BAB I
PENDAHULUAN
Fiqih memiiliki kedudukan yang mulia. Para ulama pun bersemangat dalam mempelajari Fiqih dan membukukan permasalahan-permasalahannya, hingga akhirnya mereka meletakkan dasar dan kaidah dalam semua bidang ilmu Fiqih, khususnya Fiqih muamalah yang demikian luasnya. Dengan bekal tersebut, kaidah dasar yang ditulis dan dibakukan para ulama ini kita dapat mengetahui dan memahami banyak sekali permasalahan yang bersinggungan langsung dan tidak langsung dalam kehidupan kita.
Hingga kini, konsep syirkah masih dipakai dan bahkan seiring pesatnya perekonomian syariah dewasa ini, syirkah sudah menjadi salah satu dari berbagai alternatif halal yang ditawarkan Lembaga Ekonomi Syariah kepada masyarakat. Meski masih belum menjelaskan secara komprehenshif, semoga makalah ini dapat memberi informasi yang lebih tentang apa itu konsep dan aplikasi syirkah serta dapat bermanfaat bagi kita semua dalam berproses di kampus yang kita cintai ini.
Dimakalah ini kami akan membahas masalah fiqih yang berhubungan dengan syirkah dan nantinya diharapkan untuk kita bisa memahami dan menjadi pegangan kita dalam melakukan muamalah serat bisa mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat[1]. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri, dibaca syirkah lebih fasih (afshah), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya[2]. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Secara bahasa kata asy-syirkah (الشركه) berarti al-ikhtilath (percampuran) dan persekutuan. Yang dimaksud dengan percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga sulit untuk dibedakan[3].
Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama:
a. Menurut Malikiyah :
“Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk ber-tasharruf (pengaturan)”[4].
b. Menurut Hanafiyah :
“Ungkapan tentang adanya transaksi (aqad) antara 2 orang yang bersekutu pada pokok harta dan keuntungan”[5]
c. Menurut Syafi’iyah :
“Ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki 2 orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui)”[6]
d. Menurut Hanabilah :
“Perhimpunan adalah hak (kewenangan) atau pengelolaan harta (tasharruf)”[7]
Dilihat dari makna di atas maka pendapat yang paling jelas adalah pendapat Hanafiyah karena mengungkapkan hakikat perkongsian yaitu akad. Adapun pengertian lainnya menggambarkan tujuan, pengaruh dan hasil pengkongsian.
Sedangkan menurut para fuqaha berbeda pendapat tentang pengertian syirkah sebagai berikut :
عَقْدٌ بَيْنَ الْمُتَشارِكَيْنِ فِي رَأْسِ الْمَالِ وَالرَّبْحِ
“akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan”.[8]
ثُبُوْتُ الْحَقِّ لاِثْنَيْنِ فَأَكْثَرَ عَلَي جِهَةِ الثُّيُوْعِ
“ketettapan haq pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).”[9]
ثُبُوْتُ الْحَقِّ لاِثْنَيْنِ فَأَكْثَرَ
Penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atu lebih”.[10]
عِبَرَةٍ عَنْ ثُبُوْتُ الْحَقِّ فِي الشَيْءِ الْوَحِدِ لِشَخْصَيْنِ فَصَاعِدًا عَلَي جِهَةِ الشُيُوْعِ
“ibarat penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang telah diketahui”.[11]
عَقْدٌ بَيْنَ شَخْصَيْنِ فَأَكْثَرَعَلَي التَّعَاَوُنِ فِي عَمَلٍ اِكْتِسَابِيٍّ وَاقْتِسَامِ اَرْبَاحِهِ
“akad yang berlaku antara dua orang atu lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya”.[12]
Setelah diketahui definisi-definisi syirkah menurut para fuqaha kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiaanya ditanggung bersama.
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Nabi shallahu ‘alahi wa sallam telah mengizinkan orang muslim untuk bermu'amalah secara syirkah. Hal ini sesuai dengan sabda beliau yang telah diriwayatkan Abu Hurairah ra sebagai berikut :
Dari Abi Hurairah, dia berkata, Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam bersabda, Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang bersyirkah selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati rekannya yang lain. Kalau salah satunya berkhianat, maka Aku keluar dari keduanya.” (HR. Al- Baihaqi dan ad- Daruquthni).
Imam al-Bukhiri telah meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya bahwa Abul Minhal pernah mengatakan bahwa dia dan orang yang telah melakukan syirkah dengannya membeli suatu barang dengan cara tunai dan kredit. Kemudian al- Barra’ bin 'Azib datang menjumpai mereka. Akhirnya mereka pun bertanya kepadanya mengenai hal tersebut. Dia pun menjawab bahwa rekannya menjadi orang yang menjalin syirkah dengannya. Kemudian mereka berdua bertanya kepada Nabi shallahu ‘alahi wa sallam mengenai transaksi itu. Ternyata Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam bersabda, Dari Utsman, yaitu bin al-Aswad, dia berkata, aku diberitahu oleh Sulaiman bin Abi Muslim,…Lantas beliau bersabda, “Barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silakan kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) dengan cara kredit, silakan kalian kembalikan.” (HR. Al- Bukhari).
Mu'amalah dengan cara syirkah boleh dilakukan antara sesama muslim ataupun antara orang Islam dengan orang non- muslim. Seorang muslim boleh melakukan syirkah dengan orang Nashrani, Yahudi atau orang non- muslim lainnya. Imam Muslim pernah meriwayatkan hadis dari 'Abdullah bin 'Umar sebagai berikut: Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam telah menyerahkan kebun kurma kepada orang- orang Yahudi Khaibar untuk digarap dengan modal harta mereka. Dan beliau mendapat setengah bagian dari hasil panennya.” (HR. Muslim).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum melakukan syirkah dengan orang Yahudi, Nashrani atau orang non- muslim yang lain adalah mubah. Hanya saja, orang muslim tidak boleh melakukan syirkah dengan orang non- muslim untuk menjual menjual barang- barang yang haram, seperti minuman keras, babi, dan benda haram lainnya. Karena bagaimanapun juga, Islam tidak membenarkan jual beli barang- barang yang haram, baik secara individu maupun secara syirkah.
Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama, Menurut ulama Hanafiyah, rukun syirkah ada 2 yaitu ijab dan Kabul karena ijab Kabul (akad) menentukan adanya syirkah. Adapun yang lain seperti dua orang atau pihak yang berakad dan harta berada diluar pembahasan akad seperti terdahulu dalam akad jual beli.[14]
Adapun menurut pendapat jumhur ulama, rukun syirkah ada 3 yaitu :
1. Shighat (Ijab kabul)
Contoh : “Saya berserikat dengan anda dalam masalah ini”. Kemudian dijawab oleh pihak kedua, “Saya terima”
2. ‘Aqidan (dua orang pihak yang berakad)/Syarik)
3. Ma’qud ‘alaih/Objek akad (harta, pembagian kerja, pembagian laba dan kerugian)
Ada 2 syarat yang bertalian dengan semua bentuk syirkah :
Menurut hanafiyah syarat-syarat syirkah terbagi menjadi empat bagian:
Selain syarat-syarat diatas juga ada syarat lain yang perlu dipenuhi dalam syirkah menurut Idris Ahmad, syarat tersebut meliputi:
1. mengungkapkan kata yang menunjukkan izin anggota yang berserikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
2. anggota serikat saling mempercayai. Sebab masing-masing mereka adalah wakil dari yang lainya.
3. mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik berbentuk mata uang atau yang lainya.
Malikiyah menambahkan bahwa orang yang melaksankan akad syirkah disyaratkan merdeka, balig dan pintar (rusyd).
Menurut Hanafiyah, secara garis besar syirkah dibagi dua bagian, yaitu syirkah milik dan syirkah ‘uqud. Syirkah milk juga dibagi dua macam: syirkah milk jabar dan syirkah milk ikhtiyar. Syirkah ‘uqud dibagi menjadi tiga macam: syirkah ‘uqud al-amal, syirkah ‘uqlud bi al-abdan, dan syirkah ‘uqud bi al-wujud. Syirkah ‘uqud bi al-amal dibagi menjadi dua macam:syirkah-syirkah ‘uqud bi al-amal mufawadhah dan syirkah ‘uqud bi al-mal inan. Syirkah ‘uqud bi al-abdan dibagi dua: syirkah ‘uqud bi al-abdan mufawadhah dan syirkah ‘uqud bi al-abdan inan. Syirkah ‘uqud bi al-wujud dibagi menjadi dua bagian: syirkah ‘uqud bi al-wujud mufawadhah dan syrikah ‘uqud bi al-wujud inan.
Pengertian syirkah milk ialah :
عِبَارَةٌ عَنْ أَنْ يَتَمَلَّكَ شَخْصَانِ فَأَكْثَرَ مِنْ غَيْرِ عَقْدٍالشَّرْكَةِ
“ibarat dua orang atau lebih memilikan suatu bendakepada yang lain tanpa ada akad syirkah”.
Pengertian syirkah al-‘uqud :
عِبَارَةٌ عَنِ العَقْدِالْوَقِعِ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَأَكْثَرَ لِلاِشْتِرَاكِ فِي مَالٍ وَرِبْحِهِ
“ibarat akad yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk berserikatdalam harta dan keuntungan”.
Maksud syirkah milk al-jabar ialah :
أَنْ يَجْتَمِعَا شَخْصَانِ فِي مِلْكِ عَيْنٍ قَهْرًا
“berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa”.
Maksud syirkah milk ikhtiyar ialah :
أَنْ يَجْتَمِعَ فِي مِلْكِ بِاخْتِيَارِهِمَا
“berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan benda dengan ikhtiyar keduanya”.
Al-syirkah ‘uqud bi al-mal ialah :
عِبارَةٌ عَنْ أَنْ يَّتَّفِقَ اثْنَانِ فَأَكْٰثَرَ عَلَي أَنْ يَدْفَعَ كُلٌ وَاحِدٍمِنهُما مَبلَعاً مِنَ الْمَالِ لِاسْتِثْمَارِهِ بِا لْعَمَلِ فِيْهِ وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنَ الشُرَكَاءِ جُزْءٌ مُعَيَّنٌ مِنَ الرَّبْحِ
“Ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperolrh bagian yang ditentukan dari keuntungan”.
Syirkah al wujuh ialah :
أَنْ يَشْتَرِكَ اِثْنَانِ لَيْسَ لَهُمَا مَالٌ وَلَكِنْ لَهُمَا وِجَاهَةٌ
“dua orang berserikat atau pihak yang tidak ada harta didalamnya tetapi keduanya sama-sama berusaha”.
Syirkah al-wujuh mufawadhah ialah :
أَنْ يَكُوْنَا مِنْ اَهْلِ الْكَفَالَةِ وَاَنْ يَكُوْنَ الْمُشْتَرِي بَيْنَ هُمَا بِصْفِيْنَ
“keduanya termasuk ahli kafalah dan dalam pembelian masing-masing setengah.”
Syirkah al-wujuh ‘ian :
أَنْ يَفُوْتَ شَيْءٌ مِنْ هٰدِهِ الْقُيُدِكَاَنْ لَايَكُوْنَا مِنْ اَهلِ الْكَفَالَةِ اَوْيَتَفَاضَلَا فِيْمَا لِمُشْتَرِبَيْهِ
“Sesuatu dari ikatan-ikatan yang berkeseimbangan seolah-olah bukan ahli kafalah atau seperti tak ada kelebihan bagi penjual dan pembeli”.
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah inân; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudhârabah; (4) syirkah wujûh; dan (5) syirkah mufâwadhah. An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafiiyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah.[16]
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil As-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi‘, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).[17]
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya).[18] Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal[19]. Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.[20]; tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil As-Sunnah. Ibnu Mas‘ud ra. pernah berkata (yang artinya), “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR Abu Dawud dan al-Atsram).
Hal itu diketahui Rasulullah saw. dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau.
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl).[21] Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh.[22] Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/ rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah [23]
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil As-Sunnah (taqrîr Nabi saw.) dan Ijma Sahabat.[24] Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/’âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya. Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.[25]
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam.[26] Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya.
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak. Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam [27]
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh).[28] Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
Dari macam-macam serikat tersebut, sebetulnya masih diperselisihkan oleh para ulama. Seperti ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang sah dilakukan hanyalah syirkah al-Inan, sementara syirkah yang lainnya batal.
Cara membagi keuntungan atau kerugian tergantung besar dan kecilnya modal yang mereka tanamkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh praktik berserikat pada table berikut ini :
Nama | Jumlah Modal Pokok | Penyertaan | Porsi Modal Pokok | Untung | Bagi Hasil |
Yusuf | 10 dirham | 2 dirham | 1/5 | 10 dirham | 1/5 x 10 = 2 dirham |
Awang | 3 dirham | 3/10 | 3/10 x 10 = 3 dirham | ||
Rofi | 3 dirham | 3/10 | 3/10 x 10 = 3 dirham | ||
Adit | 2 dirham | 1/5 | 1/5 x 10 = 2 dirham |
Husin, Hasan dan Husen bersepakat untuk melakukan perjanjian kerjasama musyarakah, dalam satu usaha bisnis, dimana semua pihak mengumpulkan modal dan mengelolanya secara bersama-sama. Modal yang dibutuhkan Husen sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Mereka (Husin, Hasan dan Husen) bersepakat, pembagian keuntungan akan disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-masing tanpa membedakan kemampuan dalam melakukan pekerjaannya.Modal yang diinvestasikan sesuai dengan kesanggupan masing-masing, yaitu:
Husin : 25% x 20.000.000 = Rp. 5.000.000
Hasan : 40% x 20.000.000 = Rp. 8.000.000
Husen : 35% x 20.000.000 = Rp. 7.000.000 +Rp. 20.000.000
Jika untung:
Setelah satu kali putaran produksi, diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.500.000,-. Pembagian keuntungan antara anggota syirkah disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-masing anggota syirkah sebagai berikut:
Cara 1
Prosentase saham masing-masing pemilik modal dikalikan dengan keuntungan yang diperoleh:
Husin : 25% x 2.500.000 = Rp. 625.000
Hasan : 40% x 2.500.000 = Rp. 1.000.000
Husen : 35% x 2.500.000 = Rp. 875.000 +Rp. 2.500.000
Cara 2:
Menggunakan rumus :
Jumlah seluruh keuntungan dibagi seluruh modal dikali modal masing-masing.
Jadi : Rp. 2.500.000 : 0,125 = Rp. 20.000.000
Keuntungan yang diterima masing-masing pemilik modal:
Husin : 0,125 x 5.000.000 = Rp. 625.000
Hasan : 0,125 x 8.000.000 = Rp. 1.000.000
Husen : 0,125 x 7.000.000 = Rp. 875.000 + Rp. 2.500.000
Ingat : Jika hasil bagi ini (0,125) dibulatkan menjadi 0,13 hasil penghitungannya belum tentu sesuai dengan keuntungan yang akan dibagikan
Jika Rugi
Jika diakhir bisnis mengalami kerugian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Terhadap keuntungan yang pernah dibagikan, setiap anggota syirkah harus menganggap sebagai bagian dari modal serta menanggung kerugian yang ada pada modal.Ingat kerugian harus selalu menjadi tanggungan pemilik modal, karena kerugian merupakan reduksi dari modal
Cara pengembalian keuntungan bisa 2 cara yaitu:
Sedangkan untuk melihat berapa tanggungan masing-masing anggota syirkah dari kerugian yang ditimbulkannya adalah sama dengan cara pembagian keuntungan, yaitu dengan rumus Prosentase modal masing-masing dikalikan jumlah kerugian yang ada. Cara penghitungannya sama dengan cara pembagian keuntungan atau kerugian pada kasus mudharabah diatas yang pemilik modalnya terdiri dari beberapa orang.
Demikian contoh-contoh teknis pembagian keuntungan dan kerugian dalam sistem bagi hasil mudharabah dan musyarakah. Pembaca bisa menggunakan dan mencari teknis penghitungan yang lebih mudah dan cepat, selama tidak keluar dari prinsip-prinsip mudharabah dan musyarakah yang telah ditetapkan oleh ahli fiqih .
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut :
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Syirkah merupakan kerjasama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha dengan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama. Hukumnya sangat dianjurkan jika kedua belah pihak saling amanah, haram jika keduanya saling berkhianat. Syirkah dinyatakan sah jika memenuhi rukun dan syarat.
Dasar dari syirkah ini menurut para ulama fiqih adalah penjaminan dan amanah. Masing-masing dari pihak yang beraliansi menjadi pen-jamin atau wakil, sekaligus yang mewakilkan kepada yang lain. Ia dapat beroperasi dalam apa yang menjadi haknya menurut hukum asal, dan juga dalam apa yang menjadi hak pihak lain dengan status sebagai wakil. Sementara sudah dimaklumi bahwa wikalah atau penjaminan adalah perjanjian yang juga dibolehkan ber-dasarkan kesepakatan ulama. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh memaksa pihak lain untuk menuruti apa yang menjadi kei-nginannya di bawah intimidasi.
Demikian juga hukum asal dari sistem syirkah ini, karena syirkah ini juga harus menggunakan penjaminan agar bisa berjalan, dan juga membutuhkan spon-sorship agar bisa bertahan. Wikalah atau penjaminan menjadi syarat dalam sistem perniagaan ini, untuk memulainya dan agar tetap bertahan. Kalau penjaminan itu terputus dengan pemba-talan dari salah satu pihak, maka hak-hak kepemilikan bagi masing-masing pihak untuk mengoperasikan modal pihak lain juga hilang.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi. 2011. Fiqh Muammalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqh Al-Sunnah, Beirut:Dar Al-Fiqh.
Ash-Shiddieqi, Hasby. 1984. PengantarFiqhMuamalah. Jakarta : Bulan Bintang.
Syafei, Rachmat. Fiqh Muammalah. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam 5. Cet. X; Damaskus: Darul Fikr, 2007.
[1] Kamus Al-Munawwir, hlm. 765.
[2] An-Nabhani, 1990: 146).
[3] An-Nabhani, 1990: 146.
[4] Ad-Dasuki, Asy-Syarh Al-Kabir ma’a Ad-Dasuqi, juz 3 hal. 348.
[5] Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar dar al-Muhtar, juz 3 hal. 364.
[6] Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 3 hal. 364.
[7] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 2 hal. 211.
[8] Lihat fiqh al-sunnah, hlm. 294.
[9] Lihat al-Iqna, hlm. 41.
[10] Lihat, Qalyubi Wa Umaira, hlm.332.
[11] Lihat kifayat al akhyar, hlm.280.
[12] Lihat Pengantar Fiqh Muammalah, hlm. 89.
[13] Lihat FIqh al-Syafi’iyah, hlm. 106
[14] Lihat al-Jaziri, dalam fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, hlm. 76-77.
[15] Al-Jaziri,Ibid, hlm.78-80.
[16] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795.
[17] An-Nabhani, 1990: 151.
[18] An-Nabhani, 1990: 150.
[19] Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35.
[20] An-Nabhani, 1990: 150.
[21] An-Nabhani, 1990: 152.
[22] Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836.
[23] An-Nabhani, 1990: 152.
[24] An-Nabhani, 1990: 153.
[25] Lihat, Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66.
[26] Lihat , Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49.
[27] An-Nabhani, 1990: 154.
[28] An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25.