalam, Lay-kee. Maka kalau kau gunai kedua ilmu silat itu dengan dirangkap, pisau ini tajam sehingga dapat memotong emas dan kumala! Apakah artinya baru pohon? Ingat, asal diwaktu menggunai tenaga kau mengutamakan itu huruf rahasia 'kosong'."
Kwee Ceng lantas saja mengerti, maka lantas ia lompat turun. Ia mencari sebuah pohon yang besar. Untuk menghajar, ia menggunai tenaga dari Kong-beng-kun, tenaga yang ringan, seperti acuh tak acuh. Ia hanya mengurat bongkot pohon, menggurat ke sekitarnya, tetapi kesudahannya, pohon itu roboh. Bukan main girangnya ia. Ia mencoba terus, sebentar saja ia sudah dapat belasan pohon. Dengan begitu, tak usah sampai terang tanah, ia sudah berhasil menyediakan seratus pohon yang dimintai itu.
"Anak Ceng, mari naik!" tiba-tiba Cit Kong memanggil.
Murid itu melompat naik.
"Benar berhasil, suhu!" ia berseru. "Sedikit pun aku tak usah menggunai tenaga besar."
"Dengan menggunai tenaga besar artinya tak berhasil, bukan?"
"Benar, suhu."
"Untuk menebang pohon, tenagamu berlebihan," berkata sang guru. "Untuk melawan See Tok, masih kurang. Maka itu kau mesti meyakinkan dulu Kiu Im Cin-keng, baru ada ketikanya untuk menangi dia. Mari kita memikirkan daya untuk melawannya..."
Bicara dari hal berpikir, atau mencari akal, Kwee Ceng tidak dapat berbuat apa-apa, maka itu, ia berdiam saja.
"Aku juga belum dapat memikir," kata Cit Kong selang sekian lama. "Kita tunggu saja besok, biar Yong-jie yang memikirkannya. Anak Ceng, mendengar kau membaca Kiu Im Cin-keng aku ingat suatu apa, setelah aku memikirkannya, rasanya aku tidak memikir salah. Sekarang mari kau pegangi aku, hendak aku turun untuk bersilat....."
Kwee Ceng terkejut.
"Jangan, suhu!" ia mencegah. "Lukamu masih belum sembuh! Mana bisa suhu berlatih?"
"Tetapi kitab toh menyebutnya, '...tubuh dan pikiran harus bergerak berbareng, bergerak tapi seperti diam, walaupun dibentur, kita tetap tegar'. Maka marilah kita turun."
Kwee Ceng masih tetap tidak mengerti tetapi dia toh memondong gurunya itu.
Ang Cit Kong berdiri sambil memusatkan pikirannya, sesudah itu ia memasang kuda-kudanya. Ketika ia meninju, dengan samar-samar Kwee Ceng melihat tubuh gurunya terhuyung, ia segera maju untuk menolongi, tetapi begitu lekas juga, guru itu sudah berdiri tetap pula, hanya napasnya sedikit memburu.
"Tidak mengapa," berkata sang guru itu.
Dilain saat, Cit Kong meninju dengan tangan kirinya. Kwee Ceng melihat kembali guru itu terhuyung, kali ini dia diam saja, ia mengawasi terus.
Cit Kong meninju pula, berulang-ulang dari perlahan hingga sedikit cepat. Nyatanya makin lama dia semakin tetap. Mulanya ia bernapas keras, kemudian napasnya lurus. Diwaktu memutar tubuh, kuda-kudanya pun tetap.
Bersilat terus, Ang Cit Kong bisa menjalankan habis Hang Liong Sip-pat Ciang, karena ia merasa masih kuat, ia meneruskan dengan Hok Houw Kun, ilmu silat Menaklukkan Harimau.
Begitu lekas gurunya sudah berhenti bersilat, karena girangnya Kwee Ceng berseru, "Kau telah sembuh, suhu!" Ia girang bukan kepalang.
"Pondong aku naik!" Ang Cit Kong meminta.
Kwee Ceng menurut, ia bawa gurunya berlompat ke atas.
"Bagus, suhu, bagus!" ia memuji.
"Bagus apa!" kata guru itu, menghela napas. "Apa yang aku jalankan barusan cuma bagus dipandang, gunanya tak ada..."
Kwee Ceng heran.
"Setelah terluka, aku cuma beristirahat saja," menerangkan gurunya itu, "Tidak tahunya sebenarnya semakin berlatih dan banyak bergerak, semakin baik. Sekarang ini sudah terlambat, walaupun jiwaku ketolongan, kepandaianku tidak bakal pulih kembali."
Kwee Ceng hendak bicara, tak tahu ia harus bicara apa, maka kemudian ia bilang saja. "Sekarang hendak aku memotong kayu pula."
Murid ini belum berlompat turun ketika gurunya berkata: "Anak Ceng, sekarang aku dapat akal untuk menggertak si tua bangka berbisa itu. Coba kau lihat, akalku bakal berjalan atau tidak?"
Guru ini terus menuturkan akalnya itu.
"Bagus, suhu!" Kwee Ceng berseru. "Ini tentu berhasil!"
Sampai di situ, murid ini pergi turun pula, untuk bekerja, untuk bersiap.
Besok paginya, Auwyang ong muncul untuk memeriksa jumlah pohon, ia mendapatkan cuma sembilanpuluh, masih kurang sepuluh lagi. Ia tertawa dingin, terus ia berteriak: "He, anak campur aduk, lekas kau mengelinding keluar! Mana yang sepuluh pohon lagi?!"
Perih rasa hati Oey Yong mendengar perkataan orang yang kotor itu. Semenjak sore ia mendampingi Auwyang Kongcu, untuk merawatnya dengan terpaksa. Kapan ia mendengar rintihan pemuda itu, hatinya menjadi lemah. Sebaliknya, mengingat kecewirisan orang, ia jemu. Ketika pagi itu Auwyang Hong keluar, diam-diam ia keluar juga, maka itu, ia dapat dengar suara yang kasar dari See Tok.
Atas pertanyaanya Auwyang Hong tidak ada jawaban. Di atas pohon sepi saja. Maka See Tok lantas mengawasi ke atas, kupingnya pun dipasang. Tiba-tiba ia mendengar suara desiran angin dari gunung belakang, suara angin dari orang yang tengah bertempur. Ia menjadi heran, lekas-lekas ia lari untuk melihat. Begitu lekas ia menampaknya, ia menjadi kaget.
Di sana Ang Cit Kong lagi bertempur sama Kwee Ceng, hebat gerakan tangan dan kaki keduanya.
Oey Yong pun menyaksikan, ia juga heran bukan main. Ia hanya heran bercampur girang. Rupanya tenaga gurunya itu sudah pulih kembali, maka juga ia bisa bersilat dan dapat berlatih kembali dengan Kwee Ceng.
"Anak Ceng, hati-hatilah kau dengan jurus ini!" terdengar pemberian ingat dari Pak Kay ketika ia hendak menyerang. Ia terus saja menolak.
Kwee Ceng menggeraki tangannya, untuk menangkis, hanya belum lagi tangan mereka beradu, ia sudah mencelat mundur seperti yang tertolak dengan keras, bahkan tubuhnya itu membentur sebuah pohon di belakangnya.
"Bruk!" demikian satu suara keras. Pohon itu roboh dan tubuh si anak muda terpelanting.
Pohon itu tidak terlalu besar, kira-kira sebesar mulut mangkok, tetapi toh heran telah roboh terbentur tubuh Kwee Ceng.
Menyaksikan itu, Auwyang Hong berdiri tercengang, mulutnya menganga.
"Suhu!" Oey Yong berteriak. "Pukulan lihay dari Pek-kong-ciang!"
Ang Cit Kong tidak menjawab murid ini, hanya ia serukan Kwee Ceng: "Anak Ceng, luruskan napasmu, untuk menjaga kau tidak sampai terluka di dalam!"
"Teecu tahu, suhu!" menyahut Kwee Ceng, yang sementara itu sudah maju pula, untuk melanjuti pertempuran. Hanya beberapa jurus, kembali ia terhajar terpelanting mundur, bahkan kembali membentur pohon hingga pohon itu roboh seperti yang semula tadi.
Auwyang Hong terus berdiri diam. Ia mengawasi latihannya guru dan murid itu. Hebatnya saban-saban Kwee Ceng kena dihajar mental mundur, saban mental dia membentur pohon, pohonnya roboh seketika. Dari itu, cepat sekali, sepuluh pohon sudah rebah di tanah.
Oey Yong menghitung.
"Sepuluh pohon!" dia berseru.
Kwee Ceng bernapas sengal-sengal, agaknya ia letih sekali.
"Teecu tidak kuat berlatih lebih lama lagi..." katanya susah.
Ang Cit Kong tertawa, ia berkata: "Ilmu silat Kiu Im Cin-keng ini benar-benar luar biasa! Aku tengah terluka parah, tetapi pagi ini, sekali saja berlatih, aku berhasil!"
Auwyang Hong heran dan bercuriga, maka ia dekati pohon-pohon yang roboh itu, untuk memeriksa. Ia mendapatkan, bagian yang patah itu meninggalkan bekas yang licin seperti bekas dipotong atau digergaji.
"Benarkah kitab ini begini lihay?" ia berpikir. "Kelihatannya si pengemis bangkotan ini menjadi terlebih lihay daripada yang sudah-sudah.... Kalau mereka bergabung menjadi satu, mana sanggup aku melawan mereka? Tidak boleh ayal lagi, aku pun mesti lekas berlatih!"
Ia melirik kepada tiga orang itu, terus ia memutar tubuhnya untuk lari ke gua. Setibanya, ia keluarkan bungkusannya dalam mana terisi naskah kitab Kiu Im Cin-keng, yang ditulis Kwee Ceng, ia buka untuk dibaca, untuk memahaminya, untuk nanti melatih diri.
Cit Kong dan Kwee Ceng menanti sampai See Tok sudah lenyap dari pandangan mata mereka, lantas mereka tertawa terbahak-bahak.
Oey Yong menghampirkan mereka.
"Suhu, inilah hebat!" pujinya. "Luar biasa isi kitab itu!"
Cit Kong tengah tertawa tak sempat ia menyahuti muridnya itu.
"Kami sedang bersandiwara!" Kwee Ceng memberitahu.
Si nona heran, ia mengawasi.
Si pemuda tidak menanti lama untuk membeberkan rahasianya. Ialah mereka berlatih kosong, sedang semua pohon itu, lebih dulu sudah dipotong, ditinggalkan sedikit bagian tengahnya agar tidak roboh, maka dengan ditabrak Kwee Ceng, robohlah semua dengan segera. Kwee Ceng pun terpental bukan karena serangan, hanya berbareng diserang, ia mencelat mundur seperti terpelanting, sengaja ia membentur setiap pohon itu. Auwyang Hong tidak tahu rahasianya itu, tentu ia kena diakali.
Mendengar itu, kalau tadinya ia tertawa, Oey Yong menjadi berdiam, sepasang alisnya pun dikerutkan.
Ang Cit Kong tertawa, ia berkata: "Aku si tua bangka bisa menggeraki pula tangan dan kakiku, untuk berjalan, ini pun sudah membuatnya aku beruntung. Sekarang ini aku tidak memikirkan itulah ilmu silat yang tulen atau yang palsu! Yong-jie, adakah kau berkhawatir kemudian See Tok bakal mengetahui rahasia kita ini?"
Oey Yong mengangguk. Jitu terkaan gurunya itu.
"See Tok sangat bermata tajam dan cerdas, memang tak selayaknya dia dapat diakali. Tapi, segala apa sukar diduga-duga, maka sekarang ini tak usahlah kita berkhawatir. Aku sekarang ingat Kwee Ceng, di situ ada bahagian pelajaran ' menukar urat menguatkan tulang' itulah luar biasa, aku pikir, selagi kita luang tempo, baik kita sama-sama menyakinkannya."
Sabar bicaranya sang guru, tetapi Oey Yong menginsyafi artinya.
"Baik, suhu," katanya. "Mari kita mulai!"
Cit Kong menitahkan Kwee Ceng membaca di luar kepala hingga dua kali bagian itu yang berfasal "Ie Kin Toan Kut Pian", lalu ia memberikan penjelasan, terus ia suruh kedua muridnya berlatih, sesudah itu, ia pergi untuk memancing ikan, untuk kemudian menyalakan api dan mematangi ikannya. Ia melarang kedua muridnya membantunya, ia mewajibkan kedua muridnya berlatih terus.
Dengan lekas tujuh hari sudah berlalu, Oey Yong dan Kwee Ceng telah memperoleh kemajuan. Berbareng dengan mereka, Auwyang Hong pun berbuat keras dengan kitab Kiu Im Cin-keng yang palsu buatan Kwee Ceng itu.
Hari kedelapan, sambil tertawa Ang Cit Kong menanya Oey Yong, "Yong-jie, bagaimana rasanya daging kambing panggangan gurumu?"
Oey Yong tertawa sambil mainkan mulutnya, menggeleng-geleng kepala.
"Ya, aku juga memakannya tak turun..." Cit Kong berkata pula, tetapi sambil tertawa. Kemudian ia menambahkan: "Pelajaranmu babak pertama sudah selesai, sekarang kamu mesti beristirahat, jikalau tidak, pernapasanmu bisa tertutup dan akan merusak kesehatanmu. Sekarang begini: Yong-jie, pergi kau memasak, aku bersama Ceng-jie akan pergi membikin getek."
"Membikin getek?" tanya Kwee Ceng dan Oey Yong berbareng.
"Memang!" menjawab sang guru."Apakah kamu pikir kita dapat berdiam terus di pulau kosong ini sambil menemani si bisa bangkotan itu? Tidak!"
Dua-dua muda-mudi itu menjadi sangat girang.
"Bagus!" seru mereka.
Kedua pihak lantas berpisahan.
Kwee Ceng pergi ke tumpukan pohonnya yang seratus buah itu. Dadungnya pun sudah tersedia, bekas menolongi Auwyang Kongcu. Ia lantas bekerja mengikat batang-batang pohon itu. Ketika ia menarik dadung, tiba-tiba dadung itu terputus. Ia mengulangi lagi, lagi dadung putus. Ia menjadi heran. Ia merasa tidak menggunai tenaga terlalu besar. Mungkinkah dadungnya yang tak kuat? Saking heran, ia menjadi berdiam saja.
Sementara itu Oey Yong mendatangi sambil berlari-lari, tangannya membawa seekor kambing. Si nona pergi berburu, ia bertemu sama kambing itu. Ia menyediakan beberapa butir batu, untuk dipakai menimpuk batok kepala kambing itu. Ketika ia berlari untuk mengubar, rasanya baru beberapa tindak, tahu-tahu ia telah datang dekat sang kambing, maka batal menimpuk, ia berlompat menyambar. Hanya dengan sekali saja ia dapat mencekuknya. Inilah diluar dugaannya, maka ia girang berbareng heran dan segera lari pulang untuk memberitahukan pengalamannya itu.
Mendengar itu, Ang Cit Kong tertawa.
"Jikalau begitu adanya, terang sudah Kiu Im Cin-keng bukannya untuk main-main saja," bilangnya. "Pula tidaklah penasaran itu beberapa orang kosen yang telah berkorban jiwa untuk kitab ini..."
"Suhu," menanya Oey Yong girang, "Apakah sekarang kita bisa menghajar si tua bangka berbisa itu?"
"Masih jauh, anak," menyahut Cit Kong menggoyang kepala. "Kau masih memerlukan tempo pernyakinan tiga sampai lima tahun lagi. Kau harus ketahui hebatnya Kuntauw Kodok dari si bangkotan itu. Kecuali It-yang-cie dari Ong Tiong Yang, tidak ada lain ilmu yang dapat memecahkannya..."
Si nona membikin moyong mulutnya.
"Kalau begitu percuma kita belajar lagi lima tahun, kita toh tak dapat mengalahkan dia!" katanya mendelu.
"Tentang itu tak dapat dikatakan pasti," Cit Kong membilang. "ada kemungkinan yang isinya kitab ada jauh terlebih lihay daripada dugaanku."
"Sudah, Yong-jie, jangan kau terburu nafsu," Kwee Ceng campur bicara. "Tidak ada salahnya jikalau kita menyakinkan terus."
Lagi tujuh hari telah lewat, sekarang kedua murid itu sudah selesai dengan babak yang kedua. Pula telah selesai pembuatan geteknya Kwee Ceng. Untuk mendapatkan layar, mereka membuat bahannya dari babakan pohon. Bahkan air minum serta lainnya makanan sudah disiapkan juga.
Selama itu Auwyang Hong mengawasi saja orang bekerja dan bersiap-siap itu. Ia tidak membilang suatu apa, malah mengawasinya pun secara acuh tak acuh, membiarkan orang repot bekerja.
Bab 45. Pesiar dengan ikan hiu
Datanglah sang malam dengan segala persiapannya yang sudah sempurnya. Tinggal menanti besok pagi, Cit Kong bertiga bakal pergi berlayar. Selagi hendak tidur, Oey Yong tanya, apa besok perlu mereka pamitan dari Auwyang Hong.
"Bahkan kita harus membuat perjanjian akan bertemu lagi dengannya sepuluh tahun kemudian," menjawab Kwee Ceng. "Kita telah diperhina begini rupa, mana bisa kita berdiam saja?"
"Benar!" si nona bertepuk tangan. "Aku mohon kepada Thian supaya dua jahanam itu dipayungi hingga dapat mereka kembali ke Tionggoan! Semoga si tua bangka berbisa diberi umur panjang lagi sepuluh tahun!"
Besok paginya, Ang Cit Kong yang mendusin paling dulu. Ia berkuping terang, lantas saja ia mendengar suara apa-apa di tepi laut. Ia bangun untuk berduduk, ia memasang kuping pula. Itulah suara air.
"Ceng-jie, dengar!" ia memanggil Kwee Ceng. "Suara apa itu di tepian?"
Kwee Ceng mendusin, segera ia melompat turun dari pohon, terus lari ke tempat yang tinggi, dari sana ia memandang ke laut, apa yang ia saksikan membuatnya mengutuk dan mencaci kalang kabutan, lalu ia berlari-lari ke arah tepian.
Oey Yong pun turut mendusin dan berlari-lari.
"Ada apa engko Ceng?" tanyanya sambil lari menyusul.
"Kedua jahanam itu telah pakai getek kita!" sahut Kwee Ceng sengit sekali.
Oey Yong kaget sekali.
Begitu lekas mereka tiba di tepian, Auwyang Hong sudah memondong keponakannya menaiki getek, yang terus saja ditolak, hingga sekejap kemudian getek itu sudah terpisah beberapa tombak dari daratan...
Saking murkanya Kwee Ceng hendak melompat ke air, untuk berenang mengejar.
Oey Yong tarik tubuh orang.
"Tak dapat mereka disusul!" berkata si nona, mencegah.
Segara pun terdengar tertawa lebar dari Auwyang Hong.
"Terima kasih untuk persiapan kamu dari hal getek ini!" katanya mengejek.
Kwee Ceng berjingkrakan, ia melampiaskan kemendongkolannya dengan mendupak sebuah pohon di sampingnya.
Ketika pohon itu bergoyang karena dupakan, tiba-tiba Oey Yong ingat suatu apa.
"Ada jalan!" serunya. Ia pun sudah lantas menjumput sebuah batu besar. Ia bawa itu ke pohon, untuk diselipkan di batangnya. Ia kata pula, "Kau traik pohon itu, kita menjepret menembak padanya!"
Kwee Ceng girang. Ia hampirkan pohon, untuk menjambret batangnya bagian atas untuk ia menariknya hingga melengkung, sesudah mana ia melepaskannya, maka pohon itu mejepret balik, membuatnya batu besar itu terlempar, tepat ke arah getek. Hanya jatuhnya di samping, airnya muncrat, suaranya berdeburan hebat.
"Sayang!" Oey Yong mengeluh. Tapi lekas-lekas ia "mengisikan" pula meriamnya yang istimewa itu.
Serangan yang kedua ini mengenai tepat kepada getek, hanya karena pembuatannya tangguh, getek itu tak rusak karenanya.
Serangan diulangi hingga tiga kali, yang dua gagal. Mmelihat kegagalannya itu, Oey Yong mendapat pikiran pula.
"Mari, aku yang akan menjadi pelurunya!" ia berseru.
Kwee Ceng melengak, akan sedetik kemudian ia sadar. Bukankah si nona lihay ilmunya ringan tubuh dan pandai berenang? Maka lekas-lekas ia menyerahkan pisau belatinya.
"Hati-hati!" ia memesan. Segera ia menarik pula batang pohon itu. Oey Yong sendiri segera memanjatnya.
"Tembak!" berseru si nona setelah ia siap.
Kwee Ceng menurut, ia melepaskan cekalannya. Maka dalam sekejap itu juga tubuh si nona terlempar melesat, di tengah udara ia berjumpalitan. Tetapi getek sudah berlayar terus, ia kecebur di air terpisah jauhnya tiga tombak. Bagus cara jatuhnya itu dan air muncrat bagaikan bunga rontok tersebar.
Auwyang Hong dan keponakannya kagum hingga mereka tercengang.
Oey Yong tidak menjadi putus asa. Segera ia selulup, untuk berenang di dalam air untuk menyusul getek itu. Sebentar saja ia tiba di bawahnya getek.
Auwyang Hong mencoba membela diri, dengan galah kejennya ia menyerang di empat penjurunya, menyerang ke air, tetapi ia tidak berhasil menusuk atau mengemplang si nona.
Di dalam air, Oey Yong sudah lantas bekerja. Mulanya ia membabat dadung itu, untuk meloloskan semua balok pohon itu, atau mendadak ia ingat suatu akal, maka ia batal membabat, ia cuma menggurat perlahan-lahan, di sana-sini. Ia hendak membikin perahu istimewa itu tiba di tengah laut, nanti setelah digempur gelombang pergi datang, dadung itu bakal putus sendirinya.
Habis bekerja, si nona tetap selulup, berdiam di dalam air, setelah sekian lama, baru ia timbul di muka air. Sekarang ia terpisah sepuluh tombak lebih dari getek itu, lalu ia berteriak-teriak bahwa ia tidak dapat menyandak....
Auwyang Hong tertawa berkakakan, ia membiarkan geteknya berlayar terus, maka itu lewat sedikit lama, ia sudah terpisah jauh dari daratan pulau terpencil itu.
Oey Yong berenang ke pinggir, ketika ia mendarat, Cit Kong pun tiba di sana, guru ini bersama Kwee Ceng masih mencaci kalang kabutan kepada See Tok yang jahat dan licik itu. Mereka heran menampak roman si nona bergembira.
"kenapa kau girang?" tanya sang guru.
Kwee Ceng pun turut menanya.
Oey Yong menuturkan perbuatannya barusan.
"Bagus!" berseru Ang Cit Kong dan Kwee Ceng. Mereka pun girang sekali.
"Walaupun kita sudah kirim mereka itu untuk terkubur di tengah lautan, kita sendiri harus bekerja dari baru pula," berkata si nona kemudian.
"Tidak apa, mari kita bekerja pula!" kata Kwee Ceng.
Mereka balik, untuk sarapan setelah itu dengan semangat penuh, mereka pergi memotong pepohonan, mengumpul balok-balok diikat satu dengan lain dijadikan getek. Mereka membuatnya pula tali.
Berselang beberapa hari rampung sudah getek mereka, Maka sekali lagi mereka membuat persiapan.
Tepat di harian angin tenggar mulai meniup keras, Kwee Ceng memasang layarnya untuk memulai dengan pelayarannya. Tujuan mereka ialah barat.
Oey Yong memandang ke pulau, yang nampak makin lama makin kecil. Di akhirnya ia menghela napas.
"Hampir kita bertiga mengorbankan jiwa kita di pulau kosong itu," katanya. "Hanya hari ini, dengan kepergian ini, aku merasa berat juga..."
"Lain hari, jikalau tempo kita luang, boleh kita pesiar ke sini!" berkata Kwee Ceng.
"Bagus!" berseru si nona gembira. "Bagus lain kali kita datang pula ke mari! Tapi ingat, jangan kau salah janji! Sekarang mari kita memberi nama dulu pada pulau ini. Suhu, kau pilih nama apa yang bagus?"
"Kau menggunai batu besar, menindih bangsat cilik itu," menyahut Ang Cit Kong si guru, "Maka itu baiklah diberi nama Ap Kwie To, yaitu pulau menggencet iblis."
"Nama itu kurang menarik," kata si nona.
"Kau hendak cari yang menarik? Kalau begitu, tak usah kau tanya aku si pengemis tua bangka!" berkata sang guru. "Tapi si bisa bangkotan itu pernah merasakan air kencingku, lebih baik kita namankan saja Pulau Minum Kencing!"
Oey Yong tertawa tetapi ia menggoyang-goyangkan tangan, lalu ia miringkan kepalanya untuk memikir. Ia melihat sinar layung yang indah, yang menaungi pulau terpencil itu.
"Baiklah diberi nama Beng Hee To," katanya kemudian. Artinya Pulau Sinar Layang.
Tetapi Cit Kong menggeleng kepala.
"Tak tepat itu," katanya. "Nama itu terlalu bagus."
Kwee Ceng membiarkan itu murid dan guru berkutat berdua, ia cuma tersenyum saja.
Mereka berlayar terus, sampai dua hari lamanya, tujuan angin masih belum berubah.
Dimalam kedua, Ang Cit Kong dan Oey Yong tidur, Kwee Ceng memegang kemudi. Mendadak di antara siuran angin, ia mendengar teriakan: "Tolong! Tolong!" Suara itu keras seperti bergeram, seperti cecer pecah dikapruki satu dengan lain.
Ang Cit Kong pun dapat mendengar teriakan itu, maka ia bangun berduduk.
"Itulah suara si tua bangka berbisa!" katanya.
Kembali mereka mendengar jeritan itu.
Oey Yong, yang mendusin, menjambret tangan gurunya.
"Hantu! Hantu!" katanya.
Ketika itu akhir bulan keenam, di langit tidak ada si putri malam, bahkan bintang pun jarang, maka itu sang laut menjadi gelap gulita. Memang juga, dalam suasana seperti itu, jeritan itu menyeramkan.
"Apakah kau si tua bangka berbisa?" kemudian Ang Cit Kong menanya. Tetapi ia telah runtuh tenaga dalamnya, suaranya itu tak terdengar jauh.
Kwee Ceng mengumpul semangatnya, lalu ia pun berseru: "Apakah paman Auwyang di sana?"
"Benar, aku Auwyang Hong!" menjawab orang yang berteriak minta tolong itu. "Tolong!" ia mengulangi jeritannya.
"Tidak peduli dia manusia atau iblis, mari kita jalan terus!" berkata Oey Yong.
"Tolong padanya!" tiba-tiba Cit Kong berkata.
"Jangan, jangan!" mencegah si nona. "Aku takut!"
"Dia bukannya iblis," kata Cit Kong.
"Biarnya begitu tidak seharusnya dia ditolong!"
"Menolong orang itulah aturan kami kaum Kay Pang," kata guru itu. "Kita berdua adalah Pangcu Kay Pang dari dua turunan, tidak dapat kita merusak aturan kita yang dihormati itu."
Oey Yong terpaksa berdiam, ia mengawasi Kwee Ceng menggunai pengayuh menuju ke arah darimana datang jeritan minta tolong itu.
Setelah datang mendekat, dalam suasana gelap itu, dengan remang-remang terlihat dua kepala orang yang lagi terombang-ambing sang gelombang, disampingnya ada sebatang pohon, yang terang adalah lepasan getek. Karena pertolongannya batang pohon itu, Auwyang Hong dan keponakannya tidak sampai kelelap mampus.
Kwee Ceng membungkuk, untuk menyambar lehernya Auwyang Kongcu, untuk diangkat naik ke geteknya.
Cit Kong baik budi, sampai ia melupakan dirinya sendiri. Ia mengulur tangannya, untuk menolongi Auwyang Hong. See Tok mengerahkan tenaganya, dengan meminjam tenaga Pak Kay, ia menggenjot tubuhnya hingga ia mencelat naik. Tapi celaka buat Cit Kong, dia kena tertarik hingga ia kecebur ke air!
Kwee Ceng dan Oey Yong kaget sekali, keduanya segera terjun untuk menolongi.
Gusar si nona, maka ia menegur See Tok: "Guruku baik hati, dialah yang menolongi kamu, kenapa kau justru menarik dia kecebur ke laut?!"
"Aku... aku bukannya sengaja," menyahut Auwyang Hong perlahan. Ia tahu Cit Kong musnah kepandaiannya, tetapi ia pun sudah sangat lelah saking letih, lapar dan haus, terpaksa ia mesti merendahkan diri. "Saudara Cit, aku menghanturkan maaf kepadamu."
Pak Kay tertawa tergelak.
"Bagus, bagus katamu!" katanya. "Hanya sayang, rahasia kepandaiannya aku si pengemis tua telah pecah di hadapanmu....!"
Semua orang kuyup basah pakaiannya, tidak ada pakaian lain untuk menukarnya, maka itu mereka membiarkannya.
"Nona yang baik, kau bagilah kami sedikit barang makanan," Auwyang Hong meminta. "Sudah beberapa hari kami kelaparan dan berdahaga..."
"Persediaan makanan di sini cuma cukup untuk kami bertiga," menyahut Oey Yong. "Membagi kamu tidaklah sukar. Hanya, habis kita mesti dahar apa?"
"Kalau begitu, nona kau membagi sedikit saja kepada keponakanku," berkata pula Auwyang Hong. "Dia pun sakit kedua kakinya, dia tak bakalan sanggup bertahan......"
"Jikalau demikian, marilah kita berjual beli," berkata si nona. "Ularmu yang jahat telah melukai guruku, sampai sekarang guruku masih belum sembuh. Kau keluarkan obatmu pemunah bisa ular."
Auwyang Hong segera merogoh ke dalam sakunya, mengeluarkan dua peles kecil. Ia mengangsurkan kepada si nona.
"Kau lihat sendiri, nona," katanya. "Peles ini telah kemasukan air, obatnya lumer dan habis..."
Oey Yong periksa kedua peles ini, yang berisikan air. Ia menggoyang-goyangnya, ia membauinya juga.
"Sekarang kau beritahukan saja resepnya," kata ia kemudian. "Mari kita mendarat untuk membeli bahan-bahan obatnya."
"Jikalau aku hendak menipu barang makanan, dapat aku menulis resep ngacobelo," Auwyang Hong memberi keterangan. "Kau toh tidak ketahui resep itu tulen atau palsu? Apakah kau sangka aku ada demikian hina? Baiklah aku omong terus terang padamu. Ularku ada ular paling luar biasa di kolong langit ini, bisanya bukan main hebatnya, siapa terpagut satu kali saja, biar orang sangat gagah dan kuat, selewatnya delapanpuluh delapan hari, kendati dia tidak mati, dia mestinya bercacad, dan menjadi piansiewie, bercacad seumur hidupnya. Pula tidak ada halangannya untuk memberikan resep pada kamu, tetapi kau mesti mengerti juga, bahan-bahannya sangat sukar dicari, bahkan itu memerlukan musim dingin dan musim panas selama tiga tahun berturut-turut, setelah itu barulah dapat dibikin obatnya. Aku telah bicara, andaikata kau menghendaki aku mengganti jiwanya kakak Cit ini, terserah kepada kamu...!"
Oey Yong dan Kwee Ceng mau percaya keterangan orang itu, pun mereka mengagumi ketulusan orang, yang tidak takut mati.
"Yong-jie, dia tidak berdusta," Cit Kong juga bilang. "Hidup manusia itu telah ditakdirkan, maka itu aku si pengemis tua tidak takut suatu apa. Kau bagilah mereka makanan."
Oey Yong menjadi sangat berduka, ia mau percaya gurunya tidak bakalan sembuh. Meski begitu, dengan terpaksa ia memberikan sepaha daging kambing kepada itu paman dan keponakannya.
Auwyang Hong membeset beberapa potong untuk keponakannya, baru ia membeset untuknya sendiri. Selagi ia menggayem, Oey Yong berkata padanya: "Paman Auwyang, kau telah lukai guruku, maka diwaktu pertemuan yang kedua kali di gunung Hoa San, kau pasti bakal menjagoi! Maka sekarang aku beri selanat lebih dulu padamu!"
"Itu belum tentu, nona," berkata See Tok. "Di kolong langit ini masih ada serupa benda yang dapat menyembuhkan sakitnya kakak Cit ini..."
Oey Yong dan Kwee Ceng berjingkrak mendengar perkataan orang ini, sampai getek mereka miring sebelah.
"Benarkah itu?" keduanya menanya, berbareng.
Auwyang Hong menggerogoti paha kambingnya. Ia mengangguk.
"Cuma benda ini sangat sukar didapatkannya," ia menyahut. "Gurumu pastilah mengetahui benda apa itu."
Kedua murid itu segera menoleh, mengawasi guru mereka.
Cit Kong tertawa.
"Memang aku tahu, tapi apa gunanya menyebutkannya itu?" katanya.
Oey Yong menarik ujung baju gurunya itu.
"Suhu, bilanglah," ia memohon. "Biar bagaimana kita akan mencarinya sampai dapat! Aku nanti minta bantuannya ayahku, pasti dia suka membantu kita mencarinya!"
"Hm!" Auwyang Hong bersuara hidung.
"Kenapa hm?!" Oey Yong menegur. Ia mendongkol.
"Dia menertawakan kau yang menganggap ayahmu itu bisa segala apa," kata Cit Kong. "Kau tahu, benda itu ada di tubuh manusia, sekalipun ayahmu, ia tak dapat mengambilnya."
Si nona heran tak terkira.
"Orang?" katanya. "Siapakah dia?"
"Jangan kata orang itu lihay ilmu silatnya," Cit Kong menjelaskan pula, "Meski dia tidak mempunyai tenaga untuk hanya menyembelih ayam, untuk kepentingan diriku tidak nanti aku mencelakai lain orang..."
"Suhu!" berkata si nona, yang bertambah heran. "Ilmu silat yang lihay? Oh, aku mengerti sekarang! Bukankah dia Lam Tee Toan Hong Ya? Suhu bilanglah, barang apakah itu? Kenapa itu dapat merugikan lain orang?"
"Sudahlah, kau tidur saja," Cit Kong bilang, singkat. "Tak usah kau menanyakan lagi, aku larang kau menanyakan lagi. Kau mengerti tidak?"
Oey Yong menurut. Ia pergi rebahkan diri. Karena ia khawatir Auwyang Hong nanti mencuri barang makanannya, ia ambil tempat di antara tahang air dan perbekalannya.
Besoknya pagi, setelah mendusin dan melihat Auwyang Hong serta keponakannya, nona Oey terkejut. Muka mereka kuning dan bengkak, tubuh mereka juga bagaikan melar. Teranglah itu akibat beberapa hari lamanya mereka merendam di air, tanpa dahar dan minum.
Perahu dilayarkan sambil dibantu sama pengayuh, kira-kira jam tiga atau empat lohor, di kejauhan tertampak garis-garis hitam samar-samar, beroman seperti daratan. Kwee Ceng girang hingga ia berseru.
Sesudah berjalan lagi sekira waktu semakanan nasi, sekarang terlihat tegas garis-garis hitam itu, yang benar daratan adanya.
Ketika itu angin sirap, gelombang tenang, hanya sang surya tengah memperlihatkan pengaruhnya yang dahsyat, sinarnya menyorot panas sekali.
Selagi orang mengawasi ke darat, mendadak Auwyang Hong berlompat bangun dibarengi gerakan kedua tangannya, dengan masing-masing sebelah tangannya, ia mencekuk Kwee Ceng dan Oey Yong, sedang dengan gerakan kakinya ia menotok Ang Cit Kong.
Muda mudi ini kaget sekali. Sungguh mereka tidak menyangka. Lantas mereka merasakan terpencet keras sampai tubuh mereka seperti mati separuh.
"Kau bikin apa?!" keduanya berseru.
See Tok menyeringai, ia tidak menjawab.
Ang Cit Kong ditotok, hingga ia tak sanggup bergerak, tetapi mulutnya merdeka.
"Oh, tua bangka beracun!" katanya menghela napas. "Seumurnya, tidak pernah dia sudi menerima budi orang. Kita telah berlaku baik hati menolongi dia, beginilah pembalasannya. Mana dia sudi hidup bersama kita di dalam dunia ini? Ah, dasar aku, dalam malam gelap buta rata aku menolongi orang, hingga sekarang aku mencelakai kedua anak ini..."
"Kau sudah tahu, itulah bagus!" berkata Auwyang Hong. "Laginya Kiu Im Cin-keng telah berada di tanganku, mana aku dapat membiarkan bocah itu hidup lebih lama sebab cuma-cuma dia bakal membahayakan diriku...!"
Mendengar orang menyebut Kiu Im Cin-keng, mendadak Ang Cit Kong berkata dengan nyaring: "Nouwjie-cit-liok, hapkwajie, lenghiat-kiatpian, pengtojin..."
Auwyang Hong melengak. Itulah kata-kata dalam Kiu Im Cin-keng sebagaimana ditulis Kwee Ceng. Ia tidak dapat artikan maksudnya itu, sekarang Pak Kay dapat menghapalnya. "Mungkinkah dia mengerti artinya itu?" pikirnya. "Kata-kata itu bisa jadi ada rahasianya Kiu Im Cin-keng, maka kalau sekarang aku binasakan mereka ini bertiga, pastilah di dalam dunia tidak ada orang lain lagi yang mengerti.... Kalau itu benar, percuma saja aku mendapatkan kitabnya."
"Apakah artinya itu?" ia lantas tanya Pak Kay.
"Kunhoa-catcat, soatkin-hiepattow, biejiebiejie..." lanjut Pak Kay lagi.
Auwyang Hong berpikir keras. Ia mau percaya kata-kata si Pengemis dari Utara itu mesti ada punya arti dalam.
Selagi orang diam menjublak, mendadak Ang Cit Kong berseru: "Ceng-jie, turun tangan!"
Hebat Kwee Ceng, begitu mendengar suara gurunya itu, tangan kirinya menarik, tangan kanannya menyerang, dibarengi sama tendangan kaki kirinya!
Sebenarnya, dengan dipegangi Auwyang Hong, Kwee Ceng dan Oey Yong sudah habis daya, siapa tahu Ang Cit Kong cerdik, ia mengoceh untuk mengganggu pikiran orang. Dan ia berhasil.
Kwee Ceng menendang dengan jurus kedua dari Ie Kin Toan-kut-pian. Ia menendang secara biasa, begitu pun tarikan tangannya untuk membebaskan diri serta serangannya yang membarengi itu.
Auwyang Hong terperanjat. Di getek yang kecil itu, ia tidak dapat bergerak dengan leluasa. Maka itu sambil terus memegangi si nona ia menangkis dan berkelit.
Kwee Ceng tidak berhenti menyerang setelah serangannya yang pertama itu, ia lantas menyerang terus dengan bertubi-tubi. Ia mengerti baik sekali, jikalau Auwyang Hong diberi bernapas, hingga ia sempat menggunai ilmu silatnya yang istimewa, yaitu Kuntauw Kodok, mereka bertiga sukar dapat pertolongan lagi.
Benar-benar See Tok kena terdesak mundur.
Oey Yong juga tidak berdiam saja, walaupun tangannya sebelah tidak merdeka, ia menggeraki tubuhnya akan membentur si Bisa dari Barat itu.
Tubuh See Tok tidak bergeming, bahkan dalam hatinya ia tertawa dan berkata: "Budak cilik ini membentur aku, kalau dia tidak mental ke laut, itulah hebat!"
Sementara itu benturan si nosa sudah mengenai sasarannya. Benar-benar Auwyang Hong tidak berkelit atau menangkis, ia pasang dadanya. Mendadak ia merasakan dadanya sakit. Baru sekarang ia kaget dan ingat orang memakai baju lapis berduri - joan-wie-kah dari Tho Hoa To. Ia berada di tepi getek, setengah tindak ia tidak dapat mundur. Tidak ada jalan lain, maka ia melepaskan cekalannya, ia berkelit, mendorong.
Tidak tempo lagi, tubuh si nona terpelanting ke arah laut, akan tetapi sebelum ia kecebur, Kwee Ceng keburu menyambar, menarik tangannya, sedang dengan tangan kirinya, si anak muda melanjuti serangannya terus-menerus.
Segera setelah itu Oey Yong menghunus pisau belatinya, untuk maju menyerang.
Auwyang Hong memasang kuda-kuda di pinggir getek, air laut muncrat membasahkan kakinya, bagaimana juga muda-mudi ini mendesak padanya, ia tidak bisa dipaksa mundur.
Ang Cit Kong dan Auwyang Kongcu tidak dapat bergerak, menyaksikan pertempuran itu, hati mereka sama-sama bergoncang keras sebab mengkhawatirkan keselamatan orang di pihaknya. Mereka pun menyesal yang mereka tidak dapat memberikan bantuan mereka.
Auwyang Hong lihay melebihkan Kwee Ceng dan Oey Yong akan tetapi sekarang ia terhalang di dalam tiga hal. Pertama-tama, ia sudah kerendam lama, tenaga dan kegesitannya hilang hampir separuh. Kedua meskipun Oey Yong lemah, dia tapinya memakai baju lapis maka tubuhnya tak dapat diserang. Si nona juga memegang pisau yang sangat tajam. Ketiga Kwee Ceng menyerang dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, dengan Kong-beng-kun juga, sedang ia bertubuh kuat berkat sudah minum darah ular. Dia pun mengerti ilmu berkelahi sendiri dengan kedua tangannya kiri dan kanan, ia cukup mahir dengan ilmu Coan Cin Pay. Dan yang paling belakang ini, ia mulai menyakinkan Kiu Im Cin-keng bagian Ie-kin Toan-kut-pian itu, ilmu melatih urat dan tulang.
Demikan mereka itu jadi bertarung seru.
Lama-lama terlihat nyata Auwyang Hong menjadi semakin lihay, sebaliknya Kwee Ceng dan Oey Yong nampak mulai reda rangsakannya. Ang Cit Kong menyaksikan itu, hatinya keder.
Dalam perlawanannya itu, Auwyang Hong memperoleh ketikanya. Dimana ia tidak dapat menghajar tubuh si nona, ia mengganti itu dengan tendangan. Lantas si nona terjungkal, kecebur ke laut. Dengan begitu, seorang diri, Kwee Ceng jadi berada di dalam bahaya.
Si nona kecebur di sebelah kiri getek, ia lantas muncul pula si sebelah kanan, di sini ia berlompat naik untuk terus menikam punggungnnya si Bisa dari Barat itu.
Karena diserang dari belakang, Auwyang Hong mesti memutar tubuhnya, karena itu Kwee Ceng di lain bagian, keadaan mereka kembali menjadi seimbang.
Sekarang si nona berkelahi sambil mengasah otaknya. Ia menginsyafinya, karena kalah gagah, dengan berkelahi terus secara begitu, akhirnya pihaknya yang bakal kalah. Maka ia pikir, baiklah ia nyebur ke laut.
Cepat si nona berpikir, sebat ia bekerja. Mendadak ia membabat ke arah dadung layar. Tepat babakannya itu, layar roboh seketika juga. Dengan begitu, getek pun tak maju tak mundur, hanya memain mengikuti gelombang. Si nona sudah lantas mundur, dengan dadunya layar itu ia melibat tubuh Ang Cit Kong beberapa libatan, kemudian ia mengikat lain ujungnya di sepotong balok getek.
Karena ditinggali si nona, Kwee Ceng segera terdesak See Tok. Di jurus ke empat dari musuhnya, terpaksa ia mundur. Ia didesak dengan serangan yang kelima dan keenam. Saking terpaksa, si pemuda menangkis juga serangan yang ketujuh, ia memakai jurus "Ikan lompat meletik". Di jurus ke delapan ia terpaksa mundur lagi setindak. Tiba-tiba kakinya itu, kaki kiri, menginjak tempat kosong. Tapi ia tidak bingung, berbareng ia menendang dengan kaki kanan, supaya musuh tak dapat mendesak. Karena ini, tampak ampun, ia pun kecebur ke laut!
Karena robohnya si pemuda, getek goncang keras , justru itu, Oey Yong pun turut berlompat, maka lagi sekali terjadi goncangan. Di dalam air, muda-mudi ini tidak berdiam saja. Mereka mendekati getek yang mereka angkat, untuk dibikin terbalik karam.
Auwyang Hong terkejut. Ia dapat membade maksudnya anak-anak muda itu. Ia mengerti, kalau getek terbalik, keponakannya mesti mati kelelap. Ia sendiri, ia pun sulit melawan dua musuh itu. Maka segera ia bertindak. Ia angkat sebelah kakinya, mengancam hendak menendang batok kepala Ang Cit Kong. Ia pun berseru dengan ancamannya: "Bocah-bocah, dengar! Lagi satu kali kamu bergerak, akan aku menendang!"
Gagal akalnya yang pertama itu, Oey Yong tidak putus asa. Segera ia menjalankan akalnya yang kedua, yang ia sudah lantas dapat pikir. Ia menyelam, dengan pisaunya ia memotong dadung yang mengikat semua balok getek itu. Ia tahu, mereka sudah mendekati daratan, maka dapatlah ia berenang ke daratan sambil menyeret balok besar dimana gurunya terikat.
Lekas sekali terdengar suara dadung-daung putus, setelah mana, getek lantas berpisah menjadi dua bagian. Auwyang Kongcu di getek kira, Auwyang Hong dan Ang Cit Kong di getek kanan. Auwyang Hong kaget, ia sambar keponakannya itu. Ia terus mendongko, bersiap menyambar mencekuk si nona apabila nona itu muncul di muka air.
Nona Oey di dalam air dapat membuka matanya. Ia mendapat lihat bayangan si Bisa dari Barat itu. Maka ia tidak mau menimbulkan diri. Ia berdiam terus di dalam air, pikirannya bekerja.
Untuk sementara, suasana sunyi. Pertempuran berhenti sendirinya. Dengan sinarnya matahari, laut menjadi terang sekali.
"Kalau getek itu dipecag dua lagi, gelombang bakal mendamparnya terbalik," si nona berpikir.
Auwyang Hong sebaliknya terus menjaga, untuk menghajar mampus si nona. Ia percaya, Kwee Ceng seorang tak usah dibuat khawatir.
Disaat tegang itu, mendadak Auwyang Kongcu menunjuk ke kiri dan berseru-seru: "Perahu! Perahu!"
Ang Cit Kong segera berpaling, begitu pun Kwee Ceng. Benarlah, mereka melihat sebuah perahu besar berkepala naga-nagaan yang layarnya dipasang, laju memecah gelombang.
Auwyang Konngcu bermata awas, ia lantas melihat seorang yang berdiri di kepala perahu, yang tubuhnya tertutup jubah suci warna merah. Ia pun segera mengenali Leng Tie Siangjin. Segera ia memberitahukan pamannya.
Auwyang Hong kumpul semangatnya, terus ia berseru: "Di sini kawan! Lekas datang ke mari!"
Oey Yong dari dalam air belum tahu apa-apa, tetapi Kwee Ceng berkhawatir bukan main. Maka ia selulup untuk menarik tangan kekasihnya, buat memberi tanda atas datangnya musuh baru.
Oey Yong memberi tanda untuk pemudanya bersedia menangkis pukulan Auwyang Hong, ia sendiri hendak mencoba mengutungi lagi dadung getek.
Kwee Ceng tahu musuh sangat lihay dan ia terancam bahaya, tetapi keadaan sangat genting, ia terpaksa. Ia lantas menggeraki kedua kakinya untuk timbul, kedua tanganya diangkat ke atas.
Benar-benar Auwyang Hong sudah lantas menyerang dengan kedua tangannya.
Kedua pihak tangan bentrok di muka air, hingga air muncrat dengan suaranya bergebyar. Berbareng dengan itu, dadung pun putus, sedang perahu besar sudah mendatangi tinggal lagi sepuluh tombak dari getek itu.
Oey Yong berniat muncul, untuk menyerang Auwyang Hong, ketika ia mendapat lihat tubuh Kwee Ceng diam saja, tubuh itu tenggelam turun dengan perlahan. Ia menjadi kaget, ia lantas berenang menghampirkan. Ia menarik tangan orang, untuk diajak berenang hingga terpisah jauh dari getek. Di situ barulah ia muncul di muka air, si anak muda ia angkat. Nyata sekarang, pemuda itu pingsan, kedua matanya meram, mukanya pucat pasi.
Ketika itu perahu besar sudah nempel sama getek, orang di atas lantas menyambuti Auwyang Hong dan keponakannya naik ke perahu. Begitu juga Ang Cit Kong, yang diangkat naik bersama.
"Engko Ceng!" Oey Yong memanggil, hatinya goncang.
Kwee Ceng diam saja, walaupun kemudian ia dipanggil dua kali.
Dalam bingungnya, Oey Yong mengambil keputusan berbahaya.
"Biar perahu ada perahu musuh, aku mesti naik ke sana," demikian pikirnya. Maka ia berenang pula, ke arah perahu.
Anak buah perahu sudah lantas menyambuti tubuh Kwee Ceng, buat diangkat naik, kemudian ketika mereka hendak menyambuti si nona, mendadak si nona berloncat, melentik bagaikan ikan, naik ke perahu, hingga mereka terkejut.
Kwee Ceng tergempur hebat ketika tadi ia menangkis serangannya Auwyang Hong, ia pingsan seketika. Ketika ia mendusin, ia tampak dirinya dalam rangkulan Oey Yong, dan mereka berada di sebuah perahu kecil. Ia memainkan napasnya, ia merasa tak terluka di dalam, maka itu, ia geraki alisnya, ia tersenyum pada si nona.
Oey Yong juga tersenyum, karena hatinya lega. Sekarang ia bisa mengawasi ke perahu besar, untuk mendapat ketahui siapa penghuninya perahu itu. begitu ia melihat nyata, ia mengeluh di dalam hatinya.
Tujuh atau delapan orang tertampak di kepala perahu dan mereka semuanya adalah jago-jago yang ia telah temui beberapa bulan yang lalu di istana Chao Wang, umpama Cian Ciu Jin-touw Pheng Lian Houw yang matanya tajam, Kwie-bun Liong Ong See Thong yang kepalanya botak lanang, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay yang jidatnya ditumbuhkan tiga buah kutil, Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong yang rambutnya putih tetapi romannya segar seperti bocah, begitupun Leng Tie Siangjin si paderi Tibet yang mengenakan jubah suvi warna merah. Beberapa lagi yang lainnya tak ia kenal.
Oey Yong segera merasakan kesulitan untuk menyingkir dari orang-orang kosen itu. Melihat kemajuannya ilmu silat Kwee Ceng dan ia sendiri, kalau satu lawan satu, tak usah mereka jerikan segala Pheng Lian Houw itu, ia sendiri mungkin tak dapat menang tetapi Kwee Ceng pasti, hanya di situ ada si tua bangka berbisa dan jumlah mereka itu besar sekali...
Di atas perahu itu orang heran mendengar suaranya Auwyang Hong, kemudian keheranan mereka bertambah apabila mereka pun dapat melihat Oey Yong dan Kwee Ceng. Mereka mengawasi Auwyang Hong, yang memondong keponakannya, dan Kwee Ceng serta Oey Yong yang menolongi Ang Cit Kong. Dua rombongan orang itu saling susul naik ke perahu besar.
Segera juga terlihat keluarnya seorang dari dalam perahu, seorang yang memakai jubah sulam yang indah. Kapan matanya itu bentrok sama mata Kwee Ceng, keduanya lantas saja terperanjat agaknya. Sebab orang itu, yang kumisnya sedikit tetapi romannya tampan adalah Chao Wang Wanyen Lieh, putra keenam dari raja bangsa Kim. Setelah kabur dari rumah abu keluarga Lauw di Poo-eng, lantaran khawatir nanti dikejar Kwee Ceng, pangeran ini tak berani kembali ke Utara, kebetulan ia bertemu rombongannya Pheng Lian Houw, lalu bersama-sama mereka menuju ke Selatan untuk mencuri surat wasiat Gak Hui.
Pada ketika itu angkatan perang Mongolia tengah menyerang negara Kim, kotaraja Yan-khia atau Tiong-touw sudah semenjak beberapa bulan kena dikurung rapat. Daerah Yan In yang terdiri dari enambelas (ciu), semuanya sudah terjatuh ke dalam tangan bangsa Mongolia. Maka itu, keadaannya negara Kim menjadi lemah setiap hari. Kejadian itu membuatnya Wanyen Lieh menjadi berduka dan berkhawatir. Tentara Mongolia kosen sekali, walaupun jumlah tentara Kim sepuluh kali lipat lebih banyak, setiap bertempur tentara Kim-lah yang buyar duluan. Kerana ini, Wanyen Lieh tumpahkan pengharapannya kepada surat wasiat Gak Hui. Ia percaya surat wasiat itu nanti bisa membantu ia membangun negaranya, kalau berperang tentulah ia menang selalu, seperti Gak Hui sendiri sebelum dia terfitnah dan terbinasa di tangan dorna Cin Kwee.
Dalam perjalanannya ke Selatan ini, Wanyen Lieh bertindak secara diam-diam. Ia khawatir pihak kerajaan Selatan (Song) nanti dapat ketahui dan berjaga-jaga hingga ia tak bakal berhasil dengan niatnya. Inilah sebabnya kenapa ia menggunakan perahu. Ia ingin secara rahasia mendarat di pesisir Ciatkang dan memasuki kota Lim-an, dimana pencurian bakal dilakukan. Pernah Chao Wang mencari Auwyang Kongcu yang lihay itu, yang ia percaya bisa membantu padanya, tetapi pemuda itu tak dapat ditemukan, maka terpaksa ia berjalan terus. Sungguh diluar dugaan, sekarang ia bertemu sama Kwee Ceng di tengah laut ini. Ia hanya belum tahu apa maksudnya pemuda she Kwee ini.
Menghadapi musuh besar yang telah membunuh ayahnya, Kwee Ceng menjadi sangat gusar, ia mengawasi dengan bengis.
Dilain pihak Oey Yong yang bermata tajam dapat melihat di sebelah dalam perahu ada tubuh yang keluar dan kemudian menyelip masuk, samar-samar ia mengenali Yo Kang.
Auwyang Kongcu lantas membuka mulutnya, untuk mengajar kenal pamannya.
"Paman, inilah pangeran keenam dari negara Kim terbesar yang paling haus dengan orang-orang pintar dan gagah!" demikian sang keponakan. Ia juga perkenalkan pangeran itu kepada pamannya.
Wanyen Lieh tidak ketahui kegagahannya Auwyang Hong akan tetapi karena Auwyang Kongcu yang memperkenalkannya, ia angkat kedua tangannya untuk memberi hormat.
Sebaliknya Pheng Lian Houw dan See Thong Thian serta lainnya, mendengar orang ini See Tok yang termasyhur, maka mereka buru-buru memberi hormat sambil memberikan pujian untuk mengangkat-angkat si Bisa dari Barat itu.
Auwyang Hong menjura separuh membalas pemberian hormat.
Leng Tie Siangjin si orang Tibet tidak pernah mendengar namanya See Tok, ia cuma merangkap kedua tangannya, ia tidak membilang suatu apa.
Wanyen Lieh adalah seorang cerdik, menyaksikan Pheng Lian Houw semua yang beradat tinggi, begitu mengghormati Auwyang Hong tidak peduli See Tok bermuka kuning dan bengkak serta dandannya tidak karuan, mirip orang yang berpenyakitan, ia lantas memperlakukannya dengan hormat, ia mengeluarkan kata-kata memuji.
Di atas perahu itu, pada ketika itu, adalah Som Sian Lao Koay yang perasaannya paling berbeda daripada yang lainnya. Ia tengah menghadapi Kwee Ceng, orang yang telah menghisap darah ularnya, ular yang ia pelihara sekian lama, yang menjadi harapannya. Ia menghadapi musuh besarnya, bagaimana ia tidak menjadi sangat gusar? Tetapi di samping si anak muda ada Ang Cit Kong, yang paling ia malui, mau tidak mau, ia mesti mengendalikan diri, terpaksa ia memperlihatkan wajah berseri-seri, sambil menjura dalam ia memberi hormat dan berkata dengan merendah: "Yang rendah Nio Cu Ong menghadap Ang Pangcu. Adakah Pangcu banyak baik?"
Mendengar suaranya Som Sian Lao Koay, semua orang terperanjat. Dua-dua See Tok dan Pak Kay ada sangat terkenal, tadinya mereka belum pernah melihatnya, siapa tahu sekarang keduanya itu muncul dengan berbareng. Tentu sekali, mereka itu hendak turut memberi hormat pula, ketika terdengar Ang Cit Kong tertawa dan berkata: "Aku si pengemis tua sedang malang, aku telah digigit anjing jahat hingga setengah mati setengah hidup, maka perlu apa kamu memberi hormat padaku? Paling benar kau sediakanlah barang makanan untuk aku dahar!"
Semua orang heran, mereka semua mengawasi Auwyang Hong, akan mencari tahu apa tindakannya See Tok itu.
Auwyang Hong sangat cerdik, ia sudah lantas memikir rencana untuk nanti menurunkan tangan jahatnya. Tentu saja, paling dulu Ang Cit Kong yang mesti disingkirkan. Kwee Ceng adalah yang kedua, sebab Kwee Ceng mesti dipaksa dulu menguraikan rahasianya kitab Kiu Im Cin-keng. Oey Yong pun mesti dibunuh tidak peduli Auwyang Kongcu sangat mencintainya. Selama Oey Yong masih hidup, ia tetap terancam bahaya, hanya karena segan kepada Oey Yok Su, tidak mau ia turun tangan sendiri, hendak ia meminjam tangan orang lain. Terutama di depan mata ini, ia tidak sudi memberi ketika kepada mereka itu bertiga membuka rahasia kejahatannya. Maka berkatalah ia menghadap Wanyen Lieh: "Tiga orang ini sangat licin, mereka juga lihay ilmu silatnya, maka itu aku mohon ongya menjaga baik-baik kepada mereka."
Mendengar suaranya Auwyang Hong, Nio Cu Ong menjadi sangat girang. Ia maju satu tindak kepada Kwee Ceng, tangannya diangsurkan untuk menarik.
Kwee Ceng memutar balik tangannya yang hendak dicekal itu. "Plak!" maka tangannya itu menghajar bahu orang. Itulah pukulan jurus "Melihat naga di sawah", cepat dan berat, biarnya Som Sian Lao Koay lihay, ia toh terhajar mundur hingga dua tindak dan tubuhnya terhuyung-huyung. Inilah ia tak sangka sama sekali.
Pheng Lian Houw dan lainnya baik di muka kepada Nio Cu Ong, di dalam hati mereka membenci, maka senanglah mereka menyaksikan Som Sian Lao Koay mendapat hajaran itu. Meski begitu, mereka sudah lantas bertindak, membubarkan diri, untuk mengurung Ang Cit Kong bertiga itu. Mereka sudah memikir akan turun tangan setelah si orang she Nio itu dirobohkan...
Sebenarnya Nio Cu Ong mengulurkan tangan sambil bersiap-siap kalau Kwee Ceng menyerang ia dengan jurus Hang Liong Yoe-hoei, si Naga Menyesal, ia tidak sangka, baru berselang satu bulan, si anak muda sudah mempelajari habis semua jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, maka itu dalam segebrak saja ia kena dihajar tanpa ia sempat menghindarkan diri. Ia menjadi bertambah panas hati. Kwee Ceng tidak saja mengubar dia untuk menyerang lebih jauh, maka ialah yang bertindak. Dengan menjejak dengan kaki kiri, ia berlompat maju, kedua tangannya digeraki berbareng, menyerang dengan pukulannya yang ia paling andalkan, yaitu tipu silat "Liauw-tong Ya-ho Kun-hoat" atau kuntauw "Rase liar dari Liauw-tong". Dengan serangan ini ia hendak merampas jiwanya si anak muda, untuk membalas malunya barusan sekalian membalas juga sakit hatinya sebab si anak muda menghisap darah ularnya....
Kuntauw Rase Liar itu adalah suatu ilmu silat kesohor untuk wilayah Liauw-tong. Satu kali Som Sian Lao Koay pergi mencari kolesom di gunung Tian Pek San, kebetulan ia menyaksikan pertempuran di antara anjing pemburu dengan seekor rase liar, yang bergulat di atas salju. Rase itu sangat gesit dan licin, dia berlompatan ke segala penjuru menghindari tubrukan-tubrukannya si anjing yang galak. Sampai sekian lama, anjing itu belum berhasil juga. Menyaksikan kegesitan rase itu, Nio Cu Ong mendapat ilham, maka ia lantas menciptakan ilmu silatnya itu. Ia batal mencari kolesom, ia membuat gubuk di gunung itu. Satu bulan lamanya ia mengeram diri hingga berhasillah ia dengan ilmu silatnya yang baru itu. Sejak itu, kecuali roboh di tangan Ang Cit Kong, belum pernah ada orang yang sanggup menandingi padanya, maka heranlah ia sekarang ia kena dihajar Kwee Ceng. Karena ini, ia jadi tidak berani berlaku sembarangan, hendak ia menggunai kegesitannya. Ia berlompat sambil berkelit, meskipun orang tidak serang padanya, lalu ia menjatuhkan diri, habis mana barulah ia menyerang benar-benar.
Kwee Ceng merasa aneh atas ilmu silat orang. Belum pernah ia melihat ilmu semacam itu. Tapi ia cuma heran, ia melawan dengan tabah dan sabar. Ia turut pengajarannya Ang Cit Kong, biar musuh gesit dan hebat, ia tidak kasih dirinya dipermainkan. Dengan tetap ia menggunai Hang Liong Sip-pat Ciang untuk melayaninya.
Setelah lewat beberapa jurus, semua penonton lainnya pada menggeleng kepala. Mereka semua lihay, mereka menjadi heran sekali.
"Bukankah Nio Cu Ong lihay, dan ia menjadi kepala dari satu partai persilatan?" demikian mereka berpikir. "Kenapa sekarang, menghadapi satu bocah, dia selalu main lompat-lompatan saja? Senantiasa berkelit tidak hendak ia menyerang secara sungguh-sungguh?"
Pertandingan berjalan terus. Selama itu Kwee Ceng terus mendesak. Lagi sedikit, maka Som Sian Lao Koay bisa terdesak sampai dia bakal kecebur ke laut...
Nio Cu Ong heran dan gelisah juga mendapatkan kuntauw Rase Liarnya itu tidak berjalan terhadap si anak muda, terpaksa ia memikir untuk menggunai lain tipu silat. Apa celaka, ia tidak bisa mewujudkan pikirannya itu, Kwee Ceng mendesak terus-menerus, ia tidak diberi ketika.
Selagi angin kepalan berderu-deru, terdengarlah seruannya Ang Cit Kong yang sedari tadi nonton sambil berdiam saja, cuma matanya yang dipasang awas: "Turunlah!"
Menyusul seruan itu, Kwee Ceng menyerang dengan jurusan "Menunggang enam naga", tangan kirinya menyapu hebat sekali.
Nio Cu Ong terkejut, hendak ia berkelit, tetapi tanpa ia berkuasa, tubuhnya terjun ke luar perahu!
Semua orang heran. Kecuali Auwyang Hong, tidak ada yang dapat melihat gerakannya Kwee Ceng itu. Mereka lantas lari ke tepi perahu, ke arah mana tubuh Nio Cu Ong terpelanting, untuk melihat. Tengah mereka berlari, dari arah laut terdengar suara tertawa nyaring dan panjang, yang mana disusul sama meluncurnya tubuh Som Sian Lao Koay itu, yang kembali ke dalam perahu di mana dia roboh di lantai tanpa dapat bergerak pula, cuma jatuhnya itu yang terdengar keras sekali.
Semua orang menjadi terlebih heran lagi. Mungkinkah air laut, sang gelombang, yang membuatnya tubuh orang membal balik? Dari itu, semua lalu melihat ke bawah, ke muka air. Segera mereka mendapatkan seorang tua, yang rambut dan kumisnya telah putih semua, lagi mondar-mandir cepat sekali di laut di dekat perahu. Dengan mengawasi sebentar saja, dapatlah diketahui, orang tua itu tengah menunggang seekor ikan hiu yang besar. Pantas dia dapat bergerak dengan cepat dan gesit.
Kwee Ceng pun dapat melihat orang tua itu, ia kaget berbareng girang sekali.
"Ciu Toako!" ia memanggil, keras. "Aku di sini!"
Memangnya juga, orang tua yang menunggang ikan hiu itu adalah Loo Boan Tong Ciu Pek Thong si orang tua berandalan, jenaka dan kocak.
Pek Thong dapat dengar suaranya Kwee Ceng, yang ia kenali, ia pun girang luar biasa. Ia mengetok samping mata kiri dari ikannya, lantas ikan itu mutar ke kiri, berenang mendekati perahu besar.
"Kwee Hiantee di sana?" menanya si jenaka. "Baik-baikah kau? Di depan sana ada seekor ikan lodan yang besar, sudah satu hari satu malam aku mengejarnya, aku gagal, maka sekarang hendak kau mengejar pula! Nah, sampai ketemu lagi!"
"Toako, naik kemari!" berteriak Kwee Ceng. Ia takut saudara tua itu pergi pula. "Lekas toako, di sini ada banyak manusia jahat yang lagi menghina adikmu!"
"Oh, begitu!" berseru Pek Thong, yang lantas saja menjadi gusar. Ia terus mengulur tangannya ke mulut ikannya, terus ia menarik. Entah apa itu yang ditariknya. Sang ikan segera berontak, berlompat tinggi bersama-sama penunggangnya, tiba di atas perahu di mana ia melewati banyak kepala orang.
"Kurang ajar, siapa yang bernyali begitu besar?!" membentak si orang tua ini. "Siapakah yang berani menghina adik angkatku?!"
Di atas perahu itu, semua adalah orang-orang yang luas pandangnya dan pintar, akan tetapi munculnya Ciu Pek Thong dengan caranya ini yang luar biasa membuat mereka tak habis pikir, maka semuanya berdiri tercengang, mata mereka mendelong, mulut mereka di pentang lebar-lebar.
Heran Ciu pek Thong kapan ia melihat Oey Yong ada di situ.
"Ah, adik kecil, mengapa kau pun ada di sini?" ia menanya.
"Memang aku di sini!" menjawab si nona yang lantas tertawa. "Mari lekas kau ajari aku menunggang ikan ini!"
"Sabar, adik kecil!" menyahut si tua berandalan ini. Ia lantas memandang ke sekitarnya, menyapu kepada semua orang di atas perahu itu, kemudian ia mengawasi See Tok seraya berkata: "Aku tahu lain orang tidak nanti berani berbuat sangat kurang ajar, kiranya benar-benar kau tua bangkat bangkotan!"
Auwyang Hong bersikap tawar ketika ia menyahuti!: "Seorang yang tidak mentaati kata-katanya, walaupun ia mencuri hidup di dalam dunia ini, ia hanya bakal ditertawakan orang-orang gagah!"
"Itulah benar!" berkata Pek Thong. "Aku memang hendak mencari kau untuk membuat perhitungan! Sekarang kau berada di sini, tidak ada ketika yang terlebih baik daripada ini! Eh, pengemis bangkotan, kaulah saksinya, kau bangunlah untuk memberikan jawaban peradilanmu!"
Ang Cit Kong tetap rebah di lantai, tetapi ia tertawa. Ia tidak menjawab.
Oey Yong yang mewakilkan gurunya itu.
"Si tua bangkotan berbisa ini ada sangat jahat!" berkata nona ini. "Dia mendapat bahaya, sang maut tengah menghampirkan padanya, lantas guruku ini menolongi dia, tetapi dia jahat seperti manusia berhati serigala, berjantung anjing, bukannya dia balas budi, ia justru membalas jahat, ia melukai guruku, dia menotok juga jalan darahnya!"
Pek Thong segera menghampirkan, untuk menotok jalan darah sahabatnya itu kiok-tie-hiat dan yong coan-hiat.
"Percuma Loo Boan Tong, tidak ada faedahnya," Cit Kong berkata.
Memang hebat totokannya Auwyang Hong, kecuali dia sendiri atau Oey Yok Su, tidak ada lain orang yang dapat menotok membebaskannya.
Puas Auwyang Hong menyaksikan kegagalan Pek Thong itu.
"Eh, Loo Boan Tong, kalau kau mempunyai kepandaianmu, kau totoklah ia hingga ia bebas!" ia mengejek.
Belum lagi si orang kocak menjawab, Oey Yong sudah mendahulukan dia. Si nona tidak dapat menolong gurunya itu tetapi ia ketahui tentang totokan itu. Ia monyongkan mulutnya dan berkata: "Apakah yang aneh dengan ilmu totokmu ini? Dengan hanya setiupan debu, ayahku dapat membebaskannya! Bukankah ini dia yang dinamakan Touw-kut Ta-hiat-hoat, ilmu totok menembusi tulang?!"
Mendengar itu, Auwyang Hong tercengang, tetapi ia tidak heran yang nona itu mengetahuinya. Ia tidak memperdulikannya, ia memandang kepada Ciu Pek Thong, akan berkata: "Kau telah kalah bertaruh, kenapa kau bicara seperti melepas angin busuk?!"
"Angin busuk?!" Pek Thong menanya. Dan ia menekap hidungnya. "Sungguh bau! Sungguh bau! Sekarang hendak aku menanya kau, kita bertaruh apa?"
"Di sini kecuali si bocah she Kwee dan itu budak cilik, semua adalah orang-orang gagah yang telah kenamaan," menyahut Auwyang Hong. "Maka itu aku minta tuan-tuan ini memberikan suaranya yang adil!"
"Baik, baik!" menyahut Pheng Lian Houw. "Auwyang Sianseng, silahkan bicara!"
"Tuan ini adalah Ciu Pek Thong dari Coan Cin Kauw," See Tok lantas berkata, "Dialah yang orang Kangouw menyebutnya Loo Boan Tong si Bocah Tua yang bandel. Dia berderajat bukannya rendah, sebab dialah paman guru dari Khu Cie Kee dan Ong Cie It sekalian anggota Coan Cin Cit Cu."
Sudah belasan tahun Pek Thong berdiam di pulau Tho Hoa To, lebih dulu daripada itu, namanya memang tidak terlalu terkenal, tetapi sekarang, mendengar ialah paman guru dari Coan Cin Cit Cu, orang menjadi kagum, orang percaya dialah bukan sembarang orang, maka mereka lantas kasak-kusuk. Pheng Lian Houw pun menjadi kecil hatinya. Ia sudah berjanji akan bertempur di lauwteng Yan Ie Lauw di Kee-hin, kalau Cioan Cin Cit Cu dibantu "manusia aneh" ini, sungguhlah orang ada seperti harimau yang tumbuh sayap...
Auwyang Hong meneruskan kata-katanya. "Ini saudara Ciu telah dikurung ikan hiu di tengah laut, aku telah tolongi dia. Aku kata, ikan hiu ikan tak berarti, asal satu kali aku menggeraki tanganku, semua ikan itu bakal mampus semua. Saudara Ciu tidak percaya padaku, maka itu kita berdua lantas bertaruh. Saudara Ciu, benarkah begitu?"
Pek Thong menangguk.
"Sedikit juga tidak salah!" sahutnya. "Hanya apakah pertaruhan itu, kau perlu menyebutkannya kepada orang banyak ini."
"Akur! Aku telah membilang jikalau kau kalah, apa pun yang kau katakan, akan aku kerjakan, jikalau aku menyangkal, akan aku terjun ke laut, supaya tubuhku digegaras ikan. Dan kalau kau yang kalah, kau pun begitu. Bukankah benar demikian?"
Pek Thong mengangguk pula, bahkan berulang-ulang.
"Sedikit juga tidak salah," sahutnya pula. "Kemudian bagaimana?"
"Bagaimana? Kemudian kaulah yang kalah!"
Kali ini Pek Thong menggeleng-geleng kepalanya berulang-ulang.
"Salah, salah!" ia berkata. "Yang kalah ialah kau, bukannya aku!"
See Tok menjadi gusar.
"Satu laki-laki, dapatkah ia putar balik omongannya?" dia menegur keras. "Dapatkah orang main menyangkal? Jikalau aku yang kalah, kenapa kau rela membuang dirimu ke laut untuk membunuh diri?"
Pek Thong menghela napas.
"Benar, sebab memangnya nasibku yang buruk," ia berkata. "Aku telah kalah itu waktu... Hanya setelah aku masuk ke laut, Thian telah membuatnya aku bertemu sama suatu hal yang kebetulan sekali, setelah mana tahulah aku bahwa kaulah si tua bangka berbisa yang kalah, bahwa Loo Boan Tonglah yang menang!"
"Apakah hal kebetulan itu?!" tanya Auwyang Hong yang menjadi heran sekali.
Juga Ang Cit Kong dan Oey Yong turut menanyakan.
Ciu Pek Thong membungkuk, tangannya dimasuki ke mulut ikan, di mana ada sebatang tongkat pendek, ia mencekal itu dengan apa ia pun mengangkat ikan itu.
"Hal kebetulan itu ialah aku bertemu sama binatang tungganganku ini!" ia menyahut. "Kau lihatlah! Inilah perbuatannya keponakanmu yang kau sayang bagaikan mustika! Benar tidak?!"
Memang itu perbuatannya Auwyang Kongcu, yang mengganjal mulut ikan, supaya ikan tak dapat makan dan menjadi mati sendirinya. Auwyang Hong menyaksikan sendiri perbuatan curang dari keponakannya itu. See Tok pun mengenali ikan ini, yang mulutnya pun luka bekas kena pancing.
"Habis bagaimana?!" ia menanya pula.
Ciu Pek Thong menepuk tangan.
"Itulah artinya kau kalah!" ia memberikan jawabannya. "Pertaruhan kita ialah semua ikan hiu mesti dibikin mati, akan tetapi ia satu ekor, karena ia dapat pertolongan keponakanmu itu, karena dia tak dapat memakai bangkai bangsanya yang keracunan, dia tidak terkena bisa, dia hidup sampai sekarang ini! Kau lihat bukankah Loo Boan Tong yang menang?"
Dan ia pun tertawa terbahak-bahak.
Auwyang Hong sebaliknya melengak. Ia terdiam.
Kwee Ceng girang sekali.
"Toako, selama ini beberapa hari kau di mana saja?" Ia menanya kakak angkatnya itu. "Sungguh sengsara aku memikirkan nasibmu..."
Pek Thong tertawa riang.
"Aku pelesiran dengan puas!" ia menyahut. "Tidak lama setelah aku terjun ke laut, aku bertemu makhluk yang tengah megap-megap di permukaan air, agaknya dia sedang penasaran sekali. Maka aku tanya dia 'Eh, ikan, ikan hiu, bukankah hari ini kau dan aku sama nasibnya yang harus dikasihani?' Segera aku lompat ke punggungnya. Atas itu dia segera selulup ke dalam air. Aku menunggang terus, maka aku menahan napas. Dengan kedua tanganku aku memegang erat-erat lehernya. Sebaliknya dengan kedua kakiku, aku mendupak dia tak hentinya. Dia menimbul pula, hanya belum lagi aku bernapas, kembali ia selam. Demikian kita berdua saudara, kita bertempur di tengah laut. Hanya sesudah berselang sekian lama barulah ia menyerah dan menjadi jinak karenanya, suka ia mendengar perkataanku. Aku menghendaki ia pergi ke timur, dia pergi ke timur, aku mengingini ia menghadap utara, ia menghadap ke utara juga. Pendeknya ia menurut sekali...."
Dan ia tepuk-tepuk kepalanya ikan itu, agaknya ia sangat puas.
Selagi lain-lain orang heran, Oey Yong sangat mengagumi ikan itu, ia segera mengiri untuk pengalaman luar biasa dari si tua berandalan. Kedua matanya bersinar ketika ia berkata: "Bertahun-tahun aku main-main di laut, kenapa aku tidak memikirkan kepelesiran semacam ini? Sungguh aku tolol!"
"Lihat mulutnya," berkata Pek Thong. "Lihat giginya! Tanpa mulutnya ditunjang tongkat ini, beranikah kau menaikinya?"
Oey Yong tidak mengambil mumat, ia hanya menanya: "Apakah selama beberapa hari ini kau terus-terusan naik ikan ini?"
"Kenapa tidak?" Pek Thong membaliki. "Kami berdua bersaudara, dalam hal menangkap ikan, kami pandai sekali. Kapan aku melihat seekor ikan, aku suruh saudaraku ini mengejar, setelah kecandak, aku menghajar dengan kepalanku, aku bikin ikan itu mampus! Belum pernah aku gagal! Dalam sepuluh bagian ikan itu, aku makan cuma satu bagian, yang sembilan bagian ialah yang gegaras habis!"
Si kocak menyebutnya ikan hiu itu sebagai saudaranya...
Oey Yong mengusap-usap perut ikan itu.
"Apakah kau beleseki ikan mati ke dalam perutnya?" si nona menanya pula. "Tanpa menggunai giginya, bisakah ia menelannya?"
"Dia pandai sekali," menjawab Pek Thong. "Ada satu kali..."
Gembira ini si tua dan si nona, mereka pasang omong seperti juga di situ tidak ada lain orang serta tidak ada bahaya mengancam. Sedang sebenarnya Auwyang Hong tengah memikirkan daya upaya untuk menghadapinya.
"Eh, makhluk berbisa bangkotan, kau menyerah kalah atau tidak?!" tiba-tiba Pek Thong menegur See Tok.
Auwyang Hong tidak gampang-gampang mau menyerah kalah tetapi ia habis daya.
"Kalau aku kalah, bagaimana?!" ia balik menanya.
"Kalau begitu, aku mesti memikir sesuatu untuk kamu melakukannya!" berkata Pek Thong. "Bagus, aku ingat sekarang! Bukankah kau tadi mendamprat aku si tua seperti si angin busuk? Nah, sekarang aku menitahkan kau segera mengeluarkan angin busukmu itu!"
 Â
Bab 46. Resoran gelap di dalam desa
Tidak puas Oey Yong mendengar Pek Thong cuma mewajibkan Auwyang Hong membuang balas. Untuk orang biasa memang sukar tak karuan mengeluarkan angin busuk, perbuatan itu tak dapat dilakukan semua orang, tidak demikian dengan seorang yang ilmu dalamnya sudah mahir. Sebaliknya, sungguh gampang buat orang sebangsa See Tok. Maka ia lantas berteriak mencegah: "Tidak bagus, itu tidak bagus! Lebih dulu dia dimestikan membebaskan totokannya kepada guruku, kemudian baru kita bicarakan pula!"
Ciu Pek Thong tertawa.
"Kau lihat!" katanya kepada See Tok, "Sekalipun nona cilik ini takut pada angin busukmu itu! Baiklah, aku bebaskan kau dari kewajibanmu ini, aku juga tidak hendaki memustikan kau melakukan lainnya, cukup asal kau mengobati lukanya si pengemis tua. Kepandaiannya si pengemis tua tidak ada dibawahanmu, coba tidak kau menggunai akal busuk, tidak nanti kau dapat melukai dia! Kau tunggu sampai dia sudah sembuh betul, maka kamu berdua boleh bertempur pula secara laki-laki sejati, itu waktu aku Loo Boan Tong suka menjadi saksinya!"
Auwyang Hong ketahui Ang Cit Kong tidak dapat disembuhkan, dia tidak takut si raja pengemis nanti menuntut balas padanya, hanya sekarang ia merasa sulit untuk desakan Ciu Pek Thong ini. Dia pun didesak di muka banyak orang. Menerima baik, sukar dilakukannya, menyangkal, ia malu. Karena itu, tidak bisa lain, ia membungkuk, terus ia totok Ang Cit Kong guna membebaskan dia dari totokannya.
Kwee Ceng bersama Oey Yong segera maju untuk membantui gurunya bangun.
Ciu Pek Thong sendiri segara menyapu dengan sinar matanya yang tajam kepada semua orang di atas perahu itu, kemudian ia berkata; "Aku, Loo Boan Tong paling takut mencium bau amis dari daging kambing yang biasa digegares orang bangsa Kim, oleh karena itu lekas kamu turunkan perahu kecil untuk mengantarkan kami berempat ke darat!"
Auwyang Hong pernah menyaksikan Pek Thong bertempur dengan Oey Yok Su, ia mengetahui baik bahwa orang berilmu tinggi, kalau ia yang menempurnya, belum tentu ia kalah tetapi juga pasti sulit untuk ia memperoleh kemenangan, lantaran itu, ia terpaksa menahan sabar, ia hendak menanti sampai ia sudah paham Kiu Im Cin-keng, baru ia ingin membuat perhitungan. Maka berkatalah ia: "Baiklah, siapa suruh nasibmu bagus hingga kau menang bertaruh!" Kemudian ia berpaling kepada Wanyen Lieh, untuk meneruskan berkata; "Ong-ya, tolong menurunkan sebuah perahu untuk mengantarkan ini empat orang mendarat."
Wanyen Lieh tidak lantas meluluskan permintaan itu, di dalam hatinya ia berpikir; "Gampang untuk mengantarkan mereka ke darat, hanya rahasia kita yang hendak pergi ke Selatan ini, tidak dapat itu diketahui mereka..."
Sementara itu Leng Tie Siangjin tidak puas terhadap sikapnya Auwyang Hong. Semenjak tadi ia mengawasi saja tanpa membilang suatu apa. Ia pikir: "Kalau kau sangat lihay, belum tentu kau dapat mengalahkan kita yang terdiri dari banyak orang pandai.." Maka, melihat si pangeran bersangsi, ia bertindak maju seraya berkata: "Jikalau kejadian di atas getek, Auwyang Sianseng dapat berbuat apa yang ia pikir baik, kami tidak nanti berani banyak mulut. Hanya di sini setelah Sianseng naik di perahu besar, sudah selayaknya kau mendengar segala kata-katanya ong-ya!"
Mendengar itu, hati semua orang menjadi tergerak, semua lantas mengawasi Auwyang Hong.
Auwyang Hong memandang Leng Tie Siangjin dengan sepasang matanya yang tajam, ia melihat ke atas dan ke bawah bergantian. Kemudian ia dongak ke langit.
"Apakah tuan paderi yang mulia ini hendak mempersulit aku si orang tua?" ia menanya, suaranya tawar.
"Itulah aku paderi yang rendah tak berani," menyahut Leng Tie. "Aku yang tinggal di Tibet, aku hidup menyendiri, sedikit pendengaranku, dari itu barulah ini hari aku mendapat dengar nama sianseng yang termashur, maka itu ada apakah sangkutannya di antara kita berdua..?"
Belum lagi paderi ini menutup mulutnya, Auwyang Hong sudah maju satu tindak, selagi tangan kirinya dikibaskan, tangan kanannya sudah menyambar tubuh Leng Tie yang besar kekar itu, hanya dengan sekali mengerahkan tenaganya saja, ia telah membuatnya tubuh orang jungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas!
Orang semua kaget dan heran. Tidak mereka lihat sambaran See Tok, tahu-tahu tubuh besar dari Leng Tie, dengan jubah merahnya yang bergerombongan, sudah seperti berkibar-kibar di udara. Mereka pikir entah ilmu apa yang digunai See Tok ini.
Leng Tie Siangjin tinggi besar melebihkan lain-lain orang tetapi Auwyang Hong dapat mencekuk batang lehernya dan terus diangkat, itulah hebat. Leng Tie sendiri pun heran. Ketika tubuhnya diputar, kepalanya terpisah dari kira tanah empat kaki. Ia tidak dapat berbuat apa-apa, cuma kedua kakinya menendang udara secara kalang kabutan dan suaranya memperdengarkan kemurkaannya.
Tatkala Leng Tie Siangjin bertempur sama Ong Cie It di istana Chao Wang, semua orang telah menyaksikan kepandaiannya itu yang lihay, maka aneh sekarang, dengan gampang saja ia dipermainkan Auwyang Hong, seperti kedua tangan itu telah patah, sedikit pun kedua tangan itu tidak dapat dipergunakan.
Auwyang Hong sendiri masih tetap dongak ke udara, ia berkata: "Hari ini adalah yang pertama kali kau mendengar namaku, kau lantas tidak memandang mata kepada aku si orang tua, benarkah?"
Leng Tie kaget, heran dan gusar sekali, beberapa kali ia mencoba mengerahkan tenaganya, untuk berontak, saban-saban ia gagal, tak dapat ia meloloskan diri dari cekalan orang.
Pheng Lian Houw semua tidak berani campur tangan, tahulah mereka Auwyang hong tengah memperlihatkan pengaruhnya terhadap Leng Tie dan lainnya juga.
"Kau tidak memandang kepada aku si orang tua, itu masih tidak apa," berkata pula Auwyang Hong, lagu suaranya tetap tawar, "Sekarang dengan memandang muka ongya, tidak ingin aku berpemandangan sama cupatnya seperti kau. Bukankah kau hendak menahan kepada Loo Boan Tong Ciu Looya-cu serta Kiu Cie Sin Kay Ang Looya-cu? Apakah yang kau andalkan maka kau berniat berbuat demikian? Loo Boan Tong, kau sambutlah!"
Tidak kelihatan gerakan tangan dari See Tok atau tahu-tahu tubuh besar dari Leng Tie sudah terlempar melayang ke arah kanan. Paderi ini merasakan ia telah terlepas dari cekalan, maka ia teruskan menjumpalitkan diri seperti ikan meletik, untuk dapat melempangkan tubuh, untuk dapat berdiri. Justru itu ia merasakan batang lehernya sakit. Ia menjadi kaget sekali, di dalam hatinya ia berseru: "Celaka!" Ia lantas menggeraki tangan kirinya, untuk menyerang. Tapi tangan kiri itu lantas kesemutan dan kaku, hilang tenaganya, hingga ia mesti mengarih turun melonjor di luar keinginannya. Berbareng dengan itu juga tubuhnya sudah terangkat naik kembali seperti tadi. Sebab diluar tahunya, dia sudah dicekuk Ciu Pek Thong, yang bertindak sama seperti Auwyang Hong barusan.
Wanyen Lieh menjadi tidak enak hati menyaksikan paderi itu dibuat permainan seperti itu. Ia mengerti, jangan kata ada Auwyang Hong, melihat kepandaiannya Pek Thong saja, semua orang pasti bukan tandingannya, maka itu, lekas ia bertindak.
"Sudahlah, Ciu Loosianseng, tak usah kau bergurau pula," katanya. "Nanti siauw-ongya mengirimkan perahu untuk kamu berempat mendarat."
Sebagaimana biasanya, pangeran ini membasakan diri siauw-ongya, pangeran yang kecil.
"Baiklah!" menyahut Ciu Pek Thong. "Kau juga boleh mencoba-coba! Sambutlah!"
Menelad Auwyang Hong. Loo Boan Tong melemparkan tubuhnya Leng Tie.
Wanyen Lieh mengerti ilmu silat, tetapi itu cuma permainan golok atau tombak dan hanya di atas kuda, tentu sekali ia tidak sanggup menyambuti tubuh si paderi, kalau ia paksa menyambuti juga, ia bisa tertubruk roboh, terluka atau mati. Hal ini diketahui See Thong Thian, maka orang she See ini sudah lantas berlompat maju dengan gerakannya "Menggeser tindakan, menukar wujud", dengan lantas ia berada di depannya si pangeran. Ia mengerti, kalau ia menyambuti dengan tangan seperti biasa, mungkin si paderi mendapat luka, maka ingin ia berbuat seperti Auwyang Hong atau Ciu Pek Thong. Selagi memikir begini, ia tidak mengukur tenaga kepandaian sendiri. Bukankah ia telah menyaksikannya See Tok dan Loo Boan Tong seperti tidak menggunakan tenaga sama sekali? Maka ia ulur tangan kanannya, untuk menyambar batang lehernya Leng Tie. Ia berhasil, hanya ketika ia dapat memegang batang leher orang, ia kaget dengan mendadak. Ia merasakan hawa yang panas pada tangannya itu. Itulah suatu tangkisan yang dahsyat. Ia insyaf, kalau ia melawan, maka tangannya itu bisa patah karenanya. Maka dalam kagetnya itu, ia menarik tangan kanannya itu sambil tangan kiri ia menyerang, untuk menolak tubuh si paderi.
Leng Tie telah diputar balik Auwyang Hong dan dilemparkannya, lalu ia merasakan pengalaman serupa dari Ciu Pek Thong, ia menjadi bermata kabur dan berkepala pusing, darahnya mengalir dan menjadi panas, pada itu ditambah kemendongkolannya dan kemurkaannya. Ia masih dapat mendengar seruannya Ciu Pek Thong, lantas ia menduga, orang yang bakal menyambutinya tentulah musuh adanya, maka itu selagi tubuhnya melayang, ia mengerahkan tenaganya, begitu See Thong Thian memegang batang lehernya, ia membarengi menyerang dengan pukulannya Tay-ciu-in.
Di dalam halnya tenaga, Leng Tie Siangjin dan See Thong Thian berimbang. See Thong Thian berdiri jejak, ia sudah siap sedia, sebenarnya ia lebih unggul. Tapi juga Leng Tie telah mengerahkan tenaganya, ia dalam gusar dan mendongkol, tenaganya jadi bertambah besar berlipat ganda. Maka itu sebagai kesudahannya, See Thong Thian kena terpukul mundur tiga tindak dan terus jatuh berguling. Berbareng dengan itu, Leng Tie sendiri pun tidak luput. Karena dihajar tangan kiri See Thong Thian, tubuhnya roboh melintang di atas perahu. Hanya paderi itu cuma jatuh sebentar, begitu mengenakan lantai, ia dapat melompat bangun pula.
Begitu lekas ia dapat berdiri, Leng Tie dapat mengetahui orang yang menyambuti dan menyerang padanya adalah See Thong Thian. Ia tidak ketahui maksud orang, menjadi gusar, di dalam hatinya, ia kata: "Celaka betul, kau juga hendak mempermainkan aku!" Terus ia maju, berniat menghajar Thong Thian.
Pheng Lian Houw mengerti paderi itu salah terka, lekas-lekas ia maju menghalang seraya ia berkata nyaring: "Taysu, jangan gusar, jangan salah mengerti! Sebenarnya See Toako bermaksud baik!"
Sementara itu perahu kecil telah dikasih turun.
Ciu Pek Thong memegang tongkat di dalam mulut ikan, ia mengangkat dan mengibat. Atas itu, tubuh ikan yang besar itu terangkat dan terlempar, tercebur di laut. Dengan kibasannya itu, Pek Thong membuatnya tongkat patah. Kapan ikan hiu itu merasakan mulutnya tidak tergalang pula, pasti ia girang bukan main dan terus selulup untuk berenang pergi....
Oey Yong tertawa.
"Engko Ceng," ia berkata, "Lain kali marilah bersama Ciu Toako kita menaiki masing-masing seekor ikan untuk berlomba main cepat-cepatan!"
"Bagus!" berseru Loan Boan Tong sambil ia bertepuk tangan sebelumnya Kwee Ceng sempat memberi penyahutan.
Sampai di situ, berempat mereka turun ke perahu kecil.
Wanyen Lieh pintar sekali. Melihat lihaynya Auwyang Hong, ia lantas ingat berapa besar faedahnya kalau orang ini suka membantu ia mencari surat wasiatnya Gak Hui. Maka itu ia lantas cekal tangannya Leng Tie Siangjin, untuk ditarik hingga di depan orang kosen itu.
"Kita sama-sama sahabat satu dengan lain, aku minta sianseng jangan buta kecil hati," ia berkata, untuk mengakurkan. "Aku harap Siangjin juga tidak memandang secara sungguh-sungguh. Aku minta, dengan memandang kepadaku, sukalah urusan dipandang sebagai guyon saja."
Auwyang Hong tertawa, ia mengulurkan tangannya.
Leng Tie Siangjin masih belum puas, pikirnya. "Tak lebih tak kurang kau menggunai ilmu silat menangkap Kim-na-hoat, kau juga menyerang secara tiba-tiba. Ilmu silatku Tay-in-ciu, yang telah aku pahamkan beberapa puluh tahun ini, mustahilkah ilmu itu tak dapat melawanmu?" Karena ini ia angsurkan tangannya dengan tenaganya telah dikerahkan, ia memencetnya dengan keras. Justru itu, mendadak ia merasakan seperti memegang baja yang terbakar marang, panas dan sakitnya bukan buatan, dengan kelabakan ia melepaskan cekalannya untuk menarik pulang tangannya itu.
Auwyang Hong mengerti maksud orang, ia tidak sudi berbuat keterlaluan, maka itu ia mengganda bersenyum saja.
Leng Tie lantas melihat tangannya, ia tidak dapatkan tanda atau bekas apa-apa, sedang barusan ia merasakan seperti terbakar. Ia menjadi heran sekali, hingga ia menduga: "Mestinya orang ini mengenal ilmu gaib..."
Auwyang Hong melihat Nio Cu Ong masih rebah di lantai tanpa bergeming, ia bertindak mendekati. Ia dapat menduga, ketika orang didesak Kwee Ceng hingga kecebur, dia disambuti Ciu Pek Thong sambil ditotok, maka itu setelah melihat sebentar, ia pun menotok jalan darah orang.
Hanya melihat saja, Sam Sian Lao Koay sadar akan dirinya.
Wanyen Lieh girang bukan main. Ia lantas perintah orangnya segera menyajikan barang hidangan, untuk manjamu itu paman dan keponakannya. Karena dengan sendirinya Auwyang Hong dipandang sebagai kepala rombangan orang kosen itu....
Sambil menjamu, Wanyen Lieh menuturkan kepada Auwyang Hong tentang niatnya mencuri surat wasiat Gak Hui di kota Lim-an dan ia minta supaya See Tok suka memberikan bantuannya.
Auwyang Hong memang pernah dengar hal itu dari keponakannya, diminta demikian hatinya tergerak. Ia lantas mandapat suatu pikiran lain. Pikirnya: "Aku Auwyang Hong, kamu kira aku orang macam apa? Mana dapat aku diperintah olehmu? Aku tahu Gak Hui itu tidak saja pandai mengatur tentara tetapi juga lihay ilmu silatnya, maka di dalam surat wasiat itu, kecuali ilmu perang, mungkin ada catatan tentang ilmu silat. Baiklah, aku terima permintaan ini, untuk aku melihat dulu surat wasiat itu. Mustahil aku si makhluk tua yang berbisa tidak dapat mengangkangi surat itu?"
Maka itu ia lantas menyambut baik permintaannya Wanyen Lieh.
Dua orang itu ada masing-masing pikirannya sendiri. Wanyen Lieh membutuhkan surat wasiat Gak Hui, supaya ia dapat mengatur tentaranya, untuk mencapai maksud gerakannya. Tidak pernah ia memikir bahwa lain orang pun sama mengarahnya, bahkan lain orang itu lebih cerdik daripadanya.
Nio Cu Ong membantu menggembirakan perjamuan itu. Cuma Auwyang Kongcu yang tidak dapat memuaskan diri. Ia minum sedikit arak, ia bersantap, habis itu ia mendahului masuk ke dalam perahu untuk beristirahat, karena ia lagi menderita luka dikakinya.
Orang masih sedang berjamu tatkala mendadak saja Auwyang Hong menunda cawan araknya serta wajahnya berubah. Melihat perubahan itu, semua orang terkejut. Mereka tidak tahu, di dalam hal apa mereka berbuat salah kepada ini orang lihay.
Wanyen Lieh baru mau minta keterangan, atau Auwyang Hong telah berkata: "Dengar!"
Orang lantas pada memasang kupingnya. Mereka tidak mendengar suara apa juga kecuali desiran angin laut dan damparannya gelombang. Maka mereka menjadi heran, semua mata lantas diarahkan kepada orang she Auwyang itu.
Auwyang Hong masih terus memasang kupingnya, sampai sesaat kemudian ia berkata: "Kamu sudah mendengar atau belum? Itulah suara seruling!"
Sekarang benar-benar orang mendengar suara seruling itu, walaupun masih samar-samar, sebab suara itu terganggu angin dan ombak laut. Coba mereka tidak diberikan keterangan oleh Auwyang Hong, masih mereka belum mendengarnya.
Auwyang Hong berbangkit, ia pergi ke kepala perahu. Di sana ia lantas berdongko, dari mulutnya terdengar suara kowak-kowek yang dalam. Maka ia benar-benar sangat mirip dengan seekor kodok besar.
Menyaksikan itu, semua orang heran berbareng merasa lucu, walaupun demikian tidak seorang juga yang berani tertawa. Orang terus mendengarinya. Tidak lama, mereka lantas mendengar nyata suara seruling dan suara seperti kodok itu, bahkan mereka dapat mengetahui juga, seruling dan suara kodok itu saling sahutan, merupakan sebuah lagu. Mereka masih mendengari terus, atau sekarang mereka merasakan hati mereka menjadi tidak tentram, seperti terombang-ambing dalam kebimbangannya.
Leng Tie Siangjin mencoba menentramkan dirinya. Ia kata dalam hatinya: "Benar-benar inilah ilmu sesat! Entah ia hendak memainkan lelakon apa! Aku mesti berhati-hati!"
Anak-anak buah perahu bersama Wanyen Lieh adalah orang yang paling dulu tidak sanggup mempertahankan diri dari tenaga menarik dari seruling dan suara seperti kodok itu. Mereka sudah lantas berjingkrakan.
Menampak demikian, tiba-tiba saja Auwyang Hong menghentikan suaranya yang aneh itu, sebagai gantinya, ia berseru keras sekali. Serentak dengan itu, berhenti juga suara seruling tadi. Ia lantas saja memandang jauh ke laut.
Sekarang semua orang berani memghampirkan, mereka turut mengawasi ke arah yang dipandang itu, hanya hati mereka kebat-kebit, khawatir nanti menyaksikan pula sesuatu yang mukjizat. Mereka berdiri di belakang See Tok beberapa kaki, untuk bersiap sedia kalau-kalau ada bahaya....
Belum terlalu lama, di kejauhan terlihat tiga lembar layar hijau. Itulah layar dari sebuah perahu enteng, yang lajunya sangat pesat, yang lagi mendatangi ke arah perahu besar mereka.
Semua orang menjadi heran.
"Mungkinkah suara seruling itu datangnya dari dalam perahu ini?" mereka menduga-duga, "Terpisahnya kita begini jauh, bisakah suara itu terdengar sampai di sini?"
Auwyang Hong sendiri sudah lantas menitahkan anak buah perahu memutar haluan kendaraan air itu, untuk menampaki perahu enteng itu. Maka lekas juga kedua perahu mulai datang dekat satu dengan lain.
Di kepala perahu enteng itu berdiri seorang yang memakai jubah panjang warna hijau, di tangannya benar-benar dia mencekal sebatang seruling kuningan. Ia pun sudah lantas mengasih dengar suaranya yang tinggi muluk: "Saudara Hong, adakah kau melihat anak perempuanku?"
"Putrimu itu sangat temberang, mana berani aku main gila terhadapnya!" See Tok menjawab.
Kedua perahu terpisah hanya lagi beberapa tembok, tak terlihat bergeraknya orang dengan jubah hijau itu, hanya terlihat berkelebatan satu bayangan, tahu-tahu dia sudah berada di perahu besar.
Menyaksikan orang demikian lihay, kumat sifatnya Wanyen Lieh akan mengambil hati orang. Ia lantas menyambut. Katanya: "Sianseng, bolehkah aku mendapat ketahui she mu? Sungguh beruntung yang aku dapat bertemu dengan sianseng!"
Hebat pangeran ini, sebagai seorang bangsawan ia telah berlaku demikian merendah terhadap seseorang yang tidak dikenal.
Akan tetapi orang itu, apabila ia melihat dandan mentereng orang Kim ini, dia cuma melirik, lantas dia tidak memperdulikannya lagi.
Auwyang Hong melihat ongyanya tidak mendapat muka, ia lantas berkata: "Saudara Yok, mari aku perkenalkan! Tuan ini adalah Chao Wang, putra keenam raja dari negara Kim!" Lalu ia berpaling kepada Wanyen Lieh, akan meneruskan: "Inilah Tocu Oey Yok Su dari Pulau Tho Hoa To, yang ilmu silatnya nomor satu di kolong langit ini, yang tak ada tandingannya."
Mendengar itu, Pheng Lian Houw semua mencelat mundur. Memang mereka telah mengetahui ayahnya Oey Yong adalah orang yang luar biasa, dari itu mereka menjadi jeri sendirinya. Semua berdiam terus.
Semenjak putrinya minggat, Oey Yok Su telah menduga tentulah Kwee Ceng yang disusul. Mulanya ia gusar sekali, ia tidak memperdulikannya, akan tetapi lewat beberapa hari, hatinya menjadi berkhawatir juga. Ia khawatir putrinya itu nanti bertemu sama Kwee Ceng di perahu hiasnya itu. Kalau benar, Oey Yong pasti terancam bahaya besar. Maka diakhirnya ia melayarkan perahu, ia menuju ke tengah laut untuk mencari. Bagaimana sulit untuk mencari perahu hiasnya itu. Sudah beberapa hari ia berada di tengah laut, belum juga ia menemukannya. Maka itu hari ia meniup serulingnya dengan mengharap-harap putrinya nanti mendengarnya. Di luar dugaannya, Auwyang Hong yang menyambutinya dan keduanya jadi bertemu pula.
Oey Yok Su tidak mengenal Pheng Lian Houw sekalian, mendengar orang di depannya itu satu pangeran bangsa Kim, ia semakin tidak menggubrisnya. Melirik lebih jauh pun ia tidak sudi lagi. Hanya, dengan mengangkat tangan terhadap See Tok, untuk memberi hormatnya, ia berkata: "Aku hendak lekas-lekas menyusul anakku, maaf tidak dapat aku menemani lebih lama pula!"
Lalu ia memutar tubuhnya untuk bertindak pergi.
Leng Tie Siangjin baru saja dipermainkan Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong, ia merasakan perutnya panas sekali, dadanya mau meledak, sekarang ia menghadapi pula seorang yang sangat jumawa, bahkan Auwyang Hong memperkenalkan si pangeran secara demkian merendah kepada orang itu, ia jadi berpikir: "Mustahilkah di kolong langit ini ada demikian banyak orang kosen? Mungkinkah orang-orang ini cuma mengerti ilmu gaib atau ilmu sesat, cuma untuk menggertak orang saja?! Baiklah aku coba-coba padanya, untuk mengakalinya...." Maka lantaslah ia berkata kepada Oey Yok Su: "Apakah yang kau cari itu satu bocah perempuan umur lima - atau enambelas tahun?"
Oey Yok Su menghentikan tindakannya, wajahnya nampak gembira.
"Benar!" sahutnya. "Adakah taysu dapat melihat dia?"
Leng Tie Siangjin menjawab, tetapi dengan suara dingin; "Melihat aku ada melihat, cuma aku melihat yang sudah mati, bukannya yang masih hidup."
Mendengar itu, Oey Yok Su terkejut.
"Apakah taysu bilang?" tanyanya lekas, suaranya pun menggetar.
"Pada tiga hari yang lalu, aku pernah melihat mayatnya satu bocah perempuan ngambang di laut," berkata pula si paderi dari Tibet itu. "Dia mengenakan baju putih dan rambutnya memakai gelang emas, romannya cukup cantik."
Paderi ini melukiskan pakaian dan romannya Oey Yong.
Hebat Oey Yok Su merasakan gempuran pada hatinya, tubuhnya sampai terhuyung, mukanya menjadi pucat pias.
"Benarkah itu, taysu?" tanyanya pula selang sesaat.
Semua orang mendengar pembicaraannya kedua orang itu, mereka tahu Leng Tie Siangjin tengah mendustakan orang, maka itu dengan sendirinya hati mereka kebat-kebit. Mereka melihat tegas kedukaannya Oey Yok Su tetapi terus mereka membungkam.
Masih Leng Tie Siangjin menambahkan keterangannya pula. Katanya, "Di samping mayat bocah perempuan itu ada mengambang tiga mayat lainnya, yang satu mayat anak muda, yang lain lagi satu pengemis tua, yang lainnya lagi satu tua bangka yang rambut dan kumisnya sudah ubanan." Ia menyebutnya Kwee Ceng, Ang Cit Kong dan Ciu Pek Thong.
Sampai di situ, Oey Yok Su tak bersangsi lagi. Maka ia lirik Auwyang ong.
"Kau kenal anakku, mengapa kau tidak hendak memberitahukannya siang-siang?" pikirnya.
Auwyang Hong dapat melihat sinar matanya Oey Yok Su, ia pun mengetahui baik kedukaan orang, maka itu ia berkhawatir untuk banyak orang itu. Kalau Tong Shia turun tangan, ia boleh tak usah mengkhawatirkan dirinya sendiri, tetapi yang lainnya, mana mereka sanggup malawan? Maka hebat permainannya Leng Tie Siangjin ini. Tetapi sebagai seorang licin, ia lantas mendapatkan daya untuk meredakan suasana. Maka lekas-lekas ia berkata: "Saudara Yok, aku baru saja naik ini perahu, sedang dengan semua tuan-tuan ini, inilah pertemuan kita yang pertama kali. Mayat yang dilihat taysu itu belum tentu ada mayat putrimu..." Ia menghela napas, ia menambahkan: "Putrimu itu cantik sekali, kalau benar dia berumur pendek, sungguh sayang..."
Auwyang Hong hendak membersihkan diri dari kedua belah pihak, tetapi di kupingnya Oey Yok Su, perkataannya itu terdengarnya lain. Tapi Tong Shia ini bertabiat paling gemar menggumbar hawa amarahnya terhadap lain orang, kalau tidak, ketika dulu hari Hek Hong Siang Sat mencuri kitabnya, tidak nanti dia gusari Liok Seng Hong dan lainnya yang tidak bersalah dosa, yang dia bikin bercacad kemudian diusirnya. Demikian kali ini, ia merasakan tubuhnya menjadi panas dingin mendengar hal kematian putrinya yang ia sangat sayangi itu. Ia berduka hebat sama seperti ketika ia kematian istrinya yang ia sangat cintai. Kedua tangannya bergemetaran keras, mukanya pucat dan merah bergantian.
Semua orang, dengan mulut membungkam, mengawasi saja. Maka itu, sesaat itu, perahu besar itu menjadi sangat sunyi senyap. Cuma suara angin dan gelombang saja yang terdengar.
Tiba-tiba Oey Yok Su mengasih dengar suara tertawanya yang panjang, bagaikan menggeramnya naga seperti tak putusnya.
Suara itu mengejutkan semua orang.
Oey Yok Su tertawa hingga berlenggak, tertawanya itu makin lama makin nyaring. Pada nada suara itu bagaikan ada sifatnya yang dingin, hingga orang menjadi semakin heran. Lalu dilain saat, tertawa itu berubah menjadi tangisan, tangisannya menggerung-gerung, sedihnya bukan kepalang.
Di antara banyak orang itu, cuma Auwyang Hong yang kenal lagak-lagunya Tong Shia, yang suka bernyanyi dan menangis tak ketentuan, dari itu ia menjadi tidak terlalu heran. Hanya, ketika ia mendengar tangisan jadi demikian sedih, ia berpikir juga: "Secara begini, Oey Lao Shia menangis, dia pasti akan terluka tubuhnya. Di jaman dulu Gwan Sek kematian ibunya, ia menangis hingga memuntahkan darah segantang lebih. Kemungkinan ini bisa terjadi dengan si Sesat dari Timur ini. Sayang tiat-cengku tenggelam bersama perahu yang karam, kalau tidak, bolehlah aku menabuhnya untuk meramaikan tangisannya ini."
Lebih jauh Auwyang Hong berpikir; "Oey Lao Shia bertabiat luar biasa sekali, sekali dia gusar, dia sukar diurusnya. Kalau dia sampai menghadapi sesuatu maka lain kali, dalam pertemuan kedua di Hoa San, aku jadi kekurangan seorang lawan yang tangguh. Ah sayang, sayang..."
Habis menangis, Oey Yok Su mengangkat serulingnya, dengan itu ia mengetok pinggiran perahu, setelah mana ia bernyanyi: "Dengan firmannya Tuhan, mengapakah dibikinnya dia umurnya demikian pendek? Atau orang ubanan sampai akhir usianya, atau orang bercelaka karena melahirkan anak? Kenapa belum lagi keduakaan lama lenyap atau sekarang datang bersusun yang baru? Kenapa baru pagi lantas datang sang sore, atau fajar berembun lantas melenyap pula? Yang lenyap itu tak terkejar, atau sekarang mendadak orang hilang akal budinya? Langit demikian tinggi tak ujung pangkalnya, kepada siapa aku mesti mengadukan penasaranku ini...?"
Hanya terdengar suara "Tok!" maka serulingnya Tong Shia terpatah dua. Lalu tanpa berpaling lagi, Oey Yok Su bertindak ke kepala perahu.
Leng Tie Siangjin bertindak maju, dengan kedua tangannya ia menghalang.
"Kau menangis dan tertawa," katanya dengan dingin, "Kenapa kau mengacau secara edan begini?!"
Wanyen Lieh terperanjat.
"Siangjin jangan...." katanya atau ia tidak dapat meneruskannya.
Belum sempat pangeran ini mengucap habis cegahannya itu, tangannya Oey Yok Su sudah berkelebat ke belakang lehernya si paderi dari Tibet itu, hanya dengan satu kali gerakan tangan, tubuh orang yang besar itu telah terangakat lalu terputar hingga Leng Tie Siangjin menjadi berkepala di bawah, berkaki di atas dan tempo tubuhnya dilemparkan, tidak ampun lagi kepalanya yang besar melesak masuk ke lantai perahu sampai di pundak!
Habis itu Oey Yok Su bernyanyi: "Langit kekal, bumi abadi, berapakah lamanya manusia hidup? Yang sudah, yang mendatang, semuanya tak terasa, semua itu ada batas temponya..." Lalu tubuhnya berkelebat, maka tibalah ia kembali di perahunya sendiri, perahu itu lantas berlayar pergi........
Semua orang tercengang, hanya bentaran, lantas mereka bergerak hendak menolongi Leng Tie Siangjin yang entah hidup entah mati, akan tetapi belum lagi mereka keburu bertindak, mendadak, mereka mendengar suara berisik dari bergeraknya lantai perahu, lalu muncullah satu anak muda yang bibirnya merah dan giginya putih, yang romannya tampan. Dan dialah Yo Kang, putranya Wanyen Lieh.
Semenjak dia bentrok sama Bok Liam Cu, Yo Kang cuma ingat saja kata-katanya Wanyen Lieh, yang ayah, bahwa kebahagiannya tak ada batasnya. Di Hoay Utara ia lantas berhubungan sama pembesar-pembesar Kim, maka kemudian ia dapat mencari ayahnya itu, hingga bersama-sama mereka berangkat ke Selatan. Ia melihat Kwee Ceng dan Oey Yong, ia lantas menyembunyikan diri, tak berani ia keluar. Dari dalam perahu ia hanya mengintai saja, maka segala kejadian ke atas perahu, semuanya ia dapat melihatnya dengan tegas dan nyata. Sampai telah berlalunya Oey Yok Su, baru ia merasa dirinya aman, dari itu ia lantas munculkan diri.
Hebat Leng Tie Siangjin merasakan hajaran itu, tetapi dasar ia tangguh, dia tidak terluka, cuma kepalanya pusing. Begitu ia lekas dapat menetapkan hati, dengan kedua tangannya ia menekan lantai perahu, maka dilain saat tubuhnya sudah mencelat bangun, di lantai itu tertampaklah suatu liang besar dan bundar.
Orang heran dan kagum, diakhirnya mereka merasa lucu, tetapi tak seorang juga yang berani mengasih dengar suara tertawanya. Karena menahankan hati, mereka menjadi pada menyeringai.
"Anak, mari menemui Auwyang Sianseng!" Wanyen Lieh kata kepada putranya. Dengan begitu ia pun memecahkan ketegangan.
Yo Kang sendiri sudah lantas menjura kepada Auwyang Hong, ia berlutut dan mengangguk empat kali. Itulah satu kehormatan besar, sedang ia adalah seorang pangeran, maka orang semua menjadi heran.
Selama di dalam istana, Yo Kang sudah sangat mengagumi Leng Tie Siangjin, tetapi sekarang ia telah menyaksikan lihaynya Auwyang Hong, Ciu Pek Thong dan Oey Yok Su, kekagumannya pindah kepada ketiga orang itu. Bukankah Leng Tie Siangjin telah dapat dicekuk dan dilempar pergi datang bagaikan dia ada satu bocah cilik? Bukankah itu menandakan suatu kepandaian yang luar biasa? Bukankah ini serupa dengan artinya kata-kata: "Di luar langit ada langit lainnya, di atas orang ada orang lainnya?" Dia sudah lantas ingat peristiwa di Kwie-in-chung di Thay Ouw waktu ia kena dibekuk, selama ketakutannya di rumah abu keluarga Lauw ketika ia menghadapi Kwee Ceng dan Oey Yong. Semua itu disebabkan ilmu silatnya yang tidak berarti. Sekarang di depannya ada seorang yang berilmu tinggi, jikalau ia tidak mengangkatnya orang menjadi gurunya, pasti sudah ia membikin hilang satu ketika paling baik. Maka itu, dengan kecerdikannya itu ia telah menjalankan itu kehormatan besar. Kemudian ia menoleh kepada Wanyen Lieh sambil berkata: "Ayah, anak ingin mengangkat sianseng ini menjadi guruku."
Wanyen Lieh senang dengan kelakukan anaknya itu, maka ia pun menjura kepada See Tok seraya berkata: "Putraku ini gemar ilmu silat, hanya ia belum bertemu guru yang pandai, jikalau Sianseng tidak mensia-siakannya dan sudi memberikan dia pelajaran, Siauw-ong ayah dan anak sangat berterima kasih untuk budimu yang sangat besar."
Di matanya lain orang, hebat untuk menjadi guru dari seorang pangeran, untuk memintanya pun sulit, tetapi Auwyang Hong berpikir lain. Ia membalas hormat seraya berkata: "Di dalam partaiku ada suatu aturan yang dihormati, yaitu ilmu silat kami hanya diwariskan kepada satu turunan, tidak kepada lain orang. Sekarang ini kebisaanku telah diturunkan kepada keponakanku, karenanya aku tidak dapat menerima lain murid lagi. Mengenai ini aku mohon ongya sudi memaafkannya."
Mendengar ini Wanyen Lieh menyesal, tetapi ia tidak memaksa, maka itu ia lantas memerintah orangnya segera menyediakan barang santapan guna menjamu ini orang berilmu.
Yo Kang pun berputus asa.
Kemudian Auwyang Hong berkata sambil tertawa: "Pangeran muda hendak mengambil aku sebagai guru, inilah tidak berani aku menerimanya, tetapi untuk memberikan dia beberapa petunjuk, itulah tidak sukar. Hal ini baiklah diurus perlahan-lahan belakangan."
Biarnya ia putus asa, mendengar janji Auwyang Hong itu, lega juga hatinya Yo Kang. Ia ketahui baik kegagahannya Auwyang Kongcu, bahkan orang banyak gundiknya, kalau ia mendapat petunjuk dari See Tok, mesti ia mendapat kemajuan pesat, mungkin ia tidak selihay Auwyang Kongcu, toh sedikitnya ia bisa menjagoi juga.
Sembari berjamu, pembicaraan berpokok kepada kejumawaan Oey Yok Su. Orang anggap pantaslah ia dipermainkan Leng Tie Siangjin.
"Suheng, dia menangis dan tertawa, dia pun bernyanyi, kenapa?" Hauw Thong Hay menanya kakak seperguruannya.
See Thong Thian tidak tahu bagaimana harus menjawab, maka ia menyahuti secara sembarangan saja: "Siapa kesudian memperdulikan segala perbuatannya yang edan itu?"
"Yang ia nyanyikan itu ialah syair karangannya Co Cu Kian di jaman Sam Kok," Yo Kang memberitahu. "Co Cu Kian itu kematian anak perempuannya, dia membuat dua ruas syairnya itu. Dengan itu dia mengatakan, ada orang hidup sampai tua sekali, ada yang berumur sangat pendek, mati muda-muda, maka ia bertanya mengapa Thian demikian tidak adil. Maka ia menyesal, langit tinggi tidak ada tangganya, hingga tak dapat ia naik untuk mengajukan pengaduannya. Akhirnya ia membilang bahwa dia sangat berduka, bahwa tak lama lagi waktunya dia menyusul putrinya itu."
"Siauw ongya benar-benar terpelajar!" orang banyak memuji si pangeran. "Kita orang-orang kasar, mana kita ketahui itu?"
Wanyen Lieh girang mendengar kepintaran putranya itu.
"Suara serulingnya itu membuat hatiku tidak tentram, apakah sebabnya itu?" ia tanya.
"Itulah disebabkan semacam tenaga dalam yang mahir sekali," menyahut Nio Cu Ong. "Auwyang Sianseng telah perdengarkan suaranya di kepala perahu, itulah jawaban timpalan untuknya, yang satu memanggil, yang lain bertahan. Benarkah begitu, Auwyang Sianseng?"
Auwyang Hong tersenyum, dan mengangguk..
Lagi sekali orang memberi pujian, sekarang kepada See Tok.
Yo Kang sendiri sementara itu telah berpikir: "Jikalau dihitung-hitung, Oey Yok Su adalah kakek guruku, hanya disebabkan Bwee Suhu telah bersalah terhadapnya, dan ada urusan anaknya yang mencurigai aku, jikalau lain hari aku bertemu pula dengannya, itulah berbahaya untukku. Selama di Kwie-in-chung, aku menduga dia tidak ada lawannya, siapa nyana sekarang ada Auwyang Sianseng ini yang seimbang dengannya. Ah, sayang Auwyang Sianseng tidak dapat menerima murid........"
Selagi pangeran ini bepikir dan yang lainnya berpesta, Oey Yok Su berlayar sendiri dengan tidak karuan rasa. Ia berduka dan mendongkol. Ia penasaran sekali, ada kalanya ia mengutuk langit dan bumi, dilain saat ia mencaci segala hantu atau iblis. Ia mengatakan Thian tidak adil. Kemudian ia perintahkan anak buahnya mengarahkan perahunya ke pinggiran di mana ia mendarat. Lebih dulu daripada itu, dalam kalapnya, ia telah bunuh anak-anak buahnya itu. Sambil berdongak, ia berteriak-teriak: "Siapakah yang membinasakan anakku Yong-jie? Siapakah membinasakan anakku Yong-jie? Ah, itu bocah she Kwe, tidak salah, mestilah dia! Jikalau tidak karena dia, cara bagaimana Yong-jie pergi ke perahunya itu? Hanya sayang bocah itu menemani Yong-jie terbinasa. Sekarang kepada siapa aku mesti melampiaskan hatiku?!"
Berpikir sampai di situ Tong Shia mendadak ingat keenam gurunya Kwee Ceng.
"Kanglam Liok Koay adalah biang dari kebinasaannya anakku Yong-jie," ia memikir. "Jikalau mereka tidak mengajari silat kepada bocah she Kwee itu, mana dia dapat berkenalan dengan Yong-jie? Jikalau aku tidak kutungkan tangan dan kaki dari setiap mereka itu, tidak dapat penasaranku ini dilampiaskan!"
Ia lantas pergi ke kota untuk bersantap sembari dia pikirkan jalannya untuk mencari Kanglam Liok Koay.
"Ilmu mereka tidak tinggi tetapi nama mereka besar," katanya di dalam hatinya. "Mungkin mereka ada punya apa-apa yang melebihkan kebanyakan orang.... Mungkin mereka banyak akal muslihatnya! Jikalau aku datangi mereka secara berterang pasti tidak dapat aku mencarinya, maka itu baiklah aku tunggu sampai malam gelap petang, aku menyerbu ke rumahnya, aku bunuh mereka berikut semua anggota keluarganya, tua dan muda!"
Panas hatinya Tong Shia, maka sehabisnya bersantap, dengan tindakan lebar ia menuju ke Utara, ke Kee-hin.
*
* *
Ang Cit Kong bersama Ciu Pek Thong, Kwee Ceng dan Oey Yong berempat, dengan perahu kecilnya, berlayar ke daratan. Kwee Ceng duduk di belakang memegang kemudi. Oey Yong bicara tak habisnya menanyakan Ciu Pek Thong perihal pesiarnya di laut dengan ikan hiu. Agaknya ia sangat mengaguminya. Pek Thong pun gembira, hingga disaat itu ia ingin menangkap pula ikan hiu untuk pesiar bersama si nona.
Kwee Ceng sementara itu mengawasi gurunya, air muka siapa beda daripada biasanya.
"Suhu, bagaimana kau merasa sekarang?" ia bertanya.
Cit Kong tidak menjawab, hanya napasnya memburu dan keras suaranya. Dia telah tertotok dengan ilmu totok Touw-kut Ta-hiat-hoat dari Auwyang Hong, walaupun dia sudah ditotok bebas, dia telah terluka dalam.
Ciu Pek Thong sedang gembiranya, ia tidak memperhatikan orang lagi menghadapi bahaya maut, Oey Yong tapinya mengetahui keadaan gurunya itu, berulangkali ia mengedipi mata dan memberi tanda dengan tangannya agar si orang tua berandalan itu tak menerbitkan suara ribut yang mengganggu Pak Kay tapi si orang tua itu tetap saja ngoceh.
Oey Yong mengerutkan alis.
"Kau hendak menangkap ikan hiu, tapi kau tidak punya umpannya, buat apa kau omong saja?" kata si nona akhirnya.
Loo Boan Tong tua tetapi seperti tak menghargai dirinya, ditegur orang muda, ia tidak mengambil peduli.
"Ada akalnya!" katanya selang sesaat, "Saudara Kwee, mari! Aku nanti tarik tanganmu, kau rendam separuh tubuhmu di dalam air!"
Kwee Ceng sangat menghormati kakak angkat itu, walaupun ia tidak ketahui maksud orang, hendak ia menurut. Tidak demikian dengan Oey Yong.
"Engko Ceng, jangan ladeni dia!" si nona mencegah. "Dia hendak pakai tubuhmu seperti umpan guna memancing ikan hiu!"
Nona ini dapat menerka maksud orang.
"Benar!" Pek Thong bersorak. "Begitu lekas ikan hiu itu datang, aku nanti sambar dia dan mengangkatnya ke atas. Kau boleh percaya, tidak nanti dia dapat melukakan kau!"
"Tapi perahu kita ini kecil, heranlah kalau perahu tak karam!" berkata Oey Yong.
"Karam itu terlebih baik lagi!" berkata Loo Boan Tong. "Kita boleh sekalian turun ke laut untuk pelesiran!"
"Habis bagaimana dengan guru kami?" menanya si nona. "Apakah kau tidak menghendaki dia hidup terus?"
Pek Thong menggaruk-garuk kepalanya, tak dapat ia menjawab. Hanya kemudian ia persalahkan Auwyang Hong yang melukai Pak Kay.
"Jikalau tetapi kau masih ngoceh tidak karuan, kita bertiga nanti tidak sudi bicara pula denganmu!" mengancam Oey Yong, yang agaknya habis sabar.
Pek Thong mengulur lidahnya, ia tidak berani mementang bacot pula. Ia lantas menyambuti pengayuh dari tangannya Kwee Ceng untuk mengayuh perahu itu.
Daratan tak jauh nampaknya, tetapi untuk tiba di tepian, mereka mesti memakan tempo sampai langit mulai gelap. Karena itu, terpaksa mereka bermalam di pesisir.
Besoknya pagi ternyata penyakitnya Ang Cit Kong jadi bertambah berat. Kwee Ceng berduka dan berkhawatir sangat hingga ia menangis.
Pak Kay sebaliknya tertawa.
"Walaupun aku hidup lagi seratus tahun, di akhirnya toh aku mesti mati," katanya. "Anak yang baik, aku hanya mempunyai satu keinginan, maka kamu pergilah untuk mendapatkannya!"
Pek Thong memegat: "Si makhluk berbisa bangkotan itu, melihat cecongornya tidaklah senang aku, maka itu, kalau kau mati, kau matilah, kau legakan hatimu, nanti aku balaskan sakit hatimu, akan aku bunuh mampus padanya!"
Ang Cit Kong tertawa pula.
"Membalas sakit hati?" tanyanya. "Itulah bukannya keinginanku! Sebenarnya aku menghendaki dahar masakan Wanyoh Ngo-tin-kwee dari istana kaisar."
Tadinya tiga kawan itu menyangka kehendak terakhir itu ada urusan yang sangat besar, tidak tahunya urusan gegares, maka legalah hati mereka.
"Itu gampang suhu," Oey Yong lantas berkata, "Dari sini tak terpisah jauh dengan kota Lim-an, nanti aku pergi ke istana kaisar untuk mencuri beberapa mangkok masakan itu untuk kau dahar sepuasnya."
"Aku juga ingin dahar!" Pek Thong menyelak.
Oey Yong mendelik pada "Bocah" bangkotan itu.
"Tahu apa kau tentang makanan lezat atau tidak?!" tegurnya.
"Wanyoh Ngo-tin-kwee itu, sekalipun di dalam istana tak gampang-gampang dibikinnya," Ang Cit Kong mengasih tahu. "Ketika dulu hati aku bersembunyi selama tiga bulan di dapur istana, cuma satu kali pernah aku merasainya. Lezatnya masakan itu, kapan aku ingat, membikin aku hendak mengeluarkan ilar..."
"Kalau begitu, aku ada punya satu pikiran," Pek Thong turut bicara. "Kita pergi mencuri koki raja, kita suruh dia masak untuk kita."
"Pikirannya Loo Boan Tong ini tak buruk," Oey Yong bilang.
Bukan main girangnya Pek Thong dipuji si nona.
Sebaliknya Ang Cit Kong menggeleng kepala.
"Tak dapat itu dilakukan," katanya Pengemis dari Utara. "Barang hidangan itu, segala apanya mesti istimewa, sampai baranya, mangkoknya juga, kalau tidak, rasanya tidak lezat, salah sedikit pun tidak boleh. Paling benar kita pergi sendiri ke istana untuk memakannya."
Tiga orang itu tak takut pergi ke istana.
"Itu memang paling bagus!" kata mereka bareng. "Nah, mari kita berangkat sekarang!"
Kwee Ceng lantas menggendong gurunya, buat dibawa ke dalam desa yang berdekatan. Di situ mereka minta nasi dan arak, untuk mereka menangsal perut. Mereka hendak membayar uang makanan itu ketika mereka mendapat kenyataan kantung mereka kosong.
Orang yang mempunyai rumah itu ada satu nyonya, dia baik budi, bukan saja ia tidak menghendaki uang makan, bahkan ia mengantarkannya ke kota.
Cit Kong berempat menghanturkan terima kasih, lantas mereka pamitan. Ketika melewati sebuah rumah gadai, mendadak Pek Thong gusar dan berseru: "Ini dia usaha membunuh orang tanpa melihat darah!" Lantas ia hendak menyerbu untuk merampas uang dari pengadaian itu.
"Buat apa terburu nafsu?" Oey Yong mencegah. Ia loloskan gelang rambutnya, ia masuk ke dalam rumah gadai itu, untuk menggadaikan itu buat empatbelas tail perak, kemudian mereka mencari hotel dimana mereka beristirahat. Sehabis bersantap, Kwee Ceng bertiga tidak melihat Oey Yong ada bersama.
Berkata Pek Thong kepada adik angkatnya: "Itu istrimu yang lihay, kalau aku Loo Boan Tong melihat padanya, aku takut sekali!"
Kwee Ceng tersenyum.
Tidak lama terlihat Oey Yong muncul dari luar dengan wajahnya berseri-seri.
"Kenapa kau takut padaku?" tanyanya pada si tua berandalan.
Pek Thong mengawasi, ia melihat rambut orang ada gelang emasnya.
"Eh, kenapa kau lantas menebusnya kembali?" ia tanya heran. "Kalau begitu, kita mesti mencari daya untuk membayar uang sewaan kamar dan makanan kita ini..."
Oey Yong tidak segera menjawab, hanya dari sakunya ia tarik keluar empat kantung uang.
"Untuk apa mesti ditebus?" katanya tertawa. "Rumah gadai itu akulah yang usahakan, maka berapa banyak aku menghendaki, berapa banyak aku boleh ambil!"
Pek Thong kagum bukan main orang dapat pergi dan pulang dengan cepat untuk mengambil balik gelangnya berikut uang, maka ia memberikan pujiannya. Katanya: "Ini nona kecil benar-benar dapat mewariskan kepandaian keluarganya, dia pandai sekali!"
"Jikalau aku dibandingkan sama Biauw Ciu Sie-seng yang menjadi guru nomor dua dari engko Ceng, kepandaianku ini sungguh tidak berharga setengah peser juga!" kata si nona tertawa.
"Oh, ada orang yang demikian lihay?" kata Pek Thong. "Aku ingin bertemu dengannya!"
Sementara itu terlihat sakitnya Ang Cit Kong bertambah berat sedang di kota itu tidak ada tabib terkenal, maka Kwee Ceng bertiga menyewa sebuah kereta keledai untuk Pak Kay, dengan itu mereka berangkat menuju ke utara, ke kota Lim-an. Pada suatu hari tibalah mereka di sungai Cian Tong, darimana mereka pergi ke luar kota Lim-an. Mereka tidak keburu masuk ke dalam kota karena cuaca mulai gelap, burung-burung gowak tengah terbang pulang. Karena itu mereka memikir mencari rumah penduduk, buat menumpang bermalam. Mereka melihat sedikit jauh dari situ ada aliran air yang mengitari tujuh atau delapan rumah.
"Kampung itu bagus, mari kita singgah di sana?" Oey Yong mengajak.
"Bagus apa?" tanya Pek Thong, matanya mencilak.
"Kau lihat, bukankah pemandangannya indah bagaikan gambar?" si nona bilang.
"Kalau indah bagaikan gambar, habis bagaimana?" tanya Loo Boan Tong.
Si nona heran, hingga ia melengak.
"Jikalau kau bilang jelek, kita jangan singgah di sini," katanya kemudian. "Tapi kita tidak dapat pergi ke lain tempat..."
"Kalau kamu tidak pergi perlu apa aku pergi sendiri?" berkata si orang tua yang lagi kumat berandalannya.
Sementara itu mereka sudah tiba di kampung itu. Nyata itulah sebuah kampung rudin, sebab di sana sini telihat tembok-tembok runtuh. Di muka kampung sebelah timur terlihat sebuah warung arak, maka mereka menuju ke sana. Di bawah payon ada dua buah meja papan, mejanya tebal debunya.
"Hallo!" Pek Thong lantas memanggil.
Dari dalam lantas muncul satu nona umur tujuh - atau delapanbelas tahun, rambutnya awut-awutan tetapi rambut itu ditancap sebatang tusuk konde. Dia mementang matanya lebar-lebar mengawasi ketiga orang itu.
"Kasihkan aku nasi dan arak," Oey Yong minta.
Si nona menggeleng kepalanya.
"Kau tidak punya arak dan nasi, habis untuk apa kau membuka rumah makan?" menegur Pek Thong.
"Aku tidak tahu," sahut si nona, yang kembali menggoyang kepalanya.
"Ah, kau benar-benar nona tolol!" kata Pek Thong.
Si nona tertawa.
"Memang aku si Sa Kouw!" sahut nona itu.
"Sa Kouw" berarti "nona tolol"!
Mendengar jawaban itu Oey Yong bertiga girang. Oey Yong terus masuk ke dalam terus ke dapur untuk melihat-lihat. Ia mendapatkan banyak galagasi. Nasi tinggal nasi dingin. Di atas pembaringan, tikarnya pun tikar butut. Itulah tanda kemelaratan, maka ia terharu.
"Apakah kau bersendirian saja di sini?" ia menanya si nona rumah.
Sa Kouw mengangguk sambil tersenyum.
"Ibumu?" Oey Yong tanya pula.
"Sudah mati," sahut si nona. Ia mengusap matanya, seperti mau menangis.
"Ayahmu?"
Nona itu menggeleng kepala tanda tak tahu.
Oey Yong melihat tangan dan muka orang kotor, seperti sudah beberapa bulan tidak pernah ketemu air, maka di dalam hatinya ia berkata: "Taruh kata dia masak nasi, tentulah aku tak dapat mendaharnya...." Tapi ia toh menanya: "Ada beras?"
Nona itu mengangguk, kembali ia tersenyum. Ia pergi mengeluarkan paso besar, yang isinya separuh.
Oey Yong lantas turun tangan sendiri, mencuci beras dan memasaknya.
Kwee Ceng lantas pergi ke kampung sebelah barat dimana ia membeli dua ekor ikan serta seekor ayam, terus bersama Oey Yong ia kerjakan itu. Tempo nasi dan barang makanan itu matang dan disajikan, sang malam tiba.
Oey Yong minta minyak, untuk memasang lampu, tapi Sa Kouw menggeleng kepala.
Terpaksa nona Oey mencari sebatang cemara, ia sulut itu. Ia pergi ke dapur, akan mencari mangkok dan sumpit. Ketika ia membuka lemari, ia dapat cium bau busuk. Ia menyuluhi, maka terlihatlah tujuh atau delapan mangkok hijau yang sudah sombeng di sana sini. Di sininya ada belasan bangkai cecurut....
Kwee Ceng membantui mengambil mangkok.
"Pergi kau cuci bersih sekalian ambil beberapa batang cabang pohon untuk dipakai sebagai sumpit," berkata Oey Yong.
Si anak muda menurut, ia berlalu dengan mangkok kotornya itu.
Oey Yong menjumput mangkok yang terakhir ketika ia merasakan mangkok itu dingin seperti es, beda dari mangkok biasa. Ia mengangkatnya, tapi mangkok itu diam di tempatnya seperti terpaku. Ia menjadi terlebih heran. Ia tidak berani memaksa mengambil, khawatir mangkok itu pecah. Ia hanya mencoba lagi tetapi kembali gagal.
"Mustahilkah karena dibiarkan lama di sini, mangkok ini penuh debu dan jadi nempel lengket karenanya?" ia berpikir. Maka itu ia mengawasi terus, sampai ia lihat mangkok itu karatan, sebab mangkok itu ternyata terbuat dari besi.
Sendirinya nona itu tertawa geli.
"Mangkok emas, mangkok perak, mangkok kumala, semuanya aku pernah lihat," katanya di dalam hati. "Tetapi belum pernah aku dengar ada mangkok besi."
Ia mencoba menarik dengan menggunai sedikit tenaga, tetap mangkok itu tak bergeming. Ia heran bukan main. Mestinya mangkok itu dapat terangkat berikut papannya. Maka ia mau menduga papannya itu pun besi. Ia lantas menyentil. Ia mendengar suara nyaring. Benarlah dugaannya.
Oey Yong pegang mangkok itu, ia memutar ke kiri. Mangkok diam saja. Ia mencoba memutar ke kanan, mangkok itu bergerak sedikit. Ia memutar terus. Tiba-tiba ia mendengar suara keras, sebagian tembok memutar ke kanan, mangkok itu bergerak sedikit. Ia memutar terus. Tiba-tiba ia mendengar suara keras, sebagian tembol dapur itu terbelah dua, memperlihatkan suatu lobang yang gelap. Dari situ lantas menghembus bau busuk, sampai si nona mau muntah, lekas-lekas ia lompat ke samping.
Kwee Ceng bersama Ciu Pek Thong mendengar suara si nona, mereka lantas datang melihat.
"Jangan-jangan inilah rumah makan gelap," berkata Oey Yong, yang menjadi curiga. "Mungkin Sa Kouw berpura-pura tolol." Tiba-tiba ia berlompat ke samping nona tolol itu, yang berada di ruang dapur itu, kedua tangannya diulur untuk menangkap lengan orang.
Ruang itu gelap tetapi Sa Kouw mendengar suara angin, ia menarik tangannya dengan jurus "Melepas jubah menyerahkan kedudukan," setelah bebas, ia membalas menyerang, ke arah pundak orang.
Oey Yong menduga orang mungkin tidak bermaksud jahat hanya ia tidak menyangka nona itu demikian gesit dan serangannya pun ganas, ia menjadi kaget. Dengan tangan kiri ia menangkis, terus membangkol dengan tangan kanan ia menyerang dua kali beruntun. Setelah menyakinkan Ie-kin Toan-kut-pian, ia menjadi sebat sekali dan tenaganya bertambah, maka itu Sa Kouw lantas saja menjerit kesakitan karena lengannya kena terpukul, meski begitu, ia melawan terus.
Sungguh Oey Yong tidak menyangka, di dusun sepi itu ada rumah makan gelap, bahkan pelayan seorang nona jorok itu, bahkan dia cukup gagah karena dia dapat bertahan sampai tujuh atau delapan jurus.
Kwee Ceng dan Pek Thong turut menjadi heran.
Kemudian Pek Thong dengar suara anginnya Oey Yong berubah hebat, lantas ia berteriak: "Eh, nona Oey, jangan kau ambil jiwanya!"
Selagi begitu, Kwee Ceng berjaga-jaga di sisinya Ang Cit Kong, ia khawatir ada penghuni jahat lainnya, yang bisa membokong gurunya itu.
Lagi beberapa jurus, Oey Yong menghajar lengan orang hingga lengan itu dikasih turun, tak dapat digeraki lagi. Kalau mau, ia dapat membinasakan, tetapi ia merasa kasihan.
"Berlutut!" ia menitah. "Akan aku beri ampun padamu!"
"Aku tidak sudi!" menjawab nona itu, yang mendadak menyerang pula dengan tangan kanannya, bahkan jurusnya ada jurus "Lok Eng Ciang-hoat" ajarannya Oey Yok Su.
Oey Yong kaget dan heran. Sambil menangkis, ia menanya: "Darimana kau pelajarkan ini jurus Lok Eng Ciang-hoat? Siapakah gurumu?"
Nona tolol itu tertawa.
"Aku tidak suka menjawab. Habis kau mau apa?" ia menantang.
Melihat suara orang tak lagi seperti orang tolol, Oey Yong mengulang serangannya, kedua tangannya bergerak saling susul dua kali, kemudian itu disusul sama serangan yang kelima, untuk menggertak, sebab berbareng dengan itu, kakinya bekerja.
"Bruk!" demikian Sa Kouw roboh terguling.
"Ah, kau memakai akal!" serunya. "Mari kita bertempur pula!" Ia terus merayap bangun.
Oey Yong tidak sudi memberi ketika, ia menubruk dan menindih, lalu ia merobek baju orang untuk dipakai mengikat tangannya dia itu.
"Bukankah Lok Eng Ciang-hoatku lebih baik daripada kepunyaanmu?" ia bilang.
"Kau menggunai akal, aku tidak terima!" nona itu membelar. Dan ia mengulanginya perkataannya itu.
Melihat si tolol sudah kena dibikin tidak berdaya, Kwee Ceng lari keluar, untuk terus melompat naik ke atas wuwungan, untuk mengawasi sekelilingnya. Ia tidak melihat apa juga. Tapi ia turun ke bawah, ia jalan mengitari rumah makan itu. Rumah itu mencil sendirian dan pintunya pun cuma satu. Dengan merasa lega, ia masuk pula ke dalam.
Oey Yong tengah mengancam Sa Kouw dengan pisaunya diarahkan ke mata orang.
"Siapa yang mengajari kau ilmu silat?" demikian tanyanya. "Lekas bilang! Kalau kau tidak suka bicara, aku nanti tikam mampus padamu!"
 Â
Bab 47. Tempat rahasia
Sa Kouw tidak menjadi takut, bahkan ia tertawa haha-hihi. Dia seperti tidak kenal bahaya, dia rupanya menyangka nona tetamunya tengah main-main dengannya.
Oey Yong penasaran, ia ulangi pertanyaannya.
"Aku tidak mempunyai guru," sahut si tolol akhirnya. "Siapa yang membilang ada orang yang mengajar aku?"
"Budak ini tidak suka bicara, mari kita masuk ke dalam lobang ini untuk memeriksa," berkata Oey Yong kemudian. "Ciu Toako, tolong kau lindungi guruku serta menjagai budak ini. Engko Ceng, mari kau bersama aku..."
"Tidak, tidak!" Pek Thong menggoyangi tangannya. "Aku pergi bersama kau!"
Si nona mengkerutkan keningnya.
"Tidak, aku tidak mau pergi bersama kau!" ia menolak.
Pek Thong lihay, usianya pun tinggi, entah kenapa, terhadap si nona tak berani ia membantah, bahkan sebaliknya, ia lantas memohon.
"Nona yang baik, lain kali aku tidak berani pula..." katanya.
Oey Yong lantas saja tertawa untuk kejenakan orang tua itu. Ia mengangguk. Pek Thong jadi sangat girang, lekas ia mencari dua cabang cemara, untuk disulut menyala, untuk dipakai ia menyuluhi ke dalam gua, yang ia asapkan sekian lama.
Oey Yong sendiri malah melemparkan sebatang cemara yang apinya menyala ke dalam lobang itu, setelah itu ia mendengar suara bentroknya batang itu dengan dinding. Maka teranglah tempat rahasia itu tidak dalam.
Dengan memimjam penerangan obor kayu cemara itu orang memandang ke dalam gua. Tidak ada bayangan orang di dalam situ, tidak ada suara apa-apa. Maka itu tanpa bersangsi lagi, Ciu Pek Thong lantas bertindak masuk. Dia disusul oleh Oey Yong.
Setelah memperhatikan seketika, nyata gua itu ada sebuah kamar kecil.
"Kita terjebak, kita terjebak!" Pek Thong berseru-seru. "Tak bagus!"
Oey Yong sebaliknya mengeluarkan suara kaget. Dia melihat ke bawah dan ia menampak tulang belulang seorang manusia, yang rebah celentang. Pakaiannya sudah rusak, hingga tak dapat dikenali, semasa hidupnya dia orang macam apa. Di pojok timur pun ada tulang-belulang serupa, terletak di atas sebuah peti besi. Sebatang golok tajam panjang satu kaki tengah menancap di punggung di atas tutup peti besi itu.
Pek Thong mendapatkan ruang kecil dan kotor dan seram dengan adanya tulang-belulang itu, tidak ada apa-apa yang luar biasa, tetapi karena Oey Yong masih memperhatikan segala apa, ia berlaku sabar untuk menemani, hanya kemudian, ia tak dapat menahan sabar pula.
"Nona yang baik," katanya, "Hendak aku pergi keluar, bolehkah?"
"Baiklah," menjawab si nona. "Pergi kau menggantikan engko Ceng, supaya ia datang ke mari."
Pek Thong girang bukan main, ia keluar seperti burung terbang, akan dilain saat Kwee Ceng datang masuk.
Oey Yong mengangkat obor kayu cemaranya, untuk menyuluhi, supaya Kwee Ceng dapat melihat segala apa terutama itu tulang-belulang manusia, kemudian ia menanya bagaimana atau apa yang menyebabkan kematiannya dua orang itu.
"Dia ini tentu lagi hendak membuka besi itu, lantas ada orang yang hendak membokong dari belakang," kata Kwee Ceng seraya menunjuk tulang-tulang di atas peti besi. "Yang di tanah itu, karena tulang-tulangnya pada patah, mestinya diserang dengan tangan kosong."
"Aku juga menduga demikian, hanya duduknya hal-hal disini membuatnya aku tidak mengerti," menyatakan si nona.
"Apa yang kau maksudkan?"
"Umpama Sa Kouw," sahut si nona. "Dia mengerti ilmu silat Lok Eng Ciang-hoat, benar ia menyakininya belum sempurna tetapi itu ada pelajaran yang sejati. Darimana ia dapatkan itu? Dua orang ini mati disini, ada hubungan apakah di antara mereka dan Sa Kouw? Sebelum ketahui jelas semua ini, tak tentram hatiku..."
"Baiklah kita tanya pula nona itu," Kwee Ceng mengusulkan. Ia tidak mau menyebutnya nona itu nona tolol, karena ia sendiri sering dikatakan tolol.
"Menurut penglihatanku, dia memang benar-benar tolol," kata Oey Yong. "Dia tidak suka bicara, percuma kita menanya pula padanya. Mari kita memeriksa pula dengan seksama, barangkali saja kita mendapati sesuatu."
Maka ia angkat obornya, menyuluhi pula dua perangkat tulang-belulang manusia itu. Ketika ia menyuluhi ke peti besi, di kaki itu ada suatu benda yang bergemerlap. Ia lantas jumput itu, ialah sebuah pay emas dan di tengahnya ditabur dengan sebutir batu permata sebesar jempot tangan. Ia membalik pay itu, maka ia menampak sebaris ukiran huruf-huruf, bunyinya: "Cio Gan Keng, panglima kota Tiongciu, gelar Bu Kong Tayhu".
"Pay ini kepunyaannya ini setan mati, pangkatnya bukan kecil," kata si nona.
"Seorang berpangkat tinggi terbinasa di sini, sungguh aneh," Kwee Ceng mengutarakan keheranannya.
Oey Yong memeriksa pula tulang-tulang di tanah, ia tidak dapatkan apa, hanya tulang punggung itu rada munjul, maka ia mengoreknya dengan ujung cabang cemara, tempo debunya sudah berkisar, di bawah itu ada selembar besi. Ia kaget hingga ia berseru, cepat sekali ia sambar besi lempangan itu.
Kwee Ceng pun berseru saking heran kapan ia telah melihat benda itu.
"Kau kenal ini?" Oey Yong tanya.
"Ya. Inilah patkwa besi kepunyaannya Liok Chungcu di Kwie-in-chung."
"Tapi belum tentu kepunyaannya Liok Suheng sendiri."
"Mungkin. Melihat rusaknya pakaian, mayat ini mestinya sudah berada di sini sepuluh tahun."
Oey Yong berdiam akan tetapi otaknya bekerja. Habis itu ia sambar golok di atas peti besi itu, ia bawa itu ke depan matanya, untuk melihat dengan teliti. Ia mendapatkan ukiran sebuah huruf "Kiok". Atas itu dengan kaget ia berseru: "Yang rebah di tanah ini adalah kakak seperguruanku!"
Kembali Kwee Ceng memperdengarkan suara heran.
"Menurut Liok Suheng, Kiok Suheng masih hidup, siapa tahu dia telah terbinasa di sini," berkata Oey Yong kemudian. "Engko Ceng, coba kau lihat ini tulang kakinya."
Kwee Ceng berdongko.
"Kedua tulang pahanya patah," ia berkata. "Ah, ia telah dihajar patah oleh ayahmu..."
Si nona mengangguk.
"Kakak seperguruan ini bernama Liok Leng Hong," ia memberi keterangan. "Pernah ayah menerangkan, di antara enam muridnya, Kiok Suheng ini paling pandai dan ia pun paling disayangi..."
Belum habis ia berkata, Oey Yong sudah lompat untuk lari ke luar dari ruang rahasia itu. Kwee Ceng, yang merasa heran lari mengikuti.
Oey Yong lari kepada Sa Kouw.
"Kau she Kiok, bukankah?" ia menanya.
Sa Kouw tidak menyahuti, ia hanya tertawa geli.
"Nona, apakah shemu?" Kwee Ceng menanya, sabar.
"Aku tidak tahu," menyahut nona itu menggeleng kepala.
Selagi dua orang itu hendak menanyakan terlebih jauh, Pek Thong menjerit-jerit; "Aku sudah lapar! Aku sudah lapar! Aku bisa mati kelaparan!"
"Benar," berkata Oey Yong. "Mari kita bersantap dulu." Ia membukai ikatannya Sa Kouw, ia ajak nona itu bersantap bersama.
Sa Kouw tidak menampik, ia tertawa, ia angkat mangkoknya dan dahar.
Sembari bersantap Oey Yong tuturkan Cit Kong apa yang ia dapatkan di dalam kamar rahasia itu.
Pak Kay pun heran.
"Rupanya orang she Cio itu menghajar mati suhengmu itu, lantas ia hendak membuka peti besi itu," katanya, mengutarkan dugaannya. "Tidak tahunya suhengmu itu belum mati dan ia menimpuk dengan golok itu."
"Melihat keletakannya, mungkin begitu kejadiannya," Oey Yong membenarkan. Ia lantas memperlihatkan golok lancip itu serta patkwa besi pada si nona tolol. Ia menanya, "Apakah kau tahu siapa punya ini?"
Melihat itu, wajahnya Sa Kouw berubah. Ia berpaling, agaknya ia berpikir, tapi ia tidak dapat mengingat apa-apa. Akhirnya ia menggeleng kepalanya, hanya tangannya memegangi golok itu, tak mau dilepaskan.
"Rupanya pernah ia melihat golok ini, sekarang dia tidak ingat," bilang Oey Yong.
Habis bersantap, sesudah memernahkan Ang Cit Kong, yang merebahkan diri untuk tidur, Oey Yong ajak Kwee Ceng pergi pula ke kamar gelap itu, untuk memeriksa terlebih jauh. Sekarang perhatian mereka ditujukan kepada peti besi itu, yang entah apa isinya.
Semua tulang di atas tutup peti disingkirkan. Gampang sekali mengangkatnya, sebab peti tidak dikunci. Peti itu menyinarkan cahaya bergemerlapan, sebab isinya adalah pelbagai macam batu permata.
Kwee Ceng hanya merasa aneh, tetapi Oey Yong ketahui itulah harta besar sekali. Ayahnya biasa mengumpulkan permata tetapi tak sebanyak ini.
Nona Oey meraup permata itu, lalu ia melepaskan pula. Batu-batu itu mengasih dengar suara nyaring.
"Semua permata ini mestinya ada riwayatnya," kata si nona kemudian. "Kalau ayahku ada disini, ia tentu mengetahuinya."
Lalu ia menjelaskan kepada Kwee Ceng namanya setiap batu permata itu.
Kwee Ceng gelap untuk semua permata itu, belum pernah ia melihatnya, belum pernah ia mendengarnya.
Oey Yong meraup pula, sampai dalam. Tangannya membentur dasarnya peti besi. Ia merasakan lantai yang keras. Ia jadi menduga peti besi itu ada lapisannya. Ia lantas meneliti pinggirannya peti itu. Sekarang ia melihat gelang kecil di kiri dan di kanan, yang tadinya kealingan batu-batu permata. Ia menggunai kedua tangannya memegang sepasang gelang itu, lalu ia mengangkat. Untuk herannya, ia mendapatkan di dasar peti itu sejumlah barang kuno dari perunggung dan lainnya dan mestinya pun dari pelbagai jaman yang telah lampau. Jadi inilah benda-benda yang lebih berharga daripada batu-batu permata itu.
Masih ada lagi lain lapisan peti itu. Ketika lapisan ini pun diangkat, di dalam situ terlihat pelbagai gambar lukisan dan tulisan huruf segulung demi segulung.
"Mari bantui aku," si nona minta pada Kwee Ceng, untuk membeber gambar-gambar itu. Kesudahannya, ia menjadi heran dan kagum. Sebab ia melihat lukisan-lukisan dari Gouw Too Cu, Co Pa, Kie Jian dan Lie Houw-cu kaisar dari dinasti Tong Selatan, dan lainnya lagi, jumlahnya duapuluh lembar lebih. Dan semua itu pun barang-barang yang harganya luar biasa.
Saking kagum, Oey Yong tidak mau melihat lebih lama, semua itu ia masuki ke dalam peti itu, lalu ditutup dengan rapi, kemudian sambil memeluk dengkul, ia duduk bercokol di atasnya. Ia berpikir keras.
"Ayahku pengumpul semua permata dan barang kuno, tetapi apa yang ia peroleh tidak ada satu sepersepuluh dari harta karun ini," pikirnya. "Kenapa Kiok Suheng ada demikian lihay hingga ia dapat memperoleh semua ini?"
Tidak sempat nona ini berpikir terus, ia mendengar suara nyaring Ciu Pek Thong, "He, keluar kamu semua! Mari kita pergi ke rumahnya kaisar untuk dahar Wanyoh Ngo-tin-kwee!"
"Kita pergi malam ini?" tanya Kwee Ceng.
"Lebih cepat satu hari lebih baik," berkata Cit Kong. "Kalau kita berlambat, aku khawatir aku tak dapat bertahan lebih lama pula..."
"Suhu," berkata Oey Yong, "Paling cepat juga baru besok pagi kita dapat masuk ke dalam kota. Suhu jangan dengarkan ocehannya Loo Boan Tong!"
"Ya, sudah, sudahlah!" berkata Ciu Pek Thong. "Memang sagalanya aku yang salah!"
Terus ia menutup mulutnya.
Besoknya pagi, Oey Yong berdua dengan Kwee Ceng mematangi nasi, lalu mereka sarapan bersama-sama Sa Kouw. Oey Yong memikirkan tempat yang aman untuk menyimpan harta karun itu.
"Sudah, mari kita lekas pergi!" Pek Thong mengajaki. "Itu toh bukannya bendamu! Perlu apa kau capaikan hati?"
Si nona memikir, memang tempat itu adalah tempat yang paling aman. Bukankah harta karun itu sudah berdiam di dalam kamar rahasia itu untuk belasan tahun? Maka ia lantas bekerja, menutup rapat pula pintu rahasia dan benahkan segala apa yang seperti bermula mereka datang.
Selama itu Sa Kouw tidak memperdulikan perbuatan orang, ia tidak tahu menahu, ia hanya lebih suka membuat main golok tajam itu.
Ketika mau pergi, Oey Yong memberikan uang perak dua potong.
Sa Kouw menerimanya untuk terus dilempar secara sembarangan ke atas meja.
"Jikalau kau lapar, pakailah uang ini untuk membeli beras dan daging," pesan Oey Yong.
Nona itu acuh tak acuh, ia cuma tertawa saja.
Oey Yong berduka sangat, ia mengasihi nona tolol itu ini. Ia mau percaya dia ada hubungannya sama Kiok Leng Hong, mungkin sanak atau muridnya suheng itu. Ia pun tidak mengerti, orang tolol semenjak kecil atau hanya baru belakangan saja karena sesuatu serangan otak. Tadinya ia hendak mencari keterangan di kampung itu tetapi Ciu Pek Thong mendesak tak hentinya, terpaksa ia turut juga. Maka berempat mereka pergi menuju ke kota. Cit Kong tetap naik kereta.
Kota Lim-an ialah kota Hangciu yang tersohor indah, kota ini dijadikan kota raja oleh karena pemerintahan Song berpindah ke Selatan. Oey Yong berempat memasuki pintu kota timur, Cit Kong mendesak untuk pergi ke istana kaisar, dari itu mereka menuju ke pintu Lee-ceng-mui.
Pek Thong bertiga memandang istana, yang indah, yang berukir dan bergambar dan juga dicat merah dan air emas. Wuwungannya ditutup dengan genteng kuningan yang berkilauan, yang pun diukir dengan naga-nagaan dan burung hong.
"Bagus!" Pek Thong berseru, kagum. "Mari kita masuk!"
Di muka istana ada serdadu-serdadu pengawal, mereka mendengar suara berisik itu, mereka melihat seorang tua dan sepasang muda-mudi mengiringi kereta keledai, empat diantaranya lantas maju mendekati untuk menangkap. Mereka semua bergenggaman kampak.
Pek Thong si berandalan gembira sekali, tidak perduli orang berlebih kekar dan romannya garang, ia hendak maju melayani mereka itu.
"Jangan!" mencegah Oey Yong. "Mari kita lekas pergi!"
"Takut apa?!" mata Pek Thong mencelik. "Masa mereka dapat gegares aku?"
"Jikalau kau tidak mau dengar aku, lain kali aku tidak mau memperdulikan pula padamu!" kata Oey Yong yang terus mencambuk kedelai hingga keretanya menggelinding cepat ke arah barat.
Kwee Ceng lantas menyusul.
Pek Thong takut juga nanti ditinggal pergi hingga ia tidak dapat turut pesiar, ia turut pula berlalu dengan meninggalkan keempat pengawal pintu itu. Mereka ini tidak mengejar, hanya mereka menertawai. Mereka menduga itulah rombongan orang desa....
Oey Yong larikan keretanya ke tempat sepi di mana tidak ada lain orang, di situ ia berhenti.
"Kenapa tidak menerjang masuk ke istana?" kata Pek Thong. "Itu segala kantung nasi, mana mereka bisa mencegah kita?"
"Menerjang masuk memang tidak sukar," menyahut Oey Yong. "Tetapi kita datang ke mari untuk bertarung atau untuk pergi ke dapur raja untuk mencari barang makanan? Dengan menerjang masuk, kau membuatnya gaduh, dengan begitu, mana bisa kau mendapatkan Wanyon Ngo-tin-kwee untuk guruku?"
Pek Thong berdiam, tak dapat ia menjawab.
"Baiklah, kembali aku yang salah!" katanya kemudian.
"Dasarnya salah!" kata Oey Yong.
"Ya, sudahlah!" kata pula si tua berandalan itu. Ia terus perbaling kepada Kwee Ceng untuk mengatakan: "Wanita di kolong langit semuanya galak-galak, maka itu juga Loo Boan Tong tidak sudi menikah seumur hidupnya..."
Oey Yong tertawa.
"Engko Ceng orang baik, orang tidak nanti menggalaki dia!" katanya.
"Kalau begitu, apakah aku bukannya orang baik?"
"Habis apa kau sebenarnya orang baik? Coba bilang, kau yang tidak hendak menikah atau si nona yang tak sudi menikah denganmu?"
Pek Thong miringkan kepalanya, ia tidak menjawab.
"Mari kita mencari penginapan dulu," Kwee Ceng datang sama tengah. "Sebentar malam baru kita memasuki istana."
"Benar," kata Oey Yong. "Setelah suhu berdiam di hotel, nanti aku masak unntuk kamu dahar."
"Bagus, bagus!" Cit Kong memuji. Ia girang sekali.
Mereka lantas menuju ke Jalan Gie-gay, untuk menyewa kamar di penginapan Kim Hoa. Oey Yong benar saja lantas pergi ke dapur itu untuk memasak tiga rupa barang hidangan, yang baunya lantas tersiar, hingga orang-orang di penginapan itu menanyakan pelayan, koki kesohor yang mana yang pandai masak itu.
Diwaktu bersantap, Pek Thong tidak turut. Ia mendongkol dikatakan tak ada wanita yang sudi menikah dengannya. Tapi dia dibiarkan saja ngambek....!
Habis bersantap, Cit Kong masuk untuk tidur, Kwee Ceng mengajak Pek Thong jalan-jalan, Loo boan Tong tetap ngambek.
"Kalau begitu, baik-baiklah kau temani guruku," kata Oey Yong tertawa. "Sebentar aku belikan kau beberapa rupa barang bagus untuk kau buat main."
Mendengar itu, bangkit kegembiraan si berandalan tua itu.
"Apakah kau tidak mendustakan aku?" tanyanya.
"Pasti tidak!" si nona memberikan perkataannya.
Ketika Oey Yong berlalu dari rumahnya di musim semi, pernah ia pergi ke kota Hangciu ini, yang letaknya dekat dengan Tho Hoa To, hanya karena khawatir dapat disusul ayahnya, ia tidak berani berdiam lama-lama di situ, sekarang ia luang tempo, dia mengajak Kwee Ceng pesiar ke telaga See Ouw yang tersohor itu.
Biar bagaimana, Kwee Ceng nampak tidak terlalu gembira. Oey Yong melihat itu, ia menduga itulah disebabkan si pemuda memikirkan sakitnya Cit Kong. Maka ia berkata: "Suhu bilang ada serupa barang yang dapat menyembuhkan penyakitnya, hanya itu sangat sukar didapatkannya, bahkan ia melarang kita menanya barang apa itu. Biar bagaimana, aku hendak berdaya untuk mendapatkannya, buat mengobati dia hingga sembuh!"
"Yong-jie, itulah paling bagus!" kata Kwee Ceng girang. "Apakah kau merasa pasti akan bisa mendapatkannya itu?"
"Aku tengah memikirkan jalannya. Tadi sebelum bersantap, pernah aku menanyakan keterangan suhu. Disaat suhu hendak memberitahu, tiba-tiba ia sadar, lantas ia bungkam. Tapi aku akan berdaya mengorek keterangannya."
Kwee Ceng tahu kekasihnya cerdik, hatinya menjadi lega.
Sembari berbicara, mereka tiba di Toan-kio, jembatan buntung di tepi telaga. Inilah salah satu tempat yang kesohor di See Ouw, dimana orang bisa mendapat lihat sisa salju, cuma karena sekarangt musim panas, yang terlihat ialah pohon-pohon teratai dengan bunganya yang tumbuh di kolong jembatan itu.
"Mari kita minum di sana sambil memandangi bunga teratai," Oey Yong mengajak. Di tepian itu ia melihat sebuah rumah makan kecil yang nampaknya resik.
Kwee Ceng akur, maka berdua mereka pergi ke rumah makan itu. Mereka meminta arak dan beberapa rupa barang santapan yang rasanya lezat.
Sembari minum, Oey Yong memandang ke sekitarnya. Ia mendapatkan di jendela timur ada sebuah kesokol, yang ditutupi dengan kain indah. Ia lantas mendekati itu. Nyata di bawahnya itu ada tulisan yang berupa syair.
"Syairnya indah juga," katanya.
"Apakah artinya itu?" tanya Kwee Ceng.
Oey Yong memberi penjelasan, tetapi anak muda itu tak ketarik hatinya. Ia kata; "Di sini kota raja, segala menteri luang temponya, mereka main minum arak dan pesiar saja. Rupanya urusan negara mereka kesampingkan...."
"Benar begitu," sahut Oey Yong. "Maka itu ayahku paling jemu semua orang semacam mereka. Umpama ayah dapat membaca syair ini, mungkin ia cari penulisnya untuk menebas tubuhnya menjadi dua potong...."
Tiba-tiba di belakang mereka ada orang tertawa dingin yang berkata: "Jiwi tahu apa maka kamu bicara sembarangan di sini?"
Kwee Ceng berdua menoleh dengan cepat. Mereka melihat seorang dengan dandanan sebagai sastrawan, umurnya kurang lebih empatpuluh tahun, yang masih saja tertawa dingin. Kwee Ceng lantas memberi hormat dan berkata: "Aku yang rendah tidak mengerti, tolong tuan menjelaskannya."
"Kau tahu inilah buah kalam istimewa dari Thayhaksu Jie Kok Po dari tahun Sun-hie," kata orang itu. "Ketika itu Kaisar Hauw Cong datang ke mari untuk minum arak, dia dapat melihat syair itu, dia puji tinggi, lalu di itu hari juga ia memberikan pangkat kepada Jie Kok Po karena karyanya itu. Itulah untuk bagus dari seorang sastrawan. Maka kenapa jiwi bicara sembarangan saja?"
"Jadi kesokol ini pernah dilihat kaisar maka tuan rumah menutupinya?" tanya Oey Yong.
"Bukan itu saja!" kata orang itu, tetap tertawa dingin. "Coba lihat itu bagian kata-kata 'Besok datang kembali dengan sisa mabuk': Bukankah pada itu ada dua tanda hurufnya yang diubah?"
Oey Yong berdua Kwee Ceng mengawasi. Benar mereka mendapatkan dua huruf perubahan itu.
"Sebenarnya Jie Kok Po menulis, 'Besok datang pula dengan membawa sisa arak,' tetapi kaisar cela itu, katanya pandangannya cupat, lalu ia mengubahnya yaitu huruf 'bawa' ditukar dengan huruf 'mendukung' dan huruf ' arak' ditukar dengan huruf 'mabok'. Sebenarnya Jie Kok Po menulis, 'Besok datang pula dengan membawa sisa arak'. Kalau kaisar tidak pintar, mana dapat ia mengubah itu?"
Habis berkata orang itu menggeleng kepala dan menghela napas.
"Ha, satu kaisar begitu gila arak!" seru Kwee Ceng dengan gusar, dan ia dupak terbalik kekosol itu, hingga rusak.
Sejak masih kecil Kwee Ceng telah mendengar keterangan ibunya perihal kekejaman bangsa Kim, ia menyangka itu hanya disebabkan kelemahannya kerajaan Song, maka ia mengharap, sepindahnya ke Selatan, raja nanti bergiat memajukan negera, untuk menuntut balas, siapa tahu, raja gila pelesiran. Maka dalam gusarnya, ia hajar sekosol ini, terus ia jambak si sastrawan, untuk dijoroki, hingga ia roboh masuk ke jambangan arak. Kepala di bawah, kaki di atas!
"Bagus!" Oey Yong berseru. Ia sambar kedua kaki meja dan patahkan itu, lalu dengan sepasang kaki meja itu, ia menghajar kalang-kabutan.
Pemilik rumah makan dan tetamu lainnya, yang tidak tahu telah terjadi apa, lari keluar dengan ketakutan.
Kwee Ceng lantas mengamuk seperti Oey Yong, akhirnya ia hajar sebuah tiang hingga tiang itu patah dan rumah makan itu ambruk. Setelah itu keduanya tertawa, sambil berpegangan tangan, mereka ngeloyor ke Utara. Tidak ada orang yang berani menyusul mereka.
"Puas juga sekarang!" kata Kwee Ceng di tengah jalan. Ia tertawa pula.
"Ya, apa yang kita lihat dan tak menyenangi, mari kita hajar!" Oey Yong membenarkan.
"Bagus begitu!"
Jalan lebih jauh di sepanjang jalan itu mereka nampak banyak syair, di batu, di pohon, di tembok. Melihat itu, Kwee Ceng menghela napas.
"Kalau begini, tak bisa kita menghajar semua," ia bilang. "Kau cerdik, Yong-jie, kau ada punya daya apa?"
"Aku lihat ada syairnya yang baik," sahut si nona.
"Ah, peduli apa!"
Selagi bicara, mereka tiba di puncak Hui Lay Hong. Di tengah itu ada paseban Cui Bie Teng tulisannya Jenderal Han See Tiong. Girang Kwee Ceng melihat itu, sebab Han See Tong ialah panglima tersohor yang menentang bangsa Kim. Ia bertindak masuk ke dalam paseban itu.
Di dalam itu ada sebuah syair tulisan Han See Tiong.
"Bagus syair ini!" Kwee Ceng memuji.
"Sebenarnya itulah syairnya Bu Bok Ong Gak Hui," kata Oey Yong.
"Eh, mengapa kau ketahui itu?"
"Ayah pernah menuturkan itu padaku. Tempo tahun Ciauw-hin ke 11 di musim dingin, Gak Bu Bok difitnah dan dihukum mati oleh Cin Kwee, lalu di lain tahunnya di musim semi, Han See Tiong membangun paseban ini sebagai tanda peringatan dan ia menuliskan syairnya Bu Bok itu, yang terus diukir."
Kwee Ceng mengagumi panglima kenamaan itu, lama ia berdiri diam mengawasi syairnya, yang pun ia usap-usap. Sedang begitu, mendadak Oey Yong mendak seraya menarik ujung bajunya, hingga ia mesti mengikuti, masuk ke dalam gombolan pohon bunga. Di situ pundaknya di tekan, hingga ia berjongkok seperti si nona.
Hampir di itu waktu, mereka mendengar tindakan kaki memasuki paseban itu.
"Han See Tiong itu memang seorang enghiong," berkata seorang. "Tetapi istrinya pun gagah meski istri itu asal bunga raja. Bukankah ia telah turut maju di medan perang dan telah memukul tambur untuk mengajurkan suaminya memperoleh kemenangan?"
Kwee Ceng mengenali suara itu tetapi tak ingat ia suara siapa itu.
"Gak Hui dan See Tiong memang enghiong tetapi mereka kalah dengan kaisar," kata seorang lain. "Bukankah kaisar menghendaki kematiannya dan semua kekuasaannya atas angkatan perang telah ditarik pulang? Mereka gagah tetapi mereka mesti menerima nasib. Demikian pengaruh kaisar, yang tak dapat ditentang!"
Sekarang Kwee Ceng ingat suaranya Yo Kang. Ia heran. Ia menduga-duga, mengapa pemuda ini berada di tempat ini.
Justru itu terdengar satu suara lain, yang seperti cecer pecah, hingga ia bertambah heran dan kaget. Itulah suaranya See Tok Auwyang Hong si Bisa dari Barat. Kata Auwyang Hong: "Benar! Asal kaisar gelap pikiran yang bertahta dan segala dorna memegang kekuasaan atas pemerintahan tak peduli satu enghiong terbesar, ia tak ada gunanya!"
"Maka kalau raja bijaksana," berkata orang yang pertama, "Pastilah orang-orang seperti Auwyang Sianseng bakal dapat memperlihatkan kegagahan dan kepandaiannya!"
Kwee Ceng mengenali suara orang ini, ialah Wanyen Lieh, putra keenam dari negara Kim atau musuh yang membunuh ayahnya. Tadi, dalam tempo pendek, ia tak segera mendapat ingat.
Mereka berdiam tidak lama di dalam paseban, habis bicara dan tertawa, mereka berlalu pula.
"Coba duga," kata Kwee Ceng pada Oey Yong setelah mereka itu pergi jauh, "Apa maksud mereka datang ke Lim-an ini? Dan adik Kang, kenapa ia ada bersama mereka itu?"
"Memang sudah lama aku melihatnya adikmu itu bukan orang baik-baik, kau tetap membilang ia turunan orang gagah," menyahut si nona. "Baru sekarang kau mengerti! Kalau ia benar orang baik, kenapa dia bergaul sama See Tok dan pangeran musuh itu?"
"Aku juga tidak mengerti," kata Kwee Ceng.
Oey Yong lantas menyebut hal yang ia dengar di ranggon Hoa Cui Kok di istana Chao Wang baru-baru ini. Ia menambahkan: "Wanyen Lieh telah mengumpulkan Pheng Lian Houw dan kambrat-kambratnya, maksudnya untuk mencari surat wasiat Gak Bu Bok, maka mau aku menduga surat wasiat itu mesti berada di dalam kota Lim-an ini. Sungguh celaka rakyat Song kita apabila surat wasiat itu benar-benar terjatuh di tangan mereka itu!"
Tergetar hatinya Kwee Ceng. Memang itulah hebat.
"Yong-jie," katanya. "Kita mesti mencegah mereka berhasil mencuri surat wasiat itu!"
"Hanya sulitnya mereka itu ada bersama si Bisa dari Barat itu..."
"Apakah kau jeri?"
"Apakah kau sendiri tidak takut?"
"Memang aku takut terhadap See Tok, tetapi urusan ada begini besar, karenanya tak dapat kita main takut saja."
Oey Yong tertawa.
"Kau tidak takut, aku juga tidak takut!" katanya.
"Bagus! Sekarang mari kita susul mereka!"
Mereka berlalu dari paseban itu, tetapi mereka tak dapat menyandak Wanyen Lieh bertiga, dan sia-sia saja mereka ubak-ubakan di dalam kota. Hangciu kota besar, dalam tempo yang singkat, kota itu tak dapat diputari seluruhnya. Maka itu setelah setengah harian dan sang sore mendatangi, mereka pergi ke taman Bu Lim Wan di Tiong-wa-cu.
Oey Yong melihat sebuah toko yang menjual pelbagai macam topeng, yang lukisannya bagus dan hidup, ia menjadi ketarik hatinya. Ia ingat janjinya kepada Ciu Pek Thong, yang ia hendak membelikan sesuatu, maka ia masuk ke dalam toko itu, dengan mengeluarkan lima chie, ia dapat membeli belasan topeng, seperti dari Ciong Hiok si raja setan, hakim neraka, toapekkong dapur, malaikat tani, serdadu langit dan hantu lainnya. Semua itu dibungkus jadi satu.
"Entah rumah makan apa itu?" kata Oey Yong. Ia mendapat cium bau makanan lezat dari restoran di sebelah toko topeng itu.
"Rupanya jiwi bukan orang sini maka jiwi tidak ketahui," berkata pelayan toko tertawa. "Itulah restoran Sam Goan Lauw, yang kesohor nomor satu di kota kita. Jangan jiwi melewatkan kesempatanmu ini!"
Oey Yong ketarik hatinya, ia menyambuti topengnya, lantas ia tarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi.
Rumah makan itu dipajang indah, catnya pun bagus. Diatas lauwtengnya ada dipanjar banyak tengloleng. Di pekarangannya dalam ada pohon-pohon bunga dan lainnya. Setibanya mereka di lauwteng, pelayan menyambut mereka dengan manis, menunjuki mereka tempat duduk. Kemudian, setelah dapat pesanan makanan, pelayan itu mengundurkan diri.
Dari terangnya api, Kwee Ceng melihat beberapa puluh bunga raja dengan pakaiannya yang mewah berkumpul di samping lorong. Ia heran. Ia hendak menanyakan pelayan atau mendadak ia tunda maksudnya itu, sebab kupingnya segera mendapat dengar satu suara dari balik tembok: "Baik juga! Coba suruh mereka bernyanyi menemani kita minum arak!"
Itulah suaranya Wanyen Lieh.
Kwee Ceng dan Oey Yong saling merilik. Di dalam hatinya mereka kata: "Bagus!"
Mereka telah mencari berputaran, tak tahunya orang ada disini.
Lalu terdengar suara memanggil dari pelayan, atas mana satu nona bunga raja menyahuti lantas datang menghampirkan. Dia bertindak elok dan tangannya memegang kecrek. Tidak lama kemudian, sudah terdengar suara bernyanyi yang merdu, nyanyian yang memujikan sungai Cian-tong dan kotanya yang indah.
"Bagus!" demikian terdengar pujiannya Wanyen Lieh dan Yo Kang diakhirnya lagu itu.
Habis itu terdengar ucapan terima kasih dari si tukang nyanyi, yang lantas mengundurkan diri dengan gembira, rupanya ia mendapat persenan besar.
"Anak," kemudian terdengar suara Wanyen Lieh. "Kau tahu tidak, syairnya Liu Eng itu ada hubungannya sama negara Kim yang besar?"
"Anak tidak tahu, coba ayah menjelaskannya," terdengar jawabannya Yo Kang.
Mendengar orang saling memanggil anak dan ayah, Kwee Ceng dan Oey Yong saling melirik. Kwee Ceng berdongkol berbareng masgul. Kalau bisa, ingin ia menjambak Yo Kang, untuk paksa ia memberi keterangan.
Yang dibilang syairnya Liu Eng itu ialah syair "Bong Hay Tiauw" atau "Memandang gelombang" yang tadi dinyanyikan si nona tukang nyanyi itu.
Lantas terdengar penjelasan Wanyen Lieh. "Di dalam tahun Ceng-liong dari negara Kim yang agung. Junjungan kita Liang telah melihat syairnya Liu Eng itu yang memuji telaga See Ouw. Karena ini, ketika dikirim utusan ke Selatan, sekalian dikirim juga seorang pelukis, buat dia menggambar panorama kota Lim-an dalam mana dilukiskan juga Junjungan kita lagi berdiri bersama kudanya di puncak bukit Gouw San, kemudian Junjungan sendiri yang menulis syair di dalam gambar itu, syair yang menguraikan ia membawa angkatan perang ke See Ouw dan ia berdiri di puncak ke satu dari bukit Gouw San itu."
"Sungguh bagus!" Yo Kang memuji.
Kwee Ceng meremas tangannya sendiri saking mendongkolnya.
Lalu terdengar Wanyen Lieh menghela napas yang berkata dengan menyesal: "Sayang tak tercapai cita-cita Junjungan Lian membawa angkatan perang ke Selatan untuk mendaki puncak Gouw San itu, meski begitu, cita-cita itu sekarang akan ditelad oleh anak cucunya. Cita-cita luhur dari Junjungan itu terbukti dengan syair yang ia tulis pada sebuah kipas, bunyinya, 'Kalau gagang kipas ada di tangan, maka angin sejuk akan memenuhi kolong langit'."
Di waktu mengucap begitu, pastilah semangat Wanyen Lieh tengah tersengsam.
Setelah itu terdengar tertawa nyaring dari Auwyang Hong, yang berkata: "Kalau di lain hari ongya yang memegang kekuasaan besar pastilah akan tercapai itu cita-cita berdiri di puncak gunung Gouw Wan!"
"Semoga terjadi apa yang sianseng katakan," kata Wanyen Lieh perlahan. "Di sini ada banyak mata dan kuping, mari kita minum saja."
Sampai di situ, bertukarlah pokok pembicaraan mereka itu bertiga. Mereka berbicara tentang keindahan tempat dan adat kebiasaan penduduknya.
"Mereka minum dengan gembira sekali, aku justru akan membikin mereka tidak gembira!"
Oey Yong berbisik di telinga Kwee Ceng, yang ia terus ajak pergi ke taman belakang. Di sini si nona menyulut api, untuk membakar gudang kayu di empat penjuru, maka di lain saat, berkobarlah api itu merupakan satu kebakaran!
Dalam sekejap berisiklah suara orang yang berteriak-teriak dari berlari-larian: "Kebakaran! Kebakaran! Tolong! Padamkan api!"
"Mari lekas ke depan!" si nona membisiki lawannya. "Nanti mereka keburu lenyap lagi!"
"Malam ini mesti aku berhasil menikam mampus Wanyen Lieh!" kata Kwee Ceng sengit.
"Tapi kita mesti temani suhu masuk dulu ke istana," kata Oey Yong. "Kemudian kita minta Ciu Toako layani See Tok, supaya kita leluasa menghadap itu sepasang manusia celaka!"
"Benar!" kata Kwee Ceng setuju.
Mereka lantas turut berdesakan pergi ke depan dimana justru Wanyen Lieh bersama Yo Kang dan Auwyang Hong terlihat lagi keluar dari rumah makan. Mereka menguntit dari kejauhan, melintasi sejumlah jalan dan gang, sampai di penginapan Siang Hong di See-sie-tiang. Sekian lama mereka menantikan, tidak juga Wanyen Lieh keluar, maka mereka menduga tentulah tiga orang itu mondok di hotel itu.
"Mari kita pulang, setelah mengajak Ciu Toako, baru kita satroni pula mereka!" kata Oey Yong.
Kwee Ceng menurut.
Mereka pulang ke penginapan Kim Hoa. Baru sampai di depan penginapan, mereka sudah dengar suara berisik dari Ciu Pek Thong, Kwee Ceng kaget, ia khawatirkan luka gurunya. Ia lari masuk. Tiba di pekarangan, hatinya lega. Di sana Pek Thong lagi berselisih sama beberapa anak-anak. Nyata dia kalah bertaruh dan hendak menganglap dan anak-anak itu tidak mau mengerti.
Melihat Oey Yong, karena takut ditegur, Pek Thong lantas ngeloyor masuk.
Oey Yong berdua Kwee Ceng mengikuti, sesampainya di dalam, si nona mengeluarkan macam-macam topeng yang ia beli itu, ia perlihatkan pada si orang tua.
Pek Thong gembira, ia pakai itu satu demi satu, hingga sebentar ia jadi hakim neraka, sebentar ia jadi hantu.
Oey Yong lantas bicara. Ia minta sebentar si tua itu membantu ia untuk menghadapi Auwyang Hong.
"Baik!" Pek Thong menjawab. "Sebentar aku lawan dia dengan kedua tanganku, dengan dua macam ilmu silat juga!"
Oey Yong khawatir si tua ini nanti berlaku seperti di Tho Hoa To, sebab menghukum diri disebabkan menggunai ilmu silat Kiu Im Cin-keng, dia sudah ikat kedua tangannya untuk bertempur sama ayahnya. Maka itu ia lantas berkata: "See Tok itu manusia sangat busuk, kalau kau gunai Kiu Im Cin-keng untuk menghajar dia, kau tentu tidak melanggar larangan kakak seperguruanmu!"
"Ah, itu tidak dapat!" menampik Ciu Pek Thong sambil membuka lebar matanya. "Aku toh sudah menyakinkan ilmu silat baru tanpa menggunai Kim Im Cin-keng itu."
Oey Yong tidak mau memaksa. Ia khawatir si tua itu nanti ngambek.
Siang hari itu, hatinya Ciu Pek Thong sudah seperti berada di dalam dapur istana. Maka begitu tiba jam dua, Kwee Ceng lantas menggendong gurunya, dengan sambil jalan diatas genteng, berempat mereka pergi ke istana, menuju langsung ke dapur, yang berada di belakang bukit Liok Pouw San dan dekat dengan pendopo istana Kee-beng-thian. Pendopo ini ialah tempat menyiapkan barang hidangan untuk raja.
Istana terjaga kuat tapi di tengah malam seperti itu, dapur sepi, cuma apinya yang terang menderang. Beberapa orang kebiri menjaga di situ tapi mereka ini sudah keburu tidur pulas.
Kwee Ceng mendudukkan Ang Cit Kong di atas penglari. Oey Yong bersama Ciu Pek Thong menggerataki almari untuk mencari barang hidangan seadanya, maka dilain saat, berempat mereka sudah menggoyang janggut.
"Ah, pengemis bangkotan, barang makanan di sini mana lebih lezat daripada masakannya Nona Oey," kata Pek Tong menggeleng kepala. "Jauh-jauh kau datang kemari, habisnya tak menggembirakan...."
"Sebenarnya aku ingin dahar Wanyon Ngo-tin-kwee, sayang kokinya entah pergi kemana," sahut Ang Cit Kong. "Yang ada di sini ialah barang makanan biasa, ini memang kurang lezat. Baik besok kita bekuk itu koki dan suruh ia memasaki."
"Aku tidak percaya dia dapat menangkan masakan Nona Oey!" kata pula Pek Thong.
Oey Yong tertawa. Ia tahu dia dipuji, sebab Pek Thong bersyukur sudah dibelikan topeng.
"Aku mau berdiam di sini menantikan koki itu," kata Cit Kong. "Kalau kau tidak gembira, pergilah kau bersama anak Ceng, biar anak Yong menemani aku. Besok malam baru kau datang menyambut aku."
Pek Thong membekal topengnya, ia pakai topeng malaikat kota.
"Tidak, aku akan berdiam di sini menemani kau!" katanya tertawa. "Besok aku akan pakai topeng ini untuk menemui raja! Saudara Kwee dan nona Oey, kamu awasi See Tok jangan sampai ia berhasil mencuri surat wasiatnya Gak Bu Bok."
"Loo Boan Tong benar, maka pergilah kamu lekas," kata Ang Cit Kong. "Asal kamu waspada."
Muda-mudi iru menyahuti bahwa mereka akan taati pesan itu.
"Malam itu jangan tempur si tua bangkotan yang berbisa, tunggu saja besok, lihat aku!" Pek Thong memesan pula.
"Meskipun kita tidak menang, kita mesti tempur dia," Oey Yong bilang. Lalu bersama Kwee Ceng ia berlalu, maksudnya pergi ke penginapan Siang Hong untuk mengintai Wanyen Lieh bertiga. Dua pendopo istana telah dilewati ketika si nona merasakan hawa dingin serta kupingnya mendengar suara air. Angin halus pun membawa datang harumnya bunga.
Oey Yong memang paling menggemari bunga, mendapat cium bau semerbak itu, ia lantas berpikir di istana ini, di dekatnya, bunga-bunga di istana mestinya beraneka warna, maka itu, mesti ia melihatnya. Karena ini ia tarik tangannya Kwee Ceng, buat ajak si anak muda pergi mencari pohon bunga itu.
Tidak gampang untuk muda-mudi ini sampai di tempat tujuannya, mereka hanya merasai hawa semakin dingin dan suara air makin keras dan berisik. Mereka jalan terus sampai melewati dua lorong panjang dan menikung, lalu sampai di satu tempat di mana ada ditaman rapi banyak pohon cemara dan pohon bambu, hingga suasana di situ menjadi teduh ayem.
Oey Yong bergembira. Ia dapatkan jalanan di dalam istana ini kalah dengan jalanan di Tho Hoa To, pulaunya itu, tetapi pepohonannya tidak usah menyerah. Ketika ia jalan beberapa tindak, di hadapannya ia melihat air tumpah turun dari gunung putih bagaikan rantai perak, jatuhnya ke sebuah pengempang lebar. Di dalam empang itu kedapatan banyak pohon teratai dengan bunganya yang merah dan putih. Di depan empang ada sebuah paseban indah dengan merknya Cui Han Tong.
Tanpa sangsi-sangsi, Oey Yong bertindak masuk ke dalam paseban itu di mana di bagian depannya terlihat banyak macam bunga musim panas, seperti melati, giokkui dan ang-ciauw yang harum, dan di sebelah belakangnya ada di pasang hio wangi dan dupa, yang menambah harumnya pesaben itu. Di atas meja pun tersajikan banyak macam buah, seperti obi teratai, semangka, tho dan lainnya. Di atas kursi ada beberapa buah kipas. Mungkin tempat raja berangin sebelum raja itu masuk tidur.
"Sungguh raja berbahagia!" Kwee Ceng mengeluh.
"Nah, kau pun mencobai menjadi raja barang satu kali!" kata Oey Yong tertawa seraya ia tarik tangan si anak muda itu, untuk orang bercokol di atas pembaringan, kemudian ia ambil beberapa rupa buah, ia menyuguhinya sambil berlutut dan berkata: "Silahkan Sri baginda dahar bebuahan!"
Kwee Ceng tertawa, sambil tangannya mengambil buah piepee, ia berkata: "Silahkan bangun!"
"Salah!" berkata Oey Yong. "Raja tidak pernah mengatakan silahkan bangun, itu terlalu sungkan!"
Kwee Ceng tertawa pula, begitu pun si nona.
Selagi mereka gembira itu, hingga mereka seperti lupa daratan, dari kejauhan terdengar bentakan: "Siapa di sana?!" Keduanya menjadi kaget, serentak mereka berlompat, untuk terus sembunyi di belakang gunung-gunungan.
Teguran itu disusul sama tindakan cepat dan berat dari dua orang, mendengar tindakan mana lega hatinya si pemuda dan pemudi itu.
"Jangan pedulikan mereka!" Oey Yong berbisik. "Dua kantong nasi itu tidak bakal menemui kita!"
Itu waktu lantas terlihat dua orang, yang tubuhnya besar, tiba di paseban, tangan mereka masing-masing mencekal sebatang golok. Mereka itu lantas celingukan. Cuma sebentar, yang satu lantas tertawa.
"Ah. Lao Su, kau melihat setan!" katanya.
"Ya, dalam beberapa hari ini mataku seperti lamur!" sahut kawannya yang dipanggil Lao Su itu, artinya Su si tua.
Kemudian dua orang itu mengundurkan diri.
Oey Yong tertawa di dalam hatinya, lalu ia menarik tangan Kwee Ceng niatnya untuk diajak keluar, tetapi belum lagi mereka muncul dari tempat persembunyiannya mereka itu, kuping mereka mendapat dengar seruan tertahan dari dua centeng istana itu, benar suara itu perlahan akan tetapi si nona dan si pemuda mengerti, itulah suara dari orang yang kena ditotok jalan darahnya. Mereka lantas berpikir: "Tentu Ciu Toako tak sabaran, dia pun lantas keluar pesiar!"
"Itu paseban di samping air tumpah ialah Cui Han Tong!" tiba-tiba Oey Yong dan Kwee Ceng mendengar suara orang, perlahan. "Mari kita pergi ke sana."
Muda-mudi ini terperanjat. Mereka mengenali suaranya Wanyen Lieh. keduanya saling menjabat tangan erat-erat, terus mereka menyembunyikan diri mereka. Tubuh mereka tidak berkutik, tetapi mata mereka dipasang, diincarkan ke depan.
Di antara sinar bintang-bintang terlihat beberapa tubuh orang, bahkan lantas dikenali, kecuali Wanyen Lieh dan Auwyang Hong, ada Pheng Lian Houw, See Thong Thian, Leng Tie Siangjin dan Nio Cu Ong.
"Heran, mau apa mereka datang ke istana..." pikir muda mudi ini. "Tak mungkin mereka pun hendak mencuri barangan makanan raja..."
"Siauw-ong telah meneliti surat yang ditinggalkan Gak Bu Bok," terdengar suaranya Wanyen Lieh, "Juga siauw-ong telah periksa surat-surat dua kaisar Kho Cong dan Hauw Cong, maka itu berani siauw-ong memastikan surat wasiat Gak Bu Bok itu mestinya disimpan di sini, lima belas tindak di Timur Cui Han Tong ini."
Sembari berkata pangeran Kim itu menunjuk dengan tangannya, maka semua kawannya memandang ke arah tempat yang di tunjuk itu. Di sana adalah air tumpah, tidak ada benda lainnya.
"Di dalam air tumpah mana bisa di simpan barang?" berkata Wanyen Lieh heran, "Toh bukti-bukti memastikan demikian..."
See Thong Thian pandai berenang, julukannya pun Kwie-bun Liong Ong, si Raja Naga Pintu Setan, maka ia lantas berkata: "Nanti aku terjun akan memeriksa air tumpah ini."
Cepat ia bersiap, atau ia sudah terjun ke dalam air. Tidak lama, ia sudah timbul pula dan terus mendarat. Semua kawannya menghampirkan padanya.
"Ongya benar pandai!" kata orang she See ini. "Di belakang air tumpah ini ada sebuah gua dengan pintunya besi yang terkunci."
Wanyen Lieh menjadi sangat girang.
"Surat wasiat Gak Bu Bok mesti di simpan di dalam gua itu!" katanya nyaring. "Sekarang siauw-ongya minta tuan-tuan suka pergi membuka pintu besi itu."
Titah ini tak usah diulangi atau orang sudah lantas berlompat maju untuk memasuki air tumpah itu, kecuali Auwyang Hong yang dengan tertawa dingin berdiam terus di sisinya si pangeran Kim itu. Ia merasa derajatnya lain, tak sudi ia berbuat seperti kawan-kawan itu.
See Thong Thian maju paling dulu. Begitu ia melewati air tumpah, mendadak ada angin menyambar padanya. Dia lihay tetapi dia tidak menyangka jelek, maka itu hendak ia berkelit, atau segera tangan kirinya kena orang cekal terus ditolak dengan keras, hingga ia terpental balik menubruk Nio Cu Ong!
Syukur, dua-dua mereka lihay, keduanya tidak terluka, mereka melainkan terhuyung mundur.
Semua orang heran, tetapi sementara itu, untuk kedua kalinya, See Thong Thian sudah menyerbu pula air tumpah itu. Ia penasaran dan kali ini ia bersiap sedia. Ia melindungi mukanya. Benar saja, baru ia lewati air, atau sebuah kepalan sudah meninju kepadanya. Karena ia sudah bersedia, ia menangkis dengan tangan kirinya seraya kepalan tangan kanan dipakai membarengi menyerang membalas.
Ketika itu Nio Cu Ong pun menyerbu air tumpah itu, hanya untuk kagetnya, ia dipapaki tongkat. Ia kaget, ia tidak sempat menangkis, maka itu ia berkelit dengan melenggakan tubuhnya. Tentu sekali, karenanya, ia roboh ke air dan kena ditarik. Celaka untuknya, kakinya kena tergaet. Dasar lihay, ia masih sempat lompat keluar dari air tumpah.
Berbareng dengan itu, See Thong Thian pun mesti keluar lagi karena ia kena didesak tinju yang dahsyat.
Hauw Thong Hay telah menyaksikan semua itu. Ia sembrono, maka itu ia tidak ingat bahwa ilmu silat ia kalah dari See Thong Thian, sang kakak seperguruan, ia lantas maju. Ia mau mengandalkan kepandaiannya bisa berenang dan di dalam air bisa membuka matanya.
Pheng Lian Houw menginsyafi bahaya yang mengancam bahaya yang mengancam kawan ini, hendak ia memberikan bantuannya, tapi belum sempat ia maju, atau suatu benda besar dan hitam sudah mental keluar dari air tumpah itu, jatuh ke tanah dengan suara gedebuk nyaring, yang mana disusl sama jeritannya Hauw Thong Hay, sebab dialah yang melayang dan roboh itu.
Lian Houw lantas lompat menghampirkan.
"Perlahan, saudara Hauw!" ia memperingati, berbisik. "Kau kenapa?"
"Celaka, kempolanku kena terhajar!" sahut Sam-tauw-kauw Si Ular Naga Kepala Tiga.
Lian Houw kaget dan heran dan merasa lucu juga.
"Sebenarnya telah terjadi apa?" ia menegasi. Ia meraba kempolan orang, di situ ia tidak merasa ada yang luar biasa. Ia teliti, tentu ia tidak mau sembarang menyerbu air tumpah itu. Maka ia menanya pula: "Ada orang di dalam? Siapakah dia?"
"Mana aku tahu?" sahut Thong Hay ketus. Ia kesakitan dan mendongkol. "Begitu aku masuk begitu aku terhajar keluar!"
Lian Houw tercengang.
Justru itu Leng Tie Siangjin, dengan jubahnya berkibaran, memasuki air tumpah itu, atau dilain saat dia perdengarkan suaranya dalam bahasa Tibet, dia berbicara sambil berseru-seru dan terdengar juga suara pertarungannya.
Maka teranglah ia pun dapat sambutan dan jadi berkelahi.
Wanyen Lieh semua saling mengawasi, mereka terbenam dalam keheranan. Tidak tahu mereka, ada musuh siapa di dalam air tumpah itu. Menurut See Thong Thian dan Nio Cu Ong, mereka samar-samar melihat sepasang pemuda-pemudi, si pemuda dengan tangan kosong, si pemudi dengan tongkat.
Kembali terdengar teriakan Leng Tie Siangjin, teriakan kemurkaan. Rupanya dia pun "menderita"...
"Kenapa Siangjin juga begini tidak tahu selatan?" kata Wanyen Lieh sambil mengerutkan kening. "Dia membikin banyak berisik, bagaimana kalau pahlawan-pahlawan raja dapat mendengarnya? Dengan begitu masih bisakah kita mencuri wasiat?"
Baru berhenti suaranya pangeran ini atau mereka melihat air tumpah membawa serupa benda merah, yang segera juga dikenali jubah suci dari Leng Tie Siangjin, menyusul mana, dengan diberikuti suara air, dua cecernya orang suci ini terlempar keluar dari dalam air tumpah itu.
Hauw Thong Hay khawatir cecer itu jatuh dengan menerbitkan suara berisik, ia lompat untuk menangkapinya.
Dari dalam air tumpah lagi sekali terdengar dampratan Leng Tie Siangjin, hanya kali ini disusul sama mencelatnya tubuhnya yang besar, akan tetapi karena ia lihay, ketika ia tiba di luar, ia dapat berdiri dengan tegar.
"Itulah bocah dan budak yang kita ketemukan di perahu!" Leng Tie kata dengan sengit.
 Â
Bab 48. Apa yang nampak dari tempat sembunyi
Kwee Ceng dan Oey Yong, yang bersembunyi di belakang gunung, mendengar nyata pembicaraannya Wanyen Lieh beramai. Karena mereka itu hendak mencuri surat wasiat Gak Hui, mereka takut sekali surat wasiat itu kena didapatkan pangeran itu. Inilah hebat. Dengan menggunai siasatnya Gak Hui itu, pasti bangsa Kim bakal berhasil menyerbu negara Song. Bagaimana itu bisa dicegah? Diantara orang-orangnya Wanyen Lieh pun ada Auwyang Hong yang lihay. Oey Yong mencoba mencari akal, untuk membikin mereka itu kaget dan nanti lari kabur. Kwee Ceng sebaliknya tidak sabaran, karena tidak ada tempo lagi untuk berpikir lama-lama atau mengatur tipu. Akhirnya pemudi ini menarik tangan si pemuda, untuk diajak pergi ke belakang air tumpah. Mereka sampai di sana tanpa ada yang lihat dan tanpa ada yang dengar, sebab tumpahnya air sangat berisik.
Muda-mudi ini telah siap sedia ketika See Thong Hay mencoba memasuki air tumpah itu, dengan gampang dia dihajar kembali. Hasilnya penolakan ini membikin mereka berdua jadi heran dan kagum, girang sekali. Itulah buahnya pernyakinan mereka atas ilmu Ie-kin Toan-kut Pian.
Demikian mereka menghajar Hauw Thong Hay dan akhirnya Leng Tie Siangjin hingga pendeta Tibet ini mencaci kalang kabutan.
"Engko Ceng, mari lekas!" Oey Yong mengajak. "Mari kita keluar dan berteriak-teriak, biar kawanan pahlawan pada datang kemari, dengan begitu mereka ini tentulah tak dapat bekerja terlebih jauh melakukan pencurian!"
Oey Yong berkata berpikir demikian sebab ia percaya, habis Leng Tie Siangjin, Auwyang Hong bakal turun tangan, kalau See Tok yang maju, pasti mereka tidak berdaya lagi.
"Pergi kau keluar dan berteriak-teriak, aku sendiri akan berjaga di sini!"
"Tapi ingat, jangan tempur si bangkotan yang berbisa itu!" Oey Yong memesan.
"Aku mengerti! Nah, keluarlah! Keluarlah lekas!"
Baru Oey Yong mau keluar atau mendadak mereka merasakan tolakan angin keras sekali. Mereka kaget tetapi mereka tidak mau menangkis, hanya dengan berbareng keduanya lompat ke samping masing-masing.
Hebat tolakan itu, yang ada Kap-mo-kang, pukulan Kuntauw Kodok dari Auwyang Hong. Karena tidak memperoleh perlawanan, serangan itu mengenai tepat pintu besai dari gua, maka itu terdengarlah satu suara nyaring sedang air muncrat ke segala penjuru.
Oey Yong melompat tetapi ia kalah sebat, punggungnya kena tersampok angin. Dalam sekejap itu ia merasakan sulit bernapas, kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, akan tetapi ia masih ingat tugasnya, hanya berdiam sejenak, untuk memusatkan pikiran, segera ia melompat keluar, akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya: "Ada pembunuh gelap! Ada pembunuh gelap! Tangkap! Tangkap!" Dan sembari berteriak-teriak, ia kabur ke depan.
Wanyen Lieh semua kaget.
"Marilah kita hajar mampus dulu budak ini!" Pheng Lian Houw berseru bahna mendongkolnya. Ia gusar dan penasaran. Segera ia melompat, untuk mengejar.
Suaranya Oey Yong mendengung dalam malam yang sunyi itu, suara itu dapat didengar rombongan-rombongan Siewie atau pahlawan kaisar di empat penjuru istana. Paling dulu terdengar seruan mereka berulang-ulang, untuk saling memberi tanda, habis itu mereka lantas bergerak.
Oey Yong berlompat naik ke atas genting, ia mencabuti genting dengan apa ia menimpuk kalang-kabutan. Perbuatannya ini pun menambah suara berisik.
Pheng Lian Houw, disusul Nio Cu Ong, merangsak, untuk mendekati si nona.
Dalam keadaan seperti itu, Wanyen Lieh masih dapat bersikap tenang. Ia menoleh ke sisinya, kepada seorang yang mengenakan pakaian hitam dan bertopeng hitam juga.
"Anak Kang, pergilah kau bersama Auwyang Sianseng masuk ke air tumpah untuk mengambil surat wasiat itu!" katanya. Pangeran itu masih belum mau melepaskan ikhtiarnya mencuri surat yang dia sangat harapkan itu.
Orang disampingnya itu, yang memakai topeng, memang Yo Kang adanya, putra pungutnya .
Auwyang Hong sendiri sudah lantas nongkrong di tanah, untuk mengerahkan tenaganya, guna menggunai Kuntauw Kodok menyerang pula ke arah air tumpah, maka itu, begitu ia menyerang, terdengar pula suara berisik seperti tadi. Bahkan kali ini kedua daun pintu gua tertolak mundur ke dalam.
Setelah berhasil dengan serangannya itu, Auwyang Hong mau berlompat maju guna masuk ke dalam air tumpah, guna memasuki gua dan mengambil surat wasiat yang diarah itu. Justru ia bertindak, matanya melihat bayangan orang yang berkelebat dari samping, dan belum lagi bayangan itu tiba, angin serangannya sudah mendahului. Ia mengenali, itulah pukulan Hui Liong Thay-thian, Naga Terbang ke Langit.
"Hm!" pikir See Tok sambil ia berkelit. "Memang aku hendak tanyakan dia keterangan kitab Kiu Im Cin-keng, kebetulan sekali, sekarang baik aku sekalian membekuk dia...!"
Karena ini, sambil berkelit ke samping, sebelah tangannya diulur, guna menjambak penyerang itu.
Si penyerang benar Kwee Ceng adanya. Anak muda ini sudah nekat. Ia bertekad membelai surat wasiatnya Gak Hui, maka itu, ia tidak peduli musuh lihay dan Oey Yong telah melarang ia menempur See Tok. Ia harap, dalam tempo yang pendek, kawanan siewie akan sudah tiba di situ. Ketika ia menampak gerakannya Auwyang Hong, ia menduga orang tidak niat berbuat telengas, ia hanya hendak ditangkap. Ia sebenarnya heran. Tapi tak ada ketika untuk menduga-duga maksud orang. Dengan tangan kirinya ia menangkis, dengan tangan kanan ia menyerang ke pundak. Ia menggunai satu jurus dari Khong-beng-kun, yaitu Pukulan Kosong.
Kwee Ceng menggunai ilmu silatnya ajaran Ciu Pek Thong, yaitu sepasang tangan saling berkelahi sendiri dan jurus yang ia pakai ialah jurus Khong-beng-kun, meskipun itu tak sehebat Hang Liong Sip-pat Ciang, toh tak dapat dipandang enteng. Tidak heran kalau Auwyang Hong terkejut.
"Bagus!" berseru See Tok yang lihay. Ia mendak dengan pundaknya, sebelah tangannya dilonjorkan, guna menangkap lengannya si penyerang. Biar bagaimana, ia berkelahi dengan waspada, sebab ia dapat kenyataan, tiap hari kepandaiannya pemuda ini bertambah terus.
Auwyang Hong penasaran yang ia belum berhasil menyakinkan Kiu Im Cin-keng, ia ingin mengerti jelas kitab itu, keinginannya bertambah ketika ia dengar ocehan Ang Cit Kong di atas getek. Ia hanya tak insyaf bahwa ia tengah dipermainkan bocah she Kwee itu, sebab kitab Kiu Im Cin-keng yang berada di tangannya ialah kitab yang tidak karuan macam, yang Kwee Ceng kacaukan urutan huruf-hurufnya, hingga tak dapat diartikan lagi.
Sementara itu di empat penjuru Cui Han Tong sudah terlihat obor api terang bagaikan siang. Pelbagai siewie muncul dalam satu-satu rombangan, mereka itu lari ke arah darimana terdengar teriakan-teriakan, ialah teriakannya Oey Yong.
Wanyen Lieh melihat terangnya obor, ia menjadi bingung juga. Sejak masuknya Auwyang Hong dan Yo Kang ke dalam air tumpah, mereka tidak kelihatan muncul kembali. Syukur untuknya, semua siewie lari ke arah Oey Yong, siapa sedang menungkuli dua-dua Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong yang terus mengejar padanya. Untuk sementara, wilayah air tumpah itu masih selamat. Walapun begitu, pangeran ini membanting-banting kakinya, tangannya menggapai-gapai tak hentinya.
"Lekas! Lekas!" ia memanggil Leng Tie Siangjin dan putranya.
"Jangan sibuk, ongya!" berkata Leng Tie. "Nanti siauwceng masuk pula!"
Pendeta Tibet ini lantas masuk ke air tumpah, dimana ia melihat Auwyang Hong sedang menempur Kwee Ceng, sedang Yo Kang yang hendak menerobos masuk, tidak mendapatkan ketikanya.
Leng Tie Siangjin tidak puas mengawasi pertempuran itu. Bukankah tempo mereka sudah sangat mendesak? Kenapa Auwyang Hong bersikap seperti sedang berlatih?
"Auwyang Sianseng, mari aku bantu kau!" ia berseru.
"Minggir jauh-jauh!" Auwyang Hong membentak.
Leng Tie menjadi tidak puas. Di dalam hatinya ia kata: "Disaat seperti ini mana dapat kau masih bertingkah seperti satu enghiong? Jangan kau masih bawa lagakmu sebagai guru besar!" Lantas ia maju ke samping, ke arah Kwee Ceng, sebelah tangannya melayang ke tempilingan kiri si bocah.
Menampak demikian, Auwyang Hong menjadi gusar sekali. Ia maju sambil menjambil pundaknya pendeta Tibet itu, terus ia mengangkatnya, terus ia melemparkannya!
Tepat serangannya See Tok ini. Leng ie Siangjin itu lihay dan tangannya pun ada racunnya, maka untuk melayani dia, anggota tubuhnya yang tak berbahaya yang mesti dihadapi.
Bukan main murkanya pendeta Tibet itu, tidak memperdulikan pula orang lihay dan dipandang Wanyen Lieh, ia mencaci kalang-kabutan, cuma ia memakai bahasa Tibet, Auwyang Hong tidak mengerti. Ia pun tak bisa mencaci lama-lama atau segera ia tak dapat bersuara lagi, sebab mulutnya lantas kemasukan air. Karena oleh Auwyang Hong ia dilemparkan ke air tumpah, hingga mulutnya tersumpal air!
Wanyen Lieh terkejut akan melihat tubuh Leng Tie Siangjin terlempar keluar air tumpah. Justru itu kupingnya juga mendengar suara berisik dari arah Cui Han Tong di mana ternyata, pot kembang yang besar di depan paseban itu telah jatuh hancur. Menyusul itu, ia menampak munculnya sejumlah siwi.
"Celaka!" ia mengeluh dalam hati. Tidak ayal lagi, dengan menjinjing jubahnya, dia berlompat ke air tumpah, untuk masuk ke situ, guna menyembunyikan diri. Ia mengerti ilmu silat, tetapi di tempat begitu, kepandaiannya masih belum berarti, begitu kakinya menginjak tanah, begitu ia terpeleset jatuh. Syukur untuknya, Yo Kang dapat melihatnya dan putra ini segera lompat menyambar, menolongi padanya.
Dengan melongo pangeran Kim itu melihat ke sekitarnya.
"Auwyang Sianseng, apakah bocah ini dapat kau usir?" ia tanya See Tok.
Pertanyaan ini menandakan Wanyen Lieh seorang besar. Ia bukan memerintah, ia hanya menanya. Pertanyaannya itu membangkitkan hawa amarah orang. Hatinya Auwyang Hong menjadi panas.
"Kenapa tidak bisa?" menjawab Auwyang Hong, yang terus berjongkok seraya mulutnya mengasih dengar suara seperti kerak-keroknya kodok. Dengan begitu ia bersiap dengan Kuntauw Kodoknya, lalu terus kedua tangannya dimajukan ke depan.
Si Bisa dari Barat ini telah mengerahkan tenaganya, umpama di situ ada Ang Cit Kong atau Tong Shia Oey Yok Su, tidak nanti mereka berani melawannya dari depan, apa pula seorang seperti Kwee Ceng.
Sebenarnya juga, Auwyang Hong melayani Kwee Ceng sebagai lagi berlatih, tidak heran Leng Tie Siangjin melihatnya menjadi muak. Ada sebabnya kenapa See Tok berbuat demikian. Itulah disebabkan Kwee Ceng menggunai Khong-beng-kun. Maka See Tok melayani, untuk menanti sampai anak muda itu habis menjalankan semua jurus dari ilmu silatnya itu, habis itu baru ia hendak turun tangan, mencekuk si pemuda. Sayang maksudnya tak segera kesampaian. Mendadak Wanyen Lieh masuk ke air tumpah itu dan ia mesti dengar itu pertanyaan yang seperti serupa ejekan, hingga hatinya menjadi panas. Ia lantas bertindak. Meski begitu, ia tidak mau membinasakan Kwee Ceng, sebab si bocah masih dibutuhkan olehnya. Dilain pihak, ia tidak menginsyafi bocah yang polos dan jujur itu, yang taat dengan tugasnya.
Kwee Ceng tidak mau mundur, sekalipun ia mesti mati terbinasa. Hendak ia melindungi surat wasiatnya Gak Bu Bok. Begitu ia menyingkir, pasti Auwyang Hong akan mendapatkan surat wasiat itu, di situ ada banyak pahlawan raja tetapi menghadapi Auwyang Hong, pastilah mereka tidak berdaya. Di dalam keadaan seperti itu, selagi bahaya mengancam - sebab ia tahu ia tidak sanggup menangkis- ia mengenjot kedua kakinya, akan mengapungi diri tinggi empat kaki. Secara begitu, ia bebas dari serangan. Ketika turun pula, ia tetap berada di muka gua di mana ia menghadang seperti semula.
"Bagus!" berseru Auwyang Hong kagum. Segera ia menarik pulang kedua tangannya.
See Tok ada sangat hebat. Kalau serangannya bertenaga beberapa ratus kati, tarikan pulang tangannya pun masih bertenaga besar, ada tenaga menariknya.
Kwee Ceng terkejut akan merasakan angin menolak punggungnya. Ia mengerti ancaman bahaya. Ia memutar balik tangannya, untuk membela diri. Kali ini ia menggunai jurus "Sin liong pa bwee" atau "Naga sakti menggoyang ekor" Tentu saja itulah gerakan keras lawan keras. Seharusnya ia mencoba berkelit, sebaliknya, ia menangkis. Siapa kalah tenaga dalam, dialah yang bakal bercelaka.
Wanyen Lieh berdiri menjublak menonton cara orang berkelahi itu, yang mengherankan ia. Kenapa Auwyang Hong berdiam saja sebagai patung, cuma kedua tangannya yang ditolakkan ke depan dan ditarik pulang? Kenapa Kwee Ceng main berlompatan dan hanya mengawasi See Tok? Kenapa See Tok menarik pulang tangannya dan si bocah menangkis ke belakang, hingga keduanya berdiam bagaikan patung?
Kedua pihak sebenarnya tengah mengadu tenaga dalam, Auwyang Hong tetap menarik, Kwee Ceng tetap mempertahankan diri. Lekas juga bocah ini bermandikan keringat. Ia telah mesti mengeluarkan seluruh tenaganya untuk dapat bertahan itu.
Kembali Auwyang Hong menjadi kagum. Ia tahu benar, lagi sejenak Kwee Ceng bakal terluka parah. Ia membutuhkan bocah itu, tidak dapat ia mencelakainya. Maka ia memikir untuk mengalah. Lantas mengurangi tenaga manriknya itu. Tapi berbareng sama dikuranginya tenaganya, ia merasakan tolakan keras pada dadanya. Ia terkejut. Syukur tenaga dalamnya mahir, kalau tidak tentulah ia roboh terguling. Benar-benar ia tidak menyangka, begitu muda Kwee Ceng, tenaganya besar sekali. Segera ia menahan napas, tangannya menolak. Dengan begitu, lenyaplah tenaga mendorong tadi.
Kalau Auwyang Hong terus menyerang, robohlah Kwee Ceng. Tapi ini tidak dilakukan See Tok. Dia masih mengharap habisnya tenaga si bocah, untuk menangkap hidup padanya, guna menggorek keterangan hal Kiu Im Cin-keng dari mulut orang....
Sesaat kemudian mulailah terlihat tenaganya dua orang itu, yang satu berlebihan, yang lainnya berkurang. Tapi Wanyen Lieh dan Yo Kang, yang tetap menonton, tidak mendapat tahu kapan akan selesainya pertempuran macam itu, karenanya mereka menjadi cemas sendirinya. Mereka bingung mendengar suara berisik, satu tanda rombongan siwi tengah bekerja keras mencari si orang jahat...
Sekonyong-konyong dari dalam air tumpah terlihat dua siwi menerjang keluar. Yo Kang berlaku sangat sebat, sebelum kedua siwi itu tahu apa-apa, mereka sudah diterjang pangeran muda ini, yang kedua tangannya menyambar ke masing-masing ulu hati mereka, hingga menancap, dengan begitu robohlah mereka dengan jiwa mereka melayang. Yo Kang dengan bengis sudah menggunai cengkeraman Kiu Im Pek-kut Jiauw.
Setelah itu Yo Kang menghunus pisau belatinya, lalu dengan menggenjot diri, ia lompat kepada Kwee Ceng, untuk menikam pinggangnya si anak muda.
Dalam keadaan seperti itu, Kwee Ceng tidak dapat berkelit. Kalau ia mencoba menyingkirkan tubuhnya, segera ia bakal terbinasa pukulan Kodok dari Auwyaang Hong. Maka itu dalam sekejap saja ia merasakan sakit pada pinggangnya, hingga ia berbareng merasa juga pernapasannya berhenti berjalan. Maka lupalah ia segala apa, tanpa merasa ia menghajar lengannya si penyerangnya itu, si pembokong.
Yo Kang merasakan sakit sekali. Ia bukan lagi tandingannya Kwee Ceng, walaupun ia mencoba menarik pulang tangannya, lengannya menjadi korban pula. Tapi itu waktu separuh pisaunya sudah masuk ke pinggang si anak muda.
Karena bergeraknya itu, tenaga Kwee Ceng menjadi semakin berkurang, dari itu, ia lantas terkena dorongan tenaganya Auwyang hong. Tanpa bisa menjerit lagi ia roboh terkulai.
"Sayang!" berseru Auwyang Hong, yang akhirnya toh juga melukai bocah lawannya itu. "Ia bakal mampus, baiklah aku tak usah pedulikan lagi padanya. Paling perlu aku lekas mencari surat wasiatnya Gak Bu Bok...."
Maka tanpa bersangsi lagi, ia berlompat ke dalam air tumpah.
Wanyen Lieh bersama-sama Yo Kang, lantas mengintil di belakang See Tok.
Auwyang Hong sudah lantas dirintangi sejumlah siwi, tetapi ia seperti tidak menghiraukan mereka itu, siapa datang dekat, ia sambar dan lempar, setelah mana, siwi lainnya tak dapat maju terlebih jauh, hingga tak lagi ada yang bisa mendekati pintu gua.
Yo Kang turut masuk ke dalam gua. Ia menyalakan api untuk dipakai menyuluhi. Di tanah ada banyak tanda debu, suatu tanda tak pernah ada orang yang datang ke situ. Di tengah-tengah gua ada sebuah meja batu, di atas mana ada satu kotak batu persegi dua kaki, kotak mana tersegel. Lainnya barang tak nampak di situ.
Dengan membawa apinya, Yo Kang menyuluhi hingga dekat. Di segelan ada suratnya tetapi, rupanya karena sudah terlalu tua, huruf-hurufnya tak dapat terbaca lagi.
"Surat wasiat itu ada di dalam kotak ini," berkata Wanyen Lieh.
Yo Kang menjadi sangat girang, ia ulur tangannya akan mengambil peti itu.
Melihat gerakan orang, Auwyang Hong menggeraki tangan kirinya ke pundak orang, atas mana tidak tetaplah berdirinya Yo Kang, tubuhnya terhuyung berberapa tindak. Pemuda ini tak mengerti, ia melongo mengawasi orang.
Auwyang Hong sebaliknya sudah lantas mengempit kotak itu.
"Kita sudah berhasil, mari kita lekas mengundurkan diri!" kata Wanyen Lieh nyaring.
Auwyang Hong bertindak di depan, diikuti oleh Wanyen Lieh dan Yo Kang.
Selagi lewat di dekat Kwee Ceng, Yo Kang melihat tubuh orang mandi darah dan rebah tak bergeming di antara siwi korbannya See Tok, ia lantas menghela napas.
"Dasar kau tidak tahu selatan, suka kau usilan," katanya perlahan. "Maka itu janganlah kau sesalkan aku..."
Sebelum jalan terus, Yo Kang ingat pisau belatinya masih nancap di pinggang mangsanya, maka ingin ia mencabut senjatanya itu. Selagi ia membungkuk, untuk mengambil pisau itu, di air tumpah itu terlihat satu bayangan berkelebat di susul sama pertanyaan ini: "Engko Ceng, kau di mana?"
Yo Kang terkejut. Ia mengenali suaranya Oey Yong. Lupa pada pisau belatinya, ia lompat melewati tubuhnya Kwee Ceng, terus lari keluar air tumpah, akan menyusul Auwyang hong dan Wanyen Lieh.
Oey Yong mencari Kwee Ceng setelah ia permainkan Nio Cu Ong, yang ia tinggalkan begitu lekas terlihat siwi muncul disana-sini. Sebaliknya, Pheng Lian Houw berdua tidak berani mengejar terus sebab takut keperogok kawanan siwi. Mereka kembali ke dekat air tumpah, akan menggabungkan diri dengan See Thong Thian dan lainnya. Di sini mereka bertempur sama beberapa siwi sampai Auwyang Hong muncul, maka beramai-ramai mereka mengangkat kaki.
Oey Yong sia-sia mencari Kwee Ceng, ia lantas masuk ke dalam air tumpah. Ia menyalakan api, dari itu ia segera melihat tubuh Kwee Ceng yang mandi darah rebah di antara beberapa siwi. Ia kaget sekali - rebahnya si pemuda tepat di sampingnya. Saking kagetnya, tubuhnya gemetaran, sampai api terlepas jatuh dari tangannya. Di itu waktu di luar gua terdengar riuh suaranya kawanan siwi yang berteriak-teriak, "Tangkap orang jahat! Tangkap orang jahat!" Tapi mereka itu cuma berteriak-teriak, tidak ada satu pun yang berani maju akan merintangi Auwyang Hong beramai. Sebabnya ialah, lebih dulu dari itu, beberapa kawannya sudah menjadi korban See Tok hingga mereka menjadi kecil hatinya, terpaksa mereka mementang bacot saja.
Oey Yong sadar dengan cepat. Ia membungkuk akan memeluk tubuhnya Kwee ceng. Ia merasakan tubuh itu hangat. Ia memanggil beberapa kali, ia tidak memperoleh jawaban. Ia menjadi bingung sekali. Maka itu ia lantas panggul tubuh engko itu, untuk dibawa menyingkir ke belakang gunung-gunungan.
Di Cui Han Tong sendiri telah berkumpul banyak orang, sebab ada datang juga siwi dari lain-lain bagian istana. Obor di situ terang bagaikan siang hari. Maka ketika Oey Yong berkelebat - tak peduli ia sangat gesit - ada siwi yang melihatnya. Siwi itu lantas berteriak, terus ia memburu diikuti beberapa kawannya.
Dalam mendongkolnya, Oey Yong mencaci dalam hatinya: "Ah, kawanan kantung nasi! Sungguh, kamu tidak punya guna! Kenapa kau bukan pergi mengejar orang jahat hanya orang baik-baik?" Ia menggertak gigi, tapi ia lari terus.
Ada beberapa siwi yang lihay, yang larinya cepat, mereka sudah lantas datang dekat.
Oey Yong menjadi bertambah mendongkol, ia meraup jarum rahasianya, ia menimpuk ke belakang, ke arah pengejar-pengejar itu.
"Aduh!" demikian terdengar teriakan, saling susul.
Itulah tanda robohnya beberapa siwi, karena mana yang lainnya tidak berani mengejar terlebih jauh. Maka si nona bersama engko Cengnya terus lari keluar dari tembok istana.
Keributan itu membikin istana menjadi kacau balau. Orang pun bingung, sebab tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada huru-hara di dalam untuk merampas tahta kerajaan atau ada menteri yang berontak guna merampas pemerintahan? Toh setelah itu, orang berisik sendirinya. Tidak ada kejadian lainnya lagi. Di situ telah berkumpul semua siwi, semua serdadu Gie-lim-kun.
Dari tengah malam itu, hingga pagi, orang bergelisah tidak karuan. Sedatangnya fajar, tentara penunggang kuda di kirim ke pelbagai jurusan, untuk mencari si orang jahat, antaranya dengan melakukan penggeledahan secara besar-besaran.
Tentu saja di itu waktu Wanyen Lieh semua telah kabur keluar kota, bahkan Oey Yong bersama Kwee Ceng telah tiba di dusun kemarinnya mereka mondok.
Sebenarnya Oey Yong kabur tanpa pilih arah, baru setelah melihat tidak ada yang mengejar, ia tidak lari keras seperti semula. Lebih dulu ia sembunyi di dalam sebuah gang kecil. Di sini ia pegang hidungnya Kwee Ceng. Ia merasakan hembusan napas. Di situ tidak ada api, tak jelas ia melihat muka si anak muda. Ia mengerti diwaktu siang tidak dapat ia berkeliaran di dalam kota dengan membawa-bawa orang terluka, karena ini, ia terus lari ke tembok kota, untuk melompatinya. Maka dilain saat tibalah ia ditempatnya Sa Kouw, si nona tolol.
Walaupun ia kuat, setelah berlari-lari setengah malaman, mana hatinya pun berkhawatir dan bingung. Oey Yong toh tersengal-sengal. Ia lantas menjatuhkan diri akan berduduk, guna meluruskan jalan napasnya itu. Dengan begitu, dengan perasaannya pulih hatinya pun menjadi terang. Sekarang ia lantas menyalakan sebatang kayu cemara dengan apa ia menyuluhi mukanya Kwee Ceng. Apa yang ia lihat membikin ia kaget, melebihi kagetnya di dalam gua tadi.
Kwee Ceng rebah tak bergeming, kedua matanya tertutup rapat, mukanya sangat pucat. Taklah ia ketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati. Inilah pukulan sangat hebat untuk Oey Yong, hingga hatinya goncang keras. Ia berdiri bengong dengan tangannya memegangi obor kayunya itu. Ia merasakan ketika ada orang datang mendekati padanya, ia baru sadar tempo obor kayunya itu ada yang sambar. Segera ia menoleh, akan mengenali Sa Kouw.
Si tolol muncul karena ia dengar suara tak seperti biasanya.
Sa Kouw pun cemas menyaksikan keadaan Kwee Ceng itu. Ia lari ke dapur, untuk mengambil air dingin.
Oey Yong mengerti apa yang harus ia kerjakan. Ia keluarkan sapu tangannya, ia celupkan itu ke dalam air, untuk dilain saat mulut menyusut muka yang keciprutan darah dari si anak muda. Dari lubang hidung ia merasakan hembusan napas yang semakin lemah. Setelah itu ia hendak memeriksa luka, atau matanya bentrok sama sinar berkilauan warna kuning emas dari pinggangnya Kwee Ceng. Karena ini sekarang ia melihat sebuah pisau belati nancap di pinggang!
Baru sekarang Oey Yong dapat menyabarkan diri. Dengan hati-hati ia membukai baju dalam dari si anak muda, dengan begitu ia melihat jelas nancapnya pisau itu. Darah disitu sudah mulai bergumpal. Kelihatannya pisau masuk kira tiga dim dalamnya.
Nona ini menjadi bersangsi. Ia tidak berani lantas mencabut pisau itu, khawatir nanti Kwee Ceng lantas menghembuskan napasnya yang terakhir. Kalau ia tidak mencabut, sebaliknya ia memperlambat tempo. Ini pun membahayakan untuk si anak muda. Ia berpikir keras. Akhirnya ia menggertak gigi, tangannya diulurkan. Ingin ia mencabut, mendadak ia menarik pulang tangannya itu. Tiba-tiba saja ia bimbang sendirinya.
Kesangsian si nona berjalan terus, maka beberapa kali ia hendak mencobanya mencabut pisau belati itu, saban-saban ia gagal pula.
Sa Kouw menyaksikan kesangsian orang, ia menjadi tidak sabaran. Tiba-tiba saja ia mengulurkan tangannya dengan sebat ia mencabut pisau itu.
Kwee Ceng menjerit, begitu pun Oey Yong. Si pemuda bahna sakit, si pemudi saking kaget. Si tolol sebaliknya girang sekali, ia tertawa terbahak-bahak. Ia masih tertawa ketika Oey Yong kaget melihat darah mengalir keluar dari lukanya engkonya itu. Saking berkhawatir dan mendongkol, ia sampok si tolol itu hingga dia terguling, setelah mana ia menggunai sapu tangannya menyumpat luka Kwee Ceng, untuk mencegah keluarnya terus darah itu.
Dengan jatuhnya Sa Kouw, obor cemara di tangannya pun padam. Si tolol menjadi gusar, ketika ia berlompat bangun, ia menendang. Oey Yong tidak menangkis, ia membiarkan pahanya kena ditendang. Sa Kouw khawatir si nona nanti membalas, ia memutar tubuhnya untuk berlari. Tidak lama ia mendengar nona Oey menangis. Ia menjadi heran, maka ia kembali. Ia menyalakan lagi obor cemaranya.
"Apakah kau kena tertendang sakit?" ia menanya Oey Yong.
Nona itu tidak menyahut, ia hanya berlutut mendampingi Kwee Ceng. Pemuda itu pingsan karena rasa nyerinya, sesaat kemudian ia baru mendusin.
"Apakah surat wasiatnya Gak Bu Bok kena mereka curi?" Kwee Ceng menanya. Itulah hal yang ia ingat paling dulu.
Oey Yong girang mendengar orang dapat bicara, meskipun suaranya lemah.
"Jangan khawatir, penjahat itu tak dapat turun tangan..." ia menyahut. Ia tentu saja berdusta, karena ia tidak ingin orang menjadi kaget dan bersusaah hati. Sebenarnya ia ingin menanyakan lukanya si anak muda, ketika ia merasakan tangannya hangat-hangat, disebabkan darah yang baru keluar dari pinggang Kwee Ceng itu.
"Eh, Yong-jie, kenapa kau menangis?" menanya Kwee Ceng yang baru sekarang melihat si nona berlinang-linang air matanya.
"Aku tidak menangis," kata Oey Yong, yang paksakan diri untuk tertawa.
"Dia menangis tadi!" Sa Kouw campur mulut. "Kau hendak menyangkal? Apakah kau tidak malu? Lihat, mukamu masih ada air matanya!"
"Yong-jie, jangan takut," Kwee Ceng menghibur. "Di dalam Kiu Im Cin-keng ada terdapat cara-cara untuk mengobati luka, aku tidak bakalan mati."
Mendengar itu, Oey Yong merasakan di dalam kegelapannya ia memperoleh pelita. ia girang. Tadinya ia mau minta penjelasan tentang obat itu, niat ini ia batalkan, khawatir si anak muda nanti menjadi letih. Maka ia ambil obor dari tangannya si tolol.
"Enci, tadi aku kena serang kau, apakah kau sakit?" ia menanya sambil tertawa.
"Ah, kau menangis, tidak dapat kau menyangkal!" kata si tolol yang tidak memperdulikan pertanyaan orang. Ia hanya mengingat penyangkalan nona ini.
"Ya, benar, aku menangis," kata Oey Yong tersenyum. "Kau sendiri tidak menangis, kau baik sekali."
Mendengar dirinya di puji, Sa Kouw menjadi sangat girang.
Kwee Ceng sendiri repot meluruskan pernapasannya, dengan begitu rasa sakitnya berkurang.
"Coba kau memakai jarum emasmu menusuk beberapa kali jalan darahku ceng-ciok dan siauw-yauw," katanya perlahan pada Oey Yong.
"Ah, aku menjadi bodoh!" kata si nona, terperanjat. Dengan lekas ia mengeluarkan sebatang jarumnya dan terus bekerja. Tiga kali ia menusuk di pinggang kiri di mana ada dua jalan darah yang disebutkan itu. Tusukan ini membantu memperlambat mengalirnya darah dan pun mengurangi rasa nyeri.
"Luka di pinggangku ini, Yong-jie, meskipun dalam, tetapi tidak berbahaya," Kwee Ceng kata pula, suaranya tetap perlahan. "Yang hebat ialah serangan Kap-mo-kang dari si Bisa bangkotan, syukurlah ia tidak menggunai sepenuhnya tenaganya, dengan begitu aku masih dapat ditolong, cumalah dengan begitu kau bakal menderita merawati aku tujuh hari tujuh malam..."
"Biarnya aku bersengsara tujuhpuluh tahun, untukmu aku senang," menyahut si nona, cepat.
Kwee Ceng terharu sekali, hatinya menggetar hampir ia pingsan pula. Ia berdiam akan menenangkan diri.
"Sayang suhu pun terluka," katanya kemudian.
"Sudahlah, kau jangan terlalu banyak pikir," mencegah Oey Yong sekalian menghibur. "Sekarang ini kau mesti berdaya mengobati lukamu sendiri, supaya orang lega hatinya...."
"Sekarang perlu kita mendapatkan dulu tempat yang tenang," berkata Kwee Ceng. "Disana aku nanti mengobati diriku dengan bantuanmu. Menurut ajaran kitab, kita mesti mengadu tenaga bergantian dengan sama-sama mengendalikan napas. Dengan jalan begitu kau membantu aku dengan tenaga dalammu. Seperti aku bilang tadi, sulitnya ialah tempo yang mesti digunakan mesti tujuh hari tujuh malam, selama mana tak boleh kedua tangan kita berpisahan. Pikiran kita berdua bersatu padu, dapat kita berbicara tetapi tidak boleh ada orang yang ketiga yang menyelak menyampur bicara. Pula tidak dapat kita bangun atau berjalan sekalipun setengah tindak. Jikalau ada orang yang mengganggu kita, maka...."
Oey Yong mengerti cara pengobatan itu, yang sama dengan orang semadhi, ialah sebelumnya berhasil tidak boleh ada gangguan, gangguan menggagalkan dan bisa mendatangkan bahaya juga. Ini sebabnya, siapa tengah bersemadhi, ia membutuhkan kawan yang menjaga di sampingnya, guna mencegah gangguan yang tidak diinginkan itu. Ia jadi berpikir: "Aku perlu membantu dia, di sini tidak ada orang lain, siapa yang dapat melindungi? Sa Kouw tidak dapat diandalkan, dia terlalu tolol, malah mungkin dialah yang nanti merecoki. Juga di mana bisa didapatkan tempat sunyi di dalam waktu sesingkat ini? Umpama kata Ciu Toako datang kemari masih belum tentu ia sanggup menjagai kita selama tujuh hari tujuh malam... Bagaimana baiknya sekarang?"
Kembali ia berpikir keras, matanya memandang tajam ke sekelilingnya. Mendadak ia melihat tempat menyimpan mangkok dan lainnya.
"Ada!" pikirnya sejenak. "Kenapa aku tidak mau sembunyi di dalam kamar rahasia itu? Dulu hari Bwee Tiauw Hong tidak mempunyai pembela, dia sembunyi di dalam gua..."
Ketika itu sang pagi mulai terang dan Sa Kouw pergi ke dapur untuk masak bubur.
"Engko Ceng, kau boleh beristirahat," berkata Oey Yong. "Aku hendak pergi sebentar untuk membeli barang makanan, sekembalinya aku, kita mulai berlatih sambil menyembunyikan diri."
Kwee Ceng menurut, ia membiarkan kekasihnya itu pergi.
Oey Yong pergi ke kampung. Sembari jalan ia pikirkan apa yang ia mesti beli. Tidak sembarang barang dapat disimpan selama tujuh hari tujuh malam, atau barang itu bakal rusak dan bau dan tidak dapat dimakan lagi. Ia tidak usah berpikir lama atau menjadi bingung karenanya. Ia lantas membeli dua pikul semangka, yang ia minta tukang jualnya pikul ke rumah Sa Kouw.
Setelah menerima uang, si tukang semangka berkata: "Nona, inilah semangka Gu-kee-cun, manis dan lezat rasanya, bila kau sudah mencobainya, baru kau tahu!"
Terperanjat Oey Yong akan mendengar nama desa ini, ialah Gu-kee-cun.
"Kalau begitu, inilah kampung halamannya engko Ceng," pikirnya. Ia menjadi berkhawatir pemuda itu terganggu pikirannya apabila dia ketahui ini kampungnya, maka ia lantas menyahuti sembarangan saja asal si tukang semangka lekas pergi. kemudian lekas-lekas ia masuk ke dalam. Ia mendapatkan Kwee Ceng lagi tidur dan darah dari lukanya sudah berhenti mengalir.
Sedangnya pemuda itu tidur, ia lantas bekerja. Ia membuka pintu dapur, terus ia putar pesawat rahasianya, akan masuk ke dalam kamar rahasia. Ke dalam situ ia angkut masuk semua semangkanya. Kepada Sa Kouw ia memesan wanta-wanti agar si tolol jangan beritahukan siapa juga yang mereka berdua berada di dalam kamar rahasia itu, dan meski ada peristiwa bagaimana hebat, si nona dilarang menerbitkan suara berisik.
Sa Kouw tidak mengerti maksud orang akan tetapi ia menginsyafi, karena ia menampak bicara dan gerak-gerik tamunya ini sangat sungguh-sungguh.
"Baik," katanya mengangguk. "Kamu hendak makan semangka sambil menyembunyikan diri di kamar ini, kamu hendak memakan habis dulu semua semangka, baru kamu akan keluar lagi. Baiklah, sekarang tidak akan bicara!"
"Memang, Sa Kouw tidak akan bicara!" kata Oey Yong, sengaja mengangkat. "Sa Kouw memang anak baik, kalau Sa Kouw bicara, dia anak buruk...!"
"Sa Kouw tidak akan bicara, Sa Kouw anak baik!" si tolol mengulangi.
Tidak lama Kwee Ceng sadar, ia diberikan bubur satu mangkok besar. Oey Yong pun memakannya semangkok. Habis dahar, nona ini mendukung pemuda itu masuk ke dalam kamar rahasia. Ketika ia menoleh keluar pintu, ia lihat Sa Kouw mengawasi mereka sambil tertawa si tolol berkata: "Sa Kouw tidak akan bicara!"
Mendapatkan orang demikian tolol, Oey Yong menjadi berkhawatir.
"Dia begini tolol, ada kemungkinan dia nanti sembarangan bicara sama siapa saja. Bagaimana kalau dia membilangnya, 'Mereka sembunyi di dalam sini memakan semangka, Sa Kouw tidak akan bicara'? Kelihatannya cuma dengan dibunuhnya baru lenyap ancaman untuk kita..."
Biarnya ia jujur dan polos Oey Yong tidak menghiraukan tentang wales asih atau kepantasan, sesat atau sadar, maka itu ia pun tidak pernah mau pikir, ada hubungan apa di antara Sa Kouw dan Kiok Leng Hong. Sekarang ia melainkan pikirkan keselamatannya Kwee Ceng, yang mesti ditolongi dan dilindungi. Untuk Kwee Ceng, ia bersedia umpama kata mesti membunuh Sa Kouw. Maka ia lantas ambil pisau belatinya si anak muda. Disaat ia hendak pergi keluar, matanya bentrok sama sinar mata si pemuda itu, sinar kaget atau luar biasa. Ia memikir, "Mungkinkah dia dapat melihat sinar pembunuhan pada wajahku?" Lantas ia ingat: "Tidak apa aku membunuh Sa Kouw, hanya bagaimana nantinya, engko Ceng sembuh? Bagaimana aku harus membilangnya apabila ia menanyakan? Mesti dia bakal membikin banyak berisik........."
Nona ini menjadi ragu-ragu.
"Engko Ceng baik dan halus budi pekertinya," ia berpikir lebih jauh. "Ada kemungkinan dia bakal tak menyebut-nyebut Sa Kouw, tetapi siapa tahu apabila ia terus-menerus membenci aku? Ah, sudahlah, biarlah kita mencoba menempuh bahaya.......!"
Oey Yong lantas mengunci pintu. Kemudian ia meneliti seluruh ruang itu. Di ujung barat ada sebuah lobang angin atau dari mana masuk sinar terang, maka di siang hari, sinar terang itu dapat menerangi ruang. Di tembok ada sebuah lobang angin kecil, yang ketutupan debu, lalu debu itu disingkirkan.
Kwee Ceng duduk menyender di tembok. Ia bersenyum.
"Tidak ada tempat yang baik untuk beristirahat daripada ini," katanya. "Kau bakal menemani dua mayat, apakah kau tidak takut?"
Oey Yong tertawa meskipun sebenarnya ia risi juga.
"Yang satu kakak seperguruanku, tidak nanti ia mengganggu aku," sahutnya. "Yang satu lagi perwira kantung nasi, hidupnya aku tidak takuti, apapula sesudah dia mati!" Sembari berkata, ia mendupaki jerangkong itu ke pojok Utara, kemudian ia menghampar rumput kering. Kemudian lagi ia geser semua semangka, untuk didekati kepada mereka berdua, supaya gampang diambil dengan mengulur tangan saja.
"Bagus tidak begini?" ia tanya Kwee Ceng akhirnya.
"Bagus!" menjawab orang yang ditanya. "Sekarang mari kita mulai berlatih!"
Oey Yong membantui pemuda itu mengambil tempat duduk di atas rumput, ia sendiri lantas duduk bersila di depannya, sedikit di sebelah kiri, darimana, dengan berpaling, ia bisa mengintai ke lobang angin di tembok itu. Untuk girangnya, ia mendapatkan sebuah kaca rasa di sana, dengan perantaraan kaca itu, ia bisa melihat ke luar. Maka itu, ia memuji si pembangun kamar rahasia, yang demikian teliti dengan pembuatan kamarnya itu. Orang sembunyi tapi berbareng orang pun bisa melihat ke luar.
Sa Kouw duduk seorang diri di tanah sambil tangannya menggapai kaca ular sutera, mulutnya bergantian ditutup dan dibuka, suaranya perlahan. Oey Yong memasang kupingnya, mendengari, maka tahulah ia, si tolol lagi menyanyikan lagu meninabobokan anak kecil supaya tidur. Mulanya ia merasa lucu tetapi kemudian ia merasakan suara itu halus dan mengharukan. Tanpa merasa ia berpikir; "Adakah ini nyanyian ibunya dulu hari untuk ia mendengarinya? Kalau ibuku tidak telah menutup mata, ibupun akan menyanyikan aku begini rupa...."
"Yong-jie, kau memikirkan apa?" tanya Kwee Ceng mendapatkan orang berdiam saja. "Lukaku tidak berbahaya, kau jangan bersusah hati."
Oey Yong mengusap-usap matanya, ia tertawa.
"Sekarang lekas kau ajari aku caranya menyembuhkan lukamu," ia berkata.
Kwee Ceng menurut, dengan perlahan ia membaca di luar kepala kitab Kiu Im Cin-keng bagian pengobatan luka-luka. Isinya pasal ini menjelaskan luka disebabkan serangan tenaga dalam, bagaimana ia harus dilawan untuk memulihkan kesehatan.
Cuma mendengar satu kali saja, Oey Yong telah dapat menghapalkan itu. Cuma beberapa bagian yang kurang jelas, dengan menyakinkan bersama, ia pun akan dapat mengerti. Maka itu, dilain saat, mereka sudah mulai berkatih. Dua orang ini cocok satu sama lain, sebab si pemuda berbakat baik, si pemudi cerdas sekali. Mereka berlatih dengan Oey Yong mengeluarkan tangan kanannya, yang mana ditahan oleh Kwee Ceng dengan telapakan tangan kirinya, kemudian mereka saling menolak dengan menukar tangan.
Latihan ini dilakukan dua jam sekali maka itu, diwaktu beristirahat dengan tangan kirinya Oey Yong memotong semangka, yang separuh untuk Kwee Ceng, yang separuh lagi untuknya sendiri. Selagi makan buah itu, tangan mereka yang sebelah ditempelkan terus satu pada lain.
Sesudah berlatih hingga jam bie-sie, satu atau dua lohor, Kwee Ceng merasakan dadanya sedikit lega, tak pepat seperti semula. Terang itu tanda telah berjalannya hawa hangat dari tangan Oey Yong, yang masuk ke dalam tubuhnya sendiri. Dengan begitu, rasa nyeri di pinggangnya turut berkurang juga. Hal ini membuatnya girang, hingga ia jadi berlatih semakin bersungguh-sungguh.
Ketika tiba pada istirahat yang ketiga kali, dari lobang di atas terlihat masuknya sinar matahari yang lemah. Itulah tanda dari telah datangnya sang sore. Cuaca jadi semakin guram. Dengan berlalunya sang tempo, Kwee Ceng merasa semakin lega pernapasannya, dan Oey Yong pun bertambah segar. Dengan begitu, mereka bisa melewati tempo beristirahat itu dengan memasang omong.
Tidak lama keduanya hendak mulai latihannya terlebih jauh, kuping mereka mendapat dengar suara berlari-lari keras ke arah rumah makan dan berhenti di depan pondokan. Setelah itu terdengar masuknya beberapa orang, sebagaimana itu ternyata dari tindakan kaki mereka yang ramai.
"Lekas sediakan nasi dan lauk pauknya!" begitu terdengar satu suara keras dan kasar. "Tuan-tuan besarmu sudah kelaparan hingga mau mati...."
Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi. Mereka mengenali suaranya Sam tauw-kauw Hauw Thong Hay. Si nona lantas mengintai dari liang kecil di tembok di sisinya. Sekarang ia mendapat kepastian itulah rombangan musuh mereka sebab mereka adalah Wanyen Lieh bersama Yo Kang, Auwyang Hong, Pheng Lian Houw, Nio Cu Ong dan See Thong Thian. Sa Kouw tidak kelihatan, setahu mana perginya si tolol itu.
Hauw Thong Hay menghajar meja kalang kabutan, masih tidak ada suara penyahutan untuknya.
Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong memperhatikan rumah itu, lalu mereka mengerutkan kening mereka.
"Tidak ada orang di sini..." kata Cu Ong.
"Kalau begitu, biarlah pada pergi ke kampung untuk membeli makanan!" kata Thong Hay, ia mendongkol tetapi ia sudi gawe.
Pheng Lian Houw tertawa, dia kata: "Hebat kawanan Gie-lim-kun itu, mereka ada kawanan kantung nasi tetapi mereka bisa telasap-telusup di segala tempat, mereka membuatnya arwah-arwah pun tak man, hingga sekarang kitalah yang untuk satu hari lamanya tak dapat gegares! Ongya adalah orang Utara tetapi ongya ketahui di sini ada ini dusun sunyi senyap. Hebat!"
Wanyen Lieh tahu orang mengangkat-angkat padanya tetapi ia tidak jadi kegirangan hingga terkentarakan pada air mukanya, sebaliknya, ia nampak masgul.
"Pada sembilanbelas tahun yang lalu, pernah aku datang ke mari," katanya sambil menghela napas.
Orang melihat wajah pangeran ini, yang agaknya berduka, mereka heran. Tentu sekali mereka tidak tahu, pada sembilanbelas tahun yang lampau itu, di situ Pauw Sek Yok telah menolongi jiwanya dari ancaman bahaya maut.
Mereka ini tidak usah menanti lama atau Hauw Thong Thay telah kembali bersama arak dan barang makanan, maka Pheng Lian Houw segera menuangi arak untuk mereka masing-masing, kemudian ia berkata pada si pangeran: "Hari ini ongya mendapatkan surat wasiat, itulah bukti yang Negara Kim yang terbesar bakal menggentarkan pengaruhnya di kolong langit, dari itu kami semua hendak memberi selamat kepada ongya! Saudara-saudara mari minum!"
Ia pun mengangkat cawanya, untuk cegluk kering isinya.
Nyaringnya suara Pheng Lian Houw ini, Kwee Ceng dari tempatnya sembunyi dapat mendengar itu. Pemuda ini menjadi terkejut.
"Kalau begitu berhasillah mereka mencuri surat wasiat Gak Ongya!" pikirnya.
Begitu ia berpikir demikian begitu ia merasakan napasnya sesak.
Oey Yong terkejut. Kagetnya si pemuda ia dapat merasakan pada tangannya, yang terus menempel sama tangannya si pemuda itu. Ia mengerti sebabnya gangguan itu. Itulah berbahaya untuk si anak muda. Maka lekas-lekas ia geser kepalanya, untuk mendekati kuping orang untuk berbisik: "Ingat kesehatanmu! Mereka dapat mencuri pulang! Asal gurumu yang kedua turun tangan, lagi sepuluh surat wasiat pun ia dapat curi!"
Kwee Ceng anggap kata-kata itu benar. Ia mengetahui baik kepandaiannya gurunya yang nomor dua itu ialah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay. Maka itu ia berdaya untuk menentramkan diri, tak suka ia mendengari lebih jauh pembicaraan mereka itu. Ia meramkan kedua matanya.
Oey Yong mengintai pula, justru Wanyen Lieh mengangkat cawan araknya. Habis mencegluk, pangeran ini kata dengan gembira: "Semuanya siauw-ong mengandal kepada tuan-tuan. Jasa Auwyang Sianseng ialah yang nomor satu! Jikalau tidak sianseng mengusir bocah she Kwee itu pastilah kita mesti bekerja lebih sulit lagi."
Auwyang Hong tertawa kering, suaranya bagaikan cecer pecah. Kwee Ceng berdenyut hatinya mendengar tertawanya orang itu.
Oey Yong pun bingung, hingga ia berkata seorang diri. "Berterima kasih kepada langit dan bumi, biarlah ini makhluk berbisa tua bangka jangan ngoceh lebih lama di sini, bisa-bisa engko Ceng nanti bercelaka karenanya..."
"Tempat ini sangat mencil dan sunyi," berkata Auwyang Hong, "Tidak nanti tentara Song dapat menyusul kita sampai di sini. Sebenarnya apa itu surat wasiat Gak Bu Bok, baiklah kita sama melihatnya, untuk menambah pemandangan kita."
Sembari berkata, ia merogoh sakunya untuk mengeluarkan itu kotak batu, yang mana ia letaki di atas meja. Di mulut See Tok mengatakan demikian, di dalam hatinya ia sudah mengambil kepastian apabila ia mendapatkan surat wasiat itu berfaedah, hendak ia merampasnya untuk menjadi miliknya sendiri, kalau itu hanya ilmu perang biasa, yang baginya tak ada pentingnya, suka ia mengalah dan menyerahkannya kepada Wanyen Lieh, dengan begitu ia menjadi berbuat jasa untuk pangeran itu.......
Sejenak itu, semua mata diarahkan kepada kotak batu itu.,
Oey Yong melihat semua itu, segera otaknya bekerja.
"Cara apa aku mesti ambil untuk dapat memusnahkan surat wasiat itu?" demikian pikirnya. "Kemusnahan adalah yang terlebih baik daripada surat wasiat itu jatuh ke dalam tangannya ini manusia-manusia jahat dan berbahaya....!"
Lalu terdengar suaranya Wanyen Lieh: "Ketika siauw-ong memeriksa surat peninggalannya Gak Hui itu, yang bunyinya seperti teka-teki, lalu itu dihubungi sama catatan hikayat beberapa kaisar di dalam istananya kaisar she Tio itu, maka tahulah siauw-ong surat wasiat ini disimpan di Cui Han Tong, di simpan di dalam kotak batu yang berada limabelas tindak di arah Timurnya. Buktinya sekarang, duaganku itu tidak salah. Aku mau percaya, tak ada orang yang ketahui kenapa telah terjadi pengacauan kita di dalam istana semalam........"
Kelihatannya pangeran ini sangat puas, lebih-lebih setelah kembali orang memuji padanya.
Wanyen Lieh mengurut kumisnya.
"Anak Kang, kau bukalah kotak itu!" ia memerintah.
Yo Kang menurut perintah. Ia maju, menghampirkan. Lebih dulu ia menyingkirkan segelannya kotak, habis itu ia membuka tutupnya. Maka ke dalam situ menyorotlah sinar matanya semua orang. Apa yang dilihat membuatnya semua hadiran menjadi tercengang bahna herannya, sehingga untuk sesaat itu tak ada seorang jua yang dapat membuka suaranya.
Semua mata diarahkan tajam ke dalam kotak batu, yang diharap isinya istimewa, siapa tahu kotak itu ternyata kosong melompong, tidak ada serupa benda juga di dalam situ, jangan kata surat wasiat tentang siasat perang, sehelai kertas kosong pun tidak kedapatan.
Oey Yong tidak dapat turut melihat isinya kotak, tetapi ia melihat tegas wajah semua orang, maka maulah ia menduga untuk kosongnya kotak itu. Diam-diam ia bersyukur.
Wanyen Lieh menjadi sangat lesu, ia duduk dengan memegangi meja, sebelah tangannya menunjang janggut. Ia berpikir keras sekali. Di dalam hatinya ia kata: "Aku telah memikir matang, aku menduga surat wasiat itu berada di dalam kotak ini, kenapa surat itu tak ada sekalipun bayangannya?" begitu ia memikir demikian, begitu ia mendapat pikiran, wajahnya pun menjadi bercahaya saking gembiranya. Ia sambar kotak itu, terus ia bertindak ke cimchee, di sini dengan tiba-tiba ia banting kotak ke lantai batu!
Dibarengi suara nyaring, kotak itu pecah menjadi beberapa keping.
Oey Yong cerdas, kupingnya lihay, dari suara pecahnya kotak itu, ia mendapat tahu kotak sebenarnya terdiri dari dua lapis, artinya ada lapisan dalamnya.
"Ah, siapa sangka kotak ini ada lapisannya?" katanya di dalam hati. Ia dapat menduga demikian, tetapi bukannya ia girang karena dugaannya itu tepat, ia justru menjadi masgul. Percuma menduga dengan berhasil, ia sendiri tidak bisa muncul untuk mendapatkan kepastian. Tapi ia tak usah bergelisah lama-lama, atau Wanyen Lieh tertampak sudah kembali ke mejanya seraya berkata: "Aku sangka kotak itu ada lapisan dalamnya, tak tahunya isinya tidak..." Ia lesu sekali.
Lian Houw semua heran, mereka ramai membicarakan kotak itu.
"Ah, siapa sangka!" pikir Oey Yong, hatinya lega, hingga di dalam hatinya ia tertawai mereka itu. Ia berbisik pada Kwee Ceng, akan memberitahukan Wanyen Lieh belum berhasil mendapatkan surat wasiatnya Gak Hui.
Kwee Ceng pun lega hatinya mendengar keterangan itu.
"Aku lihat kawanan penjahat ini belum mati hatinya, meski mereka bakal pergi pula ke istana," Oey Yong mengutarakan dugaannya. Karena ini ia menjadi berkhawatir untuk gurunya, yang masih berada di dapur istana. Ada kemungkinan guru itu bakal diperogoki. Benar di sana ada Ciu Pek Thong yang melindungi tetapi Pek Thong bangsa berandalan, yang edan-edanan.
Jitu juga dugaanya nona Oey ini. Segera terdengar suaranya Auwyang Hong: "Kegagalan kita ini tak berarti banyak, sebentar malam kita pergi pula ke istana, untuk mencari terlebih jauh!"
"Malam ini tak dapat," Wanyen Lieh mencegah. "Tadi malam keadaan kacau sekali, tentu karenanya penjagaan diperkeras."
"Memang penjagaan tetap dilakukan, itu pun tidak berarti," berkata Auwyang Hong. "Ongya bersama sie-cu malam ini tak usah turut, baiklah ongya berdua beristirahat di sini bersama keponakanku."
"Dengan begitu kembali siauw-ong membikin sianseng bercapai lelah," kata pangeran Kim itu sambil memberi hormat. "Baiklah siauw-ong menanti kabar baik saja."
Pembicaraan mereka berhenti sampai di situ. Habis bersantap Wanyen Lieh merebahkan diri di hamparan rumput, ditemani putra angkatnya dan Auwyang Kongcu, dan Auwyang Hong bersama yang lainnya lantas pergi memasuki kota, untuk menyerbu ke istana.
Wanyen Lieh tak dapat tidur, ia golek-golek saja. Ia memikirkan surat wasiat dan kepergian sekalian pahlawannya itu. Ia merasa tidak enak waktu kupingnya mendengar seekor anjing kampung membaung dan mengulun, suaranya sangat menyedihkan, tak sedap masuk ke kupingnya. Ia menjadi tak tentram dan masgul.
Belum lama pada pintu terdengar suara. Rupanya daun pintu ada yang tolak, sebab segera terlihat masuknya satu orang. Ia menggeraki tubuhnya, buat bangun berduduk, tangannya memegang gagang pedang.
Yo Kang telah berlompat ke belakang pintu, menyembunyikan diri, bersiap sedia.
Yang datang itu satu nona dengan rambut riap-riapan, mulutnya memperdengarkan nyanyian perlahan. Ia menolak pintu untuk masuk terus.
Dialah Sa Kouw, yang tadi pergi bermain di rima dekat rumahnya dan sekarang baru kembali. Ia melihat ada orang asing di rumahnya itu, ia tidak mengambil mumat, langsung ia pergi ke tumpukan rumput tempat ia bisa tidur. Begitu ia merebahkan diri segera terdengar suara napasnya menggeros.
Melihat bahwa orang ada seorang nona dusun yang tolol, Yo Kang tertawa sendirinya dan terus ia tidur pula.
Wanyen Lieh tetap berpikir, masih ia tak dapat pulas. Maka kemudian ia bangun, untuk nyalakan sebatang lilin, yang ia letaki di atas meja. Ia mengeluarkan sejilid buku, untuk dibaca, dibolak-balik lembarannya.
Selama itu, Oey Yong terus mengintai dari lubang temboknya. Kebetulan ia menampak seekor selaru terbang memutari api, lalu menyerbu, maka terbakarlah sayapnya dan robohlah tubuhnya di atas meja.
Wanyen Lieh jumput selaru itu.
"Jikalau Pauw-sie hujinku ada di sini, pastilah kau bakal ditolong diobati," berkata ia dengan perlahan. Ia pun lantas mengeluarkan sebuah piasu kecil serta satu ples kecil berisi obat, ia pegang itu di kedua tangannya, untuk dibuat main. Ia nampaknya sangat berduka.
Oey Yong menepuk perlahan pundaknya Kwee Ceng, ia memberi isyarat supaya pemuda itu melihat kelakuan si pangeran .
Kwee Ceng lantas mengintai, akan dilain saat ia menjadi gusar sekali. Samar-samar ia ingat, pisau dan obat itu kepunyaan Pauw Sek Yok, ibunya Yo Kang. Semasa di dalam istana Chao Wang, Sek Yok pernah menggunai itu mengobati lukanya seekor kelinci. Selagi ia mengawasi terus, ia dengar pangeran itu berkata seorang diri dengan perlahan: "Pada sembilanbelas tahun dulu di kampung ini yang buat pertama kali aku bertemu denganmu.... Ah, aku tidak tahu, sekarang entah bagaimana dengan rumahmu yang dulu itu?"
Habis berkata pangeran itu berbangkit, ia ambil lilinnya, terus ia jalan keluar pintu.
Kwee Ceng berdiam.
"Mustahilkah kampung ini kampung Gu-kee-cun, kampung halamannya ayah dan ibuku?" ia menanya dirinya sendiri. Ia lantas pasang mulutnya di kuping Oey Yong, untuk menanyakan.
Oey Yong mengangguk.
Tiba-tiba Kwee Ceng merasakan dadanya goncang, darahnya berjalan keras, hingga tubuhnya bergerak-gerak karenanya.
Tangan kanan Oey Yong menempel sama tangan kiri anak muda itu, ia merasakan goncangan keras dari hatinya si anak muda, ia menjadi berkhawatir. Goncangan itu bisa mencelakai anak muda ini. Lekas-lekas ia ulur tangan kanannya, akan ditempel dengan tangan kiri orang, terus ia mengerahkan tenaganya menekan.
Kwee Ceng pun turut menekan, ini justru ada baiknya. Dengan begitu, perhatiannya terpusatkan pula, tak terbagi dengan perasaan yang menggoncangakan hati itu. Perlahan-lahan hatinya menjadi tenang kembali.
Tidak lama tertampak sinar api, lalu Wanyen Lieh bertindak masuk sambil menghela napas panjang.
Kwee Ceng mengawasi dengan tenang. Sekarang ia dapat menguasai dirinya. Oey Yong dapat merasai ketenangan hati kawannya ini, ia membiarkan si kawan terus mengintai, cuma sebelah tangan dia itu tetap ia tempel sama tangannya sendiri.
Sekarang ini tangan Wanyen Lieh memegang sebuah senjata berwarna hitam. Itulah bukannya golok, bukannya kampak. Dengan bengong si pangeran mengawasi senjata itu di samping api lilin. Sekian lama, ia mengasih dengar pula suaranya yang perlahan: "Rumah keluarga Yo rusak hingga tak ketinggalan sepotong genteng juga. Keluarga Kwee masih meninggalkan tombak pendek yang dulu hari dipakai Kwee Siauw Thian...."
Hati Kwee Ceng tercekat mendengar nama ayahnya disebut oleh musuh yang telah membunuh ayahnya itu. Lantas saja ia berpikir, "Jahanam ini terpisah dari aku tak ada sepuluh tindak, dengan sebuah pisau belati dapat aku menimpuk mampus padanya...." Terus dengan tangan kanannya ia menanya: "Yong-jie, dengan sebelah tanganmu dapat kau memutar membuka daun pintu?"
"Jangan!" mencegah si nona, yang dapat menerka maksud orang. "Gampang untuk membunuh dia tetapi dengan begitu orang menjadi mendapat tahu tempat sembunyi kita ini....."
"Dia... dia memegangan senjatanya ayah aku..." kata Kwee Ceng, suaranya menggetar.
Seumurnya Kwee Ceng belum pernah melihat wajah ayahnya, ia cuma mengetahuinya sebagian dari penuturan dan lukisan ibunya, yang lain berkat kekhawatiran hatinya memikir ayahnya itu, yang ia bayangi. Ia memuja sangat ayahnya itu. Maka itu melihat ujung tombak ayahnya, hatinya goncang keras kerana kebencian dan kemarahannya yang hebat.
Oey Yong mengalami kesulitan. Memang susah untuk membujuki pemuda ini. Tapi ia mencoba. Ia berbisik pula ke telinga si anak muda: "Ibumu dan Yong-jie menghendaki hidupmu..."
Kata-kata ini besar pengaruhnya. Kwee Ceng terkejut, terus ia menyimpan pula pisau belatinya di pinggangnya. Ia kembali mengintai. Wanyen Lieh telah merebahkan kepalanya di meja.
Pemuda itu menghela napas. Bukankah ia tak dapat membalas sakit hati ayahnya? Karena lesu, ia lalu bersemadhi lebih jauh. Tapi, belum lagi ia menyingkirkan matanya dari lubang angin, ia melihat seorang duduk di tumpukan rumput. Di dalam kaca, tak terlihat mukanya dia itu yang terkurung sinar api. Hanya setelah ia berbangkit berdiri dan mendekati Wanyen Lieh, akan mengambil peles obat dan pisau kecil tadi, selagi memutar tubuh, dia dapat dikenali sebagai Yo Kang.
Untuk sesaat Yo Kang memandangi bengong kepada peles obat dan pisau kecil itu, kemudian dari sakunya ia mengeluarkan sebuah tombak. Ia pun mengawasi tombak itu. Tidak lama ia berdiam, berbareng sama berubahnya air mukanya, ia menjumput tombak pendek yang terletak di tanah, dengan itu ia menikam ke arah punggungnya Wanyen Lieh.
Kwee Ceng melihat itu, girang hatinya. Ia mengerti, Yo Kang tentu mengingat ayah dan ibunya dan sekarang hendak menuntut balas. Asal tombak itu dikasih turun habis sudahlah jiwa pangeran Kim itu. Tapi, tangan Yo Kang terangkat naik terus berdiam, tidak terus dikasih turun, untuk menikam. Lewat beberapa saat, tangan itu pun diturunkan tanpa tikaman.
"Bunuh, bunuhlah!" Kwee Ceng berseru-seru di dalam hatinya. "Sekarang kalau kau tidak turun tangan, kau hendak menunggu sampai kapan lagi?" Lalu ia menambahkan: "Jikalau kau menikam, kau tetap saudaraku yang baik, urusanmu di dalam istana sudah menikam aku, akan aku bikin habis saja."
Tangan Yo Kang gemetaran, tangan itu dikasih turun perlahan sekali, maka kemudian, tombak itu menggeletak pula di tanah...
"Anak haram!" Kwee Ceng mendamprat di dalam hatinya. Ia menyesal dan mendongkol sekali.
Yo Kang meloloskan bajunya yang panjang, ia pakai itu untuk menutupi tubuhnya Wanyen Lieh, rupanya ia takut ayah angkat itu masuk angin.
Kwee Ceng lantas melengos. Tak sudi ia mengawasi terlebih lama lagi. Ia sungguh tak mengerti sikapnya Yo Kang ini.
"Jangan bergelisah tidak karuan," Oey Yong menghibur. "Jangan keburu nafsu. Setelah kau sembuh, meski jahanam ini lari ke ujung langit, kita akan kejar padanya!"
Kwee Ceng mengangguk, setelah mana ia berlatih terus.
Ketika sang fajar datang, beberapa ekor ayam jago kampung mengasih dengar keruyuk mereka saling sahut, dilain pihak muda-mudi itu sudah berlatih tujuh rintasan hingga mereka merasakan tubuh mereka segar sekali.
Oey Yong menunjuki telunjuknya.
"Telah lewat satu hari!" katanya sambil tertawa. Ia puas dengan selesainya latihan hari pertama itu.
Bab 49. Pertempuran di dalam rumah makan
"Sungguh berbahaya!" kata Kwee Ceng perlahan. "Jikalau tidak ada kau, tidak dapat aku mengendalikan diri, dan itu artinya bahaya......."
"Masih ada enam hari dan enam malam, kau mesti janji akan dengar kata aku," kata si nona.
"Kapannya pernah aku tidak dengar kau?" Kwee Ceng menanya sambil tertawa.
Oey Yong tersenyum, lalu ia miringkan kepalanya.
"Nanti aku berpikir," katanya.
Dari atas mulai bersorot sinar matahari, maka terlihatlah muka Oey Yong yang merah dadu, yang cantik manis, sedang dilain pihak, Kwee Ceng tengah memegangi tangan orang yang halus lemas, tanpa merasa, dadanya memukul. Maka lekas-lekas ia menenangi diri, walaupun begitu, mukanya merah. Ia jengah sendirinya.
Sejak mereka bertemu dan bergaul, belum pernah Kwee Ceng memikir seperti sekali ini terhadap si nona, dari itu ia menyesal sendirinya dan menyesali dirinya juga.
"Eh, engko Ceng, kau kenapa?" tanya Oey Yong. Ia heran menampak perubahan mukanya si anak muda.
"Aku bersalah, mendadak saja aku memikir... aku memikir...."
Pemuda itu tunduk, perkataannya berhenti sampai di situ.
"Kau memikirkan apa sebenarnya?" si nona menanya pula.
"Tetapi sekarang aku sudah tidak memikir pula."
"Tadinya kau memikir apa?"
Kwee Ceng terdesak.
"Aku memikir untuk merangkulmu, menciummu.." karena terpaksa ia mengaku. Sebagai seorang jujur, tak dapat ia berdusta.
Mukanya si nona bersemu merah. Ia berdiam. Justru itu ia nampak semakin menggiurkan.
Melihat orang diam saja dan bertunduk, Kwee Ceng menjadi tak enak hati.
"Yong-jie, kau gusarkah?" ia menanya. "Dengan memikir demikian, aku jadi buruk seperti Auwyang Kongcu......"
Tiba-tiba si nona tertawa.
"Tidak, aku tidak gusar!" sahutnya. "Aku hanya memikir, di belakang hari, kau akhirnya bakal merangkul aku, mencium aku, bahwa aku bakal jadi istrimu!"
Mendapat jawaban itu, lega hatinya Kwee Ceng.
"Engko Ceng," kemudian si nona tanya. "Kau memikir untuk mencium aku, adakah hebat pikiranmu itu?"
Kwee Ceng hendak memberikan jawabannya ketika ia menundanya. Tiba-tiba terdengar tindakan kaki cepat dari dua orang, yang terus masuk ke dalam rumah makan disusuli suara nyaring dari Hauw Thong Hay: "Aku telah bilang, di dunia ini ada setan, kau tidak percaya!"
"Apakah itu setan atau bukan setan?" terdengar suaranya See Thong Thian. "Aku bilang padamu, kita sebenarnya bertemu dengan seorang pandai!"
Oey Yong lantas saja mengintai, maka ia melihat muka Huaw Thong Hay berbelepotan darah dan bajunya See Thong Thian robek tidak karuan.
Melihat dua saudara seperguruan itu rudin demikian, Wanyen Lieh dan Yo Kang menjadi heran. Mereka lantas menanyakan sebabnya.
"Nasib kita buruk," menyahut Hauw Thong Hay. "Tadi malam di dalam istana kita bertemu hantu, sepasang kuping aku si Lao Hauw telah kena ditabasnya kutung..."
Wanyen Lieh melihat kupingnya Thong Hay itu, benar lenyap dua-duanya. Ia menjadi heran sekali.
"Masih ngoceh saja!" See Thong Thian menegur. "Apakah kita telah tidak cukup memalukan?!"
Thong Hay takut kepada kakak seperguruannya itu, tetapi ia melawan.
"Aku melihat tegas sekali," katanya, membela. "Satu setan hakim yang mukanya biru kumisnya merah seperti cusee sudah berpekik seraya menubruk aku, begitu aku menoleh, sepasang kupingku tahu-tahu sudah lenyap. Hakim itu mirip benar dengan patung hakim di dalam kuil, kenapa dia bukannya hakim neraka tulen?"
See Thong Thian pun menerangkan, ia cuma bertempur tiga jurus dengan hakim neraka itu lantas pakaiannya kena disobek rubat-rubit seperti itu.
Mereka itu menjadi heran tanpa pemecahan, dari itu mereka cuma dapat menduga-duga. See Thong Thian percaya ia berhadapan sama satu jago Rimba Persilatan yang lihay, maka itu ia menyangsikan hantu, tetapi ia pun tidak bisa membuktikan kesangsiannya itu.
Ketika Auwyang Kongcu ditanya, mungkin ia ketahui sesuatu, ia pun menggeleng kepala.
Tengah mereka ini berdiam dengan terbenam dalam keheranan itu, terlihat baliknya Leng Tie Siangjin bersama Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong bertiga. Mereka datang saling susul, keadaan mereka juga tidak karuan.
Leng Tie Siangjin dengan kedua tangannya tertelikung ke belakang dengan rantai besi. Pheng Lian Houw dengan muka bengkak dan matang biru mungkin bekas digaploki pulang pergi. Nio Cu Ong lebih lucu lagi, ialah kepalanya sudah dicukur licin mirip dengan kepalanya seorang paderi!
Mereka ini, katanya, begitu lekas mereka memasuki istana, akan mencari surat wasiatnya Gak Hui, telah bertemu hantu. Masing-masing bertemu sama hantu sendiri, ialah satu hantu Bu Siang Kwie, satu malaikat Oey Leng Koan, dan satu lagi toapekkong tanah.
Nio Cu Ong pulang dengan mulutnya memaki kalang-kabutan seraya tangannya mengusap-usap kepalanya yang gundul licin itu. Pheng Lian Houw dapat menguasai diri, ia berdiam saja. Leng Tie Siangjin tertelikung hebat sekali, rantai melibat keras kulit dan dagingnya. Pheng Lian Houw mesti bekerja sekuat tenaganya, baru rantai itu dapat diloloskan, karena itu lengan orang suci dari Tibet itu jadi berdarah. Mereka ini saling mengawasi saja. Mereka percaya sudah bertemu sama musuh lihay, maka itu terpaksa mereka menutup mulut.
"Kenapa Auwyang Sianseng masih belum kembali?" tanya Wanyen Lieh sesudah mereka itu membungkam sekian lama.
"Setahu dia pun bertemu hantu atau tidak..."
"Auwyang Sianseng sangat lihay, umpama kata ia juga bertemu hantu, tidak nanti ia dapat dikalahkan," berkata Yo Kang.
Mendengar jawaban Yo Kang ini, Pheng Lian Houw jengah sendirinya.
Oey Yong melihat dan mendengar semua pembicaraan mereka, ia puas sekali.
"Aku telah membelikan topeng pada Ciu Toako, siapa tahu sekarang ia telah perlihatkan pengaruhnya," katanya dalam hati. "Inilah diluar sangkaanku. Hanya entahlah si tua bangka yang berbisa itu bertemu dengannya atau tidak..."
Nona ini menoleh kepada Kwee Ceng, ia dapatkan si anak muda lagi berlatih terus, maka ia pun menemani.
Pheng Lian Houw semua sudah lapar sekali, dari itu repotlah mereka membelah kayu untuk menyalakan api, untuk membeli beras dan memasak nasi. Hauw Thong Hay pergi mencari mangkok, di dapur ia melihat itu mangkok besi, ketika ia angkat itu, tidak bergerak, Ia heran hingga ia berseru. Lagi sekali ia menarik dengan mengerahkan tenaganya, tetap ia tak berhasil.
Oey Yong yang berada di dalam kamar dapat mendengar suara Thong Hay itu. Ia terkejut. Ia tahu ancaman bahaya apabila kamar itu ketahuan orang-orang di luar itu, justru merekalah rombongan musuh. Tidak saja mereka berjumlah besar dan semuanya lihay, Kwee Ceng sendiri tak dapat menggeraki tubuhnya. Maka itu ia cemas hati, ia menjadi bingung.
See Thong Thian mendengar suara Thong Hay, ia mengatakan adik seperguruannya itu berisik saja. Adik ini penasaran.
"Kalau begitu, kaulah yang mengambilnya!" katanya sengit.
Thong Thian menghampirkan, ia mencoba mengangkat.
"Ah...!" serunya heran. Ia pun tak berdaya.
Berisiknya mereka ini membikin Pheng Lian Houw datang mendekati. Ia mengawasi mangkok itu.
"Pasti ini ada rahasianya," bilangnya kemudian. "See Toako, coba kau memutarnya ke kiri atau ke kanan."
Oey Yong kaget bukan main. Ia serahkan pisau belatinya kepada kwee Ceng, ia sendiri memegangi tongkatnya Ang Cit Kong. Justru itu ia melihat tulang-belulang di pojokan, tiba-tiba ia mendapat pikiran. Ia lantas ambil kedua buah tengkorak, ia belesaki itu ke dalam buah semangka.
See Thong Thian di luar kamar sudah bekerja, diputarnya mangkok besi itu membuat pintu rahasia terbuka. Melihat itu, Oey Yong lantas bekerja. Ia riap-riapkan rambutnya hingga terurai tidak karuan dimukanya, tangannya memegang semangka bertengkorak itu, ia ajukan ke depan, mulutnya memperdengarkan suara meniru hantu.
Hauw Thong Hay yang pertama melihat setan "berkepala dua" itu, ia kaget bukan main. Bukankah mereka itu baru saja diganggu hantu? Maka itu ia menjerit keras dan lari ngiprit. Perbuatannya ini dituruti yang lainnya, yang hatinya menjadi ciut. Hingga disitu tinggal Auwyang Kongcu seorang, yang rebah di atas rumput tanpa bergerak.
Oey Yong tertawa lebar, lalu ia menghela napas lega. Lekas-lekas ia menutup pula pintu rahasianya. Sekarang ia mesti berpikir keras, untuk mencari lain jalan guna menyelamatkan diri. Sebagai orang-orang kangouw lihay, mesti Thong Hay beramai bakal datang pulang.
Selagi si nona berpikir, ia mendengar suara pintu depan dibuka, lalu satu orang bertindak masuk. Ia menjadi berkhawatir sekali. Ia lantas mencekal tempulingnya dan tongkatnya diletaki di sampingnya. Begitu lekas pintu dibuka dan orang terlihat, hendak ia mendahului menimpuk dengan tempuling itu.
Tidak lama terdengarlah suara halus tapi nyaring memanggil-manggil tuan rumah.
Oey Yong menjadi heran. Itulah suara wanita. Lekas-lekas ia mengintai. Tidak keliru pendengarannya itu. Orang yang baru datang itu benar seorang wanita, yang terus berduduk di sebuah kursi. Dia berdandan indah seperti seorang nona hartawan. Karena ia menghadapi kaca, mukanya tidak kelihatan.
Selang sesaat, kembali nona itu memanggil-manggil tuan rumah, yang jawabannya tak juga kunjung tiba.
Oey Yong menjadi heran. Ia ingat sekarang suara nona itu.
"Dia toh Nona Thia dari Poo-ceng?" katanya dalam hati.
Kebetulan itu waktu si nona berpaling. Maka heran dan giranglah Nona Oey ini.
Tidak salah, nona itu ialah Thia Yauw Kee. Maka ia menduga-duga sekarang, kenapa nona itu bisa berada di tempat ini.
Sementara itu Sa Kouw, yang tidur layap-layap, bangun juga atas panggilan si nona. Ia menghampirkan.
"Tolong bikinkan aku barang makanan," nona Thia minta.
Si tolol menggeleng kepala, tandanya tak ada barang makanan, tetapi justru itu, hidungnya mencium bau nasi baru matang, sambil menoleh, ia lari ke dapur. Untuk herannya ia menampak nasih putih di dalam tempulo. Itulah nasi Wanyen Lieh beramai. Ia menjadi girang sekali. Tanpa cari tahu darimana datangnya nasi itu, ia menyendoki satu mangkok untuk nona tetamunya, ia sendiri turut dahar pula.
Tidak biasa, nona Thia dahar tanpa lauk pauknya, nasi itu pun nasi keras, maka itu baru beberapa suap, ia sudah meletaki mangkok serta sumpitnya.
Sa Kouw sendiri memakan habis tiga mangkok, setelah mana ia menepuk-nepuk perutnya, romannya menandakan ia sangat puas.
"Nona aku numpang tanya," nona Thia menanya. "Tahukah kau dusun Gu-kee-cun dari sini berapa jauh lagi?"
"Gu-kee-cun?" menyahut si tolol. "Ini justru Gu-kee-cun. Hanya aku tak tahu berapa jauh terpisahnya.."
Nona Thia itu agaknya likat, mukanya menjadi bersemu dadu, kepalanya terus ditunduki dan tangannya membuat main ujung bajunya.
"Oh, kiranya inilah Gu-kee-cun!" katanya kemudian. "Sekarang aku hendak tanyakan kau tentang satu orang, apakah kau tahu... kau tahu....."
Sa Kauw tidak menanti hingga orang mengucapkan habis pertanyaannya, ia menggoyang-goyang kepalanya, terus ia berlari keluar.
Oey Yong sendiri, yang mendengar pertanyaan nona Thia jadi berpikir.
"Ah, siapakah yang ia cari di sini? Ya, ia muridnya Sun Put Jie, mungkin ia dititahkan guru atau paman gurunya mencari Yo Kang yang ada muridnya Khu Cie Kee..."
Sambil berpikir, nona Oey mengawasi nona Thia itu. Dia duduk dengan toapan, pakaiannya indah dan rapi, tangannya mengusap-usap bunga di samping kupingnya. Mukanya pun bersemu merah. Entah apa yang ia lagi pikirkan.
Oey Yong mengawasi terus.
Itu waktu terdengar pula tindakan kaki di luar rumah maka, lalu satu orang muncul sambil memanggil-manggil tuan rumah.
"Sungguh kebetulan!" berkata Oey Yong di dalam hatinya. "Kenapa orang-orang yang kukenal di kolong langit ini justru pada berkumpul di Gu-kee-cun ini?"
Orang baru itu ialah Liok Koan Eng, tuan muda dari Kwie-in-chung. Ia berdiri di muka pintu. Heran ia melihat nona Thia. Ia tidak menegur, hanya kembali ia memanggil tuan rumah.
Nona Thia melihat seorang muda, ia malu dan likat, ia lantas menoleh ke arah lain.
Koan Eng pun heran, hingga ia tanya dirinya sendiri. "Kenapa ada nona cantik di sini dan dia sendirian saja?" Ia bertindak masuk, terus ke dapur. Ia tidak menemukan siapa juga, maka agaknya ia bernafsu kapan ia mendapat lihat nasi di tempulo.
"Aku lapar, hendak aku minta beberapa mangkok untukku, bolehkah bukan nona?" ia tanya nona Thia.
Yauw Kee menganggap lucu orang minta nasi yang bukan kepunyaannya sendiri, ia tertawa.
"Nasi itu bukan kepunyaanku, kau makanlah!" katanya tertawa.
Tanpa banyak bicara, Koan Eng lantas berdahar. Ia makan dua mangkok.
"Terima kasih," katanya kemudian seraya memberi hormat kepada nona Thia. "Sekarang aku mohon menanya, adakah nona ketahui dusun Gu-kee-cun berapa jauh terpisahnya dari sini?"
Nona Oey menjadi bertambah heran, nona Thia pun tak terkecuali.
"Kiranya dia juga mencari dusun Gu-ke-cun," pikir nona Oey.
"Tempat ini justru desa Gu-ke-cun," menyahut Yauw Kee sambil ia membalas hormatnya si anak muda.
Koan Eng menjadi girang.
"Bagus!" katanya. "Sekarang aku minta tanya nona tentang satu orang..."
Yauw Kee memikir untuk memberitahukan bahwa ia bukannya penduduk Gu-kee-cun itu, atau ia ingat baiklah ia dengar dulu, siapa yang dicari pemuda ini. Maka itu ia menanti.
"Ada seorang muda she Kwee nama Ceng, entah dia tinggal di rumah yang mana di sini?" Koan Eng tanya. "Apakah ia berada di rumahnya?"
Yauw Kee heran, lebih-lebih Oey Yong.
"Mau apa dia mencari engko Ceng?" putrinya Tong Shia tanya dirinya sendiri.
Yauw Kee tidak menyahut, ia hanya likat hingga mukanya jadi merah, lekas-lekas ia menunduk.
Oey Yong mendapat lihat wajah dan kelakuan orang itu, saking cerdiknya ia dapat menerka hati orang.
"Ah, kiranya!" pikirnya. "Engko Ceng telah menolongi dia di Poo-eng, rupanya ia lantas mencintainya secara diam-diam..."
Oey Yong polos dan jujur, ia tidak kenal iri atau cemburu, maka itu mengetahui ada orang yang mencintai Kwee Ceng, justru ia menjadi girang sekali.
Memang tidak keliru dugaan putrinya Oey Yok Su ini.
Yauw Kee ingat budinya Kwee Ceng. Ia memang dibantu oleh Lee Seng dan lainnya dari Kay Pang, Partai Pengemis, tetapi mereka bukannya tandingannya Auwyang Kongcu, tanpa ada pemuda itu, pastilah ia bakal terhina. Melihat Kwee Ceng muda, romannya tampan, dan orang pun jujur, mulia hatinya dan gagah, lantas ia menjadi ketarik dan jatuh hati, maka seperginya pemuda itu, ia ingat dan memikirkannya tak hentinya. Lama-lama tak dapat ia menguasai dirinya lagi, setelah memikir pergi pulang, pada suatu malam ia pergi secara diam-diam dari rumahnya. Ia mengerti ilmu silat tetapi belum pernah ia melakukan perjalanan seorang diri dan jauh, dia asing dengan segala apa kaum kangouw. Tetapi ia memberanikan diri. Ia mencari dusun Gu-kee-cun sebab Kwee ceng membilang ia berasal dari dusun itu dengan kotanya Lim-an. Untung nona Thia, karena dandannya indah, di tengah jalan tidak ada orang yang mengganggunya, sampai ia tiba di Gu-kee-cun, hanya ia belum tahu itulah desa yang ia cari itu. Maka itu, ia minta keterangan dari Sa Kouw. Begitu ia mendapat jawaban, ia menjadi likat sendirinya, pikirannya pun kacau.
Dari tempat jauh ia datang, setelah tiba, ia mengharap-harap Kwee Ceng tak ada di rumah... kata ia di dalam hatinya: "Sebentar aku mencuri datang ke rumahnya, setelah melihat dia, aku akan lantas berangkat pulang lagi. Aku tidak boleh membikin dia ketahui datangku ini. Kalau dia melihat aku, aku malu sekali..."
Diluar dugaan Yauw Kee, Koan Eng datang ke situ, dan pemuda ini menanyakan Kwee Ceng. Ia kaget dan heran. Bukankah ia tengah "bersalah"? Ia mau menduga si anak muda telah pecahkan rahasia hatinya, ia menjadi malu sendirinya. Setelah berdiam sekian lama, ia bangun berdiri, dengan niat mengangkat kaki. Tapi ia belum sempat ia mewujudkan itu, sebab mendadak dari sebelah luar nongol satu kepala orang yang romannya jelek. Cepat sekali, kepala itu diperengkatkan. Ia terkejut hingga ia bertindak mundur.
Lekas sekali, kepala dengan muka jelek itu nongol pula, bahkan sekarang ia mengasih dengar suaranya: "Hantu kepala dua, kalau kau berani, marilah muncul di terangnya matahari! Sam-tauw-kauw Hauw Looya bersedia untuk melayani kau bertempur!"
Dua-dua Liok Koan Eng dan Thia Yauw Kee menjadi heran. Adakah mereka yang ditantang? Kalau benar, kenapakah?
"Hm!" Oey Yong mengasih dengar suara perlahan. "Dia toh datang pula!"
Tapi nona ini menjadi berkhawatir untuk keselamatan Yauw Kee dan Koan Eng itu. Terang mereka ini bukan tandingannya rombongan Thong Hay ini. Maka ia pikir baiklah mereka berdua itu lekas mengangkat kaki dari situ. Daya apa dia ada punya?
Memang Thong Hay muncul cepat sekali. Tadi ialah yang kabur lebih dulu, hingga kawan-kawannya turut lari. Kawan-kawan itu menyangka munculnya pula si hantu istana, mereka lari jauh. Ia lari belum jauh, lantas ia berhenti, dengan begitu ia jadi ditinggalkan semua kawannya. Ia bertabiat keras, hatinya menjadi panas.
"Hantu itu tak dapat berbuat apa-apa di siang hari bolong!" demikian ia dapat berpikir. "Tidak, aku si Lao Hauw tidak takut, biar aku balik pula untuk singkirkan hantu itu! Biar mereka itu melihat aku!"
Dengan tindakan lebar, ia kembali ke rumah makan. Meski begitu, hatinya toh kebat-kebit. Ia heran apabila ia mengintai dan ia dapat melihat Koan Eng dan Yauw Kee. Pikirnya: "Celaka betul, sekarang hantu kepala dua itu mencipta diri jadi setan pria dan setan wanita! Oh, Lao Huaw, kau mesti waspada!"
Begitulah ia menantang.
Koan Eng dan Yauw Kee berdiam sesaat, lantas mereka tidak memperdulikannya. Mereka menduga lagi berhadapan sama orang yang otaknya tak beres.
Thong Hay menantang dengan sia-sia. Si setan pria dan wanita tidak muncul menyambut tantangannya itu. Ia jadi lebih percaya bahwa setan tidak munculkan diri diwaktu siang. Karena itu, hatinya menjadi semakin besar. Untuk menyerbu, ia ragu-ragu. Kemudian ia ingat pembilangan bahwa hantu takut sama kotoran manusia atau air kencing.
"Kenapa aku tidak hendak mencoba?" pikirnya Ia pun lantas mengambil keputusan, maka ia pergi akan mencari kakus. Tidak sulit untuk mencari tempat kotoran itu. Di samping rumah makan ada sebuah. Saking penasaran, ia melupakan segala apa. Untuk membungkus najis itu, ia pakai bajunya ia loloskan. Dengan membawa kotoran itu, ia kembali ke rumah makan. Ketika ia sampai, ia lihat kedua setan muda mudi itu lagi berduduk diam. Ia menjadi gusar sekali.
"Hantu yang bernyali besar!" ia lantas membentak. "Kau lihat Hauw Looya kamu akan membikin segera memperlihatkan diri asalmu!" lantas ia bertindak masuk, tangan kirinya mencekal senjatanya bercagak tiga, tangan kanannya membelak bungkusan najis.
Koan Eng dan Yauw Kee terperanjat melihat "si edan" kembali, mereka melengak. Mereka mengawasi dengan menjublak. Di sebelah itu, hidung mereka lantas mencium bau busuk yang santar.
Hauw Thong Hay sendiri sudah berpikir, "Aku dengar orang bilang, setan pria kalah jahat dengan setan wanita, sekarang baik aku hajar dulu yang wanita!" Maka itu, ia menimpuk ke arah Yauw Kee.
Nona Thia ini kaget hingga ia berteriak, ketika ia hendak berkelit, Koan Eng mendahului, menolong ia menangkis serangan dengan sebuah bangku. Hanya hebat tangkisan itu. Bungkusan terhajar jatuh ke lantai, baunya berhamburan, siapa mendapat cium, ia pasti muak.
Thong Hay sendiri sudah lantas berkoak: "Hantu kepala dua sudah pulang ke asalnya!" Dan koakannya ini disusul sama serangannya menikam kepada nona Thia! Dia semberono tetapi ilmu silatnya cukup baik. Maka itu hebatlah tikamannya ini.
Koan Eng dan Yauw Kee bertambah heran. Mereka sekarang percaya, orang bukan orang edan hanya seorang gagah dari Rimba Persilatan.
Tidak ayal lagi, Koan Eng menggunai bangku untuk menangkis pula tikaman itu.
"Kau siapa tuan?" ia menanya. Ia tidak mau berlaku tak tahu aturan.
Hauw Thong Hay tidak memperdulikan pertanyaan itu, ia hanya menuruti saja kehendak hatinya. Begitulah ia menyerang beruntun hingga lagi tiga kali.
Dengan terpaksa Koan Eng membela diri, sambil menangkis berulang-ulang, ia masih menanyakan nama orang.
Thong Hay bertempur dengan hati lega. Ia melihat orang mengerti ilmu silat tetapi tidak selihay musuh tadi malam. Karena ini, sekarang ia suka bicara. Ia menyahuti: "Hantu, kau ingin mengetahui namaku supaya kau bisa menggunai jampemu yang berbahaya? Tidak, tuan besarmu justru tidak hendak memberitahukan namanya!"
Ia menggeraki cagaknya, ia membikin gelangnya bersuara nyaring, lalu ia mengulangi serangannya secara hebat.
Koan Eng segera juga keteter dan terdesak ke tembok. Ia memang kalah gagah dan senjata bangku juga tidak cocok untuknya. Tidak ada ketika untuknya mencabut golok di pinggangnya. Ia terdesak ke tembok di betulan lobang tempat Oey Yong mengintai.
Teranglah Hauw Thong Hay telah melihat ketikanya yang baik dengan hebat ia mengirimkan tusukannya. Masih sempat Koan Eng berkelit, maka itu, ujung senjata musuh menikam ke tembok di samping lobang.
Koan Eng berlaku sebat, belum lagi musuh mencabut senjatanya, ia mendahulukan menghajar dengan bangkunya. Tapi Thong Hay lihay, matanya awas, gesit gerakannya, sebelah kakinya terangkat naik, mendahului menendang lengan lawannya itu, yang mengenai tepat, sedang dengan tangan kirinya ia membarengi menyerang.
Koan Eng terkejut. Bangkunya terlepas dari tangannya. Justru itu ia pun mesti berkelit dari serangan tangan kiri. Tengah ia mendak, Thong Hay sudah mencabut senjatanya yang nancap di tembok itu.
Thia Yauw Kee, yang melihat bahaya, lompat kepada Koan Eng, untuk menolongi si anak muda menghunus goloknya, untuk diserahkan kepada anak muda itu. "Terima kasih!" kata Koan Eng seraya menyambuti golok dari tangan si nona. Ia kagum untuk kelincahan si nona itu, yang dalam saat genting seperti itu dapat membantu padanya.
Sebat gerakannya Thong Hay, ia sudah menyerang pula. Disaat senjata lawan hampir sampai didadanya, Koan Eng menangkis dengan keras, maka keras juga bentrokan kedua senjata, hingga muncratlah lelatu apinya. Thong Hay merasakan telapakan tangannya sakit.
Pertempuran berlanjut terus, kaki keduanya telah menginjak kotoran. Selama itu Thong Hay bergelisah. Nyatanya lawannya itu tangguh.
"Perlihatkan diri asalmu!" ia membentak sambil menikam ke arah perut. Itulah pukulan "Menolak peragu menuruti aliran air".
Menampak ilmu silat itu, Koan Eng lompat mundur tiga tindak.
"Tahan dulu!" ia berseru. "Kau pernah apakah dengan Kwie-bun Liong Ong?"
Thong Hay melirik dengan tajam.
"Ha, hantu, kau kenal juga nama sukoku!" katanya dingin.
Koan Eng menduga kepada orang gila, yang menyerang ia kalang-kabutan, atau orang salah menyangka, tetapi sekarang, mendengar orang menyebut diri sebagai adik seperguruan dari See Thong Thian, tahulah ia bahwa orang ini datang menuntut balas untuk Hong Ho Su Koay, Empat Siluman dari sungai Hoang Hoo. Ia jadi hendak membalaskan sakitnya Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong. Karena ini, ia lantas berkelahi semakin hebat.
Tidak lama, kembali Koan Eng kena terdesak, tidak peduli ia berlaku mati-matian.
Yauw Kee dapat melihat si pemuda terancam bahaya. Mulanya ia berdiam saja di pojokan menyaksikan pertempuran itu, ia pun takut pada kotoran, tetapi sekarang menampak ancaman bahaya itu, tidak dapat ia berdiam terus-terusan. Ia mencabut pedangnya sambil mengajukan diri.
"Jangan takut, akan aku bantu kau!" ia berkata. Ia bahkan segera menikam punggung lawan. Ia murid kepala dari Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie, dari itu ia adalah orang dari kaum Coan Cin Pay.
Majunya nona ini ada dalam dugaan Hauw Thong Hay. Tidak demikian dengan Koan Eng. Maka pemuda ini menjadi heran berbareng girang, hingga terbangun semangatnya, kalau tadi ia repot membela diri, hingga ia tidak dapat melakukkan penyerangan balasan, sekarang ia dapat melakukan itu.
Mulanya Thong Hay jeri juga, ia khawatir si nona lihay, tetapi selang beberapa jurus, legalah hatinya. Dia mendapat kenyataan nona ini kurang latihannya. Maka kemudian, walaupun dikepung berdua, ialah yang dapat lebih banyak menyerang.
Oey Yong dari dalam kamar mengikuti terus pertempuran itu. Ia menjadi berkhawatir. Ia mengetahui dengan baik, lama-lama muda-mudi itu bisa becelaka di tangan musuh yang telengas ini. Ia berkhawatir sebab ada keinginannya untuk membantui tetapi keinginan itu tidak dapat diwujudkan. Mana bisa ia tinggalkan Kwee Ceng?
"Nona kau pergilah!" berkata Koan Eng kemudian. "Urusan di sini bukan urusanmu!"
Yauw Kee tak mau mundur. Ia tahu pemuda itu mengkhawatirkan keselamatannya. Untuk kebaikan hati itu, ia merasa sangat bersyukur. Tentu sekali, tidak dapat ia mengangkat kaki membiarkan kawan itu menghadapi bahaya maut. Maka itu ia menggeleng kepalanya.
"Kita bermusuh, maka itu kau carilah aku sendiri si orang she Liok!" Koan serukan Thong Hay. "Lekas kau membuka jalan untuk nona ini mengundurkan diri!"
Thong Hay tertawa lebar. Sekarang ia telah memperoleh kepastian muda-mudi ini bukannya hantu atau iblis, hatinya menjadi besar. Ia pun sudah menang di atas angin! Bukankah si nona pun cantik manis?
"Hantu pria aku hendak tangkap, iblis wanita aku hendak bekuk juga!" katanya dingin. Ia mengulangi serangannya yang hebat, hanya terhadap Thia Yauw Kee, ia tidak menggunai tenaga sepenuhnya.
Koan Eng menjadi bertambah khawatir.
"Nona lekas kau menyingkir!" ia serukan nona itu. "Aku berterima kasih padamu!"
"Kau she Liok?" tanya si nona perlahan tanpa menghiraukan anjuran orang untuk mengangkat kaki.
"Benar," menyahut Koan Eng. "Nona sendiri she apa dan murid siapakah?"
"Guruku she Sun, orang menyebutnya Ceng Ceng Sanjin," sahut nona Thia. "Aku sendiri... aku..." Ia hendak menyebut namanya tetapi ia malu.
"Nona," berkata Koan Eng. "Akan aku tahan dia, kau pergilah menyingkir! Asal aku dapat menolong jiwaku, nanti aku susul padamu!"
Mukanya Yauw Kee merah. Ia tidak menjawab itu anak muda, hanya ia membentaki lawannya: "Eh, siluman, jangan kau lukakan dia! Ketahui olehmu, guruku ialah Sun Cinjin dari Coan CinPay dan dia segera bakal datang kemari!"
Nama Coan Cin Pay sangat terkenal, maka mendengar disebutnya partai itu, hati Thong Hay tercekat. Bukankah Thie-kak-sian Giok Yang Cu Ong Cie It pernah memperlihatkan kepandaiannya di dalam istana Chao Wang? Meski begitu, ia tidak sudi mengasih lihat kelemahannya. Maka itu ia sengaja berseru: "Biarnya tujuh siluman Coan Cit Cit Cu datang kemari, hendak aku membinasakan semuanya!"
"Orang bosan hidup, kau ngaco belo!" mendadak terdengar seruan dari arah luar.
Kaget ketiga orang itu, dengan sendirinya mereka pada lompat mundur. Koan Eng khawatir Thong Hay main gila, ia tarik Yauw Kee ke belakangnya, ia lantas berdiri di depan si nona seraya ia bersiap dengan goloknya.
Semua mata mengawasi ke luar. Di ambang pintu berdiri seorang tojin atau imam usia muda, romannya tampan, tangannya mencekal kebutan atau hudtim. Ia bersenyum dingin ketika ia menegaskan pula: "Siapakah yang membilang hendak membinasakan Coan Cin Cit Cu?"
"Itulah aku Hauw Looya yang membilangnya!" sahut Thong Hay takabur. "Kau mau apa?!"
"Baiklah! Sekarang kau cobalah membunuhnya!" menantang si imam muda. Kata-kata ini disusul sama gerakan tubuhnya seraya kebutannya mengebut kemuka si Ular Naga Kepala Tiga.
Ketika itu selesailah Kwee Ceng dengan latihannya, tempo kupingnya dapat mendengar suara berisik di luar kamar itu, ia lantas mengintai.
"Mungkinkah benar imam muda ini anggota Coan Cin Cit Cu?" Oey Yong tanya.
Kwee Ceng segera mengenali imam muda itu, ialah In Cie Peng muridnya Tiang Cun Cu Khu Cie Kee. Dialah yang dua tahun lampau pergi ke Mongolia menyampaikan surat gurunya kepada Kanglam Liok Koay dan dalam pibu, pertandingan itu, ia kena dikalahkan dia itu. Maka itu, ia beritahukan si nona Oey siapa imam itu.
"Dia pun tak dapat melawan Hauw Thong Hay," berkata Oey Yong sambil menggeleng-geleng kepala.
Setelah lewat dua tahun, kepandaiannya In Cie Peng telah bertambah, walaupun demikian, berkelahi sama-sama Liok Koan Eng mengepung Hauw Thong Hay mereka cuma berimbang saja.
Yauw Kee menonton dengan bengong. Ia terkejut ketika ia dipegang oleh Koan Eng dan ditarik ke belakang si anak muda, habis mana anak muda itu menyerang Thong Hay yang menyambuti serangannya In Cie Peng. Ia tengah mengusut-usut tangannya itu tatkala ia mendengar suara Koan Eng, "Nona, awas!"
Itulah Hauw Thong Hay, yang menggunai kesempatannya akan membokongi si nona, yang ia tikam pundaknya. Ia tidak menyangka akan serangan itu, atas pemberian ingat si anak muda, ia lantas berkelit, setelah mana dalam murkanya ia maju menyerang. Dengan begitu, Thong Hay jadi dikerubuti bertiga.
Walaupun ia gagah, sekarang Thong Hay bingung juga. Memang nona Thia ini tidak lihay, akan tetapi dikepung berdua, mereka sudah berimbang, dengan bertambah satu tenaga lagi, ia merasa berat. Ia menjadi cemas sendirinya, hendak ia meloloskan diri, tetapi kepungan rapat.
In Cie Peng mempermainkan kebutannya di muka lawannya itu, lama-lama Thong Hay menjadi seperti kabur matanya, maka satu kali ia alpa, gerakannya kurang sebat, ia merasakan pahanya sakit, sebab goloknya Koan Eng mampir di pahanya itu. Ia menjadi murka sekali, ia mendamprat leluhur lawannya.
Masih si Ular Naga Kepala Tiga membuat perlawanan. Karena luka dikakinya itu, kelincahannya menjadi berkurang. Masih ia diganggu kebutan Cie Peng, yang membikin ia kewalahan. Kapan tiba saatnya ia mencoba menikam, Cie Peng libat gaetannya itu, hingga keduanya jadi saling tarik.
Biar bagaimana, Thong Hay menang tenaga, kesudahannya saling tarik itu, kebutannya Cie Peng kena tertarik hingga terlepas. Tapi menang disini, Thong Hay kalah dilain pihak. Dengan mengadu tenaga sama Cie Peng, ia menjadi lengah, maka juga ujung pedangnya Yauw Kee menusuk pundak kanannya, atas mana terlepaslah tempulingnya yang bercagak tiga!
In Cie Peng lepas kebutannya itu, ia tidak menjadi kaget atau bingung, bahkan ia memperlihatkan kegesitannya, ialah justru lawannya kena tertikam, ia maju untuk menotok. Tepat ia mengenakan jalan darah hian-kie, atas mana, Sam-tauw-kauw roboh seketika.
Koan Eng tidak berlaku ayal, ia berlompat untuk menubruk, lalu dengan menggunai ikat pinggang lawan, ia ringkus lawannya itu, kedua tangan siapa ditelikung.
"Lihat, muridnya Coan Cin Cit Cu saja kau tidak sanggup lawan!" kata In Cie Peng mengejek. "Masihkah kau hendak membinasakan semua Coan Cin Cit Cu?"
Thong Hay gusar, ia memaki kalang kabutan. Ia kata ia toh dikepung bertiga.
Cie Peng tidak sabaran, ia sobek ujung baju orang dan pakai itu untuk menyumbat mulut orang yang kotor itu, maka sekarang, si Ular Naga Tiga Kepala melainkan bisa mendelik mata dan mukanya merah, mulutnya tak bersuara lagi.
"Suci," berkata Cie Peng kepada Yauw Kee sambil ia memberi hormatnya. "Kau adalah murid dari Sun Susiok, maka terimalah hormatnya suteemu."
Yauw Kee membalas hormat sambil merendahkan diri.
"Entah suheng murid paman guru yang mana?" ia bertanya.
"Siauwtee ialah In Cie Peng, muridnya Tiang Cun Cu," menyahut saudara asal seperguruan ini.
Yauw Kee tidak pernah keluar pintu, ia tidak kenal keenam saudara gurunya tetapi ia pernah mendengar dari gurunya tentang mereka itu, maka tahulah ia siapa Tiang Cun Cu itu.
"Kalau begitu, In Suheng, kaulah suhengku," katanya perlahan. "Adikmu ini she Thia, kau panggil saja sumoy padaku."
In Cie Peng bersenyum melihat sumoy itu, adik seperguruannya, tetapi meski begitu, ia melayani berbicara, setelah mana ia belajar kenal dengan Liok Koan Eng.
Orang she Liok itu memberitahukan she dan namanya tetapi ia tak menyebutkan nama dan gelaran ayahnya dan menyebut juga pekerjaannya sebagai kepala perampok di telaga Thay Ouw, ia cuma menerangkan, ia bermusuh dengan Hauw Thong Hay sebab ia telah membunuh Ma Ceng Hiong.
"Orang edan ini kosen, dia tidak dapat dimerdekakan!" berkata nona Thia.
"Biarlah aku lantas binasakan dia!" berkata Liok Koan Eng.
"Ah, jangan!" mencegah nona Thia, yang hatinya pemurah.
"Tidak apalah dia tidak dibikin mampus!" kata Cie Peng tertawa. "Sumoy, sudah berapa lama kau berada disini?"
"Baru saja," sahut si nona dengan wajahnya merah jengah.
Cie Peng mengawasi muda-mudi ini, pikirannya bekerja.
"Mereka rupanya pasangan, jangan aku berdiam lama di sini membuat mereka muak saja..." pikirnya. Maka ia lantas berkata: "Aku sedang menjalankan tugas yang diberikan suhu. Aku diperintah pergi ke dusun Gu-kee-cun guna menyampaikan berita kepada satu orang. Nah, sampai di sini saja, harap kita bisa bertemu pula!"
Yauw Kee masih likat.
"In Suheng, kau sedang mencari siapa?" tanyanya perlahan.
Cie Peng agaknya bersangsi, tetapi sejenak kemudian, ia pikir: "Thia sumoy orang sendiri, dia berjalan sama anak muda ini, dia pun bukan orang lain, tidak ada halangannya untuk aku bicara." Maka ia menjawab bahwa ia lagi mencari seorang kenalan she Kwee.
Keterangan ini membuatnya beberapa orang terkesiap hatinya. Mereka yang berada di dalam kamar rahasia, begitu pun Liok Koan Eng, bahkan pemuda she Liok ini lantas bertanya: "Adakah ia yang bernama Ceng?"
"Benar," sahut Cie Peng memberikan kepastian. "Saudara Liok kenal sahabat she Kwee itu?"
"Siauwtee justru hendak mencari Kwee Susiok itu," menyahut Koan Eng.
"Eh, kau memanggil dia susiok?" tanya Cie Peng dan Yauw Kee berbareng. Nona ini pun heran waktu pertama mendengar Cie Peng menyebut "sahabat she Kwee"
"Ayahku setingkat derajatnya dengannya, maka itu siauwtee memanggil susiok," Koan Eng menjelaskan. (Susiok artinya paman guru)
Tingkat Liok Seng Hong sederajat dengan Oey Yong, dengan sendirinya Koan Eng mesti memanggil paman guru kepada Kwee Ceng. Mengenai Kwee Ceng itu, Yauw Kee tidak membilang suatu apa akan tetapi perhatiannya tertarik.
"Apakah kau telah bertemu padanya. Ada di mana dia sekarang?" Cie Peng menanya dengan cepat.
"Siauwtee pun baru tiba di sini, selagi siauwtee hendak mencari keterangan, kita bertemu ini orang edan, tidak karuan dia menyerang kita," menerangkan Koan Eng.
"Kalau begitu, mari kita sama-sama pergi mencarinya," kata Cie Peng kemudian.
Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi. Mereka telah mendapat dengar semua pembicaraannya ketiga orang itu.
"Mereka pasti bakal kembali," kata Kwee Ceng. "Yong-jie, kau bukalah pintu."
"Mana dapat?" si nona berkata. "Mereka mencari kamu tentu untuk urusan penting. Kau lagi beristirahat, mana dapat kau memecah pikiranmu?"
"Tetapi urusannya mesti sangat penting," si anak muda bilang.
"Biarnya langit ambruk, tidak nanti aku membuka pintu," si nona kata pasti.
Hati Kwee Ceng tidak tenang, tetapi Oey Yong benar. Ia pun khawatir si nona menjadi berduka. Maka terpaksa ia berdiam saja, melanjuti istirahatnya itu.
Benar saja, selang tidak lama, Koan Eng bertiga kembali ke rumah makannya Sa Kouw. Koan Eng berduka, katanya: "Di kampung halamannya sendiri susiok tidak dapat dicari. Bagaimana sekarang?"
"Urusan penting apakah itu antara kamu berdua, saudara Liok?" Cie Peng tanya Koan Eng. "Bolehkah aku ketahui itu?"
Sebenarnya Koan Eng tidak suka memberitahu, tetapi ketika ia menampak wajah nona Thia, ia mengubah pikirannya dalam sekejap.
"Omonganku panjang," ia menyahut. "Biarlah aku bersihkan dulu kotoran di sini, nanti baru kita bicara."
Di rumahnya Sa Kouw ini, sapu pun tidak ada, maka itu Koan Eng dan Cie Peng menggunai rumput untuk menyapu kotoran. Setelah itu ketiganya duduk menghadapi meja.
Koan Eng hendak mulai bicara ketika Yauw Kee mencegah. "Tunggu dulu!" katanya seraya ia berbangkit bertindak mendekati Hauw Thong Hay. Ia memotong sejuwir ujung baju orang tawanan itu, yang mana ia pakai menyumpal kedua kupingnya dia itu. "Biar dia jangan mendapat dengar!" ia menambahkan dengan tertawa.
"Kau teliti, nona!" Koan Eng memuji. Ia pun tersenyum.
Oey Yong dalam tempat persembunyiannya tertawa di dalam hatinya. Pikirnya: "Kau masih bicara tentang teliti! Sudah kami berdua, sukar untuk mengetahuinya, di sana pun ada rebah Auwyang Kongcu, kau masih belum ketahui juga......"
Thia Yauw Kee masih hijau, inilah tidak heran. In Cie Peng biasa mengikuti gurunya tetapi ia dasarnya semberono. Sedang Koan Eng, yang biasa memerintah, kurang waspada. Demikian mereka berbicara, bertindak, tanpa memeriksa dulu tempat di sekitarnya.
Nona Thia mendapatkan kuping Thong Hay telah terpapas, ia tercengang, tetapi hanya sejenak.
"Sekarang kau boleh bicara!" katanya tertawa pada Koan Eng habis ia menyumbat.
Untuk sesaat, agaknya pemuda she Liok itu bersangsi.
"Ah, darimana aku harus mulai?" katanya. "Sekarang aku lagi mencari Kwee susiok. Sebenarnya tidak seharusnya aku pergi mencari tetapi tanpa mencari, tak dapat...."
"Inilah aneh!" berkata Cie Peng.
"Memang. Aku mencari Kwee Susiok bukan untuk urusannya sendiri hanya untuk keenam gurunya."
"Ah, Kanglam Liok Koay?" Cie Peng tanya seraya menepuk meja. "Mungkin kita ada bersamaan tujuan. Sekarang mari kita masing-masing menulis di tanah, lalu minta Thia sumoy yang melihatnya, cocok atau tidak."
Belum lagi Koan Eng menyahuti, sambil tertawa Yauw Kee mendahului: "Bagus! Nah putarlah tubuhmu dan menulislah!"
In Cie Peng dan Liok Koan Eng memegang masing-masing sebatang puntung, sambil belakang-membelakangi, mereka sudah lantas mencoret-coret di tanah.
"Thia Sumoy!" kemudian kata Cie Peng tertawa, "Kau lihat tulisan kita sama atau tidak?"
Yauw Kee melihat coretan mereka itu.
"In Suheng, kau menduga keliru," katanya perlahan. "Tulisan kamu tidak sama."
"Ah!" seru Cie Peng sambil berbangkit.
Yauw Kee tertawa dan menambahkan: "Kau menulis 'Oey Yok Su' dan dia menggambar sebatang bunga tho."
Oey Yong heran.
"Mereka mencari engko Ceng, mengapa toh ada sangkutannya sama ayahku?" ia menduga-duga.
Lalu terdengar suara Koan Eng perlahan: "Apa yang ditulis In Suheng adalah nama dari kakek guruku, dan siauwtee tidak berani menulisnya langsung..."
"Oh, kakek gurumu?" kata Cie Peng terperanjat. "Kalau begitu, pikiran kita sama saja. Bukankah Oey Yok Su itu tocu dari pulau Tho Hoa TO?"
Yauw Kee heran.
"Oh, kiranya begitu!" katanya.
"Karena saudara Liok ada orang kaum Tho Hoa To," berkata In Cie Peng, "Dengan begitu dengan mencari Kanglam Liok Koay, kau tentunya bermaksud tak baik untuk mereka itu..."
"Sebaliknya, suheng..."
Cie Peng tidak puas orang omong sangsi-sangsi.
"Oleh karena saudara Liok tidak mengangap aku sebagai sahabat, sudahlah, tak ada gunanya untuk kita bicara banyak-banyak," katanya. "Ijinkanlah aku meminta diri."
Ia lantas berbangkit dan memutar tubuh, untuk berlalu.
"Tunggu, In Suheng!" mencegah Koan Eng. "Aku hendak menutur sesuatu, aku pun hendak memohon bantuanmu."
Adalah tabiat Cie Peng yang ia paling senang kalau orang meminta apa-apa padanya, dari itu ia lantas menjadi girang.
"Baiklah!" katanya. "Sekarang kau boleh bicara!"
"In Suheng," berkata Koan Eng menerangkan, "Kau adalah orang Coan Cin Pay, maka itu bukankah ada semacam tugas dari kamu umpama kata kau mendengar sesuatu tentang lain orang, kau akan lantas memberitahukan atau mengisikinya supaya orang itu berhati-hati dan berjaga-jaga? Sekarang, andaikata, ada salah seorang dari pihak seatasan kau hendak mencelakai seseorang, dan kau mengetahuinya itu, pantas atau tidak kalau kau mengisiki orang itu untuk lari menyingkirkan diri?"
In Cie Peng seperti dapat menduga maksud orang. Ia menepuk pahanya.
"Aku mengerti sekarang," katanya. "Teranglah di antara kamu pihak Tho Hoa To ada orang yang tengah menghadapi kesulitan. Nah, kau bicaralah!"
"Di dalam perkara ini," berkata Koan Eng. "Jikalau aku memeluk tangan menonton saja, aku jadi berbuat tak selayaknya, sebaliknya, apabila aku mencampurnya tahu, aku jadi menentang kaumku sendiri. Maka itu, In Suheng, walaupun aku ingin memohon bantuanmu, tak dapat aku membuka mulutku..."
Cie Peng mau menduga, akan tetapi karena orang tidak menjelaskannya, ia pun tidak dapat mengambil putusan, maka itu ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia nampaknya likat sendiri.
Yauw Kee memandang kedua orang itu, ia mendapat jalan.
"In Suheng," katanya, "Kau tanyalah Liok Toako. Kalau ia mengangguk, itulah soalnya, kalau ia menggeleng kepalanya, itulah bukannya. Asal Liok Toako tidak mengatakannya sendiri, itu berarti ia tidak melanggar aturan kaumnya."
"Bagus dayamu ini, Thia Sumoy!" kata Cie Peng girang. "Saudara Liok, mari dengar aku bicara dulu tentang urusanku. Guruku yaitu Tiang Cun Cu Khu Cinjin, diluar keinginannya, telah mendapat suatu kabar penting, ialah kabar halnya Tocu Tho Hoa To karena membenci Kanglam Liok Koay, berniat membunuh jago-jago dari Kanglam itu, hendak membinasakan mereka serumah tangga. Karena itu guruku lantas mendahulukan pergi untuk memberi kisikan. Nyatanya Liok Koay tidak ada dirumahnya, mereka telah pergi pesiar. Atas itu guruku lantas menitahkan semua anggota keluarga Liok Koay itu pergi menyingkirkan diri masing-masing. Maka ketika Oey Yok Su sampai ke Kee-hin, ia tidak menemukan seorang juga. Ia menjadi sangat gusar dan mendongkol, tetapi ia cuma dapat menungkuli diri, dengan gondok ia berangkat ke Utara. Setelah itu taklah lagi bagaimana kejadiannya peristiwa. Dan kau, tahukah kau tentang itu?"
Koan Eng mengangguk.
In Cie Peng berdiam sebentar habis itu ia berkata pula: "Turut rasaku dia terus mencari kanglam Liok Koay. Sebenarnya di antara guruku dan Liok Koay ada suatu perselisihan, tetapi perselisihan itu sudah dapat disudahi sedang mengenai urusannya, kesalahan berada di pihak Oey Yok Su maka itu kebetulan Coan Cin Cit Cu berkumpul di Kanglam, mereka lantas memisah diri mencari Liok Koay untuk menasehati mereka untuk berhati-hati menjaga diri, bahkan paling betul mereka menyingkir jauh-jauh, supaya mereka tak dapat dicari kakek gurumu itu. Coba kau pikir, tindakan itu tepat atau tidak?"
Koan Eng mengangguk pula.
Mendengar sampai di situ, Oey Yong berpikir: "Engko Ceng sudah tiba di Tho Hoa To memenuhi janji, kenapa ayah hendak pergi mencari pula Liok Koay?" Ia tidak tahu ayahnya telah kena dijual Leng Tie Siangjin dan mempercayai yang ia telah mati kelelap di laut hingga dia menjadi sangat berduka dan gusar dan karenanya hendak menumpahkan amarahnya kepada Kanglam Liok Koay.
Kembali terdengar suaranya In Cie Peng: "Oleh karena tidak dapat mencari Liok Koay, guruku ingat Kwee Ceng yang menjadi murid Liok Koay itu. Kwee Ceng itu ada orang asal dusun Gu-kee-cun di Lim-an dan dipercaya betul ia telah kembali ke kampung halamannya, dari itu aku dititahkan datang kemari mencari dia di sini. Guruku percaya pastilah Kwee Ceng mengetahui di mana adanya semua gurunya itu. Kau telah datang ke mari, saudara Liok, bukankah itu untuk urusan yang sama?"
Lagi-lagi Koan Eng mengangguk.
"Sekarang telah ternyata Kwee Ceng belum kembali ke kampung halamannya ini," berkata Cie Peng pula, "Meskipun begitu guruku telah melakukan kewajibannya terhadap Liok Koay itu, maka itu walaupun dia tidak dapat mencari mereka itu, itulah disebabkan habis daya. Melihat yang mereka sukar dicari, aku percaya, Oey Yok Su juga tentu tak akan dapat mencari mereka. Nah, saudara Liok, kau hendak memohon bantuanku, bukankah itu urusan mengenai urusan ini juga?"
Untuk kesekian kalinya, Liok Koan Eng kembali mengangguk.
 Â
Bab 50. Menikah!
"Kau hendak menitahkan apa padaku, saudara Liok, silahkan kau mengatakannya," kata Cie Peng. "Di mana yang aku bisa, pasti aku akan memberikan bantuanku padamu."
Atas ini, Liok Koan Eng membungkam.
Yauw Kee tertawa.
"In Suheng, kau lupa," katanya mengingati. "Saudara Liok tak dapat membuka mulutnya!"
Cie Peng sadar, ia pun tertawa.
"Benar!" ujarnya. "Bukankah saudara Liok hendak memohon aku berdiam terus disini untuk menanti sampai pulangnya sahabat Kwee Ceng itu?"
Koan Eng menggeleng kepala.
"Apakah kau menghendaki aku lekas pergi ke segala tempat untuk mencari Kanglam Liok Koay dan sahabat she Kwee itu?" Cie Peng tanya pula.
Kembali Koan Eng menggeleng kepala.
"Ah, aku mengerti sekarang!" kata Cie Peng, "Kau menghendaki aku menyampaikan kabar pada sahabat-sahabat di Kanglam, mereka terkenal, mereka pasti ada punya sahabat-sahabat kekal, yang nantinya akan mengisikinya mereka terlebih jauh. Benarkah begitu?"
Lagi-lagi Koan Eng menggeleng kepalanya.
Cie Peng mengutarakan pula beberapa dugaan akan tetapi Koan Eng tidak membenarkan, Yauw Kee turut dua kali menanya, ia pun dijawab dengan gelengan kepala. Maka itu, Oey Yong yang curi dengar turut menjadi bingung juga.
Sekian lama mereka bertiga berdiam saja.
"Thia Sumoy," akhirnya In Cie Peng berkata, "Perlahan saja kau bicara sama saudara Liok ini, aku tidak dapat main teka-teki terus-terusan, hendak aku keluar sebentar. Lagi satu jam, aku akan kembali."
Habis berkata, benar-benar Cie Peng bertindak keluar. Maka itu di dalam ruangan, kecuali Hauw Thong Hay, tinggal Liok Koan Eng berdua dengan Thia Yauw Kee. Si nona bertunduk, ia berpikir. Ia tetap mendapati Koan Eng berdiam saja, diam-diam ia melirik, justru itu, Koan Eng pun memandang padanya, maka sinar mata mereka jadi saling bentrok. Ia jengah sendirinya, dengan muka merah, ia lekas-lekas melengos, terus ia tunduk, kedua tangannya membuat main runce gagang pedangnya.
Setelah itu Koan Eng berbangkit dengan perlahan, untuk menghampirkan perapian. Di muka dapur itu ada gambarnya malaikat dapur, kepada malaikat itu ia berkata: "Touw Ongya, hambamu mempunyai satu urusan, yang sulit untukku memberitahukannya kepada lain orang, maka itu baiklah hambamu menjelaskannya pada ongya saja, dan hambamu mengharap semoga ongya suka memayunginya."
Mendengar itu girang hatinya Yauw Kee.
"Orang yang pintar!" ia memuji di dalam hatinya. Ia lantas mengangkat kepalanya untuk mendengar terlebih jauh.
"Hambamu she Liok bernama Koan Eng," berkata pula si anak muda. "Hambamu ialah anak dari Chungcu Liok Seng Hong dari dusun Kwie-in-chung di tepi telaga Thay Ouw. Ayahku itu telah mengangkat Tocu Oey Yok Su dari Tho Hoa To sebagai gurunya. Beberapa hari yang lalu guru ayahku itu, ialah kakek guruku datang ke Kwie-in-chung, ia mengatakan ia hendak membinasakan semua keluarga Kanglam Liok Koay, maka itu ia menitahkan ayahku dan supee Bwee Tiauw Hong turut mencari Kanglam Liok Koay. Bwee supee bermusuhan dengan Kanglam Liok Koay, inilah hal yang sangat menggirangkan hatinya. Tidak demikian dengan ayahku, yang mengagumi kemuliaan Kanglam Liok Koay. Ayahku menganggap tidaklah pantas membinasakan orang-orang gagah seperti mereka itu. Karena itu, ayahku menjadi berduka. Ayah berniat menitahkan aku mengisiki Kanglam Liok Koay, untuk Liok Koay menyingkir, tetapi ayah tidak berani berbuat demikian sebab itu berarti mendurhaka kepada kakek guru. Maka juga pada suatu malam ayah menghadapi gambar yang dilukis Sukouw Oey Yong, yang menjadi putrinya kakek guru, untuk mengutarakan kesulitannya itu. Hambamu ini telah mendapat dengar pengutaraan ayahku itu, karenanya hamba segera berangkat mencari Kanglam Liok Koay, guna menyampaikan berita dari ancaman bahaya itu...."
Mendengar itu, Yauw Kee dan Oey Yong kata dalam hatinya: "Dia cerdik juga, dengan kata-katanya ini dia ingin lain orang dapat mendengarnya. Dengan caranya ini, dia menjadi tidak berdurhaka kepada partainya."
Lalu terdengar suara Koan Eng lebih lanjut: "Karena hambamu tidak dapat mencari Kanglam Liok Koay, hambamu lantas berangkat kemari. Hambamu ingat kepada muridnya mereka ialah Kwee Susiok. Siapa tahu, Kwee Susiok pun tak ketahuan dimana adanya, Kwee Susiok itu ialah menantu dari kakek guruku..."
Yauw Kee menaruh hati kepada Kwee Ceng. Ia menaruh hati sendirinya. Maka ia terkesiap juga mendengar bahwa Kwee Ceng menantunya Oey Yok Su. Cuma sebentar perasaannya itu, lantas ia dapat melegakan hati. Bukankah sekarang perhatiannya telah ditumpleki kepada Liok Koan Eng, pemuda di hadapannya ini, yang lebih tampan daripada pemuda she Kwee itu?
Koan Eng masih bicara seorang diri: "Asal hambamu dapat mencari Kwee Susiok, maka ia dapat bersama Oey Sukouw meminta kakek guru membatalkan niatannya itu. Kakek guru boleh keras hatinya tetapi tidak nanti ia dapat menolak permintaan anak mantunya. Hanya, dari suaranya ayahku, mungkin Kwee Susiok dan Oey Sukouw telah menampak suatu bencana... Di dalam hal ini, tidak dapat hambamu menanyakan keterangan ayah."
Mendengar kata-kata ini, Oey Yong tanya dalam hatinya: "Mustahilkah ayah sudah ketahui engko Ceng telah terluka parah? Tidak, tidak nanti ia ketahui itu. Mungkinkah ayah ketahui yang kita terlunta-lunta di pulau kosong...?"
"In Suheng ialah seorang yang sungguh-sungguh hati dan nona Thia cerdas dan lemah-lembut," terdengar suaranya Koan Eng, terlebih lanjut. Mendengar pujian ini Yauw Kee girang berbareng mukanya merah. "Meski demikian, mereka tidak dapat menebak apa yang aku pikir. Sulit adalah Kanglam Liok Koay. Mereka adalah orang-orang gagah yang kenamaan, benar mereka bukan tandingan kakek guru, akan tetapi untuk meminta mereka menyingkir jauh-jauh, itulah rasanya tidak mungkin. Menyingkir bagi mereka berarti merusak nama baik mereka, itu tandanya mereka jeri. Pastilah mereka tidak akan melakukan itu. Bahkan hambamu percaya, kalau mereka mendengar kabar yang mereka lagi dicari, mungkin mereka justru akan berbalik mencari kakek guru!"
Diam-diam Oey Yong memuji Koan Eng, yang tidak kecewa menjadi kepala perampok di Thay Ouw, sebab nyata ia berpandangan jauh.
"Maka sekarang aku memikir lain," Koan Eng masih berkata-kata terus. "Coan Cin Cit Cu gagah dan mulia hatinya, nama mereka kesohor, ilmu silat mereka mahir, jikalau In Suheng dan nona Thia yang memohon bantuan guru mereka, suka mengajukan diri sebagai juru pendamai, mungkin kakek guruku sudi mendengar suara mereka. Tidak mungkin ada permusuhan hebat di antara kakek guru dan Kanglam Liok Koay, dan biarpun Kanglam Liok Koay umpama kata benar bersalah terhadapnya, jikalau ada orang kenamaan yang mendamaikan, hambamu percaya perdamaian bakal didapatkan. Touw Ongya, inilah kesulitan hambamu. Sia-sia belaka hambamu mempunya pikiran ini tetapi tidak dapat ia mengutarakannya kepada lain orang. Dari itu hambamu mohon sudi apakah ongya dapat mengaturnya..."
Yauw Kee tahu pembicaraan orang akan berakhir, maka tidak nanti sampai Koan Eng berhenti bicara, ia sudah memutar tubuhnya bertindak keluar untuk mencari Cie Peng, guna menyampaikannya, hanya baru ia tiba di ambang pintu, kembali ia mendengar lagi suaranya pemuda she Liok ini. Kata dia ini: "Touw Ongya, jikalau Coan Cin Cit Cu suka membantu mendamaikan, sungguh ini suatu perbuatan sangat besar dan bagus, hanya hambamu berharap dengan sangat, kapan nanti Coan Cin Cit Cu bicara sama kakek guru, biarlah mereka tidak menyentuh hingga kakek guru merasa tersinggung. Kalau tidak, satu ombak belum sirap, lain gelombang datang menyusul, itulah artinya celaka. Ongya, sampai disinilah kata-kata hambamu, tidak ada lagi..."
Mendengar itu Yauw Kee tertawa. Di dalam hatinya ia kata: "Kau sudah bicara habis, sekarang akulah yang akan bekerja untukmu!" Ia berjalan keluar untuk mencari In Cie Peng, tetapi telah ia memutari sekitar rumah makan, tidak ia melihat bayangan si kakak seperguruan itu. Terpaksa ia berjalan kembali. Atau tiba-tiba ia mendengar suaranya Cie Peng, perlahan sekali: "Thia Sumoy..."
"Oh, kau di sini!" kata si nona girang.
Cie Peng memberi tanda dengan tangannya agar si nona yang berisik. Ia pun segera menunjuk ke arah Barat, sambil berkata pula, tetap dengan perlahan sekali. "Di sana ada orang, tindakannya sebagai setan. Dia membawa senjata di tubuhnya..."
"Mungkinkah dia orang yang tengah lewat di sini?" kata Yauw Kee, menghampirkan kakak seperguruannya itu. Ia mengatakan demikian karena perhatiannya terpengaruh kata-kata Koan Eng.
In Cie Peng sebaliknya bersikap sungguh-sungguh. Katanya pula: "Di sana ada beberapa orang, lincah tubuh mereka, mestinya mereka lihay."
Orang-orang yang ia lihat itu adalah rombongannya Pheng Lian Houw. Mereka itu menanti Thong Hay, yang lama tak kembali, mereka menjadi menduga kawan itu mendapat kecelakaan, tetapi walaupun demikian, karena mereka sangat mementingkan diri sendiri, mereka tidak berani pergi untuk mencari dan menolongi. Mereka jeri terhadap itu orang yang menyamar hantu di istana, yang sangat lihay....."
In Cie Peng menanti sekian lama, setelah tidak dapat melihat bayangan orang, ia bertindak menghampirkan ke tempat mereka itu tadi. Nyata mereka sudah tidak nampak lagi.
Sampai di situ, Yauw Kee menuturkan ocehannya Koan Eng tadi kepada malaikat dapur.
"Begitu rupanya yang ia pikir, mana dapat orang menerkanya," berkata Cie Peng. "Sekarang begini, sumoy. Pergi kau bicara sama Sun Susiok, aku sendiri akan minta bantuan guruku. Asal Coan Cin Cit Cu suka membantu, di kolong langit ini tak ada urusan yang tak dapat diselesaikan."
"Hanya kita harus waspada agar urusan tidak berubah menjadi keonaran," kata nona Thia itu, yang menyampaikan kata-kata terakhir dari Koan Eng tadi.
"Hm!" kata Cie Peng. "Oey Yok Su itu makhluk macam apa, mustahil dia dapat melebihkan Coan Cin Cit Cu?" Ia tertawa dingin.
Yauw Kee ingin minta orang jangan takabur, tetapi melihat wajah orang muram, ia membatalkan niatnya itu.
Bersama-sama mereka lantas kembali ke rumah makan.
"Aku hendak meminta diri," kata Koan Eng kepada dua orang itu. "Lain hari, kalau kamu lewat di Thay Ouw, harap kamu berdua sudi mampir di Kwie-in-chung untuk singgah buat beberapa hari."
Yauw Kee tercengang. Berat rasanya untuk segera berpisah dengan pemuda itu.
In Cie Peng sendiri memutar tubuh menghadapi malaikat dapur, untuk berkata: "Touw Ongya, Coan Cin Cit Cu paling gemar mendamaikan segala persengketaan. Urusan tak adil bagaimana juga dalam kalangan kangouw, asal murid-murid Coan Cin mengetahuinya, pasti mereka tak nanti berpeluk tangan saja tak mengurusnya!"
Koan Eng mengerti kata-kata itu ditujukan kepadanya, maka ia pun berkata: "Touw Ongya, semoga ongya dapat membereskan urusan ini dengan baik, dan hambamu sangat bersyukur kepada sekalian budiman untuk kebaikannya sudi mengeluarkan tenaganya."
In Cie Peng pun berkata pula. "Touw Ongya, silahkan legakan hati. Coan Cin Cit Cu tersohor di kolong langit ini, asal mereka suka turun tangan, tidak ada urusan yang tidak dapat diselesaikan."
Koan Eng melengak. Di dalam hatinya ia kata: "Kalau Coan Cin Cit Cu memaksakan perdamainan, mana kakek guruku puas?" Maka lekas-lekas ia berkata pula: "Touw Ongya, ongya mengetahui sendiri kakek guru biasa bawa maunya sendirinya, dia tidak suka memperdulikan orang lain, kalau lain orang sudi bersahabat dengannya, dia suka mendengarnya, tetapi bila orang bicara dari hal kepantasan, itulah yang ia paling sebal."
Cie Peng lantas mengasih dengar pula suaranya: "Haha, Touw Ongya! Coan Cin Cit Cu mana pernah jerih terhadap lain orang? Urusan ini memang tidak ada sangkutannya sama pihak kami, guruku pun cuma menyuruh aku mengasih kabar saja kepada orang lain, tetapi kalau orang berani main gila terhadap Coan Cin Cit Cu, hm, biar dia Oey Yok Su atau Hek Yok Su, nanti Coan Cin Kauw memperlihatkan dia apa yang bagus!"
Kata-kata Oey Yok Su dan Hek Yok Su itu berarti ejekan, karena disini "Oey" itu bukan diartikan she, hanya "oey - kuning" dan "hek - hitam"
Mendengar itu, Liok Koan Eng menjadi tidak senang. Maka ia pun lantas berkata: "Touw Ongya, apa yang barusan hambamu telah mengatakannya, harap dipandang saja sebagai kata-kata ngelindur. Umpama kata ada orang tak melihat mata kepada kami, pasti kami tak sudi menerimanya!"
Mereka itu masing-masing bicara kepada malaikat dapur, diluar dugaan, kata-kata mereka menjadikan bentrokan satu pada lain. Yauw Kee menjadi serba salah, mau ia datang sama tengah tetapi mereka itu sama-sama muda dan darahnya panas.
Begitulah In Cie Peng telah berkata pula: "Touw Ongya, ilmu silat Coan Cin Pay adalah ilmu silat sejati di kolong langit ini, ilmunya orang lain kaum yang sesat, biar bagaimana luar biasa juga, tidak nanti dapat dibandingkannya!"
"Touw Ongya," berkata Koan Eng, "Hambamu juga telah lama mendengar tentang ilmu silat Coan Cin Pay itu, bahwa banyak orangnya yang lihay, akan tetapi di antaranya tak mustahil tak ada si tukang ngobrol belaka!"
Bukan main gusarnya Cie Peng, tangannya segera menyampok. Maka gempurlah sebelah kepalanya patung malaikat dapur itu. Dia berseru: "Binatang yang baik, kau berani mendamprat orang?!"
Koan Eng pun menyampok membikin gempur sebelah yang lain dari kepala malaikat dapur itu, sambil ia berseru: "Mana aku berani mendamprat kau? Aku hanya mencaci manusia tak tahu diri, yang tak melihat orang!"
In Cie Peng telah menyaksikan kepandaian orang, ia berada di sebelah atas, ia menjadi tidak takut, maka ia tertawa dingin dan berkata: "Baiklah, mari kita main-main, untuk melihat siapa sebenarnya yang tidak memandang orang!"
Koan Eng menginsyafi bahwa ia kalah kosen tetapi ia tidak senang yang pihaknya dipandang enteng, ia menjadi tengah menunggang harimau hingga tak dapat turun, maka dengan tangan kanan menghunus golok, dengan tangan kirinya ia memberi hormat. Ia berkata: "Baiklah, siauwtee suka sekali menerima jurus-jurus yang lihay dari Coan Cin Pay!"
Yauw Kee bertambah bingung. Beberapa kali ia hendak mencegah, saban-saban ia batal sendirinya, hingga cuma air matanya yang berlinang-linang. Ia tidak mempunyai keberanian untuk maju di tengah antara mereka itu.
Cie Peng sudah lantas mengebut hudtimnya, ia bertindak maju. Mereka berdua sudah lantas bertempur.
Koan Eng tidak mengharapi kemenangan, ia lebih mengutamakan pembelaan diri. Ia mainkan sungguh-sungguh ilmu golok warisan Kouw Bok Taysu, ilmu golok Lo Han Too-hoat.
In Cie Peng memandnag enteng kepada lawannya, ia lancang maju, maka kagetlah ia ketika hampir saja lengan kirinya kena terbacok. Karena ini barulah ia berkaku waspada, kemudian barulah ia menang di angin.
Oey Yong dari tempat sembunyinya mendengar dan menyaksikan itu semua. Ia terus menonton. Ia mendongkol juga kepada In Cie Peng, yang berani mengatai ayahnya yang dikatakan berilmu sesat.
"Kalau bukan engko Ceng lagi sakit, akan aku kasih rasa padanya!" katanya dalam hati. Tiba-tiba saja, ia menjerit, "Ah, celaka!"
Koan Eng membacok begitu hebat hingga ia kehilangan sasarannya. Golok itu terpancing hudtim Cie Peng, setelah mana orang she In ini membalas menotok, dengan jitu, hingga golok lawan terlepas dan jatuh, setelah mana dia mengebut terus ke muka orang seraya berkata jumawa: "Ingat baik-baik, inilah jurus lihay dari Coan Cin Pay!"
Diantara bulu hudtim itu ada tercampur kawat halus, kalau muka Koan Eng kena terkebut, pasti wajahnya yang tampan bakal penuh baret dan berlumuran darah.
Koan Eng melihat bahaya, ia berkelit sambil tunduk.
Cie tak mau sudah, ia menyusul dengan kebutannya itu.
"In Suko!" Yauw Kee berseru. Kali ini si nona berlompat maju seraya menangkis dengan pisaunya.
Ketika ini dipakai oleh Koan Eng untuk memungut goloknya.
"Bagus!" berseru Cie Peng, tertawa dingin. "Kau telah membantu orang luar, Thia Sumoy! Nah, kamu berdua, majulah bersama!"
"Apa katamu!" menegur Yauw Kee murka.
Cie Peng tidak menyahuti, ia hanya menyerang beruntun tiga kali, membuatnya si nona repot menangkis.
Koan Eng mendongkol, ia maju pula. Dengan begitu Cie Peng benar-benar dikerubuti berdua. Tapi Yauw Kee tidak mau bertempur dengan kakak seperguruannya itu, ia lantas lompat mundur.
"Mari maju!" Cie Peng menantang adik seperguruannya itu. "Dia sendiri tidak dapat melawan aku. Dengan kau maju, tak usahlah sebentar kau membantui padanya!"
Oey Yong merasa lucu menyaksikan tiga orang itu, dari kawan, menjadi lawan, malah mereka jadi bertempur. Ia memikir, bagaimana urusan mereka itu dapat diselesaikan. Justru itu ia mendengar satu suara di pintu dari terbukanya daun pintu, setelah mana terlihatlah masuknya rombongan Pheng Lian Houw yang mengiringi Wanyen Lieh dan Yo Kang.
Mereka ini menanti sekian lama tanpa mendengar sesuatu, See Thong Thian jadi berkhawatir untuk saudara seperguruannya, dengan membesarkan nyali, ia masuk untuk membuat penyelidikan, diwaktu mengintai, ia melihat Cie Peng tengah bertempur sama Koan Eng. Seorang diri ia tidak berani lancang masuk, maka ia kembali untuk mengajak kawan-kawannya. Demikian mereka masuk dengan tiba-tiba.
In Cie Peng dan Koan Eng melihat datangnya banyak orang itu dengan sendirinya, mereka berhenti berkelahi, dengan lantas keduanya berlompat mundur. Belum sempat mereka menjauhkan diri, sebat luar biasa, See tHong Thian menubruk mereka, akan menyambar masing-masing tangan mereka itu, Sedang Pheng Lian Houw dengan cepat pergi menolongi Hauw Thony Hay dengan melepaskan belenggunya dan membebaskan totokannya.
Thong Hay susah bernapas, maka itu, tanpa menanti mengeluarkan sumbatannya itu, sambil mencoba berseru, ia menyerang Yauw Kee, tangannya menyerbu ke muka si nona.
Nona Thia melihat serangan, ia dapat berkelit mendak.
Thong Hay mendongkol bukan main, mukanya merah. Kembali ia maju, kali ini dengan dua kepalan berbareng.
"Tahan!" Pheng Lian Houw berseru. "Mari kita menanya dulu!"
Thong Hay tidak dapat mendengar cegahan itu, karena kedua kupingnya pun disumpal.
Koan Eng dicekal keras oleh Thong Thian, separuh tubuhnya sampai tak bisa digeraki, akan tetapi menampak Thong Hay menyerang Yauw Kee seperti kesetanan, entah darimana datangnya, ia berontak hingga terlepas, terus ia lompat kepada si orang she Hauw. Akan tetapi Lian Houw awas dan sebat, kakinya melayang, karena mana, pemuda itu roboh terbanting, hingga batang lehernya kena dicekuk.
"Kau siapa?!" Lian Houw membentak. "Kemana perginya itu manusia yang menyaru jadi hantu?!"
Baru Lian Houw menutup mulutnya, atau mana daun pintu terdengar bersuara, terbuka dengan perlahan. Semua orang menoleh dengan lantas, akan tetapi mereka tak melihat orang masuk. Tanpa merasa, hati mereka ciut sendirinya. Hanya sejenak, di ambang pintu tertampak seorang wanita muda dengan rambut kusut awut-awutan, mulanya kepalanya yang nongol.
Nio Cu Ong bersama Leng Tie Siangjin lompat mencelat.
"Celaka, iblis wanita!" mereka berseru, kaget.
Tapi Pheng Lian Houw bermata jeli, ia melihatnya orang bukan setan.
"Masuk!" ia memanggil.
Sa Kouw, demikian wanita itu, bertindak masuk sambil tertawa haha-hihi.
"Oh, begini banyak orang!" katanya seraya mengulur lidahnya.
Nio Cu Ong yang menjeritkan iblis, menjadi gusar sekali.
"Kau siapa?!" ia membentak sambil lompat maju, tangannya menyambar lengan orang. Ia menganggap orang adalah gadis desa yang tolol. Tapi ia ketemu batunya!
Sa Kouw tidak sudi tangannya dicekuk, ia kelit seraya berbalik membalas menyerang, maka "plok!" tangannya Cu Ong kena dihajar keras, hingga ia merasakan sakit. Tentu sekali, dia jadi gusar sekali.
"Ha, kau berlagak tolol!" ia berseru. Dia maju dengan dua tinjunya berbareng.
"Hahahaha!" mendadak si tolol tertawa seraya menuding kepala orang yang gundul licin.
Semua orang heran mendengar tertawa itu, Cu Ong tidak menjadi terkecuali, tapi mereka melengak tidak lama, atau si orang she Nio sudah mengirim satu tinjunya - tinju yang kanan.
Sa Kouw menangkis, ia berhasil, akan tetapi tubuhnya terhuyung. Mengertilah ia yang ia bukan tandingannya lawan itu, maka tak ayal lagi, ia memutar tubuhnya untuk lari pergi.
Cu Ong berlaku sebat, dengan satu loncatan ia sudah menghadang di depan si tolol itu, sikutnya dikerjakan, maka hidung si nona menjadi sasaran, hingga ia kesakitan, dan matanya kabur. Lantas ia berteriak-teriak: "Adik yang makan semangka, lekas kau kelluar menolongi aku! Ada orang memukul aku!"
Oey Yong terkejut.
"Jikalau anak tolol ini tidak dibinasakan, dia bakal menjadi bahaya untuk kami," pikirnya. Tapi belum lagi ia mengambil keputusan atau tindakan, mendadak ia mendengar satu suara "Hm!" perlahan, yang ia kenali dengan baik sekali.
"Ah, ayah datang!" katanya dalam hatinya, sedang hatinya berdebaran. Ia segera mengintai pula.
Benar-benar oey Yok Su muncul di situ dengan jubahnya yang panjang dan hijau warnanya, mukanya ditutup dengan topeng kulit manusia. Dia berdiri di ambang pintu!
Tidak ada orang yang mengetahui kapan tibanya ini orang baru, tidak ada yang melihat datangnya, tidak ada yang mendengarnya, hingga mungkin ia baru tiba, mungkin juga ia masuk lebih dulu ke dalam situ. Dia berdiri tak bergerak. Benar mukanya tidak bercaling atau bengis, tetapi kulitnya bukan kulit orang hidup, hanya kulit mayat, maka siapa yang memandangnya, lekas-lekas ia melengos, tidak berani ia mengawasi terus.
"Nona, kau siapa?" Oey Yok Su kemudian menanya. Ia heran melihat gerak-gerik si nona, ia tahu orang bersilat dengan ilmu silatnya sendiri. "Siapa gurumu? Mana gurumu?"
Sa Kouw menggeleng kepala. Ketika ia mengawasi mukanya Oey Yok Su, ia menjublak. Tapi cuma sebentar, lantas ia tertawa berkakakan dan menepuk-nepuk tangan.
Oey Yok Su mengerutkan keningnya, ia berpikir sejenak, lantas ia mengambil putusan nona ini pasti ada cucu muridnya, hanya entah dari muridnya yang mana. Ia memang paling sayang sama muridnya, tidak sudi ia orang menghinakan muridnya itu. Buktinya Bwee Tiauw Hong, muridnya yang murtad tetapi tempo murid itu dikalahkan oleh Kwee Ceng masih ia hendak melindungi. Apa pula Sa Kouw nona yang tolol dan polos ini.
"Eh, anak!" tegurnya. "Orang telah serang kau, mengapa kau tidak membalas menghajarnya?"
Ketika baru-baru ini Oey Yok Su pergi naik ke perahu mencari putrinya, ia tidak mengenakan topeng, tetapi kali ini lain, orang tidak segera mengenalinya, kali ini setelah ia membuka mulutnya, lantaslah Wanyen Lieh bertiga Yo Kang dan Pheng Lian Houw lantas menjadi ciut nyalinya. Bahkan ia menduga-duga, jangan-jangan adalah Oey Yok Su yang menyamar jadi hantu di dalam istana. Maka ia lantas memikir untuk tidak bertempur, hanya mencari ketika untuk mengulur langkah seribu. Untuk ia, jiwanya paling penting, nama wangi dan malu adalah urusan lain...
"Aku tidak dapat menghajar dia," Sa Kouw menjawab.
"Siapa bilang kau tidak dapat menghajar dia?!" bentak Oey Yok Su. "Kau hajar cecongornya seperti tadi ia memukul hidungmu! Dia memukul kau satu kali, kau membalas dia tiga kali lipat ganda!"
Sa Kouw tertawa.
"Bagus!" katanya. Dan ia menghampirkan Nio Cu Ong, tanpa memikir pula ia bukan tandingan jago itu. Ia kata, "Kau memukul hidungku satu kali, akan aku hajar hidungmu tiga kali!"
Dan ia mengangkat kepalannya, meninju hidung orang!
Nio Cu Ong tidak sudi mandah dihajar, ia angkat tangannya, untuk menangkis, atau tiba-tiba ia merasakan jalan darah kiok-tie-hiat di lengannya menjadi mati sendirinya, hingga ia tak sanggup sekalipun untuk melonjorkan lengannya itu. Maka itu, "Buk!" kenalah hidungnya dihajar si nona tolol itu, hingga ia kaget bahna sakitnya.
"Yang kedua!" berseru sa kouw tanpa mengasih hati.
Nio Cu Ong memasang kuda-kudanya, tangan kirinya digeraki. Ia hendak menggunai tipu silat Kim-na-hoat, Menangkap untuk membikin lengan orang terlepas dari sambungannya. Tidak sudi ia terus-terusan kena dihajar. Hanya, belum lagi tangannya itu bentrok tangan si nona, ia merasakan jalan darahnya pek-jie-hoat lemas sendirinya, hingga habislah tenaganya, Dilain pihak, "Buk!" kembali hidungnya kena dihajar untuk kedua kalinya, bahkan kali ini hajarannya jauh lebih hebat, sampai tubuhnya melengak ke belakang.
Selagi Nio Cu Ong kaget dan kesakitan dan heran, semua hadirin lainnya tak kurang herannya, kecuali Pheng Lian Houw seorang ahli senjata rahasia. Ia mendengarnya, setiap kali Nio Cu Ong menggeraki tangan, untuk menangkis atau membalas, saban-saban ada suara halus berkesiar, maka itu ia menduga, tentulah Oey Yok Su sudah menggunakan semacam senjata rahasia, mungkin sebangsa jarum, ia hanya tak dapat melihatnya, tak tahu kapannya senjata rahasia itu dipakai menyerang. Tentu sekali ia tidak tahu Oey Yok Su sudah melepaskan jarum rahasia dari dalam tangan bajunya, jarum mana dapat menembusi tangan baju itu, untuk meleset kepada sasarannya. Siapa dapat berkelit dari serangan semcam itu?"
"Yang ketiga!" terdengar suara pula Sa Kouw, nyaring.
Nio Cu Ong terkejut. Oleh karena tangannya tidak sudi mendengar kata, sedang ia tidak ingin merasakan pula bogem netah, lekas-lekas ia bertindak mundur, untuk menghindarkan diri. Tapi, baru ia mengangkat kakinya itu, kaki kanan atau betisnya, bagian jalan darah pek-hay-hiat, mati sendirinya. Ia kaget tak terkira. Itu artinya ia tak dapat berkelit. Ia menjadi sangat menyesal, maka tiba-tiba saja matanya menjadi merah, air matanya mengembang, untuk meluncur keluar. Kalau sampai ia menangis, habis sudah nama besarnya, maka ia hendak menyusutnya. Celaka untuknya, tidak dapat ia mengangkat tangannya. Dari itu, akhirnya bercucuranlah air matanya itu!
Sa Kouw tolol akan tetapi hatinya pemurah dan lemah, kapan ia melihat orang menangis, batal ia meninju, bahkan ia berkata nyaring. "Sudah, jangan kau menangis! Tidak, aku tidak akan menghajar pula padamu..."
Hiburan ini tapinya begitu hebat daripada tinjuan yang ketiga itu. Nio Cu Ong menjadi terasa terlebih terhina pula. Begitu hebat mendongkolnya, mendadak ia muntahkan darah hidup! Tapi ia segera mengangkat kepalanya, memandang Oey Yok Su.
"Tuan siapakah kau?" ia menanya. "Secara gelap kau melukai orang, apakah itu perbuatan satu enghiong, seorang gagah?"
Oey Yok Su tertawa dingin.
"Tepatkah orang semacam kau menanyakan namaku?" katanya dengan dingin mengejek, lalu dengan suara nyaring, ia memerintah: "Semua kamu menggelinding pergi dari sini!"
Semua orang itu menjadi kaget berbareng lega hati. Mereka telah menyaksikan segala apa, walaupun mereka gagah, hati mereka toh ciut, jeri mereka terhadap orang lihay tak dikenal ini. Untuk menyerang, mereka tak berani, untuk mengangkat kaki mereka malu, dari itu mereka diam saja, sampai tiba-tiba datang seruan orang.
Pheng Lian Houw si licik adalah yang bergerak paling dulu, hendak ia berlalu. Baru dua tindak ia berjalan, atau mendadak orang menghadang di depan pintu! Terpaksa ia menghentikan langkahnya, berdiri menjublak si situ.
"Setan alas!" berseru Oey Yok Su. "Telah aku melepaskan kamu, untuk kamu pergi, kenapa kamu berdiam saja? Apakah kamu ingin aku membunuh mampus pada kamu semua?!"
Pheng Lian Houw ketakutan, ia mengerti bahaya.
"Locianpwee ini menitahkan kita pergi, marilah kita keluar!" ia mengajak kawan-kawannya. Tidak berani ia ngeloyor sendirian.
See Thong Thian panas hatinya. Ia menyingkirkan sumbatan kepada mulutnya.
"Minggir untukku!" ia berseru mendongkol. Ia pun maju ke depan Oey Yok Su, matanya bersinar merah saking gusarnya.
Oey Yok Su tidak mengambil mumat suara orang yang bengis itu. Bahkan dengan tawar ia berkata: "Tidak dapat kau meminta aku membuka jalan! Siapa yang menyayangi jiwanya, lekas ia molos dari selangkanganku!"
Thong Thian semua saling mengawasi, muka mereka merah saking mendongkol. Saking gusar, mereka menjadi nekat. Mereka pun berpikir, "Walaupun kau sangat lihay, dapatkah kau melawan kami?"
Maka itu Hauw Thong Hay sudah lantas berseru sambil berlompat maju, menubruk itu perintang jalan yang jumawa.
"Hm!" terdengar suaranya Oey Yok Su, yang tahu-tahu tangannya sudah mencekuk si orang she Hauw itu, tubuh siapa diangkat tinggi-tinggi, terus dengan mendadak, tangannya menyambar lengan kiri Thong Thay, untuk ditarik, menyusul mana, orang galak ini menjerit keras, sebab sebelah tangannya itu kena dipatahkan. Habis itu, tubuh korban ini lantas dilemparkan, dia sendirinya terus dongak memandang langit, sikapnya acuh tak acuh.....
Thong Hay roboh setengah mati, sakitnya bukan main. Tangannya yang patah itu mengucurkan darah tak hentinya.
Semua orang kaget, hati mereka ciut.
Kemudian Oey Yok Su menggeraki kepalanya, dengan matanya perlahan-lahan ia menyapu muka semua orang.
See Thong Thian dan Pheng Lian Houw semua, semua sebangsa iblis, merasakan tubuh mereka menggigil sendirinya. Bukan main kerennya sinar mata orang ini! Bulu roma mereka pada bangun ssendiri.
"Kamu mau molos atau tidak?" tanya Oey Yok Su bengis karena orang pada tetap diam saja.
Tidak ada seorang juga yang berani banyak mulut, tidak ada yang berani menerjang atau membangkang, bahkan Pheng Lian Houw, dengan kepala tunduk, sudah lantas molos mendahului yang lain-lain!
See Thong Thian melepaskan In Cie Peng dan Liok Koan Eng, dengan menolong adik seperguruannya, ia molos menyusul Pheng Lian Houw, diturut oleh Wanyen Lieh bersama Yo Kang. Yang paling belakang molos adalah Nio Cu Ong bersama Leng Tie Siangjin. Sekeluarnya dari pintu rumah makan, mereka melekaskan tindakan mereka, bahkan tidak berani mereka menoleh ke belakang.
Oey Yok Su tertawa sambil melengak.
"Koan Eng dan kau nona, diam kamu!" ia berkata.
Koan segera mengenali kakek gurunya itu, akan tetapi akan orang mengenakan topeng dan menduga kakek guru ini sengaja tidak hendak memperlihatkan diri, ia tidak berani memanggil, ia cuma bertekuk lutut mengasih hormat dengan mengangguk empat kali.
Menyaksikan orang demikian lihay, In Cie Peng menduga orang ini bukan sembarang orang, ia lantas memberikan hormatnya seraya memperkenalkan diri sambil menyebut nama gurunya, Tiang Cun Cu dari Coan Cin Kauw.
"Semua orang telah mengangkat kaki!" berkata Oey Yok Su nyaring. "Aku pun tidak menahan kau, perlu apa kau masih berdiam di sini? Apakah kau sudah bosan hidup?"
Cie Peng melengak. Inilah perlakuan yang ia tidak menyangkanya.
"Teecu ialah muridnya Coan Cin Kauw, bukannya orang jahat," ia memberi keterangan.
"Habis kalau Coan Cin Kauw, bagaimana?!" tanya Oey Yok Su sambil tangannya diulur ke meja di mana ada sepotong kayu, yang mana ia ayunkan ke arah Cie Peng.
Nampaknya enteng potongan kayu itu dan melayang. In Cie Peng mengangkat kebutannya untuk menangkis. Akan tetapi, ketika keduanya bentrok, muridnya Khu Cie Kee ini terkejut. Ia merasakan serangan yang keras luar biasa, kebutannya itu kena tertolak sampai ujungnya mengenai mulutnya hingga ia merasakan sakit sekali dan mulutnya itu seperti tambah entah barang apa. Ketika ia telah memuntahkannya, nyatalah ada beberapa buah giginya yang copot serentak. Ia menjadi kaget dan bungkam. Sungguh hebat!
"Akulah Oey Yok Su atau Hek Yok Su!" kata Tong Shia dingin. "Kamu kaum Coan Cin Kauw, kamu hendak memandang bagaimana kepadaku?"
Mendengar itu, In Cie Peng kaget bukan main, hatinya berdebaran.
Yauw Kee semenjak tadi diam saja menyaksikan tingkah pola orang, turut terkejut, hatinya kebat-kebit.
Koan Eng turut berkhawatir, di dalam hatinya ia kata, "Tentulah kakek guruku ini dengar pembicaraanku dengan ini tosu muda. Kalau dia pun mendengar kata-kataku kepada malaikat dapur barusan, entah dia bakal menghukum bagaimana kepadaku..."
In Cie Peng memegang pipinya.
"Kaulah pemimpin suatu partai persilatan, mengapa perbuatanmu begini cupat?" kemudian Cie Peng menegur si Sesat dari Timur itu. "Kanglam Liok Koay adalah orang-orang gagah yang berhati mulia, mengapa kau mendesak mereka demikian rupa? Mengapakah? Jikalau bukan guruku yang memberikan kabar, bukankah mereka semua bakal bercelaka di tanganmu?"
Oey Yok Su menjadi gusar.
"Pantas tak ketemu aku cari mereka di mana-mana, kiranya ada orang bangsa campuran yang mengadu biru di antara kita!" katanya nyaring.
Cie Peng menjadi berani, ia berjingkrak.
"Jikalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah!" ia menantang. "Aku tidak takut!"
Oey Yok Su tertawa dingin.
"Bukankah kau telah mencaci aku dibelakangku?" katanya.
Imam muda itu menjadi nekat.
"Di depanmu pun aku berani mencaci kau!" katanya sengit. "Kaulah si setan alas, si siluman!"
Koan Eng berkecil hati mendengar keberanian Cie Peng itu. Semenjak ia menjadi jago, Oey Yok Su ditakuti semua orang, dari kalangan Hitam dan Putih, tidak pernah ada orang yang berani berlaku kurang ajar terhadapnya, maka Cie Peng ini adalah orang yang pertama.
"Hebat! Ini imam cilik bakal tak ketolongan jiwanya..." ia mengeluh.
Tetapi anehnya, bukannya marah, Oey Yok Su justru tertawa. Nyata si Sesat dari Timur ini menghargai dan menyayangi hati besar bocah ini. Ia ingat pada masa mudanya, yang juga tidak kenal takut.
"Jikalau kau berani, kau makilah pula padaku!" katanya bengis sambil ia bertindak menghampirkan.
"Aku tidak takut, hendak aku memaki pula padamu!" jawab Cie Peng. "Kau iblis, kau siluman!"
"Hai, binatang bernyali besar, kau berani menghina kakek guruku!" membentak Koan Eng, yang lantas membacok. Tapi ia bukan hendak mencelakai, sebaliknya, untuk melindungi. Karena ia mengerti baik sekali, kalau kakek gurunya yang turun tangan, celakalah imam muda ini. Ia pikir, bacokannya sendiri, ke arah alis, tidak meminta jiwa orang. Ia harap perbuatannya ini nanti merendahkan kegusarannya kakek guru itu.
Cie Peng berkelit yang berlompat mundur dua tindak. Ia mendelik, kembali ia pentang mulutnya lebar-lebar.
"Imam kamu yang muda ini hari ini dia tak menghendaki hidup lebih lama pula!" katanya nyaring dan sengit, "Hendak aku mencaci kau!"
Koan Eng hendak membacok orang roboh, untuk menolongi jiwanya, maka tanpa membilang suatu apa, ia menyerang pula.
"Traang!" demikian satu suara nyaring. Sebab yauw Kee menalangi Cie Peng menangkis. Nona ini pun segera berkata nyaring: "Aku pun orang Coan Cin Kauw! Jikalau kau hendak membunuhnya, nah bunuhlah kami berdua saudara seperguruan!"
Perbuatan nona Thia ini membuatnya Cie Peng terkejut dan kagum.
"Bagus, Thia Sumoy!" serunya.
Berdua mereka berdiri berendang, mata mereka memandang tajam kepada Oey Yok Su.
Sikap mereka ini membuatnya Koan Eng menghentikan sepak terjangnya.
Oey Yok Su mengawasi sepasang muda-mudi ini, ia tertawa terbahak.
"Bagus, kamu bersemangat!" katanya memuji. "Memang aku Oey Lao Shia, aku ada dari bangsa sesat, maka tepatlah kau memaki aku! Gurumu masih terhitung orang di bawahan tingkat derajatku, dari itu, mana bisa aku melayani kamu bangsa sebawahanku? Nah, kau pergilah!"
Sambil berkata begitu, Oey Yok Su mengulurkan sebelah tangannya menjambak dada si imam muda, terus tangannya itu dikibaskan.
Cie Peng kena terjambak tanpa ia berdaya dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang, terlempar ke luar. Ia kaget bukan main. Ia percaya bahwa ia bakal jatuh terbanting keras. Kesudahannya ada diluar dugaannya. Ia jatuh dengan berdiri dengan kedua kakinya, ia seperti juga dipegangi Oey Yok Su dan dikasih turun dengan perlahan-lahan!
Muridnya Tiang Cun Cu ini berdiri menjublak.
"Sungguh berbahaya.." katanya dalam hatinya. Sekarang ini biar nyalinya lebih besar pula, tidak nanti ia berani mencaci pula si Sesat dari Timur itu, kepandaian siapa benar-benar luar biasa. Kemudian dengan pegangi pipinya yang bengkak-bengkak, ia memutar tubuhnya untuk ngeloyor pergi...
Yauw Kee memasuki pedangnya ke dalam sarungnya, ia pun membalik tubuhnya untuk berlalu.
"Perlahan dulu!" mencegah Oey Yok Su seraya ia mengangkat tangannya ke mukanya, untuk menyingkirkan topengnya. "Bukankah kau suka menikah dengannya untuk menjadi istrinya? Benarkah?" Ia menanya seraya menunjuk ke Koan Eng.
Kaget nona Thia. Inilah ia tak sangka. Dengan sendirinya mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah menjadi bersemu merah dadu...
"Imam cilik yang menjadi kakak seperguruanmu itu, memang tetap caciannya padaku," berkata pula Oey Yok Su. "Bukankah ia mengatakan aku iblis dan siluman? Memang tocu dari Tho Hoa To, Tong Shia Oey Yok Su, siapakah orang kangouw yang tidak mengetahuinya? Seumurnya aku Oey Lao Shia, yang aku paling jemukan ialah segala hal wales asih dan pribadi, segala peradatan dan aturan, dan yang paling aku bencikan yakni segala nabi atau rasul, segala kehormatan atau kesucian diri! Semua itu adalah daya belaka untuk memperdayakan suami-istri tolol, dan manusia di kolong langit ini, turun menurun telah dibelesaki ke dalam situ tanpa mereka sadari! Tidakkah itu sangat menyedihkan, sangat harus dikasihani dan lucu juga? Oey Yok Su tidak percaya semua itu! Orang mengatakan Oey Yok Su sesat! Hm! Sebenarnya hatiku ada terlebih baik daripada segala nabi yang dipuja di dalam kuil!"
Yauw Kee berdiam, tapi hatinya berdenyutan. Hebat kata-katanya Oey Yok Su ini. Ia tidak tahu, apa yang si sesat ini hendak perbuat atas dirinya....
"Kau omonglah terus terang kepadaku," berkata pula Oey Yok Su, "Benar bukan kau hendak menikah sama cucu muridku ini? aku paling sukai bocah yang bersemangat dan polos dan jujur! kau lihat imam cilik tadi, ia mencaci aku dibelakangku. Coba di depanku dia takut mencaci lebih jauh, coba dia justru bertekuk lutut memohon ampun, kau lihat, aku bunuh padanya atau tidak! Hm! Di saat yang sangat berbahaya kau membantu imam cilik itu, kau bersemangat, maka itu tepatlah kau dipasangi sama cucu muridku ini! Nah, kau jawablah!"
Yauw Kee girang bukan kepalang. Memang sangat ingin ia menikah sama Koan Eng. Akan tetapi cara bagaimana ia dapat membuka mulut dalam urusan yang mesti direcoki orang tua mereka? Kepada ayah ibunya sendiri ia malu untuk menjelaskannya, apa pula kepada orang asing ini, yang ia baru pertama kali menemuinya? Pula di situ Koan Eng ada beserta! Maka ia tetap berdiri diam, wajahnya tetap merah dadu...
Oey Yok Su mengawasi Liok Koan Eng. Juga pemuda itu, cucu muridnya, berdiam sambil tunduk. Tiba-tiba ia ingat pada putrinya. Maka ia menghela napas.
"Jikalau dihendaki kamu berdua, suka aku merecoki jodoh kamu," katanya perlahan. "Memang di dalam hal perjodohan, orang tua juga tidak dapat memaksanya...."
Si Sesat dari Timur ini ingat kejadian kepada putrinya. Coba ia meluluskan anak darahnya itu menikah dengan Kwee Ceng, tidak nanti anak itu mati mengenaskan di dasar laut. Karena ini, ia menjadi uring-uringan.
"Koan Eng!" katanya tiba-tiba nyaring. "Kau jawablah terus terang, sebenarnya kau menghendaki atau tidak dia ini menjadi istrimu?!"
Pemuda she Liok itu kaget hingga ia mencelat.
"Cauwsuya," sahutnya cepat, gugup, "Aku hanya khawatir aku tidak setimpal dengan ini..."
"Tepat, cocok!" berseru Oey Yok Su. "Kaulah cuci muridku, sekalipun putri raja, tentu dia tepat, dia setimpal denganmu!"
"Ya, cucu muridmu suka," Koan Eng menjawab dengan cepat. Ia mengerti kalau ia tidak omong polos dan terus terang, ia bisa celaka di tangan kakek guru yang tabiatnya aneh ini.
Kalau tadi ia beroman beringis, sekarang Oey Yok Su tersenyum.
"Bagus!" serunya. "Sekarang kau, nona?" ia terus tanya nona Thia.
Bukan main girangnya yauw Kee, manis ia mendengar suaranya Koan Eng. Akan tetapi ia masih menunduki kepala.
"Tentang hal ini haruslah ayahku yang memutuskannya..." sahutnya sesaat kemudian.
"Ha, apakah itu segala titah orang tua, segala perkataan comblang?" kata Oey Yok Su keras. "Segala itu ialah angin busuknya anjing! Sekarang ini akulah yang hendak mengambil keputusan! Jikalau ayahmu tidak mupakat, suruh dia berurusan denganku!"
Yauw Kee berdiam.
"Kalau begitu, terang kau tidak suka!" berkata Oey Yok Su. "Kau ada merdeka! Kita harus omong terus terang, aku Oey Lao Shia, aku larang orang menyesal kemudian!"
Yauw Kee tersenyum.
"Ayahku cuma pandai berhitung dan menulis, dia tidak mengerti ilmu silat," katanya, menjelaskan.
Oey Yok Su heran, melengak.
"Biarlah mengadu menghitung dan menulis pun boleh!" katanya kemudian. "Lekas kau bilang, kau suka atau tidak menikah dengan cucu muridku ini?"
Nona Thia melirik Koan Eng, roman siapa gelisah. Di dalam hatinya ia kata: "Ayahku paling sayang padaku, asal kau minta orang datang melamar aku, dia tentu akan menerimanya. Kenapa kau begini bergelisah?"
Oey Yok Su mengawasi cucu muridnya.
"Koan Eng, mari turut aku mencari Kanglam Liok Koay!" katanya nyaring. "Lain kali kalau kau dan nona ini bicara pula, sepatah kata saja, akan aku kuntungi lidah kamu!"
Koan Eng kaget bukan main. Ia tahu benar, perkataannya si kakek guru tentu bakal diwujudkan. Maka lekas-lekas ia menghampirkan Yauw Kee, kepada siapa ia menjura seraya berkata: "Nona Thia, aku Liok Koan Eng, kepandaian ilmu silatku rendah sekali, aku pun tidak terpelajar, sebenarnya tidak setimpal aku denganmu, akan tetapi hari ini kita telah bertemu, itu tandanya kita berjodoh..."
"Jangan terlalu merendah, kongcu," sahut Yauw Kee perlahan, "Aku... aku bukannya...."
Koan Eng lekas memotong. Ia jadi ingat tadi si nona bicara dari hal mengangguk kepala untuk menggantikan jawaban.
"Nona," demikian katanya. "Jikalau kau mencela aku si orang she Liok, kau goyanglah kepalamu..."
Di mulut Koan Eng mengatakan demikian, hatinya sebenarnya goncang keras. Ia menatap si nona, ia khawatir nona itu benar-benar menggeleng kepala...
Sekian lama, Yauw Kee berdiam saja. Di atas dari kepalanya, di bawah sampai kakinya, dia tidak bergerak sedikit juga.
Bukan main girangnya Koan Eng.
"Nona!" ia berseru, "Kalau kau setuju, kau menerima baik, sukalah kau mengangguk!"
Tapi, nona Thia itu tetap tidak bergerak, menampak itu, Koan Eng bergelisah bukan main.
Oey Yok Sun sendiri menjadi tidak sabaran.
"Menggeleng kepala tidak, mengangguk pun tidak, habis bagaimana?!" katanya.
Yauw Kee tunduk, ia bersenyum ketika ia berkata, "Tidak menggeleng kepala itu berarti mengangguk..."
Mau tidak mau, Oey Yok Su tertawa berkakakan.
"Hebat Ong Tiong Yang, dia menerima ini macam cucu murid! Sungguh lucu!" serunya. "Bagus, bagus! Sekarang juga aku akan menikahkan kamu!"
Koan Eng dan Yauw Kee terkejut. Keduanya lantas mengawasi orang tua ini, mulut mereka bungkam.
"Mana itu nona tolol?" kemudian Oey Yok Su menanya. "Hendak aku tanya dia, siapakah gurunya."
Ketiganya menoleh ke sekitarnya, Sa Kouw tidak ada di antara mereka. Entah kapannya si tolol menghilang selagi orang berbicara.
"Sudah, tidak usah repot mencari dia," kata Oey Yok Su kemudian, "Koan Eng, sekarang hayolah kau dan nona Thia sama-sama menghormati langit dan bumi, untuk menglangsungkan pernikahan kamu."
"Cauwsuya," berkata Koan Eng. "Kau menyayang cucu muridmu ini, untuk itu walaupun tubuhku hancur lebur, sukar aku membalas budimu, akan tetapi dengan aku menikah di sini, nampaknya ini terlalu tergesa-gesa..."
"Hus!" membentak Tong Shia. "Kamu murid Tho Hoa To, apakah kau juga hendak mengukuhi segala aturan umum? Mari, mari, berdirilah berendeng dan memberi hormatlah ke luar kepada langit!"
Berpengaruh sekali suaranya pemilik dari pulau Tho Hoa To ini. Sampai di situ, Yauw Kee dan Koan Eng bertindak satu pada lain, untuk berdiri berendeng, untuk terus menjalankan kehormatan.
"Sekarang menghadap ke dalam, menghormati bumi!" Oey Yok Su berkata pula, "Nah, kau menghormatilah couwsu kamu! Bagus, bagus, sungguh aku girang! Sekarang suami istri saling memberi hormat!"
Demikian Koan Eng dan Yuaw Kee seperti main sandiwara di bawah pimpinan Tong Shia, selama mana Oey Yong bersama Kwee Ceng terus mengikuti dari kamar rahasia. Mereka heran dan lucu atas sepak terjangnya orang tua ini.
"Bagus!" terdengar pula suaranya Oey Yok Su. "Sekarang hendak aku menghadiahkan serupa barang kepada kamu suami-istri muda. Kamu lihat!"
Seketika itu juga, di dalam ruangan ini terdengar suara angin menderu-deru, seumpama kata, tembok bergoyang-goyang...
Oey Yong tidak mengintai tetapi ia tahu, ayahnya tengah menjalankan ilmu silat yang dinamakan Kong-piauw-kun atau Angin Ngamuk.
Sekira semakanan teh, angin berhenti menderu.
"Kamu lihat, sekarang kamu turuti, untuk berlatih," berkata Oey Yok Su. "Mungkin kamu tidak dapat menangkap seluruh sarinya ilmu silat ini akan tetapi setelah menyakinkannya, meskipun cuma kulitnya saja, bila kemudian kamu bertemu pula orang sebangsa si orang she Hauw tadi, tak usah kau takut lagi. Koan Eng, pergi kau cari sepasang lilin, malam ini kamu boleh merayakan pernikahan kamu!"
Koan Eng melengak.
"Cauwsu," katanya tertahan.
"Apa? Habis menghormati langit-bumi, apakah bukannya merayakan pernikahan di antara lilin di dalam kamar?" tanya kakek guru ini. "Kamu berdua ada orang-orang yang menyakinkan ilmu silat, mustahilkah untuk kamu masih dibutuhkan segala kamar yang dirias indah dan gubuk reot tak cukup?"
Koan Eng terdesak. Tetapi diam-diam ia bergirang. Ia lantas pergi untuk membeli lilin sekalian membeli juga arak putih dan seekor ayam, bersama-sama Yauw Kee ia pergi ke dapur untuk mematangi itu, setelah mana mereka melayani sang kakek guru bersantap.
Sejak itu Oey Yok Su tidak banyak omong lagi, bahkan ia melihat ke langit, otaknya memikirkan anak daranya.
Oey Yong bersusah hati, beberapa kali hendak ia memanggil ayahnya itu, saban-saban ia membatalkannya. Ia khawatir ia nanti mengganggu lukanya Kwee Ceng. Pernah ia mengulur tangan ke pintu, lekas ia menariknya pulang.
Yuaw Kee dan Koan Eng beberapa kali melirik Tong Shia, lalu mereka saling mengawasi. Mereka juga membungkam, tidak ada yang berani membuka mulut.
Auwyang Kongcu rebah di atas rumput, ia merasa sangat lapar, tetapi ia menguati hatinya, untuk tak bersuara, tak bergerak. Maka itu ketika itu, di dalam tiga kamar, keenam orang itu sama-sama rapat mulutnya. Demikian cuaca gelap.
Dengan mulai gelapnya sang jagat, hati Yauw Kee berdebaran.
"Ah, kenapa si tolol itu masih belum kembali?" berkata Oey Yok Su. "Kawanan jahanam itu tentulah tak berani mengganggu dia." Ia menoleh pada Koan Eng. Ia menanya. "Malam ini malam pengantin, mengapa kau tidak memasang lilin?"
"Ya," menyahut Koan Eng cepat dan ia menyalakan api menyulut lilin. Maka itu di antara terangnya api ia dapat melihat wajahnya nona Thia dengan rambutnya yang bagus dan pipinya yang putih. Di luar rumah terdengar suara angin perlahan, dari memainnya daun-daun bambu.
Oey Yok Su mengangkat sebuah bangku, ia lintai itu di depan pintu, lantas di situ ia rebahkan dirinya. Tidak lama, dari hidungnya mulai terdengar suara menggeros perlahan, suatu tanda ia sudah tidur pulas.
Yuaw Kee dan Koan Eng masih duduk tak bergeming.
Sang tempo berjalan terus sampai sepasang lilin padam, habis manjadi cair beku dan sumbunya menjadi abu, hingga ruangan menjadi gelap petang. Setelah ini mereka berbicara, seperti berbisik-bisik hingga Oey Yong yang memasang kuping, tidak dapat menangkap pembicaraan mereka itu.
Nona Oey berhenti memasang kuping tatkala merasakan tubuh Kwee Ceng bergerak secara tiba-tiba, napasnya seperti memburu. Ia mengerti, itulah saat genting dari latihan mereka. Maka ia memusatkan perhatiannya, ia mengempos tenaga dalamnya, untuk menunjang kawan itu. Ia menanti sampai si anak muda tenang pula, baru ia mengintai keluar.
Sekarang ini mulai tertampak sinar rembulan, yang molos masuk dari jendela butut. Dengan begitu kelihatan juga Koan Eng dan nona Thia duduk berbareng. Mereka duduk diatas sebuah bangku.
"Tahukah kau hari ini hari apa?" kemudian terdengar si nona Thia, suaranya perlahan.
"Inilah hari baik dari kita berdua," menyahut Koan Eng.
"Itulah tak usah disebutkan lagi," kata si nona. "Hari ini bulan tujuh tanggal dua - hari ini ialah hari lahir aku."
Koan girang.
"Oh, sungguh kebetulan!" katanya. "Tidak ada hari sebaik hari ini!"
Yauw Kee mengulur tangannya menutup mulut orang.
"Sst, perlahan," ia memberi ingat. "Kau lupa daratan, eh?"
Hampir Oey Yong tertawa mendengar pembicaraan mereka itu. Justru itu ia pun bagaikan sadar.
"Hari ini tanggal dua, dan engko Ceng baru sembuh tanggal tujuh," demikian ia ingat. "Rapat partai Pengemis di kota Gakyang bakal dilakukan tanggal limabelas. Dalam tempo delapan hari, mana dapat kita sampai di sana?"
Nona ini tengah berpikir ketika kupingnya mendengar siulan panjang di luar rumah makan, disusul tertawa nyaring yang seperti menggetarkan genteng rumah makan itu. Ia mengenali suaranya Ciu Pek Thong.
"Hai, tua bangka berbisa bangkotan!" terdengar pula suaranya si orang tua berandalan itu. "Dari Lim-an kau mengubar ke Kee-hin, dari Kee-hin kau mengejar balik ke Lim-an, sudah satu hari satu malam aku mengejarnya, sampai diakhirnya, kau masih tak dapat menyandak Loo Boan Tong! Sekarang ini sudah ada keputusannya tentang kepandaian kita berdua, apalagi hendak kau bilang?"
Oey Yong terkejut.
"Dari Lim-an ke Kee-hin toh perjalanan limaratus lie lebih?" pikirnya. "Ah, bagaimana cepat larinya mereka berdua?"
Itu waktu terdengar suaranya Auwyang Hong: "Meski juga kau lari ke ujung langit, akan aku kejar kau sampai di sana!"
Ciu Pek Thong tertawa terbahak.
"Kalau begitu, biarlah kita jangan gegares jangan tidur!" dia berkata nyaring.
"Biar kita terus kejar-kejaran untuk mendapat tahu, siapa yang larinya paling kencang, siapa yang paling ulet. Kau berani atau tidak?!"
"Baik!" menyambut Auwyang Hong. "Mari kita lihat siapa yang akan lebih dulu mampus kecapaian!"
Bab 51. Ajalnya Auwyang Kongcu
Sebentar saja terdengar perkataan dan tertawanya Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong berdua, atau sejenak kemudian, suara mereka terdengar sudah jauh mungkin di luar belasan tombak.
Koan Eng dan Yauw Kee duduk menjublak. Tak tahu mereka siapa kedua orang itu, mereka heran. Apa perlunya dua orang itu muncul di tengah malam buta rata? Saking ingin tahu, mereka bangun berdiri, terus sambil berpegangan tangan mereka bertindak ke pintu.
Oey Yong sendiri berpikir: "Mereka berdua hendak menguji kekuatan kaki mereka, mestinya ayah menyaksikan mereka itu."
Benar saja, segeralah terdengar suaranya Koan Eng, "Ah, aneh! Mana Couwcu?"
"Lihat di sana!" berkata Yauw Kee. "Bukankah di sana ada bayangan tiga orang? Bayangan yang paling belakang itu mirip sama bayangan couwsu."
"Ya, benar!" berkata Koan Eng. "Kenapa dalam sekejap saja mereka itu sudah pergi begitu jauh? Siapakah itu dua orang yang lain? Mereka lihay sekali! Sanyang kita tidak dapat melihat mereka..."
Kata Oey Yong dalam hatinya: "Tidak peduli kamu melihat si bisa bangkotan atau si bocah tua bangkotan berandalan, untuk kamu berdua tidak ada faedahnya..."
Habis itu, dua-dua Koan Eng dan Yauw Kee lega hatinya. Dengan kepergian Oey Yok Su sang kakek guru, mereka menganggap berdua saja di rumah makan itu. Bukankah Sa Kouw pun pergi tidak karuan paran?
Koan Eng lantas merangkul pinggang langsing dari istrinya si pengantin baru.
"Adikku, apakah namamu?" ia menanya perlahan.
Nona Thia tertawa.
"Aku tidak hendak membilangi kamu. Kamu terkalah!"
Koan Eng pun tertawa.
"Kalau bukannya kucing kecil tentulah anjing cilik, !" katanya.
"Semaunya bukan!" kata si nona, kembali tertawa. "Itulah si biang kutu gede!"
Koan Eng tertawa pula. Dengan "biang kutu gede" dimaksudkan harimau.
"Oh, kalau begitu tak dapat aku menangkapnya!" katanya.
Nona Thia berontak, ia melompat ke meja. Koan Eng mengejar sambil tertawa-tawa.
Demikian mereka main kejar-kejaran, berputar-putaran, suara tertawa mereka ramai.
Samar-samar Oey Yong menampak bayangan mereka di antara sinar bintang-bintang, ia terus mengawasi, mulutnya tersenyum sendiri.
"Eh, Yong-jie, coba kau terka, dapatkah dia menyandak nona Thia atau tidak?" tiba-tiba Kwee Ceng menanya.
"Dia bakal pasti tercandak!" jawab si nona.
"Kalau sudah kena ditangkap, bagaimana?" Kwee Ceng menanya pula.
Oey Yong tidak dapat menjawab. Pertanyaan itu menggeraki hatinya.
Justru itu terdengar suaranya Koan Eng, tandanya ia telah berhasil menyandak dan membekuk Yauw Kee, lalu keduanya saling merangkul, kembali ke bangku mereka. Mereka bicara dan tertawa dengan perlahan. Bukan main gembiaranya mereka itu.
Tangan kanan Oey Yong tetap beradu sama tangan kiri Kwee Ceng, ia merasakan telapakan tangannya si anak muda makin lama makin panas, tubuhnya pun bergoyang ke kiri dan ke kanan, bergoyangnya makin lama makin keras. Ia menjadi terkejut.
"Engko Ceng, kau kenapa?" ia menanya.
Kwee Ceng masih belum sembuh totol, bersenda guraunya Koan Eng dan Yuaw Kee mengganggu pemusatan pikirannya, lebih-lebih ia berada berduaan saja sama Oey Yong. Sulit untuk dia menguasai dirinya, maka itu tangannya menjadi panas, tubuhnya bergoyang. Ia tidak jawab si nona, hanya ia ulur tangan kanannya akan memegang pundak si nona.
Oey Yong bertambah khawatir. Pemuda itu bernapas memburu keras, hawanya pun bertambah panas.
"Engko Ceng, hati-hati!" ia memperingati, "Kau tenangkan dirimu, kau tetapkan hatimu!"
"Aku gagal, Yong-jie," menyahut Kwee Ceng, yang hatinya goncang. "Aku... aku.."
Habis berkata, ia mencoba bangun untuk berdiri.
"Jangan bergerak!" Oey Yong berteriak saking bingungnya. Ia gugup.
Kwee Ceng duduk pula, ia mainkan pernapasannya. Ia merasakan hatinya ruwet, dan dadanya pun seperti hendak meledak.
"Yong-jie, kau tolongi aku, tolongi..." ratapnya. Kembali ia hendak berbangkit bangun.
"Jangan bergerak!" Oey Yong melarang pula. "Begitu kau gerak, akan aku totoki padamu!"
"Benar, lekaslah kau totok!" kata Kwee Ceng. "Aku tidak dapat menguasai diriku lagi..."
Oey Yong menjadi sangat bingung. Ia tahu, kalau ia menotok, habis sudah latihan, mereka berdua, yang telah dilakoni dengan susah payah, dikemudian hari mereka harus berlatih dari baru pula. Tapi Kwee Ceng menghadapi bahaya, asal ia berdiri, maka terancamlah jiwanya. Tapi ia tak dapat bersangsi, ia tidak boleh berayal lagi. Dengan menggertak gigi, ia geraki tangan kirinya, dengan tipu "Lan-hoat Hut-huat-ciu", ia menotoki jalan darah ciang-bun di tulang rusuk ke sebelas dari dada kiri si pemuda itu.
Tenaga dalam dari Kwee Ceng telah terlatih sempurnya sekali, ia dapat menggunai itu secara wajar, maka tempo jari si nona hampir sampai pada sasarannya, ia berkelit sendirinya. Dua kali Oey Yong menotok, dua-dua kalinya gagal. Ketika ia hendak mengulangi untuk ketiga kalinya, mendadak lengan kirinya tercekal keras, lengan itu kena ditangkap Kwee Ceng.
Cuaca ketika itu sudah mulai terang. Oey Yong berpaling, mengawasi si anak muda. Ia mendapatkan sepasang mata orang merah bagaikan api. Ia terkejut. Ia pun merasa tangannya ditarik. Mulut Kwee Ceng mengasih dengar suara tak tegas, terang ia kacau otaknya. Terpaksa ia menggeraki pundaknya, membentur tangan orang. Dengan begitu duri dari baju lapisnya mengenai daging si anak muda.
Kwee Ceng kaget kesakitan, ia tertegun. Justru itu waktu, kupingnya dapat menangkap keruyuknya ayam jago. Mendadak saja, otaknya menjadi terang dan sadar. Dengan perlahan ia lepaskan cekalannya, ia mengasih turun tangannya. Ia pun malu hingga ia jengah sendirinya.
Oey Yong mengawasi. Di jidat anak muda terlihat keringat mengetel. Kulit muka orang pun lesu dan pucat sekali. Tapi, meskipun itu semua, ancaman bahaya sudah lenyap. Maka legalah hatinya, ia menjadi girang.
"Engko Ceng, kita sudah melewati dua hari!" katanya.
"Plok!" demikian satu suara nyaring. Nyata Kwee Ceng telah menggaplok mukanya sendiri. "Sungguh berbahaya!" katanya. Ia masih hendak menggaplok lagi atau si nona mencegah.
"Jangan, itulah tak ada artinya!" kata Oey Yong tertawa. "Kau ketahui lihaynya Loo Boan Tong, dia masih tak sanggup mempertahankan diri dari suara seruling ayahku, apapula kau tengah terluka parah?"
Tanpa merasa, karena ancaman bahaya itu, Kwee Ceng dan Oey Yong sudah memasang omong. Mereka lupa keadaan mereka, mereka tidak ingat lagi untuk main berbisik saja. Koan Eng dan Yauw Kee tengah kelelep asmara, mereka tidak mendapat dengar, tetapi tidak demikian dengan Auwyang Kongcu di ruang dalam. Pemuda ini memasang kupingnya, hingga ia mengenali suaranya Oey Yong. Ia kaget berbareng heran. Ia masih mendengar lagi tapi suara lantas sirap. Ia menjadi sangat menyesal karena kedua kakinya luka parah hingga ia tak mampu berjalan. Tetapi ia ingin berjalan pula, maka terpaksa ia menggunai kedua tangannya, yang dijadikan seperti kaki, hingga tubuhnya terangkat ke atas, kakinya naik tinggi sedangkan kepalanya berada di bawah!
Koan Eng bersama pengantinnya berdiri berendeng, tangan kirinya merangkul leher istrinya itu, terletak di pundak istrinya. Ia terkejut ketika kupingnya dapat mendengar suara berkerisiknya rumput, segera ia menoleh. Maka terlihatlah olehnya seorang berjalan dengan kedua tangan di jadikan kaki. Ia segera berbangkit seraya mencabut goloknya.
Auwyang Kongcu telah terluka parah, ia pun sudah kelaparan, tubuhnya menjadi sangat lemah, ketika ia lihat berkelebatnya sinar golok, kagetnya tak kepalang, tidak ampun lagi ia roboh pingsan.
Koan Eng melihat orang tengah sakit, ia lompat maju untuk mengasih bangun, buat dikasih duduk di atas bangku, tubuhnya disenderkan pada meja.
Selagi suaminya menolongi orang, Thia Yauw Kee menjerit kaget. Ia tidak usah mengawasi lama akan mengenali orang adalah Auwyang Kongcu, yang di Poo-ceng telah menangkap padanya.
Koan Eng menoleh dengan lantas karena jeritan istrinya itu. Ia terkejut akan mendapatkan muka si istri, yang seperti orang ketakutan sangat.
"Jangan takut," ia menghibur. "Dia telah patah kakinya."
Tapi istrinya menyahut lain.
"Dia orang jahat, aku kenali dia!" demikian sahutnya.
"Oh!" seru Koan Eng tertahan.
Auwyang Kongcu mendusin sendirinya.
"Bagi aku nasi, aku lapar sekali," ia memohon.
Yauw Kee mengawasi. Ia melihat orang bermata coleng dan beroman sangat kucel, timbul rasa kasihannya. Ia memang berperangai halus dan pemurah hati, ia menjadi tidak tega. Ia menghampirkan kuali untuk mengisikan satu mangkok nasi, yang mana ia angsurkan pada pemuda yang bercelaka itu.
Auwyang Kongcu menyambuti, terus ia makan. Habis satu mangkok, ia minta pula, maka habislah tiga mangkok, setelah mana ia merasa tenaganya pulih. Ia mengawasi Yauw Kee. Mendadak timbul pula pikiran yang buruk.
"Mana nona Oey," ia tanya.
"Nona Oey yang mana?" Yauw Kee balik menanya.
"Nona Oey putrinya Oey Yok Su dari Tho Hoa To," Auwyang Hong menjawab.
"Oh, kau kenal nona Oey?" kata Koan Eng. "Kabarnya dia sudah menutup mata..."
Pemuda itu tertawa.
"Ah, kau hendak memperdayakan aku?" katanya. "Terus-terang aku telah mendengar suaranya barusan!" Terus dengan mendadak ia menekan meja dengan tangan kirinya, atas mana tubuhnya melesat, hingga dilain saat ia sudah berdiri pula dengan kedua tangannya. Ia berputaran di ruang itu, untuk mencari Oey Yong. Sia-sia ia mencari, maka ia memasang mata sambil memasang kupingnya. Ia mengawasi ke arah darimana datangnya suara Oey Yong datang, ialah arah timur. Tapi di situ ada tembok, tidak ada pintu. Ia sangat cerdas, tak usah berpikir lama, ia lantas mencurigai lemari.
"Mesti ada rahasianya di situ," demikian pikirnya. Maka ia lantas menarik meja, dibawa ke depan lemari itu, habis mana ia naik ke atas meja itu, untuk segera membuka daun lemari. Ia menyangka ada pintu rahasia di situ, tapi ia kecele. Ia melihat bagian dalam lemari yang hitam dan kotor. Ia berputus asa akan tetapi pikirannya bekerja terus juga. Maka terlihatlah olehnya mangkok besi, bahkan di situ ia mendapatkan beberapa tapak jari tangan, yang masih baru. Mendadak hatinya tergerak. Segera ia mengulur tangannya, meraih mangkok itu. Ia menarik tetapi mangkok tidak bergeming. Ia tidak mau sudah, sekarang ia memutar. Mangkok itu terus bergerak, ia memutar terus. Maka segeralah terdengar suara apa-apa, disusul sama bergeraknya pintu rahasia hingga di sana terlihat Oey Yong dan Kwee Ceng lagi duduk di dalam kamar rahasia itu.
Bukan main girangnya kongcu ini melihat si nona, hanya menampak Kwee Ceng ada beserta nona itu, ia berbalik menjadi kaget berbareng iri dan cemburunya lantas timbul, iri hatinya menyusul.
"Adikku, apakah kau tengah berlatih?" ia menanya. Ia melihat dua orang itu berdiam saja.
Semenjak tadi Oey Yong merasa pasti rahasianya bakal ketahuan. Ia telah mengawasi setiap gerak-geriknya Auwyang Kongcu itu, ketika orang membuka lemari, ia lantas berpikir.
"Jangan bergerak," ia bisiki Kwee Ceng. "Aku akan pancing dia datang dekat, lalu kau hajar dia dengan ang Liong Sip-pat Ciang, untuk menghabiskan padanya."
"Tetapi aku tidak dapat menggunai tenaga di tanganku," Kwee Ceng membilang, berbisik juga.
Oey Yong masih hendak berbicara pula atau pintu sudah terbuka dan Auwyang Kongcu muncul di depan mereka, maka lekas-lekas ia mengasah otaknya: "Dengan cara bagaimana aku dapat menghalau dia hingga dia suka pergi jauh-jauh, supaya aku bisa melewatkan terus lima hari lima malam dengan tenang? Kalau aku membuka mulut, bisa celaka engko Ceng... Bagaimana sekarang?"
Auwyang Kongcu jeri terhadap Kwee Ceng, melihat orang berdiam saja, ia mengawasi dengan tajam hingga ia dapat melihat roman yang lesu, mukanya pucat. Dia lantas ingat pembilangan pamannya bahwa Kwee Ceng itu pernah dihajar dengan Kuntauw Kodok di dalam istana, kalau tidak lantas mati, si anak muda mestinya terluka parah. Maka sekarang, ia melihat keadaannya Kwee Ceng dan menyaksikan sikapnya mereka berdua, sebagai orang cerdik, ia lantas dapat menduga duduknya hal. Untuk mendapat kepastian, ia hendak mencoba.
"Adik, kau keluarlah," ia berkata. "Buat apa berdiam di dalam kamar ini, cuma-cuma pikiran menjadi pepat..."
Sembari berkata, ia mengulur sebelah tangannya, berniat menarik ujung baju si nona.
Oey Yong tidak menyahuti, hanya ia angkat tongkatnya dengan apa ia menghajar kepala orang.
Auwyang Kongcu kaget, dengan lekas ia berkelit. Hebat serangan itu, sebagaimana anginnya pun berkesiur keras. Ia lompat jumpalitan, akan turun dari meja.
Oey Yong menjadi sangat menyesal. Kalau dapat ia bergerak, ia bisa menyusuli dengan serangan yang kedua, yang pasti tidak bakal gagal. Sekarang ia cuma bisa numprah terus, jengkelnya bukan kepalang.
Sementara itu Koan Eng dan Yauw Kee heran bukan main mendapatkan kamar rahasia itu serta di dalamnya ada orangnya, mereka sampai diam menjublak saja. Ketika kemudian mereka mengenali Oey Yong dan Kwee Ceng, itu waktu si nona Oey sudah menyerang Auwyang Kongcu, tetapi serangannya gagal. Setelah itu, pemuda itu naik pula ke meja, untuk beraksi. Ia jadi berani karena ia melihat Oey Yong tidak bergerak untuk menyusul padanya, dugaannya menjadi satu kepastian. Begitulah ia menyerang si nona, tangan siapa ia hendak tangkap untuk ditarik. Kalau Oey Yong menghajar dia dengan tongkat, ia senantiasa main berkelit. Kalau ada ketikanya, ia menotok.
Oey Yong kewalahan, tidak peduli ilmu tongkatnya lihay. Ia tidak berani bangun, untuk meninggalkan Kwee Ceng. Karena ini, lama-lama ialah yang kena terdesak.
Koan Eng dan istrinya melihat keadaan buruk untuk nona Oey itu, dengan serentak mereka maju untuk membantui. Mereka masing-masing menggunai golok dan pedang.
Auwyang Kongcu melihat majunya suami-istri itu, ia tertawa lebar dan panjang, sambil tertawa tubuhnya bergerak, sebelah tangannya menyambar ke arah Kwee Ceng.
Pemuda itu melihat bahaya mengancam, akan tetapi ia tidak dapat menangkis atau berkelit, terpaksa ia tutup rapat kedua matanya untuk menantikan maut datang.
Oey Yong kaget bukan main, ia segera menyerang.
Auwyang Kongcu sudah bersiap, begitu tongkat tiba, ia menanggapi, ia mencekal, lalu ia menarik keras.
Dalam tenaga, tentu saja nona Oey kalah, sedang sebelah tangannya tidak dapat ia gunakan. Bahkan ia khawatir sekali tangannya itu lepas dari tangan Kwee Ceng. Sekalipun tubuhnya terhuyung, ia berdaya untuk mempertahankan diri. Tidak ada jalan lain, terpaksa ia lepaskan tongkatnya, untuk tangannya itu dipakai merogoh ke dalam sakunya, untuk meraup jarumnya, dengan apa ia menyerang ke arah musuh yang licik itu.
Auwyang Kongcu terkejut. Jarak di antara mereka cukup dekat, ketika ia melihat barang berkeliauan, ia lantas menjatuhkan diri rebah di atas meja. Tanpa berkelit secara demikian, pastilah ia celaka. Justru itu, Koan Eng datang dengan bacokannya.
Kembali Kongcu itu kaget, terpaksa ia menggulingkan diri ke kanan. Golok Koan Eng mengenai meja, sebab sasarannya lenyap. Tengah Koan Eng membacok, jarumnya Oey Yong tiba, mengenai punggungnya. Ia kaget sebab dengan segera ia merasakan separuh tubuhnya tak dapat digeraki. Maka ketika Auwyang Hong menyambar, ia kena dicekuk tanpa berdaya.
Sebat luar biasa, keponakannya Auwyang Hong mencekal tangan orang.
"Bagus!" katanya.
Itu waktu Yauw Kee pun menyerang. Si nona kaget dan hendak menolongi suaminya. Tapi Auwyang Kongcu ada terlalu lihay untuknya. Pemuda itu berkelit, sambil berkelit, sebelah tangannya menyambar ke dada orang. Ia kaget bukan main. Celaka kalau dadanya itu kena dipegang pemuda ceriwis itu. Lekas-lekas ia mambacok. Auwyang Kongcu menarik pulang tangannya itu, tetapi dia telah berhasil menjambret baju orang, yang kena dia robek. Saking kaget, hampir Yauw Kee membikin pedangnya terlepas, mukanya pucat. Karena ini, ia tidak dapat maju pula.
Auwyang Kongcu duduk numprah di atas meja. Ketika itu, pintu lemari, atau lebih benar pintu rahasia, sudah tertutup pula. Ia bergidik sendirinya kapan ia ingat serangan jarum berbisa dari si nona tadi.
"Budak ini benar-benar lihay," pikirnya. "Tapi biarlah dia, sekarang aku permainkan saja nona Thia, aku tanggung mereka berdua bakal jadi kacau pikirannya, rusak semadhinya. Sampai itu waktu, aku tentu sudah mempunyai daya untuk menguasai mereka..."
Mengingat itu, bukan main girangnya pemuda itu.
"Eh, nona Thia," ia berkata kepada Yauw Kee. "Kamu menghendaki dia mati atau hidup?"
Ia maksudkan Koan Eng, yang sudah tidak berdaya itu. Ia sudah pikir, nona Thia tidak dapat dilawan dengan keras, mesti dengan halus, supaya ia suka menyerah sendirinya. Jalan itu ialah Koan Eng harus dipakai sebagai alat.
Yauw Kee bingung bukan main. Ia lihat suaminya menutup kedua matanya, tubuhnya tak bergeming.
"Auwyang Kongcu," katanya terpaksa. "Dia dengan kau tidak ada bermusuhan, aku minta sukalah kau merdekakan dia..."
"Haha!" tertawa si anak muda. "Kiranya kamu kaum Coan Cin Pay juga ada harinya kamu minta-minta kepada lain orang!"
"Dia... dialah murid dari Thoa hoa Ta, jangan kau celakai dia..." kata pula si nona.
"Siapa suruh dia membacok aku?" kata si anak muda tetap tertawa. "Jikalau bukannya aku berkelit dengan cepat, apakah batok kepalaku masih ada di batang leherku? Jangan kau gertak aku dengan nama Tho Hoa To! Oey Yok Su itu ialah mertuaku!"
Yauw Kee tidak tahu orang bicara benar atau mendusta.
"Kalau begitulah kau yang terlebih tua, kau merdekakanlah dia," kata pula ia. "Biarlah dia menghanturkan maaf padamu."
"Mana bisa gitu gampang, he?" Auwyang Kongcu pula. "Jikalau kau menghendaki juga aku melepaskan dia, kau mesti menerima baik permintaanku."
Yauw Kee mengawasi paras orang, ia mendapat duga orang bermaksud tidak baik, maka itu ia lantas tunduk, ia tidak menyahuti.
"Kau lihat!" berkata Auwyang Kongcu, tiba-tiba. Ia mengangkat tangannya menghajar ujung meja hingga ujung meja itu semplak seperti bekas dibacok.
Yauw Kee terkejut.
"Suhu juga tidak selihay dia ini," pikirnya.
Auwyang Kongcu mewariskan kepandaiannya Auwyang Hong, sang paman, maka itu, dia menang banyak daripada Sun Put Jie. Ia senang mendapatkan si nona berkhawatir.
"Begini permintaanku," kata dia. "Inilah apa yang aku titahkan kau lakukan, kau mesti lakukan, jikalau kau tidak menurut, kau mesti lakukan, jikalau kau tidak menurut, maka leher dia akan aku bikin macam begini!" Dia mengasih contoh dengan ancaman tangannya, seperti tadi ia membacok meja, tetapi kali ini ia tujukan kepada batang leher Koan Eng.
Nona Thia kaget hingga ia menjerit.
"Kau menurut atau tidak?" Auwyang Kongcu tanya.
Dengan terpaksa Yauw Kee mengangguk.
"Bagus!" seru keponakannya Auwyang Hong. "Begini barulah anak manis! Nah, pergilah kau menutup pintu!"
Yauw Kee berdiri diam.
"Kau dengar tidak kataku?" Auwyang Kongcu membentak.
Takut Yauw Kee, maka dengan terpaksa, dengan hati berdebaran, ia menutup pintu.
"Bagus!" anak muda itu tertawa girang. "Tadi malam kamu berdua menikah, aku mendengarnya dengan nyata, cuma anehnya, di dalam kamar pengantin, kamu tidak membuka pakaian. Di kolong langit ini tidak ada suami-istri seperti kamu! Sekarang kau loloskanlah semua pakaianmu, sepotong juga tak boleh ketinggalan. Jikalau kau tidak menurut, segera aku kirim suamimu ke alam baka, hingga kau lantas menjadi janda muda!"
Koan Eng tidak dapat menggeraki kaki tangannya, tetapi kupingnya mendengar segala apa dengan nyata dan matanya melihat segala sesuatu, maka itu ia murka bukan main, hingga matanya seperti mau melompat keluar, hatinya seperti mau meledak. Ia hendak meneriaki istrinya buat jangan menuruti permintaan itu, supaya istri itu pun melarikan diri, apa celaka, ia tidak dapat membuka mulutnya.
Sementara itu Oey Yong di dalam kamarnya telah siap sedia. Ialah yang mengunci pula pintu rahasia selagi Auwyang Kongcu merobohkan Liok Koan Eng. Ia mencekal pisaunya kalau-kalau si anak muda menyerang untuk kedua kalinya. Maka ia kaget, mendongkol berbareng gusar mendengar Auwyang Kongcu menitah Yauw Kee melepaskan pakaiannya untuk bertelanjang bulat. Dilain pihak, dasar sifatnya kekanak-kanakan, ia ingin melihat Yauw Kee akan meluluskan atau tidak permintaan kongcu Auwyang itu....
Maka itu masih menantikan....
"Mengapa sulit untuk meloloskan pakaian?" berkata pula Auwyang Kongcu. "Ketika kau dilahirkan dari dalam perut ibumu, apakah kau pun berpakaian? kau bilang, kau hendak melindungi mukamu atau jiwanya dia?"
Kembali ia menuding kepada Koan Eng.
Nona Thia berdiam, otaknya bekerja keras.
"Nah, kau bunuhlah dia!" kata dia akhirnya, suaranya dalam.
Auwyang Kongcu melengak. Sungguh dia tidak menyangka si nona dapat memberikan jawaban itu. Itu menjadi terlebih kaget ketika ia melihat nona itu mengayun pedangnya ke arah lehernya sendiri. Dengan lantas ia menimpuk dengan sebatang jarumnya, jarum Touw-kut-ciam, maka jatuhlah pedang di tangannya nona itu.
Yauw Kee membungkuk, untuk menjumput pula pedangnya itu. Atau tiba-tiba: "Pengurus hotel! Pengurus hotel!"
Itulah suaranya seorang wanita, yang memanggil pemilik hotel.
Yauw Kee menjadi dapat harapan. Setelah mencekal pedangnya, ia lompat ke pintu, untuk segera membukai itu. Maka ia melihat seorang wanita muda, yang pakaiannya putih, berdiri di muka pintu, rambutnya dibungkus dengan kain putih juga dan dipinggangnya tersoren sebatang golok. Dia beroman kucel tetapi itu tidak menutupi kecantikannya. Ia tidak kenal nona itu tetapi dia mau anggap orang adalah penolongnya.
"Silahkan masuk, nona!" katanya lekas.
Nona itu berdiri bengong melihat "pemilik" rumah berpakaian mewah tetapi tangan mencekal pedang. Ia mengawasi sekian lama, baru ia berkata: "Di luar ada dua peti mati, bolehkah itu dibawa ke dalam?"
Kalau di dalam rumah orang biasa, pasti sekali jenazah orang tidak dapat dibawa masuk, lain adalah dengan rumah penginapan, bahkan kali ini dalam suasana luar biasa itu. Untuk Yauw Kee, jangan kata baru dua buah, seratus pun ia akan mengijinkannya dibawa masuk.
"Baik, baik!" sahutnya cepat. "Silahkan!"
Nona itu heran mendapatkan pelayanan istimewa dari "pemilik" rumah penginapan ini akan tetapi ia lantas menoleh keluar, untuk menggapaikan. Maka lantas juga masuk delapan orang yang menggotong dua buah peti mati, di bawa ke ruang dalam. Ketika ia berpaling ke arah Auwyang Kongcu, ia kaget sekali, dengan segera ia menghunus golok dipinggangnya.
Auwyang Kongcu sudah lantas tertawa lebar.
"Inilah dia jodoh yang telah ditakdirkan Thian!" katanya nyaring. "Dari jodoh telah tertakdir itu, orang tidak dapat meloloskan diri! Inilah peruntungan baik yang diantarkan sendiri! Jikalau peruntungan ini tidak diterima, sungguh durhaka!"
Nona itu bukan lain daripada Bok Liam Cu, yang pernah ia tawan.
Sesudah bentrok hebat sama Yo Kang di Poo-eng, ludas sudah pengharapan nona Bok ini, hatinya menjadi tawar, cuma tinggal satu hal yang ia berati, maka itu ia lantas ke Tiong-touw (Peking) dimana ia ambil jenazah ayah dan ibunya untuk dibawa pulang ke dusun Gu-kee-cun di Lim-an, untuk dikubur di kampung halamannya itu. Hebat untuknya, seorang wanita, membawa-bawa peti mati orang tuanya disaat negara demikian kacau. Ketika itu tentara Mongolia tengah menyerang negara Kim. Ia pun, ketika ia meninggalkan kampung halamannya, usianya baru baru lima tahun, maka ia tidak ingat lagi kampung halamannya itu. Maka juga setibanya, begitu melihat pondokannya Sa Kouw, lantas ia memikir untuk singgah terlebih dahulu, sambil singgah, ia mencari keterangan. Maka adalah diluar sangkaannya, disini ia justru bertemu pula sama keponakannya Auwyang Hong itu. Tentu sekali ia tidak tahu nona itu dengan pakaian mewah itu tengah diperhina si anak muda. Ia belum pernah bertemu dengan nona Thia dan sekarang ia menyangka nona Thia itu ialah gula-gulanya pemuda itu. Dengan menghunus goloknya, ia lantas membacok si anak muda, habis mana ia berlompat untuk lari keluar. Atau ia merasakan angin menyambar, dari orang yang lompat lewat diatasan kepalanya. Ia lantas membacok ke atasan kepalanya itu.
Auwyang Kongcu lihay sekali. Dengan tangan kanannya, dengan dua jeriji, dia menekan belakang golok, dengan tangan kiri, ia menangkap lengan si nona, maka sedetik itu juga, terlepaslah goloknya Liam Cu, hingga berbareng mereka jatuh ke atas sebuah peti mati. Keempat tukang gotong kaget hingga mereka berteriak, mereka roboh, peti matinya jatuh, mereka babak belur mukanya sebab terkena pikulan dan saling tubruk.
Dengan tangan kanan merangkul nona Bok, dengan tangan kanan Auwyang Kongcu menghajar tukang-tukang gotong itu hingga mereka ini menjerit-jerit dan terus merayap, untuk lari keluar, diturut oleh empat tukang gotong lainnya, hingga mereka tidak memikir untuk meminta upah pula.
Selama kejadian itu, Yauw Kee lompat kepada Koan Eng, yang rebah di lantai, untuk dikasih bangun. Ia bingung sekali, tidak tahu ia bagaimana harus menyingkirkan diri mereka.
Auwyang Kongcu melihat sikapnya Yauw Kee, dengan sebelah tangan menekan peti mati, sambil terus merangkul Liam Cu, ia lompat kepada nona Thia itu, yang mana ia terus peluk dengan tangan kanannya, setelah mana ia duduk di atas kursi. Sambil tertawa lebar, ia berkata: "Adik Oey, kau juga datang ke mari!"
Sedangnya pemuda ini kegirangan, mendadak ada bayangan yang berlompat dari luar, masuk ke dalam, maka dilain saat ketahuanlah dia adalah Yo Kang!
Yo Kang ini, sehabisnya dihinakan Oey Yok Su, tidak meninggalkan Gu-kee-cun. Ia bersakit hati dan ingin sangat dapat melampiaskannya. Karena kerasnya hati, ia dengan perkenan Wanyen Lieh, ia memisahkan diri. Di luar Gu-kee-cun, dia berdiam di dalam pepohonan yang lebat. Diwaktu malam, ia melihat Oey Yok Su, Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong bertiga mondar-mandir, tentu sekali terhadap mereka ia tidak bisa berbuat apa-apa. Lantas paginya ia melihat Bok Liam Cu membawa jenazah orang tuanya. Diam-diam ia menguntit nona ini sampai di rumahnya Sa Kouw. Baru nona ini masuk ke dalam atau lantas tukang-tukang gotong peti itu lari serabutan. Ia menjadi heran, maka lantas ia memburu ke dalam. Di pintu ia mengintai, ia tidak melihat Oey Yok Su, sebaliknya ia mendapatkan Auwyang Kongcu duduk di kursi dengan air muka terang, dirangkulannya kiri kanan ada kedua nona cantik, ialah Bok Liam Cu dan Thia Yauw Kee, yang lagi dipermainkan. Tidak ayal lagi, ia melompat masuk.
"Oh, siauw-ongya, kau telah kembali!" menegur Auwyang Kongcu kapan ia melihat pangeran itu.
Yo Kang mengangguk.
Auwyang Kongcu melihat muka orang muram, ia lantas menghibur.
"Jangan kecil hati, jangan berduka, siauw-ongya," katanya. "Juga di jaman dulu Han Si pernah menerima penghinaan merangkak di bawah selangkangan orang: Seorang laki-laki dia harus dapat berlaku keras dan lunak. Itulah tidak ada artinya. Kau sabar saja, kau tunggu sampai kembalinya pamanku nanti kau boleh melampiaskan sakit hatimu ini!"
Ia menduga pangeran ini berduka karena bekas diperhina.
Yo Kang mengangguk pula, tetapi matanya mengawasi Liam Cu.
Auwyang Kongcu tertawa.
"Siauw-ongya," katanya, "Tidakkah kedua si cantik kepunyaanku ini tak ada kecelaannya?"
Kembali pangeran ini mengangguk.
Auwyang Kongcu tidak tahu ada hubungan apa di antara si pangeran dengan Liam Cu itu sebab tempo mereka itu berdua mengadu kepandaian di jalan besar di Tong-touw, ia tidak hadir bersama. Mulanya Yo Kang tidak memperhatikan si nona, sampai si nona itu mencintai dia dengan sungguh-sungguh hati, hingga ada janji untuk menikah, maka itu sekarang, melihat nona itu dalam rangkulan Auwyang Kongcu, hatinya panas. Ia dapat mengendalikan diri, dari itu ia tidak mengentarakan suatu apa.
Lagi-lagi Auwyang Kongcu tertawa dan berkata: "Semalam ada orang menikah di sini, maka itu di dalam almari ada arak dan daging ayam! Siauw-ong tolong kau ambilkan itu, mari kita minum bersama. Nanti aku menyuruh kedua si cantik ini meloloskan semua pakaiannya, supaya mereka menari untuk menggembirakan kau minum arak!"
"Itulah bagus!" sahut Yo Kang tertawa.
Bukan main panasnya hati Liam Cu melihat sikapnya Yo Kang ini, karenanya hatinya menjadi dingin, ingin ia membunuh diri di depan kekasihnya itu, supaya ia bebas dari penderitaan ini. Segera juga ia melihat Yo Kang mengambil arak dan ayam dan kemudian duduk minum dan dahar bersama Auwyang Kongcu.
Auwyang Kongcu mengisikan dua cawan arak, ia bawa itu ke depan mulutnya nona itu, sembari tertawa ia kata: "Mari minum arak dulu, baru kamu menari!"
Kedua nona ini gusarnya bukan main, hampir mereka pingsan. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa juga. Tubuh mereka sudah di totok pemuda itu. Ketika cawan arak ditempelkan ke mulut mereka, masih mereka tidak berdaya. Maka diakhirnya, mereka mesti menenggak air kata-kata itu.
"Auwyang Sianseng," berkata Yo Kang, "Sungguh aku mengagumi kepandaian kau! Mari aku beri selamat padamu dengan secawan arak, habis itu baru kita menonton tarian!"
Auwyang Kongcu tertawa bergelak, ia menyambuti araknya itu, untuk dihirup kering. Habis itu ia menotok bebas Yauw Kee dan Liam Cu, cuma kedua tangannya masih menekan jalan darah mereka yang dinamakan sintong-hiat, yang adanya dipunggung. Ia kata: "Baik-baik saja kamu mendengar perkataanku, dengan begitu kamu tidak bakal menderita, sebaliknya, kamu akan mendapat kesenangan!"
Liam Cu menunjuk kepada kedua peti mati itu.
"Yo Kang!" katanya, bengis, "Kau lihat, jenazah siapakah itu?!"
Pangeran itu memandang ke peti mati yang ditunjuk itu. Yang pertama ia tampak ialah tulisan tinta merah yang berbunyi: "Tay Song Gie-su Yo Tiat Sim Sim cie-leng". Artinya, "Jenazah dari Yo Tiat Sim, orang gagah dari jaman ahala Song". Sebenarnya hatinya terkesiap, tetapi ia menguatkan diri, ia menunjuki sikap acuh tak acuh. Bahkan ia kata kepada Auwyang Kongcu: "Auwyang Sianseng, kau pegangi kedua nona manis ini, hendak aku meraba-raba kaki mereka, untuk membuktikan siapakah yang kakinya terlebih mungil..."
Auwyang Kongcu tertawa.
"Siauw-ongya sungguh jenaka!" katanya. "Aku lihat tentulah kaki dia ini yang terlebih mungil!"
Dan ia meraba kakinya Thia Yauw Kee.
"Ah, belum tentu!" berkata Yo Kang, yang terus saja membungkuk hingga ke kolong meja.
Dua-dua Liam Cu dan Yauw Kee sudah mengambil putusan, begitu mereka diraba, mereka hendak menendang tempilingan pangeran itu.
Yo Kang, tidak segera meraba, hanya ia tertawa.
"Auwyang Sianseng, kau minum lagi satu cawan!" katanya, "Habis minum nanti aku beritahu, dugaanmu cocok atau tidak...."
"Bagus!" sahut Auwyang Kongcu, seraya ia mengangkat cawannya.
Yo Kang sambil membungkuk melirik di saat pemuda itu dongak untuk minum, kemudian ia mengeluarkan tombak buntung dari sakunya, dengan itu dengan sekuat tenaga - sambil ia mengertak gigi - ia menikam ke arah perut orang, hingga tombak itu nancap dalam lima atau enam dim, menyusul mana, ia membaliki meja!
Kejadian ini mendadak sekali dan luar biasa juga, maka itu Oey Yong dan Kwee Ceng, juga Bok Liam Cu, Liok Koan Eng dan Thia Yauw Kee menjadi kaget dan heran sekali.
Auwyang Kongcu menggeraki kedua tangannya, ia membuatnya Liam Cu dan Yauw Kee terbalik dari kursinya, sedang cawan arak di tangannya ditimpuki ke arah Yo Kang!
Pangeran ini berkelit sambil mendak, maka jatuhlah cawan itu ke lantai, pecah hancur dengan mengasih dengar suara nyaring.
Yo Kang berkelit dengan terus menjatuhkan diri, untuk bergulingan, maksudnya buat lari ke pintu, apa mau ia terhalang peti mati. Terpaksa ia berlompat bangun dan memutar tubuhnya, mengawasi Auwyang Kongcu. Hatinya menjadi ciut kapan ia melihat pemuda itu berdiri dengan tubuh doyong ke depan, kedua tangannya berpegangan pada kursi, sepasang matanya mendelik, wajahnya seperti tertawa dan bukannya tertawa. Ia menggigil sendirinya. Sebenarnya ia berniat lari menyingkir tetapi itu sepasang mata tajam dan bengis membuatnya kakinya seperti terpaku.
Auwyang Kongcu melengak dan tertawa.
"Aku si orang she Auwyang telah malang melintang seumur hidupku, aku tidak menyangka bahwa hari ini aku mesti mati di tangan kau, binatang!" katanya bengis. "Cuma satu hal yang aku tidak mengerti! Siauw-ongya, mengapa kau mencoba membunuh aku?"
Yo Kang tidak menjawab, hanya dengan mengenjot diri, ia hendak berlompat ke pintu, guna melarikan diri. Ia telah pikir, setelah berada di luar pintu, baru ia hendak memberikan keterangannya. Selagi tubuhnya melayang, mendadak ia merasakan belakang lehernya kena dicengkram keras sekali, bagaikan terbangkol gaetan besi, hingga ia tak mampu berlompat lebih jauh, bahkan sebaliknya, ia jatuh ke atas peti mati - jatuh bersama-sama tubuhnya Auwyang Kongcu - yang telah melompat menyambar padanya.
"Kau tidak mau bicara, apakah kau hendak membikin aku mati tak meram?!" kata Auwyang Kongcu sembari tertawa. Nyata ia masih kuat sekali.
Yo Kang tahu ia ada bagian mati, hatinya menjadi besar. Ia tertawa dingin.
"Baiklah, nanti aku memberi keterangan padamu!" sahutnya. "Tahukah kau, siapa dia?" Ia menunjuk kepada nona Bok.
Auwyang Kongcu memandang Liam Cu. Nona ini memegang golok di tangan, siap untuk menerjang, guna menolongi si pangeran, cuma ia masih bersangsi sebab ia khawatir nanti melukai kekasihnya.
"Dia... dia.." kata Auwyang Kongcu, yang terus terbatuk-batuk.
"Dialah tunanganku!" Yo Kang meneruskan. "Dua kali kau menghina dia, mana aku dapat membiarkannya?"
"Benar," kata Auwyang Kongcu. Dia masih tertawa. "Mari kita sama-sama pergi ke neraka...!" Dia mengangkat kepalannya, untuk di kasih turun ke batok kepalanya si pangeran.......
Liam Cu kaget hingga ia berteriak, hendak ia menolong tetapi sudah tidak keburu.
Yo Kang memeramkan kedua matanya, ia menantikan kebinasaannya. Tapi ia menanti sekian lama, ia tidak merasakan hajaran kepada batok kepalanya. Saking herannya, ia membuka matanya.
Auwyanng Kongcu mengasih lihat senyumannya, tapi tangannya yang mencekuk leher sudah terlepas, maka tempo si pangeran berontak, ia lantas jatuh menimpa peti mati. Sebab ia sudah putus jiwa.....
Yo Kang melengak, Liam Cu melongo. Hanya sejenak, lantas keduanya lari saling menghampirkan, untuk terus saling berpegangan tangan. Dalam keadaan seperti itu banyak kata-kata yang hendak dikeluarkan tetapi tak sepatah yang dapat diucapkan. ketika mereka memandang mayat Auwyang Kongcu, lantas terbayang apa yang barusan terjadi, sendirinya mereka bergidik.
Yauw Kee sendiri mengasih bangun pada Koan Eng, yang totokannya ia bebaskan.
Koan Eng ketahui Yo Kang adalah pangeran Kim tetapi orang telah membinasakan Auwyang Kongcu, itu artinya orang telah menolongi padanya, maka itu ia lantas memberi hormat sambil menjura, habis mana dengan membungkam, ia tuntun tangannya istrinya untuk diajak berlalu dari situ. Sebagai laki-laki, yang mengenal budi, tidak sudi ia menyerang pangeran itu untuk membunuhnya.
Senang hatinya Oey Yong menyaksikan Yo Kang dan Liam Cu bertemu pula satu dengan lain dan bertemunya dengan itu cara luar biasa. Kwee Ceng pun mengharap-harap Yo Kang itu nanti mengubah kelakuannya. Dengan Oey Yong ia saling memandang, lalu keduanya tersenyum.
Itu waktu terdengar suara Liam Cu.
"Jenazah ayah dan ibumu telah aku bawa pulang," katanya kepada Yo Kang.
"Sebenarnya itulah kewajibanku, maka aku hanya membuat kau bercapai lelah, adikku," Yo Kang bilang.
Liam Cu tidak mau menimbulkan soal lama, ia lalu menanya bagaimana penguburan harus dilakukan.
Yo Kang mencabut tombaknya dari perut Auwyang Kongcu.
"Paling dulu, kita kubur mayat dia ini," katanya. "Kalau kejadian ini diketahui pamannya, walaupun dunia ini lebar, bagi kita tak ada tempat untuk menyembunyikan diri..."
Liam Cu menurut, dari itu keduanya lantas bekerja. Mayat Auwyang Kongcu dikubur begitu saja di dalam pekerangan rumah penginapan Sa Kouw itu. Sesudah beres, mereka pergi ke kampung, untuk meminta bantuan sejumlah penduduk guna menggotong dan mengubur jenazah itu dibelakang rumah. Di sini Yo Kang seperti tidak punya kenalan lagi, tidak ada orang yang yang menanyakan dia ini dan itu.
Setelah penguburan, hari pun sudah malam. Untuk tidur, Liam Cu menumpang pada seorang penduduk sedang Yo kang mengambil tempat di pondokan. Besoknya pagi si nona pergi menyamperi ke rumah penginapan, ia mendapat Yo Kang justru lagi membanting-banting kaki dan menyesalkan diri tak hentinya.
"Kau kenapa?" tanya si nona.
"Aku menyesal yang kemaren kita tidak sekalian membinasakan itu dua orang," Yo Kang menyahuti. Ia maksudkan Yauw Kee dan Koan Eng. "Aku tolol, aku dibikin bingung tidak karuan. Mereka sudah pergi, ke mana mereka harus di cari?"
Nona Bok heran.
"Perlu apa kita membinasakan mereka?" tanyannya.
"Sebab aku telah membunuh Auwyang Kongcu. Kalau mereka membuka rahasia, kita terancam bahaya...."
Liam Cu berpikir lain. Ia mengerutkan alisnya.
"Seorang laki-laki, dia mesti berani berbuat berani juga bertanggung jawab!" katanya. "Jikalau kau takut kemarin tak seharusnya kau membinasakan dia!"
Yo Kang menutup mulutnya, akan tetapi hatinya memikirkan bagaimana ia harus mencari Koan Eng dan Yauw Kee itu, untuk membinasakan mereka.
"Pamannya Auwyang Kongcu benar lihay," kata lagi Liam Cu, "Tetapi jikalau kita menyingkir jauh, musthail dia dapat mencari kita?"
"Adikku, aku memikir lain," berkata Yo Kang. "Pamannya itu lihay sekali, aku hendak mengangkat dia menjadi guruku."
"Oh, begitu!" kata si nona heran.
"Sebenarnya sudah lama aku kandung niatku ini," Yo Kang menerangkan. "Hanya di pihak Auwyang Kongcu itu ada aturannya yang ditaati turun-temurun, ialah warisan saban-saban cuma diturunkan kepada satu orang. Sekarang Auwyang Kongcu telah mati, maka pasti pamannya itu suka menerima aku sebagai muridnya!"
Pangeran ini berbicara dengan bangga sekali, tandanya ia sangat girang.
Liam Cu berdiam, hatinya tawar.
"Jadinya kau membunuh dia bukannya untuk menolongi aku?" tanyanya. "Kau jadinya ada maksudmu sendiri!"
"Adikku, kau terlalu bercuriga!" kata Yo Kang tertawa. "Untukmu aku rela tubuhku hancur lebur!"
"Tentang itu baiklah kita bicarakan di belakang hari saja," berkata si nona kemudian. "Sekarang apa yang kau pikir. Kau suka menjadi rakyat yang bersetia dari kerajaan Song yang maha agung atau karena keserakahanmu untuk kedudukan mulia, kau tetap mengakui musuh sebagai ayahmu?"
Yo Kang mengawasi nona itu, wajah yang cantik dan potongan tubuhnya yang bagus sangat menggiurkan hatinya. Hanya kata-kata yang tajam itu membuatnya tidak senang.
"Kedudukan yang mulia?" katanya. "Kedudukan mulia apakah itu? Sekarang ini kota Tiong-touw dari kerajaan Kim telah diserang bangsa Mongolia! Setiap diserang, setiap kali bangsa Kim itu kalah! Di depan mataku sekarang ini ada bayangan dari kemusnahan negara Kim itu!"
Tapi Liam Cu tidak senang mendengar urusan itu.
"Negara Kim kalah, itulah yang paling kita harapkan!" katanya nyaring. "kau sebaliknya membuatnya sayang...."
"Adikku, untuk apa kau menimbulkan urusan ini?" Yo Kang membujuk. "Kau tahu, semenjak kau pergi, hatiku bersengsara memikirkanmu..." Dengan tindakan perlahan ia mendekati si nona untuk mencekal tangannya.
Mendengar suara orang yang lemah, hatinya Liam Cu menjadi lemah juga, maka itu ia membiarkan tangannya dicekal, digenggam perlahan. Cuma karena itu, kulit mukanya menjadi merah.
Yo Kang hendak merangkul nona itu dengan tangannya yang hendak ketika tiba-tiba kupingnya mendengar beberapa kali suara burung yang lagi terbang, suaranya sangat nyaring. Ia lantas mengangkat kepala, dongak. Maka ia melihat dua ekor rajawali putih yang besar terbang berputaran.
Ketika dulu hari Wanyen Lieh mengejar Tuli, Yo Kang melihat dua ekor rajawali itu, yang kemudian dibawa pergi oleh Oey Yong. Maka itu ia jadi berpikir dan menanya dalam hatinya: "Kenapa burung ini sekarang berada disini?" Dengan mencekal terus tangan Liam Cu, ia pergi keluar. Ia melihat burung itu terbang berputaran di atasan mereka. Di dekat pohon yang besar sebaliknya terlihat seorang nona, yang duduk di atas seekor kuda bagus, lagi memandang ke tempat yang jauh. Nona itu memakai sepatu kulit, tangannya mencekal cambuk, dia dandan sebagai wanita Mongolia.
Sesudah terbang berputaran, kedua burung itu terbang ke arah jalan besar, hanya tak lama mereka kembali. Tidak lama dari jalan besar itu terdengar riuh rendah tindakan kaki kuda, yang dikasih lari.
"Rupanya burung itu memanggil orang," Yo Kang pikir. "Supaya mereka itu berkumpul sama ini nona Mongolia..."
Segera juga terlihat debu mengepul naik, disusul sama mendatanginya tiga penunggang kuda. Selagi mereka itu mendatangi dekat, terdengarlah suara melesetnya sebatang anak panah, yang dilepaskan ke arah rumah penginapan.
Si nona muda mengeluarkan busur dan anak panahnya, ia terus memanah.
Kapan ketiga penunggang kuda itu mendengar suara panah tersebut, mereka berseru kegirangan, kudanya lantas dikasih lari lebih keras lagi. Si nona pun melarikan kudanya untuk memapaki.
Kedua pihak sudah datang dekat sekira tiga tombak, kedua-duanya berseru berbareng, tubuh mereka mencelat turun dari kuda masing-masing, belum lagi tubuh mereka tiba di tanah, tangan mereka itu sudah saling menyambar, maka itu, akhirnya mereka turun di tanah berbareng.
Menyaksikan kegesitan mereka itu, Yo Kang kaget dan kagum.
"Bangsa Mongolia demikian pandai menunggang kuda dan menggunai panah, pantaslah kalau bangsa Kim kalah!" katanya dalam hati.
Oey Yong dan Kwee Ceng di dalam kamar juga dapat mendengar suara burung dan kuda berlari-larian. Mereka tetap memasang kuping. Tidak lama dari situ, mereka mendengar orang mendatangi rumah penginapan sambil berbicara. Kwee Ceng terperanjat bukan main.
"Ah, kenapakah mereka datang ke mari?" katanya. Ia kenal baik suara mereka itu. Si nona Mongolia adalah putri Gochin Baki, yang oleh Jengiz Khan ditunangkan kepadanya, dan tiga lainnya ialah Tuli, Jebe dan Borchu.
Putri itu berbicara sambil tertawa dengan kakaknya, Oey Yong tidak mengerti sepatah kata juga apa yang dibicarakan itu, sebab mereka menggunai bahasa Mongolia. Kwee Ceng sebaliknya, hingga kulit mukanya pucat dan merah bergantian. Di dalam hatinya pemuda ini berkata: "Di dalam hatiku sudah ada Yong-jie, pasti aku tidak dapat menikah dengannya, tetapi sekarang ia menyusul aku sampai di sini... Mana dapat aku merusak kepercayaannya. Bagaimana sekarang?"
"Engko Ceng, siapakah itu nona?" Oey Yong tanya berbisik, "Apakah itu yang mereka bicarakan? Kenapa kelihatannya kau tidak tenang?"
Kwee Ceng polos dan jujur, sudah beberapa kali ia hendak mengasih keterangan pada Oey Yong, setiap kali ia hendak membuka mulutnya, ia gagal selalu, dengan sendirinya ia menarik pulang apa yang ia pikir untuk diucapkan itu, tetapi sekarang ia ditanya, mana dapat ia berdusta?
"Dialah putrinya Jenghiz Khan, Kha Khan dari Mongolia," menyahut dia. "Dialah tunanganku...."
Oey Yong tercengang, lalu air matanya keluar mengucur.
"Kenapa kau tidak pernah memberitahukan hal ini padaku?" ia menanya kemudian.
"Pernah aku memikir untuk memberitahukan kau, tetapi selalu batal, sebab aku berkhawatir kau tidak senang," Kwee Ceng menyahut. "Pula ada waktunya aku tidak ingat urusan itu."
"Dialah tunanganmu, kenapa kau boleh tidak ingat?" Oey Yong tanya.
"Aku pun tidak tahu jelas. Aku hanya memikir dia sebagai saudara kandungku... Sebenarnya aku tidak ingin menikah dengannya."
Oey Yong heran.
"kenapa begitu?" ia menanya.
"Karena pertunangan kami itu ditetapkan oleh Kha Khan sendiri. Ketika itu perasaanku tidak ketentuan, ada kalanya aku senang, ada kalanya tidak. Aku melainkan pikir bahwa perkataannya Kha Khan itu tidak salah. Sekarang ini Yong-jie, mana dapat aku menyia-nyiakan kau untuk menikah dengan orang lain?"
"Nah, habis bagaimana?"
"Aku juga tidak tahu..."
Oey Yong berdiam, lalu ia menghela napas.
"Asal didalam hatimu kau selalu perlakukan baik padaku, biarnya kau menikah dengannya, aku tidak ambil peduli..." Katanya sesaat kemudian. Ia berhenti pula sejenak, untuk lantas menambahkan; "Hanya aku pikir, lebih baik kau tidak menikah dengannya. Aku tidak bergembira melihat lain wanita setiap hari mengintil saja padamu, hingga aku khawatir nanti satu waktu darahku naik hingga aku membuatnya lubang pedang di dalam dada dia! Kalau sampai itu terjadi, tentulah kau bakal mencaci aku... Coba dengar, apa saja yang mereka itu bicarakan?"
Di luar kamar rahasia itu, keempat orang Mongolia itu memang asyik bicara terus.
Putri Mongolia itu lagi bicara tentang perpisahan mereka sama saudara-saudara itu.
Sebenarnya, setelah Kwee Ceng dan Oey Yong lenyap di hutan, kedua burung itu sia-sia mencari mereka, sebab di tengah laut itu tak ada tempat untuk menclok, akhirnya mereka terbang ke darat, karena mereka ingat majikan mereka yang lama, terus mereka terbang pulang ke Utara. Gochin Baki heran melihat pulangnya kedua burung itu. Ia melihat ada potongan kain diikat di kaki burung. Itulah robekan kain layar. Dirobekan kain itu ada tulisan huruf Tionghoa. Ia tidak mengerti bahasa Tionghoa, ia lantas bawa itu kepada ibunya Kwee Ceng, Nyonya Kwee atau Lie Peng. Huruf-huruf itu bunyinya "Yoe Lan" artinya "Mendapat bahaya". Tentu saja sang putri menjadi berkhawatir, maka ia lantas berangkat ke Selatan. Itu waktu Jenghiz Khan lagi memimpin angkatan perangnya menyerang bangsa Kim dan pertempuran lagi berlangsung di luar dan di dalam Tembok Besar, maka itu, ke mana si putri mau pergi, tidak ada orang yang melarangnya.
Kedua burung rajawali itu mengerti maksud nona majikannya itu, mereka membawa si nona ke Selatan, untuk mencari Kwee Ceng. Di dalam satu hari, mereka bisa terbang jauhnya beberapa ratus lie, siang mereka terbang pergi, malam mereka terbang kembali. Diakhirnya tibalah mereka di Liam-an. Di sini Gochin Baki tidak dapat menemui Kwee Ceng, sebaliknya ia bertemu dengan kakak ketiganya.
Tuli ini lagi menerima tugas dari ayahnya. Ia di utus ke Lim-an untuk berserikat sama kerajaan Song untuk sama-sama menyerang bangsa Kim. Raja Song - Song Selatan - merasa kedudukannya aman, ia pun jeri terhadap bangsa Kim, dari itu ia menyambutnya ajakan Tuli dengan tawar. Dia pernahkan Tuli di gedung tetamu, dia berlaku acuh tak acuh terhadap utusan Mongolia itu. Selama itu datang kabar baik yang pihak Mongolia menang terus-terusan, sampai pun kota Tiong-touw telah kena dipukul jatuh, itu waktu lantas berubahlah sikapnya menteri-menteri Song itu, lantas saja mereka berlaku manis kepada Tuli, pangeran Mongolia itu. Tuli tidak puas sekali, akan tetapi karena memang sama tugasnya, untuk berserikat sama negara Song, terpaksa ia melayani mereka itu. Demikian perserikatan dilangsungkan. Karena ini berangkatlah ia kembali ke Utara. Di luar kota Lim-an, kebetulan ia melihat burung rajawali adiknya, ia menyangka kepada Kwee Ceng, tidak tahunya ia bertemu sama adiknya itu. Karena ia ada bersama Jebe dan Borchu, mereka jadi ada berempat. Mereka terus singgah di tempatnya Sa Kouw itu.
"Apakah kau bertemu sama anda Kwee Ceng?" sang adik menanya kakaknya.
Tuli baru mau menjawab atau di luar terdengar suara berisik dari satu pasukan tentara, yang kemudian ternyata adalah satu barisan tentara Song yang ditugaskan mengantar pasukan Mongolia itu.
Yo Kang melihat benderanya pasukan Song itu di mana dituliskan: "Dengan segala kehormatan mengantarkan Utusan Mongolia pulang ke Utara". Melihat itu hanya menjadi bimbang. Baru beberapa puluh hari yang lalu, dia pun pangeran yang menjadi utusan rajanya atau sekarang dia sebatang kara. Dapatkah ia menyia-nyiakan kedudukan yang mulia itu?
Bab 52. Barisan bintang
Liam Cu mengawasi pemuda itu dengan tingkahnya yang tidak wajar, ia mengerti yang orang tidak dapat melupakan kedudukan mulia atau penghidupan yang mewah, ia menjadi berduka.
Ketika itu punggawa perang yang mengepalai pasukan pengiring pihak Song itu masuk ke dalam rumah penginapan, dengan hormat sekali ia menghadap Tuli, dengan siapa ia berbicara. Tuli pun mengatakan sesuatu. Habis itu ia memutar tubuhnya, untuk dengan membentak memberikan titahnya: "Pergi kamu menanyakan setiap rumah di kampung ini, apa di rumah mereka ada Kwee Ceng Kwee Koanjin! Jikalau tidak ada, kamu pergi mencari ke lain tempat!"
Titah itu diterima oleh pasukannya, setelah menyahuti, tentaranya itu bubar.
Tidak lama setelah itu terdengarlah suara ayam ribut beterbangan atau anjing berlarian serta juga jeritan-jeritan dari laki-laki serta tangisan dari orang-orang perempuan. Teranglah sudah kawanan serdadu itu telah menggunai ketikanya yang baik untuk melakukan perampasan.
Mendengar suara berisik itu, Yo Kang mendapat pikiran.
"Kenapa aku tidak mau menggunai ketika ini untuk bersahabat dengan pangeran-pangeran Mongolia ini?" demikian pikirnya. "Dalam tempo beberapa hari pastilah dapat aku membinasakan mereka itu. Kalau Kha Khan dari Mongolia mengetahui itu, pasti ia menyangka itulah perbuatannya pihak Song, dengan begitu dengan sendirinya perserikatan mereka bakal bubar. Dan itulah pasti menguntungkan pihak Kim...."
Dengan cepat Yo Kang mengambil keputusan.
"Adikku, kau tunggu sebentar," ia berkata kepada Liam Cu. Terus ia pergi menghampirkan si punggawa Song, ketika ia membentak, tangannya digeraki, dengan tangan kirinya ia membikin punggawa itu terguling jatuh celentang, hingga untuk sesaat dia tidak dapat merayap bangun.
Tuli dan Gochin Baki menyaksikan itu, mereka heran.
Yo Kang melihat keheranan orang itu, ia lantas bertindak ke ruang tengah. Di sini ia keluarkan tombak buntungnya, ia angkat itu tinggi melewati kepalanya untuk terus diletaki di atas meja. Lalu, setelah menekuk kedua lututnya, mendadak ia menangis menggerung-gerung. Ia segera mengeluh: "Oh, saudara Kwee Ceng, kau mati secara menyedihkan sekali..... Pasti aku membalas dendam untukmu! Oh, saudara Kwee Ceng......"
Tuli dan saudaranya beramai tidak mengerti bahasa Tionghoa, tetapi mereka mendengar nama Kwee Ceng disebut-sebut, mereka menjadi heran, maka itu selagi punggawa merayap bangun, mereka menitahkan punggawa ini memberikan keterangan.
Dengan suara terputus-putus Yo Kang kata: "Aku ialah saudara angkatnya Kwee Ceng. Saudara Kwee Ceng telah orang bunuh mati dengan ditikam dengan ujung tombak, aku hendak pergi mencari musuhnya guna membalaskan sakit hatinya itu."
Kapan Tuli dan saudaranya dikasih mengerti, mereka berdiri menjublak. Jebe dan Borchu sebaliknya, mereka menangis sambil menumbuki dada. Mereka ini ingat benar persahabatannya dengan Kwee Ceng itu.
Yo Kang mengarang cerita terlebih jauh dengan menuturkan halnya ia menghajar mundur bangsa Kim di Poo-eng. Cerita ini dipercayai Tuli beramai, bahkan mereka menanyakan penjelasan dan kebinasaannya Kwee Ceng itu. Yo Kang pandai sekali mengatur ceritanya, seperti juga itulah peristiwa benar.
Kwee Ceng di dalam kamar rahasia mendengar ocehan itu, ia pun terbengong. Sebaliknya Gochin Baki, si putri Mongolia, mendadak ia menghunus golok di pinggangnya, untuk membunuh diri. Hanya ketika golok itu hampir mengenai lehernya, tiba-tiba ia memikir sesuatu, goloknya itu terus ia bacoki kepada meja sambil ia bersumpah: "Jikalau aku tidak membalaskan sakit hatinya anda Kwee Ceng, aku sumpah tidak sudi menjadi manusia!"
Yo Kang senang sekali. Nyata akalnya sudah termakan. Ia terus tunduk, ia menangis pula. Karena ia tunduk, tiba-tiba matanya melihat tongkatnya Oey Yong, yang dirampas Auwyang Kongcu. Itulah tongkat yang bersinar hijau bagus. Ia ketarik hatinya, maka ia jumput tongkat itu.
Oey Yong melihat tongkatnya diambil pemuda itu, ia mengeluh. Tentu sekali ia tidak bisa keluar untuk merampasnya.
Tidak lama tentara datang dengan barang hidangan, Gochin Baki semua tak ada nafsunya untuk menangsal perut mereka. Bahkan mereka lantas minta Yo Kang mengantarkan mereka untuk mencari pembunuhnya Kwee Ceng.
"Marilah!" jawab Yo Kang. Ia membawa tongkat Oey Yong serta terus bertindak ke pintu, diikuti rombongan orang Mongolia itu.
"Siapakah yang Yo kang bakal cari?" Kwee Ceng berbisik pada Oey Yong.
Si nona menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu," sahutnya. "Bukankah dia sendiri yang membacok padamu? Dia sangat licik, di dalam halnya kelicikan, aku kalah..."
Justru itu di luar rumah terdengar suara orang bersenandung dengan nada tinggi, katanya: "Malang-melintang dengan mereka, tanpa ikatan, jikalau hati tidak kemaruk akan kemuliaan, diri sendiri taklah terhina...! Eh, nona Bok, kenapa kau ada di sini?"
Itulah suaranya Tiang Cun Cu Khu Cie Kee. Dia menanya Bok Liam Cu selagi si nona baru muncul di ambang pintu. Belum lagi si nona menyahuti, Yo Kang pun bertindak keluar. Kaget ia melihat gurunya itu, hatinya berdenyutan. Tentu sekali ia tidak dapat ketika untuk menyingkirkan diri, maka dengan terpaksa dia menghampirkan guru itu, di depan siapa dia memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk.
Khu Cie Kee tidak sendirian, di sampingnya ada Tan Yang Cu Ma Giok, Giok Yang Cu Ong Cie It, Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie serta In Cie Peng, muridnya. Kedatangan Khu Cie Kee kali ini pun untuk urusan muridnya ini.
Ketika itu hari In Cie Peng kena dihajar Oey Yok Su hingga giginya copot, ia mengadu kepada gurunya. Kebetulan Khu Cie Kee berada di Lim-an. Dia kaget dan gusar, maka mau lantas ia mencari Oey Yok Su. Ma Giok sabar, ia mencegah.
"Oey Lao Shia itu dulu harinya sama kesohornya dengan almarhum guru kita," kata Cie Kee. "Di antara kita bertujuh, cuma Ong Sutee yang pernah bertemu dengannya selama rapat di gunung Hoa San. Siauwtee mengagumi dia, memang siauwtee ingin bertemu dengannya, maka inilah ketikanya yang baik. Siauwtee tidak memikir untuk menempur dia, kenapa suheng mencegah?"
Ma Giok tertawa dan berkata: "Aku dengar Oey Lao Shia itu aneh tabiatnya, sedang kau, berangasan, maka jikalau kamu bertemu muka, kebanyakan bisa terbit onar. Bahwa ia telah memberi ampun pada Cie Peng, itu tandanya ia menaruh muka..."
Cie Kee tidak dapat dibujuk, dia mau juga pergi, maka itu Ma Giok lantas mengundang saudara-saudaranya untuk pergi ke Gu-kee-cun. Mereka sudah berkumpul tetapi Ma Giok mengusulkan untuk mereka berlima yang pergi terlebih dulu. Tam Cie Toan, Lauw Cie Hian dan Cek Tay Thong menantikan di luar kampung itu, bersiap membantu kalau ada perlunya. Diluar sangkaan mereka, bukan mereka bertemu Oey Yok Su, mereka melihat Bok Liam Cu. Khu Cie Kee mengenali nona itu, maka itu selagi bersandung, ia menegur lebih dulu.
Melihat muridnya itu, Khu Cie Kee mengasih dengar suara di hidung, "Hm!" Dia tidak memperdulikan.
"Suhu," Cie Peng berkata, "Tocu dari Tho Hoa To menghina teecu justru di dalam ini rumah penginapan."
Cie Peng sebenarnya menyebut Oey Yok Su dengan nama Oey Lao Shia, yang berarti si Oey tua yang tersesat atau si Sesat bangkotan, tetapi ia ditegur oleh Ma Giok, maka ia mengubah sebutannya.
Khu Cie Kee segera menghadapi rumah penginapan itu, dengan nyaring ia berkata: "Murid-murid Coan Cin Kay ialah Ma Giok beramai, datang menghadap kepada Oey Tocu dari Tho Hoa To!"
"Di dalam tidak ada orang," Yo Kang memberitahukan.
"Sayang, sayang," kata Cie Kee yang membanting-banting kaki. Tapi ia lantas tanya muridnya: "Kau di sini, apa kau bikin?"
Hati Yo Kang sudah goncang karena melihat guru dan sekalian paman gurunya itu, maka atas pertanyaan itu, ia tidak lantas dapat memberikan jawabannya.
Sementara itu Gochin Baki mengawasi Ma Giok, lalu ia lari menghampirkan, terus ia berseru: "Oh, kaulah itu imam yang membantu aku menangkapi rajawali putih. Lihatlah, sekarang itu sepasang rajawali telah menjadi besar sekali!"
Putri Mongolia ini menunjuk pada burungnya sambil bersiul, atas mana kedua ekor burungnya itu lantas turun, menclok di kedua belah pundaknya.
Ma Giok tersenyum, ia mengangguk.
"Apakah dia pun datang ke Selatan ini untuk pesiar?" ia menanya.
Putri ini tahu siapa yang dimaksudkan dengan "dia" itu, lantas saja ia menangis.
"Anda Kwee Ceng telah dibikin celaka orang hingga mati!" katanya sengit. "Totiang, tolong kau balaskan sakit hatinya!"
Ma Giok terkejut hingga ia mencelat. Dengan bahasa Tionghoa ia lalu memberi keterangan kepada saudara-saudaranya perkataan putri itu.
Khu Cie Kee dan Ong Cie It pun heran, dengan berbareng mereka lantas menanyakan apa sebenarnya telah terjadi.
Putrinya Jenghiz Khan segera menunjuk kepada Yo Kang.
"Dialah yang membawa berita, katanya ia melihatnya sendiri," bilangnya. "Coba kau tanyakan dia sendiri!"
Melihat si nona kenal paman gurunya yang tertua, Yo Kang berkhawatir, maka itu ia lantas kata kepada Tuli dan si nona itu: "Kamu tunggu dulu di sebelah depan sana, aku hendak bicara sama beberapa imam ini. Sebentar aku susul kamu."
Perkataan ini disalin oleh si punggawa. Mendengar itu Tuli mengangguk, lantas ia ajak adik dan kawannya pergi ke depan, ke utara kampung itu.
"Siapa yang membunuh Kwee Ceng?!" Cie Kee menanya, bengis. "Lekas bicara!"
Dalam takutnya Yo Kang berpikir: "Kwee Ceng itu aku sendiri yang membunuhnya sendiri, sekarang aku mesti menimpakan kesalahan kepada siapa...? Baiklah aku menyebut seorang lihay, supaya suhu mencari dia, supaya dia mengantarkan jiwanya sendiri, dengan begitu untuk selamanya aku bebas dari mara bahaya..." Maka dengan lagu suara sangat membenci, ia menjawab: "Dialah tocu dari Tho Hoa To!"
Menyusuli jawabannya Yo Kang ini, dari kejauhan terdengar tertawa lebar yang samar-samar, disusul sama suara nyaring seperti bentroknya cecer rombeng, lalu disusul lagi sama suara yang perlahan sekali, tetapi meskipun perlahan, terdengarnya toh tegas. Suara itu seperti berputaran di luar kampung lantas pergi jauh.........
Akan tetapi Khu Cie Kee kaget berbareng girang.
"Itulah tertawanya Ciu Susiok," katanya.
"Ketiga Suheng pergi menyusul!" kata Sun Put Jie.
"Rupanya suara cecer pecah dan suara memanggil tadi seperti lagi menyusul susiok," kata Ong Cie It.
Ma Giok nampaknya berduka.
"Kelihatannya dua orang itu berkepandaian tidak ada di bawahan Ciu Susiok," katanya.
"Entah mereka itu orang pandai darimana? Ciu Susiok bersendirian melawan dua musuh, aku khawatir..." Ia lantas menggoyang-goyangi kepalanya.
Khu Cie Kee dan tiga saudaranya mendengari pula, sekarang suara itu lenyap, rupanya orang telah pergi jauh beberapa lie hingga sulit disusul lagi.
"Ada Tam Suko bertiga, kita tidak usah mengkhawatirkan susiok," kata Sun Put Jie kemudian.
"Aku khawatir mereka tidak dapat menyandak," bilang Cie Kee. "Coba Ciu Susiok mendapat tahu kita berada di sini dan dia datang ke mari..."
Oey Yong dapat mendengar semua pembicaraan mereka itu, ia tertawa sendirinya.
"Ayahku bersama si bisa bangkotan dan tua bangka berandalan tengah mengadu kepandaian lari!" katanya di dalam hatinya. "Mereka itu bukannya lagi berkelahi. Umpama kata mereka benar lagi berkelahi, kamu beberapa imam hendak membantu, mana kamu dapat melawan ayahku serta si bisa bangkotan itu?"
Ma Giok yang sabar lalu mengibas tangannya, maka semua orang lantas masuk ke dalam rumah penginapan untuk pada berduduk.
"Eh, mari aku tanya kau!" kata Cie Kee pada muridnya. "Aku mau tahu, sekarang ini kau dipanggil Wanyen Kang atau Yo Kang?"
Yo Kang takut sekali. Mata gurunya itu sangat tajam memandang padanya. Kalau ia salah menjawab, jiwanya terancam bahaya. Maka lekas-lekas ia menjawab: "Jikalau bukannya suhu serta Ma Supee dan Ong Susiok yang memberi petunjuk, sampai sekarang tentu juga teecu masih dalam kegelapan, masih teecu tetap mengaku musuh sebagai ayahku. Sekarang ini tentu sekali teecu she Yo. Baru saja tadi malam berdua bersama adik Bok ini teecu mengubur jenazah ayah bundaku."
Senang Khu Cie Kee mendengar jawaban itu, ia mengangguk-angguk, air mukanya pun berubah tak bermuram lagi seperti tadi. Sebagai imam jujur, ia mempercayai orang.
Juga Ong Cie It tidak lagi mendongkol melihat sekarang Yo Kang ada bersama Liam Cu, yang tadinya dia gusar karena keponakan murid itu menyangkal perjodohannya dengan nona Bok.
Kebetulan Khu Cie Kee melihat ke lantai tatkala sinar matanya bentrok sama tombak buntung. Ia kenali itu sebagai senjatanya Kwee Siauw Thian. Ia lantas memungutnya, untuk diusap-usap. Nyata ia berduka.
"Pada sembilanbelas tahun yang lampau," katanya perlahan, "Di sini aku telah berkenalan dengan ayahmu serta pamanmu she Kwee, sekarang sesudah belasan tahun lewat, aku melihat ini peninggalan tombaknya, sedang sahabatku itu telah pulang ke alam baka....."
Kwee Ceng mendengar perkataan itu, ia berduka bukan main. Katanya dalam hatinya: "Khu Totiang menyebutnya ialah sahabatnya ayahku, tetapi aku sendiri tidak pernah melihat wajah ayahku itu...."
Kemudian Khu Cie Kee tanya muridnya bagaimana caranya Oey Yok Su membunuh Kwee Ceng.
Sudah terlanjur, Yo Kang lantas mengarang cerita.
Ketiga imam itu menghela napas, mereka berduka sekali. Mereka pun mengenal baik itu pemuda she Kwee.
Selama itu hatinya Yo Kang tidak tenang. Ia pun telah berjanji kepada Tuli dan Gochin Baki.
"Apakah kamu berdua sudah menikah?" kemudian Ong Cie It tanya keponakan murid itu, yang ia awasi.
"Belum," sahut Yo Kang. Kali ini ia tidak berani berdusta.
"Lebih baik kalian lekas menikah!" Ong Cie It bilang. "Khu Suko, baiklah hari ini kau merecoki jodoh mereka, supaya mereka lantas menikah."
Oey Yong dan Kwee Ceng saling mengawasi, dalam hatinya, mereka kata: "Benarkah malam ini kembali kita akan menonton sepasang pengantin?"
Yo Kang sementara itu telah berkata dengan cepat: "Terserah kepada suhu!"
Tapi Bok Liam Cu berkata: "Mesti dipenuhkan dulu satu permintaanku, yang menjadi syaratku, kalau tidak biarnya mati, aku tidak sudi menikah!"
Nona ini telah lama mengikuti ayahnya merantau maka itu ia beda daripada Yauw Kee.
Khu Cie Kee tersenyum.
"Baiklah!" bilangnya. "Apakah itu, nona, kau bilanglah!"
"Ayah angkatku telah dibikin mati oleh Wanyen Lieh, musuh negaraku," menyahut nona Bok, "Maka itu dia mesti membalaskan dulu sakit hati ayahku itu!"
"Bagus!" berseru Cie Kee bertepuk tangan. "Nona, pikiranmu cocok sama pikirannya si imam tua! Nah, anak Kang, bagaimana dengan kau? Kau setujukah?"
Syarat itu hebat sekali, tentu saja Yo Kang menjadi ragu-ragu. Selagi ia berpikir, bagaimana ia harus menjawab, di luar penginapan terdengar suara orang bernyanyi, suaranya serak, dan nyanyiannya ialah lagu "Lian Hoa Lok", nyanyiannya bangsa pengemis. Nyanyian itu lantas disusul sama satu suara halus dan tajam, katanya: "Tuan-tuan besar sukalah berlaku murah hati, mengamal untuk satu bun saja...!"
Mendengar suara itu, Bok Liam Cu lantas berpaling, ia mengenali suara itu.
Di ambang pintu terlihat dua orang pengemis, yang satu bertubuh jangkung dan gemuk, yang lainnya kate dan kurus, dan si jangkung gemuk itu umpama kata sebesar empak kali tubuhnya si kate kurus itu. Maka itu sangat luar biasa perbedaaan di antara mereka berdua. Sang tempo telah berselang banyak tahun tetapi nona Bok masih ingat peristiwa ketika usianya tiga belas tahun dulu, ketika lukanya dibalut oleh pengemis itu, sedang Ang Cit Kong, yang menyukai si nona, telah mengajari dia ilmu silat selama tiga hari. Liam Cu hendak menghampirkan kedua pengemis itu tetapi ia bersangsi tempo ia melihat kedua pengemis itu lantas mengawasi tongkat di tangannya Yo Kang, lalu setelah mereka saling melirik, terus mereka menghampirkan pemuda itu. Dengan menyilangkan kedua tangan mereka, mereka memberi hormat.
Ma Giok semua mengawasi kedua pengemis itu, dengan hanya melihat tindakan orang dan gerakan tubuhnya, mereka mendapat tahu dua orang ini mesti lihay ilmu silatnya. Mereka juga melihat di punggung orang ada tergendol delapan buah kantung goni, yang mana adalah tanda tingkatan tinggi dari kaum Kay Pang. Hanya mereka tidak mengerti kenapa keduanya demikian menghormat terhadap Yo kang.
Si pengemis kurus lantas berkata: "Saudara yang baik, beruntung sekali yang di dalam kota Lim-an ini kau telah menemukan tongkat pangcu kami. Sebenarnya kami telah mencarinya berputaran! Saudara, entahlah dimana tahu kemanakah perginya pangcu kami meminta amal?"
Yo Kang heran diperlakukan demikian. Ia memegangi tongkat tetapi ia tidak tahu hal ikhwalnya tongkat itu. Tentu sekali tidak tahu ia bagaimana harus menjawabnya.
Adalah aturan kaum Kay Pang, melihat tongkat adalah sama seperti mereka menghadap pangcu mereka sendiri, dari itu terhadap Yo Kang mereka berlaku sangat menghormat, tetapi sekarang Yo Kang seperti tidak memperdulikan mereka, agaknya mereka bergelisah, lekas-lekas mereka menunjuki sikap lebih hormat pula.
Si pengemis gemuk turut berkata, katanya: "Pertemuan di Gak-ciu sudah mendesak harinya, untuk itu Kan Tianglo dari timur sudah bergerak ke barat."
Yo Kang menjadi semakin tidak mengerti. Tadi ia mengasih dengar, "Hm!" sekarang ia mengasih dengar pula suaranya itu.
Pengemis kurus pun berkata pula: "Oleh karena teecu mencari tongkatnya pangcu, tempo kami telah tersia-siakan beberapa hari, maka sekarang setelah kita bertemu, seharusnya kita lantas berangkat! Maka itu baiklah sekarang teecu beramai menemani padamu!"
Biar bagaimana Yo Kang dapat menggunakan otaknya. Memang ia ingin lekas-lekas menyingkir dari depan guru dan paman-paman gurunya itu. Maka ia lantas berlutut kepada mereka, katanya: "Teecu ada mempunyai urusan penting, tidak dapat teecu menemani kepada suhu beramai, dari itu, harap teecu dimaafkan!"
Khu Cie Kee beramai percaya muridnya ini ada mempunyai urusan penting dengan Kay Pang, mereka pun tahu, Ang Cit Kong kenal baik dengan Ong Tiong Yang, almarhum guru mereka, karena itu mereka tidak berani menahan Yo Kang. Malah sebaliknya, mereka berlaku hormat kepada kedua pengemis itu, yang sikapnya demikian halus.
Bok Liam Cu pun suka turut. Bukankah ia ada kenal dengan dua pengemis itu? Maka ia juga memberi hormat pada Khu Cie Kee berempat, untuk pamitan.
Begitulah, berempat mereka berangkat.
Khu Cie Kee berempat bermalam di rumah penginapan itu untuk menantikan Tam Cie Toan bertiga. Baru besoknya tengah malam, mereka mendengar suara siulan panjang di luar kampung itu. Sun Put Jie lantas berkata: "Cek Suheng pulang!"
Ketika itu Khu Cie Kee berempat lagi bersemadhi tatkala mereka mendengar isyarat dari Kong Leng Cu Cek Tay Thong, atas mana Ma Giok lantas memberikan jawabannya perlahan tetapi terang. Cuma sebentar saja, lantas satu bayangan berkelebat dan Cek Tay Thong bertindak masuk.
Oey Yong belum pernah melihat imam itu, ia lantas mengintai.
Malam itu malam tanggal lima bulan tujuh, rembulan masih kecil, akan tetapi di situ si nona dapat melihat dengan tegas. Maka ia tampak seorang yang bertubuh gemuk dan tinggi besar, romannya seperti seorang pembesar negeri, tangan baju dari jubahnya ada separuh, cuma sampai sebatas sikut. Jadi pakaian dia ini berbeda sekali dengan jubahnya Ma Giok beramai.
Cek Tay Thong ini, semasa belum menjadi imam, adalah seorang hartawan di Lenghay, Shoatang, dia pun terpelajar tinggi, baru kemudian dia mengangkat Ong Tiong Yang menjadi guru. Ketika ia menerima muridnya ini, Ong Tiong Yang meloloskan jubah yang ia pakai, kedua ujung bajunya ia kutungi, jubahnya itu dikasihkan muridnya pakai. Ia pun kata: "Tidak ada bahaya, tidak ada tangan baju, maka kamulah yang harus merampungkan sendiri."
Huruf "tangan baju" ada sama suaranya dengan huruf "menerimakan". Dengan itu mau diartikan, meskipun guru ini tidak memberikan banyak pengajaran kepada satu muridnya, dengan peryakinan sendiri, si murid akan memperolah kemajuan. Cek Toy Thong mengingat baik-baik perkataan gurunya itu, maka selanjutnya ia tetap mengenakan jubah tangan buntung itu.
"Bagaimana dengan Cui Susiok?" tanya Khu Cie Kee yang tidak sabaran. "Sebenarnya ia lagi bergurau atau benar-benar bertempur?"
Cek Toy Thong menggeleng kepala.
"Kepandaianku masih rendah sekali, setelah menyusul tujuh atau delapan lie, aku lantas kehilangan Cui Susiok itu," ia menyahut. "Tam Suko bersama Lauw Suko berada di sebelah depanku."
"Kau letih, Cek Sutee, kau beristirahatlah," katanya.
Cek Tay Thong lantas duduk bersila, untuk menjalankan pernapasannya.
"Diwaktu tadi aku berjalan pulang," kemudian ia berkata pula, "Di Ciu Ong Bio aku melihat enam orang, melihat roman mereka, mereka mestinya Kanglam Liok Koay yang Khu Suheng cari. Lantas aku menghampirkan mereka, nyata penglihatanku tidak keliru."
"Bagus!" kata Cie Kee girang. "Sekarang di mana adanya mereka itu?"
"Sebenarnya mereka itu baru kembali dari Tho Hoa To," Tay Thong memberi keterangan pula.
Cie Kee terkejut.
"Sungguh mereka bernyali besar berani pergi ke Tho Hoa To!" katanya. "Pantas kita tidak dapat mencari mereka."
"Menurut keterangannya Thay-hiap Kwa Tin Ok, ketua dari Liok Koay, mereka telah membuat perjanjian dengan Oey Yok Su untuk pergi ke Tho Hoa To, hanya setibanya mereka di pulau itu, Oey Yok Su tidak ada. Mendengar kita berada di sini, mereka itu membilang bahwa dalam satu dua hari ini mereka hendak datang berkunjung."
Kwee Ceng mendengar pembicaraan itu, mengetahui semua gurunya tidak kurang suatu apa, ia girang sekali. Sementara itu, setelah lewat lima hari lima malam, kesehatannya pun sudah pulih separuhnya.
Di hari keenam lohor kira jam tiga atau empat, dari luar kampung sebelah timur terdengar suara siulan, atas itu Khu Cie Kee berkata: "Lauw Sutee kembali bersama seorang yang lihay, entah siapakah dia..."
Berlima mereka lantas berbangkit, untuk pergi keluar untuk menyambuti. In Cie Peng jalan di belakang. Lantas mereka melihat Cie Hian bersama seorang tua yang rambut kumisnya sudah putih semua, bajunya pendek, sepatunya sepatu goni, sebelah tangannya memegang sebuah kipas besar, sembari berjalan ia berbicara sambil tertawa-tawa. Ketika dia sampai di muka penginapan, kepada lima anggota Coan Cin Pay yang menyambutnya, dia cuma mengangguk sedikit, agaknya dia tidak melihat mata kepada mereka itu. Tapi Lauw Cie Hian segera mengajarnya kenal: "Inilah Tiat-ciang Cui-siang-piauw Kiu Locianpwee yang namanya kesohor di seluruh negera. Hari ini kami bertemu dengannya, sungguh beruntung!"
Mendengar namanya imam she Lauw itu, Oey Yong tersenyum, dengan sikutnya ia membentur tubuh Kwee Ceng, siapa lantas tersenyum juga. Berdua mereka berpikir: "Marilah kita menyaksikan ini tua bangka penipu besar mempermainkan ini orang-orang Coan Cin Kauw!"
Lalu terdengarlah suaranya Ma Giok berlima, yang bicara sama orang she Kiu ini dengan sikap menghormat, sedang Kiu Cian Jin lantas mengasih dengar ocehannya.
Kemudian Khu Cie Kee menanya apa "locianpwee" itu bertemu sama Ciu Pek Thong, paman gurunya itu.
"Loo Boan Tong?" menegaskan orang she Kiu itu. "Dia telah dibinasakan oleh Oey Yok Su!"
Semua orang Coan Cin Kauw itu menjadi kaget sekali.
"Ah, tidak bisa jadi!" kata Cie Hian selang sesaat. "Baru saja boanpwee melihat Cui Susiok, karena larinya sangat keras, boanpwee tidak dapat menyandak padanya."
Kiu Cian Jin tertawa, ia tidak membilang suatu apa. Ia rupanya lagi berpikir bagaimana harus menelurkan kedustaannya.
"Lauw Sutee," tanya Cie Kee, "Apakah kau melihat tegas romannya itu dua orang yang mengejar Ciu Susiok?"
"Yang satu mengenakan jubah putih, yang lainnya jubah hijau panjang. Mereka itu sangat kencang larinya. Samar-samar aku melihat wajahnya yang berjubah hijau itu luar biasa sekali, mirip dengan mayat".
Kiu Cian Jin telah melihat Oey Yok Su di Kwie-in-chung, segera berkata. "Benar! pembunuhnya Ciu Pek Thong si baju hijau itu ialah Oey Yok Su! Lain orang mana bisa? Aku hendak mencegah sayang terlambat...!"
Namanya Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin sangat kesohor, enam imam Cona Cin Kauw ini tidak menyangka bahwa orang tengah membohong, mendengar hal dibunuhnya Ciu Pek Thong, paman guru mereka itu, mereka sangat berduka berbareng gusar.
"Tam Suko dapat lari lebih keras daripada aku, mungkin dia mendapat kesempatan melihat bagaimana caranya susiok dibunuh," kata Cie Hian.
"Aku khawatir Tam Suko pun nampak bahaya..." kata Sun Put Jie yang berkhawatir. Ia berhenti tiba-tiba dan mukanya pucat.
Khu Cie Kee lantas menghunus pedangnya.
"Mari kita menyusul!" serunya. "Kita mesti menolongi dan membalaskan sakit hati!"
"Jangan!" berteriak Kiu Cian Jin, yang khawatir mereka ini dapat mencari Ciu Pek Thong. "Oey Yok Su ketahui kamu berada di sini, segera juga dia bakal datang ke mari. Oey Lao Shia itu ada sangat jahat, aku si orang tua tidak dapat membiarkan dia! Aku juga tidak membutuhkan bantuannya lain orang, maka biarlah kamu berdiam saja di sini menantikan kabar baik dari aku!"
Khu Cie Kee semua sangat percaya dan menghormati orang tua ini, mereka tidak membantah. Pula, kalau mereka mengejar, mereka khawatir nanti mengambil jalan salah hingga jadi tidak dapat bertemu sama Oey Yok Su, dari situ, suka mereka menanti saja. Maka mereka berjalan keluar mengantarkan kepergiannya orang tua itu, mereka sikapnya sangat menghormat.
Setelah keluar dari ambang pintu, Kiu Cian Jin memutar tubuhnya seraya mengibaskan tangan serta mulutnya berkata: "Tidak usah kau mengantar sampai jauh! Meskipun Oey Lao Shia lihay sekali, aku toh mempunyai jalan untuk mengalahkan dia! Kamu lihat!"
Ia tidak lantas berjalan terus hanya menghunus sebatang pedang dari pinggangnya, dengan itu ia menikam perutnya, hingga mereka menjadi kaget. Tiga dim dari pedang itu telah tertancap separuhnya! Akan tetapi si orang tua tertawa dan kata: "Di kolong langit ini, senjata tajam apa juga tidak dapat melukakan aku, maka janganlah tuan-tuan kaget dan takut! Jikalau aku menyusul tetapi tidak bertemu dan sebaliknya Oey Lao Shia itu datang ke mari, jangan tuan-tuan melayani dia bertempur, khawatir nanti kamu terluka, kamu tunggu saja kembaliku!"
"Sakit hati paman guru, yang menjadi keponakan muridnya, tak dapat kami tidak membalasnya!" berkata Khu Cie Kee.
Mendengar itu, Kiu Cian Jin menghela napas.
"Kalau begitu, terserah!" katanya, berduka. "Ini dia takdir! Jikalau kamu hendak membalas sakit hati, satu hal kamu mesti ingat!"
"Tolong locianpwee memberikan petunjuk," Ma Giok minta.
Kiu Cian Jin lantas mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
"Begitu kamu melihat Oey Lao Shia, kamu mesti lantas mengepung dengan sungguh-sungguh!" katanya. "Jangan kau bicara kendati sepatah kata juga! Kalau tidak, sukarlah sakit hati kamu terbalaskan! Ingat baik-baik!"
Habis berkata, ia memutar tubuhnya, untuk terus berlalu, pedangnya masih nancap terus diperutnya itu......
Khu Cie Kee semua saling mengawasi dengan berdiri menjublak. Mereka ada orang-orang dengan pengetahuan dan pemandangan yang luas tetapi belum pernah mereka menyaksikan orang menublas perut demikian rupa, dapat bicara, tertawa dan berjalan dengan tenang! maka itu maulah mereka menduga bahwa kepandaian orang tua itu sangat luar biasa. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa mereka telah dijual Kiu Cian Jin. Pedang itu bertekuk tiga, kalau tekukan yang pertama membentur sesuatu, yang dua lagi segera ngelepot masuk, jadi ujung pedang cuma mengenai ikat pinggang dan nancap, hanya nampaknya betul seperti terpendam di dalam perut. Dia telah menerima undangan Wanyen Lieh, dia bertugas mulutnya menyebar racun kata-kata untuk membuatnya orang-orang gagah di jamannya itu bentrok satu dengan lain, agar bangsa Kim (kin atau Chin) mendapat ketika menyerbu ke Selatan, guna menumpas alaha Song.
Seperginya orang tua itu, Khu Cie Kee berenam tak tenang hatinya, sampai mereka tidak bernafsu dahar dan minum. Mereka terus menanti. Ketika tiba sang tengah malam dari tanggal tujuh, mendadak mereka mendengar sama-samar suara orang di arah utara, seperti dua orang saling susul, atau sebentar kemudian, tibalah dua orang itu di depan rumah penginapan.
Enam orang Coan Cin Kauw ini duduk bersemadhi di atas tumpukan rumput, dengan itu jalan mereka memelihara diri sambil berlaku sabar sebisanya, cuma In Cie Peng, yang latihannya masih lebih rendah, sudah tidur pulas. Mendengar suara itu, mereka lantas berlompat bangun.
"Musuh mengejar Tam Sutee," berkata Ma Giok. "Berhati-hatilah semua!"
Untuk Kwee Ceng, malam itu pun malam terakhir, guna memenuhkan waktu istirahat tujuh hari tujuh malam. Tindakan mereka itu besar faedahnya. Bukan saja Kwee Ceng sendiri sembuh lukanya di dalam, juga rapat lukanya di luar, pula tenaga dalam mereka mendapat kemajuan besar. Tempo beberapa jam lagi adalah tempo yang terpenting. Tapi Oey Yong berduka dan berkhawatir kapan ia mendengar perkataannya Ma Giok itu.
"Kalau yang datang benar ayah, inilah hebat," pikirnya. "Coan Cin Cit Cu tentu bakal lantas menyerang dan mengerebuti.... Aku tak dapat keluar, untuk mencegah guna mengasih penjelasan. Bagaimana? Aku khawatir sangat mereka ini bakal bercelaka di tangan ayah. Kematian mereka itu tidak ada sangkutnya dengan aku sendiri, tidak demikian dengan engko Ceng. Engko Ceng ada sangkutannya dengan mereka itu. Pasti engko Ceng akan bertindak.... Tidakkah itu bakal meludaskan usaha kita berhari-hari dan bemalam-malam ini, sedang ini adalah detik-detik terakhir? Aku khawatir, tidak cuma ilmu silatnya juga jiwanya akan terancam bahaya..." Maka ia lantas berbisik di kuping lawannya itu: "Engko Ceng, kamu mesti berjanji padaku, tidak peduli bakal terjadi apa juga yang besar dan penting, kau tidak boleh keluar dari sini!"
Kwee Ceng mengangguk dengan lantas.
Segera juga siulan terdengar di luar pintu penginapan.
"Tam Sutee, lekas mengatur barisan Thian Kong Pak Tauw!" Khu Cie Kee berseru.
Mendengar nama barisan itu, Kwee Ceng jadi sangat ketarik hatinya. Di dalam kitab Kiu Im Cin-keng ada disebut-sebut nama bintang-bintang itu, sebagai pokok untuk pernyakinan kemahiran, penjelasan lainnya tidak ada, maka itu, ia ingin ketahui kepandaiannya Coan Cin Cit Cu. Segera ia mengintai.
Justru pemuda ini mengintai, justru pintu tergabrukan terbuka dan seorang imam melompat masuk, hanya disaat jubahnya berkibar dan kaki kirinya baru melewati ambang pintu, mendadak ia terhuyung dan mundur pula keluar. Inilah sebab musuhnya telah tiba dan sudah menyerang padanya.
Khu Cie Kee bersama Ong Cie It berlompat ke pintu, dimana mereka berdiri berendeng, kedua tangan mereka diajukan ke depan, maka tenaga mereka bentrok sama tenaga dari luar. Sebagai kesudahan dari itu, kedua imam ini mundur dua tindak, lawannya mundur dua tindak juga. Ketika ini digunai Tam Cie Toan untuk berlompat masuk.
Di bawah sinar rembulan terlihat tegas orang di luar itu awut-awutan rambutnya, mukanya ada dua goresan darahnya, pedang di tangan kanannya tinggal sepotong, entah bekas dikutungi dengan senjata apa.
Setiba di dalam, tanpa mengucap sepatah kata, Tam Cie Toan lantas duduk bersila, untuk bersemadhi, sikapnya itu diturut oleh keenam saudaranya. Di luar pintu lantas terdengar suara yang keras dan seram: "Imam tua she Tam, jikalau bukan nyonya besarmu memandang kepada Ma Giok yang menjadi kakak seperguruanmu, pasti siang-siang aku telah mengantarkan jiwamu! Perlu apa kau memancing nyonya besarmu datang ke mari? Siapa itu barusan yang membantu padamu? Kau terangkanlah kepada Mayat Besi dari Hek Hong Siang Sat!"
Di tengah malam buta itu, suaranya Bwee Tiuw Hong ini membuatnya tubuh orang menggigil sendirinya. Setelah itu, kembali sunyi senyap. Apa yang dapat terdengar melainkan suara kutu. Hanya sebentar kemudian, terdengar suara seperti mereteknya tulang-tulang dan otot-otot. Kwee Ceng tahu itulah tanda Bwee Tiauw Hong, yang rupanya hendak menyerbu ke dalam. Habis itu terdengar: "Sekali tertinggal sampai pula beberapa puluh tahun..."
Itulah senandungnya Ma Giok, suaranya halus dan sabar.
Lalu Tam Cie Toan menyambungi: "Dengan rambut kusut jalan sepanjang hari bagaikan edan." Suara itu besar dan kasar, hingga Kwee Ceng mengawasi anggota Coan Cin Cit Cu yang kedua ini, muka siapa berdaging dan berotot, alisnya gompiok, matanya besar, tubuhnya besar dan kekar. Sebelum menyucikan diri, ialah asal tukang besi di Shoatang, tabiatnya jujur dan polos, dari itu, gelarannya ialah Tiang Cin Cu.
Orang yang ketiga bertubuh kate dan kurus, mukanya seperti kera. Dialah Tiang Seng Cu Lauw Cie Hian, yang turut bersenandung. "Di bawah pesaben haytong menanam bibit." Dia bertubuh kecil tetapi suaranya nyaring sekali.
Tiang Cun Cu Khu Cie Kee pun menyambuti: "Di dalam perahu di antara daun teratai ada dewa Thay It Sian." Ia lantas disambungi Giok Yang Cu Ong Cie It "Tak ada beda maka boleh keluar dari batok kosong."
Kong Leng Cu Cek Tay Thong turut bersenandung juga: "Ada orang yang dapat sadar sebelum dilahirkan." Ia dituruti oleh Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie, katanya, "Pergi keluar sambil tertawa dan merdeka bebas."
Sebagai penutup bersenandunglah Tan Yang Cu Ma Giok, "Mega di telaga See Ouw, rembulan di langit!"
Bwee Tiauw Hong terkejut mendengar suara mereka itu, suara yang menandakan tenaga dalam yang mahir. Maka berpikirlah dia: "Mustahilkah Coan Cin Cit Cu berkumpul di sini semua? Ah, tidak bisa jadi! Kecuali Ma Giok, suara mereka itu lain...."
Selama di jurang di padang pasir Mongolia, Bwee Tiauw Hong pernah mendengar suara Ma Giok serta Kanglam Liok Koay yang menyamar sebagai Coan Cin Cit Cu, dengan kupingnya yang jeli sekali, ia bisa ingat dan membedakan suara orang. Ia tidak mempunyai mata, maka itu ia mengandal pada kupingnya. Sekarang ia mendengar suara yang lain sekali kecuali suara Tan Yang Cu Ma Giok. Sampai sekarang ia masih belum tahu bahwa dulu hari ia telah diperdayakan Ma Giok.
"Ma Totiang!" ia lantas menanya. "Semenjak kita berpisah, bukankah kau baik-baik saja?"
Ia masih ingat imam itu, yang dulu hari itu berlaku baik terhadapnya, dari itu, mengenai perbuatannya Tam Cie Toan, ia masih memandang ketua Coan Cin Cit Cu itu. Sebenarnya, ketika Cie Tong gagal menyusul Ciu Pek Thong, di tengah jalan ia melihat salah satu Hek Hong Sang Sat ini, yang lagi berlatih. Ia tahu Tiauw Hong sangat jahat, ia memikir untuk menyingkirkan si jahat ini dari dalam dunia. Ia berhati mulia, tak tega ia menyaksikan Tiuw Hong berlatih dengan sasaran orang hidup. Maka ia lantas menyerang. Diluar dugaannya, ia dikalahkan. Tiauw Hong mengenali orang ada iman dari Coan Cin Kauw, ia ingat Ma Giok, maka ia cuma melukainya, tidak mau ia merampas jiwanya, meski begitu, ia mengejar terus sampai di rumah penginapan itu.
"Terima kasih, terima kasih!" menyahut Ma Giok. "Tho Hoa To dengan Coan Cin Kauw tidak mendendam tidak bermusuh, apakah benar gurumu bakal segera datang kemari?"
Bwee Tiauw Hong melengak.
"Untuk apa kamu menanyakan guruku?" ia menanya.
Tapi Khu Cie Kee bertabiat keras. Ia membentak: "Perempuan siluman! Lekas kau suruh gurumu datang ke mari, supaya dia belajar kenal dengan kepandaiannya Coan Cin Cit Cu!"
"Kau siapa?!" tanya Tiauw Hong gusar.
"Khu Cie Kee! pernahkah kau mendengar namaku?"
Tiauw Hong mengasih dengar suaranya yang aneh, tubuhnya mencelat. Ia menyerang ke arah darimana suara jawaban itu datang, tangan kirinya menutup diri, tangan kanannya menjambak, mencengkeram ke kepala!
Kwee Ceng mengetahu lihaynya Bwee Tiauw Hong, bahwa serangannya itu sangat hebat, biar Cie Kee lihay, tak dapat ia melawan keras dengan keras. Akan tetapi dia melihat si imam tetap duduk bersila, tidak mau menangkis, tidak mau berkelit, ia menjadi kaget. "Celaka!" katanya dalam hatinya. "Kenapa Khu Totiang bernyali begini besar?"
Bwee Tiauw Hong mengarah batok kepalanya Khu Cie Kee, selagi ia menjambak itu, mendadak datang serangan angin dari kiri dan kanannya. Itulah serangan berbareng dari Lauw Cie Hian berdua Ong Cit It. Ia mau melanjutkan serangannya itu, maka tangan kirinya dikibaskan, guna menangkis. Di luar dugaannya, hebat serangan angin itu, tidak dapat ia menghalaunya, maka terpaksa ia berlompat mundur sambil jumpalitan. Cie Hian dan Cie It, dengan tenaga dalam im dan yang, telah menggabungkan diri. Ia menjadi kaget dan heran. Ia menyangsikan itulah serangan orang Coan Cin Kauw. Maka ia lantas berseru dengan pertanyaannya, "Apakah Ang Cit Kong dan Toan Hongya ada di sini?"
"Kitalah Coan Cin Cit Cu!" berkata Khu Cie Kee tertawa. "Di sini mana ada Ang Cit Kong dan Toan Hongya?"
Tiauw Hong bertambah heran.
"Si imam tua she Tam bukan tandinganku, kenapa di antara saudara-saudaranya ada yang begini lihay?" pikirnya. "Apa mungkin kepandaian mereka berlainan tanpa memperdulikan tingkatan mereka tua atau muda?"
Kwee Ceng pun heran seperti Tiauw Hong melihat Khu Cie Kee terbebaskan oleh Lauw Cie Hian dan Ong Cie It itu. Hebat Tiauw Hong kena dibikin terpental mundur. Ia menduga kedua imam itu berimbang sama si Mayat Besi. Memang cuma Ang Cit Kong, Ciu Pek Thong, Oey Yok Su dan Auwyang Hong yang mempunyai tenaga demikian besar. Kalau Caon Cin Cit Cu, inilah aneh...
Tiauw Hong beradat keras, kepalanya besar. Kecuali gurunya, ia tidak takut siapa juga. Makin ia terhajar, makin ia penasaran. Demikian kali ini. Setelah berdiam sebentar, tangannya meraba ke pinggangnya. Ia mengasih keluar cambuk lemasnya, Tok-liong Gin-pian, cambuk perak si Naga Beracun.
"Ma Totiang, maafkan, hari ini terpaksa berlaku kurang ajar!" katanya.
"Kata-kata yang baik!" Ma Giok menjawab.
"Aku hendak menggunia senjata, maka itu, kamu hunuslah senjata kamu!" kata si buta.
"Kami bertujuh, kau sendirian," berkata Ong Cie It. "Kau pun tidak bisa melihat apa-apa! Maka itu, biar bagaimana kami tidak dapat menggunakan senjata. Kami akan tetap duduk bersila, kau majulah!"
Tiauw Hong bersuara dingin.
"Jadi kamu hendak melayani cambuk perakku dengan duduk diam saja?" tanyanya.
"Ah, perempuan siluman!" Cie Kee membentak. "Malam ini malam ajalmu tiba, buat apa kau masih banyak omong lagi?"
"Hm!" Tiauw Hong berseru di hidungnya, sedang tangannya lantas diayun, hingga cambuknya terus meluncur ke arah Sun Put Jie. Cambuk panjang yang banyak gaetannya itu bergerak perlahan bagaikan seekor ular besar berlegot.
Oey Yong memasang kuping mendengarkan kedua pihak mengadu mulut, ia tahu cambuknya Tiauw Hong lihay sekali, maka heran Coan Cin Cit Cu mau melayani tanpa senjata dan tanpa bergerak juga dari tempatnya bercokol masing-masing. Ia menjadi ingin melihat. Ia menarik Kwee Ceng, agar kawan itu menyingkir. Buat ia menggantikan mengintai. Begitu ia menyaksikan caranya tujuh imam itu berduduk, ia menjadi heran.
"Itulah keletakan bintang-bintang Pak Tauw," pikirnya. "Ah, tidak salah, barusan Khu Totiang menyebutkan tentang Thian kong Pak Tauw. Inilah rupanya barisan itu."
Oey Yok Su mengerti ilmu alam, ketika Oey Yong masih kecil, suka ia membawanya berangin waktu malam, maka sambil mengasih anak itu duduk di pangkuannya, sering ia menunjuk ke langit dan memberitahukan kepada si anak tentang bintang-bintang. Oey Yong ingat benar petunjuk ayahnya itu, maka sekarang, dengan sekali lihat, ia ketahui Coan Cin Cit Cu ini telah menempatkan diri sebagai tujuh bintang Pak Tauw itu, bintang-bintang Utara.
Di antara tujuh imam itu, Ma Giok yang mengambil kedudukan thian-kie, Tam Cie Toan thian-soan, Lauw Cie Hian thian-khie, dan Khu Cie Kee thian-koan, sedang Ong Cie It giok-heng, Cek Thay Thong kay-yang, dan Sun Put Jie yauw-kong. Kedudukan thian-koan paling penting, dia yang menghubungi yang tiga dengan yang tiga lagi, dari itu kedudukan ini ditempati Khu Cie Kee yang ilmu kepandaiannya paling lihay. Yang kedua yang penting ialah giok-heng, maka itu diambil Ong Cie It.
Oey Yong sangat cerdas, selagi Kwee ceng mengwasi sekian lama tapi tak mengerti suatu apa, ia hanya menampak sekelebatan, lantas ia mengerti. Tujuh imam itu menggabungkan diri dengan tangan kiri mereka menyambung sama tangan kanan. Sambungan tangan itu mirip dengan tangan dia dan Kwee Ceng, guna membantu pemuda ini mengobati diri.
Cambuknya Tiauw Hong bergerak perlahan ke arah kepala Sun Put Jie. Kelihatannya saja perlahan, ancamannya sebenarnya hebat. Imam wanita itu tetap tidak bergerak. Selagi mengawasi, Oey Yong melihat jubah orang, di situ ia mendapatkan sulaman sebuah tengkorak. Ia heran, hingga ia berpikir: "Coan Cin Kauw ada dari kalangan murni, kenapa jubahnya sama dengan jubah Tiauw Hong dari kalangan sesat?" Ia pasti tidak tahu, tempo Ong Tiong Yang menerima muridnya ini, dia telah menghadiahkan gambar tengkorak dan murid ini, yang ingat budi gurunya, lantas menyulamkan itu pada jubahnya.
Disaat cambuk hampir mengenai sasarannya, ialah bagian gigi dari tengkorak di jubah Sun Put Jie itu, tiba-tiba cambuk itu berbalik sendirinya, berbalik dengan kaget bagaikan kepala ular kena dibacok, bagaikan anak panah melesat, menyambar kepada pemiliknya!
Tiauw Hong kaget, tidak sempat ia menggerakkan tangannya, sebab tangannya itu bergetar, terpaksa ia kelit kepalanya, hingga ujung cambuk lewat di atas rambutnya. "Sungguh berbahaya.." ia kata dalam hatinya. Sesudah itu baru ia dapat menguasai pula cambuknya itu. Ia lalu menyerang ke arah Ma Giok dan Khu Cie Kee.
Dua-dua imam itu duduk diam adalah Tam Cie Toan dan Ong Cie It yang menyerang dan membuatnya cambuk mental.
Oey Yong memasang mata, ia dapat melihatnya. Kalau satu imam menangkis, ia menggunai sebelah tangannya dan tangan yang lain diletaki di pundak seorang saudaranya. Ia lantas mengerti. Cara mereka itu sama dengan caranya sendiri mengobati Kwee Ceng. Itu artinya, tujuh orang menggabung tenaganya melawan Bwee Tiauw Hong satu orang.
Apa yang dinamakan barisan bintang Thian Kong Pak Tauw ini adalah semacam ilmu kepandaian paling mahir dari kaum Coan Cin Kauw. Itulah karya ciptaannya Ong Tiong Yang, sesudah imam itu memutar otaknya melatih diri dengan bersusah payah dan mengambil tempo lama. Untuk melayani lawan, tak usah orang diserang sendiri yang menangkis atau berkelit, hanya kawan di sampingnya yang membalas menyerang, kalau kawan ini menyerang, tenaganya jadi berlipat ganda kuatnya, sebab ia dibantu oleh yang lain-lainnya.
Tiauw Hong mencoba lagi beberapa kali, habis itu, berbareng heran, ia menjadi berkhawatir. Lama-lama ia merasa, kalau ia menyerang, bukan lagi cambuknya dibikin terpental seperti semula hanya seperti ditarik, meski ia masih dapat menggunai itu, kalangan bergeraknya cambuk seperti diperciut. Sia-sia ia mencoba untuk menariknya, guna mengulurnya. Ia merasa dirinya terancam tetapi ia masih penasaran. Tak mau ia membiarkan cambuknya dirampas oleh musuh-musuh yang melawannya sambil duduk bercokol saja. Tapi karena ia penasaran dan bersangsi, ia melenyapkan saatnya yang baik. Coba ia melepaskan cekalannya dan lompat mundur, tentu ia selamat......
Kalau barisan bintang-bintang utara itu bergerak, kecuali oleh pemegang pusat thian-koan, gerakannya tidak dapat dihentikan. Bahkan ketujuh imam itu bergeraknya semakin cepat.
Bwee Tiauw Hong menggertak gigi. Ia tahu, kalau ia terus melawan, ia bakal celaka. Maka itu, dengan berat, ia terpaksa melepaskan juga cambuknya. Tetapi sekarang sudah kasep. Lauw Cie Hian sudah lantas menarik dengan keras. Dengan menerbitkan suara, cambuk menghajar dinding tembok, hingga rumah penginapa itu bergetar, genting-gentingnya pada berbunyi, debu meluruk jatuh. Menyusul itu tubuhnya Tiauw Hong terbetot satu tindak ke depan.
Tindakan cuma satu tetapi itulah tindakan yang memutuskan. Kalau tadi ia melepaskan cambuknya dan lompat, lalu lompat pula mundur, ia bisa memutar tubuhnya untuk lari ke luar. Mungkin ia bakal disusul tetapi tidak nanti ia tercandak. Di dalam saat berbahaya ini, ia masih mencoba membela diri. Ia menjambak ke kiri dan kanan. Ia segera kebentrok tangannya Sun Put Jie dan Ong Cie It. Menyusul itu, Ma Giok dan Cek Tay Thong pun menyerang dari belakang. Ia majukan kaki kirinya setengah tindak, sambil berseru nyaring, ia menerbangkan kaki kanannya. Dengan begitu dengan saling susul ia menendang lengannya kedua imam yang belakangan itu, di jalan darah gwa-kwan dan hwee-cong.
"Bagus!" Khu Cie Kee dan Lauw Cie Hian memuji. Dengan saling susul, mereka ini menolong dua saudaranya dari bahaya itu.
Kaki kanan Tiauw Hong belum lagi menginjak tanah, kaki kirinya sudah bergerak pula. Dengan begitu ia menyingkir dari serangannya Cie Kee dan Cie It. Ketika kaki kanan itu diturunkan, ia maju lagi satu tindak. Dengan begini berarti ia telah masuk semakin dalam ke dalam barisannya ketujuh imam. Itu artinya, kecuali ia dapat merobohkan salah satu musuh, ia tidak mempunyai jalan lagi untuk nerobos keluar dari dalam barisan itu.
Oey Yong heran dan terkejut. Di antara sinar rembulan ia menyaksikan Tiauw Hong dengan rambut panjang yang awut-awutan itu, berlompatan pergi datang dan tangan dan kakinya menjambak dan menendang tak hentinya. Hebat setiap jambakan dan tendangannya itu mengasih dengar suara angin. Tidak peduli segala gerakannya itu, yang hebat, maka Coan Cin Cit Cu tetap bercokol tak bergeming, cuma tangan mereka yang bekerja, saling sambut dengan rapi, tetap mereka mengurung si Mayat Besi.
Bwee Tiauw Hong telah berkelahi dengan menggunai dua macam ilmu silatnya, yaitu pelbagai jambakan Kiu Im Pek-kut Jiauw dan hajaran Cwie-sim-ciang yang dahsyat, ia terus mencoba untuk menerjang keluar tetapi selalu ia gagal, saban-saban ia tertolak mundur. Saking gusarnya, ia sampai berkoak-koak secara aneh.
Sekarang ini, kalau Coan Cin Cit Cu menghendaki nyawa orang, cukup mereka melakukan satu penyerangan, akan tetapi mereka atau salah satu diantaranya, tidak mau menurunkan tangan yang terakhir.
Mulanya Oey Yong heran, atau sebentar kemudian ia sabar.
"Ah, aku mengerti sekarang!" katanya dalam hatinya. "Terang mereka ini meminjam Bwee Suci untuk melatih barisan bintang mereka ini! Memang sukar dicari orang yang sekosen suci, yang dapat dipakai menguji barisannya ini. Rupanya mereka hendak membikin lawannya letih hingga mati sendirinya baru mereka mau berhenti........"
Dugaan nona Oey ini cocok separuhnya. Memang benar Ma Giok beramai memakai Tiauw Hong sebagai kawan berlatih, tetapi untuk membinasakan, itulah mereka tak pikir. Tidak gampang mereka melakukan pembunuhan.
Sampai di situ, Oey Yong tidak mau menonton lebih lama pula. Ia tidak berkesan baik terhadap Bwee Tiauw Hong, si suci, kakak seperguruan, toh ia tak tega mengawasi lebih jauh. Maka itu, ia berikan tempat mengintainya kepada Kwee Ceng. Maka sekarang ia cuma mendengar, angin serangan sebentar keras sebentar kendor, tandanya pertempuran masih berlanjut terus.
Kwee Ceng menonton tetapi ia tetap tidak mengerti akan cara berkelahinya ke tujuh imam itu.
"Mereka menggunai kedudukan bintang Pak Tauw," Oey Yong membisiki. "Apakah belum pernah melihatnya?"
Baru sekarang pemuda ini mendusin. Ia ingat bunyinya kitab kedua dari Kiu Im Cin-keng. Sekarang ia mengerti sendirinya. Karena itu ia menjadi tertarik hingga tanpa merasa ia berlompat bangun.
Oey Yong kaget, segera ia menahan.
Kwee Ceng pun sadar, lekas-lekas ia berdiam. Tapi ia masih mengintai pula. Sekarang ia mengerti betul kegunaannya barisan Thian Kong Pak Tuaw itu. Ketika di Tho Hoa To menyaksikan Ang Cit Kong menempur Auwyang Hong ia memperoleh kemajuan besar, kali ini ia mendapatkan kemajuan serupa, dengan begitu, pengetahuannya menjadi bertambah.
Lama-lama maka letihlah Bwee Tiauw Hong, ia hampir tak dapat bertahan pula. Dilain pihak, juga tenaganya Coan Cin Cit Cu agaknya berkurang, mereka mulai kendor. Justru itu di pintu terdengar suara orang.
"Saudara Yok, kau maju lebih dulu atau kau suka mengalah untuk aku mencoba-coba?" demikian suara itu.
Kwee Ceng terkejut. Ia mengenali baik suaranya Auwyang Hong. Entah kapan datangnya See Tok, si Bisa dari Barat itu.
Juga Coan Cin Cit Cu kaget semuanya, dengan serentak mereka melirik ke arah pintu. Di samping pintu itu berdiri berendeng dua orang, yang satu bajunya hijau yang lainnya putih. Mereka mengetahui akan adanya musuh-musuh yang tangguh, dengan berbareng mereka berseru, dan dengan berbareng mereka menghentikan pertempuran untuk berbangkit berdiri.
"Bagus betul" berkata Oey Yok Su, "Tujuh rupa bulu campur aduk ini mengepung satu muridku! Saudara Hong, jikalau aku memberi pengajaran kepada mereka, bisakah kau membilangnya aku menghina kepada yang muda?"
Auwyang Hong tertawa, ia menyahuti: "Mereka yang terlebih dulu tidak menghormati kau! Jikalau kau masih tidak mengasih lihat sedikit dari ilmu kepandaianmu, pasti ini kawanan anak muda tidak mengetahui lihaynya pemilik dari Tho Hoa To!"
Ong Cie It pernah melihat Tong Shia dan See Tok di Hoa San, heran ia mendapatkan orang muncul berbareng dengan tiba-tiba, hendak ia maju untuk memberi hormat, atau Oey Yok Su sudah maju dengan sebelah tangan terayun. Ia hendak menangkis tapi sudah tidak keburu, maka dengan satu suara "Plok!" pipinya kena digaplok, tubuhnya lantas terhuyung, hampir ia menubruk lantai.
Khu Cie Kee kaget sekali. "Lekas kembali ke tempat masing-masing!" ia berseru.
Akan tetapi belum sempat saudara-saudaranya itu menaati seruannya atau plak-plok tak hentinya, dengan bergantian mukanya Tam Cie Toan, Lauw Cie Hian, Cek Tay Thong dan Sun Put Jie telah tergaplok seperti muka Ong Cie It. Setelah itu bayangan pun berkelebat ke mukanya Tiang Cun Cu sendiri, demikian rupa, hingga tak tahu ia bagaimana harus menangkisnya, maka tidak ayal lagi, ia mengibas tangannya, mengarah dadanya Oey Yok Su!
Bab 53. Ajalnya Bwee Tiauw Hong
Khu Cie Kee adalah yang terpandai dari Cit Cu, Oey Yok Su memandang ia terlalu enteng, maka dadanya itu kena terkibas hingga ia merasakan sakit. Dengan sebat ia menutup diri, lalu dengan tangan kirinya menyambar tangan baju si penyerang, tangan kanannya mencari biji mata lawan itu.
Khu Cie Kee meronta sekuatnya, ujung bajunya itu robek.
Itu waktu Ma Giok maju bersama Ong Cie It, akan tetapi Oey Yok Su sudah berlompat ke belakang Cek Tay Thong, ketika kakinya dilayangkan, Kong Leng Cu roboh jungkir balik!
Di dalam kamar rahasia, Kwee Ceng menyerahkan lubang intaian kepada Oey Yong, maka giranglah nona ini menyaksikan ayahnya menunjuki kepandaiannya itu, coba ia tidak ingat kawannya mesti menanti lagi satu dua jam untuk sembuh betul, tentulah ia sudah menepuk tangan bersorak-sorai.
Adalah Auwyang Hong yang berdiri di pintu sambil tertawa berkakakan, dengan mulutnya dibuka lebar-lebar: "Yang Ong Tiong Yang terima adalah ini segerombolan kantung nasi!"
Cie Kee penasaran sekali. Semenjak belajar silat, belum pernah ia dikalahkan begini rupa.
"Berdiri rapi di tempat masing-masing!" ia berteriak pula.
Akan tetapi Oey Yok Su tidak sudi memberikan kesempatan. Ia bergerak ke timur dan barat, ia menyerang kalang-kabutan hingga semua lawannya itu menjadi kelabakan, barisannya tidak dapat diatur pula. Bahkan pedangnya Ma Giok dan Tam Cie Toan telah dipatahkan Tong Shia dan dilemparkan ke lantai.
Khu Cie Kee bersama Ong Cie It lantas merangsak dengan pedang di tangan masing-masing. Itulah jurus yang istimewa dari ilmu pedang Coan Cin Pay.
Oey Yok Su tidak berani memandang enteng lagi, ia berkelahi dengan hati-hati.
Ma Giok cerdik, diam-diam ia menggunai ketika akan lompat ke dudukan thian-kie dan terus saja ia memegang pimpinan. Tam Cie Toan dan Lauw Cie Hian lantas menyusul mengambil kedudukan mereka. Perbuatan mereka ini lantas diikuti oleh yang lain-lainnya.
Sebentar saja, barisan Thian Kong Pak Tauw lantas teratur rapi. Dengan begitu, jalannya pertempuran juga berubah menjadi lain. Thian Koan bersama giok-heng lantas menghadapi lawan di depan, thian-kie dan kay-yang yang terus menyerang dari samping, sedang yauw-kong dan thian-soan di belakang turut merangsak. Cie Kee maju di bantu Cie Peng.
Oey Yok Su mesti melayani musuh di empat penjurunya.
"Saudara Hong!" katanya tertawa. "Ong Tiong Yang toh dapat meninggalkan ini macam ilmu kepandaian!"
Tong Shia bicara sambil tertawa, meski begitu, ia merasakan lawan menjadi beda, tenaga mereka itu menjadi besar sekali. Maka sekarang ia bersilat dengan Lok Eng Ciang-huat, ia berputaran di dalam Thian Kong Pak Tauw itu, hingga tubuhnya seperti melayang-layang dan tangannya beterbangan...
Oey Yong mengenali ilmu silat ayahnya itu.
"Ketika ayah mengajari ilmu silat ini, aku menyangka hanya ilmu kosong dan satu berisi atau tujuh berisi dan satu kosong," katanya di dalam hati, "Tidak tahunya setelah dipakai bertempur benar-benar, semua lima kosong dan tujuh berisi itu dapat diubah pergi pulang."
Pertempuran ini beda sekali dengan perlawanan Tiauw Hong tadi. Si nona menonton sambil menahan napas. Bahkan Auwyang Hong yang lihay pun turut ketarik sampai ia menjadi kagum sekali.
Selagi orang bertaruh seru itu, tiba-tiba terdengar satu suara jeritan, "Aduh!" disusul mana tubuh jatuh terguling. Nyata korban itu ialah In Cie Peng. Dia tidak sanggup melayani Oey Yok Su berputaran, matanya kabur, kepalanya pusing, dunia dirasakan bagai berputar, di depan matanya entah ada berapa banyak musuhnya itu, diakhirnya, setelah penglihatannya gelap, tidak ampun lagi ia roboh sendirinya!
Coan Cin Cit Cu memusatkan pikiran mereka. Mereka tahu, asal ada satu saja yang hatinya goncang, mereka tidak bakal ketolongan lagi, atau Coan Cin Pay bakal runtuh dan musnah.
Oey Yok Su pun gelisah. Ia sudah kepalang, ia bersangsi untuk bertempur terus atau berhenti. Perlawanan hebat dari Khu Cie Kee beramai itu membuat kedua pihak sama unggulnya.
Sementara itu ayam-ayam sudah berkokok dan sinar matahari mulai mengintai di arah timur.
Dengan lewatnya sang waktu itu, selesai sudah batas tempo istirahatnya Kwee Ceng. Ia telah sembuh dan memperoleh kembali kesehatannya seperti sediakala. Di luar kamarnya orang bertempur umpama kata langit terbalik dan bumi ambruk tetapi ia sendirinya tetap tenang, ia duduk diam. Baru sesaat kemudian, ia mengintai ke luar kamar rahasianya, atau ia menjadi terkejut.
Oey Yok Su bertindak dengan perlahan, kakinya mengikuti garis patkwa, atau segi delapan, setiap gerakan tangannya perlahan juga. Ketika Oey Yong menggantikan Kwee Ceng mengintai, ia tahu betul ayahnya lagi menggunakan ilmu silatnya yang tak sembarang dipakai.
Segera juga bakal datang saat yang memutuskan.
Coan Cin Cit Cu berkelahi dengan seantero tenaganya. Mereka pun menginsyafi bahaya yang tengah mengancam mereka. Berkali-kali mereka mengasih dengar suara satu sama lain, untuk mengasih isyarat, guna menambah semangat masing-masing. Di batok kepala mereka mulai terlihat hawa panas mengkedus, sedang jubah mereka telah basah kuyup. Hilanglah ketenangan mereka sebagaimana tadi mereka melayani Bwee Taiuw Hong.
Auwyang Hong terus menonton sambil ia memperhatikan barisannya imam-imam dari Coan Cin Kauw itu. Ia mengharap-harap Oey Yok Su nanti menguras semua tenaganya hingga ia mendapat luka di dalam. Dengan begitu, kapan kembali di adakan rapat besar di Hoan San, rapat yang kedua, untuknya akan kurang satu lawan yang tangguh. Akan tetapi Tong Shia benar-benar lihay, meski Khu Cie Kee semua bekerja sekerasnya, mereka itu masih tidak dapat merampas kemenangan.
Menyaksikan pertempuran yang sangat memakan tempo itu, Auwyang Hong menjadi tidak sabar. Dasarnya ia berbisa, setelah berpikir sekian lama, ia mendapat satu akal licik.
Pertempuran itu berjalan semakin perlahan, tapi itu tandanya bahwa bahaya semakin dekat.
Oey Yok Su bekerja terus, nyata sekali terlihat ia menyerang dengan kedua tangannya kepada Sun Put Jie dan Tam Cie Toan. Kedua imam itu mengangkat tangan mereka untuk menangkis. Mereka segera dibantu Lauw Cie Ian dan Ma Giok.
Justru itu, mendadak See Tok bersiul panjang dan terus berseru: "Saudara Yok, aku bantu kau!" menyusul suaranya itu ia berjongkok, segera dengan kedua tangannya ia menolak ke arah Tam Cie Toan!
Tiang Ci Cu tengah memusatkan perhatiannya terhadap Oey Yok Su, ia telah mengerah tenaganya untuk menangkis serangan Tong Shia, ketika mendadak ia merasakan benturan keras di belakangnya, jangan kata untuk menangkis, berkelit saja sudah tidak keburu, maka itu dengan menerbitkan suara, ia roboh tengkurap.
Oey Yok Su menjadi gusar sekali.
"Siapa menghendaki bantuanmu!" ia menegur See Tok.
Ketika itu Khu Cie Kee dan Ong Cie It menyerang dengan berbareng. Tong Shia mengibas untuk menangkis atau tangannya yang kanan bentrok sama perlawanannya Ma Giok dan Cek Tay Thong, yang pun menyerang kepadanya.
Auwyang Hong tertawa.
"Kalau begitu, biarlah aku bantui mereka!" seruanya. Sambil berkata begitu, dengan kedua tangannya benar-benar ia menyerang si Sesat dari Timur itu. Kalau tadi ia menyerang Tam Cie Toan dengan menggunai tenaga tiga bagian, sekarang ia menggerahkan tenaganya dengan sepenuhnya. Itu pun saat Oey Yok Su tengah menghadapi empat lawannya. Ia mengharap hajaran ini, satu kali saja, akan menamatkan riwayatnya pemilik dari pulau Tho Hoa To itu. Akal yang ia bertelurkan dari batok kepalanya ialah lebih dulu menjatuhkan salah satu Coan Cin Cit Cu, baru ia membokong Oey Yok Su. Ia sudah memikir matang, setelah Thian Kong Pak Tauw Tin pecah, dengan Oey Yok Su sudah mati, walaupun imam-imam dari Coan Cin Kauw itu murka, ia tidak usah takuti mereka.
Oey Yok Su kaget sekali. Ia tidak menyangka Auwyang Hong dapat berlaku demikian. Ia menghadapi kesulitan. Tidak bisa ia meninggalkan empat musuhnya di depannya itu, umpama kata ia memutar tubuhnya, untuk melayani Auwyang Hong, ia bisa celaka. Maka itu tidak ada jalan lain, ia mencoba menutup diri seraya mengerahkan tenaga di punggungnya, guna terpaksa menerima serangan Kap-mo-kang, ilmu silat Kodok, dari si Bisa dari Barat yang licin itu.
Auwyang Hong girang sekali melihat Tong Shia mau mempertahankan diri dari serangannya yang dahsyat itu. Itu pun artinya akal busuknya berhasil. Tapi justru ia lagi bergirang itu, mendadak ia melihat berkelebatnya satu bayangan hitam, yang mencelat dari samping, bayangan mana berlompat ke belakangnya Oey Yok Su, untuk mewakilkan Tong Shia menyambuti serangannya itu!
Segera setelah serangan Auwyang Hong itu ada yang tangkis, dua-dua Oey Yok Su dan keempat imam lawannya menghentikan pertempuran mereka sambil lompat minggir, untuk memisahkan diri. Kapan mereka telah melihat tegas, nyata orang yang berkorban untuk Tong Shia ialah Bwee Tiauw Hong!
Oey Yok Su menoleh kepada See Tok, ia tertawa dingin.
"Benar-benar si Bisa Bangkotan ternama tak mengecewakan," katanya mengejek.
Auwyang Hong sendiri berulang-ulang menyatakan, "Sayang, sayang!" di dalam hatinya. Ia menyesal bukan main yang serangannya itu gagal, sebab lain orang yang menjadi korban. Dasar licik, ia mengerti bahaya. Ia tidak mau melayani Oey Yok Su. Ia mengerti baik sekali, kalau Oey Yok Su bergabung dengan semua imam itu, itu berarti ia menghadapi bencana jiwa. Maka juga ia tertawa nyaring dan panjang, sembari tertawa itu ia memutar tubuh untuk berlompat keluar, buat terus menangkat langkah seribu!
Ma Giok lantas menghampirkan Tam Cie Toan, ia membungkuk untuk mengangkatnya. Segera juga ia menjadi kaget. Tubuh adik seperguruannya itu lemas sekali dan kepalanya pun teklok. Auwyang Hong telah menghajar orang hingga tulang-tulang iga serta punggungnya patah. Kakak ini lantas mengucurkan air mata, sebab ia merasa pasti, adik seperguruannya itu tidak bakal dapat ditolong lagi.
Khu Cie Kee yang bertabiat keras berlompat keluar dengan membawa pedangnya, ia mau menyusul See Tok, untuk menyerang si bisa yang jahat itu, tetapi dari tempat yang jauh ia cuma mendengar suara orang: "Oey Lao Shia, telah aku membantu kau memecahkan barisan istimewa warisannya Ong Tiong Yang, aku pun sudah mewakilkan kau menghukum mati murid Tho Hoa To yang murtad, maka itu, sisanya enam imam campur aduk, kau sendiri pun dapat melayaninya. Sampai ketemu pula!"
Oey Yok Su mengeluarkan suara di hidung. Ia tahu, kata-kata terakhir dari See Tok ini ada untuk membakar hatinya dan kawanan Coan Cin Kauw itu, supaya mereka murka dan menumpleki kemurkaannya terhadapnya. Tapi ia pun besar kepala, tidak sudi ia memberi keterangan kepada Ma Giok semua. Ia hanya menghampirkan mayatnya Bwee Tiauw Hong, ia mengangkatnya dengan perlahan-lahan. Murid itu telah memuntahkan darah hidup, kelihatannya ia tidak bisa hidup lebih lama lagi.
Khu Cie Kee mengubar sampai beberapa puluh tembok, Auwyang Hong entah telah kabur kemana. Ketika itu, Ma Giok berulang-ulang memanggil ia pulang, maka ia kembali dengan tindakan lebar. Ia masih gusar sekali, kedua matanya terbuka besar dan bersinar merah. Segera ia menuding Oey Yok Su.
"Coan Cin Kauw kami denganmu ada bermusuhan apa?!" ia menegur dengan bengis. "Oh, iblis tersesat yang jahat sekali! Mulanya kau membinasakan Ciu Susiok kami, sekarang kau mencelakai Tam Sutee kami ini. Apakah artinya perbuatanmu, hai manusia sesat?"
Ditegur begitu, Oey Yok Su melengak.
"Kau maksudkan Ciu Pek Thong?" akhirnya ia menanya. "Kau bilang aku membinasakan dia?"
"Apakah kau masih mau menyangkal?" Cie Kee mendesak.
Oey Yok Su tahu di sini ada salah mengerti, tetapi ia membungkam, ia cuma tertawa dingin. Sebenarnya bersama-sama Ciu Pek Thong dan Auwyang Hong, ia lagi mengadu lari, sesudah beberapa ratus lie dilalui, mereka masih seri. Niat mereka semula adalah mengadu terus sampai ada keputusan siapa yang menang, tetapi mendadak, Ciu Pek Thong menghentikannya setengah jalan. Inilah disebabkan Loo Boan Tong tiba-tiba ingat Ang Cit Kong, yang ditinggalkan seorang diri di dalam istana kaisar. Berbahaya kalau Pengemis dari Utara itu sampai kena dipergoki penghuni istana. Bukankah ia telah habis ilmu silatnya? Maka itu ia kata kepada kedua lawannya: "Loo Boan Tong ada mempunyai urusan, kita berhenti saja, kita jangan mengadu lari lebih jauh!" Kata-kata ini ialah kepastian, Oey Yok Su dan Auwyang Hong tidak dapat memaksakan, untuk itu, ia dibiarkan lari. Oey Yok Su berniat menanyakan Ciu Pek Thong tentang putrinya, karena kepergian si orang tua berandalan dan jenaka itu, ia menjadi batal menanyakan.
Ketika itu sia-sia belaka Tam Cie Toan menyusul mereka itu bertiga, ia tidak dapat melihat sekalipun bayangan orang, sebaliknya Oey Yok Su semua mengetahui dan melihat ia jelas sekali, maka itu seberlalunya Loo Boan Tong, Oey Yok Su dan Auwyang Hong lantas kembali ke Gu-kee-cun. Kebetulan sekali, sesampainya mereka di rumah penginapan, mereka dapat menyaksikan Coan Cin Cit Cu lagi menempur Bwee Tiauw Hong. Biar bagaimana, Tong Shia tidak bisa membiarkan muridnya bercelaka, maka itu, diakhirnya ia yang turun tangan sendiri. Di luar segela dugaan, kesudahannya ada demikian hebat.
Selagi Khu Cie Kee kalap itu, Sun Put Jie menangiskan Tam Cie Toan. Yang lain-lain pun gusar sekali, hingga mereka semua mau mengadu jiwa.
Tiba-tiba Tam Cie Toan membuka matanya dan berkata: "Aku mau pergi..."
Khu Cie Kee semua lantas menghampirkan, mereka mengerubungi saudara seperguruan itu.
Tam Cie Toan bersenandung lemah, lalu ia menarik napasnya yang penghabisan, matanya meram.
Keenam Cu bertunduk, untuk memujikan arwahnya saudara itu. Habis itu Ma Giok memondong tubuh suteenya, buat dibawa pergi. Khu Cie Kee semua mengikuti tanpa bersuara, tanpa berpaling lagi ke belakang, mereka keluar dari rumah penginapan itu dan pergi.
Oey Yok Su heran sekali, ia tidak tahu permusuhan apa di antara ia dan Coan Cin Kauw, tetapi ketika ia melihat Bwee Tiauw Hong bernapas empas-empis, ia menjadi berduka. Biar bagaimana Tiauw Hong adalah muridnya, mereka telah hidup bersama buat beberapa puluh tahun. Murid itu pun telah berkorban untuknya. Pada dasarnya, ialah seorang yang jujur, maka itu, dalam kedukaannya itu, ia menangis menggerung-gerung.
Bwee Tiauw Hong dapat mendengar tangis gurunya itu, ia mengerti, lantas ia tersenyum. Ia tidak mengatakan apa, hanya dengan mengerahkan tenaga terakhir, dengan tangan kanannya ia mematahkan lengannya yang kiri, setelah mana dengan tangan kanan itu ia menghajar batu itu hancur dan lengannya pun patah pula.
Menyaksikan perbuatan muridnya itu, Oey Yok Su tercengang.
"Suhu," berkata sang murid, "Ketika di Kwei-in-chung suhu menitahkan muridmu melakukan tiga macam perbuatan, dua yang lain muridmu tak keburu melakukannya....."
Oey Yok Su lantas ingat akan tiga macam titahnya itu, ialah pertama mencari pulang kitab Kiu Im Cin-keng yang telah hilang, kedua mencari Liok Leng Hong serta dua muridnya yang lainnya, dan yang ketiga, yaitu yang terakhir, muridnya ini dimestikan membayar pulang ilmu silat yang didapat dari Kiu Im Cin-keng itu. Sekarang dengan mematahkan kedua tangannya itu, Bwee Tiauw Hong menepati perintah gurunya, sebab dengan tangannya patah maka musnahlah juga kepandaiannya Kiu Im Pek-kut Jiauw seri Cwie-sim-ciang.
Lantas sang guru tertawa terbahak.
"Bagus, bagus!" katanya. "Dua yang lain itu sudah tidak ada artinya lagi! Sekarang mari aku terima pula kau menjadi murid dari Tho Hoa To!"
Tiauw Hong menginsyafi ia telah tersesat, maka itu mendengar gurunya memberi ampun dan suka menerima ia kembali, ia girang bukan main, dengan memaksakan diri ia merayap bangun, untuk memberi hormat kepada guru itu sambil paykui beberapa kali, ketika ia mengangguk untuk ketiga kalinya, tubuhnya rebah tak bangun pula.
Oey Yong dari kamar rahasia telah menyaksikan itu semua, ia disandingkan pelbagai perasaan. Hebat apa yang ia telah saksikan itu, semuanya mengagetkan dan mengharukan. Dilain pihak, ia mengharap-harap ayahnya itu nanti berdiam sedikit lama pula, supaya ia bersama Kwee Ceng dapat keluar untuk menemuinya. Kwee Ceng itu tinggal menanti berkumpulnya hawa di pusarnya.
Oey Yok Su sudah lantas mengangkat tubuhnya Bwee Tiauw Hong, untuk dipondong.
Hampir di itu waktu, di luar rumah terdengar suara meringkiknya kuda. Oey Yong mengenali, itulah kuda merah yang kecil kepunyaan Kwee Ceng. Menyusuli suaranya Sa Kouw, yang berkata: "Inilah dusun Gu-kee-cun! Mana aku tahu di sini ada orang she Kwee atau tidak.........?"
Lalu terdengar suaranya seorang yang lain: "Di sini toh cuma ada beberapa buah rumah! Mustahil kau tidak kenal semuanya penduduk sini?"
Agaknya orang itu tidak sabaran, karena ia lantas saja menolak pintu dan bertindak masuk.
Oey Yok Su menempatkan diri di belakang pintu, ketika ia melihat orang yang masuk itu, air mukanya berubah. Orang adalah Kanglam Liok Koay yang telah ia cari dengan susah payah.
Kanglam Liok Koay sudah pergi ke Tho Hoa To, lantas mereka berputar-putar, tidak juga mereka berhasil mencari rumahnya pemilik pulau Bunga Tho itu, baru kemudian mereka bertemu sama satu bujang yang gagu dari siapa mereka ketahui majikannya pulau itu tengah bepergian. Kemudian lagi Kanglam Liok Koay melihat kuda merah dari Kwee Ceng terlepas merdeka di dalam rimba, mereka lalu membawanya sampai di dusun Gu-kee-cun ini, dimana mereka bertemu sama Sa Kouw, si nona tolol.
Kwa Tin Ok sangat jeli kupingnya, begitu masuk di pintu, ia mendapat dengar suara orang bernapas di belakang pintu itu, maka segera ia memutar tubuhnya, dituruti oleh lima saudaranya. Dengan lantas mereka melihat Oey Yok Su menghadang di ambang pintu seraya tangannya memodong Bwee Tiauw Hong. Oey Yok Su rupanya mau mencegah keenam orang luar biasa dari Kanglam itu melarikan diri.....
"Oey Tocu baik?" Cu Cong lantas menanya. "Sudah lama kita tidak bertemu! Kami berenam telah memenuhi janji untuk bertemu di Tho Hoa To, sayang tocu tidak ada di rumah, tetapi hari ini kebetulan bertemu di sini, kami merasa sangat beruntung!"
Habis berkata begitu, si Mahasiswa Tangan Lihay lantas menjura dalam.
Oey Yok Su berniat membunuh Liok Koay, sekarang ia menampak pula muka pucat pasi dari Tiauw Hong, ia berpikir: "Liok Koay ini musuh besar dari Tiauw Hong, siapa nyana sekarang Tiauw Hong mendahului mereka mati, meski begitu, sekarang aku mesti membuatnya ia membinasakan musuhnya dengan tangannya sendiri, supaya ia mati dengan meram....."
Maka itu tangan kanan tetap memondong tubuh muridnya, dengan tangan kiri ia mengangkat tangan yang patah dari muridnya itu, tangan yang hanya tersambung dengan kulit daging, sembari berbuat begitu ia melompat ke sampingnya Han Po Kie, untuk dengan cepat sekali, dengan tangannya Tiauw Hong itu, menghajar bahu kanan si Malaikat Raja Kuda.
Han Po Kie kaget bukan main, sampai dia tidak sempat berkelit atau menangkis. Hebat ia kena dihajar, benar lengannya tidak sampai patah tetapi sesaat itu dia tidak dapat menggeraki tangannya itu.
Liok Koay kaget dan gusar karena sikapnya Oey Yok Su ini, yang menyerang tanpa bicara lagi, maka itu mereka pun lantas balik menyerang. Han Po Kie turut maju setelah ia merasa tangannya lebih ringan. Mereka berseru-seru sambil mereka menghunus senjatanya masing-masing. Mereka mengurung dengan rapi.
Oey Yok Su mengangkat tinggi tubuhnya Bwee Tiauw Hong, ia seperti tidak menghiraukan pelbagai alat senjata yang aneh dari enam jago dari Kanglam itu.
Han Siauw Eng adalah orang pertama yang diserang pemilik Tho Hoa To itu. Ia kaget ketika ia melihat mukanya Bwee Tiauw Hong, yang matanya mendelik, rambutnya riap-riapan, mulutnya penuh darah. Itulah roman mayat yang sangat menyeramkan. Tangan Tiauw Hong pun diangkat tinggi-tinggi, mengancam batok kepalanya. Tanpa merasa ia menjadi lemas kaki dan tangannya.
Lam Hie Jin dan Coan Kim Hoat menyaksikan saudara angkat mereka terancam, dengan berbareng mereka menyerang tangannya Tiauw Hong itu. Mereka menggunai pikulan serta bandulan besi dacin mereka.
Oey Yok Su sebat luar biasa, dengan cepat ia menarik pulang tangan kanan Tiauw Hong itu, untuk dengan tangan kirinya menghajar terus Siauw Eng.
Ahli pedang Gadis Wat itu tengah tidak berdaya, maka pinggangnya menjadi sasaran, ia kesakitan hingga tubuhnya melengkung jongkok.
Han Po Kie maju dari samping, untuk menyerang dengan cambuknya, Kim-liong-pian, atau cambuk Naga Emas. Oey Yok Su mengangkat kaki kirinya, ia bergerak sebat, tetapi toh kaki itu toh kena kelibat. Hanya Han Po Kie, meski ia mengeluarkan seluruh tenaganya, tidak sanggup ia menarik kuda-kudanya Tong Shia. Dilain pihak, tangan berkuku dari Bwee Tiauw Hong telah menyambar ke mukanya. Ia kaget sekali, ia melepaskan libatan cambuknya, ia berkelit sambil berlenggak terus menjatuhkan diri bergulingan. Meski begitu, ia merasakan mukanya panas dan sakit, ketika ia meraba ke mukanya itu, tangannya penuh darah. Sebab lima kukunya Tiauw Hong berhasil menyambar mukanya. Syukur untuknya, Tiauw Hong sudah menjadi mayat dan jambakannya itu bukannya jambakan Kiu Im Pek-kut Jiauw.
Setelah beberapa jurus, Liok Koay lantas jatuh di bawah angin. Coba tidak Oey Yok Su menghendaki membinasakan musuh dengan tangannya Tiauw Hong sendiri, mungkin mereka sudah bercelaka. Sekarang mereka hanya terancam bahaya.
Kwee Ceng di dalam kamar rahasia menjadi bergelisah. Ia mendengar nyata suara napas menggorong dari keenam gurunya itu, tanda dari keadaan berbahaya dari mereka. Ia menjadi cemas hati sebab ia sendiri tidak bisa lekas-lekas keluar, untuk mencegah bencana. Ia masih memerlukan waktu untuk memperkuat hawa di pusarnya itu. Tapi dapatkah ia main ayal-ayalan? Budi guru-gurunya itu sama dengan budi orang tuanya! Maka diakhirnya, ia menahan napas, ia meluncurkan sebelah tangannya untuk menghajar daun pintu, hingga pintu itu gempur.
Oey Yong kaget bukan main.
"Engko Ceng, jangan!" ia mencegah. Ia tahu kawan itu mesti beristirahat.
Kwee Ceng pun merasakan akibat serangannya itu, ialah hawa naik ke atas, ke jantungnya, maka lekas-lekas ia memeramkan mata menarik pulang hawanya itu kembali ke pusar.
Tetapi sekarang pintu rahasia telah tergempur pecah dan terbuka.
Oey Yok Su dan Kanglam Liok Koay kaget sekali, apa pula mereka lantas melihat muda-mudi itu. Dengan sendirinya mereka pada lompat mundur menghentikan pertempuran mereka.
Oey Yok Su heran dan girang, hingga ia mengucak-ucak matanya.
"Anak Yong, benarkah kau?" ia menanya. ia hampir tak mempercayai matanya sendiri. Ia merasa bagaikan lagi bermimpi.
Oey Yong dengan sebelah tangannya memegang tangan Kwee Ceng, mengangguk sambil tersenyum. Ia tidak membuka mulutnya untuk menjawab ayahnya itu.
Mengawasi sikap anak gadisnya itu, Oey Yok Su lantas mengerti. Untuknya, diketemuinya anak itu ada seperti juga si anak sudah mati tetapi hidup pula. Itulah putri satu-satunya dan juga yang ia sayangi seperti jiwanya sendiri. Ia lantas meletaki tubuh Tiauw Hong di atas bangku, ia terus menghampirkan Kwee Ceng, di sisi siapa ia duduk bersila, tangannya diulur untuk mencekal tangan anak muda itu.
Kwee Ceng merasakan hawa di dalam tubuhnya panas bergolak, sangat sukar ia melawan itu. Beberapa kali ia hendak berkoakan atau berlompatan. Tapi, begitu lekas tangannya di tempelkan Oey Yok Su itu, lantas hawa panasnya berkurang, dapat ia berlaku tenang. Dengan lain tangannya, Oey Yok Su pun menguruti sekejur tubuhnya pemuda itu.
Boleh di bilang hanya sekejap kemudian, lantas Kwee Ceng dapat menenangi diri betul-betul. Itu artinya bukan saja ia telah terhindar dari bahaya, bahkan ia sudah sembuh betul, otot dan tulang-tulangnya menjadi bertambah kuat. Maka itu, ia lantas bangun, untuk paykui kepada pemilik dari Tho Hoa To itu, akan kemudian ia pun menghampirkan keenam gurunya, untuk memberi hormatnya kepada muridnya.
Selagi pemuda itu berbicara sama semua gurunya, menuturkan segala hal semenjak mereka berpisah, Oey Yok Su pun asyik pasang omong dengan putrinya, tangan siapa ia tuntun. Mereka gembira sekali, saban-saban mereka tertawa gila.
Mengetahui tentang nona Oey, Liok Koay heran dan ketarik hati. Mereka pun ketarik dengan suara halus dari nona itu. Maka itu, diam-diam mereka bertindak mendekati, akan mendengari lebih jauh suara si nona, yang terus berbicara dengan ayahnya. Sebab banyak yang anak ini tuturkan.
Tiba pada saatnya pertempuran Oey Yok Su dengan Liok Koay, nona itu berkata sambil tertawa: "Sudahlah, tak usah aku bercerita terus!"
Segera setelah itu Oey Yok Su berkata: "Aku hendak membinasakan empat orang, ialah Auwyang Hong, Leng Tie Siangjin, Kiu Cian Jin dan Yo Kang, maka anak yang baik, mari kau turut aku menyaksikan keramaian itu!"
Tapi ia melirik kepada Liok Koay, agaknya ia jengah, tetapi dasar angkuh, ia terus tidak sudi mengaku salah, cuma seperti untuk menghibur diri, ia kata: "Anggaplah sang peruntungan masih tidak terlalu buruk hingga aku tidak sampai mencelakai orang baik-baik!"
"Ayah," kata Oey Yong tertawa, "Baiklah kau minta maaf kepada beberapa suhu ini..."
"Hm," jawab ayah itu, yang lalu menyimpanginya. "Aku hendak mencari See Tok, eh, anak Ceng, kau turut atau tidak?"
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, Oey Yong sudah memegat. Kata anak ini, "Ayah, baiklah kau pergi dulu ke istana untuk memapak suhu!"
Kwee Ceng tidak sempat menjawab Oey Yok Su, ia terus bercerita terus sampai Oey Yok Su memberi perkenan untuk ia menikah dengan Oey Yong serta Ang Cit Kong mengambil ia sebagai murid. Mengenai ini, ia minta keputusan guru-gurunya itu.
Kwa Tin Ok menjadi sangat girang.
"Kau sungguh beruntung!" katanya. "Dengan kau mendapati Kiu Cie Sin Kay sebagai guru dan Tocu dari Tho Hoa To sebagai mertua, kami girang bukan kepalang! Masa dapat kami tidak memberikan perkenan kami? Cumalah halnya Kha Khan dari Mongolia?"
Tin Ok hendak menyebutkan urusan putrinya Jenghiz Khan, bahwa halnya murid ini adalah calon Kim-too Huma, tetapi ia tidak dapat lantas membuka mulutnya. Mendadak sekali, pintu, yang tadi tertutup pula, sekarang ada yang pentang dan Sa Kouw muncul di antara mereka, tangannya memegang monyet-monyetan dari kertas. Ia menghampirkan Oey Yong dan menanya sambil tertawa: "Adik, apakah semangkamu telah habis dimakan? Seorang tua telah menyuruhnya aku menyerahkan kunyuk-kunyukan ini kepadamu, katanya dibuat main..."
Oey Yong menyangka orang lagi kumat ketololannya, ia menyambuti kera kertas itu acuh tak acuh.
Sa Kouw berkata pula: "Orang tua itu, yang rambutnya ubanan, memesan juga supaya kamu jangan gusar, katanya pasti ia bakal menolongi kau mencari gurumu."
Mendengar itu, Oey Yong menduga kepada Ciu Pek Thong, maka ia lantas meneliti kertas itu. Benarlah di situ ada tulisan alamatnya, maka ia lantas membukanya, hingga ia dapat membaca: "Si pengemis tua tak dapat ditemukan, karenanya Loo Boan Tong menjadi tidak gembira."
Si nona menjadi heran dan kaget.
"Ah, kenapa suhu lenyap?" serunya.
Oey Yok Su berdiam, lalu ia kata: "Loo Boan Tong edan-edanan tetapi ia lihay sekali, maka asal Ang Cit Kong tidak mati, pasti ia dapat menolonginya. Hanya sekarang ini Kay Pang lagi menghadapi satu urusan besar..."
"Bagaimana, ayah?" Oey Yong menanya terkejut.
"Tongkatnya si pengemis tua yang telah diberikan padamu sudah dibawa pergi oleh Yo Kang si binatang cilik itu! Binatang itu tidak lihay ilmu silatnya tetapi lihay otaknya, kalau tidak bagaimana dapat orang sebangsa Auwyang Kongcu terbinasa di tangannya? Dia telah mendapati tongkat keramat kaum pengemis itu, pastilah dia bakal menerbitkan gelombang kekacauan, yang dapat membahayakan Kay Pang. Mari kita lekas mencari dia, untuk merampas pulang tongkat itu, kalau tidak, pasti celakalah murid-murid dan cucu-cucu muridnya si pengemis bangkotan itu!"
Mendengar itu Liok Koay menganggukkan kepala.
"Sayang suhu sudah pergi beberapa hari, mungkin dia sukar dicandak," kata Kwee Ceng.
"Di sini ada kuda merahmu, kau boleh coba menyusul," kata Po Kie.
Kwee Ceng lantas ingat kuda merahnya itu, ia menjadi girang sekali, lantas ia lari keluar seraya bersiul.
Kuda itu mendengar suara majikannya, dia berjingkrak lari menghampirkan, dia mengelus-elus majikannya itu seraya meringkik perlahan tak hentinya.
Menampak demikian Oey Yok Su berkata: "Anak Yong, pergilah kau bersama Kwee Ceng untuk merampas pulang tongkat itu. Kuda kecil itu keras larinya, mungkin kamu dapat menyandak."
Selagi berkata begitu, Oey Yok Su melihat Sa Kouw di samping mereka, nona itu tertawa dengan ketololannya. Ia melihat wajah dan gerak-gerik orang, ia ingat itulah mirip dengan sifat muridnya, Kiok Leng Hong.
"Apakah kau she Kiok?" ia tanya nona itu.
Sa Kouw menggeleng kepala secara lucu.
"Aku tidak tahu," sahutnya.
"Ayah, mari kau lihat!" berkata Oey Yong, mengajak ayahnya, yang ia tuntun ke dalam kamar rahasia.
Begitu melihat pengaturan ruangan itu, Oey Yok Su ketarik hatinya. Itulah pengaturan seperti caranya sendiri. Maka ia mau menduga, mesti itu diatur oleh Kiok Leng Hong, muridnya itu.
"Ayah, coba lihat benda di dalam peti besi itu," Oey Yong berkata pula.
Oey Yok Su tidak lantas membuka peti hanya tubuhnya mencelat tinggi sambil tangannya diulur ke pojok tembok barat daya, menyambar ke arah wuwungan, ke temboknya, ketika ia menarik, tembok itu lantas terbuka merupakan sebuah lubang. Dengan tangan kanannya memegang kertas, ia lantas menggelantungkan diri, lalu dengan tangan kirinya, ia meragoh ke dalam lubang itu. Dari situ ia menarik keluar segulungan kertas. Belum lagi ia lompat turun, tangan kanannya sudah menekan tembok, maka dengan itu, ia berlompat terus keluar kamar.
Oey Yong dengan sebat lompat mengikuti ayahnya itu. Ia melihat gulungan kertas yang penuh debu setelah dibeber, kertas itu memuat tulisan yang huruf-hurufnya tidak karuan macam, bunyinya:
"Surat ini dihanturkan kepada guruku yang berbudi di pulau Tho Hoa To. Dari istana kaisar muridmu telah berhasil mendapatkan sejumlah tulisan dan gambar lainnya, yang semua hendak dihanturkan kepada suhu, maka tidak beruntung sekali, selama di dalam istana aku telah dikepung sekawanan siwi. Aku telah meninggalkan seorang anak perempuan......."
Sampai habis di situ, habis sudah surat itu, yang terlihat tinggal titik-titik yang terang adalah titik-titik darah.
Melihat surat itu, Oey Yong menjadi terharu hatinya. Ia mengingat nasib celaka murid-murid ayahnya itu, yang semuanya lihay tetapi mereka telah diusir ayahnya itu gara-gara Bwee Tiauw Hong berdua. Sekarang beginilah nasib Kiok Leng Hong, salah satu murid yang tetap setia itu.
Oey Yok Su mengerti, Leng Hong ini tentulah ingin kembali ke Tho Hoa To, maka setelah diusir dia berdaya mencari rupa-rupa barang yang menjadi kesukaan gurunya, ia membesarkan hati pergi mencuri ke istana, maka apa celaka, ia menemui saat naas, disaat berhasilnya, ia kepergrok dan dikepung pahlawan-pahlawan istana. Melihat nasibnya Liok Seng Hong, ia sudah menyesal, maka sekarang ia menjadi lebih menyesal lagi.
Sa Kouw tidak tahu apa-apa, ia berdiri di samping sambil terus tertawa haha-hhihi.
"Apakah ilmu silatmu diajari ayahmu?" Oey Yok Su menegur si nona, suaranya bengis.
Sa Kouw menggeleng kepala lantas dia lari keluar pintu besar, daun pintu itu ia tutup rapat, setelah ia mengintai ke dalam, terus ia bersilat. Dia mengintai pula, lalu kembali ia bersilat lagi.
"Ayah," berkata Oey Yong, "Dia belajar silat dengan mencuri pelajaran Kiok Suko."
Ayah itu mengangguk.
"Ya," katanya, "Aku pun tidak percaya, setelah di usir, Leng Hong bernyali besar berani mewariskan ilmu kepandaiannya kepada lain orang... Eh, anak Yong, coba kau serang dia dibagian bawah, kau gaet dia roboh!"
Kata-kata yang belakangan ini dikeluarkan secara mendadak.
Oey Yong heran, tidak tahu ia maksud ayahnya, tetapi ia menghampirkan Sa Kouw, sembari tertawa haha-hihi, ia kata kepada nona tolol itu, "Sa Kouw, mari aku berlatih bersama-sama denganmu. Kau berhati-hatilah!" Ia lantas menggerak dengan tangan kiri, disusul sama tendangan kaki kiri dan kanan dengan sebat sekali.
Sa Kouw melengak, sebelum ia sempat berdaya, kempelonnya yang kanan telah kena ditendang. Ia lantas lompat mundur. Tetapi di sini ia telah ditunggu, begitu ia digaet, lantas ia jatuh terguling. Ia lompat bangun dengan segera.
"Kau menggunai akal!" serunya. "Adik kecil, mari kita mulai lagi!"
"Hus!" membentak Oey Yok Su. "Apa adik kecil! Kau mestinya memanggil kouw-kouw!"
"Kouw-kouw!" Sa Kouw lantas memanggil, tanpa ia mengetahui apa bedanya "adik kecil" dengan "kouw-kouw" atau bibi.
Baru sekarang Oey Yong mengerti bahwa ayahnya hendak mencoba bagian bawah dari si tolol itu sebab Kiok Leng Hong hilang kedua kakinya, kalau Leng Hong bersilat seorang diri, kuda-kudanya tidak nampak, kalau ia mengajari dengan mulut, mestinya nona itu sempurna bagian atas, tengah dan bawahnya.
Dengan terus menyebut "kouw-kouw" itu sama dengan artinya Oey Yok Su menerima si nona sebagai muridnya.
"Kenapa kau tolol?" ia tanya pula.
"Aku ialah Sa Kouw," sahut si nona tertawa. "Tolol" ialah "Sa"
"Mana ibumu?" tanya Oey Yok Su, alisnya mengkerut.
Nona itu meringis, "Ia sudah pulang..." sahutnya.
Masih Oey Yok Su menanya beberapa kali, jawaban si nona tidak karuan, maka ia menghela napas panjang. Ia tidak tahu orang tolol semenjak dilahirkan atau karena suatu penderitaan yang mengagetkan. Kecuali Leng Hong hidup pula, tidak nanti ada lain orang yang mengetahui sebab-musabab itu.
Dengan mendelong, tocu dari Tho Hoa To ini mengawasi mayatnya Tiauw Hong.
"Anak Yong," katanya selang sesaat, "Mari kita lihat barang-barang Kiok Sukomu itu."
Oey Yong menurut, maka ayah dan anak itu masuk pula ke dalam kamar rahasia.
Mengawasi tulang-belulang Kiok Leng Hong, Oey Yok Su berdiri mendelong, kemudian air matanya mengucur turun.
"Anak Yong," katanya. "Diantara semua muridku, Leng Hong yang paling pandai, maka kalau bukan kakinya buntung, seratus siwi pun tidak nanti sanggup menawan dia!"
"Itulah wajar!" sahut putri itu. "Ayah, apakah kau mau menerima Sa Kouw sebagai muridmu?"
"Ya," ayahnya itu menyahut. "Aku akan ajarkan dia ilmu silat, bersyair dan menabuh khim, juga ilmu Kie-bun Ngo-heng. Apa yang dulu sukomu niat pelajarkan, tetapi belum kesampian, semua akan aku ajarkan kepada anaknya ini!"
Oey Yong mengulur lidahnya.
"Hebat penderitaan ayah," pikirnya.
Oey Yok Su membuka peti besi, ia memeriksa isinya. Melihat semua itu, ia menjadi semakin berduka. Ketika ia membeber sebuah gambar, ia menghela napas.
"Gambar bunga dan burung Kaisar Hwie Cong ini indah dilukisannya," katanya, "Maka sayang sekali, negara yang indah pun ia hanturkan kepada bangsa Kim...."
Selagi ia menggulung pula gambar itu, mendadak Oey Yok Su berseru, "Ih!"
"Ada apa ayah?" tanya Oey Yong.
"Kau lihat!" sahut ayah itu, tangannya menunjuk kepada sebuah gambar san-sui, lukisan pemandangan alam, gunung dan air.
Oey Yong mengawasi, ia melihat gambarnya sebuah gunung tinggi dengan puncak lancip menjulang ke langit, masuk ke dalam mega, di bawah mana ada jurang yang berair, di sini lembah pula ada sekumpulan pohon cemara, yang penuh salju, yang semuanya doyong ke Selatan, seperti bekas diserang angin Utara yang hebat, di puncaknya, di sebelah Barat, sebaliknya ada sebuah pohon cemara yang berdiri tegak, di bawah pohon itu, dengan tinta merah, ada dilukisan seorang jenderal perang lagi bersilat dengan pedang. Mukanya jenderal itu tak nampak jelas, tetapi dandanannya membuat siapa yang melihat, mesti menaruh hormat. Seluruh gambar memakai tinta hitam, kecuali manusianya ini, yang merah merong, hingga kelihatan mencolok mata. Gambar itu pun tidak ada tanda-tanda pelukisnya, cuma ada syairnya seperti berikut: "Setelah bertahun-tahun maka baju perang penuh debu dan tanah,
Maka itu sengaja aku mencari bau harum di paseban Cui Bie, Gunung yang indah, sungai yang permai, belum dipandang cukup. Tindakan kuda mendesak hingga malam terang bulan pergi pulang."
Oey Yong memperhatikannya, lalu ia ingat. Beberapa hari yang lalu, di paseban Cui Bie Teng di puncak Hui Lang Hong, ia pernah melihat syair itu yang ada tulisannya Jenderal Han See Tiong yang kesohor.
"Ayah," katanya, "Inilah tulisan Tiong Bu Han Kie Ong, sedang syairnya ialah buah kalamnya Gak Bu Bok."
"Benar," berkata ayahnya itu, "Gak Bu Bok menulis syairnya ini melukiskan gunung Cui Bie San di Kota Tie-ciu, hanya gunung yang dilukisan begini berbahaya keadaannya bukan gunung Cui Bie San itu sendiri. Latar belakang lukisan ini bagus tetapi pelukisnya bukannya seorang pelukis jempolan."
Oey Yong ingat itu hari di Hui Lay Hong, Kwee Ceng sangat ketarik sama syairnya yang ditulis Han See Tiong itu, yang ia ukir di batu dengan jeriji tangannya, dan si pemuda seperti tidak hendak meninggalkannya. Maka itu ia kata kepada ayahnya: "Ada baikkah gambar ini diberikan kepada menantumu!"
Oey Yok Su tertawa dan berkata: "Memang anak perempuan berpihak ke luar, maka itu, apa aku hendak bilang lagi?" Ia pun memilih serenceng mutiara seraya berkata pula: "Mutiara yang dulu hari si Bisa bangkotan serahkan kepadamu, aku telah ambil dari Tho Hoa To dan membayar pulang kepadanya, maka itu sekarang kau ambillah ini."
Oey Yong tahu ayah itu sangat membenci Auwyang Hong, ia mengangguk, ia menyambuti mutiara itu seraya terus mengalungi di lehernya. Ia sedang berbuat begitu tempo kupingnya mendengar suara burung rajawali putih berbunyi keras beberapa kali di udara, suaranya nyaring dan kesusu. Ia sebenarnya sangat menyukai burung rajawali itu tetapi mengingat burung telah diambil oleh putri Gochin Baki, ia menjadi tidak senang, meski begitu, ia toh lari keluar, masih ingin ia membuat main burung itu. Tiba di luar, ia melihat Kwee Ceng berada di bawah sebuah pohon liu yang besar, seekor rajawali memacuk bajunya di pundak dan menarik-narik, yang satunya lagi berputaran memutari seraya ia berbunyi tak hentinya. Sa Kouw kegirangan, ia berlari-lari memutari Kwee Ceng, ia bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa dan bersorak.
"Yong-jie, mereka mendapat susah!" kata Kwee Ceng melihat si nona muncul. "Mari kita pergi menolongi!"
"Siapa mereka?" Oey Yong menanya.
"Kedua saudara angkatku, yang pria dan wanita!"
Nona itu memonyongkan mulutnya.
"Aku tidak mau pergi!" katanya.
Kwee Ceng melengak, ia tidak mengerti tapi lekas ia berkata pula: "Ah, Yong-jie, jangan seperti bocah! Mari kita lekas pergi!" Habis berkata, ia menarik kudanya, ia lompat naik ke punggungnya.
"Habis, kau menghendaki aku atau tidak?" Oey Yong tanya.
Pemuda itu menjadi bingung.
"Kenapa aku tidak menghendaki kau?" ia balik menanya. Dengan tangan kiri ia menahan kudanya, tangan kanannya diangsurkan untuk menyambuti si nona.
Oey Yong tertawa, lalu ia berpaling ke arah ayahnya, sambil berkata nyaring: "Ayah, kita hendak pergi menolongi orang! Kau bersama keenam suhu baik turut juga!" Ia terus menjejak tanah dengan kedua kakinya, dengan begitu tubuhnya mencelat tinggi, tangan kirinya diluncurkan, akan menyambuti tangan kanan Kwee Ceng, untuk ditarik, maka itu, tubuhnya lantas melayang naik ke atas kuda hingga ia duduk di sebelah depan!
Kwee Ceng memberi hormat dari atas kuda kepada gurunya, setelah mana, ia melarikan kudanya itu, yang lantas lari kabur. Kedua burung rajawali pun terus terbang, sambil berbunyi mereka terbang cepat di sebelah depan, untuk menunjuki jalan.
Kuda mereka itu girang sekali bisa bertemu pula sama majikannya, dia lari keras dengan gembira, kalau burung bukannya burung rajawali, mungkin keduanya ketinggalan di belakang. Kedua burung itu terbang ke sebuah rimba lebat di sebelah depan, terus turun. Kuda itu sangat mengerti, tanpa titah majikannya, ia lari terus ke arah rimba itu.
Setibanya Kwee Ceng di luar rimba, dari dalam situ ia mendengar suara nyaring bagaikan cecer pecah, katanya: "Saudara Cian Jin, telah lama aku mendengar Tangan Besimu yang lihay, aku sangat mengaguminya, maka itu sekarang baiklah aku menggunai dulu kepandaianku yang tidak berarti ini mengambil nyawa yang satu ini, setelah itu aku minta kau menggunai tanganmu yang lihay itu terhadap yang lainnya. Setujukah kau, saudara?"
Menyusuli itu maka terdengarlah suara gemuruh diikuti jeritan yang menyayatkan hati. Sebuah pohon kelihatan bergerak bagian atasnya, lalu jatuh roboh.
Kwee Ceng kaget, ia lompat turun dari kudanya, ia lari ke dalam rimba.
Oey Yong lompat turun, ia menepuk-nepuk kepala si kuda merah seraya berkata: "Pergi lekas menyambuti ayahku!" Kemudian ia menunjuk ke jalan dari mana mereka datang.
Kuda merah itu mengerti, dia berbalik dan lari pergi.
"Semoga ayah lekas datang..." kata nona Oey ini dalam hatinya, "Kalau tidak, kita bisa susah di tangannya si Bisa bangkotan!" Lalu ia lari ke dalam rimba tetapi dengan cara sembunyi.
Begitu ia melihat ke depan, Oey Yong menjadi kaget sekali, hingga ia tercengang.
Di sana Tuli, Gochin Baki, Jebe dan Borchu berempat sedang tertawan, masing-masing ditambat di atas sebuah pohon kayu. Di bawah pohon, Auwyang Hong berdiri bersama-sama Kiu Cian Jin. Di sebuah pohon lain, ialah pohon yang sudah roboh, ada tertambat seorang lain, yang seragamnya mewah, sebab ialah si punggawa perang Song yang mengantarkan keempat orang Mongolia itu pulang ke negerinya. Hanya perwira itu sudah mati, sebab pohonnya telah dihajar roboh oleh See Tok. Di situ tidak ada pasukan serdadu mereka, rupanya tentara itu telah diusir ini dua jago tua.
Kiu Cian Jin tidak berani mengadu tenaga tangan dengan Auwyang Hong, tapi pun ia tidak mau omong terus terang, sebab ia hendak memegang derajatnya, selagi ia hendak menggunai alasan, guna menutup diri, tiba-tiba ia melihat munculnya Kwee Ceng. Ia lantas jadi terperanjat bahna girang. Ia segera mendapat pikiran.
"Kenapa aku tidak mau pinjam tangannya See Tok akan menyingkirkan bocah ini?" demikian pikirnya.
Auwyang Hong pun heran. Nyata Kwee Ceng tidak mati terkena pukulan ilmu Kodoknya.
Itu waktu putri Gochin Baki berseru: "Engko Ceng, lekas tolongi aku!"
Melihat suasana itu, Oey Yong sudah lantas mengasah otaknya.
"Sang tempo mesti diperlambat, sampai ayah datang!" demikian ia peroleh akal.
Kwee Ceng sendiri telah menjadi gusar, hingga ia jadi tak kenal takut.
"Bangsat tua, apa kamu bikin di sini?!" ia mendamprat. "Kembali kamu mencelakai orang, ya?!"
Auwyang Hong hendak menguji kepandaian Kiu Cian Jin, meski diperlakukan kurang ajar, ia bahkan bersenyum. Tidak demikian dengan si orang she Kiu itu.
"Ha, binatang cilik yang baik!" dia membentak. "Di sini ada Auwyang Sianseng, mengapa kau tidak berlutut memberi hormat? Apakah kau sudah bosan hidup?!"
Kwee Ceng sangat membenci orang ini, yang di rumah penginapan sudah ngaco belo, memfitnah dan mengadu gurunya dengan Oey Yok Su, dengan di sini kembali dia mencelakai orang, maka itu tanpa membilang suatu apa, ia menghampirkan, terus ia menyerang dadanya.
Pemuda ini menyerang dengan Hang Liong Sip-pat Ciang, yang sekarang telah maju jauh sekali. Ia menggunakan tenaga menyerang enam bagian dan tenaga menarik empat bagian, dari itu, habis menyerang, tinjunya cepat ditarik pulang. Kiu Cian Jin berkelit, tetapi ia kena ditarik anginnya tinju itu, tubuhnya mundur hanya diluar keinginannya, dia ditarik ke depan, terus jatuh terjerunuk!
"Hm!" Kwee Ceng mengejek seraya tangannya yang kiri dilayangkan, guna menyambut muka orang, hendak ia menghajar hingga gigi rontok dan lidah terkancing putus, supaya jago tua ini tidak dapat mengacau lagi menerbitkan gelombang yang tidak-tidak.
"Tahan!" berseru Oey Yong tiba-tiba seraya ia lompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Kwee Ceng heran, hingga ia batal menggaplok, tetapi karena ia sebat, ia ubah gerakan tangannya itu, segera ia menyambar ke arah leher, untuk mencekuk, setelah mana, ia mengangkat tubuh orang.
"Yong-jie, bagaimana?" ia menanya seraya ia berpaling.
Oey Yong khawatir Kwee Ceng mencelakai orang tua itu, kalau itu sampai terjadi, pasti Auwyang Hong turun tangan. Inilah ia mau cegah, untuk ia menjalankan akalnya.
"Lekas lepaskan!" ia berkata. "Orang tua ini mempunyai semacam kepandaian yang lihay pada kulit mukanya, kalau pipinya dihajar, tenaganya berbalik bekerja, kau pasti terluka di dalam!"
"Ah, mustahil?" kata Kwee Ceng yang tidak percaya.
"Aku tidak tahu, asal ia mementang mulut dan meniup, seekor kerbau pun dapat terkelupas kulitnya!" kata pula si nona. "Masih kau tidak lekas mengundurkan dirimu!"
Pemuda ini masih tetap tidak percaya, akan tetapi ia menduga kekasihnya itu ada maksudnya, maka ia menurut, ia melepaskan cekukannya.
"Syukur nona ini mengetahui bahaya," Kiu Cian Jin berkata. "Kita berdua tidak bermusuhan, maka selagi Thian murah hati, masa aku ambil sikap yang tua menindih yang muda dan sembarang melukakan kau?"
Oey Yong tertawa.
"Itu benar!" ia bilang. "Kepandaian kau yang lihay, loosiansseng, aku sangat mengagumi, karena itu, hari ini aku mau minta pengajaran dari kau, untuk beberapa jurus saja, tetapi aku harap janganlah kau melukakan aku..."
Habis berkata si nona lantas memasang kuda-kudanya, tangan kirinya dikibaskan ke atas, tangan kanannya ditarik ke dalam, terus di bawa ke mulutnya, untuk mengasih dengar siulannya beberapa kali. Ia tertawa pula dan berkata: "Sambutlah ini! Inilah jurusku yang dinamakan silat Meniup Terompet Keong!"
"Ah, nona kecil, sungguh besar nyalimu!" berkata Kiu Cian Jin. "Auwyang Sianseng kesohor namanya di seluruh negara, mana dapat ia membiarkan kau tertawa mengejek dia..?"
Oey Yong tidak meladeni kata-kata itu, tangan kanannya melayang ke kuping orang, hingga terdengarlah suara mengelepok yang nyaring. Ia lantas tertawa dan berkata: "Dan ini namanya Pukulan Berbalik ke arah Kulit Tebal!"
Berbareng dengan itu, dari luar rimba terdengar suara orang tertawa yang disusul dengan pujian, "Bagus! Sekalian saja kau menggaplok lagi satu kali!"
Mendengar suara itu, Oey Yong girang bukan kepalang. Ia mengenali suara ayahnya. Dengan begitu, hatinya menjadi mantap. Sembari menyahuti, tangannya melayang pulang. Kembali tangan yang kanan.
Kiu Cian Jin buru-buru menunduki kepala untuk berkelit. Tapi gaplokan itu gaplokan gertakan belaka, sedang yang benar adalah susulan tangan kiri. Ia melihat itu, lekas-lekas ia berkelit pula. Atas ini, tangannya si nona melayang pergi pulang, hingga ia menjadi repot berkelit tak hentinya. Di akhirnya, kuping kanannya tergaplok pula!
Kiu Cian Jin kaget. Ia mengerti, kalau terus-terusan begitu hebat untuknya. Maka ia lantas membalas menyerang. Dengan dua kepalannya, ia memaksa si nona mundur, setelah mana, ia lompat ke samping.
"Tahan!" ia berseru.
"Apa?" Oey Yong tertawa. "Apakah sudah cukup?"
Kiu Cian Jin mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
"Nona, kau telah dapat luka di dalam!" ia berkata. "Lekas kau pulang untuk bersemadhi di kamar rahasia lamanya tujuh kali tujuh menjadi empatpuluh sembilan hari! Jangan kena angin atau jiwamu yang muda tidak bakal ketolongan!"
Melihat roman orang sungguh-sungguh untuk sejenak Oey Yong tercengang, tetapi lekas juga ia tertawa pula. Ia tertawa terkekeh, kepalanya memain.
Ketika itu Oey Yok Su yang tadi cuma terdengar suaranya saja, telah tiba bersama-sama Kanglam Liok Koay. Mereka heran melihat Tuli beramai menjadi orang tawanan.
Auwyang Hong sendiri lagi keheran-heranan. Ia heran untuk Kiu Cian Jin. Ia tahu betul, orang she Kiu ini lihay sekali, dulu hari pernah dengan tangannya yang seperti besi itu ia menghajar mati dan luka pada jago-jago dari Heng San Pay, sampai partai itu roboh dan tak dapat bangun lagi, maka itu kenapa sekarang ia kena digaplok Kwee Ceng, kena dicekuk pula, dan melayani Oey Yong nampak tak berdaya? Ia menjadi mau menduga-duga, apakah benar orang mempunyai kepandaian di kulit muka? Itulah kepandaian yang ia belum pernah dengar, itu mirip khayal......
Selagi si Bisa dari Barat itu beragu-ragu, matanya menjurus kepada Oey Yok Su, hingga ia melihat di pundak pemilik pulau Tho Hoa To itu tergantung sebuah kantung sulam buatan Su-coan, yang sulamannya sutera putih adalah seekor unta. Ia mengenali baik sekali, itulah kantung keponakannya. Ia menjadi kaget. Habis membinasakan Tam Cie Toan dan Bwee Tiauw Hong, ia pergi, tapi sekarang ia kembali, niatnya untuk menampak keponakannya itu.
"Mungkinkah Oey Yok Su telah membunuh keponakanku itu untuk membalas sakit hati muridnya?" Ia berpikir. Maka ia lantas menanya dengan suaranya menggetar: "Bagaimana dengan keponakanku?"
Oey Yok Su menjawab dingin: "Bagaimana dengan Bwee Tiauw Hong muridku itu, demikian juga dengan keponakanmu!"
Auwyang Hong merasakan tubuhnya beku separuh. Auwyang Kongcu itu namanya saja keponakannya akan tetapi nyatanya ialah anaknya sendiri sebab dia didapatkan dari perhubungan gelap diantara dia dan istri kakaknya. Jadi paman dan ipar telah main gila dan terlahirlah "Keponakan" yang dimanjakan itu. Ia sangat kejam, jahat sebagai bisa, tetapi terhadap anaknya itu, ia sangat menyayangi, menyayangi melebihkan jiwanya sendiri. Ia tidak menyangka keponakannya itu bakal terbinasa, sebab dengan kedua kakinya rusak, ia percaya Oey Yok Su dan Coan Cin Cit Cu, yang ada orang-orang kenamaan, tidak nanti menurunkan tangan mengambil nyawa sang keponakan, siapa tahu, kesudahannya, keponakan itu toh menerima nasibnya.
Oey Yok Su berdiri dengan waspada terhadap See Tok. Ia mengerti kalau si Bisa dari Barat kalap, ia mesti bekerja banyak untuk membela diri.
"Siapa yang membunuh keponakanku itu?" akhirnya Auwyang Hong menanya, suaranya serak. "Muridmu atau muridnya Coan Cin Cit Cu?"
See Tok masih tidak percaya pemilik Tho Hoa To nanti membinasakan orang yang kakinya telah buntung dua-duanya. Itulah perbuatan memalukan.
Dengan tetap dingin, Oey Yok Su menjawab pula: "Dia pernah mempelajari ilmu silat Coan Cin Pay serta juga pernah mempelajari sedikit silat dari Tho Hoa To. Pergilah kau cari dia!"
Pemilik Tho Hoa To itu menyebutnya Yo Kang akan tetapi Auwyang Hong menduga Kwee Ceng. Bukan main panasnya hatinya, tetapi di dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat menguasai diri.
"Nah, apa perlunya kau membawa-bawa kantungnya keponakanku itu?" ia tanya.
"Peta Tho Hoa To berada pada dia, aku mesti mengambilnya pulang," menyahut Oey Yok Su. "Tidak dapat aku menanti sampai dia masuk ke dalam tanah...."
"Kata-kata yang bagus!" ujar Auwyang Hong. Ia terus menahan sabar. Ia tahu baik sekali, kalau ia menempur Tong Shia, mereka mesti berkelahi sampai satu - atau duaribu jurus tanpa ada ketentuan siapa menang siapa kalah, bahkan ada kemungkinan ia tak berada di atas angin. Ia ingat Kui Im Cin-keng telah didapatkan, dari itu, soal membalas sakit hatinya bolehkah ditaruh di belakang. Tapi di sini ada Kiu Cian Jin.
"Dia ada di sini, dia dapat membantu aku," pikirnya. "Kalau dia dapat mengalahkan Kanglam Liok Koay beserta Kwee Ceng dan Oey Yong, lantas dia dapat membantui aku! Tidakkah dengan begini aku bisa mengambil jiwanya Oey Yok Su?"
Karena berpikir begini, harapannya lantas timbul. Lantas ia menoleh kepada si orang she Kiu.
"Saudara Cian Jin, pergi kau membinasakan delapan orang ini, aku sendiri melayani Oey Lao Shia!" katanya.
Kiu Cian Jin mengibaskan kipasnya yang besar, ia tertawa.
"Begitu pun bagus!" sahutnya. "Setelah membinasakan mereka berdelapan, nanti aku membantui kau!"
"Benar begitu!" menjawab Auwyang Hong, yang lantas menghadapi Oey Yok Su, terus ia berjongkok perlahan-lahan.
Oey Yok Su sudah lantas bersedia. Ia memasang kuda-kudanya yang disebut "put teng put pat", ia mengambil apa yang dinamakan kedudukan "tong hong it bok". Ia memasang mata jeli.
Oey Yong sementara itu berkata kepada Kiu Cian Jin. "Baiklah kau bunuh aku dulu!" bilangnya tertawa.
Orang tua itu menggeleng-geleng kepala.
"Ah, sebenarnya aku tidak tega..." katanya. "Aduh, aduh, celaka!" ia terus menjerit. "Sungguh tidak kebetulan...!" ia lantas memegangi perutnya, tubuhnya membungkuk.
"Kau kenapa?" Oey Yong tanya.
Kiu Cian Jin meringis.
"Kau tunggu sebentar, aku hendak membuang air..."
"Cis!" si nona meludah.
"Aduh!" Kiu Cian Jin berkoak pula, lalu ia memegangi pinggiran celananya, terus ia lari ke pinggiran. Melihat romannya, dia benar-benar perutnya sakit dan kebelet ingin membuang air besar.
Oey Yong mengawasi tanpa berani mengejar. Ia sangsi orang benar-benar sakit perut atau lagi menggunai akal bulus.
Tiba di pinggiran, Kiu Cian Jin berjongkok.
"Nah, ini kertas untukmu!" berkata Cu Cong, yang lari kepada orang she Kiu itu, pundak siapa ia tepuk, sedang tangannya menyerahkan kertas yang ia keluarkan dari kantungnya.
Terima kasih!" mengucap Cian Jin. Ia lantas pergi ke gompolan rumput di mana ia berjongkok.
"Pergi jauhan sedikit!" kata Oey Yong yang memungut sepotong batu kecil, dengan apa ia menimpuk orang tua itu.
Bab 54. Segitiga........
Batu itu melayang bagaikan terbang tetapi Kiu Cian Jin menyambutinya.
"Nona takut bau busuk?" katanya tertawa. "Baiklah, aku akan menyingkir sedikit lebih jauh. Kau orang delapan mesti menunggu, aku larang kamu pada melarikan diri.....!"
Dengan masih memegangi celananya, Cian Jin pergi sampai belasan tombak, di situ ia baru jongkok, hingga ia tak terlihat lagi.
"Jie suhu, jangan-jangan bangsat tua itu mau melarikan diri!" berkata Oey Yong.
Cu Cong tertawa.
"Mungkin dia mau lari tetapi dia tidak bisa," sahutnya guru yang nomor dua itu. "Kau ambillah dua rupa barang ini untuk kau buat main...."
Oey Yong melihat sebatang pedang dan sebuah sarung tangan dari besi di tangan gurunya itu, maka tahulah dia tadinya selagi menepuk pundak Kiu Cian Jin, gurunya itu sudah memindahkan barang orang. Ia periksa pedang itu, lantas ia tertawa geli. Selama di dalam kamar rahasia tadi ia melihat Kiu Cian Jin mempermainkan Coan Cin Cut Cu dengan menikam perutnya dengan pedang itu, tidak tahunya itulah pedang rahasia, yang dapat dibikin melesat atau ngelepot tiga kali. Maka ia lantas menghampirkan Auwyang Hong.
"Auwyang Sianseng, aku tidak mau hidup lagi!" katanya sambil tertawa, tangan kanannya terus diayunkan ke perutnya, yang ia tumblas dengan pedangnya Kiu Cian Jin itu, hingga pedang itu melesak masuk.
Auwyang Hong dan Oey Yok Su yang bersiap untuk bertempur menjadi kaget, tetapi Oey Yong sudah lantas mencabut pedangnya itu, yang menjadi pendek, sembari memperlihatkan itu kepada ayahnya, ia menuturkan rahasianya pedang tukang sulap itu.
Auwyang Hong menjadi melengak dan berpikir: "Apa mungkin tua bangka itu main gila seumurnya sedang sebenarnya dia tidak mempunyai guna?"
Oey Yok Su terus mengawasi si Bisa dari Barat itu, ketika ia melihat tubuh orang mulai tak jongkok lagi, ia dapat menerka hati orang. Ia lantas menyambuti sarung tangan besi dari anaknya, untuk meneliti itu. Ia melihat ukiran huruf "Ki" di telapakan tangan, di sebelah belakangnya ada ukiran seekor ular kecil serta seekor kelabang kecil, yang berguling menjadi satu. Ia ingat itulah lengpay atau tertanda dari Tiat-ciang Sui-siang-piauw Kiu Cian Jin. Pada duapuluh tahun yang lalu, lengpay itu sangat berpengaruh di dalam dunia kangouw, siapa yang membawa-bawa itu, dia dapat lewat dengan merdeka di selatang dan si utara sungai Tiang Kang atau di hulu dan hilir sungai Hong Hoo, bahkan golongan Hitam dan Putih sangat jeri terhadapnya. Maka itu heran, mungkinkah pemiliknya lengpay itu ada ini orang yang besar mulutnya saja?
Sembari berpikir, Oey Yok Su kembalikan sarung tangan itu kepada putrinya.
Auwyang Hong juga berpikir keras, ia turut merasa heran.
Oey Yong tertawa. "Ayah, sarung tangan ini bagus untuk dibuat main, aku menyukainya, hanya ini alat peranti menipu orang aku tidak membutuhkannya! Nah ini, kau sambutlah!" Ia mengayun tangannya, hendak menimpukkan pedang-pedangan itu. Atau mendadak, ia membatalkannya. Jaraknya dengan Kiu Cian Jin jauh juga, ia khawatir tidak dapat ia menimpuk sampai di sana. Maka pedang itu ia serahkan kepada ayahnya seraya membilangnya sambil tertawa: "Ayah, kau saja yang menimpukkannya!"
Oey Yok Su memang tengah bersangsi, ia menjadi ingin mencobai Kiu Cian Jin, maka ia menyambutinya pedang itu, yang ia taruh di telapakan tangannya yang kiri, ujungnya yang lancip di arahkan ke luar, lalu dengan jari tangan dari tangan kanan, ia menyentil. Sekejap saja pedang itu meleset bagaikan terbang!
"Bagus!" berseru Oey Yong dan Kwee Ceng sambil bertepuk tangan.
"Tiat Cie Sin-kang yang hebat!" Auwyang Hong memuji di dalam hatinya. Ia kaget sendirinya untuk lihaynya Tong Shia si Sesat dari Timur ini.
Semua mata diarahkan kepada pedang itu serta Kiu Cian Jin. Di situ ia tampak jongkok tak bergeming walaupun bebokongnya mau dijadikan sasaran pedangnya itu. Maka cepat sekali, pedang telah mengenai dan nancap.
Serangan Oey Yok Su sangat hebat, jangan kata itu pedang besi, walaupun pedang kayu, kalau sasarannya kena terhajar, korbannya mesti bercelaka.
Kwee Ceng lantas berlompat lari ke arah Kiu Cian Jin. Ketika ia sampai di tempat orang berjongkok itu, mendadak ia berseru: "Celaka betul!" Tangannya pun lantas mengangkat sepotong baju, untuk diulap-ulapkan. Ia berseru pula: "Orangnya sudah kabur!"
Kiu Cian Jin telah meloloskan bajunya, yang ia sangkutkan dengan rapi hingga ia tampak seperti terus berjongkok membuang air besar, dengan nyeludup di pepohonan lebat, ia sendiri diam-diam mengangkat kaki, menyingkir dari tempat berbahaya itu. Dengan kecerdikannya ini ia telah berhasil menjual Tong Shia dan See tok yang berpenglamanan dan lihay itu, hingga dua orang itu melengak dan saling mengawasi, lalu keduanya tertawa lebar.
Auwyang Hong kenal baik Tong Shia, yang tak sejujur Ang Cit Kong, yang sukar untuk dibokong, sekarang melihat orang tengah tertawa, ia menganggap inilah ketikanya untuk turun tangan. Dengan mendadak ia berhenti tertawa, terus ia menjura dalam sekali.
Oey Yok Su terus tertawa hanya sambil tertawa itu, tangan kirinya dilonjorkan, tangan kanannya ditekuk, sebagai juga ia membalas hormat.
Sesaat itu tubuh mereka bergoyang sebentar, setelah mana, Auwyang Hong mundur tiga tindak. Ia telah membokong dengan tidak berhasil. Lantas ia kata: "Baiklah, kita berdua nanti bertemu pula di belakang hari!" Sembari berkata begitu, ia mengibaskan tangan bajunya, ia memutar tubuhnya, untuk berlalu.
Air mukanya Oey Yok Su berubah. Dengan lekas ia mengulur tangan kirinya ke depan anak gadisnya.
Kwee Ceng pun telah melihat, selagi memutar tubuh, Auwyang Hong menyerang secara rahasia, menyerang Oey Yong dengan "Pek-hong-ciang", yaitu ilmu silat tangan kosong yang memerlukan anginnya saja. Ia hanya kalah jeli dengan Oey Yok Su. Tapi ia berseru, dengan kedua tangannya ia lantas menyerang See Tok, untuk memaksa orang membatalkan serangannya itu.
Auwyang Hong melihat ia ditangkis Oey Yok Su, yang melindungi putrinya, ia lantas menarik pulang serangannya itu, hanya bukan untuk dibatalkan, tetapi untuk diteruskan, dipakai menyerang Kwee Ceng, selagi si anak muda menyerang padanya, hingga serangan mereka bakal bentrok, keras sama keras. Kwee Ceng tahu diri, ia tidak mau melayani, maka itu dengan sebat ia membuang diri, bergulingan, untuk terus berlompat berdiri. Ia kaget hingga mukanya pucat sekali.
"Ha, anak yang baik!" berseru Auwyang Hong. "Baru beberapa hari kau tidak terlihat, kepandaianmu telah maju pesat sekali!"
Memang adalah di luar dugaan, si anak muda lolos dari bokongannya itu.
Melihat orang telah turun tangan, Kanglam Liok Koay segera memernahkan diri di belakangnya Auwyang Hong, untuk memegat.
Auwyang Hong maju terus, ia mendekati Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng. Mereka ini tidak berani turun tangan, maka itu, merdeka See Tok berjalan melewati mereka, keluar dari dalam rimba.
Oey Yok Su pun berdiam saja. Sebenarnya kalau ia mau turun tangan, dengan dibantu Liok Koay, See Tok bisa dapat celaka, tetapi ia berkepala besar, tidak mau ia mengepung si Bisa dari Barat itu, ia khawatir nanti orang tertawakan. Ia memikir, lain kali saja, kalau ada ketikanya, mereka bertempur satu sama satu. Ia tertawa dingin mengawasi punggung orang.
Ketika itu Kwee Ceng telah lepaskan Gochin Baki berempat dari tambatan mereka.
Putrinya Jenghiz Khan ini girang sekali melihat si anak muda tidak mati, maka itu dengan sengit ia menamprat Yo Kang yang dikatakan sudah menjual cerita untuk mendustakan orang.
Tuli menambahkan dengan berkata: "Orang she Yo itu membilang ia mempunyai urusan mesti lekas pergi ke Gak-ciu, kami menyangka dia orang baik-baik, maka kecewa sekali kami memberikan dia tiga ekor kuda pilihan..."
"Anda," Kwee Ceng tanya, "Bagaimana caranya maka kamu jadi bertemu sama itu dua siluman tua?"
Putri Mongolia itu, dalam kegembiraannya, mendahului memberikan keterangan.
Mereka ini sangat berduka mendengar dari Yo Kang bahwa Kwee Ceng telah meninggal dunia, dilain pihak, senang hati mereka mendengar Yo Kang berniat mencari balas. Mereka menaruh kepercayaan besar, senang mereka bergaul dengan orang she Yo itu. Itu malam mereka menginap bersama di sebuah dusun. Yo Kang beberapa kali mencoba membokong Tuli, saban-saban ia gagal disebabkan penjagaan yang keras dari kedua pengemis kurus dan gemuk terhadapnya, kalau tidak si gemuk, tentulah si kurus yang meronda sambil memegang tongkat keramatnya. Kecewa ia karena kegagalannya, dari itu, terpaksa besoknya pagi ia minta saja tiga ekor kuda, dengan itu bersama kedua pengemis itu ia berangkat ke barat.
Tuli berempat menuju ke utara, sedang kedua burung rajawali terbang ke selatan, sampai lama, keduanya tidak kembali. Ia tahu pada itu mesti ada sebabnya. Karena mereka tidak membikin perjalanan cepat, mereka menantikan di rumah penginapan, sampai dua hari. Baru di hari ketiga, kedua ekor burung rajawali itu kembali, keduanya menclok di pundak Gochin Baki seraya berbunyi tak mau berhenti.
"Mari kita ikuti mereka," berkata Tuli, yang merasa heran.
Mereka kembali ke selatan dengan kedua rajawali itu menjadi petunjuk jalan, hanya apa lacur, di rimba itu mereka bertemu Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin. Tuli, Jebe dan Borchu gagah tetapi menghadapi Auwyang Hong, mereka tidak berdaya, dari itu bersama si opsir pengiringnya, dengan gampang mereka kena ditawan dan dibelenggu. Malang si opsir, dia menjadi korban paling dulu.
Kiu Cian Jin mendapat tugas dari negara Kim untuk mengacau orang-orang kosen di Kanglam. Supaya mereka bentrok satu dengan lain, untuk menggampangi usaha bangsa Kim itu menyerang ke Selatan. Bersama Auwyang Hong ia berada di rimba itu, kapan ia melihat Tuli berlima, ia lantas menganjurkan Auwyang Hong turun tangan. Syukur kedua burung rajawali telah bisa mencari bantuan dan rombongannya Kwee Ceng ini datang tepat.
Gochin Baki sangat gembira, sembari menutur ia pegangi tangan Kwee Ceng, ia tertawa tak hentinya.
Oey Yong mengawasi tingkah lakunya putri itu, ia merasa tak puas. Ia jadi lebih tak senang karena si putri bicara dalam bahasa Mongolia, yang ia tidak mengerti. Ia menjadi tidak sabaran.
Oey Yok Su melihat roman anak gadisnya itu, ia heran.
"Yong-jie, siapakah ini perempuan asing?" ia tanya.
"Dialah istrinya engko Ceng yang masih belum dinikah!" sahut sang gadis.
Ayah itu heran hingga ia hampir tidak mempercayai kupingnya sendiri.
"Apa?!" ia menanya, mengulangi.
"Ayah, kau pergi tanya dia sendiri," sahut si anak perlahan. Ia malu untuk menjelaskannya.
Cu Cong mendapat dengar pembicaraan di antara ayah dan anak itu, ia mengerti keadaan berbahaya untuk Kwee Ceng, karena ia tahu baik hal ikhwal putrinya Jenghiz Khan itu dengan muridnya, ia lantas campur bicara, ia menuturkan duduknya hal itu. Tentu saja ia menyebutkan, jodoh itu didesaki oleh Khan tersebut.
Oey Yok Su memangnya tidak penuju Kwee Ceng, kalau toh ia menjodohkan juga putrinya, itulah saking terpaksa. Sekarang ia mendengar ini soal yang baru untuknya, ia menjadi tidak puas. Ialah kepala suatu partai, ia sangat menyayangi putrinya itu bagaikan mutiara mustika, dari itu mana dapat putrinya ini menjadi istri kedua, artinya menjadi gundik?
"Yong-jie!" ia lantas kata kepada putrinya, suaranya keras.
"Ayahmu hendak melakukan sesuatu, kau tidak boleh mencegah!"
Anak itu kaget.
"Apakah itu, ayah?" ia tanya.
"Anak busuk itu, perempuan hina itu, dua-duanya mesti dibunuh!" sahut sang ayah.
Oey Yong kaget, ia lompat menubruk tangan ayahnya itu.
"Tetapi, ayah, engko Ceng bilang dia sungguh mencintai aku!" katanya.
Oey Yok Su tidak meronta, tetapi ia membentak kepada Kwee Ceng. "Eh, bocah, kau bunuhlah perempuan asing itu, untuk membuktikan hatimu sendiri!"
Kwee Ceng berdiri menjublak. Belum pernah ia menghadapi soal sesulit ini. Ia memang kurang cerdas, dari itu, ia ayal mengambil keputusannya.
"Lebih dulu kau sudah bertunangan, kenapa kau melamar juga putriku?!" tanya Oey Yok Su bengis. "Apakah artinya perbuatanmu ini?!"
Kanglam Liok Koay memasang mata waspada. Sikapnya Tong Shia luar biasa sekali. Sembarang waktu si Sesat dari Timur ini dapat menurunkan tangan dahsyat, muka orang merah padam. Hati mereka goncang sebab pemilik Tho Hoa To ini sangat lihay.
Kwee Ceng tidak pernah mendusta, maka ia menyahuti: "Pengharapanku ialah dalam seumur hidup aku bisa berkumpul bersama Yong-jie saja, lainnya hal tidak ada di hatiku."
"Baik kalau begitu," kata Oey Yok Su, yang hawa amarahnya sedikit mereda. "Sekarang begini saja. Tidak apa kau tidak suka membinasakan perempuan itu, tetapi kau, semenjak hari ini, aku larang kau bertemu pula dengannya!"
Kwee Ceng berdiam, pikirannya bekerja.
"Bukankah kau pasti akan bertemu pula dengannya?" Oey Yong bertanya.
"Di dalam hatiku, dialah mirip adik kandungku," sahut Kwee Ceng. "Kalau aku tidak bertemu dengannya, aku suka mengingat padanya."
Mendengar itu Oey Yong tertawa.
"Kau suka melihat siapa, kau boleh melihatnya!" katanya. "Tentang itu aku tidak memperdulikannya!"
"Baik, begini saja!" berkata Oey Yok Su. "Saudaranya-saudaranya perempuan asing itu ada di sini, aku ada di sini, dan keenam gurumu berada di sini juga, maka hayolah kau membilangnya jelas-jelas bahwa yang kau bakal nikahi adalah putriku ini, bukan perempuan asing itu!"
Dengan bicara begitu, Oey Yok Su sudah menentang hatinya sendiri, untuk keberuntungan gadisnya, ia suka mengalah.
Kwee Ceng berpikir sambil tunduk, maka ia lantas melihat golok Kim-too hadiah dari Jenghiz Khan serta pisau belati pengasihnya Khi Cie Kee. Ia menjadi bingung sekali. Ia berpikir: "Menurut pesan ayahku, dengan Yo Kang aku mesti menjadi saudara sehidup semati, akan tetapi Yo Kang itu bersifat lain, kelihatannya persaudaraanku dengannya tidak dapat dilundungi lagi. Pula menurut pesan paman Yo, aku harus menikah sama adik Liam Cu. Bagaimana sekarang? Seharusnya pesan orang tua mesti dijalankan. Dengan begitu, perangkapan jodohku dengan putri Gochin Baki pun ada atas kehendak Jenghiz Khan, seorang tua! Bolehkah karena kata-kata orang tua itu lantas aku mesti berpisah dengan Yong-jie?"
Setelah memikir paling belakang itu, pemuda ini lantas mengambil keputusan. Ia mengangkat kepalanya.
Sementara itu Tuli telah menanyakan Cu Cong tentang pembicaraan di antara Kwee Ceng dengan Oey Yok Su itu, setelah mengetahui duduknya hal dan menampak kesangsian si anak muda, ia menjadi tidak puas. Ia gusar mengetahui orang tidak mencintai adiknya. Maka dari kantung panahnya, ia menarik keluar sebatang anak panah bulu burung tiauw, sambil memegang itu di tangannya, ia kata dengan nyaring: "Anda Kwee Ceng, seorang laki-laki yang mau malang melintang di dalam dunia, dia mesti berbuat hanya dengan satu kata-katanya yang pasti! Oleh karena kau tidak mencintai adikku, mana bisa putri yang gagah dari Jenghiz Khan memohon-mohon meminta kepadamu? Oleh karena itu, mulai hari ini, putus sudah persaudaraan di antara kita! Di masa mudamu, kau pernah menolongi aku, kau juga telah menolongi ayahku, budi itu, kami ingat baik-baik, dari itu, ibumu yang sekarang berada di Utara, akan aku mengirim orang untuk mengantarkannya, tidak nanti aku membikin dia kurang suatu apa! Kata-katanya seorang kesatria ada mirip gunung kekarnya, karenanya kau boleh bertetap hati!"
Habis berkata begitu, ia patahkan anak panah itu dan melemparkannya di depan kudanya.
Hati Kwee Ceng tergerak. Ia lantas ingat masa mudanya di gurun pasir, bagaimana kekalnya pergaulannya sama Tuli. Ia jadi berpikir: "Memang, perkataannya seorang kesatria mirip sebuah gunung. Jodohnya adik Gochin Baki telah aku menerima dengan mulutku sendiri, bagaimana sekarang aku boleh tidak memegang kepercayaanku? Tanpa kepercayaan, dapatkah aku menjadi manusia? Biarlah Oey Tocu membunuh aku, biarlah Yong-jie membenci aku seumur hidup, aku tidak dapat berbuat lain!" maka itu ia mengangkat kepalanya dan berkata dengan tegas: "Oey Tocu, keenam guruku, anda Tuli, kedua guruku Jebe dan Borchu, aku Kwee Ceng, aku bukannya seorang yang tidak mempunyai kepercayaan, maka itu, mesti aku menikah sama adik Gochin!"
Kwee Ceng bicara dalam bahasa Tionghoa, lalu ia salin itu ke dalam bahasa Mongolia, hingga kedua belah pihak mengerti. Kata-kata ini membikin mereka itu menjadi heran sekali. Itulah diluar dugaan. Tuli dan Gochin Baki heran berbareng girang. Kanglam Liok Koay memuji muridnya sebagai laki-laki sejati! Adalah Oey Yok Su, yang tertawa dingin.
Oey Yong sangat kaget dan berduka, hingga ia terbengong sekian lama. Ia maju beberapa tindak, untuk memandangi si putri Mongolia, tubuh siapa kekar, alisnya lancip, matanya besar dan bagus, air mukanya gagah dan agung. Tanpa merasa, ia menghela napas. Ia berkata kepada Kwee Ceng, "Engko Ceng, aku mengerti kau. Dia dan kau benarlah orang dari satu kalangan, kamu berdua ialah sepasang rajawali putih dari gurun pasir, kau sebaliknya, aku hanya seekor burung walet di bawah cabang yangliu di Kanglam...."
Kwee Ceng maju satu tindak, ia mencekal tangan si nona. Ia kata: "Yong-jie, aku tidak tahu perkataan kau tepat atau benar, tetapi di dalam hatiku cuma ada kau satu orang! Kau mengerti aku, maka kalau aku dicincang selaksa golok, tubuhku dibakar menjadi abu, dalam hatiku tetap ada cuma kau sendiri!"
Air mata si nona mengembang.
"Habis kenapa kau hendak menikahi dia?" ia tanya.
"Aku seorang tolol, segala apa aku tidak mengerti," sahut si pemuda. "Aku cuma tahu, apa yang telah dijanjikan tidak dapat dibuat menyesal. Aku tidak suka omong dusta, tidak peduli bagaimana, dalam hatiku cuma ada kau seorang!"
Oey Yong bingung. Ia girang tetapi juga bersusah hati.
"Engko Ceng, aku sudah tahu," katanya, tertawa tawar. "Kalau dari atas pulau Beng Hoo To kita tidak kembali, bukankah itu terlebih bagus?"
"Inilah gampang!" memotong Oey Yok Su sambil alisnya berdiri, sebelah tangannya diayunkan ke arah putri Gochin Baki.
Oey Yong telah melihat roman ayahnya, maka juga ia mendahulukan lompat untuk menyambar tangannya putri dari Mongolia itu, ditarik turun dari kudanya.
Oey Yok Su khawatir mencelakai gadisnya, gerakannya terlambat, sesudah putri itu ditarik turun, baru tangannya menghajar pelana kuda. Mulanya tak apa-apa, hanya selang sesaat kemudian, kuda itu tunduk kepalanya, lemas empat kakinya, lalu mendeprok sendirinya, jiwanya melayang.
Kuda itu kuda Mongolia pilihan, besar dan kuat, tetapi dengan sekali hajar, dia mampus, kejadian itu membuatnya Tuli semua kaget bukan main. Kalau Gochin Baki kena terhajar, tidakkah tubuhnya ringsek?
Oey Yok Su melengak. Ia tidak menyangka gadisnya mau menolongi nona Mongolia itu. Tapinya ia cerdik, sejenak kemudian, ia mengerti sebabnya itu. Kalau putri itu terbinasa, tentu Kwee Ceng bakal murka, kalau Kwee Ceng murka, mana bisa dia akur lagi dengan gadisnya? Ia lantas berpikir keras. Sama sekali ia tidak takut bocah itu. Kapan ia memandang kepada gadisnya, yang romannya lesu dan berduka sangat, hatinya menjadi dingin. Paras si nona itu waktu sungguh mirip sama paras istrinya, ialah ibunya Oey Yong, selagi si istri mau menghembuskan napasnya yang terakhir. Oey Yong dan ibunya sangat mirip satu dengan lain dan Oey Yok Su sangat mencintai istrinya itu, meninggalnya siapa membuatnya seperti gila. Sudah lewat limabelas tahun tetapi wajah istrinya itu masih saban-saban terbayang di depan matanya. Sekarang ia melihat roman gadisnya itu, maka tahulah ia bagaimana sangat anak itu mencintai Kwee Ceng. Akhirnya ia mengela napas, lalu bersenandung.
Oey Yong pun berdiri diam, air matanya turun mengucur.....
Han Po Kie menarik tangannya Cu Cong.
"Dia kata apakah?" ia berbisik.
"Ia mengulangi tulisannya seorang she Kee di jaman Ahala Gan," Cu Cong jawab. "Itu artinya, manusia di dalam dunia beserta segala bendanya adalah seperti penderitaan yang dibakar di dalam sebuah perapian besar."
"Dia demikian lihay, apalagi penderitaannya?" Po Kie tanya pula.
Cu Cong tersenyum, ia tidak menjawab.
"Yong-jie, mari kita pulang..." akhirnya terdengar suaranya Oey Yok Su halus. "Untuk selanjutnya, untuk selamanya jangan kita melihat pula bocah ini..."
"Tidak, ayah," sahut si anak menggeleng kepala. "Aku mesti pergi ke Gak-ciu. Suhu menitahkan aku untuk menjadi pangcu, ketua dari Kay Pang."
Ayah itu tersenyum.
"Apakah enaknya menjadi ketua Partai Pengemis?" ia menanya.
"Aku telah memberikan janjiku pada suhu, ayah!"
Ayah itu berpikir.
"Baiklah," katanya kemudian, "Kau coba-cobalah untuk beberapa hari. Umpama kata kau menganggap terlalu jorok, kau wariskan saja kepada orang lain. Bagaimana di belakang hari, kau masih mau menemui bocah ini atau tidak?"
Oey Yong melirik kepada Kwee Ceng, siapa terus mengawasi kepadanya, sinar matanya sangat lesu, romannya sangat berduka. Ia berpaling kepada ayahnya, ia menyahuti: "Ayah, dia mau menikah sama lain orang maka aku pun akan menikah dengan lain orang juga. Di dalam hati dia cuma ada aku satu orang, maka di dalam hatiku cuma ada dia seorang juga..."
"Ha!" berkata orang tua itu. "Anak perempuan dari Tho Hoa To tidak dapat dihina orang, itulah bagus. Habis bagaimana kalau orang dengan siapa kau menikah nanti melarang kau menemui dia?"
"Hm, siapa yang berani melarang aku!" kata nona itu keren. "Aku toh anakmu!"
"Ah, budak tolol!" berkata ayah itu. "Lewat beberapa tahun lagi aku bakal meninggalkan dunia ini..."
"Tetapi ayah," kata si nona yang pun berduka, "Begini rupa dia memperlakukan aku, apakah kau mengira aku bakal dapat hidup lama pula?"
Kanglam Liok Koay dijuluki manusia-manusia aneh tetapi mendengari pembicaraan ayah dengan anak itu, mereka menjublak. Di jaman Song itu, masih keras orang menghormati adat-istiadat, ada sopan santun. Oey Yok Su bukannya Seng Tong dan Bu Ong, bukannya Ciu Kong atau Khong Cu, tetapi ialah seorang yang aneh, maka julukannya pun Tong Shia, si Sesat dari Timur. Apa yang ia lakukan biasanya sebaliknya daripada yang umum, sedang Oey Yong itu, semenjak kecilnya, ia sudah dididik ayahnya yang aneh ini, yang terpelajar tinggi dan luas pengetahuannya, maka ia mengerti, suami istri tinggal suami istri tetapi cinta itulah lain.
Kwee Ceng pun mendengari pembicaraan itu dengan hatinya terluka. Ia sangat berduka. Ia mau menghiburi Oey Yong tetapi apa ia hendak bilang? Maka ia pun berdiam saja.
Oey Yok Su memandang putrinya, lalu ia mengawasi Kwee Ceng, kemudian lagi ia dongak memandang langit dan mengasih dengar suaranya yang lama dan keras, yang seumpama kata menggetarkan rimba, suaranya itu berkumandang di lembah-lembah. Burung-burung kucica kaget hingga pada beterbangan mengitari pepohonan.
"Burung kucica, burung kucica!" berkata Oey Yong. "Malam ini Gu Long bakal bertemu sama Cit Lie, kenapa kau tidak lekas-lekas membuat jembatanmu?"
Tapi Oey Yok Su sengit, ia menjumpat seraup pasir, ia menimpuk, maka itu belasan burung jatuh dan mati, setelah mana dia membalik tubuh, untuk berjalan pergi tanpa menoleh lagi....
Tuli tidak mengerti pembicaraan orang, karena tahu Kwee Ceng tidak akan menyalahi janji, ia girang sekali. Ia pegang golok Kim-too dari ayahnya, dia cium itu di mulutnya, lalu ia membawanya kepada Kwee Ceng, untuk diserahkan.
"Anda," katanya, "Aku harap usahamu yang besar lekas selesai, supaya kau bisa pulang ke Utara di mana kita nanti dapat bertemu pula!"
"Burung kita ini kau boleh bawa," berkata Gochin Baki. "Aku harap kau lekas pulang!"
Kwee Ceng mengangguk. Dari sakunya ia mengeluarkan sepotong tombak pendek, sambil menunjuki itu, ia kata pada putri Mongolia itu: "Kau bilangi ibuku, pasti aku akan pakai senjata ayahku ini untuk membinasakan musuh kami!"
Jebe dan Borchu pun turut mengambil selamat berpisah.
Oey Yong mengawasi empat orang Mongolia itu berlalu, Kwee Ceng masih berdiri saja. Ia melihat kedukaan orang.
"Engko Ceng, kau pergilah, aku tidak sesalkan kau," katanya.
"Yong-jie," menyahut si anak muda itu, yang bicara dari lain hal, "Tongkat Kay Pang dibawa Yo Kang, dan ayahmu membilang, mengenai Kay Pang mungkin terjadi sesuatu, maka itu malam ini mari kita mencari suhu, besok aku nanti terus pergi bersama kau."
Si nona menggeleng kepala.
"Pergi kau sendiri mencari suhu," katanya. Ia mengasih keluar pisau belati Kwee Ceng, yang ia selipkan di pinggangnya, ia letaki itu di tanah. Ia juga menurunkan dan membuka pauwhok yang digendol di punggungnya, darimana ia mengeluarkan segulung gambar. Ia kata: "Inilah pemberian ayah untukmu." Masih ia mengeluarkan lakonnya yang beraneka warna, yang mana ia pisahkan separuh. Ia kata pula: "Inilah barang yang kita kumpulkan di pulau, aku bagi separuh untukmu..." Ia mengawasi bungkusannya itu, di situ cuma ada baju pemberian Kwee Ceng serta sejumlah uang serta beberapa potong pakaiannya untuk salin tiap hari, maka ia tertawa dan berkata pula: "Aku tidak mempunyai barang lainnya lagi untuk diberikan padamu." Lalu dengan perlahan ia membungkus rapi, ia menggendol itu, habis mana ia memutar tubuhnya, untuk berjalan pergi.
Kwee Ceng tercengang, dengan menuntun kuda merah, ia menyusul.
"Baik kau menunggang kuda," katanya.
Oey Yong menoleh, ia tertawa, tetapi ia jalan terus.
Kwee Ceng masih menyusul beberapa tindak, lantas ia berhenti. Ia masih bengong mengawasi orang pergi hingga nampak seperti bayangan.
"Anak Ceng, bagaimana sekarang?" Han Siauw Eng menegur.
Anak muda itu masih menjublak.
"Aku hendak pergi ke istana mencari suhu," sahutnya.
"Itu benar," berkata Kwa Tin Ok. "Oey Lao Shia pernah mengacau di rumah kita, mungkin orang di rumah bingung, maka sekarang kita mau pulang. Kalau kau berhasil mencari gurumu itu, kau undang dia datang ke rumah kami untuk sekalian beristirahat."
Kwee Ceng menurut, maka itu, ia mengambil selamat berpisah dari keenam gurunya ini. Kemudian ia sendiri, setelah menyimpan pisau belati dan lakonnya, terus menuju ke Lim-an.
Malam itu Kwee Ceng memasuki istana, mencari gurunya, hasilnya sia-sia belaka. Ang Cit Kong tidak ada, Ciu Pek Thong entah ke mana. Di malam kedua ia mencari pula, hasilnya sama.
"Tidak ada jalan lain, lebih baik aku pergi menyusul Yong-jie," pikir anak muda ini kemudian. "Baik aku membantu dulu padanya mengurus Kay Pang, kemudian bersama-sama kita kembali mencari terus pada suhu."
Itu hari tanggal sembilan bulan tujuh, tinggal enam hari untuk pembukaan rapat Kay Pang di Gak-ciu. Kwee Ceng tidak takut ketinggalan. Ia menunggang kudanya yang jempol. Dalam satu hari saja ia sudah tiba di batas jalan barat dari Kanglam.
Sementara itu suasana sudah berubah. Separuh dari Tiongkok sudah diduduki bangsa Kim. Batas di timur adalah Hoay-sui, dan di barat kota San-kwan. Untuk kerajaan Lam Sang - Song Selatan - tinggal apa yang disebutkan limabelas "jalan" ialah dua propinsi Ciatkang dan Kangsouw, Liang Hoay (yaitu daerah di antara kedua sungai Hong Hoo dan Yang Cu Kang di Anhui dan Kangsouw), dua jalan timur dan barat dari Kanglam, dua jalan di selatan dan utara dari Kheng-ouw, empat jalan di Su-coan Barat, Hokkien, Kwietang dan Kwiesay. Maka itu, negara menjadi lemah sekali.
Kwee Ceng berjalan dengan saban-saban melepaskan dua ekor burung rajawalinya, guna membantu mencari Oey Yong. Ia sendiri mencari dengan sia-sia. Ketika pada suatu hari ia tiba di kecamatan Bu-leng, di kota Liong-hin, dekat dengan kota Gak-ciu, ia berjalan dengan perlahan. Diwaktu sore, ia menghadapi sebuah rimba lebat, yang kelihatan menyeramkan. Di belakang rimba itu ada satu bukit yang panjang. Tentu sukar untuk melintasi rimba itu dan gunung sesudah cuaca gelap, maka ia mau mencari pondokan. Di samping rimba itu ia melihat pagar bambu.
"Ada pagar tentu ada rumah," pikirnya girang. Ia bertindak. Ia melihat sebaris pohon. Di situ ia lantas melihat sebuah rumah dengan tiga undak. Ia mendekati rumah itu. Belum ia datang dekat, kupingnya sudah mendengar tangisan seorang wanita. Ia menjadi heran.
"Orang lagi berduka, tidak dapat aku mengganggu," pikirnya. Ia hendak mengundurkan diri.
Orang di dalam rumah tapinya sudah mendengar suara kuda. Dengan kaget bukan daun pintu di pentang. Di situ muncul seorang tua dengan rambut ubanan, yang tubuhnya sudah melengkung, tangannya memegang cagak besi yang panjang. Dia berdiri di depan pintu sambil berseru: "Pembesar anjing! Ular tidak ada, cucu perempuanku juga tidak ada. Yang ada hanya selembar jiwa tuaku ini!"
Kwee Ceng heran. Ia tahu orang salah mengerti.
"Tuan, aku hanya seorang pelancongan!" katanya lantas sambil ia memberi hormat. "Aku kena bikin lewat tempat mondok, maka niatku datang ke mari untuk menumpang bermalam. Satu malam saja. Kalau kau lagi ada urusan, tidak apa, aku nanti pergi ke lain rumah."
Orang tua itu lantas mengawasi, habis itu lekas-lekas ia meletaki cagaknya, untuk membalas hormat.
"Maafkan aku, tuan, aku lagi ngaco," katanya. "Jikalau kau tidak jijik, silahkan masuk dan minum teh."
Kwee Ceng mengucap terima kasih. Lantas ia memberikan sejumlah uang, untuk dicarikan rumput guna makan kudanya, setelah itu baru ia masuk ke dalam. Nyata rumah itu bersih sekali. Ia menjadi heran. Ia baru duduk atau kupingnya mendengar suara berisik dari kuda. Ia menduga ada tiga penunggang kuda datang ke situ. Ia pun lantas mendengar suara bengis: "Orang tua she Cin, kau menyerahkan ular atau cucu perempuanmu?!"
Lalu terdengar suara seorang lain: "Kami dapat mengasih ampun kepada kamu, tetapi looya kami tidak dapat memberi ampun kepada kami! Maka itu lekas kau keluar!"
Suara itu disusul sama sambaran cambuk kepada atap rumah, hingga atap itu, yang terbuat dari rumput rusak.
Si orang tua tidak menyahuti suara dari luar itu, ia hanya masuk ke dalam kamar, untuk berkata: "Anak Kim, pergi kau lari ke belakang, ke dalam rimba. Malam ini kau sembunyi terus. Besok pagi-pagi, kau boleh pulang sendiri ke Kwietang....."
Segera terdengar tangisan wanita tadi.
"Engkong, mari kita mati bersama...." kata orang perempuan itu.
"Lekas lari, lekas!" berkata si orang tua, membantung kaki. "Nanti terlambat!"
Dari dalam kamar lantas keluar seorang nona dengan baju hijau, ia menubruk si orang tua, siapa sebaliknya menolak tubuh orang, untuk disuruh lari ke belakang.
Berbareng dengan itu, pintu terdengar tertembrak hingga terbuka, tiga orang terus nerobos masuk. Orang yang maju paling depan lantas menjambak pundaknya si orang tua she Cin itu, sedang tangannya yang lain menyambar si wanita muda, untuk dipeluki.
Nona itu ketakutan hingga ia membungkam. Kwee Ceng mengawasi tiga orang itu. Dari dandanannya, yang di depan itu seorang polisi, yang dua lagi serdadu. Si orang polisi, yang memeluki si nona, berkata sambil tertawa. "Empeh Cin, kami datang atas titahnya tuan camat kami, maka jangan kau sesalkan kami! Malam ini kau mengantarkan duapuluh ekor ular, ini nona akan kita kembalikan, kalau kau menunggu sampai besok, nanti sudah tidak keburu!" Ia terus tertawa lebar, sambil bertindak pergi, ia bawa si nona bersama.
Orang tua she Cin itu menjerit keras, dengan membawa cagaknya, ia memburu, terus ia menikam.
Si orang polisi berkelit, sambil berkelit ia mencabut golok di pinggangnya dengan apa ia mengetok cagak itu. Si empeh tidak dapat mempertahankan diri, cagaknya terlepas dan jatuh di tanah. Menyusul itu, orang polisi itu menendang, hingga ia roboh seketika.
"Eh, tua bangka, jangan kau banyak tingkah!" dia membentak. "Awas, jangan kau nanti sesalkan golokku tidak ada matanya!"
Empeh itu seperti kalap, lupa pada dirinya, ia menubruk kaki kanan orang itu, terus ia menggigit.
Opas itu kesakitan dan berontak-berontak, dalam sengitnya ia hajar kepala si empeh dengan belakang goloknya, maka pecahlah jidat orang dan darahnya menyiram ke mukanya. Tapi empeh itu sudah nekat, ia tidak menghiraukan luka dan sakitnya, ia menggigit terus, tidak mau ia melepaskannya.
Dua serdadu itu maju menolongi si opas, yang satu menendang, yang lainnya menarik, sedang si opas menghajar lagi beberapa kali dengan gagang goloknya.
Sampai di situ, Kwee Ceng tidak dapat menonton lebih lama. Tadi ia baru gusar saja. Seperti biasanya, ia pun bergerak ayal. Tapi sekarang, ia lompat maju. Lebih dulu ia jambak punggungnya kedua serdadu itu, ia melemparkan mereka. Si opas lagi membacok ketika Kwee Ceng menahan belakang goloknya, untuk ditolak keras hingga golok itu berbalik dan tepat membacok jidatnya. Dengan tangan kanannya, Kwee Ceng menyambar tubuh si nona sambil kakinya menendang, dari itu, tidak ampun lagi, tubuh opas itu kena terlempar. Tapi empeh Cin menggigit dan memeluki erat sekali, tubuhnya turut terlempar bersama.
Menampak begitu, Kwee Ceng kaget sekali. Ia khawatir, karena jatuh terbanting, empeh itu nanti mati karenanya. Lupa melepaskan tubuh si nona, ia lompat menyusul seraya tangannya menyambar leher si opas, sedang kepada si empeh ia berseru: "Empeh, ampunkanlah dia!"
Benar-benar si empeh kalap, ia seperti tidak mendengar suara orang, sampai si nona muda berteriak memanggil dia, "Engkong! Engkong!" baru ia melepaskan gigitannya, dengan mulut berkelepotan darah, ia mengangkat kepalanya. Itu waktu Kwee Ceng telah melemparkan pula tubuh si opas, yang jatuh terbanting hingga terus ia tidak mau bangun lagi, karena ia khawatir nanti dihajar lebih jauh.
Kedua opas itu nyalinya kecil, mereka tidak berani melawan, setelah melihat si anak muda tidak menyerang lebih jauh, mereka menghampirkan si opas kawannya itu, untuk dikasih bangun, buat lantas diajak pergi dengan kaki si opas dingkluk-dingkluk. Saking takut, mereka tidak berani menaiki kuda mereka.
Sampai di situ, baru Kwee Ceng melepaskan tubuh si nona, lekas-lekas ia mengasih bangun si orang tua.
Nona itu mengawasi tuan penolongnya, nampaknya ia sangat bersyukur, tetapi karena malu, ia tidak dapat membuka mulutnya. Maka ia cuma mengeluarkan sapu tangannya, dengan apa ia menyusuti darah di muka kakeknya itu.
Tidak enteng luka si empeh, akan tetapi melihat si nona tidak dibawa pergi si opas dan serdadu, ia menjadi bersemangat, dengan cepat ia berlutut di depan Kwee Ceng, guna memberi hormat sambil menghanturkan terima kasihnya berulang-ulang.
Si nona turut berlutut juga.
"Sudah, lootiang," kata Kwee Ceng seraya mengasih bangun. "Tidak dapat aku menerima hormatmu ini."
Orang tua itu lantas mengundang tetamunya masuk pula, dan si nona segera menyuguhkan teh.
"Injin, silahkan minum," katanya perlahan. Ia lantas memanggil "injin" - tuan penolong.
"Terima kasih," sahut Kwee Ceng sambil berbangkit.
Empeh Cin lantas menanyakan she dan nama tetamunya dan Kwee Ceng memperkenalkan dirinya.
"Sebenarnya, empeh, urusan apakah ini?" Kwee Ceng tanya.
Empeh itu suka mengasihkan ceritanya. Ia asal propinsi Kwietang, karena gangguan seorang hartawan di kampung halamannya, ia mengajak keluarganya pindah ke propinsi Kang-see ini. Di sini ia melihat tanah kosong, ia lantas membuat rumah dan berusaha di situ. Bersama ia turut kedua anak lelakinya. Di rimba ini ada banyak ularnya, apa celaka, dua anak itu serta seorang nyonya mantunya, bergantian mati dipagut ular, hingga seterusnya ia tinggal berduaan saja bersama cucu perempuannya itu, yang diberi nama Lam Kim. Si empeh bersakit hati, ia pulang ke Kwietang, untuk mempelajari ilmu menangkap ular, sesudah mana ia kembali. Ia membalas sakit hati dengan membinasakan setiap binatang berbisa itu. Dasar malang nasibnya dan ia pun lemah, tanah yang ia telah buka dirampas seorang hartawan galak di dalam kota. Saking terpaksa, ia lantas hidup sebagai penangkap ular. Di dalam usahanya ini, syukur ia tidak mendapat saingan. Untuk sembilan tahun, mereka berdua hidup tentram, sampai datang Kiauw Lay, camat yang baru. Kebetulan ia doyan ular, untuk itu ia berani keluar uang untuk membeli. Empeh Cin tidak kuat membayar pajak, ia diwajibkan setiap bulan menyerahkan duapuluh ekor ular berbisa. Dengan terpaksa empeh Cin menunaikan tugasnya itu, untuk mana ia dibantu oleh cucunya. Tapi tahun ini, di musim semi, entah kenapa, ular menjadi berkurang. Susah sekali mencarinya. Sampailah itu waktu, di bulan ke enam, mereka tidak bisa mendapatkan ular. Sudah begitu, lantas datang gangguan lain. Kiauw Thayya mendapat tahu Lam Kim cantik, ia minta nona itu. Beberapa kali ia mengirim comblang, si empeh senantiasa menampik. Lalu datanglah hari ini, Kiauw Thayya menggunakan kekerasan, ia mengirim opasnya dan dua serdadu untuk minta ular atau orang. Sebab empeh tidak bisa menyerahkan ular, maka cucunya dipaksa dibawa pergi. Kebetulan sekali, di situ ada Kwee Ceng.
Mendengar cerita itu, Kwee Ceng menghela napas.
Habis bersantap malam, empeh mempersilahkan tetamunya tidur. Lam Kim yang mengantarkan ke kamar sambil ia membawa pelita, katanya dengan perlahan: "Di sini hutan, segala apa kotor, harap injin maklum..."
"Nona panggil saja aku engko Kwee," Kwee Ceng memberitahu.
"Mana aku berani, injin," kata si nona. Tiba-tiba ia terkejut. Dil luar terdengar suara nyaring dan luar biasa dari seekor burung hutan. Hampir ia membikin pelitanya terlepas.
"Nona, burung apakah itu?" tanya Kwee Ceng. Ia heran, sudah suara burung itu aneh, ia pun merasakan tubuhnya gatal tidak karuan dan dadanya penuh seperti mau tumpah-tumpah.
"Itulah burung keramat tukang makan ular," sahut si nona perlahan.
"Burung pemakan ular?" si anak muda menegaskan.
"Benar. Semua ular di rimba sini habis dimakan dia, maka itu engkong jadi sengsara..."
"Kenapa tidak didayakan menyingkirkan burung itu...?"
"Perlahan injin..." kata si nona, romannya ketakutan. Ia lantas menutup jendela. "Burung itu sakti, kalau ia dengar suara injin, bisa celaka...!"
"Apa? Burung itu bisa mendengar suara kita?"
Lam Kim hendak memberikan jawabannya, ketika terdengar suara si empeh di luar kamar: "Diwaktu malam tak leluasa untuk bicara banyak, besok siang saja nanti aku yang menjelaskan."
Kwee Ceng heran tetapi ia menurut, sedang si empeh lantas saja ajak cucunya pergi ke kamar mereka.
Melihat roman ketakutan dari tuan dan nona rumah itu, Kwee Ceng bertambah heran hingga ia tidak dapat tidur nyenyak. Ia pun memikirkan Oey Yong, yang entah ada dimana adanya. Ia gulak-galik sampai tengah malam ketika ia mendapat dengar pula suara si burung pemakan ular, yang berbunyi tiga kali.
"Aku tidak dapat tidur, baik aku lihat burung itu," pikirnya. Ia turun dari pembaringan, ia membuka jendela untuk lompat ke luar. Di saat ia mau menuju ke arah darimana suara burung itu terdengar, ia mendengar teguran perlahan di belakangnya: "Injin, aku turut kau..." Ia lantas menoleh. Maka ia nampak Lam Kim berdiri di bawah sinar rembulan, rambutnya riap-riapan mirip dengan rambutnya Bwee Tiauw Hong. Nona ini berkulit putih, romannya cantik. Kedua tangannya memegang entah barang apa yang hitam. Dengan perlahan ia menghampirkan si anak muda, untuk berkata pula: "Injin mau melihat burung keramat itu?"
"Ah, jangan kau memanggil injin padaku," Kwee Ceng mencegah.
Nona itu likat.
"Engko!" ia memanggil.
Kwee Ceng mengasih lihat panahnya.
"Aku hendak memanah mampus burung itu, supaya ia jangan lagi mengganggu engkongmu," katanya.
"Perlahan!" si nona kata. Ia pun mengangkat tangannya. "Pakai ini di kepala, untuk berjaga-jaga." Suara si nona itu bergetar.
Kwee Ceng melihat sebuah kuali besi, ia menjadi heran.
Lam Kim memegang kuali besi di tangan kirinya, ia berkata pula: "Burung itu dapat datang dan pergi bagaikan angin, ia biasa mematuk mata orang, hebat sekali. Kupingnya juga tajam, begitu mendengar suara orang, dia bisa lantas datang. Engko, kau mesti hati-hati."
Kwee Ceng tidak takut. Bukankah ia pernah menghadapi burung rajawali raksasa itu. Lantas ia jalan di depan.
Belum mereka sampai di tepi rimba, burung ular itu berbunyi lagi, tiga kali. Justru itu di situ terdengar suara berisik.
Lam Kim terkejut. "Ah, aneh! Kenapa di sini ada begini banyak ular?" katanya.
Kwee Ceng memasang kuping. Ia lantas mendengar suara beberapa orang yang bersuit dan menggebah-gebah. Ia kenali itulah suaranya budak-budak pengiring ular dari Pek To San. Ia menjadi lebih heran sebab agaknya mereka itu dalam kekhawatiran, sebagai juga kawanan ularnya tidak menurut perintah. Ia lantas berpikir.
"Mari!" ia mengajak Lam Kim, untuk lari masuk ke dalam rimba. Di sini ia celingukan, mencari tempat yang lebat. Tanpa membilang apa ia sambar pinggang si nona, buat dibawa lompat naik ke sebuah pohon, dimana mereka memernahkan diri di satu cabang besar.
Baru mereka duduk rapi, burung tadi telah berbunyi pula tiga kali: Sekarang jarak mereka lebih dekat, suara burung itu tajam terdengar, seperti menusuk telinga.
Tidak lama, sampailah rombongan ular itu, yang berjumlah ribuan. Kwee Ceng kenal binatang itu, ia tidak kaget, tidak demikian dengan Lam Kim, yang ketakutan hingga hatinya guncang, dengan erat ia pegangi ujung baju si pemuda.
Begitu masuk ke dalam rimba, kawanan ular itu berlari-lari ke delapan penjuru. Mereka seperti terkena hawa panas, hingga mereka tidak dapat diam, tubuh mereka berlompatan. Di bawah sinar rembulan, nyata terlihat lagak mereka itu.
Tujuh atau delapan budak pengiring ular itu, dengan pakaiannya yang putih, lari ke dalam rimba. Mereka menggunai galah mereka, bentakan mereka berisik, tapi kawanan ular itu tidak mau mendengar perintah untuk berbaris rapi seperti biasa.
Kwee Ceng membenci Auwyang Hong, melihat ular itu kacau, ia senang.
"Sayang Yong-jie tidak ada di sini, hingga ia tidak dapat menyaksikan ini," pikirnya.
Lam Kim heran ketika ia melirik mendapatkan Kwee Ceng gembira. Diam-diam ia memuji hati besar anak muda ini. Tiba-tiba ia kaget sekali. Itulah sebab ia mendengar si burung keramat bersuara nyaring luar biasa, atas mana semua ular pada berhenti bergerak, semua mendekam dengan tidak berkutit.
Budak-budak mengayun berulang-ulang galah mereka, mulut mereka membentak tak hentinya, tetapi semua ularnya diam mendekam. Sesudah kewalahan, mereka ini lantas mengambil sikap. Seorang lantas berdiri tegak, kepala mereka diangkat. Yang lainnya berdiri diam dengan galah mereka dipasang berdiri. Yang satu lantas berkata dengan nyaring: "Kami ada orang-orangnya Auwyang Sianseng dari Pek To San, kami tengah berlewat di sini, tetapi kami tidak mengenal gunung Tay San, kami tidak datang membuat perkunjungan. Maka itu, dengan memandang Auwyang Siangseng, harap kami diberi maaf."
Kwee Ceng mengawasi, ia merasa lucu.
Suara orang itu tidak ada yang layani. Berselang sekian lama, ia mengucapkan pula kata-katanya itu. Sekarang suaranya lebih keras, tandanya ia tidak senang, dia agaknya menggertak. Ia pun memandang ke sekitarnya, ke tanah di dekatnya. Dia berpura-pura tidak melihat, dia memutar tubuh akan membelakangi pohon, yang ada pohon hoay, dia pun membungkuk seperti orang lagi menjura. Adalah ketika itu, mendadak ia membalik pula tubuhnya, sambil bangun ia mengayunkan kedua tangannya ke arah pohon. Maka empat buah gin-so, torak perak, menyambar kepada Kwee Ceng berdua. Dia telah membokong!
Kalau lain orang yang diserang secara menggelap itu, celakalah dia. Tidak demikian dengan Kwee Ceng. Ia melihat gerakan orang, yang ia terus awasi. Ia melihat berkelebatnya barang berkilau. Lekas-lekas ia turunkan kuali besinya, untuk dipakai menyambuti, maka dengan suara "trang!" empat kali, keempat torak itu masuk ke dalam kuali.
Kaget dan heran orang itu karena bebokongannya gagal.
"Di atas pohon itu orang gagah darimana? Silahkan memberikan she dan namamu!" ia minta. Suaranya tak seangker tadi.
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya ia menipuk balik torak itu.
Orang itu menjadi kaget. Galah di tangannya itu kena terhajar toraknya itu, tangannya sakit dan gemetaran, galahnya pun terpatah lima. Dia mengerti, orang berlaku murah, kalau tubuhnya yang dihajar, pasti dia tidak akan selamat. Dia menjadi bingung sekali. Kalau ia menyerah dan minta ampun, dia menurunkan derajat Auwyang Hong, dia pun bakal tidak diberi ampun. Kalau ular itu tidak dibawa pergi, dia juga bakal disiksa majikannya yang bengis itu.
Selagi orang ini masih bingung terus, tiba-tiba di situ tercium bau harum, dada rasanya menjadi lapang, lantas semua ular menggeraki kepalanya, dongak ke langit.
Orang itu menyangka Kwee Ceng, yang ia tidak kenal itu, pandai menggendalikan ularnya, lantas ia meniup suitannya, untuk menitahkan ularnya pergi. Tapi ular itu tetap diam. Hanya bau harum menjadi semakin keras. Terang bau itu datangnya dari atas. Maka dia dongak. Tiba-tiba terlihat menyambar turunnya cahaya teras sebagai segumpal api, luar biasa cepatnya, turun di sisinya. Dengan tiba-tiba, ia menjadi kaget. Dia mendapat kenyataan, gumpalan api itu hanyalah seekor burung yang tubuhnya merah marong. Tubuhnya itu lebih besar dari gagak, bacotnya panjang kira setengah kaki. Berdiri di tanah, burung aneh itu lantas melihat ke sekelilingnya, nampaknya keren. Bau harum itu datang dari tubuhnya.
Kwee Ceng menjadi merasa suka melihat burung itu, yang tak ada bulunya yang kecampuran, kedua matanya tajam, sinarnya merah juga.
"Kalau Yong-jie melihat burung ini, tentu dia suka sekali," pikirnya. Maka ia lantas ingin menangkap hidup burung itu.
Mulanya semua ular kaget dan takut, sekarang semua berbalik menjadi jinak, tidak ada yang bergeming. Ketika burung itu berbunyi satu kali, empat ekor ular yang besar nyelosor menghampirkan, di depan burung itu, mereka menggulingkan diri, perutnya menghadap keatas. Kapan burung itu mematuk, maka pecahlah perut mereka. Dengan empat patukan saja, isi perut mereka masuk ke dalam perut burung itu.
Semua pengiring ular itu menjadi heran sekali, kaget dan gusar. Yang menjadi kepala tadi mengayun tangannya, sebuah torak melayang ke burung itu.
Kwee Ceng kaget, ia khawatir burung itu celaka karenanya. Dengan sabet sekali ia mematahkan secabang pohon kecil, yang terus ia timpuki ke depan burung itu guna melindunginya.
Bab 55. Pertarungan sang kodok
Cepat melayangnya cabang itu tibanya di depan burung itu lebih dulu dari tibanya torak, maka torak dan cabang beradu, bersama-sama jatuh ke tanah. Burung itu cerdas sekali. Dia heran, lantas dia berpaling ke arah darimana datangnya cabang pohon dan torak itu. Dia lantas mengetahuinya ada orang yang membokong dia dan ada yang menolonginya, terus ia mengangguk ke arah Kwee Ceng dan Lam Kim, habis mana, dengan sinar merahnya bergerak, dia terbang ke arah penyerangnya.
Penggiring ular itu kaget tetapi dia menyerang pula. Dia menggunai empat buah ginso, yang menyambar saling susul.
Kwee Ceng kaget, untuk menolongi sudah tidak keburu, maka ia mengeluh, "Sayang...!"
Sementara itu sang burung merah tukang makan ular itu menyambar terus. Dia melihat menyambarnya dua buah torak perak, dia menyampok ke bawah dengan sayapnya, maka jatuhlah torak itu. Sambil menyampok, dia berkelit, lalu dengan lain sayapnya dia menyampok pula, maka lagi dua torak lolos, terpental naik ke udara!
"Bagus!" Kwee Ceng berseru saking gembira. Burung itu bergerak sebagai seorang ahli silat.
Belum berhenti suaranya Kwee Ceng ini, atau si budak pengiring ular itu sudah menjerit keras, kedua tangannya dipakai menutupi mukanya, dia lari ke depan dimana dia membentur sebuah pohon besar, maka sambil menjerit, dia berjongkok di situ. Nyatalah kedua biji matanya telah dipatuk burung itu.
Tujuh budak lainnya menjadi kaget, semua lantas menyerang dengan senjata rahasia mereka. Di terangnya rembulan itu, torak-torak perak terbang berkeredepan.
Burung itu benar-benar lihay. Dia beterbangan, untuk mengelit diri atau menyampok, ia mundur dan maju, lalu dua orang lagi berkoak, sebab mereka pun kena dipatuk biji matanya.
Ketika itu mendadak ada menyambar satu sinar biru terang, menyambar ke burung pemakan ular itu. Kwee Ceng mengenali api belerang. Serangan ini lebih hebat dari ginso. Tapi burung itu berbunyi nyaring, dia terbang memapaki api itu, yang berupa anak panah, terus dia mencengkeram dengan kukunya. Dia tidak menghiraukan belerang menyala. Setelah meletaki anak panah itu di tanah, burung itu mencari rumput, ditaruh di atas api itu hingga rumput terbakar!
"Sayang! Sayang!" Kwee Ceng berseru berulang-ulang.
"Sayang apa, engko?" Lam Kim menanya heran.
"Inilah permainan bagus, sayang Yong-jie tidak melihatnya!" sahut si anak muda.
"Yong-jie?" tanya Lam Kim. "Siapakah dia?"
"Ya, Yong-jie..."
Lam Kim mau menanya pula ketika kupingnya mendengar suara helaan napas, seperti suara wanita, di belakangnya. Ia lantas menoleh, tetapi dia tidak melihat siapa juga. Tanpa merasa, bulu romannya bangun berdiri. Ia menduga kepada setan, maka ia memegang keras lengan Kwee Ceng, tubuhnya disenderkan rapat-rapat. Ia pun menanya, "Engko, siapakah yang menghela napas itu?"
Perhatian Kwee Ceng dipusatkan kepada burung merah, ia tidak mendengar suara helaan napas itu, ia tidak dapat mendengar juga perkataan si nona yang sangat perlahan, bahkan ia seperti tidak merasakan tubuh yang halus dari si nona Cin menyambar di dadanya.
Burung itu bergulingan di api yang dia nyalakan itu, ketika api mulai berkurang, ia mengambil pula daun dan cabang kering, hingga api menjadi kobar lagi. Ia membuat main bulunya di dalam api itu, ia tidak terbakar, tidak kepanasan. Ia malah mematuki bulunya menyisili, seperti biasanya burung mandi.
Selagi Kwee Ceng mengawasi dengan heran, bau harum terasa makin keras. Kapan kawanan ular mendapat cium bau itu, mereka seperti tidak dapat menguasai diri, semua lantas bergerak, berlompatan, lalu saling menggigit, hingga suaranya menjadi berisik. Ada ular yang kesakitan digigit telah menggigit ekornya sendiri!
Maka kacaulah ribuan ular itu.
Lam Kim merasa kepalanya pusing dan matanya kabur, hampir dia jatuh dari atas pohon, maka lekas-lekas ia memegangi erat-erat tubuh Kwee Ceng, yang ia peluki.
Sisa budak-budak itu kaget dan ketakutan, lantas mereka lari keluar dari rimba. Si burung menganggap mereka itu sebagai musuh, dia terbang mengubar. Mereka itu ketakutan, mereka menutup muka dengan tangan, tapi tangannya itu dipatok, ketika mereka melepaskan tutupan kepada muka mereka saking sakitnya, lantas mata mereka dipatok. Tidak lama, maka mereka semua menjadi si orang-orang buta. Habis itu, burung itu terbang kembali ke rimba, ke api, tetapi api sudah padam. Dia lantas mengibas-ngipas dengan kedua belah sayapnya, untuk menyalakan api itu pula.
Tentu saja abunya menjadi beterbangan.
Kwee Ceng menepuk pundak Lam Kim.
"Kau diam di sini, kau pegangi pohon," katanya perlahan seraya menyingkirkan tangan yang merangkulnya. Habis itu ia lompat turun, bertindak dengan perlahan ke arah si burung aneh itu.
Sang burung melihat ada orang datang. Dia seperti mengenali penolongnya tadi, dia diam mengawasi. Burung itu mengangkat kepalanya, dia tidak menghampirkan.
Selagi turun dari pohon, Kwee Ceng memperhatikan semua ular, dari itu ia bertindak dengan perlahan, tetapi sekarang ia mendapat kenyataan, semua ular itu, yang sudah berkelahi sendiri, seperti membuka jalan untuknya. Rupanya binatang berbisa itu takut kepadanya, yang pernah minum darah ular. Dengan berani, ia maju terus, tindakannya lebar. Setelah datang dekat kepada burung aneh itu, ia mengulur tangannya.
Burung itu lihay, dia gesit sekali. Sambaran Kwee Ceng cepat tetapi dia dapat berkelit, setelah itu, tidak menanti sampai disambar pula, ia membalas menyerang, hendak mematuk matanya si anak muda.
"Engko Kwee, hati-hati!" Lam Kim berseru, memberi ingat.
Kwee Ceng menungkrap dengan kuali besinya.
Burung itu benar lihay, dia berkelit, dia lolos.
"Bagus!" berseru Kwee Ceng, seraya ia melompat, kualinya menungkrap pula.
Sang burung terbang ke atas, terpisahnya kira satu kaki. Dia melihat tangan kiri Kwee Ceng menyusul, di atasan kepalanya, dia kaget, terus dia terbang ke bawah lewat selangkangan si anak muda. Habis itu dia terbang naik kembali, dia hendak mematuk mata.
Kwee Ceng gembira, hingga timbul sifat kekanak-kanakannya.
"Di tanganku ada senjata, kalau aku tidak dapat menangkap kau, aku bukan satu laki-laki," katanya. "Baiklah, mari kita bertempur dengan tangan kosong!"
Maka ia melemparkan kualinya, lantas dia menyambar. Dia takut melukai, maka ia memakai tenaga cuma satu bagian.
Burung itu kena dipapaki, dia tidak keburu kelit, karena kebentur, dia roboh.
Kwee Ceng mengulur lebih jauh tangannya, untuk mencekuk, atau burung itu telah terbang pula. Dia rupanya tahu lawannya lihay, bukan seperti pengiring-pengiring ular itu tadi, maka dia mau terbang pergi.
Kwee Ceng menyambar, tangannya diputar. Dia menggunai jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, jurus "Enam naga berputaran". Burung itu kena terpegat di sana-sini, lalu kebentur jatuh hingga ia jumpalitan. Justru itu Kwee Ceng mencekuk padanya.
"Nona, dia telah kena aku tangkap!" Kwee Ceng serukan Lam Kim.
Nona itu girang sekali, ia lekas mengeluarkan obatnya pemunah racun, yang ia masuk ke dalam mulutnya, setelah itu, ia turun dari pohon, lari menghampirkan si anak muda. Sebutir obatnya ia mau serahkan kepada si anak muda.
Burung itu pingsan, dengan begitu, lenyaplah pengaruhnya, maka itu waktu, semua ular yang ketakutan, lantas lari serabutan menyingkir dari rimba itu.
Kwee Ceng merasai burung itu tidak bergerak, ia khawatir mati, ia memegang dengan perlahan. Ia memegang dengan kedua tangannya. Ia membawanya ke tempat di mana ada tembusan sinar rembulan.
Ketika Lam Kim telah datang dekat, ia mengangsurkan obatnya.
"Engko Kwee, obat ini bisa melawan racun ular," katanya.
Kwee Ceng tahu ia tidak membutuhkan itu, akan tetapi untuk tidak menyampik kebaikan hati si nona, ia menyambutinya. Karena menyambuti, tangannya yang memegang burung tinggal sebelah. Justru itu, burung itu berontak dan terbang lolos!
"Ah, sayang, sayang!" anak muda ini membanting-bantingkan kaki.
"Burung itu cerdik, mungkin dia tidak berani datang pula," berkata si nona.
"Maka itu aku mengatakan sayang," kata si anak muda.
"Kenapa engko?"
"Aku berniat menangkap dia untuk diberikan kepada Yong-jie...."
Lagi-lagi nama Yong-jie disebut. Lam Kim heran. Suara memanggil itu pun halus sekali.
"Apakah Yong-jie itu anakmu?" ia menanya. Ia mengartikan Yong-jie seperti anak yang bernama Yong.
Ditanya begitu, pemuda itu melengak.
"Bukan!" sahutnya dengan cepat. "Dialah satu anak perempuan, yang dibanding dengan kau, usianya lebih muda satu dua tahun."
"Ah, dia tentu cantik sekali, bukankah?"
"Tentu saja! Dia bukannya cuma cantik, juga pintar dan baik hatinya....."
Selama beberapa bulan Kwee Ceng selalu mengingat-ingat Oey Yong cantik dan pintar, hanya karena pendidikan ayahnya, ia termanjakan, tabiatnya rada keras, dia biasa membawa sukanya sendiri, cuma dimata Kwee Ceng, dia tidak ada celaannya. Terhadap Kwee Ceng, Yong-jie suka mengalah.
Lam Kim duduk bersama Kwee Ceng di atas sebongkol pohon yang roboh melintang di tanah, ia mendengar si pemuda memuji si nona, tanpa merasa, ia merasakan sesuatu yang berbeda daripada biasanya.
Lekas juga si pemuda sadar.
"Kau lihat!" katanya tertawa. "Tengah malam buta kita memasang omong di sini! Mari kita pulang. Kalau sebentar kakekmu bangun dan ia tidak melihat kau, ia tentunya berkhawatir."
"Tidak," menyahut si nona. "Aku suka sekali mendengar ceritamu." Ia berhenti sebentar, lalu ia menanya. "Nona Oey itu pergi ke mana? Kenapa kau tidak ikuti dia?"
Pertanyaan itu mengenakan telak kepada Kwee Ceng. Ia tidak dapat lantas menjawab. Bukankah ia bakal menikah dengan Gochin Baki? Bukankah sulit untuknya nanti bertemu pula sama Oey Yong? Mengingat semua itu itu, ia menjadi berduka. Mendadak saja ia menangis.
Lam Kim terkejut. Ia menyangka ia telah salah omong. Ia menjadi menyesal dan berduka. Ia malah menjadi bingung bagaimana harus menghiburi anak muda ini. Dengan sendirinya tangannya merogoh ke dalam sakunya, mengasih keluar sehelai saputangan. Ia sodorkan itu kepada si anak muda.
Kwee Ceng menyambutinya, ia menyusuti matanya. Ia tidak ingin menangis, tetapi ia tidak sanggup menahan kesedihannya. Maka ia menangis pula.
Tiba-tiba di belakang mereka terdengar satu suara tertawa geli.
"Yong-jie!" berseru Kwee Ceng, sambil ia melompat bangun, akan tetapi ketika ia menoleh ia tidak melihat siapa juga, tidak ada bayangan orang meski juga cuma separuhnya...........
"Ah, engko Kwee!" berkata Lam Kim. "Kau senantiasa memikirkan nona Oey. Mari kita pulang!"
"Mari!" sahut si anak muda.
Bersama-sama mereka keluar dari hutan itu. Baru mereka jalan beberapa puluh tombak, di depan mereka, mereka melihat tujuh atau depalan orang dengan pakaian putih berbaris, tangan kirinya bertongkat sebatang galah panjang. Mereka jalan setindak demi setindak.
Merekalah budak-budaknya Auwyang Hong, yang matanya buta di patok burung merah itu.
Mengawasi mereka itu, Kwee Ceng merasa kasihan. Maka ia menghela napas. Tapi ia tidak mau mendekati atau menegur mereka itu, bersama nona Cin ia terus menuju ke rumah si nona, untuk terus tidur.
Besok pagi, ketika Kwee Ceng mendusin, ia mendengar empeh Cin lagi sesalkan Lam Kim, yang katanya tidak seharusnya mengajak tetamunya pergi menangkap burung aneh itu sebab berbahaya.
"Memangnya aku yang mengajak?" si nona kata tertawa. "Dia sendiri yang gemar bermain!"
"Kau gila! Dia toh penolong kita, dia bukannya bocah lagi! Cara bagaimana kau bilang dia gemar bermain sendiri?"
"Kalau yaya tidak percaya, masa bodoh!" kata cucu itu tertawa.
"Masih kau tidak mau kalah! Kalau tuan penolong kita kena dilukai burung keramat itu, habis bagaimana?"
"Dia kosen sekali, mana dapat dia dilukakan?" si cuca masih melawan.
Kakek itu menghela napas.
"Sudah, sudah...." ia mengalah. "Mari kita berbenah....... Tidak dapat tidak, kita mesti berlalu dari sini...."
"Bagaimana engkong?" tanya si nona heran.
"Kita pulang ke Kwietang. Bangsat polisi itu kena dihajar, mana dia puas? Mana dapat kita tinggal lebih lama di sini? Kalau sebentar tuan penolong kita pergi, jikalau kita berlambat, bahaya tentu bakal menimpa kita...."
Cucu itu bengong.
"Habis engkong, bagaimana dengan ini rumah, meja dan kursi kita?" ia menanya.
"Anak tolol!" mengelak orang tua itu. "Jiwa kita sendiri masih belum ketentuan, apa perduli segala rumah dan meja kursi? Anak, dasar nasib kita yang buruk, maka janganlah kau bersusah hati....."
Kwee Ceng telah mendengari semua pembicaraan itu, maka ia lantas mengambil putusan, menolong orang tidak boleh kepalang tanggung. Ia turun dari pembaringannya untuk terus menemui itu kakek dan cucu.
"Lootiang, kau jangan berkhawatir," katanya menghibur. "Nanti aku pergi ke kantor camat untuk membereskan urusanmu ini."
"Oh, injin, jangan kau pergi ke kantor camat!" cegahnya lekas. "Kantor itu adalah laksana gua harimau atau serigala!"
"Aku tidak takut!" berkata Kwee Ceng.
Empeh Cin masih hendak mencegah tetapi Kwee Ceng sudah lantas pergi keluar, untuk menuntun kudanya, maka dilain saat ia sudah kabur dengan kuda merahnya. Dalam tempo sedaharan nasi, ia sudah sampai di dalam kota. Tengah ia memikir untuk menanya dimana letaknya kantor camat, mendadak ia menampak api berkobar di depannya dan banyak orang berlari-lari berteriak-teriak: "Kantor camat kebakaran! Oh, Thian, ada matanya!"
"Begini kebetulan?" kata Kwee Ceng di dalam hatinya. "Masa begini tepat kantor camat kebakaran?"
Ia lantas mengasih kudanya lari di depan kantor, belum ia datang dekat, ia sudah diserang hawa panas dari api itu hingga ia mesti mundur pula. Herannya tak ada orang yang mau menolongi memadamkan api. Orang banyak berdiri jauh-jauh, roman mereka bukan kaget atau takut, sebaliknya semua bermuka terang, tandanya riang hati mereka.
Kwee Ceng lompat turun dari kudanya. Ia sekarang melihat di tanah ada rebah belasan orang polisi, ada yang sudah terbakar, ada yang masih hidup tetapi romannya tidak karuan dimakan api, ada yang dapat membuka matanya, tetapi mata itu tidak berkutik. Ia heran, ia menghampirkan, terus ia mengangkat seorang opas. Baru sekarang ia ketahui orang adalah korban totokan. Ia lantas menotok pinggang dia itu.
"Mana camat?" ia tanya.
"Dia di dalam kantor, tuan," sahut opas itu, tangannya menunjuk. "Kebanyakan dia sudah mati tertambus...."
"Kenapa terbit kebakaran?" tanya pula Kwee Ceng. "Siapa yang merobohkan kau?"
"Maaf tuan, aku tidak jelas," sahut pula si opas. "Tadi pagi-pagi sebelum aku bangun tidur, aku dengar koan-thayya membikin banyak berisik, rupanya ia mencaci orang dan berkelahi, lalu api berkorbar. Aku hendak lari, tiba-tiba aku merasakan tubuhku kaku dan lemas, tahu-tahu aku sudah roboh...."
"Koan-thayya kamu bertempur sama orang, apakah dia pandai silat?"
Kwee Ceng heran. Ia tidak menyangka seorang camat pandai silat dan mengerti juga Tok-see-ciang, tangan Pasir Beracun. Lantas ia ingat camat ini gemar dengan ular.
"Ah, tentulah ia pakai ular itu untuk melatih diri," terkanya. Ia lantas menanyakan itu kepada opas.
"Aku tidak tahu, tuan"
"Rupanya, ada orang kangouw yang mencari camat itu," akhirnya Kwee Ceng pikir. "Ini ada baiknya, aku jadi tak usah capai hati..."
Oleh karena pikirannya sudah lega, Kwee Ceng tidak menggubris lagi si opas atau camat, ia berniat pulang ke rumah empeh Cin, untuk menyampaikan kabar gembira, tetapi waktu ia berpaling kepada kudanya, ia terkejut. Kudanya itu tak ada. Ia bersiul, memanggil. Kuda itu tidak muncul. Ketika ia mengulangi beberapa kali, tetap kuda merah itu tak nampak. Ia menjadi heran sedang ia tahu betul kuda itu cerdik dan sangat mengerti dan mengenali tuannya. Lantas ia pergi mencari, ia seperti memutari seluruh kota, tetapi ia tidak berhasil mencari kudanya.
"Benar heran!" pikirnya, bingung dan masgul. Akhirnya ia berjalan balik ke rumah empeh Cin, hatinya berpikir: "Nanti aku bawa burung rajawali untuk mencari, mustahil tidak ketemu..."
Ia berjalan pulang sambil berlari-lari.
Empeh Cin dan cucunya heran mendengar gedung camat kebakaran, mereka girang mendapat tahu camat sendiri mati tertambus. Mereka bersyukur bukan main.
Habis memberi keterangan, Kwee Ceng bersiul, memanggil burungnya. Tapi aneh, burung itu juga tak nampak dan tak muncul. Ia heran bukan main dan ia jadi semakin bingung. Saking berduka, ia tak nafsu dahar minum. Malam itu ia diam terus di rumah empeh Cin. Ia mengambil keputusan, besok ia mau pergi mencari kuda dan burung itu.......
Ketika itu musim panas, hawa udara sangat mengendus. Empeh Cin menggotong bale-bale serta dua buah kursi ke luar rumah, ditaruh di bawah para-para pohon kacang. Ia pun masak air dan menyeduh teh. Di bawah pohon ia mengajak Kwee Ceng dan cucunya berangin. Ia melewatkan waktu dengan bercerita tentang sifatnya pelbagai ular berbisa.
Hati Kwee Ceng terhibur juga. Cerita si empeh menarik hati.
Mereka berangin sampai tengah malam, sampai mereka merasa tubuh mereka adem. Empeh itu beberapa kali mengajaki tetamu dan cucunya masuk tidur, sang cucu menolak.
"Dasar bocah!" kata sang engkong tertawa. "Anak ini hidup sendirian, setiap hari ia menemani aku si tua bangka, di sini sulit mendapat tetamu, maka sekarang dia jadi gembira luar biasa...."
"Kalau besok engko Kwee pergi, kita kembali tinggal berdua..." kata Lam Kim. Ia nampak masgul, suaranya pun tak gembira.
Kwee Ceng berdiam.
"Engko Kwee, pergilah tidur," kata si nona kemudian. "Aku sendiri, aku masih hendak memandangi sang bintang...."
"Anak tolol! Apakah bagusnya bintang !" kata sang kakek.
"Tetapi aku suka memandanginya." kata si cucu.
Orang tua itu memandang ke langit, dimana ada mega hitam.
"Lihat, langit bakal lekas berubah, bintang pun bakal lenyap..." katanya.
Ketika itu mendadak Kwee Ceng mendengar suara kuda berlari mendatangi.
"Kuda merahku!" ia berseru. Segera ia menoleh dan mengawasi. Jauh di sana, seekor kuda merah lagi mendatangi. Lekas juga ternyata, dialah si bulu merah kudanya sendiri, seperti ia telah membilangnya. Di atas kuda itu ada penunggangnya, yang bajunya berkibaran, bahkan dialah Oey Yong.
"Yong-jie! Aku di sini!" Kwee Ceng berseru kegirangan.
Mendengar disebutkannya Yong-jie, hati Lam Kim terkesiap.
Lekas sekali kuda merah itu telah tiba kepada tiga orang itu. Bersama Oey Yong ada kedua burung rajawali yang putih.
"Ah, sungguh aku tolol!" Kwee Ceng sesalkan dirinya sendiri. "Memang kecuali Oey Yong, siapakah yang dapat menguasai kuda dan burungku ini?"
Oey Yong lompat turun dari kudanya sedang Kwee Ceng maju memburu padanya. Ia girang bukan kepalang.
"Aku berlatih tetapi keliru, kedua tanganku tak dapat digerak," berkata si nona.
"Ah!" Kwee Ceng berseru. "Mari lekas salurkan napasmu!"
Keduanya lantas lompat naik ke bale-bale, untuk duduk bersila. Kwee Ceng meletaki kedua tangannya di punggung si nona, guna menyalurkan hawanya ke tubuh si nona itu.
Justru itu langit benar-benar berubah. Perlahan-lahan terdengar suara guntur, yang diikuti bergeraknya sang awan, hingga langit menjadi gelap.
Kira setengah jam kemudian, pernapasannya Oey Yong mulai lurus, hawa dari perutnya naik ke dadanya. Karena itu, tubuhnya seperti terdorong ke kiri dan ke kanan.
Selama itu Lam Kim mengawasi nona Oey, yang duduk sambil menutup mata dan merapati mulutnya, hanya mulutnya itu nampak tersenyum. Dia berkulit putih bersih, pada itu nampak cahaya dadu, maka terlihat tegaslah kecantikannya. Di lehernya ada tergantung kalung mutiara, yang bersinar menambah menterengnya kecantikannya itu.
"Dia mirip dewi, tak heran engko Kwee jatuh hati kepadanya," Lam Kim berpikir. "Hanya, entahlah apa yang mereka lagi lakukan sekarang...."
Dia tengah berpikir begitu ketika mendadak matanya seperti gelap. Karena segumpal mega hitam lewat menutupi sang putri malam. Dan menyusul itu, seluruh langit mulai menjadi gelap juga.
"Kwee Toako," ia berkata kepada Kwee Ceng. "Baiklah, kau masuk ke dalam bersama ini nona, lekas akan turun hujan."
Boleh dibilang ia baru menutup mulutnya, ketika ia merasai muka dan lehernya dingin, karena sang air hujan sudah lantas mulai turun beberapa tetes!
Hujan di musim panas benar luar biasa. Begitu dibilang, hujan lantas turun. Dan Lam Kim lantas juga berkoak. Sebab dengan lantas hujan turun dalam jumlah besar, seperti dituang-tuang!
Kwee Ceng dan Oey Yong lagi menyalurkan napas mereka, tidak menghiraukan hujan itu.
Nona Cin menjadi heran sekali, hingga ia mau menduga orang kena pengaruh sesat. Ia menghampirkan si anak muda, yang pundaknya ia tolak. Ia tidak menggunai tenaga besar, ketika ia menolak, ia tertolak mundur satu tindak. Ia menjadi terlebih heran. Ia maju pula, ia menolak dengan terlebih keras. Ia menanya: "Engko Kwee, kau kenapa?" Atau mendadak, untuk kagetnya, ia terolak mundur hingga ia terguling di tanah, jatuh duduk di air hujan!
Empeh Cin sudah masuk tidur, ia mendengar suara hujan diselengi guntur, maka ia memanggil Lam Kim. Beberapa kali ia memanggil tanpa ada penyahutan, ia lantas pergi ke luar, tepat ia menyaksikan cucunya itu lagi merayap bangun dari lumpur, rambutnya kusut, basah dengan air hujan, romannya bingung. Tengah ia kaget, ia mendengar suara nyaring cucunya itu: "Engkong, tuan penolong kita kena pengaruh jahat, lekas tolongi dia!"
Empeh itu pun kaget. Ia pun sangat bersyukur kepada anak muda itu. Maka tanpa pikir lagi, ia hampirkan Kwee Ceng, yang ia pegang tangannya, untuk ditarik masuk. Atau ia menjadi kaget. Tubuh si anak muda tidak bergeming. Ketika ia menarik dengan kuat, ia sendirinya yang terpental jatuh, maka ketika ia sudah merayap bangun, ia berdiri bengong seperti cucunya itu.
Lam Kim lekas sadar, ia lari masuk untuk mengambil payung, ia memegang itu untuk dipakai memayungi Kwee Ceng berdua. Ia juga berkata: "Engkong, lekas menyulut kertas kuning, kau asapi hidung mereka!"
Empeh Cin lari masuk, tindakannya limbung. Apa mau, ia kena membentur pelita hingga terbalik.
Lam Kim sendiri lantas nyata perubahan hatinya. Biarnya ia mengagumi Oey Yong, hatinya ada pada Kwee Ceng, maka payungnya itu mulai bergeser, menutupi si anak muda sendiri, hingga si nona itu lantas ketimpa hujan pula.
Tidak lama empeh Cin muncul dengan kertas kuningnya, yang ia telah sulut. Dengan dijagai ujung bajunya, kertas itu ia bawa kepada Kwee Ceng, yang hidungnya lantas ia asapi.
Hebat kesudahannya ini untuk si anak muda, yang lagi menyalurkan napasnya itu. Ia lantas merasa napasnya sesak. Ia menjadi kaget sekali, dengan lantas ia menahan napasnya itu. Tapi ia cuma bisa menahan sebentar, atau asapnya si empeh masuk pula. Beberapa kali ia terbatuk-batuk. Celaka untuknya, di dalam keadaan seperti itu, ia tidak dapat membuka mulutnya.
Empeh Cin tetap bingung. Melihat asap tidak menolong, ia menekan jintiong, ialah hidungnya si anak muda. Siapa pingsan karena teriknya panas matahari, kalau ia ditotok di jintiong itu, ia dapat sadar. Tidak demikian dengan Kwee Ceng. Ia bahkan jadi semakin seperti disiksa. Sudah ia tidak dapat membuka mulutnya, ia juga tidak dapat menolak mundur si empeh yang mau menjadi penolong tetapi sebaliknya menjadi seperti mencelakainya.
Sang hujan turun terus, guntur pun masih berbunyi. Satu kali kilat menyambar, guntur berbunyi keras. Nyata satu pohon kena ditimpa hingga menyala dan terbakar.
Lam Kim kaget dan ketakutan, tetapi ia tidak berkisar dari tempatnya berdiri, masih ia memayungi tuan penolongnya. Hanya matanya menjadi tidak karuan, sebab ia melihat kilat, melihat api, dan melihat air hujan juga. Kapan ia memandang Kwee Ceng, ia mendapati pemuda itu duduk tenang seperti biasa, begitu juga dengan si nona Oey, bahkan nona ini nampak tersenyum manis, romannya sangat cantik.
Empeh Cin berdiri tercengang, ketika ia memandangi cucunya, ia mendapati muka cucunya itu sangat pucat.
Dalam keadaan seperti itu, mendadak kilat berkelebat, cahayanya terang sekali. lalu suara geledek, menyusul demikian hebat, sampai saking kagetnya, dua-dua empeh Cin dan Lam Kim roboh karenanya.
Guntur berbunyi di samping Kwee Ceng, tidak heran kalau itu kakek dan cucunya roboh dengan pingsan. Hanya sehabisnya guntur, segera Kwee Ceng merasakan pernapasannya berjalan dengan baik seperti biasa. Maka sekarang ia dapat bergerak. Juga Oey Yong dapat bergerak seperti dia.
Lagi-lagi guntur menggelegar dekat si nona, maka Kwee Ceng lantas mendekam di tubuh si nona, untuk melindungi.
Berselang sekian lama barulah guntur berkurang dan hujan pun mulai berhenti. Dan setelah lewat pula sekian waktu, maka langit menjadi bersih, si putri malam muncul pula dengan segala kepermaiannya.
Oey Yong merasakan tubuhnya sehat sekali. Dengan perlahan ia mengangkat tubuhnya.
"Engko Ceng," katanya berbisik. "Benar-benarkah kau mencintai aku?"
Kwee Ceng merangkul, girangnya bukan buatan, sampai ia tidak bisa membuka mulutnya.
"Lihat itu," kata Oey Yong kemudian, tangannya menunjuk ke pohon yang tadi ditimpa geledek dan terbakar.
Di sana, di antara api, si burung darah, hiat-niauw, lagi bergulingan dan berlompatan, rupanya gembira sekali ia memain api.
"Mari kita tangkap padanya," kata si nona berbisik.
Kwee Ceng mengangguk, ia lantas berbangkit. Ketika itu ia melihat empeh Cin, yang sadar sendirinya lagi menolongi cucunya, untuk dikasih duduk di kursi.
Oey Yong sendiri bertindak menghampirkan hiat-niauw.
Burung itu telah mempunyai pengalaman, ia tidak berani berkelahi, ia lantas terbang pergi, sia-sia si nona berlompat menubruk padanya. Karena ini Oey Yong bersiul, memanggil burung rajawalinya.
"Tangkap burung itu tetapi jangan lukai dia!" ia memerintah.
Kedua burung rajawali itu mengerti, keduanya lantas menyambar hiat-niauw. Mereka bertindak dengan memegat jalan terbang orang.
Hiat-niuaw kecil sekali, seluruhnya ia cuma sebesar kepala rajawali, tetapi ia sangat gesit, maka itu ia dapat molos, lantas ia terbang cepat dan jauh, ketika sudah beberapa lie, ia mendapatkan ia masih disusul, lantas ia terbang balik, untuk mencoba melawan. Hebat perlawanannya itu. Kalau ia kena dicengkeram atau dipacuk, pastilah ia celaka, tetapi karena gesitnya, ia selalu bisa membebaskan diri. Bahkan dialah yang beberapa kali berhasil mematuk bulu lawan hingga rontok. Coba si rajawali bukan berdua, mungkin mereka kalah.
Selagi bertempur terlebih jauh, rajawali yang jantan kena dipatuk lehernya, ia merasakan sakit, saking sengit, ia menyampok dengan sayapnya. Hiat-niauw berkelit, tapi justru ia kena disampok sayap burung betina, sampai ia roboh. Tapi ketika ia ditubruk ia sempat berkelit pula, terus ia terbang cepat dan jauh, dari itu, tempo kedua rajawali terus menyusul terus, mereka pergi jauh ke belakang gunung.
Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong, untuk berkata dengan perlahan: "Yong-jie, kau maju pesat sekali. Guntur berbunyi di sampingmu, kau tidak tahu."
"Kau pun sama!" kata si nona tertawa.
Kwee Ceng lantas ingat perbuatannya empeh Cin tadi.
"Sungguh berbahaya," katanya dalam hatinya. "Kalau aku tidak dapat bertahan, aku mesti menyia-nyiakan tempo lagi tujuh hari dan tujuh malam untuk memulihkan diri.
Lantas ia ajar kenal Oey Yong dengan tuan rumah, itu kakek dan cucu.
"Yong-jie, kau melepas api di kantor camat, bukankah?" kamudian Kwee Ceng tanya si nona.
"Kalau bukan aku, siapa lagi?" si nona membaliki, tertawa.
Empeh Cin dan cucunya terkejut. Tidak mereka sangka, nona ini demikian besar nyalinya dan pandai juga.
Kemudian Oey Yong melirik Lam Kim, ia bersenyum.
"Engko Ceng," katanya, "Kau selalu memuji aku, apa kau tidak takut enci ini nanti menertawainya?"
"Oh!" katanya Kwee Ceng. "Kau telah bersembunyi di dalam rimba?"
Kembali Oey Yong tertawa.
"Jikalau kau tidak membilang kau hendak menangkap burung itu untukku, aku lebih suka tanganku bercacad, tidak nanti aku kembali padamu!" katanya. "Kemudian kau menangis! Apakah kau tidak malu?"
Kwee Ceng tunduk, ia menyahut perlahan: "Aku merasa aku memperlakukan kau tidak bagus, dan aku khawatir sekali untuk selamanya nanti tidak dapat melihat padamu pula...."
Oey Yong mengulur tangannya, untuk membereskan rambut orang.
"Sebenarnya aku berpikir untuk tidak menemui pula padamu tetapi aku tidak dapat," ia berkata. "Tapi sudahlah, sekarang kita jangan pikirkan hal-hal di belakang hari, untuk kita, dapat satu hari selebih banyak kita berkumpul, itu artinya kita dapat tambah satu hari kegirangan!"
Lam Kim berdiri bengong melihat dan mendengar orang berbicara demikian asyik.
Berempat mereka bagaikan baru sadar ketika kuping mereka mendengar suara burung rajawali di tengah udara, kapan mereka mengangkat kepala, terlihat hiat-niauw masih dikepung-kepung kedua rajawali itu, terbangnya sangat pesat.
Menampak demikian, Oey Yong lantas mendapat akal. Ia bersiul satu kali. Atas itu rajawali yang betina terbang turun, untuk menclok di pundaknya. Maka tinggallah yang jantan, yang mengejar terus-terusan. Ia menunggu sudah lewat lama juga, ia memanggil burung jantannya seraya melepaskan yang betina guna menggantikan mengejar hiat-niauw itu. Siasat ini digunakan terus-menerus, maka akhirnya lelah juga burung api itu, yang tak dapat mengaso sama sekali. Setelah terbangnya menjadi perlahan dan kegesitannya pun berkurang, satu kali ia kena disampok sayap rajawali, lantas ia tidak dapat terbang lebih jauh, maka ia kena disambar, dibawa kepada Oey Yong.
Nona Oey menyambuti burung api itu, ia memegangnya, hatinya sangat girang.
Hiat-niauw sangat letih, dia mengawasi si nona, sinar matanya seperti minta dikasihani.
"Baik-baik kau turut aku, aku tidak bunuh padamu," berkata Oey Yong sambil tertawa.
Empeh Cin sangat girang sekali melihat burung itu kena ditangkap.
"Bagus!" serunya. "Nona telah berhasil menangkap burung ini, maka aku dan cucuku bakal dapat makan pula! Nanti aku membuatnya kurungan buat menempati dia."
Lam Kim tahu burung itu suka makan nyali ular, ia mengambil arak nyali ular mengasih burung itu minum, setelah habis setengah peles, hiat-niauw itu lantas pulih kesegarannya. Ia benar-benar menjadi jinak sekali.
"Aku hendak memelihara dia hingga dia mendengar kata!" kata Oey Yong. "Aku mau mengajari dia bagaimana harus mematuk mata orang!"
Tapi sementara itu, orang letih dan kantuk, maka mereka lantas pergi mengasokan diri. Lam Kim mengalah mengasihkan pembaringannya untuk Oey Yong, siapa sebaliknya minta empeh Cin lekas membikini ia kurungan untuk burungnya itu.
Besoknya pagi, ketika matahari merah menyorotkan sinarnya masuk ke jendela, Oey Yong mendusin untuk lantas menjadi kaget. Di meja, kurungannya rusak, tetapi burungnya berdiri diam di meja, ia tidak lari meski orang menghampirkan padanya.
Kaget dan girang, Oey Yong menggapai.
"Mari!" ia memanggil.
Hiat-niauw terbang, menclok di telapakan tangan si nona.
"Dia takluk padaku, dia takluk padaku!" kata Oey Yong kegirangan. Ketika ia melihat kurungan, kurungan itu rusak dan patah. Ia pikir, tentulah itu burung mau membilang: "Aku merdeka, kalau aku tidak mau pergi, tidak apa, tetapi kalau aku mau, apa artinya kurungan macam begini?"
Sedangkan si nona bergirang, kupingnya lantas mendengar keluhan Kwee Ceng di lain kamar. Ia heran, ia lari menghampirkan.
"Engko Ceng, kenapa?" ia menanya.
Kwee Ceng menyeringai, tangannya memegangi gambar pemberian dari Oey Yok Su. Nyata karena kehujanan, gambar itu terkena air.
"Ah, benar sayang!" si nona mengeluh. Ia menyambuti gambar itu, yang telah pecah. Ia merasa, tidak ada jalan untuk dapat memperbaiki itu. Ketika ia hendak meletakinya di meja, mendadak ia melihat di pinggiran syairnya Han See Tiong ada tambahan beberapa baris huruf halus. Ia lantas mendekati, untuk melihat terlebih tegas. Surat itu berlapis, kalau tidak karena basah, tidak nanti dapat terlihat. Sekarang pun sangat sukar untuk membacanya. Oey Yong mementang matanya, ia mencoba membaca:
".....Surat wasiat.... Bok... Tiat Ciang... tengah... puncak........"
Huruf-huruf lainnya lagi tak dapat dibaca.
Kwee Ceng juga turut membaca, lantas berkata: "Inilah diartikan surat Wasiat Gak Bu Bok...."
"Tidak salah," berkata Oey Yong. "Wanyen Lieh si jahanam menyangka surat wasiat ini berada di dalam peti batu di dalam istana, tetapi meskipun petinya telah didapatkan, surat wasiatnya tidak ada. Sekarang kita mendapatkan gambar ini. Bunyinya kata-kata ini mungkinlah rahasia surat rahasia itu. Tiat Ciang, tengah, puncak..." Ia lantas memikir keras. "Tiat Ciang" itu ialah "Tangan Besi". Kemudian ia menanya Kwee Ceng: "Engko Ceng, apakah keenam gurumu pernah menyebut tentang Tiat Ciang Pang?"
"Tiat Ciang Pang?" kata Kwee Ceng berpikir. "Tidak. Aku hanya ketahui si tua bangka she Kiu, si penipu besar itu, dipanggil Tiat Ciang Sui-siang-piauw."
"Tidak, tidak bisa jadi tua bangka celaka itu ada hubungannya dengan ini!" berkata Oey Yong, memandang enteng. "Hanya ada juga kemaren ketika aku membakar kantor camat, di sana aku mendengar si camat she Kiauw berbicara sama siapa, tahu menyebut-nyebut entah bagaimana dengan 'Tiat Ciang Pang kami'. Ia menyebut pula perlu lekas dicari banyak ular untuk dipersembahkan kepada Toa Hiocu. Ketika kemudian aku bertempur dengannya, ternyata ilmu silatnya tidak rendah, dia mengerti juga Tiat-ciang, yaitu Tangan Pasir Besi."
"Anggota dari suatu perkumpulan kaum kangouw menjadi camat, inilah benar aneh!" kata Kwee Ceng. Tiat Ciang Pang itu ialah Partai Tangan Besi.
Lantas keduanya memikir kata-kata di gambar itu, masih mereka tidak dapat menangkap maksudnya, maka Oey Yong lantas membenahkan gambar rusak itu, disimpan di dalam sakunya.
"Biarlah perlahan-lahan kita memikirkannya pula." katanya.
Sampai di sini, sepasang muda-mudi ini lantas pamitan dari empeh Cin dan cucunya, dengan menaiki kuda merah mereka, mereka berangkat pergi. Tuan rumah dan cucunya merasa berat tetapi mereka tidak dapat menahan.
Pada suatu hari tibalah Kwee Ceng dan Oey Yong di dalam wilayah kota Gakciu. Oey Yong mengingat-ingat hari. Itulah hari Cit-gwee Capsie - tanggal empatbelas bulan tujuh - jadi besok ialah hari rapatnya Kay Pang, Partai Pengemis.
"Kita tidak mempunyai urusan sekarang, kita pesiar perlahan-lahan saja," katanya Kwee Ceng.
"Baiklah," si nona menyahuti.
Mereka lompat turun dari kuda mereka, dengan berpegangan tangan mereka bertindak, dengan perlahan-lahan. Mata mereka memandang jauh ke depan di mana tampak hanya air dan sawah-sawah di mana pohon padi sudah tumbuh tinggi dan telah berbuah, maka diduga tahun ini, panen bakal memberi hasil baik.
Kata Oey Yong: "Dahulu ayah pernah membilangi aku, kalau Ouw Kong matang, seluruh negara cukup, maka itu kelihatannya tahun ini rakyat bakal bebas dari bahaya kelaparan."
Ouw Kong ialah empat propinsi Ouwlam dan Ouwpak serta Kwietang dan Kwiesay, sedang dengan "matang" diartikan "masak" atau musim panen.
Kemudian si nona menunjuk ke sebuah pohon besar di mana seekor tonggeret lagi berbunyi, ia kata pula: "Binatang itu berbunyi tak hentinya, entah apa yang dia katakan. Suaranya itu membuat aku ingat satu orang..."
"Siapakah dia?" Kwee Ceng tanya.
"Dialah Kiu Looyacu yang pandai meniup kulit kerbau..." sahut si nona tertawa.
"Oh!" seru Kwee Ceng. Ia juga tertawa.
Ketika itu matahari sedang teriknya, petani semua lagi bermandikan peluh tapi mereka bekerja terus mengompa air. Demikian di bawah sebuah pohon yangliu, seorang nyonya lagi bekerja bersama satu bocah berumur tujuh atau delapan tahun, berat gerakan kaki mereka. Pakaian mereka telah basah kuyup, sedang muka si bocah merah seluruhnya. Oey Yong menghentikan tindakannya, ia mengawasi mereka itu, ia merasa kasihan.
Si bocah melihat ada orang yang mengawasi mereka, ia menoleh. Ia kagum menyaksikan keelokan si nona. "Ibu," katanya, "Lihat, enci itu lagi mengawasi kita!" Dari suaranya, ternyata ia bergembira meski dia bekerja capai.
Si nyonya menoleh, ia tersenyum dan mengangguk kepada pasangan muda-mudi itu.
Oey Yong merogoh ke dalam sakunya, berniat mengambil sedikit uang utuk mengasih persen kepada bocah itu untuk ia membelikan kembang gula tatkala kupingnya mendengar suara samar-samar dari guruh di kejauhan, lantas saja ia menjadi girang. Ia kata kepada itu ibu dan anaknya: "Sudah, tak usah kamu mengompa air lagi, hujan bakal turun!"
Si nyonya memasang kupingnya, mendadak romannya menjadi pucat, suatu tanda dia takut.
Si bocah lompat turun dari pompa airnya sambil berkata: "Ibu, raja kodok mau datang makan kodok hijau lagi!"
Si nyonya mengangguk.
Oey Yong tidak mengerti, ia mau minta keterangan, atau segera ia mendengar riuhnya gembereng yang dipalu breng-breng keras sekali, yang memalunya ialah seorang laki-laki yang mengenakan tudung rumput yang lebar serta tubuhnya tidak memakai baju. Dia menabuh sambil berlari-lari ke barat.
Belum lama lantas datanglah sambutan gembreng riuh dari segala penjuru, menyusul mana semua orang, pria dan wanita, yang lagi mengompa air, pada lari meninggalkan pompa mereka, semua lari ke arah barat itu.
Oey Yong mendapat si bocah dan ibunya turut lari juga.
"Engko Ceng, mari kita lihat, keramaian apa itu!" katanya saking tertarik hatinya.
Kwee Ceng menurut, maka mereka lari menyusul orang banyak itu. Ketika mereka sudah melewati sebuah tikungan gunung, mereka lantas melihat sawah-sawah yang luas yang penuh air, sedang semua orang tani itu berkumpul di sebuah tanjakan tinggi semacam bukit, dengan roman tegang, mata mereka memandang ke depan. Di situ memalu seratus lebih gembreng kuningan, hingga suaranya berisik menulikan telinga. Dengan begitu tak terdengar lagi suara orang bicara.
Di samping bukit kecil itu ada tumbuh sebuah pohon yang besar dan tinggi, Kwee Ceng menarik tangan Oey Yong, diajak ke sana, untuk mereka terus melompat naik ke atasnya, dengan begitu mereka berdua jadi dapat memandang jelas ke arah mana semua mata ditujukan. Di sana terlihat langit biru seperti lautan, di sana tidak apa-apa yang mencurigakan mereka. Tapi mereka tetap mengawasi. Tidak lama kemudian, kuping mereka dapat menangkap samar-samar suatu suara yang keras, yang tidak dapat dilawan berisiknya gembreng.
Mulanya Oey Yong menyangka kepada guruh, hanya sebentar kemudian, ia melihat benda-benda kuning yang membikin ia menjadi heran sekali. Semua benda itu mendatangi dengan berlompatan.
"Hai, begitu banyak kodok!" akhirnya si nona berseru.
Memang di sana terlihat ribuan atau laksaan kodok, yang lagi mendatangi itu, dan suara berisik tadi mirip guruh ialah suara kerak-keroknya mereka!
Begitu melihat sang kodok, berhentilah semua petani memalu gembreng mereka. Sekarang terlihat tegas air muka mereka yang lesu dan masgul.
Kapan kawanan kodok itu tiba di tepi sawah di depan bukit kecil itu, semua lekas berhenti, berbaris dengan rapi. Di belakang mereka terlihat beberapa ratus kodok yang besar-besar, yang mengerumuni seekor kodok yang badannya besar istimewa - lebih besar enam atau tujuh lipat dari kodok yang umum.
Itulah dia yang rupanya si bocah sebut sebagai raja kodok. Dia lantas mengasih dengar suara berkerok satu kali, lantas dia disambut rakyatnya hingga riuh pulalah suara mereka yang mirip guruh itu. Ketika raja kodok itu berbunyi pula, maka siraplah suara semua rakyatnya.
"Nah, ini pun membikin aku ingat satu orang!" berkata Oey Yong.
Kali ini Kwee Ceng tidak menanya siapa, ia hanya tertawa dan berkata dengan cepat: "Auwyang Hong!"
"Jempol!" berseru Oey Yong sambil menunjuki jempolnya. Ia menganggap pemuda itu cerdas dapat menerka dengan jitu.
Kawanan kodok itu menaati titah rajanya. Setelah tiga kali berbunyi, mereka berdiam pula, hingga suasana di situ menjadi sangat sepi. Hanya sekarang lantas terdengar gantinya, ialah suara perlahan tetapi terang dari seekor kodok hijau yang kecil, yang berlompat keluar dari belakangnya sebuah batu besar di arah timur.
Kapan orang-orang tani ini melihat kodok hijau itu, dengan serentak gembreng mereka dipalu pula, sambil memalu, mereka berseru-seru keras sekali. Mereka bersorai-sorai, tanda dari kegirangan. Terang mereka membantu menggembirakan atau menganjurkan kodok kecil itu.
Kwee Ceng dan Oey Yong heran. Tak tahu mereka apa akan dilakukan si kodok hijau yang kecil itu. Selagi mereka mengawasi dengan perhatian, kuping mereka mendengar tindakan kaki yang berisik, ketika mereka berpaling, terlihat dari empat penjuru datang pula beberapa ratus petani. Mata si nona sangat jeli, ia mendapatkan di dalam rombongan itu ada sejumlah orang yang pakaiannya berbeda. Ia lantas menarik tangan baju Kwee Ceng seraya mulutnya dimonyongi ke arah orang-orang itu, yang jumlahnya empat atau limapuluh orang. Mereka itu mengenakan baju hitam dan tangan mereka memegangi korang bambu yang besar. Terang sekali mereka pun menyembunyikan alat senjata. Dilihat dari romannya, yang bengis, mestinya mereka bukan sembarang petani. Di tepi bukit, mereka itu berkumpul menjadi satu, terpisah beberapa puluh tombak dari petani lainnya.
Kodok hijau yang kecil itu berlompatan hingga terpisah lagi tiga kaki dari tepian sawah, di situ ia berhenti, lalu berbunyi beberapa kali.
Dari dalam rombongan kodok yang berjumlah besar sekali itu muncul seekor kodok kuning yang besar, ia meloncati galangan, sampai di depan si kodok hijau. Di situ ia mementang mulutnya dan bersuara, suaranya keras bagaikan suara kerbau. Si kodok kecil tak takut, ia juga membuka suaranya, maka terjadilah mereka saling sahut, makin lama makin cepat. Dari situ, kelihatan si kodok kecil bernapas lurus dan rapi. Si kodok besar agaknya kesusu, rupanya ia ingin lekas-lekas menang.
Sesaat berselang, suara kodok besar itu menjadi serak, dan perutnya yang putih pun kembung makin besar, setelah itu, suaranya berubah menjadi dalam, sedang kedua matanya seperti mencelos keluar, perutnya itu menjadi bundar bagaikan bola. Mendadak saja, perut kembung itu meledak, nyaring suaranya, lalu ia rebah binasa.
Petani semua bersorak riuh. Beda ada rombongan orang baju hitam itu, kelihatannya mereka gusar. Maka sekarang terlihat tegas, petani berpihak pada kodok hijau, mereka ini kepada kodok yang banyak itu.
Kodok hijau itu menang, dia bersuara tiga kali, lantas dia memutar tubuhnya, rupanya dia mau pergi, atau mendadak terlihat enam kodok besar berlompat maju, untuk mengejar.
"Tidak tahu malu!" membentak pihak orang petani banyak. "Tidak punya guna! Apa ini? Malu! Baik mati saja!"
Enam kodok besar itu berpecah menjadi dua, sikapnya mengurung. Si kodok kecil berlompat, untuk menyingkir. Dia lantas dikejar. Kira tiga tombak, maka di sebelah belakang enam kodok itu terdengar suaranya kodok lainnya. Lantas mereka berhenti mengejar, berniat kembali, tetapi mereka terlambat. Mereka segera dipegat kira-kira tigapuluh kodok hijau yang besar yang muncul dari gili-gili.
Kali ini kedua pihak tidak lagi mengadu suara, hanya mereka lantas saling terjang, saling menggigit. Karena kalah jumlah, enam kodok besar itu lantas saja mati. Banyak kawannya, tetapi tidak ada yang maju menolongi.
Oey Yong menjadi heran, ia berpaling kelilingan. Ketika matanya terarahkan ke pinggir sawah di mana ada sebuah kali kecil, maka di situ ia melihat segala apa hijau, sebab di situ pun ada berkumpul ribuan atau laksaan kodok hijau, hanya mereka ini semua tidak bergerak. Mungkin ini yang menyebabkan kodok besar itu tidak berani sembarangan melintasi tapal batas.
Si raja kodok berbunyi kerok dua kali, maka seratus di pihaknya lantas maju melintasi batas. Mereka lantas disambut sebarisan kodok hijau yang muncul dari tempatnya mendekam. Maka bertempurlah mereka. Belum lama, kodok besar itu lari ke arah selatan. Kodok hijau mengubar setombak lebih, lantas berhenti. Melihat demikian, kodok besar berbalik akan menyerang pula.
Benar saja, di selatan itu, di mana ada batu besar, terlihat munculnya barisan tersembunyi kodok besar itu dan mereka lantas maju, membantui kawannya. Karena ini, dari tepi kali pun datang bantuan kodok hijau.
Kedua pihak lantas bertempur dengan berisik.
Dalam tempo dekat, puluhan ekor kodok roboh sebagai bangkai. Kerugian terdapat dikedua pihak. Mereka yang terluka merayap ke pinggiran, lalu ada yang kawannya yang menolongi mengajak kembali ke dalam barisannya.
Kelihatan si raja kodok tidak puas melihat belum ada keputusan, ia berbunyi lagi dua kali. Kali ini lantas ada satu pasukan besar yang menyebrang, buat membantui. Sekarang kodok hijau, yang tak sempat mundur, terancam terkurung. Mereka mengatur barisan bundar, ekor ke dalam, mulut keluar. Dengan begitu, mereka tidak takut nanti diserang dari belakang. Kodok besar berjumlah besar tetapi mereka tidak dapat menyerbu semua.
Sejumlah petani berteriak-teriak mengajuri kodok hijau mengirim bala bantuan, anjuran itu tak ada hasilnya. Nampaknya kodok hijau bersikap tenang.
Dari barisan kodok besar itu ada beberapa yang berlompat, hendak maju, tetapi saban kali ada satu yang menerjang, segera dia dipapaki diterjang satu kodok hijau, hingga keduanya sama-sama jatuh. Dengan begitu, kodok besar tidak dapat menerjang ke dalam barisan lawan.
"Celaka!" mendadak Oey Yong berseru. Ia melihat di empat penjuru kurungan kodok besar itu, sejumlah kodok besar itu mendekam, kawannya naik ke atasnya dan mendekam pula, hingga mereka merupakan gundukan tinggi tiga kaki, kemudian di paling atas, sejumlah kodok berlompat ke arah kodok hijau. Hebat serangan itu. Kodok hijau jadi terbokong, banyak yang mati.
"Sayang..." kata Oey Yong.
"Lihat!" terdengar suara Kwee Ceng yang tangannya terus menunjuk.
Di arah timur laut sejumlah kodok besar hijau bergerak, menuju ke belakang kodok besar, untuk menyerang dari belakang.
Raja kodok mendapat tahu bokongan musuh, dia mengirim barisannya, untuk memegat. tapi kodok hijau itu tidak menghiraukan, di sebelah yang bertempur, yang lain maju terus ke belakang pasukan musuh. Kodok besar jadi kacau tetapi mereka tetap berkelahi.
Raja kodok melihat barisannya tak dapat maju, ia berbunyi nyaring sekali, lantas ia sendiri maju, untuk memegang pimpinan penyerbuan. Ia mengepalai barisannya sendiri, yang semua besar-besar dan romannya bengis. Kodok besar ini bisa dengan sekali menggigit, menggigit mampus musuhnya. Sebentar saja seekor kodok besar itu bisa mematikan belasan musuhnya. Karena ini, kodok hijau terpaksa berkelahi sambil mundur.
Kawanan kodok besar itu maju merangsak.
Raja kodok berlompat, sekali lompat jauhnya setengah tombak, tapi segara ia dikepung kodok hijau. Tapi hanya sejenak, dia lantas dibantui barisannya.
Karena bergesernya tempat bertempur, orang pun menggeser, untuk melihatnya lebih tegas. Oey Yong dan Kwee Ceng lompat turun, mereka nelusup di antara orang-orang tani itu.
Kelihatan semua orang tani berduka, mereka pada menghela napas.
Oey Yong heran, ia ingin mengetahui duduknya hal, maka ia tanya seorang tua, kenapa kedua macam kodok itu saling bertempur.
Sebelum menjawab, orang itu mengawasi dulu hingga ia mengenali orang adalah asing untuk desanya itu.
"Katak itu ada yang piara," ia menerangkan, "Dan dipelihara istimewa untuk menangkap kodok hijau."
Oey Yong heran. "Ah!" suaranya tertahan.
"Kami orang tani, kami mengharapkan bantuannya kodok-kodok hijau itu untuk merawat tanaman padi kami," orang itu berkata pula, "Sekarang nampaknya kodok hijau bakal kalah, maka di tempat sekitar sini, luasnya beberapa puluh lie, panen kami tahun ini bakal gagal....."
"Kalau begitu, nanti aku bantu kamu," kata Oey Yong. "Nanti aku hajar semua kodok itu."
Ia merogoh ke sakunya, meraup jarumnya.
"Jangan, nona," berkata si orang tua perlahan, tangannya menarik ujung baju orang. "Telah aku bilang, katak itu ada yang pelihara." Ia menunjuk kepada rombongan orang pakaian hitam yang bengis-bengis itu. "Merekalah si pemelihara katak itu. Kalau kau ganggu katak mereka, buntutnya bakal hebat sekali. Nona cantik bagaikan bunga, maka menurut aku, baiklah nona jangan berdiam lama-lama di sini, baik kau lekas pergi!"
Oey Yong tersenyum.
"Jumlah kita banyak, takut apa?" Kwee Ceng pun berkata.
Orang tua itu menghela napas.
"Karena urusan kodok itu, tahun lalu kita pernah bertempur sampai banyak yang terluka," katanya. "Perkara telah jatuh ke tangan pembesar negeri. Kesudahannya camat memutuskan, untuk selanjutnya biarlah katak bertempur sama katak, di antara binatang, kita dilarang campur tahu, siapa berani melanggar putusan itu, dia bakal di hukum berat."
"Ah, pembesar anjing!" mendamprat Kwee Ceng. "Bukankah itu terang-terang membantu kawanan manusia jahat itu?"
"Memang. Tapi camat dan mereka adalah sekawan. Camat cuma tahu menangkap kodok hijau untuk dipakai memelihara ular, dia tidak menggubris rakyat mati atau hidup!"
Mendengar itu keterangan hal menangkap kodok untuk memelihara ular, Kwee Ceng dan Oey Yong heran betul. Ketika mereka mau menanya lagi, justru kaum petani itu lagi berseru-seru girang.
Nyata pertarungan katak itu membawa perubahan.
Kawanan katak besar mengumpul diri di empang besar, mereka terdesak. Sejumlah kodok hijau terjun ke air, mereka berenang ke belakang musuh, membantu menyerang dari samping dan belakang. Katak hijau itu pandai sekali berenang. Sedang katak besar itu tidak pandai memain di permukaan air. Mereka berdesakan, tak dapat mereka bergerak dengan merdeka, banyak yang kecebur ke empang. Di dalam air, mereka tidak bisa bertempur dengan hebat seperti di darat. Maka mereka jatuh di bawah angin, banyak yang mati, bangkainya mengambang dengan perut putihnya di atas.
Barisan kodok besar itu menjadi kalut. Rajanya, bersama barisan pengawalnya, menerjang kalang kabutan tanpa ada hasilnya.
Maka orang-orang tani itu pada bersorak, ada yang berseru: "Panen kita tahun ini ketolongan!"
Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi semua sambil memperhatikan rombongan orang baju hitam itu. Muka mereka menyatakan kegusaran mereka. Tiba-tiba di antara mereka ada yang berseru, lalu belasan di antaranya membuka tutupnya korang mereka.
Bab 56. Kejadian di lauwteng Gak Yang Lauw
Begitu lekas korang-korang dibuka tutupnya, maka keluarlah ratusan ekor ular berbisa kecil dan besar, semua merayap ke medan pertempuran katak itu, maka di dalam tempo yang pendek, mereka telah dapat menelan banyak kodok hijau. Kodok hijau itu memanglah makanan mereka. Lantas kodok itu pada lari atau merengkat saking takutnya.
Kawanan petani menjadi kaget dan gusar, mereka mengasih dengar suara berisik.
Seorang, yang tubuhnya tinggi besar di antara orang-orang berpakaian hitam itu, maju ke depan orang-orang tani, dia mengasih dengar suara bentakannya: "Camat telah memaklumkan, katak berkelahi di antara bangsanya adalah adat kebiasaannya, maka itu, selagi mereka tidak membikin hubungannya sama kita manusia, perlu apa kamu membikin banyak berisik?!"
Orang-orang tani itu berteriak-teriak: "Kodok besar itu serta ular berbisa ini adalah kamu yang pelihara! Kodok hijau mana bisa melawan ular! Tidak tahu malu! Kami melarat tahun ketemu tahun, panen kami bakal gagal, daripada kami mati kelaparan, mari semua mengadu jiwa!"
Orang tinggi besar itu mengangkat tangan kanannya, maka di situ terlihat goloknya yang berkeredepan. Dia lantas diturut kawan-kawannya, yang semua pada mengeluarkan senjatanya masing-masing. Dengan berbaris rapi, mereka maju mendekati.
"Kamu mau apa?" tanya si orang tinggi besar pada kaum tani itu. "Apakah kamu tidak mau dengar perintah camat? Apakah kamu mau berontak?!"
Orang banyak itu pada mencaci, ada juga yang menimpuk dengan lumpur dan batu.
Orang tinggi besar itu mengibasi tangannya, lantas di antara mereka muncul dua orang yang dandan sebagai hamba polisi, yang satu memegang golok, yang lainnya membawa rantai borgolan. Mereka ini lantas memaklumkan, siapa yang cari gara-gara dan berkelahi, dia akan dihukum sebagai pemberontak!
Orang-orang tani itu berdiam, mereka saling mengawasi. Beberapa diantaranya kata: "Mereka inilah masing-masing kepala polisi berkuda dan berjalan kaki."
Oleh karena pihak sana dapat bantuan pembesar negeri, maka celakalah kawanan kodok hijau itu, oleh katak besar dan ular mereka digiring masuk ke dalam korang.
"Yong-jie, apakah kita turun tangan sekarang?" Kwee Ceng berbisik.
"Coba tunggu sebentar lagi," menyahut sang nona.
Ketika itu tujuh atau delapan bocah maju sambil berteriak-teriak, mereka menggunai batu menimpuki rombangan ular itu, hingga ada beberapa ular yang lantas mati.
Orang-orang berpakaian hitam itu menjadi murka, beberapa diantaranya maju untuk menyerang nocah-bocah itu. Satu bocah kena dirobohkan, yang lainnya lari kabur.
Bocah yang roboh itu kena dicekuk.
"Bagus, ya, kau berani membikin mati ular yang kita rawat susah payah!" katanya bengis. "Kau mesti dikasih rasa!"
Seorang tani wanita lantas lari menghampirkan.
"Tolong tuan, tolong," ia memohon, "Tolong lepaskan anakku ini..."
Kwee Ceng dan Oey Yong mengenali, itulah ibu dan anak yang mereka ajak bicara.
Sambil dengan tangannya yang satu memegangi terus si bocah, dengan tangan yang lain laki-laki itu menyambar lehernya si nyonya, terus ia melemparnya balik hingga tubuh si nyonya itu terpelanting ke dalam rombongannya, di mana dia menimpa dua orang hingga mereka roboh bersama. Lantas laki-laki bengis itu mengibasi tangannya, atas mana kawan-kawannya maju dengan senjata siap sedia.
Kawanan orang tani itu mundur. Mereka kebanyakan ada orang tua dan wanita. Mereka lebih takut lagi ketika orang mengayun goloknya untuk membacok, lekas-lekas mereka mundur pula. Nyata itulah ancaman belaka.
Adalah si bocah yang tertangkap yang malang. Dia digaplok, bajunya disobek, setiap kali digaplok, setiap kali disobek, hingga itu terulang belasan kali, hingga dia menjadi bengkak matang biru mukanya dan tubuhnya pun telanjang. Ibunya menangis menjerit-jerit. Lupa segala apa, nyonya itu merangsak maju untuk menolongi anaknya. Segera dia dipegangi dua orangn laki-laki.
Laki-laki kejam tadi mengasih dengar siulan nyaring, atas itu beberapa ratus ular berbisa itu mengangkat kepalanya dan mengulur lidahnya, semua mengawasi tubuh telanjang bulat dari si bocah. Maka kagetlah semua orang tani, pucat muka mereka. Si bocah juga ketakutan bukan main, matanya mendelong mengawasi ibunya. "Ibu...!" kemudian ia menjerit.
"Bangsat cilik, kalau kau bisa, kau larilah!" kata si laki-laki bengis. Ia menampar, maka robohlah si bocah. Bocah itu lari kepada ibunya. Tapi di sini dia dipapaki sabetan golok beberapa orang, maka ia lari balik ke tempat kosong.
Si laki-laki bengis, yang rupanya menjadi kepala, bersiul pula, maka sekarang semua ular tadi, yang sudah siap, lantas lari mengubar bocah itu.
Bukan main kaget dan takutnya si bocah ketika ia menoleh karena mendengar suara sa-sus riuh dari kawanan ular itu, yang semua mementang mulutnya, mengasih lihat ancaman lidahnya yang bergerak-gerak, dalam takutnya ia lari sekeras-kerasnya. Tapi kawanan ular dapat lari lebih keras, ia lantas hampir kena disusul.
"Anakku!" menjerit si nyonya, yang lantas pingsan dan roboh.
Kawanan tani itu menjadi kaget dan gusar, mereka mau maju menyerang ular, tetapi mereka dihalang-halangi kawanan orang yang berpakaian hitam itu, yang membolang-balingkan goloknya dihadapan mereka.
Menampak kejadian itu, Oey Yong sudah lantas bersiap dengan seraup jarumnya, hendak ia segera menyerang.
Sekonyang-konyang bocah itu tersandung, tubuhnya terjatuh, maka itu ia lantas kena dicandak.
Oey Yong kaget hingga ia berseru, tubuhnya berlompat. Tepat ia hendak mengayun tangannya atau dari antara rombongan orang tani terlihat dua orang melompat maju menghalang di depan si bocah, tangan mereka diayunkan, menerbangkan empat bungkusan bubuk warna kuning, yang terus menggaris di tanah, sedang hidung orang lantas membaui bau belerang. Segera setelah itu, semua ular pada mundur sendirinya.
Kapan Oey Yong mengangkat kepalanya, ia mengenali dua orang itu, ialah Lee Seng dan Ie Tiauw Hin dari Kay Pang, Partai Pengemis, yang pernah ditemui di Poo-eng.
Melihat merintangnya dua orang itu, laki-laki baju hitam itu lantas berkata: "Kami dari Tiat Ciang Pang dengan pihak Kay Pang adalah seumpama air kali tidak bertemu air sumur, oleh karena itu kenapa tuan-tuan sekarang memaksa maju sendiri membelai lain orang?"
Lee Seng memberi hormat.
"Bocah ini belum tahu apa-apa, maka itu aku si pengemis tua memohon muka, sudilah dia diberi ampun," sahutnya.
Si hitam itu melihat Lee Seng menggondol delapan kantung goni, ia tahu orang ada dari angkatan tinggi, tetapi ia tertawa dingin dan lantas menanya: "Jikalau kau tidak memberi ampun, habis tuan mau bikin apa?"
Ie Tiauw Hin masih muda, ia tidak sabaran. Dia berseru: "Kamu berbuat jahat dan kejam, kami telah mempergokinya, mana pula kami tidak campur tahu?!"
Si hitam tertawa menghina pula. Dia kata: "Aku mendengar kabar kamu kaum Kay Pang, besok kamu bakal mengadakan rapat besar di Gak Yang Lauw, di mana akan hadir semua pemimpin dari partaimu dari pelbagai penjuru, apakah kau pengemis cilik mau menghina orang dengan mengandali jumlahmu yang banyak? Hm! Aku khawatir tidak gampang-gampang kamu dapat berbuat demikian! Kamu katanya kaum yang pandai menangkap ular, coba aku lihat, apa kamu pandai menangkap ular kami ini?"
Ie Tiauw Hin panas hatinya. Ia lantas berlompat maju, kedua tangannya menyambar masing-masing seekor ular. Ia memegang ekor ular, segera digentak kaget. Tulang ular bersambung bagaikan rantai, karena dihentak kaget, tulang-tulang itu jadi seperti terlepas, maka itu, meski tidak segera mati, kedua ular itu lantas tidak mampu menggeraki tubuh mereka. Itulah ilmu kepandaian menangkap ular dari bangsa pengemis.
Si hitam menjadi murka luar biasa, lantas ia bersiul keras, maka itu ribuan ularnya lantas melesat maju, untuk menerjang.
Ie Tiauw Hin boleh pandai menangkap ular tetapi menghadapi ular demikian banyak, ia kewalahan, maka itu, ia lompat ke garisan bubuk belerangnya.
Lee Seng lantas berteriak, menanya she dan nama besar si hitam. Dia ini sendiri tidak menyahutinya, dia cuma tertawa dingin. Setelah ia melihat ularnya tidak berani maju, lagi sekali ia bersiul.
Kali ini terjadilah pemandangan yang luar biasa.
Seekor ular menggigit ekor kawannya, kawan digigit pula ekornya oleh kawannya yang lain, demikian seterusnya, hingga mereka merupakan beberapa puluh potong rantai yang panjang, habis itu, ketika si hitam berteriak, mereka berlompat ke arah kedua pengemis itu, yang mereka terus kurung, hingga si bocah terkurung bersama.
"Pengemis busuk, tangkaplah ular itu!" kata si hitam menantang. "Kenapa kau diam saja?!"
Semua ular itu dongak mengawasi, siap untuk menerjang.
Muka Lee Seng dan Tiauw Hin pucat. Mereka rupanya menginsyafi ancaman bahaya.
Si hitam lantas berkata dengan jumawa, "Kami kaum Tiat Ciang Pang tidak suka mencelakai orang tanpa sebab, maka itu asal kamu berjanji untuk selama-lamanya tidak akan menangkap ular kami pula, asal kamu memberikan buktinya - hm! Kami tentu suka memberi ampun!"
Lee Seng tahu bukti apa yang diminta Tiat Ciang Pang. Ialah mereka harus merusak tangan mereka sendiri. Tentu sekali, mereka tidak suka menyerah, tidak peduli keadaan ada sangat berbahaya. Mereka berdiri tegak dan gagah.
Si hitam mementang kedua tangannya. Ia kata: "Asal aku merangkap kedua tanganku ini maka di tubuh kamu masing-masing bakal tambah beberapa ratus gigi yang beracun! Apa kamu masih tidak mau bertekuk lutut untuk memohon ampun?"
"Susiok, jangan kita mendatangkan malu!" kata Tiauw Hin.
Lee Seng tertawa. "Untuk apa mengatakan itu pula?" sahutnya. Ia lantas perkeras suaranya, berbicara kepada orang Tiat Ciang Pang itu: "Terima kasih banyak saudara hendak mengantar kami pulang ke Langit Barat, hanya aku masih belum mengetahui nama saudara yang besar!"
"Benarlah kamu, sampai mati kamu tidak mau memeramkan mata!" kata si hitam itu. "Aku murid ketiga dari Kiu Tiat Ciang, yang orang menyebutnya Hian-pwee-bong Kiauw Thay si Ular Naga Abu-abu!"
Belum berhenti suara jumawa si hitam ini, lantas terdengar suara tertawa halus nyaring disusuli ini kata-kata terang halus: "Aha! Aku mengira siapa, tak tahunya segala murid dan cucu muridnya si tua bangka she Kiu!"
Suara itu segera disusul oleh orangnya, maka semua orang melihat seorang nona cantik manis yang rambutnya dijepit dengan gelang emas. Dialah Oey Yong kita. Maka heranlah Kiauw Thay.
Oey Yong tidak menanti orang sadar dari herannya, ia kata pula: "Tiat Ciang Sui-siang-piauw she Kiu yang tua itu memanggil aku kouw-nay-nay, maka itu kenapa kau tidak segera memanggil aku couw kouw-nay-nay?" Dia minta dirinya dipanggil bibi dan bibi tua.
"Hai, bocah kau ngaco belo!" membentak si hitam. Di dalam hatinya, tapinya ia heran sekali kenapa bocah ini mengetahui nama besar gurunya.
Oey Yong tertawa dan berkata pula: "Anak-anak menerbitkan onar di luaran, inilah aku kouw-nay-nay kamu paling tidak senang melihatnya! Bukankah kamu pun ada kawannya itu anak yang memangku pangkat camat di Bu-leng? Beberapa hari yang lalu, sambil lewat di mana, kouw-nay-nay telah membereskan dia! Nah, apa katamu?"
Camat she Kiauw di Bu-leng itu memang ada saudaranya Kiauw Thay ini, dia menerima kabar halnya kantor camat dibakar dan camatnya mati baru tadi pagi, maka itu ia lantas melirik si nona dengan hati sangat panas. Dia berduka berbareng gusar tetapi dia bersangsi apa nona ini benar membunuh saudaranya itu yang ia tahu gagah. Ia lantas memberi tanda, maka ratusan ularnya mengurung si nona.
"Siapakah yang membinasakan camat Bu-leng?" Kiauw Thay membentak, "Lekas bilang!"
Oey Yong tertawa manis.
"Dengan sebenarnya akulah yang membinasakan dia!" dia menyahuti, berani. "Dia melawan aku dengan menggunai Tok see-ciang, tangan beracunnya itu! Siapakah tidak mengenalnya jurusnya, seperti jurus 'Jarum tawan' dan 'Mengangkat obor membakar langit'" Ketika aku menotok jalan darahnya, jalan darah kiok-tie-hiat, pecahlah kepandaiannya itu, maka setelah aku menotok pula kedua jalan darahnya, kie-bun dan kin-ceng, aku menyuruh dia duduk di kursinya, duduk tak bergeming lagi, mirip lagaknya diwaktu hari-hari biasa dia dengan bengis memeriksa rakyat negeri. Kemudian ketika aku membakar gedung camat dan kantornya sampai ludas menjadi abu, entah kenapa, dia tetap tidak keluar lagi dari kantornya itu!"
Kiauw Thay tetap heran. Kenapa orang begitu berani bicara seperti lagi mendongeng saja, demikian tenang, lancar dan rapi? Meski dia masih bersangsi, dia toh memikir untuk membekuknya, guna mendengar keterangan orang terlebih jauh. Maka ia lantas berseru: "Loo Sam, Loo Su, bekuklah budak ini!"
Dua orang lantas maju, dengan goloknya mereka menyingkirkan ular-ular yang mengurung itu, setelah datang dekat dengan empat tangan, mereka menjambret pundaknya si nona.
Oey Yong tertawa melihat lagak orang, "Loo Sam, Loo Su, kau rebahlah!" ia kata. Sebat luar biasa, ia mendak, lalu tubuhnya melesat ke belakang orang. Belum dua orang itu tahu apa-apa, punggung mereka sudah dicekal, lalu dtitolak keras satu sama lain, maka di antara suara beradu keras, kepala mereka bentrok hingga tubuh mereka terhuyung, lalu roboh di tanah!
Orang-orang tani itu sebenarnya lagi ketakutan akan tetapi menyaksikan robohnya dua jago itu, mereka heran dan kagum hingga mereka tertawa.
Kiauw Thay murka bukan main, ia lantas mengangkat tangan kanannya dan memasuki dua jerijinya ke dalam mulutnya. Ia hendak bersuit, guna mengasih perintah kepada ularnya untuk menyerbu. Atau dia didahuli dengan suara kuk-kuk-kuk tiga kali, lalu di tangannya Oey Yong terlihat seekor burung merah, sebab burung apinya itu ia telah masuki ke dalam tangan bajunya.
Dengan mengasih dengar suaranya, burung api itu pun lantas mengasih keluar bau harumnya, yang segera seperti memenuhi ladang itu, kapan semua ular dapat mencium bau itu, semuanya menjadi bergerak dengan kacau, akan akhirnya pada rebah diam saja, sejumlah di antaranya lantas terlentang, mengasihkan perutnya untuknya untuk di patuk!
Hiat-niauw pun tidak sungkan-sungkan, dia berlompat maju, dia mematuk setiap perut, hingga sebentar saja dia sudah makan nyalinya tujuh ekor ular. Dia sudah kenyang tetapi dia masih mematuki perut ular lainnya!
Kiauw Thay kaget dan gusar, habislah sabarnya. Ia mengeluarkan tiga batang kong-piauw, dua batang ia timpuki kepada burung api itu dan satunya kepada si nona!
Oey Yong memakai baju lapisnya, ia tidak memperdulikan datangnya senjata rahasia itu ke tubuhnya, sedang hiat-niauw, melihat datangnya serangan itu, berlompat untuk menyampok hingga kedua kong-paiuw jatuh di tanah, kemudian ia terbang gesit menyampok jatuh piauw yang mengarah si nona.
Bukan main girangnya Oey Yong mendapatkan burungnya itu mengerti dan dapat membela majikan. Ia lantas menuding si hitam itu serta kawan-kawannya, ia berkata: "Mereka itu orang-orang jahat, patuklah biji mata mereka!"
Burung api itu terbang meleset, tubuhnya yang merah berkelebat mirip api, atau segera satu orang menjerit kesakitan, lantas diturut oleh beberapa orang yang lain. Sebab seperti tanpa merasa lagi, mata mereka telah kena dipatuk burung itu!
Saking takutnya, semua orang itu lari serabutan, sedang yang matanya terpatuk pada menjatuhkan diri, untuk merayap atau bergulingan, guna melarikan diri. Hingga dilain saat, habislah mereka, tinggal kodok dan ular mereka, maka kedua binatang itu lantas diserbu ramai-ramai oleh kawanan orang tani itu. Ketika kemudian mereka hendak menghanturkan terima kasih kepada Oey Yong dan Kwee Ceng, muda-mudi itu dengan tidak banyak omong telah pergi jauh.
Juga Lee Seng dan Ie Tiauw Hin hendak menemui sepasang anak muda itu tetapi mereka telah ditinggal kabur kuda merah yang larinya pesat.
Oey Yong girang bukan main atas kesudahannya perbuatannya itu, maka itu malam, selagi singgah, ia menyalakan api, ia membiarkan hiat-niauw mandi dengan gembira.
Besoknya pagi, tibalah mereka di Gakciu. Mereka berjalan kaki, kuda mereka dituntun. Langsung mereka menuju ke lauwteng Gak Yang Lauw. Mereka memandangi keindahan telaga Tong Teng Ouw di tepi mana lauwteng itu dibangun. Luas tenaga itu, jernih airnya. Di sekitarnya adalah rentetan gunung, keindahan dan keangkeran telaga itu beda lagi dengan keindahan dan keangkeran telaga See Ouw. Masakan Ouwlam kurang cocok bagi lidah mereka, sudah rasanya pedas, juga mangkoknya lebih besar dan sumpitnya lebih panjang. Di empat penjuru tembok mereka melihat banyak tulisan orang-orang pandai, yang pernah naik di lauwteng ini untuk bersantap atau minum. Di antaranya ada syairnya Hoan Tiong Am tentang kedukaan dan kegirangan, yang datangnya duluan dan belakangan.
Mereka lantas membicarakan Hoan Tiong Am itu, yang pintar dan gagah, yang pernah menjagoi di See Hee, tetapi semasa kecilnya dia miskin, ayahnya mati muda, hingga ibunya menikah lagi pula, hidupnya sengsara, maka setelah hidup berpangkat dan berbahagia, dia tetap memperhatikan nasib rakyat jelata. Itu pula sebabnya mengapa ia menulis syairnya itu lebih dulu menderita, lalu bergembira.
"Demikian juga dengan bangsa orang gagah!" kata Kwee Ceng kemudian seraya menenggak araknya.
"Dia memang orang baik," kata Oey Yong tertawa. "Cumalah di dalam dunia ini, kedukaan lebih banyak, daripada kegembiraan. Aku tidak mau hidup seperti dia!"
Kwee Ceng tersenyum, dia diam saja.
"Engko Ceng, aku tidak pedulikan kedukaan atau kesenangan itu!" kata si nona kemudian. "Hanya kalau kau tidak gembira, hatiku pun tidak senang..." Kata-kata ini dikeluarkan perlahan, alisnya pun mengkerut.
Kwee Ceng ingat nona itu tentulah mengingat hubungan di antara mereka, maka dia pun masgul, dia tidak dapat menghibur, dia tunduk dan berdiam saja.
Tiba-tiba si nona mengangkat kepalanya dan tertawa.
"Sudahlah, engko Ceng!" katanya. "Eh, ya, tahukah kau syair Hoan Tiong Am yang berjudul 'Mencukil lampu perak'?"
"Aku tidak tahu. Cobalah kau membacakannya untuk aku dengar?"
Oey Yong membacakan bagian bawah syair itu: "Orang hidup tidak seratus tahun, maka jangan tolol, kalau tua, lantas layu. Hanya di bagian usia pertengahan, itu sedikit tahun, harus dapat menahan hati. Kedudukan tinggi, banyak uang dan rambut putih, bagaimana itu dapat dihalaunya?"
"Kalau begitu," kata Kwee Ceng nyaring, "Itulah nasehatnya supaya orang jangan menyia-nyiakan waktu, jangan cuma mengejar nama besar, kenaikan pangkat dan harta!"
Oey Yong pun berkata pula, perlahan: "Arak masuk ke dalam usus berduka, berubah menjadi air mata kenangan...."
"Apakah itu pun syair Hoan Tiong Am?" tanya Kwee Ceng, mengawasi si nona.
"Ya. Orang besar dan orang gagah bukannya tidak mempunyai perasaan," kata si nona, yang terus tertawa. Ia menanya: "Engko Ceng, bagaimana kau lihat caranya aku menghadapi murid-murid jahat dari Tiat Ciang Pang itu? Tidakkah itu memuaskan?"
"Memang!" jawab Kwee Ceng bertepuk tangan.
Demikian mereka bersantap, minum dan bicara dengan asyik dan merdeka, seperti di situ tidak ada lainnya orang lagi. Kemudian Oey Yong menyapu kelilingnya. Ia melihat di arah timur ada tiga orang tua dengan dandanan sebagai pengemis, bajunya banyak tambalannya tetapi bersih. Tentulah mereka orang penting dari Kay Pang, yang hendak menghadari rapat besar kaumnya. Yang lainnya ialah orang dagang atau orang biasa saja.
"Sebenarnya Tiat Ciang Pang itu kumpulan apa?" kemudian kata si nona perlahan. "Kenapa mereka itu sama dengan See Tok paman dan keponakan, mereka memelihara ular?"
"Entahlah," sahut Kwee Ceng. "Kalau mereka semua sama dengan Kiu Cian Jin si tua bangka, mereka tentu tidak bisa membangun apa-apa yang besar..."
Kata-kata itu belum habis dikeluarkan ketika di atasan kepala mereka terdengar suara orang tertawa terbahak sambil berkata dengan suara angker: "Sungguh mulut besar! Sampai pun 'Tiat Ciang Sui-siang-piauw, si orang she Kiu tua', tidak dilihat mata!"
Oey Yong terkejut, ia lompat mundur beberapa tindak, baru dia dongak.
Di atas penglari ada duduk nagkring seorang pengemis tua yang kulitnya hitam legam, bajunya sangat butut, tetapi dia mengaawasi dengan tertawa haha-hihi.
Kwee Ceng telah menduga kepada orang Tiat Ciang Pang, setelah melihat ia berhadapan sama pengemis, hatinya menjadi sedikit lega, apapula orang nampaknya tidak mengandung maksud jahat. Ia lantas memberi hormat seraya berkata: "Locianpwee, silahkan turun untuk minum barang tiga gelas arak? Sudikah?"
"Baik!" menyahut pengemis itu, yang lantas menjatuhkan diri, hingga ia mendeprok di papan lauwteng yang debunya mengepul. Setelah menepuk-nepuk kempolannya ia merayap bangun.
Kwee Ceng dan Oey Yong heran bukan main. Orang bisa ada di atas mereka tanpa bersuara, mereka menduga orang berkepandaian tinggi, tetapi orang jatuh terbanting begitu rupa, agaknya sangat berat tubuh orang, itulah bukan tandanya orang lihay.
"Silahkan minum!" Oey Yong mengundang. Ia menyuruhnya pelayan menambahkan cangkir arak, mangkok dan sumpit. Ia pun mengisikan cangkir.
"Pengemis tua tak tepat duduk di kursi," kata pengemis itu, yang lantas duduk mendeprok di lantai, sedang dari kantungnya ia mengeluarkan sebuah mangkok jonges serta sepasang sumpit bambu. Ia pun kata: "Sisa arak dan sayur yang kamu telah makan, kasihlah itu padaku!"
"Itulah perbuatan tak hormat dari kami, locianpwee," berkata Kwee Ceng. "Apa yang locianpwee hendak dahar, bilang saja, suruh pelayan menambahkan!"
"Pengemis ada macamnya si pengemis," kata orang tua itu, "Kalau pengemis cuma nama tapi tak tepat sama artinya, cuma berpura-pura saja, buat apa dia menjadi pengemis? Jikalau kamu sudi mengamal, nah, kasihlah, jikalau tidak, aku bisa pergi mengemis ke lain tempat..."
Dua-dua muda-mudi itu heran tetapi Oey Yong melirik kawannya, lalu ia berkata sambil tertawa: "Locianpwee benar!" Maka ia lantas sisihkan sisa sayur mereka, ia menuangnya ke mangkok butut itu.
Si pengemis merogoh ke dalam sakunya, untuk mengeluarkan nasi dingin, yang mana ia campur sama sisa sayur, terus ia dahar, nampaknya ia bernafsu sekali.
Oey Yong yang cerdik diam-diam menghitung kantung di punggung orang, semuanya susun tiga, setiap susunnya terdiri dari tiga buah, maka itu ada sembilan kantung. Ketika ia berpaling kepada ketiga pengemis lain, mereka pun mempunyai masing-masing sembilan kantung. Yang beda ialah mereka itu bertiga di depannya tersajikan banyak macam sayur pilihan. Mereka itu agaknya tidak memperdulikan pengemis yang satu ini, mereka tidak sudi berpaling atau melirik, cuma pada paras mereka tampak samar-samar roman tak puas.
Tengah si pengemis bersantap dengan bernafsu, di tangga lauwteng terdengar tindakan kaki. Kwee Ceng lantas berpaling. Maka terlihat olehnya naiknya dua pengemis, ialah pengemis kurus dan gemuk yang di Gu-kee-cun, Lim-an menemani Yo Kang. Bahkan di belakang mereka terlihat Yo Kang sendiri. Hanya dia itu, begitu dia melihat si orang she Kwee, dia melongo, lekas dia turun pula. Entah dia berbicara apa sama si pengemis gemuk, maka di gemuk itu ikut dia turun. Si pengemis kurus maju terus, ia menghampirkan pengemis yang tiga itu yang makannya royal, dia bicara berbisik-bisik. Atas itu, ketiga pengemis itu berbangkit, mereka membayar uang makan, lantas mereka berlalu bersama si kurus itu.
Si pengemis yang dahar sambil duduk mendeprok dan makan sisa, terus tidak menghiraukan sepak terjang beberapa rekannya itu.
Oey Yong berjalan ke jendela, untuk melongok ke bawah. Ia melihat belasan pengemis mengikuti Yo Kang ke barat. Jalan belum jauh, pemuda she Yo itu menoleh ke belakang. Maka tepat sinar matanya bentrok sama sinar matanya Oey Yong. Dia agaknya terkejut, segera ia mempercepat tindakannya, selanjutnya dia tidak berpaling lagi.
Pengemis tua itu lantas dahar habis. Ia menjilati mangkoknya dan sumpitnya disusuti kepada bajunya, semua itu lantas dimasuki ke dalam kantungnya. Diam-diam Oey Yong mengawasi. Ia melihat sinar kedukaan pada kulit muka orang yang berkeriputan. Aneh adalah tangannya, yang jauh lebih besar daripada tangan kebanyakan orang lain, sedang belakang tangannya penuh dengan otot-otot besar, suatu tanda dari penghidupan berat.
"Cianpwee, silahkan duduk!" berkata Kwee Ceng seraya memberi hormat. "Dengan berduduk, leluasalah kita berbicara."
Pengemis itu tertawa.
"Aku tidak biasa duduk di bangku!" katanya. "Kamu berdua ada murid-muridnya Ang Pangcu, meskipun usia kamu lebih muda, kita adalah sama derajatnya, cuma aku lebih tua beberapa puluh tahun, kau panggilah aku toako. Aku she Lou, namaku Yoe Kiak."
Oey Yong tertawa.
"Toako, namamu menarik hati!" katanya. Yoe Kiak itu berarti "ada kaki"
Pengemis itu berkata: "Orang biasa membilang, orang miskin hidup tanpa tongkat dia diperhina anjing, tetapi aku tidak mempunyai pentung, aku mempunyai sepasang kakiku yang bau ini, kalau anjing berani menghina aku, akan aku mendupak dia pada kepalanya, supaya dia terkuwing-kuwing dan kabur sambil menggoyang-goyang ekornya."
Oey Yong bertepuk tangan. "Bagus, bagus!" serunya, "Kalau anjing mengetahui namamu, tentulah siang-siang dia sudah lari jauh-jauh!"
"Tadi pagi aku telah bertemu sama saudara Lee Seng," berkata Yoe Kiak, yang lantas bicara secara sungguh-sungguh, "Dari dia aku mendapat ketahui perbuatan kamu di Poo-eng dan Gakciu. Maka benarlah orang bilang, kalau ada semangat, bukan cuma karena usia tinggi, siapa tanpa semangat, percuma usianya lanjut!"
Kwee Ceng berbangkit untuk merendahkan diri untuk mengucapkan terima kasih atas pujian itu.
"Barusan kamu bicara tentang Tiat Ciang Pang," berkata Lou Yoe Kiak, "Agaknya mengenai mereka itu, kamu belum mengetahui jelas."
"Benar. Justru itu, aku mohon petunjuk," sahut Oey Yong.
"Tiat Ciang Pang itu, untuk Ouwlam dan Ouwpak dan Sucoan, pengaruhnya sangat besar," menerangkan si pengemis tua, "Anggota-anggotanya suka membunuh orang dan merampok, tak ada kejahatan yang tak dilakukan mereka. Mulanya mereka cuma bersekongkol sama pembesar negeri setempat, kemudian mereka jadi semakin berani, kecuali bersekongkol mereka pun menempel pembesar berpangkat tinggi dan main sogok hingga ada diantaranya yang memangku pangkat. Yang paling menyebalkan ialah mereka bersekongkol sama negeri Kim, mereka melakukan perbuatan hina sebagai pengkhianat. Maka tepatlah hajaran kamu kepada mereka itu."
"Kabarnya kepala Tiat Ciang Pang ialah Kiu Cian Jin," berkata Oey Yong. "Tua bangka itu paling pandai memperdayakan orang. Kenapa dia jadi demikian berpengaruh?"
"Kiu Cian Jin itu sangat lihay, nona," berkata Yoe Kiak, "Aku harap kau tidak memandang enteng kepadanya."
Oey Yong tertawa. "Apakah kau pernah bertemu dengannya?" dia menanya
"Bertemu, itulah belum. Aku mendapat kabar dia tinggal bersembunyi di atas gunung, di mana dia meyakinkan tangan beracun yang dinamakan Ngo-tok Sin-ciang. Sudah sepuluh tahun lamanya dia tidak turun gunung...."
"Kau terpedayakan!" kata Oey Yong tertawa. "Aku telah bertemu dengannya beberapa kali, bahkan kita pernah bertempur juga. Kau bilang ia meyakinkan Ngo-tok Sin-ciang? Ha ha ha...!" Dan dia tertawa geli mengingat ngacirnya Kiu Cian Jin, sambil tertawa ia mengawasi Kwee Ceng.
"Apakah yang disandiwarakan itu Kiu Cian Jin itu," kata pula Yoe Kiak, tetap sungguh-sungguh, "Aku tidak tahu, tetapi benar sekali selama beberapa tahun kemarinkan Tiat Ciang pang maju sangat pesat, dia tidak dapat dipandang enteng."
"Lou Toako benar," kata Kwee Ceng. Yang khawatir pengemis itu menjadi tidak senang, "Memang Yong-jie gemar bergurau..."
"Ah, kapannya aku bergurau?" berkata si nona tertawa, "Aduh, aduh! Perutku sakit...!" dan dia beraksi mirip dengan tingkah lakunya Kiu Cian Jin baru-baru ini, ketika ia berpura-pura sakit perut untuk lari membuang air besar tetapi akhirnya kabur dengan tipu tonggeret meloloskan kulit.
Mau tidak mau, Kwee Ceng tertawa menyaksikan nona itu menekan-nekan perutnya.
Melihat kawannya tertawa, Oey Yong berhenti tertawa. Ia pun mengubah sikap.
"Loa Toako," tanyanya, "Apakah kau kenal ketiga tuan tadi yang bersantap di meja itu?"
Ditanya begitu, Yoe Kiak menghela napas.
"Kamu bukan orang luar, hendak aku bicara dengan sebenar-benarnya," sahutnya kemudian. "Pernahkah kamu mendengar keterangan Ang Pangcu bahwa partai kita terbagi dalam dua cabang, ialah cabang Pakaian Bersih dan Pakaian Dekil?"
"Belum, belum pernah kita mendengar keterangan itu," sahut kedua muda-mudi itu.
"Suatu partai terpecah dalam dua cabang, itulah sebenarnya tidak bagus," kata pula Yoe Kiak. "Mengenai itu, Pangcu tidak puas, akan tetapi dia telah berdaya sekuatnya untuk mempersatukan, dia tidak berhasil juga. Kay Pang dibawah Ang Pangcu mempunyai empat tiangloo."
"Ya, tentang itu pernah aku mendengarnya. Suhu pernah bercerita."
Meski masih muda, karena Ang Cit Kong masih hidup, Oey Yong tidak segera menjelaskan bahwa ia telah ditugaskan Pak Kay untuk menjadi pangcu.
Lou Yoe Kiak mengangguk perlahan.
"Akulah tiangloo yang kedua," dia berkata. "Tiga orang tadi juga berkedudukan sebagai tiangloo."
"Aku mengerti," kata Oey Yong lekas, "Kau dari cabang Pakaian Dekil, mereka dari Pakaian Bersih."
"Eh, mengapa kau ketahui itu?"
"Lihat saja pakaianmu, Lou Toako! Pakaianmu kotor tetapi pakaian mereka bersih sekali. Lou Toako, hendak aku omong terus terang, bajunya cabang Pakaian Dekil itu hitam dan bau, pasti tidak menyenangkan, maka kalau kau mencuci bersih pakaianmu, bukankah kedua cabang lantas menjadi satu?"
"Kaulah anaknya orang hartawan, pasti kau jemu terhadap pengemis," kata Yoe Kiak sambil ia berjingkrak bangun berdiri.
Kwee Ceng hendak menghanturkan maaf tetapi orang lantas ngeloyor pergi, kelihatannya ia mendongkol sekali.
Oey Yong mengulur lidahnya.
"Engko Ceng, jangan kau menegur aku," katanya.
Kwee Ceng tertawa.
"Sebenarnya aku berkhawatir," kata Oey Yong.
"Kenapa?" pemuda itu tanya.
"Aku berkhawatir Lou Yoe Kiak nanti mendupak padamu."
"Tidak karu-karuan dia mendupak aku, kenapa?"
Si nona memainkan mulutnya, ia tertawa, ia tidak menjawab.
Kwee Ceng menjadi berpikir. Ia benar tidak mengerti.
Oey Yong menghela napas.
"Ah, engko tolol," katanya. "Kenapa kau tidak hendak memikirkan namanya itu?"
Sekarang Kwee Ceng sadar.
"Bagus ya!" katanya. "Dengan memutar kau memaki aku bagaikan anjing!" Ia lantas berbangkit, tangannya diulur, untuk mengitik, atas mana, Oey Yong tertawa dan berkelit.
Tengah muda-mudi ini bergurau, di tangga lauwteng terdengar pula suara tindakan kaki. Segera terlihat munculnya ketiga tiangloo yang tadi pergi mengikuti Yo Kang. Mereka menghampirkan untuk terus memberi hormat. Tiangloo yang ditengah, yang mukanya putih dan tubuhnya gemuk, yang kumisnya gompiok, sudah lantas tertawa sebelum ia berbicara. Coba ia tidak berpakaian banyak tambalannya, tentulah orang menyangka dia itu seorang hartawan. Dengan manis ia berkata: "Jiewi, si pengemis tua she Lou tadi telah dengan diam-diam menurunkan tangan jahat. Kami tidak senang melihat kelakuannya itu maka datang untuk memberikan pertolongan kami."
Kwee Ceng dan Oey Yong terkejut.
"Bagaimana itu?" mereka tanya.
"Bukankah dia tidak sudi dahar bersama jiewi tadi?"
"Ya! Apakah dia telah meracuni kami?"
Pengemis itu menghela napas.
"Inilah gara-garanya partai kami lagi malang," ia berkata, romannya berduka. "Di luar keinginan kami, di antara kami boleh ada banyak orang buruk semacam dia. Dia itu lihay, asal tangannya menyentil, racun yang disimpan di kuku tangannya bisa tanpa diketahui lagi masuk nyampur ke dalam barang makanan atau arak. Jiewi telah terkena racun itu dan hebat, tidak lewat sampai setengah jam, maka jiewi sukar ditolongi lagi......."
Oey Yong terkejut tetapi ia bersangsi. "Kami tidak bermusuh dengannya, kenapa dia boleh menurunkan tangan jahat?" tanyannya.
"Jiewi telah keracunan berbahaya sekali, baik jiewi lekas makan obat ini, baru jiewi bisa dapat ditolong!" kata si pengemis tanpa menyahuti dulu pertanyaan orang. Ia lantas mengeluarkan satu bungkusan obat bubuk warna kuning, obat itu ia masuki ke dalam dua cangkir arak, "Lekas minum, jiewi!" katanya pula.
Oey Yong melihat tadi Yo Kang, ia curiga, maka itu, mana mau ia minum arak itu. Maka ia berkata: "Tadi tuan Yo itu kenal kami, tolong samwie ajak dia datang menemui kami."
"Memang jiewi harus bertemu dengannya," berkata si pengemis. "Tetapi racun jahanam itu berbahaya sekali, baik jiewi minum dulu obat ini. Kalau ayal-ayalan, nanti susah buat diobatinya."
"Samwie baik sekali, terima kasih," berkata Oey Yong. "Nah, marilah duduk untuk kita minum bersama! Sebenarnya kami kagum sekali kepada Kay Pang sebab kami ingat tahun dulu itu pangcu dari generasi yang kesebelas, di Pak Kouw San dia seorang diri telah melayani banyak lawan yang gagah dengan sepasang tongkatnya, dengan sepasang tangannya, dia telah membinasakan lima jago dari Lok-yang! Sungguh gagah!"
Tiga pengemis itu nampak heran sebab mendadak mendengar orang bicara perihal partainya, maka mereka lantas saling melirik. Heran mereka, kenapa nona begini muda ketahui peristiwa dulu hari itu.
"Ang Pangcu itu lihay sekali ilmu silatnya yang bernama Hang Liong Sip-pat Ciang," berkata pula Oey Yong. "Kepandaiannya itu tak ada bandingannya di kolong langit ini, maka entahlah samwie telah dapat mempelajari beberapa jurus dari ilmu silat itu?"
Mendengar ini, tiga pengemis itu lantas menduga tentulah orang curiga dan tak sudi minum arak campur obat itu. Maka yang beroman mirip hartawan itu berkata sambil tertawa: "Kalau nona bercuriga, tentu sekali kami tidak berani memaksa, tetapi marilah nona melihat suatu bukti nanti nona percaya. Sekarang jiewi lihat dimataku ada apa yang luar biasa?"
Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi, mereka mendapatkan mata orang bercahaya tajam sekali. Oey Yong melihat tidak ada apa-apa yang aneh, maka ia memikirnya itulah tak lebih tak kurang sepasang mata babi.........
Tetapi si pengemis itu sudah berkata pula: "Jiewi awasi mataku, jangan sekali jiewi memecah perhatianmu. Lihatlah, sekarang jiewi mulai merasa kulit matamu berat dan kepala pusing, seluruh tubuh jiewi tidak ada tenaganya. Nah, itulah alamat terkena racun. Lekas jiewi menutup mata dan tidur!"
Kata-kata itu menarik dan berpengaruh. Kwee Ceng dan Oey Yong benar-benar lantas merasa matanya ingin dirapatkan dan lesu, benar-benar seluruh tenaganya habis.
"Tempat ini menghadap telaga besar," berkata pula si pengemis. "Hawanya pun adem sekali, maka itu jiewi silahkan kamu berangin dan tidur di sini! Tidur, tidurlah!"
Makin lama kata-kata itu terdengar makin perlahan, kata-kata itu sangat manis dan menarik hati, maka tanpa merasa sepasang muda-mudi itu menguap, lalu tidur pulas dengan mendekam di meja. Beberapa lama sang tempo telah lewat, inilah mereka tak tahu, hanya mereka merasa ada hawa sejuk yang menyampok muka mereka, samar-samar pun kuping mereka mendengar suara gelombang. Mereka lantas membuka mata mereka. Maka tampaklah di antara mega munculnya sang rembulan, yang baru mulai naik di gunung timur. Mereka terkejut. Tadi toh mereka tengah bersantap dan minum arak di Gak Yang Lauw, kenapa sekarang sudah malam? Mereka mau berbangkit, atau mereka merasakan kaki dan tangan mereka telah diringkus. Mereka mau berseru, ataupun mereka merasakan mulut mereka telah disumpal biji bebuahan, hingga mereka merasakan mulut mereka sakit.
Sebagai seorang cerdik Oey Yong lantas mengerti bahwa ia telah kena dipermainkan di pengemis gemuk itu, hanya ia belum bisa menerka, orang menggunai ilmu apa membuat dia dan Kwee Ceng menjadi mengantuk dan lemas dan akhirnya tidur lupa daratan. Ia mengerti, maka ia tidak mau banyak berpikir. Ia segera melihat ke sekitarnya. Ia nampak Kwee Ceng di sisinya, kelihatannya kawan itu lagi mau meronta, maka hatinya lega sebagian.
Kwee Ceng pun mendusin karena ia merasakan sampokan hawa dingin. Ia kaget untuk belengguan yang kuat sekali, hingga ia tidak mampu berontak untuk memutuskannya. Kiranya itulah tambang yang dipakai mengikatnya ialah tali kulit kerbau campur kawat. Ketika ia hendak mencoba buat berontak lagi, tiba-tiba ia merasa dingin di pipinya, dua kali pipinya disampok pedang. Ketika ia mengawasi, ia dapatkan empat pengemis muda menjagai dia dengan senjata di tangan.
Oey Yong lantas berpikir terus. Satu hal yang membuatnya kaget. Ia mendapat kenyataan mereka berada di atas sebuah puncak, di sekitarnya telaga dengan airnya yang jernih. Di antara sinar rembulan, ia sekarang melihat tegas ke sekitarnya itu. Ia menjadi heran sekali kenapa ia tidak merasa orang telah mengangkutnya ke atas puncak itu, ialah puncak dari gunung Kun San di tengah telaga Tong Teng itu.
Di depan ia terlihat sebuah panggung tinggi belasan tombak. Di sekitarnya itu duduk beberapa ratus pengemis. Semua duduk dengan diam. Itulah sebabnya kenapa mereka mulanya tak nampak, tak ketahuan. Segera setelah ia ingat, hatinya girang. Pikirnya: "Benarlah! Hari ini Cit gwee Capgouw, hari Rapat Besar Kaum Kay Pang! Biarlah aku bersabar, sebentar aku memperdengarkan titah suhu, mustahil mereka tidak akan menaati...."
Lewat sekian lama, segala apa masih diam saja. Nona ini mulai habis sabarnya. Karena tak dapat bergerak, ia merasakan kaki tangannya baal. Sang waktu pun berjalan terus. Kemudian sinar rembulan menjojoh pinggiran panggung di mana ada tiga huruf besar: "Hian Wan Tay", artinya panggung "Kaisar Hian Wan". Maka ingatlah Oey Yong akan cerita dongeng, katanya dulu hari Oey Tee, ialah Kaisar Hian Wan itu, telah membuat perapian kaki tiga di sini, setelah perapian itu rampung, dia menunggang naga naik ke langit. Jadi inilah panggung yang berhikayat itu.
Lagi sekian lama, di waktu sinar rembulan telah memenuhi seluruh panggung, maka terdengarlah suara yang tiga-tiga kali, suara itu sebentar cepat dan sebentar perlahan, sebentar tinggi, sebentar rendah, ada iramanya. Kemudian ternyata semua pengemis memegang tongkat kecil, dengan itu mereka mengetuk batu hingga berlagu.
Oey Yong menghitung, setelah terdengar sampai delapanpuluh satu kali, suara itu berhenti serentak. Lalu kelihatan berbangkitnya empat pengemis yang usianya tinggi, ialah keempat tiangloo, Lou Yoe Kiak serta tiga tiangloo lainnya yang Oey Yong mengenalinya dengan baik. Mereka itu berdiri di empat penjuru panggung. Semua pengemis pada berbangkit, dengan membawa tongkat ke depan dadanya, mereka memberi hormat sambil menjura.
Si Tiangloo putih dan terokmok setelah menanti semua pengemis berduduk pula, lantas berkata dengan nyaring: "Saudara-saudara, Thian telah melimpahkan bahaya untuk Kay Pang kita, ialah Ang Pangcu kami telah berpulang ke langit di Lim-an!"
Mendengar warta itu, semua pengemis berdiam, hanya seorang yang kemudian berteriak keras, terus ia roboh ke tanah, setelah mana semua pengemis pada menumbuki dadanya, semua menangis sedih, ada yang menggerung-gerung, ada yang mambanting-banting kaki. Tangisan mereka itu berkumandang jauh.
Kwee Ceng kaget sekali. "Aku tidak dapat mencari suhu, kiranya ia telah menutup mata..." pikirnya. Ia pun menangis, hanya tidak dapat bersuara sebab mulutnya tersumbat.
Oey Yong bercuriga. Ia pikir: "Kami tidak dapat mencari suhu, mustahil mereka bisa! Mungkin kawanan manusia jahat ini lagi mengelabui orang banyak..."
Tengah orang sangat bersedih itu, Lou Yoe Kiak bertanya: "Pheng Tiangloo, ketika Pangcu berpulang ke dunia baka, adakah tiangloo melihatnya sendiri?"
Si tiangloo putih dan gemuk itu menyahuti: "Lou Tiangloo, jikalau Pangcu masih hidup, siapa yang berani makan nyali macam tutul dan hati harimau untuk menjumpai padanya? Orang yang melihat sendiri Pangcu meninggal dunia berada di sini. Yo Siangkong, silahkan kau memberi keterangan kepada orang banyak!"
Seorang lantas muncul di antara orang banyak. Dialah Yo Kang. Dengan memegang tongkat bambu, ia naik ke panggung. Semua pengemis berdiam, untuk memasang kuping.
Yo Kang berbatuk satu kali, baru ia mulai bicara. Ia kata: "Kejadian ialah baru satu bulan yang lalu. Kejadiannya di kota Lim-an. Pangcu telah berkelahi dan orang kesalahan memukul ia hingga ia mati."
Mendengar itu, suara orang banyak menjadi riuh.
"Siapakah musuh itu?!" tanya mereka. Nyata mereka murka. "Lekas bilang, lekas! Pangcu demikian lihay, mungkinkah dia jatuh? Pastilah Pangcu telah dikepung ramai-ramai maka ia roboh!"
Kwee Ceng mendongkol mendengar keterangan Yo Kang itu. "Pada satu bulan yang lalu, suhu ada bersama aku! Ha, kiranya dia lagi main gila!"
Yo Kang mengangkat kedua tangannya, ia menunggu sampai suara orang reda, baru ia berkata pula: "Orang yang mencelakai hingga Pangcu mati ialah Tong Shia Oey Yok Su, pemilik dari Pulau Tho Hoa To, bersama tujuh imam bangsat dari Coan Cin Pay!"
Oey Yok Su sudah lama tidak meninggalkan pulaunya, antara kaum pengemis ini, dalam sepuluh, sembilan tidak ada yang mengenal dia, hanya Coan Cin Cit Cu sangat kesohor maka mereka mengenalnya. Mereka mau percaya ketua mereka kalah karena dikeroyok, maka itu mereka mencaci dan mengutuk, ada yang mau lantas pergi untuk menuntut balas. Tentu sekali mereka tidak tahu bahwa mereka lagi dipermainkan Yo Kang, yang mau mengadu mereka dengan Tong Shia dan Coan Cin Cit Cu. Tentang Kanlam Liok Koay, ia tidak takut. Yo Kang bertindak begini karena Ang Cit Kong terluka parah hajaran Kuntauw Kodok dari Auwyang Hong sedang Kwee Ceng, ia menyangka telah mati tertikam olehnya di dalam istana, siapa tahu kemarin ia menemui Kwee Ceng dan Oey Yong di Gak Yang Lauw, karena itu sudah kepalang, ia minta Pheng Tiangloo membekuk kedua orang itu dengan tipu, dengan liap-sim-hoat, yang mirip dengan ilmu sihir. Ia mengharap Tong Shia, Coan Cin Kauw dan Kay Pang nanti ludas bersama kerana bentroknya mereka bertiga.......
Bab 57. Tiat Ciang Sin-kang Kiu Cian Jin
Selagi suara orang berisik itu maka bangkitlah salah satu dari tiga tiangloo itu, ialah Kan Tiangloo. "Saudara-saudara, mari dengar perkataanku!" ia kata. Ia telah putih kumis dan alisnya, tubuhnya tegar, di dalam partainya dia disegani. Maka semua orang lantas berdiam.
"Sekarang ini kita lagi menghadapi dua urusan sangat penting," ia berkata. "Kesatu untuk menuruti pesan Pangcu, yaitu untuk memilih pangcu generasi kesembilanbelas. Kedua guna berdaya mencari balas untuk pangcu kita itu."
"Benar!" menyahut semua pengemis.
"Tapi kita mesti bersembahyang dulu untuk pangcu," berkata Lou Yoe Kiak. Ia menjumput lumpur, yang ia lalu bikin menjadi patung, mirip dengan patung Ang Cit Kong, ia meletaki itu di atas panggung, terus ia mendekam di tanah dan menangis sedih. Semua pengemis turut menangis pula.
Oey Yong sendiri berpikir: "Hm, kamu gila! Suhu toh baik-baik saja, dia tidak mati, kenapa kamu tangisi? Kamu gila sudah mengikat aku dan engko Ceng, sampai kita tidak bisa bicara! Inilah kamu yang cari penyakit sendiri, sia-sia belaka kamu bersedih....."
Setelah orang menangis sekian lama, Kan Tiangloo menepuk tangannya tiga kali. Lantas semua orang berhenti menangis. Tiangloo ini berkata: "Kita sekarang berapat di sini, kita sebenarnya harus mengangkat pangcu baru menurut petunjuk Ang Pangcu, karena Ang Pangcu telah menutup nmata, kita harus menuruti pesannya saja, dan kalau pesannya tak ada, kita harus menaati pemilihan oleh keempat tiangloo. Inilah aturan kita turun-temurun. Benar begitu, saudara-saudara?"
Semua pengemis menyahuti membenarkan.
Kang Tiangloo lantas berkata pula: "Yo Siangkong, silahkan kau menyampaikan pesan dari Ang Pangcu itu!"
Dalam Kay Pang, pengangkatan pangcu baru adalah urusan paling besar dan penting. Pada itu tergantung makmur dan runtuhnya partai. Maka pangcu adalah yang memegang peranan paling penting. Pernah terjadi pangcu mereka yang ketujuhbelas, yaitu Cian Pangcu, meski dia gagah, dia lemah, pimpinannya tidak tepat, maka terjadilah bentrokan di antara kedua golongan Pakaian Bersih dan Pakaian Dekil hingga partai menjadi lemah. Ang Pangcu kemudian menguasai keadaan, dia melarang bentrokan. Dengan begitu, Kay Pang maju pula. Maka itu sekarang, selagi menaruh perhatian besar, orang berdiam menanti perkembangan.
Yo Kang memegang Lek-tiok-thung dengan kedua tangannya, ia angkat itu tinggi di atasan kepalanya, lalu ia berkata: "Ang Pangcu kena dikeroyok oleh orang jahat, dia mendapat luka parah hingga jiwanya terancam bahaya. Kebetulan itu waktu aku yang rendah lewat di tempat kejadian, cepat-cepat aku menyembunyikan dia di rumahku, setelah dapat menipu musuh-musuh itu pergi, aku lantas mengundang tabib. Sayang, karena parahnya luka, pangcu tidak dapat ditolongi lagi......."
Mendengar itu, terdengar banyak keluhan.
Yo Kang berhenti sebentar, baru ia melanjuti: "Ketika Ang Pangcu hendak menghembuskan napasnya yang terakhir, ia menyerahkan tongkat suci ini kepadaku dan dia menugaskan aku yang rendah untuk menerima tanggung jawab yang berat sebagai pangcu yang kesembilanbelas..."
Orang banyak menjadi heran. Tidak disangka, pangcu yang baru adalah ini pemuda yang mirip seorang sastrawan.
Yo Kang itu cerdik sekali. Setelah mendapatkan tongkat Lek-tiong-thung di rumahnya Sa Kouw di Gu-kee-cun, ia mendapat kenyataan kedua pengemis gemuk dan kurus itu sangat menghormat padanya, segera ia mendapat pikiran. Lantas di sepanjang jalan ia menanya ini dan itu kepada mereka tentang tongkat itu. Kedua pengemis itu melihat orang memegang tongkat partainya, mereka menjawab segala pertanyaan. Dengan begitu tahulah Yo Kang tentang tongkat itu serta pengaruhnya. Maka ia pikir, selagi Kay Pang sangat besar dan berpengaruh, kenapa dia tidak mau mengangkanginya? Bukankah Ang Pangcu telah mati dan tentang kematiannya itu tidak ada saksinya? Bagaimana besar faedahnya kalau ia yang menggantikan memegang pimpinan? Ia lantas mengambil keputusan, maka itu dengan mempengaruhi ketiga tiangloo, hendak ia mewujudkan cita-citanya menjadi pangcu dari Kay Pang.
Kan Tiangloo, Pheng Tiangloo dan Nio Tiangloo percaya obrolannya Yo Kang itu. Ini pun kebetulan sekali untuk mereka. Sebenarnya mereka ingin sekali diangkat menjadi pangcu, cuma di dalam hal ini, mereka malang sama Lou Tiangloo. Di bawah pimpinan Ang Pangcu, mereka menerima keadaan. Ang Pangcu dapat bertindak bijaksana, dia bisa mengimbangi keadaan, dia bersedia mengenakan baju bersih dan baju kotor bergantian. Hanya diantara keempat tiangloo, dia sebenarnya menghargai Lou Yoe Kiak, cuma Yoe Kiak ini, cacatnya ialah tabiatnya keras dan terburu nafsu, beberapa kali pernah ia hampir menerbitkan onar, kalau tidak, pasti siang-siang ia sudah diangkat menjadi pangcu. Untuk rapat besar di Gakciu ini, pihak Pakaian Bersih sebenarnya berkhawatir Lou Yoe Kiak yang nanti kepilih, ketiga tiangloo itu pernah memikir daya untuk mencegahnya, tetapi karena takut kepada Ang Cit Kong, mereka tidak berani bergerak. Maka mereka tidak sangka, sekarang muncul Yo Kang dengan tongkat suci mereka dan katanya Ang Pangcu telah terbinasa. Mereka berduka tetapi mereka tak melupakan urusan besar mereka. Mereka berlaku sangat hormat kepada Yo Kang. Mereka heran Yo Kang tidak mau menerangkan pesan pangcu mereka. Mereka tidak tahu pemuda ini sangat licin. Baru tiba disaat rapat ini, Yo Kang menyebutkan pesan itu - pesan karangan otaknya sendiri. Mereka menyesal, yang mereka tidak terpilih, akan tetapi mereka dapat menghiburkan diri, sebab Yoe Kiak tidak terpilih juga. Maka, sambil memikir, mungkin di belakang hari mereka dapat mempengaruhi Yo Kang ini, mereka mengangguk tandanya mereka suka menerima si anak muda sebagai ketua mereka yang baru.
Kan Tiangloo lantas berkata: "Tongkat yang di pegang Yo Siangkong ialah tongkat sejati dari partai kita, tetapi kalau ada saudara yang menyangsikan, silahkan maju untuk memeriksa.
Lou Yoe Kiak melirik Yo Kang. Ia sangsi pemuda ini dapat memimpin Kay Pang. Maka ia maju, akan memeriksa tongkat suci itu. Ia mendapat kenyataan kesejatian nya tongkat itu. Maka berpikirlah ia: "Tentulah Pangcu mengingat budi maka pangcu mewariskan tongkat suci ini kepadanya. Karena pangcu telah memesannya, mana dapat aku membantahnya?" Karena itu ia pun mempercayainya. Ia angkat tongkat ke atas kepalanya, dengan hormat ia menyerahkan kembali kepada Kan Tiangloo, yang tadi menyambuti itu dari tangan Yo Kang. Ia kata: "Kami menurut kepada pesan Ang Pangcu, kami menjunjung Yo Siangkong sebagai pangcu kami yang kesembilanbelas!"
Mendengar ini semua pengemis berseru memperdengarkan persetujuan mereka.
Kwee Ceng dan Oey Yong tidak bisa bicara, juga mereka tidak bisa bergerak, bukan main mendongkol dan masgulnya mereka.
"Benar dugaannya Yong-jie, Yo Kang ini bernyali besar, berani dia main gila seperti ini," pikir si anak muda. "Dia tentunya bakal mendatangkan onar besar."
Oey Yong sebaliknya lagi memikirkan, tindakan apa yang Yo Kang bakal mengambil terhadap mereka berdua, sebab tentulah mereka tidak bakal dilepaskan dengan begitu saja.
Yo Kang mengasih dengar suaranya: "Aku yang rendah, muda usiaku dan cupat pengetahuanku, tidak berani aku menerimanya ini tugas yang berat."
"Pesan Ang Pangcu demikian rupa, janganlah Yo Siangkong merendahkan diri," kata Pheng Tiangloo.
"Benar!" berkata Lou Yoe Kiak, yang lantas batuk satu kali, lalu ia berteriak dan meludah ke muka si anak muda.
Yo Kang tidak menyangka, tidak dapat ia berkelit, reak si pengemis tua nemplok di pipi kanannya. Ia menjadi kaget. Baru ia mau menanyakan ketiga tiangloo lainnya atau mereka itu pun bergantian telah lantas meludah kepadanya, setelah mana keempat tiangloo itu, dengan menyilang tangan, mereka lantas memberi hormat sambil berlutut dan mendekam. Yo Kang masih tidak mengerti, ia tetap berdiri tercengang.
Perbuatannya keempat tiangloo ini disusul oleh semua pengemis lainnya, dengan mengikuti runtunannya, mereka itu menghampirkan untuk menludahkan, saban habis berludah, baru memberi hormat.
"Adalah ini cara meludah tanda hormat kepadaku?" Yo Kang tanya dirinya sendiri. Ia tidak tahu, demikianlah aturan yang dihormati Kay Pang, setiap pangcu baru mesti diperhina, sebab pengemis, mereka mesti bersedia menerima penghinaan khalayak ramai. Ia tidak tahu itulah semacam latihan kebathinan.
Selang sekian lama barulah semua pengemis memberi hormatnya, lalu ramailah suara mereka: "Yo Pangcu, silahkan naik ke panggung Hian Wan Tay!"
Yo Kang melihat panggung tidak terlalu tinggi, hendak ia membanggakan kepandaiannya. Lantas ia menjejak kedua kakinya, untuk mengapungi diri, berlompat naik. Bagus caranya ia berlompat naik itu, karena ia mempunyai ilmu ringan tubuh yang baik. Hanya di matanya keempat tiangloo, terlihatlah kepandaiannya itu masih rendah, tetapi mengingat usianya yang muda, ia tidak dapat dicela. Keempat tiangloo itu percaya ialah murid seorang yang pandai.
Begitu lekas berada di atas panggung, Yo Kang mengasih dengar suaranya yang nyaring: "Penjahat yang mencelakai Ang Pancu masih belum dapat dibinasakan tetapi dua pembantunya telah aku berhasil membekuknya!"
Mendengar itu, berisiklah semua pengemis itu, segera terdengar teriakan mereka: "Di mana? Di mana? Lekas cincang padanya! Jangan lantas dihukum mati, hukum picis dulu padanya biar dia tahu rasa!"
Kwee Ceng tidak menduga jelek, maka ia kata di dalam hatinya: "Aku hendak lihat siapa pembantunya pembunuh itu...."
Yo kang lantas berseru: "Bawa mereka ke depan panggung!"
Pheng Tiangloo lantas bertindak cepat kepada Kwee Ceng dan Oey Yong, dengan masing-masing sebelah tangannya, ia memegang dan mengangkat tubuh orang, buat dibawa ke depan panggung di mana ia menggabruki dua muda-mudi itu.
Sekarang baru Kwee Ceng mendusin.
"Ha, binatang, kiranya kau maksudkan kami!" ia mendamprat di dalam hatinya.
Lou Yoe Kiak terperanjat kapan ia melihat Kwee Ceng dan Oey Yong, yang ia kenali, maka ia lantas mengingat kepada keterangannya Lee Seng. Ia lantas berkata: "Pangcu, dua orang ini ialah murid-muridnya Ang Pangcu! Cara bagaimana mereka dapat mencelakai guru mereka?"
"Justru itulah sebabnya, yang membuat orang semakin gemas!" berkata Yo Kang.
Pheng Tiangloo pun berkata: "Pangcu melihatnya sendiri, mana bisa salah?"
Lee Seng dan Ie Tiauw Hian hadir di dalam rapat ini, keduanya lantas maju dan berkata: "Harap pangcu ketahui, dua orang itu adalah orang-orang gagah, untuk mereka, kami berdua bersedia menanggungnya dengan jiwa kami. Pasti sekali kebinasaan Ang Pangcu tidak ada hubungannya sama mereka ini!"
"Kalau bicara, biarlah tiangloo kamu yang bicara!" Nio Tiangloo membentak. "Apa di sini dapat kamu campur mulut?!"
Kedua pengemis ini ada dari golongan Pakaian Kotor dan berada di bawah pimpinan Lou Yoe Kiak, derajat mereka pun rendah, tidak berani mereka berbicara lebih lanjut pula. Mereka mengundurkan diri dengan sangat penasaran.
"Di dalam hal ini bukannya aku yang rendah tidak mempercayai Pangcu," berkata Lou Yoe Kiak kemudian, " Akan tetapi mengingat urusan membalas sakit hati ialah urusan sangat besar, aku mohon Pangcu nanti memeriksanya dengan seksama."
Yo Kang memang telah memikir, maka lantas ia menyahuti: "Baiklah, nanti aku periksa." Kemudian ia mengawasi Kwee Ceng dan Oey Yong serta berkata: "Aku hendak menanya kamu, tidak usah kamu membuka mulutmu. Jikalau apa yang aku katakan benar, kamu mengangguk, kalau tidak, kamu menggoyang kepala. Jikalau kamu mendusta, sedikit saja, ingat golok dan pedang tidak mengenal kasihan!"
Pangcu ini mengibaskan tangannya, maka Pheng Tiangloo dan Nio Tiangloo lantas menghunus senjata mereka, dipasang di punggung Kwee Ceng dan Oey Yong. Pheng Tiangloo memegang pedang, dan Nio Tiangloo mencekal golok.
Oey Yong gusar sekali hingga mukanya menjadi pucat. Ia lantas mengingat peristiwa di Gu-kee-cun, tempo dari lain kamar ia mendengari Liok Koan Eng berbicara sama Thia Yauw Kee, bicara hal lamaran sambil main mengangguk-angguk. Ia tidak menyangka, sekarang ia mesti mengalami kejadian itu.
Yo Kang tahu Kwee Ceng jujur dan polos dan dapat dipermainkan, maka ia memegang tubuh orang, untuk diangkat ke samping. Segera ia menanya dengan suaranya yang bengis: "Bukankah anak perempuan ini anak kandung dari Oey Yok Su?"
Kwee Ceng menutup matanya, ia tidak mengambil mumat pertanyaan itu.
Nio Tiangloo menekan dengan ujung goloknya.
"Benar atau tidak!" dia menanya. "Mengangguk atau menggoyang kepala?"
Kwee Ceng sebenarnya tidak niat membuka mulutnya, ketika ia berpikir, biarnya ia tidak dapat membuka, toh perkara akan menjadi terang juga. Maka ia lantas mengangguk.
Begitu melihat orang mengangguk, banyak pengemis lantas berteriak-teriak: "Buat apa ditanyakan terlebih jauh! Lekas bunuh! Lekas bunuh padanya!" Mereka itu mau percaya benarlah pangcu mereka telah terbinasa di tangan Oey Yok Su. Ada pula yang berteriak: "Lekas bunuh dia! Mari kita cari si tua bangka pembunuh itu!"
"Saudara-saudara, jangan berisik!" Yo Kang berkata. "Tunggu sampai aku sudah menanyakan dia terlebih jauh!"
Mendengar begitu, rapat menjadi sunyi pula.
"Oey Yok Su telah tunangkan gadisnya kepada kau, benarkah?" Yo Kang menanya pula. Ia telah memikir matang runtun pertanyaannya itu.
Kwee Ceng anggap itu benar, ia mengangguk pula.
Yo Kang meraba pinggang orang, dari situ ia menarik keluar pisau belati yang tajam sekali.
"Inilah pisau yang dikasihkan kepadamu oleh Khu Cie Kee, salah seorang dari Coan Cin Pay, dan imam tua she Khu itu mengukir namamu di sini, benar?" Yo Kang tanya.
Kwee Ceng mengangguk.
"Ma Giok dan Coan Cin Cit Cu telah mengajari kau ilmu silat dan Ong Cie It, salah satu anggota lain dari Coan Cin Pay itu pernah menolongi jiwamu! Bukankah kau tidak dapat menyangkal itu?"
"Perlu apa aku menyangkal?" pikir si anak pemuda yang polos itu. Dan ia mengangguk.
"Pangcu Ang Cit Kong menganggap kamu berdua orang baik-baik dan dia pernah mengajari ilmu silatnya yang istimewa kepada kamu, benar tidak?"
Kwee Ceng mengangguk.
"Ang Cit Kong telah dibokong musuhnya hingga dia terluka parah. Kamu berdua berada di samping orang tua itu, benarkah?"
Untuk sekian kalinya, Kwee Ceng mengangguk.
Semua pengemis menyaksikan dan mendengari pemeriksaan itu, selagi suaranya Yo Kang semakin bengis, Kwee Ceng terus mengangguk saja, dari itu mereka menyangka Kwee Ceng itu mengakui kesalahannya, mereka tidak memikir bahwa semua pertanyaan itu tidak ada hubungannya sama urusan Ang Cit Kong. Yo Kang tengah memainkan peranannya yang teratur. Mendengar itu, Lou Yoe Kiak pun kena terpengaruhi hingga ia menjadi sangat membenci Kwee Ceng dan Oey Yong itu. Ia bertindak mendekati dan menendang Kwee Ceng beberapa kali.
Yo Kang tidak mencegah, ia berkata pula: "Saudara-saudara! Nyata dua bangsat ini berlaku terus terang, maka itu baiklah mereka dibebaskan dari siksaan terlebih jauh. Pheng Tiangloo, Nio Tiangloo, silahkan kamu turun tangan!"
Mendengar begitu, Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi sambil tersenyum sedih, hanya kemudian Oey Yong mendadak tertawa. Sebab ia ingat: "Aku yang mati bersama-sama engko Ceng, bukannya putri Gochin Baki itu!"
Kwee Ceng lantas memandang ke langit, ia ingat ibunya yang berada jauh di gurun pasir. Ia mengawasi ke langit di mana tampak bintang-bintang bersinar. Maka ingatlah ia akan pertempuran hebat di antara Coan Cin Cit Cu dan Bwee Tiauw Hong dan Oey Yok Su. Siapa bakal mati, pikirannya menjadi jernih, demikian Kwee Ceng, ia menjadi ingat jelas barisan Thian Kong Pak Tuaw Tin dari Coan Cin Cit Cu itu.
Sedang begitu, kedua tiangloo sudah siap untuk bekerja, Kwee Ceng pun telah dihampirkan.
"Tunggu dulu!" mendadak terdengar cegahannya Lou Yoe Kiak. Ia lantas mendekati Kwee Ceng, dari mulut siapa ia keluarkan biji yang menyumpal mulut anak muda itu. Ia lantas menanya: "Bagaimana caranya pangcu kami telah orang bikin celaka, kau tuturkanlah biar jelas!"
"Tak usah tanya, aku tahu semua!" berkata Yo Kang yang terkejut untuk perbuatan Tiangloo itu.
"Pangcu," berkata Yoe Kiak, "Lebih jelas kita menanya dia lebih baik. Di dalam hal yang mengenai pangcu kita itu, siapa pun tidak dapat dilepaskan!"
Yo Kang berdiam. Permintaan Yoe Kiak ini pantas, tidak dapat ia melarangnya.
Kwee Ceng telah dibebaskan dari sumbatannya, ia masih tidak mau bicara, ia terus mengawasi langit di utara itu. Ia menjublak, hingga beberapa kali Yoe Kiak mengulangi pertanyaannya, ia seperti tidak mendengarnya. Karena sekarang ia lagi memahamkan keletakan bintang-bintang itu, tujuh bintang Pak-tauw, yang tepat sama barisannya rahasianya Coan Cin Cit Cu. Ia tengah memperoleh kemajuan, maka ia tidak memperdulikan si tiangloo.
Oey Yong dan Yo Kang melihat orang tidak hendak menggunakan kesempatan yang baik itu untuk membela diri, yang satu berduka, yang lainnya bergirang. Tapi Yo kang tidak sudi menyia-nyiakan kesempatannya lagi, maka itu, ia mengibasi tangannya, memberi tanda kepada kedua tiangloo Pheng dan Nio untuk tidak menunda pula dijalankannya hukuman mati itu.
Tepat ketika kedua tiangloo itu hendak mengayunkan senjatanya masing-masing, di situ terdengar satu suara yang diikuti berkelebatnya sinar merah tua melintas di permukaan telaga. Kedua tiangloo itu heran, mereka mengawasi. Lalu terlihat pula dua sinar biru meluncur ke udara, berpisah dari Kun San jauhnya beberapa lie. Terang sinar itu muncul dari tengah telaga.
Kan Tiangloo lantas berkata: "Pangcu, ada tetamu agung!"
Yo Kang terperanjat. "Siapakah?" tanya dia.
"Pangcu dari Tiat Ciang Pang!" sahut Kan Tiangloo.
"Tiat Ciang Pang?" Yo Kang menegasi. Ia tidak tahu halnya partai Tangan Besi itu.
"Itulah sebuah partai besar di sekitar Su-coan dan Ouwlam," Kan Tiangloo menerangkan, "Pangcu mereka telah datang, dia harus disambut dengan hormat. Maka dua jahanam ini, baik sebentar kita menghukumnya."
"Baiklah," sahut Yo Kang. "Silahkan tiangloo menyambut tetamu terhormat itu."
Kan Tiangloo lantas memberikan titahnya. Maka di atas sebuah gunung Kun San terlihat meluncurnya tiga buah panah api, yang warnanya merah.
Tidak lama dari itu terlihatlah datangnya perahu, yang terus mendekati tepian. Pihak Kay Pang memasang obor, mereka menyambut.
Panggung Hian Wan Tay ada di atas puncak Kun San, dari kaki gunung ke puncak, perjalanannya cukup jauh, maka itu meski tetamu lihay ilmunya ringan tubuh, masih diperlukan waktu untuk mendakinya.
Kwee Ceng dan Oey Yong telah dibawa ke dalam rombongan orang banyak, mereka dijagai murid-murid Pheng Tiangloo.
Oey Yong mengawasi Kwee Ceng, ia heran sekali. Pemuda itu, seperti orang tolol, masih berdiam saja, dari mulutnya terdengar suara sangat perlahan, entah apa yang dikatakannya.
Tengah nona ini heran, ia melihatnya tetamu telah tiba. Obor ada sangat terang, maka terlihatlah tegas-tegas tetamu itu, yang diiringi beberapa puluh orang dengan pakaian hitam. Dia mengenakan baju kuning yang pendek, tangannya membawa kipas.
Siapakah dia kalau bukannya Khiu Cian Jin?
Kan Tiangloo maju menyambut, ia bicara dengan ramah tamah, sikapnya sangat menghormati. Setelah itu ia memperkenalkannya kepada Yo Kang. Ia kata: "Inilah Tiat Ciang Sui-siang-piauw Khiu Pangcu, yang kepalan saktinya tak ada tandingan, yang namanya menggetarkan dunia."
Yo Kang tidak memandang mata kepada tetamunya ini. Selama di Kwie-in-chung, Thay Ouw, ia telah menyaksikan orang turun merek. Ia tidak menyangka orang adalah pangcu dari suatu partai besar. Tapi karena orang telah datang berkunjung dan ia tuan rumah, ia berpura-pura pilon.
"Sungguh aku girang dengan pertemuan kita ini!" katanya, tertawa. Dengan mengulur tangannya untuk berjabatan tangan. Ia lantas mengerahkan tenaganya berniat membikin orang kesakitan dan menjerit karenanya. Di dalam hatinya ia kata: "Semua orang percaya kau lihay tetapi di sini hendak aku merobohkanmu! Inilah ketika yang baik sekali! Tua bangka, hendak aku meminjam kau untuk aku memamerkan kepandaianku di antara semua pengemis ini!"
Begitu lekas Yo Kang menggunakan tenaganya, begitu lekas ia merasa telapakan tangannya panas, seperti terkena bara, maka lekas-lekas ia menarik pulang tangannya, akan tetapi tangannya itu seperti kena kecantol, tak dapat dilepaskan, sedang hawa panasnya jadi semakin hebat. Tanpa merasa ia menjerit: "Aduh! Mati aku!" Mukanya lantas menjadi pucat, air matanya mengucur, saking sakitnya, pinggangnya menjadi lengkung, hampir dia pingsan.
Keempat tiangloo kaget, semua berlompat maju. Kan Tiangloo sebagai tertua di antaranya, dengan tongkat baja di tangannya menggetok batu gunung, hingga terdengar suara nyaring dan lelatu apinya muncrat, lalu ia menanya: "Khiu Pangcu, Yo Pangcu kami masih sangat muda sekali, mengapa kau menguji kepandaiannya?"
Pangcu she Khiu ini menyahuti dengan dingin: "Aku berjabat tangan dengan baik-baik dengannya, adalah pangcu kamu yang telah mencoba aku. Yo Pangcu telah berminat meremas hancur beberapa tulangku yang tua!"
Sambil mulut mengatakan demikian, Khiu Pangcu tidak melepaskan tangannya, maka itu Yo Kang terus berteriak teraduh-aduh, suaranya makin perlahan. Rupanya ia tidak dapat bertahan lebih lama pula, lantas dia pingsan.
Baru sekarang Khiu Cian Jin melepaskan tangannya, dengan disemperkan, maka Yo Kang yang sudah tak sadarkan diri, lantas terguling tubuhnya. Syukur Lou Yoe Kiak keburu lompat untuk memegangi.
Kan Tiangloo menjadi gusar.
"Khiu Pangcu apakah artinya ini?" ia menegur.
"Hm!" ketua Tiat Ciang Pang itu mengasih dengar suaranya sedang tangan kirinya menyambar kemuka orang.
Kan Tiangloo mengangkat tongkatnya, untuk menangkis atau - dengan kesebatannya yang luar biasa - Khiu Cian Jin telah dapat menangkap tongkat orang, hanya belum sempat ia merampasnya, Kan Tiangloo sudah menarik keras sekali. Karena itu ia lantas mengayunkan tangan kanannya ke kiri, tepat mengenai tongkat itu. Kali ini Kan Tiangloo merasakan tangannya sakit, bahkan telapakan tangannya itu pecah dan mengucurkan darah, hingga dia tidak dapat memegang lebih lama pula dan senjatanya itu kena juga dirampas. Bahkan dengan tongkatnya itu, tetamu ini lantas berhasil menangkis golok dan pedang Pheng Tiangloo dan Nio Tiangloo, yang telah segera menyerang sebab mereka ini menyaksikan rekan mereka sudah bertempur.
Khiu Pangcu lihay sekali hampir berbareng dengan itu, ia juga menyikut mukanya Lou Yoe Kiak, hingga dia ini mesti mundur juga.
Semua pengemis menjadi kaget, semua lantas menghunus senjata mereka, bersiap untuk menyerbu asal ada titah dari ketua mereka.
Khiu Cian Jin mencekal tongkat dengan tangan kiri dan tangan kanannya, ia tertawa lebar dan panjang, sambil berbuat begitu ia mengerahkan tenaganya, sembari berteriak ia hendak membikin patah tongkat itu, tetapi ia tidak berhasil, karena tongkat itu terbuat dari baja pilihan, maka itu sesudah terus ia mengerahkan tenaganya, ia cuma bisa menekuk melengkung bundar beberapa lipat. Baru sekarang ia mengendorkan tenaganya, ia melemparkan tongkat dengan tangan kirinya, hingga tongkat terlempar mengenai batu gunung, keras suaranya, batu gunung itu pada meletik lelatunya, ujungnya tongkat nancap.
Menyaksikan semua itu, kaum Kay Pang jadi kaget dan kagum.
Yang lebih kaget dan heran adalah Oey Yong. Nona ini kata dalam hatinya: "Tua bangka ini terang satu penipu besar yang tidak mempunyai guna, sekarang kenapa dia menjadi begini lihay? Sungguh aneh!"
Rembulan sedang bersinar terang sekali. Oey Yong memandang tajam kepada orang tua itu. Tidak salah, dialah Khiu Cian Jin si penipu yang dua kali ia ketemukan di Kwie-in-chung dan Gu-kee-cun. Maka ia jadi mau berpikir, apakah juga penipuan belaka ilmu kepandaiannya orang ini?
Kemudian si nona menoleh pula kepada Kwee Ceng, ia mendapat kenyataan pemuda itu masih saja mengawasi bintang-bintang di langit, hingga ia menjadi bingung. Ia tidak tahu, apa yang sebenarnya lagi dikerjakan kawannya itu.
Khiu Cian Jin dengan suaranya yang dingin, terdengar berkata: "Tiat Ciang Pang serta partai tuan-tuan tidak ada hubungannya satu dengan lain, karena aku mendengar hari ini ada harian Rapat Besar kamu, aku sengaja datang berkunjung, karena itu kenapakah pangcu kamu dengan tidak karu-karuan hendak merobohkan aku?"
Kan Tiangloo telah menjadi jeri, sekarang mendengar suara orang bukannya suara bermusuh, maka ia lantas memberikan penyahutannya. Ia kata: "Khiu Pangcu salah paham! Pangcu kesohor di empat penjuru negeri, kami biasa sangat menghargainya, maka dengan kunjungan pangcu ini, bagi kami itulah suatu kehormatan besar."
Khiu Cian Jin mengangkat kepalanya, ia tidak menyahuti, sikapnya jumawa. Hanya sejenak kemudian, baru ia membuka pula mulutnya. Ia kata: "Aku mendengar kabar Ang Pangcu telah berpulang ke dunia baka, maka dengan begitu di kolong langit ini berkurang pula satu orang gagah, sungguh sayang! Sekarang partai kamu mengangkat satu pangcu yang baru seperti ini, ini pun sayang, sayang!"
Ketika itu Yo Kang sudah mendusin, ia mendengar suara yang sangat menghina itu, akan tetapi ia tidak berani membuka mulutnya. Ia masih merasakan tangannya sakit, tangan itu bengkak berikut lima jejarinya.
Keempat tiangloo juga tidak tahu meski mengucap apa, maka terdengarlah Khiu Cian Jin berkata pula: "Aku yang rendah hari ini datang berkunjung, ada dua maksudku untuk mana aku ingin memohon sesuatu. Untuk itu aku pun hendak menghadiahkan apa-apa."
"Tolong Khiu Pangcu memberi petunjuk," kata Kan Tiangloo yang belum tahu orang menghendaki apa.
Khiu Cian Jin tidak langsung menjawab, ia hanya menyapu dengan matanya kepada semua hadirin di seputarnya itu. Ketika ia telah melihat Kwee Ceng dan Oey Yong, lantas sinar matanya menjadi tajam sekali.
Oey Yong tidak takut, ia membalas mengawasi dengan tajam juga. Bahkan ia mengasih lihat senyuman memandang enteng. Ia telah pikir: "Buat kau beraksi bagaimana juga, aku tentu menganggapmu satu penipu besar!"
Khiu Cian Jin berpaling kepada Kan Tiangloo.
"Nona kecil itu serta kawannya si bocah telah mencelakai beberapa muridku," katanya. "Maka itu dengan membesarkan nyali aku hendak minta mereka untuk aku menghukumnya."
Kan Tiangloo tidak berani mengambil keputusan.
"Yo Pangcu, bagaimana?" ia menanya ketuanya itu.
"Dua orang ini sebenarnya ada musuh-musuh besar partai kami," berkata Yo Kang, "Maka aku tidak menyangka, mereka juga telah berdosa terhadap Khiu Pangcu. Kalau begitu mari kita menghukumnya bersama-sama!"
Khiu Cian Jin mengangguk.
"Itu boleh!" katanya. "Sekarang permintaan yang keduanya. Kemarin ini ada beberapa muridku yang lagi bekerja atas titahku, entah kenapa mereka itu menyebabkan kemurkaannya dua anggota dari partai kamu, mata mereka telah dibikin buta!" Dia lantas menuding Kwee Ceng berdua dan menambahkan: "Kabarnya kedua bangsat itu telah membantui menurunkan tangan. Orang-orangku itu tidak punya guna, aku tidak bisa membilang suatu apa, hanya kalau kejadian ini sampai tersebar, tentulah kami Tiat Ciang Pang menjadi hilang mukanya, maka itu, aku si orang tua menjadi tidak kenal gelagat, aku ingin sekali belajar kenal dengan kepandaiannya kedua sahabat itu!"
Yo Kang tidak mencintai orang-orang Kay Pang, tidak ada niatnya untuk melindungi mereka, maka itu mana ia mau berbuat salah lagi hanya untuk dua orang? Maka ia lantas menanya: "Siapakah sudah lancang menerbitkan onar, yang telah bentrok dengan sahabat-sahabat dari Tiat Pangcu? Lekas kamu keluar untuk memohon maaf dari Khiu Pangcu ini!"
Kay Pang itu semenjak dipimpin Ang Cit Kong belum pernah hilang muka, maka itu bukan main mendongkolnya semua anggotanya mendengar ini pangcu baru bersikap demikian lemah. Lee Seng dan Ie Tiauw Hin lantas maju ke depan. Lee Seng kata dengan nyaring: "Harap dimaklumi pangcu. Peraturan partai kami yang nomor empat berbunyi menganjurkan kami berlaku mulia, kami mesti bisa menolong sesamanya yang berkesusahan. Kemarin ini kebetulan saja kami menyaksikan sahabat-sahabat dari Tiat Ciang Pang membikin celaka rakyat jelata dengan mereka mengumbar ular mereka, sebab kami tidak dapat menahan sabar lagi, kami lantas mencegah perbuatan mereka itu. Kebetulan di situ ada ini dua sahabat kecil, jikalau tidak ada mereka yang membantu, pastilah kami berdua pun terbinasa oleh ular-ular berbisa itu!"
"Tidak peduli bagaimana, kamu mesti menghanturkan maaf kepada Khiu Pangcu!" berkata Yo Kang bengis.
Lee Seng dan Ie Tiauw Hin saling mengawasi. Mereka menghadapi kesukaran, hati mereka panas sekali. Kalau mereka tidak menghanturkan maaf, mereka menentang titah pangcu; kalau mereka menurut, mereka sangat penasaran. Tapi tak lama Lee Seng bersangsi, ia lantas berseru kepada semua anggota partainya: "Saudara-saudara, jikalau Ang Pangcu masih hidup, tidak nanti kami dibiarkan hilang muka, maka itu sekarang, Siauwtee sekarang lebih suka terbinasa, tidak nanti Siauwtee menerima penghinaan!"
Sembari berkata begitu, Lee Seng mencabut pisau belati dari betisnya, dengan itu ia lantas menikam dadanya, ulu hatinya, maka di situ juga ia roboh dengan jiwanya melayang.
Menampak demikian, Ie Tiauw Hin menubruk saudaranya itu, untuk merampas pisau belatinya, dengan apa ia pun menikam dirinya, maka ia juga roboh dengan jiwanya melayang.
Semua pengemis terbangun semangatnya. Kejadian ini sangat hebat untuk mereka. Tapi mereka masih berdiam, tanpa ada titah pangcu, mereka tidak berani lancang.
Setelah menyaksikan semua itu, Khiu Cian Jin tertawa tawar.
"Permintaanku yang kedua ini sudah beres," katanya. "Maka sekarang kami hendak menghanturkan bingkisan kepada partai tuan-tuan!" Habis berkata, ia memberi tanda dengan tangan kirinya. Maka beberapa puluh orang bertubuh besar yang mengenakan pakaian hitam lantas maju bersama kopor mereka yang besar, yang lantas dibuka tutupnya, dari situ mereka mengambil masing-masing sebuah tetampan untuk diletaki di samping Yo Kang. Itulah uang emas dan perak dan permata yang sinarnya berkeredepan!
Semua pengemis heran melihat orang mengeluarkan harta sebesar itu.
"Tiat Ciang Pang kami," berkata Khiu Cian Jin, "Meski kami masih dapat makan, tidak nanti kami sanggup mengeluarkan bingkisan begini berharga, maka itu baiklah tuan-tuan ketahui, ini adalah hadiah dari Chao Wang dari negera Kim, yang meminta kami tolong menyampaikannya."
Mendengar keterangan ini, Yo Kang heran dan girang.
"Di mana adanya Chao Wang?" ia menanya lekas. "Aku ingin bertemu dengannya!"
"Inilah kejadian pada beberapa bulan yang lalu," menyahut Khiu Cian Jin, menyahuti apa yang tidak ditanya. Karena ia memberikan keterangannya. "Itu waktu Chao Wang telah mengirimkan utusannya kepadaku membawa bingkisannya ini dan dia minta partaiku yang tolong menyampaikannya."
Mendengar itu, Yo Kang tahu bahwa hal itu terjadi sebelum ayahnya - ilaga Chao Wang - berangkat ke Selatan. Hanya ia belum tahu maksudnya mengapa Kay Pang dikirimkan harta sebesar ini.
Khiu Cian Jin masih meneruskan keterangannya: "Chao Wang mengagumi partai tuan-tuan, maka itu ia memerintahkan istimewa untuk aku sendiri yang menyampaikan bingkisan ini."
"Jikalau begitu kami membuat capai saja kepada pangcu!" berkata Yo Kang girang.
Khiu Cian Jin tertawa.
"Yo Pangcu muda tetapi nyata kau luas pandangannya, kamu menang jauh daripada Ang Pangcu!" ia memuji.
Yo Kang masih belum tahu maksud ayahnya berhubungan sama Kay Pang, maka ia menanya pula: "Entah ada titah apakah dari Chao Wang untuk perkumpulan kami? Tolong pangcu menitahkannya saja!"
"Menitahkan, itulah tak dapat disebutkan," berkata Khiu Cian Jin. "Hanya Chao Wang memesan untuk memberitahukan bahwa wilayah utara ini tanahnya miskin dan rakyatnya melarat, jadi sukar untuk....."
Yo Kang cerdas, segera ia dapat menduga.
"Jadinya Chao Wang menghendaki kami pergi ke Selatan?" katanya.
"Sungguh Yo Pangcu cerdas sekali!" berkata Khiu Cian Jin, memuji. "Maaf untuk sikapku tadi. Chao Wang membilang bahwa propinsi-propinsi Kwietang dan Kwiesay serta Hokkien, tanahnya subur, rakyatnya makmur, maka itu ia bertanya kenapa saudara-saudara dari Kay Pang tidak mau pergi ke Selatan untuk menaruh kaki di sana? Wilayah Selatan jauh lebih menang daripada wilayah Utara ini."
"Terima kasih untuk petunjuk Chao Wang serta pangcu sendiri," berkata Yo Kang tertawa. "Percayalah, aku yang rendah pasti bakal menurutinya."
Khiu Cian Jin heran orang dengan gampang saja menerima hadiah itu, tetapi karena ia khawatir Kay Pang nanti menyesal, ia lantas berkata: "Kata-katanya seorang laki-laki cukup dengan sepatah kata! Dengan semua saudara dari Kay Pang berangkat ke Selatan, bukankah itu berarti bahwa kamu tidak bakal kembali ke Utara ini?"
Yo Kang hendak memberikan jawabannya ketika Lou Yoe Kiak memotong: "Harap pangcu mengetahuinya! Kami semua hidup dari mengemis, maka itu, apa perlunya kami dengan uang emas dan barang permata? Laginya partai kita berada di seluruh negeri, kami merdeka, maka kapannya kami pernah dipengaruhi lain orang? Oleh karena itu aku memohon pangcu memikirkan dengan seksama!"
Sekarang ini Yo Kang telah dapat menerka maksudnya Wanyen Lieh. Di Kangpak ini, yaitu utara Sungai Besar, Kay Pang menjadi musuh bangsa Kim, sering terjadi, kalau pihak Kim jauh ke utara, Kay Pang suka mengganggu mengacau bagian belakang, baik dengan membunuh punggawa perangnya maupun dengan membakar rangsum, maka kalau Kay Pang dipindah ke Selatan, jadi gampanglah usaha bangsa Kim itu. Maka itu atas cegahannya Lou Yoe Kiak, ia berkata: "Ini adalah maksud baik dari Khiu Pangcu, jikalau kita tidak menerima, itu tandanya kita berlaku tidak hormat. Uang emas dan perak dan permata ini, aku sendiri tidak membutuhkannya, maka itu Suwie Tiangloo, sebentar sebubarnya rapat, silahkan kamu membagi-bagikannya kepada semua saudara!"
Tapi Yoe Kiak tidak memperdulikan perkataannya ini pangcu baru. Ia berkata pula: "Ang Pangcu kami yang tua dikenal sebagai Pak Kay, maka itu usaha kita di Utara ini mana dapat gampang-gampang ditinggalkan secara begini? Laginya partai kita bercita-cita bersetia dan membela negara sedang dengan bangsa Kim, kita adalah musuh turunan, dari itu tidak dapat bingkisannya ini diterima! maka itu tidak dapat kita pindah ke Kanglam!"
Yo Kang menjadi tidak senang, air mukanya menunjuki itu. Tapi belum lagi ia membuka mulutnya, Pheng Tiangloo sambil tertawa mendahului padanya. Kata ini Tiangloo; "Lou Tiangloo, urusan besar dari partai kita diputuskan oleh pangcu, bukan diputuskan kau seorang diri, bukankah?"
Yoe Kiak tetapi tetap sama sikapnya. Ia kata keras: "Jikalau mesti melupakan kesetiaan dan kejujuran, biarnya mati, aku tidak suka menurut!"
"Ketiga tiangloo Kan, Pheng dan Nio, bagaimana pikiran kalian?" Yo Kang tanya ketiga tetua itu.
"Kami bersedia untuk titah pangcu!" menyahut ketiga tiangloo itu serentak.
"Bagus!" berseru Yo Kang. "Mulai tanggal satu bulan delapan, kita pergi menyeberangi Sungai Besar!"
Atas perkataan itu, sebagian besar orang Kay Pang menjadi gaduh.
Di dalam Kay Pang ini, perbedaan di antara golongan Pakaian Bersih dan Pakaian Kotor nyata sekali. Golongan Pakaian Bersih, meski pakaian mereka banyak tambalannya, tetapi pakaian itu bersih seperti pakaian orang kebanyakan dan cara hidupnya sama dengan khalayak ramai, tidak demikian dengan golongan Pakaian Kotor yang teguh sama cita-citanya, sudah pakaiannya butut dan dekil, mereka tidak menggunakan uang untuk membeli barang, bahkan mereka tidak duduk bersantap bersama-sama dengan lain orang, mereka tidak nanti bertempur bersama orang yang tidak mengerti ilmu silat. Benar di antara empat Tiangloo, tiga ada dari golongan Pakaian Bersih, walaupun demikian, jumlah pengemis Pakaian Kotor terlebih banyak. Mereka inilah yang sekarang memberi suara setuju kepada Lou Yoe Kiak.
Melihat sikapnya sebagaian pengemis itu, Yo Kang menjadi bingung juga. Ketiga tiangloo she Kan, Pheng dan Nio lantas mengasih dengar suara nyaring mereka, untuk meminta orang jangan gaduh, suaranya itu tidak diambil mumat. Kan Tiangloo menjadi habis sabar, maka ia memandang Lou Yoe Kiak.
"Lou Tiangloo, adakah kau hendak memberontak kepada pangcu?" dia tanya bengis.
"Biarnya aku dihukum picis, tidak nanti aku berani melawan yang tua!" menyahut Yoe Kiak keren. "Apapula untuk memberontak terhadap pangcu, pasti aku lebih-lebih tak berani. Akan tetapi anjing Kim itu adalah musuh besar dari Kerajaan Song kita! Apakah katanya Ang Pangcu kepada kita?"
Kan Tiangloo bertiga kena terdesak, mereka lantas tunduk. Mereka mulai menyesal.
Khiu Cian Jin melihat suasana itu, maka ia pikir usahanya bakal gagal kalau Lou Yoe Kiak tidak dipengaruhi, maka itu dengan tertawa dingin, ia berkata kepada Yo Kang: "Yo Pangcu, hebat Lou Tiangloo ini!" Lalu menyusuli penutup perkataannya itu, dengan kedua tangannya diulur ke arah pundak si tiangloo.
Ketika mendengar orang tertawa dingin, Lou Yoe Kiak sudah bercuriga, ia telah siap sedia, maka itu, ketika ia diserang, dengan cepat ia berkelit sambil menunduk untuk nelusup masuk ke selangkangan orang. Sebab ia mengerti dengan baik, tidak bisa ia melawan dengan kekerasan. Sembari nelusup itu, tanpa menanti lempangnya pinggangnya, kakinya sudah menendang ke kempolan pangcu dari Tiat Ciang Pang. Dia bernama Lou Yoe Kiak, Lou si Mempunyai Kaki, dari itu bisa dimengerti ilmu dupakan itu.
Khiu Cian Jin heran untuk caranya orang berkelit itu, Guna melindungi diri, ia lantas mengayun tangannya ke belakang, guna menghajar kakinya si pengemis.
Yoe Kiak tahu tangan lawan itu hebat, ia menarik pulang dupakannya ketiga. Ia khawatir kakinya nanti terluka. Sambil lompat ke samping, ia meludah kepada lawannya itu!
Khiu Cian Jin boleh gagah dan luas pengalamannya, akan tetapi serangan semacam itu ia tidak menyangka sama sekali, maka itu, belum sempat ia berkelit, mukanya sudah kena diludahi. Ludah itu tidak mendatangkan rasa sakit atau gatal, toh itu membuatnya tercengang.
"Lou Tiangloo, jangan kurang ajar kepada tetamu agung!" Yo Kang membentak.
Yoe Kiak masih taat kepada ketuanya, tetapi justru ia hendak merubah sikapnya, Khiu Cian Jin yang gusar sudah lantas menyerang padanya, kedua tangannya yang kuat seperti kepit sudah menyambar ke arah tenggorokan. Ia kaget, maka ia berlompat jumpalitan untuk menghindarkan diri dari bahaya. Tapi ia terlambat, selagi kupingnya mendengar ejekan, "Hm!" kedua tangannya kena disambar lawan itu. Dalam kagetnya ia berontak, tetapi sia-sia saja. Ia sudah banyak pengalamannya, ia tidak menjadi bingung atau ketakutan, maka ia berdaya pula. Dengan tiba-tiba ia menyeruduk dengan kepalanya!
Semenjak masih kecil, Yoe Kiak sudah melatih kepalanya itu, maka itu, serudukannya dapat menggempur tembok hingga bolong. Pernah ia bertaruh sama saudara-saudara separtai dengan ia melawan banteng, mengadu kepala, kepalanya sendiri tidak kurang suatu apa, si kerbau sendiri roboh kelenger. Hanya kali ini, ketika kepalanya mengenai perut, ia merasa membentur benda lunak seperti kapas. Ia kaget, ia mengerti bahaya, dengan lekas ia menarik pulang kepalanya itu. Untuk kagetnya lagi, perut orang itu mengikuti kepalanya itu. Ia lantas mengerahkan tenaganya, untuk membebaskan kepalanya itu. Sebagai kesudahan dari pergulatannya itu, ia merasa kepalanya mulai panas sedang kedua tangannya yang terus dicekal menjadi panas sekali, seperti tangan itu dimasuki ke dalam perapian marong....
"Kau takluk atau tidak?!" tanya Khiu Cian Jin membentak.
"Bangsat busuk, takluk apa!" menjawab Yoe Kiak membentak juga.
Khiu Cian Jin mengerahkan tangan kirinya, maka lima jari Lou Tiangloo mengasih dengar suara meretak, kelima jarinya kena dipencet patah.
"Kau takluk atau tidak?!" tanya pula ketua Tiat Ciang Pang itu.
"Bangsat busuk, takluk apa!" Yoe Kiak membandel.
Khiu Cian Jin memencet pula, maka sekarang kelima jari kiri dari Lou Yoe Kiak yang pada patah. Ia merasakan sakit bukan main, ia sampai menjadi was-was, tetapi ia bernyali besar dan besar kepala, ia terus masih mencaci.
"Jikalau aku menggeraki perutku, kepalamu pun bakal remuk!" Khiu Cian in mengancam. "Aku mau lihat, kau masih dapat mencaci atau tidak....."
Disaat Lou Yoe Kiak menghadapi waktu kematiannya itu, dari antara rombongan pengemis mendadak terlihat seorang berlompat maju - seorang yang tubuhnya tinggi dan dadanya lebar. Dialah si bocah Kwee Ceng!
Dengan tindakan lebar, Kwee Ceng ini segera menghampirkan Lou Yoe Kiak, terus ia mengangkat tangannya yang kanan, dengan itu tiga kali beruntun ia menghajar kempolan si pengemis. Dia menghajar Yoe Kiak akan tetapi tenaganya itu tersalur, dari kempolan terus ke kepala, terus juga ke perutnya ketua Tiat Ciang pang itu, hingga tiga kali Khiu Cian Jin merasakan benturan yang kuat, hingga sekejap itu juga, buyarlah kekuatannya menempel dan menyedot.
Begitu lekas ia merasakan kepalanya merdeka, Yoe Kiak lantas mengangkat bangun tubuhnya, hanya kedua tangannya, yang masih belum dilepaskan.
"Kau bukannya lawan dari Khiu Cianpwee, kau minggir!" berkata Kwee Ceng, yang sembari berkata telah menggenjot tubuhnya untuk berlompat, maka juga sebelah kakinya bisa mendupak pundak si pengemis.
Tendangan ini sama pengaruhnya seperti hajaran pada kempolan tadi. Tenaga si anak muda tersalurkan ke kedua tangannya Khiu Cian Jin, tidak peduli tadi tangannya panas, ia ini merasakan sakit pada telapakan tangannya itu, maka tanpa merasa, cekalannya menjadi kendor dan terlepas sendirinya.
Loe You Kiak pun merasakan ia tak terpegang keras lagi, ia lantas menggunakan tenaganya membarengi berontak sambil berlompat mundur. Tapi karena ia telah tercekal keras dan kepalanya masih terasakan pusing, kedua kakinya seperti tidak bertenaga, ia roboh sendirinya.
Khiu Cian Jin terperanjat menyaksikan kepandaian Kwee Ceng itu. Ia mengetahui ilmu yang disebutkan "Kek san ta gu", atau "Memukul kerbau diantara gunung". Ilmu itu ia cuma mendapat dengar, sekarang ia membuktikannya sendiri. Ia pun heran akan melihat seorang bocah, yang ia tidak kenal. Karena ini ia menyiapkan tenaga di kedua tangannya, ia mengawasi pemuda itu. ia tidak berani sembarang menyerang meski sebenarnya ia mendongkol.
Sementara itu kegaduhan terbit di antara kaum pengemis. Mereka itu tidak tahu apa yang terjadi dengan Lou Yoe Kiak, mereka menyangka Kwee Ceng menyerang orang hingga roboh, pingsan atau terbinasa, maka itu dengan suara riuh mereka maju dengan niatan menyerang si anak muda. Mereka juga heran yang anak muda itu yang teringkus sekian lama, mendadak dapat membebaskan diri.
Semenjak ia melihat bintang Pak Tauw, Kwee Ceng telah mengumpul semangatnya. Ia memperhatikan gerak-geriknya rahasia dari Coan Cin Cit Cu, ia gabung dengan sarinya Kiu Im Cin-keng, yang ia telah paham betul, maka itu, ia tidak memperdulikan segala apa yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak mengambil mumat Oey Yong, ia tidak menggubris segala pembicaraan terutama diantara Loe Yoe Kiak dan Khiu Cian Jin. Hebat ia memusatkan pikirannya itu. Selagi Yoe Kiak terancam bahaya, ia sendiri lagi memecahkan suatu ilmu dari Kitab Bawah dari Kiu Im Cin-keng itu, bagian ilmu "Menyimpan otot dan meringkaskan tulang". Siapa yang paham ini, ia bisa membikin tubuhnya ciut menjadi kecil. Di dalam hal ini, ia memperoleh banyak sekali bantuan dari ilmu yang diwariskan Ang Cit Kong kepadanya, ialah "Ie Kin Toan Kut Pian", atau ilmu "Menukar otot dan melatih tulang". Dengan mempunyai dasar itu, ia berhasil dengan lekas sekali. Demikian tanpa ia merasa, ia dapat pulang tenaganya dan tubuhnya mengkerat kecil hingga ia lolos dari belungguannya. Sebab Yoe Kiak terancam bahaya, ia segera menghampirkan tiangloo itu, untuk memberikan pertolongannya.
Pheng Tiangloo yang ditugaskan menjaga Kwee Ceng pun heran dan kaget ketika mendadak ia mendapatkan bocah itu bebas. Ia menjambret, ia gagal, ia cuma bisa menyambar tambang ringkasannya itu. Ia sadar dengan lekas, hendak ia menyusul si anak muda, tapi ia terlambat, Kwee Ceng sudah mendahului melemahkan tenaga dalam dari Khiu Cian Jin hingga Lou Yoe Kiak dapat ditolong. Tapi ia licik. Begitu melihat suasana, ia berteriak: "Tangkap penjahat licik itu!" Ia sendiri tidak bergerak dari tempatnya berdiri, karena ia merasa, majunya toh bakal sia-sia belaka.
Kwee Ceng menyesal menyaksikan aksinya kaum pengemis itu, tetapi karena ia justru ingin mencoba lebih jauh hasil latihannya barusan, ia kata dalam hatinya: "Kalau hari ini aku tidak memberi ajaran adat kepada kamu, kemendongkolanku tidak dapat dilampiaskan...." Maka ia mementang kedua tangannya sambil kakinya memasang kuda-kuda "Thian Koan".
Bab 58. Nona manis menjadi raja pengemis
Tujuh pengemis maju paling dulu, dari depan dan belakang, dari kedua samping. Kwee Ceng membiarkan mereka maju, dengan kuda-kuda tidak begeming, ia menyambut mereka dengan kedua tangannya. Di belakang mereka itu, ada lagi beberapa lagi pengemis yang merapatkan diri. Mereka pun disambut serupa, dengan tangkisan atau sikut, kalau perlu barulah dengan dupakan. Maka saling susul mereka itu berteriak kesakitan, saling susul juga mereka roboh terguling. Dengan cara ini Kwee Ceng pun mengundurkan yang lainnya lagi. Kemudian ia memikir untuk menerkam Yo Kang, atau ia melihat dua pengemis berlompat ke arah Oey Yong. Jarak diantara mereka cukup jauh, sulit untuk berlompat menolongi nona itu. Tidak ada jalan lain, ia lantas menarik copot kedua sepatunya, dengan itu ia menimpuk ke arah kedua penyerang itu.
Dua pengemis itu adalah orang-orang yang kukuh, mereka hendak membunuh si nona, ke satu untuk membikin si nona tidak keburu lolos, kedua untuk membalaskan sakit hati ketua mereka. Nyata ilmu silat mereka sudah cukup sempurna, mereka mendengar ada angin menyambar di belakang mereka, hanya ketika yang satu segera menoleh untuk melihat dan menangkis, tahu-tahu sepatu sudah menghajar dadanya sedang yang lain kena terhajar punggungnya. Sebenarnya sepatu itu barang lembek tetapi ditimpuki Kwee Ceng, tenaganya besar luar biasa. Sambil menjerit, mereka itu roboh terjengkang dan tengkurap, dan untuk sementara mereka tak dapat merayap bangun.
Pheng Tiangloo berada dekat dua pengemis itu, ia kaget menyaksikan lihaynya Kwee Ceng itu.
Kwee Ceng sendiri, habis menimpuk, lantas mementang sayapnya, menghalang beberapa pengemis yang merangsak pula, terus ia berlompat menghampirkan Oey Yong, untuk membuka belenggu si nona.
Selama itu, kawanan pengemis menyerbu pula. Mereka tidak menjadi takut melihat sejumlah kawannya kena dirobohkan dengan gampang.
Sekarang Kwee Ceng tidak melayani seperti tadi. Dengan lantas menjatuhkan diri, untuk duduk mendeprok di tanah, lalu sambil berduduk, ia meniru gerak-geriknya Khu Cie Kee dan Ong Cie It beramai ketika Coan Cin Cit Cu menggeraki tangan kanannya, sebab tangan kirinya dipakai membuka ikatannya Oey Yong, sedang tubuh si nona ia pangku di atas kedua pahanya. Ia dapat berbuat demikian karena sekarang ia menggunakan tipu ajarannya Ciu Pek Thong. Ialah ilmu memecah pemusatan perhatian, kedua tangan bisa dipakai berkelahi satu sama lain.
Rombongan pengepung pengemis itu jadi semakin banyak. Tetapi Kwee Ceng membela diri dengan tangan kanannya, tetap tangan kirinya membuka belengguan si nona. Ketika kemudian ia berhasil membuka semua ikatan, ia lantas mengeluarkan biji sumbatan dari mulut nona itu, sambil berbuat demikian, ia tanya: "Yong-jie, apakah kau terluka?"
"Tidak, cuma aku merasa sekujur tubuhku kesemutan," menyahut si nona, yang terus merebahkan diri.
"Bagus!" berkata si anak muda. "Kau boleh beristirahat, kau lihat bagaimana aku melampiaskan kemendongkolan kita!"
Oey Yong menurut, ia beristirahat. Kuat sekali kepercayaannya kepada Kwee Ceng. Ia cuma memesan sambil tertawa: "Kau hajarlah mereka, asal mereka jangan sampai terluka parah!"
"Aku mengerti," menyahut si anak muda. "Kau lihat!"
Dengan tangan kirinya, Kwee Ceng mengusap-usap rambut yang bagus dari si nona, dengan tangan kanannya ia mengibas. Kontan tiga orang pengemis kena dibikin terlempar, habis mana menyusul empat pengemis lainnya, semuanya ialah yang merangsak rapat.
Pertempuran kacau itu menyebabkan terdengar satu suara nyaring: "Saudara-saudara, lekas mundur! Biarlah saudara dari generasi delapan yang melayani dua bangsat cilik ini!"
Suara itu ialah suaranya Kan Tiangloo. Suara itu ditaati, maka lekas juga semua pengemis itu mengundurkan diri, hingga tinggal delapan pengemis, yang masing-masing punggungnya menggendol delapan buah kantung goni. Karena ada dari generasi ke delapan, kedudukan mereka ini cuma ada di sebawahan keempat tiangloo. Di antara mereka itu ada si kurus dan si gemuk yang menyambut Yo Kang. Sebenarnya jumlah mereka semua sembilan orang akan tetapi dengan Lee Seng membunuh diri, mereka tinggal delapan.
Kwee Ceng tahu ia bakal melayani delapan musuh tangguh, sebenarnya ia hendak bangun berdiri tetapi Oey Yong berbisik kepadanya: "Kau duduk saja! Layani mereka dengan sabar!"
Kwee Ceng suka menurut, akan tetapi ia segera berpikir: "Baiklah aku lantas merobohkan beberapa di antaranya supaya hati mereka kecil!" Maka sambil mata mengawasi delapan pengemis itu, tangannya memegang tambang yang dipakai mengikat si nona, Ia memperhatikan si gemuk dan si kurus itu, segera ia menyerang mereka dengan tambangnya itu. Ia menggunakan satu jurus dari Kim Liong Pian-hoat, atau ilmu silat cambuk Naga Emas, pengajarannya Ma Ong Sin Han Po Kie. Tambang itu lemas tetapi di tangannya pemuda ini lantas menjadi kaku.
Melihat datangnya serangan, kedua pengemis itu berlompat untuk berkelit, setelah itu mereka maju merapatkan diri. Enam saudara mereka tapinya terpegat oleh ujung tambang, hingga mereka tak dapat lantas maju karena tertahan.
"Jangan menyerang!" Kan Tiangloo mencegah, tetapi sia-sia saja cegahannya ini, si kurus dan si gemuk yang penasaran, sudah maju terus. Mereka ingin sekali bisa merobohkan si bocah. Maka mereka disambut Kwee Ceng. Sia-sia mereka menangkis, pundak mereka kena dihajar bergantian. Saking kerasnya hajaran itu, tubuh mereka terpental mundur, hanya ada perbedaannya, ialah si gemuk terpendal lebih dekat, si kurus terlebih jauh. Bagusnya untuk mereka, tubuh mereka kena membentur orang-orangnya Khiu Cian Jin.
Mulanya ketua dari Tiat Ciang Pang tidak memperdulikan orang terpental, hanya setelah terjadi benturan, baru ia kaget, lagi-lagi Kwee Ceng menggunakan tipu silatnya "Kek san ta gu" itu. Ia kaget karena ia menginsyafi hebatnya hajaran semacam itu.
Untuk menolongi orangnya, Khiu Cian in lantas berlompat, tetapi ia terlambat, kedua pengemis itu sudah berlompat bangun tanpa mereka terluka. Adalah dua orang Tiat Ciang Pang, yang dibentur mereka yang menjadi korban, malah mereka ini pada putus ototnya dan patah tulangnya, hingga mereka mesti rebah terus di tanah. Ketika si ketua kaget, ia terkejut pula karena kupingnya mendengar angin menyambar. Segera ia menoleh, maka segera ia melihat terlemparnya tubuh dua pengemis lain! Itulah hebat! Lagi-lagi orangnya yang bakal menjadi korban. Tidak ayal lagi, ia lompat maju. Pengemis yang satu ia sampok, membikin ia terlempar ke tempat kosong, dan pengemis yang kedua, ia hajar punggungnya. Syukur untuk pengemis yang kedua ini, tenaga Khiu Cian Jin berimbang sama tenaga Kwee Ceng, dia tidak terluka, dia jatuh dengan perlahan, lantas ia lari pula ke arah si anak muda.
Empat tiangloo dan Oey Yong heran. Keempat pengemis ini tidak mengerti kenapa bocah itu demikian lihay dapat bertahan terhadap ketua Tiat Ciang Pang yang sangat lihay itu. Oey Yong heran, ia berpikir: "Penipu besar ini biasa saja kepandaiannya, mengapa ia dapat menandingi engko Ceng? Inilah aneh!"
Sampai di situ, Khiu Cian Jin mengipas tangannya, memberi tanda untuk orang-orangnya jangan bergerak. Ia menginsyafinya, kekuatannya berimbang sama kekuatan si anak muda, jadi percuma orang-orangnya menerjang. Ia tahu mereka itu bergusar karena robohnya dua saudaranya. Ia berdiri diam saja menonton.
Empat pengemis generasi ke delapan itu heran untuk ketangguhan si anak muda, tetapi mereka melawan terus. Mereka dibantu oleh saudaranya, yang tadi dihajar punggungnya oleh Khiun Cian Jin. Berlima mereka mengepung, tapi hasilnya tak ada. Coba Kwee Ceng tidak berlaku murah, siang-siang tentulah mereka sudah mendapat hajaran. Kemudian Kwee Ceng merobohkan lagi dua orang lawan. Baru sekarang tiga yang lainnya jeri dan mau mundur, tetapi mereka terlambat. Dengan menggunakan tambangnya, Kwee Ceng menyambar dan melilit kakinya dua pengemis, terus ia menariknya orang ke sisinya, terus ia meringkus mereka.
Oey Yong gembira sekali menyaksikan kemenangan dari engko Cengnya itu. Ia lantas ingat kepada Pheng Tiangloo, si pengemis yang wajahnya berseri-seri, yang menangkap dia berdua dengan Kwee Ceng dengan caranya yang aneh itu. Ia sekarang ingat akan halnya ayahnya pernah bicara tentang Liam-sim-hoat, semacam ilmu sihir dengan apa orang dapat dengan tiba-tiba dibikin tidur dan dipermainkan tanpa berdaya. Maka ia lantas tanya Kwee Ceng apa di dalam Kiu Im Cin-keng ada disebut tentang itu macam ilmu gaib. Ia percaya betul Pheng Tiangloo telah menggunakan ilmu itu.
"Tidak," Kwee Ceng menyahut.
Mendapat jawaban ini, si nona menyesal. Tapi segera ia memberi peringatan: "Hati-hati dengan pengemis jahat yang gemar berseri-seri itu, jangan mengadu sinar mata dengannya!"
Kwee Ceng mengangguk. "Aku justru hendak memberi hajaran kepadanya," katanya perlahan. Karena sekarang pertempuran sudah berhenti, ia memegang punggung si nona, untuk dikasih bangun, ia sendiri berbareng berbangkit. Lalu dengan mengawasi Yo Kang, ia bertindak kepada si anak muda.
Yo Kang sendiri telah berdebaran hatinya semenjak tadi. Ia jeri untuk lihaynya si anak muda, maka ia mengharap-harapkan kemenangan pihaknya sendiri, ialah pihak pengemis. Maka kesudahannya itu membuatnya takut, lebih-lebih ia melihat anak muda itu mendatangi ke arahnya dengan matanya tajam.
"Su-wie Tiangloo!" ia lantas berteriak. "Kita di sini ada mempunyai banyak orang gagah, apakah dapat bangsat kecil ini dibiarkan banyak bertingkah?!" Ia berteriak tetapi ia mundur ke belakangnya Kan Tiangloo.
"Tabahkan hati, Pangcu," kata Kan Tioangloo dengan perlahan. "Biarnya bangsat kecil itu gagah, dia tidak nanti sanggup melawan kita yang berjumlah besar. Mari kita lawan dia dengan bergantian!" Dan lantas dia berteriak: "Murid-murid kantong delapan aturlah Barisan Tembok!"
Titah itu ditaati, dengan lantas muncul seorang pengemis dengan kantung delapan. Majunya dia ini diturut oleh belasan pengemis lain, yang mengatur diri dengan rapi, ialah mereka yang bergandengan tangan, jumlah semua enam atau tujuhbelas orang. Mereka lantas maju untuk menerjang Kwee Ceng, majunya sambil berseru nyaring.
Oey Yong berseru heran, ia berkelit ke kiri, sedang Kwee Ceng ke kanan. Segera di arah kiri dan kanan itu, atau timur dan barat, muncul masing-masing satu barisan seperti yang pertama itu, yang menyerang dengan hebat.
Menampak cara penyerangan yang aneh dan teratur itu, Kwee Ceng tidak berkelit lagi, ia mencoba mengajukan kedua tangannya, guna menahan mereka. Segera ternyata, barisan itu berat sekali, mereka itu dapat ditolak mundur. Sebaliknya, selagi mereka ditolak, dua barisan yang lain lantas maju pula. Karena terlambat sedikit, si anak muda kena dibikin terhuyung. Terpaksa ia berlompat tinggi, melewati kepala mereka itu. Baru ia menaruh kaki di tanah atau telah datang pula pasukan yang keempat. Lagi-lagi ia berlompat pergi. Lagi-lagi ia diserang barisan yang serupa. Maka, ke mana ia menyingkir, di sana ia dipegat dan diserbu apa yang dinamakan Barisan Tembok itu.
Juga Oey Yong mengalami serbuan yang serupa. Ia lebih gesit daripada Kwee Ceng tetapi ia kewalahan. Akhirnya ia lompat kepada si anak muda, untuk mempersatukan diri. Karena ini, bersama-sama mereka kena didesak mundur. Mereka mundur terus hingga di pojok batu gunung.
"Engko Ceng, mundur ke jurang!" Oey Yong berkata.
Kwee Ceng belum bisa menerka maksud si nona tetapi ia menurut, ia mundur ke arah jurang seperti si nona. Ketika mereka akan sampai di tepian, lagi lima atau enam kaki, mendadak pihak penyerang menghentikan desakannya. Ia lantas berpaling ke belakang. Baru sekarang ia mengerti. Ia kata dalam hatinya: "Di sini ada jurang, kalau mereka mendesak tanpa sanggup mempertahankan kakinya, tentu mereka bakal terjerunuk ke dalam jurang!"
Pemuda ini lantas memandang ke Oey Yong, hendak ia memuji ke cerdikan orang, atau ia tak jadi memuji. Roma bergembira dari si nona lekas berubah menjadi guram. Ia menoleh lagi ke arah musuh. Sekarang ia mendapatkan musuh maju dengan perlahan-lahan, musuh itu berlapis-lapis. Inilah benar-benar berbahaya. Berdua mereka bisa dipaksa jatuh sendiri ke dalam jurang, sedang untuk berlompat di atasan kepala dari selapis dari seratus orang, itulah tak dapat.
Selama di gurun pasir, Kwee Ceng pernah mengikuti Ma Giok berlari-lari di tepian jurang, maka itu, ia lantas memperhatikan jurang itu. Ia mendapat kenyataan keadaan jurang kalah daripada jurang di gurun pasir itu. Maka ia lantas mendapat pikiran.
"Yong-jie!" ia berkata. "Lekas kau naik ke punggungku. Mari kita pergi!"
"Tidak dapat!" kata si nona menghela napas. "Mereka bisa menyerang kita dengan batu...!"
Kwee Ceng pikir itulah benar juga. Ia menjadi bingung. Tapi justru itu, ia ingat suatu bagian dari Kiu Im Cin-keng.
"Yong-jie," ia berkata. "Aku ingat di dalam Kiu Im Cin-keng, ada ilmu yang disebut Ilmu memindah Arwah, mungkin itu sama dengan ilmu Liam-sim-hoat yang kau tanyakan tadi. Baik, mari kita mencoba-coba...."
Tetapi si nona masih berduka.
"Mereka semua ada murid yang dicintai suhu, apa gunanya untuk membinasakan mereka apa pula di dalam jumlah yang banyak?"
Tetapi Kwee Ceng tidak memperdulikan lagi si nona. Mendadak ia memeluk tubuh orang sambil ia berbisik: "Lekas lari!" Menyusul itu, ia mencium pipi si nona yang nempel sama hidungnya itu selagi ia berbisik, lalu dengan mengerahkan tenaganya, ia melemparkan nona itu ke atas panggung Hian Wan Tay!"
Oey Yong telah membikin tubuhnya enteng, maka tubuhnya itu melayang ke arah punggung. Ia mengerti maksudnya Kwee Ceng itu, yang mau melawan sendiri kepada semua lawannya, agar ia menyingkir terlebih dahulu. Ketika ia sampai di panggung, dengan enteng ia menaruh kakinya. Sesaat itu, ia menjadi tidak karuan rasanya. Tapi ia segera melihat Yo Kang di satu pojok panggung itu, dengan tangan memegang Lek-tiok-thung, orang she Yo itu lagi memegang pimpinan pada barisan pengemis itu. Ia lantas mendapat pikiran. Terus ia menjejak lantai, akan berlompat kepada anak muda itu, tangannya diulur untuk menyambar tongkat suci kaum Kay Pang itu.
Yo Kang terkejut melihat tahu-tahu si nona berada di atas panggung itu, ketika tubuh orang hampir sampai, ia hendak menghajarnya dengan tongkatnya, atau tangan kanan si nona, dengan dua jari terbuka, meluncur ke arah kedua matanya. Juga kaki kiri si nona dipakai menjejak tongkatnya itu.
Dalam kagetnya, saking takutnya, Yo Kang melepaskan tongkatnya dan ia sendiri lompat turun dari panggung. Meski begitu, ia masih kalah sebat oleh si nona, matanya toh kebentur juga jari si nona itu, hingga ia merasakan sangat sakit, kedua matanya menjadi gelap.
Oey Yong telah mengeluarkan jurus "Dari mulut anjing galak merampas tongkat". Itulah salah satu jurus terlihai dari ilmu tongkat "Ta Kauw Pang-hoat" Jangan kata baru orang dengan ilmu silat seperti Yo Kang itu, biar yang terlebih pandai, sukar untuk dia meloloskan diri.
Oey Yong segera mengangkat tinggi tongkat sucinya itu, ia berseru:" Saudara-saudara Kay Pang, lekas kamu menghentikan pertempuran! Ketahuilah oleh kamu, Ang Pangcu masih belum meninggal dunia! Semua-semua adalah bisanya ini manusia jahat!"
Suara itu terang terdengar, semua pengemis menjadi heran. Dengan serempak, mereka menghentikan aksi mereka. Semua orang lantas mengawasi ke arah panggung, hati mereka ragu-ragu. Benarkah kabar girang itu - artinya pangcu mereka yang she Ang itu belum menutup mata?
"Saudara-saudara, mari!" Oey Yong memanggil. "Mari dengar aku bicara dari hal Ang Pangcu!"
Yo Kang mendengar suara nona itu, tetapi ia tidak dapat membuka matanya. Maka dari bawah panggung, ia berteriak: "Akulah pangcu! Saudara-saudara dengar perintahku! Lebih dulu dorong itu bangsat laki-laki jatuh ke dalam jurang, baru bekuk ini bangsat perempuan yang ngaco-belo!"
Titahnya Yo Kang ini besar pengaruhnya. Walaupun di dalam ragu-ragu, bangsa pengemis itu tetap taat kepada ketuanya. Maka itu mereka maju sambil berseru-seru. Â
"Saudara-saudara, dengarlah!" Oey Yong berteriak pula. "Tongkat Kay Pang ada di tanganku, akulah pangcu dari Kay Pang kamu!"
Semua pengemis itu melengak, tindakan kaki mereka berhenti sendirinya. Memang belum pernah mereka mengalami peristiwa tongkat suci mereka kena dirampas orang.
Oey Yong berkata pula: "Kay Pang kita telah malang melintang di kolong langit ini tetapi hari ini kita telah diperhina, dibuat permainan oleh orang luar, bahkan dua saudara Lee Seng dan Ie Tiauw Hin dipaksa membuang jiwanya dengan cuma-cuma! Dan Lou Tiangloo pun telah terluka parah! Kenapakah itu? Apakah sebabnya itu?"
Kata-kata itu berpengaruh juga, maka ada separuh dari orang Kay Pang itu suka mengawasi si nona untuk mendengar pembicaraan terlebih jauh.
"Sebabnya ialah karena itu manusia licin she Yo telah bersekongkol sama pihak Tiat Ciang Pang!" berkata pula Oey Yong nyaring. "Orang she Yo itu telah menyiarkan cerita burung bahwa Ang Pangcu telah meninggal dunia! Tahukah saudara-saudara siapakah orang she Yo ini?"
"Siapakah dia? Siapakah dia?" banyak suara bertanya. "Lekas bilang, lekas!"
Tapi ada juga yang berseru. "Jangan dengar ocehannya bangsat perempuan ini, dia lagi mengacau pikiran kita!"
Maka itu, suara mereka itu menjadi berisik.
Oey Yong tidak menghiraukannya. Ia berkata pula: "Dia bukan orang she Yo, dia sebenarnya she Wanyen! Dialah putra dari Pangeran Chao Wang dari negara Kim! Dia tengah beraksi untuk menumpas Kerajaan Song kita!"
Kawanan pengemis itu melengak tetapi mereka tidak berani lantas mempercayai.
Oey Yong berpikir cepat. Ia pun mengerti, sukar untuk lantas merebut kepercayaan orang banyak itu. Maka ia membutuhkan bukti. Ia lantas merogoh ke dalam sakunya. Ia merasa syukur yang barang-barangnya tidak terampas semua. Di situ masih ada tangan besi yang Cu Cong curi dari tubuhnya Khiu Cian Jin. Dia lantas mengangkatnya tinggi-tinggi. Ia lantas berkata nyaring: "Lihatlah kamu, barang ini barang apa! Baru saja aku merampas ini dari tangannya si orang she Yo itu! Lihatlah, semua saudara!"
Semua orang merangsak maju. Mereka terpisah cukup jauh dari panggung. Mereka ingin melihat tegas, barang apa itu. Lantas juga di antaranya ada yang berseru, "Itulah tangan besi! Kenapa barang itu ada padanya?"
"Nah, inilah dianya!" berseru Oey Yong. "Dialah mata-mata dari Tiat Ciang Pang! Tentu saja dia membawa-bawa barang pertandaan dari partainya!"
Yo Kang kaget dan takut sekali. Segera ia mengayunkan sebelah tangannya, maka dua biji pusutnya menyambar ke arah si nona. Ia tidak bisa melihat tetapi ia bisa menduga orang berada di mana dengan mendengar suaranya saja. ia pun terpisah paling dekat dengan nona itu.
Oey Yong mendapat lihat menyambarnya senjata rahasia, yang mengeluarkan sinar berkeredepan, ia membiarkan saja. Adalah diantara pengemis ada yang berteriak-teriak: "Senjata rahasia! Awas!" Ada pula yang menjerit: "Celaka!"
Dua batang senjata rahasia itu mengenai tubuh Oey Yong, terdengar suaranya yang nyaring, lekas keduanya jatuh ke panggung, si nona tidak kurang suatu apa.
"Eh, orang she Yo!" Oey Yong menegur. "Jikalau kau bukannya orang jahat, kenapa kau membokong aku dengan senjata rahasiamu!"
Orang Kay Pang itu menjadi heran, mereka jadi sangat bersangsi. Rata-rata mereka bertanya, siapa nona itu, dan apa benar perkataannya. Ada juga yang menanya, apa pangcu mereka - Ang Pangcu - belum mati. Maka itu, banyak mata lantas ditujukan kepada keempat tiangloo mereka. Agaknya mereka ingin minta keempat tertua itu mengeluarkan pikirannya.
Karena kejadian ini, Barisan Tembok dari kaum Kay Pang itu pecah sendirinya, dengan begitu ketika Kwee Ceng pergi ke pinggiran panggung, tidak ada orang yang mengambil peduli.
Ketika itu Lou Yoe Kiak sudah mendusin, maka keempat tiangloo lantas berbicara.
"Sekarang ini belum bisa didapat kepastian," berkata Yoe Kiak. "Maka itu baiklah kedua pihak itu ditanya jelas-jelas. Yang paling penting ialah mencari tahu dulu benar atau tidak Ang Pangcu telah meninggal dunia...."
"Tetapi kita sudah mengangkat pangcu baru, mana dapat kita mengubahnya dengan sembarangan?" kata Kan Tiangloo bertiga. "Aturan kita turun-temurun, titah pangcu tidak dapat dibantah!"
Maka itu, keempat tiangloo itu pun menjadi terpecah dua.
Kemudian ketiga tiangloo golongan Pakaian Bersih saling mengasih isyarat, terus mereka mendekati Yo Kang, terus Kan Tiangloo berseru: "Kami cuma mempercayai perkataannya Yo Pangcu! Entah darimana datangnya ini dukun perempuan, dia mengacau pikiran orang! Jangan dengarkan dia! Saudara-saudara bekuk dia! Bawa dia turun untuk dihajar!"
Tapi Kwee Ceng di bawah panggung berseru dengan bengis: "Siapa berani turun tangan?!"
Melihat orang bersikap garang, tidak ada pengemis yang berani naik ke panggung.
Sementara itu Khiu Cian Jin bersama orang-orangnya semua berdiri diam di samping, jauh dari mereka itu. Ia senang menyaksikan peristiwa itu. Bukankah orang seperti lagi saling membunuh?
Oey Yong berkata pula: "Sekarang ini Ang Pangcu masih hidup, ia berada dengan tidak kurang suatu apa di dalam istana di Lim-an! Pangcu kelewat gemar dahar barang santapan raja, ia tidak dapat membagi tempo untuk datang ke mari, maka itu ia mewakilkan aku. Kalau nanti Ang Pangcu sudah cukup dahar, ia pasti akan datang menemui saudara-saudara!"
Keempat tiangloo serta kedelapan pengemis kantung delapan itu tahu kegemarannya pangcu mereka akan bersantap, keterangannya Oey Yong ini dapat juga menarik kepercayaan mereka itu, maka pikiran mereka guncang pula.
Kembali Oey Yong berkata: "Orang she Yo ini sudah bersekongkol sama Tiat Ciang Pang, dia sengaja hendak mencelakai aku. Dia telah mencuri tongkatnya Pangcu untuk mengakali orang. Kenapa kamu tidak dapat membedakan apa yang benar dan apa yang salah dan kamu main percaya saja? Keempat tiangloo dari partai kita adalah orang-orang yang banyak penglihatannya dan luas pengetahuannya, mengapa kamu tidak dapat melihat ini suatu akal yang kecil sekali?"
Mendengar itu, semua mata lantas diarahkan kepada keempat tiangloo. Banyak mata yang bersinar ragu-ragu.
Yo Kang telah buntu jalan, dia norek.
"Kau bilang Ang Pangcu masih hidup, habis kenapa dia menugaskan kau menjadi pangcu?" ia menanya. "Dia menghendaki kau menjadi pangcu, kau mempunyai bukti apa?"
Oey Yong membalingkan tongkatnya.
"Inilah tongkat Tah-kauw-pang dari Pangcu! Mustahilkah ini bukannya bukti?" berkata ia.
Yo Kang tertawa lebar.
"Haha! Toh itu tongkat suciku, yang barusan kau merampasnya dari tanganku?" katanya. "Siapakah tidak menyaksikan itu barusan?"
"Jikalau Ang Pangcu menghendaki kau menjadi pangcu, mengapa dia tidak mengajari ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat?" Oey Yong tanya. "Kalau benar dia mengajarinya, kenapa kau membiarkannya aku merampasnya?"
Mendengar orang menyebut ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat, yaitu ilmu silat tongkat peranti mengemplang anjing. Yo Kang menyangka Oey Yong memandang hina tongkat itu, maka ia hendak membalikinya. Ia berteriak: "Inilah tongkat suci dari Pangcu kami, kenapa kau menyebut-nyebut tongkat peranti mengemplang anjing? Ha, kau mengaco belo, ya! Sungguh berani kau menghinakan tongkat suci dari partai kami!"
Yo Kang bangga sekali. Ia menganggap dengan begitu ia telah menghormati tongkatnya itu. Ia mau percaya, tentulah orang-orang Kay Pang senang dengannya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa selama di sepanjang jalan, si pengemis gemuk dan kurus sebenarnya tidak berani menyebut Ta Kuaw Pang kepada tongkat suci itu, hingga dengan begitu, ia sendiri jadi tidak tahu nama tongkat itu. Mendengar perkataannya itu, semua pengemis saling mengawasi, wajah mereka muram, suatu tanda mereka tidak senang hati.
Yo Kang telah dapat melihat sikap orang itu, ia mengerti bahwa ia tentu telah omong kurang tepat, hanya ia tak tahu di mana letak kesalahannya. Tidak pernah ia menyangka, tongkat suci yang dipandang keramat Kay Pang itu, namanya sebenarnya ialah Tah Kauw Pang alias tongkat peranti pengemplang anjing!
Oey Yong tersenyum.
"Ha, buat apa banyak-banyak omong tentang tongkat suci ini!" katanya. "Jikalau kau menghendakinya, kau ambillah!"
Dan ia mengulurkan tangannya, menyodorkan tongkat itu.
Yo Kang menjadi girang sekali, meski begitu, ia tidak berani lantas naik ke panggung, ia jeri untuk Kwee Ceng.
"Pangcu, kita nanti menjagai kau," Pheng Tiangloo berbisik. "Lebih dulu ambillah tongkat itu, baru kita bicara pula."
Habis berkata begitu, tiangloo ini mendahului berlompat naik.
Melihat demikian, Yo Kang yang sekarang telah dapat melihat pula, turut naik dengan diiringi Kan Tiangloo dan Nio Tiangloo.
Yo Kang dengan bersangsi, dia curiga orang nanti menggunakan akal, ia tidak langsung menyambuti, lebih dulu ia bersiaga dengan tangan kiri, baru tangan kanannya diulur.
Oey Yong melepaskan cekalannya. Ia tertawa.
"Apakah kau telah memegangnya erat-erat?" ia menanya.
"Kenapa?" tanya Yo Kang gusar, sedang tangannya memegang keras tengah tongkat.
Oey Yong tidak menjawab, hanya dengan tangan kirinya bergerak, kaki kanannya terbang, menyusul mana, tangan kanannya dilonjorkan, Dengan gerakannya itu pas berbareng cepat, tongkat suci kembali pindah ke tangannya tanpa Yo Kang mampu berdaya untuk melindunginya.
Kedua tiangloo she Pheng dan Nio kaget bukan main, mereka heran sekali. Cuma sekejap, tongkat telah berpindah tangan pula. Kan Tiangloo juga tidak kurang herannya. Bukankah mereka bertiga melindungi pangcu mereka yang muda itu?
Yo Kang bersangsi.
Kang Tiangloo menggeraki cambuknya sebat sekali, cuma sedetik, tongkat itu kena disambar, dililit dan ditarik, lalu dipegang tangannya. Menyaksikan itu, semua orang Kay Pang bersorak dengan pujian mereka. Kemudian tongkat dapat diserahkan kepada Yo Kang.
"Ketika Ang Pangcu menyerahkan tongkat ini kepadamu, mustahil ia tidak mengajari kau untuk kau memegangnya dengan erat?" tanya Oey Yong tertawa pada si anak muda. "Bukankah ia telah mengajarinya supaya kamu dapat melindunginya hingga tidak gampang-gampang kena orang rampas?"
Tepat selagi ia tertawa, kedua kaki si nona menjejaki lantai, lalu tubuhnya melesat di antara Kan Tiangloo dan Nio Tiangloo, terus tiba di depannya Yo Kang. Kan Tiangloo menyambar dengan tangan kirinya, guna menangkap si nona, tetapi tangkapannya gagal. Sebab nona itu tepat menggunakan jurus "Burung waket terbang berpasangan" ajaran Ang Cit Kong, tubuhnya lincah dan licin. Bukan main heran dan kagetnya tiangloo itu, yang mengenal baik kepandaiannya sendiri. Hatinya tercekat. Justru itu mereka mendengar sambaran angin, hingga terpaksa mereka itu melompat mudur.
"Ini jurus yang dinamakan Tongkat mengemplang anjing sepasang," berkata si nona, yang tubuhnya melesat sedang barusan, dengan gerakan tongkatnya, ia sengaja membikin kedua tiangloo itu membuka jalan untuknya. Maka ia telah sampai di pojok timur dari panggung itu, tongkat Tah-kauw-pang tercekal di tangannya, cahayanya menyorot hijau di antara sinar rembulan.
Demikian sebat si nona, tak ada orang yang melihat gerakannya itu.
Kwee Ceng lantas berseru: "Lihatlah! Kepada siapa Ang Pangcu telah menyerahkan tongkat Tah-kauw-pang? Apakah masih belum cukup terang?"
Orang-orang Kay Pang menjadi kagum, heran dan bercuriga. Mereka telah menyaksikan jelas bagaimana caranya si nona merampas pulang tongkat itu dari tangan Yo Kang, sedang anak muda mereka itu - si pangcu baru - pun pandai ilmu silat dan dia juga dilindungi ketiga tiangloo. Lantas mereka ramai membicarakan itu.
Lou Yoe Kiak lantas berkata: "Saudara-saudara, apa yang diperlihatkan nona ini benar-benar ada ilmu silatnya Ang Pangcu!"
Kan Tiangloo saling mengawasi dengan Pheng Tiangloo dan Nio Tiangloo, lalu ia berkata: "Dialah muridnya Ang Pangcu, sudah tentu dia mendapat warisan pelajaran ilmu silatnya! Apakah yang aneh!"
"Semenjak jaman dahulu, Tah Kauw Pang-hoat tidak diwariskan kecuali kepada orang yang menjadi pangcu," berkata Lou Yoe Kiak. "Mustahilkah Kan Tiangloo tidak ketahui aturan itu?"
Kan Tiangloo tertawa dingin.
"Nona ini mengerti beberapa jurus ilmu silat tangan kosong merampas senjata, belum tentu itulah Tah Kauw Pang-hoat!" ia berkata.
Yoe Kiak menjadi bersangsi, tetapi ia berkata kepada Oey Yong: "Nona, silahkan kau menjalankan ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat. Kalau benar kau mewariskan ilmu silat itu, pasti pengemis di seluruh negeri bakal takluk kepadamu."
"Tetapi," berkata Kan Tiangloo yang licik, "Ilmu silat itu kita cuma baru mendengar namanya saja, belum pernah ada yang melihatnya, maka itu siapa berani memastikan itu tulen atau palsu?"
"Habis itu kau menghendaki apa?" Lou Tiangloo tanya.
Kan Tiangloo menepuk kedua tangannya satu dengan lain, ia kata dengan nyaring: "Jikalau nona ini dengan ilmu silat tongkat itu dapat mengalahkan sepasang tanganku yang kosong ini, maka aku si orang she Kan barulah takluk benar-benar dan akan menjunjungnya sebagai pangcu kita! Umpama kata aku mengandung dua hati, biarlah laksana panah menancap di tubuhku dan ribuan golok menghukum picis mayatku!"
"Hm!" Yoe Kiak berkata, "Berapa tinggikah usianya si nona ini? Meskipun dia pandai dengan ilmu silat tongkatnya, maka sanggup dia melayani kau yang sudah belajar silat beberapa puluh tahun lamanya?"
Selagi dua tiangloo ini berebut bicara, Nio Tiangloo si tabiat keras sudah habis sabarnya, dengan mendadak dia berlompat kepada Oey Yong sambil membacok dengan goloknya. Sembari menyerang, dia kata: "Tulen atau tidaknya ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat itu akan terbukti setelah diuji! Maka lihatlah golok!"
Penyerangan itu hebat. Itulah penyerangan berantai tiga kali, sedang dilakukannya dengan cara seperti membokong.
Oey Yong dapat melihat serangan itu, dengan cepat ia menyoren tongkat di pinggangnya, dengan sebat ia berkelit, dan ia berkelit terus tiga kali, hingga ia bebas dari serangannya. Ia pun berkelit tanpa memindahkan kaki, cuma main mengegos tubuh.
"Apakah untuk melayani kau tepat aku menggunakan ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat?" ia kata sambil tertawa. Kata-kata ini disusuli gerakan tangannya kiri dan kanan - tangan kiri menyerang, tangan kanan mencoba merampas golok!
Nio Tiangloo berkenamaan, ia menjadi gusar sekali, yang satu bocah cilik berani memandang dia sebelah mata, maka itu habis menyingkirkan goloknya itu, ia lantas menyerang pula. Tentu sekali, ia berlaku bengis.
Sekarang Kan Tiangloo tidak lagi memandang enteng kepada si nona itu, ia mau percaya, mengenai si nona, mesti ada apa-apa yang masih tersembunyi, dari itu, karena khawatir kawannya berlaku semberono, ia meneriaki: "Nio Tiangloo, jangan kau berlaku telengas!"
Tapi Oey Yong sebaliknya memandang enteng, "Jangan sungkan-sungkan!" katanya tertawa. Sembari berkata dan tertawa itu, ia melayani si tiangloo. Karena orang bersenjata golok dan menyerang bengis, ia melawan dengan lebih banyak berkelit, setiap ada ketikanya, ia membalas, meninju atau menendang, atau ia menyikut atau memengal. Dalam tempo yang pendek, ia mengasih lihat belasan macam jurus yang luar biasa.
Semua pengemis menjadi seperti kabur matanya. Mereka heran dan kagum, apapula delapan pengemis kantung delapan itu.
"Ah, itulah Lian Hoa Kun!" yang satu berseru.
"Eh, itu toh pukulan gembolan kuningan?" kata si gemuk, yang turut menjadi kagum. Hanya belum ia menutup rapat mulutnya, Oey Yong sudah menukar lagi ilmu silatnya, hingga seorang pengemis lain berseru: "Ah, itulah ilmu silat Kun-thiang-kang dari Ang Pangcu!"
Ang Cit Kong itu adalah seoarang yang wajar, ia tidak suka menerima murid, kalau ada anggota yang berjasa, ia cuma mengajari satu atau dua jurus sebagai persen. Lee Seng bukannya seorang lemah, ia cuma diajarkan satu jurus dari satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, ialah jurus "Naga sakti menggoyang ekor". Sudah begitu ada lagi satu tabiat aneh dari pangcu itu, ialah satu jurus yang diajarkan kepada satu orang, ia tidak suka mewariskan lagi kepada yang lain, maka juga, pelajaran yang didapat anggota-anggota Kay Pang, semua berlainan. Cuma Oey Yong yang menjadi murid yang istimewa, sebab ia pandai masak, dia dapat memincuk pangcu itu dengan pelbagai masakannya yang lezat, setiap kali ia masak, setiap kali ia memperoleh satu pelajaran. Maka juga selama di Kiang Bio-tin, dia memperoleh puluhan macam jurus. Sekarang, di depan Kay Pang, ia sengaja pertontonkan ilmu silatnya itu, membikin orang kagum, heran dan tunduk. Maka setiap anggota Kay Pang, yang pernah memperoleh warisan dari Ang Cit Kong lantas memuji kalau ia melihat si nona menjalankan jurusnya itu. Maka itu, ramailah suara pujian, yang keluar saling susul.
Nio Tiangloo melihat itu semua, ia juga menjadi heran dan kagum, matanya pun seperti kabur, oleh karena itu, ia tidak mau berlaku sembrono lagi, tidak mau ia menyerang, ia selalu membela diri dengan menutup dirinya rapat-rapat.
Lagi beberapa jurus telah dilewatkan atau mendadak si nona berhenti bersilat, dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, ia tertawa menanya: "Apa kau suka menyerah kalah?"
Nio Tiangloo belum mengeluarkan seantero kepandaiannya, mana sudi ia menyerah kalah, bahkan kerena panas hatinya, ia lantas menyerang. Bacokannya ini hebat sekali. Â
Kan Tiangloo dan Lou Yoe Kiak kaget. "Tahan!" mereka berseru.
Pula banyak pengemis lainnya yang berteriak saking kagetnya.
Selagi orang kaget dan berkhawatir itu, Oey Yong sendiri tidak menghiraukan datangnya bacokan yang diarahkan ke pundaknya yang kiri.
Nio Tiangloo sendiri pun menyesal, tetapi ia tidak dapat menarik pulang bacokannya itu, maka tepat sekarang si nona kena dibacok, sebab ia nampak tidak berkelit atau menangkis.
Baru Nio Tiangloo menyesal atau mendadak tangannya dirasai lenyap tenaganya, goloknya itu terlepas dari cekalan, jatuh dengan mengasih dengar suara nyaring di lantai panggung. Ia tentu tidak tahu yang nona lawannya itu mengenakan pakaian dalam joan-wie-kah, jangan kata golok biasa, golok mustika pun tak nanti memakan. Berbareng dengan menyesalnya itu, sikutnya telah ditotok si nona menggunakan ilmu totok warisan ayahnya ialah "Lan-hoa-hoet-hiat-ciu", ilmu menotok jalan darah Bunga Anggrek.
Dengan lantas Oey Yong mengulurkan kakinya, untuk menginjak goloknya si pengemis tertua itu, kepalanya dimiringkan, sembari tertawa, ia menanya, "Bagaimana?"
Nio Tiangloo tercengang, lalu tanpa membilang apa-apa, ia lompat mundur.
Adalah itu waktu Khiu Cian Jin dari tempatnya menonton mengasih dengar suaranya yang nyata sekali: "Orang memakai mustika dari Tho Hoa To, atau tidak membacok kepalanya, mana bisa kau melukai dia?"
Kan Tiangloo tunduk, ia berpikir.
"Bagaimana, kau percaya aku tidak?" tanya Oey Yong tertawa.
Lou Yoe Kiak mengedipi mata kepada si nona, untuk dia menyudahi saja. Ia tahu, dalam ilmu silat, nona ini kalah jauh dari Nio Tiangloo, maka kemenangannya itu mesti karena suatu tipu daya. Atau sedikitnya, akan sama tangguhnya. Dilain pihak, Kan Tiangloo jauh lebih lihay daripada Nio Tiangloo itu. Maka ia bergelisah melihat si nona tidak menggubris isyaratnya itu. Hanya celaka untuknya, untuk turun tangan, ia tidak sanggup, tangannya, yang diremas Kiu Cian Jin, masih terasa sakit sekali, bahkan semakin sakit, hingga ia mengeluarkan keringat dingin di sekujur badannya, hingga tak bisa ia membuka mulutnya.
Akhir-akhirnya Kan Tiangloo mengangkat kepalanya.
"Nona marilah aku belajar kenal denganmu!" ia berkata.
Kwee Ceng melihat tegas tiangloo itu, ia percaya Oey Yong tak sanggup melawannya, maka itu, ia hendak menggantikan nona itu. Maka ia lantas menjumput tambang kulit yang dipakai meringkus dirinya, dengan satu gerakan tangan, ia membikin ujung tambang menyambar tongkatnya Kan Tiangloo yang tadi oleh Kiu Cian Jin dibikin nancap di batu gunung, sambil membentak, ia menarik dengan kaget. Maka tongkat itu tercabut, terlempar ke arah si tiangloo. Disaat itu ia berlompat ke depan Kan Tiangloo, ia menyambar dengan sambarannya "Menunggang enam naga", suatu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, setelah itu, dengan tangan kiri memegang kepala tongkat dan tangan kanan mencekal bututnya, yaitu ujungnya, ia membikin gerakan memutar. Maka itu dilain saat, tongkat yang telah melilit melengkung ia lantas menjadi pulih keadaannya, lempang seperti biasa. Segera setelah itu, ia menyerukan, "Sambutlah!" dan tongkat itu ia lemparkan kepada pemiliknya.
Kan Tiangloo terkejut. Ia tahu, kalau ia menyambut, tangannya bisa terluka. Maka dengan lantas ia berkelit, sambil berbuat begitu, ia berseru kepada orang-orangnya dibawah panggung, menitahkan mereka itu lekas menyingkir. Kalau tidak, mereka atau beberapa di antaranya bisa terhajar tongkat itu.
Akan tetapi tongkat itu tidak sampai mendatangkan bencana. Oey Yong dengan sebat sekali, dengan cara pandai, telah mengulurkan Lek-tiok-thung di tangannya itu, menyambar bagian tengah dari tongkatnya Kan Tiangloo, lalu dengan gerakan menarik sambil memutar, ia membuatnya tongkat tertahan dan kena tertekan hingga turun di lantai.
Gerakannya nona Oey ini adalah jurus "Menindih punggung anjing", dari ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat, tepat bekerjanya, setelah mana si nona sambil tertawa berkata kepada tiangloo itu yang barusan menantang padanya: "Silahkan kau menggunakan tongkat baja, aku hendak menggunakan tongkat bambu ini! Marilah berdua kita main-main beberapa jurus...."
Kan Tiangloo sangat bersangsi. Sekarang ia mengambil sikap, kalau kalah, baiklah ia menyerah. Ia lantas membungkuk, untuk memungut tongkat bajanya itu - kepala tongkat diturunkan ke bawah, buntut tongkat naik ke atas, lalu sambil memberi hormat dengan membungkuk, ia berkata: "Aku mohon belas kasihan nona."
Dengan cara menghormatnya itu, ialah kepala tongkat diturunkan, tiangloo ini mengambil sikap menurut aturan Kaum Rimba Persilatan, kehormatan di antara yang muda dengan yang tua, tanda dari tidak berani menganggap diri seimbang derajat. Itulah untuk mohon petunjuk.
Oey Yong meluncurkan tongkatnya, dengan gerakan "Anjing dongak ke langit", ia menyontek ujung tongkat si pengemis tertua, hingga tongkat itu naik ke atas, sambil berbuat begitu, ia mengatakan sambil tertawa: "Tak usah memakai banyak adat peradatan! Aku khawatir yang kepandaianku tidak dapat melawan kepandaian kau.."
Tongkat baja dari Kan Tiangloo adalah tongkatnya yang berat yang ia telah pakai untuk beberapa puluh tahun lamanya, sekarang tongkat itu, dengan satu sontekan perlahan, kena dibikin terangkat naik oleh si nona, bahkan ujungnya terangkat sampai hampir mengenakan jidatnya, ia menjadi terkejut. Syukur ia lekas menggunakan tenaganya, untuk menahan, ia kembali membawa sikapnya si muda terhadap seatasannya. Ia menyerang dengan jurus "Raja Cin menghajar batu", suatu jurus dari Hong Mo Thung-hoat, ilmu silat Hantu Edan dari Lou Tie Cim, salah seorang anggota gagah dari pahlawan-pahlawan Liang San.
Menampak gerakan si tiangloo, Oey Yong tidak berani berlaku alpa. Ia tahu, meskipun memakai baju lapis, serangan tongkat itu bisa melukai ia di dalam tubuh. Maka dengan lincah ia berkelit. Ia bukannya mundur, hanya berkelit sambil merangsak. Ia terus menggunakan jurus-jurus dari Tah Kauw Pang-hoat.
Demikian keduanya bertempur. Beratnya tongkat baja tigapuluh kati lebih tetapi menghadapi tongkat bambu yang enteng itu, tongkat itu tidak dapat berbuat banyak.
Mulanya Kan Tiangloo masih mengandung rasa khawatir nanti kena merusak tongkat suci itu, serangannya hebat tetapi diperbataskan, ialah kalau rasanya ia bakal menghajar Lek-tiok-thung, segera ia membatalkannya, ia selalu mencegah bentrokan, akan tetapi sesudah beberapa jurus itu, ia mengubah caranya berkelahi, ia bahkan jadi bersungguh-sungguh. Ia mendapat kenyataan, tongkat si nona lihay sekali, tikamannya juga dapat merupakan totokan kepada jalan darah. Dengan lantas untuk membela diri, ia menjadi repot.
Kwee Ceng menjadi sangat kagum. "Benar lihay ilmu silatnya suhu," ia berkata di dalam hatinya, memuji Ang Cit Kong.
Tengah bertempur itu, mendadak Oey Yong membuat satu perubahan. Ialah tongkatnya bukan ia cekal gagangnya, hanya bagian tengahnya, dan bukannya ia menyerang, ia terus putar itu dengan asyik, hingga tongkatnya nampaknya bulat. Tentu sekali itulah bukan cara bertarung, itulah bagaikan orang tengah main-main.
Mulanya Kan Tiangloo heran hingga ia tercengang, habis itu ia menyerang si nona, untuk mencegah kurungan. Ia mengarah pundaknya si nona.
Oey Yong melihat datangnya serangan, ia bukannya menangkis, ia hanya menjaga. Tapi ia tidak membuat kedua tongkat bentrok, ia cuma mendekatkan, lalu bagaikan memancing, ia menarik.
Kan Tiangloo terkejut. Ia menyerang tetapi ia merasa tongkatnya seperti tertarik dengan keras. Jadi terang si nona telah meminjam tenaga lawan. Dalam kagetnya, ia lantas menarik. Kembali ia terkejut. Tongkatnya itu seperti nempel sama tongkat lawan, tertarik atau menarik. Ia kaget sebab ia tahu, di dalam halnya tenaga dalam, ia mesti menang daripada si nona, tetapi sekarang ialah yang kena dipengaruhkan. Tujuh atau delapan kali sudah ia menarik, sia-sia belaka, tongkatnya itu tidak bisa dia membebaskannya.
Tah Kauw pang-hoat ada delapan pokoknya, dan sekarang Oey Yong lagi menggunakan pokok "melibat" maka juga tongkatnya itu seperti ada talinya yang mengikat tongkatnya si tiangloo.
Kan Tiangloo penasaran, ia mengerahkan tenaganya dan memainkan Tay-lek Kim-kong Thung-hoat, yaitu ilmu tongkat Arhat Tangguh, dengan begitu hebat ia membuatnya ujung tongkatnya bergerak keempat penjuru. Tetapi aneh tongkat si nona, kemana ujung tongkat baja menuju, ke sana tongkat bambu mengikuti. Nampaknya seperti si tiangloo yang berkuasa, sebenarnya dia seperti lagi dikendalikan. Atau diumpamakan kuda binal, kuda itu lagi diumbar oleh penunggangnya yang lihay.
Akhir-akhirnya Pheng Tiangloo yang menonton dengan kekaguman dan keheranan, tertawa dan berkata: "Pangcu kau telah lelah, kau istirahatlah!"
Suara itu perlahan dan halus, sedap didengar telinga. Oey Yong benar-benar lantas merasa tubuhnya lebih. Ia pun memikir, setelah bertempur sekian lama, sudah waktunya ia beristirahat. Begitu ia merasa, begitu ia menjadi letih dan lesu, matanya pun menjadi mata orang kantuk.
Tapi sekarang pandangannya Kan Tiangloo sudah berubah, mau ia percaya si nona adalah pangcunya yang tulen, hendak ia melindungi si nona, maka mengetahui Pheng Tiangloo lagi menggunakan Liam-sin-hoat, ilmu sihirnya itu, ia lantas membentak: "Eh, Pheng Tiangloo, kau hendak berbuat apa kepada pangcu?!"
Pheng Tiangloo tidak memperdulikannya, ia tertawa perlahan dan berkata pula: "Pangcu hendak beristirahat, ia telah sangat letih, kau jangan ganggu padanya....."
Oey Yong mengerti ia terancam bahaya akan tetapi ia merasakan tubuhnya lemas dan matanya mau meram saja, ia merasa bahwa ia mesti beristirahat. Hanya disaat ia separuh was-was dan separuh sadar itu, mendadak ia ingat perkataannya Kwee Ceng tadi. Bagaikan tersadar, ia lantas tanya kawannya itu: "Engko Ceng, bukankah kau membilang tadinya bahwa di dalam kitab ada disebut hal ilmu memindahkan arwah?"
Kwee Ceng mengerti pertanyaan itu. Ia memang telah bercuriga terhadap Pheng Tiangloo, kecurigaannya bertambah menyaksikan Oey Yong berubah sikap, pertempurannya berhenti sendirinya secara demikian aneh dan romannya si nona pun sangat lesu. Ia sudah memikir untuk menghajar tiangloo itu kalau ia main gila, maka mendengar pertanyaan itu, ia segera mendekati Oey Yong dan membisiki padanya bunyinya ilmu memindah arwah itu.
Dua-dua ilmunya si tiangloo dan yang termuat di dalam Kiu Im Cin-keng ada serupa intinya, itulah ilmu sihir belaka, maka ilmu itu harus dilawan dengan kekuatan hati, diri sendiri harus dapat dikendalikan. Maka Kwee Ceng telah membisiki si nona untuk menguatkan hati, atas mana, Oey Yong yang masih sadar, lantas menuruti nasehat si pemuda. Ia lantas meramkan matanya, pemikirannya dipusatkan. Ia mengempos semangatnya, ia membikin bathinnya kuat. Selang tidak lama, lantas lenyap rasa lesu dan kantuknya. Ketika ia membuka matanya, ia sadar seperti biasa.
Pheng Tiangloo girang sekali. Ia percaya si nona meram karena terkena pengaruh ilmunya. Ia udah lantas memikirkan daya lainnya, untuk membikin nona itu membuka matanya, ia terus diawasi sambil tersenyum! Ia tahu mesti ada terjadi keanehan, ia lekas-lekas balas bersenyum. Ia hendak menggunakan ilmunya untuk mempengaruhi si nona itu. Tapi sekarang ia gagal, dari tersenyum, tanpa merasa ia tertawa sendirinya.
Oey Yong melihat perubahan kepada tiangloo itu, ia mengerti yang ilmu dari Kiu Im Cin-keng telah bekerja dan memenangi si tiangloo, maka itu ia bukan cuma tersenyum, ia lantas tertawa lebar.
Pheng Tiangloo kaget. Ia masih ingat akan dirinya, ia coba mengendalikan diri. Tapi ia sudah kena dibikin kaget, tidak dapat ia menguasai dirinya. Bahkan dari berdiri diam, ia lantas berjingkrak, terus ia tertawa terbahak-bahak sambil ia memegangi perutnya! Ia tertawa haha-hihi, ia berteriak, makin lama suaranya makin keras.
Semua pengemis menjadi heran, semua dibikin bingung karenanya.
"Eh, Pheng Tiangloo, kau bikin apa?" Kan Tiangloo menegur. "Kenapa kau begini kurang ajar terhadap pangcu?"
Pheng Tiangloo tidak memperdulikan teguran itu, ia terus tertawa terpingkal-pingkal. Ia menunjuk kepada hidungnya. Kan Tiangloo mengira ada apa-apa yang aneh pada hidungnya itu, ia mengusap. Tapi ini membuatnya rekannya itu tertawa lebih hebat. Akhirnya Pheng Tiangloo lompat turun ke bawah panggung di mana ia terus tertawa sambil bergulingan!
Baru sekarang semua pengemis menjadi bercuriga. Dua muridnya Pheng Tiangloo lantas lari kepada gurunya itu, untuk mengasih bangun, akan tetapi mereka ditolak, guru itu tertawa tak hentinya. Karena ini mukanya lantas menjadi merah tua.
Kalau orang biasa terkena ilmunya Oey Yong itu, paling juga dia merasa lelah dan ingin tidur, tidak demikian dengan Pheng Tiangloo, yang sendirinya tukang sihir. Karena ia melawan, kesudahannya, ialah akibatnya menjadi hebat. Ia menyerang, sekarang dia kena dibalas diserang, serangan itu dahsyat untuknya.
Kan Tiangloo menjadi tak enak hati. Ia khawatir Pheng Tiangloo mati karenanya. Maka ia lantas menjura pada Oey Yong dan berkata: "Pangcu, Pheng Tiangloo berlaku kurang ajar, dia harus dihukum berat, tetapi aku mohon dengan kemurahan hati pangcu, sukalah ia diberi ampun."
Lou Yoe Kiak juga Nio Tiangloo, lantas turut maju, sambil menjura, mereka pun memohonkan keampunan bagi tiangloo yang telah menjadi seperti gila itu. Hanya sekali mereka ia minta-minta ampun, di sana terdengar suara aneh dari Pheng Tiangloo sendiri.......
Oey Yong tidak menjawab ketiga tiangloo itu, ia hanya berpaling kepada Kwee Ceng.
"Engkong Ceng, cukupkah sudah?" ia menanya.
"Cukup!" menjawab si anak muda. "Kasihlah dia ampun!"
Oey Yong lantas menghadapi ketiga tiangloo itu.
"Samwie, kamu menghendaki aku memberi ampun padanya, boleh," dia berkata. "Aku hanya minta kamu tidak dapat meludah kepada tubuhku!"
Kan Tiangloo melihat jiwanya Pheng Tiangloo terancam, ia menjawab dengan cepat: "Aturan kami ditetapkan oleh pangcu, maka itu pangcu juga yang dapat menetapkan atau menghapuskannya. Teecu semua menurut perintah saja."
Senang Oey Yong mendengar jawaban itu. Ia tertawa.
"Sekarang pergilah kau menotok dia pada jalan darahnya thongkok-hiat dan siang-kiok-hiat!" ia memberi petunjuk.
Kan Tiangloo lompat turun dari panggung, ia menghampirkan Pheng Tiangloo untuk menotok kedua jalan darah yang ditunjuk. Dengan lantas tiangloo itu berhenti tertawa, hanya kedua matanya mencelik hingga terlihat putih semua, sedang jalan darahnya menjadi sulit.
Oey Yong tertawa.
"Sekarang benar-benar aku mau beristirahat!" katanya. "Eh, mana si orang she Yo itu?" ia tanya. Ia heran melihatnya Yo Kang tidak ada di antara mereka.
"Dia sudah pergi," menyahut si Kwee Ceng.
Si nona berjingkrak.
"Kenapa dikasih dia pergi?" katanya. "Dia pergi kemana?"
"Dia pergi mengikuti si tua bangka she Khiu itu," sahut Kwee Ceng seraya tangannya menunjuk.
Oey Yong memandang ke telaga di mana perahu layar tengah berlayar pergi. Tentu saja tidak dapat ia menyusul Yo Kang atau Khiu Cian Jin, maka dia cuma bisa mendongkol dan menyesal sendiri. Ia mengerti itulah biasanya Kwee Ceng, yang sangat jujur. Rupanya ini engko Ceng masih ingat persahabatan dari dua turunan, dia jadi suka memberi ampun pada pemuda she Yo yang jahat itu.
Yo Kang itu cerdik, begitu melihat pertempuran antara Oey Yong dan Kan Tiangloo, ia mengerti, jikalau ia tidak lantas mengangkat kaki, dia bakal menghadapi bahaya, dari itu, diluar tahu orang - selagi orang menonton pertempuran - ia nelusup kepada rombongannya Khiu Cian Jin dan minta pertolongan orang she Khiu itu.
Kapan Khiu Cian Jin mengetahui orang adalah putranya Wanyen Lieh, ia menepuk dada memberikan kepastiannya untuk menolongi, kemudian sesudah melihat suasana - bahwa pastilah Oey Yong yang bakal jadi ketua Kay Pang dan si nona bersama Kwee Ceng adalah musuh-musuh tangguh, diam-diam dia mengajak orangnya pangeran itu berlalu dari gunung Kun San itu.
Kemudian Oey Yong menghadapi semua orang Kay Pang, sambil mengangkat Lek-tiok-thung, ia berkata: "Sekarang ini, selama Ang Pangcu masih belum kembali, akulah yang buat sementara waktu mengurus partai kita. Kan Tiangloo bersama Nio Tiangloo, silahkan kau berangkat untuk menyambut pangcu. Kamu membawa murid-murid kantung delapan dan menyambutnya di timur sana. Lou Tiangloo sendiri berdiam di sini untuk beristirahat."
Suaranya ini wakil pangcu disambut dengan riuh oleh orang-orang Kay Pang itu.
Kemudian Oey Yong menanya: "Pheng Tiangloo ini tidak lurus hatinya, coba kamu bilang, dia harus dihukum bagaimana?"
Kan Tiangloo menjura, ia berkata: "Dosa saudara Pheng ini besar sekali, dia harus dihukum berat, akan tetapi mengingat dulu hari ia telah membantu pangcu mendirikan jasa besar untuk partai kita, teecu mohon dia diberi ampun dari hukuman mati."
Oey Yong tertawa. Ia berkata: "Aku memang telah menduga, kau bakal memintakan ampun untuknya. Baiklah! Mengingat dia telah tertawa cukup banyak sekarang dia dipecat kedudukannya sebagai tiangloo, biar dia menjadi murid kantung delapan!"
Ketiga Tiangloo she Kan, Nio dan Lou itu menghanturkan terima kasih, Pheng Tiangloo sendiri juga mengucapkan terima kasihnya.
Oey Yong berkata pula: "Sebenarnya sukar mencari ketika kita untuk berkumpul di sini, kamu semua tentunya ingin berbicara banyak, maka itu pergilah kamu bicara asal terlebih dahulu kamu mengubur baik-baik dua saudara Lee Seng dan Ie Tiauw Hin. Aku melihat Lou Tiangloo adalah orang yang paling baik, selanjutnya semua urusan aku serahkan padanya dan kamu mesti mendengar segala perintahnya. Aku sendiri, sekarang juga aku mau berangkat. Nanti di Lim-an kita bertemu pula!"
Begitu ia berkata, begitu Oey Yong mencekal tangannya Kwee Ceng, untuk ditarik, buat dituntun berlalu turun gunung.
Melihat demikian, semua orang Kay Pang mengiringinya sampai di kaki gunung, sampai nona itu berdua dibawa perahu dan lenyap di antara kabut malam, baru mereka kembali ke puncak gunung, di mana dengan dipimpin Lou Tiangloo, mereka membicarakan segala urusan mereka.
Bab 59. Pesan Gak Bu Bok
Hari sudah terang ketika Oey Yong dan Kwee Ceng kembali ke Gak Yang Lauw. Di sana mereka mendapatkan kuda mereka, sepasang burung rajawali dan burung hiat-niauw menantikan mereka. Semua binatang itu nampak girang bertemu dengan majikan mereka.
Oey Yong memandang jauh ke timur, ia menyaksikan sang Batara Surya seperti meloncat keluar dari gelombang telaga Tong Teng Ouw. Sinar fajar itu sangat indah dan menawan hati.
"Pemandangan begini indah, jangan kita melewatkan," kata si nona kemudian, tertawa, "Engko Ceng, mari kita naik ke atas!"
Kwee Ceng menurut. Tapi kapan mereka tiba di atas dan ingat kejadian kemarinnya, pengalaman itu membuatnya mereka bergidik sendiri. Kejadian itu sangat berbahaya. Hanya keindahan alam membuat mereka dengan cepat melupakan kejadian kemarin.
Belum lama lagi mereka minum arak, mendadak Kwee Ceng melihat air muka si nona berubah, agaknya ia bergusar.
"Engko Ceng, kau jahat!" katanya tiba-tiba.
Kwee Ceng kaget, "Kenapa?" tanyanya heran.
"Kau tahu sendiri!"
Kwee Ceng berpikir tetapi ia tidak ingat apa-apa.
"Yong-jie yang baik, kau jelaskanlah," pintanya.
"Baik," menyahut si nona. "Sekarang aku tanya kau! Tadi malam kita didesak ke jurang, jiwa kita terancam bahaya. Kenapa kau melemparkan aku? Apakah kau kira kalau kau mati aku bisa hidup? Apakah kamu masih belum tahu hatiku?"
Habis itu si nona menangis, air matanya jatuh ke dalam araknya.
Kwee Ceng terharu mendapatkan orang demikian mencinta padanya. Ia mengulur tangannya, akan mencekal erat-erat tangan kanan nona itu. Tidak dapat ia mengucapakan sesuatu.
Oey Yong menghela napas perlahan, melegakan hatinya. Ia sebenarnya hendak membuka mulutnya ketika ia mendengar tindakan kaki di tangga, lalu terlihat nongolnya satu kepala orang. Keduanya terkejut. Itulah Tiat Ciang Siu-siang-piauw Khiu Cian Jin.
Kwee Ceng segera melompat bangun, akan menghalangi di depan si nona. Ia khawatir orang tua itu nanti menyerang.
Tapi Khiu Cian Jin bukannya menyerang, ia hanya bersenyum, tangannya diangkat, untuk menggapai, setelah mana dia memutar tubuhnya, untuk lantas turun pula. Kelihatan nyata orang jenaka tetapi dalam keadaan ketakutan............
"Dia takut pada kita, inilah aneh!" berkata Oey Yong. "Nanti aku lihat."
Tanpa menanti jawabannya, si nona lantas lari turun.
Kwee Ceng lekas membayar uang arak, lekas-lekas ia menyusul. Tapi setibanya di bawah, ia tidak mendapatkan Khiu Cian Jin atau Oey Yong. Ia menjadi kaget dan berkhawatir. Tentu sekali ia takut nona itu celaka di tangannya si Tangan Besi. Maka ia lantas memanggil-manggil: "Yong-jie! Yong-jie! Kau di mana?"
Oey Yong mendengar panggilannya Kwee Ceng itu tetapi ia tidak menyahutinya. Ia lagi menguntit Khiu Cian Jin, kalau ia bersuara, orang akan mengetahui dirinya lagi dibayangi. Ia menguntit terus.
Ketika mereka berjalan di pinggir sebuah rumah besar, Oey Yong sembunyi di alingan tembok di pojok utara. Ia hendak menguntit terus setelah si orang tua jalan sedikit jauh. Akan tetapi Khiu Cian Jin seorang cerdik, begitu ia mendengar suara Kwee Ceng, ia menduga si nona lagi mengikutinya. Maka setelah menikung di ujung tembok, ia juga menyembunyikan dirinya.
Dengan begitu, dua-dua mereka sama-sama bersembunyi. Dengan begitu, sama-sama mereka berdiam. Yang satu menantikan yang lain, yang lain menunggui yang satu. Selang sekian lama, karena dua-duanya tetap bersembunyi, mereka ingin melihat. Keduanya menongolkan kepala mereka. Apa mau, waktunya tepat, bareng sekali. Maka mata mereka bentrok sinarnya satu dengan lain. Nyatanya mereka bersembunyi dekat satu dengan lain: satu di pojok sana, satu di pojok lain - jarak di antara mereka tidak ada setengah kaki! Tentu sekali, kedua-duanya menjadi sama kagetnya.
Setelah menyaksikan peristiwa di Kun San, Oey Yong jeri terhadap orang tua itu, yang sekian lama ia mengiranya seorang penipu besar, yang cuma namanya kesohor tapi gunanya tidak, tidak tahunya, dia sangat lihay. Khiu Cian Jin sebaliknya jeri terhadap si nona, karena sudah beberapa kali dia bercelaka di tangan si nona itu. Maka, setelah sama-sama berseru kaget, sama-sama juga mereka menyingkir masing-masing!
Oey Yong tidak puas. Segera ia kembali, untuk menguntit pula. Ia pikir jalan memutari rumah besar itu. Karena ia khawatir Khiu Cian Jin sudah pergi jauh, ia bertindak cepat. Ia ingat tiba lebih dahulu di ujung tembok timur, untuk dapat menguntit terus.
Juga Khiu Cian Jin berpikir seperti si nona, ia pun jalan memutar seperti nona itu. Tidak heran kalau lekas juga mereka jadi bersamplokan pula! Sekarang mereka bertemu di tembok menghadap ke selatan.
Oey Yong sudah lantas berpikir: "Jikalau aku memutar tubuh dan pergi dari sini, bisa-bisa nanti ia membokong punggungku! Dia sangat lihay, mana bisa aku mengelit diri?" Maka itu, ia lantas tersenyum. Ia berkata: "Khiu Locianpwee, dunia ini benar-benar sempit! Kembali kita bertemu di sini...!" Sambil berkata begitu, si nona pun berpikir: "Baiklah aku mengulur tempo! Aku mesti menantikan engko Ceng, itu waktu aku tak usah takut lagi.........."
Khiu Cian Jin juga sama berpikir seperti si nona. Dia tertawa dan berkata: "Itu hari kita berpisah di Liam-an, siapa sangka sekarang kita bertemu pula di sini. Apakah kau banyak baik, nona?"
Oey Yong heran tak kepalang.
"Bangsat tua, kau ngaco belo!" katanya di dalam hatinya. "Terang-terang tadi malam kita bertemu di Kun San, sekarang kau menyebut-nyebut tentang pertempuran di Lim-an itu! Baik, biarlah kau ngoceh tidak karuan! Aku ada membuat ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat, kenapa aku tidak mau menghajar dia sebelum dia sadar?" Maka ia lantas berteriak nyaring: "Engko Ceng, kau hajar punggungnya!"
Khiu Cian Jin kaget. Ia mengira Kwee Ceng muncul di belakangnya. Ia lantas menoleh.
Oey Yong sangat sebat, berbareng sama teriakannya itu, tangannya mengeluarkan tongkatnya, dengan apa ia terus menyapu ke bawah!
Juga Khiu Cian Jin sangat licin. Ia menoleh dengan cepat, ia tidak melihat Kwee Ceng, lantas ia insyaf bahwa ia diperdayakan. Ia pun mendengar bersiurnya angin, maka ia lantas berlompat. Maka bebaslah ia dari sapuan itu. Akan tetapi Oey Yong tidak sudi mengasih hati. Gagal sapuannya, ia mengulanginya. Dan ia mengulanginya terus, berulang-ulang, untuk membikin orang tak dapat bernapas.
Bukan main takutnya Khiu Cian Jin. Dengan terpaksa, ia berlompatan. Tidak ada ketikanya untuk melesat jauh, guna terus melarikan diri. Setelah tujuh atau delapan kali lompat-lompatan terus, betis kirinya kena juga oleh ujung tongkat, tidak tempo lagi, dia menjerit mengaduh dan tubuhnya terbanting.
"Tahan! Aku hendak bicara!" ia berkata, tangannya diangkat.
Oey Yong menghentikan serangannya, ia mengawasi sambil tertawa geli, tetapi begitu lekas orang bangun sambil berlompat, tidak menanti kaki orang itu mengenai tanah, ia menyapu pula. Di dalam keadaan seperti itu, Khiu Cian Jin tidak dapat berkelit lagi, maka lagi sekali ia terguling memegang tanah. Ia bandel sekali, setiap kali jatuh, ia bangun sambil berlompat, maka itu si nona pun, saban orang berlompat dia membarengi menyapu. Dengan demikian, enam kali orang she Khiu itu jatuh bangun.
Habis itu, Cian Jin terus mendekam di tanah. Ia tahu percuma ia berlompat bangun. Ia pun tidak berani berkutik.
"Kau berpura-pura mampus?" kata Oey Yong tertawa.
Khiu Cian Jin menyahuti sambil ia berlompat bangun, hanya kali ini ia berlompat seraya menarik tali celananya, hingga tali itu putus, sambil berbuat begitu, ia berteriak-teriak: "Kau mau pergi atau tidak? Hendak aku melepaskan tanganku!"
Nona Oey melengak. Ia tidak menyangka bahwa seorang ketua partai mau main gila seperti itu. Tentu sekali ia takut orang membuktikan ancamannya, itu artinya Khiu Cian Jin meloloskan pakaiannya, maka terpaksa sambil berludah ia memutar tubuhnya untuk bertindak pergi. Ia lantas mendengar suara orang tertawa kegirangan, disusul sama suara tindakan kaki. Ketika ia mencoba menengok, ia melihat Khiu Cian Jin masih memegangi celananya itu, bahkan sekarang ia lari hendak mengejar.
Nona ini mendongkol berbareng merasa lucu, tetapi ia terpaksa lekas-lekas lari.
Khiu Cian Jin belum lari jauh ketika ia memikir sudahlah cukup ia mengusir nona itu, maka hendak ia berhenti mengejar, tetapi justru itu, Kwee Ceng muncul dari ujung rumah, ia lantas maju menghalang, kedua tangannya digeraki, tangan kirinya menjaga dada, tangan kanannya diajukan.
"Celaka!" berseru Khiu Cian Jin. Ia lantas berhenti mengejar.
"Hajar dia, engko Ceng!" Oey Yong kata. "Jangan ladeni ocehannya!"
Kwee Ceng sudah lantas bersiap. Ia tahu Khiu Cian Jin sebagai pendusta, tapi di Kun San ia telah melihat ketangguhan orang, dia tidak mau memandang enteng.
"Eh, anak-anak, kau dengar kata-katanya kakekmu!" berkata Khiu Cian Jin sambil ia tetap memegangi celananya. "Selama beberapa hari ini kakekmu termaha gegares, dia menjadi mulas perutnya. Sekarang pun kakekmu mau buang air besar..."
"Engko Ceng, hajar dia!" berkata Oey Yong yang sendirinya tak berani maju bahkan ia mundur.
"Aku tahu hatimu, anak-anak," berkata pula Khiu Cian Jin. "Jikalau kamu tidak diberi ketika akan menyaksikan kepandaian kakekmu, kamu tentu tidak puas, kamu tidak suka menyerah, maka sayang sekali sekarang justru perut kakekmu lagi sakit, semua yang ada di dalam perutnya mau melonjor keluar. Baiklah anak-anak yang manis, aku beri tempo padamu. Lagi tujuh hari maka kakekmu akan menantikan kamu di kaki gunung Tiat Ciang San! Beranikah kamu pergi ke sana?"
Oey Yong telah menyiapkan seraup jarumnya, hendak menyerang apabila saatnya telah tiba, akan tetapi ia mendengar orang menyebut nana gunung Tiat Ciang Pang, mendadak ia ingat huruf-huruf dalam gambar peninggalannya Kiok Leng Hong, yang bunyinya "Tiat Ciang San-hee" atau "di bawah gunung Tiat Ciang San" - gunung Tangan Besi. Maka ia lantas menyahuti: "Baiklah, biarnya tempat itu mirip kedung naga atau gua harimau, tentu kamu nanti pergikan! Di mana adanya Tiat Ciang San itu?"
"Dari sini kau pergi ke barat," berkata Khiu Cian Jin menyahuti, tangannya menunjuk, kamu nanti melintasi Siang-tek, Sin-cu dan sungai Goan Kang. Kamu ikutilah sungai itu mudik. Nanti kamu tiba di Louw-kee dan Sin-kee. Di antara itu ada sebuah gunung tinggi yang berupa seperti lima jari menunjuk ke langit, nah itulah dia gunung Tiat Ciang San. Gunung itu sangat berbahaya, kakekmu sendiri sangat lihay, maka itu kedua bocah, umpama kata kamu takut, baiklah sekarang saja kamu mohon ampun dari kakekmu, lantas bolehlah tak usah kamu pergi ke sana!"
Oey Yong mendengar keterangan "seperti lima jari menunjuk ke langit", ia jadi bertambah girang.
"Baiklah!" ia memberikan jawabannya, "Sekarang aku memberi kepastian, di dalam tempo tujuh hari kami nanti pergi mengunjungi gunungmu itu!"
Khiu Cian Jin mengangguk-angguk, atau mendadak ia berteriak pula: "Celaka!" berulangkali dan tanpa membilang apa-apa lagi, ia lari keras ke barat!
Kwee Ceng tidak mengubar, bersama Oey Yong ia mengawasi sampai orang telah pergi jauh. Kemudian ia kata pada si nona: "Yong-jie, ada satu hal yang bagiku benar-benar tidak jelas. Cobalah kau yang menerangkannya."
"Apakah itu?" Oey Yong.
"Ini cianpwee she Khiu sangat lihay, kenapa dia gemar sekali memperdayakan orang?" Kwee Ceng mengutarakan keheranannya. "Kau lihat sendiri, ada kalanya dia berpura-pura berkepandaian sangat rendah. Di Kwie-in-chung dia telah meninju dadaku, coba dia mengeluarkan tangannya seperti tadi malam, mana bisa jiwaku bisa hidup sampai sekarang ini? Apakah dia berlagak gila saja? Atau apakah dia ada mengundang maksud yang lain?"
Oey Yong berpikir, ia menggigit jari tangannya.
"Dalam hal ini, aku juga sangat tidak mengerti," sahutnya sesaat kemudian. "Tadi aku serang dia berulang kali, dia selalu roboh tak berdaya sama sekali, dia tidak mampu membalas menyerang, bahkan dia lantas main gila. Apa mungkin dia juga memperdayakan orang diwaktu dia menekuk melengkung tongkat baja?"
Kwee Ceng menggeleng kepala.
"Dia telah meremas tangannya Lou Toangloo," dia menambahkan. "Ketika ia menyambuti seranganku dengan tipu silat Kek San Tah Gu, itulah ilmu sejati. Ilmu itu tak dapat dipalsukan..."
Oey Yong lantas membungkuk, dengan tusuk kondenya, ia menggurat-gurat tanah, lalu selang sesaat, ia menghela napas.
"Benar-benar kau tidak dapat menerka tua bangka itu lagi memberi pertunjukan apa," katanya. "Biarlah, mari kita pergi ke Tiat Ciang San, setibanya di sana pasti kita akan mendapatkan pemecahannya."
"Buat apa kita pergi ke Tiat Ciang San?" tanya Kwee Ceng, bersangsi. "Benar urusan kita telah selesai tetapi kita harus mencari suhu. Tua bangka itu pandai main gila, perlu apa kita menangkapnya benar-benar?"
"Engko Ceng, mari kau tanya kau," kata si nona. "Bukankah gambar yang ayahku berikan padamu telah basah dan huruf-huruf apakah yang telah kau lihat di dalam situ?"
"Surat itu telah rusak sampai artinya tak dapat ditangkap," kata Kwee Ceng sambil menggoyangi kepalanya.
"Habis, apakah kau tidak memikirkannya?" tanya pula Oey Yong tertawa.
Kwee Ceng benar-benar tidak dapat memikir atau menduga.
"Ah, Yong-jie yang baik," katanya. "Kau tentu telah dapat memikir sesuatu, maka lekaslah kau jelaskan itu padaku!"
Oey Yong lantas menggurat pula di tanah. Ia menulis huruf-huruf di gambar, yang ia telah ingat dengan baik. Ia berkata: "Di garis pertama itu, yang kurang mestinya satu huruf Bu. Kalau keempat huruf itu lengkap, itu mestinya 'Surat wasiat Bu Bok.' Sekarang garis yang kedua. Sekian lama aku tidak dapat pikir itu, sampai tadi si tua bangka menyebutnya. Menurut dugaanku, huruf itu mestinya 'san' atau 'hong', ialah gunung atau puncak........"
Kwee Ceng lantas membaca: "Jadinya, surat wasiat Bu Bok di gunung Tiat Ciang San." Ia lantas bertepuk tangan, terus ia berseru: "Bagus! Sekarang mari kita lekas pergi ke sana! Tiat Ciang Pang bersekongkol sama bangsa Kim, mungkin sekali surat wasiat Gak Hui itu mereka serahkan pada Wanyen Lieh! Hanya tinggal yang dua garis lagi..."
Oey Yong tertawa.
"Kau sendiri tidak mau menggunakan otakmu, kau paling bisa mendesak orang," ia kata. "Aku rasa, garis yang ketiga itu harus dicari dari kata-katanya si tua bangka bahwa gunung itu mirip lima jeriji tangan. Bukankah itu berbunyi 'dibawah puncak jari tengah'?"
Kembali Kwee Ceng menepuk tangan.
"Yong-jie, kau sungguh cerdik, kau cerdik!" ia memuji pula. "Sekarang tinggal garis keempat, yang keempat....."
Oey Yong berdiam, ia berpikir.
"Ini, inilah sukar....." sahutnya. "....yang kedua apakah itu?" Ia memiringkan kepalanya, hingga rambutnya turun memain. "Sudahlah, nanti saja kita pikirkan pula. Sekarang kita pergi dulu."
Sampai di situ, mereka tidak berayal lagi. Maka mereka lantas cari kuda dan burung mereka, terus mereka mulai dengan perjalanan ke arah barat itu, menurut petunjuk Tiat Ciang Sui-siang-piauw Khiu Cian Jin yang aneh itu, yang sebentar temberang dan jenaka, kemudian kosen benar-benar, lalu main memutuskan tali pinggang............
Mula-mula mereka melewatkan Siang-tek, lalu melintasi Tho-goan, sampai di Goan Kang, atau Goan-leng, mereka jalan ke hulu, dari sini mereka benar tiba di Louw-kee. Di sini mereka tanya-tanya orang di mana adanya gunung Tiat Ciang San. Mereka mendapat jawaban yang berupa gelengan kepala. Mereka menjadi heran, hampir mereka putus asa. Maka terpaksa mereka pergi mencari rumah penginapan.
Malam itu Oey Yong pasang omong dengan pelayan yang bicara banyak, tetapi tidak pernah menyebutkan Tiat Ciang San. Maka kemudian si nona kata: "Semua tempat yang kau sebutkan itu ada tempat-tempat yang umum, dasar Louw-kee tempat kecil, di sini tidak ada gunung dan airnya yang bagus!"
Dengan "gunung dan air", si nona maksudkan pemandangan alam yang indah.
Kata-kata itu yang mengandung hinaan, membikin pelayan itu tak puas.
"Meskipun Louw-kee tempat kecil," katanya, "Tetapi pemandangan alam di gunung Kauw Jiauw San mana ada yang dapat menandanginya?"
Oey Yong ketarik sama nama gunung itu, yang artinya gunung Kuku Kera.
"Di mana letaknya Kauw Jiauw San itu?" ia tanya.
"Maaf," berkata pelayan itu yang tidak menjawab, hanya ia mengundurkan diri.
Oey Yong memburu, di ambang pintu, ia menjambak punggung orang, untuk menarik dia itu kembali ke dalam kamar. Ia terus merogoh keluar sepotong perak dan meletaki itu di atas meja.
"Kau omong biar jelas, uang ini untukmu," ia kata.
Ketarik hatinya pelayan ini, ia meraba-raba uang perak itu.
"Perak begini besar?" katanya.
"Ya," sahut Oey Yong bersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, aku nanti menjelaskannya," pelayan itu lantas berkata, perlahan, "Cuma aku minta jangan jiewi pergi ke sana. Di atas gunung itu ada berdiam sekawanan hantu yang jahat, mereka juga memelihara banyak ular berbisa. Siapa mendekati gunung itu lima lie, jangan harap jiwanya selamat!"
Oey Yong dan Kwee Ceng saling memandang, mereka saling mengangguk.
"Kauw Jiauw San itu terdiri dari lima puncak, yang semuanya menjulang ke langit mirip tangan kera, bukankah?" kemudian si nona tanya.
Pelayan itu girang. "Ah, kiranya nona sudah tahu!" katanya. "Jadi itulah bukan aku yang menjelaskannya. Lima puncak itu memang luar biasa sekali."
"Kenapa begitu?" tanya Kwee Ceng.
"Lima puncak itu berdiri rapat seperti lima jari tangan," menerangkan si pelayan. "Puncak yang di tengah ialah puncak yang paling tinggi. Puncak-puncak yang lainnya, di kedua sisinya lebih rendah. Yang aneh ialah setiap puncak itu ada garisnya, mirip sama tiga tekukan jari tangan."
Mendengar itu, Oey Yong berjingkrak-jingkrak sambil berseru: "Yang kedua! Yang kedua!"
"Benar! Benar!" Kwee Ceng pun berseru kegirangan.
"Engko Ceng mari kita pergi!" berkata Oey Yong.
"Tempat itu terpisah dari sini tak ada enampuluh lie, dengan menunggang kuda merah, sebentar saja kita bisa sampai di sana," berkata Kwee Ceng. "Aku pikir, baiklah besok saja kita pergi berkunjung ke sana."
Si nona tertawa.
"Siapa yang mau membuat kunjungan?" katanya. "Kita mencuri buku!"
"Ah!" seru Kwee Ceng, yang baru sadar. "Kenapa aku tolol sekali, aku tidak dapat memikir sampai ke situ...!"
Dua orang ini tidak mau membikin orang penginapan yang mengetahui perbuatan mereka, mereka keluar dengan diam-diam dengan melompati jendela. Dengan hati-hati juga mereka menuntun kuda mereka. Lalu, dengan menuruti petunjuk pelayan, mereka berangkat menuju ke arah tenggara. Jalanan ada jalanan pengunungan dan rumputnya tinggi-tinggi, jalanan sukar, tetapi kuda kecil itu dapat melalui itu. Di dalam tempo satu jam, sampailah mereka di kaki gunung.
Terlihat jelas lima puncak gunung, yang mirip dengan lima jari tangan berdiri tegak, terutama puncak yang di tengah-tengah itu.
"Puncak ini sama benar dengan puncak di dalam gambar," berkata Kwee Ceng setelah ia mengawasi sekian lama. "Lihat di puncak itu, bukankah itu pohon cemara?"
Oey Yong tertawa ketika ia menyahuti: "Ya, hanya di sana kurang seorang jenderal yang lagi bersilat dengan pedang!"
Lantas mereka meninggalkan kuda mereka dan burung rajawali di kaki gunung itu, mereka jalan memutar ke belakang gunung. Di sini, di mana tidak tertampak ada orang lain, mereka mulai mendaki dengan berjalan cepat bagaikan lari. Beberapa lie telah dilewatkan, jalanan menikung, lalu menuju ke barat. Mereka maju terus. Di sini jalan selanjutnya berliku-liku sampai di depan mereka, mereka tampak pohon cemara melulu.
Mereka berhenti sebentar, mereka bersangsi, hingga mereka saling bertanya baik mereka mendaki terus atau melihat-lihat dulu. Selagi mereka berbicara, si burung merah molos dari tangan baju Oey Yong, terus ia terbang ke dalam rimba.
Si nona sangat menyayangi burungnya itu, sambil menggapai kepada Kwee Ceng, ia lari ke arah rimba itu, untuk menyusul burungnya. Hanya ia menjadi bingung ketika lekas sekali ia kehilangan hiat-niauw yang terbangnya sangat cepat. Terpaksa ia maju terus dengan Kwee Ceng mengikuti.
Sekira satu lie jauhnya, mereka tiba di satu tempat di depan mana ada cahaya api. Keduanya saling memberi isyarat, setelah mana mereka maju dengan perlahan-lahan, enteng tindakannya. Baru beberapa tindak, mendadak dari samping jalanan, di mana ada pohon-pohon besar, dua orang berlompat keluar, untuk menghadang di muka mereka. Dua orang itu sama-sama mengenakan pakaian hitam dan memegang senjata tajam. Hanya mereka itu tidak membuka suara.
Oey Yong lantas berpikir. Ia tahu, kalau mereka bertempur, sulit untuk melakukan pencurian "buku", ialah surat wasiatnya Gak Hui itu. Ia cerdik sekali. Maka segera ia mengeluarkan tiat-siang, ialah tangan besi dari Khiu Cian in. Ia mengangkat tinggi-tinggi, terus ia bertindak tanpa membuka suara seperti dua orang itu.
Kapan kedua orang berpakaian hitam itu menampak tangan besi tersebut, mereka terkejut, dengan lekas mereka memberi hormat, lalu mereka menyingkir ke pinggiran untuk memberi jalan.
Oey Yong berlaku sebat luar biasa. Tepat orang mundur, tepat ia menyerang. Dengan tongkatnya, dengan dua gerakan saling susul, ia menotok kedua orang itu, hingga keduanya roboh tak berdaya lagi, hingga gampang saja mereka didupak mencelat ke dalam gompolan rumput. Habis itu, dengan cepat tetapi berhati-hati, mereka maju pula, menghampirkan api yang tadi terlihat samar-samar.
Nyatalah itu ada sebuah rumah batu dengan lima ruang dan api munculnya dari dua ruang timur dan barat. Mereka menghampirkan ruang barat itu. Segera hidung mereka menangkap bau amis. Tapi mereka tidak menghiraukannya, mereka lantas mengintai di jendela.
Di dalam kamar itu ada sebuah perapian besar, yang apinya menyala marong. Di atas situ ada sebuah kuali. Dua kacung menanti di samping perapian itu, yang satunya lagi menolak pompa anginnya, yang lainnya tengah melemparkan seekor ular yang ia jumput dari dalam karung, di lemparkan ke dalam kuali itu, di depan kuali ada seorang lain, seorang tua yang duduk numprah dengan mata dimeramkan, dengan menggunakan tenaga besar, ia menghisap menyedot uap yang mengepul dari kuali itu, uap mana teranglah berhawa panas. Orang tua itu mengenakan baju kuning pendek. Dan dia bukan orang lain daripada Khiu Cian Jin.
Selagi ia menyedot hawa masakan ular itu, kepala Khiu Cian Jin mengeluarkan hawa panas yang nampak bagaikan uap juga, sedang kedua tangannya yang diangkat tinggi, sepuluh jerijinya pun terlihat mengeluarkan uap serupa. Habis itu, mendadak ia bangun berdiri, kedua tangannya itu dimasuki ke dalam kuali. Di waktu begitu, maka si bocah tukang kipas lantas mengompa angin dengan luar biasa kuat hingga ia memandikan keringat pada dirinya.
Khiu Cian Jin membiarkan tangannya berada di dalam godokan ular itu, sampai rasa panasnya sudah tak tertahankan, baru ia menarik kedua tangannya itu. Setelah menarik, ia menyampok sebuah kantung kain yang tergantung di dalam ruangan itu, sampokannya itu menerbitkan suara nyaring, tetapi kantungnya sendiri tidak bergoyang.
Kwee Ceng heran. Ia tahu betul isinya kantung itu mestinya pasir dan isi itu tak ada satu batok. Yang mengherankan ialah kantung itu tersampok tanpa bergoyang itu. Itulah menandakan lihaynya ilmu silat orang tua itu.
Oey Yong sebaliknya daripada engko Cengnya itu. Ia tetap menganggap si orang tak lain lagi bersandiwara, untuk mengelabui orang. Coba ia tidak lagi memikir untuk mencuri surat wasiat, pastilah ia hendak menjengeki orang tua itu.
Latihannya Khiu Cian Jin diulangi dan diulangi lagi. Habis menyampok kantung, ia masuki pula tangannya ke dalam kuali panas itu, habis itu, ia mengangkat lagi tangannya itu dan menyampok kembali kantung pasir. Demikian seterusnya.
Setelah mengintai sekian lama, Oey Yong dan Kwee Ceng pergi ke kamar tidur. Di sini mereka menyaksikan pula hal yang mengejutkan mereka. Sebab disini mereka menemukan dua orang yang mereka kenal baik, ialah Yo Kang bersama Bok Liam Cu. Sepasang muda mudi itu lagi bicara dengan asyik, atau lebih benar, Yo Kang alias Wanyen Kang lagi membujuki si nona untuk mereka menikah siang-siang. Manis sekali bicaranya putra dari almarhum Yo Tiat Sim itu. Sebaliknya nona Bok bersikeras meminta si pemuda lebih dulu membalaskan sakit hatinya terhadap Wanyen Lieh, supaya pangeran bangsa Kim itu dibunuh mati, untuk melampiaskan dendeman ayah dan ibunya. Katanya dengan begitu baru ia puas dan hatinya akan menjadi lega dan senang.
"Ah, adik yang baik, mengapa kau tidak dapat melihat kenyataan?" kata Yo Kang manis.
"Kenapa begitu?" Liam Cu tanya heran.
"Memang! Wanyen Lieh itu terjaga kuat sekali, aku seorang diri, mana dapat aku membunuh dia begitu gampang, seperti kau menginginkannya?" menjawab Yo Kang. "Lagiannya kalau aku bersendirian saja, mana bisa aku gampang bekerja? Tidak demikian setelah kau menjadi istriku. Nanti aku ajak kau menghadap dia lalu dengan mendadak kita bekerja berbareng, menyerang padanya selagi dia tidak bersiaga. Tidakkah dengan begitu maksud kita dapat tercapai?"
Alasan itu kuat, Bok Liam Cu lantas tunduk. Di antara sinar lampu, kelihatan nyata kedua belah pipinya yang merah, menandakan kecantikannya.
Yo Kang melihat hati orang tertarik, ia lantas mencekal tangan orang yang kiri, yang ia usap-usap.
Menampak demikian macam, Oey Yong kehilangan kesabarannya. Ia menganggap Liam Cu terancam bahaya. Dengan sekonyong-konyong ia berseru: "Enci Bok, jangan kau percaya obrolannya si jahanam!"
Yo Kang kaget sekali, segera ia meniup api hingga padam, setelah mana, dengan kedua tangannya, ia memeluk Liam Cu, kemudian, seperti disengaja seperti bukan, ia menutupi kedua kupingnya nona itu.
Di luar kamar, di saat Oey Yong hendak membuka suara pula, ia segera mendengar bentakan yang bengis: "Siapa yang berani lancang mendaki Tiat Cang San?!" Itulah suaranya seorang tua.
Oey Yong segera berpaling, demikian juga Kwee Ceng. Di situ ada sinar rembulan, maka tertampak nyata si penegur adalah Khiu Cian Jin. Sebaliknya orang she Khiu ini pun terperanjat akan mengenali sepasang muda-mudi itu.
"Khiu Looyacu!" berkata Oey Yong sambil tertawa. Ia berlaku tabah dan manis. "Aku datang ke mari untuk memberi selamat! Bukankah aku tidak menyalahi janji kita akan bertemu dalam tempo tujuh hari?"
"Janji bertemu tujuh hari?" berseru Khiu Cian Jin. "Ngaco belo!"
"Ah, ah!" Oey Yong tertawa pula. "Kenapakah baru sekejapan mata saja, kau sudah lantas lupa? Eh, ya, apakah perutmu yang mulas sudah sembuh ke akar-akarnya?"
Nampaknya orang tua itu sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi, dalam murkanya, ia berseru panjang, lalu kedua tangannya melayang ke pundak kiri dan kanan si nona.
Oey Yong yang tertawa haha-hihi, ia tidak memperdulikan ancaman itu, ia tidak mau menangkis atau berkelit. Ia sengaja hendak membikin tangan orang itu terkena duri baju lapis mustikanya. Akan tetapi ia segera mendengar suara kaget dari Kwee Ceng: "Yong-jie, minggir!" Menyusul itu, ia mendengar sambaran angin. Ia tahu tentulah pemuda itu hendak menyerang, untuk menyambuti tangan orang. Tapi ia terlambat. Disaat ia memikir untuk berkelit, hidungnya telah tercium bau amis, menyusul mana kedua pundaknya terasa terbentur tenaga keras, maka tanpa merasa, tubuhnya terhuyung ke belakang dan belum lagi tubuhnya jatuh ke tanah, ia telah tak dasarkan diri.
Akan tetapi Khiu Cian Jin telah terluka pada kedua tangannya itu, yang terus mengucurkan darah, hanya ketika serangan Kwee Ceng sampai, ia masih sempat mengelit tangannya itu, yang terus diputar balik, untuk dipakai membalas menyerang. Maka bentroklah tangan mereka, hingga keduanya sama-sama mundur tiga tindak. Itulah menunjuki ketangguhan mereka berimbang.
Kwee Ceng mengkhawatirkan Oey Yong, tidak mau ia melayani lebih jauh. Ia berlompat kepada kekasihnya itu, sambil membungkuk, ia menyambar tubuh orang buat diangkat dan terus dibawa lari. Hanya hampir berbareng dengan itu, ia merasakan angin menyambar punggungnya. Ia tahu itulah penyerangan dari lawan. Dengan terpaksa, ia menangkis sambil menyerang. Ia memeluk Oey Yong dengan tangan kiri, tanpa memutar tubuh, ia menyerang ke belakang dengan tangan kanannya. Itulah jurus" Sin liong pa bwee", atau "Naga sakti menggoyang ekor". Itu pula tipu silat dari Hang Liong Sip-pat Ciang - Delapanbelas Tangan menakluki Naga - tipu silat yang diperantikan menolong diri dari ancaman bahaya. Dalam keadaan kesusu itu, ia menggunakan tenaga berlipat ganda.
Kapan Khiu Cian Jin merasakan tangannya bentrok pula sama si anak muda, tubuhnya terhuyung di luar kehendaknya, berbareng dengan mana rasa sakit di tangannya itu nelusup hingga ke ulu hatinya. Sekarang baru ia ingat bahwa di duri bajunya Oey Yong ada racunnya, maka lekas-lekas ia mengangkat kedua tangannya, melihat di bawah terangnya sinar bulan. Ia tahu tangannya sendiri mengandung racun, ia menduga racun musuh juga lihay, kalau ia terluka, mungkin lukanya hebat. Karena itu, ia menjadi khawatir.
Kwee Ceng menggunakan ketikanya selagi Khiu Cian Jin memeriksa lukanya itu, ia memondong terus Oey Yong untuk dibawa kabur, tetapi ia bukannya lari turun gunung hanya sebaliknya mendaki puncak. Ia baru lari beberapa puluh tindak atau ia mendengar teriakan-teriakan riuh di belakangnya, ketika ia menoleh, ia melihat ia lagi dikejar oleh banyak sekali orang yang berpakaian hitam yang pada membawa obor yang diangkat tinggi-tinggi. Karena tidak ada jalan lain, ia terpaksa lari naik terus. Sembari lari ia masih mengambil kesempatan memegang hidung si nona. Untuk kagetnya, ia merasakan orang tidak bernapas.
"Yong-jie, Yong-jie!" ia memanggil, hatinya cemas. Tapi ia tidak memperoleh jawaban, hingga ia menjadi bertambah khawatir, hingga ia menjadi bingung, mendengar teriakan-teriakan riuh di belakangnya, ayal sedikit, pengejar-pengejarnya itu telah mendatangi dekat. Di antara mereka itu ada Khiu Cian Jin. Hanya jumlah mereka ini tinggal belasan. Tetapi itu menandakan kawanan pengejar itu lihay semua. Sebab siapa tidak pandai ilmu enteng tubuh dan larinya tak keras, dia ketinggalan jauh di belakang.
"Jikalau aku seorang diri, tak sukar untuk aku nerobos turun dari sini," kata Kwee Ceng di dalam hatinya. "Sekarang aku lagi membawa-bawa Yong-jie yang lagi terluka parah ini...."
Di dalam keadaan mogok seperti itu, tidak ada pilihan lagi untuk pemuda ini. Dengan terpaksa ia lari naik terus. Ia sekarang tidak lagi memilih jalanan, ia hanya lari dan berlompat lempeng langsung ke atas, ia berpegangan, melapai dengan sebelah tangan. Untung untuknya, selama di gurun pasir, ia telah melatih diri dalam hal mendaki gunung. Karena ia pun naik lempeng, maka tidak lama, dapat ia meninggalkan pula kawanan pengejarnya itu.
Kembali Kwee Ceng memeriksa Oey Yong. Ia meraba si nona. Sekarang ia merasakan hawa sedikit hangat. Ini membuat hatinya sedikit lega. Hanya tempo dipanggil beberapa kali, nona itu tetap tidak memberikan penyahutan, tetap ia tak mendusin.
Kemudian Kwee Ceng dongak, memandang ke atas. Maka ia melihat, puncak sudah dekat. Ia lantas menggunakan pikirannya. Ia percaya sekarang ini ia sudah di kurung di sekitar puncak itu, jadi perlu sekali ia suatu tempat untuk menempatkan diri, untuk beristirahat. Terutama perlu sekali Oey Yong dibikin sadar. Ia lantas melihat ke kiri kanannya. Di sebelah kiri, sejarak duapuluh tembok lebih, ia melihat samar-samar seperti gua. Tanpa sangsi lagi, ia lari naik ke atas. Ia benar-benar mendapati sebuah gua. Tanpa jeri sedikit juga, ia berlari masuk ke dalam situ. Segera ia meletaki tubuh si nona, dengan lantas ia menekan jalan darah leng-tay-hiat di punggung si nona, guna membantu jalan pernapasannya.
Di sekitar puncak itu terdengar riuh suara orang-orang Tiat Ciang pang, yang rupanya mencari terus. Kwee Ceng tidak menghiraukan mereka itu, ia tetap menolong Oey Yong. Itulah usaha paling utama untuknya.
Selang lamanya sepeminuman teh, mendadak Oey Yong mengasih dengar seruan perlahan. Ia sadar. Bahkan segera ia berkata: "Aduh... dadaku sakit...." Suaranya itu perlahan sekali.
Tapi Kwee Ceng girang luar biasa.
"Yong-jie, jangan takut," ia berkata, menghibur. "Aku ada bersama kau. Kau beristirahatlah dulu." Ia terus bertindak ke mulut gua, di situ ia berdiri tegak, kedua tangannya disilangkan di depan dadanya, bersiap untuk mengadu jiwa.
Setelah berada di mulut gua itu, hingga ia dapat melihat luas ke sekitarnya, hati pemuda ini gentar juga. Di pinggang gunung ia seperti menyaksikan tembok obor. Teranglah orang-orangnya Khiu Cian Jin sudah kumpul semua. Sejarak satu lie dari dia, ia melihat orang-orang yang nampak rada tegas, di paling depan berdiri satu orang yang bukan lain daripada Khiu Cian Jin. Orang banyak itu bergusar dan mencaci tidak hentinya, tetapi tubuh mereka tidak bergerak, mereka bagaikan dipantek paku, tidak ada seorang jua diantaranya yang bertindak maju sekalipun satu tindak.
Untuk sementara, Kwee Ceng mengawasi mereka itu. Ia tidak dapat menerka maksud mereka. Oleh karena tidak ada ancaman bahaya langsung, ia kembali ke dalam untuk melihat Oey Yong. Disaat ia membungkuk, mendadak ia mendengar suara apa-apa di belakangnya. Ia membungkuk dengan membaliki belakang kepada bagian dalam dari gua itu. Ia memutar tubuh dengan segera, kedua tangannya siap sedia, kedua matanya dipentang lebar. Tapi melihat tempat gelap, ia tidak nampak suatu apa. Entah berapa dalamnya gua itu.
"Siapa?!" anak muda ini menegur. "Lekas keluar!"
Dari dalam gua itu terdengar suara terbalik, ialah kumandangnya sendiri. Karena ia berdiam, ia memasang mata dan kuping, tetap waspada.
Sebentar kemudian, dari dalam situ terdengar suara batuk-batuk perlahan, lalu itu disusul sama tertawa yang nyaring, yang membuatnya orang mau tidak mau bangun bulu romanya. Itulah suaranya Khiu Cian Jin.
Dengan sebat Kwee Ceng menyalakan api hwee-cip. Maka segeralah terlihat dari pedalaman gua itu bertindak mendatangnya satu orang yang tangannya memegang kipas daun, kumis jenggotnya telah putih semua, karena dialah Tiat Ciang Sui-siang-piauw Khiu Cian Jin. Maka kagetnya pemuda itu tak terkira-kira. Bukankah orang itu barusan ada di sebelah bawah, lagi mencaci kalang kabutan bersama orang-orangnya? Kenapa adalam sekejap saja dia sudah berada di atas, di dalam gua ini?
Khiu Cian Jin lantas tertawa.
"Haha-haha bocah-bocah!" katanya. "Kamu benar-benar tidak takut mampus! Benar-benar kamu datang mencari kakekmu! Bagus, sangat bagus!" Habis itu, mendadak dari tersenyum berseri-seri, ia memperlihatkan roman bengis. Ia pun membentak: "Inilah daerah terlarang dari Tiat Ciang Pang! Siapa masuk ke mari, dia mesti mati, dia tak dapat hidup pula! Oh, bocah-bocah, benar-benar kamu sudah bosan hidup!"
Kwee Ceng berpikir keras untuk dapat menangkap maksud orang yang sebenarnya, atau Oey Yong telah mendahului padanya. Si nona membaliki kepada orang tua itu: "Jikalau tempat ini tempat terlarang, kenapa kau masuk ke mari?"
Khiu Cian Jin menyeringai. Terang ia likat. Hanya sebentar, lantas ia berkata: "Siapa mempunyai ketika senggang akan adu bicara dengan kamu, bocah-bocah!" Lantas dia bertindak cepat, untuk nerobos keluar.
Kwee Ceng melihat sikap orang, ia khawatir Khiu Cian Jin nanti membokong Oey Yong. Maka ia pikir, baiklah ia turun tangan terlebih dulu atau nanti orang mendahului mereka. Maka ia berlompat maju, kedua tangannya dikasih turun dengan berbareng ke pundak jago tua itu. Ia menduga orang bakal membalik tubuh, untuk menangkis, maka ia sudah bersedia akan meneruskan dengan sikutnya ke arah dada. Itulah ilmu silat ajarannya Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay, Manusia Aneh kedua dari Kanglam. Serangan ke pundak hanya ancaman, yang benar ialah sikut ke dada.
Benarlah dugaan Kwee Ceng, Khiu Cian Jin menangkis. Hanya ia merasa heran. Tangkisannya orang tua ini lunak, tak sehebat tadi waktu mereka bentrok tangan. Tapi ia berpikir cepat. Dengan lantas ia mengubah serangannya, ialah ia membatalkan sikutnya, ia berbalik menyambar kedua tangan orang, yang ia terus cekuk!
Khiu Cian Jin kaget, dia bentrok, tetapi sia-sia saja, dia tidak dapat meloloskan tangannya itu. Maka teranglah sudah, ilmu silatnya masih sangat rendah!
Sekarang Kwee Ceng tidak bersangsi pula. Ia lantas membuat main kedua tangannya. Mulanya ia menolak, lalu ia menarik. Tepat tubuh orang maju ke depannya, ia menyambuti dada orang dengan totokan di jalan darah im-touw-hiat. Maka sedetik itu juga, lemaslah tubuhnya Khiu Cian Jin, lantas saja dia roboh di tanah, tak dapat dia berkutik lagi, cuma dari mulutnya segera terdengar suaranya yang lunak: "Ah, tuan cilikku, disaat seperti ini, mengapa kau justru bergurau denganku..?"
Justru itu suara di luar terdengar semakin nyata. Teranglah bahwa orang-orang Tiat Ciang Pang sudah mendatangi semakin dekat. Rupanya mereka itu dapat mendaki sedikit demi sedikit.
"Sekarang ini kau baik-baiklah mengantarkan kami turun gunung!" berkata Kwee Ceng kepada orang tawanannya itu. Ia berbicara perlahan tetapi bernada mengancam.
Khiu Cian Jin mengerutkan alis dan menggeleng kepala.
"Jiwaku sendiri terancam bahaya, mana dapat aku mengantarkan kau turun gunung?" katanya.
"Kau menyuruh semua murid dan cucu muridmu itu membuka jalan," berkata Kwee Ceng, tetap sabar, "Nanti sesampainya di kaki gunung, aku akan membeaskan kau dari totokanku ini."
Orang tua itu mengerutkan alisnya pula.
"Oh, tuan kecilku," katanya, suaranya tetap suara tak berdaya, "Kenapa kau masih terus mendesak aku? Pergi ke mulut gua, kau melihat keluar, nanti kau mengerti sendiri...."
Kwee Ceng memang heran. Ia lantas bertindak ke mulut gua. Begitu ia melihat ke bawah, ia berdiri menjublak. Di sana ia melihat Khiu Cian Jin, dengan mengibas-ibas kipas daunnya, masih saja mencaci dan mendamprat seraya membanting-banting kaki, sebab rupanya ia sangat mendongkol yang dia tidak dapat segera naik ke puncak, ke gua itu. Ia segera menoleh ke belakang. Di belakang itu ia melihat Khiu Cian Jin tetap lagi rebah tak berkutik!
"Kau... kau..." katanya, heran sangat. "Kenapa kamu ada dua...?"
"Ah, engko tolol, apakah kau masih tidak mengerti?" berkata Oey Yong perlahan. "Memang benar ada dua Khiu Cian Jin! Khiu Cian Jin yang satu lihay ilmu silatnya, Khiu Cian Jin yang lain si tukang mengepul! Mereka itu terlahir sama rupa sama macamnya!"
Baru sekarang si pemuda mendusin. Tapi ia masih menanya Khiu Cian Jin di hadapannya itu: "Benarkah?"
"Si nona benar," katanya. "Katalah dua saudara kembar dan aku si kakak."
"Habis siapa Khiu Cian Jin yang sebenarnya?"
"Nama tak sama, apakah artinya itu?" kata Khiu Cian Jin, si tukang mengepul ini. "Aku dipanggil Khiu Cian Jin, dia juga dipanggil Khiu Cian Jin... Kami dua saudara akur sama lain, kami berdua semenjak masih kecil telah memakai satu nama...."
"Lekas bilang, siapa yang sebenarnya Khiu Cian Jin?!" Kwee Ceng masih mendesak. Ia agak mulai habis sabar.
"Buat apa ditegaskan pula?" berkata Oey Yong. "Tentulah ini yang palsu!"
"Hm!" Kwee Ceng mengasih dengar suara bengis. "Eh, tua bangka, siapa namamu yang sebenarnya?!"
Khiu Cian Jin terdesak, ia rupanya takut juga. Maka ia menyahuti: "Aku samar-samar ingat ayahku almarhum pernah memberikan nama lain padaku yaitu Cian Lie. Karena nama itu aku dengarnya tak sedap, aku tidak pakai..."
"Jadilah kau Khiu Cian Lie!" bentak Kwee Ceng.
Beda dari sikapnya tadi, sekarang Khiu Cian Lie tidak lagi menunjukkan roman likat atau takut, dengan lantang ia berkata: "Orang suka sebut apa, ia menyebut apa, apakah kau berhak mencampurinya?"
Kwee Ceng tidak menggubris sikap orang ini. Ia menanya: "Kenapa mereka itu mencaci kalang-kabutan? Kenapa mereka tidak naik terus ke mari?"
"Tanpa titahku, siapa berani naik ke mari?" menjawab Khiu Cian Lie, jumawa.
Kwee Ceng ragu-ragu.
"Engko Ceng," berkata Oey Yong. "Jikalau tidak dikasih rasa yang enak, ini bangsat tua yang sangat licin tidak nanti mau mengudal isi perutnya! Kau coba totok jalan darahnya thian-kiu-hiat!"
Kwee Ceng menurut, ia dekati orang tua dan menotok.
Jalan darah thian-kiu-hiat itu letaknya di bawah tenggorokan, di atasan satu dim dari jalan darah soan-kie-hiat, itulah cabang im-wie dari delapan jalan nadi. Begitu lekas ia ditotok, begitu lekas juga Khiu Cian Lie menjadi tidak karuan rasanya, ia merasakan sakit seperti digigit ribuan semut dan gatalnya bukan main. Maka juga ia menjerit mengaduh-aduh dan mengatakannya: "Apakah ini bukan siksaan hidup! Bukankah ini perbuatan sangat melanggar perikemanusiaan...?"
"Lekas menjawab aku!" kata Kwee Ceng. "Akan aku membebaskan padamu!"
Kalah juga orang tua bandel ini.
"Baiklah," katanya kemudian sambil menahan siksaan, "Kakekmu tidak sanggup melayani kamu kedua bocah... Nah, kamu dengarlah...!"
Beginilah keterangannya si tukang mengepul.
Khiu Cian Lie dan Khiu Cian Jin benar bersaudara kembar, dan semenjak masih kecil, sifat dan roman mereka tak ada bedanya. Pada waktu Khiu Cian Jin berumur tigabelas tahun, secara kebetulan dia dapat menolongi pangcu atau ketua dari Tiat Ciang Pang. Pangcu itu mau membalas budi, maka ia mewariskan kepandaiannya kepada penolongnya itu. Cian Jin luar biasa, dalam umur duapuluh empat tahun, ia telah pandai segala apa bahkan melebihkan gurunya. Ketika pangcu itu tutup mata, dia mewariskan Tiat Ciang Pang kepada murid yang berbareng menjadi tuan penolongnya ini. Khiu Cian Jin gagah dan pintar, di bawah pimpinannya, partainya itu memperoleh kemajuan, kemudian namanya, terutama gelarannya - Tiat Ciang Sui-siang-piauw, si Tangan Besi Mengambang di Air - menjadi sangat kesohor sesudah ia menindas rombongan dari Heng San Pay. Khiu Cian Jin memahamkan Go Tok Sin Ciang Sin-kang, yaitu ilmu tangan besi yang beracun, tetapi dia tidak turut dalam pertemuan besar yang pertama di Hoa San, karena itu waktu ia belum menyakinkannya sempurna ilmunya, ia jeri terhadap Ong Tiong Yang, maka ia mengambil putusan untuk melatih terus, guna nanti turut dalam pertemuan yang kedua kali. Ia sangat ingin menjadi "Boe Kong Thian Hee Tee It", ialah jago nomor satu di kolong langit ini.
Sementara itu, setelah usianya meningkat, sifat Khiu Cian Lie menjadi semakin lihay dalam ilmu mengepul, dia sangat doyan ngebrahol dan mendusta, gemar sekali ia menipu orang, dan karena roman mereka sama, dia pun dapat membawa aksi jago dengan baik, sedang kalau mogok dia menggunakan kelicinannya seperti dua kali dia menggunakan akal mencoba menjual Oey Yong beramai. Peranannya ini membuat Oey Yong dan Kwee Ceng menampak kesulitan, sampai di Kun San pemuda she Kwee ini mendapat perlawanan hebat, sedang Oey Yong baru saja merasai tangan lihay dari Khiu Cian Jin yang tulen.
Puncak tengah dari gunung Tiat Ciang San ini dinamakan Tiong Cie Hong, artinya puncak Jari Tengah. Inilah tempat menyimpan tulang belulang dari semua ketua Tiat Ciang Pang. Kalau satu pangcu merasa umurnya bakal sampai, maka ia naik seorang diri ke atas puncak, untuk menanti penghembusan napasnya yang terakhir. Pula ada satu aturan yang sangat keras dan mesti ditaati dalam Tiat Ciang Pang itu. Ialah, siapa juga dilarang mendaki dan memasuki puncak Tiong Cie Hong bagian tekukan yang kedua atau tee-jie-ciat, dan siapa melanggar itu, dia tidak dapat turun lagi dengan masih hidup. Umpama kata terjadi pangcu mati dilain tempat, mayatnya mesti dibawa oleh salah satu muridnya naik ke puncak itu, habis itu murid ini mesti membunuh diri di atas puncak. Kebinasaan ini oleh si murid yang bersangkutan dipandang suatu kehormatan paling besar.
Kwee Ceng telah heran kalau pihak Tiat Ciang Pang menjadi sangat gusar hingga mereka mencaci kalang kabutan.
Kenapa Khiu Cian Lie berani mendaki puncak itu? Ini pun ada sebabnya. Dan sebab itu begini: "Di dalam rumah atau gua batu itu, ada tersimpan banyak barang berharga, atau mustika. Sebab setiap satu pangcu yang mau mati, dia tentu naik dengan membawa satu atau lebih barang berharga, umpama golok atau pedang mustika, atau barang kuno atau barang permata mulia. Setelah pelbagai pangcu, maka dianggap di situ telah di situ telah banyak disimpan benda berharga itu. Khiu Cian Lie bersusah hati karena selama beberapa bulan belakangan ini ia gagal dengan aksi membualnya, ia tahu itu semua disebabkan ia tidak punya guna. Maka ia memikir, kalau ia mempunyai senjata mustika, pedang atau golok, tentulah ia bisa perbaiki kehormatannya yang telah ternoda itu. Hatinya jadi semakin terdesak kapan ia ingat segera juga ia bakal menghadapi Kwee Ceng dan Oey Yong, maka disaat terdesak itu, dengan mati-matian dan dengan diam-diam ia naik ke puncak, untuk mencuri salah satu senjata. Apa lacur, ia justru kepergok Kwee Ceng dan Oey Yong sekali dan ia dirobohkan tanpa berdaya.
Mendengar keterangan itu, Kwee Ceng berpikir, "Tempat ini tempat keramat, pasti musuh tidak bakal akan naik ke atas. Tetapi juga tidak ada bakal jalannya untuk turun, cara bagaimana aku bisa lolos dari sini?"
Selagi ia berpikir keras itu, Kwee Ceng mendengar suara kawannya: "Engko Ceng, coba kau masuk ke dalam dan melihatnya."
"Tapi marilah aku periksa dulu lukamu," berkata si pemuda. Ia lantas mencari cabang kering, untuk membikin obor, sesudah mana ia buka baju si nona, guna melihat lukanya. Di kedua pundak yang putih dan halus ada tapak dari lima jari tangan, tapak yang hitam. Luka itu bukannya enteng, maka syukur, si nona terlindung baju lapisnya itu.
Kwee Ceng menjadi bingung. Bagaimana ia dapat mengobati luka ini? Ia ingat luka gurunya disebabkan hajaran Kam Mo Kang dari Auwyang Hong. Luka gurunya itu dan luka Oey Yong ini sama hebatnya. Gurunya tertolong karena ketangguhan tubuhnya dan Oey Yong karena baju lapisnya.
Tengah si anak muda ini menjublak, Khiu Cian Lie memperdengarkan suaranya pula: "Eh, bocah, omonganmu barusan apa omongan angin busuk belaka? Kenapa kau tidak lekas-lekas membebaskan kakekmu dari totokanmu?"
Kwee Ceng tidak dengar itu. Ia masih berdiam saja.
Adalah Oey Yong yang mendengarnya.
"Eh, engko tolol, kenapa kau nampaknya gelisah?" berkata si nona tertawa. "Kau bebaskanlah tua bangka itu!"
Baru sekarang Kwee Ceng mendusin. Ia menotok orang tua itu di jalan darah thian-kut-hiat, dengan begitu, lenyaplah rasa gatalnya Khiu Cian Lie, tetapi karena jalan darah im-touw-hiat masih tertutup, ia tetap rebah di tanah.
Kwee Ceng meninggalkan orang tua ini. Ia pergi mencari cabang cenara yang panjang dua kaki, yang ia nyalakan sebagai obor, sembari memegangi itu, ia kata kepada Oey Yong: "Yong-jie, aku mau masuk ke dalam untuk melihat-lihat. Kau takut atau tidak?"
Oey Yong tengah merasakan panas dingin bergantian, hebat penderitaannya ini, tetapi karena khawatir Kwee Ceng nanti berduka untuknya, ia menahan diri.
"Di sini ada si tua bangka menemai aku, aku takut apa?" katanya, tertawa. "Kau pergilah!"
Dengan lantas Kwee Ceng bertindak pergi. Ia berlaku hati-hati. Sesudah jalan melewati dua tikungan, ia tiba di depan mulut gua yang besar. Jadi di dalam gua itu ada sebuah guanya lagi. Bahkan gua ini lebih luas lima lipat daripada yang di luar. Kalau yang di luar tadi ada bekas-bekasnya di gali, gua ini wajar.
Di dalam situ ada terdapat duapuluh lebih rangka tulang-belulang, dengan pelbagai sikapnya juga, ada yang duduk, ada yang rebah atau tidur. Di sisi setiap rangka itu ada terletak senjata seperti golok, senjata rahasia, perabot bersantap, juga rupa-rupa barang permata. Kwee Ceng mengawasi itu semua. Jadi benar keterangannya Khiu Cian Lie tadi. Ia kata dalam hatinya, "Beberapa puluh pangcu ini, dulu harinya semua gagah perkasa, tapi sekarang semua tinggal tulang-belulangnya, semua tinggal di sini dalam kesunyian...."
Pemuda ini bukan seorang loba, melihat semua senjata dan permata itu, tidak pernah timbul keserakahannya, ia tidak menghiraukan itu, ia hanya memikirkan Oey Yong. Sesudah melihat-lihat sekian lama, ia memikir untuk keluar lagi. Atau mendadak ia melihat rangka yang terakhir, di tangan siapa masih tercekal sebuah kotak besi yang nampaknya ada suratnya. Ia lantas menghampirkan, ia menyuluhi dengan obornya.
"Rahasia memukul pecah bangsa Kim," demikian ia membaca surat itu, yang diukir di tutup kotak atau peti besi kecil itu. Maka tercekatlah hatinya. Segera ia ingat. "Bukankah ini surat wasiatnya Gak Bu Bok?" Maka ia mengulurkan tangannya, mengambil kotak itu. Begitu menyentuh, dengan bersuara, tangan itu menyambar.
Kwee Ceng kaget sekali, syukur ia keburu lompat mundur.
Gagal menyambar, tangan itu jatuh ke tanah, berkumpul menjadi satu.
Dengan membawa kotak itu, Kwee Ceng lari keluar. Ia segera nancap obornya di tanah, ia lantas memondong Oey Yong, untuk dikasih bangun, setelah mana, di depan si nona ia membuka tutupnya kotak.
"Aku menemui ini," ia memberitahukan.
Isi peti besi itu ada dua jilid buku tulisan tangan, satu tebal, yang lain tipis.
Kwee Ceng mengambil lebih dulu yang tebal. Nyata isinya itu ada salinan Han See Tiong atas pelbagai laporan atau usulnya Gak Hui yang dihanturkan kepada rajanya, ada syair dan lainnya buah kalam jenderal gagah perkasa dan setia itu, bunyinya pun penuh dengan penguraian kesetiaan dan semangat kegagahan. Maka ia menjadi sangat kagum, hingga ia menghela napas. Yang paling menawan hati ialah Gak Hui tidak pernah melupakan rakyat.
Oey Yong pun kagum sekali.
"Nah, coba periksa buku yang satunya," kemudian Oey Yong minta.
Kwee Ceng menurut, ketika ia melihatnya, lantas ia menjadi sangat girang.
"Ini dia ilmu perang yang ditulis sendiri oleh Gak Bu Bok!" katanya berseru. "Dan inilah buku yang Wanyen Lieh si bangsat senantiasa ingat sekalipun di dalam mimpinya! Sungguh Thian murah, kitab ini tidak sampai jatuh di dalam tangannya jahanam itu..."
Ketika anak muda ini membuka halaman yang pertama, ia lantas membaca delapanbelas huruf besar, yang artinya: "Mengutamakan pemilihan - Rajin berlatih - Adil dalam persenan dan hukuman - Jelas dengan perintah - Keras dengan tata tertib - Bersama-sama senang dan susah" Jadi inilah pokok untuk memilih punggawa atau serdadu, untuk mendidik dan mengatur tentara.
Selagi Kwee Ceng hendak membalik lainnya, tiba-tiba ia mendengar berhentinya cacian orang-orang Tiat Ciang Pang, yang tadinya terdengar sekarang hanyalah suara angin.
Berdua Oey Yong dan si anak muda memasang kuping. Mereka heran bukan main.
Tidak antara lama barulah terdengar suara lainnya. Itulah suara seperti sa-sus atau sar-ser, perlahan tetapi berisik ramai. Ketika Khiu Cian Lie mendengar itu, ia lantas mengeluh berulang-ulang, dengan suara sedih, ia berkata: "Bocah-bocah, hari ini jiwa kakekmu dihabiskan di tangan kamu..."
Kwee Ceng tidak meladeni orang tua itu, ia lompat keluar, tiba di mulut gua, setelah melihat ke bawah, ia menjadi kaget sekali. Mulanya ia tercengang. Baru sekarang ia mengerti bunyi suara yang luar biasa itu. Di antara sinar rembulan terlihat ribuan atau puluhan ribu ular berbisa lagi merayap naik ke atas puncak, semua sambil mengangkat kepala dan mengulur, mengulat-uletkan lidahnya!
"Mereka tidak berani memasuki tempat keramat ini, sekarang mereka menyerang dengan ular," kata Kwee Ceng dalam hatinya. Tidak ayal lagi, ia lari ke dalam untuk memodong Oey Yong.
Khiu Cian Lie melihat perbuatan si anak muda, lantas ia mementang bacotnya mencaci.
Kwee Ceng tidak mau melayani tukang membual itu, hanya ketika ia lewat di sampingnya, ia mendupak pinggang orang dua kali. Dengan itu ia membebaskan totokan di jalan darah im-touw-hiat. Habis itu, dengan membawa kotak besinya, ia merayap naik ke atas puncak sekali.
Gua itu berada di tekukan yang kedua, untuk tiba di puncak tertinggi, jaraknya masih lagi beberapa puluh tombak. Kwee Ceng tidak menghiraukan itu, ia membesarkan hatinya, ia mengerahkan tenaganya, ia mengeluarkan kepandaiannya marayap naik. Ketika akhirnya ia tiba di atas, tempo ia melongok ke bawah, ia mendapatkan rombongan ular itu telah masuk ke dalam gua. Ia tidak memikirkan lagi Khiu Cian Lie, yang ia percaya, sebagai orang Tiat Ciang Pang, tentu tahu ilmu untuk mengusir atau membinasakan ular.
Begitu lekas ia sudah merebahkan Oey Yong, Kwee Ceng lantas berpikir keras. Ia memikirkan dengan cara bagaimana ia dapat menolong nona itu dari makhluk marayap yang jahat itu. Ia sendiri tidak takut. Ia sudah makan darah ular dan ular takut kepadanya.
"Kau nyalakan api dulu," berkata Oey Yong, yang dapat menerka kesulitannya si anak muda. "Bikinlah api itu mengurung mengelilingi kita."
"Ah, benar tolol!" berseru Kwee Ceng. "Kenapa aku tidak dapat memikirkan itu?"
Ia lantas mengumpulkan cabang kering, ia menumpuk itu mengelilingi Oey Yong dan dirinya. Ia bekerja cepat. Lantas ia menyulut api di kedua tempat, di sama tengah, agar api itu memakan masing-masing kedua jurusan. Selama itu tidak terdengar apa-apa. Maka tak terkira kagetnya waktu tahu-tahu sejumlah ular, yang menjadi seperti pelopor sudah muncul di depan mereka. Dalam kagetnya ia mengeluh, tetapi ia tidak menjadi menjublak karenanya. Dengan sebat ia sambar Oey Yong untuk dipanggul.
Oey Yong terkejut melihat ular muncul begitu banyak, tetapi yang hebat untuknya ialah baunya yang amis sekali, hingga ia lantas merasa mual, hampir ia muntah-muntah. Dengan lantas ia menutup rapat kedua matanya. Itu waktu, ia merasakan sakit di dadanya. Inilah sebab Kwee Ceng berlompatan ke sana ke mari sambil mulutnya tak hentinya berseru menggebah ular itu. Lama-lama, ia menjadi pusing, ia seperti luka akan diri sendiri. Ia baru sadar ketika hidungnya dapat mencium bau harum. Maka ia lekas membuka pula matanya. Segera ia melihat berkelebatnya satu sinar merah. Untuknya girangnya, ia mengenali hiat-niauw, burung apinya, yang terbang datang dari arah timur.
Tadi burung itu terbang karena ia lantas mencium bau ular, maka ia pergi untuk memuasi nafsu daharnya, sekarang ia melihat cahaya api, dia terbang dengan niatan mandi, maka tepat sekali datangnya itu selagi majikannya terancam bahaya.
Mendapatkan datangnya burung itu, semua ular lantas berdiam, tidak ada yang berani berkutik, maka beberapa diantaranya lantas dipatuk dan dimakan. Habis itu, burung itu terus mandi api, akan kesudahannya terbang menclok di pundak si nona.
Dua-dua Oey Yong dan Kwee Ceng menjadi girang sekali.
"Sekarang kita tidak takuti ular!" berkata si anak muda gembira. "Sekarang kita mesti mencari jalan untuk lolos dari puncak ini, bagaimana?"
Oey Yong terus berpikir. Nyata ia lantas mendapat jalan.
"Hiat-niauw bisa naik ke mari, kalau dia dapat kenapa rajawali kita tidak?" demikian katanya. "Gak Bu Bok bernama Hui, aliasnya yaitu Peng Kie, maka kalau sekarang kita memakai Tiauw Kie, mustahil tidak dapat. Bukankah itu bagus?"
Kwee Ceng tidak mengerti.
"Apa itu Tiauw Kie?" ia menanya.
Nama Hui dari Gak Bu Bok berarti "terbang", dan aliasnya itu, Peng Kie, berarti "garuda angkat". Oey Yong menyebutnya "Tiauw Kie" itu berarti "rajawali angkat". Si anak muda memikirkan itu, di dalam waktu pendek, ia tidak menangkap maksudnya si nona.
Oey Yong tengah merasakan sakit tetapi ia menahan itu, ia menyahuti: "Kita suruh rajawali kita membawa kita terbang pergi dari sini....!"
Kwee Ceng berjingkrak.
"Benar!" ia berseru. "Itu pun bagus! Nanti aku panggil si rajawali!"
Tidak ayal lagi pemuda ini duduk bersila, untuk bersemadhi, guna mengumpulkan tenaga dalamnya, kemudian baru ia mengasih dengar siulannya yang keras dan panjang, yang mengalun jauh. Inilah ilmu semadhi yang dulu hari ma Giok mengajarkan kepadanya. Setelah memahamkan Kiu Im Cin-keng, ia memperoleh kemajuan yang luar biasa. Jarak di antara puncak dan kaki gunung ada beberapa lie, tetapi begitu siulan mendengung, burung mereka dapat mendengarnya, kedua burung itu lantas terbang mencari mereka. Maka di lain saat, berkumpullah mereka, burung dan manusia - kedua burung itu berdiri di depan si muda-mudi.
Kwee Ceng membantu Oey Yong membuka baju lapisnya, terus ia membantu si nona mendekam di punggungnya rajawali yang betina. Karena khawatir nona itu memegang kurang keras, ia pun mengikatnya. Sesudah beres, baru ia mendekam di punggung rajawali yang jantan. Akhirnya, ia mengasih dengar siulannya.
Kedua burung itu mengerti orang, keduanya lantas membuka sayapnya masing-masing untuk terbang.
Mulanya hatinya pemuda dan pemudi itu kebat-kebit, tapi tak lama, mereka menjadi tabah. Mereka dapat mendekam dengan tenang di punggung burungnya itu. Bahkan si nona yang tetap bersifat kekanak-kanakan, lupa pada sakitnya. Ia ingin mempertontonkan diri di depan Khiu Cian Lie si tua bangka, maka ia mengutik leher burungnya, menyuruh si burung terbang ke arah gua.
Burung itu mengerti, benar-benar ia terbang ke muka gua. Di sana terlihat si tukang membual lagi repot menggebah ular. Dia pun lantas melihat burung membawa orang terbang dan mengenali si nona. Ia kaget, ia heran, ia menjadi sangat kagum. Ia lantas memanggil: "Nona yang baik, kau bawalah juga aku pergi! Kalau adikku melihat aku, maka aku si tua bangka tidak bakal dapat hidup lebih lama pula...!"
Bab 60. Wanita dari Rawa Lumpur Hitam
Oey Yong mendengar permintaan itu, ia tertawa.
"Burungku ini tidak dapat menggendong dua orang!" ia riang gembira. "Kamu bersaudara kandung, kau baiklah minta ampun pada saudaramu itu!" Dan ia menepuk burungnya, menyuruhnya si burung terbang terus.
Melihat orang hendak pergi, timbullah hati jahat si orang tua.
"Nona yang baik," ia berseru, "Kau lihatlah permainanku ini, menarik hati atau tidak?"
Oey Yong tertarik, ia memutar balik burungnya untuk datang mendekati.
Khiu Cian Lie menanti sampai orang telah datang cukup dekat, mendadak ia berlompat menubruk, memegang erat-erat pada si nona, hingga di lain saat, mereka telah berada bersama di punggung rajawali itu. Ia tidak memperdulikan nona itu kaget.
Orang tua itu menjadi nekat. Ketika ular masuk ke dalam gua, ia mengusirnya. Untuk itu, ia pergi sampai di luar gua. Di sini ia dapat dilihat oleh orang-orang Tiat Ciang Pang. Itu berarti keputusan mati untuknya. Ia telah memasuki tempat keramat dan terlarang. Jangan kata ia, sekalipun pangcu sendiri, apabila tanpa sebab dia masuk ke situ, dia bagian mati. Maka itu, ingin ia dapat lolos.
Burung rajawali betina itu benar-benar tidak kuat membawa dua orang. Dia terbang tetapi dia bukan maju jauh, dia turun ke bawah, cuma dengan menggeraki kedua sayapnya dengan sepenuhnya tenaga, baru ia dapat memperlambat turunnya itu. Dia tetap turun............
Khiu Cian Lie memegang erat-erat kepada Oey Yong. Syukur dia ini diikat tubuhnya, kalau tidak tentulah telah terlepas pegangannya pada burungnya itu.
Burung betina itu mengasih dengar suaranya berulang-ulang. Yang jantan mendengar itu, dia hendak menolongi, tetapi bagaimana?
Orang-orang Tiat Ciang Pang lantas dapat melihat peristiwa luar biasa itu. Mereka heran dan kaget, semua mengawasi dengan mata terbuka dan mulut menganga, tidak ada yang bersuara.
Disaat Oey Yong terancam bahaya itu, tiba-tiba satu sinar merah berkelebat di dekatnya. Itulah hiat-niauw, si burung api, yang menyambar dari belakang gunung. Sebab tadi ia terbang mengikuti majikannya. Dan burung ini menyambar matanya Khiu Cian Lie.
Dalam keadaannya itu, orang she Khiu itu tidak dapat membela diri. Ia juga tidak menyangka sama sekali sang burung bakal menghajar matanya. Ia kaget dan kesakitan, lupa kepada pegangannya kepada tubuh Oey Yong, ia mengucak matanya. Tepat ia mengucak matanya, tepat terlepas pegangannya, maka sia-sialah segala dayanya pula, tubuhnya lantas terpelanting jatuh. Maka dilain saat terdengarlah suara hebat dan menyayatkan hati datangnya dari lembah. Di lain saat, burung rajawali telah dapat terbang pula seperti biasa bersama nona majikannya itu, mendekati burung yang jantan, untuk terbang berendeng.
Selagi mendekati kaki gunung, Kwee Ceng mengasih dengar siulannya yang nyaring, untuk memanggil kudanya. Ia sekarang berlega hati, sedang tadi ia kagetnya bukan main, takutnya tak terkira, sebab ia tak berdaya untuk menolongi kekasihnya. Oey Yong sendiri tidak kurang takutnya, hingga ia menyesal yang dirinya kena diperdayakan orang tua yang sudah nekat itu.
Kuda merah itu mendengar panggilannya, dia lari mengikuti, di darat, burung di udara.
Kwee Ceng merasa ia sudah terbang kira-kira tujuhpuluh lie, lantas ia memberi tanda kepada burungnya berdua untuk berhenti terbang, untuk turun ke tanah. Ia berkhawatir untuk Oey Yong, yang diam mendekam saja di punggung burungnya itu. Ketika ia memeriksa, benarlah si nona pingsan. Maka lekas-lekas ia menguruti, untuk membikin darahnya jalan seperti biasa.
Selang sekian lama, barulah si nona mendusin.
Ketika itu awan gelap, hingga si putri malam kena ketutupan. Kwee Ceng bingung juga. Sambil memeluki Oey Yong, ia memandang ke sekelilingnya. Ia berada di tengah tegalan, yang gelap.
Di situ terlihat tempat untuk memernahkan diri. Karena terpaksa, kemudian ia berjalan juga. Dia menerjang rumput yang tinggi sebatas dengkul. Sudah begitu, saban-saban duri pohon menusuk betisnya. Ia merasa sakit tetapi tak ia menghiraukannya. Ia jalan terus.
Secara begini, ia jalan perlahan sekali. Jagat gelap, jalanan tak kelihatan. Itulah hebat. Hatinya berdebaran, ia khawatir nanti kejeblos di liang atau jurang....
Sesudah menderita seperjalanan kira dua lie, mendadak Kwee Ceng melihat satu bintang besar, munculnya dari sebelah kiri. Rendah bintang itu, seperti di ujung langit, cahaya berkelak-kelik. Ia mengawasi, niatnya untuk mengenali arah tujuan. Karena ini ia lalu dapat melihat tegas, itulah bukan bintang hanya api.
"Ada api tentu ada rumah orang," pikirnya. Maka ia menjadi mendapat hati. Maka ia berjalan terus, tindakannya lebar menuju ke arah api itu.
Ia telah jalan kira satu lie, lalu ia tiba di suatu tempat, di mana ada banyak pohon. Sekarang ternyata, api terlihat dari antara pepohonan. Setelah masuk ke rimba, jalanannya tak lurus lagi. Jalanan kecil itu berliku-liku. Mendadak ia kehilangan api itu.
Kwee Ceng tidak putus asa. Ia lompat naik ke atas sebuah pohon. Dari situ, ia melihat ke bawah. Ia mendapat kenyataan ia telah melewati api itu, yang sekarang berada di sebelah belakangnya. Ia turun, ia menuju balik. Kembali ia kehilangan api itu. Ia menjadi heran setelah ia mengalami kejadian itu dua tiga kali. Ia merasakan kepalanya pusing dan matanya seperti kabur. Terus ia tidak dapat mendekati api itu. Kudanya serta tiga ekor burungnya, entah ada di mana.
Karena jengkel, Kwee Ceng ingin jalan di atas pohon saja. Tapi ini sukar dilakukan. Rimba itu gelap dan ia mesti memodong-mondong Oey Yong. Ia juga khawatir nanti kejeblok atau si nona kena kelanggar cabang-cabang pohon, yang dapat melukakannya. Untung ia sabar, ia tidak menjadi putus asa. Ia beristirahat sebentar, lantas ia berjalan pula.
Oey Yong terluka dan tubuhnya lemah, tetapi dasar cerdik, otaknya berjalan. Ia melihat bagaimana ia dibawa putar kayun oleh Kwee ceng, dengan perlahan-lahan ia mulai mengerti jalan di dalam rimba itu. Ia menggunai otaknya, meramkan matanya.
"Engko Ceng," katanya kemudian, "Jalan ke kanan, ke samping,"
Girang si anak muda mendengar orang dapat berbicara.
"Ah, Yong-jie, kau baik?" tanyanya.
Nona itu menyahuti tetapi tidak tegas.
Kwee Ceng menurut. Ia maju ke kanan, lalu nyamping.
Oey Yong mengingat-ingat. Setelah tujuhbelas tindak, ia berkata pula: "Engko Ceng, jalan ke kiri, delapan tindak."
Kwee Ceng menurut.
"Sekarang ke kanan lagi, nyamping, tigabelas tindak."
Kwee Ceng menurut pula.
Kali ini mereka berjalan dengan si anak muda mengikuti petunjuk dari si nona. Oey Yong sudah lantas dapat menduga, jalanan bukan jalanan wajar, hanya buatan manusia. Dia adalah anak gadisnya Oey Yok Su, dan ia telah mendapatkan separuh lebih warisan ayahnya itu mengenai jalan rahasia. Maka juga, meskipun ia meram, ia seperti bisa melihat tegas jalanan di dalam rimba itu.
Demikian mereka jalan sana jalan sini, maju dan mundur. Akhirnya, dengan lekas, mereka menghadapi api tadi. Kwee Ceng girang hingga ia lantas membuka tindakan lebar untuk berlari.
"Jangan kesusu!" Oey Yong mencegah.
Tapi Kwee Ceng sudah berlari.
Mendadak anak muda itu berkoak, karena kedua kakinya sudah menginjak lumpur, bahkan kaki itu lantas terpendam dalam sebatas dengkul. Syukur ia lihay, dengan segera ia menggenjot diri dengan ilmunya ringan tubuh, untuk berlompat mundur. Ketika ia kembali ke tanah kering, hidungnya mencium bau lumpur itu. Ia berdiri diam dan mengawasi. Cahaya api itu membantu kepadanya. Ia menampak ada kabut putih di depannya itu, di situ ada sebuah rumah dengan dua ruang. Api keluar dari rumah itu, ialah rumah atap.
"Kami ada orang pelancongan!" Kwee Ceng lantas berkata, "Kami pun mendapat sakit berat, maka itu kami minta tuan rumah sukalah berlaku murah dengan mengijinkan kami menumpang beristirahat seraya meminta air hangat."
Di dalam malam yang sunyi itu, suara Kwee Ceng cukup keras, akan tetapi sampai sekian lama, ia tidak memperoleh jawaban, dari itu ia lekas berbicara pula menyebutkan permintaannya itu untuk menumpang singgah.
Lagi-lagi tidak ada penyahutan.
Ketika lewat sekian waktu, Kwee Ceng mengulangi permintaannya untuk ketiga kalinya, baru ia mendapat jawaban dari seorang perempuan, katanya: "Kamu telah dapat tiba di sini, sudah tentu kamu mempunyai juga kepandaian untuk masuk ke dalam rumahku ini. Mustahil aku mesti keluar menyambut kamu?"
Suara itu tawar sekali, terang orang tidak sudi kedatangan tamu.
Di hari-hari biasa, tidak suka Kwee Ceng mengganggu orang, lebih suka ia tidur di dalam rimba atau tempat terbuka, akan tetapi sekarang ia ada bersama Oey Yong yang lagi sakit itu, ia membutuhkan rumah. Maka dengan perlahan ia berdamai sama si nona. Ia kata rumah dikurung lumpur. Bagaimana mereka bisa menghampirkan rumah itu?
Oey Yong membuka matanya, ia mengawasi sekian lama.
"Rumah ini dibangun di tengah-tengah rawa lumpur," katanya kemudian. "Sekarang coba perhatikanlah, bukankah benar modelnya satu bundar dan satu persegi empat?"
Kwee Ceng membuka matanya lebar-lebar, lantas ia menjadi girang sekali.
"Oh, Yong-jie, bagaimana kau ketahui itu?" ia bertanya.
"Pergi kau ke belakang rumah yang bundar itu," kata Oey Yong tanpa menyahuti. "Di situ kau jalan lempeng ke arah api banyaknya tiga tindak, lalu nyamping lima tindak, lalu lempang lagi tiga tindak. Dengan lurus dan nyamping itu, kau tidak bakal salah jalan."
Kwee Ceng menurut perkataan si nona. Benarlah, setiap kakinya ditaruh, kaki itu menginjak pelatok kayu, yang dapat bergerak miring ke sana ke mari, maka siapa tak pandai ilmu enteng tubuh, pastilah ia tak dapat menaruh kakinya dan berjalan di situ. Ia jalan terus, sampai seratus sembilanbelas tindak, maka dapatlah ia jalan mutar hingga di depan rumah yang persegi empat itu. Sekarang terlihat tegas, rumah itu tanpa pintunya.
Oey Yong berbisik: "Dari sini kau berlompat, kau menaruh kaki di sebelah kiri."
Kwee Ceng menurut, sambil terus menggendong si nona, ia berlompat. Sementara itu ia heran sekali. "Semua dapat diterka Yong-jie!" katanya dalam hatinya.
Tempat di mana si anak muda menaruh kaki adalah tanah, sedang yang di sebelah kanan adalah air atau pengembang.
Berjalan di pekarangan ini, Kwee ceng masuk ke sebelah dalam. Di situ ada pintu model rembulan, yang tak ada daun pintunya.
"Masuk!" kata Oey Yong. "Tidak ada yang aneh di dalamnya."
Kwee Ceng mengangguk, terus ia berkata nyaring: "Kami orang yang tengah membuat perjalanan lancang memasuki rumah ini, harap tuan rumah suka memaafkannya," kata-katanya ini diikuti dengan tindakannya masuk ke dalam.
Sekarang Kwee Ceng melihat sebuah meja panjang, di atas mana ada ditaruh tujuh buah pelita, ditaruhnya rapi seperti bintang Pak Tauw. Di depan meja, di tanah ada berduduk seorang wanita tua, yang rambutnya telah ubanan, bajunya dari kain kasar, matanya mengawasi ke tanah di mana ada banyak lembaran bambu, dia seperti sedang memikirkan lembaran bambu itu rupanya, sampai dia tidak mau mengangkat kepalanya walaupun dia mendengar suara tetamunya.
Kwee Ceng meletaki Oey Yong di atas kursi. Ia memandang mukanya, lantas ia merasa sangat berkasihan. Wajah si nona sangat pucat dan kucal. Ia hendak membuka mulutnya, guna meminta air hangat, tetapi ia batal. Ia melihatnya si nyonya rumah tengah memusatkan perhatiannya, jadi ia khawatir mengganggu pemusatan pikiran orang itu.
Setelah dapat berduduk beberapa saat, Oey Yong pulih sedikit kesegarannya. Maka itu, ia juga dapat memperhatikan si nyonya serta lembaran-lembaran bambu yang lagi diawasi nyonya tua itu. Setiap lembaran bambu itu panjangnya kira-kira empat dim dan lebar dua hoen. Dan si nyonya agaknya berat memikirkan itu. Ia lantas mengerti hitungan apa adanya itu. Oleh ayahnya, ia telah diajari dan ia mengingatnya dengan baik.
"Lima! Duaratus tigapuluh lima!" katanya tiba-tiba.
Si nyonya terkejut, dia mengangkat kepalanya, matanya nampak tajam sekali, agaknya ia gusar. Hanya sebentar, ia mulai menghitung pula.
Kwee Ceng dan Oey Yong melihat kulit orang bersih, usianya ditaksir baru tigapuluh tujuh kira-kira, mungkin disebabkan banyak pikir, maka rambutnya telah ubanan.
Habis menghitung, wanita tua itu tampaknya heran. Tepat hitungannya si nona tadi. Maka ia mengangkat pula kepalanya, memandang nona itu. Ia melihat tegas satu wajah muda cantik dan cantik, hanya lesu. Kemudian ia tunduk pula, akan menghitung lebih jauh.
Oey Yong mengawasi, sampai sekian lama si nyonya belum dapat memecahkan, lalu ia berkata dengan perlahan: "Duaratus duapuluh empat!"
Kembali nyonya itu terkejut. Ia lantas mengangkat kepalanya. Agaknya ia penasaran, maka ia menghitung terus. Segera juga ia mendapat jawaban, yang akur sama perkataan si nona. Maka ia berdiri dengan melempangkan pinggangnya. Sekarang ia nampak lebih nyata. Jidatnya sudah keriputan, usianya disangsikan sudah tigapuluhan, mungkin baru duapuluhan lebih. Kedua matanya bersinar tajam.
"Mari ikut aku!" katanya kepada si nona, tangannya menunjuk ke dalam kamar. Ia mengambil sebuah pelita, ia membawanya itu ke dalam kamar yang ditunjuk itu.
Kwee Ceng memepayang Oey Yong untuk mengikuti. Hanya setibanya di mulut pintu, ia merandak, tidak berani ia turut masuk. Ia melihat kamar itu, yang temboknya bundar, lantainya penuh pasir, di atas pasir itu ada coretan tanda-tanda lurus dan bundar, ada pula guratan huruf-huruf thay, thian-goan dan lainnya, yang ia tidak tahu artinya. Ia takut nanti merusak itu semua.
Oey Yong melihat semua itu, ia mengerti itu adalah ilmu "Thian-goan Cie Soet" (yang mirip dengan aljabar), maka ia menarik tongkatnya dari pinggangnya, sambil bergelendot pada Kwee Ceng, ia mencoret-coret di atas pasir itu. Ia memecahkan beberapa hitungan, yang si nyonya belum dapat menjawabnya. Maka lagi-lagi ia membuatnya nyonya itu heran.
Setelah mengawasi dengan tercengang, si nyonya menanya: "Kau siapa?"
"Itulah hitungan Thian-goan yang tidak sulit," berkata Oey Yong, yang tidak menjawab langsung, dan tanpa diminta, ia menjelaskan pokoknya hitungan itu.
Muka si nyonya menjadi pucat, tubuhnya bergoyang. Mendadak ia menjatuhkan diri di atas pasirnya, tangannya memegangi kepalanya. Kelihatannya ia berpikir keras sekali. Kemudian ia mengangkat kepalanya, lalu wajahnya menjadi terang.
"Dalam hal menghitung, kau terlebih pandai daripada aku!" katanya. "Sekarang jawab aku, bagaimana kau menghitung ini?" Dan ia menunjuki hitungannya di atas pasir.
Oey Yong mengingat baik bagaimana ayahnya mengatur Tho Hoa To hingga menjadi pulau rahasia, pulau keder yang tidak dapat dimasuki sembarang orang.
"Gampang!" sahutnya, dan ia menggurat-gurat pula di atas pasir itu.
Muka si nyonya itu menjadi pucat pula, lalu ia menghela napas.
"Aku kira inilah ciptaan sendiri, kiranya lain orang pun telah mengetahuinya," katanya masgul.
"Semua itu gampang," kata pula Oey Yong, dan ia membacanya di luar kepala. "Kau boleh coba."
Si nyonya menghitung menuruti ajaran si nona dan ia berhasil!
"Semua ini mengenai pat-kwa," kata Oey Yong pula. Ia menjelaskan terlebih jauh. "Rupanya kau belum jelas dengan petanya." Terus ia menggurat-gurat lagi.
Nyonya itu menjublak, matanya terpentang, mulutnya terbuka lebar. Lantas ia berbangkit, tubuhnya nampaknya bergemetar.
"Nona, kau siapa?" akhirnya ia tanya. Tapi, sebelum ia menanti jawaban, mendadak ia menekan ulu hatinya, mukanya meringis, tanda ia menahan sakit. Dari sakunya lekas-lekas ia mengeluarkan satu peles obat, yang terisi pil warna hijau, ia mengeluarkan sebutir dan terus dimakannya. Lewat sesaat, wakahnya menjadi sedikit tenang.
"Habis sudah...!" katanya tiba-tiba, lalu ia mengucurkan air mata.
Oey Yong dan Kwee Ceng saling memandang. Mereka heran untuk sikap nyonya ini.
Tidak lama, kelihatannya si nyonya mau bicara, atau ia batal karena kupingnya lantas mendengar suara berisik yang datang dari jauh, lalu datang semakin dekat.
Kwee Ceng dan Oey Yong tahu itulah barisan pengejar dari Tiat Ciang Pang.
"Musuh atau sahabat?" tiba-tiba si nyonya tanya.
"Musuh yang lagi mengejar kami," sahut Kwee Ceng terus terang. Suara berisik itu mendekati terus.
"Tiat Ciang Pang toh?" tanya pula si nyonya.
"Benar," menjawab Kwee Ceng.
Nyonya itu memasang kupingnya lalu ia berkata: "Khiu Pangcu memimpin sendiri orang-orangnya itu," katanya sesaat kemudian. "Sebenarnya kamu ini siapa?!"
Pertanyaan ini luar biasa, saking bengisnya.
Kwee Ceng maju di depan Oey Yong, untuk menghalangi, lalu ia menjawab dengan nyaring: "Kamilah murid-muridnya Khiu Cie Sin Kay Ang Pangcu. Ini adik seperguruanku telah kena dilukai Khiu Cian Jin dari Tiat Ciang Pang, karena itu kami menyingkir ke mari, maka umpama kata cianpwee ada punya sangkutan sama Tiat Ciang Pang itu dan tak sudi menerima kami, sekarang juga kami meminta diri."
Habis berkata, pemuda ini menjura, lalu ia memegangi Oey Yong, untuk dibawa pergi.
Nyonya itu tertawa tawar.
"Usia begini muda tetapi sudah keras kepala!" katanya. "Kamu dapat bertahan tetapi adikmu ini tidak, kau mengerti? Aku kira kamu siapa, tidak tahunya kamu murid-murid Ang Cit Kong. Pantas kamu lihay!"
Habis berkata, si nyonya memasang kuping. Ia mendengar suara berseru-seru orang-orang Tiat Ciang Pang itu, sebentar jauh sebentar dekat, sebentar tinggi sebentar rendah. Kemudian ia kata: "Mereka itu tidak menemui jalanan, mereka tidak dapat masuk ke mari. Umpama kata mereka toh dapat masuk, kamulah tetamu-tetamuku, kamu boleh melegakan hati. Apakah kau kira Sin.... Sin... Eng Kouw dapat dibuat permainan?"
Sebenarnya dialah Sin-soan-coe Eng Kouw, si ahli hitung, tetapi mengingat si nona jauh terlebih pandai daripadanya, setelah menyebut Sin, ia tidak berani meneruskannya.
Kwee Ceng menjura, ia menghanturkan terima kasih.
Eng Kouw menghampirkan Oey Yong, ia membuka baju orang, untuk memeriksa lukanya. Ia mengerutkan keningnya, tanpa membuka suara, ia mengambil sebutir obatnya yang hijau itu, setelah melumerkan itu di air, ia mengangsurkan pada Oey Yong.
"Kau minum ini," katanya.
Oey Yong menyambuti obat itu, tetapi ia bersangsi untuk meminumnya. Ia belum kenal nyonya ini.
Eng Kouw mengawasi, lalu ia tertawa dingin dan berkata: "Kau terlukakan tangan jahat Khiu Cian Jin, apakah kau masih memikir untuk sembuh pula? Umpama kata aku berniat mencelakakan kau, tidak perlu aku membuat begini. Inilah obat untuk menghentikan rasa sakit, kau tidak meminumnya pun tidak apa!"
Mendadak ia merampas pulang obatnya itu dan membuangnya ke tanah!
Kwee Ceng gusar melihat orang begitu kurang ajar terhadap kekasihnya.
"Adikku lagi terluka parah, mengapa kau membikin dia gusar begini macam?!" ia menegur.
"Yong-jie, mari kita pergi!"
Nyonya ini tertawa dingin pula. Ia kata: "Kamar Eng Kouw ini kecil tetapi apa kamu kira kamu dua orang muda bisa bilang pergi lantas dapat pergi dan bilang keluar lantas keluar? Hm!" Ia lantas memegang dua batang bambunya dan menghadang di ambang pintunya.
Kwee Ceng berpikir: "Tidak dapat dengan jalan halus, terpaksa aku mesti menerjang..." Maka ia berkata: "Cianpwee, maafkanlah aku!" Sembari berkata begitu, dengan gerakannya Hang Liong Yu Hui ia nerobos keluar. Ia menggunai setengah tenaganya karena ia khawatir nyonya itu tidak dapat mempertahankan diri. Ia pun tidak berniat melukakan nyonya itu.
Atas datangnya terjangan, si nyonya berkelit, tangan kirinya berbareng menolak dengan enteng, dengan begitu gampang saja ia mengasih lewat serangan itu.
Kwee Ceng menjadi heran sekali. Inilah ia tidak menyangka. Ia pun kaget karena tanpa perlawanan tubuhnya terjerunuk. Syukur ia bisa lantas mempertahankan diri.
Melihat demikian, si nyonya juga nampaknya heran. Ia tidak menyangka si anak muda bisa menahan diri hingga sampai jatuh ngusruk. Maka berserulah dia: "Ha, bocah, rupanya kau telah mewariskan semua kepandaian gurumu!" Ia lantas menggunai bambunya menotok jalan darah kiok-tek-hiat di sambungan tangan si anak muda.
Kwee Ceng melihat totokan itu, yang berbahaya, ia membebaskan diri dengan satu jurus lain dari Hang Liong Sip-pat Ciang juga. Sekarang ia mengerti ilmu silat si nyonya adalah dari pihak lunak. Karena ini, ia tidak berani alpa. Beberapa kali ia diserang secara berbahaya. Syukur ia telah mendapatkan ajaran Pek Thong, kedua tangannya dapat memecah diri, maka selalu ia lolos dari ancaman itu.
Selang beberapa jurus, Kwee Ceng kena terdesak dua tindak. Karena terancam, ia menjadi terpaksa. Maka ia lantas membalas menyerang dengan "Siang liong chio cu", atau "Sepasang naga merebut mustika". Inilah ajaran dari Ang Cit Kong yang ia peroleh semasa si Poo-eng, di dalam rumah abu keluarga Lauw.
Nyonya itu terkejut atas serangan itu, diwaktu berkelit, ia sampai mengeluarkan seruan. Walapun ia gesit, kali ini ia tidak dapat meloloskan diri sepenuhnya. Ia bebas dari tinju kanan yang lurus tetapi ia tidak dapat menyingkir dari serangan tangan kiri. Maka pundak kanannya kena tertekan tangan kiri si anak muda. Kwee Ceng tidak menggunai tenaga, sebab ia tahu, umpama si nyonya terbentur, tubuhnya bakal terlempar menabrak rumah dan rumah atapmya itu bisa roboh. Tapi juga dugaan si anak muda meleset. Ketika tangannya mengenai pundak orang, tangan itu seperti mengenai benda yang licin, yang terus meluncur lewat. Untuk kagetnya, tubuh si nyonya seperti tertegar dan dua batang bambunya dilemparkan ke tanah. Ia mengira nyonya itu terkena hebat, lekas-lekas ia menahan tangannya itu.
Nyatanya Eng Kouw menggunai tipu. Selagi si anak muda menarik pulang tangannya, sebab sekali ia membalas menyerang. Lima jarinya menusuk ke dada, di mana ada dua jalan darah sin-hong dan giok-sie.
Kwee Ceng terdesak, ia lantas berkelit, terus kedua tangannya dipakai menolak seperti tadi.
Itulah serangan membalas yang hebat. Si nyonya mengetahui itu, maka kembali ia membebaskan diri seperti tadi. Nyata ia telah menggunai "Nie-ciu Kang", ialah ilmu silat si Lindung.
Sampai di situ, keduanya sama-sama berlompat mundur dan sama-sama bersiaga. Mereka telah menginsyafi lihaynya masing-masing. Kwee Ceng berpikir: "Aneh ilmu silat si nyonya ini. Dengan dia tidak bisa dihajar, bukankah tinggal aku sendiri yang setiap saat bisa diserang olehnya?" Dan si nyonya kata di dalam hatinya: "Ini anak masih muda sekali, cara bagaimana dia sudah jadi begini lihay?. Di sini aku telah bersembunyi sepuluh tahun lebih, aku telah mendapatkan ilmu yang luar biasa, aku memikir aku bisa menjagoi, hingga tak lama lagi, aku bisa pergi untuk menuntut balas, siapa tahu, bocah bau susu ini pun aku masih belum bisa merobohkannya.... Tidakkah ini berarti sia-sia belaka aku menyiksa diri sepuluh tahun lebih. Bagaimana aku bisa nanti membalas sakit hatiku itu?" Ingat begini, ia menjadi berduka, tanpa merasa, matanya menjadi merah, air matanya lantas mengalir turun....
Kwee Ceng berhati mulia, ia mengira si nyonya telah terhajar keras olehnya, ia lantas berkata: "Maaf, cianpwee, aku yang muda berbuat kurang ajar terhadapmu, tetapi inilah bukan disengaja. Sekarang aku minta sukalah cianpwee mengijinkan kami berlalu..."
Eng Kouw mendapatkan sambil bicara si anak muda itu saban-saban melirik si nona, agaknya ia sangat menyayang dan memperhatikan, melihat begitu, ia jadi ingat akan nasibnya sendiri yang tidak beruntung, yang terpisah jauh dari kekasihnya, yang tidak mempunyai harapan akan dapat berkumpul pula. Kapan ia ingat akan nasibnya, mendadak timbul rasa jelesnya. Maka ia kata dengan dingin: "Anak perempuan ini telah terkena tangan beracun Ngo Tok Sin-ciang dari Khiu Cian Jin, paling lama ia hidup hanya tiga hari, perlu apa kau masih menyayangi dan melindunginya?"
Mendengar itu, Kwee Ceng kaget sekali, lekas-lekas ia menoleh kepada Oey Yong. Ia melihat muka si nona seperti ditawungi sinar guram. Dengan lantas ia lompat kepada kekasihnya itu.
"Yong-jie, bagaimana kau rasa?" ia menanya, suaranya menggetar.
Oey Yong merasai dada dan perutnya panas, sebaliknya kaki tangannya dingin. Ia menyahuti: "Engko Ceng, selama tiga hari ini, jangan kau meninggalkan aku pergi sekalipun cuma setindak. Dapatkah?"
"Setengah tindak juga aku tidak akan tinggalkan kau..." menjawab si anak muda cepat sedang hatinya mencelos. Rupanya si nona telah mendengar perkataannya si nyonya tua itu.
"Sekalipun tidak berpisah setengah tindak, temponya cuma lagi tigapuluh enam jam...! berkata si nyonya dingin.
Kwee Ceng mengangkat kepalanya, memandang nyonya itu. Ia tidak bisa berbuat lain daripada menunjuk roman minta dikasihani, ialah agar nyonya itu jangan mengeluarkan kata-kata yang dapat melukai hatinya Oey Yong....
Sebenarnya Eng Kouw masih hendak memuasi kejelesannya ketika ia menampak roman si anak muda yang lesu itu, ia lantas berpikir: "Adakah Thian mengirim dua orang ini ke mari untuk aku membalas sakit hatiku ini?" Ia mengangkat kepalanya, memandang langit. "Oh, Thian, Thian...." keluhnya.
Justru itu di luar terdengar pula suara berisik dari orang-orang Khiu Cian Jin, rupanya mereka masih mencari di sekitar situ dan sekarang kembali mendekati rumah yang dikurung dengan rawa lumpur, yang pepohonannya merupakan rahasia keder. Terang mereka menyangka si muda-mudi berada di dalam rumah tetapi mereka tidak berdaya untuk memasukinya.
Lewat lagi sesaat dari arah rimba terdengarlah suaranya Khiu Cian Jin, si ketua Tiat Ciang Pang: "Sin-soan-coe Eng Kouw, Kiu Tiat Ciang mohon bertemu denganmu!"
Suara itu datang dengan melawan angin tetapi karena dikeluarkannya dengan bantuan tenaga dalam yang mahir, terdengarnya terang sekali.
Eng Kouw bertindak ke jendela. Ia pun mengempor tenaga dalamnya. Ia menyahuti dengan suara yang panjang: "Aku ini biasanya tidak menerima kunjungan orang luar. Apakah kau tidak ketahui bahwa siapa datang ke tempatku ini, rawa lumpur hitam, dialah bagiannya mati, tidak bagian hidupnya?!"
Di sana terdengar pula suaranya Khiu Cian Jin: "Ada dua orang muda, satu pria dan satu wanita, masuk ke dalam rawa lumpur hitam kau ini, maka aku minta sukalah kau menyerahkan mereka padaku!"
"Siapakah yang dapat masuk ke dalam rawa lumpur hitamku ini?" berkata Eng Kouw. "Sekarang ini ada tengah malam buta rata, maka janganlah kau mengganggu tidur orang yang nyenyak!"
"Baiklah kalau begitu!" terdengar lagi suara Khiu Cian Jin. "Jangan kau berkecil hati!"
Suara itu bernada tak berani memandang enteng kepada si nyonya. Habis itu terdengarlah suara berisik yang pergi jauh.
Eng Kouw berpaling pada Kwee Ceng. "Kau ingin menolongi adikmu ini atau tidak?" ia tanya.
Kwee Ceng melengak, lalu ia menjatuhkan dirinya berlutut.
"Jikalau locianpwee suka menolong..." katanya.
"Locianpwee!" kata si nyonya, bengis. "Apakah aku sudah tua?"
"Tidak, tidak terlalu tua," sahut Kwee Ceng cepat.
Sinar matanya Eng Kouw berpindah dari si anak muda ke jendela, dari mulutnya terdengar kata-kata ini: "Tidak terlalu tua... Hm, itu artinya sudah tua...!"
Kwee Ceng menjadi bingung. Rupanya perkataannya itu telah menyinggung si nyonya. Ia tidak tahu mesti membilang apa.
Eng Kouw menoleh pula. Sekarang ia melihat kepala orang berkeringatan.
"Kalau orangku itu dapat menyayangi aku satu persepuluh saja dari si bocah tolol ini," pikirnya. "Ah, tidakkah sia-sia belaka hidupku ini..." Lalu ia bersenandung dengan perlahan: "Empat buah perkakas tenun... maka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan... Sayang, belum lagi tua tetapi kepala sudah putih.... Gelombang musim semi, rumput hijau, di musim dingin di dalam tempat yang tersembunyi, saling berhadapan mandi baju merah...."
Mendengar itu Kwee Ceng heran.
"Ah, rasanya aku kenal syair ini..." pikirnya. Tapi ia tidak ingat, siapa pernah membacakan itu. Itulah bukannya Cu Cong, gurunya yang nomor dua dan juga bukan Oey Yong. Maka dengan perlahan, ia menanya si nona: "Yong-jie, siapakah yang mengarang syair ini? Apakah artinya itu?"
Si nona menggeleng kepala.
"Aku mendengar ini baru untuk pertama kali," sahutnya. "aku tidak tahu siapa pengarangnya. Sayang belum tua tetapi kepala sudah putih... Sungguh suatu kata-kata yang bagus!"
Kwee Ceng masgul, sudah ia tidak ingat, Oey Yong pun tidak tahu, sedang si nona terpelajar, luas pengetahuannya. Pikirnya: "Syair bukan buatan Oey Yong, tentu bukan karya ayahnya. Habis siapakah? Toh aku ingat aku pernah mendengarnya..."
Eng Kouw pun lantas berdiam. Ia lagi memikirkan segala apa yang telah berlalu. Ia nampak sebentar bergirang sebentar berduka. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata: "Adikmu ini terhajar tangannya Kiu Tiat Ciang Pang, entah ada benda apa yang menghalanginya sehingga ia tidak mati lantas, meski begitu, tidak peduli bagaimana dia tidak bakal dapat bertahan lewat tiga hari. Ah, lukanya ini cuma ada satu orang yang dapat menolongnya..."
Kwee Ceng lagi menjublak ketika ia mendengar kata-kata terakhir itu, hatinya lantas memukul keras saking girangnya, maka ia lantas menjatuhkan diri berlutut pula di depan nyonya itu, ia mengangguk tiga kali hingga kepalanya membentur tanah. Ia lantas memohon: "Tolong loo... oh, tidak, tidak! Tolong kau menolongi adikku ini, budimu tidak nanti aku lupai..."
"Hm!" bersuara Eng Kouw, dingin. "Mana aku mempunyai kepandaian untuk menolongi orang? Kalau aku pandai, mustahil aku berdiam di ini tempat membeku menderita kesengsaraan ini..."
Kwee Ceng berdiam saja.
"Nyata kau beruntung," kemudian nyonya itu berkata pula: "Kamu telah bertemu denganku yang mengetahui tempat kediaman orang itu, dan beruntung pula, tempatnya tidak jauh, maka di dalam tempo tiga hari, kamu dapat tiba di sana... Hanyalah sukar untuk dibilang orang itu suka menolongi atau tidak."
Kwee Ceng girang bukan kepalang.
"Aku nanti meminta, memohonnya!" ia berkata. "Aku percaya tidak nanti ia tidak menolong kalau ia melihat bahaya lagi mengancam...."
"Apa itu melihat bahaya mengancam tidak menolong?" kata Eng Kouw. "Kebaikan apa kau telah berikan padanya? Kenapa dia mesti menolong kamu?"
Suara itu menggenggam kegusaran.
Kwee Ceng mengerti, ia tidak berani menyahuti.
Si nyonya bertindak ke kamar luar, di sana ia duduk di kursi, kepalanya ditunduki. Ia memegangi pit, entah dia menulis apa. Habis menulis, surat-suratnya itu dilepit, lantas dibungkus rapi dengan masing-masing sepotong cita, yang terus ia jahit, kemudian ia menjahit dan menjahit lagi hingga merupakan tiga kantung. Habis itu, baru ia kembali ke kamar bundar itu.
"Sekeluarnya dari rimba ini, menyingkirlah kamu dari kepungannya Tiat Ciang Pang," ia berkata. "Kamu menuju langsung ke timur laut, terus sampai di kecamatan Tho-goan. Di sana barulah kamu membuka kantung yang putih itu. Seterusnya tindakan apa yang kamu harus lakukan, di dalam situ ada ditulis jelas. Sebelum kamu sampai di sana, ingat baik-baik, jangan kamu buka surat ini!"
Kwee Ceng girang sekali, ia menghanturkan terima kasih berulangkali. Kemudian ia menyodorkan tangannya untuk menerima kantung-kantung itu.
Eng Kouw menarik pulang tangannya.
"Tunggu dulu!" katanya. "Jikalau orang itu tidak sudi menolong, yah sudah saja, tetapi apabila dia suka menolongi hingga adikmu ini ketolongan, aku hendak minta suatu apa."
"Budi ini mesti dibalas," berkata Kwee Ceng. "Cianpwee menitahkan saja!"
Eng Kouw tertawa dingin ketika ia berkata: "Jikalau adikmu ini tidak binasa, maka di dalam tempo satu bulan ia mesti kembali ke mari dan di sini ia mesti tinggal bersama aku selama satu tahun!"
Kwee Ceng heran.
"Kenapa begitu?" tanyanya.
"Kenapa begitu?" balik tanya si nyonya. "Apakah sangkutannya itu sama aku? Aku cuma tanya kau, kau suka atau tidak?"
"Kau menghendaki aku mengajari kau ilmu hitung Kie-bun-sut, bukan?" Oey Yong campur bicara. "Apakah susahnya itu? Baik, aku memberikan janjiku!"
Eng Kouw mendelik kepada si anak muda.
"Percuma jadi laki-laki, kau tak bisa melawan kecerdikan adikmu satu persepuluh!" ia mengejeknya tetapi ia menyerahkan tiga kantung kainnya itu.
Kwee Ceng menyambuti. Ia melihat satu kantung putih, satu merah dan satu lagi kuning. Ia lantas menyimpan itu baik-baik. Ia memberi hormat sambil menjura tetapi Eng Kouw menyingkir, tak mau ia menerima hormat itu. Ia kata: "Tak usah kau mengucap terima kasih padaku, aku juga tidak sudi menerimanya. Kamu dan aku bukan sanak bukan kandung, perlu apa aku menolongi adikmu ini? Taruh kata kita bersanak, juga tak usah kau menjadi begini bersyukur. Adalah janji kita yang mesti ditepati. Aku bilang padamu, aku menolongi adikmu untuk diriku juga. Hm, siapa tidak berbuat untuk dirinya, dia dimusnahkan Langit dan Bumi!"
Kwee Ceng heran sekali. Suara itu pun tak sedap untuk kupingnya. Oleh karena ia memang tidak pandai bicara, ia tidak tahu mesti membilang apa. Ia sekarang cuma mengingat keselamatannya Oey Yong.
Eng Kouw mengawasi pula si pemuda dengan mata mendelik.
"Kau telah bercapai lelah satu malaman," katanya. "Kau juga tentu telah lapar, maka baiklah kamu dahar bubur!"
Oey Yong sudah lantas merebahkan diri di atas pembaringan, ia beristirahat separuh pulas separuh sadar. Kwee Ceng menjagai dia di sampingnya, pikirannya tidak tentram.
Eng Kouw, yang pergi ke dalam, tak lama datang pula dengan membawa sebuah tetampan, di atas mana ada dua mangkok bubur yang masih panas, asapnya masih mengepul-ngepul. Harum bubur itu. Sebagai temannya ada daging ayam dan ikan.
Kwee Ceng lantas saja terbangun selera makannya. Ia memang sudah lapar sekali. Ia tidak menyangsikan pula si nyonya. Tadi ia mengkhawatirkan Oey Yong, ia lupa makan. Maka ia menepuk-nepuk belakang tangan kekasihnya itu.
"Yong-jie, mari dahar!" katanya.
Oey Yong membuka matanya, ia menggeleng kepala perlahan.
"Dadaku sangat sakit, aku tidak mau dahar," sahutnya.
"Hm!" Eng Kouw tertawa dingin. "Ada obat untuk melenyapkan rasa nyeri tetapi kamu bercuriga!"
Oey Yong tidak ambil peduli sindiran itu.
"Engko Ceng, mari kasih aku sebutir pil Kiu-hoa Giok-louw-wan," kata dia.
Pil itu ada pil pemberiannya Liok Seng Hong semasa di Kwie-in-chung, si nona simpan itu di dalam sakunya, ketika Ang Cit Kong dan Kwee Ceng terluka di tangan Auwyang Hong, mereka makan obat itu beberapa butir, benar obat itu tidak dapat menyembuhkan tetapi bisa menghilangi rasa sakit.
Kwee Ceng menyahuti, ia membuka kantung si nona dan mengeluarkan obat yang diminta itu.
Ketika Oey Yong menyebutkan namanya obat, hati Eng Kouw terkesiap, begitu lekas ia melihat pil merah itu, ia kata dengan bengis: "Adakah ini Kiu-hoa Giok-louw-wan? Kasih aku lihat!"
Kwee Ceng heran mendengar suara orang demikian aseran, ia menoleh. Maka ia melihat mata si nyonya bersinar tajam. Ia menjadi lebih terheran lagi. Tapi ia menyerahkan semua sekantung obat itu.
Kapan Eng Kouw menyambutnya, ia merasakan bau harum dari obat itu menyampok hidungnya. Ia lantas merasakan tubuhnya adem. Ia mengawasi si anak muda, terus ia menanya; "Obat ini ada obat dari Tho Hoa To, darimana kamu mendapatkannya? Lekas bilang! Lekas!" Suaranya itu bengis tetapi bengis bercampur nada sedih.
Dalam herannya, Oey Yong berpikir: "Dia hendak mempelajari ilmu Kie-bun-sut, apakah ia mempunyai hubungannya sama salah satu murid ayahku?"
Kwee Ceng sendiri sudah lantas menjawab: "Adikku ini ialah putrinya pemilik Tho Hoa To!"
Mendadak Eng Kouw berlompat berjingkrak.
"Anaknya Oey Lao Shia?!" dia berteriak. Kedua matanya lantas bersinar bengis, kedua tangannya terus dipentangkan, agaknya hendak dia menubruk si nona di depannya itu. Â
"Engko Ceng, kembalikan tiga kantung itu!" kata Oey Yong. "Karena dialah musuh ayahku, kita jangan menerima budinya!"
Kwee Ceng mengeluarkan kantungnya hanya ia berayal mengembalikannya. Ia bersangsi.
"Letaki, engko Ceng!" kata pula Oey Yong. "Belum tentu aku mati! Mati pun boleh apa!"
Belum pernah Kwee Ceng tidak meluluskan sesuatu kehendaknya si nona, maka ia meletakinya tiga kantung surat wasiat itu.
Eng Kouw memandang keluar jendela, perlahan terdengar keluhannya: "Oh, Thian, Thian...!" Kemudian dengan lantas ia pergi ke kamar sebelah, di sana ia membaliki tubuhnya, entah apa yang ia lakukan.
"Mari kita berangkat!" mengajak Oey Yong. "Aku sebal melihat perempuan ini!"
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, si nyonya sudah kembali.
"Aku hendak memperlajari ilmu Kie-bun-sut, perlunya untuk memasuki Tho Hoa To," ia berkata, "Sekarang gadisnya Oey Lao Shia ada di sini, aku menyakinkannya seratus tahun juga tidak ada gunanya. Dasar nasib, apa mau dibilang? Nah, pergilah kamu! Bawalah kantung itu!"
Ketiga kantung itu, bersama kantung obat, ia sesapkan di tangannya si anak muda. Kepada Oey Yon ia berkata: "Obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini untukmu ada bahayanya tidak ada faedahnya, maka janganlah kau makan pula, hanya kalau nanti kau sudah sembuh, jangan kau lupa janji kita satu tahun itu! Ayahmu telah membikin rusak seluruh penghidupanku, maka semua barang makanan di sini, lebih suka aku memberikannya anjing yang makan, tak sudi aku memberikannya kepada kamu!"
Lantas bubur dan dua rupa masakannya itu ia lemparkan keluar jendela!
Oey Yong gusar bukan kepalang, mau ia membuka mulutnya, atau mendadak ia sadar, maka ia lantas pegangi Kwee Ceng, untuk bangun berdiri. Dengan tongkatnya, ia menulis tiga baris huruf di atas pasir, setelah mana ia mengajak si anak muda itu bertindak ke luar.
Kapan ia sudah tiba di pintu luar, Kwee Ceng berpaling ke belakang, dengan begitu ia bisa melihat Eng Kouw, yang semenjak tadi berdiam saja, lagi mengawasi ke tanah, agaknya dia berdiri bengong, rupanya dia tengah menghitung........
Sesampainya di muka rimba, Kwee Ceng menggendong Oey Yong, lalu ia bertindak pergi mengikuti jalan masuknya tadi. Selama itu, ia menutup mulut, karena pikirannya dipusatkan kepada tindakan kakinya itu supaya ia tidak salah jalan. Adalah setibanya di luar, di tempat aman, baru ia menanya si nona apa yang ditulisnya tadi.
Oey Yong tertawa.
"Aku menulis tiga macam hitungan untuknya," sahutnya. "Dia boleh memikirkan itu setengah tahun, tidak nanti dia mendapatkan jawabannya. Biarlah rambut putihnya menjadi tambah uban! Siapa suruh dia bersikap demikian kurang ajar!"
"Sebenarnya dia bermusuh apa dengan ayahmu?"
"Aku tidak tahu. Tidak pernah aku mendengar ayah mengomonginya." Ia hening sedetik. Lantas ia menanya: "Dimasa mudanya, dia mestinya cantik sekali. Benar tidak engko Ceng?" Selagi menanya begitu, di hatinya ia menduga apa mungkin nyonya itu pernah saling menyinta dengan ayahnya...
"Biar dia cantik atau tidak," Kwee Ceng menyahut. "Dia lagi memikirkan tulisanmu itu, umpama kata dia mendadak menyesal, tidak nanti dia dapat menyusul kita."
"Entah apa dia tulis di dalam kantungnya itu?" tanya Oey Yong. "Jangan-jangan dia tidak bermaksud baik. Apakah tidak baik kita membuka dan melihatnya?"
"Jangan, jangan!" Kwee Ceng mencegah. "Biar kita turut pesannya, sampai di kecamatan Tho-goan baru kita buka..."
Oey Yong sangat terpengaruhkan keinginan tahunya, ingin ia melihatnya, tetapi Kwee Ceng tetap mencegah akhirnya ia suka mengalah.
Sementara itu tanpa terasa sang malam telah berlalu, sang fajar datang menggantikannya, Kwee Ceng naik ke atas sebuah pohon tinggi, untuk melihat kelilingan. Ia tidak melihat orang-orang Tiat Ciang Pang, maka hatinya lega. Ia lantas bersiul memanggil kuda serta burungnya, yang muncul dengan cepat. Yang datang belakangan ialah kedua burung rajawali.
"Mari kita berangkat," kata si anak muda setelah ia dan si nona sudah berada di punggung kuda mereka.
Justru itu waktu, di pinggiran rimba terdengar suara orang berseru-seru, lalu terlihat munculnya beberapa puluh orang. Merekalah orang-orang Tiat Ciang Pang, yang tak putus asa meskipun Eng Kouw telah menampik mereka, dengan terpaksa mereka menanti sambil menyembunyikan diri, baru mereka keluar setelah Kwee Ceng mengasih dengar suaranya yang nyaring memanggil kuda dan burungnya.
"Maaf, tak dapat kami menemani kamu!" berkata Kwee Ceng kepada mereka itu seraya ia mengeprak mengasih kudanya lari, maka dalam tempo yang pendek, di kuda merah meninggalkan jauh sekali kawanan pengepungnya itu.
Di waktu tengah hari, Kwee Ceng telah melalui perjalanan beberapa ratus lie, maka ia lantas berhenti di tepi jalan, di mana ada sebuah warung nasi. Di situ ia bersantap. Oey Yong lagi sakit, ia makan sedikit bubur.
Habis makan anak muda ini menanya tuan rumah tempat itu apa namanya. Ia diberi tahu bahwa ia berada di dalam wilayah kecamatan Tho-goan, maka tidak ayal lagi ia mengeluarkan kantung putihnya, untuk dibuka dan diperiksa. Di dalam situ ada sehelai peta bumi dengan dua baris yang berbunyi: "Jalan mengikuti petunjuk dalam gambar ini. Di ujung jalanan ini ada sebuah air tumpah yang besar, di samping mana ada sebuah rumah yang atap. Sampai di situ bukalah kantung yang merah."
Tanpa ragu-ragu, Kwee Ceng menuruti surat wasiat itu. Ia mengasih kudanya lari sampai sekira delapanpuluh lie, sampai jalanan nyata makin jauh makin sempit. Lagi delapan atau sembilan lie, jalanan merupakan jalanan selat yang sempit, di kiri-kanan ialah tembok gunung. Jalanan demikian kecil hingga muat hanya satu orang. Kuda merah juga tidak dapat jalan di situ. Saking terpaksa, Kwee Ceng menggendong pula Oey Yong dan kudanya ditinggalkan, dibiarkan mencari makanannya sendiri.
Catatan:
Mengutamakan pemilihan - Rajin berlatih - Adil dalam persenan dan hukuman - Jelas dengan perintah - Keras dengan tata tertib - Bersama-sama senang dan susah.
"Hm, siapa tidak berbuat untuk dirinya, dia dimusnahkan Langit dan Bumi!"
 Â