PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Pendidikan adalah usaha untuk memanusiakan manusia. Subyek, obyek atau sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu manusia untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Oleh karena keberadaan manusia yang tidak dapat terlepas dari lingkungannya maka berlangsungnya proses pendidikan itu selamanya akan berkaitan erat dengan lingkungan dan akan saling mempengaruhi secara timbal balik.

Corak pendidikan yang dikehendaki oleh Islam adalah pendidikan yang mampu membentuk manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan. Tujuan akhir dari pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam al- Qur’an surat al-Anbiya’ (21) ayat 107, yang artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Ayat tersebut mengandung hakikat tentang misi Islam, yaitu membawakesejahteraan di dunia dan di akhirat. Jika ayat tersebut dikaitkan dengan pendidikan, maka dapat dipahami bahwa pendidikan berorientasi untuk melahirkan generasi yang mampu melaksanakan misi rahmatan li al-alamin. Oleh karena itu elemen-elemen dalam sistem pendidikan harus diperhatikan kualitasnya.

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pengertian Sistem?
  2. Bagaimana Elemen-elemen Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem Menurut Pandangan Islam?
  3. Bagaimana Analisis Sistem Pendidikan Islam?

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Sistem

Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai suatu tujuan. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat.

Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti negara. Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara dimana yang berperan sebagai penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut.

Sebuah sistem memiliki struktur yang teratur. Sistem memiliki beberapa sub sistem, sub sistem dapat terdiri dari beberapa sub-sub-sistem, sub-sub-sistem dapat memiliki sub-sub-sub-sistem, dan seterusnya hingga sampai pada bagian yang tidak dapat dibagi lagi yang disebut komponen atau elemen. Komponen dapat pula berupa suatu sistem yang menjadi bagian dari sistem yang berada di atasnya. Komponen-komponen itu mempunyai fungsi masing-masing (fungsi yang berbeda-beda) dan satu sama lain saling berkaitan sehingga merupakan suatu kesatuan yang hidup.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan ciri-ciri umum suatu sistem sebagai berikut:

  1. Sitem merupakan satu kesatuan yang holistik
  2. Sistem memiliki bagian-bagian yang tersusun sistematis dan berhierarki
  3. Bagian-bagian sistem itu berelasi antara satu dengan lainnya
  4. Tiap-tiap bagian sistem konsen/peduli terhadap konteks lingkungannya.

Pengertian Sistem Menurut Para Ahli

  1.  L. James Havery

Menurutnya sistem adalah prosedur logis dan rasional untuk merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam usaha mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.

  1. John Mc Manama

Menurutnya sistem adalah sebuah struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efesien.

  1. C.W. Churchman

Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang dikoordinasikan untuk melaksanakan seperangkat tujuan.

  1. Elemen-elemen Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem Menurut Pandangan Islam
  1. Guru

Dalam pengertian yang sederhan, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di Masjid, di Surau atau Musholla, di Rumah dan sebagainya.

Hakikat guru atau pendidik dalam islam pada perinsipnya tidak hanya mereka yang mempunyai kualifikasi keguruan secara formal yang diperoleh dari bangku sekolah perguruan tinggi. Melainkan yang terpenting adalah mereka yang mempunyai kompetensi keilmuan tertentu dan dapat menjadikan orang lain pandai dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Aspek  kognitif menjadikan peserta didik cerdas intelektualnya, aspek afektif menjadikan siswa mempunyai sikap dan perilaku yang sopan, dan psikomotorik menjadikan siswa terampil dalam melaksanakan aktivitas secara efektif dan efesien, scara tepat guna.

Menerut Ahmad Tafsir, guru dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik. Mereka harus dapat mengupayakan seluruh potensi peserta didik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Potensi-potensi ini dikembangkan sedenmikian rupa dikembangkan secara seimbang sampai mencapai tingkat yang optimal berdasarkan ajran Islam.

Dalam kontek pendidikan Islam pendidik atau guru disebut dengan Murobbi, Mu’allim Dan Muaddib. Kata atau istilah “Murobbi”, misalnya, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua dalam membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelanyanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan berkepribadian serta akhlak yang terpuji.

Sedangkan untuk istilah “Muallim”, pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan, dari seorang yang tahu kepada seorang yang tidak tahu. Adapun istilah “Muaddib”, menurut Al-Attas, lebih lebih luas dari istilah “Muallim” dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.

  1. Peserta Didik

Peserta didik merupakan salah satu elemen penting dalam suatu proses pendidikan Islam. Peserta didik artinya orang yang ikut serta dalam proses pendidikan.  orang tersebut mengambil bagian dalam sistem atau jenis pendidikan tertentu untuk menumbuhkan dan mengembangkan dirinya.

Ramayulis mendeskripsikan bahwa peserta didik adalah orang berada pada dalam fase pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun psikis, yang merupakan ciri dari seseorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik.

Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali disebut dengan “murid” atau thalib. Secara etimologi, murid berarti orang yang menghendaki. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib  secara bahasa berarti orang yang sedang mencari, sedang menurut istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, serta berusaha keras menempuh untuk mencapai derajat sufi.

Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah, untuk perguruan tinggi disebut dengan istilah mahasiswa. Setiap lembaga-lembaga menyebut istilah peserta didik ini dengan berbeda-beda. Di dalam keluarga peserta didik disebut dengan anak kandung, dalm kehidupan masyarakat peserta didik adalah anak-anak penduduk, serta dalam suatu agama peserta didik menjadi umat beragama.

Peserta didik merupakan inti, sentral, pokok persoalan, dan subjek dalam proses belajar mengajar. Tidak tepat jika dikatakan bahwa peserta didik itu sebagai objek pendidikan. Pandangan yang menganggap siswa atau anak didik itu sebagai objek, sebenarnya pendapat usang yang terpengaruh oleh konsep Tabularasa bahwa anak didik diibaratkan sebagai kertas putih yang dapat ditulisi sekehendak hati oleh para guru atau pengajarnya yang menjadi subjek dalam proses pendidikan ialah yang menjadi pesertanya atau peserta didik.

Sedangkan yang menganggap bahwa peserta didik adalah objek pendidikan ialah pendapat yang terpengaruh dalam suatu konsep bahwa peserta didik hanya sebagai kertas putih, kemauan seorang pendidik memperlakukan kertas tersebut. Dalam konsep ini pula, peserta didik hanyalah sebuah barang, terserah seorang pendidik atau guru mempergunakannya. Konsep ini pendidik akan sangat dominan dalam suatu proses pendidikan.

Dengan diakuinya keberadaan seorang peserta didik dalam kehadiran proses belajar mengajar, maka tugas dari seorang pendidik atau guru adalah memberikan bantuan, arahan dan bimbingan kepada peserta didik menuju kesempurnaan atau tujuan yang ingin di capainya.

  1. Kurikulum

Pemikiran al-Ghazali dalam bidang kurikulum pendidikan Islam merupakan salah satu konsep yang sangat besar di masanya. Pemikiran kurikulumnya bukan sekedar pemikiran lepas tanpa dasar, tetapi benar-benar ditopang oleh dasar yang dipertimbangkan dan dipikirkannya secara matang serta diuji oleh pengalaman.

 Ada tiga dasar pokok yang mendasari konsep kurikulum al-Ghazali tersebut, yaitu dasar filosofis, psikologis dan sosiologis. Dasar filosofis al-Ghazali mendasari konsep kurikulumnya dengan pandangannya tentang hakekat manusia dan hakekat pendidikan, hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat tujuan hidup atau tujuan pendidikan.  

Al-Ghazali memandang, bahwa manusia adalah makhluk yang berasal dari Tuhan yang memiliki substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, yaitu al-jism dan al-ruh. Karena manusia berasal dari Tuhan, maka ia harus kembali kepada Tuhan sebagai asalnya, dan dengan itulah manusia akan merasakan kebahagiaan yang hakiki.

Al-Ghazali memandang, bahwa hakekat pendidikan adalah merupakan upaya untuk membimbing seseorang untuk dapat dekat kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Untuk dapat menuju kepada tujuan yang diinginkan, dalam upaya pendidikan diperlukan ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan, dilihat dari cara memnacapainya, terbagi kepada: ilmu pengetahuan inderawi (hissiyyah), ilmu pengetahuan taqlid(syar`iyyah), ilmu pengetahuan `aqliyyah (gair syar`iyyah), dan ilmu pengetahuan mukasyafah. Ilmu pengetahuan yang dapat diberikan dalam proses pendidikan ialah ilmu pengetahuan taqlid (syar`iyyah) dan ilmu pengetahuan `aqliyyah (gair syar`iyyah). Lebih lanjut, al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu pengetahuan syar`iyyah dan gair syar`iyyah tersebut berdasarkan azas nilai dan azas manfaat.

faktor psikologis, setidakanya ada dua aspek yang dapat dilihat, yang menjadi dasar bagi al-Ghazali dalam mengembangkan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Dalam psikologi perkembangan, al-Ghazali memandang bahwa anak sebagai seoorang manusia yang dilahirkan dari bentuk yang belum sempurna, baik dari aspek al-nafs maupun al-jism, yang selanjutnya akan dapat berkembang menuju kepada kesempurnaan.

Perkembangan tersebut berjalan sejalan dengan berfungsinya fungsi-fungsi dari daya tersebut. Pada tingkat tertentu seseorang dapat menyerap ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkat kemampuan dan keberfungsian daya tersebut. Akan tetapi, di samping itu al-Ghazali juga memandang bahwa seitiap orang memiliki batas kemampuan berkembang dan karenanya setiap orang tidak memiliki kapasitas daya dan kemapuan yang sama.

psikologi belajar, al-Ghazali memandang bahwa dalam belajar Dalam seseorang menggunakan daya-daya jiwa (junud al-qalb). Dengan perantaraan fungsi daya-daya jiwa tersebut itulah seseorang dapat belajar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang didapat sesuai dengan tingkat kap[asitas dan keberfungsian daya-daya tersebut.

Menurut al-Ghazali, pada dasarnya ada empat cara belajar yang dilakukan, yaitu melalui kemampuan indera yang menghasilkan pengetahuan inderawi, melalui peniruan yang melahirkan pengetahuan taqlid, melalui proses berfikir rasional yang menjasilkan `aqliyyah dan melalui zauq yang menghasilkan ilmu pengetahuan mukasyafah.
Konsep kurikulum yang dikembangkan oleh al-Ghazali tampaknya sangat dipengaruhi oleh faktor sosiologis.

Sebagaimana dituturkannya dalam Munqiz min al-Dalal bahwa pandangannya tentang kehidupan dan perkembangan pemikiran masyarakat Islam pada saat itu adalah merupakan faktor yang sangat dominan dalam menentukan langkah pemikiran dan kiprahnya dalam pendidikan.

Al-Ghazali memandang bahwa masyarakat Islam pada masanya telah berada dalam bahaya yang besar yaitu jatuh kepada kekeliruan pemahaman dan pengamalan ajaran agama. Kekeliruan masyarakat Islam itu perlu diselamatkan dengan kembali kepada dasar aslinya, yaitu Al-qur`an dan Hadis Nabi. Berkaitan dengan inilah, al-Ghazali memandang, bahwa ilmu yang perlu dikembangkan dalam masyarakat ialah ilmu syar`iyyah dan ilmu gair syar`iyyah yang tidak bertentang dengan prinsip-prinsip dasar Al-qur`an dan Hadis Nabi dan menghindari ilmu-ilmu yang dinilai tercela dan membawa kepada kekufuran dan ilhad.
Berdasarkan dasar pemikiran tersebut al-Ghazali mengembangkan gagasannya tentang kurikulum pendidikan Islam.

Kurikulum menurut al-Ghazali tidak lain adalah sejumlah ilmu pengetahuan yang yang harus dipelajari oleh seseorang sepanjang proses pendidikannya. Penting yang dikemukakan oleh al-Ghazali adalah sebagaiberikut:

  1.  Media pendidikan

Dalam pendidikan Islam alat/media yang berupa benda perlu dikembangkan. Alat/media yang berupa non-benda juga perlu mendapat perhatian Zakiah Darajat menyebutkan pengertian alat pendidikan sama dengan media pendidikan sebagai sarana pendidikan. Adapun Sutari Imam Barnadib mengemukakan bahwa alat pendidikan ialah tindakan atau perbutan atau situasi atau benda yang dengan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan ternyata mencangkup pengertian yang luas. Yang termasuk didalamnya berupa benda, seperti kelas, perlengkapan belajar dan yang sejenisnya. Alat ini disebut juga dengan alat peraga.

Sedangkan yang merupakan alat bukan benda ialah dapat berupa situasi pergaulan bimbingan perintah, ganjaran teguran, anjuran serta tugas ancaman maupun hukuman.

Dengan demikian apabila pendidikan Islam memanfaatkan alat/media pengajaran tersebut secara optimal, maka peserta didik akan memiliki pemahaman yang bagus terhadap materi yang disampaiakan. Serta meningkatkan morasl dan akhlak yang baik dengan memperhatikan penggunaan alat/media pengajaran tersebut akan mampu tercapainya tujuan pendidikan islam yang efektif.

  1. Analisis Sistem Pendidikan Islam

Pendidikan islam yang ruang lingkupnya sama sebangun dengan kebutuhan hidup umat manusia dalam seluruh bidang-bidangnya terutama pendidikan. Secara sistematik, adalah proses mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan menuju titik optimal kemampuan manusia berlandaskan nilai-nilai islami, berlangsung menurut sistem hukum tertentu yang menentukan corak dan warna hasil (produk) akhirnya.

Ilmu pendidikan islam yang memiliki khazanah (kekayaan) sumber inspirasi dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW seharusnya dapat mengembangkan berbagai model institusional dan kurikuler kependidikan yang aspiratif dan akomodatif terhadap tuntutan kemajuan zaman. Orientasi pendidian islam adalah kebutuhan umat manusia yang mendambakan kemajuan yang mensejahterakan hidunya masa kinindan masa depen sampai hidup di alam akhirat setelah mati.

Watak ilmu pendidikan islam adalah sistematis dan konsisten menuju ke arah tujuan yang hendak dicapai. Untuk itu maka pendidikan islam memerlukan pemikiran sistematik dan mengarahkan prosesnya dalam sistem-sistem yang aspiratif terhadap kebutuhan umatnya. Bila tidak demikian, akan timbul gangguan dan hambatan-hambatan teknis operasional yang dapat menghilangkan orientasinya yang benar.

Semakin banyak gangguan yang timbul dalam suatu sistem, maka semakin besar pula daya perusak yang mengancam mekanisme sistem itu dan makin menjauhnya dari tujuan yang dicita-citakan.

 

BAB III

SIMPULAN

        

Pendidikan yang berkualitas harus mampu menuntun para peserta didik dalam menemukan bakatnya dan mampu menyediakan wadah dalam mengembangkannya melalui proses latihan. Selain itu, pendidikan dapat disebut berkualitas apabila mampu menjawab kebutuhan zaman dan implementasi dari ilmu dapat dilihat dalam dunia nyata. Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh konten dari pendidikan tersebut. Tetapi kita harus mampu melihat cara pengaksesan  pendidikan tersebut.

Elemen pendidikan yang dimaksud yakni Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, para pendidik (guru, dosen, dan sebaginya), dan peserta didik. Setiap elemen memiliki peran  dalam mewujudkan pendidikan yang ideal di Indonesia. Setiap elemen saling berhubungan. Keputusan pada satu elemen  mempengaruhi elemen lain dalam membuat keputusan. Oleh karena itu, kita simpulkan bahwa setiap elemen harus saling mengerti kemampuan dan kebutuhan masing-masing sembari menyesuaikan dengan kebutuhan lingkungan global.

Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki peran yang penting dalam menetapkan sistem dan regulasi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apabila diperhatikan, negara Indonesia memakai sistem pendidikan dari negara lain yang sudah terbukti keefektifan sistem pendidikannya. Namun, kita harus lebih menelaah lebih dalam mengenai kecocokan dan kesiapan seluruh infrastruktur sekolah secara menyeluruh di pelosok Indonesia. Hal ini harus diantisipasi agar tidak ada ketimpangan pendidikan di berbagai belahan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 1991, Ilmu pendidikan Islam, Jakarta:Bumi Aksara.

Djamarah, Syaiful Bahri. Guru Dan Anak Didik Dalam Interaktif Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

Ramayulis, 2008. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia

Uhbiyati, nur, 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia

http://adji-anginkilat.blogspot.com/2010/11/alat-alat-media-pendidikan-islam.html .

diakses 30-3-tp://adji-anginkilat.blogspot.com/2010/11/alat-alat-media-pendidikan-islam.html.