BAB II
PEMBAHASAN
Sejak lahirnya kurikulum PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) yang kemudian disusul oleh lahirnya kurikulum tahun 1975, telah mulai tertanam kesadaran para guru bahwa tujuan pelajaran harus dirumuskan sebelum proses belajar mengajar berlangsung. Tujuan tersebut harus diberitahukan kepada para siswa.
Kata taksonomi diambil dari bahasa Yunani “tassein” yang berarti untuk mengelompokkan dan “nomos” yang berarti aturan. Secara istilah, Taksonomi dapat diartikan sebagai pengelompokan suatu hal berdasarkan tingkatan tertentu. Di mana taksonomi yang lebih tinggi bersifat lebih umum dan taksonomi yang lebih rendah bersifat lebih spesifik.
Taksonomi disusun oleh satu tim yang diketuai oleh Benyamin S. Bloom dan Krathwool (1964) sehingga Taksonomi pendidikan lebih dikenal dengan sebutan “Taksonomi Bloom”. Sejarahnya bermula ketika pada awal tahun 1950-an, dalam Konferensi Asosiasi Psikolog Amerika, sebagai kelanjutan kegiatan serupa tahun 1948, Bloom dan kawan-kawan mengemukakan bahwa persentase terbanyak butir soal evaluasi hasil belajar yang banyak disusun di sekolah hanya meminta siswa untuk mengutarakan hafalan mereka. Hafalan sebenarnya merupakan taraf terendah kemampuan berpikir (menalar, “thinking behaviors”). Artinya, masih ada taraf lain yang lebih tinggi. Bloom, Englehart, Furst, Hill dan Krathwohl kemudian pada tahun 1956 merumuskan ada tiga golongan domain atau kawasan. Sampai saat ini taksonomi bloom banyak dipakai sebagai dasar pengembangan tujuan intruksional diberbagai kegiatan latihan dan pendidikan.
Adapun definisi taksonomi menurut beberapa pakar dalam bidang pendidikan:
Taksonomi ini lebih mengarah pada karakteristik menurut stimulus atau rangsangan yang dapat ditimbulkan dari media itu sendiri, yaitu kesesuaian rangsangan tersebut dengan karakteristik siswa, tugas pembelajaran, bahan, dan tranmisinya. Briggs mengidentifikasi 13 macam media yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar, yaitu: objek, model, suara langsung, rekaman audio, media cetak, pembelajaran terprogram, papan tulis, media transparansi, film rangkai, film bingkai, film, televisi dan gambar.
Gagne membuat 7 macam pengelompokan media, yaitu : benda untuk mendemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak, gambar diam, gambar gerak, film bersuara dan mesin belajar. Ke tujuh kelompok media ini kemudian dikaitkannya dengan kemampuannya memenuhi fungsi menurut tingkatan hirarki belajar yang dikembangkannya yaitu: pelontar stimulus belajar, penarik minat belajar, contoh perilaku belajar, memberi kondisi eksternal, menuntun cara berfikir, menilai prestasi, dan pemberi umpan balik.
Tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (kawasan) yakni kognitif, afektif, dan psikomotor dapat diuraikan sebagai berikut:
Kawasan kognitif yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian dan ketrampilan berfikir.kawasan ini dapat dikatakan sebagai suatu sistem tersendiri. Tujuan kognitif berorientasi kepada kemampuan “berfikir” , mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan gagasan, metode atau prosedur yang sebelumnya dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kawasan kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat “pengetahuan” sampai tingkat yang paling tinggi yaitu “evaluasi”.
Kawasan kognitif terdiri dari enam tingkatan dengan aspek belajar yang berbeda – beda. Keenam tingkat tersebut :
Tujuan intruksioanal pada level ini menuntut siswa untuk mampu mengingat (recall) informasi yang telah diterima sebelumnya, seperti misalnya : fakta, rumus, strategi pemecahan masalah masalah dan sebagainya.
Contoh: Siswa mampu mengurutkan atau menyebutkan setiap tingkatan taksonomi dari suatu spesies menurut klasifikasinya.
Kategori pemahaman dihubungkan dengan kemampuan untuk menjelasakan pengetahuan, informasi yang telah diketahui dengan kata – kata sendiri. Dalam hal ini siwa diharapkan menerjemahkan, atau menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata – kata sendiri.
Contoh: Siswa dapat menjelaskan keterkaitan fungsi organela-organela pada sel.
Penerapan merupakan kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke dalam situasi yang baru, serta memecahkan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari – hari.
Contoh : Siswa dapat mengoperasikan mikroskop untuk mengamati berbagai preparat.
Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen – komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat atau tidaknya kontradiksi. Dalam hal ini siswa diharapkan menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur yang telah dipelajari.
Contoh : Siswa dapat menganalisis dan menarik kesimpulan dari suatu percobaan yang sudah dilakukan.
Sintesis disini diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh.
Contoh : Siswa dapat mengaitkan antara konsep difusi dan osmosis terhadap bagaimana tumbuhan dapat bertahan hidup.
Evaluasi merupakan level tertinggi, yang mengharapkan siswa mampu membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk atau benda dengan menggunakan kriteria tertentu. Jadi evaluasi di sini lebih condong ke bentuk penilaian biasa daripada sistem evaluasi.
Contoh : Siswa menjadi observer ketika temannya melakukan suatu presentasi
Pengertian dan isi masing – masing tingkat dari kawasan kognitif dan cakupan kawasan secara utuh dapat tergambar dengan jelas. Kalau kita melihat ke belakang, yaitu pada sistem pendidikan dan penataran yang biasa kita selenggarakan selama ini dapat ditarik kesimpulan bahwa umumnya baru menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah (seperti : tingkat pengetahuan, pemahaman dan sedikit penerapan) dan jarang sekali menerapkan analisis, sintesis, dan evaluasi. Guru dituntut agar mendesain program satuan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan intruksional dan harus banyak melakukan latihan terlebih dahulu. Latihan ini termasuk membuat soal berdasarkan kisi – kisi penulisan soal dan komposisi yang disarankan di atas. Dengan demikian seorang guru akan memperoleh suatu pengalaman yang sangat berharga bagi kualitas profesinya di masa yang akan datang. Begitu juga merancang tujuan intruksional, program satuan pembelajaran dan strategi pembelajaran, maka keseimbangan dari keenam tingkat kognitif tersebut perlu selalu dijaga.
Revisi Taksonomi Bloom
Pada tahun 1994, salah seorang murid Bloom, Lorin Anderson Krathwohl dan para ahli psikologi aliran kognitivisme memperbaiki taksonomi Bloom agar sesuai dengan kemajuan zaman. Hasil perbaikan tersebut baru dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom. Revisi hanya dilakukan pada ranah kognitif. Revisi tersebut meliputi :
Perubahan-perubahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Jadi, Taksonomi Bloom baru versi Kreathwohl pada ranah kognitif terdiri dari enam level : remembering (mengingat), understanding (memahami), applying (menerapkan), analyzing (menganalisis, mengurai), evaluating (menilai) dan creating (mencipta). Revisi Krathwohl ini sering digunakan dalam merumuskan tujuan belajar yang sering kita kenal dengan istilah C1 sampai dengan C6.
Perubahan istilah dan pola level taksonomi bloom dapat digambarkan sebagai berikut :
Sama dengan sebelum revisi, tiga level pertama (terbawah) merupakan Lower Order Thinking Skills, sedangkan tiga level berikutnya Higher Order Thinking Skill. Jadi, dalam menginterpretasikan piramida di atas, secara logika adalah sebagai berikut :
Beberapa kritik dilemparkan kepada penggambaran piramida ini. Ada yang beranggapan bahwa semua kegiatan tidak selalu harus melewati tahap yang berurutan. Proses pembelajaran dapat dimulai dari tahap mana saja tergantung kreasi tiap orang. Namun demikian, memang diakui bahwa pentahapan itu sebenarnya cocok untuk proses pembelajaran yang terintegrasi. Kritik lain mengatakan bahwa higher level (Menganalisa, mengevaluasi dan mencipta) sebenarnya bersifat setara sehingga bentuk segitiga menjadi seperti di bawah ini (Anderson and Krathwohl, 2001).
Berikut ini adalah penjelasan dan pilihan kata kerja kunci dari ranah kognitif yang telah direvisi.
No. | Kategori | Penjelasan | Kata kunci |
1. | Mengingat | Kemampuan menyebutkan kembali informasi / pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan. Contoh : menyebutkan arti taksonomi. | Mendefinisikan, menyusun daftar, menjelaskan, mengingat, mengenali, menemukan kembali, menyatakan, mengulang, mengurutkan, menamai, menempatkan, menyebutkan. |
2. | Memahami | Kemampuan memahami instruksi dan menegaskan pengertian/makna ide atau konsep yang telah diajarkan baik dalam bentuk lisan, tertulis, maupun grafik/diagram Contoh : Merangkum materi yang telah diajarkan dengan kata-kata sendiri | Menerangkan, menjelaskan, menterjemahkan, menguraikan, mengartikan, menyatakan kembali, menafsirkan, menginterpretasikan, mendiskusikan, menyeleksi, mendeteksi, melaporkan, menduga, mengelompokkan, memberi contoh, merangkum menganalogikan, mengubah, memperkirakan. |
3. | Menerapkan | Kemampuan melakukan sesuatu dan mengaplikasikan konsep dalam situasi tetentu. Contoh: Melakukan proses pembayaran gaji sesuai dengan sistem berlaku | Memilih, menerapkan, melaksanakan, mengubah, menggunakan, mendemonstrasikan, memodifikasi, menginterpretasikan, menunjukkan, membuktikan, menggambarkan, mengoperasikan, menjalankan memprogramkan, mempraktekkan, memulai. |
4. | Menganalisis | Kemampuan memisahkan konsep kedalam beberapa komponen dan mnghubungkan satu sama lain untuk memperoleh pemahaman atas konsep tersebut secara utuh. Contoh: Menganalisis penyebab meningkatnya Harga pokok penjualan dalam laporan keuangan dengan memisahkan komponen- komponennya. | Mengkaji ulang, membedakan, membandingkan, mengkontraskan, memisahkan, menghubungkan, menunjukan hubungan antara variabel, memecah menjadi beberapa bagian, menyisihkan, menduga, mempertimbangkan mempertentangkan, menata ulang, mencirikan, mengubah struktur, melakukan pengetesan, mengintegrasikan, mengorganisir, mengkerangkakan. |
5. | Mengevaluasi/menilai | Kemampuan menetapkan derajat sesuatu berdasarkan norma, kriteria atau patokan tertentu Contoh: Membandingkan hasil ujian siswa dengan kunci jawaban | Mengkaji ulang, mempertahankan, menyeleksi, mempertahankan, mengevaluasi, mendukung, menilai, menjustifikasi, mengecek, mengkritik, memprediksi, membenarkan, menyalahkan. |
6. | Mencipta | Kemampuan memadukan unsurunsur menjadi sesuatu bentuk baru yang utuh dan koheren, atau membuat sesuatu yang orisinil. Contoh: Membuat kurikulum dengan mengintegrasikan pendapat dan materi dari beberapa sumber | Merakit, merancang, menemukan, menciptakan, memperoleh, mengembangkan, memformulasikan, membangun, membentuk, melengkapi, membuat, menyempurnakan, melakukan inovasi, mendisain, menghasilkan karya. |
Kawasan afektif berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Tujuan afektif terdiri dari yang paling sedarhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai kepada yang komplek yang merupakan faktor internal seseorang seperti kepribadian dan hati nurani.
Mengacu kepada kesukarelaan dan kemampuan memperhatikan serta memberikan respons terhadap stimulasi yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar dalam domain afektif.
Contoh: Kesadaran para siswa bahwa kesulitan – kesulitan yang ditemui selama perkuliahan adalah tantangan bagi masa depannya. Sehingga dia akan dengan tetap semangat menjalani perkuliahan itu tanpa mengeluh.
Memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di lingkungannya. Meliputi persetujuan, kesediaan, dan keaktifan dalam memberikan tanggapan. Dalam hal ini siswa menjadi tersangkut secara aktif, menjadi peserta, dan tertarik.
Contoh : Para siswa aktif memperdebatkan masalah yang dilontarkan gurunya.
Pengakuan secara objektif (jujur) bahwa siswa itu objek, sistem atau benda tertentu mempunyai kadar manfaat. Kemauan untuk menerima suatu objek atau kenyataan setelah seseorang itu sadar bahwa objek tersebut mempunyai nilai atau kekuatan, dengan cara menyatakan dalam bentuk sikap atau perilaku positif atau negatif.
Contoh : Setelah beberapa kali seorang siswa gagal dalam memahami cara menentukan titik ordinat dengan bantuan tanda medan, maka ia memutuskan untuk belajar sungguh – sungguh.
Memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik di antaranya, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten.
Contoh : Siswa mampu bekerjasama dalam kelompok, membagi tugas dengan adil, saling bertukar gagasan, sehingga tercipta kekompakkan kelompok diantara siswa.
Karakterisasi adalah sikap dan perbuatan yang secara konsisten dilakukan oleh seseorang selaras dengan nilai – nilai yang dapat diterimanya, sehingga sikap dan perbuatan itu seolah – olah telah menjadi ciri – ciri pelakunya.
Contoh : Sejak di SMA hingga tamat Perguruan Tinggi. Siti selalu belajar siang dan malam karena ia percaya bahwa hanya dengan belajar keras cita – citanya akan tercapai.
Sikap Ilmiah
Sains sebagai proses dalam pembelajaran mendorong siswa untuk memiliki keterampilan dan keahlian para ilmuan dalam memecahkan masalah ilmiah. Keterampilan ini sangat membantu siswa dalam memahami dan memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan pembelajaran. Sains sebagai proses dalam pembelajaran menuntut guru untuk terampil dan memiliki keahlian khusus dalam mengorganisasi kondisi kelas. Siswa pun dituntut untuk selalu berani tampil secara individu maupun kelompok kecil dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Guru dalam hal ini hanya bersifat sebagai fasilitator saja dan kegiatan sepenuhnya terpusat pada siswa.
Untuk memenuhi peran siswa yang harus aktif dalam setiap pembelajaran, maka siswa harus menerapkan atau bersikap ilmiah dalam memecahkan berbagai permasalahan layaknya seorang ilmuwan yang sedang memecahkan masalah ilmiah. Sikap-sikap tersebut seperti:
(Sumintono, 2010)
Secara garis besar terdapat 12 sikap ilmiah yang harus dimiliki oleh setiap siswa :
Sikap ingin tahu ini terlihat pada kebiasaan bertanya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan bidang kajiannya.
Contohnya : “Mengapa demikian? Bagaimana caranya? Apa saja unsur-unsurnya? Dan seterusnya”.
Seorang peneliti harus dapat menerima apa pun hasil penelitiannya, dan tidak boleh mengubah data hasil penelitiannya.
Seorang peneliti dalam mengemukakan hasil penelitiannya tidak boleh dipengaruhi oleh perasaan pribadinya, tetapi harus berdasarkan kenyataan (fakta) yang ada.
Seorang peneliti mau mengubah pandangannya ketika menemukan bukti yang baru.
Seorang peneliti dalam melakukan penelitian harus teliti dan tidak boleh melakukan kesalahan, karena dapat mempengaruhi hasil penelitiannya.
Seorang peneliti harus tekun dan tidak mudah putus asa jika menghadapi masalah dalam penelitiannya.
Seorang peneliti harus berani dan santun dalam mengajukan pertanyaan dan berargumentasi.
Sikap kritis terlihat pada kebiasaan mencari informasi sebanyak mungkin berkaitan dengan bidang kajiannya untuk dibanding-banding kelebihan-kekurangannya, kecocokan-tidaknya, kebenaran-tidaknya, dan sebagainya.
Sikap terbuka dapat dilihat pada kebiasaan mau mendengarkan pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain, walaupun pada akhirnya pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain tersebut tidak diterima karena tidak sepaham atau tidak sesuai.
Sikap menghargai karya orang lain ini terlihat pada kebiasaan menyebutkan sumber secara jelas sekiranya pernyataan atau pendapat yang disampaikan memang berasal dari pernyataan atau pendapat orang lain.
Sikap ini menampak pada ketegaran membela fakta dan hasil temuan lapangan atau pengembangan walapun bertentangan atau tidak sesuai dengan teori atau dalil yang ada.
Sikap ini dibuktikan dengan selalu ingin membuktikan hipotesis yang disusunnya demi pengembangan bidang ilmunya. (Bundu, 2006)
c. Kawasan Psikomotor (psychomotor domain)
Kawasan psikomotor adalah kawasan yang berorientasi kepada keterampilan motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh, atau tindakan (action) yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otot. Dimensi (ranah) psikomotorik meliputi aktivitas motorik yang penting dalam pengembangan kemampuan siswa dalam memanipulasi benda-benda,dan secara umum mengembangkan keterampilan motorik siswa. Psikomotorikberhubungan dengan gerakan sengaja yang dikendalikan oleh aktivitas otak. Dimensi psikomotorik umumnya berupa keterampilan yang memerlukan koordinasi otak dengan beberapa otot.
Berkaitan dengan psikomotor, Bloom (1979) berpendapat bahwa ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Singer (1972) menambahkanbahwa mata pelajaran yang berkaitan dengan psikomotor adalah mata pelajaran yang lebih beorientasi pada gerakan dan menekankan pada reaksi–reaksi fisik dan keterampilan tangan. Keterampilan itu sendiri menunjukkan tingkat keahlian seseorang dalam suatu tugas atau sekumpulan tugas tertentu.
Hingga akhir hayatnya, Bloom tidak merumuskan kategori dalam ranah psikomotorik. Ahli psikologi berikutnyalah yang mengembangkan kategori psikomotorik, yakni Dave (1967), Simpson (1972), dan Harrow (1972). Berikut ini adalah kategori psikomotorik menurut Dave (1967):
Imitasi berarti meniru tindakan seseorang. Contoh imitasi misalnya seorang siswa mengamati demonstrasi guru tentang penggunaan cawan petri, bunsen, batang L, dan jarum oze dalam menggores biakan bakteri dan kemudian siswa meniru proses atau aktivitas guru tersebut.
Kategori manipulasi berarti melakukan keterampilan atau menghasilkan produk dengan cara mengikuti petunjuk umum, bukan berdasarkan observasi. Pada kategori ini, siswa dipandu melalui instruksi untuk melakukan keterampilan tertentu. Dalam pembelajaran IPA, siswa yang dapat melakukan aktivitas sesuai dengan petunjuk LKS berarti sudah masuk dalam kategori ini. Misalnya guru membagikan LKS yang mencakup prosedur kerja mengenai fotosintesis tumbuhan yang harus dilakukan siswa.
Kategori presisi berarti secara independen melakukan keterampilan atau menghasilkan produk dengan akurasi, proporsi, dan ketepatan. Dalam pembelajaran IPA, kategori presisi ini misalnya siswa terampil melakukan pengukuran suhu dengan termometer atau terampil menggunakan mikroskop. Tidak hanya terampil menggunakan alat-alat laboratorium tetapi siswa juga harus memahami setiap bagian-bagian pada alat-alat tersebut.
Kategori artikulasi artinya memodifikasi keterampilan atau produk agar sesuai dengan situasi baru, atau menggabungkan lebih dari satu keterampilan dalam urutan harmonis dan konsisten. Dalam pembelajaran IPA, misalnya siswa sudah dapat menggabungkan langkah-langkah tertentu dalam memecahkan masalah dengan metode ilmiah.
Kategori naturalisasi artinya menyelesaikan satu atau lebih keterampilan dengan mudah dan membuat keterampilan otomatis dengan tenaga fisik atau mental yang ada. Pada kategori ini, sifat aktivitas telah otomatis, sadar penguasaan aktivitas, dan penguasaan keterampilan terkait sudah pada tingkat strategis (misalnya dapat menentukan langkah yang lebih efisien). Misalnya siswa di minta untuk mendesain, mengukur, menemukan, dan mengelola alat respirometer untuk mengetahui mekanisme respirasi pada hewan jangkrik.
Ketrampilan Proses Sains
Keterampilan merupakan kemampuan menggunakan pikiran, nalar, dan perbuatan secara efisien dan efektif untuk mencapai suatu hasil tertentu, termasuk kreativitas. Proses didefinisikan sebagai perangkat keterampilan kompleks yang digunakan ilmuwan dalam melakukan penelitian ilmiah. Proses merupakan konsep besar yang dapat diuraikan menjadi komponen-komponen yang harus dikuasai seseorang bila akan melakukan penelitian.
Menurut Rustaman (2003), keterampilan proses adalah keterampilan yang melibatkan keterampilan-keterampilan kognitif atau intelektual, manual dan sosial. Keterampilan kognitif terlibat karena dengan melakukan keterampilan proses siswa menggunakan pikirannya. Keterampilan manual jelas terlibat dalam keterampilan proses karena mereka melibatkan penggunaan alat dan bahan, pengukuran, penyusunan atau perakitan alat. Keterampilan sosial juga terlibat dalam keterampilan proses karena mereka berinteraksi dengan sesamanya dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar, misalnya mendiskusikan hasil pengamatan. Keterampilan proses perlu dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman langsung sebagai pengalaman belajar. Melalui pengalaman langsung, seseorang dapat labih menghayati proses atau kegiatan yang sedang dilakukan.
Keterampilan proses sains (KPS) adalah perangkat kemampuan kompleks yang biasa digunakan oleh para ilmuwan dalam melakukan penyelidikan ilmiah ke dalam rangkaian proses pembelajaran. Menurut Dahar (1996), keterampilan proses sains (KPS) adalah kemampuan siswa untuk menerapkan metode ilmiah dalam memahami, mengembangkan dan menemukan ilmu pengetahuan. KPS sangat penting bagi setiap siswa sebagai bekal untuk menggunakan metode ilmiah dalam mengembangkan sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki.
KPS terdiri dari sejumlah keterampilan tertentu. Klasifikasi KPS adalah sebagai berikut:
Mengamati adalah proses pengumpulan data tentang fenomena atau peristiwa dengan menggunakan inderanya. Untuk dapat menguasai keterampilan mengamati, siswa harus menggunakan sebanyak mungkin inderanya, yakni melihat, mendengar, merasakan, mencium dan mencicipi. Dengan demikian dapat mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dan memadai.
Mengelompokkan adalah suatu sistematika yang digunakan untuk menggolongkan sesuatu berdasarkan syarat-syarat tertentu. Proses mengklasifikasikan tercakup beberapa kegiatan seperti mencari kesamaan, mencari perbedaan, mengontraskan ciri-ciri, membandingkan, dan mencari dasar penggolongan.
Menafsirkan hasil pengamatan ialah menarik kesimpulan tentatif dari data yang dicatatnya. Hasil-hasil pengamatan tidak akan berguna bila tidak ditafsirkan. Karena itu, dari mengamati langsung, lalu mencatat setiap pengamatan secara terpisah, kemudian menghubung-hubungkan hasil-hasil pengamatan itu. Selanjutnya siswa mencoba menemukan pola dalam suatu seri pegamatan, dan akhirnya membuat kesimpulan.
Meramalkan adalah memperkirakan berdasarkan pada data hasil pengamatan yang reliabel (Firman, 2000). Apabila siswa dapat menggunakan pola-pola hasil pengamatannya untuk mengemukakan apa yang mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamatinya, maka siswa tersebut telah mempunyai kemampuan proses meramalkan.
Keterampilan proses mengajukan pertanyaan dapat diperoleh siswa dengan mengajukan pertanyaan apa, mengapa, bagaimana, pertanyaan untuk meminta penjelasan atau pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis.
Hipotesis adalah suatu perkiraan yang beralasan untuk menerangkan suatu kejadian atau pengamatan tertentu.
Agar siswa dapat memiliki keterampilan merencanakan percobaan maka siswa tersebut harus dapat menentukan alat dan bahan yang akan digunakan dalam percobaan. Selanjutnya, siswa harus dapat menentukan variabel-variabel, menentukan variabel yang harus dibuat tetap, dan variabel mana yang berubah. Demikian pula siswa perlu untuk menentukan apa yang akan diamati, diukur, atau ditulis, menentukan cara dan langkah-langkah kerja. Selanjutnya siswa dapat pula menentukan bagaimana mengolah hasil-hasil pengamatan.
Untuk dapat memiliki keterampilan menggunakan alat dan bahan, dengan sendirinya siswa harus menggunakan secara langsung alat dan bahan agar dapat memperoleh pengalaman langsung. Selain itu, siswa harus mengetahui mengapa dan bagaimana cara menggunakan alat dan bahan.
Keterampilan menerapkan konsep dikuasai siswa apabila siswa dapat menggunakan konsep yang telah dipelajarinya dalam situasi baru atau menerapkan konsep itu pada pengalaman-pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.
Keterampilan ini meliputi keterampilan membaca grafik, tabel, atau diagram dari hasil percobaan. Menggambarkan data empiris dengan grafik, tabel, atau diagram juga termasuk berkomunikasi. Menurut Firman (2000), keterampilan berkomunikasi adalah keterampilan menyampaikan gagasan atau hasil penemuannya kepada orang lain.
Menurut Dimyati (2009), kelebihan KPS adalah:
Penyusunan pokok uji KPS sebaiknya memilih satu konsep tertentu lalu menyajikan sejumlah informasi yang perlu diolah. Setelah itu menentukan bentuk jawaban yang diminta misalnya tanda silang, tanda cek, atau menuliskan jawaban singkat 3 buah lalu menyiapkan pertanyaan untuk memperoleh jawaban yang diharapkan. Misalnya uji keterampilan observasi tentang bagian-bagian bunga. Mengajukan pertanyaan mengenai jumlah kelopak, jumlah dan keadaan daun mahkota bunga, bentuk kepala sari, keadaan kepala putik, dan ciri bunga tersebut. Respon diminta dalam bentuk jawaban singkat lima buah berurutan ke bawah dari a sampai e (Rustaman, 2003).
Pokok uji keterampilan proses memerlukan skor dengan cara tertentu. Setiap respon yang benar diberi skor dengan bobot tertentu, umpamanya masing-masing 1 untuk pokok uji observasi di atas yang berarti jumlah skornya 5. Untuk respon yang lebih kompleks, misalnya membuat pertanyaan, dapat diberi skor bervariasi berdasarkan tingkat kesulitannya. Misalnya pertanyaan berlatar belakang hipotesis diberi skor 3; pertanyaan apa, mengapa, bagaimana diberi skor 2; pertanyaan yang meminta penjelasan diberi skor 1 (Rustaman, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Bundu, Patta. 2006. Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Sains. Jakarta : Depdiknas.
Sumintono, bambang. 2010. Pembelajaran sains, pengembangan keterampilan sains dan sikap ilmiah dalam meningkatkan kompetensi guru. Johor bahru : Universiti Teknologi Malaysia.