REVOLUSI MENTAL: PERSPEKTIF ALQURAN[1]∗
(Menilik Implikasi Iman dalam Kehidupan Kebangsaan)
Oleh: DR. Iskandar Z, M.Ag[2]∗∗
PENGERTIAN
Istilah revolusi (latin: revolutio) sesungguhnya lebih dahulu muncul sebagai istilah teknis dalam sains. Secara denotatif, revolusi berarti "kembali lagi" atau "berputar arah"; ibarat musim yang terus berganti secara siklikal untuk kembali ke musim semula. Maka, dalam sains, istilah revolusi mengimplikasikan suatu ketetapan (konstanta) dalam perubahan; pengulangan secara terus-menerus yang menjadikan akhir sekaligus awal. Pengertian seperti inilah yang terkandung dalam frase ”revolusi planet dalam orbit” atau revolusi paradigmatik Copernican tentang perubahan pusat alam semesta (dari geosentrisme menuju heliosentrisme).
Istilah revolusi ketika dikaitkan dengan mental, mengandung tidak lagi dalam pengertian teknis, tetapi bergeser secara konotatif menjadi yang didefinisikan Thomas Kuhn sebagai ”perubahan dalam susunan paradigma”. Dalam hal ini, revolusi mental berarti “suatu perubahan dalam cara fikir dan bertindak sesuai dengan keyakinan yang melatarinya”.
UNSUR KEBARUAN
Pengertian revolusi seperti itulah yang kemudian diadopsi oleh wacana dan gerakan sosial-politik. Penggunaan istilah revolusi dalam bidang politik memperoleh popularitasnya menyusul Revolusi Amerika (1776) dan terlebih setelah Revolusi Perancis (1789). Seperti halnya revolusi dalam sains, pengertian revolusi dalam politik pun pada mulanya mengandung konotasi yang ramah, hingga Revolusi Perancis berubah jadi ekstrem dalam bentuk teror yang menakutkan.
Sebenarnya, yang esensial dalam suatu revolusi adalah ”kebaruan”. Hannah Arendt (1965) mengingatkan bahwa ”Konsep modern tentang revolusi terkait dengan pengertian bahwa jalannya sejarah seketika memulai hal baru. Revolusi mengimplikasikan suatu kisah baru, kisah yang tidak pernah diketahui atau diceritakan sebelumnya”. Revolusi menjadi jembatan yang mentransformasikan dunia lama jadi dunia baru.
Oleh karena itu, revolusi sejati yang berdampak besar dalam transformasi kehidupan harus mengandung kebaruan dalam struktur mental, yaitu meniscayakan perubahan mentalitas (pola pikir dan sikap) yang lebih kondusif bagi perbaikan kehidupan. Urgensi revolusi mental seperti ini sejalan dengan firman Tuhan dalam Al Quran (QS al-Ra’d: 11/QS. Al-Anfal:53): "Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sebuah kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada jiwa (dalam konteks ini bisa disebut “mental”) mereka."
IMAN: MODAL DASAR PERUBAHAN
Perubahan mental (pola pikir dan sikap) sangat ditentukan arahnya oleh sistem keyakinan sebagai modal penggerak. Dalam istilah Alquran, sistem keyakinan ini disebut dengan “iman” yang secara mendasar (etimologis: إيمان) berarti sistem kesiapan dan keterbukaan menerima kebaikan dan kebenaran (Toshihiko: 1966) yang bernilai universal dan absolut yang berasal dari Tuhan.
Betapapun, sifat dan kebutuhan dasar manusia adalah meraih kebaikan dan kebahagiaan hidup, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Pemenuhan atas kebutuhan dasar tersebut diyakini bersumber dari Tuhan. Maka dalam pemenuhan kebutuhan dasar, manusia seyogyanya tunduk dan komitken pada kebaikan dan kebenaran, dan tidak menutup diri (kafir) sehingga menimbulkan penolakan dan penyimpangan dalam bentuk kejahatan yang justru bertentangan dengan sifat dasar manusia itu sendiri.
Ketika manusia kehilangan komitmennya pada kebaikan dan kebenaran, maka pada saat yang sama muncullah kejahatan dan dekadensi kemanusiaan. Meminjam istilah statistika, hubungan kebaikan dan keburukan adalah hubungan negatif (negative correlation). Sehingga dapat dipastikan, jika iman seseorang stabil dan kokoh, maka yang lahir dari pikiran dan sikap adalah tebaran-tebaran kebaikan dan keadilan. Namun jika iman mengalami degradasi, maka yang muncul adalah pikiran dan sikap yang jahat. Dalam kontek ini, sangat tepat kalau Rasulullah SAW. selalu mengingatkan ummatnya dengan mengatakan: جددوا إيمانكم ... “perbaharuilah selalu iman mu” (HR. Ahmad dari Abi Hurairah)
IMPLIKASI IMAN DAN NILAI STRATEGIS
Sistem keyakinan (iman: إيمان) memiliki implikasi yang paling nyata dalam kehidupan, baik pikiran maupun sikap atau perbuatan. Implikasi iman ini dapat ditelusuri lewat citra etimologis dari perubahan kata iman itu sendiri. Menurut Ibnu Faris dalam al-Maqayis fi al-Lughah nya, bahwa iman setidaknya terkait dengan amanah (أمانة), aman (أمن) dan amin (أمين) dalam suatu lingkaran eksis yang sinergi:
Gbr 1: Lingkaran eksis antara iman, amanah, aman, dan amin |
Amanah (امانة) berarti kesiapan dan keterbukaan untuk menjalankan fungsi dan tanggungjawab yang dibebabankan kepada seseorang dengan integritas yang tinggi, profesional dan berkeadilan, sehingga tidak terjadi penyelewengan atau disfungsi peran (khianat). Amanah ini yang diingatkan Allah dalam firmanNya (Q.S. al-Nisa: 59): “Sesungguhnya, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.”
Aman (أمن) berarti kesiapan dan keterbukaan untuk menerima amanah tersebut, sehingga si pemberi amanah dan yang menerima amanah sama-sama merasakan adanya kenyamanan dan kedamaian, bersikap toleran, saling bekerjasama, saling percaya dan tidak saling mencurigai dan apalagi menyakiti, baik ucapan maupun perbuatan tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Rasulullah SAW berujar: “Orang muslim adalah orang yang lisan dan perbuatannya bisa mencitrakan kedamaian antar sesama” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Amr).
Sedangkan Amin (أمين) berarti kesiapan dan keterbukaan untuk menerima harapan-harapan baru, sehingga memunculkan sikap optimis dan rasa percaya diri, kreatif dan inovatif, tanpa harus ada ketergantungan yang berlebihan dengan pihak lain. Kata “amin” inilah sering terucap dalam setiap doa yang dipanjatkan mengiringi setiap langkah perbuatan, dengan tujuan agar Allah SWT mengabulkan segala maksud dan kehendak. Dalam konteks ini cukup terkenal ungkapan Latin: ora et labora (berdoa sambil bekerja) karena doa dalam ungkapan arab adalah “otaknya” amal ibadah (addu’a mukhul ibadah).
Impliasi-implikasi iman tersebut di atas memiliki nilai strategis dalam penerapan kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama jika dikaitkan dengan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.
Kedaulatan Politik. Kehidupan bernegara adalah kehidupan berdasarkan kedaulatan rakyat, berdasarkan “amanah” yang diberikan rakyat. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi kepentingan seluruh rakyat dan dijalankan dalam sistem politik yang berkeadilan secara hukum, akuntabel secara ekonomis, bersih dan terbuka secara moral. Para pelaksana pemerintahan adalah pilar “perwakilan Tuhan” (khalifah fil ardh) dalam menata kehidupan bersama-sama dengan rakyat (Q.S. al-Baqarah:30).
Kemandirian Ekonomi. Kehidupan berbangsa adalah kehidupan atas dasar kesejahteraan rakyat. Pilar utama bangsa dalam mewujudkan keamanan dalam kesejahteraan adalah kemandirian bangsa dalam menciptakan sistem perekonomian rakyat yang bebas ketergantungan dan atau monopoli. Rasa optimis dan percaya diri (kata “amin” dalam do’a) menjadi motivasi penggerak untuk melahirkan karya-karya kreatif dan inovatif demi pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih sehat dan berkualitas. Rasulullah SAW memberikan apresiasi dengan mengatakan: “Orang mu’min yang kuat, jauh lebih baik dari orang mu’min yang lemah” (HR. Muslim dari Abi Hurairah)
Kepribadian Sosial-Budaya. Kehidupan bermasyarakat adalah kehidupan atas dasar kepribadian yang kokoh, beradab, dan bermartabat. Sifat ke-Indonesia-an dan kearifan-kearifan lokal harus terus tetap tumbuh dan berkembang ditengah derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi dan komunikasi. Budaya-budaya luhur bangsa yang terbalut dalam sifat saling hormat-menghormati, gotong royong, kerja keras, kebersamaan dan persaudaraan, harus tetap terpelihara dengan baik, karena kepribadian masyarakat adalah kepribadian suatu bangsa. Mengutip perkataan pujangga Islam Ahmad Syauqi: “Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh keberadaban masyarakatnya, Jika masyarakatnya beradab, maka kokohlah bangsa, namun apabila kehilangan adab, maka hancurlah bangsa”.
Gbr 2: Implikasi Strategis Iman dalam Kehidupan
Iman dan nilai strategisnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diperlihatkan secara kausal dalam firman Allah (Q.S. al-A’raf: 96): “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi , tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat) Kami, maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”.
PELOPOR PENGGERAK
Penggerak perubahan (revolusi mental) seyogyanya dimulai dari dan oleh siapa saja secara bersama, dari diri sendiri ke orang lain, dari pemerintah kemasyarakat, dari penguasa ke rakyat jelata. “Setiap orang” kata Rasulullah SAW “adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR Bukhari-Muslim dari Ibnu Umar), maka setiap orang harus menjadi pelopor utama untuk memulai suatu perubahan besar.
Gbr 3: Para pelopor penggerak revolusi mental
Gerakan revolusi mental harus berjalan secara berkesinambungan tanpa henti, sebagaimana “iman” yang oleh Rasulullah harus diperbaharui setiap saat menuju kualitas yang terus membaik.
PENUTUP
Revolusi mental bukanlah sekedar slogan semata, tetapi suatu keniscayaan untuk meraih tarap kebaikan dan kebahagiaan yang sejati. Dalam perspektif Al-Qur’an, iman adalah dasar revolusioner yang paling utama, yang darinya memberikan implikasi dan nilai stategis dalam penataan kehidupan bermasyarakat menuju bangsa yang bermartabat.
REFERENSI
Al-Qur’an al-Karim
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1987 M/ 1407 H.
Ahmad bin Muhammad al-Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal. Al-Qahirah: Dar al-Hadis.
Ibnu Faris, Mu’jam al-Maqayis fi al-Lhughah. cet. II, Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H./1998 M.
Izutsu, Toshihiko. Ethico Religious Concepts in the Qur'an, Canada: McGill University Press, 1966
Jokowi, “Revolusi Mental”, http://presidenri.go.id/ulasan/revolusi-mental.html.
| Makalah Seminar Alquran MTQ Korpri Nasional III
[1]∗ Makalah disampaikan dalam Seminar AlQuran MTQ Korpri Tingkat Nasional III, Samarinda Provinsi Kalimantan Timur, tanggal 15 November 2016.
[2]∗∗ Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda